Pencarian

Pembunuhan Di Orient Ekspress 2

Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie Bagian 2


ingin tahu. "Maaf, Tuan Poirot, tapi saya benar-benar tak mengerti jalan pikiran
Tuan. " "Saya sendiri juga tak mengerti," sahut Poirot. "Saya tak mengerti sedikit pun.
Dan sebagaimana yang Tuan lihat, hal ini
mengkhawatirkan saya."
Ia mengeluh dan langsung membungkuk di depan meja kecil di dekat tempat cuci
tangan itu, rupanya ia sedang memeriksa
potongan-potongan kertas yang dibakar tadi. Lalu ia bergumam pada diri sendiri,
"Yang aku perlukan saat ini ialah kotak topi wanita model lama."
Dokter Constantine tak tahu harus memberi komentar apa pada ucapan Poirot
barusan. Poirot tidak pula memberinya kesempatan untuk bertanya. Lalu Poirot
membuka pintu kamar sebentar, dan berteriak memanggil kondektur.
Orang yang dipanggil berlari-lari menghampiri.
"Berapa banyak perempuan dalam gerbong ini?"
Kondektur mulai menghitung dengan jarinya.
"Satu, dua, tiga - enam, Tuan. Wanita Amerika setengah umur itu, si gadis
Swedia, gadis Inggris itu, Countess Andrenyi, dan Madame la Princesse
Drazomiroff berikut pelayan wanitanya."
Poirot menimbang-nimbang.
"Semuanya punya kotak topi?"
"Ya, Tuan." "Kalau begitu bawakan kotak-kotak itu ke mari. Ya, kotak topi punya gadis Swedia
dan punya pelavan wanita Puteri Dragomiroff itu.
Cuma dua kotak itu yang punya harapan. Katakan kepada mereka pemeriksaan ini
sesuai dengan peraturan yang ada di kereta -
terserah bagaimana kau menga:akannya pada mereka, pokoknya bawa kedua kotak topi
itu ke mari." "Beres, Tuan. Tak seorang pun di antara keduanya yang ada di kamar saat ini."
"Kalau begitu cepatlah."
Kondektur tadi bergegas-gegas menghilang dari pandangan. Ia kembali dengan dua
buah kotak topi. Poirot membuka kotak topi pelayan wanita Puteri Dragomiroff itu, dan digoyang-
goyangkannya ke samping. Lalu dibukanya kotak topi milik gadis Swedia itu dan
seketika itu juga meluncur kata-kata yang menandakan rasa puas dari mulutnya.
Lalu dibukanya topi itu dengan hati-hati, dan terlihatlah kerangka sekelilingnya
yang terbuat dari kawat yang dianyam.
"Ah, ini dia yang kita perlukan! Lima belas tahun yang lalu kotak-kotak korek
api dibuat seperti ini. Topi ditahan pada kerangka ini berikut alat
penyematnya." Sambil berbicara tangannya bekerja dengan cekatan melepaskan dua rusuk kerangka
itu. Lalu ditutupnya kembali kotak-kotak topi itu dan disuruhnya kondektur
mengembalikannya ke tempatnya masing-masing.
Sewaktu pintu tertutup kembali, Poirot kembali berbicara dengan temannya itu.
"Coba lihat, Dokter, saya bukanlah orang yang begitu saja percaya pada prosedur
orang yang sudah ahli dalam memecahkan misteri seperti ini. Saya justru ingin
mencari latar belakang kejiwaannya, bukan cuma sekedar sidik jari atau abu
rokok. Tapi dalam kasus ini akan saya pakai bantuan ilmiah sedikit. Kamar ini
penuh sekali dengan petunjuk, tapi dapatkah dipercaya bahwa semua petunjuk itu
memang demikian adanya?"
"Saya masih belum mengerti maksud Tuan."
"Baiklah, sebagai contoh - kita sudah menemukan sapu tangan wanita. Apa benar
wanita yang menjatuhkan itu" Atau mungkin seorang pria, yang telah melakukan
pembunuhan itu, lalu berkata pada diri sendiri: 'Akan kubuat seolah-olah
pembunuhan ini nampaknya dilakukan oleh seorang wanita. Aku akan menikam
musuhku sampai beberapa kali, dan menambahkannya dengan
beberapa tusukan yang tidak perlu, dan kubuat sedemikian rupa supaya tusukan itu
kelihatan lemah dan tak berarti, dan akan kujatuhkan sapu tangan wanita ini di
tempat yang mudah kelihatan supaya orang langsung bisa menemukannya"' Itu satu
kemungkinan. Tapi ada juga kemungkinan lain. Apakah pembunuhnya itu seorang wanita, dan
apakah dia sengaja menjatuhkan pembersih pipa itu supaya pembunuhan itu lebih
kelihatan sebagai pembunuhan yang dilakukan oleh pria" Atau apakah kita disuruh
mengira bahwa seorang laki-laki dan seorang wanita, yang melakukan pembunuhan
secara terpisah, tapi masing-masing begitu teledor hingga dengan tidak sengaja
meninggalkan petunjuk yang sejelas itu" Saya rasa kemungkinan keduanya melakukan
pembunuhan itu secara terpisah, bukanlah suatu kebetulan. Justru kemungkinannya
sedikit sekali." "Tapi dari mana datangnya kotak topi itu?" tanya dokter Yunani itu kebingungan.
"Ah! Saya sedang menuju ke situ. Seperti yang saya katakan, petunjuk-petunjuk
ini - seperti : jam emas si korban yang tak jalan lagi pada pukul satu lebih
seperempat, kemudian sapu tangan wanita dan juga pembersih pipa itu - kesemuanya
bisa betul-betul, bisa juga palsu atau bohong-bohongan. Tentang itu saya sendiri
belum bisa memastikan. Tapi masih ada satu petunjuk lagi di sini - yang walaupun
saya mungkin keliru - saya rasa benar-benar petunjuk, dan bukannya dibuat orang.
Yang saya maksud adalah batang korek api yang gepeng itu, Tuan Dokter. Saya
yakin batang korek yang satu itu dibakar oleh si pembunuh, bukan oleh Tuan
Ratchett. Korek itu digunakan untuk membakar kertas-kertas yang bertuliskan
rahasia pembunuhan ini, Mungkin juga itu sebuah catatan. Kalau begitu, pasti ada
sesuatu dalam catatan itu, sebuah kesalahan, sebuah kekeliruan, yang justru
meninggalkan petunjuk yang merugikan bagi si pembunuh. Saya ingin mencoba
membuktikannya kepada Tuan."
Detektif Belgia itu meninggalkan kamar sebentar dan kembali beberapa menit
kemudian dengan sebuah lampu spiritus kecil dan sepasang penjepit.
"Biasanya saya pakai ini untuk membersihkan kumis saya,"
ujarnya. Maksudnya sepasang penjepit itu.
Dokter Yunani itu memperhatikan Poirot dengan penuh minat.
Poirot memipihkan dua batang kawat itu, dan dengan hati-hati sekali menempelkan
pootongan-potongan kertas yang terbakar itu ke salah satu ujungnya. Dijepitnya
potongan-potongan Kertas itu dengan batang penjepit kawat yang satu lagi di
atasnya, dan setelah sepasang penjepit itu dapat meniepit kertas itu dengan
kuat, lalu dibawanya ke atas lampu spiritus yang sedang menyala itu.
"Lampu ini memang berguna sekali untuk dipakai dalam keadaan darurat," ujarnya
sambil menoleh ke Dokter Constantine lewat bahunya. "Mudah-mudahan usaha ini
bisa menjawab maksud kita.
Dokter Constantine mengawasi gerak-gerik Poirot dengan penuh perhatian. Kawat
itu mulai menyala. Tiba-tiba dilihatnya bentuk-bentuk semacam huruf, -walaupun
masih samar-samar. Perlahan-lahan huruf-huruf itu mulai terbentuk menjadi kata-
kata - kata-kata yang berasal dari api.
Cuma cukilan kecil. Yang bisa terlihat cuma tiga buah kata dan selebihnya sudah
lenyap terbakar. Kata-kata itu berbunyi:
- member little Daisy Armstrong
- (ingat Daisy Armstrong kecil)
"Ah!" Poirot berseru tajam.
"Ada petunjuk?" tanya Dokter Constantine.
Mata Poirot tibai-tiba bercahaya. Diletakkannya jepitan itu kembali, dengan
hati-hati. "Ya," ujarnya. "Saya tahu nama asli si korban. Saya tahu kenapa dia kabur dari
Amerika." "Siapa nama aslinya?"
"Cassetti." "Cassetti?" Constantine mengerutkan kening. "Nama itu mengingatkan saya pada
sesuatu. Beberapa tahun yang lalu. Saya tak bisa mengingatnya... kasus itu
terjadinya di Amerika, ya tidak"'
"Ya,?" sahut Poirot. "Kasus yang di Amerika."
Lebih dari kata-kata itu, kelihatannya Poirot tak ingin untuk diajak berbicara
lagi mengenai soal itu. Matanya melihat ke sekeliling sewaktu ia menam bahkan,
"Sekarang juga akan kita selidiki langsung kasus ini. Kita harus yakin pada diri
sendiri bahwa kita telah memeriksa semua petunjuk yang ada di sini, jangan
sampai ada yang tertinggal."
Dengan cepat dan cekatan, tangannya sekali lagi memeriksa saku-saku baju korban
tapi ia tidak menemukan sesuatu yang mampu membangkitkan minatnya. Dicobanya
untuk membuka pintu penghubung yang menuju ke kamar sebelah, tapi rupanya terpalang dari sisi yang
satunya lagi. "Ada satu hal yang tak saya mengerti," ujar Dr. Constantine.
"Kalau pembunuhnya tidak kabur melalui jendela, kalau pintu penghubung ini sudah
terpalang dari sisi yang lain, dan kalau pintu kamar ini tidak saja terkunci
tapi juga dirantai dari dalam, bagaimana caranya si pernbunuh melarikan diri
dari kamar si korban?"
"Itulah yang ditanyakan penonton sewaktu mereka melihat orang yang tangan dan
kakinya terkurung dalam kotak kayu tapi masih dapat menghilang, seperti tipu-
tipu yang sering diperlihatkan oleh tukang sulap dan tukang hipnotis itu."
"Maksudmu?" "Maksudku," ujar Poirot menerangkan, "bahwa umpamanya si pembunuh ingin
menimbulkan kesan pada kita bahwa ia melarikan diri melalui jendela, ia akan
berusaha untuk membuat kedua tempat pelarian lainnya tak mungkin untuk dilewati,
maksudku pintu penghubung yang terpalang dan pintu kamar yang terkunci dan
terantai dari dalam itu. Seperti juga 'orang yang bisa menghilang
dalam kotak kayu itu', semuanya ini cuma tipuan belaka. Justru itu urusan kita,
bagaimana caranya tipuan itu dilakukan, atau di mana rahasianya."
Poirot kemudian mengunci pintu penghubung itu dari kamar
Ratchett, "dalam hal," ujarnya, "Nyonya Hubbard yang cerdas itu harus mengisi
kepalanya dengan bukti-bukti kriminil dari tangan pertama, supaya ia cepat-cepat
bisa menulisnya kepada anak perempuannya."
Sekali lagi Poirot melihat ke sekeliling.
"Tak ada lagi yang mesti dikerjakan di sini. Mari kita temui Tuan Buoc."
8. PERISTIWA PENCULIKAN DAISY ARMSTRONG
Sesampainya di gerbong dari Athena itu, mereka melihat Tuan Buoc sedang asyik
melahap telur dadarnya. "Tadi saya pikir lebih baik kita makan siang sama-sama di gerbong restorasi,
soalnya pelayanan untuk kita bisa didahulukan," ujarnya. "
Setelah itu restoran akan dikosongkan dan Tuan Poirot bisa segera melakukan
pemeriksaan pada penumpang, di sana. Tapi aku sudah terlanjur memesan makanan
untuk tiga orang di sini."
"Ide yang bagus," sahut Poirot.
Tak seorang pun di antara ketiga pria itu yang merasa lapar; meskipun begitu
makanan-makanan yang telah dipesankan Tuan Buoc untuk mereka, dimakan juga.
Ketika masing-masing menghirup kopinya, barulah Tuan Buoc mempercakapkan masalah
yang kini sedang memenuhi pikiran mereka.
"Eh bien?" tanyanya.
"Eh bien, aku sudah berhasil menemukan identitas korban. Dan aku juga tahu
kenapa ia mesti kabur dari Amerika, dan tidak boleh tidak."
"Siapa dia sebenarnya?"
"Kau masih ingat berita tentang penculikan anak perempuan Tuan Armstrong itu"
Ini dia orangnya yang membunuh. Daisy Armstrong kecil, Cassetti."
"Sekarang baru aku ingat. Peristiwa yang cukup menggemparkan -
meski aku sudah tak ingat lagi cerita selengkapnya."
"Kolonel Armstrong adalah orang Inggris seorang V.C. (Victoria Cross). Ia
peranakan Amerika, ibunya adalah anak perempuan dari W.K. Van der Halt, jutawan
Wall Street. Kolonel Armstrong menikah dengan anak perempuan Linda Arden, aktris
Amerika yang paling tragis pada jamannya. Mereka tinggal di Amerika dan
dikaruniai seorang anak perempuan yang mereka impi-impikan. Sewaktu anak itu
berumur tiga tahun, ia diculik, dan mereka diminta menebus anaknya dengan jumlah
yang yang luar biasa besarnya. Aku tak ingin membuatmu ngeri dengan mendengar
segala macam ancaman yang mengikutinya. Marilah kita langsung saja kepada saat
setelah kedua orang tua yang malang itu membayar uang tebusannya sebanyak dua
ratus ribu dollar. Tapi polisi berhasil menemukan mayat anak itu; yang
diperkirakan sudah mati selama dua minggu. Kemarahan
masyarakat luas saat itu sudah mencapai puncanya. Tapi kejadian berikutnya malah
lebih menyedihkan lagi. Saat itu Nyonya Armstrong sedang menunggu kelahiran
anaknya yang kedua. Karena batinnya tak kuat menahan goncangan yang sangat
mengejutkan itu, kandungannya gugur, dan ia sendiri meninggal bersama-sama
anaknya yang lahir sebelum waktunya itu. Sang suami yang patah hati lalu
menembak dirinya sendiri."
"Mon dieu, sungguh tragis. Aku ingat sekarang," ujar Tuan Buoc.
"Masih ada lagi kematian lain yarig menyusul sesudahnya, kalau aku tak salah?"
"Ya, perawat malang dari Perancis atau Swiss. Polisi yakin bahwa dia mengetahui
sedikit tentang pembunuhan itu, atau paling sedikit ikut membantunya. Mereka tak
mau mempercayai sangkalannya yang histeris. Akhirnya, dalam keadaan putus asa,
gadis yang malang itu melompat dari jendela dan mati seketika itu juga. Kemudian
baru terbukti bahwasanya gadis itu bersih sama sekali dari tuduhan bahwa ia ikut
berkomplot dalam melaksanakan pdmbunuhan itu."
"Itu tidak baik untuk diingat-ingat," ujar Tuan Buoc.
"Enam bulan sesudahnya, orang yang bernama Cassetti yang mengepalai komplotan
pembunuh yang menculik gadis cilik itu pun tertangkap. Selama itu mereka selalu
mempergunakan cara-cara yang sama seperti sebelumnya. Jika polisi sudah mencium
jejak mereka, tawanan itu mereka bunuh, mayatnya disembunyikan di suatu tempat,
dan mereka meneruskan memeras sebanyak mungkin uang dari keluarga tawanan,
sebelum kejahatan itu sendiri
terbongkar." "Sekarang aku ingin menjelaskan hal ini kepadamu, Kawan.
Memang Cassetti-lah orangnya! Tapi dengan kekayaannya yang luar biasa itu, dan
hubungan rahasianya dengan orang-orang penting dari berbagai macam lapisan, ia
berhasil menghindar dari tuduhan pengadilan yang sengaja dibuat tidak teliti.
Dengan kata lain ia dibebaskan dengan alasan yang tidak jelas. Sekalipun
demikian, mestinya ia sudah digantung oleh publik seandainya ia tidak cukup
licin. Sekarang jelas bagiku apa yang terjadi sebenarnya. Ia mengganti namanya
dan meninggalkan Amerika. Sejak itu ia
menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang, bepergian
melihat dunia dan hidup dari penghasilan itu."
"Ah! quel animal! " Tuan Buoc melampiaskan rasa jijiknya. "Aku tak menyesalkan
kematiannya - tidak sama sekali!"
"Aku setuju." "Tout de meme, sebenarnya ia tak perlu terbunuh di atas Orient Express. Masih
banyak tempat lain."
Poirot tersenyum sedikit, ia menyadari bahwa Tuan Buoc telah diliputi prasangka
yang tidak enak. "Pertanyaan kita pada diri sendiri, sekarang, adalah begini,"
ujarnya. "Apakah pembunuhan ini adalah pekerjaan beberapa komplotan saingan
Cassetti yang telah ditipunya pada masa-masa
yang lalu, ataukah itu cuma tindakan balas dendam secara
perseorangan saja?" Poirot menjelaskan penemuannya barusan, yakni sewaktu ia
menemukan potongan-potongan kertas yang terbakar itu.
