Tawon Merah Bukit Hengsan 2
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
tanah tadi, Bwee Hwa terkejut sekali. Kalau tadi,
diserang dari depan ia masih dapat mengandalkan
kegesitannya untuk mengelak dengan berloncatan ke
kanan kiri atau belakang, sekarang serangan itu
datangnya dari atas depan, belakang, dan kanan kiri.
Terpaksa ia kadang-kadang harus menggulingkan
tubuhnya ke atas tanah. "Brett......!" Bajunya terkena cakaran dan robek di
bagian pundaknya. Biarpun kulit pundaknya tidak
terluka, namun hal ini membuat Bwee Hwa menjadi
marah sekali. Ia lalu mengambil senjata rahasianya,
yaitu hong-cu-ciam, jarum-jarum lembut dan cepat ia
menyerang dua ekor burung itu dengan jarum-
jarumnya. "Wuuuttt.......sut-sut-sut!" Jarum-jarum itu lenyap di
balik bulu-bulu tebal burung-burung itu. Bulu itu terlalu
tebal dan lemas licin sehingga jarum-jarumnya tidak
mampu menembus, tidak sampai mengenai kulit.
Bwee Hwa menjadi bingung. Untuk membidik ke arah
muka, gerakan mereka terlalu cepat ketika
menyambar turun. Bwee Hwa terdesak hebat dan ia menjadi bingung
dan lelah sekali. Kalau terus-menerus ia harus
menghindarkan serangan mereka yang berbahaya itu,
akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan tidak
akan mampu membalas serangan sama sekali.
Karena tidak melihat jalan lain, Bwee Hwa lalu
mengambil keputusan untuk nekat dan mengadu
nyawa mati-matian. Tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya
telentang dengan tangan kanan siap memegang
pedang dan tangan kiri menggenggam jarum-
jarumnya. Seluruh urat syarafnya menegang dan siap
siaga. Sepasang rajawali itu melihat bahwa calon mangsa
mereka telah roboh seolah tidak berdaya. Mereka
segera memekik penuh kemenangan, beberapa kali
terbang mengitari tubuh Bwee Hwa lalu mereka
menukik ke bawah sambil memekik nyaring, seolah
sedang berlumba untuk menerkam ke arah leher dan
dada gadis itu, untuk berpesta pora menikmati daging
dan darah korban itu! Akan tetapi pada detik terakhir, ketika paruh kedua
ekor burung itu sudah dekat dengan tubuh Bwee
Hwa, tiba-tiba terdengar pekik melengking
mengerikan. Seekor rajawali, yang terbang lebih
cepat dan lebih dekat dengan tubuh Bwee Hwa, tahu-
tahu terpenggal kepalanya, disambar pedang Sin-
hong-kiam. Gerakan tangan kanan Bwee Hwa
demikian cepat dan sama sekali tidak terduga oleh
burung yang sudah kegirangan dan bemafsu itu
sehingga tahu-tahu kepalanya telah terpisah dari
tubuhnya! Sedangkan burung kedua, tiba-tiba merasa
nyeri pada kedua matanya yang disambar banyak
jarum kecil lembut sehingga kedua matanya menjadi
buta seketika! Semua telah terjadi dengan cepat dan dengan
gerakan kilat Bwee Hwa sudah menggerakkan
tubuhnya bergulingan menyingkir dari tempat ia
telentang tadi sampai beberapa meter jauhnya.
Untung ia dapat bergerak cepat lalu melompat
bangun berdiri. Dengan mata terbelalak ia melihat
betapa rajawali yang sudah terpenggal kepalanya itu
masih mencengkeram ke bawah sehingga tanah dan
batu berhamburan. Kalau ia tidak cepat menyingkir,
tentu tubuhnya yang akan tercabik oleh sepasang
cakar burung yang sudah tak berkepala lagi itu.
Kemudian burung kedua, yang sudah buta matanya,
menerkam ke bawah, mengenai tubuh burung
pertama. Cakar dan paruhnya mematuk dan
mencabik sehingga tubuh kawannya itu terkoyak-
koyak, darah muncrat ke mana-mana! Bulu burung
berhamburan bersama daging dan darah. Rajawali
buta itu agaknya menyadari bahwa yang dicabik-
cabiknya itu bukan tubuh manusia melainkan tubuh
kawannya sendiri. Dia memekik-mekik mengerikan
dan menyabet-nyabetkan sayapnya ke kanan kiri
membabi buta dan suaranya berubah seperti raungan
penuh sakit dan kesedihan.
Melihat keadaan burung itu, Bwee Hwa yang sejak
tadi menonton dengan hati merasa ngeri, menjadi
tidak tega juga. Kini dia teringat akan ucapan gurunya
bahwa apa yang dinamakan binatang buas itu
sebenarnya sama sekali tidak dapat dikatakan jahat.
Perjalanan Mencari Ayah Seperti burung rajawali ini. Kalau dia suka membunuh
mahluk lain termasuk manusia, hal itu dilakukan
bukan karena dia berhati jahat, melainkan dia
menyerang dan membunuh untuk mempertahankan
hidup, untuk mengisi perutnya yang lapar. Membunuh
karena harus membunuh untuk dapat makan!
Rajawali ini tidak suka makan daun atau buah,
makanannya memang daging dan darah, karena itu
dia harus membunuh mahluk lain termasuk manusia
agar tidak mati kelaparan. Dia tidak jahat!
Ia memandang dan merasa kasihan. Didekatinya
burung buta itu dari belakang dan sekali pedangnya
menyambar, leher burung itupun putus dan tubuh
burung itu roboh dan mati.
Setelah semua itu berakhir, barulah Bwee Hwa
menjatuhkan diri di bawah pohon dan bersandar pada
batang pohon sambil mengatur pernapasannya yang
masih terengah-engah karena kelelahan dan
ketegangan. Ia memandang ke arah bangkai dua
ekor burung itu dan diam-diam ia memuji keindahan
dan kehebatan dua ekor burung rajawali itu. Selama
hidupnya baru satu kali ini ia melihat bu?rung yang
demikian indah dan demikian kuat. Kalau saja tadi ia
tidak memper?gunakan akal yang nekat dan
berbahaya, agaknya sekarang mungkin saja tubuhnya
sudah dicabik-cabik dan sepotong demi sepotong
masuk ke dalam perut dua ekor burung itu. Ia
bergidik ngeri membayangkan hal itu.
Setelah mengaso sejenak dan merasa tangannya
telah pulih kembali, Bwee Hwa lalu mengambil
buntalan pakaiannya yang tadi ia lepas dan
lemparkan ke bawah pohon sebelum ia memanjat
pohon itu. Ia menggendong lagi buntalan pakai?annya
dan melanjutkan perjalanannya. Ia ingin keluar dari
hutan lebat itu sebelum hari menjadi gelap. Karena
tidak mengenal daerah itu, ia berjalan ke depan
dengan ngawur saja. Akan tetapi tidak lama kemudian, hampir ia berseru
gembira ketika ia melihat sebuah tempat terbuka di
dalam hutan itu. Hutan di bagian itu sudah dibuka dan
menjadi semacam ladang yang ditumbuhi tanaman
sayur-sayuran, bahkan ada banyak pohon buah yang
sudah digantungi buah-buahan yang masak. Ladang
ini menunjukkan bahwa di situ terdapat orang-orang
dan tidak jauh dari perkampungan! Karena perutnya
lapar, maka ia tidak perduli akan kenyataan bahwa
pohon-pohon buah itu tentu ada pemiliknya. Ia
memetik beberapa butir buah pir dan memakannya
dengan enak! Akan tetapi, tiba-tiba terdengar langkah dan gerakan
orang di sekelilingnya dan tak lama kemudian
bermunculan belasan orang laki-laki yang berpakaian
kasar dan berwajah bengis. Juga mereka itu tampak
bertubuh kuat dan di antara mereka terdapat seorang
yang melihat pakaiannya tentu memiliki kedudukan
yang lebih tinggi di antara mereka. Seorang laki-laki
berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya
pendek tegap dan dia membawa senjata sebuah
tombak bergagang panjang yang lebih tinggi daripada
tubuhnya yang katai. Kini belasan orang itu mengepung Bwee Hwa yang
sudah tidak makan lagi. Dengan tenang gadis yang
tabah itu menyapu mereka dengan pandang matanya
dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa
belasan orang laki-laki itu memandangnya dengan
mulut menyeringai dan mata seolah hendak
menelannya bulat-bulat! Orang pendek gempal yang agaknya menjadi
pemimpin gerombolan itu juga memandang
kepadanya dengan penuh perhatian dan keheranan.
Siapa takkan heran melihat seorang gadis muda belia
seorang diri berada di dalam daerah hutan yang lebat
dan liar itu" Akan tetapi ketika kepala gerombolan itu
melihat sebatang pedang tergantung di punggung
Bwee Hwa, dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu
seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia
persilatan) yang memiliki ilmu kepandaian silat
sehingga berani merantau seorang diri karena merasa
mampu menjaga dan membela diri.
Dia dapat menduga ini, akan tetapi tetap saja dia
merasa heran dan kagum karena keberanian gadis itu
sungguh berlebihan. Dia lalu menegur dengan suara
yang tinggi mirip suara wanita.
"Nona, engkau berjalan seorang diri di daerah kami,
hendak pergi ke manakah?"
Bwee Hwa sudah merasa sebal melihat sikap para
anak buah gerombolan itu, akan tetapi ia memaksa
diri bersabar ketika menjawab. "Aku hendak pergi ke
mana saja kakiku membawaku. Ada urus?an apakah
kalian menghadangku dan bertanya-tanya?"
Para anak buah gerombolan itu tersenyum dan ada
yang tertawa mendengar jawaban Bwee Hwa yang
mereka anggap lucu. Pemimpin gerombolan itupun
tersenyum dan berkata lagi.
"Memang engkau yang memiliki kaki yang indah
mungil itu, tentu saja engkau pula yang menentukan
ke mana hendak melangkah dan pergi. Akan tetapi
ketahuilah, nona, bahwa di sini bukan tempat untuk
berjalan-jalan dan bertamasya. Hutan-hutan di sini
amat liar dan terdapat banyak sekali binatang buas, di
antaranya terdapat burung-burung rajawali raksasa
yang ganas dan suka makan orang!"
Bwee Hwa tersenyum mengejek, akan tetapi dalam
pandangan para anggauta gerombolan itu, senyum ini
tampak manis bukan main. "Engkau maksudkan kim-gan-tiauw (rajawali bermata
emas)" Hemm, baru saja aku membunuh dua ekor!"
Meledaklah tawa semua anggauta gerombolan itu
mendengar ucapan gadis itu. Siapa dapat percaya
akan kata-kata itu" Membunuh dua ekor kim-gan-
tiauw" Sedangkan beberapa hari yang lalu mereka
mengeroyok seekor kim-gan-tiauw saja tidak berhasil
melukai, apalagi membunuhnya, bahkan tiga orang di
antara mereka tewas! Dan gadis kecil ini seorang diri
membunuh dua ekor" Merasa ia ditertawakan, Bwee Hwa membentak
marah, "Kalian menertawakan siapa?"
Seorang anak buah gerombolan yang bertubuh tinggi
besar dan tangannya me?megang sebatang golok,
berkata dan tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh-heh-heh, mungkin yang kaubunuh itu dua ekor
burung gereja! Wah, kalau gadis ini menjadi biniku,
aaahh betapa senangnya hatiku dan akan amanlah
hidupku. Ha-ha-ha?""
Belum juga ia menutupkan kembali mulutnya, tiba-
tiba dia memekik ngeri dan dia roboh dengan mata
mendelik karena bagaikan kilat menyambar sebatang
hong-cu-ciam (jarum tawon) telah memasuki
mulutnya yang ternganga dan me?nancap di langit-
langit mulutnya! Ini terjadi karena ketika dia tertawa
tadi, mulutnya terbuka lebar dan dia tertawa sambil
mengangkat muka ke atas sehingga langit-langit
mulutnya menghadap ke depan!
Terkejutlah semua anggauta gerombolan itu, akan
tetapi pemimpin mereka marah sekali. Tadi dia
melihat gerakan tangan Bwee Hwa dan dia dapat
mendu?ga bahwa anak buahriya itu tentu menjadi
korban senjata rahasia yang lembut dan berbahaya.
"Keparat! Berani engkau membunuh anak buah
kami?" bentaknya dan dia sudah menerjang dan
menusukkan tombaknya dan para anak buahnya juga
sudah maju mengeroyok. Agaknya anak buah gerombolan yang belasan orang
banyaknya ini berlumba untuk dapat menangkap
gadis itu karena mereka maju dengan tangan kosong
dan tangan-tangan itu meraih dan mencengkeram.
Ingin mereka mendekap dan merangkul gadis yang
cantik jelita itu. Melihat dirinya diserbu, Bwee Hwa tersenyum geli.
Orang-orang kasar ini tidak ada artinya baginya. Jauh
lebih berbahaya serangan burung rajawali tadi. Ia lalu
menyambut mereka dengan gerakan tangan kiri dan
sinar-sinar kecil jarum-jarumnya menyambar-
nyambar, disusul jeritan beberapa orang yang roboh
terpelanting. Pimpinan gerombolan itu menjadi marah. Dia
berteriak dan tombaknya me-luncur, menusuk ke arah
lambung Bwee Hwa. Namun, dengan mudah saja
Bwee Hwa mengelak dan dari samping kaki kirinya
mencuat dan menendang ke arah tombak.
Si pendek kekar itu berseru kaget karena hampir saja
tombaknya terlepas dari tangannya ketika tertendang
kaki mungil Bwee Hwa. Para anak buah yang melihat
robohnya beberapa orang kawan juga menjadi marah
dan mereka kini menyerbu dengan senjata mereka
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan niat untuk membunuh gadis itu.
Bwee Hwa tidak gentar sedikitpun juga. Ia kini telah
mendapat kenyataan bahwa orang-orang itu hanya
tampaknya saja kekar dan bengis, akan tetapi
sebenarnya hanya merupakan kekuatan tenaga
kasar, hanya mengandalkan tenaga luar belaka. Maka
iapun lalu mengerahkan gin-kangnya (ilmu
meringankan tubuhnya), tubuhnya bergerak cepat
sehingga ia seolah berubah menjadi bayangan merah
yang menyambar-nyambar dan terdengarlah seruan
mengaduh berturut-turut disusul tubuh yang
berpelantingan terkena sambaran kaki tangannya
yang bergerak amat cepatnya.
Melihat kelihaian gadis berpakaian merah ini, para
anggauta gerombolan dan pemimpin mereka yang
pendek itu terkejut setengah mati. Kalau tidak
menga-lami sendiri, sukarlah bagi pemimpin
gerombolan itu untuk percaya bahwa se-orang gadis
jelita yang masih amat muda itu dapat menghadapi
pengeroyokan mereka yang bersenjata hanya dengan
tangan kosong saja, bahkan sebentar saja sudah
merobohkan lima orang! Dengan jerih pemimpin
gerombolan itu memberi isyarat dan mereka yang
masih mampu lalu berloncatan melarikan diri
meninggalkan teman-teman yang terluka, mengaduh-
aduh dan tidak mampu melarikan diri.
Bwee Hwa bertolak pinggang mengikuti mereka
dengan pandang matanya mengejek. "He-he-heh!
Monyet-monyet busuk! Aku Ang-hong-cu masih
berlaku murah hati kepada kalian. Kalau tidak tentu
kalian sekarang bukan hanya menderita luka,
melainkan sudah tak bernyawa lagi!"
Setelah berkata demikian dan memandang kepada
para anak buah gerombolan yang terluka, ia lalu pergi
meninggalkan mereka, melangkah dengan tenang. Ia
teringat bahwa gerombolan yang melarikan diri tadi
menuju ke arah kiri, maka ke sana pula ia menuju,
dengan harapan akan bertemu dengan sebuah
perkampungan. Ia masih sempat memetik beberapa
butir buah pir yang masak, lalu melanjutkan
perjalanan sambil makan buah itu untuk
menghilangkan rasa lapar dan haus.
"Y" Baru saja ia tiba di ujung hutan terbuka yang sudah
menjadi ladang itu, tiba-tiba terdengar suara orang di
sebelah kiri. "Ah, nona sungguh merupakan seorang pendekar
wanita yang amat mengagum?kan. Masih semuda ini
sudah memiliki kepandaian tinggi dan berani
melakukan perantauan di dunia kang-ouw seorang
diri saja. Bukan main!"
Bwee Hwa sudah menahan langkahnya dan ia
memutar tubuh ke kiri. Ia kini berhadapan dengan
seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun yang
bertubuh tinggi kurus. Gerak-gerik dan kata-kata
orang itu tidak sekasar gerombolan tadi, juga
pakaiannya lebih bersih dan rapi. Tampaknya bukan
seperti seorang jahat dan ia sudah menjadi gembira
karena mengira bahwa orang itu tentulah seorang
penduduk sebuah pedusunan yang berada dekat situ.
"Siapakah engkau dan ada keperluan apakah
sehingga engkau berani mengha?dang perjalananku?"
tanya Bwee Hwa yang bagaimanapun juga masih
merasa curiga karena orang itu muncul di daerah
yang dikuasai gerombolan penjahat tadi.
Akan tetapi laki-laki itu tidak menjawab dan hanya
mengamati wajah Bwee Hwa dengan bengong
seperti orang yang terheran-heran melihat sesuatu
yang aneh! Melihat ini, Bwee Hwa mengerutkan
alisnya dan mulai marah. "Hei! Kau melihat apa?" bentaknya dan sinar matanya
mulai mencorong. Laki-laki itu terkejut dan seperti baru sadar dari
mimpi, dia cepat memberi hormat dengan menjura
dan berkata dengan hormat. "Ah, sungguh sukar
sekali untuk dapat dipercaya. Bagaimana mungkin
seorang pembantuku dan belasan orang anak
buahnya dikalahkan oleh seorang dara muda remaja!
Li-enghiong (nona pendekar), sungguh aku merasa
kagum sekali akan kegagahanmu. Keta?huilah, aku
adalah Gak Sun Thai yang memimpin kawan-kawan
di pegunungan ini dan terus terang saja, baru sekali
ini aku merasa benar-benar heran dan ka?gum.
Engkau patut dipuji, Li-enghiong. Jika engkau suka
dan berani, aku mem?persilakan engkau untuk
singgah di perkampungan kami."
Dengan tenang disertai senyuman mengejek Bwee
Hwa menjawab. "Hemm, kiranya engkau yang
menjadi kepala perampok yang tadi berani
menggangguku" Perlu apa aku harus singgah di
sarang perampok?" Berkerutlah sepasang alis kepala perampok itu.
Alangkah angkuhnya gadis ini, pikirnya. Sama sekali
tidak memandang sebelah mata kepadanya. Akan
tetapi dia masih dapat menahan perasaan tidak
senang ini dan berkata. "Li-enghiong, kalau engkau tidak suka dan tidak
berani berkunjung ke per-kampungan kami
memenuhi undanganku, tentu saja aku tidak dapat
memaksa. Akan tetapi ini berarti bahwa engkau tidak
dapat menghargai penghormatan seorang dari
kalangan liok-lim (hutan rimba) dan berarti bahwa
engkau melang?gar kesopanan yang berlaku di dunia
kang-ouw." Bwee Hwa sudah hendak marah, akan tetapi tiba-tiba
ia teringat bahwa ayah kandungnya sendiri juga
seorang penjahat dan bahkan datuk perampok!
Hemmm, siapa tahu orang-orang ini akan dapat
memberi keterangan kepadanya tentang di mana kini
ayahnya berada. "Orang she Gak, aku tidak mengerti maksudmu
dengan segala kesopanan dunia persilatan dan dunia
perampok. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku
takut untuk datang ke sarangmu!"
Wajah kepala perampok itu berubah girang. "Kalau
begitu engkau mau singgah di perkampungan kami?"
Bwee Hwa mengangguk. "Akan tetapi jangan sekali-
kali engkau dan anak buah?mu bersikap kurang ajar
kepadaku, karena pedangku pasti tidak akan
mengam?puni kalian."
Alangkah jumawanya, pikir Gak Sun Thai. Akan tetapi
karena dia tahu bahwa gadis ini masih muda dan
tentu kurang pengalaman, maka dia hanya tersenyum
saja. "Kalau begitu, marilah kita berangkat, li-enghiong.
Perkampungan kami tidak begitu jauh dari sini."
Dengan tabah Bwee Hwa mengikuti kepala perampok
itu memasuki hutan yang menyambung ladang itu.
Kurang lebih dua kilometer dari situ, mereka tiba di
sebuah perkampungan di tengah hutan. Kedatangan
Gak Sun Thai bersama Bwee Hwa disambut dengan
keheranan oleh para anak buah, akan tetapi Gak Sun
Thai memerintahkan mereka untuk mempersiapkan
sebuah perjamuan meriah untuk menghormati
kunjungan seorang pendekar wanita gagah yang
dihormatinya. Perkampungan itu merupakan sarang para perampok.
Di tengah perkampungan berdiri sebuah rumah kayu
yang besar dan cukup mewah seperti rumah seorang
kaya saja. Di sekeliling rumah itu terdapat rumah-
rumah yang lebih kecil yang menjadi tempat tinggal
para anggauta perampok. Keadaan mereka agaknya
cu?kup dan ternyata para anggauta perampok itu
sebagian besar sudah berkeluarga. Terdapat banyak
anak-anak dan wanita di perkampungan itu, seperti
pedusunan biasa. Bwee Hwa merasa terheran-heran. Mereka itu
agaknya orang-orang biasa yang juga berkeluarga.
Mengapa orang-orang itu sampai begini tersesat dan
menjadi perampok" Gak Sun Thai mempersilakan Bwee Hwa duduk di
kursi depan yang luas dan tak lama kemudian Bwee
Hwa dijamu makan minum dengan ramah dan
hormat oleh Gak Sun Thai. Dalam kesempatan
menikmati hidangan yang masih panas itu dan Bwee
Hwa makan minum dengan lahapnya karena berhari-
hari ia tidak makan nasi dan masakan, gadis itu tidak
tahan untuk tidak mengeluarkan pertanyaan yang
sejak tadi menggelitik keinginan tahunya.
"Paman Gak Sun Thai......."
Kepala perampok itu tersenyum memandang kepada
Bwee Hwa. Hatinya geli akan tetapi senang
mendengar gadis itu menyebutnya "paman".
Biasanya, orang menyebutnya "tai-ong", yaitu sebutan
ke?pala gerombolan yang berarti "raja be?sar".
"Engkau hendak bertanya apakah, nona?" Diapun
menyebut nona, bukan pen-dekar wanita agar
terdengar lebih akrab. "Bukan maksudku untuk mencampuri urusan rumah
tangga anak buahmu, akan tetapi setelah aku
memasuki perkampunganmu, aku melihat bahwa
anak buahmu juga merupakan orang-orang biasa saja
yang mempunyai keluarga baik-baik. Mengapa
engkau mengajak mereka untuk melakukan
kejahatan dan menjadi perampok" Bukankah lebih
baik kalau kalian melakukan pekerjaan yang halal
dan tidak melakukan pelanggaran dan tidak
mengganggu orang lain?"
Mendengar ucapan gadis yang merupakan nasihat
yang seolah keluar dari mulut seorang pendeta tua
itu, Gak Sun Thai tersenyum geli, lalu dia menghela
napas panjang. "Memang, dipikir sepintas lalu saja memang
demikianlah keadaannya dan kata-katamu tadi benar
sekali, nona. Akan tetapi dari ucapanmu tadipun
mudah di?ketahui bahwa engkau masih belum
banyak mengetahui tentang keadaan orang-orang
golongan kami. Nona tadi mengatakan bahwa lebih
baik mencari pekerja?an yang halal dan tidak
melanggar peraturan pemerintah, begitukah" Coba
tolong beritahu, pekerjaan apakah yang dapat
dikerjakan para anak buahku yang terdiri dari orang-
orang kasar dan bodoh itu?"
"Bukankah banyak sekali lapangan pekerjaan"
Misalnya jadi pelayan, menjadi petani dan lain-lain,"
kata Bwee Hwa, tentu saja secara ngawur karena ia
sendiri juga tidak banyak mengetahui tentang
lapangan pekerjaan! Kembali Gak Sun Thai tersenyum, "Ketahuilah, nona.
Anak buahku yang puluhan orang banyaknya dan kini
menjadi penghuni perkampungan ini bukan dilahirkan
sebagai perampok. Mereka itu tadinya juga petani-
petani, nelayan-nelayan dan pekerja-pekerja kasar.
Akan tetapi, apakah yang dihasilkan oleh pekerjaan
mereka itu" Hanya kelaparan bagi keluarganya.
Bahkan untuk mengenyangkan perut sendiri sehari-
hari saja kadang-kadang gagal. Apalagi untuk
membeli pa?kaian yang pantas dan lebih-lebih lagi
untuk menghasilkan rumah yang mema?dai.
Pekerjaan apakah bagi orang kasar dan bodoh pada
dewasa ini yang dapat cukup menghasilkan pangan-
sandang-papan yang cukup beradab" Banyak
anggauta keluarga mereka yang mati kelaparan
karena kurang makan atau mati karena penyakit
karena tiada biaya untuk pengobatan. Bertani tanpa
memiliki tanah berarti hanya menjadi buruh tani yang
diperas tenaganya habis-habisan oleh para majikan
pemilik tanah seperti kerbau saja. Sedangkan
pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya amatlah sulitnya,
harus bersaing hebat karena banyaknya penganggur
sehingga digaji sedikitpun terpaksa diterima dan
akibatnya, penghasilan kecil sekali dan tidak
mencukupi kebutuhan hidup ke?luarga. Ah, nona,
sungguh engkau tidak banyak mengetahui tentang
keadaan rakyat kecil yang miskin pada dewasa ini."
Mendengar ucapan panjang lebar itu, Bwee Hwa
tertegun. Seakan baru terbuka matanya dan ia
merasa heran sekali. Timbul pertanyaan dalam
hatinya mengapa begitu banyak kesengsaraan di
antara manusia, dan mengapa hanya untuk sekedar
makan kenyang saja demikian sulitnya bagi banyak
manusia" Akan tetapi banyak pula manusia yang
hidupnya demikian kaya raya, bahkan berlebihan!
Salah siapakah ini" Di satu pihak, beberapa orang memiliki tanah beratus
hektar luasnya, di lain pihak banyak orang yang tidak
memiliki tanah secuilpun. Di satu pihak, beberapa
orang memiliki rumah gedung ratusan buah
banyaknya. Di lain pihak, banyak orang harus cukup
puas tinggal di gubuk yang reyot dan bocor, bahkan
banyak pula yang tidak memiliki tempat tinggal. Di
satu pihak, beberapa orang menyimpan bahan
makanan sampai membusuk dalam gudang karena
terlalu banyak dan terlalu lama disimpan, di lain pihak
banyak orang kelaparan. Di satu pihak, beberapa
orang yang tidak pernah mengeluarkan keringat hidup
kaya raya, hartanya berlebihan. Di lain pihak, banyak
orang yang memeras keringat membanting tulang
setiap hari, hidup miskin dan papa, pakaian tak utuh
makan tak kenyang.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di mana letak semua kesalahan ini" Tidak dapatkah
yang berlebihan itu membuka jalan bagi yang
kekurangan sehingga penghasilan mereka meningkat
dan cukup untuk biaya hidup sehari-hari" Siapa yang
berkewajiban mengatur semua ini"
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Ujian Para Perampok "Paman Gak, apakah keadaan semacam ini tidak
dapat diubah?" Gak Sun Thai tersenyum. "Hemm, siapakah yang
harus mengubah, nona?"
"Tentu saja pemerintah! Pemerintah yang harus
mengubahnya, mengatur agar terdapat lapangan
kerja yang cukup dan agar penghasilan rakyat
meningkat sehingga setiap orang pekerja
berpenghasilan cukup untuk biaya hidup keluarganya."
Gak Sun Thai tertawa. "Ha-ha-ha, pendapatmu itu
benar akan tetapi lucu, nona."
"Lucu" Kenapa" Bukankah sudah semestinya kalau
pemerintah mengatur agar rakyat hidup sejahtera?"
"Hemm, engkau belum banyak berkelana dan tidak
mengetahui keadaan yang sebenarnya. Lihat saja
kehidupan para pembesar tinggi, terutama di kota
raja. Mereka hidup berdampingan dan bergandeng
tangan dengan para hartawan, saling bantu, bahu
membahu membagi rejeki yang berlebihan.
Memikirkan keadaan rakyat kecil yang miskin" Mana
mungkin" Mereka hanya memikirkan bagaimana
untuk menggendutkan perut sendiri! Bagaimana kita
dapat mengharapkan pemerintah penjajah untuk
melindungi rakyat bangsa Han" Penjajah Mongol itu
hanya memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri,
bahkan memeras rakyat dengan berbagai peraturan
yang menekan dan berbagai pajak yang
memberatkan. Ahh, jangan mengharapkan kebaikan
dari pemerintah penjajah Mongol, nona. Ah, kita
sudah bicara banyak akan tetapi nona belum
memperkenalkan nama. Bolehkah kami mengetahui
nama nona?" "Namaku Bwee Hwa."
"Dan she (marga) nona yang mulia?"
Bwee Hwa tidak mau bercerita banyak tentang
dirinya. "Jangan tanyakan itu. Sebut saja aku Ang-
hong-cu." "Si Tawon Merah" Ah, julukan yang tepat sekali. Nona
masih muda dan cantik namun dapat bergerak lincah
seperti seekor lebah, dan dengan pakaian yang serba
merah maka cocok sekali kalau nona berjuluk Ang-
hong-cu. Ang-hong-cu, karena engkau kami anggap
sebagai seorang tamu agung, sekarang kami mohon
sudilah kiranya engkau memberi kehormatan
kepadaku yang bodoh untuk menyaksikan kehebatan
merasakan kelihaian kepandaianmu."
Bwee Hwa mengerti apa yang dimaksudkan kepala
gerombolan itu dan ia mengangguk. Mereka sudah
selesai makan dan Bwee Hwa merasa puas akan
perjamuan yang membuatnya merasa kenyang dan
tubuhnya terasa segar itu. "Engkau hendak menguji
kepandaian, paman" Boleh, boleh! Silakan memberi
pelajaran kepada aku yang muda."
"Bagus ! Marilah kita keluar, nona. Pekarangan rumah
ini cukup luas sehingga kita dapat bermain-main
dengan leluasa!" Bwee Hwa menurut dan mengikuti tuan rumah keluar
dari ruangan itu. Memang benar, pekarangan rumah
itu cukup luas. Ketika para anak buah gerombolan
mendengar bahwa tamu mereka, gadis perkasa
berjuluk Ang-hong-cu itu hendak pi-bu (mengadu ilmu
silat) dengan para pemimpin mereka, berbondong-
bondong mereka datang dan berdiri melingkari
pekarangan itu. Bahkan para wanita dan anak-anak
tidak mau ketinggalan. Semua keluarga anak buah
gerombolan berkumpul semua di pekarangan itu.
Gak Sun Thai mempunyai tiga orang pembantu yang
terkenal memiliki ilmu silat yang tangguh. Tingkat
kepandaian mereka hanya sedikit berada di bawah
tingkat ilmu silat Gak Sun Thai. Setelah semua anak
buah dan keluarganya berjongkok dan berdiri dengan
tertib, Gak Sun Thai lalu berkata kepada tiga orang
pembantunya yang berdiri di dalam lingkaran itu
sambil berpangku tangan. "Saudara-saudara, kalian sudah mendengar bahwa
nona gagah perkasa yang berjuluk Ang-hong-cu ini
memiliki ilmu silat yang tinggi. Kini ia berkenan untuk
memberi pelajaran kepada kita, maka siapakah di
antara kalian bertiga yang menjadi orang pertama
suka menerima pelajarannya?"
Seorang di antara tiga pembantu itu, yang bertubuh
tinggi besar dan tampak kuat sekali melangkah maju.
"Gak-twako (Kakak Gak), biarlah aku mencoba-coba
tenagaku melawan Ang-hong-cu!"
Gak Sun Thai mengangguk. Orang tinggi besar ini berusia kurang lebih
empatpuluh lima tahun, bernama Lui Thong. Dia
memang terkenal memiliki tenaga luar yang hebat
melebihi tenaga seekor kerbau jantan. Kepandaian
silatnyapun cukup tinggi dan senjatanya yang ditakuti
lawan adalah sebuah twa-to (golok besar).
Bwee Hwa menghadapi Lui Thong yang mukanya
tampak bengis dengan kulit kasar hitam itu dengan
tenang. Melihat ketenangan gadis itu, diam-diam Lui
Thong merasa heran. Sukar dipercaya bahwa gadis
yang begitu muda dan cantik jelita, berkulit halus
mulus itu memiliki ilmu silat yang tangguh.
"Ang-hong-cu, aku bernama Lui Thong dan orang-
orang menyebutku Twa-to Hek-gu (Kerbau Belang
Bergolok Besar), seorang di antara para pembantu
Gak-twako." "Hemm, Paman Lui Thong, engkau ingin bertanding
dengan tangan kosong ataukah dengan senjata?"
tanya Bwee Hwa dengan sikap acuh tak acuh.
