Pencarian

Pria Bersetelan Coklat 3

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie Bagian 3


merasa sepi sendiri di dunia yang indah ini. Aku berdiri di sana dengan perasaan
damai yang aneh, tanpa memperhatikan waktu. Aku tenggelam dalam mimpi.
Tiba-tiba aku mendapat firasat aneh akan adanya bahaya. Aku tak mendengar apa-
apa, tapi aku berbalik. Suatu sosok gelap mengendap-endap di belakangku. Pada
saat aku berbalik, dia menerpaku. Sebelah tangannya mencengkeram leherku, dan
dengan demikian tersumbatlah pekikku. Aku melawan mati-matian, tapi tak berdaya.
Napasku sesak karena cengkeraman di leherku itu, lalu aku melawan dengan cara
yang biasa dipakai kaum wanita. Aku menggigit, aku mencengkeram dan mencakar.
Laki-laki itu kurang bisa melawan karena harus mencegahku berteriak. Kalau saja
dia tadi bisa menyerangku tanpa kusadari, akan mudah sekali dia melemparkan aku
dari kapal dengan sekali angkat saja. Ikan-ikan hiu akan menyelesaikan
pekerjaannya. Betapapun kuatnya aku berjuang, aku merasa tenagaku berkurang. Penyerangku
merasakan juga kelemahanku itu. Dia mengumpulkan seluruh tenaganya. Tapi
kemudian, suatu bayangan lain mendekat. Bayangan itu berlari cepat, hampir-
hampir tak terdengar. Dengan sekali tinju saja, lawanku jatuh terkapar di lantai
dek. Setelah merasa bebas, aku bersandar pada pagar. Aku pusing dan gemetar,
Penyelamatku dengan cepat berbalik mendatangiku.
"Kau cedera!" Nada bicaranya terdengar kasar - suatu ancaman terhadap orang yang telah berani
mencederaiku. Sebelum dia bicara pun, aku sudah mengenali siapa dia. Dia adalah
priaku - pria yang ada bekas lukanya.
Waktu yang hanya sesaat, waktu dia mengalihkan perhatiannya padaku, sudah cukup
bagi musuhku yang jatuh itu. Secepat kilat dia bangkit dan berlari menuruni dek.
Sambil mengumpat, Rayburn melompat mengejarnya.
Aku selalu tak suka tinggal diam saja. Aku ikut mengejar - meskipun tak banyak
membantu. Kami mengejar berkeliling dek, ke sisi kanan kapal. Setiba di dekat
pintu ruang makan, laki-laki itu roboh menjadi suatu onggokan. Rayburn
membungkuk di dekatnya. "Kau memukulnya lagi?" tanyaku terengah.
"Tak perlu lagi," sahutnya. "Kudapati dia sudah roboh di dekat pintu ini. Mari
kita lihat siapa dia."
Dengan jantung berdebar aku mendekat. Segera tampak olehku bahwa penyerangku itu
bertubuh lebih besar daripada Chichester. Lagi pula, Chichester adalah orang
yang lemah, yang mungkin lebih suka menggunakan pisau. Tanpa senjata, dia tak
punya kekuatan apa-apa. Rayburn menyalakan korek api. Kami sama-sama berseru karena terkejut. Laki-laki
itu adalah Guy Pagett. Rayburn tampak benar-benar terkejut melihat itu.
"Pagett," gumamnya. "Ya, Tuhan, Pagett."
Aku merasa agak mempunyai kelebihan.
"Kau kelihatan terkejut sekali."
"Memang," katanya dengan berat. "Tak pernah kuduga - " Tiba-tiba dia berbalik
menghadapi aku. "Kau sendiri" Apakah kau tak terkejut" Apakah kau sudah
mengenalinya waktu dia menyerangmu?"
"Tidak, tapi aku tidak terlalu terkejut."
Dia menatapku dengan curiga.
"Aku jadi ingin tahu apa peranmu. Apa yang kautahu?"
Aku tersenyum. "Banyak, Tuan - eh - Lucas!"
Lenganku dicengkeramnya. Cengkeraman kuat yang tak disadarinya, membuatku
bergidik. "Dari mana kaudapat nama itu?" tanyanya serak.
"Itu namamu, kan?" tanyaku manis. "Atau kau lebih suka disebut 'Pria Bersetelan
Coklat'?" Dia terkesima mendengar itu. Dilepaskannya lenganku lalu mundur beberapa
langkah. "Kau ini gadis atau perempuan sihir?" tanyanya kasar.
"Aku seorang teman." Aku maju selangkah ke arahnya. "Aku pernah menawarkan
bantuanku - kini kuulangi tawaranku. Mau kan menerimanya?"
"Tidak, aku tak mau punya hubungan dengan kau, atau dengan perempuan mana pun
juga. Camkan itu." Aku terkejut sekali mendengar betapa kasarnya jawabnya.
Darahku pun mulai naik. "Mungkin kau tidak menyadari bahwa hidupmu ada dalam tanganku," kataku. "Sepatah
kata dariku kepada Kapten - "
"Coba katakan," ejeknya. Lalu dia maju dengan cepat. "Dan bicara tentang sadar-
menyadari, apa kau tak sadar bahwa pada detik ini kau berada dalam kekuasaanku"
Aku bisa mencekikmu begini - " Dengan gerak cepat dilakukannya apa yang
diucapkannya. Kedua belah tangannya mencengkeram leherku - meskipun perlahan.
"Seperti ini - dan kucekik terus sampai habis nyawamu! Lalu - seperti kawan kita
yang tak sadar itu, tapi dengan lebih mudah lagi - akan kulemparkan mayatmu ke
ikan-ikan hiu. Bagaimana?"
Aku tak berkata apa-apa. Aku hanya tertawa. Padahal aku tahu bahwa dia tak main-
main. Pada saat itu dia membenciku. Tapi aku tetap saja menyukai bahaya yang
satu ini, menyukai tangannya yang mencengkeram leherku. Aku tak ingin menukar
saat ini dengan saat lain dalam hidupku.
Sambil tertawa pendek dilepaskannya aku.
"Siapa namamu?"
"Anne Beddingfeld."
"Tak adakah yang membuatmu takut, Anne Beddingfeld?"
"Ada," sahutku, dengan menunjukkan ketenangan yang sebenarnya sama sekali tak
ada padaku. "Aku takut pada tawon, pada wanita yang sarkastis, laki-laki yang
sangat muda, kecoa, dan pramuniaga yang sok tahu."
Dia tertawa pendek seperti tadi. Lalu diguncangnya tubuh Pagett yang masih
pingsan, dengan kakinya. "Kita apakan barang rongsokan ini" Dilempar ke laut saja?" tanyanya sembarangan.
"Kalau kau suka," sahutku menyamai ketenangannya.
"Aku kagum akan nalurimu yang benar-benar haus darah itu, Nona Beddingfeld. Tapi
baiklah kita biarkan dia sadar sendiri. Cederanya tidak terlalu berat."
"Rupanya ngeri juga kau melakukan pembunuhan untuk kedua kalinya," kataku manis.
"Pembunuhan untuk kedua kalinya?"
Dia kelihatan benar-benar heran,
"Wanita di Marlow itu," aku mengingatkannya sambil memperhatikan efek kata-
kataku itu dengan tajam. Air mukanya berubah jadi geram sekali. Dia seperti lupa akan kehadiranku di
situ. "Aku memang bisa saja membunuhnya," katanya. "Dan aku memang bermaksud untuk
itu...." Aku dilanda rasa benci amat sangat pada wanita yang sudah meninggal itu. Ingin
aku membunuhnya pada saat itu, seandainya dia ada di hadapanku.... Karena priaku
ini pasti pernah mencintainya - pasti!
Aku bisa menguasai diriku dan berbicara dengan suara normal,
"Rasanya sudah cukup banyak yang kita katakan - kecuali selamat malam."
"Selamat malam, dan selamat berpisah, Nona Beddingfeld."
"Au revoir, Tuan Lucas."
Dia tersentak lagi mendengar nama itu. Lalu dia mendekat.
"Apa maksudmu - mengapa kaukatakan au revoir?"
"Karena aku merasa bahwa kita akan bertemu lagi."
"Akan kuusahakan supaya itu tidak terjadi!"
Meskipun nada bicaranya keras, aku tidak merasa tersinggung. Sebaliknya, diam-
diam aku merasa puas. Aku tak bodoh.
"Bagaimanapun juga," kataku serius, "kita akan jumpa lagi."
"Mengapa?" Aku menggeleng. Aku tak bisa menjelaskan perasaanku yang membuatku berkata
demikian. "Aku tak ingin bertemu lagi denganmu," katanya tiba-tiba dengan kasar.
Sungguh kasar kata-katanya, tapi aku hanya tertawa dan menghilang dalam
kegelapan. Kudengar dia menyusulku, tapi lalu berhenti. Dan terdengar kata-kata dari dek
tempatnya berada. Kalau tak salah, kata-kata itu adalah, "Dasar perempuan
sihir!" BAB XVII (Ringkasan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler)
Mount Nelson Hotel, Cape Town.
AKU lega sekali turun dari Kilmorden. Selama berada di kapal aku merasa seperti
dikelilingi suatu jaringan intrik. Dan untuk mengakhiri semuanya itu, Guy Pagett
semalam merasa perlu melibatkan diri dalam perkelahian mabuk-mabukan. Mungkin
bukan itu yang terjadi, tapi begitulah kesannya. Apa lagi yang bisa kita
pikirkan bila seseorang datang pada kita, dengan benjol sebesar telur di sisi
kepalanya, dan matanya babak belur"
Pagett tentu saja masih mencoba bersikap misterius mengenai peristiwa itu.
Menurut dia, matanya yang biru itu karena pengabdiannya pada kepentinganku.
Kisahnya samar dan kacau. Lama baru aku bisa mengerti apa maksudnya.
Agaknya dia melihat seseorang yang tingkah lakunya mencurigakan. Mungkin dia
mengutip kata-kata itu dari buku cerita mata-mata. Soalnya dia sendiri tak tahu
apa yang dimaksudnya dengan laki-laki yang tingkah lakunya mencurigakan.
Waktu hal itu kutanyakan padanya, dia hanya berkata,
"Dia berjalan sembunyi-sembunyi dan mengendap-endap, padahal waktu itu sudah
tengah malam, Sir Eustace."
"Kau sendiri, apa yang kaulakukan di malam buta itu" Mengapa kau tak tidur?"
tanyaku jengkel. "Saya sedang mengirimkan telegram Anda itu, Sir Eustace, dan mengetik catatan
harian Anda yang terbaru."
Kita harus percaya bahwa Pagett selalu benar, dan selalu yang menjadi korban!
"Lalu?" "Lalu saya ingin berjalan-jalan sedikit sebelum pergi tidur, Sir Eustace. Laki-
laki itu datang dari arah kamar Anda, Melihat dia celingukan ke sekelilingnya,
saya segera berpikir bahwa ada sesuatu yang tak beres. Lalu dia mengendap-endap
naik tangga di dekat ruang makan. Saya mengikutinya."
"Pagett, Pagett," kataku, "untuk apa kau membuntuti orang yang berjalan-jalan di
dek" Banyak orang yang bahkan tidur di dek - meskipun kursi di situ tak nyaman.
Apalagi, jam lima subuh para kelasi akan menyiramnya bersamaan dengan mereka
mencuci dek." Ngeri aku memikirkannya.
"Jadi," lanjutku, "kalau kau mengganggu ketenangan orang yang susah tidur, aku
tak heran kalau kau diserangnya."
Pagett tetap sabar. "Harap dengarkan saya sampai selesai, Sir Eustace. Saya yakin bahwa laki-laki
itu berkeliaran di dekat kamar Anda. Apa urusannya" Di lorong itu hanya ada dua
kamar, kamar Anda dan kamar Kolonel Race."
"Race bisa menjaga dirinya sendiri tanpa bantuanmu, Pagett," kataku dengan
tenang sambil menyulut cerutu. Lalu kutambahkan, "Dan aku juga bisa."
Pagett mendekatiku, lalu napasnya terengah, seperti biasanya kalau dia ingin
menceritakan suatu rahasia.
"Tahukah Anda, Sir Eustace - saya yakin bahwa orang itu adalah Rayburn."
"Rayburn?" "Ya, Sir Eustace."
Aku menggeleng. "Rayburn punya akal sehat. Dia tidak akan mau membangunkan aku tengah malam."
"Benar, Sir Eustace. Semula saya sangka dia akan mendatangi Kolonel Race.
Mungkin suatu pertemuan rahasia - untuk mendapat instruksi!"
"Jangan bicara dengan mendesis begitu, Pagett," kataku sambil mundur sedikit,
"dan kendalikan napasmu. Pikiranmu itu tak masuk akal. Untuk apa mereka
mengadakan pertemuan rahasia di tengah malam" Kalau ada yang akan mereka
bicarakan, bisa saja mereka melakukannya sambil minum-minum dengan cara yang
wajar, yang tidak menarik perhatian."
Kulihat Pagett sama sekali tak yakin.
"Pokoknya ada sesuatu semalam, Sir Eustace," desaknya, "Kalau tidak, mengapa
Rayburn menyerang saya dengan begitu kejam?"
"Yakin benarkah kau bahwa itu Rayburn?"
Pagett kelihatan yakin benar akan hal itu. Itulah bagian dari ceritanya yang
tidak dikisahkannya dengan samar.
"Ada sesuatu yang aneh sekali dalam peristiwa ini," katanya. "Sekarang, mana
Rayburn?" Itu memang benar. Kami sama sekali belum melihat orang itu sejak kami mendarat.
Dia tidak datang ke hotel bersama kami. Namun aku tak percaya bahwa dia takut
pada Pagett. Aku memang jengkel dengan semua kejadian ini. Salah seorang sekretarisku hilang
tanpa jejak, dan yang seorang lagi seperti petinju kalah bertanding. Aku tak
bisa mengajaknya ke mana-mana dalam keadaan begitu. Aku akan ditertawakan orang
di Cape Town ini. Padahal aku sudah membuat janji untuk menyerahkan dokumen
Milray, siang hari itu. Tapi aku tidak akan mengajak Pagett. Sialan benar orang
itu, gemar sekali dia berkeliaran!
