Pencarian

Tawon Merah Bukit Hengsan 4

Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


menyeberang propinsi ke lembah Sungai Kuning
bagian utara. Jumlah anggauta mereka mencapai
seribu orang lebih. Kaisar sendiri yang bertangan besi,
beberapa kali sudah mengerahkan pasukan, namun
tak pernah berhasil membasmi perkumpulan itu
sampai ke akarnya. Paling-paling hanya membuat
perkumpulan itu lari mengungsi, berpindah-pindah di
daerah yang sulit karena penuh dengan perbukitan
dan anak sungai yang curam itu."
"Wah, kalau begitu, bagaimana kalian dapat mencari
pembunuh ayah itu" Tak mungkin kalian bertiga
melawan ribuan orang Pek-lian-kauw!" seru Ui Kiang
geli?sah. "Aku yakin bahwa Pek-bin Moko bukan anggauta
pusat, Kiang-ko. Pek-lian-kauw mempunyai banyak
sekali cabang. Cabang-cabang ini tempatnya
tersembunyi, dan anggautanya juga tidak berapa
banyak. Kalau Pek-lian-kauw sampai mau mencuri
patung emas, berarti pelakunya tentu anggauta
sebuah cabang saja untuk mengumpulkan dana.
Karena itu, sekarang yang harus dicari adalah di mana
adanya cabang Pek-lian-kauw yang berada di sekitar
daerah ini," Siong Li menjelaskan.
Ui Kong tampak lemas dan menghela napas. "Ah,
memang sayang sekali, sete-lah dulu aku dilatih oleh
suheng Sin-kiam Lojin dan beliau pindah ke Heng-san,
aku tidak mau ikut, sehingga aku tidak sempat
merantau jauh dan mencari pengalaman. Setelah
tamat belajar, aku lalu pulang dan tak pernah
meninggalkan ayah. Aku hanya menentang kejahatan
yang terjadi di sekitar daerah Ki-lok saja sehingga aku
hampir buta tentang dunia kang-ouw."
"Aih, tidak perlu berkecil hati, Kong-ko. Aku sendiripun
tidak memiliki penge-tahuan seluas Li-ko mengenai
dunia kangouw. Dunia kang-ouw itu luas sekali dan
memiliki tokoh-tokoh yang terhitung banyaknya.
Sekarang jalan terbaik adalah melakukan
penyelidikan di mana kiranya ada cabang Pek-lian-
kauw di daerah Ki-lok ini atau di daerah Propinsi Hok-
kian." "Sayang aku bukan seorang ahli silat sehinga aku
tidak berdaya untuk mem-bantu kalian. Akan tetapi
menurut pendapatku, akan lebih berhasil kalau kalian
mencari sarang cabang Pek-lian-kauw itu dari para
penjahat di daerah ini. Bukankah ada ucapan orang
bijaksana yang mengatakan bahwa burung gagak
selalu bergaul dengan burung gagak dan burung Hong
hanya mau berpasangan dengan burung Hong
lainnya" Mencari sarang perkumpulan jahat harus
melalui para penjahat. Dan aku mendengar bahwa
dalam Propinsi Hok-kian ini, gerombolan penjahat
yang paling terkenal adalah Gerombolan Sembilan
Naga di lembah Sungai Kiu-liong (Sungai Sembilan
Naga). Entah benar atau tidak pendapatku ini."
"Wah, hebat! Benar sekali pendapatmu itu, Kiang-ko!
Hampir aku lupa. Memang, gerombolan yang
menamakan dirinya Gerombolan Sembilan Naga itu
amat terkenal dan sukar dibasmi karena daerah
mereka amat luas, di sepanjang lembah Sungai Kiu-
liong," kata Ui Kong.
"Kalau begitu, ke sanalah kita pergi! Biasanya,
gerombolan penjahat akan lari mengungsi kalau
diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Akan tetapi kalau hanya kita bertiga yang muncul,
tentu mereka akan memandang rendah dan kita
dapat bertemu dengan pimpinan mereka untuk
mencari keterangan tentang cabang Pek-lian-kauw di
Propinsi Hok-kian ini," kata Siong Li.
"Bagus, kita berangkat sekarang!" kata Bwee Hwa.
Kedua orang kakak beradik Ui itu mengadakan
persiapan. Ui Kiang yang tidak pandai ilmu silat tentu
saja tidak dapat ikut karena dia tidak akan dapat
membantu malah hanya menjadi beban karena yang
lain harus melindunginya. Ui Kiang dan adiknya
mempersiapkan tiga ekor kuda yang baik. Juga Ui
Kong membawa sekantung uang bekal dalam
perjalanan yang belum mereka ketahui berapa
lamanya itu. Setelah persiapan selesai, tiga orang
muda perkasa itu, Ui Kong, Siong Li, dan Bwee Hwa,
berangkat menunggang kuda keluar dari kota Ki-lok,
menuju ke lembah Sungai Kiu-liong.
"Y" Melakukan perjalanan diapit dua orang pemuda yang
ia tahu sama-sama mencintanya, Bwee Hwa merasa
bingung. Apalagi kalau ia teringat Ui Kiang yang tidak
ikut. Ia tahu bahwa Ui Kiang, pemuda sasterawan itu,
juga jatuh cinta padanya. Tiga orang pemuda
mencintanya dan ia harus memilih seorang di antara
mereka! Atau lebih tepat lagi, karena oleh mendiang
ibunya ia sudah dijodohkan dengan putera keluarga
Ui, ia harus memilih antara Ui Kiang dan Ui Kong.
Secara resmi, Siong Li sudah berada di luar hitungan.
Semua ini membuat ia merasa bingung sekali. Dua
orang saudara Ui itu sama baiknya, yang seorang
lemah lembut dan bijaksana, juga terpelajar tinggi.
Yang seorang lagi gagah perkasa, memiliki ilmu silat
yang tangguh. Keduanya sama tampan menarik pula!
Baru memilih di antara keduanya ini saja sudah
membingungkan. Apalagi kalau ia teringat kepada Siong Li! Pemuda ini
telah banyak jasanya, dan ia sudah membuktikan
sendiri bahwa pemuda ini amat mencintanya, juga
merupakan seorang pendekar yang gagah perkasa
dan baik budi. Ia menjadi bingung, tidak tahu harus
memilih yang mana! Bwee Hwa tidak tahu betapa sejak tadi Ui Kong
memperhatikannya. Ketika itu, matahari telah naik
tinggi. Mereka telah melakukan perjalanan beberapa
hari dan terik matahari yang menyengat membuat
mereka merasa lelah. Juga kuda mereka tampak
kelelahan. "Sebaiknya kita berhenti mengaso di sini agar kuda
kita juga dapat mengaso," kata Siong Li yang
dianggap sebagai pemimpin mereka.
Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, melepas kuda
agar dapat makan rumput yang tumbuh subur di
bawah pohon-pohon. Mereka bertiga lalu duduk di
bawah pohon yang teduh, duduk di atas batu-batu
yang banyak terdapat di situ. Ui Kong segera
menurunkan bekal makanan dan minuman dari atas
sela kudanya. Roti dan daging kering merupakan
makanan lezat pada saat itu, dan minumannya hanya
air jernih yang dituang dari guci.
Sehabis makan mereka membiarkan tubuh mereka
beristirahat dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ui
Kong untuk menyatakan perasaan hatinya melihat
Bwee Hwa sejak tadi banyak termenung.
"Hwa-moi, aku melihat wajahmu sejak tadi tampak
muram. Kenapakah, Hwa-moi" Ah, aku merasa
menyesal sekali bahwa karena urusan keluarga kami,
engkau dan juga Li-ko menjadi ikut repot dan
bersusah payah menemani aku untuk mencari
pembunuh ayah." "Ah, kenapa engkau berpendapat seperti itu, Kong-ko"
Aku termenung bukan sekali-kali karena merasa repot
mengejar pembunuh ayahmu. Hal itu memang sudah
menjadi kewajibanku menentang kejahatan!" kata
Bwee Hwa. "Benar apa yang dikatakan Hwa-moi, Kong-te. Selain
mencari pembunuh Paman Ui Cun Lee, juga kita
sudah sepatutnya merampas kembali Patung Kwan
Im yang dicuri dan dilarikan Pek-bin Moko tokoh Pek-
lian-kauw. Semua itu, seperti dikatakan Hwa-moi tadi,
sudah menjadi tugas kewajiban kita, sama sekali
tidak merepotkan dan menyusahkan!"
Ui Kong tersenyum dan mengangkat kedua tangan
depan dada memberi hormat. "Terima kasih banyak.
Memang jiwi (kalian berdua), Hwa-moi dan Li-ko
adalah pendekar-pendekar budiman yang bijaksana
dan gagah perkasa. Akan tetapi, aku melihat Hwa-
moi banyak melamun sehingga timbul pertanyaan itu
dalam hatiku. Maafkan aku."
Bwee Hwa tersenyum. Pada dasarnya, ia seorang
gadis periang sehingga tidak dapat lama terbenam
dalam lamunan tentang cinta yang membingungkan
hatinya tadi. Kini ia memandang wajah Ui Kiong dan
tertawa. "Heheh, engkau ini lucu, Kong-ko. Orang
melamun saja ditafsirkan. Aku tadi memang melamun
karena teringat akan keadaanku yang hidup sebatang
kara di dunia yang penuh kejahatan ini."
"Aih, Hwa-moi, kenapa hal seperti itu diingat lagi" Apa
engkau sudah lupa bahwa aku juga seorang yatim
piatu dan hidup sebatang kara di dunia ini?" kata
Siong Li sambil tertawa pula.
"Dan aku bagaimana" Juga kakakku Kiang-ko" Kami
juga tidak mempunyai ayah dan ibu lagi!" kata Ui
Kong pula. "Nah, selain kita berempat, masih banyak sekali
manusia di dunia ini yang sudah menjadi yatim piatu.
Akan tetapi jangan katakan bahwa kita hidup
sebatang kara di dunia yang penuh kejahatan ini,
Hwa-moi. Kita tidak sebatang kara. Kita hidup dengan
banyak manusia lain. Setidaknya, bukankah kita
sekarang ini saling bersahabat dan saling membantu"
Dunia tidak hanya terisi kejahatan, Hwa-moi, akan
tetapi juga terdapat banyak kebaikan."
"Ah, aku jadi ingat kepada kakakku. Kiang-ko
seringkali bicara tentang kehi-dupan ini, tentang
kebaikan dan kejahatan. Sering aku menjadi
termangu keheranan kalau dia bicara tentang
kehidupan, dan sama sekali kata-katanya itu tidak
dapat dibantah dan aku harus mengakui kebenaran
ucapannya," kata Ui Kong.
Hati Bwee Hwa menjadi tertarik sekali. Iapun dapat
merasakan bahwa Ui Kiang yang lemah tak pandai
silat itu memiliki kelebihan dalam lain hal.
"Apa yang dia katakan tentang kebaikan dan
kejahatan, Kong-ko" Aku ingin sekali mendengarnya,"
kata Bwee Hwa. Pengejaran Terhadap Pembunuh Ayah
"Dia bicara tentang dua unsur yang membuat dunia
ini berputar, yang membuat segala sesuatu
berimbang, yaitu Im dan Yang (positive dan negative).
Tanpa adanya kedua unsur yang saling berlawan an
namun saling menunjang ini, segala sesuatu di alam
ini akan mandeg, segala kegiatan alam akan berhenti.
Karena itu, keduanya sama pentingnya, misalnya
siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita,
dan segala sesuatu dengan kebalikkannya. Juga
kebaikan dan kejahatan. Satu antara lain dia berkata
begini. Kalau tidak ada kejahatan, mana bisa ada
kebaikan" Sebaliknya karena ada kebaikan, maka
timbul kejahatan. Yang satu tidak lebih penting
daripada yang lain. Demikianlah yang dikatakan
kakakku itu." Bwee Hwa mengerutkan alisnya. "Kejahatan tidak
kalah pentingnya dari pada kebaikan" Wah, yang ini
aku kurang mengerti, Kong-ko. Bukankah kejahatan
itu bertolak belakang dengan pandangan kita"
Bukankah kita oleh guru-guru kita selalu dianjurkan
untuk menentang kejahatan" Bagaimana bisa
dikatakan bahwa kebaikan tidak lebih penting
daripada kejahatan?"
Ui Kong mengangkat kedua pundaknya. "Begitulah
yang dikatakan kakakku. Kalau engkau hendak
mengetahuinya lebih jelas seharusnya ditanyakan
kepada Kiang-ko. Aku sendiri juga tidak mengerti
jelas." Lalu Ui Kiong menoleh kepada Siong Li dan
berkata, "Li-ko memiliki pengalaman luas, barangkali
dapat menjelaskan dan menjawab pertanyaan Hwa-
moi tadi?" Siong Li tersenyum. "Ucapan Kiang-ko itu
mengandung arti yang mendalam dan tak dapat
dibantah kebenarannya, akan tetapi bagi yang tidak
mengerti dapat menimbulkan salah-paham, apalagi
bagi orang yang suka berbuat jahat, akan dapat
membenarkan perbuatan jahatnya yang dianggap
sama pentingnya dengan perbuatan baik."
"Nah, itulah yang membingungkan aku, Li-ko. Kalau
dianggap sama, lalu untuk apa kita membela
kebenaran dan menentang kejahatan" Kalau
dianggap sama pentingnya, lalu apakah kita
seharusnya melakukan kejahatan seperti kita
melakukan kebaikan?" bantah Bwee Hwa penasaran.
Siong Li tertawa. "Ha-ha! Bukan begitu, Hwa-moi.
Kejahatan, atau keadaan apapun juga yang kita
anggap tidak baik, merupakan tantangan dalam hidup
ini. Misalnya kalau ada gelap kita akan berusaha
untuk mengatasinya kegelapan dengan menyalakan
api penerangan dan sebagainya. Kejahatan seperti
juga penyakit dan kita harus mengatasinya,
menentangnya. Menentang kejahatan dan melakukan
kebaikan merupakan kewajiban dalam hidup ini.
Melakukan kebaikan berarti membiarkan diri menjadi
alat Tuhan, sebaliknya melakukan kejahatan berarti
membiarkan diri menjadi alat setan."
"Nah, kalau begitu, bagaimana dikatakan bahwa
kebaikan tidak lebih penting daripada kejahatan" Dan
engkau tadi mengatakan bahwa pendapat itu tidak


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat dibantah kebenarannya! Bagaimana ini, Li-ko?"
"Memang sesungguhnya, kita yang tidak mau
menjadi alat setan akan selalu menentang kejahatan.
Akan tetapi kejahatan itu sendiri amat penting bagi
kehidupan, karena merupakan perimbangan keadaan,
seperti siang dan malam tadi, yaitu Im dan Yang.
Kalau tidak ada perbuatan jahat, mana ada perbuatan
baik" Justeru kejahatan merupakan tantangan bagi
manusia untuk memacu kebaikan. Makin hebat
kejahatan merajalela, makin tekun orang
memperhatikan pelajaran tentang kebaikan. Makin
liar setan merajalela, manusia semakin bersemangat
untuk mendekatkan diri kepada kepada Tuhan. Makin
ganas si penyakit, makin tekun orang mencari
obatnya. Semua itu memang harus berimbang, Im
dan Yang, saling bertentangan akan tetapi juga saling
menunjang. Kekuasaan Tuhan tampak jelas melalui
perimbangan ini, melalui Im dan Yang. Bahkan segala
yang tampak di dunia ini terjadi karena perpaduan
antara Im dan Yang."
"Wah, aku menjadi pening, Li-ko, biarpun aku dapat
mengerti sedikit pen-jelasanmu itu," kata Bwee Hwa
sambil tertawa. "Ha-ha-ha, sama dengan aku, Hwa-moi!" kata Ui
Kong. "Akupun sering merasa pening kalau Kiang-ko
bicara tentang semua itu. Akan tetapi dia pernah
memberi perumpamaan yang lebih agak jelas. Begini
katanya: Dalam batin ma?nusiapun Im dan Yang
bekerja sepenuhnya. Baik dan buruk bekerja dalam
batin manusia, seolah manusia itu berbatin setengah
malaikat setengah iblis. Maka setiap orang manusia
itu ada baiknya dan ada pula jahatnya. Kalau dia baik
sepenuhnya, maka bukan manusia namanya,
melainkan malaikat. Kalau jahat sepenuhnya, diapun
bukan manusia melainkan iblis. Terkadang baik
dituntun malaikat, terkadang jahat dituntun iblis, itulah
manusia!" Mereka bertiga tertawa. Mereka kini sudah cukup
beristirahat dan tiga ekor kuda mereka juga sudah
cukup mengaso dan makan rumput. Dengan hati
gembira setelah bercakap-cakap tadi, Bwee Hwa
tidak melamun lagi dan rasa lelah setelah melakukan
perjalanan selama tiga hari rasanya hilang.
