Tawon Merah Bukit Hengsan 7
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
ditampar tangan dan ada pula yang kebagian
tendangan kaki. Thian Sai-ong menggereng seperti singa dan dia sudah
mencabut goloknya. Wajahnya yang buruk penuh
bopeng itu kini menjadi semakin jelek karena pipi
kanannya membengkak. Lenyaplah semua gairah
berahinya terhadap Bwee Hwa, terganti rasa benci
yang membuat dia mendengus-dengus seperti kerbau
gila. Matanya yang sipit itu menjadi semakin sipit,
apalagi yang kanan karena pipinya membengkak
besar. "Auurrgghhhh?"." dia menggereng dan menyerang
dengan bacokan goloknya. "Tranggg......!" Golok itu bertemu dengan pedang Sin-
hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangan Bwee
Hwa sehingga terpental dan nyaris terlepas dari
tangan Thian Sai-ong yang terasa pedas dan panas
sekali. Dia berteriak memberi aba-aba kepada anak
buahnya untuk mengeroyok gadis yang kini dia tahu
amat lihai itu. Segera belasan orang mengeroyok Bwee Hwa
dengan senjata golok mereka. Tentu saja tidak lebih
dari belasan orang yang dapat mengeroyok, karena
kalau terlalu banyak, tentu akan mengacaukan
kawan sendiri. Akan tetapi Bwee Hwa menggerakkan
pedangnya dengan cepat, tubuhnya berkelebatan,
pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang
mengeluarkan suara berdengung seperti ratusan ekor
lebah mengamuk sehingga tidak ada pengeroyok
yang mampu mendekatinya. Kalau ada yang berani
terlalu dekat, tentu dia akan roboh disambar pedang.
Sekali ini Bwee Hwa teringat akan percakapannya
dengan Bun Sam. Ia merobohkan para pengeroyok
tanpa membunuhnya sehingga pedangnya tidak
pernah membacok leher atau memasuki tubuh, hanya
melukai pundak, lengan atau kaki lawan saja.
Sementara itu, Bun Sam juga sudah dikeroyok karena
Te Sai-ong juga merasa kewalahan. Akan tetapi Bun
Sam yang amat lihai itu melayani mereka dengan
tenang. Setiap ada golok menyambar, dia berani
menangkis, bahkan menangkap golok itu dan sekali
remas, golok itu patah-patah. Dia merobohkan para
pengeroyok dengan tendangan atau tamparan
tangannya yang mengakibatkan patah tulang.
Melihat Bwee Hwa juga mengamuk dan dikeroyok,
Bun Sam merasa khawatir kalau-kalau gadis itu akan
melakukan banyak pembunuhan. Maka dia membuka
kepungan terhadap dirinya lalu melompat ke dekat
Bwee Hwa. Kini dia melihat betapa Bwee Hwa juga
hanya merobohkan para pengeroyoknya tanpa
membunuh dan hal ini menggirangkan hatinya.
Mereka berdua lalu mengamuk dan dalam waktu
singkat, lebih dari setengah jumlah para perampok itu
sudah mereka robohkan! Kedua kepala perampok
itupun masih mencoba untuk membunuh pemuda dan
gadis itu, namun akhirnya Thian Sai-ong roboh dengan
pundak terluka parah oleh pedang Sin-hong-kiam,
sedangkan Te Sai-ong roboh dengan kaki kanan patah
tulangnya. Melihat ini, sisa anak buah perampok
menjadi gentar sekali. Penduduk dusun Liok-teng yang melihat betapa
sepasang orang muda itu mengamuk dan banyak
sekali perampok yang roboh, kini menjadi berani dan
mulailah mereka menolong para gadis, membawa
mereka pergi ke rumah masing-masing dan
merekapun membongkar barang-barang dari kereta
dan dikembalikan kepada pemiliknya!
Akhirnya sisa para perampok yang tinggal belasan
orang itu, menjadi ketakutan dan mereka melarikan
diri cerai berai meninggalkan mereka yang terluka!
Bwee Hwa menghampiri dua orang kepala perampok
yang kini duduk di atas tanah saling berdekatan
karena tadi Thian Sai-ong yang terluka pundaknya
menghampiri Te Sai-ong yang patah tulang kakinya.
Melihat gadis itu menghampiri mereka dengan pedang
di tangan dua orang kepala perampok ini menjadi
pucat wajahnya dan memandang dengan mata
terbelalak ketakutan. Bun Sam juga melihat ini dan
melihat wajah Bwee Hwa yang kemerahan karena
marah itu cepat berseru. "Hwa-moi, jangan bunuh, maafkan mereka, beri
kesempatan kepada mereka untuk bertaubat!"
Bwee Hwa mengayun pedangnya dua kali. Darah
muncrat dan dua orang kepala perampok itu berteriak
lalu roboh terguling. Kaki kanan mereka telah buntung
sebatas lutut! "Aih, Hwa-moi......!" Bun Sam yang sudah tiba dekat
menegur. "Sam-ko, aku tidak membunuh mereka, akan tetapi
kalau mereka tidak di-buntungi sebelah kaki mereka,
tentu mereka akan mengulangi lagi perbuatan
mereka melakukan perampokan! Kalau sudah
buntung begini, tentu mereka tidak berani merajalela
karena mudah dilawan dan dikalahkan," bantah Bwee
Hwa. Bun Sam mengeluarkan obat bubuk dan memberi dua
bungkus obat kepada dua orang kepala perampok itu.
"Hemm, kalian hari ini makan buah pahit hasil
tanaman kalian sendiri! Apakah kalian masih belum
sadar dan bertaubat, lalu mengambil jalan yang
benar?" Setelah mengobati luka mereka sehingga kaki yang
buntung itu tidak mengeluarkan darah lagi, Thian Sai-
ong berkata. "Kami akan mencoba...... kembali ke
jalan benar, taihiap (pendekar besar)."
"Baik sekali kalau begitu. Nah, pergilah kalian dan
ajak semua anak buahmu pergi dari sini!"
Kedua orang kepala perampok itu memanggil anak
buahnya untuk membantu mereka berjalan. Akan
tetapi tidak ada seorangpun yang mau mendekati
mereka. Wibawa kedua orang kepala perampok itu
agaknya sudah hilang bagi anak buahnya, melihat
mereka berdua itu kini telah menjadi seorang yang
buntung sebelah kaki mereka.
Melihat ini, Thian Sai-ong membentak, "Pergilah kalian!
Mulai sekarang, kalian bukan anak buah kami lagi.
Gerombolan itu telah bubar dan mulai sekarang harus
menanggungjawabkan perbuatan sendiri! Hayo
bubar!" Semua anak buah perampok tertatih-tatih, saling
bantu, meninggalkan dusun Liok-teng. Kedua orang
kepala perampok itupun meninggalkan dusun itu
sambil terpincang-pincang, berjalan hanya dengan
sebelah kaki, berloncat-loncatan sehingga Bun Sam
merasa kasihan. Dia mengambil dua batang pohon
sebesar lengan, membuangi daunnya sehingga
menjadi dua batang tongkat, lalu dia berlari mengejar
dua orang yang berloncat-loncatan itu.
"Kalian pakai ini agar lebih mudah berjalan," katanya.
Dua orang kepala perampok itu menerima dua buah
tongkat dan kini mereka dapat maju lebih leluasa
karena dibantu tongkat. Ketika Bun Sam kembali ke dekat Bwee Hwa, gadis
itu berkata. "Sam-ko, hatimu memang baik, akan tetapi terlalu
lemah. Orang-orang macam mereka itu sudah
sepatutnya dihajar agar benar-benar bertaubat dan
menyadari bahwa kejahatan tidak akan
mendatangkan akibat yang menguntungkan. Kalau
sudah dihajar seperti itu, setidaknya mereka akan
merasa takut, terutama sekali mereka tidak lagi dapat
mengandalkan kekuatan untuk bertindak sewenang-
wenang." "Engkau benar, Hwa-moi. Akan tetapi, melihat
keadaan mereka, timbul kembali rasa iba di hatiku.
Bagaimanapun juga, mereka itu adalah manusia
juga." Kini berbondong-bondong penduduk dusun Liok-teng
datang menghampiri sepasang muda-mudi itu,
dipimpin oleh kepala dusunnya yang bernama Gan
See Ki yang biasa disebut Gan-cungcu (kepala dusun
Gan) berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh
pendek gendut, mukanya bundar gemuk, tampak
angkuh dan pakaiannya mewah. Dia ditemani oleh Bu
Sui yang biasa disebut Bu-kauwsu (guru silat Bu)
karena dahulunya dia adalah seorang guru silat yang
kemudian dijadikan kepala keamanan di dusun itu
dan pakaiannya juga mewah.
Mereka berdua ini diikuti oleh delapan orang laki-laki,
berusia antara empatpuluh sampai enampuluh tahun
yang dari pakaian mereka mudah diduga bahwa
mereka adalah orang-orang kaya. Kemudian di
belakang sepuluh orang ini, berduyun-duyun para
penduduk ikut pula menghadap Bwee Hwa dan Bun
Sam dan sebagian besar dari mereka berpakaian
lusuh dan menunjukkan bahwa mereka adalah orang-
orang yang miskin. Melihat ratusan orang itu, Bun Sam mengajak Bwee
Hwa untuk naik ke serambi gedung milik kepala
dusun itu karena serambi ini agak tinggi sehingga
mereka dapat melihat semua orang itu. Menurut
taksiran mereka, di antara para penduduk dusun yang
berkumpul di pekarangan yang luas itu, terdapat laki-
laki yang terhitung masih muda, tidak kurang dari
seratus limapuluh orang banyaknya.
"Hemm, begini banyak orang akan tetapi lemah tak
berdaya," kata Bwee Hwa dan Bun Sam mengangguk.
Gan-cungcu dan Bu-kauwsu mengikuti muda-mudi
yang naik ke serambi itu, lalu mereka memberi
hormat, diikuti oleh delapan orang hartawan.
"Ji-wi taihiap (dua orang pendekar besar), kami
seluruh warga Liok-teng ini menghaturkan banyak
terima kasih kepada ji-wi (kalian berdua) yang telah
menyelamatkan kami dari gangguan gerombolan
perampok tadi." "Tidak perlu kalian berterima kasih kepada kami
karena apa yang kami lakukan itu hanyalah
merupakan kewajiban kami belaka. Akan tetapi kami
merasa heran bukan main, kenapa penduduk dusun
ini yang demikian banyak jumlahnya sama sekali
tidak melakukan perlawanan ketika gerombolan itu
datang mengganggu" "Sebetulnya pasukan keamanan kami telah
melakukan perlawanan, akan tetapi kalah karena
jumlah pasukan kami hanya dua losin orang
sedangkan pasukan gerombolan itu terdiri dari
limapuluh orang lebih." kata Bu-kauwsu.
"Engkau siapakah?" Bwee Hwa bertanya sambil
memandang wajah sepuluh orang berpakaian mewah
itu berganti-ganti, sementara itu para penduduk yang
lain hanya mendengarkan dari bawah serambi.
Kini Gan See Ki, kepala dusun itu yang menjawab.
"Sebaiknya kami memperkenalkan diri kepada ji-wi
taihiap. Saya sendiri adalah kepala dusun di sini
bernama Gan See Ki dan saudara ini adalah Bu Sui
yang menjadi komandan pasukan keamanan di dusun
kami. Adapun delapan orang yang berada di belakang
kami adalah delapan orang pedagang terbesar di
dusun ini." "Dan yang berada di pekarangan itu adalah penduduk
dusun ini?" tanya Bwee Hwa sambil mengamati
mereka yang berada di bawah, yang rata-rata berpa-
kaian lusuh. "Benar sekali, lihiap."
"Gan-cungcu, berapa banyaknya jumlah penduduk
dusun ini?" tanya lagi Bwee Hwa kepada kepala
dusun itu. Jumlah seluruhnya ada kurang lebih seribu limaratus
orang," jawab sang kepala dusun.
"Berapa banyak laki-laki yang masih muda?"
"Kurang lebih tiga ratus orang."
"Apakah pekerjaan mereka, Gan-cungcu?" kini Bun
Sam yang bertanya, sambil mengamati wajah kepala
dusun itu dengan penuh selidik.
"Sebagian besar di antara mereka adalah pekerja-
pekerja tani yang menggarap sawah dan kebun milik
kami." "Mereka adalah orang-orang miskin?"
"Ya, begitulah. Akan tetapi kami sepuluh orang ini
yang menolong mereka dengan memberi pekerjaan
dan upah yang cukup," kata pula kepala dusun itu.
Tiba-tiba Bun Sam melangkah maju ke tepi serambi
dan berkata kepada banyak orang itu, suaranya
lantang karena dia telah mengerahkan tenaga sakti
sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh.
Semua orang yang berkumpul di pekarangan itu
dapat mendengar suaranya dengan jelas.
"Para penduduk dusun Liok-teng, dengarlah baik-baik.
Kami berdua kebetulan lewat di dusun ini dan melihat
gerombolan yang mengganggu kalian. Sekarang kami
ingin agar ada wakil-wakil dari kalian yang hidup
dalam kemiskinan untuk maju ke sini. Aku minta dua
orang wakil yang dapat mewakili semua orang dan
jangan takut, kami berdua yang menjamin bahwa
tidak akan ada orang yang dapat mengganggu kalian
berdua. Nah, pilihlah di antara kalian dan dua orang
wakil majulah dan naik ke serambi ini!"
Mereka yang berada di bawah kini saling berunding,
memilih-milih dan akhirnya dua orang di antara
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka maju menuju serambi. Mereka berdua adalah
orang-orang berpakaian petani, berusia kurang lebih
empatpuluh tahun dan tubuh mereka kurus, wajah
mereka penuh garis-garis penderitaan.
Sekali pandang saja dapat tampak jelas bahwa
mereka adalah orang-orang miskin, akan tetapi
langkah mereka tegap dengan tubuh tegak dan sinar
mata mereka menunjukkan bahwa mereka berdua
bukan orang bodoh dan bersemangat. Biarpun
demikian, setibanya di bawah serambi, mereka
tampak ragu karena sepuluh orang berpakaian
mewah itu berdiri di atas serambi dan memandang
mereka. Jadilah Seseorang Yang Bijaksana
Melihat keraguan mereka, Bwee Hwa menjadi tidak
sabar. "Hei, kalian naiklah ke sini. Kalian seperti orang
takut. Apa sih yang ditakuti?"
Mendengar ini, barulah kedua orang itu berani naik
serambi yang bertangga itu dan berdiri di depan Bun
Sam sambil memberi hormat dan seorang di antara
mereka berkata, "Taihiap, kami yang ditugaskan oleh
para teman untuk menjadi wakil dan mendengarkan
apa yang taihiap perintahkan."
"Kami tidak memerintahkan, akan tetapi akan
mengajak kalian bercakap-cakap dan kami harap
kalian berdua bicara sebenarnya, jangan
menyembunyikan sesuatu dan jangan berbohong.
Ketahuilah, kami berdua hanya ingin mengatur agar
kehidupan di dusun ini menjadi aman tenteram dan
makmur bagi semua orang."
"Mari, ji-wi taihiap, silakan duduk agar lebih enak kita
bicara," kata Gan-cungcu, mempersilakan Bwee Hwa
dan Bun Sam untuk mengambil tempat duduk di atas
kursi yang berada di serambi itu.
Mereka semua lalu duduk mengitari sebuah meja
besar. Empatbelas orang itu duduk saling berhadapan
terhalang meja bundar itu. Dua orang wakil penduduk
yang agaknya masih takut-takut sengaja mengambil
tempat duduk di sebelah Bun Sam, seolah mereka
ingin mendapat perlindungan.
"Nah, sekarang kami berdua ingin bertanya kepada
kalian berdua yang mewakili penduduk dusun ini.
Sebetulnya mengapa penduduk yang kami lihat cukup
banyak ini tidak dapat bersatu dan tidak melakukan
perlawanan ketika gerombolan itu datang
mengganggu?" Seorang di antara kedua wakil penduduk itu, yang
tubuhnya kurus akan tetapi sinar matanya penuh
semangat, setelah melirik ke arah kepala dusun Gan
See Ki dan komandan keamanan Bu Sui, lalu berkata
dengan suara cukup lantang.
"Ji-wi taihiap, apa yang dapat dilakukan orang-orang
miskin seperti kami" Kami tidak memiliki apa-apa,
maka gerombolan itu tidak dapat mengganggu kami."
"Kalian hidup dalam kemiskinan" Aneh, kami lihat
dusun ini cukup ramai dan tampaknya kehidupan
rakyatnya makmur karena dusun ini menghasilkan
banyak hasil bumi. Sebagai petani, tentu kalian
memiliki sawah ladang dan mempunyai penghasilan
yang cukup." Orang itu menggeleng kepala. "Kami tidak
mempunyai tanah, taihiap."
"Lalu tanah yang luas dan subur yang kami lihat di
luar dusun itu, milik siapa?" tanya Bwee Hwa.
"Semua itu milik Gan-cungcu, Bu Kauwsu, dan delapan
orang hartawan ini."
"Dan kalian sendiri, bekerja apa?" tanya pula Bwee
Hwa. "Kami hanya pekerja bayaran, menggarap sawah
ladang milik mereka."
"Hemm, melihat keadaan penduduk yang rata-rata
miskin, berarti upah yang kalian terima sedikit,
bukan?" Dua orang itu tampak rikuh dan beberapa kali
mengerling ke arah kepala dusun dan komandan.
Kemudian orang kedua menjawab lirih, "Yah, cukup
untuk makan, lihiap."
"Sekarang aku mengerti mengapa tidak ada
persatuan di antara penduduk dusun ini." kata Bun
Sam. "Ternyata di antara yang kaya dan yang miskin
tidak saling membantu. Dan ini merupakan kesalahan
kepala dusun yang tidak mampu mengatur! Gan-
cungcu, kami memberi ingat kepadamu. Menjadi
kepala dusun haruslah mendahulukan kepentingan
rakyat, jangan hanya mementingkan diri sendiri,
menumpuk kekayaan untuk diri sendiri tanpa
memikirkan keadaan penduduknya. Ingatlah, tanpa
adanya penduduk dusun, engkau tidak akan menjadi
kepala dusun! Kalau engkau tidak mampu mengatur
demi kesejahteraan rakyat, engkau tidak pantas
menjadi kepala dusun! Bagaimana mungkin sebagai
kepala dusun engkau menjadi kaya-raya, padahal
engkau tidak berdagang seperti para saudagar"
Diadakannya seorang kepala dusun adalah untuk
melayani dan mengatur kebutuhan penduduk
dusunnya, bukan sebaliknya rakyat harus melayani
kebutuhanmu! Mengertikah engkau, Gan-cungcu?"
Suara Sie Bun Sam penuh wibawa sehingga kepala
dusun itu menundukkan mukanya yang berubah
pucat. "Saya...... mengerti, taihiap."
"Dan engkau, Bu-kauwsu, apakah tugasmu sebagai
pemimpin pasukan keamanan di dusun ini?" tanya
Bun Sam dengan suara keren.
"Saya...... saya bertugas menjaga keamanan di dusun
ini, taihiap." "Keamanan siapa yang kaumaksud" Engkau dan anak
buahmu menjadi kea-manan mereka yang kaya-raya
ataukah menjaga keamanan seluruh penduduk
dusun?" "Menjaga keamanan...... eh....... seluruh penduduk
dusun......! "Hemm, benarkah begitu" Melihat penduduk yang
miskin tidak ada yang membantu, aku dapat
mengambil kesimpulan bahwa tidak ada kerja sama
yang baik antara pasukan dengan penduduk. Seperti
yang kulihat di mana-mana, pasukan keamanan
dipimpin komandannya biasanya hanya menjadi
tukang-tukang pukul membela kepala dusun dan para
hartawan. Buktinya engkau menjadi seorang di antara
mereka yang kaya raya di dusun ini! Tentu engkau
dan anak buahmu bersikap bengis dan membantu
kepala dusun menindas rakyat, maka mereka tidak
mau membantu ketika ada gerombolan mengganggu.
Engkau menjadi komandan keamanan bertugas untuk
menjaga keamanan di dusun, melindungi semua
penduduk, bukan hanya melindungi para hartawan
dan kepala dusun agar mendapatkan banyak uang
memperkaya diri sendiri! Kenyataan seperti ini
membuat pasukanmu lebih tepat disebut pasukan
penindas rakyat daripada pasukan penjaga keamanan
dusun. Mengertikah engkau?"
Bu Kauwsu menundukkan mukanya yang pucat
seperti muka kepala dusun Gan. Dia tidak berani
membantah karena memang demikianlah
kenyataannya. Mereka itu biasanya membela
kepentingan kepala dusun dan para hartawan. Kalau
ada penduduk yang membangkang perintah kepala
dusun atau banyak menuntut kepada para hartawan,
Bu Kauwsu ini dan anak buahnya yang bertindak
sebagai tukang pukul dan mengancam penduduk
sehingga penduduk terpaksa melakukan apa saja
yang diperintahkan Gan-cungcu dan bekerja untuk
para hartawan dengan upah yang sebetulnya kurang
namun mereka tidak berani membantah karena
pasukan keamanan siap untuk menghukum mereka
yang banyak membantah! "Sekarang kalian para hartawan dusun ini! Tidak
sadarkah kalian darimana kalian mendapatkan
kekayaan kalian itu" Coba renungkan! Apakah kalian
menggunakan kaki tangan dan tenaga kalian sendiri
untuk menggarap sawah ladang yang menghasilkan
banyak uang" Ataukah itu hasil cucuran para pekerja
itu" Kalian tidak boleh mementingkan diri sendiri,
menumpuk harta tanpa memperhatikan mereka yang
bekerja mati-matian untuk mendatangkan banyak
uang bagi kalian! Apakah kalau kalian mati kalian
akan membawa uang ke alam baka" Apakah kalau
ada serangan para gerombolan tadi, uang kalian
dapat menolong kalian" Sebaliknya malah, kalian
diganggu perampok justeru karena kalian punya
banyak uang! Harta benda tidak selamanya
mendatangkan kebahagiaan, bahkan mendatangkan
kesengsaraan kalau tidak dipergunakan dengan baik,
untuk menolong mereka yang kekurangan! Kalau tadi
kami tidak datang, ke manakah sekarang harta
kalian, atau puteri kalian, atau bahkan nyawa kalian"
Karena kalian memeras tenaga rakyat dusun ini,
maka hubungan kalian dengan para penduduk tidak
akrab. Hal ini membuat para penduduk miskin itu
tidak mempunyai rasa kasih terhadap kalian karena
kalian juga tidak memiliki rasa kasih kepada mereka.
Mereka tidak mengacuhkan kalau harta benda kalian
dirampok gerombolan! Dapatkah kalian menyadari
kesalahan kalian?" Para hartawan itu mengangguk-angguk dengan muka
berubah kemerahan karena merasa malu. Baru sekali
ini mereka mendengar ucapan seperti itu dan seolah
baru terbuka mata mereka bahwa ucapan itu
mengandung kebenaran. Kalau tidak ada para pekerja
tani itu, tidak mungkin mereka dapat mengumpulkan
harta! Dan kalau dilihat apa yang mereka dapatkan
dari hasil keringat para pekerja tani itu, yang
membuat harta kekayaan mereka semakin
bertumpuk, memang harus diakui bahwa apa yang
didapatkan dari cucuran keringat para pekerja itu
sama sekali tidak sesuai, jauh terlalu kecil dan hanya
tiba pas, bahkan harus mengurangi jatah makan,
untuk kebutuhan perut mereka sekeluarga sehari-hari.