"Kalau dugaanku benar, surat ini tentunya sengaja dibakar oleh si pembunuh.
Sebab apa" Sebab di dalamnya disebut-sebut nama
'Armstrong' yang merupakan petunjuk bagi misteri pembunuhan itu."
"Apakah masih ada sanak keluarga Armstrong yang masih hidup?"
"Celakanya aku tak tahu itu. Rasanya aku dulu pernah baca Nyonya Armstrong masih
punya adik perempuan. Poirot mencoba menghubungkan hal itu dengan kesimpulannya
sendiri dan kesimpulan Dr. Constantine, Mata Tuan Buoc terlihat bercahaya ketika
Poirot menyinggung-nyinggung tentang arloji emas Ratchett yang hancur itu.
"Kelihatannya itu bisa memberi petunjuk pada kita waktu pembunuhan yang
tepat." , "Ya," sahut Poirot. "Memang menyenangkan."
Ada sesuatu yang aneh dalam nada suaranya yang tak dapat
digambarkan dengan kata-kata, menyebabkan kedua kawannya
memandangnya secara serentak dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Kaubilang kau mendengar sendiri suara Ratchett sewaktu ia berbicara dengan
kondektur pada pukul satu kurang dua puluh?"
tanya Tuan Buoc. Poirot menjelaskan bahwa itu memang cocok.
"Nah," ujar Tuan Buoc, "itu membuktikan bahwa setidak-tidaknya Cassetti - atau
Ratchett, nama yang akan kupergunakan selanjutnya, pasti masih hidup pada pukul
satu kurang dua puluh itu."


Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pukul satu kurang dua puluh tiga menit, untuk tepatnya."
"Kalau begitu pukul dua belas lewat dua puluh tujuh menit, secara resminya, Tuan
Ratchett masih hidup. Paling tidak itu suatu kenyataan."
Poirot tak menjawab. Ia duduk di hadapan kawannya dengan
wajah termangu. Tiba-tiba pintu diketuk dan masuklah pelayan restoran.
"Gerbong restorasi sudah kosong sekarang, Tuan," ujarnya melapor.
"Kita akan segera ke sana," sahut Tuan Buoc, sambil berdiri.
"Boleh saya ikut?" tanya Constantine.
"Tentu saja, Dokter. Kecuali kalau Tuan Poirot keberatan.
"Tidak. Tidak sama sekali," ujar Poirot.
Setelah berbasa-basi sedikit dengan mengatakan, 'Apres vous, Monsieur." - Mais
non, apres vous -" Mereka bertiga meninggalkan kamar.
Bagian Kedua KESAKSIAN 1. KESAKSIAN KONDEKTUR Digerbong restorasi itu segala sesuatunya sudah dipersiapkan.
Poirot dan Tuan Buoc duduk berdampingan pada salah satu sisi.
Sedangkan dokter Yunani itu duduk di seberang lorong.
Di atas meja di hadapan Poirot nampak denah gerbong kereta Istambul-Calais
berikut nama-nama penumpangnya yang ditulis dengan tinta merah. Setumpukan
paspor dan karcis nampak di sisi
yang lain. Kecuali itu juga terlihat kertas tulis, tinta, pulpen dan beberapa
batang pinsil. "Bagus," ujar Poirot. "Kita sudah dapat memulai acara pemeriksaan ini tanpa
harus menunggu lebih lama lagi. Pertama-tama, aku rasa kita harus mendengar
kesaksian dari kondektur.
Mungkin kau mengetahui sedikit tentang dirinya. Bagaimana
wataknya" Apakah kata-katanya dapat dipercaya?" Kata-kata pertamanya itu
ditujukan pada Tuan Buoc.
Kemudian terdengar Tuan Buoc menjawab,
"Aku berani jamin reputasinya. Pierre Michel sudah bekerja di perusahaan kereta
ini selama lima belas tahun. Dia orang Perancis -
tinggalnya dekat Calais. Warga negara terhormat dan jujur. Tapi mungkin otaknya
tak begitu cerdas." Poirot mengangguk penuh pengertian. "Bagus," ujarnya. "Mari kita periksa dia."
Pierre Michel telah menemukan kembali kepercayaan pada dirinya, tapi tak urung
juga ia masih kelihatan gugup.
"Saya harap moga-moga Tuan tidak mengira bahwa saya ini agak sembrono dalam
mengerjakan tugas," ujarnya cemas, matanya berpindah-pindah dari wajah Poirot ke
wajah Tuan Buoc. "Benar-benar mengerikan peristiwa yang baru terjadi itu. Saya
harap ' Tuan tak akan menyangka bahwa saya juga terlibat di dalamnya?"
Setelah menenangkan rasa takut si kondektur, Poirot mulai
menghujaninya dengan sejumlah pertanyaan. Pertama-tama ia
menanyakan nama dan alamat Michel selengkapnya, berapa lama bekerja di
perusahaan kereta api itu, dan berapa kali ia bertugas pada rute khusus
Istambul-Calais ini. Sebenarnya Poirot sudah tahu lebih dulu jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan ini, tapi ia sengaja menanyakan pertanyaan-pertanyaan
rutin itu untuk menenangkan kondektur kereta yang nampaknya sangat gugup, dan
untunglah siasatnya ini berhasil penuh.
"Dan sekarang," ujar Poirot melanjutkan, "mari kita kembali ke kejadian tadi
malam. Kapan Tuan Ratchett pergi tidur?"
"Hampir segera setelah selesai makan malam, Tuan. Tepatnya sebelum kereta
meninggalkan Belgrado. Begitu juga pada malam sebelumnya. Ia memerintahkan saya
untuk menyiapkan tempat tidurnya sewaktu ia sedang makan malam, dan saya langsung
mengerjakannya." "Apakah sesudah itu ada orang yang masuk ke kamarnya?"
"Pelayan prianya, Tuan dan orang Amerika itu, sekretarisnya. "
"Ada lagi?" "Tak ada, Tuan, sepanjang pengetahuan saya."
"Bagus. Dan itukah terakhir kalinya kau melihat dan berbicara dengan dia?"
"Tidak, Tuan. Mungkin Tuan lupa ia membunyikan bel kira-kira pukul satu kurang
dua puluh - segera setelah kereta berhenti."
"Apa yang terjadi sebenarnya?"
"Saya mengetuk pintu kamarnya, tapi ia berteriak dari dalam dan menerangkan
bahwa ia keliru." "Dalam bahasa Inggris atau Perancis?"
"Bahasa Perancis."
"Bagaimana bunyi perkataannya?"
"Ce West rien. Je me suis trompi.
"Betul sekali," ujar Poirot. "Memang itu yang saya dengar. Lalu kau pergi begitu
saja?" "Ya, Tuan. "Apa kau langsung kembali ke tempat dudukmu yang biasa?"
"Tidak, Tuan. Saya pergi dulu untuk menjawab bel lain yang baru saja berbunyi."
"Sekarang, Michel, saya ingin menanyakan sebuah pertanyaan penting. Kau ada di
mana pada pukul satu lewat seperempat?"
"Saya, Tuan" Saya sedang duduk di kursi kondektur di ujung -
menghadap koridor kereta."
"Kau yakin?" "Mais oui - paling tidak."
"Ya?" "Sebelumnya saya pergi ke gerbong sebelah, gerbong kereta dari Athena itu, dan
bercakap-cakap dengan teman-teman saya di sana.
Kami membicarakan salju. Waktu itu kira-kira pukul satu lewat. Saya tak dapat
mengatakannya dengan pasti."
"Dan kapan kau kembali ke tempatmu lagi?"
"Salah satu bel di gerbong saya berbunyi, Tuan. Waktu itu saya ingat - sebab
sesudah itu saya yang memberitahukan Tuan. Rupanya wanita Amerika itu. Ia sudah
memijit bel berkali-kali."
"Aku ingat," sahut Poirot. "Danm setelah itu?"
"Setelah itu, Tuan" Saya menjawab bunyi bel Tuan sendiri dan saya bawakan air
putih buat Tuan. Lalu, setengah jam kemudian, saya menyiapkan tempat tidur orang
Amerika itu, sekretaris Tuan Ratchett."
"Apakah Tuan MacQueen sendirian saja sewaktu kau menyiapkan tempat tidurnya?"
"Kolonel Inggris dari kamar no. 15 itu menemaninya. Mereka terus saja duduk
sambil berbicara." "Apa yang dikerjakan kolonel itu setelah ia meninggalkan kamar Tuan MacQueen?"
"Ia kembali ke kamarnya."
"No. 15 - jaraknya sangat dekat dari tempat dudukmu itu, ya tidak?"
"Ya, Tuan, itu kamar kedua dari ujung koridor."
"Tempat tidurnya sudah disiapkan?"
"Ya, Tuan. Saya sudah menyiapkan tempat tidur itu, sewaktu pemiliknya sedang
makan malam." "Pukul berapa waktu itu?"
"Saya tak tahu persis, Tuan. Kira-kira pukul dua lebih sedikit."
"Dan sesudah itu?"
"Sesudah itu, Tuan, saya duduk terus di kursi saya sampai pagi."
"Kau tak pergi ke gerbong kereta dari Athena itu?"
"Tidak, Tuan." "Kau tidur barangkali?"
"Tidak, Tuan, saya kira. Kalau kereta api sedang berhenti, saya tak bisa tidur,
seperti biasanya." "Apa kaulihat ada penumpang yang lewat di koridor?"
Kondektur itu mencoba mengingat-ingat. "Salah seorang dari wanita-wanita itu
pergi ke toilet yang di ujung, saya kira."
"Wanita yang mana?"
"Saya tak tahu, Tuan. Soalnya dia berada jauh di ujung koridor dan membelakangi
saya. Ia memakai kimono merah tua bergambar naga."
Poirot mengangguk tanda menyetujui. "Dan sesudah itu?"
"Tak ada apa-apa lagi Tuan, sampai pagi."
"Kau yakin?" "Ah, maaf - Bukankah Tuan sendiri juga membuka pintu kamar Tuan dan melongok ke
luar sebentar?" "Bagus, Kawan," ujar Poirot. "Saya sendiri kagum kau masih mengingatnya.
Pokoknya saya pernah terbangun oleh semacam
suara barang berat yang jatuh menimpa pintu kamar saya. Kau tahu apa itu kira-
kira?" Kondektur itu memandang Poirot sejenak. "Tak ada apa-apa, Tuan. Tak ada apa-apa,
saya bisa memastikan."
"Kalau begitu saya mesti punya chauceman," ujar Poirot berfilsafat sedikit.
"Bisa juga suara dari kamar sebelahmu itu yang kebetulan kaudengar," ujar Tuan
Buoc. Poirot tak mempedulikan pendapat Tuan Buoc itu. Mungkin ia tak begitu suka Tuan
Buoc mengemukakan dugaannya di muka
kondektur kereta. "Mari kita lihat dari sisi yang lain," ujar Poirot. "Umpamakan saja tadi malam
ada seorang pembunuh tak dikenal yang masuk kereta.
Apakah dapat dipastikan bahwa pembunuh itu tak dapat
meninggalkan kereta setelah ia melakukan pembunuhan?"
Pierre Michel menggeleng.
"Mungkinkah ia bersembunyi di salah satu sudut?"
"Sudah dicari dengan teliti," ujar Tuan Buoc. "Lupakan saja pikiran seperti itu,
Kawan." "Di samping itu," sambung Michel, "tak ada yang bisa memasuki gerbong tidur
tanpa terlihat oleh saya."
"Di mana kereta berhenti terakhir kali?"
"Vincovci." "Pukul berapa itu?"
"Sebenarnya kita sudah harus meninggalkan Vincovci pada pukul 11.58, tapi karena
cuaca yang tak mengijinkan, kita terlambat dua puluh menit."
"Mungkinkah ada orang yang menyelinap dalam gerbong biasa?"
"Tidak, Tuan. Setelah makan malam, pintu antara gerbong biasa dan gerbong tidur
penumpang langsung dikunci."
"Kau sendiri turun dari kereta waktu sampai di Vincovci?"
"Ya, Tuan. Saya turun ke peron seperti biasa dan berdiri di dekat anak tangga
kereta. Kondektur-kondektur lainnya juga berbuat begitu."
"Bagaimana dengan pintu yang di depan - yang letaknya dekat gerbong restorasi?"
"Pintu itu selalu dikunci dari dalam-."
"Tapi sekarang pintu itu sudah tak terkunci lagi."
Kondektur itu kelihatan heran; lalu wajahnya berubah menjadi cerah kembali.
"Pasti ada penumpang yang membukanya untuk melihat salju di luar."
"Mungkin," sahut Poirot.
Detektif Belgia itu mengetuk-ngetuk meja sambil berpikir satu atau dua menit.
"Tuan tidak menyalahkan saya kan?" tanyanya takut-takut.
Poirot tersenyum padanya, senyum yang ramah.
"Sebenarnya kau juga mempunyai kesempatan baik untuk berbuat hal yang sekeji
itu, Kawan," ujarnya lagi. "Ah! Satu pertanyaan lagi, mumpung saya masih ingat.
Kaubilang ada bel lain berbunyi Sewaktu kau sedang mengetuk pintu kamar Tuan
Ratchett. Dan saya sendiri juga mendengarnya. Siapa itu?"
"Itu bel Madame la Princesse Dragomiroff. ia menyuruh saya memanggil pelayan
wanitanya." "Lantas kaukerjakan suruhannya?"
"Ya, Tuan." Poirot mempelajari gambar denah di hadapannya dengan
seksama. Lalu dimiringkannya kepalanya sedikit.
"Cukup dulu," ujarnya, "untuk kali ini."
"Terima kasih, Tuan."
Kondektur itu bangkit dari kursinya, lalu melihat ke Tuan Buoc.
"Jangan sedih-sedih," ujar Tuan Buoc ramah. Aku tak- melihat adanya kelalaian
dalam tugasmu." Dengan penuh rasa terima kasih, Pierre Michel meninggalkan gerbong restorasi
kereta Orient Expess yang luas dan megah itu.
2. KESAKSIAN SEKRETARIS TUAN RATCHETT
Untuk satu dua menit tampak Poirot terdiam karena sedang
berpikir keras. "Aku pikir," ujarnya setelah itu, "ada baiknya kita dengarkan kesaksian MacQueen
lebih jauh, berdasarkan apa yang telah kita ketahui selama ini".
Pemuda Amerika itu muncul dengan segera.
"Nah," ujarnya, "apa kabar dengan pemeriksaan Tuan, apa ada kemajuan?"
"Tak begitu jelek. Sejak pembicaraan kita yang terakhir, saya sudah mempelajari
sesuatu - identitas Tuan Ratchett."
Hector MacQueen memajukan tubuhnya ke mukadengan penuh
perhatian. "Ya?" ujarnya.
"Ratchett, seperti yang Tuan curigai, cuma nama samaran. Orang yang namanya
'Ratchett' ini sebenarnya Cassetti, yang mengepalai sejumlah peristiwa
penculikan yang banyak menarik perhatian orang
- di antaranya peristiwa penculikan Daisy Armstrong."
Di wajah MacQueen terbayang keheranan yang tak kunjung habis.
Kemudian wajah itu kembali muram. "Binatang terkutuk!" serunya tiba-tiba.
"Tuan tak tahu apa-apa tentang ini, Tuan Mac,Queen?"
"Tidak, Tuan," sahut pemuda Amerika itu dengan pasti. "Kalau saya tahu, mungkin
saya sudah memotong lengan kanan saya sendiri sebelum tangan ini sempat
mengerjakan tugas-tugas seorang
sekretaris baginya!"
"Kejadian itu meninggalkan pengaruh kuat bagi Tuan, Tuan MacQueen?"
"Saya punya alasan tersendiri untuk berbuat demikian. Ayah saya adalah pengacara
distrik yang menangani masalah itu, Tuan Poirot.
Saya pemah lihat Nyonya Armstrong lebih dari dua kali - ia wanita yang cantik.
Begitu lembut dan menawan hati orang yang
melihatnya." Wajahnya kembali suram. "Kalau ada orang yang patut mendapat
ganjaran atas perbuatannya - maka orang itu adalah Ratchett - atau Cassetti.
Saya ikut gembira dengan kematiannya.
Orang seperti itu tak layak hidup!
"Kedengarannya Tuan seolah-olah ingin melakukan pembunuhan itu sendiri?"
"Memang - memang - saya..." Bicaranya terhenti sebentar, lalu ia menambahkan lagi
dengan perasaan seperti orang yang sudah
bersalah. "Kedengarannya saya sedang memberatkan pemeriksaan saya sendiri."
"Malah saya semakin cenderung untuk mencurigai Anda, Tuan MacQueen, kalau Tuan
berpura-pura sedih atas kematian majikan Tuan."
"Saya rasa saya tak bisa melakukan itu, walau itu bisa menyelamatkan saya dari
kursi listrik," ujar MacQueen sedih. Lalu ia melanjutkan, "Seumpamanya saya
tidak terlalu berminat pada pemerilksaan ini, bagaimana Tuan bisa mengetahui
masalah ini" Identitas Cassetti, yang saya maksudkan."
"Dari potongan-potongan kertas yang saya temukan di kamarnya."
