Pencarian

Pria Bersetelan Coklat 5

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie Bagian 5


itu telah dinyatakan dalam keadaan bahaya dua hari yang lalu.
"Saudaraku," kataku, "agaknya Anda tak tahu bahwa saya sedang meninjau keadaan
di Rand. Bagaimana saya akan bisa meninjaunya dari Pretoria" Saya hargai
perhatian Anda atas keselamatan saya, tapi Anda tak perlu kuatir mengenai diri
saya. Saya akan baik-baik saja."
"Saya peringatkan Anda, Sir Eustace, bahwa soal makanan sudah jadi serius di
sini." "Sedikit berpuasa malah ada baiknya untuk bentuk tubuh saya," kataku sambil
mendesah. Percakapan kami terganggu karena sepucuk telegram disampaikan padaku. Dengan
penuh keheranan kubaca telegram itu,
"Anne selamat. Dia di Kimberley bersama saya. Suzanne Blair."
Kurasa aku tak pernah percaya benar tentang hilangnya Anne. Ada sesuatu yang
aneh yang tak bisa dihancurkan pada diri gadis itu - dia seperti bola ampuh yang
tak bisa rusak meskipun diberikan pada seekor anjing. Dia mempunyai kemampuan
istimewa untuk muncul kembali dengan tersenyum. Tapi aku masih tak mengerti,
mengapa dia menganggap perlu untuk keluar dari hotel tengah malam - hanya untuk
pergi ke Kimberley. Malam hari tak ada kereta api. Mungkin dia memasang sayap
bidadari dan terbang ke sana. Dan kurasa dia tidak akan pernah mau menjelaskan.
Tak ada seorang pun yang mau memberi penjelasan - padaku. Aku selalu saja harus
menerka. Lama-lama jadi membosankan. Kurasa itu memang dibutuhkan dalam
persuratkabaran. Telegram itu kulipat kembali dan temanku dari Pemerintah itu pergi. Aku tak
senang kalau mengingat bahwa aku terpaksa kelaparan, tapi aku tidak merisaukan
keselamatan pribadiku. Smuts benar-benar mampu menangani pemberontakan. Tapi aku
harus membayar banyak kalau ingin minum! Aku ingin tahu apakah Pagett punya
pikiran untuk membawa sebotol wiski, bila dia tiba besok"
Kupakai topiku dan aku keluar, dengan niat membeli beberapa suvenir. Toko-toko
suvenir di Johannesburg agak menyenangkan. Aku sedang melihat-lihat etalase yang
penuh dengan barang-barang aneh yang menakjubkan, ketika tiba-tiba seorang pria
yang keluar dari toko itu menubruk aku. Aku keheranan, karena ternyata dia
adalah Race. Aku tak bisa berkata bahwa dia senang bertemu denganku. Sebaliknya, jelas
kelihatan bahwa dia jengkel. Tapi aku memaksanya untuk ikut aku ke hotel. Aku
bosan tak punya teman bicara lain, kecuali Nona Pettigrew.
"Aku tak menyangka kau ada di Johannesburg," ocehku. "Kapan kau tiba?"
"Semalam." "Menginap di mana?"
"Di tempat teman."
Dia jadi sangat pendiam, dan kelihatan merasa tak enak menjawab pertanyaan-
pertanyaanku. "Mudah-mudahan saja temanmu itu memelihara ayam itik," kataku. "Kudengar dalam
waktu singkat kita akan sangat memerlukan makanan berupa telur yang baru dan
sekali-sekali makan ayam jantan yang sudah tua."
"Ngomong-ngomong," kataku setiba kami di hotel, "apakah kau sudah mendengar
bahwa Nona Beddingfeld masih hidup dan sehat-sehat saja?"
Dia mengangguk. "Bukan main cemasnya kita dibuatnya," kataku seenakku. "Ingin sekali aku tahu ke
mana gerangan dia pergi malam itu."
"Dia berada di pulau, selama itu."
"Di pulau mana" Bukan di pulau yang didiami anak muda itu?"
"Ya, di situlah."
"Benar-benar tak pantas," kataku. "Kalau Pagett mendengar, dia akan shock. Dia
tak pernah suka pada Anne Beddingfeld. Apakah dia anak muda yang sebenarnya
ingin dijumpainya di Durban dulu itu?"
"Aku rasa bukan."
"Kalau kau tak suka menceritakannya, tak usah," kataku, padahal sebenarnya aku
mendorongnya untuk bercerita.
"Kurasa dia adalah anak muda yang akan membuat kita senang sekali, bila kita
bisa menangkapnya." "Bukan - ?" seruku. Aku jadi berapi-api. Dia mengangguk.
"Harry Rayburn, alias Harry Lucas - itulah namanya yang sebenarnya, tahukah Anda
itu" Sekali lagi dia telah berhasil meloloskan diri, tapi kita akan segera
menangkapnya." "Bukan main," gumamku.
"Tapi kita tidak mencurigai gadis itu terlibat dalam suatu perkara. Di pihak
dia, itu hanya merupakan - urusan cinta."
Aku sudah lama menduga bahwa Race jatuh cinta pada Anne. Caranya mengucapkan
kata-kata yang terakhir itu membuatku merasa lebih yakin.
"Dia pergi ke Beira," lanjutnya cepat.
"Begitukah?" tanyaku terbelalak. "Bagaimana kau tahu?"
"Dia menulis surat padaku dari Bulawayo, menceritakan bahwa dari situ dia akan
pulang. Itulah yang terbaik bagi anak malang itu."
"Tapi kurasa dia tidak berada di Beira," kataku merenung.
"Dia baru akan berangkat ke sana waktu dia menulis surat itu."
Aku tak mengerti. Jelas ada yang berbohong. Tak terpikir olehku bahwa Anne punya
alasan kuat untuk memberikan keterangan yang menyesatkan. Aku akan senang sekali
kalau aku bisa menyalahkan Race. Dia selalu begitu yakin akan dirinya sendiri.
Kukeluarkan telegram tadi dari sakuku, lalu kuberikan padanya.
"Lalu bagaimana hal ini bisa dijelaskan?" tanyaku.
Dia terpana. "Katanya dia baru akan berangkat ke Beira," sahut Race bingung.
Banyak orang mengira Race itu orang yang pintar. Tapi menurutku, dia agak bodoh.
Tak pernah terpikir olehnya bahwa seorang gadis tidak selalu mengatakan yang
sebenarnya. "Kimberley lagi. Apa yang mereka lakukan di sana?" gumamnya.
"Ya, aku pun heran. Kupikir Anne sedang sibuk-sibuknya di sini, mengumpulkan
berita untuk Daily Budget."
"Kimberley," katanya lagi. Agaknya tempat itu membuatnya risau. "Tak ada apa-apa
yang pantas dilihat di sana - tambang intan pun sedang tak dikerjakan."
"Maklumlah wanita," kataku samar.
Dia menggeleng lalu pergi. Rupanya aku telah memberinya bahan untuk
dipikirkannya. Baru saja dia pergi, temanku yang pegawai Pemerintah itu muncul lagi.
"Saya harap Anda mau memaafkan saya karena mengganggu Anda lagi, Sir Eustace,"
katanya penuh penyesalan, "Tapi masih ada satu - dua pertanyaan lagi yang harus
saya tanyakan pada Anda."
"Boleh saja, Saudara," sahutku dengan ceria, "Tanya saja."
"Ini mengenai sekretaris Anda - "
"Saya tak tahu apa-apa tentang dia," kataku buru-buru, "Dia menyodorkan dirinya
pada saya, di London, mencuri beberapa surat berharga dari saya - untuk mana saya
harus memberikan pertanggungjawabannya - lalu menghilang begitu saja di Cape Town.
Memang saya berada di Air Terjun, bersamaan dengan waktu dia berada di sana,
tapi saya di hotel sedang dia di sebuah pulau. Saya sama sekali tak pernah
melihatnya selama saya berada di sana."
Aku berhenti untuk bernapas.
"Anda salah mengerti, Sir Eustace, Yang saya bicarakan adalah sekretaris Anda
yang seorang lagi." "Apa" Pagett?" seruku, benar-benar terkejut.
"Sudah delapan tahun dia bekerja pada saya - dia orang yang bisa dipercaya
sepenuhnya." Orang itu tersenyum. "Masih simpang-siur percakapan kita. Maksud saya yang wanita."
"Nona Pettigrew?" seruku lagi.
"Ya. Dia kelihatan keluar dari toko Agrasato yang menjual barang-barang cendera
mata." "Ya, Tuhan!" selaku. "Saya sendiri tadi siang juga ke tempat itu. Bisa-bisa saya
yang Anda tangkap keluar dari tempat itu!"
Kelihatannya tak ada satu pun hal yang biasa yang bisa dilakukan orang di
Johannesburg ini, tanpa dicurigai.
"Ya! Tapi dia ke sana lebih dari satu kali - dan dalam keadaan yang agak
mencurigakan. Sebaiknya saya katakan saja pada Anda - tapi ini rahasia, Sir
Eustace - bahwa tempat itu dicurigai sebagai tempat yang dipakai untuk pertemuan
organisasi rahasia yang mendalangi pemberontakan ini. Sebab itu saya akan senang
sekali kalau boleh mendengar tentang segala sesuatu yang bisa Anda ceritakan
tentang wanita itu. Di mana dan bagaimana Anda sampai mempekerjakan dia?"
"Dia dipinjamkan kepada saya oleh Pemerintah Anda sendiri."
Dia benar-benar terpukul.
BAB XXX (Lanjutan Kisah Anne) BEGITU tiba di Kimberley, aku langsung mengirim telegram pada Suzanne. Dia cepat
sekali datang menemuiku. Dia memberitahukan kedatangannya dengan mengirimkan
beberapa pucuk telegram sepanjang perjalanan - mendahuluinya. Aku heran sekali
melihat kenyataan bahwa dia benar-benar sayang padaku - kusangka aku hanya sekadar
suatu sensasi baru saja baginya. Tapi waktu kami bertemu dia benar-benar
memelukku dan menangis. Setelah kami agak pulih dari emosi kami, aku duduk di tempat tidur, dan
kuceritakan seluruh pengalamanku dari A sampai Z.
"Kau memang selalu mencurigai Kolonel Race," katanya sambil merenung, setelah
aku selesai. "Aku baru mulai curiga setelah kau hilang malam itu. Sebelum itu,
aku suka sekali padanya, dan kupikir dia akan merupakan suami yang baik sekali
untukmu. Jangan marah, Anne sayang. Tapi bagaimana kau tahu bahwa pemudamu itu
berkata benar" Kau mempercayai setiap kata yang diucapkannya."
"Tentu aku percaya," seruku dengan marah.
"Apanya sih yang menarik bagimu" Aku sama sekali tak melihat apa-apa pada
dirinya, kecuali ketampanannya dan kesembronoannya. Dan kurasa, caranya bercinta
pun merupakan cara modern yang masih berbau kuno dengan sedikit seni bercinta
seperti orang-orang Zaman Batu."
Habislah Suzanne kumaki-maki selama beberapa menit.
"Mentang-mentang kau sudah menikah dan sudah tenang dan menjadi gemuk. Kau lupa
bahwa masih ada sesuatu yang bernama romantika," kataku mengakhiri amarahku.
"Oh, aku kan tidak menjadi gemuk, Anne. Gara-gara kecemasanku memikirkan dirimu
akhir-akhir ini, aku pasti telah menjadi kurus kering."
"Kau kelihatan sehat-sehat saja," kataku dingin. "Kurasa beratmu malah bertambah
kira-kira dua puluh kilo."
"Dan aku tak yakin apakah perkawinanku telah memberikan ketenangan hati padaku,"
lanjut Suzanne lirih. "Aku baru menerima telegram yang paling menyakitkan hati
dari Clarence. Dia menyuruhku cepat-cepat pulang. Akhirnya tak kujawab telegram-
telegramnya, dan sekarang sudah lebih dari dua minggu aku tak menerima kabar
dari dia." Aku tidak terlalu mengindahkan keluhan-keluhan tentang kesulitan-kesulitan dalam
hidup perkawinan Suzanne. Dia pasti bisa membereskannya dengan Clarence, bila
saatnya tiba. Maka kualihkan pokok pembicaraan pada soal berlian-berlian.
Suzanne memandangku dengan pandangan menyesal.
"Aku harus memberi penjelasan padamu, Anne. Begini, begitu aku mulai mencurigai
Kolonel Race, aku jadi kuatir sekali mengenai berlian-berlian itu. Aku ingin
tetap tinggal di Air Terjun, karena takut kalau-kalau dia telah menculik kau dan
menyembunyikan kau di sekitar sana. Tapi aku tak tahu apa yang harus kuperbuat
dengan permata-permata itu. Aku takut menyimpannya sendiri - "
Suzanne melihat ke sekelilingnya dengan takut, dia seolah-olah takut dinding-
dinding ruangan itu bertelinga. Lalu dia berbisik dengan bersemangat di
telingaku. "Suatu gagasan yang bagus sekali," kataku membenarkan. "Maksudku untuk saat itu.
