Pencarian

Tawon Merah Bukit Hengsan 6

Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


Can Kim Siang dan Can Gin Siang mencabut pedang
mereka. Kedua orang gadis kembar ini bersenjata
siang-kiam(sepasang pedang).
"Kam Ki, bersiaplah engkau untuk menebus dosa dan
mati di tangan kami!" Kim Siang membentak, kini
tidak merasa ragu untuk memenuhi permintaan
piauw-ci (kakak misan) yang juga gurunya yang
pertama, yaitu Pek-hwa Sianli, dan untuk membunuh
Kam Ki karena ternyata bahwa pemuda itu adalah
seorang penjahat, ketua Pek-lian-kauw yang suka
mengganggu penduduk dusun dan menculik gadis-
gadis dusun. "Hei, nanti dulu!" kata Kam Ki, masih tenang saja
karena memang dia selalu memandang rendah orang
lain dan menganggap diri sendiri yang paling pandai.
"Boleh saja kalau kalian hendak mencoba untuk
membunuhku nanti. Akan tetapi katakan lebih dulu
apa hubungannya aku bercintaan dengan Pek-hwa
Sianli, dengan A-hui dan A-kui" Siapakah kalian
berdua ini sebenarnya?"
"Kami adalah piauw-moi (adik misan) Pek-hwa Sianli
dan ia minta kepada kami untuk membunuh engkau
yang sudah mengkhianati cintanya. Kam Ki, bersiaplah
untuk mati di tangan kami!"
"Ha-ha-ha!" Kam Ki tertawa. "Aku memang sudah
siap, bukan untuk mati di tangan kalian, melainkan
untuk bersenang-senang dengan kalian berdua!"
Tentu saja sepasang gadis kembar itu menjadi merah
mukanya karena marah. Mereka berpencar ke kiri
kanan, lalu dari kiri kanan mereka menyerang dengan
gerakan cepat dan kuat sambil mengeluarkan
bentakan nyaring. "Haiiittttt?"!!"
Kam Ki terkejut bukan main. Serangan kedua orang
gadis ini benar-benar hebat dan amat berbahaya. Dia
mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan
mengandalkan kecepatannya untuk mengelak ke
sana-sini. Akan tetapi dua pasang pedang itu
membentuk empat gulungan sinar yang mengejarnya
ke manapun dia berkelebat sehingga Kam Ki menjadi
kewalahan juga. Sesungguhnya, tingkat
kepandaiannya masih lebih tinggi daripada tingkat
kepandaian sepasang gadis kembar ini. Akan tetapi
karena dua orang gadis itu maju berbareng dan
mereka berdua agaknya memiliki hubungan batin
yang amat kuat sehingga gerakan mereka dapat
dipersatukan, seolah dikendalikan oleh satu pikiran
saja maka mereka merupakan lawan yang amat
tangguh. Di lain pihak, sepasang gadis kembar itupun terkejut
ketika serangan mereka yang gencar itu selalu gagal.
Pemuda itu dapat bergerak dengan cepat sekali
sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja yang
berkelebatan di antara sinar pedang mereka. Dan
kalau sekali-kali Kam Ki mengibaskan tangan untuk
menangkis pedang dari samping, mereka merasa
betapa tangan mereka tergetar hebat.
Sekarang mengertilah sepasang gadis kembar itu
mengapa Pek-hwa Sianli menyuruh mereka berdua
mencari dan membunuh Kam Ki. Pek-hwa Sianli
sendiri pasti tidak dapat menandingi pemuda yang
amat lihai sekali. Mereka lalu mengerahkan seluruh
kemampuan mereka dengan kerja sama yang amat
baik sehingga mereka mampu menekan Kam Ki
walaupun tidak mudah untuk membunuhnya.
Kam Ki melihat Ang-bin Moko sudah muncul di situ
dan bersama para anak buah menonton dia
bertanding melawan sepasang gadis kembar itu.
"Moko, bantu aku menangkap mereka ini. Jangan
bunuh dan jangan lukai, tangkap hidup-hidup!" kata
Kam Ki. Ang-bin Moko maklum apa yang dimaksudkan Kam
Ki. Dia lalu membanting bahan peledak di dekat dua
orang gadis kembar itu. Terdengar suara ledakan dan
asap putih yang tebal membubung. Can Kim Siang
dan Can Gin Siang hendak menghindar, namun Kam
Ki menghadang mereka dengan tamparan-tamparan
yang mendatangkan angin kuat sehingga mereka
tidak mampu menjauh dan otomatis mereka
menyedot asap putih. Seketika mereka merasa
pandang mata mereka gelap dan sambil mengeluh
keduanya roboh terguling, pingsan terbius oleh asap
yang mengandung pembius amat kuat itu.
Sambil tertawa girang Kam Ki mengempit tubuh dua
orang gadis kembar itu dan membawanya masuk ke
dalam kamar besar di mana Bwee Hwa masih terikat
di atas pembaringan. Kam Ki memerintahkan anak
buahnya untuk mengambilkan dua buah dipan, lalu
mengikat dua orang gadis kembar itu masing-masing
di atas sebuah dipan, seperti keadaan Bwee Hwa,
telentang di atas pembaringan dengan kedua kaki
tangan terikat kuat! Kam Ki duduk menghadapi meja dan tertawa-tawa
senang sambil memandangi tiga orang gadis itu
berganti-ganti. Ketiganya mempunyai daya tarik
tersendiri. Ketiganya cantik jelita menggairahkan!
"Ha-ha-ha! Aku semalam tidak bermimpi kejatuhan
tiga buah bintang ge-merlapan, tahu-tahu sekarang
ada tiga orang gadis cantik manis siap melayaniku.
Ha-ha-ha!" "Engkau jahanam keparat busuk!" Bwee Hwa
memaki. Akan tetapi Kam Ki hanya tertawa sambil
menuangkan arak dalam cawan dan meminumnya
dengan hati senang. "Y" Dengan perasaan berat tertindih kekhawatiran akan
nasib Siong Li yang terkepung, apa lagi nasib Bwee
Hwa yang tertawan oleh Kam Ki, ketua Pek-lian-kauw
yang lihai itu, Ui Kong membalapkan kudanya
menuruni lereng bukit. Tiba-tiba dia melihat debu mengepul tinggi di dekat
bukit dan tampak pasukan yang cukup besar,
agaknya tidak kurang dari duaratus orang perajurit!
Hati Ui Kong berdebar penuh ketegangan dan
harapan, lalu membalapkan kudanya ke depan.
Setelah dekat, dia melihat kakaknya, Ui Kiang
menunggang kuda di depan pasukan, bersama tiga
orang perwira. Pasukan itu mulai memasuki hutan di lereng
terbawah. Melihat ini Ui Kong berseru nyaring, "Kiang-
ko?"!" Ui Kiang memandang ke depan dan segera mengenal
adiknya. Dia memberitahu para perwira agar
menghentikan pasukan. Pasukan berhenti dan
sebentar saja kedua kakak beradik itu sudah saling
berhadapan. Kedua orang kakak beradik itu melompat turun dari
atas kuda dan mereka berlari saling menghampiri.
"Kong-te, bagaimana keadaanmu" Di mana Hwa-moi
dan saudara Siong Li?"
"Ah, celaka, Kiang-ko. Bwee Hwa tertawan dan Li-ko
terancam bahaya," kata Ui Kong.
"Bagaimana mungkin kalian bertiga sampai dapat
dikalahkan?" Ui Kiang berseru heran dan juga kaget.
"Kiang-ko, cabang Pek-lian-kauw itu mempunyai
seorang ketua baru, masih muda dan bernama Kam
Ki. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali,
amat lihai dan kami tidak mampu menandinginya,"
kata Ui Kong. "Kalau begitu, mari kita tolong adik Bwee Hwa dan
saudara Siong Li. Engkau menjadi penunjuk jalan.
Pasukan ini akan membantu kita, Kong-te!"
Ui Kong merasa lega dan dengan semangat meluap-
luap karena timbul harapan baru untuk dapat
menyelamatkan Bwee Hwa dan Siong Li, dia
membedal kudanya, kembali naik ke Bukit Siong,
diikuti oleh Ui Kiang, para perwira dan pasukan
mereka. Tak seorangpun di antara mereka melihat atau
mengetahui bahwa ketika Ui Kong dan Ui Kiang bicara
tadi, ada bayangan orang mengintai dan
mendengarkan mereka dari atas sebatang pohon
yang tinggi besar dan lebat daunnya. Begitu
mendengar nama Kam Ki disebut, bayangan itu lalu
berkelebat lenyap dan mendahului pasukan itu naik
ke bukit Siong. Gerakannya amat ringan dan lari?nya
seperti terbang cepatnya.
Bagaimana Ui Kiang dapat secara kebetulan tiba di
tempat itu bersama Pasukan besar" Kiranya setelah Ui
Kong, Bwee Hwa, dan Siong Li pergi, Ui Kiang merasa
tidak enak karena dia hanya mampu
menyumbangkan pikiran dan tidak dapat melakukan
sesuatu untuk membantu mereka. Maka dia lalu cepat
menghubungi panglima pasukan keamanan di kota Ki-
lok dan menceritakan segalanya, juga tentang
dugaannya bahwa sarang pembunuh yang tokoh Pek-
lian-kauw itu dapat dilacak melalui gerombolan Kiu-
liong-pang. Juga dia menceritakan tentang usaha Ui
Kong, Bwee Hwa, dan Siong Li yang ingin
menemukan pembunuh ayahnya dan merampas
kembali patung Kwan Im dari Kuil Ban-hok-si. Dia
minta bantuan panglima itu yang segera
memerintahkan tiga orang perwiranya untuk
memimpin duaratus orang perajurit membantu Ui
Kiang yang hendak melakukan pengejaran dan
membantu tiga orang pendekar. Demikianlah, di
lereng pertama Bukit Siong itu pasukan bertemu
dengan Ui Kong setelah mereka mendatangi
gerombolan Kiu-liong-pang di lembah Sungai Kiu-liong
dan memaksa tiga orang ketua gerombolan itu untuk
memberitahu di mana adanya sarang Pek-lian-kauw.
Dan siapakah bayangan yang berkelebat dan kini
berlari secepat terbang mendaki Bukit Siong itu" Dia
adalah seorang pemuda yang bentuk tubuhnya
sedang, wajahnya gagah namun membayangkan
kelembutan, pakaiannya sederhana, kepalanya
tertutup sebuah caping lebar. Pemuda ini memiliki
sinar mata yang lembut dan wajahnya selalu dihiasi
senyum yang ramah, penuh kesabaran dan penuh
pengertian. Dia bukan lain adalah Sie Bun Sam, pemuda berusia
duapuluh lima tahun, murid utama Leng-hong Hoatsu.
Seperti kita Ketahui, Sie Bun Sam menerima tugas dari
Leng-hong Hoatsu untuk mencari sutenya, Thio Kam Ki
yang menyeleweng dan berguru pada orang sesat.
Setelah beberapa bulan melacak, pada hari itu secara
kebetulan dia mendengar keluhan para penduduk
daerah Bukit Siong tentang kejahatan yang dilakukan
gerombolan yang bersarang di puncak Bukit Siong.
Seperti halnya dua orang gadis kembar, mendengar
ini Bun Sam menjadi penasaran. Jiwa pendekarnya
tersentuh dan dia mengambil keputusan untuk
mendaki Siong-san dan membasmi gerombolan
penjahat itu agar tidak lagi mengganggu
ketenteraman kehidupan penduduk dusun di sekitar
pegunungan itu. Kebetulan sekali dia melihat pertemuan antara Ui
Kong dan Ui Kiang. Bun Sam yang ingin tahu apa yang
terjadi sehingga ada pasukan besar berada di situ,
cepat melompat ke atas pohon dan sempat
mendengarkan percakapan Ui Kong dan Ui Kiang.
Ketika dia mendengar bahwa Pek-lian-kauw lah
perkumpulan gerombolan pengacau itu dan kini
gerombolan itu dipimpin oleh Kam Ki tentu saja dia
terkejut dan menyesal sekali.
Tidak disangkanya bahwa sute yang amat
disayangnya itu kini malah semakin dalam terperosok
dalam kesesatan. Menjadi ketua Pek-lian-kauw! Maka
dia harus cepat turun tangan mencegah sutenya itu
melakukan perbuatan yang tidak baik. Dia mendengar
laporan para penduduk di kaki gunung tadi bahwa
gerombolan itu mengganggu rakyat dan bahkan
menculik gadis-gadis. Hati Bun Sam terguncang, penuh keraguan. Benarkah
sutenya sekarang melakukan kejahatan seperti itu"
Rasanya sukar dipercaya! Akan tetapi kalau dia
mengingat betapa sutenya telah memukulnya pingsan
dengan ilmu pukulan asing yang bersifat jahat, dia
menjadi curiga. Maka, cepat dia melompat dan berlari
cepat ke puncak gunung, karena agaknya pasukan
pemerintah itu siap untuk membasmi gerombolan
yang dipimpin Thio Kam Ki.
Dia hendak membuktikan dulu bagaimana keadaan
gerombolan itu. Kalau benar gerombolan itu Pek-lian-
kauw melakukan kejahatan dipimpin oleh Kam Ki, dia
harus menentangnya. Akan tetapi kalau semua itu
hanya fitnah dan sutenya tidak bersalah, dia harus
membela sutenya dari serangan pasukan!
Sadarlah Sute, Ingat Nasehat Suhu!
Thio Kam Ki duduk menghadap meja dan minum arak
sambil memandang ke arah tiga orang gadis yang
telah diikat kaki tangannya dan rebah telentang di
atas pembaringan masing-masing itu! Dia merasa
girang sekali. Tiga orang gadis itu sungguh cantik
menarik dan mereka bertiga itu sudah berada dalam
tangannya. Bagaikan tiga potong daging sudah berada
dalam mangkok di depannya, tinggal makan saja!
Akan tetapi, dia merasa kecewa dan tidak puas. Dia


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin tiga orang gadis cantik itu mau melayaninya dan
membalas cintanya. Bukan melayaninya karena
dipaksa. Kalau saja mereka bertiga suka menjadi
isteri-isterinya dan hidup bersamanya di situ, tentu dia
akan merasa berbahagia sekali!
Setelah puas minum arak, Kam Ki lalu menghampiri
pembaringan Bwee Hwa. Dia duduk di tepi
pembaringan dan membujuk Bwee Hwa, karena
bagaimanapun juga, dia lebih tertarik kepada Bwee
Hwa. "Bwee Hwa, bagaimana, apakah engkau tetap
menolak" Lihat, mereka berdua menjadi tawananku.
Merekapun cantik-cantik dan memiliki ilmu silat yang
bahkan lebih lihai daripada kepandaianmu. Mereka
tentu akan senang sekali kalau menjadi isteriku."
"Jahanam busuk! Siapa sudi menjadi isterimu" Aku
tidak sudi!" kata Can Kim Siang yang kini sudah
siuman dari pingsannya. "Akupun tidak sudi! Lebih baik mati!" teriak Can Gin
Siang yang juga sudah siuman.
"Huh, laki-laki tidak tahu malu!" Bwee Hwa mengejek.
"Tulikah telingamu sehingga kamu tidak mendengar
ucapan mereka" Mereka berdua menolak untuk
menjadi isterimu, akupun lebih baik mati daripada
menjadi isterimu. Mau bunuh boleh bunuh, akan tetapi
untuk menjadi isterimu, jangan harap!" kata Bwee
Hwa dengan suara mengandung ejekan.
Ucapan-ucapan tiga orang gadis itu mendatangkan
kesan baik satu sama lain di antara mereka dan
mereka merasa lebih kuat karena mengalami nasib
yang sama. Mendengar ucapan tiga orang gadis itu, wajah Kam Ki
menjadi merah sekali. Dia merasa marah bukan main.
Untung tidak ada orang lain yang melihat keadaan
dan mendengar makian tiga orang gadis itu. Kalau
ada orang lain melihat dan mendengarnya, dia akan
merasa malu bukan main! Dia, seorang pemuda yang
berilmu tinggi, berwajah tampan dan gagah pula, kini
ditolak mentah-mentah oleh tiga orang gadis. Bukan
hanya ditolak, bahkan dimaki-maki dan dihina. Kalau
menurutkan nafsu amarahnya, ingin dia membunuh
tiga orang gadis itu pada saat itu juga! Akan tetapi
tiga orang gadis itu begitu cantik dan manis, sayang
kalau dibunuh begitu saja!
Untuk menenangkan hatinya yang panas dan marah,
Kam Ki menuang dan minum arak dari cawannya
sampai tiga kali. Kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha! Kalian ini gadis-gadis yang angkuh dan
besar kepala! Kalian berani menolakku" Ha-ha-ha,
kalian kira begitu mudah menghinaku, ya" Tunggu
saja! Aku akan menghinamu sepuluh kali lipat! Aku
akan memperkosa kalian satu demi satu di sini,
mempermainkan kalian sesuka hatiku dan sepuasku!
Kalau aku sudah bosan, aku akan memberikan kalian
kepada anak buahku, biar kalian dibuat permainan
mereka sampai kalian mampus!"