"Tentu saja - maksud saya - itu lebih merupakan keteledoran orang tua itu?"
"Itu tergantung," sahut Poirot, "dari sudut pandangan seseorang."
Orang muda itu merasa ucapan Poirot itu agak menyulitkan
baginya. Lalu ditatapnya Poirot seolah ingin mengalahkannya.
"Tugas yang saya hadapi," ujar Poirot, "adalah untuk memastikan gerak-gerik
setiap penumpang di kereta ini. Tak usah merasa terhina, dan tak usah membalas,
Tuan mengerti. Ini cuma pemeriksaan rutin saja."
"Tentu saja, teruskanlah pemeriksaan Tuan itu, dan akan saya coba memperbaiki
watak saya, kalau dapat."
"Rasanya saya tak perlu lagi menanyakan nomor kamar Tuan,"
ujar Poirot sambil tersenyum, "sebab dulu kita pernah tidur di kamar yang sama,
meski cuma semalam. Kamar itu adalah kamar no. 6 dan no. 7, di gerbong kelas
dua, dan Tuan menempatinya sendiri setelah saya tinggalkan."
"Benar." "Sekarang, Tuan MacQueen, saya ingin Tuan menceriterakan apa yang Tuan perbuat
tadi malam setelah Tuan meninggalkan gerbong restorasi."
"Itu gampang sekali. Saya kembali ke kamar saya, membaca sebentar, lalu turun di
peron Belgrado, karena saya merasa saat itu udara terlalu dingin maka saya naik
ke kereta lagi. Saya berbicara sebentar dengan gadis Inggris yang kamarnya
bersebelahan dengan saya. Lalu saya terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikkan
dengan si kolonel Inggris itu, Kolonel Arbuthnot - saya rasa Tuan masih ingat
waktu itu Tuan lewat di muka kami sewaktu kami sedang mengobrol. Kemudian saya
pergi ke kamar Tuan Ratchett, dan yang seperti saya katakan tadi, di sana saya


Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencatat apa yang didiktekan Tuan Ratchett kepada saya. Lalu setelah mengucapkan
selamat malam, saya tinggalkan dia. Rupanya Kolonel Arbuthnot masih berdiri di
tempat tadi, di koridor kereta. Tempat tidurnya buat malam itu sudah disiapkan,
jadi saya mengusulkan sebaiknya dia saja yang mampir ke kamar saya. Saya memesan
dua gelas minuman yang langsung kami minum. Sesudah itu kami membicarakan. politik dunia pada umumnya,
lalu pemerintah India dan kesulitan-kesulitan yang dialami pemerintah Barat
sekarang ini seperti krisis tentang larangan
itu dan krisis Wall Street. Biasanya saya tak bisa berbicara sebebas itu dengan
orang Inggris - umumnya mereka suka bersitegang leher -
tapi saya menyenangi yang satu ini."
"Tuan tahu, pukul berapa itu sewaktu dia meninggalkan Tuan?"
"Sudah larut sekali. Saya kira hampir pukul dua."
"Apa Tuan tahu waktu itu kereta sudah tak berjalan lagi?"
"Oh ya. Kami berjalan-jalan sebentar. Kami keluar dan rupanya di luar salju
sangat tebal, tapi kami tak menyangka hal itu serius."
"Apa yang terjadi sesudah Kolonel Arbuthnot mengucapkan selamat malam?"
"Ia langsung pulang ke kamarnya dan saya sendiri memanggil kondektur untuk
menyiapkan tempat tidur." "Tuan ada di mana sewaktu dia sedang menyiapkan tempat
tidur?" "Saya berdiri di ambang pintu kamar sambil merokok."
"Lalu?" "Lalu saya naik ke tempat tidur dan terus tertidur sampai pagi."
"Sepanjang malam itu apa Tuan sedikit pun tak meninggalkan kereta sama sekali?"
"Ya, saya dan Arbuthnot memang turun sebentar di - apa itu namanya - Vincovci -
untuk melemaskan kaki. Tapi waktu itu dinginnya bukan main - lagipula ada angin
kencang. Jadi kita langsung naik lagi ke kereta."
"Dari pintu mana Tuan keluar dari kereta?"
"Dari pintu terdekat dari kamar-kamar kita berdua.
"Pintu yang di sebelah gerbong restorasi itu?"
"Ya. " "Apa Tuan tak ingat pintu itu selalu dipalang?"
MacQueen mengingat-ingat.
"Ya, memang, rasanya seingat saya memang begitu. Paling tidak selalu mesti ada
palang yang melintang di pegangannya. Itukah yang Tuan maksud?"
"Ya. Sewaktu naik ke kereta lagi, apakah Tuan memasang penghalang itu kembali?"
"Mengapa begitu - tidak. Saya kira saya tidak berbuat begitu.
Pokoknya akhirnya saya masuk juga. Tidak, seingat saya rasanya saya tak
memasangnya kembali." Lalu tiba-tiba ia menambahkan,
"Apa hal itu penting?"
"Mungkin. Sekarang, menurut dugaan saya, Tuan, apakah selama Tuan dan Kolonel
Arbuthnot sedang asyik mengobrol sambil duduk itu, pintu kamar kalian yang
menuju ke koridor itu terbuka?"
Hector MacQueen mengangguk.
"Kalau mungkin, saya ingin Tuan menceritakan apakah ada orang yang lewat di.
sepanjang koridor itu, mulai dari saat kereta meninggalkan Vincovci terus sampai
kalian berdua berpisah pada malam itu."
MacQueen mengerutkan alis.
"Saya rasa kondektur melewatinya satu kali," ujarnya, "dari arah gerbong
restorasi. Dan saya juga melihat ada seorang wanita yang melewatinya dari arah
lain, arah memasuki gerbong restorasi."
"Wanita yang mana?"
"Saya tak bisa mengatakannya. Saya tak begitu memperhatikan.
Tuan lihat sendiri saya sedang asyik berdebat dengan Arbuthnot.
Yang saya ingat cuma baju suteranya yang berwarna merah tua. Tapi saya tidak
memandangnya, lagipula saya tak bakal bisa melihat wajah pemakainya. Seperti
yang Tuan ketahui sendiri, gerbong saya menghadap ujung gerbong restorasi, jadi
kalau seorang wanita kebetulan sedang melewati koridor yang menuju ke sana, saya
cuma dapat menangkap punggungnya begitu ia lewat."
Poirot mengangguk. "Ia ingin ke toilet, mungkin?"
"Saya kira ya."
"Dan Tuan melihatnya sewaktu ia kembali?"
"Tidak, baiklah, karena Tuan menanyakannya sekarang, saya jadi ingat saya tak
melihat kembalinya dia, tapi biar bagaimanapun dia mesti kembali lewat jalan
yang sama." "Satu pertanyaan lagi. Tuan mengisap pipa, Tuan MacQueen?"
"Tidak, Tuan." Poirot berhenti sebentar. "Saya rasa cukup dulu buat sekarang ini.
Sekarang saya ingin memeriksa pelayan pria Tuan Ratchett.
Ngomong-ngomong, apakah kalian selalu tidur di gerbong kelas dua, kalau
bepergian?" "Dia selalu begitu. Tapi biasanya saya tidur di gerbong yang sama dengannya -
kalau mungkin di kamar yang berdekatan dengan
kamarnya. Karena itu biasanya ia suka meletakkan barang-barangnya di kamar saya
dan dapat mengambilnya dari kedua kamar itu, baik dari kamarnya maupun kamar
saya. Kadang kala disuruhnya saya mengambilkan keperluannya kapan saja ia mau.
Tapi dalam perjalanan kali ini kebetulan semua gerbong kelas satu sudah dipesan orang kecuali kamarnya itu."
"Saya mengerti. Terima kasib, Tuan MacQueen."
3. KESAKSIAN PELAYAN PRIA TUAN RATCHETT
Orang Amerika yang muda itu digantikan oleh orang Inggris
berwajah pucat dan dingin seperti yang sudah diperhatikan Poirot sejak kemarin.
Dia berdiri di situ dengan sopan. Poirot memberi isyarat padanya supaya segera
duduk. "Saya tahu, kau adalah pelayan Tuan Ratchett."
"Ya, Tuan." "Namamu?" "Edward Henry Masterman."
"Umur?" "Tiga puluh sembilan."
"Alamat rumah?"
"21 Friar Street, Derkenwell."
"Sudah kaudengar majikanmu dibunuh orang?"
"Ya, Tuan. Kejadian yang sangat mengejutkan."
"Sekarang, dapatkah kau menerangkan pukul berapa terakhir kalinya kau melihat
Tuan Ratchett?" Pelayan itu mengingat-ingat.
"Mestinya sekitar pukul sembilan, Tuan, tadi malam. Atau lewat sedikit."
"Ceritakan pada saya dengan kata-katamu sendiri apa yang sebenarnya terjadi."
"Saya masuk ke kamar Tuan Ratchett, sebagaimana biasanya Tuan, dan melayani
permintaannya." "Apa sebenarnya tugasmu?"
"Melipat dan menggantungkan pakaiannya, Tuan, lalu
mencemplungkan gigi palsunya di dalam gelas yang diisi air dan memeriksa kalau-
kalau masih ada yang diperlukannya untuk malam itu."
"Apa tingkah lakunya sama seperti biasa?"
Pelayan itu menimbang-nimbang untuk beberapa saat.
"Begitulah, Tuan, saya rasa ia agak sedikit bingung."
"Bingung - dalam hal apa?"
"Bingung karena sebuah surat yang telah dibacanya. Ia bertanya pada saya, apakah
saya yang meletakkan surat itu di kamarnya.
Tentu saja saya katakan padanya saya tak pernah berbuat begitu,
tapi ia memaki-maki saya dan semua yang saya kerjakan selalu dicelanya."
"Apa itu tidak biasa?"
"Oh, tidak, Tuan. Ia memang gampang marah seperti yang saya katakan, itu cuma
tergantung dari apa yang membingungkannya saat itu."
"Apa majikanmu pernah minum obat tidur?"
Dr. Constantine kelihatan memajukan tubuhnya ke muka sedikit.
"Kalau bepergian dengan kereta api, memang selalu begitu, Tuan.
Katanya kalau tidak, ia tak bisa tidur."
"Kau tahu obat bius jenis apa yang biasa diminumnya?"
"Saya tak bisa mengatakannya, tak bisa memastikan yang mana.
Tidak ada namanya di botol itu - cuma 'obat tidur ini cuma boleh diminum sebelum
tidur.'" "Apa malam kemarin ia juga meminumnya?"
"Ya, Tuan. Saya yang menuangkannya ke gelas dan langsung meletakkannya di meja
toilet siap untuk diminum."
"Tapi kau tidak melihat ia meminumnya9"
"Tidak, Tuan." "Apa yang teriadi sesudah itu?"
"Saya tanyakan padanya, apakah dia masih memerlukan yang lain, dan juga saya
tanyakan pukul berapa besok ia ingin dibangunkan. Ia bilang ia tak ingin
diganggu sampai ia membunyikan bel."
"Apakah itu biasa?",
"Biasa, Tuan. Kalau ia sudah ingin bangun, biasanya ia membunyikan bel untuk
memanggil kondektur dan kemudian
menyuruhnya memanggil sava."
"Biasanya ia bangun cepat atau lambat?"
"Itu tergantung pada keinginannya, Tuan. Kadang-kadang ia bangun buat makan
pagi. Tapi kadang-kadang ia tak mau bangun sampai makan siang."
"Jadi kau tak akan dibel kalau hari sudah pagi dan masih belum juga ada
panggilan." "Tidak, Tuan." "Kau tahu majikanmu punya banyak musuh?"
"Ya, Tuan." Pelayan itu menjawab tanpa emosi.
"Bagaimana kau tahu?"
"Saya mendengarnya sewaktu ia membicarakan beberapa helai surat-surat yang masuk
dengan Tuan MacQueen."
"Apa kau sayang pada majikanmu, Masterman?"
Saat itu wajah Masterman bahkan kelihatan lebih dingin lagi dari semula.
"Saya harus mengakui itu, Tuan. Ia majikan yang pemurah.
"Tapi sebenarnya kau tidak senang padanya?"
"Apa perlu dicatat, saya ini sebenarnya tak begitu peduli pada orang Amerika,
Tuan?" "Kau pemah ke Amerika"
"Belum, Tuan." "Kau masih ingat tentang peristiwa penculikan Daisy Armstrong itu?"
Pipinya memerah sedikit. "Ya, tentu saja, Tuan. Seorang gadis cilik, bukan" Peristiwa yang cukup
menggemparkan." "Apa kau tahu, majikanmu si Ratchett itu adalah otak peristiwa penculikan yang
keji itu?" "Benar-benar tidak tahu, Tuan." Nada suara pelayan itu kedengaran mulai
menghangat dan berperasaan untuk pertama kali.
"Saya hampir-hampir tak percaya bahwa ia adalah otak penculikan itu."
"Biar bagaimana juga, memang kenyataannya begitu. Sekarang, mengenai tingkah
lakumu tadi malam. Biasa, ini cuma pemeriksaan rutin, kau mengerti. Apa yang
kauperbuat setelah meninggalkan kamar majikanmu?"
"Saya memberitahukan Tuan MacQueen, Tuan, bahwa majikannya memanggilnya. Lalu
saya pergi ke kamar saya sendiri dan membaca."
"Kamarmu yang - "
"Di ujung gerbong kelas dua, Tuan. Persis di sebelah gerbong restorasi."
Poirot memeriksa denahnya sejenak.
"Oh di situ - dan tempat tidurmu yang mana?"
"Yang lebih bawah, Tuan."
"No. 4?" "Ya, Tuan." "Ada orang lain di situ?"
"Ya, Tuan. Orang Italia yang tinggi besar itu."
"Dia bisa bahasa Inggris?"
"Begitulah, sejenis bahasa Inggris, Tuan." Nada suaranya seperti orang yang
sedang mencela. "Rasanya ia sudah pernah ke Amerika -
saya kira Chicago." "Apa kau dan dia suka ngobrol banyak"
"Tidak, Tuan. Saya lebih suka membaca."
Poirot tersenyum. Ia bisa membayangkan suasana di kamar
pelayan itu - di satu pihak ada orang Italia yang suka omong, dan di
pihak lain ada penghuni berwajah dingin dan suka mencela yang menganggap diri
lebih tinggi dari penghuni lainnya.
"Kalau saya boleh tahu, apa yang kaubaca itu?" tanya Poirot ingin tahu.
"Sekarang ini, Tuan, saya sedang membaca Love's Captive karya Nyonya Arabella
Richardson." "Ceritanya menarik?"
"Kalau menurut saya, ceritanya enak, Tuan."
"Baiklah, mari kita lanjutkan. Kau kembali ke kamarmu dan membaca Love's Captive
- sampai kapan?" "Sampai sekitar pukul setengah sebelas, Tuan, waktu orang Itali itu sudah mau
pergi tidur. Jadi kondektur datang dan menyiapkan tempat tidur untuknya."
"Lalu kau sendiri naik ke tempat tidur dan tertidur?"
"Memang saya naik ke tempat tidur, Tuan, tapi saya tidak tidur."
"Kenapa kau tidak tidur?"
"Saya sakit gigi, Tuan."
"Oh, la - la - mungkin sakit, ya."
"Sakit sekali, Tuan."
"Lalu apa yang kauperbuat untuk menghilangkan rasa sakit itu?"
"Saya gosok-gosokkan dengan minyak cengkeh, Tuan, yang ternyata bisa meredakan
rasa sakit sedikit, tapi saya masih juga belum bisa tidur. Lalu saya nyalakan
lampu di atas kepala saya dan meneruskan membaca - supaya saya bisa melupakan
rasa sakit itu." "Dan kau tidak tidur sama sekali?"
"Ya, Tuan. Saya baru bisa tidur pukul empat pagi."
"Dan teman sekamarmu ?"
"Orang Itali itu" Oh, dia sudah mendengkur sejak setengah sebelas itu."
"Ia sama sekali tak meninggalkan kamar sepanjang malam itu?"
"Tidak, Tuan." "Dan kau juga tidak?"
"Tidak, Tuan." "Kaudengar apa-apa sepanjang malam itu?"
"Saya rasa, tidak, Tuan. Tak ada yang aneh, maksud saya. Kereta yang berhenti
menyebabkan suasana di sekitarnya sangat sunyi."
Poirot terdiam satu dua menit. Lalu ia mulai berbicara lagi.
"Nah, saya rasa ada sedikit lagi yang harus ditanyakan. Kau tak dapat
menerangkan sesuatu yang berhubungan dengan pembunuhan majikanmu itu?"
"Saya rasa tidak, Tuan."
"Sepanjang pengetahuanmu, apakah ada pertengkaran antara majikanmu dan Tuan
MacQueen?" "Oh! tidak, Tuan. Tuan MacQueen orangnya sangat
menyenangkan." "Di mana kau bekerja sebelum kau bekerja pada Tuan Ratchett?"
"Pada Sir Henry Tomlinson, Tuan, di Grosvernor Square."
"Kenapa kau tidak bekerja di situ lagi?"
"Ia pindah ke Afrika Timur, Tuan, dan tidak membutuhkan saya lagi. Tapi saya
yakin, dia pasti memberi keterangan tentang diri saya, jika memang diperlukan.
