Pasangan Detektif 2
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie Bagian 2
menunggumu." "Jam berapa sekarang?"
"Jam sebelas. Aku akan menyuruh Alice membawa teh-mu sekarang juga."
"Ya. Bilang pada Inspektur Marriot, aku siap sepuluh menit lagi."
Seperempat jam kemudian dengan bergegas Tuppence berjalan ke ruang duduk.
Inspektur Marriot yang sedang duduk dan memandang ke depan dengan serius,
berdiri menyapanya, "Selamat pagi, Nyonya Beresford. Kenalkan, Sir Arthur Merivale."
Tuppence menyalami seorang laki-laki jangkung dan kurus dengan mata kuyu dan
rambut yang memutih. "Kami datang sehubungan dengan urusan yang menyedihkan tadi malam," kata
Inspektur Marriot. "Saya ingin agar Sir Arthur mendengar langsung dari Anda apa
yang Anda ceritakan pada saya - kata-kata terakhir yang diucapkan almarhumah. Sir
Arthur tidak mudah menerimanya."
"Saya tidak percaya dan tak akan percaya bahwa Bingo Hale sampai hati menyakiti
ujung rambut Vere sekalipun."
Inspektur Marriot melanjutkan.
"Ada suatu kemajuan yang telah kami capai sejak malam tadi, Nyonya Beresford.
Pertama-tama kami berhasil menemukan identitas korban sebagai Lady Merivale.
Lalu kami menghubungi Sir Arthur ini. Beliau mengenali korban dan tentu saja
sangat sedih. Lalu saya bertanya apakah beliau kenal dengan seseorang yang
bernama Bingo." "Begini, Nyonya Beresford," kata Sir Arthur, "Kapten Hale yang dikenal teman-
temannya dengan sebutan Bingo, adalah teman dekat saya. Dia tinggal bersama kami
dan dia ada di rumah kami ketika polisi datang dan menahannya tadi pagi. Saya
yakin bahwa Anda pasti keliru - tentu bukan namanya yang diucapkan istri saya."
"Tidak mungkin ada kekeliruan dalam hal ini," kata Tuppence lembut. "Dia
mengatakan Bingo yang melakukan...."
"Benar, kan, Sir Arthur," kata Inspektur Marriot.
Laki-laki yang malang itu bersandar di kursi dan menutupi mukanya.
"Luar biasa. Lalu motifnya apa" Oh! Saya bisa membaca pikiran Anda, Inspektur.
Pasti Anda mengira bahwa Hale adalah pacar istri saya. Kalau toh itu benar - dan
saya yakin tidak - apa motif pembunuhan itu?"
Inspektur Marriot berdehem.
"Ini bukan hal yang enak untuk dibicarakan, Tuan. Tapi Kapten Hale akhir-akhir
ini menaruh perhatian cukup besar pada seorang wanita Amerika. Seorang wanita
muda yang cukup kaya. Kalau Lady Merivale tidak suka dengan hal itu dan berbuat
sesuatu yang tidak baik, itu bisa menghalangi rencana perkawinan Kapten Hale."
"Ini keterlaluan, Inspektur."
Sir Arthur berdiri dengan marah. Inspektur Marriot meredakannya dengan isyarat.
"Maaf, Sir Arthur. Anda tadi mengatakan bahwa Anda dan Kapten Hale bermaksud
untuk melihat pertunjukan itu. Pada saat itu istri Anda pergi ke suatu tempat.
Dan Anda tidak tahu bahwa dia ada di sana?"
"Sama sekali tidak."
"Tolong tunjukkan iklan yang Anda baca, Nyonya Beresford."
Tuppence menurut. "Cukup jelas. Iklan ini dipasang oleh Kapten Hale agar dibaca istri Anda. Mereka
berjanji untuk bertemu di situ. Tapi Anda memutuskan untuk pergi sehari sebelum
pesta. Karena itu dia perlu diperingatkan. Saya rasa itulah sebabnya ada kata
perlu untuk menyiasati Raja. Anda memesan kostum dengan mendadak dari suatu biro
penyewaan kostum teater, sedang kostum Kapten Hale adalah buatan sendiri. Dia
memakai kostum Laki-laki Berbaju Koran. Anda tahu, Sir Arthur, apa yang kami
temukan dalam genggaman tangan istri Anda" Sobekan koran. Bawahan saya sudah
menerima perintah untuk mengambil kostum Kapten Hale, dan saya akan memeriksanya
di kantor nanti. Kalau sobekan itu cocok, maka kasus ini akan segera beres."
"Anda tak akan mendapatkannya," kata Sir Arthur. "Saya kenal betul Bingo Hale."
Setelah meminta maaf pada Tuppence karena telah mengganggu dia, mereka pun
pergi. Pada sore hari, mereka mendengar bel rumah berdering lagi. Suami-istri itu heran
ketika melihat Inspektur Marriot kembali lagi.
"Saya pikir Blunts Brilliant Detectives akan senang mendengar perkembangan kasus
tadi," katanya dengan senyum kecil.
"Tentu," kata Tommy. "Mau minum?"
Dia memberikan minuman pada Inspektur Marriot.
"Kasus yang gamblang," kata Pak Inspektur. "Pedang itu milik korban. Idenya
ialah memberi kesan bunuh diri. Tapi untunglah ada Anda berdua - jadi gagal. Kami
menemukan banyak surat-surat. Rupanya mereka sudah berhubungan cukup lama tanpa
sepengetahuan Sir Arthur. Lalu mata rantai terakhir..."
"Apa?" seru Tuppence dengan tajam.
"Mata rantai terakhir - sobekan koran Daily Leader. Sobekan itu dari baju koran
yang dipakainya - pas sekali sobekannya. Benar-benar kasus yang amat jelas. Dan
saya kebetulan membawanya - barangkali Anda tertarik. Jarang sekali kami menemukan
kasus yang amat jelas seperti ini."
"Tommy," kata Tuppence ketika suaminya kembali lagi setelah mengantarkan polisi
itu keluar. "Kenapa Inspektur Marriot berkali-kali bilang kasus ini amat jelas?"
"Aku tak tahu. Barangkali dia ingin menunjukkan rasa puasnya."
"Sama sekali tidak. Dia mencoba membuat kita penasaran. Tom, tukang daging kan
tahu banyak tentang daging?"
"Aku rasa begitu. Lalu kenapa?"
"Juga pedagang sayur tentunya tahu tentang sayuran. Sedangkan nelayan tahu
tentang ikan. Detektif-detektif profesional - tentunya juga tahu tentang perkara
kriminal. Mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi pada waktu mereka melihatnya -
dan mereka juga tahu bila hal itu bukan yang sebenarnya. Sebagai seorang ahli,
Marriot tahu bahwa Kapten Hale bukanlah seorang kriminal. Tapi semua fakta
menunjuk demikian. Dan akhirnya Marriot mencoba menarik kita agar tergelitik
untuk membongkar kasus ini dan berharap - walaupun tipis - barangkali ada satu hal
kecil yang bisa memberikan kemungkinan yang lain. Tommy, kenapa harus bunuh
diri?" "Ingat-ingat saja apa yang dia katakan padamu."
"Ya - aku tahu. Tapi coba kita lihat dari sisi lain. Hal itu dilakukan Bingo -
perbuatannya menyebabkan Lady Merivale bunuh diri. Itu mungkin."
"Betul, tapi tidak memberi jawaban untuk sobekan koran itu."
"Coba kita lihat foto-foto Marriot. Aku lupa menanyai dia tentang reaksi Hale."
"Aku menanyai dia tentang hal itu waktu keluar tadi. Hale mengatakan bahwa dia
tak pernah bicara dengan Lady Merivale pada pertunjukan itu. Dia mengatakan ada
orang menyelipkan kertas di tangannya dengan tulisan: Jangan coba bicara padaku
malam ini. Arthur curiga. Tapi dia tidak bisa menunjukkan kertas itu. Tapi
kelihatannya cerita itu dibuat-buat saja. Kau dan aku kan melihatnya di As
Sekop." Tuppence mengangguk dan memperhatikan kedua foto. Yang satu adalah selembar
potongan koran dengan tulisan DAILY LE yang kemudian sobek. Yang lain adalah
halaman depan koran Daily Leader yang terkoyak bagian atasnya. Tak diragukan
lagi. Sobekan itu memang pas.
"Ini apa?" tanya Tommy.
"Jahitan," kata Tuppence. "Jahitan koran yang dipakai untuk baju."
"Huh - aku pikir titik-titik model baru lagi," kata Tommy. Dia sedikit gemetar.
"Heran, ya" Aneh rasanya. Bayangkan - kau dan aku bicara tentang titik-titik itu
dan berdiskusi tentang iklan di koran dengan seenaknya."
Tuppence tidak menjawab. Tommy memandangnya, dan agak terkejut ketika melihat
bahwa mata istrinya memandang kosong jauh ke depan dengan mulut agak terbuka dan
ekspresi terkejut di mukanya.
"Tuppence," kata Tommy lembut sambil menggoyangkan lengannya. "Kenapa kau" Apa
mau pingsan?" Tapi Tuppence tetap diam tak bergerak. Akhirnya dia berkata dengan suara
ngelantur jauh. "Denis Riordan."
"Eh?" kata Tommy sambil terus memandangnya.
"Seperti pernah kaukatakan. Satu kata yang sederhana! Coba ambilkan semua Daily
Leader minggu itu." "Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku jadi McCarty. Sudah cukup pusing aku berpikir. Untung kau memberi
inspirasi. Ini adalah halaman muka koran Selasa. Aku ingat betul bahwa koran
Selasa punya dua titik pada huruf L dalam kata LEADER. Ini ada titiknya di huruf
D dalam kata DAILY - dan satu titik pada huruf L. Coba ambil koran-koran itu - kita
cocokkan." Dengan hati-hati dan asyik mereka mencocokkan titik-titik di koran. Tuppence
ternyata benar. "Ya, kan" Sobekan ini bukan dari koran Selasa."
"Tapi kita tidak bisa terlalu yakin. Barangkali titik-titik itu terjadi karena
perbedaan edisi saja."
"Bisa jadi - tapi setidaknya memberikan suatu ide padaku. Dan itu bukan suatu
kebetulan, tetapi kepastian. Hanya ada satu hal kalau ideku memang betul. Tolong
panggil Sir Arthur, Tom. Suruh dia datang ke sini segera. Bilang saja kalau aku
punya berita penting, lalu panggil juga Marriot. Scotland Yard pasti punya
alamatnya kalau dia sudah pulang."
Karena sangat ingin tahu akan berita itu, Sir Arthur Merivale datang setengah
jam kemudian. Tuppence keluar menyambutnya.
"Maaf, kami telah mengundang Anda dengan sangat mendadak. Tapi suami saya dan
saya telah menemukan sesuatu yang kami anggap perlu Anda ketahui dengan segera.
Silakan duduk." Sir Arthur duduk dan Tuppence melanjutkan,
"Sepanjang pengetahuan kami, Anda sangat ingin membantu teman Anda itu supaya
bebas." Sir Arthur menggelengkan kepada dengan sedih.
"Tadinya begitu. Tapi saya terpaksa menyerah karena begitu banyak bukti yang
menuding dia." "Bagaimana seandainya ternyata saya punya suatu bukti yang bisa membebaskan
dia?" "Saya akan sangat gembira, Nyonya Beresford."
"Seandainya," lanjut Tuppence, "saya bertemu dengan seorang gadis yang berdansa
dengan Kapten Hale tadi malam jam dua belas - pada jam yang ditetapkan agar dia
datang ke As Sekop."
"Bagus," kata Sir Arthur. "Saya tahu bahwa ada kekeliruan dalam hal ini. Vere
pasti bunuh diri." "Bukan begitu," kata Tuppence. "Anda lupa laki-laki yang lainnya itu."
"Laki-laki yang mana?"
"Yang dilihat oleh suami saya dan saya sendiri. Laki-laki itu meninggalkan booth
di sebelah booth kami. Jadi, Sir Arthur, pasti ada laki-laki kedua yang berbaju
koran pada pesta itu. O, ya, Anda sendiri mengenakan kostum apa?"
"Saya" Memakai kostum pembunuh abad tujuh belas."
"Sangat cocok," kata Tuppence halus.
"Cocok, Nyonya Beresford" Apa maksud Anda?"
"Untuk peran yang Anda mainkan. Apa boleh saya ceritakan ide saya, Sir Arthur"
Kostum koran itu dapat dipakai dengan mudah di luar kostum pembunuh. Sebelumnya,
secarik surat diselipkan ke tangan Kapten Hale agar dia tidak bicara pada
seorang wanita tertentu. Tapi wanita itu sendiri tidak tahu tentang surat itu.
Dia pergi ke As Sekop pada waktu yang ditentukan. Mereka masuk ke dalam booth.
Laki-laki itu merangkul wanita itu, saya kira, dan menciumnya - tapi ciuman Yudas.
Sambil mencium dia menusukkan pedang ke tubuh wanita itu. Korban hanya bisa
menjerit lirih dan laki-laki itu menutupi jeritannya dengan tertawa. Kemudian
dia keluar - sementara wanita yang kesakitan itu mengira bahwa pacarnyalah yang
menusuknya. "Tetapi wanita itu ternyata sempat merobek kostum koran yang dipakai laki-laki
tersebut. Dan pembunuh itu sendiri sadar akan hal itu - dia memang orang yang
memperhatikan detil-detil. Agar kasus itu benar-benar menunjuk pada orang yang
dituju, sobekan itu harus terlihat seolah-olah terambil dari kostum Kapten Hale.
Untunglah kedua lelaki itu tinggal satu rumah. Tak ada persoalan. Dia lalu
merobek kostum Kapten Hale - dan membakar kostumnya. Setelah itu dia berganti
peran sebagai sahabat yang setia."
Tuppence berhenti. "Bagaimana, Sir Arthur?"
Sir Arthur berdiri dan membungkuk hormat.
"Sebuah imajinasi yang cukup menarik dari seorang wanita manis yang terlalu
banyak membaca buku-buku fiksi."
"Anda pikir demikian?" kata Tommy.
"Dan seorang suami yang selalu mengikuti kata istrinya," kata Sir Arthur. "Pasti
Anda akan menemukan orang yang mau menanggapinya dengan serius."
Dia tertawa keras, dan tubuh Tuppence serasa kaku mendengarnya.
"Saya bersedia bersumpah bahwa saya mendengar tawa itu di As Sekop tadi malam.
Dan Anda agak keliru menilai kami. Nama kami memang Beresford. Tapi kami juga
punya nama lain." Tuppence mengambil sebuah kartu dari meja dan menyodorkan padanya. Sir Arthur
membacanya dengan keras. "Agen Detektif Internasional..." Dia menarik napas panjang. "Jadi itulah Anda
yang sebenarnya! Karena itu Marriot membawa saya ke sini. Jebakan rupanya...."
Dia berjalan mendekati jendela.
"Pemandangan dari sini cukup bagus," katanya. "Menghadap London."
"Inspektur Marriot," seru Tommy dengan tajam.
Bagaikan kilat Inspektur Marriot muncul dari pintu penghubung.
Bibir Sir Arthur membentuk sebuah senyum kecil.
"Sudah kuduga," katanya. "Tapi kali ini Anda tidak akan bisa menangkap saya,
Inspektur. Saya lebih suka memilih jalan saya sendiri."
Dia meletakkan kedua tangannya di bingkai jendela dan meloncat ke luar tanpa
halangan. Tuppence menjerit dan menutup kedua telinganya dari suara yang sudah
dibayangkannya - sebuah suara berdebam jauh di bawah. Inspektur Marriot memaki-
maki. "Seharusnya kita pikirkan jendela itu," katanya. "Walaupun kasus ini memang
sulit dibuktikan, saya akan turun dan - membereskan semuanya."
"Kasihan," kata Tommy perlahan. "Kalau dia memang cinta pada istrinya."
Tapi inspektur itu menyelanya dengan gemas,
"Cinta" Barangkali. Dia sudah tidak tahu lagi dari mana bisa dapat uang. Lady
Merivale adalah seorang wanita yang amat kaya dan semua akan menjadi milik
suaminya. Kalau dia berhubungan terus dengan Hale dan menikah dengannya,
suaminya tak akan mendapat sepeser pun."
"Oh, begitu, ceritanya."
"Tentu saja. Dari awal saya sudah merasa bahwa Sir Arthur bukan orang baik-baik,
dan Kapten Hale tidak bersalah. Kami di Scotland Yard tahu cukup baik siapa yang
benar dan siapa yang tidak. Tapi sulit kalau kami dihadapkan pada fakta yang
berlawanan. Saya akan turun sekarang - sebaiknya Anda berikan segelas brandy pada
istri Anda, Tuan Beresford - kelihatannya kejadian tadi membuatnya sedih."
"Petani sayur," kata Tuppence dengan suara rendah, ketika pintu di belakang
Inspektur Marriot tertutup. "Tukang daging. Nelayan. Detektif. Aku benar, kan"
Dia tahu." Tommy yang sedang sibuk dengan minuman, mendekati istrinya dengan sebuah gelas
besar. "Minumlah ini."
"Apa itu" Brandy?"
"Bukan. Koktil besar - cocok untuk kemenangan McCarty. Ya, Marriot memang benar.
Memang begitu caranya. Menyiasati permainan."
Tuppence mengangguk. "Tapi dia menyiasati dengan cara sebaliknya."
"Jadi, Raja pun keluar," kata Tommy.
9. Kasus Wanita Hilang BEL di meja Tuan Blunt - (Agen Detektif Internasional dengan manajernya, Theodore
Blunt) terdengar memberi peringatan. Tommy dan Tuppence terbang ke posnya
masing-masing dan mengintip dari lubang yang mereka siapkan untuk melihat ruang
luar. Dan tugas Albert adalah mengulur-ulur waktu dengan bermacam alasan yang
cukup artistik. "Akan saya lihat dulu, Tuan," katanya. "Saya rasa Tuan Blunt sedang sibuk dengan
Scotland Yard di telepon."
"Baik, saya tunggu," kata tamu itu. "Saya tidak membawa kartu, tapi nama saya
Gabriel Stavansson."
Klien itu memang contoh sempurna seorang manusia. Tingginya kira-kira enam kaki.
Wajahnya kecoklatan, dan matanya yang amat biru membuat suatu kontras yang
menarik dengan kulit coklatnya.
Dengan cepat Tommy membuat keputusan. Dia memakai topinya, memakai sarung
tangannya, dan membuka pintu. Dia berdiri di pintu.
"Tuan ini ingin menemui Anda, Mr. Blunt," kata Albert.
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Muka Tommy berkerut sedikit. Dia mengeluarkan jamnya.
"Saya harus menemui Duke jam sebelas kurang seperempat." Kemudian dia memandang
tamunya dan berkata, "Saya masih punya waktu beberapa menit kalau Anda ingin
bicara. Silakan masuk."
Tamu itu mengikutinya masuk ke dalam ruang kerja Tommy, di mana Tuppence duduk
dengan serius, memegang catatan dan pensil.
"Ini sekretaris pribadi saya, Nona Robinson," kata Tommy. "Sekarang, barangkali
Anda bisa menceritakan persoalan Anda" Tentunya sangat mendesak karena Anda
datang dengan taksi dan Anda baru kembali dari daerah Arktik atau Antartika,
kan?" Tamu itu memandang dengan heran.
"Ini luar biasa," serunya. "Saya kira detektif-detektif hebat hanya ada di buku-
buku! Dan pesuruh kantor itu bahkan tidak memberitahukan nama saya pada Anda."
Tommy menarik napas. "Itu mudah," katanya. "Sinar matahari tengah malam dan lingkaran Arktik punya
pengaruh pada kulit - dan sinar arktinik itu punya beberapa sifat. Saya sedang
menyiapkan sebuah artikel tentang hal itu. Tapi itu kan bukan tujuan Anda datang
kemari. Apa sebenarnya yang membuat Anda datang kemari?"
"Pertama-tama, Tuan Blunt, nama saya Gabriel Stavansson...."
"Ah! Tentu saja," kata Tommy. "Penjelajah besar. Kalau tak salah baru-baru ini
Anda pergi ke Kutub Utara, kan?"
"Saya mendarat di Inggris tiga hari yang lalu. Ada seorang teman yang kebetulan
lewat di Laut Utara menawari saya untuk kembali naik kapalnya. Kalau tak ada
dia, saya baru bisa pulang dua minggu lagi. Dan saya ingin memberi tahu Anda,
Tuan Blunt, bahwa sebelum memulai ekspedisi dua tahun yang lalu, saya beruntung
bisa bertunangan dengan Nyonya Maurice Leigh Gordon..."
Tommy menyela, "Nyonya Leigh Gordon sebelum menikah adalah..."
"Yang Mulia Hermione Crane, putri kedua Lord Lanchester," kata Tuppence dengan
lancar. Tommy meliriknya dengan pandangan kagum.
"Suami pertamanya gugur waktu perang," tambah Tuppence lagi.
Gabriel Stavansson mengangguk.
"Benar. Seperti saya ceritakan tadi, Hermione dan saya bertunangan. Tentu saja
waktu itu saya menanyakan padanya apa sebaiknya ekspedisi saya dibatalkan saja.
Tapi - untunglah, dia bahkan memberi dorongan! Dia memang istri yang cocok untuk
seorang penjelajah. Tentu saja setelah mendarat, yang pertama terlintas dalam
pikiran saya ialah langsung akan menemuinya. Saya mengirim telegram dari
Southampton dan naik kereta paling awal. Saya tahu bahwa sementara itu Hermione
tinggal bersama seorang bibinya, Lady Susan Clonray, di Pont Street. Karena itu
saya langsung ke sana. Tapi saya kecewa karena Hermy rupanya sedang mengunjungi
teman-temannya di Northumberland. Lady Susan amat ramah pada saya, walaupun dia
terkejut melihat saya datang lebih awal. Dia katakan, Hermy pasti akan kembali
beberapa hari lagi. Lalu saya menanyakan alamatnya. Tapi wanita tua itu tidak
mau memberikannya dengan alasan macam-macam. Katanya Hermy tidak tinggal di satu
tempat saja dan dia tak tahu di tempat yang mana sekarang dia. Sebaiknya saya
ceritakan pada Anda juga, Tuan Blunt, bahwa Lady Susan dan saya tidak pernah
cocok. Dia adalah seorang wanita gemuk dengan dagu dobel. Saya tidak suka wanita
gemuk - dari dulu - wanita gemuk dan anjing gemuk, benar-benar menyebalkan - dan
herannya mereka sering bersama-sama! Saya memang aneh - tapi bagaimana lagi. Saya
memang tidak suka wanita gemuk."
"Anda memang mengikuti mode, Tuan Stavansson," kata Tommy. "Dan masing-masing
orang punya selera. Lihat saja almarhum Lord Robert. Dia paling benci pada
kucing." "Perlu Anda ingat. Saya tidak mengatakan bahwa Lady Susan bukan seorang wanita
yang menarik. Bisa jadi dia seorang wanita yang menarik - tapi tidak untuk saya.
Saya merasa bahwa sebenarnya dia kurang setuju dengan pertunangan saya.
Barangkali, dia mempengaruhi Hermy, kalau itu memungkinkan. Dan saya
menceritakan hal ini karena mungkin ada gunanya. Bisa saja ini Anda anggap
sebagai prasangka dari pihak saya. Kita teruskan saja hal ini. Untuk Anda
ketahui, saya adalah orang yang keras kepala dan suka memilih cara sendiri. Jadi
saya tidak mau meninggalkan Pont Street sampai dia memberikan nama dan alamat
teman Hermy yang mungkin dikunjunginya. Lalu saya naik kereta api ke utara."
"Kelihatannya Anda orang yang suka bertindak cepat, Tuan Stavansson," kata Tommy
sambil tersenyum. "Ternyata perjalanan itu sia-sia, Tuan Blunt. Tak seorang pun dari mereka pernah
bertemu Hermy. Dari tiga rumah yang saya datangi, hanya satu yang menunggu-
nunggu kedatangannya. Lady Susan pasti membuat cerita tambahan dengan yang dua
itu. Dan Hermy membatalkan janji dengan temannya itu melalui telegram yang
mendadak. Tentu saja saya cepat-cepat kembali ke London, dan langsung menemui
Lady Susan. Saya menuntut untuk diberi keterangan yang benar. Dan dia mengaku
bahwa sebenarnya dia tidak tahu di mana Hermy berada. Tapi dia juga menolak
dengan keras ketika saya usulkan untuk lapor pada polisi. Dia katakan bahwa
Hermy bukanlah seorang gadis kecil yang tolol, tetapi seorang wanita dewasa yang
sering punya rencana sendiri. Barangkali ada suatu hal yang sedang dilakukannya.
"Saya pikir memang masuk akal kalau Hermy tidak selalu melaporkan apa yang
dikerjakannya pada Lady Susan. Tapi saya masih kuatir. Saya merasa bahwa ada
sesuatu yang tidak beres. Ketika saya akan pergi, tiba-tiba ada telegram datang
untuk Lady Susan. Dia membacanya dengan ekspresi lega, dan memberikan telegram
itu pada saya. Bunyinya seperti ini: Rencana berubah. Ke Monte Carlo seminggu.
Hermy." Tommy mengulurkan tangannya.
"Anda bawa telegram itu?"
"Tidak. Tapi telegram itu dikirim dari Maldon, Surrey. Saya melihatnya waktu itu
karena terasa aneh. Apa yang dilakukan Hermy di Maldon" Setahu saya dia tak
punya teman di sana."
"Anda tidak pergi ke Monte Carlo?"
"Pernah terpikir oleh saya. Tapi saya putuskan untuk tidak ke sana. Walaupun
Lady Susan kelihatan puas dengan telegram itu, saya tidak. Menurut saya, aneh
kalau dia selalu memberitahu dengan telegram, bukannya surat. Satu atau dua
kalimat yang ditulis dengan tulisannya bisa meredakan kekuatiran saya. Tapi
siapa pun bisa mengirim telegram dan memberi nama Hermy. Semakin saya pikir,
semakin kuatir saya. Akhirnya saya pergi ke Maldon kemarin siang. Tempat itu
biasa-biasa saja - ada dua hotel. Saya mencari di tempat-tempat yang mungkin
didatangi Hermy, tetapi hasilnya nol. Waktu saya kembali dengan kereta, saya
membaca iklan Anda dan berpikir untuk menyerahkan soal ini pada Anda. Kalau
Hermy memang pergi ke Monte Carlo, saya tidak ingin lapor pada polisi dan
menimbulkan skandal. Tapi saya juga tidak ingin ke sana mencari sesuatu yang
belum pasti. Saya akan tinggal di sini, di London, kalau-kalau - terjadi sesuatu."
Tommy mengangguk sambil berpikir.
"Apa sebenarnya yang Anda curigai?"
"Terus-terang saya tidak tahu. Tapi saya merasa ada yang tidak beres."
Dengan gerakan cepat Stavansson mengambil dompet dari sakunya dan dibukanya di
depan mereka. "Inilah Hermione," katanya. "Saya tinggal dulu di sini." Foto itu adalah foto
seorang wanita semampai. Dia bukan seorang wanita muda, tapi mempunyai senyum
yang menawan dan mata yang indah.
"Tak ada lagi yang ketinggalan, Tuan Stavansson?" kata Tommy.
"Tidak ada." "Tidak ada hal-hal kecil yang detil sekalipun?"
"Saya rasa tidak."
Tommy menarik napas panjang.
"Wah, ini membuat pekerjaan kami tambah sulit," katanya. "Saya rasa Anda
mengerti, Tuan Stavansson, bahwa satu hal kecil yang kelihatannya biasa saja
bisa menjadi petunjuk yang amat berharga untuk seorang detektif. Dan untuk kasus
Anda, bisa saya katakan agak aneh. Otak saya memang sudah mulai bekerja. Tapi
kami perlu waktu untuk membuktikan kebenarannya."
Tommy mengambil biola yang tergeletak di atas meja, dan memainkan penggeseknya
satu atau dua kali. Tuppence menggigit bibirnya sendiri, dan tamu itu pun
menjadi bingung. Tommy meletakkan alat musik itu lagi.
"Beberapa paduan nada dari Mosgovskensky," gumamnya. "Tinggalkan alamat Anda,
Tuan Stavansson. Saya akan melaporkan perkembangan-perkembangan situasinya
nanti." Ketika tamu itu pergi, Tuppence langsung menyambar biola dari meja,
memasukkannya ke dalam lemari dan menguncinya.
"Kalau kau mau jadi Sherlock Holmes, aku akan memberimu satu jarum suntik dan
sebuah botol berlabel kokain. Tapi demi Tuhan, jangan kausentuh-sentuh lagi
biola itu. Kalau penjelajah manis itu tidak bersikap jujur dan sederhana, dia
akan bisa melihat dengan jelas siapa kau. Apa kau mau terus main jadi Sherlock
Holmes?" "Aku merasa bahwa aku bisa memainkannya dengan baik," kata Tommy dengan nada
puas. "Deduksinya bagus, kan" Dan terus-terang, tentang taksi itu aku untung-
untungan. Sebetulnya gampang. Satu-satunya cara kemari kan dengan taksi?"
"Untunglah aku baru membaca tentang pertunangannya di Daily Mirror pagi ini,"
kata Tuppence. "Ya. Memang bagus untuk memberi kesan betapa efisiennya Blunts Brilliant
Detectives. Ini benar-benar kasus Sherlock Holmes. Bahkan kau pun bisa melihat
persamaannya dengan menghilangnya Lady Frances Carfax."
"Apa kau membayangkan menemukan tubuh Nyonya Leigh Gordon di peti mati?"
"Biasanya, sejarah berulang lagi. Sebenarnya - ah, apa pendapatmu?"
"Hm, yang jelas, si Hermy ini kelihatannya takut menemui tunangannya. Alasannya
belum jelas. Tapi Lady Susan memberi dukungan padanya. Barangkali bisa dikatakan
bahwa wanita itu menghadapi suatu kegagalan dan berusaha menutupinya."