Untuk membeli pakaian dan kebutuhan selain makan
hampir tidak ada kelebihannya, apalagi untuk
membangun atau memperbaiki rumah tinggal!
"Kami menyadari kekurang bijaksanaan kami. Akan
tetapi, bagaimana baiknya menurut taihiap?" tanya
seorang di antara delapan hartawan itu.
Bwee Hwa yang sejak tadi mendengarkan ucapan
Bun Sam kini menjadi kagum bukan main. Tak
disangkanya sama sekali bahwa Bun Sam bukan saja
memiliki ilmu silat yang amat lihai, jauh lebih tinggi
daripada tingkat kepandaiannya, atau kepandaian Ui
Kong, atau bahkan tingkat kepandaian mendiang Ong
Siong Li sekali pun, akan tetapi juga memiliki
kebijaksanaan dan pengetahuan mendalam tentang
kehidupan rakyat. Maka iapun ikut mendengarkan
dengan penuh perhatian. "Sekarang kami berdua menganjurkan kepada kalian
semua, pertama-tama ke?pada Kepala Dusun Gan
See Ki. Jadilah pemimpin rakyat dusun yang
bijaksana, adil dan mementingkan kesejahteraan
rakyat jangan menuruti kemurkaan nafsu sendiri
untuk menumpuk harta kekayaan dengan cara
menerima suapan dari para hartawan dan penindasan
terhadap yang miskin dan lemah. Kalau engkau tidak
sanggup melakukan semua syarat itu, lebih baik
sekarang juga engkau meletakkan jabatanmu! Kalau
engkau sanggup, laksanakanlah dengan benar karena
kalau lain kali kami lewat di sini dan mendengar
engkau masih melanjutkan sikap dan perbuatanmu
yang lalu, terpaksa kami akan memberi hajaran keras
kepadamu!" "Akan saya perhatikan dan saya taati petunjuk
taihiap!" kata Gan See Ki dengan suara merendah.
"Dan engkau, Bu-kauwsu, mulai sekarang bubarkan
semua anak buahmu yang hanya terdiri dari tukang
pukul yang tiada gunanya. Buktinya mereka
melarikan diri ketika gerombolan datang. Mulai
sekarang yang menjadi penjaga keamanan dusun
adalah para pemuda dusun yang ratusan jumlahnya.
Engkau bertugas melatih ilmu silat kepada mereka,
tanpa memeras. Dan engkau tidak boleh
melaksanakan semua perintah yang tidak benar dari
kepala dusun atau para hartawan dengan upah besar.
Kalau ratusan orang laki-laki yang masih muda itu
bersatu padu dan menjaga keamanan, kiranya tidak
ada gerombolan yang berani mengganggu.
Sanggupkah engkau?" "Saya sanggup, taihiap."
"Jangan hanya mengatakan sanggup akan tetapi
tidak kaulaksanakan, Bu-kauwsu!" kata Bwee Hwa.
"Kalau lain hari aku mendengar engkau tidak melak-
sanakan apa yang kaujanjikan itu, lihat ini!" Gadis itu
menjulurkan tangannya pada ujung batu marmar
tebal meja itu dan sekali mengerahkan tenaga, ujung
batu marmar itu telah diremasnya hancur menjadi
tepung! Melihat ini, wajah Bu Kauwsu menjadi pucat. Sebagai
seorang ahli silat dia tahu benar betapa dahsyatnya
tenaga gadis itu. "Saya akan melaksanakan apa yang telah saya
janjikan, lihiap!" katanya.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, sekarang dengarkan baik-baik, para wan-gwe
(hartawan) dan juga kalian yang mewakili penduduk
miskin. Kaya dan miskin bukan hal yang perlu
dipertentangkan, bahkan yang kaya dan yang miskin
itu dapat saling melengkapi karena kedua pihak saling
membutuhkan. Apa jadinya kehidupan ini kalau
semua orang kaya raya" Tentu tidak ada yang
bekerja di sawah, tidak ada yang berjualan, tidak ada
yang membuat pakaian sehingga setiap orang kalau
membutuhkan sandang, pangan, papan harus mencari
dan membuat sendiri! Pendeknya, kalau semua orang
itu kaya raya, kehidupan tidak dapat dilanjutkan
karena tidak ada yang mengerjakan untuk
mengadakan apa yang dibutuhkan untuk hidup.
Sebaliknya, kalau semua hidup miskin, kehidupan
akan menjadi sengsara, serba kekurangan dan
akhirnya akan saling berebutan. Karena itu, ada yang
kaya dan ada yang melarat itu baik sekali. Keduanya
dapat saling bekerja, saling membantu sehingga
kehidupan rakyat pada umumnya dapat makmur dan
sejahtera, tidak kekurangan sandang pangan papan.
Akah tetapi, kedua pihak haruslah hidup yang benar
dan baik, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
"Dengan adanya yang kaya, maka dia dapat
memodali perusahaan yang menyerap banyak tenaga
kerja. Dengan adanya yang miskin, maka tersedia
tenaga kerja. Yang kaya membutuhkan yang miskin
sebagai karyawannya, yang miskin membutuhkan
yang kaya untuk lapangan kerja. Karena itu, yang
kaya harus membagi hasil keuntungan
perusahaannya karena para pekerja itulah yang
memiliki jasa atas kemajuan perusahaannya. Yang
kaya harus mencukupi kebutuhan para pekerjanya
dan terbuka hati dan tangannya untuk menolong
mereka yang kekurangan. Di lain pihak, yang miskin
harus rajin bekerja dengan jujur dan setia karena
perusahaan di mana mereka bekerja merupakan
sumber kehidupan dia dan keluarganya.
"Dengan demikian, maka mereka saling
membutuhkan akan tetapi juga saling dibutuhkan.
Kedua pihak memberi dan mengambil. Hubungan
antara mereka menjadi akrab dan baik, tidak ada
yang meninggikan tidak ada yang merendah?kan.
Kalau sudah begitu, maka apabila terjadi suatu
gangguan seperti tadi, maka seluruh penduduk akan
bangkit, bersatu untuk melawan dan menghalau
pengganggu kehidupan mereka. Mengertikah kalian
apa yang kami maksud?"
Para hartawan itu mengangguk-angguk dan
tampaknya senang dan setuju. Dua orang wakil
penduduk yang miskin tersenyum. "Alangkah akan
berbahagianya kami kalau terjadi seperti yang taihiap
maksudkan. Kalau kehidupan kami terja?min, tentu
saja kami akan bekerja dengan rajin dan setia
menjaga sumber kebutuhan hidup kami."
"Kami juga akan merasa senang sekali kalau semua
penduduk dapat hidup rukun, bersatu seperti itu," kata
seorang hartawan. "Nah, kalau begitu mulai sekarang ubahlah semua
keadaan yang pincang ini. Cukupilah kebutuhan
penduduk yang miskin. Beri mereka penghasilan yang
dapat menjamin tercukupnya sandang pangan
mereka sekeluarga. Mereka akan bekerja dengan
rajin sehingga hasil sawah ladang tentu akan
bertambah dan semua dapat mengalami
kemakmuran. Dan untuk pelaksanaan keadaan baru
ini, harus dilaksanakan oleh Gan-cungcu dengan adil
dan bijaksana. Bu-kauwsu boleh mulai memilih
mereka yang muda sebanyaknya, melatih ilmu silat
kepada mereka agar setiap saat ada bahaya
mengancam, penduduk sendiri yang akan menghalau
para pengacau." Ketika dua orang wakil itu diperkenankan turun untuk
mengabarkan kepada semua penduduk yang
berkumpul di pekarangan gedung kepala dusun,
mereka berdua lalu bicara dengan lantang di tepi
serambi, menceritakan rencana perubahan mengenai
keadaan penduduk dusun itu seperti yang dianjurkan
oleh kedua orang pendekar dan telah disetujui semua
pihak. Mendengar ini, penduduk itu bersorak-sorai dan
tertawa-tawa gembira, ada yang menari-nari bahkan
ada yang menangis tersedu-sedu. Baru mendengar
beritanya saja mereka sudah demikian gembira,
apalagi kalau berita itu sudah menjadi kenyataan.
Enyahlah lapar dan dingin! Minggatlah duka nestapa!
Pergilah iri dan dengki! Para hartawan, Kepala Dusun Gan See Ki, dan Bu Sui
kepala pengawal tertarik dan menghampiri ke tepi
serambi. Melihat penduduk begitu gembira, mereka
dicekam keharuan dan mereka menyadari bahwa
selama ini mereka memang telah menempuh jalan
sesat, mencari keuntungan dengan menari di atas
penderitaan orang-orang lain! Dengan terheran-heran
mereka menemukan kenyataan aneh bahwa
kebahagiaan orang-orang di bawah itu bukan hanya
mengharukan, akan tetapi juga mendatangkan
perasaan bahagia yang belum pernah mereka
rasakan selama ini! Belum juga melaksanakan semua rencana tadi,
mereka sudah merasa berjasa, bermanfaat. Hidup
mereka kini mempunyai tugas tertentu. Hidup mereka
kini berguna bagi banyak orang. Mereka diberi
kesempatan untuk menjadi alat penyalur berkah
Thian (Tuhan) kepada banyak manusia!
Akan tetapi ketika mereka menoleh ke belakang,
mereka terbelalak karena mereka tidak melihat lagi
Bun Sam dan Bwee Hwa! "Aih, ke mana perginya kedua pendekar itu?" tanya
seorang hartawan. Mereka semua, sepuluh orang itu
mencari-cari dengan pandang mata mereka, akan
tetapi tidak tampak bayangan dua orang yang tadi
duduk menghadapi meja dan bicara dengan mereka.
"Hemm, tentu mereka telah pergi dengan diam-diam!"
kata yang lain. "Bukan main! Mereka seperti dewa saja, dapat
menghilang begitu saja!" kata Bu Sui, guru silat itu. Dia
tahu bahwa beberapa orang yang pernah
mengajarkan ilmu silat kepadanya tidak mungkin
mampu menandingi ilmu silat dua orang pendekar itu.
"Ah, sungguh menyesal sekali!" kata kepala dusun.
"Kita belum sempat menghaturkan terima kasih,
menjamu mereka dan yang lebih kita sesalkan lagi,
kita belum sempat mengetahui nama kedua pendekar
itu!" Kepala dusun Liok-teng lalu berseru kepada semua
penduduk yang masih bergembira ria di bawah
serambi, di atas pekarangan gedungnya. "Hai,
saudara-saudara sekalian, penduduk dusun Liok-teng!
Apa yang kalian dengar dari kete?rangan dua orang
wakil kalian tadi semua benar belaka! Aku sebagai
kepala dusun bertanggungjawab dan tugaskulah
untuk mengatur agar semua yang diperintahkan
kedua orang pendekar penolong kita itu terlaksana
dengan baik. Kami semua telah menyadari kekeliruan
kami selama ini dan mulai hari ini, kita semua akan
memulai kehidupan baru yang tenteram dan makmur,
bersatu padu membangun dusun kita!"
Para penduduk menyambut ucapan kepala dusun
mereka itu dengan gembira sekali. Di antara keriuhan
sorak-sorai penduduk, Gan-cungcu menghadapi
delapan orang hartawan dan berkata lirih yang hanya
didengar oleh mereka dan Bu-kauwsu. "Maaf, Cu-wi
(kalian) kalau mulai detik ini, kita harus mengubah
hubungan kami menjadi sewajarnya. Mari berlumba
melakukan kebaikan untuk rakyat kita."
Delapan orang hartawan itu mengangguk-angguk.
"Dan engkau, Bu-kauwsu, laksanakan perintah taihiap
dan lihiap tadi," kata pula Gan-cungcu kepada Bu-
kauwsu dan bekas komandan pasukan keamanan itu
mengangguk. Mereka semua, juga para penduduk, merasa
menyesal sekali bahwa kedua orang pendekar itu
telah menghilang dengan diam-diam. Pemuda dan
gadis perkasa itu bukan hanya mendatangkan
keadaan hidup baru bagi semua penduduk, akan
tetapi juga tadi telah menyelamatkan semua barang
berharga yang akan dirampok penjahat,
menyelamatkan pula para gadis yang akan diculik,
dan barangkali juga menyelamatkan nyawa mereka
dari ancaman gerombolan. Sementara itu, selagi semua penduduk Liok-teng
gembira, Bun Sam dan Bwee Hwa sudah pergi jauh
meninggalkan dusun itu. Mereka tadi sengaja
meninggalkan tempat itu secara diam-diam karena
mereka tidak ingin disanjung-sanjung. Setelah jauh
meninggalkan dusun Liok-teng, mereka lalu berjalan
biasa dengan langkah santai.
"Sam-ko, luar biasa sekali apa yang kaulakukan tadi,"
Bwee Hwa memuji te-mannya.
"Ah, tidak, Hwa-moi. Memang seyogianya
demikianlah sikap setiap orang manusia, berbuat
kebaikan berguna bagi orang lain sekuat kemampuan
dan keadaan masing-masing. Kalau kita dapat
melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain,
terutama orang banyak kalau mungkin, maka baru
kita menyadari bahwa untuk itulah kita hidup. Saling
tolong, saling bantu. Sayang, sebagian besar orang
hanya mengerahkan segala kemampuan mereka
hanya untuk kepentingan dan kesenangan diri
mereka sendiri tanpa memperdulikan keadaan orang
lain, seolah orang seperti itu lupa bahwa dia tidak
mungkin hidup seorang diri saja di dunia ini. Kita hidup
saling bergantungan, saling membutuhkan. Tidak
pantas kita hidup kalau hanya dapat meminta, tanpa
memberi yang berarti kita hanya menuntut hak tanpa
memenuhi kewajiban."
"Sam-ko, apakah engkau yakin bahwa dusun Liok-
teng akan dapat berubah menjadi dusun yang
makmur bagi semua penduduknya, tanpa kecuali."
"Aku yakin hal itu akan tercapai kalau saja setiap
orang setia melakukan kewajiban masing-masing.
Kalau para pekerja dengan rajin, jujur dan setia maka
hasilnya tentu akan berlipat ganda. Si pemilik modal
menjamin kehidupan mereka sekeluarga dengan
cukup sebagai bagian mereka atas hasil pekerjaan itu,
maka semua pihak akan merasa berbahagia dan
keadaan itu akan mendatangkan kemakmuran dan
persatuan yang kokoh kuat. Akan tetapi kalau
mereka itu hanya menuntut hak tanpa melaksanakan
kewajiban masing-masing, tentu saja kemakmuran
tidak akan tercapai dan persatuan juga menjadi retak.
Kekacauan dan kelemahan timbul."
"Sayang, sebagian orang hanya menuntut hak tanpa
mau melaksanakan tugas dengan baik, Sam-ko."
Pemuda itu menghela napas panjang. "Hal itu
merupakan kenyataan yang pahit, Hwa-moi. Akan
tetapi kesemuanya itu terpulang kepada pribadi
masing-masing, apakah dia ingin mengisi hidup yang
tak berapa lama ini dengan pekerjaan yang
bermanfaat bagi orang lain ataukah dia hanya
menghabiskan waktu selama hidupnya hanya untuk
memenuhi kepentingan dan kesenangan diri sendiri
belaka tanpa memperdulikan keadaan orang lain.
Hidup seperti itu tiada bedanya dengan kehidupan
binatang." "Wah, kalau engkau bersikap dan bicara seperti ini,
Sam-ko, engkau meng-ingatkan aku kepada suhu-ku,
dan kepada kakak Ui Kiang."
"Suhumu Sin-kiam Lojin memang seorang bijaksana
dan Ui Kiang juga seorang yang baik budi dan luas
pengetahuannya. Setiap orang manusia seyogianya
mengerti akan makna kehidupan ini, mengenal diri
pribadi sedalam-dalamnya sehingga mudah
menyadari akan setiap kesalahan dan dapat segera
mengubahnya. Setiap orang manusia patut menyadari
bahwa dia diciptakan Tuhan hidup di dunia ini agar dia
berguna bagi manusia dan dunia, bukan sekadar
makan tidur dan terombang-ambing antara
kesenangan dan kesusahan, lalu mati tanpa
meninggalkan kesan. Lebih celaka lagi kalau sampai
kita tersesat, bukan melakukan kebaikan yang
bermanfaat bagi manusia dan dunia, melainkan
melakukan kejahatan yang mencelakakan manusia
lain dan mengotori dunia."
Mereka melanjutkan perjalanan dan dalam diri
pemuda itu Bwee Hwa merasa mendapatkan seorang
sahabat yang dapat pula dijadikan guru atau
pembimbing dalam kehidupan. Mereka melanjutkan
perjalanan dan karena Bun Sam ingin mendahulukan
keperluan Bwee Hwa, maka dia mengajak Bwee
Hwa untuk berjalan menuju Heng-san, pegunungan
tempat tinggal Sin-kiam Lojin yang ingin dikunjungi
gadis itu. Setelah tiba di sebuah kota, Bwee Hwa membeli dua
ekor kuda untuk tunggangan mereka karena mereka
telah meninggalkan kuda mereka di dusun itu dengan
diam-diam. Karena tidak ingin ada orang mengetahui
kepergian mereka, maka mereka terpaksa
meninggalkan dua ekor kuda itu dan kini Bwee Hwa
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan uang bekal pemberian kedua orang
kakak angkatnya untuk membeli dua ekor kuda.
Setelah mendapatkan dua ekor kuda yang baik dan
kuat, Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa melanjutkan
perjalanan mereka. Derap kaki kuda mereka me-
ninggalkan kota itu, makin lama semakin sayup lalu
tak terdengar lagi. Mereka berdua menuju Heng-san
yang cukup jauh dari situ dan siap siaga menghadapi
segala pengalaman baru dengan bekal sikap
pendekar yang selalu membela kebenaran dan
keadilan, menentang kejahatan yang didasari
keangkara-murkaan manusia yang disesatkan iblis
melalui nafsu-nafsu daya rendah yang berada dalam
diri setiap orang manusia.
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Kembalinya Pasangan Selingkuh
Pek-hwa Sianli duduk termenung di depan pondoknya
di lereng Bukit Ayam Emas. Pagi itu udaranya cerah,
sinar matahari yang masih muda mendatangkan
kehangatan mengusir sisa hawa dingin berkabut yang
ditinggalkan sang malam. Wanita cantik yang tampak berusia duapuluh tahun
walaupun usianya sudah tigapuluh tahun itu selama
beberapa minggu ini tampak murung. Ia kini tinggal
seorang diri saja di pondoknya karena ia telah
membunuh A-hui dan A-kui, dua orang gadis
pelayannya karena mereka telah berjina dengan Thio
Kam Ki yang menjadi kekasihnya.
Perginya Kam Ki membuat ia sedih dan kecewa
sekali. Ia tergila-gila kepada pemuda itu, bukan hanya
karena pemuda itu tampan dan memiliki daya tarik
yang amat kuat, juga masih perjaka ketika pertama
kali bertemu dengannya, akan tetapi terutama sekali
karena pemuda itu amat lihai sehingga dapat
diandalkan dan akan memperkuat kedudukannya,
dapat membelanya kalau ia mendapat serangan
musuh-musuhnya. Pek-hwa Sianli tahu bahwa ia dimusuhi para
pendekar, terutama setelah ia, dibantu oleh Kam Ki,
telah membunuh Siang-to Sam Heng-te (Tiga Kakak
Beradik Bergolok Pasangan), tiga orang pendekar
yang memusuhinya karena ia mereka ketahui sering
menculik pemuda-pemuda dan membunuh mereka
kalau ia sudah merasa bosan mempermainkan
mereka. Semenjak ia membunuh A-hui dan A-kui, dan Kam Ki
pergi meninggalkannya, kemudian ia menyuruh dua
gadis kembar Can Kim Siang dan Can Gin Siang untuk
mencari dan membunuh Kam Ki, ia tidak betah tinggal
di lereng Bukit Ayam Emas. Ia telah mencoba
menghibur diri dengan pergi ke tempat jauh dari bukit
itu dan bersenang-senang dengan pemuda yang
dapat diculik dan dibujuknya. Akan tetapi hal itu tidak
berlangsung lama karena setelah ia bertemu dengan
Kam Ki tidak ada lagi pria yang dapat menewaskan
hatinya. Ia segera merasa bosan dan akhirnya ia
kembali ke pondoknya dan seringkali termenung. Ia
diam-diam merasa bingung.
Ada perasaan dendam kepada Kam Ki karena
pemuda itu meninggalkanya, akan tetapi juga ada
rasa rindu kepada pemuda itu. Maka, diam-diam ia
merasa menyesal mengapa ia menyuruh dua orang
adik misannya, sepasang gadis kembar itu, untuk
mencari dan membunuh Kam Ki. Sepasang gadis
kembar itu kini lihai sekali setelah menjadi murid Hoa-
san Kui-bo, kalau sampai mereka berhasil membunuh
Kam Ki, ia akan merasa kehilangan dan bersedih
sekali! Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan inilah
yang membuat ia kini seringkali termenung dengan
murung. Terdengar bunyi kicau burung di atas pohon yang
tumbuh di depan pondok itu. Pek-hwa Sianli mencari
dengan pandang matanya dan ia melihat dua ekor
burung sedang berkicau dan bercumbu di atas ranting
pohon. Melihat kemesraan sepasang burung itu, timbul
perasaan iri yang membuat hatinya seperti terbakar.
Ia segera mengambil sepasang sumpit yang tadi ia
pergunakan untuk sarapan bubur dan sekali kedua
tangannya bergerak, dua batang sumpit itu meluncur
seperti anak panah menuju ke atas pohon dan
beberapa detik kemudian tubuh dua ekor burung itu
jatuh ke bawah pohon, terkapar mati dengan tubuh
tertusuk sumpit! Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan dan Pek-
hwa Sianli cepat bangkit berdiri dan memutar
tubuhnya. Ia terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri
ketika ia melihat Kam Ki telah berdiri di situ dengan
senyumnya yang selalu terbayang olehnya!
".......kau .......!" katanya dan suaranya terdengar aneh
karena mengandung bermacam perasaan. Ada
kejutan, ada kegembiraan, akan tetapi bercampur
dengan kemarahan, juga keharuan.
Kam Ki memperlebar senyumnya dan sepasang
matanya memandang dengan sinar penuh kasih
sayang, sinar mata yang sempat membuat wanita itu
tergila-gila. "Sian-li, aku datang karena sudah tidak dapat
menahan rasa rinduku kepadamu. Akan tetapi
sebelumnya agaknya kita harus menjernihkan dulu
kekeruhan yang ada di antara kita. Boleh aku duduk
dan kita berbicara dari hati ke hati?"
Sebetulnya Pek-hwa Sianli merasa gembira sekali dan
ingin ia menyambut kemunculan pemuda itu dengan
pelukan kasih sayang. Akan tetapi sebagai wanita ia
mengambil sikap seolah ia tidak acuh, dan berkata
dengan dingin, "Silakan."
Kam Ki bukan orang bodoh. Dia sudah mengenal baik
wanita itu, maka dari sinar mata Pek-hwa Sianli saja
dia sudah mengetahui bahwa wanita itu menyambut
kedatangannya dengan penuh gairah cinta! Dia lalu
duduk di atas kursi, berhadapan dengan Pek-hwa
Sianli. Lalu dia mengambil sebuah peti berukir kecil
dari sakunya dan memberikannya kepada Pek-hwa
Sianli. "Ini aku membawa sedikit hadiah untukmu.
