Pencarian

Saksi Bisu 2

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie Bagian 2


dengan sikap tidak yakin.
Kami dibawa melihat berbagai lemari, sebuah
ruangan tempat menyimpan jas di ruang
bawah, dan sebuah dapur kecil. "Di sini Nona sering merangkai bunga, Tuan."
"Kau bekerja di sini sudah lama?" tanya Poirot.
"Dua puluh dua tahun, Tuan."
"Sendirian?" "Sekarang saya berdua dengan koki, Tuan**
"Dia juga sudah lama bekerja untuk Nona
Arundell?" "Empat tahun, Tuan. Koki yang sebelumnya
meninggal dunia." "Seandainya saya jadi membeli rumah ini,
maukah kau terus bekerja di sini?"
Wajah pelayan itu bersemu merah.
"Anda baik sekali, Tuan. Tapi saya sudah ingin istirahat. Nona Arundell
meninggali sedikit uang. Saya punya rencana tinggal di tempat
saudara saya. Saya cuma tinggal di sini
membantu Nona Lawson-sampai rumah ini
terjual - menjaga dan merawat rumah ini,
maksud saya." Poirot mengangguk. Sementara suasana menjadi hening, terdengar
suara baru: Bum, bum, bum. Suara itu terdengar
berulang-ulang dari ruangan atas.
"Itu Bob, Tuan." Pelayan itu tersenyum.
"Rupanya dia menemukan bolanya. Dia selalu bermain bola di tangga. Itu mainan
kesukaannya." Ketika kami sampai ke kaki tangga, sebuah bola
hitam menggelinding sampai ke bawah.
Kupungut bola itu dan kutengok Bob di kepala
tangga. Ia sedang berbaring. Mulutnya
menganga dan ekornya bergerak-gerak.
Kulemparkan bola itu kepadanya. Bob
menangkapnya dengan mulutnya. Digigitnya
bola itu beberapa lama, dan kemudian
dilepaskannya hingga bola itu kembali
menggelinding ke bawah. "Kalau sudah bermain bola, bisa berjam-jam, Tuan. Apalagi kalau ada temannya.
Sehari pun ia tidak puas. Cukup, Bob. Tuan-tuan ini ke sini
bukan untuk main bola denganmu."
Seekor anjing bisa menjadi penolong. Perhatian
dan kesukaan kami pada Bob telah
menjembatani hubungan kami dengan pelayan
itu. Ia menjadi ramah, dan tidak lagi kaku.
Sementara kami menuju ruang tidur di lantai
atas, ia berceritera dengan penuh gairah
mengenai kelucuan-kelucuan Bob. Bola Bob
dibiarkan berhenti di kaki tangga. Waktu kami
melewatinya, Bob kelihatannya sangat marah
karena kami tak mau terus bermain-main
dengannya. Meskipun begitu, ia turun -
mengambil sendiri bolanya - dan mengikuti
kami. Di ruang tidur, Poirot mulai memancing pelayan
itu. "Ada empat nona Arundell yang pernah tinggal di sini. Betulkah?" tanyanya.
"Mula-mula begitu, Tuan. Tetapi itu sebelum saya bekerja di sini. Waktu saya
masuk, tinggal Nona Agnes dan Nona Emily yang ada di sini.
Nona Agnes meninggal beberapa tahun
kemudian. Sebetulnya dia yang paling muda di
antara saudara-saudaranya. Aneh, dia pergi
mendahului yang lain."
"Mungkin ia tidak sekuat kakaknya."
"Tidak, Tuan. Aneh, memang. Tapi, Nona saya -
Nona Emily Arundell dari dulu yang paling sakit-sakitan. Sepanjang hidupnya ia
hampir selalu berurusan dengan dokter. Nona Agnes kuat dan
sehat. Tapi dia meninggal lebih dahulu. Sedang
Nona Emily yang ringkih malah hidup paling
lama. Aneh sekali, bukan?"
"Benar. Seringkah yang aneh-aneh begitu yang terjadi."
Poirot meneruskan kalimatnya itu dengan
ceritera mengenai pamannya. Aku tak akan
bersusah-susah menceriterakan kembali
ceriteranya di sini. Yang jelas ceritera Poirot mempunyai pengaruh yang
menguntungkan. Obrolan mengenai kematian dan yang
sebangsanya ternyata lebih mudah membuka
kunci lidah seseorang daripada topik-topik
lainnya. Kini Poirot dalam posisi siap
menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang dua
puluh menit yang lalu akan disambut dengan
sikap curiga dan garang. "Apakah Nona Arundell lama dan parah
sakitnya?" "Tidak, Tuan. Tapi kesehatannya memang sudah sejak lama buruk. Dua tahun yang
lalu Nona pernah sakit kuning hebat. Beliau tidak bisa
makan sama sekali. Dokter Grainger pun ragu
Nona akan bisa tetap hidup- Tapi Dokter
Grainger tahu cara menyembuhkan Nona
Arundell. Nona Arundell orangnya harus
ditantang, begitu katanya. Dokter Grainger,
kalau tak salah bilang begini, 'Sudah yakin
kepingin mati, Emily"' - dan Nona menjawab,
'Aku masih punya keinginan buat hidup,
Dokter.' Dokter Grainger lalu mengatakan, 'Hm,
bagus! Senang aku mendengarnya.' Pernah
Nona dirawat oleh suster dari rumah sakit.
Susternya berpikir - sudah tidak ada harapan, ia mengadu kepada Dokter Grainger.
Bilang Nona tak mau makan sama sekali. Dokter
memarahinya, Tuan. 'Omong kosong,' katanya,
'Kau tak tahu bagaimana menyuruhnya makan.
Tantang dia!' Apa yang dikatakan Dokter
Grainger sesudah itu tak pernah terlupakan oleh saya, Tuan. Begini katanya, 'Aku
mengerti - kau masih muda, Suster. Kau belum mengerti
betapa kuatnya penarungan dalam jiwa orang
tua untuk mempertahankan hidupnya. Justru
orang yang muda-muda yang umumnya lebih
gampang mati. Mereka kurang punya gairah
untuk melanjutkan hidup. Orang yang bisa
mencapai usia tujuh puluh tahun - itu
menandakan dia orangnya tangguh, dan punya
kemauan hidup yang besar.' Dan itu memang
benar, Tuan. Orang-orang tua memang
mengagumkan. Begitu hidup dan begitu
bergairah menjaga kekuatan badannya. Itu
sebabnya, saya kira, mereka bisa hidup begitu
lama dan menjadi begitu tua. Orang yang gairah
hidupnya hampir tak ada, pasti cepat matinya."
"Yang kaukatakan sangat betul. Dan Nona
Arundell - bagaimana orangnya" Apakah seperti
begitu - besar semangat hidupnya?"
"Ya, Tuan. Kesehatannya memang jelek. Tapi otaknya... bukan main. ia cerdas.
Kemauannya kuat. Buktinya ia sembuh. Oh, juru rawatnya
betul-betul terkejut ketika itu."
"Sembuh sama sekali?"
"Benar, Tuan. Tentu saja Nona harus berdiet.
Mula-mula makanannya cuma boleh direbus
atau dikukus. Nona sama sekali tak boleh makan
goreng-gorengan. Nona juga tidak boleh makan
makanan yang berlemak, tidak boleh makan
telur. Oh, tentu saja sangat membosankan
makanannya." "Tapi yang penting dia sehat kembali, kan?"
"Benar, Tuan. Memang Nona beberapa kali lagi jatuh sakit setelah sakit kuning
yang hebat itu. Tapi tak pernah separah yang satu itu. Nona
kadang-kadang agak sembrono sih - sembrono
mengawasi makanannya sendiri, maksud
saya..." "Sakitnya yang terakhir - apakah sama dengan sakitnya yang parah dua tahun yang
lalu itu?" "Hampir sama. Tuan. Tubuhnya menjadi
berwarna kekuning-kuningan, dan kelihatannya
sangat menderita. Salah Nona sendiri. Malam
itu Nona makan kare. Kan kare berlemak sekali,
Tuan." "Oh, jadi sakitnya mendadak?"
"Memang begitu, Tuan. Tapi Dokter Grainger mengatakan sebetulnya Nona sudah agak
lama sakitnya. Nona selesma- udaranya memang
kurang enak hari-hari itu. Lalu Nona makan
makanan yang terlalu berlemak..."
"Mengapa Nona Lawson tidak mencegahnya"
Dia pelayan pribadi Nona Arundell. bukan?"