"Aku juga berpikir begitu," kata Tommy. "Tapi aku rasa kita harus benar-benar
yakin sebelum menyodorkan hal itu pada orang seperti Stavansson. Bagaimana kalau
kita lihat-lihat Maldon sebentar" Kita bawa saja beberapa tongkat golf."
Tuppence setuju. Agen Detektif Internasional dipercayakan pada Albert.
Walaupun Maldon merupakan daerah perumahan yang terkenal, tempat itu tidak
terlalu luas. Dengan cerdik Tommy dan Tuppence mencari informasi yang mereka
perlukan. Tetapi hasilnya nol. Pada waktu mereka kembali ke London sebuah ide
yang cemerlang muncul di kepala Tuppence.
"Tommy, kenapa mereka menulis Maldon Surrey di telegram itu?"
"Karena Maldon ada di Surrey, Bodoh."
"Kau sendiri yang bodoh - bukan itu maksudku. Kalau kau terima telegram dari -
misalnya Hastings, atau Torquay, mereka biasanya tidak menuliskan nama
wilayahnya, kan" Tapi dari Richmond, mereka menuliskan Richmond Surrey. Itu
karena ada dua Richmond."
Tommy memperlambat mobilnya.
"Tuppence, idemu memang bagus. Kita tanya kantor pos dulu, yuk."
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan kecil di tengah-tengah jalan desa.
Mereka hanya perlu beberapa menit untuk menemukan bahwa ada dua buah Maldon.
Yang pertama adalah Maldon, Surrey, dan kedua Maldon, Sussex. Yang belakangan
ini merupakan sebuah desa kecil, tetapi dilengkapi dengan kantor telegram.
"Itu dia," kata Tuppence senang. "Stavansson hanya tahu Maldon yang di Surrey.
Jadi dia tak memperhatikan kata yang berhuruf depan S setelah Maldon."
"Besok kita ke Maldon Sussex," kata Tommy.
Maldon, Sussex memang beda dengan Maldon, Surrey. Tempat itu terletak empat mil
dari stasiun kereta api, mempunyai dua gedung pertemuan untuk umum, dua toko,
sebuah kantor pos dan telegram yang juga menjual gula-gula dan kartu-pos
bergambar, dan tujuh pondok kecil. Tuppence masuk ke dalam toko sedangkan Tommy
masuk ke The Cock and Sparrow. Mereka bertemu setengah jam kemudian.
"Bagaimana?" tanya Tuppence.
"Birnya lumayan," jawab Tommy. "Tapi nggak ada info."
"Coba saja ke The Kings Head," kata Tuppence. "Aku akan kembali ke kantor pos.
Ada seorang wanita tua yang nyebelin tadi, tapi aku dengar mereka menyuruhnya
pergi makan." Dia kembali ke tempat itu dan melihat-lihat kartupos bergambar. Seorang gadis
berwajah segar dengan mulut mengunyah sesuatu, keluar dari ruang belakang.
"Saya mau beli yang ini," kata Tuppence. "Anda tak keberatan menunggu di sini
sebentar - saya ingin melihat-lihat yang lucu."
Tuppence pun memilih satu paket, sambil terus bicara.
"Sayang sekali Anda tidak bisa memberitahu alamat saudara saya. Dia tinggal di
dekat sini tapi alamatnya hilang. Namanya Leigh Wood."
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Saya tak ingat. Kecuali itu tidak banyak surat-surat yang kami terima di sini -
jadi saya pasti tahu kalau memang ada. Kecuali The Grange, tak banyak rumah-
rumah besar di sekitar sini."
"The Grange itu apa" Siapa yang punya?" tanya Tuppence.
"Dokter Horriston pemiliknya. Tempat itu sekarang sudah diubah jadi klinik
perawatan. Saya rasa banyak kasus-kasus penyakit saraf di situ. Banyak wanita-
wanita yang datang untuk istirahat, dan sebagainya. Yah - di sini memang tenang,"
gadis itu tertawa kecil. Dengan cepat Tuppence memilih beberapa kartu dan membayarnya.
"Itu mobil Dokter Horriston," kata gadis itu.
Tuppence cepat-cepat keluar dan dia melihat sebuah mobil kecil lewat.
Penumpangnya adalah seorang lelaki jangkung berkulit gelap dengan jenggot rapi
dan wajah yang kurang menyenangkan. Mobil itu berjalan terus. Tuppence melihat
Tommy menyeberang jalan menuju dia.
"Tom, aku rasa sudah ketemu. Klinik Dokter Horriston."
"Aku juga dengar tentang tempat itu di Kings Head, dan aku pikir barangkali kita
bisa mencari di situ. Tapi seandainya dia memang menderita penyakit saraf, teman
dan bibinya tentunya tahu, kan?"
"Yaaa - tapi bukan itu yang kumaksud. Kaulihat orang yang naik mobil kecil tadi?"
"Nggak enak dilihat."
"Itu Dokter Horriston."
Tommy bersiul. "Wah - wah. Bagaimana - perlu dilihat?"
Akhirnya mereka menemukan tempat itu. Sebuah rumah besar yang sepi, dengan
pembangkit tenaga listrik berada di halaman belakang.
"Uh, jelek benar," kata Tommy. "Aku kok ngeri ya. Rasanya soal ini akan jadi
lebih serius." "Oh, jangan. Kalau saja kita bisa bertindak tepat pada waktunya. Wanita itu
dalam bahaya. Aku merasakannya."
"Jangan hanyut dalam mimpimu," kata Tommy.
"Tak bisa. Aku tak bisa percaya pada orang itu. Apa yang akan kita lakukan"
Sebaiknya aku pijit bel saja, ya" Dan langsung tanya tentang Nyonya Leigh
Gordon. Aku ingin tahu jawabnya, karena barangkali kita bisa mendapat informasi
dengan cara terang-terangan."
Tuppence langsung bertindak. Pintu itu segera dibuka oleh seorang lelaki
berwajah kosong. "Saya ingin bertemu dengan Nyonya Leigh Gordon. Apa dia cukup sehat untuk
menemui saya?" Rasanya Tuppence melihat sebuah kilatan pada mata laki-laki itu. Tapi jawabannya
cukup cepat. "Nama itu tak ada di sini, Nyonya."
"Oh, masa" Ini klinik Dokter Horriston yang bernama The Grange, kan?"
"Betul, Nyonya, tapi tak ada yang bernama Nyonya Leigh Gordon di sini."
Karena bingung, Tuppence terpaksa mundur dan berkonsultasi dengan Tommy di luar.
"Barangkali dia tidak bohong. Kita kan tidak tahu."
"Tidak. Dia bohong. Aku yakin."
"Tunggu sampai dokter itu datang," kata Tommy. "Aku akan jadi wartawan yang
ingin tahu sistem penyembuhan dia yang paling baru. Dengan begitu aku akan tahu
letak ruangan-ruangan di tempat itu."
Dokter itu datang setengah jam kemudian.
Tommy masuk, tapi lima menit kemudian dia pun diusir keluar.
"Dokter itu sibuk dan tak bisa dihubungi. Dia tak pernah bicara dengan wartawan.
Tuppence, aku rasa kau benar. Ada yang nggak beres dengan tempat ini. Lokasinya
ideal - jauh dari tempat ramai. Dan apa pun bisa terjadi di tempat ini tanpa
diketahui orang." "Ayolah," kata Tuppence tegas. "Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan naik ke atas rumah itu. Barangkali tak ada yang lihat."
"Oke. Aku setuju."
Kebun itu memang rimbun dan bisa dipakai untuk bersembunyi. Tommy dan Tuppence
berhasil memanjat bagian belakang rumah itu tanpa dipergoki orang.
Di situ ada sebuah teras yang lebar dengan anak tangga menurun. Di tengah-tengah
ada beberapa jendela besar yang terbuka ke arah teras, tapi keduanya tak berani
memperlihatkan diri secara terang-terangan. Jendela tempat mereka mengintip
rupanya terlalu tinggi untuk bisa melihat ruangan di dalamnya. Tiba-tiba
Tuppence mencengkeram lengan Tommy.
Ada orang berbicara di kamar yang ada di dekat mereka. Jendela kamar itu terbuka
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga pembicaraan mereka dapat didengar dari luar.
"Masuk - masuk saja dan tutup pintunya," kata suara seorang laki-laki dengan
jengkel. "Kau bilang ada seorang wanita datang menanyakan Nyonya Leigh Gordon?"
Tuppence mengenali suara orang yang diajak bicara, yaitu laki-laki yang
membukakan pintu tadi. "Ya, Tuan." "Dan kaubilang dia tidak di sini, kan?"
"Ya, Tuan." "Dan sekarang wartawan itu," gumamnya.
Tiba-tiba dia mendekati jendela dan membuka gorden. Kedua orang yang bersembunyi
di semak-semak itu bisa melihat Dr. Horriston.
"Aku justru kuatir dengan tamu wanita itu. Bagaimana rupanya?" tanya Dokter
Horriston. "Muda, cantik, dan modis, Tuan."
Tommy menggelitik tulang iga Tuppence.
"Hm, benar rupanya," kata dokter itu. "Aku rasa dia teman Nyonya Leigh Gordon.
Huh - menyulitkan saja. Aku harus mulai..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Tommy dan Tuppence mendengar jendela
ditutup. Sepi. Dengan hati-hati Tommy berjalan ke luar. Ketika mereka sudah agak jauh, dia
berkata, "Tuppence, persoalannya tambah serius. Mereka akan berbuat sesuatu yang tidak
baik. Aku rasa kita harus segera kembali ke kota dan bicara dengan Stavansson."
Anehnya, Tuppence menggelengkan kepala.
"Kita harus tetap di sini. Apa kau tidak dengar bahwa dia akan mulai melakukan
sesuatu" Itu bisa berarti macam-macam."
"Sialnya, yang ini belum bisa dibilang sebagai kasus yang pantas kita laporkan
pada polisi." "Begini, Tom. Kautelepon Stavansson dari desa. Aku tunggu di sini."
"Ya - barangkali itu yang terbaik. Tapi, Tuppence...," kata suaminya.
"Kenapa?" "Kau hati-hati, ya!"
"Tentu saja, Tolol. Jangan kuatir."
Dua jam kemudian Tommy kembali. Dia melihat Tuppence menunggu di dekat pintu
pagar. "Bagaimana?" "Aku tak bisa menghubungi Stavansson. Lalu aku coba menelepon Lady Susan. Tapi
dia juga tidak ada. Lalu aku menelepon Brady dan menyuruh lihat Horriston di
Direktori Medis atau yang semacam itulah."
"Apa yang dikatakan Dr. Brady?"
"Oh! Dia langsung kenal nama itu. Horriston dulu memang seorang dokter yang
bonafid. Tapi kemudian dia gagal. Brady menyebutnya sebagai dukun bejat, dan dia
berkata tak akan heran kalau terjadi sesuatu yang aneh-aneh. Persoalannya
sekarang, apa yang akan kita lakukan?"
"Kita harus tetap di sini," kata Tuppence tegas. "Aku merasa bahwa mereka akan
melakukan sesuatu malam ini. O, ya, ada tukang kebun yang memotong tanaman-
tanaman jalar di pagar baru-baru ini. Dan aku tahu di mana dia meletakkan
tangga." "Bagus, Tuppence," kata suaminya memuji. "Kalau begitu malam ini..."
"Begitu gelap..."
"Kita akan melihat..."
"Apa yang akan kita lihat?"
Tommy ganti mengawasi rumah itu, sementara Tuppence pergi ke desa dan makan.
Kemudian Tuppence kembali dan mereka bersama-sama memperhatikan rumah itu. Pada
jam sembilan mereka sepakat untuk mulai beraksi. Mereka dapat mengitari rumah
itu dengan bebas. Tiba-tiba Tuppence mencengkeram lengan Tommy.
"Dengar." Suara yang didengarnya terdengar kembali - samar-samar. Suara itu adalah suara
rintihan seorang wanita yang kesakitan. Tuppence menunjuk ke atas, ke sebuah
jendela di tingkat dua. "Dari kamar itu," bisiknya.
Sekali lagi mereka mendengar suara kesakitan yang lirih memecah udara malam.
Kedua pendengar itu memutuskan untuk melaksanakan rencana mereka. Tuppence
berjalan ke tempat tangga. Mereka membawa dan meletakkannya di dekat jendela di
mana mereka mendengar suara orang kesakitan. Semua tirai jendela bawah sudah
ditutup, tetapi jendela kamar yang satu itu masih terbuka.
Tommy meletakkan tangga dengan hati-hati.
"Aku akan naik. Kau di bawah saja," kata Tuppence. "Aku tak keberatan naik
tangga dan kau bisa memeganginya dengan baik. Dan kalau dokter itu datang kau
bisa menghadapi dia lebih baik dariku."
Dengan hati-hati Tuppence merayap naik dan melongokkan lehernya untuk melihat
jendela. Lalu dia keluarkan lagi kepalanya dengan cepat. Satu atau dua menit
kemudian dia melongok lagi. Dia memperhatikan selama kira-kira lima menit, lalu
turun. "Dia," katanya dengan kacau. "Oh, Tom, menyedihkan sekali. Dia tidur di atas
tempat tidur, merintih sambil bergolek-golek. Dan ketika aku sedang
memperhatikan, tiba-tiba ada seorang perawat masuk. Dia menunduk dan
menyuntikkan sesuatu di bawah lengannya. Lalu pergi lagi. Apa yang akan kita
lakukan?" "Apa dia sadar?"
"Aku rasa begitu. Ya, aku yakin dia sadar. Apa dia tadi diikat, ya" Aku mau naik
lagi. Dan kalau bisa, aku akan masuk ke kamar itu."
"Tuppence..." "Kalau aku dalam bahaya, aku akan menjerit."
Karena tak ingin berbantah lagi, Tuppence cepat-cepat naik tangga. Tommy
melihatnya masuk ke dalam kamar lewat jendela. Tuppence pun menghilang.
Sekarang Tommy yang menderita. Dia tidak dapat mendengar apa-apa. Tuppence dan
Nyonya Leigh Gordon pasti bicara berbisik-bisik - seandainya mereka bicara.
Akhirnya dia pun bisa mendengar suara orang bergumam. Hatinya lega. Tapi tiba-
tiba suara itu berhenti. Sepi.
Tommy meregangkan telinganya. Tak terdengar apa-apa. Apa yang mereka lakukan"
Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahunya.
"Ayo," kata Tuppence dalam gelap.
"Tuppence! Bagaimana kau datang ke tempat ini?"
"Lewat pintu depan. Kita pergi saja."
"Pergi?" "Ya." "Tapi - Nyonya Leigh Gordon?"
Dengan nada pahit yang tak terlukiskan Tuppence menjawab,
"Ngurusin badan!"
Tommy memandangnya tidak mengerti.
"Apa maksudmu?"
"Aku bilang ngurusin badan. Ngurangi berat. Apa kau tidak dengar Stavansson
bilang dia benci wanita gemuk" Dua tahun ditinggal, Hermy-nya itu jadi gemuk.
Kelabakan waktu tahu bahwa tunangannya kembali dan cepat-cepat ke tempat Dr.
Horriston untuk ngurusin badan. Dia punya cara baru. Dengan injeksi atau apa.
Penemuannya dirahasiakan dan biayanya mencekik leher. Dia memang dukun. Tapi
dukun sukses! Stavansson datang dua minggu lebih awal, ketika Hermy baru mulai
mendapat perawatan khusus. Lady Susan telah disumpah untuk tidak membocorkan
rahasia, dan dia pegang janji. Dan kita datang ke sini seperti orang tolol!"
Tommy menarik napas panjang.
"Watson, aku rasa ada sebuah konser bagus di Queens Hall besok. Kita akan punya
banyak waktu. Dan kau akan minta padaku agar tidak memasukkan kasus ini dalam
rekor kita. Sama sekali tidak ada bagusnya!"
10. Lelaki Buta "BENAR," kata Tommy, lalu meletakkan telepon. Kemudian dia berpaling kepada
Tuppence. "Dari Bos. Kelihatannya orang yang harus kita hadapi telah tahu bahwa
aku bukan Theodore Blunt asli. Kita harus siap setiap saat. Dan Bos bilang
sebaiknya kau pulang dan tinggal di rumah, dan tak melibatkan diri dalam kasus
ini. Kelihatannya sarang lebah yang kita kutak-kutik lebih besar dari yang kita
perkirakan." "Pokoknya aku tak akan pulang," kata Tuppence dengan tegas. "Siapa yang akan
menjagamu kalau aku pulang" Kecuali itu aku juga suka dengan keributan ini.
Usaha kita kan sepi-sepi saja belakangan ini."
"Tentu saja pembunuhan dan perampokan tidak terjadi setiap hari. Yang logis
sajalah. Aku pikir sebaiknya begini. Kalau nggak ada urusan, kita berlatih
sendiri saja." "Latihan berbaring telentang dan mengayun-ayunkan kaki di udara" Itu maksudmu?"
"Jangan menginterpretasikannya seperti anak kecil, dong! Latihan yang kumaksud
kan latihan seni detektif. Reproduksi dari para ahli, begitu. Misalnya..."
Dari laci yang ada di sisinya Tommy mengambil topeng mata hijau tua yang amat
besar. Dipasangnya topeng itu dengan hati-hati. Kemudian dia mengambil jam dari
sakunya. "Kacanya pecah tadi pagi," kata Tommy. "Jam itu jadi tidak punya kristal dan
bisa kuraba-raba." "Hati-hati," kata Tuppence. "Jarumnya yang pendek hampir jatuh."
"Coba kesinikan tanganmu," kata Tommy. Dia memegang tangan Tuppence dengan satu
jari, merasakan nadinya. "Ah! Bisa ditebak. Wanita ini tidak punya penyakit
jantung." "Apa kau mau jadi Thornley Colton?" tanya Tuppence.
"Betul. Si Problemis buta. Dan kau - apa ya - mm - sekretaris berambut hitam..."
"Popok bayi yang ditemukan di pinggir kali," kata Tuppence menyelesaikan
kalimatnya. "Dan Albert jadi Fee alias Shrimp."
"Kita harus mengajarnya omong Ge?," kata Tuppence. "Dan suaranya harus agak
melengking, bukan serak."
"Di dinding dekat pintu ada tongkat yang akan membantu jari-jariku yang
sensitif." Dia berdiri dan menabrak sebuah kursi.
"Sialan! Aku lupa ada kursi di situ."
"Pasti nggak enak ya jadi orang buta," kata Tuppence penuh perasaan.
"Benar," jawab Tommy. "Aku paling kasihan pada mereka yang kehilangan
penglihatan dalam perang daripada yang lainnya. Tapi katanya kalau kita hidup
dalam kegelapan, kita bisa mengembangkan perasaan-perasaan khusus. Itulah yang
ingin kulihat. Dan tentunya akan menyenangkan kalau bisa melatih seseorang
sampai terbiasa dalam gelap. Sekarang tolong kau jadi Sydney Thames yang baik.
Berapa langkah kira-kira jarak ke tongkat itu?"
Tuppence membuat perkiraan kasar.
"Tiga lurus, lima ke kiri," katanya cepat.
Tommy mengira-ngira dan melangkah. Tapi Tuppence berteriak ketika sadar bahwa
langkah keempat ke kiri akan membuat suaminya menabrak dinding.
"Susah, susah," katanya. "Susah membuat perkiraan berapa langkah yang
diperlukan." "Oh, ini menyenangkan," kata Tommy. "Panggil Albert. Suruh masuk. Aku ingin
salaman dengan kalian dan menebak tangan siapa yang kupegang."
"Ya - ya. Tapi Albert harus cuci tangan dulu. Tangannya kan biasanya lengket
karena permen yang dimakannya itu."
Albert, yang diberitahu tentang permainan itu, sangat senang.
Setelah selesai bersalaman, Tommy tersenyum puas.
"Keyboard bisu itu tak bisa membohongi," gumamnya. "Yang pertama Albert, yang
kedua Tuppence." "Salah!" seru Tuppence melengking. "Huh - pakai keyboard bisu segala! Kau menebak
dengan cincin kawin, kan" Tapi cincin itu kupindah ke jari Albert."
Beberapa eksperimen mereka lakukan dengan hasil berbeda-beda.
"Aku sudah punya feeling sekarang," kata Tommy. "Tentu saja pertama-tama kita
tidak bisa selalu benar. Sekarang begini. Sebentar lagi kan makan siang. Kau dan
aku makan di Blitz, Tuppence. Orang buta dan teman setianya. Kita praktek di
sana." "Kita pasti dapat kesulitan nanti," kata Tuppence.
"Tidak - tidak. Aku akan bersikap manis. Dan pada akhir makan siang nanti aku akan
membuat kejutan." Semua protes tidak diindahkan, dan seperempat jam kemudian terlihatlah Tommy dan
Tuppence duduk dengan enak di sebuah sudut Gold Room Hotel Blitz.
Tommy meraba-raba menu dengan ujung jarinya.
"Aku mau Pilaff de Homard dan Grilled Chicken," gumamnya.
Tuppence juga memilih makanannya. Pelayan pun pergi.
"Sampai saat ini semua lancar," kata Tommy. "Sekarang eksperimen yang lebih
jauh. Wah - indah betul kaki gadis bergaun mini itu - yang baru datang."
"Kok kamu tahu?"
"Kaki-kaki yang indah memberikan getaran tertentu pada lantai yang kemudian
diterima oleh tongkatku yang berongga ini. Atau - kalau mau jujur - di restoran
besar seperti ini, biasanya ada seorang gadis berkaki indah yang berdiri di
pintu mencari-cari temannya. Dan sekarang kan sedang musim rok mini - jadi kakinya
pasti kelihatan bagus."
Mereka melanjutkan makan.
"Laki-laki yang duduk dua meja di dekat kita kelihatannya kaya," kata Tommy
asal-asalan. "Bagus," kata Tuppence memuji. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku tidak bisa selalu menjelaskan padamu bagaimana aku melakukannya setiap
kali, dong! Pelayan kepala itu sedang menuang sampanye di meja ketiga sebelah
kanan. Seorang wanita gemuk akan melewati meja kita."
"Tommy, kamu kok bisa..."
"He - kau mulai melihat apa yang bisa kulakukan, ya" Nah, ada gadis manis berbaju
coklat di belakangmu."
"Salah, seorang pemuda berbaju abu-abu," kata Tuppence.
"Oh!" kata Tommy kecewa sesaat.
Pada saat itu dua orang laki-laki yang duduk tidak jauh dari mereka dan
memperhatikan mereka cukup lama, berdiri dan mendatangi mereka.
"Maaf," kata yang lebih tua, seorang lelaki tinggi berbaju rapi, berkacamata dan
berkumis kecil, "ada yang mengatakan bahwa Anda adalah Tuan Theodore Blunt.
Apakah itu benar?" Tommy ragu-ragu sejenak dan merasa agak menyesal. Tapi kemudian dia
menganggukkan kepalanya. "Memang benar. Saya Tuan Blunt."
"Ah, ini sebuah kebetulan! Tuan Blunt, saya tadi bermaksud akan menelepon Anda
di kantor, setelah makan siang. Saya dalam kesulitan - kesulitan besar. Tapi - maaf -
apakah mata Anda cedera karena suatu kecelakaan?"
"Ah," kata Tommy dengan nada melankolis. "Saya memang buta - sama sekali buta."
"Apa?" "Anda heran. Apa belum pernah dengar tentang detektif buta?"
"Sudah, tapi di buku cerita. Dan saya belum pernah dengar bahwa Anda buta."
"Memang tak banyak yang tahu," gumam Tommy. "Hari ini saya memakai tutup mata
untuk melindungi bola mata saya dari cahaya. Kalau saya tidak memakainya banyak
yang tidak tahu kekurangan saya. Mata saya tak bisa membohongi saya. Tapi
sudahlah. Kita tak perlu bicara tentang hal itu lagi. Apa kita sekarang pergi ke
kantor saya" Atau Anda ingin menceritakan kasus Anda di sini" Saya rasa
sebaiknya di sini saja."
Seorang pelayan membawa dua buah kursi untuk mereka dan keduanya pun duduk.
Laki-laki satunya yang belum mengeluarkan sepatah kata pun, berbadan lebih
pendek, kekar dan berkulit gelap.
"Ini amat rahasia," kata si tua dengan agak berbisik. Dia memandang Tuppence
dengan ragu-ragu. Tuan Blunt kelihatannya merasakan pandangan itu.
"Saya kenalkan dulu sekretaris saya," katanya. "Nona Ganges. Ditemukan di
pinggir Sungai Gangga - sewaktu masih bayi dalam bedong. Sangat menyedihkan. Nona
Ganges adalah mata saya. Dia selalu mengantarkan saya ke mana-mana."
Orang asing itu membungkukkan badannya.
"Sekarang saya bisa bicara. Tuan Blunt, anak perempuan saya yang berumur enam
belas tahun, telah dibawa lari orang. Saya baru tahu setengah jam yang lalu.
Karena situasi kasus itu sedemikian rupa, saya tak berani memanggil polisi. Tapi
saya menelepon kantor Anda. Mereka katakan Anda sedang keluar makan dan akan
kembali lagi jam setengah tiga. Saya datang kemari bersama kawan saya. Kapten
Harker...." Laki-laki yang lebih pendek itu menganggukkan kepalanya dan menggumamkan
sesuatu. "Secara kebetulan kita bertemu di sini. Kita tak boleh membuang-buang waktu.
Anda harus ikut ke tempat saya sekarang juga."
Tommy bergumam dengan hati-hati.
"Saya dapat ikut Anda setengah jam lagi. Saya harus kembali ke kantor dulu."
Kapten Harker yang melirik Tuppence mungkin akan heran jika melihat senyum di
ujung bibirnya.
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak - tidak. Anda harus ikut saya." Laki-laki berambut abu-abu itu mengeluarkan
sebuah kartu dari sakunya dan menyodorkannya pada Tommy. "Ini nama saya."
Tommy merabanya dengan ujung jari.
"Jari saya tidak cukup sensitif untuk membacanya," katanya sambil tersenyum dan
memberikannya pada Tuppence, yang membacanya dengan suara rendah, "Duke of
Blairgowrie." Tuppence memandang kliennya dengan penuh perhatian. Duke dari Blairgowrie
dikenal sebagai seorang yang angkuh dan sulit didekati, seorang bangsawan yang
menikah dengan anak seorang tukang daging dari Chicago yang jauh lebih muda
darinya dan sangat lincah, sehingga kurang cocok dengan dirinya. Gosip tentang
hubungan yang kurang serasi pun telah terdengar.
"Anda akan segera pergi, Tuan Blunt?" katanya dengan nada agak jengkel.
Tommy pun menyerah. "Nona Ganges dan saya akan pergi bersama Anda," katanya tenang. "Anda bisa
menunggu saya untuk minum kopi sebentar" Mereka akan segera menyiapkannya. Saya
sering pusing karena sakit mata ini. Dan kopi itu akan membantu saya."
Dia memanggil seorang pelayan dan memesan kopi. Kemudian dia berkata kepada
Tuppence, "Nona Ganges - saya akan makan siang besok di sini dengan Kepala Polisi Prancis.
Tolong ditulis dan berikan pada kepala pelayan supaya menyiapkan meja saya
seperti biasa. Saya sedang membantu polisi Prancis. The fee - " dia diam, " -
cukupanlah. Anda siap, Nona Ganges?"
"Siap," kata Tuppence dengan gaya yang sesuai.
"Kita akan mulai dengan Salad of Shrimps yang spesial itu. Setelah itu - sebentar -
diikuti dengan - ya. Omelette Blitz, dan barangkali dua Toundedos a l'Etranger."
Tommy mendongak, memandang mata Duke.
"Maafkan saya," katanya bergumam. "Ah! Ya, Souffle en surprise. Itu hidangan
terakhir. Seorang pribadi yang sangat menarik Kepala Polisi itu. Barangkali Anda
kenal?" Yang ditanya tidak mengiakan. Tuppence berdiri dan bicara dengan kepala pelayan.
Ketika dia kembali lagi, pelayan pun datang membawa kopi.
Tommy meneguk kopinya perlahan, lalu berdiri.
"Tongkat saya, Nona Ganges. Terima kasih. Beri arah."
Tuppence merasa sulit. "Satu ke kanan. Delapan belas lurus. Kira-kira langkah kelima ada seorang
pelayan di meja sebelah kiri."
Tommy berangkat sambil mengayunkan tongkatnya. Tuppence berjalan merapat sambil
menyetir suaminya diam-diam. Semua berjalan lancar sampai mereka melewati pintu.
Seorang laki-laki masuk dengan tergesa-gesa dan sebelum Tuppence sempat
memperingatkan Tuan Blunt yang buta, dia langsung menabrak orang itu. Ucapan
maaf dan penjelasan pun menyusul.
Di dekat pintu hotel itu sebuah mobil kecil yang cantik sudah menunggu. Duke
sendiri membantu Tuan Blunt masuk.
"Kau bawa mobil, Harker?" tanyanya.
"Ya, di ujung sana."
"Tolong bawa Nona Ganges."
Sebelum terdengar jawaban, dia meloncat naik dan duduk di samping Tommy. Mobil
pun berjalan pergi. "Masalah yang amat peka," gumam Duke. "Saya akan segera memberitahu Anda tentang
semua detilnya." Tommy mengangkat tangannya di atas kepala.
"Saya bisa membuka topeng sekarang," katanya gembira. "Saya tidak tahan dengan
cahaya lampu di restoran tadi."
Tapi lengannya diturunkan dengan paksa. Pada saat itu pula dia merasa sebuah
benda keras dan bulat ditodongkan ke rusuknya. "Tidak, Tuan Blunt," kata Duke
dengan nada suara yang tiba-tiba berubah. "Anda tak perlu membuka topeng itu.
