Pencarian

Pria Bersetelan Coklat 4

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie Bagian 4


Kami masih terus membahas rencana-rencana kami. Aku merasa yakin bahwa aku harus
punya pendirian. Aku tak bisa terus-menerus menghindari penjelasan. Penyelesaian
semua kesulitanku sudah ada padaku, meskipun hal itu tak kusadari selama ini.
Harian Daily Budget! Baik aku diam, maupun aku bicara, tak ada lagi pengaruhnya
atas diri Harry Rayburn. Dia telah dicap sebagai 'Pria Bersetelan Coklat', bukan
karena aku. Aku hanya bisa membantunya dengan cara pura-pura menentangnya.
'Kolonel' dan komplotannya tak boleh curiga bahwa antara aku dan laki-laki yang
telah mereka pilih untuk dijadikan kambing hitam dalam pembunuhan di Marlow itu,
ada rasa persahabatan. Sejauh pengetahuanku, wanita yang terbunuh itu belum
dikenali. Aku akan mengirim telegram pada Lord Nasby. Akan kuberitakan bahwa
wanita itu tak lain dari 'Nadina', penari Rusia kenamaan, yang telah
menggemparkan Paris sekian lamanya. Rasanya mustahil bahwa dia belum dikenali -
tapi lama-lama, dan aku makin banyak tahu tentang perkara itu, barulah kusadari
bahwa itu wajar sekali. Selama penampilannya yang begitu berhasil di Paris, Nadina tak pernah datang ke Inggris. Tak ada orang yang mengenalnya di London. Foto-foto korban Marlow
yang dimuat oleh surat-surat kabar, sangat kabur dan sukar dikenali, jadi
tidaklah mengherankan kalau tak ada yang tahu siapa dia. Apalagi, Nadina memang
bermaksud untuk sangat merahasiakan kunjungannya ke Inggris terhadap semua
orang. Sehari setelah pembunuhan itu, manajernya menerima surat dari penari itu,
di mana dikatakannya bahwa dia akan kembali ke Rusia, untuk suatu urusan pribadi
yang sangat mendesak. Dimintanya manajernya menyelesaikan kontrak yang
diputuskan itu sebaik mungkin.
Semua itu tentu saja baru kudengar kemudian. Dengan persetujuan Suzanne, kukirim
telegram panjang dari De Aar. Telegram itu tiba pada saat yang tepat (ini pun
baru kudengar kemudian). Harian Daily Budget sedang sangat mencari-cari berita
sensasi. Dugaanku itu diselidiki benar-tidaknya, dan ternyata benar. Maka Daily
Budget pun mendapat berita yang hebat. 'Korban Pembunuhan di Mill House dikenali
oleh Reporter Khusus Kami.' Dan seterusnya. 'Reporter Kami Berlayar Bersama si
Pembunuh. Pria Bersetelan Coklat. Dialah orangnya.'
Berita utama itu tentu saja ditelegramkan kembali ke surat-surat kabar di Afrika
Selatan. Tapi lama kemudian baru aku membaca tulisan-tulisanku sendiri! Aku
menerima izin dan instruksi penuh melalui telegram, waktu aku sedang berada di
Bulawayo. Aku menjadi staf resmi harian Daily Budget! Lord Nasby mengirim ucapan
selamat secara pribadi. Aku mendapat kepercayaan penuh untuk mencari jejak
pembunuh itu, dan aku, ya, aku sendirilah yang yakin bahwa pembunuhnya bukanlah
Harry Rayburn! Tapi biarlah dunia menyangka bahwa dialah orangnya - untuk saat
sekarang itulah yang terbaik.
BAB XXIV KAMI tiba di Bulawayo pagi-pagi benar pada hari Sabtu. Aku kecewa melihat tempat
itu. Di situ panas sekali dan aku benci hotelnya. Lagi pula, Sir Eustace sedang
marah-marah terus. Kurasa, binatang-binatang kayu kami itulah yang
menjengkelkannya - lebih-lebih jerapah yang besar itu. Binatang itu memang besar
sekali, lehernya luar biasa panjangnya, matanya lembut, dan ekornya terkulai.
Binatang itu punya karakter dan punya daya pikat. Telah timbul pertentangan
mengenai siapa yang memilikinya - aku atau Suzanne. Waktu membelinya kami masing-
masing membayar satu tiki. Suzanne menuntut untuk memilikinya dengan alasan
bahwa dia lebih tua dan karena dia telah menikah. Aku bertahan dengan alasan
bahwa akulah yang pertama melihat keindahannya.
Sementara itu harus kuakui bahwa binatang itu mengambil tempat banyak dalam
ruangan kami yang terbatas. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk membawa empat
puluh sembilan binatang yang bentuknya aneh-aneh, dan semuanya terbuat dari kayu
yang sangat rapuh. Dua orang kuli stasiun masing-masing dibebani dengan banyak
binatang - salah seorang di antaranya langsung mencecerkan beberapa ekor burung
unta dan membuat kepalanya patah. Melihat itu, Suzanne dan aku ikut membawa
beberapa sekemampuan kami. Kolonel Race ikut membantu, dan jerapah yang besar
itu kupaksakan ke tangan Sir Eustace. Bahkan Nona Pettigrew yang selalu menjaga
sikap, tak bisa lolos. Dia kebagian seekor kuda Nil yang besar dan dua prajurit
hitam. Kurasa Nona Pettigrew tak suka padaku. Mungkin aku ini seorang gadis
nakal yang lancang di matanya. Pokoknya, dia sedapat mungkin menghindari aku.
Anehnya, wajahnya rasanya pernah kulihat, tapi aku tak bisa ingat di mana.
Sepanjang pagi itu kami beristirahat, dan petang harinya kami naik mobil pergi
ke Matoppos untuk melihat makam Rhodes. Begitulah rencananya, tapi pada saat
terakhir, Sir Eustace menarik diri. Dia marah-marah seperti waktu kami tiba di
Cape Town pagi itu - di mana dia menghempaskan buah persik ke lantai dan buah itu
pecah! Rupanya dia punya sifat selalu tak senang bila tiba di suatu tempat pagi
hari. Dia menyumpahi kuli-kuli, mengumpat pelayan pada waktu sarapan, dan
memarahi seluruh staf hotel. Pasti dia sebenarnya ingin pula menyumpahi Nona
Pettigrew yang hilir-mudik saja dengan pensil dan buku notesnya. Tapi kurasa,
dia takkan berani melakukannya. Dia sama benar dengan sekretaris yang efisien
dalam buku-buku cerita. Untung aku masih sempat menyelamatkan Jerapah yang amat
kami sayangi. Kurasa Sir Eustace ingin sekali menghempaskannya ke tanah juga.
Berbicara tentang rencana ekspedisi kami tadi, setelah Sir Eustace menarik diri,
Nona Pettigrew berkata bahwa dia pun ingin tinggal di rumah, takut kalau-kalau
Sir Eustace nanti membutuhkannya. Dan pada detik terakhir, Suzanne memberi tahu
bahwa dia sakit kepala. Maka hanya aku dan Kolonel Race saja yang berangkat.
Dia orang yang aneh. Bila berada dalam kumpulan orang banyak, hal itu tak
kelihatan. Tapi kalau kita berduaan saja dengan dia, maka kepribadiannya pun
kelihatan sekali. Dia Jadi sangat pendiam. Namun diamnya itu malah berbicara
lebih banyak daripada kata-katanya.
Hari itu kami pergi ke Matoppos melalui semak-semak yang berwarna kuning
kecoklatan. Segala-galanya kelihatan sepi dan aneh - kecuali mobil kami. Kurasa
mobil itu termasuk buatan Ford yang pertama! Kain lapis joknya sudah tinggal
serat-seratnya saja, dan meskipun aku tak tahu apa-apa tentang mesin, aku bisa
Juga menebak bahwa mesinnya tak beres.
Sebentar kemudian keadaan alam berubah. Tampak batu-batu besar bulat, yang
disusun menjadi bentuk-bentuk yang aneh. Tiba-tiba aku merasa bahwa aku berada
dalam zaman primitif. Saat itu aku merasa manusia-manusia Neanderthal benar-
benar ada seperti anggapan Papa. Aku menoleh pada Kolonel Race.
"Pasti di sini pernah ada raksasa," kataku sambil merenung. "Dan anak-anaknya
sama seperti anak-anak zaman sekarang - bermain-main dengan kerikil yang ditumpuk-
tumpuk lalu dirobohkan lagi. Makin pandai mereka menyusunnya secara seimbang
makin senang mereka. Bila saya boleh menamai tempat ini, akan saya beri nama
Negeri Anak-anak Raksasa."
"Mungkin kau lebih mendekati kenyataan itu tanpa kausadari," kata Kolonel Race
serius. "Sederhana, primitif, luas - itulah Afrika."
Aku mengangguk membenarkannya.
"Anda menyukainya, bukan?" tanyaku.
"Ya. Tapi kalau kita tinggal di sini lama-lama - kita akan menjadi kejam. Kita
lalu menganggap hidup atau mati enteng saja."
"Ya," kataku, aku jadi teringat Harry Rayburn. Begitulah dia. "Tapi tidak kejam
terhadap yang lemah, bukan?"
"Pendapat orang berbeda tentang penilaian apa yang disebut 'yang lemah' itu,
Nona Anne." Nada bicaranya yang serius hampir membuatku terkejut. Aku merasa bahwa sedikit
sekali yang kuketahui tentang laki-laki di sampingku ini.
"Maksud saya, anak-anak dan anjing."
"Saya sama sekali tak pernah kejam terhadap anak-anak dan anjing. Apakah kaum
wanita tidak Anda golongkan pada 'yang lemah' itu?"
Aku berpikir. "Tidak, saya rasa tidak - meskipun mereka memang lemah. Maksud saya zaman sekarang
ini. Papa selalu berkata bahwa pada awalnya, pria dan wanita berkelana di dunia
bersama-sama, dengan kekuatan yang sama - seperti singa dan harimau."
"Dan jerapah?" sambung Kolonel Race dengan licik.
Aku tertawa. Semua orang mengolok-olokkan jerapah itu.
"Juga jerapah. Soalnya jerapah juga binatang nomad. Baru setelah manusia menetap
dalam kelompok-kelompok, dan kaum wanita menjalankan pekerjaan tertentu
sementara pria mengerjakan yang lain, wanita lalu menjadi lemah. Tapi
sebenarnya, pada dasarnya, manusia tetap sama - maksud saya, kita merasa sama. Dan
oleh karena itulah wanita memuja kekuatan fisik kaum pria, yang pernah pula
mereka miliki tapi kemudian tidak lagi."
"Jadi sebenarnya semacam pemujaan terhadap leluhur?"
"Ya, semacam itulah."
"Dan apakah Anda benar-benar percaya bahwa memang begitu keadaannya" Maksudku,
mengenai pemujaan oleh kaum wanita itu?"
"Saya rasa itu benar - bila kita mau jujur. Kita berpikir bahwa yang kita kagumi
adalah sifat-sifat moral, padahal bila kita jatuh cinta, kita kembali pada sifat
primitif di mana sifat-sifat fisiklah yang kita anggap paling penting. Tapi saya
rasa bukan sampai di situ saja; bila kita hidup dalam keadaan primitif, itu tak
apa-apa. Tapi kita tidak hidup dalam alam primitif - jadi akhirnya, hal-hal yang
lain yang menang. Apa-apa yang seolah-olah dikalahkan, itu yang sebenarnya
selalu menang, bukan" Mereka menang dalam hal yang terpenting. Sebagaimana
dikatakan dalam Injil, bagaimana kita kehilangan kehidupan kita dan kemudian
menemukannya kembali."
"Akhirnya kita jatuh cinta," kata Kolonel Race hati-hati, "lalu putus cinta,
itukah maksudmu?" "Tidak hanya itu, tapi kira-kira begitulah."
"Tapi kurasa kau belum pernah putus cinta, Nona Anne?"
"Memang," kuakui terus terang.
"Juga belum pernah jatuh cinta?"
Aku tak menjawab. Mobil tiba di tempat tujuan, dan percakapan kami terhenti. Kami turun, lalu
mulailah kami mendaki dengan lambat ke puncak yang bernama World's View. Lagi-
lagi aku merasa tak enak bersama Kolonel Race. Pikirannya diselubunginya dengan
baik di balik mata hitamnya yang tak tertembusi. Aku agak takut padanya. Dia
selalu membuatku takut. Aku tak pernah tahu bagaimana aku harus bersikap
terhadapnya. Kami mendaki tanpa berkata-kata, sampai kami tiba di tempat di mana Rhodes
terbaring, dikawal oleh batu-batu raksasa. Suatu tempat yang aneh dan
mengerikan, yang tak banyak dikunjungi manusia, dan selalu menyanyikan lagu-lagu
tentang keindahan yang masih mumi.
Beberapa lamanya kami duduk di situ tanpa berbicara. Lalu kami turun lagi, tapi
kami agak menyimpang dari jalan semula. Kadang-kadang kami harus merayap dengan
susah-payah, dan. suatu kali kami tiba di suatu lereng atau karang tajam yang
hampir tegak lurus. Kolonel Race turun dulu, lalu berbalik akan membantuku.
"Sebaiknya kuangkat kau," katanya tiba-tiba, lalu diangkatnya aku dengan gerak
cepat. Aku merasakan kekuatan tenaganya, waktu aku diletakkannya kembali dan kemudian
dilepaskan dari cengkeramannya. Dagingnya dari besi dan ototnya dari baja. Lagi-
lagi aku merasa takut, terutama karena dia tak bergerak untuk menjauh. Dia
berdiri tepat di hadapanku, menatap wajahku.
"Apa sebenarnya yang kaulakukan di sini, Anne Beddingfeld?" tanyanya mendadak.
"Saya seorang gipsy yang sedang mengembara."
"Ya, itu benar sekali. Menjadi koresponden surat kabar, itu hanya dalih saja,
bukan" Kau tidak berjiwa wartawan. Kau bekerja hanya bagi dirimu sendiri - kau
ingin menggapai kehidupan. Tapi bukan hanya itu."
Aku disuruhnya mengatakan siapa aku" Aku takut - takut. Aku menatap wajahnya
lurus-lurus. Mataku tak mampu menyimpan rahasia seperti matanya, tapi mataku
bisa menyatakan perang pada musuh.