"Mana bisa Nona Lawson melarang Nona
Arundell. Nona Arundell - orangnya tidak mau
diperintah orang lain, Tuan."
"Apakah waktu sakit dua tahun yang lalu Nona Lawson sudah menjadi pelayan
pribadi Nona Arundell?" "Belum, Tuan. ia baru setahun bekerja di sini."
"Sebelum Nona Lawson bekerja di sini, apakah Nona Arundell juga punya pelayan
pribadi?" "Ada beberapa orang. Tuan, yang pernah jadi pelayan pribadi Nona Arundell.
Ganti-ganti terus." "Oh, jadi pelayan pribadinya rupanya tak betah tinggal lama seperti pelayan
lainnya?" komentar Poirot sambil tersenyum.
Wajah Klien merah padam. "Lain, Tuan. Nona Arundell jarang keluar. Dan lagi..." Ia berhenti.
Poirot memperhatikannya sejenak. Kemudian
katanya, "Aku mengerti bagaimana umumnya sikap
seorang wanita yang sudah lanjut usia. Mereka
terlalu menuntut kesempurnaan.
Kecerewetannya, bisa mengakibatkan habisnya
kesabaran orang yang melayaninya."
"Anda pandai sekali, Tuan. Tepat sekali yang Tuan katakan tadi. Pada mulanya,
pelayan pribadi Nona memang kelihatan senang. Nona
Arundell punya banyak ceritera - tentang masa
kecilnya, tentang pandangan hidupnya, tentang
tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, dan
banyak lagi masalah-masalah lain yang suka
dibicarakannya. Tetapi, lama-lama ceriteranya
habis. Kalau sudah begitu, pelayan pribadinya
cepat menjadi bosan"
"Aku mengerti. Dan, antara kita saja, kupikir orang yang bekerja sebagai pelayan
pribadi itu orang yang umumnya kurang menyenangkan,
bukan?" "Betul, Tuan. Rata-rata menjengkelkan mereka itu. Dan, - eh - kadang-kadang juga
bodoh. Tuan. Nona Arundell sendiri sering bosan sama
mereka. Kalau sudah begitu, Nona mencari
pelayan pribadi yang baru."
"Bagaimana dengan Nona Lawson. Apakah
Nona Arundell cocok dengannya?" "Yah... tidak juga, Tuan."
"Jadi Nona Lawson tidak punya keistimewaan?"
"Rasa-rasanya tidak, Tuan. Orangnya biasa-biasa saja."
"Kau sendiri menyukainya?" Ellen terdiam sejenak.
"Sifatnya - tidak ada yang mesti tidak disukai, Tuan. Juga tidak ada yang mesti
disukai. Agak cerewet orangnya. Tapi itu biasa. Orang tua -
pengikut aliran... spiritual."
"Spiritual?" tanya Poirot terkejut.
"Benar, Tuan. Spiritual katanya. Sering duduk mengelilingi meja di ruang gelap -
memanggil roh orang-orang mati. Katanya roh bisa bicara,
Tuan. Saya sendiri berpendapat perbuatan begitu
tidak cocok dengan ajaran agama."
"Oh, jadi Nona Lawson ini seorang spiritualis rupanya. Apakah Nona Arundell juga
pengikut aliran ini?" "Oh, Nona Lawson pernah mengajaknya," nada Ellen mengucapkannya seolah
mengungkapkan kepuasan yang selama ini terpendam.
"Tapi ditolak?"
"Nona Arundell bukan orang bodoh," Ellen berkata lagi. "Bukan berarti Nona
Arundell tidak menganggap permainan itu tidak
menyenangkan, Tuan. Nona senang. Tapi Nona
tak pernah percaya. Sering Nona mengatakan.
'Coba yakinkan aku!' -tapi tak jarang juga Nona mengelus dada sambil berkata,
'Minnie, Minnie - betapa bodohnya kau percaya yang begituan."
"Jadi Nona Arundell bukan pengikut, cuma
penggemar?" "Ya, Tuan. Nona cepat bosan. Kalau sudah
begitu. Nona suka seperti anak nakal sementara
yang lain serius." "Yang lain" Siapa yang lain?"
"Maksud saya, Nona Lawson dan Nona Tripp."
"Apakah Nona Lawson benar-benar percaya
pada aliran ini?" "Ya, Tuan." "Dan Nona Arundell sangat dekat dengan Nona Lawson?"
Ini kedua kalinya Poirot menanyakan
pertanyaan yang sama. Jawaban yang
diperolehnya pun tidak berbeda.
"Ah, tidak juga, Tuan."
"Tapi," tukas Poirot, "Nona Arundell mewariskan semua hartanya kepadanya."
Perubahan terjadi sangat cepat. Sikap ramah
dan kesantaian Ellen hilang, digantikan dengan


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sikapnya sebagai pelayan rumah tangga yang
disiplin. Perempuan itu menarik diri. Dengan
sopan ia berkata, Kupikir Poirot salah langkah - kurang hati-hati menggunakan kesempatan yang
diciptakannya sendiri. Tapi kuperhatikan, ia cukup bijaksana -
tidak terlalu cepat mengembalikan situasi.
Setelah memberi komentar mengenai ukuran
dan banyaknya kamar tidur, ia melangkah ke
arah tangga. Bob tak kelihatan lagi di situ. Tapi, ketika sampai di ujung atas tangga, kakiku
tersandung sesuatu. Hampir aku jatuh dibuatnya. Untung
aku cepat berpegang pada pagar tangga.
Kutengok, di dekat kakiku kudapati bola mainan
Bob. "Maaf, Tuan. Bob memang sembrono. Dia
sering meninggalkan bolanya di situ. Di atas
karpet warna gelap begini bola hitam tidak
nampak jelas. Nona Arundell sendiri pernah
jatuh gara-gara bola itu. Untung saja beliau
tidak meninggal. Dokter Grainger bilang, orang
bisa saja mati karena kecelakaan seperti itu?"
Mendadak Poirot berhenti di situ. "Maksudmu
- Nona Arundell pernah jatuh dari sini"
"Ya, Tuan. Bob memang sembrono. Habis
bermain-main meninggalkan bolanya begitu
saja di situ. Nah, Nona Arundell suka keluar dari kamarnya malam-malam. Rupanya
waktu itu beliau mau turun. Malang, Tuan, kakinya
tersandung bola Bob. Beliau jatuh
menggelinding ke bawah sana. Oh, untung saja
beliau selamat." "Banyak cideranya?"
"Tidak sebanyak yang mungkin Tuan kira. Nona Arundell sangat beruntung. Dokter
Grainger berpendapat begitu, Tuan. Nona cuma keseleo
otot punggungnya, luka sedikit di kepalanya,
lecet-lecet ringan dan shock. Tuan. Seminggu
Nona tidak turun-turun dari tempat tidur."
"Kejadian ini sudah lama terjadinya?"
"Kira-kira... seminggu, atau... dua minggu sebelum beliau meninggal."
Poirot membungkuk, memungut sesuatu yang
- aku tahu - sengaja dijatuhkannya.
"Maaf. Pulpen saya jatuh... Uh! Ini dia!"
Ia kembali berdiri. "Bob rupanya memang sembrono kalau begitu,"
ujar Poirot menyelidik. "Tapi dia tak tahu apa-apa. Tuan," bela Ellen cepat. Suaranya lembut dan merdu.
"Bob memang sering seperti manusia tingkahnya.
Tapi, bagaimanapun ia tetap seekor anjing. Kita tak bisa mengharapkan terlalu
banyak darinya. Nona sering susah tidur. Malam-malam, Nona
sering sibuk sendiri - ke sana-sini, turun ke
bawah kadang-kadang...."
"Seringkah begitu?"
"Hampir tiap malam, Tuan. Tapi Nona tak mau ditemani siapa pun."
Poirot balik ke Ruang Santai sekali lagi.
"Ruangan ini sangat indah," komentarnya.
Pandangannya berkeliling ke sekitar ruangan,
mengamati setiap sudut dan dindingnya. "Kira-kira lemari bukuku bisa masuk ke
sini tidak, Hastings?" tanyanya tiba-tiba.
Terkejut, kujawab bahwa sebaiknya diukur saja
dulu. "Betul," ujarnya. "Tolong ukurkan dengan penggaris kecilku ini, Sobat. Sini.
biar aku yang mencatat ukurannya."
