Pencarian

Pasangan Detektif 3

Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie Bagian 3


"Dia memang wanita luar biasa," kata Tuan Ryder dengan mata mengikuti si cantik
Marguerite. "Dan sangat sopan. Sulit menaklukkan la gaio France, ya" Kalau saya
berada di dekatnya, saya merasa seolah-olah saya adalah manusia hasil eksperimen
Tuhan yang pertama-tama. Saya rasa Tuhan membuat eksperimen dulu sebelum
akhirnya bisa menciptakan wanita yang begitu cantik dan sempurna."
Tommy hanya mengiakan pembicaraan Tuan Ryder dengan sopan. Rupanya masih ada
juga yang akan dikatakan Tuan Ryder.
"Kasihan juga. Wanita cantik seperti dia kok menderita kesulitan uang."
"Apa begitu?" tanya Tommy.
"Pasti Laidlaw itu aneh. Dan istrinya takut pada dia. Tidak berani menunjukkan
tagihan-tagihan kecilnya."
"Apa benar-benar tagihan kecil?" tanya Tommy.
"Ya - kalau menurut saya kecil! Bagaimanapun, wanita kan harus memakai baju. Dan
semakin sedikit bajunya, semakin mahal harganya. Itu pendapat saya. Dan wanita
cantik seperti dia kan nggak mau ketinggalan mode. Juga kartu. Wanita malang itu
kurang beruntung kalau main. Kemarin kalah lima puluh dengan saya."
"Dia menang dua ratus dari Jimmy Faulkener sebelumnya," kata Tommy.
"Benarkah" Syukurlah. Eh, ya. Sepertinya akhir-akhir ini banyak uang palsu
beredar di negara Anda, ya" Pagi tadi saya menyetor uang di bank dan mereka
menolak dua puluh lima lembar."
"Wah, cukup banyak juga, ya" Apa uang itu baru?"
"Baru dan masih kaku - seperti baru digunting. Kalau nggak salah uang itu dari
Nyonya Laidlaw. Nggak ngerti. Dari mana dia dapat uang itu" Barangkali salah
seorang penjudi di pacuan kuda situ."
"Ya," kata Tommy. "Bisa jadi."
"Terus-terang saja, Tuan Beresford, saya baru saja kenal dengan kehidupan
kalangan atas seperti ini. Wanita-wanita cantik dengan busana luar biasa - bisa
membuat tumpukan uang saya semakin rendah tiap kali. Memang saya datang ke Eropa
untuk menikmati hidup."
Tommy mengangguk. Dia membayangkan bahwa dengan bantuan Marguerite Laidlaw, Tuan
Ryder pasti bisa menikmati hidup walaupun ongkosnya mahal.
Untuk kedua kalinya Tommy menemukan bukti bahwa uang palsu itu diedarkan dekat
padanya. Ada kemungkinan Marguerite Laidlaw punya andil di sini.
Pada malam berikutnya, dia sendiri membuktikannya.
Dia berada di sebuah tempat pertemuan kecil yang pernah disebut-sebut Inspektur
Marriot. Ada pesta dansa di sana. Tetapi atraksi yang paling menarik ada di
balik sepasang pintu. Di situ ada meja-meja bertutup laken hijau di mana jumlah-
jumlah uang yang amat besar berpindah tangan setiap malam.
Marguerite Laidlaw berdiri siap untuk pulang. Dia memberikan sejumlah uang kecil
pada Tommy. "Terlalu banyak, Tommee - bisa tolong tukar, ya" Satu lembar besar. Lihat tas
kecilku yang manis ini. Bisa rusak nanti."
Tommy memberikan lembaran seratus yang diminta. Lalu di sebuah sudut yang sepi
dia memeriksa lembaran yang baru diterimanya. Setidaknya, seperempat dari uang
itu palsu. Tapi dari mana dia dapat uang itu" Dia belum menemukan jawabnya. Dengan bantuan
Albert, dia hampir yakin bahwa Laidlaw bukanlah orang yang dicarinya. Gerak-
geriknya telah diperhatikan dengan saksama dan hasilnya tak ada.
Tommy mencurigai ayah Nyonya Laidlaw yang serius dan kaku. Dia bolak-balik pergi
ke Prancis. Bukankah amat sederhana bila uang palsu itu masuk ke dalam kopernya"
Disembunyikan di bagian bawah. Kira-kira begitu.
Tommy berjalan pelan-pelan ke luar klub dengan pikiran penuh persoalan tersebut.
Tapi tiba-tiba dia menjadi sadar.
Di jalan, di luar, ada Tuan Hank Ryder. Dan dia tidak kelihatan seperti orang
normal. Pada saat itu dia berusaha menggantungkan topinya di radiator sebuah
mobil. Dan usahanya itu gagal terus.
"Ah - gantungan topi sialan. Sialan," kata Tuan Ryder. "Tidak seperti di Amerika.
Kita bisa menggantungkan topi tiap malam - tiap malam, Tuan. Anda pakai dua topi,
ya" Tak pernah sebelumnya saya melihat orang pakai dua topi. Pasti karena
iklim." "Barangkali kepalaku yang dua," kata Tommy kesal.
"Ya - ya, ya," kata Tuan Ryder. "Heran. Aneh itu. Tapi memang itu kenyataan. Ayo
kita minum. Larangan - ya, larangan. Itu yang menghancurkan aku. Aku mabuk ya - ya,
aku rasa aku mabuk. Koktil - campuran - Ciuman Bidadari - itu Marguerite - cantik,
cantik. Dan menyukaiku - macam-macam dicampur - campur - hah..."
Tommy menyela. "Sudah, sudah," katanya menghibur. "Pulang saja, ya?"
"Tak punya rumah," kata Tuan Ryder sedih, lalu menangis.
"Anda tinggal di hotel apa?" tanya Tommy.
"Tidak bisa pulang," katanya. "Memburu harta. Bagus. Dan dia berhasil -
Whitechapel - hati putih - dan kepala putih karena sedih...."
"Sudahlah," kata Tommy. "Di mana Anda?"
Tiba-tiba saja Tuan Ryder menegakkan kepala. Tiba-tiba saja kata-katanya
terdengar berwibawa, tak seperti orang mabuk.
"Dengar, Anak muda. Margee mengajakku. Naik mobilnya. Berburu harta karun.
Orang-orang Inggris memang gila. Di bawah batu-batu. Lima ratus pound. Pemikiran
yang luar biasa. Kau benar-benar baik padaku. Dan aku suka kekayaanmu, Nak. Kami
orang-orang Amerika..."
Kali ini Tommy menyela tanpa basa-basi,
"Apa Anda bilang tadi" Nyonya Laidlaw mengajak Anda naik mobilnya?"
Si Amerika mengangguk seperti burung hantu.
"Ke Whitechapel?" Kembali terlihat anggukan burung hantu. "Dan Anda menemukan
lima ratus pound di sana?"
Tuan Ryder berusaha berbicara.
"Ya, dia menemukan," katanya. "Saya cuma tinggal di luar. Di luar pintu. Ya,
sudah biasa begitu. Menyedihkan. Di luar. Selalu disisihkan."
"Anda ingat jalan ke sana?"
"Ya - saya rasa ya. Hank Ryder masih bisa menguasai diri...."
Tommy membawanya berjalan tanpa banyak cakap. Dia masuk ke dalam mobilnya, dan
mereka berdua melaju ke timur. Udara sejuk rupanya membuat Tuan Ryder sadar.
Setelah beberapa saat menyandarkan kepalanya di bahu Tommy seperti orang
pingsan, dia bangun dengan kepala dingin dan pikiran segar.
"He, kita ada di mana?" tanyanya.
"Whitechapel," kata Tommy ketus. "Anda tadi ke sini bersama dengan Nyonya
Laidlaw?" "Rasanya ya - pernah lihat," kata Tuan Ryder sambil memperhatikan sekelilingnya.
"Rasanya tadi kami berbelok ke kiri di sekitar sini. Nah - itu - jalan itu."
Tommy berbelok. Tuan Ryder memberi instruksi.
"Ya, itu. Pasti. Belok ke kanan. Wah, baunya nggak enak, ya" Ya, lewat pub di
sudut - belok dan berhenti di mulut gang itu. He, ada apa" Biar kubereskan. Ada
yang ketinggalan" Apa akan kita bereskan?"
"Ya, betul," kata Tommy. "Akan kita bereskan. Lucu, ya?"
"Aku akan teriak ke seluruh dunia," kata Tuan Ryder. "Walaupun aku agak bingung
tentang hal itu." Tommy keluar dan membantu Tuan Ryder berdiri. Mereka berjalan masuk gang. Di
sisi kiri mereka adalah deretan bagian belakang rumah-rumah yang sudah bobrok.
Kebanyakan mempunyai pintu belakang yang menembus ke gang itu. Tuan Ryder
berhenti di depan salah satu pintu-pintu tersebut.
"Dia masuk ke sini tadi," katanya. "Ya, pintu ini. Saya yakin sekali."
"Semua pintu kelihatan sama," kata Tommy. "Mengingatkan saya pada cerita Alibaba
dan Empat Puluh Penyamun. Ingat nggak, ada yang mencoret pintu dengan kapur
sebagai tanda" Kita kasih tanda juga pintu ini?"
Sambil tertawa dia mengeluarkan sebatang kapur putih dari sakunya dan mencoret
bagian bawah pintu. Kemudian dia memandang beberapa bayangan samar di atas
dinding gang itu. Salah satu bayangan itu mengeluarkan suara yang bisa membuat
bulu kuduk berdiri. "Banyak kucing," katanya gembira.
"Bagaimana sekarang?" tanya Tuan Ryder. "Kita masuk?"
"Ya - dengan hati-hati," kata Tommy.
Dia memandang ke arah kedua ujung gang itu, lalu pelan-pelan mencoba membuka
pintu. Terbuka. Dia membuka pintu tersebut dan mengintip ke kegelapan.
Tanpa bersuara dia masuk. Tuan Ryder mengikutinya.
"Heh!" kata Tuan Ryder berbisik. "Ada orang datang di gang."
Dia keluar lagi. Tommy berdiri tak bergerak beberapa saat. Karena tak mendengar
apa-apa dia pun mengambil sebuah senter dari sakunya, dan menyalakan tombol
sebentar, lalu mematikannya. Terang yang cuma sekilas itu memberinya kesempatan
untuk melihat suasana di sekitarnya. Dia melangkah ke depan dan membuka pintu di
depannya. Ternyata tak dikunci. Pelan-pelan dia buka pintu itu dan masuk.
Setelah berdiri dan mendengarkan sesaat, dia menyalakan senternya lagi. Bagaikan
memberi suatu sinyal, tiba-tiba saja dia dikepung orang. Dua orang berada di
depan dan dua lainnya di belakang. Mereka menangkap dia.
"Lampu," kata sebuah suara.
Sebuah kompor pun dinyalakan. Di dalam terang kompor itu, Tommy melihat wajah-
wajah yang tidak ramah. Matanya memperhatikan benda-benda di sekitarnya dan
memperhatikan beberapa benda.
"Ah!" katanya dengan suara ringan. "Kantor pusat industri uang palsu
kelihatannya." "Tutup mulutmu," bentak salah seorang dari mereka.
Pintu di belakang Tommy terbuka, lalu tertutup lagi. Terdengar suara yang ramah
dan dikenalnya dengan baik.
"Bagus. Sudah kalian tangkap rupanya. Tuan Sibuk, sekarang kami tahu bahwa kau
adalah lawan kami." "Ya," kata Tommy. "Menyenangkan, ya. Saya adalah laki-laki misterius dari
Scotland Yard. Tuan Hank Ryder, ini benar-benar suatu kejutan."
"Aku rasa begitu. Aku sudah bersusah payah menekan rasa geli sepanjang sore -
memancing kau kemari seperti anak kecil. Dan kau begitu gembira karena merasa
diri cerdik. Dari permulaan juga aku sudah curiga. Kau tidak cocok dengan
kelompok itu. Tapi aku membiarkanmu main-main sebentar. Dan ketika kau benar-
benar curiga pada si cantik Marguerite, aku berkata pada diriku sendiri.
Sekaranglah waktunya. Aku rasa kawan-kawanmu tak ada yang tahu tentang kau untuk
beberapa waktu nanti."
"Mau ngerjain aku" Ya, itu kata-kata yang tepat, aku rasa. Kau sudah
melakukannya." "Kau memang pemberani. Tidak, kami tak akan melakukan kekerasan. Hanya membatasi
gerakanmu saja." "Aku rasa kau keliru. Aku bukanlah tipe orang yang bisa dibatasi seperti itu."
Tuan Ryder tersenyum ramah. Di luar, seekor kucing mengeong sedih merayu bulan.
"Mengharap bantuan dengan tanda kapur silangmu di pintu, ya?" kata Tuan Ryder.
"Aku tak akan melakukannya kalau aku jadi kau. Karena aku tahu cerita yang
kausebut-sebut tadi. Pernah dengar waktu kecil. Aku tadi keluar untuk berperan
menjadi anjing bermata sebesar roda kereta. Kalau kau keluar, kau akan melihat
bahwa semua pintu punya tanda yang sama."
Tommy menundukkan kepalanya seperti orang yang putus asa.
"Merasa cukup pintar, ya?" kata Ryder.
Begitu dia selesai berkata, terdengar suara ribut di pintu.
"Apa itu?" katanya terkejut.
Pada saat itu juga, bagian depan rumah itu diserbu polisi. Pintu di belakang
rumah terbuka dengan mudah, dan Inspektur Marriot muncul.
"Bagus, Marriot," kata Tommy. "Dugaanmu betul. Aku ingin memperkenalkan Tuan
Hank Ryder yang tahu banyak cerita-cerita kuno."
"Begini, Tuan Ryder," katanya lembut. "Saya memang mencurigai Anda. Si Albert
(anak laki-laki berkuping besar itu Albert) telah diperintahkan untuk membuntuti
dengan sepeda motor kalau saya dan Anda pergi bersama-sama kapan saja. Dan
ketika saya mencoret pintu dengan kapur untuk menarik perhatian Anda, pada saat
itu juga saya menuang habis botol kecil berisi valerian ke tanah. Baunya nggak
enak. Tapi kucing-kucing menyukainya. Dan karena itu semua kucing di sekitar
tempat ini berkumpul di depan pintu itu untuk menunjukkan pada Albert dan polisi
ketika mereka datang."
Dia tersenyum memandang Tuan Ryder yang terlongong-longong, lalu berdiri.
"Aku sudah bilang bahwa aku akan menangkapmu, Crackler. Dan berhasil," katanya.
"Kau omong apa?" tanya Tuan Ryder. "Apa maksudmu - Crackler?"
"Kau bisa melihat artinya di kamus kriminologi yang akan terbit," kata Tommy,
"atau kamus etimologi."
Dia memandang Tuan Ryder dengan gembira.