"Dan Anda sendiri, apa yang Anda kerjakan di sini, Kolonel Race?" tanyaku
menantang. Sesaat kupikir dia tidak akan menjawab. Dia kelihatan terkejut. Akhirnya dia
berbicara, dan agaknya kata-katanya membuatnya senang.
"Mengejar ambisi," katanya. "Itu saja - mengejar ambisi. Ingatlah, Nona
Beddingfeld, karena ambisius setan jatuh ke dalam neraka."
"Saya dengar," kataku lambat-lambat, "Anda seorang petugas Pemerintah - bahwa Anda
bekerja pada Dinas Rahasia. Benarkah itu?"
Entah hanya fantasiku saja, atau mungkin dia memang bimbang sesaat sebelum dia
menjawab. "Percayalah, Nona Beddingfeld, bahwa saya kemari semata-mata sebagai seorang
pribadi yang bepergian untuk kesenanganku sendiri."
Setelah jawabannya kupikirkan lagi, kusadari bahwa kata-katanya itu punya arti
ganda. Mungkin memang begitu yang diharapkannya.
Kami kembali ke mobil tanpa berbicara. Setengah perjalanan kembali ke Bulawayo,
kami berhenti untuk minum teh di suatu bangunan yang agak primitif, di pinggir
jalan. Pemiliknya sedang menggali di kebun, dan kelihatan jengkel karena
diganggu. Tapi dengan ramah dijanjikannya untuk berusaha memberi kami minum.
Setelah menunggu lama sekali, dibawakannya kami sedikit kue yang sudah setengah
basi, dan teh yang hangat-hangat kuku. Lalu orang itu menghilang lagi di
kebunnya. Baru saja dia keluar, kami langsung dikerubuti kucing. Ada enam ekor jumlahnya,
semua mengeong-ngeong memelas. Suara mereka menulikan telinga. Kujatuhkan
beberapa potong kue. Mereka melahapnya dengan rakus. Kutuang semua susu yang ada ke sebuah lepek, dan
kucing-kucing itu pun berebutan menjilatinya.
"Aduh," seruku dengan rasa marah, "kucing-kucing ini kelaparan sekali! Jahat
sekali! Tolong, tolong pesankan susu lagi dan beberapa potong kue."
Tanpa berkata apa-apa Kolonel Race pergi memenuhi perintahku. Kucing-kucing itu
mulai mengeong lagi. Kolonel Race kembali dengan sebuah mangkuk besar berisi
susu. Kucing-kucing itu menjilatinya sampai licin.
Aku bangkit dengan penuh tekad.
"Saya akan membawa pulang semua kucing itu - saya tidak akan meninggalkannya di
sini." "Jangan berbuat yang bukan-bukan, Anak manis. Kau tidak akan bisa membawa enam
ekor kucing dan lima puluh binatang kayu."
"Biar saja binatang-binatang kayu itu. Kucing-kucing ini hidup. Saya akan
membawanya pulang." "Kau tak boleh berbuat begitu." Aku menatapnya dengan benci, tapi dia berkata
lagi, "Kau pasti menganggapku kejam - tapi kita tak bisa hidup dengan merasa
sentimentil terhadap hal-hal yang begini. Tak ada gunanya berkeras - aku tetap
melarangmu membawa binatang-binatang itu. Ingat ini negeri primitif, dan aku
lebih kuat daripadamu."
Aku selalu mau mengakui kekalahanku. Aku kembali ke mobil dengan menangis.
"Mungkin kebetulan hari ini mereka sedang kekurangan makanan," katanya
menghibur. "Istri laki-laki itu sedang pergi ke Bulawayo untuk membeli
persediaan. Jadi semuanya akan beres. Apalagi, kau pasti tahu bahwa dunia ini
penuh dengan kucing-kucing yang kelaparan."
"Jangan - tak usah dijelaskan," kataku dengan kasar.
"Aku mengajarkan padamu untuk menyadari kehidupan sebagaimana adanya. Aku
mengajarimu untuk bersikap keras dan tak mengenal belas kasihan - seperti aku.
Itulah rahasia kekuatan - dan rahasia keberhasilan."
"Aku lebih suka mati daripada jadi keras," kataku geram.
Kami masuk ke mobil dan berangkat. Perlahan-lahan aku menguatkan diriku lagi.
Aku sangat terkejut waktu tiba-tiba dia menggenggam tanganku.
"Anne," katanya dengan lembut, "aku menginginkanmu. Maukah kau kawin denganku?"
Aku terpana. "Oh, tidak," gagapku. "Tak bisa."
"Mengapa tidak?"
"Saya suka pada Anda, tapi tidak untuk itu. Saya tak pernah berpikir tentang
Anda dengan cara seperti itu."
"Oh, begitu. Itukah satu-satunya alasanmu?"
Aku harus jujur. Aku tahu bahwa itu harus kulakukan terhadapnya.
"Bukan," kataku, "saya mencintai pria lain."
"Oh, begitu," katanya lagi. "Lalu apakah itu berawal - waktu aku pertama kali
melihatmu - di Kilmorden?"
"Tidak," bisikku. "Setelah itu."
"Oh, begitu," katanya untuk ketiga kalinya, tapi kali ini dalam suaranya
terdengar sesuatu yang membuatku menoleh padanya. Wajahnya lebih keras, tak
pernah aku melihatnya seperti itu.
"Apa - apa maksud Anda?" tanyaku ragu.
Dia memandangku dengan tajam, dengan sikap menguasai.
"Tak apa-apa - hanya sekarang aku tahu apa yang harus kuperbuat."
Bergidik aku mendengar kata-katanya itu. Di balik kata-kata itu terdengar adanya
tekad yang tak aku mengerti - dan aku jadi takut.
Tak ada di antara kami yang berbicara lagi, sampai kami tiba di hotel. Aku
langsung pergi mendapatkan Suzanne. Dia sedang berbaring di tempat tidur,
membaca. Sama sekali tak kelihatan bahwa dia sakit kepala.
"Di sinilah terbaring si pengganggu orang-orang yang sedang bercintaan,"
katanya. "Dengan nama lain, si pelindung yang tahu diri. Tapi, Anne, ada apa?"


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangisku meledak. Aku lalu bercerita tentang kucing-kucing tadi - aku merasa tak adil untuk
bercerita tentang Kolonel Race. Tapi Suzanne penglihatannya tajam. Kurasa dia
melihat bahwa sebenarnya ada yang lebih dari itu.
"Kau tak masuk angin, kan, Anne" Memang tak masuk akal, mengingat udara yang
begini panas. Tapi kau kelihatan menggigil."
"Tak apa-apa," kataku. "Hanya sarafku saja - atau barangkali ada orang yang
menginjak kuburku. Aku terus-menerus merasa akan terjadi sesuatu yang
mengerikan." "Jangan bodoh," kata Suzanne tegas. "Mari kita berbicara tentang sesuatu yang
menarik, Anne, mengenai berlian-berlian itu - "
"Mengapa berlian-berlian itu?"
"Aku yakin bahwa permata-permata itu aman dalam tanganku. Setidaknya sampai saat
ini. Tak seorang pun menyangka bahwa permata-permata itu ada di antara barang-
barangku. Tapi karena orang-orang sekarang sudah tahu bahwa kau dan aku
bersahabat, aku pasti juga akan dicurigai."
"Tapi tak seorang pun tahu bahwa berlian-berlian itu ada dalam tabung film itu,"
bantahku. "Itu suatu tempat penyembunyian yang sempurna, dan kurasa kita tak
bisa berbuat lebih baik."
Dia membenarkan aku dengan ragu, tapi dikatakannya bahwa kami masih akan
membicarakannya lagi setiba kami di Air Terjun.
Kereta api kami berangkat pukul sembilan. Sir Eustace masih marah-marah, dan
Nona Pettigrew kelihatan menahan diri. Kolonel Race sudah seperti biasa lagi.
Aku jadi merasa bahwa aku hanya mengkhayalkan percakapan yang terjadi dalam
perjalanan kami pulang itu.
Malam itu aku tidur di tempat tidur yang keras, dan tak henti-hentinya diganggu
mimpi yang mengerikan. Aku bangun dengan kepala pusing. Aku lalu pergi ke
gerbong terbuka. Di situ terasa segar dan segalanya tampak indah. Sejauh mata
memandang, tampak bukit-bukit penuh hutan yang kelihatan bergoyang-goyang. Aku
suka melihatnya - kurasa itu lebih indah daripada semua tempat yang pernah
kulihat. Saat itu aku merasa, alangkah asyiknya bila aku punya pondok kecil di
tengah-tengah semak-semak itu dan hidup di situ untuk selama-lamanya -
selamanya.... Menjelang setengah tiga, Kolonel Race memanggilku dari 'kantor'. Ditunjukkannya
selapis kabut putih berbentuk buket, yang melayang-layang di udara di atas
sebagian dari semak-semak itu.
"Itu semburan air terjun," katanya. "Kita hampir sampai ke sana."
Aku masih diliputi perasaan aneh dan mengganggu, gara-gara mimpiku semalam. Aku
dilanda perasaan yang kuat sekali, bahwa aku sudah pulang.... Pulang ke tempat
ini! Padahal aku belum pernah kemari - atau mungkinkah aku berada di sini, dalam
mimpiku" Kami berjalan dari stasiun kereta api ke hotel. Bangunan itu besar, bercat
putih, dan seluruhnya dipasangi kawat halus pencegah nyamuk. Di tempat itu tak
ada jalan, tak ada rumah-rumah. Kami keluar ke beranda dan berseru kagum. Di
sana, kira-kira setengah mil dari tempat kami berdiri, tampaklah Air Terjun.
Belum pernah aku melihat sesuatu yang seagung dan seindah itu - tidak akan pernah
lagi. "Anne, kau kelihatan aneh," kata Suzanne, waktu kami sedang makan siang. "Aku
belum pernah melihatmu seperti sekarang."
Dia menatapku dengan pandangan ingin tahu.
"Apa iya?" aku tertawa. Tapi aku merasa bahwa tawaku tak wajar. "Itu karena aku
suka semuanya ini." Dahinya kelihatan agak berkerut - dia cemas.
Ya, aku memang bahagia, tapi kecuali itu aku juga punya perasaan aneh bahwa aku
sedang menantikan sesuatu - sesuatu yang akan terjadi secepatnya. Aku merasa
tercekam - aku gelisah. Setelah minum teh, kami keluar berjalan-jalan. Kami naik lori yang didorong oleh
orang-orang kulit hitam di atas rel, melalui jalan-jalan setapak, ke jembatan.
Pemandangannya indah sekali, jurangnya lebar dan air terjun dengan derasnya.
Tampak tirai kabut dan semburan di hadapan kami, yang sekali-sekali terkuak
sebentar, memperlihatkan arus air yang akan terjun - kemudian terkatup lagi. Suatu
misteri yang tak tertembusi. Menurut aku, itulah yang merupakan pesona air
terjun itu - yaitu keadaannya yang tak mudah dimengerti. Kita selalu merasa bahwa
kita akan melihat sesuatu - tapi bayangan kita itu tak pernah terjadi.
Kami menyeberang melalui jembatan, dan berjalan perlahan-lahan di jalan setapak
yang di kiri-kanannya dibatasi dengan batu putih. Jalan setapak itu menuju ke
tepi jurang yang dalam. Akhirnya kami tiba di tempat terbuka. Di sebelah kiri
ada jalan setapak yang menuju ke bawah, ke jurang.
"Ini namanya jurang palma," Kolonel Race menjelaskan. "Mau kalian turun ke sana"
Atau besok saja" Memang makan waktu lama menuruninya, dan lebih lama lagi
mendakinya kembali."
"Besok saja," kata Sir Eustace dengan tegas. Aku tahu bahwa dia sama sekali tak
suka olahraga berat. Sekembali dari situ, Sir Eustace berjalan di depan. Di jalan kami berpapasan
dengan seorang pria pribumi yang bertubuh bagus, berjalan melenggang. Di
belakangnya berjalan seorang wanita menyunggi semua alat rumah tangga bertumpuk-
tumpuk di atas kepalanya! Termasuk wajan.
"Ah, aku selalu lupa membawa kamera pada saat aku membutuhkannya," gerutu
Suzanne. "Kesempatan seperti itu akan sering Anda peroleh, Nyonya Blair," kata Kolonel
Race. "Jadi tak usah mengeluh."
Kami tiba kembali di jembatan.
"Maukah kalian pergi ke hutan pelangi sekarang?" kata Kolonel Race lagi. "Atau
apakah kalian takut menjadi basah?"
Suzanne dan aku ikut. Sir Eustace kembali ke hotel. Aku agak kecewa akan hutan
pelangi itu. Aku tak melihat pelangi, dan kami basah kuyup.
Tapi sekali-sekali kami bisa melihat sekilas Air Terjun yang ada di seberangnya,
dan kami pun menyadari betapa luasnya Air Terjun itu. Ah, Air Terjun tercinta,
betapa aku mencintai dan memujamu untuk selama-lamanya!
Kami kembali ke hotel. Kami hanya sempat berganti pakaian untuk makan malam.
Kelihatannya Sir Eustace tak suka pada Kolonel Race. Suzanne dan aku mengajaknya
bergurau dengan halus, tapi aku merasa tak puas.
Setelah makan malam, dia langsung masuk ke kamar duduknya, dengan menyeret Nona
Pettigrew. Suzanne dan aku bercakap-cakap sebentar dengan Kolonel Race. Kemudian
sambil menguap lebar, Suzanne berkata bahwa dia ingin tidur. Aku tak mau
ditinggalkan berduaan dengan Kolonel Race, maka aku bangkit juga dan pergi ke
kamarku. Tapi perasaanku masih kacau sekali, dan aku belum bisa tidur. Aku bahkan tidak
mengganti pakaianku. Aku hanya bersandar di kursi, dan membiarkan diriku
melamun. Sementara itu aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang makin lama
makin mendekat.... Terdengar pintu kamarku diketuk. Aku terkejut. Aku bangkit dan berjalan ke
pintu. Seorang anak laki-laki berkulit hitam mengulurkan secarik kertas. Surat
itu dialamatkan padaku. Aku tak kenal tulisan tangan siapa itu. Setelah
mengambilnya, aku masuk kembali. Lama aku berdiri dan memegangi kertas itu.
Akhirnya surat itu kubuka. Surat itu pendek sekali!