Patuh, kuambil penggaris kecil yang
disodorkannya, dan kuukur apa yang diminta
Poirot. Sementara itu Poirot menulis di balik
sebuah amplop. Heran aku melihat tingkahnya. Biasanya ia
mencatat sesuatu dengan rapi dalam buku
notesnya. Namun keherananku hilang ketika
Poirot menyerahkan amplop itu kepadaku
sambil berkata, "Betul begini kan, ukurannya" Coba periksa sekali lagi."
Tak sebuah angka pun kulihat di situ. Yang
terbaca: "Kita akan kembali lagi ke atas. Pura-puralah lupa bahwa kau punya
janji dengan seseorang, lalu pinjamlah telepon. Minta si
pelayan menemanimu ke tempat telepon, dan
usahakan dia di situ selama mungkin."
"Betul," sahutku mengantongi amplop tadi.
"Kupikir dua-duanya malah bisa masuk ke sini."
"Bolehkah saya melihat sekali lagi kamar
tidurnya yang di atas?" tanya Poirot. "Saya ingin mengukur juga di situ."
"Silakan, Tuan."
Kami kembali ke atas. Poirot sedang mengukur
dan memperbincangkan tentang kemungkinan
mengubah letak tempat tidur dan lemari yang
ada di situ ketika tiba-tiba kutengok jam
tanganku dan aku berseru dengan sedikit
kelewat lantang, "Ya ampun, Poirot. Sudah jam tiga! Anderson pasti marah. Aku mesti meneleponnya
segera." Kudekati Ellen. "Boleh pinjam teleponnya?"
"Tentu saja, Tuan, Teleponnya ada di bawah, di dekat Ruang Tamu. Mari, saya
antarkan." Ellen menyertaiku turun, dan menunjukkan
tempat teleponnya. Kuminta ia membantuku
mencari nomor telepon Anderson. Akhirnya,
kuputar nomor telepon seorang bernama
Anderson yang tidak kukenal. Untunglah
orangnya tak ada. Maka kutinggalkan pesan,
bahwa aku akan meneleponnya kembali sore
nanti. Waktu aku keluar dari ruangan tempatku
menelepon tadi, kudapati Poirot sudah turun. Ia sedang berdiri di Ruang Tengah.
Matanya bersinar-sinar. Aku tak mengerti apa penyebab
kegirangan hatinya. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang menggembirakannya.
"Tentu majikanmu sangat hebat shock-nya jatuh dari ketinggian seperti ini.
Apakah setelah itu ia bersikap takut-takut, atau bersikap lain
terhadap Bob dan bolanya?"
"Bagaimana Tuan bisa mengatakan begitu"
Benar sekali. Tuan. Nona gelisah terus menerus.
Pikirannya selalu ke situ. Bahkan, ketika hampir meninggal pun ia masih berkata-
kata mengenai Bob dan bolanya. Nona mengigau, tentu saja.
Aneh-aneh yang dikatakannya... toples...
lukisan... Bob.... Saya tidak mengerti apa
maksudnya, Tuan." "Sebentar," ucap Poirot tiba-tiba. "Saya perlu ke Ruang Santai sekali lagi."
Di situ Poirot mengamati barang-barang
keramik yang menghiasi lemari dan beberapa
meja kuno. Sebuah guci bertutup nampaknya
menarik perhatiannya. Guci cina itu berlukiskan seekor anjing bulldog yang
sedang duduk di depan pintu. Di bawahnya tertulis komentar
nakal: Semalaman keluar, tidak punya kunci...
Setahuku Poirot kurang menyukai barang-
barang antik semacam itu. Anehnya, kali ini
nampaknya ia sangat terpesona.
"Semalaman keluar, tidak punya kunci..."
gumamnya. "Lucu benar! Benarkah Bob sering begitu?"
"Jarang sekali. Tuan. Bob anjing yang baik."
"Ya, memang kelihatannya dia sangat baik. Tapi, anjing yang terbaik pun..."
"Benar, Tuan. Yang Tuan katakan itu benar!
Sesekali Bob memang keluar malam. Pagi, kira-
kira jam empat ia kembali. Kalau pulang ia
duduk di depan pintu, menyalak-nyalak minta
dibukakan "Siapa biasanya yang membukakan pintu
buatnya" Nona Lawson?"
"Yah... siapa saja, Tuan - yang kebetulan
mendengarnya. Yang terakhir Nona Lawson.
Tepat pada malam terjadinya kecelakaan itu.
Tuan. Maksud saya, malam Nona Arundell jatuh
dari tangga itu. Nona Lawson buru-buru turun.
Takut Bob menyalak lebih keras lagi dan
mengganggu Nona Arundell. Nona Arundell
suka merasa gelisah kalau tahu Bob tidak ada di rumah. Itulah sebabnya, malam
itu. Nona Arundell tidak diberi tahu hahwa si Bob sedang
nakal - menghilang dari rumah..."
"Maksudmu, Nona Lawson berpendapat bahwa
sebaiknya Nona Arundell tidak diberi tahu?"
"Begitu katanya, Tuan. Toh Bob pasti pulang.
Buat apa membuat gelisah Nona."
"Bagaimana sikap Bob terhadap Nona Lawson"
Apakah Bob suka padanya?"
"Yah... kelihatannya sih. Tuan, Bob sering benci pada Nona Lawson. Anjing memang
kadang-kadang membingungkan. Padahal Nona Lawson
sangat menyayanginya, ia suka memanggil Bob -
Doggie manis -- dengan penuh kasih sayang.
Tapi Bob selalu menggeram. Tak pernah Bob
mau menuruti perutlah Nona Lawson."
Poirot mengangguk-angguk.
Tiba-tiba ia berbuat sesuatu yang sangat
mengejutkan. Ia mencabut secarik kertas dari saku bajunya -
surat Nona Arundell yang diterimanya tadi pagi.
"Ellen," ujarnya. "Kau tahu surat ini?"
Perubahan wajah Ellen sangat kentara.
Perempuan itu menganga. Dari matanya
kelihatan bahwa perasaannya tak menentu.
"Oh," ujarnya hampir terlompat. "Tidak."
Mungkin kurang cermat pengamatanku. Tapi
kesan yang kudapat, bukan itu yang dimaksud
Ellen. Nampak memaksa dirinya berani, Ellen
kemudian berkata: "Kalau begitu, Anda... Oh, Tuanlah yang ditulisi
"Benar, Ellen. Aku Hercule Poirot" Srperti kebanyakan orang yang lain, Ellen
tidak memperhatikan kartu bukti diri yang disodorkan
oleh Poirot pada awal kunjungannya. Ellen
menundukkan kepala. "Jadi," gumamnya, "Anda Hercule Poirot. Oh, Tuhan!" serunya tiba-tiba. "Koki
pasti tidak percaya."
Segera Poirot berkata, "Bagaimana kalau kita bersama ke dapur dan membicarakan ini dengan Koki
sekaligus." "Silakan, kalau Tuan mau."
Kedengarannya Ellen sedikit ragu. Nampak
sekali dilema sosial macam begini baru sekali
dihadapinya. Namun sikap Poirot yang apa
adanya menimbulkan keyakinan pada diri
perempuan itu. Kami melangkah ke dapur. Ellen
mengisahkan apa yang terjadi kepada seorang
perempuan yang sedang mengangkat ketel dari
kompor gas. Seperti Ellen, wajah perempuan ini
pun menyenangkan. "Pasti kau tak percaya, Annie - Tuan ini orang yang ditulisi surat oleh Nona
Arundell. Surat yang itu, tuh - yang kutemukan dalam map
surat itu...." "Ellen, saya belum tahu sama sekali mengenai sejarah surat itu," kata Poirot.
"Maukah kau menceriterakan - misalnya, mengapa begitu
lambat dikirimkannya?"
"Terus terang, Tuan - kami tidak tahu apa yang mesti kami lakukan."
"Ya, Tuan. Kami sungguh-sungguh bingung,"
kata si Koki menimpali. "Waktu Nona Lawson bersih-bersih, banyak
sekali barang-barang yang dibuangi. Salah
satunya, sebuah map berisi beberapa lembar
kertas surat. Cantik sekali rupanya, Tuan. Bagian depannya bergambar bunga lily.
Map itu kepunyaan Nona Arundell. Kalau Beliau sakit
dan ingin menulis surat di tempat tidur, map itu yang biasanya dipakainya. Nah,
map itu dibuang oleh Nona lawson. Kalau mau, boleh diambil
begitu katanya. Map itu begitu bagus. Sayang
dibuang. Jadi saya ambil. Saya menyimpannya di
laci. Kemarin, saya berniat memasukkan
beberapa lembar kertas surat baru. Maksud
saya, supaya mudah kalau saya mau menulis
surat kapan-kapan. Saya iseng merogoh-rogoh
selepitan map itu. Eh, di situ saya menemukan
amplop dengan tulisan Nona Arundell.