Aku benci sekali menghadapi semua keadaan ini. Sarapanku tak enak bersama orang-
orang yang sama sekali tak menyenangkan, Pelayan-pelayannya gadis-gadis Belanda
yang kakinya besar-besar. Aku harus menunggu setengah jam sebelum pesananku
berupa ikan diantarkan, itu pun ikan yang sudah tak segar. Apalagi, setiba di
pelabuhan tadi ada banyolan yang tak lucu. Jam lima subuh kami sudah harus
bangun dan diperiksa oleh seorang dokter yang masih mengantuk, yang menyuruh
kami menaruh tangan kami di atas kepala. Aku benar-benar letih.
Kemudian. Ada kejadian yang serius sekali. Berdasarkan janji, aku pergi menghadap Perdana
Menteri, dengan membawa surat Milray yang dilak. Kelihatannya surat itu tak
pernah disentuh orang. Tapi ternyata isinya hanya sehelai kertas kosong!
Aku tentu berada dalam keadaan sulit sekali. Aku tak mengerti mengapa si tua
Milray mempermainkan aku begitu.
Pagett pandai sekali memanfaatkan orang yang sedang dalam kesulitan. Dia malah
kelihatan puas. Aku geram sekali. Dalam kesusahanku itu, dia malah akan
membebaniku dengan peti alat-alat tulis itu. Mau rasanya aku membunuhnya.
Tapi akhirnya aku harus mendengarkannya juga.
"Sir Eustace, apakah tak mungkin Rayburn telah mendengar sebagian dari
percakapan Anda dengan Mr. Milray di jalan waktu itu" Anda harus ingat bahwa
Anda tidak mendapatkan kuasa tertulis dari Mr. Milray. Anda menerima Rayburn
berdasarkan kata-katanya sendiri."
"Jadi kaupikir Rayburn itu orang jahat?" tanyaku ragu.
Pagett mengangguk. Aku tak tahu berapa jauh pandangannya dipengaruhi oleh rasa
dendamnya gara-gara mata birunya itu. Terang-terangan dia menjahat-jahatkan
Rayburn. Dan dia bertekad untuk mencari Rayburn. Aku tak ingin berbuat begitu.
Sebagai orang yang sudah dipermainkan habis-habisan begitu, aku tak mau hal itu
sampai didengar orang. Tapi Pagett, yang sangat bernafsu gara-gara nasib buruk yang telah dialaminya,
tak dapat dicegah untuk tidak bertindak sendiri. Dan dia kubiarkan saja. Dia
bergegas ke kantor polisi, mengirim banyak telegram. Dia bahkan mengumpulkan
para petugas berkebangsaan Inggris dan Belanda, dan mengajak mereka minum wiski
dan soda, atas biayaku. Malam itu kami menerima jawaban dari Milray. Dia sama sekali tak tahu-menahu
tentang sekretarisku yang kedua!
Hanya ada satu soal kecil yang menyenangkan yang bisa ditarik dari peristiwa
itu. "Yang penting," kataku pada Pagett, "kau tidak diracuni. Kau benar-benar hanya
sakit perut biasa." Kulihat dia bergidik. Itulah satu-satunya kemenanganku.
Kemudiannya lagi. Pagett sedang bersemangat. Otaknya benar-benar penuh dengan pikiran-pikiran yang
cemerlang. Kali ini ditegaskannya bahwa Rayburn tak lain adalah 'Pria Bersetelan
Coklat' itu. Aku yakin dia benar. Bukankah dia biasanya memang benar" Tapi aku
jadi tak senang. Makin cepat aku pergi ke Rhodesia makin baik. Sudah kujelaskan
pada Pagett bahwa dia tak perlu ikut aku.
"Soalnya," kataku, "kau harus berada di tempat ini. Mungkin sewaktu-waktu kau
dibutuhkan untuk mengenali Rayburn. Kecuali itu aku juga harus memikirkan harga
diriku sebagai anggota Parlemen Inggris. Tak pantas aku bepergian dengan
sekretaris yang seperti baru saja terlibat dalam suatu perkelahian di jalanan."
Pagett tak senang. Dia orang yang terhormat dan merasa bahwa penampilannya
sangat menyiksanya. "Tapi siapa yang akan mengurus surat-menyurat Anda, dan catatan pidato-pidato
Anda, Sir Eustace?" "Itu bisa kuatur," kataku seenaknya.
"Gerbong pribadi Anda akan dihubungkan dengan kereta api jam sebelas, besok,
hari Rabu pagi," lanjut Pagett. "Semua sudah saya atur. Apakah Nyonya Blair akan


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa pelayan?" "Nyonya Blair?" tanyaku heran.
"Katanya Anda mengajaknya bersama Anda."
Baru aku ingat bahwa aku memang pernah mengajaknya. Pada malam pesta Pakaian
Aneh itu. Waktu itu aku bahkan mendesaknya untuk ikut. Tapi aku tak menyangka
bahwa dia mau. Meskipun dia wanita yang menyenangkan, aku tak yakin apakah aku
memang ingin disertai Nyonya Blair untuk pergi ke Rhodesia dan kembali lagi.
Wanita meminta terlalu banyak perhatian. Dan kadang-kadang mereka merupakan
penghalang besar pula. "Apakah ada orang lain lagi yang kuajak?" tanyaku gugup. Dalam keadaan banyak
mulut karena kurang sadar, kita bisa berbuat begitu.
"Agaknya Nyonya Blair beranggapan bahwa Anda mengajak Kolonel Race juga."
Aku menggeram. "Kalau aku sampai mengajak Race, itu artinya aku benar-benar mabuk waktu itu.
Benar-benar mabuk. Dengarkan nasihatku, Pagett, dan jadikanlah matamu yang babak
belur itu suatu peringatan. Jangan suka minum-minum lagi."
"Anda kan tahu bahwa saya tak pernah minum?"
"Lebih baik bersumpah untuk menjauhinya kalau kau punya kelemahan ke arah itu.
Aku tidak mengajak siapa-siapa lagi, kan Pagett?"
"Setahu saya tidak, Sir Eustace."
Aku menarik napas lega. "Ada Nona Beddingfeld," kataku merenung. "Dia mau pergi ke Rhodesia juga. Kurasa
untuk menggali tulang-belulang. Rasanya aku ingin memberinya pekerjaan sebagai
sekretaris sementara. Dia pandai mengetik. Itu pernah diceritakannya padaku."
Aku terkejut karena Pagett menentang keras niatku itu. Dia tak suka pada Anne
Beddingfeld. Sejak dia mengalami mata biru itu, dia memperlihatkan kebencian yang tak
terkendali, setiap kali nama gadis itu kusebut. Pagett akhir-akhir ini memang
misterius. Justru untuk membuatnya jengkel, maka aku nekat mengajak gadis itu. Seperti
pernah kukatakan, gadis itu punya kaki yang bagus.
BAB XVIII (Lanjutan Kisah Anne) KURASA seumur hidup aku tidak akan lupa saat untuk pertama kalinya aku melihat
Table Mountain. Aku bangun pagi-pagi sekali dan langsung naik ke dek. Aku terus
naik ke dek paling atas, yang merupakan tempat yang seram. Tapi aku memberanikan
diri karena aku ingin menyendiri. Kami sedang berlayar memasuki Table Bay.
Tampak awan putih tipis bergerak di atas Table Mountain. Dan kota yang masih
tidur, bertengger di lereng gunung itu, terus menurun ke arah laut. Kota itu
tampak keemasan dan seolah-olah dalam keadaan tersihir ditimpa sinar matahari
pagi. Napasku tertahan, dan aku merasa tercekam rasa sakit seperti yang biasa kita
rasakan bila kita melihat sesuatu yang cantik luar biasa. Aku tak begitu pandai
menyatakan keindahan, tapi aku tahu benar bahwa aku telah menemukan apa yang
selama ini kucari sejak aku meninggalkan Little Hampsley. Meskipun hanya sekilas
saja. Sesuatu yang baru, sesuatu yang selama ini kuimpikan, sesuatu yang
memberikan kepuasan pada hasratku akan romantika.
Kurasakan Kilmorden meluncur makin lama makin dekat, tanpa bersuara sama sekali.
Keadaan masih seperti dalam mimpi. Namun, seperti pemimpi-pemimpi lainnya, aku
tak mau melepas mimpiku. Kita manusia memang tak ingin melepas apa-apa.
"Inilah Afrika Selatan," kataku berulang kali pada diriku sendiri. "Afrika
Selatan, Afrika Selatan. Kau sedang menyaksikan dunia. Inilah dunia. Kau sedang
menyaksikannya. Ingat itu, Anne Beddingfeld, gadis tolol. Kau sedang melihat
dunia." Kusangka aku seorang diri di dek kapal itu. Tapi kemudian kulihat seseorang lain
yang juga sedang bersandar di pagar kapal, dan seperti aku juga, sedang asyik
memandangi kota yang mendekat dengan cepat. Sebelum dia berpaling pun aku sudah
tahu siapa dia. Peristiwa semalam rasanya tak terjadi, dan terasa seolah-olah
terlalu dibesar-besarkan pada pagi hari yang tenang di musim panas ini.
Bagaimana penilaiannya tentang diriku" Aku merasa tak enak mengingat kata-kata
yang telah kuucapkan. Padahal aku tak bersungguh-sungguh waktu itu - tapi
entahlah. Dengan tegas aku membuang muka, dan terus menatap Table Mountain. Bila Rayburn
datang kemari untuk menyendiri, aku tak punya niat untuk mengganggunya dengan
menyatakan keberadaanku di sini.
Tapi aku heran sekali waktu mendengar langkah-langkah ringan di dek di
belakangku, dan kemudian mendengar suaranya yang menyenangkan dan wajar,
"Nona Beddingfeld."
"Ya?" Aku menoleh. "Aku ingin minta maaf. Semalam aku bertingkah kampungan sekali."
"Tadi malam itu memang - aneh," kataku cepat.
Pernyataanku itu memang tak begitu jelas maksudnya, tapi memang hanya itulah
yang terpikir olehku. "Maukah kau memaafkan aku?"
Kuulurkan tanganku tanpa berkata apa-apa. Dia menyambutnya.
"Ada lagi satu hal yang ingin kukatakan." Dia lebih bersungguh-sungguh. "Nona
Beddingfeld, mungkin kau tidak menyadarinya. Tapi kau terlibat dalam suatu
urusan yang berbahaya."
"Saya tahu." "Tidak. Tak mungkin kau tahu. Aku ingin memperingatkan kau. Tinggalkan semua
urusan ini. Ini tak ada urusannya denganmu. Jangan sampai rasa ingin tahumu
melarutkanmu sampai mencampuri urusan orang-orang lain. Tunggu, jangan marah
lagi. Aku tidak bicara tentang diriku sendiri. Kau tak tahu apa yang akan
kaualami - orang-orang itu tidak setengah-setengah dalam mengambil langkah.
Mereka itu licik sekali. Belum apa-apa, kau sudah menghadapi bahaya - lihat saja
semalam itu. Mereka pikir kau tahu tentang sesuatu. Satu-satunya harapanmu
adalah memberikan kesan pada mereka bahwa mereka keliru. Tapi berhati-hatilah,
waspadalah selalu terhadap bahaya. Lalu, ingat, bila sewaktu-waktu kau jatuh ke
tangan mereka, jangan coba-coba sok pintar - ceritakan apa adanya, hanya itulah
satu-satunya harapanmu."
"Kau membuatku ngeri, Tuan Rayburn," kataku dengan sebenarnya. "Mengapa kau mau
bersusah-payah memberi peringatan padaku?"
Beberapa lamanya dia tak menyahut. Kemudian dengan suara rendah dia berkata,
"Mungkin inilah yang terakhir yang bisa kuperbuat untukmu. Bila aku tiba di
darat, aku selamat - tapi mungkin aku tak sempat turun ke darat."
"Apa?" seruku. "Soalnya, kau bukannya satu-satunya orang di kapal ini yang tahu bahwa akulah
'Pria Bersetelan Coklat' itu."
"Maksudmu, aku telah menceritakan - " kataku dengan hati panas.
Dia meyakinkanku dengan senyumnya.
"Aku tidak menuduhmu, Nona Beddingfeld. Bila aku pernah berkata begitu, aku
berbohong. Bukan kau, tapi ada seseorang di kapal ini yang tahu. Kalau dia
membuka mulutnya - habislah aku. Tapi ada kemungkinan dia takkan bicara."
"Mengapa?" "Karena dia orang yang suka bertindak sendiri. Dan bila aku sampai tertangkap
polisi, aku tidak akan berguna lagi baginya. Jadi, mungkin aku akan bebas! Yah,
kita lihat saja satu jam lagi."
Dia tertawa agak meremehkan, tapi kulihat wajahnya lalu menegang. Bila dia
berjudi dengan Nasib, dia adalah penjudi yang baik. Dan dia bisa menerima
kekalahan dengan tersenyum.
"Bagaimanapun juga," katanya dengan nada ringan, "kurasa kita tidak akan bertemu
lagi." "Ya," kataku perlahan-lahan. "Kurasa memang tidak."
"Kalau begitu, selamat berpisah."
"Selamat berpisah!"
Tanganku digenggamnya erat-erat. Sesaat matanya yang aneh dan cerah membara,
menatap mataku. Lalu dia cepat-cepat berbalik dan meninggalkan aku. Kudengar
langkah-langkahnya menggema di sepanjang dek. Menggema dan menggema terus.
Kurasa aku akan mendengarnya terus. Langkah-langkah - yang pergi meninggalkan
hidupku. Kuakui terus terang, masa dua jam berikutnya sama sekali tak bisa kunikmati
lagi. Setelah selesai dengan semua formalitas yang aneh-aneh yang dituntut dalam
birokrasi, dan berdiri di dermaga, barulah aku bisa bernapas lega. Tak ada
seorang pun yang ditangkap. Saat itu aku menyadari betapa indahnya hari itu, dan
bahwa aku lapar sekali. Aku ikut Suzanne menginap di hotel bersamanya. Esok
paginya barulah kapal akan berlayar terus ke Port Elizabeth dan Durban. Kami
naik taksi pergi ke Hotel Mount Nelson.
Semuanya menyenangkan sekali. Mataharinya, udaranya, bunga-bunganya" Bila
kuingat Little Hampsley dalam bulan Januari begini, dengan lumpurnya yang
selutut, dan hujannya yang pasti turun, maka aku merasa senang dan bersyukur.