"Dan semua beres tanpa si Hidung Biru," gumamnya. "Selamat malam, Marriot. Aku
harus pergi sekarang. Akhir bagian cerita ini sudah menungguku. Tak ada hadiah
yang lebih bagus daripada cinta seorang wanita yang baik untukku - dan hadiah itu
sudah menungguku di rumah - aku harap begitu, kita kan tak bisa pasti akan sesuatu
di zaman sekarang ini" Pekerjaan ini cukup berbahaya, Marriot. Kau tahu Kapten
Jimmy Faulkener" Cara dia berdansa luar biasa. Dan selera koktilnya pun hebat.
Ya, Marriot. Tugas ini benar-benar berat."
15. Misteri Sunningdale "KAU tahu kita akan makan siang di mana, Tuppence?"
Nyonya Beresford berpikir sejenak.
"Di Ritz?" katanya penuh harap.
"Pikir lagi." "Restoran kecil menyenangkan di Soho itu?"
"Tidak," kata Tommy. Suaranya kedengaran serius. "Sebuah toko A.B.C. Yang ini."
Dia menarik istrinya masuk ke sebuah tempat dan membawanya ke sebuah meja marmer
di sudut ruangan. "Bagus," katanya dengan suara puas sambil duduk. "Bagus sekali."
"Kenapa kok seleramu jadi berubah sederhana seperti ini?" tanya Tuppence.
"Kau melihat, Watson, tapi tidak memperhatikan. Aku tak tahu apakah salah
seorang gadis-gadis sombong itu mau melihat kita" Bagus. Dia kemari.
Kelihatannya pikirannya tidak di sini. Tapi pikirannya pasti penuh dengan ham,
telur, dan teh. Daging dan kentang untuk saya. Dan kopi - cangkir besar, roti dan
mentega - dan sepiring lidah untuk istri saya."
Pelayan itu mengulangi pesanan mereka dengan suara jengkel. Tiba-tiba Tuppence
membungkuk ke depan dan menyela,
"Tidak - jangan daging dan kentang. Kue keju dan segelas susu saja untuk suami
saya." "Sepotong kue keju dan segelas susu," kata pelayan wanita itu dengan suara
bertambah jengkel. Dengan pikiran masih pada hal lainnya, dia pun beranjak dari
situ. "Itu namanya lancang," kata Tommy dingin.
"Tapi aku benar, kan" Kau mau jadi Laki-laki Tua di Sudut, kan" Mana talimu?"
Tommy mengeluarkan tali panjang dari sakunya dan membuat dua buah simpul.
"Sempurna sampai ke detil yang paling kecil," gumamnya.
"Tapi kau keliru memesan makananmu," kata Tuppence.
"Wanita memang selalu apa adanya," kata Tommy. "Minuman yang paling kubenci itu
susu. Dan kue keju tidak kelihatan menarik. Kuning dan menjijikkan."
"Sudahlah," kata Tuppence. "Kaulihat saja bagaimana aku menyerang lidah dinginku
nanti. Hmh, lidah dingin. Rupanya aku sudah siap jadi Nona Polly Burton. Buat
sebuah simpul besar dan mulai."
"Pertama-tama," kata Tommy. "Ini tidak resmi, lho. Usaha kita tidak terlalu maju
belakangan ini. Kalau persoalan tidak datang pada kita, kitalah yang harus
mencari persoalan. Kita tujukan perhatian pada misteri publik saat ini. Ini
membuatku tertarik pada Misteri Sunningdale."
"Ah!" kata Tuppence dengan rasa tertarik. "Misteri Sunningdale?"
Tommy mengeluarkan selembar kertas lecek dari sakunya dan meratakannya di meja,
"Itu foto terakhir Kapten Sessle di Daily Leader."
"Hm," kata Tuppence. "Kok nggak ada orang yang menuntut koran-koran itu. Yang
kelihatan di sini adalah seorang laki-laki. Itu saja."
"Ketika aku mengatakan Misteri Sunningdale, yang kumaksud adalah yang disebut
Misteri Sunningdale," kata Tommy dengan cepat. "Sebuah misteri bagi polisi, tapi
bukan bagi mereka yang berotak encer."
"Buat simpul lagi," kata Tuppence.
"Aku tak tahu berapa banyak yang masih kauingat," kata Tommy dengan tenang.
"Aku ingat semuanya," kata Tuppence, "tapi teruskan saja gayamu."
"Baru tiga minggu yang lalu," kata Tommy, "ada penemuan di lapangan golf
terkenal itu. Dua anggota klub yang sedang main pagi-pagi, terkejut melihat
mayat seorang lelaki tertelungkup di tee ketujuh. Sebelum mereka membalikkan
mayat itu, mereka sudah dapat menebak bahwa korban adalah Kapten Sessle, orang
yang cukup dikenal di kalangan mereka. Orang yang selalu memakai jaket golf
berwarna biru menyala. "Kapten Sessle sering kelihatan di situ pagi-pagi sekali untuk latihan.
Perkiraan orang ialah dia meninggal karena tiba-tiba kena serangan jantung. Tapi
pemeriksaan dokter menyatakan bahwa dia meninggal karena pembunuhan. Jantungnya
ditusuk dengan sebuah jepit topi wanita. Pemeriksaan juga menyatakan bahwa dia


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah meninggal sekurang-kurangnya 12 jam sebelumnya.
"Ini membuat ceritanya jadi lain. Tak lama kemudian beberapa fakta yang menarik
muncul. Orang yang melihat Kapten Sessle terakhir kali sebelum meninggal adalah
teman dan partner-nya, Tuan Hollaby dari Porcupine Assurance Co. Dia
menceritakan pengalamannya begini.
"Sessle dan dia bermain lebih awal. Setelah minum teh, Sessle mengusulkan untuk
main lagi sebelum hari gelap. Hollaby setuju. Sessle kelihatannya bersemangat
dan main bagus. Di situ ada sebuah jalan setapak ke luar. Ketika mereka berada
di green enam, Hollaby melihat seorang wanita datang melalui jalan itu. Wanita
itu bertubuh tinggi dan berbaju coklat, tapi Hollaby tidak terlalu
memperhatikannya. Dia pikir Sessle juga tidak tahu kedatangan wanita itu.
"Jalan setapak itu melewati tee tujuh," lanjut Tommy. "Wanita itu melewati
jalanan itu dan berdiri saja di situ, seolah-olah menunggu. Kapten Sessle adalah
orang pertama yang sampai di tee itu, sedangkan Hollaby mengganti pin di lubang.
Ketika dia sampai ke tee tujuh, dia heran melihat Sessle dan wanita itu bicara
berdua. Ketika dia datang lebih dekat, mereka tiba-tiba berbalik terkejut.
Sessle berseru, Sebentar!
"Keduanya berjalan dan bercakap-cakap dengan serius. Jalan setapak itu keluar
lapangan golf dan melewati dua sisi pagar tanaman suatu kebun, lalu keluar ke
jalan besar ke Windlesham.
"Kapten Sessle menepati janji. Dia muncul kembali satu atau dua menit kemudian.
Hollaby merasa lega ketika ada dua orang pemain lagi datang di belakang mereka.
Hari menjadi gelap tak lama kemudian. Mereka masih terus bermain. Hollaby segera
melihat bahwa ada sesuatu yang membuat kawan mainnya menjadi gelisah. Dia tidak
hanya bermain buruk, tetapi mukanya kelihatan kuatir dan dahinya berkerut. Dia
tidak menjawab pertanyaan temannya dan permainannya semakin acak-acakan. Rupanya
ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, hingga dia tidak bisa bermain dengan
baik. "Mereka bermain di hole ketujuh dan kedelapan. Kemudian Kapten Sessle berkata
bahwa dia akan berhenti bermain karena hari semakin gelap. Dia kemudian pulang.
Di situ ada jalan setapak yang menuju ke jalan besar Windlesham. Kapten Sessle
pulang melalui jalan pintas yang menuju rumahnya, yaitu sebuah bungalo kecil di
jalan besar itu. Kedua orang pemain di belakang mereka muncul, yaitu Mayor
Barnard dan Tuan Lecky. Hollaby bercerita pada mereka tentang perubahan emosi
Kapten Sessle. Mereka juga melihatnya bercakap-cakap dengan wanita berbaju
coklat itu, tapi tidak cukup dekat untuk melihat siapa wanita tersebut. Dan
ketiganya pun heran apa yang dikatakan wanita itu sehingga membuat kawan mereka
gelisah seperti itu. "Mereka kembali ke Club House bersama-sama dan sepanjang mereka tahu, merekalah
orang-orang terakhir yang melihat Kapten Sessle dalam keadaan hidup. Hari itu
hari Rabu. Dan setiap Rabu tiket kereta api ke London murah. Suami istri yang
menjaga rumah Kapten Sessle pergi ke London seperti biasa dan baru kembali
dengan kereta yang terakhir. Mereka memasuki rumah seperti biasa dan mengira
Kapten Sessle tidur di kamar. Nyonya Sessle sendiri sedang keluar, mengunjungi
seseorang. "Pembunuhan Kapten itu merupakan teka-teki selama sembilan hari. Tak seorang pun
dapat mengajukan kemungkinan motif yang mendasarinya. Identitas wanita jangkung
berbaju coklat itu pun ramai dibicarakan - tapi tanpa hasil. Dan seperti biasa,
polisi dipersalahkan karena kelambanan gerak mereka. Seminggu kemudian - seorang
gadis bernama Doris Evans ditangkap dengan tuduhan membunuh Kapten Anthony
Sessle. "Polisi tak usah bersusah payah. Selembar rambut menyangkut di jari korban dan
beberapa lembar benang wol berwarna terang tersangkut di kancing jaket birunya.
Pemeriksaan yang cukup teliti di stasiun kereta api dan tempat-tempat lain
memperkuat fakta-fakta itu.
"Seorang gadis muda yang memakai jaket dan rok berwarna menyala datang dengan
kereta api sore jam tujuh hari itu. Dia menanyakan jalan ke rumah Kapten Sessle.
Gadis itu muncul lagi di stasiun dua jam kemudian. Rambutnya berantakan dan
topinya acak-acakan, dan dia kelihatan seperti gelisah. Dia menanyakan kereta
yang ke London dan berkali-kali menoleh ke belakang, seolah-olah takut akan
sesuatu. "Dalam banyak hal polisi kita memang hebat. Dengan bukti seperti itu mereka
berhasil melacak gadis itu dan menemukannya sebagai Doris Evans. Dia ditangkap
dengan tuduhan membunuh dan diancam bahwa apa pun yang dia katakan akan dipakai
sebagai alasan untuk memberatkan tuduhan. Tetapi dia berkeras dan tetap membuat
suatu pernyataan yang dia ulangi lagi dalam persidangan-persidangan berikut.
"Ceritanya begini. Profesi gadis itu juru tik. Pada suatu malam dia berkenalan
dengan seorang laki-laki di bioskop. Lelaki perlente itu kelihatannya tertarik
padanya. Dia bilang namanya Anthony. Dan pria itu mengundangnya datang ke
bungalonya di Sunningdale. Gadis itu tidak berpikir dan tak mengira bahwa pria
itu sudah punya istri. Mereka membuat janji - gadis itu akan datang hari Rabu - hari
di mana pelayan-pelayan dan istrinya tidak di rumah. Akhirnya laki-laki itu
memberi tahu bahwa namanya adalah Anthony Sessle dan memberi tahu alamat
rumahnya. "Gadis itu menepati janjinya datang ke bungalo pada hari itu dan disambut oleh
Sessle yang baru keluar dari lapangan golf. Walaupun Sessle mengatakan bahwa dia
gembira dengan kedatangannya, tapi tingkah-lakunya menunjukkan bahwa dia sedang
gelisah dan lain. Gadis itu menjadi takut dan menyesal dalam hati telah datang
ke situ. "Setelah makan hidangan yang telah disiapkan, Sessle mengajaknya jalan-jalan ke
luar dan melewati jalan setapak menuju lapangan golf. Dan tiba-tiba, ketika
mereka sedang melewati tee ketujuh, dia kelihatan berubah seperti orang gila.
Dia mengambil pistol dan menembakkannya ke segala arah sambil berkata bahwa
kesabarannya telah habis.
"Semua harus pergi! Aku sudah habis-habisan. Dan kau akan pergi denganku. Aku
akan menembakmu. Kemudian menembak diriku! Mereka akan menemukan mayat kita
berdekatan - mati bersama-sama.
"Dan banyak lagi yang dikatakannya. Dia mendekap Doris Evans dengan satu tangan
dan ketika sadar bahwa dirinya berhadapan dengan orang gila, gadis itu meronta-
ronta, berusaha melepaskan diri atau menjauhkan pistol darinya. Mereka bergulat
dan ketika itu tentunya Sessle sempat mencengkeram rambut gadis itu dan
kancingnya pun menyangkut di benang wol jaket gadis itu.
"Akhirnya, setelah berkelahi mati-matian, gadis itu pun berhasil melepaskan diri
dan lari menyeberangi lapangan golf dengan ketakutan karena membayangkan peluru
pistol di belakangnya. Dia jatuh dua kali - menginjak bunga-bunga, tapi akhirnya
sampai ke jalan besar yang menuju stasiun. Dia pun sadar bahwa dia tak dikejar.
"Itulah cerita Dorris Evans. Itu yang selalu diulang-ulangnya tanpa variasi apa
pun. Dan dia menyangkal pernah melawan Sessle dengan jepitan topi pada waktu
membela diri - walaupun ini merupakan hal yang bisa dimaklumi dalam kondisi
seperti itu. Sebagai penguat cerita itu, sebuah pistol ditemukan di semak-semak
dekat mayat Sessle menggeletak. Pistol itu belum dipakai.
"Doris Evans telah dipanggil ke sidang berkali-kali, tapi misteri itu masih
tetap merupakan misteri. Kalau cerita gadis itu bisa dipercaya, siapa yang
membunuh Sessle" Wanita satunya" Wanita jangkung berbaju coklat yang membuatnya
gelisah" Sejauh ini tak seorang pun bisa menjelaskan hubungannya dengan kasus
itu. Wanita itu seolah-olah muncul begitu saja di jalan setapak itu - lalu lenyap
di situ pula. Tak seorang pun pernah mendengar tentang dia. Siapa dia" Penduduk
setempat" Tamu dari London" Apa dia datang dengan mobil atau kereta" Tak ada
hal-hal yang luar biasa tentang dia, kecuali badannya yang tinggi. Tapi tak
seorang pun bisa menjelaskan wajahnya. Dia pasti bukan Doris Evans yang kecil
dan berkulit putih, dan lagi dia baru saja tiba di stasiun pada saat itu."
"Istrinya?" tanya Tuppence. "Bagaimana istrinya?"
"Pertanyaan bagus. Tapi Nyonya Sessle bertubuh kecil, dan lagi Tuan Hollaby
mengenalnya dengan baik. Dan kelihatannya dia memang pergi pada saat itu. Ada
satu perkembangan lagi. Perusahaan Porcupine Assurance sedang dalam keadaan
bangkrut dan akan dilikuidasi. Pembukuannya menunjukkan penggunaan dana yang
tidak beres. Penyebab kata-kata yang meluncur dari mulut Sessle ke Doris Evans
telah kelihatan. Tentunya dia menggelapkan uang dalam beberapa tahun terakhir
itu. Baik Tuan Hollaby maupun anak laki-lakinya tidak tahu apa yang terjadi.