"Seperti yang saya katakan tadi. Tuan, saya tak tahu apa yang mesti saya
lakukan. Saya tahu pasti itu tulisan Nona Arundell. Mungkin Nona
Arundell memasukkannya ke situ setelah selesai
menulisnya, dan lalu lupa mengeposkan. Nona
memang sering pelupa. Pernah kami mencari-
cari kuitansi pembayaran listrik. Ternyata, lama setelah itu baru ketemu... di
rak meja tulis Nona." "Apakah Nona Arundell sembrono?"
"Malah sebaliknya. Tuan. Sangat rapi. Itu juga salah satu penyebabnya. Nona tak
suka melihat kertas bercecer di mana-mana. Apa yang
kelihatan bercecer, selalu disimpannya. Tapi dia pelupa, dan tak tahu lagi di
mana dulu sesuatu disimpannya." "Misalnya, bolanya Bob?" tanya Poirot terse-Yang dibicarakan
melompat dari luar dan menyapa kami dengan ramahnya.
"Benar, Tuan. Setiap kali Bob selesai bermain-main, Nona selalu menyimpan
bolanya. Tapi

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bola Bob tak pernah terselip tidak keruan.
Sudah ada tempatnya sendiri. Laci yang saya
tunjukkan kepada Tuan tadi tempatnya."
"Oh. disitu..," komentar Poirot. "Mengenai surat tadi, bagaimana kelanjutannya?"
"Oh, sesudah itu... saya tanya sama Annie - apa yang sebaiknya saya lakukan.
Membakarnya, saya tak mau, Tuan, dan membukanya, saya
juga tidak berani. Selain itu, kami berpendapat surat itu bukan urusan Nona
Lawson. Jadi tak ada perlunya diberikan kepadanya. Setelah
berunding sebentar, saya beri perangko
amplopnya dan saya masukkan ke kotak pos."
Poirot menoleh kepadaku "Voila,[Begitulah]"
gumamnya. Tak bisa menahan diri, aku berkata
nakal, "Bukan main! Ternyata begitu sederhana masalahnya."
Kulihat Poirot agak terkejut dan kurang suka
mendengar komentarku. ia mengalihkan kembali perhatiannya kepada
Ellen. "Seperti yang baru saja dikatakan teman saya: ternyata sederhana sekali
masalahnya. Kau tahu, Ellen, waktu saya menerima surat ini, saya sangat terkejut. Melihat
tanggalnya, saya jadi bertanya-tanya. Sebab, sudah lebih dari dua
bulan yang lalu tanggalnya."
"Oh, tentu saja, Tuan," ujar Ellen. "Oh, kami tak berpikir sejauh itu, Tuan."
"Di samping itu," lanjut Poirot sambil berdehem, "saya menghadapi sesuatu...
katakanlah yang saya hadapi itu suatu dilema.
Nona Arundell minta bantuan saya. ia meminta
saya menyelidiki sesuatu yang silatnya sangat
pribadi," sekali lagi Poirot berdehem. "Sekarang ternyata Nona Arundell sudah
meninggal. Saya jadi bingung... apa yang mesti saya lakukan...
melaksanakan permintaannya, atau apa" Yah,
ini tentu saja sulit. Sulit sekaji."
Kedua perempuan itu memandang Poirot penuh
hormat. "Mungkin sebaiknya saya menemui
pengacaranya. Nona Arundell punya pengacara,
bukan?" Ellen cepat menjawab, "Punya, Tuan. Namanya Tuan Purvis. Alamatnya di Herchester."
"Apakah kira-kira Tuan Purvis ini mengetahui semua masalah Nona Arundell?"
"Kemungkinan ia tahu, Tuan. Seingat saya, dari dulu Tuan Purvis yang mengurus
semua masalah Nona. Tuan Purvis jugalah yang
dipanggil Nona pertama-tama setelah Nona
jatuh itu." "Setelah Nona Arundell jatuh dari tangga itu, maksudnya?"
"Benar, Tuan." Tunggu. Tanggal berapa persisnya kejadian itu?"
Koki menyahut, "Sehari setelah Paskah. Saya ingat sekali.
Soalnya, saya terpaksa tidak bisa ambil libur -
Nona Arundell banyak tamunya. Saya ambil
libur hari Rabunya, setelah tamu-tamu pulang."
Poirot merogoh almanak kecil dari sakunya.
"Tepat. Tepat sekali. Paskah jatuh pada tanggal tiga belas. Nona Arundell jatuh
pada tanggal empat belas-nya. Lalu surat ini dia tulis tiga hari sesudahnya. Sayang tidak
segera diposkan. Tapi mungkin belum terlambat." Poirot berhenti
sejenak. "Kupikir-pikir, eh - mungkin permintaan Nona Arundell itu ada
hubungannya dengan salah seorang tamu yang baru saja
kausebutkan." Komentar ini ditanggapi cepat. Pada wajah Ellen terbersit suatu ekspresi yang
cerdik, seolah ia tahu sesuatu, ia berpaling kepada Koki, dan Koki menyambutnya
dengan kerlingan. "Pasti yang dimaksud itu Tuan Charles," ujarnya.
"Siapa saja sih tamunya?" tanya Poirot.
"Dokter Tanios dan isterinya, Nyonya Bella.
Selain itu, Tuan Charles dan Nona Theresa,
adiknya." "Mereka semua masih ada hubungan keluarga
dengan Nona Arundell?"
"Ya, Tuan. Mereka kemenakan Nona Arundell
Dokter Tanios tentu saja bukan kemenakan
langsung. Ia suami Bella. Bella itu anak adik
perempuan Nona Arundell."
"Jadi, ceriteranya, waktu kecelakaan itu terjadi, di sini sedang ada semacam
reuni keluarga" Kapan mereka pulang?"
"Hari Rabu pagi, Tuan. Dokter dan Nyonya
Tanios datang lagi ke sini hari Sabtunya. Mereka kuatir akan keadaan Nona."
"Bagaimana dengan Tuan Charles dan adiknya?"
"Oh, mereka juga ke sini lagi. Seminggu setelah Dokter Tanios dan isterinya...
ya, malam Minggu terakhir sebelum Nona meninggal."
Tak habis-habisnya pertanyaan Poirot ini,
pikirku. Padahal hampir semua misterinya telah
terjawab. Sebaiknya kupikir, ia cepat-cepat
pamitan. Yang kupikirkan rupanya mengalir juga ke
kepala Poirot. "Eh bien," ujarnya. "Keterangan yang kalian berikan sangat membantu. Saya akan
menemui Tuan Purvis... emm, namanya betul begitu,
bukan" Terima kasih banyak atas bantuan
kalian." Poirot membungkuk, menepuk punggung Bob.
"Brave chien, va![anjing berani.] Kau sangat setia, bukan?"
Bob nampak senang. Ia beranjak ke perapian,
menggigit sepotong batu bara untuk bermain-
main. Ellen memarahinya. Batu bara di mulut anjing
itu dipungut dan dilemparkannya kembali ke
perapian. Bob memandangku kecewa.
"Perempuan-perempuan ini tak pernah pelit
memberiku makan," begitu seolah ia berkata,
"tapi mereka sangat membosankan. Tak bisa
diajak bermain-main."
BAB 9 REKONSTRUKSI KECELAKAAN NONA ARUNDELL
"Nah, Poirot," ucapku ketika kami beranjak meninggalkan halaman Puri Hijau,
"kuharap kau sudah puas sekarang!"
"Benar, Sobat! Aku puas."
"Syukurlah!" Semua misterinya sudah
terungkap! Tentang pelayan pribadi si nenek tua itu, tentang si nenek tua itu
sendiri, tentang surat yang telat diposkan, dan bahkan tentang
kecelakaan itu sendiri... hmm. semuanya bisa
terungkapkan dengan begitu sempurna dan
memuaskan. Tak kusangka!"
Poirot mendehem. Katanya kemudian,
"Tidak begitu bagiku, Hastings."
"Eh, bukankah kau sendiri barusan bilang kau puas?"
Poirot menggeleng. "Aku cuma bilang, bahwa secara pribadi aku puas - bahwa perasaan ingin tahuku
terpuaskan. Aku sudah tahu penyebab yang sesungguhnya
dari kecelakaan itu."