Setelah menyeberangi hutan itu, tibalah mereka di
lembah sungai dan ketiganya mulai bersikap waspada
karena mereka telah memasuki daerah yang menjadi
wilayah kekuasaan Kiu-liong-pang (Perkumpulan
Sembilan Naga). Nama perkumpulan yang
sesungguhnya merupakan gerombolan penjahat yang
suka merampok dan mencuri ini, amat terkenal di
Propinsi Hok-kian. Mereka sering melakukan
perampokan ke dusun-dusun dan bahkan berani
menjarah sampai ke kota. Pada mereka yang berani melakukan perjalanan
melewati lembah sungai itu, tentu akan bertemu
anggauta gerombolan yang minta semacam "uang
pajak". Kalau permintaan ini ditolak, mereka akan
menggunakan kekerasan, membunuh dan merampok
dengan kejam. Juga mereka yang melakukan
perjalanan dengan perahu di Sungai Kiu-liong, pasti
akan mereka hadang pula dan mereka mintai uang,
kalau menolak mereka akan membajak dan
membunuh. Ada sudah usaha para pedagang yang melakukan
perjalanan, baik melalui darat maupun melalui air,
menyewa para piauw-su (pengawal kiriman) untuk
melindungi mereka dari gangguan para anak buah
gerombolan Kiu-liong-pang itu. Namun, setelah
beberapa kali piauw-su itu bahkan menjadi korban,
maka para pedagang mengalah dan merasa lebih
aman untuk membayar "pajak" kepada gerombolan
itu. Kiu-liong-pang dipimpin oleh tiga orang pemimpinnya
yang terkenal tangguh dan amat lihai ilmu silatnya.
Mereka biasa disebut sebagai Toa-liong (Naga
Pertama), Ji-liong (Naga Kedua) dan Sam-liong (Naga
Ketiga), merupakan tiga orang kakak beradik
seperguruan yang berusia antara empatpuluh sampai
limapuluh tahun. Gerombolan Kiu-liong-pang itu
memiliki anak buah yang cukup banyak, tidak kurang
dari seratus orang. Karena itu kedudukan mereka
amat kuat. Pihak pemerintah sudah pula berusaha untuk
membasmi gerombolan ini dengan mengerahkan
pasukan yang besar jumlahnya. Akan tetapi, kalau
diserbu pasukan yang besar, semua anak buah
gerombolan melarikan diri dan karena daerah lembah
Sungai Kiu-liong itu amat luas dan panjang, melewati
hutan-hutan lebat, maka sukar sekali bagi pasukan
pemerintah untuk membasmi mereka.
Bwee Hwa, Siong Li dan Ui Kong yang telah tiba di
lembah sungai dan mengharapkan dapat bertemu
dengan anggauta gerombolan Kiu-liong-pang, sampai
menjelang senja belum juga menemukan mereka.
Daerah itu sunyi bukan main karena memang
merupakan daerah yang dianggap berbahaya
sehingga jarang ada yang berani melakukan
perjalanan lewat lembah itu.
Terpaksa ketiga orang muda itu berhenti di tepi sungai
yang terbuka, melepaskan kendali kuda dan
menambatkan kuda mereka pada pohon yang
tumbuh dekat tempat mereka berada. Ui Kong lalu
mencari dan mengumpulkan kayu kering untuk
persiapan membuat api unggun. Api unggun amat
penting bagi mereka dalam melewatkan malam di
tempat seperti itu. Selain dapat mengusir hawa
malam yang dingin, juga terutama sekali dapat
mengusir nyamuk-nyamuk yang tentu akan sangat
mengganggu. Sementara itu, Siong Li mencari anak sungai yang
menumpahkan airnya ke Sungai Kiu-liong. Biasanya
dalam hutan terdapat banyak anak sungai kecil yang
jernih airnya. Setelah mendapatkan anak sungai yang
jernih airnya, Siong Li memberi tahu Bwee Hwa dan
gadis ini lalu pergi mandi dan berganti pakaian bersih.
Setelah ia selesai, lalu Ui Kong mandi dan yang
terakhir giliran Siong Li. Mereka bertiga merasa segar
sehabis mandi dan berganti pakaian bersih.
Setelah itu, kembali mereka makan roti dan daging
kering yang dibawa Ui Kong sebagai bekal. Sejak
siang tadi mereka tidak pernah bertemu dengan
dusun atau bahkan orang lain sehingga mereka tidak
dapat membeli makanan lain. Bagi Bwee Hwa dan
Siong Li yang sudah terbiasa melakukan perjalanan
dan mengalami makan seadanya dan tidur di tempat
seadanya pula, keadaan seperti itu sama sekali tidak
merupakan gangguan. Mereka dapat makan apa saja
dengan lezat asalkan perut mereka lapar dan tidur di
manapun asalkan mata mereka mengantuk.
Akan tetapi tidak demikian dengan Ui Kong. Biarpun
pemuda ini pernah mempelajari ilmu silat sampai
tingkat tinggi, namun dia tidak pernah melakukan
perantauan seperti itu dan hidupnya selalu
bergelimang kemewahan dan kecukupan. Makan
selalu dengan lauk pauk yang serba lengkap dan
mewah, tidurpun di kamar indah dengan tempat tidur
yang lunak. Maka pengalaman selama tiga hari ini
cukup membuat dia merasa menderita.
Ketika mereka makan roti dan daging kering,
makanan yang itu-itu juga yang mereka makan
selama tiga hari ini, Bwee Hwa melihat betapa Ui
Kong makan dengan alis berkerut, sama sekali tidak
lahap seperti ia dan Siong Li yang merasa lapar.
Setelah selesai makan, Ui Kong berkata, "Biarlah
malam ini aku yang berjaga di sini. Kalian mengaso
dan tidurlah." "Ah, mana bisa begitu, Kong-te" Kita melakukan
penjagaan dengan bergilir. Setidaknya kita berdua
yang bergiliran dan Hwa-moi boleh mengaso dan
tidur." "Ah, tidak bisa! Akupun harus mendapat giliran seperti
dua malam yang lalu. Aku tidak mau enak-enakan
sendiri tidur sedangkan kalian berdua melakukan
penjagaan!" kata Bwee Hwa.
"Sebetulnya tidak perlu bergilir, biar aku saja yang
berjaga semalam ini. Ba-gaimanapun, kalau tiba
giliran kalian, tetap saja aku tidak dapat pulas."
Bwee Hwa yang sejak hari pertama perjalanan sudah
memperhatikan pemuda yang tampak menderita
melakukan perjalanan itu, tersenyum, "Ah, engkau
tidak dapat tidur pulas karena tempatnya, Kong-ko?"
Ui Kong tersenyum dan mengangguk, lalu berkata
sejujurnya. "Ya, begitulah."
"Kulihat tadi engkau makan juga tidak lahap, seperti
dipaksakan. Makanannya kurang enak bagimu, ya?"
tanya Bwee Hwa. Ui Kong mengerutkan alisnya. "Sialan itu gerombolan
Kiu-liong-pang! Di mana saja sih mereka itu, belum
juga menampakkan diri" Membuat aku kesal!"
"Nah, inilah sebabnya mengapa dulu guruku pernah
mengatakan bahwa jauh lebih baik membiasakan diri
hidup sederhana daripada hidup bermewah-
mewahan," kata Siong Li.
"Akan tetapi, Li-ko, apakah orang yang keadaannya
cukup atau kaya harus hidup sederhana" Lalu untuk
apa semua harta yang diperolehnya dalam
pekerjaannya?" bantah Ui Kong.
"Tentu saja tidak begitu yang dimaksudkan suhu.
Hidup sederhana bukan berarti orang kaya harus
hidup serba kekurangan atau melarat. Yang
dimaksudkan agar dalam kehidupan sehari-hari tidak
bermewah-mewah, tidak berlebihan. Hidup sederhana
berarti merasa puas dengan apa yang ada, tidak main
royal-royalan memanjakan nafsu keinginan yang
bersifat angkara murka. Kalau kita sudah terbiasa dengan apa adanya, maka
makanan apapun akan terasa lezat kalau kita lapar
dan tempat tidur manapun akan terasa nyaman kalau
kita mengantuk. Hidup sederhana merupakan
pencerminan jiwa yang sederhana, dalam arti kata
tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada dan dapat
menerima dan menikmati apa yang ada sehingga
setiap saat kita dapat bersyukur kepada Thian (Tuhan)
akan apa yang diberikanNya kepada kita."
Ui Kong mengangguk-angguk. "Aku mengerti
sekarang, Li-ko. Agaknya yang kaumaksudkan adalah
agar kita tidak memanjakan keinginan nafsu-nafsu
kita yang selalu haus akan kesenangan. Begitukah?"
"Kurang lebih begitulah, Kong-te," kata Siong Li.
Malam itu, ketika giliran Ui Kong untuk tidur, dia dapat
tidur nyenyak di bawah pohon, di atas tanah begitu
saja. Melihat ini, Siong Li tersenyum. Ternyata pemuda
hartawan itu sudah dapat memetik manfaat dari
percakapan mereka tadi! Mereka tidur bergiliran dan pada keesokan harinya,
setelah membersihkan badan, mereka hendak
melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba
mereka mendengar tiga ekor kuda mereka meringkik
ketakutan. Mereka cepat menengok dan tampaklah
belasan orang laki-laki muncul dan tiga orang di
antara mereka sudah menguasai kuda-kuda mereka
yang tadinya ditambatkan pada batang pohon.
"Keparat busuk, lepaskan kuda-kuda kami!" bentak
Bwee Hwa marah dan gadis ini sudah siap untuk
menyerang para pencuri kuda-kuda itu dengan jarum-
jarumnya. Akan tetapi Siong Li cepat memegang lengannya.
Pemuda ini khawatir kalau-kalau Bwee Hwa akan
membunuh orang. Kalau hal itu terjadi, akan sukarlah
bagi mereka untuk mencari keterangan tentang
cabang Pek-lian-kauw. Diapun menghadapi belasan
orang yang kini menghadang di depan mereka, lalu
berkata dengan sikap bersahabat dan tersenyum
ramah. "Kalau kami tidak salah duga, cu-wi (anda sekalian)
tentu anggauta-anggauta dari Kiu-liong-pang, bukan?"
Seorang dari mereka yang bertubuh tinggi kurus,
memandang tajam dan menoleh ke arah kawan-
kawannya yang rata-rata bertubuh kokoh kuat dan
bersikap kasar. "Kawan-kawan, mereka mengenal
kita!" kata si tinggi kurus lalu menjawab pertanyaan
Siong Li. "Benar, kami adalah orang-orang Kiu-liong-
pang. Setelah kalian bertiga mengetahui, hayo cepat
serahkan buntalan-buntalan itu dan gadis ini harus
ikut bersama kami sebagai oleh-oleh untuk ketua
kami!" Ucapan si tinggi kurus ini disambut tawa
terbahak oleh orang-orang kasar itu.
Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan wajahnya
berubah merah sekali. Melihat ini, Siong Li berbisik
kepadanya. "Hwa-moi, jangan bunuh orang, kita perlu keterangan
mereka." Bwee Hwa menjawab, "Jangan khawatir, aku tidak
akan bunuh orang, akan tetapi mulut orang itu harus
dihajar!" Setelah berkata demikian, ia melangkah ke
depan, menghadapi si tinggi kurus lalu membentak.
"Jahanam bermulut busuk! Hayo cepat berlutut dan
minta maaf atas kelancangan mulut busukmu, atau
aku akan menghancurkan mulut busukmu itu!"
Si tinggi kurus adalah seorang anggauta Kiu-liong-


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pang yang agak menonjol kemampuannya, maka dia
diangkat menjadi kepala dari belasan orang itu.
Melihat sikap dan mendengar ucapan Bwee Hwa itu,
dia tertawa bergelak, diikuti tawa para kawannya
yang menganggap gertakan gadis cantik jelita itu
terdengar amat lucu! "Awas, Boan-ko, mulutmu akan digigitnya hancur
kalau engkau menciumnya!" kata seorang anggauta
dan ucapan inipun memancing tawa bergelak.
"Boan-ko, kalau engkau memberikan gadis ini kepada
toa-pangcu (Ketua Pertama), engkau tentu akan
menerima hadiah besar. Toa-pangcu paling suka
kepada wanita cantik dan galak seperti ini. Katanya
dia paling suka kuda betina liar!" kata anggauta
perampok yang lain. Si tinggi kurus yang bernama Boan Kit itu tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha, nona manis, engkau hendak
menghancurkan mulutku" He-heh, bagaimana engkau
akan menghancurkannya" Dengan gigitanmu, ha-ha-
ha!" Tiba-tiba saja tubuh Bwee Hwa bergerak ke depan
dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri,
cepat bukan main, seperti kilat menyambar sehingga
gerakan kedua tangan itu tidak tampak jelas.
"Wuuutttt?" plakkkk! Plokkk!!" Tubuh tinggi besar itu
terjengkang ke belakang dan dia mengeluarkan suara
merintih, kedua tangan menutupi mulutnya yang
pecah berdarah karena ditampar oleh kedua tangan
Bwee Hwa dari kanan kiri. Bibirnya pecah-pecah dan
beberapa buah giginya rontok! Boan Kit jatuh
terduduk dan mengaduh-aduh dengan suara yang
tidak jelas. Kawan-kawannya marah bukan main, juga terkejut
dan heran. Boan Kit adalah seorang yang bagi mereka
merupakan orang pandai silat dan tangguh, akan
tetapi mengapa sekali serang saja gadis itu mampu
benar-benar menghancurkan mulutnya seperti
ancamannya tadi" Empatbelas orang anggauta Kiu-liong-pang itu adalah
orang-orang kasar yang biasa melakukan kekerasan.
Mereka adalah orang-orang bodoh dan nekat, sudah
terbiasa memaksakan kehendak sendiri. Maka,
hajaran kepada Boan Kit itu masih belum
menyadarkan mereka bahwa mereka berhadapan
dengan seorang gadis yang lihai sekali. Robohnya
Boan Kit itu malah membuat mereka marah dan
empatbelas orang itu sudah mencabut golok masing-
masing, lalu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan
ganas mereka menyerbu dan menyerang tiga orang
muda itu! "Jangan bunuh orang!" sekali lagi Siong Li
memperingatkan Ui Kong dan Bwee Hwa.
Mereka bertiga menyambut serbuan para anggauta
Kiu-liong-pang dengan tangan kosong. Dengan
tamparan-tamparan dan tendangan, tiga orang itu
mengamuk dan dalam waktu singkat saja,
empatbelas orang itu sudah berpelantingan dan golok
mereka beterbangan! Mereka terkejut bukan main dan barulah mereka kini
mengadari bahwa tiga orang muda itu adalah
pendekar-pendekar yang amat lihai. Mereka menjadi
ketakutan dan merangkak bangun untuk melarikan
diri, termasuk Boan Kit. Akan tetapi Siong Li sudah
melompat ke depan dan menangkap lengan Boan Kit.
Bwee Hwa juga menangkap seorang anggauta
gerombolan, demikian pula Ui Kong menangkap
seorang lain. Yang lain-lain dapat meloloskan diri,
termasuk tiga orang anggauta gerombolan yang
sudah lebih dulu melarikan tiga ekor kuda.
"Dengar kalian bertiga!" kata Siong Li kepada tiga
orang anak buah gerombolan yang mereka tawan.
"Kami tidak ingin memusuhi kalian maka tadi kami
tidak membunuh kalian. Kami hanya ingin bicara
dengan pimpinan kalian. Nah, sekarang bawalah kami
bertemu dengan pimpinan Kiu-liong-pang!"
Boan Kit dan dua orang kawannya yang tertawan itu
sudah tidak berdaya dan mati kutu. Mereka maklum
sepenuhnya bahwa di depan tiga orang ini mereka
tidak akan mampu berbuat apa-apa dan masih
untung bahwa mereka tidak dibunuh. Mereka
mengangguk lalu menjadi penunjuk jalan bagi tiga
orang yang mengikuti mereka berjalan ke barat,
menyusuri sepanjang pantai Sungai Kiu-liong.
Akan tetapi belum terlalu lama mereka berjalan, tiba-
tiba terdengar derap kaki kuda dari depan dan tak
lama kemudian tampak tiga orang laki-laki
menunggang kuda tiba di depan mereka. Siong Li, Ui
Kong dan Bwee Hwa mendongkol sekali melihat
betapa tiga orang itu menunggang kuda mereka yang
dicuri tadi! Akan tetapi sebelum Bwee Hwa
melampiaskan kemarahannya, Siong Li sudah
memberi isyarat kepadanya agar bersabar dan diam.