Untuk saat sekarang keadaannya jadi sulit. Apa yang dilakukan Sir Eustace dengan
peti-peti itu?" "Yang besar-besar dikirim ke Cape Town. Hal itu kudengar dari Pagett sebelum aku
berangkat dari Air Terjun, dan dia mengirimkan surat tanda terima
penyimpanannya. Ngomong-ngomong, hari mi dia berangkat dari Cape Town, untuk
menggabungkan diri dengan Sir Eustace di Johannesburg."
"Oh, begitu," kataku merenung. "Lalu peti-peti yang kecil di mana?"
"Kurasa ada pada Sir Eustace sendiri."
Kupikirkan hal itu. "Yah," kataku akhirnya, "memang sulit - tapi cukup aman. Sekarang ini sebaiknya
kita tidak berbuat apa-apa."
Suzanne memandangku sambil tersenyum kecil.
"Bukankah kau tak suka nganggur, Anne?"
"Memang tidak begitu suka," sahutku sejujurnya.
Satu hal yang jelas bisa kulakukan adalah mencari jadwal kereta api, dan melihat
pukul berapa kereta api yang ditumpangi Guy Pagett akan melewati Kimberley.
Kudapati bahwa kereta api itu akan tiba pukul lima lewat empat puluh esok
petangnya, dan berangkat lagi pukul enam. Aku ingin bertemu dengan Pagett
secepat mungkin, dan waktu itulah merupakan kesempatan yang terbaik. Keadaan di
Rand makin bertambah serius, dan mungkin masih lama aku baru akan mendapat
kesempatan lagi. Satu-satunya hal yang menghidupkan hari itu, adalah sepucuk telegram yang
dikirim dari Johannesburg. Telegram itu sederhana sekali bunyinya,
"Sudah tiba dengan selamat. Semuanya beres. Eric ada di sini, juga Eustace, tapi
Guy tidak. Sekarang tetaplah tinggal di mana kau berada. Andy."
Eric adalah nama julukan kami untuk Race. Aku yang memilihnya karena aku benci
sekali pada nama itu. Jelas tak ada yang harus kulakukan sampai aku bisa bertemu
dengan Pagett. Suzanne menyibukkan diri dengan mengirim telegram panjang untuk
menenangkan Clarence yang jauh. Dia jadi sentimentil dan merindukan suaminya.
Dengan caranya sendiri - yang tentu sangat berbeda dengan aku dan Harry - dia
sebenarnya amat cinta pada Clarence.
"Alangkah baiknya kalau dia ada di sini, Anne," katanya sambil menelan ludah.
"Sudah lama sekali aku tak bertemu dengan dia."
"Oleskan krim ke wajahmu," kataku membujuk.
Suzanne mengoleskan sedikit ke pucuk hidungnya yang bagus.
"Aku juga perlu krim muka lagi," katanya, "padahal yang macam ini hanya ada di
Paris." Dia mendesah. "Paris!"
"Suzanne," kataku, "dalam waktu singkat kau akan merasa bosan di Afrika Selatan
dan bosan bertualang."
"Aku ingin topi yang benar-benar bagus," Suzanne cepat mengaku. "Apakah kau
ingin aku menemanimu menemui Guy Pagett besok?"
"Aku lebih suka pergi sendiri. Dia akan lebih malu berbicara di depan kita
berdua." Esok siangnya aku berdiri di ambang pintu hotel, berjuang dengan payung yang
bandel yang tak mau dibuka, sementara Suzanne berbaring dengan tenangnya di
tempat tidurnya ditemani sebuah buku dan sekeranjang buah-buahan.
Menurut pelayan hotel, kereta api sedang berkelakuan baik dan hampir pasti akan
tiba tepat pada waktunya, meskipun dia sangat meragukan apakah kereta api itu
akan bisa terus ke Johannesburg. Dengan bersungguh-sungguh diceritakannya bahwa
relnya telah diledakkan. Kedengarannya mengecilkan hati!
Kereta api memasuki stasiun terlambat sepuluh menit. Semua orang berebutan turun
ke peron, dan berjalan hilir-mudik dengan kacau. Aku tak menemui kesulitan
menemukan Pagett. Aku cepat-cepat mendatanginya. Seperti biasanya dia terkejut
dan gugup waktu melihat aku - kali ini agak berlebihan.
"Astaga, Nona Beddingfeld, saya sangka Anda sudah hilang."
"Saya sudah muncul kembali," kataku bersungguh-sungguh. "Dan bagaimana kabar
Anda, Mr. Pagett?" "Baik-baik saja, terima kasih - sudah ingin sekali mulai bekerja kembali dengan
Sir Eustace." "Mr. Pagett," kataku, "ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Saya harap Anda tak
tersinggung, soalnya hal itu penting sekali, lebih penting dari yang Anda duga.
Saya ingin tahu apa yang Anda lakukan di Marlow pada tanggal 8 Januari yang
lalu?" Dia terkejut sekali. "Sungguh, Nona Beddingfeld - saya - sungguh."
"Benar Anda ada di sana, bukan?"
"Saya - untuk urusan saya sendiri saya berada di sekitar tempat itu."
"Tak maukah Anda menceritakan urusan Anda itu?"
"Apakah Sir Eustace belum menceritakannya pada Anda?"
"Sir Eustace" Apakah dia tahu?"
"Saya yakin dia tahu. Saya berharap dia tidak mengenali saya waktu itu, tapi
dari sindiran-sindiran yang diucapkannya saya yakin dia tahu. Pokoknya, saya
bermaksud akan mengakui semuanya, dan kemudian minta berhenti. Beliau orang yang
aneh, Nona Beddingfeld, dengan rasa humor yang tak wajar. Agaknya dia senang
membiarkan saya dalam keadaan tegang. Saya yakin bahwa selama ini beliau tahu
keadaan yang sebenarnya. Mungkin sudah bertahun-tahun beliau tahu."
Kuharap saja bahwa cepat atau lambat aku akan mengerti apa yang dikatakan Pagett


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Dia berkata lagi dengan lancar,
"Sulit bagi orang yang berkedudukan seperti Sir Eustace untuk memahami keadaan
saya. Saya tahu bahwa saya salah, tapi rasanya itu merupakan suatu penipuan yang
tak merugikan. Menurut saya, akan lebih baik bila dia langsung menindak saya -
daripada menyatakannya dalam bentuk lelucon sindiran yang menyakiti hati saya."
Terdengar bunyi peluit, dan orang-orang mulai masuk ke kereta api.
"Benar, Mr. Pagett," selaku. "Saya sependapat benar dengan apa yang anda katakan
tentang Sir Eustace. Tapi untuk apa Anda pergi ke Marlow?"
"Saya memang salah pergi ke sana, tapi dalam keadaan itu, wajar - ya, saya tetap
menganggap hal itu wajar dalam keadaan itu."
"Dalam keadaan apa?" teriakku.
Barulah Pagett kelihatan menyadari bahwa aku sedang bertanya padanya. Rupanya
pikirannya baru terlepas dari keanehan-keanehan Sir Eustace, dan keinginannya
untuk membela diri. Dan akulah yang menjadi sasaran pelampiasannya.
"Maaf, Nona Beddingfeld," katanya kaku, "tapi saya tidak melihat kepentingan
Anda dalam urusan ini."
Dia sudah naik ke kereta api. Dia bersandar di jendela, berbicara padaku. Aku
putus asa. Apa yang bisa dilakukan dengan orang seperti itu"
"Yah, kalau memang begitu mengerikan hingga Anda malu mengatakannya pada saya - "
kataku menyakiti hatinya.
Akhirnya aku menemukan cara yang tepat. Pagett menjadi tegang dan wajahnya
memerah. "Mengerikan" Malu" Saya tak mengerti."
"Kalau begitu ceritakanlah."
Hanya dengan tiga kalimat pendek dia menceritakannya. Akhirnya tahulah aku
rahasia Pagett! Rahasia itu jauh berbeda dari apa yang kuharapkan.
Aku berjalan perlahan-lahan kembali ke hotel. Sesampai di sana, disampaikan
padaku sepucuk telegram. Telegram itu kubuka. Isinya instruksi yang lengkap dan
jelas, supaya aku segera berangkat ke Johannesburg, atau tepatnya ke stasiun
pertama sebelum Stasiun Johannesburg. Di sana aku akan dijemput mobil. Telegram
itu ditandatangani Harry, bukan Andy.
Aku duduk dan berpikir. BAB XXXI (Dari Buku Harian Sir Eustace Pedler)
Johannesburg, 7 Maret PAGETT sudah tiba. Tentu saja dia murung. Dia segera menganjurkan supaya kami
berangkat ke Pretoria. Kemudian, waktu kukatakan padanya dengan ramah tapi tegas
bahwa kami akan tetap di sini, dia jadi aneh. Dikatakannya bahwa dia akan merasa
lebih aman bila senapannya ada di sini, lalu mulai ngoceh tentang jembatan yang
pernah dijaganya selama Perang Dunia. Sebuah jembatan kereta api di persimpangan
Little Puddecombe, atau semacamnya.
Kisah itu cepat-cepat kupotong dengan menyuruhnya membuka bungkusan mesin
tiknya. Kupikir hal itu akan menyibukkannya untuk sementara, karena mesin tik
itu pasti tak beres - selalu begitu mesin tik itu - dan dia akan terpaksa membawanya
ke tukang servis untuk diperbaiki. Tapi aku lupa bahwa Pagett selalu mengerjakan
tugas-tugasnya pada waktunya.
"Saya sudah membuka semua peti-peti itu, Sir Eustace. Mesin tiknya dalam keadaan
baik." "Apa maksudmu - semua peti-peti?"
"Kedua peti yang kecil itu juga."
"Alangkah baiknya kalau kau tidak begitu sok tahu, Pagett. Peti-peti kecil itu
bukan urusanmu. Itu milik Nyonya Blair."
Pagett kelihatan kecewa. Dia tak suka membuat kesalahan.
"Jadi kau harus mengepaknya lagi dengan rapi," lanjutku. "Setelah itu kau boleh
keluar melihat-lihat kota. Mungkin besok Johannesburg sudah menjadi seonggok
reruntuhan yang berasap. Jadi ini mungkin merupakan kesempatanmu yang terakhir."
Kupikir, dengan begitu sekurang-kurangnya aku akan bebas dari dia sepanjang pagi
ini. "Kalau Anda ada waktu, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan pada Anda, Sir
Eustace." "Aku tak sempat," kataku cepat-cepat. "Saat ini aku sibuk sekali."
Pagett pergi. "Ngomong-ngomong," panggilku kembali, "apa isi peti-peti Nyonya Blair itu?"
"Beberapa alas lantai dari kulit binatang, dan - saya rasa beberapa buah topi
dari kulit binatang pula."
"Benar," kataku membenarkan. "Itu memang topi - masa kau tak tahu bahwa itu topi.
Dia membelinya di kereta api. Dia pasti akan memakai satu di antaranya untuk
nonton balap kuda di Ascot. Apa lagi?"
"Beberapa tabung film, dan beberapa keranjang - banyak keranjang - "
"Tentu," aku meyakinkannya. "Nyonya Blair tak pernah membeli sesuatu kurang dari
selusin." "Hanya itu saja, Sir Eustace, kecuali beberapa macam tetek bengek, seperti
sehelai selendang dan beberapa sarung tangan yang hanya sebelah-sebelah saja - "
"Bila kau tidak begitu bodoh, Pagett, kau tentu sudah tahu bahwa barang-barang
begituan bukanlah milikku."
"Saya sangka beberapa di antaranya mungkin kepunyaan Nona Pettigrew."
"Nah, aku jadi ingat - apa-apaan kau memilihkan aku sekretaris yang tindak-
tanduknya meragukan begitu?"
Lalu kuceritakan padanya tentang tanya-jawab yang telah kualami. Aku langsung
menyesal, karena kulihat matanya berkilat, dan aku tahu benar apa artinya itu.
Maka aku cepat mengalihkan bahan pembicaraan. Tapi terlambat. Pagett sudah
terlanjur siap tempur. Kemudian mulailah dia mengisahkan suatu cerita yang tak berujung pangkal,
mengenai Kilmorden. Mengenai sebuah tabung film dan suatu taruhan. Tabung film
itu dilemparkan melalui lubang angin pintu sebuah kamar oleh seorang pramugara
yang goblok. Aku tak suka taruhan kuda. Hal itu kukatakan pada Pagett, tapi dia
malah mengulangi cerita itu lagi. Dia memang sama sekali tak pandai bercerita.
Lama baru aku mengerti kisahnya itu.