Biarpun mulut mereka diam saja, namun di dalam
hatinya, sepasang gadis kembar itu merasa ngeri juga
mendengar ancaman itu. Akan tetapi mereka diam
saja dan mereka berdua kagum ketika mendengar
Bwee Hwa tertawa mengejek.
"Huh, ucapanmu itu hanya menunjukkan bahwa
engkau adalah seorang pemuda yang tidak tahu malu
dan jahat, keji, dan licik! Kalau memang engkau
seorang pemuda gagah, hayo lepaskan ikatan ini dan
mari kita bertanding sampai mati! Aku tidak takut
padamu dan tidak takut akan ancamanmu, keparat!
Kalau engkau melaksanakan ancamanmu itu, setelah
mati aku pasti akan menjadi setan penasaran dan
akan mengejarmu sampai di manapun juga."
Thio Kam Ki memandang kepada Bwee Hwa dengan
mata melotot dan sinarnya mencorong marah.
"Hemm, Lim Bwee Hwa gadis sombong! Engkaulah
yang akan kusiksa dan kuhina lebih dulu di depan dua
orang gadis kembar ini!"
Setelah berkata demikian, Kam Ki bangkit dari
kursinya dan menghampiri pem-baringan di mana
Bwee Hwa rebah telentang dengan kaki tangan
terikat. Karena merasa tidak berdaya, Bwee Hwa
memejamkan kedua matanya agar ia tidak usah
menyaksikan apa yang akan dilakukan pemuda itu
kepadanya. Kam Ki yang telah banyak minum arak sehingga
nafsunya semakin berkobar membakar dan
mempengaruhi hati akal pikirannya, sambil
menyeringai lebar berkata.
"Tunggulah sebentar, manisku. Aku merasa panas dan
hendak mandi dulu biar badanku segar sehingga aku
akan mampu melayani kalian bertiga berturut-turut,
ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, dia mengusap
pipi Bwee Hwa. Gadis itu membuang muka dan Kam
Ki lalu meninggalkan kamar itu sambil tertawa
bergelak. Setelah pemuda itu pergi meninggalkan kamar, Can
Kim Siang yang tadi melihat sikap Bwee Hwa dan
merasa suka akan keberaniannya, bertanya, "Sobat,
siapakah engkau dan bagaimana dapat tertawan oleh
bangsat itu?" Bwee Hwa yang tadi juga melihat betapa dua orang
gadis itu berani menentang dan memaki Kam Ki,
segera menjawab. "Namaku Lim Bwee Hwa, orang
menyebut aku Ang-hong-cu. Aku bersama dua orang
sahabatku menyerang Pek-lian-kauw untuk
membunuh Pek-bin Moko dan merampas kembali
patung emas Dewi Kwan Im yang dia curi dari kuil
Ban-hok-si. Kami berhasil membunuh Pek-bin Moko,
akan tetapi?"" Bwee Hwa berhenti sebentar karena
lehernya serasa dicekik kesedihan, "seorang
sahabatku tewas dan yang lain entah bagaimana
nasibnya, sedangkan aku sendiri tertawan."
"Ah?" kami tadi berpapasan dengan seorang pemuda
bertubuh tinggi tegap naik kuda dengan cepat sekali
menuruni lereng bukit. Apakah itu sahabatmu yang
kedua itu?" tanya Can Gin Siang, dan Kim Siang juga
mengangguk karena menduga demikian.
"Berapa kira-kira usianya dan apa warna
pakaiannya?" tanya Bwee Hwa.
"Usianya sekitar duapuluh tahun lebih, pakaiannya
berwarna kuning," kata Kim Siang.
"Ah, benar dia!" seru Bwee Hwa. "Tentu dia itu Kong-
ko, maksudku Ui Kong. Dia dapat meloloskan diri,
syukurlah dan aku yakin dia pasti tidak akan tinggal
diam begitu saja melihat aku tertawan. Aku yakin
bahwa dia tentu mencari bala bantuan!"
"Ssssttt....... dia datang?"!" kata Kim Siang dan
mereka bertiga menanti dengan jantung berdebar
penuh ketegangan. Mereka bertiga sudah berusaha sekuat tenaga untuk
melepaskan ikatan kaki tangan mereka, akan tetapi
Kam Ki yang tahu bahwa tiga orang gadis itu memiliki
kepandaian tinggi, sudah mengikat kaki tangan
mereka dengan tali yang amat kuat sehingga usaha
mereka bertiga selalu gagal.
Tiga orang gadis itu otomatis menengok ke arah pintu
kamar. Akan tetapi mereka tidak melihat siapa-siapa
di situ dan ada suara gerakan orang di jendela kamar.
Mereka otomatis menengok ke arah jendela.
Daun jendela terbuka dari luar dan pengganjalnya
dari palang itupun patah. Sesosok tubuh orang dengan
gerakan yang amat gesit melompat ke dalam kamar
itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, seolah
seekor burung raksasa yang terbang masuk lewat
jendela. Tiga orang gadis tawanan itu menengok dan
memandang dengan heran dan hati tegang, akan
tetapi ketika melihat bahwa orang itu sama sekali
bukan Thio Kam Ki seperti yang mereka duga dan
khawatirkan, mereka menjadi lega, akan tetapi juga
heran dan bertanya-tanya dalam hati apakah
masuknya orang asing ini akan mendatangkan
malapetaka ataukah pertolongan. Orang itu adalah
seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima
tahun, tubuhnya sedang saja, juga wajahnya tidak
terlalu tampan namun juga tidak jelek, sederhana
seperti pakaiannya. Sebuah caping lebar menutupi
kepalanya. Bwee Hwa yang berada paling dekat dengan orang
itu, berkata lirih. "Siapakah engkau, kawan ataukah
lawan" Kalau lawan, cepat bunuh kami! Kami tidak
takut mati!" Laki-laki itu adalah Sie Bun Sam. Dia memandang
kepada Bwee Hwa dan terse?nyum lembut. Pandang
matanya seolah terpesona melihat wajah Bwee Hwa
dan dia berkata lembut. "Bukan kawan dan bukan
lawan, nona. Akan tetapi tidak dapat aku berdiam diri
saja melihat kejahatan dilakukan orang." Setelah
berkata demikian, dia mengampiri Bwee Hwa dan
dua kali tangannya bergerak, ikatan pada kaki dan
tangan gadis itu putus. Hwa menggosok-gosok pergelangan kaki dan
tangannya untuk melancarkan jalan darahnya lalu
melompat turun dan melihat Sin-hong-kiam miliknya
yang tadi dirampas Thio Kam Ki berada di atas meja,
ia menyambar pedangnya itu.
Sementara itu Bun Sam sudah melepaskan ikatan
pada kaki tangan Can Kim Siang dan Can Gin Siang.
Dua orang gadis kembar inipun segera mengambil
Siang-kiam (pedang pasangan) masing-masing yang
tadi juga dibawa Kam Ki dan berada di atas meja.
Tiga orang gadis itu merasa girang sekali, seolah-olah
burung garuda mendapatkan kembali paruh dan
cakarnya. "Terima kasih, sobat!" kata Bwee Hwa.
Sebelum Bun Sam sempat menjawab, terdengar
suara ribut-ribut di luar kamar itu. "Mereka datang
mengejarku ke sini. Mari kita keluar menyambut
mereka dan serahkan orang yang bernama Thio Kam
Ki kepadaku!" Bun Sam mendahului tiga orang gadis itu, membuka
daun pintu kamar dan ternyata di luar kamar terdapat
belasan orang anggauta Pek-lian-kauw. Mereka
adalah para anggauta yang melakukukan pengejaran
terhadap Bun Sam. Pemuda itu tadi memasuki perkampungan Pek-lian-
kauw dan ketika dia dihadang tiga orang anggauta
Pek-lian-kauw dengan mudah dia merobohkan
mereka. Akan tetapi dia kelihatan oleh beberapa
orang anggauta lain yang segera mengumpulkan
teman-temannya dan melakukan pengejaran.
Bwee Hwa, Kim Siang, dan Gin Siang yang sudah
marah sekali lalu menerjang maju dan tiga orang
anggauta Pek-lian-kauw terjungkal mandi darah
disambar pedang mereka. Yang lain-lain cepat berlari
keluar karena mereka semua sudah maklum akan
kelihaian tiga orang gadis tawanan itu. Mereka tadi
ketika menge?jar Bun Sam sama sekali tidak mengira
bahwa tiga orang gadis itu sudah bebas.
Melihat tiga orang rekan mereka roboh mandi darah,
yang lain segera melarikan diri keluar dari rumah itu,
selain untuk mencari tempat yang lebih luas sehingga
mereka dapat leluasa mengeroyok, juga mereka
mengharapkan bantuan para anggauta lain. Terutama
sekali mereka menanti munculnya Thio Kam Ki dan
Ang-bin Moko yang mereka andalkan.
Sementara itu, ketika dia sedang mandi, Kam Ki
mendengar suara hiruk pikuk itu. Cepat dia
mengeringkan tubuh lalu mengenakan pakaian,
kemudian dia melompat keluar, cepat menuju ke
kamar di mana tiga orang gadis tawanannya berada.
Alangkah kaget dan marahnya ketika dia tidak
melihat tiga orang gadis itu di atas pembaringan
masing-masing, juga pedang-pedang mereka tidak
ada. Tahulah dia bahwa mereka itu, entah bagaimana
caranya, telah dapat me-lepaskan diri. Mendengar
suara ribut di depan rumah, Kam Ki cepat berlari ke-
luar, merasa penasaran, kecewa dan marah.
Ketika dia tiba di pekarangan yang luas itu, dia
melihat semua anak buah sedang mengepung dan
mengeroyok tiga orang gadis yang telah bebas itu.
Para anak buah itu dipimpin sendiri oleh Ang-bin
Moko. Melihat Ang-bin Moko memimpin kurang lebih
limapuluh orang anggautanya itu mengeroyok, Kam Ki
merasa yakin bahwa dia akan mampu menangkap
tiga orang gadis itu kembali.
"Ang-bin Moko, tangkap mereka hidup-hidup! Jangan
bunuh atau lukai mereka!" teriaknya.
Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan tahu-
tahu di depan Thio Kam Ki telah berdiri Sie Bun Sam
yang memandangnya dengan alis berkerut dan sinar
mata penuh mengandung teguran!
"Suheng?"! Kau?" di sini?" tanyanya gagap, bukan
karena takut melainkan karena kaget. Kini
mengertilah dia mengapa tiga orang gadis yang
ditawannya itu dapat terlepas. Tentu suhengnya ini
yang membebaskannya! "Sute, apa saja yang kaulakukan ini" Sungguh
menyedihkan dan memalukan. Engkau tersesat jauh
sekali, sute!" Kam Ki sudah dapat menenangkan hatinya dan dia
tertawa mengejek. "Suheng, kenapa engkau


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencampuri urusanku" Ingat, aku dapat
mengalahkanmu seperti dulu, engkau pernah roboh
pingsan oleh pukulanku. Apakah engkau kini hendak
menentangku" Suheng, kunasihatkan kepadamu.
Pergilah sebelum aku hilang sabar karena aku akan
menyesal kalau harus membunuhmu!"
Bun Sam tersenyum. "Sute, dulu engkau merobohkan
aku karena kecuranganmu. Sekarang dengarlah
nasihatku, sute. Ingatlah, sejak dahulu aku
menyayangmu, aku tidak ingin melihat engkau
celaka. Maka, sadarlah, sute. Ingat akan nasihat suhu.
Tinggalkan perkumpulan sesat ini dan mari kita
kembali kepada suhu yang akan membimbingmu!
Aku yang akan mintakan ampun kepada?""
Akan tetapi ucapan itu terpaksa dihentikan karena
secara curang sekali, tiba-tiba Kam Ki sudah
menyerangnya dengan pukulan Ban-tok-ciang (Tangan
Selaksa Racun) yang dulu pernah merobohkan Bun
Sam. Dia tahu bahwa kalau dia menggunakan semua
ilmu yang dia pelajari dari Leng-hong Hoatsu, tidak
mungkin dia mampu mengalahkan Bun Sam yang
memiliki tingkat lebih tinggi.
Dia menggunakan Ban-tok-ciang yang dipelajari dari
Hwa Hwa Cin-jin karena Bun Sam tentu tidak
mengenal ilmu ini. Serangannya memang hebat
sekali. Kedua tangan yang sudah dialiri hawa beracun
itu menyambar-nyambar ganas dan mengeluarkan
bau yang amis seperti ada ratusan ular berbisa
menyerang Bun Sam. Akan tetapi sebelum turun gunung, Bun Sam sudah
diberitahu gurunya bahwa dia tidak akan kalah oleh
ilmu sesat sutenya kalau dia menggunakan seluruh
tenaga saktinya. Kalau dulu dia sampai terluka dan
pingsan, hal itu terjadi karena dia tidak menyangka
dan dia hanya mempergunakan tenaga tidak
sepenuhnya agar sutenya tidak terluka.
Kini, menghadapi serangan bertubi itu, dia
menggunakan kelincahan gerak tubuhnya untuk
mengelak ke sana-sini, dan mencari kesempatan
untuk menotok roboh sutenya. Bagaimanapun juga,
Bun Sam tetap sayang kepada sutenya yang sejak
kecil hidup bersama dia di bawah asuhan Leng-hong
Hoatsu. Dia tidak tega untuk melukai sutenya itu,
apalagi membunuhnya. Maka, pertandingan itu
menjadi seimbang dan Kam Ki yang licik itu agaknya
maklum bahwa suhengnya mengalah.
Hal ini tidak membuat hatinya tergerak dan terharu,
bahkan dia hendak mencari keuntungan dari
kelemahan hati Bun Sam itu. Dia menyerang semakin
ganas, memainkan ilmu silat Ciu-kwi-kun (Silat Setan
Mabok) yang dipelajari dari Hwa Hwa Cinjin.
Pertandingan itu menjadi seru sekali dan tidak mudah
bagi Bun Sam untuk dapat merobohkan sutenya
tanpa melukainya. Sementara itu, tiga orang gadis, tanpa perundingan
lebih dulu, sudah menghadapi pengeroyokan banyak
orang dengan saling membelakangi. Dengan
demikian, mereka tidak sampai diserang dari
belakang. Ketiganya mengamuk dengan pedang
mereka dan gerakan mereka memang lincah dan
kuat sekali sehingga para pengeroyok tidak berani
terlalu mendekat setelah ada enam orang roboh oleh
pedang tiga orang dara perkasa itu. Ang-bin Moko
akhirnya dilawan oleh Bwee Hwa, sedangkan
sepasang gadis kembar itu menghadapi puluhan
orang anak buah Pek-lian-kauw.
"Bwee Hwa, hati-hati, tosu (pendeta) siluman itu
memiliki alat peledak yang mengeluarkan asap
beracun!" teriak Kim Siang, sambil memutar sepasang
pedangnya menghadapi pengeroyokan puluhan orang
itu. Biarpun sepasang gadis kembar ini lihai sekali ilmu
sepasang pedang mereka, namun jumlah pengeroyok
terlampau banyak. Mereka berdua harus memutar
sepasang pedang mereka untuk melindungi diri
mereka dari datangnya serangan golok, pedang, atau
tombak yang seperti hujan lebat. Mereka berdua
hanya mampu melindungi diri tanpa dapat membalas
karena serangan banyak orang itu tidak memberi
kesempatan kepada mereka untuk balas menyerang.
Perkelahian antara Ang-bin Moko melawan Bwee
Hwa amat seru. Tingkat kepandaian mereka
seimbang sehingga perkelahian itu ramai sekali, sukar
diduga siapa di antara mereka yang akan keluar
sebagai pemenang. Sesungguhnya, Bwee Hwa lebih
bersemangat dan gerakannya lebih lincah.
Namun Ang-bin Moko menang pengalaman dan selain
dari itu, pimpinan cabang Pek-lian-kauw ini
mengandalkan banyak anggauta yang akan dapat
disuruh membantunya mengeroyok Bwee Hwa kalau
dua orang gadis kembar itu sudah dapat ditundukkan.
Yang membuat dia repot adalah karena tadi Kam Ki
berteriak agar tiga orang gadis cantik itu ditangkap
hidup-hidup, jangan dilukai atau dibunuh. Semua anak
buah mendengar dan tentu saja mereka merasa takut
kepada Kam Ki kalau melanggar perintah itu. Hal ini
membuat mereka hanya mengepung rapat akan
tetapi selalu menjaga agar gadis-gadis itu jangan
sampai terluka atau roboh tewas.
Mendadak mendengar sorak sorai dan duaratus orang
perajurit yang dipimpin para perwira tiba di puncak
itu. Mereka adalah pasukan yang diajak Ui Kiang dan
kemudian bertemu dengan Ui Kong dan kini mereka
tiba di puncak itu dengan Ui Kong sebagai penunjuk
jalan. Begitu tiba di perkampungan Pek-lian-kauw,
para perajurit itu menyerbu masuk. Ui Kong sendiri
sudah cepat terjun ke dalam pertempuran. Dia girang
bukan main melihat Bwee Hwa masih hidup dan kini
sedang bertanding mati-matian melawan Ang-bin
Moko. "Hwa-moi, mari kita basmi para iblis Pek-lian-kauw!"
bentak Ui Kong dan dia sudah menggunakan
pedangnya untuk membantu Bwee Hwa menyerang
Ang-bin Moko. Gegerlah semua anggauta Pek-lian-kauw menghadapi
penyerbuan pasukan pemerintah yang amat banyak
jumlahnya itu. Mereka menjadi panik dan sebentar
saja banyak anggauta Pek-lian-kauw roboh. Yang
hendak melarikan diri, tidak mendapatkan jalan
karena mereka sudah terkepung ketat.