Terimalah, Pek-hwa Sianli."
Dengan tetap mengambil sikap ogah-ogahan wanita
itu menerima peti kecil itu dan meletakkan di atas
meja yang berdiri di antara mereka.
"Buka dan lihatlah isinya, Sian-li."
Pek-hwa Sianli adalah seorang wanita yang memiliki
banyak harta benda, tentu saja ia tidak
membutuhkan barang apapun. Ia mampu membeli
perhiasan yang bagaimana bagus dan mahalpun,
bahkan iapun akan dapat dengan mudah mencuri
barang indah yang diinginkannya kalau ia tidak
mampu membelinya. Akan tetapi, pemberian dari
pemuda itu diam-diam membuat jantungnya
berdebar, penuh kegembiraan karena hadiah dari
seorang pria menunjukkan akan cinta pria itu
kepadanya. Dibukanyalah tutup peti itu.
Sebuah hiasan rambut dari emas dengan permata
indah berkilauan menyambut pandang matanya. Ia
girang sekali, akan tetapi menahan mulutnya agar
tidak menyuarakan perasaan hatinya. Ia bahkan
menutup kembali peti itu.
"Kam Ki, apa yang akan kau bicarakan?" Untuk
menunjukkan kemarahannya ia tidak lagi menyebut
kakak kepada Kam Ki yang sesungguhnya memang
antara tujuh tahun lebih muda daripadanya.
"Aku ingin bicara denganmu tentang hubungan kita
yang terputus secara mengecewakan."
"Hemm, siapa yang bikin putus" Engkau
meninggalkan aku tanpa pamit!"
"Memang benar. Aku mengakui itu, akan tetapi, Sian-
li, kepergianku itu adalah untuk menjaga agar jangan
terjadi pertentangan dan keributan di antara kita.
Melihat engkau membunuh A-hui dan A-kui, maka
aku rasa lebih baik kalau untuk sementara aku pergi
dan menjauhkan diri darimu agar tidak terjadi
keributan." Pek-hwa Sianli cemberut. "Tentu saja aku membunuh
mereka karena mereka berani main gila denganmu!"
"Aih, engkau tidak adil, Sian-li. Kita saling mencinta,
akan tetapi tidak harus saling mengikat. Engkau boleh
berhubungan dengan laki-laki lain, mengapa aku tidak
boleh" Itu tidak adil namanya. Sekarang begini, Sian-li.
Setelah berpisah darimu, baru aku merasa amat
kehilangan dirimu dan aku merasa rindu padamu.
Nah, kuharap engkau suka bersikap jujur. Bagaimana
perasaanmu terhadap diriku" Apakah sekarang
menjadi benci dan tidak mau bersahabat lagi dengan
aku" Akui saja terus terang."
"Hemm, kalau mau bersahabat lagi bagaimana dan
kalau tidak bagaimana?"
"Nah, pertanyaan itu aku suka, Sianli. Kita harus jujur
dan terbuka dalam hubungan kita. Kalau engkau tidak
mau bersahabat lagi, aku akan pergi dan tidak akan
mendekatimu lagi. Kita boleh tidak bersahabat, akan
tetapi tidak perlu bermusuhan. Sebaliknya, kalau
engkau ingin bersahabat lagi, aku akan merasa
senang sekali. Akan tetapi dalam hubungan kita itu
kita harus tetap bebas. Engkau boleh saja
berhubungan, dengan laki-laki lain, demikian pula aku
boleh berhubungan dengan wanita lain. Bukankah ini
adil namanya" Kita dapat saling membantu dalam
segala hal, jadi sama-sama untung, sama-sama
senang. Bagaimana pendapatmu?"
Sampai lama Pek-hwa Sianli terdiam, berpikir dan
mempertimbangkan dalam hatinya. Kemudian
wajahnya berseri dan bibirnya yang tadinya cemberut
itu kini tersenyum. Ia menyadari bahwa usul pemuda
itu memang cocok dengan isi hatinya. Ia sendiripun
akhirnya akan bosan dengan Kam Ki dan
menginginkan teman pria baru. Dan memang akan
menyenangkan sekali kalau mereka berdua tetap
bebas. Dan selain Kam Ki merupakan pria yang dapat
menyenangkan hatinya, pemuda itupun dapat
menjadi kawan, bahkan pelindung yang amat boleh
diandalkan dengan kesaktiannya!
"Anak nakal, tega benar engkau meninggalkan aku
kesepian seorang diri sampai begitu lama! Kaukira
hanya engkau yang rindu" Akupun rindu setengah
mati, kau bocah nakal!"
"Jadi engkau setuju dengan syaratku tadi?"
"Tentu saja, bodoh! Kenapa tidak dari dulu
kaukatakan kepadaku" Engkau sebaliknya malah
minggat!" Kedua orang itu sama-sama bangkit berdiri dan saling
berpelukan dengan mesra. Keduanya menumpahkan
rasa rindu dengan bercinta sepuas hati mereka.
Setelah mereka mendapat kesempatan bercakap-
cakap, Kam Ki berkata, "Sian-li, engkau menyuruh dua
gadis kembar Can untuk membunuhku, bukan?"
Pek-hwa Sianli menciumnya dan menjawab manja.
"Habis, engkau sih yang membuat aku susah dan
marah, pergi minggat begitu saja. Memang aku
menyuruh mereka untuk mencarimu dan
membunuhmu, sungguhpun setelah mereka pergi aku
merasa menyesal sekali, takut kalau engkau benar-
benar terbunuh. Akan tetapi syukur engkau selamat,
kekasihku!" Kam Ki tertawa. "He-he, kaukira dua orang gadis
kembar itu mampu me-ngalahkan aku" Tidak, mereka
tidak mampu mengalahkan aku, akan tetapi
merekapun agaknya mengkhianatimu, Sian-li, karena
mereka berdua telah bergabung dengan para
pendekar yang memusuhi aku dan perkumpulan yang
kupimpin, yaitu Pek-lian-kauw."
Kam Ki lalu menceritakan tentang penyerbuan Ong
Siong Li, Ui Kong dan Lim Bwee Hwa yang kemudian
bersatu dengan dua gadis kembar utusan Pek-hwa
Sianli itu. Akan tetapi Kam Ki sama sekali tidak
menyebut nama Sie Bun Sam sehingga Pek-hwa
Sianli mengira bahwa kekasihnya ini kalah karena
dikeroyok banyak orang, termasuk dua orang gadis
kembar, adik misannya itu.
Selama beberapa hari, Kam Ki dan Pek-hwa Sianli
bersenang-senang me-lepaskan kerinduan hati
mereka. Segala sesuatu tampak indah bagi Pek-hwa
Sianli. Di lubuk hatinya, wanita ini harus mengakui
bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Kam Ki.
Bukan sekedar cinta berahi yang selama ini
membuatnya mabok. Kini ia benar-benar mencinta
Kam Ki, bukan memperalat Kam Ki untuk memuaskan
nafsu berahinya seperti terhadap para pemuda lain
yang pernah ia permainkan, melainkan sungguh-
sungguh mempunyai perasaan kasih sayang, ingin
membahagiakan, ingin membela dan siap berkorban
apapun demi membahagiakan pemuda ini.
Kurang lebih dua pekan kemudian, pada suatu senja,
Kam Ki dan Pek-hwa Sianli duduk berdua di ruangan
depan pondok. Mereka tampak santai dan wajah Pek-
hwa Sianli tampak lebih cantik daripada biasanya. Kini
sepasang matanya bersinar lembut, mulutnya selalu
membayangkan senyum dan gerak-gerik tubuhnya
nampak lembut, santai dan malas, seperti seekor
harimau betina yang kekenyangan sehingga menjadi
malas. Mereka duduk berdampingan di atas bangku
dan dengan malas dan manja Pek-hwa Sianli
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyandarkan kepalanya di dada Kam Ki.
"Sian-li, sungguh tidak baik kalau kita berdua hanya
begini saja seperti ini, tinggal di tempat sunyi ini dan
tidak melakukan apa-apa."
"Kekasihku, mengapa engkau berkata demikian"
Bukankah kita berdua merasakan kesenangan berdua
seolah kita berada di sorga?"
"Akan tetapi kalau begini terus dapat membosankan,
Sian-li." Pek-hwa Sianli bangkit duduk dan menatap tajam
wajah pemuda itu. "Bosan" Kam Ki, apakah engkau
hendak mengatakan bahwa engkau bosan
kepadaku?" Kam Ki tersenyum dan merangkul. "Bodoh, siapa bisa
bosan padamu, Sianli" Bukan engkau yang
membosankan, melainkan keberadaanku di tempat
sunyi ini, hanya makan tidur dan tidak mempunyai
kegiatan apa-apa. Dengar, Sian-li. Aku pernah
merasakan kesenangan besar ketika aku memimpin
banyak anak buah di Pek-lian-kauw. Aku merasa
mempunyai kekuasaan dan mempunyai kedudukan
yang kuat. Nah, aku merindukan keadaan seperti itu.
Setelah kini kita bersatu, maka kita menjadi lebih
kuat dan kalau kita dapat membentuk suatu
perkumpulan yang kuat, dengan anak buah yang
banyak, maka kita dapat hidup sebagai seorang raja
yang memiliki pasukan!"
"Wah, terserah kepadamu, Kam Ki. Aku setuju dan
mendukung niatmu itu dan aku akan selalu menyertai
dan membantumu. Lalu, apa yang hendak kaulakukan
sekarang?" "Begini, Sian-li. Kalau engkau mendukung keinginanku,
besok kita pergi meninggalkan tempat sunyi ini. Aku
akan mencari sisa-sisa dari mereka yang dulu menjadi
anak buahku. Kita bersama lalu menghimpun tenaga,
mengumpulkan orang-orang yang pantas menjadi
anak buah kita, lalu memilih sebuah tempat yang baik
untuk kita jadikan sarang perkumpulan kita. Kalau
keadaan kita sudah kuat seperti itu, kita tidak perlu
takut lagi menghadapi permusuhan dengan me?reka
yang menamakan dirinya pendekar. Bahkan akan kita
basmi satu demi satu mereka yang memusuhi kita.
Bagaimana pendapatmu?"
Pek-hwa Sianli memandang kekasihnya dan
tersenyum manis. "Ah, bagus sekali, Kam Ki. Aku mendukung
sepenuhnya!" Mereka berangkulan dan bermesraan kembali. Akan
tetapi tiba-tiba Kam Ki melepaskan rangkulannya.
"Dengar, ada yang datang berkuda!"
Pek-hwa Sianli juga mendengarkan. Sejenak mereka
berdiam diri, mendengar-kan penuh perhatian. "Benar,
ada dua ekor kuda mendaki puncak. Hemm, mungkin
sekali mereka adalah dua orang adik misanku yang
kembar itu, Kam Ki. Agaknya mereka kembali ke sini."
"Kalau begitu, aku harus bersembunyi dulu, keluar dari
pondok. Aku menantimu di guha karang dan nanti
engkau datang menemuiku setelah menyambut
kedatangan mereka." "Baik, Kam Ki, pergilah."
Kam Ki lalu keluar dari pondok melalui pintu belakang
dan terus pergi ke sebuah guha yang berada sekitar
setengah lie (mil) dari pondok itu.
Sementara itu, dengan hati tegang karena sudah
mendengar bahwa dua orang adik misannya itu
membalik, bersatu dengan para pendekar memusuhi
Kam Ki, Pek-hwa Sianli berdiri menanti datangnya dua
orang penunggang kuda yang telah terdengar derap
kaki kudanya sebelum kelihatan.
Setelah dua orang pemuda itu muncul, Pek-hwa Sianli
melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Can
Gin Siang akan tetapi orang kedua adalah seorang
pemuda bertubuh tinggi tegap dan berwajah ganteng,
berusia sekitar duapuluh dua tahun yang ia tidak
kenal. Dua orang itu setelah tiba di pekarangan
pondok lalu turun dari atas kuda mereka. Ui Kong,
pemuda itu, membantu tunangannya menambatkan
kuda mereka pada sebatang pohon, kemudian
mereka melangkah maju menghampiri Pek-hwa Sianli
yang masih berdiri menanti di depan pintu pondok.
"Hemm, engkau baru datang, A Gin?" tegur Pek-hwa
Sianli, dengan hati bim-bang. Dua macam perasaan
teraduk dalam hatinya ketika ia melihat Can Gin
Siang. Ia girang bahwa Gin Siang dan Kim Siang tidak
berhasil membunuh Kam Ki, akan tetapi ia juga
penasaran mendengar betapa dua orang adik
misannya itu kini bersatu dengan para pendekar.
Gin Siang menghampiri sampai ke depan Pek-hwa
Sianli dan memberi normat, lalu memperkenalkan.
"Enci Hwa, ini adalah tunanganku, namanya Ui Kong.
Kong-ko inilah enci Pek-hwa Sianli yang juga menjadi
guru pertamaku." Ui Kong memberi hormat dan Pek-hwa Sianli
mengamati wajah pemuda ini dengan sinar mata
kagum. Seorang pemuda yang tampan dan gagah,
menggai?rahkan sekali, bisik hati akal pikirannya
yang memang selalu tertarik dan ber?gairah setiap
melihat seorang pria yang tampan.
"Kalian masuklah, kita bicara di dalam, A Gin."
Mereka bertiga masuk dan duduk di ruangan depan.
Untung bahwa di situ tidak terdapat tanda-tanda
kehadiran Kam Ki, pikir Pek-hwa Sianli sambil
mengerling ke sekitarnya.
"A Gin, mana A Kim dan apa artinya engkau
memperkenalkan saudara Ui Kong ini sebagai
tunanganmu?" Gin Siang merasa heran mengapa kakak misannya ini
tidak menanyakan tentang tugas yang diberikan
kepada ia dan saudara kembarnya, tidak bertanya
tentang hasil usaha mereka membunuh Kam Ki. Akan
tetapi ia ingin menceritakan semua yang terjadi.
"Begini, enci Hwa. Pertama-tama saya hendak
melaporkan bahwa kami berdua telah berhasil
bertemu dengan Kam Ki dan menyerangnya. Akan
tetapi dengan menyesal saya beritahukan bahwa dia
dapat lolos dari tangan kami karena memang dia
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan dia telah
menjadi pimpinan Pek-lian-kauw. Kami berdua
bahkan tertawan olehnya karena kami pingsan ketika
dia mempergunakan peledak yang mengandung obat
bius. Untunglah muncul kanda Ui Kong ini dan kawan-
kawannya sehingga kami dapat terbebas dari bahaya.
Kami berdua bersama Kong-ko dan kawan-kawannya
berhasil menghancurkan perkumpulan itu akan tetapi
Kam Ki dapat meloloskan diri. Kemudian, kami berdua
menemukan jodoh kami, enci. Kim Siang bertunangan
dengan kakak Ui Kiang dan aku bertunangan dengan
Ui Kong ini. A Kim tertinggal di kota Ki-lok membantu
tunangannya mengurus perusahan dan mewakilkan
aku dan Kong-ko untuk menghadap enci dan memberi
kabar tentang semua yang kuceritakan itu."
Sebetulnya, di dalam hatinya Pek-hwa marah
mendengar kedua orang adik misannya itu kini bukan
hanya bergabung, bahkan bertunangan dengan orang-
orang yang memusuhi Kam Ki. Akan tetapi wanita
yang cerdik ini memperlihatkan wajah gembira. Ia
dapat menduga bahwa pemuda bernama Ui Kong ini
tentu seorang yang tangguh maka dapat menolong
dua orang adik misannya yang tertawan Kam Ki dan
Pek-lian-kauw, dan iapun tahu bahwa tingkat
kepandaian A Gin tidak berselisih jauh dengan
tingkatnya sendiri setelah dua orang gadis kembar itu
berguru kepada Hoa-san Kui-bo, bibi gurunya yang
bertapa di Hoa-san. Maka ia bersikap ramah agar
mereka tidak curiga. "Ah, aku senang sekali mendengar kalian berdua
telah mendapatkan jodoh, A Gin. Kapan akan
diadakannya perayaan pernikahannya?"
"Secepatnya, enci. Dan kami datang ini selain untuk
melaporkan yang tadi, juga untuk mengundang agar
enci dapat menghadiri perayaan pesta pernikahan
kami di Ki-lok." "Tentu saja, A Gin. Sekarang, hari telah menjelang
malam dan kalian telah melakukan perjalanan jauh.
Mari, kalian mandi dan berganti pakaian dulu agar
segar kembali, kemudian kita makan malam dan
bicara lebih lanjut. Kalian mandi dan mengaso dulu
sementara aku akan mencari beberapa macam
bumbu masakan di luar."
"Ah, tidak perlu merepotkanmu, Enci Hwa."
"Tidak ada yang repot, kalian mandilah dulu."
Pek-hwa Sianli lalu meninggalkan pondok, diam-diam
menekan kemarahannya karena kini A Gin
menyebutnya "enci Hwa" tidak lagi menyebut seperti
dulu. Sebutan ini diucapkan Gin Siang sebagai tanda
keakraban bersaudara, akan tetapi bagi Pek-hwa
Sianli dianggap tidak menyenangkan karena ia lebih
senang disebut Sianli yang berarti Dewi!
Setelah meninggalkan pondok, Pek-hwa Sianli cepat
mengambil jalan memutar menuju ke guha di mana
Kam Ki telah menantinya dengan tidak sabar.
"Yang datang adalah Can Gin Siang bersama
tunangannya. Tunangannya itu bernama Ui Kong yang
katanya membantunya menyerbu Pek-lian-kauw dan
ikut mengeroyokmu. Iapun menceritakan bahwa Kim
Siang juga bertunangan dengan kakaknya Ui Kong itu.
Gin Siang datang selain untuk melaporkan
kegagalannya membunuhmu, juga mengundangku ke
perayaan pernikahan dua orang gadis kembar itu.
Sekarang bagaimana baiknya, Kam Ki?"
"Kalau menurut engkau, bagaimana baiknya?"
"Kalau kita maju bersama, kukira tidak akan terlalu
sukar untuk mengalahkan mereka. Mari kita bunuh
saja mereka!" Kam Ki mengangguk. "Mari kita bunuh laki-laki itu,
akan tetapi Gin Siang jangan dibunuh dulu. Sayang
kalau langsung dibunuh. Aku masih ingat, ia cantik
jelita. Kita tangkap ia hidup-hidup dan serahkan saja
ia kepadaku, nanti kalau aku sudah bosan akan
kubunuh." "Uh, engkau mau enak sendiri saja!" Pek-hwa Sianli
bersungut. "Ui Kong itu pun muda dan tampan sekali.
Kalau engkau mau bersenang-senang, akupun juga.
Diapun tidak langsung boleh dibunuh!"
Kam Ki tersenyum menyeringai, maklum akan
maksud wanita itu. "Kalau begitu, kita tangkap
mereka, kita bersenang-senang, baru kita bunuh
mereka. Begitukah?" "Ya, akan tetapi kalau membunuh mereka tidak
begitu sukar, sebaliknya kalau hendak menangkap
hidup-hidup, bukan merupakan pekerjaan mudah!
Ingat, merekapun memiliki kepandaian yang cukup
tinggi dan tangguh sekali."
"Ha-ha, apa sukarnya" Ketahuilah, aku membawa
obat bius dari Pek-lian-kauw. Kalau dicampurkan arak,
tidak akan terasa sama sekali dan bekerjanya cepat.
Kusimpan dalam buntalan pakaianku dalam kamarmu.
Pergunakan itu. Kalau mereka sudah pingsan, kita
pergunakan obat perangsang milikmu itu dan kita
bersenang-senang." Pek-hwa Sianli mengangguk-angguk dengan gembira.
Kemudian ia pergi, kem?bali ke pondok dan langsung
sibuk di dapur untuk masak. Tentu saja sebelum itu ia
sudah mengambil obat atau racun pembius dari
buntalan pakaian Kam Ki dalam kamarnya dan
mencampurkannya dengan arak dalam guci arak
yang akan dihidangkannya nanti.
Setelah selesai mandi dan bertukar pakaian, Gin Siang
membantu kesibukan Pek-hwa Sianli di dapur,
sedangkan Ui Kong mengurus kuda, memberi dua
ekor kuda itu makan dan minum.
Malampun tiba. Kini tiga orang itu sudah duduk
sekeliling meja makan. Dengan gembira mereka
makan dan minum dan Pek-hwa Sianli menuangkan
arak merah yang harum baunya ke cawan masing-
masing. Tentu saja sebelumnya ia sudah menelan
obat penawar atau pemunah racun pembius yang
berada dalam arak itu. Ketika mereka makan minum, Kam Ki telah
mendekati pondok dengan hati-hati, tanpa
menimbulkan suara sedikitpun dan dia mengintai dari
luar ruangan makan. Jantungnya berdebar tegang dan
girang melihat Can Gin Siang yang cantik jelita itu.
Begitu cawan pertama diminum Ui Kong dan Gin
Siang, Pek-hwa Sianli sudah menuangkan arak dari
guci itu kembali memenuhi cawan mereka.
"Mari kita minum untuk merayakan perjodohan
antara kalian yang sungguh amat menggembirakan
hatiku!" katanya sambil mengangkat cawan. Tentu
saja Ui Kong dan Gin Siang tidak menolak maksud
baik itu dan mereka pun mengangkat cawan lalu
minum isinya sampai habis.
Kalau Berjodoh Pasti Bertemu Lagi ~ Tamat
"Celaka......!" Tiba-tiba Ui Kong berseru, tubuhnya
limbung ketika dia bangkit berdiri. Dia melihat
tunangannya malah sudah merebahkan kepala di atas
meja dalam keadaan lemas dan terkulai.
Ui Kong mendengar suara tawa dan dengan marah ia
mengumpulkan tenaga yang terasa hilang, lalu
melontarkan cawan arak yang kosong ke arah muka
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek-hwa Sianli yang tertawa. Akan tetapi karena
lontaran itu lemah dan Pek-hwa Sianli mengelak,
sambitan itupun tidak mengenai sasaran. Ui Kong
mencoba melangkah mundur dari meja, akan tetapi
dia terkulai dan roboh! Kam Ki muncul dari pintu dan bertepuk tangan
memuji sambil tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali,
Sianli! Mulai malam ini kita bersenang-senang sampai
sepuasnya!" kata Kam Ki dan dia tertawa dengan
suara tawanya yang terdengar penuh ejekan. Dia
menghampiri Gin Siang yang masih duduk di atas
kursi dengan kepala berbantal lengan di atas meja
dalam keadaan pingsan atau tidur dan hendak
memondongnya. "Sabar dulu, Kam Ki. Engkau lupa! Mereka harus diberi
minum anggur merah perangsang dulu agar jinak, dan
tidak menolak atau melawan!"
"Ah, benar, aku lupa, Sian-li. Ambil anggurmu itu!"
Pek-hwa Sianli berlari ke kamarnya mengambil
sebotol anggur merah yang merupakan obat
perangsang yang amat manjur, yang ia pergunakan
kepada para pemuda yang diculiknya dahulu untuk
membakar gairah para pemuda itu.