Yang harus Anda lakukan adalah duduk tenang dan tidak bergerak. Mengerti" Saya
tak ingin pistol ini meletus. Tahu nggak, kebetulan saya bukanlah Duke dari
Blairgowrie. Saya cuma pinjam namanya karena saya yakin Anda tak akan menolak
permintaan seorang terhormat seperti itu. Saya hanya seorang pedagang daging
babi yang kehilangan istri."
Dia merasa bahwa Tommy terkejut.
"Anda mengerti rupanya," katanya sambil tertawa. "Kawan yang baik, kau benar-
benar tolol. Aku kuatir - aku benar-benar kuatir - jangan-jangan kegiatanmu terputus
nanti." Dia mengatakan kalimatnya yang terakhir dengan sinis.
Tommy duduk tak bergerak. Dia tak mau meladeni pancingan lawannya.
Akhirnya mobil itu mengurangi kecepatannya dan berhenti.
"Sebentar," kata Duke Palsu. Dengan cekatan dia memilin saputangan dan
memasukkannya ke mulut Tommy. Setelah itu dia mengikatkan saputangannya di
sekeliling mulut. "Ini untuk jaga-jaga, barangkali kau akan berbuat tolol dan
berteriak minta tolong."
Pintu mobil itu terbuka dan sopir berdiri siap. Dia dan tuannya mengapit Tommy
dan membawanya naik dengan cepat masuk ke sebuah rumah.
Pintu di belakang mereka tertutup. Tommy menghirup udara berbau rempah-rempah.
Kakinya menginjak sesuatu yang empuk seperti beludru. Kemudian dia dibawa naik
lewat sebuah tangga yang kira-kira ada di bagian belakang rumah, dan kemudian
masuk ke sebuah kamar. Di sini kedua laki-laki itu mengikat tangannya. Si sopir
keluar lagi dan yang satu membuka sumbat mulut.
"Kau bisa omong bebas sekarang," katanya senang. "Coba ceritakan tentang
dirimu." Tommy membersihkan tenggorokan dan melemaskan ujung mulutnya yang kaku.
"Kuharap kau tidak membuang tongkatku. Harganya cukup mahal."
"Kau memang berani," kata laki-laki itu setelah diam sejenak. "Atau kau
barangkali tolol" Apa kau tidak mengerti bahwa kau ada di tanganku" Di bawah
kekuasaanku" Bahwa orang yang mengenalmu tak akan bisa melihatmu lagi?"
"Apa kau perlu bersikap dramatis seperti itu?" tanya Tommy sedih. "Apa aku perlu
berkata Tunggu pembalasanku, Bajingan" Kata-kata seperti itu sudah kuno."
"Bagaimana dengan gadis itu?" kata yang lain. "Apa kau tidak peduli?"
"Aku sudah mengambil kesimpulan pada waktu aku terpaksa bungkam," kata Tommy,
"dan aku merasa yakin bahwa si Harker cerewet itu pun seorang berandal sekaliber
kau, karena itu, sekretarisku pasti akan ikut ke sini tak lama lagi."
"Satu hal benar. Tapi yang lain salah. Nyonya Beresford - harap maklum bahwa aku
tahu dengan baik siapa sesungguhnya kalian berdua - dia tak akan dibawa kemari.
Ini merupakan suatu tindakan pencegahan yang harus kuambil, karena mungkin
teman-temanmu yang pejabat tinggi itu membayangi semua langkah-langkahmu. Dengan
membagi perhatian seperti ini, mungkin kalian tak bisa dibuntuti. Setidaknya,
aku punya satu orang dalam kekuasaanku. Sekarang aku menunggu...."
Dia diam ketika pintu terbuka. Si sopir bicara,
"Tak ada yang membuntuti kita, Pak. Semua beres."
"Bagus. Terima kasih, Gregory."
Pintu itu tertutup lagi. "Sejauh ini semua beres," kata Duke Palsu. "Sekarang, apa yang harus kita
lakukan, Tuan Beresford Blunt?"
"Saya berharap Anda bersedia membuka topeng mata saya ini," kata Tommy.
"Aku rasa tidak perlu. Dengan topeng itu kau menjadi benar-benar buta. Dan tanpa
benda itu kau akan bisa melihat seperti aku - dan itu tak akan cocok dengan
rencana kecilku. Karena aku punya rencana. Kau memang suka dengan fiksi
sensasional, Tuan Blunt. Permainan yang kaulakukan bersama istrimu tadi adalah
sebuah bukti. Dan aku juga sudah merencanakan sebuah permainan kecil - suatu
permainan yang cukup menarik - nanti akan kujelaskan padamu.
"Begini. Lantai tempatmu berdiri itu terbuat dari logam. Di sana-sini di
permukaan lantai itu ada beberapa proyeksi. Dengan sentuhan sebuah tombol -
begitu." Terdengar suara klik yang cukup keras. "Sekarang aliran listrik mengalir. Jika salah satu tonjolan
itu terinjak itu berarti - mati! Mengerti" Kalau kau bisa melihat... tapi kau
tidak bisa. Kau dalam gelap. Itulah permainannya - permainan orang buta. Kalau kau
bisa mencapai pintu dengan selamat - kau bebas! Tapi sebelum kau sampai di pintu,
aku rasa kau pasti sudah menginjak salah satu tonjolan itu - dan itu merupakan
suatu tontonan yang menarik - bagiku!"
Dia maju ke depan dan melepaskan ikatan tangan Tommy. Kemudian dia memberikan
tongkatnya dan membungkuk dengan sinis.
"Problemis buta. Kita lihat saja apakah kau bisa menyelesaikan problem ini. Aku
akan berdiri di sini dengan pistol siap di tangan. Kalau kau mengangkat tanganmu
untuk melepas topeng itu, aku siap menembak. Jelas?"
"Sangat jelas," kata Tommy. Wajahnya agak pucat tetapi tetap penuh keyakinan.
"Aku sama sekali tak punya kesempatan keluar, kan?"
"Oh! Itu..." Lawan bicaranya hanya mengangkat bahu.
"Kau memang betul-betul licik," kata Tommy. "Tapi kau lupa satu hal. Apa aku
boleh menyalakan rokok" Rasanya hatiku berdebar-debar."
"Boleh. Tapi jangan coba-coba menipu. Ingat, aku memperhatikanmu dengan pistol
di tangan." "Aku bukan anjing tontonan," jawab Tommy. "Jadi aku tak bisa memberi pertunjukan
tipuan." Dia mengambil sebuah rokok dari tempatnya, lalu meraba-raba mencari
korek api. "Jangan kuatir, aku tidak mencari pistol. O, ya, kau kan tahu bahwa
aku tak punya senjata, bukan" Hm... ya, bagaimanapun, kau melupakan satu hal."
"Apa itu?" Tommy mengeluarkan sebatang korek api. Siap untuk menyalakannya.
"Aku buta dan kau bisa melihat. Itu suatu kenyataan. Keuntungan ada di pihakmu.
Tapi seandainya - kita berdua dalam gelap" Apa keuntunganmu?"
Dia menyalakan rokoknya. "Duke" itu tertawa sombong.
"Kau berharap bisa mematikan tombol lampu sehingga ruangan ini gelap" Mana
bisa?" "Baik," kata Tommy. "Kalau aku tidak bisa memberimu kegelapan, aku akan
memberimu yang sebaliknya. Bagaimana dengan terang?"
Sambil bicara, dia menempelkan korek pada suatu benda yang dipegangnya, dan
melemparkannya ke atas meja.
Lidah-lidah api yang sangat besar menerangi ruangan.
Sesaat Duke Palsu itu terkejut dan silau dan merasa buta melihat sinar yang
begitu terang. Dia terjatuh ke belakang dan tangannya yang memegang pistol pun
ikut turun. Dia membuka matanya lagi karena merasa ada sebuah benda tajam menempel di
dadanya. "Lempar pistol itu," perintah Tommy. "Lempar cepat. Aku pun sependapat denganmu
bahwa tongkat berongga tak ada gunanya. Dan aku memang tak punya. Sebuah tongkat
pedang adalah senjata yang berguna. Benar, nggak" Sama pentingnya dengan kabel
magnesium. Lempar pistol itu!"
Orang itu menurut karena ancaman ujung pedang Tommy. Dia melempar pistolnya,
lalu sambil tertawa meloncat ke belakang.
"Tapi aku masih untung," katanya mengejek. "Karena bisa melihat dan kau tidak."
"Itulah kesalahanmu," kata Tommy. "Aku bisa melihat dengan jelas. Topeng mata
ini palsu. Aku sengaja memakai yang palsu dulu dan setelah selesai makan siang
bermaksud menggantinya dengan yang asli. Sebetulnya aku bisa saja menghindari
orang yang menabrakku di pintu tadi dengan mudah. Tapi aku tidak percaya bahwa
kau bermain jujur. Aku tahu bahwa kau tak akan membiarkan aku keluar dari tempat
ini dengan selamat. Jadi hati-hati sekarang...."
Dengan wajah merah karena marah, Duke Palsu meloncat ke depan, dan lupa
meletakkan kakinya sendiri di tempat yang aman.
Terlihat sebuah kilatan biru. Tubuh laki-laki itu bergoyang, lalu jatuh seperti
balok kayu. Bau daging terpanggang memenuhi ruangan itu, bercampur dengan bau
ozone yang lebih keras. "Huh," dengus Tommy.
Dia mengusap mukanya. Dengan sangat hati-hati dia bergerak mendekati dinding dan memijit tombol.
Kemudian dia menyeberangi ruangan itu, membuka pintu dengan hati-hati dan
melihat keluar. Tak terlihat seorang pun di sekitar tempat itu. Dia menuruni
tangga dan keluar lewat pintu depan.
Setelah sampai di jalan dengan selamat, dia perhatikan nomor rumah itu dengan
perasaan ngeri. Kemudian dia bergegas pergi ke telepon umum.
Dia merasa begitu tegang. Tapi kemudian sebuah suara yang dikenalnya menjawab
dan membuatnya lega. "Tuppence, ya Tuhan!"
"Ya - aku tak apa-apa. Aku ngerti kodemu. Fee, Shrimp, datang ke Blitz dan
mengikuti dua orang asing itu. Albert datang tepat pada waktunya, dan
mengikutiku dengan taksi. Dia tahu tempatku disembunyikan, lalu menelepon
polisi." "Albert memang baik," kata Tommy. "Pemberani. Aku tahu bahwa dia membuntutimu.
Bagaimanapun, aku tetap kuatir. Banyak yang ingin kuceritakan. Aku langsung
pulang sekarang. Dan yang pertama akan kulakukan nanti ialah menulis sebuah cek
dengan jumlah besar untuk. St. Dunstan. Menyedihkan sekali kalau kita tak bisa
melihat." 11. Lelaki Dalam Kabut TOMMY merasa tidak bahagia. Blunts Brilliant Detectives mengalami kemunduran.
Ini tidak saja merugikan nama kebanggaan mereka, tapi juga kantong mereka.
Mereka gagal memenuhi panggilan untuk menemukan kalung mutiara yang dicuri orang
di Adlington Hall, Adlington. Pada waktu Tommy sibuk membayangi Countess yang
suka berjudi dengan menyamar sebagai seorang pastor, dan Tuppence sibuk dengan
seorang kemenakan pemilik kalung di lapangan golf, dengan tenang seorang
inspektur polisi menangkap seorang pelayan yang ternyata memang seorang pencuri
ulung yang sudah dikenal polisi. Dia mengakui perbuatannya tanpa membantah
sedikit pun. Karena itu, Tommy dan Tuppence pun mundur dengan rasa malu yang ditahan-tahan.
Saat ini mereka menghibur diri dengan menikmati koktil di Hotel Grand Adlington.
Tommy masih memakai pakaian pastornya.
"Sama sekali nggak ada sentuhan Father Brown-nya," katanya sedih. "Padahal aku
punya payung yang sesuai."
"Itu bukan kasus Father Brown," kata Tuppence. "Dari pertama kita perlu atmosfer
tertentu. Harusnya, orang melakukan hal-hal yang sederhana dulu. Belakangan baru
terjadi yang aneh-aneh. Begitu."
"Sayangnya, kita harus kembali pulang," kata Tommy. "Barangkali sesuatu yang
aneh akan terjadi di jalan ke stasiun."
Dia mengangkat gelas ke bibirnya. Tetapi cairan yang ada di dalamnya tiba-tiba
saja tumpah karena sebuah tangan yang berat menepuk bahunya, dan terdengar suara
nyaring. "Hei - Tommy! Tommy, ya" Dan Nyonya Tommy" Kau muncul dan mana" Sudah seabad
rasanya tidak melihatmu."
"Oh - Bulger!" kata Tommy sambil meletakkan gelasnya. Dia menoleh pada seorang
laki-laki besar berbahu lebar, berwajah kemerahan, dan berumur tiga puluhan
dengan pakaian golf. Bulger!
"Ah," kata Bulger (yang nama sebenarnya adalah Mervyn Estcourt), "aku tak tahu
bahwa kau mendapat panggilan. Rasanya pakaianmu itu nggak cocok."
Tuppence tertawa terpingkal-pingkal dan Tommy kelihatan malu. Mereka kemudian
sadar bahwa ada orang keempat.
Seorang wanita tinggi langsing dengan rambut keemasan dan mata yang amat biru -
sangat cantik - berbaju hitam mahal dengan mantel bulu dan giwang mutiara yang
amat besar. Dia tersenyum. Dan senyum itu penuh arti. Misalnya, dia sadar bahwa
dirinya adalah seorang wanita cantik - wanita tercantik di Inggris - bahkan di dunia
barangkali. Dia tidak minta pengakuan untuk hal itu, tetapi dia memang tahu dan
yakin. Itu saja. Baik Tommy maupun Tuppence segera mengenalinya. Mereka pernah melihatnya tiga
kali dalam Secret of the Heart, dan beberapa kali dalam sukses besar yang sama,
yaitu dalam Pillars of Fire, dan beberapa pertunjukan lainnya. Barangkali tak
ada aktris lain kecuali Nona Gilda Glen yang dapat merebut hati orang Inggris.
Semua orang tahu bahwa dia adalah wanita Inggris yang paling cantik. Dan -
berdasarkan desas-desus - yang paling bodoh.
"Kawan-kawan lama saya, Nona Glen," kata Estcourt dengan nada minta maaf karena
telah melupakannya. "Tommy dan Nyonya Tommy, ini adalah Nona Gilda Glen."
Nada bangga terdengar dalam suaranya. Hanya karena mereka bersama-sama,
kelihatannya si Cantik sudah melimpahkan kehormatan padanya.
Aktris itu memandang Tommy dengan penuh perhatian.
"Apa Anda benar-benar seorang biarawan" Biarawan Katolik" Saya rasa mereka tidak
punya istri." Estcourt tertawa terpingkal-pingkal lagi.
"Bagus," katanya. "Kau memang penipu, Tommy. Untunglah dia tidak menceraikan
Anda, Nyonya Tommy."
Gilda Glen tidak menangkap pernyataan itu. Dia terus memandang Tommy dengan mata
bingung dan bertanya-tanya.
"Apa Anda pastor?"
"Sangat sedikit orang yang benar-benar seperti yang kelihatan oleh kita," kata
Tommy dengan lembut. "Profesi saya bukan tidak seperti pastor. (Catatan editor:
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalimatnya aneh...) Saya tidak memberi pengampunan - tapi saya mendengar pengakuan
dosa - saya..." "Jangan dengarkan dia," kata Estcourt. "Dia hanya main-main."
"Tapi kalau Anda bukan pastor, kenapa pakai baju seperti itu?" katanya heran.
"Kecuali..." "Anda seorang kriminil yang sedang melarikan diri," sela Tommy. "Sebaliknya."
"Oh!" katanya sambil memandang Tommy dengan mata cantik ketakutan.
Aku rasa dia tidak mengerti apa yang kumaksud, pikir Tommy. Kecuali kalau aku
terjemahkan dalam satu kata saja.
Dia berkata dengan keras,
"Kau tahu kereta yang kembali ke kota, Bulger" Kami harus cepat pulang. Berapa
jauh jarak ke stasiun?"
"Sepuluh menit jalan. Tapi nggak usah cepat-cepat. Kereta itu akan berangkat jam
6.35. Dan sekarang baru jam enam kurang dua puluh. Kereta sebelumnya baru saja
berangkat." "Lewat mana kalau mau ke stasiun?"
"Belok kiri langsung, begitu kau keluar dari hotel. Lalu - sebentar - lewat Morgans
Avenue yang paling gampang aku rasa...."
"Morgans Avenue?" Nona Glen memandangnya dengan mata terkejut.
"Saya tahu apa yang Anda pikir," kata Estcourt sambil tertawa. "Hantu. Di satu
sisi Morgans Avenue memang ada kuburan. Dan orang-orang percaya bahwa ketika ada
seorang polisi meninggal karena kekerasan, hantunya gentayangan di jalan itu.
Polisi jadi-jadian! Percaya, nggak" Tapi banyak yang bilang bahwa mereka pernah
melihatnya." "Polisi?" tanya Nona Glen. Dia sedikit gemetar. "Hantu, sebenarnya tidak ada,
kan" Maksud saya, hal-hal seperti itu tak ada, kan?"
Dia berdiri dan merapatkan mantel pembungkus badannya.
"Mari," katanya.
Dia sama sekali tidak memperhatikan Tuppence dan ketika pergi sedikit pun tak
melirik padanya. Tapi dia sempat melihat Tommy sekilas dengan pandangan bertanya
kebingungan. Ketika sampai di pintu dia berpapasan dengan seorang laki-laki jangkung berambut
abu-abu dan bermuka merah yang berseru heran. Tangannya langsung menggandeng
lengan wanita itu dan mereka pun bicara dengan akrab.
"Cantik, ya?" kata Estcourt. "Otaknya otak kelinci. Orang banyak bergosip bahwa
dia akan menikah dengan Lord Leconbury. Itu dia orangnya ada di pintu."
"Kelihatannya bukan tipe laki-laki yang baik untuk dikawini," kata Tuppence.
Estcourt hanya mengangkat bahu.
"Tapi sebuah titel bangsawan rupanya masih punya daya tarik juga," katanya. "Dan
Leconbury bukannya orang yang miskin. Gadis itu akan hidup senang. Padahal tak
seorang pun tahu asalnya dari mana. Aku rasa juga tak jauh dari selokan. Ada
yang misterius dengan kedatangannya di tempat ini. Dia tidak tinggal di hotel.
Dan ketika aku mencari tahu di mana dia tinggal, dia marah dan menghinaku dengan
kasar. Kalau saja aku tahu."
Dia melirik jam tangannya dan berseru terkejut.
"Wah, aku harus pergi. Senang rasanya bisa ketemu kalian lagi. Kita harus kumpul
dan ngobrol lagi nanti. Aku pergi dulu, ya!"
Dia bergegas pergi. Pada saat itu seorang pelayan datang membawa sebuah surat di
atas nampan. Surat itu tidak beralamat.
"Ini untuk Tuan," katanya. "Dari Nona Gilda Glen."
Tommy merobek dan membacanya dengan rasa ingin tahu. Dia membaca beberapa
kalimat dengan tulisan tangan yang tidak rapi.
Saya tidak terlalu yakin, tapi rasanya Anda bisa membantu saya. Pergilah ke
stasiun lewat jalan itu. Apa Anda bisa berada di White House, Morgans Avenue,
pukul enam lewat sepuluh"
Salam, Gilda Glen. Tommy mengangguk pada pelayan yang kemudian pergi, dan memberikan surat itu pada
Tuppence. "Luar biasa," katanya. "Apa ini karena dia mengira bahwa kau pastor?"
"Tidak," kata Tommy sambil merenung. "Justru sebaliknya - karena aku bukan seorang
pastor, dan dia tertarik. He, apa itu?"
Yang ditanyakan Tommy adalah seorang pemuda berambut merah, dengan dagu
menantang dan baju acak-acakan. Dia masuk ruangan itu dan sekarang berjalan
hilir-mudik sambil mengomel sendirian.
"Neraka!" kata pemuda berambut merah itu dengan suara lantang. "Itulah - neraka!"
Dia menjatuhkan badannya di kursi yang ada di dekat Tommy dan Tuppence, lalu
memandang keduanya dengan pandangan sendu.
"Dasar perempuan," katanya sambil melirik Tuppence dengan marah. "Oh! Bikinlah
gara-gara kalau Anda mau. Usirlah saya dari hotel ini! Ini bukan pertama
kalinya. Kenapa kita tak boleh mengatakan apa yang kita pikirkan" Kenapa kita
harus menutup-nutupi perasaan sendiri" Dan hanya mengatakan hal-hal yang sama
dengan orang-orang lainnya" Saya tak merasa ingin menyenangkan seseorang atau
berlaku sopan. Saya merasa seperti ingin mencekik seseorang dan pelan-pelan
memerah nyawanya sampai habis."
Dia diam. "Ada orang tertentu yang menyebabkan?" tanya Tuppence. "Atau siapa saja?"
"Satu orang tertentu," kata pemuda itu dengan muram.
"Menarik sekali," lanjut Tuppence. "Bisa diceritakan?"
"Nama saya Reilly," kata pemuda berambut merah itu. "James Reilly. Barangkali
Anda pernah mendengarnya. Saya menulis beberapa sajak tentang perdamaian - cukup
bagus." "Sajak-sajak Perdamaian?" tanya Tuppence.
"Ya - kenapa tidak?" kata Tuan Reilly tersinggung.
"Oh! Tak apa-apa," kata Tuppence cepat.
"Saya selalu memihak perdamaian," kata Reilly dengan bersemangat. "Dan
terkutuklah perang. Dan perempuan. Perempuan! Anda lihat makhluk yang baru
berkeliaran di sini tadi" Gilda Glen. Dia menamakan dirinya Gilda Glen! Tuhan.
Saya dulu memang memuja perempuan itu. Dan dengarkan ini. Kalaupun dia punya
hati - hati itu pasti ada pada saya. Dia pernah mencintai saya. Dan saya bisa
membuatnya mencintai saya lagi. Oh, mudah-mudahan Tuhan melindungi dia. Dia akan
menjual dirinya pada si Leconbury itu. Dan saya akan membunuh perempuan itu
dengan tangan saya sendiri."
Tiba-tiba dia berdiri dan keluar dari ruangan.
Tommy hanya mengernyitkan alis matanya.
"Seorang pemuda yang agak mengejutkan. Bagaimana, kita berangkat, Tuppence?"
Kabut tipis menyongsong mereka ketika mereka sampai di luar hotel. Mereka
mengikuti arah yang diberikan Estcourt. Keduanya berbelok ke kiri, dan beberapa
menit kemudian sampai di sebuah belokan yang bernama Morgans Avenue.
Kabut bertambah tebal. Kelihatan lembut dan putih. Di sisi kiri mereka terdapat
dinding pagar kuburan yang tinggi, dan di sisi kanan terdapat deretan rumah-
rumah kecil. Akhirnya deretan rumah kecil itu hilang dan terlihatlah sebuah
pagar tanaman. "Tommy," kata Tuppence. "Aku kok merasa ngeri, ya. Kabut ini. Dan begitu sepi.
Seolah-olah kita ini jauh terpencil."
"Ya, memang bisa menimbulkan perasaan begitu," kata Tommy. "Sendiri di dunia.
Itu efek dari kabut dan ketidakmampuan kita melihat ke depan."
Tuppence mengangguk. "Cuma langkah kaki kita saja yang kedengaran bergema. Apa
itu?" "Apa?" "Rasanya aku juga mendengar langkah kaki lain di belakang kita."
"Sebentar lagi kau akan melihat hantu kalau ketakutan seperti itu," kata Tommy.
"Jangan takut. Apa kau takut polisi jadi-jadian itu menempelkan tangannya di
bahumu?" Tuppence menjerit. "Jangan, Tom. Sekarang kau membuatku berpikir tentang itu."
Tuppence menjulurkan kepala ke belakang, mencoba menembus kabut yang menghalangi
mereka. "Tuh, kedengaran lagi," bisiknya. "Sekarang ada di depan. Oh, Tommy, apa kau
tidak mendengarnya?"
"Aku memang mendengar sesuatu. Ya, langkah kaki di belakang kita. Ada orang lain
yang lewat jalan ini untuk mengejar kereta yang sama. Apa..."
Tiba-tiba dia berhenti dan berdiri kaku, dan Tuppence terperangah.
Karena tirai kabut di depan mereka terbuka dengan tiba-tiba dan kira-kira dua
puluh kaki dari mereka berdiri seorang polisi yang amat besar, seolah-olah
muncul dari balik kabut. Satu menit yang lalu dia tak ada di situ. Satu menit
kemudian dia muncul di situ - seolah-olah begitulah yang dilihat kedua pasangan
itu. Lalu ketika kabut itu lewat, sebuah pemandangan pun kelihatan - seolah-olah
terjadi di atas panggung.
Polisi besar berbaju biru, pilar persegi berwarna merah, dan di sebelah kanan
jalan samar-samar terlihat sebuah rumah putih.
"Merah, putih, dan biru," kata Tommy. "Benar-benar hidup. Ayo, Tuppence. Tak ada
yang perlu ditakuti."
Dan memang benar. Polisi itu memang seorang polisi dan ternyata dia tidak
sebesar yang mereka lihat ketika tertutup kabut.
Tapi ketika mereka berjalan ke depan, mereka mendengar langkah kaki di belakang.
Seorang laki-laki melewati mereka dengan tergesa-gesa. Dia berbelok di pagar
rumah putih, menuruni tangga, lalu mengetuk pintu dengan keras. Pintu itu dibuka
ketika Tommy dan Tuppence sampai di tempat polisi itu berdiri dan memandang
mereka. "Orang itu kelihatannya tergesa-gesa," kata si polisi berkomentar.
Dia bicara dengan suara pelan. Seperti orang yang bicara sambil berpikir.
"Dia memang selalu tergesa-gesa," kata Tommy.
Polisi memandangnya dengan agak curiga.
"Teman Anda?" tanyanya. Nada suaranya curiga.
"Bukan," kata Tommy. "Bukan teman saya. Tapi saya kebetulan tahu dia. Namanya
Reilly." "Ah!" kata polisi itu. "Sebaiknya saya terus jalan."
"Anda tahu di mana letaknya White House?" tanya Tommy.
Polisi itu memiringkan kepalanya.
"Itu dia. Rumah Nyonya Honeycott." Dia diam dan kemudian menambahkan. "Penakut.
Selalu curiga ada maling di sekitarnya. Selalu minta supaya saya melihat-lihat
dan berjaga di rumahnya. Wanita setengah baya memang begitu, barangkali."
"Setengah baya, ya?" kata Tommy. "Apa Anda barangkali tahu seorang wanita muda
yang tinggal di situ?"
"Wanita muda," ulang pak polisi mencoba mengingat. "Wanita muda. Rasanya tidak."
"Barangkali dia tidak tinggal di situ, Tom," kata Tuppence. "Dan barangkali dia
belum sampai. Mungkin dia berangkat setelah kita pergi."
"Ah!" kata polisi itu tiba-tiba. "Saya ingat. Memang ada seorang wanita muda
masuk ke rumah itu. Saya melihatnya ketika saya baru datang dari ujung jalan.
Kira-kira tiga atau empat menit yang lalu."
"Dengan baju mantel bulu?" tanya Tuppence.
"Ada semacam kelinci putih di lehernya," kata polisi.
Tuppence tersenyum. Polisi itu terus berjalan ke arah jalan Tommy dan Tuppence
datang tadi. Mereka sekarang sudah dekat ke pintu masuk White House.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu
depan pun terbuka dan James Reilly keluar dengan terburu-buru. Wajahnya pucat-
pasi, matanya terbelalak dan seolah tak melihat apa yang ada di depannya. Dia
berjalan seperti orang mabuk.
Dia melewati Tommy dan Tuppence seolah-olah tak melihat mereka, sambil komat-
kamit sendiri. "Tuhanku! Tuhanku! Oh, Tuhanku!"
Tangannya kemudian mencengkeram pintu pagar, seolah-olah ingin menguatkan diri,
lalu tiba-tiba saja dia lari ke jalan ke arah yang berlawanan dengan si polisi
tadi. 12. Lelaki Dalam Kabut (Lanjutan)
TOMMY dan Tuppence saling berpandangan, bingung.
"Hm," kata Tommy. "Ada sesuatu yang terjadi di rumah itu, yang membuat Reilly
ketakutan setengah mati."
Tuppence dengan tenang menggoreskan jarinya di pintu pagar.
"Dia pasti memegang cat berwarna merah di suatu tempat," katanya.
"Hm. Aku rasa kita sebaiknya cepat-cepat masuk," kata Tommy. "Aku belum mengerti
persoalannya." Di tengah pintu seorang pelayan bertopi putih berdiri dengan muka marah.
"Apa Pastor pernah melihat pemandangan seperti itu?" katanya ketika Tommy
menuruni anak tangga. "Laki-laki itu datang dan menanyakan nona muda, lalu
berlari naik tangga tanpa omong apa-apa. Nona muda menjerit seperti kucing buas -
lalu saya nggak tahu kenapa - laki-laki itu berlari turun dengan muka pucat
seperti orang yang baru melihat hantu. Apa artinya ini semua?"
"Kau bicara dengan siapa, Ellen?" tanya sebuah suara tajam dari dalam.
"Ini, Nyonya," katanya.
Pelayan itu masuk dan Tommy pun berhadapan dengan seorang wanita setengah baya
berambut abu-abu, bermata biru, dan berkacamata bulat. Tubuhnya yang gemuk
terbungkus baju hitam. "Nyonya Honeycott?" kata Tommy. "Saya ingin bertemu dengan Nona Glen."
Nyonya Honeycott memandangnya dengan tajam. Lalu pandangannya beralih meneliti
Tuppence dengan cermat. "Oh! Kalau begitu silakan masuk," katanya.
