Parker Pyne Menyelidiki 2
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie Bagian 2
"Lima pound," kata Mr. Parker Pyne. "Saya rasa... mungkin kita bisa mengusahakan
sesuatu dengan bayaran lima pound. Apakah Anda keberatan menghadapi bahaya?"
tambahnya dengan tajam. Wajah Mr. Roberts yang pucat jadi agak memerah. "Bahaya, Sir" Oh, tidak, sama
sekali tidak. Meskipun... saya tak pernah melakukan sesuatu yang berbahaya."
Mr. Parker Pyne tersenyum. "Temuilah saya besok, dan akan saya katakan apa yang
bisa saya lakukan untuk Anda."
*** Bon Voyageur adalah sebuah penginapan yang kurang dikenal. Restorannya hanya
dikunjungi oleh beberapa pelanggan tetap. Mereka kurang menyukai pendatang baru.
Mr. Pyne datang ke Bon Voyageur dan disambut dengan hormat, karena ia sudah
dikenal. "Apakah Mr. Bonnington ada di sini?" tanyanya.
"Ada, Sir. Di mejanya yang biasa."
"Baiklah. Saya akan menyertainya."
Mr. Bonnington adalah seorang pria bertampang tentara, dengan ekspresi kosong.
Ia menyambut sahabatnya dengan senang.
"Halo, Parker. Jarang sekali bertemu denganmu akhir-akhir ini. Tak kusangka kau
mau juga kemari." "Sekali-sekali aku kemari. Terutama kalau aku ingin menemui seorang teman lama."
"Maksudmu aku?"
"Maksudku kau. Terus terang, Lucas, aku memikirkan apa yang kita bicarakan
beberapa hari yang lalu."
"Urusan Peterfield itu" Sudahkah kaubaca berita terakhir di koran-koran" Pasti
belum, soalnya nanti malam baru akan dimuat."
"Apa yang terbaru?"
"Orang membunuh Peterfield semalam," kata Mr. Bonnington, sambil dengan tenang
memakan salad-nya. "Astaga!" seru Mr. Pyne.
"Oh, aku tidak heran," kata Mr. Bonnington. "Peterfield itu orang tolol. Dia tak
mau mendengarkan kami. Dia bersikeras menyimpan dokumen-dokumennya di tangannya
sendiri." "Apakah dokumen-dokumen itu dicuri orang?"
"Tidak. Agaknya seorang wanita datang dan memberikan resep merebus daging asap
pada profesor itu. Keledai tua itu, karena linglungnya, menyimpan resep itu ke
dalam lemari besinya, sedangkan dokumen-dokumennya disimpannya di dapur."
"Untung." "Boleh dikatakan takdir. Tapi aku tetap tidak tahu siapa yang akan membawanya ke
Jenewa. Maitland sedang di rumah sakit. Carlake sedang berada di Berlin. Aku
sendiri tak bisa berangkat. Berarti pilihan jatuh pada Hooper." Ia melihat pada
sahabatnya. "Kau masih tetap pada pendapatmu?" tanya Mr. Parker Pyne.
"Tetap. Hooper itu pengkhianat! Aku tahu itu. Aku tak punya bukti sedikit pun,
tapi dengarlah, Parker, aku tahu orang mana yang jahat! Dan aku ingin dokumen-
dokumen itu sampai ke Jenewa. Liga memerlukannya. Untuk pertama kalinya suatu
penemuan tidak akan dijual pada suatu bangsa lain. Itu akan diserahkan dengan
suka rela pada Liga. "Itu merupakan isyarat perdamaian terbaik yang pernah diberikan, dan itu harus
berjalan dengan baik. Tapi Hooper jahat. Lihat saja, dia pasti akan pura-pura
dibius di kereta api! Bila dia pergi naik pesawat terbang, pesawat itu akan
jatuh di suatu tempat yang menguntungkan! Tapi sialnya aku tak bisa menangkap
dia. Gara-gara disiplin! Kita harus mematuhi disiplin! Itulah sebabnya aku
berbicara denganmu beberapa hari yang lalu."
"Kau bertanya kalau-kalau aku tahu seseorang."
"Benar. Kupikir kau tahu, mengingat bidang pekerjaanmu. Siapa pun orang yang
kukirim, pasti menghadapi kemungkinan dicelakakan. Orangmu mungkin sama sekali
tidak akan dicurigai. Tapi dia harus pemberani."
"Kurasa aku mengenal seseorang yang memenuhi syarat itu," kata Mr. Parker Pyne.
"Puji Tuhan, masih ada juga orang yang mau mengambil risiko. Nah, kita sepakat
kalau begitu?" "Kita sepakat," kata Mr. Parker Pyne.
*** Mr. Parker Pyne sedang menyusun instruksi-instruksinya. "Jadi, sudah jelas,
bukan" Anda bepergian naik kereta api, di gerbong tidur kelas satu, ke Jenewa.
Anda berangkat dari London jam sebelas kurang seperempat, lewat Folkstone dan
Boulogne, dan Anda memasuki gerbong tidur kelas satu itu di Boulogne. Anda akan
tiba di Jenewa jam delapan esok paginya. Ini alamat tempat Anda harus melapor.
Hafalkan, karena saya harus memusnahkannya. Setelah itu, pergilah ke hotel ini
dan tunggulah instruksi selanjutnya. Ini uang dalam mata uang Prancis dan Swiss,
jumlahnya cukup banyak. Mengertikah Anda?"
"Mengerti, Sir." Mata Mr. Roberts bersinar gembira. "Maaf, Sir, tapi apakah saya
boleh... eh... tahu apa yang saya bawa?"
Mr. Parker Pyne tersenyum ramah. "Anda membawa petunjuk tentang tempat
persembunyian permata-permata mahkota Rusia, yang bertulisan huruf rahasia,"
katanya dengan serius. "Anda tentu mengerti bahwa kaki-tangan kaum Bolsyewik
akan berusaha menghalang-halangi Anda. Bila Anda perlu menceritakan tentang diri
Anda, saya harap Anda mengatakan bahwa Anda baru saja mewarisi uang, dan
sekarang sedang menikmati liburan di luar negeri."
*** Mr. Roberts menyeruput secangkir kopi dan melihat ke arah Danau Jenewa. Ia
senang, tapi sekaligus kecewa.
Ia senang karena untuk pertama kalinya ia berada di negeri asing. Apalagi ia
menginap di sebuah hotel, yang tidak akan mungkin terulang lagi, dan ia pun sama
sekali tak perlu kuatir memikirkan uang! Ia mendapatkan kamar dengan kamar mandi
pribadi, mendapat makanan enak dan pelayanan yang baik. Mr. Roberts sangat
menikmati semua itu. Tapi ia kecewa karena sejauh itu tak ada apa pun yang bisa disebut petualangan.
Ia tak pernah bertemu dengan seorang Bolsyewik yang menyamar atau orang-orang
Rusia yang misterius. Satu-satunya teman mengobrolnya adalah seorang pengusaha
Prancis yang lancar berbahasa Inggris. Surat-surat rahasia itu disimpannya baik-
baik dalam tas dari spons, sebagaimana yang telah diinstruksikan, dan sudah pula
diserahkannya berdasarkan instruksi. Tak ada bahaya yang harus diatasinya; ia
tak pernah nyaris lolos lewat lubang jarum. Mr. Roberts kecewa.
Pada saat itu, seorang pria jangkung dan berjenggot bergumam, "Maaf," lalu duduk
di seberang meja kecil itu. "Maafkan saya," katanya, "tapi saya rasa Anda
mengenal seorang teman saya. Inisial namanya adalah P.P."
Mr. Roberts berdebar bercampur senang. Akhirnya inilah dia seorang Rusia yang
misterius. "Be-benar sekali."
"Kalau begitu, kita sama-sama mengerti," kata orang asing itu.
Mr. Roberts menatapnya dengan pandangan menyelidik. Inilah peristiwa yang
sebenarnya. Orang asing itu berumur kira-kira lima puluh tahun, dan jelas-jelas
berpenampilan asing. Ia memakai kacamata berkaca satu, dan ada pita kecil
berwarna di lubang kancingnya.
"Anda telah melaksanakan tugas Anda dengan sangat memuaskan," kata orang asing
itu. "Bersediakah Anda menjalankan satu tugas lagi?"
"Tentu mau." "Baiklah. Anda harus memesan sebuah gerbong tidur di kereta api Jenewa-Paris
untuk besok malam. Anda harus memesan tempat tidur Nomor Sembilan."
"Bagaimana kalau itu sudah dipesan?"
"Pasti belum. Itu sudah diatur."
"Tempat tidur Nomor Sembilan," ulang Mr. Roberts. "Ya, saya ingat."
"Dalam perjalanan Anda, akan ada seseorang yang berkata pada Anda, 'Maaf,
Monsieur, bukankah Anda baru-baru ini berada di Grasse"' Mendengar itu, Anda
harus menjawab, 'Benar, bulan lalu.' Maka orang itu akan berkata, 'Apakah Anda
tertarik pada wewangian"' Dan Anda harus menjawab, 'Ya, saya pemilik pabrik
pembuat Minyak Bunga Melati sintetis.' Setelah itu, Anda harus menyerahkan diri
sepenuhnya pada orang yang berbicara pada Anda itu. Omong-omong, apakah Anda
bersenjata?" "Tidak," kata Mr. Roberts agak gugup. "Tidak. Saya tak pernah menduga... maksud
saya..." "Itu bisa segera diatasi," kata laki-laki berjenggot itu. Ia melihat ke
sekelilingnya. Tak ada seorang pun di dekat mereka. Sesuatu yang keras dan
berkilat ditekankannya ke tangan Mr. Roberts. "Senjata ini kecil, tapi berguna
sekali," kata orang asing itu sambil tersenyum.
Mr. Roberts, yang tak pernah menembakkan pistol selama hidupnya, menyelipkan
benda itu dengan hati-hati ke sakunya. Ia kuatir kalau-kalau benda itu tiba-tiba
meledak. Mereka mengulangi kata-kata sandi tadi. Lalu teman baru Roberts bangkit.
"Semoga Anda berhasil," katanya. "Semoga Anda bisa selamat. Anda orang yang
pemberani, Mr. Roberts."
"Benarkah begitu?" pikir Mr. Roberts, setelah temannya itu pergi. "Yang jelas,
aku tak mau sampai terbunuh. Itu tidak akan pernah kubiarkan."
Ia merasakan suatu ketegangan yang menyenangkan, tapi sekaligus mengganggu.
Ia pergi ke kamarnya dan memeriksa senjatanya.
Ia masih kurang yakin akan cara kerja senjata itu dan berharap agar ia tidak
terpaksa menggunakannya. Lalu ia keluar untuk memesan tempat.
Kereta api berangkat dari Jenewa pukul setengah sepuluh. Mr. Roberts tiba di
stasiun tepat waktu. Kondektur gerbong tempat tidur memeriksa karcis dan
paspornya. Ia mundur sedikit ketika seorang kuli melemparkan koper Roberts ke
rak bagasi. Sudah ada bagasi lain di situ: sebuah koper kulit dan sebuah tas
Gladstone. "Nomor Sembilan adalah tempat tidur yang di bawah," kata si kondektur.
Ketika Mr. Roberts berbalik akan keluar dari gerbong itu, ia bertubrukan dengan
seorang laki-laki bertubuh besar yang akan masuk. Mereka sama-sama mundur sambil
meminta maaf - Mr. Roberts dalam bahasa Inggris dan orang asing itu dalam bahasa
Prancis. Laki-laki itu besar dan tegap, rambutnya dipotong pendek sekali, dan ia
memakai kacamata tebal. Melalui kacamata itu, matanya seakan-akan mengintip
dengan rasa curiga. "Orang jelek," kata Mr. Roberts pada dirinya sendiri.
Ia merasakan sesuatu yang penuh rahasia pada diri teman seperjalanannya yang
misterius itu. Apakah untuk mengawasi laki-laki itu maka ia disuruh memesan
tempat tidur Nomor Sembilan" Mungkin begitu, pikirnya.
Ia keluar lagi ke lorong kereta. Sepuluh menit lagi kereta api baru akan
berangkat, dan ia ingin berjalan-jalan di peron. Setelah menempuh setengah
perjalanan, ia mundur untuk memberi jalan pada seorang wanita yang akan
melewatinya. Wanita itu baru saja memasuki kereta api dan sang kondektur
berjalan mendahuluinya dengan membawa karcisnya. Sewaktu melewati Mr. Roberts,
tas wanita itu jatuh. Mr. Roberts memungutnya dan menyerahkannya kembali
padanya. "Terima kasih, Monsieur." Wanita itu berbicara dalam bahasa Inggris, tapi
berlogat asing. Suaranya rendah, penuh, dan enak didengar. Ketika akan
melanjutkan perjalanannya, ia ragu, lalu bergumam, "Maaf, Monsieur, tapi saya
rasa baru-baru ini Anda berada di Grasse?"
Mr. Roberts terlonjak. Ia harus menyerahkan diri pada makhluk cantik ini - karena
wanita itu memang cantik. Ia mengenakan mantel bepergian dari bulu binatang dan
topi yang elok. Di lehernya terlilit seuntai mutiara. Kulitnya gelap dan
bibirnya merah tua. Mr. Roberts memberikan jawaban yang sudah dihafalnya. "Benar. Bulan lalu."
"Anda berminat pada wewangian?"
"Ya, saya pembuat Minyak Bunga Melati sintetis."
Wanita itu menunduk, lalu berjalan terus, setelah berbisik dengan halus, "Di
lorong kereta, segera setelah kereta berangkat."
Waktu sepuluh menit itu serasa seabad bagi Mr. Roberts. Akhirnya kereta api
berangkat. Ia berjalan perlahan-lahan di sepanjang lorong. Wanita bermantel bulu
itu sedang berusaha membuka jendela. Mr. Roberts bergegas memberikan bantuan.
"Terima kasih, Monsieur. Saya ingin mendapatkan udara sedikit, sebelum mereka
memaksa untuk menutup segala-galanya." Kemudian dengan suara halus, rendah, dan
cepat sekali, ia menambahkan, "Sesudah perbatasan, bila teman seperjalanan kita
sudah tidur - jangan sebelumnya - masuklah ke kamar kecil dan melalui kamar itu
masuklah ke gerbong di seberang. Mengerti?"
"Mengerti." Mr. Roberts menurunkan jendela, lalu berkata dengan suara lebih
nyaring, "Apakah sudah lebih baik, Madame?"
"Ya, terima kasih banyak."
Mr. Roberts pergi ke gerbongnya sendiri. Teman seperjalanannya sudah berbaring
di tempat tidur di atas. Persiapannya untuk tidur rupanya sederhana. Cukup
dengan menanggalkan sepatu bot dan mantelnya.
Mr. Roberts menimbang-nimbang tentang pakaiannya sendiri. Bila ia harus pergi ke
gerbong wanita itu, jelas ia tak bisa menanggalkan pakaiannya.
Ia menemukan sepasang sandal, dan mengganti sepatu botnya dengan sandal itu,
lalu berbaring, setelah memadamkan lampu. Beberapa menit kemudian, laki-laki di
atas mulai mendengkur. Jam sepuluh lewat sedikit, mereka tiba di perbatasan.
Pintu dibuka orang, lalu diajukan pertanyaan yang biasa. Adakah sesuatu yang
ingin dinyatakan oleh bapak-bapak" Pintu ditutup kembali. Kemudian kereta api
keluar dari kota Bellegarde.
Pria di tempat tidur di atas mendengkur lagi. Mr. Roberts membiarkan dua puluh
menit berlalu. Lalu ia menyelinap bangkit dan membuka pintu gerbong kamar kecil.
Begitu berada di dalam, dikuncinya pintu itu, lalu dipandanginya pintu di sisi
lain. Pintu itu tidak terkunci. Ia bimbang. Apakah ia harus mengetuk"
Mungkin tak masuk akal mengetuk. Tapi ia kurang suka masuk tanpa mengetuk. Maka
ia mengambil jalan tengah. Dibukanya pintu perlahan-lahan kira-kira tiga senti,
lalu menunggu. Ia bahkan memberanikan diri berdeham.
Reaksinya cepat sekali. Pintu dibuka lebar, lengannya dicengkeram, ditarik ke
dalam gerbong yang lebih jauh, dan gadis itu mengunci pintu di belakangnya.
Mr. Roberts menahan napas. Tak pernah ia melihat kecantikan macam itu. Gadis itu
mengenakan gaun panjang dari bahan sifon berwarna krem dan berenda. Ia bersandar
pada pintu yang menuju lorong kereta. Mr. Roberts sering membaca tentang
makhluk-makhluk cantik yang terpojok karena diburu. Baru pertama kali inilah ia
melihat dengan matanya sendiri - pemandangan yang mendebarkan.
"Puji Tuhan!" gumam gadis itu.
Mr. Roberts melihat bahwa ia masih muda sekali, dan luar biasa cantik, hingga
Mr. Roberts merasa seolah-olah ia adalah makhluk dari dunia lain. Inilah
akhirnya romantika - dan ia berada di dalamnya!
Gadis itu berbicara dengan suara rendah yang cepat. Bahasa Inggris-nya bagus,
tapi logatnya benar-benar asing, "Saya senang sekali Anda datang," katanya.
"Saya ketakutan sekali. Vassilievitch ada di kereta. Mengertikah Anda apa
artinya itu?" Mr. Roberts sama sekali tak mengerti maksudnya, tapi ia mengangguk,
"Saya kira saya sudah berhasil lolos dari mereka. Saya keliru. Apa yang harus
kita lakukan" Vassilievitch menempati gerbong di sebelah saya. Apa pun yang
terjadi, dia tak boleh mendapatkan perhiasan-perhiasan itu."
"Dia tidak akan membunuh Anda, dan dia tidak akan mendapatkan perhiasan-
perhiasan itu," kata Mr. Roberts dengan tegas.
"Lalu harus saya apakan perhiasan-perhiasan itu?"
Mr. Roberts melihat ke belakang gadis itu. "Pintu itu terkunci," katanya.
Gadis itu tertawa. "Apalah arti pintu-pintu yang terkunci bagi Vassilievitch?"
Mr. Roberts makin merasa bahwa ia berada di tengah-tengah sebuah novel
kesukaannya. "Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan. Berikan pada saya."
Gadis itu menatapnya. "Barang-barang itu berharga seperempat juta."
Wajah Mr. Roberts memerah. "Anda bisa mempercayai saya,"
Gadis itu bimbang sebentar, lalu, "Ya, saya percaya pada Anda," katanya. Ia
membuat suatu gerakan cepat, dan sesaat kemudian diulurkannya sepasang kaus kaki
panjang yang tergulung. "Bawalah, teman," katanya pada Mr. Roberts yang
terperanjat. Mr. Roberts mengambil barang-barang itu dan langsung mengerti. Tak diduganya,
kaus kaki itu ternyata tidak seringan udara, melainkan berat sekali.
"Bawa ke gerbong Anda," kata gadis itu. "Anda bisa memberikannya pada saya besok
pagi, kalau... kalau... saya masih di sini."
Mr. Roberts berdeham. "Dengarlah," katanya. "Mengenai diri Anda." Ia diam
sebentar. "Saya... saya harus menjaga Anda." Lalu wajahnya memerah karena malu
sekali. "Bukan di sini maksud saya. Saya akan tinggal di dalam situ." Ia
mengangguk ke arah ruang kecil.
"Kalau Anda mau tinggal di sini..." Gadis itu menoleh ke arah tempat tidur di
atas yang tidak ditempati.
Wajah Mr. Roberts makin merah. "Tidak, tidak," bantahnya. "Biar saja saya di
situ, tak apa-apa. Kalau Anda membutuhkan saya, teriak saja."
"Terima kasih, temanku," kata gadis itu dengan halus.
Ia menyelinap masuk ke tempat tidur di bawah, menarik selimutnya ke atas, lalu
tersenyum pada Mr. Roberts dengan rasa syukur. Mr. Roberts masuk ke ruang kecil.
Tiba-tiba, sekitar beberapa jam kemudian, Mr. Roberts merasa mendengar sesuatu.
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia memasang telinga. Tak ada apa-apa. Mungkin ia salah. Tapi ia yakin telah
mendengar suara samar dari gerbong di sebelah. Jangan-jangan...
Dibukanya pintu perlahan-lahan. Keadaan dalam gerbong itu masih seperti saat
ditinggalkannya, dengan lampu kecil berwarna biru di plafon. Ia berdiri dengan
membuka mata lebar-lebar dalam keremangan, hingga matanya terbiasa. Gadis itu
tak ada di situ! Mr. Roberts menyalakan lampu. Gerbong itu kosong. Tiba-tiba ia mencium sesuatu.
Hanya sepintas, tapi ia segera mengenalinya. Bau khloroform yang manis
memualkan. Ia melangkah keluar dari gerbong (yang kini tidak dalam keadaan terkunci) ke
lorong, dan melihat ke kiri-kanan. Kosong! Matanya tertuju pada gerbong di
sebelah gerbong gadis itu. Gadis itu tadi mengatakan Vassilievitch ada di
gerbong di sebelahnya. Perlahan-lahan Mr. Roberts mencoba memutar gagang pintu.
Pintu itu terkunci dari dalam.
Apa yang harus dilakukannya" Menuntut agar ia dibukakan pintu" Tapi orang itu
pasti akan menolak. Lagi pula, mungkin gadis itu tidak berada di situ! Dan
kalaupun ada, apakah ia akan berterima kasih kalau Mr. Roberts meributkan soal
itu" Mr. Roberts sudah diberitahu bahwa kerahasiaan penting sekali dalam
permainan yang sedang mereka lakukan.
Pria kecil yang bingung itu berjalan lambat-lambat di sepanjang lorong. Ia
berhenti di gerbong ujung. Pintunya terbuka dan kondekturnya sedang tidur. Dan
di atasnya, pada sebuah kaitan, tergantung jas seragamnya yang cokelat, lengkap
dengan topi petnya. *** Seketika Mr. Roberts memutuskan apa yang harus dilakukannya. Sebentar kemudian
ia sudah mengenakan mantel dan topi pet itu, dan cepat-cepat berjalan kembali di
lorong kereta. Ia berhenti di gerbong di sebelah gerbong gadis itu.
Dikumpulkannya seluruh keberaniannya, lalu ia mengetuk dengan tegas.
Karena pintu tidak dibuka, ia mengetuk lagi.
"Monsieur," katanya dengan logat dibuat sekental mungkin.
Pintu dibuka sedikit dan sebuah kepala mengintip keluar - kepala seorang asing
yang tercukur bersih, dan berkumis. Wajah itu tampak marah dan penuh permusuhan.
"Qu'est-ce-qu'il ya" Mau apa?" bentaknya.
"Votre passeport, Monsieur. Paspor Anda, Monsieur."
Mr. Roberts mundur selangkah, lalu mengisyaratkan agar orang itu keluar.
Pria yang di dalam itu ragu, lalu keluar ke lorong. Mr. Roberts sudah
memperhitungkan bahwa ia akan berbuat begitu. Bila gadis itu ada di dalam, pria
itu tentu tidak menginginkan kondektur masuk. Mr. Roberts bertindak secepat
kilat. Dengan sekuat tenaga disingkirkannya orang asing itu. Laki-laki itu tak
menduga dan goyangan kereta api pun membantu Mr. Roberts. Lalu Mr. Roberts
menyerbu masuk ke gerbong, menutup pintunya, dan menguncinya.
Gadis itu tampak terbaring melintang di tempat tidur, mulutnya tersumbat dan
pergelangan tangannya terikat. Mr. Roberts cepat-cepat membebaskannya dan gadis
itu jatuh tersandar padanya dengan mendesah.
"Saya merasa lemah sekali dan mual," gumamnya. "Saya rasa dia memakai
khloroform. Apakah dia... apakah dia mendapatkan barang itu?"
"Tidak." Mr. Roberts menepuk sakunya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanyanya. Gadis itu duduk. Pikirannya sudah terang kembali. Ia melihat pakaian Mr.
Roberts. "Cerdas sekali Anda. Bayangkan, Anda sampai terpikir akan hal itu! Kata orang
itu, dia akan membunuh saya kalau saya tidak mengatakan di mana perhiasan-
perhiasan itu. Oh, saya takut sekali... lalu Anda datang." Tiba-tiba ia tertawa.
"Tapi kita telah mengalahkannya! Dia tidak akan berani melakukan apa-apa. Dia
bahkan tak bisa kembali ke gerbongnya.
"Kita harus tinggal di sini sampai pagi. Mungkin dia akan turun di Dijon;
setengah jam lagi kita sampai di situ. Dia pasti akan menelegram ke Paris, dan
mereka akan mengikuti kita di sana. Sementara itu, sebaiknya Anda lemparkan
mantel dan topi pet itu lewat jendela. Kalau tidak, mereka akan menyulitkan
Anda." Mr. Roberts mematuhinya. "Kita tak boleh tidur," kata gadis itu. "Kita harus tetap berjaga-jaga sampai
pagi." Pengalaman itu aneh dan mendebarkan. Pukul enam pagi, Mr. Roberts membuka pintu
dengan hati-hati dan menjenguk ke luar. Tak ada orang di sekitar tempat itu.
Gadis itu cepat-cepat menyelinap ke dalam gerbongnya sendiri. Mr. Roberts
menyusulnya. Jelas bahwa tempat itu telah diaduk-aduk. Mr. Roberts kembali ke
gerbongnya sendiri, lewat kamar kecil. Teman seperjalanannya masih mendengkur.
Mereka tiba di Paris pukul tujuh. Kondektur sedang meributkan kehilangan mantel
dan topi petnya. Ia belum tahu penumpangnya yang hilang.
Lalu dimulailah kejar-kejaran yang sangat menyenangkan. Gadis itu dan Mr.
Roberts menjelajahi kota Paris dengan berganti-ganti taksi. Mereka memasuki
hotel-hotel dan restoran-restoran lewat pintu yang satu dan keluar lewat pintu
lainnya. Akhirnya gadis itu memberi isyarat.
"Saya yakin kita tidak diikuti lagi sekarang," katanya. "Kita telah
menghilangkan jejak kita."
Mereka sarapan, lalu naik mobil ke Le Bourget. Tiga jam kemudian, mereka tiba di
Croydon. Mr. Roberts belum pernah terbang.
Di Croydon, seorang pria jangkung yang mirip dengan instruktur Mr. Roberts di
Jenewa, sedang menunggu mereka.
Ia menyambut gadis itu dengan sopan sekali.
"Mobil sudah siap, Madam," katanya.
"Bapak ini akan ikut kita, Paul," kata gadis itu. Dan pada Mr. Roberts ia
berkata, "Ini Count Paul Stepanyi."
Mobil itu adalah sebuah limousine besar. Mereka melaju selama kira-kira satu
jam, lalu memasuki halaman sebuah rumah desa dan berhenti di pintu sebuah rumah
yang anggun. Mr. Roberts dibawa ke sebuah ruang kerja. Di situ ia menyerahkan
kaus kaki yang berharga itu. Ia ditinggalkan seorang diri sebentar. Kemudian
Count Stepanyi kembali. "Mr. Roberts," katanya, "kami sangat berterima kasih dan berutang budi pada
Anda. Anda telah membuktikan diri sebagai seorang pria pemberani dan banyak
akal." Ia mengulurkan sebuah kotak berwarna merah. "Izinkan saya menghadiahi
Anda dengan Penghargaan dari St. Stanislaus... surat pujian tingkat sepuluh."
Serasa dalam mimpi, Mr. Roberts membuka kotak itu dan melihat tanda penghargaan
yang bertatahkan permata. Pria tua itu masih berbicara.
"Grand Duchess Olga ingin mengucapkan terima kasih secara langsung pada Anda
sebelum Anda pergi."
Mr. Roberts diantar ke sebuah ruang tamu utama yang besar. Di situ berdiri teman
seperjalanannya yang cantik sekali, mengenakan jubah panjang dan lebar.
Ia memberikan isyarat memerintah dengan tangannya, dan laki-laki tadi
meninggalkan mereka. "Saya berutang nyawa pada Anda, Mr. Roberts," kata grand duchess itu.
Diulurkannya tangannya, dan Mr. Roberts mencium tangan itu. Tiba-tiba ia
membungkuk ke arah Mr. Roberts.
"Kau seorang pemberani," katanya.
Bibir mereka bertautan; sepintas aroma parfum Timur yang kental menerpa Mr.
Roberts. Sesaat didekapnya sosok cantik yang langsing itu dalam rangkaiannya....
Ia serasa masih bermimpi saat seseorang berkata padanya, "Mobil akan membawa
Anda ke mana saja Anda mau."
Sejam kemudian, mobil itu kembali untuk menjemput Grand Duchess Olga. Ia masuk
ke mobil, diikuti oleh Count Stepanyi yang berambut putih itu. Janggutnya sudah
ditanggalkannya. Mobil itu mengantar Grand Duchess Olga ke sebuah rumah di
Streatham. Gadis itu masuk, dan seorang wanita yang sudah berumur mendongak dari
meja teh. "Oh, Maggie, kau rupanya."
Di kereta api ekspres Jenewa-Paris, gadis itu adalah Grand Duchess Olga; di
kantor Mr. Parker Pyne, ia adalah Madeleine de Sara, dan di rumah di Streatham
ia adalah Maggie Sayers, putri keempat dari keluarga seorang pekerja keras yang
jujur. Begitulah kenyataan! *** Mr. Parker Pyne sedang makan siang dengan temannya. "Selamat, ya," kata temannya
itu, "petugasmu telah membawa barang itu dengan selamat, tanpa kurang apa-apa.
Gerombolan Tormali pasti marah besar mendengar senjata itu telah diterima oleh
Liga. Apakah kaukatakan pada petugasmu itu apa yang sedang dibawanya?"
"Tidak. Kupikir lebih baik kalau aku... eh... membohonginya."
"Kau hati-hati sekali."
"Aku tidak saja hati-hati. Aku ingin dia merasa senang. Kupikir kalau dia tahu
itu senjata, dia akan menganggapnya terlalu mudah. Aku ingin dia mengalami
petualangan." "Terlalu mudah?" kata Mr. Bonnington, sambil memandanginya. "Huh, gerombolan itu
pasti membunuhnya kalau mereka tahu."
"Ya," kata Mr. Parker Pyne dengan halus. "Tapi aku tak ingin dia sampai
terbunuh." "Banyakkah penghasilanmu dari usahamu ini, Parker?" tanya Mr. Bonnington.
"Kadang-kadang aku rugi," kata Mr. Parker Pyne. "Itu kalau kasusnya layak diberi
pelayanan istimewa."
*** Tiga orang yang marah sedang saling menyalahkan di Paris.
"Si Hooper keparat itu!" kata salah seorang di antara mereka. "Dia telah
mengkhianati kita." "Dokumen-dokumen itu tidak diambil oleh siapa-siapa dari kantor," kata orang
kedua. "Tapi aku yakin dibawa pada hari Rabu. Jadi, aku yakin kaulah yang
membawanya lari." "Tidak," kata orang ketiga dengan cemberut, "tak ada orang Inggris di kereta
api, kecuali seorang karyawan kecil. Dia tak pernah mendengar tentang Peterfield
atau tentang senjata itu. Aku yakin. Soalnya aku sudah mengetesnya. Peterfield
dan senjata tak berarti apa-apa baginya." Ia tertawa. "Agaknya dia terobsesi
tentang aliran Bolsyewik atau semacamnya."
*** Mr. Roberts sedang duduk di depan perapian gas. Di atas lututnya terletak
sepucuk surat dari Mr. Parker Pyne. Dalam surat itu terlampir selembar cek
sebesar lima puluh pound yang katanya "dari orang-orang tertentu yang merasa
senang sekali dengan telah dilaksanakannya tugas-tugas tertentu."
Di lengan kursinya ada sebuah buku bacaan. Mr. Roberts membukanya secara acak.
"Gadis itu bersandar pada pintu, bagaikan makhluk cantik yang sedang dikejar-
kejar." Yah, ia sudah tahu semua itu.
Dibacanya sebuah kalimat lagi: "Dia mendengus-dengus udara. Samar-samar bau
khloroform yang membuat mual menerpa hidungnya."
Ia juga tahu tentang hal itu.
"Dia mendekapnya dalam pelukannya dan merasakan getaran balasan dari bibirnya
yang merah." Mr. Roberts mendesah. Itu bukan mimpi. Itu semua telah terjadi. Perjalanan pergi
cukup membosankan, tapi perjalanan pulangnya! Ia menikmatinya. Namun ia merasa
senang sudah pulang. Samar-samar dirasakannya bahwa hidup tak bisa dijalani
tanpa kepastian seperti itu. Bahkan Grand Duchess Olga - bahkan ciuman terakhir
itu pun - sudah merupakan bagian dari semacam mimpi yang tidak nyata.
Mary dan anak-anak akan pulang besok. Mr. Roberts tersenyum senang.
Istrinya pasti akan berkata, "Liburan kami menyenangkan sekali. Aku tak senang
membayangkan kau tinggal seorang diri di sini, kasihan kau." Dan Mr. Roberts
akan berkata, "Tak apa-apa, Sayang. Aku harus pergi ke Jenewa untuk urusan
perusahaan - suatu negosiasi yang sulit - dan lihat nih, mereka mengirimi aku ini."
Dan ia akan memperlihatkan cek sebesar lima puluh pound itu.
Ia ingat Penghargaan St Stanislaus, surat pujian kelas sepuluh itu. Surat
penghargaan itu telah disembunyikannya, tapi seandainya Mary menemukannya! Ia
harus mencari penjelasan....
Nah, begini saja... ia akan mengatakan bahwa ia membeli benda itu di luar
negeri. Sebuah suvenir. Dibukanya lagi bukunya dan ia membaca dengan senang. Tak ada lagi bayangan
murung di wajahnya. Ia juga tergolong orang-orang berhasil yang telah mengalami hal-hal menarik.
KASUS SEORANG WANITA KAYA
MR. PARKER PYNE kedatangan tamu bernama Mrs. Abner Rymer. Mr. Parker Pyne
mengenal nama itu dan ia mengangkat alisnya.
Sebentar kemudian, kliennya itu diantar masuk ke ruang kerjanya.
Mrs. Rymer bertubuh tinggi, dengan tulang besar-besar. Bentuk tubuhnya tidak
bagus, dan gaun beludru serta mantel bulu binatangnya tak mampu menyembunyikan
kejelekan itu. Tangannya yang besar berbonggol-bonggol. Wajahnya lebar dan
merah. Rambutnya yang hitam ditata menurut mode, dan pada topinya terdapat
banyak bulu burung yang keriting.
Wanita itu mengempaskan tubuhnya yang besar ke kursi sambil mengangguk. "Selamat
pagi," katanya. Suaranya berlogat kasar. "Kalau Anda memang pandai, tolong
katakan bagaimana saya harus menghabiskan uang saya!"
"Luar biasa," gumam Mr. Parker Pyne. "Sedikit sekali orang yang menanyakan hal
itu pada saya, zaman sekarang ini. Jadi, Anda benar-benar merasa kesulitan, Mrs.