Pemuda ini lalu melangkah maju, menghadapi tiga
orang yang juga sudah berlompatan turun dari atas
kuda mereka. Tiga orang anggauta gerombolan yang
ditawan itu cepat maju dan memegang kendali tiga
ekor kuda yang tadi ditunggangi tiga orang ketua
mereka. http://cerita-silat.mywapblog.com
. Tantangan Para Tetua Kiu-liong-pang
Siong Li memberi hormat dengan mengangkat kedua
tangan di depan dadanya, lalu bertanya, "Apakah
kami berhadapan dengan para pemimpin Kiu-liong-
pang?" Orang yang bertubuh tinggi besar dan mukanya
penuh brewok menjawab dengan suaranya yang
besar dan parau sambil menatap wajah Bwee Hwa
bagaikan mata seekor srigala melihat seekor domba.
"Benar, kami adalah pimpinan Kiu-liong-pang!
Siapakah kalian bertiga yang sudah berani menyiksa
anak buah kami?" "Kami tidak menyiksa. Adalah mereka yang hendak
mengganggu kami, terpaksa kami membela diri. Kalau
kami berniat buruk, tentu mereka semua telah mati di
tangan kami. Ketahuilah, pangcu (ketua), kami hanya
ingin bertemu dan membicarakan sesuatu dengan
pimpinan Kiu-liong-pang, tidak ingin bermusuhan.
Namaku Ong Siong Li dan di dunia kang-ouw dikenal
dengan julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Satu).
Saudara ini bernama Ui Kong, pendekar dari kota Ki-
lok dan nona ini adalah Lim Bwee Hwa yang dijuluki
Ang-hong-cu (Si Tawon Merah). Kalau boleh kami
ketahui, siapakah sam-wi (anda bertiga) ini?"
Siong Li sengaja menyebutkan nama-nama julukan,
bukan untuk pamer atau menyombongkan diri,
melainkan untuk membuat tiga orang kepala
gerombolan itu tidak memandang rendah mereka dan
mau diajak bicara baik-baik.
Dan usahanya ini memang berhasil baik. Mendengar
nama-nama julukan ini, tiga orang itu saling pandang,
lalu si tinggi besar brewok yang usianya sekitar
limapuluh lima tahun itu memperkenalkan diri. "Aku
disebut Toa-liong, ketua pertama Kiu-liong-pang!"
"Aku Ji-liong!" kata orang kedua yang bertubuh
gendut pendek dan matanya sipit sekali seperti
terpejam. "Dan aku Sam-liong!" kata orang ketiga yang
bertubuh tinggi kurus. Siong Li tersenyum dan mengangguk-angguk. "Ah,
kiranya sam-wi (anda bertiga), Toa-liong (Naga
Pertama), Ji-liong (Naga Kedua) dan Sam-liong (Naga
Ketiga) yang menjadi pimpinan Kiu-liong-pai" Bagus,
memang kami ingin berjumpa dengan sam-wi untuk
menanyakan sesuatu, harap sam-wi suka memberi
keterangan yang kami butuhkan."
"Hemm, apa yang hendak kalian tanyakan?" tanya
Toa-liong, suaranya tidak ramah, bahkan agak ketus
karena dia masih marah mendengar laporan para
anak buahnya betapa belasan orang anak buahnya
dihajar oleh tiga orang muda ini. Dan sejak tadi,
pandang mata Toa-liong tidak pernah lepas dari
wajah dan tubuh Bwee Hwa, biarpun dia bicara
kepada Siong Li. Melihat kenyataan ini saja, Bwee Hwa sudah merasa
muak dan marah sekali. Ui Kong juga merasa
mendongkol melihat betapa si tinggi besar brewokan
itu selalu memandang kepada Bwee Hwa dengan
pandang mata kagum yang tidak disembunyikan
sehingga kelihatan kurang ajar sekali.
Ui Kong yang sudah tidak sabar langsung berkata,
"Kami ingin mengetahui di mana adanya Pek-bin
Moko tokoh Pek-lian-kauw itu. Harap kalian
memberitahu kepada kami!"
Mendengar ucapan Ui Kong yang galak itu, Toa-liong
berkata dengan senyum mengejek. "Hemm, kalian
sudah tahu sendiri bahwa Pek-bin Moko adalah
seorang tokoh Pek-lian-kauw. Tentu saja dia berada di
Pek-lian-kauw dan kami tidak mempunyai urusan
dengan Pek-lian-kauw!" Jawaban ini tidak kalah
kasarnya dibandingkan ucapan Ui Kong tadi.
Siong Li segera berkata untuk mencegah Ui Kong atau
Bwee Hwa bicara dengan marah. "Kami juga
mengerti bahwa Pek-bin Moko sebagai seorang tokoh
Pek-lian-kauw tentu berada di Pek-lian-kauw, Toa-
pangcu. Akan tetapi masalahnya, kami tidak tahu di
mana adanya cabang Pek-lian-kauw di Propinsi Hok-
kian ini. Karena itulah maka kami mengharapkan
keterangan dan petunjuk darimu."
Tiga orang pimpinan Kiu-liong-pang itu saling pandang
dan Ji-liong atau ketua yang kedua, yang bertubuh
gemuk pendek itu berkata dengan suaranya yang
parau, "Enak saja kalian bertiga ini. Hendak minta
keterangan dari kami akan tetapi merobohkan
belasan orang anak buah kami!"
"Bukan kesalahan kami!" Bwee Hwa berseru. "Kami
sudah memberitahu mereka bahwa kami hendak
bertemu dan bicara dengan pimpinan mereka, akan
tetapi mereka malah menyerang dan hendak
merampok kami!" "Dan engkau sudah memukul mulut anak buah kami
Boan Kit sampai terluka parah!" bentak pula Sam-liong
yang tinggi kurus dan bermuka pucat.
"Tentu saja! Habis mulutnya kotor dan busuk
menghinaku! Masih untung aku hanya
menghancurkan mulutnya bukan kepalanya!" teriak
lagi Bwee Hwa. Siong Li segera berkata kepada Toa-liong. "Sudahlah,
Toa-pangcu. Yang sudah terjadi itu hanya salah
paham yang dimulai oleh belasan orang anak buahmu
sendiri. Bahkan mereka telah melarikan tiga ekor
kuda kami. Sekarang kami harap engkau suka
memberi petunjuk kepada kami agar kami dapat
menemukan Pek-bin Moko dan biarlah aku yang
memintakan maaf atas peristiwa yang terjadi tadi."
"Hemm, tidak begitu mudah, It-kak-liong!" kata Toa-
liong kepada Siong Li. "Anak buah kami telah kalian
robohkan, kami sebagai pimpinan mereka merasa
ditantang!" "Lalu apa yang engkau kehendaki, pangcu?" tanya
Siong Li, masih bersikap tenang dan sabar.
"Sekarang diatur begini saja. Kalian tiga orang dan
kami pimpinan Kiu-liong-pang juga tiga orang. Mari
kita bertanding satu lawan satu. Kalau kami kalah,
barulah kami akan bicara tentang Pek-lian-kauw dan
mengembalikan tiga ekor kuda kalian. Akan tetapi
kalau kami yang menang?"" Toa-liong menghentikan
kata-katanya dan sepasang matanya memandang
kepada Bwee Hwa dengan senyum menyeringai yang
artinya dapat diduga dengan jelas.
Bwee Hwa dan dua orang pemuda itu merasa marah
sekali, akan tetapi karena niat kotor yang terkandung
dalam pandang mata dan senyum ketua pertama Kiu-
liong-pang itu tidak diucapkan, merekapun hanya
dapat menahan diri. "Kalau kami yang kalah, lalu apa" Kalau kami kalah
tentu saja kami siap untuk minta maaf," kata Siong Li.
"Hemm?" hemm?" biarlah kami akan tentukan nanti
apa yang harus kalian lakukan kalau kalian kalah.
Nah, beranikah kalian bertanding melawan kami satu
lawan satu?" Pada saat itu terdengar suara banyak orang dan
datanglah berbondong-bondong anak buah Kiu-liong-
pang yang kurang lebih limapuluh orang banyaknya.
Anak buah yang lain berada terpencar di tempat lain,
akan tetapi yang berkumpul di situ sudah cukup
banyak. Sikap mereka kasar dan menyeramkan. Akan
tetapi BWee Hwa sama sekali tidak menjadi gentar
dan ia bahkan menjawab dengan lantang.
"Siapa takut kepada kalian" Aku hanya sangsi apakah
kalian benar-benar berani bertanding satu lawan satu,
melihat begini banyaknya anak buah kalian
berkumpul di sini!" kata Bwee Hwa dengan suara
mengejek. "Jangan mengira bahwa kami takut
menghadapi puluhan orang anak buah kalian. Akan
tetapi perlu kuperingatkan kalian bahwa kalau semua
anak buahmu berani mengeroyok kami, sekali ini
kami tidak akan memberi ampun lagi dan semua
anak buah Kiu-liong-pang akan mati di sini!"
"Hemm, gadis sombong! Kuda betina liar! Lihat saja
nanti, aku yang akan menjinakkan kamu!" kata Toa-


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liong sambil menyeringai.
Sam-liong, ketua ketiga yang tubuhnya tinggi kurus
dan mukanya pucat itu sudah melompat ke depan
dan menantang dengan sikap congkak. "Nah, aku
maju pertama, siapa si antara kalian bertiga yang
berani menandingiku?"
Ui Kong segera melangkah ke depan menghadapi
Sam-liong. Tiga orang pendekar itu memiliki tingkat
kepandaian yang hampir seimbang maka siapapun
yang maju lebih dulu atau paling akhir sama saja.
"Aku yang akan melayanimu, Sam-liong!" kata
pemuda itu dengan sikap tenang.
Sam-liong tersenyum dan mukanya yang pucat itu
tampak menyeramkan ketika dia tersenyum, seperti
mayat tersenyum! "Bagus! Kalau begitu bersiaplah kamu!" kata Sam-liong
dan dia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya
terpentang lebar, kedua tangannya juga dipentang
seperti sayap burung yang terbang, tubuhnya rendah
seperti berjongkok. Melihat lawannya memasang kuda-kuda yang
digagah-gagahkan itu, Ui Kong tampak tenang saja,
masih berdiri santai dengan kedua tangan tergantung
di kanan kiri tubuhnya. Pemuda bertubuh tinggi tegap
ini adalah murid seorang sakti dan sudah mempelajari
ilmu silat tinggi, maka melihat kuda-kuda yang
tampaknya saja gagah akan tetapi sebetulnya
memiliki banyak kelemahan itu, dia dapat menilai
bahwa ilmu silat orang itupun tidak seberapa hebat,
hanya gagah bagian luarnya saja namun tidak
"berisi". "Mulailah, Sam-liong, aku sudah siap," kata Ui Kong
biarpun dia masih berdiri santai dan tidak memasang
kuda-kuda, namun seluruh urat syarafnya siap siaga
menghadapi serangan yang bagaimanapun juga.
Melihat pemuda itu berdiri santai tidak memasang
kuda-kuda, Sam-liong menilai bahwa pemuda itu
belum belajar silat secara mendalam, maka dia
memandang rendah. "Sambut seranganku!" bentaknya dan diapun
menyerang, tubuhnya menerjang ke depan dengan
kedua tangan membentuk cakar menerkam ke arah
Ui Kong, tangan kanan mencengkeram ke arah leher
dan tangan kiri mencengkeram ke arah perut. Inilah
serangan dengan jurus Leng-mouw-po-ci (Kucing
Menerkam Tikus) yang dilakukan dengan cepat dan
dengan menggunakan tenaga dalam yang cukup
kuat. Namun bagi Ui Kong serangan itu sama sekali tidak
berbahaya. Dia yang memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya,
dapat bergerak lebih cepat daripada gerakan lawan.
Maka dengan mudah saja dia mengelak dari serangan
itu. Serangan pertama yang dapat dielakkan lawan
dengan mudah itu membuat Sam-liong menjadi
penasaran. Dia cepat mengubah gerakannya dan kini
menyerang lagi dengan jurus Pek-wan-hian-ko
(Lutung Putih Memberi Buah). Tangan kanannya
menjadi kepalan dan memukul lurus ke arah ulu hati
lawan sedangkan tangan kirinya menyusulkan
pukulan berikutnya ke arah pelipis kanan Ui Kong.
Serangan kedua ini cukup berbahaya karena Sam-
liong yang merasa penasaran mengerahkan seluruh
tenaganya. Ui Kong lalu bergerak dengan ilmu silat
Sin-liong-kun (Silat Naga Sakti). Dia menangkis
dengan Sin-liong-tian-jiauw (Naga Sakti Mementang
Cakar), kedua tangannya bergerak dari dalam keluar,
menangkis serangan dua lengan tangan lawan.
"Duk-dukk!" Kedua lengan mereka bertemu dan tubuh
Sam-liong terhuyung ke belakang. Hal ini membuat
Sam-liong menjadi semakin penasaran dan marah.
Dia lalu menghujani Ui Kiong dengan serangan yang
nekat dengan gerakan mengamuk seperti orang gila.
Menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan
dengan kemarahan meluap-luap itu, Ui Kong tetap
bersikap tenang. Dengan ginkangnya yang istimewa,
tubuhnya berkelebatan dan selalu dapat mengelak
dari semua pukulan, tamparan dan tendangan lawan.
Ui Kong memang hanya mempermainkan lawan. Dia
tahu bahwa dia membutuhkan tiga orang pemimpin
Kiu-liong-pang ini, maka dia tidak akan melukai para
lawannya, apalagi sampai membunuh.
Setelah merasa cukup lama hanya menyambut
serangan lawan dengan tangkisan dan elakan, sampai
lewat belasan jurus, tiba-tiba Ui Kong membalas.
Setelah mengelak ke kiri, dia membalik dan
mendorongkan kedua tangannya dengan jari-jari
terbuka ke arah kedua pundak Sam-liong.
"Mundurlah!" teriaknya dan dengan jurus Sin-liong-tui-
in (Naga Sakti Tolak Awan) itu dia mengerahkan
tenaganya. Sam-liong berusaha untuk menangkis
kedua lengan yang mendorong itu, akan tetapi tetap
saja dia terpental ke belakang dan terhuyung-huyung
sampai lima langkah! Sudah jelas bahwa dia kalah
dalam pertandingan tangan kosong itu, akan tetapi
dia tidak mau menerima kekalahan. Malah dia
menjadi penasaran dan marah. Dicabutnya
senjatanya, yaitu sebatang ruyung besi, semacam
penggada yang berduri dan tampak berat dan
menyeramkan. Dia memutar ruyung itu di atas
kepalanya dan terdengar suara mengiuk nyaring.
Melihat betapa lawannya mengeluarkan sebatang
ruyung dan senjata itu tampaknya berbahaya, Ui
Kong juga menghunus pedangnya. Dia tersenyum.
"Sam-liong, engkau masih belum menyudahi
pertandingan ini dan hendak mempergunakan
senjata" Baiklah, kalau engkau belum merasa puas
dan hendak melanjutkan pertandingan, silakan maju,
aku sudah siap menghadapi senjatamu itu!" kata Ui
Kong dengan sikapnya yang masih tenang.
Sam-liong sudah merasa penasaran dan marah sekali,
juga malu karena bagaimanapun juga, diakuinya atau
tidak, sudah jelas bahwa dalam pertandingan silat
tangan kosong tadi dia menderita kekalahan. Maka
untuk menebus kekalahannya itu, dia hendak nekat
dan menggunakan senjatanya untuk menebus
kekalahannya, kalau perlu membunuh lawannya.
Maka, mendengar tantangan Ui Kong itu, dia tidak
menjawab hanya mukanya yang pucat dan muram
itu cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Kemudian dia melangkah cepat menghampiri Ui Kong
dan menerjang seperti seekor serigala yang haus
darah. Ruyung yang tadinya diputar-putar di atas
kepala itu lalu dipergunakan untuk menyerang.
Serangannya ganas bukan main, dengan jurus yang
disebut Hek-in-ci-tian (Awan Hitam Keluarkan Kilat).
Ruyung itu menyambar ganas dari atas mengarah
kepala Ui Kong. Ruyung itu berat dan digerakkan oleh
tangan yang mengandung lweekang (tenaga dalam)
yang amat kuat sehingga dapat dibayangkan kalau
sampai mengenai kepala orang. Permukaannya yang
berduri itu tentu akan meremukkan kepala!
Ui Kong juga maklum akan ganasnya serangan ini.
Dia menarik tubuhnya ke kiri sehingga ruyung itu
lewat bersiut di samping kepalanya. Diapun cepat
menggerakkan pedangnya dengan ilmu silat pedang
yang bernama Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga
Sakti) dan memainkan jurus Sin-liong-sia-hui (Naga
Sakti Terbang Miring). Pedangnya menyambar dari
samping dengan tubuhnya miring dan pedang itu
mengancam pergelangan tangan kanan Sam-liong
yang memegang ruyung. Sam-liong terkejut bukan
main sampai dia mengeluarkan seruan kaget dan
cepat memutar pergelangan tangannya sehingga
ruyungnya menyambar ke bawah dan menangkis
pedang lawan yang mengancam pergelangan
tangannya itu. "Tranggg.......!!" Bunga api berpijar ketika dua senjata
itu bertemu dan Ui Kong merasa betapa berat dan
kuatnya ruyung itu. Ternyata lawannya menjadi jauh
lebih lihai setelah menggunakan senjata ruyungnya.