"Aku harus bertemu denganmu. Aku tak berani ke hotel. Tolong datang ke padang
rumput di dekat jurang palma. Kuharap kau mau datang, demi kenang-kenangan Kamar
17. Dari laki-laki yang kaukenal dengan nama Harry Rayburn."
Jantungku berdebar keras hingga aku merasa tercekik. Jadi dia ada di sini! Oh,
aku tahu - sudah tahu selama ini! Aku selalu merasa dia ada di dekatku. Sama
sekali tanpa kusadari, aku telah mendatangi tempat persembunyiannya.
Kuikatkan sehelai scarf di kepalaku, dan aku menyelinap keluar dari pintu. Aku
harus hati-hati. Dia sedang dikejar-kejar. Tak seorang pun boleh melihatku
menjumpainya. Aku mengendap-endap pergi ke kamar Suzanne. Dia sudah tidur
nyenyak. Kudengar bunyi napasnya yang teratur.
Bagaimana dengan Sir Eustace" Aku berhenti di luar pintu kamar duduknya. Dia
sedang mendiktekan surat pada Nona Pettigrew. Kudengar suara datar wanita itu
mengulangi, "Oleh karenanya saya memberanikan diri untuk mengusulkan, bahwa
dalam menangani masalah buruh kulit berwarna - " Dia berhenti sebentar supaya Sir
Eustace melanjutkan, dan kudengar Sir Eustace menggeram marah.
Aku menyelinap lagi. Kamar Kolonel Race Kosong. Aku tidak melihatnya di ruang
duduk umum. Padahal dialah yang paling kutakuti! Tapi aku tak bisa membuang
waktu. Aku cepat-cepat menyelinap keluar hotel, dan aku melewati jalan setapak
ke arah jembatan. Kuseberangi jembatan itu, dan menunggu dalam gelap. Bila ada orang yang
membuntutiku, aku pasti bisa melihatnya menyeberangi jembatan itu. Tapi waktu
berlalu, dan tak ada orang yang datang. Aku tidak dibuntuti. Aku berbalik, lalu
melewati jalan setapak lagi ke padang rumput. Baru enam langkah aku maju, tiba-
tiba aku berhenti. Kudengar suara gemeresik di belakangku. Tak mungkin seseorang
yang membuntutiku dari hotel. Dia pasti seseorang yang sudah berada di sini,
menunggu aku. Dan pada saat itu juga, tanpa sebab dan alasan, melainkan hanya berdasarkan
keyakinan naluriku saja, aku tahu bahwa akulah yang terancam. Perasaan itu sama
dengan yang kuhayati di Kilmorden malam itu - naluri yang memperingatkan akan
adanya bahaya. Aku menoleh dengan tajam ke balik bahuku. Tak ada apa-apa. Aku maju selangkah,
dua langkah. Lagi-lagi kudengar bunyi gemeresik itu. Sambil tetap berjalan, aku
menoleh ke belakang lagi. Sesosok tubuh laki-laki keluar dari kegelapan. Dia
tahu bahwa aku melihatnya. Dia melompat ke depan dan mengejarku.
Hari terlalu gelap untuk mengenali orang itu. Aku hanya bisa melihat bahwa dia
tinggi, dan dia orang Eropa, bukan orang pribumi. Aku lari sekuat tenaga.
Kudengar dia mengejarku. Aku lari makin cepat, sambil terus memperhatikan batu-
batu putih penunjuk jalan, supaya aku tahu ke mana aku harus menuju, karena
malam itu gelap tanpa bulan.
Lalu tiba-tiba kakiku kehilangan tempat berpijak. Kudengar suara orang di
belakangku itu tertawa. Tertawa jahat sekali. Tawa itu terdengar jelas,
sementara aku jatuh terjungkal - terus - terus ke bawah menuju kehancuran.
BAB XXV PERLAHAN dan dengan rasa sakit, aku sadar. Terasa kepalaku sakit, dan bagian
bawah lengan kiriku nyeri waktu aku mencoba bergerak. Segalanya terasa samar
bagaikan dalam mimpi. Gambaran-gambaran mimpi buruk terbayang di hadapanku. Aku
merasa jatuh - jatuh lagi. Suatu saat, wajah Harry Rayburn seakan-akan
mendatangiku dari balik kabut. Rasanya seperti sungguh-sungguh. Lalu wajah itu
menjauh lagi dan mengejekku. Pada saat lain, rasanya seseorang meletakkan
cangkir ke bibirku dan aku minum. Kemudian tampak lagi wajah hitam menyeringai
padaku - wajah setan, itu perasaanku dan aku berteriak. Lalu mimpi-mimpi - mimpi-
mimpi panjang yang mengerikan, di mana aku sia-sia mencari Harry Rayburn untuk
memberinya peringatan - peringatan tentang apa" Aku sendiri tak tahu. Tapi bahaya
itu ada - suatu bahaya besar - dan hanya aku sendiri yang bisa menyelamatkannya.
Kemudian gelap lagi. Kegelapan yang kusyukuri, dan tidur nyenyak.
Akhirnya aku bangun lagi dengan penuh kesadaran. Mimpi buruk yang panjang itu
telah berakhir. Aku ingat betul apa yang telah terjadi: kepergianku yang
terburu-buru dari hotel untuk menemui Harry, laki-laki dalam gelap, dan saat
mengerikan itu, yaitu saat aku jatuh....
Entah karena suatu keajaiban, atau karena sebab lain, aku tak mati. Aku luka-
luka, aku kesakitan dan lemah sekali, tapi aku masih hidup. Tapi di manakah aku"
Dengan susah-payah kugerakkan kepalaku untuk melihat sekelilingku. Aku berada
dalam sebuah kamar kecil berdinding kayu kasar. Di dinding bergantungan kulit-
kulit binatang dan beberapa buah gading. Aku terbaring di sebuah dipan yang
kasar, diselimuti dengan kulit binatang pula. Lengan kiriku dibalut, rasanya
kaku dan tak nyaman. Mula-mula kupikir bahwa aku seorang diri, tapi kemudian
kulihat sosok seorang laki-laki yang duduk di antara aku dan jendela. Dia sedang
memandang ke luar jendela. Dia tak bergerak, seolah-olah dia terukir dari kayu.
Rasanya aku mengenali bentuk kepalanya yang berambut hitam dan dipangkas pendek
itu. Tapi aku tak mau disesatkan oleh khayalanku lagi. Tiba-tiba dia menoleh,
dan aku menahan napasku. Dia adalah Harry Rayburn. Ya, Harry Rayburn sendiri.
Dia bangkit lalu mendatangiku.
"Merasa lebih enak?" tanyanya agak kaku.
Aku tak mampu menjawab. Air mataku mengalir deras. Aku masih lemah, namun
kugenggam tangannya dengan kedua belah tanganku. Alangkah senangnya bila aku
bisa mati seperti ini, sementara dia berdiri dan memandangi aku dengan pandangan
mesra. "Jangan menangis, Anne. Jangan menangis. Kau sudah selamat. Tak ada orang yang
bisa menyakitimu lagi."
Dia pergi mengambil sebuah cangkir dan membawanya padaku.
"Minum sedikit susu ini."
Aku minum dengan patuh. Dia berbicara dengan nada rendah dan membujuk, seolah-
olah berbicara dengan anak kecil.
"Jangan bertanya apa-apa dulu sekarang. Tidurlah lagi. Nanti kau akan menjadi
lebih kuat. Aku akan pergi kalau kau lebih suka."
"Jangan," kataku mendesak. "Jangan, jangan."
"Kalau begitu aku akan menungguimu."
Diambilnya sebuah bangku kecil, diletakkannya di sisiku lalu duduk di situ.
Tanganku digenggamnya, dan dia membujuk dan menghiburku. Lalu aku pun tertidur
lagi. Waktu itu mungkin malam. Waktu aku bangun lagi, matahari sudah tinggi. Aku
seorang diri dalam pondok itu, tapi waktu aku bergerak, seorang wanita pribumi
yang tua datang berlari. Wajahnya seram dan mengerikan, tapi dia tertawa
membesarkan hatiku. Dibawakannya aku sebaskom air, lalu dibantunya aku mencuci
muka dan tanganku. Lalu dibawakannya aku sup semangkuk besar. Kuhabiskan sup itu
sampai bersih! Aku menanyakan beberapa pertanyaan padanya, tapi dia hanya
tertawa dan mengangguk saja, dan mengoceh dalam bahasa yang tak kukenal. Maka
aku berkesimpulan bahwa dia tak bisa berbahasa Inggris.
Tiba-tiba dia bangkit lalu mundur dengan sikap hormat, waktu Harry Rayburn
masuk. Harry mengangguk mengisyaratkan bahwa dia boleh pergi. Dia keluar, dan
tinggallah kami berdua. Harry tersenyum padaku.
"Sudah benar-benar sembuh kau hari ini?"
"Ya, sudah. Tapi masih bingung sekali. Di mana aku?"
"Kau berada di sebuah pulau kecil di Sungai Zambesi, kira-kira empat mil di hulu
Air Terjun." "Apakah - apakah teman-temanku tahu bahwa aku di sini?"
Dia menggeleng. "Aku harus mengabari mereka."
"Tentu, boleh saja kalau kau mau. Tapi kupikir sebaiknya kau menunggu sampai kau
sudah lebih kuat." "Mengapa?" Dia tak langsung menjawab, jadi aku berkata lagi,
"Berapa lama sudah aku di sini?"
Jawabnya sangat mengejutkan.
"Hampir sebulan."
"Aduh!" seruku. "Aku harus mengabari Suzanne. Dia tentu kuatir sekali."
"Siapa Suzanne?"
"Nyonya Blair. Aku tinggal sehotel dengan dia, dengan Sir Eustace dan Kolonel
Race - tapi kau pasti sudah tahu itu."
Dia menggeleng. "Aku tak tahu apa-apa. Hanya kebetulan sekali aku menemukan kau, tersangkut di
celah dua cabang pohon. Kau tak sadar dan lenganmu terpelecok."
"Di. mana pohon itu?"
"Menjulur di atas jurang. Kalau saja pakaianmu tidak tersangkut pada dahan-dahan
pohon itu, kau pasti sudah hancur remuk di dasar jurang."
Aku menggigil. Kemudian aku teringat sesuatu.
"Katamu kau tak tahu bahwa aku di sini. Bagaimana dengan surat itu?"
"Surat apa?" "Surat yang kaukirimkan padaku, memintaku untuk menemuimu di padang rumput itu."
Dia memandangiku dengan terbelalak.
"Aku tidak mengirim surat."
Wajahku jadi terasa merah seluruhnya. Untunglah dia kelihatannya tidak
memperhatikan. "Bagaimana mungkin kau berada di tempat itu begitu kebetulan?" tanyaku dengan
sikap tak acuh. "Dan apa pula yang kauperbuat di tempat seperti ini?"
"Aku tinggal di sini," katanya dengan sederhana.
"Di pulau ini?"
"Ya, aku datang kemari setelah Perang. Kadang-kadang aku membawa rombongan-
rombongan dari hotel, naik perahuku. Tapi kebutuhan hidupku sedikit sekali, dan
aku lebih sering hidup seenakku saja."
"Kau tinggal di sini seorang diri saja?"
"Aku sama sekali tidak butuh hidup bermasyarakat," sahutnya dengan nada dingin.
"Menyesal sekali aku telah membuatmu repot," sergahku, "tapi dalam hal ini aku
tak punya pilihan lain."


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku terkejut melihat matanya agak bersinar.
"Sama sekali tak merepotkan. Kau hanya kusampirkan saja di bahuku, seperti
sekarung arang, dan kubawa ke perahuku. Persis seperti seorang laki-laki
primitif di Zaman Batu."
"Tapi dengan alasan lain," sambungku.
Kali ini dia yang wajahnya memerah, betul-betul merah. Warna kecoklatan pada
wajahnya tersapu oleh warna merah itu.
"Tapi kau belum lagi menceritakan mengapa kau sampai berkelana seenakmu, dan
kemudian menemukan aku?" Aku buru-buru berkata untuk menutupi rasa malunya.
"Aku tak bisa tidur. Aku gelisah - terganggu - perasaanku mengatakan bahwa sesuatu
akan terjadi. Akhirnya kuambil perahuku dan aku bersampan ke arah Air Terjun.
Aku sudah mendekati jurang palma waktu kudengar jeritmu."
"Mengapa tak kauminta bantuan dari hotel" Daripada membawaku sejauh ini?"
tanyaku. Wajahnya memerah lagi. "Aku mengerti. Mungkin tindakanku kauanggap lancang dan tak bisa dimaafkan - tapi
kupikir, sampai sekarang pun kau belum menyadari bahaya yang menghadangmu!
Kaupikir aku harus mengabari teman-temanmu serombongan" Baik sekali teman-
temanmu itu! Mereka membiarkan kau dijebak ke dalam kematian. Aku lalu bersumpah
pada diriku sendiri bahwa aku bisa merawatmu lebih baik daripada siapa pun juga.
Tak ada seorang pun datang ke pulau ini. Kusuruh si Batani datang untuk
merawatmu. Aku pernah menyembuhkannya dari demam panas. Dia setia sekali padaku.
Dia tidak akan membuka mulut. Aku bisa saja menahanmu di sini selama berbulan-
bulan tanpa ada seorang pun yang tahu."
Aku bisa saja menahanmu di sini selama berbulan-bulan tanpa ada seorang pun yang
tahu! Kata-katanya membuatku senang.
"Tindakanmu tepat," kataku dengan tenang. "Aku tidak akan mengabari siapa-siapa.
Sehari dua hari lebih lama merasa kuatir tak apa-apa. Apalagi mereka bukan
keluargaku. Mereka sebenarnya hanya kenalan biasa - juga Suzanne. Dan siapa pun
yang menulis surat Itu, pasti sudah tahu banyak! Itu bukan perbuatan orang
luar." Akhirnya aku bisa menyinggung soal surat itu tanpa merasa malu.
"Aku tak mau dianggap mengorek - " katanya ragu.
"Tak seorang pun bisa mengorek aku," sahutku tegas. "Tapi tak ada salahnya kau
mendengarnya." "Apakah kau selalu berbuat semaumu?"
"Biasanya begitu," sahutku hati-hati. Pada orang lain aku akan menjawab,
"Selalu!" "Kasihan suamimu," katanya tanpa kuduga.