Ang-bin Moko terkejut bukan main. Menghadapi Bwee
Hwa saja dia sudah merasa repot, apalagi kini
ditambah seorang musuh yang tingkat kepandaiannya
tidak kalah dibandingkan tingkatnya sendiri. Dia
terdesak hebat dan terancam oleh pedang Bwee Hwa
dan Ui Kong. Dia lalu melompat ke belakang dan
mengayun tangan, membanting alat peledak.
"Awas, Kong-ko, asap beracun!" Bwee Hwa berseru
dan kedua orang muda ini cepat melompat menjauhi
ketika ledakan itu mengeluarkan asap yang
mengandung pembius. Beberapa orang perajurit yang
berada dekat tempat ledakan, terserang asap ini dan
mereka roboh pingsan! http://cerita-silat.mywapblog.com
. Keberhasilan Siasat Siucai Lemah
Ang-bin Moko menggunakan kesempatan itu untuk
melarikan diri. Karena tempat itu telah terkepung
ketat. Dia mengamuk dengan pedangnya dan berhasil
membobolkan kepungan dengan merobohkan empat
orang perajurit. Akan tetapi pada saat itu, dua batang
pedang menyambar. Ang-bin Moko masih berhasil
menangkis pedang Bwee Hwa, akan tetapi pedang Ui
Kong memasuki lambungnya. Ang-bin Moko mengeluh
dan roboh, tewas seketika.
Betapapun lihainya, Thio Kam Ki kini menjadi panik.
Ketika semua ilmunya dia keluarkan untuk
merobohkan Bun Sam tidak berhasil, barulah dia
maklum bahwa dulu dia dapat merobohkan Bun Sam
karena suhengnya itu tidak mengira dia
menggunakan ilmu pukulan sesat yang dahsyat dan
tidak menjaga diri dengan tenaga sepenuhnya.
Sekarang, dia mendapat kenyataan bahwa
suhengnya itu memang tangguh bukan main. Akan
tetapi karena suhengnya tidak mau membunuhnya,
maka dia masih mampu melawan. Berulang kali
mereka mengadu tenaga selalu Thio Kam Ki terdorong
mundur. Kini, melihat dengan jelas betapa anak buah Pek-lian-
kauw berjatuhan karena tidak dapat mengimbangi
kekuatan lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya,
melihat pula betapa pembantu utamanya, Ang-bin
Moko juga roboh, dia menjadi khawatir sekali dan
maklum bahwa kalau dilanjutkan perlawanannya,
nyawanya terancam bahaya maut. Dia lalu
mengerahkan seluruh tenaga Ban-tok-ciang
menyerang Bun Sam dengan pukulan jarak jauh
sambil membentak nyaring dengan suara yang
mengandung kekuatan sihir untuk menggetarkan
jantung lawan dan membuatnya lemah.
"Yaaaaahhhhhh!"
Menghadapi serangan dahsyat ini, Bun Sam
menyambut dengan kedua telapak tangan
didorongkan pula. Akan tetapi tetap saja Bun Sam
membatasi tenaga karena dia sama sekali tidak ingin
melukai apalagi membunuh sutenya yang masih
disayangnya. "Blaarrrr?"!" Dua tenaga sakti yang amat kuat
bertemu dan akibatnya, tubuh Kam Ki terlempar ke
belakang. Akan tetapi dia tidak terluka, hanya
terdorong dan terpental seolah tenaganya bertemu
dengan sesuatu yang lunak namun yang membuat
dia terpental seperti menghantam sebuah bola karet
besar. Kini dia melihat kesempatan untuk menyelamatkan
diri. Begitu kakinya menyentuh tanah, dia sudah
melompat jauh, terjun ke dalam pertempuran antara
para perajurit dan anak buah Pek-lian-kauw dan
menghilang di antara banyak orang yang sedang
bertempur itu. Kam Ki mencari jalan keluar dengan merobohkan
setiap orang yang berada di depannya. Karena dia
menyusup ke dalam pertempuran antara banyak
orang itu maka Bun Sam tidak dapat mengejarnya,
juga tiga orang gadis yang mengamuk dan Ui Kong
juga tidak tahu bahwa Thio Kam Ki sedang berusaha
melarikan diri. Kejadian itu berlangsung demikian
cepat dan Kam Ki berhasil meloloskan dirinya setelah
merobohkan belasan orang perajurit!
Mellhat keadaan para anggauta Pek-lian-kauw sudah
terdesak hebat dan para pimpinan mereka tidak ada
lagi, Ui Kong dan Bwee Hwa lalu cepat memasuki
bangunan induk tempat tinggal Kam Ki dan
melakukan penggeledahan. Dalam sebuah kamar,
mereka menemukan patung emas Dewi Kwan Im
dari kuil Ban-hok-si. Ui Kong segera mengambilnya.
Mereka juga menemukan belasan orang gadis muda
dan cantik, yaitu mereka yang selama ini diculik oleh
orang-orang Pek-lian-kauw. Ui Kong lalu menyerahkan
mereka kepada para perwira pasukan agar kelak
para gadis itu dikembalikan ke dusun mereka.
Akhirnya, semua anggauta Pek-lian-kauw yang
tadinya melakukan perlawanan mati-matian itu
terbasmi hampir semua dan sisanya, hanya belasan
orang menjadi putus asa dan melemparkan senjata
sambil berlutut tanda menyerah. Mereka menjadi
orang-orang tawanan. Para perwira pasukan lalu memerintahkan para
anggauta Pek-lian-kauw yang masih hidup untuk
mengurus dan mengubur semua mayat yang menjadi
korban pertempuran, merampas semua barang
berharga yang berada di perkampungan itu, lalu
membakar semua rumah yang terdapat di situ.
Kemudian pasukan meninggalkan perkampungan Pek-
lian-kauw yang sudah menjadi puing, kembali ke kota
Ki-lok dengan gembira karena telah memperoleh
kemenangan. Sie Bun Sam, Ui Kong, Ui Kiang, Lim Bwee Hwa dan
dua orang gadis kembar dengan hormat mengurus
dan mengubur jenazah Ong Siong Li yang tewas
dalam perlawanannya menghadapi pengeroyokan
banyak anggauta Pek-lian-kauw tadi. Bwee Hwa
tidak dapat menahan keharuan dan kesedihan
hatinya ketika jenazah Siong Li telah dikubur. Ia
menangis di depan gundukan tanah itu sehingga
membuat para pendekar, terutama Ui Kong dan Ui
Kiang yang maklum betapa akrabnya hubungan
antara Bwee Hwa dan Siong Li, yang sudah seperti
kakak dan adik. Enam orang pendekar ini menjauhi perkampungan di
mana para perajurit tadi sibuk mengurus para korban,
merampas barang-barang lalu membakari pondok.
Mereka tidak ingin mencampuri urusan pasukan
pemerintah. Dalam kesempatan itu, Bwee Hwa yang memandang
Sie Bun Sam berkata, "Saudara yang gagah perkasa
dan budiman telah menyelamatkan kami bertiga.
Kalau tidak ada engkau, mungkin kami bertiga
sekarang sudah mati terbunuh atau membunuh diri."
"Benar sekali. Kami berdua kakak beradik bersyukur
dan sangat berterima kasih atas budi pertolongan


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taihiap tadi," kata Can Kim Siang sambil mengangkat
kedua tangan depan dada sebagai penghormatan,
diikuti oleh adiknya. "Aneh, kami bertiga berhutang nyawa kepadamu,
akan tetapi kita belum saling berkenalan!" kata Bwee
Hwa sambil tersenyum. Agaknya kedukaannya
karena kematian Siong Li hanya sebentar saja
mengganggu kelincahan Bwee Hwa yang selalu
bersemangat dan gembira itu.
Sie Bun Sam seolah terpesona memandang wajah
dan gaya bicara Lim Bwee Hwa. Belum pernah dia
merasa seperti ini. Sudah banyak dia melihat wanita
cantik tanpa kesan, akan tetapi sekali ini, ada sesuatu
pada diri Bwee Hwa yang membuat dia terpesona.
Dua orang gadis kembar itupun cantik menarik, akan
tetapi bagi Bun Sam mereka itu biasa saja. Dia
merasa heran sendiri mengapa jantungnya berdebar
ketika pandang matanya bertemu dengan pandang
mata Bwee Hwa dan dia menutupi debar jantungnya
itu dengan senyum ramah dan dia mengangkat kedua
tangan di depan dada kepada tiga orang gadis dan
dua orang pemuda itu, membalas penghormatan
mereka. "Ah, sesungguhnya di antara kita tidak perlu merasa
berhutang budi karena dalam menghadapi
gerombolan penjahat ini kita semua telah bersatu
padu. Semua juga berjasa karena telah memenuhi
kewajiban masing-masing sebagai orang-orang
menentang kejahatan. Bahkan aku mohon maaf dari
anda sekalian akan kejahatan yang dilakukan Thio
Kam Ki yang sesungguhnya adalah sute-ku (adik
seperguruanku) sendiri."
Bun Sam menghela napas panjang, perasa kecewa
dan menyesal sekali bahwa sute yang disayangnya
itu ternyata telah tersesat amat jauhnya.
Tentu saja lima orang muda itu terkejut bukan main
dan mereka semua memandang kepada Bun Sam
dengan sinar mata heran. "Sute-mu" Dia itu sute-mu"
Akan tetapi mengapa dia begitu jahat dan engkau
musuhi sendiri?" tanya Bwee Hwa.
Bun Sam menghela napas panjang lalu tersenyum.
"Sebelum aku menceritakan lebih lanjut tentang Thio
Kam Ki, apakah tidak sebaiknya kita saling berkenalan
dulu. Rasanya tidak enak bercakap-cakap dengan
orang-orang yang tidak kukenal. Nah, perkenalkan,
aku bernama Sie Bun Sam, berasal dari pegunungan
Himalaya." "Aku bernama Lim Bwee Hwa dari?" Twi-bok-san." Ia
mengaku Twi-bok-san, di mana mendiang ibunya
tinggal menjadi isteri mendiang Kauw-jiu Pek-wan Kui
Ciang Hok, yang sekarang tentu saja menjadi haknya.
"Kami berdua adalah saudara kembar, aku bernama
Can Kim Siang, dan ini adikku bernama Can Gin Siang.
Kami tinggal di rumah piauw-ci (kakak perempuan
misan) kami di bukit Ayam Emas." Kim Siang
memperkenalkan diri mereka, bukan hanya Bun Sam,
melainkan kepada Bwee Hwa, Ui Kiang, dan Ui Kong.
"Kami berdua adalah kakak beradik. Aku bernama Ui
Kong, dan yang baru datang membawa pasukan ini
adalah kakakku Ui Kiang. Kami tinggal di kota Ki-lok."
Ui Kong memperkenalkan diri dan kakaknya.
Setelah mereka saling memperkenalkan nama
mereka, Bwee Hwa lalu berkata. "Secara kebetulan
sekali kita semua berada di sini, bersatu melawan
gerombolan Pek-lian-kauw dan saling berkenalan.
Sebelum kita bercerita, sebaiknya kalau kita duduk di
sana, rasanya canggung kalau kita bicara sambil
berdiri saja." Semua orang setuju dan menghampiri tempat yang
ditunjuk Bwee Hwa, yaitu sebuah pohon besar di
bawah mana terdapat banyak batu yang dapat
mereka jadikan tempat duduk. Setelah semua orang
duduk berhadapan, Bun Sam segera bercerita.
"Kami berdua, yaitu aku dan sute Thio Kam Ki, adalah
murid-murid suhu Leng-hong Hoatsu di Himalaya."
"Ohh! Leng-hong Hoatsu yang mendirikan Hwe-coa-
kauw?" tanya Bwee Hwa yang pernah mendengar
cerita mendiang Siong Li tentang Hwe-coa-kauw dan
tentang pertapa sakti itu.
Bun Sam menggeleng kepala. "Kabar itu sama sekali
tidak benar, nona Lim Bwee Hwa?""
"Ih, twako (kakak), kenapa begitu sungkan menyebut
aku dengan nona segala" Namaku Bwee Hwa, Lim
Bwee Hwa, tanpa nona bagi seorang sahabat," cela
Bwee Hwa. "Baiklah, Hwa-moi (adik Hwa). Kuulangi, kabar bahwa
guruku menjadi pendiri Hwe-coa-kauw itu sama tidak
benar. Dahulu, tigapuluh tahun lebih yang lalu, suhu
Leng-hong Hoatsu pernah turun gunung dan merantau
ke timur, mengajar?kan agama dan kebajikan,
menolong orang-orang sakit. Beliau memang
mempunyai seekor ular yang aneh yang beliau
temukan dalam perjalanan dan memelihara ular itu.
Ular kecil itu memang mempunyai tonjolan di kanan
kiri seperti sayap, dan keadaannya yang aneh itu
orang-orang menamakannya Hwe-coa (Ular Terbang).
Sesungguhnya ular itu tidak dapat terbang, hanya
melompat dari pohon ke bawah dan tonjolan di
kanan kiri itu dibentangkan untuk menahan lajunya
peluncuran. Nah, orang-orang bodoh yang tahyul itu
mulai menyembah-nyembah ular itu yang mereka
anggap sebagai penjelmaan dewa dan bahkan
mengabarkan bahwa semua kepandaian suhu adalah
berkat pertolongan ular itu. Ketika orang-orang itu
tidak memperdulikan bantahan suhu, maka suhu
menjadi kecewa dan agar ketahyulan itu tidak
berlarut-larut, beliau kembali ke Himalaya membawa
ularnya. Begitulah ceritanya."
Para pendengarnya mengangguk-angguk. Bwee Hwa
lalu berkata, "Aku pernah mendengar cerita itu, Sam-
ko (kakak Sam) dan ternyata cocok dengan ceritamu.
Sekarang lanjutkan ceritamu tentang Thio Kam Ki."
"Sejak kecil Thio Kam Ki yatim piatu seperti juga aku.
Dia dirawat dan diambil murid suhu dan sejak kecil
kami berdua tinggal bersama suhu. Aku lebih tua dua
tahun daripada sute, dan aku banyak
membimbingnya. Beberapa bulan yang lalu, seperti
biasa sute mengajak aku berlatih silat dan mengadu
tenaga sakti. Dan seperti yang sudah-sudah, aku
mengalah dan tidak mengerahkan seluruh tenaga
karena khawatir dia terluka. Akan tetapi ketika kami
mengadu sin-kang, aku terkena pukulan beracun yang
asing sehingga aku jatuh pingsan. Suhu menolongku
dan ternyata sute telah pergi meninggalkan pondok
suhu. Suhu mengatakan bahwa aku terkena pukulan
beracun yang sesat dan menduga bahwa sute telah
mempelajari ilmu sesat dari orang lain. Karena suhu
tidak ingin melihat sute tersesat melakukan
kejahatan, maka aku disuruh mencari sute dan
menghalangi kalau dia melakukan kejahatan. Ketika
aku lewat di kaki bukit ini, aku mendengar keluh
kesah penduduk dusun bahwa gerombolan yang
berada di puncak ini sering melakukan gangguan. Aku
lalu mendaki bukit dan tiba-tiba aku melihat
rombongan pasukan juga mendaki bukit ini. Ketika
saudara Ui Kong bicara dengan kakaknya tentang
pemimpin gerombolan yang bernama Kam Ki, aku
terkejut dan cepat mendahului mereka naik ke sini
dan kebetulan aku dapat membebaskan adik Bwee
Hwa dan kedua adik kembar ini. Selanjutnya kalian
sudah tahu. Aku bertanding melawan Thio Kam Ki,
akan tetapi sayang dia dapat meloloskan diri."
"Sam-ko, maafkan pendapatku ini. Aku yakin bahwa
kalau engkau menghendaki, tentu Thio Kam Ki
sekarang telah menggeletak tanpa nyawa. Engkau
sengaja membiarkan dia lolos!"
Bun Sam diam-diam terkejut walaupun tidak dia
perlihatkan, lalu sambil mena-tap tajam wajah gadis
yang menawan hatinya itu, dia bertanya.
"Hwa-moi, bagaimana engkau dapat menduga
begitu?" Bwee Hwa tersenyum nakal. "Bukan duga sembarang
duga, twako. Tadi aku mendengar betapa engkau
membujuk Kam Ki dan mengajaknya kembali kepada
suhumu. Aku yakin engkau amat menyayang sutemu
yang sejak kecil kaukenal itu, dan engkau yang
memiliki budi pekerti halus dan bijaksana, tentu tidak
tega untuk membunuhnya."
Bun Sam menghela napas. "Engkau benar, Hwa-moi.
