Pencarian

Tawon Merah Bukit Hengsan 5

Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


dibawa ke Himalaya."
"Aih?"! kaumaksudkan Leng-hong Hoatsu yang amat
terkenal sebagai guru besar dan pendiri Hwe-coa-
kauw (Agama Ular Terbang) itu?" tanya Pek-hwa
Sianli yang benar-benar terkejut karena ia sudah
mendengar akan nama besar pertapa yang kabarnya
sakti seperti dewa itu. Matanya yang indah
memandang kepada Kam Ki dengan terbelalak.
Kam Ki sudah mendengar dari suhunya bahwa Hwe-
coa-kauw adalah orang-orang yang mempergunakan
nama Hwe-coa (Ular Terbang) peliharaan suhunya
untuk menyeleweng. Karena ular itu dipuja-puja
maka Leng-hong Hoatsu me?ninggalkan Tiong-goan
(Cina) dan kembali ke Himalaya. Penyelewengan itu
sungguh tidak disukai suhunya. Akan tetapi tentu saja
dia tidak mau menceritakan hal ini kepada Pek-hwa
Sianli yang agaknya kagum kepada nama besar
suhunya. "Benar, Hwa-moi. Sejak itu, aku menjadi murid dan
juga melayani suhu dan baru saja aku turun gunung
setelah tamat belajar dan dalam perjalananku ke
dunia ramai, aku bertemu dengan engkau yang
dikeroyok tiga orang itu, hanya itulah yang dapat
kuceritakan padamu, Hwa-moi."
"Aih, kasihan engkau, Thio-twako. Sejak kecil
kehilangan orang tua. Apakah selain suhumu, engkau
tidak mempunyai sanak keluarga lain?"
Kam Ki teringat akan Bun Sam. Akan tetapi mungkin
suhengnya itu telah mati oleh pukulannya, maka dia
menggeleng kepalanya sebagai jawaban.
"Tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini" Juga
belum beristeri?" Kam Ki tertawa, akan tetapi mukanya merah. "Ah,
engkau ini aneh-aneh saja, Hwa-moi. Tentu saja
belum!" "Akan tetapi kalau pacar sudah punya, kan" Seorang
pemuda dewasa yang tampan dan gagah seperti
engkau, tentu sudah mempunyai pacar, tentu dikejar
banyak gadis!" "Ha-ha-ha, kaumaksudkan gadis-gadis kera dan
binatang hutan lainnya" Aku tinggal bersama suhu di
pegunungan Himalaya, bagaimana mungkin
mempunyai pacar?" Wajah Pek-hwa Sianli semakin berseri. "Hemm,
mungkin sekarang tidak punya pacar. Akan tetapi aku
yakin engkau sudah seringkali berpacaran dan bergaul
dengan wanita bukan?"
"Salah, dugaanmu salah sama sekali, Hwa-moi!
Sungguh mati, aku belum pernah berdekatan dengan
wanita!" "Hemm, maksudmu, sekarang ini untuk yang pertama
kali engkau berdekatan dengan wanita" Dengan
aku?" "Benar, Hwa-moi," kata Kam Ki sejujurnya dan dari
pandang mata dan suara pemuda itu Pek-hwa Sianli
yakin bahwa pemuda itu berkata benar sehingga ia
menjadi semakin girang. Ingin ia langsung merangkul
dan mencumbu pemuda itu, akan tetapi ia harus
berlaku cerdik. Pemuda ini tidak boleh ia perlakukan
sembarangan dan sesuka hatinya saja seperti kalau ia
memperlakukan para pemuda terdahulu yang
menjadi korbannya. Pemuda ini lihai sekali sehingga
kalau sampai merasa tidak suka atau marah
kepadanya, ia bisa celaka!
"Dan bagaimana rasa hatimu, twako" Senangkah
engkau bergaul dengan aku?"
"Senang sekali, Hwa-moi. Engkau sungguh baik dan
menyenangkan hati." Dua orang pelayan itu, A-kui dan A-hui, mengetuk
pintu ruangan itu dan setelah Pek-hwa Sianli
membolehkan mereka masuk, dua orang pelayan itu
berkata, "Hidangan telah siap, Sian-li. Silakan!"
Pek-hwa Sianli memegang tangan Kam Ki dan
menariknya berdiri sambil berkata dengan nada
gembira, "Hayo, twako, kita makan dulu!" Sambil
tertawa-tawa wanita itu menggandeng tangan Kam
Ki, diajak memasuki ruangan makan. Dua orang itu
tersenyum dan saling lirik penuh arti, lalu mereka
mengambil guci anggur dan membawanya ke
ruangan makan. Mereka siap melayani kedua orang
itu makan. Kam Ki duduk berhadapan dengan Pek-hwa Sianli,
dan dengan kagum memandang makanan yang
dihidangkan di atas meja. Tidak kurang dari delapan
macam masakan terhidang di atas meja, masih
mengepulkan uap dan baunya sedap menimbulkan
selera. "Tinggalkan kami berdua," kata Pek-hwa, "biar aku
sendiri yang melayani Thio-kongcu."
A-kui dan A-hui tersenyum dan dengan langkah genit
mereka meninggalkan ruangan makan itu. Mereka
berdua lalu makan minum dengan gembira. Pek-hwa
Sianli dengan penuh perhatian melayani Kam Ki.
Sekali ini ia tidak berani main-main seperti kalau
menjamu makan para pemuda yang pernah
dibawanya pulang. Kepada para pemuda itu, ia selalu
menaburkan obat bius yang mengandung perangsang
dalam anggur. Akan tetapi sekali ini ia tidak berani
melakukan hal itu. Kalau Kam Ki yang amat lihai
mengetahui dan menjadi curiga, ia bisa celaka!
Setelah makan minum sampai puas, Pek-hwa Sianli
tersenyum memandang wajah Kam Ki yang
kemerahan. Pemuda ini selama menjadi murid Leng-
hong Hoatsu, tentu saja tidak pernah minum
minuman keras. Akan tetapi ketika dia berguru
kepada Hwa Hwa Cinjin, pertapa sesat ini suka
minum arak dan Kam Ki juga ketularan, walaupun dia
bukan peminum berat, namun dia sudah sering
minum arak. Maka, biarpun anggur yang disuguhkan
Pek-hwa Sianli tidak sekeras arak, namun karena dia
minum agak banyak, maka kulit mukanya menjadi
merah. "Mari kita duduk di dalam, twako, kita lanjutkan
percakapan kita tadi."
Pek-hwa Sianli menggandeng tangan Kam Ki yang
menurut saja dengan gembira ketika diajak
memasuki ruangan dalam. Kam Ki menahan napas
saking kagumnya. Ruangan ini bukan ruangan tidur,
akan tetapi lebih pantas disebut ruangan bersantai!
Terhias lukisan-lukisan indah, pemandangan alam,
binatang-binatang dan lukisan wanita dengan pakaian
tipis yang tembus pandang, dalam posisi yang
memikat. Di atas lantai yang bersih itu tergelar kasur
lebar dengan tilam sutera merah muda dan bantal-
bantal yang sarungnya dari sutera disulam. Di dinding
dekat kasur terdapat sebuah rak pendek dengan
beberapa botol anggur bermacam rasa dan di
dekatnya tergantung sebuah yang-kim (siter).
"Mari, duduklah, Thio-twako," kata Pek-hwa Sianli
sambil membuka sepatunya lalu ia duduk di atas
kasur. Kam Ki juga melepas sepatunya dan duduk di depan
wanita itu. Pek-hwa Sianli menuangkan anggur merah
ke dalam dua cawan perak dan menyerahkan yang
sebuah kepada pemuda itu. Mereka minum anggur
merah yang rasanya manis dan baunya harum.
Wanita itu memandang kepada Kam Ki dengan wajah
berseri. "Twako, aku merasa berbahagia sekali dapat
berkenalan dan bersahabat dengan engkau yang
telah menyelamatkan nyawaku. Selama ini, aku
merasa kesepian, twako. Hidup di tempat sunyi ini,
hanya ditemani dua orang pelayanku A-kui dan A-hui
itu." "Hemm, tentu mereka itu merupakan pelayan yang
amat setia padamu, Hwa-moi. Akan tetapi, kalau tadi
engkau sudah mendengar riwayatku, kini aku ingin
sekali mendengar tentang dirimu. Mengapa seorang
gadis?" eh, seperti engkau?""
"Seperti apa, twako?"
'Maksudku, gadis secantik engkau......."
"Benarkah, twako" Sudah dua kali engkau
mengatakan aku cantik. Terima kasih atas pujianmu.
Nah, lanjutkan pertanyaanmu tadi."
"Mengapa engkau hidup seorang diri dan kesepian di
tempat sunyi ini" Padahal engkau berkepandaian
tinggi dan kulihat engkau kaya raya. Tentu engkau
dapat tinggal di kota besar dalam sebuah gedung
mewah dan?" tentu saja, bersama seorang suami
yang pandai, kaya raya dan mencinta."
Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi muram. Alis
yang hitam melengkung itu berkerut dan bola mata
yang jernih itu menjadi basah. Pek-hwa Sianli
menghela napas panjang. "Aih?" kata-katamu menusuk perasaanku dan
membuat aku sedih sekali me-ngenang nasibku yang
buruk, twako......." katanya lirih dan jari tangannya
menyeka dua butir air mata yang bergantung di bulu
matanya. "Ah, kalau begitu maafkan aku, Hwa-moi. Kalau
engkau tidak mau, tidak usah kauceritakan
riwayatmu yang menyedihkan hatimu," Kam Ki cepat
berkata. Sepasang bibir itu tersenyum lagi. "Tidak, twako.
Engkau sudah kuanggap sebagai seorang sahabat
baik dan engkau boleh mengetahui riwayatku yang
menyedihkan. Seperti juga engkau, aku seorang
yatim piatu, twako. Ayah ibu sudah tidak ada, juga
aku tidak mempunyai saudara, tidak ada sanak
kadang, hanya sebatang kara hidup di dunia ini."
"Wah, kasihan engkau, Hwa-moi."
"Engkau juga! Kita sama-sama sebatang kara,
bukan?" "Akan tetapi engkau wanita, dan orang secantik
engkau tentu tidak lama hidup seorang diri!"
"Aku hidup sebatang kara dan merantau, mempelajari
ilmu-ilmu silat untuk bekal menjaga diri. Dan
sebetulnya akan tetapi jangan engkau kecewa,
twako." "Kenapa mesti kecewa" Ceritakan saja terus terang."
"Sebetulnya aku?" aku pernah menikah?""
Kam Ki terkejut. "Ah, engkau punya suami" Kalau
begitu, kehadiranku di sini dapat membuat suamimu
salah sangka dan marah!" Kam Ki hendak bangkit,
akan tetapi wanita itu memegang tangannya dan
menariknya, menahannya untuk tetap duduk.
"Aku hanya pernah menikah, sekarang tidak lagi. Aku
pernah menjadi isteri orang, akan tetapi perjodohan
kami hanya bertahan beberapa bulan saja."
"Eh" Kenapa begitu, Hwa-moi?"
"Pada suatu hari aku menangkap basah suamiku,
mendapatkan dia menyeleweng, berjina dengan
seorang wanita lain. Aku merasa sakit hati sekali,
marah dan mata gelap, maka kubunuh mereka
berdua!" Setelah berkata demikian, Pek-hwa Sianli mengepal
tinju dan mukanya berubah merah. Apa yang ia
ceritakan itu memang benar. Terjadinya sekitar
sepuluh tahun yang lalu. Setelah membunuh
suaminya yang menyeleweng, ia berubah. Ia menjadi
seorang wanita yang sakit hati dan mendendam
kepada pria, menjadi kejam bukan main,
mempermainkan pemuda-pemuda untuk memuaskan
nafsunya, kemudian setelah bosan ia membunuh
mereka! "Ah, aku ikut menyesal mendengar riwayatmu yang
menyedihkan itu, Hwa-moi."
Pek-hwa Sianli tersenyum lagi. "Aku sudah
melupakan semua peristiwa itu, twako. Sejak itu, aku
tidak pernah lagi mau berdekatan dengan pria. Bagiku
semua pria itu tidak setia!"
"Wah, kalau begitu?" ah, kenapa sekarang kita
bersahabat dan berdekatan" Bukankah engkau
membenci semua pria?" Kam Ki memandang penuh
curiga. Pek-hwa Sianli memegang tangan Kam Ki dan?"
mencium tangan itu. "Aih, engkau lain lagi, twako.
Engkau seorang pria jantan sejati yang telah
menolongku. Engkau tidak seperti para pria lainnya.
Twako, setelah kita menjadi sahabat, ada sebuah
keinginanku dan kuharap engkau tidak akan menolak
permintaanku ini." "Hemm, permintaan apakah itu, Hwa-moi?" tanya
Kam Ki sambil menarik lepas tangannya dengan
jantung berdebar tegang karena belum pernah dia
bergaul dengan wanita sedekat ini, apalagi wanita
secantik Pek-hwa Sianli. "Begini, twako. Aku sejak kecil suka sekali akan ilmu
silat dan aku melihat tadi betapa hebat gerakan
silatmu. Maka, aku ingin menguji diriku sendiri dan
aku minta agar engkau suka melayani aku untuk
bertanding silat sehingga aku dapat mengukur
kemampuan sendiri." Ia lalu memandang dengan mata setengah terkatup
dan bibir terbuka sehingga wajahnya tampak
menggairahkan dan seolah menantang. Kam Ki tidak
dapat menolak permintaan itu, apalagi dia memang
ingin memamerkan kepandaiannya agar dipuji dan
dikagumi wanita cantik yang menggairahkan ini.


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau itu keinginanmu, marilah," katanya.
Wajah yang manis itu tampak gembira, mulutnya
tersenyum lebar sehingga tampak deretan gigi yang
putih mengkilap dan rapi seperti mutiara berjajar, bibir
yang merah basah itu merekah sehingga sekilas
tampak rongga mulut yang merah.
"Ah, terima kasih, twako. Mari kita ke lian-bu-thia
(ruang berlatih silat)!" kata Pek-hwa Sianli yang tanpa
sungkan-sungkan lagi lalu memegang tangan Kam Ki
dan menggandeng pemuda itu keluar dari kamar itu,
memasuki sebuah ruangan kosong yang
dipergunakan untuk berlatih silat. Di sudut ruangan itu
terdapat sebuah rak senjata, penuh dengan senjata
lengkap delapanbelas macam.
Mereka memasuki ruangan itu dan segera disusul
datangnya A-hui dan A-kui yang membawa dua
baskom air dan sehelai handuk. Setelah menaruh
barang-barang itu di atas sebuah meja di sudut
ruangan, keduanya sambil tersenyum manis keluar
lagi dari ruang latihan silat itu.
"Nah, marilah kita bertanding tangan kosong, twako.
Hati-hati, jangan pandang rendah ilmuku, twako,
jangan-jangan engkau akan kalah olehku!
Domba Dituntun Ke Penyembelihan
Kam Ki tersenyum. Dia tadi sudah melihat ketika
wanita ini dikeroyok oleh tiga orang lawannya
sehingga dia dapat mengukur sampai di mana
kepandaian Pek-hwa Sianli dan tentu saja dia sudah
dapat mengira-ngirakan apakah dia akan mampu
mengalahkan wanita itu. Akan tetapi dia tidak mau
memandang rendah dan dia hanya tersenyum, lalu
dia berdiri dengan santai dan berkata kepada wanita
itu. "Nah, mulailah, Hwa-moi, aku sudah siap sekarang."
Berbeda dengan Kam Ki yang berdiri santai tidak
memasang kuda-kuda namun tetap waspada
mengamati gerak gerik lawan, Pek-hwa Sianli
memasang kuda-kuda yang tampak gagah. Ia
membuka ilmu silat Sin-hong-kun (Silat Burung Hong
Sakti) dengan kuda-kuda Sin-hong-liang-ci (Burung
Hong Sakti Pentang Sayap), kedua kakinya di depan
dan belakang berjingkat, kedua lengan dipentang ke
kanan kiri dengan tangan ditekuk menunjuk ke atas,
kepala tegak dan matanya memandang kepada Kam
Ki dengan mulut tersenyum manis.
"Nah, seranglah, Hwa-moi. Aku siap melayanimu,"
kata pula Kam Ki. "Awas seranganku, Ki-twako. Hyaaatttt?"!" Wanita
itu menyerang dengan dahsyat. Ketika tangannya
menyambar dan menampar dari kiri. Kam Ki merasa
betapa kuatnya angin pukulan yang terdorong oleh
tangan kiri lawannya. Akan tetapi dia tidak
menangkis, melainkan menghindarkan diri dengan
elakan. Dia membiarkan wanita itu menyerangnya
secara bertubi-tubi sampai belasan jurus. Pek-hwa
Sianli menampar, memukul, mendorong dan
menendang, namun semua serangannya hanya
mengenai angin saja. Wanita itu memang menyerang
dengan menggunakan jurus-jurus yang paling ampuh
karena sebetulnya ia ingin benar-benar menguji
sampai di mana kelihaian pemuda yang menarik
hatinya itu. Setelah belasan kali mengelak, Kam Ki mulai
menangkis untuk mengukur sampai di mana
kekuatan yang terkandung dalam lengan wanita itu.