Mereka tiba-tiba saja bangkrut.
"Kasus itu begini. Kapten Sessle berada di bibir jurang kehancuran dan sadar,
tak lama lagi pasti ketahuan. Bunuh diri merupakan jalan keluar yang mudah. Tapi
cara dia meninggal tidak dapat didukung oleh teori itu. Siapa yang membunuh dia"
Doris Evans" Atau wanita misterius berbaju coklat?"
Tommy diam, meneguk susunya, mengernyitkan muka dan menggigit kue kejunya dengan
hati-hati. 16. Misteri Sunningdale (Lanjutan)
"TENTU saja," gumam Tommy, "aku segera bisa melihat di mana pokok persoalan
kasus ini dan di mana polisi salah berbelok."
"Ya, teruskan," kata Tuppence ingin tahu.
Tommy menggelengkan kepala dengan sedih.
"Kalau saja aku tahu, Tuppence, pada suatu sisi, memang sangat mudah menjadi
Lelaki Tua di Sudut. Tapi jalan keluarnya aku tak tahu. Siapa yang membunuh
pengemis itu" Aku tak tahu."
Dia mengeluarkan beberapa guntingan koran lagi dari sakunya.,
"Beberapa foto Tuan Hollaby. Anak laki-lakinya. Nyonya Sessle. Doris Evans."
Tuppence mengambil yang terakhir dan memperhatikannya sejenak.
"Dia tidak membunuh Sessle," katanya. "Tidak dengan jepit topi."
"Kok begitu yakin?"
"Gampang. Rambutnya potongan pendek. Dan hanya satu dari dua puluh wanita
memakai jepit topi sekarang ini - baik yang berambut panjang ataupun yang berambut
pendek. Model topi sekarang ini kencang, tinggal menariknya saja sudah pas. Tak
perlu jepit topi lagi."
"Tapi masih ada kemungkinan dia punya satu, kan?"
"Ya, ampun, wanita tidak menyimpan jepit begitu sebagai benda warisan! Apa
gunanya dia membawa-bawa jepit begitu ke Sunningdale?"
"Kalau begitu tentunya wanita yang satu lagi. Yang berbaju coklat."
"Kalau saja dia tidak tinggi, dia bisa jadi istrinya. Aku selalu curiga pada
istri yang tidak berada di tempat pada saat ada kejadian seperti itu, akan masuk
akal kalau dia menemui suaminya dengan jepit topi."
"Kelihatannya aku harus hati-hati," kata Tommy.
Tapi Tuppence sedang berpikir serius dan menolak untuk bergurau.
"Bagaimana sih keadaan suami-istri Sessle?" tanyanya tiba-tiba. "Apa kata orang
tentang mereka?" "Sepengetahuanku, mereka adalah pasangan populer. Sessle dan istrinya saling
mencintai. Itulah sebabnya urusan dengan gadis itu terasa aneh. Sulit
membayangkan orang macam Sessle berbuat demikian. Dia bekas tentara. Punya uang
cukup banyak, lalu pensiun dan memulai usaha asuransi itu. Orang tak akan
mencurigainya mau berbuat seperti itu."
"Apakah memang sudah terbukti bahwa dia yang melakukan kejahatan itu" Apa tidak
mungkin yang dua itu yang menggelapkan uang?"
"Hollaby" Katanya mereka bangkrut."
"Oh. Katanya! Barangkali mereka sudah menyimpannya di sebuah bank dengan nama
lain. Aku tahu bahwa aku mengatakannya dengan keliru. Tapi kau pasti tahu apa
maksudku. Bisa saja kan, mereka berspekulasi dengan uang itu untuk beberapa
waktu. Dan Sessle tidak tahu. Lalu mereka kehilangan uang itu. Kematian Sessle
seperti itu kan menguntungkan mereka."
Tommy mengetuk foto Tuan Hollaby tua dengan kukunya.
"Jadi kau menuduh orang terhormat ini sebagai pembunuh teman dan partner
bisnisnya" Kau lupa bahwa dia berpisah dengan Sessle, dan itu disaksikan oleh
Barnard dan Lecky, dan mereka duduk-duduk di Dormy House. Di samping itu ada
jepit topi itu." "Jangan pedulikan jepit itu," kata Tuppence tak sabar. "Kaupikir bahwa dengan
jepit itu bisa ditunjukkan bahwa wanitalah pembunuhnya?"
"Tentu saja. Kau tak setuju?"
"Tidak. Laki-laki terkenal ketinggalan mode. Sulit menarik mereka dari ide yang
telah melekat. Mereka mengasosiasikan jepit topi dan jepit rambut dengan wanita,
dan menamakannya senjata wanita. Barangkali hal itu benar pada zaman dulu. Tapi
sekarang sudah ketinggalan zaman. Aku sendiri tak punya jepit rambut ataupun
jepit topi empat tahun belakangan."
"Kalau begitu kaupikir...?"
"Seorang laki-laki-lah yang membunuh Sessle. Jepit topi itu dipakai untuk
mengelabui, seolah-olah wanitalah pembunuhnya."
"Aku rasa kau benar, Tuppence," kata Tommy perlahan. "Aneh juga - seolah-olah
semuanya menjadi jelas kalau kau berbicara seperti itu."
Tuppence mengangguk. "Semuanya harus masuk akal - kalau kau melihatnya dari sisi yang benar. Dan ingat
apa yang dikatakan Marriot tentang pandangan seorang amatir - bahwa dia mengenal
baik - ada kedekatan. Kita tahu tentang orang-orang dengan tipe seperti itu.
Kapten Sessle dan istrinya. Kita tahu apa-apa yang mereka biasa lakukan. Dan
kita masing-masing punya keahlian dalam bidang tertentu."
Tommy tersenyum. "Maksudmu kau ahli dalam soal-soal yang biasa dimiliki orang-orang dengan rambut
potongan pendek dan tahu dengan baik apa yang dirasakan dan dilakukan oleh
istri-istri?" "Semacam itulah."
"Bagaimana dengan aku" Pengetahuan spesial apa yang kumiliki" Apakah suami suka
kencan dengan gadis" Begitu?"
"Tidak," kata Tuppence muram. "Kau tahu permainan golf - tahu hal-hal apa yang
kira-kira bisa membuat seorang laki-laki kehilangan konsentrasi."
"Pasti hal itu cukup serius untuk membuat Sessle bermain buruk. Handicap-nya
cuma dua dan mereka bilang dari tee tujuh dan seterusnya dia main seperti anak-
anak." "Siapa yang bilang?"
"Barnard dan Lecky. Mereka main di belakangnya. Ingat?"
"Itu setelah dia menemui wanita itu - wanita jangkung berbaju coklat. Mereka
melihat dia bicara dengan wanita itu, kan?"
"Ya - setidaknya begitulah..."
Tommy tiba-tiba berhenti. Tuppence memandangnya dengan heran. Dia memandang tali
di depannya dengan pandangan yang aneh, seolah-olah melihat sesuatu yang lain.
"Tommy - ada apa?"
"Dia, Tuppence. Aku sedang bermain di hole keenam di Sunningdale. Sessle dan
Hollaby main di green keenam di depanku. Hari mulai gelap tapi aku bisa melihat
dengan jelas jaket Sessle yang berwarna biru menyala itu. Dan di jalan setapak
di sebelah kiriku, seorang wanita datang. Dia tidak datang dari Lapangan Wanita,
karena lapangan itu ada di kanan - kalau dia datang dari situ aku pasti bisa
melihat dia di jalan setapak itu sebelumnya - misalnya dari tee kelima."
Dia diam. "Kau baru bilang bahwa aku punya bidang spesialisasi, Tuppence. Di belakang tee
keenam ada sebuah pondok kecil. Siapa pun bisa menunggu di situ sampai - saat yang
tepat tiba. Mereka bisa mengubah diri di situ. Maksudku - ah, ini bidang
spesialisasimu - apakah sulit bagi seorang laki-laki untuk menyaru seperti wanita"
Lalu berganti diri lagi sebagai laki-laki" Apa dia bisa memakai rok di atas celana?"
"Tentu saja bisa. Wanita itu akan kelihatan agak gendut. Itu saja. Misalnya saja
rok coklat yang agak panjang, dengan sweater coklat yang biasa dipakai wanita
maupun laki-laki dan sebuah topi beludru dan rambut palsu di kiri kanan. Itu
saja yang diperlukan - tentu saja aku bicara tentang penampilan yang diperlukan
supaya memberi kesan wanita dari jauh. Rasanya itu yang ingin kauketahui, kan"
Lepas roknya, buka topinya, dan pakai topi laki-laki yang bisa dibawa dengan
mudah - nah, kau kembali jadi laki-laki."
"Dan waktu yang diperlukan untuk berganti?"
"Dari wanita ke laki-laki satu setengah menit, barangkali kurang sedikit. Yang
sebaliknya agak lama karena perlu waktu untuk mengatur rambut dan topi, dan
roknya pun harus diatur."
"Itu tidak perlu kita hitung. Yang pertama tadi yang perlu. Aku bilang tadi aku
main di hole keenam. Wanita berbaju coklat itu telah sampai di tee ketujuh
sekarang. Dia menyeberang ke sana dan menunggu. Dengan jaket birunya, Sessle
mendatangi dia. Mereka berdiri bersama satu menit. Kemudian mereka berjalan
menyusuri jalan setapak, berbelok, dan menghilang di balik pohon-pohonan.
Hollaby ada di tee sendirian. Dua atau tiga menit berlalu. Aku di green
sekarang. Laki-laki berjaket biru itu kembali dan bermain dengan acak-acakan.
Hari bertambah gelap. Aku dan teman mainku melanjutkan permainan. Di depan kami
ada Sessle yang memukul dan bermain jelek sekali. Di green kedelapan aku melihat
dia pergi dan hilang di balik semak-semak. Apa yang menyebabkan dia bermain
seperti orang lain?"
"Wanita berbaju coklat itu - atau laki-laki itu, kalau kaupikir dia seorang laki-
laki." "Tepat. Dan tempat mereka berdiri - tidak kelihatan oleh mereka yang datang
kemudian - mereka tertutup semak-semak yang tebal. Kau bisa menyimpan sebuah mayat
di situ tanpa ada yang tahu sampai pagi."


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tommy! Kaupikir saat itu waktunya. Tapi orang pasti mendengar..."
"Mendengar apa" Dokter-dokter setuju bahwa kematian itu terjadi seketika. Dan
aku telah melihat orang terbunuh dengan begitu cepat waktu perang. Mereka
biasanya tidak berteriak. Hanya mengeluh atau menarik napas panjang atau
terbatuk. Sessle tiba di tee ketujuh. Dan wanita itu mendekatinya. Barangkali
dia mengenali wanita palsu itu. Karena ingin tahu, dia mengikutinya saja dan
terpancing ke tempat tersembunyi. Satu tusukan dengan jepit topi terjadi ketika
mereka berjalan. Sessle jatuh - meninggal. Laki-laki yang satu menyeretnya ke
semak-semak, membuka jaket birunya dan melepaskan rok serta topi dan rambut
palsunya. Dia memakai jaket biru Sessle dan topinya, dan kembali ke tee. Tiga
menit cukup untuk melakukan itu semua. Orang-orang yang bermain di belakangnya
tidak bisa melihat mukanya. Hanya jaket birunya saja yang mereka kenal. Mereka
tak ragu-ragu bahwa dia adalah Sessle - tapi dia tidak memainkan permainan golf
Sessle yang biasanya. Mereka semua bilang bahwa dia bermain seperti bukan
Sessle. Tentu saja. Dia memang bukan Sessle."
"Tapi..." "Point kedua. Orang yang mengajak gadis itu ke Sunningdale adalah orang lain.
Yang menemui Doris Evans di bioskop bukanlah Sessle. Dia adalah seorang laki-
laki yang menamakan dirinya Sessle. Doris Evans ditangkap dua minggu kemudian.
Gadis itu tak pernah melihat mayat itu. Seandainya dia melihat, dia pasti
mengejutkan semua orang dengan mengatakan bahwa itu bukanlah laki-laki yang
membawanya ke lapangan golf malam itu dan yang bicara tentang bunuh diri begitu
seru. Plot ini memang direncanakan dengan hati-hati. Gadis itu diundang datang
pada hari Rabu, ketika rumah Sessle sedang kosong. Kemudian jepit topi itu
menunjukkan perbuatan seorang wanita. Pembunuh itu menjemput Doris, membawanya
ke bungalo Sessle dan menjamu makan. Lalu dia membawa gadis itu ke lapangan
golf. Setelah sampai, dia menembakkan pistolnya ke mana-mana untuk menakut-
nakuti gadis itu. Setelah gadis itu lari yang dia lakukan hanyalah menyeret
mayat Sessle dan membiarkannya tergeletak di tee. Pistol itu dia lemparkan ke
semak-semak. Lalu dia membungkus rok dan topinya dengan rapi dan - sekarang aku
hanya menebak - barangkali dia berjalan ke Woking yang berjarak enam atau tujuh
mil dari situ, lalu kembali ke kota."
"Tunggu," kata Tuppence. "Ada satu hal yang belum kaujelaskan. Bagaimana dengan
Hollaby?" "Hollaby?" "Ya. Memang orang-orang di belakangnya tidak bisa melihat dengan jelas apakah
laki-laki itu Sessle atau bukan. Tapi orang yang sedang main golf bersamanya kan
pasti tahu siapa kawan mainnya. Dia kan tidak bisa dihipnotis sedemikian rupa
sehingga tidak bisa melihat muka kawan mainnya."
"Tuppence, itulah persoalannya. Hollaby tentu saja tahu. Aku kan cuma
melanjutkan teorimu - bahwa Hollaby dan anaknyalah yang sebenarnya menggelapkan
uang itu. Pembunuh itu pasti orang yang tahu Sessle dengan baik - misalnya, dia
tahu bahwa pembantu-pembantunya selalu keluar rumah pada hari Rabu, dan bahwa
istrinya pun sedang pergi. Dan juga pasti orang yang punya kunci rumah Sessle.
Aku rasa Hollaby muda memenuhi semua persyaratan itu. Tinggi badan dan umurnya
hampir sama dengan Sessle. Keduanya bersih, tak berjenggot. Barangkali Doris
Evans melihat foto korban di beberapa koran. Tapi kau sendiri melihat bagaimana
keadaan foto itu, kan" Cuma kelihatan bahwa itu gambar seorang laki-laki."
"Apa gadis itu tak pernah melihatnya di sidang?"
"Si anak kan tak pernah muncul di ruang pengadilan. Untuk apa" Dia tak punya
kesaksian atau bukti. Yang datang adalah Hollaby tua dengan alibinya yang kuat.
Tak seorang pun punya pikiran untuk bertanya apa yang dilakukan Hollaby muda
pada malam itu." "Semua cocok," kata Tuppence. Dia diam sejenak, lalu bertanya, "Apa akan
kaukatakan ini semua pada polisi?"
"Aku tak tahu apa mereka akan mau mendengarnya."
"Jangan kuatir, mereka akan mendengarnya," sebuah suara tiba-tiba terdengar di
belakang mereka. Tommy berputar dan menghadapi Inspektur Marriot. Inspektur itu duduk di meja
dekat mereka. Di depannya ada sebutir telur mata sapi.