Suzanne tidak segembira aku. Tentu karena dia sudah sering bepergian. Apalagi
dia adalah orang yang tak bisa bergembira sebelum sarapan. Aku ditegurnya waktu
aku berseru kegirangan melihat semacam tanaman raksasa berwarna biru yang
merambat. Ngomong-ngomong, harus kujelaskan di sini bahwa cerita ini tidak akan
mengisahkan tentang Afrika Selatan. Aku tak pandai melukiskan keadaan setempat.
Untuk itu aku harus menulis setengah lusin kata-kata yang dicetak miring di
setiap halaman. Aku sangat mengaguminya, tapi aku tak bisa menceritakannya. Di
South Sea Islands, sudah tentu kita harus segera bercerita tentang b?che-de-mer.
Aku tak tahu apa b?che-de-mer itu, aku tak pernah tahu dan barangkali tidak akan
pernah tahu. Sekali dua kali aku pernah menebak, tapi tebakanku salah. Aku tahu
bahwa kalau di Afrika Selatan orang langsung berbicara tentang stoep - aku tahu
apa artinya stoep - itu adalah ruangan terbuka di sekeliling rumah, tempat orang
duduk-duduk. Di tempat-tempat lain di dunia, bagian itu disebut veranda, piazza
atau ha-ha. Kemudian ada pula papaya. Aku sudah sering membaca tentang papaya.
Aku segera tahu, karena disuguhi makanan itu pada waktu sarapan. Mula-mula
kusangka buah melon yang sudah busuk. Pelayan Belanda menjelaskan padaku, dan menganjurkan supaya aku mencobanya lagi dengan membubuhkan
air jeruk dan gula. Aku senang sekali bertemu dengan papaya. Secara samar aku
selalu menghubungkannya dengan hula-hula, yang menurut bayanganku adalah semacam
rok dari jerami yang dipakai untuk menari oleh gadis-gadis Hawai, meskipun
mungkin aku keliru. Ya, kurasa aku salah - itu lava-lava namanya.
Bagaimanapun juga, semuanya jauh lebih menyenangkan daripada Inggris. Aku jadi
berpikir bahwa Inggris yang dingin akan menjadi lebih ceria, bila waktu sarapan
kita bisa makan bacon-bacon, lalu keluar dengan berpakaian jumper-jumper untuk
membeli lotere taruhan. Suzanne menjadi lebih baik setelah sarapan. Aku diberi kamar tepat di
sebelahnya. Dari situ aku bisa langsung melihat pemandangan Table Bay yang
indah. Aku menikmati pemandangan itu, sementara Suzanne pergi mencari krim muka
khusus. Setelah memperolehnya dan menyemirkannya ke wajahnya, barulah dia bisa
mendengarkan aku. "Adakah kau bertemu dengan Sir Eustace?" tanyaku. "Waktu kita masuk ke ruang
sarapan tadi, dia keluar. Agaknya dia disuguhi ikan busuk atau entah apa, dan
dia akan mengatakannya pada pelayan. Dia juga membanting buah persik ke lantai
akan membuktikan betapa kerasnya buah itu. Padahal ternyata tidak sekeras yang
diduganya, sebab langsung hancur."
Suzanne tersenyum. "Sir Eustace itu sama dengan aku, dia tak suka bangun pagi. Tapi, Anne, adakah
kau melihat Pagett" Aku bertemu dengannya di lorong hotel tadi. Matanya biru.
Apa yang telah dilakukannya, ya?"
"Hanya mencoba mendorongku ke laut," sahutku tak acuh.
Aku merasa menang. Suzanne berhenti menyemir mukanya dan mendesakku untuk
menceritakan secara terinci. Kukisahkan kejadian itu.
"Semuanya makin lama makin misterius saja," serunya. "Kupikir aku bisa dengan
mudah membuntuti Sir Eustace saja, dan kau bersenang-senang dengan Pendeta
Edward Chichester. Tapi rupanya tidak begitu. Mudah-mudahan saja Pagett tidak
akan mendorongku dari kereta api pada suatu malam yang gelap."
"Kurasa kau masih tetap tidak dicurigai, Suzanne. Tapi bila sampai terjadi hal
yang terburuk, aku akan menelegram Clarence."
"Aku jadi ingat - tolong selembar formulir telegram. Apa yang akan kutulis, ya"
'Terlibat dalam suatu misteri yang sangat mendebarkan. Tolong kirim seribu pound
segera. Suzanne.'" Kuambil formulir itu, lalu kukatakan bahwa demi penghematan, dia bisa
menghilangkan kata 'dalam', dan bila dia mau agak kurang sopan, juga bisa
menghapuskan kata 'tolong'. Tapi rupanya Suzanne itu sembrono sekali dengan
uang. Jangankan mendengarkan saranku mengenai penghematan, dia bahkan menambah
tiga perkataan lagi, 'aku senang sekali'.
Suzanne sedang pergi makan siang dengan teman-temannya yang kira-kira jam
sebelas tadi datang menjemputnya. Aku tinggal seorang diri. Aku turun
menyeberangi pekarangan hotel, kuseberangi rel trem, dan kutelusuri jalan sejuk
dan teduh yang diapit pohon-pohon, sampai aku tiba di jalan raya. Aku berjalan-
jalan saja, sambil melihat-lihat pemandangan, menikmati matahari dan para
penjual bunga dan buah-buahan yang berkulit hitam. Aku juga menemukan tempat
orang menjual es krim soda yang paling enak. Akhirnya aku membeli sekeranjang
buah persik seharga enam penny, lalu kembali ke hotel melalui jalan semula.
Aku terkejut bercampur senang menemukan sepucuk surat untukku. Surat itu dari
kurator museum. Dia telah mendengar tentang kedatanganku dengan Kilmorden, di
mana aku dinyatakan sebagai putri almarhum Profesor Beddingfeld. Dia mengenal
ayahku secara sepintas dan sangat mengagumi beliau. Ditulisnya juga bahwa
istrinya pun akan merasa senang bila petang itu aku bisa datang ke vila mereka
di Muizenberg untuk minum teh bersama mereka. Diberikannya petunjuk-petunjuk
untuk pergi ke tempat itu.
Aku senang karena ternyata Papa masih dikenang dan dihargai. Kupikir, sebelum
aku meninggalkan Cape Town, aku pasti akan diantar juga mengelilingi Museum,
tapi biarlah aku memanfaatkan kesempatan ini. Bagi kebanyakan orang, kesempatan
seperti itu merupakan suatu keuntungan - tapi bagi orang yang boleh dikatakan
dibesarkan di antara barang-barang itu, pagi, siang, dan malam, hal itu rasanya
membosankan. Setelah makan siang aku berangkat, dengan mengenakan topiku yang terbagus (salah
satu bekas milik Suzanne), dan baju linen putih yang paling kurang kusutnya. Aku
naik kereta api cepat ke Muizenberg, dan tiba di sana setengah jam kemudian.
Perjalanan itu menyenangkan. Perlahan-lahan kami mengitari kaki Table Mountain
dengan bunga-bunganya yang indah. Pengetahuan ilmu bumiku demikian kurangnya,
hingga aku tak pernah menyadari bahwa Cape Town itu sebenarnya sebuah jazirah.
Oleh karenanya aku agak terkejut waktu keluar dari kereta api, dan mendapatkan
diriku menghadapi laut lagi. Aku tergiur melihat orang-orang yang sedang
berenang. Orang menggunakan papan-papan pendek yang melengkung dan mengapung di
atas gelombang. Hari masih terlalu siang untuk minum teh. Maka aku pergi ke
tempat penyewaan alat-alat renang. Waktu mereka bertanya apakah aku menginginkan
papan selancar, kukatakan ya. Kelihatannya berselancar itu mudah. Ternyata
tidak. Aku tidak berkata apa-apa. Aku jadi marah sekali dan papan selancar itu
kulemparkan. Namun aku bertekad untuk mencoba lagi. Aku tak mau menyerah. Tanpa
sengaja aku bisa meluncur dengan baik di atas papanku, dan aku keluar dari air
dengan rasa mabuk karena kesenangan. Berselancar memang begitu. Atau kita
menyumpah-nyumpah, atau kita merasa puas sekali pada diri sendiri.
Vila Medgee kutemukan setelah mengalami kesulitan kecil. Vila itu terdapat di
sisi gunung, terpencil dari pondok-pondok dan vila-vila yang lain. Kutekan bel,
dan seorang anak laki-laki pribumi membukakan pintu sambil tersenyum.
"Nyonya Raffini?" tanyaku.
Dia mempersilakan aku masuk, berjalan mendahuluiku di lorong rumah, lalu membuka
sebuah pintu lebar-lebar. Waktu akan melangkah masuk, aku bimbang. Tiba-tiba aku
merasa was-was. Begitu aku melangkahi ambang pintu, pintu itu tertutup rapat
kembali. Seorang pria bangkit dari kursinya di balik meja, dan mendatangiku dengan tangan
terulur. "Senang sekali kami berhasil mengundang Anda datang, Nona Beddingfeld," katanya.
Pria itu jangkung, kelihatannya orang Belanda. Jenggotnya berwarna jingga
menyala. Dia sama sekali tak bertampang kurator museum. Aku segera menyadari
bahwa aku telah berbuat bodoh.
Aku masuk perangkap musuh.
BAB XIX TANPA kusadari aku jadi ingat Episode III kisah Bahaya-bahaya yang Mengancam
Pamela. Betapa seringnya aku duduk nonton film itu di kelas enam penny, sambil
minum coklat susu berharga dua penny, dan mendambakan kejadian-kejadian serupa
terjadi atas diriku! Nah, sekarang benar-benar terjadi, sebagai pembalasan
dendam. Dan kejadian itu sama sekali tidak menyenangkan sebagaimana yang
kubayangkan. Di layar putih semuanya berjalan lancar - dan penonton boleh tenang-
tenang saja karena tahu bahwa akan ada Episode IV. Tapi dalam kehidupan
sebenarnya sama sekali tak ada jaminan bahwa hidup Anne si Petualang, tidak akan
berakhir dengan mendadak pada akhir suatu Episode.


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya, aku berada di tempat yang berbahaya. Semua yang dikatakan Rayburn subuh
tadi, teringat lagi olehku dengan jelas sekali. Katakan apa adanya, katanya.
Yah, aku bisa saja berbuat begitu, tapi apakah itu akan membantuku" Pertama-
tama, apakah kisahku akan dipercaya" Apakah akan mereka anggap masuk akal dan
mungkin, bahwa aku memulai perbuatan nekat ini hanya berdasarkan secarik kertas
yang berbau kapur barus" Aku sendiri pun akan menganggap bahwa kisah itu sangat
tak masuk akal. Pada saat itu aku mengumpat diriku sendiri karena telah berbuat
begitu tolol. Dan aku mendambakan kembali Little Hampsley-ku yang membosankan
namun aman dan damai. Semua itu berkecamuk dalam pikiranku dalam waktu singkat sekali, tidak selama
waktu yang tersita untuk menceritakannya. Dengan gerakan berdasarkan naluri, aku
mundur dan menggapai gagang pintu. Penyanderaku hanya tertawa kecil.
"Anda sudah berada di sini dan akan tetap di sini," katanya mencoba melucu.
Aku berusaha menghadapi hal itu dengan wajah berani.
"Saya diundang kemari oleh kurator Museum Cape Town. Bila saya keliru - "
"Keliru" Oh ya, suatu kekeliruan besar!"
Dia tertawa dengan kasar.
"Apa hak Anda untuk menahan saya" Akan saya laporkan pada polisi - "
"Nyap-nyap saja - seperti anjing mainan." Dia tertawa.
Aku duduk. "Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa Anda adalah orang gila yang berbahaya,"
kataku dengan nada dingin.
"Begitukah?" "Asal Anda tahu saja, teman-teman saya semua tahu ke mana saya pergi. Dan bila
saya tak kembali malam ini, mereka akan datang mencari saya."
"Jadi teman-teman Anda tahu di mana Anda berada, ya" Teman-teman yang mana?"
Aku merasa ditantang. Dan secepat kilat aku memperhitungkan kemungkinan-
kemungkinannya. Apakah akan kusebutkan nama Sir Eustace" Dia orang yang
terkenal, dan namanya akan berpengaruh besar. Tapi bila mereka telah berhubungan
dengan Pagett, mereka akan tahu bahwa aku berbohong. Sebaiknya jangan memakai
nama Sir Eustace. "Salah satu di antaranya, Nyonya Blair," kataku dengan nada ringan. "Saya
tinggal bersamanya."
"Saya rasa dia tak tahu," kata penyanderaku sambil menggelengkan kepalanya yang
berwarna jingga, dengan licik. "Sejak jam sebelas pagi ini Anda tidak bertemu
dengannya. Dan Anda menerima surat kami yang mengajak Anda kemari pada saat
makan siang." Kata-katanya menunjukkan betapa cermatnya mereka mengikuti gerak-gerikku. Tapi
aku tetap tak mau menyerah tanpa berjuang.
"Anda pandai sekali," kataku. "Apakah Anda pernah mendengar tentang penemuan
canggih yang bernama telepon itu" Nyonya Blair menelepon saya waktu saya sedang
beristirahat dalam kamar saya, setelah makan siang. Waktu itulah saya mengatakan
padanya akan ke mana saya petang ini."
Aku puas sekali melihat suatu bayangan rasa kuatir di wajahnya. Kelihatannya
tadi dia melupakan kemungkinan Suzanne meneleponku. Alangkah baiknya kalau itu
memang benar! "Cukup," katanya dengan tajam, sambil berdiri.
"Apa yang akan Anda perbuat atas diri saya?" tanyaku masih tetap berusaha untuk
tetap tenang. "Menempatkan Anda di suatu tempat di mana Anda tidak akan membuat susah kalau
teman-teman Anda datang mencari."
Sesaat aku merasa ngeri. Tapi hatiku besar kembali mendengar kata-katanya yang
berikut, "Besok Anda harus menjawab beberapa pertanyaan, dan setelah itu kami akan tahu
akan kami apakan Anda. Dan asal Anda tahu saja, Nona, kami punya banyak cara
untuk menyuruh bicara orang-orang bodoh yang keras kepala."
Kedengarannya tidak menggembirakan, tapi sekurang-kurangnya ada penundaan. Aku
masih punya waktu sampai besok. Kelihatannya orang ini hanya seorang bawahan
yang mematuhi perintah-perintah atasannya. Mungkinkah atasannya itu Pagett"
Dia berseru dan dua orang pribumi muncul. Aku dibawa ke lantai atas. Tanpa
mempedulikan perlawananku, mulutku disumbat dan kaki tanganku diikat. Aku dibawa
ke sebuah kamar yang agaknya merupakan gudang di bawah atap. Tempat itu berdebu
dan tak ada tanda-tanda bekas dihuni. Orang Belanda tadi membungkuk dengan
mengejek, lalu keluar sambil menutup pintu.