Aku memang tidak mau mendesaknya, bukan karena
aku berbudi baik dan bijaksana, melainkan karena
aku lemah. Aku tidak patut dipuji, sepantasnya
dicela!" "Aku kagum padamu dan aku selalu memujimu, Sam-
ko. Sekarang tiba giliranmu, Kong-ko. Ceritakan
pengalamanmu, bagaimana engkau dapat melo-
loskan diri dan datang bersama Kiang-ko dan
pasukan." "Hwa-moi, engkau dulu ceritakan apa yang terjadi.
Kami sudah ingin sekali mendengarnya, terutama
aku," kata Ui Kiang.
"Baiklah, dan karena Sam-ko dan kedua enci kembar
belum mengetahui, biar kuceritakan dari semula. Kami
bertiga, aku, Kong-ko ini, dan mendiang twako Ong
Siong Li, melakukan pengejaran terhadap penjahat
Pek-lian-kauw yang merampok patung emas Dewi
Kwan Im dari kuil Ban-hok-si dan telah membunuh
paman Ui Cun Lee, ayah kakak Ui Kiang dan Ui Kong
ini. Setelah kami menemukan sarang Pek-lian-kauw di
puncak bukit ini, kami bertiga mendaki puncak dan.......
ah, kalau aku teringat lalu aku menyadari betapa
bodoh dan lancangnya aku. Mendiang kakak Ong
Siong Li sudah memperingatkan bahwa tempat ini
berbahaya dan sebaiknya mencari bala bantuan. Akan
tetapi aku....... aku yang dungu ini membantah dan
aku memaksanya nekat menyerbu perkampungan
Pek-lian-kauw. Dan akibatnya....... Li-ko telah
tewas....... ah, aku menyesal sekali tidak menaati
peringatannya." Teringat akan ini, Bwee Hwa
memejamkan matanya mencegah mengalirnya
kembali air matanya. "Hwa-moi, akulah yang bersalah!" Ui Kong berkata
sambil mengepal tangannya. "Aku juga membantah
pendapat Li-ko dan memaksanya terus naik ke sarang
Pek-lian-kauw. Dia tewas karena kebodohanku yang
sombong mengandalkan kekuatan sendiri sehingga
akhirnya dia malah yang menjadi korban. Li-ko tewas
karena kecerobohanku!"
"Kecerobohan kita berdua, Kong-ko."
Can Gin Siang yang duduk dekat Bwee Hwa,
merangkul gadis itu dan membujuk. "Sudahlah, Bwee
Hwa, tiada gunanya disesali dan ditangisi lagi.
Bagaimanapun juga, dia tewas sebagai seorang
pendekar yang gagah perkasa."
Can Kim Siang juga menghibur Bwee Hwa. "Benar
apa yang dikatakan A Gin itu, Bwee Hwa. Setiap
orang bisa saja melakukan kekeliruan perhitungan
seperti itu. Lebih baik lanjutkan ceritamu."
Bwee Hwa mengangguk. Menyadari bahwa Siong Li
tewas sebagai seorang pendekar gagah sedikitnya
dapat menghibur hatinya. "Setelah kami bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-
kauw, kami segera dihadapi Thio Kam Ki dan
dikeroyok para anggauta Pek-lian-kauw yang
dipimpin oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko. Aku
sendiri menghadapi Thio Kam Ki, akan tetapi dia
terlalu lihai bagiku sehingga aku tertawan dan aku
masih sempat melihat kakak Ong Siong Li dikeroyok
banyak anak buah Pek-lian-kauw. Si jahanam Thio
Kam Ki itu menawanku dan mengikat aku ke dalam
sebuah kamar. Tak lama kemudian aku mendengar
ribut-ribut di luar seperti orang berkelahi dan tak lama
kemudian jahanam itu masuk kamar sambil
membawa kedua enci ini sebagai tawanan pula. Dia
juga mengikat kaki tangan mereka seperti aku. Kami
sama sekali tidak berdaya dan jahanam itu
mengeluarkan ancaman-ancaman yang mengerikan.
Akan tetapi ketika dia keluar dari kamar, katanya
hendak mandi, muncullah Sam-ko ini yang
membebaskan kami bertiga. Kami segera bersama
Sam-ko keluar dan mengamuk! Nah, itulah ceritaku.
Sekarang aku minta kakak Ui Kong menceritakan
pengalamannya karena ketika Siong Li dikeroyok dan
aku tertawan, dia masih dikeroyok banyak orang."
Ui Kong menghela napas panjang. "Wah,
menyeramkan sekali ceritamu, Hwa-moi. Untung ada
Sam-ko ini! Tentang diriku....... ah, semakin sedih kalau
kuingat pengalamanku. Ketika terjadi pertempuran itu
aku berhadapan dengan Pek-bin Moko yang amat
kubenci karena dialah yang dulu membunuh ayahku.
Biarpun dikeroyok banyak orang, dengan nekat aku
menerjangnya dan akhirnya aku berhasil
membalaskan kematian ayah, berhasil membunuh
Pek-bin Moko. Akan tetapi keadaan Li-ko dan aku
semakin terdesak. Dalam keadaan seperti itu Li-twako
mendesak aku agar supaya aku melarikan diri dan
mencari bala bantuan. Tadinya aku membantah, akan
tetapi Li-ko mendesak dan mengatakan agar aku
mencari bantuan untuk menolong Hwa-moi yang
tertawan. Terpaksa aku mencari jalan keluar dan Li-ko


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengamuk, menahan mereka yang hendak mengejar
aku. Aku berhasil mendapatkan kuda kami dan aku
melarikan diri turun gunung."
"Kami berpapasan denganmu ketika kami berdua
menunggang kuda mendaki puncak!" kata Can Gin
Siang sambil memandang wajah Ui Kong.
"Ya, aku ingat dan aku sempat heran melihat dua
orang gadis yang persis sama segalanya," kata Ui
Kong sambil tersenyum. "Setelah tiba di lereng
bawah, aku bertemu dengan kakakku Ui Kiang ini
yang membawa duaratus orang perajurit. Kami lalu
menyerbu ke puncak dan selanjutnya kalian sudah
mengetahui." Ui Kong mengakhiri ceritanya.
"Engkau tidak perlu menyesal telah meninggalkan Li-
ko, karena bagaimanapun juga, Li-ko benar. Kalau
engkau tidak melarikan diri mencari bala bantuan,
tentu engkaupun akan tewas dikeroyok begitu
banyak orang, terutama di sana ada Kam Ki dan Ang-
bin Moko yang lihai," kata Bwee Hwa. "Sekarang
giliranmu, Kiang-ko. Dahulu engkau kami tinggalkan di
kota Ki-lok, lalu bagaimana engkau dapat mengajak
pasukan untuk menolong kami?"
Ui Kiang menghela napas panjang dan berkata
dengan suaranya yang lembut. "Setelah kalian bertiga
berangkat untuk mencari penjahat yang membunuh
ayah dan mencuri patung, aku merasa gelisah dan
juga bersedih. Ayah dibunuh orang dan aku yang
lemah ini tidak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya
seorang kutu buku, seorang siucai (sastrawan) yang
lemah dan tiada guna. Patung kuil Ban-hok-si dicuri
orang akupun tidak dapat bantu mencarinya. Aku
khawatir kalian bertiga akan menghadapi bahaya,
maka aku lalu menghubungi komandan pasukan
keamanan yang menjadi sahabat baik ayah dan
minta bantuannya. Dia segera membantuku dengan
mengirim pasukan beserta tiga perwiranya. Aku lalu
mengajak mereka pergi mencari gerombolan Kiu-
liong-pang dan berhasil memaksa pimpinan mereka
untuk mengatakan di mana adanya sarang Pek-lian-
kauw. Setelah mendapatkan keterangan, aku lalu
mengajak pasukan itu ke sini dan selanjutnya kalian
tahu apa yang terjadi."
Ui Kong memegang lengan kakaknya. "Kiang-ko,
biarpun engkau tidak pernah belajar ilmu silat, akan
tetapi engkau berjasa besar dalam peristiwa ini.
Engkau pula yang dulu memberi petunjuk kepada
kami untuk mencari keterangan kepada Kiu-liong-
pang dan sekarang, engkau yang menolong kami
membasmi Pek-lian-kauw. Biarpun tubuhmu tidak
mengandung tenaga kuat seperti kami yang telah
mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun, namun
engkau memiliki pikiran yang kuat dan pandai. Aku
bangga sekali, Kiang-ko!"
"Nah, semua orang telah menceritakan
pengalamannya. Kini tinggal kalian berdua, enci
(kakak perempuan) kembar. Aih, aku bingung sekali
kalau memandang kalian ini. Tadi kalian sudah
memperkenalkan nama kalian dan aku ingat benar,
yaitu Can Kim Siang dan Can Gin Siang, akan tetapi
kalian begitu sama segala-galanya, bagaimana aku
tahu mana yang Kim (emas) mana yang Gin (perak)?"
kata Bwee Hwa sambil tertawa.
Kumpulan Pendekar Muda Mereka semua ikut tertawa. Betapa cepatnya gadis
itu melupakan kedukaannya karena kematian Ong
Siong Li, sahabatnya yang paling baik. Pada umumnya
orang akan beranggapan bahwa Bwee Hwa tidak
mengenal budi atau tidak sayang kepada sahabat
baiknya itu. Anggapan ini sebenarnya keliru sehingga
banyak orang, demi "jangan dianggap demikian",
suka berlarut-larut dalam perkabungannya karena
kematian keluarga. Bahkan ada yang mengenakan
pakaian berkabung sampai setahun atau beberapa
tahun sebagai tanda kedukaannya! Biar dianggap
mengenal budi dan setia kepada orang yang telah
meninggal dunia. Padahal, semua kedukaan yang
tampak atau sengaja diperlihatkan itu kebanyakan
hanya pada luarnya saja. Dalam batinnya sudah lama
tidak ada lagi kedukaan itu!
Bwee Hwa adalah seorang gadis yang polos, tidak
suka berpura-pura. Orang seperti Bwee Hwa ini tidak
mudah terbawa emosi, tidak akan larut dalam duka
dan tidak akan mabok dalam suka. Suka dan duka
hanya bagaikan angin yang melandanya, namun
hanya sebentar dan setelah lewatpun tiada bekasnya
lagi. "Ah, aku tahu mana yang bernama Can Kim Siang
dan mana yang Can Gin Siang," kata Ui Kiang dengan
senyum yang khas, senyuman yang membayangkan
kesabaran hatinya. "Aku juga tahu mana Nona Can Gin Siang, tidak
mungkin salah!" kata pula Ui Kong dengan gembira.
Bwee Hwa membelalakkan mata dan mengangkat
alisnya, senyumnya melebar. Hemm, kakak beradik
yang salah satu akan dijodohkan dengannya ini
ternyata menaruh perhatian kepada gadis kembar itu!
Kalau benar dugaannya, ia merasa lega dan girang
sekali. Sesungguhnya, ia sendiri bingung kalau harus
menentukan siapa di antara mereka yang harus
dipilihnya. Kedua orang pemuda itu memiliki
keistimewaan masing-masing dan ia merasa yakin
bahwa keduanya dapat menjadi suami yang baik.
Akan tetapi, harus ia akui bahwa biarpun ia merasa
kagum dan suka kepada kedua orang kakak beradik
Ui itu, seperti juga rasa kagum dan sukanya kepada
Ong Siong Li, tidak ada keinginan dalam hatinya
untuk menjadi isteri seorang di antara mereka bertiga.
Dulu pernah ia mengira bahwa ia mencinta Siong Li,
akan tetapi akhir-akhir ini ia menyadari bahwa rasa
sukanya itu hanyalah rasa sayang di antara sahabat.
Siong Li terlalu baik kepadanya sehingga ia merasa
berhutang budi, kagum dan juga sayang karena ia
merasa benar betapa Siong Li amat menyayangnya.
Karena itu, melihat kini kedua orang kakak beradik Ui
itu tampaknya tertarik kepada sepasang gadis
kembar, ia merasa senang sekali.
Karena selain ia merasa tidak ingin menjadi isteri
seorang di antara mereka, juga ia merasa bingung
dan kasihan kalau harus memilih salah satu karena itu
akan membikin kecewa yang lain. Sejak pertemuan
pertama, kedua kakak beradik itu seolah bersaing
atau berlumba untuk menarik hatinya!
"Kiang-ko dan Kong-ko, coba buktikan kalau kalian
memang benar dapat membedakan antara kedua
orang enci kembar ini! Rasanya tidak mungkin engkau
dapat membedakan. Mereka begitu persis, tidak ada
perbedaannya sedikitpun juga. Wajahnya, bentuk
badannya, gelung rambutnya, pakaiannya! Wah,
benar-benar membingungkan!" kata Bwee Hwa dan
melihat gadis kembar itu tertawa, ia berseru, "Lihat,
ketawanya juga sama. Bukan main!"
"Akan tetapi aku akan selalu mengenal adik Can Kim
Siang!" kata Ui Kiang dengan suara penuh keyakinan
dan sepasang matanya memandang ke arah wajah
Kim Siang. "Dan aku akan selalu dapat mengenal adik Can Gin
Siang!" kata pula Ui Kong tidak kalah yakin.
"Sekarang begini saja! Aku akan menguji kalian!" kata
Bwee Hwa dan ia merasa sangat gembira. "Akan
tetapi kalian berdua pergilah dulu ke belakang semak
belukar itu agar jangan dapat melihat ke sini. Nanti
akan kupanggil untuk memilih satu demi satu. Jangan
mengintai, jangan curang dan Sam-ko di sini yang
menjadi saksinya!" Mereka semua merasa gembira seperti sekumpulan
anak-anak sedang bermain-main. Ui Kiang dan Ui
Kong dengan gembira lalu pergi ke belakang semak
belukar. Bwee Hwa berbisik kepada dua orang gadis
kembar itu. "Eh, yang mana sih enci Kim Siang?"
Kim Siang sambil tersenyum menjawab. "Aku Kim
Siang dan ini adikku Gin Siang."
Bwee Hwa mengambil sehelai sapu tangan merah
dari saku bajunya. "Kalian menurut saja, aku akan menguji mereka
apakah benar-benar mereka dapat mengenal kalian."
Ia lalu menyelipkan saputangan merah itu di ikat
pinggang Kim Siang sehingga tentu saja kini ia tidak
bingung lagi. Kim Siang yang memakai saputangan
merah di sabuknya dan Gin Siang tidak.
"Kiang-ko, engkau keluarlah!" Bwee Hwa berseru ke
arah semak belukar. Ui Kiang keluar dan
menghampiri, dipandang oleh Bwee Hwa, dua orang
gadis kembar, dan Bun Sam dengan senyum.
"Nah, Kiang-ko, coba katakan yang mana enci Kim
Siang?" Sejenak Ui Kiang memandang kepada dua orang
gadis kembar yang tersenyum itu, kemudian tanpa
ragu dia mendekati Kim Siang dan berkata.
"Inilah adik Can Kim Siang!" Dia menuding ke arah
gadis yang memakai tanda merah di ikat
pinggangnya itu. Bwee Hwa dan Bun Sam mengangguk-angguk, dan
Bwee Hwa lalu berseru ke arah semak belukar,
"Kong-ko, sekarang engkau keluarlah!" kepada Ui
Kiang ia berkata, "Kiang-ko, sekarang engkau
kembalilah ke belakang semak itu."
Ui Kong datang dan Ui Kiang kembali ke belakang
semak. "Nah, katakan yang mana enci Gin Siang,
Kong-ko?" tanya Bwee Hwa.
Ui Kong sejenak memandang dua orang gadis kembar
itu dan tanpa ragu lagi dia menunjuk ke arah gadis
yang tidak memakai saputangan merah sambil
berkata, "Inilah adik Can Gin Siang!"
"Bagus, sekarang aku hendak menguji kalian sekali
lagi. Kembalilah ke belakang semak, Kong-ko."
Sambil tersenyum Ui Kong kembali ke balik semak di
mana Ui Kiang sudah lebih dulu bersembunyi. Bwee
Hwa cepat mengambil saputangan merah dari ikat
pinggang Kim Siang dan memasangnya di ikat
pinggang Gin Siang. Dua orang gadis kembar itu
tersenyum geli dan Bun Sam juga tersenyum,
memandang kagum kepada Bwee Hwa melihat
kecerdikan gadis itu menguji kebenaran pengakuan
dua orang pemuda itu bahwa mereka dapat
mengenal dan membedakan dua orang gadis kembar
itu. "Kiang-ko dan Kong-ko, sekarang kalian berdua
keluarlah!" Bwe Hwa berseru. Dua orang pemuda itu
keluar dan sambil tersenyum menghampiri dua orang
gadis kembar itu. "Sekarang, coba kalian pilih, yang mana Emas yang
mana Perak?" kelakar Bwee Hwa. Dengan menukar
tanda sapu tangan merah itu, ia yakin bahwa dua
orang pemuda itu akan keliru atau salah pilih.
Akan tetapi yang membuat Bwee Hwa dan Bun Sam
terheran-heran adalah ketika dua orang pemuda itu
tanpa ragu dan tanpa meneliti lagi sudah melakukan
pilihan masing-masing dengan tepat. Ui Kiang
menghampiri Kim Siang dan memegang tangan gadis
itu. "Inilah adik Kim Siang!"