"Duk-dukk?"!" Dua kali lengan mereka beradu dan
Pek-hwa Sianli terhuyung ke belakang. Dia merasa
lengannya bertemu dengan benda yang kenyal
seperti karet, namun yang mengandung tenaga kuat
sekali sehingga, tenaganya membalik dan membuat
dia terhuyung. Dengan kagum ia melihat dua
kenyataan akan kelebihan pemuda itu, yaitu dalam
ilmu meringankan tubuh yang membuat pemuda itu
dapat bergerak gesit sekali sehingga belasan kali
serangannya yang dilakukan cepat dan bertubi itu, tak
sekalipun mengenai tubuh pemuda itu. Kemudian
dalam mengadu tenaga sinkang, jelas bahwa iapun
jauh kalah kuat. Di samping perasaan kagum, ia juga merasa girang
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
sekali karena pemuda itu ternyata menyambut atau
menangkis pukulannya dengan menggunakan tenaga
lunak. Hal ini menandakan bahwa Kam Ki tidak ingin
ia terluka karena kalau pemuda itu menangkis
dengan tenaga keras, bukan mustahil ia akan
menderita luka luar maupun dalam.
Akan tetapi Pek-hwa Sianli masih belum merasa puas.
Ia lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Kam Ki melihat betapa kedua telapak tangan yang
berkulit putih halus itu kini menjadi merah sekali.
"Twako, awas, sambutlah Ang-tok-ciang ini!" Setelah
berkata demikian, ia menyerang lagi dengan jurus-
jurus Sin-hong-kun, akan tetapi sekali ini dengan
kedua telapak tangan merah yang mengandung
racun. Itulah Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah)
yang berbahaya sekali! Lawan yang terkena
tamparan tangan merah ini akan menderita luka yang
beracun dan dapat mengakibatkan kematian! Akan
tetapi Pek-hwa Sianli tidak khawatir karena
seandainya pemuda itu terkena tangan racun
merahnya, ia memiliki obat untuk memunahkan racun
itu. Tentu saja Kam Ki tidak tahu akan obat ini. Diam-diam
ia terkejut karena sebagai murid Hwa Hwa Cinjin,
yaitu pertapa sesat yang diam-diam menjadi gurunya
yang kedua, tentu saja dia mengenal ilmu-ilmu sesat.
Dia tahu betapa berbahayanya Ang-tok-ciang ini.
Akan tetapi untuk menyambut serangan ini dengan
kekerasan, diapun merasa tidak tega. Wanita cantik
jelita ini menerimanya sebagai sahabat dan tamu
yang diperlakukan dengan manis budi, maka diapun
tidak mau menyakiti Pek-hwa Sianli. Maka, semua
serangan dengan kedua tangan yang berubah merah
itu dia hindarkan dengan kecepatan gerakannya,
mengelak ke sana-sini sambil mencari datangnya
kesempatan baik untuk mengalahkan gadis itu tanpa
melukai atau menyakitinya. Setelah melihat ada
kesempatan terbuka, cepat dia balas menyerang
dengan totokan jari tangannya. Dengan cepat,
bagaikan patukan ular, dua kali jari tangannya
menotok kedua pundak Pek-hwa Sianli.
"Tuk-tukk......!"
Pek-hwa Sianli terbelalak karena seketika ia tidak
mampu menggerakkan tubuhnya. Ia tahu bahwa
dirinya terkena totokan yang ampuh sekali. Yang
membuat ia merasa heran bagaimana ia sampai
dapat tertotok. Padahal, selama ini ia jarang bertemu
tanding. Paling-paling ia bertemu dengan lawan yang
seimbang tingkat kepandaiannya atau yang sedikit
melebihi tingkatnya. Akan tetapi pemuda ini yang tadi
selalu hanya mengelak, tiba-tiba begitu bergerak
mampu menotoknya. Hal ini saja menunjukkan
bahwa tingkat kepandaian Kam Ki jauh melampaui
tingkatnya. Akan tetapi hanya beberapa detik ia tak mampu
bergerak karena segera tangan Kam Ki menepuknya
dan totokan itupun punah sehingga ia dapat bergerak
lagi. Bukan main kagumnya hati Pek-hwa Sianli. Akan
tetapi dasar ia seorang wanita yang tidak mudah
merasa puas, ia masih ingin mencoba lagi.
"Hebat, twako. Ilmu silat tangan kosongmu benar-
benar luar biasa dan aku mengaku kalah. Akan tetapi
sebelum engkau dapat mengalahkan senjataku siang-
kiam (sepasang pedang) aku masih belum mengaku
kalah mutlak. Maukah engkau melayani aku bersilat
pedang?" Kam Ki memang ingin memamerkan kepandaiannya
kepada gadis itu, maka sambil tersenyum dia
menjawab. "Baiklah, Hwa-moi, aku akan melayanimu
main-main sebentar dengan sepasang pedangmu."
Pek-hwa Sianli menjadi girang sekali. Ia berlari ke
arah rak senjata dan mengambil sepasang pedang.
Kemudian ia berkata kepada Kam Ki.
"Twako, cepat pilih senjata mana yang kausukai!"
Wanita ini tidak ragu untuk bertanding dengan
senjata karena biarpun menggunakan senjata,
seorang yang ilmu silatnya telah mencapai tingkat
tinggi, dapat menguasai senjatanya sepenuhnya
sehingga dia tidak akan melukai lawan kalau hal itu
tidak dikehendakinya. Semua gerakan terkendali
sehingga tidak mungkin kelepasan melukai lawan.
Kam Ki yang sudah dapat mengukur tingkat
kepandaian Pek-hwa Sianli dan memang ingin
memamerkan kepandaiannya, sambil tersenyum
menggeleng kepalanya. "Aku tidak perlu menggunakan senjata, Hwa-moi,
bukan sekali-kali karena aku meremehkan ilmu
pedangmu, melainkan aku percaya bahwa engkau
tidak akan melukai aku. Pergunakanlah siang-kiam itu
untuk menyerangku, aku akan mencoba
menghindarkan diri dari serangan sepasang
pedangmu." Pek-hwa Sianli mengerutkan alisnya, bukan merasa
tersinggung karena iapun sudah mengerti bahwa
pemuda ini lebih lihai darinya, hanya ia ragu apakah
benar pemuda itu mampu menghadapi siang-kiamnya
dengan tangan kosong. Sepasang pedangnya itu
jarang bertemu lawan yang dapat mengalahkannya.
Ia memiliki ilmu pedang Liap-liong-siang-kiam
(Sepasang Pedang Pengejar Naga) yang terkenal lihai
sekali. "Betulkah engkau akan menghadapi sepasang
pedangku dengan tangan kosong, twako" Ketahuilah
bahwa aku mempunyai ilmu Liap-liong-siang-kiam
yang amat lihai, dan selama ini jarang ada orang
yang mampu mengalahkan sepasang pedangku.
Karena itu, aku ragu-ragu untuk menyerangmu kalau
engkau bertangan kosong."
"Jangan khawatir, Hwa-moi. Bagaimanapun juga,
engkau tidak akan menggunakan sepasang
pedangmu itu untuk membunuh atau melukai aku,
bukan?" Melihat senyum yang membuat wajah pemuda itu
amat tampan dan menarik hatinya, Pek-hwa Sianli
terpesona dan ia semakin kagum akan keberanian
pemuda itu. "Baiklah kalau begitu. Nah, bersiaplah, twako!" Gadis
itu lalu memasang kuda-kuda, pembukaan ilmu
pedang Pengejar Naga. Mula-mula sepasang pedang
itu berpisah, yang kiri menunjuk ke bumi, yang kanan
menunjuk ke langit, lalu sepasang pedang bergerak
dan saling bertemu di depan dada, mengeluarkan
bunyi berdenting dan tampak bunga api berpijar
ketika sepasang pedang bertemu dan pedang-pedang
itu bersilang! Kam Ki memandang kagum. Betapa gagah dan
cantiknya gadis ini, pikirnya. Diapun kini memasang
kuda-kuda yang tampak gagah sekali, kaki kiri ke
belakang, kaki kanan di depan dengan lutut ditekuk,
tangan kanan di pinggang dikepal dan tangan kiri di
depan dada membentuk cakar.
Melihat ini, Pek-hwa Sianli menjadi gembira sekali dan
iapun mulai mengelebatkan sepasang pedangnya dan
berseru, "Twako, awas, aku mulai menyerang!"
Sepasang pedang itu menyambar-nyambar dan
lenyap bentuknya menjadi dua gulungan sinar. Kam Ki
sudah waspada dan tubuhnya juga bergerak cepat
sekali sehingga dia berubah menjadi bayangan yang
berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang itu!
Ke manapun sepasang pedang itu menyambar, selalu
tubuh Kam Ki dapat menghindar seolah dapat
menyelinap di antara sepasang pedang. Pek-hwa
Sianli kagum dan terkejut juga, sama sekali tidak
mengira betapa sepasang pedangnya sama sekali
tidak berdaya, seolah-olah ia menyerang sebuah
bayangan saja! Sampai tigapuluh jurus lebih ia menyerang tanpa hasil
dan tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan
pedang itu tahu-tahu telah pindah ke tangan Kam Ki.
Ketika ia menyerang dengan pedang kirinya, Kam Ki
menggerakkan pedang rampasan itu dengan
pengerahan tenaga. "Tranggg.......!" Pek-hwa Sianli tidak mampu menahan
dan pedangnya sudah terlempar lepas dari tangan
kirinya. Kam Ki melompat dan menyambar pedang itu
sehingga kini sepasang pedang itu telah berada di
kedua tangannya! Pek-hwa terkejut sekali dan kini Kam Ki
menghampirinya dan menyerahkan sepasang pedang
itu kembali kepadanya. "Maaf, Hwa-moi, ilmu pedangmu sungguh lihai,
terpaksa aku menggunakan akal untuk
merampasnya. Kalau tidak, sungguh amat berbahaya
bagiku!" kata Kam Ki sambil tersenyum.
Bukan main kagum dan senangnya hati Pek-hwa
Sianli. Ia merasa kagum karena ternyata pemuda itu
mampu mengalahkan ia hanya dengan tangan
kosong, bahkan tanpa melukai dan dapat merampas
sepasang pedangnya begitu saja! Dan hatinya senang


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena jelas bahwa Kam Ki merendahkan diri dan
memuji ilmu pedangnya! Ia melempar sepasang pedangnya ke arah rak
senjata dan sepasang pedang itu dengan tepat
menancap di tiang rak itu! Ia lalu memegang kedua
tangan Kam Ki. "Aih, twako, sungguh engkau hebat, luar biasa, aku
taluk padamu, aku kagum sekali?"!" Ia lalu menarik
pemuda itu ke meja di mana terdapat dua baskom air
dan mengajak pemuda itu mencuci muka dan lengan
yang berkeringat, lalu mengusapinya dengan handuk
yang tersedia tadi. Sekali ini, Pek-hwa Sianli benar-benar telah jatuh cinta
kepada pemuda itu. Ia lalu menggandeng tangan Kam
Ki dan mengajaknya makan hidangan yang serba
lezat dan mewah, yang telah dipersiapkan oleh dua
orang pelayannya, A-hui dan A-kui. Dua orang
pelayan yang cantik manis ini melayani mereka
dengan penuh hormat. Dua orang gadis pelayan ini telah mengetahui bahwa
pemuda itu lihai sekali, dapat mengalahkan nona
mereka sehingga mereka berdua pun kagum bukan
main. Maka, dengan mencuri-mencuri, terkadang
mereka melepas kerling tajam disertai senyum manis
kepada Kam Ki ketika mereka berada di belakang
Pek-hwa Sianli. Kam Ki melihat ini, akan tetapi dia
tidak mengacuhkannya karena seluruh perhatiannya
sedang tertarik kepada Pek-hwa Sianli.
Dengan cerdik, Pek-hwa Sianli yang sudah
berpengalaman banyak bergaul dengan para pemuda
itu berusaha untuk memikat hati Kam Ki. Kam Ki
sendiri se-orang pemuda yang sama sekali belum
pernah bergaul erat dengan wanita. Dia adalah
seorang perjaka tulen dan masih hijau tentang
wanita. Bagaikan seekor laba-laba yang
mempergunakan jala benang halus yang ditata indah
untuk memikat dan menjebak seekor serangga yang
masih bodoh, Pek-hwa Sianli mempergunakan segala
kecantikan wajahnya, keindahan bentuk tubuhnya,
kemanisan rayuannya, ditambah makanan lezat dan
anggur merah manis yang keras namun lembut
sehingga setelah selesai makan dan minum banyak
anggur, wajah Kam Ki menjadi kemerahan.
Bagaikan seekor domba yang dituntun ke tempat
penyembelihan, Kam Ki dituntun Pek-hwa Sianli ke
dalam kamarnya. Memang pada dasarnya Kam Ki
adalah seorang laki-laki yang berbatin rapuh,
pertahanannya lemah membuat pendirian dan
pertimbangannya goyah sehingga dengan mudah saja
dia bertekuk lutut kepada nafsunya sendiri. Maka,
tidak sukar bagi Pek-hwa Sianli untuk merayunya dan
akhirnya dia jatuh ke dalam pelukan wanita itu
dengan gairah yang berkobar-kobar, dengan senang
hati menuruti semua keinginan Pek-hwa Sianli. Kam Ki
bagaikan seekor serangga yang akhirnya terjerat,
dilibat dan dihisap oleh laba-laba sampai habis
darahnya dan menjadi kering.
Kam Ki yang masih hijau itu terjatuh ke pelukan Pek-
hwa Sianli yang berpengalaman. Dia bagaikan mabok
berenang dalam lautan madu yang nikmat dan
menyeretnya ke dalam cengkeraman gairah nafsunya
sendiri. Akan tetapi anehnya, bukan Kam Ki yang tergila-gila.
Sekali ini Pek-hwa Sianli yang jatuh hati dan tergila-
gila. Biasanya tidak ada pemuda yang dikeram wanita
itu lebih dari satu minggu. Ia segera menjadi bosan
dan untuk merahasiakan ulahnya, pemuda itu lalu
dibunuh dan mayatnya dilempar ke jurang. Akan
tetapi sekali ini, sudah lewat dua bulan masih saja
Kam Ki dan Pek-hwa Sianli bersenang-senang.
Siang malam mereka berenang dalam lautan gairah
asmara bagaikan sepasang pengantin baru sedang
berbulan madu panjang. A-hui dan A-kui yang
menjadi pelayan setia dari Pek-hwa Sianli menjadi
terheran-heran melihat keadaan ini dan tahulah
mereka bahwa sekali ini majikan mereka benar-benar
tergila-gila kepada pemuda yang gagah perkasa dan
lihai itu. Ada dua kasih sejati yang perlu kita Ketahui. Kasih
sejati dan kasih atau cinta nafsu. Cinta kasih sejati
mengesampingkan kesenangan jasmani kita sendiri
dan mendahulukan kepentingan kebahagiaan orang
yang dicinta. Cinta nafsu hanya mengejar kesenangan
bagi diri sendiri sehingga cinta seperti itu dengan
mudah dapat berubah menjadi benci kalau yang
dicinta itu tidak mendatangkan kesenangan lagi.
Sebaliknya, cinta sejati membuat kita selalu merasa
kasihan kepada orang yang dicinta, ingin
membahagiakan orang itu, ikut prihatin kalau melihat
orang itu berduka dan ikut bahagia kalau melihat
orang itu bersuka. Karena sifatnya hanya mengejar
kesenangan jasmani, maka cinta nafsu selalu
mementingkan si-aku, kalau aku disenangkan, aku
cinta, sebaliknya kalau aku disusahkan, aku benci.
Mungkin baru sekarang Pek-hwa Sianli benar-benar
jatuh hati dan tergila-gila kepada seorang pemuda.
Tentu saja seorang yang telah menjadi hamba nafsu
seperti wanita ini tidak pernah mengenal cinta sejati.
Cintanya bergelimang nafsu dan karena belum pernah
ia mendapatkan seorang laki-laki seperti Kam Ki,
maka ia melekat dan tergila-gila. Di lain pihak, Kam Ki
yang baru pertama kali mengalami bergaul rapat
dengan seorang wanita, setelah lewat tiga bulan,
mulailah dia merasa jemu dan bosan!
Memang, nafsu selalu mengejar kesenangan dan
kesenangan itu, apabila dikejar dan luput
mendatangkan kecewa dan duka, akan tetapi setelah
didapatkan, dibayangi kebosanan karena nafsu
mendorong kita untuk mencari yang lain, yang baru
dan yang dibayangkan sebagai yang lebih
menyenangkan daripada yang telah diraihnya.