Ia menuangkan anggur merah itu ke dalam cawan
arak yang dipakai Gin Siang dan Ui Kong tadi sampai
penuh. Kemudian, Kam Ki mendekatkan cawan itu ke
mulut Gin Siang dan Pek-hwa Sianli juga
menempelkan cawan itu ke bibir Ui Kong. Dengan
tangan kiri, mereka menekan geraham memaksa
mulut dua orang korban itu terbuka agar mereka
dapat menuangkan anggur merah itu ke dalam perut
mereka. Tiba-tiba pada saat itu, dua sinar merah kecil
menyambar ke dalam kamar berturut-turut. Sinar
pertama menyambar ke arah cawan yang dipegang
Pek-hwa Sianli dan sinar kedua menyambar ke arah
cawan yang dipegang Kam Ki.
"Cringg......! Cringg......!"
Biarpun dua sinar itu ternyata hanya jarum-jarum
merah yang meluncur sambil mengeluarkan suara
seperti tawon terbang, namun cukup mengejutkan
Kam Ki dan Pek-hwa Sianli sehingga mereka menarik
tangan mereka dan melepaskan cawan sehingga
anggurnya tumpah ke atas lantai. Keduanya
melompat dan memutar tubuh ke arah jendela dari
mana dua sinar tadi menyerang ke arah tangan
mereka yang memegang cawan. Mereka melihat
berkelebatnya bayangan di luar jendela.
"Keparat, jangan lari!" Bentak Kam Ki dan Pek-hwa
Sianli. Keduanya lalu melompat dengan gesit seperti
burung terbang keluar melalui jendela dan tiba di
ruangan luar yang luas. Ternyata penyerang itu sama sekali tidak melarikan
diri. Di tengah ruangan itu, di bawah sinar lampu
gantung yang cukup terang, berdiri dua orang yang
membuat wajah Kam Ki menjadi pucat ketika melihat
mereka. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang
gadis, yaitu Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa!
"Y" Bagaimana dua orang itu tiba-tiba saja dapat berada
di situ" Seperti telah diceritakan, Bwee Hwa dan Bun
Sam melakukan perjalanan menuju ke Heng-san
karena Bwee Hwa ingin sekali mengunjungi gurunya,
Sin-kiam Lojin yang sudah tua dan sudah ia
tinggalkan mencari ayahnya selama lebih dari dua
tahun. Bun Sam menemaninya dan di sepanjang perjalanan,
Bwee Hwa semakin kagum kepada Bun Sam.
Pemuda ini mengingatkan ia akan mendiang Ong
Siong Li yang jujur, bijaksana, sopan dan gagah
perkasa. Kebetulan saja perjalanan mereka itu melalui kaki
Bukit Ayam Emas. "Bukankah itu Bukit Ayam Emas?" tanya Bwee Hwa
ketika mereka tiba di kaki bukit itu.
"Benar, lihat saja bentuk puncaknya seperti seekor
ayam, dan pohon-pohon di sana itu berwarna
kekuningan seperti emas. Bagus, ya?"
"Tapi, bukankah kakak Ui Kong dan Gin Siang pergi ke
sana" Kata dua orang gadis kembar itu, kakak misan
atau juga guru pertama mereka yang bernama Pek-
hwa Sianli tinggal di lereng Bukit Ayam Emas. Kalau
begitu, mereka berdua tentu pergi ke sana juga."
"Ah, benar juga katamu, Hwa-moi. Akan tetapi
mengapa jalan umum ini begini sepi" Sejak tadi kita
tidak melihat ada seorang pun lewat di jalan ini," kata
Bun Sam sambil menghentikan kudanya dan Bwee
Hwa juga berhenti. "Eh, lihat itu ada orang. Akan tetapi mengapa ia
melarikan diri begitu melihat kami?" Bwee Hwa
menunjuk ke depan. Benar saja. Ada seorang laki-laki
muncul di tikungan jalan, akan tetapi begitu melihat
mereka berdua, orang itu melarikan diri seperti orang
ketakutan. "Kejar dan tanya dia mengapa dia ketakutan, Sam-
ko!" Tanpa diminta dua kali, Bun Sam sudah melompat
turun dari kudanya dan tubuhnya berkelebat,
mengejar orang yang melarikan diri ketakutan itu.
Sebentar saja dia sudah dapat melewati dan
menghadang di depan orang itu. Dia seorang laki-laki
setengah tua, berusia sekitar limapuluh tahun dan
begitu melihat Bun Sam tiba-tiba saja menghadang di
depannya, dia segera menjatuhkan diri berlutut
menyembah-nyembah. "Ampunkan saya, tai-ong (raja besar, sebutan untuk
perampok)......!" Orang itu memohon ketakutan.
Bun Sam terbelalak. Tai-ong" Dia disangka perampok"
"Paman, bangkitlah dan jangan takut. Aku sama
sekali bukan orang jahat dan tidak akan
mengganggumu. Percayalah, aku bahkan menolong
siapa saja yang diganggu orang jahat. Berdirilah dan
mari kita bicara." Orang itu memandang penuh perhatian, setelah
melihat bahwa yang menghadangnya itu seorang
pemuda yang sederhana, baik wajah maupun
pakaiannya, mengenakan caping lebar, mulutnya
tersenyum ramah, matanya lembut dan tidak
memegang senjata, sama sekali bukan seperti
penampilan seorang penjahat, dia menjadi lega dan
timbul kembali keberaniannya. Dia bangkit berdiri.
"Akan tetapi...... mengapa engkau tadi bersama iblis
betina itu berada di sana" Dan mengapa pula
mengejar saya?" "Hemm, aku berada di sana bukan dengan iblis
betina, melainkan dengan seorang sahabatku, seorang
pendekar wanita. Dan aku mengejarmu karena
melihat engkau melarikan diri ketakutan dan aku
ingin bertanya mengapa engkau lari. Akan tetapi
sekarang aku sudah tahu bahwa engkau ketakutan
karena mengira sahabatku itu iblis betina. Nah,
sekarang katakan padaku, paman, siapakah yang kau
sebut iblis betina itu dan mengapa engkau
menyebutnya iblis betina dan di mana ia tinggal?"
Orang yang pakaiannya sebagai petani itu menengok
ke kanan kiri dan tampak?nya ketakutan. "Saya......
saya takut......" "Jangan takut. Aku dan sahabatku yang akan
melindungimu," kata Bun Sam dan pada saat itu,
Bwee Hwa menunggang kuda menghampiri sambil
menuntun kuda tunggangan Bun Sam. Melihat gadis
cantik itu kembali orang itu ketakutan, akan tetapi
setelah Bwee Hwa turun dan tersenyum kepadanya,
rasa takutnya hilang. "Apa yang terjadi?" tanya Bwee Hwa.
"Paman ini tadi lari ketakutan karena mengira engkau
iblis betina," kata Bun Sam.
"Wah, sialan! Aku disangka iblis betina" Menghina
sekali kau!" "Ah, maafkan...... ampunkan saya, nona ......" orang itu
berkata. "Hemm, kalau engkau tidak mau bercerita tentang
iblis betina itu, sahabatku ini tentu akan marah sekali
kepadamu karena engkau menyangka ia iblis betina.
Hayo ceritakan, paman."
"Benar, paman. Kalau engkau tidak mau bercerita, aku
benar-benar akan menjadi iblis betina dan marah
kepadamu!" kata Bwee Hwa dengan suara galak.
"Ah, maaf...... iblis itu...... ia seorang wanita cantik akan
tetapi kejam, suka menculik dan membunuh pemuda-
pemuda namanya Pek-hwa Sianli dan tinggalnya di
lereng bukit itu......"
"Ahhh......!!" Bun Sam dan Bwee Hwa berseru demikian
kuat sehingga orang itu kembali ketakutan lalu
melarikan diri! Akan tetapi sekali ini, Bun Sam dan
Bwee Hwa tidak mengejar. "Wah, Sam-ko. Kalau begitu Kong-ko dan Gin Siang
yang pergi ke sana dapat terancam bahaya!"
"Benar, mari kita sekarang juga naik ke sana, Hwa-
moi!" "Akan tetapi sekarang sudah menjelang senja,
sebentar lagi malam tiba, Sam-ko."
"Kita tinggalkan kuda di kaki bukit dan mendaki jalan
kaki saja. Bulan muncul lewat senja nanti, kita dapat
mencari jalan ke atas."
Demikianlah, dua orang pendekar itu mendaki bukit
dan mereka dapat menolong Ui Kong dan Gin Siang
pada saat yang tepat sekali. Bwee Hwa yang tadi
melepas jarum tawonnya untuk menyerang tangan
Pek-hwa Sianli dan Kam Ki yang hendak menuangkan
anggur perangsang ke dalam mulut dua orang korban
mereka. Kini, Pek-hwa Sianli dan Kam Ki berhadapan dalam
ruangan luas itu, saling pandang. Tentu saja Kam Ki
merasa gentar bukan main melihat suhengnya dan
Bwee Hwa yang pernah menyerbu Pek-lian-kauw
yang dipimpinnya dengan para pendekar lain. Dia
maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang
amat tangguh, terutama sekali suhengnya. Akan
tetapi Pek-hwa Sianli yang tidak mengenal mereka,
memandang rendah. "Keparat, siapa yang sudah bosan hidup menyerang
kami dengan am-gi (senjata gelap) tadi!" bentaknya.
"Engkau tentu Pek-hwa Sianli, si iblis betina itu,
bukan" Tidak kusangka, julukannya Dewi akan tetapi
sebetulnya seorang iblis betina, benar-benar harimau
berbulu domba! Akulah yang mencegah kalian
melakukan perbuatan hina kepada Ui Kong dan Can
Gin Siang tadi!" kata Bwee Hwa.
"Keparat sombong! Siapakah kalian" Perkenalkan
nama agar kalian tidak mam-pus tanpa nama!"
"Hemm, kenapa tidak tanya saja kepada si jahat Thio
Kam Ki rekanmu itu" Lihat, mukanya sudah pucat
ketakutan melihat kami!"
Sementara itu, Bun Sam berkata kepada Kam Ki.
"Sute, lebih baik engkau menyerah kubawa kembali
menghadap suhu. Bertaubatlah, sute. Suhu tentu akan
memaafkanmu dan membimbingmu ke jalan benar."
Akan tetapi Pek-hwa Sianli sudah tidak dapat
menahan diri lagi. "Bocah sombong, mampuslah!" Ia
membentak dan ketika dua tangannya bergerak,
tampak dua sinar berkelebat dan ia sudah mencabut
siang-kiam (sepasang pedang) yang tergantung di
punggungnya. Tanpa memberi peringatan lagi, Pek-
hwa Sianli sudah menerjang maju menyerang Bwee
Hwa, sepasang pedangnya digerakkan cepat
membentuk dua lingkaran sinar.
Bwee Hwa dapat menduga bahwa kakak misan atau
guru pertama si kembar Kim Siang dan Gin Siang ini
tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ketika melihat
wanita itu mencabut siang-kiam, iapun sudah cepat
mencabut Sin-hong-kiam dari punggungnya. Ketika
Pek-hwa Sianli menyerang, iapun cepat memutar
pedangnya menyambut. Terdengar bunyi
berdentingan disusul bunga api berpijaran ketika
pedang mereka saling bertemu di udara. Mereka
segera saling serang dengan seru dan mati-matian,
berkelahi bagaikan dua ekor harimau betina!
Kam Ki yang merasa tersudut tentu saja tidak mau
menyerah begitu saja. Tidak rela dia meninggalkan
kehidupannya yang dianggapnya amat
menyenangkan itu. Kini ada Pek-hwa Sianli di
sampingnya dan kalau wanita itu mampu
merobohkan lawannya, tentu akan dapat
membantunya menghadapi Bun Sam. Maka diapun
membentak nyaring dan menerjang maju, menyerang
Bun Sam dengan dahsyat. Biarpun Kam Ki dan Bun Sam berkelahi dengan tangan
kosong, namun sebe-tulnya perkelahian antara
mereka lebih seru dibandingkan perkelahian antara
Pek-hwa Sianli dan Bwee Hwa yang menggunakan
pedang. Serangan tangan dan kaki kedua orang
saudara seperguruan ini merupakan sambaran
tangan-tangan maut yang amat berbahaya.
Kam Ki mengerahkan seluruh tenaganya yang dia
dapat dari bimbingan Hwa Hwa Cinjin sehingga
pukulannya mengandung racun yang amat jahat. Dia
menggunakan ilmu Bantok-ciang (Tangan Selaksa
Racun) yang amat keji karena sekali terkena
senggolan tangan itu, maka tubuh lawan akan
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keracunan hebat dan bagi lawan yang kurang kuat
tenaga saktinya akan tewas seketika! Juga ilmu silat
yang dia mainkan adalah ilmu silat Ciu-kwi-kun (Silat
Setan Arak) yang gerakannya seperti orang mabok,
sukar diduga perkembangannya dan amat berbahaya
bagi lawan. Namun Sie Bun Sam sudah mendapat
penggemblengan tambahan dari Leng-hong Hoatsu
sehingga dia dapat membuat pertahanan yang amat
kuat dan di samping itu, dapat melakukan serangan
balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Biarpun Kam Ki
sudah mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua ilmu simpanannya, tetap saja
dia mulai terdesak. Sementara itu, perkelahian antara Pek-hwa Sianli
melawan Bwee Hwa berlang-sung ramai. Mereka
saling serang dengan seru dan mati-matian dan
keadaan mereka masih seimbang sehingga Kam Ki
menjadi repot sekali. Dia terdesak terus akan tetapi
tidak dapat mengharapkan bantuan Pek-hwa Sianli
yang sedang berkelahi dengan seru dan seimbang
melawan Bwee Hwa. Akan tetapi karena Bun Sam
tidak bermaksud membunuh sutenya, hanya ingin
menangkap dan membawanya kembali ke gurunya,
maka Kam Ki masih dapat melakukan perlawanan
sengit. Sementara itu, Gin Siang dan Ui Kong masih belum
sadar. Gin Siang masih duduk di atas kursi dengan
kepala berbantal lengan di atas meja, sedangkan Ui
Kong masih rebah miring di atas lantai. Akan tetapi Ui
Kong tadi tidak menenggak habis araknya karena
setelah minum secawan tadi dia sudah merasa
pening. Padahal dia sudah amat biasa minum arak.
Kalau hanya menghabiskan lima cawan saja dia tidak
akan mabok. Akan tetapi tadi baru minum secawan
saja dia sudah merasa agak pening. Maka dia
menjadi agak curiga dan cawan kedua itu hanya
diminumnya setengah. Dialah yang pertama kali tahu bahwa minuman itu
tidak wajar dan mengandung sesuatu yang tidak
baik, maka dia berusaha memperingatkan Gin Siang,
namun terlambat dan dia pun terguling roboh dan
pingsan. Akan tetapi karena kadar racun pembius
yang diminumnya tidak sebanyak Gin Siang, maka dia
dapat sadar lebih dulu. Dia membuka kedua matanya
dan seketika dia teringat apa yang telah terjadi.
Cepat dia melompat dan melihat Gin Siang "tertidur"
di atas kursinya, dia cepat mengambil air, mengurut
tengkuk dan menotok kedua pun?dak gadis itu
beberapa kali, membasahi muka dan ubun-ubunnya
dengan air dan Gin Siang juga siuman. Mereka
mendengar suara beradunya senjata di luar kamar
dan tanpa bicara keduanya cepat bergerak dan
melompat keluar jendela yang menembus ke ruangan
itu. Setibanya di ruangan itu mereka melihat Bwee Hwa
sedang bertanding melawan Pek-hwa Sianli, dan Bun
Sam bertanding dengan pemuda yang menjadi ketua
Pek-lian-kauw itu. Biarpun Gin Siang tahu bahwa kakak misannya, Pek-
hwa Sianli ternyata masih jahat dan tadi nyaris
mencelakainya dan mengorbankan dirinya kepada
Kam Ki, namun ia tetap tidak tega untuk menyerang
dan mengeroyok Pek-hwa Sianli. Bagaimanapun juga,
ia merasa berhutang budi yang cukup banyak kepada
Pek-hwa Sianli. Maka Gin Sang menumpahkan semua
kemarahannya kepada Thio Kam Ki dan tanpa banyak
cakap lagi, iapun mencabut Siang-kiam (Sepasang
Pedang) lalu menerjang kepada Kam Ki yang sudah
terdesak berat oleh Bun Sam. Adapun Ui Kong yang
melihat betapa Bwee Hwa bertanding seimbang
dengan Pek-hwa Sianli, lalu memutar pedangnya
membantu Bwee Hwa. Bun Sam terkejut. Serangan sepasang pedang dari Gin
Siang cukup ganas dan dahsyat, maka dia khawatir
kalau-kalau Kam Ki akan menjadi korban dan tewas
oleh pedang gadis itu. Kam Ki juga semakin terdesak
hebat. Suatu saat, karena sudah terhuyung oleh
serangkaian pukulan Bun Sam, dia tidak mampu
menghindar lagi ketika pedang kiri Gin Siang
menyambar ke arah lehernya.
"Plakk.......!" Gin Siang terkejut dan melompat ke
belakang ketika pedangnya ditangkis oleh tangan kiri
Bun Sam! Pada saat itu, Bun Sam membuat gerakan
berputar dan kakinya menendang, tepat mengenai
lambung Kam Ki. Tubuh Kam Ki terpental dan dia
roboh pingsan. Pada saat yang hampir sama, terdengar Pek-hwa
Sianli mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya
terpelanting roboh mandi darah. Ia tewas seketika
oleh sabetan pedang Bwee Hwa yang tentu saja
mendapat banyak kesempatan karena masuknya Ui
Kong yang membantunya. Ketika Ui Kong dan Bwee Hwa melihat Kam Ki
menggeletak pingsan, mereka berdua melompat dan
hendak membunuh pemuda itu dengan pedang
mereka. Akan tetapi Bun Sam berkelebat cepat dan
menghadang mereka. "Jangan bunuh dia!"
"Ahhh.......! Mengapa, Sam-ko" Dia amat jahat.......!"
Bwee Hwa membantah dan memandang Bun Sam
dengan sinar mata penasaran.
Bun Sam menghela napas panjang dan mengangkat
lalu memondong tubuh Kam Ki, lalu berkata, "Maafkan
aku, Hwa-moi. Dia adalah suteku (adik
seperguruanku) dan aku hanya memenuhi perintah
suhu untuk menangkap dan membawanya kepada
suhu, bukan membunuhnya. Maafkan aku." Dia lalu
melangkah keluar dari pondok itu.
Sejenak Bwee Hwa berdiri tertegun, kemudian ia lalu
mengejar dan dapat menyusul Bun Sam di depan
pondok. Bulan bersinar dengan terang di atas kepala
mereka. "Sam-ko?"!"
Bun Sam berhenti melangkah. Kini mereka berdiri
berhadapan. "Hwa-moi," katanya lirih. "Mengapa
mengejarku?" "Sam-ko, apakah engkau akan meninggalkan aku
begini saja?" "Hwa-moi, aku harus menyelesaikan tugasku,
membawa Kam Ki kembali ke Himalaya menghadap
suhu." "Akan tetapi...... apakah....... apakah kita tidak akan
saling bertemu kembali, Sam-ko?" Suara Bwee Hwa
gemetar. "Hwa-moi, ada waktunya bertemu, ada pula
waktunya berpisah. Kalau Thian menghendaki, pasti
kita akan dapat saling bertemu kembali. Maafkan aku,
Hwa-moi, karena aku harus membawa suteku ini
kepada suhu, aku tidak dapat menemanimu pergi ke
Heng-san bertemu dengan suhumu Sin-kiam Lojin."
Ketika Bun Sam hendak melanjutkan perjalanan,
sebelum dia menggerakkan kakinya, Bwee Hwa
berkata lirih. "Sam-ko......." suaranya mengandung isak
tertahan. "aku...... aku ingin ikut denganmu, Sam-
ko......." Bun Sam menggeleng kepalanya dan berkata lembut.
"Tidak, Hwa-moi, aku harus melaksanakan tugasku
dulu. Selamat berpisah, Hwa-moi, dan baik-baiklah
menjaga dirimu." Setelah berkata demikian, Bun Sam
melompat dan berkelebat lenyap di keremangan
malam. "Sam-ko......, jangan tinggalkan aku seorang diri......"
Bwee Hwa tak dapat menahan turunnya air mata ke
atas kedua pipinya. Akan tetapi seruannya itu hanya
digumam saja. Malam sudah larut. Can Gin Siang keluar dari pondok,
melihat Bwee Hwa berdiri seorang diri di luar pondok,
diam seperti arca, ia menghampiri.
"Adik Bwee Hwa," tegurnya lembut. Setelah menjadi
tunangan Ui Kong, Gin Siang menyebut adik kepada
Bwee Hwa, "mari masuk ke dalam pondok. Kami
sedang mengurus jenazah piauw-ci (kakak misan),
setelah besok pagi kami kubur, kita lalu meninggalkan
tempat ini. Mari masuklah." Gin Siang memegang
tangan Bwee Hwa namun Bwee Hwa menarik
tangannya. "Engkau masuklah, aku ingin berada di luar. Hawanya
lebih sejuk." Setelah beberapa kali membujuk tanpa hasil, akhirnya
Gin Siang meninggalkan Bwee Hwa sendiri. Bwee
Hwa lalu duduk di atas bangku yang terdapat di
depan pondok itu dan duduk melamun sambil
memandang ke arah perginya Bun Sam, seolah
mengharapkan pemuda itu muncul kembali.
Sampai keesokan harinya ketika Ui Kong dan Gin
Siang menguburkan jenazah Pek-hwa Sianli di
belakang pondok, Bwee Hwa masih tidak beranjak
dari bangku itu. Beberapa kali Gin Siang
membujuknya, namun tetap saja ia tidak mau
meninggalkan bangku itu. Setelah selesai mengubur jenazah Pek Hwa Sian-li
memenuhi permintaan Gin Siang, Ui Kong dan Gin
Sang pergi ke depan pondok. Melihat Bwee Hwa
masih duduk seperti patung, Ui Kong menggeleng-
geleng kepalanya. Perlahan-lahan dia menghampiri
Bwee Hwa dari belakang dan meletakkan tangannya
di atas pundak Bwee Hwa. Hwa-moi, mari kita pulang.
Pulang?" Bwee Hwa mengulang kata itu seperti
orang kehilangan semangat.
Tentu saja pulang ke Ki-lok, bukankah engkau ini
adikku yang tercinta dan aku ini kakakmu?"
Perlahan-lahan Bwee Hwa mengangkat mukanya
yang menunduk dan tampaklah wajah yang pucat,
sepasang mata yang sayu memandang wajah Ui
Kong. Kakak Ui Kong......" bibir itu gemetar.
Ya, adikku. Mari kita pulang. Jangan khawatir, jodoh
itu berada di tangan Thian, kalau memang engkau
berjodoh dengan dia, kelak pasti akan dapat saling
bertemu kembali. Percayalah!"
Kong-ko......! " Bwee Hwa terisak, menangis dalam
rangkulan kakaknya. Tak lama kemudian, Ui Kong, Gin Siang, dan Bwee
Hwa menuruni Bukit Ayam Emas itu dan selanjutnya
menuju ke kota Ki-lok menunggang kuda mereka.