Dia membawa mereka masuk ke sebuah kamar yang menghadap kebun di bagian
belakang. Kamar itu sebenarnya cukup luas, tapi karena memuat meja dan kursi
yang besar-besar, jadinya kelihatan kecil. Api besar menyala di perapian, dan
sebuah sofa yang tertutup kain cita berdiri di satu sisinya. Kertas penutup
dindingnya bergaris abu-abu kecil dengan bunga-bunga mawar menggerombol di
bagian atas. Beberapa lukisan dan ukiran menghias dinding ruangan.
Ini adalah sebuah ruangan yang rasanya kurang cocok dengan penampilan mahal Nona
Gilda Glen. "Silakan masuk," kata Nyonya Honeycott. "Pertama-tama saya minta maaf dan harap
Anda mengerti bahwa saya tidak bersimpati pada agama Katolik. Saya tak pernah
membayangkan seorang pastor Katolik masuk rumah saya. Tapi kalau Gilda telah
pergi ke tempat pelacuran, ya - memang bisa dimengerti - barangkali juga lebih buruk
keadaannya. Mungkin dia sama sekali tak beragama. Dan rasanya saya lebih bisa
menerima agama Katolik kalau pendetanya boleh menikah - saya biasa bicara terus-
terang. Saya tak bisa membayangkan biara-biara itu - begitu banyak gadis-gadis
cantik dikurung di sana, dan tak seorang pun tahu apa yang terjadi dengan mereka
- ah, saya nggak bisa membayangkan."
Nyonya Honeycott benar-benar berhenti. Dia menarik napas panjang.
Tanpa menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan agama, Tommy langsung berkata,
"Nyonya Honeycott, saya dengar Nona Glen ada di sini."
"Benar. Tapi harap Anda ketahui. Saya tak setuju. Perkawinan adalah perkawinan.
Dan suami ya suami. Kalau kita membersihkan tempat tidur kita, kita juga tidur
di situ." "Saya tidak mengerti," kata Tommy bingung.
"Ya, saya mengerti. Itulah mengapa saya ajak Anda masuk ke sini. Anda bisa
menemui dia setelah saya bicara nanti. Dia datang kepada saya - setelah bertahun-
tahun tidak ketemu - dan minta agar saya menolongnya. Dia ingin agar saya menemui
laki-laki itu dan membujuk agar mau menceraikan dia. Saya katakan terus-terang
bahwa saya tidak mau tahu tentang urusan itu. Cerai itu dosa. Tapi saya tak bisa
menolak adik saya untuk menumpang di sini, kan?"
"Adik Anda?" seru Tommy.
"Ya. Gilda itu adik saya. Dia belum cerita?"
Tommy memandangnya dengan mulut terbuka. Rasanya hal itu terlalu fantastis.
Kemudian Tommy ingat bahwa kecantikan Gilda Glen memang sudah menonjol dari
dulu. Waktu dia masih kecil pun, dia sudah kelihatan menarik. Ya, memang
mungkin. Tapi kok seperti langit dan bumi bedanya. Jadi dari keluarga kelas
menengah rupanya dia berasal. Pandai benar dia menyembunyikan rahasia itu!
"Saya belum jelas," kata Tommy. "Adik Anda sudah menikah?"
"Kawin lari ketika umur tujuh belas," kata Nyonya Honeycott dengan jelas.
"Dengan seorang pemuda biasa yang kelasnya di bawah dia. Dan ayah kami adalah
seorang pendeta. Ini sebuah corengan. Lalu dia meninggalkan suaminya dan masuk
dunia panggung. Berakting! Saya sendiri seumur hidup belum pernah masuk gedung
teater. Saya tak ingin bersentuhan dengan kekejaman. Dan sekarang - setelah
bertahun-tahun - dia ingin menceraikan suaminya. Saya rasa dia ingin menikah
dengan orang yang lebih hebat. Tapi suaminya tetap berdiri tegak - dia tak mau
dipermainkan dan tak mau disuap - saya mengagumi sikapnya itu."
"Siapa namanya?" tanya Tommy tiba-tiba.
"Nah, itu memang aneh - tapi saya benar-benar tidak ingat! Sudah dua puluh tahun
berlalu. Ayah tidak ingin nama itu disebut-sebut. Dan saya menolak membicarakan
soal itu dengan Gilda. Dia mengerti sikap saya dan tidak memaksa."
"Namanya bukan Reilly, kan?"
"Bisa saja. Saya benar-benar tidak tahu. Tidak ada di pikiran saya."
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang yang saya maksud itu baru dari sini."
"Oh, orang itu! Saya pikir orang gila yang lepas. Saya tadi ada di dapur memberi
instruksi pada Ellen. Saya baru saja keluar dari ruang itu dan berpikir-pikir
apa Gilda sudah datang (dia punya kunci sendiri), karena saya merasa mendengar
dia. Dia ragu-ragu sejenak di lorong dan akhirnya naik ke atas. Kira-kira tiga
menit kemudian mulailah keributan itu terjadi. Saya melihat di gang ada seorang
laki-laki berlari naik lalu turun lagi terburu-buru seperti orang gila. Benar-
benar brengsek." Tommy berdiri. "Nyonya Honeycott, mari kita ke atas. Jangan-jangan..."
"Ada apa?" "Jangan-jangan Anda tak punya cat merah di rumah ini."
Nyonya Honeycott memandangnya. "Tentu saja tidak."
"Itulah yang kukuatirkan," kata Tommy. "Izinkan kami pergi ke kamar adik Anda."
Tanpa berkata apa-apa, Nyonya Honeycott berjalan ke luar. Mereka melihat Ellen
yang buru-buru masuk ke sebuah kamar.
Nyonya Honeycott membuka pintu pertama di lantai atas. Tommy dan Tuppence masuk
di belakangnya. Tiba-tiba wanita itu berseru kaget dan jatuh ke belakang.
Sesosok tubuh bergaun hitam terbujur di atas sofa. Wajahnya bersih - cantik, dan
kelihatan seperti seorang anak yang tidur lelap. Tetapi dia mati. Luka yang ada
di sisi kepalanya menunjukkan adanya pukulan keras dengan benda tumpul yang
meremukkan tengkorak. Darah menetes pelan ke lantai tapi luka itu sendiri telah
beberapa waktu tak lagi mengeluarkan darah....
Tommy memeriksa mayat itu. Wajahnya menjadi pucat.
"Jadi dia sama sekali tidak mencekiknya," kata Tommy.
"Apa maksud Anda" Siapa?" seru Nyonya Honeycott. "Apa dia meninggal?"
"Oh, ya, Nyonya Honeycott. Dia mati. Dibunuh. Pertanyaannya ialah - oleh siapa"
Sebetulnya itu bukan pertanyaan Aneh - memang kata-katanya nyerocos begitu saja.
Tapi aku rasa bukan dia."
Dia diam sejenak, lalu menoleh pada Tuppence dengan tegas,
"Kau bisa keluar dan cari polisi atau menelepon polisi dari telepon umum?"
Tuppence mengangguk. Mukanya juga kelihatan pucat. Tommy membawa Nyonya
Honeycott ke bawah. "Saya tidak ingin keliru dalam hal ini," katanya. "Apakah Anda tahu persis jam
berapa adik Anda tadi datang?"
"Ya," kata Nyonya Honeycott. "Karena saya sedang mencocokkan jam waktu itu. Saya
harus melakukannya tiap sore karena jam itu kecepatan lima menit. Waktu itu jam
saya tepat jam enam lebih delapan menit. Jam itu tak pernah rusak."
Tommy mengangguk. Itu cocok dengan kata-kata polisi tadi. Dia melihat wanita
berpakaian bulu putih itu masuk kira-kira tiga menit sebelum Tommy dan Tuppence
datang. Waktu itu Tommy melihat jamnya dan dia tahu bahwa dia terlambat satu
menit dari waktu yang dijanjikan.
Barangkali ada seseorang yang menunggu Gilda Glen di dalam kamar. Tapi kalau
demikian dia pasti masih sembunyi di rumah itu. Dan tak seorang pun meninggalkan
rumah kecuali James Reilly.
Tommy naik ke atas dan memeriksa kamar-kamar di sana, dengan cepat dan teliti.
Tapi tak ada siapa-siapa yang bersembunyi di situ.
Kemudian dia bicara dengan Ellen. Setelah memberitahu apa yang terjadi dan
menunggunya selesai mengungkapkan rasa sedihnya, dia menanyai pelayan itu.
"Apakah ada orang datang ke rumah dan mencari Nona Glen siang tadi" Tak seorang
pun. Apakah dia sendiri ada di loteng sepanjang petang" Ya, dia pergi ke loteng
jam enam untuk menutup gorden - atau barangkali beberapa menit sesudah jam enam.
Yang jelas dia naik sebelum laki-laki gila itu datang menggedor pintu depan. Dia
turun membukakan pintu. Padahal lelaki itu seorang pembunuh berdarah dingin."
Tommy membiarkannya bicara. Tapi dia masih merasa kasihan pada Reilly dan merasa
enggan untuk percaya bahwa dialah pembunuhnya. Tapi tak seorang pun punya
kemungkinan itu kecuali dia. Nyonya Honeycott dan Ellen saja yang ada di rumah
itu. Dia mendengar suara orang di ruang depan. Ternyata Tuppence datang bersama
polisi yang tadi. Polisi itu mengeluarkan buku catatan dan sebatang pensil yang
agak tumpul, yang dijilatnya dengan sembunyi-sembunyi. Dia naik ke atas dan
memeriksa korban. Dia hanya berkata bahwa tidak berani menyentuh apa-apa karena
Inspektur akan marah. Dia mendengarkan keterangan Nyonya Honeycott yang kacau
dan membingungkan dan kadang-kadang menulis sesuatu dalam catatannya.
Kedatangannya memberi rasa tenang.
Akhirnya Tommy berhasil bicara satu-dua menit di luar, ketika polisi itu pergi
untuk menelepon kantornya.
"Maaf," kata Tommy. "Anda tadi mengatakan melihat korban masuk di pintu pagar.
Apa dia benar-benar sendiri?"
"Oh, ya, tak seorang pun bersama dia."
"Dan antara waktu itu dan waktu kedatangan kami, tak seorang pun keluar dari
pintu pagar?" "Tak seorang pun."
"Kalaupun ada, Anda yakin pasti melihatnya?"
"Tentu saja. Tak ada siapa pun yang keluar sampai laki-laki gila itu pergi."
Hamba hukum itu berjalan dengan gagah dan berhenti di pintu pagar yang putih dan
mengamati bekas jari yang merah karena darah.
"Pasti seorang amatir," katanya dengan nada kasihan.
Lalu dia melangkah ke luar.
Keesokan harinya, Tommy dan Tuppence masih menginap di Grand Hotel. Tapi Tommy
menganggap bahwa sebaiknya dia membuang jubah pastornya.
James Reilly dicurigai dan ditangkap. Pembelanya, Tuan Marvell, baru saja bicara
panjang-lebar dengan Tommy tentang apa yang terjadi.
"Saya tak percaya bahwa itu perbuatan James Reilly," katanya. "Omongannya memang
kasar, tapi hanya sampai di situ saja."
Tommy mengangguk. "Orang yang banyak bicara memang belum tentu banyak berbuat. Yang saya tahu
adalah saya akan menjadi salah seorang saksi yang memberatkan dia. Dan kata-kata
yang diucapkannya sebelum kejadian itu sangat memberatkan dia. Sebetulnya saya
suka padanya. Kalau misalnya ada orang lain yang bisa dicurigai, saya akan
menganggap dia tak bersalah. Bagaimana ceritanya?"
Pengacara itu memonyongkan bibirnya.
"Dia bilang bahwa dia menemukan wanita itu terbaring mati. Tapi itu tentu saja
tidak mungkin. Dia berbohong - asal Anda tahu saja."
"Karena kalau apa yang dikatakan itu benar, maka Nyonya Honeycott-lah yang
melakukan pembunuhan - dan itu terlalu fantastis. Ya, pasti dia yang
melakukannya." "Dan ingat, pelayan itu mendengar dia berteriak."
"Pelayan - ya..."
Tommy diam sesaat. Lalu dia berkata sambil merenung.
"Heran. Kenapa kita begitu mudah percaya akan sesuatu" Kita mempercayai bukti
seolah-olah bukti merupakan kebenaran. Padahal, apa sebenarnya bukti itu" Hanya
suatu kesan yang diteruskan ke pikiran oleh perasaan. Dan seandainya kesan itu
keliru?" Pengacara itu hanya tahu bahwa ada saksi-saksi yang kurang bisa dipercaya - yang
bisa ingat lebih baik ketika waktu berjalan - tanpa tujuan atau maksud-maksud
jahat tertentu. "Bukan hanya itu yang saya maksud. Maksud saya, kita semua - kita mengatakan
sesuatu yang bukan sebenarnya. Dan itu tidak kita sadari. Misalnya Anda, dan
saya. Kita sama-sama berkata, Itu pos. Padahal kita cuma mendengar ketukan dua
kali dan suara kerotak kotak pos. Memang kita benar - dan kemungkinannya hanya
seorang anak kecil yang sedang bermain-main. Mengerti maksud saya?"
"Ya - a," kata Tuan Marvell perlahan. "Tapi saya tak mengerti arah pembicaraan
ini." "Benarkah" Saya sendiri juga tak yakin apakah saya mengerti. Tapi saya mulai
melihatnya. Ini seperti sebuah tongkat, Tuppence. Satu ujungnya menghadap ke
satu arah dan ujung yang lain ke arah yang berlawanan. Ini tergantung dari mana
kita melihatnya. Pintu terbuka - tapi juga tertutup. Orang naik ke lantai atas,
tapi mereka juga turun ke bawah. Kotak-kotak tertutup, tetapi mereka juga
terbuka." "Apa maksudmu?" tanya Tuppence.
"Sebetulnya mudah saja," kata Tommy. "Tetapi hal itu baru terpikir olehku.
Bagaimana kau tahu ada orang masuk ke rumah" Kaudengar pintu dibuka dan
dibanting. Dan kalau kau sedang menunggu seseorang, kau yakin bahwa dialah yang
datang. Tapi bisa saja kan bahwa ternyata ada seseorang yang keluar?"
"Tapi Nona Glen tidak keluar, kan?"
"Tidak. Aku tahu bahwa dia tidak keluar. Tapi orang lain - si pembunuh."
"Kalau begitu bagaimana Nona Glen masuk?"
"Dia masuk ketika Nyonya Honeycott sedang berada di dapur dan bicara dengan
Ellen. Mereka tidak tahu dia datang. Nyonya Honeycott kembali ke ruang duduk
sambil berpikir apakah adiknya sudah datang. Dia mencocokkan jam. Pada saat itu
dia seperti mendengar suara orang naik ke atas."
"Nah, kalau begitu bagaimana?"
"Sebenarnya Ellen-lah yang naik ke atas untuk menutup gorden. Ingat nggak,
Nyonya Honeycott berkata bahwa adiknya berhenti sejenak sebelum naik" Padahal
yang sebenarnya terjadi adalah Ellen berjalan dari dapur ke ruang depan. Waktu
itulah si pembunuh lolos."
"Tapi, Tom!" seru Tuppence. "Nona Glen kan menjerit?"
"Itu suara James Reilly. Ingat nggak, suaranya tinggi" Pada waktu emosi naik,
suara laki-laki bisa saja melengking seperti suara wanita."
"Tapi pembunuh itu" Tentunya kita bisa melihat dia, kan?"
"Kita memang melihat dia. Kita bahkan berdiri dan bicara dengan dia. Kau ingat
betapa mengejutkan cara polisi itu muncul di depan kita" Itu karena dia keluar
dari pintu pagar, tepat ketika kabut hilang dari jalan. Dia membuat kita
terkejut. Ingat" Bagaimanapun, polisi adalah manusia juga. Mereka punya rasa
cinta dan benci. Mereka menikah..."
"Aku rasa Gilda Glen bertemu dengan suaminya di luar pintu itu dan mengajak dia
masuk untuk menyelesaikan persoalan. Laki-laki itu memang tak banyak bicara
seperti Reilly. Dia juga tidak suka mengancam. Tapi sekali marah langsung... Dan
dia memang selalu membawa-bawa pentungan karetnya...."
13. Crackler "TUPPENCE," kata Tommy. "Kita harus pindah ke kantor yang lebih besar."
"He - apa-apaan?" kata Tuppence. "Jangan besar kepala. Kau kan bukan seorang
milyuner. Kasus-kasus remeh dengan bayaran murah itu pun bisa kauselesaikan
karena nasib baik saja."
"Ya - yang dikatakan sebagian orang nasib baik itu oleh orang lain disebut
keahlian." "Itu kalau kau merasa dirimu seorang Sherlock Holmes, Thorndyke, McCarty, dan
Okewood Bersaudara yang digabung jadi satu. Tapi kau sendiri lebih suka punya
nasib baik daripada segala macam keahlian itu."
"Barangkali kau betul juga," kata Tommy tidak membantah. "Pokoknya sekarang kita
perlu ruangan yang lebih luas, Tuppence."
"Kenapa?" "Buku-buku klasik ini," kata Tommy. "Kita perlu tambahan beberapa ratus meter
rak buku kalau mau menonjolkan Edgar Wallace."
"Kita kan belum pernah punya kasus seperti Edgar Wallace."
"Rasanya kita tak akan punya - karena dia tak bergaya amatir. Semuanya serba
Scotland Yard," kata Tommy.
Albert muncul di pintu. "Inspektur Marriot ingin bertemu, Pak," katanya.
"Manusia misterius dari Scotland Yard," gumam Tommy.
"Manusia paling sibuk," kata Tuppence.
Pak Inspektur mendekati mereka dengan senyum cerah.
"Apa kabar, nih?" katanya ramah. "Nggak ada yang mengecewakan, kan?"
"Oh, tidak," sahut Tuppence. "Sangat mendebarkan dan menyenangkan."
"Wah, barangkali saya tak akan begitu mengatakannya," katanya dengan hati-hati.
"Ada berita apa, Marriot" Tumben datang ke sini" Ada sesuatu yang khusus?" kata
Tommy. "Bukan hanya sekadar kata-kata hiburan, kan?"
"Oh, bukan, bukan. Satu tugas untuk Detektif Blunt yang brilian."
"Ha!" kata Tommy. "Sebentar, saya mau kelihatan brilian sedikit."
"Saya datang untuk menawarkan sesuatu, Tuan Beresford. Bagaimana kalau Anda
membereskan sebuah komplotan besar?"
"Apa itu ada?" tanya Tommy.
"Apa maksud Anda?"
"Bayangan saya, komplotan hanya ada di buku-buku cerita fiksi."
"Wah. Ada. Lumayan banyak, malah. Memang komplotan perusak tidak terlalu banyak.
Tapi sekarang ini mereka mulai berkeliaran."
"Saya tak tahu apakah saya bisa menghadapi sebuah komplotan," kata Tommy. "Kalau
kriminal amatir - yang terjadi pada sebuah keluarga yang punya kehidupan tenang -
ya, boleh dikata saya cukup lihai. Sebuah drama rumah tangga - itu amat menarik -
dengan bantuan Tuppence yang kenal baik dengan detil-detil feminin yang amat
penting, tapi terlalu sepele sehingga sering dilupakan laki-laki."
Omongannya yang bertele-tele itu langsung dipotong Tuppence dengan melempar
bantal kursi dan minta dia agar tidak bicara lagi.
"Anda akan menyukainya," kata Inspektur Marriot sambil tersenyum kebapakan pada
mereka. "Saya benar-benar gembira melihat Anda berdua senang dan bahagia."
"Apa kami senang?" kata Tuppence sambil membelalakkan mata lebar-lebar. "Saya
rasa ya. Saya tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya."
"Kembali ke persoalan komplotan tadi," kata Tommy. "Dengan praktek penyelidikan
privat yang biasa saya lakukan untuk para bangsawan, para milyuner, dan orang-
orang terkenal, saya terpaksa turun derajat dengan menangani komplotan itu.
Terus-terang saya tak ingin Scotland Yard dipersalahkan. Dan Anda pasti akan
dikejar-kejar Daily Mail."
"Seperti saya katakan tadi, Anda pasti menyukainya. Sebenarnya begini." Dia
menyeret kursinya sedikit ke depan. "Kami mengetahui bahwa ada sejumlah uang
palsu beredar saat ini - beratus-ratus! Dan jumlahnya akan membuat Anda
tercengang. Memang cukup ahli mereka. Ini contohnya."
Dia mengeluarkan lembaran satu pound dan memberikannya kepada Tommy.
"Kelihatan asli, bukan?"
Tommy memperhatikan baik-baik.
"Wah, saya tak akan tahu kalau ini uang palsu."
"Ya - juga orang-orang lain. Sekarang, ini yang asli. Saya tunjukkan bedanya -
sangat kecil, tapi Anda akan segera bisa membedakannya dengan mudah. Pakai kaca
pembesar ini." Setelah dilatih selama lima menit, Tommy dan Tuppence pun menjadi ahli.
"Apa yang Anda ingin kami lakukan, Inspektur Marriot?" tanya Tuppence.
"Mengawasi benda-benda ini?"
"Lebih dari itu, Nyonya Beresford. Saya percayakan pada Anda berdua untuk
membongkar akarnya. Dari hasil penyelidikan, uang palsu ini ternyata beredar di
West End. Seseorang dari kalangan atas yang mendistribusi uang itu. Mereka juga
mensirkulasikannya di seberang Selat Inggris. Dan ada seseorang yang menarik
perhatian kami. Mayor Laidlaw. Barangkali Anda pernah dengar namanya?"
"Rasanya pernah," kata Tommy. "Biasanya berhubungan dengan pacuan kuda, kalau
nggak salah." "Ya. Mayor Laidlaw dikenal baik dalam hubungannya dengan Turf. Sebenarnya tak
ada hal khusus yang memberatkan dia, tapi ada kesan yang kurang baik mengenai
dirinya sehubungan dengan satu atau dua transaksi yang tak jelas. Kalau kita
sebut namanya di depan orang-orang yang dikenalnya, reaksi mereka aneh. Tak
seorang pun tahu dengan baik masa lalunya, atau dari mana asalnya. Dia punya
seorang istri Prancis yang cantik. Pergaulannya luas dan pengagumnya berderet-
deret. Pasangan itu punya gaya hidup mewah dan saya ingin tahu dari mana mereka
mendapatkan uang." "Barangkali dari pengagumnya yang berderet-deret," kata Tommy.
"Memang begitu kesannya. Tetapi saya tidak yakin. Barangkali ini suatu kebetulan
saja. Tapi banyak uang palsu keluar dan klub judi yang didatangi pasangan itu.
Dan tempat-tempat judi serta arena pacuan kuda seperti itu memang merupakan
tempat yang baik untuk mensirkulasikan uang palsu."
"Dan apa yang akan kita lakukan?"
"Begini. St. Vincent muda dan istrinya adalah teman-teman Anda, kan" Mereka
kenal baik dengan pasangan Laidlaw. Melalui mereka Anda bisa kenal dengan
pasangan Laidlaw dan mengawasi mereka. Kami sendiri tak akan bisa mengenal
mereka dengan cara seperti itu. Mereka tak akan tahu siapa Anda sebenarnya. Dan
Anda akan punya kesempatan baik."
"Sebenarnya apa yang harus kita cari?"
"Dari mana mereka mendapatkan benda itu kalau memang mereka yang mengedarkan."
"Hm, ya," kata Tommy. "Mayor Laidlaw keluar dengan koper kosong. Lalu ketika
kembali kopernya penuh dengan uang. Bagaimana bisa begitu" Saya harus ikuti dan
selidiki dia. Begitu?"
"Ya, kira-kira begitu. Tapi jangan melupakan istrinya, dan ayahnya, Monsieur
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Heroulade. Ingat, uang itu diedarkan di kedua sisi Selat Inggris."
"Tuan Marriot," kata Tommy agak tersinggung, "Blunts Brilliant Detectives tidak
mengenal kata lupa."
Inspektur itu berdiri. "Baiklah kalau demikian, semoga berhasil," katanya, lalu pergi.
"Slush," kata Tuppence dengan antusias.
"Eh?" kata Tommy bingung.
"Uang palsu," jelas Tuppence. "Biasanya disebut slush. Ya, aku benar. Tom,
akhirnya kita punya kasus Edgar Wallace juga. Dan kita jadi Busies."
"Ya," kata Tommy. "Dan kita keluar untuk menangkap si Crackler."
"Kau bilang Krakler atau Kakler?"
"Crackler." "Oh, apa itu Crackler?"
"Sebuah kata baru yang kuciptakan," kata Tommy. "Artinya orang yang
mendistribusikan atau mengedarkan uang palsu. Sederhana saja."
"Ah, ya. Cukup bagus, walaupun aku lebih suka Rustler. Rasanya lebih cocok."
"Nggak - nggak," kata Tommy. "Aku yang pertama-tama memberi nama Crackler. Dan aku
akan tetap pakai nama itu."
"Wah, aku akan menikmati permainan ini," kata Tuppence. "Bolak-balik ke nite
club dan minum-minum. Besok aku mau beli bulu mata palsu yang hitam."
"Bulu matamu sendiri kan sudah hitam," kata suaminya kurang setuju.
"Supaya lebih hitam lagi," kata Tuppence. "Dan lipstik merah ceri. Yang menyala.
Pasti sangat dibutuhkan."
"Tuppence, kau benar-benar membuat orang sedih. Apa gunanya benda-benda itu" Kau
kan menikah dengan seorang laki-laki setengah baya yang tenang dan tak banyak
tingkah." "Tunggu saja," kata Tuppence. "Kalau kau sudah masuk Python Club kau pasti
berubah." Dari lemari Tommy mengeluarkan beberapa botol, dua buah gelas, dan sebuah tempat
pengocok koktil. "Kita mulai sekarang," kata Tommy. "Kami akan mengejar dan menangkapmu,
Crackler. Dan kami serius."
14. Crackler (Lanjutan) BERKENALAN dengan Laidlaw tidaklah sulit. Tommy dan Tuppence yang muda,
berpakaian mahal, bersemangat, dan kelihatan punya banyak uang untuk dihambur-
hamburkan, dengan segera diterima dalam kelompok eksklusif pasangan Laidlaw.
Mayor Laidlaw adalah seorang laki-laki jangkung berkulit putih, khas tipe pria
Inggris, bersikap sportif, dengan garis-garis lelah melingkari matanya dan
pandangan mencuri-curi yang kelihatan janggal dan tak sesuai dengan
penampilannya. Dia adalah seorang pemain kartu yang ahli dan Tommy memperhatikan bahwa apabila
taruhannya bertumpuk tinggi, dia tak pernah meninggalkan meja dengan kekalahan.
Marguerite Laidlaw punya penampilan berbeda. Dia adalah seorang wanita yang
menarik, bertubuh semampai dan berwajah cantik. Bahasa Inggris-nya yang patah-
patah itu amat menarik, dan Tommy pun maklum apabila pengagum wanita itu
berderet-deret. Dia kelihatan amat menaruh perhatian pada Tommy, dan Tommy pun
memainkan peranan sebagai salah seorang pengagumnya.
"Tommee-ku," itulah yang dia katakan. "Tentu saya tak bisa pergi tanpa Tommee-
ku. Rambut Tommee seperti warna matahari tenggelam. Ya?"
Ayahnya merupakan figur yang kurang menarik. Sangat teliti, berdiri tegak kaku,
dengan jenggot hitam dan mata tajam.
Tuppence-lah yang pertama kali melaporkan perkembangan. Dia datang pada Tommy
dengan sepuluh lembaran satu pound.
"Perhatikan ini. Uang palsu, kan?"
Tommy memeriksa lembaran-lembaran itu dan menganggukkan kepala.
"Kau dapat dari mana?"
"Dari si Jimmy Faulkener. Marguerite Laidlaw memberikannya pada si Jimmy untuk
taruhan kuda. Aku pura-pura perlu duit kecil - dan menukarnya dengan lembaran
sepuluh pound." "Semua baru dan masih kaku," kata Tommy sambil merenung. "Tak mungkin lewat
terlalu banyak tangan. Apa kira-kira si Faulkener bersih?"
"Jimmy" Oh, dia manis sekali. Kami menjadi akrab."
"Ya - seperti yang kulihat. Apa itu perlu?" tukas suaminya dingin.
"Oh! Itu kan bukan bisnis," kata Tuppence gembira. "Cuma senang-senang saja.
Anak itu baik. Aku senang dia bisa lepas dari cengkeraman wanita itu. Kau nggak
tahu kan, berapa banyak uang yang sudah dia keluarkan untuk si Cantik."
"Kelihatannya dia menaruh perhatian padamu, Tuppence."
"Ya, kadang-kadang aku juga berpikir begitu. Senang juga rasanya - masih muda dan
punya daya tarik." "Eh, moralmu kok kelihatan rendah begitu, sih" Jangan besar kepala. Kau
melihatnya dari sisi yang keliru."
"Rasanya sudah cukup lama aku tak menikmati hal-hal seperti itu," kata Tuppence
tanpa malu. "Dan kau sendiri" Jarang kulihat kau belakangan ini. Kau tinggal di
saku Marguerite Laidlaw, kan?"
"Bisnis," kata Tommy pendek.
"Tapi dia menarik, kan?"
"Bukan tipeku," kata Tommy. "Aku tidak mengaguminya."
"Pembohong," kata Tuppence sambil tertawa. "Tapi rasanya lebih baik kawin dengan
pembohong daripada dengan orang tolol."
"Apa seorang suami harus selalu pembohong atau tolol?"
Tapi Tuppence hanya memandangnya dengan rasa kasihan lalu pergi.
Di antara pengagum Nyonya Laidlaw yang berderet-deret itu ada seorang laki-laki
yang sederhana tetapi amat kaya, namanya Hank Ryder.
Tuan Ryder berasal dari Alabama. Dia amat dekat dan bersahabat dengan Tommy.