Aku tak melihatnya lagi sampai waktu makan siang. Lalu dia masuk dalam keadaan
kacau, seperti anjing pemburu yang mencium jejak binatang buruan. Aku tak pernah
suka pada anjing pemburu. Akhirnya aku baru mengerti bahwa dia melihat Rayburn.
"Apa?" seruku terkejut.
Ya, dia melihat seseorang yang dia yakin adalah Rayburn - sedang menyeberangi
jalan. Pagett membuntutinya.
"Dan tahukah Anda, siapa lagi yang saya lihat" Nona Pettigrew yang berhenti dan
bercakap-cakap dengan dia!"
"Apa?" "Benar, Sir Eustace. Dan bukan hanya itu. Saya telah bertanya-tanya tentang
perempuan itu - " "Tunggu sebentar. Apa yang terjadi atas diri Rayburn?"
"Dia masuk ke toko cendera mata di tikungan itu, bersama Nona Pettigrew - "
Tanpa kusadari aku berseru. Pagett terhenti, keheranan.
"Tak apa-apa," kataku. "Teruskan."
"Lama sekali saya menunggu di luar - tapi mereka tidak keluar-keluar. Akhirnya
saya masuk. Sir Eustace, tak ada seorang pun dalam toko itu! Pasti ada jalan ke
luar yang lain." Aku membelalak memandanginya.
"Saya kembali ke hotel dan mencari informasi tentang Nona Pettigrew." Pagett
lalu merendahkan suaranya dan napasnya berat, seperti biasanya kalau dia mau
menceritakan suatu rahasia. "Sir Eustace, orang melihat seorang laki-laki keluar
dan kamarnya semalam."
Aku mengangkat alisku. "Padahal selama ini dia kuanggap wanita yang sangat terhormat," gumamku.
Tanpa mempedulikan kata-kataku, Pagett melanjutkan.
"Saya langsung pergi dan memeriksa kamarnya. Tahukah Anda apa yang saya
temukan?" Aku menggeleng. "Ini!" Pagett menunjukkan pisau cukur dan sabun cukur.
"Untuk apa barang-barang ini bagi seorang wanita?"
Kurasa Pagett tak pernah membaca iklan-iklan dalam surat-surat kabar bacaan
wanita kelas atas. Aku biasa. Meskipun aku tak bermaksud memperdebatkan soal
itu, aku tak mau menerima pisau cukur itu sebagai bukti nyata tentang jenis
kelamin Nona Pettigrew. Pagett memang kolot sekali. Aku sama sekali tidak akan
terkejut bila dia menunjukkan kotak rokok untuk mendukung teorinya. Tapi Pagett
pun punya batas-batasnya.
"Anda tak yakin, Sir Eustace. Bagaimana kalau Anda melihat ini?"
Kuperiksa barang yang diangkatnya tinggi-tinggi dengan sikap kemenangan itu.
"Kelihatannya seperti rambut," kataku dengan rasa jijik.
"Memang rambut. Saya rasa inilah yang disebut orang wig."
"Memang," kataku.
"Nah, apakah Anda yakin sekarang bahwa Pettigrew itu sebenarnya seorang laki-
laki yang menyamar?"
"Memang, Pagett, sekarang aku yakin. Seharusnya aku tahu begitu aku melihat
kakinya." "Begitulah. Dan sekarang, Sir Eustace. Saya ingin berbicara tentang urusan
pribadi saya. Berdasarkan sindiran-sindiran Anda yang selalu menyinggung tentang
saat saya berada di Florence, saya yakin bahwa Anda sudah mencium rahasia saya."
Akhirnya akan terbuka juga misteri tentang apa yang diperbuat Pagett di
Florence. "Mengaku sajalah tentang itu, Pagett," kataku dengan ramah. "Itulah jalan yang
terbaik." "Terima kasih, Sir Eustace."
"Apakah mengenai suaminya" Suami orang memang sering menjengkelkan. Mereka
selalu muncul pada saat yang sama sekali tidak kita harapkan."
"Saya tak mengerti, Sir Eustace. Suami siapa?"
"Suami wanita itu."
"Wanita mana?" "Ya, ampun, Pagett, wanita teman kencanmu di Florence itu. Tentu ada seorang
wanita. Jangan membual bahwa kau merampok sebuah gereja atau menikam punggung
seorang pria, hanya karena kau tak suka melihat wajahnya."
"Saya sama sekali tak mengerti, Sir Eustace. Anda tentu bergurau."
"Kadang-kadang aku memang suka melucu kalau aku mau. Tapi saat ini aku tidak
sedang bergurau." "Karena waktu itu saya berada jauh dari Anda, saya berharap semoga Anda tidak
mengenali saya, Sir Eustace."
"Mengenali kau di mana?"
"Di Marlow, Sir Eustace."
"Di Marlow" Apa kerjamu di Marlow?"
"Saya pikir Anda mengerti bahwa - "
"Makin lama aku jadi makin tak mengerti. Kembalilah ke awal ceritamu. Kau pergi
ke Florence." "Jadi Anda sama sekali tak tahu - dan Anda tak mengenali saya!"
"Agaknya kau mengakui sesuatu yang tak berarti - kau ketakutan karena hati kecilmu
sendiri. Tapi kalau sudah kudengar seluruh ceritamu, aku akan bisa menilainya
lebih baik. Nah, tariklah napas panjang-panjang dan mulailah lagi. Kau pergi ke
Florence - " "Tapi saya tidak pergi ke Florence. Itulah soalnya."
"Lalu ke mana kau pergi?"
"Saya pulang - ke Marlow."
"Untuk apa kau ke Marlow?"
"Untuk menjumpai istri saya. Kesehatannya terganggu, dan dia sedang menantikan - "
"Istrimu" Aku tak tahu bahwa kau sudah kawin!"
"Memang tidak, Sir Eustace, itulah yang akan saya katakan pada Anda. Saya
membohongi Anda dalam hal itu."
"Sudah berapa lama kau kawin?"
"Delapan tahun lebih. Saya baru kawin enam bulan waktu saya menjadi sekretaris
Anda. Saya takut kehilangan pekerjaan. Seorang sekretaris yang harus tinggal
serumah dengan majikannya sebenarnya tak boleh punya istri. Jadi saya rahasiakan
hal itu." "Kau membuatku terkejut sekali," kataku. "Di mana istrimu itu selama ini?"
"Lebih dari lima tahun ini kami tinggal di sebuah rumah kecil, dekat sungai di
Marlow. Tak jauh dari Mill House."
"Ya, Tuhan," gumamku. "Berapa anakmu?"
"Empat orang, Sir Eustace."
Aku ternganga memandanginya. Seharusnya aku tahu bahwa laki-laki seperti Pagett
tak bisa menyimpan rahasia tentang kesalahannya. Pribadinya yang selalu
menjunjung tinggi kehormatan itulah yang selama ini merupakan racun bagiku.
Sesuai benar dengan pribadinya, menyimpan rahasia macam itu - punya istri dan
empat anak. "Pernahkah kauceritakan hal itu pada orang lain?" tanyaku akhirnya, setelah lama
memandanginya dengan terpana.
"Hanya pada Nona Beddingfeld. Dia mendatangi saya di stasiun di Kimberley."
Lagi-lagi aku terpana menatapnya. Dia merasa tak enak kupandangi begitu.
"Saya harap Anda tidak terlalu marah, Sir Eustace?"
"Pagett," kataku. "Terus terang kukatakan bahwa kau benar-benar telah
mengacaukan keadaan!"
Aku keluar dalam keadaan kacau sekali. Waktu aku melewati toko cendera mata di
tikungan, aku merasa sangat terdorong, dan aku masuk. Pemiliknya menyambutku
dengan hormat sekali, sambil menggosok-gosok tangannya.
"Silakan melihat-lihat, Tuan. Kulit binatang, barang-barang khas daerah!"
"Saya ingin sesuatu yang tak biasa," kataku. "Untuk suatu peristiwa khusus.
Bisakah Anda memperlihatkan apa yang ada pada Anda?"
"Silakan masuk ke kamar belakang. Kami punya banyak barang-barang khusus di
sana." Di situlah kekeliruanku. Padahal kupikir aku akan melakukan sesuatu yang cerdik.
Aku mengikutinya masuk melalui pintu angin.
BAB XXXII (Sambungan Kisah Anne) AKU menghadapi kesulitan besar dengan Suzanne. Dia melarang, dia memohon, dan
dia bahkan menangis sebelum akhirnya aku dilepasnya untuk melaksanakan
rencanaku. Akhirnya terlaksanalah keinginanku. Kuberi dia beberapa instruksi.
Dia berjanji untuk menjalankan instruksi itu dengan saksama. Lalu dia ikut ke
stasiun, dan melepasku dengan berurai air mata.
Esok harinya pagi-pagi benar, aku tiba di tempat tujuanku. Aku dijemput oleh
seorang Belanda yang pendek dan berjenggot hitam. Orang itu belum pernah
kulihat. Sebuah mobil sudah menunggu dan kami berangkat. Terdengar bunyi
menggelegar di kejauhan. Aku bertanya apa itu. "Meriam," sahutnya tak acuh. Jadi
di Johannesburg sedang ada pertempuran!
Rupanya tujuan kami adalah suatu tempat di pinggir kota. Kami membelok-belok dan
berputar beberapa kali untuk tiba di sana. Bunyi meriam-meriam itu terasa makin
lama makin dekat. Tegang sekali rasanya aku. Akhirnya kami berhenti di depan
sebuah bangunan yang agak bobrok. Pintu dibuka oleh seorang anak laki-laki
pribumi. Penjemputku mengisyaratkan agar kami masuk. Aku berdiri dalam ruangan
segi empat yang kotor, tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Laki-laki tadi
melewati lalu membuka sebuah pintu lebar-lebar.
"Ini Nona muda yang akan berjumpa dengan Tuan Harry Rayburn," katanya lalu
tertawa. Aku masuk. Kamar itu hanya sedikit perabotnya dan berbau asap tembakau murahan.
Di balik meja kerja, duduk seorang pria yang sedang menulis. Dia mendongak, lalu
mengangkat alisnya. "Astaga," katanya, "Nona Beddingfeld rupanya?"
"Salahkah penglihatan saya?" kataku dengan nada meminta maaf. "Apakah Anda
Pendeta Chichester atau Nona Pettigrew" Banyak sekali persamaan antara
keduanya." "Saat ini kedua tokoh itu kita abaikan dulu. Pakaian wanita sudah saya
tanggalkan - begitu juga pakaian pendeta. Silakan duduk."
Aku duduk dengan tenang. "Agaknya saya telah datang ke alamat yang salah," kataku.
"Dari segi kepentingan Anda, memang salah. Yah, Nona Beddingfeld, Anda telah
masuk perangkap untuk kedua kalinya!"
"Bodoh sekali saya," kuakui dengan lemah.
Agaknya dia heran melihat sikapku.
"Anda kelihatannya tidak terlalu risau dengan kejadian ini," katanya datar.
"Apakah Anda akan lebih suka bila saya memberontak?" tanyaku.
"Sama sekali tidak."
"Bibi ibu saya yang bernama Jane pernah mengatakan bahwa seorang wanita sejati
tak boleh terlalu terkejut dan tercengang dalam menghadapi suatu kejadian,"
gumamku sambil menerawang. "Saya selalu berusaha mengikuti pandangan hidupnya
itu."

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bisa membaca di wajah Mr. Chichester-Pettigrew apa yang dipikirkannya, dan
aku pun cepat-cepat berkata lagi,
"Anda memang benar-benar ahli mengubah-ubah dandanan," kataku memuji. "Selama
Anda menjadi Nona Pettigrew, saya tak pernah bisa mengenali Anda - bahkan waktu
pensil Anda sampai patah karena terkejutnya Anda melihat saya waktu saya naik
kereta api di Cape Town itu pun, tidak."
Pensil yang sedang dipegangnya saat itu, diketuk-ketukkannya ke meja,
"Biarlah yang sudah berlalu itu, sekarang mari kita berurusan. Nona Beddingfeld,
mungkin Anda bisa menduga mengapa kami menghendaki Anda kemari?"
"Maafkan saya," kataku, "tapi saya tak pernah berurusan kecuali jika langsung
dengan sang pemimpin."
Aku pernah membaca ucapan begitu atau semacamnya di suatu surat edaran lintah
darat, dan aku senang bisa menggunakannya. Dan ucapan itu mempunyai efek
menghancurkan atas diri Mr. Chichester-Pettigrew. Dia membuka mulutnya lalu
menutupnya kembali. Aku memandanginya dengan berseri-seri.
Setelah berpikir sebentar, kutambahkan, "Itu semboyan paman ibu saya yang
bernama George. Dia adalah suami bibi ibu saya yang bernama Jane itu. Kerjanya
membuat tombol kuningan untuk hiasan tempat tidur."
Aku tak tahu apakah Chichester-Pettigrew pernah diperolok-olok. Nyatanya dia
sama sekali tak suka. "Sebaiknya Anda mengubah cara bicara Anda, Nona."