Aku sama sekali tak berdaya. Betapapun aku berputar-balik dan menggeliat, aku
sama sekali tak bisa melepaskan ikatanku. Dan sumbat di mulutku membuatku tak
bisa berteriak. Bila memang kebetulan ada orang yang datang ke rumah itu
sekalipun, aku tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk menarik perhatiannya. Di
ruang di bawahku, kudengar pintu ditutup. Agaknya orang Belanda itu keluar.
Aku jengkel sekali tak bisa berbuat apa-apa. Aku meregangkan ikatanku lagi, tapi
simpulnya tetap bertahan. Akhirnya aku berhenti berjuang, entah pingsan entah
tertidur. Waktu bangun, seluruh tubuhku sakit. Hari sudah gelap dan kurasa malam
sudah larut, karena bulan sudah tinggi di langit dan cahayanya menembus awan
yang tipis. Sumbat mulutku setengah mencekikku. Rasa kaku dan sakit, serasa tak
tertahankan. Waktu itulah terpandang olehku sepotong pecahan kaca yang tergeletak di sudut.
Kaca itu ditimpa sebaris sinar bulan, dan kilatnya telah menarik perhatianku.
Begitu melihatnya aku mendapat akal.
Kaki dan tanganku memang tak berdaya, tapi aku masih bisa berguling. Perlahan-
lahan dan dengan susah-payah, aku mulai bergerak. Tak mudah memang. Kecuali
sakit luar biasa, karena tak bisa melindungi mukaku dengan lenganku, aku juga
merasa sulit menentukan arah tertentu.
Aku miring dan berguling ke semua arah, tapi tidak ke arah yang kuingini. Tapi
akhirnya sampai juga ke tempat barang yang kutuju. Kaca itu hampir kena tanganku
yang terikat. Namun itu pun masih tak mudah. Lama sekali baru aku berhasil memutar-mutar kaca
itu, lalu mengganjalkannya ke dinding. Kemudian tali pengikatku kugosok-gosokkan
pada tepi kaca itu. Prosesnya berjalan lama sekali, dan aku hampir putus asa.
Tapi akhirnya aku berhasil "menggergaji" tali pengikat pergelangan tanganku.
Selanjutnya aku menunggu. Kugosok-gosok pergelangan tanganku kuat-kuat untuk
memulihkan peredaran darahku. Setelah itu kulepas sumbat mulutku. Satu-dua kali
aku menarik napas panjang.
Kemudian aku menguraikan simpul yang terakhir. Setelah itu, beberapa lama lagi
baru aku bisa berdiri. Akhirnya aku berdiri tegak. Kuayun-ayunkan lenganku ke
depan dan ke belakang untuk memulihkan peredaran darahku. Aku sangat
mengharapkan bisa mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan.
Kutunggu kira-kira seperempat jam sampai yakin sekali bahwa kekuatanku sudah
pulih. Kemudian aku berjalan berjingkat ke pintu tanpa berbunyi. Harapanku
terpenuhi, pintu itu tidak terkunci - kubuka, lalu dengan hati-hati mengintip ke
luar. Semuanya sepi. Sinar bulan masuk melalui jendela, dan menunjukkan tangga yang
berdebu dan tak beralas karpet. Dengan hati-hati aku menyelinap turun. Aku tetap
belum mendengar bunyi apa-apa - tapi waktu tiba di anak tangga paling bawah,
telingaku menangkap suara samar-samar. Aku berhenti dan berdiri mematung
beberapa lamanya. Sebuah jam di dinding menunjukkan bahwa waktu itu sudah lewat
tengah malam. Aku sadar sepenuhnya akan bahaya yang mungkin kuhadapi bila aku turun lagi. Tapi
aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku. Dengan sangat hati-hati aku bersiap-siap
untuk menyelidik. Perlahan-lahan aku menuruni anak tangga paling bawah, dan
berdiri di ruangan besar yang berbentuk segi empat. Aku melihat ke sekelilingku -
dan napasku serasa terhenti. Seorang anak pribumi duduk dekat pintu ruangan itu.
Tapi dia tak melihatku. Dari bunyi napasnya aku tahu bahwa dia sedang tidur
nyenyak. Apakah aku akan mundur atau terus" Suara-suara itu datang dari kamar tempat aku
dibawa waktu aku tiba. Salah seorang di antaranya adalah suara si orang Belanda.
Suara yang satu lagi belum bisa kukenali, meskipun rasanya aku pernah
mendengarnya. Akhirnya kuputuskan bahwa menjadi tugaskulah untuk mendengar apa yang bisa
kutangkap. Aku harus berani menghadapi kemungkinan anak pribumi itu akan
terbangun. Tanpa menimbulkan bunyi, kuseberangi ruangan besar itu, lalu berlutut
di dekat pintu. Beberapa lamanya aku tak bisa mendengar dengan baik. Suara-suara
itu menjadi lebih nyaring, tapi aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Lalu mataku kutempelkan ke lubang kunci. Sebagaimana dugaanku, salah seorang
yang berbicara adalah si orang Belanda yang berbadan besar. Yang seorang lagi
duduk di tempat yang tidak tertangkap oleh ruang pandangku.
Tiba-tiba orang itu berdiri untuk mengambil minuman. Tampak punggungnya yang
lurus dan mengenakan jas hitam. Sebelum dia berbalik, aku sudah tahu siapa dia.
Pendeta Chichester! Sekarang aku mulai bisa menangkap kata-kata mereka.
"Bagaimanapun juga, itu berbahaya. Bagaimana kalau teman-temannya datang
mencarinya?" Orang Belanda itu yang berbicara. Chichester menjawab. Hilang sama sekali suara
kependetaannya. Pantas aku tadi tidak mengenalinya.
"Semua itu bohong belaka. Mereka tak tahu di mana dia."
"Tapi dia bicara dengan yakin."
"Sungguh mati. Aku sudah menyelidiki soal itu. Tak ada yang perlu dikuatirkan.
Bagaimanapun juga ini perintah 'Kolonel'. Kau tak berani melawannya, kan?"
Orang Belanda itu berseru dalam bahasanya sendiri. Kupikir dia buru-buru
membantah. "Tapi mengapa tidak dihantam saja kepalanya?" geramnya. "Itu lebih mudah. Kapal
sudah siap. Dia bisa dibuang ke laut."
"Ya," kata Chichester sambil merenung. "Itu pula yang akan kulakukan. Gadis itu
tahu terlalu banyak, itu sudah pasti. Tapi 'Kolonel' lebih suka menanganinya
sendiri - padahal sebenarnya tak boleh begitu." Kemudian dia teringat akan sesuatu
yang menjengkelkannya. "Dia menginginkan informasi tertentu dari gadis itu."
Dia berhenti sebentar sebelum mengucapkan kata 'informasi', dan orang Belanda
itu langsung menangkap artinya.
"Informasi?" "Semacam itulah."
"Berlian," gumamku.
"Nah," kata Chichester, "bawa kemari daftar itu."
Lama percakapan mereka tak dapat kutangkap. Sepertinya berhubungan dengan
bermacam-macam sayuran dalam Jumlah besar. Mereka menyebutkan tanggal-tanggal,
harga-harga, dan nama-nama tempat yang aku tak tahu. Setengah Jam lebih mereka
baru selesai mengecek dan menghitung.
"Baiklah," kata Chichester. Terdengar suara seperti dia mendorong kursinya ke
belakang. "Ini akan kubawa untuk kuperlihatkan pada 'Kolonel'."
"Kapan Anda berangkat?"
"Jam sepuluh besok pagi."
"Apakah Anda akan bertemu dulu dengan gadis itu sebelum Anda pergi?"
"Tidak. Ada larangan keras bahwa tak seorang pun boleh melihatnya sampai
'Kolonel' sendiri datang. Baik-baik sajakah dia?"
"Tadi, waktu akan makan malam, saya masuk sebentar melihatnya. Kelihatannya dia
tidur. Bagaimana dengan makanan untuknya?"
"Biar dia kelaparan sedikit, tidak apa-apa. 'Kolonel' akan kemari besok. Gadis
itu akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan lebih baik kalau dia lapar.
Sebaiknya jangan ada seorang pun mendatanginya sebelum itu. Apakah dia sudah
diikat kuat-kuat?" Orang Belanda itu tertawa.
"Mana mungkin tidak?"
Keduanya tertawa. Dalam hati aku juga tertawa. Kemudian waktu terdengar mereka
akan keluar dari kamar itu, aku cepat-cepat menghindar. Nyaris! Begitu
menjejakkan kaki di anak tangga teratas, kudengar pintu kamar itu terbuka, dan
anak pribumi itu pun terbangun. Tak mungkin lari melalui pintu ruangan besar
itu. Dengan hati-hati aku masuk kembali ke dalam gudang tadi. Kukumpulkan semua
tali pengikatku tadi, lalu berbaring lagi di lantai. Aku takut mereka tiba-tiba
ingin datang menengokku. Tapi mereka tidak melakukannya. Kira-kira satu jam kemudian, perlahan-lahan aku
menuruni tangga. Tapi pribumi di dekat pintu itu sudah bangun, dia sedang asyik
bersenandung. Aku ingin sekali keluar dari rumah itu, tapi sama sekali tidak
melihat jalan untuk melakukan hal itu.
Akhirnya aku masuk ke gudang lagi. Kelihatannya pribumi itu akan berjaga-jaga
sepanjang malam. Dengan sabar aku tinggal di situ, sampai terdengar suara orang-
orang bersiap-siap pagi harinya. Mereka sarapan di ruangan yang luas itu, aku
bisa mendengar suara-suara mereka naik ke atas dengan jelas. Aku jadi tegang
sekali. Jadi bagaimana aku bisa lari dari rumah ini"
Kutenangkan diriku supaya aku bersabar. Suatu gerakan yang gegabah bisa merusak
segala-galanya. Setelah sarapan, terdengar suara Chichester pergi. Aku lega
sekali karena kudengar orang Belanda itu ikut dia.
Aku menunggu dengan hati berdebar. Orang sedang memberesi bekas-bekas sarapan
dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Akhirnya selesailah segala macam
kegiatan itu. Sekali lagi aku menyelinap keluar dari perangkapku. Hati-hati
sekali aku menuruni tangga. Ruang besar itu kosong. Secepat kilat kuseberangi
ruangan itu, kubuka pintu dan aku keluar, menikmati sinar matahari. Aku berlari
sepanjang pekarangan - seperti orang kesetanan.
Setelah tiba di luar baru aku berjalan dengan wajar. Orang-orang memandangi aku
dengan heran. Aku tak heran, wajah dan pakaianku pasti penuh debu, karena
berguling-guling di gudang semalam. Akhirnya aku tiba di sebuah bengkel. Aku
masuk. "Saya mengalami kecelakaan," kataku menjelaskan. "Saya butuh mobil yang bisa
segera membawa saya ke Cape Town. Saya harus ikut kapal yang ke Durban."
Aku tak perlu menunggu lama. Sepuluh menit kemudian aku sudah meluncur ke arah
Cape Town. Aku harus tahu apakah Chichester ada di kapal. Aku belum memastikan
apakah aku akan ikut berlayar juga. Tapi akhirnya kuputuskan untuk ikut.
Chichester tak tahu bahwa aku telah melihatnya di vila di Muizenberg itu. Dia.
pasti memasang perangkap lagi untukku, tapi aku sudah siaga. Sekarang dialah
orang yang kucari, orang yang mencari berlian itu untuk 'Kolonel' yang misterius
itu. Sayang, rencanaku buyar! Waktu aku tiba di pelabuhan, Kilmorden sudah berlayar.
Dan aku tak bisa tahu apakah Chichester ada di kapal itu atau tidak!
BAB XX AKU kembali ke hotel. Di ruang duduk tak ada seorang pun yang kukenal. Aku
berlari ke lantai atas, lalu mengetuk pintu kamar Suzanne. Suaranya menyuruh
masuk. Waktu dilihatnya aku, dia melompat dan merangkulku erat-erat.
"Anne, Sayangku, ke mana saja kau" Aku kuatir setengah mati memikirkan kau. Apa
yang kaulakukan?" "Bertualang," sahutku. "Seperti dalam Episode III kisah Bahaya-bahaya yang
Mengancam Pamela." Kemudian kuceritakan semuanya. Dia menarik napas panjang setelah aku selesai.
"Mengapa hal-hal seperti itu selalu terjadi atas dirimu?" katanya dengan nada
sesal. "Mengapa bukan aku yang disumbat dan diikat kaki tanganku?"
"Kau pasti tak senang," aku memastikan. "Terus terang aku tak ingin lagi
mengalami petualangan seperti itu. Kalau yang ringan-ringan saja bolehlah."
Suzanne kelihatan tak yakin. Tapi kurasa, kalau mulutnya yang disumbat dan kaki
tangannya yang diikat selama satu atau dua jam saja, pikirannya itu akan
berubah. Suzanne memang suka hal-hal yang menegangkan, tapi dia benci kalau
kesenangannya terganggu. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya.
"Aku sendiri tak tahu," kataku merenung. "Tapi kurasa sebaiknya kau tetap pergi
ke Rhodesia dan mengawasi Pagett - "
"Dan kau - ?" Itulah kesulitanku. Apakah Chichester pergi dengan kapal Kilmorden atau tidak"
Apakah dia bermaksud melaksanakan rencananya semula, pergi ke Durban" Mengingat
jam keberangkatannya dari Muizenberg, agaknya kedua pertanyaanku itu harus
dijawab dengan 'ya'. Dalam hal itu mungkin aku akan pergi ke Durban naik kereta
api. Kurasa aku akan tiba di sana sebelum kapal tiba. Sebaliknya, bila berita
tentang lolosnya aku diberitakan dengan telegram pada Chichester, ditambah
dengan informasi bahwa aku telah berangkat dari Cape Town ke Durban, maka tak
ada yang lebih mudah baginya daripada meninggalkan kapal di Port Elizabeth atau
East London. Maka aku pun akan kecele.
Rumit sekali masalahnya. "Bagaimanapun juga kita akan mencari informasi tentang kereta api ke Durban,"
kataku. "Tapi sekarang belum terlambat untuk minum teh pagi," kata Suzanne. "Kita minum
di ruang duduk saja."