"Sering makan siang di sini," kata Inspektur Marriot. "Kami akan mendengar
cerita Anda - sebenarnya saya sudah mendengarnya. Terus-terang kami memang belum
puas dengan angka-angka Porcupine itu. Dan kami memang curiga dengan kedua
Hollaby itu. Tapi tak ada hal-hal yang bisa kami selidiki. Mereka terlalu tajam.
Lalu terjadi pembunuhan ini. Kecurigaan kami menjadi kabur. Untunglah ada Anda
berdua. Kami akan mempertemukan Doris Evans dengan Hollaby muda dan melihat apa
gadis itu mengenalinya. Saya merasa dia akan mengenalinya. Ide Anda tentang
jaket biru memang hebat. Saya akan membawa nama Blunts Brilliant Detectives."
"Anda memang baik, Inspektur Marriot," kata Tuppence berterima kasih.
"Kami di Yard sangat menghargai Anda berdua," jawab Inspektur Marriot. "Anda
pasti heran. Kalau boleh, saya ingin tanya apa arti tali itu?"
"Oh, ini bukan apa-apa," kata Tommy sambil memasukkannya ke dalam saku.
"Kebiasaan buruk saja. Sedangkan kue keju dan susu itu - saya sedang berdiet.
Nervous dyspepsia. Orang sibuk biasanya menderita penyakit itu."
"Ah!" kata si Detektif lagi. "Saya pikir barangkali Anda baru membaca - ya, itu
tak ada konsekuensinya."
Tapi mata Inspektur Marriot berkedip jenaka.
17. Rumah Beracun "APA..." kata Tuppence dan tiba-tiba berhenti.
Dia baru saja masuk kamar pribadi Tuan Blunt dari ruang sebelah yang bertuliskan
"Pegawai", dan heran melihat tuan besarnya sedang mengintip ke luar lewat
lubang. "Ssst," kata Tommy mengingatkan. "Kau tidak mendengar bel itu" Seorang gadis -
cukup manis - kelihatannya manis sekali. Albert sedang mendongeng tentang
kesibukanku bicara dengan Scotland Yard."
"Coba aku yang lihat," kata Tuppence.
Dengan agak segan Tommy bergeser. Tuppence menempelkan mata di lubang pengintip.
"Boleh juga," kata Tuppence. "Bajunya mode terakhir."
"Dia cantik," kata Tommy. "Seperti gadis-gadis yang ditulis Mason - sangat
simpatik dan cantik dan cerdas tanpa terlalu bawel. Aku rasa - ya. Aku pikir aku
akan jadi Hanaud saja pagi ini."
"Hm, kalau toh ada detektif-detektif itu, maka karakter Hanaud adalah yang
paling tidak cocok buatmu. Kau bisa mengubah kepribadian begitu cepat" Kau bisa
jadi pelawak, anak miskin, teman yang serius dan simpatik - semua dalam lima
menit?" "Aku tahu," kata Tommy sambil mengetukkan jari keras-keras di meja. "Aku adalah
kapten kapal ini - kau jangan lupa, Tuppence. Aku akan menyuruh masuk gadis itu."
Dia menekan tombol di meja. Albert muncul mengantarkan tamunya.
Gadis itu berhenti di pintu, seolah ragu-ragu. Tommy mendekatinya.
"Silakan masuk, dan silakan duduk," kata Tommy ramah.
Tuppence tersedak, dan Tommy menoleh kepadanya dengan sikap yang sama sekali
lain. Nada suaranya menakutkan.
"Ada yang akan Anda katakan, Nona Robinson" Ah! Saya rasa tidak."
Dia menghadapi gadis itu lagi.
"Kita tak akan serius atau formal," katanya. "Ceritakan saja semua dan kita akan
bicarakan jalan terbaik untuk membantu Anda."
"Anda baik sekali," kata gadis itu. "Maaf, apakah Anda orang asing?"
Tuppence tersedak lagi. Tommy melirik marah kepadanya.
"Tepatnya tidak," katanya agak kelabakan. "Tapi beberapa tahun terakhir ini saya
memang bekerja di luar negeri. Metode saya adalah metode Surete."
"Oh!" kata gadis itu kagum.
Gadis itu memang sangat menarik. Muda dan langsing. Rambut emasnya mengintip
keluar dari topi beludrunya yang berwarna coklat. Matanya besar dan serius.
Dengan mudah orang bisa melihat bahwa dia gugup. Tangannya yang kecil itu saling
meremas, dan dia mempermainkan penutup tas merahnya dengan membuka dan
menutupnya berkali-kali. "Pertama-tama, Tuan Blunt, saya ingin memberi tahu bahwa nama saya adalah Lois
Hargreaves. Saya tinggal di sebuah rumah kuno yang besar, bernama Thurnly
Grange. Letaknya di pedalaman. Di dekat kami ada desa Thurnly. Desa itu kecil
dan tak dikenal. Di sana orang biasa berburu di musim dingin dan main tenis
waktu musim panas. Dan saya tak pernah merasa kesepian di sana. Saya memang suka
suasana pedesaan yang tenang.
"Saya cerita tentang hal ini supaya Anda ingat bahwa di desa seperti desa kami,
segala sesuatu yang terjadi sangatlah penting. Kira-kira seminggu yang lalu saya
menerima sekotak coklat yang dikirim lewat pos. Di dalamnya tidak ada pesan apa-
apa dan tak ada nama pengirimnya. Saya sendiri kebetulan tidak begitu suka
coklat. Tapi orang-orang lain di rumah suka. Kotak itu pun diedarkan. Akibatnya,
orang-orang yang makan coklat itu menjadi sakit. Kami memanggil dokter. Setelah
dia menanyai apa-apa saja yang kami makan, dia membawa sisa coklat itu untuk
dianalisa. Tuan Blunt, coklat-coklat itu mengandung arsenik! Tidak cukup kuat
untuk membunuh orang, tapi cukup untuk membuat orang sakit."
"Luar biasa," kata Tommy.
"Dr. Burton sangat curiga dengan persoalan ini. Rupanya kejadian itu adalah
kejadian ketiga yang terjadi di sekitar desa kami. Dalam setiap kasus, selalu
sebuah rumah besar yang dijadikan sasaran. Dan semua penghuni menjadi sakit
setelah makan coklat misterius. Kelihatannya seseorang dari daerah kami sedang
mempraktekkan lelucon yang tidak lucu."
"Benar, Nona Hargreaves."
"Dr. Burton membawa persoalan itu pada para anggota Partai Sosialis - saya merasa
heran dengan hal ini. Memang ada satu atau dua orang yang dicurigai di desa
Thurnly, dan bisa jadi mereka yang melakukannya. Dr. Burton ingin agar saya
menyerahkan hal ini pada polisi."
"Usul yang sangat masuk akal," kata Tommy. "Tapi Anda belum melakukannya, Nona
Hargreaves?" "Belum," katanya mengaku. "Saya tidak suka tetek-bengek yang mengikutinya -
publikasi, dan sebagainya, dan saya tahu bagaimana inspektur polisi daerah. Saya
tak bisa membayangkan dia menemukan sesuatu! Saya sering membaca iklan Anda dan
saya bilang pada Dr. Burton bahwa memanggil detektif swasta akan lebih baik"
"Hm." "Anda menyebut-nyebut tentang kerahasiaan di dalam iklan. Apa itu berarti bahwa -
bahwa - Anda tidak akan menyebarluaskan persoalan tanpa seizin saya?"
Tommy memandangnya dengan curiga, tetapi Tuppence-lah yang bersuara.
"Saya rasa," katanya tenang, "sebaiknya Nona Hargreaves menceritakan semuanya."
Tuppence memberi tekanan khusus pada kata-kata terakhir yang diucapkannya, dan
wajah Lois Hargreaves pun memerah.
"Ya," kata Tommy dengan cepat. "Nona Robinson benar. Anda harus menceritakan
semuanya." "Anda tak akan..." dia ragu-ragu.
"Segala yang Anda ucapkan merupakan rahasia."
"Terima kasih. Saya tahu bahwa seharusnya saya berterus-terang pada Anda. Saya
punya alasan untuk tidak menghubungi polisi. Tuan Blunt, kotak coklat itu
dikirim oleh seseorang yang ada di rumah saya!"
"Bagaimana Anda tahu, Nona?"
"Sangat sederhana. Saya punya kebiasaan menggambar sebuah gambar kecil yang lucu
- tiga ekor ikan bergandengan - kapan saja ada pensil di tangan saya. Sebuah paket
kaus kaki sutera datang dari London beberapa waktu yang lalu. Ketika itu kami
sedang duduk-duduk di meja makan. Tangan saya baru saja mencoret-coret sebuah
gambar di koran. Dan tanpa berpikir apa-apa tangan saya mulai mencoretkan sebuah
gambar ikan di label paket itu sebelum talinya dipotong dan bungkusnya dibuka.
Saya tak pernah memikirkan hal itu lagi. Tapi ketika saya memeriksa bungkus
kertas coklat dari kotak coklat yang kami terima, saya melihat gambar konyol
saya ada di atas sudut label yang asli itu."
Tommy menarik kursinya ke depan.
"Ini benar-benar serius. Memang hal ini menunjukkan bahwa pengirim coklat itu
adalah seseorang dari rumah Anda. Tapi maaf, saya masih belum mengerti mengapa
hal itu menyebabkan Anda tidak mau menghubungi polisi?"
Lois Hargreaves memandangnya dengan tajam.
"Akan saya beri tahu, Tuan Blunt. Mungkin saya ingin agar cerita ini dibekukan."
Tommy menyandarkan diri dengan lega di kursinya.
"Dalam hal ini," katanya, "kami mengerti di mana posisi kami. Saya kira Anda tak
berkeberatan menceritakan siapa yang Anda curigai?"
"Saya tidak mencurigai siapa-siapa. Tapi ada kemungkinan-kemungkinan."
"Benar. Sekarang coba Anda ceritakan isi rumah Anda pada kami."
"Pelayan-pelayan, kecuali pelayan rumah, adalah pelayan lama yang sudah
bertahun-tahun ikut kami. Dan saya dibesarkan oleh bibi saya, Lady Radclyffe
yang amat kaya. Suaminya mendapatkan suatu keuntungan besar. Dialah yang membeli
Thurnly Grange. Dia meninggal dua tahun kemudian, dan setelah itu Lady Radclyffe
minta agar saya tinggal bersama dia di rumahnya. Saya adalah satu-satunya
saudara yang masih hidup. Penghuni rumah lainnya adalah Dennis Radclyffe,
kemenakan suaminya. Saya selalu menganggapnya saudara sepupu, walaupun
sebenarnya itu tidak benar. Bibi Lucy selalu berkata secara terang-terangan
bahwa dia bermaksud mewariskan kekayaannya kepada Dennis, dengan pengecualian
sebagian kecil untuk saya. Uang itu adalah uang Radclyffe, katanya, dan
seharusnya menjadi milik Radclyffe. Tetapi, ketika Dennis berumur dua puluh
satu, Bibi bertengkar dengannya - mengenai utang yang dibuat Dennis. Ketika dia
meninggal setahun kemudian, saya heran karena semuanya diwariskan kepada saya.
Saya mengerti bahwa Dennis amat kecewa dan saya merasa tidak enak padanya. Saya
pasti rela memberikan padanya uang itu seandainya dia mau menerimanya, tapi
rupanya hal seperti itu tak bisa dilakukan. Bagaimanapun, begitu saya berumur
dua puluh satu tahun, saya langsung membuat surat wasiat untuk mewariskan semua
uang itu kepadanya. Setidak-tidaknya itulah yang bisa saya perbuat. Jadi kalau
saya celaka karena tertabrak mobil, dialah yang akan menerima warisan itu."
"Tepat," kata Tommy. "Dan kapan Anda berumur dua puluh satu?"
"Tiga minggu yang lalu."
"Ah!" kata Tommy. "Bisa Anda ceritakan tentang penghuni rumah lainnya?"
"Pelayan - atau yang lain?"
"Keduanya." "Pelayan-pelayan sudah cukup lama bersama kami. Ada Nyonya Holloway tua, si juru
masak, dan kemenakannya Rose. Lalu ada si tua Hannah bekas pelayan bibi yang
sangat setia kepada saya. Pelayan rumah adalah Esther Quant, kelihatannya
seperti seorang gadis pendiam yang manis. Yang lain adalah Nona Logan, teman
Bibi Lucy yang menguruskan rumah untuk saya, dan Kapten Radclyffe - maksud saya
Dennis, dan seorang gadis, Mary Chilcott, bekas teman akrab saya semasa sekolah
dulu, yang tinggal bersama saya."
Tommy berpikir sejenak. "Kelihatannya beres dan tak ada apa-apa, Nona Hargreaves," katanya kemudian.
"Apakah Anda tak punya alasan khusus untuk mencurigai lebih dari satu orang"
Anda kuatir kalau yang berbuat ternyata bukan - mm - salah seorang pelayan?"
"Tepat, Tuan Blunt. Saya benar-benar tidak tahu siapa yang telah menggunakan
kertas coklat itu. Tulisannya dengan huruf cetak."
"Kelihatannya saya harus melihat sendiri," kata Tommy.
Gadis itu memandangnya dengan mata bertanya-tanya.
Tommy melanjutkan setelah berpikir sesaat.
"Saya usulkan agar Anda bersiap menerima kedatangan - sebut saja Tuan dan Nona Van
Dusen - teman Amerika Anda. Apa Anda bisa mengatur hal itu tanpa menimbulkan
prasangka?" "Oh! Ya. Tak akan ada kesulitan sama sekali. Kapan Anda akan datang" Besok pagi
atau lusa?" "Sebaiknya besok. Kita tak boleh buang-buang waktu."
"Baiklah. Saya akan siapkan."
Gadis itu berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Ingat, Nona Hargreaves, jangan ceritakan hal ini pada siapa pun - jangan
ceritakan siapa kami sebenarnya."
"Apa pendapatmu, Tuppence?" kata Tommy ketika dia kembali dari mengantar
tamunya. "Aku tidak suka," kata Tuppence tegas. "Terutama sekali fakta bahwa coklat itu
mengandung arsenik yang cuma sedikit."
"Apa maksudmu?"
"Kau tak mengerti" Semua coklat yang diedarkan di luar rumah itu cuma untuk
mengelabui. Untuk memberi kesan adanya seorang maniak di daerah itu. Lalu,
ketika gadis itu benar-benar kena racun, orang akan mengira perbuatan yang sama
yang menyebabkannya. Tak seorang pun mengira bahwa coklat itu datang dari rumah
itu sendiri." "Ya, kau betul. Dan saat ini gadis itu cukup beruntung. Kaupikir ini suatu plot
yang sengaja dilakukan untuk menyerang gadis itu?"
"Aku rasa begitu. Aku pernah membaca tentang wasiat Lady Radclyffe. Dan gadis
itu benar-benar mewarisi uang yang amat banyak."
"Ya. Dan umurnya genap dua puluh satu dan dia membuat wasiat tiga minggu yang
lalu. Tidak menyenangkan - bagi Dennis Radclyffe. Dennis akan mewarisi kekayaan
dengan kematiannya."