Aku tak menyahut, tapi aku menguap-nguap kecil untuk menyindir betapa bosannya
aku. "Apa-apaan - " sergahnya.
Cepat-cepat kupotong, "Yakinlah, tak ada gunanya marah-marah pada saya. Kita hanya membuang-buang
waktu saja di sini. Saya tetap tak ingin berbicara dengan orang bawahan. Anda
akan menghemat banyak waktu dan kejengkelan, kalau Anda langsung mengantar saya
pada Sir Eustace Pedler."
"Pada - ?" Dia tercengang-cengang. "Ya," kataku. "Pada Sir Eustace Pedler."
"Sa - saya - maaf - "
Dia lari keluar kamar itu secepat kilat. Kesempatan yang baik itu kumanfaatkan
untuk membuka tasku dan membedaki wajahku lagi dengan sempurna. Dan kuperbaiki
pula letak topiku. Kemudian aku duduk tenang-tenang, menunggu dengan sabar
kembalinya musuhku. Dia kembali dalam keadaan sudah pulih lagi.
"Mari ikut saya, Nona Beddingfeld."
Aku mengikutinya naik tangga. Dia mengetuk pintu sebuah kamar, dari dalam
terdengar suara tegas berkata, "Masuk," dibukanya pintu lalu diisyaratkannya
supaya aku masuk. Sir Eustace Pedler melompat bangkit untuk menyambutku, dengan tersenyum ramah.
"Nah, nah, Nona Anne." Tanganku dijabatnya dengan hangat. "Aku senang sekali
bertemu denganmu. Mari duduk. Letih setelah perjalananmu tadi" Tidak" Bagus."
Dia duduk berhadapan denganku, dengan wajah yang tetap berseri. Aku jadi kurang
enak. Sikapnya begitu wajar.
"Kau pandai, berkeras minta diantar langsung padaku," lanjutnya. "Si Minks itu
goblok. Dia seorang aktor yang baik - tapi bodoh. Minks adalah orang yang
menemuimu di lantai bawah itu."
"Oh, ya?" kataku lemah.
"Nah sekarang," kata Sir Eustace dengan ceria, "mari kita bicarakan kenyataan-
kenyataan yang ada. Sudah berapa lama kau tahu bahwa akulah 'Kolonel' itu?"
"Sejak Mr. Pagett menceritakan pada saya bahwa dia melihat Anda di Marlow,
padahal semua orang menyangka bahwa Anda ada di Cannes."
Sir Eustace mengangguk dengan murung.
"Ya, kukatakan pada si tolol itu bahwa dia telah mengacaukan keadaan. Kata-
kataku tentu tak diperhatikannya. Pikirannya hanya tertuju pada soal, apakah aku
mengenali dia waktu itu. Tak pernah terpikir olehnya, apa yang kuperbuat di
sana. Dasar sial. Padahal sudah kuatur begitu cermat, kusuruh dia pergi ke
Florence, kukatakan pada hotel bahwa aku akan pergi ke Nice selama satu atau dua
malam. Lalu waktu pembunuhan itu terbongkar, aku sudah kembali ke Cannes. Tak
seorang pun menyangka bahwa aku pernah meninggalkan Cannes."
Dia berbicara dengan wajar dan tanpa emosi. Aku harus mencubit diriku sendiri
untuk meyakinkan bahwa itu semua benar terjadi - bahwa pria di hadapanku ini
adalah penjahat ulung yang sebenar-benarnya, yaitu 'Kolonel'. Kuikuti urut-
urutan kejadian yang kuingat.
"Kalau begitu, Anda-lah yang mencoba menceburkan saya ke laut dari Kilmorden,"
kataku perlahan. "Anda-lah yang dibuntuti Pagett ke dek malam itu?"
Dia mengangkat bahu. "Maafkan aku, Nak. Aku benar-benar menyesal. Aku selalu menyukaimu - tapi kau
terlalu mencampuri. Aku tak rela semua rencanaku digagalkan oleh seorang gadis
kecil." "Saya rasa rencana Anda di Air Terjun itulah yang paling cerdik," kataku. Aku
berusaha untuk meninjau kejadian itu seolah-olah aku tidak terlibat di dalamnya.
"Saya bersedia disumpah di mana pun, bahwa Anda ada di hotel waktu saya keluar.
Yang akan datang, bila sudah saya lihat sendiri, baru saya percaya."
"Ya, Minks telah sukses besar dalam penyamarannya sebagai Nona Pettigrew, dan
dia pandai sekali menirukan suaraku."
"Ada satu hal yang ingin saya ketahui."
"Apa itu?" "Bagaimana Anda bisa membujuk Pagett untuk memilih Nona Pettigrew menjadi
sekretaris Anda?" "Oh, itu sederhana sekali. Waktu Pagett pergi ke kantor Urusan Perdagangan atau
Persekutuan Pertambangan, atau entah ke mana, dia bertemu dengan perempuan itu
di pintu. Dikatakannya pada Pagett bahwa aku telah buru-buru menelepon, dan
bahwa dialah yang telah dipilih oleh Pemerintah. Dalam urusan seperti itu Pagett
mau saja percaya." "Anda berterus terang," kataku sambil menatapnya lurus-lurus.
"Tak ada alasan untuk tidak berterus terang."
Aku tak suka mendengar kata-katanya itu. Cepat-cepat kukatakan penafsiranku
mengenai kata-katanya itu.
"Jadi Anda yakin akan keberhasilan Revolusi ini" Apakah setelah itu Anda akan
menghentikan kegiatan-kegiatan Anda di masa lalu?"
"Ucapanmu itu sama sekali tidak menunjukkan kecerdasanmu. Tidak, Anakku, aku
tidak percaya bahwa Revolusi ini akan berhasil. Paling-paling beberapa hari
lagi, dan Revolusi itu akan menguap dengan meninggalkan bekas yang buruk."
"Jadi sekali lagi Anda gagal, rupanya?" kataku dengan maksud menyakiti hatinya.
"Kau sama saja dengan perempuan-perempuan lain, kau tak mengerti soal bisnis.
Tugasku dalam urusan ini hanya menyediakan alat-alat peledak dan senjata-senjata
tertentu - untuk mana aku dibayar banyak sekali. Juga untuk membakar perasaan
umum, dan menuduh orang-orang tertentu habis-habisan. Kontrakku itu sudah
kulaksanakan dengan sukses sekali, dan demi keamanan, aku minta dibayar di muka.
Semuanya sudah kuatur dengan rapi sekali, karena urusan ini akan merupakan
kontrakku yang terakhir. Aku mau berhenti dari pekerjaan ini. Mengenai apa yang
kausebut masa laluku, aku benar-benar tak tahu apa maksudmu. Aku bukan pemimpin
pemberontakan atau semacamnya - aku hanya seorang pendatang terkemuka,
berkebangsaan Inggris, yang bernasib malang, karena telah melihat-lihat isi
sebuah toko cendera mata - dan aku telah melihat sesuatu yang sebenarnya tak boleh
kulihat. Maka orang itu lalu diculik, dan besok atau lusa, bila keadaan
mengizinkan, orang akan menemukan diriku terikat di suatu tempat, dalam keadaan
yang menyedihkan karena ketakutan dan kelaparan."
"Oh!" kataku. "Lalu bagaimana nasib saya?"
"Itulah," kata Sir Eustace dengan nada halus. "Bagaimana dengan nasibmu" Kau
sudah ada di sini - bukannya aku ingin menepuk dada - tapi dengan mudah sekali aku
menjebakmu kemari. Masalahnya sekarang, akan kuapakan kau" Cara yang termudah
untuk menyingkirkanmu - dan boleh kutambahkan, cara yang paling menyenangkan bagi
diriku - adalah cara perkawinan. Seorang istri tak bisa mendakwa suaminya, dan aku
sangat mendambakan seorang istri yang muda, yang cantik, yang bisa menggenggam
tanganku dan yang selalu memandangiku dengan mata berbinar - jangan pelototkan
begitu matamu itu! Aku jadi takut. Kulihat bahwa rencanaku itu tak berkenan di
hatimu?" "Memang tidak."
Sir Eustace mendesah. "Sayang sekali. Tapi aku bukan bajingan dari Adelphi. Kurasa kesulitannya
sekarang ini adalah seperti yang biasa tertulis dalam buku-buku: kau mencintai
pria lain." "Saya memang mencintai pria lain."
"Sudah kuduga - mula-mula kusangka orang itu adalah si Race, keledai sombong yang
berkaki panjang itu. Tapi kurasa sebenarnya dia adalah pahlawan muda yang telah
menyelamatkanmu di Air Terjun malam itu. Kaum wanita memang tak punya selera.
Kedua orang itu tak punya separuh dari otak yang kumiliki. Orang memang mudah
sekali menganggapku remeh."
Kurasa dia memang benar dalam hal itu. Meskipun aku tahu pasti orang macam apa
dia sebenarnya, aku tetap tak bisa percaya. Dia telah mencoba membunuhku lebih
dari satu kali, bahkan sudah membunuh seorang wanita lain. Lagi pula dia yang
bertanggung jawab atas banyak kejahatan-kejahatan lain yang aku sendiri tak
tahu, dan aku tetap tak bisa menilai perbuatan-perbuatan itu sebagaimana
mestinya. Aku tak bisa menilai dirinya lain dari sebagai teman seperjalanan kami
yang menyenangkan dan baik hati. Aku bahkan tak bisa merasa takut padanya -
padahal aku tahu bahwa dia bisa saja menyuruh orang membunuhku dengan darah
dingin, bila hal itu dianggapnya perlu. Aku hanya bisa menyamakannya dengan
kasus Long John Silver, karangan Stevenson. Dia pasti orang seperti itu.
"Yaaah," kata orang luar biasa itu sambil menyandarkan dirinya di kursi. "Sayang
sekali kau tak tertarik untuk menjadi Lady Pedler. Soalnya pilihan-pilihan lain
cukup seram." Aku merasa ngeri. Aku memang tahu bahwa aku telah mengambil jalan yang penuh
bahaya, tapi rasanya tindakanku itu masuk akal dan pantas dilakukan. Apakah
semua yang telah kuperhitungkan akan berjalan dengan baik, ataukah tidak"
"Soalnya," lanjut Sir Eustace, "aku lemah dalam menghadapi kau. Aku benar-benar
tak ingin kekerasan. Bagaimana kalau kauceritakan saja segalanya, dari awalnya,
lalu kita lihat lagi apa yang akan kita lakukan. Tapi ingat, jangan diembel-
embeli dengan khayalanmu - aku hanya ingin cerita yang benar."
Aku tidak akan membuat kesalahan dalam hal itu. Dan aku sangat menghormati
kesungguhan Sir Eustace. Pada saat itu dia hanya menginginkan yang benar. Maka
kuceritakanlah semua kejadian yang telah kualami, tanpa melampaui apa pun juga,
sampai saat Harry menyelamatkan aku. Setelah ceritaku usai, dia mengangguk
membenarkan. "Kau anak pandai. Kau telah mengeluarkan seluruh isi hatimu. Tapi bila kau tidak
melakukannya tadi, aku bisa memaksamu untuk berbuat begitu. Sebenarnya banyak
orang yang tidak akan mempercayai ceritamu itu, terutama bagian yang pertama.
Tapi aku percaya. Kau memang gadis yang akan langsung mengambil langkah begitu -
meskipun tanpa alasan yang kuat. Kau memang beruntung sekali, tapi cepat atau
lambat, si amatir berhadapan dengan si profesional, maka akibatnya adalah
seperti yang telah kaualami. Dalam hal ini, akulah pelaku yang profesional itu.
Aku memulai pekerjaan ini sejak aku muda sekali. Menurut pertimbanganku, cara
inilah yang terbaik untuk cepat menjadi kaya. Aku memang selalu pandai memakai
otak dan membuat rencana-rencana yang cerdik - dan aku tak pernah membuat
kekeliruan dengan menjalankan sendiri rencana-rencanaku. Semboyanku adalah,
tugaskanlah selalu orang yang ahli. Begitu aku mengabaikan prinsipku, aku
langsung menyesal - tapi aku tak bisa mempercayai siapa pun untuk melaksanakan
pekerjaan itu untukku. Nadina tahu terlalu banyak. Aku ini orang yang gampang,
baik hati, dan tak mudah marah - selama aku tak dirintangi. Nadina telah
merintangiku dan sekaligus mengancamku - pada saat aku berada di puncak karierku.
Kalau ia sudah mati dan berlian-berlian itu berada dalam tanganku, amanlah aku.