Rahasia 180 Patung Mas 15 Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Pedang Pusaka Buntung 6
menunggumu." "Jam berapa sekarang?"
"Jam sebelas. Aku akan menyuruh Alice membawa teh-mu sekarang juga."
"Ya. Bilang pada Inspektur Marriot, aku siap sepuluh menit lagi."
Seperempat jam kemudian dengan bergegas Tuppence berjalan ke ruang duduk.
Inspektur Marriot yang sedang duduk dan memandang ke depan dengan serius,
berdiri menyapanya, "Selamat pagi, Nyonya Beresford. Kenalkan, Sir Arthur Merivale."
Tuppence menyalami seorang laki-laki jangkung dan kurus dengan mata kuyu dan
rambut yang memutih. "Kami datang sehubungan dengan urusan yang menyedihkan tadi malam," kata
Inspektur Marriot. "Saya ingin agar Sir Arthur mendengar langsung dari Anda apa
yang Anda ceritakan pada saya - kata-kata terakhir yang diucapkan almarhumah. Sir
Arthur tidak mudah menerimanya."
"Saya tidak percaya dan tak akan percaya bahwa Bingo Hale sampai hati menyakiti
ujung rambut Vere sekalipun."
Inspektur Marriot melanjutkan.
"Ada suatu kemajuan yang telah kami capai sejak malam tadi, Nyonya Beresford.
Pertama-tama kami berhasil menemukan identitas korban sebagai Lady Merivale.
Lalu kami menghubungi Sir Arthur ini. Beliau mengenali korban dan tentu saja
sangat sedih. Lalu saya bertanya apakah beliau kenal dengan seseorang yang
bernama Bingo." "Begini, Nyonya Beresford," kata Sir Arthur, "Kapten Hale yang dikenal teman-
temannya dengan sebutan Bingo, adalah teman dekat saya. Dia tinggal bersama kami
dan dia ada di rumah kami ketika polisi datang dan menahannya tadi pagi. Saya
yakin bahwa Anda pasti keliru - tentu bukan namanya yang diucapkan istri saya."
"Tidak mungkin ada kekeliruan dalam hal ini," kata Tuppence lembut. "Dia
mengatakan Bingo yang melakukan...."
"Benar, kan, Sir Arthur," kata Inspektur Marriot.
Laki-laki yang malang itu bersandar di kursi dan menutupi mukanya.
"Luar biasa. Lalu motifnya apa" Oh! Saya bisa membaca pikiran Anda, Inspektur.
Pasti Anda mengira bahwa Hale adalah pacar istri saya. Kalau toh itu benar - dan
saya yakin tidak - apa motif pembunuhan itu?"
Inspektur Marriot berdehem.
"Ini bukan hal yang enak untuk dibicarakan, Tuan. Tapi Kapten Hale akhir-akhir
ini menaruh perhatian cukup besar pada seorang wanita Amerika. Seorang wanita
muda yang cukup kaya. Kalau Lady Merivale tidak suka dengan hal itu dan berbuat
sesuatu yang tidak baik, itu bisa menghalangi rencana perkawinan Kapten Hale."
"Ini keterlaluan, Inspektur."
Sir Arthur berdiri dengan marah. Inspektur Marriot meredakannya dengan isyarat.
"Maaf, Sir Arthur. Anda tadi mengatakan bahwa Anda dan Kapten Hale bermaksud
untuk melihat pertunjukan itu. Pada saat itu istri Anda pergi ke suatu tempat.
Dan Anda tidak tahu bahwa dia ada di sana?"
"Sama sekali tidak."
"Tolong tunjukkan iklan yang Anda baca, Nyonya Beresford."
Tuppence menurut. "Cukup jelas. Iklan ini dipasang oleh Kapten Hale agar dibaca istri Anda. Mereka
berjanji untuk bertemu di situ. Tapi Anda memutuskan untuk pergi sehari sebelum
pesta. Karena itu dia perlu diperingatkan. Saya rasa itulah sebabnya ada kata
perlu untuk menyiasati Raja. Anda memesan kostum dengan mendadak dari suatu biro
penyewaan kostum teater, sedang kostum Kapten Hale adalah buatan sendiri. Dia
memakai kostum Laki-laki Berbaju Koran. Anda tahu, Sir Arthur, apa yang kami
temukan dalam genggaman tangan istri Anda" Sobekan koran. Bawahan saya sudah
menerima perintah untuk mengambil kostum Kapten Hale, dan saya akan memeriksanya
di kantor nanti. Kalau sobekan itu cocok, maka kasus ini akan segera beres."
"Anda tak akan mendapatkannya," kata Sir Arthur. "Saya kenal betul Bingo Hale."
Setelah meminta maaf pada Tuppence karena telah mengganggu dia, mereka pun
pergi. Pada sore hari, mereka mendengar bel rumah berdering lagi. Suami-istri itu heran
ketika melihat Inspektur Marriot kembali lagi.
"Saya pikir Blunts Brilliant Detectives akan senang mendengar perkembangan kasus
tadi," katanya dengan senyum kecil.
"Tentu," kata Tommy. "Mau minum?"
Dia memberikan minuman pada Inspektur Marriot.
"Kasus yang gamblang," kata Pak Inspektur. "Pedang itu milik korban. Idenya
ialah memberi kesan bunuh diri. Tapi untunglah ada Anda berdua - jadi gagal. Kami
menemukan banyak surat-surat. Rupanya mereka sudah berhubungan cukup lama tanpa
sepengetahuan Sir Arthur. Lalu mata rantai terakhir..."
"Apa?" seru Tuppence dengan tajam.
"Mata rantai terakhir - sobekan koran Daily Leader. Sobekan itu dari baju koran
yang dipakainya - pas sekali sobekannya. Benar-benar kasus yang amat jelas. Dan
saya kebetulan membawanya - barangkali Anda tertarik. Jarang sekali kami menemukan
kasus yang amat jelas seperti ini."
"Tommy," kata Tuppence ketika suaminya kembali lagi setelah mengantarkan polisi
itu keluar. "Kenapa Inspektur Marriot berkali-kali bilang kasus ini amat jelas?"
"Aku tak tahu. Barangkali dia ingin menunjukkan rasa puasnya."
"Sama sekali tidak. Dia mencoba membuat kita penasaran. Tom, tukang daging kan
tahu banyak tentang daging?"
"Aku rasa begitu. Lalu kenapa?"
"Juga pedagang sayur tentunya tahu tentang sayuran. Sedangkan nelayan tahu
tentang ikan. Detektif-detektif profesional - tentunya juga tahu tentang perkara
kriminal. Mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi pada waktu mereka melihatnya -
dan mereka juga tahu bila hal itu bukan yang sebenarnya. Sebagai seorang ahli,
Marriot tahu bahwa Kapten Hale bukanlah seorang kriminal. Tapi semua fakta
menunjuk demikian. Dan akhirnya Marriot mencoba menarik kita agar tergelitik
untuk membongkar kasus ini dan berharap - walaupun tipis - barangkali ada satu hal
kecil yang bisa memberikan kemungkinan yang lain. Tommy, kenapa harus bunuh
diri?" "Ingat-ingat saja apa yang dia katakan padamu."
"Ya - aku tahu. Tapi coba kita lihat dari sisi lain. Hal itu dilakukan Bingo -
perbuatannya menyebabkan Lady Merivale bunuh diri. Itu mungkin."
"Betul, tapi tidak memberi jawaban untuk sobekan koran itu."
"Coba kita lihat foto-foto Marriot. Aku lupa menanyai dia tentang reaksi Hale."
"Aku menanyai dia tentang hal itu waktu keluar tadi. Hale mengatakan bahwa dia
tak pernah bicara dengan Lady Merivale pada pertunjukan itu. Dia mengatakan ada
orang menyelipkan kertas di tangannya dengan tulisan: Jangan coba bicara padaku
malam ini. Arthur curiga. Tapi dia tidak bisa menunjukkan kertas itu. Tapi
kelihatannya cerita itu dibuat-buat saja. Kau dan aku kan melihatnya di As
Sekop." Tuppence mengangguk dan memperhatikan kedua foto. Yang satu adalah selembar
potongan koran dengan tulisan DAILY LE yang kemudian sobek. Yang lain adalah
halaman depan koran Daily Leader yang terkoyak bagian atasnya. Tak diragukan
lagi. Sobekan itu memang pas.
"Ini apa?" tanya Tommy.
"Jahitan," kata Tuppence. "Jahitan koran yang dipakai untuk baju."
"Huh - aku pikir titik-titik model baru lagi," kata Tommy. Dia sedikit gemetar.
"Heran, ya" Aneh rasanya. Bayangkan - kau dan aku bicara tentang titik-titik itu
dan berdiskusi tentang iklan di koran dengan seenaknya."
Tuppence tidak menjawab. Tommy memandangnya, dan agak terkejut ketika melihat
bahwa mata istrinya memandang kosong jauh ke depan dengan mulut agak terbuka dan
ekspresi terkejut di mukanya.
"Tuppence," kata Tommy lembut sambil menggoyangkan lengannya. "Kenapa kau" Apa
mau pingsan?" Tapi Tuppence tetap diam tak bergerak. Akhirnya dia berkata dengan suara
ngelantur jauh. "Denis Riordan."
"Eh?" kata Tommy sambil terus memandangnya.
"Seperti pernah kaukatakan. Satu kata yang sederhana! Coba ambilkan semua Daily
Leader minggu itu." "Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku jadi McCarty. Sudah cukup pusing aku berpikir. Untung kau memberi
inspirasi. Ini adalah halaman muka koran Selasa. Aku ingat betul bahwa koran
Selasa punya dua titik pada huruf L dalam kata LEADER. Ini ada titiknya di huruf
D dalam kata DAILY - dan satu titik pada huruf L. Coba ambil koran-koran itu - kita
cocokkan." Dengan hati-hati dan asyik mereka mencocokkan titik-titik di koran. Tuppence
ternyata benar. "Ya, kan" Sobekan ini bukan dari koran Selasa."
"Tapi kita tidak bisa terlalu yakin. Barangkali titik-titik itu terjadi karena
perbedaan edisi saja."
"Bisa jadi - tapi setidaknya memberikan suatu ide padaku. Dan itu bukan suatu
kebetulan, tetapi kepastian. Hanya ada satu hal kalau ideku memang betul. Tolong
panggil Sir Arthur, Tom. Suruh dia datang ke sini segera. Bilang saja kalau aku
punya berita penting, lalu panggil juga Marriot. Scotland Yard pasti punya
alamatnya kalau dia sudah pulang."
Karena sangat ingin tahu akan berita itu, Sir Arthur Merivale datang setengah
jam kemudian. Tuppence keluar menyambutnya.
"Maaf, kami telah mengundang Anda dengan sangat mendadak. Tapi suami saya dan
saya telah menemukan sesuatu yang kami anggap perlu Anda ketahui dengan segera.
Silakan duduk." Sir Arthur duduk dan Tuppence melanjutkan,
"Sepanjang pengetahuan kami, Anda sangat ingin membantu teman Anda itu supaya
bebas." Sir Arthur menggelengkan kepada dengan sedih.
"Tadinya begitu. Tapi saya terpaksa menyerah karena begitu banyak bukti yang
menuding dia." "Bagaimana seandainya ternyata saya punya suatu bukti yang bisa membebaskan
dia?" "Saya akan sangat gembira, Nyonya Beresford."
"Seandainya," lanjut Tuppence, "saya bertemu dengan seorang gadis yang berdansa
dengan Kapten Hale tadi malam jam dua belas - pada jam yang ditetapkan agar dia
datang ke As Sekop."
"Bagus," kata Sir Arthur. "Saya tahu bahwa ada kekeliruan dalam hal ini. Vere
pasti bunuh diri." "Bukan begitu," kata Tuppence. "Anda lupa laki-laki yang lainnya itu."
"Laki-laki yang mana?"
"Yang dilihat oleh suami saya dan saya sendiri. Laki-laki itu meninggalkan booth
di sebelah booth kami. Jadi, Sir Arthur, pasti ada laki-laki kedua yang berbaju
koran pada pesta itu. O, ya, Anda sendiri mengenakan kostum apa?"
"Saya" Memakai kostum pembunuh abad tujuh belas."
"Sangat cocok," kata Tuppence halus.
"Cocok, Nyonya Beresford" Apa maksud Anda?"
"Untuk peran yang Anda mainkan. Apa boleh saya ceritakan ide saya, Sir Arthur"
Kostum koran itu dapat dipakai dengan mudah di luar kostum pembunuh. Sebelumnya,
secarik surat diselipkan ke tangan Kapten Hale agar dia tidak bicara pada
seorang wanita tertentu. Tapi wanita itu sendiri tidak tahu tentang surat itu.
Dia pergi ke As Sekop pada waktu yang ditentukan. Mereka masuk ke dalam booth.
Laki-laki itu merangkul wanita itu, saya kira, dan menciumnya - tapi ciuman Yudas.
Sambil mencium dia menusukkan pedang ke tubuh wanita itu. Korban hanya bisa
menjerit lirih dan laki-laki itu menutupi jeritannya dengan tertawa. Kemudian
dia keluar - sementara wanita yang kesakitan itu mengira bahwa pacarnyalah yang
menusuknya. "Tetapi wanita itu ternyata sempat merobek kostum koran yang dipakai laki-laki
tersebut. Dan pembunuh itu sendiri sadar akan hal itu - dia memang orang yang
memperhatikan detil-detil. Agar kasus itu benar-benar menunjuk pada orang yang
dituju, sobekan itu harus terlihat seolah-olah terambil dari kostum Kapten Hale.
Untunglah kedua lelaki itu tinggal satu rumah. Tak ada persoalan. Dia lalu
merobek kostum Kapten Hale - dan membakar kostumnya. Setelah itu dia berganti
peran sebagai sahabat yang setia."
Tuppence berhenti. "Bagaimana, Sir Arthur?"
Sir Arthur berdiri dan membungkuk hormat.
"Sebuah imajinasi yang cukup menarik dari seorang wanita manis yang terlalu
banyak membaca buku-buku fiksi."
"Anda pikir demikian?" kata Tommy.
"Dan seorang suami yang selalu mengikuti kata istrinya," kata Sir Arthur. "Pasti
Anda akan menemukan orang yang mau menanggapinya dengan serius."
Dia tertawa keras, dan tubuh Tuppence serasa kaku mendengarnya.
"Saya bersedia bersumpah bahwa saya mendengar tawa itu di As Sekop tadi malam.
Dan Anda agak keliru menilai kami. Nama kami memang Beresford. Tapi kami juga
punya nama lain." Tuppence mengambil sebuah kartu dari meja dan menyodorkan padanya. Sir Arthur
membacanya dengan keras. "Agen Detektif Internasional..." Dia menarik napas panjang. "Jadi itulah Anda
yang sebenarnya! Karena itu Marriot membawa saya ke sini. Jebakan rupanya...."
Dia berjalan mendekati jendela.
"Pemandangan dari sini cukup bagus," katanya. "Menghadap London."
"Inspektur Marriot," seru Tommy dengan tajam.
Bagaikan kilat Inspektur Marriot muncul dari pintu penghubung.
Bibir Sir Arthur membentuk sebuah senyum kecil.
"Sudah kuduga," katanya. "Tapi kali ini Anda tidak akan bisa menangkap saya,
Inspektur. Saya lebih suka memilih jalan saya sendiri."
Dia meletakkan kedua tangannya di bingkai jendela dan meloncat ke luar tanpa
halangan. Tuppence menjerit dan menutup kedua telinganya dari suara yang sudah
dibayangkannya - sebuah suara berdebam jauh di bawah. Inspektur Marriot memaki-
maki. "Seharusnya kita pikirkan jendela itu," katanya. "Walaupun kasus ini memang
sulit dibuktikan, saya akan turun dan - membereskan semuanya."
"Kasihan," kata Tommy perlahan. "Kalau dia memang cinta pada istrinya."
Tapi inspektur itu menyelanya dengan gemas,
"Cinta" Barangkali. Dia sudah tidak tahu lagi dari mana bisa dapat uang. Lady
Merivale adalah seorang wanita yang amat kaya dan semua akan menjadi milik
suaminya. Kalau dia berhubungan terus dengan Hale dan menikah dengannya,
suaminya tak akan mendapat sepeser pun."
"Oh, begitu, ceritanya."
"Tentu saja. Dari awal saya sudah merasa bahwa Sir Arthur bukan orang baik-baik,
dan Kapten Hale tidak bersalah. Kami di Scotland Yard tahu cukup baik siapa yang
benar dan siapa yang tidak. Tapi sulit kalau kami dihadapkan pada fakta yang
berlawanan. Saya akan turun sekarang - sebaiknya Anda berikan segelas brandy pada
istri Anda, Tuan Beresford - kelihatannya kejadian tadi membuatnya sedih."
"Petani sayur," kata Tuppence dengan suara rendah, ketika pintu di belakang
Inspektur Marriot tertutup. "Tukang daging. Nelayan. Detektif. Aku benar, kan"
Dia tahu." Tommy yang sedang sibuk dengan minuman, mendekati istrinya dengan sebuah gelas
besar. "Minumlah ini."
"Apa itu" Brandy?"
"Bukan. Koktil besar - cocok untuk kemenangan McCarty. Ya, Marriot memang benar.
Memang begitu caranya. Menyiasati permainan."
Tuppence mengangguk. "Tapi dia menyiasati dengan cara sebaliknya."
"Jadi, Raja pun keluar," kata Tommy.
9. Kasus Wanita Hilang BEL di meja Tuan Blunt - (Agen Detektif Internasional dengan manajernya, Theodore
Blunt) terdengar memberi peringatan. Tommy dan Tuppence terbang ke posnya
masing-masing dan mengintip dari lubang yang mereka siapkan untuk melihat ruang
luar. Dan tugas Albert adalah mengulur-ulur waktu dengan bermacam alasan yang
cukup artistik. "Akan saya lihat dulu, Tuan," katanya. "Saya rasa Tuan Blunt sedang sibuk dengan
Scotland Yard di telepon."
"Baik, saya tunggu," kata tamu itu. "Saya tidak membawa kartu, tapi nama saya
Gabriel Stavansson."
Klien itu memang contoh sempurna seorang manusia. Tingginya kira-kira enam kaki.
Wajahnya kecoklatan, dan matanya yang amat biru membuat suatu kontras yang
menarik dengan kulit coklatnya.
Dengan cepat Tommy membuat keputusan. Dia memakai topinya, memakai sarung
tangannya, dan membuka pintu. Dia berdiri di pintu.
"Tuan ini ingin menemui Anda, Mr. Blunt," kata Albert.
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Muka Tommy berkerut sedikit. Dia mengeluarkan jamnya.
"Saya harus menemui Duke jam sebelas kurang seperempat." Kemudian dia memandang
tamunya dan berkata, "Saya masih punya waktu beberapa menit kalau Anda ingin
bicara. Silakan masuk."
Tamu itu mengikutinya masuk ke dalam ruang kerja Tommy, di mana Tuppence duduk
dengan serius, memegang catatan dan pensil.
"Ini sekretaris pribadi saya, Nona Robinson," kata Tommy. "Sekarang, barangkali
Anda bisa menceritakan persoalan Anda" Tentunya sangat mendesak karena Anda
datang dengan taksi dan Anda baru kembali dari daerah Arktik atau Antartika,
kan?" Tamu itu memandang dengan heran.
"Ini luar biasa," serunya. "Saya kira detektif-detektif hebat hanya ada di buku-
buku! Dan pesuruh kantor itu bahkan tidak memberitahukan nama saya pada Anda."
Tommy menarik napas. "Itu mudah," katanya. "Sinar matahari tengah malam dan lingkaran Arktik punya
pengaruh pada kulit - dan sinar arktinik itu punya beberapa sifat. Saya sedang
menyiapkan sebuah artikel tentang hal itu. Tapi itu kan bukan tujuan Anda datang
kemari. Apa sebenarnya yang membuat Anda datang kemari?"
"Pertama-tama, Tuan Blunt, nama saya Gabriel Stavansson...."
"Ah! Tentu saja," kata Tommy. "Penjelajah besar. Kalau tak salah baru-baru ini
Anda pergi ke Kutub Utara, kan?"
"Saya mendarat di Inggris tiga hari yang lalu. Ada seorang teman yang kebetulan
lewat di Laut Utara menawari saya untuk kembali naik kapalnya. Kalau tak ada
dia, saya baru bisa pulang dua minggu lagi. Dan saya ingin memberi tahu Anda,
Tuan Blunt, bahwa sebelum memulai ekspedisi dua tahun yang lalu, saya beruntung
bisa bertunangan dengan Nyonya Maurice Leigh Gordon..."
Tommy menyela, "Nyonya Leigh Gordon sebelum menikah adalah..."
"Yang Mulia Hermione Crane, putri kedua Lord Lanchester," kata Tuppence dengan
lancar. Tommy meliriknya dengan pandangan kagum.
"Suami pertamanya gugur waktu perang," tambah Tuppence lagi.
Gabriel Stavansson mengangguk.
"Benar. Seperti saya ceritakan tadi, Hermione dan saya bertunangan. Tentu saja
waktu itu saya menanyakan padanya apa sebaiknya ekspedisi saya dibatalkan saja.
Tapi - untunglah, dia bahkan memberi dorongan! Dia memang istri yang cocok untuk
seorang penjelajah. Tentu saja setelah mendarat, yang pertama terlintas dalam
pikiran saya ialah langsung akan menemuinya. Saya mengirim telegram dari
Southampton dan naik kereta paling awal. Saya tahu bahwa sementara itu Hermione
tinggal bersama seorang bibinya, Lady Susan Clonray, di Pont Street. Karena itu
saya langsung ke sana. Tapi saya kecewa karena Hermy rupanya sedang mengunjungi
teman-temannya di Northumberland. Lady Susan amat ramah pada saya, walaupun dia
terkejut melihat saya datang lebih awal. Dia katakan, Hermy pasti akan kembali
beberapa hari lagi. Lalu saya menanyakan alamatnya. Tapi wanita tua itu tidak
mau memberikannya dengan alasan macam-macam. Katanya Hermy tidak tinggal di satu
tempat saja dan dia tak tahu di tempat yang mana sekarang dia. Sebaiknya saya
ceritakan pada Anda juga, Tuan Blunt, bahwa Lady Susan dan saya tidak pernah
cocok. Dia adalah seorang wanita gemuk dengan dagu dobel. Saya tidak suka wanita
gemuk - dari dulu - wanita gemuk dan anjing gemuk, benar-benar menyebalkan - dan
herannya mereka sering bersama-sama! Saya memang aneh - tapi bagaimana lagi. Saya
memang tidak suka wanita gemuk."
"Anda memang mengikuti mode, Tuan Stavansson," kata Tommy. "Dan masing-masing
orang punya selera. Lihat saja almarhum Lord Robert. Dia paling benci pada
kucing." "Perlu Anda ingat. Saya tidak mengatakan bahwa Lady Susan bukan seorang wanita
yang menarik. Bisa jadi dia seorang wanita yang menarik - tapi tidak untuk saya.
Saya merasa bahwa sebenarnya dia kurang setuju dengan pertunangan saya.
Barangkali, dia mempengaruhi Hermy, kalau itu memungkinkan. Dan saya
menceritakan hal ini karena mungkin ada gunanya. Bisa saja ini Anda anggap
sebagai prasangka dari pihak saya. Kita teruskan saja hal ini. Untuk Anda
ketahui, saya adalah orang yang keras kepala dan suka memilih cara sendiri. Jadi
saya tidak mau meninggalkan Pont Street sampai dia memberikan nama dan alamat
teman Hermy yang mungkin dikunjunginya. Lalu saya naik kereta api ke utara."
"Kelihatannya Anda orang yang suka bertindak cepat, Tuan Stavansson," kata Tommy
sambil tersenyum. "Ternyata perjalanan itu sia-sia, Tuan Blunt. Tak seorang pun dari mereka pernah
bertemu Hermy. Dari tiga rumah yang saya datangi, hanya satu yang menunggu-
nunggu kedatangannya. Lady Susan pasti membuat cerita tambahan dengan yang dua
itu. Dan Hermy membatalkan janji dengan temannya itu melalui telegram yang
mendadak. Tentu saja saya cepat-cepat kembali ke London, dan langsung menemui
Lady Susan. Saya menuntut untuk diberi keterangan yang benar. Dan dia mengaku
bahwa sebenarnya dia tidak tahu di mana Hermy berada. Tapi dia juga menolak
dengan keras ketika saya usulkan untuk lapor pada polisi. Dia katakan bahwa
Hermy bukanlah seorang gadis kecil yang tolol, tetapi seorang wanita dewasa yang
sering punya rencana sendiri. Barangkali ada suatu hal yang sedang dilakukannya.
"Saya pikir memang masuk akal kalau Hermy tidak selalu melaporkan apa yang
dikerjakannya pada Lady Susan. Tapi saya masih kuatir. Saya merasa bahwa ada
sesuatu yang tidak beres. Ketika saya akan pergi, tiba-tiba ada telegram datang
untuk Lady Susan. Dia membacanya dengan ekspresi lega, dan memberikan telegram
itu pada saya. Bunyinya seperti ini: Rencana berubah. Ke Monte Carlo seminggu.
Hermy." Tommy mengulurkan tangannya.
"Anda bawa telegram itu?"
"Tidak. Tapi telegram itu dikirim dari Maldon, Surrey. Saya melihatnya waktu itu
karena terasa aneh. Apa yang dilakukan Hermy di Maldon" Setahu saya dia tak
punya teman di sana."
"Anda tidak pergi ke Monte Carlo?"
"Pernah terpikir oleh saya. Tapi saya putuskan untuk tidak ke sana. Walaupun
Lady Susan kelihatan puas dengan telegram itu, saya tidak. Menurut saya, aneh
kalau dia selalu memberitahu dengan telegram, bukannya surat. Satu atau dua
kalimat yang ditulis dengan tulisannya bisa meredakan kekuatiran saya. Tapi
siapa pun bisa mengirim telegram dan memberi nama Hermy. Semakin saya pikir,
semakin kuatir saya. Akhirnya saya pergi ke Maldon kemarin siang. Tempat itu
biasa-biasa saja - ada dua hotel. Saya mencari di tempat-tempat yang mungkin
didatangi Hermy, tetapi hasilnya nol. Waktu saya kembali dengan kereta, saya
membaca iklan Anda dan berpikir untuk menyerahkan soal ini pada Anda. Kalau
Hermy memang pergi ke Monte Carlo, saya tidak ingin lapor pada polisi dan
menimbulkan skandal. Tapi saya juga tidak ingin ke sana mencari sesuatu yang
belum pasti. Saya akan tinggal di sini, di London, kalau-kalau - terjadi sesuatu."
Tommy mengangguk sambil berpikir.
"Apa sebenarnya yang Anda curigai?"
"Terus-terang saya tidak tahu. Tapi saya merasa ada yang tidak beres."
Dengan gerakan cepat Stavansson mengambil dompet dari sakunya dan dibukanya di
depan mereka. "Inilah Hermione," katanya. "Saya tinggal dulu di sini." Foto itu adalah foto
seorang wanita semampai. Dia bukan seorang wanita muda, tapi mempunyai senyum
yang menawan dan mata yang indah.
"Tak ada lagi yang ketinggalan, Tuan Stavansson?" kata Tommy.
"Tidak ada." "Tidak ada hal-hal kecil yang detil sekalipun?"
"Saya rasa tidak."
Tommy menarik napas panjang.
"Wah, ini membuat pekerjaan kami tambah sulit," katanya. "Saya rasa Anda
mengerti, Tuan Stavansson, bahwa satu hal kecil yang kelihatannya biasa saja
bisa menjadi petunjuk yang amat berharga untuk seorang detektif. Dan untuk kasus
Anda, bisa saya katakan agak aneh. Otak saya memang sudah mulai bekerja. Tapi
kami perlu waktu untuk membuktikan kebenarannya."
Tommy mengambil biola yang tergeletak di atas meja, dan memainkan penggeseknya
satu atau dua kali. Tuppence menggigit bibirnya sendiri, dan tamu itu pun
menjadi bingung. Tommy meletakkan alat musik itu lagi.
"Beberapa paduan nada dari Mosgovskensky," gumamnya. "Tinggalkan alamat Anda,
Tuan Stavansson. Saya akan melaporkan perkembangan-perkembangan situasinya
nanti." Ketika tamu itu pergi, Tuppence langsung menyambar biola dari meja,
memasukkannya ke dalam lemari dan menguncinya.
"Kalau kau mau jadi Sherlock Holmes, aku akan memberimu satu jarum suntik dan
sebuah botol berlabel kokain. Tapi demi Tuhan, jangan kausentuh-sentuh lagi
biola itu. Kalau penjelajah manis itu tidak bersikap jujur dan sederhana, dia
akan bisa melihat dengan jelas siapa kau. Apa kau mau terus main jadi Sherlock
Holmes?" "Aku merasa bahwa aku bisa memainkannya dengan baik," kata Tommy dengan nada
puas. "Deduksinya bagus, kan" Dan terus-terang, tentang taksi itu aku untung-
untungan. Sebetulnya gampang. Satu-satunya cara kemari kan dengan taksi?"
"Untunglah aku baru membaca tentang pertunangannya di Daily Mirror pagi ini,"
kata Tuppence. "Ya. Memang bagus untuk memberi kesan betapa efisiennya Blunts Brilliant
Detectives. Ini benar-benar kasus Sherlock Holmes. Bahkan kau pun bisa melihat
persamaannya dengan menghilangnya Lady Frances Carfax."
"Apa kau membayangkan menemukan tubuh Nyonya Leigh Gordon di peti mati?"
"Biasanya, sejarah berulang lagi. Sebenarnya - ah, apa pendapatmu?"
"Hm, yang jelas, si Hermy ini kelihatannya takut menemui tunangannya. Alasannya
belum jelas. Tapi Lady Susan memberi dukungan padanya. Barangkali bisa dikatakan
bahwa wanita itu menghadapi suatu kegagalan dan berusaha menutupinya."