"Dan penyebabnya ternyata begitu sederhana,"
ledekku. "Tidak sesederhana seperti yang kauduga,
Kawan." Poirot mengangguk-anggukkan
kepalanya berulang-ulang. Lalu lanjutnya,
"Tahukah kau, Hastings. Ada sesuatu yang
kuketahui, tapi tidak kauketahui?"
"Apa?" tanyaku kurang percaya.
"Aku menemukan sebuah paku tertancap pada
papan pegangan di sisi tangga yang berbatasan
dengan dinding. Persisnya, pada sisi anak
tangga yang pating atas."
Kupandangi Poirot, masih dengan perasaan
kurang percaya. Namun wajahnya begitu serius.
"Apa keanehannya ada paku di situ?"
"Pertanyaanmu kurang tepat. Seharusnya:
Mengapa harus ada paku di situ?"
"Mana aku tahu" Untuk menggantungkan
sesuatu, barangkali. Apa artinya sih?"
"Tentu saja ada artinya, Sobat. Dan pada
pikirku, tak mungkin paku itu dipakai untuk
menggantungkan sesuatu untuk urusan rumah
tangga. Tempatnya begitu khusus. Bukan cuma
itu. Pakunya pun dicat sama dengan warna
papannya - supaya tidak kelihatan."
"Tahukah kau apa sebabnya, Poirot?"
"Itu gampang dikira-kirakan. Kalau kita ingin merentang tali pada ketinggian
kira-kira satu kaki dari anak tangga yang paling atas: ujung tali yang satu bisa kita ikatkan
pada salah satu jeruji pagar di sisi tangga itu. Tapi, untuk mengikatkan tali
itu pada sisi tangga yang satunya lagi, kita perlu tempat untuk mengikatkannya.
Paku merupakan tempat yang paling bagus."
"Poirot," seruku. "Apa maksudmu?"
"Mon cher ami,[sobat] aku sedang
merekonstruksikan bagaimana sesungguhnya
kecelakaan itu terjadi. Mau dengar
kelanjutannya?" "Teruskan!" "Eh bien. Begini. Ada orang yang
memperhatikan kebiasaan Bob. Maksudku,
kebiasaannya meninggalkan bola di atas tangga.
Orang ini tahu bahwa itu kebiasaan yang bisa
membahayakan orang -dengan kata lain, bisa
menyebabkan orang kecelakaan." Poirot
berhenti. Kemudian, dengan nada suara yang
berbeda ia melanjutkan, "Misalnya kau ingin membunuh seseorang, Hastings - apa
yang akan kaulakukan?" "Terus terang, aku tak tahu, Poirot. Membuat suatu alibi atau, oh - sungguh aku
tak tahu, Poirot." "Ah, tentu saja susah buatmu. Kawan. Kau
bukan pembunuh berdarah dingin yang cerdik
dan licin. Tak terpikirkah olehmu bahwa jalan
yang paling mudah dan aman adalah dengan
menggunakan kedok kecelakaan" Kecelakaan
bisa terjadi setiap saat, di mana saja... dan,
memang selalu terjadi di mana-mana. Kau mesti
tahu, Hastings, kadang-kadang kecelakaan itu
juga bisa dibuat terjadi."
Poirot berhenti sebentar.
"Bola Bob yang secara tidak sengaja tergeletak di situ menimbulkan ide kepada si
pembunuh. Dia tahu kebiasaan Nona Arundell keluar
malam, ia tahu juga Nona Arundell sudah tua,
dan penglihatannya sudah kabur. Bukanlah hal
yang mustahil bila Nona Arundell tersandung
oleh bola itu - begitu kira-kira jalan pikiran si pembunuh. Tapi, seorang
pembunuh tidak akan merencanakan suatu tindakan yang hasilnya
akan dipengaruhi oleh faktor untung-untungan.
Apa yang direncanakan itu harus terlaksana,
dengan atau tanpa faktor untung-untungan
tadi. Persiapannya akan jauh lebih teliti. Tali yang direntangkan dari sisi ke
sisi pada anak tangga paling atas akan membawa hasil yang
lebih pasti. Paling tidak, korbannya pasti akan terjungkal dan jatuh dengan
kepala di bagian bawah. Nah, kalau orang berdatangan -
penyebabnya mudah sekali terlihat: Bola Bob!"
"Ah! Itu sih keterlaluan-", seruku.
Berat sekali, Poirot menimpali,
"Benar... keterlaluan! Tapi toh usahanya tidak berhasil. Nona Arundell cuma
terluka sedikit meskipun sebetulnya bisa fatal akibatnya. Tentu si pembunuh merasa kecewa. Tapi
Nona Arundell orangnya cerdik. Semua orang
mengatakan, bola Bob-lah penyebabnya - dan
memang terbukti bola itu ada di sana pada
waktu kecelakaan itu terjadi; namun,
mengingat-ingat kejadiannya secara teliti, Nona Arundell merasa yakin bahwa
bukan bola Bob yang menyebabkan ia jatuh. Ia tidak merasa
kakinya tersandung oleh bola Bob. Ia teringat
sesuatu yang lain. Ia ingat Bob menyalak minta
dibukakan pintu, subuh keesokan harinya.
"Yang ini, terus terang, cuma dugaanku. Tapi mudah-mudahan tidak salah. Dan aku
yakin memang tak salah. Nona Arundell ingat betul
bahwa ia telah menyimpan kembali bola Bob
sore hari sebelumnya. Bob keluar semalaman,
dan tidak pulang. Jadi, bukan Bob yang menaruh
bola itu di situ." "Ah, itu toh cuma dugaanmu, Poirot?"
Poirot menyangkal. "Bukan cuma dugaanku, Kawan. Kata-kata Nona Arundell sendiri - dalam igau-nya
sebelum ia meninggal. Ia menyebut sesuatu tentang bola
Bob dan lukisan pada toples. Kau mengerti
maksudnya, bukan?" "Sama sekali tidak."
"Ellen juga tidak mengerti. Tapi aku mengerti.
Aku jadi penasaran. Itulah sebabnya aku
kembali ke Ruang Santai memeriksa guci-guci
dan toples-toples tua di situ. Ternyata benar. Di situ kudapati guci bertutup -
seperti toples memang kelihatannya -dan pada bagian luarnya
terlihat lukisan seekor anjing. Benda itu sudah kulihat sepintas sebelumnya,


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi belum kuperhatikan. Mendengar ceritera Ellen, aku
buru-buru ingin mengamatinya. Dugaanku
benar... lukisan itu menggambarkan seekor
anjing yang keluar semalaman. Kau mulai bisa
mengerti jalan pikiran perempuan tua itu,
bukan" Bob, seperti anjing dalam lukisan di guci itu, keluar semalaman. Jadi,
bukan dialah yang menaruh bolanya di situ"
Aku bukan orang yang gampang terpesona.
Tetapi, kali ini aku betul-betul terpana. Hampir berteriak, aku berkata,
"Kau memang setan, Poirot! Aku benar-benar kagum akan cara kerja otakmu. Aku
tidak berpikir sampai ke situ."
"Siapa bilang aku berpikir, Hastings" Semuanya itu fakta yang bisa dilihat oleh
siapa pun. Eh bien, sekarang kau menyadari bagaimana duduk
perkaranya, bukan" Setelah kecelakaan itu
Nona Arundell terbaring sambil terus menerus
diliputi rasa curiga, ia merasa resah.
Perasaannya mengatakan, kecurigaannya tidak
beralasan dan cuma bayangannya saja.
"'Sejak kecelakaan yang disebabkan oleh bola mainan anjing itu, saya merasa
semakin gelisah.' Itu sebabnya dia menulis surat kepadaku.
Karena nasib buruk, surat itu baru sampai
kepadaku dua bulan setelah ditulisnya.
Bukankah isi suratnya cocok benar dengan
semua fakta yang baru saja kita pelajari
"Benar," ujarku. "Memang cocok sekali" Poirot menyambung,
"Meskipun begitu, ada satu faktor yang mesti diperhatikan. Mengapa Nona Lawson
begitu bersikeras mencegah majikannya tahu Bob
keluar malam itu." "Maksudmu, kau menganggapnya..."
"Maksudku, fakta kecil itu harus diperhatikan betul-betul."
Kubolak-balik masalah itu di dalam kepalaku
sejenak. "Yah." ujarku menarik napas panjang.