Dan Ui Kong tanpa ragu-ragu menghampiri gadis yang
mengenakan sapu tangan merah di sabuknya,
memegang tangannya dan berkata dengan tegas.
"Inilah adik Gin Siang!"
Bwee Hwa tertawa dan bertepuk tangan memuji.
Bun Sam merasa kagum, dan berkata. "Hebat sekali
kalian, Kiang-te dan Kong-te, bagaimana kalian dapat
mengenal dan membedakan antara mereka dengan
baik" Padahal aku harus mengakui bahwa aku sendiri
akan bingung kalau disuruh membedakan di antara
kedua orang adik kembar ini!"
"Kiang-ko dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat
memilih begitu tepat" Pada hal aku sudah
memindahkan saputangan merah itu dari sabuk enci
Kim Siang ke sabuk enci Gin Siang! Tentu ada
rahasianya sehingga kalian dapat melihat perbedaan
di antara mereka! Katakanlah, apa rahasia mereka
itu?" "Tidak ada rahasianya. Akan tetapi aku akan mudah
mengenal adik Gin Siang, biarpun andaikata ia
mempunyai seratus orang saudara kembar. Sinar
pandang matanya itulah yang membuat aku dapat
mengenalnya dengan segera!" kata Ui Kong sambil
menatap tajam wajah gadis itu.
Gin Siang balas memandang dan ketika dua pasang
mata itu bertemu pandang, ada sesuatu yang
membuat jantung mereka berdebar dan Gin Siang,
gadis gagah perkasa itu menundukkan mukanya yang
menjadi kemerahan seperti seorang gadis dusun yang
pemalu! "Dan bagaimana dengan engkau, Kiang ko" Apa yang
membuat engkau begitu mudah mengenal enci Kim
Siang?" tanya Bwee Hwa.
Ui Kiang tampak malu-malu, apalagi dia baru
menyadari bahwa sejak tadi dia masih memegangi
tangan Kim Siang dan anehnya, gadis itupun
membiarkan saja tangannya sejak tadi dipegang


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda sasterawan itu! "Kalau aku....... ah, mudah saja....... begitu adik Kim
Siang tersenyum aku segera mengenalnya karena ?"
karena ada yang gingsul (bertumpang tindih) pada
giginya yang atas, yang membuat senyumnya
menarik sekali." Semua orang tertawa dan Kim Siang menjadi
perhatian. Iapun ikut tertawa dan tampaklah oleh
semua orang bahwa memang benar ada giginya yang
gingsul sedangkan Gin Siang tidak. Kalau keduanya
tidak tersenyum, perbedaan itu sama sekali tidak
tampak! "Hei, kenapa kita semua lupa bahwa kita belum
mendengar cerita kedua adik kembar ini" Enci Kim
Siang, ceritakanlah pengalamanmu, bagaimana kalian
berdua sampai tertawan pula oleh si jahanam Kam
Ki," kata Bwee Hwa. Kim Siang menghela napas panjang.
"Kami berdua telah menjadi yatim piatu sejak kami
berusia sembilan tahun. Ayah dan ibu tewas ketika
terjadi perang saudara dan kami pasti terlantar kalau
saja tidak ada piauw-ci (Kakak perempuan misan)
kami yang menolong kami. Ia memelihara dan
mendidik kami, mengajarkan ilmu silat kepada kami.
Ketika kami berusia enambelas tahun, kami menjadi
murid Hoa-san Kui-bo dan tinggal di Hoa-san selama
tiga tahun. Setelah itu, kami kembali ke rumah piauw-
ci di Kim-ke-san (Bukit Ayam Emas).
"Piauw-ci kami minta kepada kami untuk
membalaskan dendam kepada seorang pemuda
bernama Thio Kam Ki karena pemuda yang menjadi
kekasihnya itu telah melakukan penyelewengan dan
menyakitkan hatinya. Mengingat akan budi kebaikan
piauw-ci itu kepada kami, terpaksa kami
menyanggupi. Akan tetapi kami berdua diam-diam
mengambil keputusan bahwa kalau Thio Kam Ki itu
se?orang pemuda yang baik-baik, kami tidak akan
membunuhnya, hanya minta dia kembali ke Kim-ke-
san untuk menghadap piauw-ci
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Akan tetapi di kaki bukit ini kami mendengar
keluhan penduduk pedusunan tentang gerombolan
pengganggu rakyat yang berada di puncak ini. Kami
lalu naik untuk membasmi gerombolan. Sungguh tidak
disangka bahwa pemimpin gerombolan Pek-lian-kauw
ini mengaku bernama Thio Kam Ki, orang yang kami
cari-cari. Tentu saja kami lalu menyerang untuk
membunuhnya, pertama karena seorang kepala
gerombolan yang jahat, kedua untuk memenuhi
permintaan piauw-ci kami.
Kemudian, kami dikeroyok dan dibuat pingsan oleh
asap pembius dari ledakan benda peledak. Dalam
keadaan pingsan itu kami tidak tahu apa yang terjadi
dan ketika siuman, kami sudah berada di dalam
kamar, terikat kaki tangan kami, bersama Bwee Hwa
ini. Nah, demikianlah kisah kami."
"Sungguh luar biasa!" Ui Kiang berkata. "Betapa
anehnya kalau Tuhan mengatur perjalanan hidup para
manusia! Kita berenam ini secara kebetulan bertemu
dan berkumpul di sini, bersama-sama menentang
gerombolan penjahat dan kini aku mendapat
kenyataan bahwa kami semua ini adalah orang-orang
yatim piatu! Sungguh merupakan suatu kebetulan
yang luar biasa. Karena itu, aku dan Kong-te dalam
kesempatan ini mengundang kalian semua, kakak Sie
Bun Sam, adik Lim Bwe Hwa, dan kedua adik Can
Kim Siang dan Can Gin Siang, untuk bersama-sama
berkunjung ke rumah kami. Secara kebetulan kita
semua telah menjadi sahabat-sahabat baik, dan di
rumah kami, kita dapat mempererat persahabatan
kita dan dapat bercakap-cakap lebih leluasa. Marilah,
kalian berempat kami undang!"
Kim Siang dan Gin Siang saling pandang dan Gin Siang
berkata. "Akan tetapi....... kami belum berhasil membunuh
jahanam Thio Kam Ki, kami harus mengejar dan
mencarinya." "Gin Siang-moi, jangan khawatir aku akan
membantumu mencari penjahat itu. Sekarang.
kuharap engkau sudi singgah ke rumah kami seperti
yang diminta kakakku tadi."
"Hemm, bukan aku tidak menghargai undangan
kalian, akan tetapi aku harus mengejar Kam Ki agar
dia tidak mendatangkan kekacauan mengganggu
rakyat lebih lanjut!" kata Sie Bun Sam.
"Akan tetapi, Sam-ko, mengapa engkau begitu
tergesa-gesa" Kam Ki itu tidak akan dapat
menghilang. Seorang yang sesat biasanya tidak dapat
mengubah kelakuannya yang jahat dan dia pasti
akan meninggalkan jejak kejahatannya. Singgah dulu
di Ki-lok hanya memakan waktu beberapa hari.
Marilah, Sam-ko, kita bersama-sama singgah dulu ke
rumah kakak beradik Ui. Baru nanti dari sana kita
mencari jejak Kam Ki!" kata Bwee Hwa.
"Kita?" Bun Sam bertanya ragu.
"Ya, twako, karena aku sendiripun tidak mau sudah
begitu saja! Jahanam itu terlalu menghinaku dan aku
akan terus merasa penasaran sebelum melihat dia
tewas!" "Akan tetapi, aku berniat untuk membujuknva untuk
menyerah dan menghadap suhu agar dia dapat
bertaubat dan mengubah jalan hidupnya yang sesat,
bukan membunuhnya." "Kalau dia tidak mau?" tanya Bwee Hwa.
"Kalau dia tidak mau, baru aku akan menggunakan
kekerasan dan paksaan, akan tetapi bukan
membunuhnya," kata Bun Sam.
Ui Kiang mengangguk-angguk. "Ah, kak Bun Sam
sungguh merupakan seorang pendekar budiman. Ilmu
silatnya tinggi dan hatinya penuh kelembutan. Dia
benar, Hwa-moi. Kita harus belajar memberi maaf
kepada orang lain, apa lagi kalau orang itu mau
bertaubat dan mengubah jalan hidupnya yang sesat.
Manusia manakah di dunia ini yang sempurna" Hanya
Thian (Tuhan) Yang Maha Sempurna. Setiap orang
manusia pasti berdosa, pasti pernah melakukan
kesalahan, hanya kadarnya saja yang berbeda
menurut ukuran kebudayaan dan peradaban manusia
sendiri. Kalau kita tidak dapat memaafkan kesalahan
orang lain, bagaimana Tuhan akan sudi mengampuni
kesalahan kita" Setiap orang dari kita pasti
mempunyai kesalahan, maka kalau ada orang lain
bersalah, sudah sepatutnya kalau kita memberi maaf.
Sam-ko, kebijaksanaanmu semakin mengagumkan
hatiku, maka kuharap sukalah engkau menerima
undangan kami!" "Sam-ko, aku sendiri menganggap Kiang-ko dan Kong-
ko seperti kakak sendiri, maka akupun ikut
mengundangmu!" kata Bwee Hwa yang entah
bagaimana, ingin sekali memperdalam hubungan
persahabatnya dengan Sie Bun Sam.
"Kalau Bu Sam-ko tidak mau menerima undangan itu,
kamipun merasa tidak enak untuk menerimanya!"
kata pula Can Gin Siang. "Ah, Gin-moi, engkau harus datang!" kata Ui Kong
sambil memandang wajah gadis itu dengan penuh
harapan. Melihat semua orang membujuknya untuk memenuhi
undangan kakak beradik Ui itu, Bun Sam tertawa.
"Aha, baiklah kalau begitu. Aku akan pergi bersama
kalian." Semua orang bergembira dan karena tadi Ui Kiang
minta kepada para perwira pasukan untuk memberi
dua ekor kuda lagi, maka kini enam orang itu
meninggalkan tempat itu dengan menunggang kuda.
"Y" Enam orang muda itu tiba dengan selamat di rumah
gedung keluarga Ui. Ui Kiang dan Ui Kong lalu
memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan
pesta untuk menghormati para tamunya. Dan atas
permintaan Bwee Hwa, mereka juga mempersiapkan
sebuah meja sembahyang untuk mendoakan agar
arwah Ong Siong Li mendapatkan tempat yang baik.
Sepasang gadis kembar memperoleh sebuah kamar,
dan masing-masing sebuah kamar untuk Sie Bun Sam
dan Lim Bwee Hwa. Gedung keluarga Ui yang kaya
itu memang merupakan gedung besar dan memiliki
banyak kamar. Kini keluarga Ui itu tinggal Ui Kiang
dan Ui Kong yang tentu saja merasa repot sekali
harus mengurus semua perusahaan peninggalan ayah
mereka. Untung bagi mereka, mendiang Hartawan Ui
Cun Lee adalah seorang dermawan sehingga para
pegawainya amat setia sehingga dapat dipercaya
untuk mengurus perusahaan itu.
Malam itu, Ui Kiang dan Ui Kong menjamu empat
orang tamu mereka. Di dalam kamarnya Bwee Hwa
duduk melamun. Ia masih bingung memikirkan
urusannya dengan kedua orang saudara Ui itu. Oleh
mendiang ibunya, ia dijodohkan dengan seorang dari
mereka, dan mendiang ayah ibu dua orang muda
itupun sudah setuju menerimanya sebagai mantu.
Akan tetapi bagaimana dengan Ui Kiang dan Ui Kong
sendiri" Mereka berdua tampak kagum dan tertarik
kepadanya, bahkan seperti berlumba mengambil
hatinya. Akan tetapi hal itu bukan menjadi bukti
bahwa mereka mencintanya.
Dan yang terpenting, ia sendiri tidak mempunyai rasa
cinta terhadap mereka, walaupun ia suka kepada
mereka berdua yang merupakan pemuda-pemuda
yang baik. Tidak ada sedikitpun keinginan dalam
hatinya untuk diperisteri seorang di antara mereka.
Akan tetapi, apakah ia harus membangkang terhadap
pesan terakhir ibunya" Inilah yang membuat Bwee
Hwa melamun dengan hati risau.
Dua orang kakak beradik itu memang tampan. Yang
seorang adalah sastrawan yang memiliki kebijaksaan
dan berpemandangan luas tentang kehidupan. Yang
lain adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat
tinggi. Ditambah lagi mereka itu kaya-raya. Mereka
akan dapat menjadi suami yang baik, hal ini tidak
diragukan hati Bwee Hwa. Tampan, pandai, bijaksana, kaya-raya. Apalagi yang
kurang bagi seorang wanita" Akan tetapi, ia harus
mengaku dalam hatinya bahwa ia tidak mempunyai
perasaan cinta seorang wanita terhadap pria, tidak
ingin menjadi isteri mereka, hanya suka menjadi
sahabat baik atau saudara.
Kerisauan hatinya membuat Bwee Hwa merasa panas
dan ia segera keluar dari kamarnya yang menghadap
ke taman. Ia ingin mencari udara segar untuk
menenangkan hatinya. Begitu keluar dari kamar,
udara segar, angin semilir lembut dan keharuman
bunga-bunga menyambutnya. Ia merasa senang dan
berjalan-jalan di dalam taman yang luas dan penuh
tanaman pohon-pohon buah dan bunga-bunga yang
mekar semerbak harum. Taman itu memang indah.
Apalagi malam itu bulan tiga perempat bulat berseri di
langit yang tiada mendung.
Bwee Hwa menemukan sebuah kolam ikan di tengah
taman dan di tepi kolam terdapat bangku panjang. Ia
lalu duduk di atas bangku. Kerisauan hatinya sudah
terbawa angin semilir dan hatinya kini merasa
tenteram kembali. Tiba-tiba ia mendengar orang-orang bicara dan
langkah kaki mereka menuju ke tempat di mana ia
duduk. Bwee Hwa cepat bangkit dari bangku dan
menyelinap ke balik sebatang pohon yang besar.
Siapa tahu mereka itu musuh yang datang dengan
niat jahat, pikirnya. Akan tetapi hatinya lega ketika
melihat bahwa yang datang adalah Ui Kiang dan Ui
Kong. Ia hendak keluar menyambut mereka, akan
tetapi menahan gerakannya ketika ia mendengar
namanya disebut-sebut. "Urusan dengan Hwa-moi harus kita selesaikan
sekarang juga, Kiang-ko, selagi ia masih berada di sini
agar keraguan ini dapat segera diakhiri dan diambil
keputusan di antara kita." Demikian Bwee Hwa
mendengar suara Ui Kong yang berkata kepada Ui
Kiang. "Mari kita duduk dan bicara dengan hati terbuka,
Kong-te. Memang selama ini aku merasa seolah kita
bersaing untuk memperisteri Hwa-moi," ajak Ui Kiang.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Calon Isteri Jadi Mak Comblang
Dua orang muda itu duduk dan tentu saja Bwee Hwa
makin tertarik untuk mendengarkan percakapan
mereka yang menyangkut dirinya.
"Biar, Kiang-ko. Terus terang saja, tadinya akau amat
tertarik kepada Hwa-moi. Siapa yang tidak akan
tertarik" Ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi. Akan
tetapi setelah aku melihat Can Gin Siang, baru aku
menyadari bahwa aku jatuh cinta kepada Gin-moi
dan terhadap Hwa-moi aku hanya merasa kagum dan
suka sebagai seorang sahabat atau saudara. Karena
itu, menikahlah dengan Lim Bwee Hwa, Kiang-ko
karena engkau yang lebih berhak sebagai saudara
tua." "Wah, keadaan kita sama, Kong-te. Akupun
menganggap Hwa-moi sebagai sahabat atau saudara
saja. Engkau sebenarnya lebih tepat dan cocok untuk


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi suaminya, kalian sama-sama pendekar.
Selain itu, aku juga perlu membuat pengakuan, yaitu
bahwa pertemuanku dengan Can Kim Siang membuat
aku yakin bahwa aku mencintanya."
"Aduh, bagaimana sekarang?" kata Ui Kong dengan
suara sedih. Kedua orang pemuda itu berdiam diri, tenggelam
dalam lamunan masing-masing. Mereka sama sekali
tidak tahu bahwa di balik batang pohon besar itu,
Bwee Hwa mendengarkan percakapan mereka dan
gadis itu hampir bersorak kegirangan mendengar
pengakuan mereka! Seketika lenyap keraguan dan
kerisauan dari dalam hatinya.
"Akupun bingung memikirkan persoalan ini. Aku tidak
berani mengaku di depan Hwa-moi bahwa aku tidak
dapat menjadi suaminya. Hal itu akan menyinggung
perasaannya, padahal ia begitu baik terhadap
keluarga kita." "Akupun tidak berani, koko. Padahal ia yang datang
kepada kita untuk me-menuhi pesan mendiang
ibunya untuk menyerahkan diri menjadi isteri seorang
di antara kita. Sekarang bagaimana kita dapat
menolaknya" Siapa yang berani bicara terus terang
kepadanya" Ia tentu akan merasa tersinggung,
merasa ditolak dan mungkin penolakan kita akan
dianggap sebagai penghinaan baginya. Ah, aku
bingung sekali, Kiang-ko" Bagaimana baiknya ini?"