Lui Thong mengerutkan alisnya yang tebal. Dia sudah
mendengar bahwa gadis ini selain lihai ilmu silatnya,
juga wataknya angkuh. Pertanyaannya tadi saja
mengandung sikap meremehkannya.
"Nona, engkau adalah seorang gadis muda berkulit
halus, tidak seperti aku yang kasar, maka tidak baik
kalau kita bermain-main dengan senjata yang tak
bermata dan dapat melukai kulitmu yang halus.
Biarlah kita menggunakan tangan kosong saja
sehingga pukulanku dapat ditarik kembali sebelum
melukaimu." Bwee Hwa maklum bahwa biarpun kelihatan kasar
dan bodoh, namun sebenarnya orang tinggi besar
bermuka hitam ini cukup cerdik. Memang, dalam
pertandingan tangan kosong, tenaga besar amatlah
berguna, tidak demikian kalau pertandingan dilakukan
dengan senjata tajam yang tidak begitu
mengandalkan tenaga besar karena dengan tenaga
kecilpun tetap saja senjata tajam akan dapat melukai
lawan. Agaknya alasan inilah yang membuat Lui
Thong yang bertenaga besar itu memilih pertandingan
tangan kosong di mana dia dapat memanfaatkan
tenaga besarnya untuk mencapai kemenangan! Akan
tetapi Bwee Hwa tetap tenang saja dan sama sekali
tidak merasa gentar. "Kalau begitu, engkau menunggu apalagi" Silakan
maju dan mulailah dengan seranganmu!" gadis itu
menantang dan sama sekali tidak memasang kuda-
kuda, melainkan berdiri santai saja walaupun tanpa
ada yang mengetahui, seluruh urat syarafnya sudah
siap siaga dengan waspada.
Berbeda dengan sikap Bwee Hwa yang santai, Lui
Thong mulai bergaya. Dia menggulung tinggi kedua
lengan bajunya sehingga tampak kedua lengannya
yang dipenuhi otot yang melingkar-lingkar. Dia
menggerak-gerakkan kedua tangannya sehingga
terdengar bunyi berkerotokan dalam buku-buku
jarinya! Setelah membuat gerakan pembukaan atau
kuda-kuda yang kokoh kuat, dia membentak nyaring.
"Sambut seranganku ini! Haaaiiitt.......!"
Lui Thong menerjang maju dengan kedua lengan
dikembangkan ke atas dan kedua tangannya
membuat serangan seperti menerkam dari kanan kiri,
mengarah kedua pundak gadis itu. Dia menggunakan
jurus yang disebut Hek-houw-pok-yang (Macan Hitam
Menerkam Kambing) yang walaupun merupakan
serangan keras namun karena didukung tenaga
raksasa maka dapat membahayakan lawan yang
diserang. Namun Bwee Hwa yang memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) tingkat tinggi, dengan lincah
dapat mengelak. Serangan susulan dilakukan bertubi-
tubi oleh Lui Thong, sampai lima jurus namun semua
dapat dihindarkan Bwee Hwa dengan elakan.
"Sekarang sambutlah seranganku!" kata Bwee Hwa
dan baru saja ucapannya ini keluar, Lui Thong terkejut
sekali karena dia sudah kehilangan lawannya! Dia
cepat memutar tubuhnya dan benar saja, gadis itu
telah berada di belakangnya. Akan tetapi begitu dia
membalik, dia hanya melihat bayangan merah
berkelebatan dan gadis itu sudah bergerak cepat
sekali seperti seekor tawon merah terbang
mengelilingi setangkai bunga!
Sebentar saja Lui Thong merasa bingung dan pening
karena serangan itu datang dari mana-mana, dari
sekeliling dirinya. Dia harus menangkis dan mengelak
dari serangan yang seolah dilakukan oleh empat-lima
orang! Beberapa kali dia kena ditampar dan ditendang
oleh Bwee Hwa yang biarpun hanya menggunakan
sebagian kecil tenaganya saja, namun cukup
mendatangkan rasa nyeri, pedas dan panas!
Riuh rendah sambutan para anggauta gerombolan itu
saking heran dan kagum menyaksikan betapa Bwee
Hwa merupakan bayangan merah yang berkelebatan
di sekeliling tubuh Lui Thong. Pembantu Gak Sun Thai
itu seolah menjadi seekor monyet besar yang
diserang seekor kumbang dan tidak berdaya sama
sekali menghadapi serangan si kecil yang amat gesit
itu. Hal inipun terasa sekali oleh Lui Thong dan dia
tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia akan mendapat
malu besar, maka cepat dia berseru.
"Tahan, nona!" Bwee Hwa menghentikan serangannya dan berdiri di
depan lawannya sambil tersenyum.
"Nona, ciang-hwat (silat tangan kosong) nona
sungguh lihai, biarpun kuakui bahwa pukulan
tanganmu hampir tidak terasa olehku. Sekarang
marilah kita mencoba permainan senjata kita!"
Bwee Hwa tersenyum saja dan dalam hatinya ia
berkata, "Hemm, manusia tolol! Kau dikasih hati tidak
tahu diri. Kalau aku benar-benar menurunkan tangan
dengan pengerahan tenagaku, apa kaukira engkau
masih dapat bemapas lagi?" Akan tetapi ini hanya
suara hatinya, sedangkan mulutnya berkata,
"Memang, tenagaku tidak kuat sedangkan tubuhmu
terlalu kuat. Kalau engkau masih belum puas dan
menggunakan senjata, silakan!"
Lui Thong segera mencabut senjatanya, sebatang
golok yang besar dan berat sekali sehingga dua orang
anak buah yang dia suruh ambil menggotong golok
itu dengan susah payah. Lui Thong menerima golok itu
dengan tangan kanan dan dia mendemonstrasikan
kekuatannya, memutar golok besar itu disekeliling
tubuhnya sehingga terdengar suara berdesingan dan
angin menyambar-nyambar! Diam-dian Bwee Hwa merasa khawatir kalau-kalau
Sin-hong-kiam, pedang pusakanya akan rusak jika
dipakai melawan senjata berat itu, maka ia lalu ber-
kata dengan tenang, "Nah, setelah senjatamu berada
di tanganmu, engkau me?nunggu apalagi" Mulailah
dengan seranganmu!" "Mana senjatamu, nona" Keluarkanlah dan cabut
pedangmu itu." Bwee Hwa tertawa dengan bebas, tanpa menutupi
mulut seperti kebiasaan gadis-gadis yang selalu
menutupi mulut bila tertawa agar tampak sopan.
"Heh-he-he, untuk apa aku harus mencabut
pedangku" Biar kuhadapi golok pemotong babi di
tanganmu itu dengan tangan kosong saja!"
Lui Thong menjadi marah sekali, merasa dipandang
rendah dan dihina. Akan tetapi karena gadis itu
menjadi tamu ketuanya, dia menoleh kepada Gak
Sun Thai dengan mata bertanya.
Gak Sun Thai bertanya kepada Bwee Hwa.
"Sungguhkah bahwa engkau akan menghadapi golok
Lui Thong dengan tangan kosong saja, nona?"
"Kenapa tidak" Empat batang golok seperti itu masih
sanggup aku melawannya dengan tangan kosong,
apalagi hanya sebatang."
Gak Sun Thai mendongkol juga dan diapun
mengangguk kepada Lui Thong. Orang tinggi besar
bermuka hitam ini lalu membentak marah.
"Ang-hong-cu, engkau sendiri yang mencari mati!" Dia
lalu membuka serangan dengan jurus Hong-cui-pai-hio
(Angin Meniup Daun). Golok itu menyambar dengan
cepat dan kuat sekali dari kanan mengeluarkan suara
berdesing. Ja?ngankan tubuh Bwee Hwa yang
ramping itu, biar sebatang pohon siong yang besar
pun agaknya akan terbabat putus dengan mudah oleh
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambaran golok ini! Akan tetapi Bwee Hwa dengan gerakan lemas
merendahkan tubuhnya hampir berjongkok sehingga
golok itu lewat di atas kepalanya dan ketika golok itu
menyambar kembali dari arah lain, kini membabat ke
arah bawah, dengan lincahnya ia melompat ke atas
sehingga kini golok itu berdesing lewat di bawah
kakinya. Demikianlah, dengan menggunakan
keringanan dan kecepatan gerak tubuhnya, Bwee
Hwa dengan mudah menghindarkan diri dari
serangan-serangan golok Lui Thong.
Orang tinggi besar itu menjadi semakin penasaran
dan marah. Duapuluh jurus telah lewat tanpa dia
dapat melukai lawannya. Jangankan melukai, bahkan
goloknya itu sama sekali tidak mampu menyentuh
ujung baju gadis itu. Rasa penasaran dan marah
membuat Lui Thong seolah lupa bahwa pertandingan
itu sebetulnya hanya merupakan "pertandingan
persahabatan" untuk menguji ilmu silat masing-
masing. Kemarahan membuat dia bernafsu sekali untuk
merobohkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Dia
lalu membentak nyaring dan segera memainkan ilmu
andalannya, yaitu Go-bi To-hoat (Ilmu Golok Go-bi-pai)
. Goloknya diputar cepat bagaikan kitiran angin
sehingga merupakan gulungan sinar putih yang
menyambar-nyambar ke arah tubuh Bwee Hwa.
Akan tetapi Bwee Hwa mengeluarkan suara tawa lirih
dan iapun mengerahkan gin-kangnya sehingga
tubuhnya menjadi bayangan merah yang berkelebat
di antara sinar golok yang putih bergulung-gulung itu.
Karena bayangan merah itu bergerak lebih cepat dan
gulungan sinar putih mengejarnya, maka seolah
gu?lungan sinar putih itu dituntun oleh bayangan
merah. Pemandangan yang indah dan aneh ini amat menarik
perhatian, membuat semua orang yang menonton
merasa kagum. Terutama para anggauta gerombolan
itu merasa gembira karena mereka mengira bahwa
sekali ini Lui Thong berhasil mendesak gadis itu.
"Aughh?"!" Tiba-tiba terdengar suara Lui Thong
mengeluh dan semua penonton terbelalak. Semua
terjadi begitu cepat dan di luar dugaan mereka.
Tiba-tiba saja, setelah terdengar Lui Thong mengeluh
itu, golok besar itu terlepas dari tangan Lui Thong,
jatuh berkerontangan di atas tanah dan tubuh tinggi
besar itu kini berdiri kaku bagaikan telah berubah
menjadi arca! Ternyata dia telah terkena totokan jari
tangan Bwee Hwa pada jalan darah ta-tui-hiat-to
sehingga tubuhnya menjadi kaku tidak mampu
bergerak. Setelah merasa yakin bahwa semua orang melihat
jelas keadaan Lui Thong yang kaku tertotok, Bwee
Hwa lalu melangkah maju, memungut golok yang
besar dan berat sekali itu. Akan tetapi dengan amat
mudahnya seolah golok itu seringan ranting kering,
Bwee Hwa melontarkan senjata itu ke atas.
Semua orang memandang ke atas dan melihat
betapa golok itu melayang tinggi sekali! Kemudian
mereka melihat golok itu meluncur turun dengan
cepat dan dengan ujungnya yang tajam runcing di
bawah, golok itu meluncur ke arah kepala Bwee Hwa.
Para wanita dan kanak-kanak merasa ngeri bahkan
ada yang menjerit ketika melihat betapa golok itu
seolah akan menimpa dan menembus kepala gadis
itu. Akan tetapi dengan cepat tangan kanan Bwee
Hwa bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap
golok itu pada ujungnya yang runcing dan tajam.
Tanpa ba?nyak cakap ia lalu menggunakan gagang
golok itu untuk membuka totokan pada tubuh Lui
Thong sehingga tubuh itu dapat bergerak lagi.
Lui Thong yang dapat bergerak lagi meringis kesakitan
karena kekakuan tu-buhnya tadi membuat urat-
uratnya terasa nyeri. Ketika Bwee Hwa menjulurkan
golok itu kepadanya, dia menerimanya lalu menjura
dalam sambil berkata lirih.
"Sungguh aku yang bodoh telah mendapat banyak
pelajaran darimu, nona." Setelah berkata demikian,
dengan menundukkan mukanya dia menyeret
goloknya dan mengundurkan diri.
Bwee Hwa kini memandang kepada Gak Sun Thai
dan bertanya, "Paman Gak, apakah ada lagi yang
ingin menguji kepandaianku" Marilah kalau ada, selagi
aku ada semangat. Kalau aku sedang malas,
dipaksapun aku tidak mau bertanding secara main-
main begini." Seorang pembantu lain segera melangkah maju
menghadapi Bwee Hwa. "Gak-twako, biarkan aku
mencoba kepandaian nona ini." Gak Sun Thai juga
menganggukkan kepala tanda setuju.
Orang itu bertubuh pendek kurus, berusia kurang lebih
empatpuluh tahun. Hidungnya mancung dan mukanya
meruncing seperti muka burung, matanya yang juling
itu bersinar tajam. Dengan sikap digagah-gagahkan
dia menjura kepada Bwee Hwa dan berkata, "Ang-
hong-cu, aku adalah pembantu Gak-twako. Namaku
Lie Hoat dan julukanku Kang-jiauw-eng (Garuda Kuku
Baja)." Berkata demikian, Lie Hoat sengaja
membentuk kedua tangannya seperti cakar garuda
dan dia memang seorang yang mengandalkan
ketangguhannya dengan ilmu pukulan Tiat-see-ciang
(Tangan Pasir Besi). Dalam melatih ilmu ini, dia menggunakan pasir besi
dari yang dingin sampai yang panas dengan
meremas-remas pasir besi itu. Latihan ini membuat
kedua tangannya berwarna hitam dan karena dia
seorang lwe-keh (ahli tenaga dalam), maka dapat
dibayangkan betapa dahsyatnya kedua tangan itu.
Pukulan Tiat-see-ciang itu dapat meremukkan tulang
menghanguskan kulit daging. Cengkeramannya cukup
kuat untuk menghancurkan batu karang yang keras!
"Hemm, apakah engkau juga hendak bertanding
menggunakan senjata?" tanya Bwee Hwa.
"Nona, sungguh gagah perkasa. Aku tidak memiliki
kepandaian atau senjata apapun, kecuali hanya
mengandalkan sepasang tangan yang lemah ini."
"Kedua tanganmu yang mengandung ilmu Tiat-see-
ciang itu mana bisa dibilang lemah?" kata Bwee Hwa
dan Lie Hoat terkejut bukan main. Dia merasa heran
bagaimana gadis muda ini sekali pandang sudah
dapat mengenal ilmu sim?panannya.
Dia tidak tahu bahwa guru gadis itu, Sin-kiam Lojin,
pernah menerangkan dengan jelas kepada muridnya
itu tentang banyak macam ilmu yang aneh dan
berbahaya dari orang-orang di dunia kang-ouw,
termasuk Tiat-see-ciang ini. Bwee Hwa sudah hafal
akan ilmu-ilmu itu dengan segala cirinya.
"Ah, sungguh nona memiliki pandangan yang tajam
sekali, dapat mengenal ilmuku sebelum
kupergunakan! Sebetulnya siapakah nona ini dan
siapakah guru nona yang mulia?"
Melihat sikap si katai yang sopan ini, Bwee Hwa
menjawab sejujurnya. "Tadi aku sudah
memperkenalkan namaku. Namaku Bwee Hwa dan
orang menjuluki aku Ang-hong-cu. Adapun siapa
guruku tidak perlu kuperkenalkan namanya." Gadis itu
memang tidak ingin menyebut nama suhunya karena
ia menganggap bahwa tidak perlu nama suhunya
diketahui oleh golongan perampok seperti ini.
Mendengar jawaban dan melihat sikap Bwee Hwa,
Lie Hoat maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang gadis kangouw yang masih muda dan yang
bersikap polos dan jujur. Dia lalu berkata, "Nona,
sudilah engkau memberi pelajaran untuk menambah
pengalaman dan memperluas pengetahuanku yang
dangkal." "Silakan, dan jangan sungkan-sungkan," jawab Bwee
Hwa. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang lawan tangguh, begitu bergerak, langsung
saja Lie Hoat mengerahkan tenaga dalamnya dan
mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu Tiat-see-ciang!
Kedua tangannya berubah menghitam dan setiap
tamparan, pukulan atau cengkeramannya merupakan
serangan maut yang berbahaya!
Berita Pertama Sang Ayah Akan tetapi sekali ini Lie Hoat yang berjuluk Kang-
jiuw-eng (Garuda Kuku Baja) itu seolah membentur
batu karang! Gadis muda itu berani menangkis dan
beradu tangan dengannya dan ternyata gadis itu
memiliki kedua tangan yang kini menjadi sekeras
baja dan tidak kalah kuat dibandingkan kedua tangan
yang mengandung ilmu Tiat-see-ciang itu!
Bwee Hwa mempergunakan ilmu mengeraskan
tangan yang disebut Liap-kang Pek-ko-jiu (Membuat
Tangan Keras Seperti Baja) sehingga kalau tangannya
menangkis atau bertemu tangan Lie Hoat, terdengar
suara berdenting seolah bukan lengan tangan dari
kulit daging dan tulang yang saling bertemu,
melainkan dua potong besi baja yang amat kuat!
Kemudian Bwee Hwa membalas serangan lawan dan
ia memainkan ilmu silat Bi-ciong-kun (Kepalan
Menyesatkan), ilmu silat yang indah namun memiliki
kembangan-kembangan yang aneh sehingga
membingungkan lawan. Menghadapi gerakan-gerakan yang cepat dan juga
aneh itu, Lie Hoat menjadi bingung dan pusing.
Gerakan kedua tangan Bwee Hwa tak terduga dan
aneh-aneh dan akhirnya gadis itu dapat mendorong
pundak Lie Hoat yang membuat dia terpental jatuh
bergulingan di atas tanah sehingga pakaiannya
menjadi kotor semua. Biarpun dia tidak terluka sama
sekali, Lie Hoat maklum bahwa kalau gadis itu berniat
buruk, tentu dia akan tewas atau sedikitnya terluka
berat. Maka dia lalu melompat berdiri dan memberi
hormat. "Ang-hong-cu sungguh hebat, aku mengaku kalah!"
kata Lie Hoat dan dia lalu mengundurkan diri.
"Bukan main! Benar-benar luar biasa! Seumur hidupku
belum pernah aku melihat seorang gadis semuda ini
memiliki ilmu silat sehebat itu. Mari, mari Ang-hong-cu.
Cobalah engkau memberi petunjuk untuk menambah
kemampuanku yang tak seberapa ini."
Bwee Hwa mengangkat muka dan melihat seorang
laki-laki yang usianya sudah sekitar enampuluh tahun,
bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang. Orang
ini pakaiannya bersih, wajahnya kekuning-kuningan
dan sikapnya halus dan sopan.
"Siapakah nama paman" Apakah paman juga
pembantu Paman Gak Sun Thai?"
Kakek itu mengangguk dan menggunakan tangan kiri
mengelus jenggotnya yang panjang. "Benar, Ang-
hong-cu. Namaku Souw Ban Lip dan aku juga
pembantu Gak-toako."
Bwee Hwa merasa heran bagaimana kakek yang
tampaknya lebih tua dari Gak Sun Thai inipun
menyebut toako (kakak tertua) kepada Gak Sun Thai.
Ia tidak tahu bahwa sebutan itu untuk menghormat
orang yang kedudukannya lebih tinggi, walaupun
usianya lebih muda. Ia memperhatikan dan melihat
sebuah kantung merah yang biasanya untuk
menyimpan senjata rahasia tergantung di pinggang
kakek itu. "Paman Souw, engkau hendak menggunakan senjata
apakah untuk menguji kepandaianku?"
Souw Ban Lip tersenyum juga dan menepuk-nepuk
kantung piauw (senjata rahasia) dan berkata. "Orang
menjuluki aku Lian-hoan-piauw (Si Piauw Beruntun)
dan dalam kantungku ini tersimpan duapuluh lima
batang piauw. Sanggupkah engkau menghadapi
semua senjata rahasiaku ini, Ang-hong-cu?"
Bwee Hwa tersenyum, dalam hati menertawakan
kakek itu. Ia sendiri mendapat julukan Ang-hong-cu
karena keahliannya melepaskan senjata rahasia
hong-cu-ciam yang kecil dan sukar disambitkan,
bagaimana mungkin ia takut menghadapi segala
macam piauw yang merupakan senjata rahasia yang
kasar" "Silakan engkau melepaskan semua piauw itu. Aku
tidak akan meninggalkan lingkaran ini." Sambil
berkata demikian Bwee Hwa mempergunakan ujung
sepatu kirinya menggariskan lingkaran di luar tempat
ia berdiri! Ucapan Bwee Hwa ini bukan saja membuat semua
orang merasa terkejut dan heran, bahkan membuat
Gak Sun Thai merasa bahwa sekali ini Bwee Hwa
betul-betul agak keterlaluan dalam kesombongannya.
Maka dia lalu berkata, "Ini sama sekali tidak adil!
Akan tetapi karena nona sendiri yang memutuskan
untuk menghindarkan diri dari semua piauw yang
dilepas saudara Souw Ban Lip tanpa keluar dari garis
lingkaran yang nona buat sendiri, sudahlah. Akan
tetapi aku harus mengambil keputusan yang adil.
Engkau boleh membalas dengan senjata rahasia juga,
yaitu, kalau engkau dapat mempergunakan senjata
rahasia, Ang-hong-cu."
Bwee Hwa tersenyum dan berkata kepada Souw Ban
Lip, "Paman Souw, silakan mulai dengan serangan
piauw-mu!" Ia berdiri dengan tenang saja seakan-
akan tidak menghadapi lawan yang siap
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambitkan senjata rahasianya yang berbahaya.
Souw Ban Lip merogoh kantung piauwnya dan
mengeluarkan tiga batang piauw dengan tangan
kanannya. Kemudian dia berseru, "Ang-hong-cu, awas
piauw-ku!" Begitu tangannya bergerak, sinar hitam meluncur
cepat sekali ke arah Bwee Hwa. Gadis itu tidak
menggerakkan tubuh untuk mengelak, hanya tangan
kiri-nya bergerak cepat, dan tahu-tahu piauw itu telah
disambar dan ditangkap tangan kirinya. Piauw kedua
dan ke tiga menyambar susul menyusul. Bwee Hwa
menyambitkan piauw di tangannya, memapaki piauw
kedua sehingga dua batang piauw itu bertumbukan di
udara dan jatuh ke atas tanah, sedangkan piauw
ketiga yang mengarah lambungnya dapat ia tangkis
dengan tendangan ujung sepatunya.
Melihat betapa gadis itu dengan mudah saja dapat
mematahkan serangan tiga batang piauwnya, Souw
Ban Lip merasa kagum sekali akan tetapi juga
penasaran. Dia cepat mengeluarkan enam batang
piauw, masing-masing tangan memegang tiga batang.
Begitu dia menggerakkan kedua tangannya, secara
beruntun enam batang piauw itu meluncur ke arah
tubuh Bwee Hwa dan yang dijadikan sasaran adalah
bagian tubuh yang berbahaya.
Namun, ternyata gadis itu memiliki gerakan kaki
tangan yang cepat bukan main. Bagaikan mengubah
kedua tangannya menjadi empat, dibantu kedua
kakinya dia dapat menangkis dengan kebutan tangan
dan tertendang kaki sehingga enam batang piauw itu
semua runtuh tanpa dapat melukainya sedikitpun.
Kembali enam batang piauw melayang, kini bukan
lagi beruntun melainkan berbareng! Sungguh
berbahaya sekali serangan enam batang piauw yang
meluncur berbareng ini. Akan tetapi, dengan gerakan
cepat Bwee Hwa telah melepaskan pengikat
rambutnya yang terbuat dari sutera halus berwarna
merah dan ketika ia mengebut-ngebutkan sutera
merah itu, enam batang piauw itu semua terpukul
runtuh! Padahal yang dipergunakan untuk menangkis
itu hanya sehelai sutera merah tipis, namun di tangan
yang disaluri tenaga sakti itu, sutera merah tadi
menjadi kaku dan kuat bagaikan sebatang pedang
saja. Setelah mengukur sampai di mana kekuatan dan
keampuhan daya serang senjata rahasia lawan, Bwee
Hwa sengaja berdiri membelakangi lawannya! Enam
batang piauw yang menyambar dari belakang itu
dapat ditangkis semua dengan cara memutar kain
suteranya ke belakang tubuh. Ia hanya
mengandalkan pendengarannya yang sangat tajam
terlatih untuk menyelamatkan dirinya. Jangankan
hanya diserang piauw dari belakang, biarpun diserang
dari manapun juga dan di tempat gelap gulita
sekalipun, ia akan sanggup menghindarkan diri karena
ketajaman pendengarannya dapat menggantikan
penglihatannya. Ketika Souw Ban Lip yang sudah putus asa itu
menyambitkan piauw terakhir ke arah leher Bwee
Hwa, gadis itu miringkan kepalanya dan tahu-tahu ia
berhasil menggigit paiuw itu dari samping! Lalu ia
meniup dan piauw itu meluncur dan menancap pada
cabang pohon yang tubuh di pekarangan itu.
"Paman Souw, kepandaianmu menyerang dengan
piauw sungguh tidak rendah."
Souw Ban Lip bersungut-sungut dengan wajah
berubah kemerahan. "Hemm, jangan engkau menyindir, Ang-hong-cu.
Buktinya tak sebuahpun piauwku dapat menyentuh
ujung bajumu. Sayang engkau tadi tidak membalasku
dengan senjata rahasia sehingga tak dapat kuketahui
sampai di mana kelihaianmu mempergunakan senjata
rahasia." "Ah, jangan tergesa-gesa berkata begitu, saudara
Souw. Tadi aku melihat sekelebatan tangan Ang-
hong-cu bergerak dan kulihat sinar-sinar lembut
berkelebat ke arahmu dengan mengeluarkan bunyi
mengaung. Coba engkau periksa yang betul, jangan-
jangan engkau telah terluka oleh senjata rahasia Ang-
hong-cu," kata Gak Sun Thai yang memang memiliki
tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkat Souw
Ban Lip dan memiliki penglihatan yang lebih tajam.
Souw Ban Lip terkejut mendengar ucapan itu. Tadi
diapun mendengar suara mengaung lembut akan
tetapi tidak merasakan sesuatu yang mencurigakan.
Kini dia melihat dan memeriksa ke seluruh bagian
tubuhnya untuk melihat apakah ada yang terluka,
akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu.
"Engkau mencari apakah, Paman Souw" Coba engkau
periksa kantung piauwmu dan lihat dengan teliti!"
kata Bwee Hwa yang tersenyum manis.
Souw Ban Lip cepat mengambil kantung piauwnya
yang sudah kosong dan memeriksa dalamnya. Tiba-
tiba dia berseru, "Hayaaaa!!" Setelah betseru kaget
dengan mata terbelalak dan wajah pucat, dia segera
menjura kepada Bwee Hwa dan berkata,
"Kemampuanku menggunakan senjata rahasia tidak
ada sepersepuluh bagian dari kelihaianmu
menggunakan hong-cu-ciam, nona."
Ternyata di sebelah dalam kantung piauw itu telah
menancap tiga batang jarum tawon yang berjajar
rapi. Kalau gadis itu menghendaki, tentu saja jarum-
jarum itu akan bersarang di tubuhnya! Dia
memperlihatkan jarum-jarum itu kepada Gak Sun Thai
yang merasa kagum sekali.
"Ang-hong-cu ternyata bukan julukan kosong belaka.
Engkau sungguh lihai, nona. Biarpun aku sudah
menyaksikan dengan mata sendiri akan kelihaianmu,
akan tetapi biarlah aku merasakannya sendiri. Tidak
setiap hari kami dapat berjumpa dengan seorang iihai
sepertimu. Karena itu aku sendiri, ingin minta petunjuk
darimu." Gak Sun Thai lalu mencabut sepasang pedangnya.
Melihat cara Gak Sun Thai memegang dan
menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) itu,
Bwee Hwa maklum bahwa kepala gerombolan ini
memiliki ilmu silat yang lumayan juga, maka iapun
tidak bersikap sungkan lagi. Ia menggerakkan tangan
kanannya dan tampak sinar berkelebatan ketika Sin-
hong-kiam sudah tercabut dan berada di tangannya.
Pedang itu berkilauan tertimpa sinar matahari sore
yang mulai redup. Melihat gadis itu sudah siap dengan pedangnya, Gak
Sun Thai lalu memasang kuda-kuda, kemudian dia
menyilangkan siang-kiam di kedua tangannya lalu
membentak nyaring, "Ang-hong-cu, lihat sepasang
pedangku!" Dia menyerang dengan gerakan Siang-liong-jiu-cu
(Sepasang Naga Memperebutkan Mustika). Sepasang
pedang itu menyerang dari kanan kiri, menyilaukan
dan merupakan serangan yang berbahaya sekali
karena menutup jalan dari kanan kiri.
"Bagus!" Bwee Hwa memuji dan iapun bergerak cepat
sekali. Tampak pedangnya berubah menjadi gulungan
sinar ketika ia memainkan jurus Seng-siok-hut-si
(Musim Panas Mengebutkan Kipas).
"Trangg?" cringgg?"!" Sinar pedangnya sudah
menangkis dan menggagalkan serangan lawan.
Gak Sun Thai terkejut ketika merasa betapa kedua
tangannya tergetar hebat akibat benturan sepasang
pedangnya dengan pedang gadis itu. Dia sudah tahu
bahwa gadis itu memiliki tenaga sinkang (tenaga
sakti) yang amat kuat, akan tetapi setelah
merasakannya sendiri, dia menjadi kaget. Bagaimana
mungkin tangan yang kecil mungil dari tubuh gadis
yang belum matang itu dapat mengandung tenaga
yang demikian kuatnya. Gak Sun Thai lalu memainkan pedangnya,
mengeluarkan semua ilmu simpanannya dan
mengerahkan seluruh tenaganya. Terjadilah
pertandingan pedang yang amat seru. Tubuh mereka
berubah menjadi dua bayangan yang berkelebat di
antara gulungan sinar pedang. Akan tetapi permainan
pedang membutuhkan gerakan yang cepat dan lincah,
dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dikuasai
Bwee Hwa sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Gak Sun Thai memang lihai permainan silat sepasang
pedangnya dan diapun memiliki tenaga yang cukup
kuat, akan tetapi dia harus mengakui bahwa dalam
hal kelincahan dan kecepatan, dia masih kalah jauh
dibandingkan gadis itu. Maka, perlahan-lahan dia
mulai terdesak dan terkurung gulungan sinar pedang
Bwee Hwa. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan. Perlu diingat
bahwa Bwee Hwa adalah murid tersayang dari Sin-
kiam Lojin (Orang Tua Pedang Sakti). Maka sudah
barang tentu ilmu pedang yang dikuasai gadis itu
mencapai tingkat tinggi dan lihai sekali.
Gak Sun Thai memang seorang tokoh kang-ouw yang
sudah lama berkecimpung di dunia persilatan, namun
belum pernah dia bertemu tanding yang memiliki ilmu
pedang sehebat ini. Apalagi ketika Bwee Hwa
melakukan tekanan dan dari mulutnya keluar suara
berdengung dan mengaung seperti banyak tawon
mengamuk dan mengeroyok kepala gerombolan itu.
Gak Sun Thai menjadi bingung dan pening, gulungan
sinar pedang Sin-hong-kiam menyilaukan dan
mengaburkan matanya sehingga dia hanya mampu
bertahan dengan memutar kedua pedangnya untuk
melindungi tubuhnya. "Sing-sing....... trang!" Gak Sun Thai berseru kaget,
demikian pula para penon-ton melihat betapa
sepasang pedang kepala gerombolan itu terlepas dari
kedua tangannya dan terlempar lalu berjatuhan di
atas tanah. Seorang anak buah gerombolan cepat
mengambil sepasang pedang itu dan
menyerahkannya kembali kepada Gak Sun Thai.
Kepala gerombolan ini cepat memberi hormat kepada
Bwee Hwa, merangkap kedua tangan depan dada
dan membungkuk sampai dalam lalu berkata, "Nona,
mulai saat ini, kami semua menyatakan kalah dan
takluk kepadamu dan kami mengangkat nona
menjadi pemimpin kami!"
Hampir saja Bwee Hwa tidak dapat menahan geli
hatinya dan tertawa. Ia menjadi seorang kepala
perampok" Ah, kalau saja ia tidak melihat betapa
semua orang mengangkatnya dengan bersungguh
hati, tentu ia akan marah dan merasa terhina. Para
anak buah gerombolan itu setelah mendengar ucapan
Gak Sun Thai, lalu memberi hormat kepada Bwee
Hwa dan semua orang menyatakan ingin
mengangkat gadis itu menjadi pimpinan.
"Saudara-saudara, janganlah sembarangan
mengangkat orang. Biarpun ini meru?pakan suatu
penghormatan besar sekali, akan tetapi bagaimana
mungkin aku dapat menerima pengangkatan ini dan
menjadi seorang kepala perampok" Sudahlah jangan
diulangi lagi permintaan gila ini agar aku tidak
menjadi marah. Sekarang harap kalian bubaran dan
melakukan pekerjaan kalian masing-masing. Aku
hendak melanjutkan perjalananku!"
Dengan kecewa semua anak buah gerombolan itu
bubaran dan melanjutkan kesibukan masing-masing
yang tadi tertunda untuk menonton pertunjukan
pertandingan silat yang menarik itu.