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuppence mengangguk. "Dan yang lebih buruk lagi, gadis itu pun berpikir begitu! Itulah sebabnya dia
tak mau memanggil polisi. Dia telah mencurigai Dennis. Tentunya dia jatuh cinta
cukup dalam untuk bertindak seperti itu."
"Kalau demikian halnya," kata Tommy sambil merenung, "kenapa Dennis tidak
menikahi dia saja" Lebih sederhana dan aman."
Tuppence memandangnya. "Kau telah mengatakannya. Oh, aku harus siap jadi Nona Van Dusen."
"Kenapa melakukan tindak kriminal kalau ada jalan yang lebih baik?"
Tuppence berpikir sejenak.
"Aku tahu," katanya. "Dennis pasti telah menikahi seorang gadis bar ketika di
Oxford. Ini pangkal perselisihan dengan bibinya. Semua jelas sekarang."
"Kalau begitu, kenapa tidak mengirim permen beracun saja pada gadis bar itu?"
kata Tommy. "Lebih praktis, kan" Kurasa sebaiknya kau tidak meloncat pada
konklusi semacam itu, Tuppence?"
"Itu bukan konklusi tapi deduksi," kata Tuppence dengan berwibawa. "Ini adalah
corrida-mu yang pertama, mon ami. Kalau kau sudah berada dua puluh menit di
arena - " Tommy melempar istrinya dengan bantalan kursi.
18. Rumah Beracun (Lanjutan)
"TUPPENCE... Tuppence, cepat ke sini."
Saat itu sudah waktunya makan pagi. Tuppence cepat-cepat keluar dari kamar
tidurnya dan lari ke ruang makan. Tommy sedang berjalan mondar-mandir dengan
sebuah koran terbuka di tangannya.
"Ada apa?" Tommy mendekat, menyodorkan koran itu sambil menunjuk judul besar.
KASUS KERACUNAN MISTERIUS
KEMATIAN AKIBAT SANDWICH ARA
Tuppence meneruskan membaca. Berita misterius tentang keracunan itu terjadi di
Thurnly Grange. Korban keracunan adalah Nona Lois Hargreaves, pemilik rumah, dan
pelayan rumah, Esther Quant. Kapten Radclyffe dan Nona Logan diberitakan dalam
keadaan sakit. Penyebab keracunan itu diperkirakan dari pasta ara yang dipakai
untuk mengolesi sandwich karena seorang wanita lainnya, Nona Chilcott yang tidak
makan roti itu, sehat-sehat saja.
"Kita harus segera ke sana," kata Tommy. "Gadis itu! Gadis yang sudah curiga
itu! Goblok. Kenapa aku nggak ke sana saja kemarin?"
"Kalau kau ke sana kemarin," kata Tuppence, "barangkali kau juga ikut makan
sandwich itu saat minum teh, lalu ikut mati. Sudahlah, kita ke sana sekarang. Di
sini dikatakan bahwa Dennis Radclyffe juga dalam keadaan kritis."
"Barangkali pura-pura saja - buat mengelabui."
Mereka sampai di desa Thurnly yang kecil itu pada siang hari. Seorang wanita tua
bermata merah membukakan pintu ketika mereka sampai di Thurnly Grange.
"Begini," kata Tommy cepat, sebelum wanita itu sempat bicara. "Saya bukan
wartawan. Nona Hargreaves datang ke tempat saya kemarin dan minta agar saya
datang kemari. Apa ada yang bisa saya temui?"
"Ada Dr. Burton kalau Anda mau bicara," kata wanita itu. "Atau Nona Chilcott.
Dia yang mengatur segalanya."
Tapi Tommy sudah membuat keputusan.
"Dr. Burton," katanya berwibawa. "Saya ingin menemuinya sekarang juga kalau dia
ada di sini." Wanita itu membawa mereka ke dalam ruangan kecil. Lima menit kemudian pintu
terbuka dan seorang lelaki tua bertubuh tinggi, berbahu melengkung, dan berwajah
ramah tetapi cemas masuk.
"Dr. Burton?" kata Tommy. Dia mengeluarkan kartu namanya sebagai Tuan Blunt.
"Nona Hargreaves ke tempat saya kemarin menceritakan tentang coklat beracun itu.
Saya datang kemari dengan tujuan menyelidiki kasus itu atas permintaannya.
Sayang terlambat." Dokter itu memandangnya dengan penuh perhatian.
"Anda adalah Tuan Blunt sendiri?"
"Ya, dan ini asisten saya. Nona Robinson."
Dokter itu mengangguk hormat pada Tuppence.
"Dengan kondisi seperti ini rasanya tidak perlu bersikap tertutup. Tapi untuk
episode coklat itu - saya yakin bahwa kematian ini diakibatkan oleh keracunan
ptomaine yang hebat - yang sifatnya mematikan. Ada inflamasi gastro-intestinal dan
haemorrhage. Saya sudah mengambil pasta itu untuk dianalisa."
"Anda curiga adanya keracunan arsenik?"
"Tidak. Racun itu - kalau toh yang digunakan adalah racun - merupakan sesuatu yang
kuat dan cepat reaksinya. Kelihatannya seperti racun tumbuhan yang kuat."
"Hm, begitu. Saya ingin tanya, Dr. Burton, apakah Kapten Radclyffe menderita
karena penyebab yang sama?"
Dokter itu memandangnya. "Kapten Radclyffe saat ini tidak menderita apa-apa."
"Aha," kata Tommy. "Saya..."
"Dia meninggal jam lima pagi tadi."
Tommy benar-benar terkejut. Dokter itu siap pergi.
"Dan korban satunya, Nona Logan?" tanya Tuppence.
"Saya rasa dia akan baik karena dia sejauh ini dapat bertahan. Kelihatannya
racun itu tidak terlalu mempan pada wanita tua itu. Saya beritahu Anda hasil
analisanya nanti. Sementara ini saya rasa Nona Chilcott dapat menjelaskan segala
sesuatu yang ingin Anda ketahui."
Pada saat itu pintu terbuka dan seorang gadis masuk. Gadis itu bertubuh tinggi,
berkulit kecoklatan, dan bermata biru yang amat tenang.
Dr. Burton memperkenalkan mereka.
"Saya gembira dengan kedatangan Anda, Tuan Blunt," kata Mary Chilcott. "Kejadian
ini begitu menyedihkan. Apa ada sesuatu yang ingin Anda ketahui?"
"Pasta ara itu dari mana?"
"Pasta itu dari London. Kami sering menggunakannya. Tak seorang pun curiga bahwa
pasta dalam botol itu beda dengan yang lain. Sebetulnya saya sendiri tidak suka
bau ara itu. Karena itu saya tidak kena. Saya tidak mengerti bagaimana Dennis
bisa kena, karena dia pergi pada waktu minum teh. Saya rasa dia mengambil
sepotong sandwich ketika pulang."
Tommy merasa tangan Tuppence menekan lengannya perlahan.
"Jam berapa dia datang?" tanyanya.
"Saya tidak tahu. Tapi bisa saya tanyakan."
"Terima kasih, Nona Chilcott. Tidak perlu. Anda tidak keberatan kalau kami
menanyai para pelayan?"
"Silakan. Anda bisa melakukan apa saja, Tuan Blunt. Saya benar-benar bingung.
Apa Anda pikir - ada sesuatu yang tidak beres?"
Mata gadis itu benar-benar ingin tahu ketika menanyakan hal itu.
"Saya belum tahu sekarang ini. Mudah-mudahan nanti kita segera tahu."
"Ya. Saya rasa Dr. Burton pun akan menganalisa pasta itu."
Dia pamit ke luar dengan segera, lewat pintu yang membuka ke teras, lalu bicara
dengan salah seorang tukang kebun.
"Kau bicara dengan para pelayan, Tuppence," kata Tommy. "Aku akan ke dapur. Oh,
ya. Nona Chilcott bilang dia merasa bingung, tapi dia tidak kelihatan bingung."
Tuppence hanya mengangguk setuju.
Suami-istri itu bertemu setengah jam kemudian.
"Sekarang kita bicarakan apa yang kita dapat," kata Tommy. "Sandwich itu keluar
pada waktu minum teh sore, dan pelayan dalam memakannya satu potong. Karena itu
dia ikut jadi korban. Koki yakin sekali bahwa Dennis Radclyffe belum kembali
ketika waktu minum teh lewat. Pertanyaannya: bagaimana dia bisa keracunan?"
"Dia datang jam tujuh kurang seperempat," kata Tuppence. "Salah seorang pelayan
melihatnya datang dari jendela. Dia minum koktil sebelum makan malam - di ruang
perpustakaan. Koki baru saja mengangkat gelas itu waktu aku datang. Untunglah
dia belum mencuci gelasnya. Setelah minum, Dennis mengeluh sakit."
"Bagus. Aku akan membawa gelas itu ke Burton. Ada lagi?"
"Aku rasa sebaliknya kaulihat Hannah, pelayan pribadi itu. Dia - dia aneh."
"Apa maksudmu?"
"Dia memandangku seperti orang sinting."
"Coba kulihat."
Tuppence membawanya naik. Hannah punya ruang duduk sendiri. Pelayan itu duduk
tegak di sebuah kursi yang tinggi. Di pangkuannya ada sebuah Alkitab yang
terbuka. Dia tidak melihat pada tamunya ketika mereka masuk. Dia terus membaca
dengan suara keras. "Biarlah bara api panas menimpa kepala mereka,
biarlah mereka dilempar ke dalam api yang panas
sehingga tak bisa bangkit lagi."
"Boleh saya bicara sebentar?" tanya Tommy.
Hannah membuat gerakan tak sabar dengan tangannya.
"Bukan waktunya. Waktunya sudah dekat. Aku akan mengikuti musuhku dan menangkap
mereka. Aku tak akan kembali lagi sebelum menghancurkan mereka. Begitulah yang
telah ditulis. Kata-kata Tuhan telah sampai padaku. Aku adalah cambuk Tuhan."
"Gila," gumam Tommy.
"Dia telah seperti itu cukup lama," bisik Tuppence.
Tommy mengambil buku yang tergeletak dan terbuka di atas meja. Dia membaca
judulnya dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Tiba-tiba wanita tua itu berdiri dan berpaling kepada mereka dengan muka
mengancam. "Keluar. Waktunya sudah tiba! Aku adalah cambuk Tuhan. Angin bertiup ke mana dia
suka. Begitupun aku, menghancurkan. Orang yang tak beriman akan musnah. Rumah
ini rumah jahat - jahat! Berhati-hatilah dengan murka Tuhan."
Dia mendekati mereka dengan galak. Tommy mundur. Ketika menutup pintu, dia
melihat wanita itu sudah mengambil Alkitab lagi.
"Apa dia selalu begitu?" gumamnya.
Dia mengeluarkan buku yang diambilnya dari meja tadi.
"Lihat, ini kan bacaan aneh untuk orang sederhana seperti dia."
Tuppence mengambil buku itu.
"Materia Medica," gumamnya. Dia memperhatikan sampulnya. "Edward Logan. Ini buku
tua, Tommy. Apa kita bisa menemui Nona Logan" Dr. Burton bilang dia sudah baik."
"Apa kita perlu tanya Nona Chilcott?"
"Tidak. Kita suruh saja seorang pelayan untuk memberitahu dia."
Sesaat kemudian mereka diberitahu bahwa Nona Logan bisa menerima mereka. Mereka
dibawa ke sebuah kamar besar yang menghadap ke kebun luas. Di tempat tidur
berbaring seorang wanita tua berambut putih. Wajahnya yang tua itu terlihat
kesakitan. "Saya sedang sakit," katanya lemah. "Dan saya tak bisa bicara banyak. Tapi Ellen
bilang Anda detektif. Apa Lois datang pada Anda" Dia mengatakan begitu."
"Ya, Nona Logan. Kami tak ingin membuat Anda capek," kata Tommy. "Tapi
barangkali Anda bisa menjawab beberapa pertanyaan. Si Hannah, pelayan itu, apa
dia waras?" Nona Logan memandang mereka dengan heran.
"Oh, ya - dia sangat religius, saleh - tak ada yang tidak beres dengannya."
Tommy mengulurkan buku yang diambilnya dari meja.
"Apa ini buku Anda?"
"Ya. Salah satu buku-buku ayah saya. Dia seorang dokter yang hebat. Seorang
pionir di bidang serum therapeutics."
Suara wanita itu terdengar bangga.
"Ya," kata Tommy. "Rasanya saya pun pernah dengar namanya," katanya berpura-
pura. "Dan buku ini - apa Anda pinjamkan pada Hannah?"
"Pada Hannah?" Nona Logan duduk di tempat tidur dengan marah. "Tentu saja tidak.
Dia tak akan mengerti satu kata pun dari buku ini. Buku ini sangat teknis."
"Ya, saya mengerti. Tapi saya menemukannya di kamar Hannah."
"Kurang ajar," katanya. "Saya tak akan membiarkan pelayan-pelayan itu menyentuh
barang-barang saya."
"Di mana seharusnya tempat buku ini?"
"Di rak buku di ruang duduk saya - atau - sebentar, saya meminjamkannya pada Mary.
Gadis itu sangat tertarik pada ramuan tumbuh-tumbuhan. Dia pernah membuat satu
atau dua eksperimen di dapur kecil saya. Saya punya tempat masak sendiri dan
biasanya saya membuat beberapa minuman atau makanan dengan cara kuno. Dan Lucy,
Lady Radclyffe, sangat menyukai teh ramuan saya yang bisa menghilangkan masuk
angin dan sakit kepala. Kasihan Lucy, dia sering sakit. Juga si Dennis. Ayah
anak itu adalah sepupu saya."
Tommy menyela dongeng itu.
"Apa ada orang lain yang juga memakai dapur Anda itu" Kecuali Anda dan Nona
Chilcott tentunya." "Hannah membersihkan dapur itu. Dan biasanya dia memasak air di sana untuk
membuat teh pagi." "Terima kasih, Nona Logan," kata Tommy. "Sementara ini cukup itu saja pertanyaan
kami. Mudah-mudahan kami tidak membuat Anda lelah."
Dia meninggalkan kamar itu dan turun sambil mengernyitkan dahi.
"Ada sesuatu di rumah ini, Mr. Ricardo yang baik, yang aku tidak mengerti."
"Aku tidak suka rumah ini," kata Tuppence gemetar. "Kita jalan-jalan saja di
luar sambil bicara."
Tommy setuju dan mereka pun pergi. Pertama-tama mereka tinggalkan gelas koktil
itu di rumah dokter. Setelah itu mereka berjalan mengelilingi desa itu.
"Kondisinya memang memberi banyak peluang untuk berbuat jahat," kata Tommy. "Aku
rasa ada orang yang menganggap bahwa aku tak peduli. Padahal tidak demikian. Aku
merasa bahwa sebenarnya kita bisa mencegah kejadian itu."
"Kau jangan tolol," kata Tuppence. "Kita tidak menasihati Lois Hargreaves agar
tidak melapor ke Scotland Yard. Dia bisa melakukan apa saja. Dan kalau dia tidak
datang ke tempat kita, berarti dia tidak melakukan apa-apa."