Saya bekerja padanya selama bertahun-tahun."
"Dan berapa lama kau bekerja pada Tuan Ratchett?"
"Baru sembilan bulan, Tuan."
"Terima kasih, Masterman. Ngomong-ngomong, kau mengisap pipa?"
"Tidak, Tuan. Saya cuma merokok sigaret saja."
"Terima kasih, cukup sekian dulu."
Poirot mengangguk, seolah tak lagi membutuhkan kehadirannya lagi di situ.
Pelayan pria itu nampak ragu-ragu sejenak.
"Maaf, Tuan. Kelihatannya wanita Amerika setengah umur itu agak kurang waras
pikirannya. Katanya ia tahu semua tentang
pembunuhnya. Ia sangat terpengaruh, Tuan."
"Kalau memang begitu soalnya," sahut Poirot tersenyum,
"sebaiknya kita periksa dia berikutnya?"
"Perlu saya panggil Tuan" Ia sudah ingin sekali bertemu dengan orang yang berhak
mengetahuinya sejak lama. Kondektur sudah mencoba untuk menenangkannya."
"Coba suruh saja dia ke mari, Kawan," ujar Poirot. "Kita ingin mendengarkan
ceritanya sekarang."


Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

4. KESAKSIAN WANITA AMERIKA
Nyonya Hubbard tiba di gerbong restorasi dengan napas
tersengal-sengal dan seperti orang yang ketakutan hingga ia hampir-hampir tak
dapat mengucapkan apa yang ingin diucapkannya.
"Sekarang coba katakan pada saya - siapa orang yang berwenang di sini" Saya
punya keterangan penting, sangat penting, dan saya ingin mengatakannya kepada
pihak yang berwajib secepat mungkin.
Kalau Tuan-tuan di sini -"
Dipandangnya ketiga pria di hadapannya berganti-ganti. Poirot memajukan badannya
ke muka: "Katakanlah pada saya, Nyonya," ujarnya. "Tapi lebih baik duduklah dulu."
Nyonya Hubbard langsung menghenyakkan diri di kursi, yang
berhadapan dengan kursi yang diduduki detektif Belgia itu.
"Yang harus saya katakan pada Tuan adalah ini. Kemarin malam terjadi pembunuhan
keji di kereta ini, dan pembunuhnya justru ada di kamar saya."
Ia berhenti berbicara untuk membangkitkan kesan dramatis pada kata-kata yang
baru diucapkannya. "Nyonya yakin akan hal ini?"
"Tentu saja saya, yakinl Bayangkan! Saya tahu apa yang saya katakan. Saya akan
mengatakan semuanya yang dapat saya katakan.
Waktu itu saya baru saja naik ke tempat tidur dan langsung tidur, tapi tiba-tiba
saya terbangun - semuanya gelap tapi saya bisa merasakan ada orang di kamar
saya. Begitu takutnya saya, sampai saya tak bisa menjerit, kalau saja Tuan tahu
apa yang saya maksudkan. Saya cuma bisa berbaring saja di tempat tidur dengan
badan yang lemas, sambil,berpikir-pikir, 'Mati aku, aku mau dibunuh!'
Sayangnya saya tak bisa menceritakan kepada Tuan, bagaimana perasaan saya waktu
itu. Yang ada di pikiran saya cuma kereta jahanam ini dan perampok-perampok di
kereta yang saya sering baca itu. Dan saya pikir lagi, 'Biar bagaimanapun,
pokoknya dia tak akan bisa merampok perhiasan-perhiasanku itu' - sebab, Tuan
tahu sendiri, saya menyembunyikan perhiasan-perhiasan saya di dalam kaus kaki
yang saya selipkan di bawah bantal kepala saya - yang memang tak begitu enak
untuk dibawa tidur; biar bagaimanapun rasanya seperti ada yang mengganjal di
bawah kepala, kalau saja Tuan tahu apa yang saya maksud. Tapi waktu saya meraba-
raba, di sana-sini, perhiasan saya sudah tak ada. Kalau begitu saya tidur di
mana waktu itu?" "Apa Nyonya sadari apa yang Nyonya katakan tadi, yaitu ada orang di kamar
Nyonya?" "Ya, tentu saja, saya terbaring dengan mata terpejam, dan berpikir-pikir apa
yang harus saya lakukan. Dan saya bersyukur bahwa anak perempuan saya tak
mengetahui betapa bahayanya
keadaan saya waktu itu. Untunglah, kemudian, entah bagaimana, saya dapat akal,
saya meraba-raba dengan tangan dan langsung memijit bel untuk memanggil
kondektur. Saya memijit dan memijit lagi, tapi tak ada jawaban - dan waktu itu
rasanya jantung saya sudah mau berhenti berdenyut. 'Ampun,' kata saya pada diri
sendiri, 'mungkin mereka sudah membunuh semua penumpang di kereta ini.'
Saat itu memang saya tak mendengar suara kereta dan suasana pun jadi sunyi
sekali bagai di kuburan. Tapi saya terus juga memijit-mijit bel itu dan, oh!
Alangkah leganya hati saya begitu saya dengar langkah-langkah kaki yang berlari
tergopoh-gopoh dan kemudian pintu kamar saya diketuk! 'Masuk,' saya langsung
berteriak, dan saya segera menyalakan lampu saat itu juga. Dan Tuan boleh
percaya boleh tidak, tapi tak ada satu makhluk pun di situ!"
Bagi Nyonya Hubbard kelihatannya akhir cerita itu lebih
merupakan puncak ketegangan daripada puncak kelegaan.
"Dan kemudian, apa yang terjadi, Nyonya?"
"Begitulah, saya terangkan pada kondektur itu apa yang terjadi dan kelihatannya
ia tak percaya pada cerita saya. Kelihatannya ia mengira saya bermimpi. Lalu
saya menyuruhnya melihat sendiri ke bawah kursi, meski ia berkata tak mungkin
ada orang bisa masuk ke tempat sekecil itu. Jadi jelaslah bahwa orang yang saya
maksud itu rupanya sudah pergi, meski tadi ia benar-benar ada, dan saya malah
jadi bertambah ketakutan sewaktu si kondektur berusaha
menenangkan saya! Saya bukannya orang yang - suka
membayangkan hal yang tidak-tidak, Tuan... e... rasanya saya belum tahu nama Tuan?"
"Poirot, Nyonya; dan ini Tuan Buoc, direktur perusahaan kereta api ini dan yang
satu ini Dr. Constantine."
Nyonya Hubbard menggerutu, "Senang sekali bisa berkenalan dengan Tuan-tuan
sekalian," ia berkata begitu sambil berpura-pura membungkukkan badan seolah
acara perkenalan sedang berlangsung
dengan resmi, kemudian ia kembali membenamkan diri dalam cerita yang
dituturkannya itu. "Saya sama sekali tak mau berpura-pura bahwa saya ini sebenarnya cerdas. Saya
baru teringat bahwa yang tinggal di kamar sebelah itu - adalah pria yang saya
benci itu dan rupanya dialah yang terbunuh. Saya memerintahkan kondektur untuk
memeriksa pintu penghubung kamar, sebab saya yakin betul pintu itu belum
terpalang. Benar saja dugaan saya. Karena itu lekas-lekas saya menyuruh
kondektur untuk memalangkannya dan setelah dia keluar kamar, saya menyandarkan
koper saya dekat pintu yang sudah terpalang itu untuk memastikan."
"Pukul berapa waktu itu, Nyonya Hubbard?"
"Wah, saya tak bisa mengatakan. Saya tak pernah melihat jam.
Saya terlalu bingung."
"Jadi apa pendapat Nyonya sekarang?"
"Begitulah, sama seperti kenyataannya. Laki-laki yang ada di kamar saya itu
pasti seorang pembunuh. Kalau tidak, apa lagi?"
"Dan Nyonya pikir ia kembali lagi ke kamar sebelah?"
"Mana saya tahu ia pergi ke mana" Mata saya tertutup rapat."
"Jangan-jangan ia menyelinap lewat pintu yang menuju koridor."
"Wah itu saya tak dapat memastikan. Tuan tahu sendiri selama itu mata saya
terpejam terus." Nyonya Hubbard mengeluh keras.
"Ampun ngerinya! Seumpamanya anak perempuan saya tahu -"
"Apa Nyonya tak mengira bahwa suara yang Nyonya dengar itu adalah suara yang
berasal dari kamar sebelah?"
"Tidak, saya tidak mengira begitu, Tuan - apa tadi" Poirot.
Pembunuh itu ada di situ di kamar saya. Lagipula saya tidak bohong -
saya punya bukti-buktinya."
Lalu dengan perasaan menang, diperlihatkannya sebuah tas
tangan wanita yang berukuran besar dan mulai meraba-raba apa yang ada di
dalamnya. Kemudian dikeluarkannya dua helai sapu tangan bersih, sepasang kaca mata yang
bingkainya terbuat dari tanduk hewan, sebotol aspirin, sebungkus Glauber's Salt,
satu tube permen, serenceng kunci, sepasang gunting, satu buku cek American
Express, sehelai foto anak kecil yang berwajah pucat, beberapa helai surat, lima
untai manik-manik Oriental tiruan, dan sebuah benda kecil dari logam -
sebuah kancing. "Tuan lihat kancing ini" Ya, itu bukannya salah satu kancing saya.
Bukan berasal dari baju-baju saya. Saya baru saja menemukannya pagi ini begitu
bangun tidur." Sewaktu Nyonya Amerika itu meletakkannya di meja di
hadapannya, Tuan Buoc memajukan badannya ke muka dan berseru kaget, "Tapi ini
kan kancing baju seragam pelayan restorasi!"
"Tapi ini bisa diterangkan dengan akal sehat," sahut Poirot.
Lalu ia berpaling kepada wanita Amerika itu dengan senyum
ramah yang menempel di bibirnya.
"Kancing ini bisa saja lepas dari pakaian seragam kondektur, entah sewaktu ia
mencari kamar Nyonya, entah sewaktu ia menyiapkan tempat tidur kemarin malam."
"Sebenamya saya tak habis mengerti apa yang terjadi dengan Tuan-tuan sekalian.
Kelihatannya Tuan-tuan ini tak menginginkan apa-apa selainnya membantah saya
saja. Sekarang dengarkan ke mari. Kemarin malam saya membaca majalah dulu
sebelum tidur. Dan sebelumnya saya mematikan lampu, saya letakkan majalah itu di dalam sebuah
koper kecil di lantai dekat jendella. Tuan mengerti itu?"
Mereka ramai-ramai meyakinkan Nyonya Hubbard bahwa mereka
memahami ceritanya. "Baiklah kalau begitu. Perlu Tuan-tuan ketahui bahwa si kondektur melihaft ke
bawah kursi saya dari ambang pintu, lalu ia masuk ke
kamar saya dan memalang pintu penghubung yang ke kamar
sebelah, tapi ia tak pernah ke pinggir jendela. Begitulah, pagi ini kancing itu
saya temukan persis dl atas majalah yang saya baca tadi malam dan yang saya
letakkan di atas koper kecil itu. Kalau begini, saya ingin tahu, apa namanya
ini, menurut Tuan?" "Itu saya sebut kesaksian, Nyonya," sahut Poirot.
Jawabannya seakan-akan meredakan ketegangan Nyonya
Hubbard dalam bercerita itu, dan berhasil menenangkan hatinya.
"Rasanya saya bisa lebih gila dari ular yang sedang menyerang kalau keterangan
saya tidak dipercaya," ujarnya menegaskan.
"Memang Nyonya telah memberikan kami kesaksian yang sangat menarik dan
berharga," ujar Poirot berusaha menenangkan Nyonya Hubbard yang nampaknya tegang
itu. "Dan sekarang, apakah saya boleh menanyakan beberapa pertanyaan kepada
Nyonya?" "Tentu saja." "Kenapa kalau Nyonya memang benar-benar ngeri pada orang yang bernama Ratchett
itu. Nyonya tidak memalang pintu
penghubung antara kamarnya dan kamar Nyonya sendiri?"
"Saya sudah memalangnya," sahut Nyonya Hubbard dengan segera.
"Oh, Nyonya sudah memalangnya?"
"Begitulah, sebenarnya saya sudah minta tolong kepada gadis Swedia itu untuk
memeriksa apakah pintu penghubung saya sudah dipalang, dan katanya sudah."
"Bagaimana bisa, Nyonya tidak memeriksanya sendiri?"
"Sebab saya sudah di tempat tidur dan tas saya sudah tergantung pada pegangan
pintunya." "Pukul berapa waktu Nyonya minta tolong pada gadis Swedia itu?"
"Tunggu dulu, saya mesti mengingat-ingat. Mestinya waktu itu sekitar pukul
setengah sebelas atau pukul sebelas kurang
seperempat. Ia datang ke kamar saya untuk menanyakan kalau-kalau saya masih
punya aspirin. Saya beritahukan di mana tempatnya dan dikeluarkannya sebutir
dari koperku." "Waktu itu Nyonya sendiri sedang di tempat tidur?"
"Ya." Sekonyong-konyong wanita Amerika itu tertawa keras. "Kasihan -
ia begitu bingung kelihatannya! Tuan tahu, dia keliru membuka pintu kamar
sebelah." "Kamar Tuan Ratchett?"
"Ya, Tuan tahu sendirl memang sulit untuk menemukan kamar seseorang kalau begitu
Tuan sampai di koridor kereta, semua pintu kamar penumpang sudah tertutup. Gadis
Swedia itu malu sekali. Kedengarannya Ratchett tertawa, dan rasanya saya bisa mendengar kata-katanya
yang kurang sopan. Kasihan gadis itu, ia benar-benar kelihatan seperti orang
yang kebingungan. 'Oh! Saya kesalahan,'
katanya. 'Saya malu sekali telah berbuat kesalahan. Dia bukan laki-laki yang
sopan,' katanya lagi. 'Laki-laki itu bilang pada saya, Kau sudah terlalu tua."'
Dokter Constantine tak dapat menahan perasaan gelinya. Ia
tertawa berderai-derai, tapi tiba-tiba Nyonya Hubbard
memandangnya dengan tajam.
"Memang si Ratchett itu bukan laki-laki yang sopan," ujarnya,
"masa ia berkata begitu pada seorang wanita. Dan bukan pada tempatnya kita
menertawakan hal seperti itu."
Dr. Constantine cepat-cepat minta maaf.
"Apa Nyonya dengar suara-suara lagi dari kamar Tuan Ratchett sesudah itu?" tanya
Poirot. "Yaah - kira-kira begitu."
"Apa yang Nyonya maksudkan?"
"Yaah -" ia berhenti sebentar. "Lelaki itu mendengkur."
"Ah! - ia mendengkur, apa benar?"
"Keras sekali. Malam sebelumnya suara dengkurannya sampai bisa membangunkan
saya." "Nyonya tak mendengar dengkurnya lagi, setelah Nyonya dibuat hampir mati
ketakutan oleh pria yang ada di kamar Nyonya itu?"
"Kenapa begitu, Tuan Poirot, bagaimana saya bisa mendengar suaranya lagi" Ia
sudah mati." "Ah, ya, betul," sahut Poirot mengiyakan. Kelihatannya ia jadi bingung.
"Nyonya masih ingat pada peristiwa penculikan Daisy Armstrong"
Nyonya Hubbard?" tanya Poirot lagi.
"Ya, masih. Dan enak betul pembunuhnya bisa lolos begitu saja tanpa dihukum!
Setan, saya ingin sekali menamparnya."
"Ia belum lolos. Ia sudah mati. Sudah mati tadi malam."
"Tuan tidak main-main -?" Nyonya Hubbard kelihatan setengah berdiri dari
kursinya karena begitu terkejutnya mendengar berita itu.
"Tentu saja. Ratchett memang otak peristiwa penculikan itu."
"Itulah! Bayangkan kalau kita bisa berpikir sampai ke situ! Saya mesti cepat-
cepat menulis surat kepada anak perempuan saya.
Sekarang, apakah saya tidak menceritakan tadi malam bahwa laki-laki itu punya
wajah iblis" Nah, apa, saya benarkan, Tuan lihat sendiri. Anak perempuan saya
selalu bilang: 'Kalau Mama sudah menebak, kau boleh mempertaruhkan seluruh
hartamu, pasti kena."'
"Apakah Nyonya ada hubungan keluarga dengan keluarga
Armstrong?" "Tidak. Pergaulan mereka terbatas sekali, kebanyakan di antara kalangan atas
saja. Tapi saya dengar Nyonya Armstrong itu sangat cantik dan suaminya sangat
memujanya." "'Nah, Nyonya Hubbard, Nyonya telah membantu kami banyak sekali - banyak sekali.
Barangkali Nyonya tak keberatan untuk memberitahukan nama lengkap Nyonya kepada
kami?" "Tentu saja, kenapa tidak. Caroline Martha Hubbard."
"Maukah Nyonya menuliskan alamat Nyonya di kertas ini?"
Nyonya Hubbard langsung mengerjakan permintaan itu, tanpa
berhenti berbicara. "Saya cuma tak bisa mengatasi itu semua.
Cassetti - ada di kereta ini. Dari semula memang saya sudah punya prasangka
jelek pada orang itu, ya tidak, Tuan Poirot?"