"Sayang sekali engkau menolak per?mohonan kami,
nona. Sekarang engkau hendak pergi ke manakah?"
tanya Gak Sun Thai dengan wajah kecewa karena
kalau gadis perkasa ini mau menjadi pemimpin
mereka tentu kedudukan mereka menjadi lebih kuat
lagi. Tiba-tiba teringatlah Bwee Hwa bahwa ia tadi berniat
untuk mencari keterangan perihal ayahnya, maka
mendengar pertanyaan Gak Sun Thai itu ia cepat
menjawab. "Paman Gak, sebenarnya aku sedang mencari
seorang yang barangkali saja kalian mengenal
namanya. Dia adalah serang tokoh kang-ouw terkenal
dengan julukan Kauw-jiu Pek-wan."
Gak Sun Thai tampak terkejut sekali dan matanya
terbelalak memandang kepada Bwee Hwa.
"Si Lutung Putih Tangan Sembilan" Engkau
maksudkan hendak mencari Kwee-locianpwe (Orang
Tua Gagah Kwee)?" Jantung dalam dada Bwee Hwa berdebar tegang.
Agaknya kepala gerombolan ini mengenal ayahnya!
"Benarkah Kauw-jiu Pek-wan itu seorang bermarga
Kwee?" "Tentu saja benar, nona. Siapakah yang tidak
mengenal Kwee-locianpwe yang berjuluk Kauw-jiu
Pek-wan, tokoh besar dunia liok-lim (rimba hijau,
"dunia hitam) yang amat tersohor itu. Nona
mencarinya" Ada hubungan apakah antara nona
dengan dia?" "Aku adalah puterinya!" kata Bwee Hwa terus terang
karena ingin sekali mendapatkan keterangan yang
jelas tentang ayahnya. Gak Sun Thai menjadi pucat wajahnya dan dia
terbelalak sambil mundur tiga langkah sehingga Bwee
Hwa merasa heran sekali dan menegur. "Paman Gak,
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenapa engkau agaknya begitu kaget mendengar
bahwa aku adalah anak Kauw-jiu Pek-wan?"
"Ah, aku....... eh, siapa yang tidak akan merasa heran
mendengar bahwa engkau anaknya, nona. Engkau
mengaku anaknya akan tetapi engkau tidak
mengenalnya, bahkan tidak mengetahui namanya.
Mana mungkin ada anak tidak mengenal orang
tuanya sendiri?" Bwee Hwa maklum bahwa agaknya memang tidak
mungkin ada seorang anak tidak mengenal ayahnya
sendiri. Karena ingin mendapat keterangan tentang
ayahnya, terpaksa ia mengaku dengan singkat.
"Paman Gak, ketahuilah bahwa sejak kecil aku diculik
orang dari orang tuaku dan baru sekarang aku
hendak mencari mereka. Agaknya paman mengenal
ayahku, maka katakanlah, di mana aku dapat
menemukan ayahku dan siapakah nama
lengkapnya?" "Ah, begitukah" Kalau begitu, memang sebagai
seorang anak berbakti engkau harus mencari ayahmu,
nona. Ayahmu itu bernama Kwee Ciang Hok dan
berjuluk Kauw-jiu Pek-wan. Tetapi telah beberapa
tahun ini ayahmu mencuci tangan karena dia telah
mengumpulkan harta kekayaan yang besar dan dia
kini hidup sebagai seorang hartawan besar di sebuah
dusun di atas bukit Twi-bok-san dan menjadi raja
kecil di sana." Mendengar keterangan yang sangat berharga ini
Bwee Hwa cepat memberi hormat dan mengucapkan
terima kasih atas kebaikan kepala gerombolan itu.
Kemudian ia bertanya dengan ramah.
"Paman Gak Sun Thai yang baik, mela?lui manakah
jalan terdekat menuju ke Bukit Twi-bok-san itu"
Tolong paman beri petunjuk kepadaku."
Gak Sun Thai memandang ke atas dan mengerutkan
alis lalu berkata, "Ang-hong cu, sekarang hari telah
menjelang senja, sebentar malam tiba dan kalau
malam daerah ini menjadi gelap sekali. Amat sukar
untuk keluar dari daerah hutan ini kalau tidak
mengenal jalan, apalagi bagi orang yang asing di
daerah ini. Perjalanan ke Bukit Twi-bok-san tidaklah
dekat. Oleh karena itu, sebaiknya kalau nona
melewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi engkau
akan kuantar sendiri keluar dari hutan ini dan
kutunjukkan jalan terdekat menuju Twi-bok-san."
Bwee Hwa merasa tidak enak untuk mengganggu
dan ia hendak menolak. Akan tetapi Gak Sun Thai
cepat berkata, "Jika nona memaksa hendak
berangkat sekarang juga, tetap saja engkau terpaksa
harus bermalam di hutan ini, padahal hutan-hutan di
sini penuh binatang buas, bahkan banyak pula ular
berbisa. Bukan maksudku meremehkan nona yang
tentu saja dapat menjaga dan membela diri terhadap
serangan binatang buas. Akan tetapi setidaknya hal
itu akan membuat nona tidak dapat beristirahat
dengan santai. Karena itu, sekali lagi kami benar-
benar mengharap agar nona suka bermalam di sini
untuk semalam ini saja."
Akhirnya Bwee Hwa melihat kebenaran ucapan
kepala gerombolan itu. "Sesungguhnya aku merasa
tidak enak sekali menerima semua kebaikan paman,
akan tetapi apa boleh buat, terpaksa aku
mengganggu paman dan kawan-kawan semua untuk
satu malam lagi." Gak Sun Thai merasa gembira sekali. "Ah, nona tidak
perlu banyak sungkan. Kami merasa terhormat sekali!"
Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk
mempersiapkan sebuah kamar untuk Bwee Hwa,
menyediakan air untuk mandi dan mempersiapkan
pula hidangan untuk makan malam sebagai
penghormatan terhadap tamu yang mereka kagumi
dan hormati itu. http://cerita-silat.mywapblog.com
. Dendam Mantan Pembantu Ayah
Setelah mandi air yang cukup banyak, Bwee Hwa
merasa tubuhnya segar. Hidangan malam itu lebih
meriah lagi dan diramaikan dengan tarian dan
nyanyian yang dilakukan keluarga para anggauta
gerombolan. Suasana menjadi meriah dan riang
gembira. Bwee Hwa terbawa ke gembiraan itu. Diam-diam
gadis ini merasa heran karena dalam keadaan seperti
itu, sama sekali tidak membayangkan bahwa ia
berada di tengah perkampungan yang menjadi sarang
perampok-perampok ganas! Arak harum berulang kali
disuguhkan oleh Gak Sun Thai yang bergantian
dengan para pembantunya menyulangi gadis itu.
Dalam kegembiraannya, gadis yang masih kurang
pengalaman ini merasa tidak enak untuk menolak
dan iapun minum banyak arak wangi sampai
kepalanya mulai merasa pening.
Akhirnya Bwee Hwa tidak kuat lagi. Ia menjadi
mabok dan dengan terhuyung-huyung ia diantar oleh
dua orang pelayan wanita memasuki kamarnya.
Tanpa membuka pakaian lagi ia langsung
menjatuhkan diri di atas pembaringan di kamar itu
dan langsung tertidur pulas.
"Y" Bwee Hwa mendengar kicau burung. Banyak burung
berkicau dan suara mereka indah sekali,
mendatangkan suasana riang gembira. Ia membuka
kedua matanya dan melihat jendela kamar itu sudah
terbuka. Angin pagi semilir masuk mendatangkan
hawa sejuk. Kepalanya masih berdenyut aneh dan
teringatlah ia bahwa semalam ia terlalu banyak
minum arak. Ia hendak mengangkat tangan untuk
memijat pelipisnya yang terasa agak pening. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika kedua tangannya
tidak dapat ia angkat. Ia cepat menggerakkan kedua kaki untuk melompat
turun dari atas pembaringan, namun juga kedua
kakinya tidak dapat di gerakkan. Cepat ia mengerling
dengan sudut matanya dan ia menjadi heran, kaget
dan marah bukan main ketika mendapat kenyataan
bahwa kedua kaki dan tangannya telah terbelenggu
kuat-kuat! Bwee Hwa mengerahkan tenaga untuk memutuskan
belenggu kaki tangannya itu, akan tetapi agaknya
orang yang membelenggunya sudah siap menghadapi
kemungkinan ini. Karena mengetahui betapa kuat
tenaga sin-kang gadis itu, maka mereka
menggunakan tali yang amat kuat, ulet dan lentur
sehingga semua upayanya untuk mematahkan
belenggu itu hanya menghasilkan rasa nyeri dan
pedas pada pergelangan kaki dan tangannya.
"Jahanam Gak, manusia keparat rendah, pengecut
besar!" Bwee Hwa berteriak-teriak nyaring, memaki-
maki penuh kemarahan. Ia hanya dapat
menggulingkan tubuhnya sehingga akhirnya ia
terguling dan jatuh dari atas pembaringan dalam
keadaan rebah dan tidak mampu bangkit duduk.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan Gak Sun
Thai muncul dari pintu kamar.
"Ha-ha-ha, perempuan muda yang sombong! Coba
ingin kulihat apakah engkau dapat membebaskan
dirimu sekarang, ha-ha-ha!"
Bwee Hwa menggulingkan tubuhnya sehingga ia
dapat memandang wajah kepala gerombolan itu.
"Huh, orang she Gak! Apakah engkau tidak tahu
malu" Pantaskah kecurangan ini dilakukan seorang
laki-laki jantan" Sungguh engkau manusia hina,
rendah dan curang! Mengapa engkau melakukan
kecurangan seperti ini kepadaku yang tadinya
kauanggap sebagai seorang sahabat?"
"Bwee Hwa, jangan engkau sombong! Biarpun
kepandaianmu tinggi, akan tetapi engkau masih hijau
dan tolol. Ketahuilah, kalau saja engkau bukan puteri
Kauw-jiu Pek-wan, tentu sekarang engkau masih
kuanggap sebagai seorang tamu agung yang kami
hormati. Akan tetapi engkau adalah puteri Si Lutung
Gila itu! Dia telah memukul, memaki, menghina dan
mengusir aku. Pada hal aku telah bertahun-tahun
menjadi pembantunya yang setia. Telah lama sekali
aku mendendam kepadanya, dan sekarang engkau
anaknya dengan suka rela datang menyerahkan diri.
Maka, jangan engkau mati penasaran, biarlah engkau
mewakili ayahmu atas kelakuannya yang jahat
kepadaku dahulu dan biarlah engkau yang menebus
dosanya." "Pengecut hina! Beginikah caramu membalas
dendam" Kalau engkau memang laki-laki, lepaskan
ikatan ini dan mari kita bertanding seribu jurus sampai
seorang di antara kita mati!"
"Ha-ha-ha, kaukira aku begitu bodoh" Terus terang
kuakui bahwa aku tidak mampu menandingimu.
Kepandaianmu tinggi, aku tidak begitu bodoh untuk
membebaskanmu. Engkau sudah tertawan dan
dendamku akan terbalas terhadap Kauw-jiu Pek-wan
melalui engkau, anaknya!"
Bwee Hwa merasa gemas sekali. "Bangsat rendah tak
tahu malu. Aku sudah terjatuh dalam akal dan tipu
muslihatmu yang curang dan rendah. Hayo engkau
cepat ambil senjata dan bunuh mati aku agar
nyawaku dapat bebas untuk mencekik batang
lehermu!" "Enak saja kau bicara! Bukan semudah itu engkau
mati." "Apa yang hendak kaulakukan, jahanam busuk?"
Bwee Hwa membentak dengan marah, akan tetapi
diam-diam ia merasa khawatir. Mati bukan apa-apa
baginya dan ia tidak takut. Akan tetapi ia merasa
khawatir kalau-kalau manusia rendah itu akan
menggunakan akal busuk lain lagi untuk
menyiksanya. "Nona manis, kaulihat sajalah nanti. Aku akan
menghibur anak buahku dengan pertunjukan yang
menarik hati." Setelah berkata demikian, Gak Sun Thai berteriak
memanggil empat orang anak buahnya yang menanti
di luar kamar. Atas perintah Gak Sun Thai, empat
orang itu lalu mengangkat dan memanggul tubuh
Bwee Hwa keluar dari rumah itu. Gadis itu lalu
dinaikkan ke atas punggung dua ekor kuda yang di
tengah-tengah antara mereka telah dipasangi
usungan. Bwee Hwa dipaksa duduk di dalam usungan itu
dengan kaki tangan tetap terbelenggu. Ia meneliti
dengan sudut matanya dan melihat betapa orang-
orang yang kemarin mengaguminya itu kini tampak
bermuka beringas, buas dan kejam, tanda bahwa
mereka semua telah ikut membenci dan
memusuhinya. Tak lama kemudian, Gak Sun Thai bersama tiga orang
pembantu utamanya yang kemarin menguji
kepandaian Bwee Hwa, memimpin para anak buah
gerombolan membawa Bwee Hwa ke dalam hutan
yang tampaknya lebih lebat dan liar lagi. Mereka
melalui sepanjang lorong kecil yang agaknya
merupakan jalan rahasia mereka dan jalannya
mendaki, menuju puncak bukit. Kurang lebih lima li
mereka berjalan, mereka tiba di puncak bukit di mana
terdapat tempat terbuka karena pohon-pohon yang
tumbuh di situ tidak berdempetan, akan tetapi semua
pohon itu sangat tinggi. Bwee Hwa lalu diturunkan dan diikat pada sebatang
pohon besar yang berdiri agak terpencil. Ia
dihadapkan ke arah timur, disinari matahari yang
mulai cerah sinarnya. "Nah, malam tadi engkau kami jamu dengan pesta
makan besar, sekarang biarlah engkau yang menjadi
hidangan lezat!" kata Gak Sun Thai sambil
menyeringai. Wajahnya tampak bengis penuh dengan
kekejaman hati yang mendendam.
Bwee Hwa diam saja, hanya tetap waspada
memperhatikan keadaan sekelilingnya walaupun ia
sama sekali tidak berdaya. Ia tahu bahwa dirinya
berada dalam ancaman bahaya maut, akan tetapi
tidak dapat menduga apa macam bahaya itu.
Gak Sun Thai lalu mengeluarkan sebuah terompet dari
tanduk kerbau dan diapun meniup terompet itu.
Terdengar suara mengaum yang menyeramkan,
seperti bunyi seekor kerbau menguak, akan tetapi
suara itu memanjang dan mengandung getaran yang
dapat membuat suara itu terdengar sampai jauh,
bergaung. Ketika kepala gerombolan itu meniup terompetnya,
semua anak buahnya yang berdiri mengelilinginya
berdongak memandang ke atas sehingga Bwee Hwa
juga memandang ke atas. Akan tetapi langit yang
kelabu itu tampak bersih tidak ada sesuatu yang aneh
sehingga Bwee Hwa merasa heran sekali. Apakah
yang sedang dilakukan orang-orang yang wajahnya
beringas ini" Berulang-ulang Gak Sun Thai meniup terompetnya
sehingga mukanya mulai berkeringat dan urat
lehernya menggembung. Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru,
"Nah itu mereka datang!"
Semua orang memandang ke atas. Juga Bwee Hwa
melihat ke arah yang ditunjuk itu. Tiba-tiba hatinya
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdebar dan tahulah ia kini apa yang dikehendaki
Gak Sun Thai yang sudah seperti gila oleh dendam
sakit hatinya. Di atas udara tampak dua titik hitam melayang-
layang dan berputar-putar mengelilingi sekitar tempat
itu. Jelas bahwa dua titik hitam itu merupakan burung
terbang. Setelah dua titik hitam itu melayang turun
semakin dekat, tampaklah bahwa mereka adalah dua
ekor burung rajawali yang amat besar, seperti dua
ekor rajawali yang dibunuhnya kemarin!
Gak Sun Thai dan semua anak buahnya lalu
berloncatan menyelinap di antara semak-semak dan
mereka semua bersembunyi. Akan tetapi Gak Sun
Thai yang bersembunyi di dalam semak belukar masih
terus meniup terompetnya.
Dua ekor burung rajawali itu kini telah tiba di atas
pohon di mana Bwee Hwa terikat. Mereka terbang
mengelilingi pohon itu dan Gak Sun Thai sudah meng-
hentikan tiupan sulingnya.
Kini mengertilah Bwee Hwa. Tiupan terompet tanduk
kerbau itu adalah untuk menarik perhatian dan
memanggil dua ekor burung itu dan dirinya dipasang
di situ sebagai umpan. Pantas saja kepala gerombolan
itu tadi berkata bahwa ia hendak dijadikan sebagai
hidangan lezat. Ia hendak dijadikan mangsa dua ekor
burung itu! Tentu saja Bwee Hwa merasa ngeri membayangkan
betapa tubuhnya akan dicabik-cabik. Akan tetapi ia
menggigit bibirnya. Tak sudi ia mengeluh atau
menjerit memperlihatkan rasa takutnya kepada Gak
Sun Thai dan anak buahnya. Ia akan menghadapi
kematiannya dengan tabah dan gagah, sesuai dengan
nasihat gurunya dahulu. "Lebih baik mati seperti
harimau daripada hidup seperti babi!" kata gurunya
yang menganjurkan agar ia selalu menjaga nama dan
kehormatan, bersikap gagah biar diancam kematian
sekalipun dan tidak boleh berbuat rendah dan
bersikap pengecut. Melihat semua orang bersembunyi, tahulah Bwee
Hwa bahwa mereka takut menjadi korban dua ekor
burung ganas itu dan mereka kini tentu sedang
mengintai dengan hati tegang dan gembira! Kini ia
tahu mengapa ia diikat di pohon itu dengan
menghadap ke timur. Dengan demikian tubuhnya
akan disinari matahari dan dapat dengan mudah
tampak oleh sepasang burung rajawali itu.
Benar saja dugaannya. Agaknya dua ekor rajawali itu
kini dapat melihat tubuh gadis yang terikat di batang
pohon. Mereka mengeluarkan bunyi nyaring seperti
kegirangan dan keduanya meluncur turun sampai
dekat sekali dengan pohon. Mereka mengelilingi
pohon dan kepakan sayap mereka yang besar dan
kuat itu mendatangkan angin membuat daun-daun
pohon bergoyang-goyang. Kini keduanya
mengeluarkan bunyi cecowetan seolah berunding
siapa yang akan lebih dulu menyerang calon mangsa
yang berada di bawah pohon itu.
Bwee Hwa merasa ngeri, akan tetapi tetap saja ia
tidak mau mengeluh, bahkan tidak memejamkan
mata. Bahkan dengan sinar mata tajam ia menatap
ke arah dua ekor rajawali itu dengan penuh
keberanian. Tiba-tiba seekor di antara dua ekor
rajawali itu, agaknya yang jantan, menukik ke bawah
menyambar ke arah tubuh Bwee Hwa.
Pada saat yang teramat gawat bagi keselamatan
nyawa Bwee Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan
nyaring. "Binatang jahat, pergilah!" Dan dari belakang
seba-tang pohon besar berkelebat sesosok bayangan
orang yang melebihi kecepatan rajawali itu sehingga
sebelum burung itu dapat mencengkeram tubuh Bwee
Hwa, tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di
depan Bwee Hwa dan menggunakan pedangnya
menyambut rajawali itu dengan sabetan pedangnya!
Rajawali raksasa itu sama sekali tidak menyangka
akan disambut serangan. Gerakan pedang di tangan
pemuda itu luar biasa cepatnya sehingga rajawali itu
tidak mampu menghindarkan dirinya dan kaki kirinya,
di bagian paha terluka sabetan pedang dan
mengeluarkan darah! Burung itu mengeluarkan pekik
nyaring, tubuhnya melayang lagi ke atas sambil
berteriak-teriak. Alangkah gembira hati Bwee Hwa ketika melihat
bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Ong
Siong Li, pemuda yang dulu bersamanya telah
mengobrak-abrik perkumpulan agama sesat Hwe-coa-
kauw! Siong Li tidak membuang waktu lagi,
pedangnya berkelebat dua kali dan belenggu di kaki
tangan Bwee Hwa terputus. Gadis itu kini bebas.
"Li-ko, terima kasih!" kata Bwee Hwa dengan terharu,
karena tadinya ia sudah hampir putus asa untuk
dapat terlepas dari ancaman maut.
"Hwa-moi, jangan sungkan untuk urusan kecil ini. Mari
kita basmi penjahat-penjahat itu."
Bwee Hwa seperti diingatkan. Ia melihat ke kanan kiri
dan matanya yang tajam dapat melihat bayangan
orang-orang bersembunyi di balik pohon-pohon dan
semak-semak. Sementara itu, dua ekor burung
rajawali tadi tampaknya menjadi ketakutan dan
mereka terbang pergi meninggalkan tempat itu.
Mungkin kedua ekor rajawali itu tidak sedang
kelaparan. Kalau mereka kelaparan, tentu mereka
akan nekat untuk menyerang lagi.
"Bangsat rendah she Gak, keluarlah untuk menerima
kematianmu!" bentak Bwee Hwa dengan marah.
Tiba-tiba dari tempat persembunyian para gerombolan
itu meluncur anak panah dan senjata rahasia piauw
yang beterbangan menyerang Bwee Hwa dan Siong
Li. Siong Li cepat memutar pedangnya untuk memukul
runtuh senjata-senjata rahasia itu. Adapun Bwee Hwa
yang tidak memegang senjata, melompat ke atas
menghindarkan diri. Tubuh gadis itu bagaikan seekor
burung terbang saja kini melayang ke arah para anak
buah gerombolan yang sudah berlompatan keluar dari
tempat persembunyian mereka. Begitu tubuhnya tiba
di antara para anak buah gerombolan, kaki tangannya
bergerak cepat dan terdengar teriakan-teriakan
kesakitan dan tiga orang anggauta gerombolan telah
terpelanting roboh. Seorang diri saja Gak Sun Thai tidak mampu
mengalahkan Bwee Hwa. Hal ini bukan membuat dia
jerih. Karena sekarang dia diikuti tiga orang pembantu
utamanya dan empatpuluh lebih orang anak buahnya,
tentu saja Gak Sun Thai tidak menjadi takut dan dia
menjadi marah sekali melihat gadis itu dapat
dibebaskan oleh seorang pemuda. Dia lalu memberi
aba-aba dan semua anak buahnya kini maju
mengeroyok Bwee Hwa dan Siong Li.
Seorang anak buah menyerang Bwee Hwa dengan
tusukan pedangnya dari belakang. Pedangnya
meluncur, menusuk ke arah punggung gadis itu. Akan
tetapi dengan pendengarannya yang tajam terlatih,
Bwee Hwa dapat mendengar gerakan ini. Dengan
cepat sekali ia miringkan tubuhnya, terus membalik.
Pedang itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Tangan
kiri Bwee Hwa menyambar, merampas pedang dan
kakinya mencuat. Penyerang itu berteriak, pedangnya
terampas dan tubuhnya terlempar ke belakang
diterjang tendangan kaki mungil itu.
Kini, dengan pedang rampasannya, Bwee Hwa
mengamuk. Pedangnya berubah menjadi gulungan
sinar menyambar-nyambar, dari mulutnya keluar
suara berdengung-dengung seperti banyak tawon
beterbangan dan banyak anak buah gerombolan
berpelan?tingan disambar gulungan sinar pedang.
Siong Li juga mengamuk dengan pedangnya. Gerakan
pedangnya tidak kalah hebat walaupun tidak seganas
amukan Bwee Hwa yang marah sekali. Melihat
amukan dua orang muda itu, Gak Sun Thai cepat
memberi isyarat kepada tiga orang pembantunya. Dia
sendiri sudah menyerang Bwee Hwa dengan
pedangnya dibantu Souw Ban Lip, kakek tinggi kurus
berjenggot panjang yang bersenjatakan sebatang
golok tipis. "Cringgg.......!" Golok tipis di tangan Souw Ban Lip
terpental ketika Bwee Hwa menangkis menggunakan
pedang rampasannya. Pada saat itu, Gak Sun Thai
membacok ke arah lehernya dengan pedang di
tangan. Melihat serangan kilat yang tak dapat
dielakkan lagi, Bwee Hwa mengerahkan tenaga dan
memapaki bacokan itu dengan tangkisan pedangnya.
"Trakkk!" Bwee Hwa terkejut sekali dan melompat ke
belakang. Ia melihat bahwa pedang rampasannya
patah menjadi dua potong dan ternyata kepala
gerombolan itu mempergunakan pedang Sin-hong-
kiam pedang miliknya yang telah dirampas Gak Sun
Thai. "Keparat! Kembalikan pedangku!" bentak Bwee Hwa
sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka
orang "Ha-ha-ha, nih, terima pedangmu!" Dia berkata dan
menusukkan pedang pusaka itu ke arah dada Bwee
Hwa. Gadis itu cepat melompat ke kiri. Akan tetapi golok
Souw Ban Lip telah menyambutnya dengan bacokan.
Terpaksa ia melompat ke belakang dan hanya dengan
sepotong pedang buntung Bwee Hwa melayani
pengeroyokan Gak Sun Thai dan Souw Ban Lip, juga
masih harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali
anak buah gerombolan. Bwee Hwa berlaku cerdik sekali. Ia berlompatan
meninggalkan dua orang pemimpin itu dan
mengamuk di antara para anak buah gerombolan.
Dengan demikian, dua orang pemim?pin itu tidak
mampu mendesaknya, terhalang oleh pengeroyokan
banyak anak buah mereka terhadap Bwee Hwa.
Sementara itu, Lui Thong yang tinggi besar juga sudah
mengeroyok Siong Li bersama Lie Hoat yang pendek
kurus. Lui Thong menggunakan goloknya yang besar
dan berat, sedangkan Lie Hoat mempergunakan
sebatang tombak. Dua orang pimpinan gerombolan ini
masih dibantu banyak anak buah mereka sehingga
gerakan mereka bahkan terhalang dan tidak leluasa.
Seperti juga Bwee Hwa, Siong Li maklum bahwa
yang lihai di antara para pengeroyoknya adalah dua
orang pimpinan ini, maka diapun menjauhi mereka
dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah
gerombolan. Diamuk dua orang muda yang amat lihai itu, anak
buah gerombolan menjadi panik. Banyak sekali
kawan mereka sudah roboh. Sisanya menjadi panik
dan hanya mengepung sambil berteriak-teriak, tidak
berani mendekat. Akhirnya, hanya tinggal Gak Sun
Thai dan Souw Ban Lip yang mengeroyok Bwee Hwa,
sedangkan Lui Thong dan Lie Hoat mengeroyok Siong
Li. Para anak buah ada yang merawat kawan-kawan
yang terluka, dan ada pula yang menonton dari jarak
jauh yang aman. Sementara itu, ketika mengamuk di antara para anak
buah gerombolan tadi, Bwee Hwa sudah berhasil
merampas sebatang pedang lain untuk menggantikan
pedangnya yang buntung. Kini ia mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi
dua orang pengeroyoknya. Tiba-tiba Souw Ban Lip
menggerakkan tangan kirinya dan tiga batang piauw
dilepaskannya, menyambar ke arah Bwee Hwa.
Gadis itu sengaja melempar diri ke bawah,
bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Sinar lembut
menyambar ke arah Souw Ban Lip dan orang tinggi
ku-rus itu menjerit dan terpelanting roboh sambil
memegangi lehernya di mana tertancap tiga batang
jarum Hong-cu-ciam! Gak Sun Thai terkejut sekali melihat kawannya roboh.
Dia menjadi panik dan biarpun dia menggunakan
pedang pusaka Sin-hong-kiam milik Bwee Hwa, akan
tetapi karena dia sudah terbiasa memainkan siang-
kiam (sepasang pedang), maka gerakannya menjadi
kacau. Akhirnya, ketika ujung pedang di tangan Bwee
Hwa menyentuh lengannya, terpaksa dia melepaskan
Sin-hong-kiam dan gadis itu cepat menangkap
pedangnya, lalu membuang pedang rampasan tadi,
kini menggunakan pedang sendiri! Gak Sun Thai
menjadi semakin panik, akan tetapi karena tidak ada
kesempatan melarikan diri, dengan nekat dia
mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di
punggung, lalu melawan mati-matian menggunakan
siang-kiam. Siong Li juga tidak mau kalah. Setelah dikeroyok dua,
dia mengeluarkan jurus simpanannya pada saat Lie
Hoat menahan tombaknya dan menyerangnya
dengan tangan kiri menggunakan ilmu pukulan Tiat-
see-ciang yang ampuh. Siong Li membuang diri ke kiri
dan ketika tangan Lie Hoat yang pendek itu
memu?kul lewat, dia mengayun pedangnya dari kiri.
"Crakkk!" Lengan kiri Lie Hoat itu buntung sebatas
siku. Lie Hoat menjerit lalu melompat ke belakang,
dengan tangan kanan memegangi siku yang buntung,
akhirnya dia terkulai dan roboh pingsan. Beberapa
orang anak buah segera mengangkatnya, seperti juga
mereka mengangkat dan merawat Souw Ban Lip
yang terkena jarum tawon Bwee Hwa.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terjebak Siasat Jaksa Kwee
Kini Bwee Hwa dan Siong Li masing-masing hanya
melawan seorang saja. Keringat dingin sudah
membasahi seluruh tubuh Gak Sun Thai. Dia melawan
mati-matian dengan sepasang pedangnya. Akan
tetapi sekarang Bwee Hwa menggunakan Sin-hong-
kiam. Sedangkan tadipun, mengeroyok gadis itu
dengan banyak orang dia tidak mampu menang,
apalagi harus melawan seorang diri!
Di lain pihak, Bwee Hwa marah sekali kepada kepala
gerombolan yang curang dan kejam itu, maka ia
mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Akhirnya,
Bwee Hwa berhasil merobohkan Gak Sun Thai dengan
tusukan pedangnya. Gak Sun Thai terjungkal roboh
dan tewas seketika. Pada saat berikutnya, Siong Li
juga berhasil merobohkan Lui Thong.
Bwee Hwa masih hendak mengamuk dan mengejar
anak buah gerombolan yang melarikan diri sambil
mengangkat kawan-kawan yang tewas dan terluka.
Akan tetapi Siong Li mencegahnya.
"Sudahlah, Hwa-moi. Ampunkan mereka. Mereka itu
hanya anak buah. Setelah para pimpinan mereka
tewas, tentu mereka tidak akan berani merajalela
melakukan kejahatan lagi. Apalagi mengingat bahwa
mereka mempunyai keluarga."
Bwee Hwa menghela napas panjang. Bagaimanapun
juga, orang yang paling dibencinya, Gak Sun Thai,
telah tewas. Ia membersihkan pedangnya pada
batang pohon dan daun-daun, lalu menyarungkan lagi
pedangnya. Sarung pedang itu masih menempel di
pinggangnya. Agaknya karena tergesa Gak Sun Thai
tadi hanya merampas pedangnya tanpa
menanggalkan sarung pedangnya. Ia lalu menatap
wajah Siong Li dan berkata sambil tersenyum manis.
"Li-ko, sungguh aku berhutang budi besar sekali
kepadamu. Kalau saja tidak ada engkau, maka pada
saat ini tentu sudah tidak ada lagi yang namanya
Ang-hong-cu. Aku tentu sudah lenyap ke dalam perut
dua ekor rajawali raksasa tadi. Bagaimana aku dapat
membalas budimu ini, Li-ko?"
"Hwa-moi, jangan engkau mengeluarkan kata-kata
seperti itu, membuat aku merasa malu dan tidak enak
saja. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk
menolong siapa yang patut ditolong" Janganlah bicara
tentang budi, karena perbuatan yang dilakukan
dengan pamrih apapun juga demi keuntungan diri
sendiri bukanlah kebajikan."
Mendengar ucapan ini Bwee Hwa menghela napas
panjang. "Li-ko, kata-katamu itu mengingatkan aku
akan guruku. Engkau sungguh berhati mulia dan aku
merasa seakan-akan berhadapan dengan saudaraku
sendiri. Maukah engkau kuanggap sebagai seorang
kakakku?" "Terima kasih atas kebaikanmu, Hwa-moi."
"Twako (kakak), bagaimana engkau tiba-tiba saja
dapat datang ke sini menolongku?"
Wajah Siong Li menjadi kemerahan. Sebenarnya,
ketika dia berpisah dari gadis itu, hatinya merasa
tidak senang. Entah mengapa, dia merasa suka sekali
berada di dekat gadis itu sehingga ketika mereka
saling berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian.
Terutama kalau dia teringat akan keterangan gadis itu
bahwa ia hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan.
Hatinya menjadi cemas karena dia telah mendengar
kabar bahwa Kauw-jiu Pek-wan adalah seorang yang
berkepandaian tinggi dan juga jahat sekali. Dia
khawatir kalau-kalau gadis itu akan menemui
bencana. Karena itu, akhirnya dia mengalihkan tujuan
perjalanannya dan melakukan pengejaran, lalu
membayangi secara diam-diam. Dia melihat Bwee
Hwa dijamu kepala gerombolan, akan tetapi dia
hanya mengintai dari jauh dan tidak mau
memperlihatkan diri. Dia me?lewathan malam di atas
pohon besar dan tidur di sana, seperti yang sudah
biasa dia lakukan. Akan tetapi, pada keesokan harinya, dia terkejut
bukan main melihat betapa Bwee Hwa ditawan,
dibelenggu kaki tangannya dan dibawa ke dalam
hutan. Dia membayangi dan berjaga-jaga untuk turun
tangan menolong kalau gadis itu terancam.