Sekarang aku berkesimpulan bahwa rencanaku kacau. Sialan si Pagett yang goblok
itu! Punya istri dan anak-anak, lagi! Tapi salahku juga - rasa humorku tergelitik,
dan aku lalu ingin menerimanya bekerja, karena wajahnya yang seperti tukang
racun dan jiwanya yang kolot. Itu peringatan bagimu, Anne. Jangan sampai rasa
humormu menyesatkan dirimu. Sudah bertahun-tahun naluriku mengatakan bahwa
sebaiknya Pagett kupecat saja. Tapi orang itu suka bekerja keras, dan nuraninya
bersih, hingga aku benar-benar tak bisa menemukan alasan untuk memecatnya. Maka
kubiarkan saja keadaan berjalan.
"Tapi kita sudah menyimpang dari pokoknya. Masalahnya sekarang, apa yang harus
kuperbuat atas dirimu" Ceritamu sudah jelas benar, tapi ada satu hal yang masih
belum kutangkap. Di mana berlian-berlian itu sekarang?"
"Ada pada Harry Rayburn," kataku sambil mengawasinya.
Wajahnya tak berubah, air mukanya tetap membayangkan rasa humornya yang baik,
yang sedikit bercampur ejekan.
"Hm. Aku menginginkan berlian-berlian itu."
"Kelihatannya Anda tak punya kemungkinan untuk mendapatkannya," sahutku.
"Begitu pikirmu" Aku yakin aku bisa. Aku tak mau jahat, tapi sebaiknya kau tahu,
orang tidak akan merasa heran bila menemukan mayat seorang gadis di bagian kota
ini. Di lantai bawah ada seseorang yang pandai melakukan pekerjaan macam itu
dengan rapi sekali. Tapi kau adalah gadis yang berakal sehat. Aku hanya
mengusulkan begini: kau duduk lalu menulis surat pada Harry Rayburn. Suruh dia
menyusulmu kemari dengan membawa berlian-berlian itu - "
"Saya menolak berbuat begitu."
"Jangan memotong bicara orang yang lebih tua. Aku akan mengadakan tawar-menawar
denganmu. Berlian-berlian itu kita tukar dengan nyawamu. Dan jangan membuat
kesalahan, nyawamu sepenuhnya ada dalam kekuasaanku."
"Dan Harry?" "Hatiku terlalu lembut untuk memisahkan dua orang yang saling mencinta. Dia akan
bebas juga - tapi tentu dengan pengertian bahwa selanjutnya kalian berdua tak
boleh menggangguku."
"Tapi apa jaminan yang bisa saya pegang bahwa Anda akan memenuhi janji Anda?"
"Tak ada, Anak manis. Kau harus percaya saja padaku, dan mengharapkan yang
terbaik. Tapi bila kau mau sok pahlawan dan lebih suka perlakuan yang tuntas,
itu soal lain." Itulah yang aku ingin tahu. Aku waspada dan tak mau cepat-cepat menangkap
umpannya. Lama baru aku mau digertak dan dibujuk untuk mengalah. Aku menulis
berdasarkan dikte Sir Eustace,
"Harry tersayang, Kurasa aku telah melihat kesempatan untuk memastikan bahwa kau tak bersalah, dan
menghilangkan semua keraguan orang. Ikutilah instruksiku dengan cermat. Pergilah
ke toko cendera mata Agrasato. Mintalah, 'untuk melihat sesuatu yang luar
biasa', 'untuk suatu kesempatan khusus'. Maka pemiliknya akan mengajakmu 'pergi
ke kamar belakang'. Ikuti dia. Di sana kau akan menemukan seseorang yang akan
mengantarmu padaku. Patuhi semua yang dikatakannya. Bawa berlian-berlian itu,
jangan tidak. Jangan berkata apa-apa pada siapa pun juga."
Sir Eustace berhenti. "Penutupnya kuserahkan padamu sendiri," katanya. "Tapi awas, jangan membuat
kesalahan." "'Kekasihmu selalu, dan selamanya, Anne', saya rasa sudah cukup," kataku.
Kutuliskan kata-kata itu. Sir Eustace mengulurkan tangannya mengambil surat itu,
lalu membacanya. "Rasanya sudah baik. Bagaimana alamatnya?" Kusebutkan alamat itu, yaitu sebuah
toko kecil yang biasa menerima dan menyampaikan surat-surat serta telegram-
telegram. Ditekannya bel yang ada di atas mejanya. Chichester-Pettigrew, alias Minks
datang memenuhi panggilan itu.
"Surat ini harus dikirim segera - melalui saluran yang biasa."
"Baik, Kolonel."
Dia melihat nama yang tercantum di amplop. Sir Eustace memandanginya dengan
tajam. "Itu temanmu, bukan?"
"Teman saya?" Laki-laki itu tampak terkejut.
"Kau berbicara lama dengan dia di Johannesburg kemarin."
"Seorang laki-laki mendatangi saya dan menanyai saya tentang gerak-gerik Anda
dan Kolonel Race. Saya tentu memberikan informasi yang menyesatkan."
"Bagus, Sahabat, bagus," kata Sir Eustace dengan ramah. "Aku yang keliru."
Aku menyempatkan diri melihat Chichester-Pettigrew, waktu dia meninggalkan
kamar. Dia pucat pasi dan tampak ketakutan setengah mati. Begitu dia keluar, Sir
Eustace mengangkat sebuah mikrofon yang terletak dekat sikunya, lalu berbicara
melalui alat itu. "Kaukah itu, Schwart" Awasi Minks. Dia tak boleh meninggalkan
rumah tanpa perintah."
Mikrofon itu diletakkannya kembali. Dia mengerutkan dahinya sambil mengetuk-
ngetuk meja perlahan-lahan.
"Bolehkah saya menanyakan beberapa hal, Sir Eustace?" tanyaku, setelah keadaan
sunyi beberapa lamanya.

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu. Kau benar-benar tak punya rasa takut, ya Anne! Kau masih bisa
memperhatikan keadaan dengan baik, padahal gadis-gadis lain yang berada dalam
keadaan seperti kau, tentu hanya bisa menangis sambil meremas-remas tangannya."
"Mengapa Anda mau menerima Harry sebagai sekretaris waktu itu, dan tidak
menyerahkannya pada polisi?"
"Aku menginginkan berlian-berlian sialan itu. Nadina, setan kecil itu, telah
memanfaatkan Harry-mu itu untuk melawanku. Bila aku tak mau memberinya sejumlah
uang yang dimintanya, dia mengancam akan menjual berlian-berlian itu kembali
pada Harry. Di situ aku membuat kesalahan lagi - kusangka berlian-berlian itu ada
padanya hari itu. Tapi perempuan itu memang cerdik sekali. Carton, suaminya,
sudah meninggal juga - aku sama sekali tak punya petunjuk di mana berlian-berlian
itu disembunyikan. Lalu aku berhasil mendapat salinan telegram yang dikirimkan
pada Nadina oleh seseorang yang berada di Kilmorden - entah dari Carton, entah
dari Rayburn. Bunyinya sama dengan yang tertulis pada potongan kertas yang
kaupungut itu. 'Tujuh belas - satu - dua puluh dua', begitu bunyinya. Kupikir itu
merupakan janji dengan Rayburn, jadi waktu dia berusaha keras untuk ikut naik
Kilmorden, aku yakin bahwa dugaanku benar. Jadi aku pura-pura percaya pada
ceritanya, dan kubolehkan dia ikut. Dia kuawasi dengan cermat sekali, dengan
harapan aku bisa mendapat petunjuk-petunjuk lain. Kemudian kudapati Minks mau
mencoba main sendiri, dan mencampuri urusanku. Aku segera menghentikannya, dan
dia pun menyadari kesalahannya. Menjengkelkan sekali kami tak berhasil
mendapatkan Kamar 17, dan aku risau sekali, karena aku tak tahu siapa kau
sebenarnya. Apakah kau memang gadis biasa yang tak tahu apa-apa, atau siapa"
Waktu Rayburn akan memenuhi janjinya malam itu, Minks ditugaskan untuk
menghalanginya. Tapi Minks gagal."
"Tapi mengapa di telegram itu tercantum '17' dan bukan '71'?"
"Itu sudah kupikirkan. Pasti Carton memberikan catatan yang ditulisnya sendiri
pada petugas telegram untuk disalin ke formulirnya. Salinan itu tak dibacanya
lagi. Petugas itu telah membuat kekeliruan seperti kita, dia membacanya 17.1.22,
bukan 1.71.22. Yang aku tak mengerti adalah bagaimana Minks bisa masuk ke Kamar
17. Kurasa itu hanya nalurinya saja."
"Lalu surat yang harus disampaikan pada Jenderal Smuts" Siapa yang menukarnya?"
"Anak manis, apakah kausangka aku mau saja rencana-rencanaku dibeberkan, tanpa
berusaha menyelamatkannya" Karena sekretarisku adalah seorang pembunuh dan
buronan, aku tak perlu ragu menggantinya dengan kertas-kertas kosong. Tidak ada
seorang pun yang akan mencurigai si Tua Pedler ini."
"Bagaimana dengan Kolonel Race?"
"Nah, itu yang mengejutkan. Waktu Pagett mengatakan bahwa dia adalah petugas
Dinas Rahasia, aku cemas sekali. Aku ingat bahwa dia pernah memata-matai Nadina
di Paris selama Perang - dan aku lalu curiga bahwa dia membuntutiku! Aku benci sekali, karena dia lalu lengket terus padaku. Dia adalah
orang kuat yang pendiam, yang selalu punya rencana tak terduga."
Terdengar bunyi peluit. Sir Eustace mengangkat alat penerima, mendengarkan
sebentar, lalu menjawab, "Baiklah, akan kujumpai dia sekarang."
"Ada urusan," katanya. "Mari, Anne, kuantar kau ke kamarmu."
Aku diajaknya masuk ke sebuah kamar kecil yang jelek. Seorang anak pribumi
membawakan koporku. Setelah Sir Eustace mengatakan supaya aku minta apa saja
yang kuingini, dia pergi. Dia merupakan tuan rumah yang ramah. Di atas wastafel
sudah tersedia air panas, dan aku mulai membongkar beberapa barang kebutuhanku.
Aku sangat terkejut karena terpegang akan sesuatu yang keras dalam kantung
busaku. Kubuka talinya dan kulihat isinya.
Dengan sangat tercengang kukeluarkan sebuah pistol kecil yang gagangnya dihiasi
mutiara. Barang itu tak ada di situ waktu aku berangkat dari Kimberley.
Kuperiksa barang itu dengan hati-hati. Ternyata berisi peluru.
Kupegang-pegang pistol itu dengan rasa senang. Benda ini berguna sekali dalam
rumah seperti ini. Tapi pakaian modern sangat tak cocok untuk membawa senjata
api. Akhirnya kuselipkan saja di bagian atas stocking-ku. Benda itu menonjol
sekali, dan aku merasa seolah-olah pistol itu akan meletus setiap saat dan
menembak kakiku. Tapi itulah satu-satunya tempat yang baik.
BAB XXXIII SUDAH senja barulah aku diminta menghadap Sir Eustace lagi. Pukul sebelas pagi
aku disuguhi teh dan makan siang yang enak - diantar ke kamarku. Dan aku pun
merasa cukup kuat untuk menghadapi perjuangan selanjutnya.
Sir Eustace seorang diri. Dia sedang berjalan hilir-mudik dalam kamarnya. Tampak
olehku bahwa matanya berkilat dan sikapnya gelisah. Pasti ada sesuatu yang
sangat menyenangkannya yang diharapkannya. Sikapnya terhadapku agak berubah.
"Aku ada berita untukmu. Pacarmu sedang dalam perjalanan kemari. Beberapa menit
lagi dia akan berada di sini. Jangan dulu berbesar hati - ada lagi sesuatu yang
akan kukatakan. Tadi pagi kau telah mencoba menipuku. Kau kuperingatkan untuk
menceritakan yang benar saja, kau patuh sampai pada titik tertentu. Lalu kau
melenceng. Kau mencoba membohongi aku dengan mengatakan bahwa berlian-berlian
itu ada pada Harry Rayburn. Waktu itu aku percaya padamu, karena tugasku akan
mudah - yaitu mendesakmu untuk menjebak Harry Rayburn kemari. Padahal, Anne, Anak
manis, berlian itu ada dalam tanganku sejak aku meninggalkan Air Terjun - meskipun
baru kemarin aku tahu itu."
"Anda tahu?" kataku dengan napas tersekat.
"Mungkin menarik bagimu bila mendengar bahwa Pagett-lah yang membuka rahasia
itu. Dia lagi-lagi membosankan aku dengan kisah tak berujung pangkal tentang
suatu taruhan mengenai sebuah tabung film. Aku tak memerlukan waktu lama untuk
menarik kesimpulan - Nyonya Blair yang mencurigai Kolonel Race, kebingungannya,
desakannya padaku untuk menjagakan suvenir-suvenirnya. Karena kerajinannya yang
berlebihan, si Pagett yang baik itu telah membongkar semua peti itu. Sebelum
meninggalkan hotel, semua tabung film kupindahkan ke dalam sakuku sendiri.