Rymer?" "Betul," katanya dengan terus terang. "Saya memiliki tiga mantel bulu binatang,
banyak sekali gaun dari Paris, dan sebagainya. Saya punya rumah dan mobil di
Park Lane. Saya punya kapal pesiar, padahal saya tak suka laut. Saya punya
banyak pembantu kelas tinggi yang memandang rendah pada orang-orang. Saya juga
sudah bepergian dan melihat negeri-negeri asing. Dan saya benar-benar tak tahu
lagi apa yang harus saya beli atau apa yang harus saya lakukan." Ia melihat pada
Mr. Pyne dengan penuh harapan.
"Bukankah ada rumah-rumah sakit?" kata Mr. Parker Pyne,
"Apa" Maksud Anda memberikan uang begitu saja" Tidak, saya tak mau! Dengar, Mr.
Pyne, uang itu hasil kerja, hasil kerja keras. Kalau Anda pikir saya mau
memberikannya... yah, Anda keliru. Saya ingin membelanjakannya; membelanjakannya
dan mendapatkan manfaat dari uang itu. Nah, bila Anda punya gagasan yang baik di
bidang itu, Anda bisa berharap akan mendapatkan bayaran tinggi."
"Usul Anda menarik," kata Mr. Pyne. "Anda tidak menyebutkan bahwa Anda memiliki
sebuah rumah peristirahatan."
"Saya lupa, tapi saya punya. Saya bosan selengah mati pada rumah itu."
"Anda juga harus menceritakan lebih banyak tentang diri Anda. Masalah Anda tidak
mudah diselesaikan."
"Saya bersedia menceritakannya. Saya tidak malu tentang asal-usul saya. Waktu
masih gadis, saya pernah bekerja di sebuah rumah pertanian. Saya harus bekerja
keras. Lalu saya berkenalan dengan Abner yang bekerja di penggilingan dekat
tempat saya bekerja. Delapan tahun dia memacari saya, lalu kami menikah."
"Dan Anda berdua bahagia?" tanya Mr. Pyne.
"Ya. Abner baik pada saya. Meskipun kami harus berjuang keras. Dua kali dia
kehilangan pekerjaannya, padahal kami sudah punya empat orang anak, tiga laki-
laki dan satu perempuan. Dan tak seorang pun sempat tumbuh dewasa. Saya yakin
keadaannya akan lain seandainya mereka masih hidup." Wajahnya melembut, dan
tiba-tiba tampak lebih muda.
"Paru-paru Abner lemah. Dia tidak diterima ikut berperang. Di rumah, dia
berhasil. Dia dijadikan mandor. Abner orang yang cerdas. Dia bisa bekerja dengan
baik, dan boleh dikatakan orang-orang memperlakukannya dengan adil. Mereka
berani membayar mahal untuk jasanya. Uang itu dimanfaatkannya untuk suatu
gagasan lain, dan itu menghasilkan uang banyak sekali. Sampai sekarang pun uang
masih tetap mengalir. "Pada awalnya saya sangat menikmatinya. Punya rumah dan kamar mandi yang
sempurna, dan pelayan-pelayan sendiri. Tak perlu lagi memasak, menyikat, dan
mencuci. Tinggal duduk saja bersandar pada bantal kursi bersarung sutra di ruang
duduk utama dan menekan tombol kalau ingin minum teh - seperti wanita ningrat
saja! Menyenangkan sekali, dan kami menikmatinya. Lalu kami pergi ke London.
Saya memesan pakaian pada penjahit-penjahit terkemuka. Kami pergi ke Paris dan
Riviera. Bukan main senangnya."
"Kemudian?" tanya Mr. Parker Pyne.
"Saya rasa kami jadi terbiasa dengan itu semua," kala Mrs. Rymer. "Setelah
beberapa lama, rasanya jadi tidak begitu menyenangkan lagi. Yah, bahkan ada
kalanya kami tidak lagi menikmati apa yang kami makan, padahal kami bisa makan
dengan lauk-pauk yang kami pilih! Mengenai mandi... yah, akhirnya mandi sekali
sehari sudah cukup rasanya. Dan Abner mulai merisaukan kesehatannya. Kami
mengeluarkan banyak uang untuk para dokter, tapi mereka tak bisa berbuat apa-
apa. Mereka mencoba bermacam-macam obat. Tapi sia-sia. Akhirnya Abner
meninggal." Ia diam sebentar. "Padahal dia masih muda, baru empat puluh tiga."
Mr. Pyne mengangguk, menyalakan ikut prihatin.
"Itu terjadi lima tahun yang lalu. Uang masih saja mengalir masuk. Rasanya
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mubazir tak bisa memanfaatkannya dengan baik. Tapi seperti saya katakan, saya
tak lagi bisa memikirkan apa yang harus saya beli, yang belum saya miliki."
"Dengan kata lain," kata Mr. Pyne, "hidup Anda membosankan. Anda tidak
menikmatinya." "Saya bosan," kata Mrs. Rymer dengan murung. "Saya tak punya teman-teman. Orang-
orang baru itu hanya mau minta sumbangan-sumbangan saja, dan mereka menertawakan
saya di belakang punggung. Orang-orang lama tak mau kenal pada saya. Karena saya
ke mana-mana naik mobil mewah, mereka jadi malu. Bisakah Anda melakukan atau
mengusulkan sesuatu?"
"Mungkin bisa," kata Mr. Pyne lambat-lambat. "Memang sulit, tapi saya yakin ada
kemungkinan untuk berhasil. Saya rasa, saya bisa mengembalikan apa yang telah
hilang dari Anda - gairah hidup Anda."
"Bagaimana caranya?" tanya Mrs. Rymer tegas.
"Itu rahasia jabatan saya," kata Mr. Parker Pyne. "Saya tak pernah menceritakan
metoda saya. Pertanyaannya adalah, maukah Anda mengadu untung" Saya tidak
menjamin keberhasilan, tapi saya yakin ada kemungkinannya.
"Saya harus memakai metoda yang luar biasa, dan oleh karenanya jadi mahal. Untuk
itu bayarannya seribu pound, harus dibayar di muka."
"Anda bisa berbicara seenaknya, ya?" kata Mrs. Rymer. "Yah, biarlah saya
tanggung risikonya. Saya biasa membayar harga tinggi. Tapi saya menuntut sesuatu
yang baik, dan saya mesti mendapatkannya."
"Anda akan mendapatkannya," kata Mr. Parker Pyne. "Jangan takut."
"Malam ini akan saya kirimkan ceknya," kata Mrs. Rymer sambil bangkit. "Saya
benar-benar tidak tahu mengapa saya harus mempercayai Anda. Orang-orang dungu
memang mudah terpisah dari uangnya. Anda sungguh berani mengiklankan dalam
koran-koran bahwa Anda bisa membuat orang bahagia!"
"Iklan-iklan itu harus saya bayar," kata Mr. Pyne. "Kalau saya tak bisa
membuktikan kebenaran kata-kata saya, uang itu akan sia-sia. Saya tahu penyebab
ketidakbahagiaan, dan saya punya pengertian bagaimana menciptakan keadaan
sebaliknya." Mrs. Rymer menggeleng dengan ragu, lalu pergi dengan meninggikan aroma
wewangian. Claude Luttrell yang tampan pun masuk ke kantor dengan santai. "Ada sesuatu yang
sesuai untuk saya?" Mr. Pyne menggeleng. "Tidak sesederhana itu," katanya. "Tidak. Ini perkara yang
sulit. Kurasa kita harus mengambil beberapa risiko. Kita harus mencoba
menggunakan yang tidak biasa."
"Mrs. Oliver?" Mr. Pyne tersenyum mendengar nama penulis novel terkenal di seluruh dunia itu.
"Mrs. Oliver," katanya. "Ya, dialah yang paling berguna dalam hal ini. Aku punya
rencana hebat yang berani dan nekat. Omong-omong, sebaiknya kautelepon Dr.
Antrobus." "Antrobus?" "Ya. Jasanya akan diperlukan."
*** Seminggu kemudian, Mrs. Rymer sekali lagi memasuki kantor Mr. Parker Pyne. Mr.
Pyne bangkit untuk menyambut tamunya.
"Yakinlah bahwa keterlambatan ini memang berguna," katanya. "Banyak hal yang
harus diatur, dan saya harus mendapatkan jasa seseorang yang luar biasa, yang
mesti datang dengan menyeberangi separuh Benua Eropa."
"Oh!" kata wanita itu dengan curiga. Ia selalu ingat akan uangnya yang seribu
pound. Mr. Parker Pyne menekan sebuah tombol pemanggil. Seorang gadis berkulit gelap
dan bertampang Timur, tapi mengenakan pakaian putih seorang perawat, muncul.
"Apakah segala-galanya sudah siap, Suster de Sara?"
"Sudah. Dokter Constantine sudah menunggu."
"Apa yang akan Anda lakukan?" tanya Mrs. Rymer dengan agak gelisah.
"Memperkenalkan Anda pada semacam ilmu gaib dari Timur," kata Mr. Parker Pyne.
Mrs. Rymer mengikuti perawat itu ke lantai berikutnya. Di situ ia diajak masuk
ke sebuah ruangan yang tak ada hubungannya dengan bagian-bagian lain dari rumah
itu. Hasil karya Timur melapisi dinding-dindingnya. Ada dipan-dipan lengkap
dengan bantal-bantal hias yang lembut, dan di lantai terbentang permadani yang
indah. Seorang laki-laki sedang membungkuk di atas sebuah poci kopi. Ia
menegakkan tubuhnya waktu mereka masuk.
"Ini Dokter Constantine," kata perawat itu.
Dokter itu berpakaian cara Eropa, tapi wajahnya gelap, matanya pun gelap dan
sipit, dengan pandangan tajam yang aneh.
"Jadi, inikah pasienku?" tanyanya dengan suara rendah yang bergetar.
"Saya bukan pasien," kata Mrs. Rymer.
"Tubuh Anda tidak sakit," kata dokter itu, "tapi jiwa Anda letih. Kami dari
Timur tahu bagaimana menyembuhkan penyakit semacam itu. Silakan duduk dan minum
secangkir kopi." Mrs. Rymer duduk dan menerima secangkir kecil kopi harum. Saat ia menyeruput
kopinya, dokter itu berbicara.
"Di Barat ini, orang hanya memperhatikan tubuh. Itu salah. Tubuh hanyalah alat.
Dia bergerak berdasarkan suatu irama. Irama itu mungkin sedih dan membosankan.
Mungkin pula ceria dan penuh kegembiraan. Yang terakhir itulah yang akan kami
berikan pada Anda. Anda punya uang. Anda akan membelanjakannya dan menikmatinya.
Hidup akan terasa pantas dijalani. Itu mudah. Mudah... mudah sekali..."
Rasa lemas merayapi tubuh Mrs. Rymer. Sosok-sosok dokter dan perawat itu jadi
samar. Ia merasa tenang dan mengantuk. Lalu sosok dokter itu jadi membesar.
Seluruh dunia terasa lebih besar.
Dokter itu menatap matanya. "Tidur," kata dokter itu. "Tidurlah. Kelopak matamu
akan tertutup. Kau akan segera tidur. Kau akan tidur..."
Kelopak mata Mrs. Rymer benar-benar tertutup. Ia mengambang bersama dunia yang
besar dan nyaman.... *** Waktu matanya terbuka, ia merasa seolah-olah waktu sudah lama berlalu. Samar-
samar ia ingat beberapa hal - mimpi-mimpi aneh yang tidak masuk akal; lalu
perasaan terjaga; kemudian disusul oleh mimpi lagi. Ia ingat sesuatu yang
berhubungan dengan sebuah mobil dan gadis cantik bertampang gelap yang
mengenakan seragam perawat dan membungkuk di atasnya.
Pokoknya, ia sudah benar-benar bangun sekarang, dan di tempat tidurnya sendiri
pula. Atau, benarkah ini tempat tidurnya sendiri" Rasanya lain. Tak ada kelembutan
yang nyaman. Samar-samar hal itu mengingatkannya pada hari-hari yang hampir
dilupakannya. Ia bergerak, dan tempat tidur itu berderak. Tempat tidur Mrs.
Rymer di Park Lane tak pernah berderak.
Ia melihat ke sekelilingnya. Jelas ini bukan Park Lane. Apakah ini sebuah rumah sakit" Bukan, ia yakin, bukan rumah sakit. Bukan
pula hotel. Ini sebuah kamar kosong, dindingnya berwarna lila yang tidak jelas.
Ada meja pencuci tangan, dengan kendi dan sebuah baskom di atasnya. Ada sebuah
lemari pendek berlaci-laci dan sebuah peti dari timah. Ada pakaian yang tidak
dikenalnya tergantung pada kapstok. Ada tempat tidur beralas selimut tebal yang
sudah banyak tisikannya, dan ia terbaring di tempat tidur itu.
"Di mana aku?" tanya Mrs. Rymer.
Pintu terbuka dan seorang wanita kecil yang gemuk masuk dengan susah payah.
Pipinya merah dan air mukanya ramah. Lengan bajunya tergulung dan ia mengenakan
celemek. "Nah!" serunya. "Dia sudah bangun. Silakan masuk, Dokter."
Mrs. Rymer membuka mulutnya, akan mengatakan beberapa hal, tapi kata-kata itu
tak terucap, karena laki-laki yang mengikuti wanita gemuk itu masuk ke kamar
sama sekali bukan Dokter Constantine yang gelap namun perlente. Ia seorang laki-
laki tua yang bungkuk, yang memandang tajam lewat kacamata tebal.
"Itu lebih baik," katanya sambil mendekat ke tempat tidur dan mengangkat
pergelangan tangan Mrs. Rymer. "Anda akan membaik, Nyonya."
"Ada apa dengan saya?" tanya Mrs. Rymer.
"Anda mengalami serangan penyakit," kata dokter itu. "Anda tidak sadar selama
satu-dua hari. Tak perlu dicemaskan."
"Tapi kau membuat kami ketakutan, Hannah," kata wanita gemuk itu. "Kau juga
mengigau, mengatakan hal-hal yang aneh."
"Benar, Mrs. Gardner," kata sang dokter pada wanita itu. "Tapi kita tak boleh
mengacaukan pasien. Sebentar lagi Anda sudah bisa bangun."
"Tapi jangan kaupikirkan soal pekerjaan, Hannah," kata Mrs. Gardner. "Mrs.
Roberts datang untuk membantuku, dan kami baik-baik saja. Berbaring sajalah
diam-diam, supaya cepat sembuh, sayangku."
"Mengapa Anda menyebut saya Hannah?" tanya Mrs. Rymer.
"Itu kan namamu," kata Mrs. Gardner kebingungan.
"Bukan. Nama saya Amelia. Amelia Rymer. Mrs. Abner Rymer."
Dokter dan Mrs. Gardner berpandangan.
"Yah, pokoknya kau berbaring saja diam-diam," kata Mrs. Gardner.
"Ya, ya. Jangan cemas," kata Dokter.
Mereka keluar. Mrs. Rymer terbaring dengan bingung. Mengapa mereka menyebutnya
Hannah, dan mengapa mereka saling berpandangan dengan rasa geli waktu ia
menyebutkan namanya sendiri" Di mana dia dan apa yang telah terjadi"
Ia turun dari tempat tidur. Kakinya terasa lemah, tapi ia berjalan juga
perlahan-lahan ke arah sebuah jendela kecil di atap yang miring. Ia melihat ke
luar - dilihatnya sebuah pekarangan rumah pertanian! Ia benar-benar kebingungan,
lalu kembali ke tempat tidur. Apa yang dilakukannya di sebuah rumah pertanian
yang tak pernah dilihatnya"
Mrs. Gardner masuk kembali ke kamar dengan membawa semangkuk sup di nampan.
Mrs. Rymer mulai bertanya. "Mengapa saya berada di rumah ini?" tanyanya. "Siapa
yang membawa saya kemari?"
"Tak ada yang membawamu, sayangku. Ini rumahmu. Setidaknya sudah lima tahun kau
tinggal di sini, dan aku sama sekali tak mengira kau akan mendapat serangan
penyakit itu." "Tinggal di sini! Lima tahun?"
"Benar. Aduh, Hannah, masa kau masih tetap tak ingat?"
"Saya tak pernah tinggal di sini! Saya tak pernah melihat Anda."
"Begini, kau jatuh sakit, dan kau lupa."
"Saya tak pernah tinggal di sini."
"Kau tinggal di sini, Sayang." Tiba-tiba Mrs. Gardner menyeberang ke lemari
pendek berlaci-laci, lalu membawa sebuah foto pudar yang berbingkai dan
memperlihatkannya pada Mrs. Rymer.
Di foto itu tampak empat orang: seorang pria berjanggut, seorang wanita gemuk
(Mrs. Gardner), seorang laki-laki kurus tinggi yang tersenyum menyenangkan tapi
dungu, dan seorang wanita dalam gaun katun dan celemek - dirinya sendiri!
Mrs. Rymer memandangi foto itu tanpa bisa berbicara. Mrs. Gardner meletakkan sup
tadi di sampingnya, lalu keluar dari kamar itu.
Mrs. Rymer menyeruput sup itu dengan otomatis. Sup itu enak, bumbunya pun
nikmat. Sementara itu otaknya terus berputar. Siapa yang gila" Mrs. Gardner atau
dirinya sendiri" Pasti salah seorang di antara mereka! Tapi ada pula dokter itu.
"Aku Amelia Rymer," katanya dengan yakin pada dirinya sendiri. "Aku yakin aku
adalah Amelia Rymer, dan tak seorang pun bisa membantahnya."
Dihabiskannya sup itu dan dikembalikannya mangkuknya ke nampan. Terlihat olehnya
selembar koran terlipat. Diambilnya koran itu, lalu ia melihat tanggalnya.
Tanggal 19 Oktober. Hari apa ia pergi ke kantor Mr. Parker Pyne" Pada tanggal
lima belas atau tanggal enam belas. Kalau begitu, ia sakit tiga hari.
"Dasar dokter keparat itu!" kata Mrs. Rymer dengan sengit.
Meskipun begitu, ia merasa agak lega juga. Ia pernah mendengar bahwa ada pasien
yang lupa siapa dirinya sendiri selama bertahun-tahun. Ia takut hal semacam itu
terjadi atas dirinya. Ia pun membalik-balik halaman koran itu dan membaca
sepintas lalu. Tiba-tiba sebuah paragraf menarik perhatiannya.
Mrs. Abner Rymer, janda Abner Rymer, "raja kancing", kemarin dipindahkan ke
sebuah peristirahatan pribadi untuk pasien-pasien penyakit ingatan. Selama dua
hari ia berkeras menyatakan bahwa ia bukanlah dirinya, melainkan seorang gadis
pelayan bernama Hannah Moorhouse.
"Hannah Moorhouse! Begitu rupanya," kata Mrs. Rymer. "Dia menjadi diriku dan aku
menjadi dia. Kurasa pribadi ganda. Yah, kita akan bisa meluruskan hal itu
secepatnya! Kalau si munafik licik Parker Pyne itu ingin mempermainkanku atau
apa..." Tapi saat itu terlihat olehnya nama Constantine menatapnya dari halaman cetakan
itu. Kali ini berita itu merupakan induk berita.
PERNYATAAN DR. CONSTANTINE
Pada ceramah perpisahan yang diberikan semalam menjelang keberangkatannya ke
Jepang, Dr. Claudius Constantine mengemukakan beberapa teori yang mengejutkan.
Beliau menyatakan kemungkinan membuktikan eksistensi roh dengan cara memindahkan
roh dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Berdasarkan pengalaman-pengalamannya di
Timur, diakuinya bahwa ia telah berhasil melakukan pemindahan ganda - roh tubuh A
yang sudah dihipnotis dipindahkan ke tubuh B yang sudah dihipnotis, dan roh dari
tubuh B diisi dengan roh dari tubuh A. Pada saat sadar dari tidur hipnotis, A
menyatakan dirinya adalah B, sedangkan B mengira dirinya adalah A. Supaya
eksperimen itu berhasil, dia perlu menemukan dua orang yang secara jasmaniah
sama persis. Tak bisa disangkal bahwa dua orang yang serupa juga punya hubungan.
Hal itu terlihat nyata pada orang-orang kembar. Tapi dua orang asing yang
kedudukan sosialnya jauh berbeda, namun mempunyai kesamaan fisik nyata, ternyata
juga memperlihatkan persamaan susunan otak.
Mrs. Rymer melemparkan surat kabar itu jauh-jauh. "Keparat itu! Keparat jahat
itu!" Sekarang ia mengerti semuanya! Mereka merupakan komplotan jahat untuk
mendapatkan uangnya. Si Hannah Moorhouse itu pasti kaki-tangan Mr. Pyne - mungkin
sebenarnya ia tidak tahu-menahu. Mr. Pyne dan si setan Constantine itu yang
merencanakan perampasan luar biasa ini.
Tapi Mrs. Rymer akan menjatuhkannya! Ia akan memperlihatkan siapa laki-laki itu
sebenarnya. Akan diseretnya laki-laki itu ke hadapan hukum! Akan dikatakannya
pada semua orang... Mrs. Rymer terhenti mendadak dalam arus kemarahannya. Ia ingat akan tulisan
pertama yang dibacanya. Hannah Moorhouse bukan alat yang jinak. Ia membantah,
menyatakan siapa dirinya sebenarnya. Dan apa yang terjadi"
"Dikurung di rumah sakit jiwa. Kasihan gadis itu," kata Mrs. Rymer.
Ia merinding. Rumah sakit jiwa. Orang bisa dikurung di situ dan tidak akan pernah dibebaskan
lagi. Makin sering kita mengatakan bahwa kita waras, makin tak percaya mereka.
Kita akan tetap berada di situ. Tidak, Mrs. Rymer tidak akan menanggung risiko
itu. Pintu terbuka dan Mrs. Gardner masuk.
"Oh, sudah kauhabiskan supmu, Sayang. Bagus. Kau akan segera sembuh."
"Kapan saya jatuh sakit?" tanya Mrs. Rymer.
"Kapan ya" Tiga hari yang lalu - pada hari Rabu. Tanggal lima belas. Kau jatuh
sakit kira-kira jam empat."
"Oh!" Kata seru itu sarat dengan arti. Memang kira-kira jam empatlah Mrs. Rymer
menemui Dokter Constantine.
"Kau jatuh di kursimu," kata Mrs. Gardner. "'Aduh!' katamu. 'Aduh!' begitu saja.
Lalu, 'Saya ingin tidur,' katamu dengan suara mengantuk. 'Saya ingin tidur.' Dan
kau benar-benar tertidur. Kami membawamu ke tempat tidur, lalu memanggil dokter,
dan sejak itulah kau berada di sini."
"Saya rasa," kata Mrs. Rymer memberanikan diri, "Anda tak mungkin tahu siapa
saya - maksud saya tanpa melihat wajah saya."
"Wah, aneh kata-katamu itu," kata Mrs. Gardner. "Apalah yang bisa dijadikan
petunjuk yang lebih baik daripada wajah seseorang" Coba katakan. Tapi masih ada
tanda lahirmu, kalau itu bisa memuaskan dirimu."
"Tanda lahir?" kata Mrs. Rymer. Ia jadi berseri-seri. Ia tak punya tanda lahir.
"Tanda hitam di bawah siku kananmu," kata Mrs. Gardner, "Lihat saja sendiri."
"Inilah yang akan membuktikan," kata Mrs. Rymer dalam hati. Ia tahu bahwa ia tak
punya tanda lahir hitam di bawah siku kanannya. Digulungnya lengan baju
tidurnya. Tanda lahir hitam itu memang ada.
Mrs. Rymer pun menangis. *** Empat hari kemudian, Mrs. Rymer bangkit dari tempat tidurnya. Ia sudah
memikirkan beberapa rencana tindakan, tapi semuanya ditolaknya.
Mungkin ia bisa memperlihatkan apa yang dibacanya di koran pada Mrs. Gardner,
lalu menjelaskan. Tapi maukah mereka mempercayainya" Lagi-lagi ia merasa itu tak
mungkin. Mungkin ia bisa pergi ke kantor Mr. Pyne. Gagasan itu lebih membesarkan hatinya.
Pertama-tama akan dikatakannya pada si celaka licik itu, apa pendapatnya tentang
dirinya. Tapi ia batal melaksanakan rencana itu karena sebuah halangan besar.
Sekarang ini ia berada di Cornwall (begitu didengarnya), dan ia tak punya uang
untuk bepergian ke London. Uangnya tak lebih dari dua shilling dan empat pence,
di dalam sebuah dompet kumal.
Maka, setelah empat hari, Mrs. Rymer mengambil suatu keputusan yang berani.
Untuk sementara ia akan menerima baik semua keadaan ini! Ia adalah Hannah
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Moorhouse. Baiklah, ia akan mengakui bahwa ia adalah Hannah Moorhouse. Untuk
sementara ia akan menerima peran itu, dan kemudian, setelah uangnya terkumpul
cukup banyak, ia akan pergi ke London dan menangkap basah penipu itu di tempat
kerjanya. Setelah mengambil keputusan itu, Mrs. Rymer menerima perannya dengan senang
hati, bahkan dengan kegembiraan dibuat-buat. Sejarah pun terulang. Kehidupan ini
mengingatkannya kembali pada hidupnya semasa gadis. Betapa lama sudah hal itu
berlalu! *** Pekerjaan terasa agak berat, karena ia sudah terbiasa hidup nyaman selama
bertahun-tahun. Tapi setelah melewati minggu-minggu pertama, didapatinya dirinya
terbiasa dengan cara hidup di tanah pertanian itu.
Mrs. Gardner adalah seorang wanita baik hati yang tak mudah marah. Suaminya,
seorang laki-laki bertubuh besar yang pendiam, juga baik hati. Laki-laki tinggi
kurus yang ada di foto tak ada lagi; sebagai gantinya ada seorang laki-laki
bertubuh sebesar raksasa, berumur empat puluh lima tahun dan suka bercanda, yang
bekerja sebagai buruh tani di situ. Ia lamban, baik dalam bicara maupun dalam
berpikir, tapi matanya yang biru berkilat malu-malu.
Minggu-minggu berlalu. Akhirnya Mrs. Rymer punya cukup uang untuk biaya
perjalanannya ke London. Tapi ia tidak pergi. Ia menundanya. Masih ada waktu,
pikirnya. Ia masih tak senang memikirkan rumah sakit. Si keparat Parker Pyne itu
memang cerdik, mencari seorang dokter yang harus mengatakan bahwa Mrs. Rymer
gila dan mengurungnya di tempat tak seorang pun mengenalnya.
"Apalagi," pikir Mrs. Rymer, "sedikit perubahan baik juga bagi orang."
Ia bangun pagi dan bekerja keras. Joe Welsh, buruh tani yang baru, sakit dalam
musim salju itu. Mrs. Rymer dan Mrs. Gardner merawatnya. Laki-laki bertubuh
besar itu benar-benar bergantung pada mereka dan menimbulkan rasa iba.
Musim semi tiba. Musim ternak beranak; bunga-bunga liar bermekaran, udara terasa
lembut. Joe Welsh membantu Hannah dalam pekerjaannya. Hannah menolong menisikkan
pakaian Joe. Kadang-kadang, pada hari-hari Minggu, mereka berjalan-jalan berdua. Joe seorang
duda. Istrinya meninggal empat tahun yang lalu. Sejak itu Joe suka minum-minum.
Tapi sekarang ia tidak lagi sering pergi ke rumah minum the Crown. Ia telah
membeli baju-baju baru. Mr. dan Mrs. Gardner tertawa.
Hannah suka mengolok-olok Joe karena kecanggungannya. Joe tidak keberatan. Ia
kelihatan malu, tapi juga senang.
Setelah musim semi, tibalah musim panas yang bagus tahun itu. Semua orang
bekerja keras. Kemudian musim panen berlalu. Daun-daun berwarna merah dan keemasan di pohon-
pohon. Hari itu tanggal delapan Oktober, waktu Hannah mendongak dari sebuah kol yang
akan dipanennya, dan melihat Mr. Parker Pyne bersandar pada pagar.
"Anda!" kata Hannah, alias Mrs. Rymer. "Anda..."
Beberapa waktu kemudian, barulah tersembur semuanya, dan setelah ia mengucapkan
semua yang ingin dikatakannya, ia terengah-engah.
Mr. Parker Pyne tersenyum dengan tenang. "Saya sependapat sekali dengan Anda,"
katanya. "Penipu, pembohong, itulah kau!" kata Mrs. Rymer, mengulangi kata-katanya. "Kau
yang memanfaatkan Constantine dengan hipnotismenya, dan gadis malang Hannah
Moorhouse yang terkurung dengan... orang-orang gila."
"Tidak," kata Mr. Parker Pyne, "dalam hal itu, Anda salah menilai saya. Hannah
Moorhouse tidak berada di rumah sakit jiwa, karena Hannah Moorhouse tak pernah
ada." "Benarkah begitu?" tanya Mrs. Rymer. "Lalu bagaimana dengan fotonya yang saya
lihat dengan mata kepala saya sendiri?"
"Tipuan," kata Mr. Pyne. "Itu mudah saja mengaturnya."
"Lalu tulisan di koran mengenai dirinya?"
"Seluruh koran itu adalah tipuan. Saya minta dimuat dua berita dengan cara yang
wajar, supaya bisa menimbulkan keyakinan. Dan ternyata benar."
"Lalu si keparat Dokter Constantine itu!"
"Itu nama samaran - disamarkan oleh seorang sahabat saya yang memiliki bakat
bersandiwara." Mrs. Rymer mendengus. "Bagus! Dan saya rasa, saya bahkan tidak dihipnotis, ya?"
"Memang tidak. Anda minum kopi, yang merupakan ramuan India. Setelah itu
diminumkan pula obat-obatan lain, lalu Anda dibawa kemari dengan mobil, dan Anda
dibiarkan sampai sadar."
"Kalau begitu, selama ini Mrs. Gardner itu terlibat?" kata Mrs. Rymer.
Mr. Parker Pyne mengangguk.
"Saya rasa berkat uang suap Anda! Atau diberi cerita-cerita omong kosong!"
"Mrs. Gardner percaya pada saya," kata Mr. Pyne. "Soalnya saya pernah
menyelamatkan putra tunggalnya sampai tidak jadi dipenjarakan."
Ada sesuatu yang membuat Mrs. Rymer terdiam mendengar kata-kata itu. "Bagaimana
dengan tanda lahir itu?" tanyanya.
Mr. Pyne tersenyum. "Itu sudah mulai memudar. Enam bulan lagi itu akan hilang
sama sekali." "Lalu apa maksud semua keadaan gila-gilaan ini" Membodohi saya ya, dengan
membenamkan saya di sini sebagai pekerja - saya yang punya begitu banyak uang di
bank. Tapi saya rasa saya tak perlu bertanya. Anda pasti telah memanfaatkan uang
itu, orang cerdik. Itulah tujuan semuanya ini."
"Memang benar," kata Mr. Parker Pyne, "bahwa selama Anda berada dalam keadaan
tak sadar, saya telah mendapatkan hak pengaturan dan bahwa selama... eh... Anda
tak ada, saya telah memegang kendali dalam urusan keuangan Anda. Tapi
percayalah, Madame yang baik, bahwa kecuali seribu dolar yang sejak semula sudah
kita sepakati, tak ada uang Anda yang masuk ke saku saya. Bahkan, karena adanya
investasi yang sah, uang Anda justru bertambah." Ia memandang Mrs. Rymer dengan
berseri. "Lalu mengapa...?" Mrs. Rymer memulai lagi.
"Saya ingin bertanya, Mrs. Rymer," potong Mr. Parker Pyne. "Anda seorang wanita
yang jujur Saya yakin Anda akan menjawab saya dengan jujur. Saya akan bertanya,
apakah Anda sekarang bahagia."
"Bahagia! Pertanyaan bagus! Anda mencuri uang seorang wanita, lalu Anda bertanya
apakah dia bahagia. Saya kagumi kelancangan Anda!"
"Anda masih marah," kata Mr. Pyne. "Itu wajar sekali. Tapi coba lupakan
kejahatan-kejahatan saya sebentar. Mrs. Rymer, waktu Anda datang ke kantor saya,
tepat setahun yang lalu, Anda adalah seorang wanita yang tidak bahagia. Bisakah
Anda mengatakan bahwa Anda tidak bahagia sekarang" Kalau begitu keadaannya, saya
minta maaf, dan Anda bebas mengambil langkah apa saja untuk melawan saya.
Apalagi uang seribu pound yang sudah Anda bayarkan pada saya akan saya
kembalikan. Nah, Mrs. Rymer, apakah Anda tidak bahagia sekarang?"
Mrs. Rymer melihat pada Mr. Parker Pyne, tapi ia menundukkan kepala sewaktu
akhirnya berbicara. "Tidak," katanya. "Saya tak bisa mengatakan bahwa saya tidak bahagia." Suaranya
mengandung nada tak mengerti. "Anda telah berhasil mengalahkan saya. Saya akui.
Tak pernah saya sebahagia sekarang, sejak kematian Abner. Saya... saya akan
menikah dengan seorang laki-laki yang bekerja di sini - Joe Welsh. Kontrak kerja
kami akan berakhir hari Minggu yang akan datang."
"Tapi sekarang semuanya tentu jadi lain."
Wajah Mrs. Rymer jadi merah padam. Ia maju selangkah.
"Apa maksud Anda" Apakah Anda pikir bahwa bila saya mendapatkan semua uang di
dunia ini, saya akan berubah menjadi wanita terkemuka" Saya tak ingin menjadi
wanita terkemuka, terima kasih; semua itu tak ada gunanya. Joe cukup baik untuk
saya, dan saya cukup baik baginya. Kami berdua cocok dan kami berdua akan
bahagia. Sedangkan Anda, Mr. Parker yang Sok Tahu, pergilah dan jangan
mencampuri apa-apa yang tak ada urusannya dengan diri Anda!"
Mr. Parker Pyne mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menyerahkannya pada
Mrs. Rymer. "Hak atas pengaturan itu," katanya. "Saya sobek saja, ya" Saya rasa
sekarang Anda akan mengurus kekayaan Anda sendiri."
Ekspresi wajah Mrs. Rymer berubah menjadi aneh. Didorongnya kembali kertas itu.
"Ambil saja itu. Saya telah mengucapkan kata-kata kasar pada Anda - meskipun
beberapa di antaranya memang pantas Anda terima. Anda orang yang brengsek, tapi
saya mempercayai Anda. Saya hanya ingin tujuh ratus pound di sini - itu cukup
untuk membeli sebidang tanah pertanian yang kami inginkan. Sisanya... yah,
berikan saja pada rumah-rumah sakit."
"Anda kan tidak bermaksud menyerahkan semua kekayaan Anda pada rumah-rumah
sakit?" "Itulah maksud saya. Joe adalah orang baik yang saya sayangi, tapi dia lemah.
Kalau dia diberi uang, dia akan hancur. Saya sudah berhasil membebaskannya dari
minuman keras, dan saya bertekad untuk terus membebaskannya. Puji Tuhan, saya
tahu pikiran saya sendiri. Tak akan saya biarkan uang menghalangi saya untuk
mendapatkan kebahagiaan."
"Anda wanita yang luar biasa," kata Mr. Pyne perlahan-lahan. "Hanya seorang
dalam seribu yang akan bertindak seperti Anda."