Demikianlah, ketika dua ekor burung itu datang
menyerang, dia lalu turun tangan menolongnya.
Akan tetapi kini dia menghadapi pertanyaan Bwee
Hwa dan dia merasa bingung, tidak tahu harus
menjawab bagaimana. Untuk berterus terang dia
merasa malu karena hal itu akan membuka rahasia
perasaan hatinya. Untuk berbohong dia juga tidak
sanggup karena hal itu bukan kebiasaannya. Akhirnya
setelah berpikir-pikir, dia menjawab.
"Hwa-moi, sebetulnya ketika aku mendengar bahwa
engkau hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan, hatiku
merasa sangat tertarik. Telah lama aku mendengar
akan nama besar dan kehebatan Kauw-jiu Pek-wan,
akan tetapi aku belum pernah bertemu dengannya.
Kini aku ingin sekali untuk bersamamu mencari orang
tua yang lihai itu dan untuk membuktikan sampai di
mana kelihaiannya. Karena pikiran dan keinginan
itulah maka aku lalu menyusulmu dan mengikuti
jejakmu sampai di sini dan kebetulan melihat engkau
terancam bahaya tadi."
Bwee Hwa menghela napas panjang. "Li-ko, karena
engkau telah menolongku dan sudah kuanggap
sebagai kakakku sendiri, maka biarlah aku mengaku
terus terang kepadamu. Sebenarnya Kauw-jiu Pek-
wan itu adalah ayahku sendiri. Aku telah dibawa oleh
suhu ketika aku berusia delapan tahun dan aku tidak
ingat lagi siapa nama ayah ibuku dan di mana tempat
tinggal mereka. Karena itulah, maka aku hendak
mencari Kauw-jiu Pek-wan karena hanya julukannya
itulah yang kutahu dari suhuku."
Siong Li dapat menahan perasaan hatinya yang kaget
bukan main mendengar bahwa Bwee Hwa adalah
puteri Kauw-jiu Pek-wan. Akan tetapi hal ini tidak
tampak pada mukanya. Dia hanya mengangguk lalu
berkata. "Lalu ke manakah engkau hendak mencarinya, Hwa-
moi?" "Aku sudah mendengar dari jahanam Gak Sun Thai itu
bahwa ayahku sekarang bertempat tinggal di sebuah
kampung kecil di atas Bukit Twi-bok-san. Dia bernama
Kwee Ciang Hok dan memang tadinya ayah adalah
seorang perampok besar. Akan tetapi kata kepala
gerombolan itu, ayah kini telah mengundurkan diri
dan mencuci tangan."
Siong Li menarik napas panjang. "Hwa-moi, terus
terang saja, akupun telah mendengar bahwa nama
ayahmu itu disohorkan orang dan tidak begitu baik
terdengarnya. Akan tetapi semua itu hanya kabar
angin, aku sendiri belum menyaksikannya dan engkau
juga telah berpisah dari ayahmu sejak kecil. Kuharap
saja kabar-kabar itu hanya bohong belaka. Maka
sebaiknya kita pergi sendiri ke Twi-bok-san untuk
membuktikan kebenaran kabar-kabar angin itu."
Bwee Hwa memandang wajah pemuda itu dan di
dalam hatinya ia menilai. Pemuda ini benar-benar baik
hati terhadapnya dan memiliki pandangan yang
bijaksana. Dan harus ia akui bahwa wajah pemuda
itu cukup tampan dan gagah. Memang bentuk
tubuhnya agak pendek, akan tetapi ketika diam-diam
Bwee Hwa mengukur dengan sudut matanya, ia
mendapat kenyataan bahwa sependek-pendeknya,
pemuda itu masih lebih tinggi sedikit daripada ia.
"Li-ko, tahukan engkau jalan menuju Twi-bok-san?"
Siong Li mengangguk. "Kalau begitu, kita tidak segera berangkat ke sana,
mau tunggu sampai kapan lagi?"
Siong Li mengangkat muka memandangnya.
Sepasang matanya berseri gem-bira. "Hwa-moi ,
jadi....... engkau tidak keberatan kalau aku pergi
bersamamu?" Bwee Hwa tersenyum manis. "Tentu saja tidak,
bahkan aku senang sekali mendapat kawan yang
baik hati dan banyak pengalaman seperti engkau, Li-
ko. Kuharap engkau tidak bersikap demikian sungkan
lagi. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik"
Bahkan aku merasa seolah engkau ini pantas menjadi
seorang kakakku." Dalam hatinya Siong Li membantah. Tentu saja dia
tidak bergembira kalau hanya dianggap sebagai
kakak. Akan lebih berbahagialah hatinya kalau gadis
itu menganggap dia sebagai seorang?" kekasih atau
tunangan! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani
menyatakan suara hatinya itu dengan kata-kata.
Mereka lalu meninggalkan hutan itu dan
mempergunakan ilmu berlari cepat. Tubuh sepasang
orang muda ini berkelebatan di antara pohon-pohon
dengan cepat sekali. Mereka seolah berlumba dan
mendapat kenyataan dengan perasaan kagum bahwa
kecepatan lari mereka seimbang. Karena kini Bwee
Hwa melakukan perjalanan bersama Siong Li yang
telah mengenal jalan, maka perjalanan mereka cepat
dan lancar. Menurut keterangan pemuda itu, Bukit
Twi-bok-san dapat dicapai selama perjalanan kurang
lebih satu minggu, melalui kota Tung-kwang yang
besar dan ramai. Di sepanjang perjalanan, Siong Li bersikap sopan
terhadap Bwee Hwa. Kalau mereka terpaksa
bermalam di tengah perjalanan Siong Li mencarikan
tempat di gubuk-gubuk ladang atau di kuil tua. Kalau
terpaksa kemalaman di hutan, Siong Li membuat api
unggun dan melakukan penjagaan. Tentu saja Bwee
Hwa tidak mau tidur semalam suntuk dan
membiarkan pemuda itu berjaga, ia memaksa
pemuda itu untuk bergiliran menjaga. Kalau mereka
bermalam di losmen sebuah kota, Siong Li minta dua
buah kamar. Sikap Siong Li yang amat sopan dan
ramah ini membuat Bwee Hwa semakin tertarik dan
kagum. Pada suatu sore mereka memasuki kota Tung-kwang.
Kota ini cukup besar dan ramai. Melihat banyaknya
rumah makan dan rumah penginapan dapat diketahui
bahwa kota ini banyak dikunjungi orang dari luar kota
dan merupakan kota dagang yang cukup ramai.
Siong Li dan Bwee Hwa mencari sebuah rumah
penginapan yang besar dan menyewa dua kamar
yang berhadapan. Setelah mandi dan bertukar
pakaian, mereka lalu keluar dari rumah penginapan
untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat. Karena siang
tadi mereka tidak bertemu dusun atau kota, maka
sejak pagi tadi mereka belum makan. Perut mereka
terasa lapar dan Bwee Hwa mengajak Siong Li
memasuki sebuah rumah makan besar dari mana
melayang uap yang menyegarkan aroma sedap
membangkitkan selera. Di dalam rumah makan itu terdapat banyak tamu
sedang makan dan bercakap-cakap dengan ramai,
akan tetapi ketika mereka melihat Siong Li dan Bwee
Hwa memasuki ruangan rumah makan, mereka
menghentikan percakapan mereka, bahkan banyak
yang menunda makan mereka. Agaknya mereka
tertarik sekali melihat sepasang orang muda yang
berpakaian serba ringkas dan membawa pedang di
punggung. Mata mereka memandang penuh curiga.
Siong Li dan Bwee Hwa merasakan perubahan ini dan
tahu bahwa semua orang memperhatikan mereka.
Akan tetapi mereka tidak perduli. Mereka memesan
makanan dan minuman, lalu setelah yang dipesan
dihidangkan, merek lalu makan dan minum dengan
tenang. Betapapun juga, mereka berdua diam-diam
memperhatikan orang-orang di sekitar mereka.
Semua orang melanjutkan makan mereka akan tetapi
kini mereka bicara perlahan, tidak berani langsung
memandang ke arah Siong Li dan Bwee Hwa,
kelihatan takut-takut. Malam hari itu terlewat tanpa terjadi sesuatu. Akan
tetapi pada keesokan hari-nya, pagi-pagi benar ketika
Bwee Hwa telah bangun dan membersihkan diri lalu
keluar dari kamar hendak mengetuk pintu kamar
Siong Li, tiba-tiba dari luar menyerbu masuk tujuh
orang yang berpakaian seperti polisi. Mereka
memasuki rumah penginapan itu dengan pedang
terhunus di tangan dan langsung menghampiri Bwee
Hwa. Kawanan polisi ini dipimpin seorang yang
berkumis panjang. Pada saat itu, Siong Li keluar dari dalam kamarnya.
Ternyata diapun sudah bangun dan sudah mandi
sehingga tampak segar. Pemuda ini merasa heran
melihat tujuh orang petugas keamanan itu yang
agaknya langsung menghampiri dia dan Bwee Hwa.
Kepala regu itu berkata kepada mereka berdua.
"Harap ji-wi (kalian berdua) menyerah dan tidak
melawan. Kami harus membawa ji-wi ke kantor polisi
untuk diperiksa." Tentu saja Bwee Hwa dan Siong Li terkejut
mendengar ini dan Bwee Hwa yang berwatak keras
itu segera bertolak pinggang dan membentak marah.
"Kau anggap kami ini orang apakah" Jangan
sembarangan menuduh dan berlaku sewenang-
wenang mengandalkan kekuasaanmu! Dengan alasan
apakah kalian hendak menangkap kami?"
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ucapan dan melihat sikap Bwee Hwa
yang keras dan melawan, kawanan polisi itu segera
memberi isyarat ke belakang mereka dan muncullah
tiga belas orang polisi lain sehingga jumlah mereka
kini menjadi duapuluh orang yang semuanya
mencabut pedang masing-masing!
"Nona, harap jangan mencoba untuk melawan
dengan kekerasan. Kami hanya menjalankan tugas.
Kami diperintah atasan kami untuk menangkap kalian
berdua. Soal urusannya boleh kalian bicarakan sendiri
dengan jaksa yang akan memeriksa kalian nanti di
kantor." Bwee Hwa hendak mencabut pedangnya, akan tetapi
Siong Li memberi isyarat dengan matanya untuk
mencegah gadis itu mengamuk. Melihat ini Bwee Hwa
menahan kemarahannya dan Siong Li lalu
menghampiri kepala regu polisi itu dan berkata
dengan sikap halus. "Baiklah, kami akan menurut. Akan tetapi engkau
harus menerangkan dulu kepada kami, tuduhan
apakah yang dijatuhkan kepada kami" Kami minta
penjelasan agar tidak menjadi penasaran."
Kepala rombongan petugas keamanan itu tersenyum
mengejek. "Ah, kalian masih pura-pura bertanya lagi" Seluruh
kota telah gempar karena perbuatan-perbuatan kalian
pada malam hari, sekarang masih berpura-pura tanya
mengapa kalian hendak ditangkap" Jangan main-main
kalian!" "Siapa yang main-main" Kalian telah salah sangka
dan salah tangkap. Kami bukanlah orang-orang yang
melakukan pelanggaran dan perbuatan jahat, kami
bukan orang-orang yang kalian maksudkan. Kami
baru saja datang di kota ini sore tadi. Nah, marilah
antar kami ke kantor jaksa agar ada penjelasan
tentang hal ini semua. Dengan sikap tenang Siong Li dan Bwee Hwa keluar
dari rumah penginapan itu, dikawal oleh duapuluh
orang penjaga keamanan. Tentu saja hal ini menarik
perhatian orang banyak dan dua orang muda itu
menjadi tontonan. Para petugas keamanan
membentak orang-orang yang saling berdesakan
hendak melihat wajah Siong Li dan Bwee Hwa yang
dikabarkan sebagai sepasang pencuri yang telah
sebulan lebih menggemparkan kota itu.
Tadinya pemimpin regu polisi itu hendak memasang
borgol pada kedua tangan Siong Li dan Bwee Hwa,
akan tetapi Bwee Hwa membentak, "Kalau engkau
berani menyentuh tanganku, kepalamu akan kubikin
pecah lebih dulu!" Siong Li cepat berkata kepada kepala regu itu, "Sobat,
percayalah kepada kami. Kami tidak akan lari, kecuali
kalau kalian bertindak kasar dan sewenang-wenang
tentu kami akan bertindak keras pula. Bawalah saja
kami kepada jaksa dan kami akan menghadap secara
baik-baik." Kepala regu itu agaknya dapat menduga bahwa
kedua orang muda ini tentu lihai sekali dan diapun
melarang anak buahnya bersikap kasar. Maka Siong Li
dan Bwee Hwa tidak diborgol, juga diperlakukan
dengan sopan sehingga mereka yang menonton
menjadi heran. Di sepanjang perjalanan menuju ke
kantor jaksa, banyak orang nonton seregu petugas
keamanan yang mengawal dua orang muda itu.
Berita bahwa sepasang maling yang selama ini
meresahkan penduduk kota Tung-kwang telah
tersebar luas dan semua orang ingin melihat
bagaimana wajah para maling itu. Mereka yang
sempat melihat Siong Li dan Bwee Hwa merasa heran
bukan main. Sepasang maling itu sama sekali tidak
berwajah menyeramkan sebagaimana yang mereka
bayangkan, seperti wajah para penjahat pada
umumnya. Sama sekali sebaliknya, wajah kedua
orang maling ini tampan dan cantik, sepasang orang
muda yang elok! Tak lama kemudian tibalah pasukan itu di kantor
jaksa dan ternyata Jaksa Kwee telah diberi laporan
tentang tertangkapnya dua orang muda yang dicurigai
sebagai maling, maka diapun sudah siap untuk
memeriksanya. Jaksa Kwee adalah seorang laki-laki
berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, bertubuh
gemuk dengan wajah kekanak-kanakan dengan
sepasang mata yang tajam dan cerdik. Dia sudah
duduk di atas kursi kebesarannya, berpakaian jaksa
lengkap. Lima orang perajurit pengawal berdiri di
belakangnya, dengan golok mengkilap di tangan.
Lima orang anggauta polisi termasuk pemimpinannya
yang berkumis panjang mengawal dua orang muda
itu memasuki ruangan sidang. Mereka berlima
menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada
Jaksa Kwee, akan tetapi Siong Li dan Bwee Hwa
tetap berdiri. Si kumis panjang yang melihat ini segera
membentak. "He, kalian sungguh tidak tahu aturan. Lekas berlutut!"
Bwee Hwa menjawab ketus. "Mengapa berlutut"
Kami bukan pesakitan!"
Pemimpin polisi itu hendak marah, akan tetapi Jaksa
Kwee memberi isyarat dengan tangannya untuk
mencegah, kemudian berkata kepada dua orang
muda itu. "Ji-wi bernama siapa dan datang dari manakah?"
Siong Li mengangkat kedua tangan depan dada untuk
memberi hormat, diturut oleh Bwee Hwa lalu berkata
lantang. "Saya bernama Ong Siong Li dan nona ini
adalah seorang pendekar wanita bernama Bwee Hwa
berjuluk Ang-hong-cu. Kami berdua adalah
pengembara dan sama sekali tidak mengerti
mengapa tanpa sebab kami dipaksa menghadap ke
sini. Harap taijin (pembesar) suka memberi penjelasan
mengapa kami ditangkap?"
Jaksa Kwee mengangguk-angguk dan menghela
napas panjang. "Aku sendiri tidak dapat percaya bahwa orang-orang
berdosa dapat bersikap seperti kalian. Tentu ada salah
sangka dalam hal ini. Ketahuilah, telah sebulan lebih
kota ini terganggu oleh sepasang maling yang sangat.
berani dan yang tiap malam mendatangi rumah-
rumah penduduk lalu mencuri barang-barang
berharga. Ji-wi adalah orang-orang asing dan
merupakan muka-muka baru, juga merupakan
sepasang, lebih-lebih jiwi membawa pedang dan pasti
memiliki kepandaian silat karena mengenakan
pakaian perantauan yang ringkas itu, maka mudah
dimengerti mengapa para petugasku menjadi curiga
kepada ji-wi." Siong Li dan Bwee Hwa saling pandang dan
mengangguk-angguk. Di dalam hati mereka memuji
sikap Jaksa Kwee ini sebagai seorang pembesar yang
tegas, jujur, dan bijaksana. Untung tadi mereka tidak
mempergunakan kekerasan. Kalau sampai terjadi
demikian, tentu mereka berdua akan merasa malu
sekali menghadapi pembesar yang bijaksana dan
bersikap terbuka ini. "Sekarang kami mengerti mengapa kami berdua
ditangkap, taijin," kata Siong Li. "Kami tidak
menyalahkan para perajurit ini."
Jaksa Kwee menghela napas panjang lalu berkata, "Ji-
wi adalah orang-orang gagah. Melihat sikap ji-wi yang
gagah dan tenang, aku dapat menduga bahwa ji-wi
tentulah dua orang pendekar budiman yang gagah
perkasa. Akan tetapi sayang sekali nama baik ji-wi
telah dicemarkan oleh sepasang penjahat yang
mengacau kota Tung-kwang ini."
Siong Li hanya tersenyum dan dia merasa semakin
kagum kepada pembesar ini. Ucapan pembesar itu
mengandung maksud tertentu dan membuktikan
kelihaian pembesar itu mempergunakan akalnya.
Akan tetapi Bwee Hwa mengerutkan alis dan rrterasa
tidak senang. "Hemm, mengapa nama kami tercemar oleh mereka"
Kami tidak mempunyai hubungan apapun dengan
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
mereka. Apa yang mereka lakukan tidak ada sangkut
pautnya dengan kami!"
Kwee-taijin menjawab dengan suara yang
mengandung penyesalan besar. "Bukankah ji-wi tadi
telah terlihat oleh semua penduduk kota ini ketika
digiring oleh para petugas keamanan ke kantor ini"
Tentu saja orang-orang itu mengambil kesimpulan
termudah, yaitu bahwa jiwi tentulah sepasang
penjahat yang telah mengacau di kote ini. Bukankah
itu berarti bahwa kedua penjahat itu makan dan
menikmati buahnya, akan tetapi ji-wi yang terkena
getahnya?" Tahulah kini Bwee Hwa akan maksud kata-kata
Kwee-taijin tadi dan ia menjadi marah sekali kepada
kedua orang penjahat itu.
"Baiklah, taijin. Kalau demikian halnya, aku berjanji
akan menangkap kedua orang penjahat itu dan
menyeretnya ke hadapanmu agar semua penduduk
mengetahui bahwa kami berdua bukanlah penjahat-
penjahat keparat itu, melainkan pendekar-pendekar
yang membela kebenaran dan keadilan!" kata gadis
itu marah. Wajah Jaksa Kwee kini tampak cerah berseri-seri.
Senyum lega dan penuh harapan mengembang di
wajahnya yang gemuk, berkali-kali dia berkata,
"Bagus, bagus!" dan dengan ramahnya dia
mengundang Bwee Hwa dan Siong Li untuk tinggal di
gedungnya dan mengajak mereka makan bersama!
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Hwa-moi, engkau bersabarlah!
Malam bulan purnama! Langit bersih, tak tampak ada
mendung sehingga cahaya bulan bersinar tanpa
halangan, menerangi permukaan bumi mendatangkan
suasana yang indah gemilang menggembirakan.
Namun, penduduk kota Tung-kwang yang dihantui
rasa takut dan ngeri dengan adanya dua orang
penjahat yang hampir setiap malam berkeliaran di
kota itu, lebih merasa aman untuk mengeram diri di
dalam kamar rumah mereka.
Semenjak sore tadi, Siong Li dan Bwee Hwa sudah
bersiap-siap. Sehabis makan malam, mereka lalu
keluar dari gedung Jaksa Kwee, melakukan
perondaan keliling kota. Mereka berpakaian ringkas
dan bersikap waspada. Setelah kota menjadi sepi
karena semua penduduk memasuki rumah dan
menutup daun pintu dan jendela, keduanya lalu
melompat ke atas genteng dan melakukan penjagaan
di atas rumah-rumah penduduk.
Malam terang bulan itu dingin sekali. Kesunyian kota
menambah dingin. Setelah menanti sampai tengah
malam, belum ada tanda-tanda sepasang pgnjahat itu
menampakkan diri. Siong Li dan Bwee Hwa merasa marah dan kecewa
sekali. Mereka beristirahat dan duduk di atas
wuwungan sebuah gedung tertinggi sehingga dari situ
mereka dapat melihat ke empat penjuru. Bwee Hwa
hampir kehabisan kesabarannya.
"Penjahat-penjahat gila!" ia bersungut-sungut.
"Kenapa belum juga muncul" Tidak kusangka malam
ini kita akan makan angin di sini."
Melihat gadis itu cemberut dan marah, Siong Li
tertawa kecil sehingga Bwee Hwa memandangnya
dengan heran. "Mengapa engkau tertawa, Li-ko?"
"Aku merasa lucu melihatmu, Hwa-moi."
"Hemm, apanya yang lucu sampai engkau
menertawakan?" gadis itu menge-rutkan alisnya.
"Engkau kelihatan lucu karena sekarang engkau
marah-marah sedangkan tadi engkau begitu
bersemangat untuk menangkap penjahat. Kalau saja
engkau tidak terbujuk kata-kata manis dari Jaksa
Kwee yang cerdik itu, tentu sekarang kita sudah
semakin dekat dengan tempat tujuan kita. Memang
pembesar gendut itu lihai sekali memainkan kata-
kata." Bwee Hwa tertegun dan setelah berpikir sejenak,
baru ia menyadari bahwa tadi ia telah diakali
pembesar gendut bermuka kekanak-kanakan itu. Ia
mendongkol sekali. "Kalau begitu, marilah kita turun dan temui Jaksa
Kwee! Aku tidak sudi diper-kuda olehnya dan setelah
bicara terus terang kepadanya, kita lanjutkan
perjalanan malam ini juga. Perjalanan kita lebih
penting daripada segala usaha menanti-nanti
munculnya maling-maling kecil seperti sekarang ini.
Aku benar tolol sehingga menderita kedinginan seperti
ini!" Bwee Hwa sudah bersiap hendak melompat turun
ketika tiba-tiba Siong Li memegang lengannya dan
berbisik, "Sstt, lihat di sana itu?"!"
Bwee Hwa menengok dan ia melihat dua sosok
bayangan hitam berlari-lari di atas genteng. Gerakan
mereka cukup gesit dan tentu saja Bwee Hwa
menjadi curiga dan menduga bahwa mereka tentu
dua orang penjahat yang dimaksudkan itu. Karena
dua sosok bayangan itu berlari menuju ke arah
mereka, maka Bwee Hwa tetap mendekam dan
berkata perlahan, "Maling-maling kecil, sekarang tiba
saatnya kalian binasa!" Ia dan Siong Li bersiap siaga
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan ketika dua bayangan itu telah melompat ke atas
genteng wuwungan gedung di mana ia berada, Bwee
Hwa melompat keluar dan membentak.
"Maling-maling kecil busuk! Menyerahlah untuk
kutangkap!" Dua orang itu terkejut bukan main dan mereka berdiri
menghadapi Bwee Hwa dengan sikap menantang.
Bwee Hwa memperhatikan dan melihat bahwa dua
orang itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita
yang berusia kurang lebih tigapuluhan tahun. Pakaian
mereka serba hitam dan keduanya mempunyai
pedang yang tergantung di punggung. Ketika melihat
bahwa yang mereka hadapi hanyalah seorang dara
muda yang berpakaian serba merah, wanita itu lalu
balas membentak. "Anak kecil kurang ajar! Siapakah kamu berani
menghalangi kami?" Sambil berkata begini ia
mencabut pedangnya hendak menyerang, akan tetapi
kawannya yang laki-laki mencegah, lalu menoleh ke
arah wuwungan di mana Siong Li masih bersembunyi
dan berkata mengejek. "Sobat yang berada di belakang wuwungan, keluarlah
menemui kami, tidak perlu bersembunyi di situ!"
Siong Li kagum akan ketajaman penglihatan orang
itu. Dia meloncat keluar sambil tersenyum. Melihat
gerakan Siong Li demikian ringan dan cepat, kedua
orang berpakaian hitam itu terkejut juga. Siong Li
memang mempergunakan jurus Le-hi Ta-teng (Ikan Le
Meloncat) dan loncatannya cepat dan indah karena
dia membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali sebelum
kedua kakinya hinggap di atas genteng tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun.
Laki-laki itu agaknya maklum bahwa dia berhadapan
dengan orang pandai, maka dia bersikap ramah
ketika menegur. "Dua orang sobat yang baik,
siapakah kalian dan mengapa menghadang kami?"
Bwee Hwa yang masih marah segera menjawab
ketus. "Mau tahu, siapa kami" Aku adalah Ang-hong-
cu (Si Tawon Merah) dan kawanku ini adalah Kim-
kak-liong (Si Naga Tanduk Emas). Kalian berdua
sungguh kurang ajar dan sengaja mencemarkan
nama kami!" Laki-laki berkumis tipis itu terbelalak heran.
"Bagaimana engkau dapat berkata demikian, lihiap
(pendekar wanita)" Kita baru saja bertemu,
bagaimana kami da?pat mencemarkan nama kalian?"
Bwee Hwa menudingkan telunjuknya ke arah muka
orang itu. "Kami adalah pendekar-pendekar pembela
keadilan dan kebenaran, akan tetapi baru saja kami
memasuki kota ini orang-orang telah menyangka
bahwa kami adalah kalian berdua! Mana bisa kami
disamakan dengan segala maling kecil seperti kalian?"
Laki-laki berkumis tipis itu tersenyum mengejek.
"Sungguh engkau aneh dan tidak adil, lihiap. Kalau
kalian berdua disamakan dengan aku dan adikku ini,
siapakah yang menyamakan" Pasti sekali bukan
kami. Kami tidak pernah bermusuhan dengan kalian,
maka harap jangan mengganggu kami."
Bwee Hwa tidak dapat menjawab, sehingga Siong Li
yang maju dan berkata, "Harap ji-wi (kalian berdua)
maafkan jika kami terpaksa mengganggu pekerjaan
ji-wi. Akan tetapi, sebagai orang-orang yang
menentang kejahatan, kami tidak suka dengan
perbuatan kalian yang mengacau penduduk kota ini
dan melakukan pencurian. Pula, kami telah berjanji
kepada Jaksa Kwee untuk menangkap orang-orang
yang menjadi pengacau kota ini. Terpaksa kami harus
menangkap kalian." "Bangsat sombong!" maling wanita itu berteriak dan
cepat ia sudah menggerak?kan pedang di tangannya
dan menyerang Bwee Hwa. "Singgg?"!" Pedang itu menyambar lewat di atas
kepala Bwee Hwa karena pendekar wanita ini sudah
mengelak dari sambaran pedang ke arah lehernya
dengan merendahkan tubuhnya dan dari bawah,
pedang Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) ia
tusukan ke arah perut lawan.
Maling wanita itu terkejut bukan main, tidak
menyangka bahwa gadis yang diserangnya itu
sedemikian cepat gerakannya. Nyaris perutnya
tertusuk pedang. Ia cepat melempar tubuh ke
belakang dan berjungkir balik tiga kali. Kini dengan
hati-hati sekali ia menghadapi Bwee Hwa dan segera
terjadi pertandingan pedang antara dua orang wanita
itu. Sementara itu, maling pria yang melihat rekannya
atau lebih tepat adiknya telah bertanding melawan
Bwee Hwa, segera menyerang Siong Li dengan
pedangnya pula. Siong Li menyambut dengan
pedangnya dan terjadi perkelahian yang seru antara
kedua orang ini. Akan tetapi, baru saja lewat belasan jurus, sepasang
maling ini sudah kewalahan dan terdesak hebat.
Mereka maklum bahwa mereka tidak mampu
menandingi sepasang pendekar itu. Akan tetapi
karena tidak mampu melarikan diri, mereka lalu
melawan dengan nekat dan mati-matian. Di lain
pihak, Bwee Hwa dan Siong Li tidak terlalu menekan
kedua orang lawan itu karena sepasang pendekar ini
tidak ingin membunuh mereka, melainkan ingin
menangkap mereka hidup-hidup untuk diserahkan
kepada Jaksa Kwee dan agar semua orang
mengetahui maling-maling yang sesungguhnya.
"Hyaaaaatttt?"!" Bwee Hwa membentak nyaring dan
kaki kirinya berhasil menendang pergelangan tangan
maling wanita sehingga pedang di tangan wanita itu
terlepas dan terlempar, jatuh berkerontangan di atas
genteng. Sebelum maling itu dapat menghindarkan
diri, Bwee Hwa sudah menotok pundaknya dan
lawannya terkulai dengan tubuh lemas tak berdaya.
Pada saat yang hampir bersamaan Siong Li juga
sudah berhasil merobohkan lawannya dengan
mematahkan pedang lawan ketika pedang mereka
bertemu dan merobohkannya dengan sebuah
tendangan lalu menyusulkan totokan yang membuat
maling pria itupun tidak mampu bergerak. Kedua
orang pendekar itu lalu membawa dua orang maling
itu turun dari atas genteng dan hendak membawa
mereka ke gedung Jaksa Kwee.
"Kalian akan membawa kami ke mana?" tanya
maling wanita itu kepada Bwee Hwa yang
memanggul tubuhnya. "Ke mana lagi?" jawab Bwee Hwa dengan suara
mengejek. "Tentu saja hendak kami serahkan kepada
Jaksa Kwee agar kalian diadili dan dihukum berat."
"Bebaskan kami!" kata maling wanita itu. "Kalau tidak,
kalian tentu akan ber-hadapan dengan Kauw-jiu Pek-
wan yang pasti akan membalas dendam kepada
kalian!" "Apa?"?" Tiba-tiba Bwee Hwa dan Siong Li berhenti.
Mereka sudah tiba di depan gedung Jaksa Kwee.
Bwee Hwa menurunkan maling wanita itu dari
pundaknya dan bertanya, "Kau tadi menyebut
nama?" Kauw-jiu Pek-wan.......?"
Maling wanita itu merasa girang karena mengira
bahwa nama besar itu membuat Bwee Hwa takut.
"Benar, Kauw-jiu Pek-wan adalah guru kami!"
Bukan main kagetnya hati Bwee Hwa mendengar
bahwa kedua orang maling itu adalah murid ayahnya!
Siong Li juga terkejut dan dia juga menurunkan
maling pria itu dari atas pundaknya.
"Li-ko, ternyata mereka ini?" muridnya?"!" kata
Bwee Hwa kepada Siong Li.
"Apakah ji-wi mengenal guru kami?" tanya maling
pria yang masih rebah di atas tanah di samping
rekannya, tidak mampu bergerak karena keduanya
masih dalam keadaan tertotok.
"Mengenalnya" Hemmmm?"" Bwee Hwa meragu.
"Kalau kalian murid Kauw-jiu Pek-wan, mengapa
kalian menjadi maling?"
Mendengar pertanyaan ini, kedua orang itu tertawa
dan Bwee Hwa baru teringat bahwa Kauw-jiu Pek-
wan, ayahnya itu adalah seorang kepala perampok
besar! Tidak aneh kalau murid-muridnya menjadi
maling! Maka pertanyaannya itu tadi tentu saja
terdengar bodoh sekali sehingga kedua orang maling
itu tertawa. "Di mana adanya Kauw-jiu Pek-wan?" tanyanya
kepada kedua orang maling itu. Dua orang itu masih
menganggap bahwa Bwee Hwa jerih kepada suhu
mereka, maka maling wanita itu menjawab dengan
terus terang, mengharapkan bahwa akhirnya Bwee
Hwa akan membebaskan mereka.
"Guru kami masih tetap tinggal di Twi-bok-san yang
tidak jauh dari sini dan kini sedang menghadapi
perayaan besar. Kami berdua di sini sedang
mengumpulkan biaya atas perintahnya untuk
keperluan perayaan itu. Kalau kalian membebaskan
kami, beliau tentu akan memaafkan kalian dan akan
memberi hadiah besar. Karena itu, bebaskanlah kami
sekarang juga dan kami akan melaporkan kebaikan
kalian kepada suhu."
Bwee Hwa memandang kepada Siong Li dan
bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Li-ko" Apa yang
akan kita lakukan terhadap dua orang ini?" Gadis itu
bagaimanapun juga merasa ragu dan serba salah.
Dua orang itu adalah maling yang harus dihukum,
akan tetapi mereka juga murid-murid ayahnya!
Siong Li merasa sungkan juga kepada Bwee Hwa.
Akan tetapi dia harus jujur dan setelah menghela
napas panjang dia menjawab. "Dulu guruku pernah
berkata bahwa seorang gagah harus teguh dalam
pendiriannya, yaitu menentang kejahatan tanpa
memperdulikan siapapun yang melakukan kejahatan
itu." Bwee Hwa mengangguk-angguk. "Tepat sekali, aku
juga berpikir begitu, Li-ko. Terima kasih, pendapatmu
menghapus keraguanku. Mari kita serahkan dua orang
Panik Di Sirkus Sarani 3 Sherlock Holmes - Petualangan Tiga Garrideb Dadu Setan 3
tanah tadi, Bwee Hwa terkejut sekali. Kalau tadi,
diserang dari depan ia masih dapat mengandalkan
kegesitannya untuk mengelak dengan berloncatan ke
kanan kiri atau belakang, sekarang serangan itu
datangnya dari atas depan, belakang, dan kanan kiri.