Karena pandainya Ui Kong dan Gin Siang
menghiburnya di sepanjang perjalanan, akhirnya
Bwee Hwa mendapatkan kembali semangat dan
kelincahannya. TAMAT http://cerita-silat.mywapblog.com/cersil-kho-ping-hoo-kisah-si-tawon-merah.xhtml
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Kisah Si Rase Terbang 2 Dewa Iblis Karya Tak Diketahui Seruling Gading 13
ditampar tangan dan ada pula yang kebagian
tendangan kaki. Thian Sai-ong menggereng seperti singa dan dia sudah
mencabut goloknya. Wajahnya yang buruk penuh
bopeng itu kini menjadi semakin jelek karena pipi
kanannya membengkak. Lenyaplah semua gairah
berahinya terhadap Bwee Hwa, terganti rasa benci
yang membuat dia mendengus-dengus seperti kerbau
gila. Matanya yang sipit itu menjadi semakin sipit,
apalagi yang kanan karena pipinya membengkak
besar. "Auurrgghhhh?"." dia menggereng dan menyerang
dengan bacokan goloknya. "Tranggg......!" Golok itu bertemu dengan pedang Sin-
hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangan Bwee
Hwa sehingga terpental dan nyaris terlepas dari
tangan Thian Sai-ong yang terasa pedas dan panas
sekali. Dia berteriak memberi aba-aba kepada anak
buahnya untuk mengeroyok gadis yang kini dia tahu
amat lihai itu. Segera belasan orang mengeroyok Bwee Hwa
dengan senjata golok mereka. Tentu saja tidak lebih
dari belasan orang yang dapat mengeroyok, karena
kalau terlalu banyak, tentu akan mengacaukan
kawan sendiri. Akan tetapi Bwee Hwa menggerakkan
pedangnya dengan cepat, tubuhnya berkelebatan,
pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang
mengeluarkan suara berdengung seperti ratusan ekor
lebah mengamuk sehingga tidak ada pengeroyok
yang mampu mendekatinya. Kalau ada yang berani
terlalu dekat, tentu dia akan roboh disambar pedang.
Sekali ini Bwee Hwa teringat akan percakapannya
dengan Bun Sam. Ia merobohkan para pengeroyok
tanpa membunuhnya sehingga pedangnya tidak
pernah membacok leher atau memasuki tubuh, hanya
melukai pundak, lengan atau kaki lawan saja.
Sementara itu, Bun Sam juga sudah dikeroyok karena
Te Sai-ong juga merasa kewalahan. Akan tetapi Bun
Sam yang amat lihai itu melayani mereka dengan
tenang. Setiap ada golok menyambar, dia berani
menangkis, bahkan menangkap golok itu dan sekali
remas, golok itu patah-patah. Dia merobohkan para
pengeroyok dengan tendangan atau tamparan
tangannya yang mengakibatkan patah tulang.
Melihat Bwee Hwa juga mengamuk dan dikeroyok,
Bun Sam merasa khawatir kalau-kalau gadis itu akan
melakukan banyak pembunuhan. Maka dia membuka
kepungan terhadap dirinya lalu melompat ke dekat
Bwee Hwa. Kini dia melihat betapa Bwee Hwa juga
hanya merobohkan para pengeroyoknya tanpa
membunuh dan hal ini menggirangkan hatinya.
Mereka berdua lalu mengamuk dan dalam waktu
singkat, lebih dari setengah jumlah para perampok itu
sudah mereka robohkan! Kedua kepala perampok
itupun masih mencoba untuk membunuh pemuda dan
gadis itu, namun akhirnya Thian Sai-ong roboh dengan
pundak terluka parah oleh pedang Sin-hong-kiam,
sedangkan Te Sai-ong roboh dengan kaki kanan patah
tulangnya. Melihat ini, sisa anak buah perampok
menjadi gentar sekali. Penduduk dusun Liok-teng yang melihat betapa
sepasang orang muda itu mengamuk dan banyak
sekali perampok yang roboh, kini menjadi berani dan
mulailah mereka menolong para gadis, membawa
mereka pergi ke rumah masing-masing dan
merekapun membongkar barang-barang dari kereta
dan dikembalikan kepada pemiliknya!
Akhirnya sisa para perampok yang tinggal belasan
orang itu, menjadi ketakutan dan mereka melarikan
diri cerai berai meninggalkan mereka yang terluka!
Bwee Hwa menghampiri dua orang kepala perampok
yang kini duduk di atas tanah saling berdekatan
karena tadi Thian Sai-ong yang terluka pundaknya
menghampiri Te Sai-ong yang patah tulang kakinya.
Melihat gadis itu menghampiri mereka dengan pedang
di tangan dua orang kepala perampok ini menjadi
pucat wajahnya dan memandang dengan mata
terbelalak ketakutan. Bun Sam juga melihat ini dan
melihat wajah Bwee Hwa yang kemerahan karena
marah itu cepat berseru. "Hwa-moi, jangan bunuh, maafkan mereka, beri
kesempatan kepada mereka untuk bertaubat!"
Bwee Hwa mengayun pedangnya dua kali. Darah
muncrat dan dua orang kepala perampok itu berteriak
lalu roboh terguling. Kaki kanan mereka telah buntung
sebatas lutut! "Aih, Hwa-moi......!" Bun Sam yang sudah tiba dekat
menegur. "Sam-ko, aku tidak membunuh mereka, akan tetapi
kalau mereka tidak di-buntungi sebelah kaki mereka,
tentu mereka akan mengulangi lagi perbuatan
mereka melakukan perampokan! Kalau sudah
buntung begini, tentu mereka tidak berani merajalela
karena mudah dilawan dan dikalahkan," bantah Bwee
Hwa. Bun Sam mengeluarkan obat bubuk dan memberi dua
bungkus obat kepada dua orang kepala perampok itu.
"Hemm, kalian hari ini makan buah pahit hasil
tanaman kalian sendiri! Apakah kalian masih belum
sadar dan bertaubat, lalu mengambil jalan yang
benar?" Setelah mengobati luka mereka sehingga kaki yang
buntung itu tidak mengeluarkan darah lagi, Thian Sai-
ong berkata. "Kami akan mencoba...... kembali ke
jalan benar, taihiap (pendekar besar)."
"Baik sekali kalau begitu. Nah, pergilah kalian dan
ajak semua anak buahmu pergi dari sini!"
Kedua orang kepala perampok itu memanggil anak
buahnya untuk membantu mereka berjalan. Akan
tetapi tidak ada seorangpun yang mau mendekati
mereka. Wibawa kedua orang kepala perampok itu
agaknya sudah hilang bagi anak buahnya, melihat
mereka berdua itu kini telah menjadi seorang yang
buntung sebelah kaki mereka.
Melihat ini, Thian Sai-ong membentak, "Pergilah kalian!
Mulai sekarang, kalian bukan anak buah kami lagi.
Gerombolan itu telah bubar dan mulai sekarang harus
menanggungjawabkan perbuatan sendiri! Hayo
bubar!" Semua anak buah perampok tertatih-tatih, saling
bantu, meninggalkan dusun Liok-teng. Kedua orang
kepala perampok itupun meninggalkan dusun itu
sambil terpincang-pincang, berjalan hanya dengan
sebelah kaki, berloncat-loncatan sehingga Bun Sam
merasa kasihan. Dia mengambil dua batang pohon
sebesar lengan, membuangi daunnya sehingga
menjadi dua batang tongkat, lalu dia berlari mengejar
dua orang yang berloncat-loncatan itu.
"Kalian pakai ini agar lebih mudah berjalan," katanya.
Dua orang kepala perampok itu menerima dua buah
tongkat dan kini mereka dapat maju lebih leluasa
karena dibantu tongkat. Ketika Bun Sam kembali ke dekat Bwee Hwa, gadis
itu berkata. "Sam-ko, hatimu memang baik, akan tetapi terlalu
lemah. Orang-orang macam mereka itu sudah
sepatutnya dihajar agar benar-benar bertaubat dan
menyadari bahwa kejahatan tidak akan
mendatangkan akibat yang menguntungkan. Kalau
sudah dihajar seperti itu, setidaknya mereka akan
merasa takut, terutama sekali mereka tidak lagi dapat
mengandalkan kekuatan untuk bertindak sewenang-
wenang." "Engkau benar, Hwa-moi. Akan tetapi, melihat
keadaan mereka, timbul kembali rasa iba di hatiku.
Bagaimanapun juga, mereka itu adalah manusia
juga." Kini berbondong-bondong penduduk dusun Liok-teng
datang menghampiri sepasang muda-mudi itu,
dipimpin oleh kepala dusunnya yang bernama Gan
See Ki yang biasa disebut Gan-cungcu (kepala dusun
Gan) berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh
pendek gendut, mukanya bundar gemuk, tampak
angkuh dan pakaiannya mewah. Dia ditemani oleh Bu
Sui yang biasa disebut Bu-kauwsu (guru silat Bu)
karena dahulunya dia adalah seorang guru silat yang
kemudian dijadikan kepala keamanan di dusun itu
dan pakaiannya juga mewah.
Mereka berdua ini diikuti oleh delapan orang laki-laki,
berusia antara empatpuluh sampai enampuluh tahun
yang dari pakaian mereka mudah diduga bahwa
mereka adalah orang-orang kaya. Kemudian di
belakang sepuluh orang ini, berduyun-duyun para
penduduk ikut pula menghadap Bwee Hwa dan Bun
Sam dan sebagian besar dari mereka berpakaian
lusuh dan menunjukkan bahwa mereka adalah orang-
orang yang miskin. Melihat ratusan orang itu, Bun Sam mengajak Bwee
Hwa untuk naik ke serambi gedung milik kepala
dusun itu karena serambi ini agak tinggi sehingga
mereka dapat melihat semua orang itu. Menurut
taksiran mereka, di antara para penduduk dusun yang
berkumpul di pekarangan yang luas itu, terdapat laki-
laki yang terhitung masih muda, tidak kurang dari
seratus limapuluh orang banyaknya.
"Hemm, begini banyak orang akan tetapi lemah tak
berdaya," kata Bwee Hwa dan Bun Sam mengangguk.
Gan-cungcu dan Bu-kauwsu mengikuti muda-mudi
yang naik ke serambi itu, lalu mereka memberi
hormat, diikuti oleh delapan orang hartawan.
"Ji-wi taihiap (dua orang pendekar besar), kami
seluruh warga Liok-teng ini menghaturkan banyak
terima kasih kepada ji-wi (kalian berdua) yang telah
menyelamatkan kami dari gangguan gerombolan
perampok tadi." "Tidak perlu kalian berterima kasih kepada kami
karena apa yang kami lakukan itu hanyalah
merupakan kewajiban kami belaka. Akan tetapi kami
merasa heran bukan main, kenapa penduduk dusun
ini yang demikian banyak jumlahnya sama sekali
tidak melakukan perlawanan ketika gerombolan itu
datang mengganggu" "Sebetulnya pasukan keamanan kami telah
melakukan perlawanan, akan tetapi kalah karena
jumlah pasukan kami hanya dua losin orang
sedangkan pasukan gerombolan itu terdiri dari
limapuluh orang lebih." kata Bu-kauwsu.
"Engkau siapakah?" Bwee Hwa bertanya sambil
memandang wajah sepuluh orang berpakaian mewah
itu berganti-ganti, sementara itu para penduduk yang
lain hanya mendengarkan dari bawah serambi.
Kini Gan See Ki, kepala dusun itu yang menjawab.
"Sebaiknya kami memperkenalkan diri kepada ji-wi
taihiap. Saya sendiri adalah kepala dusun di sini
bernama Gan See Ki dan saudara ini adalah Bu Sui
yang menjadi komandan pasukan keamanan di dusun
kami. Adapun delapan orang yang berada di belakang
kami adalah delapan orang pedagang terbesar di
dusun ini." "Dan yang berada di pekarangan itu adalah penduduk
dusun ini?" tanya Bwee Hwa sambil mengamati
mereka yang berada di bawah, yang rata-rata berpa-
kaian lusuh. "Benar sekali, lihiap."
"Gan-cungcu, berapa banyaknya jumlah penduduk
dusun ini?" tanya lagi Bwee Hwa kepada kepala
dusun itu. Jumlah seluruhnya ada kurang lebih seribu limaratus
orang," jawab sang kepala dusun.
"Berapa banyak laki-laki yang masih muda?"
"Kurang lebih tiga ratus orang."
"Apakah pekerjaan mereka, Gan-cungcu?" kini Bun
Sam yang bertanya, sambil mengamati wajah kepala
dusun itu dengan penuh selidik.
"Sebagian besar di antara mereka adalah pekerja-
pekerja tani yang menggarap sawah dan kebun milik
kami." "Mereka adalah orang-orang miskin?"
"Ya, begitulah. Akan tetapi kami sepuluh orang ini
yang menolong mereka dengan memberi pekerjaan
dan upah yang cukup," kata pula kepala dusun itu.
Tiba-tiba Bun Sam melangkah maju ke tepi serambi
dan berkata kepada banyak orang itu, suaranya
lantang karena dia telah mengerahkan tenaga sakti
sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh.
Semua orang yang berkumpul di pekarangan itu
dapat mendengar suaranya dengan jelas.
"Para penduduk dusun Liok-teng, dengarlah baik-baik.
Kami berdua kebetulan lewat di dusun ini dan melihat
gerombolan yang mengganggu kalian. Sekarang kami
ingin agar ada wakil-wakil dari kalian yang hidup
dalam kemiskinan untuk maju ke sini. Aku minta dua
orang wakil yang dapat mewakili semua orang dan
jangan takut, kami berdua yang menjamin bahwa
tidak akan ada orang yang dapat mengganggu kalian
berdua. Nah, pilihlah di antara kalian dan dua orang
wakil majulah dan naik ke serambi ini!"
Mereka yang berada di bawah kini saling berunding,
memilih-milih dan akhirnya dua orang di antara
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka maju menuju serambi. Mereka berdua adalah
orang-orang berpakaian petani, berusia kurang lebih
empatpuluh tahun dan tubuh mereka kurus, wajah
mereka penuh garis-garis penderitaan.
Sekali pandang saja dapat tampak jelas bahwa
mereka adalah orang-orang miskin, akan tetapi
langkah mereka tegap dengan tubuh tegak dan sinar
mata mereka menunjukkan bahwa mereka berdua
bukan orang bodoh dan bersemangat. Biarpun
demikian, setibanya di bawah serambi, mereka
tampak ragu karena sepuluh orang berpakaian
mewah itu berdiri di atas serambi dan memandang
mereka. Jadilah Seseorang Yang Bijaksana
Melihat keraguan mereka, Bwee Hwa menjadi tidak
sabar. "Hei, kalian naiklah ke sini. Kalian seperti orang
takut. Apa sih yang ditakuti?"
Mendengar ini, barulah kedua orang itu berani naik
serambi yang bertangga itu dan berdiri di depan Bun
Sam sambil memberi hormat dan seorang di antara
mereka berkata, "Taihiap, kami yang ditugaskan oleh
para teman untuk menjadi wakil dan mendengarkan
apa yang taihiap perintahkan."
"Kami tidak memerintahkan, akan tetapi akan
mengajak kalian bercakap-cakap dan kami harap
kalian berdua bicara sebenarnya, jangan
menyembunyikan sesuatu dan jangan berbohong.
Ketahuilah, kami berdua hanya ingin mengatur agar
kehidupan di dusun ini menjadi aman tenteram dan
makmur bagi semua orang."
"Mari, ji-wi taihiap, silakan duduk agar lebih enak kita
bicara," kata Gan-cungcu, mempersilakan Bwee Hwa
dan Bun Sam untuk mengambil tempat duduk di atas
kursi yang berada di serambi itu.
Mereka semua lalu duduk mengitari sebuah meja
besar. Empatbelas orang itu duduk saling berhadapan
terhalang meja bundar itu. Dua orang wakil penduduk
yang agaknya masih takut-takut sengaja mengambil
tempat duduk di sebelah Bun Sam, seolah mereka
ingin mendapat perlindungan.
"Nah, sekarang kami berdua ingin bertanya kepada
kalian berdua yang mewakili penduduk dusun ini.
Sebetulnya mengapa penduduk yang kami lihat cukup
banyak ini tidak dapat bersatu dan tidak melakukan
perlawanan ketika gerombolan itu datang
mengganggu?" Seorang di antara kedua wakil penduduk itu, yang
tubuhnya kurus akan tetapi sinar matanya penuh
semangat, setelah melirik ke arah kepala dusun Gan
See Ki dan komandan keamanan Bu Sui, lalu berkata
dengan suara cukup lantang.
"Ji-wi taihiap, apa yang dapat dilakukan orang-orang
miskin seperti kami" Kami tidak memiliki apa-apa,
maka gerombolan itu tidak dapat mengganggu kami."
"Kalian hidup dalam kemiskinan" Aneh, kami lihat
dusun ini cukup ramai dan tampaknya kehidupan
rakyatnya makmur karena dusun ini menghasilkan
banyak hasil bumi. Sebagai petani, tentu kalian
memiliki sawah ladang dan mempunyai penghasilan
yang cukup." Orang itu menggeleng kepala. "Kami tidak
mempunyai tanah, taihiap."
"Lalu tanah yang luas dan subur yang kami lihat di
luar dusun itu, milik siapa?" tanya Bwee Hwa.
"Semua itu milik Gan-cungcu, Bu Kauwsu, dan delapan
orang hartawan ini."
"Dan kalian sendiri, bekerja apa?" tanya pula Bwee
Hwa. "Kami hanya pekerja bayaran, menggarap sawah
ladang milik mereka."
"Hemm, melihat keadaan penduduk yang rata-rata
miskin, berarti upah yang kalian terima sedikit,
bukan?" Dua orang itu tampak rikuh dan beberapa kali
mengerling ke arah kepala dusun dan komandan.
Kemudian orang kedua menjawab lirih, "Yah, cukup
untuk makan, lihiap."
"Sekarang aku mengerti mengapa tidak ada
persatuan di antara penduduk dusun ini." kata Bun
Sam. "Ternyata di antara yang kaya dan yang miskin
tidak saling membantu. Dan ini merupakan kesalahan
kepala dusun yang tidak mampu mengatur! Gan-
cungcu, kami memberi ingat kepadamu. Menjadi
kepala dusun haruslah mendahulukan kepentingan
rakyat, jangan hanya mementingkan diri sendiri,
menumpuk kekayaan untuk diri sendiri tanpa
memikirkan keadaan penduduknya. Ingatlah, tanpa
adanya penduduk dusun, engkau tidak akan menjadi
kepala dusun! Kalau engkau tidak mampu mengatur
demi kesejahteraan rakyat, engkau tidak pantas
menjadi kepala dusun! Bagaimana mungkin sebagai
kepala dusun engkau menjadi kaya-raya, padahal
engkau tidak berdagang seperti para saudagar"
Diadakannya seorang kepala dusun adalah untuk
melayani dan mengatur kebutuhan penduduk
dusunnya, bukan sebaliknya rakyat harus melayani
kebutuhanmu! Mengertikah engkau, Gan-cungcu?"
Suara Sie Bun Sam penuh wibawa sehingga kepala
dusun itu menundukkan mukanya yang berubah
pucat. "Saya...... mengerti, taihiap."
"Dan engkau, Bu-kauwsu, apakah tugasmu sebagai
pemimpin pasukan keamanan di dusun ini?" tanya
Bun Sam dengan suara keren.
"Saya...... saya bertugas menjaga keamanan di dusun
ini, taihiap." "Keamanan siapa yang kaumaksud" Engkau dan anak
buahmu menjadi kea-manan mereka yang kaya-raya
ataukah menjaga keamanan seluruh penduduk
dusun?" "Menjaga keamanan...... eh....... seluruh penduduk
dusun......! "Hemm, benarkah begitu" Melihat penduduk yang
miskin tidak ada yang membantu, aku dapat
mengambil kesimpulan bahwa tidak ada kerja sama
yang baik antara pasukan dengan penduduk. Seperti
yang kulihat di mana-mana, pasukan keamanan
dipimpin komandannya biasanya hanya menjadi
tukang-tukang pukul membela kepala dusun dan para
hartawan. Buktinya engkau menjadi seorang di antara
mereka yang kaya raya di dusun ini! Tentu engkau
dan anak buahmu bersikap bengis dan membantu
kepala dusun menindas rakyat, maka mereka tidak
mau membantu ketika ada gerombolan mengganggu.
Engkau menjadi komandan keamanan bertugas untuk
menjaga keamanan di dusun, melindungi semua
penduduk, bukan hanya melindungi para hartawan
dan kepala dusun agar mendapatkan banyak uang
memperkaya diri sendiri! Kenyataan seperti ini
membuat pasukanmu lebih tepat disebut pasukan
penindas rakyat daripada pasukan penjaga keamanan
dusun. Mengertikah engkau?"
Bu Kauwsu menundukkan mukanya yang pucat
seperti muka kepala dusun Gan. Dia tidak berani
membantah karena memang demikianlah
kenyataannya. Mereka itu biasanya membela
kepentingan kepala dusun dan para hartawan. Kalau
ada penduduk yang membangkang perintah kepala
dusun atau banyak menuntut kepada para hartawan,
Bu Kauwsu ini dan anak buahnya yang bertindak
sebagai tukang pukul dan mengancam penduduk
sehingga penduduk terpaksa melakukan apa saja
yang diperintahkan Gan-cungcu dan bekerja untuk
para hartawan dengan upah yang sebetulnya kurang
namun mereka tidak berani membantah karena
pasukan keamanan siap untuk menghukum mereka
yang banyak membantah! "Sekarang kalian para hartawan dusun ini! Tidak
sadarkah kalian darimana kalian mendapatkan
kekayaan kalian itu" Coba renungkan! Apakah kalian
menggunakan kaki tangan dan tenaga kalian sendiri
untuk menggarap sawah ladang yang menghasilkan
banyak uang" Ataukah itu hasil cucuran para pekerja
itu" Kalian tidak boleh mementingkan diri sendiri,
menumpuk harta tanpa memperhatikan mereka yang
bekerja mati-matian untuk mendatangkan banyak
uang bagi kalian! Apakah kalau kalian mati kalian
akan membawa uang ke alam baka" Apakah kalau
ada serangan para gerombolan tadi, uang kalian
dapat menolong kalian" Sebaliknya malah, kalian
diganggu perampok justeru karena kalian punya
banyak uang! Harta benda tidak selamanya
mendatangkan kebahagiaan, bahkan mendatangkan
kesengsaraan kalau tidak dipergunakan dengan baik,
untuk menolong mereka yang kekurangan! Kalau tadi
kami tidak datang, ke manakah sekarang harta
kalian, atau puteri kalian, atau bahkan nyawa kalian"
Karena kalian memeras tenaga rakyat dusun ini,
maka hubungan kalian dengan para penduduk tidak
akrab. Hal ini membuat para penduduk miskin itu
tidak mempunyai rasa kasih terhadap kalian karena
kalian juga tidak memiliki rasa kasih kepada mereka.
Mereka tidak mengacuhkan kalau harta benda kalian
dirampok gerombolan! Dapatkah kalian menyadari
kesalahan kalian?" Para hartawan itu mengangguk-angguk dengan muka
berubah kemerahan karena merasa malu. Baru sekali
ini mereka mendengar ucapan seperti itu dan seolah
baru terbuka mata mereka bahwa ucapan itu
mengandung kebenaran. Kalau tidak ada para pekerja
tani itu, tidak mungkin mereka dapat mengumpulkan
harta! Dan kalau dilihat apa yang mereka dapatkan
dari hasil keringat para pekerja tani itu, yang
membuat harta kekayaan mereka semakin
bertumpuk, memang harus diakui bahwa apa yang
didapatkan dari cucuran keringat para pekerja itu
sama sekali tidak sesuai, jauh terlalu kecil dan hanya
tiba pas, bahkan harus mengurangi jatah makan,
untuk kebutuhan perut mereka sekeluarga sehari-hari.