Kam Ki mulai merasa bosan dan mulailah dia melirik
A-hui dan A-kui! Dalam kebosanannya, tampaklah
cacat-cacat yang ada pada diri Pek-hwa Sianli. Se-
baliknya A-hui dan A-kui yang "baru" tampak
keindahannya saja. Tidak mengherankan kalau dalam
pandang mata Kam Ki, dua orang gadis pelayan ini
tampak lebih cantik, lebih menarik, lebih
menggairahkan nafsunya dari Pek-hwa Sianli!
Kemudian, hal yang tidak terelakkan pun terjadilah!
Pada suatu malam Pek Hwa Sianli menangkap basah
Kam Ki yang tengah bermesraan dengan A-hui dan A-
kui, di "keroyok" dua oleh gadis-gadis pelayan itu!
Bukan main marahnya hati Pek-hwa Sianli! Ia
mengamuk dan membunuh kedua orang pelayannya
itu. Kam Ki sendiri segera melarikan diri, bukan karena
takut kepada Pek-hwa Sianli, melainkan karena malu!
Dia, yang baru saja berkecimpung dalam lautan
asmara, masih mempunyai rasa malu akan
penyelewengannya dan diapun melarikan diri,
meninggalkan Pek-hwa Sianli baginya sudah
membosankan. Pek-hwa Sianli marah dan menangis, akan tetapi
tidak berdaya karena andaikata ia mengejar
sekalipun, ia tidak akan menang melawan Kam Ki.
"Y" Selama tiga bulan Kam Ki seolah menjadi murid Pek-
hwa Sianli berenang dalam lautan asmara. Hal ini
membangkitkan gairah berahinya. Bagaikan harimau
buas yang selama ini tidur, kini dibangkitkan oleh
usikan Pek-hwa Sianli sehingga Kam Ki menjadi
seorang yang haus oleh gairah berahi yang berkobar.
Dia benar-benar telah menjadi budak dari nafsu
berahinya sendiri dan kehausan itu yang mendorong
dia mendekati A-hui dan A-kui.
Kini dia telah bebas dari rangkulan Pek-hwa Sianli dan
di dunia bertambah seorang manusia hamba nafsu
yang berkeliaran, bagaikan seekor harimau buas yang
selalu mencari mangsa. Dalam perjalanannya
merantau itu, setiap kali gairah berahinya menguasai
pikirannya dan amat menyiksanya, dia lalu mencari
mangsa. Dia tidak kuat menahan gelora nafsunya dan
mencari mangsa di dusun-dusun yang dilaluinya. Kalau
ada wanita muda yang cantik tidak perduli gadis atau
isteri orang, lalu diculiknya dan dipaksanya untuk
melayani gairah nafsunya, kemudian ditinggalkannya
begitu saja. Pada suatu pagi perjalanannya yang tanpa tujuan
tertentu itu membawanya ke kaki Siong-san (Bukit
Siong). Baru saja dia meninggalkan sebuah dusun
yang cukup ramai dan di dusun itu selain
melampiaskan gairah nafsunya pada seorang wanita
yang diculiknya, dia juga melakukan pencurian di
rumah seorang hartawan menggondol emas dan
perak sekantung dan pakaian baru beberapa pasang.
Kini dia berjalan di kaki Siong-san, menggendong
sebuah buntalan hasil pencuriannya.
Di puncak bukit itu terdapat perkampungan cabang
Pek-lian-kauw. Cabang Pek-lian-kauw di Bukit Siong
itu dipimpin oleh tiga orang bersaudara seperguruan.
Ketuanya adalah Ang-bin Moko (Iblis Muka Merah),
dibantu oleh Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih) dan Hek-
bin Moko (Iblis Muka Hitam), dengan anak buah
sebanyak limapuluh orang lebih. Pek-lian-kauw adalah
sebuah perkumpulan yang selalu menentang
pemerintahan dan untuk memperoleh dana mereka
tidak segan untuk melakukan kejahatan seperti
merampok dan memaksa orang-orang yang lewat di
daerah itu untuk membayar "pajak".
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Hadangan Anggauta Pek-lian-kauw
Ketika Kam Ki berjalan dengan santai di kaki Siong-
san yang sunyi itu, tiba-tiba dari balik batu besar dan
pohon-pohon di tepi jalan berlompatan keluar belasan
orang. Mereka adalah anak buah Pek-lian-kauw yang
dipimpin oleh Hek-bin Moko, pemimpin ketiga dari
cabang Pek-lian-kauw itu.
"Berhenti!" bentak seorang anak buah sedangkan
Hek-bin Moko yang merasa terlalu tinggi
kedudukannya untuk memeras seorang pejalan kaki,
hanya berdiri memandang. Mukanya yang hitam
arang ltu menyeramkan sekali.
"Sobat, serahkan pajak sebesar limapuluh tail. perak,
kalau tidak punya, tinggalkan buntalanmu itu di sini,
baru engkau boleh melanjutkan perjalanan melewati
daerah ini!" Kam Ki tersenyum mengejek, tahu bahwa orang-
orang ini berniat merampoknya. Tentu saja dia
mempunyai uang yang hanya limapuluh tail perak itu
karena dia mempunyai sekantung uang perak dan
emas. "Hemm, kalian minta pajak limapuluh tail perak" Biar
limaratus atau limaribu tail sekalipun aku dapat
memberi, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu siapa
yang memungut pajak di sini! Kalian ini siapakah yang
begitu sombong hendak memaksa orang membayar
pajak" Kalian bukan pemerintah yang menguasai
daerah ini. Kalau mau mengemis, jangan dengan
paksaan begitu!" Semua anggauta Pek-lian-kauw melotot mendengar
penghinaan itu. "Mengemis" Jahanam busuk, kami
adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang berkuasa di
daerah ini!" bentak orang yang mewakili para
anggautanya itu. Kam Ki tersenyum. Dia sudah banyak mendengar
tentang Pek-lian-kauw, sebuah perkumpulan besar
dan kuat yang berpengaruh di antara para tokoh di
dunia kang-ouw, seperti yang pernah dia dengar dari
Hwa Hwa Cinjin. Tidak menguntungkan kalau dia
bermusuhan dengan Pek-lian-kauw dan alangkah
baiknya kalau dia dapat menjadi pemimpin mereka.
Namanya akan menjadi terkenal, ditakuti dan
dihormati dunia kang-ouw dan dia mempunyai
banyak anak buah yang boleh diandalkan. Daripada
hidup tanpa tempat tinggal dan kedudukan tetap,
alangkah baiknya kalau dia dapat menjadi ketua Pek-
lian-kauw, walaupun hanya ketua cabang saja.
"Dengar, kalian orang-orang Pek-lian-kauw. Aku ingin
berteman dan bicara dengan pimpinan kalian. Soal
pajak itu, jangan khawatir, seratus kali dari itupun
aku sanggup memberinya!"
Orang-orang itu tentu saja memandang rendah
pemuda yang tampan dan berpakaian mewah ini.
Pemuda ini tidak membawa senjata, tampaknya
seperti seorang kongcu (tuan muda) yang kaya saja.
Karena melihat Hek-bin Moko, pemimpin mereka,
masih diam saja karena si muka hitam ini yakin
bahwa tanpa dia turun tangan, belasan orang anak
buahnya tentu akan mampu mengatasi pemuda itu,
maka para anak buah Pek-lian-kauw segera
mengepung Kam Ki. Juru bicara mereka tadi, seorang
anggauta Pek-lian-kauw berusia sekitar empatpuluh
tahun yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh
brewok, maju menghadapi Kam Ki dan
menghardiknya. "Bocah macam engkau hendak bertemu dengan
pimpinan kami yang terhormat" Sudahlah, tidak perlu
banyak cakap lagi. Serahkan buntalan itu kepada
kami dan cepat menggelinding pergi dari sini kalau


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!"
Kam Ki tersenyum akan tetapi sepasang matanya
mencorong. Ini merupakan tanda bahwa dia sudah
marah sekali. Akan tetapi dalam benaknya masih
terbayang keinginannya untuk dapat menjadi
pemimpin cabang Pek-lian-kauw, maka dia menahan
kesabarannya dan meyakinkan hatinya bahwa dia
tidak boleh melakukan pembunuhan kalau
menghendaki kedudukan itu.
"Coba kalian semua maju dan siapa yang dapat
menghancurkan kepalaku lebih dulu, boleh memiliki
buntalan ini. Kalian tahu, dalam buntalan ini terdapat
emas dan perak yang amat mahal. Hayo hancurkan
kepalaku!" Di antara para anggauta yang jumlahnya enambelas
orang itu, ada yang tertawa geli. Kiranya mereka
berhadapan dengan seorang pemuda gendeng (ediot)!
Karena merasa diri gagah, tentu saja mereka tidak
mau mengeroyok seorang pemuda gila, dan mereka
sama sekali tidak percaya akan cerita tentang emas
dan perak itu. Anggauta Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu dengan
marah membentak, "Bocah gila, mampuslah!" Dia
mengayun tangannya yang besar menghantam ke
arah kepala Kam Ki dan agaknya dia tidak bicara
kosong belaka kalau hendak memecahkan kepala
Kam Ki karena mungkin hantaman yang dahsyat itu
akan dapat memecahkan kepala seorang laki-laki
biasa. Akan tetapi hantaman itu luput dan tiba-tiba
tubuhnya terbanting roboh tidak mampu bangkit lagi,
hanya merintih-rintih. Memegangi perut yang rasanya
mulas bukan main! Lima belas orang rekannya terkejut dan juga marah.
Mereka segera maju mengeroyok. Akan tetapi empat
orang yang berada paling depan, juga berpelantingan
dan tidak mampu bangkit, terkena tamparan kedua
tangan Kam Ki. Masih untung mereka tidak tewas
karena Kam Ki membatasi tenaganya, namun cukup
membuat mereka yang roboh tidak mampu bangkit
kembali. Kini sisa anak buah Pek-lian-kauw mencabut senjata
dan dengan buas mereka menyerang Kam Ki dengan
golok atau pedang. Hujan senjata itu disambut Kam Ki
dengan tenang, namun tubuhnya berkelebatan di
antara sebelas orang pengeroyok itu sambil membagi-
bagi tamparan dan tendangan. Dalam waktu yang
cepat, enambelas orang anak buah Pek-lian-kauw itu
sudah roboh semua dan belum ada yang dapat
bangkit kembali karena mereka masih mengaduh-
aduh sambil memegangi bagian yang kena tampar
atau tendang! Wajah Hek-bin Moko menjadi semakin hitam. Kedua
matanya yang lebar itu melotot dan dia segera
menghampiri Kam Ki. Pemuda itu memandang penuh
perhatian. Yang berada di depannya adalah seorang
laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, bajunya putih
dan memakai jubah yang terbuka sehingga tampak
gambar bunga teratai putih dalam lingkaran berdasar
biru. Rambutnya digelung ke atas dan diikat pita putih
model gelung para tosu (pendeta Agama To), dan di
punggungnya tergantung sebatang pedang.
"Engkaulah pemimpin Pek-lian-kauw di sini?" Kam Ki
bertanya. "Pimpinan cabang Pek-lian-kauw di sini adalah kami
bertiga. Aku, ji-suheng (kakak seperguruan kedua)
dan twa-suheng (kakak seperguruan pertama).
Siapakah engkau yang berani menentang kami dan
merobohkan anak buahku?"
"Aku Kam Ki dan engkau tadi melihat sendiri bahwa
anak buahmu yang menyerang aku sehingga mereka
mencari penyakit sendiri. Akan tetapi engkau juga
melihat bahwa aku tidak membunuh mereka, hal ini
karena aku ingin menjadi pemimpin Pek-lian-kauw
yang menguasai daerah ini."
"Keparat sombong!" Hek-bin Moko sudah mencabut
pedangnya. Langsung saja dia menyerang Kam Ki
dengan pedangnya. Hal ini saja menunjukkan betapa
curangnya pemimpin Pek-lian-kauw ini. Dia
menyerang dengan pedang lawan yang tidak
bersenjata dan belum siap tanpa peringatan terlebih
dulu. "Singgg?"!" Pedang itu mendesing dan menyambar
ke arah leher Kam Ki. Melihat sambaran pedang itu cukup dahsyat, Kam Ki
tahu bahwa lawannya bu-kan orang lemah seperti
para anak buahnya tadi. Dia mengelak dengan
mudah. Hek-bin Moko mengejar dengan serangan
bertubi-tubi. Namun sama sekali semua serangan itu
tidak dapat mengenai tubuh lawan.
Diam-diam Kam Ki membuat perhitungan. Sebaiknya
kalau dia bertemu dengan para pimpinan yang lain
dan mengajak mereka bertanding daripada
membiarkan perkumpulan itu mengerahkan seluruh
anak buahnya untuk mengeroyoknya. Maka dia
mengambil keputusan untuk tidak melukai Hek-bin
Moko, hanya membuat lawan menjadi jerih dan
melarikan diri ke sarangnya untuk mencari bala
bantuan. Setelah mendapat kesempatan, dia menotok siku
lengan kanan lawan sehingga Hek-bin Moko merasa
tangannya kaku dan dengan mudah pedangnya dapat
dirampas Kam Ki. Pemuda ini lalu menggunakan
kedua tangannya, mematah-matahkan pedang itu
seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat
ini, Hek-bin Moko terbelalak, lalu dia melompat pergi
dan sebelum melarikan diri dia berteriak.
"Orang she Kam, kalau memang gagah berani,
tunggulah pembalasanku di sini!"
Kam Ki tersenyum. Inilah yang dia kehendaki. Dia
melihat belasan orang yang roboh tadi sudah ada
yang merangkak bangun dan mereka saling tolong.
Dia tidak memperdulikan mereka lalu melompat jauh
dan membayangi Hek-bin Moko yang lari mendaki
bukit. Tergopoh-gopoh Hek-bin Moko memasuki pondok
besar dalam perkampungan Pek-lian-kauw itu, sebuah
pondok besar yang berada di tengah perkampungan,
di antara banyak pondok-pondok yang kecil. Setelah
tiba di ruangan tengah di mana dia lihat kedua
pemimpin Pek-lian-kauw yang lain duduk, dia
menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan terengah-
engah. "Celaka, ji-suheng dan twa-suheng. Aku dan
enambelas orang anak buah telah dikalahkan oleh
seorang pemuda bernama Kam Ki yang tadinya kami
hadang. Dia lihai bukan main dan katanya ingin bicara
dengan para pimpinan Pek-lian-kauw!"
Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko mengerutkan alis
mereka. Mereka berdua marah sekali. Siapa orangnya
berani main-main dengan Pek-lian-kauw, pikir
mereka. "Kurang ajar!" kata Ang-bin Moko sambil bangkit
berdiri. "Kita harus cari dan hajar bocah itu!"
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di
ambang pintu ruangan itu telah berdiri seorang
pemuda yang bukan lain adalah Kam Ki. Pemuda itu
tersenyum dan sikapnya tenang sekali.
"Tidak perlu repot-repot mencari. Aku sudah berada di
sini dan aku memang ingin bertemu dan bicara
dengan para pimpinan Pek-lian-kauw."
Tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terkejut bukan
main. Mereka semua bangkit dan Hek-bin Moko
berseru, "Inilah orangnya yang bernama Kam Ki!"
"Benar, aku Kam Ki dan aku menawarkan diri untuk
menjadi pemimpin kalian, memimpin cabang Pek-llan-
kauw ini agar memperoleh kemajuan!"
Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko marah bukan main.
"Bangsat cillk! Orang macam engkau hendak menjadi
pemimpin cabang Pek-lian-kauw" Hemm, agaknya
engkau sudah bosan hidup!" bentak Ang-bin Moko
yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya kemerahan.
"Berani benar engkau datang memusuhi kami!"
bentak pula Pek-bin Moko.
"Tenanglah! Kalau aku datang untuk memusuhi kalian,
tentu si muka hitam ini dan belasan orang anak
buahnya tadi sudah kubunuh semua! Tidak, aku
datang hendak memimpin kalian dan memajukan
Pek-lian-kauw yang sudah lama kudengar namanya.
Bahkan guruku menganjurkan agar aku membantu
Pek-lian-kauw." "Gurumu" Siapa gurumu?" tanya Ang-bin Moko
dengan alis berkerut. Alangkah beraninya pemuda ini
sehingga membuat dia ingin mengetahui siapa
gurunya. "Aku mempunyai banyak guru dan yang
kumaksudkan adalah guruku kedua, yaitu Hwa Hwa
Cinjin, pertapa di pegunungan Himalaya."
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw itu terkejut.
Mereka sudah lama mendengar akan nama besar
Hwa Hwa Cinjin yang kabarnya bahkan pernah
mengajarkan suatu ilmu kepada ketua umum Pek-
lian-kauw pusat! Tentu saja hal ini membuat mereka
menjadi hati-hati dan ragu untuk mengerahkan
semua anak buah untuk mengeroyok Kam Ki.
"Kam Ki, engkau hanyalah seorang pemuda.