Terpaksa ia kadang-kadang harus menggulingkan
tubuhnya ke atas tanah. "Brett......!" Bajunya terkena cakaran dan robek di
bagian pundaknya. Biarpun kulit pundaknya tidak
terluka, namun hal ini membuat Bwee Hwa menjadi
marah sekali. Ia lalu mengambil senjata rahasianya,
yaitu hong-cu-ciam, jarum-jarum lembut dan cepat ia
menyerang dua ekor burung itu dengan jarum-
jarumnya. "Wuuuttt.......sut-sut-sut!" Jarum-jarum itu lenyap di
balik bulu-bulu tebal burung-burung itu. Bulu itu terlalu
tebal dan lemas licin sehingga jarum-jarumnya tidak
mampu menembus, tidak sampai mengenai kulit.
Bwee Hwa menjadi bingung. Untuk membidik ke arah
muka, gerakan mereka terlalu cepat ketika
menyambar turun. Bwee Hwa terdesak hebat dan ia menjadi bingung
dan lelah sekali. Kalau terus-menerus ia harus
menghindarkan serangan mereka yang berbahaya itu,
akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan tidak
akan mampu membalas serangan sama sekali.
Karena tidak melihat jalan lain, Bwee Hwa lalu
mengambil keputusan untuk nekat dan mengadu
nyawa mati-matian. Tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya
telentang dengan tangan kanan siap memegang
pedang dan tangan kiri menggenggam jarum-
jarumnya. Seluruh urat syarafnya menegang dan siap
siaga. Sepasang rajawali itu melihat bahwa calon mangsa
mereka telah roboh seolah tidak berdaya. Mereka
segera memekik penuh kemenangan, beberapa kali
terbang mengitari tubuh Bwee Hwa lalu mereka
menukik ke bawah sambil memekik nyaring, seolah
sedang berlumba untuk menerkam ke arah leher dan
dada gadis itu, untuk berpesta pora menikmati daging
dan darah korban itu! Akan tetapi pada detik terakhir, ketika paruh kedua
ekor burung itu sudah dekat dengan tubuh Bwee
Hwa, tiba-tiba terdengar pekik melengking
mengerikan. Seekor rajawali, yang terbang lebih
cepat dan lebih dekat dengan tubuh Bwee Hwa, tahu-
tahu terpenggal kepalanya, disambar pedang Sin-
hong-kiam. Gerakan tangan kanan Bwee Hwa
demikian cepat dan sama sekali tidak terduga oleh
burung yang sudah kegirangan dan bemafsu itu
sehingga tahu-tahu kepalanya telah terpisah dari
tubuhnya! Sedangkan burung kedua, tiba-tiba merasa
nyeri pada kedua matanya yang disambar banyak
jarum kecil lembut sehingga kedua matanya menjadi
buta seketika! Semua telah terjadi dengan cepat dan dengan
gerakan kilat Bwee Hwa sudah menggerakkan
tubuhnya bergulingan menyingkir dari tempat ia
telentang tadi sampai beberapa meter jauhnya.
Untung ia dapat bergerak cepat lalu melompat
bangun berdiri. Dengan mata terbelalak ia melihat
betapa rajawali yang sudah terpenggal kepalanya itu
masih mencengkeram ke bawah sehingga tanah dan
batu berhamburan. Kalau ia tidak cepat menyingkir,
tentu tubuhnya yang akan tercabik oleh sepasang
cakar burung yang sudah tak berkepala lagi itu.
Kemudian burung kedua, yang sudah buta matanya,
menerkam ke bawah, mengenai tubuh burung
pertama. Cakar dan paruhnya mematuk dan
mencabik sehingga tubuh kawannya itu terkoyak-
koyak, darah muncrat ke mana-mana! Bulu burung
berhamburan bersama daging dan darah. Rajawali
buta itu agaknya menyadari bahwa yang dicabik-
cabiknya itu bukan tubuh manusia melainkan tubuh
kawannya sendiri. Dia memekik-mekik mengerikan
dan menyabet-nyabetkan sayapnya ke kanan kiri
membabi buta dan suaranya berubah seperti raungan
penuh sakit dan kesedihan.
Melihat keadaan burung itu, Bwee Hwa yang sejak
tadi menonton dengan hati merasa ngeri, menjadi
tidak tega juga. Kini dia teringat akan ucapan gurunya
bahwa apa yang dinamakan binatang buas itu
sebenarnya sama sekali tidak dapat dikatakan jahat.
Perjalanan Mencari Ayah Seperti burung rajawali ini. Kalau dia suka membunuh
mahluk lain termasuk manusia, hal itu dilakukan
bukan karena dia berhati jahat, melainkan dia
menyerang dan membunuh untuk mempertahankan
hidup, untuk mengisi perutnya yang lapar. Membunuh
karena harus membunuh untuk dapat makan!
Rajawali ini tidak suka makan daun atau buah,
makanannya memang daging dan darah, karena itu
dia harus membunuh mahluk lain termasuk manusia
agar tidak mati kelaparan. Dia tidak jahat!
Ia memandang dan merasa kasihan. Didekatinya
burung buta itu dari belakang dan sekali pedangnya
menyambar, leher burung itupun putus dan tubuh
burung itu roboh dan mati.
Setelah semua itu berakhir, barulah Bwee Hwa
menjatuhkan diri di bawah pohon dan bersandar pada
batang pohon sambil mengatur pernapasannya yang
masih terengah-engah karena kelelahan dan
ketegangan. Ia memandang ke arah bangkai dua
ekor burung itu dan diam-diam ia memuji keindahan
dan kehebatan dua ekor burung rajawali itu. Selama
hidupnya baru satu kali ini ia melihat bu?rung yang
demikian indah dan demikian kuat. Kalau saja tadi ia
tidak memper?gunakan akal yang nekat dan
berbahaya, agaknya sekarang mungkin saja tubuhnya
sudah dicabik-cabik dan sepotong demi sepotong
masuk ke dalam perut dua ekor burung itu. Ia
bergidik ngeri membayangkan hal itu.
Setelah mengaso sejenak dan merasa tangannya
telah pulih kembali, Bwee Hwa lalu mengambil
buntalan pakaiannya yang tadi ia lepas dan
lemparkan ke bawah pohon sebelum ia memanjat
pohon itu. Ia menggendong lagi buntalan pakai?annya
dan melanjutkan perjalanannya. Ia ingin keluar dari
hutan lebat itu sebelum hari menjadi gelap. Karena
tidak mengenal daerah itu, ia berjalan ke depan
dengan ngawur saja. Akan tetapi tidak lama kemudian, hampir ia berseru
gembira ketika ia melihat sebuah tempat terbuka di
dalam hutan itu. Hutan di bagian itu sudah dibuka dan
menjadi semacam ladang yang ditumbuhi tanaman
sayur-sayuran, bahkan ada banyak pohon buah yang
sudah digantungi buah-buahan yang masak. Ladang
ini menunjukkan bahwa di situ terdapat orang-orang
dan tidak jauh dari perkampungan! Karena perutnya
lapar, maka ia tidak perduli akan kenyataan bahwa
pohon-pohon buah itu tentu ada pemiliknya. Ia
memetik beberapa butir buah pir dan memakannya
dengan enak! Akan tetapi, tiba-tiba terdengar langkah dan gerakan
orang di sekelilingnya dan tak lama kemudian
bermunculan belasan orang laki-laki yang berpakaian
kasar dan berwajah bengis. Juga mereka itu tampak
bertubuh kuat dan di antara mereka terdapat seorang
yang melihat pakaiannya tentu memiliki kedudukan
yang lebih tinggi di antara mereka. Seorang laki-laki
berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya
pendek tegap dan dia membawa senjata sebuah
tombak bergagang panjang yang lebih tinggi daripada
tubuhnya yang katai. Kini belasan orang itu mengepung Bwee Hwa yang
sudah tidak makan lagi. Dengan tenang gadis yang
tabah itu menyapu mereka dengan pandang matanya
dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa
belasan orang laki-laki itu memandangnya dengan
mulut menyeringai dan mata seolah hendak
menelannya bulat-bulat! Orang pendek gempal yang agaknya menjadi
pemimpin gerombolan itu juga memandang
kepadanya dengan penuh perhatian dan keheranan.
Siapa takkan heran melihat seorang gadis muda belia
seorang diri berada di dalam daerah hutan yang lebat
dan liar itu" Akan tetapi ketika kepala gerombolan itu
melihat sebatang pedang tergantung di punggung
Bwee Hwa, dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu
seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia
persilatan) yang memiliki ilmu kepandaian silat
sehingga berani merantau seorang diri karena merasa
mampu menjaga dan membela diri.
Dia dapat menduga ini, akan tetapi tetap saja dia
merasa heran dan kagum karena keberanian gadis itu
sungguh berlebihan. Dia lalu menegur dengan suara
yang tinggi mirip suara wanita.
"Nona, engkau berjalan seorang diri di daerah kami,
hendak pergi ke manakah?"
Bwee Hwa sudah merasa sebal melihat sikap para
anak buah gerombolan itu, akan tetapi ia memaksa
diri bersabar ketika menjawab. "Aku hendak pergi ke
mana saja kakiku membawaku. Ada urus?an apakah
kalian menghadangku dan bertanya-tanya?"
Para anak buah gerombolan itu tersenyum dan ada
yang tertawa mendengar jawaban Bwee Hwa yang
mereka anggap lucu. Pemimpin gerombolan itupun
tersenyum dan berkata lagi.
"Memang engkau yang memiliki kaki yang indah
mungil itu, tentu saja engkau pula yang menentukan
ke mana hendak melangkah dan pergi. Akan tetapi
ketahuilah, nona, bahwa di sini bukan tempat untuk
berjalan-jalan dan bertamasya. Hutan-hutan di sini
amat liar dan terdapat banyak sekali binatang buas, di
antaranya terdapat burung-burung rajawali raksasa
yang ganas dan suka makan orang!"
Bwee Hwa tersenyum mengejek, akan tetapi dalam
pandangan para anggauta gerombolan itu, senyum ini
tampak manis bukan main. "Engkau maksudkan kim-gan-tiauw (rajawali bermata
emas)" Hemm, baru saja aku membunuh dua ekor!"
Meledaklah tawa semua anggauta gerombolan itu
mendengar ucapan gadis itu. Siapa dapat percaya
akan kata-kata itu" Membunuh dua ekor kim-gan-
tiauw" Sedangkan beberapa hari yang lalu mereka
mengeroyok seekor kim-gan-tiauw saja tidak berhasil
melukai, apalagi membunuhnya, bahkan tiga orang di
antara mereka tewas! Dan gadis kecil ini seorang diri
membunuh dua ekor" Merasa ia ditertawakan, Bwee Hwa membentak
marah, "Kalian menertawakan siapa?"
Seorang anak buah gerombolan yang bertubuh tinggi
besar dan tangannya me?megang sebatang golok,
berkata dan tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh-heh-heh, mungkin yang kaubunuh itu dua ekor
burung gereja! Wah, kalau gadis ini menjadi biniku,
aaahh betapa senangnya hatiku dan akan amanlah
hidupku. Ha-ha-ha?""
Belum juga ia menutupkan kembali mulutnya, tiba-
tiba dia memekik ngeri dan dia roboh dengan mata
mendelik karena bagaikan kilat menyambar sebatang
hong-cu-ciam (jarum tawon) telah memasuki
mulutnya yang ternganga dan me?nancap di langit-
langit mulutnya! Ini terjadi karena ketika dia tertawa
tadi, mulutnya terbuka lebar dan dia tertawa sambil
mengangkat muka ke atas sehingga langit-langit
mulutnya menghadap ke depan!
Terkejutlah semua anggauta gerombolan itu, akan
tetapi pemimpin mereka marah sekali. Tadi dia
melihat gerakan tangan Bwee Hwa dan dia dapat
mendu?ga bahwa anak buahriya itu tentu menjadi
korban senjata rahasia yang lembut dan berbahaya.
"Keparat! Berani engkau membunuh anak buah
kami?" bentaknya dan dia sudah menerjang dan
menusukkan tombaknya dan para anak buahnya juga
sudah maju mengeroyok. Agaknya anak buah gerombolan yang belasan orang
banyaknya ini berlumba untuk dapat menangkap
gadis itu karena mereka maju dengan tangan kosong
dan tangan-tangan itu meraih dan mencengkeram.
Ingin mereka mendekap dan merangkul gadis yang
cantik jelita itu. Melihat dirinya diserbu, Bwee Hwa tersenyum geli.
Orang-orang kasar ini tidak ada artinya baginya. Jauh
lebih berbahaya serangan burung rajawali tadi. Ia lalu
menyambut mereka dengan gerakan tangan kiri dan
sinar-sinar kecil jarum-jarumnya menyambar-
nyambar, disusul jeritan beberapa orang yang roboh
terpelanting. Pimpinan gerombolan itu menjadi marah. Dia
berteriak dan tombaknya me-luncur, menusuk ke arah
lambung Bwee Hwa. Namun, dengan mudah saja
Bwee Hwa mengelak dan dari samping kaki kirinya
mencuat dan menendang ke arah tombak.
Si pendek kekar itu berseru kaget karena hampir saja
tombaknya terlepas dari tangannya ketika tertendang
kaki mungil Bwee Hwa. Para anak buah yang melihat
robohnya beberapa orang kawan juga menjadi marah
dan mereka kini menyerbu dengan senjata mereka
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan niat untuk membunuh gadis itu.
Bwee Hwa tidak gentar sedikitpun juga. Ia kini telah
mendapat kenyataan bahwa orang-orang itu hanya
tampaknya saja kekar dan bengis, akan tetapi
sebenarnya hanya merupakan kekuatan tenaga
kasar, hanya mengandalkan tenaga luar belaka. Maka
iapun lalu mengerahkan gin-kangnya (ilmu
meringankan tubuhnya), tubuhnya bergerak cepat
sehingga ia seolah berubah menjadi bayangan merah
yang menyambar-nyambar dan terdengarlah seruan
mengaduh berturut-turut disusul tubuh yang
berpelantingan terkena sambaran kaki tangannya
yang bergerak amat cepatnya.
Melihat kelihaian gadis berpakaian merah ini, para
anggauta gerombolan dan pemimpin mereka yang
pendek itu terkejut setengah mati. Kalau tidak
menga-lami sendiri, sukarlah bagi pemimpin
gerombolan itu untuk percaya bahwa se-orang gadis
jelita yang masih amat muda itu dapat menghadapi
pengeroyokan mereka yang bersenjata hanya dengan
tangan kosong saja, bahkan sebentar saja sudah
merobohkan lima orang! Dengan jerih pemimpin
gerombolan itu memberi isyarat dan mereka yang
masih mampu lalu berloncatan melarikan diri
meninggalkan teman-teman yang terluka, mengaduh-
aduh dan tidak mampu melarikan diri.
Bwee Hwa bertolak pinggang mengikuti mereka
dengan pandang matanya mengejek. "He-he-heh!
Monyet-monyet busuk! Aku Ang-hong-cu masih
berlaku murah hati kepada kalian. Kalau tidak tentu
kalian sekarang bukan hanya menderita luka,
melainkan sudah tak bernyawa lagi!"
Setelah berkata demikian dan memandang kepada
para anak buah gerombolan yang terluka, ia lalu pergi
meninggalkan mereka, melangkah dengan tenang. Ia
teringat bahwa gerombolan yang melarikan diri tadi
menuju ke arah kiri, maka ke sana pula ia menuju,
dengan harapan akan bertemu dengan sebuah
perkampungan. Ia masih sempat memetik beberapa
butir buah pir yang masak, lalu melanjutkan
perjalanan sambil makan buah itu untuk
menghilangkan rasa lapar dan haus.
"Y" Baru saja ia tiba di ujung hutan terbuka yang sudah
menjadi ladang itu, tiba-tiba terdengar suara orang di
sebelah kiri. "Ah, nona sungguh merupakan seorang pendekar
wanita yang amat mengagum?kan. Masih semuda ini
sudah memiliki kepandaian tinggi dan berani
melakukan perantauan di dunia kang-ouw seorang
diri saja. Bukan main!"
Bwee Hwa sudah menahan langkahnya dan ia
memutar tubuh ke kiri. Ia kini berhadapan dengan
seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun yang
bertubuh tinggi kurus. Gerak-gerik dan kata-kata
orang itu tidak sekasar gerombolan tadi, juga
pakaiannya lebih bersih dan rapi. Tampaknya bukan
seperti seorang jahat dan ia sudah menjadi gembira
karena mengira bahwa orang itu tentulah seorang
penduduk sebuah pedusunan yang berada dekat situ.
"Siapakah engkau dan ada keperluan apakah
sehingga engkau berani mengha?dang perjalananku?"
tanya Bwee Hwa yang bagaimanapun juga masih
merasa curiga karena orang itu muncul di daerah
yang dikuasai gerombolan penjahat tadi.
Akan tetapi laki-laki itu tidak menjawab dan hanya
mengamati wajah Bwee Hwa dengan bengong
seperti orang yang terheran-heran melihat sesuatu
yang aneh! Melihat ini, Bwee Hwa mengerutkan
alisnya dan mulai marah. "Hei! Kau melihat apa?" bentaknya dan sinar matanya
mulai mencorong. Laki-laki itu terkejut dan seperti baru sadar dari
mimpi, dia cepat memberi hormat dengan menjura
dan berkata dengan hormat. "Ah, sungguh sukar
sekali untuk dapat dipercaya. Bagaimana mungkin
seorang pembantuku dan belasan orang anak
buahnya dikalahkan oleh seorang dara muda remaja!
Li-enghiong (nona pendekar), sungguh aku merasa
kagum sekali akan kegagahanmu. Keta?huilah, aku
adalah Gak Sun Thai yang memimpin kawan-kawan
di pegunungan ini dan terus terang saja, baru sekali
ini aku merasa benar-benar heran dan ka?gum.
Engkau patut dipuji, Li-enghiong. Jika engkau suka
dan berani, aku mem?persilakan engkau untuk
singgah di perkampungan kami."
Dengan tenang disertai senyuman mengejek Bwee
Hwa menjawab. "Hemm, kiranya engkau yang
menjadi kepala perampok yang tadi berani
menggangguku" Perlu apa aku harus singgah di
sarang perampok?" Berkerutlah sepasang alis kepala perampok itu.
Alangkah angkuhnya gadis ini, pikirnya. Sama sekali
tidak memandang sebelah mata kepadanya. Akan
tetapi dia masih dapat menahan perasaan tidak
senang ini dan berkata. "Li-enghiong, kalau engkau tidak suka dan tidak
berani berkunjung ke per-kampungan kami
memenuhi undanganku, tentu saja aku tidak dapat
memaksa. Akan tetapi ini berarti bahwa engkau tidak
dapat menghargai penghormatan seorang dari
kalangan liok-lim (hutan rimba) dan berarti bahwa
engkau melang?gar kesopanan yang berlaku di dunia
kang-ouw." Bwee Hwa sudah hendak marah, akan tetapi tiba-tiba
ia teringat bahwa ayah kandungnya sendiri juga
seorang penjahat dan bahkan datuk perampok!
Hemmm, siapa tahu orang-orang ini akan dapat
memberi keterangan kepadanya tentang di mana kini
ayahnya berada. "Orang she Gak, aku tidak mengerti maksudmu
dengan segala kesopanan dunia persilatan dan dunia
perampok. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku
takut untuk datang ke sarangmu!"
Wajah kepala perampok itu berubah girang. "Kalau
begitu engkau mau singgah di perkampungan kami?"
Bwee Hwa mengangguk. "Akan tetapi jangan sekali-
kali engkau dan anak buah?mu bersikap kurang ajar
kepadaku, karena pedangku pasti tidak akan
mengam?puni kalian."
Alangkah jumawanya, pikir Gak Sun Thai. Akan tetapi
karena dia tahu bahwa gadis ini masih muda dan
tentu kurang pengalaman, maka dia hanya tersenyum
saja. "Kalau begitu, marilah kita berangkat, li-enghiong.
Perkampungan kami tidak begitu jauh dari sini."
Dengan tabah Bwee Hwa mengikuti kepala perampok
itu memasuki hutan yang menyambung ladang itu.
Kurang lebih dua kilometer dari situ, mereka tiba di
sebuah perkampungan di tengah hutan. Kedatangan
Gak Sun Thai bersama Bwee Hwa disambut dengan
keheranan oleh para anak buah, akan tetapi Gak Sun
Thai memerintahkan mereka untuk mempersiapkan
sebuah perjamuan meriah untuk menghormati
kunjungan seorang pendekar wanita gagah yang
dihormatinya. Perkampungan itu merupakan sarang para perampok.
Di tengah perkampungan berdiri sebuah rumah kayu
yang besar dan cukup mewah seperti rumah seorang
kaya saja. Di sekeliling rumah itu terdapat rumah-
rumah yang lebih kecil yang menjadi tempat tinggal
para anggauta perampok. Keadaan mereka agaknya
cu?kup dan ternyata para anggauta perampok itu
sebagian besar sudah berkeluarga. Terdapat banyak
anak-anak dan wanita di perkampungan itu, seperti
pedusunan biasa. Bwee Hwa merasa terheran-heran. Mereka itu
agaknya orang-orang biasa yang juga berkeluarga.
Mengapa orang-orang itu sampai begini tersesat dan
menjadi perampok" Gak Sun Thai mempersilakan Bwee Hwa duduk di
kursi depan yang luas dan tak lama kemudian Bwee
Hwa dijamu makan minum dengan ramah dan
hormat oleh Gak Sun Thai. Dalam kesempatan
menikmati hidangan yang masih panas itu dan Bwee
Hwa makan minum dengan lahapnya karena berhari-
hari ia tidak makan nasi dan masakan, gadis itu tidak
tahan untuk tidak mengeluarkan pertanyaan yang
sejak tadi menggelitik keinginan tahunya.
"Paman Gak Sun Thai......."
Kepala perampok itu tersenyum memandang kepada
Bwee Hwa. Hatinya geli akan tetapi senang
mendengar gadis itu menyebutnya "paman".
Biasanya, orang menyebutnya "tai-ong", yaitu sebutan
ke?pala gerombolan yang berarti "raja be?sar".
"Engkau hendak bertanya apakah, nona?" Diapun
menyebut nona, bukan pen-dekar wanita agar
terdengar lebih akrab. "Bukan maksudku untuk mencampuri urusan rumah
tangga anak buahmu, akan tetapi setelah aku
memasuki perkampunganmu, aku melihat bahwa
anak buahmu juga merupakan orang-orang biasa saja
yang mempunyai keluarga baik-baik. Mengapa
engkau mengajak mereka untuk melakukan
kejahatan dan menjadi perampok" Bukankah lebih
baik kalau kalian melakukan pekerjaan yang halal
dan tidak melakukan pelanggaran dan tidak
mengganggu orang lain?"
Mendengar ucapan gadis yang merupakan nasihat
yang seolah keluar dari mulut seorang pendeta tua
itu, Gak Sun Thai tersenyum geli, lalu dia menghela
napas panjang. "Memang, dipikir sepintas lalu saja memang
demikianlah keadaannya dan kata-katamu tadi benar
sekali, nona. Akan tetapi dari ucapanmu tadipun
mudah di?ketahui bahwa engkau masih belum
banyak mengetahui tentang keadaan orang-orang
golongan kami. Nona tadi mengatakan bahwa lebih
baik mencari pekerja?an yang halal dan tidak
melanggar peraturan pemerintah, begitukah" Coba
tolong beritahu, pekerjaan apakah yang dapat
dikerjakan para anak buahku yang terdiri dari orang-
orang kasar dan bodoh itu?"
"Bukankah banyak sekali lapangan pekerjaan"
Misalnya jadi pelayan, menjadi petani dan lain-lain,"
kata Bwee Hwa, tentu saja secara ngawur karena ia
sendiri juga tidak banyak mengetahui tentang
lapangan pekerjaan! Kembali Gak Sun Thai tersenyum, "Ketahuilah, nona.
Anak buahku yang puluhan orang banyaknya dan kini
menjadi penghuni perkampungan ini bukan dilahirkan
sebagai perampok. Mereka itu tadinya juga petani-
petani, nelayan-nelayan dan pekerja-pekerja kasar.
Akan tetapi, apakah yang dihasilkan oleh pekerjaan
mereka itu" Hanya kelaparan bagi keluarganya.
Bahkan untuk mengenyangkan perut sendiri sehari-
hari saja kadang-kadang gagal. Apalagi untuk
membeli pa?kaian yang pantas dan lebih-lebih lagi
untuk menghasilkan rumah yang mema?dai.
Pekerjaan apakah bagi orang kasar dan bodoh pada
dewasa ini yang dapat cukup menghasilkan pangan-
sandang-papan yang cukup beradab" Banyak
anggauta keluarga mereka yang mati kelaparan
karena kurang makan atau mati karena penyakit
karena tiada biaya untuk pengobatan. Bertani tanpa
memiliki tanah berarti hanya menjadi buruh tani yang
diperas tenaganya habis-habisan oleh para majikan
pemilik tanah seperti kerbau saja. Sedangkan
pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya amatlah sulitnya,
harus bersaing hebat karena banyaknya penganggur
sehingga digaji sedikitpun terpaksa diterima dan
akibatnya, penghasilan kecil sekali dan tidak
mencukupi kebutuhan hidup ke?luarga. Ah, nona,
sungguh engkau tidak banyak mengetahui tentang
keadaan rakyat kecil yang miskin pada dewasa ini."
Mendengar ucapan panjang lebar itu, Bwee Hwa
tertegun. Seakan baru terbuka matanya dan ia
merasa heran sekali. Timbul pertanyaan dalam
hatinya mengapa begitu banyak kesengsaraan di
antara manusia, dan mengapa hanya untuk sekedar
makan kenyang saja demikian sulitnya bagi banyak
manusia" Akan tetapi banyak pula manusia yang
hidupnya demikian kaya raya, bahkan berlebihan!
Salah siapakah ini" Di satu pihak, beberapa orang memiliki tanah beratus
hektar luasnya, di lain pihak banyak orang yang tidak
memiliki tanah secuilpun. Di satu pihak, beberapa
orang memiliki rumah gedung ratusan buah
banyaknya. Di lain pihak, banyak orang harus cukup
puas tinggal di gubuk yang reyot dan bocor, bahkan
banyak pula yang tidak memiliki tempat tinggal. Di
satu pihak, beberapa orang menyimpan bahan
makanan sampai membusuk dalam gudang karena
terlalu banyak dan terlalu lama disimpan, di lain pihak
banyak orang kelaparan. Di satu pihak, beberapa
orang yang tidak pernah mengeluarkan keringat hidup
kaya raya, hartanya berlebihan. Di lain pihak, banyak
orang yang memeras keringat membanting tulang
setiap hari, hidup miskin dan papa, pakaian tak utuh
makan tak kenyang.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di mana letak semua kesalahan ini" Tidak dapatkah
yang berlebihan itu membuka jalan bagi yang
kekurangan sehingga penghasilan mereka meningkat
dan cukup untuk biaya hidup sehari-hari" Siapa yang
berkewajiban mengatur semua ini"
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Ujian Para Perampok "Paman Gak, apakah keadaan semacam ini tidak
dapat diubah?" Gak Sun Thai tersenyum. "Hemm, siapakah yang
harus mengubah, nona?"
"Tentu saja pemerintah! Pemerintah yang harus
mengubahnya, mengatur agar terdapat lapangan
kerja yang cukup dan agar penghasilan rakyat
meningkat sehingga setiap orang pekerja
berpenghasilan cukup untuk biaya hidup keluarganya."
Gak Sun Thai tertawa. "Ha-ha-ha, pendapatmu itu
benar akan tetapi lucu, nona."
"Lucu" Kenapa" Bukankah sudah semestinya kalau
pemerintah mengatur agar rakyat hidup sejahtera?"
"Hemm, engkau belum banyak berkelana dan tidak
mengetahui keadaan yang sebenarnya. Lihat saja
kehidupan para pembesar tinggi, terutama di kota
raja. Mereka hidup berdampingan dan bergandeng
tangan dengan para hartawan, saling bantu, bahu
membahu membagi rejeki yang berlebihan.
Memikirkan keadaan rakyat kecil yang miskin" Mana
mungkin" Mereka hanya memikirkan bagaimana
untuk menggendutkan perut sendiri! Bagaimana kita
dapat mengharapkan pemerintah penjajah untuk
melindungi rakyat bangsa Han" Penjajah Mongol itu
hanya memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri,
bahkan memeras rakyat dengan berbagai peraturan
yang menekan dan berbagai pajak yang
memberatkan. Ahh, jangan mengharapkan kebaikan
dari pemerintah penjajah Mongol, nona. Ah, kita
sudah bicara banyak akan tetapi nona belum
memperkenalkan nama. Bolehkah kami mengetahui
nama nona?" "Namaku Bwee Hwa."
"Dan she (marga) nona yang mulia?"
Bwee Hwa tidak mau bercerita banyak tentang
dirinya. "Jangan tanyakan itu. Sebut saja aku Ang-
hong-cu." "Si Tawon Merah" Ah, julukan yang tepat sekali. Nona
masih muda dan cantik namun dapat bergerak lincah
seperti seekor lebah, dan dengan pakaian yang serba
merah maka cocok sekali kalau nona berjuluk Ang-
hong-cu. Ang-hong-cu, karena engkau kami anggap
sebagai seorang tamu agung, sekarang kami mohon
sudilah kiranya engkau memberi kehormatan
kepadaku yang bodoh untuk menyaksikan kehebatan
merasakan kelihaian kepandaianmu."
Bwee Hwa mengerti apa yang dimaksudkan kepala
gerombolan itu dan ia mengangguk. Mereka sudah
selesai makan dan Bwee Hwa merasa puas akan
perjamuan yang membuatnya merasa kenyang dan
tubuhnya terasa segar itu. "Engkau hendak menguji
kepandaian, paman" Boleh, boleh! Silakan memberi
pelajaran kepada aku yang muda."
"Bagus ! Marilah kita keluar, nona. Pekarangan rumah
ini cukup luas sehingga kita dapat bermain-main
dengan leluasa!" Bwee Hwa menurut dan mengikuti tuan rumah keluar
dari ruangan itu. Memang benar, pekarangan rumah
itu cukup luas. Ketika para anak buah gerombolan
mendengar bahwa tamu mereka, gadis perkasa
berjuluk Ang-hong-cu itu hendak pi-bu (mengadu ilmu
silat) dengan para pemimpin mereka, berbondong-
bondong mereka datang dan berdiri melingkari
pekarangan itu. Bahkan para wanita dan anak-anak
tidak mau ketinggalan. Semua keluarga anak buah
gerombolan berkumpul semua di pekarangan itu.
Gak Sun Thai mempunyai tiga orang pembantu yang
terkenal memiliki ilmu silat yang tangguh. Tingkat
kepandaian mereka hanya sedikit berada di bawah
tingkat ilmu silat Gak Sun Thai. Setelah semua anak
buah dan keluarganya berjongkok dan berdiri dengan
tertib, Gak Sun Thai lalu berkata kepada tiga orang
pembantunya yang berdiri di dalam lingkaran itu
sambil berpangku tangan. "Saudara-saudara, kalian sudah mendengar bahwa
nona gagah perkasa yang berjuluk Ang-hong-cu ini
memiliki ilmu silat yang tinggi. Kini ia berkenan untuk
memberi pelajaran kepada kita, maka siapakah di
antara kalian bertiga yang menjadi orang pertama
suka menerima pelajarannya?"
Seorang di antara tiga pembantu itu, yang bertubuh
tinggi besar dan tampak kuat sekali melangkah maju.
"Gak-twako (Kakak Gak), biarlah aku mencoba-coba
tenagaku melawan Ang-hong-cu!"
Gak Sun Thai mengangguk. Orang tinggi besar ini berusia kurang lebih
empatpuluh lima tahun, bernama Lui Thong. Dia
memang terkenal memiliki tenaga luar yang hebat
melebihi tenaga seekor kerbau jantan. Kepandaian
silatnyapun cukup tinggi dan senjatanya yang ditakuti
lawan adalah sebuah twa-to (golok besar).
Bwee Hwa menghadapi Lui Thong yang mukanya
tampak bengis dengan kulit kasar hitam itu dengan
tenang. Melihat ketenangan gadis itu, diam-diam Lui
Thong merasa heran. Sukar dipercaya bahwa gadis
yang begitu muda dan cantik jelita, berkulit halus
mulus itu memiliki ilmu silat yang tangguh.
"Ang-hong-cu, aku bernama Lui Thong dan orang-
orang menyebutku Twa-to Hek-gu (Kerbau Belang
Bergolok Besar), seorang di antara para pembantu
Gak-twako." "Hemm, Paman Lui Thong, engkau ingin bertanding
dengan tangan kosong ataukah dengan senjata?"
tanya Bwee Hwa dengan sikap acuh tak acuh.
Lui Thong mengerutkan alisnya yang tebal. Dia sudah
mendengar bahwa gadis ini selain lihai ilmu silatnya,
juga wataknya angkuh. Pertanyaannya tadi saja
mengandung sikap meremehkannya.