Akan tetapi tentu saja dia tidak menjadi gentar dan
cepat dia mainkan pedangnya dengan Sin-liong-kiam-
sut yang merupakan ilmu pedang tingkat tinggi.
Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar
seolah seekor naga sakti yang melayang-layang di
udara, menyambar-nyambar dengan cepatnya seperti
kilat menyambar. Tubuh pemuda itupun lenyap, hanya
kadang-kadang saja tampak kaki tangannya,
selebihnya dia hanya seperti bayangan yang
terbungkus gulungan sinar pedang.
Menghadapi ilmu pedang yang luar biasa dan jauh
lebih tinggi tingkatnya daripada ilmu silat ruyungnya
sendiri yang hanya mengandalkan berat senjata
ditambah tenaga dalamnya, Sam-liong menjadi
bingung. Bagi pandang matanya, lawannya itu seolah
berubah menjadi banyak orang yang mengeroyoknya
dari empat penjuru! Tiba-tiba Ui Kong membuat gerakan berputaran
sehingga lawannya menjadi pening karena harus
mencari dan menduga di mana adanya tubuh lawan
dan pada saat Sam-liong kebingungan itu, Ui Kong
berseru nyaring. "Awas pedang!" Tahu-tahu ujung pedang Ui Kong
sudah menempel di leher Sam-liong. Ketika Sam-liong
hendak menggerakkan ruyungnya menangkis, tangan
kiri Ui Kong bergerak memukul dengan bacokan
pinggir tangan ke arah pergelangan tangan Sam-liong
yang memegang ruyung. "Dukk.......! Auhhh.......!" Sam-liong berteriak kesakitan
dan ruyung itu terlepas dari tangan kanannya yang
tiba-tiba terasa nyeri dan lumpuh. Sementara itu,
ujung pedang di tangan Ui Kong masih menempel di
lehernya. Betapapun keras kepala dan hati Sam-liong, sekarang
mau tidak mau dia harus mengaku kalah. Dia
menghela napas panjang dan melangkah mundur.
Ketika melihat betapa Ui Kong tidak mengejarnya,
bahkan menarik kembali pedangnya dan
memasukkan pedang ke sarung pedangnya, Sam-
liong lalu kembali ke dekat dua orang rekannya.
Melihat betapa Sam-liong sudah kalah, Ji-liong yang
merasa penasaran lalu melompat ke depan. Tingkat
ilmu silatnya tentu saja lebih tinggi daripada tingkat
Sam-liong dan orang yang bertubuh gemuk pendek
bermata sipit dan berusia limapuluh dua tahun ini
terkenal lihai sekali memainkan siang-to (sepasang
golok). Sepasang goloknya itu tipis dan panjang,
ringan dan tajam sekali. Melihat kekalahan Sam-liong, Ji-liong berpikir cerdik.
Dia tahu bahwa dia dan dua orang rekannya kurang
pandai bersilat tangan kosong dan selalu
mengandalkan senjata. Kalau dia harus bertanding
tangan kosong, sukar baginya untuk menang. Akan
tetapi kalau dia mengandalkan sepasang goloknya
yang biasanya dia banggakan dan selama ini belum
terkalahkan, hatinya menjadi besar dan banyak
kemungkinan dia akan dapat mengalahkan lawannya.
"Nah, aku Ji-liong, ketua kedua Kiu-liong-pang
sekarang maju. Seorang di antara kalian boleh maju
menandingi aku!" katanya dan dia menggerakkan
kedua tangannya ke punggung. Tampak dua sinar
berkelebat dan kedua tangannya sudah memegang
golok yang berkilau saking tajamnya.
Siong Li memandang kepada Bwee Hwa untuk
menawarkan kalau-kalau Bwee Hwa ingin
menandingi orang kedua dari Kiu-liong-pang ini agar
nanti ketua pertamanya yang tentu paling lihai itu dia
yang akan menandinginya. Akan tetapi Bwee Hwa
yang marah terhadap Toa-liong, berkata, "Biar engkau
saja yang menghadapinya, Li-ko."
Siong Li tersenyum. Dia sudah mengenal benar watak
gadis yang berhati baja ini, maka dia berkata lirih,
"Asal engkau ingat dan tidak sampai membunuh
orang, Hwa-moi." "Aku tahu!" jawab Bwee Hwa singkat.
Siong Li lalu maju menghadapi Ji-liong dan dia melihat
Toa-liong menyeringai, agaknya senang karena dia
mendapatkan lawan Bwee Hwa! Akan tetapi Siong Li
tidak memperdulikannya. Dia percaya penuh akan
kemampuan gadis itu. Tidak jauh bedanya apakah dia
yang maju melawan Toa-liong, ataukah Bwee Hwa.
Hanya dia khawatir kalau-kalau Bwee Hwa tidak
dapat menahan diri dan membunuh ketua Kiu-liong-
pang itu. Setelah berhadapan dengan Ji-liong yang
telah memegang kedua goloknya, disilangkan di
depan dada, dia lalu mencabut pula pedangnya.
"Ji-liong, aku sudah siap. Mulai dan seranglah!"
katanya menantang. Ji-liong tidak bersikap sungkan lagi. Dia lalu
mengambil sikap dan memasang kuda-kuda.
Tubuhnya yang sudah pendek itu menjadi lebih
pendek lagi ketika dia menekuk kedua lututnya
sehingga karena kedua kakinya memang pendek,
pantatnya hampir menyentuh tanah. Kedua tangan
digerakkan dan sepasang golok itu diputar di atas
kepalanya, lalu berhenti bergerak dengan sepasang
golok bersilang di depan, menunjuk ke atas.
Kemudian, dia mengeluarkan teriakan panjang dan


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya yang gendut pendek sehingga tampak bulat
itu seolah menggelinding ke depan dan dia sudah
menerjang Siong Li dengan sepasang goloknya
melakukan serangan kilat. Golok tangan kiri
mem?bacok ke arah leher, disusul golok di tangan
kanan membabat ke arah kaki lawan. Jurus serangan
ini dalam Ilmu golok yang dikuasai Ji-liong disebut
Siang-kwi-jio-beng (Sepasang Setan Berebut Nyawa)!
Memang hebat dan berbahaya sekali. Serangan golok
ke arah leher itu membuat perhatian lawan tertuju ke
atas, tidak tahunya yang amat berbahaya adalah
serangan susulan lain golok yang membabat ke arah
kedua kaki! Namun, Siong Li adalah seorang pendekar yang sudah
berpengalaman dan sering bertanding melawan
tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu silat yang
ganas, curang dan penuh tipu muslihat. Karena itu,
menghadapi Ji-liong dia sudah waspada. Maka, ketika
serangan ke arah lehernya dilakukan lawan, dia tidak
lengah dan dapat melihat gerakan kedua yang
merupakan serangan susulan dan juga merupakan
serangan inti. Maka, ketika golok menyambar ke arah
lehernya, dengan tenang dia menangkis dengan
pedangnya. Tranggg......!!" Ketika golok kedua membabat kaki, dia
melompat dan sambil melompat itu, pedang yang tadi
menangkis golok sudah dikelebatkan mengancam ke
arah ubun-ubun kepala si pendek gendut!
"Hehh!" Ji-liong terkejut dan cepat melompat ke
belakang. Lawan yang diserang dengan sepasang
goloknya itu bukan hanya dapat menghindarkan diri,
malah berbalik mengirim serangan balasan kontan
yang tidak kalah dahsyatnya!
Ji-liong lalu menerjang lagi, memainkan sepasang
goloknya dengan cepat dan kuat sekali. Tampak dua
gulungan sinar golok menyambar-nyambar. Siong Li
meimbangi sepasang golok lawan dengan Thai-san
Kiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Thai-san-pai) yang cepat
dan indah gerakannya. Kekalahan Tokoh Kiu-liong-pang
Dua orang itu lalu bertanding dan tampaknya
memang ramai dan seru sekali. Gulungan sinar
pedang beradu dan saling dorong, saling belit
melawan dua gulungan sinar golok. Bagi para anak
buah Kiu-liong-pang tampaknya pertandingan itu seru
sekali dan mereka tidak tahu siapa yang lebih unggul
di antara kedua orang itu. Akan tetapi, Toa-liong, Sam-
liong, Bwee Hwa dan Ui Kong dapat melihat dengan
jelas bahwa sesungguhnya, perlahan-lahan sinar
pedang itu mulai mendesak dan menindih dua sinar
golok yang makin lama menjadi semakin sempit
gulungan sinarnya. Sebaliknya sinar pedang itu
semakin luas, menyambar-nyambar dengan dahsyat.
Ji-liong mulai menjadi bingung. Tadi dia masih dapat
mengamuk dengan sepasang goloknya. Akan tetapi
perlahan-lahan, gerakan sepasang goloknya selalu
bertemu sinar pedang yang amat kuat dan selalu
membuat sepasang goloknya terpental. Akhirnya, dia
hanya mampu menangkis dengan kedua batang
goloknya, hanya mampu memutar sepasang goloknya
untuk melindungi dirinya dari ancaman pedang. Inipun
tidak banyak menolong. Sinar pedang itu masih terus
mengancamnya sehingga terpaksa dia harus mundur
dan terus mundur karena terdesak dan tertekan.
Siong Li mendesak terus dengan pedangnya. Kalau dia
mau, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya.
Akan tetapi untuk dapat melakukan hal itu, dia harus
menyerang dengan jurus maut. Padahal dia tidak mau
membuat Ji-liong terluka parah, apalagi sampai
terbunuh. Dia mencari kesempatan baik untuk dapat
mengalahkan pemimpin kedua dari Kiu-liong-pang itu
tanpa harus melukai dengan parah.
Akhirnya, kesempatan yang dinanti-nantikan itu tiba.
Ketika dia menyerang dengan bacokan pedangnya
dan ditangkis oleh golok di tangan kiri Ji-liong, dia
sengaja mengerahkan seluruh tenaga pada bacokan
itu. "Trangggg?"!" Ji-liong terkejut dan tidak dapat
mempertahankan goloknya yang sebelah kiri. Ketika
dia menangkis pedang itu, dan goloknya beradu
dengan kuatnya dengan pedang, dia merasa betapa
lengan kirinya tergetar hebat dan jari-jari tangannya
tidak mampu lagi menahan pegangan goloknya.
Golok yang kiri itu terlempar jauh dan pada saat dia
terkejut sekali, tiba-tiba kaki Siong Li mencuat dengan
amat kuatnya, tepat menendang tangan kanannya
yang memegang golok. Rasa nyeri yang hebat
membuat tangan itu terpaksa melepaskan golok
kedua itu dan tiba-tiba ujung pedang di tangan Siong
Li telah menodong dadanya!
Si gemuk pendek ini tak mampu berbuat atau berkata
sesuatu. Matanya menjadi semakin sipit seperti
terpejam dan mulutnya menyeringai, tersenyum
masam. Lenyap semua kesombongannya dan dia
hanya dapat berha-ha-ha-he-he lalu mundur
mendekati dua orang rekannya. Siong Li juga tidak
mengejar dan menyimpan kembali pedangnya.
Siong Li lalu berkata kepada ketua pertama
gerombolan itu. "Toa-liong, di pihakmu, dua orang telah kami
kalahkan, berarti pihakmu telah kalah dan
pertandingan ketiga tidak perlu diadakan lagi.
Andaikata engkau menang sekalipun, tetap saja
pihakmu menderita kalah, dua lawan satu." Siong Li
memang ingin mencegah Bwee Hwa bertempur
mengingat akan keganasan gadis itu.
"Hemm, tidak bisa begitu!" kata Toa-liong dengan
suaranya yang berat dan parau. "Aku harus
bertanding dengan nona ini, dengan Ang-hong-cu (Si
Tawon Merah). Kalau aku kalah, ha-ha-ha!" Dia
tertawa, seolah merasa geli mendengar dia akan
kalah melawan gadis muda yang tampaknya masih
remaja itu. "Kalau aku kalah, tentu saja kami akan
menceritakan apa yang kami ketahui tentang Pek-
lian-kauw menurut perjanjian. Akan tetapi kalau aku
menang?"" Dia menghentikan kata-katanya.
"Kalau engkau menang, tetap saja pihakmu kalah!"
kata Ui Kong. "Tidak bisa!" bantah Toa-liong. "Kalau dalam
pertandingan antara aku dan Si Tawon Merah ini aku
yang menang, maka aku akan menantang kalian
berdua agar maju satu demi satu melawanku. Kalau
aku dapat mengalahkan kalian berdua pula, berarti
pihakku yang menang dan akulah yang berhak
menentukan apa yang selanjutnya kita lakukan!"
"Baik, kami terima aturan itu. Sudah, jangan banyak
cakap lagi, mari kita bertanding!" bentak Bwee Hwa.
"Ha-ha-ha, nanti dulu, Ang-hong-cu," kata Toa-liong
yang agaknya memang sengaja hendak memancing
kemarahan tiga orang pendekar itu karena
kemarahan membuat orang menjadi lengah. Ketua
pertama ini memang seorang yang licik dan banyak
pengalaman karena dalam usianya yang sudah
limapuluh lima tahun sudah banyak dia malang
melintang di dunia kang-ouw (sungai telaga,
persilatan). "Aku belum menjelaskan, Ang-hong-cu.
Kalau aku yang dapat mengalahkan kalian bertiga
satu demi satu, maka kalian bertiga harus menerima
hukuman karena kalian bertiga sudah berani
merobohkan belasan orang anak buahku. It-kak-liong
dan Pendekar Ki-lok ini harus berlutut minta maaf
kepada kami, menyerahkan kuda dan barang-barang
kalian, sedangkan engkau, Ang-hong-cu, engkau harus
menjadi tamuku selama tiga hari tiga malam, ha-ha-
ha!" Merah wajah Bwee Hwa mendengar ucapan yang
bukan saja amat sombong, akan tetapi juga
menghinanya karena sudah jelas bahwa dalam
ucapannya yang mengharuskan ia menjadi tamu
selama tiga hari tiga malam itu mengandung maksud
yang kotor dan rendah! "Jahanam keparat engkau, Toa-liong! Tutup mulutmu
yang busuk dan mari kita mulai bertanding!" bentak
Bwee Hwa dan tidak seperti dua orang temannya
yang tadi bersikap tenang dan sabar, gadis ini sudah
mencabut pedang pusaka Sin-hong-kiam dan begitu
dicabut, saking cepat dan kuatnya, pedang yang
berada di tangannya itu tergetar dan mengeluarkan
suara berdengung seperti tawon terbang!
"Ingat, Hwa-moi, jangan bunuh orang!" kata Siong Li.
Tanpa menoleh kepada Siong Li, Bwee Hwa
menjawab pendek dan ketus. "Anjing ini tidak perlu
dibunuh, hanya harus diberi hajaran agar mulutnya
tidak menggonggong terus!"
Siong Li menghela napas panjang dan saling pandang
dengan Ui Kong. Tanpa bicara kedua orang pendekar
ini sudah sepakat, yaitu, bahwa mereka akan
menjaga dan mencegah kalau Bwee Hwa akan
membunuh Toa-liong. Terbunuhnya ketua Kiu-liong-
pang itu mungkin saja akan membuat dua orang
ketua lainnya menutup mulut dan tidak mau bercerita
tentang Pek-lian-kauw. Sementara itu, melihat Bwee Hwa bermuka merah
dan sikapnya menunjukkan bahwa gadis itu marah
besar, Toa-liong tertawa. Itulah yang dia kehendaki.
Memang ketua ini terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri dan memandang rendah seorang lawan yang
hanya seorang gadis muda remaja. Apalagi yang
dalam keadaan marah seperti itu, tentu akan mudah
dia kalahkan. Diapun menghunus sebatang pedang
yang panjang dan besar lagi tajam berkilauan.
"Lihat serangan pedangku!" Bwee Hwa membentak
dan ia yang mendahului mengirim serangan kilat.
Pedangnya membentuk sinar yang panjang dan
mengeluarkan bunyi berdengung-dengung. Toa-liong
terkejut juga, akan tetapi dia juga sudah
menggerakkan pedangnya yang panjang dan berat,
menangkis sambil mengerahkan tenaga dalamnya
untuk mematahkan pedang lawan atau setidaknya
untuk membuat pedang gadis itu terlepas dari
pegangannya. "Tranggg?"!" Bunga api berpijar, akan tetapi dengan
kaget Toa-liong melihat betapa pedang lawan itu
tidak terlepas, bahkan pedang yang kecil
dibandingkan pedangnya yang panjang besar itu
demikian kuatnya sehingga membuat telapak
tangannya yang memegang gagang pedang tergetar
dan panas ketika pedang mereka saling beradu.