Bagaimana engkau akan dapat menjadi ketua cabang
Pek-lian-kauw" Kami bertiga, aku Ang-bin Moko
menjadi ketua cabang dan dua orang suteku (adik
seperguruanku) ini, Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko,
menjadi ketua kedua dan ketiga. Sekarang, katakan,
apa kehendakmu?" "Begini, kita bukanlah musuh, maka kita atur dengan
adil. Aku akan bertanding menghadapi kalian bertiga
untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih
pantas menjadi ketua. Kalau aku kalah dan tewas,
tidak akan ada yang menuntut kalian. Akan tetapi
kalau kalian bertiga tidak mampu mengalahkan aku,
maka kalian harus mengangkat aku menjadi ketua
dan kalian bertiga menjadi pembantu-pembantuku.
Bagaimana pendapat kalian?"
Tiga orang itu saling pandang. Biarpun pemuda ini
mengaku murid Hwa Hwa Cinjin dan sudah
membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan
Hek-bin Moko dan enambelas orang anak buah, akan
tetapi kalau mereka maju bersama, tidak mungkin
mereka akan kalah. "Ha-ha-ha, bagus sekali. Kami terima tantanganmu,
Kam Ki." "Memang seharusnya begitu. Mari kita keluar dan
bertanding di tempat terbuka agar semua anak buah
Pek-lian-kauw menyaksikan siapa yang lebih patut
memimpin mereka," kata Kam Ki yang cepat
melompat keluar dari ruangan dan pondok besar itu.
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw lalu bersiap-
siap. Hek-bin Moko yang kehilangan pedangnya,
mengambil pedang baru dan tiga orang itu lalu keluar
dari rumah. Sementara itu, enambelas orang anak buah Pek-lian-
kauw tadi memasuki per-kampungan dan kini seluruh
anggauta Pek-lian-kauw yang mendengar bahwa ada
seorang pemuda mengacau di sarang mereka, semua
keluar untuk menanti perintah para pimpinan mereka.
Kurang lebih limapuluh orang anggauta Pek-lian-kauw
kini berkumpul di pekarangan rumah induk
perkumpulan itu, di mana tiga orang pimpinan mereka
tinggal. Tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda keluar dari
pintu diikuti oleh tiga orang ketua mereka. Semua
anggauta Pek-lian-kauw terkejut dan siap siaga
ketika enambelas orang rekan mereka itu
mengatakan bahwa itulah pemuda yang telah
menjatuhkan mereka tadi. Semua anggauta Pek-lian-
kauw mencabut senjata, menanti perintah.
Akan tetapi Kam Ki yang tiba di pekarangan lebih
dulu, segera berseru kepada para anggauta. "Para
anggauta Pek-lian-kauw, dengarlah!" serunya lantang
karena didorong tenaga sakti yang kuat. "Tiga orang
pimpinan kalian telah bersepakat dengan aku untuk
bertanding. Mereka bertiga akan mengeroyok aku dan
kalau aku kalah dan mati, sudahlah lupakan saja.
Akan tetapi kalau aku yang menang, mereka sudah
berjanji akan mengangkat aku menjadi ketua Pek-
lian-kauw cabang ini dan mereka bertiga menjadi
pembantuku. Kalian semua kuperingatkan agar
jangan ada yang campur tangan hendak mengeroyok
aku karena sjapa yang bergerak, akan kubunuh!
Apakah kalian semua setuju" Yang tidak setuju boleh
maju!" Semua anggauta Pek-lian-kauw diam dan tidak ada
yang berani maju karena tiga orang ketua mereka
tidak memberi isyarat kepada mereka untuk maju.
Akan tetapi dua orang di antara mereka yang
terkenal jagoan, agaknya hendak mencari muka
kepada tiga orang pimpinan mereka. Dengan golok di
tangan mereka maju. "Kami akan membunuhmu, orang muda!" teriak
mereka sambil mengacungkan golok.
Kam Ki berkemak-kemik menggunakan ilmu sihirnya,
lalu menudingkan telunjuknya ke arah dua orang itu
dan membentak dengan suara yang mengandung


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

getaran dan wibawa amat kuat.
"Kalian berdua boleh saling bunuh! Cepat lakukan!"
Kemudian terjadilah hal yang mengherankan dan
mengejutkan semua orang. Dua orang murid Pek-lian-
kauw itu kini menggerakkan golok mereka dan saling
serang dengan sungguh-sungguh! Pek-lian-kauw
terkenal sebagai perkumpulan yang tidak asing,
dengan segala ilmu sihir dan racun. Maka, melihat
betapa dua orang anggauta itu demikian mudah
terjatuh ke bawah pengaruh bentakan pemuda itu,
tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw juga terkejut
sekali. Ang-bin Moko, ketua pertama cabang Pek-lian-kauw
itu yang bermuka merah, terkejut melihat dua orang
anggautanya kini saling serang menggunakan golok
dengan mati-matian. Dia cepat mengerahkan tenaga
sihirnya untuk memunahkan kekuatan sihir yang
menguasai dua orang anggautanya sehingga mereka
saling menyerang untuk membunuh itu.
"Kalian berdua, hentikan perkelahian itu! Aku, Ang-bin
Moko ketua kalian, memerintahkan agar kalian
berhenti berkelahi dan mundur!"
Akan tetapi bentakan nyaring Ang-bin Moko itu
seperti lalunya angin saja, lewat tanpa bekas dan dua
orang itu masih saling serang dengan mati-matian.
Akhirnya, keduanya berseru kesakitan dan keduanya
roboh terpelanting, masing-masing menderita luka
parah oleh bacokan golok!
"Masih adakah yang tidak setuju dan hendak
mengeroyok aku?" Kam Ki berseru lantang, terdengar
oleh semua anggauta Pek-lian-kauw yang berada di
situ. Kini tidak ada seorangpun berani maju
menentang. "Thio Kam Ki, engkau berani membunuh dua orang
anggauta kami!" bentak Ang-bin Moko.
Kam Ki tersenyum. "Anggauta Pek-lian-kauw
sepatutnya menaati perintah pimpinannya. Kalian
bertiga sudah berjanji untuk pi-bu (mengadu
kepandaian silat) melawan aku, akan tetapi dua
orang itu hendak maju mengeroyok. Maka mereka
berdua selayaknya dihajar agar para anggauta
lainnya tidak berani membangkang terhadap
keputusan yang diambil pemimpin mereka. Sudahlah,
mari kita mulai pertandingan ini. Aku sudah siap!"
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw itu
mengepung Kam Ki. Mereka sudah mencabut pedang
dan kini mereka siap mengeroyok pemuda itu dengan
membentuk Sha-kak-kiam-tin (Barisan Pedang Segi
Tiga). Ang-bin Moko berdiri di depan Kam Ki, Pek-bin
Moko di sebelah kanannya dan Hek-bin Moko di
sebelah kirinya. Mereka melintangkan pedang di
depan dada dan tangan kiri menuding ke depan
dengan dua jari, yaitu jari penunjuk dan jari tengah.
Melihat pemuda itu masih berdiri santai dan sama
sekali tidak membawa senjata apapun, Ang-bin Moko
merasa tidak enak. Mereka bertiga terkenal sebagai
orang-orang yang tangguh, bagaimana sekarang
hendak mengeroyok seorang pemuda yang bertangan
kosong padahal mereka bertiga menggunakan
pedang" Tentu kebesaran mereka merosot dalam
pandangan para anak buah mereka yang berkumpul
semua di pekarangan itu dan menyaksikan
pertandingan yang akan dimulai.
"Thio Kam Ki, keluarkan senjatamu dan bersiaplah.
Kami akan segera menyerangmu!" bentak Ang-bin
Moko. Kam Ki tersenyum mengejek. "Tingkat kepandaian
kalian bertiga masih jauh terlampau rendah bagiku,
untuk apa aku menggunakan senjata" Senjataku
adalah kedua pasang kaki tanganku yang cukup
untuk mengalahkan kalian dan pedang kalian. Nah,
mulailah, aku telah siap!"
Semua orang merasa heran melihat Kam Ki yang
berkata siap itu sama sekali tidak memasang kuda-
kuda seperti orang yang hendak menggunakan ilmu
silat untuk bertanding. Dia berdiri santai saja, kedua
tangan tergantung di kanan kiri tubuhnya, sama sekali
tidak tampak membuat persiapan.
Ketua Baru Cabang Pek-lian-kauw
Tiga orang pemimpin Pek-lian-kauw itu menjadi
marah sekali. Sikap dan kata-kata pemuda itu benar-
benar amat memandang rendah kepada mereka!
"Bocah sombong! Engkau mencari kematianmu
sendiri!" Setelah berkata demikian, Ang-bin Moko
memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Tiga
orang itu lalu menggerakkan golok mereka, diputar-
putar di atas kepala sehingga berubah menjadi sinar
bergulung-gulung kemudian sinar-sinar tiga batang
golok itu meluncur cepat ketika mereka menerjang ke
arah tubuh Kam Ki. Thio Kam Ki sama sekali bukan sekadar membual
ketika tadi mengatakan bahwa tingkat kepandaian
tiga orang lawannya itu masih jauh di bawah
tingkatnya. Hal ini diketahuinya benar setelah tadi dia
menghadapi Hek-bin Moko. Biar ada lima orang atau
lebih setingkat Hek-bin Moko mengeroyoknya, dia
tentu akan mampu mengalahkan mereka. Apalagi
hanya tiga orang! Biarpun mereka bergerak
menyerang dengan cepat dan kuat, tubuh Kam Ki
berkelebatan dan tiga orang itu menjadi terkejut
sekali karena gerakan Kam Ki sedemikian cepatnya
sehingga terkadang lenyap dari pandang mata
mereka. Tiga orang ketua yang marah dan penasaran
itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian,
menyerang kalang kabut. Kam Ki memang hendak memamerkan
kepandaiannya. Setelah berkelebatan di antara tiga
gulungan sinar golok, membuat anggauta Pek-lian-
kauw yang menonton pertandingan itu terkagum-
kagum, dia memperlihatkan kepan-daiannya yang
lebih mengagumkan lagi. Kini dia mulai menangkis
tiga batang golok itu dengan kedua tangannya!
Tangan telanjang itu begitu saja menangkisi mata
golok yang tajam dan berat, dan sama sekali tidak
terluka, bahkan setiap kali tangan itu menangkis, tiga
orang itu merasa betapa tangan mereka terguncang
dan terasa panas. Tiba-tiba Kam Ki membuat gerakan menyerang. Dia
merasa sudah cukup memamerkan kepandaiannya.
"Lepaskan golok........!!" bentaknya dan kedua
tangannya menyambar-nyambar tiga kali. Dengan
tepat tangannya menotok ke arah pergelangan
tangan yang memegang golok.
Tiga orang itu berteriak dan golok mereka terlepas
dari pegangan. Mereka terkejut dan cepat
berlompatan ke belakang, lalu mereka berkumpul dan
sambil berdiri berjajar, mereka mengerahkan dan
menyatukan tenaga sakti lalu mendorongkan tangan
mereka, menyerang Kam Ki dengan pukulan jarak
jauh! Melihat ini, Kam Ki menyambut serangan mereka
dengan mendorong kedua telapak tangan ke depan.
Hawa pukulan dahsyat menyambar keluar dari kedua
telapak tangannya itu. "Wuuuuttt?" blarrrrr?"!" Tubuh tiga orang ketua Pek-
lian-kauw itu terdorong ke belakang, terjengkang
roboh bergulingan! Masih untung bagi mereka bahwa Kam Ki tidak
mengerahkan seluruh tenaganya karena kalau
demikian halnya, mereka tentu tewas. Kini mereka
hanya merasa dada mereka sesak karena tenaga
sendiri yang dipaksa membalik.
Setelah terengah-engah sejenak, mereka merangkak
bangkit dan menghampiri Kam Ki. Mereka bertiga
takluk karena yakin benar bahwa pemuda ini
memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih
tinggi daripada tingkat mereka. Mereka bertiga lalu
memberi hormat dengan membungkuk dalam dan
Ang-bin Moko sebagai pemimpin pertama, lalu
berkata lantang sehingga terdengar oleh semua
aggauta. "Kami bertiga setuju mengangkat engkau menjadi
ketua cabang Pek-lian-kauw di sini!"
Mendengar ini Kam Ki tersenyum. "Terima kasih, aku
akan memimpin kalian dan menjadikan perkumpulan
ini menjadi besar dan jaya!" Kemudian dia
menghadapi para anggauta yang sekitar limapuluh
orang itu dan berkata kepada mereka. "Apakah kalian
semua setuju kalau aku, Thio Kam Ki, menjadi pangcu
(ketua) kalian?" Karena melihat tiga orang pimpinan mereka kalah
dalam pertandingan dan tadi Ang-bin Moko mengakui
pemuda itu sebagai ketua, semua anak buah itu
berseru riuh rendah. "Setujuuuu?"!"
Ang-bin Moko berseru kepada mereka. "Mari beri
hormat kepada Thio Kam Ki, ketua kita yang baru!"
Mendengar ini, semua anggauta menjatuhkan diri
berlutut menghadap Kam Ki. Pemuda ini bertolak
pinggang dan tersenyum gembira. Tiba-tiba saja dia
mendapatkan kedudukan sebagai ketua dan
dihormati banyak orang! Dia merasa bangga sekali.
Sekarang dia mempunyai tempat tinggal dan banyak
anak buah. Demikianlah, sejak hari itu Kam Ki menjadi ketua
cabang Pek-lian-kauw. Setelah dia menjadi pemimpin,
Pek-lian-kauw semakin berani melakukan kejahatan,
bahkan pernah Kam Ki memimpin tiga orang
pembantunya untuk mencuri dan menguras habis
harta dari gedung seorang hartawan dan seorang
pembesar di kota Kong-koan. Dia memberi tugas pula
kepada Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko untuk
merampok patung emas Kwan-im Pouwsat yang
berada di kuil Ban-hok-si di dekat kota Ki-lok setelah
dia mendengar bahwa patung itu selain terbuat dari
emas, juga merupakan benda bersejarah yang amat
berharga. Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko lalu mengajak Ban
Kit, Li Hoat, dan Souw Ban Lip, tiga orang tokoh jahat
yang masuk menjadi anggauta cabang Pek-lian-kauw.
Lima orang ini pergi ke Kuil Ban-hok-si dan seperti
telah diceritakan di bagian depan kisah ini, di kuil itu
mereka dihalangi oleh Hartawan Ui, yaitu Ui Cun Lee
dan dua orang puteranya, Ui Kiang dan Ui Kong yang
dibantu oleh Ong Siong Li dan Lim Bwe Hwa. Seperti
telah kita Ketahui, ketika melindungi Ui Kiang,
Hartawan Ui tewas oleh pedang Pek-bin Moko yang
tadinya ditujukan kepada Ui Kiang. Terjadilah
perkelahian seru antara Ui Kong, Ong Siong Li, dan
Lim Bwe Hwa melawan lima orang Pek-lian-kauw itu.
Akhirnya empat orang penjahat, yaitu Hek-bin Moko,
Li Hoat, Souw Ban Lip, dan Ban Kit tewas. Akan tetapi
Pek-bin Moko yang membunuh Hartawan Ui dapat
melarikan diri sambil menggondol patung emas Dewi
Kwan Im. Setelah Pek-bin Moko kembali ke sarang Pek-lian-
kauw, Kam Ki memarahinya! "Sungguh tolol!" dia
memaki marah kepada Pek-bin Moko yang hanya
menundukkan mukanya. "Biarpun patung emas ini
dapat kaubawa pulang, akan tetapi kita kehilangan
Hek-bin Moko ditambah tiga orang lagi. Empat orang
pembantuku ditukar sebuah patung emas. Ini rugi
besar namanya!" "Harap pangcu (ketua) suka memaafkan sute Pek-bin
Moko," kata Ang-bin Moko membela adik
seperguruannya. "Menurut ceritanya tadi, dia dan sute
Hek-bin Moko dan tiga orang pembantu bertemu
dengan tiga orang pendekar yang lihai. Tentu saja hal
ini tidak disangka-sangka sebelumnya."
Kam Ki menganguk-angguk, melihat kebenaran dalam
pembelaan Ang-bin Moko. "Hemm, siapakah tiga
orang muda itu" Kalau engkau tahu siapa mereka dan
di mana tempat tinggalnya, aku akan membunuh
mereka!" Dia berkata penasaran karena dia
kehilangan empat orang pembantunya yang dapat
diandalkan. "Perkelahian itu terjadi tiba-tiba di antara banyak
orang yang mengunjungi kuil sehingga kami tidak
mempunyai kesempatan untuk saling bertanya nama,
pangcu," kata Pek-bin Moko. "Mereka adalah seorang
gadis cantik yang pandai menggunakan senjata
rahasia jarum dan permainan pedangnya
mengeluarkan suara seperti suara kumbang terbang.