Ui Kiang menghela napas panjang. "Ah, aku sendiri
masih bingung memikirkan hal ini, Kong-te. Dulu, aku
mengira bahwa adik Lim Bwee Hwa saling mencinta
dengan adik Ong Siong Li. Akan tetapi, sekarang dia
telah tewas. Kalau masih ada dia, tentu saja dia dapat
menolong kita. Kalau Hwa-moi dapat berjodoh
dengan dia, berarti kita terbebas dari ikatan jodoh
yang ditentukan ibu kita itu. Akan tetapi Ong Siong Li
telah tiada." "Bukan soal adik Lim Bwee Hwa saja yang
membingungkan, Kiang-ko, akan tetapi juga
mengenai perasaan cinta kita terhadap dua orang
gadis kembar itu. Bagaimana kalau mereka tidak mau
menerima cinta kita" Dan bagaimana pula kita akan
mengajukan pinangan seandainya mereka membalas
cinta kita" Ingat bahwa bukan hanya kita yang yatim
piatu, akan tetapi mereka juga sudah tidak
mempunyai ayah ibu lagi."
"Ah, aku sendiri bingung, Kong-te. Engkau tahu bahwa
akupun sama sekali tidak mempunyai pengalaman
dalam urusan cinta dan perjodohan."
Kedua orang kakak beradik itu tampak bingung dan
tidak dapat mengambil keputusan apa yang harus
mereka lakukan menghadapi urusan mereka dengan
Bwee Hwa dan dengan dua orang gadis kembar.
"Marilah malam ini kita masing-masing pikirkan secara
mendalam agar besok kita dapat menemukan jalan
terbaik untuk mengatasi masalah ini," kata Ui Kiang
dan kedua orang kakak beradik itu, lalu meninggalkan
taman itu, kembali ke kamar masing-masing.
Setelah mereka pergi, Bwee Hwa keluar dari tempat
sembunyiannya, sepasang matanya bersinar dan
wajahnya cerah, bibirnya tersenyum. Hatinya merasa
girang bukan main mendengar percakapan dua orang
kakak beradik itu. Masalah yang ia hadapi dengan
hati bingung kini telah terpecahkan oleh pengakuan
dua orang pemuda dalam percakapan mereka tadi.
Mereka tidak ingin berjodoh dengannya karena
mencinta sepasang gadis kembar itu! Hatinya merasa
lega. Ia sendiri walaupun kagum dan suka kepada
mereka, akan tetapi tidak ada keinginan sedikitpun
untuk menjadi isteri seorang dari mereka.
Bwee Hwa tersenyum seorang diri ketika ia
mendapatkan sebuah gagasan yang amat baik
menurut pendapatnya. Ia akan menjadi comblang di
antara mereka! Kalau kedua orang kakak beradik itu
dapat menjadi suami isteri Kim Siang dan Gin Siang,
berarti ia bebas! Ikatan perjodohan dengan seorang di
antara kedua kakak beradik yang dulu dibuat oleh
mendiang ibunya dan mendiang ibu mereka, telah
putus. Kalau hal itu terjadi karena kedua orang
pemuda itu tidak ingin berjodoh dengannya, bukan
berarti ia telah tidak menaati pesan terakhir ibunya!
Dengan senyum masih menghias bibirnya karena ia
gembira sekali dan telah merencanakan apa yang
akan dilakukannya besok untuk memenuhi
gagasannya tadi, Bwee Hwa meninggalkan taman
dan kembali ke kamarnya dan dapat tidur dengan
nyenyak. Sama sekali ia tidak tahu bahwa tadi ketika
ia mendengarkan percakapan kedua kakak beradik
itu, ada bayangan lain yang melihatnya dan ikut
mendengarkan percakapan Ui Kiang dan Ui Kong itu.
Bayangan itu adalah Sie Bun Sam yang secara
kebetulan, tanpa disengaja, juga mencari hawa segar
di taman itu. Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar
pakaian, Bwee Hwa men-datangi kamar sepasang
gadis kembar itu. Mereka tinggal sekamar dalam se-
buah kamar yang besar yang diperuntukkan mereka
oleh kakak beradik Ui. Setelah dipersilakan masuk,
Bwee Hwa mendapatkan sepasang gadis kembar itu
juga telah mandi dan memakai pakaian yang bersih
dan rapi. "Wah, sepagi ini engkau sudah begini cantik dan rapi!
hendak ke manakah engkau, kami harap engkau
tidak ingin segera pergi meninggalkan tempat ini,"
kata Kim Siang. Bwee Hwa tersenyum mengamati mereka berdua.
"Wah, siapa yang lebih rapi dan cantik" Kalian juga
tampak segar bagaikan dua kuntum bunga yang
amat indah menarik. Masa aku hendak meninggalkan
tempat yang indah dan menyenangkan ini" Apakah
kalian tidak menganggap rumah kedua orang kakak
angkatku ini kurang nyaman dan enak untuk
dijadikan tempat tinggal?"
"Wah, kami senang sekali berada di sini, Hwa-moi.
Rumah ini besar dan indah, juga terawat bersih dan
rapi. Dari jendela kamar ini kami dapat melihat taman
bunga yang juga amat indah. Kami senang sekali
tinggal di sini dan pagi ini kami berdua ingin sekali
melihat-lihat keadaan kota Ki-lok ini," kata Gin Siang.
"Nah, itu baik sekali. Kota ini lumayan ramainya dan
mendiang ayah kedua kakak Ui adalah salah seorang
hartawan yang amat terkenal di sini karena
kedermawanannya. Juga di luar kota kira-kira sepuluh
lie (mil) dari sini terdapat Kuil Bah-hok-si yang amat
terkenal dengan patung Kwan-im yang kita rampas
dari sarang Pek-lian-kauw itu. Kuil itu amat besar dan
indah, dikunjungi banyak orang, bahkan dari kota-
kota besar lain." "Wah, kalau begitu mari kita pergi ke sana, adik
Bwee Hwa!" kata Kim Siang dengan gembira.
"Boleh saja, akan tetapi nanti dulu. Kunjunganku ke
kamar kalian ini sesung-guhnya membawa tugas
yang amat penting." "Tugas penting?" Gin Siang memandang penuh selidik,
diikuti Kim Siang. "Tugas apakah itu dan siapa pula
yang menugaskan, Hwa-moi?"
"Terus terang saja, aku telah dianggap sebagai adik
sendiri oleh kedua kakak Ui. Mereka sudah tidak
mempunyai ayah ibu, maka akulah yang kejatuhan
tugas ini dari mereka. Sebelumnya aku harap kalian
tidak menjadi marah kepadaku."
Sepasang gadis kembar itu semakin heran. "Eh, apa
sih maksudmu, Hwa-moi" Apa hubungannya pula
dengan kami berdua?"
"Nanti dulu, kalian harus berjanji dulu bahwa kalian
tidak akan marah kepadaku kalau aku menceritakan
apa tugasku ini." "Tentu saja kami tidak akan marah! Kenapa kami
mesti marah kalau engkau menceritakan tentang
tugasmu?" tanya Gin Siang.
"Karena hal ini menyangkut diri kalian berdua."
"Eh" Benarkah" Engkau membuat kami ingin tahu
sekali, adik Bwee Hwa! Tugas apakah itu" Katakan,
kami berjanji tidak akan marah!" Kata Gin Siang.
"Nah, kalau begitu baru aku berani menceritakan.
Begini, seperti kukatakan tadi, kakak Ui Kiang dan
kakak Ui Kong sudah tidak mempunyai keluarga lagi,
maka mereka mengangkat aku menjadi utusannya.
Dan tugasku menemui kalian berdua pagi hari ini
adalah?"" Bwee Hwa berhenti lagi dan memandang
wajah kedua gadis kembar itu. "Akan tetapi benar,
kalian berjanji tidak akan marah, ya?"
Sepasang gadis kembar itu menjadi tidak sabar.
"Kami berjanji tidak akan marah! Katakanlah!" kata
mereka hampir berbareng. "Kakak Ui Kiang dan Ui Kong adalah dua orang
pemuda yang amat baik budi, sopan dan juga
pemalu, maka mereka minta tolong kepadaku untuk
menyatakan perasaan mereka berdua kepada kalian.
Aku bertugas memberitahu kalian bahwa Kiang-ko
jatuh cinta kepadamu, enci Kim Siang, dan Kong-ko
jatuh cinta kepada enci Gin Siang, lega hatiku karena
telah menyampaikan pesan itu! Kalian tidak marah,
bukan?" Bwee Hwa memandang wajah kedua orang
gadis kembar itu dan melihat mereka segera
menundukkan muka yang menjadi merah dan
mereka tersenyum malu-malu, ia berani melanjutkan.
"Dan selanjutnya, biarpun ini belum resmi, kedua
Kiang-ko dan Kong-ko meminang kalian untuk
menjadi isteri mereka. Tentu saja kalau diharuskan,
mereka akan mengajukan pinangan secara resmi,
setelah itu akan diadakan upacara pernikahan dengan
pesta meriah!" Dua orang gadis itu masih menundukkan muka.
Mereka berdua merasa heran, dan malu-malu, akan
tetapi juga di dalam hati mereka merasa girang
sekali. Sebetulnya secara diam-diam mereka berdua
juga mengagumi kedua orang pemuda kakak beradik
itu. Ui Kong pemuda gagah perkasa dengan ilmu silat
yang cukup tinggi, dan Ui Kiang, biarpun tidak pandai
ilmu silat, namun dia seorang sastrawan yang cerdas
dan pandai. Lebih lagi, keduanya adalah pemuda-
pemuda kaya-raya, memiliki banyak perusahaan dan
mereka terkenal dermawan dan baik budi pula.
"Hei, bagaimana sih kalian ini" Diajak bicara serius
malah diam saja, menunduk dan hanya tersenyum-
senyum! Jawablah! Bagaimana aku harus memberi
jawaban kepada kedua kakak Ui itu kalau mereka
bertanya bagaimana hasil pelaksanaan tugasku ini"
Enci Kim Siang dan Gin Siang, jawablah apa yang
harus kuberikan kepada mereka" Hayo, jawablah dan
katakan sesuatu, bukan menunduk dengan muka
kemerahan dan diam seribu bahasa!"
Bwee Hwa sengaja menggoda karena sebagai
seorang wanita, ia dapat merasakan bahwa
bidikannya itu mengenai sasaran yang tepat. Kalau
tidak, tentu dua orang gadis itu akan marah, atau
setidaknya memperlihatkan ketidak-senangan atau
penolakan mereka. Akan tetapi mereka diam dan
menunduk malu-malu sambil tersenyum, ia dapat
merasakan bahwa mereka itu sesungguhnya sama-
sama mau tapi malu! Akhirnya Kim Siang yang lebih pandai bicara
dibandingkan adik kembarnya, menjawab dengan
pertanyaan. "Adik Bwee Hwa, benarkah semua
ucapanmu tadi" Apakah engkau hanya bergurau
hendak menggoda kami" Rasanya tidak mungkin dua
orang pemuda sehebat mereka itu mau...... sama
kami, dua orang gadis yatim-piatu melarat dan bodoh
lagi......." "Heiit! Jangan merendahkan diri seperti itu! Dan kalian
menganggap mereka dua orang pemuda hebat, ya"
Nah, kalau benar mereka itu hebat, lalu apalagi yang
menghalangi kalian untuk segera menerima pinangan
mereka" Jawablah ya, bahwa kalian sudah menerima
pinangan mereka dan suka menjadi isteri mereka
agar aku dapat segera menceritakan kepada mereka
dan upah jerih payahku tentu banyak sekali!" Bwee
Hwa tertawa dan dua orang gadis itu juga merasa
geli dan tertawa. "Hemm, jadi sekarang engkau telah bekerja sebagai
mak comblang, adik Bwee Hwa?" Gin Siang bertanya
dan kembali ketiganya tertawa. "Mak comblang
bayaran?" "Sudah, jangan berkelakar lagi. Aku menghendaki
jawaban yang tegas. Mereka itu sudah menanti-nanti
dengan tidak sabar. Hayo beri jawaban, ya atau
tidak?" "Adik Bwee Hwa, bagaimana mungkin perkara
perjodohan diputuskan secara kilat dan tergesa-gesa
seperti ini" Bagaimanapun juga, kami masih
mempunyai seorang piauw-ci (kakak misan) yang
juga menjadi guru pertama kami, maka urusan
perjodohan kami haruslah dilaporkan kepadanya lebih
dulu untuk minta pertimbangan dan restunya," kata
Kim Siang. "Enci Kim benar, adik Bwee. Kami harus mendapatkan
persetujuan dari guru pertama kami, yaitu Pek-hwa
Sianli yang tinggal di lereng Bukit Ayam Emas," kata
Gin Siang. "Ia dapat menjadi wali kami."
"Baik, hal itu mudah dilakukan. Akan tetapi yang


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling penting sekarang adalah pengakuan kalian
berdua. Dua orang kakak Ui sudah menyatakan
cintanya kepada kalian berdua. Sekarang bagaimana
dengan kalian" Apakah kalian juga mencinta
mereka...... eh, maksudku, apakah kalian berdua pada
hakekatnya suka menjadi isteri mereka?"
Dua orang gadis kembar itu saling pandang, kulit
wajah mereka yang cantik itu menjadi semakin
merah, lalu keduanya....... mengangguk sambil
tersenyum malu-malu. "Nah, begitu dong! Wah, sebagai seorang mak
comblang amatir, hasil karya pertamaku ini tidak
mengecewakan!" Bwee Hwa berseru gembira sekali
dan kembali tiga orang gadis itu tertawa riuh.
"Heii! Kalian bertiga begitu gembira! Bolehkah kami
ikut merasakan kegembi-raan itu?"
Sepasang gadis kembar itu terbelalak kaget dan
menundukkan muka mereka ketika melihat bahwa
yang datang adalah Ui Kiang dan Ui Kong yang
agaknya tertarik oleh suara tawa tiga orang gadis itu.
Melihat mereka, Bwee Hwa terkejut. Celaka,
permainannya bisa ketahuan, pikirnya. Maka ia lalu
berlari keluar dan di depan pintu ia memegang tangan
Ui Kiang dan Ui Kong, lalu di-ajaknya pergi ke ruangan
lain. "Tentu saja kalian boleh ikut gembira karena aku
membawa kabar baik!" seru Bwee Hwa nyaring agar
terdengar dua orang gadis dalam kamar itu.
Kakak beradik itupun heran dan terkejut melihat
Bwee Hwa menggandeng tangan mereka dan
menariknya ke ruangan lain.
"Eh, Hwa-moi, ada apakah ini?" Mereka tentu saja
merasa heran karena gadis ini belum, pernah bersikap
sedemikian akrab, apalagi sampai memegang tangan
mereka dan menariknya masuk ke ruangan dalam itu!
Setelah tiba di ruangan itu, Bwee Hwa melepaskan
tangan mereka dan berkata, "Silakan duduk, Kiang-ko
dan Kong-ko. Aku membawa kabar yang amat baik
dan menggembirakan kalian!"
Kedua orang kakak beradik itu duduk berhadapan
dengan Bwee Hwa meman-dang wajah ayu itu
penuh selidik. "Kabar apakah, Hwa-moi" Engkau
begini penuh rahasia!" kata Ui Kong.
"Coba sekarang jawablah dulu pertanyaanku. Kiang-
ko, engkau mencinta Can Kim Siang dan Kong-ko
mencinta Can Gin Siang, bukan?"
Kakak dan adik itu terkejut sekali dan merasa
khawatir kalau-kalau hal itu membuat gadis yang
telah dipertunangkan dengan seorang di antara
mereka itu menjadi marah.
"Bagaimana engkau dapat berkata begitu?" tanya
mereka hampir berbareng. Melihat pandang mata
kedua orang pemuda itu kepadanya mengandung
kekhawatiran, maka Bwee Hwa tersenyum dan
berkata. "Akuilah saja terus terang, aku tidak akan marah. Aku
akan marah kalau kalian berbohong dan tidak mau
mengaku secara jantan. Nah, kuulangi pertanyaanku.
Kiang-ko, engkau mencinta enci Can Kim Siang,
bukan?" Ui Kiang memandang Bwee Hwa dengan muka
berubah kemerahan. Dia menghela napas panjang
lalu menjawab, "Tidak kusangkal, Hwa-moi, aku
mencinta adik Can Kim Siang."
"Dan engkau mencinta Can Gin Siang, Kong-ko?"
Ui Kong akhirnya menjawab dengan tegas. "Benar,
Hwa-moi, aku mencinta adik Can Gin Siang! Akan
tetapi bagaimana engkau tahu akan hal itu?"
"Ya, bagaimana engkau mengetahui rahasia hati kami
itu, Hwa-moi?" Ui Kiang juga bertanya.
"Dengarlah baik-baik! Semalam secara tidak sengaja
aku mendengar percakapan kalian berdua di
taman......." "Ahh.......!" Kakak beradik itu terkejut sekali.