"Jangan kuatir," tukasku. "Aku tak punya niat menikah dengan siapa pun, kecuali
kalau aku tergila-gila pada seorang pria. Tapi sebenarnya tak ada yang lebih
menyenangkan hati seorang wanita daripada melakukan semua yang tidak disukainya,
demi seseorang yang dicintainya. Dan makin keras hati wanita itu, makin suka dia
melakukannya." "Kurasa aku tak sependapat denganmu. Biasanya yang sebaliknyalah yang terjadi."
Dia berbicara dengan nada mencemooh.
"Benar," seruku bersungguh-sungguh. "Itulah sebabnya begitu banyak perkawinan
yang tak bahagia. Semua karena kesalahan kaum pria. Atau mereka terlalu mengalah
pada istri mereka - dan yang wanita lalu membenci mereka - atau mereka sangat egois,
bertahan pada maunya sendiri saja, dan pantang mengucapkan terima kasih. Para
suami yang berhasil membuat istri-istrinya melakukan apa yang mereka ingini,
selalu ribut-ribut karena mereka melakukannya. Kaum wanita memang suka dikuasai,
tapi mereka benci kalau pengorbanan mereka tidak dihargai. Sebaliknya, laki-laki
tidak terlalu menghargai wanita yang selalu manis padanya. Bila aku menikah, aku
akan lebih banyak menjadi setan, tapi sekali-sekali, tanpa diduga suamiku, akan
kuperlihatkan padanya bahwa aku juga bisa menjadi bidadari yang sempurna!"
Harry terbahak. "Kalau begitu hidup perkawinanmu akan penuh dengan cakar-cakaran!"
"Orang-orang yang saling mencintai memang selalu berkelahi," kataku
meyakinkannya. "Karena mereka saling tidak mengerti. Bila mereka sudah saling
mengerti, mereka tidak saling mencinta lagi."
"Apakah sebaliknya juga berlaku" Apakah orang-orang yang selalu berkelahi juga
saling mencinta?" "En - entah ya," kataku gugup sesaat.
Dia berbalik menghadap perapian.
"Mau sup lagi?" tanyanya dengan santai.
"Mau. Aku lapar sekali, rasanya kuda Nil pun akan habis kumakan."
"Itu pertanda baik."
Dia menyibukkan diri menyalakan api. Aku memperhatikannya.
"Kalau aku sudah bisa turun dari dipan ini, aku akan masak untukmu," aku
berjanji. "Kurasa kau tak tahu apa-apa tentang masak-memasak."
"Kalau sekadar memanasi makanan dari kaleng, sekurang-kurangnya aku sama
pandainya dengan kau," balasku, sambil menunjuk deretan kaleng di atas perapian.
"Bisa saja kau membalas," katanya lalu tertawa.
Seluruh wajahnya berubah kalau dia tertawa. Wajah itu menjadi kekanakan, riang -
menjadi pribadi yang lain.
Aku makan sup dengan enak. Sambil makan kuingatkan dia bahwa dia belum
memberikan nasihatnya. "Oh, ya. Ini yang akan kukatakan. Kalau aku jadi kau, aku akan tinggal saja di
sini dengan tenang dan tersembunyi, sampai kuat. Musuh-musuhmu akan menyangka
bahwa kau sudah mati. Mereka tidak akan heran kalau tak bisa menemukan mayatmu.
Tubuhmu dianggap hancur remuk terbanting di batu karang dan langsung dihanyutkan
oleh arus yang kuat."
Aku ngeri. "Segera setelah kesehatanmu pulih kembali, dengan tenang kau bisa melanjutkan
perjalananmu ke Beira. Di sana kau bisa naik kapal yang akan membawamu kembali
ke Inggris." "Bukan main jinaknya," bantahku mencemooh.
"Bicaramu seperti anak sekolah yang pendek akal."
"Aku bukan anak sekolah yang pendek akal," seruku dengan marah. "Aku seorang
wanita." Dia memandangku dengan air muka yang tak dapat kuduga, waktu aku duduk dengan
darah yang terasa tersembur ke wajahku dan ngotot membantahnya.
"Demi Tuhan, kau memang seorang wanita," gumamnya, lalu segera keluar.
Aku cepat sembuh. Aku mengalami dua cedera, yaitu benturan di kepala dan lengan
yang terkilir. Yang di lengan yang lebih parah, dan orang yang menyelamatkan aku
bahkan menyangka bahwa lenganku itu patah. Namun setelah diperiksanya dengan
teliti, dia yakin bahwa tidaklah demikian halnya. Dan meskipun sakit sekali,
cepat juga aku bisa menggunakannya kembali. Itu merupakan masa yang aneh. Kami
terpencil dari dunia luar, berduaan saja seperti Adam dan Hawa - tapi keadaan kami
lain! Batani sibuk hilir-mudik, setia seperti anjing, tanpa perhitungan apa-apa.
Aku berkeras untuk memasak, pokoknya apa yang bisa kulakukan dengan sebelah
tangan. Harry sering keluar, tapi kadang-kadang kami berbaring berjam-jam di
keteduhan pohon-pohon kelapa. Kami bercakap-cakap, kami bertengkar - membahas apa
saja di kolong langit ini. Kami bertengkar dan berdamai lagi. Kami sering
bertengkar, tapi di antara kami telah timbul suatu persahabatan yang tulus dan
kekal, seperti yang tak pernah kuduga akan bisa terjadi. Selain daripada
persahabatan itu - masih ada lagi sesuatu.
Aku tahu bahwa waktuku makin sempit. Segera aku cukup sehat, maka aku harus
pergi. Hal itu kusadari dengan berat hati. Apakah dia akan membiarkan aku pergi"
Tanpa sepatah kata pun" Tanpa memberikan suatu pertanda" Dia sering diam, dan
pada saat begitu dia murung saja. Dalam keadaan begitu, biasanya dia lalu tiba-
tiba melompat dan pergi seorang diri. Pada suatu malam datanglah krisis itu.
Kami baru saja selesai makan, dan duduk-duduk di ambang pintu pondok. Matahari
sedang terbenam. Jepit rambut merupakan kebutuhan penting dalam hidupku, tapi Harry tak bisa
memberikannya padaku. Jadi rambutku yang lurus dan hitam, tergerai saja sampai
ke lututku. Aku duduk dengan menumpangkan daguku ke tanganku. Aku merenung. Aku
tidak melihat Harry memandangiku, tapi aku merasakannya.
"Kau seperti perempuan sihir, Anne," katanya akhirnya. Dalam suaranya kudengar
sesuatu yang tak pernah ada sebelumnya.
Diulurkannya tangannya, dan disentuhnya rambutku sebentar. Aku menggigil. Tiba-
tiba dia bangkit sambil menyumpah-nyumpah.
"Besok kau harus meninggalkan tempat ini. Kaudengar itu?" sergahnya. "Anne, aku
tak tahan lagi. Aku hanya seorang laki-laki biasa. Kau harus pergi, Anne. Harus.
Kau tidak bodoh. Kau sendiri pasti tahu bahwa keadaan tak bisa begini terus."
"Kurasa memang tidak," kataku lambat-lambat. "Tapi - kita senang, bukan?"
"Senang" Rasanya seperti dalam neraka!"
"Seburuk itukah?"
"Mengapa kau menyiksaku" Mengapa kaucemoohkan aku" Mengapa kau berbicara - sambil
menertawakan aku?" "Aku tidak tertawa. Dan aku tidak mencemooh. Kalau kau ingin aku pergi, aku akan
pergi. Tapi kalau kau ingin aku tinggal - aku akan tinggal."
"Jangan begitu!" serunya berapi-api. "Jangan goda aku, Anne. Adakah kausadari
apa aku ini" Sudah dua kali menjadi penjahat. Seorang laki-laki buron. Di sini
orang mengenalku dengan nama Harry Parker - mereka menyangka aku baru saja kembali
dari perjalanan berburu ke pedalaman. Tapi pada suatu hari kelak mereka akan
menduga-duga lalu curiga - maka habislah aku. Kau masih sangat muda, Anne, dan
cantik sekali - kecantikanmu itu memabukkan laki-laki. Kau bisa mendapatkan
segala-galanya di dunia ini - cinta, kehidupan, segalanya. Sedang bagiku, hidupku
sudah berlalu - hidup yang rusak, penuh cacat, penuh kepahitan."
"Kalau kau tidak menginginkan aku - "
"Kau tahu betul bahwa aku menginginkan kau. Kau tahu bahwa aku mau mengorbankan
nyawaku untuk bisa merengkuhmu dalam pelukanku dan membuatmu tetap di sini,
tersembunyi dari dunia luar untuk selama-lamanya. Dan kau menggodaku, Anne. Kau,
dengan rambutmu yang panjang seperti rambut perempuan sihir, dan matamu yang
keemasan dan coklat dan hijau, yang tak pernah berhenti tertawa meskipun mulutmu
cemberut. Tapi aku akan menyelamatkan dari dirimu sendiri dan dari diriku. Malam
ini juga kau berangkat. Kau pergi ke Beira - "
"Aku tak mau ke Beira," selaku.
"Harus. Kau harus berangkat ke Beira, biarpun aku sendiri yang harus
menggendongmu ke sana, dan melemparkanmu ke kapal. Kaupikir terbuat dari apa aku
ini" Apa kausangka aku tak terbangun hampir setiap malam, karena ketakutan
mereka akan menangkapmu" Bukankah orang tak bisa mengharapkan keajaiban selalu
terjadi" Kau harus kembali ke Inggris, Anne. Dan - dan menikah dan hidup bahagia."
"Dengan seorang pria yang sudah mapan, yang bisa memberiku tempat berlindung
yang baik, begitu, kan?"
"Itu lebih baik daripada - malapetaka melulu."
"Dan bagaimana dengan kau?"
Wajahnya menjadi serius dan keras.
"Aku harus menyelesaikan tugasku. Jangan tanya apa itu. Kurasa kau bisa
menduganya. Tapi satu hal akan kuceritakan padamu - aku akan membersihkan namaku,
meskipun aku harus mati dalam usaha itu. Dan aku akan mencekik sampai mati,
penjahat yang sudah berusaha membunuhmu malam itu."
"Kita harus adil," kataku. "Sebenarnya dia tidak mendorongku."
"Dia memang tak perlu melakukannya. Rencananya lebih cerdik daripada itu.
Setelah kejadian itu, aku pergi ke jalan setapak itu. Semuanya kelihatan biasa-
biasa saja. Tapi di tanah aku melihat bahwa batu yang membatasi jalan setapak
itu telah dipindahkan letaknya. Di tepi jalan setapak itu ada semak-semak yang
tinggi. Batu-batu pembatas itu diarahkannya ke semak-semak itu, hingga kau akan
menyangka bahwa kau masih berada di jalan yang benar, padahal kau menuju ke
jurang. Mudah-mudahan saja aku bisa membalasnya!"
Dia berhenti sebentar lalu berkata lagi dengan nada yang lain sekali,
"Kita tak pernah berbicara tentang beberapa hal, kan Anne" Tapi sekarang sudah
tiba waktunya. Aku ingin kau mendengar seluruh ceritanya - dari awal."
"Bila kau merasa sakit hati karena harus mengenang masa lampau, jangan ceritakan
padaku," kataku dengan suara rendah.
"Tapi aku ingin kau tahu. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan mau
menceritakan bagian hidupku itu pada siapa pun. Lucu ya, bagaimana Sang Nasib
memainkan perannya?"
Dia diam lagi sebentar. Matahari telah terbenam, dan kegelapan malam Afrika yang
bagaikan beludru, menyelimuti kami bagaikan mantel.
"Ada beberapa hal yang aku tahu," kataku dengan lembut.
"Apa yang kautahu?"
"Aku tahu bahwa namamu yang sebenarnya adalah Harry Lucas."
Dia masih ragu - dia tak melihat padaku, dia memandang lurus ke depan. Aku tak
dapat menerka apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Tapi akhirnya disentakkannya
kepalanya ke depan, seolah-olah dia membenarkan keputusannya sendiri yang tak
diucapkannya. Lalu dia pun memulai kisahnya.
BAB XXVI "KAU benar. Namaku yang sebenarnya memang Harry Lucas. Ayahku seorang pensiunan
prajurit yang datang ke Rhodesia untuk bertani. Beliau meninggal waktu aku duduk
di tahun kedua di Universitas Cambridge."
"Sayang sekalikah kau padanya?" tanyaku tiba-tiba.
"Eh - entah, ya."
Lalu wajahnya memerah dan dia melanjutkan kisahnya dengan bernafsu,
"Mengapa aku berkata begitu" Aku mencintai ayahku. Kami memang saling melempar
kata-kata pailit, waktu aku bertemu dengannya terakhir kali. Kami juga sering
bertengkar mengenai hidupku yang liar dan utang-utangku, tapi aku sayang pada
orang tua itu. Setelah terlambat kini - aku baru tahu betapa sayangnya aku
padanya." Kemudian dengan lebih tenang dilanjutkannya, "Di Universitas Cambridge
itulah aku bertemu dengan pemuda itu - "
"Pemuda yang bernama Eardsley itu?"
"Ya - Eardsley. Sebagaimana kauketahui, ayahnya adalah salah seorang pengusaha
yang paling terkemuka di Afrika Selatan. Kami berdua langsung cocok, dan kami
bersahabat. Kami sama-sama menyukai Afrika Selatan, dan kesukaan kami sama pula
mengenai tempat-tempat yang belum diinjak manusia di muka bumi ini. Setelah
meninggalkan Universitas Cambridge, Eardsley bertengkar untuk terakhir kalinya
dengan ayahnya. Orang tua itu telah dua kali melunasi utang-utangnya, dan beliau
tak mau lagi. Terjadilah pertentangan hebat antara mereka berdua. Setelah habis
kesabarannya, Sir Laurence menyatakan bahwa dia tak mau tahu lagi tentang
putranya. Untuk sementara, anak muda itu harus mandiri. Akibatnya, seperti
kauketahui, pergilah kami berdua bersama-sama ke Amerika Selatan, dengan tujuan
mencari berlian. Tak usah kuceritakan lagi hal itu secara terinci, pokoknya kami
senang sekali di sana. Kau tentu maklum bahwa banyak sekali kesulitan yang kami
hadapi, tapi hidup kami senang. Kami harus hidup dengan cara mencari dulu baru
makan, jauh dari cara yang lazim. Nah, di situlah kita mengenal ketulusan
seorang sahabat. Di sanalah tertempa ikatan batin antara kami berdua, ikatan
yang hanya bisa diputuskan oleh kematian. Sebagaimana yang diceritakan oleh
Kolonel Race pada kalian, usaha kami berhasil. Kami menemukan Kimberley yang
kedua di jantung hutan rimba British Guiana. Tak bisa kulukiskan betapa
gembiranya kami. Yang paling berarti bukanlah nilai uang dari penemuan kami itu.
