Pencarian

Dadu Setan 3

Wiro Sableng 148 Dadu Setan Bagian 3


hanya dengan kerja ringan setiap bulan kau menerima upah besar. Kalau kau ingin
hiburan, tinggal memilih perempuan yang kau sukai. "
"Hemm. . . begitu" Aku bisa menduga. Komplotan yang kau maksudkan itu adalah
komplotan perbuatan judi serta perbuatan mesum!"
Ki Sentot Balangnipa tertawa mengekeh.
"Mulutmu lancar juga mengeluarkan ocehan. Rasa-rasanya kau jenis manusia yang
lebih suka mati konyol dari pada mendapat kesenangan!"
Rayi Jantra berbisik pada anak buah di sampingnya.
"Lebak, lekas tinggalkan tempat ini! Kembali ke Losari. Beri tahu Adipati Soda
Wiralaga apa yang terjadi di sini!"
Perajurit Kadipaten bernama Lebak tidak tunggu lebih lama segera menghambur ke
arah pintu yang terbuka karena diganjal balok. Ki Sentot Balangnipa hantamkan
kaki kirinya yang berbentuk kaki kuda ke lantai ruangan. Satu gelombang angin
keras menderu ke arah pintu. Balok kayu yang mengganjal hancur berkeping-keping.
Pintu rahasia terbuat dari batu itu menutup dengan mengeluarkan suara keras.
"Jangankan manusia, setan sekalipun tak bakal bisa lolos dari tempat ini!"
Dadu Setan 42 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Didahului umbaran suara ringkikan kuda Ki Sentot Balangnipa melompat ke arah
Rayi Jantra. Kaki kanannya menendang mencari sasaran di dada orang. Kepala
Pasukan Kadipaten Losari ini cepat menyingkir ke kiri. Begitu tendangan lewat
dia membacok dengan golok besar di tangan kanan. Sementara itu dua orang bermuka
hangus telah menyerbu Lebak.
"Traangg!"
Golok yang membacok kaki kanan Ki Sentot Balangnipa seperti menghantam besi
mengeluarkan suara berdentrangan disertai memerciknya bunga api. Tidak mempan!
Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis kembali tertawa meringkik. Sementara
Rayi Jantra terbelalak melihat golok di tangannya gompal besar. Serta merta dia
campakkan golok ke lantai lalu dari balik pinggangnya Kepala Pasukan Kadipaten
Losari ini hunus senjata tajam yang mengeluarkan cahaya kuning berkilauan.
Senjata ini adalah sebilah kujang berbentuk kepala burung bermata lima terbuat
dari emas murni yang dipadu dengan batu keramat dari Gunung Salak dan baja putih
dari Banten. "Ha ha! Kujang Emas Kiai Pasundan, keramat pusaka Kerajaan Pajajaran! Bagaimana
bisa berada di tanganmu" Pasti kau curi!" Ki Sentot Balangnipa berseru. Walau
dia tidak gentar melihat senjata itu namun wajahnya agak berubah. Dia pernah
mendengar kehebatan senjata sakti itu. "Aku harus dapatkan senjata itu! Harus!"
Kakek ini menggeram.
"Kiai Pasudan adalah pemberian Pangeran Cakrabuana putera Prabu Siliwangi dari
Kerajaan Pajajaran. Dengan senjata ini aku ditugaskan untuk menumpas begundal-
begundal dari timur yang hendak mengacau di tanah Pasundan bahkan punya niat
jahat hendak merebut kekuasaan. Salah satu begundal itu adalah kau sendiri!"
Ki Sentot Balangnipa tertawa bergelak mendengar ucapan Rayi Jantra.
"Usia masih hijau! Tubuh masih bau kencur! Kencingpun belum lempang! Tapi sudah
bermimpi mau jadi pahlawan besar! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan senjata
di tanganmu!"
Habis bekata begitu Si Kuda Iblis kebutkan lengan kanan jubah birunya, lalu
menyusul tubuhnya melesat ke depan. Salah satu kaki menendang dahsyat.
Rayi Jantra membentak keras. Dia melesat ke atas setinggi satu tombak. Senjata
di tangan tanah dikiblatkan. Selarik sinar kuning menderu dahsyat."
"Craass!"'
Kuda Iblis berteriak keras. Rambut tebal menyerupai rambut kuda di kuduknya
terbabat putus dan mengepulkan asap. Kejut tokoh silat dari timur ini bukan
alang kepalang. Ternyata Kujang Emas Kiai Pasundan benar-benar merupakan senjata
luar biasa yang tidak bisa dibuat main. Kakek ini goyangkan dua bahunya. Tahu-
tahu di tangan kanannya sudah terpegang dua buah tali kulit menyerupai tali
kekang kuda. Begitu dua tangan menggebrak, tali kekang di tangan kanan melesat
ke arah kaki sedang tali kekang di sebelah kiri menyambar ke arah Kujang Emas
Kiai Pasundan. Dua gerakan tali kekang ini mengeluarkan suara laksana petir
menyambar. Rayi Jantra berseru kaget ketika kaki kanannya kena dijirat tali kekang. Begitu
Ki Sentot Balangnipa menyentakkan tali kekang itu tak ampun lag! Kepala pasukari
Kadipaten Losari itu langsung roboh terbanting jatuh punggung. Dalam keadaan
seperti itu tali kekang satunya yang menyambar ke arah tangan kanan Rayi Jantra
berhasil melibat Kujang Emas Kiai Pasundan.
"Dess! Craasss!"
Dadu Setan 43 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Ki Sentot Balangnipa menduga begitu menarik tali kekang dia akan berhasil
merampas senjata sakti di tangan lawan. Ternyata tali kekangnya yang putus!
"Kurang ajar!" maki Ki Sentot Balangnipa. "Kalau manusia satu ini tidak dihabisi
dan senjata itu tidak dirampas, bisa berbahaya!" Karenanya selagi Rayi Jantra
berusaha bangkit si kakek langsung menggebrak. Sekali melompat dia hantamkan
tali kekang yang putus sementara kaki kanan menendang mencari sasaran di kepala
lawan. "Blaarrr!"
Karena berusaha menyelamatkan kepalanya dari tendangan kaki lawan, Rayi Jantra
tidak sempat menghindari serangan tali kekang. Tali kekang yang berobah menjadi
cambuk mendarat di tubuh Rayi Jantra. Pakaiannya robek besar di bagian dada.
Luka mengepulkan asap dan mengucurkan darah membelintang di dada. Sementara itu
tendangan Si Kuda iblis yang tidak menemui sasaran telah membuat jebol dinding
batu di samping Rayi Jantra.
"Manusia iblis keparat! Terima kematianmu!" teriak Rayi Jantra. Kujang di tangan
kanan ditusukkan dari jarak jauh ke arah Ki Sentot Balangnipa. Dari ujung
senjata sakti itu melesat satu cahaya kuning yang laksana kilat dengan cepat
menggulung sekujur tubuh Si Kuda Iblis!
Dalam keadaan hampir tak berdaya Ki Sentot Balangnipa kerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikihya. Dua tangan menggapai ke depan.
Kepalanya berubah menjadi kepala kuda sungguhan. Didahului suara meringkik dia
berteriak keras.
"Bummm!"
Satu ledakan besar menggelegar di ruangan batu di bawah Bukit Batu Bersuling
itu. Rayi Jantra terlempar ke dinding ruangan, semburkan darah dari mulut. Ki Sentot
Balangnipa sendiri merasa goncangan hebat melanda tubuhnya. Dengan cepat dia
kuasai diri lalu menyergap I a wan, lagi-lagi dengan tendangan kaki kanan.
Sekali ini dalam keadaan terluka hebat di dalam Rayi Jantra tak sanggup mengelak
atau menangkis.
Dadanya remuk dimakan tendangan, tubuhnya terpuruk ke sudut ruangan. Dalam
keadaan siap meregang nyawa Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini masih sanggup
melakukan sesuatu. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir dia keluarkan ucapan.
"Kiai. . . . Balaskan sakit hatiku. Lakukan sesuatu Kalau sudah kembalilah ke
Pakuan." "Tring!"
Kujang emas terlepas dari tangan Rayi Jantra. Jatuh ke lantai. Di kejap lain
senjata sakti itu tibatiba melesat ke arah Ki Sentot Balangnipa yang berdiri
hanya beberapa langkah dari sosok Rayi Jantra yang tergelimpang di lantai.