Yang dua lagi adalah dua orang pemuda tampan,
yang seorang bertubuh pendek dan seorang lagi tinggi
tegap." "Hemm, kalau tidak mengetahui namanya,
bagaimana aku dapat menemukan mereka?" kata
Kam Ki penasaran. "Harap pangcu tidak khawatir," kata Ang-bin Moko."
Saya dapat memastikan bahwa tanpa mencari
merekapun, pangcu akan dapat berhadapan dengan
mereka. Menurut cerita sute Pek-bin Moko tadi, dia
telah membunuh ayah pemuda itu. Maka, besar sekali
kemungkinan mereka bertiga akan datang ke sini
untuk mencari sute Pek-bin Moko. Sute Hek-bin Moko
tewas dan tentu mereka akan dapat melihat baju
dalam Hek-bin Moko yang bergambar bunga teratai
sehingga mereka akan dapat mengetahui bahwa sute
Pek-bin Moko adalah seorang dari Pek-lian-kauw.


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka, tentu mereka akan mengejar ke sini!"
"Bagus!" seru Kam Ki. "Biarkan mereka datang, akan
kubinasakan mereka bertiga!"
"Akan tetapi, pangcu," kata Pek-bin Moko, "gadis
pendekar itu, ia cantik jelita seperti bidadari!"
Si muka putih ini sudah tahu akan kesukaan ketua
baru itu karena setelah menjadi ketua di situ, tiada
hentinya Kam Ki mengumbar nafsunya dengan
wanita-wanita cantik. Dia mendapatkan mereka
dengan bujukan maupun dengan paksaan, dan
setelah satu dua bulan dia menjadi bosan lalu wanita
itu diusirnya dan dia mencari penggantinya! Maka,
mengetahui akan kesukaan ketuanya ini, Pek-bin
Moko menceritakan tentang kecantikan Lim Bwe
Hwa. Wajah Kam Ki berseri. "Begitukah" Bagus, kalau
begitu, setelah mereka bertiga muncul, biarlah aku
sendiri yang akan menghadapi gadis itu dan
menangkapnya, ha-ha-ha!"
Mulai hari itu, Kam Ki memerintahkan para
anggautanya untuk siap siaga dan penjagaan
dilakukan secara ketat siang malam agar segera
dapat diKetahui kalau tiga orang musuh itu datang.
Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko yang me-mimpin
para anggauta itu. Kam Ki sendiri santai saja karena
kesombongannya membuat dia meremehkan siapa
saja dan memandang rendah tiga orang yang berani
memusuhi Pek-lian-kauw dan telah membunuh
seorang pembantunya, yaitu Hek-bin Moko.
"Y" Pek-hwa Sianli merasa sakit hati sekali terhadap Thio
Kam Ki. Sekali ini baru Pek-hwa Sianli merasakan
bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Thio Kam Ki.
Bukan sekadar melampiaskan berahi seperti selama
ini ia lakukan terhadap para pemuda lain. Ia merasa
kehilangan, kesepian dan dunia kehilangan
keindahannya setelah hatinya menjadi sakit karena
ulah Kam Ki. Ia tahu benar bahwa Kam Ki adalah
seorang perjaka yang masih hijau ketika pertama kali
bertemu dengannya. Akan tetapi, baru tiga bulan saja
mereka bermesraan, tiba-tiba ia memergoki pemuda
itu bermain gila dengan dua orang pembantunya!
Biarpun ia telah membunuh A-kui dan A-hui, namun
hatinya menjadi semakin sakit melihat Kam Ki
minggat meninggalkannya. Ini berarti bahwa pemuda
itu tidak cinta padanya. Dan inilah yang menyakitkan.
Timbul rasa bencinya terhadap pemuda itu. Ia ingin
membunuhnya, akan tetapi iapun tahu benar bahwa
tidak mungkin ia dapat melakukan ini karena tingkat
kepandaiannya kalah jauh dibandingkan kepandaian
Kam Ki. Kini ia tinggal seorang diri dalam pondoknya di lereng
Bukit Ayam Emas itu. Kam Ki telah minggat. Dua
orang pembantunya telah tewas dan dikuburkan di
kebun belakang pondok. Selama belasan hari Pek-
hwa Sianli duduk melamun, makan tidak enak dan
tidur tidak nyenyak. Kalau ia mengenang kehadiran
Kam Ki di pondok itu, hatinya dipenuhi rasa rindu dan
sekaligus dendam! Nafsunya untuk mencari pemuda-
pemuda kini juga hilang bersama hilangnya Kam Ki.
Pagi hari itu kembali Pek-hwa Sianli melamun. Ia
duduk di atas bangku yang berada di serambi depan.
Tiba-tiba ia melihat dua sosok bayangan orang
berkelebat memasuki pekarangan pondok itu. Ketika
ia memperhatikan, ternyata ada dua orang gadis telah
berada di pekarangan dan kini berjalan
menghampirinya sambil tersenyum manis. Wajah
Pek-hwa Sianli yang tadinya muram, kini berubah dan
bagaikan kilat sebuah gagasan memasuki pikirannya.
Mereka inilah yang akan mampu membunuh Kam Ki!
Dua orang gadis itu pasti akan membuat siapa saja
yang melihat mereka menjadi kagum dan heran.
Kagum karena mereka berdua memang cantik manis,
berusia kurang lebih sembilanbelas tahun, berpakaian
ringkas dan di punggung mereka tergantung sebatang
pedang. Kulit mereka putih mulus, rambut yang hitam
panjang itu digelung dengan model gadis kota,
pakaian mereka juga rapi walaupun tidak mewah.
Wajah bulat telur itu manis sekali, dengan sepasang
mata bintang, hidung mancung dan mulut
menggairahkan. Yang mengherankan orang adalah
karena keduanya itu persis sama. Wajah manis yang
sama, bentuk tubuh ramping dengan lekuk lengkung
sempurna juga sama, bahkan pakaian juga serupa.
Akan sulit bagi orang untuk dapat membedakan
antara mereka! Dua orang gadis itu memang merupakan gadis
kembar. Nama mereka adalah Can Kim Siang dan
Can Gin Siang dan mereka berdua adalah piauw-moi
(adik misan) Pek-hwa Sianli. Sejak mereka berusia
sembilan tahun, ayah ibu mereka tewas ketika terjadi
perang saudara antara Kaisar Hui Ti dan Pangeran
Yung Lo, paman kaisar itu sendiri, yang akhirnya
dimenangkan oleh Pangeran Yung Lo yang kemudian
menjadi kaisar (1403-1424). Anak kembar yang yatim
piatu itu lalu diajak pergi oleh Pek-hwa Sianli yang
menjadi piauw-ci (kakak misan) mereka.
Pek-hwa Sianli mendidik kedua orang adik misannya
itu selama tujuh tahun dan karena kedua orang gadis
kembar ini memang berbakat baik sekali, maka
dalam waktu tujuh tahun boleh dibilang semua ilmu
yang dikuasai Pek-hwa Sianli telah ia turunkan
kepada dua orang gadis kembar itu. Kemudian,
karena dua orang adik misannya itu telah menjadi
gadis-gadis berusia enambelas tahun, Pek-hwa Sianli
merasa tidak leluasa mempermainkan pemuda. Maka,
ia lalu mengirim kedua orang adik kembarnya itu ke
Hoa-san untuk berguru kepada Hoa-san Kui-bo (Biang
Setan Gunung Hoa-san) yang menjadi bibi gurunya.
Nah, kini tiga tahun telah lewat dan tiba-tiba dua
orang gadis kembar itu muncul di pekarangan
rumahnya. Dari gerakan mereka yang demikian cepat
ketika berkelebat datang, Pek-hwa Sianli menduga
bahwa kini tingkat kepandaian kedua orang adik
misannya itu tentu telah lebih tinggi daripada
tingkatnya sendiri dan mereka berdualah yang akan
mampu membalaskan sakit hatinya!
"Sian-li?"" Dua orang gadis itu berseru hampir
berbareng. Memang Pek-hwa Sianli sejak dulu minta
kepada kedua orang adik misannya itu agar
memanggil Sian-li kepadanya.
"A-kim dan A-gin?"!" Pek-hwa Sianli berseru gembira
dan melompat dari bangkunya menyambut mereka.
Ketiganya lalu berangkulan sambil tertawa gembira.
Memang ada hubungan karib di antara mereka. Kedua
orang gadis kembar itu merasa berhutang budi
kepada Pek-hwa Sianli. "Aduh, kalian semakin cantik saja dan?" dan
semakin mirip satu sama lain. Aku sendiri sampai
tidak dapat membedakan mana A-kim dan mana A-
gin. Coba kalian tersenyum lebar!"
Dua orang gadis itu tersenyum geli dan Pek-hwa
Sianli juga tertawa lalu merangkul seorang di antara
mereka. "Nah, sekarang aku tahu. Engkau yang A-kim
dan ia itu A-gin. Betul, kan?"
"Wah, pandanganmu tajam sekali, Sian-li. Bagaimana
engkau dapat begitu cepat mengenal kami?" tanya A-
kim. "Mudah saja. Sejak dulu kuKetahui bahwa rahasia
perbedaan di antara kalian ada pada gigi. Gigi A-kim
agak gingsul (bertumpuk), akan tetapi justeru itu
menambah manis!" Memang benar. Kalau dua orang gadis kembar itu
menutup mulut mereka, bahkan Pek-hwa Sianli
sendiri yang mengenal mereka sejak kecil dan tinggal
serumah dengan mereka selama tujuh tahun, tidak
akan mampu melihat perbedaan antara mereka.
Mereka lalu diajak masuk oleh Pek-hwa Sianli dan
mereka bertiga duduk di ruangan dalam. Dua orang
gadis kembar itu memandang ke kanan kiri.
"Kenapa begini sepi, Sian-li?" tanya A-kim, sebutan
yang digunakan Pek-hwa Sianli untuk mempersingkat
nama Can Kim Siang. "Di mana A-hui dan A-kui, Sian-li?" tanya pula A-gin
atau Can Gin Siang. Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba wajah Pek-hwa
Sianli yang tadinya gembira itu berubah menjadi
muram dan alisnya berkerut, matanya mencorong
mengandung kemarahan. "Eh, ada apakah, Sian-li?" tanya A-kim.
"Aku telah membunuh mereka dan mayat mereka
kukubur di kebun belakang!"
"Kaubunuh mereka" Akan tetapi?" kenapakah?"
tanya A-gin, terkejut mendengar bahwa Pek-hwa
Sianli membunuh dua orang pelayan yang juga dapat
dibilang murid kakak misannya itu.
Pek-hwa Sianli menghela napas panjang beberapa
kali lalu memandang wajah kedua orang gadis
kembar itu. Ia melihat betapa mereka itu ingin tahu
sekali. "Kalau diingat membuat hatiku terasa seperti ditusuk-
tusuk. A-kim dan A-gin, aku merasa sakit hati sekali.
Aku dikhianati, dibikin malu dan dihina orang tanpa
aku dapat menghajarnya karena aku....... aku kalah
olehnya. Ah, kalau saja kalian mau menolongku,
mencari dan membunuh jahanam itu. Hanya kalian
berdualah yang menjadi tumpuan harapanku untuk
membalas dendam ini."
"Sian-li, apakah yang terjadi" Ceritakan kepada kami,"
kata A-kim. "Percayalah, kami berdua pasti akan
membelamu." "Beberapa bulan yang lalu," Pek-hwa Sianli mulai
bercerita. "Aku bertemu dengan seorang laki-laki dan
aku jatuh cinta padanya. Dia pandai merayuku dan
berjanji akan menikah denganku. Karena terbujuk
oleh rayuannya dan karena aku memang kagum dan
cinta padanya, aku percaya. Dia bahkan tinggal di
rumah ini selama tiga bulan. Kami telah menjadi
suami isteri, hanya tinggal menanti saat yang baik
untuk merayakan pernikahan kami. Akan tetapi tiba-
tiba?" belasan hari yang lalu aku memergoki calon
suamiku itu berjina dengan A-hui dan A-kui! Melihat
pengkhianatan itu, aku menjadi marah, malu dan
merasa terhina, maka aku membunuh A-hui dan A-
kui! Akan tetapi ketika aku menyerang laki-laki itu,
aku....... kalah olehnya. Aku bahkan diejek dan
dihinanya, dimaki-maki karena aku membunuh A-hui
dan A-kui....... ah, dia menghinaku dan dendam di
hatiku ini baru akan hapus kalau dia dapat ter-bunuh!
Maka, kedatangan kalian berdua inilah yang
menimbulkan harapan dalam hatiku. A-kim dan A-gin,
kalian carilah laki-laki itu dan bunuhlah dia! Aku akan
berterima kasih sekali kepada kalian kalau kalian mau
dan dapat membunuhnya!"
A-kim dan A-gin saling pandang. Tentu saja mereka
ikut bersedih dan marah mendengar cerita Pek-hwa
Sianli. Biarpun mereka merasa segan mencampuri
urusan cinta gagal karena tindakan serong ini, namun
mereka berdua merasa berhutang budi amat besar
kepada Pek-hwa Sianli sehingga rasanya keterlaluan
kalau mereka tidak mau membantu Pek-hwa Sianli
membalaskan sakit hatinya.
"Siapa nama laki-laki itu dan di mana dia tinggal,
Sian-li?" "Namanya Thio Kam Ki dan dia adalah murid Leng-
hong Hoatsu pertapa dari Himalaya yang amat
terkenal itu. Usianya sekitar duapuluh tiga tahun,
tubuhnya sedang dan wajahnya tampan, pakaiannya
mewah dan sikapnya ramah."
"Dan di mana kami dapat menemukan dia?"
Pek-hwa Sianli menarik napas panjang. "Itulah yang
membuat aku bingung dan sedih. Dia menurut
ceritanya kepadaku, dia yatim piatu dan tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi
aku percaya bahwa setelah tiga tahun memperdalam
ilmu silat kalian pada bibi-guru Hoa-san Kui-bo, tentu
kalian berdua telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi
dan dengan kepandaianmu itu kalian dapat mencari
Kam Ki sampai ketemu dan membunuhnya untuk
membalaskan dendamku. Maukah kalian melakukan
hal itu?" Dua orang gadis kembar itu saling pandang lalu
mengangguk. A-kim dan A-gin tinggal selama
sepekan di rumah Pek-hwa Sianli, kemudian mereka
meninggalkan rumah dan mulai melakukan
perjalanan mencari pemuda bernama Thio Kam Ki itu.
Mereka memang sudah mendapat ijin dari Hoa-san
Kui-bo untuk turun gunung dan merantau.
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Penyerangan Tiga Pendekar
Berbeda dengan watak Pek-hwa Sianli yang menjadi
hamba nafsunya sendiri, sepasang gadis kembar ini
memiliki watak yang baik karena hatinya memang
memang bersih. Biarpun sejak usia sembilan tahun
mereka dididik Pek-hwa selama tujuh tahun
kemudian selama tiga tahun mereka dididik Hoa-san
Kui-bo yang merupakan seorang datuk sesat, namun
kesesatan dua orang guru mereka itu tidak menurun
kepada mereka. Mereka dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang jahat dan mereka selalu


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha untuk berbuat baik dan pantang melakukan
kejahatan. Pek Hwa Sian-li yang memiliki harta benda itu
membelikan dua ekor kuda untuk mereka berdua dan
memberi bekal emas dan perak yang cukup banyak
untuk biaya mereka di perjalanan. Maka berangkatlah
Can Kim Siang dan Can Gin Siang meninggalkan Kim-
ke-san (Bukit Ayam Emas) tempat tinggal Pek-hwa
Sianli itu. "Y" Pagi hari itu udara cerah sekali. Agaknya hujan
semalam suntuk telah menghabiskan semua awan
mendung sehingga kini yang tertinggal di langit hanya
awan-awan tipis yang tidak mampu menghalangi
matahari memancarkan sinarnya yang gemilang. Sinar
matahari pagi hari itu seolah mendatangkan
kehidupan baru setelah semalam terjadi hujan badai
yang dahsyat. Malam gelap pekat, pekat yang
menyeramkan, dengan air hujan deras, kilat
menyambar-nyambar, angin mengamuk. Akan tetapi
pagi ini mengubah segala keburukan semalam, diganti
dengan keindahan dan kenyamanan, penuh harapan.
Sinar matahari menghidupkan segala sesuatu. Burung-
burung yang semalam merasa dunia ini seolah
kiamat, membuat mereka ketakutan karena pohon di
mana mereka tinggal diguncang hujan badai, kini
berceloteh gembira, sudah lupa lagi akan keburukan
semalam, beterbangan berkelompok-kelompok
menuju ke tempat tertentu di mana mereka tahu
terdapat makanan untuk hari ini.
Tiga orang penunggang kuda agaknya juga
menikmati keindahan pagi itu. Mereka menjalankan
kuda dengan santai di kaki Siong-san (Bukit Siong)
sebelah utara. Ketiganya masih muda-muda, seorang
gadis dan dua orang pemuda.