"Aku juga berpikir begitu," kata Tommy. "Tapi aku rasa kita harus benar-benar
yakin sebelum menyodorkan hal itu pada orang seperti Stavansson. Bagaimana kalau
kita lihat-lihat Maldon sebentar" Kita bawa saja beberapa tongkat golf."
Tuppence setuju. Agen Detektif Internasional dipercayakan pada Albert.
Walaupun Maldon merupakan daerah perumahan yang terkenal, tempat itu tidak
terlalu luas. Dengan cerdik Tommy dan Tuppence mencari informasi yang mereka
perlukan. Tetapi hasilnya nol. Pada waktu mereka kembali ke London sebuah ide
yang cemerlang muncul di kepala Tuppence.
"Tommy, kenapa mereka menulis Maldon Surrey di telegram itu?"
"Karena Maldon ada di Surrey, Bodoh."
"Kau sendiri yang bodoh - bukan itu maksudku. Kalau kau terima telegram dari -
misalnya Hastings, atau Torquay, mereka biasanya tidak menuliskan nama
wilayahnya, kan" Tapi dari Richmond, mereka menuliskan Richmond Surrey. Itu
karena ada dua Richmond."
Tommy memperlambat mobilnya.
"Tuppence, idemu memang bagus. Kita tanya kantor pos dulu, yuk."
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan kecil di tengah-tengah jalan desa.
Mereka hanya perlu beberapa menit untuk menemukan bahwa ada dua buah Maldon.
Yang pertama adalah Maldon, Surrey, dan kedua Maldon, Sussex. Yang belakangan
ini merupakan sebuah desa kecil, tetapi dilengkapi dengan kantor telegram.
"Itu dia," kata Tuppence senang. "Stavansson hanya tahu Maldon yang di Surrey.
Jadi dia tak memperhatikan kata yang berhuruf depan S setelah Maldon."
"Besok kita ke Maldon Sussex," kata Tommy.
Maldon, Sussex memang beda dengan Maldon, Surrey. Tempat itu terletak empat mil
dari stasiun kereta api, mempunyai dua gedung pertemuan untuk umum, dua toko,
sebuah kantor pos dan telegram yang juga menjual gula-gula dan kartu-pos
bergambar, dan tujuh pondok kecil. Tuppence masuk ke dalam toko sedangkan Tommy
masuk ke The Cock and Sparrow. Mereka bertemu setengah jam kemudian.
"Bagaimana?" tanya Tuppence.
"Birnya lumayan," jawab Tommy. "Tapi nggak ada info."
"Coba saja ke The Kings Head," kata Tuppence. "Aku akan kembali ke kantor pos.
Ada seorang wanita tua yang nyebelin tadi, tapi aku dengar mereka menyuruhnya
pergi makan." Dia kembali ke tempat itu dan melihat-lihat kartupos bergambar. Seorang gadis
berwajah segar dengan mulut mengunyah sesuatu, keluar dari ruang belakang.
"Saya mau beli yang ini," kata Tuppence. "Anda tak keberatan menunggu di sini
sebentar - saya ingin melihat-lihat yang lucu."
Tuppence pun memilih satu paket, sambil terus bicara.
"Sayang sekali Anda tidak bisa memberitahu alamat saudara saya. Dia tinggal di
dekat sini tapi alamatnya hilang. Namanya Leigh Wood."
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Saya tak ingat. Kecuali itu tidak banyak surat-surat yang kami terima di sini -
jadi saya pasti tahu kalau memang ada. Kecuali The Grange, tak banyak rumah-
rumah besar di sekitar sini."
"The Grange itu apa" Siapa yang punya?" tanya Tuppence.
"Dokter Horriston pemiliknya. Tempat itu sekarang sudah diubah jadi klinik
perawatan. Saya rasa banyak kasus-kasus penyakit saraf di situ. Banyak wanita-
wanita yang datang untuk istirahat, dan sebagainya. Yah - di sini memang tenang,"
gadis itu tertawa kecil. Dengan cepat Tuppence memilih beberapa kartu dan membayarnya.
"Itu mobil Dokter Horriston," kata gadis itu.
Tuppence cepat-cepat keluar dan dia melihat sebuah mobil kecil lewat.
Penumpangnya adalah seorang lelaki jangkung berkulit gelap dengan jenggot rapi
dan wajah yang kurang menyenangkan. Mobil itu berjalan terus. Tuppence melihat
Tommy menyeberang jalan menuju dia.
"Tom, aku rasa sudah ketemu. Klinik Dokter Horriston."
"Aku juga dengar tentang tempat itu di Kings Head, dan aku pikir barangkali kita
bisa mencari di situ. Tapi seandainya dia memang menderita penyakit saraf, teman
dan bibinya tentunya tahu, kan?"
"Yaaa - tapi bukan itu yang kumaksud. Kaulihat orang yang naik mobil kecil tadi?"
"Nggak enak dilihat."
"Itu Dokter Horriston."
Tommy bersiul. "Wah - wah. Bagaimana - perlu dilihat?"
Akhirnya mereka menemukan tempat itu. Sebuah rumah besar yang sepi, dengan
pembangkit tenaga listrik berada di halaman belakang.
"Uh, jelek benar," kata Tommy. "Aku kok ngeri ya. Rasanya soal ini akan jadi
lebih serius." "Oh, jangan. Kalau saja kita bisa bertindak tepat pada waktunya. Wanita itu
dalam bahaya. Aku merasakannya."
"Jangan hanyut dalam mimpimu," kata Tommy.
"Tak bisa. Aku tak bisa percaya pada orang itu. Apa yang akan kita lakukan"
Sebaiknya aku pijit bel saja, ya" Dan langsung tanya tentang Nyonya Leigh
Gordon. Aku ingin tahu jawabnya, karena barangkali kita bisa mendapat informasi
dengan cara terang-terangan."
Tuppence langsung bertindak. Pintu itu segera dibuka oleh seorang lelaki
berwajah kosong. "Saya ingin bertemu dengan Nyonya Leigh Gordon. Apa dia cukup sehat untuk
menemui saya?" Rasanya Tuppence melihat sebuah kilatan pada mata laki-laki itu. Tapi jawabannya
cukup cepat. "Nama itu tak ada di sini, Nyonya."
"Oh, masa" Ini klinik Dokter Horriston yang bernama The Grange, kan?"
"Betul, Nyonya, tapi tak ada yang bernama Nyonya Leigh Gordon di sini."
Karena bingung, Tuppence terpaksa mundur dan berkonsultasi dengan Tommy di luar.
"Barangkali dia tidak bohong. Kita kan tidak tahu."
"Tidak. Dia bohong. Aku yakin."
"Tunggu sampai dokter itu datang," kata Tommy. "Aku akan jadi wartawan yang
ingin tahu sistem penyembuhan dia yang paling baru. Dengan begitu aku akan tahu
letak ruangan-ruangan di tempat itu."
Dokter itu datang setengah jam kemudian.
Tommy masuk, tapi lima menit kemudian dia pun diusir keluar.
"Dokter itu sibuk dan tak bisa dihubungi. Dia tak pernah bicara dengan wartawan.
Tuppence, aku rasa kau benar. Ada yang nggak beres dengan tempat ini. Lokasinya
ideal - jauh dari tempat ramai. Dan apa pun bisa terjadi di tempat ini tanpa
diketahui orang." "Ayolah," kata Tuppence tegas. "Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan naik ke atas rumah itu. Barangkali tak ada yang lihat."
"Oke. Aku setuju."
Kebun itu memang rimbun dan bisa dipakai untuk bersembunyi. Tommy dan Tuppence
berhasil memanjat bagian belakang rumah itu tanpa dipergoki orang.
Di situ ada sebuah teras yang lebar dengan anak tangga menurun. Di tengah-tengah
ada beberapa jendela besar yang terbuka ke arah teras, tapi keduanya tak berani
memperlihatkan diri secara terang-terangan. Jendela tempat mereka mengintip
rupanya terlalu tinggi untuk bisa melihat ruangan di dalamnya. Tiba-tiba
Tuppence mencengkeram lengan Tommy.
Ada orang berbicara di kamar yang ada di dekat mereka. Jendela kamar itu terbuka
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sehingga pembicaraan mereka dapat didengar dari luar.
"Masuk - masuk saja dan tutup pintunya," kata suara seorang laki-laki dengan
jengkel. "Kau bilang ada seorang wanita datang menanyakan Nyonya Leigh Gordon?"
Tuppence mengenali suara orang yang diajak bicara, yaitu laki-laki yang
membukakan pintu tadi. "Ya, Tuan." "Dan kaubilang dia tidak di sini, kan?"
"Ya, Tuan." "Dan sekarang wartawan itu," gumamnya.
Tiba-tiba dia mendekati jendela dan membuka gorden. Kedua orang yang bersembunyi
di semak-semak itu bisa melihat Dr. Horriston.
"Aku justru kuatir dengan tamu wanita itu. Bagaimana rupanya?" tanya Dokter
Horriston. "Muda, cantik, dan modis, Tuan."
Tommy menggelitik tulang iga Tuppence.
"Hm, benar rupanya," kata dokter itu. "Aku rasa dia teman Nyonya Leigh Gordon.
Huh - menyulitkan saja. Aku harus mulai..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Tommy dan Tuppence mendengar jendela
ditutup. Sepi. Dengan hati-hati Tommy berjalan ke luar. Ketika mereka sudah agak jauh, dia
berkata, "Tuppence, persoalannya tambah serius. Mereka akan berbuat sesuatu yang tidak
baik. Aku rasa kita harus segera kembali ke kota dan bicara dengan Stavansson."
Anehnya, Tuppence menggelengkan kepala.
"Kita harus tetap di sini. Apa kau tidak dengar bahwa dia akan mulai melakukan
sesuatu" Itu bisa berarti macam-macam."
"Sialnya, yang ini belum bisa dibilang sebagai kasus yang pantas kita laporkan
pada polisi." "Begini, Tom. Kautelepon Stavansson dari desa. Aku tunggu di sini."
"Ya - barangkali itu yang terbaik. Tapi, Tuppence...," kata suaminya.
"Kenapa?" "Kau hati-hati, ya!"
"Tentu saja, Tolol. Jangan kuatir."
Dua jam kemudian Tommy kembali. Dia melihat Tuppence menunggu di dekat pintu
pagar. "Bagaimana?" "Aku tak bisa menghubungi Stavansson. Lalu aku coba menelepon Lady Susan. Tapi
dia juga tidak ada. Lalu aku menelepon Brady dan menyuruh lihat Horriston di
Direktori Medis atau yang semacam itulah."
"Apa yang dikatakan Dr. Brady?"
"Oh! Dia langsung kenal nama itu. Horriston dulu memang seorang dokter yang
bonafid. Tapi kemudian dia gagal. Brady menyebutnya sebagai dukun bejat, dan dia
berkata tak akan heran kalau terjadi sesuatu yang aneh-aneh. Persoalannya
sekarang, apa yang akan kita lakukan?"
"Kita harus tetap di sini," kata Tuppence tegas. "Aku merasa bahwa mereka akan
melakukan sesuatu malam ini. O, ya, ada tukang kebun yang memotong tanaman-
tanaman jalar di pagar baru-baru ini. Dan aku tahu di mana dia meletakkan
tangga." "Bagus, Tuppence," kata suaminya memuji. "Kalau begitu malam ini..."
"Begitu gelap..."
"Kita akan melihat..."
"Apa yang akan kita lihat?"
Tommy ganti mengawasi rumah itu, sementara Tuppence pergi ke desa dan makan.
Kemudian Tuppence kembali dan mereka bersama-sama memperhatikan rumah itu. Pada
jam sembilan mereka sepakat untuk mulai beraksi. Mereka dapat mengitari rumah
itu dengan bebas. Tiba-tiba Tuppence mencengkeram lengan Tommy.
"Dengar." Suara yang didengarnya terdengar kembali - samar-samar. Suara itu adalah suara
rintihan seorang wanita yang kesakitan. Tuppence menunjuk ke atas, ke sebuah
jendela di tingkat dua. "Dari kamar itu," bisiknya.
Sekali lagi mereka mendengar suara kesakitan yang lirih memecah udara malam.
Kedua pendengar itu memutuskan untuk melaksanakan rencana mereka. Tuppence
berjalan ke tempat tangga. Mereka membawa dan meletakkannya di dekat jendela di
mana mereka mendengar suara orang kesakitan. Semua tirai jendela bawah sudah
ditutup, tetapi jendela kamar yang satu itu masih terbuka.
Tommy meletakkan tangga dengan hati-hati.
"Aku akan naik. Kau di bawah saja," kata Tuppence. "Aku tak keberatan naik
tangga dan kau bisa memeganginya dengan baik. Dan kalau dokter itu datang kau
bisa menghadapi dia lebih baik dariku."
Dengan hati-hati Tuppence merayap naik dan melongokkan lehernya untuk melihat
jendela. Lalu dia keluarkan lagi kepalanya dengan cepat. Satu atau dua menit
kemudian dia melongok lagi. Dia memperhatikan selama kira-kira lima menit, lalu
turun. "Dia," katanya dengan kacau. "Oh, Tom, menyedihkan sekali. Dia tidur di atas
tempat tidur, merintih sambil bergolek-golek. Dan ketika aku sedang
memperhatikan, tiba-tiba ada seorang perawat masuk. Dia menunduk dan
menyuntikkan sesuatu di bawah lengannya. Lalu pergi lagi. Apa yang akan kita
lakukan?" "Apa dia sadar?"
"Aku rasa begitu. Ya, aku yakin dia sadar. Apa dia tadi diikat, ya" Aku mau naik
lagi. Dan kalau bisa, aku akan masuk ke kamar itu."
"Tuppence..." "Kalau aku dalam bahaya, aku akan menjerit."
Karena tak ingin berbantah lagi, Tuppence cepat-cepat naik tangga. Tommy
melihatnya masuk ke dalam kamar lewat jendela. Tuppence pun menghilang.
Sekarang Tommy yang menderita. Dia tidak dapat mendengar apa-apa. Tuppence dan
Nyonya Leigh Gordon pasti bicara berbisik-bisik - seandainya mereka bicara.
Akhirnya dia pun bisa mendengar suara orang bergumam. Hatinya lega. Tapi tiba-
tiba suara itu berhenti. Sepi.
Tommy meregangkan telinganya. Tak terdengar apa-apa. Apa yang mereka lakukan"
Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahunya.
"Ayo," kata Tuppence dalam gelap.
"Tuppence! Bagaimana kau datang ke tempat ini?"
"Lewat pintu depan. Kita pergi saja."
"Pergi?" "Ya." "Tapi - Nyonya Leigh Gordon?"
Dengan nada pahit yang tak terlukiskan Tuppence menjawab,
"Ngurusin badan!"
Tommy memandangnya tidak mengerti.
"Apa maksudmu?"
"Aku bilang ngurusin badan. Ngurangi berat. Apa kau tidak dengar Stavansson
bilang dia benci wanita gemuk" Dua tahun ditinggal, Hermy-nya itu jadi gemuk.
Kelabakan waktu tahu bahwa tunangannya kembali dan cepat-cepat ke tempat Dr.
Horriston untuk ngurusin badan. Dia punya cara baru. Dengan injeksi atau apa.
Penemuannya dirahasiakan dan biayanya mencekik leher. Dia memang dukun. Tapi
dukun sukses! Stavansson datang dua minggu lebih awal, ketika Hermy baru mulai
mendapat perawatan khusus. Lady Susan telah disumpah untuk tidak membocorkan
rahasia, dan dia pegang janji. Dan kita datang ke sini seperti orang tolol!"
Tommy menarik napas panjang.
"Watson, aku rasa ada sebuah konser bagus di Queens Hall besok. Kita akan punya
banyak waktu. Dan kau akan minta padaku agar tidak memasukkan kasus ini dalam
rekor kita. Sama sekali tidak ada bagusnya!"
10. Lelaki Buta "BENAR," kata Tommy, lalu meletakkan telepon. Kemudian dia berpaling kepada
Tuppence. "Dari Bos. Kelihatannya orang yang harus kita hadapi telah tahu bahwa
aku bukan Theodore Blunt asli. Kita harus siap setiap saat. Dan Bos bilang
sebaiknya kau pulang dan tinggal di rumah, dan tak melibatkan diri dalam kasus
ini. Kelihatannya sarang lebah yang kita kutak-kutik lebih besar dari yang kita
perkirakan." "Pokoknya aku tak akan pulang," kata Tuppence dengan tegas. "Siapa yang akan
menjagamu kalau aku pulang" Kecuali itu aku juga suka dengan keributan ini.
Usaha kita kan sepi-sepi saja belakangan ini."
"Tentu saja pembunuhan dan perampokan tidak terjadi setiap hari. Yang logis
sajalah. Aku pikir sebaiknya begini. Kalau nggak ada urusan, kita berlatih
sendiri saja." "Latihan berbaring telentang dan mengayun-ayunkan kaki di udara" Itu maksudmu?"
"Jangan menginterpretasikannya seperti anak kecil, dong! Latihan yang kumaksud
kan latihan seni detektif. Reproduksi dari para ahli, begitu. Misalnya..."
Dari laci yang ada di sisinya Tommy mengambil topeng mata hijau tua yang amat
besar. Dipasangnya topeng itu dengan hati-hati. Kemudian dia mengambil jam dari
sakunya. "Kacanya pecah tadi pagi," kata Tommy. "Jam itu jadi tidak punya kristal dan
bisa kuraba-raba." "Hati-hati," kata Tuppence. "Jarumnya yang pendek hampir jatuh."
"Coba kesinikan tanganmu," kata Tommy. Dia memegang tangan Tuppence dengan satu
jari, merasakan nadinya. "Ah! Bisa ditebak. Wanita ini tidak punya penyakit
jantung." "Apa kau mau jadi Thornley Colton?" tanya Tuppence.
"Betul. Si Problemis buta. Dan kau - apa ya - mm - sekretaris berambut hitam..."
"Popok bayi yang ditemukan di pinggir kali," kata Tuppence menyelesaikan
kalimatnya. "Dan Albert jadi Fee alias Shrimp."
"Kita harus mengajarnya omong Ge?," kata Tuppence. "Dan suaranya harus agak
melengking, bukan serak."
"Di dinding dekat pintu ada tongkat yang akan membantu jari-jariku yang
sensitif." Dia berdiri dan menabrak sebuah kursi.
"Sialan! Aku lupa ada kursi di situ."
"Pasti nggak enak ya jadi orang buta," kata Tuppence penuh perasaan.
"Benar," jawab Tommy. "Aku paling kasihan pada mereka yang kehilangan
penglihatan dalam perang daripada yang lainnya. Tapi katanya kalau kita hidup
dalam kegelapan, kita bisa mengembangkan perasaan-perasaan khusus. Itulah yang
ingin kulihat. Dan tentunya akan menyenangkan kalau bisa melatih seseorang
sampai terbiasa dalam gelap. Sekarang tolong kau jadi Sydney Thames yang baik.
Berapa langkah kira-kira jarak ke tongkat itu?"
Tuppence membuat perkiraan kasar.
"Tiga lurus, lima ke kiri," katanya cepat.
Tommy mengira-ngira dan melangkah. Tapi Tuppence berteriak ketika sadar bahwa
langkah keempat ke kiri akan membuat suaminya menabrak dinding.
"Susah, susah," katanya. "Susah membuat perkiraan berapa langkah yang
diperlukan." "Oh, ini menyenangkan," kata Tommy. "Panggil Albert. Suruh masuk. Aku ingin
salaman dengan kalian dan menebak tangan siapa yang kupegang."
"Ya - ya. Tapi Albert harus cuci tangan dulu. Tangannya kan biasanya lengket
karena permen yang dimakannya itu."
Albert, yang diberitahu tentang permainan itu, sangat senang.
Setelah selesai bersalaman, Tommy tersenyum puas.
"Keyboard bisu itu tak bisa membohongi," gumamnya. "Yang pertama Albert, yang
kedua Tuppence." "Salah!" seru Tuppence melengking. "Huh - pakai keyboard bisu segala! Kau menebak
dengan cincin kawin, kan" Tapi cincin itu kupindah ke jari Albert."
Beberapa eksperimen mereka lakukan dengan hasil berbeda-beda.
"Aku sudah punya feeling sekarang," kata Tommy. "Tentu saja pertama-tama kita
tidak bisa selalu benar. Sekarang begini. Sebentar lagi kan makan siang. Kau dan
aku makan di Blitz, Tuppence. Orang buta dan teman setianya. Kita praktek di
sana." "Kita pasti dapat kesulitan nanti," kata Tuppence.
"Tidak - tidak. Aku akan bersikap manis. Dan pada akhir makan siang nanti aku akan
membuat kejutan." Semua protes tidak diindahkan, dan seperempat jam kemudian terlihatlah Tommy dan
Tuppence duduk dengan enak di sebuah sudut Gold Room Hotel Blitz.
Tommy meraba-raba menu dengan ujung jarinya.
"Aku mau Pilaff de Homard dan Grilled Chicken," gumamnya.
Tuppence juga memilih makanannya. Pelayan pun pergi.
"Sampai saat ini semua lancar," kata Tommy. "Sekarang eksperimen yang lebih
jauh. Wah - indah betul kaki gadis bergaun mini itu - yang baru datang."
"Kok kamu tahu?"
"Kaki-kaki yang indah memberikan getaran tertentu pada lantai yang kemudian
diterima oleh tongkatku yang berongga ini. Atau - kalau mau jujur - di restoran
besar seperti ini, biasanya ada seorang gadis berkaki indah yang berdiri di
pintu mencari-cari temannya. Dan sekarang kan sedang musim rok mini - jadi kakinya
pasti kelihatan bagus."
Mereka melanjutkan makan.
"Laki-laki yang duduk dua meja di dekat kita kelihatannya kaya," kata Tommy
asal-asalan. "Bagus," kata Tuppence memuji. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku tidak bisa selalu menjelaskan padamu bagaimana aku melakukannya setiap
kali, dong! Pelayan kepala itu sedang menuang sampanye di meja ketiga sebelah
kanan. Seorang wanita gemuk akan melewati meja kita."
"Tommy, kamu kok bisa..."
"He - kau mulai melihat apa yang bisa kulakukan, ya" Nah, ada gadis manis berbaju
coklat di belakangmu."
"Salah, seorang pemuda berbaju abu-abu," kata Tuppence.
"Oh!" kata Tommy kecewa sesaat.
Pada saat itu dua orang laki-laki yang duduk tidak jauh dari mereka dan
memperhatikan mereka cukup lama, berdiri dan mendatangi mereka.
"Maaf," kata yang lebih tua, seorang lelaki tinggi berbaju rapi, berkacamata dan
berkumis kecil, "ada yang mengatakan bahwa Anda adalah Tuan Theodore Blunt.
Apakah itu benar?" Tommy ragu-ragu sejenak dan merasa agak menyesal. Tapi kemudian dia
menganggukkan kepalanya. "Memang benar. Saya Tuan Blunt."
"Ah, ini sebuah kebetulan! Tuan Blunt, saya tadi bermaksud akan menelepon Anda
di kantor, setelah makan siang. Saya dalam kesulitan - kesulitan besar. Tapi - maaf -
apakah mata Anda cedera karena suatu kecelakaan?"
"Ah," kata Tommy dengan nada melankolis. "Saya memang buta - sama sekali buta."
"Apa?" "Anda heran. Apa belum pernah dengar tentang detektif buta?"
"Sudah, tapi di buku cerita. Dan saya belum pernah dengar bahwa Anda buta."
"Memang tak banyak yang tahu," gumam Tommy. "Hari ini saya memakai tutup mata
untuk melindungi bola mata saya dari cahaya. Kalau saya tidak memakainya banyak
yang tidak tahu kekurangan saya. Mata saya tak bisa membohongi saya. Tapi
sudahlah. Kita tak perlu bicara tentang hal itu lagi. Apa kita sekarang pergi ke
kantor saya" Atau Anda ingin menceritakan kasus Anda di sini" Saya rasa
sebaiknya di sini saja."
Seorang pelayan membawa dua buah kursi untuk mereka dan keduanya pun duduk.
Laki-laki satunya yang belum mengeluarkan sepatah kata pun, berbadan lebih
pendek, kekar dan berkulit gelap.
"Ini amat rahasia," kata si tua dengan agak berbisik. Dia memandang Tuppence
dengan ragu-ragu. Tuan Blunt kelihatannya merasakan pandangan itu.
"Saya kenalkan dulu sekretaris saya," katanya. "Nona Ganges. Ditemukan di
pinggir Sungai Gangga - sewaktu masih bayi dalam bedong. Sangat menyedihkan. Nona
Ganges adalah mata saya. Dia selalu mengantarkan saya ke mana-mana."
Orang asing itu membungkukkan badannya.
"Sekarang saya bisa bicara. Tuan Blunt, anak perempuan saya yang berumur enam
belas tahun, telah dibawa lari orang. Saya baru tahu setengah jam yang lalu.
Karena situasi kasus itu sedemikian rupa, saya tak berani memanggil polisi. Tapi
saya menelepon kantor Anda. Mereka katakan Anda sedang keluar makan dan akan
kembali lagi jam setengah tiga. Saya datang kemari bersama kawan saya. Kapten
Harker...." Laki-laki yang lebih pendek itu menganggukkan kepalanya dan menggumamkan
sesuatu. "Secara kebetulan kita bertemu di sini. Kita tak boleh membuang-buang waktu.
Anda harus ikut ke tempat saya sekarang juga."
Tommy bergumam dengan hati-hati.
"Saya dapat ikut Anda setengah jam lagi. Saya harus kembali ke kantor dulu."
Kapten Harker yang melirik Tuppence mungkin akan heran jika melihat senyum di
ujung bibirnya.
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak - tidak. Anda harus ikut saya." Laki-laki berambut abu-abu itu mengeluarkan
sebuah kartu dari sakunya dan menyodorkannya pada Tommy. "Ini nama saya."
Tommy merabanya dengan ujung jari.
"Jari saya tidak cukup sensitif untuk membacanya," katanya sambil tersenyum dan
memberikannya pada Tuppence, yang membacanya dengan suara rendah, "Duke of
Blairgowrie." Tuppence memandang kliennya dengan penuh perhatian. Duke dari Blairgowrie
dikenal sebagai seorang yang angkuh dan sulit didekati, seorang bangsawan yang
menikah dengan anak seorang tukang daging dari Chicago yang jauh lebih muda
darinya dan sangat lincah, sehingga kurang cocok dengan dirinya. Gosip tentang
hubungan yang kurang serasi pun telah terdengar.
"Anda akan segera pergi, Tuan Blunt?" katanya dengan nada agak jengkel.
Tommy pun menyerah. "Nona Ganges dan saya akan pergi bersama Anda," katanya tenang. "Anda bisa
menunggu saya untuk minum kopi sebentar" Mereka akan segera menyiapkannya. Saya
sering pusing karena sakit mata ini. Dan kopi itu akan membantu saya."
Dia memanggil seorang pelayan dan memesan kopi. Kemudian dia berkata kepada
Tuppence, "Nona Ganges - saya akan makan siang besok di sini dengan Kepala Polisi Prancis.
Tolong ditulis dan berikan pada kepala pelayan supaya menyiapkan meja saya
seperti biasa. Saya sedang membantu polisi Prancis. The fee - " dia diam, " -
cukupanlah. Anda siap, Nona Ganges?"
"Siap," kata Tuppence dengan gaya yang sesuai.
"Kita akan mulai dengan Salad of Shrimps yang spesial itu. Setelah itu - sebentar -
diikuti dengan - ya. Omelette Blitz, dan barangkali dua Toundedos a l'Etranger."
Tommy mendongak, memandang mata Duke.
"Maafkan saya," katanya bergumam. "Ah! Ya, Souffle en surprise. Itu hidangan
terakhir. Seorang pribadi yang sangat menarik Kepala Polisi itu. Barangkali Anda
kenal?" Yang ditanya tidak mengiakan. Tuppence berdiri dan bicara dengan kepala pelayan.
Ketika dia kembali lagi, pelayan pun datang membawa kopi.
Tommy meneguk kopinya perlahan, lalu berdiri.
"Tongkat saya, Nona Ganges. Terima kasih. Beri arah."
Tuppence merasa sulit. "Satu ke kanan. Delapan belas lurus. Kira-kira langkah kelima ada seorang
pelayan di meja sebelah kiri."
Tommy berangkat sambil mengayunkan tongkatnya. Tuppence berjalan merapat sambil
menyetir suaminya diam-diam. Semua berjalan lancar sampai mereka melewati pintu.
Seorang laki-laki masuk dengan tergesa-gesa dan sebelum Tuppence sempat
memperingatkan Tuan Blunt yang buta, dia langsung menabrak orang itu. Ucapan
maaf dan penjelasan pun menyusul.
Di dekat pintu hotel itu sebuah mobil kecil yang cantik sudah menunggu. Duke
sendiri membantu Tuan Blunt masuk.
"Kau bawa mobil, Harker?" tanyanya.
"Ya, di ujung sana."
"Tolong bawa Nona Ganges."
Sebelum terdengar jawaban, dia meloncat naik dan duduk di samping Tommy. Mobil
pun berjalan pergi. "Masalah yang amat peka," gumam Duke. "Saya akan segera memberitahu Anda tentang
semua detilnya." Tommy mengangkat tangannya di atas kepala.
"Saya bisa membuka topeng sekarang," katanya gembira. "Saya tidak tahan dengan
cahaya lampu di restoran tadi."
Tapi lengannya diturunkan dengan paksa. Pada saat itu pula dia merasa sebuah
benda keras dan bulat ditodongkan ke rusuknya. "Tidak, Tuan Blunt," kata Duke
dengan nada suara yang tiba-tiba berubah. "Anda tak perlu membuka topeng itu.