Ki Sentot cepat menangkis dengan kebutkan ujung jubah lengan kiri. Kujang Emas
Kiai Pasundan terpental. Namun hebatnya senjata ini membalik, melesat dan
crasss! Menancap di mata kanan si kakek!
Ki Sentot Balangnipa alias Si Kuda Iblis meraung setengah mati.
"Craasss!"
Kujang sakti melesat keluar dari mata kanan, berputar-putar dalam ruangan,
berusaha mencari jalan keluar. Seolah mempunyai otak untuk berpikir dan mata
untuk melihat, senjata sakti ini sadar kalau tak ada sedikit ronggapun dalam
ruangan itu yang bisa dilewati. Tiba-tiba gagang kujang mengepulkan asap.
Senjata ini kemudian melesat ke arah Dadu Setan 44
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dinding sebelah kiri. Ruangan batu bergetar hebat sewaktu Kujang Emas Kiai
Pasundan menjebol tembus dinding batu, melesat di kegelapan malam dan lenyap
dari pemandangan.
Ki Sentot Balangnipa tekap mata kanannya yang hancur dengan tangan kiri. Darah
berlelehan. Dengan tangan kanan dia membuat beberapa totokan di sebelah dada dan
leher. Darah berhenti mengucur dari luka di mata kanan namun ada rasa panas membuat
wajahnya seolah dipanggang. Racun senjata! Untung dia telah membuat beberapa
totokan. Mata kiri yang masih utuh mendelik memperhatikan lobang besar di dinding
ruangan. Menoleh ke kiri dia melihat dua anak buahnya yang berwajah hangus baru saja
menghabisi Lebak. Ki Sentot Balangnipa berteriak.
"Kalian berdua! Singkirkan semua mayat jahanam di ruangan ini. Buang ke dalam
jurang!" * * * Dalam kenyenyakan tidurnya Pangeran Walang Sungsang yang juga dikenal dengan
sebutan Pangeran Cakrabuana tersentak bangun oleh suara desiran halus disusul
suara berkerontang.
Putera Mahkota Kerajaan Pajajaran ini duduk di tepi tempat tidur. Matanya
menangkap selarik cahaya kuning. Berpaling ke samping dia melihat sebuah senjata
tergeletak di atas meja kecil terbuat dari batu pualam, memancarkan cahaya
kuning. "Kujang Emas Kiai Pasundan. . . . " ucap Pangeran Cakrabuana. Cepat senjata
sakti itu diambil dan diperhatikan. "Ada noda darah. Sesuatu telah terjadi
dengan Raden Rayi Jantra. "
Cepat-cepat Pangeran Cakrabuana mengenakan pakaian lalu memanggil seorang
perajurit. "Beritahu pengawal Sang Prabu. Katakan saya ingin menemui Raja saat ini juga.
Ada urusan sangat penting. "
Tak lama kemudian Prabu Siliwangi menemui puteranya di sebuah ruangan di dalam
Istana Pakuan. "Ada apa anakku?" menyapa Sang Prabu.
Pangeran Cakrabuana terlebih dulu memberi salam takzim sambil membungkuk dalam-
dalam. "Ananda mohon maaf karena telah berani berlaku tidak sopan membangunkan
Ayahanda. Ada satu hal penting yang hendak Ananda sampaikan. "
Dengan hati-hati Pangeran Cakrabuana keluarkan Kujang Emas Kiai Pasundan dan
meletakkannya di atas meja kayu kecil di hadapan sang ayah.
Sang Prabu perhatikan senjata itu, menarik nafas panjang, mengusap dagu yang
ditumbuhi janggut putih rapi klimis lalu berkata. "Bukankah ini senjata sakti
yang pernah Ananda berikan pada Raden Rayi Jantra, orang kepercayaan kita di
perbatasan" Kujang Emas Kiai Pasundan?"
"Betul sekali Ayahanda," jawab Pangeran Cakrabuana.
"Senjata sakti keramat kerajaan ini kembali secara gaib di ruang ketiduran
Ananda. Agaknya telah terjadi sesuatu dengan Raden Rayi Jantra. "
Dadu Setan 45 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Sang Prabu anggukkan kepala.
"Kalau tidak dalam perkara besar, Rayi Jantra tidak akan mengeluarkan senjata
sakti ini. " Pangeran Cakrabuana menambahkan.
Sang Prabu angkat tangan kanannya. Telapak tangan dikembang di atas senjata
sakti itu. Kujang mengeluarkan cahaya kuning lebih terang, bergerak turun naik
antara meja dan telapak tangan. Perlahan-lahan Sang Prabu tarik tangan kanannya.
Lalu berkata. "Noda darah ini bukan darah Rayi Jantra. Namun belum tentu orang kita itu masih
dalam keadaan selamat. Ayahanda khawatir, dia sudah tewas. Anakku, apa yang
hendak kita lakukan sekarang?"
Pangeran Cakrabuana susun sepuluh jari di atas kepala lalu berkata. "Sudah sejak
lama Ananda dan Adinda Nyai Mas Rara Santang ingin menyambangi Guru di Gunung
Jati. Mungkin ini saat yang tepat untuk melakukan sekaligus menyelidiki apa yang
terjadi dengan Rayi Jantra. "
Prabu Sliwangi terdiam merenung seketika.
"Akhir-akhir ini banyak kabar yang Ayahanda terima mengenai kegiatan orang-orang
di Kerajaan Timur. Terutama sejak kita tidak mau lagi menyerahkan upeti kepada
mereka. Mereka melupakan adat sopan santun, berdiri sama tinggi duduk sama
rendah. Mereka tidak memandang sebelah mata terhadap Pajajaran. Malah punya niat jahat
hendak menguasai Kerajaan ini. Ayahanda mengizinkan kalian berdua anak-anak
untuk pergi ke Gunung Jati. Tapi ingat. Berlakulah sangat hati-hati. Bawa
pengawal sebanyak mungkin. . .
" "Ayahanda, jika diizinkan seperti yang sudah-sudah Ananda hanya berangkat berdua
saja dengan Adinda Rara Santang. Kami berdua berjanji akan berlaku hati-
hati. . . "
"Kalau itu mau Ananda baiklah. Tapi sekali-kali jangan berlaku sombong dan
takabur atas kepandaian dan kesaktian yang kalian berdua miliki. Dan jangan
lupa, di setiap desa yang kalian lalui berikan sejumlah bantuan. Tekanan orang-
orang di timur belakangan ini banyak membuat rakyat menderita."
"Terima kasih alas izin Ayahanda. Besok Ananda akan menemui Adinda Rara Santang.
Paling lambat siang had kami berdua sudah meninggalkan Pakuan. Dan seperti
sebelumnya tidak ada satu orangpun yang mengetahui kepergian Ananda berdua
selain Ayahanda. "
Sang Prabu anggukkan kepala. "Sampaikan salam takzim Ayahanda pada Guru Ananda
di Gunung Jati. Dan sebelum pergi Ayahanda ingin saat ini juga Ananda menemui
Panembahan Anyar Pandanarum. Beliau sudah uzur. Namun rasanya beliau tidak akan
mengalami kesulitan untuk membuatkan sarung baru bagi Kujang Emas Kiai Pasundan.
Tidak baik senjata sakti itu dibiarkan dalam keadaan tak bersarung. . . "
"Ananda akan menemui Panembahan itu," jawab sang putera. Lalu Pangeran
Cakrabuana membungkuk dalam-dalam, mencium tangan Sang Prabu dan tinggalkan
ruangan itu. * * * Dadu Setan 46 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SEMBILAN ua minggu setelah penyusupan Rayi Jantra, Kepala Pasukan Kadipaten Losari ke
Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga. Bangunan luas tak berdinding beratap rumbia
di Dkaki timur Bukit Batu Bersuling dipenuhi puluhan ekor kuda. Dua puluh orang
berpakaian hitam bersenjata golok berseliweran berjaga-jaga. Di atas dua dinding
batu yang mengapit sebuah jalan dua orang berjubah biru berdiri tegak mengawasi
keadaan sekitarnya. Lalu pada satu cabang pohon besar dan gelap di ujung jalan
seorang berpakaian ringkas warna hijau mendekam memegang sebilah gada besi.