Untuk membeli pakaian dan kebutuhan selain makan
hampir tidak ada kelebihannya, apalagi untuk
membangun atau memperbaiki rumah tinggal!
"Kami menyadari kekurang bijaksanaan kami. Akan
tetapi, bagaimana baiknya menurut taihiap?" tanya
seorang di antara delapan hartawan itu.
Bwee Hwa yang sejak tadi mendengarkan ucapan
Bun Sam kini menjadi kagum bukan main. Tak
disangkanya sama sekali bahwa Bun Sam bukan saja
memiliki ilmu silat yang amat lihai, jauh lebih tinggi
daripada tingkat kepandaiannya, atau kepandaian Ui
Kong, atau bahkan tingkat kepandaian mendiang Ong
Siong Li sekali pun, akan tetapi juga memiliki
kebijaksanaan dan pengetahuan mendalam tentang
kehidupan rakyat. Maka iapun ikut mendengarkan
dengan penuh perhatian. "Sekarang kami berdua menganjurkan kepada kalian
semua, pertama-tama ke?pada Kepala Dusun Gan
See Ki. Jadilah pemimpin rakyat dusun yang
bijaksana, adil dan mementingkan kesejahteraan
rakyat jangan menuruti kemurkaan nafsu sendiri
untuk menumpuk harta kekayaan dengan cara
menerima suapan dari para hartawan dan penindasan
terhadap yang miskin dan lemah. Kalau engkau tidak
sanggup melakukan semua syarat itu, lebih baik
sekarang juga engkau meletakkan jabatanmu! Kalau
engkau sanggup, laksanakanlah dengan benar karena
kalau lain kali kami lewat di sini dan mendengar
engkau masih melanjutkan sikap dan perbuatanmu
yang lalu, terpaksa kami akan memberi hajaran keras
kepadamu!" "Akan saya perhatikan dan saya taati petunjuk
taihiap!" kata Gan See Ki dengan suara merendah.
"Dan engkau, Bu-kauwsu, mulai sekarang bubarkan
semua anak buahmu yang hanya terdiri dari tukang
pukul yang tiada gunanya. Buktinya mereka
melarikan diri ketika gerombolan datang. Mulai
sekarang yang menjadi penjaga keamanan dusun
adalah para pemuda dusun yang ratusan jumlahnya.
Engkau bertugas melatih ilmu silat kepada mereka,
tanpa memeras. Dan engkau tidak boleh
melaksanakan semua perintah yang tidak benar dari
kepala dusun atau para hartawan dengan upah besar.
Kalau ratusan orang laki-laki yang masih muda itu
bersatu padu dan menjaga keamanan, kiranya tidak
ada gerombolan yang berani mengganggu.
Sanggupkah engkau?" "Saya sanggup, taihiap."
"Jangan hanya mengatakan sanggup akan tetapi
tidak kaulaksanakan, Bu-kauwsu!" kata Bwee Hwa.
"Kalau lain hari aku mendengar engkau tidak melak-
sanakan apa yang kaujanjikan itu, lihat ini!" Gadis itu
menjulurkan tangannya pada ujung batu marmar
tebal meja itu dan sekali mengerahkan tenaga, ujung
batu marmar itu telah diremasnya hancur menjadi
tepung! Melihat ini, wajah Bu Kauwsu menjadi pucat. Sebagai
seorang ahli silat dia tahu benar betapa dahsyatnya
tenaga gadis itu. "Saya akan melaksanakan apa yang telah saya
janjikan, lihiap!" katanya.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, sekarang dengarkan baik-baik, para wan-gwe
(hartawan) dan juga kalian yang mewakili penduduk
miskin. Kaya dan miskin bukan hal yang perlu
dipertentangkan, bahkan yang kaya dan yang miskin
itu dapat saling melengkapi karena kedua pihak saling
membutuhkan. Apa jadinya kehidupan ini kalau
semua orang kaya raya" Tentu tidak ada yang
bekerja di sawah, tidak ada yang berjualan, tidak ada
yang membuat pakaian sehingga setiap orang kalau
membutuhkan sandang, pangan, papan harus mencari
dan membuat sendiri! Pendeknya, kalau semua orang
itu kaya raya, kehidupan tidak dapat dilanjutkan
karena tidak ada yang mengerjakan untuk
mengadakan apa yang dibutuhkan untuk hidup.
Sebaliknya, kalau semua hidup miskin, kehidupan
akan menjadi sengsara, serba kekurangan dan
akhirnya akan saling berebutan. Karena itu, ada yang
kaya dan ada yang melarat itu baik sekali. Keduanya
dapat saling bekerja, saling membantu sehingga
kehidupan rakyat pada umumnya dapat makmur dan
sejahtera, tidak kekurangan sandang pangan papan.
Akah tetapi, kedua pihak haruslah hidup yang benar
dan baik, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
"Dengan adanya yang kaya, maka dia dapat
memodali perusahaan yang menyerap banyak tenaga
kerja. Dengan adanya yang miskin, maka tersedia
tenaga kerja. Yang kaya membutuhkan yang miskin
sebagai karyawannya, yang miskin membutuhkan
yang kaya untuk lapangan kerja. Karena itu, yang
kaya harus membagi hasil keuntungan
perusahaannya karena para pekerja itulah yang
memiliki jasa atas kemajuan perusahaannya. Yang
kaya harus mencukupi kebutuhan para pekerjanya
dan terbuka hati dan tangannya untuk menolong
mereka yang kekurangan. Di lain pihak, yang miskin
harus rajin bekerja dengan jujur dan setia karena
perusahaan di mana mereka bekerja merupakan
sumber kehidupan dia dan keluarganya.
"Dengan demikian, maka mereka saling
membutuhkan akan tetapi juga saling dibutuhkan.
Kedua pihak memberi dan mengambil. Hubungan
antara mereka menjadi akrab dan baik, tidak ada
yang meninggikan tidak ada yang merendah?kan.
Kalau sudah begitu, maka apabila terjadi suatu
gangguan seperti tadi, maka seluruh penduduk akan
bangkit, bersatu untuk melawan dan menghalau
pengganggu kehidupan mereka. Mengertikah kalian
apa yang kami maksud?"
Para hartawan itu mengangguk-angguk dan
tampaknya senang dan setuju. Dua orang wakil
penduduk yang miskin tersenyum. "Alangkah akan
berbahagianya kami kalau terjadi seperti yang taihiap
maksudkan. Kalau kehidupan kami terja?min, tentu
saja kami akan bekerja dengan rajin dan setia
menjaga sumber kebutuhan hidup kami."
"Kami juga akan merasa senang sekali kalau semua
penduduk dapat hidup rukun, bersatu seperti itu," kata
seorang hartawan. "Nah, kalau begitu mulai sekarang ubahlah semua
keadaan yang pincang ini. Cukupilah kebutuhan
penduduk yang miskin. Beri mereka penghasilan yang
dapat menjamin tercukupnya sandang pangan
mereka sekeluarga. Mereka akan bekerja dengan
rajin sehingga hasil sawah ladang tentu akan
bertambah dan semua dapat mengalami
kemakmuran. Dan untuk pelaksanaan keadaan baru
ini, harus dilaksanakan oleh Gan-cungcu dengan adil
dan bijaksana. Bu-kauwsu boleh mulai memilih
mereka yang muda sebanyaknya, melatih ilmu silat
kepada mereka agar setiap saat ada bahaya
mengancam, penduduk sendiri yang akan menghalau
para pengacau." Ketika dua orang wakil itu diperkenankan turun untuk
mengabarkan kepada semua penduduk yang
berkumpul di pekarangan gedung kepala dusun,
mereka berdua lalu bicara dengan lantang di tepi
serambi, menceritakan rencana perubahan mengenai
keadaan penduduk dusun itu seperti yang dianjurkan
oleh kedua orang pendekar dan telah disetujui semua
pihak. Mendengar ini, penduduk itu bersorak-sorai dan
tertawa-tawa gembira, ada yang menari-nari bahkan
ada yang menangis tersedu-sedu. Baru mendengar
beritanya saja mereka sudah demikian gembira,
apalagi kalau berita itu sudah menjadi kenyataan.
Enyahlah lapar dan dingin! Minggatlah duka nestapa!
Pergilah iri dan dengki! Para hartawan, Kepala Dusun Gan See Ki, dan Bu Sui
kepala pengawal tertarik dan menghampiri ke tepi
serambi. Melihat penduduk begitu gembira, mereka
dicekam keharuan dan mereka menyadari bahwa
selama ini mereka memang telah menempuh jalan
sesat, mencari keuntungan dengan menari di atas
penderitaan orang-orang lain! Dengan terheran-heran
mereka menemukan kenyataan aneh bahwa
kebahagiaan orang-orang di bawah itu bukan hanya
mengharukan, akan tetapi juga mendatangkan
perasaan bahagia yang belum pernah mereka
rasakan selama ini! Belum juga melaksanakan semua rencana tadi,
mereka sudah merasa berjasa, bermanfaat. Hidup
mereka kini mempunyai tugas tertentu. Hidup mereka
kini berguna bagi banyak orang. Mereka diberi
kesempatan untuk menjadi alat penyalur berkah
Thian (Tuhan) kepada banyak manusia!
Akan tetapi ketika mereka menoleh ke belakang,
mereka terbelalak karena mereka tidak melihat lagi
Bun Sam dan Bwee Hwa! "Aih, ke mana perginya kedua pendekar itu?" tanya
seorang hartawan. Mereka semua, sepuluh orang itu
mencari-cari dengan pandang mata mereka, akan
tetapi tidak tampak bayangan dua orang yang tadi
duduk menghadapi meja dan bicara dengan mereka.
"Hemm, tentu mereka telah pergi dengan diam-diam!"
kata yang lain. "Bukan main! Mereka seperti dewa saja, dapat
menghilang begitu saja!" kata Bu Sui, guru silat itu. Dia
tahu bahwa beberapa orang yang pernah
mengajarkan ilmu silat kepadanya tidak mungkin
mampu menandingi ilmu silat dua orang pendekar itu.
"Ah, sungguh menyesal sekali!" kata kepala dusun.
"Kita belum sempat menghaturkan terima kasih,
menjamu mereka dan yang lebih kita sesalkan lagi,
kita belum sempat mengetahui nama kedua pendekar
itu!" Kepala dusun Liok-teng lalu berseru kepada semua
penduduk yang masih bergembira ria di bawah
serambi, di atas pekarangan gedungnya. "Hai,
saudara-saudara sekalian, penduduk dusun Liok-teng!
Apa yang kalian dengar dari kete?rangan dua orang
wakil kalian tadi semua benar belaka! Aku sebagai
kepala dusun bertanggungjawab dan tugaskulah
untuk mengatur agar semua yang diperintahkan
kedua orang pendekar penolong kita itu terlaksana
dengan baik. Kami semua telah menyadari kekeliruan
kami selama ini dan mulai hari ini, kita semua akan
memulai kehidupan baru yang tenteram dan makmur,
bersatu padu membangun dusun kita!"
Para penduduk menyambut ucapan kepala dusun
mereka itu dengan gembira sekali. Di antara keriuhan
sorak-sorai penduduk, Gan-cungcu menghadapi
delapan orang hartawan dan berkata lirih yang hanya
didengar oleh mereka dan Bu-kauwsu. "Maaf, Cu-wi
(kalian) kalau mulai detik ini, kita harus mengubah
hubungan kami menjadi sewajarnya. Mari berlumba
melakukan kebaikan untuk rakyat kita."
Delapan orang hartawan itu mengangguk-angguk.
"Dan engkau, Bu-kauwsu, laksanakan perintah taihiap
dan lihiap tadi," kata pula Gan-cungcu kepada Bu-
kauwsu dan bekas komandan pasukan keamanan itu
mengangguk. Mereka semua, juga para penduduk, merasa
menyesal sekali bahwa kedua orang pendekar itu
telah menghilang dengan diam-diam. Pemuda dan
gadis perkasa itu bukan hanya mendatangkan
keadaan hidup baru bagi semua penduduk, akan
tetapi juga tadi telah menyelamatkan semua barang
berharga yang akan dirampok penjahat,
menyelamatkan pula para gadis yang akan diculik,
dan barangkali juga menyelamatkan nyawa mereka
dari ancaman gerombolan. Sementara itu, selagi semua penduduk Liok-teng
gembira, Bun Sam dan Bwee Hwa sudah pergi jauh
meninggalkan dusun itu. Mereka tadi sengaja
meninggalkan tempat itu secara diam-diam karena
mereka tidak ingin disanjung-sanjung. Setelah jauh
meninggalkan dusun Liok-teng, mereka lalu berjalan
biasa dengan langkah santai.
"Sam-ko, luar biasa sekali apa yang kaulakukan tadi,"
Bwee Hwa memuji te-mannya.
"Ah, tidak, Hwa-moi. Memang seyogianya
demikianlah sikap setiap orang manusia, berbuat
kebaikan berguna bagi orang lain sekuat kemampuan
dan keadaan masing-masing. Kalau kita dapat
melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain,
terutama orang banyak kalau mungkin, maka baru
kita menyadari bahwa untuk itulah kita hidup. Saling
tolong, saling bantu. Sayang, sebagian besar orang
hanya mengerahkan segala kemampuan mereka
hanya untuk kepentingan dan kesenangan diri
mereka sendiri tanpa memperdulikan keadaan orang
lain, seolah orang seperti itu lupa bahwa dia tidak
mungkin hidup seorang diri saja di dunia ini. Kita hidup
saling bergantungan, saling membutuhkan. Tidak
pantas kita hidup kalau hanya dapat meminta, tanpa
memberi yang berarti kita hanya menuntut hak tanpa
memenuhi kewajiban."
"Sam-ko, apakah engkau yakin bahwa dusun Liok-
teng akan dapat berubah menjadi dusun yang
makmur bagi semua penduduknya, tanpa kecuali."
"Aku yakin hal itu akan tercapai kalau saja setiap
orang setia melakukan kewajiban masing-masing.
Kalau para pekerja dengan rajin, jujur dan setia maka
hasilnya tentu akan berlipat ganda. Si pemilik modal
menjamin kehidupan mereka sekeluarga dengan
cukup sebagai bagian mereka atas hasil pekerjaan itu,
maka semua pihak akan merasa berbahagia dan
keadaan itu akan mendatangkan kemakmuran dan
persatuan yang kokoh kuat. Akan tetapi kalau
mereka itu hanya menuntut hak tanpa melaksanakan
kewajiban masing-masing, tentu saja kemakmuran
tidak akan tercapai dan persatuan juga menjadi retak.
Kekacauan dan kelemahan timbul."
"Sayang, sebagian orang hanya menuntut hak tanpa
mau melaksanakan tugas dengan baik, Sam-ko."
Pemuda itu menghela napas panjang. "Hal itu
merupakan kenyataan yang pahit, Hwa-moi. Akan
tetapi kesemuanya itu terpulang kepada pribadi
masing-masing, apakah dia ingin mengisi hidup yang
tak berapa lama ini dengan pekerjaan yang
bermanfaat bagi orang lain ataukah dia hanya
menghabiskan waktu selama hidupnya hanya untuk
memenuhi kepentingan dan kesenangan diri sendiri
belaka tanpa memperdulikan keadaan orang lain.
Hidup seperti itu tiada bedanya dengan kehidupan
binatang." "Wah, kalau engkau bersikap dan bicara seperti ini,
Sam-ko, engkau meng-ingatkan aku kepada suhu-ku,
dan kepada kakak Ui Kiang."
"Suhumu Sin-kiam Lojin memang seorang bijaksana
dan Ui Kiang juga seorang yang baik budi dan luas
pengetahuannya. Setiap orang manusia seyogianya
mengerti akan makna kehidupan ini, mengenal diri
pribadi sedalam-dalamnya sehingga mudah
menyadari akan setiap kesalahan dan dapat segera
mengubahnya. Setiap orang manusia patut menyadari
bahwa dia diciptakan Tuhan hidup di dunia ini agar dia
berguna bagi manusia dan dunia, bukan sekadar
makan tidur dan terombang-ambing antara
kesenangan dan kesusahan, lalu mati tanpa
meninggalkan kesan. Lebih celaka lagi kalau sampai
kita tersesat, bukan melakukan kebaikan yang
bermanfaat bagi manusia dan dunia, melainkan
melakukan kejahatan yang mencelakakan manusia
lain dan mengotori dunia."
Mereka melanjutkan perjalanan dan dalam diri
pemuda itu Bwee Hwa merasa mendapatkan seorang
sahabat yang dapat pula dijadikan guru atau
pembimbing dalam kehidupan. Mereka melanjutkan
perjalanan dan karena Bun Sam ingin mendahulukan
keperluan Bwee Hwa, maka dia mengajak Bwee
Hwa untuk berjalan menuju Heng-san, pegunungan
tempat tinggal Sin-kiam Lojin yang ingin dikunjungi
gadis itu. Setelah tiba di sebuah kota, Bwee Hwa membeli dua
ekor kuda untuk tunggangan mereka karena mereka
telah meninggalkan kuda mereka di dusun itu dengan
diam-diam. Karena tidak ingin ada orang mengetahui
kepergian mereka, maka mereka terpaksa
meninggalkan dua ekor kuda itu dan kini Bwee Hwa
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan uang bekal pemberian kedua orang
kakak angkatnya untuk membeli dua ekor kuda.
Setelah mendapatkan dua ekor kuda yang baik dan
kuat, Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa melanjutkan
perjalanan mereka. Derap kaki kuda mereka me-
ninggalkan kota itu, makin lama semakin sayup lalu
tak terdengar lagi. Mereka berdua menuju Heng-san
yang cukup jauh dari situ dan siap siaga menghadapi
segala pengalaman baru dengan bekal sikap
pendekar yang selalu membela kebenaran dan
keadilan, menentang kejahatan yang didasari
keangkara-murkaan manusia yang disesatkan iblis
melalui nafsu-nafsu daya rendah yang berada dalam
diri setiap orang manusia.
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Kembalinya Pasangan Selingkuh
Pek-hwa Sianli duduk termenung di depan pondoknya
di lereng Bukit Ayam Emas. Pagi itu udaranya cerah,
sinar matahari yang masih muda mendatangkan
kehangatan mengusir sisa hawa dingin berkabut yang
ditinggalkan sang malam. Wanita cantik yang tampak berusia duapuluh tahun
walaupun usianya sudah tigapuluh tahun itu selama
beberapa minggu ini tampak murung. Ia kini tinggal
seorang diri saja di pondoknya karena ia telah
membunuh A-hui dan A-kui, dua orang gadis
pelayannya karena mereka telah berjina dengan Thio
Kam Ki yang menjadi kekasihnya.
Perginya Kam Ki membuat ia sedih dan kecewa
sekali. Ia tergila-gila kepada pemuda itu, bukan hanya
karena pemuda itu tampan dan memiliki daya tarik
yang amat kuat, juga masih perjaka ketika pertama
kali bertemu dengannya, akan tetapi terutama sekali
karena pemuda itu amat lihai sehingga dapat
diandalkan dan akan memperkuat kedudukannya,
dapat membelanya kalau ia mendapat serangan
musuh-musuhnya. Pek-hwa Sianli tahu bahwa ia dimusuhi para
pendekar, terutama setelah ia, dibantu oleh Kam Ki,
telah membunuh Siang-to Sam Heng-te (Tiga Kakak
Beradik Bergolok Pasangan), tiga orang pendekar
yang memusuhinya karena ia mereka ketahui sering
menculik pemuda-pemuda dan membunuh mereka
kalau ia sudah merasa bosan mempermainkan
mereka. Semenjak ia membunuh A-hui dan A-kui, dan Kam Ki
pergi meninggalkannya, kemudian ia menyuruh dua
gadis kembar Can Kim Siang dan Can Gin Siang untuk
mencari dan membunuh Kam Ki, ia tidak betah tinggal
di lereng Bukit Ayam Emas. Ia telah mencoba
menghibur diri dengan pergi ke tempat jauh dari bukit
itu dan bersenang-senang dengan pemuda yang
dapat diculik dan dibujuknya. Akan tetapi hal itu tidak
berlangsung lama karena setelah ia bertemu dengan
Kam Ki tidak ada lagi pria yang dapat menewaskan
hatinya. Ia segera merasa bosan dan akhirnya ia
kembali ke pondoknya dan seringkali termenung. Ia
diam-diam merasa bingung.
Ada perasaan dendam kepada Kam Ki karena
pemuda itu meninggalkanya, akan tetapi juga ada
rasa rindu kepada pemuda itu. Maka, diam-diam ia
merasa menyesal mengapa ia menyuruh dua orang
adik misannya, sepasang gadis kembar itu, untuk
mencari dan membunuh Kam Ki. Sepasang gadis
kembar itu kini lihai sekali setelah menjadi murid Hoa-
san Kui-bo, kalau sampai mereka berhasil membunuh
Kam Ki, ia akan merasa kehilangan dan bersedih
sekali! Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan inilah
yang membuat ia kini seringkali termenung dengan
murung. Terdengar bunyi kicau burung di atas pohon yang
tumbuh di depan pondok itu. Pek-hwa Sianli mencari
dengan pandang matanya dan ia melihat dua ekor
burung sedang berkicau dan bercumbu di atas ranting
pohon. Melihat kemesraan sepasang burung itu, timbul
perasaan iri yang membuat hatinya seperti terbakar.
Ia segera mengambil sepasang sumpit yang tadi ia
pergunakan untuk sarapan bubur dan sekali kedua
tangannya bergerak, dua batang sumpit itu meluncur
seperti anak panah menuju ke atas pohon dan
beberapa detik kemudian tubuh dua ekor burung itu
jatuh ke bawah pohon, terkapar mati dengan tubuh
tertusuk sumpit! Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan dan Pek-
hwa Sianli cepat bangkit berdiri dan memutar
tubuhnya. Ia terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri
ketika ia melihat Kam Ki telah berdiri di situ dengan
senyumnya yang selalu terbayang olehnya!
".......kau .......!" katanya dan suaranya terdengar aneh
karena mengandung bermacam perasaan. Ada
kejutan, ada kegembiraan, akan tetapi bercampur
dengan kemarahan, juga keharuan.
Kam Ki memperlebar senyumnya dan sepasang
matanya memandang dengan sinar penuh kasih
sayang, sinar mata yang sempat membuat wanita itu
tergila-gila. "Sian-li, aku datang karena sudah tidak dapat
menahan rasa rinduku kepadamu. Akan tetapi
sebelumnya agaknya kita harus menjernihkan dulu
kekeruhan yang ada di antara kita. Boleh aku duduk
dan kita berbicara dari hati ke hati?"
Sebetulnya Pek-hwa Sianli merasa gembira sekali dan
ingin ia menyambut kemunculan pemuda itu dengan
pelukan kasih sayang. Akan tetapi sebagai wanita ia
mengambil sikap seolah ia tidak acuh, dan berkata
dengan dingin, "Silakan."
Kam Ki bukan orang bodoh. Dia sudah mengenal baik
wanita itu, maka dari sinar mata Pek-hwa Sianli saja
dia sudah mengetahui bahwa wanita itu menyambut
kedatangannya dengan penuh gairah cinta! Dia lalu
duduk di atas kursi, berhadapan dengan Pek-hwa
Sianli. Lalu dia mengambil sebuah peti berukir kecil
dari sakunya dan memberikannya kepada Pek-hwa
Sianli. "Ini aku membawa sedikit hadiah untukmu.