Soalnya, Eardsley sudah terbiasa dengan uang, dan dia tahu bahwa bila ayahnya
meninggal, dia akan menjadi seorang jutawan, sedang Lucas selalu hidup miskin
dan terbiasa pula akan hal itu. Jadi, yang sangat menyenangkan adalah penemuan
itu sendiri." Dia diam lagi, lalu menambahkan dengan nada seolah-olah meminta maaf.
"Kau kan tidak keberatan kalau aku menceritakannya dengan cara itu" Seolah-olah
aku sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Kalau aku menoleh ke masa lalu, dan
melihat kedua anak muda itu, rasanya memang seolah-olah aku tidak terlibat. Aku
hampir-hampir lupa bahwa salah seorang di antaranya adalah - Harry Rayburn."
"Ceritakanlah dengan cara yang kausukai," kataku, dan dia bercerita lagi,
"Kami datang ke Kimberley - kami memamerkan penemuan kami ini kepada siapa saja
yang mau mendengarnya. Kami membawa sejumlah berlian pilihan untuk diserahkan
kepada para ahli. Kemudian - di hotel di Kimberley itu - kami bertemu dengan
perempuan itu - " Aku jadi tegang, dan tanganku yang memegang daun pintu kukepalkan tanpa
kusadari. "Anita Gr?nberg - itulah namanya. Dia seorang aktris. Masih muda dan cantik
sekali. Dia kelahiran Afrika Selatan, tapi kudengar ibunya orang Hongaria.
Perempuan itu misterius, dan hal itu justru merupakan daya tarik yang lebih
besar bagi dua orang anak muda yang baru saja kembali dari rimba belantara.
Tugas yang harus dijalankan perempuan itu jadi lebih mudah. Kami dua-duanya
langsung jatuh cinta padanya, dan kami berdua bersungguh-sungguh. Itu merupakan
gangguan yang pertama dalam persahabatan kami - namun hal itu tetap tidak
melemahkan persahabatan kami. Aku benar-benar yakin bahwa kami masing-masing
akan mau mengalah untuk memberikan kesempatan pada yang seorang. Tapi bukan
hanya itu permainan Anita. Setelah itu, kadang-kadang aku tak mengerti mengapa
dia tak memilih, karena bukankah putra tunggal Sir Laurence Eardsley merupakan


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pilihan yang baik" Tapi sebenarnya adalah karena dia sudah menikah - dengan juru
sortir pada perusahaan De Beers - meskipun tak ada orang yang tahu. Perempuan itu
pura-pura menaruh perhatian besar pada penemuan kami. Dan kami menceritakan
segala-galanya padanya, dan bahkan memperlihatkan berlian-berlian kami padanya.
Dia sebenarnya patut disebut 'Delilah' - dan dia memainkan perannya dengan baik
sekali! "Kemudian perampokan di perusahaan De Beers terbongkar. Dan kami terkejut
seperti mendengar halilintar di siang bolong waktu polisi mendatangi kami.
Mereka menyita berlian-berlian kami. Mula-mula kami tertawa - semuanya itu tak
masuk akal. Kemudian berlian-berlian itu ditunjukkan dalam pengadilan - dan
ternyata bahwa permata-permata itu adalah yang dicuri dari De Beers. Anita
Gr?nberg menghilang. Penukaran itu telah dilakukannya dengan rapi sekali. Dan
keterangan kami bahwa permata-permata itu bukanlah yang semula ada pada kami,
ditertawakan dan dicemooh.
"Sir Laurence Eardsley punya pengaruh yang besar sekali. Dia berhasil
mengusahakan supaya perkara itu ditutup saja. Tapi hal itu telah menghancurkan
dua orang anak muda. Mereka merasa malu untuk menghadapi dunia dengan cap
pencuri pada nama mereka. Lagi pula, hal itu telah menghancurkan hati orang tua
itu. Dia berbicara dengan putranya. Pada kesempatan itu dia menumpahkan semua
kemarahannya pada anaknya itu. Dikatakannya bahwa dia telah melakukan apa yang
bisa dilakukannya untuk menyelamatkan nama keluarga, dan bahwa mulai hari itu
putranya tak diakuinya sebagai anaknya lagi. Anak itu benar-benar dibuangnya.
Dan anak yang sombong tapi bodoh itu tetap diam. Dia tak mau menyatakan dirinya
tak bersalah, karena dia yakin bahwa ayahnya tidak akan percaya. Dia
meninggalkan rumahnya dengan sangat marah - menemui sahabatnya yang menunggunya.
Seminggu, kemudian, diumumkan perang. Kedua sahabat itu mendaftarkan diri ke
dalam angkatan perang. Kau sudah tahu apa yang kemudian terjadi. Sahabat terbaik
yang pernah dimiliki seorang pria tewas, sebagian karena nekatnya dan karena
menerjunkan diri ke dalam bahaya yang sebenarnya tak perlu. Dia meninggal dengan
nama yang tercemar.... "Aku bersumpah, Anne, bahwa terutama karena dialah aku benci sekali terhadap
perempuan itu. Peristiwa dengan perempuan itu telah melukai hatinya lebih dalam
daripada aku. Pada saat itu aku benar-benar tergila-gila padanya - aku bahkan tahu
bahwa kadang-kadang aku membuatnya takut. Tapi sahabatku lebih tenang dan lebih
mendalam perasaannya. Perempuan itu telah menjadi satu-satunya pusat bagi
dunianya - dan pengkhianatan perempuan itu terhadapnya telah merobek-robek akar-
akar kehidupannya. Pukulan itu sangat mengejutkannya dan telah melumpuhkannya."
Harry berhenti sebentar. Beberapa menit kemudian dia melanjutkan,
"Sebagaimana kauketahui, mengenai diriku orang melaporkan 'Hilang, diduga
tewas'. Aku tak pernah berusaha untuk memperbaiki laporan salah itu. Aku memakai
nama Parker, dan datang ke pulau ini, yang sudah sejak dulu kukenal. Pada awal
Perang, aku punya niat untuk membuktikan bahwa aku tak bersalah, tapi sekarang
semangat itu sudah padam. Aku hanya berpikir, 'Apa gunanya"'. Sahabatku sudah
meninggal. Dia maupun aku sudah tak punya lagi sanak saudara yang mau tahu
tentang kami. Aku diharapkan mati pula, biarlah anggapan itu tetap begitu saja.
Aku hidup damai di sini, tidak bahagia, tapi tidak pula sedih. Semua perasaanku
sudah lumpuh. Sekarang aku mengerti bahwa itu sebagian adalah akibat Perang.
Semula aku tak menyadari hal itu.
"Lalu pada suatu hari, terjadilah sesuatu yang membangunkan aku kembali. Waktu
itu aku sedang membawa serombongan orang ke hulu sungai, dan aku sedang berdiri
di dermaga. Aku membantu mereka masuk ke kapal motorku. Lalu tiba-tiba salah
seorang pria berseru terkejut. Aku jadi memusatkan perhatianku padanya. Pria itu
kecil, kurus, dan berjenggot. Dia menatapku dengan terbelalak tanpa peduli
sekelilingnya, seolah-olah aku ini hantu. Emosinya begitu besar, hingga rasa
ingin tahuku tergugah. Aku lalu mencari tahu tentang dia di hotel dan di sana
aku mendengar bahwa namanya adalah Carton, bahwa dia datang dari Kimberley, dan
bahwa dia adalah juru sortir yang bekerja pada 'De Beers'. Pada saat itu
timbullah kembali semua yang tak beres di masa lalu. Kutinggalkan pulau ini dan
aku pergi ke Kimberley. "Tapi hanya sedikit tambahan informasi yang kudapat tentang dia. Akhirnya
kuputuskan bahwa aku harus memaksakan suatu pertemuan dengannya. Aku membawa
pistol. Waktu melihatnya sekilas, aku sudah bisa menyimpulkan bahwa dia seorang
pengecut. Baru saja kami berhadapan, dia sudah takut sekali padaku. Dengan mudah
aku memaksanya menceritakan apa yang diketahuinya. Dialah yang mengatur sebagian
dari perampokan itu, dan Anita Gr?nberg adalah istrinya. Dia pernah melihat kami
berdua makan bersama istrinya di hotel, jadi waktu melihat aku masih hidup di
Air Terjun, dia terkejut sekali. Dia dan Anita menikah waktu masih sangat muda,
tapi wanita itu segera meninggalkannya. Istrinya itu lalu bergabung dengan
orang-orang jahat - dan waktu itulah untuk pertama kalinya aku mendengar tentang
orang yang disebut 'Kolonel'. Carton sendiri tak pernah terlibat apa pun kecuali
peristiwa yang satu itu. Hal itu ditekankannya benar padaku, dan aku percaya.
Kelihatannya dia bukan potongan seorang penjahat yang berhasil.
"Tapi aku masih merasa bahwa dia masih merahasiakan sesuatu. Untuk mengujinya,
kuancam dia akan kutembak di tempat dengan mengatakan bahwa aku sekarang tak
peduli lagi apa yang akan terjadi atas diriku. Karena ketakutan sekali,
dicurahkannya lanjutan ceritanya. Rupanya Anita Gr?nberg tidak begitu percaya
pada 'Kolonel'. Dia hanya pura-pura menyerahkan permata-permata yang diambilnya
dari hotel. Beberapa dari permata itu disimpannya untuk dirinya sendiri. Dengan
pengetahuan teknisnya, Carton menunjukkan yang mana yang harus disimpannya. Bila
sewaktu-waktu permata-permata itu diperlihatkan, warna dan mutunya akan segera
dikenali, dan ahli-ahli di De Beers akan segera mengakui bahwa mereka tak pernah
memiliki permata-permata itu. Dengan demikian, pengakuanku bahwa aku hanya
dijadikan kambing hitam, akan dibenarkan orang, dan namaku akan bersih kembali.
Dan yang penting, akan ketahuan siapa sebenarnya yang perlu dicurigai.
Diceritakannya, bahwa tidak sebagaimana biasanya, 'Kolonel' turun tangan sendiri
dalam peristiwa itu. Oleh karena itu Anita merasa senang bahwa orang itu ada
dalam tangannya, bila sewaktu-waktu diperlukan. Lalu Carton menganjurkan agar
aku mengadu untung dengan Anita Gr?nberg, alias Nadina. Dia yakin bahwa dengan
uang dalam jumlah besar, istrinya akan mau menyerahkan berlian-berlian itu, dan
dia akan mau pula mengkhianati bekas majikannya. Dia bersedia mengirim telegram
segera pada istrinya. "Aku masih mencurigai Carton. Dia memang mudah ditakut-takuti, tapi dalam
ketakutannya dia akan begitu banyak berbohong, hingga sulit menyaring mana yang
benar dan mana yang bohong. Aku kembali ke hotel dan menunggu. Kupikir esok
malamnya dia akan sudah menerima jawaban atas telegramnya. Aku pergi ke
rumahnya, tapi di sana aku diberi tahu bahwa Carton sedang keluar dan esok
harinya baru akan kembali. Aku langsung curiga. Pada saat terakhir aku tahu
bahwa sebenarnya dia akan berlayar ke Inggris dengan kapal Kilmorden Castle,
yang akan berangkat dari Cape Town dua hari lagi. Untung aku masih sempat pergi
ke Cape Town dan berlayar dengan kapal yang sama.
"Aku tak mau menampakkan diriku di kapal. Aku tak mau membuatnya takut. Waktu
masih kuliah di Cambridge, aku sering main drama, jadi mudah saja bagiku untuk
mengubah diriku menjadi seorang laki-laki setengah baya yang berjenggot. Di
kapal aku menghindari Carton sedapat mungkin. Aku diam-diam saja di kamarku
dengan berpura-pura sakit.
"Tak sulit aku membuntutinya setiba kami di London. Dia langsung pergi ke sebuah
hotel, dan esok paginya baru keluar. Beberapa saat menjelang jam satu, dia
meninggalkan hotel. Aku di belakangnya. Dia langsung pergi ke agen penyewaan
rumah-rumah di Knightsbridge. Di sana dia menanyakan kalau-kalau ada rumah di
tepi sungai yang disewakan.
"Aku berada di meja di sebelahnya, juga menanyakan tentang rumah. Lalu tiba-tiba
Anita Gr?nberg alias Nadina, masuk dengan anggun dan angkuh. Dia masih secantik
dulu. Bukan main bencinya aku padanya! Dialah yang telah menghancurkan hidupku -
dan juga telah memusnahkan hidup seseorang yang lebih baik daripadaku. Rasanya
ingin aku pada saat itu juga mencengkeramkan tanganku ke lehernya, dan
mencekiknya sampai mati perlahan-lahan! Beberapa saat lamanya darahku mendidih.
Hampir-hampir tak kudengar apa yang dikatakan agen itu. Aku mendengarkan kata-
kata perempuan itu. Suara yang tinggi dan lantang, dengan aksen asing yang
dilebih-lebihkan. Dia mengatakan, 'Mill House, Marlow. Milik Sir Eustace Pedler.
Rasanya itu cocok untuk saya. Pokoknya saya akan ke sana dan melihatnya.'
"Pria di meja itu menuliskan surat keterangan untuknya, dan setelah itu dia
keluar - tetap dengan sikap anggun dan angkuh. Sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda bahwa dia mengenal Carton. Tapi aku yakin bahwa pertemuan mereka di
tempat itu adalah rencana yang telah diatur. Lalu aku menarik beberapa
kesimpulan. Aku tak tahu bahwa pada saat itu Sir Eustace berada di Cannes, dan
aku menyangka bahwa urusan mencari rumah itu hanya suatu dalih untuk
menjumpainya di Mill House. Aku tahu bahwa Sir Eustace berada di Afrika Selatan
pada saat perampokan itu, dan karena aku tak pernah melihatnya, aku langsung
berkesimpulan bahwa Sir Eustace sendirilah 'Kolonel' yang misterius, yang sudah
sering kudengar itu. "Kuikuti kedua orang yang kucurigai itu, sepanjang Jalan Knightsbridge. Nadina
masuk ke Hotel Hyde Park. Aku mempercepat langkahku dan ikut masuk. Dia langsung
masuk ke restoran. Aku tak mau dia sampai mengenaliku pada saat itu, sebab itu
aku lalu mengikuti Carton. Aku sangat berharap bahwa dia akan mengambil berlian-
berlian itu. Maka aku akan tiba-tiba muncul dan mengenalkan diriku padanya untuk
membuatnya sangat terkejut, dan supaya dengan begitu dia akan menceritakan yang
sebenarnya padaku. Kususul dia memasuki stasiun kereta-api-bawah-tanah di
Tikungan Hyde Park. Dia sedang berdiri seorang diri di ujung peron. Ada pula
seorang gadis berdiri di dekat tempat itu, selebihnya tak ada orang lain.