Setelah Toa-liong membalas serangan Bwee Hwa dan,
mencoba untuk mendesak gadis itu, namun semua
serangannya dapat dielakkan atau ditangkis Bwee
Hwa, ketua pertama Kiu-liong-pang itu menjadi
penasaran dan marah. Akan tetapi kini diapun tidak
berani meremehkan lawannya lagi, maklum bahwa
gadis itu ternyata memang lihai bukan main.
Lenyaplah gairah berahinya, kalau tadinya dia hendak
menundukkan gadis itu dengan ilmu pedangnya dan
tidak ingin melukainya karena dia ingin mendapatkan
gadis yang cantik denok itu, kini mulailah dia
menyerang dengan sepenuh tenaganya dan
mengeluarkan semua jurusnya yang paling ampuh.
Kini dia bermaksud merobohkan gadis itu, tidak
perduli bahwa pedangnya akan dapat mendatangkan
luka parah. Kalau perlu dia akan membunuh gadis
yang berbahaya itu. Bwee Hwa juga merasakan betapa lawannya kini
mengamuk dengan sekuat tenaga. Iapun
mengimbangi ilmu pedang lawan yang cukup
berbahaya itu dengan Ilmu Pedang Tawon Sakti.
Karena maklum bahwa ilmu pedang Toa-liong itu jauh
lebih berbahaya dibandingkan kedua orang ketua
yang lain, maka Bwee Hwa juga mengerahkan
seluruh tenaga dan memainkan pedangnya dengan
cepat. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-
gulung dan terdengarlah bunyi berdengung-dengung
seperti ada ratusan ekor tawon yang beterbangan
dan menyambar ke arah Toa-liong.
Pertandingan antara Toa-liong dan Bwee Hwa ini
paling seru dan ramai di antara pertandingan
melawan dua orang ketua yang lain tadi. Toa-liong
memang lebih lihai dibandingkan kedua orang
rekannya. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Si
Tawon Merah yang amat lihai. Setelah mati-matian
melawan sampai tigapuluh jurus lebih, perlahan-lahan
Bwee Hwa mulai dapat mendesak lawannya.
Toa-liong menjadi semakin penasaran. Sukar baginya
untuk dapat percaya bahwa gadis muda yang
tampaknya masih remaja ini mampu mendesaknya!
Dia, ketua Kiu-liong-pang yang ditakuti, yang telah
berusia limapuluh lima tahun dan sudah tigapuluh
tahun malang melintang di dunia kang-ouw, sudah
banyak pengalaman, kini harus kalah melawan
seorang perempuan, masih muda remaja lagi, masih
hijau dan patutnya hanya menjadi muridnya atau
anaknya" Tiba-tiba Toa-liong mengeluarkan teriakan seperti
seekor biruang marah dan tangan kirinya yang besar
itu dengan telapak tangan terbuka mendorong ke
arah dada Bwee Hwa, pada saat pedangnya untuk ke
sekian kalinya beradu dengan pedang Bwee Hwa.


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tranggg?" wuuuutttt?"!!" Pukulan jarak jauh
dengan tangan kiri yang mengandung sin-kang
(tenaga dalam) kuat itu mendatangkan angin
menyambar ke arah dada Bwee Hwa.
Gadis ini maklum akan kehebatan serangan tangan
kiri itu. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa
gentar. Bukannya mengelak, Bwee Hwa malah
menyambut pukulan tangan kiri lawan itu dengan
tangan kirinya pula sambil mengerahkan ilmu Liap-
kang Pek-ko-jiu yang dapat mengeraskan tangan,
juga yang mengandung tenaga dahsyat.
"Dessss?"!" Tangan Bwee Hwa yang lunak, mungil
dan indah itu bertemu dengan telapak tangan Toa-
liong dan aki?batnya, Bwee Hwa terdorong mundur
dua langkah, akan tetapi Toa-liong terhuyung-huyung
ke belakang. Selagi dia mengatur keseimbangan
tubuhnya yang hampir jatuh terjengkang, Bwee Hwa
sudah bergerak cepat sekali. Pedangnya menyambar-
nyambar. Toa-liong tidak mampu melindungi dirinya
dengan baik. "Srattt?"!" Seperti kilat menyambar pedang itu
berkelebat di depan muka Toa-liong. Begitu tajam
ujung pedang Sin-hong-kiam dan begitu cepat
gerakan tangan Bwee Hwa sehingga Toa-liong sendiri
tidak menyadari apa yang telah terjadi dengannya.
Tiba-tiba saja kaki Bwee Hwa sudah menendang
tangannya yang memegang pedang dan pedangnya
terlepas dari tangan dan terlempar jauh, sedangkan
semua orang memandang kepadanya dengan mata
terbelalak. Ada darah di kanan kiri mulutnya. Ketika
merasakan perih-perih pada mulutnya, Toa-liong
meraba mulutnya dan baru dia tahu bahwa mulutnya
terluka ketika melihat tangannya berdarah. Tepi
mulutnya, kanan kiri, telah terobek ujung pedang
sehingga mulutnya bertambah lebar. Ketika dia
hendak mengeluarkan suara, baru terasa betapa
mulutnya perih dan nyeri dan dia lalu menutupi
mulutnya dengan kedua tangan!
Siong Li dan Ui Kong terkejut, akan tetapi hati mereka
lega ketika Toa-liong tidak roboh dan ternyata hanya
luka ringan, ujung bibirnya kanan kiri dirobek ujung
pedang! Toa-liong memberi isyarat dengan tangan kepada
anak buahnya untuk mengeroyok. Akan tetapi tiga
orang pendekar muda itu sudah berloncatan dan
pedang mereka sudah ditodongkan ke dada tiga
orang ketua itu. Siong Li membentak kepada anak
buah Kiu-liong-pang yang sudah mengepung tempat
itu. Limapuluh orang lebih itu sudah mencabut senjata,
siap mengeroyok! "Semua mundur atau kami akan membunuh tiga
orang pimpinan kalian kemudian membasmi kalian
sampai tidak ada seorangpun dapat lolos!"
Gertakan ini manjur. Melihat betapa tiga orang
pimpinan mereka sudah ditodong dan menyadari
betapa lihainya tiga orang muda itu, para anak buah
Kiu-liong-pang menjadi bingung dan tidak tahu harus
berbuat apa. Mereka memandang ke arah tiga orang
pimpinan mereka, tidak berani sembarangan
bergerak. "Kalian mundur semua! Tolol! Hayo mundur!" teriak Ji-
liong dan Sam-liong karena Toa-liong tidak mampu
bersuara dengan mulutnya yang robek itu. Mereka
berdua merasa betapa ujung pedang yang menodong
mereka itu telah menembus baju dan ujungnya yang
runcing terasa menempel di kulit dada mereka.
Karena maklum bahwa nyawa mereka terancam,
maka mereka menjadi ketakutan dan cepat
membentak para anak buah agar mundur. Mendengar
bentakan dua orang pimpinan itu, puluhan anak buah
Kiu-liong-pang segera mundur.
"Nah, Ji-liong dan Sam-liong, kalian telah kalah semua
dan harus memenuhi janji. Karena Toa-liong tidak
dapat bicara, maka kalian berdua harus mewakilinya.
Cepat katakan di mana adanya Pek-bin Moko dan di
mana pula cabang Pek-lian-kauw di daerah ini!" kata
Siong Li. "Sam-liong, engkau wakililah kami," kata Ji-liong
setelah memandang kepada Toa-liong dan ketua
pertama ini masih menutupi mulutnya dengan kedua
tangan, mengangguk. "Sesungguhnya kami tidak mempunyai hubungan
dengan Pek-lian-kauw dan tidak mengenal tokohnya
yang berjuluk Pek-bin Moko," kata Ji-liong.
"Itu tidak perlu. Katakan saja di mana sarang cabang
Pek-lian-kauw di daerah ini," kata pula Siong Li, dan Ui
Kiong menekankan pedangnya ke dada Sam-liong
sehingga orang tinggi kurus bermuka pucat ini
menyeringai kesakitan. "Cepat katakan!" bentak Ui Kong.
"Baiklah, Pek-lian-kauw mempunyai cabang yang
bersarang di puncak Bukit Siong di sebelah utara itu!"
kata Sam-liong sambil menuding ke arah sebuah bukit
yang tampak dari situ. "Katakan, siapa pemimpin mereka dan berapa banyak
jumlah anak buah mereka!" kata pula Siong Li.
"Kami hanya tahu bahwa pimpinan mereka terdiri dari
tiga orang yang berjuluk Ang-bin Moko (Iblis Muka
Merah), Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam) dan Pek-bin
Moko (Iblis Muka Putih). Akan tetapi kami tidak
mengenal mereka. Ada pun berapa jumlah anak buah
mereka, kami tidak tahu, hanya kabarnya anak buah
mereka tidak banyak akan tetapi ilmu kepandaian
para pimpinan itu tinggi sekali," kata pula Sam-liong.
Tentu saja tiga orang pendekar muda itu tidak merasa
gentar, bahkan mereka telah menewaskan Hek-bin
Moko. Sambil memandang ke arah bukit yang
ditunjuk itu, sebuah bukit yang tidak berapa tinggi
dan bukit itu tampak menghijau, tentu banyak hutan
dan pohon Siong di sana, Siong Li berkata dengan
suara lantang. "Baik, aku percaya akan keterangan kalian. Akan
tetapi awas, kalau ternyata kalian berbohong, kami
akan mencari kalian dan tidak akan memberi ampun!
Sekarang, hayo kembalikan tiga ekor kuda kami
berikut semua barang yang berada di atas kuda!
Awas, kami tidak akan mengampuni kalau ada
sebuahpun barang kami dicuri. Cepat!"
"Cepat taati perintah itu dan kembalikan kuda dan
barang-barang mereka!" bentak Ji-liong kepada anak
buah mereka. Bergegas para anak buah itu menuntun tiga ekor
kuda yang tadi mereka rampas. Juga semua barang
mereka kembalikan ke atas sela kuda.
"Coba periksa isinya, Hwa-moi dan Kong-te."
Ui Kong dan Bwee Hwa lalu saling pandang dan
seperti telah mengerti maksud masing-masing mereka
bergerak cepat menotok dan Toa-liong roboh terkulai,
berbareng dengan Sam-liong yang juga roboh terkulai
karena tertotok jalan darah mereka. Setelah
membuat dua orang ketua ini tidak berdaya, Ui Kong
dan Bwee Hwa menghampiri kuda mereka dan
memeriksa. Ternyata buntalan pakaian mereka masih
utuh, juga kantung uang yang dibawa Ui Kong
sebagai bekal. Mereka lalu mengangguk kepada Siong
Li dan cepat sekali Siong Li juga bergerak menotok Ji-
liong yang roboh terkulai pula. Tiga orang ketua itu
tertotok roboh dan tak mampu bergerak.
Siong Li berteriak kepada para anggauta Kiu-liong-
pang. "Para pimpinan kalian kami robohkan dan
sebelum lewat satu jam, mereka tidak akan dapat
bergerak. Awas, jangan ada yang menghalangi kami
pergi dari sini!" Setelah Siong Li berkata demikian, tiga orang
pendekar muda itu lalu melompat ke atas punggung
kuda masing-masing dan segera melarikan kuda ke
arah utara di mana tampak bukit yang diceritakan
Sam-liong sebagai sarang cabang Pek-lian-kauw, yaitu
Bukit Siong. "Y" Apa yang pernah diceritakan oleh Ong Siong Li
tentang Leng-hong Hoatsu memang benar. Leng-hong
Hoatsu adalah seorang pertapa yang datang dari
Himalaya, seorang peranakan dari ayah bangsa Han
dan ibu bangsa India. Sejak muda dia mengasingkan
diri di Himalaya, bertemu dengan orang-orang sakti,
pertapa-pertapa yang tinggi ilmunya dan dia memang
suka sekali mempelajari ilmu kesaktian sehingga
akhirnya dia menjadi seorang tua yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Dia merantau ke timur, ke daratan Cina dan
mengajarkan Agama Buddha bercampur Agama
Hindu. Dia menasihati rakyat agar hidup jalan
kebenaran karena jalan itulah yang membawa
kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan selama
hidup di dunia. Dia juga selalu mengulurkan tangan
menolong mereka yang terserang penyakit karena di
samping ilmu silat dan ilmu sihir, Leng-hong Hoatsu
juga mahir ilmu pengobatan.
Pertapa sakti ini mempunyai peliharaan, seekor ular
yang aneh. Di kanan kiri bawah leher, ular itu
memiliki tonjolan yang dapat mekar seperti sayap
sehingga ular itu disebut Hwee-coa (Ular Terbang).
Sesungguhnya bukan terbang, melainkan melompat
dari pohon ke pohon dan ketika melompat, tonjolan di
kanan kiri itu berkembang sehingga ular itu dapat
melayang. Akan tetapi, pada waktu itu, rakyat, terutama di
dusun-dusun, masih amat tahyul. Mereka mulai
menyembah ular itu yang mereka anggap seekor ular
sakti penjelmaan dewa dan mereka bahkan lebih
menghormati ular itu daripada Leng-hong Hoatsu
sendiri. Kakek pertapa itu berusaha untuk
membantah. Namun, ketahyulan yang sudah
mencengkeram hati dan pikiran manusia memang
sukar sekali untuk dihilangkan. Akhirnya Leng-hong
Hoatsu kembali ke barat karena dia tidak ingin ular
peliharaannya dipuja-puja orang.
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Harap Suhu memaafkan Sute!
Kakek sakti ini mempunyai dua orang murid. Yang
pertama bernama Sie Bun Sam, pada saat kisah ini
terjadi, telah berusia duapuluh lima tahun. Sie Bun
Sam adalah seorang pemuda yatim piatu dan telah
menjadi murid Leng-hong Hoatsu sejak dia berusia
lima tahun dan hidup sebatang kara dan terlantar
karena ayah bundanya mati karena wabah yang
mengamuk di desanya, di daerah Sin-kiang. Sie Bun
Sam berwajah sederhana saja, seperti pemuda dusun
kebanyakan, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu
tampan. Namun ada sesuatu yang amat menarik pada
wajahnya, yang membuat orang yang bertemu
dengannya timbul rasa suka. Mungkin mulutnya yang
selalu dihias senyum, dan matanya yang bersinar
lembut penuh pengertian dan kesabaran itu. Tubuhnya
sedang saja, tidak membayangkan bahwa pemuda ini
adalah seorang yang sakti dan lihai sekali. Pakaiannya
juga sederhana namun bersih.
Kesukaannya memakai sebuah caping lebar yang
melindungi mukanya dan kepalanya dari sengatan
matahari dan guyuran air hujan. Dia juga tidak
membawa senjata apapun, namun kalau berada di
tangannya, benda apapun dapat dijadikan senjata
yang ampuh! Sie Bun Sam, seorang pemuda yang
berbudi luhur, setia dan berbakti kepada gurunya,
maka Leng-hong Hoatsu amat sayang kepada murid
ini. Selain Sie Bun Sam, Leng-hong Hong masih
mempunyai seorang murid lain, bernama Thio Kam Ki.
Sebetulnya, Leng-hong Hoatsu yang bermata tajam
dan peka perasaannya itu tidak begitu suka kepada
anak ini, akan tetapi karena Thio Kam Ki juga
ditemukan sebagai seorang anak berusia tiga tahun
yang sebatang kara dan terlantar, dia merasa kasihan
dan membawa anak ini ke pondoknya.
Pada saat sekarang, Thio Kam Ki berusia duapuluh tiga
tahun. Dia memiliki tubuh sedang dan wajahnya
tampan dan pasti akan menarik perhatian banyak
wanita. Berbeda dengan Sie Bun Sam suhengnya
(kakak seperguruannya) yang sederhana, sebaliknya
Thio Kam Ki ini sejak kecil suka akan kemewahan. Dia
suka iri hati dan pandai mengambil hati dengan sikap
yang manis buatan. Karena sifat-sifat ini maka Leng-
hong Hoatsu lebih sayang kepada Sie Bun Sam dan
dia mengajarkan lebih banyak ilmu kepada murid
pertamanya itu. Diam-diam Thio Kam Ki tahu ini dan
dia merasa iri hati kepada suhengnya.
Tanpa setahu guru dan suhengnya, diam-diam ketika
dia berusia duapuluh tahun, dia berguru kepada
seorang pendeta aliran sesat yang juga bertapa di
Pegunungan Himalaya, tidak begitu jauh dari tempat
pertapaan Leng-hong Hoatsu. Dengan jalan sembunyi-
sembunyi, selama dua tahun Thio Kam Ki mempelajari
beberapa ilmu silat dan sihir yang sesat dari pertapa
aliran sesat itu. Pendeta itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin yang
mengajarkan ilmu sihir aliran sesat yang biasa disebut
sihir hitam. Setelah menjadi guru secara rahasia dari
Thio Kam Ki selama dua tahun, Hwa Hwa Cinjin


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan tempat pertapaannya di Himalaya. Hal
ini terjadi setahun yang lalu dan ketika itu Kam Ki
berusia duapuluh dua tahun.