Di kantor, orang memberitahukan padaku bahwa kereta api ke Durban akan berangkat
pukul 20.15 malam itu. Untuk sementara kutunda dulu keputusanku dan ikut Suzanne
minum teh, meskipun sudah agak terlambat karena waktu itu sudah pukul 11.00.
"Apakah kaurasa kau masih akan bisa mengenali Chichester - maksudku, kalau dia
menyamar sebagai orang lain lagi?" tanya Suzanne.


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menggeleng dengan sedih.
"Yang jelas, aku tidak mengenalinya waktu dia menyamar menjadi pramugari, kalau
saja aku tidak melihat lukisanmu."
"Aku yakin dia seorang aktor profesional," kata Suzanne sambil merenung.
"Dandanannya sempurna betul. Mungkin nanti dia turun dari kapal sebagai seorang
kuli penggali atau yang lainnya, dan kau tidak akan mengenalinya."
"Kau pesimis sekali," kataku.
Pada saat itu Kolonel Race masuk dan menggabungkan diri dengan kami.
"Sedang apa Sir Eustace?" tanya Suzanne. "Aku tak melihatnya di mana-mana."
Wajah Kolonel Race berubah dan tampak aneh.
"Dia sibuk. Ada urusan yang harus diselesaikannya."
"Coba ceritakan."
"Aku tak boleh membuka rahasia perusahaan."
"Ceritakan sedikit saja - demi kami."
"Rupanya 'Pria Bersetelan Coklat' yang termasyhur itu berlayar sekapal dengan
kita." "Apa?" Aku merasa darahku tersembur ke mukaku. Untung Kolonel Race tidak sedang
melihatku. "Kurasa memang benar. Rupanya dia telah memaksa Pedler untuk membawanya sebagai
sekretarisnya. Dan sekarang, di setiap pelabuhan orang mencari dia."
"Apa bukan Pagett?"
"Bukan, bukan Pagett - yang seorang lagi. Dia memakai nama Rayburn."
"Apakah dia sudah ditangkap?" tanya Suzanne. Di bawah meja, Suzanne meremas
tanganku untuk meyakinkan aku. Aku menahan napas menunggu jawabnya.
"Dia menghilang tanpa bekas."
"Bagaimana reaksi Sir Eustace?"
"Dia menganggapnya sebagai suatu penghinaan Nasib atas dirinya."
Petang harinya kami mendapat kesempatan untuk mendengar pendapat Sir Eustace
sendiri mengenai hal itu. Kami sedang tidur siang, ketika kami dibangunkan oleh
seorang pelayan yang mengantarkan surat. Dengan kata-kata yang menyentuh hati,
Sir Eustace meminta kami untuk menyertainya minum teh di kamar duduknya.
Pria malang itu keadaannya memang menyedihkan. Dikeluarkannya semua kesulitannya
pada kami. Dengan suaranya yang merayu, Suzanne mendorongnya untuk bercerita
terus. (Dia memang pandai sekali berbuat begitu.)
"Mula-mula seorang wanita asing seenaknya saja terbunuh dalam rumahku - kurasa
sengaja untuk membuatku jengkel. Mengapa justru rumahku" Mengapa di antara
rumah-rumah yang begitu banyak jumlahnya di Britania Raya, dia justru memilih
Mill House" Apa salahku terhadap wanita itu hingga dia merasa perlu dibunuh di
sana?" Suzanne mendesah untuk menunjukkan simpatinya, dan Sir Eustace melanjutkan
dengan nada yang lebih menyedihkan,
"Dan rupanya belum juga cukup. Orang yang membunuhnya, dengan kurang ajarnya,
menempelkan dirinya padaku sebagai sekretarisku. Sekretarisku, coba pikir! Aku
bosan dengan sekretaris. Aku tak mau punya sekretaris lagi. Kalau bukan pembunuh
yang menyamar, mereka itu tukang berkelahi yang mabuk-mabukan. Adakah kalian
melihat mata si Pagett yang biru itu" Pasti sudah! Bagaimana aku bisa hidup
dengan sekretaris seperti itu" Apalagi wajahnya berwarna kuning jelek - warna
yang sama sekali tak serasi dengan matanya yang biru. Aku tak mau lagi punya
sekretaris - kecuali kalau dia seorang gadis. Seorang gadis manis yang matanya
berbinar, yang akan menggenggam tanganku bila aku sedang marah. Bagaimana kalau
kau, Anne" Maukah kau menerima pekerjaan itu?"
"Apakah saya harus menggenggam tangan Anda sering-sering?" tanyaku dengan
tertawa. "Sepanjang hari," sahut Sir Eustace.
"Kalau begitu saya tidak akan punya waktu untuk mengetik," aku mengingatkannya.
"Tak apa-apa. Semua pekerjaan itu kan gagasan si Pagett saja. Dia yang membuatku
bekerja mati-matian. Aku sudah ingin sekali meninggalkannya di Cape Town ini."
"Akan tinggal di sinikah dia?"
"Ya. Dia akan senang sekali mencari jejak si Rayburn. Pekerjaan yang begituan
itulah yang paling cocok untuk Pagett. Dia suka sekali intrik-intrikan. Ngomong-
ngomong, aku sungguh-sungguh menawanmu pekerjaan itu. Mau kau ikut" Nyonya Blair
ini akan merupakan pelindungmu yang baik. Dan kadang-kadang kau boleh mengambil
cuti untuk menggali tulang belulang."
"Terima kasih banyak, Sir Eustace," kataku hati-hati, "tapi saya akan berangkat
ke Durban nanti malam."
"Alaa, jangan begitu keras kepala. Ingat, di Rhodesia banyak singa. Kau akan
senang melihat singa. Banyak gadis yang suka."
"Apakah singa-singa itu akan berlatih untuk mengambil lompatan rendah?" tanyaku
bergurau. "Tidak, terima kasih banyak. Saya harus pergi ke Durban."
Sir Eustace memandangiku, menarik napas panjang, lalu membuka pintu kamar yang
berbatasan dengan ruang duduk itu. Dia memanggil Pagett.
"Kalau sudah puas tidur siangnya, ini ada tugas untukmu, Pagett."
Guy Pagett muncul di pintu. Dia membungkuk pada kami berdua. Dia agak terkejut
melihat aku, lalu dia menyahut dengan suara sedih,
"Saya sudah mengetik memorandum itu sepanjang petang ini, Sir Eustace."
"Ya, berhentilah mengetik. Pergilah ke Kantor Departemen Perdagangan, atau ke
Dinas Pertanian, atau ke Pengurus Pertambangan, atau ke tempat lain. Minta
mereka meminjami aku seorang sekretaris wanita yang bisa kuajak ke Rhodesia. Dia
harus punya mata yang berbinar, dan tidak keberatan menggenggam tanganku."
"Baiklah, Sir Eustace. Akan saya mintakan seorang juru tik steno yang terampil."
"Si Pagett itu jahat sekali," kata Sir Eustace, setelah sekretarisnya pergi.
"Aku berani taruhan bahwa dia akan sengaja memilih seorang makhluk yang bermuka
papan, hanya untuk menjengkelkan aku. Ah, lupa aku mengatakan pada Pagett bahwa
gadis itu harus punya kaki yang bagus."
Tangan Suzanne kugenggam erat-erat, dan dia setengah kuseret kembali ke
kamarnya. "Kita harus membuat rencana, Suzanne," kataku, " - secepatnya. Pagett akan tinggal
di sini - kau dengar itu tadi, kan?"
"Ya, dan kurasa aku jadi tak dibolehkan pergi ke Rhodesia, begitu, kan"
Menjengkelkan sekali, karena kau ingin pergi ke Rhodesia. Membosankan sekali."
"Tenanglah," kataku. "Kau tetap pergi. Kau tak bisa membatalkan niat itu pada
saat terakhir, tanpa menimbulkan kecurigaan. Apalagi, bisa saja Pagett tiba-tiba
diajak Sir Eustace. Maka akan lebih sulit bagimu untuk menempel dia terus selama
perjalanan itu." "Rasanya tak pantas," kata Suzanne sambil tertawa dengan lesung pipinya. "Aku
harus pura-pura jatuh cinta padanya."
"Sebaliknya, bila kau sudah berada di sana waktu dia tiba, semuanya jadi mudah
sekali dan kelihatan wajar. Lagi pula, kita tak boleh melepaskan begitu saja dua
orang yang lain itu."
"Ah, Anne, apakah kau tetap mencurigai Kolonel Race dan Sir Eustace?"
"Aku mencurigai semua orang," kataku tegas, "kalau kau pernah membaca cerita-
cerita detektif, Suzanne, kau pasti tahu bahwa penjahatnya adalah orang yang
paling tidak kita duga. Banyak sekali penjahat yang bertampang gemuk dan ceria
seperti Sir Eustace."
"Kolonel Race tidak begitu gemuk - dan tidak begitu ceria."
"Kadang-kadang ada juga yang kurus dan pemurung," tukasku. "Aku tidak berkata
bahwa aku benar-benar mencurigai salah seorang di antara mereka berdua. Tapi
bagaimanapun juga wanita itu terbunuh di rumah Sir Eustace - "
"Ya, ya, tapi kita tak perlu mengulang-ulang soal itu lagi. Aku akan
mengawasinya, Anne. Dan bila dia bertambah gemuk atau makin ceria, aku akan
segera mengirim telegram padamu, yang berbunyi, 'Sir Eustace membengkak, sangat
mencurigakan. Datang segera.'"
"Sudahlah, Suzanne," seruku. "Agaknya kaupikir semuanya ini hanya main-main
saja." "Memang iya," katanya tanpa malu-malu. "Kelihatannya memang seperti main-main
saja. Itu salahmu sendiri, Anne. Kau sendiri yang memberikan kesan itu dengan
ajakan, 'Mari kita mencari semangat petualangan.' Rasanya sedikit pun tak ada
kesungguhannya. Ah, kalau saja Clarence tahu bahwa aku berkeliaran di Afrika
mencari jejak penjahat-penjahat yang berbahaya, bisa-bisa mendapat serangan
jantung dia." "Mengapa tak kaukirim telegram padanya menceritakan tentang itu?" tanyaku ketus.
Rasa humor Suzanne selalu hilang bila berbicara tentang pengiriman telegram.
Saranku itu lalu dipertimbangkannya dengan bersungguh-sungguh.
"Mungkin memang akan kukirim. Telegramnya harus yang panjang." Matanya jadi
berbinar memikirkan rencana itu. "Tapi kurasa sebaiknya tidak saja. Para suami
selalu suka campur tangan dalam hiburan yang sama sekali tidak merugikan."
"Nah," kataku menyimpulkan, "kau mengamat-amati Sir Eustace dan Kolonel Race - "
"Aku tahu mengapa aku harus mengawasi Sir Eustace," sela Suzanne, "karena
tampangnya dan karena cara ngomongnya yang penuh humor. Tapi kurasa akan terlalu
jauh kalau harus mencurigai Kolonel Race, sungguh. Bukankah dia agen Dinas
Rahasia. Tahukah kau, Anne, kurasa sebaiknya kita malah menceritakan semua ini
padanya." Aku menolak keras usul tak sehat itu. Usul semacam itu kuanggap sebagai akibat
tak baik dari perkawinan. Sering aku mendengar, seorang wanita yang cerdas
sekali, dalam suatu perdebatan yang tegang berkata, "Kata Edgar - " Padahal semua
orang tahu bahwa orang yang bernama Edgar, suaminya itu, orang goblok. Suzanne
pun, sebagai seorang yang sudah menikah, ingin sekali menyandarkan diri pada
seseorang pria. Tapi setelah kutolak, dia berjanji dengan bersungguh-sungguh untuk tidak akan
mengucapkan sepatah kata pun pada Kolonel Race. Dan kami pun meneruskan
pembicaraan tentang rencana kami.
"Sudah jelas bahwa aku harus tinggal di sini untuk mengawasi Pagett. Dan inilah
jalan yang terbaik: aku harus pura-pura pergi ke Durban malam ini. Aku membawa
semua barang-barangku ke luar, padahal sebenarnya aku hanya akan pergi ke sebuah
hotel kecil di kota ini juga. Aku bisa mengubah rupaku sedikit - memakai wig
berwarna pirang, dan selendang renda putih yang tebal, supaya dia menyangka
bahwa aku sudah tidak berada di tempat lagi. Dengan demikian, aku pun akan punya
kesempatan lebih baik untuk melihat rencananya."
Suzanne setuju sekali dengan rencana itu. Lalu kami mengadakan persiapan yang
menyolok. Kami sekali lagi bertanya tentang keberangkatan kereta api di kantor,
dan membenahi barang-barangku.
Kami makan malam bersama di restoran. Kolonel Race tak muncul, tapi Sir Eustace
dan Pagett makan di meja mereka, dekat jendela. Belum selesai makan, Pagett
meninggalkan meja. Aku jengkel, karena menurut rencana, aku harus pamit dari
dia. Tapi dengan Sir Eustace saja pun cukuplah. Setelah selesai makan, aku
mendatanginya. "Selamat berpisah, Sir Eustace," kataku. "Saya berangkat ke Durban malam ini."
Sir Eustace mendesah panjang.
"Begitulah yang kudengar. Kau pasti tak ingin aku ikut denganmu, ya?"
"Suka sekali." "Kau anak yang baik. Yakinkah kau bahwa kau tidak akan mengubah pikiranmu, dan
ikut aku melihat singa di Rhodesia?"
"Yakin sekali."
"Laki-laki itu pasti tampan sekali," keluh Sir Eustace. "Pasti dia orang muda
yang suka nampang, hingga aku yang lebih tua ini sama sekali tak dipandang
sebelah mata. Ngomong-ngomong, sebentar lagi Pagett akan pergi ke kota dengan
mobil. Dia bisa mengantarmu ke stasiun."
"Oh, tak usah, terima kasih," kataku cepat-cepat. "Nyonya Blair dan saya sudah
memesan taksi." Aku sama sekali tak mau pergi dengan Guy Pagett! Sir Eustace memandangiku dengan
penuh perhatian. "Kurasa kau tak suka pada Pagett, ya" Aku tak menyalahkan kau. Dia itu keledai
yang paling suka mencampuri urusan orang lain - dan selalu bersikap sebagai
martir. Dia selalu berbuat apa saja untuk menjengkelkan aku!"
"Apa umpamanya yang dilakukannya?" tanyaku ingin tahu.