"Ya, memang benar, Nyonya. Ngomong-ngomong, apa Nyonya punya gaun yang warnanya
merah tua" Dari bahan sutera?"
"Ampun! Lucu benar pertanyaannya! Tapi, saya tak punya gaun seperti itu. Gaun
yang saya bawa cuma dua - baju flanel merah muda yang cocok sekali untuk dipakai
di kapal nanti, dan satunya lagi gaun yang dihadiahkan oleh anak perempuan dari
bahan yang tak begitu mahal - bukan katun halus dari Paris seperti itu. Tapi apa
guna sapu tangan semahal itu kalau akhirnya dipakai untuk menyapu hidung?"
Nampaknya tak seorang pun dari ketiga laki-laki di hadapannya bisa menjawab
pertanyaan Nyonya Hubbard dengan tepat dan
sehabis berkata begitu nyonya itu melangkah ke luar dengan penuh kemenangan.
5. KESAKSIAN GADIS SWEDIA
Tuan Buoc sedang memegangi kancing yang tadi diletakkan
Nyonya Hubbard di alas meja.
"Coba lihat kancing ini, saya tak habis pikir. Apakah ini juga berarti dalam
satu dan lain hal Pierre Michel terlibat dalam pernbunuhan itu?"
Untuk sesaat ia berhenti berbicara, lalu melanjutkan lagi sewaktu Poirot tidak
juga menjawab, "Apa pendapatmu, Kawan?"
"Kancing itu menimbulkan beberapa kemungkinan," sahut Poirot sambil berpikir-
pikir. "Mari kita periksa gadis Swedia itu sebelum kita membahas kesaksian-
kesaksian yang sudah kita dengar."
Diambilnya salah satu paspor yang menumpuk di hadapannya.
"Ah! Ini dia, Greta Ohlsson, umur empat puluh sembilan tahun."
Tuan Buoc segera memberi perintah pada salah seorang pelayan restorasi, dan saat
itu juga muncullah seorang wanita yang bersanggul kuning dan memiliki wajah yang
panjang dan menyerupai domba. Ia sempat melirik Poirot dari balik kaca matanya,
tapi tingkah lakunya sangat tenang.
Ternyata wanita Swedia itu mengerti dan dapat berbahasa
Perancis dengan baik, dan karena itu pemeriksaan dilakukan dalam bahasa yang
bersangkutan. Poirot pertama-tama menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri sudah mengetahui
jawabannya - yakni nama lengkap wanita Swedia itu, umurnya, dan alamatnya. Lalu
ia menanyakan pekerjaannya sekarang.


Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita Swedia itu menerangkan bahwa ia menjabat sebagai ibu asrama sebuah
sekolah. misionaris di dekat Istambul. Ia juga perawat yang sudah berpengalaman.
"Saya rasa Nona sudah tahu apa yang terjadi tentunya, Mademolselle" "
"Tentu saja. Mengerikan sekali. Dan Nyonya, Amerika itu memberitahu saya bahwa
pembunuhnya ada di kamarnya."
"Saya dengar Nonalah satu-satunya orang terakhir yang melihat si korban dalam
keadaan hidup, ya tidak?"
"Saya tak tahu. Boleh jadi begitu. Saya keliru membuka pintu kamarnya waktu itu.
Saya malu sekali. Itu suatu kesalahan yang amat memalukan. "
"Jadi Nona benar-benar melihatnya'?"
"Ya. Ia sedang membaca buku. Lalu saya cepat-cepat minta maaf dan menghilang."
"Apakah dia mengatakan sesuatu pada Nona?"
Pipi wanita itu tampak memerah sebentar.
"Ia tertawa dan mengucapkan beberapa patah kata. Saya - saya tak bisa
menangkapnya dengan jelas."
"Dan apa yang Nona lakukan sesudah itu, Mademoiselle?" tanya Poirot mengalihkan
pernbicaraan dengan hati-hati.
"Saya masuk ke kamar nyonya Amerika itu, Nyonva Hubbard. Saya minta aspirin
kepadanya dan dia memberikannya."
"Apakah dia juga minta kepada Nona untuk memeriksa apakah
pintu penghubung antara kamarnya dan kamar Tuan Ratchett sudah dipalang?"
"Ya." "Memangnya sudah dipalang?"
'Ya. "Dan sesudah itu?"'
"Dan sesudah itu saya kembali ke kamar saya, meneguk aspirin itu dan merebahkan
diri di tempat tidur."
"Pukul berapa waktu itu?"
"Sewaktu saya sudah merebahkan diri, rasanya sudah pukul sebelas kurang lima
menit. Saya tahu itu, sebab saya melihatnya sebelum memutarnya."
"Apakah Nona bisa langsung tidur?"
"Tak bisa langsung. Kepala saya rasanya sudah agak berkurang sakitnya, tapi saya
masih terjaga." "Apakah kereta sudah berhenti sebelum Nona tertidur?"
"Saya rasa tidak. Saya kira kita berhenti di stasiun itu, persis waktu saya
mulai mengantuk." "Kalau begitu stasiun itu mestilah stasiun Vincovci. Sekarang, kamar Nona,
apakah yang ini?" Poirot menunjuk pada denahnya.
"Ya, itu dia." "Tempat tidur Nona di atas atau di bawah?"
"Di bawah, no. 10."
"Dan Nona punya teman sekamar?"
"Ya, gadis Inggris yang masih muda. Sangat menyenangkan, sangat ramah. Ia sudah
ada di kereta sejak dari Bagdad."
"Sesudah kereta meninggalkan Vincovci, apakah dia juga meninggalkan kamar?"
"Tidak, saya yakin tidak."
"Kenapa Nona begitu yakin, padahal saat itu Nona sudah tidur dan tak tahu apa-
apa lagi?" "Saya tidur tak pernah bisa benar-benar lelap seperti orang lain.
Biasanya kalau ada suara sedikit saja, saya selalu terbangun kaget.
Saya yakin kalau gadis Inggris itu turun dari tempat tidurnya di atas, saya
pasti terbangun." "Apakah Nona sendiri juga meninggalkan kamar?"
"Tidak, sampai paginya lagi."
"Nona punya kimono merah tua?"
"Tidak. Saya cuma punya daster yang enak dipakai, terbuat dari bahan Jaeger."
"Bagaimana dengan gadis Inggris teman sekamar Nona itu" Apa warna dasternya?"
"Warnanya lembayung yang muda sekali, seperti yang orang bisa beli di Timur."
Poirot mengangguk. Lalu ia bertanya dengan nada ramah,
"Kenapa Nona bepergian dengan kereta ini" Sedang liburan?"
"Ya, saya mau pulang ke rumah untuk berlibur. Tapi saya singgah dulu di Lausanne
di rumah kakak saya dan tinggal di sana selama satu dua minggu."
"Barangkali Nona tak keberatan kalau saya minta alamat kakak Nona" Bisa tolong
tuliskan di sini?" "Dengan senang hati."
Diambilnya kertas dan pinsil yang disodorkan Poirot kepadanya dan langsung
menuliskan nama dan alamat kakak perempuannya seperti yang diminta.
"Nona pernah ke Amerika?"
"Belum. Dulu, saya hampir ke sana. Sebenarnya saya mau mendampingi seorang
wanita cacad, tapi pada saat-saat mau
berangkat, rencananya dibatalkan. Saya sangat menyesalkan
kejadian itu. Orang-orang Amerika baik-baik. Mereka tak segan-segan
menyumbangkan uang buat mendirikan sekolah atau rumah sakit.
Dan kecuali itu mereka juga sangat praktis."
"Nona masih ingat pada peristiwa penculikan Daisy Armstrong itu?"
"Tidak. Apa itu?"
Poirot menerangkan. Greta Ohlsson tampak marah. Rambutnya yang tipis dan kuning seperti bulu jagung
itu tampak ikut bergetar dengan emosinya.
"Apa di dunia ini ada orang yang begitu jahat" Orang mesti tabah kalau bertemu
dengan orang macam begini. Kasihan ibunya itu -
saya bisa memahami."
Lalu gadis Swedia yang berhati lembut itu pun pergi, dengan wajah yang merah
padam, dan mata yang kabur oleh air mata.
Poirot sibuk menulis di atas kertas.
"Apa yang kautulis di situ, Kawan," tanya Tuan Buoc.
"Mon cher, sudah jadi kebiasaanku untuk selalu rapi dan teliti. Aku sedang
mencatat daftar kronologis dari kejadian-kejadian yang berhubungan dengan
peristiwa pembunuhan itu."
Selesai menulis, Poirot menyodorkan kertas itu kepada Tuan Buoc.
9.15 Kereta meninggalkan Belgrado
sekitar 9.40 Pelayan meninggalkan Ratchett dengan obat
tidur di sampingnya. Obat tidur itu dilarutkan ke dalam gelas yang berisi air.
sekitar 10.00 MacQueen meninggalkan Ratchett.
sekitar 10.40 Greta Ohlsson melihat Ratchett (terakhir
semasih hidup). N.B. Ia duduk di tempat tidur sambil membaca buku.
0.10 Kereta meninggalkan Vincovci (terlambat)
0.30 Kereta tertahan salju. 0.37 Bel Ratchett berbunyi. Kondektur menjawabnya.
Ratchett berkata: "Ce West rien. Je me suis trompe."
sekitar 0.17 Nyonya Hubbard mengira ada pria di
kamarnya. Memijit bel untuk memanggil kondektur.
Tuan Buoc mengangguk tanda setuju.
"Jelas sekali," ujarnya.
"Menurut pendapatmu tak ada yang ganjil sedikit pun?"
"Tidak, kelihatannya semuanya sudah jelas dan bisa masuk akal.
Jadi kelihatannya jelas sekali pembunuhan dilakukan pukul 1.15. Kita bisa lihat
dari urutan waktu-waktu sebelum terjadi pembunuhan, lagipula cerita Nyonya
Hubbard memang cocok. Rasanya aku sudah bisa menduga identitas pembunuhnya
sekarang. Aku bilang, pembunuhnya adalah orang Italia yang tinggi besar itu. Dia datang dari Amerika -
dari Chicago - dan ingat, senjata orang Italia itu biasanya pisau, dan ia tidak
menikam satu kali saja, tapi sampai berkali-kali."
"Benar." "Tak salah lagi, itulah pemecahan dari misteri ini. Pastilah orang Itali dan si
Ratchett itu berada dalam satu komplotan sewaktu menculik Daisy Armstrong.
Cassetti adalah nama Italia. Dalam satu dan lain hal Cassetti berhasil menipunya
dengan jalan melarikan diri bersama hasil yang didapat dari pemerasan Kolonel
Armstrong itu. Orang Italia itu mencari jejaknya, dengan mengirimkan suratsurat ancaman dulu,
dan akhirnya berhasil membalas dendamnya dengan cara yang kejam dan tidak
terpuji. Itu semuanya sebenarnya sangat sederhana."
Poirot menggeleng, hatinya masih ragu, tak begitu yakin akan pendapat temannya.
"Saya khawatir soalnya tidak sesederhana itu," gumamnya lagi.
"Kalau saya, saya yakin itulah soal yang sebenarnya," ujar Tuan Buoc, semakin
bernafsu atas teorinya. "Dan bagaimana dengan pelayan yang sakit gigi itu yang bahkan berani bersumpah
bahwa si Italia itu tak pernah meninggalkan kamar?"
"Justru di situlah letak kesulitannya."
Mata Poirot bersinar. "Ya, itulah yang mengganggu. Tampaknya teorimu tak cukup beralasan, dan orang
Italia itu beruntung karena pelayan Ratchett kebetulan sakit gigi."
"Tapi ini bisa diterangkan," sahut Tuan Buoc lagi dengan keyakinan yang dalam.
Poirot kembali menggeleng.
"Tidak, tidak sesederhana itu persoalannya," gumamnya untuk kedua kali.
6. KESAKSIAN PUTERI RUSIA
"Mari kita dengar apa pendapat Pierre Michel mengenai kancing ini," ujar Tuan
Buoc. Kondektur kereta segera dipanggil. Ia memandang penuh tanda tanya kepada ketiga
orang pria di depannya. Tuan Buoc menjernihkan tenggorokannya.
"Michel," ujarnya, "ini ada kancing dari seragammu. Ditemukan dalam kamar Nyonya
Amerika itu. Apa hubungannya dengan kau?"
Kondektur itu meraba-raba seragamnya tanpa sadar.
"Saya tak kehilangan kancing, Tuan," ujarnya membela diri.
"Keliru barangkali."
"Kedengarannya tak masuk akal."
"Saya tak berani menjamin itu, Tuan." Kondektur itu kelihatannya heran, tapi
wajahnya tak membayangkan kebingungan atau perasaan bersalah.
Lalu Tuan Buoc berkata dengan sungguh-sungguh, "Kalau melihat situasi di mana
kancing ini ditemukan, kancing ini sudah jelas terjatuh dari baju laki-laki yang
menjawab bel Nyonya Hubbard tadi malam."
"Tapi, Tuan, tak ada orang di sana. Nyonya itu pasti mengkhayal yang tidak-
tidak." "Ia tidak mengkhayal, Michel. Pembunuh Tuan Ratchett memang lewat di sana dan
menjatuhkan kancing itu dengan sengaja."
Sewaktu ia baru dapat memahami maksud pernyataan tuannya
dengan jelas, Pierre Michel jadi gelisah.
"Itu tidak benar, Tuan; itu tidak benar!" teriaknya kalap; "Rupanya Tuan menuduh
sayalah pembunuhnya. Saya tak bersalah. Saya
benar-benar tak bersalah! Kenapa saya harus membunuh laki-laki yang belum pernah
saya lihat sebelumnya?"
"Di mana kau, waktu bel Nyonya Hubbard berbunyi?"
"Saya sudah katakan, waktu itu saya sedang bercakap-cakap
dengan teman saya di gerbong sebelah."
"Coba kita panggil dia."
"Panggil saja, Tuan, saya mohon dengan sangat, panggil saja."
Kondektur gerbong sebelah langsung dipanggil. Dengan segera ia menguatkan
pengakuan Michel. Ia juga menambahkan bahwa
kondektur dari gerbong Bukares juga bersama-sama dengan dia.
Ketiga-tiganya saat itu sedang asyik membicarakan situasi buruk yang diakibatkan
oleh saIju keparat itu. Mereka baru saja berbicara kira-kiria sepuluh menit,
sewaktu Michel mengatakan kalau tidak salah ia mendengar orang memijit bel.
Ketika ia membuka pintu-pintu yang menghubungkan dua gerbong kereta itu, mereka
bertiga dapat mendengarnya dengan jelas - bel itu berbunyi tak henti-henti.
Michel kemudian berlari tergopoh-gopoh untuk menjawabnya.
"Jadi, Tuan lihat sendiri, saya tak bersalah," teriak Michel penuh semangat.
"Dan kancing yang terlepas dari seragam kondektur ini, bagaimana kau bisa
menerangkannya?" "Saya tak bisa menerangkan, Tuan. Itu seperti misteri bagi saya.
Semua kancing-kancing seragam saya masih lengkap, tak ada satu pun yang copot."
Kedua kondektur lainnya juga menjelaskan bahwa kancing-kancing pada baju seragam
mereka tak ada satu pun yang terlepas dan mereka juga belum pernah memasuki
kamar Nyonya Hubbard. "Tenang, Michel," ujar Tuan Buoc membujuk, "dan coba kau-ingat-ingat lagi
sewaktu kau berlari untuk menjawab bunyi bel Nyonya Hubbard tadi malam. Apa kau
berpapasan dengan seseorang di koridor?"
"Tidak, Monsieur. "Kaulihat ada orang yang sedang menjauh di koridor, dan sedang berjalan ke arah
lain?" "Juga tidak, Monsieur."
"Aneh," ujar Tuan Buoc lagi.
"Tidak begitu aneh, " sahut Poirot. "Itu cuma soal waktu. Nyonya Hubbard merasa
ada orang bersembunyi di kamarnya. Untuk satu atau dua menit ia berbaring
seperti orang lumpuh di atas tempat tidurnya, dengan mata terpejam. Mungkin
waktu itulah orang itu berhasil menyelinap ke luar dari kamar Nyonya Hubbard.
Lalu wanita Amerika itu mulai memijit bel. Tapi kondektur tidak segera datang.
Baru pada ketiga atau keempat kali, ia bisa menjawab bunyi bel itu.
Saya rasa sementara itu masih cukup waktu untuk -"
"Untuk apa" Untuk apa, mon cher" Ingat, di sekeliling kereta, turun hujan salju
yang tebal." "Ada dua kemungkinan yang dapat diambil oleh pembunuh kita yang misterius ini,"
ujar Poirot lambat-lambat. "Ia bisa menyembunyikan diri di toilet atau bisa juga
ke dalam salah satu kamar penumpang."
"Tapi kamar-kamar itu semuanya sudah ada orangnya."
"Ya." "Maksudmu si pembunuh bisa menyembunyikan diri di dalam kamarnya sendiri?"
Poirot mengangguk. "Cocok - cocok," gumam Tuan Buoc. "Selama sepuluh menit kosong, sementara
menanti kondektur datang, pembunuh itu keluar dari kamarnya sendiri, kemudian
memasuki kamar Ratchett, membunuhnya, mengunci pintu kamarnya dengan rantai dari dalam, keluar lagi
melalui kamar Nyonya Hubbard dan telah kembali dengan selamat di kamarnya
sendiri, begitu kondektur datang."