Kam Ki kini merasa bahwa dirinya sudah memiliki
ilmu yang amat tangguh. Biarpun tadinya dia merasa
iri hati kepada Sie Bun Sam karena guru mereka,
Leng-hong Hoatsu mengajarkan ilmu yang lebih
banyak kepada suhengnya itu, namun setelah selama
dua tahun menimba ilmu dari Hwa Hwa Cinjin, Kam
Ki merasa bahwa kini dia tidak akan kalah oleh
suhengnya. Pada suatu sore, seperti biasa setelah menyelesaikan
semua tugas pekerjaan mereka seperti
membersihkan rumah dan pekarangan tempat tinggal
guru mereka, mengumpulkan dan memotongi kayu
bakar, mengangkut air dari sumber dan memenuhi
semua kolam kamar mandi, mempersiapkan makan
malam untuk Leng-hong Hoatsu dan mereka sendiri,
kedua orang kakak beradik seperguruan itu berada di
kebun belakang pondok guru mereka. Biasanya,
sebelum mereka mandi, mereka akan lebih dulu
berlatih silat untuk menyegarkan tubuh. Bun Sam
sudah duduk di atas bangku di kebun itu ketika
sutenya, Kam Ki, datang menghampirinya.
"Suheng.......!" Kam Ki menegur sambil tersenyum
akrab. "Eh, sute. Apakah engkau sudah membersihkan
kamar samadhi suhu" Hari ini giliranmu
membersihkannya, ingat?"
Sambil tersenyum lebar Kam Ki berkata, "Jangan
khawatir, suheng! Tentu saja aku ingat dan aku sudah
membersihkannya dengan rapi!"
"Bagus! Eh, sute, sudah beberapa lama ini aku sering
melihat engkau malam-malam meninggalkan pondok.
Pergi ke mana saja sih engkau?"
"Ah, aku mencari tempat yang sunyi untuk berlatih
dengan tekun, suheng. Juga aku perlu tempat sunyi
dan dingin untuk menghimpun hawa murni dan
memperkuat tenaga sakti. Selama ini aku
memperoleh banyak kemajuan, suheng. Maukah
engkau melayani aku berlatih sore ini" Hitung-hitung
engkau memberi petunjuk kepadaku agar aku dapat
memperbaiki kekuranganku."
Bun Sam tersenyum. Memang sudah lama sekali dia
tidak pernah latihan ber-sama sutenya ini karena
dahulu, kalau mereka berdua latihan, tingkat
kepandaian adik seperguruannya ini masih jauh di
bawahnya. Sekarangpun dia merasa yakin bahwa
sutenya ini bukan lawan seimbang. Akan tetapi untuk
menyenangkan hati sutenya, dia mengangguk.
"Baiklah, sute. Mari kita latihan bersama."
Mereka berdua segera mulai latihan dengan ilmu silat
yang diajarkan oleh Leng-hong Hoatsu, yaitu Hwe-
coa-sin-kun (Silat Sakti Ular Terbang). Mereka berdua
sudah mempelajari ilmu silat yang amat hebat ini.
Kedua lengan mereka bergerak seperti ular, meliuk-
liuk dan selain cepat gerakannya dan tidak mudah
diikuti lawan karena perubahan-perubahannya yang
aneh, juga mengandung tenaga sin-kang yang amat
kuat. Karena Bun Sam maklum bahwa tenaga
sutenya tidak seimbang dengan tenaganya, maka dia
hanya mengeluarkan sebagian tenaganya saja,
membatasi gerakannya dan sesekali kalau sutenya
membuat gerakan atau jurus yang kurang sempurna,
dia memberi tahu. Mereka saling serang sampai puluhan jurus dan tidak
kurang dari sepuluh kali Bun Sam menunjukkan
kesalahan atau ketidaksempurnaan gerakan sutenya.
Akhirnya Bun Sam merasa cukup dan begitu dia
mempercepat gerakannya, dia berhasil mendorong
pundak sutenya sehingga tubuh Thio Kam Ki terdorong
ke belakang dan dia harus membuat salto sampai tiga
kali ke belakang agar tidak terjengkang. Akan tetapi
dia tidak terluka karena memang Bun Sam tadi
membatasi tenaganya. "Cukup, sute. Engkau memang telah memperoleh
kemajuan pesat!" kata Bun Sam untuk
menyenangkan dan memberi semangat kepada Kam
Ki. Wajah Kam Ki berubah pucat lalu kemerahan. Namun
dia tersenyum dan tidak merasa kecewa. Mereka tadi
berlatih menggunakan ilmu silat yang sama. Kalau dia
kalah matang, gerakannya kalah gesit maka hal itu
tidaklah mengherankan. Sekaranglah tiba saatnya
untuk memberi hajaran kepada suhengnya yang telah
lama mulai dibencinya karena perasaan iri hati yang
memenuhi hatinya. Bagaimanapun juga, kalau dia
bertanding melawan suhengnya mempergunakan
ilmu silat, pasti dia akan kalah.
"Terima kasih, suheng. Akan tetapi aku masih ingin
menguji sampai di mana kemajuanku dalam hal
tenaga dalam. Karena itu, sambutlah seranganku ini,
suheng!" Bun Sam hendak menolak untuk mengadu tenaga
sakti, akan tetapi sutenya telah memasang kuda-kuda
dan menggerakkan kedua lengan untuk melancarkan
pukulan jarak jauh dengan dorongan tenaga sakti.
Maka, terpaksa dia harus menyambut, selain untuk
melindungi dirinya, juga untuk mengukur sampai di
mana kekuatan tenaga sakti sutenya agar dia
mengetahui kemajuannya. Biasanya, dia dapat
mengukur kekuatan tenaga sakti sutenya itu sekitar
setengah ukuran tenaganya sendiri. Maka, karena
mengira bahwa tenaga sakti sutenya mungkin sudah
agak naik kekuatannya, dia menambah sedikit
tenaganya, menggunakan tiga perempat bagian
tenaganya dan mendorongkan kedua tangan ke
depan menyambut serangan sutenya.
Tentu saja dia menggunakan tenaganya untuk
menahan saja, bukan untuk menyerang. Dengan
demikian, maka dia akan memenangkan adu tenaga
itu tanpa melukai sutenya, hanya membuat sutenya
terpental mundur saja dan paling hebat terjengkang
dan terbanting jatuh. Akan tetapi dia kaget sekali melihat mulut sutenya
berkemak-kemik dan gerakan kedua lengan ketika
mendorong itu sama sekali berbeda dengan apa yang
diajarkan guru mereka. Dia menjadi curiga akan
tetapi terlambat dan pada saat itu, dua tenaga sakti
yang dahsyat bertemu di udara, di antara mereka.
"Wuuuutttt?" blaaarrr?"!!" Tubuh Bun Sam terlempar
ke belakang dan dia terbanting roboh dalam keadaan
pingsan! Melihat ini, Kam Ki menghampiri suhengnya untuk
memeriksa dan melihat kakak seperguruannya itu
benar-benar jatuh pingsan, dia menggosok-gosok
kedua telapak tangannya yang berubah merah lalu
berdongak dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha?"!"
Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan Leng-hong
Hoatsu dan suara tawanya itu terhenti seperti dicekik.
Timbul rasa takutnya. Kalau Leng-hong Hoatsu sampai
mengetahui perbuatannya, dia pasti celaka! Bahkan
guru gelapnya sendiri, Hwa Hwa Cinjin, merasa takut
kepada Leng-hong Hoatsu dan ketika Hwa Hwa Cinjin
mengetahui bahwa Kam Ki adalah murid Leng-hong
Hoatsu, dia melarikan diri meninggalkan tempat itu.
Hwa Hwa Cinjin takut kalau dituduh merampas murid
Leng-hong Hoatsu, maka dia melarikan diri ketakutan.
Apalagi dia! Berpikir demikian, Thio Kam Ki lalu melarikan diri turun
dari lereng bukit, tidak berani mengambil pakaiannya
yang berada di dalam pondok. Dia berlari cepat
dengan hati ngeri seolah mendengar langkah Leng-
hong Hoatsu mengejarnya! Ketika peristiwa itu terjadi, Leng-hong Hoatsu sedang
tekun dalam samadhinya. Tiba-tiba ada perasaan
tidak enak mengusiknya dan dia lalu membuka
matanya dan bangkit berdiri. Tidak terdengar suara
dalam pondok kayunya yang cukup besar itu,
menandakan bahwa kedua orang muridnya tentu
berada di luar pondok. Dia lalu melangkah keluar
pondok. Karena dia tahu bahwa biasanya dua orang
muridnya itu berlatih silat di kebun sebelum mereka
mandi, Leng-hong Hoatsu lalu melangkahkan kakinya
menuju kebun. Tak lama kemudian Leng-hong Hoatsu sudah
berjongkok dekat tubuh Bun Sam dan memeriksa
keadaan muridnya itu. Bun Sam masih pingsan dan
pernapasannya sesak. Leng-hong Hoatsu membuka
baju pemuda itu dan dia mengerutkan alisnya dan
menggumam. "Hemm, siapa yang memukulnya dengan Ang-tok-
ciang (Tangan Racun Merah) yang keji ini?" Karena
maklum bahwa nyawa Bun Sam terancam bahaya
maut, Leng-hong Hoatsu cepat turun tangan.
Dia duduk bersila menempelkan tangan kirinya ke
dada Bun Sam lalu menyalurkan hawa murni ke
dalam tubuh muridnya itu. Tenaga sakti Leng-hong
Hoatsu sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka
dalam waktu beberapa menit saja, warna merah
darah di dada Bun Sam menghilang dan kulit dada itu
menjadi putih bersih kembali. Bun Sam kini bernapas
normal dan tak lama kemudian dia membuka
matanya. Leng-hong Hoatsu melepaskan tangannya.
Melihat suhunya bersila di dekatnya, Bun Sam cepat
bangkit duduk dan berlutut memberi hormat. Dia
maklum bahwa suhunya telah menolongnya dan
mungkin sekali menyelamatkan nyawanya dari
ancaman maut. "Suhu?"!" "Bun Sam, apa yang terjadi" Siapa yang
memukulmu?" tanya Leng-hong Hoatsu.
Bun Sam menghela napas panjang. Rasanya berat
untuk menceritakan pengalamannya karena ceritanya
itu pasti akan membuat gurunya menjadi sedih. Dia
sendiri menyayang Kam Ki karena sejak kecil mereka
berdua hidup bersama Leng Hoat Hoatsu, suka duka
dihadapi bersama. Dia sendiri merasa sedih sekali
melihat kelakuan Kam Ki dan tidak tahu bagaimana
adik seperguruannya yang sudah dianggap sebagai
adiknya sendiri itu dapat menguasai ilmu pukulan
beracun yang demikian hebatnya dan kejamnya.
Setelah menghela napas beberapa kali dia lalu
berkata, "Suhu, harap suhu suka memaafkan sute
Thio Kam Ki?"" Leng-hong Hoatsu mengerutkan alisnya yang sudah
putih dan memandang wajah Bun Sam penuh selidik,
"Hemm, kenapa sutemu" Apa yang telah terjadi"
Ceritakanlah, Bun Sam!"
"Teecu (murid) sendiri sampai saat ini masih terheran-
heran, suhu. Tadi, sute mengajak teecu untuk latihan
bersama. Mula-mula kami berdua berlatih dengan ilmu
silat Hwe-coa-sin-kun dan dalam latihan itu, teecu
lihat sute memang ada kemajuan, walaupun tidak
banyak. Akan tetapi dia kemudian mengajak latihan
mengukur tenaga sakti. Sebetulnya teecu hendak
menolak, akan tetapi dia telah melakukan serangan
pukulan jarak jauh kepada teecu. Terpaksa teecu
menyambutnya dan teecu membatasi tenaga teecu
agar dia tidak sampai terluka. Akan tetapi teecu
melihat gerakan kedua tangannya berbeda dengan
gerakan yang suhu ajarkan, dan dari kedua telapak
tangan itu menyambar sinar merah yang aneh. Teecu
merasa betapa ada kekuatan dahsyat mendorong
teecu, membuat teecu terpental ke belakang dengan
dada terasa nyeri dan teecu tidak ingat apa-apa lagi."
"Hemm, kalau engkau menggunakan seluruh
tenagamu, belum tentu engkau yang terluka, mungkin
dia sendiri yang terluka oleh tenaganya yang
membalik. Akan tetapi aneh, bagaimana Kam Ki dapat
memiliki Ang-tok-ciang seperti itu?"?"
"Ang-tok-ciang, suhu?"
Leng Hoat Hoatsu mengangguk. "Benar, pukulan ini
adalah Ang-tok-ciang, satu di antara ilmu pukulan
jarak jauh yang mengandung tenaga sihir. Hemm, di
mana sekarang Kam Ki?"
"Teecu tidak tahu, suhu. Mungkin dia telah kembali ke
pondok." "Panggil dia, Bun Sam. Aku harus bicara dengannya,
kutunggu di ruangan depan!"
Bun Sam lalu mencari-cari. Akan tetapi dia tidak
menemukan sutenya. Bahkan ketika dia mencari di
kamar sutenya, kamar itupun kosong. Dia keluar dari
pondok, memanggil-manggil, namun tidak ada
jawaban. Akhirnya Bun Sam menduga bahwa besar
kemungkinannya sutenya itu telah pergi, mungkin
takut setelah merobohkannya. Maka dia lalu
menghadap Leng-hong Hoatsu di ruangan depan dan
melaporkan bahwa sutenya tidak ada.
"Hemm, kita tunggu sampai satu dua hari. Kalau dia
tidak pulang, berarti dia telah melarikan diri," kata
Leng-hong Hoatsu dan dia merasa menyesal bukan
main telah menerima anak itu menjadi muridnya.
Memang sejak dulu dia sudah merasa bahwa Kam Ki
memiliki watak dasar yang lemah dan anak itu akan
mudah dikuasai oleh nafsu-nafsu daya rendah. Akan
tetapi dia sama sekali tidak mengira anak itu berani
mempelajari ilmu sesat, entah dari siapa, bahkan
menggunakan ilmu itu untuk memukul Bun Sam yang


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyayangnya seperti adik sendiri sehingga hampir
saja Bun Sam tewas! Setelah ditunggu sampai dua hari dan Kam Ki belum
juga pulang, tahulah Leng-hong Hoatsu dan Bun Sam
bahwa Kam Ki benar-benar telah minggat dan tidak
akan pulang lagi. Leng-hong Hoatsu memanggil Bun
Sam. "Bun Sam, sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk
turun gunung dan mengamalkan semua ilmu yang
kaupelajari selama ini di sini."
"Maaf, suhu. Rasanya teecu tidak tega meninggalkan
suhu seorang diri di sini. Apalagi sekarang sute Kam Ki
juga telah pergi. Perkenankan teecu menemani suhu
di sini dan melayani suhu yang sudah berusia lanjut."
"Bun Sam, apakah engkau lupa berapa usiamu
sekarang" Engkau sudah berusia kurang lebih
duapuluh empat tahun! Engkau bukan anak-anak lagi
dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Semua
ilmu tidak akan ada artinya kalau tidak kau amalkan.
Semua jerih payahmu mempelajarinya selama
bertahun-tahun akan terbuang percuma saja. Tidak
perlu mengkhawatirkan diriku, Bun Sam. Aku adalah
sebagian dari alam ini. Bagaimana aku dapat hidup
sendiri" Aku tidak sendiri di dunia ini dan aku sudah
biasa hidup tanpa bantuan orang lain. Tumbuh-
tumbuhan di pengunungan ini akan mencukupi semua
kebutuhan hidupku. Nah, aku minta agar engkau
meninggalkan gunung, terjun ke dunia ramai
mengamalkan semua ilmumu untuk kepentingan
orang banyak. Untuk membela yang lemah tertindas
dan menentang yang kuat sewenang-wenang,
membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan."
Biarpun hatinya merasa sedih dan terharu karena
harus meninggalkan gurunya yang merupakan segala-
galanya bagi Bun Sam. Kakek itu menjadi pengganti
orang tuanya, gurunya, juga sahabatnya. Akan tetapi
mendengar ucapan gurunya yang panjang lebar itu,
dia tidak berani membantah.
"Baik, suhu. Teecu akan menaati semua perintah
suhu!" katanya dengan suara tegas setelah berhasil
menekan keharuan dan kesedihannya.
"Ada sebuah tugas lagi yang penting. Engkau harus
mencari Kam Ki dan usahakan agar dia tidak terseret
ke dalam kesesatan. Kalau dia tidak dapat dibujuk
dan ternyata menjadi orang tersesat, terpengaruh
ilmu-ilmu sesat yang entah dia pelajari dari mana itu,
maka engkau harus mencegahnya melakukan
perbuatan jahat. Kalau perlu lenyapkan semua
ilmunya agar dia menjadi orang lemah yang tidak
dapat mengganggu orang lain."