Setelah tiba di jalan yang menuju ke lereng bukit itu,
mereka menahan kuda dan memandang ke atas
dengan mata mencari-cari. Akan tetapi yang tampak
dari situ hanyalah pepohonan bergerombol, hutan-
hutan lebat. "Li-ko, apakah ini benar Bukit Siong yang
dimaksudkan?" tanya Ui Kong, pe-muda tampan tinggi
tegap itu. Ong Siong Li, pemuda tampan bertubuh agak pendek
itu mengangguk-angguk. "Tidak salah lagi, Kong-te.
Aku pernah beberapa kali lewat dekat Siong-san ini,
akan tetapi belum pernah mendaki ke atas."
"Kuyakin Li-ko benar. Tempat ini memang amat baik
untuk dijadikan sarang perkumpulan macam Pek-lian-
kauw. Bukit ini penuh hutan lebat dan di sekitar sini
tidak terdapat dusun. Daerah yang sepi begini tentu
saja tepat untuk dijadikan tempat persembunyian
perkumpulan sesat itu," kata Lim Bwee Hwa.
Siong Li mengerutkan alisnya, sinar matanya meragu
ketika dia memandang ke atas. "Hemm, tempat ini
berbahaya. Selain penuh hutan lebat, juga perlu
dipikirkan segala kemungkinan yang dapat
menyulitkan kita. Aku mendengar bahwa
perkumpulan Pek-lian-kauw selain memiliki pimpinan
yang lihai, juga mempunyai banyak anggauta.
Mungkin saja mereka mempunyai puluhan bahkan
ratusan orang anggauta. Kalau kita bertiga
mendatangi sarang mereka, mungkinkah kita dapat
melawan pengeroyokan mereka" Pek-lian-kauw
adalah perkumpuian penjahat dan pemberontak yang
selalu dimusuhi pemerintah. Apakah tidak lebih baik
kalau kita mencari bala bantuan, melaporkannya
kepada komandan pasukan keamanan pemerintah di
kota terdekat" Pasukan dapat menghadapi anak buah
mereka dan kita mencari pembunuh Paman Ui Cun
Lee, membasmi dia dan para pimpinan Pek-lian-
kauw." "Aku tidak takut akan pengeroyokan mereka, Li-ko!"
Bwee Hwa berkata pena-saran. "Kita harus membalas
kematian Paman Ui dan dapat merampas kembali
patung Kwan-im Pouw-sat!"
"Aku juga tidak takut! Untuk membalas dendam
kematian ayahku, aku siap berkorban nyawa!" kata Ui
Kong. Siong Li menghela napas panjang dan berkata kepada
mereka. "Hwa-moi dan Kong-te, aku juga tidak takut.
Akan tetapi menghadapi musuh yang keadaannya
lebih kuat dari kita karena jumlah mereka banyak,
tidak cukup bermodal keberanian belaka. Kita berani,
namun harus memakai perhitungan agar tidak
merugikan kita sendiri."
"Apa sih yang perlu dikhawatirkan, Li-ko" Kepandaian
tosu Pek-lian-kauw bermuka putih itu tidak seberapa,
kita pasti akan mampu membasmi dia dan anak
buahnya!" bantah Bwee Hwa.
"Benar, Li-ko. Kita bertiga cukup kuat untuk
membasmi gerombolan jahat itu!" kata pula Ui Kong
yang selain mendukung Bwee Hwa juga ingin
menonjolkan keberaniannya untuk menarik hati Bwee
Hwa. Akhirnya Siong Li mengalah. Tentu saja dia tidak mau
berbantahan dengan dua orang itu. "Baiklah kalau
begitu, mari kita mendaki bukit ini. Akan tetapi
kuharap kalian waspada dan berhati-hati."
Mereka bertiga lalu menjalankan kuda melakukan
pendakian bukit Siong dengan hati-hati dan kini
ketiganya tidak bercakap-cakap lagi. Mereka telah
tiba di wilayah sarang Pek-lian-kauw.
Tiga orang ini tidak tahu bahwa sejak tadi
kedatangan mereka telah diketahui lawan! Bukit itu
memang terjaga dengan ketat dan ketika mereka
bertiga berhenti tadi, mereka telah terlihat oleh
seorang anggauta Pek-lian-kauw dan begitu mereka
bertiga mengambil jalan pendakian, jalan yang dibuat
oleh Pek-lian-kauw, anggauta itu segera berlari dan
melaporkan kepada pimpinannya.
Mendengar laporan ini, Kam Ki mengajak Ang-bin
Moko dan Pek-bin Moko untuk melihat. Dari tempat
ketinggian mereka mengamati ke bawah dan tak
lama kemudian mereka dapat melihat tiga orang
penunggang kuda yang sedang mendaki itu. Mereka
sudah tidak begitu jauh lagi. Pandang mata Kam Ki
yang tajam dapat melihat betapa seorang di antara
tiga orang penunggang kuda itu adalah seorang gadis
yang amat cantik. "Itukah mereka, Pek-bin Moko?" tanyanya.
Pek-bin Moko memandang penuh perhatian dan dia
segera mengenal tiga orang muda yang dulu
bertempur dengan rombongannya dan telah
membunuh Hek-bin Moko dan tiga orang pembantu
mereka. "Tidak salah lagi, mereka bertiga itulah yang dulu
menentang kami!" "Perintahkan murid-murid agar siap mengepung
setelah mereka tiba di sini. Jangan ganggu mereka
dalam perjalanan mereka ke sini karena aku ingin
menangkap gadis itu dalam keadaan hidup dan tidak
terluka. Kita bunuh dua orang pemuda itu setelah
mereka bertiga tiba di sini," kata Kam Ki.
Pek-bin Moko lalu cepat menyampaikan perintah itu
kepada para pembantunya, kemudian dia kembali ke
dalam pondok untuk menanti datangnya tiga orang
musuh itu bersama Ang-bin Moko dan Kam Ki.
Bwee Hwa, Siong Li, dan Ui Kong merasa heran juga
melihat bahwa mereka dapat mendaki ke atas tanpa
ada rintangan sedikitpun. Mereka tahu bahwa jalan
yang dapat dilalui kuda itu tentu buatan orang-orang
Pek-lian-kauw. Akan tetapi mengapa perjalanan
menuju ke lereng itu sama sekali tidak dapat
rintangan dan keadaan di situ sunyi saja" Biarpun
tampaknya perjalanan menuju ke atas itu aman saja
dan agaknya tidak ada halangan apa-apa, tiga orang
muda itu tetap waspada dan berhati-hati, khawatir
kalau pihak musuh memasang perangkap.
Akhirnya mereka melihat perkampungan Pek-lian-
kauw di atas tanah landai yang luas dekat puncak.
Akan tetapi juga sekitar duapuluh lebih pondok yang
berada di perkampungan itu tampak sepi. Tidak
tampak ada seorangpun. Ong Siong Li memberi isyarat kepada dua orang
temannya, lalu dia melompat turun dari atas kuda dan
menambatkan kudanya pada sebatang pohon yang
tumbuh di luar perkampungan. Ui Kong dan Bwee
Hwa mengikutinya. Kemudian mereka bertiga dengan
hati-hati memasuki perkampungan. Melihat sebuah
pondok terbesar di tengah perkampungan, mereka
menghampiri. Baru saja mereka memasuki pekarangan yang luas
dari rumah besar itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh
dan puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw
memasuki perkampungan itu. Kiranya mereka semua
bersembunyi di luar perkampungan dan setelah tiga
orang itu memasuki perkampungan bagaikan tiga
ekor ikan memasuki jaring, mereka semua serentak
memasuki perkam-pungan dan mengepung tiga orang
muda yang berada di pekarangan rumah besar itu!
Melihat puluhan orang berbondong-bondong
memasuki perkampungan dan kini mengepung
mereka dalam lingkaran yang lebar, tiga orang muda
itu sudah mencabut pedang masing-masing dan siap
menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi ternyata
puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw itu tidak ada
yang bergerak menyerang. Siong Li segera berseru ke
arah mereka. Suaranya lantang dan bergema karena
dia mengerahkan tenaga saktinya.
"Kami bertiga datang untuk berurusan dengan Pek-bin
Moko seorang. Suruh dia keluar menemui kami
karena kami tidak ingin membunuh orang-orang lain
yang tidak bersalah kepada kami!"
"Ha-ha-ha-ha! Bocah-bocah sombong, kalian seperti
tiga ekor anjing kecil menggonggong dan menantang
dalam gua singa!" terdengar suara tawa dan
muncullah Kam Ki, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko
dari dalam rumah itu. Yang tertawa tadi adalah Pek-
bin Moko dan dia melanjutkan. "Mau apakah kalian
bertiga datang ke sini?"
Wajah Ui Kong sudah menjadi merah saking
marahnya melihat Pek-bin Moko. Inilah orang yang
telah membunuh ayahnya, maka dia lalu membentak
marah. "Tosu jahanam, engkau telah membunuh ayahku. Aku
akan membunuhmu untuk membalaskan sakit hati
ini!" "Dan engkau harus mengembalikan patung Dewi
Kwan Im milik kuil Ban-hok-si!" Lim Bwee Hwa juga
membentak marah. Sejak tadi Kam Ki memandang Bwee Hwa dengan
sinar mata berkilat. Dia tersenyum dan diam-diam
hatinya girang bukan main. Gadis yang dari jauh
tampak jelita itu setelah kini berdiri di depannya
ternyata cantik luar biasa. Belum pernah dia
mendapatkan seorang gadis cantik dan segagah ini.
Ang-bin Moko yang kedudukannya lebih tinggi
daripada Pek-bin Moko, berkata dengan nada
sombong. "Heh, siapakah kalian tiga orang muda ini"
Perkenalkan namamu agar jangan sampai kalian mati
tanpa nama!" Kini Siong Li kembali mewakili dua orang temannya.
"Dengarlah, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw.
Nona ini adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) Lim
Bwee Hwa. Pemuda ini adalah Ui Kong, putera
mendiang Ui-wangwe yang dibunuh oleh Pek-bin
Moko, dan aku sendiri bernama Ong Siong Li murid
Thai-san-pay. Kami bertiga tidak mempunyai
permusuhan pribadi dengan Pek-lian-kauw, akan
tetapi ketika kami bertiga melihat orang-orang Pek-
lian-kauw membunuhi hwesio dan merannpok patung
Dewi Kwan Im dari kuil Ban-hok-si, tentu saja kami
menentang. Ui-wangwe yang tidak berdosa telah
dibunuh pula. Maka kami datang untuk minta kembali
patung kuil Ban-hok-si dan pertanggungan jawab Pek-
bin Moko yang telah membunuh Hartawan Ui Cun Lee
yang terkenal sebagai seorang dermawan di kota Ki-
lok!" Kini Kam Ki maju dan sambil memandang wajah
Bwee Hwa dan tersenyum, dia berkata. "Kami
sungguh kagum melihat kalian bertiga begini tabah
dan berani, bagaimana pendapatmu kalau kita
berbaik-baik saja, melihat betapa kalian telah
dikepung limapuluh orang lebih anggauta kami?"
Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan sambil
melintangkan pedangnya di depan dada dan
menudingkan dua jari tangan kirinya ke arah muka
Kam Ki, ia berkata dengan ketus.
"Siapa takut kepada kalian berikut anak buah kalian"
Kalau kalian demikian curang dan pengecut untuk
mengeroyok kami dengan banyak anak buah, biar
ditambah seratus orang lagi kami tidak akan merasa
gentar!" "He-he-he-he!" Kam Ki terkekeh dan wajahnya
berseri. "Engkau hebat, nona Liem Bwee Hwa.
Sikapmu yang berani memang pantas dengan
julukanmu Si Tawon Merah yang siap menyerang dan
menyengat! Akan tetapi kurasa julukanmu lebih
pantas diubah menjadi Si Kupu-kupu Merah karena


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau begini indah, cantik jelita bagaikan seekor
kupu-kupu merah. Ketahuilah, aku Thio Kam Ki yang
menjadi ketua cabang Pek-lian-kauw di sini. Ang-bin
Moko dan Pek-bin Moko ini adalah wakil-wakilku.
Kalian kematian Ui Cun Lee, akan tetapi pihak kami
kematian Hek-bin Moko dan tiga orang anak buah
kami. Sebetulnya kami yang lebih menderita rugi dan
sepatutnya kami yang mendendam sakit hati kepada
kalian! Akan tetapi sudahlah, bagaimana pendapatmu
kalau kita baik-baikan saja, nona?"
Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan menatap wajah
Kam Ki yang tampan itu dengan sinar mata penuh
selidik. "Apa yang kau maksudkan?" tanyanya ketus.
"Begini, nona. Pihak kalian kematian seorang dan
pihak kami kematian empat orang. Biarlah kami
mengalah dan tidak ada dendam lagi di antara kami.
Adapun mengenai patung Dewi Kwan Im dari Kuil
Ban-hok-si itu, kami akan berbaik hati
mengembalikannya kepadamu. Akan tetapi
sebaliknya kalian harus membalas?nya dengan
kebaikan pula." "Kebaikan apa?" tanya Bwee Hwa, masih ketus
karena ia merasa ragu apakah Ui Kong dapat
menerima usul perdamaian itu karena ia tahu bahwa
pemuda itu amat sakit hati terhadap Pek-bin Moko
yang telah membunuh ayahnya.
"Begini. Kita berdamai saja, melupakan permusuhan
kami mengembalikan pa-tung, akan tetapi kalian
tinggal di sini, engkau menjadi isteriku, nona dan
kedua orang ini menjadi pembantu-pembantuku.
Bagaimana pendapatmu?"
Wajah Bwee Hwa menjadi merah, matanya
mencorong dan ia menerjang dan menyerang Kam Ki
sambil membentak. "Jahanam busuk, siapa sudi
menjadi isterimu" Makan pedang ini!"
Serangan Bwee Hwa itu dahsyat sekali karena ia
telah mengerahkan seluruh tenaga dan gerakannya
cepat bukan main, pedangnya berkelebat meluncur ke
arah leher Kam Ki bagaikan seekor tawon terbang
menyerang. Akan tetapi, walaupun Kam Ki terkejut
melihat dahsyatnya serangan itu dan merasa kagum,
namun dia yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi
dapat mengelak dengan loncatan ke belakang dan
berkata kepada Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko.
"Kalian bunuh dua orang pemuda itu!"
Dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu mencabut
pedang mereka yang tergan-tung di punggung. Akan
tetapi sebelum mereka bergerak menyerang, Ui Kong
dan Siong Li sudah lebih dulu menyerang mereka. Ui
Kong yang mendendam kepada Pek-bin Moko, sudah
menyerang tokoh Pek-lian-kauw bermuka putih itu.
Adapun Siong Li yang melihat betapa Bwee Hwa
sudah menyerang pemuda tampan yang mengaku
sebagai ketua cabang Pek-lian-kauw itu dan Ui Kong
sudah menyerang Pek-bin Moko, lalu bergerak cepat
menyerang Ang-bin Moko dengan pedangnya.
Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga. Kalau Siong Li
dan Ui Kong dilawan oleh dua orang Moko itu dengan
pedang pula sehingga mereka bertanding ilmu
pedang, Bwee Hwa yang menggunakan pedang
dilawan oleh Kam Ki hanya dengan tangan kosong!
Ketika para anggauta Pek-lian-kauw tampak
mempersempit lingkaran dan agaknya hendak
membantu para pimpinan mereka, Kam Ki
membentak. "Kalian mundur, tidak boleh
mengeroyok!" Para anggauta Pek-lian-kauw mundur. Tentu saja
seruan ini disengaja oleh Kam Ki yang melihat bahwa
dia pasti akan mampu menundukkan gadis itu dan
juga dua orang pembantunya tampak seimbang
dengan lawan masing-masing. Pula, dia ingin
kelihatan gagah dan tidak curang dalam pandangan
Bwee Hwa, gadis cantik jelita yang menjatuhkan
hatinya itu. Bwee Hwa mengamuk dan menggunakan semua
kepandaiannya untuk meroboh?kan lawannya. Setiap
serangannya merupakan serangan maut yang
berbahaya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya
bayangan merah berkelebatan dibungkus sinar
pedang Sin-hong-kiam. Terdengar suara berdengung-
dengung seperti ada ratusan ekor tawon mengamuk.
Akan tetapi, tingkat kepandaian Kam Ki jauh di atas
tingkatnya sehingga mudah saja bagi Kam Ki untuk
menghindarkan diri dari semua serangan dengan cara
mengelak atau bahkan menangkis dengan tangannya.
Tangan telanjang itu berani menangkis pedang Sin-
hong-kiam, hal ini membuat Bwee Hwa terkejut
bukan main. Beberapa kali tangan kirinya menyambitkan Sin-hong-
ciam (Jarum Tawon Merah) kepada lawannya yang
amat tangguh itu. Namun jarum-jarum itu runtuh
semua disambar kebutan tangan Kam Ki! Dan
mulailah Kam Ki mempermainkan Bwee Hwa. Setiap
ada kesempatan, tangannya dengan nakal meraba,
mengelus atau mencubit dada, punggung, dan pinggul
gadis itu. Bwee Hwa menjadi marah bukan main,
akan tetapi ia tidak berdaya karena memang
tingkatnya kalah jauh. Siong Li bertanding seimbang dengan Ang-bin Moko.