"Nona, engkau adalah seorang gadis muda berkulit
halus, tidak seperti aku yang kasar, maka tidak baik
kalau kita bermain-main dengan senjata yang tak
bermata dan dapat melukai kulitmu yang halus.
Biarlah kita menggunakan tangan kosong saja
sehingga pukulanku dapat ditarik kembali sebelum
melukaimu." Bwee Hwa maklum bahwa biarpun kelihatan kasar
dan bodoh, namun sebenarnya orang tinggi besar
bermuka hitam ini cukup cerdik. Memang, dalam
pertandingan tangan kosong, tenaga besar amatlah
berguna, tidak demikian kalau pertandingan dilakukan
dengan senjata tajam yang tidak begitu
mengandalkan tenaga besar karena dengan tenaga
kecilpun tetap saja senjata tajam akan dapat melukai
lawan. Agaknya alasan inilah yang membuat Lui
Thong yang bertenaga besar itu memilih pertandingan
tangan kosong di mana dia dapat memanfaatkan
tenaga besarnya untuk mencapai kemenangan! Akan
tetapi Bwee Hwa tetap tenang saja dan sama sekali
tidak merasa gentar. "Kalau begitu, engkau menunggu apalagi" Silakan
maju dan mulailah dengan seranganmu!" gadis itu
menantang dan sama sekali tidak memasang kuda-
kuda, melainkan berdiri santai saja walaupun tanpa
ada yang mengetahui, seluruh urat syarafnya sudah
siap siaga dengan waspada.
Berbeda dengan sikap Bwee Hwa yang santai, Lui
Thong mulai bergaya. Dia menggulung tinggi kedua
lengan bajunya sehingga tampak kedua lengannya
yang dipenuhi otot yang melingkar-lingkar. Dia
menggerak-gerakkan kedua tangannya sehingga
terdengar bunyi berkerotokan dalam buku-buku
jarinya! Setelah membuat gerakan pembukaan atau
kuda-kuda yang kokoh kuat, dia membentak nyaring.
"Sambut seranganku ini! Haaaiiitt.......!"
Lui Thong menerjang maju dengan kedua lengan
dikembangkan ke atas dan kedua tangannya
membuat serangan seperti menerkam dari kanan kiri,
mengarah kedua pundak gadis itu. Dia menggunakan
jurus yang disebut Hek-houw-pok-yang (Macan Hitam
Menerkam Kambing) yang walaupun merupakan
serangan keras namun karena didukung tenaga
raksasa maka dapat membahayakan lawan yang
diserang. Namun Bwee Hwa yang memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) tingkat tinggi, dengan lincah
dapat mengelak. Serangan susulan dilakukan bertubi-
tubi oleh Lui Thong, sampai lima jurus namun semua
dapat dihindarkan Bwee Hwa dengan elakan.
"Sekarang sambutlah seranganku!" kata Bwee Hwa
dan baru saja ucapannya ini keluar, Lui Thong terkejut
sekali karena dia sudah kehilangan lawannya! Dia
cepat memutar tubuhnya dan benar saja, gadis itu
telah berada di belakangnya. Akan tetapi begitu dia
membalik, dia hanya melihat bayangan merah
berkelebatan dan gadis itu sudah bergerak cepat
sekali seperti seekor tawon merah terbang
mengelilingi setangkai bunga!
Sebentar saja Lui Thong merasa bingung dan pening
karena serangan itu datang dari mana-mana, dari
sekeliling dirinya. Dia harus menangkis dan mengelak
dari serangan yang seolah dilakukan oleh empat-lima
orang! Beberapa kali dia kena ditampar dan ditendang
oleh Bwee Hwa yang biarpun hanya menggunakan
sebagian kecil tenaganya saja, namun cukup
mendatangkan rasa nyeri, pedas dan panas!
Riuh rendah sambutan para anggauta gerombolan itu
saking heran dan kagum menyaksikan betapa Bwee
Hwa merupakan bayangan merah yang berkelebatan
di sekeliling tubuh Lui Thong. Pembantu Gak Sun Thai
itu seolah menjadi seekor monyet besar yang
diserang seekor kumbang dan tidak berdaya sama
sekali menghadapi serangan si kecil yang amat gesit
itu. Hal inipun terasa sekali oleh Lui Thong dan dia
tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia akan mendapat
malu besar, maka cepat dia berseru.
"Tahan, nona!" Bwee Hwa menghentikan serangannya dan berdiri di
depan lawannya sambil tersenyum.
"Nona, ciang-hwat (silat tangan kosong) nona
sungguh lihai, biarpun kuakui bahwa pukulan
tanganmu hampir tidak terasa olehku. Sekarang
marilah kita mencoba permainan senjata kita!"
Bwee Hwa tersenyum saja dan dalam hatinya ia
berkata, "Hemm, manusia tolol! Kau dikasih hati tidak
tahu diri. Kalau aku benar-benar menurunkan tangan
dengan pengerahan tenagaku, apa kaukira engkau
masih dapat bemapas lagi?" Akan tetapi ini hanya
suara hatinya, sedangkan mulutnya berkata,
"Memang, tenagaku tidak kuat sedangkan tubuhmu
terlalu kuat. Kalau engkau masih belum puas dan
menggunakan senjata, silakan!"
Lui Thong segera mencabut senjatanya, sebatang
golok yang besar dan berat sekali sehingga dua orang
anak buah yang dia suruh ambil menggotong golok
itu dengan susah payah. Lui Thong menerima golok itu
dengan tangan kanan dan dia mendemonstrasikan
kekuatannya, memutar golok besar itu disekeliling
tubuhnya sehingga terdengar suara berdesingan dan
angin menyambar-nyambar! Diam-dian Bwee Hwa merasa khawatir kalau-kalau
Sin-hong-kiam, pedang pusakanya akan rusak jika
dipakai melawan senjata berat itu, maka ia lalu ber-
kata dengan tenang, "Nah, setelah senjatamu berada
di tanganmu, engkau me?nunggu apalagi" Mulailah
dengan seranganmu!" "Mana senjatamu, nona" Keluarkanlah dan cabut
pedangmu itu." Bwee Hwa tertawa dengan bebas, tanpa menutupi
mulut seperti kebiasaan gadis-gadis yang selalu
menutupi mulut bila tertawa agar tampak sopan.
"Heh-he-he, untuk apa aku harus mencabut
pedangku" Biar kuhadapi golok pemotong babi di
tanganmu itu dengan tangan kosong saja!"
Lui Thong menjadi marah sekali, merasa dipandang
rendah dan dihina. Akan tetapi karena gadis itu
menjadi tamu ketuanya, dia menoleh kepada Gak
Sun Thai dengan mata bertanya.
Gak Sun Thai bertanya kepada Bwee Hwa.
"Sungguhkah bahwa engkau akan menghadapi golok
Lui Thong dengan tangan kosong saja, nona?"
"Kenapa tidak" Empat batang golok seperti itu masih
sanggup aku melawannya dengan tangan kosong,
apalagi hanya sebatang."
Gak Sun Thai mendongkol juga dan diapun
mengangguk kepada Lui Thong. Orang tinggi besar
bermuka hitam ini lalu membentak marah.
"Ang-hong-cu, engkau sendiri yang mencari mati!" Dia
lalu membuka serangan dengan jurus Hong-cui-pai-hio
(Angin Meniup Daun). Golok itu menyambar dengan
cepat dan kuat sekali dari kanan mengeluarkan suara
berdesing. Ja?ngankan tubuh Bwee Hwa yang
ramping itu, biar sebatang pohon siong yang besar
pun agaknya akan terbabat putus dengan mudah oleh
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambaran golok ini! Akan tetapi Bwee Hwa dengan gerakan lemas
merendahkan tubuhnya hampir berjongkok sehingga
golok itu lewat di atas kepalanya dan ketika golok itu
menyambar kembali dari arah lain, kini membabat ke
arah bawah, dengan lincahnya ia melompat ke atas
sehingga kini golok itu berdesing lewat di bawah
kakinya. Demikianlah, dengan menggunakan
keringanan dan kecepatan gerak tubuhnya, Bwee
Hwa dengan mudah menghindarkan diri dari
serangan-serangan golok Lui Thong.
Orang tinggi besar itu menjadi semakin penasaran
dan marah. Duapuluh jurus telah lewat tanpa dia
dapat melukai lawannya. Jangankan melukai, bahkan
goloknya itu sama sekali tidak mampu menyentuh
ujung baju gadis itu. Rasa penasaran dan marah
membuat Lui Thong seolah lupa bahwa pertandingan
itu sebetulnya hanya merupakan "pertandingan
persahabatan" untuk menguji ilmu silat masing-
masing. Kemarahan membuat dia bernafsu sekali untuk
merobohkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Dia
lalu membentak nyaring dan segera memainkan ilmu
andalannya, yaitu Go-bi To-hoat (Ilmu Golok Go-bi-pai)
. Goloknya diputar cepat bagaikan kitiran angin
sehingga merupakan gulungan sinar putih yang
menyambar-nyambar ke arah tubuh Bwee Hwa.
Akan tetapi Bwee Hwa mengeluarkan suara tawa lirih
dan iapun mengerahkan gin-kangnya sehingga
tubuhnya menjadi bayangan merah yang berkelebat
di antara sinar golok yang putih bergulung-gulung itu.
Karena bayangan merah itu bergerak lebih cepat dan
gulungan sinar putih mengejarnya, maka seolah
gu?lungan sinar putih itu dituntun oleh bayangan
merah. Pemandangan yang indah dan aneh ini amat menarik
perhatian, membuat semua orang yang menonton
merasa kagum. Terutama para anggauta gerombolan
itu merasa gembira karena mereka mengira bahwa
sekali ini Lui Thong berhasil mendesak gadis itu.
"Aughh?"!" Tiba-tiba terdengar suara Lui Thong
mengeluh dan semua penonton terbelalak. Semua
terjadi begitu cepat dan di luar dugaan mereka.
Tiba-tiba saja, setelah terdengar Lui Thong mengeluh
itu, golok besar itu terlepas dari tangan Lui Thong,
jatuh berkerontangan di atas tanah dan tubuh tinggi
besar itu kini berdiri kaku bagaikan telah berubah
menjadi arca! Ternyata dia telah terkena totokan jari
tangan Bwee Hwa pada jalan darah ta-tui-hiat-to
sehingga tubuhnya menjadi kaku tidak mampu
bergerak. Setelah merasa yakin bahwa semua orang melihat
jelas keadaan Lui Thong yang kaku tertotok, Bwee
Hwa lalu melangkah maju, memungut golok yang
besar dan berat sekali itu. Akan tetapi dengan amat
mudahnya seolah golok itu seringan ranting kering,
Bwee Hwa melontarkan senjata itu ke atas.
Semua orang memandang ke atas dan melihat
betapa golok itu melayang tinggi sekali! Kemudian
mereka melihat golok itu meluncur turun dengan
cepat dan dengan ujungnya yang tajam runcing di
bawah, golok itu meluncur ke arah kepala Bwee Hwa.
Para wanita dan kanak-kanak merasa ngeri bahkan
ada yang menjerit ketika melihat betapa golok itu
seolah akan menimpa dan menembus kepala gadis
itu. Akan tetapi dengan cepat tangan kanan Bwee
Hwa bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap
golok itu pada ujungnya yang runcing dan tajam.
Tanpa ba?nyak cakap ia lalu menggunakan gagang
golok itu untuk membuka totokan pada tubuh Lui
Thong sehingga tubuh itu dapat bergerak lagi.
Lui Thong yang dapat bergerak lagi meringis kesakitan
karena kekakuan tu-buhnya tadi membuat urat-
uratnya terasa nyeri. Ketika Bwee Hwa menjulurkan
golok itu kepadanya, dia menerimanya lalu menjura
dalam sambil berkata lirih.
"Sungguh aku yang bodoh telah mendapat banyak
pelajaran darimu, nona." Setelah berkata demikian,
dengan menundukkan mukanya dia menyeret
goloknya dan mengundurkan diri.
Bwee Hwa kini memandang kepada Gak Sun Thai
dan bertanya, "Paman Gak, apakah ada lagi yang
ingin menguji kepandaianku" Marilah kalau ada, selagi
aku ada semangat. Kalau aku sedang malas,
dipaksapun aku tidak mau bertanding secara main-
main begini." Seorang pembantu lain segera melangkah maju
menghadapi Bwee Hwa. "Gak-twako, biarkan aku
mencoba kepandaian nona ini." Gak Sun Thai juga
menganggukkan kepala tanda setuju.
Orang itu bertubuh pendek kurus, berusia kurang lebih
empatpuluh tahun. Hidungnya mancung dan mukanya
meruncing seperti muka burung, matanya yang juling
itu bersinar tajam. Dengan sikap digagah-gagahkan
dia menjura kepada Bwee Hwa dan berkata, "Ang-
hong-cu, aku adalah pembantu Gak-twako. Namaku
Lie Hoat dan julukanku Kang-jiauw-eng (Garuda Kuku
Baja)." Berkata demikian, Lie Hoat sengaja
membentuk kedua tangannya seperti cakar garuda
dan dia memang seorang yang mengandalkan
ketangguhannya dengan ilmu pukulan Tiat-see-ciang
(Tangan Pasir Besi). Dalam melatih ilmu ini, dia menggunakan pasir besi
dari yang dingin sampai yang panas dengan
meremas-remas pasir besi itu. Latihan ini membuat
kedua tangannya berwarna hitam dan karena dia
seorang lwe-keh (ahli tenaga dalam), maka dapat
dibayangkan betapa dahsyatnya kedua tangan itu.
Pukulan Tiat-see-ciang itu dapat meremukkan tulang
menghanguskan kulit daging. Cengkeramannya cukup
kuat untuk menghancurkan batu karang yang keras!
"Hemm, apakah engkau juga hendak bertanding
menggunakan senjata?" tanya Bwee Hwa.
"Nona, sungguh gagah perkasa. Aku tidak memiliki
kepandaian atau senjata apapun, kecuali hanya
mengandalkan sepasang tangan yang lemah ini."
"Kedua tanganmu yang mengandung ilmu Tiat-see-
ciang itu mana bisa dibilang lemah?" kata Bwee Hwa
dan Lie Hoat terkejut bukan main. Dia merasa heran
bagaimana gadis muda ini sekali pandang sudah
dapat mengenal ilmu sim?panannya.
Dia tidak tahu bahwa guru gadis itu, Sin-kiam Lojin,
pernah menerangkan dengan jelas kepada muridnya
itu tentang banyak macam ilmu yang aneh dan
berbahaya dari orang-orang di dunia kang-ouw,
termasuk Tiat-see-ciang ini. Bwee Hwa sudah hafal
akan ilmu-ilmu itu dengan segala cirinya.
"Ah, sungguh nona memiliki pandangan yang tajam
sekali, dapat mengenal ilmuku sebelum
kupergunakan! Sebetulnya siapakah nona ini dan
siapakah guru nona yang mulia?"
Melihat sikap si katai yang sopan ini, Bwee Hwa
menjawab sejujurnya. "Tadi aku sudah
memperkenalkan namaku. Namaku Bwee Hwa dan
orang menjuluki aku Ang-hong-cu. Adapun siapa
guruku tidak perlu kuperkenalkan namanya." Gadis itu
memang tidak ingin menyebut nama suhunya karena
ia menganggap bahwa tidak perlu nama suhunya
diketahui oleh golongan perampok seperti ini.
Mendengar jawaban dan melihat sikap Bwee Hwa,
Lie Hoat maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang gadis kangouw yang masih muda dan yang
bersikap polos dan jujur. Dia lalu berkata, "Nona,
sudilah engkau memberi pelajaran untuk menambah
pengalaman dan memperluas pengetahuanku yang
dangkal." "Silakan, dan jangan sungkan-sungkan," jawab Bwee
Hwa. Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang lawan tangguh, begitu bergerak, langsung
saja Lie Hoat mengerahkan tenaga dalamnya dan
mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu Tiat-see-ciang!
Kedua tangannya berubah menghitam dan setiap
tamparan, pukulan atau cengkeramannya merupakan
serangan maut yang berbahaya!
Berita Pertama Sang Ayah Akan tetapi sekali ini Lie Hoat yang berjuluk Kang-
jiuw-eng (Garuda Kuku Baja) itu seolah membentur
batu karang! Gadis muda itu berani menangkis dan
beradu tangan dengannya dan ternyata gadis itu
memiliki kedua tangan yang kini menjadi sekeras
baja dan tidak kalah kuat dibandingkan kedua tangan
yang mengandung ilmu Tiat-see-ciang itu!
Bwee Hwa mempergunakan ilmu mengeraskan
tangan yang disebut Liap-kang Pek-ko-jiu (Membuat
Tangan Keras Seperti Baja) sehingga kalau tangannya
menangkis atau bertemu tangan Lie Hoat, terdengar
suara berdenting seolah bukan lengan tangan dari
kulit daging dan tulang yang saling bertemu,
melainkan dua potong besi baja yang amat kuat!
Kemudian Bwee Hwa membalas serangan lawan dan
ia memainkan ilmu silat Bi-ciong-kun (Kepalan
Menyesatkan), ilmu silat yang indah namun memiliki
kembangan-kembangan yang aneh sehingga
membingungkan lawan. Menghadapi gerakan-gerakan yang cepat dan juga
aneh itu, Lie Hoat menjadi bingung dan pusing.
Gerakan kedua tangan Bwee Hwa tak terduga dan
aneh-aneh dan akhirnya gadis itu dapat mendorong
pundak Lie Hoat yang membuat dia terpental jatuh
bergulingan di atas tanah sehingga pakaiannya
menjadi kotor semua. Biarpun dia tidak terluka sama
sekali, Lie Hoat maklum bahwa kalau gadis itu berniat
buruk, tentu dia akan tewas atau sedikitnya terluka
berat. Maka dia lalu melompat berdiri dan memberi
hormat. "Ang-hong-cu sungguh hebat, aku mengaku kalah!"
kata Lie Hoat dan dia lalu mengundurkan diri.
"Bukan main! Benar-benar luar biasa! Seumur hidupku
belum pernah aku melihat seorang gadis semuda ini
memiliki ilmu silat sehebat itu. Mari, mari Ang-hong-cu.
Cobalah engkau memberi petunjuk untuk menambah
kemampuanku yang tak seberapa ini."
Bwee Hwa mengangkat muka dan melihat seorang
laki-laki yang usianya sudah sekitar enampuluh tahun,
bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang. Orang
ini pakaiannya bersih, wajahnya kekuning-kuningan
dan sikapnya halus dan sopan.
"Siapakah nama paman" Apakah paman juga
pembantu Paman Gak Sun Thai?"
Kakek itu mengangguk dan menggunakan tangan kiri
mengelus jenggotnya yang panjang. "Benar, Ang-
hong-cu. Namaku Souw Ban Lip dan aku juga
pembantu Gak-toako."
Bwee Hwa merasa heran bagaimana kakek yang
tampaknya lebih tua dari Gak Sun Thai inipun
menyebut toako (kakak tertua) kepada Gak Sun Thai.
Ia tidak tahu bahwa sebutan itu untuk menghormat
orang yang kedudukannya lebih tinggi, walaupun
usianya lebih muda. Ia memperhatikan dan melihat
sebuah kantung merah yang biasanya untuk
menyimpan senjata rahasia tergantung di pinggang
kakek itu. "Paman Souw, engkau hendak menggunakan senjata
apakah untuk menguji kepandaianku?"
Souw Ban Lip tersenyum juga dan menepuk-nepuk
kantung piauw (senjata rahasia) dan berkata. "Orang
menjuluki aku Lian-hoan-piauw (Si Piauw Beruntun)
dan dalam kantungku ini tersimpan duapuluh lima
batang piauw. Sanggupkah engkau menghadapi
semua senjata rahasiaku ini, Ang-hong-cu?"
Bwee Hwa tersenyum, dalam hati menertawakan
kakek itu. Ia sendiri mendapat julukan Ang-hong-cu
karena keahliannya melepaskan senjata rahasia
hong-cu-ciam yang kecil dan sukar disambitkan,
bagaimana mungkin ia takut menghadapi segala
macam piauw yang merupakan senjata rahasia yang
kasar" "Silakan engkau melepaskan semua piauw itu. Aku
tidak akan meninggalkan lingkaran ini." Sambil
berkata demikian Bwee Hwa mempergunakan ujung
sepatu kirinya menggariskan lingkaran di luar tempat
ia berdiri! Ucapan Bwee Hwa ini bukan saja membuat semua
orang merasa terkejut dan heran, bahkan membuat
Gak Sun Thai merasa bahwa sekali ini Bwee Hwa
betul-betul agak keterlaluan dalam kesombongannya.
Maka dia lalu berkata, "Ini sama sekali tidak adil!
Akan tetapi karena nona sendiri yang memutuskan
untuk menghindarkan diri dari semua piauw yang
dilepas saudara Souw Ban Lip tanpa keluar dari garis
lingkaran yang nona buat sendiri, sudahlah. Akan
tetapi aku harus mengambil keputusan yang adil.
Engkau boleh membalas dengan senjata rahasia juga,
yaitu, kalau engkau dapat mempergunakan senjata
rahasia, Ang-hong-cu."
Bwee Hwa tersenyum dan berkata kepada Souw Ban
Lip, "Paman Souw, silakan mulai dengan serangan
piauw-mu!" Ia berdiri dengan tenang saja seakan-
akan tidak menghadapi lawan yang siap
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambitkan senjata rahasianya yang berbahaya.
Souw Ban Lip merogoh kantung piauwnya dan
mengeluarkan tiga batang piauw dengan tangan
kanannya. Kemudian dia berseru, "Ang-hong-cu, awas
piauw-ku!" Begitu tangannya bergerak, sinar hitam meluncur
cepat sekali ke arah Bwee Hwa. Gadis itu tidak
menggerakkan tubuh untuk mengelak, hanya tangan
kiri-nya bergerak cepat, dan tahu-tahu piauw itu telah
disambar dan ditangkap tangan kirinya. Piauw kedua
dan ke tiga menyambar susul menyusul. Bwee Hwa
menyambitkan piauw di tangannya, memapaki piauw
kedua sehingga dua batang piauw itu bertumbukan di
udara dan jatuh ke atas tanah, sedangkan piauw
ketiga yang mengarah lambungnya dapat ia tangkis
dengan tendangan ujung sepatunya.
Melihat betapa gadis itu dengan mudah saja dapat
mematahkan serangan tiga batang piauwnya, Souw
Ban Lip merasa kagum sekali akan tetapi juga
penasaran. Dia cepat mengeluarkan enam batang
piauw, masing-masing tangan memegang tiga batang.
Begitu dia menggerakkan kedua tangannya, secara
beruntun enam batang piauw itu meluncur ke arah
tubuh Bwee Hwa dan yang dijadikan sasaran adalah
bagian tubuh yang berbahaya.
Namun, ternyata gadis itu memiliki gerakan kaki
tangan yang cepat bukan main. Bagaikan mengubah
kedua tangannya menjadi empat, dibantu kedua
kakinya dia dapat menangkis dengan kebutan tangan
dan tertendang kaki sehingga enam batang piauw itu
semua runtuh tanpa dapat melukainya sedikitpun.
Kembali enam batang piauw melayang, kini bukan
lagi beruntun melainkan berbareng! Sungguh
berbahaya sekali serangan enam batang piauw yang
meluncur berbareng ini. Akan tetapi, dengan gerakan
cepat Bwee Hwa telah melepaskan pengikat
rambutnya yang terbuat dari sutera halus berwarna
merah dan ketika ia mengebut-ngebutkan sutera
merah itu, enam batang piauw itu semua terpukul
runtuh! Padahal yang dipergunakan untuk menangkis
itu hanya sehelai sutera merah tipis, namun di tangan
yang disaluri tenaga sakti itu, sutera merah tadi
menjadi kaku dan kuat bagaikan sebatang pedang
saja. Setelah mengukur sampai di mana kekuatan dan
keampuhan daya serang senjata rahasia lawan, Bwee
Hwa sengaja berdiri membelakangi lawannya! Enam
batang piauw yang menyambar dari belakang itu
dapat ditangkis semua dengan cara memutar kain
suteranya ke belakang tubuh. Ia hanya
mengandalkan pendengarannya yang sangat tajam
terlatih untuk menyelamatkan dirinya. Jangankan
hanya diserang piauw dari belakang, biarpun diserang
dari manapun juga dan di tempat gelap gulita
sekalipun, ia akan sanggup menghindarkan diri karena
ketajaman pendengarannya dapat menggantikan
penglihatannya. Ketika Souw Ban Lip yang sudah putus asa itu
menyambitkan piauw terakhir ke arah leher Bwee
Hwa, gadis itu miringkan kepalanya dan tahu-tahu ia
berhasil menggigit paiuw itu dari samping! Lalu ia
meniup dan piauw itu meluncur dan menancap pada
cabang pohon yang tubuh di pekarangan itu.
"Paman Souw, kepandaianmu menyerang dengan
piauw sungguh tidak rendah."
Souw Ban Lip bersungut-sungut dengan wajah
berubah kemerahan. "Hemm, jangan engkau menyindir, Ang-hong-cu.
Buktinya tak sebuahpun piauwku dapat menyentuh
ujung bajumu. Sayang engkau tadi tidak membalasku
dengan senjata rahasia sehingga tak dapat kuketahui
sampai di mana kelihaianmu mempergunakan senjata
rahasia." "Ah, jangan tergesa-gesa berkata begitu, saudara
Souw. Tadi aku melihat sekelebatan tangan Ang-
hong-cu bergerak dan kulihat sinar-sinar lembut
berkelebat ke arahmu dengan mengeluarkan bunyi
mengaung. Coba engkau periksa yang betul, jangan-
jangan engkau telah terluka oleh senjata rahasia Ang-
hong-cu," kata Gak Sun Thai yang memang memiliki
tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkat Souw
Ban Lip dan memiliki penglihatan yang lebih tajam.
Souw Ban Lip terkejut mendengar ucapan itu. Tadi
diapun mendengar suara mengaung lembut akan
tetapi tidak merasakan sesuatu yang mencurigakan.
Kini dia melihat dan memeriksa ke seluruh bagian
tubuhnya untuk melihat apakah ada yang terluka,
akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu.
"Engkau mencari apakah, Paman Souw" Coba engkau
periksa kantung piauwmu dan lihat dengan teliti!"
kata Bwee Hwa yang tersenyum manis.
Souw Ban Lip cepat mengambil kantung piauwnya
yang sudah kosong dan memeriksa dalamnya. Tiba-
tiba dia berseru, "Hayaaaa!!" Setelah betseru kaget
dengan mata terbelalak dan wajah pucat, dia segera
menjura kepada Bwee Hwa dan berkata,
"Kemampuanku menggunakan senjata rahasia tidak
ada sepersepuluh bagian dari kelihaianmu
menggunakan hong-cu-ciam, nona."
Ternyata di sebelah dalam kantung piauw itu telah
menancap tiga batang jarum tawon yang berjajar
rapi. Kalau gadis itu menghendaki, tentu saja jarum-
jarum itu akan bersarang di tubuhnya! Dia
memperlihatkan jarum-jarum itu kepada Gak Sun Thai
yang merasa kagum sekali.
"Ang-hong-cu ternyata bukan julukan kosong belaka.
Engkau sungguh lihai, nona. Biarpun aku sudah
menyaksikan dengan mata sendiri akan kelihaianmu,
akan tetapi biarlah aku merasakannya sendiri. Tidak
setiap hari kami dapat berjumpa dengan seorang iihai
sepertimu. Karena itu aku sendiri, ingin minta petunjuk
darimu." Gak Sun Thai lalu mencabut sepasang pedangnya.
Melihat cara Gak Sun Thai memegang dan
menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) itu,
Bwee Hwa maklum bahwa kepala gerombolan ini
memiliki ilmu silat yang lumayan juga, maka iapun
tidak bersikap sungkan lagi. Ia menggerakkan tangan
kanannya dan tampak sinar berkelebatan ketika Sin-
hong-kiam sudah tercabut dan berada di tangannya.
Pedang itu berkilauan tertimpa sinar matahari sore
yang mulai redup. Melihat gadis itu sudah siap dengan pedangnya, Gak
Sun Thai lalu memasang kuda-kuda, kemudian dia
menyilangkan siang-kiam di kedua tangannya lalu
membentak nyaring, "Ang-hong-cu, lihat sepasang
pedangku!" Dia menyerang dengan gerakan Siang-liong-jiu-cu
(Sepasang Naga Memperebutkan Mustika). Sepasang
pedang itu menyerang dari kanan kiri, menyilaukan
dan merupakan serangan yang berbahaya sekali
karena menutup jalan dari kanan kiri.
"Bagus!" Bwee Hwa memuji dan iapun bergerak cepat
sekali. Tampak pedangnya berubah menjadi gulungan
sinar ketika ia memainkan jurus Seng-siok-hut-si
(Musim Panas Mengebutkan Kipas).
"Trangg?" cringgg?"!" Sinar pedangnya sudah
menangkis dan menggagalkan serangan lawan.
Gak Sun Thai terkejut ketika merasa betapa kedua
tangannya tergetar hebat akibat benturan sepasang
pedangnya dengan pedang gadis itu. Dia sudah tahu
bahwa gadis itu memiliki tenaga sinkang (tenaga
sakti) yang amat kuat, akan tetapi setelah
merasakannya sendiri, dia menjadi kaget. Bagaimana
mungkin tangan yang kecil mungil dari tubuh gadis
yang belum matang itu dapat mengandung tenaga
yang demikian kuatnya. Gak Sun Thai lalu memainkan pedangnya,
mengeluarkan semua ilmu simpanannya dan
mengerahkan seluruh tenaganya. Terjadilah
pertandingan pedang yang amat seru. Tubuh mereka
berubah menjadi dua bayangan yang berkelebat di
antara gulungan sinar pedang. Akan tetapi permainan
pedang membutuhkan gerakan yang cepat dan lincah,
dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dikuasai
Bwee Hwa sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Gak Sun Thai memang lihai permainan silat sepasang
pedangnya dan diapun memiliki tenaga yang cukup
kuat, akan tetapi dia harus mengakui bahwa dalam
hal kelincahan dan kecepatan, dia masih kalah jauh
dibandingkan gadis itu. Maka, perlahan-lahan dia
mulai terdesak dan terkurung gulungan sinar pedang
Bwee Hwa. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan. Perlu diingat
bahwa Bwee Hwa adalah murid tersayang dari Sin-
kiam Lojin (Orang Tua Pedang Sakti). Maka sudah
barang tentu ilmu pedang yang dikuasai gadis itu
mencapai tingkat tinggi dan lihai sekali.
Gak Sun Thai memang seorang tokoh kang-ouw yang
sudah lama berkecimpung di dunia persilatan, namun
belum pernah dia bertemu tanding yang memiliki ilmu
pedang sehebat ini. Apalagi ketika Bwee Hwa
melakukan tekanan dan dari mulutnya keluar suara
berdengung dan mengaung seperti banyak tawon
mengamuk dan mengeroyok kepala gerombolan itu.
Gak Sun Thai menjadi bingung dan pening, gulungan
sinar pedang Sin-hong-kiam menyilaukan dan
mengaburkan matanya sehingga dia hanya mampu
bertahan dengan memutar kedua pedangnya untuk
melindungi tubuhnya. "Sing-sing....... trang!" Gak Sun Thai berseru kaget,
demikian pula para penon-ton melihat betapa
sepasang pedang kepala gerombolan itu terlepas dari
kedua tangannya dan terlempar lalu berjatuhan di
atas tanah. Seorang anak buah gerombolan cepat
mengambil sepasang pedang itu dan
menyerahkannya kembali kepada Gak Sun Thai.
Kepala gerombolan ini cepat memberi hormat kepada
Bwee Hwa, merangkap kedua tangan depan dada
dan membungkuk sampai dalam lalu berkata, "Nona,
mulai saat ini, kami semua menyatakan kalah dan
takluk kepadamu dan kami mengangkat nona
menjadi pemimpin kami!"
Hampir saja Bwee Hwa tidak dapat menahan geli
hatinya dan tertawa. Ia menjadi seorang kepala
perampok" Ah, kalau saja ia tidak melihat betapa
semua orang mengangkatnya dengan bersungguh
hati, tentu ia akan marah dan merasa terhina. Para
anak buah gerombolan itu setelah mendengar ucapan
Gak Sun Thai, lalu memberi hormat kepada Bwee
Hwa dan semua orang menyatakan ingin
mengangkat gadis itu menjadi pimpinan.
"Saudara-saudara, janganlah sembarangan
mengangkat orang. Biarpun ini meru?pakan suatu
penghormatan besar sekali, akan tetapi bagaimana
mungkin aku dapat menerima pengangkatan ini dan
menjadi seorang kepala perampok" Sudahlah jangan
diulangi lagi permintaan gila ini agar aku tidak
menjadi marah. Sekarang harap kalian bubaran dan
melakukan pekerjaan kalian masing-masing. Aku
hendak melanjutkan perjalananku!"
Dengan kecewa semua anak buah gerombolan itu
bubaran dan melanjutkan kesibukan masing-masing
yang tadi tertunda untuk menonton pertunjukan
pertandingan silat yang menarik itu.