Sesekali terdengar suara seperti tiupan suling dari celah dua batu pipih di
puncak bukit. Terkadang kesunyian ditingkah oleh suara gemboran kuda.
Gedung rahasia yang disebut Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang terletak
tepat di bawah bukit batu, dari luar keadaannya tersamar dibalik pepohonan lebat
dan sepi. Namun di dalam, di bagian bawah yang mewah dan terang benderang
puluhan orang tamu yang semuanya mengenakan cadar merah tampak mengelilingi
sebuah meja besar empat persegi.
Meja ini dilapisi beluderu hijau. Pada setengah bagian dari meja yakni ujung
sebelah kanan terdapat garis-garis membentuk dua belas kotak besar berangka 1
sampai 12. Setengah bagian meja ujung kiri berbentuk kotak empat persegi.
Di ujung kiri meja berdiri seorang perempuan cantik berkulit putih. Rambut
disanggul rapi mengenakan pakaian berbentuk kemben. Bagian atas dari kemben ini
demikian rendahnya hingga dua payudara besar putih menyembul dan bergoyang-
goyang setiap si cantik ini membuat gerakan. Di bawah pinggang, kain kemben
dipotong kiri kanan demikan rupa hingga menyingkapkan betis indah dan paha
putih. Sekitar dua puluh gadis-gadis cantik berdandanan dan berpakaian sama
mondar-mandir di ruangan itu, melayani para tamu. Sementara pada tiga sudut


Wiro Sableng 148 Dadu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan disediakan berbagai macam minuman serta makanan yang boleh disantap para
tamu sesukanya.
Di sudut ke empat dua orang pemuda tampan memetik kecapi dan menabuh gendang,
mengiringi nyanyian seorang sinden cantik bertubuh montok.
Di ujung meja sebelah kiri, di samping sebelah kanan duduk seorang lelaki
bertubuh tinggi besar, mengenakan jubah mewah warna ungu dengan wajah ditutup
cadar juga berwarna ungu sementara di atas kepalanya bertengger sebuah destar
terbuat dari kain beluderu tebal berwarna merah. Di sebelah depan destar ini
tersemat sebuah batu permata berwana hijau dengan ikatan suasa berkilat. Inilah
Sang Bandar Agung yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi di Istana Seribu
Rejeki Seribu Sorga.
Setelah suasana cukup hangat Bandar Agung bangkit dari kursinya, bertepuk tiga
kali. Begitu semua orang berpaling padanya dan suara tetabuhan serta nyanyian
sinden berhenti maka diapun siap memberi sambutan. Suaranya besar parau. Pertama
sekali dia memperkenalkan diri bahwa dia adalah Bandar Agung yang baru,
menggantikan Bandar Agung lama yang telah mengundurkan diri. Kemudian dia
mengucapkan terima kasih atas kedatangan para tamu sekaligus menyampaikan
permohonan maaf karena dibukanya kembali tempat itu mundur jauh dari jadwal yang
sudah ditentukan. Satu dan lain hal disebutkan karena pihak pengelola Istana
ingin memberi pelayanan yang lebih baik termasuk menjamin keselamatan serta
kerahasiaan para tamu yang datang.
Dadu Setan 47 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Bandar Agung juga memberi tahu bahwa seperti di masa lalu, Istana Seribu Rejeki
Seribu Sorga dibuka mulai matahari tenggelam setiap malam Rabu dan malam Sabtu
sampai tengah hari keesokannya. Bilamana keadaan memungkinkan jumlah hari akan
ditambah menjadi tiga hari.
"Jadikanlah malam pertama ini semeriah mungkin Cari rejeki dan kesenangan
sebanyak-banyaknya. Pasang taruhan para kerabat di nomor yang tepat. Seperti
ketentuan terdahulu setiap nomor yang menang akan dibayar dua kali jumlah
pasangan. Bagi para tamu dan kerabat yang mungkin ingin terlebih dulu
menghilangkan rasa haus atau rasa lapar silahkan mereguk minuman dan menyantap
makanan. Sementara bagi yang ingin lebih dulu berhibur diri silahkan memilih
seorang Kembang Istana dan bersenang-senang di kamar yang telah disediakan di
lantai atas. Bagi mereka yang sudah ingin mendapatkan rejeki besar silahkan
mendatangi meja. Permainan segera akan kita mulai. "
Habis berkata begitu Bandar Agung kembali ke tempat duduknya di samping kanan
meja dadu. Dibagian bawah meja dadu, agak lebih rendah terdapat sebuah meja
besar dipenuhi uang perak dan uang emas serta batangan perak dan batangan emas.
Suara petikan kecapi dan tabuhan kembali terdengar. Gadis cantik di ujung kiri
meja judi angkat dua tangan ke atas. Ketiaknya tampak putih bersih dan berminyak
oleh keringat Dua tangan itu digoyang-goyang membuat sepasang buah dadanya ikut
bergerak turun naik. Lalu tangan diturunkan di atas sanding meja judi. Begitu
dua tangan dikembang tampak dua buah dadu putih kekuningan bermata merah. Sesaat
kemudian dua buah dadu digenggam kembali, digoyang-goyang dengan gerakan
menggairahkan mengikuti alunan kecapi dan gendang.
"Pasang. . . . Pasang taruhan sebanyak-banyaknya!" si gadis berseru sambil
liukkan pinggul dan goyangkan dada. Para tamu yang berada di sekitar meja dadu
segera meletakkan taruhan masing-masing di atas nomor yang mereka anggap akan
menang. Gadis cantik terus mengguncang dadu dalam dua dekapan tangan.
"Semua sudah memasang" Ayo tambah lagi! Pasti menang!"
Setelah semua nomor di atas meja dipenuhi pasangan para tamu penjudi gadis
cantik turunkan dua tangan. Lalu dua dadu dalam genggaman dilemparkan ke dalam
kotak kayu pada ujung kiri meja. Dadu bergulir berkerontangan. Di balik cadar,
sepasang mata Bandar Agung dengan cepat memperhatikan pasangan para tamu.
Di dalam kotak di atas meja setelah bergulir dua buah dadu berhenti diam. Dadu
pertama berhenti pada mata 3 sedang dadu kedua berhenti pada angka 5. pemenang
adalah yang memasang pada nomor 8. Dan saat itu jelas terlihat nomor 8 adalah
nomor yang paling banyak pemasangnya. Para pemenang bersorak gembira. Bandar
Agung segera membayar pasangan pemenang yakni dua kali jumlah taruhan yang
dipasang. "Selamat! Selamat!" ucap Bandar Agung berulang kali. Permainan dilanjutkan.
Mereka yang menang dengan bersemangat menambah pasangan taruhan pada angka-angka
yang mereka anggap akan memberi keberuntungan.
Suara kecapi semakin keras, suara gendang bertalu-talu, nyanyian sang sinden
bertambah merdu. Gadis pengocok dadu menggeliat-geliatkan pinggang. Pinggulnya
yang lebar melenggak lenggok. Dadanya bergoncang naik turun.
"Pasang lagi! Selamat untuk yang barusan menang! Pasang lebih banyak! Kali ini
keberuntungan bagi yang kalah! Pasang, pasang!"
Dadu Setan 48 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Setelah semua nomor di atas meja dadu diisi taruhan, gadis pengocok dadu angkat
dua tangannya tinggi-tinggi. Seorang tamu yang tidak tahan gairah melihat
keindahan ketiak si gadis ditambah payudaranya yang montok dan menyembul keluar,
turunkan cadarnya sedikit lalu enak saja hidung dan mulutnya menciumi ketiak si
gadis. Gadis cantik terpekik tapi tidak marah. Bandar Agung tertawa gelak-gelak.
Para tamu bersorak riuh.
Gadis yang mengguncang dadu turunkan dua tangan. Dua buah dadu bergulir di dalam
kotak kayu. Masing-masing menunjukkan mata 2 dan 4. Jadi yang menang adalah para
pemasang di nomor 6. Salah satu pemenang justru lelaki yang tadi mencium ketiak
gadis pengocok dadu.
"Ha. . ha! Ketiak pembawa rejeki!" seorang tamu berteriak.