"Dan akibatnya tetap sama. Ya, kau benar, Tuppence. Tidak wajar memang menyesali
sesuatu yang memang tak terelakkan. Yang ingin kulakukan sekarang ialah berusaha
sebaik-baiknya." "Dan itu tidak mudah."
"Ya. Karena terlalu banyak kemungkinan. Dan semua kelihatan kacau-balau.
Seandainya Dennis Radclyffe yang menaruh racun itu di sandwich. Dia tahu dia kan
pergi sore itu. Itu jadi mudah sekali."
"Ya," kata Tuppence. "Lalu kita bisa menyelidiki. Tapi dia meracuni diri sendiri
- ini tidak klop. Kita tak boleh melupakan seseorang - Hannah."
"Hannah?" "Orang bisa berbuat hal-hal yang aneh kalau mereka sedang kena religius mania."
"Dia memang agak aneh," kata Tommy. "Seharusnya kita juga menanyakannya pada Dr.
Burton." "Kelihatannya penyakit itu begitu tiba-tiba," kata Tuppence. "Itu kalau kita
mendengar keterangan Nona Logan."
"Aku rasa penderita religius mania memang bisa begitu," kata Tommy. "Maksudku
dia biasa menyanyikan hymne di tempat tidur dengan pintu terbuka selama
bertahun-tahun. Tetapi tiba-tiba dia melewati batas dan menjadi ganas."
"Memang banyak bukti-bukti yang lebih memberatkan Hannah daripada yang lain,"
kata Tuppence sambil merenung, "tapi aku punya suatu ide..." Dia berhenti.
"Ya?" kata Tommy memberi dorongan.
"Ini bukan ide. Tapi cuma prasangka."
"Prasangka terhadap seseorang?"
Tuppence mengangguk. "Tommy - apa kau suka Mary Chilcott?"
Tommy berpikir. "Ya, aku rasa begitu. Dia seorang yang cekatan dan efisien - barangkali sedikit
berlebihan - tapi bisa dipercaya."
"Kaupikir tidak aneh kalau dia kelihatan biasa-biasa saja?"
"Hm, dari satu sudut tertentu justru itu merupakan hal yang baik untuknya.
Maksudku, kalau memang dia melakukan sesuatu yang tidak baik, dia bisa berpura-
pura sedih - agak mendramatisir situasilah."
"Aku rasa kau benar," kata Tuppence. "Dan lagi, kelihatannya tak ada motif yang
membuatnya begitu. Aku tak melihat apa keuntungan yang bisa dia dapat dengan
pembunuhan massal seperti ini."
"Aku rasa tak seorang pelayan pun terlibat, kan?"
"Aku rasa tidak. Mereka adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Si Esther Quant,
pelayan rumah itu, seperti apa ya?"
"Maksudmu, kalau dia muda dan cantik, ada kemungkinan terlibat dalam persoalan
ini?" "Ya," kata Tuppence sambil menarik napas panjang. "Rasanya kok semua buntu."
"Aku rasa polisi akan membereskannya," kata Tommy.
"Barangkali. Tapi aku lebih suka kalau kita yang membereskannya. Oh, ya, apa kau
melihat bintik-bintik merah di lengan Nona Logan?"
"Tidak. Kenapa?"
"Kelihatannya seperti bekas suntikan hipodermik," kata Tuppence.
"Barangkali Dr. Burton memberinya suntikan hipodermik."
"Oh, bisa saja. Tapi tak sebanyak itu."
"Kecanduan kokain?" Tommy memberi ide.


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku berpikir begitu tadinya. Tapi matanya tidak apa-apa," kata Tuppence. "Dari
mata kita bisa melihat orang yang terbiasa dengan kokain atau morfin. Kecuali
itu dia bukan tipe wanita seperti itu."
"Sangat terhormat dan saleh," kata Tommy.
"Kacau," kata Tuppence. "Kita sudah bicara dan bicara tapi tak ada hasilnya.
Jangan lupa mampir ke rumah dokter waktu kembali nanti."
Pintu rumah dokter itu dibukakan oleh seorang anak laki-laki jangkung berumur
lima-belasan. "Tuan Blunt?" tanyanya. "Ya, Pak Dokter sedang keluar, tapi ada surat yang
dititipkan." Dia memberikan surat itu dan Tommy merobek sampulnya.
Tuan Blunt, Penelitian menunjukkan bahwa racun yang digunakan adalah Ricin, toxalbumose
sayur yang punya kekuatan tinggi. Informasi ini hanya untuk Anda saat ini.
Tommy menjatuhkan catatan itu, tapi cepat-cepat mengambilnya lagi.
"Ricin," gumamnya. "Kau pernah baca tentang itu, Tuppence" Kau dulu cukup banyak
tahu tentang hal-hal seperti itu."
"Ricin," kata Tuppence sambil berpikir. "Didapat dari minyak jarak aku rasa."
"Aku tak pernah menyentuh minyak jarak," kata Tommy. "Sekarang aku jadi siap
untuk lebih hati-hati lagi."
"Minyaknya sih nggak apa-apa. Ricin didapat dari biji jarak. Kalau nggak salah
aku melihat pohon jarak di kebun tadi - pohonnya besar dan daunnya berkilat."
"Maksudmu ada seseorang yang menyuling racun itu dari pohon di kebun" Apa Hannah
bisa melakukan itu?"
Tuppence menggelengkan kepala.
"Rasanya tidak. Dia tak tahu apa-apa."
Tiba-tiba Tommy berseru, "Buku itu. Apa masih di sakuku" Ya." Dia mengeluarkan buku tersebut dan membuka
lembarannya dengan cepat. "Aku rasa ini. Ya, inilah halaman yang terbuka tadi
pagi. Kau lihat, Tuppence" Ricin!"
Tuppence merebut buku itu dari tangannya.
"Kau mengerti" Aku tidak."
"Cukup jelas bagiku," kata Tuppence. Dia terus berjalan. Satu tangannya memegang
buku dan satu lagi menggandeng lengan Tommy sambil membaca. Akhirnya dia menutup
buku itu. Mereka sampai di dekat rumah.
"Tommy, boleh kuambil-alih persoalan ini" Sekali ini saja. Aku banteng yang
sudah berada di arena lebih dari dua puluh menit."
Tommy mengangguk. "Kau boleh jadi kapten kapal ini, Tuppence," katanya sedih. "Kita harus sampai
ke akar-akarnya." "Pertama-tama," kata Tuppence, "aku harus menanyakan satu pertanyaan pada Nona
Logan." Dia berlari ke atas. Tommy mengikutinya. Dia mengetuk pintu kamar wanita tua itu
keras-keras dan masuk. "Kaukah itu?" kata Nona Logan. "Kau terlalu muda dan cantik untuk menjadi
detektif. Apa kau sudah menemukan sesuatu?"
"Ya," kata Tuppence. "Sudah."
Nona Logan memandangnya dengan mata bertanya.
"Saya tidak tahu apakah saya cantik," lanjut Tuppence. "Tapi karena saya muda,
saya pernah bekerja di suatu rumah sakit pada waktu perang. Saya tahu tentang
serum therapeutics. Dan saya kebetulan tahu bahwa apabila Ricin disuntikkan
dalam dosis-dosis rendah, maka akan terbentuklah imunisasi hipodermis, dan
antiricin terjadi. Fakta itu menjadi dasar dari serum therapeutics. Dan Anda
tahu hal itu, Nona Logan. Anda menyuntikkan ricin dosis rendah ke dalam tubuh
Anda sendiri sehingga terbentuk imunisasi itu. Lalu Anda membiarkan diri Anda
keracunan bersama yang lain. Anda pernah membantu ayah Anda dalam pekerjaan itu,
Anda tahu tentang Ricin dan bagaimana mendapatkannya dari biji jarak. Anda
memilih waktu ketika Dennis Radclyffe keluar, karena tidak baik baginya kena
racun pada saat yang sama - dia bisa meninggal lebih dulu dari Lois Hargreaves.
Tapi kalau gadis itu meninggal lebih dulu, Dennis akan mendapatkan warisan. Dan
bila dia mati, Andalah yang mendapatkannya. Anda masih ingat bukan - Anda sendiri
yang memberi tahu kami bahwa ayah Dennis adalah sepupu Anda."
Wanita tua itu memandang Tuppence dengan mata jahat.
Tiba-tiba seseorang menghambur masuk dari kamar sebelah. Ternyata Hannah.
Tangannya memegang sebuah obor yang menyala, yang diacung-acungkannya.
"Kebenaran telah dikatakan. Dia benar-benar jahat. Aku melihat dia membaca buku
itu, dan tersenyum sendiri. Dan aku tahu. Aku temukan buku itu dan halaman yang
dibacanya - tapi aku tak mengerti. Tapi suara Tuhan bicara padaku. Wanita ini
benci pada nyonyaku, almarhumah Nyonya Besar. Dia iri hati dan dengki. Dan dia
benci pada Nona Lois yang manis. Tapi yang jahat akan binasa, api Tuhan akan
membakarnya." Sambil mengayun-ayunkan obor dia maju ke depan ke arah tempat tidur.
Wanita tua itu menjerit. "Bawa dia keluar - bawa dia keluar. Semua benar - tapi bawa dia keluar."
Tuppence meloncat ke Hannah. Tapi wanita itu telah berhasil menyulut kelambu
tempat tidur itu sebelum Tuppence mengambil obor dari tangannya dan
menginjaknya. Tommy berlari masuk. Dia menarik kelambu tempat tidur dan berhasil
mematikan nyala api dengan karpet. Kemudian dia membantu Tuppence menenangkan
Hannah. Pada saat itulah Dr. Burton datang tergopoh-gopoh.
Dengan penjelasan beberapa kata saja dia pun mengerti apa yang terjadi.
Dia cepat-cepat mendekati Nona Logan, mengangkat tangannya dan berteriak,
"Kejutan api itu terlalu berat untuknya. Dia meninggal. Barangkali baik juga
dengan kondisi begini."
Dia diam lalu menambahkan, "Di gelas koktil itu juga ada Ricin."
"Barangkali ini yang terbaik," kata Tommy setelah mereka menyerahkan Hannah ke
tangan dokter dan tinggal berduaan lagi. "Tuppence, kau benar-benar hebat."
"Tak ada sentuhan Hanaud di sini," kata Tuppence.
"Terlalu serius untuk permainan akting. Aku masih sedih rasanya mengingat gadis
itu. Aku tak akan mencurigainya. Tetapi kau - benar-benar luar biasa. Kau patut
dapat bintang. Memang betul kata-kata mutiara tua itu. Sangat menguntungkan
punya otak cemerlang, walaupun tampang tidak."
"Tommy, kau benar-benar kurang ajar."
19. Alibi yang Kuat TOMMY dan Tuppence sibuk mengecek surat-surat mereka. Tuppence berseru dan
memberikan sepucuk surat pada Tommy.
"Klien baru," katanya.
"Ha!" kata Tommy. "Apa yang kita simpulkan dari surat ini, Watson" Tak banyak,
kecuali fakta bahwa Tuan - er - Montgomery Jones bukanlah orang yang bisa mengeja
tulisan dengan baik. Itu menunjukkan bahwa pendidikannya amat mahal."
"Montgomery Jones?" tanya Tuppence. "Apa yang kuketahui tentang seorang
Montgomery Jones" Oh ya, aku ingat. Aku rasa Janet St. Vincent pernah
menyebutnya. Ibunya adalah Lady Aileen Montgomery, pemarah dan angkuh. Dia
menikah dengan seorang Jones yang amat kaya."
"Cerita lama yang itu-itu juga," kata Tommy. "Jam berapa Tuan M.J. ingin bertemu
kita" Ah, sebelas tiga puluh."
Pada jam sebelas tiga puluh tepat seorang lelaki muda bertubuh tinggi dan
bermuka ramah masuk dan menemui Albert.
"Apakah saya bisa bertemu - er - Tuan - er - Blunt?"
"Anda punya janji, Tuan?" kata Albert.
"Saya tak tahu. Tapi rasanya ya. Maksud saya, saya menulis surat..."
"Siapa nama Tuan?"
"Montgomery Jones."
"Saya akan memberitahu Tuan Blunt."
Dia kembali tak lama kemudian.
"Silakan tunggu dulu, Tuan. Tuan Blunt sedang sibuk saat ini."
"Oh - er - ya - tentu saja," kata Tuan Montgomery Jones.
Setelah merasa cukup memberi kesan penting pada kliennya, Tommy memanggil Albert
dengan belnya. Tuan Montgomery Jones pun dibawa masuk.
Tommy berdiri dan menjabat tangan tamunya dengan hangat, dan mempersilakannya
duduk di sebuah kursi yang kosong.
"Tuan Montgomery, apa yang bisa kami lakukan untuk Anda?"
Tuan Montgomery memandang ragu-ragu kepada orang ketiga di ruang itu.
"Sekretaris pribadi saya yang terpercaya. Nona Robinson," kata Tommy. "Anda bisa
bicara dengan bebas di depannya. Apa ini merupakan persoalan keluarga yang cukup
peka?" "Hm - tidak juga," kata Montgomery Jones.
"Wah, apa ya kalau begitu?" kata Tommy. "Tak ada kesulitan yang serius, saya
harap." "Oh, tidak," kata Tuan Montgomery Jones.
"Kalau begitu Anda dapat memberikan fakta-fakta dengan jelas."
Tapi kelihatannya justru itulah yang tidak dapat dilakukan Tuan Montgomery
Jones. "Ini - hal yang saya minta tolong pada Anda ini memang aneh," katanya ragu-ragu.
"Saya - er - saya tak tahu bagaimana menceritakannya."
"Kami tak melayani kasus perceraian," kata Tommy.
"Oh, Tuhan, bukan. Bukan itu," kata Tuan Montgomery Jones. "Ini merupakan
lelucon konyol. Itu saja."
"Ada orang yang mempermainkan Anda secara misterius?" tanya Tommy.
Tapi sekali lagi Tuan Montgomery Jones menggelengkan kepalanya.
"Baiklah," kata Tommy. "Silakan berpikir dulu. Kami tunggu cerita Anda."
Mereka diam. "Begini," kata Tuan Montgomery Jones akhirnya, "kejadiannya waktu saya makan
malam. Saya duduk dekat seorang gadis."
"Lalu?" kata Tommy.
"Dia - ah - saya tak bisa menjelaskannya. Dia adalah salah seorang gadis paling
menarik yang pernah saya temui. Dia seorang gadis Australia yang tinggal di sini
dan menyewa flat bersama seorang temannya di Clarges Street. Dia benar-benar
memikat. Saya tak bisa menceritakan pada Anda pengaruhnya pada diri saya."
"Kami bisa mengerti hal itu, Tuan Jones," kata Tuppence.
Dia mengerti dengan baik bahwa apabila dia ingin tahu persoalan Tuan Jones, maka
dia perlu memberi sentuhan feminin, bukan metode resmi seperti yang dipraktekkan
Mr. Blunt. "Kami bisa mengerti," kata Tuppence memberi dorongan.