"Sayang sekali engkau menolak per?mohonan kami,
nona. Sekarang engkau hendak pergi ke manakah?"
tanya Gak Sun Thai dengan wajah kecewa karena
kalau gadis perkasa ini mau menjadi pemimpin
mereka tentu kedudukan mereka menjadi lebih kuat
lagi. Tiba-tiba teringatlah Bwee Hwa bahwa ia tadi berniat
untuk mencari keterangan perihal ayahnya, maka
mendengar pertanyaan Gak Sun Thai itu ia cepat
menjawab. "Paman Gak, sebenarnya aku sedang mencari
seorang yang barangkali saja kalian mengenal
namanya. Dia adalah serang tokoh kang-ouw terkenal
dengan julukan Kauw-jiu Pek-wan."
Gak Sun Thai tampak terkejut sekali dan matanya
terbelalak memandang kepada Bwee Hwa.
"Si Lutung Putih Tangan Sembilan" Engkau
maksudkan hendak mencari Kwee-locianpwe (Orang
Tua Gagah Kwee)?" Jantung dalam dada Bwee Hwa berdebar tegang.
Agaknya kepala gerombolan ini mengenal ayahnya!
"Benarkah Kauw-jiu Pek-wan itu seorang bermarga
Kwee?" "Tentu saja benar, nona. Siapakah yang tidak
mengenal Kwee-locianpwe yang berjuluk Kauw-jiu
Pek-wan, tokoh besar dunia liok-lim (rimba hijau,
"dunia hitam) yang amat tersohor itu. Nona
mencarinya" Ada hubungan apakah antara nona
dengan dia?" "Aku adalah puterinya!" kata Bwee Hwa terus terang
karena ingin sekali mendapatkan keterangan yang
jelas tentang ayahnya. Gak Sun Thai menjadi pucat wajahnya dan dia
terbelalak sambil mundur tiga langkah sehingga Bwee
Hwa merasa heran sekali dan menegur. "Paman Gak,
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenapa engkau agaknya begitu kaget mendengar
bahwa aku adalah anak Kauw-jiu Pek-wan?"
"Ah, aku....... eh, siapa yang tidak akan merasa heran
mendengar bahwa engkau anaknya, nona. Engkau
mengaku anaknya akan tetapi engkau tidak
mengenalnya, bahkan tidak mengetahui namanya.
Mana mungkin ada anak tidak mengenal orang
tuanya sendiri?" Bwee Hwa maklum bahwa agaknya memang tidak
mungkin ada seorang anak tidak mengenal ayahnya
sendiri. Karena ingin mendapat keterangan tentang
ayahnya, terpaksa ia mengaku dengan singkat.
"Paman Gak, ketahuilah bahwa sejak kecil aku diculik
orang dari orang tuaku dan baru sekarang aku
hendak mencari mereka. Agaknya paman mengenal
ayahku, maka katakanlah, di mana aku dapat
menemukan ayahku dan siapakah nama
lengkapnya?" "Ah, begitukah" Kalau begitu, memang sebagai
seorang anak berbakti engkau harus mencari ayahmu,
nona. Ayahmu itu bernama Kwee Ciang Hok dan
berjuluk Kauw-jiu Pek-wan. Tetapi telah beberapa
tahun ini ayahmu mencuci tangan karena dia telah
mengumpulkan harta kekayaan yang besar dan dia
kini hidup sebagai seorang hartawan besar di sebuah
dusun di atas bukit Twi-bok-san dan menjadi raja
kecil di sana." Mendengar keterangan yang sangat berharga ini
Bwee Hwa cepat memberi hormat dan mengucapkan
terima kasih atas kebaikan kepala gerombolan itu.
Kemudian ia bertanya dengan ramah.
"Paman Gak Sun Thai yang baik, mela?lui manakah
jalan terdekat menuju ke Bukit Twi-bok-san itu"
Tolong paman beri petunjuk kepadaku."
Gak Sun Thai memandang ke atas dan mengerutkan
alis lalu berkata, "Ang-hong cu, sekarang hari telah
menjelang senja, sebentar malam tiba dan kalau
malam daerah ini menjadi gelap sekali. Amat sukar
untuk keluar dari daerah hutan ini kalau tidak
mengenal jalan, apalagi bagi orang yang asing di
daerah ini. Perjalanan ke Bukit Twi-bok-san tidaklah
dekat. Oleh karena itu, sebaiknya kalau nona
melewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi engkau
akan kuantar sendiri keluar dari hutan ini dan
kutunjukkan jalan terdekat menuju Twi-bok-san."
Bwee Hwa merasa tidak enak untuk mengganggu
dan ia hendak menolak. Akan tetapi Gak Sun Thai
cepat berkata, "Jika nona memaksa hendak
berangkat sekarang juga, tetap saja engkau terpaksa
harus bermalam di hutan ini, padahal hutan-hutan di
sini penuh binatang buas, bahkan banyak pula ular
berbisa. Bukan maksudku meremehkan nona yang
tentu saja dapat menjaga dan membela diri terhadap
serangan binatang buas. Akan tetapi setidaknya hal
itu akan membuat nona tidak dapat beristirahat
dengan santai. Karena itu, sekali lagi kami benar-
benar mengharap agar nona suka bermalam di sini
untuk semalam ini saja."
Akhirnya Bwee Hwa melihat kebenaran ucapan
kepala gerombolan itu. "Sesungguhnya aku merasa
tidak enak sekali menerima semua kebaikan paman,
akan tetapi apa boleh buat, terpaksa aku
mengganggu paman dan kawan-kawan semua untuk
satu malam lagi." Gak Sun Thai merasa gembira sekali. "Ah, nona tidak
perlu banyak sungkan. Kami merasa terhormat sekali!"
Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk
mempersiapkan sebuah kamar untuk Bwee Hwa,
menyediakan air untuk mandi dan mempersiapkan
pula hidangan untuk makan malam sebagai
penghormatan terhadap tamu yang mereka kagumi
dan hormati itu. http://cerita-silat.mywapblog.com
. Dendam Mantan Pembantu Ayah
Setelah mandi air yang cukup banyak, Bwee Hwa
merasa tubuhnya segar. Hidangan malam itu lebih
meriah lagi dan diramaikan dengan tarian dan
nyanyian yang dilakukan keluarga para anggauta
gerombolan. Suasana menjadi meriah dan riang
gembira. Bwee Hwa terbawa ke gembiraan itu. Diam-diam
gadis ini merasa heran karena dalam keadaan seperti
itu, sama sekali tidak membayangkan bahwa ia
berada di tengah perkampungan yang menjadi sarang
perampok-perampok ganas! Arak harum berulang kali
disuguhkan oleh Gak Sun Thai yang bergantian
dengan para pembantunya menyulangi gadis itu.
Dalam kegembiraannya, gadis yang masih kurang
pengalaman ini merasa tidak enak untuk menolak
dan iapun minum banyak arak wangi sampai
kepalanya mulai merasa pening.
Akhirnya Bwee Hwa tidak kuat lagi. Ia menjadi
mabok dan dengan terhuyung-huyung ia diantar oleh
dua orang pelayan wanita memasuki kamarnya.
Tanpa membuka pakaian lagi ia langsung
menjatuhkan diri di atas pembaringan di kamar itu
dan langsung tertidur pulas.
"Y" Bwee Hwa mendengar kicau burung. Banyak burung
berkicau dan suara mereka indah sekali,
mendatangkan suasana riang gembira. Ia membuka
kedua matanya dan melihat jendela kamar itu sudah
terbuka. Angin pagi semilir masuk mendatangkan
hawa sejuk. Kepalanya masih berdenyut aneh dan
teringatlah ia bahwa semalam ia terlalu banyak
minum arak. Ia hendak mengangkat tangan untuk
memijat pelipisnya yang terasa agak pening. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika kedua tangannya
tidak dapat ia angkat. Ia cepat menggerakkan kedua kaki untuk melompat
turun dari atas pembaringan, namun juga kedua
kakinya tidak dapat di gerakkan. Cepat ia mengerling
dengan sudut matanya dan ia menjadi heran, kaget
dan marah bukan main ketika mendapat kenyataan
bahwa kedua kaki dan tangannya telah terbelenggu
kuat-kuat! Bwee Hwa mengerahkan tenaga untuk memutuskan
belenggu kaki tangannya itu, akan tetapi agaknya
orang yang membelenggunya sudah siap menghadapi
kemungkinan ini. Karena mengetahui betapa kuat
tenaga sin-kang gadis itu, maka mereka
menggunakan tali yang amat kuat, ulet dan lentur
sehingga semua upayanya untuk mematahkan
belenggu itu hanya menghasilkan rasa nyeri dan
pedas pada pergelangan kaki dan tangannya.
"Jahanam Gak, manusia keparat rendah, pengecut
besar!" Bwee Hwa berteriak-teriak nyaring, memaki-
maki penuh kemarahan. Ia hanya dapat
menggulingkan tubuhnya sehingga akhirnya ia
terguling dan jatuh dari atas pembaringan dalam
keadaan rebah dan tidak mampu bangkit duduk.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan Gak Sun
Thai muncul dari pintu kamar.
"Ha-ha-ha, perempuan muda yang sombong! Coba
ingin kulihat apakah engkau dapat membebaskan
dirimu sekarang, ha-ha-ha!"
Bwee Hwa menggulingkan tubuhnya sehingga ia
dapat memandang wajah kepala gerombolan itu.
"Huh, orang she Gak! Apakah engkau tidak tahu
malu" Pantaskah kecurangan ini dilakukan seorang
laki-laki jantan" Sungguh engkau manusia hina,
rendah dan curang! Mengapa engkau melakukan
kecurangan seperti ini kepadaku yang tadinya
kauanggap sebagai seorang sahabat?"
"Bwee Hwa, jangan engkau sombong! Biarpun
kepandaianmu tinggi, akan tetapi engkau masih hijau
dan tolol. Ketahuilah, kalau saja engkau bukan puteri
Kauw-jiu Pek-wan, tentu sekarang engkau masih
kuanggap sebagai seorang tamu agung yang kami
hormati. Akan tetapi engkau adalah puteri Si Lutung
Gila itu! Dia telah memukul, memaki, menghina dan
mengusir aku. Pada hal aku telah bertahun-tahun
menjadi pembantunya yang setia. Telah lama sekali
aku mendendam kepadanya, dan sekarang engkau
anaknya dengan suka rela datang menyerahkan diri.
Maka, jangan engkau mati penasaran, biarlah engkau
mewakili ayahmu atas kelakuannya yang jahat
kepadaku dahulu dan biarlah engkau yang menebus
dosanya." "Pengecut hina! Beginikah caramu membalas
dendam" Kalau engkau memang laki-laki, lepaskan
ikatan ini dan mari kita bertanding seribu jurus sampai
seorang di antara kita mati!"
"Ha-ha-ha, kaukira aku begitu bodoh" Terus terang
kuakui bahwa aku tidak mampu menandingimu.
Kepandaianmu tinggi, aku tidak begitu bodoh untuk
membebaskanmu. Engkau sudah tertawan dan
dendamku akan terbalas terhadap Kauw-jiu Pek-wan
melalui engkau, anaknya!"
Bwee Hwa merasa gemas sekali. "Bangsat rendah tak
tahu malu. Aku sudah terjatuh dalam akal dan tipu
muslihatmu yang curang dan rendah. Hayo engkau
cepat ambil senjata dan bunuh mati aku agar
nyawaku dapat bebas untuk mencekik batang
lehermu!" "Enak saja kau bicara! Bukan semudah itu engkau
mati." "Apa yang hendak kaulakukan, jahanam busuk?"
Bwee Hwa membentak dengan marah, akan tetapi
diam-diam ia merasa khawatir. Mati bukan apa-apa
baginya dan ia tidak takut. Akan tetapi ia merasa
khawatir kalau-kalau manusia rendah itu akan
menggunakan akal busuk lain lagi untuk
menyiksanya. "Nona manis, kaulihat sajalah nanti. Aku akan
menghibur anak buahku dengan pertunjukan yang
menarik hati." Setelah berkata demikian, Gak Sun Thai berteriak
memanggil empat orang anak buahnya yang menanti
di luar kamar. Atas perintah Gak Sun Thai, empat
orang itu lalu mengangkat dan memanggul tubuh
Bwee Hwa keluar dari rumah itu. Gadis itu lalu
dinaikkan ke atas punggung dua ekor kuda yang di
tengah-tengah antara mereka telah dipasangi
usungan. Bwee Hwa dipaksa duduk di dalam usungan itu
dengan kaki tangan tetap terbelenggu. Ia meneliti
dengan sudut matanya dan melihat betapa orang-
orang yang kemarin mengaguminya itu kini tampak
bermuka beringas, buas dan kejam, tanda bahwa
mereka semua telah ikut membenci dan
memusuhinya. Tak lama kemudian, Gak Sun Thai bersama tiga orang
pembantu utamanya yang kemarin menguji
kepandaian Bwee Hwa, memimpin para anak buah
gerombolan membawa Bwee Hwa ke dalam hutan
yang tampaknya lebih lebat dan liar lagi. Mereka
melalui sepanjang lorong kecil yang agaknya
merupakan jalan rahasia mereka dan jalannya
mendaki, menuju puncak bukit. Kurang lebih lima li
mereka berjalan, mereka tiba di puncak bukit di mana
terdapat tempat terbuka karena pohon-pohon yang
tumbuh di situ tidak berdempetan, akan tetapi semua
pohon itu sangat tinggi. Bwee Hwa lalu diturunkan dan diikat pada sebatang
pohon besar yang berdiri agak terpencil. Ia
dihadapkan ke arah timur, disinari matahari yang
mulai cerah sinarnya. "Nah, malam tadi engkau kami jamu dengan pesta
makan besar, sekarang biarlah engkau yang menjadi
hidangan lezat!" kata Gak Sun Thai sambil
menyeringai. Wajahnya tampak bengis penuh dengan
kekejaman hati yang mendendam.
Bwee Hwa diam saja, hanya tetap waspada
memperhatikan keadaan sekelilingnya walaupun ia
sama sekali tidak berdaya. Ia tahu bahwa dirinya
berada dalam ancaman bahaya maut, akan tetapi
tidak dapat menduga apa macam bahaya itu.
Gak Sun Thai lalu mengeluarkan sebuah terompet dari
tanduk kerbau dan diapun meniup terompet itu.
Terdengar suara mengaum yang menyeramkan,
seperti bunyi seekor kerbau menguak, akan tetapi
suara itu memanjang dan mengandung getaran yang
dapat membuat suara itu terdengar sampai jauh,
bergaung. Ketika kepala gerombolan itu meniup terompetnya,
semua anak buahnya yang berdiri mengelilinginya
berdongak memandang ke atas sehingga Bwee Hwa
juga memandang ke atas. Akan tetapi langit yang
kelabu itu tampak bersih tidak ada sesuatu yang aneh
sehingga Bwee Hwa merasa heran sekali. Apakah
yang sedang dilakukan orang-orang yang wajahnya
beringas ini" Berulang-ulang Gak Sun Thai meniup terompetnya
sehingga mukanya mulai berkeringat dan urat
lehernya menggembung. Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru,
"Nah itu mereka datang!"
Semua orang memandang ke atas. Juga Bwee Hwa
melihat ke arah yang ditunjuk itu. Tiba-tiba hatinya
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdebar dan tahulah ia kini apa yang dikehendaki
Gak Sun Thai yang sudah seperti gila oleh dendam
sakit hatinya. Di atas udara tampak dua titik hitam melayang-
layang dan berputar-putar mengelilingi sekitar tempat
itu. Jelas bahwa dua titik hitam itu merupakan burung
terbang. Setelah dua titik hitam itu melayang turun
semakin dekat, tampaklah bahwa mereka adalah dua
ekor burung rajawali yang amat besar, seperti dua
ekor rajawali yang dibunuhnya kemarin!
Gak Sun Thai dan semua anak buahnya lalu
berloncatan menyelinap di antara semak-semak dan
mereka semua bersembunyi. Akan tetapi Gak Sun
Thai yang bersembunyi di dalam semak belukar masih
terus meniup terompetnya.
Dua ekor burung rajawali itu kini telah tiba di atas
pohon di mana Bwee Hwa terikat. Mereka terbang
mengelilingi pohon itu dan Gak Sun Thai sudah meng-
hentikan tiupan sulingnya.
Kini mengertilah Bwee Hwa. Tiupan terompet tanduk
kerbau itu adalah untuk menarik perhatian dan
memanggil dua ekor burung itu dan dirinya dipasang
di situ sebagai umpan. Pantas saja kepala gerombolan
itu tadi berkata bahwa ia hendak dijadikan sebagai
hidangan lezat. Ia hendak dijadikan mangsa dua ekor
burung itu! Tentu saja Bwee Hwa merasa ngeri membayangkan
betapa tubuhnya akan dicabik-cabik. Akan tetapi ia
menggigit bibirnya. Tak sudi ia mengeluh atau
menjerit memperlihatkan rasa takutnya kepada Gak
Sun Thai dan anak buahnya. Ia akan menghadapi
kematiannya dengan tabah dan gagah, sesuai dengan
nasihat gurunya dahulu. "Lebih baik mati seperti
harimau daripada hidup seperti babi!" kata gurunya
yang menganjurkan agar ia selalu menjaga nama dan
kehormatan, bersikap gagah biar diancam kematian
sekalipun dan tidak boleh berbuat rendah dan
bersikap pengecut. Melihat semua orang bersembunyi, tahulah Bwee
Hwa bahwa mereka takut menjadi korban dua ekor
burung ganas itu dan mereka kini tentu sedang
mengintai dengan hati tegang dan gembira! Kini ia
tahu mengapa ia diikat di pohon itu dengan
menghadap ke timur. Dengan demikian tubuhnya
akan disinari matahari dan dapat dengan mudah
tampak oleh sepasang burung rajawali itu.
Benar saja dugaannya. Agaknya dua ekor rajawali itu
kini dapat melihat tubuh gadis yang terikat di batang
pohon. Mereka mengeluarkan bunyi nyaring seperti
kegirangan dan keduanya meluncur turun sampai
dekat sekali dengan pohon. Mereka mengelilingi
pohon dan kepakan sayap mereka yang besar dan
kuat itu mendatangkan angin membuat daun-daun
pohon bergoyang-goyang. Kini keduanya
mengeluarkan bunyi cecowetan seolah berunding
siapa yang akan lebih dulu menyerang calon mangsa
yang berada di bawah pohon itu.
Bwee Hwa merasa ngeri, akan tetapi tetap saja ia
tidak mau mengeluh, bahkan tidak memejamkan
mata. Bahkan dengan sinar mata tajam ia menatap
ke arah dua ekor rajawali itu dengan penuh
keberanian. Tiba-tiba seekor di antara dua ekor
rajawali itu, agaknya yang jantan, menukik ke bawah
menyambar ke arah tubuh Bwee Hwa.
Pada saat yang teramat gawat bagi keselamatan
nyawa Bwee Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan
nyaring. "Binatang jahat, pergilah!" Dan dari belakang
seba-tang pohon besar berkelebat sesosok bayangan
orang yang melebihi kecepatan rajawali itu sehingga
sebelum burung itu dapat mencengkeram tubuh Bwee
Hwa, tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di
depan Bwee Hwa dan menggunakan pedangnya
menyambut rajawali itu dengan sabetan pedangnya!
Rajawali raksasa itu sama sekali tidak menyangka
akan disambut serangan. Gerakan pedang di tangan
pemuda itu luar biasa cepatnya sehingga rajawali itu
tidak mampu menghindarkan dirinya dan kaki kirinya,
di bagian paha terluka sabetan pedang dan
mengeluarkan darah! Burung itu mengeluarkan pekik
nyaring, tubuhnya melayang lagi ke atas sambil
berteriak-teriak. Alangkah gembira hati Bwee Hwa ketika melihat
bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Ong
Siong Li, pemuda yang dulu bersamanya telah
mengobrak-abrik perkumpulan agama sesat Hwe-coa-
kauw! Siong Li tidak membuang waktu lagi,
pedangnya berkelebat dua kali dan belenggu di kaki
tangan Bwee Hwa terputus. Gadis itu kini bebas.
"Li-ko, terima kasih!" kata Bwee Hwa dengan terharu,
karena tadinya ia sudah hampir putus asa untuk
dapat terlepas dari ancaman maut.
"Hwa-moi, jangan sungkan untuk urusan kecil ini. Mari
kita basmi penjahat-penjahat itu."
Bwee Hwa seperti diingatkan. Ia melihat ke kanan kiri
dan matanya yang tajam dapat melihat bayangan
orang-orang bersembunyi di balik pohon-pohon dan
semak-semak. Sementara itu, dua ekor burung
rajawali tadi tampaknya menjadi ketakutan dan
mereka terbang pergi meninggalkan tempat itu.
Mungkin kedua ekor rajawali itu tidak sedang
kelaparan. Kalau mereka kelaparan, tentu mereka
akan nekat untuk menyerang lagi.
"Bangsat rendah she Gak, keluarlah untuk menerima
kematianmu!" bentak Bwee Hwa dengan marah.
Tiba-tiba dari tempat persembunyian para gerombolan
itu meluncur anak panah dan senjata rahasia piauw
yang beterbangan menyerang Bwee Hwa dan Siong
Li. Siong Li cepat memutar pedangnya untuk memukul
runtuh senjata-senjata rahasia itu. Adapun Bwee Hwa
yang tidak memegang senjata, melompat ke atas
menghindarkan diri. Tubuh gadis itu bagaikan seekor
burung terbang saja kini melayang ke arah para anak
buah gerombolan yang sudah berlompatan keluar dari
tempat persembunyian mereka. Begitu tubuhnya tiba
di antara para anak buah gerombolan, kaki tangannya
bergerak cepat dan terdengar teriakan-teriakan
kesakitan dan tiga orang anggauta gerombolan telah
terpelanting roboh. Seorang diri saja Gak Sun Thai tidak mampu
mengalahkan Bwee Hwa. Hal ini bukan membuat dia
jerih. Karena sekarang dia diikuti tiga orang pembantu
utamanya dan empatpuluh lebih orang anak buahnya,
tentu saja Gak Sun Thai tidak menjadi takut dan dia
menjadi marah sekali melihat gadis itu dapat
dibebaskan oleh seorang pemuda. Dia lalu memberi
aba-aba dan semua anak buahnya kini maju
mengeroyok Bwee Hwa dan Siong Li.
Seorang anak buah menyerang Bwee Hwa dengan
tusukan pedangnya dari belakang. Pedangnya
meluncur, menusuk ke arah punggung gadis itu. Akan
tetapi dengan pendengarannya yang tajam terlatih,
Bwee Hwa dapat mendengar gerakan ini. Dengan
cepat sekali ia miringkan tubuhnya, terus membalik.
Pedang itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Tangan
kiri Bwee Hwa menyambar, merampas pedang dan
kakinya mencuat. Penyerang itu berteriak, pedangnya
terampas dan tubuhnya terlempar ke belakang
diterjang tendangan kaki mungil itu.
Kini, dengan pedang rampasannya, Bwee Hwa
mengamuk. Pedangnya berubah menjadi gulungan
sinar menyambar-nyambar, dari mulutnya keluar
suara berdengung-dengung seperti banyak tawon
beterbangan dan banyak anak buah gerombolan
berpelan?tingan disambar gulungan sinar pedang.
Siong Li juga mengamuk dengan pedangnya. Gerakan
pedangnya tidak kalah hebat walaupun tidak seganas
amukan Bwee Hwa yang marah sekali. Melihat
amukan dua orang muda itu, Gak Sun Thai cepat
memberi isyarat kepada tiga orang pembantunya. Dia
sendiri sudah menyerang Bwee Hwa dengan
pedangnya dibantu Souw Ban Lip, kakek tinggi kurus
berjenggot panjang yang bersenjatakan sebatang
golok tipis. "Cringgg.......!" Golok tipis di tangan Souw Ban Lip
terpental ketika Bwee Hwa menangkis menggunakan
pedang rampasannya. Pada saat itu, Gak Sun Thai
membacok ke arah lehernya dengan pedang di
tangan. Melihat serangan kilat yang tak dapat
dielakkan lagi, Bwee Hwa mengerahkan tenaga dan
memapaki bacokan itu dengan tangkisan pedangnya.
"Trakkk!" Bwee Hwa terkejut sekali dan melompat ke
belakang. Ia melihat bahwa pedang rampasannya
patah menjadi dua potong dan ternyata kepala
gerombolan itu mempergunakan pedang Sin-hong-
kiam pedang miliknya yang telah dirampas Gak Sun
Thai. "Keparat! Kembalikan pedangku!" bentak Bwee Hwa
sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka
orang "Ha-ha-ha, nih, terima pedangmu!" Dia berkata dan
menusukkan pedang pusaka itu ke arah dada Bwee
Hwa. Gadis itu cepat melompat ke kiri. Akan tetapi golok
Souw Ban Lip telah menyambutnya dengan bacokan.
Terpaksa ia melompat ke belakang dan hanya dengan
sepotong pedang buntung Bwee Hwa melayani
pengeroyokan Gak Sun Thai dan Souw Ban Lip, juga
masih harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali
anak buah gerombolan. Bwee Hwa berlaku cerdik sekali. Ia berlompatan
meninggalkan dua orang pemimpin itu dan
mengamuk di antara para anak buah gerombolan.
Dengan demikian, dua orang pemim?pin itu tidak
mampu mendesaknya, terhalang oleh pengeroyokan
banyak anak buah mereka terhadap Bwee Hwa.
Sementara itu, Lui Thong yang tinggi besar juga sudah
mengeroyok Siong Li bersama Lie Hoat yang pendek
kurus. Lui Thong menggunakan goloknya yang besar
dan berat, sedangkan Lie Hoat mempergunakan
sebatang tombak. Dua orang pimpinan gerombolan ini
masih dibantu banyak anak buah mereka sehingga
gerakan mereka bahkan terhalang dan tidak leluasa.
Seperti juga Bwee Hwa, Siong Li maklum bahwa
yang lihai di antara para pengeroyoknya adalah dua
orang pimpinan ini, maka diapun menjauhi mereka
dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah
gerombolan. Diamuk dua orang muda yang amat lihai itu, anak
buah gerombolan menjadi panik. Banyak sekali
kawan mereka sudah roboh. Sisanya menjadi panik
dan hanya mengepung sambil berteriak-teriak, tidak
berani mendekat. Akhirnya, hanya tinggal Gak Sun
Thai dan Souw Ban Lip yang mengeroyok Bwee Hwa,
sedangkan Lui Thong dan Lie Hoat mengeroyok Siong
Li. Para anak buah ada yang merawat kawan-kawan
yang terluka, dan ada pula yang menonton dari jarak
jauh yang aman. Sementara itu, ketika mengamuk di antara para anak
buah gerombolan tadi, Bwee Hwa sudah berhasil
merampas sebatang pedang lain untuk menggantikan
pedangnya yang buntung. Kini ia mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi
dua orang pengeroyoknya. Tiba-tiba Souw Ban Lip
menggerakkan tangan kirinya dan tiga batang piauw
dilepaskannya, menyambar ke arah Bwee Hwa.
Gadis itu sengaja melempar diri ke bawah,
bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Sinar lembut
menyambar ke arah Souw Ban Lip dan orang tinggi
ku-rus itu menjerit dan terpelanting roboh sambil
memegangi lehernya di mana tertancap tiga batang
jarum Hong-cu-ciam! Gak Sun Thai terkejut sekali melihat kawannya roboh.
Dia menjadi panik dan biarpun dia menggunakan
pedang pusaka Sin-hong-kiam milik Bwee Hwa, akan
tetapi karena dia sudah terbiasa memainkan siang-
kiam (sepasang pedang), maka gerakannya menjadi
kacau. Akhirnya, ketika ujung pedang di tangan Bwee
Hwa menyentuh lengannya, terpaksa dia melepaskan
Sin-hong-kiam dan gadis itu cepat menangkap
pedangnya, lalu membuang pedang rampasan tadi,
kini menggunakan pedang sendiri! Gak Sun Thai
menjadi semakin panik, akan tetapi karena tidak ada
kesempatan melarikan diri, dengan nekat dia
mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di
punggung, lalu melawan mati-matian menggunakan
siang-kiam. Siong Li juga tidak mau kalah. Setelah dikeroyok dua,
dia mengeluarkan jurus simpanannya pada saat Lie
Hoat menahan tombaknya dan menyerangnya
dengan tangan kiri menggunakan ilmu pukulan Tiat-
see-ciang yang ampuh. Siong Li membuang diri ke kiri
dan ketika tangan Lie Hoat yang pendek itu
memu?kul lewat, dia mengayun pedangnya dari kiri.
"Crakkk!" Lengan kiri Lie Hoat itu buntung sebatas
siku. Lie Hoat menjerit lalu melompat ke belakang,
dengan tangan kanan memegangi siku yang buntung,
akhirnya dia terkulai dan roboh pingsan. Beberapa
orang anak buah segera mengangkatnya, seperti juga
mereka mengangkat dan merawat Souw Ban Lip
yang terkena jarum tawon Bwee Hwa.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terjebak Siasat Jaksa Kwee
Kini Bwee Hwa dan Siong Li masing-masing hanya
melawan seorang saja. Keringat dingin sudah
membasahi seluruh tubuh Gak Sun Thai. Dia melawan
mati-matian dengan sepasang pedangnya. Akan
tetapi sekarang Bwee Hwa menggunakan Sin-hong-
kiam. Sedangkan tadipun, mengeroyok gadis itu
dengan banyak orang dia tidak mampu menang,
apalagi harus melawan seorang diri!
Di lain pihak, Bwee Hwa marah sekali kepada kepala
gerombolan yang curang dan kejam itu, maka ia
mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Akhirnya,
Bwee Hwa berhasil merobohkan Gak Sun Thai dengan
tusukan pedangnya. Gak Sun Thai terjungkal roboh
dan tewas seketika. Pada saat berikutnya, Siong Li
juga berhasil merobohkan Lui Thong.
Bwee Hwa masih hendak mengamuk dan mengejar
anak buah gerombolan yang melarikan diri sambil
mengangkat kawan-kawan yang tewas dan terluka.
Akan tetapi Siong Li mencegahnya.
"Sudahlah, Hwa-moi. Ampunkan mereka. Mereka itu
hanya anak buah. Setelah para pimpinan mereka
tewas, tentu mereka tidak akan berani merajalela
melakukan kejahatan lagi. Apalagi mengingat bahwa
mereka mempunyai keluarga."
Bwee Hwa menghela napas panjang. Bagaimanapun
juga, orang yang paling dibencinya, Gak Sun Thai,
telah tewas. Ia membersihkan pedangnya pada
batang pohon dan daun-daun, lalu menyarungkan lagi
pedangnya. Sarung pedang itu masih menempel di
pinggangnya. Agaknya karena tergesa Gak Sun Thai
tadi hanya merampas pedangnya tanpa
menanggalkan sarung pedangnya. Ia lalu menatap
wajah Siong Li dan berkata sambil tersenyum manis.
"Li-ko, sungguh aku berhutang budi besar sekali
kepadamu. Kalau saja tidak ada engkau, maka pada
saat ini tentu sudah tidak ada lagi yang namanya
Ang-hong-cu. Aku tentu sudah lenyap ke dalam perut
dua ekor rajawali raksasa tadi. Bagaimana aku dapat
membalas budimu ini, Li-ko?"
"Hwa-moi, jangan engkau mengeluarkan kata-kata
seperti itu, membuat aku merasa malu dan tidak enak
saja. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk
menolong siapa yang patut ditolong" Janganlah bicara
tentang budi, karena perbuatan yang dilakukan
dengan pamrih apapun juga demi keuntungan diri
sendiri bukanlah kebajikan."
Mendengar ucapan ini Bwee Hwa menghela napas
panjang. "Li-ko, kata-katamu itu mengingatkan aku
akan guruku. Engkau sungguh berhati mulia dan aku
merasa seakan-akan berhadapan dengan saudaraku
sendiri. Maukah engkau kuanggap sebagai seorang
kakakku?" "Terima kasih atas kebaikanmu, Hwa-moi."
"Twako (kakak), bagaimana engkau tiba-tiba saja
dapat datang ke sini menolongku?"
Wajah Siong Li menjadi kemerahan. Sebenarnya,
ketika dia berpisah dari gadis itu, hatinya merasa
tidak senang. Entah mengapa, dia merasa suka sekali
berada di dekat gadis itu sehingga ketika mereka
saling berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian.
Terutama kalau dia teringat akan keterangan gadis itu
bahwa ia hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan.
Hatinya menjadi cemas karena dia telah mendengar
kabar bahwa Kauw-jiu Pek-wan adalah seorang yang
berkepandaian tinggi dan juga jahat sekali. Dia
khawatir kalau-kalau gadis itu akan menemui
bencana. Karena itu, akhirnya dia mengalihkan tujuan
perjalanannya dan melakukan pengejaran, lalu
membayangi secara diam-diam. Dia melihat Bwee
Hwa dijamu kepala gerombolan, akan tetapi dia
hanya mengintai dari jauh dan tidak mau
memperlihatkan diri. Dia me?lewathan malam di atas
pohon besar dan tidur di sana, seperti yang sudah
biasa dia lakukan. Akan tetapi, pada keesokan harinya, dia terkejut
bukan main melihat betapa Bwee Hwa ditawan,
dibelenggu kaki tangannya dan dibawa ke dalam
hutan. Dia membayangi dan berjaga-jaga untuk turun
tangan menolong kalau gadis itu terancam.