"Satu-satunya wanita dalam seribu itu punya akal sehat," kata Mrs. Rymer.
"Saya angkat topi untuk Anda," kata Mr. Parker Pyne, dan dalam suaranya
terdengar nada yang tidak biasa. Diangkatnya topinya dengan sopan sekali, lalu
ia pergi. "Dan Joe tak boleh tahu, ingat itu!" teriak Mrs. Rymer dari belakangnya.
Wanita itu berdiri dengan matahari yang sedang tenggelam di belakangnya, sebuah
kol besar di tangannya, kepalanya terangkat tegak dan pundaknya kokoh. Sesosok
wanita petani yang anggun, berlatar belakang matahari yang sedang tenggelam....
KASUS ISTRI YANG CURIGA "LEWAT sini, Madame."
Seorang wanita bertubuh jangkung, yang mengenakan mantel bulu cerpelai,
mengikuti portir stasiun yang memanggul beban berat di sepanjang peron Stasiun
Gare de Lyon. Ia memakai topi rajutan berwarna cokelat tua, yang dipasang miring menutupi
sebelah mata dan telinganya. Sisi lain wajah itu memperlihatkan raut yang
menarik, dengan dagu melengkung ke atas dan rambut keriting berwarna keemasan
yang menutupi telinga berbentuk mungil. Ia khas wanita Amerika, yang secara umum
cantik sekali. Lebih dari satu laki-laki melihat padanya saat ia berjalan
melewati gerbong-gerbong tinggi kereta api yang sedang menunggu.
Lempengan-lempengan besar ditempelkan pada penyangga di sisi-sisi gerbong-
gerbong itu. PARIS - ATENA. PARIS - BUKARES. PARIS - ISTAMBUL.
Setiba di gerbong bertulisan PARIS-ISTAMBUL, kuli itu berhenti mendadak.
Ditanggalkannya temali yang mengikat koper-koper menjadi satu, dan koper-koper
itu pun berjatuhan di tanah. "Di sini, Madame."
Kondektur yang memakai nama gerbong, berdiri di samping tangga.
Ia mendekati mereka sambil berkata, "Selamat malam, Madame," dengan sikap sopan
sekali, mungkin gara-gara penampilan kaya wanita itu dan mantel bulu
cerpelainya. Wanita itu menyerahkan karcis untuk gerbong tidur. "Nomor Enam," kata si
kondektur. "Mari ikut."
Ia melompat cekatan ke dalam kereta api, dan wanita itu mengikutinya. Ketika
wanita itu berjalan cepat-cepat di sepanjang lorong di belakang si kondektur, ia
hampir saja bertabrakan dengan seorang laki-laki gendut yang baru saja keluar
dari gerbong yang bersebelahan dengannya. Sekilas tampak olehnya wajah besar
yang ramah dengan mata bijak.
"Di sini, Madame."
Kondektur itu memperlihatkan gerbongnya. Dibukanya jendelanya, lalu ia memberi
isyarat pada portir stasiun. Portir itu membawa bagasi si wanita dan
menempatkannya ke atas rak. Wanita itu pun duduk.
Si wanita meletakkan sebuah kotak merah tua dan tas di sampingnya, di tempat
duduknya. Gerbong itu panas, tapi agaknya ia tak ingin menanggalkan mantelnya.
Ia menatap ke luar jendela dengan mata menerawang. Orang-orang berjalan bergegas
di peron. Ada penjual-penjual surat kabar, bantal, cokelat, buah-buahan, dan air
mineral. Mereka mengangkat barang-barang dagangan mereka ke arahnya, tapi wanita
itu melihat dengan hampa melewati mereka. Stasiun Gare de Lyon memudar dari
penglihatannya. Di wajahnya terbayang kesedihan dan rasa cemas.
"Tolong paspor Anda, Madame."
Kata-kata itu tidak berkesan baginya. Kondektur yang berdiri di ambang pintu
mengulangi permintaannya. Elsie Jeffries pun terkejut, lalu sadar.
"Maaf?" "Paspor Anda, Madame."
Dibukanya tasnya, dikeluarkannya paspornya, lalu diserahkannya pada sang
kondektur. "Beres, Madame, akan saya urus segala-galanya." Sepi sejenak. "Saya akan pergi
bersama Madame sampai Istambul."
Elsie mengeluarkan selembar uang kertas lima puluh franc dan memberikannya
padanya. Laki-laki itu menerimanya dengan sikap wajar, lalu menanyakan kapan
wanita itu ingin tempat tidurnya disiapkan, dan apakah ia ingin makan malam.
Setelah urusan itu beres, laki-laki itu pergi. Tak lama kemudian, petugas
restoran berjalan bergegas di sepanjang lorong kereta sambil membunyikan lonceng
kecilnya nyaring-nyaring dan berteriak, "Makan malam. Makan malam."
Elsie bangkit; ditanggalkannya mantel bulu binatangnya yang berat, lalu ia
melihat sebentar ke cermin kecilnya, dan setelah mengambil kotak perhiasan dan
tasnya, ia keluar ke lorong kereta. Baru berjalan beberapa langkah, petugas
restoran tadi bergegas lagi dalam perjalanannya kembali. Untuk menghindarinya,
Elsie mundur sebentar ke ambang pintu gerbong di sebelahnya. Gerbong itu kini
kosong. Setelah petugas itu lewat dan gadis itu bersiap-siap melanjutkan
perjalanannya ke kereta makan, tak sengaja pandangannya jatuh pada kartu nama
yang tertempel pada koper yang terletak di tempat duduk.
Koper itu adalah koper kulit besar yang sudah agak kumal. Pada kartu namanya
tercantum kata-kata: J. Parker Pyne, penumpang ke Istambul. Pada kopernya
sendiri tertulis huruf-huruf awal P.P.
Wajah gadis itu membayangkan rasa terkejut. Ia ragu sebentar di lorong kereta,
lalu kembali ke gerbongnya sendiri dan mengambil surat kabar The Times yang tadi
diletakkannya di meja bersama beberapa majalah dan buku.
Ditelusurinya kolom iklan di halaman depan, tapi apa yang dicarinya tidak ada di
situ. Dengan wajah agak mengernyit, ia pergi ke gerbong restoran.
Pelayan restoran menempatkannya di sebuah meja kecil yang telah diduduki
seseorang - pria yang hampir bertubrukan dengannya di lorong kereta tadi, yang tak
lain adalah pemilik koper kulit itu.
Elsie melihat dengan mencuri-curi padanya. Pria itu kelihatan ramah, bijak, dan
sulit dijelaskan mengapa ia kelihatan sangat meyakinkan sekaligus menyenangkan.
Kelakuannya hati-hati, sesuai dengan tata krama Inggris, dan setelah disuguhkan
buah di meja, barulah ia berbicara.
"Tempat ini dibiarkan panas sekali, ya," katanya.
"Ya," kata Elsie. "Alangkah baiknya kalau ada yang mau membuka jendela."
Pria itu tersenyum kecut. "Itu tak mungkin! Semua orang, kecuali kita berdua,
akan memprotes." Elsie menjawab dengan tersenyum. Lalu keduanya berdiam diri lagi.
Kopi pun disuguhkan, disusul oleh kertas tagihan yang sulit dibaca. Setelah
meletakkan beberapa lembar mata uang di atas kertas tagihan itu, Elsie
memberanikan diri. "Maafkan saya," gumamnya. "Saya melihat nama Anda pada koper Anda - Parker Pyne.
Apakah Anda... Anda...?"
Elsie ragu, tapi pria itu cepat-cepat membantunya.
"Saya rasa Anda benar. Yaitu..." - lalu diucapkannya kata-kata yang sudah
beberapa kali dibaca Elsie di harian The Times, dan yang tadi dicarinya, tapi
sia-sia. "'Berbahagiakah Anda" Kalau tidak, mintalah nasihat pada Mr. Parker
Pyne.' Ya, saya memang orang itu."
"Oh," kata Elsie. "Alangkah... luar biasa!"
Pria itu menggeleng. "Tidak juga. Di mata Anda luar biasa, tapi di mata saya
tidak." Ia tersenyum meyakinkan, lalu membungkukkan tubuhnya. Kebanyakan orang
yang makan sudah keluar. "Jadi, Anda tidak bahagia?" tanyanya.
Elsie mulai berkata, "Saya..." tapi berhenti.
"Anda tidak akan berkata 'Alangkah luar biasa', kalau itu tidak benar," kata Mr.
Pyne. Elsie terdiam beberapa saat. Ia heran, mengapa ia merasa tenang hanya dengan
kehadiran Mr. Parker Pyne. "Ya...," katanya akhirnya. "Saya... tidak bahagia.
Setidaknya, saya cemas."
Mr. Pyne mengangguk dengan penuh pengertian.
"Soalnya begini," lanjut Elsie, "telah terjadi sesuatu yang aneh sekali, dan
saya sama sekali tidak tahu apa yang harus saya lakukan."
"Bagaimana kalau Anda ceritakan tentang hal itu?" usul Mr. Pyne.
Elsie ingat akan iklan itu. Ia dan Edward sering membahasnya dan tertawa. Ia tak
pernah mengira bahwa dirinya... apakah sebaiknya ia tidak... Bagaimana kalau Mr.
Parker Pyne itu seorang penipu" Tapi kelihatannya ia... baik!
Maka Elsie pun mengambil keputusan. Ia menginginkan apa saja yang bisa
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghilangkan kecemasan ini dari pikirannya.
"Mari saya ceritakan. Saya akan pergi ke Konstantinopel, menyusul suami saya.
Dia banyak berurusan dengan negara-negara Timur, dan tahun ini dia menganggap
perlu pergi ke sana. Dia berangkat dua minggu yang lalu. Dia akan mempersiapkan
segala-galanya sebelum saya menyusulnya. Saya berdebar sekali membayangkannya.
Soalnya, saya belum pernah pergi ke luar negeri. Kami berada di Inggris enam
bulan." "Anda dan suami Anda orang Amerika?"
"Ya." "Dan Anda mungkin belum lama menikah?"
"Baru satu setengah tahun."
"Dengan bahagia?"
"Oh ya! Edward sangat baik." Kemudian ia ragu. "Mungkin tak banyak yang bisa
diharapkan darinya. Dia sedikit... yah, sebut saja datar. Soalnya kebanyakan
nenek moyangnya fanatik dalam beragama. Tapi dia baik sekali," tambahnya cepat-
cepat. Mr. Parker Pyne memandanginya sambil merenung beberapa lama, lalu katanya,
"Lanjutkan." "Waktu itu kira-kira seminggu setelah Edward berangkat. Saya sedang menulis
surat di ruang kerjanya, dan saya lihat kertas pengisap tintanya baru dan
bersih. Hanya ada beberapa baris tulisan di situ. Saya baru saja membaca sebuah
cerita detektif yang mengatakan bahwa banyak petunjuk pada kertas pengisap
tinta. Maka iseng-iseng saya pegang kertas itu di depan cermin. Sungguh, itu
hanya iseng saja, Mr. Pyne - maksud saya, suami saya orang yang tenang sekali,
hingga kita tidak akan memimpikan hal semacam itu."
"Ya, ya, saya mengerti sekali."
"Kata-kata itu mudah sekali dibaca. Mula-mula terbaca kata 'istri', lalu 'kereta
api Simplon Express', dan di bawahnya, 'sebentar sebelum Venesia adalah saat
terbaik'." Ia berhenti.
"Aneh," kata Mr. Pyne. "Aneh sekali. Apakah itu tulisan tangan suami Anda?"
"Oh, ya. Saya putar otak, tapi saya tak bisa mengerti dalam keadaan apa dia
menulis surat yang hanya berisi kata-kata itu."
"'Sebentar sebelum Venesia adalah saat terbaik,'" ulang Mr. Parker Pyne.
"Sungguh aneh sekali."
Mrs. Jeffries membungkukkan tubuhnya sambil melihat pada Mr. Pyne dengan penuh
harap. "Apa yang harus saya lakukan?" tanyanya tegas.
"Saya rasa," kata Mr. Parker Pyne, "kita harus menunggu sampai kita hampir tiba
di Venesia." Diambilnya sebuah map dari meja. "Ini jadwal waktu kereta kita.
Kita akan tiba di Venesia jam setengah tiga kurang tiga menit petang besok."
Mereka berpandangan. "Serahkan pada saya," kata Parker Pyne.
*** Pukul dua lewat lima menit. Kereta Simplon Express terlambat sebelas menit.
Mereka telah melewati kota Mestre kira-kira seperempat jam yang lalu.
Mr. Parker Pyne sedang duduk dengan Mrs. Jeffries di dalam gerbong wanita itu.
Sejauh ini, perjalanan itu menyenangkan, tanpa kejadian berarti. Tapi kini tiba
saat yang menegangkan. Bila sesuatu akan terjadi, mungkin sekaranglah saatnya.
Mr. Parker Pyne dan Elsie duduk berhadapan. Jantung Elsie berdebar keras, dan ia
memandangi Mr. Pyne dengan tatapan penuh harap.
"Tenang saja," kata Mr. Pyne. "Anda aman. Saya ada di sini."
Tiba-tiba terdengar teriakan dari lorong kereta.
"Aduh, lihat... lihat! Kereta terbakar!"
Elsie dan Mr. Parker Pyne melompat bangkit, lalu berlari ke lorong kereta.
Seorang wanita bertampang Slavia sedang menunjuk-nunjuk dengan dramatis. Dari
salah satu gerbong di depan keluar asap tebal. Mr. Parker Pyne dan Elsie berlari
di sepanjang lorong kereta. Orang-orang lain menyusul. Gerbong yang bersangkutan
penuh dengan asap. Para pendatang yang pertama tiba mundur sambil terbatuk-
batuk. Kondektur muncul. "Gerbong itu kosong!" teriaknya. "Jangan panik, Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Api
akan bisa dikuasai."
Terdengar bermacam-macam pertanyaan dan jawaban. Kereta api sedang melaju
menyeberangi jembatan yang menghubungkan Venesia dengan daratan.
Tiba-tiba Mr. Parker Pyne berbalik, dan menerobos melalui kerumunan orang di
belakangnya. Ia bergegas berlari di lorong kereta ke gerbong Elsie. Wanita
berwajah Slavia itu duduk di situ, sambil menghirup panjang udara lewat jendela
yang terbuka. "Maaf, Madame," kata Mr. Pyne. "Tapi ini bukan gerbong Anda."
"Saya tahu. Saya tahu," kata wanita Slavia itu. "Maafkan saya. Soalnya saya
terkejut sekali... jantung saya." Ia bersandar di tempat duduknya dan menunjuk
ke jendela yang terbuka. Ia bernapas dalam-dalam.
Mr. Parker Pyne berdiri di ambang pintu. Dengan suara kebapakan dan meyakinkan
ia berkata, "Jangan takut," katanya. "Saya rasa apinya sama sekali tidak
membahayakan." "Tidakkah" Wah, syukurlah! Saya baru tenang." Wanita itu hendak bangkit. "Saya
akan kembali ke gerbong saya."
"Jangan dulu." Mr. Parker Pyne mendorongnya kembali dengan halus. "Saya minta
Anda menunggu sebentar, Madame."
"Monsieur, ini tak masuk akal!"
"Madame, tinggallah."
Suaranya terdengar dingin. Wanita itu duduk diam, memandanginya. Elsie menyusul
mereka. "Rupanya hanya bom asap," katanya dengan terengah-engah. "Ada orang yang membuat
lelucon konyol. Kondektur marah sekali. Dia sedang menanyai semua orang..." Arus
kata-katanya terhenti, dan ia menatap penumpang baru di gerbongnya.
"Mrs. Jeffries," kata Mr. Parker Pyne, "apa yang Anda bawa dalam kotak kecil
Anda yang berwarna merah tua itu?"
"Perhiasan saya."
"Sebaiknya Anda lihat apakah semuanya masih ada di situ."
Wanita Slavia itu langsung memuntahkan hujan kata-kata. Ia pun lalu berbicara
dalam bahasa Prancis, supaya bisa mengeluarkan semua isi hatinya.
Sementara itu, Elsie mengambil kotak perhiasannya. "Oh!" serunya. "Tidak
terkunci lagi." "Saya akan mengadukan perlakuan Anda ini pada Perusahaan Kereta Api ini," kata
wanita Slavia itu akhirnya.
"Semuanya hilang!" seru Elsie. "Semuanya! Kalung berlian saya. Juga kalung
pemberian ayah saya. Cincin-cincin bermata zamrud dan delima. Juga beberapa bros
berlian yang bagus-bagus. Syukurlah mutiaranya tetap saya pakai. Aduh, Mr. Pyne,
apa yang harus kita lakukan?"
"Coba Anda minta Kondektur kemari," kata Mr. Parker Pyne. "Saya akan menjaga
agar wanita ini tidak meninggalkan gerbong ini sampai Kondektur datang."
"Keparat! Setan!" teriak wanita Slavia itu. Ia terus memaki dan mengutuk. Kereta
memasuki Venesia. Kejadian yang menyusul selama setengah jam berikutnya mungkin bisa diceritakan
dengan singkat. Mr. Parker Pyne menghadapi beberapa petugas dengan menggunakan
beberapa macam bahasa - dan ia menderita kekalahan. Wanita yang dicurigai itu
bersedia digeledah, dan ia berhasil lolos dengan mulus. Perhiasan-perhiasan itu
tidak ada padanya. Di antara Venesia dan Trieste, Mr. Parker Pyne dan Elsie membicarakan kejadian
itu. "Kapan sebenarnya Anda terakhir kali melihat perhiasan-perhiasan Anda?"
"Tadi pagi. Saya singkirkan beberapa pasang anting yang saya pakai kemarin, dan
saya keluarkan sepasang anting dari mutiara polos."
"Dan semua perhiasan itu masih lengkap di situ?"
"Yah, saya tentu tidak memeriksanya satu demi satu. Tapi kelihatannya sama
seperti biasanya. Mungkin ada cincin atau semacamnya yang tidak ada, tapi tak
lebih dari itu." Mr. Parker Pyne mengangguk. "Lalu bagaimana waktu Kondektur menyiapkan gerbong
tadi pagi?" "Kotak ini saya pegang terus, juga sampai ke restoran kereta. Saya membawanya
terus. Saya tak pernah meninggalkannya, kecuali waktu saya berlari ke luar
tadi." "Kalau begitu," kata Mr. Parker Pyne, "Madame Subayska, atau entah siapa nama
yang diakuinya, yang tersinggung karena katanya dirinya tak bersalah itu,
pastilah pencurinya. Tapi apa gerangan yang diperbuatnya dengan barang-barang
itu" Dia hanya semenit setengah berada di sini - dia hanya sempat membuka kotak
itu dengan kunci palsu dan mengeluarkan barang-barang itu, tapi lalu apa?"
"Mungkinkah dia lalu menyerahkannya pada orang lain?"
"Kecil kemungkinannya. Tadi saya berbalik dan menyerobot di antara orang-orang
di lorong. Kalau ada orang yang keluar dari gerbong ini, saya pasti melihatnya."
"Mungkinkah dia melemparkannya ke luar jendela pada seseorang?"
"Dugaan yang bagus sekali; tapi pada saat itu kita sedang menyeberangi laut.
Kita berada di jembatan."
"Kalau begitu, dia pasti telah menyembunyikannya di dalam gerbong."
"Mari kita cari."
Elsie pun mulai mencari dengan bersemangat sekali. Mr. Parker Pyne ikut mencari
dengan agak linglung. Kemudian ia mencari alasan.
"Saya ingat bahwa saya harus mengirim telegram penting di Trieste," jelasnya.
Elsie menerima penjelasan itu dengan sikap dingin. Penilaiannya mengenai Mr.
Parker Pyne jadi jauh menurun.
"Saya rasa Anda kesal pada saya, Mrs. Jeffries," kata Mr. Pyne dengan lemas.
"Yah, Anda kurang berhasil," kata Mrs. Jeffries tegas.
"Tapi Anda harus ingat, saya bukan detektif. Pencurian dan kejahatan sama sekali
bukan bidang saya. Hati manusialah keahlian saya."
"Yah, saya agak sedih waktu naik ke kereta api ini," kata Elsie, "tapi itu bukan
apa-apa dibanding dengan keadaan saya sekarang! Saya bisa saja menangis sampai
berember-ember. Kalung saya yang begitu cantik... dan cincin bermata zamrud yang
diberikan Edward waktu kami bertunangan."
"Tapi barang-barang itu pasti Anda asuransikan terhadap pencurian, bukan?" tanya
Mr. Parker Pyne. "Begitukah" Entahlah. Ya, saya rasa saya asuransikan. Tapi rasa sedih saya atas
kehilangan itu, Mr. Pyne..."
Kereta api mengurangi kecepatan. Mr. Parker Pyne menjenguk ke luar lewat
jendela. "Trieste," katanya. "Saya harus mengirim telegram saya."
"Edward!" wajah Elsie tampak berseri-seri waktu melihat suaminya bergegas
mendatanginya di peron di Istambul. Sesaat ia lupa akan perhiasan-perhiasannya
yang hilang. Ia lupa tentang kata-kata aneh yang telah ditemukannya di kertas
pengisap tinta. Ia lupa segala-galanya, kecuali bahwa sudah dua minggu lamanya
ia tidak bertemu dengan suaminya, dan meskipun Edward begitu sederhana dan
biasa-biasa saja, ia sebenarnya laki-laki yang sangat menarik.
Mereka baru saja akan meninggalkan stasiun, waktu Elsie merasakan sentuhan di
pundaknya. Ia berbalik dan menemukan Mr. Parker Pyne. Wajahnya yang ramah tampak
berseri-seri. "Mrs. Jeffries," katanya, "bisakah Anda menemui saya di Hotel Tokatlian setengah
jam lagi" Saya rasa saya akan menyampaikan berita baik untuk Anda."
Elsie melihat pada Edward dengan ragu. Lalu ia memperkenalkan. "Ini... eh...
suami saya, Mr. Parker Pyne."
"Saya rasa istri Anda sudah mengirim telegram pada Anda bahwa perhiasan-
perhiasannya dicuri," kata Mr. Parker Pyne. "Saya telah berusaha membantunya
menemukannya kembali. Saya rasa kira-kira setengah jam lagi saya ada berita
untuknya." Elsie menatap Edward dengan pandangan bertanya. Edward menjawab dengan tegas,
"Sebaiknya kau pergi, Sayang. Hotel Tokatlian, kata Anda, Mr. Pyne" Baiklah,
akan saya usahakan agar dia datang."
Tepat setengah jam kemudian, Elsie diantar masuk ke kamar duduk pribadi Mr.
Parker Pyne. Mr. Pyne bangkit untuk menyambutnya.
"Anda kecewa pada saya, Mrs. Jeffries," katanya. "Ah, tak usah membantah. Yah,
saya tak mau berpura-pura sebagai tukang sulap, tapi saya melakukan apa yang
saya bisa. Coba lihat ke dalam ini."
Disodorkannya sebuah kotak kecil dari karton tebal. Elsie membukanya. Cincinnya,
bros-bros, gelang-gelang dan kalungnya - semuanya ada di situ.
"Mr. Pyne, hebat sekali! Bagaimana... tapi ini terlalu luar biasa!"
Mr. Parker Pyne tersenyum dengan rendah hati. "Saya senang saya tak perlu
mengecewakan Anda, anak manis."
"Aduh, Mr. Pyne, Anda membuat saya jadi merasa jahat sekali! Sejak dari Trieste
saya bersikap jahat pada Anda. Dan sekarang... ini. Tapi bagaimana Anda sampai
bisa menemukannya" Kapan" Di mana?"
Mr. Parker Pyne menggeleng sambil merenung. "Ceritanya panjang," katanya. "Kelak
Anda akan mendengarnya. Bahkan mungkin Anda akan mendengarnya secepatnya."
"Mengapa saya tak bisa mendengarnya sekarang?"
"Ada alasan-alasannya," kata Mr. Parker Pyne.
Dan Elsie harus pergi dengan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan.
Setelah ia pergi, Mr. Parker Pyne mengambil topi dan tongkatnya, lalu keluar ke
jalan di kota Pera. Ia berjalan sambil tersenyum-senyum sendiri. Akhirnya ia
tiba di sebuah kafe kecil yang sedang kosong. Dari kafe itu, orang bisa melihat
ke Sungai Golden Horn. Di seberangnya tampak menara-menara kecil dari mesjid-
mesjid Istambul yang berlatar belakang langit petang itu. Sungguh indah. Mr.
Pyne duduk, lalu memesan dua cangkir kopi. Kopi itu kental dan manis. Baru saja
ia mulai menyeruput kopinya, seorang laki-laki duduk di kursi di seberangnya.
Edward Jeffries. "Saya sudah memesan kopi juga untuk Anda," kata Mr. Parker Pyne sambil menunjuk
ke cangkir kecil itu. Edward menggeser cangkir itu. Ia membungkukkan tubuhnya ke depan. "Bagaimana
Anda sampai tahu?" tanyanya.
Mr. Parker Pyne menyeruput kopinya sambil merenung. "Sudahkah istri Anda
menceritakan tentang penemuannya di kertas pengisap itu" Belum" Oh, tapi dia
pasti akan menceritakannya; sekarang dia sedang lupa akan hal itu."
Maka ia pun menceritakan tentang penemuan Elsie.
"Baiklah; itu berhubungan erat dengan peristiwa aneh yang terjadi tepat sebelum
Venesia. Entah dengan alasan apa, Anda sebenarnya telah merencanakan pencurian
perhiasan-perhiasan istri Anda itu. Tapi mengapa ada ungkapan 'tepat sebelum
Venesia adalah waktu terbaik'" Rasanya itu omong kosong. Mengapa tidak Anda
serahkan saja pada... eh... kaki-tangan Anda itu untuk memilih waktu dan
tempatnya sendiri" "Lalu tiba-tiba saya melihat persoalannya. Perhiasan-perhiasan istri Anda telah
dicuri sebelum Anda sendiri berangkat dari London, dan diganti dengan tiruannya
dari batu. Tapi penyelesaian itu tidak memuaskan Anda. Anda adalah laki-laki
muda yang cerdas dan cermat. Anda takut sekali, kalau-kalau ada pelayan atau
orang lain yang tidak bersalah, dicurigai. Pencurian itu harus dilakukan di
tempat dan dengan cara yang tidak akan menimbulkan kecurigaan terhadap siapa pun
di antara kenalan atau anggota rumah tangga Anda.
"Komplotan Anda itu Anda beri kunci kotak perhiasan tersebut, dan sebuah bom
asap. Pada saat yang tepat, dia harus berteriak menyatakan ada bahaya, masuk ke
dalam gerbong istri Anda, membuka kunci kotak itu, lalu melemparkan perhiasan-
perhiasan tiruan itu ke laut. Mungkin dia akan dicurigai dan digeledah, tapi
tidak akan ada bukti yang memberatkannya, karena perhiasan-perhiasan itu tak ada
padanya. "Sekarang menjadi jelas mengapa tempat itu yang dipilih. Sekiranya perhiasan-
perhiasan itu hanya dilemparkan ke sisi kereta, barang-barang itu pasti bisa
ditemukan. Oleh karenanya, penting artinya dipilih saat ketika kereta sedang
melalui laut. "Sementara itu, Anda mengatur penjualan perhiasan-perhiasan itu di sini. Anda
tinggal menyerahkan perhiasan-perhiasan itu pada saat perampokan tersebut
terjadi. Tapi telegram saya Anda terima tepat pada waktunya. Anda mematuhi
instruksi saya dan menitipkan kotak perhiasan itu di Hotel Tokatlian, menunggu
kedatangan saya, karena Anda tahu bahwa kalau itu tidak Anda lakukan, saya akan
memenuhi ancaman saya untuk menyerahkan perkara itu ke tangan polisi. Anda juga
memenuhi instruksi saya untuk mendatangi saya di sini."
Edward Jeffries melihat pada Mr. Parker Pyne dengan pandangan memohon. Ia adalah
seorang laki-laki muda yang tampan, jangkung, dan pirang, dengan dagu bulat dan
mata bulat sekali. "Bagaimana saya bisa menjelaskannya pada Anda?" katanya tanpa
harapan. "Di mata Anda, saya pasti tak lebih dari seorang pencuri yang rendah."
"Sama sekali tidak," kata Mr. Parker Pyne. "Sebaliknya saya harus mengatakan
bahwa Anda orang yang jujur sekali. Saya sudah terbiasa dan bisa menggolongkan
orang pada tipe-tipe masing-masing. Anda, anak muda, termasuk pada golongan
orang yang merupakan korban. Nah, coba ceritakan semuanya."
"Saya bisa menceritakannya dengan satu perkataan - pemerasan."
"Ya?" "Anda telah melihat istri saya; Anda pasti menyadari bahwa dia adalah makhluk
yang lugu dan polos. Dia sama sekali tidak mengenal atau berpikir yang jahat-
jahat."
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, benar." "Pikirannya mumi sekali. Kalau dia sampai tahu tentang apa yang telah saya
lakukan, dia pasti meninggalkan saya."
"Saya tidak yakin. Tapi bukan itu soalnya. Apa yang telah Anda lakukan, sahabat
mudaku" Apakah hubungan gelap dengan seorang wanita?"
Edward Jeffries mengangguk.
"Setelah Anda menikah... atau sebelumnya?"
"Sebelumnya - oh, sebelumnya."
"Wah, lalu apa yang terjadi?"
"Tak apa-apa, sama sekali tak apa-apa. Itulah bagian yang paling kejam dari
peristiwa itu. Itu terjadi di sebuah hotel di India Barat. Ada seorang wanita
yang sangat menarik - namanya Mrs. Rossiter. Suaminya seorang laki-laki yang
kejam; dia pemarah sekali, dan kalau marah, dia kejam sekali. Pada suatu malam,
dia mengancam istrinya itu dengan pistol. Wanita itu melarikan diri dan masuk ke
kamar saya. Dia hampir gila karena ketakutan. Dia... meminta saya untuk
mengizinkannya tinggal di kamar saya sampai pagi. Saya... saya tak bisa berbuat
apa-apa." Mr. Parker Pyne memandangi anak muda itu, dan laki-laki muda itu membalas
pandangannya dengan jujur sekali. Mr. Parker Pyne mendesah. "Dengan kata lain,
atau jelasnya, Anda terperangkap, Mr. Jeffries."
"Sungguh..." "Ya, ya. Itu suatu tipu daya yang sangat tua, tapi sering berhasil kalau
ditujukan pada laki-laki muda yang sok pahlawan. Saya rasa, waktu pernikahan
Anda diumumkan, dia pun mengeluarkan ancamannya, begitu kan?"
"Ya. Saya menerima surat. Kalau saya tidak mengirimkan sejumlah uang, segala-
galanya akan diceritakan pada calon ayah mertua saya. Bahwa saya telah merampas
cinta wanita muda itu dari suaminya; bahwa ada orang yang melihat wanita itu
datang ke kamar saya. Suaminya akan mengajukan perceraian. Sungguh, Mr. Pyne,
semuanya itu membuat saya putus asa." Disekanya dahinya dengan lesu.
"Ya, ya, saya mengerti. Jadi, Anda membayarnya. Dan sekali-sekali ancaman itu
datang lagi." "Ya. Saya terpukul sekali. Usaha kami menderita akibat perbuatan orang jahat
itu. Saya tak bisa lagi mendapatkan uang. Lalu saya mendapatkan akal itu."
Diangkatnya cangkir kopinya yang sudah dingin, dipandanginya dengan merenung,
lalu diminumnya. "Apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanyanya mengiba. "Apa
yang harus saya lakukan, Mr. Pyne?"
"Anda akan saya tuntun," kata Mr. Pyne dengan tegas. "Saya akan menangani
penyiksa-penyiksa Anda itu. Mengenai istri Anda, Anda harus langsung
mendatanginya dan menceritakan segala-galanya - atau setidaknya sebagian. Satu-
satunya hal yang tak boleh Anda ceritakan adalah mengenai kejadian di India
Barat itu. Harus Anda sembunyikan darinya bahwa Anda telah terjebak, seperti
kata saya tadi." "Tapi..." "Mr. Jeffries yang baik, Anda tidak mengerti wanita. Bila harus memilih antara
seorang laki-laki yang terjebak dan seorang laki-laki mata keranjang, wanita
akan memilih si mata keranjang. Istri Anda, Mr. Jeffries, adalah seorang wanita
muda yang menarik, polos, tapi cerdas. Dan satu-satunya jalan untuk bisa hidup
damai dengannya adalah memberinya kepercayaan bahwa dia telah memperbaiki hidup
seorang laki-laki mata keranjang."
Edward menatapnya dengan ternganga.
"Saya bersungguh-sungguh dengan kata-kata saya itu," kata Mr. Parker Pyne. "Pada
saat ini istri Anda sedang cinta-cintanya pada Anda, tapi saya melihat tanda-
tanda bahwa dia tidak akan tetap seperti itu bila Anda terus-menerus tampil
sebagai sosok yang baik dan jujur... alias membosankan.
"Datangilah dia, anakku," kata Mr. Parker Pyne dengan baik hati. "Akuilah
segala-galanya - artinya, sebanyak yang bisa Anda ceritakan. Lalu jelaskan bahwa
sejak saat Anda bertemu dengannya, Anda menghentikan semua cara hidup itu. Anda
bahkan mengatur pencurian, supaya dia jangan sampai tahu. Dia akan memaafkan
Anda dengan sukacita."
"Tapi bila sebenarnya tak ada yang harus dimaafkan..."
"Apalah artinya kebenaran?" kate Mr. Parker Pyne. "Berdasarkan pengalaman saya,
kekacauanlah yang lebih berhasil! Ada ungkapan bahwa dalam perkawinan, kita
harus berbohong pada seorang wanita. Dia menyukainya! Pergilah dan mintalah
maaf. Dan hiduplah berbahagia selamanya. Saya jamin, istri Anda akan selalu
waspada mengawasi Anda di masa yang akan datang, setiap kali ada wanita cantik -
ada laki-laki yang tak suka perlakuan semacam itu, tapi saya rasa Anda
menyukainya." "Saya tak pernah mau melihat ke wanita lain, kecuali Elsie," kata Mr. Jeffries
tegas. "Bagus, anakku," kata Mr. Parker Pyne. "Tapi kalau saya jadi Anda, saya tidak
akan mau berkata begitu padanya. Tak ada perempuan yang suka dianggap enteng."
Edward Jeffries bangkit. "Apakah Anda yakin...?"
"Saya yakin," kata Mr. Parker Pyne dengan tegas.
GERBANG BAGDAD "ADA empat gerbang di kota Damascus..."
Mr. Parker Pyne mengulangi kata-kata dalam puisi Flecker itu dengan suara halus.
"Gerbang Takdir di Belakang, Gerbang Gurun, Gua Malapetaka, dan Benteng
Ketakutan. Aku adalah Portal kota Bagdad, Ambang Pintu dari Diarbekir."
Ia sedang berdiri di jalan di Damascus, dan di luar Hotel Oriental dilihatnya
sebuah Bus Pullman besar beroda enam, yang akan mengangkut dirinya dan sebelas
orang lainnya menyeberangi gurun ke Bagdad esok harinya.