"Semua ini membuat saya bingung," kata Tuan Jones. "Seorang gadis bisa membuat
orang kelabakan. Sebelumnya ada seorang gadis lain - bukan, dua orang. Yang satu
memang lincah, tapi saya kurang menyukai dagunya. Dia pintar dansa dan saya
sudah lama kenal dia sehingga saya selalu merasa aman di dekatnya. Lalu ada
seorang gadis di Frivolity. Dia sangat menyenangkan, tapi pasti banyak suara-
suara protes kalau saya menanggapinya. Kecuali itu saya memang tidak bermaksud
menikah dengan gadis itu. Tapi pada waktu saya berpikir tentang hal itu - tiba-
tiba saja - tahu-tahu saya duduk di sebelah gadis itu dan..."
"Segalanya pun berubah," kata Tuppence penuh perasaan.
Tommy bergeser dari tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia merasa bosan dengan
dongeng cinta Tuan Montgomery Jones.
"Memang seperti itulah. Hanya saja saya merasa bahwa gadis itu tidak terlalu
kagum pada saya. Anda mungkin tidak berpikir begitu, tapi sebenarnya saya bukan
orang yang pandai." "Ah Anda memang suka merendah," kata Tuppence.
"Saya tahu bahwa saya bukan orang cerdas," kata Tuan Jones dengan senyum
menawan. "Bukan untuk gadis secerdas dia. Karena itulah saya merasa bahwa saya
harus bisa membereskan persoalan ini. Itu adalah satu-satunya kesempatan. Gadis
itu sportif sekali dan dia akan melakukan apa yang dikatakannya."
"Ya, tentu saja kami ingin Anda berhasil dalam hal ini," kata Tuppence. "Tapi
kami tak mengerti apa yang perlu kami bantu."
"Ya, Tuhan. Apa saya belum menjelaskannya?" seru Tuan Montgomery Jones.
"Belum," kata Tommy.
"Begini," katanya. "Kami bicara tentang cerita-cerita detektif. Una - nama gadis
itu - dan saya, sangat suka cerita detektif. Kami akhirnya bicara tentang alibi
dan alibi palsu. Lalu saya bilang - oh, bukan, dia bilang - oh, siapa ya yang
bicara?" "Tak apa, itu tak penting," kata Tuppence.
"Saya katakan bahwa alibi palsu itu sulit. Dia tak setuju - dia bilang hal begitu
hanya memerlukan sedikit otak logis. Kami serius tentang hal itu dan akhirnya
dia membuat suatu tawaran, Apa yang mau kaupertaruhkan kalau aku bisa membuat
alibi yang tak tergoyahkan" katanya.
"Saya bilang apa pun boleh, dan kami pun mengatur ini dan itu. Dia begitu yakin
dengan alibinya. Dan saya katakan jangan terlalu gegabah. Bagaimana kalau saya
menang dan meminta sesuatu yang saya mau" Dia tertawa dan bilang bahwa dia
berasal dari keluarga yang suka bertaruh. Dia setuju."
"Jadi?" kata Tuppence ketika Tuan Jones berhenti bicara dan memandangnya dengan
sikap minta diperhatikan.
"Anda tidak mengerti" Artinya terserah pada saya. Ini adalah satu-satunya
kesempatan bagi saya untuk mendapatkan respek dari gadis seperti dia. Dia benar-
benar seorang pemberani. Musim panas yang lalu dia keluar berperahu dan ada
seorang yang bertaruh bahwa dia pasti tak akan berani meloncat dari perahu itu
dan berenang kembali ke pantai dengan pakaian biasa. Tapi dia melakukannya."
"Ini suatu hal yang aneh," kata Tommy. "Rasanya saya masih belum mengerti."
"Sebenarnya sederhana sekali," kata Tuan Montgomery Jones. "Anda tentunya sering
melakukan hal itu. Menyelidiki alibi palsu dan mencari di mana kuncinya."
"Oh - er - ya," kata Tommy. "Kami memang melakukan pekerjaan semacam itu."
"Saya perlu bantuan pihak lain untuk memecahkan persoalan semacam itu," kata
Montgomery Jones. "Saya sendiri tidak terlalu bisa menangani hal seperti itu.
Yang perlu Anda lakukan hanya menangkap gadis itu. Mungkin hal ini kedengarannya
seperti soal sepele bagi Anda. Tapi bagi saya sangat berarti, dan saya bersedia
membayar - berapa pun."
"Tidak apa-apa," kata Tuppence. "Saya yakin bahwa Tuan Blunt akan menerima tugas
ini." "Tentu, tentu saja," kata Tommy. "Ini merupakan kasus yang menarik. Amat
menarik." Tuan Montgomery Jones menarik napas lega dan menarik setumpuk kertas dari
sakunya, lalu memilih selembar. "Ini dia," katanya. "Gadis itu berkata Aku
mengirim bukti bahwa aku berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama.
Menurut sebuah cerita aku makan sore di Bon Temps Restaurant di Soho sendirian,
lalu pergi ke Dukes Theatre dan makan malam dengan seorang teman, Tuan le
Marchant, di Savoy - tapi pada saat yang sama, aku juga menginap di Castle Hotel,
Torquay, dan kembali ke London besok paginya. Kau harus bisa menemukan cerita
yang mana yang benar dan bagaimana aku melakukan cerita yang lainnya."
"Nah," kata Tuan Montgomery Jones melanjutkan. "Anda tahu apa yang saya
perlukan, bukan?" "Persoalan kecil yang menarik," kata Tommy. "Sangat naif."
"Ini foto Una," kata Tuan Montgomery Jones. "Anda pasti memerlukannya."
"Siapa nama lengkapnya?" tanya Tommy.
"Nona Una Drake. Alamatnya di Clarges Street 180."
"Terima kasih," kata Tommy. "Kami akan segera menyelesaikan soal ini bagi Anda,
Tuan Jones. Mudah-mudahan kami bisa memberikan kabar baik pada Anda dalam waktu
singkat." "Terima kasih. Terima kasih sekali," kata Tuan Jones sambil berdiri dan menjabat
tangan Tommy. "Saya merasa ringan sekarang."
Setelah mengantar tamunya ke luar, Tommy kembali lagi. Tuppence ada di dekat
lemari yang berisi buku-buku klasik.
"Inspektur French," kata Tuppence.
"Eh?" kata Tommy.
"Inspektur French," kata Tuppence. "Dia selalu menangani alibi. Aku tahu
prosedurnya. Kita harus mengecek semuanya. Pertama-tama kelihatannya biasa-biasa
saja. Tapi setelah kita mengecek lebih jauh, kita akan menemukan kesalahannya."
"Tentunya tidak akan ada banyak kesulitan," kata Tommy. "Maksudku, karena kita
sudah tahu bahwa satu cerita sebenarnya tidak benar. Itu yang membuatku kuatir."
"Rasanya tak ada yang perlu dikuatirkan."
"Aku kuatir dengan gadis itu. Barangkali dia akan terpaksa mau menikah dengan
laki-laki itu, senang atau tidak senang."
"Sayangku," kata Tuppence. "Jangan bodoh. Wanita bukanlah makhluk yang gemar
bertaruh liar seperti itu. Gadis itu pasti tidak akan begitu saja mempertaruhkan
kebebasannya untuk menikahi seorang laki-laki seperti dia kalau dia memang tidak
siap. Tapi percayalah - gadis itu akan menikahi laki-laki itu dengan respek yang
lebih tinggi apabila dia tidak membiarkan dirinya dinikahi dengan jalan mudah."
"Kau selalu menganggap kau ini tahu segalanya," kata Tommy.
"Memang," kata Tuppence.
"Sekarang kita periksa datanya," kata Tommy sambil menarik tumpukan kertas-
kertas itu. "Hm," katanya, "gadis yang amat manis. Dan foto ini begitu tajam.
Mudah dikenali."

Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus punya foto beberapa gadis lain," kata Tuppence.
"Mengapa?" "Biasanya begitu," kata Tuppence. "Kita tunjukkan empat atau lima buah foto pada
pelayan, dan dia akan memilih sebuah foto yang benar."
"Apa mereka selalu begitu - maksudku, memilih yang benar?" tanya Tommy.
"Mereka biasanya begitu - di buku," kata Tuppence.
"Sayang sekali hidup yang nyata berbeda dengan fiksi," kata Tommy. "Coba lihat,
apa ini" Ya, ini memang London. Makan sore di Bon Temps jam tujuh tiga puluh.
Pergi ke Dukes Theatre dan melihat Delphiniums Blue. Sobekan karcis bioskop itu
ada di sini. Makan malam di Savoy dengan Tuan le Marchant. Aku rasa kita bisa
menanyai Tuan le Marchant."
"Itu tidak membuktikan apa-apa," kata Tuppence. "Karena kalau dia bersekongkol
dengan gadis itu dia tinggal menganggukkan kepala. Lupakan saja apa yang bisa
dikatakannya." "Dan ini cerita Torquay," lanjut Tommy. "Kereta jam dua belas dari Paddington,
makan siang di gerbong makan, ada bon makannya. Menginap di Castle Hotel
semalam. Ada bukti pembayarannya."
"Aku rasa ini agak lemah," kata Tuppence. "Siapa pun bisa membeli karcis bioskop
tanpa harus menonton. Kepergian gadis itu ke Torquay dan London hanya cerita
bohong saja." "Kalau begitu gampang," kata Tommy. "Tapi aku rasa baik juga kalau kita menanyai
Tuan le Marchant." Tuan le Marchant ternyata seorang pemuda yang ramah dan terus terang. Dia tidak
heran melihat kedatangan mereka.
"Una punya permainan baru, ya?" tanyanya. "Anak itu selalu punya permainan
baru." "Benarkah bahwa Nona Drake makan malam dengan Anda di Savoy hari Selasa malam?"
"Ya, betul," kata Tuan le Marchant. "Saya memang ingat karena Una menyuruh saya
mengingatnya - bahkan meminta agar saya menuliskannya di buku."
Dengan bangga dia menunjukkan catatan kecil: "Makan malam dengan Una. Savoy.
Selasa, tanggal 19."
"Apakah Anda tahu di mana Nona Drake sebelum makan malam dengan Anda?"
"Dia melihat bioskop - sebuah film jelek, kalau nggak salah judulnya Pink
Peonies." "Anda yakin bahwa Nona Drake bersama Anda malam itu?"
Tuan le Marchant memandang Tommy.
"Tentu saja. Saya kan sudah cerita tadi?"
"Barangkali dia minta agar Anda bercerita begitu kepada kami," kata Tuppence
menjelaskan. "Dia memang mengatakan sesuatu yang aneh. Dia bilang - apa ya katanya" Kaupikir
kau duduk di sini sedang makan malam denganku, Jimmy" Tapi sebenarnya aku sedang
makan malam di Devonshire, dua ratus mil jauhnya dari sini. Itu aneh kan"
Seperti ilmu sihir saja. Anehnya, seorang teman saya yang bernama Dicky Rice
melihat dia di sana."
"Siapa Tuan Rice itu?"
"Oh, seorang teman. Dia tinggal di Torquay dengan bibinya yang sudah tua tapi
belum mau mati juga. Dicky jadi kemenakan yang berbakti pada si tua itu. Dia
bilang Aku lihat gadis Australia itu - Una siapa. Aku ingin ngobrol dengan dia
tapi Bibi menarikku dan saya pun mengobrol dengan si Pus tua di kursi mandi.
Saya bertanya, Kapan kau lihat dia" Dan dia bilang, Oh, Selasa sore. Kira-kira
waktu minum the. Tentu saja saya bilang dia salah lihat. Tapi itu kan aneh"
Karena Una bilang dia ada di Devonshire malam itu."
"Sangat aneh," kata Tommy. "Barangkali Anda ingat, Tuan le Marchant, seorang
teman atau kenalan yang kebetulan duduk dekat Anda pada waktu makan malam itu?"
"Ada kenalan yang bernama Oglander duduk di meja sebelah."
"Mereka kenal Nona Drake?"
"Oh, ya. Walaupun bukan teman dekat."
"Baiklah, kalau tak ada lagi yang ingin Anda ceritakan pada kami, kami ingin
pamit." "Pemuda itu - kalau bukan seorang pembohong besar ya memang dia mengatakan yang
sebenarnya," kata Tommy ketika mereka sampai di jalan.
"Ya," kata Tuppence. "Pendirianku berubah. Aku merasa bahwa Una Drake berada di
Savoy malam itu." "Kita ke Bon Temps sekarang," kata Tommy. "Rasanya perlu sedikit ekstra tip
untuk beberapa orang. Kita cari foto beberapa gadis dulu."
Hal itu ternyata tidak mudah. Mereka mendatangi seorang tukang foto dan memilih
beberapa foto untuk diambil. Tapi permintaan mereka ditolak.
"Kenapa sih soal yang gampang dan sederhana di buku menjadi sulit dalam
kenyataan?" kata Tuppence mengomel. "Mereka begitu curiga. Dikiranya kita ini
mau berbuat apa sih" Sebaiknya kita gedor saja apartemen Jane."
Jane, teman Tuppence, ternyata seorang yang pemurah. Dia membiarkan Tuppence
mengobrak-abrik laci yang penuh dengan foto-foto temannya.
Dengan berbekal beberapa lembar foto gadis cantik, mereka melangkah ke Bon Temps
di mana kesulitan-kesulitan baru dan biaya yang lebih besar menunggu. Tommy
terpaksa menangkapi pelayan satu demi satu, mengeluarkan tip, dan menunjukkan
foto-foto cantik itu. Hasilnya tidak memuaskan. Setidaknya tiga buah foto
ditunjuk sebagai orang yang pernah makan di situ pada Selasa malam yang lalu.
Mereka kemudian kembali ke kantor. Tuppence membenamkan diri dalam buku ABC.
"Paddington jam dua belas. Torquay tiga tiga puluh lima. Itu keretanya. Dan
teman le Marchant, Tuan Sagu, atau Tapioka, atau siapa, melihatnya pada waktu
minum teh." "Kita belum mengecek kata-katanya, lho," kata Tommy. "Kau pernah bilang kalau le
Marchant bersekongkol dengan Una, dia bisa saja mengarang cerita itu."
"Oke. Kalau begitu kita kejar Tuan Rice," kata Tuppence. "Rasanya le Marchant
bicara benar. Tidak. Yang aku inginkan sekarang ini. Una Drake pergi ke London
dengan kereta jam dua belas. Barangkali dia pesan kamar di hotel dan menginap.
Lalu barangkali dia kembali ke London dengan kereta untuk ke Savoy. Ada satu
kereta yang berangkat jam empat empat puluh. Sampai di Paddington jam sembilan
lewat sepuluh." "Lalu?" kata Tommy.
"Lalu," kata Tuppence sambil mengernyitkan dahi. "Tambah sulit saja. Ada kereta
jam dua belas dari Paddington. Tapi dia pasti tidak pergi dengan kereta itu.
Terlalu cepat." "Mobil yang kencang," kata Tommy.
"Hm," kata Tuppence. "Jaraknya dua ratus mil."
"Orang bilang, orang Australia suka ngebut seenaknya," kata Tommy.