Lalu ada yang berseru. "Cium lagi! Cium lagi!" Tamu pemenang mengambil bayaran
taruhan yang diserahkan oleh Bandar Agung yaitu berupa delapan uang emas. Satu
keping uang etnas kemudian dimasukkannya ke balik dada gadis pengocok dadu.
Rupanya ciumannya tadi membuat rangsangan besar pada dirinya. Orang ini
mendekati Bandar Agung dan berkata.
"Bandar Agung, apakah aku boleh membawa gadis ini untuk beristirahat barang
sebentar di lantai atas?""
"Tentu saja! Tentu saja! Bawalah ke atas! Selamat bersenang-senang. Kalau sudah
puas jangan lupa kembali ke sini. Seribu Rejeki menunggu di meja dadu. Ha. . .
ha. . . ha!"
Tanpa menunggu lebih lama tamu tadi segera menarik lengan gadis pengocok dadu.
Si gadis menurut saja malah sambil senyum-senyum. Bandar Agung tepukkan tangan
tiga kali. Seorang gadis segera datang menggantikan gadis tadi.
Di dalam kamar di lantai atas tamu yang membawa gadis cantik pengocok dadu
begitu menutup pintu langsung memeluk si gadis dan menciumi wajah, leher dan
tentu saja ketiaknya sehingga si gadis menggeliat kegelian.
"Aku suka ketiakmu. Bersih putih dan enak baunya. Ha. . . ha. . . ha. Siapa
namamu?" "Saya Ningrum. Saya merasa senang Raden Mas mau membawa saya ke sini.
Bolehkan saya menanggalkan pakaian sekarang juga?"
"Biar aku yang membuka pakaianmu. "
"Ahh. . . " Gadis cantik itu menggeliat. "Apakah Raden Mas tidak akan membuka
cadar merah yang menutupi wajah" Rasanya akan lebih mesra bila kita bisa saling
bertatap muka. "
Sang tamu segera tanggalkan cadar kain merah yang menutupi wajahnya. Sepasang
mata Ningrum membesar ketika mengenali orang di hadapannya.
"Saya merasa mendapat kehormatan besar. Saya tidak menyangka kalau tamu yang
gagah dan dermawan ini adalah Raden Mas Karta Suminta , Adipati dari Brebes. . .
" Lelaki berkumis dan bercambang bawuk tebal itu tertawa lebar. Tangannya dengan
cepat bergerak menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh Ningrum.
"Dengar, setelah bersenang-senang ada tugas untukmu. Dan kau akan mendapat
bayaran berlipat ganda. "
Ningrum membelai cambang bawuk Karta Suminta.
"Tugas apa gerangan, Raden Mas" Jangan berikan saya tugas yang sulit-sulit.
Berikan tugas yang mudah dan enak-enak. Hik. . . hik. . hik"
Dadu Setan 49 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Seseorang akan menemuimu besok pagi. Dia membawa satu bungkusan berisi racun,
Tugasmu adalah menyerahkan racun itu pada seseorang yang akan datang mengambil
bungkusan pada sore hari. Kau mengerti, Ningrum?"
"Saya mengerti, Raden Mas. Ternyata tugas yang Raden Mas berikan tidak sulit. "
Jawab Ningrum sambil layangkan senyum genit lalu baringkan diri di atas ranjang
sementara Karta Suminta mulai membuka pakaiannya.
Kembali ke lantai bawah. Gadis pengganti pengocok dadu memiliki geliatan dan
goyangan tubuh tak kalah merangsang dari tadi yang bernama Ningrum, Saat itu
sambil menggoyang-goyangkan pinggul dia mengguncang dua buah dadu. Di atas kursi
Bandar Agung memperhatikan pasangan para tamu.
Setelah itu tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku jubah ungu. Gadis cantik
melemparkan dua buah dadu ke dalam kotak kayu di atas meja. Dua buah dadu
bergulir. Lalu berhenti pada mata 3 dan 6. Berarti para pemenang adalah pemasang di angka
9. Ternyata pemasang di nomor itu hanya dua orang dan dalam jumlah kecil. Yaitu
hanya dua keping uang emas dan empat keping uang perak. Sementara di nomor yang
lain puluhan keping uang emas dan perak jadi taruhan, termasuk dua batangan emas
lantak di angka 7
dan 12. Bandar Agung dengan cepat meraup semua pasangan yang kalah dan membayar pasangan
di nomor pemenang.
"Pasang. . . . pasang!" seru gadis pengocok dadu. "Selagi masih siang! Selagi
pintu rejeki terbuka lebar! Pasang, pasang!" Dua buah dadu dimasukkan ke balik
dada. Pakaiannya diusap-usap lalu dua buah dadu dikeluarkan kembali. Para tamu
bersorak riuh dan jadi tambah bersemangat.
* * * Lenyapnya Rayi Jantra Kepala Pasukan Kadipaten bersama dua perajurit Lebak dan
Meneng menimbulkan kehebohan di Losari. Adipati Seda Wiralaga memerintah seluruh
jajarannya untuk menyelidik. Malah dalam dua kali pemberangkatan rombongan
penyelidik dia ikut serta turun tangan. Mata-mata disebar ke berbagai pelosok.
Namun hampir dua puluh hari dimuka, misteri raibnya ke tiga orang itu tetap
tidak terpecahkan. Adipati belum mengambil keputusan guna mencari pengganti Rayi
Jantra. Untuk sementara jabatan dan tugas. Kepala Pasukan Kadipaten dirangkap
oleh sang Adipati sendiri.
Pada hari ke lima hilangnya Kepala Pasukan dan dua perajurit, dari pintu gerbang
selatan Losari seorang lelaki memacu kudanya dengan cepat. Orang ini adalah
perajurit Jumena. Perajurit ini benar-benar merasa sangat kehilangan atasannya.
Salah satu alasan yang membuat dia sangat berduka adalah karena Rayi Jantra
pernah akan menaikkan pangkatnya satu tingkat. Kini dengan lenyap dan diduga
sudah meninggalnya sang atasan, tak ada harapan bagi Jumena untuk mendapat
kenaikan pangkat. Sementara penyelidikan dan pencarian terhadap ketiga orang itu
boleh dikata sudah dihentikan, namun perajurit Jumena secara sendirian masih
terus melakukan pelacakan.
Tanpa arah pasti yang dituju, pagi itu Jumena telah melewati perbatasan ke arah
timur. Perajurit ini baru sadar dia telah memasuki wilayah timur setelah
perjalanannya Dadu Setan 50
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
terhenti di hadapan Kali Kabuyutan. Jumena turun dari kudanya. Sementara
binatang itu menuruni tebing dan minum air kali, Jumena duduk di sebuah batu.
Keadaan di tempat itu terasa sejuk nyaman. Sesekali terdengar suara kicau
burung. Jumena turun ke kali. Membasahi wajah dengan air bening sejuk hingga dirinya
merasa segar. Duduk kembali di atas batu sambil memperhatikan kudanya. Sadar
kalau saat itu dia telah melewati perbatasan dan berada di wilayah sebelah
timur, perajurit ini berpikir.
"Selama ini penyelidikan lenyapnya Raden Rayi Jantra hanya dilakukan di daerah
barat. Apa salahnya aku menghabiskan waktu sehari dua untuk menyelidik kawasan
sebelah timur perbatasan ini. " Berpikir begitu Jumena tarik tali kekang kuda.
Ketika dia hendak menunggangi binatang itu tak sengaja dia memandang ke langit
arah timur. Sekumpulan burung hitam tampak berputar-putar di udara lalu sambil menguik
melayang turun. Tak lama kemudian muncul lagi membumbung ke udara. Hal ini
diperhatikan Jumena terjadi berulang kali.
"Ada sesuatu di arah timur sana yang menarik perhatian puluhan burung hitam
itu." Akhirnya Jumena memutuskan untuk menyelidik. Dia segera menggebrak
tunggangannya. Semakin jauh ke timur semakin jelas Jumena melihat bentuk dan jenis puluhan
burung itu. "Burung hitam pemakan bangkai!"
Kuduk sang perajurit mendadak terasa dingin. Kudanya dipacu semakin kencang.
Tapi jalan yang ditempuh semakin sulit. Selain mendaki juga terhalang oleh semak
belukar dan bebatuan. Di satu tempat Jumena terpaksa hentikan kuda dan turun.