"Jangan lewat di bawahnya, hai Kafilah, jangan pula lewat sambil bernyanyi.
Kaudengarkah itu" Keheningan karena burung-burung sudah mati" Namun ada sesuatu yang mencicit
seperti burung. Lewatlah di bawah, hai Kafilah, Kafilah Kematian, Kafilah Kematian!"
Kini keadaannya terbalik. Dulu Gerbang Bagdad memang merupakan Gerbang Kematian.
Empat ratus mil gurun yang harus dilalui oleh kafilah. Perjalanan yang panjang
dan sangat meletihkan. Kini mobil-mobil yang diberi makan bensinlah yang
melakukan perjalanan itu dalam waktu tiga puluh enam jam.
"Anda sedang mengatakan apa, Mr. Parker Pyne?"
Suara itu adalah suara penuh ingin tahu dari Miss Netta Pryce, anggota termuda
dan paling cantik dari rombongan wisatawan itu. Meski dikawal oleh seorang bibi
yang keras, sedikit berjanggut, dan senang akan segala sesuatu yang berhubungan
dengan Kitab Suci, Netta berhasil bersenang-senang dengan banyak cara kecil yang
mungkin kurang berkenan di hati Miss Pryce tua.
Mr. Parker Pyne mengulangi puisi Flecker itu untuknya.
"Mendebarkan sekali," kata Netta.
Tiga orang berseragam Angkatan Udara sedang berdiri di dekat mereka; salah
seorang di antaranya, yang mengagumi Netta, ikut berbicara.
"Masih banyak lagi yang mendebarkan dari suatu perjalanan," katanya. "Bahkan
zaman sekarang pun iring-iringan mobil kadang-kadang diserang oleh bandit-
bandit. Lalu mungkin pula kita tersesat. Maka kamilah yang dikirim untuk
mencari. Pernah seseorang tersesat selama lima hari di gurun. Untunglah dia
membawa banyak air. Lalu ada pula benturan-benturan di dalam mobil. Benturan-
benturan yang hebat! Seseorang sampai tewas. Itu benar! Dia sedang tidur dan
kepalanya membentur langit-langit mobil, dan dia tewas."
"Dalam mobil beroda enam, Mr. O'Rourke?" tanya Miss Pryce tua.
"Tidak, bukan dalam mobil beroda enam," sahut pria muda itu.
"Tapi kita harus pergi melihat-lihat," seru Netta.
Bibinya mengeluarkan sebuah buku panduan.
Netta menjauh. "Saya tahu, dia pasti akan menyuruh saya pergi ke suatu tempat di mana St. Paul
diturunkan lewat sebuah jendela," bisik Netta. "Padahal saya ingin sekali
melihat pasar-pasar."
O'Rourke langsung bereaksi.
"Mari saya antar. Kita akan mulai dari jalan bernama Lurus..."
Mereka pun menjauh. Mr. Parker Pyne menoleh pada pria pendiam yang berdiri di sampingnya, yang
bernama Hensley. Ia karyawan dari Departemen Pekerjaan Umum Bagdad.
"Damascus mengecewakan bagi orang yang baru pertama kali melihatnya," katanya
dengan nada kecewa. "Sedikit berbudaya. Ada trem-trem, rumah-rumah modern, dan
toko-toko." Hensley mengangguk. Ia tidak banyak bicara.
"Bukan sesuatu yang... berasal dari masa lalu, padahal kita berharap akan
melihat yang demikian," katanya mengejutkan.
Seorang pria mendekat, seorang pria muda yang pirang dan mengenakan dasi bergaya
Etonia. Wajahnya ramah, tapi agak hampa. Pada saat itu, wajah itu tampak cemas.
Ia dan Hensley bekerja di departemen yang sama.
"Halo, Smethurst," kata temannya. "Kehilangan sesuatu?"
Kapten Smethurst menggeleng. Anak muda itu agak lamban jalan pikirannya.
"Hanya melihat-lihat," katanya kurang jelas. Lalu ia kelihatan tersentak.
"Seharusnya ada permainan kartu, ya?"
Kedua sahabat itu menjauh. Mr. Parker Pyne membeli surat kabar setempat yang
dicetak dalam bahasa Prancis.
Ia menganggapnya kurang menarik. Berita-berita setempat tak ada artinya baginya,
dan agaknya tak ada pula kejadian penting di tempat lain. Ia menemukan beberapa
berita berjudul Londres. Yang pertama membahas soal-soal keuangan. Yang kedua membahas tempat yang diduga
merupakan tujuan Mr. Samuel Long, seorang pengusaha keuangan yang sedang buron.
Uang yang digelapkannya berjumlah tiga juta, dan didesas-desuskan ia sudah tiba
di Amerika Selatan. "Prestasi lumayan untuk orang yang baru berumur tiga puluh," kata Mr. Parker
Pyne pada dirinya sendiri.
"Apa kata Anda?"
Mr. Parker Pyne menoleh dan berhadapan dengan seorang jendral Italia yang
sekapal dengannya dari Brindisi ke Beirut.
Mr. Parker Pyne menjelaskan kata-katanya. Jendral Italia itu mengangguk beberapa
kali. "Orang itu penjahat besar. Bahkan kami di Italia pun ikut menderita. Dia
menanamkan kepercayaan diri di seluruh dunia. Kata orang, dia laki-laki
berpendidikan." "Yah, dia memang pernah belajar di Eton dan kuliah di Oxford," kata Mr. Parker
Pyne berhati-hati. "Menurut Anda, apakah dia akan tertangkap?"
"Tergantung sudah berapa jauh dia pergi. Mungkin dia masih ada di Inggris.
Mungkin pula dia berada... entah di mana."
"Mungkinkah bersama kita di sini?" Sang jendral tertawa.
"Mungkin saja." Mr. Parker Pyne tetap serius. "Bagi orang yang tidak tahu
seperti Anda, Jendral, mungkin saja saya orangnya."
Sang jendral melihat padanya dengan terkejut. Lalu wajahnya yang cokelat
mengendur dan ia tersenyum mengerti.
"Oh! Itu bagus sekali... bagus sekali. Tapi Anda..."
Matanya pun menelusur turun dari wajah Mr. Parker Pyne.
Mr. Parker Pyne menafsirkan pandangan itu dengan tepat.
"Kita tak boleh menilai orang dari penampilannya," katanya. "Dengan sedikit
tambahan kecil, bisa memberikan efek penuaan yang baik."
Sambil merenung ditambahkannya,
"Lalu ada pula pewarnaan rambut, perubahan warna wajah, dan bahkan perubahan
kebangsaan." Jendral Poli berlalu dengan ragu. Ia tak pernah tahu, berapa jauh seorang
Inggris bisa serius. Malam itu Mr. Parker Pyne menghibur dirinya dengan pergi menonton bioskop.
Setelah itu ia diajak ke sebuah "Istana Hiburan Malam". Ternyata baginya tempat
itu bukan sebuah Istana, dan tidak pula memberikan hiburan. Beberapa orang
wanita menari tanpa gairah. Tepuk tangan pun tidak bersemangat.
Tiba-tiba Mr. Parker Pyne melihat Smethurst. Pria muda itu sedang duduk seorang
diri. Wajahnya memerah, dan Mr. Parker Pyne melihat bahwa ia sudah minum terlalu
banyak. Ia pun menyeberang dan menyertai pria muda itu.
"Memalukan sekali cara gadis-gadis itu memperlakukan kita," kata Kapten
Smethurst murung. "Kita belikan mereka dua gelas minuman... tiga gelas... bahkan
sampai banyak. Lalu mereka pergi sambil tertawa-tawa dengan laki-laki lain. Itu
namanya memalukan." Mr. Parker Pyne membenarkannya. Ia mengajak minum kopi.
"Saya sudah memesan arak," kata Smethurst. "Enak sekali. Sebaiknya Anda coba."
Mr. Parker Pyne sudah tahu tentang keburukan arak. Maka ia bersikap bijak. Tapi
Smethurst menggeleng. "Saya sedang dalam kesulitan," katanya. "Jadi, saya harus menghibur diri. Entah
apa yang akan Anda lakukan kalau Anda menjadi saya. Kita kan tak ingin
mengkhianati seorang teman" Maksud saya... tapi... lalu apa yang harus kita
lakukan?" Dipandanginya Mr. Parker Pyne, seolah-olah baru pertama kali melihatnya.
"Siapa Anda?" tanyanya tegas, akibat minumannya. "Apa kerja Anda?"
"Usaha saya dalam hal Siasat Kepercayaan," kata Mr. Parker Pyne.
Smethurst memandanginya dengan penuh minat.
"Apa... Anda juga...?"
Mr. Parker Pyne mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan meletakkannya di
meja di depan Smethurst, "Apakah Anda tidak bahagia" (Begitu bunyinya). Kalau begitu, mintalah nasihat
dari Mr. Parker Pyne."
Dengan susah payah akhirnya Smethurst berhasil juga memusatkan perhatiannya pada
tulisan itu. "Wah, celaka," serunya. "Maksud Anda, orang-orang mendatangi Anda dan
menceritakan persoalan mereka pada Anda?"
"Mereka mempercayakan rahasia mereka pada saya - itu benar."
"Paling-paling segerombolan perempuan dungu."
"Memang banyak sekali wanita," Mr. Parker Pyne mengakui. "Tapi kaum pria juga.
Bagaimana dengan Anda, sahabat mudaku" Apakah Anda memerlukan nasihat sekarang
ini?" "Tutup mulutmu," kata Kapten Smethurst. "Urusanku bukan urusan siapa-siapa...
kecuali urusanku sendiri. Mana arak sialan itu?"
Mr. Parker Pyne menggeleng dengan sedih.
Sia-sia mencoba menolong Kapten Smethurst.
*** Rombongan yang akan ke Bagdad berangkat jam tujuh pagi hari. Ada dua belas
orang. Mr. Parker Pyne dan Jendral Poli, Miss Pryce dan keponakannya, tiga orang
perwira Angkatan Udara, Smethurst dan Hensley, dan seorang ibu berkebangsaan
Armenia dengan putranya yang bernama Pentemian.
Perjalanan dimulai tanpa peristiwa apa-apa. Pohon-pohon buah Damascus segera
ditinggalkan. Langit berawan, dan pengemudi muda mereka memandanginya sekali dua
kali dengan bimbang. Ia bercakap-cakap dengan Hensley.
"Hujan lebat di seberang Rutbah. Mudah-mudahan saja kita tidak terperosok."
Mereka berhenti tengah hari, dan kotak-kotak karton segi empat berisi makan
siang dibagikan. Kedua pengemudi memasak air, menyeduh teh, dan menyajikannya
dalam gelas-gelas plastik. Mereka melanjutkan perjalanan lagi menyeberangi tanah
datar yang tak terkira luasnya.
Mr. Parker Pyne membayangkan kafilah-kafilah yang lamban dan perjalanan-
perjalanan yang makan waktu berminggu-minggu....
Tepat saat matahari terbenam mereka tiba di benteng gurun Rutbah.
Pintu-pintu gerbang besar dibuka, dan mobil beroda enam itu memasukinya hingga
ke bagian dalam benteng itu.
"Rasanya mendebarkan sekali," kata Netta.
Setelah membersihkan tubuh, ia ingin berjalan-jalan sebentar. Letnan Penerbang
O'Rourke dan Mr. Parker Pyne menawarkan diri untuk menemani. Waktu mereka akan
berangkat, pengurus mereka datang dan meminta agar mereka tidak pergi terlalu
jauh, karena mungkin akan sulit menemukan jalan kembali setelah hari gelap.
"Kami hanya akan pergi dekat-dekat saja," janji O'Rourke.
Tapi ternyata berjalan-jalan itu tidak menarik, karena lingkungannya sama saja.
Suatu kali Mr. Parker Pyne memungut sesuatu.
"Apa itu?" tanya Netta ingin tahu.
Ia memperlihatkannya pada gadis itu.
"Alat dari zaman prasejarah, Miss Pryce - sebuah alat pengebor."
"Apakah mereka dulu saling membunuh dengan alat itu?"
"Tidak. Ini digunakan untuk keperluan yang lebih aman. Tapi saya rasa mereka
bisa membunuh dengan benda ini kalau mereka mau. Yang penting kan keinginan
untuk membunuh - alat saja tidak berarti. Bisa memakai apa saja"
Hari mulai gelap dan mereka berlari kembali ke benteng.
Setelah makan malam yang banyak lauk-pauknya dari kaleng, mereka duduk merokok.
Jam dua belas malam, mobil beroda enam itu akan melanjutkan perjalanan.
Pengemudinya tampak kuatir.
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada rawa-rawa yang dalam di dekat sini," katanya. "Mungkin kita bisa terbenam."
Mereka semua masuk ke mobil besar itu dan mengatur duduk masing-masing. Miss
Pryce kesal karena tak bisa menemukan salah satu kopernya.
"Saya ingin mengambil sandal kamar saya," katanya.
"Lebih besar kemungkinannya Anda memerlukan sepatu bot dari karet," kata
Smethurst. "Kalau saya tak salah duga, mungkin kita akan terbenam dalam lautan
lumpur." "Saya bahkan tak punya kaus kaki untuk ganti," kata Netta.
"Tak apa-apa. Anda tak usah bersusah payah. Hanya kaum laki-laki yang harus
keluar dan mendorong."
"Saya selalu punya persediaan kaus kaki," kata Hensley sambil menepuk saku
mantelnya. "Siapa tahu."
Lampu-lampu di dalam mobil dimatikan. Mobil besar itu pun mulai berjalan dalam
gelap. Perjalanannya kurang baik. Mereka tidak terbanting-banting sebagaimana biasanya
dalam sebuah mobil wisata biasa, tapi sekali-sekali mereka mengalami benturan
juga. Mr. Parker Pyne duduk di salah satu bangku depan. Di seberang lorong mobil duduk
wanita Armenia yang terbungkus mantel dan selendang-selendang. Putranya duduk di
belakangnya. Di belakang Mr. Parker Pyne duduk kedua Miss Pryce. Jendral,
Smethurst, Hensley, dan ketiga orang dari Angkatan Udara Inggris duduk di
belakang. Mobil melaju dalam gelap malam. Mr. Parker Pyne merasa sulit tidur. Posisinya
tidak nyaman. Kaki wanita Armenia itu menjulur ke luar dan mengenai pinggulnya.
Pokoknya wanita itu duduk nyaman. Semua yang lain agaknya tidur. Mr. Parker Pyne
pun merasa diganggu rasa mengantuk. Tapi sebuah sentakan mendadak melemparkannya
ke arah langit-langit mobil. Terdengar suara protes mengantuk dari bagian
belakang mobil beroda enam itu. "Hati-hati. Memangnya ingin mematahkan leher
kami?" Lalu rasa kantuk muncul kembali. Beberapa menit kemudian, Mr. Parker Pyne
tertidur dengan tengkuk terkulai tak nyaman....
Tiba-tiba ia terbangun. Mobil itu berhenti. Beberapa laki-laki keluar. Hensley
berkata singkat, "Kita terbenam."
Karena ingin melihat apa saja yang bisa dilihat, Mr. Parker Pyne dengan hati-
hati melangkah keluar ke lumpur. Tidak hujan. Bahkan ada bulan, dan di bawah
sinarnya tampak kedua pengemudi sedang bekerja keras dengan sekop dan batu-batu,
untuk mengangkat roda-roda mobil. Kebanyakan penumpang laki-laki membantu.
Ketiga wanita melihat dari jendela-jendela mobil beroda enam itu. Miss Pryce dan
Netta dengan penuh perhatian, sedangkan wanita Armenia itu dengan rasa jijik
yang disembunyikan. Di bawah perintah pengemudi, para penumpang laki-laki dengan patuh mengangkat.
"Mana anak Armenia itu?" tanya O'Rourke. "Enak saja dia berhangat-hangat dan
enak-enakan seperti kucing! Mari kita menyuruhnya keluar juga."
"Kapten Smethurst juga," kata Jendral Poli. "Dia tidak bersama kita."
"Si celaka itu masih tidur. Lihat saja."
Benar sekali. Smethurst masih duduk di kursi berlengannya, kepalanya terkulai ke
depan dan tubuhnya terbungkuk.
"Biar saya bangunkan," kata O'Rourke.
Ia masuk dengan melompat lewat pintu. Sebentar kemudian ia muncul kembali.
Suaranya berubah. "Wah. Saya rasa dia sakit... atau entah mengapa. Mana dokter?"
Pemimpin Skuadron Loftus adalah dokter Angkatan Udara; ia sudah beruban, tampak
pendiam, dan memisahkan diri dari rombongan di dekat roda.
"Ada apa dengannya?" tanyanya.
"Saya... entahlah."
Dokter masuk ke mobil. O'Rourke dan Parker Pyne mengikutinya. Sang dokter
membungkuk di atas tubuh yang terkulai itu. Satu kali melihat dan satu sentuhan
sudah cukup. "Dia sudah meninggal," katanya dengan tenang.
"Meninggal" Tapi mengapa?" Pertanyaan-pertanyaan pun berdatangan. "Aduh!
Mengerikan sekali!" kata Netta.
Loftus berbalik dengan sikap kesal.
"Pasti kepalanya terbentur langit-langit mobil tadi," katanya. "Kita tadi
mengalami benturan hebat."
"Masa itu bisa menewaskannya" Apa tak ada sebab lain?"
"Saya tak bisa mengatakannya, sebelum saya memeriksanya dengan sempurna," bentak
Loftus. Ia melihat ke sekelilingnya dengan pandangan kesal. Penumpang-penumpang
wanita makin mendesak mendekat, sedangkan yang laki-laki di luar mulai masuk
beramai-ramai. Mr. Parker Pyne berbicara pada si pengemudi, seorang laki-laki muda yang kuat
dan berotot. Diangkatnya penumpang-penumpang wanita satu demi satu dan dibawanya
menyeberangi lumpur, lalu didudukkannya di tanah kering. Madame Pentemian dan
Netta mudah saja diangkatnya, tapi ia terhuyung sewaktu harus menggendong Miss
Pryce tua yang berat. Lapanglah bagian dalam mobil beroda enam itu, hingga Dokter bisa mengadakan
pemeriksaannya. Para penumpang laki-laki mulai lagi berusaha membebaskan mobil itu. Akhirnya
matahari muncul di cakrawala. Hari itu cerah. Lumpur pun mengering dengan cepat,
tapi mobil masih tetap terbenam. Sudah tiga sekop yang patah, dan sejauh itu
usaha mereka belum menampakkan hasil. Pengemudi mulai menyiapkan sarapan - membuka
kaleng-kaleng sosis dan menyeduh teh.
Agak jauh di tempat lain, Pemimpin Skuadron Loftus sedang memberikan
keputusannya. "Tak ada bekas-bekas atau luka-luka apa pun padanya. Seperti kata saya tadi,
kepalanya pasti terbentur langit-langit mobil."
"Anda puas karena dia meninggal dengan wajar?" tanya Mr. Parker Pyne.
Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat dokter itu cepat memandang ke arahnya.
"Hanya ada satu kemungkinan lain."
"Yaitu?" "Yah, bahwa ada orang yang menghantam bagian belakang kepalanya dengan sesuatu
yang berbentuk kantong pasir." Suaranya mengandung penyesalan.
"Itu sangat tak mungkin," kata Williamson, salah seorang perwira Angkatan Udara
yang lain. Ia seorang pria muda berwajah kekanakan. "Maksud saya, tak mungkin
ada orang bisa berbuat begitu tanpa kita lihat."
"Kalau kita sedang tidur...," kata Dokter.
"Orang itu pasti tidak merasa yakin saat melakukannya," balas yang seorang lagi.
"Kalau dia bangkit dan sebagai nya, tentu membangunkan seseorang."
"Satu-satunya cara," kata Jendral Poli, "itu bisa dilakukan oleh seseorang yang
duduk di belakangnya. Dia bisa memilih saat yang tepat, dan bahkan tak perlu
bangkit dari tempat duduknya."
"Siapa yang duduk di belakang Kapten Smethurst?" tanya Dokter.
O'Rourke cepat menjawab. "Hensley, Sir... jadi itu tak mungkin. Hensley adalah sahabat terbaik
Smethurst." Keadaan sepi. Lalu terdengar suara Mr. Parker Pyne yang halus namun pasti.
"Saya rasa," katanya, "Letnan Penerbang Williamson harus menceritakan sesuatu
pada kita." "Saya, Sir" Saya... yah..."
"Katakan, Williamson," kata O'Rourke.
"Sebenarnya bukan apa-apa - sama sekali bukan apa-apa."
"Katakan." "Hanya sebagian dari suatu percakapan yang terdengar oleh saya di Rutbah - di
pekarangannya. Waktu itu saya harus kembali ke mobil untuk mengambil kotak rokok
saya. Saya sedang mencari-carinya. Ada dua orang sedang bercakap-cakap di luar.
Salah seorang di antaranya adalah Smethurst. Katanya..."
Ia berhenti sebentar. "Ayo katakan." "Sesuatu bahwa dia tak ingin mencelakakan seorang teman. Kedengarannya dia
tertekan. Lalu katanya, 'Aku akan tutup mulut sampai di Bagdad, tapi setelah itu
aku tak mau lagi. Kau harus keluar cepat-cepat.'"
"Dan laki-laki yang seorang lagi?"
"Saya tidak tahu, Sir. Saya bersumpah, saya tidak tahu. Hari gelap dan dia hanya
mengucapkan sepatah dua patah kata yang tidak terdengar oleh saya."
"Siapa di antara kalian semua yang kenal betul pada Smethurst?"
"Saya rasa kata-kata... seorang teman... tak mungkin ditujukan pada orang lain
kecuali Hensley," kata O'Rourke lambat-lambat. "Saya mengenal Smethurst, tapi
sedikit sekali. Williamson baru saja tamat; begitu pula Pemimpin Skuadron
Loftus. Saya rasa tak ada di antara mereka berdua yang pernah kenal padanya."
Kedua pria itu membenarkannya.
"Bagaimana dengan Anda, Jendral?"
"Saya baru bertemu dengan anak muda itu waktu kami menyeberangi Lebanon ke
Beirut dengan mobil yang sama. Tak pernah sebelumnya."
"Dan anak muda Armenia itu?"
"Dia tak mungkin teman baiknya," kata O'Rourke dengan pasti. "Dan tak ada orang
Armenia yang berani membunuh orang."
"Mungkin saya punya barang bukti kecil," kata Mr. Parker Pyne.
Diulanginya percakapannya dengan Smethurst di kafe di Damascus.
"Dia menggunakan kata-kata 'tak ingin mengkhianati seorang teman baik,'" kata
O'Rourke dengan merenung. "Dan dia kuatir."
"Tak ada lagikah yang bisa menambahkan sesuatu?" tanya Mr. Parker Pyne.
Dokter berdeham. "Mungkin tak ada hubungannya dengan...," katanya memulai.
Yang lain mendorongnya. "Saya hanya mendengar Smethurst berkata pada Hensley, 'Kau tak bisa membantah
bahwa ada kebocoran di departemenmu.'"
"Kapan itu?" "Sesaat sebelum kita berangkat dari Damascus, kemarin pagi. Saya pikir mereka
hanya membicarakan soal pekerjaan mereka. Saya tak mengira..." Ia berhenti.
"Teman-teman, ini menarik," kata Jendral. "Sepotong demi sepotong kalian
mengumpulkan bukti."
"Kata Anda sebuah kantong pasir, Dokter," kata Mr. Parker Pyne. "Bisakah
seseorang membuat sendiri senjata macam itu?"
"Di sini banyak sekali pasir," kata Dokter datar, sambil meraup segenggam pasir.
"Kalau kita masukkan ke dalam kaus kaki," kata O'Rourke, lalu ia ragu.
Mereka semua teringat akan dua kalimat singkat yang diucapkan Hensley semalam.
"Kita harus selalu membawa kaus kaki persediaan. Siapa tahu."
Keadaan sepi. Lalu Mr. Parker Pyne berkata dengan tenang, "Pemimpin Skuadron
Loftus, saya rasa kaus kaki persediaan Hensley itu ada di dalam saku mantelnya
yang sekarang ada di mobil."
Sesaat mereka semua memandang ke arah sosok yang sedang berjalan hilir-mudik
dengan murung di cakrawala. Hensley terus memisahkan diri sejak kematian
sahabatnya. Keinginannya untuk menyendiri dimaklumi, karena mereka tahu bahwa ia
dan almarhum bersahabat. "Tolong Anda ambil dan bawa kemari."
Dokter ragu. "Saya tak suka...," gumamnya. Sekali lagi ia melihat ke arah sosok yang hilir-
mudik itu. "Rasanya agak kurang pantas..."
"Tapi Anda harus mengambilnya, tolong," kata Mr. Parker Pyne.
"Keadaannya luar biasa. Kita tertahan di sini. Dan kita harus tahu kebenarannya.
Kalau Anda mau mengambil kaus kaki itu, saya rasa kita akan maju selangkah."
Loftus pergi dengan patuh.
Mr. Parker Pyne menarik Jendral Poli agak menjauh.
"Jendral, saya rasa Andalah yang duduk di seberang lorong mobil dari Kapten
Smethurst." "Benar." "Adakah orang yang bangkit dan melewati Anda di mobil?"
"Hanya wanita Inggris itu - Miss Pryce. Dia pergi ke kamar mandi di belakang."
"Apakah dia tersandung atau semacamnya?"
"Tentu dia agak terlempar, gara-gara gerakan mobil."
"Apakah dia satu-satunya orang yang Anda lihat berjalan?"
"Ya." Jendral melihat padanya dengan pandangan ingin tahu dan berkata, "Saya jadi
ingin tahu, siapa Anda" Anda menguasai keadaan, padahal Anda bukan prajurit."
"Saya sudah banyak sekali melihat dalam hidup ini," kata Mr. Parker Pyne.
"Apakah karena Anda sering bepergian?"
"Tidak," kata Mr. Parker Pyne. "Saya hanya duduk di kantor."
Loftus kembali dengan membawa kaus kaki itu. Mr. Parker Pyne mengambilnya, lalu
memeriksanya. Di dalam salah satu kaus kaki itu masih melekat pasir basah.
Mr. Parker Pyne menarik napas panjang.
"Sekarang saya tahu," katanya.
Mata mereka semua tertuju pada sosok yang sedang berjalan hilir-mudik di
cakrawala. "Kalau boleh, saya ingin melihat jenazah itu," kata Mr. Parker Pyne.
Dengan disertai oleh Dokter, ia pergi ke tempat mayat Smethurst diletakkan
dengan ditutupi terpal. Dokter mengangkat penutup itu.
"Tak ada yang bisa dilihat," katanya.
Tapi mata Mr. Parker Pyne melekat pada dasi almarhum.
"Jadi, Smethurst tamatan dari Eton, ya?" katanya.
Loftus tampak heran. Lalu Mr. Parker Pyne membuatnya lebih heran lagi.
"Apa yang Anda ketahui tentang Williamson?" tanyanya.
"Sama sekali tidak tahu apa-apa. Saya baru bertemu dengannya di Beirut. Saya
datang dari Mesir. Tapi mengapa" Masa...?"
"Yah, berdasarkan kesaksian dialah kita akan menggantung seseorang, bukan?" kata
Mr. Parker Pyne dengan ceria. "Kita harus berhati-hati."
Kelihatannya ia masih saja tertarik pada dasi dan kerah baju almarhum. Dibukanya
kancing leher bajunya, lalu ditanggalkannya kerah itu. Lalu ia berseru,
"Lihat itu?" Di bagian belakang kerah itu terdapat sebuah noda darah bulat yang kecil.
Ia melihat lebih dekat ke tengkuk yang sudah terbuka itu.
"Orang ini tidak dibunuh dengan pukulan di kepalanya, Dokter," katanya dengan
tegas. "Dia ditikam... di dasar tengkoraknya. Anda bisa melihat lubangnya yang
kecil itu." "Tadi tak terlihat oleh saya!"
"Anda memeriksa dengan dugaan yang sudah Anda dengar," kata Mr. Parker Pyne.
"Yaitu pukulan di kepala. Memang masuk akal kalau tidak melihat ini. Lukanya
hampir tidak kelihatan. Suatu tikaman cepat dengan sebuah alat yang tajam, bisa
menyebabkan kematian mendadak. Korban bahkan tak sempat berteriak."
"Maksud Anda sebuah stiletto" Menurut Anda Jendral...?"
"Sudah merupakan anggapan umum bahwa orang-orang Italia dikaitkan dengan
stiletto. Nah ini ada mobil!"
Sebuah mobil wisata muncul di cakrawala.
"Bagus," kata O'Rourke, waktu ia bergabung dengan mereka. "Ibu-ibu bisa ikut
mobil itu." "Bagaimana dengan pembunuh kita?" tanya Mr. Parker Pyne.
"Maksud Anda Hensley?"
"Bukan, bukan Hensley maksud saya," kata Mr. Parker Pyne. "Saya sudah tahu bahwa
Hensley tidak bersalah."
"Anda... tapi mengapa?"
"Yah, di dalam kaus kakinya memang ada pasir."
O'Rourke terbelalak. "Saya tahu, anakku," kata Mr. Parker Pyne dengan halus, "kedengarannya memang
tak masuk akal, tapi nyatanya masuk akal. Smethurst bukan dihantam di kepalanya,
melainkan ditikam." Ia diam sebentar, lalu berkata lagi,
"Coba Anda ingat kembali percakapan yang saya katakan tadi - percakapan kami di
kafe itu. Anda mengambil apa yang nyata bagi Anda, yaitu ucapan yang sama itu.
Tapi ada lagi ucapan lain yang saya ingat. Waktu saya katakan padanya bahwa
pekerjaan saya adalah dalam soal Siasat Kepercayaan, dia berkata, 'Apa" Anda
juga"' Apakah menurut Anda itu tidak aneh" Saya tidak tahu bahwa serangkaian
penggelapan di suatu departemen disebut 'Siasat Kepercayaan' juga. Siasat
Kepercayaan lebih pantas menggambarkan Mr. Samuel Long yang buron itu,
umpamanya." Dokter terkejut. O'Rourke berkata, "Ya... mungkin..."
"Secara bergurau saya katakan bahwa mungkin saja Mr. Long yang buron ada dalam
rombongan kita. Bagaimana andaikan hal itu memang benar?"
"Apa" Tapi itu tak mungkin!"
"Mungkin saja. Apa yang kita ketahui tentang orang-orang, kecuali paspor dan
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keterangan-keterangan yang mereka berikan tentang diri mereka" Apakah saya ini
memang benar Mr. Parker Pyne" Apakah Jendral Poli benar-benar seorang jendral
Italia" Lalu bagaimana dengan kejantanan Miss Pryce yang jelas kelihatan bahwa
dia perlu bercukur?"
"Tapi dia... tapi Smethurst... tidak mengenal Long?"
"Mr. Smethurst tamatan Eton. Sudah lama dia bersekolah di Eton. Mungkin
Smethurst mengenal Long, meskipun dia tidak mengatakannya. Mungkin dia
mengenalinya di antara kita. Dan kalau demikian, apa yang harus dilakukannya"
Pikirannya pendek, dan dia merasa cemas. Akhirnya diputuskannya untuk tidak
mengatakan apa-apa sebelum tiba di Bagdad. Tapi setelah itu dia tak mau tutup
mulut lagi." "Menurut Anda salah seorang di antara kita adalah Long?" kata O'Rourke, masih
dalam keadaan bingung. Ia menarik napas panjang.
"Pasti jendral Italia itu - pasti... atau bagaimana dengan orang Armenia itu?"
"Menyamar sebagai orang asing dan mendapatkan paspor asing jauh lebih sulit
daripada tetap sebagai orang Inggris," kata Mr. Parker Pyne.
"Miss Pryce?" tanya O'Rourke, masih tak percaya.
"Bukan," kata Mr. Parker Pyne. "Inilah dia orangnya!"
Diletakkannya tangannya yang tampak ramah ke pundak laki-laki di sebelahnya.
Tapi suaranya sama sekali tidak ramah, dan jemarinya mencengkeram dengan kuat.
"Pemimpin Skuadron Loftus atau Mr. Samuel Long. Anda boleh memilih ingin
menyebutnya apa!" "Tapi itu tak mungkin - tak mungkin," gagap O'Rourke. "Loftus sudah bertahun-tahun
berdinas." "Tapi Anda kan belum pernah bertemu dengannya" Dia adalah orang asing bagi Anda
semua. Dia tentu bukan Loftus yang sebenarnya."
Orang yang sejak tadi berdiam diri itu akhirnya bisa bersuara.
"Pandai sekali Anda menduga. Tapi bagaimana bisa?"
"Pernyataan Anda yang tidak masuk akal bahwa Smethurst tewas gara-gara terbentur
kepalanya. O'Rourke yang membukakan jalan pikiran itu ke otak Anda, waktu kita
berdiri bercakap-cakap di Damascus kemarin. Mudah sekali! pikir Anda. Andalah
satu-satunya dokter di antara kami, jadi apa pun yang Anda katakan pasti
diterima baik. Anda membawa kotak kerja Loftus. Alat-alatnya pun ada pada Anda.
Mudah saja memilih peralatan itu untuk tujuan tersebut. Anda membungkuk ke
arahnya untuk bercakap-cakap dengannya, dan sedang Anda berbicara, Anda tikamkan
senjata itu. Anda bercakap-cakap beberapa menit lagi. Keadaan gelap di dalam
mobil. Siapa yang akan curiga"
"Kemudian tibalah waktunya penemuan mayat. Anda pun menyatakan keputusan Anda.
Tapi keadaannya tidak semudah yang Anda duga. Keraguan bermunculan. Anda pun
mencari jalan pertahanan yang kedua. Williamson mengulangi percakapan Smethurst
dengan Anda yang didengarnya. Anggapan umum adalah bahwa kata-kata itu ditujukan
pada Hensley, dan Anda tambahkan suatu penemuan baru yang menghancurkan, tentang
adanya kebocoran di departemen Hensley. Lalu saya melakukan tes terakhir. Saya
menyebutkan pasir dan kaus kaki. Anda sedang memegang segenggam pasir. Saya
minta Anda pergi menemukan kaus kaki itu supaya kita tahu kebenarannya. Tapi
maksud saya bukan seperti yang Anda duga. Saya sudah memeriksa kaus kaki
Hensley. Tak ada pasir dalam kedua kaus kaki itu. Anda yang memasukkannya."
Mr. Samuel Long menyalakan rokok. "Saya menyerah," katanya. "Nasib baik saya
sudah berakhir. Yah, selama ini saya selalu bisa melarikan diri dengan mulus.
Orang sudah hampir bisa menangkap saya waktu saya tiba di Mesir. Lalu saya
bertemu dengan Loftus. Dia akan menggabungkan diri di Bagdad, padahal dia tidak
mengenal siapa-siapa di sana. Itu suatu kesempatan yang terlalu baik untuk
dilewatkan. Saya suap dia. Saya harus membayar dua puluh ribu pound. Itu tak ada
artinya bagi saya. Lalu sialnya saya bertemu Smethurst, si keledai tolol! Dia
Menembus Lorong Maut 2 Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat Banjir Darah Di Borobudur 3
"Lima pound," kata Mr. Parker Pyne. "Saya rasa... mungkin kita bisa mengusahakan
sesuatu dengan bayaran lima pound. Apakah Anda keberatan menghadapi bahaya?"
tambahnya dengan tajam. Wajah Mr. Roberts yang pucat jadi agak memerah. "Bahaya, Sir" Oh, tidak, sama
sekali tidak. Meskipun... saya tak pernah melakukan sesuatu yang berbahaya."