"Dia sudah berhasil mendapatkan seorang sekretaris untukku. Tak pernah aku
melihat perempuan seperti itu! Umurnya empat puluh, memakai kaca mata tanpa
gagang, bersepatu lars, dan sikapnya penuh efisiensi. Bisa mati aku dibuatnya.
Benar-benar seorang wanita bermuka tembok."
"Apakah dia tidak akan menggenggam tangan Anda?"
"Amit-amit!" seru Sir Eustace. "Itu akan keterlaluan. Nah, selamat jalan, Mata
Berbinar. Bila aku berhasil menembak singa, aku tidak akan memberikan kulitnya
padamu - karena kau telah menolakku mentah-mentah."
Diremasnya tanganku dengan hangat, dan kami pun berpisah. Suzanne menunggu aku
di ruang besar. Dia harus mengantarku.
"Mari kita segera berangkat," kataku buru-buru, dan mengisyaratkan pada pesuruh
untuk memanggil taksi. Kemudian aku dikejutkan oleh suara di belakangku,
"Maaf, Nona Beddingfeld. Saya akan pergi ke kota dengan mobil. Saya bisa
mengantar Anda dan Nyonya Blair ke stasiun."
"Oh, terima kasih," kataku buru-buru lagi. "Tapi saya tak mau menyusahkan Anda.
Saya - " "Sama sekali tidak menyusahkan. Masukkan barang-barang itu," perintahnya pada
pesuruh hotel. Aku tak berdaya. Aku masih ingin menolak, tapi Suzanne menyikutku memberi
peringatan supaya berhati-hati.
"Terima kasih, Mr. Pagett," kataku dengan nada dingin.
Kami semua masuk ke mobil. Sedang mobil meluncur menuju kota, aku memeras otak
untuk mencari apa yang harus kukatakan. Akhirnya Pagett sendiri yang memecah
kesunyian. "Saya sudah menemukan seorang sekretaris baru untuk Sir Eustace," katanya.
"Namanya Nona Pettigrew."
"Beliau baru saja mengumpat-umpat tentang dia tadi," balasku.
Pagett melihat padaku dengan pandangan dingin.
"Dia juru tik steno yang cakap," katanya dengan tekanan.
Kami berhenti di depan stasiun. Semoga dia meninggalkan kami. Aku berpaling
sambil mengulurkan tangan padanya, tapi tidak.
"Saya akan ikut mengantar Anda," katanya. "Sekarang baru jam delapan, kereta api
Anda berangkat seperempat jam lagi."
Dia memberikan perintah-perintah kepada kuli-kuli stasiun. Aku berdiri tak
berdaya. Aku tak berani melihat Suzanne. Laki-laki itu curiga. Dia bertekad
untuk meyakinkan dirinya bahwa aku benar-benar berangkat naik kereta api. Lalu
apa yang bisa kuperbuat" Tak satu pun. Kubayangkan diriku seperempat jam lagi
melaju keluar stasiun, sementara Pagett yang berdiri dengan tegap di peron
melambai mengucapkan selamat jalan. Dengan tangkas dia telah membalikkan
keadaan. Sikapnya terhadapku pun berubah. Dia jadi sangat ramah, suatu hal yang
sama sekali tak sesuai dengan pribadinya. Dan aku jadi mual. Laki-laki ini
benar-benar seorang murtad yang licik. Mula-mula dia mencoba membunuhku,
sekarang dia melayaniku! Apakah dia membayangkan bahwa aku tidak mengenalinya di
kapal malam itu" Tidak, semuanya ini hanya sandiwaranya saja. Dan aku dipaksanya
menurutinya, sementara dia bersukacita.
Bagaikan domba yang tak berdaya aku bergerak berdasarkan petunjuk-petunjuknya
yang tepat. Barang-barangku sudah ditumpuk dalam kereta tidurku - aku mendapat
gerbong dengan dua tempat tidur untukku sendiri. Waktu itu pukul delapan lewat
dua belas menit. Tiga menit lagi kereta akan berangkat.
Tapi Pagett tidak memperhitungkan Suzanne.
"Kau akan kepanasan sekali dalam perjalanan, Anne," katanya tiba-tiba. "Apalagi
waktu melewati Karoo besok. Adakah kau membawa eau-de-Cologne atau air mawar?"
Aku mengerti betul isyarat itu.
"Astaga," seruku. "Eau-de-Cologne-ku tertinggal di meja rias di hotel."
Suzanne pandai sekali memanfaatkan kebiasaannya untuk memerintah. Dia menoleh
pada Pagett dan memerintah,
"Cepat, Pagett. Masih ada waktu sedikit. Di seberang stasiun ada apotek. Tolong
belikan Anne eau-de-Cologne."
Laki-laki itu tampak bimbang, tapi dia tak bisa berkutik menghadapi sikap tegas
Suzanne. Suzanne memang orang yang bisa menundukkan orang. Pagett pergi. Suzanne
mengikutinya dengan matanya sampai dia menghilang.
"Cepat, Anne, keluar dari sebelah sana - jangan-jangan dia tidak benar-benar pergi
tapi mengawasi kita dari ujung peron. Jangan pedulikan barang-barangmu. Besok
bisa kauminta dengan telegram. Mudah-mudahan saja kereta berangkat tepat pada
waktunya!" Kubuka pintu di sisi sebelah yang lain, lalu turun ke peron. Tak ada orang yang
melihatku. Aku masih sempat melihat Suzanne tetap berdiri di tempatku berada
tadi, sambil mendongak ke kereta api, seolah-olah sedang mengobrol denganku
melalui jendela. Peluit berbunyi dan kereta api mulai bergerak. Kemudian
kudengar langkah-langkah orang berlari-lari cepat di peron. Aku bersembunyi di
belakang sebuah kios buku dan memperhatikan.
Suzanne berpaling, setelah melambaikan sapu tangannya ke kereta api yang sudah
menjauh.

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, terlambat, Pagett," katanya dengan ceria. "Dia sudah pergi. Itukah eau-de-
Colognenya" Sayang, tidak tadi-tadi kita ingat."
Mereka lewat tak jauh dari aku, keluar dari stasiun. Guy Pagett kelihatan
terengah-engah. Pasti dia tadi berlari-lari pulang-pergi ke apotek.
"Maukah Anda saya panggilkan taksi, Nyonya Blair?"
Suzanne tetap memainkan perannya dengan baik.
"Ya, tolonglah. Apakah Anda tak mau ikut pulang dengan saya" Atau banyakkah yang
harus Anda kerjakan untuk Sir Eustace" Ah, alangkah baiknya kalau Anne
Beddingfeld ikut kami besok. Saya tak suka gadis seperti dia bepergian seorang
diri ke Durban. Tapi dia berkeras. Saya rasa ada yang menarik hatinya di sana - "
Aku tak bisa lagi mendengar kata-kata mereka. Sungguh pandai Suzanne! Dia telah
menyelamatkan aku. Aku masih menunggu beberapa menit lagi, lalu aku juga keluar dari stasiun. Waktu
itu aku hampir saja bertabrakan dengan seorang laki-laki - orang itu tak enak
dipandang karena hidungnya terlalu besar untuk wajahnya.
BAB XXI AKU tidak mengalami kesulitan lagi dalam menjalankan rencanaku. Aku menemukan
sebuah hotel kecil di lorong kecil. Aku mendapat kamar, membayar uang tanggungan
karena aku tak punya barang, dan pergi tidur dengan tenang.
Esok paginya aku bangun pagi-pagi, lalu pergi ke kota untuk membeli pakaian
secukupnya. Rencanaku, aku tidak akan berbuat apa-apa sampai kereta api jam
sebelas yang akan ke Rhodesia berangkat. Maka akan berangkat pulalah sebagian
dari orang-orang itu. Pagett tak mungkin berani melakukan kegiatan jahat sebelum
mereka berangkat. Oleh karenanya, aku lalu naik kereta api yang ke luar kota dan
berjalan-jalan di pedesaan. Udara boleh dikatakan sejuk, dan aku senang bisa
melemaskan kakiku setelah pelayaran yang makan waktu lama serta penawananku di
Muizenberg itu. Banyak yang bisa terjadi dari hal-hal yang kecil. Tali sepatuku lepas, dan aku
berhenti untuk mengikatnya. Aku ada di bagian jalan yang akan membelok. Waktu
aku membungkuk ke sepatu yang lepas talinya itu, seorang laki-laki keluar dari
tikungan dan hampir menabrakku. Dia mengangkat topinya, menggumamkan permintaan
maaf lalu berjalan terus. Rasanya aku mengenali wajah itu, tapi saat itu tidak
ingat lagi. Aku melihat ke arlojiku. Waktuku sudah hampir habis. Aku berbalik ke
arah Cape Town. Ada sebuah trem yang akan berangkat. Aku berlari mengejarnya. Kudengar langkah-
langkah lain berlari pula di belakangku. Aku terus berlari, dan pelari di
belakangku pun terus berlari juga. Aku segera tahu siapa dia. Dia adalah laki-
laki yang melewati aku di jalan waktu aku membetulkan tali sepatuku yang lepas.
Dan aku langsung tahu mengapa aku mengenali wajahnya. Dia adalah laki-laki kecil
yang berhidung besar, dengan siapa aku hampir tabrakan waktu aku meninggalkan
stasiun kemarin malam. Kebetulan menyolok sekali! Mungkinkah laki-laki itu sengaja membuntuti aku"
Kuputuskan untuk langsung mengetes hal itu. Kubunyikan bel tanda minta berhenti,
dan aku segera turun di tempat berhenti. Orang itu tak turun. Aku bersembunyi di
pintu sebuah toko dan mengawasinya. Dia turun di perhentian berikutnya, lalu
berjalan kembali ke arahku.
Sekarang sudah jelas. Aku dibuntuti. Aku terlalu cepat merasa puas. Kemenanganku
atas Guy Pagett ternyata berbuntut lain. Aku menghentikan trem berikutnya, dan
benar dugaanku, "pengawalku" naik juga. Aku lalu berpikir.
Jelas sudah bahwa aku terlibat dalam sesuatu yang lebih besar daripada dugaanku.
Pembunuhan di Marlow itu bukan kejadian tersendiri yang dilakukan oleh orang
seorang. Aku berhadapan dengan suatu komplotan. Berkat keterangan-keterangan
Kolonel Race pada Suzanne, dan apa yang telah kudengar di Muizenberg, aku mulai
tahu beberapa dari kegiatan-kegiatannya yang banyak jumlahnya. Kejahatan yang
dilakukan secara teratur, dipimpin oleh seseorang yang oleh para pengikutnya
disebut 'Kolonel'! Aku ingat beberapa percakapan di atas kapal, mengenai
pemogokan di Rand dan hal-hal yang menjadi penyebabnya - dan dugaan bahwa ada
suatu organisasi rahasia yang mendalangi pemogokan itu. Itu merupakan rencana
'Kolonel', sedang utusan-utusannya bekerja berdasarkan rencana-rencana itu.
Kudengar, dia sendiri tak mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan itu. Dia
membatasi dirinya pada perencanaan dan pengaturannya. Dia hanya melakukan kerja
otak - bukan pekerjaan yang berbahaya. Tapi bisa saja dia sendiri berada di tempat
itu, mengatur dari tempat yang sama.
Untuk itulah Kolonel Race berada di Kilmorden Castle. Dia sedang mengejar
penjahat ulung itu. Semuanya cocok dengan kesimpulan tersebut. Dia orang yang
berkedudukan tinggi dalam Dinas Rahasia, dan tugasnya adalah menangkap
'Kolonel'. Aku mengangguk sendiri - aku jadi mengerti beberapa hal. Bagaimana kedudukanku
dalam peristiwa itu" Apakah mereka hanya mengejar berlian-berlian itu" Aku
menggeleng. Meskipun berlian-berlian itu memang sangat berharga, permata-permata
itu bukanlah alasan utama mengapa mereka berusaha begitu hebat untuk
menyingkirkan diriku. Tidak, kedudukanku lebih penting dari itu. Tanpa kusadari,
aku merupakan ancaman dan bahaya! Sesuatu yang kuketahui atau yang mereka anggap
aku tahu, membuat mereka bertekad untuk, bagaimanapun juga, menyingkirkan aku -
dan apa yang kuketahui itu agaknya berhubungan dengan berlian-berlian itu. Aku
yakin bahwa hanya ada satu orang yang bisa memberikan penjelasan tentang itu
kepadaku - itu pun kalau dia mau! Yaitu si 'Pria Bersetelan Coklat' - Harry Rayburn.
Dia tahu sisi lain cerita itu. Tapi dia telah sirna ditelan gelap. Harry Rayburn
adalah makhluk buron yang melarikan diri dari pengejaran. Besar kemungkinan aku
tidak akan pernah bertemu lagi dengannya....
Aku mengembalikan pikiranku pada kejadian-kejadian saat ini. Tak ada gunanya
untuk bersentimentil memikirkan Harry Rayburn. Sejak semula dia sudah
memperlihatkan rasa tak suka yang hebat terhadap diriku. Ataukah - aku, aku mulai
lagi - berkhayal! Yang penting adalah apa yang harus kulakukan -
Aku, yang menepuk dada sebagai pengawas, kini menjadi orang yang diawasi. Dan
aku merasa takut! Untuk pertama kalinya aku kehilangan keberanianku. Aku
hanyalah sebutir kerikil kecil yang ingin menghalangi kerja sebuah mesin besar
yang mulus - dan aku yakin bahwa mesin itu akan mudah saja menghancurkan kerikil-
kerikil kecil seperti aku. Satu kali Harry Rayburn telah menyelamatkan nyawaku,
dan satu kali pula aku menyelamatkan diriku sendiri - tapi kini aku tiba-tiba
merasa bahwa aku sedang menghadapi jalan buntu. Aku dikelilingi musuh-musuhku,
mereka ada di mana-mana dan mereka mengurungku. Bila aku tetap bertindak
sendiri, aku akan hancur.
Aku mengerahkan segala tenagaku. Apalah yang bisa mereka lakukan" Aku berada di
kota yang beradab - dalam jarak beberapa meter saja ada seorang polisi.
Selanjutnya aku harus lebih waspada. Aku tak boleh membiarkan diriku dijebak
lagi seperti di Muizenberg.
Pada saat renunganku sampai di situ, trem tiba di Adderley Street. Aku turun.