"Semuanya itu memang menarik - sebagai
latihan mental, maksudku. Dan aku angkat topi
buatmu. Sobat. Rekonstruksimu begitu hebat
dan beralasan. Sayang benar perempuan tua itu
telah tiada." "Benar, sayang sekali. Dia menulis dalam
suratnya bahwa ada seseorang yang berusaha
membunuhnya, dan tak lama kemudian ia
meninggal." "Ya," komentarku pula. "Dan kau, Poirot, merasa sangat kecewa karena
meninggalnya biasa-biasa saja. Betul, kan" Oh, ayolah... akui!"
Poirot mengangkat bahu. "Atau, kaupikir dia mati diracun?" tanyaku menggoda.
Poirot menggeleng, nampaknya dengan enggan.
"Kelihatannya," ujarnya setuju dengan pernyataanku," Nona Arundell memang
meninggal karena sebab-sebab yang wajar."
"Karena itu, sekarang kita bisa pulang ke
London, kan?" "Pardon, Sobat" Kita tidak akan pulang
sekarang. Belum. Belum waktunya."
"Apa maksudmu, Poirot?" seruku.
"Kalau kepada seekor anjing kautunjukkan
seekor kelinci, Hastings - apakah kaupikir anjing itu akan pulang" Tidak. Ia
akan mengejar kelinci itu ke liangnya."
"Maksudmu?" "Anjing memburu kelinci. Hercule Poirot
memburu pembunuh. Saat ini kita dihadapkan
pada seorang pembunuh yang gagal membunuh
mangsanya. Gagal! Bagaimanapun, ia tetap
seorang pembunuh. Dan aku, Kawan, berniat
memburunya sampai ke sarangnya."
Poirot mendadak membelok masuk ke suatu
halaman. "Mau ke mana kau, Poirot?"
"Mencari sarangnya, Sobat! Ini rumah Dokter Grainger - dokter yang menangani
penyakit Nona Arundell sebelum ia mati."
Usia Dokter Grainger kira-kira enam puluhan.
Wajahnya kurus, tulang-tulangnya tajam.
Dagunya sedikit mencuat ke muka. Alis matanya
lebat, dan matanya cerdik berwarna keabu-
abuan. Ia memandangku dengan ramah, dan
kemudian kepada Poirot. "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
tanyanya. Poirot berbicara dengan cara yang teramat
menarik. "Maafkan saya, Dokter Grainger - terpaksa
mengganggu Anda seperti ini. Terus terang,
saya ke sini bukan untuk berobat."
Dengan suara kering dokter itu berkata, "Bagus.
Anda kelihatannya memang sehat-sehat."
"Maksud kedatangan saya," lanjut Poirot,
"begini. Saya sedang menyusun sebuah buku
mengenai kehidupan Jenderal Arundell
almarhum. Setahu saya, Beliau tinggal di Market Basing pada tahun-tahun terakhir
hayatnya." Dokter Grainger nampak agak terkejut.
"Ya. Jenderal Arundell memang tinggal di sini sampai saat meninggalnya.
Tepatnya, di Puri Hijau - letaknya tak jauh dari bank. Anda sudah ke sana, mungkin?" Poirot
mengangguk. "Saya sendiri tidak mengalami zaman itu. Saya baru
datang ke sini pada tahun 1919."
"Tapi Anda kenal puterinya, bukan - Nona
Arundell almarhum." "Ya. Saya kenal baik dengan Emily Arundell."
"Terus terang, saya sangat terkejut mendengar dia sudah meninggal."
"Ya. Meninggalnya belum begitu lama. Tanggal satu Mei yang lalu."
"Begitu yang saya dengar. Saya sebenarnya
sangat mengharap bisa bertemu dengannya.
Saya pikir, dia tentu bisa memberikan
keterangan yang lengkap mengenai pribadi
ayahnya, juga mengenai kenang-kenangan yang
ditinggalkannya." "Benar. Benar. Tapi, apa hubungannya saya
dengan semua itu?" Poirot bertanya, "Apakah tidak ada lagi putera atau puteri
Jenderal Arundell yang masih hidup?" "Tidak.
Semuanya sudah meninggal." "Berapa
semuanya - puteranya?" "Lima orang. Empat perempuan, satu laki-laki." "Generasi
selanjutnya?" "Charles Arundell dan adiknya, Theresa. Saya pikir Anda bisa menghubungi mereka.
Walaupun, terus terang, saya ragu Anda akan
mendapat keterangan yang Anda perlukan.
Generasi muda umumnya tidak begitu
sentimental. Jarang mereka tahu sesuatu
mengenai kakek mereka. Di samping Charles
dan Theresa, ada satu lagi. Nyonya Tanios. Tapi, darinya pun - kukira - Anda tak
akan dapat keterangan yang memuaskan."
"Mungkin mereka memiliki surat-surat penting atau dokumentasi keluarga lainnya?"
"Mungkin saja. Tapi saya ragu. Setahu saya, banyak kertas-kertas yang sudah
dibuang dan dibakar setelah Nona Arundell meninggal.
Poirot menggeram, nampaknya sangat kesal.
Dokter Grainger memperhatikannya dengan
penuh tanda tanya. "Apa sih yang menarik tentang Jenderal
Arundell - sampai Anda berniat menulis buku
mengenainya" Setahu saya, dia bukan orang
yang istimewa." "Oh," mata Poirot bersinar-sinar. "Belum pernahkah Anda mendengar peribahasa
yang mengatakan bahwa sejarah tak pernah tahu
sesuatu mengenai tokohnya yang terbesar"
Akhir-akhir ini beberapa surat kabar mulai
menyoroti 'Indian Mutiny' dari sudut yang lain.
Ada sesuatu yang masih belum terungkap
mengenai peristiwa bersejarah itu. Dalam
bagian itu Jenderal Arundell memegang
peranan penting. Sangat mengagumkan! Saat
ini, Tuan Dokter, masalah ini sedang menjadi
pusat perhatian." "Hmm, bahwa Jenderal Arundell memegang
suatu peran dalam peristiwa itu - itu memang
pernah kudengar. "Dari mana Anda mendengarnya?"
"Nona Peabody. Oh, ya - dia ada perlunya Anda hubungi. Banyak tahu mengenai
Keluarga Arundell. ia penduduk tertua di sini. Hobinya
gosip. Tapi tak ada salahnya Anda menghubungi
wanita itu." "Terima kasih. Usul Anda sangat berharga.
Mungkin Anda bisa memberikan alamat Tuan
Arundell muda... maksud saya, cucu Jenderal
Arundell?" "Charles" Oh, pemuda tak berperasaan itu.
Coba saja. Tapi kupikir sia-sia saja
menghubunginya." "Masih mudakah dia?"
"Yah, orang tua sepertiku menganggapnya
masih muda," ujar Dokter Grainger. Matanya bersinar nakal. "Usianya kurang lebih
tiga puluhan Kelihatannya anak itu cuma dilahirkan
untuk merepotkan keluarganya saja. Tak punya
tanggung jawab. Penampilan dan sikapnya
memang hebat. Sudah disekolahkan ke seluruh
penjuru dunia - tapi sia-sia juga."
"Bibinya tentu sangat menyayanginya?"
komentar Poirot. "Biasanya begitu."
"Hmmm - aku tak tahu mengenai itu. Setahuku, Emily bukan orang yang bodoh.
Charles tak pernah berhasil minta uang sepeser pun
darinya. Perempuan tua itu keras. Aku suka
padanya. Sikapnya seperti sikap prajurit sejati -
dalam segala hal. Aku sangat menghormatinya."
"Apakah Beliau meninggalnya mendadak?"
"Bisa juga dikatakan begitu. Sebetulnya,
keadaan kesehatannya sudah beberapa tahun
ini jelek. Tapi ia selalu berhasil mengatasi
serangan yang terberat sekali pun."
"Saya dengar - maafkan saya, mengulangi gosip yang saya dengar...," ujar Poirot
sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
"Nona Arundell pernah bertengkar dengan
keluarganya?" "Sebenarnya bukan bertengkar." Dokter Grainger berkata lambat-lambat. "Setahu
saya, tak pernah ada pertengkaran yang terbuka."
"Oh, maafkan saya kalau begitu."
"Tidak apa-apa," sahut Dokter Grainger. "Gosip toh milik umum."
"Saya dengar ia mewariskan kekayaannya bukan kepada keluarganya sendiri."
"Benar. Semua hartanya dia wariskan kepada pelayan pribadinya, seorang perempuan
tua yang selalu ketakutan dan tak pernah tidak
gugup. Aneh. Saya sendiri tidak bisa mengerti.
Setahu saya, sifat Emily tidak seperti itu."