Mr. Parker Pyne tersenyum. "Temuilah saya besok, dan akan saya katakan apa yang
bisa saya lakukan untuk Anda."
*** Bon Voyageur adalah sebuah penginapan yang kurang dikenal. Restorannya hanya
dikunjungi oleh beberapa pelanggan tetap. Mereka kurang menyukai pendatang baru.
Mr. Pyne datang ke Bon Voyageur dan disambut dengan hormat, karena ia sudah
dikenal. "Apakah Mr. Bonnington ada di sini?" tanyanya.
"Ada, Sir. Di mejanya yang biasa."
"Baiklah. Saya akan menyertainya."
Mr. Bonnington adalah seorang pria bertampang tentara, dengan ekspresi kosong.
Ia menyambut sahabatnya dengan senang.
"Halo, Parker. Jarang sekali bertemu denganmu akhir-akhir ini. Tak kusangka kau
mau juga kemari." "Sekali-sekali aku kemari. Terutama kalau aku ingin menemui seorang teman lama."
"Maksudmu aku?"
"Maksudku kau. Terus terang, Lucas, aku memikirkan apa yang kita bicarakan
beberapa hari yang lalu."
"Urusan Peterfield itu" Sudahkah kaubaca berita terakhir di koran-koran" Pasti
belum, soalnya nanti malam baru akan dimuat."
"Apa yang terbaru?"
"Orang membunuh Peterfield semalam," kata Mr. Bonnington, sambil dengan tenang
memakan salad-nya. "Astaga!" seru Mr. Pyne.
"Oh, aku tidak heran," kata Mr. Bonnington. "Peterfield itu orang tolol. Dia tak
mau mendengarkan kami. Dia bersikeras menyimpan dokumen-dokumennya di tangannya
sendiri." "Apakah dokumen-dokumen itu dicuri orang?"
"Tidak. Agaknya seorang wanita datang dan memberikan resep merebus daging asap
pada profesor itu. Keledai tua itu, karena linglungnya, menyimpan resep itu ke
dalam lemari besinya, sedangkan dokumen-dokumennya disimpannya di dapur."
"Untung." "Boleh dikatakan takdir. Tapi aku tetap tidak tahu siapa yang akan membawanya ke
Jenewa. Maitland sedang di rumah sakit. Carlake sedang berada di Berlin. Aku
sendiri tak bisa berangkat. Berarti pilihan jatuh pada Hooper." Ia melihat pada
sahabatnya. "Kau masih tetap pada pendapatmu?" tanya Mr. Parker Pyne.
"Tetap. Hooper itu pengkhianat! Aku tahu itu. Aku tak punya bukti sedikit pun,
tapi dengarlah, Parker, aku tahu orang mana yang jahat! Dan aku ingin dokumen-
dokumen itu sampai ke Jenewa. Liga memerlukannya. Untuk pertama kalinya suatu
penemuan tidak akan dijual pada suatu bangsa lain. Itu akan diserahkan dengan
suka rela pada Liga. "Itu merupakan isyarat perdamaian terbaik yang pernah diberikan, dan itu harus
berjalan dengan baik. Tapi Hooper jahat. Lihat saja, dia pasti akan pura-pura
dibius di kereta api! Bila dia pergi naik pesawat terbang, pesawat itu akan
jatuh di suatu tempat yang menguntungkan! Tapi sialnya aku tak bisa menangkap
dia. Gara-gara disiplin! Kita harus mematuhi disiplin! Itulah sebabnya aku
berbicara denganmu beberapa hari yang lalu."
"Kau bertanya kalau-kalau aku tahu seseorang."
"Benar. Kupikir kau tahu, mengingat bidang pekerjaanmu. Siapa pun orang yang
kukirim, pasti menghadapi kemungkinan dicelakakan. Orangmu mungkin sama sekali
tidak akan dicurigai. Tapi dia harus pemberani."
"Kurasa aku mengenal seseorang yang memenuhi syarat itu," kata Mr. Parker Pyne.
"Puji Tuhan, masih ada juga orang yang mau mengambil risiko. Nah, kita sepakat
kalau begitu?" "Kita sepakat," kata Mr. Parker Pyne.
*** Mr. Parker Pyne sedang menyusun instruksi-instruksinya. "Jadi, sudah jelas,
bukan" Anda bepergian naik kereta api, di gerbong tidur kelas satu, ke Jenewa.
Anda berangkat dari London jam sebelas kurang seperempat, lewat Folkstone dan
Boulogne, dan Anda memasuki gerbong tidur kelas satu itu di Boulogne. Anda akan
tiba di Jenewa jam delapan esok paginya. Ini alamat tempat Anda harus melapor.
Hafalkan, karena saya harus memusnahkannya. Setelah itu, pergilah ke hotel ini
dan tunggulah instruksi selanjutnya. Ini uang dalam mata uang Prancis dan Swiss,
jumlahnya cukup banyak. Mengertikah Anda?"
"Mengerti, Sir." Mata Mr. Roberts bersinar gembira. "Maaf, Sir, tapi apakah saya
boleh... eh... tahu apa yang saya bawa?"
Mr. Parker Pyne tersenyum ramah. "Anda membawa petunjuk tentang tempat
persembunyian permata-permata mahkota Rusia, yang bertulisan huruf rahasia,"
katanya dengan serius. "Anda tentu mengerti bahwa kaki-tangan kaum Bolsyewik
akan berusaha menghalang-halangi Anda. Bila Anda perlu menceritakan tentang diri
Anda, saya harap Anda mengatakan bahwa Anda baru saja mewarisi uang, dan
sekarang sedang menikmati liburan di luar negeri."
*** Mr. Roberts menyeruput secangkir kopi dan melihat ke arah Danau Jenewa. Ia
senang, tapi sekaligus kecewa.
Ia senang karena untuk pertama kalinya ia berada di negeri asing. Apalagi ia
menginap di sebuah hotel, yang tidak akan mungkin terulang lagi, dan ia pun sama
sekali tak perlu kuatir memikirkan uang! Ia mendapatkan kamar dengan kamar mandi
pribadi, mendapat makanan enak dan pelayanan yang baik. Mr. Roberts sangat
menikmati semua itu. Tapi ia kecewa karena sejauh itu tak ada apa pun yang bisa disebut petualangan.
Ia tak pernah bertemu dengan seorang Bolsyewik yang menyamar atau orang-orang
Rusia yang misterius. Satu-satunya teman mengobrolnya adalah seorang pengusaha
Prancis yang lancar berbahasa Inggris. Surat-surat rahasia itu disimpannya baik-
baik dalam tas dari spons, sebagaimana yang telah diinstruksikan, dan sudah pula
diserahkannya berdasarkan instruksi. Tak ada bahaya yang harus diatasinya; ia
tak pernah nyaris lolos lewat lubang jarum. Mr. Roberts kecewa.
Pada saat itu, seorang pria jangkung dan berjenggot bergumam, "Maaf," lalu duduk
di seberang meja kecil itu. "Maafkan saya," katanya, "tapi saya rasa Anda
mengenal seorang teman saya. Inisial namanya adalah P.P."
Mr. Roberts berdebar bercampur senang. Akhirnya inilah dia seorang Rusia yang
misterius. "Be-benar sekali."
"Kalau begitu, kita sama-sama mengerti," kata orang asing itu.
Mr. Roberts menatapnya dengan pandangan menyelidik. Inilah peristiwa yang
sebenarnya. Orang asing itu berumur kira-kira lima puluh tahun, dan jelas-jelas
berpenampilan asing. Ia memakai kacamata berkaca satu, dan ada pita kecil
berwarna di lubang kancingnya.
"Anda telah melaksanakan tugas Anda dengan sangat memuaskan," kata orang asing
itu. "Bersediakah Anda menjalankan satu tugas lagi?"
"Tentu mau." "Baiklah. Anda harus memesan sebuah gerbong tidur di kereta api Jenewa-Paris
untuk besok malam. Anda harus memesan tempat tidur Nomor Sembilan."
"Bagaimana kalau itu sudah dipesan?"
"Pasti belum. Itu sudah diatur."
"Tempat tidur Nomor Sembilan," ulang Mr. Roberts. "Ya, saya ingat."
"Dalam perjalanan Anda, akan ada seseorang yang berkata pada Anda, 'Maaf,
Monsieur, bukankah Anda baru-baru ini berada di Grasse"' Mendengar itu, Anda
harus menjawab, 'Benar, bulan lalu.' Maka orang itu akan berkata, 'Apakah Anda
tertarik pada wewangian"' Dan Anda harus menjawab, 'Ya, saya pemilik pabrik
pembuat Minyak Bunga Melati sintetis.' Setelah itu, Anda harus menyerahkan diri
sepenuhnya pada orang yang berbicara pada Anda itu. Omong-omong, apakah Anda
bersenjata?" "Tidak," kata Mr. Roberts agak gugup. "Tidak. Saya tak pernah menduga... maksud
saya..." "Itu bisa segera diatasi," kata laki-laki berjenggot itu. Ia melihat ke
sekelilingnya. Tak ada seorang pun di dekat mereka. Sesuatu yang keras dan
berkilat ditekankannya ke tangan Mr. Roberts. "Senjata ini kecil, tapi berguna
sekali," kata orang asing itu sambil tersenyum.
Mr. Roberts, yang tak pernah menembakkan pistol selama hidupnya, menyelipkan
benda itu dengan hati-hati ke sakunya. Ia kuatir kalau-kalau benda itu tiba-tiba
meledak. Mereka mengulangi kata-kata sandi tadi. Lalu teman baru Roberts bangkit.
"Semoga Anda berhasil," katanya. "Semoga Anda bisa selamat. Anda orang yang
pemberani, Mr. Roberts."
"Benarkah begitu?" pikir Mr. Roberts, setelah temannya itu pergi. "Yang jelas,
aku tak mau sampai terbunuh. Itu tidak akan pernah kubiarkan."
Ia merasakan suatu ketegangan yang menyenangkan, tapi sekaligus mengganggu.
Ia pergi ke kamarnya dan memeriksa senjatanya.
Ia masih kurang yakin akan cara kerja senjata itu dan berharap agar ia tidak
terpaksa menggunakannya. Lalu ia keluar untuk memesan tempat.
Kereta api berangkat dari Jenewa pukul setengah sepuluh. Mr. Roberts tiba di
stasiun tepat waktu. Kondektur gerbong tempat tidur memeriksa karcis dan
paspornya. Ia mundur sedikit ketika seorang kuli melemparkan koper Roberts ke
rak bagasi. Sudah ada bagasi lain di situ: sebuah koper kulit dan sebuah tas
Gladstone. "Nomor Sembilan adalah tempat tidur yang di bawah," kata si kondektur.
Ketika Mr. Roberts berbalik akan keluar dari gerbong itu, ia bertubrukan dengan
seorang laki-laki bertubuh besar yang akan masuk. Mereka sama-sama mundur sambil
meminta maaf - Mr. Roberts dalam bahasa Inggris dan orang asing itu dalam bahasa
Prancis. Laki-laki itu besar dan tegap, rambutnya dipotong pendek sekali, dan ia
memakai kacamata tebal. Melalui kacamata itu, matanya seakan-akan mengintip
dengan rasa curiga. "Orang jelek," kata Mr. Roberts pada dirinya sendiri.
Ia merasakan sesuatu yang penuh rahasia pada diri teman seperjalanannya yang
misterius itu. Apakah untuk mengawasi laki-laki itu maka ia disuruh memesan
tempat tidur Nomor Sembilan" Mungkin begitu, pikirnya.
Ia keluar lagi ke lorong kereta. Sepuluh menit lagi kereta api baru akan
berangkat, dan ia ingin berjalan-jalan di peron. Setelah menempuh setengah
perjalanan, ia mundur untuk memberi jalan pada seorang wanita yang akan
melewatinya. Wanita itu baru saja memasuki kereta api dan sang kondektur
berjalan mendahuluinya dengan membawa karcisnya. Sewaktu melewati Mr. Roberts,
tas wanita itu jatuh. Mr. Roberts memungutnya dan menyerahkannya kembali
padanya. "Terima kasih, Monsieur." Wanita itu berbicara dalam bahasa Inggris, tapi
berlogat asing. Suaranya rendah, penuh, dan enak didengar. Ketika akan
melanjutkan perjalanannya, ia ragu, lalu bergumam, "Maaf, Monsieur, tapi saya
rasa baru-baru ini Anda berada di Grasse?"
Mr. Roberts terlonjak. Ia harus menyerahkan diri pada makhluk cantik ini - karena
wanita itu memang cantik. Ia mengenakan mantel bepergian dari bulu binatang dan
topi yang elok. Di lehernya terlilit seuntai mutiara. Kulitnya gelap dan
bibirnya merah tua. Mr. Roberts memberikan jawaban yang sudah dihafalnya. "Benar. Bulan lalu."
"Anda berminat pada wewangian?"
"Ya, saya pembuat Minyak Bunga Melati sintetis."
Wanita itu menunduk, lalu berjalan terus, setelah berbisik dengan halus, "Di
lorong kereta, segera setelah kereta berangkat."
Waktu sepuluh menit itu serasa seabad bagi Mr. Roberts. Akhirnya kereta api
berangkat. Ia berjalan perlahan-lahan di sepanjang lorong. Wanita bermantel bulu
itu sedang berusaha membuka jendela. Mr. Roberts bergegas memberikan bantuan.
"Terima kasih, Monsieur. Saya ingin mendapatkan udara sedikit, sebelum mereka
memaksa untuk menutup segala-galanya." Kemudian dengan suara halus, rendah, dan
cepat sekali, ia menambahkan, "Sesudah perbatasan, bila teman seperjalanan kita
sudah tidur - jangan sebelumnya - masuklah ke kamar kecil dan melalui kamar itu
masuklah ke gerbong di seberang. Mengerti?"
"Mengerti." Mr. Roberts menurunkan jendela, lalu berkata dengan suara lebih
nyaring, "Apakah sudah lebih baik, Madame?"
"Ya, terima kasih banyak."
Mr. Roberts pergi ke gerbongnya sendiri. Teman seperjalanannya sudah berbaring
di tempat tidur di atas. Persiapannya untuk tidur rupanya sederhana. Cukup
dengan menanggalkan sepatu bot dan mantelnya.
Mr. Roberts menimbang-nimbang tentang pakaiannya sendiri. Bila ia harus pergi ke
gerbong wanita itu, jelas ia tak bisa menanggalkan pakaiannya.
Ia menemukan sepasang sandal, dan mengganti sepatu botnya dengan sandal itu,
lalu berbaring, setelah memadamkan lampu. Beberapa menit kemudian, laki-laki di
atas mulai mendengkur. Jam sepuluh lewat sedikit, mereka tiba di perbatasan.
Pintu dibuka orang, lalu diajukan pertanyaan yang biasa. Adakah sesuatu yang
ingin dinyatakan oleh bapak-bapak" Pintu ditutup kembali. Kemudian kereta api
keluar dari kota Bellegarde.
Pria di tempat tidur di atas mendengkur lagi. Mr. Roberts membiarkan dua puluh
menit berlalu. Lalu ia menyelinap bangkit dan membuka pintu gerbong kamar kecil.
Begitu berada di dalam, dikuncinya pintu itu, lalu dipandanginya pintu di sisi
lain. Pintu itu tidak terkunci. Ia bimbang. Apakah ia harus mengetuk"
Mungkin tak masuk akal mengetuk. Tapi ia kurang suka masuk tanpa mengetuk. Maka
ia mengambil jalan tengah. Dibukanya pintu perlahan-lahan kira-kira tiga senti,
lalu menunggu. Ia bahkan memberanikan diri berdeham.
Reaksinya cepat sekali. Pintu dibuka lebar, lengannya dicengkeram, ditarik ke
dalam gerbong yang lebih jauh, dan gadis itu mengunci pintu di belakangnya.
Mr. Roberts menahan napas. Tak pernah ia melihat kecantikan macam itu. Gadis itu
mengenakan gaun panjang dari bahan sifon berwarna krem dan berenda. Ia bersandar
pada pintu yang menuju lorong kereta. Mr. Roberts sering membaca tentang
makhluk-makhluk cantik yang terpojok karena diburu. Baru pertama kali inilah ia
melihat dengan matanya sendiri - pemandangan yang mendebarkan.
"Puji Tuhan!" gumam gadis itu.
Mr. Roberts melihat bahwa ia masih muda sekali, dan luar biasa cantik, hingga
Mr. Roberts merasa seolah-olah ia adalah makhluk dari dunia lain. Inilah
akhirnya romantika - dan ia berada di dalamnya!
Gadis itu berbicara dengan suara rendah yang cepat. Bahasa Inggris-nya bagus,
tapi logatnya benar-benar asing, "Saya senang sekali Anda datang," katanya.
"Saya ketakutan sekali. Vassilievitch ada di kereta. Mengertikah Anda apa
artinya itu?" Mr. Roberts sama sekali tak mengerti maksudnya, tapi ia mengangguk,
"Saya kira saya sudah berhasil lolos dari mereka. Saya keliru. Apa yang harus
kita lakukan" Vassilievitch menempati gerbong di sebelah saya. Apa pun yang
terjadi, dia tak boleh mendapatkan perhiasan-perhiasan itu."
"Dia tidak akan membunuh Anda, dan dia tidak akan mendapatkan perhiasan-
perhiasan itu," kata Mr. Roberts dengan tegas.
"Lalu harus saya apakan perhiasan-perhiasan itu?"
Mr. Roberts melihat ke belakang gadis itu. "Pintu itu terkunci," katanya.
Gadis itu tertawa. "Apalah arti pintu-pintu yang terkunci bagi Vassilievitch?"
Mr. Roberts makin merasa bahwa ia berada di tengah-tengah sebuah novel
kesukaannya. "Hanya ada satu hal yang bisa dilakukan. Berikan pada saya."
Gadis itu menatapnya. "Barang-barang itu berharga seperempat juta."
Wajah Mr. Roberts memerah. "Anda bisa mempercayai saya,"
Gadis itu bimbang sebentar, lalu, "Ya, saya percaya pada Anda," katanya. Ia
membuat suatu gerakan cepat, dan sesaat kemudian diulurkannya sepasang kaus kaki
panjang yang tergulung. "Bawalah, teman," katanya pada Mr. Roberts yang
terperanjat. Mr. Roberts mengambil barang-barang itu dan langsung mengerti. Tak diduganya,
kaus kaki itu ternyata tidak seringan udara, melainkan berat sekali.
"Bawa ke gerbong Anda," kata gadis itu. "Anda bisa memberikannya pada saya besok
pagi, kalau... kalau... saya masih di sini."
Mr. Roberts berdeham. "Dengarlah," katanya. "Mengenai diri Anda." Ia diam
sebentar. "Saya... saya harus menjaga Anda." Lalu wajahnya memerah karena malu
sekali. "Bukan di sini maksud saya. Saya akan tinggal di dalam situ." Ia
mengangguk ke arah ruang kecil.
"Kalau Anda mau tinggal di sini..." Gadis itu menoleh ke arah tempat tidur di
atas yang tidak ditempati.
Wajah Mr. Roberts makin merah. "Tidak, tidak," bantahnya. "Biar saja saya di
situ, tak apa-apa. Kalau Anda membutuhkan saya, teriak saja."
"Terima kasih, temanku," kata gadis itu dengan halus.
Ia menyelinap masuk ke tempat tidur di bawah, menarik selimutnya ke atas, lalu
tersenyum pada Mr. Roberts dengan rasa syukur. Mr. Roberts masuk ke ruang kecil.
Tiba-tiba, sekitar beberapa jam kemudian, Mr. Roberts merasa mendengar sesuatu.
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia memasang telinga. Tak ada apa-apa. Mungkin ia salah. Tapi ia yakin telah
mendengar suara samar dari gerbong di sebelah. Jangan-jangan...
Dibukanya pintu perlahan-lahan. Keadaan dalam gerbong itu masih seperti saat
ditinggalkannya, dengan lampu kecil berwarna biru di plafon. Ia berdiri dengan
membuka mata lebar-lebar dalam keremangan, hingga matanya terbiasa. Gadis itu
tak ada di situ! Mr. Roberts menyalakan lampu. Gerbong itu kosong. Tiba-tiba ia mencium sesuatu.
Hanya sepintas, tapi ia segera mengenalinya. Bau khloroform yang manis
memualkan. Ia melangkah keluar dari gerbong (yang kini tidak dalam keadaan terkunci) ke
lorong, dan melihat ke kiri-kanan. Kosong! Matanya tertuju pada gerbong di
sebelah gerbong gadis itu. Gadis itu tadi mengatakan Vassilievitch ada di
gerbong di sebelahnya. Perlahan-lahan Mr. Roberts mencoba memutar gagang pintu.
Pintu itu terkunci dari dalam.
Apa yang harus dilakukannya" Menuntut agar ia dibukakan pintu" Tapi orang itu
pasti akan menolak. Lagi pula, mungkin gadis itu tidak berada di situ! Dan
kalaupun ada, apakah ia akan berterima kasih kalau Mr. Roberts meributkan soal
itu" Mr. Roberts sudah diberitahu bahwa kerahasiaan penting sekali dalam
permainan yang sedang mereka lakukan.
Pria kecil yang bingung itu berjalan lambat-lambat di sepanjang lorong. Ia
berhenti di gerbong ujung. Pintunya terbuka dan kondekturnya sedang tidur. Dan
di atasnya, pada sebuah kaitan, tergantung jas seragamnya yang cokelat, lengkap
dengan topi petnya. *** Seketika Mr. Roberts memutuskan apa yang harus dilakukannya. Sebentar kemudian
ia sudah mengenakan mantel dan topi pet itu, dan cepat-cepat berjalan kembali di
lorong kereta. Ia berhenti di gerbong di sebelah gerbong gadis itu.
Dikumpulkannya seluruh keberaniannya, lalu ia mengetuk dengan tegas.
Karena pintu tidak dibuka, ia mengetuk lagi.
"Monsieur," katanya dengan logat dibuat sekental mungkin.
Pintu dibuka sedikit dan sebuah kepala mengintip keluar - kepala seorang asing
yang tercukur bersih, dan berkumis. Wajah itu tampak marah dan penuh permusuhan.
"Qu'est-ce-qu'il ya" Mau apa?" bentaknya.
"Votre passeport, Monsieur. Paspor Anda, Monsieur."
Mr. Roberts mundur selangkah, lalu mengisyaratkan agar orang itu keluar.
Pria yang di dalam itu ragu, lalu keluar ke lorong. Mr. Roberts sudah
memperhitungkan bahwa ia akan berbuat begitu. Bila gadis itu ada di dalam, pria
itu tentu tidak menginginkan kondektur masuk. Mr. Roberts bertindak secepat
kilat. Dengan sekuat tenaga disingkirkannya orang asing itu. Laki-laki itu tak
menduga dan goyangan kereta api pun membantu Mr. Roberts. Lalu Mr. Roberts
menyerbu masuk ke gerbong, menutup pintunya, dan menguncinya.
Gadis itu tampak terbaring melintang di tempat tidur, mulutnya tersumbat dan
pergelangan tangannya terikat. Mr. Roberts cepat-cepat membebaskannya dan gadis
itu jatuh tersandar padanya dengan mendesah.
"Saya merasa lemah sekali dan mual," gumamnya. "Saya rasa dia memakai
khloroform. Apakah dia... apakah dia mendapatkan barang itu?"
"Tidak." Mr. Roberts menepuk sakunya. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanyanya. Gadis itu duduk. Pikirannya sudah terang kembali. Ia melihat pakaian Mr.
Roberts. "Cerdas sekali Anda. Bayangkan, Anda sampai terpikir akan hal itu! Kata orang
itu, dia akan membunuh saya kalau saya tidak mengatakan di mana perhiasan-
perhiasan itu. Oh, saya takut sekali... lalu Anda datang." Tiba-tiba ia tertawa.
"Tapi kita telah mengalahkannya! Dia tidak akan berani melakukan apa-apa. Dia
bahkan tak bisa kembali ke gerbongnya.
"Kita harus tinggal di sini sampai pagi. Mungkin dia akan turun di Dijon;
setengah jam lagi kita sampai di situ. Dia pasti akan menelegram ke Paris, dan
mereka akan mengikuti kita di sana. Sementara itu, sebaiknya Anda lemparkan
mantel dan topi pet itu lewat jendela. Kalau tidak, mereka akan menyulitkan
Anda." Mr. Roberts mematuhinya. "Kita tak boleh tidur," kata gadis itu. "Kita harus tetap berjaga-jaga sampai
pagi." Pengalaman itu aneh dan mendebarkan. Pukul enam pagi, Mr. Roberts membuka pintu
dengan hati-hati dan menjenguk ke luar. Tak ada orang di sekitar tempat itu.
Gadis itu cepat-cepat menyelinap ke dalam gerbongnya sendiri. Mr. Roberts
menyusulnya. Jelas bahwa tempat itu telah diaduk-aduk. Mr. Roberts kembali ke
gerbongnya sendiri, lewat kamar kecil. Teman seperjalanannya masih mendengkur.
Mereka tiba di Paris pukul tujuh. Kondektur sedang meributkan kehilangan mantel
dan topi petnya. Ia belum tahu penumpangnya yang hilang.
Lalu dimulailah kejar-kejaran yang sangat menyenangkan. Gadis itu dan Mr.
Roberts menjelajahi kota Paris dengan berganti-ganti taksi. Mereka memasuki
hotel-hotel dan restoran-restoran lewat pintu yang satu dan keluar lewat pintu
lainnya. Akhirnya gadis itu memberi isyarat.
"Saya yakin kita tidak diikuti lagi sekarang," katanya. "Kita telah
menghilangkan jejak kita."
Mereka sarapan, lalu naik mobil ke Le Bourget. Tiga jam kemudian, mereka tiba di
Croydon. Mr. Roberts belum pernah terbang.
Di Croydon, seorang pria jangkung yang mirip dengan instruktur Mr. Roberts di
Jenewa, sedang menunggu mereka.
Ia menyambut gadis itu dengan sopan sekali.
"Mobil sudah siap, Madam," katanya.
"Bapak ini akan ikut kita, Paul," kata gadis itu. Dan pada Mr. Roberts ia
berkata, "Ini Count Paul Stepanyi."
Mobil itu adalah sebuah limousine besar. Mereka melaju selama kira-kira satu
jam, lalu memasuki halaman sebuah rumah desa dan berhenti di pintu sebuah rumah
yang anggun. Mr. Roberts dibawa ke sebuah ruang kerja. Di situ ia menyerahkan
kaus kaki yang berharga itu. Ia ditinggalkan seorang diri sebentar. Kemudian
Count Stepanyi kembali. "Mr. Roberts," katanya, "kami sangat berterima kasih dan berutang budi pada
Anda. Anda telah membuktikan diri sebagai seorang pria pemberani dan banyak
akal." Ia mengulurkan sebuah kotak berwarna merah. "Izinkan saya menghadiahi
Anda dengan Penghargaan dari St. Stanislaus... surat pujian tingkat sepuluh."
Serasa dalam mimpi, Mr. Roberts membuka kotak itu dan melihat tanda penghargaan
yang bertatahkan permata. Pria tua itu masih berbicara.
"Grand Duchess Olga ingin mengucapkan terima kasih secara langsung pada Anda
sebelum Anda pergi."
Mr. Roberts diantar ke sebuah ruang tamu utama yang besar. Di situ berdiri teman
seperjalanannya yang cantik sekali, mengenakan jubah panjang dan lebar.
Ia memberikan isyarat memerintah dengan tangannya, dan laki-laki tadi
meninggalkan mereka. "Saya berutang nyawa pada Anda, Mr. Roberts," kata grand duchess itu.
Diulurkannya tangannya, dan Mr. Roberts mencium tangan itu. Tiba-tiba ia
membungkuk ke arah Mr. Roberts.
"Kau seorang pemberani," katanya.
Bibir mereka bertautan; sepintas aroma parfum Timur yang kental menerpa Mr.
Roberts. Sesaat didekapnya sosok cantik yang langsing itu dalam rangkaiannya....
Ia serasa masih bermimpi saat seseorang berkata padanya, "Mobil akan membawa
Anda ke mana saja Anda mau."
Sejam kemudian, mobil itu kembali untuk menjemput Grand Duchess Olga. Ia masuk
ke mobil, diikuti oleh Count Stepanyi yang berambut putih itu. Janggutnya sudah
ditanggalkannya. Mobil itu mengantar Grand Duchess Olga ke sebuah rumah di
Streatham. Gadis itu masuk, dan seorang wanita yang sudah berumur mendongak dari
meja teh. "Oh, Maggie, kau rupanya."
Di kereta api ekspres Jenewa-Paris, gadis itu adalah Grand Duchess Olga; di
kantor Mr. Parker Pyne, ia adalah Madeleine de Sara, dan di rumah di Streatham
ia adalah Maggie Sayers, putri keempat dari keluarga seorang pekerja keras yang
jujur. Begitulah kenyataan! *** Mr. Parker Pyne sedang makan siang dengan temannya. "Selamat, ya," kata temannya
itu, "petugasmu telah membawa barang itu dengan selamat, tanpa kurang apa-apa.
Gerombolan Tormali pasti marah besar mendengar senjata itu telah diterima oleh
Liga. Apakah kaukatakan pada petugasmu itu apa yang sedang dibawanya?"
"Tidak. Kupikir lebih baik kalau aku... eh... membohonginya."
"Kau hati-hati sekali."
"Aku tidak saja hati-hati. Aku ingin dia merasa senang. Kupikir kalau dia tahu
itu senjata, dia akan menganggapnya terlalu mudah. Aku ingin dia mengalami
petualangan." "Terlalu mudah?" kata Mr. Bonnington, sambil memandanginya. "Huh, gerombolan itu
pasti membunuhnya kalau mereka tahu."
"Ya," kata Mr. Parker Pyne dengan halus. "Tapi aku tak ingin dia sampai
terbunuh." "Banyakkah penghasilanmu dari usahamu ini, Parker?" tanya Mr. Bonnington.
"Kadang-kadang aku rugi," kata Mr. Parker Pyne. "Itu kalau kasusnya layak diberi
pelayanan istimewa."
*** Tiga orang yang marah sedang saling menyalahkan di Paris.
"Si Hooper keparat itu!" kata salah seorang di antara mereka. "Dia telah
mengkhianati kita." "Dokumen-dokumen itu tidak diambil oleh siapa-siapa dari kantor," kata orang
kedua. "Tapi aku yakin dibawa pada hari Rabu. Jadi, aku yakin kaulah yang
membawanya lari." "Tidak," kata orang ketiga dengan cemberut, "tak ada orang Inggris di kereta
api, kecuali seorang karyawan kecil. Dia tak pernah mendengar tentang Peterfield
atau tentang senjata itu. Aku yakin. Soalnya aku sudah mengetesnya. Peterfield
dan senjata tak berarti apa-apa baginya." Ia tertawa. "Agaknya dia terobsesi
tentang aliran Bolsyewik atau semacamnya."
*** Mr. Roberts sedang duduk di depan perapian gas. Di atas lututnya terletak
sepucuk surat dari Mr. Parker Pyne. Dalam surat itu terlampir selembar cek
sebesar lima puluh pound yang katanya "dari orang-orang tertentu yang merasa
senang sekali dengan telah dilaksanakannya tugas-tugas tertentu."
Di lengan kursinya ada sebuah buku bacaan. Mr. Roberts membukanya secara acak.
"Gadis itu bersandar pada pintu, bagaikan makhluk cantik yang sedang dikejar-
kejar." Yah, ia sudah tahu semua itu.
Dibacanya sebuah kalimat lagi: "Dia mendengus-dengus udara. Samar-samar bau
khloroform yang membuat mual menerpa hidungnya."
Ia juga tahu tentang hal itu.
"Dia mendekapnya dalam pelukannya dan merasakan getaran balasan dari bibirnya
yang merah." Mr. Roberts mendesah. Itu bukan mimpi. Itu semua telah terjadi. Perjalanan pergi
cukup membosankan, tapi perjalanan pulangnya! Ia menikmatinya. Namun ia merasa
senang sudah pulang. Samar-samar dirasakannya bahwa hidup tak bisa dijalani
tanpa kepastian seperti itu. Bahkan Grand Duchess Olga - bahkan ciuman terakhir
itu pun - sudah merupakan bagian dari semacam mimpi yang tidak nyata.
Mary dan anak-anak akan pulang besok. Mr. Roberts tersenyum senang.
Istrinya pasti akan berkata, "Liburan kami menyenangkan sekali. Aku tak senang
membayangkan kau tinggal seorang diri di sini, kasihan kau." Dan Mr. Roberts
akan berkata, "Tak apa-apa, Sayang. Aku harus pergi ke Jenewa untuk urusan
perusahaan - suatu negosiasi yang sulit - dan lihat nih, mereka mengirimi aku ini."
Dan ia akan memperlihatkan cek sebesar lima puluh pound itu.
Ia ingat Penghargaan St Stanislaus, surat pujian kelas sepuluh itu. Surat
penghargaan itu telah disembunyikannya, tapi seandainya Mary menemukannya! Ia
harus mencari penjelasan....
Nah, begini saja... ia akan mengatakan bahwa ia membeli benda itu di luar
negeri. Sebuah suvenir. Dibukanya lagi bukunya dan ia membaca dengan senang. Tak ada lagi bayangan
murung di wajahnya. Ia juga tergolong orang-orang berhasil yang telah mengalami hal-hal menarik.
KASUS SEORANG WANITA KAYA
MR. PARKER PYNE kedatangan tamu bernama Mrs. Abner Rymer. Mr. Parker Pyne
mengenal nama itu dan ia mengangkat alisnya.
Sebentar kemudian, kliennya itu diantar masuk ke ruang kerjanya.
Mrs. Rymer bertubuh tinggi, dengan tulang besar-besar. Bentuk tubuhnya tidak
bagus, dan gaun beludru serta mantel bulu binatangnya tak mampu menyembunyikan
kejelekan itu. Tangannya yang besar berbonggol-bonggol. Wajahnya lebar dan
merah. Rambutnya yang hitam ditata menurut mode, dan pada topinya terdapat
banyak bulu burung yang keriting.
Wanita itu mengempaskan tubuhnya yang besar ke kursi sambil mengangguk. "Selamat
pagi," katanya. Suaranya berlogat kasar. "Kalau Anda memang pandai, tolong
katakan bagaimana saya harus menghabiskan uang saya!"
"Luar biasa," gumam Mr. Parker Pyne. "Sedikit sekali orang yang menanyakan hal
itu pada saya, zaman sekarang ini. Jadi, Anda benar-benar merasa kesulitan, Mrs.