Tanpa tahu dengan pasti apa yang harus kuperbuat, aku berjalan lambat-lambat di
sisi jalan sebelah kiri. Aku tak memerlukan menoleh untuk melihat apakah
pengawasku ada di belakangku. Aku tahu pasti dia ada. Aku masuk ke sebuah bar,
dan memesan dua gelas kopi campur es krim soda - untuk menenangkan sarafku. Kurasa
seorang laki-laki memerlukan wiski, tapi seorang gadis sudah cukup tenang dengan
es krim soda saja. Minuman itu kuhirup sampai habis dengan nikmat. Cairan dingin
itu masuk ke leher dan menggelitik dengan nyamannya. Gelas pertama sudah kosong,
dan kusingkirkan. Aku duduk di bangku tinggi di depan meja layan. Dari sudut mataku kulihat orang
yang mengejarku masuk dan diam-diam duduk di bar kecil dekat pintu. Gelas yang
kedua kuhabiskan juga, lalu aku memesan es krim maple. Aku memang bisa minum es
krim soda banyak sekali. Orang di dekat pintu itu tiba-tiba berdiri lalu keluar. Aku heran. Bila dia akan
menunggu di luar, mengapa tidak sejak tadi di luar saja" Aku turun dari
bangkuku, lalu dengan hati-hati pergi ke pintu. Aku cepat-cepat bersembunyi.
Orang itu berbicara dengan Guy Pagett.
Melihat itu hilanglah keraguanku. Pagett mengeluarkan arloji sakunya lalu
melihat ke arloji itu. Mereka bercakap-cakap sebentar, lalu sekretaris itu pergi
ke arah stasiun. Agaknya dia baru saja memberikan perintah-perintahnya. Apa
gerangan" Tiba-tiba napasku serasa tersekat. Laki-laki yang membuntuti aku menyeberang ke
tengah jalan dan berbicara dengan polisi. Agak lama juga dia berbicara, sambil
menunjuk-nunjuk ke bar tempatku berada untuk menjelaskan sesuatu. Aku segera
maklum. Polisi itu disuruhnya menangkapku dengan suatu tuduhan - barangkali dengan
tuduhan mencopet. Akan mudah sekali bagi komplotan itu merencanakan hal semacam
itu. Aku tidak akan berdaya untuk menyatakan bahwa aku tak bersalah. Mereka
pasti telah merencanakan segalanya sampai hal yang sekecil-kecilnya. Di masa
lampau mereka bahkan telah berhasil menuduhkan perampokan De Beers atas diri
Harry Rayburn. Dan orang itu tak bisa membuktikan bahwa dirinya tak bersalah,
padahal aku yakin bahwa dia tak bersalah. Apa dayaku untuk melawan tuduhan palsu
'Kolonel'" Aku melihat ke jam dinding, dan aku segera melihat segi lain dari persoalan itu.
Aku mengerti mengapa Guy Pagett melihat ke arlojinya. Waktu itu hampir pukul
sebelas, dan pada pukul sebelas, kereta api pos akan berangkat ke Rhodesia. Dan
teman-temanku yang punya pengaruh akan berangkat naik kereta api itu, hingga
mereka tidak akan bisa menyelamatkan aku. Itulah sebabnya aku tak diganggu
sampai saat ini. Sejak semalam sampai jam sebelas ini, aku aman, tapi sekarang
jaring perangkap sudah terpasang untukku.
Cepat-cepat aku membuka tasku akan membayar minumanku. Pada saat itu jantungku
serasa berhenti, karena di dalam tasku ada dompet pria yang penuh berisi uang!
Pasti dompet itu dengan cekatan telah diselipkan ke dalam tasku waktu aku turun
dari trem tadi. Aku marah. Aku cepat-cepat keluar dari bar itu. Laki-laki kecil yang berhidung
besar itu sedang menyeberangi jalan diikuti oleh polisi. Mereka melihat aku.
Laki-laki kecil itu menunjuk-nunjuk aku. Aku lari. Kulihat polisi itu orangnya
lamban. Aku bisa mendahuluinya. Tapi pada saat itu aku belum punya rencana. Aku
hanya lari menyelamatkan diri ke arah Adderley Street. Orang-orang mulai
melihat. Mungkin beberapa menit lagi akan ada yang menghadangku.
Aku mendapat akal. "Di mana stasiun?" tanyaku terengah.
"Di sebelah kanan."
Aku terus berlari. Orang berlari mengejar kereta api adalah hal yang biasa. Aku
masuk ke stasiun, tapi langkah-langkah kaki para pengejarku terdengar dekat
sekali. Laki-laki kecil berhidung besar itu rupanya jago lari. Aku merasa bahwa
aku sudah akan tertangkap sebelum aku tiba di peron yang kuingini. Kusempatkan
diriku melihat jam - pukul sebelas kurang satu menit. Sebaiknya kulakukan saja
kalau aku ingin rencanaku berhasil.
Aku tadi masuk ke stasiun melalui jalan masuk utama di Adderley Street. Sekarang
aku keluar lagi melalui jalan samping. Tepat di seberang ada jalan samping masuk
ke kantor pos. Jalan masuk utama ke kantor pos itu ada di Adderley Street.
Sebagaimana yang kuduga, pengejarku tidak mengikuti aku, melainkan berlari terus
di jalan untuk memotong jalanku bila aku nanti keluar dari jalan masuk utama,
atau memberi tahu polisi untuk pergi ke sana.
Tapi aku menyelinap ke jalan lagi dan kembali ke stasiun. Aku lari seperti orang
gila. Saat itu tepat pukul sebelas. Kereta api panjang itu sudah mulai bergerak
waktu aku tiba di peron. Seorang kuli stasiun mencoba menangkapku, tapi aku
berkelit melepaskan cengkeramannya dan melompat ke papan tangga kereta api.
Kunaiki dua anak tangganya, lalu kubuka pintunya. Aku selamat! Kereta api mulai
melaju. Aku melewati seorang laki-laki yang berdiri seorang diri di ujung peron. Aku
melambai padanya. "Selamat tinggal, Mr. Pagett," teriakku.
Belum pernah aku melihat orang terkejut seperti itu. Dia seperti melihat hantu.
Aku menghadapi kesulitan dengan kondektur sebentar. Tapi aku cepat-cepat
bersikap anggun. "Saya sekretaris Sir Eustace Pedler," kataku dengan sikap angkuh. "Tolong antar
saya ke kereta pribadinya."
Suzanne dan Kolonel Race sedang berdiri di gerbong terbuka. Keduanya berseru
terkejut waktu melihat aku.
"Halo, Nona Anne," seru Kolonel Race, "dari mana saja Anda" Kusangka Anda pergi
ke Durban. Anda ini orang yang suka membuat kejutan!"
Suzanne tidak berkata apa-apa, tapi matanya menanyakan seratus pertanyaan.
"Saya harus segera lapor ke majikan saya," kataku dengan tenang. "Di mana
beliau?" "Ada di kantornya - di gerbong tengah - dia sedang mendiktekan banyak surat pada
Nona Pettigrew yang malang itu."
"Baru sekarang saya mendengar Sir Eustace begitu bersemangat bekerja," kataku.
"Hmm!" kata Kolonel Race. "Kurasa itulah akalnya. Diberinya perempuan itu
pekerjaan banyak-banyak, supaya dia terikat pada mesin tik di gerbongnya
sendiri, sepanjang hari."
Aku tertawa. Kemudian bersama mereka berdua aku mencari Sir Eustace. Kudapati
dia sedang berjalan hilir mudik dalam ruangan yang terbatas itu, sambil
mencurahkan kata-kata pada sekretarisnya yang malang. Kini barulah aku melihat
wanita itu. Badannya tinggi, besar, dan pakaiannya tak menarik. Kaca matanya tak
bergagang dan sikapnya efisien sekali. Kulihat bahwa dia mengalami kesulitan
dalam mengikuti kecepatan Sir Eustace, karena dahinya tampak berkerut.
Aku masuk ke kamar itu. "Saya jadi ikut, Tuan," kataku lancang.
Sir Eustace terhenti dengan sangat terkejut di tengah-tengah kalimat yang sulit
mengenai keadaan buruh. Dia terbelalak melihat aku. Nona Pettigrew orangnya
pasti penggugup, meskipun penampilannya efisien, karena dia terlompat seolah-
olah kena tembak. "Inilah berkat Tuhan atas diriku!" seru Sir Eustace. "Bagaimana dengan anak muda
di Durban itu?" "Saya lebih suka memilih Anda," kataku dengan suara halus.
"Sayangku," kata Sir Eustace. "Kau bisa segera mulai menggenggam tanganku."
Nona Pettigrew mendehem, dan Sir Eustace segera menarik kembali tangannya.
"Oh ya," katanya. "Sampai di mana kita tadi" Ya. Tylman Roos, dalam pidatonya di
- Ada apa" Mengapa tak ditulis?"
"Agaknya pensil Nona Pettigrew patah," kata Kolonel Race dengan lembut.
Diambilnya pensil itu dari tangan wanita itu lalu dirautnya. Sir Eustace
terbelalak, begitu pula aku. Ada sesuatu dalam nada bicara Kolonel Race yang tak
aku mengerti. BAB XXII (Ringkasan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler)
AKU mulai melalaikan buku 'Kenang-kenanganku'. Sebagai gantinya aku akan menulis
suatu artikel singkat, yang akan kuberi judul 'Sekretaris-sekretarisku'. Bicara
soal sekretaris, agaknya aku ini bernasib buruk. Suatu saat aku sama sekali tak
punya sekretaris, pada saat lain, terlalu banyak sekretarisku. Saat ini aku
sedang dalam perjalanan ke Rhodesia dengan segerombolan wanita. Race disertai
dua orang wanita yang tercantik, sedang aku mendapatkan yang jelek. Selalu
begitulah yang terjadi atas diriku.
Anne Beddingfeld juga menyertaiku ke Rhodesia dengan dalih menjadi sekretaris
cadanganku. Tapi sepanjang petang ini dia berada di gerbong terbuka bersama
Race, mengagumi keindahan Hex River Pass. Memang kukatakan padanya bahwa tugas
utamanya adalah menggenggam tanganku. Tapi itu pun tidak dilakukannya. Mungkin
dia takut pada Nona Pettigrew. Kalau memang itu alasannya, aku tak
menyalahkannya. Tak ada yang menarik pada diri Nona Pettigrew - dia jelek dan
kakinya besar. Dia lebih mirip laki-laki daripada wanita.
Mengenai Anne Beddingfeld, ada sesuatu yang misterius. Dia melompat ke kereta
api pada saat kereta sudah mulai berjalan, terengah-engah seperti lokomotif. Dia
seperti sedang berlomba lari saja. Padahal Pagett mengatakan bahwa dia telah
mengantarnya berangkat ke Durban semalam! Kalau bukan Pagett yang baru habis
minum-minum lagi, maka gadis itulah yang punya tubuh seperti bintang yang bisa
beralih-alih. Apalagi dia tak pernah menjelaskan. Tak ada yang pernah memberi penjelasan.
Yah, memang banyak sekretarisku. Yang pertama, seorang pembunuh yang melarikan
diri dari hukum. Yang kedua, seorang tolol yang diam-diam adalah peminum, yang
punya affair memalukan di Itali. Yang ketiga, seorang gadis cantik yang punya
kemampuan yang sangat berguna, yaitu bisa berada di dua tempat sekaligus. Yang
keempat, Nona Pettigrew, yang kuyakin sebenarnya adalah seorang penjahat luar
biasa yang sedang menyamar! Mungkin dia salah seorang teman Pagett dari Itali,
yang diberikannya padaku. Aku tidak akan heran, bila pada suatu saat dunia
merasa ditipu habis-habisan oleh si Pagett itu. Dari semuanya, kupikir Rayburn-
lah yang terbaik. Dia tak pernah menyusahkan aku, dan tak pernah menjadi
penghalang. Guy Pagett si lancang itu telah menempatkan peti alat-alat tulis di
sini. Tak ada seorang pun bisa memindahkannya, tanpa terjatuh di atasnya.
Tadi aku keluar ke gerbong terbuka. Aku mengharapkan kemunculanku disambut
dengan gembira. Kedua wanita itu sedang terpaku mendengarkan salah satu kisah
perjalanan Race. Aku jadi ingin menamai gerbong ini - bukan dengan kata-kata 'Sir
Eustace Pedler dan Rombongan', melainkan 'Kolonel Race dengan Haremnya'.
Kemudian Nyonya Blair memerlukan membuat foto-foto. Setiap kali kami membelok di


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tikungan yang tajam, sedang kereta kami merayap makin lama makin tinggi, dia
menjepret lokomotif. "Tahukah kalian mengapa aku berbuat begitu?" serunya dengan gembira. "Kalau kita
sampai bisa membuat foto sebagian dari kereta dari belakang, itu berarti bahwa
tikungannya tajam sekali. Dan dengan berlatar belakang gunung, kelihatannya
berbahaya sekali." Kukatakan padanya bahwa tak seorang pun bisa mengatakan bahwa foto-foto itu
diambil dari bagian belakang kereta api. Dia melihat padaku dengan kecewa.
"Akan kutulis saja di bawahnya, 'Diambil dari kereta api ketika lokomotif
membelok di tikungan'."
"Ah, itu bisa saja dituliskan di bawah setiap foto kereta api," kataku. Wanita
memang tak pernah memikirkan hal-hal yang sesederhana itu.
"Saya senang kita tiba di sini siang hari," seru Anne Beddingfeld. "Saya tidak
akan melihat semuanya ini, sekiranya semalam saya jadi pergi ke Durban, bukan?"
"Memang tidak," kata Kolonel Race sambil tersenyum. "Kau akan bangun esok pagi
dan mendapatkan dirimu berada di Karoo, sebuah gurun batu dan karang yang panas
dan berdebu." "Saya senang saya telah mengubah pikiran saya," kata Anne mendesah dengan lega,
sambil melihat ke sekelilingnya.
Pemandangan di situ memang indah. Terdapat gunung-gunung yang besar di
sekeliling kami. Kereta membelok dan menikung - bersusah-payah melingkarinya,
sambil naik terus. "Apakah ini kereta api yang terbaik dalam sehari ini, yang ke Rhodesia?" tanya
Anne Beddingfeld. "Dalam sehari?" Race tertawa. "Aduh, Nona Anne, hanya ada tiga kereta api dalam
seminggu. Hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Tahukah kau bahwa pada hari Sabtu yang
akan datang barulah kita akan tiba di Air Terjun?"