Hidungnya mendadak mencium bau sangat busuk. Di pohon-pohon sekitarnya dia
melihat banyak lalat menempel dan beterbangan. Jumena melangkah ke arah tanah
ketinggian sampai akhirnya dia terpaksa berhenti karena di depannya menghadang
sebuah jurang batu.
Jumena menatap ke langit lalu pandangannya mengikuti burung-burung hitam yang
menukik ke bawah. Ketika perajurit ini memperhatikan dasar jurang, kejutnya.
bukan alang kepalang walau sebelumnya dia sudah menduga-duga.
Meski cukup terjal namun jurang batu itu tidak seberapa dalam hingga Jumena bisa
melihat cukup jelas lebih dari delapan mayat bergeletak di dasar jurang. Ada
yang terpentang di atas batu, ada yang terselip diantara bebatuan. Semua dalam
keadaan sangat rusak, menebar bau busuk. Malah ada yang hanya tinggal tulang
belulang memutih dibawah terik sinar matahari.
"Aku punya firasat. Jangan-jangan salah satu dari mayat itu adalah mayat Raden
Rayi Jantra. Ya Tuhan, mudah-mudahan firasatku salah. "
Setelah menutup hidungnya dengan sehelai sapu tangan, perajurit Jumena dengan
hati-hati menuruni jurang terjal. Burung-burung hitam pemakan mayat menguik
keras seolah marah keberadaan mereka di sana yang tengah menyantap makanan
diganggu oleh kemunculan Jumena. Burung-burung itu melesat ke udara, terbang
berputar-putar. Hanya beberapa ekor saja yang masih memberanikan diri melayang
turun untuk mencungkil sisa-sisa daging busuk pada sekian banyak mayat di dasar
jurang. Jumena sampai di dasar jurang. Dengan perasaan ngeri dan jijik memperhatikan
sosok mayat satu persatu. Ada enam mayat yang tidak dikenalnya.
"Mudah-mudahan Raden Rayi tidak menemui nasib malang di tempat ini. . . . " ucap
Jumena. Namun kuduknya jadi merinding dan matanya terpentang lebar ketika Dadu
Setan 51 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
memperhatikan sesosok mayat yang terselip di antara dua buah batu besar agak
jauh di bawah sana. Dari pakaiannya saja dia sudah bisa menduga bahwa mayat itu
adalah mayat Rayi Jantra. Jumena berusaha mencapai mayat tapi sulit.
Jumena naik ke satu batu cadas, jongkok memperhatikan ke arah antara dua buah
batu besar. Perhatiannya dipusatkan pada kepala mayat. Walau kepala itu sudah
hancur namun dalam bimbangnya Jumena kini bukan cuma menduga, tapi yakin mayat
itu adalah mayat atasannya. Jumena merasa kepalanya pusing dan perutnya mual.
Dia tidak mungkin mengeluarkan mayat Rayi Jantra yang sudah sangat rusak dari
sela batu apa lagi membawanya ke atas jurang.
"Raden, maafkan diriku yang tidak bisa menyelamatkan jenazahmu. . . " Habis
berkata begitu seperti dikejar setan Jumena kembali naik ke atas jurang.
Tubuhnya mandi keringat.
Sampai di tepi jalan perajurit ini jatuhkan diri berlutut, menghambur tangis.
Keluarkan ratapan.
"Raden Rayi Jantra, dosa apa yang telah kau perbuat sehingga ada orang tega
membunuh dan membuang mayatmu ke jurang" Siapa pembunuhnya! Siapa"!" Jumena
berteriak-teriak sambil meninju-ninju tanah.
Tibatiba ada suara menegur.
"Seorang perajurit tidak pantas menangis! Perajurit, apa yang terjadi di sini?"
Jumena hentikan tangis, angkat kepala. Dia melihat sosok seorang pemuda


Wiro Sableng 148 Dadu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdestar dan berpakaian putih, rambut panjang sebahu, berdiri di hadapannya.
"Jahanam!" Jumena berteriak seperti orang kalap. "Pasti kau pembunuhnya! Paling
tidak kau kaki tangan pembunuh!"
Jumena loloskan golok besar di pinggang lalu tanpa pikir panjang lagi dia
melompat bangkit dan membacok ke arah kepala orang!
Sebelum golok besar mendarat di sasaran, satu tangan kukuh dengan cepat mencekal
pergelangan tangan kanan Jumena. Sekali tangan itu memuntir golok terlepas,
Jumena terhuyung lalu jatuh terduduk di tanah.
* * * Dadu Setan 52 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SEPULUH "Aku bertanya baik-baik. Mengapa kau malah hendak membacokku?"
Orang yang hendak dibacok yakni pemuda berambut gondrong yang bukan lain adalah
Pendekar 212, bertanya.
Jumena terduduk lemas di tanah. Menatap Wiro masih dalam keadaan setengah kalap.
Ketika amarahnya mengendur dengan suara perlahan dia berkata.
"Aku tidak berniat jahat . . Aku kalap karena atasanku dibunuh orang dan
mayatnya dibuang ke jurang!"
"Siapakah atasanmu?"
"Raden Rayi Jantra. Kepala Pasukan Kadipaten Losari. "
"Kau adalah perajurit wilayah barat, mengapa berada di wilayah timur?" tanya
Wiro. "Aku dalam mencari atasanku. Sejak lima hari lalu dia raib bersama dua
perajurit. Seluruh kawasan di barat telah diselidiki. Raden Rayi tidak ditemukan. Akhirnya
aku mencoba masuk ke wilayah ini. Ternyata tidak sia-sia. Mayatnya kutemukan di
dasar jurang."
"Aku lihat di sini mayat di jurang berjumlah lebih dari delapan orang. Mayat
siapa yang lainnya?"
"Dua adalah perajurit Lebak dan Meneng. Yang lain aku tidak bisa menduga."
Setelah diam sebentar perajurit Jumena bertanya. "Pemuda Kau sendiri siapakah?"
"Aku dalam perjalanan ke Gunung Gede. Kebetulan saja lewat di tempat ini. "
"Namamu?" tanya Jumena lagi.
Wiro tertawa. Dia balik bertanya.
"Kalau sampai Kepala Pasukan Kadipaten dibunuh orang lalu mayatnya dibuang di
jurang sana, apakah kau bisa menduga siapa yang berbuat keji. Lalu apa latar
belakang kejahatan ini?"
Jumena gelengkan kepala.
"Banyak hal yang aku tidak ketahui. Di kawasan barat, terutama di Kadipaten
Losari akhir-akhir ini banyak kejadian. Semua berujung pada kematian. "
"Perajurit, ceritamu menarik. Apa kau mau menjelaskan. apa saja yang telah
terjadi?" tanya Wiro. "Aku tidak mau bercerita. Aku tidak kenal siapa dirimu. Bukan mustahil kau
adalah mata-mata orang timur. "
Wiro tertawa. "Aku bukan mata-mata. Kalau kau bercerita siapa tahu aku bisa menolong. "
"Tidak, aku tidak akan bercerita. " Jawab Jumena. "Silahkan kau melanjutkan
perjalanan. Gunung Gede masih jauh dari sini. "
"Kau betul, Gunung Gede masih jauh dari sini. Aku melihat seekor kuda besar di
sebelah sana. Pasti milikmu. Aku rasa kau mau berbaik hati meminjamkan kuda itu
untuk tungganganku ke Gunung Gede. "
"Jadi rupanya kau seorang penjahat! Seorang begal!" Teriak Jumena marah.
Wiro tertawa. Dadu Setan 53 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Aku hanya mau meminjam. Jika kau tidak sudi aku tidak memaksa," jawab Wiro lalu
tinggalkan tempat itu. Belum jauh dia berjalan didengarnya perajurit tadi lari
mengejarnya dan berseru.
"Tunggu! Jika kau memang ingin penjelasan, aku bersedia menceritakan!"