Rymer?" "Betul," katanya dengan terus terang. "Saya memiliki tiga mantel bulu binatang,
banyak sekali gaun dari Paris, dan sebagainya. Saya punya rumah dan mobil di
Park Lane. Saya punya kapal pesiar, padahal saya tak suka laut. Saya punya
banyak pembantu kelas tinggi yang memandang rendah pada orang-orang. Saya juga
sudah bepergian dan melihat negeri-negeri asing. Dan saya benar-benar tak tahu
lagi apa yang harus saya beli atau apa yang harus saya lakukan." Ia melihat pada
Mr. Pyne dengan penuh harapan.
"Bukankah ada rumah-rumah sakit?" kata Mr. Parker Pyne,
"Apa" Maksud Anda memberikan uang begitu saja" Tidak, saya tak mau! Dengar, Mr.
Pyne, uang itu hasil kerja, hasil kerja keras. Kalau Anda pikir saya mau
memberikannya... yah, Anda keliru. Saya ingin membelanjakannya; membelanjakannya
dan mendapatkan manfaat dari uang itu. Nah, bila Anda punya gagasan yang baik di
bidang itu, Anda bisa berharap akan mendapatkan bayaran tinggi."
"Usul Anda menarik," kata Mr. Pyne. "Anda tidak menyebutkan bahwa Anda memiliki
sebuah rumah peristirahatan."
"Saya lupa, tapi saya punya. Saya bosan selengah mati pada rumah itu."
"Anda juga harus menceritakan lebih banyak tentang diri Anda. Masalah Anda tidak
mudah diselesaikan."
"Saya bersedia menceritakannya. Saya tidak malu tentang asal-usul saya. Waktu
masih gadis, saya pernah bekerja di sebuah rumah pertanian. Saya harus bekerja
keras. Lalu saya berkenalan dengan Abner yang bekerja di penggilingan dekat
tempat saya bekerja. Delapan tahun dia memacari saya, lalu kami menikah."
"Dan Anda berdua bahagia?" tanya Mr. Pyne.
"Ya. Abner baik pada saya. Meskipun kami harus berjuang keras. Dua kali dia
kehilangan pekerjaannya, padahal kami sudah punya empat orang anak, tiga laki-
laki dan satu perempuan. Dan tak seorang pun sempat tumbuh dewasa. Saya yakin
keadaannya akan lain seandainya mereka masih hidup." Wajahnya melembut, dan
tiba-tiba tampak lebih muda.
"Paru-paru Abner lemah. Dia tidak diterima ikut berperang. Di rumah, dia
berhasil. Dia dijadikan mandor. Abner orang yang cerdas. Dia bisa bekerja dengan
baik, dan boleh dikatakan orang-orang memperlakukannya dengan adil. Mereka
berani membayar mahal untuk jasanya. Uang itu dimanfaatkannya untuk suatu
gagasan lain, dan itu menghasilkan uang banyak sekali. Sampai sekarang pun uang
masih tetap mengalir. "Pada awalnya saya sangat menikmatinya. Punya rumah dan kamar mandi yang
sempurna, dan pelayan-pelayan sendiri. Tak perlu lagi memasak, menyikat, dan
mencuci. Tinggal duduk saja bersandar pada bantal kursi bersarung sutra di ruang
duduk utama dan menekan tombol kalau ingin minum teh - seperti wanita ningrat
saja! Menyenangkan sekali, dan kami menikmatinya. Lalu kami pergi ke London.
Saya memesan pakaian pada penjahit-penjahit terkemuka. Kami pergi ke Paris dan
Riviera. Bukan main senangnya."
"Kemudian?" tanya Mr. Parker Pyne.
"Saya rasa kami jadi terbiasa dengan itu semua," kala Mrs. Rymer. "Setelah
beberapa lama, rasanya jadi tidak begitu menyenangkan lagi. Yah, bahkan ada
kalanya kami tidak lagi menikmati apa yang kami makan, padahal kami bisa makan
dengan lauk-pauk yang kami pilih! Mengenai mandi... yah, akhirnya mandi sekali
sehari sudah cukup rasanya. Dan Abner mulai merisaukan kesehatannya. Kami
mengeluarkan banyak uang untuk para dokter, tapi mereka tak bisa berbuat apa-
apa. Mereka mencoba bermacam-macam obat. Tapi sia-sia. Akhirnya Abner
meninggal." Ia diam sebentar. "Padahal dia masih muda, baru empat puluh tiga."
Mr. Pyne mengangguk, menyalakan ikut prihatin.
"Itu terjadi lima tahun yang lalu. Uang masih saja mengalir masuk. Rasanya
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mubazir tak bisa memanfaatkannya dengan baik. Tapi seperti saya katakan, saya
tak lagi bisa memikirkan apa yang harus saya beli, yang belum saya miliki."
"Dengan kata lain," kata Mr. Pyne, "hidup Anda membosankan. Anda tidak
menikmatinya." "Saya bosan," kata Mrs. Rymer dengan murung. "Saya tak punya teman-teman. Orang-
orang baru itu hanya mau minta sumbangan-sumbangan saja, dan mereka menertawakan
saya di belakang punggung. Orang-orang lama tak mau kenal pada saya. Karena saya
ke mana-mana naik mobil mewah, mereka jadi malu. Bisakah Anda melakukan atau
mengusulkan sesuatu?"
"Mungkin bisa," kata Mr. Pyne lambat-lambat. "Memang sulit, tapi saya yakin ada
kemungkinan untuk berhasil. Saya rasa, saya bisa mengembalikan apa yang telah
hilang dari Anda - gairah hidup Anda."
"Bagaimana caranya?" tanya Mrs. Rymer tegas.
"Itu rahasia jabatan saya," kata Mr. Parker Pyne. "Saya tak pernah menceritakan
metoda saya. Pertanyaannya adalah, maukah Anda mengadu untung" Saya tidak
menjamin keberhasilan, tapi saya yakin ada kemungkinannya.
"Saya harus memakai metoda yang luar biasa, dan oleh karenanya jadi mahal. Untuk
itu bayarannya seribu pound, harus dibayar di muka."
"Anda bisa berbicara seenaknya, ya?" kata Mrs. Rymer. "Yah, biarlah saya
tanggung risikonya. Saya biasa membayar harga tinggi. Tapi saya menuntut sesuatu
yang baik, dan saya mesti mendapatkannya."
"Anda akan mendapatkannya," kata Mr. Parker Pyne. "Jangan takut."
"Malam ini akan saya kirimkan ceknya," kata Mrs. Rymer sambil bangkit. "Saya
benar-benar tidak tahu mengapa saya harus mempercayai Anda. Orang-orang dungu
memang mudah terpisah dari uangnya. Anda sungguh berani mengiklankan dalam
koran-koran bahwa Anda bisa membuat orang bahagia!"
"Iklan-iklan itu harus saya bayar," kata Mr. Pyne. "Kalau saya tak bisa
membuktikan kebenaran kata-kata saya, uang itu akan sia-sia. Saya tahu penyebab
ketidakbahagiaan, dan saya punya pengertian bagaimana menciptakan keadaan
sebaliknya." Mrs. Rymer menggeleng dengan ragu, lalu pergi dengan meninggikan aroma
wewangian. Claude Luttrell yang tampan pun masuk ke kantor dengan santai. "Ada sesuatu yang
sesuai untuk saya?" Mr. Pyne menggeleng. "Tidak sesederhana itu," katanya. "Tidak. Ini perkara yang
sulit. Kurasa kita harus mengambil beberapa risiko. Kita harus mencoba
menggunakan yang tidak biasa."
"Mrs. Oliver?" Mr. Pyne tersenyum mendengar nama penulis novel terkenal di seluruh dunia itu.
"Mrs. Oliver," katanya. "Ya, dialah yang paling berguna dalam hal ini. Aku punya
rencana hebat yang berani dan nekat. Omong-omong, sebaiknya kautelepon Dr.
Antrobus." "Antrobus?" "Ya. Jasanya akan diperlukan."
*** Seminggu kemudian, Mrs. Rymer sekali lagi memasuki kantor Mr. Parker Pyne. Mr.
Pyne bangkit untuk menyambut tamunya.
"Yakinlah bahwa keterlambatan ini memang berguna," katanya. "Banyak hal yang
harus diatur, dan saya harus mendapatkan jasa seseorang yang luar biasa, yang
mesti datang dengan menyeberangi separuh Benua Eropa."
"Oh!" kata wanita itu dengan curiga. Ia selalu ingat akan uangnya yang seribu
pound. Mr. Parker Pyne menekan sebuah tombol pemanggil. Seorang gadis berkulit gelap
dan bertampang Timur, tapi mengenakan pakaian putih seorang perawat, muncul.
"Apakah segala-galanya sudah siap, Suster de Sara?"
"Sudah. Dokter Constantine sudah menunggu."
"Apa yang akan Anda lakukan?" tanya Mrs. Rymer dengan agak gelisah.
"Memperkenalkan Anda pada semacam ilmu gaib dari Timur," kata Mr. Parker Pyne.
Mrs. Rymer mengikuti perawat itu ke lantai berikutnya. Di situ ia diajak masuk
ke sebuah ruangan yang tak ada hubungannya dengan bagian-bagian lain dari rumah
itu. Hasil karya Timur melapisi dinding-dindingnya. Ada dipan-dipan lengkap
dengan bantal-bantal hias yang lembut, dan di lantai terbentang permadani yang
indah. Seorang laki-laki sedang membungkuk di atas sebuah poci kopi. Ia
menegakkan tubuhnya waktu mereka masuk.
"Ini Dokter Constantine," kata perawat itu.
Dokter itu berpakaian cara Eropa, tapi wajahnya gelap, matanya pun gelap dan
sipit, dengan pandangan tajam yang aneh.
"Jadi, inikah pasienku?" tanyanya dengan suara rendah yang bergetar.
"Saya bukan pasien," kata Mrs. Rymer.
"Tubuh Anda tidak sakit," kata dokter itu, "tapi jiwa Anda letih. Kami dari
Timur tahu bagaimana menyembuhkan penyakit semacam itu. Silakan duduk dan minum
secangkir kopi." Mrs. Rymer duduk dan menerima secangkir kecil kopi harum. Saat ia menyeruput
kopinya, dokter itu berbicara.
"Di Barat ini, orang hanya memperhatikan tubuh. Itu salah. Tubuh hanyalah alat.
Dia bergerak berdasarkan suatu irama. Irama itu mungkin sedih dan membosankan.
Mungkin pula ceria dan penuh kegembiraan. Yang terakhir itulah yang akan kami
berikan pada Anda. Anda punya uang. Anda akan membelanjakannya dan menikmatinya.
Hidup akan terasa pantas dijalani. Itu mudah. Mudah... mudah sekali..."
Rasa lemas merayapi tubuh Mrs. Rymer. Sosok-sosok dokter dan perawat itu jadi
samar. Ia merasa tenang dan mengantuk. Lalu sosok dokter itu jadi membesar.
Seluruh dunia terasa lebih besar.
Dokter itu menatap matanya. "Tidur," kata dokter itu. "Tidurlah. Kelopak matamu
akan tertutup. Kau akan segera tidur. Kau akan tidur..."
Kelopak mata Mrs. Rymer benar-benar tertutup. Ia mengambang bersama dunia yang
besar dan nyaman.... *** Waktu matanya terbuka, ia merasa seolah-olah waktu sudah lama berlalu. Samar-
samar ia ingat beberapa hal - mimpi-mimpi aneh yang tidak masuk akal; lalu
perasaan terjaga; kemudian disusul oleh mimpi lagi. Ia ingat sesuatu yang
berhubungan dengan sebuah mobil dan gadis cantik bertampang gelap yang
mengenakan seragam perawat dan membungkuk di atasnya.
Pokoknya, ia sudah benar-benar bangun sekarang, dan di tempat tidurnya sendiri
pula. Atau, benarkah ini tempat tidurnya sendiri" Rasanya lain. Tak ada kelembutan
yang nyaman. Samar-samar hal itu mengingatkannya pada hari-hari yang hampir
dilupakannya. Ia bergerak, dan tempat tidur itu berderak. Tempat tidur Mrs.
Rymer di Park Lane tak pernah berderak.
Ia melihat ke sekelilingnya. Jelas ini bukan Park Lane. Apakah ini sebuah rumah sakit" Bukan, ia yakin, bukan rumah sakit. Bukan
pula hotel. Ini sebuah kamar kosong, dindingnya berwarna lila yang tidak jelas.
Ada meja pencuci tangan, dengan kendi dan sebuah baskom di atasnya. Ada sebuah
lemari pendek berlaci-laci dan sebuah peti dari timah. Ada pakaian yang tidak
dikenalnya tergantung pada kapstok. Ada tempat tidur beralas selimut tebal yang
sudah banyak tisikannya, dan ia terbaring di tempat tidur itu.
"Di mana aku?" tanya Mrs. Rymer.
Pintu terbuka dan seorang wanita kecil yang gemuk masuk dengan susah payah.
Pipinya merah dan air mukanya ramah. Lengan bajunya tergulung dan ia mengenakan
celemek. "Nah!" serunya. "Dia sudah bangun. Silakan masuk, Dokter."
Mrs. Rymer membuka mulutnya, akan mengatakan beberapa hal, tapi kata-kata itu
tak terucap, karena laki-laki yang mengikuti wanita gemuk itu masuk ke kamar
sama sekali bukan Dokter Constantine yang gelap namun perlente. Ia seorang laki-
laki tua yang bungkuk, yang memandang tajam lewat kacamata tebal.
"Itu lebih baik," katanya sambil mendekat ke tempat tidur dan mengangkat
pergelangan tangan Mrs. Rymer. "Anda akan membaik, Nyonya."
"Ada apa dengan saya?" tanya Mrs. Rymer.
"Anda mengalami serangan penyakit," kata dokter itu. "Anda tidak sadar selama
satu-dua hari. Tak perlu dicemaskan."
"Tapi kau membuat kami ketakutan, Hannah," kata wanita gemuk itu. "Kau juga
mengigau, mengatakan hal-hal yang aneh."
"Benar, Mrs. Gardner," kata sang dokter pada wanita itu. "Tapi kita tak boleh
mengacaukan pasien. Sebentar lagi Anda sudah bisa bangun."
"Tapi jangan kaupikirkan soal pekerjaan, Hannah," kata Mrs. Gardner. "Mrs.
Roberts datang untuk membantuku, dan kami baik-baik saja. Berbaring sajalah
diam-diam, supaya cepat sembuh, sayangku."
"Mengapa Anda menyebut saya Hannah?" tanya Mrs. Rymer.
"Itu kan namamu," kata Mrs. Gardner kebingungan.
"Bukan. Nama saya Amelia. Amelia Rymer. Mrs. Abner Rymer."
Dokter dan Mrs. Gardner berpandangan.
"Yah, pokoknya kau berbaring saja diam-diam," kata Mrs. Gardner.
"Ya, ya. Jangan cemas," kata Dokter.
Mereka keluar. Mrs. Rymer terbaring dengan bingung. Mengapa mereka menyebutnya
Hannah, dan mengapa mereka saling berpandangan dengan rasa geli waktu ia
menyebutkan namanya sendiri" Di mana dia dan apa yang telah terjadi"
Ia turun dari tempat tidur. Kakinya terasa lemah, tapi ia berjalan juga
perlahan-lahan ke arah sebuah jendela kecil di atap yang miring. Ia melihat ke
luar - dilihatnya sebuah pekarangan rumah pertanian! Ia benar-benar kebingungan,
lalu kembali ke tempat tidur. Apa yang dilakukannya di sebuah rumah pertanian
yang tak pernah dilihatnya"
Mrs. Gardner masuk kembali ke kamar dengan membawa semangkuk sup di nampan.
Mrs. Rymer mulai bertanya. "Mengapa saya berada di rumah ini?" tanyanya. "Siapa
yang membawa saya kemari?"
"Tak ada yang membawamu, sayangku. Ini rumahmu. Setidaknya sudah lima tahun kau
tinggal di sini, dan aku sama sekali tak mengira kau akan mendapat serangan
penyakit itu." "Tinggal di sini! Lima tahun?"
"Benar. Aduh, Hannah, masa kau masih tetap tak ingat?"
"Saya tak pernah tinggal di sini! Saya tak pernah melihat Anda."
"Begini, kau jatuh sakit, dan kau lupa."
"Saya tak pernah tinggal di sini."
"Kau tinggal di sini, Sayang." Tiba-tiba Mrs. Gardner menyeberang ke lemari
pendek berlaci-laci, lalu membawa sebuah foto pudar yang berbingkai dan
memperlihatkannya pada Mrs. Rymer.
Di foto itu tampak empat orang: seorang pria berjanggut, seorang wanita gemuk
(Mrs. Gardner), seorang laki-laki kurus tinggi yang tersenyum menyenangkan tapi
dungu, dan seorang wanita dalam gaun katun dan celemek - dirinya sendiri!
Mrs. Rymer memandangi foto itu tanpa bisa berbicara. Mrs. Gardner meletakkan sup
tadi di sampingnya, lalu keluar dari kamar itu.
Mrs. Rymer menyeruput sup itu dengan otomatis. Sup itu enak, bumbunya pun
nikmat. Sementara itu otaknya terus berputar. Siapa yang gila" Mrs. Gardner atau
dirinya sendiri" Pasti salah seorang di antara mereka! Tapi ada pula dokter itu.
"Aku Amelia Rymer," katanya dengan yakin pada dirinya sendiri. "Aku yakin aku
adalah Amelia Rymer, dan tak seorang pun bisa membantahnya."
Dihabiskannya sup itu dan dikembalikannya mangkuknya ke nampan. Terlihat olehnya
selembar koran terlipat. Diambilnya koran itu, lalu ia melihat tanggalnya.
Tanggal 19 Oktober. Hari apa ia pergi ke kantor Mr. Parker Pyne" Pada tanggal
lima belas atau tanggal enam belas. Kalau begitu, ia sakit tiga hari.
"Dasar dokter keparat itu!" kata Mrs. Rymer dengan sengit.
Meskipun begitu, ia merasa agak lega juga. Ia pernah mendengar bahwa ada pasien
yang lupa siapa dirinya sendiri selama bertahun-tahun. Ia takut hal semacam itu
terjadi atas dirinya. Ia pun membalik-balik halaman koran itu dan membaca
sepintas lalu. Tiba-tiba sebuah paragraf menarik perhatiannya.
Mrs. Abner Rymer, janda Abner Rymer, "raja kancing", kemarin dipindahkan ke
sebuah peristirahatan pribadi untuk pasien-pasien penyakit ingatan. Selama dua
hari ia berkeras menyatakan bahwa ia bukanlah dirinya, melainkan seorang gadis
pelayan bernama Hannah Moorhouse.
"Hannah Moorhouse! Begitu rupanya," kata Mrs. Rymer. "Dia menjadi diriku dan aku
menjadi dia. Kurasa pribadi ganda. Yah, kita akan bisa meluruskan hal itu
secepatnya! Kalau si munafik licik Parker Pyne itu ingin mempermainkanku atau
apa..." Tapi saat itu terlihat olehnya nama Constantine menatapnya dari halaman cetakan
itu. Kali ini berita itu merupakan induk berita.
PERNYATAAN DR. CONSTANTINE
Pada ceramah perpisahan yang diberikan semalam menjelang keberangkatannya ke
Jepang, Dr. Claudius Constantine mengemukakan beberapa teori yang mengejutkan.
Beliau menyatakan kemungkinan membuktikan eksistensi roh dengan cara memindahkan
roh dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Berdasarkan pengalaman-pengalamannya di
Timur, diakuinya bahwa ia telah berhasil melakukan pemindahan ganda - roh tubuh A
yang sudah dihipnotis dipindahkan ke tubuh B yang sudah dihipnotis, dan roh dari
tubuh B diisi dengan roh dari tubuh A. Pada saat sadar dari tidur hipnotis, A
menyatakan dirinya adalah B, sedangkan B mengira dirinya adalah A. Supaya
eksperimen itu berhasil, dia perlu menemukan dua orang yang secara jasmaniah
sama persis. Tak bisa disangkal bahwa dua orang yang serupa juga punya hubungan.
Hal itu terlihat nyata pada orang-orang kembar. Tapi dua orang asing yang
kedudukan sosialnya jauh berbeda, namun mempunyai kesamaan fisik nyata, ternyata
juga memperlihatkan persamaan susunan otak.
Mrs. Rymer melemparkan surat kabar itu jauh-jauh. "Keparat itu! Keparat jahat
itu!" Sekarang ia mengerti semuanya! Mereka merupakan komplotan jahat untuk
mendapatkan uangnya. Si Hannah Moorhouse itu pasti kaki-tangan Mr. Pyne - mungkin
sebenarnya ia tidak tahu-menahu. Mr. Pyne dan si setan Constantine itu yang
merencanakan perampasan luar biasa ini.
Tapi Mrs. Rymer akan menjatuhkannya! Ia akan memperlihatkan siapa laki-laki itu
sebenarnya. Akan diseretnya laki-laki itu ke hadapan hukum! Akan dikatakannya
pada semua orang... Mrs. Rymer terhenti mendadak dalam arus kemarahannya. Ia ingat akan tulisan
pertama yang dibacanya. Hannah Moorhouse bukan alat yang jinak. Ia membantah,
menyatakan siapa dirinya sebenarnya. Dan apa yang terjadi"
"Dikurung di rumah sakit jiwa. Kasihan gadis itu," kata Mrs. Rymer.
Ia merinding. Rumah sakit jiwa. Orang bisa dikurung di situ dan tidak akan pernah dibebaskan
lagi. Makin sering kita mengatakan bahwa kita waras, makin tak percaya mereka.
Kita akan tetap berada di situ. Tidak, Mrs. Rymer tidak akan menanggung risiko
itu. Pintu terbuka dan Mrs. Gardner masuk.
"Oh, sudah kauhabiskan supmu, Sayang. Bagus. Kau akan segera sembuh."
"Kapan saya jatuh sakit?" tanya Mrs. Rymer.
"Kapan ya" Tiga hari yang lalu - pada hari Rabu. Tanggal lima belas. Kau jatuh
sakit kira-kira jam empat."
"Oh!" Kata seru itu sarat dengan arti. Memang kira-kira jam empatlah Mrs. Rymer
menemui Dokter Constantine.
"Kau jatuh di kursimu," kata Mrs. Gardner. "'Aduh!' katamu. 'Aduh!' begitu saja.
Lalu, 'Saya ingin tidur,' katamu dengan suara mengantuk. 'Saya ingin tidur.' Dan
kau benar-benar tertidur. Kami membawamu ke tempat tidur, lalu memanggil dokter,
dan sejak itulah kau berada di sini."
"Saya rasa," kata Mrs. Rymer memberanikan diri, "Anda tak mungkin tahu siapa
saya - maksud saya tanpa melihat wajah saya."
"Wah, aneh kata-katamu itu," kata Mrs. Gardner. "Apalah yang bisa dijadikan
petunjuk yang lebih baik daripada wajah seseorang" Coba katakan. Tapi masih ada
tanda lahirmu, kalau itu bisa memuaskan dirimu."
"Tanda lahir?" kata Mrs. Rymer. Ia jadi berseri-seri. Ia tak punya tanda lahir.
"Tanda hitam di bawah siku kananmu," kata Mrs. Gardner, "Lihat saja sendiri."
"Inilah yang akan membuktikan," kata Mrs. Rymer dalam hati. Ia tahu bahwa ia tak
punya tanda lahir hitam di bawah siku kanannya. Digulungnya lengan baju
tidurnya. Tanda lahir hitam itu memang ada.
Mrs. Rymer pun menangis. *** Empat hari kemudian, Mrs. Rymer bangkit dari tempat tidurnya. Ia sudah
memikirkan beberapa rencana tindakan, tapi semuanya ditolaknya.
Mungkin ia bisa memperlihatkan apa yang dibacanya di koran pada Mrs. Gardner,
lalu menjelaskan. Tapi maukah mereka mempercayainya" Lagi-lagi ia merasa itu tak
mungkin. Mungkin ia bisa pergi ke kantor Mr. Pyne. Gagasan itu lebih membesarkan hatinya.
Pertama-tama akan dikatakannya pada si celaka licik itu, apa pendapatnya tentang
dirinya. Tapi ia batal melaksanakan rencana itu karena sebuah halangan besar.
Sekarang ini ia berada di Cornwall (begitu didengarnya), dan ia tak punya uang
untuk bepergian ke London. Uangnya tak lebih dari dua shilling dan empat pence,
di dalam sebuah dompet kumal.
Maka, setelah empat hari, Mrs. Rymer mengambil suatu keputusan yang berani.
Untuk sementara ia akan menerima baik semua keadaan ini! Ia adalah Hannah
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Moorhouse. Baiklah, ia akan mengakui bahwa ia adalah Hannah Moorhouse. Untuk
sementara ia akan menerima peran itu, dan kemudian, setelah uangnya terkumpul
cukup banyak, ia akan pergi ke London dan menangkap basah penipu itu di tempat
kerjanya. Setelah mengambil keputusan itu, Mrs. Rymer menerima perannya dengan senang
hati, bahkan dengan kegembiraan dibuat-buat. Sejarah pun terulang. Kehidupan ini
mengingatkannya kembali pada hidupnya semasa gadis. Betapa lama sudah hal itu
berlalu! *** Pekerjaan terasa agak berat, karena ia sudah terbiasa hidup nyaman selama
bertahun-tahun. Tapi setelah melewati minggu-minggu pertama, didapatinya dirinya
terbiasa dengan cara hidup di tanah pertanian itu.
Mrs. Gardner adalah seorang wanita baik hati yang tak mudah marah. Suaminya,
seorang laki-laki bertubuh besar yang pendiam, juga baik hati. Laki-laki tinggi
kurus yang ada di foto tak ada lagi; sebagai gantinya ada seorang laki-laki
bertubuh sebesar raksasa, berumur empat puluh lima tahun dan suka bercanda, yang
bekerja sebagai buruh tani di situ. Ia lamban, baik dalam bicara maupun dalam
berpikir, tapi matanya yang biru berkilat malu-malu.
Minggu-minggu berlalu. Akhirnya Mrs. Rymer punya cukup uang untuk biaya
perjalanannya ke London. Tapi ia tidak pergi. Ia menundanya. Masih ada waktu,
pikirnya. Ia masih tak senang memikirkan rumah sakit. Si keparat Parker Pyne itu
memang cerdik, mencari seorang dokter yang harus mengatakan bahwa Mrs. Rymer
gila dan mengurungnya di tempat tak seorang pun mengenalnya.
"Apalagi," pikir Mrs. Rymer, "sedikit perubahan baik juga bagi orang."
Ia bangun pagi dan bekerja keras. Joe Welsh, buruh tani yang baru, sakit dalam
musim salju itu. Mrs. Rymer dan Mrs. Gardner merawatnya. Laki-laki bertubuh
besar itu benar-benar bergantung pada mereka dan menimbulkan rasa iba.
Musim semi tiba. Musim ternak beranak; bunga-bunga liar bermekaran, udara terasa
lembut. Joe Welsh membantu Hannah dalam pekerjaannya. Hannah menolong menisikkan
pakaian Joe. Kadang-kadang, pada hari-hari Minggu, mereka berjalan-jalan berdua. Joe seorang
duda. Istrinya meninggal empat tahun yang lalu. Sejak itu Joe suka minum-minum.
Tapi sekarang ia tidak lagi sering pergi ke rumah minum the Crown. Ia telah
membeli baju-baju baru. Mr. dan Mrs. Gardner tertawa.
Hannah suka mengolok-olok Joe karena kecanggungannya. Joe tidak keberatan. Ia
kelihatan malu, tapi juga senang.
Setelah musim semi, tibalah musim panas yang bagus tahun itu. Semua orang
bekerja keras. Kemudian musim panen berlalu. Daun-daun berwarna merah dan keemasan di pohon-
pohon. Hari itu tanggal delapan Oktober, waktu Hannah mendongak dari sebuah kol yang
akan dipanennya, dan melihat Mr. Parker Pyne bersandar pada pagar.
"Anda!" kata Hannah, alias Mrs. Rymer. "Anda..."
Beberapa waktu kemudian, barulah tersembur semuanya, dan setelah ia mengucapkan
semua yang ingin dikatakannya, ia terengah-engah.
Mr. Parker Pyne tersenyum dengan tenang. "Saya sependapat sekali dengan Anda,"
katanya. "Penipu, pembohong, itulah kau!" kata Mrs. Rymer, mengulangi kata-katanya. "Kau
yang memanfaatkan Constantine dengan hipnotismenya, dan gadis malang Hannah
Moorhouse yang terkurung dengan... orang-orang gila."
"Tidak," kata Mr. Parker Pyne, "dalam hal itu, Anda salah menilai saya. Hannah
Moorhouse tidak berada di rumah sakit jiwa, karena Hannah Moorhouse tak pernah
ada." "Benarkah begitu?" tanya Mrs. Rymer. "Lalu bagaimana dengan fotonya yang saya
lihat dengan mata kepala saya sendiri?"
"Tipuan," kata Mr. Pyne. "Itu mudah saja mengaturnya."
"Lalu tulisan di koran mengenai dirinya?"
"Seluruh koran itu adalah tipuan. Saya minta dimuat dua berita dengan cara yang
wajar, supaya bisa menimbulkan keyakinan. Dan ternyata benar."
"Lalu si keparat Dokter Constantine itu!"
"Itu nama samaran - disamarkan oleh seorang sahabat saya yang memiliki bakat
bersandiwara." Mrs. Rymer mendengus. "Bagus! Dan saya rasa, saya bahkan tidak dihipnotis, ya?"
"Memang tidak. Anda minum kopi, yang merupakan ramuan India. Setelah itu
diminumkan pula obat-obatan lain, lalu Anda dibawa kemari dengan mobil, dan Anda
dibiarkan sampai sadar."
"Kalau begitu, selama ini Mrs. Gardner itu terlibat?" kata Mrs. Rymer.
Mr. Parker Pyne mengangguk.
"Saya rasa berkat uang suap Anda! Atau diberi cerita-cerita omong kosong!"
"Mrs. Gardner percaya pada saya," kata Mr. Pyne. "Soalnya saya pernah
menyelamatkan putra tunggalnya sampai tidak jadi dipenjarakan."
Ada sesuatu yang membuat Mrs. Rymer terdiam mendengar kata-kata itu. "Bagaimana
dengan tanda lahir itu?" tanyanya.
Mr. Pyne tersenyum. "Itu sudah mulai memudar. Enam bulan lagi itu akan hilang
sama sekali." "Lalu apa maksud semua keadaan gila-gilaan ini" Membodohi saya ya, dengan
membenamkan saya di sini sebagai pekerja - saya yang punya begitu banyak uang di
bank. Tapi saya rasa saya tak perlu bertanya. Anda pasti telah memanfaatkan uang
itu, orang cerdik. Itulah tujuan semuanya ini."
"Memang benar," kata Mr. Parker Pyne, "bahwa selama Anda berada dalam keadaan
tak sadar, saya telah mendapatkan hak pengaturan dan bahwa selama... eh... Anda
tak ada, saya telah memegang kendali dalam urusan keuangan Anda. Tapi
percayalah, Madame yang baik, bahwa kecuali seribu dolar yang sejak semula sudah
kita sepakati, tak ada uang Anda yang masuk ke saku saya. Bahkan, karena adanya
investasi yang sah, uang Anda justru bertambah." Ia memandang Mrs. Rymer dengan
berseri. "Lalu mengapa...?" Mrs. Rymer memulai lagi.
"Saya ingin bertanya, Mrs. Rymer," potong Mr. Parker Pyne. "Anda seorang wanita
yang jujur Saya yakin Anda akan menjawab saya dengan jujur. Saya akan bertanya,
apakah Anda sekarang bahagia."
"Bahagia! Pertanyaan bagus! Anda mencuri uang seorang wanita, lalu Anda bertanya
apakah dia bahagia. Saya kagumi kelancangan Anda!"
"Anda masih marah," kata Mr. Pyne. "Itu wajar sekali. Tapi coba lupakan
kejahatan-kejahatan saya sebentar. Mrs. Rymer, waktu Anda datang ke kantor saya,
tepat setahun yang lalu, Anda adalah seorang wanita yang tidak bahagia. Bisakah
Anda mengatakan bahwa Anda tidak bahagia sekarang" Kalau begitu keadaannya, saya
minta maaf, dan Anda bebas mengambil langkah apa saja untuk melawan saya.
Apalagi uang seribu pound yang sudah Anda bayarkan pada saya akan saya
kembalikan. Nah, Mrs. Rymer, apakah Anda tidak bahagia sekarang?"
Mrs. Rymer melihat pada Mr. Parker Pyne, tapi ia menundukkan kepala sewaktu
akhirnya berbicara. "Tidak," katanya. "Saya tak bisa mengatakan bahwa saya tidak bahagia." Suaranya
mengandung nada tak mengerti. "Anda telah berhasil mengalahkan saya. Saya akui.
Tak pernah saya sebahagia sekarang, sejak kematian Abner. Saya... saya akan
menikah dengan seorang laki-laki yang bekerja di sini - Joe Welsh. Kontrak kerja
kami akan berakhir hari Minggu yang akan datang."
"Tapi sekarang semuanya tentu jadi lain."
Wajah Mrs. Rymer jadi merah padam. Ia maju selangkah.
"Apa maksud Anda" Apakah Anda pikir bahwa bila saya mendapatkan semua uang di
dunia ini, saya akan berubah menjadi wanita terkemuka" Saya tak ingin menjadi
wanita terkemuka, terima kasih; semua itu tak ada gunanya. Joe cukup baik untuk
saya, dan saya cukup baik baginya. Kami berdua cocok dan kami berdua akan
bahagia. Sedangkan Anda, Mr. Parker yang Sok Tahu, pergilah dan jangan
mencampuri apa-apa yang tak ada urusannya dengan diri Anda!"
Mr. Parker Pyne mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menyerahkannya pada
Mrs. Rymer. "Hak atas pengaturan itu," katanya. "Saya sobek saja, ya" Saya rasa
sekarang Anda akan mengurus kekayaan Anda sendiri."
Ekspresi wajah Mrs. Rymer berubah menjadi aneh. Didorongnya kembali kertas itu.
"Ambil saja itu. Saya telah mengucapkan kata-kata kasar pada Anda - meskipun
beberapa di antaranya memang pantas Anda terima. Anda orang yang brengsek, tapi
saya mempercayai Anda. Saya hanya ingin tujuh ratus pound di sini - itu cukup
untuk membeli sebidang tanah pertanian yang kami inginkan. Sisanya... yah,
berikan saja pada rumah-rumah sakit."
"Anda kan tidak bermaksud menyerahkan semua kekayaan Anda pada rumah-rumah
sakit?" "Itulah maksud saya. Joe adalah orang baik yang saya sayangi, tapi dia lemah.
Kalau dia diberi uang, dia akan hancur. Saya sudah berhasil membebaskannya dari
minuman keras, dan saya bertekad untuk terus membebaskannya. Puji Tuhan, saya
tahu pikiran saya sendiri. Tak akan saya biarkan uang menghalangi saya untuk
mendapatkan kebahagiaan."
"Anda wanita yang luar biasa," kata Mr. Pyne perlahan-lahan. "Hanya seorang
dalam seribu yang akan bertindak seperti Anda."