"Akan tetapi, suhu......." Bun Sam merasa sangsi
apakah dia akan mampu melakukan hal itu. Dia amat
sayang kepada sutenya yang telah dia anggap
sebagai adik sendiri itu.
"Bun Sam, ingat. Tugasmu adalah menentang yang
jahat. Tidak perduli siapa orangnya, bahkan
keluarganya sendiri sekalipun, kalau jahat, harus
engkau bujuk dan sadarkan, dan kalau bujukan tidak
berhasil menyadarkannya, harus kau tentang.
Sebaliknya, kalau ada orang tak bersalah tertindas,
siapapun dia itu, harus kaubela. Dalam membela
kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan,
engkau sama sekali tidak boleh pilih kasih. Terkadang
pilih kasih ini membuat orang kehilangan rasa
keadilannya. Karena itu, menghadapi Kam Ki, engkau
tidak boleh terpengaruh perasaan pilih kasih itu!"
Bun Sam mengangguk-angguk. "Betapa pun beratnya,
suhu, teecu akan menaati dan selalu ingat akan
perintah suhu." "Bagus, sekarang berkemaslah dan berangkatlah hari
ini juga." Bun Sam berkemas, membawa pakaian dalam
sebuah buntalan kain kuning, lalu berlutut memberi
hormat dan pamit kepada suhunya. Kemudian dia
turun dari bukit itu dan melakukan perjalanan menuju
ke timur. Ketika menuruni lereng bukit itu, Bun Sam merasa
dirinya seolah menjadi seekor burung yang terbang
melayang seorang diri dengan bebasnya. Dua macam
perasaan teraduk di hatinya. Sedih dan girang. Dia
bersedih memikirkan gurunya yang dia tinggalkan,
gurunya yang sudah tua dan membutuhkan
pelayanan. Akan tetapi diapun girang karena dia
"merasa bebas memasuki kehidupan baru di dunia
ramai. Sekarang Bebas, Sesuka Hati . . . !
Pemuda itu menuruni bukit terakhir dari Pegunungan
Himalaya yang panjang. Usianya sekitar duapuluh dua
tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya tampan. Semua
orang akan tertarik kalau bertemu dengannya. Wajah
tampan itu selalu tersenyum ramah dan matanya
tajam bersinar-sinar. Dia adalah Thio Kam Ki yang
sejak kecil sekali telah dipelihara dan dididik oleh
Leng-hong Hoatsu. Hatinya masih gembira sekali
mengenang betapa dengan sekali serang saja
menggunakan Ang-tok-ciang yang dipelajarinya dari
Hwa Hwa Cinjin, dia mampu merobohkan Sie Bun
Sam, suhengnya yang sejak kecil selalu
mengunggulinya dalam segala hal.
Sekarang dia bebas, dapat melakukan apa saja yang
dikendakinya, sesuka hatinya. Biasanya, di pondok
Leng-hong Hoatsu, dia merasa seperti dikekang dan
diikat oleh segala macam peraturan. Begini tidak
boleh, begitu dilarang. Apalagi suhengnya, Bun Sam
itu. Seringkali mengomelinya, menasihatinya sampai
dia merasa bosan. Hanya satu hal yang dibutuhkannya saat ini, ialah
pakaian pengganti dan bekal uang. Dia meninggalkan
pondok suhunya tanpa membawa apa-apa. Semua
pakaian dia tingalkan karena dia takut kalau-kalau
perbuatannya memukul roboh suhengnya akan
ketahuan suhunya. Akan tetapi itu adalah soal kecil.
Di mana-mana tersedia pakaian dan segala
kebutuhannya! Tinggal ambil saja! Mau uang"
Pakaian" Bahkan teman wanita yang cantik"
"Ha-ha-ha, tinggal ambil, tinggal pilih!" Kam Ki tertawa
sendiri sambil berlari cepat, membayangkan segala
macam keindahan, segala macam keenakan dan
kenikmatan, seolah melihat semua yang serba
menyenangkan itu seperti buah-buahan yang
bergantungan di depan matanya, tinggal mengulur
tangan memetik dan menikmatinya!
Ketika dia tiba di sebuah pedusunan yang agak besar,
dusun besar pertama yang ditemuinya semenjak dia
turun gunung, dia melihat sebuah rumah besar, yang
terbesar dan terindah di antara semua rumah di dusun
itu. Ketika mendengar bahwa rumah itu adalah
tempat tinggal kepala dusun yang kaya, Kam Ki
menjadi girang sekali. Di rumah inilah tersedia
kebutuhanku, pikirnya. Pada saat itu yang amat
dibutuhkan adalah uang karena dengan uang dia
akan dapat membeli segala kebutuhannya. Terutama
sekali yang terpenting pakaian karena dia tidak
mempunyai pengganti sepotongpun pakaian. Lalu
makanan enak dan lain-lain.
Malam itu, dengan mudah saja dia memasuki rumah
kepala dusun itu melalui atap dan setelah mencari-
cari, akhirnya dia menemukan cukup banyak uang
perak dan emas dalam sebuah almari. Dia mengambil
sekantung uang perak dan emas, lalu meninggalkan
rumah itu tanpa suara sehingga tidak ada penghuni
rumah yang mengetahui bahwa rumah itu kecurian
banyak uang. Barulah pada keesokan harinya, tuan
rumah terkejut karena sekantung perak dan emas
lenyap tanpa meninggalkan jejak. Pintu jendela masih
utuh dan tertutup rapat, maka gegerlah seisi rumah.
Tentu saja hanya ada dua tersangka yang dapat
mencuri sekantung uang itu, yaitu pelayan atau setan!
Kalau seisi rumah kepala dusun ribut dan panik, Kam
Ki dengan santai membelanjakan uangnya, membeli
beberapa stel pakaian dan makan sekenyangnya di
warung makan. Hari itu juga dia melanjutkan
perjalanan ke timur dengan menunggang kuda,
seekor kuda yang dibelinya di dusun itu, berikut
pelananya. Sejak kecil dia tidak pernah menunggang
kuda, akan tetapi karena dia seorang ahli silat yang
bertubuh kuat, maka sebentar saja dia sudah
menguasai kudanya dan berani membalapkan
kudanya di sepanjang jalan raya yang kasar.
Hari ini panas sekali. Matahari memancarkan
cahayanya tanpa terhalang awan. Panasnya
menyengat kulit dan jalan itu menjadi kering berdebu.
Kam Ki ingin berhenti mengaso, selain untuk
berlindung dari terik matahari di bawah pohon
rindang, juga dia ingin memberi kesempatan kepada
kudanya untuk mengaso. Akan tetapi tiba-tiba dia
melihat di depan sana gerakan beberapa orang yang
agaknya sedang berkelahi. Maka dibalapkannya
kudanya ke depan. Setelah dekat dia melihat seorang wanita cantik jelita
sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang laki-laki
yang berusia antara tigapuluh sampai enampuluh
tahun. Wanita itu memiliki gerakan yang cepat sekali,
memainkan sebatang pedang. Senjata ini digerakkan
sedemikian cepatnya sehingga membentuk gulungan
sinar putih. Namun, ketika Kam Ki melompat turun dari kuda,
membiarkan kudanya makan rumput di tepi jalan, dia
melihat betapa wanita itu terdesak hebat oleh tiga
orang pengeroyoknya. Tiga orang laki-laki itu masing-
masing memainkan sepasang golok sehingga wanita
itu seolah dikeroyok oleh enam batang golok! Dan
gerakan tiga orang pengeroyok itu, walaupun tidak
secepat gerakan pedang wanita, namun karena
mereka maju bertiga, tetap saja wanita itu menjadi
repot melindungi dirinya dari sambaran enam batang
golok yang bertubi-tubi! Melihat ini, Kam Ki tidak tahu siapa yang baik dan
siapa yang jahat diantara mereka, akan tetapi karena
melihat betapa wanita itu masih muda, tampaknya
tidak lebih dari duapuluh tahun usianya dan cantik
bukan main dan ia berada dalam keadaan terdesak,
maka otomatis hati Kam Ki condong membela wanita
itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil dua
butir batu kerikil. Menurut penglihatannya, ilmu silat tiga orang itu
biasa-biasa saja dan baginya masih rendah, maka dia
lalu menyambit dengan dua buah kerikil ke arah dua
orang di antara mereka. Tampak dua sinar hitam
menyambar dan dua orang pengeroyok itu berteriak
mengaduh dan terpelanting roboh tak mampu
bergerak lagi karena benturan kerikil itu telah
menotok jalan darah mereka sehingga mereka tidak
mampu menggerakkan kaki dan tangan mereka.
Wanita cantik itu ketika melihat dua orang lawannya
roboh, lalu mengeluarkan teriakan melengking,
"Hyaaaaatttt?"!" Pedangnya menyambar dengan
gerakan melengkung dan robohlah lawan ketiga
dengan leher terluka dalam. Wanita itu tidak berhenti
sampai di situ saja. Ia melompat ke depan, dua kali
pedangnya berkelebat dan dua orang yang tadi roboh
tertotok sambaran kerikil, juga dibacok lehernya.
Darah membanjir dan tiga orang itu tewas seketika!
Barulah wanita itu memeriksa pedangnya. Tidak ada
darah sedikitpun mengotori pedangnya. Hal ini
menunjukkan betapa cepatnya pedang itu tadi
membacok leher sehingga tidak sampai ternoda
darah. Lalu ia menyarungkan pedangnya di belakang
punggung, dan ia memutar tubuh untuk memandang
orang yang telah membantunya.
Mereka berhadapan dalam jarak empat meter dan
kedua pihak terpesona! Kam Ki terpesona karena
setelah wanita itu tidak bergerak, baru tampak jelas
olehnya betapa cantiknya wajah itu, betapa putih
mulusnya kulit yang tampak di leher itu. Putih mulus
kemerahan, dengan bentuk tubuh menggairahkan,
pinggang ramping, pinggul dan dada menonjol dan
lekuk lengkung tubuhnya indah menggairahkan.
Sepasang mata itu bersinar seperti bintang dan bibir
yang merah basah itu sedikit terbuka, setengah
tersenyum menantang, membuat jantung dalam dada
Kam Ki berdebar tegang. Namun kekejaman wanita itu yang membunuh pula
dua orang lawan yang sudah roboh tertotok,
membuat pemuda itu penasaran. Biarpun hatinya
sudah mulai menyeleweng meninggalkan kebenaran
setelah dia berguru kepada Hwa Hwa Cinjin, namun
belum pernah Kam Ki melakukan pembunuhan,
apalagi dengan cara kejam seperti itu. Bagaimanapun
juga, sejak kecil dia menjadi murid Leng-hong Hoatsu
yang mengajarkan kebenaran. Maka menyaksikan
wanita itu membunuhi orang secara kejam, hatinya
merasa penasaran dan agak menolak. Akan tetapi di
lain pihak, rasanya tidak bisa dia kalau harus marah
dan berkata-kata kasar terhadap seorang wanita
yang demikian cantik jelitanya!
"Nona, kenapa engkau membunuh mereka" Kenapa?"
Wanita itu juga memandang kepada pemuda tampan
itu dengan mata penuh kagum dan bibirnya kini
merekah, senyumnya melebar. Wanita itu


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan tangan kiri untuk menyentuh setangkai
bunga berwarna putih yang menghias rambut
kepalanya sebelah kiri seolah hendak melihat apakah
hiasan rambut itu masih berada di tempatnya.
Pakaiannya yang terbuat dari sutera berwarna putih
itu indah sekali, melekat ketat pada tubuhnya karena
pakaian dari sutera itu potongannya memang ketat
mencetak bentuk tubuhnya.
Ia adalah seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw,
berjuluk Pek-hwa Sianli (Bidadari Bunga Putih) karena
ia selalu memakai hiasan rambut kembang putih.
Biarpun dia dijuluki Sian-li atau Bidadari, agaknya itu
hanya untuk menyatakan kekaguman orang akan
wajahnya yang cantik jelita seperti bidadari, juga
bentuk tubuhnya yang aduhai! Akan tetapi
sesungguhnya wanita yang sudah berusia tigapuluh
tahun lebih namun masih tampak seperti baru berusia
duapuluh tahun ini terkenal sebagai datuk wanita
yang amat kejam dan jahat. Ia adalah seorang iblis
betina yang cabul. Tiga orang itu adalah Siang-to Sam-hengte (Tiga
Bersaudara Sepasang Golok), tiga orang pendekar
yang suka menentang kejahatan mengandalkan ilmu
sepasang golok mereka. Ketika mereka mendengar
bahwa Pek-hwa Sianli mengganggu sebuah dusun,
menculik pemuda dan kalau sudah bosan lalu
membunuh pemuda itu, tiga orang pendekar itu ialu
mencari dan menyerangnya. Kalau saja Kam Ki tidak
kebetulan lewat dan membantu wanita itu, tentu Pek-
hwa Sianli akan tewas oleh pengeroyokan mereka
bertiga. Mendengar pertanyaan Kam Ki, Pek-hwa Sianli
tersenyum dan matanya memandang penuh daya
tarik. "Aih, taihiap (pendekar besar), apakah engkau
lebih senang melihat aku yang mereka bunuh?"
Tentu saja Kam Ki gelagapan mendengar jawaban
yang berbalik menjadi pertanyaan itu. Dia
menggeleng kepalanya. "Tentu saja tidak, nona. Akan
tetapi, mengapa engkau berkelahi dengan mereka
dan apakah kesalahan mereka maka engkau
membunuh mereka?" "Jawabannya adalah pertanyaan itu tadi, taihiap yang
gagah perkasa. Mereka menyerangku dan hendak
membunuhku, karena itulah maka aku harus
membunuh mereka karena aku tidak ingin mereka
yang membunuhku. Dalam perkelahian mati-matian
hanya ada dua pilihan, bukan" Dibunuh atau
membunuh, dan kalau engkau yang menjadi aku,
engkau pilih dibunuh atau membunuh?"
Mau tidak mau Kam Ki tersenyum. Cara wanita itu
bicara, sungguh menarik hati sekali. Bibirnya yang
indah manis itu bergerak-gerak menantang! Suaranya
juga merdu dan kata-katanya seolah tidak dapat
dibantah kebenarannya. "Tentu saja aku tidak memilih dibunuh!" jawabnya
sejujurnya. "Akan tetapi kenapa mereka itu
mengeroyokmu dan hendak membunuhmu" Apakah
kesalahanmu, nona?" "Kesalahanku" Aihh, aku tidak melakukan sesuatu
yang salah terhadap mereka. Kalau mau dicari
kesalahanku, mungkin kesalahanku terletak pada
wajah dan tubuhku!" Setelah berkata begitu, Pek-hwa Sianli mengerlingkan
matanya dengan gaya yang menarik sekali. Akan
tetapi, pada waktu itu Kam Ki adalah seorang perjaka
yang belum pernah bergaul dekat dengan wanita,
maka dia belum dapat menangkap apa yang tersirat
dalam gerak dan gaya memikat itu.
"Wajah dan tubuhmu" Kenapa" Aku tidak melihat
sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhmu,
nona. Apa maksud kata-katamu itu?"
"Aihh, benarkah itu, taihiap" Kau tidak melihat sesuatu
yang salah dengan wajah dan tubuhku" Kalau
menurut penilaianmu, bagaimana dengan wajah dan
tubuhku, taihiap?" Pertanyaan itu disertai gaya
menggoda yang memikat dengan gerakan pundak
dan dadanya, disertai bibir bawah yang mencebil dan
kedipan mata kiri yang penuh arti.
Kam Ki yang sama sekali belum berpengalaman itu
hanya tertegun karena terpesona oleh semua
kecantikan yang memiliki daya tarik amat kuat itu
dan dia menjawab gagap. "Wajah dan tubuhmu?""
Ahh....... aku....... aku tidak tahu, wajahmu cantik jelita
dan tubuhmu indah......."
Pek-hwa Sianli tertawa geli sambil menutupi
mulutnya. Dari sikap pemuda itu tahulah ia bahwa
pemuda yang berilmu tinggi ini sama sekali belum
berpengalaman, tentu masih perjaka tulen dan hal ini
membuat hatinya seperti terbakar oleh gairah berahi.
Pemuda-pemuda perjaka yang pernah ia dapatkan
hanyalah orang-orang lemah. Belum pernah ia
mendapatkan seorang pemuda perjaka yang memiliki
kepandaian tinggi seperti pemuda yang telah
menyelamatkan nyawanya ini.
"Terima kasih atas pujianmu, taihiap. Engkau sendiri,
menurut penglihatanku, engkau seorang pemuda
yang gagah perkasa dan ganteng, tampan bukan
main." Wajah Kam Ki berubah merah. "Eh?" aku?" aku
masih ingin mengetahui apa kesalahanmu terhadap
mereka bertiga itu sehingga mereka mengeroyok dan
hendak membunuhmu, nona."
"Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang
hendak mereka lakukan setelah mereka melihat
kecantikan wajahku dan keindahan tubuhku" Aih,
engkau seperti bukan laki-laki saja, taihiap. Mereka
bertiga itu tergila-gila kepadaku dan mereka
menginginkan tubuhku, mereka ingin memiliki aku.