"Tapi mungkin itu bisa dimengerti," ujar Poirot sambit merenung. "Nona Arundell
sudah tua dan sakit-sakitan, ia sangat tergantung pada
orang yang menolong dan merawatnya sehari-
hari. Kalau pelayan pribadinya itu pandai,
mudah sekali ia mempengaruhinya."
Kata-kata Poirot tepat mengenai sasarannya.
"Mempengaruhi Emily Arundell" Bah! Tak
mungkin! Emily selalu memperlakukan Minnie
Lawson tak lebih dari memperlakukan seekor
anjing. Lebih buruk lagi malah. Tapi itu memang sifat wanita dari generasinya.
Bagaimanapun, tak bisa kita sangkal, bahwa umumnya,
perempuan yang bekerja menjadi pelayan
pribadi itu orangnya bodoh. Kalau ia pintar,
tentu bisa mencari mata pencaharian lain yang
lebih baik. Hampir tiap tahun Emily berganti
pelayan pribadi. Tapi ingat, Emily Arundell
bukan orang yang bisa dipengaruhi oleh siapa
pun -terlebih oleh pelayan pribadinya."
Poirot tidak menyia-nyiakan kesempatan.
"Mungkin ada surat-surat atau dokumen-
dokumen keluarga yang penting yang masih
disimpan oleh Nona Lawson?"
"Mungkin saja," ujar Dokter Grainger.
"Perempuan tua umumnya suka menyimpan
barang-barang yang punya kenangan. Saya pikir,
Nona Lawson belum sempal menyortir setengah
dari barang-barang peninggalan Emily."
Poirot bangkit. "Terima kasih banyak, Dokter Grainger. Anda baik sekali."
"Jangan berterima kasih kepada saya," sahut si dokter. "Maaf saya tidak bisa
banyak membantu. Besar kemungkinan, Nona Peabody
bisa banyak memberi keterangan. Ia tinggal di
Morton Manor, kira-kira satu mil dari sini."
Poirot menghirup wangi bunga mawar yang
menghiasi meja Dokter Grainger.
"Hmmm, harumnya...," gumamnya.
"Memang. Kelihatannya begitu," komentar Dokter Grainger. "Sayang indera
penciumanku hilang beberapa tahun yang lalu. Sekarang
merokok tidak senikmat dulu rasanya." "Oh,"
ujar Poirot. "Katanya Anda punya alamat Tuan Arundell muda. Dokter?"
"Benar. Sebentar saya ambilkan," ujar Dokter Grainger sambil beranjak masuk dan
mempersilakan kami ke ruang tengah. Sesudah


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu kudengar ia berteriak, "Donaldson!"
"Donaldson patner praktek saya. Dia pasti tahu alamat mereka. Kebetulan dia
bertunangan dengan adik Charles si Theresa."
Sekali lagi Dokter Grainger berseru,
"Donaldson!" Seorang laki-laki muda muncul dari salah satu
ruangan yang terletak di bagian belakang rumah
Dokter Grainger. Perawakannya sedang.
Wajahnya agak pucat. Sikapnya agak terlalu
sempurna. Dokter Grainger menjelaskan maksud
kedatangan kami. Mendengarnya, dokter muda itu menatap kami
dengan pandangan meneliti. Sinar kekaguman
dipancarkan oleh matanya yang biru jernih.
Meskipun begitu, suaranya kering ketika ia
akhirnya berbicara. "Terus terang, saya tidak tahu di mana Charles.
Alamat Theresa bisa saya berikan. Tapi saya
ragu Theresa tahu di mana Charles."
Poirot meyakinkannya bahwa alamat Theresa
pun sudah cukup. Dokter Donaldson menuliskan suatu alamat
pada buku notesnya. Setelah itu disobeknya
lembaran yang ia tulisi, dan diserahkannya
kepada Poirot. Poirot mengucapkan terima kasih dan mohon
diri kepada kedua dokter itu. Sewaktu kami
berjalan keluar dari halamannya, aku merasa
Donaldson mengawasi kepergian kami - dengan
pandangan sedikit terkejut.
BAB 10 KUNJUNGAN KE RUMAH NONA PEABODY
"Perlukah membual semacam itu, Poirot?" ta-Poirot mengangkat bahu.
"Berbohong jangan tanggung-tanggung....
Mungkin, buat orang sesuci kau agak susah ya,
Hastings"! Buatku sih biasa-biasa saja...."
"Itu jelas terlihat," selaku.
"Maksudku, kalau toh kita terpaksa harus
berbohong - buatlah sekalian ceritera yang
menarik, romantis, dan tentu saja yang
meyakinkan!" "Apa" Kaupikir bualanmu barusan meyakinkan"
Aku sangsi si Donaldson percaya."
"Hm, laki-laki muda itu memang agak teliti,"
kata Poirot mengiyakan. "Menurut penglihatanku, dia pencuriga,"
tambahku. "Apa alasannya dia mencurigai kita" Di dunia ini si Dungu boleh saja menuliskan
kisah hidup si Dungu lainnya. Itu sudah bukan hal yang aneh."
"Oh. baru sekarang kudengar kau menyebut
dirimu dungu," ucapku meringis.
"Eh, apa salahnya" Semua orang bisa berperan sebagai orang lain. Mengapa aku
tidak?" sambut Poirot dungu. "Sayang kau menganggap fiksiku barusan kurang meyakinkan
Hastings. Terus terang, aku sendiri cukup puas
dengannya." "Apa yang akan kita perbuat sekarang" tanyaku
"Gampang sekali. Kita kembali ke Austin-mu, lalu pergi ke Morton Manor."
Morton Manor ternyata sebuah rumah
peninggalan zaman Victoria Penampilannya
buruk tidak terawat. Kami diterima oleh
seorang jongos. Laki-laki tua itu nampak ragu-
ragu. Ia menanyakan apakah kami sudah punya
janji untuk bertemu dengan majikannya.
"Katakan kepada Nona Peabody, bahwa kami
datang dari tempat Dokter Grainger," ujar
Poirot. Beberapa saat kami menanti, dan keluarlah
seorang perempuan gemuk Rambutnya tipis,
terbelah rapi di tengah tengah Gaun yang
dikenakannya terbuat dari bahan beledu warna
hitam. Di sana-sini permukaannya tampak
sudah gundul. Selapis renda halus yang sangat
indah dilekatkan di sekeliling leher gaunnya
dengan menggunakan bros Dia menghampiri kami dengan mengerjap-
ngerjapkan mata. Rupanya, untuk memperjelas
penglihatannya Kalimat pertama yang
diucapkannya agak mengejutkan.
"Jual barang, ya?"
"Tidak, Madame" Poirot berkata.
"Sungguh?" "Tentu saja sungguh."
"Bukannya jualan vakum?"
"Jualan stocking, mungkin?" "Tidak." "Karpet?"
"Tidak." "Oh, baiklah," ujar wanita itu akhirnya, sambil mendudukkan dirinya pada sebuah
kursi. "Silakan duduk."
Perintahnya dengan patuh kami turuti.
"Maafkan aku bertanya-tanya begitu,"
nampaknya ia merasa agak bersalah. "Aku harus berhati-hati. Pelayan sering tidak
bisa membedakan. Tapi, yah... mereka juga tidak
bisa disalahkan. Suara sopan, baju bagus, nama
mentereng... mana mereka bisa membedakan"
Komandan Ridgeway. Tuan Scot Edgerton.
Kapten D'Arcy Fitzherbert. Wajahnya sopan-
sopan dan mempesona. Tapi, belum sempat
tahu siapa dia, tahu-tahu dia sudah
mendemonstrasikan mesin pembuat krem-lah,
inilah, itulah...." Penuh perhatian, dan dengan sikap yang sangat
sopan, Poirot berkata, "Percayalah, Madame- maksud kedatangan
kami sama sekali bukan seperti itu."
"Yah... yang penting Anda tahu bahwa ada
orang-orang yang begitu," ujar Nona Peabody.
Poirot memulai kisahnya. Nona Peabody
mendengarkan tanpa komentar. Sebentar-
sebentar matanya yang kecil itu berkedip-kedip.
Setelah selesai kisah Poirot, ia berkata,
"Mau menulis buku, he?"
"Ya." "Bahasa Inggris" "Tentu."
"Tapi, Anda orang asing, bukan" Oh - ayolah, terus terang saja! Anda orang
asing, kan?" Wanita itu kini memperhatikan diriku. "Anda sekretarisnya?"
"Ee - ya," jawabku ragu-ragu.