"Oke. Kalau begitu dia sampai kira-kira jam tujuh," kata Tuppence.
"Kaupikir dia bisa diam-diam masuk hotel tanpa ada yang melihat" Atau dia bisa
bilang bahwa dia tidak di hotel semalaman dan sekarang mau membayar?"
"Tommy," kata Tuppence, "kita memang bodoh. Dia tidak perlu ke Torquay. Dia bisa
menyuruh seorang temannya ke hotel, mengambil tasnya dan membayar rekening hotel
untuknya. Dan dia akan menerima tanda terima pembayaran dengan tanggal yang
sesuai." "Aku rasa hipotesa kita cukup bagus," kata Tommy. "Yang perlu kita lakukan ialah
pergi ke Torquay dengan kereta jam dua belas besok, untuk membuktikan ide
cemerlang ini." Dengan bekal sederet foto, keesokan harinya Tommy dan Tuppence berangkat dengan
kereta kelas satu. Mereka memesan tempat untuk makan siang kedua di kereta.
"Barangkali pelayan kereta makannya lain," kata Tommy. "Itu harapan yang terlalu
tinggi. Aku rasa kita nanti akan perlu bolak-balik ke Torquay selama beberapa
hari sebelum menemukan pelayan yang benar."
"Urusan alibi ini benar-benar melelahkan," kata Tuppence. "Di buku, urusan
begini selesai dalam dua atau tiga alinea. Inspektur Anu naik kereta ke Torquay
dan menanyai pelayan kereta makan. Lalu ceritanya selesai."
Tetapi kali ini nasib baik berada di pihak mereka. Ternyata pelayan yang membawa
bon makan mereka adalah pelayan yang bertugas pada hari Selasa itu. Yang disebut
Tommy sebagai "Sentuhan sepuluh shilling bekerja begitu cepat", dan Tuppence pun
mengeluarkan deretan fotonya.
"Aku ingin tahu," kata Tommy, "apakah salah seorang dari gadis-gadis ini makan
siang di kereta ini hari Selasa yang lalu."
Dengan sikap yang amat sopan, pelayan itu menunjuk foto Una Drake.
"Ya, Tuan. Saya ingat gadis itu, dan saya ingat hari itu hari Selasa karena dia
berkata bahwa hari Selasa adalah hari keberuntungannya."
"Bagus," kata Tuppence setelah mereka kembali ke kompartemen mereka. "Barangkali
kita juga akan menemukan bahwa dia memang tinggal di hotel itu. Akan lebih sulit
membuktikan bahwa dia kembali lagi ke London. Tapi barangkali salah seorang kuli
stasiun ingat." Tetapi di stasiun mereka tidak mendapat keterangan apa pun. Tommy menanyai
tukang karcis dan beberapa kuli. Setelah menerima tip, dua orang kuli dengan
agak ragu-ragu menunjuk sebuah foto lain dan mengatakan bahwa kalau tidak salah
seseorang seperti gadis itu pergi dengan kereta ke London jam empat empat puluh
sore itu. Tapi mereka tidak menunjuk Una Drake.
"Tapi itu tidak membuktikan apa-apa," kata Tuppence ketika mereka meninggalkan
stasiun. "Bisa saja dia naik kereta tanpa diperhatikan orang lain."
"Bisa juga dia berangkat dari stasiun Torre."
"Ya, betul," kata Tuppence. "Kita bisa ke sana nanti setelah dari hotel."
Castle Hotel adalah hotel besar yang menghadap laut. Setelah memesan kamar untuk
satu malam dan menandatangani formulir, Tommy bicara dengan ramah.
"Kalau nggak salah ada seorang teman kami yang menginap di sini Selasa malam
yang lalu. Nona Una Drake."
Gadis resepsionis itu menjawab dengan muka cerah.
"Oh ya, saya ingat sekali. Seorang gadis Australia kalau tidak salah."
Tuppence mengeluarkan foto ketika Tommy memberi isyarat.
"Fotonya cakep, ya?" kata Tuppence.
"Oh ya. Bagus sekali."
"Dia lama menginap di sini?" tanya Tommy.
"Hanya semalam. Dia kembali ke London dengan kereta ekspres esok paginya.
Rasanya sayang jauh-jauh ke sini cuma untuk sebentar. Tapi barangkali itu tidak
jadi soal untuk gadis-gadis Australia."
"Dia memang begitu," kata Tommy, "suka bertualang. Dia mengendarai mobil bersama
teman-temannya, masuk selokan dan tak bisa kembali sampai pagi. Waktu kejadian
itu, dia sedang di sini atau tidak?"
"Oh, tidak," kata gadis itu. "Nona Drake makan malam di hotel ini."
"Ah, ya?" kata Tommy. "Anda ingat itu" Maksud saya, bagaimana Anda tahu?"
"Oh, saya melihatnya sendiri."
"Saya bertanya karena kalau nggak salah dia makan malam dengan beberapa teman di
Torquay," kata Tommy.
"Oh, tidak. Dia makan malam di sini." Gadis itu tertawa dan mukanya menjadi
merah. "Saya ingat dia memakai baju yang amat manis. Baju sifon berkembang-
kembang model terbaru."
"Wah, gawat," kata Tommy setelah mereka berada di kamar.
"Ya," sahut Tuppence. "Gadis itu bisa saja keliru. Kita tanya pelayan saja waktu
makan malam nanti. Pasti tak banyak tamu datang musim begini."
Kali ini Tuppence-lah yang melakukan serangan.
"Apa kauingat, seorang teman saya datang kemari hari Selasa?" tanyanya kepada
pelayan dengan senyum yang amat manis. "Namanya Nona Drake, berbaju kembang-
kembang." Kemudian dia mengeluarkan fotonya. "Ini dia."
Pelayan itu tersenyum karena mengenali foto itu.
"Ya, ya. Nona Drake. Saya ingat sekali. Dia bilang dari Australia."
"Dia makan malam di sini?"
"Ya. Hari Selasa lalu. Dia menanyakan apa ada hal-hal menarik di kota."
"Lalu?" "Saya beritahu ada Teater Pavilion. Tapi akhirnya dia tidak jadi pergi. Duduk-
duduk saja di sini mendengarkan musik."
"Sialan," gumam Tommy.
"Kau ingat jam berapa dia makan malam?" kata Tuppence.
"Agak malam. Kira-kira jam delapan."
"Gila, konyol, sialan," kata Tuppence setelah dia dan Tommy meninggalkan ruang
makan. "Tom, semuanya nggak beres. Padahal mula-mula kelihatan jelas dan indah."
"Ya, aku rasa kita harusnya sudah bisa menduga sebelumnya, bahwa persoalannya
tak segampang yang kita omongkan."
"Apa ada kereta yang ke London setelah jam itu?"
"Tak ada yang bisa membawanya ke London tepat pada waktunya untuk makan di
Savoy." "Baik. Aku akan bicara dengan pelayan kamar. Ini harapan terakhir," kata
Tuppence. "Kamar Una Drake ada di lantai yang sama dengan kamar kita."
Pelayan kamar itu adalah seorang wanita yang informatif. Ya, dia ingat Nona
Drake. Ya, itu fotonya. Gadis yang amat manis, ramah dan ceria. Dia cerita
banyak tentang Australia dan kanguru.
Gadis itu membunyikan bel kira-kira jam setengah sepuluh, minta agar botolnya
diisi dan diletakkan di tempat tidurnya. Dia juga minta dibangunkan jam tujuh
tiga puluh besok paginya - dan disediakan kopi, bukan teh.
"Dan kau membangunkan dia, dan dia masih di tempat tidur?" kata Tuppence.
Pelayan itu memandangnya heran. "Ya - tentu saja, Nyonya."
"Oh, barangkali saja dia berolahraga atau melakukan sesuatu," kata Tuppence
mencari-cari alasan. "Banyak orang yang melakukannya pagi-pagi sekali."
"Wah, benar-benar kuat alibinya," kata Tommy setelah pelayan itu pergi. "Hanya
ada satu konklusi kalau begitu. Pasti cerita London itu yang palsu."
"Tuan le Marchant ternyata pembohong kelas satu," kata Tuppence.
"Kita bisa mengecek omongannya," kata Tommy. "Dia bilang mereka duduk di dekat
pasangan yang kenal Una. Siapa namanya - Oglander" Ya, itu namanya. Dan kita harus
mengecek apartemen Una di Clarges Street."
Besok paginya mereka membayar kamar hotel dan berangkat ke London dengan agak
putus asa. Mencari pasangan Oglander dengan bantuan buku telepon tidaklah sulit. Kali itu
Tuppence yang membuka serangan dan berpura-pura menjadi wartawan. Dia mendatangi
Nyonya Oglander dan menanyakan tentang pesta makan malam mereka yang "menarik"
di Savoy pada hari Selasa. Dengan senang hati Nyonya itu menceritakan apa yang
ditanyakan Tuppence. Ketika dia selesai dengan wawancaranya dan bersiap pergi,
sambil lalu Tuppence bertanya. "Sebentar, kalau nggak salah Nona Una Drake duduk
dekat Anda, ya" Apa benar dia bertunangan dengan Duke of Perth" Anda pasti kenal
dia, kan?" "Saya hanya tahu sedikit tentang dia," jawab Nyonya Oglander. "Seorang gadis
yang menarik. Ya, dia duduk dekat kami, dengan Tuan le Marchant. Saya kira anak-
anak saya lebih kenal dia daripada saya."
Kunjungan Tuppence berikutnya adalah apartemen di Clarges Street. Dia disambut
oleh Nona Marjorie Leicester, teman seapartemen Nona Drake.
"Ada apa sih, sebenarnya?" tanya gadis itu dengan sedih. "Si Una punya mainan
dan saya tak tahu apa-apa. Tentu saja dia tidur di sini hari Selasa itu."
"Anda lihat dia waktu datang?"
"Tidak, saya sudah tidur. Tapi dia memang punya kunci sendiri. Dia datang kira-
kira jam satu malam, saya rasa."
"Kapan Anda melihatnya?"
"Oh, kira-kira jam sembilan atau - sepuluh, esok paginya."
Ketika meninggalkan apartemen itu, Tuppence hampir bertabrakan dengan seorang
wanita jangkung yang akan masuk ke apartemen.
"Maaf, Nona," kata wanita bermuka muram itu.
"Kau kerja di sini?" tanya Tuppence.
"Ya, Non, tiap hari," katanya.
"Jam berapa kau biasa datang?"
"Jam sembilan, Non."
Tuppence menyelipkan selembar uang ke tangan wanita itu dengan cepat.
"Apa Nona Drake ada di sini hari Selasa pagi ketika kau datang?"
"Ya. Dia masih tidur nyenyak waktu saya masuk membawa tehnya."
"Terima kasih," kata Tuppence, lalu menuruni tangga dengan cepat.
Dia berjanji untuk bertemu dengan Tommy di sebuah restoran kecil di Soho untuk
membandingkan catatan mereka.
"Aku ketemu si Rice itu. Dia memang melihat Una di Torquay."
"Oke. Kita sudah mengecek alibi itu. Pinjam pensil, Tom. Kita tulis semua dengan
rapi seperti detektif-detektif lain."
13.30 Una Drake terlihat di gerbong makan kereta api.
16.00 Tiba di Castle Hotel.
17.00 Terlihat oleh Tuan Rice.
20.00 Terlihat makan malam di hotel.
21.30 Minta botol air panas.
23.30 Terlihat di Savoy dengan Tuan le Marchant.
07.30 pagi, dibangunkan pelayan Castle Hotel.
09.00 pagi, dibangunkan pembantu di Clarges Street.
Mereka saling berpandangan.
"Wah, kelihatannya Blunts Brilliant Detectives sudah keok," kata Tommy.


Pasangan Detektif Partners In Crime Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, kita tak boleh menyerah," kata Tuppence. "Pasti ada yang berbohong."
"Anehnya, aku merasa bahwa tidak ada yang bohong. Mereka kelihatannya jujur dan
bicara seadanya." "Tapi pasti ada yang tidak benar. Pasti. Aku berpikir tentang penggunaan pesawat
pribadi. Tapi kok nggak ada hasil apa-apa, ya."
"Aku lebih cenderung percaya pada adanya badan halus."
"Hm, jalan satu-satunya ialah tidur dengan pikiran itu," kata Tuppence. "Otak
bawah sadar kita kan bekerja pada waktu kita tidur."
"Hm," kata Tommy. "Aku akan angkat topi kalau otak bawah sadarmu memberikan
jawaban yang tepat untuk teka-teki ini."
Mereka tak banyak bicara malam itu. Tuppence berulang-ulang membolak-balik
kertas. Dia menulis sesuatu pada kertas kecil-kecil. Dia bergumam sendiri. Dan
dia memandang buku Petunjuk Kereta dengan pikiran penuh. Tapi akhirnya mereka
berdiri dan masuk kamar tidur tanpa berhasil memecahkan masalah.
"Ini benar-benar membuat orang kecil hati," kata Tommy.
"Salah satu malam yang tidak menyenangkan dalam hidupku," kata Tuppence.
"Seharusnya kita pergi ke gedung pertunjukan saja," kata Tommy. "Lawakan tentang
ibu mertua, saudara kembar, dan beberapa botol bir akan meringankan kita."
"Tidak, kau akan lihat bahwa konsentrasi ini akan memberikan hasil," kata
Tuppence. "Otak bawah sadar kita pasti akan sibuk dalam delapan jam kemudian!"
Dengan harapan ini mereka pun tidur.
"Hei," kata Tommy besok paginya. "Apa otak bawah sadarmu sudah bekerja?"
"Aku punya sebuah ide," jawab Tuppence.
"Begitu. Ide apa itu?"
"Idenya agak lucu. Sama sekali tidak seperti apa yang pernah kubaca di buku-buku
detektif. Sebenarnya ide ini datang darimu."
"Kalau begitu pasti bagus," kata Tommy serius. "Ayo, Tuppence, katakan."
"Aku harus mengirim telegram untuk mengecek ide itu," kata Tuppence. "Aku tak
akan mengatakannya padamu. Ide ini aneh, tapi paling cocok dengan fakta-fakta
yang kita hadapi." "Baik," kata Tommy. "Aku ke kantor saja. Aku tak boleh mengecewakan klien yang
sudah berdesak-desakan menunggu. Aku serahkan kasus ini ke tangan bawahanku yang
amat brilian." Tuppence mengangguk gembira.
Seharian Tuppence tidak muncul di kantor. Ketika Tommy pulang kira-kira jam
setengah enam sore, dia mendapatkan Tuppence yang gelisah menunggunya.
"Aku sudah membereskannya, Tom. Aku sudah menemukan jawaban misteri alibi itu.
Kita bisa minta ganti segala biaya pengeluaran untuk penyelidikan itu pada Tuan
Montgomery Jones dan dia bisa menjemput gadisnya."
"Apa jawabannya?" tanya Tommy.
"Sangat sederhana," kata Tuppence. "Kembar."
"Kembar" Apa maksudmu?"
"Ya itu. Tentu saja jawabnya itu. Kau yang memberi ide padaku. Kau bicara
Pendekar Gunung Bromo 2 Dewi Ular 65 Misteri Gerhana Bercinta Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8
^