"Hemm. . . Begitu" Baiklah. Aku akan mendengarkan. " Jawab Wiro lalu duduk di
tepi jalan. Perajurit Jumena bercerita mulai dengan kematian Nyi Inten Kameswari yang
makamnya kemudian dibongkar orang. Ketika jenazah diperiksa kembali ditemukan
perutnya dalam keadaan robek besar. Lalu menyusul kematian Anom Miharja, suami
Nyi Inten yang dikabarkan bunuh diri. Jumena tidak lupa menceritakan
ditemukannya beberapa mayat orang Cina yang diduga adalah orang-orang rimba
persilatan Tiongkok. Lalu kematian Pengemis Muka Bopeng dan seorang tokoh silat
bernama Eyang Sepuh Kembar Tilu. Kejadiannya di warung Akang Punten di desa
Cangkring. Sebelum mati Eyang Sepuh didengar menyebut-nyebut nama Raden
Kumalasakti. Lalu diceritakan pula ditemukannya beberapa mayat penduduk
setempat. "Siapa Raden Kumalasakti itu?" tanya Wiro.
"Seorang masih muda tapi memiliki kepandaian tinggi, Punya banyak hubungan
dengan para tokoh di barat dan di timur. "
"Menurutmu, kematian Raden Rayi Jantra ada sangkut pautnya dengan semua
pembunuhan yang terjadi?" Bertanya Wiro.
"Aku tidak bisa menduga. Bisa saja begitu. Satu hal kuketahui, sebelum tewas
Raden Rayi Jantra tengah menyelidiki asal usul kekayaan keluarga Anom Miharja
dan istrinya Nyi Inten. "
"Ceritamu tambah menarik. Kalau Anom Miharja dan Nyi Inten sakit hati karena
dirinya diselidiki, tak mungkin mereka yang membunuh Rayi Jantra. Turut ceritamu
kedua orang itu telah mati lebih dulu. "
"Kau tadi mengatakan ingin menolong. Bagaimana caramu mau menolong?" Jumena kini
yang bertanya. Wiro keluarkan kancing hitam dari kayu yang didapatnya dari Eyang Sepuh Kembar
Tilu lalu memperlihatkan pada Jumena.
"Kancing kayu ini. Kau tahu kira-kira siapa punya pakaian memakai kancing
seperti ini?"
"Itu kancing baju jas tutup. Semua orang kaya, para bangsawan dan pejabat tinggi
jika mereka mempunyai jas tutup pasti kancingnya seperti itu. " Jawab Jumeha.
"Dari mana kau mendapatkan kancing itu?"
"Kutemukan di satu tempat," jawab Wiro berdusta. Seperti diketahui kancing itu
didapatnya tergenggam di tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu sewaktu nenek aneh itu
menemui kematian dibunuh seseorang yang tidak diketahui siapa adanya. Lalu Wiro
berkata, setengah memancing. "Kalau sampai banyak orang asing datang ke Losari
pasti ada seseorang atau sesuatu yang sangat penting dan berharga yang mereka
cari. Apa lagi mereka sampai menemui ajal begitu rupa. Lalu jika dihubungkan
dengan rentetan kematian beberapa tokoh silat seperti Eyang Sepuh Kembar Tilu,
Raden Kumalasakti dan Pengemis Muka Bopeng yang menyaru menjadi Raden
Kumalasakti. Mungkin banyak lagi tokoh atau orang yang telah menemui kematian
tapi tidak kau ketahui. Apakah kau tidak mengira semua itu ada kaitannya satu
sama lain?"
Dadu Setan 54 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Aku Jumena, seorang perajurit rendah. Akalku tidak sampai pada menghubung-
hubungkan semua hal yang terjadi. Hanya saja sewaktu terjadi perkelahian antara
Pengemis Muka Bopeng dan Eyang Sepuh Kembar Tilu di warung Akang Punten,
kabarnya Pengemis Muka Bopeng memaksa si nenek menyerahkan sesuatu barang. "
"Barang apa?" tanya Wiro.
"Dua buah dadu. " Jawab Jumena. "Dua buah dadu?" Wiro menggaruk kepala. "Hanya
gara-gara dua buah dadu saja saling berbunuhan"! Edan betul! Tapi...."
Wiro tidak meneruskan ucapannya. Hidungnya mencium semerbak bau harum.
Padahal dari arah jurang masih santar bau busuknya mayat.
"Hemmm. . . . Aku pernah mencium bau harum ini sebelumnya. Tapi dimana. . . . "
Murid Sinto Gendeng lagi-lagi menggaruk kepala. Wiro memandang berkeliling.
Sunyi, tak ada suara, tak ada orang tak ada gerakan. Wiro perhatikan sebuah
dinding batu tak seberapa lebar namun cukup tinggi menjulang ke udara. Kalau ada
orang yang sembunyi dan diam-diam melakukan pengintaian, maka balik lamping batu
itu adalah tempat yang paling baik.
Tidak menunggu lebih lama, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang
andal Pendekar 212 melompat tinggi ke udara, melesat dan di lain saat dua
kakinya telah menginjak bagian atas dinding batu yang ternyata cukup lebar dan
rata. Wiro memandang ke bawah. Dia melihat satu bayangan merah berkelebat cepat
menuruni lereng batu.
"Hai!"
Wiro berteriak. Bayangan merah lenyap dari pemandangan. Luar biasa. Tempat
dimana dia berada serta lereng batu terjal di bawah sana berjarak hampir dua
puluh tombak. Namun si bayangan merah mampu menuruni lereng dengan cepat dan lenyap dalam
sekejapan mata. Bukan saja gerakannya cepat sekali tapi ilmu meringankan
tubuhnya juga luar biasa. Bidadari Angin Timur yang memiliki kecepatan seperti
kilat mungkin kepandaiannya masih satu tingkat di bawah si bayangan merah tadi.
"Pasti dia lagi!" ucap Wiro. Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak. "Dua nenek
kembar, apa kau ada di sini"!"
Saat itu juga terdengar suara ha-hu ha-hu. Dua nenek kembar rambut kelabu jubah
kuning muncul. Keduanya membungkuk di hadapan Wiro.
"Kalian melihat orang yang kabur di bawah sana?"
"ha-hu ha-hu!"
"Apa dia orang yang sama. Yang dulu pernah mengintai diriku"!"
"ha-hu ha-hu!"
"Kejar dia sampai dapat. Kalau sudah ditemui beritahu padaku dan antar aku ke
tempat dimana dia berada!"
"ha-hu ha-hu!"
Dua nenek kembar membungkuk lalu berkelebat lenyap dari tempat itu, melayang
laksana terbang ke jurusan lenyapnya bayangan merah. Wiro berpaling ke arah
Jumena. "Aku harus pergi. Nanti kita bertemu lagi!"
"Katanya. mau menolong. Malah pergi. . . . " Jumena mengomel.
Tidak seperti si bayangan merah atau dua nenek aneh, untuk sampai ke lereng
bukit batu di bawah Sana Wiro memerlukan satu lompatan antara. Berlari cukup
jauh malah sampai sang surya tepat di ubun-ubun kepala dia masih belum berhasil
mengejar orang berpakaian merah. Sementara dua nenek kembar tak satupun yang
muncul. Sambil lari sesekali Wiro kerahkan ilmu Menembus Pandang yang didapatnya
dari Ratu Duyung Dadu Setan 55
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
namun tetap saja dia tidak dapat menjajagi dimana beradanya orang yang dikejar.
Menjelang petang Wiro akhirnya capai sendiri dan hentikan pengejaran.
Malam hari Wiro menemukan sebuah candi kecil yang keadaannya sudah sangat rusak.
Untung ada bagian atap yang masih cukup baik untuk dipakai berlindung dari embun
dingin. Wiro memutuskan untuk bermalam di candi ini. Perutnya terasa lapar.
Selagi dia mencari tempat yang baik dan bersih untuk berbaring tibatiba
terdengar suara derap kaki kuda, keras dan cepat sekali. Wiro memperhatikan dari
balik dinding candi.
Dalam kegelapan malam kelihatan dua penunggang kuda coklat memacu tunggangan
mereka ke arah candi. Sementara di sebelah belakang mengejar enam orang yang
juga menunggang kuda.
Begitu sampai di depan candi, dua penunggang kuda coklat yang berpakaian dan
berdestar biru segera berhenti. Kuda dilepas dan keduanya cepat menyelinap ke
dalam candi. Wiro memperhatikan, dua orang ini masih sangat muda-muda. Wajah
mereka sama-sama tampan. Yang bertubuh kecil halus berkumis tipis rapi.
Kelihatannya mereka pemuda baik-baik. Tampang pedagang mereka tidak punya.