Terimalah, Pek-hwa Sianli."
Dengan tetap mengambil sikap ogah-ogahan wanita
itu menerima peti kecil itu dan meletakkan di atas
meja yang berdiri di antara mereka.
"Buka dan lihatlah isinya, Sian-li."
Pek-hwa Sianli adalah seorang wanita yang memiliki
banyak harta benda, tentu saja ia tidak
membutuhkan barang apapun. Ia mampu membeli
perhiasan yang bagaimana bagus dan mahalpun,
bahkan iapun akan dapat dengan mudah mencuri
barang indah yang diinginkannya kalau ia tidak
mampu membelinya. Akan tetapi, pemberian dari
pemuda itu diam-diam membuat jantungnya
berdebar, penuh kegembiraan karena hadiah dari
seorang pria menunjukkan akan cinta pria itu
kepadanya. Dibukanyalah tutup peti itu.
Sebuah hiasan rambut dari emas dengan permata
indah berkilauan menyambut pandang matanya. Ia
girang sekali, akan tetapi menahan mulutnya agar
tidak menyuarakan perasaan hatinya. Ia bahkan
menutup kembali peti itu.
"Kam Ki, apa yang akan kau bicarakan?" Untuk
menunjukkan kemarahannya ia tidak lagi menyebut
kakak kepada Kam Ki yang sesungguhnya memang
antara tujuh tahun lebih muda daripadanya.
"Aku ingin bicara denganmu tentang hubungan kita
yang terputus secara mengecewakan."
"Hemm, siapa yang bikin putus" Engkau
meninggalkan aku tanpa pamit!"
"Memang benar. Aku mengakui itu, akan tetapi, Sian-
li, kepergianku itu adalah untuk menjaga agar jangan
terjadi pertentangan dan keributan di antara kita.
Melihat engkau membunuh A-hui dan A-kui, maka
aku rasa lebih baik kalau untuk sementara aku pergi
dan menjauhkan diri darimu agar tidak terjadi
keributan." Pek-hwa Sianli cemberut. "Tentu saja aku membunuh
mereka karena mereka berani main gila denganmu!"
"Aih, engkau tidak adil, Sian-li. Kita saling mencinta,
akan tetapi tidak harus saling mengikat. Engkau boleh
berhubungan dengan laki-laki lain, mengapa aku tidak
boleh" Itu tidak adil namanya. Sekarang begini, Sian-li.
Setelah berpisah darimu, baru aku merasa amat
kehilangan dirimu dan aku merasa rindu padamu.
Nah, kuharap engkau suka bersikap jujur. Bagaimana
perasaanmu terhadap diriku" Apakah sekarang
menjadi benci dan tidak mau bersahabat lagi dengan
aku" Akui saja terus terang."
"Hemm, kalau mau bersahabat lagi bagaimana dan
kalau tidak bagaimana?"
"Nah, pertanyaan itu aku suka, Sianli. Kita harus jujur
dan terbuka dalam hubungan kita. Kalau engkau tidak
mau bersahabat lagi, aku akan pergi dan tidak akan
mendekatimu lagi. Kita boleh tidak bersahabat, akan
tetapi tidak perlu bermusuhan. Sebaliknya, kalau
engkau ingin bersahabat lagi, aku akan merasa
senang sekali. Akan tetapi dalam hubungan kita itu
kita harus tetap bebas. Engkau boleh saja
berhubungan, dengan laki-laki lain, demikian pula aku
boleh berhubungan dengan wanita lain. Bukankah ini
adil namanya" Kita dapat saling membantu dalam
segala hal, jadi sama-sama untung, sama-sama
senang. Bagaimana pendapatmu?"
Sampai lama Pek-hwa Sianli terdiam, berpikir dan
mempertimbangkan dalam hatinya. Kemudian
wajahnya berseri dan bibirnya yang tadinya cemberut
itu kini tersenyum. Ia menyadari bahwa usul pemuda
itu memang cocok dengan isi hatinya. Ia sendiripun
akhirnya akan bosan dengan Kam Ki dan
menginginkan teman pria baru. Dan memang akan
menyenangkan sekali kalau mereka berdua tetap
bebas. Dan selain Kam Ki merupakan pria yang dapat
menyenangkan hatinya, pemuda itupun dapat
menjadi kawan, bahkan pelindung yang amat boleh
diandalkan dengan kesaktiannya!
"Anak nakal, tega benar engkau meninggalkan aku
kesepian seorang diri sampai begitu lama! Kaukira
hanya engkau yang rindu" Akupun rindu setengah
mati, kau bocah nakal!"
"Jadi engkau setuju dengan syaratku tadi?"
"Tentu saja, bodoh! Kenapa tidak dari dulu
kaukatakan kepadaku" Engkau sebaliknya malah
minggat!" Kedua orang itu sama-sama bangkit berdiri dan saling
berpelukan dengan mesra. Keduanya menumpahkan
rasa rindu dengan bercinta sepuas hati mereka.
Setelah mereka mendapat kesempatan bercakap-
cakap, Kam Ki berkata, "Sian-li, engkau menyuruh dua
gadis kembar Can untuk membunuhku, bukan?"
Pek-hwa Sianli menciumnya dan menjawab manja.
"Habis, engkau sih yang membuat aku susah dan
marah, pergi minggat begitu saja. Memang aku
menyuruh mereka untuk mencarimu dan
membunuhmu, sungguhpun setelah mereka pergi aku
merasa menyesal sekali, takut kalau engkau benar-
benar terbunuh. Akan tetapi syukur engkau selamat,
kekasihku!" Kam Ki tertawa. "He-he, kaukira dua orang gadis
kembar itu mampu me-ngalahkan aku" Tidak, mereka
tidak mampu mengalahkan aku, akan tetapi
merekapun agaknya mengkhianatimu, Sian-li, karena
mereka berdua telah bergabung dengan para
pendekar yang memusuhi aku dan perkumpulan yang
kupimpin, yaitu Pek-lian-kauw."
Kam Ki lalu menceritakan tentang penyerbuan Ong
Siong Li, Ui Kong dan Lim Bwee Hwa yang kemudian
bersatu dengan dua gadis kembar utusan Pek-hwa
Sianli itu. Akan tetapi Kam Ki sama sekali tidak
menyebut nama Sie Bun Sam sehingga Pek-hwa
Sianli mengira bahwa kekasihnya ini kalah karena
dikeroyok banyak orang, termasuk dua orang gadis
kembar, adik misannya itu.
Selama beberapa hari, Kam Ki dan Pek-hwa Sianli
bersenang-senang me-lepaskan kerinduan hati
mereka. Segala sesuatu tampak indah bagi Pek-hwa
Sianli. Di lubuk hatinya, wanita ini harus mengakui
bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Kam Ki.
Bukan sekedar cinta berahi yang selama ini
membuatnya mabok. Kini ia benar-benar mencinta
Kam Ki, bukan memperalat Kam Ki untuk memuaskan
nafsu berahinya seperti terhadap para pemuda lain
yang pernah ia permainkan, melainkan sungguh-
sungguh mempunyai perasaan kasih sayang, ingin
membahagiakan, ingin membela dan siap berkorban
apapun demi membahagiakan pemuda ini.
Kurang lebih dua pekan kemudian, pada suatu senja,
Kam Ki dan Pek-hwa Sianli duduk berdua di ruangan
depan pondok. Mereka tampak santai dan wajah Pek-
hwa Sianli tampak lebih cantik daripada biasanya. Kini
sepasang matanya bersinar lembut, mulutnya selalu
membayangkan senyum dan gerak-gerik tubuhnya
nampak lembut, santai dan malas, seperti seekor
harimau betina yang kekenyangan sehingga menjadi
malas. Mereka duduk berdampingan di atas bangku
dan dengan malas dan manja Pek-hwa Sianli
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyandarkan kepalanya di dada Kam Ki.
"Sian-li, sungguh tidak baik kalau kita berdua hanya
begini saja seperti ini, tinggal di tempat sunyi ini dan
tidak melakukan apa-apa."
"Kekasihku, mengapa engkau berkata demikian"
Bukankah kita berdua merasakan kesenangan berdua
seolah kita berada di sorga?"
"Akan tetapi kalau begini terus dapat membosankan,
Sian-li." Pek-hwa Sianli bangkit duduk dan menatap tajam
wajah pemuda itu. "Bosan" Kam Ki, apakah engkau
hendak mengatakan bahwa engkau bosan
kepadaku?" Kam Ki tersenyum dan merangkul. "Bodoh, siapa bisa
bosan padamu, Sianli" Bukan engkau yang
membosankan, melainkan keberadaanku di tempat
sunyi ini, hanya makan tidur dan tidak mempunyai
kegiatan apa-apa. Dengar, Sian-li. Aku pernah
merasakan kesenangan besar ketika aku memimpin
banyak anak buah di Pek-lian-kauw. Aku merasa
mempunyai kekuasaan dan mempunyai kedudukan
yang kuat. Nah, aku merindukan keadaan seperti itu.
Setelah kini kita bersatu, maka kita menjadi lebih
kuat dan kalau kita dapat membentuk suatu
perkumpulan yang kuat, dengan anak buah yang
banyak, maka kita dapat hidup sebagai seorang raja
yang memiliki pasukan!"
"Wah, terserah kepadamu, Kam Ki. Aku setuju dan
mendukung niatmu itu dan aku akan selalu menyertai
dan membantumu. Lalu, apa yang hendak kaulakukan
sekarang?" "Begini, Sian-li. Kalau engkau mendukung keinginanku,
besok kita pergi meninggalkan tempat sunyi ini. Aku
akan mencari sisa-sisa dari mereka yang dulu menjadi
anak buahku. Kita bersama lalu menghimpun tenaga,
mengumpulkan orang-orang yang pantas menjadi
anak buah kita, lalu memilih sebuah tempat yang baik
untuk kita jadikan sarang perkumpulan kita. Kalau
keadaan kita sudah kuat seperti itu, kita tidak perlu
takut lagi menghadapi permusuhan dengan me?reka
yang menamakan dirinya pendekar. Bahkan akan kita
basmi satu demi satu mereka yang memusuhi kita.
Bagaimana pendapatmu?"
Pek-hwa Sianli memandang kekasihnya dan
tersenyum manis. "Ah, bagus sekali, Kam Ki. Aku mendukung
sepenuhnya!" Mereka berangkulan dan bermesraan kembali. Akan
tetapi tiba-tiba Kam Ki melepaskan rangkulannya.
"Dengar, ada yang datang berkuda!"
Pek-hwa Sianli juga mendengarkan. Sejenak mereka
berdiam diri, mendengar-kan penuh perhatian. "Benar,
ada dua ekor kuda mendaki puncak. Hemm, mungkin
sekali mereka adalah dua orang adik misanku yang
kembar itu, Kam Ki. Agaknya mereka kembali ke sini."
"Kalau begitu, aku harus bersembunyi dulu, keluar dari
pondok. Aku menantimu di guha karang dan nanti
engkau datang menemuiku setelah menyambut
kedatangan mereka." "Baik, Kam Ki, pergilah."
Kam Ki lalu keluar dari pondok melalui pintu belakang
dan terus pergi ke sebuah guha yang berada sekitar
setengah lie (mil) dari pondok itu.
Sementara itu, dengan hati tegang karena sudah
mendengar bahwa dua orang adik misannya itu
membalik, bersatu dengan para pendekar memusuhi
Kam Ki, Pek-hwa Sianli berdiri menanti datangnya dua
orang penunggang kuda yang telah terdengar derap
kaki kudanya sebelum kelihatan.
Setelah dua orang pemuda itu muncul, Pek-hwa Sianli
melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Can
Gin Siang akan tetapi orang kedua adalah seorang
pemuda bertubuh tinggi tegap dan berwajah ganteng,
berusia sekitar duapuluh dua tahun yang ia tidak
kenal. Dua orang itu setelah tiba di pekarangan
pondok lalu turun dari atas kuda mereka. Ui Kong,
pemuda itu, membantu tunangannya menambatkan
kuda mereka pada sebatang pohon, kemudian
mereka melangkah maju menghampiri Pek-hwa Sianli
yang masih berdiri menanti di depan pintu pondok.
"Hemm, engkau baru datang, A Gin?" tegur Pek-hwa
Sianli, dengan hati bim-bang. Dua macam perasaan
teraduk dalam hatinya ketika ia melihat Can Gin
Siang. Ia girang bahwa Gin Siang dan Kim Siang tidak
berhasil membunuh Kam Ki, akan tetapi ia juga
penasaran mendengar betapa dua orang adik
misannya itu kini bersatu dengan para pendekar.
Gin Siang menghampiri sampai ke depan Pek-hwa
Sianli dan memberi normat, lalu memperkenalkan.
"Enci Hwa, ini adalah tunanganku, namanya Ui Kong.
Kong-ko inilah enci Pek-hwa Sianli yang juga menjadi
guru pertamaku." Ui Kong memberi hormat dan Pek-hwa Sianli
mengamati wajah pemuda ini dengan sinar mata
kagum. Seorang pemuda yang tampan dan gagah,
menggai?rahkan sekali, bisik hati akal pikirannya
yang memang selalu tertarik dan ber?gairah setiap
melihat seorang pria yang tampan.
"Kalian masuklah, kita bicara di dalam, A Gin."
Mereka bertiga masuk dan duduk di ruangan depan.
Untung bahwa di situ tidak terdapat tanda-tanda
kehadiran Kam Ki, pikir Pek-hwa Sianli sambil
mengerling ke sekitarnya.
"A Gin, mana A Kim dan apa artinya engkau
memperkenalkan saudara Ui Kong ini sebagai
tunanganmu?" Gin Siang merasa heran mengapa kakak misannya ini
tidak menanyakan tentang tugas yang diberikan
kepada ia dan saudara kembarnya, tidak bertanya
tentang hasil usaha mereka membunuh Kam Ki. Akan
tetapi ia ingin menceritakan semua yang terjadi.
"Begini, enci Hwa. Pertama-tama saya hendak
melaporkan bahwa kami berdua telah berhasil
bertemu dengan Kam Ki dan menyerangnya. Akan
tetapi dengan menyesal saya beritahukan bahwa dia
dapat lolos dari tangan kami karena memang dia
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan dia telah
menjadi pimpinan Pek-lian-kauw. Kami berdua
bahkan tertawan olehnya karena kami pingsan ketika
dia mempergunakan peledak yang mengandung obat
bius. Untunglah muncul kanda Ui Kong ini dan kawan-
kawannya sehingga kami dapat terbebas dari bahaya.
Kami berdua bersama Kong-ko dan kawan-kawannya
berhasil menghancurkan perkumpulan itu akan tetapi
Kam Ki dapat meloloskan diri. Kemudian, kami berdua
menemukan jodoh kami, enci. Kim Siang bertunangan
dengan kakak Ui Kiang dan aku bertunangan dengan
Ui Kong ini. A Kim tertinggal di kota Ki-lok membantu
tunangannya mengurus perusahan dan mewakilkan
aku dan Kong-ko untuk menghadap enci dan memberi
kabar tentang semua yang kuceritakan itu."
Sebetulnya, di dalam hatinya Pek-hwa marah
mendengar kedua orang adik misannya itu kini bukan
hanya bergabung, bahkan bertunangan dengan orang-
orang yang memusuhi Kam Ki. Akan tetapi wanita
yang cerdik ini memperlihatkan wajah gembira. Ia
dapat menduga bahwa pemuda bernama Ui Kong ini
tentu seorang yang tangguh maka dapat menolong
dua orang adik misannya yang tertawan Kam Ki dan
Pek-lian-kauw, dan iapun tahu bahwa tingkat
kepandaian A Gin tidak berselisih jauh dengan
tingkatnya sendiri setelah dua orang gadis kembar itu
berguru kepada Hoa-san Kui-bo, bibi gurunya yang
bertapa di Hoa-san. Maka ia bersikap ramah agar
mereka tidak curiga. "Ah, aku senang sekali mendengar kalian berdua
telah mendapatkan jodoh, A Gin. Kapan akan
diadakannya perayaan pernikahannya?"
"Secepatnya, enci. Dan kami datang ini selain untuk
melaporkan yang tadi, juga untuk mengundang agar
enci dapat menghadiri perayaan pesta pernikahan
kami di Ki-lok." "Tentu saja, A Gin. Sekarang, hari telah menjelang
malam dan kalian telah melakukan perjalanan jauh.
Mari, kalian mandi dan berganti pakaian dulu agar
segar kembali, kemudian kita makan malam dan
bicara lebih lanjut. Kalian mandi dan mengaso dulu
sementara aku akan mencari beberapa macam
bumbu masakan di luar."
"Ah, tidak perlu merepotkanmu, Enci Hwa."
"Tidak ada yang repot, kalian mandilah dulu."
Pek-hwa Sianli lalu meninggalkan pondok, diam-diam
menekan kemarahannya karena kini A Gin
menyebutnya "enci Hwa" tidak lagi menyebut seperti
dulu. Sebutan ini diucapkan Gin Siang sebagai tanda
keakraban bersaudara, akan tetapi bagi Pek-hwa
Sianli dianggap tidak menyenangkan karena ia lebih
senang disebut Sianli yang berarti Dewi!
Setelah meninggalkan pondok, Pek-hwa Sianli cepat
mengambil jalan memutar menuju ke guha di mana
Kam Ki telah menantinya dengan tidak sabar.
"Yang datang adalah Can Gin Siang bersama
tunangannya. Tunangannya itu bernama Ui Kong yang
katanya membantunya menyerbu Pek-lian-kauw dan
ikut mengeroyokmu. Iapun menceritakan bahwa Kim
Siang juga bertunangan dengan kakaknya Ui Kong itu.
Gin Siang datang selain untuk melaporkan
kegagalannya membunuhmu, juga mengundangku ke
perayaan pernikahan dua orang gadis kembar itu.
Sekarang bagaimana baiknya, Kam Ki?"
"Kalau menurut engkau, bagaimana baiknya?"
"Kalau kita maju bersama, kukira tidak akan terlalu
sukar untuk mengalahkan mereka. Mari kita bunuh
saja mereka!" Kam Ki mengangguk. "Mari kita bunuh laki-laki itu,
akan tetapi Gin Siang jangan dibunuh dulu. Sayang
kalau langsung dibunuh. Aku masih ingat, ia cantik
jelita. Kita tangkap ia hidup-hidup dan serahkan saja
ia kepadaku, nanti kalau aku sudah bosan akan
kubunuh." "Uh, engkau mau enak sendiri saja!" Pek-hwa Sianli
bersungut. "Ui Kong itu pun muda dan tampan sekali.
Kalau engkau mau bersenang-senang, akupun juga.
Diapun tidak langsung boleh dibunuh!"
Kam Ki tersenyum menyeringai, maklum akan
maksud wanita itu. "Kalau begitu, kita tangkap
mereka, kita bersenang-senang, baru kita bunuh
mereka. Begitukah?" "Ya, akan tetapi kalau membunuh mereka tidak
begitu sukar, sebaliknya kalau hendak menangkap
hidup-hidup, bukan merupakan pekerjaan mudah!
Ingat, merekapun memiliki kepandaian yang cukup
tinggi dan tangguh sekali."
"Ha-ha, apa sukarnya" Ketahuilah, aku membawa
obat bius dari Pek-lian-kauw. Kalau dicampurkan arak,
tidak akan terasa sama sekali dan bekerjanya cepat.
Kusimpan dalam buntalan pakaianku dalam kamarmu.
Pergunakan itu. Kalau mereka sudah pingsan, kita
pergunakan obat perangsang milikmu itu dan kita
bersenang-senang." Pek-hwa Sianli mengangguk-angguk dengan gembira.
Kemudian ia pergi, kem?bali ke pondok dan langsung
sibuk di dapur untuk masak. Tentu saja sebelum itu ia
sudah mengambil obat atau racun pembius dari
buntalan pakaian Kam Ki dalam kamarnya dan
mencampurkannya dengan arak dalam guci arak
yang akan dihidangkannya nanti.
Setelah selesai mandi dan bertukar pakaian, Gin Siang
membantu kesibukan Pek-hwa Sianli di dapur,
sedangkan Ui Kong mengurus kuda, memberi dua
ekor kuda itu makan dan minum.
Malampun tiba. Kini tiga orang itu sudah duduk
sekeliling meja makan. Dengan gembira mereka
makan dan minum dan Pek-hwa Sianli menuangkan
arak merah yang harum baunya ke cawan masing-
masing. Tentu saja sebelumnya ia sudah menelan
obat penawar atau pemunah racun pembius yang
berada dalam arak itu. Ketika mereka makan minum, Kam Ki telah
mendekati pondok dengan hati-hati, tanpa
menimbulkan suara sedikitpun dan dia mengintai dari
luar ruangan makan. Jantungnya berdebar tegang dan
girang melihat Can Gin Siang yang cantik jelita itu.
Begitu cawan pertama diminum Ui Kong dan Gin
Siang, Pek-hwa Sianli sudah menuangkan arak dari
guci itu kembali memenuhi cawan mereka.
"Mari kita minum untuk merayakan perjodohan
antara kalian yang sungguh amat menggembirakan
hatiku!" katanya sambil mengangkat cawan. Tentu
saja Ui Kong dan Gin Siang tidak menolak maksud
baik itu dan mereka pun mengangkat cawan lalu
minum isinya sampai habis.
Kalau Berjodoh Pasti Bertemu Lagi ~ Tamat
"Celaka......!" Tiba-tiba Ui Kong berseru, tubuhnya
limbung ketika dia bangkit berdiri. Dia melihat
tunangannya malah sudah merebahkan kepala di atas
meja dalam keadaan lemas dan terkulai.
Ui Kong mendengar suara tawa dan dengan marah ia
mengumpulkan tenaga yang terasa hilang, lalu
melontarkan cawan arak yang kosong ke arah muka
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek-hwa Sianli yang tertawa. Akan tetapi karena
lontaran itu lemah dan Pek-hwa Sianli mengelak,
sambitan itupun tidak mengenai sasaran. Ui Kong
mencoba melangkah mundur dari meja, akan tetapi
dia terkulai dan roboh! Kam Ki muncul dari pintu dan bertepuk tangan
memuji sambil tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali,
Sianli! Mulai malam ini kita bersenang-senang sampai
sepuasnya!" kata Kam Ki dan dia tertawa dengan
suara tawanya yang terdengar penuh ejekan. Dia
menghampiri Gin Siang yang masih duduk di atas
kursi dengan kepala berbantal lengan di atas meja
dalam keadaan pingsan atau tidur dan hendak
memondongnya. "Sabar dulu, Kam Ki. Engkau lupa! Mereka harus diberi
minum anggur merah perangsang dulu agar jinak, dan
tidak menolak atau melawan!"
"Ah, benar, aku lupa, Sian-li. Ambil anggurmu itu!"
Pek-hwa Sianli berlari ke kamarnya mengambil
sebotol anggur merah yang merupakan obat
perangsang yang amat manjur, yang ia pergunakan
kepada para pemuda yang diculiknya dahulu untuk
membakar gairah para pemuda itu.