Kuputuskan untuk mengejutkan dia pada saat itu. Kau tahu apa yang kemudian
terjadi. Karena shock-nya melihat orang yang disangkanya berada jauh di Afrika
Selatan, dia tak sadar apa yang dilakukannya, lalu mundur dan menginjak rel
listrik. Dia memang pengecut. Dengan pura-pura menjadi dokter, aku berhasil
memeriksa saku-sakunya. Ada sebuah dompet yang berisi uang dan beberapa pucuk
surat yang tak penting. Ada pula sebuah tabung film - yang kemudian tercecer entah
di mana - , selain itu kutemukan pula secarik kertas yang bertuliskan janji
pertemuan di Kilmorden Castle pada tanggal 22. Karena terburu-buru untuk
meninggalkan tempat itu, dan karena takut kalau-kalau ditangkap orang, kertas
itu pun tercecer juga. Tapi untung aku ingat angka-angkanya.
"Aku cepat-cepat mencari kamar ganti yang terdekat dan buru-buru menanggalkan
dandananku. Aku tak ingin tertangkap dengan tuduhan mencopet orang yang sudah
meninggal. Kemudian aku kembali ke Hotel Hyde Park. Nadina masih makan siang.
Tak perlu kuceritakan lagi bagaimana aku mengikutinya ke Marlow. Dia masuk rumah
itu, dan aku berbicara dengan wanita penghuni pondok rumah itu. Aku pura-pura
bersama dia. Kemudian aku ikut masuk."
Dia berhenti. Suasana makin tegang.
"Kau percaya padaku, bukan, Anne" Aku bersumpah demi Tuhan bahwa apa yang akan
kukatakan ini benar. Aku menyusul perempuan itu masuk ke rumah itu, dengan niat
untuk membunuh - tapi aku mendapatinya sudah mati! Aku menemukannya di kamar, di
lantai dua - Ya, Tuhan! Mengerikan sekali. Dia mati - padahal hanya tiga menit aku
berada di belakangnya. Apalagi, tak ada tanda-tanda ada orang lain di rumah itu!
Aku segera menyadari betapa berbahayanya kedudukanku. Dengan satu pukulan yang
tepat, si calon korban pemerasan telah mencabut nyawa si pemeras. Dan sekaligus
juga menyediakan orang yang akan dijadikan korban tuduhan palsu. Jelas bahwa itu
perbuatan 'Kolonel' lagi. Untuk kedua kalinya aku harus menjadi korban
perbuatannya. Betapa bodohnya aku, masuk ke perangkapnya dengan begitu mudah!
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan kemudian. Aku berhasil keluar dari tempat
itu dalam keadaan agak wajar. Tapi aku tahu bahwa tidak akan lama lagi kejahatan
itu akan tercium, dan gambaran tentang diriku akan disiarkan dengan telegram ke
seluruh negeri. "Beberapa hari lamanya aku bersembunyi. Aku tak berani bergerak. Akhirnya nasib
baik membantuku. Aku menangkap pembicaraan dua orang setengah baya di jalan.
Salah seorang di antaranya ternyata adalah Sir Eustace Pedler. Aku segera
merencanakan untuk mengikutsertakan diriku padanya sebagai sekretarisnya.
Potongan percakapan yang kudengar memberikan petunjuk padaku. Kini aku tidak
begitu yakin lagi bahwa Sir Eustace Pedler adalah 'Kolonel' itu. Mungkin hanya
kebetulan saja rumahnya telah dijadikan tempat pertemuan empat mata. Mungkin
pula dengan suatu alasan yang aku tak tahu."
"Tahukah kau," selaku, "bahwa Guy Pagett ada di Marlow pada hari pembunuhan
itu?" "Kalau begitu, cocok. Kupikir dia berada di Cannes bersama Sir Eustace."
"Dia seharusnya ada di Florence - tapi pasti dia tak pernah pergi ke sana. Aku
yakin dia berada di Marlow, meskipun aku tak bisa membuktikannya."
"Padahal aku sama sekali tak pernah mencurigai Pagett, sampai saat dia mencoba
menceburkan kau ke laut malam itu. Orang itu pandai sekali bersandiwara."
"Memang." "Itulah sebabnya mengapa Mill House yang dipilih. Mungkin Pagett bisa keluar-
masuk rumah itu tanpa menarik perhatian. Dia memang tidak keberatan aku ikut Sir
Eustace naik kapal. Dia tak ingin aku langsung ditangkap. Sebenarnya Nadina
tidak membawa permata-permata itu ke tempat pertemuan itu, sebagaimana yang
diharapkan. Kurasa permata-permata itu ada pada Carton yang menyembunyikannya di
Kilmorden Castle - di situlah keterlibatan Carton. Mereka berharap, aku punya
petunjuk mengenai tempat permata-permata itu disembunyikan. Selama 'Kolonel'
belum mendapatkan kembali berlian-berlian itu, dia masih terancam bahaya - itulah
sebabnya dia begitu bernafsu untuk mendapatkannya dengan jalan apa pun. Kalaupun
memang Carton yang menyembunyikannya - aku tak tahu di mana dia
menyembunyikannya." "Itu lain lagi kisahnya," kataku. "Itu kisahku. Dan itu akan kuceritakan
sekarang." BAB XXVII HARRY mendengarkan dengan penuh perhatian sementara aku menceritakan kembali
semua peristiwa yang sudah kukisahkan di halaman-halaman depan. Yang paling
mengherankan dan mengejutkannya adalah, waktu mendengar bahwa selama ini
berlian-berlian itu ada padaku - atau tepatnya di tangan Suzanne. Tak pernah dia
menduga hal itu. Setelah mendengar ceritanya, aku mengerti tujuan perbuatan Carton - atau tepatnya
perbuatan Nadina, karena aku tak ragu bahwa otak wanita itulah yang telah
melahirkan rencana itu. Tak satu pun siasat mendadak yang dijalankan orang atas
dirinya atau suaminya, akan bisa menghasilkan tertangkapnya berlian-berlian itu.
Rahasia itu terkunci dalam otaknya sendiri. 'Kolonel' tidak akan mungkin
menyangka bahwa permata-permata itu telah dipercayakan pada seorang pramugara
kapal. Pembelaan diri Harry terhadap tuduhan lama, yaitu pencurian permata-permata itu,
agaknya sudah terbukti. Tuduhan yang satu lagi, yang lebih berat, telah
melumpuhkan kegiatan-kegiatan kami. Karena mengingat keadaannya sekarang, dia
tak bisa menampakkan diri untuk membuktikan keadaannya.
Berulang kali, kami selalu kembali lagi pada satu hal, yaitu, siapakah si
'Kolonel'" Apakah dia Guy Pagett atau bukan"
"Aku bisa mengatakan bahwa dialah orangnya, tapi ada satu hal," kata Harry,
"rasanya sudah pasti bahwa Pagett-lah yang membunuh Anita Gr?nberg di Marlow - dan
kepastian itu menjurus pada kemungkinan bahwa dialah sebenarnya si 'Kolonel',
karena bisnis Anita itu tak bisa dibicarakan dengan seorang bawahan. Satu-
satunya hal yang bertentangan dengan teori itu adalah percobaannya untuk
menyingkirkanmu pada malam hari kau tiba di sini. Kau melihat bahwa Pagett
ditinggalkan di Cape Town - jadi tak mungkin dia bisa tiba di sini sebelum hari
Rabu berikutnya. Tak mungkin dia punya kaki tangan di daerah ini, dan semua
rencananya adalah menangani kau di Cape Town. Tentu ada pula kemungkinan bahwa
dia mengirimkan instruksinya dengan telegram pada pembantunya yang ada di
Johannesburg. Orang itu bisa naik kereta api Rhodesia di Mafeking. Tapi dalam
hal itu, instruksi itu harus benar-benar pasti hingga surat yang kauterima itu
bisa ditulis." Kami diam sebentar, kemudian Harry berkata lagi,
"Katamu Nyonya Blair sedang tidur waktu kau. meninggalkan hotel, dan bahwa kau
mendenga Sir Eustace sedang mendiktekan surat pada Nona Pettigrew" Lalu mana
Kolonel Race?" "Aku tidak melihatnya."
"Mungkinkah dia punya dugaan bahwa - kita berdua punya hubungan baik?"
"Mungkin," sahutku. Aku teringat akan percakapan kami dalam perjalanan kembali
dari Matoppos. "Dia seorang pria yang hebat," kataku lagi, "tapi aku sama sekali
tak bisa membayangkan dia sebagai si 'Kolonel'. Lagi pula tak masuk akal, karena
dia adalah petugas Dinas Rahasia."
"Bagaimana kita bisa meyakini hal itu" Mudah sekali mengaku-aku begitu. Memang,
tak seorang pun yang akan membantah dan pengakuan itu akan tersebar, sampai
semua orang percaya betul. Pengakuan seperti itu memang perlu untuk mendukung
segala macam perbuatannya yang menimbulkan keraguan. Anne, apakah kau suka pada
Race?" "Suka - dan tidak. Dia tak menyenangkan, tapi sekaligus bisa membuatku tertarik.
Tapi satu hal aku tahu, aku selalu agak takut padanya."
"Tahukah kau, dia berada di Afrika Selatan waktu perampokan Kimberley itu
terjadi," kata Harry perlahan-lahan.


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi dialah yang bercerita tentang 'Kolonel' pada Suzanne. Juga tentang
kepergiannya ke Paris dalam usahanya mencari jejak orang itu."
"Itu kamuflase - yang cerdik sekali."
"Kalau begitu, di mana Pagett terlibat" Apakah dia orang bayaran Race?"
"Mungkin dia sama sekali tidak terlibat," kata Harry.
"Apa?" "Coba ingat-ingat lagi, Anne. Pernahkah kau mendengar keterangan dari mulut
Pagett sendiri, mengenai kejadian malam itu di Kilmorden?"
"Tidak - tapi melalui Sir Eustace."
Kuulang kembali keterangan itu, Harry mendengarkan dengan hati-hati.
"Dia melihat seorang laki-laki datang dari arah kamar Sir Eustace, dan laki-laki
itu dibuntutinya naik ke dek. Begitu kan, katanya" Nah, siapa yang kamarnya
berseberangan dengan kamar Sir Eustace" Kolonel Race, bukan" Umpamakan Kolonel
Race yang menyelinap naik ke dek, lalu mencoba menyerangmu, melarikan diri
mengitari dek dan bertemu dengan Pagett yang baru saja keluar dari ruang makan.
Dipukulnya Pagett, lalu langsung melompat ke dalam kamarnya dan langsung
mengunci pintunya. Kita mengejar dengan memutari dek juga, dan menemukan Pagett
tergeletak di sana. Bagaimana?"
"Kau lupa bahwa Pagett dengan jelas mengatakan bahwa kaulah yang memukulnya
sampai jatuh." "Nah, andaikan waktu dia sadar kembali, dia melihat aku yang menghilang di
kejauhan. Tidakkah dengan sendirinya dia lalu berkesimpulan bahwa akulah yang
menyerangnya" Terutama karena dia menyangka bahwa akulah yang sejak semula
dibuntutinya itu." "Ya, itu mungkin," kataku ragu. "Tapi kita lalu harus mengubah teori kita.
Padahal masih banyak hal-hal lain."
"Kebanyakan dari hal-hal itu bisa dijelaskan. Laki-laki yang membuntuti kau di
Cape Town berbicara dengan Pagett, dan Pagett melihat ke arlojinya. Mungkin
orang itu hanya bertanya jam berapa waktu itu."
"Maksudmu, itu hanya suatu kebetulan?"
"Tidak juga. Dalam semua peristiwa itu ada metodenya, yaitu menghubungkan Pagett
dalam peristiwa itu. Mengapa Mill House yang dipilih untuk pembunuhan itu"
Apakah karena Pagett berada di Kimberley waktu berlian-berlian itu dicuri"
Apakah sebenarnya dia yang akan dijadikan kambing hitam, sekiranya aku tak
muncul pada saat yang menguntungkan itu?"
"Jadi kaupikir dia sama sekali tak bersalah?"
"Kelihatannya begitu. Tapi kalau begitu, kita harus mencari tahu apa yang
dilakukannya di Marlow. Bila dia punya alasan yang masuk akal mengenai
kehadirannya di situ, kita benar."
Dia bangkit. "Hari sudah lewat tengah malam. Masuklah, Anne, dan tidurlah. Sebelum fajar aku
akan mengantarmu dengan perahu. Kau harus naik kereta api di Livingstone. Di
sana ada seorang temanku yang akan menyembunyikanmu sampai kereta api berangkat.
Kau pergi ke Bulawayo, dan naik kereta api yang ke Beira dari sana. Dari temanku
yang di Livingstone itu aku akan bisa mencari tahu apa yang sedang terjadi di
hotel, dan di mana teman-temanmu sekarang."
"Beira," kataku merenung.
"Ya, Anne. Kau harus ke Beira. Ini pekerjaan laki-laki. Serahkan padaku."
Tadi emosi kami tertunda sebentar, sementara kami membicarakan keadaan kami.
Tapi sekarang soal itu muncul lagi. Kami bahkan tak mau saling memandang.
"Baiklah," kataku, lalu masuk ke pondok.
Aku berbaring di dipan yang beralas kulit itu, tapi tak bisa tidur. Dan di luar,
kudengar Harry Rayburn berjalan hilir-mudik terus dalam kegelapan. Akhirnya
dipanggilnya aku, "Mari, Anne, sudah waktunya untuk pergi."
Aku bangun dan keluar dengan patuh. Hari masih gelap sekali, tapi aku tahu bahwa
fajar hampir menyingsing.
"Kita naik sampan saja, tidak naik perahu motor - " kata Harry. Tapi tiba-tiba dia
berhenti berkata, dan mengangkat tangannya.
"Shhh! Apa itu?"