"Pasti kita sudah akan saling mengenal lebih baik, kalau sudah tiba di sana,"
kata Nyonya Blair. "Berapa lama Anda akan tinggal di Air Terjun, Sir Eustace?"
"Itu tergantung," kataku hati-hati.
"Tergantung pada apa?"
"Pada keadaan di Johannesburg. Rencanaku semula adalah tinggal beberapa hari di
Air Terjun - aku belum pernah melihatnya, meskipun ini adalah kunjunganku yang
ketiga kalinya ke Afrika ini - setelah itu ke Johannesburg untuk mempelajari
keadaan di Rand. Soalnya, kalian kan tahu bahwa di negeri kita aku ini dianggap
orang yang ahli mengenai politik Afrika Selatan. Tapi kudengar, Johannesburg
akan merupakan tempat yang paling tak enak dikunjungi dalam waktu seminggu lagi.
Aku tak ingin mempelajari keadaan di tengah-tengah suatu pergolakan."
Race tersenyum dengan sikap sok lebih tahu.
"Saya pikir rasa takut Anda itu berlebihan, Sir Eustace. Keadaan di Johannesburg
tidak akan terlalu berbahaya."
Kedua wanita itu langsung melihat padanya dengan kagum. Aku jadi jengkel sekali.
Kurasa keberanianku sama benar dengan Race - meskipun aku kalah tampang. Laki-laki
yang tinggi, ramping, dan berkulit coklat, jauh lebih menarik.
"Kurasa Anda akan berada di sana nanti, ya?" kataku dengan nada dingin.
"Mungkin sekali. Mungkin nanti kita pergi ke sana bersama-sama."
"Aku belum tahu. Mungkin aku akan tinggal di Air Terjun agak lebih lama,"
tukasku. Mengapa Race ingin sekali aku pergi ke Johannesburg" Mungkin dia jatuh
hati pada Anne. "Apa rencanamu, Anne?"
"Itu tergantung," sahutnya dengan tenang, menirukan aku.
"Bukankah kau sekretarisku?" aku menunjukkan keberatanku.
"Tapi saya kan sudah didahului orang. Anda telah berpegangan tangan dengan Nona
Pettigrew sepanjang petang ini."
"Berani sumpah, aku tidak berbuat begitu," aku meyakinkannya.
Malam Jum'at Kami baru saja meninggalkan Kimberley. Race diminta menceritakan kisah
perampokan berlian itu sekali lagi. Mengapa kaum wanita begitu tergila-gila akan
apa saja yang berhubungan dengan berlian"
Akhirnya Anne Beddingfeld melepas cadar misterinya. Rupanya dia koresponden
sebuah surat kabar. Dia mengirimkan banyak telegram dari De Aar, pagi ini.
Mendengar suara yang tak henti-hentinya mendengung hampir sepanjang malam di
kamar Nyonya Blair, kupikir dia pasti membacakan semua artikel khususnya untuk
tahun-tahun mendatang. Agaknya, selama ini dia sedang mencari jejak 'Pria Bersetelan Coklat' itu.
Rupanya dia tidak menemukannya di kapal Kilmorden - yah, sebenarnya dia tak punya
kesempatan untuk itu. Tapi sekarang dia sedang sibuk mengirim telegram ke
Inggris, dengan judul 'Pelayaranku Bersama Seorang Pembunuh'. Dan dia
menciptakan cerita-cerita fiktif tentang 'Apa yang dikatakan pembunuh itu
padaku', dan seterusnya. Aku tahu bagaimana melakukan hal-hal seperti itu. Aku
sendiri juga melakukannya dalam buku 'Kenang-kenanganku', bila dibenarkan
Pagett. Dan salah seorang staf sahabatku Nasby yang efisien itu, akan lebih
mengembangkan hal-hal yang kecil, hingga bila kisahku nanti muncul di harian
Daily Budget, Rayburn tidak akan bisa mengenali dirinya lagi.
Tapi gadis itu memang cerdas. Agaknya seorang diri saja dia mengusut siapa
wanita yang terbunuh di rumahku itu. Dia adalah penari Rusia yang bernama
Nadina. Kutanya Anne Beddingfeld apakah dia yakin akan hal itu. Dijawabnya bahwa
hal itu hanya merupakan kesimpulannya saja - persis seperti Sherlock Holmes
mengatakannya. Padahal kudengar bahwa dia telah mengirim telegram pada Nasby di
Inggris, mengatakan bahwa itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Kaum wanita
memang punya naluri begitu - aku yakin bahwa Anne Beddingfeld tak salah menebak -
tapi sangat tak masuk akal kalau itu disebutnya suatu kesimpulan.
Aku sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana dia sampai bisa menjadi staf
pada harian Daily Budget. Tapi dia memang gadis yang pandai dalam hal begituan.
Orang tak bisa meremehkannya. Dia pandai sekali membujuk, dan menyembunyikan
tekadnya yang tak bisa ditawar. Lihat saja caranya masuk ke gerbong pribadiku.
Aku mulai melihat titik terang. Race menyinggung-nyinggung soal polisi yang
menduga bahwa Rayburn akan pergi ke Rhodesia. Mungkin dia sudah berangkat naik
kereta api hari Senin. Orang berbalas-balasan mengirim telegram, tapi tak
ditemukan seorang pun yang mempunyai ciri-ciri seperti dia. Namun itu tak ada
artinya. Harry Rayburn seorang pemuda yang cerdik, dan dia mengenal Afrika.
Mungkin sekarang dia sedang menyamar sebagai seorang wanita pribumi yang tua - dan
polisi yang bodoh terus saja mencari seorang pemuda tampan yang punya bekas
luka, yang mengenakan pakaian model Eropa yang tak bercela. Aku tak pernah
percaya betul pada bekas luka itu.
Pokoknya, Anne Beddingfeld sedang mencari dia. Dia ingin menjadi pemenang, ingin
menemukan anak muda itu bagi dirinya sendiri, dan bagi Daily Budget. Gadis-gadis
zaman sekarang memang berdarah dingin. Aku pernah menyindirnya bahwa apa yang
dilakukannya itu tidak feminin. Tapi aku ditertawakannya. Dikatakannya bahwa
bila dia berhasil menemukan laki-laki itu, dia akan menjadi kaya. Kelihatannya
Race juga tak suka akan kegiatan gadis itu. Mungkin Rayburn ada di kereta api
ini. Kalau demikian halnya, bisa-bisa kami dibunuh di tempat tidur. Kukatakan
juga hal itu pada Nyonya Blair - tapi kelihatannya dia malah senang kalau hal itu
terjadi. Dikatakannya bahwa bila aku yang dibunuh, itu akan merupakan berita
besar bagi Anne! Sungguh tak punya perasaan!
Besok kami akan melewati Bechuanaland. Debunya akan mengerikan! Lalu di setiap
stasiun, anak-anak pribumi berdatangan dan menjual binatang-binatang aneh dari
kayu, ukiran mereka sendiri. Juga mangkuk-mangkuk dan keranjang-keranjang berisi
makanan. Aku takut Nyonya Blair akan memborong. Soalnya mainan itu punya daya
tarik primitif yang kurasa akan memikatnya.
Malam Sabtu. Yang kutakutkan terjadi, Nyonya Blair dan Anne membeli empat puluh sembilan
binatang-binatang dari kayu itu!
BAB XXIII (Lanjutan Kisah Anne) AKU sangat menyukai perjalanan ke Rhodesia ini. Setiap hari selalu ada sesuatu
yang baru dan mencekam. Pertama-tama pemandangan lembah Sungai Hex yang indah,
kemudian gurun Karoo yang luas dan sepi, dan akhirnya Bechuanaland yang indah
memanjang, dengan mainan-mainan yang benar-benar mengagumkan yang dijajakan oleh
anak-anak pribumi. Suzanne dan aku hampir selalu ketinggalan kereta di setiap
stasiun - kalau itu bisa disebut stasiun. Aku merasa bahwa kereta api itu
seenaknya saja berhenti di sembarang tempat. Lalu, begitu kereta api berhenti,
berdatanganlah segerombolan orang pribumi dari ladang-ladang yang kelihatannya
kosong. Mereka menjunjung mangkuk-mangkuk berisi makanan, tebu, bulu binatang,
dan ukiran kayu berupa binatang-binatang yang bagus-bagus sekali. Suzanne segera
membeli ukiran-ukiran itu - banyak sekali. Aku ikut-ikutan - kebanyakan di antaranya
berharga satu 'tiki' (tiga pence) sebuah, dan semuanya lain-lain bentuknya. Ada
jerapah, harimau, ular, kijang yang berwajah sedih dan prajurit hitam kecil yang
aneh-aneh. Kami gembira sekali.
Sir Eustace mencoba mengekang kami, tapi sia-sia. Aku masih merasa ajaib bahwa
kami tidak ketinggalan di suatu oase di daerah itu. Kereta api di Afrika Selatan
tidak ribut-ribut atau kacau bila akan berangkat lagi. Kereta itu meluncur saja
dengan tenang. Kita langsung lari mengejarnya bila melihatnya bergerak, padahal
sedang asyik tawar-menawar.
Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya Suzanne waktu melihat aku menaiki kereta
api di Cape Town. Malam hari itu, lama kami meninjau situasi. Setengah malam
kami habiskan untuk berbicara.
Menjadi jelas bagiku bahwa siasat yang harus diambil haruslah bersifat
pertahanan diri dan sekaligus juga agresif. Aku cukup aman, karena bepergian
dengan Sir Eustace Pedler dan rombongannya. Dia dan Kolonel Race merupakan
pelindung-pelindung yang dapat diandalkan, dan kurasa musuh-musuhku tidak akan
berani menyerangku. Juga, selama aku berada di dekat Sir Eustace Pedler, boleh
dikatakan aku berhubungan pula dengan Guy Pagett - padahal Guy Pagett adalah
jantung misteri ini. Kutanyakan pada Suzanne apakah menurut dia mungkin Pagett
sendirilah 'Kolonel' yang misterius itu. Kedudukannya sebagai orang bawahan
tentulah bertentangan dengan dugaan itu. Tapi beberapa kali aku mendapat kesan
bahwa meskipun Sir Eustace bersikap otoktrat, sebenarnya dia sering dipengaruhi
oleh sekretarisnya itu. Sir Eustace adalah seorang pria yang mudah diatur, dan
seorang sekretaris yang cekatan dapat mempermainkannya dengan mudah. Kedudukan
Pagett yang tak penting itu mungkin bahkan berguna baginya, karena dengan
demikian dia tidak akan mendapat sorotan.
Tapi Suzanne sama sekali tidak membenarkan pikiranku. Dia tak percaya bahwa Guy
Pagett adalah si tokoh pemimpin. Pemimpin yang sesungguhnya - 'Kolonel' - berada di
latar belakang, dan mungkin sudah berada di Afrika waktu kami tiba.
Kuakui bahwa pandangannya itu perlu dipertimbangkan benar-benar, tapi aku tak
puas. Karena pada setiap saat yang mencurigakan, Pagett selalu tampil sebagai
seorang jenius yang memimpin. Pribadinya memang kurang meyakinkan sebagaimana
yang diharapkan dari seorang penjahat ulung - tapi bukankah Kolonel Race telah
mengatakan bahwa pemimpin yang misterius itu hanya memberikan kerja otak, dan
seorang jenius yang kreatif sering berkaitan dengan keadaan fisik yang lemah dan
pemalu. "Itu kata putri profesor," sela Suzanne ketika kami berdebat mengenai hal itu.
"Tapi itu benar. Sebaliknya, mungkin pula Pagett sesungguhnya justru si Komandan
dari komandan-komandan kecil." Aku diam sebentar, lalu berkata lagi sambil
merenung, "Alangkah baiknya kalau aku tahu bagaimana cara Sir Eustace mencari
nafkah." "Kau mencurigainya lagi?"
"Suzanne, aku sudah terlanjur harus mencurigai seseorang! Aku bukan mencurigai
dia secara khusus - tapi bagaimanapun juga, bukankah dia majikan Pagett" Dan
bukankah dia yang memiliki Mill House?"
"Aku selalu mendengar bahwa dia tak suka bercerita tentang caranya mencari
nafkah," kata Suzanne sambil berpikir. "Tapi itu belum berarti kejahatan - mungkin
saja dia pengusaha paku seng atau obat penumbuh rambut!"
Aku membenarkannya dengan enggan.
"Apakah kita ini tidak menuduh orang yang salah?" kata Suzanne ragu. "Maksudku,
kita telah disesatkan oleh anggapan kita tentang keterlibatan Pagett. Bagaimana
kalau sebenarnya dia itu orang yang benar-benar jujur?"
Kupertimbangkan pandangan itu beberapa lamanya, lalu aku menggeleng.
"Aku tak bisa percaya itu."
"Tapi yang jelas, dia selalu bisa menjelaskan segala-galanya."
"Ya - ah, tapi penjelasannya tidak terlalu meyakinkan. Umpamanya, waktu dia
mencoba menceburkan aku ke laut dari Kilmorden malam itu, dia berkata bahwa dia
membuntuti Rayburn naik ke dek, lalu Rayburn berbalik dan menghantamnya. Padahal
kita tahu bahwa itu tak benar."
"Memang," kata Suzanne dengan enggan. "Tapi kita hanya mendengar kisah itu dari
tangan kedua, dari Sir Eustace. Bila kita mendengarnya langsung dari Pagett
sendiri, mungkin akan lain. Kita kan tahu bahwa orang selalu salah bila
mengulangi menceritakan suatu kejadian."
Pendapat itu kupertimbangkan dalam pikiranku.
"Tidak," kataku akhirnya, "kurasa tak bisa lain. Pagett bersalah. Kita tak bisa
membantah kenyataan bahwa dia telah mencoba menceburkan aku ke laut. Dan semua
yang lain pun cocok. Mengapa kau berkeras pada pikiranmu yang baru itu?"
"Karena wajahnya."
"Wajahnya" Tapi - "
"Ya, aku tahu apa yang akan kaukatakan. Wajahnya memang wajah orang jahat.
Justru itu. Orang yang berwajah jahat tidak selamanya harus jahat. Itu hanya
merupakan lelucon Alam."
Aku tak begitu percaya akan argumentasi Suzanne itu. Aku tahu banyak tentang
Alam di waktu lampau. Kalaupun dia bermaksud melucu, hal itu tak terbayang di
wajahnya. Suzanne adalah orang yang bisa mendandani Alam dengan caranya sendiri.
Memanah Burung Rajawali 20 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Rahasia Kampung Garuda 6
^