Pencarian

Pasangan Detektif 1

Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie Bagian 1


PARTNERS IN CRIME By Agatha Christie PASANGAN DETEKTIF Alihbahasa: Mareta Penerbit: PT Gramedia Januari 1991 1. Peri di Dalam Rumah NYONYA Thomas Beresford menggeser duduknya sedikit dan memandang ke luar jendela
flatnya dengan sedih. Pemandangan di depannya bukanlah pemandangan yang menarik.
Yang terlihat hanya satu blok kecil yang terletak di seberang jalan. Nyonya
Beresford menarik napas panjang dan menguap.
"Mudah-mudahan akan terjadi sesuatu," katanya.
Suaminya memandang tidak setuju.
"Hati-hati, Tuppence. Keinginanmu akan sensasi kotor ini membuatku cemas."
Tuppence menarik napas dalam-dalam dan menutup matanya.
"Jadi Tommy dan Tuppence menikah," katanya seperti orang mendongeng. "Mereka pun
hidup bahagia. Dan enam tahun kemudian mereka tetap hidup bahagia. Memang luar
biasa," katanya. "Apa yang terjadi selalu lain dengan apa yang kita angankan."
"Sebuah pemikiran yang dalam, Tuppence. Tapi tidak orisinil. Penyair-penyair
terkenal, bahkan orang-orang terkenal lainnya, pernah mengucapkan hal itu - dan,
maaf - mereka mengucapkannya lebih baik."
"Enam tahun yang lalu," lanjut Tuppence, "aku bisa bersumpah bahwa dengan uang
cukup untuk membeli keperluan sehari-hari dan mempunyai suami kau, hidupku bisa
seperti sebuah lagu yang indah, seperti kata salah seorang penyair yang
kelihatannya kaukenal baik."
"Sekarang apa yang membuatmu bosan" Aku atau uang?" tanya Tommy dengan suara
dingin. "Bosan bukanlah kata yang tepat," kata Tuppence dengan manis. "Aku hanya merasa
terbiasa dengan berkat-berkat ini. Itu saja. Seperti orang yang tak pernah
berpikir betapa bahagianya dia dapat bernapas melalui hidung sampai dia kena
penyakit flu pada suatu saat."
"Apa sebaiknya aku bersikap tidak terlalu mempedulikanmu?" usul Tommy.
"Bagaimana kalau aku kencan dengan wanita lain dan pergi ke nite club?"
"Tak ada gunanya," jawab Tuppence. "Kau pasti akan melihatku di tempat itu
dengan lelaki lain. Dan aku tahu pasti bahwa kau sebetulnya tidak tertarik pada
wanita itu. Sedang kau sendiri pasti tidak tahu apakah aku benar-benar tertarik
pada laki-laki itu atau tidak. Wanita biasanya lebih teliti dari laki-laki."
"Angka tertinggi yang bisa dicapai seorang lelaki memang dalam hal kerendahan
hati," gumam Tommy. "Sebenarnya kenapa sih kau" Apa yang membuatmu tidak puas?"
"Aku tak tahu. Aku hanya ingin mengalami sesuatu. Sesuatu yang mendebarkan. Apa
kau tak ingin mengejar-ngejar mata-mata Jerman lagi, Tom" Bayangkan pengalaman
kita di hari-hari yang mendebarkan itu. Tentu saja aku sadar bahwa kau bekerja
di Dinas Rahasia sekarang. Tapi yang kaulakukan kerja kantoran."
"Kau ingin agar mereka mengirimku ke pelosok Rusia sana dan menyamar sebagai
seorang aktivis Bolshevik atau semacamnya?"
"Itu nggak enak," kata Tuppence. "Mereka tak akan membolehkan aku pergi
menemanimu, padahal akulah yang ingin melakukan sesuatu. Sesuatu untuk
dilakukan. Itulah yang aku inginkan dari tadi."
"Dunia wanita," kata Tommy sambil mengibaskan tangannya.
"Kerja dua puluh menit setelah sarapan sudah membuat flat ini kelihatan rapi.
Tak ada yang tak beres, kan?"
"Tugas-tugas rumahmu terlalu sempurna, Tuppence, hampir monoton."
"Aku suka mendengar orang berterima kasih," kata Tuppence. "Memang kau punya
pekerjaan," lanjutnya, "tapi apa tak timbul sedikit keinginan pun dalam dirimu -
untuk melakukan sesuatu yang mendebarkan?"
"Tidak," jawab Tommy. "Aku rasa tidak. Memang asyik mengharapkan dan
membayangkan akan terjadi sesuatu. Tapi yang datang tidak selalu hal yang
menyenangkan." "Laki-laki memang selalu hati-hati," kata Tuppence sambil menarik napas. "Apa
kau tak pernah diam-diam punya keinginan untuk - bertualang - dalam hidup ini?"
"Apa yang baru saja kaubaca, Tuppence?" tanya Tommy.
"Bayangkan, betapa akan mendebarkan seandainya kita mendengar ketukan keras di
pintu - lalu kita membukanya - dan ternyata ada seorang laki-laki sempoyongan yang
mati." "Kalau dia mati tak akan sempoyongan," kata Tommy dengan kritis.
"Ah, kau kan ngerti apa yang kumaksud," kata Tuppence. "Mereka selalu
sempoyongan sebelum mati dan jatuh di depan kita sambil mengucapkan beberapa
patah kata yang membingungkan, misalnya Macan Tutul Bertotol, atau yang semacam
itu." "Sebaiknya kau ikut kursus Schopenhauer atau Emmanuel Kant," kata Tommy.
"Itu akan bagus buatmu," jawab Tuppence. "Kau menjadi gemuk dan keenakan."
"Mana bisa," kata Tommy marah. "Kau sendiri selalu berolah-raga supaya
langsing." "Semua orang kan berolahraga," kata Tuppence. "Aku mengatakan kau gemuk tadi kan
kiasan saja. Kau tambah makmur dan rapi dan enak."
"Aku tak tahu apa yang terjadi padamu," kata suaminya.
"Semangat bertualang," gumam Tuppence. "Itu kan lebih baik daripada keinginan
untuk membuat affair. Walaupun aku juga melakukannya. Aku membayangkan bertemu
dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang sangat tampan...."
"Kau kan sudah bertemu denganku," kata Tommy. "Apa itu belum cukup?"
"Seorang laki-laki tegap berkulit kecoklatan dan kuat. Dia bisa menunggang apa
saja dan bisa menangkap kuda-kuda liar dengan lasso...."
"Dan memakai celana kulit kambing dan topi koboi," sahut Tommy dengan sinis.
"...dan pernah tinggal di daerah-daerah berbahaya," sambut Tuppence. "Aku
bayangkan dia jatuh cinta padaku. Dan tentu saja aku menolaknya, dan setia pada
sumpah perkawinanku. Tapi diam-diam hatiku pergi bersamanya."
"Ah," kata Tommy. "Aku juga suka membayangkan bertemu dengan seorang gadis yang
sangat cantik. Gadis berambut jagung yang jatuh cinta padaku. Tapi rasanya aku
tidak akan menolak dia - aku yakin itu."
"Wah," kata Tuppence. "Kau nakal juga, ya?"
"Kau kenapa sih, Tuppence" Tak pernah kau berkata seperti ini."
"Memang. Tapi perasaan itu telah lama kupendam dan rasanya sudah mendidih di
dalam," kata Tuppence. "Tahu, enggak" Sangat berbahaya kalau kau selalu mendapat
sesuatu yang kauinginkan - termasuk uang untuk membeli macam-macam. Dan memang
banyak topi dijual orang."
"Kau sudah punya empat puluh topi," kata Tommy. "Dan semua kelihatan sama."
"Topi sih memang begitu," jawab Tuppence. "Sebetulnya tidak semua sama, ada
nuansa pada warna-warnanya. Aku lihat ada topi bagus di Violette tadi pagi."
"Kalau tak ada lagi yang kaukerjakan kecuali membeli topi, kau tak perlu..."
"Persis," kata Tuppence. "Memang itu yang kumaksud. Kalau ada hal lain yang
lebih baik yang bisa kulakukan. Rasanya aku memerlukan sebuah pekerjaan yang
baik. Oh, Tommy, aku benar-benar mengharapkan akan terjadi sesuatu yang
mendebarkan. Aku merasa - aku benar-benar merasa bahwa hal itu akan baik untuk
kita. Seandainya kita bisa menemukan sesosok peri..."
"Ah!" kata Tommy. "Aneh benar perkataanmu!"
Dia berdiri dan melangkah ke sisi lain ruangan itu. Lalu membuka laci meja
tulisnya, mengambil sebuah foto dan memberikannya pada istrinya.
"Oh!" kata Tuppence. "Rupanya sudah dicetak, ya" Ini yang mana, yang kauambil
atau yang kuambil?" "Yang kuambil. Yang kau ambil rusak. Kurang cahaya. Seperti biasa."
"Bagus juga kau bisa melakukan sesuatu lebih baik dariku," kata Tuppence.
"Komentar tolol," kata Tommy. "Tapi biar saja untuk sementara. Yang ingin
kutunjukkan padamu ini."
Dia menunjuk sebuah noda putih kecil pada foto.
"Itu kan guratan pada film," kata Tuppence.
"Bukan," jawab Tommy. "Itu gambar peri."
"Tommy, kau memang tolol."
"Lihat saja." Dia memberikan kaca pembesar. Tuppence memperhatikan dengan baik. Noda putih itu
memang kelihatan seperti sebuah makhluk bersayap yang sedang hinggap di atas
penutup perapian. "Ada sayapnya!" seru Tuppence. "Lucu, ya. Ada peri hidup di flat kita. Kita
surati Conan Doyle, yuk. Oh, Tom, apa dia akan mengabulkan keinginan kita?"
"Nanti juga kita tahu," jawab Tommy. "Keinginanmu kan cukup menggebu-gebu dari
tadi." Pada saat itu pintu mereka terbuka dan seorang anak laki-laki jangkung berumur
lima belasan masuk dengan ragu-ragu. Dia bertanya dengan amat sopan.
"Apa Nyonya ada di rumah" Bel depan berbunyi."
"Ah, mudah-mudahan Albert tidak nonton," kata Tuppence setelah anak itu keluar
lagi. "Dia sedang praktek menirukan kepala pelayan dari Long Island. Untunglah
aku bisa mengubah kebiasaannya meminta kartu nama tamu dan membawanya masuk
dengan nampan." Pintu terbuka lagi dan Albert berkata, "Tuan Carter," dengan nada seseorang yang
menyebutkan gelar kebangsawanan.
"Bos," kata Tommy terkejut.
Tuppence meloncat berdiri dengan gembira dan menyalami seorang lelaki tinggi
berambut abu-abu dengan mata tajam dan senyum letih.
"Tuan Carter - senang sekali bertemu dengan Anda."
"Bagus, Nyonya Tommy. Sekarang coba jawab pertanyaan saya. Bagaimana keadaan
Anda?" "Memuaskan tapi bosan," jawab Tuppence dengan kedipan mata.
"Bagus, bagus," kata Tuan Carter. "Rupanya saya datang pada waktu yang tepat."
"Ah, ini mendebarkan," kata Tuppence.
Dengan gaya Long Island, Albert menyuguhkan teh. Ketika prosedur itu dilewati
tanpa kesalahan dan pintu ditutup lagi, Tuppence pun meledak.
"Anda punya sesuatu untuk kami, kan, Tuan Carter" Apa Anda akan mengirim kami ke
pelosok di Rusia?" "Bukan itu," jawab Tuan Carter.
"Tapi ada sesuatu."
"Ya - ada sesuatu. Anda bukan orang yang takut bahaya kan, Nyonya Tommy?"
Mata Tuppence bersinar gembira.
"Ada suatu pekerjaan yang harus dilakukan untuk Departemen - dan saya pikir - saya
hanya berpikir - bahwa pekerjaan itu cocok untuk kalian berdua."
"Lanjutkan," kata Tuppence.
"Anda berlangganan Daily Leader rupanya," lanjut Tuan Carter sambil mengambil
koran itu dari meja. Dia membalik kolom advertensi dan menunjuk sebuah advertensi serta menyorongkan
koran itu pada Tommy. "Coba baca ini," katanya.
Tommy menurut. "Agen Detektif Internasional, Theodore Blunt, Manajer. Penyelidikan Swasta.
Konfidensial. Staf profesional. Konsultasi bebas. 118 Haleham St. W.C."
Dia memandang Tuan Carter dengan mata bertanya. Tuan Carter mengangguk.
"Agen detektif itu sudah hampir ambruk," gumamnya. "Seorang teman membelinya
dengan murah. Kami punya rencana akan menghidupkannya lagi - yah, kira-kira enam
bulan untuk percobaan. Dan selama waktu itu harus ada manajernya."
"Bagaimana dengan Tuan Theodore Blunt?" tanya Tommy.
"Tuan Blunt orangnya ceroboh. Scotland Yard harus ikut campur. Dia sekarang
ditahan, dan tak mau menjawab hal-hal yang ingin kita ketahui."
"Saya mengerti," kata Tommy. "Setidaknya saya merasa bahwa saya mengerti."
"Sebaiknya kauambil cuti enam bulan. Cuti sakit. Dan kalau kau berminat untuk
menangani usaha itu dengan nama Theodore Blunt, tentunya tak akan ada
hubungannya denganku."
Tommy memandang bosnya dengan tenang.
"Ada instruksi?"
"Kelihatannya Tuan Blunt melakukan bisnis dengan orang asing. Perhatikan surat-
surat biru dengan perangko dari Rusia. Dari seorang pedagang daging babi yang
ingin mencari istrinya yang mengungsi kemari beberapa tahun yang lalu. Basahi
perangko surat itu dan kau akan menemukan angka 16 di bawahnya. Buatlah copy
surat-surat itu dan kirimkan aslinya kepadaku. Dan kalau ada seseorang yang
datang ke kantor dan menanyakan tentang nomor 16, segera beritahu aku."
"Saya paham," kata Tommy. "Dan yang lain-lainnya?"
Tuan Carter mengambil sarung tangannya di meja dan siap berangkat.
"Kau bisa menanganinya sesukamu. Aku pikir - " matanya berkedip sedikit, " - usaha
itu bisa menyenangkan Nyonya Tommy untuk mencoba-coba kemampuannya menangani
pekerjaan detektif."