"Satu-satunya wanita dalam seribu itu punya akal sehat," kata Mrs. Rymer.
"Saya angkat topi untuk Anda," kata Mr. Parker Pyne, dan dalam suaranya
terdengar nada yang tidak biasa. Diangkatnya topinya dengan sopan sekali, lalu
ia pergi. "Dan Joe tak boleh tahu, ingat itu!" teriak Mrs. Rymer dari belakangnya.
Wanita itu berdiri dengan matahari yang sedang tenggelam di belakangnya, sebuah
kol besar di tangannya, kepalanya terangkat tegak dan pundaknya kokoh. Sesosok
wanita petani yang anggun, berlatar belakang matahari yang sedang tenggelam....
KASUS ISTRI YANG CURIGA "LEWAT sini, Madame."
Seorang wanita bertubuh jangkung, yang mengenakan mantel bulu cerpelai,
mengikuti portir stasiun yang memanggul beban berat di sepanjang peron Stasiun
Gare de Lyon. Ia memakai topi rajutan berwarna cokelat tua, yang dipasang miring menutupi
sebelah mata dan telinganya. Sisi lain wajah itu memperlihatkan raut yang
menarik, dengan dagu melengkung ke atas dan rambut keriting berwarna keemasan
yang menutupi telinga berbentuk mungil. Ia khas wanita Amerika, yang secara umum
cantik sekali. Lebih dari satu laki-laki melihat padanya saat ia berjalan
melewati gerbong-gerbong tinggi kereta api yang sedang menunggu.
Lempengan-lempengan besar ditempelkan pada penyangga di sisi-sisi gerbong-
gerbong itu. PARIS - ATENA. PARIS - BUKARES. PARIS - ISTAMBUL.
Setiba di gerbong bertulisan PARIS-ISTAMBUL, kuli itu berhenti mendadak.
Ditanggalkannya temali yang mengikat koper-koper menjadi satu, dan koper-koper
itu pun berjatuhan di tanah. "Di sini, Madame."
Kondektur yang memakai nama gerbong, berdiri di samping tangga.
Ia mendekati mereka sambil berkata, "Selamat malam, Madame," dengan sikap sopan
sekali, mungkin gara-gara penampilan kaya wanita itu dan mantel bulu
cerpelainya. Wanita itu menyerahkan karcis untuk gerbong tidur. "Nomor Enam," kata si
kondektur. "Mari ikut."
Ia melompat cekatan ke dalam kereta api, dan wanita itu mengikutinya. Ketika
wanita itu berjalan cepat-cepat di sepanjang lorong di belakang si kondektur, ia
hampir saja bertabrakan dengan seorang laki-laki gendut yang baru saja keluar
dari gerbong yang bersebelahan dengannya. Sekilas tampak olehnya wajah besar
yang ramah dengan mata bijak.
"Di sini, Madame."
Kondektur itu memperlihatkan gerbongnya. Dibukanya jendelanya, lalu ia memberi
isyarat pada portir stasiun. Portir itu membawa bagasi si wanita dan
menempatkannya ke atas rak. Wanita itu pun duduk.
Si wanita meletakkan sebuah kotak merah tua dan tas di sampingnya, di tempat
duduknya. Gerbong itu panas, tapi agaknya ia tak ingin menanggalkan mantelnya.
Ia menatap ke luar jendela dengan mata menerawang. Orang-orang berjalan bergegas
di peron. Ada penjual-penjual surat kabar, bantal, cokelat, buah-buahan, dan air
mineral. Mereka mengangkat barang-barang dagangan mereka ke arahnya, tapi wanita
itu melihat dengan hampa melewati mereka. Stasiun Gare de Lyon memudar dari
penglihatannya. Di wajahnya terbayang kesedihan dan rasa cemas.
"Tolong paspor Anda, Madame."
Kata-kata itu tidak berkesan baginya. Kondektur yang berdiri di ambang pintu
mengulangi permintaannya. Elsie Jeffries pun terkejut, lalu sadar.
"Maaf?" "Paspor Anda, Madame."
Dibukanya tasnya, dikeluarkannya paspornya, lalu diserahkannya pada sang
kondektur. "Beres, Madame, akan saya urus segala-galanya." Sepi sejenak. "Saya akan pergi
bersama Madame sampai Istambul."
Elsie mengeluarkan selembar uang kertas lima puluh franc dan memberikannya
padanya. Laki-laki itu menerimanya dengan sikap wajar, lalu menanyakan kapan
wanita itu ingin tempat tidurnya disiapkan, dan apakah ia ingin makan malam.
Setelah urusan itu beres, laki-laki itu pergi. Tak lama kemudian, petugas
restoran berjalan bergegas di sepanjang lorong kereta sambil membunyikan lonceng
kecilnya nyaring-nyaring dan berteriak, "Makan malam. Makan malam."
Elsie bangkit; ditanggalkannya mantel bulu binatangnya yang berat, lalu ia
melihat sebentar ke cermin kecilnya, dan setelah mengambil kotak perhiasan dan
tasnya, ia keluar ke lorong kereta. Baru berjalan beberapa langkah, petugas
restoran tadi bergegas lagi dalam perjalanannya kembali. Untuk menghindarinya,
Elsie mundur sebentar ke ambang pintu gerbong di sebelahnya. Gerbong itu kini
kosong. Setelah petugas itu lewat dan gadis itu bersiap-siap melanjutkan
perjalanannya ke kereta makan, tak sengaja pandangannya jatuh pada kartu nama
yang tertempel pada koper yang terletak di tempat duduk.
Koper itu adalah koper kulit besar yang sudah agak kumal. Pada kartu namanya
tercantum kata-kata: J. Parker Pyne, penumpang ke Istambul. Pada kopernya
sendiri tertulis huruf-huruf awal P.P.
Wajah gadis itu membayangkan rasa terkejut. Ia ragu sebentar di lorong kereta,
lalu kembali ke gerbongnya sendiri dan mengambil surat kabar The Times yang tadi
diletakkannya di meja bersama beberapa majalah dan buku.
Ditelusurinya kolom iklan di halaman depan, tapi apa yang dicarinya tidak ada di
situ. Dengan wajah agak mengernyit, ia pergi ke gerbong restoran.
Pelayan restoran menempatkannya di sebuah meja kecil yang telah diduduki
seseorang - pria yang hampir bertubrukan dengannya di lorong kereta tadi, yang tak
lain adalah pemilik koper kulit itu.
Elsie melihat dengan mencuri-curi padanya. Pria itu kelihatan ramah, bijak, dan
sulit dijelaskan mengapa ia kelihatan sangat meyakinkan sekaligus menyenangkan.
Kelakuannya hati-hati, sesuai dengan tata krama Inggris, dan setelah disuguhkan
buah di meja, barulah ia berbicara.
"Tempat ini dibiarkan panas sekali, ya," katanya.
"Ya," kata Elsie. "Alangkah baiknya kalau ada yang mau membuka jendela."
Pria itu tersenyum kecut. "Itu tak mungkin! Semua orang, kecuali kita berdua,
akan memprotes." Elsie menjawab dengan tersenyum. Lalu keduanya berdiam diri lagi.
Kopi pun disuguhkan, disusul oleh kertas tagihan yang sulit dibaca. Setelah
meletakkan beberapa lembar mata uang di atas kertas tagihan itu, Elsie
memberanikan diri. "Maafkan saya," gumamnya. "Saya melihat nama Anda pada koper Anda - Parker Pyne.
Apakah Anda... Anda...?"
Elsie ragu, tapi pria itu cepat-cepat membantunya.
"Saya rasa Anda benar. Yaitu..." - lalu diucapkannya kata-kata yang sudah
beberapa kali dibaca Elsie di harian The Times, dan yang tadi dicarinya, tapi
sia-sia. "'Berbahagiakah Anda" Kalau tidak, mintalah nasihat pada Mr. Parker
Pyne.' Ya, saya memang orang itu."
"Oh," kata Elsie. "Alangkah... luar biasa!"
Pria itu menggeleng. "Tidak juga. Di mata Anda luar biasa, tapi di mata saya
tidak." Ia tersenyum meyakinkan, lalu membungkukkan tubuhnya. Kebanyakan orang
yang makan sudah keluar. "Jadi, Anda tidak bahagia?" tanyanya.
Elsie mulai berkata, "Saya..." tapi berhenti.
"Anda tidak akan berkata 'Alangkah luar biasa', kalau itu tidak benar," kata Mr.
Pyne. Elsie terdiam beberapa saat. Ia heran, mengapa ia merasa tenang hanya dengan
kehadiran Mr. Parker Pyne. "Ya...," katanya akhirnya. "Saya... tidak bahagia.
Setidaknya, saya cemas."
Mr. Pyne mengangguk dengan penuh pengertian.
"Soalnya begini," lanjut Elsie, "telah terjadi sesuatu yang aneh sekali, dan
saya sama sekali tidak tahu apa yang harus saya lakukan."
"Bagaimana kalau Anda ceritakan tentang hal itu?" usul Mr. Pyne.
Elsie ingat akan iklan itu. Ia dan Edward sering membahasnya dan tertawa. Ia tak
pernah mengira bahwa dirinya... apakah sebaiknya ia tidak... Bagaimana kalau Mr.
Parker Pyne itu seorang penipu" Tapi kelihatannya ia... baik!
Maka Elsie pun mengambil keputusan. Ia menginginkan apa saja yang bisa
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghilangkan kecemasan ini dari pikirannya.
"Mari saya ceritakan. Saya akan pergi ke Konstantinopel, menyusul suami saya.
Dia banyak berurusan dengan negara-negara Timur, dan tahun ini dia menganggap
perlu pergi ke sana. Dia berangkat dua minggu yang lalu. Dia akan mempersiapkan
segala-galanya sebelum saya menyusulnya. Saya berdebar sekali membayangkannya.
Soalnya, saya belum pernah pergi ke luar negeri. Kami berada di Inggris enam
bulan." "Anda dan suami Anda orang Amerika?"
"Ya." "Dan Anda mungkin belum lama menikah?"
"Baru satu setengah tahun."
"Dengan bahagia?"
"Oh ya! Edward sangat baik." Kemudian ia ragu. "Mungkin tak banyak yang bisa
diharapkan darinya. Dia sedikit... yah, sebut saja datar. Soalnya kebanyakan
nenek moyangnya fanatik dalam beragama. Tapi dia baik sekali," tambahnya cepat-
cepat. Mr. Parker Pyne memandanginya sambil merenung beberapa lama, lalu katanya,
"Lanjutkan." "Waktu itu kira-kira seminggu setelah Edward berangkat. Saya sedang menulis
surat di ruang kerjanya, dan saya lihat kertas pengisap tintanya baru dan
bersih. Hanya ada beberapa baris tulisan di situ. Saya baru saja membaca sebuah
cerita detektif yang mengatakan bahwa banyak petunjuk pada kertas pengisap
tinta. Maka iseng-iseng saya pegang kertas itu di depan cermin. Sungguh, itu
hanya iseng saja, Mr. Pyne - maksud saya, suami saya orang yang tenang sekali,
hingga kita tidak akan memimpikan hal semacam itu."
"Ya, ya, saya mengerti sekali."
"Kata-kata itu mudah sekali dibaca. Mula-mula terbaca kata 'istri', lalu 'kereta
api Simplon Express', dan di bawahnya, 'sebentar sebelum Venesia adalah saat
terbaik'." Ia berhenti.
"Aneh," kata Mr. Pyne. "Aneh sekali. Apakah itu tulisan tangan suami Anda?"
"Oh, ya. Saya putar otak, tapi saya tak bisa mengerti dalam keadaan apa dia
menulis surat yang hanya berisi kata-kata itu."
"'Sebentar sebelum Venesia adalah saat terbaik,'" ulang Mr. Parker Pyne.
"Sungguh aneh sekali."
Mrs. Jeffries membungkukkan tubuhnya sambil melihat pada Mr. Pyne dengan penuh
harap. "Apa yang harus saya lakukan?" tanyanya tegas.
"Saya rasa," kata Mr. Parker Pyne, "kita harus menunggu sampai kita hampir tiba
di Venesia." Diambilnya sebuah map dari meja. "Ini jadwal waktu kereta kita.
Kita akan tiba di Venesia jam setengah tiga kurang tiga menit petang besok."
Mereka berpandangan. "Serahkan pada saya," kata Parker Pyne.
*** Pukul dua lewat lima menit. Kereta Simplon Express terlambat sebelas menit.
Mereka telah melewati kota Mestre kira-kira seperempat jam yang lalu.
Mr. Parker Pyne sedang duduk dengan Mrs. Jeffries di dalam gerbong wanita itu.
Sejauh ini, perjalanan itu menyenangkan, tanpa kejadian berarti. Tapi kini tiba
saat yang menegangkan. Bila sesuatu akan terjadi, mungkin sekaranglah saatnya.
Mr. Parker Pyne dan Elsie duduk berhadapan. Jantung Elsie berdebar keras, dan ia
memandangi Mr. Pyne dengan tatapan penuh harap.
"Tenang saja," kata Mr. Pyne. "Anda aman. Saya ada di sini."
Tiba-tiba terdengar teriakan dari lorong kereta.
"Aduh, lihat... lihat! Kereta terbakar!"
Elsie dan Mr. Parker Pyne melompat bangkit, lalu berlari ke lorong kereta.
Seorang wanita bertampang Slavia sedang menunjuk-nunjuk dengan dramatis. Dari
salah satu gerbong di depan keluar asap tebal. Mr. Parker Pyne dan Elsie berlari
di sepanjang lorong kereta. Orang-orang lain menyusul. Gerbong yang bersangkutan
penuh dengan asap. Para pendatang yang pertama tiba mundur sambil terbatuk-
batuk. Kondektur muncul. "Gerbong itu kosong!" teriaknya. "Jangan panik, Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Api
akan bisa dikuasai."
Terdengar bermacam-macam pertanyaan dan jawaban. Kereta api sedang melaju
menyeberangi jembatan yang menghubungkan Venesia dengan daratan.
Tiba-tiba Mr. Parker Pyne berbalik, dan menerobos melalui kerumunan orang di
belakangnya. Ia bergegas berlari di lorong kereta ke gerbong Elsie. Wanita
berwajah Slavia itu duduk di situ, sambil menghirup panjang udara lewat jendela
yang terbuka. "Maaf, Madame," kata Mr. Pyne. "Tapi ini bukan gerbong Anda."
"Saya tahu. Saya tahu," kata wanita Slavia itu. "Maafkan saya. Soalnya saya
terkejut sekali... jantung saya." Ia bersandar di tempat duduknya dan menunjuk
ke jendela yang terbuka. Ia bernapas dalam-dalam.
Mr. Parker Pyne berdiri di ambang pintu. Dengan suara kebapakan dan meyakinkan
ia berkata, "Jangan takut," katanya. "Saya rasa apinya sama sekali tidak
membahayakan." "Tidakkah" Wah, syukurlah! Saya baru tenang." Wanita itu hendak bangkit. "Saya
akan kembali ke gerbong saya."
"Jangan dulu." Mr. Parker Pyne mendorongnya kembali dengan halus. "Saya minta
Anda menunggu sebentar, Madame."
"Monsieur, ini tak masuk akal!"
"Madame, tinggallah."
Suaranya terdengar dingin. Wanita itu duduk diam, memandanginya. Elsie menyusul
mereka. "Rupanya hanya bom asap," katanya dengan terengah-engah. "Ada orang yang membuat
lelucon konyol. Kondektur marah sekali. Dia sedang menanyai semua orang..." Arus
kata-katanya terhenti, dan ia menatap penumpang baru di gerbongnya.
"Mrs. Jeffries," kata Mr. Parker Pyne, "apa yang Anda bawa dalam kotak kecil
Anda yang berwarna merah tua itu?"
"Perhiasan saya."
"Sebaiknya Anda lihat apakah semuanya masih ada di situ."
Wanita Slavia itu langsung memuntahkan hujan kata-kata. Ia pun lalu berbicara
dalam bahasa Prancis, supaya bisa mengeluarkan semua isi hatinya.
Sementara itu, Elsie mengambil kotak perhiasannya. "Oh!" serunya. "Tidak
terkunci lagi." "Saya akan mengadukan perlakuan Anda ini pada Perusahaan Kereta Api ini," kata
wanita Slavia itu akhirnya.
"Semuanya hilang!" seru Elsie. "Semuanya! Kalung berlian saya. Juga kalung
pemberian ayah saya. Cincin-cincin bermata zamrud dan delima. Juga beberapa bros
berlian yang bagus-bagus. Syukurlah mutiaranya tetap saya pakai. Aduh, Mr. Pyne,
apa yang harus kita lakukan?"
"Coba Anda minta Kondektur kemari," kata Mr. Parker Pyne. "Saya akan menjaga
agar wanita ini tidak meninggalkan gerbong ini sampai Kondektur datang."
"Keparat! Setan!" teriak wanita Slavia itu. Ia terus memaki dan mengutuk. Kereta
memasuki Venesia. Kejadian yang menyusul selama setengah jam berikutnya mungkin bisa diceritakan
dengan singkat. Mr. Parker Pyne menghadapi beberapa petugas dengan menggunakan
beberapa macam bahasa - dan ia menderita kekalahan. Wanita yang dicurigai itu
bersedia digeledah, dan ia berhasil lolos dengan mulus. Perhiasan-perhiasan itu
tidak ada padanya. Di antara Venesia dan Trieste, Mr. Parker Pyne dan Elsie membicarakan kejadian
itu. "Kapan sebenarnya Anda terakhir kali melihat perhiasan-perhiasan Anda?"
"Tadi pagi. Saya singkirkan beberapa pasang anting yang saya pakai kemarin, dan
saya keluarkan sepasang anting dari mutiara polos."
"Dan semua perhiasan itu masih lengkap di situ?"
"Yah, saya tentu tidak memeriksanya satu demi satu. Tapi kelihatannya sama
seperti biasanya. Mungkin ada cincin atau semacamnya yang tidak ada, tapi tak
lebih dari itu." Mr. Parker Pyne mengangguk. "Lalu bagaimana waktu Kondektur menyiapkan gerbong
tadi pagi?" "Kotak ini saya pegang terus, juga sampai ke restoran kereta. Saya membawanya
terus. Saya tak pernah meninggalkannya, kecuali waktu saya berlari ke luar
tadi." "Kalau begitu," kata Mr. Parker Pyne, "Madame Subayska, atau entah siapa nama
yang diakuinya, yang tersinggung karena katanya dirinya tak bersalah itu,
pastilah pencurinya. Tapi apa gerangan yang diperbuatnya dengan barang-barang
itu" Dia hanya semenit setengah berada di sini - dia hanya sempat membuka kotak
itu dengan kunci palsu dan mengeluarkan barang-barang itu, tapi lalu apa?"
"Mungkinkah dia lalu menyerahkannya pada orang lain?"
"Kecil kemungkinannya. Tadi saya berbalik dan menyerobot di antara orang-orang
di lorong. Kalau ada orang yang keluar dari gerbong ini, saya pasti melihatnya."
"Mungkinkah dia melemparkannya ke luar jendela pada seseorang?"
"Dugaan yang bagus sekali; tapi pada saat itu kita sedang menyeberangi laut.
Kita berada di jembatan."
"Kalau begitu, dia pasti telah menyembunyikannya di dalam gerbong."
"Mari kita cari."
Elsie pun mulai mencari dengan bersemangat sekali. Mr. Parker Pyne ikut mencari
dengan agak linglung. Kemudian ia mencari alasan.
"Saya ingat bahwa saya harus mengirim telegram penting di Trieste," jelasnya.
Elsie menerima penjelasan itu dengan sikap dingin. Penilaiannya mengenai Mr.
Parker Pyne jadi jauh menurun.
"Saya rasa Anda kesal pada saya, Mrs. Jeffries," kata Mr. Pyne dengan lemas.
"Yah, Anda kurang berhasil," kata Mrs. Jeffries tegas.
"Tapi Anda harus ingat, saya bukan detektif. Pencurian dan kejahatan sama sekali
bukan bidang saya. Hati manusialah keahlian saya."
"Yah, saya agak sedih waktu naik ke kereta api ini," kata Elsie, "tapi itu bukan
apa-apa dibanding dengan keadaan saya sekarang! Saya bisa saja menangis sampai
berember-ember. Kalung saya yang begitu cantik... dan cincin bermata zamrud yang
diberikan Edward waktu kami bertunangan."
"Tapi barang-barang itu pasti Anda asuransikan terhadap pencurian, bukan?" tanya
Mr. Parker Pyne. "Begitukah" Entahlah. Ya, saya rasa saya asuransikan. Tapi rasa sedih saya atas
kehilangan itu, Mr. Pyne..."
Kereta api mengurangi kecepatan. Mr. Parker Pyne menjenguk ke luar lewat
jendela. "Trieste," katanya. "Saya harus mengirim telegram saya."
"Edward!" wajah Elsie tampak berseri-seri waktu melihat suaminya bergegas
mendatanginya di peron di Istambul. Sesaat ia lupa akan perhiasan-perhiasannya
yang hilang. Ia lupa tentang kata-kata aneh yang telah ditemukannya di kertas
pengisap tinta. Ia lupa segala-galanya, kecuali bahwa sudah dua minggu lamanya
ia tidak bertemu dengan suaminya, dan meskipun Edward begitu sederhana dan
biasa-biasa saja, ia sebenarnya laki-laki yang sangat menarik.
Mereka baru saja akan meninggalkan stasiun, waktu Elsie merasakan sentuhan di
pundaknya. Ia berbalik dan menemukan Mr. Parker Pyne. Wajahnya yang ramah tampak
berseri-seri. "Mrs. Jeffries," katanya, "bisakah Anda menemui saya di Hotel Tokatlian setengah
jam lagi" Saya rasa saya akan menyampaikan berita baik untuk Anda."
Elsie melihat pada Edward dengan ragu. Lalu ia memperkenalkan. "Ini... eh...
suami saya, Mr. Parker Pyne."
"Saya rasa istri Anda sudah mengirim telegram pada Anda bahwa perhiasan-
perhiasannya dicuri," kata Mr. Parker Pyne. "Saya telah berusaha membantunya
menemukannya kembali. Saya rasa kira-kira setengah jam lagi saya ada berita
untuknya." Elsie menatap Edward dengan pandangan bertanya. Edward menjawab dengan tegas,
"Sebaiknya kau pergi, Sayang. Hotel Tokatlian, kata Anda, Mr. Pyne" Baiklah,
akan saya usahakan agar dia datang."
Tepat setengah jam kemudian, Elsie diantar masuk ke kamar duduk pribadi Mr.
Parker Pyne. Mr. Pyne bangkit untuk menyambutnya.
"Anda kecewa pada saya, Mrs. Jeffries," katanya. "Ah, tak usah membantah. Yah,
saya tak mau berpura-pura sebagai tukang sulap, tapi saya melakukan apa yang
saya bisa. Coba lihat ke dalam ini."
Disodorkannya sebuah kotak kecil dari karton tebal. Elsie membukanya. Cincinnya,
bros-bros, gelang-gelang dan kalungnya - semuanya ada di situ.
"Mr. Pyne, hebat sekali! Bagaimana... tapi ini terlalu luar biasa!"
Mr. Parker Pyne tersenyum dengan rendah hati. "Saya senang saya tak perlu
mengecewakan Anda, anak manis."
"Aduh, Mr. Pyne, Anda membuat saya jadi merasa jahat sekali! Sejak dari Trieste
saya bersikap jahat pada Anda. Dan sekarang... ini. Tapi bagaimana Anda sampai
bisa menemukannya" Kapan" Di mana?"
Mr. Parker Pyne menggeleng sambil merenung. "Ceritanya panjang," katanya. "Kelak
Anda akan mendengarnya. Bahkan mungkin Anda akan mendengarnya secepatnya."
"Mengapa saya tak bisa mendengarnya sekarang?"
"Ada alasan-alasannya," kata Mr. Parker Pyne.
Dan Elsie harus pergi dengan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan.
Setelah ia pergi, Mr. Parker Pyne mengambil topi dan tongkatnya, lalu keluar ke
jalan di kota Pera. Ia berjalan sambil tersenyum-senyum sendiri. Akhirnya ia
tiba di sebuah kafe kecil yang sedang kosong. Dari kafe itu, orang bisa melihat
ke Sungai Golden Horn. Di seberangnya tampak menara-menara kecil dari mesjid-
mesjid Istambul yang berlatar belakang langit petang itu. Sungguh indah. Mr.
Pyne duduk, lalu memesan dua cangkir kopi. Kopi itu kental dan manis. Baru saja
ia mulai menyeruput kopinya, seorang laki-laki duduk di kursi di seberangnya.
Edward Jeffries. "Saya sudah memesan kopi juga untuk Anda," kata Mr. Parker Pyne sambil menunjuk
ke cangkir kecil itu. Edward menggeser cangkir itu. Ia membungkukkan tubuhnya ke depan. "Bagaimana
Anda sampai tahu?" tanyanya.
Mr. Parker Pyne menyeruput kopinya sambil merenung. "Sudahkah istri Anda
menceritakan tentang penemuannya di kertas pengisap itu" Belum" Oh, tapi dia
pasti akan menceritakannya; sekarang dia sedang lupa akan hal itu."
Maka ia pun menceritakan tentang penemuan Elsie.
"Baiklah; itu berhubungan erat dengan peristiwa aneh yang terjadi tepat sebelum
Venesia. Entah dengan alasan apa, Anda sebenarnya telah merencanakan pencurian
perhiasan-perhiasan istri Anda itu. Tapi mengapa ada ungkapan 'tepat sebelum
Venesia adalah waktu terbaik'" Rasanya itu omong kosong. Mengapa tidak Anda
serahkan saja pada... eh... kaki-tangan Anda itu untuk memilih waktu dan
tempatnya sendiri" "Lalu tiba-tiba saya melihat persoalannya. Perhiasan-perhiasan istri Anda telah
dicuri sebelum Anda sendiri berangkat dari London, dan diganti dengan tiruannya
dari batu. Tapi penyelesaian itu tidak memuaskan Anda. Anda adalah laki-laki
muda yang cerdas dan cermat. Anda takut sekali, kalau-kalau ada pelayan atau
orang lain yang tidak bersalah, dicurigai. Pencurian itu harus dilakukan di
tempat dan dengan cara yang tidak akan menimbulkan kecurigaan terhadap siapa pun
di antara kenalan atau anggota rumah tangga Anda.
"Komplotan Anda itu Anda beri kunci kotak perhiasan tersebut, dan sebuah bom
asap. Pada saat yang tepat, dia harus berteriak menyatakan ada bahaya, masuk ke
dalam gerbong istri Anda, membuka kunci kotak itu, lalu melemparkan perhiasan-
perhiasan tiruan itu ke laut. Mungkin dia akan dicurigai dan digeledah, tapi
tidak akan ada bukti yang memberatkannya, karena perhiasan-perhiasan itu tak ada
padanya. "Sekarang menjadi jelas mengapa tempat itu yang dipilih. Sekiranya perhiasan-
perhiasan itu hanya dilemparkan ke sisi kereta, barang-barang itu pasti bisa
ditemukan. Oleh karenanya, penting artinya dipilih saat ketika kereta sedang
melalui laut. "Sementara itu, Anda mengatur penjualan perhiasan-perhiasan itu di sini. Anda
tinggal menyerahkan perhiasan-perhiasan itu pada saat perampokan tersebut
terjadi. Tapi telegram saya Anda terima tepat pada waktunya. Anda mematuhi
instruksi saya dan menitipkan kotak perhiasan itu di Hotel Tokatlian, menunggu
kedatangan saya, karena Anda tahu bahwa kalau itu tidak Anda lakukan, saya akan
memenuhi ancaman saya untuk menyerahkan perkara itu ke tangan polisi. Anda juga
memenuhi instruksi saya untuk mendatangi saya di sini."
Edward Jeffries melihat pada Mr. Parker Pyne dengan pandangan memohon. Ia adalah
seorang laki-laki muda yang tampan, jangkung, dan pirang, dengan dagu bulat dan
mata bulat sekali. "Bagaimana saya bisa menjelaskannya pada Anda?" katanya tanpa
harapan. "Di mata Anda, saya pasti tak lebih dari seorang pencuri yang rendah."
"Sama sekali tidak," kata Mr. Parker Pyne. "Sebaliknya saya harus mengatakan
bahwa Anda orang yang jujur sekali. Saya sudah terbiasa dan bisa menggolongkan
orang pada tipe-tipe masing-masing. Anda, anak muda, termasuk pada golongan
orang yang merupakan korban. Nah, coba ceritakan semuanya."
"Saya bisa menceritakannya dengan satu perkataan - pemerasan."
"Ya?" "Anda telah melihat istri saya; Anda pasti menyadari bahwa dia adalah makhluk
yang lugu dan polos. Dia sama sekali tidak mengenal atau berpikir yang jahat-
jahat."
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, benar." "Pikirannya mumi sekali. Kalau dia sampai tahu tentang apa yang telah saya
lakukan, dia pasti meninggalkan saya."
"Saya tidak yakin. Tapi bukan itu soalnya. Apa yang telah Anda lakukan, sahabat
mudaku" Apakah hubungan gelap dengan seorang wanita?"
Edward Jeffries mengangguk.
"Setelah Anda menikah... atau sebelumnya?"
"Sebelumnya - oh, sebelumnya."
"Wah, lalu apa yang terjadi?"
"Tak apa-apa, sama sekali tak apa-apa. Itulah bagian yang paling kejam dari
peristiwa itu. Itu terjadi di sebuah hotel di India Barat. Ada seorang wanita
yang sangat menarik - namanya Mrs. Rossiter. Suaminya seorang laki-laki yang
kejam; dia pemarah sekali, dan kalau marah, dia kejam sekali. Pada suatu malam,
dia mengancam istrinya itu dengan pistol. Wanita itu melarikan diri dan masuk ke
kamar saya. Dia hampir gila karena ketakutan. Dia... meminta saya untuk
mengizinkannya tinggal di kamar saya sampai pagi. Saya... saya tak bisa berbuat
apa-apa." Mr. Parker Pyne memandangi anak muda itu, dan laki-laki muda itu membalas
pandangannya dengan jujur sekali. Mr. Parker Pyne mendesah. "Dengan kata lain,
atau jelasnya, Anda terperangkap, Mr. Jeffries."
"Sungguh..." "Ya, ya. Itu suatu tipu daya yang sangat tua, tapi sering berhasil kalau
ditujukan pada laki-laki muda yang sok pahlawan. Saya rasa, waktu pernikahan
Anda diumumkan, dia pun mengeluarkan ancamannya, begitu kan?"
"Ya. Saya menerima surat. Kalau saya tidak mengirimkan sejumlah uang, segala-
galanya akan diceritakan pada calon ayah mertua saya. Bahwa saya telah merampas
cinta wanita muda itu dari suaminya; bahwa ada orang yang melihat wanita itu
datang ke kamar saya. Suaminya akan mengajukan perceraian. Sungguh, Mr. Pyne,
semuanya itu membuat saya putus asa." Disekanya dahinya dengan lesu.
"Ya, ya, saya mengerti. Jadi, Anda membayarnya. Dan sekali-sekali ancaman itu
datang lagi." "Ya. Saya terpukul sekali. Usaha kami menderita akibat perbuatan orang jahat
itu. Saya tak bisa lagi mendapatkan uang. Lalu saya mendapatkan akal itu."
Diangkatnya cangkir kopinya yang sudah dingin, dipandanginya dengan merenung,
lalu diminumnya. "Apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanyanya mengiba. "Apa
yang harus saya lakukan, Mr. Pyne?"
"Anda akan saya tuntun," kata Mr. Pyne dengan tegas. "Saya akan menangani
penyiksa-penyiksa Anda itu. Mengenai istri Anda, Anda harus langsung
mendatanginya dan menceritakan segala-galanya - atau setidaknya sebagian. Satu-
satunya hal yang tak boleh Anda ceritakan adalah mengenai kejadian di India
Barat itu. Harus Anda sembunyikan darinya bahwa Anda telah terjebak, seperti
kata saya tadi." "Tapi..." "Mr. Jeffries yang baik, Anda tidak mengerti wanita. Bila harus memilih antara
seorang laki-laki yang terjebak dan seorang laki-laki mata keranjang, wanita
akan memilih si mata keranjang. Istri Anda, Mr. Jeffries, adalah seorang wanita
muda yang menarik, polos, tapi cerdas. Dan satu-satunya jalan untuk bisa hidup
damai dengannya adalah memberinya kepercayaan bahwa dia telah memperbaiki hidup
seorang laki-laki mata keranjang."
Edward menatapnya dengan ternganga.
"Saya bersungguh-sungguh dengan kata-kata saya itu," kata Mr. Parker Pyne. "Pada
saat ini istri Anda sedang cinta-cintanya pada Anda, tapi saya melihat tanda-
tanda bahwa dia tidak akan tetap seperti itu bila Anda terus-menerus tampil
sebagai sosok yang baik dan jujur... alias membosankan.
"Datangilah dia, anakku," kata Mr. Parker Pyne dengan baik hati. "Akuilah
segala-galanya - artinya, sebanyak yang bisa Anda ceritakan. Lalu jelaskan bahwa
sejak saat Anda bertemu dengannya, Anda menghentikan semua cara hidup itu. Anda
bahkan mengatur pencurian, supaya dia jangan sampai tahu. Dia akan memaafkan
Anda dengan sukacita."
"Tapi bila sebenarnya tak ada yang harus dimaafkan..."
"Apalah artinya kebenaran?" kate Mr. Parker Pyne. "Berdasarkan pengalaman saya,
kekacauanlah yang lebih berhasil! Ada ungkapan bahwa dalam perkawinan, kita
harus berbohong pada seorang wanita. Dia menyukainya! Pergilah dan mintalah
maaf. Dan hiduplah berbahagia selamanya. Saya jamin, istri Anda akan selalu
waspada mengawasi Anda di masa yang akan datang, setiap kali ada wanita cantik -
ada laki-laki yang tak suka perlakuan semacam itu, tapi saya rasa Anda
menyukainya." "Saya tak pernah mau melihat ke wanita lain, kecuali Elsie," kata Mr. Jeffries
tegas. "Bagus, anakku," kata Mr. Parker Pyne. "Tapi kalau saya jadi Anda, saya tidak
akan mau berkata begitu padanya. Tak ada perempuan yang suka dianggap enteng."
Edward Jeffries bangkit. "Apakah Anda yakin...?"
"Saya yakin," kata Mr. Parker Pyne dengan tegas.
GERBANG BAGDAD "ADA empat gerbang di kota Damascus..."
Mr. Parker Pyne mengulangi kata-kata dalam puisi Flecker itu dengan suara halus.
"Gerbang Takdir di Belakang, Gerbang Gurun, Gua Malapetaka, dan Benteng
Ketakutan. Aku adalah Portal kota Bagdad, Ambang Pintu dari Diarbekir."
Ia sedang berdiri di jalan di Damascus, dan di luar Hotel Oriental dilihatnya
sebuah Bus Pullman besar beroda enam, yang akan mengangkut dirinya dan sebelas
orang lainnya menyeberangi gurun ke Bagdad esok harinya.