Aku memasang telingaku, tapi tak bisa mendengar apa-apa. Telinga Harry lebih
tajam daripada pendengaranku. Telinga orang yang lama tinggal di hutan
belantara. Kemudian aku mendengar juga - bunyi dayung menyibak air, datang dari
arah tebing sungai sebelah kanan dan dengan cepat mendekat ke dermaga kecil
kami. Kami berusaha melihat dalam gelap, dan hanya mampu melihat suatu bayangan kabur
di permukaan air. Bayangan itu adalah sebuah sampan. Kemudian tampak cahaya api
sesaat. Seseorang menyalakan korek api. Dalam cahaya itu aku mengenali
seseorang. Dia adalah orang Belanda berjenggot merah di vila di Muizenberg dulu
itu. Yang lain adalah orang-orang pribumi setempat.
"Cepat - kembali ke pondok."
Harry menarikku masuk. Diambilnya beberapa buah senapan dan pistol dari dinding.
"Bisakah kau memasukkan peluru ke senapan?"
"Belum pernah. Tunjukkan caranya."
Aku bisa menangkap instruksinya dengan cukup baik. Kami menutup pintu. Harry
berdiri di dekat jendela yang menghadap ke dermaga. Sampan itu sedang berjalan
sejajar dengan dermaga itu.
"Siapa itu?" seru Harry dengan suara lantang.
Keraguan kami mengenai niat tamu-tamu itu segera terjawab. Hujan peluru
berjatuhan di sekeliling kami. Untung kami tak kena. Harry mengangkat senapannya
dan kemudian memuntahkan peluru berulang kali. Kudengar dua orang mengerang dan
bunyi sesuatu tercebur ke air.
"Biar mereka tahu," gumamnya dengan geram, sambil menjangkau senapannya yang
kedua. "Anne, demi Tuhan, berlindunglah baik-baik. Dan cepat masukkan peluru-
peluru." Tembakan lagi. Satu peluru menyerempet pipi Harry. Tembakan balasan dari Harry
lebih hebat daripada mereka. Senapan yang satu lagi sudah siap kuisi peluru
kembali, waktu dia memintanya. Ditariknya aku lalu didekapnya dengan lengan kirinya, dan aku diciumnya
dengan bernafsu, sebelum dia berbalik ke jendela lagi. Tiba-tiba dia bersorak.
"Mereka sudah pergi - sudah merasa puas. Mereka merupakan sasaran yang baik di
air, dan mereka tak bisa melihat ada berapa orang kita. Untuk sementara mereka
telah kita kalahkan - tapi mereka akan kembali. Kita harus siap menghadapi
mereka." Senapannya dilemparkannya lalu dia berbalik padaku.
"Anne! Kau cantik! Kau mengagumkan! Kau ratu kecilku! Pemberani seperti singa.
Kau perempuan sihir berambut hitam!"
Aku dipeluknya. Diciuminya rambutku, mataku, dan kemudian bibirku.
"Dan sekarang kembali ke urusan kita," katanya, dan dilepaskannya aku dengan
tiba-tiba. "Keluarkan kaleng-kaleng parafin itu."
Kukerjakan perintahnya. Dia sibuk di dalam pondok. Kemudian kulihat dia di atap
pondok. Dia merangkak di sepanjang atap itu sambil memeluk sesuatu. Beberapa
menit kemudian dia kembali padaku.
"Pergi ke sampan. Kita harus membawa parafin itu menyeberangi pulau ini ke sisi
lain." Setelah aku pergi, diangkatnya parafin itu.
"Mereka kembali," seruku dengan suara halus. Aku melihat bayangan kabur bergerak
di pantai di seberang. Harry berlari mendatangiku.
"Tepat pada waktunya. Aduh - mana sampan kita?"
Keduanya sudah dilepaskan dari tambatannya dan hanyut. Harry mendesis.
"Kita terkurung, Sayang. Keberatan?"
"Bersama kau, tidak."
"Ah, tapi bersama untuk mati, apa enaknya. Kita akan mengusahakan yang lebih
baik. Lihat - sekarang mereka datang dua perahu penuh. Mereka akan mendarat di
dua tempat yang berlainan. Nah, sekarang kujalankan tipu muslihatku."
Pada saat yang bersamaan dengan kata-katanya itu, tersemburlah nyala api tinggi
dari atas pondok. Cahayanya menerangi dua sosok manusia, yang meringkuk
berpelukan di atas atap. "Itu pakaian tuaku - yang kuisi dengan permadani butut. Untuk sementara itu bisa
mengelabui mereka. Ayo, Anne, kita mencoba suatu usaha yang nekat."
Dengan berpegangan tangan, kami berlari cepat menyeberangi pulau itu. Sebuah
terusan sempit memisahkan pulau kami dengan pantai di seberangnya.
"Kita harus berenang ke seberang. Bisa kau berenang, Anne" Bukan apa-apa. Aku
bisa saja menyeberangkan kau. Bagian ini malah tak baik untuk perahu - terlalu
banyak batunya. Tapi tempat ini baik untuk berenang, dan dari sini mudah ke
Livingstone." "Aku bisa berenang sedikit-sedikit - lebih jauh dari itu pun bisa. Apa bahayanya,
Harry?" tanyaku karena aku melihat kebimbangan di wajahnya. "Apakah ada hiu di
sini?" "Tidak ada, Gadisku yang tolol. Ikan hiu hidup di laut. Tapi pengamatanmu memang
tajam, Anne. Di sini buaya yang menjadi kesulitan."
"Buaya?" "Ya, tapi jangan ingat-ingat binatang itu - sebaiknya bacalah doa apa saja yang
kauingini." Kami mencebur. Agaknya doaku didengar, karena kami tiba di pantai seberang tanpa
kesulitan. Kami mendaki tebing dalam keadaan basah kuyup.
"Sekarang kita ke Livingstone. Terus terang, jalannya sulit, apalagi dengan
pakaian basah. Tapi kita harus melakukannya."
Perjalanan itu serasa mimpi buruk. Rokku yang basah terkepak-kepak di kakiku,
dan sebentar saja kaus kakiku sudah robek-robek kena duri. Akhirnya aku
terduduk, kehabisan tenaga. Harry kembali mendatangiku.
"Berdiri, Sayang. Biar kupikul kau."
Dengan cara begitulah aku tiba di Livingstone, tergantung di pundak Harry
seperti sekarung arang. Tak bisa kubayangkan bagaimana dia mampu berbuat begitu.
Cahaya fajar samar-samar sudah mulai kelihatan. Teman Harry adalah seorang
pemuda yang berumur kira-kira dua puluh tahun. Dia mempunyai sebuah toko yang
menjual barang-barang khas pribumi. Namanya Ned - mungkin ada nama lainnya, tapi
aku tak pernah mendengarnya. Dia sama sekali tak kelihatan heran melihat Harry
masuk dalam keadaan basah kuyup, sambil menggandeng seorang wanita yang juga
basah kuyup. Laki-laki memang hebat.
Kami diberinya makanan dan kopi panas, dan pakaian kami dikeringkan sementara
kami membungkus badan kami dengan selimut Manchester yang coraknya norak. Di
kamar kecil di bagian belakang pondoknya, kami tidak akan kelihatan oleh siapa
pun. Sementara itu dia pergi untuk mencari tahu tentang rombongan Sir Eustace,
dan apakah ada di antara mereka yang masih ada di hotel.
Pada saat itulah aku memberi tahu Harry, bahwa tak ada satu pun yang bisa
memaksaku pergi ke Beira. Aku tak pernah berniat untuk itu, dan sekarang, semua
alasan untuk ke sana sama sekali sudah tak ada lagi. Tujuan rencana kami adalah
supaya musuh-musuhku menyangka bahwa aku sudah mati. Karena sekarang mereka
sudah tahu bahwa aku tidak mati, maka kepergianku ke Beira tak ada gunanya.
Dengan mudah mereka bisa mengikutiku ke sana dan membunuhku dengan tenang. Di
sana tidak akan ada yang melindungiku. Akhirnya kami sepakati bahwa aku akan
bergabung lagi dengan Suzanne, di mana pun dia berada, dan akan selalu sangat
berhati-hati menjaga diriku. Aku sama sekali tak boleh mencari petualangan atau
berusaha mengalahkan 'Kolonel'.
Aku harus tinggal tenang-tenang dengan Suzanne dan menunggu instruksi-instruksi
dari Harry. Berlian-berlian itu harus disimpan di bank atas nama Parker.
"Ada satu hal," kataku sambil berpikir, "kita harus punya semacam kode. Jangan
sampai kita terjebak lagi oleh pesan-pesan yang menyuruh datang dari satu tempat
ke tempat lain." "Itu mudah. Setiap pesan yang benar-benar datang dariku, harus ada satu kata
'dan' yang tercoret di dalamnya."
"Tanpa ciri khusus itu, berarti palsu," gumamku. "Bagaimana dengan telegram?"
"Setiap telegram dariku akan ditandatangani dengan nama 'Andy'."
"Sebentar lagi kereta api akan tiba, Harry," kata Ned, yang menjengukkan
kepalanya sebentar, lalu segera menariknya kembali.
Aku bangkit. "Apakah aku harus menikah dengan seorang pria yang baik dan sudah mapan bila aku
bisa menemukannya?" tanyaku berlagak serius.
Harry datang lebih dekat padaku.
"Demi Tuhan, Anne! Kalau kau sampai kawin dengan pria lain, akan kucekik
lehernya. Dan kau sendiri - "
"Ya?" kataku dengan gembira.
"Kau akan kularikan dan kupukuli sampai babak belur!"
"Menyenangkan sekali suami pilihanku ini!" kataku menyindir. "Dan pikirannya
berubah hanya dalam semalam."
BAB XXVIII (Cuplikan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler)
SEBAGAIMANA yang pernah kunyatakan, aku ini sebenarnya orang yang suka damai.
Aku mendambakan hidup yang tenang - tapi justru yang satu itulah yang tak bisa
kuperoleh. Aku selalu berada di tengah-tengah badai dan bahaya. Aku sudah merasa
lega sekali karena sudah bebas dari Pagett yang terus-menerus ingin mencari-cari
persekongkolan. Nona Pettigrew adalah makhluk yang berguna. Meskipun dia sama
sekali tak cantik, ada beberapa kecakapannya yang sangat berguna. Waktu kami di
Bulawayo, aku mendapat sakit lever ringan, dan kuakui bahwa sebagai akibatnya
aku memang marah-marah terus. Tapi itu juga disebabkan karena aku mengalami
gangguan di kereta api, semalam sebelumnya. Seorang anak muda yang berpakaian
rapi sekali dan bertampang seperti pahlawan dalam film koboi yang lucu, masuk ke
dalam gerbongku, jam tiga subuh. Dia bertanya ke mana aku akan pergi. Mula-mula
aku berkata, "Tolong bawakan teh tanpa gula." Tapi dia tidak mempedulikan
permintaanku itu. Dikatakannya bahwa dia bukan pelayan kereta, melainkan seorang
petugas imigrasi, dan pertanyaannya diulanginya lagi. Akhirnya aku berhasil
memuaskan hatinya dengan mengatakan bahwa aku tidak sedang menderita suatu
penyakit menular, dan bahwa aku sedang dalam perjalanan untuk berkunjung ke
Rhodesia, dengan alasan yang murni sekali. Selanjutnya kuberikan pula nama
lengkapku dan tempat lahirku. Kemudian kucoba untuk tidur sedikit, tapi seorang
tolol yang tak berhak, membangunkan aku pukul setengah enam dengan membawa
secangkir cairan bergula yang disebutnya teh. Memang cairan itu tidak kusiramkan
padanya, meskipun sebenarnya ingin sekali aku berbuat begitu. Pukul enam aku
dibawakannya teh tanpa gula yang dingin sekali. Setelah itu aku tertidur karena
keletihan. Aku terbangun setelah kami keluar dari Bulawayo, dan langsung
dibebani seekor jerapah jelek dari kayu, yang berkaki dan berleher panjang
sekali! Semuanya berjalan lancar, kecuali gangguan-gangguan kecil tadi itu. Kemudian
terjadi kekacauan baru. Waktu itu adalah malam hari kami tiba di Air Terjun. Aku sedang mendiktekan
surat-surat pada Nona Pettigrew, ketika tiba-tiba Nyonya Blair menyerbu masuk
tanpa meminta maaf, dengan mengenakan pakaian yang sangat memalukan.
"Di mana Anne?" teriaknya.
Bagus sekali pertanyaannya. Seolah-olah aku bertanggung jawab atas gadis itu.
Apa pikir Nona Pettigrew nanti" Tentu dipikirnya aku bisa saja mengeluarkan Anne
Beddingfeld dari sakuku, tengah malam atau kapan saja. Sungguh memalukan untuk
orang yang berkedudukan seperti aku.
"Kurasa dia ada di tempat tidurnya," kataku dingin.
Aku menelan ludah, lalu mengerling ke arah Nona Pettigrew, menyatakan bahwa aku
sudah siap mendikte lagi. Kuharapkan Nyonya Blair mengerti sindiranku itu. Tapi
dia sama sekali tak mengerti. Dia malah duduk, dan menggoyang-goyangkan kakinya
yang bersandal kuat-kuat.
"Dia tak ada di kamarnya. Saya baru saja ke sana. Saya bermimpi - mimpi yang
mengerikan - bahwa dia dalam bahaya besar. Saya lalu bangun dan pergi ke kamarnya
akan meyakinkan diri. Dia tak ada di sana, dan tempat tidurnya belum ditiduri."
Dia melihat padaku dengan pandangan memohon.
"Apa yang harus saya lakukan, Sir Eustace?"
Kutahan diriku supaya tidak menyahut, "Pergilah tidur, dan jangan kuatir.
Seorang gadis yang cukup kuat seperti Anne Beddingfeld, tentu bisa menjaga
dirinya sendiri." Aku hanya mengerutkan dahiku.
"Apa kata Race?"
Mengapa Race bisa enak-enak saja" Bebani jugalah dia dengan hal-hal tetek-bengek
dari kaum wanita, jangan yang enak-enak saja.
"Saya tak bisa menemukan dia."
Agaknya wanita itu sudah bersusah-payah malam ini. Aku mendesah lalu duduk.
"Aku kurang mengerti mengapa Anda begitu kacau," kataku dengan sabar.
"Mimpi saya itu - "
"Mungkin karena kare yang kita makan tadi!"