2. Sepoci Teh TUAN dan Nyonya Beresford mengambil alih kantor Detektif Internasional beberapa
hari kemudian. Mereka berada di lantai dua sebuah gedung yang agak bobrok di
Bloomsbury. Di ruangan kecil di bagian luar kantor, Albert melepaskan peran
pelayan Long Island-nya, dan berganti peran sebagai pesuruh kantor, suatu tugas
yang dilakukannya dengan sempurna. Sekantong permen, tangan yang berlepotan
tinta, dan rambut agak acak-acakan memberi kesan yang dia anggap cocok sebagai
pesuruh. Dari ruangan di luar itu ada dua buah pintu ke ruang kantor dalam. Di sebuah
pintu ada tulisan "Pegawai". Dan di pintu satunya tertulis "Manajer". Di
belakang pintu itu ada sebuah ruang kecil dilengkapi dengan sebuah meja tulis
besar dengan tumpukan file yang mempunyai label macam-macam, tetapi kosong
isinya. Di ruangan itu juga terdapat seperangkat kursi tamu dari kulit yang
kuat. Di belakang meja tulis itu duduklah Tuan Blunt gadungan yang mencoba
memberi kesan bahwa dia sudah menangani bisnis itu seumur hidupnya. Dan tentu
saja ada sebuah telepon di ujung sikunya. Tuppence dan dia telah mempraktekkan
beberapa percakapan telepon yang mereka perlukan, dan Albert pun mendapat
instruksi-instruksi. Di ruang sebelah ada Tuppence, sebuah mesin tik, meja dan kursi yang kelihatan
lebih rendah kualitasnya dari yang ada di ruang Bos. Juga ada sebuah kompor gas
untuk membuat teh. Tak ada yang kurang - kecuali klien.
Tuppence yang sedang bersemangat itu mempunyai harapan-harapan cemerlang dengan
usaha barunya. "Akan menyenangkan sekali," celotehnya. "Kita akan memburu pembunuh, menemukan
permata warisan keluarga yang hilang, menemukan orang-orang yang hilang,
menemukan jejak penggelap uang."
Pada saat itulah Tommy merasa bahwa dia tidak bisa membiarkan angan-angan
Tuppence terlalu melambung.
"Tenang, Tuppence. Lupakan saja cerita murahan yang biasa kaubaca itu. Klien
kita - kalau ada lho - akan terdiri dari suami-suami yang ingin membayangi istrinya
dan istri-istri yang ingin membayangi suaminya. Bukti perceraian merupakan bukti
prestasi agen detektif swasta."
"Uh!" kata Tuppence sambil mengernyitkan hidungnya. "Kita tak akan menangani
kasus-kasus perceraian. Kita harus menaikkan kualitas bisnis kita."
"Ya-a," kata Tommy ragu-ragu.
Dan seminggu setelah itu mereka berdiskusi lagi.
"Tiga wanita tolol yang suaminya pergi berakhir minggu," kata Tommy menarik
napas. "Ada yang datang waktu aku makan siang di luar?"
"Laki-laki gendut bersama istrinya yang bawel," kata Tuppence sambil menarik
napas sedih. "Aku sudah tahu dari koran bahwa banyak perceraian terjadi. Tapi
baru benar-benar sadar sampai minggu terakhir ini. Aku capek dan bosan menjawab
Kami tidak melayani kasus perceraian."
"Kita kan sudah mengumumkannya di advertensi sekarang," kata Tommy mengingatkan.
"Jadi tak akan merepotkan lagi."
"Dan kita mengiklankannya dengan bagus," kata Tuppence dengan suara melankolis.
"Bagaimanapun, aku tak akan mundur. Kalau perlu, aku yang akan melakukan tindak
kriminal dan kau yang menangkapnya."
"Apa untungnya" Pikir dong perasaanku waktu mengucapkan selamat tinggal padamu
di Bow Street - atau Vine Street?"
"Kau membayangkan masa mudamu," kata Tuppence.
"Si Bailey. Memang dia yang kumaksud," kata Tommy.
"Pokoknya kita harus berusaha. Dengan bakat dan kemampuan tinggi seperti yang
kita miliki, seharusnya kita kan bisa berpraktek."
"Aku suka sikap optimismu, Tuppence. Kelihatannya kau tak ragu-ragu bahwa kau
punya bakat yang harus dipraktekkan."
"Tentu saja," kata Tuppence sambil membelalakkan matanya.
"Padahal kau tak punya kemampuan apa-apa."
"Hm. Aku telah membaca semua novel detektif yang diterbitkan sepuluh tahun
terakhir ini." "Aku juga sudah baca," kata Tommy, "tapi aku merasa bahwa hal itu tak terlalu
membantu kita." "Kau memang selalu pesimis. Percaya pada diri sendiri. Itu yang penting."


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya - kau kan sudah punya sikap itu," kata Tommy.
"Tentu saja di cerita-cerita detektif begitu," kata Tuppence merenung, "karena
penulis bekerja mundur. Maksudku, kalau seseorang tahu solusinya, dia bisa
mengatur petunjuknya. Apakah - "
Dia diam dan mengernyitkan dahinya.
"Ya?" tanya Tommy.
"Aku punya sebuah ide," jawab Tuppence. "Belum terlalu jelas, tapi aku bisa
membayangkannya." Dia berdiri dengan sikap pasti. "Aku rasa aku akan pergi dan
membeli topi yang kuceritakan padamu itu."
"Ya, Tuhan!" kata Tommy. "Topi lagi!"
"Topi itu cantik," kata Tuppence mantap.
Dia keluar dengan wajah yakin.
Pada hari-hari berikutnya Tommy sesekali menanyakan tentang ide Tuppence. Tapi
istrinya itu hanya menggelengkan kepala sambil berkata agar Tommy memberi waktu
padanya. Kemudian, pada suatu pagi yang cerah, seorang klien datang. Segalanya pun
terlupakan. Sebuah ketukan terdengar di pintu ruang luar. Albert yang baru saja memasukkan
permen asam di antara bibirnya berteriak, "Masuk". Dia kemudian menelan permen
asamnya karena terkejut dan senang. Ini benar-benar tamu.
Seorang pemuda jangkung dengan pakaian mahal dan rapi berdiri ragu-ragu di
pintu. "Benar-benar hebat," kata Albert pada dirinya sendiri. Dan pandangannya memang
tidak keliru. Pemuda itu kira-kira berumur dua puluh empat tahun, rambutnya yang bagus disisir
ke belakang, sebuah lingkaran merah pucat terlihat pada kedua matanya, dan
mukanya kelihatan seperti tak punya dagu.
Dalam kegembiraan yang meluap, Albert menekan bel di bawah mejanya. Pada saat
itu juga terdengar bunyi mesin tik dari arah ruang bertulis "Pegawai". Rupanya
Tuppence telah kembali ke posnya dengan cepat. Akibat kerja rajin Tuppence
tersebut adalah rasa kagum pada tamu muda itu.
"Maaf," katanya. "Apa ini kantor agen detektif - Blunts Brilliant Detectives?"
"Apa Tuan ingin bicara dengan Tuan Blunt sendiri?" tanya Albert dengan wajah
ragu-ragu, seolah-olah tidak pasti apakah hal itu bisa dilakukan.
"Ya - betul. Apa bisa?"
"Tuan belum bikin janji kelihatannya?"
Tamu itu merasa bersalah.
"Ya - memang belum."
"Sebaiknya Tuan telepon dulu. Tuan Blunt selalu sibuk. Dia sedang bicara di
telepon saat ini. Dari Scotland Yard - minta konsultasi."
Pemuda itu tambah terkesan.
Dengan sikap bersahabat, Albert membisikkan suatu informasi pada tamunya.
"Pencurian dokumen penting dari kantor Pemerintah. Mereka ingin agar Tuan Blunt
menanganinya." "Wah! Dia pasti sibuk sekali."
"Memang begitu," kata Albert.
Pemuda itu duduk di kursi keras, sama sekali tak sadar bahwa dirinya menjadi
obyek pandangan dua pasang mata dari lubang-lubang yang tersembunyi - yaitu mata
Tuppence yang mencuri lihat di sela-sela kesibukannya mengetik, dan mata Tommy,
yang sedang menunggu waktu yang tepat.
Akhirnya bel di meja Albert berbunyi nyaring.
"Bos sudah selesai. Sebentar, saya tanya apakah bisa menerima Anda sekarang,"
kata Albert dan menghilang di balik pintu bertuliskan "Manajer".
Tak lama kemudian dia muncul kembali.
"Mari, Tuan." Tamu itu dibawa masuk ke ruangan pribadi sang Manajer. Seorang laki-laki muda
dengan wajah ramah, rambut merah, dan sikap yang cekatan berdiri menyambut dia.
"Silakan duduk. Anda ingin bertemu dengan saya" Saya Tuan Blunt."
"Oh! Tidak saya sangka. Anda begitu muda."
"Periode Orang Tua sudah lewat," kata Tommy sambil mengibaskan tangannya. "Siapa
yang menyebabkan perang" Orang Tua. Siapa yang bertanggung jawab atas situasi
pengangguran seperti ini" Orang Tua. Siapa yang bertanggung jawab atas hal-hal
buruk yang timbul sekarang ini" Sekali lagi, Orang Tua!"
"Saya rasa Anda benar," kata si klien. "Saya kenal dengan seorang penyair -
katanya sih, penyair - dan dia selalu berkata begitu."
"Begini. Untuk informasi Anda saja. Tak seorang pun dari staf ahli saya berumur
lebih dari dua puluh lima tahun. Ini benar."
Karena staf ahli yang dikatakannya terdiri dari Tuppence dan Albert, maka kata-
katanya itu pun tidak bohong.
"Sekarang - faktanya," kata Tuan Blunt.
"Saya butuh bantuan Anda untuk mencari seseorang yang hilang," kata pemuda itu.
"Hm, begitu. Bisa Anda menceritakannya secara detil?"
"Mm, ya. Agak sulit sebenarnya. Maksud saya, urusan ini agak peka. Dia
barangkali tidak suka. Maksud saya - ah, sulit diceritakan."
Dia memandang Tommy dengan putus asa. Tommy menjadi jengkel. Sebenarnya dia tadi
akan berangkat makan ketika tamu itu datang. Dan dia bisa meramalkan akan makan
waktu lama apabila menghadapi orang di depannya itu.
"Apakah dia menghilang dengan kemauan sendiri atau apakah Anda mencurigai adanya
penculikan?" tanyanya agak ketus.
"Saya tak tahu," jawab pemuda itu. "Saya tak tahu apa-apa."
Tommy mengambil buku catatan dan pensil.
"Pertama-tama, saya ingin tahu siapa Anda," katanya. "Pesuruh saya memang
dilatih untuk tidak menanyakan nama tamu-tamu. Dengan cara itu konsultasi bisa
berjalan dengan rahasia."
"Oh! Bagus...," katanya. "Nama saya - er - nama saya Smith."
"Oh, tidak," kata Tommy. "Tolong beritahu nama yang sebenarnya."
Tamu itu memandangnya heran.
"Er - St. Vincent," katanya. "Lawrence St. Vincent."
"Aneh," kata Tommy. "Begitu sedikit orang yang bernama Smith. Bahkan saya
sendiri tak punya kenalan dengan nama Smith. Tapi sembilan dari sepuluh orang
yang ingin menyembunyikan nama aslinya memberi nama samaran Smith. Saya memang
sedang menulis hal itu."
Pada saat itu terdengar dering telepon di mejanya.
Itu adalah kode rahasia yang menyatakan bahwa Tuppence ingin menangani orang
tersebut. Tommy yang sedang merasa lapar dan tidak terlalu bersimpati pada tamunya, merasa
gembira. "Maaf," katanya sambil mengangkat teleponnya.
Ekspresi wajahnya pun jadi berubah-ubah.
"Ah, masa?" katanya. "Pak Menteri sendiri" Ya, tentu saja aku akan segera
datang." Dia meletakkan teleponnya dan berbalik menghadapi tamunya.
"Maaf, Tuan. Saya benar-benar minta maaf. Panggilannya mendadak. Saya harap Anda
bersedia memberikan keterangan pada sekretaris kepercayaan saya. Dia yang akan
menangani kasus Anda."
Dia berjalan ke pintu ruang sebelah.
"Nona Robinson."
Dengan penampilan sopan dan rapi Tuppence keluar dari ruangannya. Tommy
memperkenalkan dia pada tamunya, lalu pergi.
"Seorang wanita yang telah menarik perhatian Anda telah hilang, rupanya," kata
Tuppence dengan suara lembut ketika dia duduk sambil mengambil catatan Tuan
Blunt. "Seorang gadis muda?"
"Oh, ya," jawab Tuan Vincent. "Muda - dan - dan - sangat cantik - dan menarik."
Wajah Tuppence menjadi ikut sedih.
"Ah," katanya, "mudah-mudahan dia..."
"Apa pendapat Anda" Tidak terlalu serius mudah-mudahan," kata Tuan Vincent
cemas. "Oh, mudah-mudahan saja tak apa-apa," kata Tuppence dengan optimisme palsu yang
membuat sedih tamunya. "Nona Robinson, bagaimanapun caranya - Anda harus menolong saya. Jangan kuatir
tentang biaya. Saya tak ingin hal-hal yang jelek terjadi padanya. Kelihatannya
Anda sangat simpatik. Dan saya tak ragu-ragu memberitahu Anda bahwa saya sangat
mencintai gadis itu. Dia adalah segalanya bagi saya. Dia luar biasa, benar-benar
seorang gadis yang istimewa."
"Coba Anda ceritakan tentang dia dan siapa namanya."
"Namanya Janet. Saya tak tahu nama keluarganya. Dia bekerja di toko topi - toko
Madame Violette di Brook Street. Tapi gadis itu gadis baik-baik - dan saya sangat
tertarik padanya. Kemarin saya pergi ke sana - menunggu dia selesai kerja. Teman-
temannya sudah keluar semua, tapi dia tidak kelihatan. Lalu saya mendengar bahwa
dia tidak datang pagi itu - dan dia tidak mengirim berita apa-apa. Nyonya pemilik
toko itu amat marah. Saya mendapat alamat pondokannya dan saya pun ke sana.
Mereka mengatakan bahwa dia tidak pulang malam sebelumnya, dan mereka tak tahu
di mana dia berada. Saya benar-benar cemas. Saya berpikir mau lapor polisi. Tapi
Janet pasti akan marah pada saya kalau saya melakukan itu padahal dia pergi atas
kemauannya sendiri. Saya teringat bahwa Janet pernah menunjukkan iklan Anda di
surat kabar, dan cerita bahwa salah seorang pembeli topi di tokonya memuji-muji
kemampuan dan kerahasiaan yang terjamin dari usaha Anda. Jadi, saya pun kemari."
"Hm, begitu," kata Tuppence. "Di mana alamat pondokannya?"
Pemuda itu memberinya alamat.
"Saya rasa itu saja yang kami perlukan. Oh, ya, apa Anda telah bertunangan
dengan gadis ini?" Wajah Tuan Vincent berubah jadi merah.
"Mm - sebetulnya belum. Saya belum pernah menyatakan hal itu. Tapi begini. Saya
akan meminangnya begitu saya bisa menemukan dia lagi - kalau saya menemukan dia."
Tuppence meletakkan catatannya.
"Apakah Anda memerlukan layanan dua puluh empat jam kami?"
"Apa itu?" "Biayanya dobel. Tapi kami akan mengerahkan semua staf ahli kami untuk kasus
ini. Tuan Vincent, kalau gadis itu masih hidup, saya akan memberitahu Anda di
mana dia berada besok pada jam yang sama."
"Apa" Wah, luar biasa."
"Staf kami adalah staf ahli. Dan kami memberikan hasil yang diinginkan," kata
Tuppence tegas. "Wah, staf Anda pasti luar biasa," kata Tuan Vincent.
"Memang demikian," kata Tuppence. "Tapi Anda belum menceritakan bagaimana kami
bisa mengenali gadis itu."