Akan tetapi, huh, tubuhku yang indah ini tidak akan
mudah begitu saja kuserahkan kepada sembarang
laki-laki yang tidak kucinta! Karena aku menolak
mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak
membunuh aku. Aku melawan mereka. Bagiku,
daripada me?nyerahkan tubuhku ini kepada mereka,
lebih baik aku melawan sampai mati. Untung engkau
muncul dan engkau merobohkan dua orang dari
mereka dengan sambitan kerikil. Taihiap, engkau yang
masih begini muda sudah memiliki ke?pandaian yang
begini tinggi, engkau telah menyelamatkan aku dari
ancaman maut. Engkau adalah dewa penolongku.
Taihiap, bolehkah aku mengetahui siapa nama
besarmu?" Keterangan panjang lebar dari wanita itu tidak
sepenuhnya dapat dia mengerti, walaupun dapat dia
rasakan. Biarpun dia belum mengalami, namun dia
mengerti apa maksud wanita itu ketika mengatakan
bahwa tiga orang laki-laki itu ingin memiliki wajahnya
yang cantik dan tubuhnya yang indah itu. Timbul rasa
cemburu dan bencinya ketika dia mengetahui bahwa
tiga orang itu hendak memaksakan kehendak
mereka, yaitu memiliki tubuh wanita yang
menggairahkan ini. "Hemm, kalau begitu pantas mereka dibunuh!"
katanya penuh geram. Mendengar ini, Pek-hwa Sianli lalu maju menghampiri
Kam Ki dan memegang kedua tangan pemuda itu,
menggenggamnya erat-erat.
"Ah, taihiap, engkau benar-benar memihakku"
Syukurlah, taihiap, aku senang sekali, aku berterima
kasih sekali padamu, untuk pertolonganmu dan untuk
pe?ngertianmu! Akan tetapi engkau belum
memperkenalkan namamu."
Gemetar kedua tangan Kam Ki ketika dipegang oleh
sepasang tangan yang ber?kulit lunak, halus dan
hangat itu. Juga hidungnya mencium keharuman
bunga yang semerbak keluar dari rambut dan tubuh
wanita itu. "Aku?" namaku?" Thio Kam Ki. Dan engkau
siapakah, nona?" suara Kam Ki juga agak gemetar
karena jantungnya berdebar keras. Belum pernah dia
berde?katan dengan wanita yang begini cantiknya,
apalagi dipegang kedua tangannya.
"Thio Kam Ki" Thio Kam Ki alangkah gagah namamu,
Thio-taihiap!" Pek-hwa Sianli memuji. "Dan engkau
masih begini muda?" ah, begini muda, seorang
perjaka murni?""
Kam Ki kini sudah dapat menenangkan hatinya dan
dia menganggap wanita cantik ini lucu sekali. "Ah,
nona, usiaku sudah duapuluh dua tahun bukan muda
lagi." "Duapuluh dua tahun, aih muda belia yang gagah
perkasa!" wanita itu berkata lembut, suaranya seperti
membelai perasaan hati Kam Ki.
Kam Ki merasa senang, akan tetapi juga geli. "Nona,
engkau bicara seolah engkau sudah nenek-nenek,
padahal engkau masih remaja, jauh lebih muda
di?banding aku." Wajah wanita itu berseri, matanya bersinar-sinar dan
mulutnya terbuka dalam senyum, sehingga tampak
deretan giginya yang putih berjejer rapi, rongga mulut
yang kemerahan. "Aihh, Thio-taihiap (pendekar besar Thio), kaukira
berapa usiaku?" "Hemm, paling banyak sembilan belas tahun. Engkau
jauh lebih muda daripada aku, nona."
Wanita itu memandang kepada Kam Ki dengan wajah
terbelalak dan tampak girang bukan main. Wanita
mana yang tidak akan senang kalau usianya disangka
jauh lebih muda daripada yang sebenarnya" Dia
sudah berusia tigapuluh tahun, dan disangka baru
sembilan belas tahun! "Aduh! Luar biasa?", luar biasa?", luar biasa sekali,
engkau begitu pandai menebak usiaku, twako. Aku
boleh menyebutmu Thio-twako (kakak Thio), bu-kan?"
"Tentu saja boleh," kata Kam Ki yang mulai dapat
menguasai debaran jantung-nya dan kini merasa
gembira sekali mendapatkan seorang teman yang
begini cantik dan menarik, juga ramah sekali. "Akan
tetapi, aku belum mengetahui namamu."
"Namaku, twako" Orang-orang menyebut aku Pek-
hwa Sianli." "Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih)" Ah, tentu saja
karena engkau memakai hiasan rambut setangkai
bunga putih dan engkau juga cantik jelita seperti
seorang dewi!" Kata Kam Ki, "akan tetapi kalau
engkau menyebut aku Thio-twako, lalu aku harus
menyebutmu bagaimana?"
"Sebut saja aku Pek-hwa."
"Pek Hwa-moi (adik Hwa), ya, aku akan menyebut
engkau Hwa-moi." "Aku, senang sekali, twako. Akan tetapi bicara di sini
tidak enak," kata Pek-hwa Sianli sambil menuding ke
arah mayat tiga orang tadi. "Mari, twako, kuundang
engkau singgah di rumahku."
Kam Ki merasa gembira sekali. Memang dia ingin
mengenal gadis jelita ini lebih baik. "Akan tetapi,
orang tuamu......" katanya agak ragu.
"Heh-heh, aku tidak mempunyai orang tua lagi,
twako. Aku tinggal seorang diri saja, bersama dua
orang adik perempuanku, akan tetapi saat ini kedua
orang adikku itu sedang melakukan perjalanan jauh.
Hanya ada dua orang pelayan yang menemaniku di
rumah. Marilah, Thio-twako."
"Baik, Hwa-moi, akan tetapi aku tadi menunggang
kuda." Dia menengok dan melihat kudanya masih
makan rumput. "Di manakah rumahmu?"
"Itu di sana, di lereng bukit." Pek-hwa Sianli menuding
ke arah sebuah bukit kecil di selatan.
"Wah, cukup jauh kalau jalan kaki, Hwa-moi."
"Bukankah engkau mempunyai kuda" Kita dapat
berboncengan naik kuda. Ku-lihat kudamu itu cukup
besar dan kuat," kata Pek-hwa Sianli dan suaranya
sama sekali tidak mengandung keraguan.
Kam Ki yang menjadi merah mukanya. Tak dapat dia
membayangkan naik kuda berboncengan dengan
seorang wanita! "Boncengan naik kuda?" tanyanya ragu.
Pek-hwa Sianli tersenyum lebar dan mengerlingkan
matanya. "Aih, kalau ber-boncengan kenapa" Apakah
engkau merasa keberatan untuk berboncengan
de?ngan aku, Thio-twako" Kalau begitu biarlah
engkau yang naik kuda dan aku ber?jalan kaki saja."
"Ah, sama sekali tidak, Hwa-moi. Hanya?" apakah
orang lain tidak akan menganggap banwa hal itu
kurang pantas?" "Aih, twako, perduli apa dengan anggapan orang lain"
Kita bebas melakukan apapun juga yang kita sukai,
bukan" Kalau ada orang berani usil mencela kita,
hemm, kita sikat saja mereka!"
"Sikat?" Kam Ki bertanya, bingung.
"Ya, kita sikat nyawanya! Kita pecahkan kepalanya!"
jawab Pek-hwa Sianli sambil tertawa dan mendengar
ini, Kam Ki juga tertawa. Kiranya yang di-masudkan
sikat adalah bunuh. Pendapat ini tidak asing bagi Kam Ki. Guru gelapnya,
Hwa Hwa Cinjin, juga pernah mengatakan bahwa
kalau ada orang menentang kita, sepatutnya kita
bunuh saja! Karena itu pulalah dia merobohkan
suhengnya. Bun Sam telah lama menimbulkan iri hati
dan membuat dia membencinya secara diam-diam,


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka setelah dia merasa kuat, dia tidak segan-segan
untuk memukul roboh dan melukai suhengnya yang
selalu bersikap baik dan menyayangnya itu.
"Ha-ha-ha, engkau benar, Hwa-moi. Benar sekali!
Hayo kita pergi ke rumahmu, naik kuda
berboncengan!" kata Kam Ki dan sambil tertawa-tawa
mereka berdua lalu menghampiri kuda milik Kam Ki.
Setelah memasangkan kendali dan pelana, Pek-hwa
Sianli melompat ke atas punggung kuda dan Kam Ki
melompat dan duduk di belakangnya. Karena Kam Ki
yang memegang kendali, maka seolah kedua
lengannya memeluk tubuh wanita itu. Kuda lalu
dijalankan congklang dan Pek-hwa Sianli yang duduk
di depan menjadi penunjuk jalan.
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Siasat Rayuan Pek-hwa Sianli
Setelah kuda berlari congklang, Kam Ki merasakan
sesuatu yang selamanya belum pernah dirasakannya
dan hal ini membuat jantung berdebar kencang dan
mukanya menjadi kemerahan! Betapa tidak" Karena
berboncengan seperti itu, tubuh depannya berhimpitan
dengan tubuh belakang Pek-hwa Sianli. Terasa
olehnya betapa tubuh wanita yang lunak dan hangat
itu menempel ketat pada tubuhnya dan larinya kuda
yang congklang membuat tubuh mereka saling
bergesekan. Selain itu, karena kepala Pek-hwa Sianli amat dekat
dengan mukanya, maka rambut yang halus panjang
itu melambai dan menggelitik dagu dan lehernya,
ditambah lagi bau harum yang menyengat hidungnya.
Kam Ki terpaksa harus mengerahkan tenaga saktinya
untuk menahan diri dan melawan gejolak berahi yang
merangsangnya. Keadaan ini mendatangkan perasaan
senang dan nikmat, namun juga membuatnya rikuh
dan gelisah. Tentu saja Pek-hwa Sianli yang sudah berpengalaman
belasan tahun bergaul dengan bermacam-macam pria
itu dapat mengetahui keadaan pemuda itu. Ia merasa
girang bukan main, juga geli hatinya. Ia tahu benar
bahwa Kam Ki adalah seorang pemuda perjaka yang
sama sekali belum berpengalaman dengan wanita,
dan bahwa pada saat itu, pemuda itu telah
terangsang dan ia akan dapat dengan mudah
menundukkannya. Seorang pemuda yang bukan saja tampan dan gagah,
akan tetapi juga memiliki kepandaian yang amat
tinggi. Baginya, mudah saja mencari pemuda tampan
dan ganteng, akan tetapi mencari pemuda ganteng
yang lihai seperti Kam Ki ini, tentu akan sukar didapat.
Maka, ia lalu sengaja menyandarkan tubuhnya ke
belakang sehingga lebih rapat dengan tubuh pemuda
itu dan ia menyandarkan kepalanya di atas dada Kam
Ki. Jantung dalam dada Kam Ki menjadi semakin
berdebar keras dan hal ini tentu saja terasa, bahkan
terdengar degup jantung itu oleh telinga Pek-hwa
Sianli yang tentu saja amat menyenangkan dan
membanggakan hati wanita itu.
Kuda yang membawa beban dua orang itu akhirnya
tiba di lereng bukit kecil itu, di mana terdapat sebuah
pondok mungil dengan taman bunga yang luas
mengelilinginya. Rumah mungil ini berdiri terpencil
tanpa tetangga. Hal ini tidaklah aneh karena memang
bukit kecil itu telah dibeli oleh Pek-hwa Sianli dari
tangan para petani setempat sehingga kini menjadi
milik pribadinya. Kuda itu memasuki pekarangan depan yang juga
penuh tetumbuhan bunga beraneka warna. Kam Ki
dan Pek-hwa Sianli melompat turun dari atas
punggung kuda. Dua orang wanita berusia kurang
lebih tigapuluh tahun, keduanya berpakaian seperti
pelayan namun wajah mereka cantik dan kulit
mereka putih bersih, berlari menyambut. Dari gerakan
kaki mereka ketika berlari keluar, Kam Ki dapat
menduga bahwa mereka berdua bukanlah wanita
biasa yang lemah, melainkan orang-orang yang
memiliki kepandaian silat yang lumayan.
"Sian-li sudah pulang!" kata mereka yang segera
menangkap kendali kuda itu. Ketika mata mereka
memandang kepada Kam Ki dengan pandang mata
bertanya, Pek-hwa Sianli lalu berkata kepada mereka.
"A-kui dan A-hui, ini adalah kongcu (tuan muda) Thio
Kam Ki, sahabat baikku."
Dua orang wanita itu lalu membungkuk dengan sikap
hormat kepada Kam Ki dan berkata dengan suara
berbareng, "Selamat datang, Thio-kongcu!"
"A-hui, bawa kuda ini ke kandang dan A-kui, cepat
siapkan pesta makan siang untuk menyambut
kedatangan Thio-kongcu!"
Dua orang wanita itu menjawab sambil tersenyum,
"Baik, Sian-li."
A-hui yang pakaiannya berwarna hijau segera
menuntun kuda melalui samping rumah, dan A-kui
segera berlari memasuki rumah dan langsung ke
dapur. Setelah mengandangkan kuda, A-hui juga
cepat membantu temannya dan dua orang wanita itu
sibuk di dapur mempersiapkan tambahan masakan
untuk menghormati pemuda itu. Sambil sibuk
mempersiapkan masakan, kedua orang wanita itu
dengan genit membicarakan Thio Kam Ki yang
mereka puji-puji sebagai seorang pemuda yang
tampan dan menarik. Bagi mereka, bukan hal aneh kalau majikan mereka
yang atas permintaan Pek-hwa Sianli sendiri mereka
sebut Sian-li itu, pulang sambil membawa seorang
pemuda ganteng. Juga mereka mengetahui betapa
setelah beberapa hari bersenang-senang dengan
pemuda itu, pada suatu hari Pek-hwa Sianli akan
mengajak pemuda itu pergi dan selanjutnya mereka
tidak lagi melihat pemuda itu. Beberapa hari
kemudian mereka hanya mendengar dari para
penduduk pedusunan di kaki bukit bahwa telah
diketemukan mayat seorang pemuda dalam sebuah
jurang. Sementara itu, Kam Ki duduk di ruangan dalam rumah
itu bersama Pek-hwa Sianli. Pemuda itu merasa
kagum sekali. Rumah itu tidak berapa besar akan
tetapi mungil dan indah. Semua prabot rumah di
dalamnya juga mewah, indah dan bersih sekali. Tak
pernah dia dapat membayangkan sebuah rumah yang
memiliki perabot rumah begini indah sehingga dia
merasa kagum bukan main. Kursi-kursi dan mejanya
juga merupakan perabot rumah yang halus mengkilap
terukir indah, tentu amat mahal harganya. Pot-pot
kuno indah menghias setiap sudut dengan tanaman
bunga di dalamnya. Di dinding bergantungan lukisan-
lukisan yang indah, juga kain sutera beraneka warna
bergantungan dari langit-langit, menambah indahnya
suasana dalam ruangan. Mereka duduk menghadapi meja, di atas kursi-kursi
yang ditilami bantal lunak. A-kui tadi menghidangkan
minuman anggur manis dan beberapa piring kue
kering yang tentu hanya dapat dibeli dari kota-kota
besar. Mereka minum anggur dan makan kue sambil
bercakap-cakap. Pek-hwa Sianli ramah sekali dan sikapnya amat akrab
sehingga sebentar saja, Kam Ki sudah dapat
menyesuaikan, diri dalam suasana yang
menyenangkan itu dan tidak merasa rikuh lagi.
Bahkan kalau dalam percakapan kadang-kadang Pek-
hwa Sianli menggerakkan tangannya dan menyentuh
tangan atau lengannya, Kam Ki juga merasa senang
saja dan tidak malu-malu lagi. Perlahan-lahan, Kam Ki
mulai dituntun ke dalam jaringan nafsu oleh Pek-hwa
Sianli seperti seekor domba yang dituntun masuk ke
dalam rumah jagal! "Twako, kita sudah berkenalan dengan baik dan
menjadi sahabat, akan tetapi aku belum mengetahui
betul siapa engkau ini. Ceritakanlah padaku, twako,
tentang keluargamu dan dari mana engkau datang,
hendak ke mana, dan siapa pula gurumu. Mau kan
engkau menceritakan riwayatmu kepadaku, twako?"
kata Pek-hwa Sianli dengan suara manja dan jari-jari
tangannya yang runcing mungil itu memegang dan
memainkan jari tangan Kam Ki, membelainya.
"Ah, aku tidak mempunyai riwayat yang menarik,
Hwa-moi. Hanya menyedihkan saja. Dalam usia tiga
tahun aku telah ditinggal mati ayah ibuku dan sekecil
itu aku diambil murid oleh suhu Leng-hong Hoatsu dan
Meraba Matahari 9 Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Pendekar Penyebar Maut 32
^