"Rasanya tak sesederhana itu, Kawan," gumam Poirot. "Kawan kita, Dokter
Constantine akan menerangkannya untukmu."
Saat itu Tuan Buoc memberi isyarat kepada ke tiga kondektur kereta untuk
meninggalkan ruangan. "Kita masih harus memeriksa delapan penumpang lagi," ujar Poirot. "Lima
penumpang kelas satu - Princess Dragomiroff, Count dan Countess Andrenyi,
Kolonel Arbuthnot, dan Tuan Hardman.
Kemudian tiga penumpang kelas dua - Nona Debenhamm, Antonio Foscarelli, dan
pelayan wanita Princess Dragomiroff - Nona Schmidt."
"Siapa yang kau ingin periksa lebih dulu - orang Itali itu?"
"Getol benar kau dengan orang Itali-mu itu! Tidak, kita akan mulai dengan urutan
yang paling atas. Mungkin Madame la Princesse bersedia meluangkan waktunya
sedikit untuk kita. Coba sampaikan berita ini padanya, Michel."
"Oui, Monsieur, " sahut kondektur itu, seakan tidak sabar lagi menunggu di situ
lama-lama dan sudah ingin beranjak dari tempat itu.
"Katakan padanya kami bersedia memeriksanya di kamarnya kalau ia tidak bersedia
datang ke sini," ujar Tuan Buoc memerintahkan.
Tapi Princess Dragomiroff tak mau memenuhi tawaran Tuan Buoc.
Ia datang sendiri ke gerbong restorasi, dengan kepala yang dimiringkan sedikit,
lalu duduk di hadapan Poirot.
Wajahnya yang mirip kodok itu malah kelihatan lebih kuning daripada sehari
sebelumnya. Ia memang benar-benar jelek, dan meskipun wajahnya mirip kodok, ia
masih mempunyai sepasang mata yang bagaikan permata, hitam dan anggun,
mencerminkan energi yang mantap dan kesan intelektuil yang dapat dirasakan dalam
sekejap. Suaranya dalam, lembut tapi terasa sangat meyakinkan.
Ia cepat-cepat memotong pernyataan maaf Tuan Buoc yang


Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar berlebih-lebihan.
"Tak usah meminta maaf, Tuan-tuan. Saya tahu ada pembunuhan di kereta ini. Tentu
saja Tuan-tuan mesti mewawancarai semua penumpangnya. Saya akan senang sekali
kalau dapat memberi bantuan kepada Tuan-tuan dengan sekuat kemampuan saya."
"Nyonya baik sekali," sahut Poirot.
"Tidak sama sekali. Sudah tugas saya. Apa yang Tuan ingin tahu?"
"Nama permandian Nyonya selengkapnya. Barangkali Nyonya lebih suka menuliskannya
sendiri?" Poirot menyodorkan secarik kertas dan sebuah pinsil, tapi Puteri Dragomiroff
menampiknya. "Tuan bisa menuliskannya untuk saya," ujarnya.
"Tak begitu susah. Nathalia Dragomiroff, 17 Avenue Kleber, Paris."
, "Nyonya mau pulang ke rumah" Dari Konstantinopel?"
"Ya, saya sudah bermalam di Kedutaan Austria. Pelayan wanita saya juga ikut
bersama saya." "Nyonya tak keberatan untuk menjelaskan apa saja yang Nyonya lakukan kemarin
malam, sehabis bersantap?"
"Dengan senang hati. Saya memerintahkan kondektur untuk menyiapkan tempat tidur
saya sewaktu saya masih di gerbong restorasi. Saya segera naik ke tempat tidur
sehabis makan malam. Saya membaca sampai kira-kira pukul sebelas, dan sesudah itu mematikan lampu.
Saya tak bisa tidur karena reumatik saya kambuh lagi. Sekitar pukul satu kurang
seperempat saya membunyikan bel, memanggil pelayan saya. Ia memijit badan saya
dan membacakan saya cerita dari buku yang saya baca tadi dengan suara keras,
terus sampai saya mengantuk. Saya tak dapat memastikan kapan ia
meninggalkan kamar saya. Bisa setengah jam kemudian, bisa juga lebih lambat
lagi." "Apa waktu itu kereta sudah tak jalan?"
"Sudah tak jalan."
"Selama itu Nyonya tak mendengar apa-apa" Suara yang aneh, misalnya."
"Saya tak mendengar ada yang Aneh."
"Siapa nama pelayan Nyonya?"
"Hildegarde Schmidt."
"Sudah lama bekerja pada Nyonya?"
"Lima belas tahun."
"Menurut Nyonya, orangnya bisa dipercaya?"
"Bisa dipercaya penuh. Keluarganya berasal dari daerah yang sama dengan asal
suami saya di Jerman."
"Nyonya sudah pernah ke Amerika, saya kira?"
Pergantian pokok pembicaraan yang tiba-tiba itu menyebabkan Nyonya tua itu
mengangkat alis matanya. "Sudah sering."
"Apakah pada suatu saat Nyonya pernah berhubungan dengan keluarga Armstrong -
keluarga, yang ditimpa kemalangan secara tragis?"
Ada sesuatu dalam suaranya ketika Nyonya itu menjawab,
"Tuan sedang membicarakan teman-teman saya."
"Kalau begitu Nyonya kenalan baik Kolonel Armstrong?"
"Saya kenal dia begitu saja, tidak begitu baik. Tapi isterinya, Sonia Armstrong,
adalah anak permandian saya. Saya bersahabat dengan ibunya, aktris Linda Arden.
Linda Arden seorang jenius besar, salah seorang aktris terbesar di dunia.
Sebagai Lady Macbeth, sebagai Magda, tak ada yang bisa menyamainya. Saya bukan
saja mengagumi permainannya, tapi saya ini teman pribadinya."
"Ia sudah mati?"
"Belum, belum, ia masih hidup, tapi, sudah menjauhi dunia luar.
Kesehatannya sangat rapuh, dan ia harus berbaring di sofanya setiap waktu."
"Saya kira ia masih punya anak satu lagi."
"Ya, jauh lebih muda dari Nyonya Armstrong."
"Dan dia masih hidup?"
"Tentu saja." "Di mana dia sekarang?"
Wanita tua itu menatap Poirot dengan tajam.
"Saya harus tahu apa alasan Tuan menanyakan ini. Apa
hubungannya dengan persoalan yang tengah kita hadapi sekarang ini yakni
pembunuhan di atas kereta?"
"Hubungannya begini, Madame: orang yang dibunuh itu adalah orang yang
bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan anak Nyonya Armstrong."
"Ah! Kedua alis matanya bertemu. Princess Dragomiroff menegakkan tubuhnya.
"Menurut pandangan saya, pembunuhan ini benar-benar kejadian yang mengagumkan!
Maaf atas pandangan saya yang sedikit diliputi prasangka."
"Itu wajar sekali, Madame. Dan sekarang kita kembali pada pertanyaan yang tadi
belum Nyonya jawab. Di mana anak kedua Nyonya Linda Arden, adik Nyonya Armstrong
itu?" "Saya benar-benar tak dapat menjawab pertanyaan itu, Monsieur.
Saya sudah kehilangan kontak dengan generasi yang lebih muda.
Saya kira ia kawin dengan orang Inggris beberapa tahun yang lalu dan dibawa ke
sana, tapi sekarang ini saya tak ingat siapa namanya."
Ia berhenti sebentar kemudian melanjutkan lagi,
"Ada pertanyaan lain yang Tuan-tuan masih ingin tanyakan pada saya?"
"Cuma satu lagi, Madame, pertanyaan yang lebih bersifat pribadi.
Warna baju tidur Nyonya."
Ia menaikkan alis matanya -sedikit. "Saya rasa Tuan-tuan mesti punya alasan
untuk menanyakan hal itu. Baju tidur saya warnanya hitam, terbuat dari satin."
"Tak ada lagi yang ingin saya tanyakan, Madame. Banyak terima kasih atas
jawaban-jawaban Nyonya yang tepat."
Ia memberi isyarat sedikit dengan tangannya yang dipenuhi cincin.
Dan begitu ia bangkit dari kursi, yang lain-lain juga ikut bangkit bersamanya.
Tapi ia berhenti, tidak jadi melangkah.
"Maaf, Tuan," ujarnya, "bolehkah saya tahu siapa nama Tuan"
Rasanya saya pernah melihat wajah Tuan."
"Nama saya Hercule Poirot, Madame - menunggu perintah Nyonya dengan segala
senang hati." Madame la Princess Dragomiroff berpikir sebentar. Lalu ia berkata,
" Hercule Poirot, Ya, saya ingat sekarang. Ini nasib."
Kemudian ia berlalu dengan tubuh yang tegak dan dengan gaya yang angkuh dan
anggun. "Voila une grande dame, ujar Tuan Buoc. "Apa pendapatmu tentang dia, Kawan?"
Tapi Hercule Poirot menggeleng.
"Saya ingin tahu," ujarnya, "apa yang dimaksudkan Princess Dragomiroff waktu ia
mengatakan, nasib itu."
7. KESAKSIAN COUNT dan COUINTESS ANDRENYI
Count dan Countess Andrenyi adalah penumpang berikut yang
diperiksa. Entah mengapa, tapi Count Andrenyi muncul sendirian di gerbong
restorasi itu. Tak diragukan lagi ia memang berwajah tampan, apalagi kalau dilihat dari dekat.
Tingginya kira-kira enam kaki, bahunya lebar dan pinggulnya ramping. Pakaiannya
jas wol Inggris dan orang bisa saja menduganya orang Inggris asli, kalau belum
melihat kumisnya yang panjang dan garis-garis di kedua belah tulang pipinya.
"Baiklah, Tuan-tuan," ujarnya, "apa yang dapat, saya bantu?"
"Saya rasa Tuan sudah tahu,' sahut Poirot, "bahwa menilik apa yang sudah terjadi
di atas kereta ini tadi malam, saya terpaksa mewawancarai semua penumpang kereta
secara bergiliran." "Tentu saja, itu dapat dimengerti," sahut Count Andrenyi dengan mudah. "Saya
bisa memahami posisi Tuan. Saya dan isteri saya juga tidak takut untuk membantu
Tuan-tuan sebatas kemampuan kami.
Sesungguhnyalah, kami berdua tidur nyenyak sekali dan tak
mendengar apa-apa." "Tuan tahu identitas korban?"
"Saya tahu orang Amerika yang badannya besar itu - laki-laki yang wajahnya tidak
menyenangkan. Biasanya ia duduk di meja itu kalau makan." Lalu Count Andrenyi
menganggukkan kepalanya ke arah meja yang biasa diduduki oleh Ratchett dan
MacQueen setiap kali makan.
"Ya, ya, Monsieur, Tuan memang benar. Tapi yang saya
maksudkan - apa Tuan tahu nama orang itu?"
"Tidak." Count Andrenyi kelihatan agak bingung mendengar pertanyaan Poirot.
"Tuan dapat mengetahui alamatnya dari paspornya, bukan?" ia balas bertanya
kepada Poirot. . "Nama di paspornya adalah Ratchett, " sahut Poirot. "Tapi itu, Tuan, bukan nama
aslinya. Dialah orang yang bernama Cassetti itu, yang bertanggung jawab atas
terjadinya beberapa peristiwa
penculikan yang paling biadab di Amerika."
Poirot sengaja memandang Count Andrenyi lekat-lekat sewaktu ia berkata begitu,
tapi sayangnya laki-laki bangsawan itu tak terpengaruh sedikit pun oleh berita
itu. Ia cuma membesarkan matanya sedikit.
"Ah!" serunya. "Mesti ada petunjuk, kalau begitu. Memang Amerika itu negeri yang
luar biasa." "Mungkin Tuan sendiri sudah pernah ke sana, Monsieur le Comte?"
"Saya tinggal di Washington satu tahun."
"Barangkali Tuan kenal pada keluarga Armstrong?"
"Armstrong - Armstrong - susah juga untuk mengingatnya. Tiap orang punya kenalan
banyak." Lalu ia tersenyum dan mengangkat bahu. "Tapi kembali lagi kita pada
persoalan yang sedang kita hadapi sekarang ini, Tuan-tuan," ujarnya. "Apa yang
dapat saya lakukan untuk membantu Tuan-tuan?"
"Kapan Tuan biasa pergi tidur, Monsieur le Comte" "
Mata Hercule Poirot melirik denahnya sebentar. Count dan
Countess Andrenyi mendiami kamar no. 12 dan 13, bersebelahan.
"Kami memerintahkan kondektur untuk menyiapkan salah satu tempat tidur sewaktu
kami masih bersantap malam di gerbong restorasi. Dan begitu kembali, kami masih
sempat duduk di atas tempat tidur yang satunya lagi
"Nomor berapa itu?"
"No. 13. Kami bermain piquet bersama. Kira-kira pukul sebelas isteri saya pergi
tidur. Kondektur datang hendak menyiapkan tempat tidur saya dan kemudian saya
sendiri pergi tidur. Saya tidur terus sampai pagi."
"Apa Tuan tahu kereta sudah tak jalan lagi?"
"Saya tidak tahu itu, sampai pagi."
"Dan isteri Tuan?"
Count Andrenyi tersenyum. "Isteri saya selalu minum obat tidur kalau bepergian
dengan kereta api. Ia selalu meminum dosis trional-nya seperti biasa."
Bicaranya terhenti. "Saya meminta maaf, saya tak bisa membantu Tuan. Menyesal
sekali." Poirot menyodorkan sehelai kertas dan sebatang pensil
kepadanya. "Terima kasih, Monsieur le Comte. Ini memang formalitas saja, tapi bolehkah saya
tahu nama dan alamat Tuan?"
Count itu menuliskan nama dan alamatnya dengan perlahan-
lahan dan hati-hati. "Yang satu ini juga baiknya saya tuliskan buat Tuan," ujarnya dengan nada ramah
dan menyenangkan. "Ejaan nama desa saya memang kelihatannya lebih susah,
terutama buat mereka yang tak tahu bahasa Inggris."
Disodorkannya kertas itu kembali kepada Poirot lalu berdiri.
"Isteri saya sudah tak perlu lagi datang ke mari," ujarnya lagi. "Dia tak akan
bisa mengatakan lebih dari apa yang telah saya katakan tadi."
Mata Poirot bersinar sedikit.
"Tentu saja, tentu saja," ujarnya. "Tapi sama seperti semuanya, tak ada kecuali
saya ingin mendengar sepatah dua patah kata saja dari Madame la Comtesse. "
"Saya jamin pasti tak ada gunanya." Sekonyong-konyong suara Count itu terasa
berwibawa dan setengah memaksa.
Poirot mengerjapkan matanya dan memandangnya dengan ramah.
"Memang ini cuma formalitas saja," ujar detektif Belgia itu lagi.
"Tapi tentunya Tuan sendiri juga tahu, ini penting buat laporan saya pribadi."
"Terserahlah kalau begitu."
Count Andrenyi terpaksa mengiyakan dengan hati geram. Setelah membungkuk dengan
sikap yang agak canggung kemudian ia pergi meninggalkan gerbong.
Poirot menjangkau sebuah paspor. Di situ tertulis nama Count dan gelar
kebangsawanannya. Dibacanya keterangan selanjutnya. "Disertai oleh isteri; dengan nama baptis
Elena Maria; nama gadisnya (sebelum menikah)
Goldenberg; umur dua puluh". Nampak secercah noda minyak menempel di situ,
mungkin terkena oleh petugas yang kurang cermat,
"Paspor diplomatik," ujar Tuan Buoc. "Kita harus hati-hati, Kawan, supaya jangan
terlalu mencurigai mereka. Ada kemungkinan kedua orang ini tak tahu apa-apa
tentang pembunuhan itu."
"Sabar, mon vieux. Saya akan lebih taktis lagi. Formalitas semata-mata."
Suara Poirot terhenti begitu Countess Andrenyi memasuki gerbong makan kereta.
Nampaknya ia takut-takut tapi tetap cantik.
"Tuan mau ketemu saya?"
"Cuma formalitas saja, Madame la Comtesse.
Poirot kemudian berdiri dehgan sopan dan sambil membungkuk dipersilakannya
wanita itu duduk di kursi yang di mukanya. "Cuma untuk menanyakan apakah Nyonya
melihat atau mendengar sesuatu tadi malam yang dapat memberi petunjuk buat soal
ini." "Saya tak tahu apa-apa, Monsieur. Saya tertidur pulas."
"Nyonya tidak dengar, misalnya, ada suara ribut-ribut di kamar sebelah" Wanita
Amerika yang menempati kamar itu jadi histeris dan memijit bel berkali-kali
memanggil kondektur."
"Saya tak dengar apa-apa, Monsteur. Tuan tahu sendiri, saya minum obat tidur."
"Ah! Saya mengerti. Baiklah kalau begitu, saya tak perlu menahan Nyonya lebih
lama lagi." Kemudian, begitu Countess Andrenyi bangun cepat-cepat dari kursinya,
terdengar kembali suara Poirot "Satu menit saja. Yang ini memang khusus. Nama
Nyonya semasa masih gadis, umur dan lain sebagainya itu - sudah benar?"