"Rambutnya sangat indah - keemasan - emas tua - seperti warna matahari tenggelam - ya,
seperti matahari tenggelam. Tahu nggak, saya sebetulnya tidak pernah
memperhatikan matahari yang sedang tenggelam kecuali belakangan ini. Juga puisi.
Begitu banyak yang terkandung di dalamnya. Dan itu tak pernah terpikir oleh saya
sebelumnya." "Rambut merah," kata Tuppence tanpa emosi sambil menulisnya di catatan.
"Seberapa tinggi gadis itu?"
"Oh, lumayan tinggi. Dan matanya bagus sekali. Saya rasa biru tua. Dan sikapnya
tegas - kadang-kadang membuat kita segan."
Tuppence menuliskan beberapa patah kata lagi. Dia menutup catatannya lalu
berdiri. "Kalau Anda bisa kemari besok jam dua siang, saya rasa kami akan punya berita
untuk Anda," katanya. "Sampai besok, Tuan Vincent."
Ketika Tommy kembali, Tuppence sedang membuka-buka Debrett.
"Aku sudah punya detilnya," kata Tuppence. "Lawrence Vincent adalah kemenakan
dan ahli waris Earl of Cheriton. Kalau kita berhasil, kita akan dapat publisitas
gratis di kalangan tinggi."
Tommy membaca catatan Tuppence.
"Apa pendapatmu tentang kemungkinan yang bisa terjadi pada gadis itu?" tanya
Tommy. "Aku rasa dia pergi karena ingin pergi. Dia merasa terlalu cinta pada pemuda
itu." Tommy memandangnya dengan ragu-ragu.
"Aku memang pernah membaca hal seperti itu di buku-buku," katanya. "Tapi aku
belum pernah benar-benar bertemu dengan gadis seperti itu."
"Belum?" kata Tuppence. "Barangkali kau benar. Tapi si Vincent itu pasti akan
menelan cerita seperti itu. Dia sedang mabuk cinta. Oh, ya. Aku tadi memberi
garansi hasil layanan dua puluh empat jam. Ini layanan khusus kita."
"Tuppence - kau ini tolol atau apa" Kenapa pakai layanan khusus seperti itu?"
"Tiba-tiba saja ide itu muncul di kepalaku. Dan kedengarannya cukup menarik.
Jangan kuatir. Percayakan saja pada Ibu. Ibu kan tahu yang terbaik."
Tuppence kemudian keluar meninggalkan Tommy yang merasa tidak puas.
Akhirnya dia berdiri, menarik napas panjang dan keluar untuk melakukan apa yang
bisa dilakukan sambil mengomeli tingkah Tuppence.
Ketika dia kembali pukul setengah lima dengan loyo dan kesal, dia menemukan
Tuppence sedang mengeluarkan kantong biskuit dari persembunyiannya di salah satu
file. "Kau kelihatan capek," katanya. "Apa saja yang kaulakukan?"
"Keliling rumah sakit cari keterangan tentang gadis itu."
"Aku kan sudah bilang, biar aku saja yang membereskan," kata Tuppence.
"Kau tak akan bisa menemukan gadis itu sendiri sebelum jam dua besok."
"Siapa bilang" Aku sudah menemukannya."
"Sudah" Apa maksudmu?"
"Problem yang sederhana, Watson. Sangat sederhana."
"Di mana dia sekarang?"
Tuppence menunjuk ke belakang dengan tangannya.
"Di ruang kerjaku. Di sebelah."
"Apa yang dilakukannya di situ?"
Tuppence tertawa. "Ah, pokoknya beres. Dengan sebuah kompor, sebuah ketel, satu ons teh, sambil
memandang wajahnya, hasilnya adalah sebuah konklusi yang bisa ditebak."
"Toko Madame Violette ialah toko tempat aku membeli topi," Tuppence menerangkan
dengan sabar dan lembut. "Pada suatu hari, aku bertemu dengan seorang teman lama
waktu aku tugas di rumah sakit dulu. Dia berhenti menjadi perawat setelah
perang, lalu membuka toko topi tetapi gagal. Akhirnya dia bekerja di toko Madame
Violette ini. Kami merencanakan sesuatu. Yang perlu dia lakukan ialah
menyodorkan iklan-iklan kita ke Vincent muda tadi, lalu menghilang. Ini suatu
efisiensi yang bagus dari Blunt Brilliant Detectives. Kita mendapat publisitas
dan dia mendapat keyakinan bahwa St. Vincent akan meminangnya. Janet sudah
mengharapkan hal itu."
"Tuppence, kau benar-benar keterlaluan. Ini namanya bisnis busuk. Kau membantu
dan memberi dorongan pada pemuda itu untuk menikah dengan gadis dari tingkat..."
"Stop," kata Tuppence. "Janet gadis baik-baik - tapi anehnya, dia kok cinta sama
pemuda lembek seperti itu. Kau bisa segera melihat apa yang diperlukan keluarga
pemuda itu. Setetes darah merah yang baik dan segar. Janet akan sesuai untuk
mereka. Dia akan melayani pemuda itu seperti seorang ibu yang baik, mengurangi
pesta-pesta liar dan kehidupan malam yang tak keruan, dan membawanya pada
kehidupan sehat seorang bangsawan yang terhormat. Sekarang kau bisa menemuinya."
Tuppence membuka pintu ruang sebelah dan Tommy mengikutinya.
Seorang gadis jangkung dengan rambut kemerahan dan wajah ramah yang menyenangkan
sedang mengangkat ketel dan kompor. Dia berpaling kepada mereka. Senyumnya
memamerkan sederet gigi yang bersih.
"Maaf, Suster Cowley - eh, Nyonya Beresford. Barangkali sudah waktunya Anda minum
teh. Ingat nggak berapa cangkir teh yang telah Anda buat untuk saya pagi-pagi
jam tiga waktu masih di rumah sakit?"
"Tommy," kata Tuppence. "Aku ingin memperkenalkan kawan lamaku, Suster Smith."
"Smith" Kau bilang Smith" Aneh!" kata Tommy sambil menyalami dia. "Eh! Oh" Nggak
- nggak - aku teringat pada sebuah buku yang ingin kutulis."
"Tenang, Tommy," kata Tuppence.
Dia menuang secangkir teh untuknya.
"Sekarang mari kita minum bersama-sama. Demi suksesnya Agen Detektif
Internasional. Blunts Brilliant Detectives! Semoga selalu sukses!"
3. Kisah Mutiara Merah Muda
"APA-APAAN ini?" tanya Tuppence ketika melihat bosnya duduk di lantai dengan
buku-buku bertebaran di sekitarnya.
Dengan susah-payah Tommy berdiri.
"Aku tadi sedang mengatur buku-buku ini di rak bagian atas itu. Tapi kursiku
rupanya tak mau diajak bekerja sama," jawab Tommy mengeluh.
"Ini buku apa sih?" tanya Tuppence sambil mengambil sebuah buku. "The Hound of
Baskervilles. Ah, aku tak keberatan membaca lagi - kapan-kapan."
"Jadi kau setuju ideku?" kata Tommy, sambil membersihkan debu dari pakaiannya -
dengan hati-hati. "Setengah Jam Bersama Para Ahli - buku-buku semacam itulah. Aku
selalu merasa bahwa kita ini benar-benar amatir dalam bisnis seperti ini. Memang
kita ini amatir - tapi kita kan bisa mempelajari tekniknya. Buku-buku ini buku-


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buku detektif. Aku ingin mencoba cara-cara yang berbeda dan membandingkan
hasilnya." "Hm," kata Tuppence. "Aku sering berpikir-pikir bagaimana detektif-detektif itu
akan bekerja dalam alam yang nyata." Dia mengambil sebuah buku lagi. "Kau akan
mengalami kesulitan kalau jadi Thorndyke. Kau tak punya pengalaman medis. Dan
pengalaman legal. Dan aku tak pernah dengar bahwa kau punya bakat science yang
kuat." "Barangkali tidak," kata Tommy. "Tapi setidaknya aku telah membeli sebuah kamera
yang sangat bagus. Dan aku bisa memotret jejak kaki dan membesarkan fotonya.
Nah, mon ami, coba pakai sel abu-abumu. Apa kira-kira yang tersirat oleh benda-
benda di laci ini?" Dia menunjuk ke laci bawah lemari. Di dalamnya terdapat beberapa benda yang
kelihatan aneh, yaitu baju tidur bermotif futuristik, sandal turki, dan sebuah
biola. "Sudah jelas, Watson," kata Tuppence.
"Ya," kata Tommy. "Sentuhan Sherlock Holmes."
Tommy mengambil biola itu dan memainkannya dengan seenaknya, sehingga telinga
Tuppence terasa sakit. Pada saat itu terdengar bel berbunyi di meja, tanda bahwa seorang klien datang
di ruang kantor Albert. Dengan cepat Tommy mengembalikan biola itu ke dalam lemari dan menyepaki buku-
buku ke bawah meja. "Sebenarnya tak perlu buru-buru seperti ini," kata Tommy. "Si Albert pasti
mengulangi cerita bahwa aku sibuk dengan Scotland Yard di telepon. Cepat kembali
ke ruangmu dan mengetik. Biar kedengaran sibuk dari luar. Eh, nggak usah.
Sebaiknya kau pura-pura sedang kudikte. Cepat, sebelum Albert masuk."
Mereka mengintip dari sebuah lubang yang tersembunyi sehingga bisa melihat
situasi di ruang Albert. Tamu itu adalah seorang gadis seumur Tuppence. Tinggi dan berkulit gelap dengan
muka keruh dan mata marah.
"Bajunya murahan dan norak," kata Tuppence. "Suruh dia masuk, Tom."
Pada menit berikutnya gadis itu pun bersalaman dengan Tuan Blunt. Tuppence hanya
duduk dengan mata tertunduk pada catatan. Tangannya memegang pensil.
"Sekretaris pribadi saya, Nona Robinson," kata Tommy sambil mengibaskan
tangannya. "Anda bisa bicara dengan bebas di depannya." Dia kemudian bersandar
sejenak di kursi, menutup matanya dan berkata dengan suara bosan, "Tentunya bis
yang Anda naiki tadi penuh sesak pada jam-jam seperti ini."
"Saya tadi naik taksi," kata gadis itu.
"Oh!" kata Tommy kecewa. Matanya memandang karcis bis berwarna biru yang nongol
dari sarung tangan gadis itu. Pandangan gadis itu mengikuti mata Tommy. Dia
tersenyum dan mengambil karcis bisnya.
"Anda maksudkan ini" Saya memungutnya tadi dari trotoar. Anak tetangga kami yang
masih kecil mengumpulkan karcis bis."
Tuppence terbatuk dan Tommy melirik marah kepadanya.
"Baiklah, kita langsung saja pada urusan kita," kata Tommy. "Anda memerlukan
layanan kami, Nona...?"
"Nama saya Kingston Bruce," kata gadis itu. "Kami tinggal di Wimbledon. Tadi
malam, seorang tamu wanita yang menginap di rumah kami kehilangan mutiara merah
muda yang sangat mahal. Tuan St. Vincent kebetulan makan malam bersama kami. Dan
pada waktu itu dia menyebutkan perusahaan Anda. Pagi tadi Ibu menyuruh saya
untuk datang ke sini dan menanyakan apakah Anda bersedia membantu kami."
Gadis itu bicara dengan segan dan agak sedih. Kelihatannya dia tidak sependapat
dengan ibunya dan datang ke situ dengan terpaksa.
"Hm, begitu," kata Tommy. "Anda belum melapor pada polisi?"
"Belum," katanya. "Kami belum melapor. Pasti akan memalukan seandainya kami
lapor polisi lalu ternyata benda itu cuma jatuh di dekat perapian atau di suatu
tempat." "Oh, kalau begitu ada kemungkinan bahwa mutiara itu hanya jatuh atau hilang di
suatu tempat?" tanya Tommy.
Gadis itu hanya mengangkat bahu.
"Orang kan sering ribut dengan hal-hal seperti itu," katanya.
Tommy membersihkan tenggorokannya dengan batuk-batuk kecil.
"Tentu," katanya. "Saat ini saya benar-benar sibuk...."
"Ya, saya mengerti," kata gadis itu sambil berdiri. Ada sebuah kilatan puas pada
mata gadis itu yang tidak lepas dari pandangan Tuppence.
"Akan tetapi, rasanya saya sempat juga datang ke Wimbledon," lanjut Tommy. "Apa
Nona bisa memberikan alamat Nona?"
"Keluarga Laurel, Edgeworth Road."
"Tolong dicatat, Nona Robinson."
Nona Kingston Bruce ragu-ragu. Kemudian dia berkata,
"Kalau begitu kami tunggu Anda. Selamat pagi."
"Gadis aneh," kata Tommy. "Aku tak bisa menebak dia."
"Barangkali dia sendiri yang mencuri benda itu," kata Tuppence sambil merenung.
"Ayo, Tom. Kita bereskan buku-buku ini dan kita ke sana dengan mobil. O, ya, apa
kau masih ingin jadi Sherlock Holmes?"
"Rasanya aku perlu praktek dulu," kata Tommy. "Nggak berhasil dengan tipuan
karcis bis tadi." "Betul. Kalau aku jadi kau, tak perlu coba-coba yang seperti itu dengan gadis
tadi. Dia tajam seperti jarum. Dan kelihatannya tidak bahagia."
"Kelihatannya kau sudah tahu banyak tentang dia," kata Tommy menyindir, "hanya
dengan melihat bentuk hidungnya!"
"Dengar pendapatku tentang apa yang akan kita temukan di rumah Laurel itu," kata
Tuppence tak acuh. "Mereka pasti keluarga snob yang ingin mendaki tangga sosial
lebih tinggi. Si ayah - kalau ada - punya pangkat militer. Gadis itu terpaksa ikut
arus kehidupan seperti itu walaupun dia sendiri tidak menyukainya."
Tommy memperhatikan susunan buku yang sudah rapi.
"Aku rasa, aku akan jadi Thorndyke hari ini," katanya.
"Aku merasa tak ada hal-hal yang berbau medicolegal dalam kasus ini," kata
Tuppence. "Barangkali kau benar," kata Tommy. "Tapi aku ingin sekali memakai kameraku!
Lensanya luar biasa - tak ada duanya."
"Ah - aku tahu lensa seperti itu," kata Tuppence. "Waktu kau menyesuaikan lensa
itu dengan banyak-sedikitnya cahaya yang masuk, kau akan membuat letih matamu
dan pikiranmu. Pada waktu itulah kau menginginkan sebuah kamera yang sederhana."
"Hanya orang yang tidak ambisius yang puas dengan kamera sederhana."
"Lihat saja. Aku akan mendapat hasil yang lebih bagus daripada kau nanti."
Tommy tidak mempedulikan tantangan itu.
"Seharusnya aku punya Smokers Companion. Di mana ya kita bisa beli benda itu?"
"Kau kan punya pembuka sumbat bagus dari Bibi Araminta - hadiah Natal yang lalu,"
kata Tuppence mengingatkan.
"Oh, ya, ya. Benda itu kelihatan seperti alat perusak yang aneh waktu aku buka.