"Tenanglah! Aku sama sekali tidak marah dan susah,
bahkan aku merasa gembira sekali. Untuk
membuktikan bahwa aku tidak marah atau susah,
pagi ini aku mendatangi kedua enci kembar itu dan
aku mewakili kalian berdua untuk menyatakan
keinginan kalian untuk memperisteri mereka,
mengajukan pinangan secara tidak resmi......"
"Ahhh......!" Kakak beradik itu semakin terkejut.
"Jangan ber ah-ah ber uh-uh, karena hasilnya amat
menggembirakan. Kedua enci kembar itu menerima
cinta kasih kalian dengan girang. Mereka bersedia
menjadi isteri kalian, sekarang tinggal melamar dan
menanti laporan mereka kepada piauw-ci mereka di
Bukit Ayam Emas, yaitu Pek-hwa Sianli. Nah, bu-
kankah itu kabar yang amat membahagiakan kalian?"
Kakak beradik itu saling pandang, lalu menatap wajah
Bwee Hwa. "Aduh, terima kasih atas semua
kebaikanmu ini, Hwa-moi!" kata Ui Kong.
"Hwa-moi, kami mohon maaf kepadamu kalau tanpa
disengaja kami telah menyinggung perasaanmu," kata
Ui Kiang. Bwee Hwa tersenyum. "Sama sekali tidak, Kiang-ko,
aku bahkan merasa gembira sekali karena
sesungguhnya, aku sendiri sama sekali belum
mempunyai keinginan untuk menikah. Kalau aku
sampai menghubungi kalian, itu adalah karena aku
ingin menaati pesan terakhir ibuku."
"Ah, kalau begitu, sekali lagi terima kasih, Hwa-moi.
Engkau sungguh seorang gadis yang bijaksana dan
baik budi!" kata Ui Kong.
"Hwa-moi, karena kita bertiga ini sama-sama sudah
yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lain,
maka kami akan merasa berbahagia sekali kalau
engkau mau menjadi adik angkat kami agar
hubungan baik antara ibu kita dapat dilanjutkan!" kata
Ui Kiang. "Aku akan senang sekali menjadi adik angkat kalian!"
jawab Bwee Hwa. "Bagus! Wah, kami yang merasa beruntung sekali!"
kata Ui Kong. "Siang ini kita rayakan pengangkatan saudara ini! Kita
rayakan bersama kedua adik kembar dan juga kakak
Sie Bun Sam! Kita mengadakan pesta antara kita!"
seru Ui Kiang. "Pesta pengangkatan saudara ataukah, pesta
pertunangan kalian?" Bwee Hwa menggoda.
"Yah....... kedua-duanya!"
Biarpun sudah mendapat kabar yang menentukan dari
Bwee Hwa bahwa cinta mereka kepada dua orang
gadis kembar itu mendapat sambutan, namun kakak
beradik Ui itu masih belum yakin benar. Pula mereka
berdua sama sekali tidak mempunyai pengalaman
tentang hubungan cinta kasih sehingga kalau bertemu
dengan dua orang gadis kembar itu, mulut mereka
seperti dibungkam dan mereka tidak dapat berkata
apa-apa. Melihat hal ini Bwee Hwa menjadi gemas
dan penasaran juga. Pagi hari itu Bwee Hwa menemani sepasang gadis
kembar melihat-lihat keadaan kota Ki-lok, bahkan
pergi berkunjung ke kuil Ban-hok-si.
Ketika mereka pulang, mereka melihat bahwa sebuah
meja sembahyang telah diatur rapi karena kedua
orang kakak beradik Ui itu hendak melakukan
upacara sembahyangan untuk acara angkat saudara
antara mereka dan Bwee Hwa. Sie Bun Sam tampak
membantu kesibukan dua orang kakak beradik itu.
Tak lama kemudian semua telah dipersiapkan. Dari
alat-alat upacara sembahyang sampai pesta antara
mereka berenam di ruangan dalam, di mana ter-dapat
sebuah meja besar dengan enam buah kursinya.
Perjodohan Menjadi Persaudaraan
Dengan Ui Kiang sebagai pengatur karena dia yang
lebih tahu akan upacara itu, mereka bertiga
melakukan sumpah di depan meja sembahyang,
sumpah pengangkatan saudara antara dua orang
kakak beradik Ui itu dengan Lim Bwee Hwa. Setelah
selesai upacara pengangkatan saudara antara tiga
orang itu yang disaksikan dengan penuh perhatian
oleh Sie Bun Sam dan sepasang gadis kembar, Ui
Kiang lalu berkata. "Sekarang, untuk merayakan upacara pengangkatan
saudara ini, kami bertiga, aku sendiri, adik Ui Kong
dan adik Bwee Hwa, mengundang kakak Sie Bun
Sam dan kedua adik Kim Siang dan adik Gin Siang
untuk bersama kami berpesta makan minum."
Mereka berenam lalu duduk menghadapi meja makan
bundar yang besar itu. Segera para pelayan datang
menghidangkan masakan-masakan yang mewah dan
mahal ke atas meja, disertai anggur dan arak. Tiga
orang gadis itu tidak berani minum arak yang keras,
dan hanya minta anggur yang lebih halus. Mereka
makan minum dengan gembira.
Sie Bun Sam mengangkat cawan araknya lalu dengan
wajah gembira berkata, "Aku memberi selamat
kepada adik-adik Ui Kiang, Ui Kong dan Bwee Hwa
atas pengangkatan saudara ini, semoga kalian bertiga
dapat menjadi kakak beradik yang rukun, setia dan
saling membantu. Marilah kita minum untuk itu!"
Semua orang minum dari cawan masing-masing dan
pesta itu dirayakan oleh mereka berenam dengan
gembira. Setelah selesai makan, Bwee Hwa
mengangkat cawan anggurnya. "Sekarang aku
hendak memberi selamat kepada Kiang-ko dan Kong-
ko, dan kepada enci Kim dan enci Gin atas hubungan
kasih antara mereka. Semoga hubungan itu akan
segera membawa mereka dua pasangan ke jenjang
pernikahan yang berbahagia."
Biarpun wajah mereka berubah kemerahan, kedua
saudara Ui dan kedua gadis kembar terpaksa minum
dari cawan masing-masing, diikuti Bun Sam yang
tersenyum. "Sam-ko, aku ingin bicara denganmu, akan tetapi
jangan didengar orang lain. Maka marilah kita keluar
dan tinggalkan dua kakakku dengan kekasih mereka
masing-masing!" ajak Bwee Hwa pada Sie Bun Sam.
Pemuda itu yang sudah maklum apa yang terjadi,
tersenyum dan bangkit lalu bersama Bwee Hwa
meninggalkan runangan itu.
Setelah tiba di ruangan depan, Bun Sam dan Bwee
Hwa duduk di atas bangku berhadapan. "Hwa-moi,
apakah yang ingin kau bicarakan dengan aku?" tanya
pemuda itu. Bwee Hwa tersenyum. "Aku hanya ingin memberi
kesempatan kepada dua pasang kekasih itu untuk
bercakap-cakap dengan leluasa. Kehadiran kita hanya
akan mengganggu mereka."
Bun Sam menghela napas panjang dan memandang
gadis itu dengan sinar mata kagum. "Adik Lim Bwee
Hwa, engkau selain gagah perkasa, juga engkau
memiliki kebijaksanaan. Apa yang telah kaulakukan
terhadap dua pasangan itu, sungguh luar biasa dan
cerdik sekali." "Eh" Apa maksudmu?" tanya Bwee Hwa heran
karena tidak mengira ada orang yang mengetahui
akal yang ia pergunakan untuk mempertemukan dua
pasang hati itu. "Aku tahu dan menyaksikan ketika engkau
mendengarkan percakapan kedua orang adik Ui di
taman, dan aku tahu pula betapa pagi tadi engkau
beraksi sebagai mak comblang! Padahal, menurut apa
yang kudengar dari semua percakapan itu, engkaulah
yang sebetulnya dijodohkan dengan seorang di antara
dua kakak beradik itu."
"Ah, aku sama sekali tidak menginginkan hal itu dan
kenyataan bahwa kedua orang kakak angkatku itu
mencinta kedua enci kembar, merupakan jalan keluar
terbaik untuk membatalkan ikatan yang dulu
diadakan oleh ibu kami. Sekarang, kedua orang
pemuda itu menjadi kakak angkatku dan aku merasa
gembira sekali. Akan tetapi sudahlah, hal itu tidak
perlu kita bicarakan lagi, Sam-ko, setelah
meninggalkan kota ini, engkau hendak pergi ke
mana?" "Sudah kukatakan bahwa aku ingin mencari sute-ku
Thio Kam Ki untuk memenuhi pesan guruku."
"Kalau begitu, ijinkan aku ikut dan membantumu
menangkap sutemu itu!"
"Akan tetapi...... setelah engkau menjadi adik angkat
kedua saudara Ui, seharusnya engkau tinggal di sini
membantu pekerjaan mereka, Hwa-moi."
"Hemm, jadi engkau tidak suka kalau aku ikut dan
membantumu menangkap Thio Kam Ki itu?" Bwee
Hwa bertanya dan matanya mencorong memandang
wajah pemuda itu. "Ohh, tidak, bukan begitu, Hwa-moi!" Cepat Bun Sam
membantah sambil menggoyangkan kedua tangan
untuk menyangkal. "Kalau begitu, aku boleh ikut?" Bwee Hwa cepat
menyerang pemuda yang masih gelagapan itu.
"Eh, oh....... begini, Hwa-moi. Terus terang saja, aku
tidak pernah melakukan perjalanan bersama seorang
gadis asing......" "Aku bukan gadis asing! Kita telah bekerja sama dan
menjadi sahabat. Ataukah keliru anggapanku ini dan
engkau tidak sudi menganggap aku sahabat?" Bertubi-
tubi serangan kata-kata Bwee Hwa sehingga Bun


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sam menjadi kewalahan dan tidak berdaya.
"Begini maksudku......" katanya gagap, "ah, engkau
membikin aku bingung, Hwa-moi."
"Mengapa bingung" Urusannya sederhana. Aku ingin
ikut dan membantumu menangkap Thio Kam Ki.
Jawabanmu tinggal boleh atau tidak, habis perkara.
Mengapa mesti bingung-bingung?"
"Hemm, engkau benar juga. Memang aku kurang
pengalaman menghadapi wanita sehingga begitu
engkau mendesakku, aku kehabisan akal. Akan tetapi
sebelum aku memutuskan, aku ingin mendapatkan
dulu penjelasanmu. Mengapa engkau ingin ikut
denganku mencari sute-ku yang belum kuKetahui di
mana adanya itu" Padahal engkau dapat tinggal di
sini bersama kedua kakakmu" Mengapa mencari
kesusahan dan kesulitan melakukan perjalanan tidak
tentu arahnya dan mungkin menghadapi segala
macam bahaya?" "Baik, akan kujawab. Akan tetapi setelah itu, engkau
harus pula memberi jawaban, boleh atau tidak! Begini,
Sam-ko. Aku adalah seorang pengembara, ingin
bertualang, tidak akan betah tinggal di rumah,
betapapun baiknya dan menyenangkannya rumah itu.
Selain itu, akupun mendendam sakit hati kepada Thio
Kam Ki, mengingat akan kematian sahabat baikku,
kakak Ong Siong Li."
"Akan tetapi, menurut apa yang kudengar dari kalian,
saudara Ong Siong Li itu tewas karena dikeroyok oleh
Ang-bin Moko dan anak buah Pek-lian-kauw,
sedangkan Ang-bin Moko sudah tewas oleh adik Ui
Kong. Bukankah itu berarti kematian saudara Ong
Siong Li telah terbalas?"
Bwee Hwa menggeleng kepalanya. "Akan tetapi
penyebab tewasnya kakak Ong Siong Li adalah
karena Kam Ki yang berada di sana dan memimpin
Pek-lian-kauw. Kalau tidak ada dia, kami bertiga, aku
Kong-ko dan Li-ko akan mampu membasmi Pek-lian-
kauw dan Li-ko tidak akan tewas! Biangkeladinya
adalah Thio Kam Ki dan juga aku ingin membalas
karena dia pernah menangkap aku dan kedua enci
Can dengan niat terkutuk dan keji!"
Bun Sam mengerutkan alisnya. "Hwa-moi, aku tidak
ingin membunuhnya, hanya menyadarkannya dan
mengajak dia pulang kepada suhu agar suhu dapat
menyembuhkan sakitnya."
"Sakit" Dia sakit?"
"Benar, Hwa-moi. Bukan jasmaninya yang sakit,
melainkan rohaninya. Aku tidak ingin engkau
membunuhnya. Dengar, Hwa-moi, dendam
merupakan racun yang akan merusak hati sendiri.
Dendam menimbulkan kebencian dan seorang
pendekar menentang orang yang sesat untuk
menghentikan perbuatan jahatnya, bukan menentang
karena kebenciannya. Kebencian menghilangkan
keadilan, padahal seorang pendekar harus
mempertahankan kebenaran dan keadilan. Aku,
pernah mendengar akan nama Sin-kiam Lojin dari
guruku yang memujinya sebagai seorang pendekar
pedang yang bijaksana dan baik budi. Aku percaya
bahwa sebagai muridnya engkaupun tentu memiliki
sifat-sifatnya yang bijaksana itu."
Bwee Hwa menundukkan mukanya dan teringatlah ia
kepada gurunya, Sin-kiam Lojin dan hatinya merasa
terharu. Memang dahulu gurunya sering menerangkan
kepadanya soal kebijaksanaan. Setelah kini ia
kehilangan ibu kandungnya, biarpun ia sudah
mendapatkan dua orang kakak angkat yang baik dan
sayang kepa?danya, namun ia merasa rindu kepada
gurunya yang telah mengasuh dan mendidiknya
semenjak ia berusia delapan tahun. Gurunya sudah
tua dan tinggal sebagai pertapa, seorang diri di rumah
puncak bukit Pegunungan Heng-san. Setelah
menghela napas panjang, ia berkata.
"Engkau benar, Sam-ko. Ucapanmu mengingatkan
aku kepada guruku. Pernah suhu mengatakan bahwa
lebih baik orang jahat yang bertaubat dan
menghentikan kejahatannya daripada orang yang
merasa dirinya baik karena sekali waktu dia akan
dapat menyeleweng dari kebenaran. Seperti orang
sakit dapat sembuh dan orang sehat sekali waktu
dapat saja jatuh sakit."
"Lo-cianpwe (orang tua gagah) Sin-kiam Lojin
memang seorang sakti yang bijaksana."
"Ah, bicara tentang suhu membuat aku merasa rindu
sekali padanya, Sam-ko. Kalau begitu, tentang Kam Ki
biar kuserahkan saja padamu apa yang akan
kaulakukan terhadap dirinya. Kalau engkau tidak
keberatan, aku ingin ikut padamu mencari sambil
meluaskan pengalaman di dunia kang-ouw, dan kalau
kita berada dekat Heng-san, aku akan berkunjung
kepada suhu yang sudah tua."
"Tentu saja aku tidak keberatan, Hwa-moi. Kalau
engkau setuju kita dapat mulai perjalanan kita
besok." "Besok" Aku harus bicara dulu dengan kedua orang
kakakku, dan merundingkan urusan pertunangan
mereka dengan kedua enci kembar."
"Wah, engkau memang pandai menjadi comblang.
Mungkinkah kelak engkau juga menjadi comblang
dan mencarikan seorang jodoh untukku?"
"Apakah engkau yang sudah berusia duapuluh lima
tahun belum mempunyai calon jodoh, Sam-ko?"
Bun Sam tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Belum, Hwa-moi. Entah me-ngapa, akan tetapi
sampai sekarang aku masih belum laku. Bahkan yang
datang menawarkan belum pernah ada!"
"Ih! Memang engkau ini barang dagangan" Hayo kita
temui mereka, Sam-ko. Sudah cukup lama kita
memberikan kesempatan kepada mereka untuk
bercakap-cakap dan berunding. Mari Sam-ko!"
Mereka lalu memasuki ruangan di mana mereka tadi
meninggalkan dua pasang kekasih itu bercakap-cakap
dengan leluasa. Karena tidak ingin mengganggu,
maka setelah tiba di depan pintu ruangan, sebelum
masuk Bun Sam mengetuk daun pintunya terlebih
dulu. "Siapa" Masuklah!" terdengar Ui Kiang menegur dari
dalam. Bwee Hwa dan Bun Sam muncul dan serentak empat
orang muda yang berada di dalam menyambut
dengan gembira dan mereka berseru, "Nah, ini mak
comblang kita datang!"
Bwee Hwa memandang kepada mereka dan ikut
tertawa senang melihat betapa wajah empat orang
itu begitu cerah berseri dan mereka tersenyum
gembira. "Hemm, sepatutnya kalian berempat berterima kasih
dan memberi hadiah kepadaku, bukan malah
mentertawakan aku!" kata Bwee Hwa.