Semuanya ada di sini sekarang. Kuakui bahwa aku belum sempat memeriksanya. Tapi
sudah kulihat bahwa satu di antaranya, beratnya berbeda sekali dari yang lain.
Berbunyi gemeletak aneh, dan kelihatannya direkat dengan las, hingga akan
diperlukan pembuka kaleng. Jadi perkaranya sudah beres, bukan" Nah, sekarang
kaulihat, kalian berdua sudah berada dalam perangkapku.... Sekali lagi sayang,
bahwa kau tak mau menjadi Lady Pedler."
Aku tak menyahut. Aku berdiri memandanginya saja.
Terdengar bunyi langkah-langkah di tangga. Pintu terbuka, dan Harry Rayburn
dibawa masuk dengan diapit oleh dua orang laki-laki. Sir Eustace memandangku
dengan penuh kemenangan. "Tepat seperti rencana, kalian yang amatir ini akan kalah melawan kami yang
profesional," katanya dengan suara halus.
"Apa artinya ini?" seru Harry serak.
"Artinya, kau sudah masuk ke dalam jaringanku - begitu kata labah-labah pada
lalat," kata Sir Eustace berkelakar. "Sahabatku Rayburn, kau benar-benar sial."
"Katamu aku bisa datang dengan aman, Anne?"
"Jangan salahkan dia, Kawan. Surat itu ditulisnya berdasarkan apa yang
kudiktekan, dia tak berdaya. Sebenarnya lebih baik kalau dia tidak menulisnya,
tapi waktu itu aku berkata sebaliknya. Kau menuruti instruksi-instruksinya, kau
pergi ke toko cendera mata itu, kau dibawa ke kamar belakang melalui lorong
rahasia - dan kau pun berada di tangan musuh!"
Harry memandangku. Aku mengerti maksud pandangannya itu dan aku mendekat ke Sir
Eustace. "Ya," gumam Sir Eustace, "kau benar-benar sial! Kurasa ini adalah - pertemuan kita
yang ketiga." "Anda benar," kata Harry. "Ini pertemuan kita yang ketiga. Dua kali Anda
mengalahkan saya - tapi apakah Anda tak pernah mendengar bahwa pada kali yang
ketiga, nasib akan berbalik" Kali ini saya yang bernasib baik - urus dia, Anne."
Aku sudah siap. Secepat kilat kucabut pistol dari stocking-ku dan kutodongkan ke
kepalanya. Kedua laki-laki yang mengawal Harry melompat ke depan, tapi mereka terhenti
mendengar suara Harry. "Dia akan mati kalau kalian maju selangkah lagi! Bila mereka mendekat, Anne,
tarik saja pelatuk pistolmu - jangan ragu."
"Baik," sahutku dengan ceria. "Kurasa aku bakal menariknya tanpa sengaja."
Kurasa Sir Eustace sama takutnya seperti aku. Dia gemetar.
"Tinggal di tempat kalian," perintahnya, dan kedua orang itu pun mematuhinya.
"Suruh mereka keluar," kata Harry.
Sir Eustace memberikan perintah itu. Kedua orang itu keluar, dan Harry memasang
palang pintu setelah pintu tertutup.
"Sekarang kita bisa bicara," katanya bersungguh-sungguh sambil menyeberangi
kamar dan mengambil pistol dariku.
Sir Eustace menarik napas lega, dan menyeka dahinya dengan sapu tangan.
"Aku benar-benar takut," desahnya. "Mungkin jantungku lemah. Aku senang pistol
itu sudah berada di tangan orang yang lebih ahli. Aku tak percaya waktu Anne
yang memegangnya. Nah, Anak muda, seperti katamu tadi, sekarang kita bisa
bicara. Kuakui bahwa kalian telah mengalahkan aku. Entah dari mana datangnya
pistol itu, padahal barang-barang Anne sudah kusuruh geledah waktu dia tiba.
Dari mana kauambil benda itu" Bukankah benda itu tak ada padamu, sesaat yang
lalu?" "Ada," sahutku. "Saya selipkan di stocking saya."
"Aku tidak begitu kenal wanita. Aku harus mempelajari mereka lebih baik," kata
Sir Eustace dengan sedih. "Entah kalau Pagett, apakah dia akan tahu?"
Harry mengetuk meja keras-keras.
"Jangan pura-pura bodoh. Kalau tidak karena uban Anda itu, Anda sudah saya
lemparkan dari jendela. Dasar bajingan! Uban atau tak beruban, saya - "
Dia maju selangkah dua langkah, dan Sir Eustace berlindung ke balik meja.
"Anak muda selalu kasar," katanya menegur. "Tak bisa menggunakan otaknya,
semata-mata mengandalkan ototnya saja. Coba kita bicara baik-baik. Saat ini kau
memang berada di pihak yang kuat. Tapi keadaan begini tak bisa berlanjut terus.
Rumah ini penuh dengan anak buahku. Kami jauh lebih banyak daripada kalian.
Kemenanganmu yang hanya sementara itu, hanya suatu kebetulan saja - "
"Begitukah?" Sesuatu dalam suara Harry, yang merupakan ejekan, menarik perhatian Sir Eustace.
Dia menatap Harry. "Begitukah?" kata Harry lagi. "Duduklah, Sir Eustace, dan dengarkan kata-
kataku." Sambil terus menodongkan pistolnya, dia berkata lagi, "Kali ini nasib
Anda yang sial. Pertama-tama, dengarlah itu!"
Yang dimaksud dengan itu, adalah gedoran keras pada pintu di lantai bawah.
Terdengar teriakan-teriakan, umpatan-umpatan, kemudian suara tembakan. Sir
Eustace menjadi pucat. "Apa itu?" "Race dan anak buahnya. Soalnya Anda tak tahu, Sir Eustace, bahwa antara saya
dan Anne sudah ada perjanjian, yang akan memastikan apakah komunikasi antara
salah seorang di antara kami kepada pihak yang lain, asli dari dia atau tidak"
Telegram harus ditandatangani dengan nama 'Andy', bila mengirim surat, harus ada
kata 'dan' yang dicoret. Anne tahu bahwa telegram Anda itu tipu muslihat Anda
saja. Dia datang kemari atas kemauannya sendiri, sengaja masuk perangkap, dengan
harapan akan bisa menangkap Anda dalam perangkap Anda sendiri. Sebelum
meninggalkan Kimberley, dia mengirim telegram padaku dan pada Race. Sejak itu
Nyonya Blair berkomunikasi terus dengan kami. Saya menerima surat yang ditulis
berdasarkan dikte. Itu sudah saya harapkan. Saya sudah membahas dengan Race,
mengenai kemungkinan adanya lorong rahasia yang keluar dari toko cendera mata
itu. Dan Race lalu menemukan tempat di mana lorong itu menembus keluar."
Terdengar jeritan, bunyi nyaring sesuatu yang pecah, dan sebuah ledakan yang
mengguncang kamar. "Mereka sedang menembaki kota di bagian ini. Aku harus membawamu keluar dari
sini, Anne." Tampak seberkas sinar menyala. Rumah di seberang terbakar. Sir Eustace bangkit,
lalu berjalan hilir-mudik. Harry tetap menodongkan pistolnya padanya.
"Jadi Anda lihat, Sir Eustace, permainan Anda sudah berakhir. Anda sendirilah
yang telah berbaik hati memberi kami petunjuk mengenai tempat persembunyian Anda
ini. Anak buah Race mengawasi jalan keluar dari lorong rahasia itu. Betapapun
hati-hatinya kalian, mereka berhasil juga mengikuti aku kemari."
Tiba-tiba Sir Eustace membalik.
"Pandai sekali. Sangat terpuji. Tapi masih ada yang harus kukatakan. Kalaupun
aku sudah kalah langkah, kau juga begitu. Kalian tidak akan pernah bisa
menudingku sebagai pembunuh Nadina. Satu-satunya bukti yang ada padamu adalah,
bahwa hari itu aku berada di Marlow. Tak seorang pun bisa membuktikan bahwa aku
kenal wanita itu. Tapi kau kenal padanya, kau punya motif untuk membunuhnya - dan
tuduhan yang pernah ditujukan atas dirimu, tidak menguntungkanmu. Kau dikenal
sebagai pencuri, ingat itu, seorang pencuri. Dan mungkin ada satu hal yang kau
tak tahu. Berlian-berlian itu ada padaku. Ini dia - "
Dengan gerakan secepat kilat, dia membungkuk, mengangkat tangannya, lalu
melempar. Terdengar gemerincing kaca pecah, waktu benda itu menabrak jendela,
dan menghilang ke dalam nyala api yang berkobar di seberang.
"Hilang sudah satu-satunya harapanmu untuk meyakinkan kebersihan dirimu dari
peristiwa pencurian di Kimberley dulu. Dan sekarang kita akan bicara. Kita akan
mengadakan tawar-menawar. Kau telah menyudutkan aku. Race akan menemukan semua
yang diperlukannya dalam rumah ini. Aku masih punya kesempatan, kalau aku bisa
lolos. Bila aku tetap di sini, habislah aku, tapi begitu pula kau, Anak muda! Di
kamar di sebelah ini ada kaca di atap untuk masuk sinar matahari. Aku hanya
membutuhkan beberapa menit untuk bebas. Aku sudah mempersiapkan beberapa sarana
untuk melarikan diri. Kalau kau mau membiarkan aku lolos melalui jalan itu - akan
kutinggalkan surat pengakuan yang kutandatangani, yang menyatakan bahwa aku yang
membunuh Nadina." "Ya, Harry," seruku. "Katakan, ya!"
Harry menoleh padaku dengan wajah kaku.
"Tidak, Anne, seribu kali tidak. Kau tak menyadari apa yang kaukatakan."
"Aku sadar. Itu akan menyelesaikan segalanya."
"Aku tidak akan punya muka lagi terhadap Race. Demi apa pun juga, aku tidak akan
mau melepaskan penjahat licik ini. Tidak ada gunanya, Anne. Aku tak mau."
Sir Eustace tertawa kecil. Dia menerima kekalahan tanpa emosi sedikit pun.
"Nah," katanya, "agaknya kau kini kena batunya, Anne. Tapi sebaiknya kalian
ketahui bahwa kejujuran moral saja tidak selalu berguna."
Terdengar derak kayu parah, dan langkah-langkah yang menaiki tangga. Harry
mencabut palang pintu. Kolonel Race-lah yang pertama-tama masuk ke kamar.
Wajahnya berseri waktu melihat kami.
"Kau selamat, Anne. Aku sudah takut - " Dia berpaling pada Sir Eustace. "Sudah
lama aku mengejarmu, Pedler - akhirnya aku sekarang bisa menangkapmu."
"Kelihatannya semua orang sudah jadi gila," kata Sir Eustace dengan tenang.
"Anak-anak muda ini sejak tadi mengancamku dengan pistol dan menuduhku yang
bukan-bukan. Aku tak mengerti semuanya ini."
"Tak tahu" Itu berarti bahwa aku sudah menemukan orang yang disebut 'Kolonel'.
Itu berarti bahwa pada tanggal 8 Januari yang lalu, kau tidak berada di Cannes,
melainkan di Marlow. Itu berarti bahwa waktu kaki tanganmu, Madame Nadina,
berusaha mengkhianatimu, kau ingin menyingkirkan dia - dan akhirnya kami bisa
mendakwamu telah melakukan kejahatan itu."
"Oh, begitu. Dari mana kau mendapatkan informasi yang menarik itu" Dari orang
yang sekarang sedang dicari polisi" Kesaksiannya sama sekali tidak akan
berharga." "Kami punya saksi lain. Ada seorang lagi yang tahu bahwa Nadina akan menemui kau
di Mill House." Sir Eustace kelihatan terkejut. Kolonel Race memberi isyarat dengan tangannya.
Arthur Minks alias Pendeta Edward Chichester, alias Pettigrew, melangkah maju.
Dia pucat dan gugup, tapi bicaranya cukup jelas.
"Saya bertemu dengan Nadina di Paris, malam sebelum dia berangkat ke Inggris.
Waktu itu saya menyamar sebagai seorang bangsawan Rusia. Dia menceritakan
tentang niatnya. Saya memberinya peringatan, karena saya tahu pria macam apa
yang harus dihadapinya. Tapi dia tak mau menerima nasihat saya. Di mejanya ada
sepucuk telegram. Saya membacanya. Setelah itu saya pikir saya akan mencoba
mendapatkan sendiri berlian-berlian itu. Di Johannesburg, Rayburn menemui saya.
Dia membujuk saya supaya memihak padanya."
Sir Eustace memandanginya. Orang tua itu tidak berkata apa-apa, tapi jelas
kelihatan bahwa Minks kehilangan semangat.
"Tikus-tikus selalu meninggalkan kapal yang akan karam," kata Sir Eustace. "Aku
benci tikus-tikus busuk. Cepat atau lambat, akan kumusnahkan dia."