Dan anehnya lagi dikirim oleh seorang bibi yang sama sekali tak pernah minum."
"Aku akan jadi Polton," kata Tuppence.
Tommy memandang dia dengan marah.
"Uh - Polton. Kau tak akan bisa melakukan satu hal saja yang dia lakukan."
"Bisa saja," kata Tuppence. "Aku bisa menggosok-gosok kedua tanganku kalau aku
senang. Itu kan cukup untuk memulai" Dan kau akan ambil jejak-jejak kaki?"
Tommy diam saja. Dia mengambil pembuka botol, lalu keduanya pergi ke garasi dan
berangkat ke Wimbledon. Rumah keluarga Laurel sangat besar. Atapnya tinggi dan mempunyai menara-menara
kecil. Kelihatannya seperti baru dicat dan dikelilingi petak-petak geranium
merah yang rapi dan cemerlang.
Seorang lelaki jangkung berkumis pendek berwarna putih dengan sikap gagah
membukakan pintu sebelum Tommy sempat memijit bel.
"Saya sudah menunggu-nunggu Anda," katanya cerewet. "Anda Tuan Blunt, kan" Saya
Kolonel Kingston Bruce. Silakan masuk ke ruang kerja saya."
Dia membawa mereka ke sebuah ruang kecil di bagian belakang rumah.
"St. Vincent muda itu pernah cerita tentang biro jasa Anda yang cukup
mengagumkan. Dan saya sendiri pernah membaca iklan Anda. Layanan bergaransi dua
puluh empat jam Anda itu benar-benar bagus. Dan itulah yang saya perlukan."
Walaupun hatinya memaki-maki sikap Tuppence yang sembrono, Tommy hanya bisa
berkata, "Ya, begitulah, Kolonel."
"Kejadian ini sangat menyedihkan. Sangat menyedihkan."
"Barangkali Anda bisa memberikan fakta-faktanya," kata Tommy dengan nada kurang
sabar. "Tentu - sekarang juga. Kami punya kawan lama yang saat ini bertamu dan menginap
di sini. Lady Laura Barton. Putri almarhum Earl of Carroway. Earl yang sekarang -
yaitu kakak laki-lakinya - mengucapkan pidato yang luar biasa di Majelis Tinggi
beberapa waktu yang lalu. Seperti yang saya katakan tadi, dia adalah kawan lama
dan kawan baik kami. Ada teman-teman Amerika saya yang baru datang, yaitu
pasangan Hamilton Betts, yang sangat ingin berkenalan dengannya. Saya bilang tak
ada masalah. Dia tinggal di tempat saya sekarang. Datanglah pada akhir pekan,
kata saya. Anda pasti mengerti bagaimana sikap orang-orang Amerika terhadap para
bangsawan, Tuan Blunt."
"Ya - dan orang-orang lain juga di samping mereka, Kolonel Kingston Bruce."
"Ya - ya, benar sekali. Saya paling benci pada orang-orang snob seperti itu. Nah,
seperti saya katakan, pasangan Betts itu datang pada akhir pekan kemarin. Tadi
malam - kami waktu itu sedang main bridge - leontin kalung Nyonya Hamilton Betts
patah. Jadi dia melepaskannya lalu meletakkannya di sebuah meja kecil untuk
dibawa naik kalau sudah selesai main. Tapi dia kemudian lupa membawa benda itu.
Leontin kalung itu terdiri dari dua butir berlian kecil yang mengapit sebuah
mutiara besar berwarna merah muda. Leontin kalung itu tadi pagi ditemukan di
meja kecil itu, tapi mutiaranya tidak ada."
"Siapa yang menemukannya?"
"Pelayan dalam - Gladys Hill."
"Ada hal-hal yang bisa dicurigai pada dia?"
"Dia sudah bertahun-tahun kerja di sini. Dan dia seorang gadis yang jujur. Tapi,
tentu saja, orang tak bisa yakin...."
"Ya, tepat. Barangkali Anda bisa menceritakan staf Anda dan memberitahu siapa-
siapa saja yang hadir dalam jamuan makan malam kemarin?"
"Baik. Juru masak - baru dua bulan kerja di sini, tapi tentunya dia tak punya
kesempatan untuk mendekati ruang duduk, kan" - Begitu pula pembantu dapur. Lalu
ada pelayan rumah - Alice Cummings. Dia juga sudah di sini beberapa tahun. Dan ada
pelayan Lady Laura. Orang Prancis."
Sikap Kolonel Kingston Bruce sangat mengesankan ketika dia mengucapkan kalimat
terakhirnya itu. Tommy, yang tidak mempedulikan kebangsaan si pelayan
melanjutkan dengan bertanya, "Ya. Dan tamu-tamunya?"
"Tuan dan Nyonya Betts, kami sendiri - (istri dan anak perempuan saya) - dan Lady
Laura. St. Vincent juga datang, dan Tuan Rennie datang sebentar setelah makan
malam." "Siapa Tuan Rennie?"
"Seorang laki-laki yang menyebalkan - sosialis yang menjemukan. Memang ganteng - dan
punya kemampuan berargumentasi. Tapi bukan laki-laki yang bisa dipercaya. Bahkan
berbahaya." "Apakah Anda mencurigai dia?" tanya Tommy tanpa tedeng aling-aling.
"Betul, Tuan Blunt. Saya yakin bahwa orang seperti dia tak punya prinsip-prinsip
hidup yang baik. Tidak sulit baginya, kan, untuk melepaskan mutiara itu pada
waktu kami sedang asyik" Ada saat-saat yang memerlukan konsentrasi penuh dalam
permainan seperti itu - sebuah dobel ulang No Trump, dan kami bertengkar cukup
seru ketika istri saya main jelek."
"Hm, begitu. Saya ingin tahu bagaimana sikap Nyonya Betts dalam hal ini?"
"Dia ingin agar saya memanggil polisi," kata Kolonel Kingston Bruce dengan
segan. "Tapi kami ingin mencarinya dulu sebelum lapor. Jangan-jangan mutiara itu
hanya jatuh di suatu tempat."
"Tapi Anda sendiri sebenarnya kurang setuju?"
"Saya tidak suka publisitas. Begitu pula istri dan anak perempuan saya. Kemudian
istri saya teringat cerita St. Vincent muda tentang biro jasa Anda - dengan
layanan dua puluh empat jam."
"Ya," kata Tommy dengan berat hati.
"Begini, cara apa pun yang akan Anda ambil, sebetulnya tidak merugikan.
Seandainya besok kita lapor polisi, bisa kita anggap bahwa mutiara itu hilang
dan kita telah berusaha mencarinya. Oh ya, tak seorang pun diperbolehkan
meninggalkan rumah ini sejak pagi tadi."
"Kecuali putri Anda, tentunya," kata Tuppence untuk pertama kali.
"Kecuali anak saya," kata Kolonel setuju. "Dia langsung menawarkan jasa untuk
menemui Anda." Tommy berdiri. "Kami akan berusaha sebaik-baiknya untuk membantu Anda, Kolonel," katanya. "Saya
ingin melihat ruang duduk, dan meja tempat leontin kalung itu diletakkan. Saya
juga ingin bicara dengan Nyonya Betts. Setelah itu saya - ah, sebaiknya asisten
saya, Nona Robinson, yang bicara dengan para pelayan."
Tommy merasa agak ngeri ketika membayangkan dirinya mewawancarai para pelayan.
Kolonel Kingston Bruce membuka pintu dan membawa mereka masuk ke dalam ruangan
besar. Mereka mendengar sebuah suara dari pintu yang ada di dekat mereka. Dan
suara itu adalah suara gadis yang datang ke kantor tadi pagi.
"Ibu kan tahu persis bahwa dia membawa pulang sebuah sendok teh di dalam sarung
tangannya." Pada menit berikutnya mereka pun diperkenalkan pada Nyonya Kingston Bruce,
seorang wanita berwajah sedih dan bersikap lamban. Nona Kingston Bruce menyambut
mereka dengan anggukan pendek. Wajahnya kelihatan bertambah muram.
Nyonya Kingston Bruce-lah yang bicara banyak.
" - tapi aku tahu siapa kira-kira yang mengambilnya," katanya. "Pasti pemuda
sosialis yang mengerikan itu. Dia pro Rusia dan Jerman, dan anti Inggris - apa
lagi yang bisa diharapkan?"
"Dia tak pernah menyentuh benda itu," kata Nona Kingston Bruce dengan sengit.
"Aku memperhatikan dia - terus-terusan. Aku pasti melihatnya kalau dia memegang
benda itu." Gadis itu memandang mereka dengan sikap menantang.
Tommy membelokkan pembicaraan dengan mengajukan keinginannya untuk bicara dengan
Nyonya Betts. Ketika Nyonya Kingston Bruce dan suami serta anaknya pergi untuk
mencari Nyonya Betts, Tommy bersiul dalam hati.
"Hei," katanya pelan, "siapa sih yang menyembunyikan sendok teh di sarung
tangan?" "Itulah yang sedang kupikir," kata Tuppence.
Dengan diikuti suaminya, Nyonya Betts masuk ke dalam ruangan. Dia seorang wanita
bertubuh besar dengan suara tegas. Suaminya kelihatan lemas seperti orang
penyakitan. "Saya dengar Anda seorang detektif swasta yang bisa menyelesaikan persoalan
dengan cepat." "Saya ingin menanyakan beberapa hal, Nyonya Betts."
Semuanya berjalan lancar. Wanita ini menunjukkan leontin kalungnya, meja tempat
dia meletakkan leontin kalung itu. Suara Tuan Betts pun terdengar, menyebutkan
harga - dalam dollar - mutiara yang hilang.
Namun demikian, Tommy merasa bahwa usaha mereka belum apa-apa.
"Saya rasa cukup," katanya kemudian. "Nona Robinson, bisa Anda membantu
mengambil peralatan foto spesial itu di ruang depan?"
Nona Robinson pun menurut.
"Penemuan saya, kecil saja," kata Tommy. "Sepintas lalu, benda itu kelihatan
seperti kamera biasa."
Tommy merasa agak puas melihat Nyonya dan Tuan Betts yang kelihatan terkesan.
Dia kemudian memotret leontin kalung itu, meja kecil tempat meletakkannya, dan
beberapa pemandangan ruangan di situ. Setelah itu Nona Robinson ditugaskan
mewawancarai para pelayan. Karena Tommy melihat rasa ingin tahu di wajah Kolonel
Kingston Bruce dan Nyonya Betts, dia mengeluarkan sebuah pernyataan.
"Posisinya begini," katanya. "Mutiara itu masih ada di rumah ini atau sudah di
luar rumah ini." "Ya, bisa dimengerti," jawab Pak Kolonel. Barangkali dia sudah agak puas dengan
pernyataan tersebut. "Kalau mutiara itu ada di luar rumah, dia pasti disembunyikan di tempat
tertentu..." "Dan kita harus mencarinya," kata Pak Kolonel, memenggal kalimat Tommy.
"Baiklah, saya beri Anda kebebasan penuh, Tuan Blunt. Silakan mencari dari ruang
bawah tanah sampai atap rumah."
"Oh! Charles," gumam Nyonya Kingston Bruce dengan kuatir. "Apa harus begitu" Aku
yakin, para pelayan tidak akan menyukainya. Mereka pasti minta keluar."
"Kami akan menggeledah tempat mereka belakangan," kata Tommy menghibur. "Benda
itu pasti disembunyikan di sebuah tempat yang aneh."
"Ya, rasanya saya pernah membaca hal seperti itu," kata Kolonel Kingston Bruce.
"Benar," jawab Tommy. "Barangkali Anda membaca kasus Rex lawan Bailey yang
kemudian menimbulkan preseden."


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh - ya - ya - " kata Pak Kolonel dengan agak bingung.
"Dan tempat yang tidak terpikirkan oleh orang lain adalah kamar Nyonya Betts,"
kata Tommy melanjutkan. "Oh - betul," kata Nyonya Betts dengan kagum.
Tanpa menunggu terlalu lama, Tommy pun dibawa ke kamar Nyonya Betts. Di situ dia
memainkan kameranya lagi berkali-kali.
Akhirnya Tuppence pun datang.
"Anda tak keberatan bukan, kalau asisten saya membongkar-bongkar baju Anda?"
"Ah, tentu tidak. Apa saya perlu tinggal di sini?"
Tommy mengatakan bahwa Nyonya Betts tidak perlu menunggui mereka. Dia pun
kemudian pergi. "Kita bisa saja berpura-pura," kata Tommy. "Tapi bisa saja kita tidak menemukan
apa-apa. Tolol amat layanan dua puluh empat jammu itu," kata Tommy menggerutu.
"Dengar," kata Tuppence. "Para pelayan itu menurutku bersih. Tapi aku menemukan
sesuatu dari pelayan Prancis itu. Pada waktu Lady Laura menginap di tempat ini
tahun yang lalu, dia pergi minum teh di luar dengan beberapa teman keluarga
Kingston Bruce. Ketika dia kembali ke rumah ini lagi, sebuah sendok teh terjatuh
dari sarung tangannya. Semua orang mengira bahwa benda itu jatuh tanpa sengaja.
Tapi aku punya cerita lebih banyak lagi. Lady Laura ternyata suka sekali
menginap di rumah teman-temannya. Barangkali dia tak punya uang. Dan dia
menginap di rumah teman-temannya yang kaya - mereka yang terpesona pada gelar
kebangsawanan. Ini mungkin suatu kebetulan. Tapi bisa juga tidak. Ada lima
pencurian terjadi waktu dia menginap di rumah teman-temannya. Kadang-kadang yang
hilang hanya barang-barang kecil, tapi kadang-kadang juga permata yang amat
berharga." "Wah!" kata Tommy sambil menyambung dengan siulan panjang. "Di mana kamar burung
tua itu?" "Di seberang gang."
"Kalau begitu kita menyelinap ke sana saja dan menggeledah."
Ruangan itu pintunya terbuka lebar. Ruangannya luas, dicat putih, dan bergorden
merah muda. Ada sebuah pintu di dalam yang menghubungkan kamar tidur langsung
dengan kamar mandi. Di pintu itu muncul seorang gadis langsing berkulit gelap.
Tuppence membaca rasa terkejut yang tertahan pada bibir gadis itu.
"Ini Elise, Tuan Blunt," katanya tegas. "Pelayan Lady Laura."
Tommy melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan memandang senang pada
perlengkapannya yang modern. Dia melihat mata curiga gadis itu dan berkata
dengan cepat, "Kau sedang sibuk, Elise?"
"Ya, Tuan. Sedang membersihkan kamar mandi."
"Barangkali kau bisa membantuku dengan kameraku. Aku membawa kamera khusus dan
akan memotret ruangan-ruangan di rumah ini dengan kameraku."
Perkataannya terpotong oleh suara pintu yang tiba-tiba terdengar menutup di
belakangnya. Elise sampai meloncat karena terkejut.
"Apa itu?" "Pasti angin," kata Tuppence.
"Kita masuk kamar mandi," kata Tommy.
Elise membuka handel pintu kamar mandi. Tapi pintu itu tidak bisa dibuka.
"Kenapa?" kata Tommy tajam.