Yang harus Anda lakukan adalah duduk tenang dan tidak bergerak. Mengerti" Saya
tak ingin pistol ini meletus. Tahu nggak, kebetulan saya bukanlah Duke dari
Blairgowrie. Saya cuma pinjam namanya karena saya yakin Anda tak akan menolak
permintaan seorang terhormat seperti itu. Saya hanya seorang pedagang daging
babi yang kehilangan istri."
Dia merasa bahwa Tommy terkejut.
"Anda mengerti rupanya," katanya sambil tertawa. "Kawan yang baik, kau benar-
benar tolol. Aku kuatir - aku benar-benar kuatir - jangan-jangan kegiatanmu terputus
nanti." Dia mengatakan kalimatnya yang terakhir dengan sinis.
Tommy duduk tak bergerak. Dia tak mau meladeni pancingan lawannya.
Akhirnya mobil itu mengurangi kecepatannya dan berhenti.
"Sebentar," kata Duke Palsu. Dengan cekatan dia memilin saputangan dan
memasukkannya ke mulut Tommy. Setelah itu dia mengikatkan saputangannya di
sekeliling mulut. "Ini untuk jaga-jaga, barangkali kau akan berbuat tolol dan
berteriak minta tolong."
Pintu mobil itu terbuka dan sopir berdiri siap. Dia dan tuannya mengapit Tommy
dan membawanya naik dengan cepat masuk ke sebuah rumah.
Pintu di belakang mereka tertutup. Tommy menghirup udara berbau rempah-rempah.
Kakinya menginjak sesuatu yang empuk seperti beludru. Kemudian dia dibawa naik
lewat sebuah tangga yang kira-kira ada di bagian belakang rumah, dan kemudian
masuk ke sebuah kamar. Di sini kedua laki-laki itu mengikat tangannya. Si sopir
keluar lagi dan yang satu membuka sumbat mulut.
"Kau bisa omong bebas sekarang," katanya senang. "Coba ceritakan tentang
dirimu." Tommy membersihkan tenggorokan dan melemaskan ujung mulutnya yang kaku.
"Kuharap kau tidak membuang tongkatku. Harganya cukup mahal."
"Kau memang berani," kata laki-laki itu setelah diam sejenak. "Atau kau
barangkali tolol" Apa kau tidak mengerti bahwa kau ada di tanganku" Di bawah
kekuasaanku" Bahwa orang yang mengenalmu tak akan bisa melihatmu lagi?"
"Apa kau perlu bersikap dramatis seperti itu?" tanya Tommy sedih. "Apa aku perlu
berkata Tunggu pembalasanku, Bajingan" Kata-kata seperti itu sudah kuno."
"Bagaimana dengan gadis itu?" kata yang lain. "Apa kau tidak peduli?"
"Aku sudah mengambil kesimpulan pada waktu aku terpaksa bungkam," kata Tommy,
"dan aku merasa yakin bahwa si Harker cerewet itu pun seorang berandal sekaliber
kau, karena itu, sekretarisku pasti akan ikut ke sini tak lama lagi."
"Satu hal benar. Tapi yang lain salah. Nyonya Beresford - harap maklum bahwa aku
tahu dengan baik siapa sesungguhnya kalian berdua - dia tak akan dibawa kemari.
Ini merupakan suatu tindakan pencegahan yang harus kuambil, karena mungkin
teman-temanmu yang pejabat tinggi itu membayangi semua langkah-langkahmu. Dengan
membagi perhatian seperti ini, mungkin kalian tak bisa dibuntuti. Setidaknya,
aku punya satu orang dalam kekuasaanku. Sekarang aku menunggu...."
Dia diam ketika pintu terbuka. Si sopir bicara,
"Tak ada yang membuntuti kita, Pak. Semua beres."
"Bagus. Terima kasih, Gregory."
Pintu itu tertutup lagi. "Sejauh ini semua beres," kata Duke Palsu. "Sekarang, apa yang harus kita
lakukan, Tuan Beresford Blunt?"
"Saya berharap Anda bersedia membuka topeng mata saya ini," kata Tommy.
"Aku rasa tidak perlu. Dengan topeng itu kau menjadi benar-benar buta. Dan tanpa
benda itu kau akan bisa melihat seperti aku - dan itu tak akan cocok dengan
rencana kecilku. Karena aku punya rencana. Kau memang suka dengan fiksi
sensasional, Tuan Blunt. Permainan yang kaulakukan bersama istrimu tadi adalah
sebuah bukti. Dan aku juga sudah merencanakan sebuah permainan kecil - suatu
permainan yang cukup menarik - nanti akan kujelaskan padamu.
"Begini. Lantai tempatmu berdiri itu terbuat dari logam. Di sana-sini di
permukaan lantai itu ada beberapa proyeksi. Dengan sentuhan sebuah tombol -
begitu." Terdengar suara klik yang cukup keras. "Sekarang aliran listrik mengalir. Jika salah satu tonjolan
itu terinjak itu berarti - mati! Mengerti" Kalau kau bisa melihat... tapi kau
tidak bisa. Kau dalam gelap. Itulah permainannya - permainan orang buta. Kalau kau
bisa mencapai pintu dengan selamat - kau bebas! Tapi sebelum kau sampai di pintu,
aku rasa kau pasti sudah menginjak salah satu tonjolan itu - dan itu merupakan
suatu tontonan yang menarik - bagiku!"
Dia maju ke depan dan melepaskan ikatan tangan Tommy. Kemudian dia memberikan
tongkatnya dan membungkuk dengan sinis.
"Problemis buta. Kita lihat saja apakah kau bisa menyelesaikan problem ini. Aku
akan berdiri di sini dengan pistol siap di tangan. Kalau kau mengangkat tanganmu
untuk melepas topeng itu, aku siap menembak. Jelas?"
"Sangat jelas," kata Tommy. Wajahnya agak pucat tetapi tetap penuh keyakinan.
"Aku sama sekali tak punya kesempatan keluar, kan?"
"Oh! Itu..." Lawan bicaranya hanya mengangkat bahu.
"Kau memang betul-betul licik," kata Tommy. "Tapi kau lupa satu hal. Apa aku
boleh menyalakan rokok" Rasanya hatiku berdebar-debar."
"Boleh. Tapi jangan coba-coba menipu. Ingat, aku memperhatikanmu dengan pistol
di tangan." "Aku bukan anjing tontonan," jawab Tommy. "Jadi aku tak bisa memberi pertunjukan
tipuan." Dia mengambil sebuah rokok dari tempatnya, lalu meraba-raba mencari
korek api. "Jangan kuatir, aku tidak mencari pistol. O, ya, kau kan tahu bahwa
aku tak punya senjata, bukan" Hm... ya, bagaimanapun, kau melupakan satu hal."
"Apa itu?" Tommy mengeluarkan sebatang korek api. Siap untuk menyalakannya.
"Aku buta dan kau bisa melihat. Itu suatu kenyataan. Keuntungan ada di pihakmu.
Tapi seandainya - kita berdua dalam gelap" Apa keuntunganmu?"
Dia menyalakan rokoknya. "Duke" itu tertawa sombong.
"Kau berharap bisa mematikan tombol lampu sehingga ruangan ini gelap" Mana
bisa?" "Baik," kata Tommy. "Kalau aku tidak bisa memberimu kegelapan, aku akan
memberimu yang sebaliknya. Bagaimana dengan terang?"
Sambil bicara, dia menempelkan korek pada suatu benda yang dipegangnya, dan
melemparkannya ke atas meja.
Lidah-lidah api yang sangat besar menerangi ruangan.
Sesaat Duke Palsu itu terkejut dan silau dan merasa buta melihat sinar yang
begitu terang. Dia terjatuh ke belakang dan tangannya yang memegang pistol pun
ikut turun. Dia membuka matanya lagi karena merasa ada sebuah benda tajam menempel di
dadanya. "Lempar pistol itu," perintah Tommy. "Lempar cepat. Aku pun sependapat denganmu
bahwa tongkat berongga tak ada gunanya. Dan aku memang tak punya. Sebuah tongkat
pedang adalah senjata yang berguna. Benar, nggak" Sama pentingnya dengan kabel
magnesium. Lempar pistol itu!"
Orang itu menurut karena ancaman ujung pedang Tommy. Dia melempar pistolnya,
lalu sambil tertawa meloncat ke belakang.
"Tapi aku masih untung," katanya mengejek. "Karena bisa melihat dan kau tidak."
"Itulah kesalahanmu," kata Tommy. "Aku bisa melihat dengan jelas. Topeng mata
ini palsu. Aku sengaja memakai yang palsu dulu dan setelah selesai makan siang
bermaksud menggantinya dengan yang asli. Sebetulnya aku bisa saja menghindari
orang yang menabrakku di pintu tadi dengan mudah. Tapi aku tidak percaya bahwa
kau bermain jujur. Aku tahu bahwa kau tak akan membiarkan aku keluar dari tempat
ini dengan selamat. Jadi hati-hati sekarang...."
Dengan wajah merah karena marah, Duke Palsu meloncat ke depan, dan lupa
meletakkan kakinya sendiri di tempat yang aman.
Terlihat sebuah kilatan biru. Tubuh laki-laki itu bergoyang, lalu jatuh seperti
balok kayu. Bau daging terpanggang memenuhi ruangan itu, bercampur dengan bau
ozone yang lebih keras. "Huh," dengus Tommy.
Dia mengusap mukanya. Dengan sangat hati-hati dia bergerak mendekati dinding dan memijit tombol.
Kemudian dia menyeberangi ruangan itu, membuka pintu dengan hati-hati dan
melihat keluar. Tak terlihat seorang pun di sekitar tempat itu. Dia menuruni
tangga dan keluar lewat pintu depan.
Setelah sampai di jalan dengan selamat, dia perhatikan nomor rumah itu dengan
perasaan ngeri. Kemudian dia bergegas pergi ke telepon umum.
Dia merasa begitu tegang. Tapi kemudian sebuah suara yang dikenalnya menjawab
dan membuatnya lega. "Tuppence, ya Tuhan!"
"Ya - aku tak apa-apa. Aku ngerti kodemu. Fee, Shrimp, datang ke Blitz dan
mengikuti dua orang asing itu. Albert datang tepat pada waktunya, dan
mengikutiku dengan taksi. Dia tahu tempatku disembunyikan, lalu menelepon
polisi." "Albert memang baik," kata Tommy. "Pemberani. Aku tahu bahwa dia membuntutimu.
Bagaimanapun, aku tetap kuatir. Banyak yang ingin kuceritakan. Aku langsung
pulang sekarang. Dan yang pertama akan kulakukan nanti ialah menulis sebuah cek
dengan jumlah besar untuk. St. Dunstan. Menyedihkan sekali kalau kita tak bisa
melihat." 11. Lelaki Dalam Kabut TOMMY merasa tidak bahagia. Blunts Brilliant Detectives mengalami kemunduran.
Ini tidak saja merugikan nama kebanggaan mereka, tapi juga kantong mereka.
Mereka gagal memenuhi panggilan untuk menemukan kalung mutiara yang dicuri orang
di Adlington Hall, Adlington. Pada waktu Tommy sibuk membayangi Countess yang
suka berjudi dengan menyamar sebagai seorang pastor, dan Tuppence sibuk dengan
seorang kemenakan pemilik kalung di lapangan golf, dengan tenang seorang
inspektur polisi menangkap seorang pelayan yang ternyata memang seorang pencuri
ulung yang sudah dikenal polisi. Dia mengakui perbuatannya tanpa membantah
sedikit pun. Karena itu, Tommy dan Tuppence pun mundur dengan rasa malu yang ditahan-tahan.
Saat ini mereka menghibur diri dengan menikmati koktil di Hotel Grand Adlington.
Tommy masih memakai pakaian pastornya.
"Sama sekali nggak ada sentuhan Father Brown-nya," katanya sedih. "Padahal aku
punya payung yang sesuai."
"Itu bukan kasus Father Brown," kata Tuppence. "Dari pertama kita perlu atmosfer
tertentu. Harusnya, orang melakukan hal-hal yang sederhana dulu. Belakangan baru
terjadi yang aneh-aneh. Begitu."
"Sayangnya, kita harus kembali pulang," kata Tommy. "Barangkali sesuatu yang
aneh akan terjadi di jalan ke stasiun."
Dia mengangkat gelas ke bibirnya. Tetapi cairan yang ada di dalamnya tiba-tiba
saja tumpah karena sebuah tangan yang berat menepuk bahunya, dan terdengar suara
nyaring. "Hei - Tommy! Tommy, ya" Dan Nyonya Tommy" Kau muncul dan mana" Sudah seabad
rasanya tidak melihatmu."
"Oh - Bulger!" kata Tommy sambil meletakkan gelasnya. Dia menoleh pada seorang
laki-laki besar berbahu lebar, berwajah kemerahan, dan berumur tiga puluhan
dengan pakaian golf. Bulger!
"Ah," kata Bulger (yang nama sebenarnya adalah Mervyn Estcourt), "aku tak tahu
bahwa kau mendapat panggilan. Rasanya pakaianmu itu nggak cocok."
Tuppence tertawa terpingkal-pingkal dan Tommy kelihatan malu. Mereka kemudian
sadar bahwa ada orang keempat.
Seorang wanita tinggi langsing dengan rambut keemasan dan mata yang amat biru -
sangat cantik - berbaju hitam mahal dengan mantel bulu dan giwang mutiara yang
amat besar. Dia tersenyum. Dan senyum itu penuh arti. Misalnya, dia sadar bahwa
dirinya adalah seorang wanita cantik - wanita tercantik di Inggris - bahkan di dunia
barangkali. Dia tidak minta pengakuan untuk hal itu, tetapi dia memang tahu dan
yakin. Itu saja. Baik Tommy maupun Tuppence segera mengenalinya. Mereka pernah melihatnya tiga
kali dalam Secret of the Heart, dan beberapa kali dalam sukses besar yang sama,
yaitu dalam Pillars of Fire, dan beberapa pertunjukan lainnya. Barangkali tak
ada aktris lain kecuali Nona Gilda Glen yang dapat merebut hati orang Inggris.
Semua orang tahu bahwa dia adalah wanita Inggris yang paling cantik. Dan -
berdasarkan desas-desus - yang paling bodoh.
"Kawan-kawan lama saya, Nona Glen," kata Estcourt dengan nada minta maaf karena
telah melupakannya. "Tommy dan Nyonya Tommy, ini adalah Nona Gilda Glen."
Nada bangga terdengar dalam suaranya. Hanya karena mereka bersama-sama,
kelihatannya si Cantik sudah melimpahkan kehormatan padanya.
Aktris itu memandang Tommy dengan penuh perhatian.
"Apa Anda benar-benar seorang biarawan" Biarawan Katolik" Saya rasa mereka tidak
punya istri." Estcourt tertawa terpingkal-pingkal lagi.
"Bagus," katanya. "Kau memang penipu, Tommy. Untunglah dia tidak menceraikan
Anda, Nyonya Tommy."
Gilda Glen tidak menangkap pernyataan itu. Dia terus memandang Tommy dengan mata
bingung dan bertanya-tanya.
"Apa Anda pastor?"
"Sangat sedikit orang yang benar-benar seperti yang kelihatan oleh kita," kata
Tommy dengan lembut. "Profesi saya bukan tidak seperti pastor. (Catatan editor:
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalimatnya aneh...) Saya tidak memberi pengampunan - tapi saya mendengar pengakuan
dosa - saya..." "Jangan dengarkan dia," kata Estcourt. "Dia hanya main-main."
"Tapi kalau Anda bukan pastor, kenapa pakai baju seperti itu?" katanya heran.
"Kecuali..." "Anda seorang kriminil yang sedang melarikan diri," sela Tommy. "Sebaliknya."
"Oh!" katanya sambil memandang Tommy dengan mata cantik ketakutan.
Aku rasa dia tidak mengerti apa yang kumaksud, pikir Tommy. Kecuali kalau aku
terjemahkan dalam satu kata saja.
Dia berkata dengan keras,
"Kau tahu kereta yang kembali ke kota, Bulger" Kami harus cepat pulang. Berapa
jauh jarak ke stasiun?"
"Sepuluh menit jalan. Tapi nggak usah cepat-cepat. Kereta itu akan berangkat jam
6.35. Dan sekarang baru jam enam kurang dua puluh. Kereta sebelumnya baru saja
berangkat." "Lewat mana kalau mau ke stasiun?"
"Belok kiri langsung, begitu kau keluar dari hotel. Lalu - sebentar - lewat Morgans
Avenue yang paling gampang aku rasa...."
"Morgans Avenue?" Nona Glen memandangnya dengan mata terkejut.
"Saya tahu apa yang Anda pikir," kata Estcourt sambil tertawa. "Hantu. Di satu
sisi Morgans Avenue memang ada kuburan. Dan orang-orang percaya bahwa ketika ada
seorang polisi meninggal karena kekerasan, hantunya gentayangan di jalan itu.
Polisi jadi-jadian! Percaya, nggak" Tapi banyak yang bilang bahwa mereka pernah
melihatnya." "Polisi?" tanya Nona Glen. Dia sedikit gemetar. "Hantu, sebenarnya tidak ada,
kan" Maksud saya, hal-hal seperti itu tak ada, kan?"
Dia berdiri dan merapatkan mantel pembungkus badannya.
"Mari," katanya.
Dia sama sekali tidak memperhatikan Tuppence dan ketika pergi sedikit pun tak
melirik padanya. Tapi dia sempat melihat Tommy sekilas dengan pandangan bertanya
kebingungan. Ketika sampai di pintu dia berpapasan dengan seorang laki-laki jangkung berambut
abu-abu dan bermuka merah yang berseru heran. Tangannya langsung menggandeng
lengan wanita itu dan mereka pun bicara dengan akrab.
"Cantik, ya?" kata Estcourt. "Otaknya otak kelinci. Orang banyak bergosip bahwa
dia akan menikah dengan Lord Leconbury. Itu dia orangnya ada di pintu."
"Kelihatannya bukan tipe laki-laki yang baik untuk dikawini," kata Tuppence.
Estcourt hanya mengangkat bahu.
"Tapi sebuah titel bangsawan rupanya masih punya daya tarik juga," katanya. "Dan
Leconbury bukannya orang yang miskin. Gadis itu akan hidup senang. Padahal tak
seorang pun tahu asalnya dari mana. Aku rasa juga tak jauh dari selokan. Ada
yang misterius dengan kedatangannya di tempat ini. Dia tidak tinggal di hotel.
Dan ketika aku mencari tahu di mana dia tinggal, dia marah dan menghinaku dengan
kasar. Kalau saja aku tahu."
Dia melirik jam tangannya dan berseru terkejut.
"Wah, aku harus pergi. Senang rasanya bisa ketemu kalian lagi. Kita harus kumpul
dan ngobrol lagi nanti. Aku pergi dulu, ya!"
Dia bergegas pergi. Pada saat itu seorang pelayan datang membawa sebuah surat di
atas nampan. Surat itu tidak beralamat.
"Ini untuk Tuan," katanya. "Dari Nona Gilda Glen."
Tommy merobek dan membacanya dengan rasa ingin tahu. Dia membaca beberapa
kalimat dengan tulisan tangan yang tidak rapi.
Saya tidak terlalu yakin, tapi rasanya Anda bisa membantu saya. Pergilah ke
stasiun lewat jalan itu. Apa Anda bisa berada di White House, Morgans Avenue,
pukul enam lewat sepuluh"
Salam, Gilda Glen. Tommy mengangguk pada pelayan yang kemudian pergi, dan memberikan surat itu pada
Tuppence. "Luar biasa," katanya. "Apa ini karena dia mengira bahwa kau pastor?"
"Tidak," kata Tommy sambil merenung. "Justru sebaliknya - karena aku bukan seorang
pastor, dan dia tertarik. He, apa itu?"
Yang ditanyakan Tommy adalah seorang pemuda berambut merah, dengan dagu
menantang dan baju acak-acakan. Dia masuk ruangan itu dan sekarang berjalan
hilir-mudik sambil mengomel sendirian.
"Neraka!" kata pemuda berambut merah itu dengan suara lantang. "Itulah - neraka!"
Dia menjatuhkan badannya di kursi yang ada di dekat Tommy dan Tuppence, lalu
memandang keduanya dengan pandangan sendu.
"Dasar perempuan," katanya sambil melirik Tuppence dengan marah. "Oh! Bikinlah
gara-gara kalau Anda mau. Usirlah saya dari hotel ini! Ini bukan pertama
kalinya. Kenapa kita tak boleh mengatakan apa yang kita pikirkan" Kenapa kita
harus menutup-nutupi perasaan sendiri" Dan hanya mengatakan hal-hal yang sama
dengan orang-orang lainnya" Saya tak merasa ingin menyenangkan seseorang atau
berlaku sopan. Saya merasa seperti ingin mencekik seseorang dan pelan-pelan
memerah nyawanya sampai habis."
Dia diam. "Ada orang tertentu yang menyebabkan?" tanya Tuppence. "Atau siapa saja?"
"Satu orang tertentu," kata pemuda itu dengan muram.
"Menarik sekali," lanjut Tuppence. "Bisa diceritakan?"
"Nama saya Reilly," kata pemuda berambut merah itu. "James Reilly. Barangkali
Anda pernah mendengarnya. Saya menulis beberapa sajak tentang perdamaian - cukup
bagus." "Sajak-sajak Perdamaian?" tanya Tuppence.
"Ya - kenapa tidak?" kata Tuan Reilly tersinggung.
"Oh! Tak apa-apa," kata Tuppence cepat.
"Saya selalu memihak perdamaian," kata Reilly dengan bersemangat. "Dan
terkutuklah perang. Dan perempuan. Perempuan! Anda lihat makhluk yang baru
berkeliaran di sini tadi" Gilda Glen. Dia menamakan dirinya Gilda Glen! Tuhan.
Saya dulu memang memuja perempuan itu. Dan dengarkan ini. Kalaupun dia punya
hati - hati itu pasti ada pada saya. Dia pernah mencintai saya. Dan saya bisa
membuatnya mencintai saya lagi. Oh, mudah-mudahan Tuhan melindungi dia. Dia akan
menjual dirinya pada si Leconbury itu. Dan saya akan membunuh perempuan itu
dengan tangan saya sendiri."
Tiba-tiba dia berdiri dan keluar dari ruangan.
Tommy hanya mengernyitkan alis matanya.
"Seorang pemuda yang agak mengejutkan. Bagaimana, kita berangkat, Tuppence?"
Kabut tipis menyongsong mereka ketika mereka sampai di luar hotel. Mereka
mengikuti arah yang diberikan Estcourt. Keduanya berbelok ke kiri, dan beberapa
menit kemudian sampai di sebuah belokan yang bernama Morgans Avenue.
Kabut bertambah tebal. Kelihatan lembut dan putih. Di sisi kiri mereka terdapat
dinding pagar kuburan yang tinggi, dan di sisi kanan terdapat deretan rumah-
rumah kecil. Akhirnya deretan rumah kecil itu hilang dan terlihatlah sebuah
pagar tanaman. "Tommy," kata Tuppence. "Aku kok merasa ngeri, ya. Kabut ini. Dan begitu sepi.
Seolah-olah kita ini jauh terpencil."
"Ya, memang bisa menimbulkan perasaan begitu," kata Tommy. "Sendiri di dunia.
Itu efek dari kabut dan ketidakmampuan kita melihat ke depan."
Tuppence mengangguk. "Cuma langkah kaki kita saja yang kedengaran bergema. Apa
itu?" "Apa?" "Rasanya aku juga mendengar langkah kaki lain di belakang kita."
"Sebentar lagi kau akan melihat hantu kalau ketakutan seperti itu," kata Tommy.
"Jangan takut. Apa kau takut polisi jadi-jadian itu menempelkan tangannya di
bahumu?" Tuppence menjerit. "Jangan, Tom. Sekarang kau membuatku berpikir tentang itu."
Tuppence menjulurkan kepala ke belakang, mencoba menembus kabut yang menghalangi
mereka. "Tuh, kedengaran lagi," bisiknya. "Sekarang ada di depan. Oh, Tommy, apa kau
tidak mendengarnya?"
"Aku memang mendengar sesuatu. Ya, langkah kaki di belakang kita. Ada orang lain
yang lewat jalan ini untuk mengejar kereta yang sama. Apa..."
Tiba-tiba dia berhenti dan berdiri kaku, dan Tuppence terperangah.
Karena tirai kabut di depan mereka terbuka dengan tiba-tiba dan kira-kira dua
puluh kaki dari mereka berdiri seorang polisi yang amat besar, seolah-olah
muncul dari balik kabut. Satu menit yang lalu dia tak ada di situ. Satu menit
kemudian dia muncul di situ - seolah-olah begitulah yang dilihat kedua pasangan
itu. Lalu ketika kabut itu lewat, sebuah pemandangan pun kelihatan - seolah-olah
terjadi di atas panggung.
Polisi besar berbaju biru, pilar persegi berwarna merah, dan di sebelah kanan
jalan samar-samar terlihat sebuah rumah putih.
"Merah, putih, dan biru," kata Tommy. "Benar-benar hidup. Ayo, Tuppence. Tak ada
yang perlu ditakuti."
Dan memang benar. Polisi itu memang seorang polisi dan ternyata dia tidak
sebesar yang mereka lihat ketika tertutup kabut.
Tapi ketika mereka berjalan ke depan, mereka mendengar langkah kaki di belakang.
Seorang laki-laki melewati mereka dengan tergesa-gesa. Dia berbelok di pagar
rumah putih, menuruni tangga, lalu mengetuk pintu dengan keras. Pintu itu dibuka
ketika Tommy dan Tuppence sampai di tempat polisi itu berdiri dan memandang
mereka. "Orang itu kelihatannya tergesa-gesa," kata si polisi berkomentar.
Dia bicara dengan suara pelan. Seperti orang yang bicara sambil berpikir.
"Dia memang selalu tergesa-gesa," kata Tommy.
Polisi memandangnya dengan agak curiga.
"Teman Anda?" tanyanya. Nada suaranya curiga.
"Bukan," kata Tommy. "Bukan teman saya. Tapi saya kebetulan tahu dia. Namanya
Reilly." "Ah!" kata polisi itu. "Sebaiknya saya terus jalan."
"Anda tahu di mana letaknya White House?" tanya Tommy.
Polisi itu memiringkan kepalanya.
"Itu dia. Rumah Nyonya Honeycott." Dia diam dan kemudian menambahkan. "Penakut.
Selalu curiga ada maling di sekitarnya. Selalu minta supaya saya melihat-lihat
dan berjaga di rumahnya. Wanita setengah baya memang begitu, barangkali."
"Setengah baya, ya?" kata Tommy. "Apa Anda barangkali tahu seorang wanita muda
yang tinggal di situ?"
"Wanita muda," ulang pak polisi mencoba mengingat. "Wanita muda. Rasanya tidak."
"Barangkali dia tidak tinggal di situ, Tom," kata Tuppence. "Dan barangkali dia
belum sampai. Mungkin dia berangkat setelah kita pergi."
"Ah!" kata polisi itu tiba-tiba. "Saya ingat. Memang ada seorang wanita muda
masuk ke rumah itu. Saya melihatnya ketika saya baru datang dari ujung jalan.
Kira-kira tiga atau empat menit yang lalu."
"Dengan baju mantel bulu?" tanya Tuppence.
"Ada semacam kelinci putih di lehernya," kata polisi.
Tuppence tersenyum. Polisi itu terus berjalan ke arah jalan Tommy dan Tuppence
datang tadi. Mereka sekarang sudah dekat ke pintu masuk White House.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu
depan pun terbuka dan James Reilly keluar dengan terburu-buru. Wajahnya pucat-
pasi, matanya terbelalak dan seolah tak melihat apa yang ada di depannya. Dia
berjalan seperti orang mabuk.
Dia melewati Tommy dan Tuppence seolah-olah tak melihat mereka, sambil komat-
kamit sendiri. "Tuhanku! Tuhanku! Oh, Tuhanku!"
Tangannya kemudian mencengkeram pintu pagar, seolah-olah ingin menguatkan diri,
lalu tiba-tiba saja dia lari ke jalan ke arah yang berlawanan dengan si polisi
tadi. 12. Lelaki Dalam Kabut (Lanjutan)
TOMMY dan Tuppence saling berpandangan, bingung.
"Hm," kata Tommy. "Ada sesuatu yang terjadi di rumah itu, yang membuat Reilly
ketakutan setengah mati."
Tuppence dengan tenang menggoreskan jarinya di pintu pagar.
"Dia pasti memegang cat berwarna merah di suatu tempat," katanya.
"Hm. Aku rasa kita sebaiknya cepat-cepat masuk," kata Tommy. "Aku belum mengerti
persoalannya." Di tengah pintu seorang pelayan bertopi putih berdiri dengan muka marah.
"Apa Pastor pernah melihat pemandangan seperti itu?" katanya ketika Tommy
menuruni anak tangga. "Laki-laki itu datang dan menanyakan nona muda, lalu
berlari naik tangga tanpa omong apa-apa. Nona muda menjerit seperti kucing buas -
lalu saya nggak tahu kenapa - laki-laki itu berlari turun dengan muka pucat
seperti orang yang baru melihat hantu. Apa artinya ini semua?"
"Kau bicara dengan siapa, Ellen?" tanya sebuah suara tajam dari dalam.
"Ini, Nyonya," katanya.
Pelayan itu masuk dan Tommy pun berhadapan dengan seorang wanita setengah baya
berambut abu-abu, bermata biru, dan berkacamata bulat. Tubuhnya yang gemuk
terbungkus baju hitam. "Nyonya Honeycott?" kata Tommy. "Saya ingin bertemu dengan Nona Glen."
Nyonya Honeycott memandangnya dengan tajam. Lalu pandangannya beralih meneliti
Tuppence dengan cermat. "Oh! Kalau begitu silakan masuk," katanya.