Mungkin murid atau santri pesantren yang beberapa diantaranya memang terdapat di
daerah itu. Mungkin juga mereka dua orang putera ningrat bangsawan yang
kemalaman di jalan. Kedua orang ini masing-masing membekal bungkusan besar di
punggung. Enam penunggang kuda pengejar berhenti di samping candi dengan suara
menggemuruh. Debu mengepul ke udara. Ke enam orang ini mengenakan baju penuh
tambalan. Dengan gerakan sebat cepat mereka melompat masuk ke dalam candi.
"Dua tikus putih! Apa kalian lebih suka mencari mati dari menyerahkan harta
benda"!" Salah seorang dari enam lelaki yaitu yang paling besar tubuhnya
berteriak. Golok besar berkilat dimelintangkan di atas dada. Rambut hitam lebat,
muka kotor coreng-moreng, kumis melintang, berewok dan janggut meranggas kasar.
Satu keanehan pada diri orang ini, sepasang mata lebih banyak putihnya. Bola
mata hanya merupakan satu titik kecil berwarna hitam. Lima temannya keadaannya
hampir tidak beda. Hanya saja yang lima ini tidak memiliki mata seperti si
tinggi besar tadi.
"Meong. . . "
Tibatiba ada suara kucing mengeong. Sesaat kemudian satu sosok berpakaian putih
melesat di udara dan berdiri di tembok candi. Sambil bertolak pinggang orang ini
berkata. "Tak ada tikus di sini. Yang ada kucing meong. Aku!" "
Enam orang lelaki berpakaian penuh tambalan melengak kaget. Tapi cuma sebentar.
Keenamnya menggebor marah. Yang paling depan membentak keras.
"Kalau tidak ada tikus kucing meongpun jadi!" Lalu orang ini melompat ke depan
babatkan golok besarnya ke kaki orang di atas tembok yang bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng. "Ah kalian pasti pengemis apes. Tidak gablek sedekahan siang tadi, malam hari
jadi nekad!"
Sekali melompat Wiro telah berada di udara. Waktu melayang turun dia sengaja
injakkan kaki kiri lebih dulu di atas kepala orang yang paling besar baru
jejakkan kaki di lantai candi. Marah orang ini diperlakukan seperti itu bukan
alang kepalang. Seumur hidup baru kali itu ada orang yang berlaku sangat kurang
ajar, berani menginjak kepalanya. Dia berteriak pada anak buahnya yang lima
orang. Dadu Setan 56 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Cari dua tikus itu! Jarah harta benda mereka! Bunuh jika melawan! Aku akan
mencincang kucing meong satu ini! Tidak ada satu orangpun boleh berlaku kurang
ajar terhadap Pengemis Mata Putih!"
Orang yang mengaku Pengemis Mata Putih melompat ke atas tembok. Di saat yang
sama sambil tertawa bergelak Wiro melompat ke lantai candi.
"He. . he! Bagaimana ini! Kau ke atas, aku ke bawah! Ha. . . ha. . . ha!"
Pendekar 212 melirik ke samping lalu berkelebat tinggalkan Pengemis Mata Putih.
"Bukk! Bukk!".
Dua lelaki berpakaian tambalan yang hendak menyergap ke sudut candi dimana
beradanya dua pemuda tampan berpakaian biru tadi mencelat mental dan keluarkan
jeritan keras. Golok terlepas jatuh. Keduanya terkapar di lantai candi, megap-
megap muntah darah.
Tiga temannya serta merta berbalik ke arah Wiro dan kiblatkan golok masing-
masing dalam jurus luar biasa cepat dan ganas!
Pendekar 212 mainkan jurus Benteng Topan Melanda Samudera. Dua tangan dikipas ke
depan. "Wutt! Wuutt!"
"Aahhhhh!"
Tiga lelaki baju tambalan mengerang keras. Ketiganya terpental. Satu menghantam
dinding candi hingga roboh. Dua lainnya terbanting ke halaman candi! Satu
melejang-lejang kesakitan satunya tak berkutik lagi karena patah leher.
"Singgg!"
Satu golok besar menyambar ke arah batang leher Pendekar 212. Datangnya dari
samping. Wiro cepat merunduk. Sambil jatuhkan diri dan bersitekan dengan dua
tangan ke lantai candi, kaki kirinya menendang ke belakang dalam jurus Kilat
Menyambar Puncak Gunung.
"Duukkk!"
Gerak serangan seperti kuda menendang itu mendarat di dada Pengemis Mata Putih
yang tadi membacok dengan ganas. Tubuhnya yang besar hanya bergontai sebentar
lalu. mulutnya keluarkan suara tawa bergelak. Sambil pukul-pukul dadanya sendiri dia
berkata menantang.
"Pemuda gondrong kau boleh pukul bagian tubuhku yang kau suka! Kau boleh


Wiro Sableng 148 Dadu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarkan senjata! Bacok dan tusuk dimana kau senang!"
"Hemmm. . . . rupanya kau punya ilmu kebal hingga berlaku pongah menantang!
Tapi apakah kau merasa lebih hebat dari Pengemis Muka Bopeng dan Pengemis Siang
Malam yang telah menemui kematian"!"
Kejut Pengemis Mata Putih bukan alang kepalang. "Kau bicara apa"!" hardik
Pengemis Mata Putih. Pengemis Muka Bopeng dan Pengemis Siang Malam adalah dua
adik seperguruannya.
"Sebaiknya kau bersama anak buahmu pergi menghadap gurumu Si Raja Pengemis di
Lebakwangi. Bertobat minta ampun atas semua perbuatan sesat kalian. Diniati jadi
pengemis malah jadi rampok!"
Mendengar kata-kata Wiro, Pengemis Mata Putih menggerung.
"Jika dua saudara seperguruanku tewas, berarti kau yang membunuh mereka!"
Dengan golok di tangan Pengemis Mata Putih menerjang ke depan. Golok besar
berkilat berubah seolah menjadi belasan banyaknya. Membabat, membacok dan
menusuk Dadu Setan 57
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
dengan mengeluarkan angin dingin serta suara berdesing. Pengemis Mata Putih
keluarkan jurus andalnya yang disebut Pengemis Siang Minta Berkah, Pengemis
Malam Minta Sesajen.
''Breett!"
Baju Pendekar 212 robek di bagian bahu. Pakaian putih itu tampak kemerahan tanda
kulit bahu Wiro ikut terluka. Dari sudut candi terdengar satu suara pekikan.
Walau bahunya terasa perih, Pendekar 212 menyeringai sambil tepuk-tepuk bahu
yang luka. "Kucing meong! Baru bahumu yang aku sayat! Sekarang giliran lehermu! Lihat
golok!" Didahului bentakan keras tubuh besar Pengemis Mata Putih melompat.
Goloknya bersiuran, menabur tiga serangan sekaligus. Yaitu membabat ke pinggang
lalu membacok ke kepala dan terakhir sekali yang merupakan serangan sebenarnya
adalah menusuk ke leher!
"Serangan hebat! Jaga kepalamu!" teriak Wiro sambil menghindar.
Pengemis Mata Putih terkesiap. Suara lawan datang dari empat jurusan. Mana yang
sungguhan dan mana yang palsu" Belum mampu dia memastikan tiba-tiba buukkk!
Batok kepalanya digebuk orang!
Pengemis Mata Putih tersungkur di tanah. Mengerang sebentar, mata terjereng-
jereng lalu bangkit lagi! Pendekar 212 melengak kaget setengah mati. Tadi dia
berhasil menipu lawan dengan ilmu Empat Penjuru Menebar Suara. Ilmu ini
didapatnya dari Datuk Tanpa Bentuk Tanpa Ujud yang merupakan guru Hantu Selaksa
Angin (Baca serial Wiro Sableng di Latanahsilam) Selagi lawan kebingungan Wiro
kemudian menghantam ubun-ubun orang dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah.
Pukulan yang bisa menghancurkan batu besar itu ternyata tidak mampu memecahkan
kepala Pengemis Mata Putih!
"Gila! Ilmu kebalnya benar-benar luar biasa! Aku harus mencari kelemahannya!