"Ada satu hal yang ingin saya katakan pada Anda, Sir Eustace," kataku. "Tabung
timah yang Anda lemparkan ke luar jendela itu, tidak berisi berlian. Isinya
kerikil biasa. Berlian itu tersimpan di tempat yang benar-benar aman. Tepatnya
dalam perut jerapah yang besar itu. Suzanne melubangi perut binatang itu, lalu
membungkus permata-permata itu dalam kapas supaya tidak gemeletak, baru
memasukkannya ke dalam rongga perut itu. Setelah itu direkatnya kembali."
Sir Eustace memandangi aku beberapa lamanya. Jawabannya memang khas Sir Eustace,
"Aku memang benci pada jerapah yang suka mengedip-ngedipkan matanya itu,"
katanya. "Mungkin itu naluriku."
BAB XXXIV

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KAMI tak bisa kembali ke Johannesburg malam itu. Penembakan-penembakan makin
gencar, dan kudengar bahwa kami berada di tempat yang terputus hubungannya,
karena kaum pemberontak sudah menduduki suatu bagian lagi dari pedesaan itu.
Tempat pengungsian kami adalah suatu peternakan yang kira-kira dua puluh mil
jauhnya dari Johannesburg - terletak di tengah-tengah padang. Aku terduduk karena
keletihan. Tubuhku jadi lemah sekali gara-gara kekacauan dan ketegangan selama
dua hari yang lalu. Tanpa berani merasa yakin, aku terus-menerus berkata dalam hatiku bahwa
kesulitan-kesulitan kami sudah berlalu. Bahwa Harry dan aku kini sudah berkumpul
dan tidak akan terpisah lagi. Namun selama itu aku juga menyadari bahwa di
antara kami masih ada dinding pemisah - dia tetap menjaga jarak, dan aku tak
pernah bisa menduga sebabnya.
Sir Eustace dibawa ke arah yang berlawanan dengan pengawalan dua orang yang
kuat-kuat. Dengan tenang dia melambai pada kami waktu akan berangkat.
Esok harinya, pagi-pagi benar aku keluar ke beranda dan memandangi padang luas,
ke arah Johannesburg. Dalam sinar matahari yang masih berkabut itu kulihat
tempat penyimpanan senjata militer yang luas. Senjata-senjata itu berkilat-
kilat. Dan kudengar gelegar bunyi meriam. Revolusi belum selesai.
Istri petani itu keluar lalu mengajakku masuk untuk sarapan. Dia wanita yang
baik hati dan keibuan, dan aku sudah mulai menyukainya. Pada saat fajar
menyingsing, Harry sudah keluar dan kini belum kembali, kata wanita itu. Lagi-
lagi aku merasa resah. Bayangan apakah yang selalu kurasakan memisahkan kami"
Setelah sarapan aku duduk di beranda dengan membawa buku yang tak kubaca.
Demikian asyiknya aku melamun, hingga tak kulihat Kolonel Race datang berkuda.
Sampai dia turun dari kudanya dan mengatakan, "Selamat pagi, Anne.", barulah aku
sadar. "Oh," kataku dengan wajah memerah, "Anda - rupanya."
"Ya. Boleh aku duduk?"
Ditariknya kursi ke dekatku. Baru sekaranglah kami berduaan lagi, sejak hari itu
di Matoppos. Sebagaimana biasanya, aku merasakan campuran pesona dan rasa takut
terhadapnya. "Ada berita apa?" tanyaku.
"Smuts akan berada di Johannesburg besok. Menurut perhitunganku, dalam tiga hari
dia baru akan bisa mengamankannya, karena kota itu benar-benar kacau. Sementara
itu pertempuran masih berjalan terus."
"Sebaiknya dalam pertempuran itu orang-orang yang memang harus matilah, yang
tewas," kataku. "Maksud saya, orang-orang yang memberontak itu - jangan hanya
orang-orang miskin yang kebetulan tinggal di daerah-daerah di mana pertempuran
itu berkecamuk." Dia mengangguk. "Aku tahu apa maksudmu, Anne. Itulah tak adilnya perang. Tapi aku ada berita
lain." "Apa itu?" "Pengakuan tentang ketidakmampuanku. Pedler lolos."
"Apa?" "Ya. Tak seorang pun tahu bagaimana itu bisa terjadi. Malam itu dia sudah
dikunci dengan aman - dalam kamar di lantai atas salah sebuah rumah pertanian di
sekitar ini, yang sudah diambil alih oleh militer. Tapi tadi pagi, kamar itu
kedapatan kosong, dan tawanan kita sudah lepas."
Diam-diam aku merasa senang. Sampai saat ini, aku tak bisa menepiskan rasa
sayangku pada Sir Eustace. Aku yakin itu salah, tapi perasaan itu tetap ada. Aku
mengaguminya. Aku tahu betul bahwa dia seorang penjahat ulung - tapi dia
menyenangkan. Belum pernah aku bertemu dengan orang yang lebih menyenangkan
daripada dia. Tentu saja aku harus menyembunyikan perasaan itu. Wajar kalau Kolonel Race punya
perasaan lain. Dia ingin Sir Eustace diajukan ke pengadilan. Bila dipikir-pikir,
tak terlalu mengherankan kalau dia bisa lolos. Di Johannesburg dan sekitarnya,
dia punya mata-mata dan agen banyak sekali. Dan apa pun pikiran Kolonel Race,
aku sangat meragukan bahwa dia akan tertangkap lagi. Mungkin dia punya tempat
pelarian yang sudah direncanakan dengan baik dan itu memang pernah dikatakannya
pada kami. Aku mengucapkan kata-kata yang sepantasnya, meskipun tidak dengan tulus, dan
kami pun kehabisan bahan percakapan. Lalu tiba-tiba Kolonel Race menanyakan
Harry. Kukatakan bahwa dia pergi subuh-subuh tadi, dan aku belum bertemu
dengannya sepanjang pagi ini.
"Kau tentu tahu, Anne, bahwa dia sekarang sudah benar-benar bebas, kecuali
beberapa formalitas dan hal-hal teknis yang masih harus dibereskan. Sudah jelas
bahwa Sir Eustace-lah yang bersalah. Sekarang tak ada lagi yang memisahkan
kalian." Kata-kata itu diucapkannya lambat-lambat dan terputus-putus, tanpa melihat
padaku. "Saya mengerti," kataku dengan rasa terima kasih.
"Dan tak ada lagi alasan mengapa dia tidak memakai nama aslinya."
"Tentu tidak." "Tahukah kau nama aslinya?"
Aku heran mendengar pertanyaan itu.
"Tentu tahu. Harry Lucas."
Dia diam. Tapi sesuatu pada sikapnya tampak aneh.
"Anne, ingatkah kau, dalam perjalanan pulang kita dari Matoppos hari itu, aku
berkata bahwa aku tahu apa yang harus kuperbuat?"
"Tentu saya ingat."
"Kurasa sekarang aku boleh berkata bahwa aku sudah melaksanakannya. Laki-laki
yang kaucintai sudah bebas dari tuduhan."
"Itukah yang Anda maksud waktu itu?"
"Ya." Aku tertunduk, merasa malu atas rasa curigaku yang tak beralasan. Dengan hati-
hati dia berkata, "Waktu aku masih muda sekali, aku mencintai seorang gadis. Tapi gadis itu
meninggalkan aku. Setelah itu aku hanya memikirkan pekerjaanku saja. Karierku
sangat penting bagiku. Lalu aku bertemu dengan kau, Anne - dan semua karier itu
jadi tak berarti lagi. Tapi anak muda menginginkan yang muda.... Sekarang aku
tinggal punya pekerjaanku."
Aku diam. Kurasa kita tak bisa mencintai dua orang sekaligus. Tapi daya tarik
laki-laki ini besar sekali. Aku mengangkat kepalaku.
"Kurasa Anda akan sangat berhasil," kataku. "Kurasa Anda akan mencapai karier
yang lebih besar. Anda akan menjadi salah satu orang-orang besar di dunia."
Aku merasa telah mengucapkan suatu ramalan.
"Tapi aku akan sendiri terus."
"Semua orang yang menjalankan tugas besar, selalu begitu."
"Begitukah?" "Aku yakin." Digenggamnya tanganku, lalu berkata dengan suara rendah,
"Sebenarnya - aku lebih suka pilihan yang satu lagi."
Lalu Harry datang dari sudut rumah. Kolonel Race bangkit.
"Selamat pagi - Lucas," katanya.
Entah mengapa, wajah Harry menjadi merah sampai ke akar-akar rambutnya.
"Ya," kataku dengan ceria, "kau harus dikenal dengan nama aslimu sekarang."
Tapi Harry masih menatap Kolonel Race.
"Jadi Anda tahu?" katanya akhirnya.
"Aku takkan lupa wajah yang pernah kulihat. Aku pernah melihatmu waktu kau masih
kecil." "Ada apa ini?" tanyaku. Dengan keheranan aku memandang kedua orang itu
bergantian. Tampak seolah-olah keduanya sedang mempertempurkan kemauan masing-masing. Race
menang. Harry membuang muka.
"Saya rasa Anda benar. Katakan padanya nama asli saya."
"Anne, ini bukan Harry Lucas. Harry Lucas tewas dalam peperangan. Ini adalah
John Harold Eardsley."
BAB XXXV SETELAH mengucapkan kata-kata yang terakhir itu, Kolonel Race berbalik lalu
pergi. Aku terpana menatapnya. Suara Harry menyadarkan aku.
"Anne, maafkan aku, katakan bahwa kau mau memaafkan aku."
Digenggamnya tanganku, dan hampir otomatis aku menariknya kembali.
"Mengapa kau membohongi aku?"
"Kurasa aku tak yakin bahwa aku akan bisa membuat kau mengerti. Aku takut akan
hal-hal seperti - kuatnya daya pikat kekayaan. Aku ingin kau mencintai aku semata-
mata karena aku - sebagai laki-laki apa adanya - tanpa embel-embel, tanpa jebakan-
jebakan." "Maksudmu kau tak percaya padaku?"
"Bisa juga diartikan begitu, tapi tak seluruhnya benar. Sebab kalau begitu
halnya, aku akan jadi getir, penuh rasa curiga - selalu waspada kalau-kalau ada
maksud-maksud tersembunyi - padahal aku bahagia sekali mengecap cinta yang
kauberikan padaku." "Aku mengerti," kataku perlahan-lahan. Aku membalik-balik kisah yang pernah
diceritakannya padaku, dalam otakku. Aku baru melihat adanya pertentangan-
pertentangan, yang sebelumnya tak kusadari - adanya jaminan keuangan, kemampuan
untuk membeli kembali berlian-berlian dari Nadina. Juga caranya menceritakan
diri mereka berdua, seolah-olah dia orang luar. Dan waktu dikatakannya
'sahabatku', maka yang dimaksudnya bukanlah Eardsley, melainkan Lucas. Lucas-lah
pemuda yang pendiam itu, yang sangat mencintai Nadina.
"Bagaimana hal itu sampai terjadi?" tanyaku.
"Kami berdua nekat - ingin tewas dalam perang itu. Pada suatu malam kami saling
bertukar tanda pengenal - untuk mengadu nasib! Esok harinya Lucas tewas - tertembak
sampai hancur berantakan."
Aku menggigil. "Tapi mengapa kau tidak menceritakannya padaku" Mengapa tidak pagi-pagi tadi"
Apakah kau masih meragukan cintaku padamu?"
"Anne, aku tak mau merusak cinta kita. Aku ingin membawamu kembali ke pulau. Apa
sih artinya uang" Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Kita akan bahagia di pulau
itu. Terus terang, aku takut cara hidup yang lain - cara itu pernah menghancurkan
aku." "Apakah Sir Eustace tahu siapa kau sebenarnya?"
"Oh, tentu saja."
"Carton juga?" "Tidak. Dia melihat kami berdua bersama Nadina di Kimberley pada suatu malam,
tapi dia tak bisa membedakan kami. Dia percaya waktu kukatakan bahwa aku Lucas,
dan Nadina terkecoh oleh telegramnya. Nadina tak pernah takut pada Lucas. Dia
pemuda yang pendiam - yang dalam, sedang aku berangasan seperti setan. Pasti dia
ketakutan setengah mati kalau dia tahu bahwa aku hidup kembali."
"Harry, sekiranya Kolonel Race tidak menceritakannya padaku, apa sebenarnya yang
ingin kaulakukan?" "Mendiamkannya saja. Tetap saja sebagai Lucas."
"Bagaimana dengan kekayaan ayahmu?"
"Race boleh saja mengambilnya. Bagaimanapun juga, dia akan bisa memanfaatkannya
dengan lebih baik daripada aku. Anne, apa yang kaupikirkan" Kau mengerutkan
dahimu." "Aku berpikir," kataku perlahan-lahan, "bahwa aku sebenarnya lebih senang kalau
Kolonel Race tidak memaksamu untuk mengatakannya padaku."