Dua orang gadis kembar menghampiri dan
merangkulnya. "Adikku yang manis, kami memang amat berterima
kasih padamu!" kata Ui Kiang dan Ui Kong hampir
berbareng. Mereka semua duduk mengelilingi meja. "Nah,
sekarang ceritakan padaku, keputusan apa yang telah
kalian ambil. Aku sebagai mak comblang harus
mengetahuinya!" "Begini, Hwa-moi. Adik Gin Siang bersama aku akan
pergi mengunjungi Pek-hwa Sianli di Kim-ke-san
(Bukit Ayam Emas) untuk membicarakan urusan
perjodohan kami berempat, sedangkan enci Kim Siang
akan berada di sini membantu Kiang-ko mengurus
perusahaan kita yang cukup merepotkan. Tentu saja
engkau juga harus membantu Kiang-ko mengurus
beberapa macam perusahaan kita, Hwa-moi."
"Wah, sayang sekali aku belum dapat membantu,
Kiang-ko dan Kong-ko. Aku juga akan pergi
membantu Sam-ko mencari Thio Kam Ki, dan aku
ingin me-ngunjungi guruku di Heng-san untuk
memberitahu bahwa aku telah mendapatkan dua
orang kakak angkat yang baik hati di Ki-lok. Aku
sudah merasa rindu kepada suhu yang sudah tua."
"Tapi...... engkau harus berada di sini kalau....... kami
merayakan pernikahan kami!" kata Ui Kiang.
"Benar, Hwa-moi! Kami tidak akan merasa bahagia
kalau adik kami satu-satunya tidak hadir
menyaksikan upacara pernikahan kami!" kata Ui Kong.
Bwee Hwa tertawa. "Hemm, jangan kalian khawatir,
kakak-kakakku yang baik! Katakan saja, kapan
pernikahan kalian dilaksanakan, aku pasti akan
pulang pada waktunya!"
"Ah, hal ini kami belum dapat memastikan kapan,
Hwa-moi," kata Ui Kiang. "Tergantung hasil pertemuan
Kong-te dan Gin-moi nanti dengan Pek-hwa Sianli.
Kami ingin melangsungkan pernikahan
secepatnya......." "Aih, terburu-buru amat! Tidak sabar lagi, Kiang-ko?"
Bwee Hwa menggoda sehingga muka Ui Kiang
menjadi merah. "Hussh!" cela Ui Kong. "Adik macam apa kau ini,
menggoda kakak yang lebih tua!" Akan tetapi berkata
begini dia sambil tertawa sehingga semua orang ikut
tertawa, maklum bahwa itu hanya kelakar belaka.
"Kita semua sudah yatim piatu, maka kalau memang
sudah ada keputusan, mengapa harus menunggu-
nunggu lagi" Perusahaan kita yang banyak
membutuhkan penanganan perlu segera kita urus,
dan enci Kim beserta adik Gin dapat membantu kami.
Juga engkau!" "Begini saja," kata Bwee Hwa. "Besok pagi aku
berangkat, dan bagaimana kalau setahun kemudian
aku kembali" Apakah terlalu lama untuk kalian yang
sudah tidak sabar lagi?"
"Setahun?" kata Ui Kiang. "Nanti dulu, lama waktunya
tergantung dari kepergian Kong-te berdua ke Kim-ke-
san. Berapa lama kira-kira perjalanan ke sana sampai
selesai dan kembali ke sini, Kim-moi?"
Kim Siang dan Gin Siang mengingat-ingat, lalu Kim
Siang berkata. "Kim-ke-san cukup jauh dari sini.
Perjalanan menunggang kuda akan makan waktu
sekitar dua bulan." "Hemm, dua bulan" Jadi perjalanannya saja empat
bulan pulang pergi, belum waktu yang dipergunakan
untuk berunding di sana bersama Pek-hwa Sianli, dan
belum lagi diperhitungkan kalau ada rintangan dalam
perjalanan. Kukira kalau aku kembali satu tahun
setelah besok aku pergi, aku tidak akan terlambat
menghadiri upacara pernikahan kalian."
"Baiklah, Hwa-moi. Kamipun harus menghabiskan
masa perkabungan kami. Jadi, setahun lagi engkau
harus pulang dan kami akan menunggu
kedatanganmu sampai setahun sejak besok pagi,"
kata Ui Kiang. Malam itu, enam orang muda ini bercakap-cakap
sampai jauh malam. Mereka bercakap-cakap dan
bersendau gurau sehingga suasana semakin akrab.
Bahkan Sie Bun Sam sendiri yang selama ini tinggal di
Pegunungan Himalaya yang sunyi, merasa amat
gembira karena belum pernah dia mendapatkan
sahabat-sahabat yang sehaluan dan sebaik mereka.
Diam-diam dia memperhatikan sikap dan ucapan
Bwee Hwa dan dia mengambil kesimpulan bahwa
gadis yang cantik jelita ini biarpun tampaknya keras
hati, namun sesungguhnya memiliki watak yang
lembut dan juga berjiwa pendekar. Maka dia menjadi
semakin tertarik kepada Ang-hong-cu Lim Bwee Hwa,
Si Tawon Merah ini. Pada keesokan harinya, Bwee Hwa berangkat pergi
dengan Bun Sam. Biarpun Bun Sam dengan sungkan
menolak namun kedua orang kakak beradik Ui itu
me?maksanya untuk menerima pemberian mereka
seekor kuda. Bwee Hwa juga mendapatkan seekor
kuda dan sekatung uang emas dan perak untuk bekal
perjalanan. Ui Kong dan Can Gin Siang juga pergi
menunggang kuda. Ui Kiang tinggal di rumah bersama
Can Kim Siang yang akan membantunya mengurus
perusahaan keluarga Ui yang banyak itu.
"Y" Dusun Liok-teng sebetulnya merupakan sebuah dusun
yang cukup besar dan ra?mai, dan daerah itu
sebetulnya merupakan daerah yang subur. Hasil
pertanian dan perkebunan di daerah itu melimpah
sehingga sebetulnya dapat memakmurkan rakyatnya.
Akan tetapi, seperti kebanyakan keadaan dusun di
waktu itu, hampir semua tanah pertanian maupun
perkebunan dimiliki oleh beberapa orang hartawan
saja sehingga sebagian besar rakyatnya hidup dari
penghasilan mereka sebagai pekerjaan tani yang
mendapat upah yang besarnya ditentukan oleh para
pemilik tanah dan kebun. Maka, keadaan di dusun
Liok-teng, kalau dilihat dari rumah-rumah para
penduduk, tampaknya seperti daerah yang miskin.
Rumah-rumah penduduk kebanyakan kecil dan
menggambarkan kemiskinan. Namun di situ terdapat
banyak toko besar dan juga ada rumah penginapan
dan rumah makan karena dusun itu didatangi banyak
tamu yang berdagang dengan para hartawan. Dan
ada sepuluh rumah besar dan mewah di dusun itu,
yaitu delapan buah rumah besar tempat tinggal para


Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hartawan yang memiliki tanah dan sawah di
pedusunan itu. Yang dua buah lagi adalah rumah
kepala dusun dan komandan pasukan keamanan
yang hanya terdiri dua losin orang saja.
Pada suatu pagi, dusun Lok-teng geger karena dusun
itu diserbu perampok yang jumlahnya tidak kurang
dari limapuluh orang, dipimpin dua orang kepala
perampok yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya
menyeramkan. Tentu saja pasukan kemanan dusun
itu segera melakukan perlawanan. Akan tetapi
ternyata para perampok itu rata-rata tangguh dan
sudah biasa berkelahi, apalagi dua orang pemimpin
mereka adalah orang-orang yang amat tangguh.
Jumlah mereka juga terlampau banyak bagi dua losin
perajurit yang bertugas menjaga keamanan dusun itu.
Para perajurit ini tidak pernah bertempur dan mereka
itu biasanya hanya menghadapi orang-orang dusun
yang tidak berani melawan. Maka begitu menghadapi
lawan yang selain jauh lebih besar jumlahnya, juga
rata-rata jagoan berkelahi, sedikitnya selosin orang
perajurit roboh dan sisanya melarikan diri cerai berai
keluar dari dusun Liok-teng.
Para perampok itu bersorak-sorak dan mereka
merampas lima buah kereta dan hendak mengisi
kereta-kereta itu dengan barang-barang berharga
yang akan mereka ambil dengan mudahnya dari
toko-toko dan rumah gedung para hartawan.
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Kemelut Dusun Liok-teng
Kepala dusun dan komandan keamanan beserta
delapan orang hartawan dan keluarga mereka,
bersembunyi di dalam gedung masing-masing dan
tidak berani keluar. Dua orang kepala perampok itu dengan wajah
gembira berdiri di pekarangan rumah gedung milik
kepala dusun karena lima buah kereta itu
dikumpulkan di situ. Limapuluh lebih perampok itu kini
sambil bersorak mengangkuti barang-barang berharga
yang mereka ambil dari toko-toko dan rumah gedung
para hartawan tanpa ada yang berani menghalangi
mereka. Setelah melihat betapa sudah ada tiga buah
kereta dipenuhi barang, tinggal dua kereta lagi yang
kini sedang diisi barang-barang rampokan, dua orang
perampok itu sambil tertawa-tawa dan minum arak
dari guci arak yang mereka ambil dari rumah makan,
mereka memberi perintah kepada anak buah mereka.
"Jangan lupa bawa para wanita muda dan cantik.
Kumpulkan mereka di sini!"
Para perampok yang semua berwatak liar itu
bersorak dan mulailah mereka menyerbu rumah-
rumah gedung. Terdengar jeritan-jeritan wanita yang
mereka paksa keluar dari rumahnya, diseret ditarik
dan ada yang dipondong dengan paksa. Tidak kurang
dari tigapuluh orang gadis dusun Liok-teng telah
ditawan, dan mereka adalah gadis-gadis yang paling
cantik di dusun itu. Para gadis itu menangis sehingga
suasana menjadi riuh. Akan tetapi, tiba-tiba beberapa orang anggauta
perampok terpelanting roboh. Mereka mengaduh-aduh
dan para anak buah yang lain melihat betapa ada
seorang pemuda dan seorang gadis datang dan setiap
orang perampok yang berani menghadang mereka
robohkan dengan tamparan atau tendangan!
Pemuda dan gadis itu adalah Sie Bun Sam dan Lim
Bwee Hwa. Mereka kebetulan lewat di dusun itu dan
melihat banyak orang berlarian keluar dari dusun
dengan wajah ketakutan, mereka segera bertanya.
Ada yang memberitahu bahwa dusun Liok-teng
kedatangan perampok yang kini sedang merampok
barang-barang berharga dari dusun itu dan banyak
orang, terutama para petugas keamanan, roboh oleh
amukan mereka. Mendengar ini, Bun Sam dan Bwee Hwa cepat berlari
memasuki dusun Liok-teng dan mereka segera
mendengar jerit tangis para wanita. Segera mereka
berlari menuju suara ribut-ribut itu dan ketika ada
beberapa orang perampok hendak menghadang
mereka, mereka merobohkan para penghadang itu
dengan tamparan atau tendangan. Sebentar saja
delapan orang anak buah perampok terpelanting
roboh dan mengaduh-aduh kesakitan. Para anak buah
perampok yang lain menjadi marah dan mereka
mencabut golok. Akan tetapi Bun Sam berbisik
kepada Bwee Hwa. "Kita tangkap dua orang pemimpin mereka itu!"
katanya ketika melihat dua orang kepala perampok
yang tinggi besar itu berdiri di pekarangan rumah
gedung kepala dusun sambil tertawa-tawa dan
bertolak pinggang. Bwee Hwa mengangguk dan ketika puluhan orang
anak buah perampok menyerbu hendak mengeroyok
mereka dengan golok di tangan, dua orang pendekar
itu melompat tinggi, melampaui atas kepala para
perampok dan setelah keluar dari kepungan mereka
lalu berlari menghampiri dua orang kepala perampok
itu. Dua orang kepala rampok itu tadi melihat betapa
anak buah mereka ada yang roboh dan melihat pula
pemuda dan gadis yang membuat beberapa orang
anak buah mereka berpelantingan itu. Akan tetapi
melihat banyak anak buah mereka sudah mencabut
golok dan mengepung, mereka menjadi senang dan
berteriak, "Bunuh dua orang itu!"
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika
melihat betapa pemuda dan gadis itu melompati para
anak buah mereka yang mengepung dan kini tahu-
tahu telah berdiri di depan mereka!
Bun Sam dan Bwee Hwa melihat ke arah dua orang
kepala perampok itu. Memang mereka ini
menyeramkan sekali. Tubuh mereka tinggi besar,
hampir satu setengah kali tinggi dan besar tubuh
orang biasa. Yang seorang memiliki wajah yang
penuh dengan bekas penyakit cacar, menjadi bopeng
dan berlubang-lubang. Matanya sipit seperti terpejam
dan dia memelihara jenggot dan kumis tebal,
agaknya dalam usahanya untuk menutupi bopengnya.
Tubuhnya gempal dan tampak kokoh sekali. Usianya
sekitar empatpuluh tahun.
Orang kedua juga sama besar dan kokoh, usianya
juga sebaya. Akan tetapi mukanya agak pucat
kekuningan dan tanpa jenggot maupun kumis.
Kepalanya botak, bagian atasnya licin tanpa ada
sehelaipun rambutnya. Yang ditumbuhi sedikit rambut
hanya di atas telinga dan tengkuk. Matanya lebar
melotot menyeramkan dan mulutnya juga lebar.
"Hei, dua orang bocah yang bosan hidup! Berani benar
kalian mencampuri urusan kami!" bentak Si Muka
Bopeng mata sipit. "Kalian sudah bosan hidup berani menentang Thian Te
Sai-ong," bentak Si Kepala Botak mata melotot.
"Wah, kalian ini Thian Te Sai-ong (Raja Singa Langit
Bumi)" Tidak pantas, baiknya diganti menjadi Raja
Singa Bopeng Botak!" kata Bwee Hwa sambil ter-
senyum mengejek. Dua orang kepala perampok itu marah sekali, akan
tetapi Thian Te Sai-ong, yang menjadi pemimpin
pertama, terpesona oleh kecantikan Bwee Hwa.
"Te-sai-ong (Raja Singa Bumi), bunuh pemuda itu dan
aku akan menangkap yang perempuan. Gadis ini
pantas untuk menjadi pendampingku, ha-ha-ha!" kata
kepala perampok berwajah bopeng dan bermata sipit.
Te Sai-ong tadi melihat bahwa pemuda dan gadis itu
lihai, akan tetapi dia tidak khawatir karena dia yakin
akan kemampuan sendiri, pula kini semua anak buah
perampok sudah meninggalkan kesibukan mereka
dan mengepung tempat itu, membuat lingkaran
sehingga gadis dan pemuda itu tidak akan dapat lari.
Mendengar perintah Thian Sai-ong, dia tertawa dan
begitu tangan kanannya bergerak, dia telah mencabut
sebatang golok besar yang berkilauan saking
ta?jamnya. "Ha-ha, bocah tolol! Berani menentang kami berarti
bosan hidup! Mampuslah!" Dia menggerakkan
goloknya yang menyambar dahsyat ke arah leher Bun
Sam. Akan tetapi dengan mudah saja Bun Sam
mengelak sehingga Te Sai-ong men-jadi penasaran
dan marah. Dia menyerang bertubi-tubi, namun bagi
Bun Sam, gerakan orang tinggi besar botak itu amat
lambat dan dia tahu bahwa lawannya lebih memiliki
tenaga kasar yang besar daripada ilmu silat yang
baik. Semua serangan itu dapat dia hindarkan dengan
amat mudahnya. Sementara itu, Thian Sai-ong yang memandang ringan
Bwee Hwa dan ingin segera mendekapnya, sudah
menubruk bagaikan seekor singa kelaparan menubruk
seekor domba muda. Kedua lengannya yang panjang
berotot itu dikembangkan dan menyambar dari kanan
kiri hendak menangkap tubuh Bwee Hwa. Akan tetapi
Bwee Hwa tidak sesabar Bun Sam menghadapi
kepala perampok itu. Ia melangkah mundur dengan
gerakan cepat pada saat kedua lengan itu
menyambar dari kanan kiri dan begitu tangkapan itu
luput Bwee Hwa bergerak ke samping lalu kakinya
mencuat ke arah perut lawan.
"Bukk?"!" Perut gendut sebesar perut kerbau itu
terkena tendangan, mengeluarkan suara seperti
tambur besar ditabuh dan tubuh Thian Sai-ong
terhuyung ke belakang. Bwee Hwa tidak memberi
kesempatan kepada lawannya. Cepat tubuhnya
melompat ke depan dan tangannya menampar.
"Crottt.......!!" Pipi kanan Thian Sai-ong terkena
tamparan tangan kiri Bwee Hwa. Karena tamparan itu
mengandung tenaga dalam yang amat kuat, maka
tak dapat dihindarkan lagi, pipi itu membengkak dan
beberapa buah gigi sebelah kanan copot dan bibirnya
pecah berdarah! Melihat ini, beberapa orang anak buah perampok
menerjang untuk membela pimpinan mereka yang
terpelanting dan mengaduh-aduh itu. Akan tetapi
mereka disambut tubuh gadis itu yang berkelebatan,
hanya tampak bayangan merah dan enam orang
sudah berpelantingan dan mengaduh-aduh, ada yang
Tiga Mutiara Mustika 3 Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Dendam Empu Bharada 6
^