Dia membawa mereka masuk ke sebuah kamar yang menghadap kebun di bagian
belakang. Kamar itu sebenarnya cukup luas, tapi karena memuat meja dan kursi
yang besar-besar, jadinya kelihatan kecil. Api besar menyala di perapian, dan
sebuah sofa yang tertutup kain cita berdiri di satu sisinya. Kertas penutup
dindingnya bergaris abu-abu kecil dengan bunga-bunga mawar menggerombol di
bagian atas. Beberapa lukisan dan ukiran menghias dinding ruangan.
Ini adalah sebuah ruangan yang rasanya kurang cocok dengan penampilan mahal Nona
Gilda Glen. "Silakan masuk," kata Nyonya Honeycott. "Pertama-tama saya minta maaf dan harap
Anda mengerti bahwa saya tidak bersimpati pada agama Katolik. Saya tak pernah
membayangkan seorang pastor Katolik masuk rumah saya. Tapi kalau Gilda telah
pergi ke tempat pelacuran, ya - memang bisa dimengerti - barangkali juga lebih buruk
keadaannya. Mungkin dia sama sekali tak beragama. Dan rasanya saya lebih bisa
menerima agama Katolik kalau pendetanya boleh menikah - saya biasa bicara terus-
terang. Saya tak bisa membayangkan biara-biara itu - begitu banyak gadis-gadis
cantik dikurung di sana, dan tak seorang pun tahu apa yang terjadi dengan mereka
- ah, saya nggak bisa membayangkan."
Nyonya Honeycott benar-benar berhenti. Dia menarik napas panjang.
Tanpa menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan agama, Tommy langsung berkata,
"Nyonya Honeycott, saya dengar Nona Glen ada di sini."
"Benar. Tapi harap Anda ketahui. Saya tak setuju. Perkawinan adalah perkawinan.
Dan suami ya suami. Kalau kita membersihkan tempat tidur kita, kita juga tidur
di situ." "Saya tidak mengerti," kata Tommy bingung.
"Ya, saya mengerti. Itulah mengapa saya ajak Anda masuk ke sini. Anda bisa
menemui dia setelah saya bicara nanti. Dia datang kepada saya - setelah bertahun-
tahun tidak ketemu - dan minta agar saya menolongnya. Dia ingin agar saya menemui
laki-laki itu dan membujuk agar mau menceraikan dia. Saya katakan terus-terang
bahwa saya tidak mau tahu tentang urusan itu. Cerai itu dosa. Tapi saya tak bisa
menolak adik saya untuk menumpang di sini, kan?"
"Adik Anda?" seru Tommy.
"Ya. Gilda itu adik saya. Dia belum cerita?"
Tommy memandangnya dengan mulut terbuka. Rasanya hal itu terlalu fantastis.
Kemudian Tommy ingat bahwa kecantikan Gilda Glen memang sudah menonjol dari
dulu. Waktu dia masih kecil pun, dia sudah kelihatan menarik. Ya, memang
mungkin. Tapi kok seperti langit dan bumi bedanya. Jadi dari keluarga kelas
menengah rupanya dia berasal. Pandai benar dia menyembunyikan rahasia itu!
"Saya belum jelas," kata Tommy. "Adik Anda sudah menikah?"
"Kawin lari ketika umur tujuh belas," kata Nyonya Honeycott dengan jelas.
"Dengan seorang pemuda biasa yang kelasnya di bawah dia. Dan ayah kami adalah
seorang pendeta. Ini sebuah corengan. Lalu dia meninggalkan suaminya dan masuk
dunia panggung. Berakting! Saya sendiri seumur hidup belum pernah masuk gedung
teater. Saya tak ingin bersentuhan dengan kekejaman. Dan sekarang - setelah
bertahun-tahun - dia ingin menceraikan suaminya. Saya rasa dia ingin menikah
dengan orang yang lebih hebat. Tapi suaminya tetap berdiri tegak - dia tak mau
dipermainkan dan tak mau disuap - saya mengagumi sikapnya itu."
"Siapa namanya?" tanya Tommy tiba-tiba.
"Nah, itu memang aneh - tapi saya benar-benar tidak ingat! Sudah dua puluh tahun
berlalu. Ayah tidak ingin nama itu disebut-sebut. Dan saya menolak membicarakan
soal itu dengan Gilda. Dia mengerti sikap saya dan tidak memaksa."
"Namanya bukan Reilly, kan?"
"Bisa saja. Saya benar-benar tidak tahu. Tidak ada di pikiran saya."
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang yang saya maksud itu baru dari sini."
"Oh, orang itu! Saya pikir orang gila yang lepas. Saya tadi ada di dapur memberi
instruksi pada Ellen. Saya baru saja keluar dari ruang itu dan berpikir-pikir
apa Gilda sudah datang (dia punya kunci sendiri), karena saya merasa mendengar
dia. Dia ragu-ragu sejenak di lorong dan akhirnya naik ke atas. Kira-kira tiga
menit kemudian mulailah keributan itu terjadi. Saya melihat di gang ada seorang
laki-laki berlari naik lalu turun lagi terburu-buru seperti orang gila. Benar-
benar brengsek." Tommy berdiri. "Nyonya Honeycott, mari kita ke atas. Jangan-jangan..."
"Ada apa?" "Jangan-jangan Anda tak punya cat merah di rumah ini."
Nyonya Honeycott memandangnya. "Tentu saja tidak."
"Itulah yang kukuatirkan," kata Tommy. "Izinkan kami pergi ke kamar adik Anda."
Tanpa berkata apa-apa, Nyonya Honeycott berjalan ke luar. Mereka melihat Ellen
yang buru-buru masuk ke sebuah kamar.
Nyonya Honeycott membuka pintu pertama di lantai atas. Tommy dan Tuppence masuk
di belakangnya. Tiba-tiba wanita itu berseru kaget dan jatuh ke belakang.
Sesosok tubuh bergaun hitam terbujur di atas sofa. Wajahnya bersih - cantik, dan
kelihatan seperti seorang anak yang tidur lelap. Tetapi dia mati. Luka yang ada
di sisi kepalanya menunjukkan adanya pukulan keras dengan benda tumpul yang
meremukkan tengkorak. Darah menetes pelan ke lantai tapi luka itu sendiri telah
beberapa waktu tak lagi mengeluarkan darah....
Tommy memeriksa mayat itu. Wajahnya menjadi pucat.
"Jadi dia sama sekali tidak mencekiknya," kata Tommy.
"Apa maksud Anda" Siapa?" seru Nyonya Honeycott. "Apa dia meninggal?"
"Oh, ya, Nyonya Honeycott. Dia mati. Dibunuh. Pertanyaannya ialah - oleh siapa"
Sebetulnya itu bukan pertanyaan Aneh - memang kata-katanya nyerocos begitu saja.
Tapi aku rasa bukan dia."
Dia diam sejenak, lalu menoleh pada Tuppence dengan tegas,
"Kau bisa keluar dan cari polisi atau menelepon polisi dari telepon umum?"
Tuppence mengangguk. Mukanya juga kelihatan pucat. Tommy membawa Nyonya
Honeycott ke bawah. "Saya tidak ingin keliru dalam hal ini," katanya. "Apakah Anda tahu persis jam
berapa adik Anda tadi datang?"
"Ya," kata Nyonya Honeycott. "Karena saya sedang mencocokkan jam waktu itu. Saya
harus melakukannya tiap sore karena jam itu kecepatan lima menit. Waktu itu jam
saya tepat jam enam lebih delapan menit. Jam itu tak pernah rusak."
Tommy mengangguk. Itu cocok dengan kata-kata polisi tadi. Dia melihat wanita
berpakaian bulu putih itu masuk kira-kira tiga menit sebelum Tommy dan Tuppence
datang. Waktu itu Tommy melihat jamnya dan dia tahu bahwa dia terlambat satu
menit dari waktu yang dijanjikan.
Barangkali ada seseorang yang menunggu Gilda Glen di dalam kamar. Tapi kalau
demikian dia pasti masih sembunyi di rumah itu. Dan tak seorang pun meninggalkan
rumah kecuali James Reilly.
Tommy naik ke atas dan memeriksa kamar-kamar di sana, dengan cepat dan teliti.
Tapi tak ada siapa-siapa yang bersembunyi di situ.
Kemudian dia bicara dengan Ellen. Setelah memberitahu apa yang terjadi dan
menunggunya selesai mengungkapkan rasa sedihnya, dia menanyai pelayan itu.
"Apakah ada orang datang ke rumah dan mencari Nona Glen siang tadi" Tak seorang
pun. Apakah dia sendiri ada di loteng sepanjang petang" Ya, dia pergi ke loteng
jam enam untuk menutup gorden - atau barangkali beberapa menit sesudah jam enam.
Yang jelas dia naik sebelum laki-laki gila itu datang menggedor pintu depan. Dia
turun membukakan pintu. Padahal lelaki itu seorang pembunuh berdarah dingin."
Tommy membiarkannya bicara. Tapi dia masih merasa kasihan pada Reilly dan merasa
enggan untuk percaya bahwa dialah pembunuhnya. Tapi tak seorang pun punya
kemungkinan itu kecuali dia. Nyonya Honeycott dan Ellen saja yang ada di rumah
itu. Dia mendengar suara orang di ruang depan. Ternyata Tuppence datang bersama
polisi yang tadi. Polisi itu mengeluarkan buku catatan dan sebatang pensil yang
agak tumpul, yang dijilatnya dengan sembunyi-sembunyi. Dia naik ke atas dan
memeriksa korban. Dia hanya berkata bahwa tidak berani menyentuh apa-apa karena
Inspektur akan marah. Dia mendengarkan keterangan Nyonya Honeycott yang kacau
dan membingungkan dan kadang-kadang menulis sesuatu dalam catatannya.
Kedatangannya memberi rasa tenang.
Akhirnya Tommy berhasil bicara satu-dua menit di luar, ketika polisi itu pergi
untuk menelepon kantornya.
"Maaf," kata Tommy. "Anda tadi mengatakan melihat korban masuk di pintu pagar.
Apa dia benar-benar sendiri?"
"Oh, ya, tak seorang pun bersama dia."
"Dan antara waktu itu dan waktu kedatangan kami, tak seorang pun keluar dari
pintu pagar?" "Tak seorang pun."
"Kalaupun ada, Anda yakin pasti melihatnya?"
"Tentu saja. Tak ada siapa pun yang keluar sampai laki-laki gila itu pergi."
Hamba hukum itu berjalan dengan gagah dan berhenti di pintu pagar yang putih dan
mengamati bekas jari yang merah karena darah.
"Pasti seorang amatir," katanya dengan nada kasihan.
Lalu dia melangkah ke luar.
Keesokan harinya, Tommy dan Tuppence masih menginap di Grand Hotel. Tapi Tommy
menganggap bahwa sebaiknya dia membuang jubah pastornya.
James Reilly dicurigai dan ditangkap. Pembelanya, Tuan Marvell, baru saja bicara
panjang-lebar dengan Tommy tentang apa yang terjadi.
"Saya tak percaya bahwa itu perbuatan James Reilly," katanya. "Omongannya memang
kasar, tapi hanya sampai di situ saja."
Tommy mengangguk. "Orang yang banyak bicara memang belum tentu banyak berbuat. Yang saya tahu
adalah saya akan menjadi salah seorang saksi yang memberatkan dia. Dan kata-kata
yang diucapkannya sebelum kejadian itu sangat memberatkan dia. Sebetulnya saya
suka padanya. Kalau misalnya ada orang lain yang bisa dicurigai, saya akan
menganggap dia tak bersalah. Bagaimana ceritanya?"
Pengacara itu memonyongkan bibirnya.
"Dia bilang bahwa dia menemukan wanita itu terbaring mati. Tapi itu tentu saja
tidak mungkin. Dia berbohong - asal Anda tahu saja."
"Karena kalau apa yang dikatakan itu benar, maka Nyonya Honeycott-lah yang
melakukan pembunuhan - dan itu terlalu fantastis. Ya, pasti dia yang
melakukannya." "Dan ingat, pelayan itu mendengar dia berteriak."
"Pelayan - ya..."
Tommy diam sesaat. Lalu dia berkata sambil merenung.
"Heran. Kenapa kita begitu mudah percaya akan sesuatu" Kita mempercayai bukti
seolah-olah bukti merupakan kebenaran. Padahal, apa sebenarnya bukti itu" Hanya
suatu kesan yang diteruskan ke pikiran oleh perasaan. Dan seandainya kesan itu
keliru?" Pengacara itu hanya tahu bahwa ada saksi-saksi yang kurang bisa dipercaya - yang
bisa ingat lebih baik ketika waktu berjalan - tanpa tujuan atau maksud-maksud
jahat tertentu. "Bukan hanya itu yang saya maksud. Maksud saya, kita semua - kita mengatakan
sesuatu yang bukan sebenarnya. Dan itu tidak kita sadari. Misalnya Anda, dan
saya. Kita sama-sama berkata, Itu pos. Padahal kita cuma mendengar ketukan dua
kali dan suara kerotak kotak pos. Memang kita benar - dan kemungkinannya hanya
seorang anak kecil yang sedang bermain-main. Mengerti maksud saya?"
"Ya - a," kata Tuan Marvell perlahan. "Tapi saya tak mengerti arah pembicaraan
ini." "Benarkah" Saya sendiri juga tak yakin apakah saya mengerti. Tapi saya mulai
melihatnya. Ini seperti sebuah tongkat, Tuppence. Satu ujungnya menghadap ke
satu arah dan ujung yang lain ke arah yang berlawanan. Ini tergantung dari mana
kita melihatnya. Pintu terbuka - tapi juga tertutup. Orang naik ke lantai atas,
tapi mereka juga turun ke bawah. Kotak-kotak tertutup, tetapi mereka juga
terbuka." "Apa maksudmu?" tanya Tuppence.
"Sebetulnya mudah saja," kata Tommy. "Tetapi hal itu baru terpikir olehku.
Bagaimana kau tahu ada orang masuk ke rumah" Kaudengar pintu dibuka dan
dibanting. Dan kalau kau sedang menunggu seseorang, kau yakin bahwa dialah yang
datang. Tapi bisa saja kan bahwa ternyata ada seseorang yang keluar?"
"Tapi Nona Glen tidak keluar, kan?"
"Tidak. Aku tahu bahwa dia tidak keluar. Tapi orang lain - si pembunuh."
"Kalau begitu bagaimana Nona Glen masuk?"
"Dia masuk ketika Nyonya Honeycott sedang berada di dapur dan bicara dengan
Ellen. Mereka tidak tahu dia datang. Nyonya Honeycott kembali ke ruang duduk
sambil berpikir apakah adiknya sudah datang. Dia mencocokkan jam. Pada saat itu
dia seperti mendengar suara orang naik ke atas."
"Nah, kalau begitu bagaimana?"
"Sebenarnya Ellen-lah yang naik ke atas untuk menutup gorden. Ingat nggak,
Nyonya Honeycott berkata bahwa adiknya berhenti sejenak sebelum naik" Padahal
yang sebenarnya terjadi adalah Ellen berjalan dari dapur ke ruang depan. Waktu
itulah si pembunuh lolos."
"Tapi, Tom!" seru Tuppence. "Nona Glen kan menjerit?"
"Itu suara James Reilly. Ingat nggak, suaranya tinggi" Pada waktu emosi naik,
suara laki-laki bisa saja melengking seperti suara wanita."
"Tapi pembunuh itu" Tentunya kita bisa melihat dia, kan?"
"Kita memang melihat dia. Kita bahkan berdiri dan bicara dengan dia. Kau ingat
betapa mengejutkan cara polisi itu muncul di depan kita" Itu karena dia keluar
dari pintu pagar, tepat ketika kabut hilang dari jalan. Dia membuat kita
terkejut. Ingat" Bagaimanapun, polisi adalah manusia juga. Mereka punya rasa
cinta dan benci. Mereka menikah..."
"Aku rasa Gilda Glen bertemu dengan suaminya di luar pintu itu dan mengajak dia
masuk untuk menyelesaikan persoalan. Laki-laki itu memang tak banyak bicara
seperti Reilly. Dia juga tidak suka mengancam. Tapi sekali marah langsung... Dan
dia memang selalu membawa-bawa pentungan karetnya...."
13. Crackler "TUPPENCE," kata Tommy. "Kita harus pindah ke kantor yang lebih besar."
"He - apa-apaan?" kata Tuppence. "Jangan besar kepala. Kau kan bukan seorang
milyuner. Kasus-kasus remeh dengan bayaran murah itu pun bisa kauselesaikan
karena nasib baik saja."
"Ya - yang dikatakan sebagian orang nasib baik itu oleh orang lain disebut
keahlian." "Itu kalau kau merasa dirimu seorang Sherlock Holmes, Thorndyke, McCarty, dan
Okewood Bersaudara yang digabung jadi satu. Tapi kau sendiri lebih suka punya
nasib baik daripada segala macam keahlian itu."
"Barangkali kau betul juga," kata Tommy tidak membantah. "Pokoknya sekarang kita
perlu ruangan yang lebih luas, Tuppence."
"Kenapa?" "Buku-buku klasik ini," kata Tommy. "Kita perlu tambahan beberapa ratus meter
rak buku kalau mau menonjolkan Edgar Wallace."
"Kita kan belum pernah punya kasus seperti Edgar Wallace."
"Rasanya kita tak akan punya - karena dia tak bergaya amatir. Semuanya serba
Scotland Yard," kata Tommy.
Albert muncul di pintu. "Inspektur Marriot ingin bertemu, Pak," katanya.
"Manusia misterius dari Scotland Yard," gumam Tommy.
"Manusia paling sibuk," kata Tuppence.
Pak Inspektur mendekati mereka dengan senyum cerah.
"Apa kabar, nih?" katanya ramah. "Nggak ada yang mengecewakan, kan?"
"Oh, tidak," sahut Tuppence. "Sangat mendebarkan dan menyenangkan."
"Wah, barangkali saya tak akan begitu mengatakannya," katanya dengan hati-hati.
"Ada berita apa, Marriot" Tumben datang ke sini" Ada sesuatu yang khusus?" kata
Tommy. "Bukan hanya sekadar kata-kata hiburan, kan?"
"Oh, bukan, bukan. Satu tugas untuk Detektif Blunt yang brilian."
"Ha!" kata Tommy. "Sebentar, saya mau kelihatan brilian sedikit."
"Saya datang untuk menawarkan sesuatu, Tuan Beresford. Bagaimana kalau Anda
membereskan sebuah komplotan besar?"
"Apa itu ada?" tanya Tommy.
"Apa maksud Anda?"
"Bayangan saya, komplotan hanya ada di buku-buku cerita fiksi."
"Wah. Ada. Lumayan banyak, malah. Memang komplotan perusak tidak terlalu banyak.
Tapi sekarang ini mereka mulai berkeliaran."
"Saya tak tahu apakah saya bisa menghadapi sebuah komplotan," kata Tommy. "Kalau
kriminal amatir - yang terjadi pada sebuah keluarga yang punya kehidupan tenang -
ya, boleh dikata saya cukup lihai. Sebuah drama rumah tangga - itu amat menarik -
dengan bantuan Tuppence yang kenal baik dengan detil-detil feminin yang amat
penting, tapi terlalu sepele sehingga sering dilupakan laki-laki."
Omongannya yang bertele-tele itu langsung dipotong Tuppence dengan melempar
bantal kursi dan minta dia agar tidak bicara lagi.
"Anda akan menyukainya," kata Inspektur Marriot sambil tersenyum kebapakan pada
mereka. "Saya benar-benar gembira melihat Anda berdua senang dan bahagia."
"Apa kami senang?" kata Tuppence sambil membelalakkan mata lebar-lebar. "Saya
rasa ya. Saya tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya."
"Kembali ke persoalan komplotan tadi," kata Tommy. "Dengan praktek penyelidikan
privat yang biasa saya lakukan untuk para bangsawan, para milyuner, dan orang-
orang terkenal, saya terpaksa turun derajat dengan menangani komplotan itu.
Terus-terang saya tak ingin Scotland Yard dipersalahkan. Dan Anda pasti akan
dikejar-kejar Daily Mail."
"Seperti saya katakan tadi, Anda pasti menyukainya. Sebenarnya begini." Dia
menyeret kursinya sedikit ke depan. "Kami mengetahui bahwa ada sejumlah uang
palsu beredar saat ini - beratus-ratus! Dan jumlahnya akan membuat Anda
tercengang. Memang cukup ahli mereka. Ini contohnya."
Dia mengeluarkan lembaran satu pound dan memberikannya kepada Tommy.
"Kelihatan asli, bukan?"
Tommy memperhatikan baik-baik.
"Wah, saya tak akan tahu kalau ini uang palsu."
"Ya - juga orang-orang lain. Sekarang, ini yang asli. Saya tunjukkan bedanya -
sangat kecil, tapi Anda akan segera bisa membedakannya dengan mudah. Pakai kaca
pembesar ini." Setelah dilatih selama lima menit, Tommy dan Tuppence pun menjadi ahli.
"Apa yang Anda ingin kami lakukan, Inspektur Marriot?" tanya Tuppence.
"Mengawasi benda-benda ini?"
"Lebih dari itu, Nyonya Beresford. Saya percayakan pada Anda berdua untuk
membongkar akarnya. Dari hasil penyelidikan, uang palsu ini ternyata beredar di
West End. Seseorang dari kalangan atas yang mendistribusi uang itu. Mereka juga
mensirkulasikannya di seberang Selat Inggris. Dan ada seseorang yang menarik
perhatian kami. Mayor Laidlaw. Barangkali Anda pernah dengar namanya?"
"Rasanya pernah," kata Tommy. "Biasanya berhubungan dengan pacuan kuda, kalau
nggak salah." "Ya. Mayor Laidlaw dikenal baik dalam hubungannya dengan Turf. Sebenarnya tak
ada hal khusus yang memberatkan dia, tapi ada kesan yang kurang baik mengenai
dirinya sehubungan dengan satu atau dua transaksi yang tak jelas. Kalau kita
sebut namanya di depan orang-orang yang dikenalnya, reaksi mereka aneh. Tak
seorang pun tahu dengan baik masa lalunya, atau dari mana asalnya. Dia punya
seorang istri Prancis yang cantik. Pergaulannya luas dan pengagumnya berderet-
deret. Pasangan itu punya gaya hidup mewah dan saya ingin tahu dari mana mereka
mendapatkan uang." "Barangkali dari pengagumnya yang berderet-deret," kata Tommy.
"Memang begitu kesannya. Tetapi saya tidak yakin. Barangkali ini suatu kebetulan
saja. Tapi banyak uang palsu keluar dan klub judi yang didatangi pasangan itu.
Dan tempat-tempat judi serta arena pacuan kuda seperti itu memang merupakan
tempat yang baik untuk mensirkulasikan uang palsu."
"Dan apa yang akan kita lakukan?"
"Begini. St. Vincent muda dan istrinya adalah teman-teman Anda, kan" Mereka
kenal baik dengan pasangan Laidlaw. Melalui mereka Anda bisa kenal dengan
pasangan Laidlaw dan mengawasi mereka. Kami sendiri tak akan bisa mengenal
mereka dengan cara seperti itu. Mereka tak akan tahu siapa Anda sebenarnya. Dan
Anda akan punya kesempatan baik."
"Sebenarnya apa yang harus kita cari?"
"Dari mana mereka mendapatkan benda itu kalau memang mereka yang mengedarkan."
"Hm, ya," kata Tommy. "Mayor Laidlaw keluar dengan koper kosong. Lalu ketika
kembali kopernya penuh dengan uang. Bagaimana bisa begitu" Saya harus ikuti dan
selidiki dia. Begitu?"
"Ya, kira-kira begitu. Tapi jangan melupakan istrinya, dan ayahnya, Monsieur
Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Heroulade. Ingat, uang itu diedarkan di kedua sisi Selat Inggris."
"Tuan Marriot," kata Tommy agak tersinggung, "Blunts Brilliant Detectives tidak
mengenal kata lupa."
Inspektur itu berdiri. "Baiklah kalau demikian, semoga berhasil," katanya, lalu pergi.
"Slush," kata Tuppence dengan antusias.
"Eh?" kata Tommy bingung.
"Uang palsu," jelas Tuppence. "Biasanya disebut slush. Ya, aku benar. Tom,
akhirnya kita punya kasus Edgar Wallace juga. Dan kita jadi Busies."
"Ya," kata Tommy. "Dan kita keluar untuk menangkap si Crackler."
"Kau bilang Krakler atau Kakler?"
"Crackler." "Oh, apa itu Crackler?"
"Sebuah kata baru yang kuciptakan," kata Tommy. "Artinya orang yang
mendistribusikan atau mengedarkan uang palsu. Sederhana saja."
"Ah, ya. Cukup bagus, walaupun aku lebih suka Rustler. Rasanya lebih cocok."
"Nggak - nggak," kata Tommy. "Aku yang pertama-tama memberi nama Crackler. Dan aku
akan tetap pakai nama itu."
"Wah, aku akan menikmati permainan ini," kata Tuppence. "Bolak-balik ke nite
club dan minum-minum. Besok aku mau beli bulu mata palsu yang hitam."
"Bulu matamu sendiri kan sudah hitam," kata suaminya kurang setuju.
"Supaya lebih hitam lagi," kata Tuppence. "Dan lipstik merah ceri. Yang menyala.
Pasti sangat dibutuhkan."
"Tuppence, kau benar-benar membuat orang sedih. Apa gunanya benda-benda itu" Kau
kan menikah dengan seorang laki-laki setengah baya yang tenang dan tak banyak
tingkah." "Tunggu saja," kata Tuppence. "Kalau kau sudah masuk Python Club kau pasti
berubah." Dari lemari Tommy mengeluarkan beberapa botol, dua buah gelas, dan sebuah tempat
pengocok koktil. "Kita mulai sekarang," kata Tommy. "Kami akan mengejar dan menangkapmu,
Crackler. Dan kami serius."
14. Crackler (Lanjutan) BERKENALAN dengan Laidlaw tidaklah sulit. Tommy dan Tuppence yang muda,
berpakaian mahal, bersemangat, dan kelihatan punya banyak uang untuk dihambur-
hamburkan, dengan segera diterima dalam kelompok eksklusif pasangan Laidlaw.
Mayor Laidlaw adalah seorang laki-laki jangkung berkulit putih, khas tipe pria
Inggris, bersikap sportif, dengan garis-garis lelah melingkari matanya dan
pandangan mencuri-curi yang kelihatan janggal dan tak sesuai dengan
penampilannya. Dia adalah seorang pemain kartu yang ahli dan Tommy memperhatikan bahwa apabila
taruhannya bertumpuk tinggi, dia tak pernah meninggalkan meja dengan kekalahan.
Marguerite Laidlaw punya penampilan berbeda. Dia adalah seorang wanita yang
menarik, bertubuh semampai dan berwajah cantik. Bahasa Inggris-nya yang patah-
patah itu amat menarik, dan Tommy pun maklum apabila pengagum wanita itu
berderet-deret. Dia kelihatan amat menaruh perhatian pada Tommy, dan Tommy pun
memainkan peranan sebagai salah seorang pengagumnya.
"Tommee-ku," itulah yang dia katakan. "Tentu saya tak bisa pergi tanpa Tommee-
ku. Rambut Tommee seperti warna matahari tenggelam. Ya?"
Ayahnya merupakan figur yang kurang menarik. Sangat teliti, berdiri tegak kaku,
dengan jenggot hitam dan mata tajam.
Tuppence-lah yang pertama kali melaporkan perkembangan. Dia datang pada Tommy
dengan sepuluh lembaran satu pound.
"Perhatikan ini. Uang palsu, kan?"
Tommy memeriksa lembaran-lembaran itu dan menganggukkan kepala.
"Kau dapat dari mana?"
"Dari si Jimmy Faulkener. Marguerite Laidlaw memberikannya pada si Jimmy untuk
taruhan kuda. Aku pura-pura perlu duit kecil - dan menukarnya dengan lembaran
sepuluh pound." "Semua baru dan masih kaku," kata Tommy sambil merenung. "Tak mungkin lewat
terlalu banyak tangan. Apa kira-kira si Faulkener bersih?"
"Jimmy" Oh, dia manis sekali. Kami menjadi akrab."
"Ya - seperti yang kulihat. Apa itu perlu?" tukas suaminya dingin.
"Oh! Itu kan bukan bisnis," kata Tuppence gembira. "Cuma senang-senang saja.
Anak itu baik. Aku senang dia bisa lepas dari cengkeraman wanita itu. Kau nggak
tahu kan, berapa banyak uang yang sudah dia keluarkan untuk si Cantik."
"Kelihatannya dia menaruh perhatian padamu, Tuppence."
"Ya, kadang-kadang aku juga berpikir begitu. Senang juga rasanya - masih muda dan
punya daya tarik." "Eh, moralmu kok kelihatan rendah begitu, sih" Jangan besar kepala. Kau
melihatnya dari sisi yang keliru."
"Rasanya sudah cukup lama aku tak menikmati hal-hal seperti itu," kata Tuppence
tanpa malu. "Dan kau sendiri" Jarang kulihat kau belakangan ini. Kau tinggal di
saku Marguerite Laidlaw, kan?"
"Bisnis," kata Tommy pendek.
"Tapi dia menarik, kan?"
"Bukan tipeku," kata Tommy. "Aku tidak mengaguminya."
"Pembohong," kata Tuppence sambil tertawa. "Tapi rasanya lebih baik kawin dengan
pembohong daripada dengan orang tolol."
"Apa seorang suami harus selalu pembohong atau tolol?"
Tapi Tuppence hanya memandangnya dengan rasa kasihan lalu pergi.
Di antara pengagum Nyonya Laidlaw yang berderet-deret itu ada seorang laki-laki
yang sederhana tetapi amat kaya, namanya Hank Ryder.
Tuan Ryder berasal dari Alabama. Dia amat dekat dan bersahabat dengan Tommy.
Rahasia 180 Patung Mas 15 Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Pedang Pusaka Buntung 6