Dia membagi perhatiannya terhadap Bwee Hwa dan
alangkah marah dan khawatirnya melihat betapa
gadis itu menjadi permainan Kam Ki yang ternyata
amat lihai itu. Melihat gadis itu ditowel, dicubit dan
dibelai, Siong Li tak dapat menahan kemarahan
hatinya. Ketika dia memutar pedang mendesak Ang-
bin Moko sehingga lawannya terpaksa mundur, cepat
sekali Ong Siong Li melompat ke kiri dan menyerang
Kam Ki untuk membantu Bwee Hwa yang jelas
terdesak hebat oleh pemuda ketua Pek-lian-kauw
yang amat lihai itu. "Singgg?"!" Sambil melompat Siong Li membabatkan
pedangnya ke arah leher Kam Ki.
Akan tetapi dengan mudah Kam Ki menghindarkan
diri dengan merendahkan tubuhnya sehingga sabetan
pedang itu hanya lewat di atas kepalanya. Ang-bin
Moko mengejar dan menyerang dari belakang. Siong
Li membalikkan pedang menangkis.
"Tranggg?"!" Bunga api berpijar, akan tetapi pada
saat Siong Li menangkis pedang itu, Kam Ki
melakukan pukulan jarak jauh dengan telapak tangan
mengeluarkan uap hitam. "Wuuuuuttt?" dessss.......!" Hawa pukulan yang amat
dahsyat melanda dada Siong Li. Pemuda ini terlempar
dan muntah darah! Dia telah terkena pukulan Ban-tok-
ciang (Tangan Selaksa Racun) yang amat dahsyat.
Biarpun Siong Li merasakan isi dada dan perutnya
seperti dibakar, dia menguatkan diri dan mencoba
bangkit. Tewasnya Pendekar Perkasa
"Li-ko?"!" Bwee Hwa berseru ketika melihat Siong Li
terpukul roboh sedemikian hebatnya. Akan tetapi
karena perhatiannya tertuju kepada Siong Li, ia
menjadi lengah dan dengan mudah sekali
menggerakkan tangannya, Kam Ki telah menotok
jalan darah di pundak Bwee Hwa dan gadis itupun
terkulai lemas. Kam Ki tertawa lalu menyambar tubuh
Bwee Hwa, memondongnya dan membawa pula
pedang Bwee Hwa lalu masuk ke dalam rumah besar.
Siong Li melihat bahwa Ui Kong telah berhasil
merobohkan Pek-bin Moko. Tadinya mereka
bertanding ramai sekali, tampaknya seimbang, akan
tetapi sesungguhnya tingkat kepandaian Ui Kong
masih menang sedikit sehingga ketika dia
mengeluarkan jurus-jurus simpanannya dan
mengerahkan seluruh tenaganya, Pek-bin Moko
terdesak hebat. Pada saat Siong Li terlanda pukulan
maut dari Kam Ki, Ui Kong berhasil merobek perut
Pek-bin Moko dengan ujung pedangnya. Tokoh Pek-
lian-kauw bermuka putih itu roboh mandi darah.
Perutnya robek dan dia tidak mungkin dapat
tertolong. Ui Kong melihat Siong Li terhuyung mendekatinya.
Jelas bahwa pendekar berjuluk Naga Tanduk Satu ini
terluka dalam. Dia tidak melihat lagi Bwee Hwa yang
tadi bertanding melawan pemuda yang mengaku
sebagai ketua Pek-lian-kauw. Hati Ui Kong gelisah
sekali. "Kong-te....... cepat! Cepat lari dan cari bala bantuan!"
Siong Li berseru. Ui Kong meragu. "Akan tetapi?" Hwa-moi?"!"
"Engkau tidak dapat menolongnya tanpa bala
bantuan! Cepat lari, mungkin engkau dapat
menolongnya?" cepat!!"
Siong Li menarik tangan Ui Kong dan dia sendiri
membuka jalan darah, menerjang para anggauta Pek-
lian-kauw yang menghalangi jalan. Ui Kong dapat
melihat kebenaran ucapan Siong Li, maka diapun
memutar pedangnya sehingga amukan mereka
berdua membuat para anggauta berpelantingan roboh
dan terbukalah jalan untuk melarikan diri.
"Cepat lari, Kong-te. Cepat cari bala bantuan!" Siong Li
berseru dan merobohkan lagi dua orang anggauta
Pek-lian-kauw yang mencoba menghalangi mereka.
"Tapi engkau?"?" Ui Kong bingung.
"Aku akan menghalangi mereka yang hendak
mengejarmu. Cepatlah!" kata Siong Li yang sudah
menyambut Ang-bin Moko yang mengejar.
Ui Kong lalu berlari keluar dari perkampungan itu,
menemukan kuda mereka bertiga, melepaskan ikatan
dan melompat ke atas punggung kuda lalu
membalapkan kuda itu menuruni lereng Bukit Siong!
Hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan
Bwee Hwa dan Siong Li. Dia memang telah dapat
membalaskan kematian ayahnya, telah berhasil
membunuh Pek-bin Moko. Akan tetapi Bwee Hwa
agaknya tertawan dan Siong Li terancam maut
karena tadi dia melihat bahwa kawannya itu telah
menderita luka dalam yang agaknya parah.
Siong Li mengamuk, dikeroyok Ang-bin Moko dan
beberapa orang anggauta Pek-lian-kauw. Bagaikan
seekor harimau terluka dikeroyok segerombolan
anjing srigala, dia sempat merobohkan lagi tiga orang
anggauta Pek-lian-kauw. Akan tetapi luka dalam
tubuhnya terasa nyeri sekali, panas dan dalam dada
dan perutnya seperti ditusuk-tusuk. Tubuhnya menjadi
semakin lemah dan akhirnya dia tidak kuat lagi. Dia
terguling roboh dan dihujani bacokan golok dan
pedang. Tewaslah Ong Siong Li, Si Naga Tanduk Satu,
tewas sebagai seorang pendekar perkasa.
Sementara itu, Ui Kong membalapkan kudanya
menuruni lereng bukit. Hatinya merasa gelisah sekali.
Mukanya pucat dan dia merasa benci kepada dirinya
sendiri. Kenapa dia melarikan diri, padahal Bwee Hwa
tertawan musuh dan Siong Li terancam nyawanya"
Ingin dia kembali ke atas dan mengamuk. Akan tetapi
dia teringat akan kata-kata Siong Li. Dia tahu bahwa
Siong Li benar. Kalau dia mengamuk seorang diri, dia
pasti akan roboh dan tewas dan itu berarti Bwee Hwa
tidak akan dapat ditolong lagi. Tidak, dia bukan
melarikan diri karena pengecut, bukan karena takut
melainkan untuk mencari bala bantuan agar dapat
menyelamatkan Bwee Hwa dan kalau mungkin,
menyelamatkan Siong Li pula.
Akan tetapi ke mana dia harus mencari bala bantuan"
Dia tidak mengenal daerah itu, tidak seperti Siong Li
yang mempunyai banyak pengalaman. Bahkan
sebelum mendaki bukit, Siong Li sudah menganjurkan
untuk mencari bala bantuan lebih dahulu, akan tetapi
dia dan Bwee Hwa membantah dan menyatakan
tidak takut sehingga akhirnya Siong Li mengalah dan
mereka bertiga naik sampai ke sarang Pek-lian-kauw.
Dan akibatnya menyedihkan! Dia merasa menyesal
mengapa dia tidak mendukung gagasan Siong Li itu.
Ke mana dia harus mencari bala bantuan untuk
menghadapi anggauta Pek-lian-kauw yang banyak
itu" Dipimpin oleh orang-orang yang amat lihai" Dia
teringat bahwa Siong Li mengusulkan untuk mencari
bala bantuan pasukan keamanan pemerintah. Dia
akan mencoba untuk mencari kota terdekat di mana
terdapat pasukan keamanannya, kalau tidak ada, dia
akan langsung ke kota Ki-lok. Di kota tempat
kelahirannya itu, keluarganya mengenal baik para
pejabat pemerintah, juga mengenal para perwira
pasukan keamanan. Mereka pasti akan menolongnya.
Ui Kong membalapkan kudanya. Setibanya di kaki
bukit, hampir hampir saja dia bertabrakan dengan dua
orang penunggang kuda yang juga membalapkan
kudanya dari depan, berpapasan dengannya. Akan
tetapi ketika dia sekuat tenaga menahan kendali agar
kudanya berhenti, dua orang penunggang kuda itu
dengan cekatan menghindar ke samping sehingga
tidak terjadi tabrakan! Betapa tangkasnya dua orang
penunggang kuda itu. Karena ingin tahu, dia menoleh
dan dua orang penunggang kuda itu juga
menghentikan, bahkan memutar kudanya untuk
memandang kepada Ui Kong.
Ui Kong terpesona, bukan hanya oleh kecantikan dua
orang dara itu, melainkan lebih lagi karena persamaan
antara keduanya. Wajahnya, rambutnya, pakaiannya,
bentuk tubuhnya, sama benar! Melihat betapa Ui Kong


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selamat dan pemuda itu memandang kepada mereka
dengan bengong, Can Kim Siang dan Can Gin Siang,
dua orang gadis kembar itu, tersenyum dan mereka
memutar kuda, melanjutkan perjalanan dengan cepat
mendaki bukit. Ui Kong mengerutkan alisnya. Hemm, tentu dua orang
gadis itu merupakan orang-orang Pek-lian-kauw pula!
Dan mereka itu jelas bukan gadis-gadis lemah. Begitu
mahir menunggang kuda, dan di punggung mereka
tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Ah, kini
keadaan cabang Pek-lian-kauw di Bukit Siong itu
menjadi semakin kuat dengan datangnya dua orang
gadis itu. Dia harus cepat mendapatkan bala bantuan!
Kembali Ui Kong membalapkan kudanya menuju
pulang ke Ki-lok. Dia ingat bahwa ketika berangkat,
mereka bertiga melewati dua buah kota. Dia
harapkan di dua kota itu akan bisa mendapatkan bala
bantuan pasukan keamanan.
"Y" "Kim-ci (Kakak Kim), siapa ya pemuda itu" Tampaknya
dia tergesa-gesa. Apakah dia anggauta Pek-lian-
kauw?" tanya Can Gin Siang kepada kakak
kembarnya. "Entahlah, Gin-moi (adik Gin). Akan tetapi melihat
wajah dan sikapnya, dia seperti bukan orang jahat.
Akan tetapi tampak gugup dan gelisah. Wajahnya
agak pucat," kata Can Kim Siang menjawab
pertanyaan adik kembarnya.
Dua orang gadis kembar itu lalu melanjutkan
pendakian mereka menuju puncak bukit. Seperti kita
Ketahui, Can Kim Siang dan Can Gin Siang ini adalah
sepasang gadis kembar yang diutus Pek-hwa Sianli
untuk mencari dan membunuh Thio Kam Ki. Mereka
berdua adalah adik misan Pek-hwa Sianli yang telah
menjadi yatim piatu sejak berusia sembilan tahun.
Pek-hwa Sianli membawa mereka dan melatih
mereka dengan ilmu silat selama tujuh tahun,
kemudian mengirim mereka berguru kepada bibi
gurunya, yaitu Hoa-san Kui-bo selama tiga tahun. Kini
sepasang gadis kembar itu menjadi lihai dan tingkat
kepandaian mereka tidak berada di bawah tingkat
Pek-hwa Sianli. Tentu saja sepasang gadis kembar ini menjadi
bingung juga karena selain mereka belum pernah
melihat Kam Ki, juga mereka tidak tahu ke mana
perginya pemuda itu, tidak tahu harus mencari ke
mana. Mereka melanjutkan perantauan mereka dan
di sepanjang perjalanan itu mereka bertanya-tanya
barangkali ada orang yang mengetahui di mana
adanya Thio Kam Ki yang mereka cari-cari itu.
Ketika pada suatu hari mereka tiba di dusun Liok-
cung, tak jauh dari Bukit Siong, mereka mendengar
keluhan penduduk dusun itu bahwa baru beberapa
bulan ini gerombolan yang tinggal di puncak Siong-
san, yang mereka tidak tahu gerombolan apa, telah
melakukan banyak gangguan, terutama sekali suka
menculiki gadis-gadis cantik dari dusun-dusun di
sekitar pegunungan itu. Dua orang gadis kembar yang biarpun sejak kecil
dididik oleh orang-orang sesat seperti Pek-hwa Sianli
dan Hoa-san Kui-bo namun memiliki jiwa pendekar,
begitu mendengar keluhan rakyat pedusunan itu
segera membalapkan kuda mereka mendaki Bukit
Siong. Semenjak meninggalkan Hoa-san Kui-bo, guru
mereka yang tinggal di Hoa-san, sepasang gadis
kembar ini selalu turun tangan menentang para
penjahat dan membela mereka yang lemah tertindas.
Karena itu, mendengar ada gerombolan yang suka
bertindak sewenang-wenang bahkan menculik gadis-
gadis dusun, mereka menjadi marah dan tanpa ragu
lagi segera mendaki Bukit Siong untuk menumpas
gerombolan jahat itu. Kalau sewaktu Siong Li, Ui Kong, dan Bwee Hwa
mendaki bukit itu sama sekali tidak menemui
rintangan sampai mereka tiba di depan
perkampungan Pek-lian kauw, hal itu adalah karena
memang disengaja oleh para pimpinan Pek-lian-kauw
yang hendak memancing tiga orang itu naik dan baru
dikepung setelah tiba di pekarangan rumah ketua
Pek-lian-kauw. Akan tetapi sekarang, ketika Can Kim
Siang dan Can Gin Siang menjalankan kudanya
mendaki bukit, setelah tiba di lereng tengah, tiba-tiba
muncul sepuluh anggauta Pek-lian-kauw menghadang
di tengah jalan. Melihat munculnya sepuluh orang laki-laki yang
bersenjata golok dan pada baju bagian dada mereka
terdapat lukisan bunga teratai putih pada lingkaran
dasar biru, tahulah dara kembar itu bahwa mereka
tentulah anggauta gerombolan Pek-lian-kauw.
Keduanya lalu melompat turun dari atas kuda dan
menghadapi mereka dengan siap siaga dan waspada.
Sepuluh orang gerombolan Pek-lian-kauw itu
terbelalak memandang dua orang gadis itu. Mereka
merasa kagum dan heran. Kagum akan kecantikan
mereka akan tetapi juga heran melihat betapa dua
orang dara itu persis sama. Wajah, bentuk tubuh,
pakaian, semua serupa dan tidak dapat dibedakan
satu sama lain. Pemimpin kelompok itu lalu
melangkah maju dan bertanya, suaranya keren
karena seperti biasa terjadi pada pria umumnya,
bertemu dengan wanita cantik lalu timbul sikapnya
untuk berlagak. "Hei, dua orang nona yang cantik dan gagah!
Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian
mendaki bukit ini" Kalian melanggar wilayah kami!"
Can Kim Siang yang selalu menjadi wakil pembicara
di antara sepasang dara kembar itu karena ia lebih
pandai bicara daripada Can Gin Siang yang pendiam,
lalu menjawab lantang. "Siapa kami tidak perlu kalian Ketahui! Kalian adalah
para anggauta gerombolan Pek-lian-kauw. Minggirlah
atau terpaksa kami berdua akan membunuh kalian
semua!" "Ha-ha, galak benar engkau, nona. Kami tidak akan
mempergunakan kekerasan karena ketua kami tentu
akan marah kalau kami melukai apalagi sampai
membunuh dua orang gadis cantik jelita seperti kalian
berdua. Akan tetapi karena kalian telah melanggar
wilayah kami, terpaksa kami akan menangkap kalian
dan kami bawa menghadap ketua kami."
Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Keduanya
memiliki perasaan yang amat peka satu terhadap
yang lain sehingga melalui pandang mata saja
mereka sudah menduga pikiran masing-masing. Can
Kim Siang dan adik kembarnya berpikir bahwa
berdasarkan pengalaman mereka menghadapi
gerombolan penjahat, untuk membasmi gerombolan
penjahat haruslah seperti kalau membunuh ular. Yaitu
kepalanya dulu dihancurkan dan seluruh badan dan
ekornya akan tak berdaya lagi. Menghadapi
gerombolan penjahat juga demikian. Kepalanya atau
pemimpinnya dulu dibasmi. Kalau pemimpinnya mati,
tentu para anggautanya akan menyerah.
"Memang kedatangan kami ini untuk bertemu dengan
ketua kalian! Akan tetapi kami hendak bertemu
dengannya sebagai orang bebas, bukan tangkapan.
Kalau kalian hendak menangkap kami, terpaksa kami
melawan dan membunuh kalian!" kata Can Kim Siang.