"Tuan - barangkali ada yang menguncinya dari dalam." Gadis itu mengambil handuk
dan mencoba membukanya. Kali ini handel pintu itu bisa berputar dengan mudah,
dan pintu pun terbuka. "Voila ce qui est curieux. Pasti macet," kata Elise. Ternyata tak ada siapa-
siapa di dalam kamar mandi.
Tommy mengambil peralatan fotonya. Tuppence dan Elise bekerja menurut
instruksinya. Sementara itu mata Tommy berkali-kali melirik pintu kamar mandi.
"Kenapa pintu itu macet?" katanya gemas sambil menggertakkan giginya.
Dia memeriksanya sebentar, membuka dan menutupnya kembali. Semuanya beres.
"Satu kali lagi," kata Tommy. "Kau bisa memegangi gorden merah muda itu, Elise"
Terima kasih. Tolong dipegangi dulu."
Suara "klik" terdengar lagi. Dia memberikan sebuah alat pada Elise dan
memberikan tripod pada Tuppence, lalu menutup lensa kameranya.
Dia membuat satu alasan untuk mengusir Elise dari ruangan, dan begitu gadis itu
pergi, dia pun bicara cepat pada Tuppence.
"Aku punya ide. Kau bisa tinggal di sini dan memeriksa ruangan-ruangan - itu perlu
waktu yang cukup lama. Coba bicara dengan burung tua itu. Tapi, apa pun yang
kauceritakan, jangan membuatnya lari dari sini. Aku akan pergi dengan mobil dan
kembali secepatnya."
"Baik," kata Tuppence. "Tapi jangan terlalu yakin pada teorimu. Kau melupakan
satu hal." "Apa itu?" "Gadis itu. Ada yang aneh tentang dia. Aku kebetulan tahu jam berapa dia
meninggalkan rumah untuk menemui kita tadi pagi. Dia menghabiskan dua jam untuk
sampai ke kantor kita. Itu tidak betul. Ke mana saja dia pergi sebelum sampai ke
tempat kita?" "Ya, betul, memang mencurigakan," kata suaminya. "Kau bisa menyelidiki hal itu.
Yang penting jangan biarkan Lady Laura pergi. Apa itu?"
Telinganya yang tajam menangkap suara gemerisik di luar pintu. Dia berjalan ke
pintu dengan cepat. Tapi tak ada seorang pun di sana.
"Oke. Sampai ketemu nanti."
4. Kisah Mutiara Merah Muda (Lanjutan)
TUPPENCE melihat suaminya keluar dengan sedikit prasangka. Tommy begitu yakin -
sedang dia sendiri tidak. Ada satu atau dua hal yang tidak dia mengerti.
Dia masih berdiri di jendela memandang ke luar ketika seorang laki-laki
menyeberangi jalan, masuk ke halaman dan membunyikan bel.
Seperti kilat Tuppence keluar kamar dan menuruni tangga. Gladys Hill datang dari
belakang berjalan ke pintu depan. Tapi Tuppence menyuruh dia masuk lagi.
Kemudian dia membuka pintu depan.
Seorang pemuda langsing dengan pakaian norak dan mata mencurigakan, berdiri di
depan pintu. Dia ragu-ragu sejenak lalu bertanya,
"Apa Nona Kingston Bruce ada?"
"Silakan masuk," kata Tuppence.
Tuppence memberi jalan pada pemuda itu untuk masuk, kemudian dia menutup pintu.
"Anda pasti Tuan Rennie," katanya manis.
Pemuda itu meliriknya dengan cepat.
"Er - ya." "Silakan masuk ke ruang sini."
Tuppence membuka pintu ruang kerja. Ruangan itu kosong. Tuppence mengikuti
pemuda itu masuk dan menutup pintu. Pemuda tersebut membalikkan badan dengan
dahi berkerut. "Saya ingin menemui Nona Kingston Bruce."
"Saya tidak tahu apakah Anda bisa melakukan hal itu," kata Tuppence dengan
tenang. "Anda ini siapa sih?" kata pemuda itu dengan kasar.
"Agen Detektif Internasional," kata Tuppence pendek. Pandangannya menangkap
keterkejutan yang tak terkontrol dari lawan bicaranya.
"Silakan duduk, Tuan Rennie," lanjutnya. "Untuk Anda ketahui, kami tahu tentang
kunjungan Nona Kingston Bruce ke tempat Anda tadi pagi."
Perkataan Tuppence merupakan sebuah terkaan saja. Tetapi rupanya berhasil.
Karena dia melihat kekuatiran di wajah pemuda itu. Tuppence melanjutkan,
"Yang penting, mutiara itu kembali, Tuan Rennie. Tak seorang pun di rumah ini
suka publikasi. Saya rasa bisa kita atur."
Pemuda itu memandangnya sambil berpikir.
"Saya tak tahu seberapa banyak yang Anda ketahui. Saya ingin berpikir dulu."
Dia mengacak-acak rambutnya dengan kedua tangannya - lalu menanyakan hal yang di
luar dugaan. "Apakah benar bahwa St. Vincent muda itu sudah bertunangan dan akan menikah?"
"Betul," kata Tuppence. "Saya kenal tunangannya."
Tiba-tiba Tuan Rennie menjadi bersahabat.
"Ini benar-benar menjengkelkan," katanya. "Mereka meminta St. Vincent datang
kemari - pagi, siang, malam, agar dia tertarik pada Beatrice. Ini karena dia kelak
akan menerima suatu gelar. Kalau saya punya cara..."
"Sudah, jangan bicara tentang politik," potong Tuppence. "Apakah Anda tahu
kenapa Nona Kingston Bruce mengambil mutiara itu?"
"Saya - saya tak tahu."
"Ah, Anda tahu. Anda sudah lama menunggu di pinggir jalan sampai detektifnya
keluar dan keadaan aman bagi Anda. Anda datang dan menemui Nona Kingston Bruce.
Itu jelas. Kalau Anda sendiri yang mengambil mutiara itu, Anda pasti tidak
bingung." "Sikapnya aneh sekali," kata pemuda itu. "Tadi pagi dia ke tempat saya dan
cerita tentang pencurian itu. Dia juga mengatakan akan menemui seorang detektif
swasta. Kelihatannya dia ingin mengatakan sesuatu - tapi tidak bisa."
"Begini," kata Tuppence. "Yang saya perlukan hanya mutiara itu. Sekarang Anda
temui dia saja." Tapi pada saat itu Kolonel Kingston Bruce membuka pintu.
"Makan siang sudah siap, Nona Robinson. Kami harap Anda bisa makan bersama
kami." Dia terdiam dan memandang pemuda itu.
"Kelihatannya Anda tidak mengundang saya untuk makan siang. Baiklah, saya pergi
saja," kata pemuda itu.
"Kembalilah nanti," bisik Tuppence ketika tamunya melewati dia.
Tuppence mengikuti Kolonel Kingston Bruce yang masih mengomel tentang
ketidaksopanan. Mereka masuk ke ruang makan yang besar, di mana semuanya sudah
duduk menunggu. Hanya satu orang yang tidak dikenali Tuppence.
"Lady Laura, ini Nona Robinson yang telah membantu kami."
Lady Laura menganggukkan kepalanya. Lalu dia memandang Tuppence melalui kacamata
bulatnya. Dia seorang wanita jangkung bersuara lembut, bermata tajam, dan
memiliki senyum melankolis. Tuppence balas memandangnya, dan mata Lady Laura pun
tertunduk. Setelah makan Lady Laura ikut ngobrol dengan penuh rasa ingin tahu. Bagaimana
pemeriksaan itu berjalan" Tuppence berpura-pura curiga pada pelayan dalam. Tapi
pikirannya tidak tertuju pada Lady Laura. Wanita itu mungkin saja menyembunyikan
sendok teh atau benda-benda lain. Tapi Tuppence merasa yakin bahwa dia tidak
menyembunyikan mutiara itu.
Tuppence kemudian melanjutkan penyelidikan untuk menemukan mutiara itu. Waktu
berjalan terus. Tommy masih belum kelihatan juga. Tapi yang menjengkelkan
Tuppence ialah tak ada tanda-tanda Tuan Rennie akan muncul lagi. Tiba-tiba
Tuppence yang sedang keluar dari sebuah kamar bertabrakan dengan Beatrice
Kingston Bruce yang sedang akan turun. Gadis itu dalam dandanan siap untuk
pergi. "Saya rasa sebaiknya Anda tidak pergi dulu," kata Tuppence.
Gadis itu memandangnya dengan sombong.
"Saya pergi atau tidak, itu bukan urusan Anda," katanya dingin.
"Ya, urusan saya ialah menghubungi polisi atau tidak," kata Tuppence tak mau
kalah. Pada detik itu pula wajah gadis tersebut menjadi pucat.
"Jangan - jangan - jangan hubungi polisi. Saya tak akan pergi." Dia memegangi
Tuppence erat-erat. "Nona Kingston Bruce," kata Tuppence sambil tersenyum. "Persoalannya sudah jelas
dari permulaan. Saya..."
Tapi dia tidak melanjutkan kalimatnya. Karena asyik bicara dengan gadis itu dia
tidak mendengar bunyi bel pintu depan. Tiba-tiba saja dia melihat Tommy menaiki
tangga. Dan sepintas melihat seorang lelaki besar sedang membuka topinya di
ruang depan di bawah. "Inspektur Marriot dari Scotland Yard," kata Tommy sambil nyengir.
Sambil menjerit, Beatrice Kingston Bruce melepaskan diri dari pegangan Tuppence
dan lari turun ke bawah. Pada saat itu pula pintu depan terbuka lagi dan
masuklah Tuan Rennie. "Hm - kau mengacaukan semua," kata Tuppence sengit.
"Lho, kenapa?" kata Tommy sambil cepat-cepat menuju kamar Lady Laura. Dia masuk
ke kamar mandi dan mengambil sebuah sabun besar. Inspektur itu sedang menaiki
tangga. "Dia menyerah dengan tenang," kata inspektur itu. "Dia memang sudah
berpengalaman dan tahu persis kapan menghentikan permainannya. Bagaimana dengan
mutiara itu?" "Saya rasa, Anda akan menemukannya di sini," kata Tommy sambil memberikan sabun
yang dipegangnya. Mata inspektur itu bersinar gembira.
"Permainan yang cukup bagus. Potong sebuah sabun menjadi dua, buat lubang di
tengahnya untuk tempat menyembunyikan mutiara itu, lalu tangkupkan kembali sabun
tersebut dan haluskan sambungannya dengan air panas. Anda memang cerdas."
Tommy menerima pujian itu dengan rendah hati. Kemudian dia menuruni tangga
bersama Tuppence. Kolonel Kingston Bruce bergegas menemuinya dan menyalaminya
dengan hangat. "Saya benar-benar gembira dan mengucapkan terima kasih atas bantuan Anda. Lady
Laura pun ingin mengucapkan terima kasih...."
"Saya juga gembira bisa memuaskan Anda," jawab Tommy. "Maaf, saya tak dapat
terlalu lama. Ada anggota kabinet yang memerlukan."
Dia cepat-cepat keluar dan masuk ke dalam mobil. Tuppence pun ikut-ikut meloncat
masuk dan duduk di dekatnya.
"Tommy," seru Tuppence. "Apa mereka menangkap Lady Laura?"
"Oh!" sahut Tommy. "Apa aku belum cerita" Mereka tidak menangkap Lady Laura.
Mereka menangkap Elise."
Tommy melanjutkan ceritanya ketika Tuppence hanya bisa duduk dengan bingung.
"Aku sering mencoba membuka pintu dengan tangan penuh sabun. Tapi tidak bisa -
tanganku terlalu licin. Jadi aku berpikir-pikir, kenapa si Elise tangannya penuh
sabun. Setelah itu dia mengambil handuk. Ingat, nggak" Jadi tak ada bekas sabun
pada handel pintu itu. Lalu aku berpikir. Kalau kau memang pencuri profesional,
amat bagus kalau bisa jadi pelayan seorang wanita yang punya penyakit
kleptomania. Apalagi kalau dia senang bepergian dan menginap di rumah teman-
temannya. Jadi aku berusaha mengambil foto Elise dan kamar majikannya, menipu
dia supaya memegangi peralatan kameraku, lalu pergi ke Scotland Yard. Hasil film
negatif dan sidik jarinya memang sangat meyakinkan. Elise memang telah lama
dicari-cari. Scotland Yard ternyata tempat yang sangat berguna."
"Hm," kata Tuppence mencoba bersuara. "Aku berpikir dua orang muda itu yang
perlu dicurigai. Kenapa kau tidak cerita padaku?"
"Pertama-tama, aku kuatir jangan-jangan Elise menguping pembicaraan kita di luar
pintu. Dan kedua..."
"Ya?" "Kawanku yang cerdik rupanya lupa bahwa Thorndyke hanya bicara pada babak
terakhir," kata Tommy. "Sudahlah, Tuppence. Kau dan temanmu si Janet Smith kan
sudah mengungguliku kemarin itu. Satu-satulah."
5. Petualangan Lelaki Jahat
"HARI yang membosankan," kata Tommy sambil menguap lebar.
"Hampir waktu minum teh," kata Tuppence sambil menguap juga.
Bisnis Agen Detektif Internasional memang tidak lancar. Surat pedagang yang
diharap-harapkan itu tidak muncul juga. Dan kasus-kasus yang bonafide tidak
kelihatan. Albert, si pelayan, datang membawa paket tersegel. Dia meletakkannya di atas
meja. "Misteri Paket Bersegel," gumam Tommy. "Apa ya isinya" Mutiara-mutiara Putri
Bangsawan Rusia" Atau bom tersembunyi untuk menghancurkan Blunts Brilliant
Detectives?" "Bukan," kata Tuppence sambil merobek bungkusan itu. "Ini hadiah perkawinan
dariku untuk Francis Haviland. Bagus, ya?"
Tommy mengambil isinya, yaitu sebuah tempat rokok perak yang ramping. Dia
membaca tulisan di kotak itu: Francis dari Tuppence - diukir dari tulisan tangan
Tuppence sendiri. Dibuka dan ditutupnya kembali kotak kecil itu sambil
mengangguk. "Kau memang suka membuang-buang uangmu, Tuppence," katanya. "Aku ingin juga yang
seperti itu. Tapi dari emas. Untuk ulang tahunku bulan depan. Buat apa buang-
buang duit untuk orang seperti Francis Haviland" Dari dulu dia adalah salah satu
dari keledai-keledai sempurna yang diciptakan Tuhan!"
"Kau lupa aku pernah menjadi sopirnya pada waktu perang, waktu dia masih seorang
jenderal. Ah! Itu masa-masa yang menyenangkan."
"Ya," kata Tommy setuju. "Wanita-wanita cantik berdatangan dan menggenggam
tanganku di rumah sakit. Aku ingat itu. Tapi aku tidak mengirimi mereka hadiah
perkawinan. Aku rasa pengantin itu tidak terlalu peduli dengan hadiahmu ini,
Tuppence." "Kelihatan manis dan pas di saku, ya?" kata Tuppence tidak mempedulikan


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkataan Tommy. Tommy memasukkannya ke dalam sakunya.