"Aduh, Sir Eustace!"
Dia benar-benar marah. Padahal semua orang tahu bahwa mimpi buruk adalah akibat
langsung dari makanan yang tak enak.
"Tapi," lanjutku membujuk, "bukankah mungkin saja Anne Beddingfeld dan Race
sedang keluar untuk berjalan-jalan, tanpa harus membangunkan seisi hotel?"
"Anda mengira bahwa mereka hanya pergi untuk berjalan-jalan" Tapi bukankah
sekarang sudah lewat tengah malam?"


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang muda biasa berbuat tolol begitu," gumamku, "meskipun sebenarnya Race
sudah cukup tua untuk bisa berpikir lebih baik."
"Benarkah Anda pikir begitu?"
"Aku yakin bahwa mereka lari untuk kawin," lanjutku menenangkan. Padahal aku
sadar bahwa itu pikiran tolol. Karena, ke mana mereka akan lari di tempat
seperti ini" Aku tak tahu berapa lama lagi aku harus mencari-cari alasan-alasan lemah seperti
itu. Untunglah saat itu Race sendiri masuk. Aku hanya setengah benar. Dia memang
baru kembali dari berjalan-jalan, tapi dia tidak mengajak Anne. Bagaimanapun
juga aku sudah salah menangani keadaan itu. Hal itu segera terbukti. Dalam tiga
menit saja, Race sudah berhasil menyuruh orang memeriksa seluruh hotel. Belum
pernah aku melihat orang lebih risau daripada dia ketika itu.
Keadaan itu aneh sekali. Ke mana gadis itu" Dia pergi ke luar hotel, dengan
pakaian lengkap, kira-kira pukul sebelas lewat sepuluh, dan sejak itu tak pernah
kelihatan lagi. Rasanya tak mungkin dia bunuh diri. Dia adalah seorang gadis
enerjik yang cinta kehidupan dan sama sekali tak punya niat untuk menghabisi
nyawanya. Lalu di mana dia"
Kasihan Race, dia bingung sekali. Tak ada satu pun tempat yang tak dibongkarnya
untuk mencari Anne. Semua petugas keamanan, entah petugas apa pun namanya,
sampai sejauh beratus-ratus mil, dikerahkannya. Para pencari pribumi merangkak
kian kemari. Apa saja yang bisa dilakukan, telah dikerjakan - namun Anne
Beddingfeld tetap tak ditemukan. Secara umum orang lalu berpendapat bahwa dia
berjalan dalam tidurnya. Ada tanda di jalan setapak dekat jembatan yang
menunjukkan bahwa gadis itu telah dengan sengaja berjalan ke tepinya. Bila itu
benar, maka tentu dia sudah jatuh terhempas dan hancur membentur batu-batu di
bawah. Sayang, kebanyakan bekas jejaknya sudah terhapus oleh serombongan
wisatawan yang berjalan-jalan ke arah itu, pagi-pagi pada hari Senin.
Aku tak yakin apakah teori itu tepat. Waktu masih muda, aku sering mendengar
bahwa orang yang berjalan dalam tidurnya tidak akan mencelakai dirinya sendiri
dan bahwa indria keenam mereka yang menjaga mereka. Tapi kurasa, Nyonya Blair
juga merasa bahwa teori itu tidak tepat.
Aku tak bisa mengerti wanita itu. Seluruh sikapnya terhadap Race kini berubah.
Kini dia mengawasinya seperti kucing mengintai tikus, dan nyata sekali bahwa
hanya dengan berusaha keras saja dia berhasil bersikap sopan terhadap Race.
Padahal mereka semula bersahabat. Wanita itu sudah berubah sama sekali. Dia jadi
penggugup, histeris, cepat terkejut, dan terlompat mendengar bunyi yang sekecil-
kecilnya. Aku mulai berpikir bahwa sudah tiba saatnya aku harus pergi ke
Johannesburg. Kemarin kudengar desas-desus tentang sebuah pulau misterius di hulu sungai, yang
didiami oleh seorang laki-laki dan seorang gadis. Race jadi ribut sekali. Tapi
rupanya itu isapan jempol belaka. Laki-laki itu rupanya sudah bertahun-tahun
tinggal di situ, dan manajer hotel tahu benar akan hal itu. Laki-laki itu biasa
mengantar rombongan-rombongan bersampan-sampan hilir-mudik di sungai bila cuaca
baik, dan menunjukkan buaya dan bayangan kuda Nil kalau sedang ada. Kurasa laki-
laki itu memelihara seekor buaya jinak, yang dilatihnya untuk makan makanan yang
dilemparkannya dari sampan. Lalu binatang itu didorongnya dengan kaitan sampan,
dan rombongan akan menyangka bahwa akhirnya mereka telah melihat punggung
binatang langka itu. Tidak diketahui dengan pasti sudah berapa lama gadis itu
ada di sana. Tapi agaknya sudah jelas bahwa tak mungkin dia itu Anne. Apalagi,
kurang baik mencampuri urusan orang lain. Jika aku yang menjadi anak muda itu,
pasti Race akan kutendang keluar dari pulau itu, bila dia datang untuk bertanya
tentang urusan cintaku. Kemudian. Sudah pasti aku akan berangkat ke Johannesburg besok. Race yang mendesakku untuk
pergi. Kudengar keadaan di sana tak menyenangkan. Jadi sebaiknya aku pergi
sebelum keadaan memburuk. Aku yakin bahwa aku akan tertembak oleh pemogok.
Sebenarnya Nyonya Blair akan menemaniku ke sana, tapi pikirannya berubah pada
saat terakhir, dan diputuskannya untuk tinggal di Air Terjun saja. Rupanya dia
bermaksud terus mengawasi Race. Semalam dia datang padaku, dan dengan ragu
berkata bahwa dia mengharapkan bantuanku. Dimintanya agar aku mau mengurus
suvenir-suvenirnya. "Bukan binatang-binatang itu, kan?" tanyaku ngeri. Aku sudah merasa bahwa cepat
atau lambat, aku akan terlibat juga dengan binatang-binatang yang memuakkan itu.
Akhirnya kami mendapatkan kata sepakat. Aku harus mengurus dua buah kotak kecil
dari kayu, yang berisi barang-barang yang mudah pecah. Binatang-binatang itu
akan dipak dalam peti-peti kayu yang besar oleh toko setempat, dan dikirim ke
Cape Town dengan kereta api. Di sana Pagett akan mengurus penyimpanannya.
Orang-orang yang mengepaknya berkata bahwa binatang-binatang itu bentuknya
sulit-sulit, sehingga harus dibuatkan peti-peti khusus. Kuperingatkan pada
Nyonya Blair bahwa sampai dia tiba di rumahnya kelak, harga binatang-binatang
itu akan menjadi satu pound sebuah!
Pagett ingin sekali bergabung denganku di Johannesburg, Tapi peti-peti Nyonya
Blair akan kujadikan alasan untuk menyuruhnya tetap berada di Cape Town. Aku
telah menulis surat padanya, bahwa dia harus menerima peti-peti itu dan mengurus
penempatannya yang aman, karena peti-peti itu berisi barang-barang khas dan
langka yang mahal sekali.
Jadi semuanya sudah beres, dan aku berangkat dengan Nona Pettigrew. Dan siapa
pun yang telah melihat Nona Pettigrew akan mengakui bahwa perjalananku dengan
wanita itu adalah perjalanan yang terhormat.
BAB XXIX Johannesburg, 6 Maret. ADA sesuatu dalam keadaan di sini yang sama sekali tak sehat. Boleh dikatakan
kami ini hidup di lereng gunung berapi, begitulah istilah yang begitu terkenal,
yang sering kubaca. Para pemogok berkeliaran di jalan-jalan dan memandangi orang
dengan pandang mengancam. Kurasa mereka memilih kaum kapitalis yang gendut-
gendut, supaya mudah menyembelihnya bila pembunuhan besar-besaran terjadi. Orang
tak bisa naik taksi - kalau kita mencoba juga, kaum pemogok itu akan menarik kita
keluar lagi. Dari hotel-hotel dengan senang hati memperingatkan bahwa bila
makanan habis, mereka akan melempar kita ke luar!
Kemarin malam aku bertemu dengan Reeves, sahabatku dari Partai Buruh, dengan
siapa aku bertemu di Kilmorden. Belum pernah aku melihat orang yang selalu
ketakutan seperti dia. Dia sama saja dengan orang lain di tempat itu; mereka
berpidato panjang-lebar dengan penuh semangat, semata-mata untuk tujuan politik,
kemudian mereka menyesalinya. Saat ini dia sedang sibuk pergi kian kemari untuk
mengatakan bahwa dia tidak melakukannya. Waktu aku bertemu dengannya itu, dia
baru saja akan berangkat ke Cape Town, di mana rencananya dia akan berpidato
dalam bahasa Belanda tiga hari lamanya, untuk membela dirinya dan mengatakan
bahwa apa-apa yang pernah diucapkannya sebenarnya lain maksudnya. Aku bersyukur
bahwa aku tak duduk di Badan Legislatif Afrika Selatan. Menjadi anggota Majelis
Rendah Kerajaan Inggris seperti aku ini, sudah cukup pusing. Tapi setidaknya
kami punya satu bahasa, dan ada batas-batas tertentu dalam panjangnya pidato.
Waktu aku berkunjung ke badan legislatif itu, sebelum aku berangkat dari Cape
Town, aku mendengarkan pidato seorang pria berambut kelabu yang kumisnya
menggantung ke bawah. Dia persis seorang tokoh dalam dongeng Alice in
Wonderland, yang bernama Mock Turtle. Kata-katanya diucapkannya sepatah demi
sepatah, dengan cara yang melankolis sekali. Sekali-sekali dia menguatkan
dirinya sendiri, dan mengucapkan kata-katanya dengan lebih bersemangat, berbeda
dengan bagian lain dari pidatonya. Bila dia berbuat demikian, separuh dari yang
hadir berteriak, 'Wuuu, wuuu!', yang mungkin merupakan kata-kata bahasa Belanda
yang berarti 'Dengar, dengar'. Maka hadirin yang separuh lagi akan tersentak
bangun dari tidur yang nyaman. Diceritakan padaku, bahwa sekurang-kurangnya
sudah tiga hari pria itu berpidato terus-menerus. Penyabar sekali orang-orang di
Afrika Selatan ini. Aku telah menciptakan pekerjaan yang banyak sekali untuk menahan Pagett di Cape
Town. Tapi akhirnya keringlah sumber ilhamku, dan besok dia akan menyertaiku
dengan semangat seekor anjing setia yang datang dan siap mati di sisi
majikannya. Dan aku pun telah banyak kemajuan dengan buku Kenang-kenanganku!
Telah kuciptakan beberapa lelucon mengenai apa yang dikatakan para pemimpin
pemogokan kepadaku, dan apa yang kukatakan pada para pemimpin itu.
Pagi ini aku diwawancarai oleh seorang pegawai Pemerintah. Dia kadang-kadang
sopan, kadang-kadang mendesak, dan sekali-sekali misterius pula. Pertama-tama
dia menyindir tentang kedudukanku yang mulia dan penting dan menganjurkan agar
aku mau pindah, atau mau dipindahkannya ke Pretoria.
"Jadi Anda menduga akan terjadi kesulitan?" tanyaku.
Jawabannya panjang-lebar, dan sama sekali tak ada artinya. Jadi aku
berkesimpulan bahwa mereka merasa akan ada kesulitan besar. Kukatakan bahwa
Pemerintah mereka telah membiarkan situasi berlarut-larut.
"Bukankah ada cara, di mana kita memberikan tali panjang pada seseorang, dan
membiarkannya menggantung dirinya sendiri, Sir Eustace?"
"Oh ya, memang."
"Sebenarnya bukan para pemogok itu sendiri yang menyebabkan kesulitan. Tapi
mereka sebenarnya didalangi oleh suatu organisasi. Senjata dan bahan-bahan
peledak telah mengalir masuk kota dan kami telah berhasil merampas dokumen yang
menjelaskan bagaimana cara mereka mengimpor barang-barang itu. Mereka
menggunakan kata-kata sandi tertentu. Kentang berarti 'granat', kembang kol
berarti 'senapan', sayur-sayuran lain berarti bermacam-macam alat peledak."
"Menarik sekali," sahutku.
"Lebih dari itu, Sir Eustace, kami punya alasan kuat dan terpercaya, bahwa orang
yang menjadi otak semuanya ini, yaitu orang jenius yang memimpin peristiwa ini,
pada saat ini ada di Johannesburg."
Dia menatapku lama sekali, hingga aku takut kalau-kalau dia curiga bahwa akulah
orang itu. Keluar keringat dinginku memikirkan hal itu, dan aku menyesal telah
punya niat untuk meninjau sendiri revolusi kecil ini.
"Tak ada kereta api yang berangkat dari Johannesburg ke Pretoria," lanjutnya.
"Tapi saya bisa mengatur untuk mengirim Anda ke sana dengan mobil pribadi. Untuk
menjaga kalau-kalau Anda dihadang di tengah jalan, saya bisa memberi Anda dua
surat jalan terpisah. Satu yang dikeluarkan oleh Pemerintah Union, dan satu lagi
surat keterangan yang menyatakan bahwa Anda adalah tamu berkebangsaan Inggris,
yang sama sekali tak ada hubungan apa-apa dengan Union."
"Satu untuk rakyat Anda, dan satu lagi untuk para pemogok, bukan?"
"Benar." Tapi aku tak tertarik akan proyek itu - aku tahu apa yang akan terjadi dalam
keadaan seperti itu. Kita jadi kacau dan bingung. Bisa-bisa aku memberikan surat
jalan yang salah kepada orang yang salah, dan akibatnya aku akhirnya ditembak
oleh pemberontak yang haus darah itu, atau oleh salah seorang pendukung hukum
dan ketertiban, yang kulihat mengawal jalan-jalan dengan memakai topi bulat,
mengisap pipa, dan mengepit senapannya secara sembarangan. Lagi pula, apa yang
akan kulakukan di Pretoria" Apakah aku harus mengagumi arsitektur gedung-gedung
Union, dan mendengarkan gema suara tembakan di sekitar Johannesburg" Maka aku
akan terkurung di sana entah untuk berapa lamanya. Kudengar mereka telah
meledakkan jalur kereta api. Agaknya membeli minuman pun sulit di sana. Tempat
Pendekar Muka Buruk 6 Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat Pendekar Pemanah Rajawali 18
^