"Tidak. Dia benar. Aku memang harus mengatakan yang sebenarnya."
Dia diam sebentar, lalu tiba-tiba berkata lagi,
"Tahukah kau, Anne, aku cemburu pada Race. Dia juga mencintaimu - dan dia lebih
daripada aku dalam segala hal."
Aku tertawa. "Harry, kau tolol sekali. Kaulah yang kuinginkan - dan hanya itulah yang penting."
Kami berangkat ke Cape Town secepat mungkin. Di sana Suzanne menyambutku, dan
kami membongkar perut jerapah besar itu berdua. Setelah pemberontakan akhirnya
dapat dipadamkan, Kolonel Race datang ke Cape Town. Dikatakannya bahwa vila
besar yang di Muizenberg yang dulu dimiliki Sir Laurence Eardsley, telah dibuka
kembali, dan dianjurkannya agar kami semua menempatinya.
Di sana kami membicarakan rencana kami. Aku harus kembali ke Inggris bersama
Suzanne, dan akan menikah di rumahnya di London. Dan pakaian pengantin akan
dibeli di Paris! Bukan main senangnya Suzanne merencanakan semua itu. Aku juga.
Namun masa depan itu rasanya aneh dan tak nyata. Dan kadang-kadang aku merasa
tersekat - tak bisa bernapas.
Waktu itu malam hari sebelum kami berlayar. Aku tak bisa tidur. Aku risau, tanpa
tahu mengapa. Aku tak suka meninggalkan Afrika. Bila aku kembali lagi, masih
akan samakah keadaannya"
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suatu ketukan yang jelas di daun jendela. Aku
melompat. Harry berdiri di beranda di luar.
"Kenakan pakaianmu, Anne, dan keluarlah. Aku ingin bicara."
Cepat-cepat kukenakan pakaian, dan keluar ke udara malam dan sejuk - sepi dan
wangi, dan rasanya seperti beludru. Harry menuntunku sampai ke tempat yang tak
terdengar orang di rumah.
Wajahnya tampak pucat dan penuh tekad, dan matanya berkilat.
"Anne, ingatkah kau pernah berkata bahwa kaum wanita suka melakukan hal-hal yang
tidak mereka sukai demi seseorang yang mereka cintai?"
"Ingat," kataku sambil menebak-nebak apa yang akan dikatakannya selanjutnya.
"Anne, marilah ikut aku - sekarang juga - malam ini. Kembali ke Rhodesia - ke pulau.
Aku tak suka rencana-rencana tetek-bengek itu. Aku tak bisa menunggu kau lebih
lama lagi." "Lalu bagaimana dengan gaun pengantinku yang kita pesan dari Paris itu?" Aku
pura-pura mengeluh. Sampai hari ini, Harry tak pernah tahu kapan aku bersungguh-sungguh, dan kapan
aku hanya menggodanya saja.
"Persetan dengan gaun Paris itu. Kaupikir aku suka kau mengenakan pakaian itu"
Aku malah cenderung untuk merenggutkannya dari tubuhmu. Aku tidak akan
membiarkan kau pergi! Kau dengar itu" Kau milikku. Bila kubiarkan kau pergi, aku
mungkin akan kehilangan kau. Aku tak pernah yakin akan kau. Kau harus ikut aku
sekarang juga - malam ini - dan persetan dengan semua orang."
Aku didekapnya dan diciuminya sampai aku susah bernapas.
"Aku tak bisa lagi tanpa kau, Anne. Sungguh tak bisa. Aku benci semua uang itu.
Biar diambil Race semua. Mari kita pergi."
"Sikat gigiku?" kataku berlagak serius.
"Bisa dibeli. Aku tahu aku gila, tapi demi Tuhan, ikutlah!"
Dia pergi dengan langkah-langkah panjang. Aku mengekor di belakangnya dengan
patuh, seperti wanita Barotsi yang kulihat di Air Terjun dulu itu. Bedanya
hanyalah, aku tidak menyunggi wajan. Jalannya cepat sekali hingga aku merasa
sulit mengikutinya. "Harry," kataku akhirnya dengan lemah, "apakah kita akan berjalan terus sampai
ke Rhodesia?" Tiba-tiba dia berbalik, dan dengan tertawa terbahak-bahak aku dirangkulnya.
"Aku gila, Sayangku, aku tahu. Tapi aku cinta sekali padamu."
"Kita memang pasangan gila. Dan, oh, Harry, kau tak pernah menanyakannya, tapi
biarlah kukatakan saja. Aku tidak berkorban! Aku memang suka ikut!"
BAB XXXVI ITU terjadi dua tahun yang lalu. Kami masih tetap tinggal di pulau. Di atas kayu
yang kasar, di hadapanku, ada surat dari Suzanne.
Anak-Anak Tercinta di Dalam Hutan - Pasangan Gila yang Mabuk Cinta,
Aku tak kaget - sama sekali tak kaget. Selama kita berbicara tentang Paris dan
pakaian, aku sudah merasa bahwa itu sama sekali tidak akan terjadi - bahwa pada
suatu saat kau akan menghilang tanpa bekas, dan menikah dengan iringan genderang
seperti pengantin gipsy. Kalian memang pasangan gila! Sungguh tak masuk akal
tindakan Harry yang melepaskan haknya atas kekayaan yang begitu besar. Kolonel
Race ingin menolak, tapi kuanjurkan untuk menunda penolakan itu. Dia bisa
mengelola kekayaan itu untuk Harry - tak ada orang yang lebih baik. Karena
bagaimanapun juga, bulan madu tidak akan kekal - aku bisa mengatakan hal itu
dengan aman sekarang, tanpa kemungkinan kau akan mencakarku seperti kucing liar,
Anne, karena kau tak ada di sini. - Cinta di tengah rimba belantara memang akan
bertahan lebih lama, tapi pada suatu hari, tiba-tiba kau akan mulai memimpikan
rumah-rumah di Park Lane, mantel bulu binatang yang mewah, gaun-gaun dari Paris,
mobil yang paling besar dan yang lagi jadi mode sekarang - pelayan dari Prancis
serta pengasuh bayi dari Norwegia! Ya, pasti!
Tapi sekarang, nikmatilah bulan madu kalian, sahabat-sahabatku yang gila yang
kusayangi. Dan semoga bulan madu itu panjang. Tapi sekali-sekali kenanglah aku,
yang makin lama makin gemuk, di tengah-tengah pot-pot krim pengoles wajah!
Sahabatmu tercinta, SUZANNE BLAIR. N B. - Bersama ini kukirimkan satu set wajan sebagai hadiah perkawinan, dan satu
pot besar pasta hati angsa, supaya kalian ingat padaku.
Ada sepucuk surat lagi yang kadang-kadang masih kubaca. Surat itu tiba, lama


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah surat yang di atas, dan disertai sebuah paket besar. Agaknya surat itu
ditulis di suatu tempat di Bolivia.
Anne Beddingfeld yang Kusayangi,
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menulis surat padamu. Bukan karena aku
senang menulis padamu, tapi karena aku yakin bahwa kau akan senang sekali
mendengar berita dariku. Sahabat kita Race, rupanya tidak sepintar yang
disangkanya sendiri. Kurasa sebaiknya kau kutunjuk sebagai hakimku pribadi. Bersama ini kukirimkan
Buku Harianku. Isinya tidak akan menarik bagi Race dan orang-orangnya, tapi
kurasa ada bagian-bagian di dalamnya yang akan menyenangkan hatimu.
Manfaatkanlah buku itu sesukamu. Kuanjurkan supaya kau menyiapkan sebuah artikel
untuk Daily Budget, dengan judul 'Penjahat-penjahat Yang Pernah Kujumpai'. Tapi
aku menuntut supaya aku yang menjadi tokoh sentralnya.
Aku yakin bahwa pada saat ini kau bukan lagi Anne Beddingfeld, melainkan Lady
Eardsley, yang menjadi ratu di Park Lane. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku
sama sekali tak punya perasaan dendam terhadapmu. Tentu saja sulit untuk mulai
dari awal lagi, pada usia senja seperti aku, tapi, di antara kita saja, aku
masih punya dana persediaan yang kusisihkan baik-baik untuk keadaan mendesak
seperti sekarang ini. Dana itu sangat berguna, dan aku sekarang sedang membina
hubungan-hubungan baik. Ngomong-ngomong, kalau kau bertemu dengan sahabatmu yang
lucu itu, Arthur Minks, katakan padanya bahwa aku tidak melupakannya. Dia pasti
akan mati ketakutan. Kurasa aku punya jiwa Kristen yang cukup pemaaf. Juga terhadap Pagett. Aku
kebetulan mendengar bahwa dia - atau tepatnya istrinya - baru melahirkan anak yang
keenam, beberapa hari yang lalu. Tak lama lagi, Inggris akan penuh dengan
Pagett-Pagett kecil. Bayi itu kuhadiahi sebuah cangkir besar dari perak, dan
kukirim pula kartu pos di mana aku menyatakan kesediaanku untuk menjadi ayah
permandiannya. Terbayang olehku, Pagett langsung membawa cangkir dan kartu pos
itu ke Scotland Yard, dengan wajah kaku tanpa senyum!
Semoga Tuhan memberkatimu, Mata Berbinar. Suatu hari kelak kau akan menyadari
kekeliruanmu karena tak mau menikah denganku.
Salamku selalu, Eustace Pedler Harry marah sekali. Itu satu-satunya hal di mana kami tak sepakat. Bagi dia, Sir
Eustace adalah orang yang telah mencoba membunuhku, dan yang dianggapnya
bertanggung jawab atas kematian sahabatnya. Aku masih belum mengerti mengapa Sir
Eustace mencoba membunuhku. Rasanya tak masuk akal, soalnya aku yakin bahwa dia
selalu punya perasaan yang benar-benar tulus terhadapku.
Lalu mengapa sampai dua kali dia berusaha menghabisi nyawaku" Kata Harry,
'karena dia penjahat yang terkutuk', dan tak mau mendengar pertimbangan lain.
Suzanne punya pertimbangan yang lebih baik. Aku membicarakannya dengan dia, dan
dia menyebutnya sebagai 'kompleks rasa takut'. Suzanne suka mendasarkan
pembicaraannya pada analisa psikis. Dijelaskannya bahwa sepanjang hidupnya Sir
Eustace selalu mendambakan rasa aman dan nyaman. Dia punya rasa ingin melindungi
diri sendiri yang sangat kuat. Dia membunuh Nadina juga karena alasan itu.
Perbuatan-perbuatannya terhadapku tidak berdasarkan perasaannya terhadapku, tapi
merupakan akibat rasa takutnya yang hebat, karena merasa keamanannya terancam.
Kurasa Suzanne benar. Mengenai Nadina, wanita itu memang pantas mati. Kaum pria
melakukan segala macam usaha yang bertanggung jawab, untuk menjadi kaya. Tapi
kaum wanita tak boleh berpura-pura jatuh cinta kalau mereka punya alasan
tersembunyi. Aku bisa memaafkan Sir Eustace dengan mudah sekali, tapi aku tidak akan pernah
memaafkan Nadina. Tidak akan!
Beberapa hari yang lalu, waktu aku sedang membongkar beberapa kaleng yang
terbungkus dalam koran-koran tua Daily Budget, tiba-tiba terbaca olehku kata-
kata, "Pria Bersetelan Coklat". Alangkah lamanya rasanya hal itu telah berlalu!
Aku tentu saja sudah lama memutuskan hubungan kerja dengan Daily Budget - yang
sudah tak mau lagi bekerja untuk mereka. Naskahku yang berjudul Perkawinanku
yang Romantis, diterbitkan dan sukses besar.
Anakku laki-laki, sedang berbaring di bawah sinar matahari. Dia menyepak-
nyepakkan kakinya. Dialah sekarang yang merupakan 'pria bersetelan coklat'. Dia
berpakaian sangat minim, cara berpakaian yang paling cocok di Afrika, dan
tubuhnya berwarna coklat. Dia gemar sekali mengorek-ngorek tanah. Kurasa dia
mewarisi bakat Papa. Pasti dia akan tergila-gila pada tanah liat Pleistocene.
Waktu dia lahir, Suzanne mengirim telegram,
"Selamat dan sampaikan cintaku pada pendatang baru di Pulau Orang Gila. Apakah
bentuk kepalanya dolichocephalic atau brachycephalic?"
Aku tak membiarkan Suzanne mengejekku. Langsung kukirim balasan yang hanya
terdiri dari satu kata, supaya hemat dan tepat. Bunyinya, "Platycephalic!"
Scan & DJVU: BBSC Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan EJAAN, bukan full-edited)
Pendekar Pemanah Rajawali 28 Pendekar Naga Geni 4 Hilangnya Empu Baskara Peristiwa Merah Salju 13
^