"Ya, betul," katanya. "He, ini Albert dengan surat-surat siang hari. Barangkali
Duchess of Perthshire memanggil kita untuk mencari permatanya yang hilang."
Mereka berdua membuka surat-surat itu. Tiba-tiba Tommy bersiul panjang dan
mengacungkan sebuah surat.
"Sebuah surat biru dengan perangko Rusia. Kau ingat apa yang dikatakan Bos" Kita
diminta memperhatikan surat seperti itu."
"Oh, mendebarkan sekali," kata Tuppence. "Akhirnya akan terjadi sesuatu juga.
Bukalah dan baca apakah isinya cocok. Pedagang daging babi, kan" Sebentar. Kita
perlu susu untuk minum teh. Mereka lupa meletakkannya di dapur. Aku suruh Albert
beli dulu." Ketika dia kembali dari ruangan luar, Tommy sedang memegang surat biru itu di
tangannya. "Dugaan kita betul, Tuppence," katanya. "Persis seperti yang dikatakan Bos."
Tuppence mengambil surat itu dan membacanya.
Surat itu ditulis dalam bahasa Inggris yang kaku, dan dimaksudkan dari Gregor
Feodorsky yang ingin mendengar tentang istrinya. Agen Detektif Internasional
diminta untuk mengadakan pencarian tanpa peduli berapa pun biayanya. Feodorsky
sendiri tidak dapat keluar dari Rusia sekarang karena ada krisis perdagangan
daging babi. "Apa ya kira-kira artinya?" kata Tuppence sambil membeber surat itu di meja di
depannya. "Aku rasa kode," kata Tommy. "Itu bukan urusan kita. Tugas kita ialah
memberikannya pada Bos secepatnya. Sebaiknya kita basahi dan ambil perangkonya
dan kita lihat apakah ada nomor di bawahnya."
"Baik," kata Tuppence. "Tapi aku rasa..."
Dia diam tidak melanjutkan kalimatnya. Dan karena heran, Tommy pun memandang
Tuppence. Tapi pada waktu itulah dia melihat tubuh besar seorang lelaki menutupi
pintu. Si pengacau ternyata seorang lelaki besar dengan kepala bulat dan rahang yang
amat kuat. Umurnya kira-kira empat puluh lima tahun.
"Maaf," katanya sambil melangkah masuk dengan topi di tangan. "Ruangan di luar
kosong, dan pintu ini terbuka. Jadi saya masuk. Ini Agen Detektif Internasional,
kan?" "Ya, betul." "Dan Anda tentunya Tuan Blunt" Tuan Theodore Blunt?"
"Saya Tuan Blunt. Anda perlu menemui saya" Ini sekretaris saya Nona Robinson."
Tuppence menundukkan kepalanya dengan luwes, tapi memperhatikan orang asing di
depannya melalui celah-celah bulu matanya.
Dengan suara tajam, Tommy mengingatkan Tuppence.
"Nona Robinson, silakan mencatat. Anda bisa menceritakan persoalan Anda, Tuan."
Tuppence mengambil buku catatan dan pensil. Laki-laki besar itu mulai berkata
dengan suara serak. "Nama saya Bower. Dr. Charles Bower. Saya tinggal di Hampstead dan berpraktek di
sana juga. Saya ingin menemui Anda karena ada beberapa hal aneh terjadi."
"Ya, Dr. Bower?"
"Seminggu yang lalu saya dipanggil melalui telepon, dua kali karena ada
emerjensi. Panggilan pertama ternyata bohong. Saya mula-mula berpikir bahwa ada
orang yang ingin iseng. Tapi ketika saya dipanggil untuk kedua kali, pada waktu
saya pulang, ada yang tidak beres. Dokumen-dokumen pribadi saya rupanya diacak-
acak orang. Saya mencoba menyelidiki dan sampai pada kesimpulan bahwa ada orang
yang menggeledah meja kerja saya."
Dr. Bower diam dan memandang Tommy.
"Bagaimana, Tuan Blunt?"
"Hm," gumam Tommy tersenyum.
"Apa pendapat Anda?"
"Pertama-tama saya ingin mendengar tentang fakta. Apa yang Anda simpan di meja
Anda?" "Dokumen-dokumen pribadi."
"Betul. Sekarang, dokumen-dokumen yang Anda maksud itu apa saja" Apa nilainya
untuk seorang pencuri biasa - atau orang-orang tertentu?"
"Saya tak melihat bahwa dokumen-dokumen itu punya arti penting bagi pencuri
biasa. Tapi catatan saya mengenai alkaloids mungkin merupakan sesuatu yang
menarik bagi orang yang mengerti. Saya memang melakukan suatu penyelidikan
tentang hal itu beberapa tahun terakhir ini. Alkaloids ini merupakan racun yang
mematikan dan sangat berbahaya - dan sulit untuk dilacak. Racun itu tidak
memberikan reaksi-reaksi lain."
"Kalau begitu rahasia tersebut bisa menghasilkan uang?"
"Ya, bagi orang yang tak tahu diri."
"Dan siapa yang Anda curigai?"
Dokter itu hanya mengangkat bahunya yang lebar.
"Saya tidak melihat tanda-tanda perusakan dari luar terhadap rumah saya. Ini
tentunya menunjuk pada kemungkinan bahwa pelakunya orang dalam. Tapi sulit untuk
menerima..." Tiba-tiba saja dia diam tidak melanjutkan kalimatnya. Lalu dia
berkata lagi dengan wajah yang amat muram, "Tuan Blunt, saya tidak berani
menghubungi polisi dalam hal ini. Saya ingin menyerahkan persoalan ini ke tangan
Anda saja. Saya tidak meragukan ketiga pelayan saya. Mereka telah bekerja pada
saya cukup lama dengan setia. Walaupun begitu, bisa saja terjadi kemungkinan
yang tidak kita duga. Lalu ada dua orang kemenakan laki-laki saya, Bertram dan
Henry. Henry adalah seorang pemuda yang baik - amat baik. Dia tak pernah
menyusahkan saya dan dia seorang anak yang rajin. Sedangkan Bertram sebaliknya.
Anak itu bandel, boros, dan pemalas."
"Hm," kata Tommy. "Anda curiga si Bertram ini, yang mungkin jadi pelakunya. Saya
tak setuju dengan Anda. Saya justru curiga pada si Henry yang baik."
"Kenapa?" "Tradisi. Preseden." Tommy mengibaskan tangannya dengan ringan. "Dalam
pengalaman kasus-kasus yang saya tangani, justru yang baik, yang kelihatan tak
berdosalah yang berbuat. Ya, saya curiga pada Henry."
"Maaf, Tuan," kata Tuppence menyela. "Apakah Tuan Bower tadi mengatakan bahwa
catatan tersebut - er - alkaloids, maksud saya - disimpan di meja bersama dokumen-
dokumen lainnya?" "Ya - catatan itu disimpan di meja, Nona. Tapi di dalam laci rahasia. Tempatnya
hanya saya yang tahu. Karena itu selama ini mereka aman."
"Dan apa yang Anda ingin saya lakukan, Dr. Bower?" tanya Tommy. "Apa Anda
menginginkan agar kami mencarinya?"
"Benar, Tuan Blunt. Siang tadi saya menerima telegram dari seorang pasien yang
saya kirim ke Bournemouth beberapa minggu yang lalu. Telegram itu mengatakan
bahwa pasien itu dalam keadaan kritis dan minta agar saya segera datang
memeriksanya. Karena pengalaman yang sudah-sudah, saya sendiri langsung mengirim
telegram pada pasien itu untuk mengecek kebenarannya. Ternyata dia dalam keadaan
sehat dan tidak pernah memanggil saya untuk datang. Saya kemudian berpikir,
seandainya saya berpura-pura termakan oleh telegram itu lalu bersiap pergi ke
Bournemouth, barangkali saya bisa menangkap basah si misterius itu. Mereka - atau
dia - pasti menunggu sampai semuanya pergi tidur sebelum menjalankan aksinya. Saya
ingin agar Anda datang ke tempat saya malam nanti jam sebelas untuk menangkap
penjahat itu." "Hm - berharap bisa menangkap basah mereka," kata Tommy sambil mengetuk-ngetukkan
pisau di meja. "Kelihatannya rencana Anda bagus sekali, Dr. Bower. Begini,
alamat Anda?" "The Larches, Hangmans Lane - agak terpencil tempatnya. Tapi pemandangannya
bagus." "Ya, ya," kata Tommy.
Tamu itu berdiri. "Kalau begitu saya menunggu kedatangan Anda, Tuan Blunt. Di luar Larches, jam -
sebelas kurang lima?"
"Baik, baik. Jam sebelas kurang lima. Sampai nanti, Dr. Bower."
Tommy berdiri sambil menekan bel di mejanya. Albert muncul dan membawa tamu itu
keluar. Dokter itu berjalan dengan kaki pincang. Tapi badannya yang besar
membuatnya kelihatan gagah.
"Hmh. Klien yang tidak menyenangkan," gumam Tommy. "He, Tuppence, apa
pendapatmu?" "Dua kata saja," jawab Tuppence. "Kaki Pekuk!"
"Apa?" "Kaki Pekuk! Pelajaranku tidak sia-sia, Tommy. Ini sandiwara saja. Alkaloids"
Huh! Tak pernah kudengar cerita yang lebih menggelikan dari ini."
"Aku pun tidak percaya," kata Tommy.
"Kau lihat, bagaimana matanya menatap surat itu" Tom, dia pasti salah satu
anggota gang itu. Mereka rupanya tahu bahwa kau bukan Tuan Blunt dan
merencanakan untuk menghabisi kita."
"Kalau begitu," kata Tommy sambil membuka lemari samping dan memandang deretan
bukunya dengan rasa sayang, "kita bisa memilih peranan dengan mudah. Kita jadi
Okewood Bersaudara. Dan aku jadi Desmond," katanya tegas.
Tuppence hanya mengangkat bahu.
"Oke. Terserah maumu. Aku jadi Francis. Francis lebih cerdas. Desmond selalu
membuat kekeliruan. Dan Francis suka jadi tukang kebun atau apa untuk memberi
uluran tangan pada waktu diperlukan."
"Ah!" kata Tommy. "Tapi aku akan jadi super Desmond. Kalau aku tiba di Larches - "
Tuppence memotongnya begitu saja.
"Kau tidak akan pergi ke Hampstead malam ini."
"Kenapa?" "Berjalan ke perangkap dengan mata terpejam?"
"Tidak, Sayang. Berjalan ke perangkap dengan mata terbuka. Banyak bedanya. Aku
rasa Dr. Bower akan mendapat kejutan kecil."
"Aku tak suka," kata Tuppence. "Kau tahu, kan, apa yang terjadi kalau si Desmond
tidak mau mendengarkan bosnya dan berbuat semaunya" Perintah untuk kita sangat
jelas. Agar mengirim surat itu dengan segera dan melapor bila terjadi sesuatu."
"Kau belum bisa mencerna, rupanya. Kita harus segera melapor kalau ada seseorang
masuk dan menyebut si Nomor 16. Dan sampai sekarang, belum ada yang
melakukannya." "Itu cuma alasan."
"Tak ada gunanya," kata Tommy. "Aku sudah membayangkan akan menangani persoalan
itu sendiri. Jangan kuatir, Tuppence. Aku akan berjuang mati-matian.
Persoalannya di sini ialah - aku akan waspada dan mereka tak tahu. Bos pasti akan
menepuk-nepuk punggungku karena keberhasilanku malam ini."
"Pokoknya aku tidak suka," kata Tuppence. "Orang itu sangat kuat, seperti
gorila." "Ah!" kata Tommy. "Kan ada si otomatis berhidung biru."
Pintu ruang depan terbuka dan Albert masuk dengan surat di tangan.
"Ada seorang tamu, Tuan. Ketika saya memberitahu dengan alasan yang sama bahwa
Tuan sibuk dengan Scotland Yard, dia mengatakan bahwa dia tahu tentang hal itu.
Katanya dia sendiri dari Scotland Yard! Dan dia menulis sesuatu pada sebuah
kartu - ada di dalam amplop ini."
Tommy mengambil kartu itu dan membacanya. Bibirnya menyeringai lebar.
"Apa yang dikatakan tamu itu benar, Albert. Bawa dia masuk," katanya.
Dilemparkannya kartu itu pada Tuppence. Di situ ada nama Inspektur Dymchurch dan
di dekatnya ditulis - Teman Marriot.
Pada menit berikutnya detektif Scotland Yard itu muncul. Inspektur Dymchurch
hampir sama dengan Inspektur Marriot, pendek, gempal, dan bermata tajam.
"Selamat siang," katanya ringan. "Marriot sedang pergi ke South Wales. Tapi
sebelum pergi dia berpesan agar saya mengamat-amati Anda berdua, juga tempat
ini. Begini, Tuan," lanjutnya dengan cepat ketika melihat Tommy akan bicara,
"kami tahu hal itu. Memang itu bukan urusan departemen kami, kami tidak mau
campur tangan. Tapi baru-baru ini ada orang-orang yang telah mencium kenyataan
bahwa yang mereka lihat sebenarnya tidaklah seperti yang mereka lihat. Tadi ada
seorang tamu yang datang kemari. Saya tidak tahu nama apa yang dipakainya, tapi
saya tahu sedikit tentang laki-laki itu. Tapi yang sedikit itu cukup menimbulkan
keinginan untuk tahu lebih banyak. Apakah dia datang kemari untuk membuat janji
dengan Anda untuk bertemu di suatu tempat malam nanti?"
"Benar." "Kalau begitu perkiraan saya betul. Di Westerham Road 16, Finsbury Park?"
"Kali ini Anda keliru. Benar-benar keliru. The Larches, Hampstead."
Dymchurch kelihatan terkejut. Rupanya dia tak menyangka hal itu.
"Saya tidak mengerti," gumamnya. "Pasti lay-out baru. Anda tadi bilang The
Larches, Hampstead?"
"Ya. Saya harus menemui dia di sana jam sebelas malam nanti."
"Jangan pergi, Tuan."
"Nah, dengar," kata Tuppence.
Wajah Tommy menjadi merah.
"Kalau begitu, Inspektur," kata Tommy sengit.
Tapi inspektur itu mengangkat tangannya.
"Saya akan beritahu Anda, Tuan Blunt. Tempat yang harus Anda datangi jam sebelas
malam nanti ialah tempat ini - kantor Anda sendiri."
"Apa?" kata Tuppence terkejut.
"Di sini, di kantor ini. Anda tidak perlu tahu bagaimana saya tahu - kadang-kadang
yang dilakukan departemen-departemen bisa merupakan hal yang sama. Tapi hari ini
Anda menerima salah satu dari surat-surat biru itu, kan" Ada orang yang
mengincar surat itu. Dia berusaha memancing Anda ke Hampstead, sehingga dengan
mudah malam nanti bisa menggeledah tempat ini."
"Tapi kenapa dia berpikir bahwa surat itu disimpan di sini" Kan bisa saja saya
bawa atau saya kirimkan ke orang lain?"
"Justru itulah yang tidak dia ketahui. Mungkin dia sudah tahu bahwa Anda
bukanlah Tuan Blunt yang asli, dan berpikir bahwa sebagai pengusaha biasa
tentunya surat-suratnya akan dimasukkan ke dalam file - seperti biasa."