Demikianlah, ketika dua ekor burung itu datang
menyerang, dia lalu turun tangan menolongnya.
Akan tetapi kini dia menghadapi pertanyaan Bwee
Hwa dan dia merasa bingung, tidak tahu harus
menjawab bagaimana. Untuk berterus terang dia
merasa malu karena hal itu akan membuka rahasia
perasaan hatinya. Untuk berbohong dia juga tidak
sanggup karena hal itu bukan kebiasaannya. Akhirnya
setelah berpikir-pikir, dia menjawab.
"Hwa-moi, sebetulnya ketika aku mendengar bahwa
engkau hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan, hatiku
merasa sangat tertarik. Telah lama aku mendengar
akan nama besar dan kehebatan Kauw-jiu Pek-wan,
akan tetapi aku belum pernah bertemu dengannya.
Kini aku ingin sekali untuk bersamamu mencari orang
tua yang lihai itu dan untuk membuktikan sampai di
mana kelihaiannya. Karena pikiran dan keinginan
itulah maka aku lalu menyusulmu dan mengikuti
jejakmu sampai di sini dan kebetulan melihat engkau
terancam bahaya tadi."
Bwee Hwa menghela napas panjang. "Li-ko, karena
engkau telah menolongku dan sudah kuanggap
sebagai kakakku sendiri, maka biarlah aku mengaku
terus terang kepadamu. Sebenarnya Kauw-jiu Pek-
wan itu adalah ayahku sendiri. Aku telah dibawa oleh
suhu ketika aku berusia delapan tahun dan aku tidak
ingat lagi siapa nama ayah ibuku dan di mana tempat
tinggal mereka. Karena itulah, maka aku hendak
mencari Kauw-jiu Pek-wan karena hanya julukannya
itulah yang kutahu dari suhuku."
Siong Li dapat menahan perasaan hatinya yang kaget
bukan main mendengar bahwa Bwee Hwa adalah
puteri Kauw-jiu Pek-wan. Akan tetapi hal ini tidak
tampak pada mukanya. Dia hanya mengangguk lalu
berkata. "Lalu ke manakah engkau hendak mencarinya, Hwa-
moi?" "Aku sudah mendengar dari jahanam Gak Sun Thai itu
bahwa ayahku sekarang bertempat tinggal di sebuah
kampung kecil di atas Bukit Twi-bok-san. Dia bernama
Kwee Ciang Hok dan memang tadinya ayah adalah
seorang perampok besar. Akan tetapi kata kepala
gerombolan itu, ayah kini telah mengundurkan diri
dan mencuci tangan."
Siong Li menarik napas panjang. "Hwa-moi, terus
terang saja, akupun telah mendengar bahwa nama
ayahmu itu disohorkan orang dan tidak begitu baik
terdengarnya. Akan tetapi semua itu hanya kabar
angin, aku sendiri belum menyaksikannya dan engkau
juga telah berpisah dari ayahmu sejak kecil. Kuharap
saja kabar-kabar itu hanya bohong belaka. Maka
sebaiknya kita pergi sendiri ke Twi-bok-san untuk
membuktikan kebenaran kabar-kabar angin itu."
Bwee Hwa memandang wajah pemuda itu dan di
dalam hatinya ia menilai. Pemuda ini benar-benar baik
hati terhadapnya dan memiliki pandangan yang
bijaksana. Dan harus ia akui bahwa wajah pemuda
itu cukup tampan dan gagah. Memang bentuk
tubuhnya agak pendek, akan tetapi ketika diam-diam
Bwee Hwa mengukur dengan sudut matanya, ia
mendapat kenyataan bahwa sependek-pendeknya,
pemuda itu masih lebih tinggi sedikit daripada ia.
"Li-ko, tahukan engkau jalan menuju Twi-bok-san?"
Siong Li mengangguk. "Kalau begitu, kita tidak segera berangkat ke sana,
mau tunggu sampai kapan lagi?"
Siong Li mengangkat muka memandangnya.
Sepasang matanya berseri gem-bira. "Hwa-moi ,
jadi....... engkau tidak keberatan kalau aku pergi
bersamamu?" Bwee Hwa tersenyum manis. "Tentu saja tidak,
bahkan aku senang sekali mendapat kawan yang
baik hati dan banyak pengalaman seperti engkau, Li-
ko. Kuharap engkau tidak bersikap demikian sungkan
lagi. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik"
Bahkan aku merasa seolah engkau ini pantas menjadi
seorang kakakku." Dalam hatinya Siong Li membantah. Tentu saja dia
tidak bergembira kalau hanya dianggap sebagai
kakak. Akan lebih berbahagialah hatinya kalau gadis
itu menganggap dia sebagai seorang?" kekasih atau
tunangan! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani
menyatakan suara hatinya itu dengan kata-kata.
Mereka lalu meninggalkan hutan itu dan
mempergunakan ilmu berlari cepat. Tubuh sepasang
orang muda ini berkelebatan di antara pohon-pohon
dengan cepat sekali. Mereka seolah berlumba dan
mendapat kenyataan dengan perasaan kagum bahwa
kecepatan lari mereka seimbang. Karena kini Bwee
Hwa melakukan perjalanan bersama Siong Li yang
telah mengenal jalan, maka perjalanan mereka cepat
dan lancar. Menurut keterangan pemuda itu, Bukit
Twi-bok-san dapat dicapai selama perjalanan kurang
lebih satu minggu, melalui kota Tung-kwang yang
besar dan ramai. Di sepanjang perjalanan, Siong Li bersikap sopan
terhadap Bwee Hwa. Kalau mereka terpaksa
bermalam di tengah perjalanan Siong Li mencarikan
tempat di gubuk-gubuk ladang atau di kuil tua. Kalau
terpaksa kemalaman di hutan, Siong Li membuat api
unggun dan melakukan penjagaan. Tentu saja Bwee
Hwa tidak mau tidur semalam suntuk dan
membiarkan pemuda itu berjaga, ia memaksa
pemuda itu untuk bergiliran menjaga. Kalau mereka
bermalam di losmen sebuah kota, Siong Li minta dua
buah kamar. Sikap Siong Li yang amat sopan dan
ramah ini membuat Bwee Hwa semakin tertarik dan
kagum. Pada suatu sore mereka memasuki kota Tung-kwang.
Kota ini cukup besar dan ramai. Melihat banyaknya
rumah makan dan rumah penginapan dapat diketahui
bahwa kota ini banyak dikunjungi orang dari luar kota
dan merupakan kota dagang yang cukup ramai.
Siong Li dan Bwee Hwa mencari sebuah rumah
penginapan yang besar dan menyewa dua kamar
yang berhadapan. Setelah mandi dan bertukar
pakaian, mereka lalu keluar dari rumah penginapan
untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat. Karena siang
tadi mereka tidak bertemu dusun atau kota, maka
sejak pagi tadi mereka belum makan. Perut mereka
terasa lapar dan Bwee Hwa mengajak Siong Li
memasuki sebuah rumah makan besar dari mana
melayang uap yang menyegarkan aroma sedap
membangkitkan selera. Di dalam rumah makan itu terdapat banyak tamu
sedang makan dan bercakap-cakap dengan ramai,
akan tetapi ketika mereka melihat Siong Li dan Bwee
Hwa memasuki ruangan rumah makan, mereka
menghentikan percakapan mereka, bahkan banyak
yang menunda makan mereka. Agaknya mereka
tertarik sekali melihat sepasang orang muda yang
berpakaian serba ringkas dan membawa pedang di
punggung. Mata mereka memandang penuh curiga.
Siong Li dan Bwee Hwa merasakan perubahan ini dan
tahu bahwa semua orang memperhatikan mereka.
Akan tetapi mereka tidak perduli. Mereka memesan
makanan dan minuman, lalu setelah yang dipesan
dihidangkan, merek lalu makan dan minum dengan
tenang. Betapapun juga, mereka berdua diam-diam
memperhatikan orang-orang di sekitar mereka.
Semua orang melanjutkan makan mereka akan tetapi
kini mereka bicara perlahan, tidak berani langsung
memandang ke arah Siong Li dan Bwee Hwa,
kelihatan takut-takut. Malam hari itu terlewat tanpa terjadi sesuatu. Akan
tetapi pada keesokan hari-nya, pagi-pagi benar ketika
Bwee Hwa telah bangun dan membersihkan diri lalu
keluar dari kamar hendak mengetuk pintu kamar
Siong Li, tiba-tiba dari luar menyerbu masuk tujuh
orang yang berpakaian seperti polisi. Mereka
memasuki rumah penginapan itu dengan pedang
terhunus di tangan dan langsung menghampiri Bwee
Hwa. Kawanan polisi ini dipimpin seorang yang
berkumis panjang. Pada saat itu, Siong Li keluar dari dalam kamarnya.
Ternyata diapun sudah bangun dan sudah mandi
sehingga tampak segar. Pemuda ini merasa heran
melihat tujuh orang petugas keamanan itu yang
agaknya langsung menghampiri dia dan Bwee Hwa.
Kepala regu itu berkata kepada mereka berdua.
"Harap ji-wi (kalian berdua) menyerah dan tidak
melawan. Kami harus membawa ji-wi ke kantor polisi
untuk diperiksa." Tentu saja Bwee Hwa dan Siong Li terkejut
mendengar ini dan Bwee Hwa yang berwatak keras
itu segera bertolak pinggang dan membentak marah.
"Kau anggap kami ini orang apakah" Jangan
sembarangan menuduh dan berlaku sewenang-
wenang mengandalkan kekuasaanmu! Dengan alasan
apakah kalian hendak menangkap kami?"
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ucapan dan melihat sikap Bwee Hwa
yang keras dan melawan, kawanan polisi itu segera
memberi isyarat ke belakang mereka dan muncullah
tiga belas orang polisi lain sehingga jumlah mereka
kini menjadi duapuluh orang yang semuanya
mencabut pedang masing-masing!
"Nona, harap jangan mencoba untuk melawan
dengan kekerasan. Kami hanya menjalankan tugas.
Kami diperintah atasan kami untuk menangkap kalian
berdua. Soal urusannya boleh kalian bicarakan sendiri
dengan jaksa yang akan memeriksa kalian nanti di
kantor." Bwee Hwa hendak mencabut pedangnya, akan tetapi
Siong Li memberi isyarat dengan matanya untuk
mencegah gadis itu mengamuk. Melihat ini Bwee Hwa
menahan kemarahannya dan Siong Li lalu
menghampiri kepala regu polisi itu dan berkata
dengan sikap halus. "Baiklah, kami akan menurut. Akan tetapi engkau
harus menerangkan dulu kepada kami, tuduhan
apakah yang dijatuhkan kepada kami" Kami minta
penjelasan agar tidak menjadi penasaran."
Kepala rombongan petugas keamanan itu tersenyum
mengejek. "Ah, kalian masih pura-pura bertanya lagi" Seluruh
kota telah gempar karena perbuatan-perbuatan kalian
pada malam hari, sekarang masih berpura-pura tanya
mengapa kalian hendak ditangkap" Jangan main-main
kalian!" "Siapa yang main-main" Kalian telah salah sangka
dan salah tangkap. Kami bukanlah orang-orang yang
melakukan pelanggaran dan perbuatan jahat, kami
bukan orang-orang yang kalian maksudkan. Kami
baru saja datang di kota ini sore tadi. Nah, marilah
antar kami ke kantor jaksa agar ada penjelasan
tentang hal ini semua. Dengan sikap tenang Siong Li dan Bwee Hwa keluar
dari rumah penginapan itu, dikawal oleh duapuluh
orang penjaga keamanan. Tentu saja hal ini menarik
perhatian orang banyak dan dua orang muda itu
menjadi tontonan. Para petugas keamanan
membentak orang-orang yang saling berdesakan
hendak melihat wajah Siong Li dan Bwee Hwa yang
dikabarkan sebagai sepasang pencuri yang telah
sebulan lebih menggemparkan kota itu.
Tadinya pemimpin regu polisi itu hendak memasang
borgol pada kedua tangan Siong Li dan Bwee Hwa,
akan tetapi Bwee Hwa membentak, "Kalau engkau
berani menyentuh tanganku, kepalamu akan kubikin
pecah lebih dulu!" Siong Li cepat berkata kepada kepala regu itu, "Sobat,
percayalah kepada kami. Kami tidak akan lari, kecuali
kalau kalian bertindak kasar dan sewenang-wenang
tentu kami akan bertindak keras pula. Bawalah saja
kami kepada jaksa dan kami akan menghadap secara
baik-baik." Kepala regu itu agaknya dapat menduga bahwa
kedua orang muda ini tentu lihai sekali dan diapun
melarang anak buahnya bersikap kasar. Maka Siong Li
dan Bwee Hwa tidak diborgol, juga diperlakukan
dengan sopan sehingga mereka yang menonton
menjadi heran. Di sepanjang perjalanan menuju ke
kantor jaksa, banyak orang nonton seregu petugas
keamanan yang mengawal dua orang muda itu.
Berita bahwa sepasang maling yang selama ini
meresahkan penduduk kota Tung-kwang telah
tersebar luas dan semua orang ingin melihat
bagaimana wajah para maling itu. Mereka yang
sempat melihat Siong Li dan Bwee Hwa merasa heran
bukan main. Sepasang maling itu sama sekali tidak
berwajah menyeramkan sebagaimana yang mereka
bayangkan, seperti wajah para penjahat pada
umumnya. Sama sekali sebaliknya, wajah kedua
orang maling ini tampan dan cantik, sepasang orang
muda yang elok! Tak lama kemudian tibalah pasukan itu di kantor
jaksa dan ternyata Jaksa Kwee telah diberi laporan
tentang tertangkapnya dua orang muda yang dicurigai
sebagai maling, maka diapun sudah siap untuk
memeriksanya. Jaksa Kwee adalah seorang laki-laki
berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, bertubuh
gemuk dengan wajah kekanak-kanakan dengan
sepasang mata yang tajam dan cerdik. Dia sudah
duduk di atas kursi kebesarannya, berpakaian jaksa
lengkap. Lima orang perajurit pengawal berdiri di
belakangnya, dengan golok mengkilap di tangan.
Lima orang anggauta polisi termasuk pemimpinannya
yang berkumis panjang mengawal dua orang muda
itu memasuki ruangan sidang. Mereka berlima
menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada
Jaksa Kwee, akan tetapi Siong Li dan Bwee Hwa
tetap berdiri. Si kumis panjang yang melihat ini segera
membentak. "He, kalian sungguh tidak tahu aturan. Lekas berlutut!"
Bwee Hwa menjawab ketus. "Mengapa berlutut"
Kami bukan pesakitan!"
Pemimpin polisi itu hendak marah, akan tetapi Jaksa
Kwee memberi isyarat dengan tangannya untuk
mencegah, kemudian berkata kepada dua orang
muda itu. "Ji-wi bernama siapa dan datang dari manakah?"
Siong Li mengangkat kedua tangan depan dada untuk
memberi hormat, diturut oleh Bwee Hwa lalu berkata
lantang. "Saya bernama Ong Siong Li dan nona ini
adalah seorang pendekar wanita bernama Bwee Hwa
berjuluk Ang-hong-cu. Kami berdua adalah
pengembara dan sama sekali tidak mengerti
mengapa tanpa sebab kami dipaksa menghadap ke
sini. Harap taijin (pembesar) suka memberi penjelasan
mengapa kami ditangkap?"
Jaksa Kwee mengangguk-angguk dan menghela
napas panjang. "Aku sendiri tidak dapat percaya bahwa orang-orang
berdosa dapat bersikap seperti kalian. Tentu ada salah
sangka dalam hal ini. Ketahuilah, telah sebulan lebih
kota ini terganggu oleh sepasang maling yang sangat.
berani dan yang tiap malam mendatangi rumah-
rumah penduduk lalu mencuri barang-barang
berharga. Ji-wi adalah orang-orang asing dan
merupakan muka-muka baru, juga merupakan
sepasang, lebih-lebih jiwi membawa pedang dan pasti
memiliki kepandaian silat karena mengenakan
pakaian perantauan yang ringkas itu, maka mudah
dimengerti mengapa para petugasku menjadi curiga
kepada ji-wi." Siong Li dan Bwee Hwa saling pandang dan
mengangguk-angguk. Di dalam hati mereka memuji
sikap Jaksa Kwee ini sebagai seorang pembesar yang
tegas, jujur, dan bijaksana. Untung tadi mereka tidak
mempergunakan kekerasan. Kalau sampai terjadi
demikian, tentu mereka berdua akan merasa malu
sekali menghadapi pembesar yang bijaksana dan
bersikap terbuka ini. "Sekarang kami mengerti mengapa kami berdua
ditangkap, taijin," kata Siong Li. "Kami tidak
menyalahkan para perajurit ini."
Jaksa Kwee menghela napas panjang lalu berkata, "Ji-
wi adalah orang-orang gagah. Melihat sikap ji-wi yang
gagah dan tenang, aku dapat menduga bahwa ji-wi
tentulah dua orang pendekar budiman yang gagah
perkasa. Akan tetapi sayang sekali nama baik ji-wi
telah dicemarkan oleh sepasang penjahat yang
mengacau kota Tung-kwang ini."
Siong Li hanya tersenyum dan dia merasa semakin
kagum kepada pembesar ini. Ucapan pembesar itu
mengandung maksud tertentu dan membuktikan
kelihaian pembesar itu mempergunakan akalnya.
Akan tetapi Bwee Hwa mengerutkan alis dan rrterasa
tidak senang. "Hemm, mengapa nama kami tercemar oleh mereka"
Kami tidak mempunyai hubungan apapun dengan
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
mereka. Apa yang mereka lakukan tidak ada sangkut
pautnya dengan kami!"
Kwee-taijin menjawab dengan suara yang
mengandung penyesalan besar. "Bukankah ji-wi tadi
telah terlihat oleh semua penduduk kota ini ketika
digiring oleh para petugas keamanan ke kantor ini"
Tentu saja orang-orang itu mengambil kesimpulan
termudah, yaitu bahwa jiwi tentulah sepasang
penjahat yang telah mengacau di kote ini. Bukankah
itu berarti bahwa kedua penjahat itu makan dan
menikmati buahnya, akan tetapi ji-wi yang terkena
getahnya?" Tahulah kini Bwee Hwa akan maksud kata-kata
Kwee-taijin tadi dan ia menjadi marah sekali kepada
kedua orang penjahat itu.
"Baiklah, taijin. Kalau demikian halnya, aku berjanji
akan menangkap kedua orang penjahat itu dan
menyeretnya ke hadapanmu agar semua penduduk
mengetahui bahwa kami berdua bukanlah penjahat-
penjahat keparat itu, melainkan pendekar-pendekar
yang membela kebenaran dan keadilan!" kata gadis
itu marah. Wajah Jaksa Kwee kini tampak cerah berseri-seri.
Senyum lega dan penuh harapan mengembang di
wajahnya yang gemuk, berkali-kali dia berkata,
"Bagus, bagus!" dan dengan ramahnya dia
mengundang Bwee Hwa dan Siong Li untuk tinggal di
gedungnya dan mengajak mereka makan bersama!
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Hwa-moi, engkau bersabarlah!
Malam bulan purnama! Langit bersih, tak tampak ada
mendung sehingga cahaya bulan bersinar tanpa
halangan, menerangi permukaan bumi mendatangkan
suasana yang indah gemilang menggembirakan.
Namun, penduduk kota Tung-kwang yang dihantui
rasa takut dan ngeri dengan adanya dua orang
penjahat yang hampir setiap malam berkeliaran di
kota itu, lebih merasa aman untuk mengeram diri di
dalam kamar rumah mereka.
Semenjak sore tadi, Siong Li dan Bwee Hwa sudah
bersiap-siap. Sehabis makan malam, mereka lalu
keluar dari gedung Jaksa Kwee, melakukan
perondaan keliling kota. Mereka berpakaian ringkas
dan bersikap waspada. Setelah kota menjadi sepi
karena semua penduduk memasuki rumah dan
menutup daun pintu dan jendela, keduanya lalu
melompat ke atas genteng dan melakukan penjagaan
di atas rumah-rumah penduduk.
Malam terang bulan itu dingin sekali. Kesunyian kota
menambah dingin. Setelah menanti sampai tengah
malam, belum ada tanda-tanda sepasang pgnjahat itu
menampakkan diri. Siong Li dan Bwee Hwa merasa marah dan kecewa
sekali. Mereka beristirahat dan duduk di atas
wuwungan sebuah gedung tertinggi sehingga dari situ
mereka dapat melihat ke empat penjuru. Bwee Hwa
hampir kehabisan kesabarannya.
"Penjahat-penjahat gila!" ia bersungut-sungut.
"Kenapa belum juga muncul" Tidak kusangka malam
ini kita akan makan angin di sini."
Melihat gadis itu cemberut dan marah, Siong Li
tertawa kecil sehingga Bwee Hwa memandangnya
dengan heran. "Mengapa engkau tertawa, Li-ko?"
"Aku merasa lucu melihatmu, Hwa-moi."
"Hemm, apanya yang lucu sampai engkau
menertawakan?" gadis itu menge-rutkan alisnya.
"Engkau kelihatan lucu karena sekarang engkau
marah-marah sedangkan tadi engkau begitu
bersemangat untuk menangkap penjahat. Kalau saja
engkau tidak terbujuk kata-kata manis dari Jaksa
Kwee yang cerdik itu, tentu sekarang kita sudah
semakin dekat dengan tempat tujuan kita. Memang
pembesar gendut itu lihai sekali memainkan kata-
kata." Bwee Hwa tertegun dan setelah berpikir sejenak,
baru ia menyadari bahwa tadi ia telah diakali
pembesar gendut bermuka kekanak-kanakan itu. Ia
mendongkol sekali. "Kalau begitu, marilah kita turun dan temui Jaksa
Kwee! Aku tidak sudi diper-kuda olehnya dan setelah
bicara terus terang kepadanya, kita lanjutkan
perjalanan malam ini juga. Perjalanan kita lebih
penting daripada segala usaha menanti-nanti
munculnya maling-maling kecil seperti sekarang ini.
Aku benar tolol sehingga menderita kedinginan seperti
ini!" Bwee Hwa sudah bersiap hendak melompat turun
ketika tiba-tiba Siong Li memegang lengannya dan
berbisik, "Sstt, lihat di sana itu?"!"
Bwee Hwa menengok dan ia melihat dua sosok
bayangan hitam berlari-lari di atas genteng. Gerakan
mereka cukup gesit dan tentu saja Bwee Hwa
menjadi curiga dan menduga bahwa mereka tentu
dua orang penjahat yang dimaksudkan itu. Karena
dua sosok bayangan itu berlari menuju ke arah
mereka, maka Bwee Hwa tetap mendekam dan
berkata perlahan, "Maling-maling kecil, sekarang tiba
saatnya kalian binasa!" Ia dan Siong Li bersiap siaga
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan ketika dua bayangan itu telah melompat ke atas
genteng wuwungan gedung di mana ia berada, Bwee
Hwa melompat keluar dan membentak.
"Maling-maling kecil busuk! Menyerahlah untuk
kutangkap!" Dua orang itu terkejut bukan main dan mereka berdiri
menghadapi Bwee Hwa dengan sikap menantang.
Bwee Hwa memperhatikan dan melihat bahwa dua
orang itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita
yang berusia kurang lebih tigapuluhan tahun. Pakaian
mereka serba hitam dan keduanya mempunyai
pedang yang tergantung di punggung. Ketika melihat
bahwa yang mereka hadapi hanyalah seorang dara
muda yang berpakaian serba merah, wanita itu lalu
balas membentak. "Anak kecil kurang ajar! Siapakah kamu berani
menghalangi kami?" Sambil berkata begini ia
mencabut pedangnya hendak menyerang, akan tetapi
kawannya yang laki-laki mencegah, lalu menoleh ke
arah wuwungan di mana Siong Li masih bersembunyi
dan berkata mengejek. "Sobat yang berada di belakang wuwungan, keluarlah
menemui kami, tidak perlu bersembunyi di situ!"
Siong Li kagum akan ketajaman penglihatan orang
itu. Dia meloncat keluar sambil tersenyum. Melihat
gerakan Siong Li demikian ringan dan cepat, kedua
orang berpakaian hitam itu terkejut juga. Siong Li
memang mempergunakan jurus Le-hi Ta-teng (Ikan Le
Meloncat) dan loncatannya cepat dan indah karena
dia membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali sebelum
kedua kakinya hinggap di atas genteng tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun.
Laki-laki itu agaknya maklum bahwa dia berhadapan
dengan orang pandai, maka dia bersikap ramah
ketika menegur. "Dua orang sobat yang baik,
siapakah kalian dan mengapa menghadang kami?"
Bwee Hwa yang masih marah segera menjawab
ketus. "Mau tahu, siapa kami" Aku adalah Ang-hong-
cu (Si Tawon Merah) dan kawanku ini adalah Kim-
kak-liong (Si Naga Tanduk Emas). Kalian berdua
sungguh kurang ajar dan sengaja mencemarkan
nama kami!" Laki-laki berkumis tipis itu terbelalak heran.
"Bagaimana engkau dapat berkata demikian, lihiap
(pendekar wanita)" Kita baru saja bertemu,
bagaimana kami da?pat mencemarkan nama kalian?"
Bwee Hwa menudingkan telunjuknya ke arah muka
orang itu. "Kami adalah pendekar-pendekar pembela
keadilan dan kebenaran, akan tetapi baru saja kami
memasuki kota ini orang-orang telah menyangka
bahwa kami adalah kalian berdua! Mana bisa kami
disamakan dengan segala maling kecil seperti kalian?"
Laki-laki berkumis tipis itu tersenyum mengejek.
"Sungguh engkau aneh dan tidak adil, lihiap. Kalau
kalian berdua disamakan dengan aku dan adikku ini,
siapakah yang menyamakan" Pasti sekali bukan
kami. Kami tidak pernah bermusuhan dengan kalian,
maka harap jangan mengganggu kami."
Bwee Hwa tidak dapat menjawab, sehingga Siong Li
yang maju dan berkata, "Harap ji-wi (kalian berdua)
maafkan jika kami terpaksa mengganggu pekerjaan
ji-wi. Akan tetapi, sebagai orang-orang yang
menentang kejahatan, kami tidak suka dengan
perbuatan kalian yang mengacau penduduk kota ini
dan melakukan pencurian. Pula, kami telah berjanji
kepada Jaksa Kwee untuk menangkap orang-orang
yang menjadi pengacau kota ini. Terpaksa kami harus
menangkap kalian." "Bangsat sombong!" maling wanita itu berteriak dan
cepat ia sudah menggerak?kan pedang di tangannya
dan menyerang Bwee Hwa. "Singgg?"!" Pedang itu menyambar lewat di atas
kepala Bwee Hwa karena pendekar wanita ini sudah
mengelak dari sambaran pedang ke arah lehernya
dengan merendahkan tubuhnya dan dari bawah,
pedang Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) ia
tusukan ke arah perut lawan.
Maling wanita itu terkejut bukan main, tidak
menyangka bahwa gadis yang diserangnya itu
sedemikian cepat gerakannya. Nyaris perutnya
tertusuk pedang. Ia cepat melempar tubuh ke
belakang dan berjungkir balik tiga kali. Kini dengan
hati-hati sekali ia menghadapi Bwee Hwa dan segera
terjadi pertandingan pedang antara dua orang wanita
itu. Sementara itu, maling pria yang melihat rekannya
atau lebih tepat adiknya telah bertanding melawan
Bwee Hwa, segera menyerang Siong Li dengan
pedangnya pula. Siong Li menyambut dengan
pedangnya dan terjadi perkelahian yang seru antara
kedua orang ini. Akan tetapi, baru saja lewat belasan jurus, sepasang
maling ini sudah kewalahan dan terdesak hebat.
Mereka maklum bahwa mereka tidak mampu
menandingi sepasang pendekar itu. Akan tetapi
karena tidak mampu melarikan diri, mereka lalu
melawan dengan nekat dan mati-matian. Di lain
pihak, Bwee Hwa dan Siong Li tidak terlalu menekan
kedua orang lawan itu karena sepasang pendekar ini
tidak ingin membunuh mereka, melainkan ingin
menangkap mereka hidup-hidup untuk diserahkan
kepada Jaksa Kwee dan agar semua orang
mengetahui maling-maling yang sesungguhnya.
"Hyaaaaatttt?"!" Bwee Hwa membentak nyaring dan
kaki kirinya berhasil menendang pergelangan tangan
maling wanita sehingga pedang di tangan wanita itu
terlepas dan terlempar, jatuh berkerontangan di atas
genteng. Sebelum maling itu dapat menghindarkan
diri, Bwee Hwa sudah menotok pundaknya dan
lawannya terkulai dengan tubuh lemas tak berdaya.
Pada saat yang hampir bersamaan Siong Li juga
sudah berhasil merobohkan lawannya dengan
mematahkan pedang lawan ketika pedang mereka
bertemu dan merobohkannya dengan sebuah
tendangan lalu menyusulkan totokan yang membuat
maling pria itupun tidak mampu bergerak. Kedua
orang pendekar itu lalu membawa dua orang maling
itu turun dari atas genteng dan hendak membawa
mereka ke gedung Jaksa Kwee.
"Kalian akan membawa kami ke mana?" tanya
maling wanita itu kepada Bwee Hwa yang
memanggul tubuhnya. "Ke mana lagi?" jawab Bwee Hwa dengan suara
mengejek. "Tentu saja hendak kami serahkan kepada
Jaksa Kwee agar kalian diadili dan dihukum berat."
"Bebaskan kami!" kata maling wanita itu. "Kalau tidak,
kalian tentu akan ber-hadapan dengan Kauw-jiu Pek-
wan yang pasti akan membalas dendam kepada
kalian!" "Apa?"?" Tiba-tiba Bwee Hwa dan Siong Li berhenti.
Mereka sudah tiba di depan gedung Jaksa Kwee.
Bwee Hwa menurunkan maling wanita itu dari
pundaknya dan bertanya, "Kau tadi menyebut
nama?" Kauw-jiu Pek-wan.......?"
Maling wanita itu merasa girang karena mengira
bahwa nama besar itu membuat Bwee Hwa takut.
"Benar, Kauw-jiu Pek-wan adalah guru kami!"
Bukan main kagetnya hati Bwee Hwa mendengar
bahwa kedua orang maling itu adalah murid ayahnya!
Siong Li juga terkejut dan dia juga menurunkan
maling pria itu dari atas pundaknya.
"Li-ko, ternyata mereka ini?" muridnya?"!" kata
Bwee Hwa kepada Siong Li.
"Apakah ji-wi mengenal guru kami?" tanya maling
pria yang masih rebah di atas tanah di samping
rekannya, tidak mampu bergerak karena keduanya
masih dalam keadaan tertotok.
"Mengenalnya" Hemmmm?"" Bwee Hwa meragu.
"Kalau kalian murid Kauw-jiu Pek-wan, mengapa
kalian menjadi maling?"
Mendengar pertanyaan ini, kedua orang itu tertawa
dan Bwee Hwa baru teringat bahwa Kauw-jiu Pek-
wan, ayahnya itu adalah seorang kepala perampok
besar! Tidak aneh kalau murid-muridnya menjadi
maling! Maka pertanyaannya itu tadi tentu saja
terdengar bodoh sekali sehingga kedua orang maling
itu tertawa. "Di mana adanya Kauw-jiu Pek-wan?" tanyanya
kepada kedua orang maling itu. Dua orang itu masih
menganggap bahwa Bwee Hwa jerih kepada suhu
mereka, maka maling wanita itu menjawab dengan
terus terang, mengharapkan bahwa akhirnya Bwee
Hwa akan membebaskan mereka.
"Guru kami masih tetap tinggal di Twi-bok-san yang
tidak jauh dari sini dan kini sedang menghadapi
perayaan besar. Kami berdua di sini sedang
mengumpulkan biaya atas perintahnya untuk
keperluan perayaan itu. Kalau kalian membebaskan
kami, beliau tentu akan memaafkan kalian dan akan
memberi hadiah besar. Karena itu, bebaskanlah kami
sekarang juga dan kami akan melaporkan kebaikan
kalian kepada suhu."
Bwee Hwa memandang kepada Siong Li dan
bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Li-ko" Apa yang
akan kita lakukan terhadap dua orang ini?" Gadis itu
bagaimanapun juga merasa ragu dan serba salah.
Dua orang itu adalah maling yang harus dihukum,
akan tetapi mereka juga murid-murid ayahnya!
Siong Li merasa sungkan juga kepada Bwee Hwa.
Akan tetapi dia harus jujur dan setelah menghela
napas panjang dia menjawab. "Dulu guruku pernah
berkata bahwa seorang gagah harus teguh dalam
pendiriannya, yaitu menentang kejahatan tanpa
memperdulikan siapapun yang melakukan kejahatan
itu." Bwee Hwa mengangguk-angguk. "Tepat sekali, aku
juga berpikir begitu, Li-ko. Terima kasih, pendapatmu
menghapus keraguanku. Mari kita serahkan dua orang
Panik Di Sirkus Sarani 3 Sherlock Holmes - Petualangan Tiga Garrideb Dadu Setan 3