"Benar sekali, Monsieur. "
"Barangkali Nyonya mau menandatangani ini demi kebenaran itu semua, kalau
begitu." Wanita itu menuliskan tanda tangannya dengan cepat, tulisannya indah, halus dan
agak miring: Elena Andrenyi.
"Nyonya juga mendampingi suami Nyonya sewaktu ke Amerika dulu, Madame?"
"Tidak, Monsieur. " Ia tersenyum, wajahnya memerah sedikit.
"Waktu itu kami belum menikah, kami baru satu tahun kawin."
"Ah, ya, terima kasih, Madame. Ngomong-ngomong, suami Nyonya merokok?"
Countess Andrenyi memandang Poirot sejenak, menahan kakinya yang sudah siap
untuk melangkah. 'Ya. "Pipa?" "Bukan. Sigaret dan cerutu."
"Ah! Terima kasih."
Matanya menatap Poirot sejenak, dengan pandangan yang penuh ingin tahu. Mata
yang bagus, berwarna hitam dan berbentuk buah almond dengan bulu mata yang
lentik dan panjang, yang menempel di pipinya yang halus dan tak bercela.
Bibirnya yang anggun dan dipoles dengan warna merah tua itu kelihatan terbuka
sedikit. Ia tampak menggairahkan dan cantik.
"Kenapa Tuan bertanya begitu pada saya?"
"Madame, " ujar Poirot sambil mengangkat sebelah telapak tangannya, "detektif
harus menanyakan segala macam pertanyaan.
Umpamanya, apa warna pakaian tidur Nyonya?"
Countess Andrenyi memandang Poirot sebentar. Kemudian ia
tertawa. "Warnanya kuning jagung, dari bahan sutera. Memangnya itu benar-benar
penting?" "Penting sekali, Madame."
Kembali Countess itu bertanya dengan nada penuh curiga, "Kalau begitu, rupanya
Tuan benar-benar detekti?"
"Seperti yang Nyonya bilang."
"Saya kira tadinya tak ada detektif di kereta kita, sewaktu melewati Jugoslavia
- paling tidak sampai di Italia."
"Tuan ditugaskan oleh Liga Bangsa-Bangsa?"
"Saya bertugas untuk dunia, Madame," sahut Poirot diplomatis.
Kemudian ia menambahkan, "Saya sebenarnya cuma bekerja di London saja. Nyonya
bisa bahasa Inggris?" ujarnya lagi dalam bahasa itu.
"Ya, sedikit," Tekanan katanya kedengaran bagus.


Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poirot membungkukkan badannya sekali lagi.
"Kami tidak akan menahan Nyonya lama-lama, Madame. Nyonya lihat sendiri
sekarang, proses tanya jawab ini tidak terlalu menegangkankan?"
Countess yang cantik itu tersenyum, memiringkan kepalanya
sedikit memberi salam lalu meninggalkan tempat itu.
"Elle est jollie femme, " ujar Tuan Buoc dengan perasaan kagum.
Kemudian ia menarik napas. Baiklah, tapi itu tidak banyak menolong kita."
"Tidak," ujar Poirot. "Dua orang yang tak melihat apa-apa dan tak mendengar apa-
apa." "Bagaimana, apa kita periksa saja orang Italia itu sekarang?"
Poirot terdiam sejenak. Rupanya ia sedang asyik mengamat-amati noda minyak pada
paspor diplomatik orang Hongaria itu.
8. KESAKSIAN KOLONEL ARBUTHNOT
Poirot tiba-tiba tersadar dari keasyikannya, semangatnya bangun kembali. Kedua
bola matanya kembali bersinar sewaktu menatap Tuan Buoc.
"Ah! Kawan lamaku yang tersayang," ujarnya. "Kaulihat rupanya aku sudah jadi
orang yang sombong dan pemilih. Aku merasa
penumpang kelas satu mesti didahulukan daripada kelas dua. Berikut ini, kurasa
kita baiknya menanyai Kolonel Arbuthnot yang ganteng itu."
Karena ternyata bahasa Perancis kolonel itu sangat terbatas, maka Poirot
kemudian menanyainya dalam bahasa Inggris.
Nama Arbuthnot, umur, alamat dan pangkat militernya semuanya dicocokkan.
Kemudian Poirot meneruskan pemeriksaannya:
"Apakah kembalinya Tuan dari India ini dalam rangka cuti atau yang biasa kita
sebut en permission" "
Kolonel Arbuthnot, yang memang tak pernah tertarik akan istilah-istilah yang
dinamakan oleh orang asing, kemudian menjawab dengan sikap orang Inggris sejati
dengan sepatah kata saja, "Ya."
"Tapi Tuan tidak menumpang kapal P. & 0. itu?"
"Tidak." "Mengapa tidak?"
"Saya memilih jalan darat karena alasan tersendiri."
("Dan itu," sikapnya seolah-olah menunjukkan, "baru satu jawaban yang bagus
buatmu, kau monyet kecil yang usil.")
"Tuan datang langsung dari India?"
Kolonel itu menjawab dingin, "Saya singgah semalam untuk menjenguk Ur dari
Chaldees, dan tiga malam di Bagdad bersama A.O.C, seorang. teman lama."
"Tuan singgah di Bagdad tiga hari. Saya tahu Nona Debenham, wanita muda dari
Inggris itu juga datang dari Bagdad. Barangkali Tuan ketemu dia di sana?"
"Tidak, saya tidak ketemu. Saya pertama kali ketemu Nona Debenham sewaktu kita
sama-sama satu kereta dari Kirkuk ke Nissibin."
Poirot memajukan tubuhnya ke muka. Sikapnya terasa lebih
meyakinkan dan lebih terasa aneh daripada biasanya.
"Monsieur, saya mohon dengan sangat. Cuma Tuan dan Nona Debenham yang orang
Inggris di kereta ini. Jadi saya perlu menanyakan Tuan, pendapat yang satu
terhadap yang lainnya."
"Ngawur," sahut Kolonel Arbuthnot dingin.
"Bukan begitu. Tuan lihat sendiri, ada kemungkinan pembunuhan ini dilakukan oleh
seorang wanita. Si korban ditikam tidak kurang dari dua belas kali. Malah chef
de train itu sendiri bisa langsung mengatakan, 'Itu pekerjaan perempuan'. Jadi
kalau begitu, apa tugas saya yang pertama" Memberikan semua wanita di gerbong
Istambul-Calais itu apa yang orang Amerika namakan 'sekali-coba'. Namun untuk
mengetahui apa yang ada dalam hati seorang wanita Inggris, memang bukan
pekerjaan yang gampang. Orang Inggris sangat
tertutup, pandai menyembunyikan perasaan. Jadi kembali saya mohon dengan sangat
pada Tuan, demi keadilan. Orang macam apa Nona Debenham ini" Apa saja yang Tuan
ketahui tentang dia?"
"Nona Debenham," sahut kolonel itu dengan nada yang hangat sedikit, "adalah
wanita baik-baik." "Ah!" seru Poirot dengan wajah yang mencerminkan rasa syukur dan terima kasih.
"Jadi Tuan tidak mengira dia bisa terlibat dalam perkara ini?"
Kolonel Arbuthnot memandang detektif Belgia itu dengan sorot mata yang dingin.
"Saya benar-benar tidak tahu apa yang Tuan maksud," sahutnya lagi.
Pandangan mata kolonel itu kelihatannya sempat membuat malu Poirot. Ditundukkan
wajahnya dan mulai membalik-balikkan kertas-kertas di hadapannya.
"Ini semuanya sebenarnya sambil lalu saja," ujarnya. "Marilah kita ambil
praktisnya Saja dan langsung melihat kenyataannya.
Pembunuhan ini, kita semua yakin, terjadi pada pukul satu lewat
seperempat kemarin malam. Jadi sudah merupakan tugas rutin yang penting untuk
menanyai setiap penumpang kereta, apa yang ia kerjakan pada waktu itu."
"Ya, betul. Waktu pukul satu lewat seperempat, .etahu saya, saya sedang ngobrol
dengan orang muda Amerika itu - sekretaris si korban."
"Ah! Tuan yang di kamarnya atau dia yang di kamar Tuan?"
"Saya di kamarnya."
"Orang muda yang namanya MacQueen itu?"
"Ya." "Dia itu kawan, atau kenalan Tuan, barangkali?"
"Bukan, saya belum pernah melihatnya sebelum perjalanan ini.
Kami cuma berbicara sepintas lalu saja kemarin itu dan kebetulan kedua-duanya
punya minat yang sama. Sebenarnya sejak dulu saya tak begitu peduli pada orang
Amerika - saya tak suka pada mereka."
Poirot tersenyum, teringat akan kecaman MacQueen pada watak orang Inggris.
"Tapi saya senang pada orang Amerika yang satu ini. Rupanya ia punya ide yang
aneh-aneh tentang situasi di India. Di situlah letak kejelekan orang Amerika -
mereka begitu sentimentil dan idealistis.
Begitulah, kelihatannya ia sangat tertarik dengan cerita saya. Saya sudah punya
pengalaman hampir tiga puluh tahun di India.
Sebaliknya, saya mulai tertarik pada ceritanya tentang larangan minuman keras di
Amerika. Kemudian kita sampai pada pembicaraan tentang situasi politik dunia
pada umumnya. Saya terkejut sekali begitu melihat arloji saya sudah menunjukkan
pukul dua kurang seperempat."
"Jadi waktu itulah Tuan menghentikan pembicaraan?"
"Ya." "Lalu apa yang Tuan lakukan?"
"Kembali ke kamar saya sendiri dan tidur."
"Tempat tidur Tuan sudah dibereskan?"
'Ya. "Itu tempat tidur - coba saya lihat sebentar No. 15 - di sebelah tapi di ujung
gerbong makan kereta itu?"
"Ya." "Di mana kondektur kereta sewaktu Tuan kembali ke kamar Tuan?"
"Dia sedang duduk di ujung gang, di muka sebuah meja kecil.
Pada waktu itulah MacQueen memanggilnya, tepat sewaktu saya masuk ke kamar."
"Mengapa MacQueen memanggilnya?"
"Untuk menyiapkan tempat tidumya, saya rasa. Kamar itu belum disiapkan buat
malam itu." "Sekarang, Kolonel Arbuthnot, saya ingin Tuan mengingatnya baik-baik. Selama
Tuan asyik berbicara dengan Tuan MacQueen, apa ada orang yang lewat di koridor,
di muka pintu?" "Rasanya banyak juga. Saya tak memperhatikan."
"Ah! tapi yang saya maksudkan - katakanlah, satu setengah jam terakhir dari
pembicaraan tuan. Tuan lalu keluar dari kereta api di Vincovci, ya tidak?"
"Ya, tapi , cuma semenit. Ada angin puyuh. Dinginnya bukan main. Membuat orang
bersyukur kalau dapat kembali lagi ke kereta, meski biasanya kalau ada pemanasan
yang berlebihan orang lantas berpikir bahwa ada sesuatu yang tak beres."
Tuan Buoc mengeluh. "Susah sekali untuk mencoba
menyenangkan setiap orang di kereta ini," ujarnya. "Orang Inggris malah membuka
semua pintu dan jendela di kereta - kemudian datang yang lain dan langsung
menutup semuanya itu. Susah sekali."
Baik Poirot maupun Kolonel Arbuthnot tak ada yang mempedulikan keluhannya.
"Sekarang, coba ingat-ingat kembali, Monsieur," ujar Poirot menggugah kembali
semangat lawan bicaranya. "Di luar, luar biasa dinginnya. Tuan masuk kembali ke
kereta. Tuan duduk kembali, lalu merokok - mungkin sigaret biasa - mungkin juga
pipa." Kolonel Arbuthnot terdiam sejenak.
"Saya biasa mengisap pipa. MacQueen mengisap sigaret. "
"Kereta berjalan lagi. Tuan mengisap pipa Tuan. Kemudian Tuan ngobrol tentang
situasi di Eropa situasi dunia. Sementara itu waktu sudah larut malam.
Kebanyakan orang sudah tidur. Apakah tak ada seorang pun yang lewat di depan
pintu" Coba pikir."
Arbuthnot tampak mengernyitkan kening, berusaha untuk
mengingat-ingat. "Susah juga untuk mengatakannya," katanya. "Ketahuilah, saya benar-benar tidak
memperhatikan situasi waktu itu."
"Tapi Tuan punya cara-cara militer untuk memperhatikan sesuatu sampai sekecil-
kecilnya. Kelihatannya Tuan tidak memperhatikan, tapi kenyataannya malah
sebaliknya, begitulah kira-kira."
Kolonel itu nampaknya mengingat-ingat kembali, tapi kemudian ia menggelengkan
kepalanya. "Saya tak bisa mengatakannya. Saya tak ingat apakah ada orang lain yang melewati
koridor kecuali kondektur. Tunggu sebentar - ada seorang wanita, saya kira."
"Tuan melihatnya" Wanita itu muda atau sudah tua?"
"Saya tidak melihat mukanya. Saya bukan menghadap ke arahnya.
Cuma mendengar semilir bajunya dan bau harum."
"Bau harum" Harum yang bagaimana?"
"Begitulah, agak tajam, kalau saja Tuan tahu apa vang saya maksudkan. Maksud
saya, Tuan bisa menciumnya dari jarak seratus
meter. Coba bayangkan," kolonel itu kembali menambah bicaranya dengan agak
tergesa, "semestinya bau begitu sudah ada sejak sore hari. Jadi Tuan lihat
sendiri, seperti yang Tuan katakan barusan, itu cuma salah satu dari sekian
banyak hal yang Tuan perhatikan anpa Tuan sadari, begitulah kira-kira. Pada
suatu saat, di sore hari itu saya berbicara pada diri sendiri -'Perempuan memang
identik dengan bau harum - menempel menjadi satu'. Tapi persisnya kapan, saya
sendiri tak bisa memastikan - kecuali, ya begitulah, paling tidak sesudah kereta
melewati Vincovci. "Kenapa?" "Sebab saya ingat - waktu itu hidung saya mendengus-dengus mencium sesuatu -
tepat sewaktu saya sedang membicarakan
Rencana Pembersihan Lima Tahun dari Stalin yang ternyata gagal.
Saya tahu apa arti wanita bagi kedudukan wanita di Rusia pada waktu itu. Dan
saya juga sadar bahwa kita berdua belum pernah mengunjungi Rusia sampai
mendekati akhir pembicaraan kami itu."
"Apakah Tuan tak bisa menggambarkannya lebih jelas daripada itu?"
"Ti - tidak. Secara kasar dapat dikatakan itu terjadi dalam setengah jam yang
terakhir." "Sesudah kereta tidak jalan lagi?"
Lawan bicara Poirot tampak mengangguk. "Ya, saya hampir dapat memastikan
begitu." "Baiklah, kita lewatkan saja duh! persoalan itu!"
"Pernah ke Amerika, Kolonel Arbuthnot?"
"Belum pernah. Tidak ingin ke sana."
"Tuan pernah kenal dengan Kolonel Armstrong?"
"Armstrong - Armstrong - saya kenal dengan dua atau tiga orang yang punya nama
seperti itu. Pada tahun enam puluhan saya pernah berkenalan dengan Tommy
Armstrong - bukan dia kan yang Tuan maksudkan" Dan Selby Armstrong - ia mati
terbunuh di Somme." "Yang saya maksudkan, Kolonel Armstrong yang kawin dengan wanita Amerika, dan
yang anaknya satu-satunya diculik dan
dibunuh." "Ah, ya, saya ingat, saya pernah membacanya, peristiwa yang menggemparkan.
Rasanya saya belum pernah kenal betul dengan dia, meski sudah tentu saya tahu
siapa dia. Toby Armstrong.
Orangnya menyenangkan. Semua orang senang padanya. Karirnya memang hebat. Ia
punya tanda jasa V.C."
"Orang yang terbunuh tadi malam adalah orang vang bertanggung jawab terhadap
pembunuhan anak Kolonel Armstrong."
Wajah Arbuthnot tampak muram. "Kalau begitu menurut pendapat saya, babi itu
memang pantas antuk mendapat ganjarannya. Meski saya sendiri lebih suka kalau
bisa melihat dia digantung atau di kursi listrik, di sebelah sana itu."
"Sebenarnya, Kolonel Arbuthnot, Tuan lebih suka pada hukum ataukah peraturan
untuk membalas dendam pribadi?"
"Begitulah, biar bagaimana Tuan tidak boleh seenaknya menuruti dendam kesumat
Tuan sampai tikam-menikam satu sama lain seperti orang-orang Corsica atau Mafia-
mafia itu," sahut kolonel itu lagi.
"Tuan boleh saja punya pendapat sendiri, tapi pengadilan atas putusan jurilah
yang kedengaranya paling cocok."
Poirot memandangnya dengan penuh perhatian selama satu atau dua menit.
"Ya," ujarnya. "Saya yakin memang pandangan tuan seperti itu.