"Hm, ya," kata Tuppence.
"Dan kita harus membiarkan dia berpikir begitu. Kita akan bisa menangkap basah
dia nanti malam." "Jadi begitu rencananya?"
"Ya. Ini betul-betul suatu kesempatan. Sekarang - jam enam, kan" Jam berapa Anda
biasa pulang?" "Kira-kira jam enam."
"Usahakan agar Anda kelihatan pulang seperti biasa. Saya sebetulnya akan memata-
matai tempat ini begitu Anda pergi. Saya rasa mereka tak akan datang sebelum jam
sebelas. Tapi siapa tahu. Sebaiknya saya keluar dan melihat-lihat, barangkali
ada orang yang memperhatikan tempat ini."
Dymchurch keluar, dan Tommy mulai ribut lagi dengan Tuppence.
Perdebatan sengit itu berlangsung beberapa waktu. Akhirnya dengan tiba-tiba
Tuppence menyerah. "Baik," katanya. "Aku menyerah. Aku akan pulang dan duduk diam dengan manis di
rumah dan kau akan menghadapi penjahat-penjahat itu bersama para detektif. Tapi
lihat saja nanti. Aku akan berbuat sesuatu sehingga kita tetap akan duduk sama
tinggi." Pada saat itu Dymchurch muncul kembali.
"Kelihatannya aman," katanya. "Tapi kita tak boleh gegabah. Sebaiknya Anda
pulang seperti biasa. Mereka tak akan mengawasi tempat ini lagi kalau Anda
pergi." Tommy memanggil Albert dan memberinya instruksi agar mengunci pintu.
Kemudian keempatnya pergi ke garasi tempat mobil mereka diparkir. Tommy dan si
detektif duduk di belakang. Tuppence menyetir dan Albert duduk di sampingnya.
Mereka terhenti karena jalanan macet. Tuppence berpaling ke belakang dan
mengangguk. Tommy dan si detektif membuka pintu kanan, dan keluar. Mereka berjalan di tengah
Oxford Street yang ramai. Satu atau dua menit kemudian Tuppence melaju.
6. Petualangan Lelaki Jahat (Lanjutan)
"LEBIH baik jangan langsung masuk," kata Dymchurch pada Tommy ketika mereka bergegas ke Haleham Street. "Anda bawa kunci?"
Tommy mengangguk. "Bagaimana kalau kita makan dulu. Masih sore. Ada tempat makan lumayan di
seberang situ. Kita cari tempat di dekat jendela. Jadi kita bisa melihat dan
mengawasi kantor Anda."
Mereka memesan makanan. Cukup enak walaupun porsinya kecil. Ternyata Inspektur
Dymchurch adalah kawan yang menyenangkan. Tugas-tugasnya kebanyakan berkaitan
dengan kasus-kasus internasional. Dan banyak cerita-cerita yang mencengangkan
pendengarnya yang lugu itu.
Mereka tetap berada di restoran kecil itu sampai pukul delapan. Dymchurch-lah
yang mengajak Tommy mulai beraksi.
"Sudah cukup gelap sekarang. Rasanya kita bisa menyelinap diam-diam tanpa
dilihat orang." Hari memang sudah gelap. Mereka menyeberangi jalan, memperhatikan kiri-kanan
mereka yang amat sepi, dan menyelinap masuk. Kemudian mereka menaiki tangga dan
Tommy membuka pintu luar kantornya.


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itulah dia mendengar Dymchurch bersiul di sebelahnya.
"Kenapa Anda bersiul?" tanya Tommy tajam.
"Saya tidak bersiul," kata Dymchurch heran. "Saya pikir Anda yang bersiul."
"Kalau begitu ada orang...," kata Tommy.
Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba saja tangan-tangan yang
kuat menariknya dari belakang dengan keras. Sebelum dia sempat berteriak, hidung
dan mulutnya telah ditutup dengan sebuah benda berbau manis dan memuakkan.
Dia berusaha melepaskan diri, tetapi sia-sia. Chloroform yang disumbatkan ke
hidungnya bekerja dengan cepat, dan Tommy pun jatuh ke lantai, terbatuk-batuk,
dan pingsan... Dia sadar kembali dalam keadaan sakit, tetapi dengan pikiran terang. Chloroform
itu hanya satu embusan saja. Mereka rupanya menyumpal mulut Tommy agar tidak
bisa berteriak. Ketika sadar, Tommy dalam keadaan setengah duduk dan setengah terbaring di sudut
ruang kantornya. Dua orang laki-laki dengan seenaknya membongkar-bongkar
lemarinya dan mengobrak-abrik mejanya sambil memaki-maki dengan kata-kata kotor.
"Tidak ada apa-apa, Pak," kata si Tinggi pada yang lebih pendek. "Sudah
dijungkir-balik begini."
"Pasti ada di sini," katanya dengan geram. "Surat itu tak ada di sakunya. Jadi
pasti di sini. Tak mungkin di tempat lain."
Sambil bicara orang itu menoleh kepada Tommy. Dan Tommy menjadi tercengang
ketika ternyata bahwa orang itu adalah Inspektur Dymchurch. Ketika tahu bahwa
Tommy sudah sadar, Dymchurch hanya menyeringai kepadanya.
"Jadi kawan kita sudah bangun rupanya," katanya. "Heran ya - pasti heran.
Sebetulnya sederhana saja. Kami curiga pada Agen Detektif Internasional. Saya
menawarkan diri untuk menyelidiki. Kalau Tuan Blunt yang baru itu benar-benar
seorang mata-mata, dia pasti curiga. Jadi saya kirim Carl Bauer. Carl memang
diinstruksikan supaya berlagak mencurigakan dan mengarang cerita yang aneh. Dia
menjalankan tugasnya. Lalu saya ikut nimbrung. Nama Inspektur Marriot rupanya
cukup meyakinkan. Yang lainnya sederhana saja."
Dia tertawa. Tommy ingin sekali bicara. Tapi sumbat di mulutnya tidak memungkinkan. Dia juga
ingin melakukan sesuatu - dengan kaki dan tangannya - tapi itu pun tak mungkin. Dia
diikat. Hal yang amat mengherankan ialah perubahan dalam diri laki-laki yang berdiri di
depannya. Sebagai Inspektur Dymchurch, laki-laki itu kelihatan seperti orang
Inggris asli. Sekarang, dia berubah menjadi seorang asing yang bisa berbahasa
Inggris tanpa aksen asing.
"Coggins," kata inspektur palsu itu kepada kawannya yang kelihatan seperti
penjahat, "jaga tawananmu. Aku akan mengambil sumbat di mulutnya. Anda mengerti,
kan, Tuan Blunt, bahwa Anda tidak perlu bersikap tolol dengan berteriak" Saya
yakin Anda tidak sebodoh itu. Anda cukup cerdas, walaupun masih muda."
Dengan cekatan dia membuka sumbat dan mundur ke belakang.
Tommy menggerak-gerakkan dagunya yang kaku, menggerakkan lidahnya di dalam
mulut, menelan ludah dua kali - dan tidak berkata apa-apa.
"Anda memang hebat. Selamat atas kekuatan Anda untuk bertahan. Saya lihat Anda
lebih enakan sekarang. Apa tak ada sesuatu yang ingin Anda katakan?"
"Apa yang harus saya katakan akan saya simpan sendiri," kata Tommy. "Dan tak
apa-apa, walaupun harus menunggu."
"Ah! Apa yang harus saya katakan tak bisa menunggu terlalu lama, Tuan Blunt.
Dalam bahasa yang sederhana: di mana surat itu?"
"Kawan yang baik, saya tidak tahu," kata Tommy gembira. "Saya tidak
menyimpannya. Dan Anda sendiri pun tahu. Saya akan terus mencarinya, kalau saya
jadi Anda. Saya suka melihat Anda dan Coggins main petak-umpet."
Muka lelaki yang satu berubah menjadi gelap.
"Anda suka main-main rupanya, Tuan Blunt. Coba Anda perhatikan kotak persegi
itu. Itu adalah perlengkapan kecil Coggins. Di situ ada vitriol.... ya,
vitriol... dan besi yang bisa dipanaskan di api sehingga menjadi merah dan panas
membara...." Tommy menggelengkan kepala dengan sedih.
"Diagnosa yang keliru," gumamnya. "Tuppence dan aku salah membuat nama. Ini
bukan cerita si Kaki Pekuk, tapi Bulldog Drummond. Dan kau adalah Carl Peterson
yang terlalu cerdik."
"Apa yang kauucapkan itu?" kata laki-laki itu dengan marah.
"Ah!" kata Tommy. "Ternyata Anda tidak kenal cerita klasik. Sayang."
"Orang tolol! Kau mau melakukan apa yang kami minta atau tidak" Apa aku perlu
memberitahu Coggins sekarang untuk membongkar perlengkapannya?"
"Jangan buru-buru," kata Tommy. "Tentu saja aku akan melakukan apa yang kalian
inginkan kalau kalian mau mengatakannya. Apa kaukira aku suka dipanggang seperti
ikan atau digoreng di penggorengan" Aku tidak suka disakiti."
Dymchurch memandangnya dengan puas.
"Bagus! Orang Inggris memang penakut."
"Akal sehat, Kawan. Akal sehat saja. Jangan singgung-singgung si vitriol. Kita
bicara sekarang." "Aku perlu surat itu."
"Sudah kukatakan, aku tak menyimpannya."
"Kami tahu itu. Dan kami juga tahu siapa yang kira-kira mengambilnya. Gadis
itu." "Barangkali. Ya - mungkin dia," kata Tommy. "Barangkali dia menyelipkan ke dalam
tasnya waktu kawanmu si Carl itu mengejutkan kami."
"Oh, kau mengaku juga. Bagus. Bagus. Kautulis surat pada Tuppence, suruh dia
datang membawa surat itu segera."
"Aku tak bisa melakukannya," kata Tommy.
Lelaki itu menyela sebelum kalimat Tommy selesai.
"Ah, tidak bisa" Coba kita lihat, Coggins!"
"Jangan terburu-buru," kata Tommy. "Tunggu sampai kalimatku selesai. Aku tadi
mau bilang aku tak bisa melakukannya kalau kau tidak melepas ikatan tanganku.
Aku bukan orang pintar yang bisa menulis dengan hidung atau siku."
"Kau mau kalau begitu?"
"Tentu. Dari tadi kan sudah kukatakan. Aku berusaha berbuat baik dan menurut.
Kau tidak akan apa-apakan Tuppence, kan" Pasti tidak. Gadis itu baik."
"Kami hanya perlu suratnya," kata Dymchurch. Tapi di mukanya tersungging senyum
yang tak enak dilihat. Setelah melihat anggukan si inspektur palsu, Coggins pun berlutut dan membuka
ikatan lengan Tommy. Tommy mengguncang-guncangkan lengannya ke depan dan ke
belakang supaya lemas. "Enakan sekarang," katanya dengan suara riang. "Apakah Coggins yang baik
bersedia mengambilkan penaku" Kalau tak salah ada di atas meja."
Sambil menggeram, orang itu mengulurkan pena kepada Tommy dan memberinya
selembar kertas. "Hati-hati dengan apa yang kautulis," ancam Dymchurch.
"Kau boleh menulis apa saja, tapi kalau gagal berarti - mati - dan kematian yang
pelan." "Kalau begitu," kata Tommy, "aku akan benar-benar menulis yang baik."
Dia berpikir sebentar. Kemudian mulai menulis dengan cepat.
"Bagaimana dengan tulisan ini?" katanya sambil menunjukkan suratnya yang sudah
selesai. Tuppence yang baik, Apa kau bisa datang sekarang juga dengan membawa surat biru itu" Kami perlu
memecahkan kodenya sekarang dan di sini.
Maaf, nih, terburu-buru, Francis "Francis?" tanya inspektur palsu itu sambil menaikkan alis matanya. "Apa dia
memanggilmu dengan nama itu?"
"Karena kau tidak ada waktu aku dibaptis," kata Tommy, "aku rasa kau tidak tahu
apakah itu namaku atau bukan. Tapi kurasa kotak rokok yang kauambil dari sakuku
itu akan menunjukkan bahwa apa yang kulakukan benar."
Dymchurch palsu melangkah ke meja dan mengambil kotak rokok yang bertuliskan
"Francis dari Tuppence". Dia menyeringai kecil dan meletakkan benda itu lagi.
"Untunglah kau mau mengerti," katanya. "Coggins, berikan surat itu pada Vassily.
Dia menjaga di luar. Katakan bahwa dia harus segera mengirimnya."
Dua puluh menit berikutnya berjalan amat lambat. Sepuluh menit berikutnya terasa
lebih lambat lagi. Dymchurch berjalan hilir-mudik dengan muka yang semakin
muram. Dia berbalik memandang Tommy dengan tampang bengis.
"Kalau kau berani mempermainkan aku..." geramnya.
"Kalau kau punya kartu, kita bisa main sambil menunggu," kata Tommy. "Perempuan
biasanya suka membuat orang lain menunggu. Kuharap kau tidak jahat pada Tuppence
nanti." "Oh, tentu," kata Dymchurch. "Kami akan mengatur agar kalian berdua dapat pergi
ke tempat yang sama."
"Hm, dasar kurang ajar," gumam Tommy.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Seorang laki-laki yang belum pernah
dilihat Tommy menjulurkan kepala dan bicara dalam bahasa Rusia.
"Bagus," kata Dymchurch. "Dia datang - dan datang sendirian."
Sejenak mata Tommy menunjukkan rasa kuatir.
Menit berikutnya dia mendengar suara Tuppence.
"Oh! Akhirnya kita ketemu lagi, Inspektur. Saya sudah membawa surat itu. Mana
Francis?" Sambil bicara Tuppence memasuki pintu ruang dalam. Vassily menerkamnya dari
belakang dengan cepat dan mendekap mulutnya. Dymchurch merobek tas Tuppence dan
mengobrak-abrik isinya. Tiba-tiba dia berseru gembira dengan sebuah tangan mengacungkan amplop biru
dengan perangko Rusia. Coggins pun ikut menggeram senang.
Dan pada detik kemenangan mereka itu, pintu yang lain, yaitu pintu yang
menghubungkan ruangan Tuppence, terbuka pelan-pelan. Inspektur Marriot bersama
dua orang polisi berpistol melangkah ke depan dan dengan suara tajam memerintah,
"Angkat tangan!"
Tak ada perlawanan. Penjahat-penjahat itu diringkus dengan cepat. Pistol
Dymchurch terletak di atas meja dan kedua orang lainnya tak bersenjata.
"Bagus sekali," kata Inspektur Marriot sambil mengunci borgol terakhir.
"Barangkali kita bisa menangkap lebih banyak lagi nanti."
Dengan marah Dymchurch membelalakkan mata pada Tuppence.
"Setan kecil," geramnya. "Kau rupanya yang memanggil mereka."
"Bukan aku saja. Aku seharusnya curiga waktu kau datang membawa nomor enam belas
siang tadi. Tapi yang membuatku yakin ialah surat Tommy. Aku menelepon Marriot,
menyuruh Albert memberikan kunci duplikat kantor, lalu datang kemari dengan
membawa amplop biru yang kosong itu. Aku sudah menyerahkan suratnya sesuai
instruksi ketika kalian berdua turun dari mobil sore tadi."