Ia menuangkan anggur merah itu ke dalam cawan
arak yang dipakai Gin Siang dan Ui Kong tadi sampai
penuh. Kemudian, Kam Ki mendekatkan cawan itu ke
mulut Gin Siang dan Pek-hwa Sianli juga
menempelkan cawan itu ke bibir Ui Kong. Dengan
tangan kiri, mereka menekan geraham memaksa
mulut dua orang korban itu terbuka agar mereka
dapat menuangkan anggur merah itu ke dalam perut
mereka. Tiba-tiba pada saat itu, dua sinar merah kecil
menyambar ke dalam kamar berturut-turut. Sinar
pertama menyambar ke arah cawan yang dipegang
Pek-hwa Sianli dan sinar kedua menyambar ke arah
cawan yang dipegang Kam Ki.
"Cringg......! Cringg......!"
Biarpun dua sinar itu ternyata hanya jarum-jarum
merah yang meluncur sambil mengeluarkan suara
seperti tawon terbang, namun cukup mengejutkan
Kam Ki dan Pek-hwa Sianli sehingga mereka menarik
tangan mereka dan melepaskan cawan sehingga
anggurnya tumpah ke atas lantai. Keduanya
melompat dan memutar tubuh ke arah jendela dari
mana dua sinar tadi menyerang ke arah tangan
mereka yang memegang cawan. Mereka melihat
berkelebatnya bayangan di luar jendela.
"Keparat, jangan lari!" Bentak Kam Ki dan Pek-hwa
Sianli. Keduanya lalu melompat dengan gesit seperti
burung terbang keluar melalui jendela dan tiba di
ruangan luar yang luas. Ternyata penyerang itu sama sekali tidak melarikan
diri. Di tengah ruangan itu, di bawah sinar lampu
gantung yang cukup terang, berdiri dua orang yang
membuat wajah Kam Ki menjadi pucat ketika melihat
mereka. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang
gadis, yaitu Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa!
"Y" Bagaimana dua orang itu tiba-tiba saja dapat berada
di situ" Seperti telah diceritakan, Bwee Hwa dan Bun
Sam melakukan perjalanan menuju ke Heng-san
karena Bwee Hwa ingin sekali mengunjungi gurunya,
Sin-kiam Lojin yang sudah tua dan sudah ia
tinggalkan mencari ayahnya selama lebih dari dua
tahun. Bun Sam menemaninya dan di sepanjang perjalanan,
Bwee Hwa semakin kagum kepada Bun Sam.
Pemuda ini mengingatkan ia akan mendiang Ong
Siong Li yang jujur, bijaksana, sopan dan gagah
perkasa. Kebetulan saja perjalanan mereka itu melalui kaki
Bukit Ayam Emas. "Bukankah itu Bukit Ayam Emas?" tanya Bwee Hwa
ketika mereka tiba di kaki bukit itu.
"Benar, lihat saja bentuk puncaknya seperti seekor
ayam, dan pohon-pohon di sana itu berwarna
kekuningan seperti emas. Bagus, ya?"
"Tapi, bukankah kakak Ui Kong dan Gin Siang pergi ke
sana" Kata dua orang gadis kembar itu, kakak misan
atau juga guru pertama mereka yang bernama Pek-
hwa Sianli tinggal di lereng Bukit Ayam Emas. Kalau
begitu, mereka berdua tentu pergi ke sana juga."
"Ah, benar juga katamu, Hwa-moi. Akan tetapi
mengapa jalan umum ini begini sepi" Sejak tadi kita
tidak melihat ada seorang pun lewat di jalan ini," kata
Bun Sam sambil menghentikan kudanya dan Bwee
Hwa juga berhenti. "Eh, lihat itu ada orang. Akan tetapi mengapa ia
melarikan diri begitu melihat kami?" Bwee Hwa
menunjuk ke depan. Benar saja. Ada seorang laki-laki
muncul di tikungan jalan, akan tetapi begitu melihat
mereka berdua, orang itu melarikan diri seperti orang
ketakutan. "Kejar dan tanya dia mengapa dia ketakutan, Sam-
ko!" Tanpa diminta dua kali, Bun Sam sudah melompat
turun dari kudanya dan tubuhnya berkelebat,
mengejar orang yang melarikan diri ketakutan itu.
Sebentar saja dia sudah dapat melewati dan
menghadang di depan orang itu. Dia seorang laki-laki
setengah tua, berusia sekitar limapuluh tahun dan
begitu melihat Bun Sam tiba-tiba saja menghadang di
depannya, dia segera menjatuhkan diri berlutut
menyembah-nyembah. "Ampunkan saya, tai-ong (raja besar, sebutan untuk
perampok)......!" Orang itu memohon ketakutan.
Bun Sam terbelalak. Tai-ong" Dia disangka perampok"
"Paman, bangkitlah dan jangan takut. Aku sama
sekali bukan orang jahat dan tidak akan
mengganggumu. Percayalah, aku bahkan menolong
siapa saja yang diganggu orang jahat. Berdirilah dan
mari kita bicara." Orang itu memandang penuh perhatian, setelah
melihat bahwa yang menghadangnya itu seorang
pemuda yang sederhana, baik wajah maupun
pakaiannya, mengenakan caping lebar, mulutnya
tersenyum ramah, matanya lembut dan tidak
memegang senjata, sama sekali bukan seperti
penampilan seorang penjahat, dia menjadi lega dan
timbul kembali keberaniannya. Dia bangkit berdiri.
"Akan tetapi...... mengapa engkau tadi bersama iblis
betina itu berada di sana" Dan mengapa pula
mengejar saya?" "Hemm, aku berada di sana bukan dengan iblis
betina, melainkan dengan seorang sahabatku, seorang
pendekar wanita. Dan aku mengejarmu karena
melihat engkau melarikan diri ketakutan dan aku
ingin bertanya mengapa engkau lari. Akan tetapi
sekarang aku sudah tahu bahwa engkau ketakutan
karena mengira sahabatku itu iblis betina. Nah,
sekarang katakan padaku, paman, siapakah yang kau
sebut iblis betina itu dan mengapa engkau
menyebutnya iblis betina dan di mana ia tinggal?"
Orang yang pakaiannya sebagai petani itu menengok
ke kanan kiri dan tampak?nya ketakutan. "Saya......
saya takut......" "Jangan takut. Aku dan sahabatku yang akan
melindungimu," kata Bun Sam dan pada saat itu,
Bwee Hwa menunggang kuda menghampiri sambil
menuntun kuda tunggangan Bun Sam. Melihat gadis
cantik itu kembali orang itu ketakutan, akan tetapi
setelah Bwee Hwa turun dan tersenyum kepadanya,
rasa takutnya hilang. "Apa yang terjadi?" tanya Bwee Hwa.
"Paman ini tadi lari ketakutan karena mengira engkau
iblis betina," kata Bun Sam.
"Wah, sialan! Aku disangka iblis betina" Menghina
sekali kau!" "Ah, maafkan...... ampunkan saya, nona ......" orang itu
berkata. "Hemm, kalau engkau tidak mau bercerita tentang
iblis betina itu, sahabatku ini tentu akan marah sekali
kepadamu karena engkau menyangka ia iblis betina.
Hayo ceritakan, paman."
"Benar, paman. Kalau engkau tidak mau bercerita, aku
benar-benar akan menjadi iblis betina dan marah
kepadamu!" kata Bwee Hwa dengan suara galak.
"Ah, maaf...... iblis itu...... ia seorang wanita cantik akan
tetapi kejam, suka menculik dan membunuh pemuda-
pemuda namanya Pek-hwa Sianli dan tinggalnya di
lereng bukit itu......"
"Ahhh......!!" Bun Sam dan Bwee Hwa berseru demikian
kuat sehingga orang itu kembali ketakutan lalu
melarikan diri! Akan tetapi sekali ini, Bun Sam dan
Bwee Hwa tidak mengejar. "Wah, Sam-ko. Kalau begitu Kong-ko dan Gin Siang
yang pergi ke sana dapat terancam bahaya!"
"Benar, mari kita sekarang juga naik ke sana, Hwa-
moi!" "Akan tetapi sekarang sudah menjelang senja,
sebentar lagi malam tiba, Sam-ko."
"Kita tinggalkan kuda di kaki bukit dan mendaki jalan
kaki saja. Bulan muncul lewat senja nanti, kita dapat
mencari jalan ke atas."
Demikianlah, dua orang pendekar itu mendaki bukit
dan mereka dapat menolong Ui Kong dan Gin Siang
pada saat yang tepat sekali. Bwee Hwa yang tadi
melepas jarum tawonnya untuk menyerang tangan
Pek-hwa Sianli dan Kam Ki yang hendak menuangkan
anggur perangsang ke dalam mulut dua orang korban
mereka. Kini, Pek-hwa Sianli dan Kam Ki berhadapan dalam
ruangan luas itu, saling pandang. Tentu saja Kam Ki
merasa gentar bukan main melihat suhengnya dan
Bwee Hwa yang pernah menyerbu Pek-lian-kauw
yang dipimpinnya dengan para pendekar lain. Dia
maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang
amat tangguh, terutama sekali suhengnya. Akan
tetapi Pek-hwa Sianli yang tidak mengenal mereka,
memandang rendah. "Keparat, siapa yang sudah bosan hidup menyerang
kami dengan am-gi (senjata gelap) tadi!" bentaknya.
"Engkau tentu Pek-hwa Sianli, si iblis betina itu,
bukan" Tidak kusangka, julukannya Dewi akan tetapi
sebetulnya seorang iblis betina, benar-benar harimau
berbulu domba! Akulah yang mencegah kalian
melakukan perbuatan hina kepada Ui Kong dan Can
Gin Siang tadi!" kata Bwee Hwa.
"Keparat sombong! Siapakah kalian" Perkenalkan
nama agar kalian tidak mam-pus tanpa nama!"
"Hemm, kenapa tidak tanya saja kepada si jahat Thio
Kam Ki rekanmu itu" Lihat, mukanya sudah pucat
ketakutan melihat kami!"
Sementara itu, Bun Sam berkata kepada Kam Ki.
"Sute, lebih baik engkau menyerah kubawa kembali
menghadap suhu. Bertaubatlah, sute. Suhu tentu akan
memaafkanmu dan membimbingmu ke jalan benar."
Akan tetapi Pek-hwa Sianli sudah tidak dapat
menahan diri lagi. "Bocah sombong, mampuslah!" Ia
membentak dan ketika dua tangannya bergerak,
tampak dua sinar berkelebat dan ia sudah mencabut
siang-kiam (sepasang pedang) yang tergantung di
punggungnya. Tanpa memberi peringatan lagi, Pek-
hwa Sianli sudah menerjang maju menyerang Bwee
Hwa, sepasang pedangnya digerakkan cepat
membentuk dua lingkaran sinar.
Bwee Hwa dapat menduga bahwa kakak misan atau
guru pertama si kembar Kim Siang dan Gin Siang ini
tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ketika melihat
wanita itu mencabut siang-kiam, iapun sudah cepat
mencabut Sin-hong-kiam dari punggungnya. Ketika
Pek-hwa Sianli menyerang, iapun cepat memutar
pedangnya menyambut. Terdengar bunyi
berdentingan disusul bunga api berpijaran ketika
pedang mereka saling bertemu di udara. Mereka
segera saling serang dengan seru dan mati-matian,
berkelahi bagaikan dua ekor harimau betina!
Kam Ki yang merasa tersudut tentu saja tidak mau
menyerah begitu saja. Tidak rela dia meninggalkan
kehidupannya yang dianggapnya amat
menyenangkan itu. Kini ada Pek-hwa Sianli di
sampingnya dan kalau wanita itu mampu
merobohkan lawannya, tentu akan dapat
membantunya menghadapi Bun Sam. Maka diapun
membentak nyaring dan menerjang maju, menyerang
Bun Sam dengan dahsyat. Biarpun Kam Ki dan Bun Sam berkelahi dengan tangan
kosong, namun sebe-tulnya perkelahian antara
mereka lebih seru dibandingkan perkelahian antara
Pek-hwa Sianli dan Bwee Hwa yang menggunakan
pedang. Serangan tangan dan kaki kedua orang
saudara seperguruan ini merupakan sambaran
tangan-tangan maut yang amat berbahaya.
Kam Ki mengerahkan seluruh tenaganya yang dia
dapat dari bimbingan Hwa Hwa Cinjin sehingga
pukulannya mengandung racun yang amat jahat. Dia
menggunakan ilmu Bantok-ciang (Tangan Selaksa
Racun) yang amat keji karena sekali terkena
senggolan tangan itu, maka tubuh lawan akan
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keracunan hebat dan bagi lawan yang kurang kuat
tenaga saktinya akan tewas seketika! Juga ilmu silat
yang dia mainkan adalah ilmu silat Ciu-kwi-kun (Silat
Setan Arak) yang gerakannya seperti orang mabok,
sukar diduga perkembangannya dan amat berbahaya
bagi lawan. Namun Sie Bun Sam sudah mendapat
penggemblengan tambahan dari Leng-hong Hoatsu
sehingga dia dapat membuat pertahanan yang amat
kuat dan di samping itu, dapat melakukan serangan
balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Biarpun Kam Ki
sudah mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua ilmu simpanannya, tetap saja
dia mulai terdesak. Sementara itu, perkelahian antara Pek-hwa Sianli
melawan Bwee Hwa berlang-sung ramai. Mereka
saling serang dengan seru dan mati-matian dan
keadaan mereka masih seimbang sehingga Kam Ki
menjadi repot sekali. Dia terdesak terus akan tetapi
tidak dapat mengharapkan bantuan Pek-hwa Sianli
yang sedang berkelahi dengan seru dan seimbang
melawan Bwee Hwa. Akan tetapi karena Bun Sam
tidak bermaksud membunuh sutenya, hanya ingin
menangkap dan membawanya kembali ke gurunya,
maka Kam Ki masih dapat melakukan perlawanan
sengit. Sementara itu, Gin Siang dan Ui Kong masih belum
sadar. Gin Siang masih duduk di atas kursi dengan
kepala berbantal lengan di atas meja, sedangkan Ui
Kong masih rebah miring di atas lantai. Akan tetapi Ui
Kong tadi tidak menenggak habis araknya karena
setelah minum secawan tadi dia sudah merasa
pening. Padahal dia sudah amat biasa minum arak.
Kalau hanya menghabiskan lima cawan saja dia tidak
akan mabok. Akan tetapi tadi baru minum secawan
saja dia sudah merasa agak pening. Maka dia
menjadi agak curiga dan cawan kedua itu hanya
diminumnya setengah. Dialah yang pertama kali tahu bahwa minuman itu
tidak wajar dan mengandung sesuatu yang tidak
baik, maka dia berusaha memperingatkan Gin Siang,
namun terlambat dan dia pun terguling roboh dan
pingsan. Akan tetapi karena kadar racun pembius
yang diminumnya tidak sebanyak Gin Siang, maka dia
dapat sadar lebih dulu. Dia membuka kedua matanya
dan seketika dia teringat apa yang telah terjadi.
Cepat dia melompat dan melihat Gin Siang "tertidur"
di atas kursinya, dia cepat mengambil air, mengurut
tengkuk dan menotok kedua pun?dak gadis itu
beberapa kali, membasahi muka dan ubun-ubunnya
dengan air dan Gin Siang juga siuman. Mereka
mendengar suara beradunya senjata di luar kamar
dan tanpa bicara keduanya cepat bergerak dan
melompat keluar jendela yang menembus ke ruangan
itu. Setibanya di ruangan itu mereka melihat Bwee Hwa
sedang bertanding melawan Pek-hwa Sianli, dan Bun
Sam bertanding dengan pemuda yang menjadi ketua
Pek-lian-kauw itu. Biarpun Gin Siang tahu bahwa kakak misannya, Pek-
hwa Sianli ternyata masih jahat dan tadi nyaris
mencelakainya dan mengorbankan dirinya kepada
Kam Ki, namun ia tetap tidak tega untuk menyerang
dan mengeroyok Pek-hwa Sianli. Bagaimanapun juga,
ia merasa berhutang budi yang cukup banyak kepada
Pek-hwa Sianli. Maka Gin Sang menumpahkan semua
kemarahannya kepada Thio Kam Ki dan tanpa banyak
cakap lagi, iapun mencabut Siang-kiam (Sepasang
Pedang) lalu menerjang kepada Kam Ki yang sudah
terdesak berat oleh Bun Sam. Adapun Ui Kong yang
melihat betapa Bwee Hwa bertanding seimbang
dengan Pek-hwa Sianli, lalu memutar pedangnya
membantu Bwee Hwa. Bun Sam terkejut. Serangan sepasang pedang dari Gin
Siang cukup ganas dan dahsyat, maka dia khawatir
kalau-kalau Kam Ki akan menjadi korban dan tewas
oleh pedang gadis itu. Kam Ki juga semakin terdesak
hebat. Suatu saat, karena sudah terhuyung oleh
serangkaian pukulan Bun Sam, dia tidak mampu
menghindar lagi ketika pedang kiri Gin Siang
menyambar ke arah lehernya.
"Plakk.......!" Gin Siang terkejut dan melompat ke
belakang ketika pedangnya ditangkis oleh tangan kiri
Bun Sam! Pada saat itu, Bun Sam membuat gerakan
berputar dan kakinya menendang, tepat mengenai
lambung Kam Ki. Tubuh Kam Ki terpental dan dia
roboh pingsan. Pada saat yang hampir sama, terdengar Pek-hwa
Sianli mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya
terpelanting roboh mandi darah. Ia tewas seketika
oleh sabetan pedang Bwee Hwa yang tentu saja
mendapat banyak kesempatan karena masuknya Ui
Kong yang membantunya. Ketika Ui Kong dan Bwee Hwa melihat Kam Ki
menggeletak pingsan, mereka berdua melompat dan
hendak membunuh pemuda itu dengan pedang
mereka. Akan tetapi Bun Sam berkelebat cepat dan
menghadang mereka. "Jangan bunuh dia!"
"Ahhh.......! Mengapa, Sam-ko" Dia amat jahat.......!"
Bwee Hwa membantah dan memandang Bun Sam
dengan sinar mata penasaran.
Bun Sam menghela napas panjang dan mengangkat
lalu memondong tubuh Kam Ki, lalu berkata, "Maafkan
aku, Hwa-moi. Dia adalah suteku (adik
seperguruanku) dan aku hanya memenuhi perintah
suhu untuk menangkap dan membawanya kepada
suhu, bukan membunuhnya. Maafkan aku." Dia lalu
melangkah keluar dari pondok itu.
Sejenak Bwee Hwa berdiri tertegun, kemudian ia lalu
mengejar dan dapat menyusul Bun Sam di depan
pondok. Bulan bersinar dengan terang di atas kepala
mereka. "Sam-ko?"!"
Bun Sam berhenti melangkah. Kini mereka berdiri
berhadapan. "Hwa-moi," katanya lirih. "Mengapa
mengejarku?" "Sam-ko, apakah engkau akan meninggalkan aku
begini saja?" "Hwa-moi, aku harus menyelesaikan tugasku,
membawa Kam Ki kembali ke Himalaya menghadap
suhu." "Akan tetapi...... apakah....... apakah kita tidak akan
saling bertemu kembali, Sam-ko?" Suara Bwee Hwa
gemetar. "Hwa-moi, ada waktunya bertemu, ada pula
waktunya berpisah. Kalau Thian menghendaki, pasti
kita akan dapat saling bertemu kembali. Maafkan aku,
Hwa-moi, karena aku harus membawa suteku ini
kepada suhu, aku tidak dapat menemanimu pergi ke
Heng-san bertemu dengan suhumu Sin-kiam Lojin."
Ketika Bun Sam hendak melanjutkan perjalanan,
sebelum dia menggerakkan kakinya, Bwee Hwa
berkata lirih. "Sam-ko......." suaranya mengandung isak
tertahan. "aku...... aku ingin ikut denganmu, Sam-
ko......." Bun Sam menggeleng kepalanya dan berkata lembut.
"Tidak, Hwa-moi, aku harus melaksanakan tugasku
dulu. Selamat berpisah, Hwa-moi, dan baik-baiklah
menjaga dirimu." Setelah berkata demikian, Bun Sam
melompat dan berkelebat lenyap di keremangan
malam. "Sam-ko......, jangan tinggalkan aku seorang diri......"
Bwee Hwa tak dapat menahan turunnya air mata ke
atas kedua pipinya. Akan tetapi seruannya itu hanya
digumam saja. Malam sudah larut. Can Gin Siang keluar dari pondok,
melihat Bwee Hwa berdiri seorang diri di luar pondok,
diam seperti arca, ia menghampiri.
"Adik Bwee Hwa," tegurnya lembut. Setelah menjadi
tunangan Ui Kong, Gin Siang menyebut adik kepada
Bwee Hwa, "mari masuk ke dalam pondok. Kami
sedang mengurus jenazah piauw-ci (kakak misan),
setelah besok pagi kami kubur, kita lalu meninggalkan
tempat ini. Mari masuklah." Gin Siang memegang
tangan Bwee Hwa namun Bwee Hwa menarik
tangannya. "Engkau masuklah, aku ingin berada di luar. Hawanya
lebih sejuk." Setelah beberapa kali membujuk tanpa hasil, akhirnya
Gin Siang meninggalkan Bwee Hwa sendiri. Bwee
Hwa lalu duduk di atas bangku yang terdapat di
depan pondok itu dan duduk melamun sambil
memandang ke arah perginya Bun Sam, seolah
mengharapkan pemuda itu muncul kembali.
Sampai keesokan harinya ketika Ui Kong dan Gin
Siang menguburkan jenazah Pek-hwa Sianli di
belakang pondok, Bwee Hwa masih tidak beranjak
dari bangku itu. Beberapa kali Gin Siang
membujuknya, namun tetap saja ia tidak mau
meninggalkan bangku itu. Setelah selesai mengubur jenazah Pek Hwa Sian-li
memenuhi permintaan Gin Siang, Ui Kong dan Gin
Sang pergi ke depan pondok. Melihat Bwee Hwa
masih duduk seperti patung, Ui Kong menggeleng-
geleng kepalanya. Perlahan-lahan dia menghampiri
Bwee Hwa dari belakang dan meletakkan tangannya
di atas pundak Bwee Hwa. Hwa-moi, mari kita pulang.
Pulang?" Bwee Hwa mengulang kata itu seperti
orang kehilangan semangat.
Tentu saja pulang ke Ki-lok, bukankah engkau ini
adikku yang tercinta dan aku ini kakakmu?"
Perlahan-lahan Bwee Hwa mengangkat mukanya
yang menunduk dan tampaklah wajah yang pucat,
sepasang mata yang sayu memandang wajah Ui
Kong. Kakak Ui Kong......" bibir itu gemetar.
Ya, adikku. Mari kita pulang. Jangan khawatir, jodoh
itu berada di tangan Thian, kalau memang engkau
berjodoh dengan dia, kelak pasti akan dapat saling
bertemu kembali. Percayalah!"
Kong-ko......! " Bwee Hwa terisak, menangis dalam
rangkulan kakaknya. Tak lama kemudian, Ui Kong, Gin Siang, dan Bwee
Hwa menuruni Bukit Ayam Emas itu dan selanjutnya
menuju ke kota Ki-lok menunggang kuda mereka.
Karena pandainya Ui Kong dan Gin Siang
menghiburnya di sepanjang perjalanan, akhirnya
Bwee Hwa mendapatkan kembali semangat dan
kelincahannya. TAMAT http://cerita-silat.mywapblog.com/cersil-kho-ping-hoo-kisah-si-tawon-merah.xhtml
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Kisah Si Rase Terbang 2 Dewa Iblis Karya Tak Diketahui Seruling Gading 13