Baiklah, Kolonel Arbuthnot, saya rasa tak ada lagi yang ingin saya tanyakan pada
Anda. Rupanya memang Tuan sendiri tak bisa
mengingat sesuatu yang bisa mengagetkan Tuan di malam - atau apakah kita bisa
mengembalikan ingatan Tuan lagi sekarang ini, bahwa yang tuan lihat kemarin
malam itu sifatnya agak mencurigakan?" Arbuthnot tampak menimbang-nimbang satu au dua menit.
"Tidak," sahutnya. "Tidak ada satu pun. Kecuali -" tampak ia bimbang sebentar.
"Ya, teruskan, silakan, Tuan Arbuthnot."
"Ah, tidak ada sama sekali," sahut Kolonel Arthnot perlahan-lahan.
"Tapi tadi Tuan katakan segala sesuatu."
"Ya, ya. Teruskan."
"Oh! Tidak ada apa-apa. Soalnya sepele saja. Tapi sewaktu saya kembali ke kamar
saya, saya perhatikan pintu kamar yang di seberang kamar saya - yang di ujung
itu, Tuan tahu "Ya, no. 16." "Begitulah, pintunya rupanya belum tertutup betul. Dan penghuninya dari dalam
mengintip ke luar secara mencurigakan. Lalu dibukanya pintu itu dengan tiba-
tiba. Tentu saja saya tahu tak ada apa-apa di dalam kamar itu - tapi menurut
saya itu agak aneh. Maksud saya, memang biasa untuk membuka pintu dan
menyembulkan kepala ke luar kalau Tuan ingin melihat sesuatu. Tapi justru
caranya sewaktu mengintip dan, menyembulkan kepalanya ke luar itulah yang
menarik perhatian saya."
"Ya-aa," sahut Poirot ragu-ragu'.
"Sudah saya katakan itu tak ada artinya," ujar Arbuthnot setengah menyesali apa
yang telah dikatakannya pada detektif Belgia itu sebelumnya. "Tapi Tuan sendiri
tahu bagaimana suasana waktu itu -
pagi-pagi sekali - semuanya masih sepi. Suasananya seperti berbau kriminil -
seperti dalam cerita detektif. Meskipun sebenarnya tak ada apa-apanya."
Lalu ia bangkit. "Baiklah, kalau Tuan tak memerlukan saya lagi-"
"Terima kasih, Kolonel Arbuthnot, tak ada lagi"
Serdadu itu kelihatan ragu-ragu sebentar. Kebencian dan
kejijikannya yang mula-mula untuk ditanyai oleh orang asing ternyata sudah
luntur. "Mengenai Nona Debenham," ujarnya lagi dengan agak canggung.
"Saya berani jamin bahwa dia tidak apa-apa. Dia adalah pukka sahib.
" Mukanya terlihat agak merah sewaktu meninggalkan tempat itu.
"Apa artinya pukka sahib itu?" ujar Dr. Constantine dengan penuh rasa ingin
tahu. "Artinya," sahut Poirot menerangkan, "ialah bahwa ayah dan saudara laki-laki
Nona Debenham berasal dari sekolah yang sama seperti sekolah yang pernah
dimasuki Kolonel Arbuthnot, yakni ketiga-tiganya pernah mengenyam pendidikan
militer." "Oh!" seru Dr. Constantine kecewa. "Kalau begitu itu tak ada hubungan sama
sekali dengan pembunuhan itu."
"Persis," sahut Poirot lagi.
Detektif Belgia itu kembali jatuh dalam lamunan, ia membuat goresan-goresan
kecil di atas meja. Kemudian diangkatnya
kepalanya. "Kolonel Arbuthnot mengisap pipa," ujarnya.


Pembunuhan Di Orient Ekspress Murder On The Orient Express Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di dalam kamar Tuan Ratchett aku menemukan pembersih pipa.
Sedang si Ratchett itu sendiri cuma mengisap cerutu saja."
"Jadi kaupikir "Kolonel Arbuthnot itu satu-satunya penumpang pria di kereta yang mengaku
mengisap pipa. Dan dia juga tahu siapa Kolonel Armstrong - mungkin sebenarnya ia
tidak kenal betul, tapi dia tak mau mengakuinya."
"Jadi kaupikir ada kemungkinan?"
Poirot menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Justru itu tak mungkin - sangat tidak mungkin - bahwa seorang laki-laki Inggris
yang begitu terhormat dan tampaknya sedikit bodoh, bisa menikam musuhnya sampai
dua belas kali dengan pisau! Apakah kau tak merasa, Kawan, bahwa itu memang tak
mungkin?" "Justru itulah psikologinya," sahut Tuan Buoc.
"Dan orang harus menghormati psikologinya. Pembunuhan ini membawa-bawa tanda
tangan seseorang, dan yang jelas itu bukan tanda tangan Kolonel Arbuthnot. Tapi
baiknya sekarang kita periksa orang yang berikut."
Kali ini Tuan Buoc tak lagi menyinggung-nyinggung orang Italia itu. Namun ia
masih tetap mengingatnya.
9. KESAKSIAN TUAN HARDMAN
Penumpang gerbong kelas satu terakhir yang akan diwawancarai, adalah Tuan
Hardman, orang Amerika bertubuh tinggi besar dan pandai berbicara yang tempo
hari pernah duduk satu meja dengan orang Italia dan pelayan si korban.
Ia mengenakan celana yang agak kelonggaran, kemeja merah
muda, jepitan dasi yang mengkilap dan mulutnya tampak mengulum sesuatu ketika ia
memasuki gerbong restorasi. Ia memiliki pipi yang tembam dan segar, raut mukanya
agak kasar, namun memiliki kesan seseorang yang suka humor.
"Pagi, Tuan-tuan," ujarnya membuka pembicaraan. "Apa yang dapat saya lakukan
buat Tuan-tuan sekalian?"
"Tuan tentunya sudah mendengar perihal pembunuhan ini, Tu -
tuan - Hardman?" "Tentu saja. " Dipindahkannya permen karet dari satu sisi pipinya ke sisi lain
dengan cekatan. "Kami perlu menanyai semua penumpang kereta ini tanpa kecuali."
"Saya tak keberatan. Saya kira cuma itu satu-satunya cara untuk menangani soal
itu." Poirot memeriksa kembali sebuah paspor yang terletak di
hadapannya. "Tuan adalah Cyrus Bethman Hardman, warga negara Amerika, umur empat puluh satu
tahun, penjual keliling pita mesin tulis?"
"O.K. Itulah saya."
"Tuan sedang bepergian dari Istambul ke Paris?"
"Begitulah." "Keperluan?"' "Bisnis." "Tuan selalu bepergian di gerbong kelas satu, Tuan Hardman?"
"Ya, Tuan. Perusahaan yang membayar ongkos perjalanan saya."
Ia mengerdipkan matanya. "Sekarang, Tuan Hardman, kita sampai pada kejadian tadi malam."
Orang Amerika itu mengangguk.
"Apa yang bisa Tuan ceritakan tentang pembunuhan itu?"
"Persisnya tak ada sama sekali."
"Ah, sayang betul. Tuan Hardman, barangkali Tuan mau
menceritakan setepatnya apa yang Tuan lakukan tadi malam,
sesudah makan?" Untuk pertama kali itu si orang Amerika belum siap dengan
jawabannya. Akhirnya ia berkata, "Maaf, Tuan-tuan, tapi siapa kalian ini
sebenarnya" Supaya saya paham."
"Ini Tuan Buoc, direktur Compagnie des Wagons Lits. Ini adalah Tuan Dokter yang
memeriksa tubuh si korban."
"Dan Tuan sendiri?"
"Saya Hercule Poirot. Saya ditugaskan oleh perusahaan kereta api ini untuk
menyelidiki pembunuhan itu."
"Saya sudah pernah mendengar tentang Tuan," ujar Tuan Hardman. Ia terdiam satu
dua menit. "Rasanya lebih baik saya berterus terang saja."
"Lebih baik katakan saja dengan terus terang semua yang Tuan ketahui pada kami,"
sahut Poirot datar. "Tuan telah berkali-kali menanyakan apakah ada sesuatu yang saya ketahui. Tapi
celakanya tidak ada. Saya tak tahu apa-apa -
seperti ypng sudah saya katakan tadi. Tapi mestinya saya
mengetahui sesuatu. Itulah yang menyakitkan hati. Saya mesti mengetahui
sesuatu." "Silakan menerangkannya, Tuan Hardman."
Tuan Hardman mengeluh, memindahkan kembali permen karetnya ke sisi pipi yang
satunya, lalu merogoh sakunya. Pada saat itulah terasa ada perubahan pada
segenap pribadi. Ia tidak lagi tampak bersandiwara, dan kepribadiannya yang
sungguh-sungguh baru terlihat. Suara sengaunya semakin berkurang.
"Paspor itu cuma sekedar gertak sambal saja," ujarnya. "Inilah saya yang
sebenarnya." Poirot mengamati dengan teliti sehelai kartu kecil yang disodorkan di
hadapannya. Sementara Tuan Buoc ikut melihat lewat bahunya.
Mr. Cyrus B. Hardman McNeil's Detective Agency, New York City
Poirot mengenal nama itu sebagai salah satu agen detektif swasta terbaik dan
tersohor di New York City.
"Sekarang, Tuan Hardman," ujarnya kemudian, "kami ingin dengar apa artinya ini."
"Tentu saja. Begini jalannya. Saya sengaja ke Eropa untuk membuntuti sepasang
penjahat - tak ada hubungannya sama sekali dengan bisnis ini. Pengejaran itu
berakhir di Istambul. Saya menelegram boss saya dan mendapat perintah untuk
segera kembali, dan sebenarnya saya sudah ingin pulang ke New York, tapi keburu
mendapatkan ini." Kembali disodorkannya sehelai kertas, kali ini berupa surat.
HOTEL TOKATLIAN Tuan yang terhormat, Tuan telah ditunjuk oleh McNeill Detective Agency selaku detektif yang
ditugaskan mengawal saya. Harap melapor di kamar saya pada pukul empat sore ini.
S.E. Ratchett. "Eh bien" "Saya pergi melapor sesuai dengan jam yang telah ditentukan, dan Ratchett
menggambarkan situasinya kepada saya. Ia juga memperlihatkan sejumlah surat-
surat." "Apa ia kelihatannya ketakutan?"
"Ia berpura-pura supaya kelihatannya tidak demikian, tapi hatinya pasti bingung,
bukan main. Ia mengajukan usul kepada saya. Saya diharuskan menumpang kereta
yang sama dengannya ke Paris dan diminta untuk mengawasinya terus-menerus jangan
sampai ada orang yang membuntutinya. Begitulah, Tuan-tuan, saya memang menumpang
kereta yang sama, meskipun begitu rupanya ada juga orang yang. membuntutinya
dengan diam-diam tanpa setahu saya.
Dan bajingan itu berhasil membunuhnya. Tentu saja saya sakit hati mendengarnya.
Buat saya pribadi, hal itu tak menyenangkan."
"Tuan sudah diberi petunjuk tentang perjalanan yang harus Tuan lakukan?"
"Tentu saja. Semua itu sudah dikirimkannya melalui telegram.
Gagasan tentang saya harus bepergian dengan kereta api yang sama itu, malah
datangnya dari dia. Tapi celakanya pada permulaan saja rencana itu sudah gagal.
Satu-satunya tempat yang saya dapat ialah kamar no. 16, dan itu pun setelah saya
berusaha dengan susah payah. Saya kira kondekturnya memang sengaja menahan kamar
itu, untuk diberikan pada saya. Tapi rupanya memang di sana sini semua kamar-
kamar yang lain sudah diisi. Sewaktu saya mulai memeriksa keadaan di sekeliling,
saya baru melihat bahwa justru kamar no. 16
itu letaknya sangat strategis. Cuma ada gerbong restorasi tepat di muka gerbong tidur kereta Istambul-Calais, dan pintu yang menuju ke
peron di sebelah ujung, selalu kelihatan terkunci pada malam hari.
Satu-satunya jalan yang dapat dimasuki penjahat adalah melalui sisi ujung pintu
yang ke peron, atau sepanjang kereta dari arah samping, dan kalau sampai terjadi
begitupun, ia masih harus melewati pintu kamar tidur saya, tak boleh tidak."
"Saya kira, barangkali Tuan tak mempunyai gambaran bagaimana tampang si pembunuh
itu?" "Justru saya tahu seperti apa rupanya. Tuan Ratchett yang melukiskannya pada
saya." "Apa?" Ketiga orang itu memajukan tubuh mereka ke depan dengan
perasaan harap-harap cemas.
Hardman meneruskan ceritanya.
"Orangnya kecil - berkulit hitam - suaranya seperti perempuan.
Itulah ciri-ciri yang dikatakan orang tua itu. Ratchett juga mengatakan menurut
dugaannya pembunuhan itu tak bakal terjadi pada malam pertama. Kemungkinan besar
pada malam kedua atau ketiga."
"Rupanya ia tahu sesuatu," ujar Tuan Buoc menengahi.
"Ia lebih tahu dari apa yang telah dikatakannya pada
sekretarisnya," komentar Poirot sambil berpikir-pikir.
"Apa si korban juga sempat menceritakan bahwa ia punya musuh"
Apakah, misalnya, dia bercerita pada Tuan mengapa hidupnya terancam?"
"Justru bagian itu tak di ceritakannya pada siapa pun, juga kepada saya. Dia
cuma mengatakan ada orang yang ingin membalas dendam kepadanya."
"Orangnya kecil - berkulit hitam --bersuara seperti perempuan,"
ulang Poirot lagi sambil berpikir-pikir. Lalu, setelah mengarahkan pandangannya
kembali ke Hardman, ia berkata, "Sudah tentu Tuan tahu siapa dia, bukan?"
"Yang mana, Tuan?"
"Ratchett, Tuan mengenalnya?"
"Saya tidak mengerti maksud Tuan."
"Ratchett adalah Cassetti, pembunuh keluarga Armstrong. "
Tuan Hardman bersiul panjang.
"Benar-benar sebuah kejutan!" serunya. "Ya, Tuan! Tapi saya tidak mengenalnya.
Saya sedang bepergian ke pantai barat Amerika sewaktu peristiwa itu terjadi.
Saya rasa, saya pernah melihat fotonya di surat kabar-surat kabar, tapi rasanya
foto ibu saya sendiri pun mungkin tak dapat saya kenali kalau sudah dimuat di
koran. Jadi tak mengherankan kalau cuma beberapa orang saja yang mengenalnya
sebagai Cassetti." "Apa Tuan tahu seseorang yang terlibat dengan peristiwa Armstrong, yang kira-
kira cocok dengan gambaran itu: bertubuh kecil
- berkulit hitam dan bersuara seperti perempuan?"
Hardman mengingat-ingat untuk satu dua menit.
"Susah untuk mengatakannya. Hampir setiap orang yang ada sangkut pautnya dengan
perkara itu sudah meninggal semuanya."
"Masih ada seorang gadis lagi yang bunuh diri dari jendela, Tuan ingat?"
"Tentu saja. Itu titik tolak yang bagus. Gadis itu boleh dikatakan orang luar
dalam perkara itu. Barangkali ia punya hubungan tertentu.
Tapi Tuan harus ingat bahwa masih ada perkara-perkara lainnya di samping perkara
Armstrong itu. Memang Cassetti telah menangani kasus penculikan ini untuk
beberapa lama. Meski demikian, Tuan tak bisa memusatkan perhatian pada soal itu
saja." "Tapi, kami di sini punya alasan untuk mempercayai bahwa kejadian itu punya
hubungan dengan peristiwa Armstrong."
Mr. Hardman memandangnya dengan sinar mata penuh tanda
tanya. Poirot tak menjawab. Orang Amerika itu menggeleng.
"Saya tak bisa mengingat orang yang terlibat dalam perkara Armstrong, yang cocok
dengan ciri-ciri seperti yang Tuan gambarkan pada saya barusan," ujarnya lambat-
lambat. "Tapi yang jelas saya tidak terlibat di dalamnya dan karena itu saya tak
tahu banyak tentang itu."
"Baiklah, teruskan cerita Tuan, Tuan Hardman."
"Sedikit sekali yang dapat saya ceritakan. Saya tidur siang harinya dan malamnya
saya sengaja berjaga. Pada malam pertama tak ada yang mencurigakan. Seingat
saya, kemarin malam suasananya masih tetap sama. Saya sengaja membiarkan pintu
terbuka sedikit sambil mengawasi. Tapi tak ada orang lewat."
"Tuan yakin sepenuhnya, Tuan Hardman?"
"Saya benar-benar yakin. Tak seorang pun dari luar yang naik ke kereta, dan tak
ada yang menyusuri kereta dari gerbong samping.
Saya berani bersumpah."
"Tuan bisa melihat kondektur dari tempat Tuan?"
"Tentu saja. Ia duduk di kursi kecil, hampir berhadapan dengan pintu kamar
saya." "Apakah dia terus duduk seperti itu setelah kereta meninggalkan Vincovei?"
"Stasiun 'yang terakhir itu" Begitulah, ya, ya, menjawab dering bel yang dipijit
berkali-kali dan itu persis sesudah kereta berhenti dan-tidak bisa jalan lagi.
Dan setelah itu, ia melewati pintu kamar saya menuju ke gerbong samping dan diam
Satria Terkutuk Kaki Tunggal 2 Dewa Linglung 6 Dewi Lintah Pendekar Naga Mas 2
^