Rupanya Dymchurch tertarik pada sebuah kata.
"Tommy?" tanyanya.
Tommy yang baru dibebaskan dari ikatan mendekati mereka.
"Bagus, Francis," katanya kepada Tuppence sambil menggenggam tangannya. Pada
Dymchurch dia berkata, "Saya tadi kan sudah bilang bahwa sebaiknya kaubaca
cerita klasik." 7. Menyiasati Raja HARI Rabu itu hujan turun. Tuppence yang masih berada di kantor membiarkan koran
Daily Leader jatuh dari tangannya.
"Tahu nggak, Tom, apa yang kupikir?"
"Ah - susah," jawab suaminya. "Kau berpikir tentang banyak hal dan kau
memikirkannya sekaligus."
"Aku rasa sudah waktunya kita pergi dansa."
Tommy mengambil koran yang jatuh itu dengan cepat.
"Iklan kita kelihatan bagus," katanya sambil memiringkan kepala. "Blunts
Brilliant Detectives. Kau sadar tidak, Tuppence, bahwa kau - kau sendirilah Blunts
Brilliant Detectives itu. Hebat lho!"
"Aku tadi bicara tentang dansa."
"Aku perhatikan ada yang aneh dengan koran ini. Kau sudah tahu" Lihat tiga copy
Daily Leader ini. Coba, apa bedanya?"
Tuppence memperhatikan dengan rasa ingin tahu.
"Kelihatannya mudah," katanya asal-asalan. "Satu koran hari ini, satu kemarin,
dan satu kemarin dulu."
"Sangat brilian, Watson. Tapi bukan itu yang kumaksud. Perhatikan judul The
Daily Leader. Bandingkan tiga-tiganya - kaulihat bedanya?"
"Tidak," kata Tuppence, "dan lagi, aku rasa tak ada bedanya."
Tommy menarik napas dan merapatkan ujung-ujung jari tangan kiri dan kanan dengan
gaya Sherlock Holmes. "Tepat. Kau membaca koran - bahkan yang kaubaca lebih banyak dariku. Tapi aku
memperhatikan, sedang kau tidak. Kalau kauperhatikan Daily Leader hari ini baik-
baik, kau akan melihat satu titik putih pada huruf D dalam kata Daily, dan ada
satu lagi di huruf L dalam kata yang sama. Lalu ada dua titik putih pada huruf L
dalam kata Leader. Nah, pada koran kemarin ada lagi dua titik di huruf D dalam
kata Daily. Pokoknya titik-titik itu selalu ada tapi pada posisi yang berbeda,
setiap hari." "Mengapa?" tanya Tuppence.
"Itu adalah rahasia jurnalistik."
"Artinya kau tidak tahu dan tak bisa menebak."
"Aku hanya ingin mengatakan hal ini. Praktek seperti itu biasa dilakukan oleh
koran-koran." "Wah, pandai amat kau," kata Tuppence. "Terutama kalau mau membelokkan
pembicaraan. Kita bicara saja soal tadi."
"Apa yang kita bicarakan tadi?"
"Pesta dansa Three Arts."
Tommy menggeram. "Nggak - nggak. Nggak ah, Tuppence. Aku sudah bukan remaja lagi. Nggak - jangan ke
pesta itu. Aku sudah terlalu tua."
"Ketika aku masih gadis remaja yang manis," kata Tuppence, "aku mendengar bahwa
laki-laki - terutama para suami - adalah orang yang suka bersenang-senang, suka
minum-minum dan berdansa dan bergadang. Dan mereka memerlukan istri yang luar
biasa cantik dan cerdik untuk membuat mereka betah tinggal di rumah. Satu ilusi
telah hilang. Semua temanku yang sudah bersuami sekarang tidak mau keluar dan
berdansa dan mereka menangis karena suami mereka mulai memakai sandal kamar dan
tidur jam setengah sepuluh. Dan, Tommy, kau begitu pandai berdansa!"
"Wah, gombalnya keluar, ya."
"Sebenarnya aku ingin keluar ini bukan hanya karena ingin bersenang-senang. Aku
merasa ingin tahu tentang iklan ini."
Tuppence mengambil koran Daily Leader-nya dan membaca, "Aku ingin tiga hati. 12
trick. As Sekop. Perlu untuk menyiasati Raja."
"Itu sih cara mahal untuk belajar main bridge," kata Tommy.
"Jangan tolol. Ini nggak ada hubungannya dengan bridge. Kemarin aku makan siang
dengan seorang gadis di As Sekop. Tempat makan itu kecil dan aneh, terletak di
bawah tanah di Chelsea. Gadis itu cerita bahwa banyak orang datang ke tempat itu
setelah selesai pertunjukan besar di malam hari dan memesan telur dan daging
babi untuk mengenyangkan perut mereka yang lapar. Tempat duduknya tertutup,
dalam booth - jadi terasa panas."
"Dan apa yang kauinginkan?"
"Tiga hati berarti pesta dansa Three Arts besok malam, 12 tricks berarti jam 12,
dan As Sekop ya As Sekop."
"Dan apa artinya perlu menyiasati Raja?"
"Justru itulah yang aku ingin tahu."
"Kau pasti tidak keliru, Tuppence," kata Tommy dengan sikap manis. "Tapi aku tak
mengerti kenapa kau mau ikut campur urusan cinta orang lain."
"Aku tidak akan ikut campur. Yang akan kulakukan ialah sebuah praktek menarik
untuk keperluan pekerjaan detektif kita. Kita perlu praktek."
"Bisnis kita memang sedang seret," kata Tommy setuju. "Tapi itu alasan saja.
Sebenarnya kau ingin pergi ke tempat itu dan berdansa. Huh, gitu saja pakai
belok sana belok sini."
Tuppence tertawa tanpa malu-malu.
"Sudahlah, Tommy. Lupakan bahwa umurmu sudah tiga puluh dua dan punya sehelai
rambut putih di alis kiri."
"Aku memang lemah kalau berhadapan dengan wanita," gumam suaminya. "Apa aku
perlu menjadi keledai tolol dengan pakaian aneh?"
"Tentu saja. Jangan kuatir - aku akan membereskannya. Aku punya ide bagus."
Tommy memandangnya dengan curiga. Dia selalu curiga pada ide-ide Tuppence yang
luar biasa. Ketika dia sampai di rumah besok sorenya, Tuppence menyambutnya dengan senang.
"Sudah datang," katanya.
"Apanya?" "Kostum. Coba lihat."
Tommy mengikutinya. Di atas tempat tidur terserak perlengkapan pakaian petugas
pemadam kebakaran, lengkap dengan helmnya yang berkilat.


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ampun," geram Tommy. "Apa aku sudah jadi anggota pemadam kebakaran
Wembley?" "Pikir baik-baik," kata Tuppence. "Kau belum menangkap maksudku rupanya. Pakai
sel abu-abumu, mon ami. Berpikirlah, Watson. Jadilah banteng yang sudah lebih
sepuluh menit di arena."
"Tunggu - tunggu," kata Tommy. "Rasanya aku mulai mengerti. Kostum apa yang akan
kaupakai, Tuppence?"
"Jas tuamu, topi Amerika, dan kacamata tanduk."
"Norak," kata Tommy. "Tapi aku ngerti apa maumu. McCarty yang menyamar. Dan aku
Riordan." "Tepat. Aku rasa kita perlu praktek cara-cara detektif Amerika juga. Kali ini
aku jadi bintangnya dan kau jadi pembantuku."
"Jangan lupa," kata Tommy, "bahwa sebetulnya kata-kata Denny yang sederhana yang
menunjukkan jalan pada McCarty."
Tapi Tuppence hanya tertawa. Dia kelihatan sangat gembira.
Malam itu memang menyenangkan. Keramaian, musik, pakaian aneh - semuanya membuat
pasangan muda itu gembira. Tommy lupa pada perannya sebagai suami yang bosan dan
dipaksa melakukan sesuatu yang tak disukainya.
Pada pukul dua belas kurang sepuluh, mereka pergi ke As Sekop yang terkenal - atau
tidak dikenal. Seperti dikatakan Tuppence, tempat itu penuh dengan pasangan-
pasangan yang berpakaian aneh. Mereka duduk dalam booth kecil tertutup. Tommy
dan Tuppence juga masuk dalam salah satu booth yang pintunya sengaja dibuka
sedikit sehingga bisa melihat apa yang sedang terjadi di luar.
"Aku tidak tahu yang mana orang yang pasang iklan itu," kata Tuppence.
"Bagaimana dengan si Kembang di seberang itu - dengan si Setan Merah?"
"Aku rasa lebih cocok si Mandarin bengis dengan wanita yang menamakan diri Kapal
Penjelajah - eh, bukan, si Kapal Pesiar."
"Bagus, ya?" kata Tuppence. "Bagus juga tetesan-tetesan minuman itu! Eh, siapa
itu yang datang dengan baju Ratu Hati" Bagus juga, tuh."
Gadis yang mereka lihat itu masuk ke dalam booth dekat mereka. Dia ditemani
seorang "lelaki berbaju koran" seperti dalam cerita Alice in Wonderland.
Keduanya memakai topeng - kelihatannya merupakan kostum yang biasa dipakai di As
Sekop. "Kita benar-benar ada di tempat bobrok," kata Tuppence dengan muka gembira.
"Skandal di sekitar kita. Setiap orang bikin ribut."
Sebuah jeritan, seperti protes, terdengar dari booth sebelah. Tapi kemudian
tertutup oleh tawa keras seorang lelaki. Setiap orang tertawa dan bernyanyi.
Suara tinggi gadis-gadis terdengar melengking melebihi suara pasangan mereka.
"Lihat gembala itu," kata Tommy. "Itu... wanita yang berendeng dengan laki-laki
Prancis. Barangkali mereka yang kita cari."
"Bisa siapa saja," kata Tuppence. "Aku tak peduli. Yang penting kita gembira."
"Aku akan merasa gembira seandainya tidak pakai kostum seperti ini," kata Tommy
menggerutu. "Kau tidak pernah membayangkan rasa panas yang harus kutahan dengan
pakaian begini." "Jangan sedih," kata Tuppence. "Kau kelihatan cakep kok."
"Ya, syukurlah, aku gembira karena kelihatan lebih baik darimu. Tahu, enggak.
Kau kelihatan seperti laki-laki kecil yang lucu."
"Apa kau bisa menyimpan pikiran beradab, Denny" He, laki-laki berbaju koran itu
keluar. Ke mana dia?"
"Paling-paling juga mengambil minuman," jawab Tommy. "Aku juga tak keberatan
mengambil minuman." "Lama amat dia," kata Tuppence ketika sudah lewat empat atau lima menit. "Tommy,
apa kau akan menganggapku keledai tolol..." Dia terdiam.
Tiba-tiba dia berdiri. "Aku tak peduli kalau kau memanggilku keledai. Pokoknya aku mau masuk booth
sebelah." "He, Tuppence, jangan..."
"Aku merasa ada yang tidak beres. Aku tahu. Jangan mencoba menghalangi aku."
Dia keluar dengan cepat dan Tommy mengikutinya. Pintu booth sebelah itu
tertutup. Tuppence membukanya dan masuk. Tommy berjalan di belakangnya.
Gadis berkostum Ratu Hati itu duduk di pojok, seperti orang kedinginan yang
bersandar di dinding. Matanya memandang mereka dengan tenang lewat topengnya.
Tapi dia tak bergerak. Roknya yang berdisain belang warna merah putih kelihatan
aneh di bagian kiri. Di bagian itu terlihat lebih banyak warna merah dari yang
seharusnya... Sambil menjerit Tuppence bergegas ke depan. Pada saat yang sama Tommy melihat
apa yang dilihat Tuppence, pangkal sebuah pedang bergagang permata di bawah
jantungnya. Tuppence berlutut di samping gadis itu.
"Cepat, Tom. Masih hidup. Panggil manajer dan dokter segera."
"Ya. Awas - jangan kausentuh ujung gagang itu, Tuppence."
"Aku akan hati-hati. Cepat."
Tommy keluar dan menutup pintu. Tuppence merangkul gadis itu. Dia membuat
gerakan lemah dan Tuppence mengerti bahwa dia ingin melepas topengnya. Dengan
hati-hati Tuppence melepaskannya. Dia melihat wajah segar seperti setangkai
bunga, dan mata lebar yang ketakutan dan kesakitan.
"Kau bisa bicara, Sayang?" kata Tuppence lembut. "Kalau bisa, coba katakan siapa
yang melakukan hal ini padamu?"
Tuppence merasa tatapan matanya. Gadis itu menarik napas dan tersengal. Dia
memandang tenang pada Tuppence. Kemudian bibirnya bergerak.
"Bingo - " katanya berbisik.
Kemudian tangannya menjadi lemas, dan kepalanya menyandar lemah pada bahu
Tuppence. Tommy datang dengan dua orang laki-laki. Laki-laki yang lebih besar maju dengan
sikap tegas. Kata "dokter" seolah-olah tertulis jelas pada sekujur badannya.
Tuppence melepaskan bebannya.
"Saya rasa dia telah meninggal," katanya dengan suara tertahan.
Dokter itu memeriksa dengan cepat.
"Ya," katanya. "Tak ada yang bisa kita lakukan. Lebih baik dibiarkan saja sampai
polisi datang. Bagaimana kejadiannya?"
Tuppence menjelaskan dengan agak tergagap, sambil mencari-cari alasan yang masuk
akal untuk memasuki booth tersebut.
"Aneh," kata dokter. "Anda tak mendengar apa-apa?"
"Saya mendengar suara seperti jeritan. Tapi laki-laki itu tertawa. Tentu saja
saya tidak berpikir..."
"Tentu saja tidak," kata dokter itu setuju. "Dan Anda bilang tadi laki-laki itu
bertopeng. Anda pasti tak mengenali dia, kalau begitu?"
"Rasanya tidak. Bagaimana kau, Tom?"
"Tidak. Dan dia pakai kostum."
"Yang pertama-tama harus kita lakukan ialah mencari identitas wanita ini," kata
dokter. "Setelah itu, saya rasa polisi akan segera menangani kasus ini. Tentunya
ini bukan kasus yang terlalu sulit. Oh, itu mereka datang."
8. Lelaki Berbaju Koran DENGAN badan capek dan rasa sedih suami-istri itu pulang setelah jam tiga lebih.
Tuppence tidak bisa langsung tidur. Tubuhnya bergolek gelisah dan pikirannya
dipenuhi bayangan wajah cantik dengan mata ketakutan.
Menjelang pagi barulah dia bisa tidur dengan pulas. Ketika bangun, hari sudah
amat siang. Tommy sudah berdandan rapi, dan berdiri di samping tempat tidurnya
sambil menggoyang-goyangkan lengan istrinya.
"Bangun, Tuppence. Inspektur Marriot dan seorang laki-laki sudah di depan,
Majikan Pulau Setan 2 Pendekar Slebor 43 Macan Kepala Ular Rahasia Pedang Naga Langit 1
^