Seorang anggauta gerombolan itu mendekati sang
pemimpin regu dan berbisik, "Hati-hati, twako,
jangan-jangan mereka ini teman-teman ketua kita
yang baru. Kalau kita ganggu dan ketua
mendengarnya, kita akan celaka......."
Pemimpin itu mengangguk, lalu berkata kepada dua
orang dara kembar itu. "Baiklah, mari kami antar nona
berdua bertemu dengan ketua kami, bukan sebagai
tawanan, melainkan sebagai tamu. Silakan, nona-
nona!" Kim Siang dan Gin Siang merasa girang. Mereka akan
lebih senang kalau dapat membasmi saja pimpinan
gerombolan ini, daripada harus membasmi para
anggauta yang hanya menaati perintah pimpinannya.
Mereka menunggang kuda mereka dan mendaki
bukit, didahului oleh sepuluh orang anggauta Pek-lian-
kauw itu karena dua orang dara kembar itu tidak
menghendaki anak buah gerombolan itu berjalan di
belakang mereka. Setelah tiba di pintu gerbang perkampungan Pek-lian-
kauw, Kim Siang dan Gin Siang turun dari atas
kudanya dan mereka membiarkan anak buah Pek-
lian-kauw mengurus dua ekor kuda mereka. Dengan
waspada dan hati-hati dua orang dara kembar yang
tabah itu mengikuti anggauta Pek-lian-kauw yang
mengantar mereka sampai ke dalam pekarangan
rumah besar tempat tinggal ketua Pek-lian-kauw.
Pemimpin regu tadi segera memasuki rumah besar
dan ketika mendapat keterangan dari para pelayan
bahwa sang ketua berada dalam kamarnya, dia
segera menuju ke kamar itu dan mengetuk daun
pintu kamar yang tertutup.
"Tok-tok-tok.......!!"
Thio Kam Ki berada di dalam kamarnya yang luas itu.
Dia duduk di tepi pembaringan dan di atas
pembaringan itu Bwee Hwa rebah telentang dengan
kedua kaki tangannya terbelenggu! Setelah tadi
berhasil menangkap Bwee Hwa dengan menotoknya
sehingga gadis itu terkulai lemas dan dipondongnya
memasuki rumah, dia lalu melempar tubuh Bwee
Hwa di atas pembaringan, mengikat kedua kaki
tangannya, baru dia membebaskan totokan pada diri
Bwee Hwa sehingga Bwee Hwa dapat bergerak
kembali. Akan tetapi gadis itu tidak mampu
menggerakkan kaki tangannya yang terpentang dan
terikat pada kaki pembaringan. Ia teringat akan Ong
Siong Li yang terluka dan terpukul roboh.
Kini ia tertawan dan mungkin Siong Li tewas, juga Ui
Kong tentu tidak mampu melawan seorang diri saja.
Membayangkan semua ini, Bwee Hwa memandang
kepada Kam Ki yang duduk di atas kursi sambil
minum arak itu dengan mata mencorong penuh
kemarahan. Membayangkan Siong Li tewas, ia
menjadi sedih dan marah sekali. Ong Siong Li
merupakan orang yang paling baik baginya, pemuda
itu merupakan penolongnya, sahabatnya yang setia,
dan ia tahu pula betapa Siong Li amat mencintanya.
Iapun amat suka dan kagum kepada Siong Li,
walaupun ia mencinta pemuda itu sebagai kasih
sayang seseorang terhadap kakaknya. Betapa besar
kasih sayang Siong Li kepadanya sehingga pemuda
itu mengantar ia untuk mencari tunangannya, calon
suaminya! Siong Li mengalah, mengorbankan
kesenangan diri sendiri demi cintanya dan demi
kebahagiaan dirinya! Ia sendiri mencinta Siong Li
sebagai seorang kakak. Juga ia tidak mempunyai rasa
cinta terhadap Ui Kong maupun Ui Kiang, hanya
menganggap kedua kakak beradik ini sebagai
sahabat-sahabat yang baik. Bagaimanapun juga, kini
mengingat bahwa mungkin Siong Li tewas dan Ui
Kong terancam bahaya, ia menjadi sedih sekali dan
marah. "Kamu?" jahanam busuk, manusia terkutuk!
Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai mati!"
Bwee Hwa memaki sambil memandang kepada
pemuda tampan yang gerak-geriknya lembut namun
yang memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu.
Mendengar kata-kata ketus ini, Kam Ki menoleh, lalu
minum sisa arak dalam cawannya dan setelah
meletakkan cawan kosong di atas meja, dia
tersenyum menghampiri pembaringan. Dia duduk di
tepi pembaringan dan mengamati wajah dan seluruh
tubuh Bwee Hwa. Diam-diam Bwee Hwa bergidik dan merasa seluruh
bulu di tubuhnya meremang. Ia merasa seolah-olah
sinar mata pemuda itu menggerayangi dan membelai
seluruh tubuhnya. Pandang mata itu terasa amat
mengerikan baginya. Sering sudah ia melihat pandang
mata seperti itu dari para pria yang bertemu
dengannya, akan tetapi baru sekarang ia melihat sinar
mata yang begitu penuh nafsu seperti bernyala-nyala,
senyum yang tampak olehnya begitu keji dan kejam!
"Hemm, Ang-hong-cu Lim Bwee Hwa, julukan Ang-
hong-cu (Si Tawon Merah) memang tepat untukmu.
Engkau dapat menjadi liar dan galak seperti seekor
tawon yang siap menyerang dan menyengat siapa
saja, akan tetapi engkaupun dapat seperti seekor
kupu-kupu yang amat cantik jelita menggairahkan.
Bwee Hwa, engkau telah terjatuh ke dalam tanganku.
Betapa mudahnya bagiku untuk membunuhmu, akan
tetapi aku tidak tega membunuhmu, bahkan
menyakitimupun aku tidak tega. Engkau begini cantik
jelita, kulitmu begini mulus. Gadis seperti engkau ini
pantasnya disayang dan dibelai, bukan disakiti?""
"Keparat, aku tidak membutuhkan pujian dan
rayuanmu! Cepat katakan bagaimana keadaan dua
orang temanku!" "Ha-ha-ha, dua orang temanmu itu mencari
kematiannya di sini. Mereka sudah mati!"
Tentu saja Bwee Hwa terkejut bukan main dan
kesedihan membuat ia menjadi marah sekali. Akan
tetapi karena kaki tangannya terbelenggu sehingga ia


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mampu bergerak, ia hanya dapat memandang
dengan sinar mata penuh kebencian dan berteriak-
teriak. "Jahanam busuk! Engkau kejam, engkau keparat!
Hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!
Kalau engkau pengecut dan tidak berani, hayo cepat
bunuh! Aku tidak takut mati!"
Kam Ki tidak marah, malah tersenyum. "Hem, dalam
keadaan marah engkau malah semakin cantik
menarik. Bwee Hwa, manis, jangan salahkan aku
kalau dua orang itu mati. Mereka mencari kematian
mereka sendiri karena berani menyerbu ke sini. Akan
tetapi engkau?" aku tidak mengijinkan siapapun juga
membunuhmu atau bahkan melukaimu. Aku cinta
padamu, Bwee Hwa, dan aku ingin engkau menjadi
isteriku dan hidup sebagai suami di sini, memimpin
para anak buah. Engkau akan hidup bahagia.......!"
"Cukup!" Bwee Hwa membentak. "Lebih baik aku
mati daripada menjadi isteri seorang penjahat busuk
macam kamu!" Biarpun mulutnya tetap tersenyum, namun dalam
hatinya Kam Ki mulai merasa dongkol. "Lim Bwee
Hwa, biar kau pikirkan lebih dulu permintaanku agar
engkau lebih baik hidup dan menjadi isteriku di sini
daripada engkau nekat mencari kematian. Aku akan
mandi dulu. Nanti aku akan kembali mendengar
keputusan dan jawabanmu." Setelah berkata
demikian, Kam Ki keluar dari kamar itu.
Setelah pemuda itu meninggalkan kamar, Bwee Hwa
mulai menangis. Tadi ia tidak sudi memperlihatkan
tangisnya di depan pemuda itu. Akan tetapi kini,
setelah ditinggal sendirian, ia membayangkan
kematian Ong Siong Li dan Ui Kong seperti yang
dikatakan Kam Ki tadi dan ia merasa berduka sekali.
Ia memang belum mempunyai perasaan cinta sebagai
seorang wanita terhadap pria kepada kedua orang
pemuda itu, biarpun Siong Li merupakan seorang
sahabat terbaiknya yang selalu membela dan
membantunya dan Ui Kong adalah salah seorang
calon tunangannya karena ia harus memilih antara Ui
Kong dan Ui Kiang untuk menjadi calon jodohnya
seperti yang telah ditentukan mendiang ibunya. Akan
tetapi ia menganggap Siong Li dan Ui Kong sebagai
sahabat-sahabat yang amat baik dan ada rasa kagum
dan sayang dalam hatinya terhadap mereka. Kini
mereka telah tewas! Ia merasa sedih dan juga sakit
hati sekali terhadap Pek-lian-kauw yang dipimpin Kam
Ki, pemuda yang jahat akan tetapi juga amat lihai
sekali itu. http://cerita-silat.mywapblog.com
. Mimpi Kejatuhan Tiga Bintang
Tak lama kemudian, terpaksa Bwee Hwa
menghentikan lamunannya dan menghentikan pula
tangisnya walaupun ia tidak dapat menghapus air
mata yang membasahi kedua pipinya karena ia
mendengar langkah kaki orang memasuki ruangan
itu. Setelah orang itu datang dekat dan duduk di tepi
pembaringan di mana ia diikat, ia melihat Kam Ki
yang agaknya telah mandi dan kini mengenakan
pakaian bersih dan indah. Juga ketika pemuda itu di
tepi pembaringan, dekat sekali dengannya, ia
mencium bau harum. Agaknya pemuda itu sengaja
bersolek untuk menarik hatinya. Akan tetapi,
kemunculan pemuda yang tampak tampan dan
lembut itu bukan menarik hati Bwee Hwa, bahkan
membuat ia muak dan semakin membencinya.
"Ah, adik manis, kenapa engkau menangis?" tanya
Kam Ki dengan lembut dan ia mengusap air mata dari
pipi Bwee Hwa. Gadis itu menggerakkan kepalanya
menolak rabaan itu. "Bwee Hwa, bagaimana, apakah engkau telah
mengambil keputusan" Maukah engkau menjadi
isteriku tersayang" Percayalah, aku cinta padamu."
"Jahanam, tidak perlu merayu. Kalau mau bunuh,
lakukanlah, dan jangan banyak cakap lagi!" Bwee
Hwa menghardik lalu membuang muka, tidak mau
memandang pemuda yang dibencinya itu.
Kesabaran mulai menyurut dari hati Kam Ki. "Dengar
baik-baik, Bwee Hwa. Sekarang engkau boleh
memilih satu antara dua. Pertama, engkau menurut
dengan suka rela menjadi isteriku dan kita hidup
berdua di sini dalam keadaan terhormat, mulia dan
serba kecukupan. Kedua, kalau engkau tetap
menolak, aku akan memaksamu dan
memperkosamu, setelah aku bosan engkau akan
kuserahkan kepada anak buah Pek-lian-kauw agar
engkau mereka permainkan beramai-ramai sampai
engkau mati! Nah, engkau pilih yang mana?"
Tanpa berpikir panjang untuk memilih-milih, Bwee
Hwa membentak. "Aku memilih mati!"
Wajah Kam Ki berubah merah. "Engkau memilih yang
kedua?" "Aku tidak sudi memilih, baik yang pertama maupun
yang kedua. Aku akan membalas dendam kepadamu
kalau masih hidup atau aku akan memilih mati agar
arwahku dapat mengejar dan membalas dendam
kepadamu, keparat!" Kam Ki marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, pintu
kamar diketuk orang dari luar.
"Siapa berani menggangguku" Apa engkau minta
mati?" bentak Kam Ki yang merasa terganggu.
"Ampun, pangcu (ketua). Saya tidak bermaksud
mengganggu, akan tetapi hendak melaporkan bahwa
di luar ada dua orang gadis cantik ingin bertemu
dengan pangcu." jawab kepala jaga dengan suara
agak gemetar karena dia merasa ketakutan.
Mendengar bahwa ada dua orang gadis cantik ingin
bertemu dengannya, kemarahan Kam Ki mereda. Dia
bangkit berdiri, berkata kepada Bwee Hwa.
"Kau tunggu saja. Masih ada waktu untuk berpikir.
Akan tetapi kalau aku kembali ke sini dan engkau
masih keras kepala menolak untuk menjadi isteriku,
aku akan melakukan pilihan kedua!" Setelah berkata
demikian, Kam Ki melangkah ke pintu kamar, keluar
dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu.
Kemudian, diiringkan oleh kepala jaga yang melapor
itu, dia melangkah keluar.
Setelah tiba di luar, dia melihat dua orang gadis yang
cantik manis berdiri dengan sikap gagah. Yang
mengagumkan hatinya, dua orang gadis itu memiliki
wajah, bentuk tubuh, gelung rambut dan pakaian
yang persis sama, seolah dia melihat seorang gadis
dan bayangannya! Dia menduga bahwa tentu dia
berhadapan dengan sepasang gadis kembar yang
cantik jelita dan gagah. Mereka memiliki kulit yang
putih mulus kemerahan, bermata tajam jeli seperti
bintang, hidung mancung dan mulut yang
menggairahkan. Juga bentuk tubuh mereka amat
indah. Dua orang gadis ini tidak kalah cantik
dibandingkan Lim Bwee Hwa!
Sementara itu, Can Kim Siang dan Can Gin Siang, dua
orang gadis kembar tercengang melihat bahwa ketua
Pek-lian-kauw yang keluar menemui mereka sama
sekali bukan seorang yang berpakaian pendeta
berusia lanjut seperti yang mereka duga, melainkan
seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah!
Pe?muda berwajah tampan gagah, bersikap lembut
dan senyumnya menawan. Kam Ki merasa gembira dan dia segera mengangkat
kedua tangan di depan dada sebagai tanda
penghormatan yang segera dibalas oleh sepasang
gadis kembar itu. Sio-cia(Nona Berdua), siapakah kalian dan ada
keperluan apakah nona datang berkunjung?" tanya
Kam Ki dengan suara yang lembut dan senyum
memikat. "Kami ingin bertemu dan bicara dengan ketua Pek-
lian-kauw," kata Can Kim Siang. Ia mengira bahwa
pemuda itu tentu seorang anggauta pula.
Kam Ki tersenyum, "Akulah ketua Pek-lian-kauw di
sini, nona." Dua orang gadis itu saling pandang dan Kim Siang
mengerutkan alisnya lalu berkata ragu. "Akan tetapi,
bukankah ketua Pek-lian-kauw seorang yang sudah
berusia lanjut dan berpakaian sebagai pendeta" Kami
mendengar bahwa Pek-lian-kauw adalah
perkumpulan agama?""
"Ha-ha, memang tadinya begitu. Akan tetapi sekarang
aku yang menjadi ketua di sini semenjak beberapa
bulan yang lalu." "Hemm, kebetulan kalau begitu. Kami sepasang
saudara Can hanya kebetulan lewat di daerah ini dan
kami mendengar berita dari para penduduk
pedusunan di daerah ini bahwa banyak terjadi
penculikan dan perampokan yang dilakukan oleh
gerombolan penjahat yang tinggal di puncak Siong-
san sini. Karena yang berada di sini adalah
perkumpulan Pek-lian-kauw, maka kami minta
pertang-gungan jawab ketua Pek-lian-kauw.
Benarkah anak buahmu yang melakukan pengacauan
dan mengganggu rakyat di pedusunan daerah ini?"
tanya Kim Siang sambil menatap ketua perkumpulan
gerombolan penjahat. Senyum di bibir Kam Ki melebar. Tentu saja dia tahu
akan perbuatan anak buahnya itu karena dialah yang
lebih dulu memilih gadis-gadis yang diculik, memilih
yang dia sukai. "Aih, nona-nona yang baik, kenapa kalian menuduh
begitu" Aku ketua Pek-lian-kauw Kam Ki tidak
pernah......." Sepasang gadis kembar itu terkejut sekali sehingga
Kim Siang segera memotong ucapan Kam Ki. "Siapa
namamu tadi?" "Namaku Kam Ki dan aku tidak pernah membiarkan
anak buahku berbuat jahat!"
"Kam Ki" Jadi engkau inikah yang dulu berada di
lereng, Bukit Ayam Emas" Engkau yang telah berjina
dengan A-hui dan A-kui" Engkau tunangan Pek-hwa
Sianli?" Kim Siang berseru marah.
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?" Kam Ki bertanya,
terheran-heran dan terkejut, akan tetapi sama sekali
tidak takut maka diapun tidak hendak menyangkal.
Kisah Si Naga Langit 2 Wiro Sableng 170 Kupu Kupu Mata Dewa Titisan Ratu Pantai Selatan 1
^