"Jangan lewat di bawahnya, hai Kafilah, jangan pula lewat sambil bernyanyi.
Kaudengarkah itu" Keheningan karena burung-burung sudah mati" Namun ada sesuatu yang mencicit
seperti burung. Lewatlah di bawah, hai Kafilah, Kafilah Kematian, Kafilah Kematian!"
Kini keadaannya terbalik. Dulu Gerbang Bagdad memang merupakan Gerbang Kematian.
Empat ratus mil gurun yang harus dilalui oleh kafilah. Perjalanan yang panjang
dan sangat meletihkan. Kini mobil-mobil yang diberi makan bensinlah yang
melakukan perjalanan itu dalam waktu tiga puluh enam jam.
"Anda sedang mengatakan apa, Mr. Parker Pyne?"
Suara itu adalah suara penuh ingin tahu dari Miss Netta Pryce, anggota termuda
dan paling cantik dari rombongan wisatawan itu. Meski dikawal oleh seorang bibi
yang keras, sedikit berjanggut, dan senang akan segala sesuatu yang berhubungan
dengan Kitab Suci, Netta berhasil bersenang-senang dengan banyak cara kecil yang
mungkin kurang berkenan di hati Miss Pryce tua.
Mr. Parker Pyne mengulangi puisi Flecker itu untuknya.
"Mendebarkan sekali," kata Netta.
Tiga orang berseragam Angkatan Udara sedang berdiri di dekat mereka; salah
seorang di antaranya, yang mengagumi Netta, ikut berbicara.
"Masih banyak lagi yang mendebarkan dari suatu perjalanan," katanya. "Bahkan
zaman sekarang pun iring-iringan mobil kadang-kadang diserang oleh bandit-
bandit. Lalu mungkin pula kita tersesat. Maka kamilah yang dikirim untuk
mencari. Pernah seseorang tersesat selama lima hari di gurun. Untunglah dia
membawa banyak air. Lalu ada pula benturan-benturan di dalam mobil. Benturan-
benturan yang hebat! Seseorang sampai tewas. Itu benar! Dia sedang tidur dan
kepalanya membentur langit-langit mobil, dan dia tewas."
"Dalam mobil beroda enam, Mr. O'Rourke?" tanya Miss Pryce tua.
"Tidak, bukan dalam mobil beroda enam," sahut pria muda itu.
"Tapi kita harus pergi melihat-lihat," seru Netta.
Bibinya mengeluarkan sebuah buku panduan.
Netta menjauh. "Saya tahu, dia pasti akan menyuruh saya pergi ke suatu tempat di mana St. Paul
diturunkan lewat sebuah jendela," bisik Netta. "Padahal saya ingin sekali
melihat pasar-pasar."
O'Rourke langsung bereaksi.
"Mari saya antar. Kita akan mulai dari jalan bernama Lurus..."
Mereka pun menjauh. Mr. Parker Pyne menoleh pada pria pendiam yang berdiri di sampingnya, yang
bernama Hensley. Ia karyawan dari Departemen Pekerjaan Umum Bagdad.
"Damascus mengecewakan bagi orang yang baru pertama kali melihatnya," katanya
dengan nada kecewa. "Sedikit berbudaya. Ada trem-trem, rumah-rumah modern, dan
toko-toko." Hensley mengangguk. Ia tidak banyak bicara.
"Bukan sesuatu yang... berasal dari masa lalu, padahal kita berharap akan
melihat yang demikian," katanya mengejutkan.
Seorang pria mendekat, seorang pria muda yang pirang dan mengenakan dasi bergaya
Etonia. Wajahnya ramah, tapi agak hampa. Pada saat itu, wajah itu tampak cemas.
Ia dan Hensley bekerja di departemen yang sama.
"Halo, Smethurst," kata temannya. "Kehilangan sesuatu?"
Kapten Smethurst menggeleng. Anak muda itu agak lamban jalan pikirannya.
"Hanya melihat-lihat," katanya kurang jelas. Lalu ia kelihatan tersentak.
"Seharusnya ada permainan kartu, ya?"
Kedua sahabat itu menjauh. Mr. Parker Pyne membeli surat kabar setempat yang
dicetak dalam bahasa Prancis.
Ia menganggapnya kurang menarik. Berita-berita setempat tak ada artinya baginya,
dan agaknya tak ada pula kejadian penting di tempat lain. Ia menemukan beberapa
berita berjudul Londres. Yang pertama membahas soal-soal keuangan. Yang kedua membahas tempat yang diduga
merupakan tujuan Mr. Samuel Long, seorang pengusaha keuangan yang sedang buron.
Uang yang digelapkannya berjumlah tiga juta, dan didesas-desuskan ia sudah tiba
di Amerika Selatan. "Prestasi lumayan untuk orang yang baru berumur tiga puluh," kata Mr. Parker
Pyne pada dirinya sendiri.
"Apa kata Anda?"
Mr. Parker Pyne menoleh dan berhadapan dengan seorang jendral Italia yang
sekapal dengannya dari Brindisi ke Beirut.
Mr. Parker Pyne menjelaskan kata-katanya. Jendral Italia itu mengangguk beberapa
kali. "Orang itu penjahat besar. Bahkan kami di Italia pun ikut menderita. Dia
menanamkan kepercayaan diri di seluruh dunia. Kata orang, dia laki-laki
berpendidikan." "Yah, dia memang pernah belajar di Eton dan kuliah di Oxford," kata Mr. Parker
Pyne berhati-hati. "Menurut Anda, apakah dia akan tertangkap?"
"Tergantung sudah berapa jauh dia pergi. Mungkin dia masih ada di Inggris.
Mungkin pula dia berada... entah di mana."
"Mungkinkah bersama kita di sini?" Sang jendral tertawa.
"Mungkin saja." Mr. Parker Pyne tetap serius. "Bagi orang yang tidak tahu
seperti Anda, Jendral, mungkin saja saya orangnya."
Sang jendral melihat padanya dengan terkejut. Lalu wajahnya yang cokelat
mengendur dan ia tersenyum mengerti.
"Oh! Itu bagus sekali... bagus sekali. Tapi Anda..."
Matanya pun menelusur turun dari wajah Mr. Parker Pyne.
Mr. Parker Pyne menafsirkan pandangan itu dengan tepat.
"Kita tak boleh menilai orang dari penampilannya," katanya. "Dengan sedikit
tambahan kecil, bisa memberikan efek penuaan yang baik."
Sambil merenung ditambahkannya,
"Lalu ada pula pewarnaan rambut, perubahan warna wajah, dan bahkan perubahan
kebangsaan." Jendral Poli berlalu dengan ragu. Ia tak pernah tahu, berapa jauh seorang
Inggris bisa serius. Malam itu Mr. Parker Pyne menghibur dirinya dengan pergi menonton bioskop.
Setelah itu ia diajak ke sebuah "Istana Hiburan Malam". Ternyata baginya tempat
itu bukan sebuah Istana, dan tidak pula memberikan hiburan. Beberapa orang
wanita menari tanpa gairah. Tepuk tangan pun tidak bersemangat.
Tiba-tiba Mr. Parker Pyne melihat Smethurst. Pria muda itu sedang duduk seorang
diri. Wajahnya memerah, dan Mr. Parker Pyne melihat bahwa ia sudah minum terlalu
banyak. Ia pun menyeberang dan menyertai pria muda itu.
"Memalukan sekali cara gadis-gadis itu memperlakukan kita," kata Kapten
Smethurst murung. "Kita belikan mereka dua gelas minuman... tiga gelas... bahkan
sampai banyak. Lalu mereka pergi sambil tertawa-tawa dengan laki-laki lain. Itu
namanya memalukan." Mr. Parker Pyne membenarkannya. Ia mengajak minum kopi.
"Saya sudah memesan arak," kata Smethurst. "Enak sekali. Sebaiknya Anda coba."
Mr. Parker Pyne sudah tahu tentang keburukan arak. Maka ia bersikap bijak. Tapi
Smethurst menggeleng. "Saya sedang dalam kesulitan," katanya. "Jadi, saya harus menghibur diri. Entah
apa yang akan Anda lakukan kalau Anda menjadi saya. Kita kan tak ingin
mengkhianati seorang teman" Maksud saya... tapi... lalu apa yang harus kita
lakukan?" Dipandanginya Mr. Parker Pyne, seolah-olah baru pertama kali melihatnya.
"Siapa Anda?" tanyanya tegas, akibat minumannya. "Apa kerja Anda?"
"Usaha saya dalam hal Siasat Kepercayaan," kata Mr. Parker Pyne.
Smethurst memandanginya dengan penuh minat.
"Apa... Anda juga...?"
Mr. Parker Pyne mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan meletakkannya di
meja di depan Smethurst, "Apakah Anda tidak bahagia" (Begitu bunyinya). Kalau begitu, mintalah nasihat
dari Mr. Parker Pyne."
Dengan susah payah akhirnya Smethurst berhasil juga memusatkan perhatiannya pada
tulisan itu. "Wah, celaka," serunya. "Maksud Anda, orang-orang mendatangi Anda dan
menceritakan persoalan mereka pada Anda?"
"Mereka mempercayakan rahasia mereka pada saya - itu benar."
"Paling-paling segerombolan perempuan dungu."
"Memang banyak sekali wanita," Mr. Parker Pyne mengakui. "Tapi kaum pria juga.
Bagaimana dengan Anda, sahabat mudaku" Apakah Anda memerlukan nasihat sekarang
ini?" "Tutup mulutmu," kata Kapten Smethurst. "Urusanku bukan urusan siapa-siapa...
kecuali urusanku sendiri. Mana arak sialan itu?"
Mr. Parker Pyne menggeleng dengan sedih.
Sia-sia mencoba menolong Kapten Smethurst.
*** Rombongan yang akan ke Bagdad berangkat jam tujuh pagi hari. Ada dua belas
orang. Mr. Parker Pyne dan Jendral Poli, Miss Pryce dan keponakannya, tiga orang
perwira Angkatan Udara, Smethurst dan Hensley, dan seorang ibu berkebangsaan
Armenia dengan putranya yang bernama Pentemian.
Perjalanan dimulai tanpa peristiwa apa-apa. Pohon-pohon buah Damascus segera
ditinggalkan. Langit berawan, dan pengemudi muda mereka memandanginya sekali dua
kali dengan bimbang. Ia bercakap-cakap dengan Hensley.
"Hujan lebat di seberang Rutbah. Mudah-mudahan saja kita tidak terperosok."
Mereka berhenti tengah hari, dan kotak-kotak karton segi empat berisi makan
siang dibagikan. Kedua pengemudi memasak air, menyeduh teh, dan menyajikannya
dalam gelas-gelas plastik. Mereka melanjutkan perjalanan lagi menyeberangi tanah
datar yang tak terkira luasnya.
Mr. Parker Pyne membayangkan kafilah-kafilah yang lamban dan perjalanan-
perjalanan yang makan waktu berminggu-minggu....
Tepat saat matahari terbenam mereka tiba di benteng gurun Rutbah.
Pintu-pintu gerbang besar dibuka, dan mobil beroda enam itu memasukinya hingga
ke bagian dalam benteng itu.
"Rasanya mendebarkan sekali," kata Netta.
Setelah membersihkan tubuh, ia ingin berjalan-jalan sebentar. Letnan Penerbang
O'Rourke dan Mr. Parker Pyne menawarkan diri untuk menemani. Waktu mereka akan
berangkat, pengurus mereka datang dan meminta agar mereka tidak pergi terlalu
jauh, karena mungkin akan sulit menemukan jalan kembali setelah hari gelap.
"Kami hanya akan pergi dekat-dekat saja," janji O'Rourke.
Tapi ternyata berjalan-jalan itu tidak menarik, karena lingkungannya sama saja.
Suatu kali Mr. Parker Pyne memungut sesuatu.
"Apa itu?" tanya Netta ingin tahu.
Ia memperlihatkannya pada gadis itu.
"Alat dari zaman prasejarah, Miss Pryce - sebuah alat pengebor."
"Apakah mereka dulu saling membunuh dengan alat itu?"
"Tidak. Ini digunakan untuk keperluan yang lebih aman. Tapi saya rasa mereka
bisa membunuh dengan benda ini kalau mereka mau. Yang penting kan keinginan
untuk membunuh - alat saja tidak berarti. Bisa memakai apa saja"
Hari mulai gelap dan mereka berlari kembali ke benteng.
Setelah makan malam yang banyak lauk-pauknya dari kaleng, mereka duduk merokok.
Jam dua belas malam, mobil beroda enam itu akan melanjutkan perjalanan.
Pengemudinya tampak kuatir.
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada rawa-rawa yang dalam di dekat sini," katanya. "Mungkin kita bisa terbenam."
Mereka semua masuk ke mobil besar itu dan mengatur duduk masing-masing. Miss
Pryce kesal karena tak bisa menemukan salah satu kopernya.
"Saya ingin mengambil sandal kamar saya," katanya.
"Lebih besar kemungkinannya Anda memerlukan sepatu bot dari karet," kata
Smethurst. "Kalau saya tak salah duga, mungkin kita akan terbenam dalam lautan
lumpur." "Saya bahkan tak punya kaus kaki untuk ganti," kata Netta.
"Tak apa-apa. Anda tak usah bersusah payah. Hanya kaum laki-laki yang harus
keluar dan mendorong."
"Saya selalu punya persediaan kaus kaki," kata Hensley sambil menepuk saku
mantelnya. "Siapa tahu."
Lampu-lampu di dalam mobil dimatikan. Mobil besar itu pun mulai berjalan dalam
gelap. Perjalanannya kurang baik. Mereka tidak terbanting-banting sebagaimana biasanya
dalam sebuah mobil wisata biasa, tapi sekali-sekali mereka mengalami benturan
juga. Mr. Parker Pyne duduk di salah satu bangku depan. Di seberang lorong mobil duduk
wanita Armenia yang terbungkus mantel dan selendang-selendang. Putranya duduk di
belakangnya. Di belakang Mr. Parker Pyne duduk kedua Miss Pryce. Jendral,
Smethurst, Hensley, dan ketiga orang dari Angkatan Udara Inggris duduk di
belakang. Mobil melaju dalam gelap malam. Mr. Parker Pyne merasa sulit tidur. Posisinya
tidak nyaman. Kaki wanita Armenia itu menjulur ke luar dan mengenai pinggulnya.
Pokoknya wanita itu duduk nyaman. Semua yang lain agaknya tidur. Mr. Parker Pyne
pun merasa diganggu rasa mengantuk. Tapi sebuah sentakan mendadak melemparkannya
ke arah langit-langit mobil. Terdengar suara protes mengantuk dari bagian
belakang mobil beroda enam itu. "Hati-hati. Memangnya ingin mematahkan leher
kami?" Lalu rasa kantuk muncul kembali. Beberapa menit kemudian, Mr. Parker Pyne
tertidur dengan tengkuk terkulai tak nyaman....
Tiba-tiba ia terbangun. Mobil itu berhenti. Beberapa laki-laki keluar. Hensley
berkata singkat, "Kita terbenam."
Karena ingin melihat apa saja yang bisa dilihat, Mr. Parker Pyne dengan hati-
hati melangkah keluar ke lumpur. Tidak hujan. Bahkan ada bulan, dan di bawah
sinarnya tampak kedua pengemudi sedang bekerja keras dengan sekop dan batu-batu,
untuk mengangkat roda-roda mobil. Kebanyakan penumpang laki-laki membantu.
Ketiga wanita melihat dari jendela-jendela mobil beroda enam itu. Miss Pryce dan
Netta dengan penuh perhatian, sedangkan wanita Armenia itu dengan rasa jijik
yang disembunyikan. Di bawah perintah pengemudi, para penumpang laki-laki dengan patuh mengangkat.
"Mana anak Armenia itu?" tanya O'Rourke. "Enak saja dia berhangat-hangat dan
enak-enakan seperti kucing! Mari kita menyuruhnya keluar juga."
"Kapten Smethurst juga," kata Jendral Poli. "Dia tidak bersama kita."
"Si celaka itu masih tidur. Lihat saja."
Benar sekali. Smethurst masih duduk di kursi berlengannya, kepalanya terkulai ke
depan dan tubuhnya terbungkuk.
"Biar saya bangunkan," kata O'Rourke.
Ia masuk dengan melompat lewat pintu. Sebentar kemudian ia muncul kembali.
Suaranya berubah. "Wah. Saya rasa dia sakit... atau entah mengapa. Mana dokter?"
Pemimpin Skuadron Loftus adalah dokter Angkatan Udara; ia sudah beruban, tampak
pendiam, dan memisahkan diri dari rombongan di dekat roda.
"Ada apa dengannya?" tanyanya.
"Saya... entahlah."
Dokter masuk ke mobil. O'Rourke dan Parker Pyne mengikutinya. Sang dokter
membungkuk di atas tubuh yang terkulai itu. Satu kali melihat dan satu sentuhan
sudah cukup. "Dia sudah meninggal," katanya dengan tenang.
"Meninggal" Tapi mengapa?" Pertanyaan-pertanyaan pun berdatangan. "Aduh!
Mengerikan sekali!" kata Netta.
Loftus berbalik dengan sikap kesal.
"Pasti kepalanya terbentur langit-langit mobil tadi," katanya. "Kita tadi
mengalami benturan hebat."
"Masa itu bisa menewaskannya" Apa tak ada sebab lain?"
"Saya tak bisa mengatakannya, sebelum saya memeriksanya dengan sempurna," bentak
Loftus. Ia melihat ke sekelilingnya dengan pandangan kesal. Penumpang-penumpang
wanita makin mendesak mendekat, sedangkan yang laki-laki di luar mulai masuk
beramai-ramai. Mr. Parker Pyne berbicara pada si pengemudi, seorang laki-laki muda yang kuat
dan berotot. Diangkatnya penumpang-penumpang wanita satu demi satu dan dibawanya
menyeberangi lumpur, lalu didudukkannya di tanah kering. Madame Pentemian dan
Netta mudah saja diangkatnya, tapi ia terhuyung sewaktu harus menggendong Miss
Pryce tua yang berat. Lapanglah bagian dalam mobil beroda enam itu, hingga Dokter bisa mengadakan
pemeriksaannya. Para penumpang laki-laki mulai lagi berusaha membebaskan mobil itu. Akhirnya
matahari muncul di cakrawala. Hari itu cerah. Lumpur pun mengering dengan cepat,
tapi mobil masih tetap terbenam. Sudah tiga sekop yang patah, dan sejauh itu
usaha mereka belum menampakkan hasil. Pengemudi mulai menyiapkan sarapan - membuka
kaleng-kaleng sosis dan menyeduh teh.
Agak jauh di tempat lain, Pemimpin Skuadron Loftus sedang memberikan
keputusannya. "Tak ada bekas-bekas atau luka-luka apa pun padanya. Seperti kata saya tadi,
kepalanya pasti terbentur langit-langit mobil."
"Anda puas karena dia meninggal dengan wajar?" tanya Mr. Parker Pyne.
Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat dokter itu cepat memandang ke arahnya.
"Hanya ada satu kemungkinan lain."
"Yaitu?" "Yah, bahwa ada orang yang menghantam bagian belakang kepalanya dengan sesuatu
yang berbentuk kantong pasir." Suaranya mengandung penyesalan.
"Itu sangat tak mungkin," kata Williamson, salah seorang perwira Angkatan Udara
yang lain. Ia seorang pria muda berwajah kekanakan. "Maksud saya, tak mungkin
ada orang bisa berbuat begitu tanpa kita lihat."
"Kalau kita sedang tidur...," kata Dokter.
"Orang itu pasti tidak merasa yakin saat melakukannya," balas yang seorang lagi.
"Kalau dia bangkit dan sebagai nya, tentu membangunkan seseorang."
"Satu-satunya cara," kata Jendral Poli, "itu bisa dilakukan oleh seseorang yang
duduk di belakangnya. Dia bisa memilih saat yang tepat, dan bahkan tak perlu
bangkit dari tempat duduknya."
"Siapa yang duduk di belakang Kapten Smethurst?" tanya Dokter.
O'Rourke cepat menjawab. "Hensley, Sir... jadi itu tak mungkin. Hensley adalah sahabat terbaik
Smethurst." Keadaan sepi. Lalu terdengar suara Mr. Parker Pyne yang halus namun pasti.
"Saya rasa," katanya, "Letnan Penerbang Williamson harus menceritakan sesuatu
pada kita." "Saya, Sir" Saya... yah..."
"Katakan, Williamson," kata O'Rourke.
"Sebenarnya bukan apa-apa - sama sekali bukan apa-apa."
"Katakan." "Hanya sebagian dari suatu percakapan yang terdengar oleh saya di Rutbah - di
pekarangannya. Waktu itu saya harus kembali ke mobil untuk mengambil kotak rokok
saya. Saya sedang mencari-carinya. Ada dua orang sedang bercakap-cakap di luar.
Salah seorang di antaranya adalah Smethurst. Katanya..."
Ia berhenti sebentar. "Ayo katakan." "Sesuatu bahwa dia tak ingin mencelakakan seorang teman. Kedengarannya dia
tertekan. Lalu katanya, 'Aku akan tutup mulut sampai di Bagdad, tapi setelah itu
aku tak mau lagi. Kau harus keluar cepat-cepat.'"
"Dan laki-laki yang seorang lagi?"
"Saya tidak tahu, Sir. Saya bersumpah, saya tidak tahu. Hari gelap dan dia hanya
mengucapkan sepatah dua patah kata yang tidak terdengar oleh saya."
"Siapa di antara kalian semua yang kenal betul pada Smethurst?"
"Saya rasa kata-kata... seorang teman... tak mungkin ditujukan pada orang lain
kecuali Hensley," kata O'Rourke lambat-lambat. "Saya mengenal Smethurst, tapi
sedikit sekali. Williamson baru saja tamat; begitu pula Pemimpin Skuadron
Loftus. Saya rasa tak ada di antara mereka berdua yang pernah kenal padanya."
Kedua pria itu membenarkannya.
"Bagaimana dengan Anda, Jendral?"
"Saya baru bertemu dengan anak muda itu waktu kami menyeberangi Lebanon ke
Beirut dengan mobil yang sama. Tak pernah sebelumnya."
"Dan anak muda Armenia itu?"
"Dia tak mungkin teman baiknya," kata O'Rourke dengan pasti. "Dan tak ada orang
Armenia yang berani membunuh orang."
"Mungkin saya punya barang bukti kecil," kata Mr. Parker Pyne.
Diulanginya percakapannya dengan Smethurst di kafe di Damascus.
"Dia menggunakan kata-kata 'tak ingin mengkhianati seorang teman baik,'" kata
O'Rourke dengan merenung. "Dan dia kuatir."
"Tak ada lagikah yang bisa menambahkan sesuatu?" tanya Mr. Parker Pyne.
Dokter berdeham. "Mungkin tak ada hubungannya dengan...," katanya memulai.
Yang lain mendorongnya. "Saya hanya mendengar Smethurst berkata pada Hensley, 'Kau tak bisa membantah
bahwa ada kebocoran di departemenmu.'"
"Kapan itu?" "Sesaat sebelum kita berangkat dari Damascus, kemarin pagi. Saya pikir mereka
hanya membicarakan soal pekerjaan mereka. Saya tak mengira..." Ia berhenti.
"Teman-teman, ini menarik," kata Jendral. "Sepotong demi sepotong kalian
mengumpulkan bukti."
"Kata Anda sebuah kantong pasir, Dokter," kata Mr. Parker Pyne. "Bisakah
seseorang membuat sendiri senjata macam itu?"
"Di sini banyak sekali pasir," kata Dokter datar, sambil meraup segenggam pasir.
"Kalau kita masukkan ke dalam kaus kaki," kata O'Rourke, lalu ia ragu.
Mereka semua teringat akan dua kalimat singkat yang diucapkan Hensley semalam.
"Kita harus selalu membawa kaus kaki persediaan. Siapa tahu."
Keadaan sepi. Lalu Mr. Parker Pyne berkata dengan tenang, "Pemimpin Skuadron
Loftus, saya rasa kaus kaki persediaan Hensley itu ada di dalam saku mantelnya
yang sekarang ada di mobil."
Sesaat mereka semua memandang ke arah sosok yang sedang berjalan hilir-mudik
dengan murung di cakrawala. Hensley terus memisahkan diri sejak kematian
sahabatnya. Keinginannya untuk menyendiri dimaklumi, karena mereka tahu bahwa ia
dan almarhum bersahabat. "Tolong Anda ambil dan bawa kemari."
Dokter ragu. "Saya tak suka...," gumamnya. Sekali lagi ia melihat ke arah sosok yang hilir-
mudik itu. "Rasanya agak kurang pantas..."
"Tapi Anda harus mengambilnya, tolong," kata Mr. Parker Pyne.
"Keadaannya luar biasa. Kita tertahan di sini. Dan kita harus tahu kebenarannya.
Kalau Anda mau mengambil kaus kaki itu, saya rasa kita akan maju selangkah."
Loftus pergi dengan patuh.
Mr. Parker Pyne menarik Jendral Poli agak menjauh.
"Jendral, saya rasa Andalah yang duduk di seberang lorong mobil dari Kapten
Smethurst." "Benar." "Adakah orang yang bangkit dan melewati Anda di mobil?"
"Hanya wanita Inggris itu - Miss Pryce. Dia pergi ke kamar mandi di belakang."
"Apakah dia tersandung atau semacamnya?"
"Tentu dia agak terlempar, gara-gara gerakan mobil."
"Apakah dia satu-satunya orang yang Anda lihat berjalan?"
"Ya." Jendral melihat padanya dengan pandangan ingin tahu dan berkata, "Saya jadi
ingin tahu, siapa Anda" Anda menguasai keadaan, padahal Anda bukan prajurit."
"Saya sudah banyak sekali melihat dalam hidup ini," kata Mr. Parker Pyne.
"Apakah karena Anda sering bepergian?"
"Tidak," kata Mr. Parker Pyne. "Saya hanya duduk di kantor."
Loftus kembali dengan membawa kaus kaki itu. Mr. Parker Pyne mengambilnya, lalu
memeriksanya. Di dalam salah satu kaus kaki itu masih melekat pasir basah.
Mr. Parker Pyne menarik napas panjang.
"Sekarang saya tahu," katanya.
Mata mereka semua tertuju pada sosok yang sedang berjalan hilir-mudik di
cakrawala. "Kalau boleh, saya ingin melihat jenazah itu," kata Mr. Parker Pyne.
Dengan disertai oleh Dokter, ia pergi ke tempat mayat Smethurst diletakkan
dengan ditutupi terpal. Dokter mengangkat penutup itu.
"Tak ada yang bisa dilihat," katanya.
Tapi mata Mr. Parker Pyne melekat pada dasi almarhum.
"Jadi, Smethurst tamatan dari Eton, ya?" katanya.
Loftus tampak heran. Lalu Mr. Parker Pyne membuatnya lebih heran lagi.
"Apa yang Anda ketahui tentang Williamson?" tanyanya.
"Sama sekali tidak tahu apa-apa. Saya baru bertemu dengannya di Beirut. Saya
datang dari Mesir. Tapi mengapa" Masa...?"
"Yah, berdasarkan kesaksian dialah kita akan menggantung seseorang, bukan?" kata
Mr. Parker Pyne dengan ceria. "Kita harus berhati-hati."
Kelihatannya ia masih saja tertarik pada dasi dan kerah baju almarhum. Dibukanya
kancing leher bajunya, lalu ditanggalkannya kerah itu. Lalu ia berseru,
"Lihat itu?" Di bagian belakang kerah itu terdapat sebuah noda darah bulat yang kecil.
Ia melihat lebih dekat ke tengkuk yang sudah terbuka itu.
"Orang ini tidak dibunuh dengan pukulan di kepalanya, Dokter," katanya dengan
tegas. "Dia ditikam... di dasar tengkoraknya. Anda bisa melihat lubangnya yang
kecil itu." "Tadi tak terlihat oleh saya!"
"Anda memeriksa dengan dugaan yang sudah Anda dengar," kata Mr. Parker Pyne.
"Yaitu pukulan di kepala. Memang masuk akal kalau tidak melihat ini. Lukanya
hampir tidak kelihatan. Suatu tikaman cepat dengan sebuah alat yang tajam, bisa
menyebabkan kematian mendadak. Korban bahkan tak sempat berteriak."
"Maksud Anda sebuah stiletto" Menurut Anda Jendral...?"
"Sudah merupakan anggapan umum bahwa orang-orang Italia dikaitkan dengan
stiletto. Nah ini ada mobil!"
Sebuah mobil wisata muncul di cakrawala.
"Bagus," kata O'Rourke, waktu ia bergabung dengan mereka. "Ibu-ibu bisa ikut
mobil itu." "Bagaimana dengan pembunuh kita?" tanya Mr. Parker Pyne.
"Maksud Anda Hensley?"
"Bukan, bukan Hensley maksud saya," kata Mr. Parker Pyne. "Saya sudah tahu bahwa
Hensley tidak bersalah."
"Anda... tapi mengapa?"
"Yah, di dalam kaus kakinya memang ada pasir."
O'Rourke terbelalak. "Saya tahu, anakku," kata Mr. Parker Pyne dengan halus, "kedengarannya memang
tak masuk akal, tapi nyatanya masuk akal. Smethurst bukan dihantam di kepalanya,
melainkan ditikam." Ia diam sebentar, lalu berkata lagi,
"Coba Anda ingat kembali percakapan yang saya katakan tadi - percakapan kami di
kafe itu. Anda mengambil apa yang nyata bagi Anda, yaitu ucapan yang sama itu.
Tapi ada lagi ucapan lain yang saya ingat. Waktu saya katakan padanya bahwa
pekerjaan saya adalah dalam soal Siasat Kepercayaan, dia berkata, 'Apa" Anda
juga"' Apakah menurut Anda itu tidak aneh" Saya tidak tahu bahwa serangkaian
penggelapan di suatu departemen disebut 'Siasat Kepercayaan' juga. Siasat
Kepercayaan lebih pantas menggambarkan Mr. Samuel Long yang buron itu,
umpamanya." Dokter terkejut. O'Rourke berkata, "Ya... mungkin..."
"Secara bergurau saya katakan bahwa mungkin saja Mr. Long yang buron ada dalam
rombongan kita. Bagaimana andaikan hal itu memang benar?"
"Apa" Tapi itu tak mungkin!"
"Mungkin saja. Apa yang kita ketahui tentang orang-orang, kecuali paspor dan
Parker Pyne Menyelidiki Parker Pyne Investigates Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keterangan-keterangan yang mereka berikan tentang diri mereka" Apakah saya ini
memang benar Mr. Parker Pyne" Apakah Jendral Poli benar-benar seorang jendral
Italia" Lalu bagaimana dengan kejantanan Miss Pryce yang jelas kelihatan bahwa
dia perlu bercukur?"
"Tapi dia... tapi Smethurst... tidak mengenal Long?"
"Mr. Smethurst tamatan Eton. Sudah lama dia bersekolah di Eton. Mungkin
Smethurst mengenal Long, meskipun dia tidak mengatakannya. Mungkin dia
mengenalinya di antara kita. Dan kalau demikian, apa yang harus dilakukannya"
Pikirannya pendek, dan dia merasa cemas. Akhirnya diputuskannya untuk tidak
mengatakan apa-apa sebelum tiba di Bagdad. Tapi setelah itu dia tak mau tutup
mulut lagi." "Menurut Anda salah seorang di antara kita adalah Long?" kata O'Rourke, masih
dalam keadaan bingung. Ia menarik napas panjang.
"Pasti jendral Italia itu - pasti... atau bagaimana dengan orang Armenia itu?"
"Menyamar sebagai orang asing dan mendapatkan paspor asing jauh lebih sulit
daripada tetap sebagai orang Inggris," kata Mr. Parker Pyne.
"Miss Pryce?" tanya O'Rourke, masih tak percaya.
"Bukan," kata Mr. Parker Pyne. "Inilah dia orangnya!"
Diletakkannya tangannya yang tampak ramah ke pundak laki-laki di sebelahnya.
Tapi suaranya sama sekali tidak ramah, dan jemarinya mencengkeram dengan kuat.
"Pemimpin Skuadron Loftus atau Mr. Samuel Long. Anda boleh memilih ingin
menyebutnya apa!" "Tapi itu tak mungkin - tak mungkin," gagap O'Rourke. "Loftus sudah bertahun-tahun
berdinas." "Tapi Anda kan belum pernah bertemu dengannya" Dia adalah orang asing bagi Anda
semua. Dia tentu bukan Loftus yang sebenarnya."
Orang yang sejak tadi berdiam diri itu akhirnya bisa bersuara.
"Pandai sekali Anda menduga. Tapi bagaimana bisa?"
"Pernyataan Anda yang tidak masuk akal bahwa Smethurst tewas gara-gara terbentur
kepalanya. O'Rourke yang membukakan jalan pikiran itu ke otak Anda, waktu kita
berdiri bercakap-cakap di Damascus kemarin. Mudah sekali! pikir Anda. Andalah
satu-satunya dokter di antara kami, jadi apa pun yang Anda katakan pasti
diterima baik. Anda membawa kotak kerja Loftus. Alat-alatnya pun ada pada Anda.
Mudah saja memilih peralatan itu untuk tujuan tersebut. Anda membungkuk ke
arahnya untuk bercakap-cakap dengannya, dan sedang Anda berbicara, Anda tikamkan
senjata itu. Anda bercakap-cakap beberapa menit lagi. Keadaan gelap di dalam
mobil. Siapa yang akan curiga"
"Kemudian tibalah waktunya penemuan mayat. Anda pun menyatakan keputusan Anda.
Tapi keadaannya tidak semudah yang Anda duga. Keraguan bermunculan. Anda pun
mencari jalan pertahanan yang kedua. Williamson mengulangi percakapan Smethurst
dengan Anda yang didengarnya. Anggapan umum adalah bahwa kata-kata itu ditujukan
pada Hensley, dan Anda tambahkan suatu penemuan baru yang menghancurkan, tentang
adanya kebocoran di departemen Hensley. Lalu saya melakukan tes terakhir. Saya
menyebutkan pasir dan kaus kaki. Anda sedang memegang segenggam pasir. Saya
minta Anda pergi menemukan kaus kaki itu supaya kita tahu kebenarannya. Tapi
maksud saya bukan seperti yang Anda duga. Saya sudah memeriksa kaus kaki
Hensley. Tak ada pasir dalam kedua kaus kaki itu. Anda yang memasukkannya."
Mr. Samuel Long menyalakan rokok. "Saya menyerah," katanya. "Nasib baik saya
sudah berakhir. Yah, selama ini saya selalu bisa melarikan diri dengan mulus.
Orang sudah hampir bisa menangkap saya waktu saya tiba di Mesir. Lalu saya
bertemu dengan Loftus. Dia akan menggabungkan diri di Bagdad, padahal dia tidak
mengenal siapa-siapa di sana. Itu suatu kesempatan yang terlalu baik untuk
dilewatkan. Saya suap dia. Saya harus membayar dua puluh ribu pound. Itu tak ada
artinya bagi saya. Lalu sialnya saya bertemu Smethurst, si keledai tolol! Dia
Menembus Lorong Maut 2 Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat Banjir Darah Di Borobudur 3