Sebaiknya aku lebih dulu mencecar dengan serangan." Wiro lalu kerahkan tenaga
dalam dan ilmu meringankan tubuh. Tubuhnya berkelebat seolah berubah jadi
bayang-bayang. Tangan dan kakinya melesat kian kemari, menendang dan menggebuk. Beberapa dari
serangannya itu bersarang dengan telak di tubuh lawan. Namun tetap saja Pengemis
Mata Putih bergeming, tidak berhasil dirobohkan apa lagi dicederai. Sebaliknya
serangan golok sang pengemis semakin bertubi-tubi dan berbahaya. Wiro memutuskan
untuk menghantam lawan dengan pukulan Sinar Matahari.
"Kelemahan orang itu adalah pada matanya. Jika kau bisa menciderai satu saja
dari dua matanya, sekali pukul saja dia akan ambruk menemui ajal!"
Tibatiba Wiro mendengar suara halus di telinga kirinya. Dia tidak berusaha
mencari tahu siapa yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu namun langsung saja
melakukan serangan mengincar dua mata lawan. Setelah mendesak Pengemis Mata
Putih tiga jurus berturut-turut Wiro akhirnya berhasil menjotos mata kiri
lawannya dengan jurus pukulan Membuka Jendela Memanah Matahari.
"Crooss!"
Mata kiri Pengemis Mata Putih hancur! Orang ini langsung melosoh ke tanah,
menjerit tiada henti. Wiro jambak rambutnya dengan tangan kanan. Ketika tangan
kiri hendak dihantamkan ke muka orang ada orang mencegah dengan mengirimkan
suara. "Jangan bunuh orang itu!"
Wiro lepaskan jambakan. Pengemis Mata Putih jatuh terduduk di tanah, berlutut
dan meratap minta ampun.
"Aku mengaku kalah! Ampuni selembar nyawaku! Aku siap untuk bertobat!"
Dadu Setan 58 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Pergilah! Bawa teman-temanmu yang masih hidup. Awas jika kemudian hari aku
menemuimu masih berbuat jahat!"
Pengemis Mata Putih membungkuk-bungkuk berulang kali. Ternyata ada empat orang
anak buahnya yang masih hidup walau dua diantaranya luka parah.
Setelah Pengemis Mata Putih dan empat anak buahnya pergi membawa serta mayat
seorang teman mereka Wiro berpaling ke sudut kiri candi dimana dua pemuda cakap
berpakaian biru berdiri dengan wajah menunjukkan rasa lega, lepas dari
malapetaka. Pemuda yang bertubuh lebih besar segera mendatangi Wiro.
"Aku dan adikku menghaturkan banyak terima kasih dan bersyukur pada Yang Maha
Kuasa. Kalau sahabat tidak menolong, entah apa jadinya kami. berdua. "
Wiro menggaruk kepala. Sekali lihat saja dia tidak percaya kalau dua pemuda
tampan dan halus ini tidak memiliki ilmu kepandaian. Mereka sembunyikan
kehebatan dibalik sikap merendah dan lemah lembut. Maka Wiro lalu menjawab.
"Kalau tidak tadi salah satu diantara sahabat yang memberi tahu kelemahan
pengemis itu, rasanya saat ini aku sudah jadi mayat terkutung-kutung. "
Pemuda yang bertubuh lebih kecil dan berkumis rapi mendatangi.
"Ilmu silat, ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam saudara sungguh
mengagumkan. Boleh saya bertanya siapa saudara ini dan murid siapa gerangan
adanya?" Wiro tersenyum.
"Sahabat keliwat memuji. Kalau saya boleh bertanya, sahabat berdua datang dari
mana dan mau menuju ke mana?"
"Kami orang pedalaman. Aku Panjirama, adikku bernama Ariadarma. Kami dalam
perjalanan ke utara. Di tengah jalan dihadang dan dikejar oleh Pengemis Mata
Putih bersama anak buahnya. Untung kami bertemu dengan sahabat. Sebelum sampai
di sini kami tidak henti-hentinya melihat bencana, malah mengalaminya sendiri. "
Ariadarma menyambung ucapan sang kakak. "Sebelumnya kami melewati beberapa desa.
Penduduk disana tengah meratapi bencana yang mereka alami. Air sungai yang
melalui desa mereka diracuni orang. Ikan mati mengambang. Ternak banyak yang
menemui ajal. Bahkan penduduk yang minum air sungai, walau telah dimasak masih
mati keracunan. Diperlukan waktu berminggu-minggu sebelum racun larut hanyut ke
muara. Penduduk beberapa desa itu sudah lama menderita. Kini malah jadi tambah
sengsara. . . "
"Ini pasti pekerjaan orang-orang di timur. Orang-orang di barat sudah terlalu
lama banyak mengalah. " Kata Panjirama pula.
Wiro perhatikan pemuda berkumis yang berdiri di depannya. Dia garuk-garuk kepala
lalu tersenyum dan berkata.
"Kalian berdua pasti kecapaian. Kalian perlu istirahat. Perjalanan ke utara
masih jauh. Candi rusak ini terlalu sempit untuk kita bertiga. Apa lagi aku tidak ingin
menganggu kehadiran kalian berdua. Aku tak berani menduga, namun bukan mustahil
kalian adalah sepasang kekasih yang sedang berkelana secara menyamar. . . "
Kaget dua kakak adik berwajah tampan itu bukan main. , "Aku tidak mengerti
maksud sahabat," kata pemuda bernama Panjirama.
Wiro membungkuk lalu masih sambil senyum-senyum dia tinggalkan candi itu.
"Heran," kata Panjirama. "Bagaimana dia sampai berkata kita adalah sepasang
kekasih yang sedang berkelana secara menyamar. . . "
Dadu Setan 59 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Ucapan itu hanya punya satu arti," sahut Ariadarma, sang adik. "Dia tahu kalau
Adinda perempuan. Luar biasa, bagaimana dia bisa tahu?"
"Sayang dia keburu pergi. Padahal pendekar seperti dia yang kita perlukan di
kemudian hari. " Kata Panjirama pula.
Sementara itu Pendekar 212 Wiro Sableng berjalan sambil senyum-senyum.
"Berkumis tapi pakai kalung emas dan punya payudara. Ha. . . ha. . . ha. . . "
Bagaimana Wiro tahu kalau Ariadarma adalah seorang perempuan" Tidak lain karena
kejahilannya juga. Dia memperhatikan pemuda berkumis itu sambil mengerahkan ilmu
Menembus Pandang. Padahal Ratu Duyung telah berpesan bahwa ilmu tersebut tidak
boleh dipergunakan untuk niat nakal atau jahat.
"ha-hu ha-hu. . . "
Wiro hentikan langkah.
"Nenek kembar?"
Satu bayangan kuning berkelebat dan salah seorang dari dua nenek kembar rambut
kelabu jubah kuning muncul berdiri di hadapan Wiro.
"ha-hu ha-hu!" si nenek keluarkan suara gagu sambil tangan kiri menunjuk-nunjuk
dirinya sedang tangan menunjuk ke arah kejauhan.
"Kau dan kembaranmu sudah menemui orang berpakaian merah itu?" tanya Wiro.
Nenek rambut kelabu mengangguk berulang kali.
"Ha hu ha-hu!"
"Kalau begitu antarkan aku ke sana. "
"ha-hu ha-hu!" ucap si nenek.
"ha-hu ha-hu!" Wiro menirukan sambil menepuk pantat si nenek.
"Uuuhh. . . " Walau hanya mahluk jejadian, namun tepukan di pantatnya membuat si
nenek terangsang juga dan tubuhnya mendadak sontak berubah menjadi seorang
perempuan muda cantik jelita.
"Jangan coba merayuku! Baru pantat belakang yang aku tepuk sudah mau menggoda.
Bagaimana kalau aku tepuk pantatmu yang depan!" kata Pendekar 212 pula sambil
senyum-senyum. "Ayo jalan!"
Perempuan cantik itu tertawa lebar. Kedip-kedipkan matanya lalu ujudnya kembali
seperti semula yaitu sosok nenek rambut kelabu.
"Ha-hu ha-hu!"
Dadu Setan 60 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
TAMAT Episode berikutnya :
SI CANTIK DARI TIONGGOAN
Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito
Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245
"Mengenang Alm. Bastian Tito"
Pengarang Wiro Sableng
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Komentar dan saran : samademail@gmail. com
IM : samchatacc@yahoo. com
atau Kaskus thread No. 414999
Dadu Setan 61 Pedang Kunang Kunang 13 Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen Pemburu Dosa Leluhur 1
^