"Bisa menulis dengan bahasa Inggris bagus?"
"Mudah-mudahan."
"Hmm - di mana sekolahnya dulu?" "Eton."
"Hmm - kalau begitu tak mungkin bisa
berbahasa Inggris benar."
Terpaksa aku tidak mengomentari
penghinaannya, karena wanita itu sudah
berpaling kembali kepada Poirot.
Mau menulis kisah hidup jenderal Arundell he?"
"Benar. Anda mengenal Beliau?"
"Ya. Aku kenal John Arundell. Pemabok
orangnya!" Sejenak suasana hening Kemudian, Nona
Peabo-dy melanjutkan -Suaranya riang.
"Indian Mutiny, he" Apa perlunya diungkit-
ungkit, yah itu urusan Anda sendiri."
"Tahukah Anda Madame bahwa ada musimnya
orang menyorot babak tertentu sejarah" Saat
ini India sedang menjadi topiknya."
"Ada benarnya yang Anda bilang itu. Segala sesuatu memang hilang timbul - hilang
timbul. Ambil contoh model baju. Yang dulu sekati
pernah jadi model kegemaran orang sekarang
digemari lagi setelah tak pernah kedengaran
kabarnya selama bertahun-tahun." Nona
Peabody berhenti bicara. Ditatapnya Poirot
lekat-lekat Nah apa yang ingin Anda tanyakan?"
"Apa saja! Sejarah keluarga Gosip. Kehidupan rumah tangga... semua yang Anda
ketahui tentang keluarga Arundell."
Soal India aku tak pernah tahu," ujar Nona Peabody. "Terus terang, aku kurang
tertarik mendengarkan ceriteranya mengenai India.
Membosankan! Jenderal Arundell itu orangnya
bodoh sebenarnya. Tapi bukan berarti ia bukan
jenderal yang baik. Kerap kudengar, memang,
kepandaian tak banyak artinya dalam
kemiliteran. Ayahku bilang begini, 'Mau naik
pangkat" Cukup dengarkan segala yang
dikatakan isteri Kolonel - dan patuhi perintah
atasan. Itu sudah cukup!'"
Tak punya maksud meremehkan teorinya itu,
Poirot berdiam diri dulu sebelum berkata,
"Anda kenal Keluarga Arundell secara intim, bukan?"
"Yah - aku kenal mereka semua," jawab Nona Peabody. "Matilda. Ia anak sulung
Jenderal Arundell. Orangnya menarik sekali Sering
mengajar di Sekolah Minggu. Lalu Emily - dia
anggun sekali kalau duduk di punggung kuda
Dia satu-satunya yang bisa melayani ayahnya ka
au sedang kumat. Bergerobak gerobak botol
kosong dikeluarkan dari rumah itu dan dikubur
pada malam hari. Lalu -siapa berikutnya"
Tunggu Arabella, atau Thomas" Thomas,
kupikir. Kasihan anak laki-laki itu. Sendirian di antara empat saudara
perempuan. Jadinya ia tolol. Sifatnya malah seperti perempuan tua.
Tak kira dia bisa kawin, Kaget waktu dengar dia kawin."
Nona Peabody berdecak. Kelihatan sekali ia senang berceritera seperti
itu. Ia hampir lupa bahwa kami ada di situ
mendengarkan ceriteranya. Ia benar-benar
terbuai dan terseret kembali ke zaman
mudanya dulu. "Lalu Arabella. Sederhana. Mirip kue bantat.
Meskipun begitu ia juga kawin Suaminya
profesor di Cambridge Sudah agak tua
Enampuluhan kalau tak salah, waktu mereka
kawin. Pernah memberi kuliah di sini - kalau tak salah, mengenai keajaiban kimia
modern. Aku selalu mendengarkan kuliahnya. Aku ingat
benar. Bicaranya takjelas. Berewokan. Hampir
tak sepatah kata pun bisa kutangkap. Arabella
selalu duduk di belakang. Dia sering bertanya.
Waktu itu Arabella sudah cukup tua juga. Tiga
puluhan, kalau tak salah. Mereka sudah
meninggal dua-duanya. Perkawinan mereka
kelihatannya cukup bahagia. Orang bilang
mengawini gadis yang sederhana itu ada
untungnya: langsung tahu kejelekannya, dan
umumnya tak suka mengkhayal. Setelah itu
Agnes. Dia yang bungsu. Paling cantik di antara saudara-saudaranya. Orangnya
periang. Aneh takjuga dapat jodoh. Padahal orang mengira
dialah yang akan laku paling cepat. Nyatanya,
dia malah tak pernah kawin sama sekali. Dia
meninggal tidak lama setelah perang selesai."
Poirot bergumam, "Anda bilang, Madame - perkawinan Tuan
Thomas tidak diduga-duga?"
Sekali lagi terdengar wanita itu berdecak.
"Tak terduga-duga. Begitu memang! Skandal
sembilan puluh hari! Tak sangka Thomas bisa
begitu. Orangnya pendiam, patuh, betah tinggal
di rumah, dan sayang sama saudara!"
Sejenak Nona Peabody diam.
"Ingat ceritera yang menghebohkan sekitar
tahun 1900-an" Tentang seorang perempuan -
Nyonya Varley. Dia dituduh membunuh
suaminya, meracuni dengan arsenik - kalau aku
tak salah. Sempat disidangkan. Tapi akhirnya ia dibebaskan dari tuduhan itu. Nah
- si Thomas ini begitu tergila-gilanya pada perempuan itu.
Semua majalah dan surat kabar yang memuat
berita mengenai perempuan itu dibacanya.
Bukan itu saja. Ia juga mengguntingi foto-foto
wanita itu dan menyimpannya. Tahu apa yang
dilakukan Thomas setelah wanita itu
dibebaskan" Dia pergi ke London -melamarnya.
Thomas, si pendiam itu ... Oh, orang tak sangka.
Tapi laki-laki memang begitu - susah diramal!"
"Apa yang terjadi setelahnya?"
"Perempuan itu menerima lamarannya, dan
mereka kawin." "Bagaimana saudara-saudaranya" Tentunya
mereka sangat kaget?"
"Tentu saja. Dan mereka tidak mau menerima perempuan itu. Thomas sangat
terpukul- Dia kemudian meninggalkan Market Basing.
Kabarnya dia lalu menetap di Kepulauan
Channel. Sejak itu tak pernah lagi kedengaran
beritanya. Orang tak pernah tahu apakah
perempuan itu benar membunuh suami
pertamanya. yang jelas, Thomas tidak
dibunuhnya. Thomas meninggal tiga tahun
setelah isterinya meninggal. Mereka punya dua
anak: laki-laki dan perempuan. Pasangan yang
cantik sekali - seperti ibunya."
"Apakah mereka sering menjenguk bibinya?"
"Setelah orang tuanya meninggal, ya. Sebelum itu mereka masih sekolah. Emily,


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara itu sudah hidup sendirian di sini. Kedua anak itu,
dan Bella -merupakan sisa-sisa keturunan
keluarganya yang masih ada."
"Bella?" "Ya. Bella Biggs. Anak Arabella. Agak pandir anak itu. Lebih tua beberapa tahun
daripada Theresa. Ia kawin dengan orang asing yang
ditemuinya di kampus. Orang Yunani. Dokter.
Jelek rupanya - tapi sikapnya cukup
menyenangkan. Kasihan sebenarnya si Bella itu.
Kurang mendapat kesempatan mengenal anak
muda lainnya. Ia terlalu sibuk membantu
ayahnya di laboratorium, dan juga merawat
ibunya. Orang asing itu satu-satunya pria yang
pernah menarik perhatiannya..."
"Bahagiakah perkawinan mereka?"
"Kelihatannya cukup bahagia. Mereka punya
dua anak. Tinggal di Smyrna sekarang."
"Tapi, saya dengar, mereka sedang berada di Inggris pada saat ini."
"Ya. Mereka datang bulan Maret yang lalu.
Kupikir tak akan lama lagi mereka tinggal di
sini." "Apakah Nona Emily Arundell menyayanginya?"
"Bella" Oh - biasa-biasa saja. Bella bukan perempuan yang gemerlap. Semua
perhatiannya dicurahkan kepada anak-anaknya,
dan rumah tangganya."
"Apakah Nona Emily Arundell menyetujui
perkawinan mereka?" Nona Peabody berdecak.
"Sebetulnya Emily tidak setuju. Tapi kupikir, akhirnya ia agak menyukai juga
bajingan itu. Pintar orangnya. Dan perlakuannya terhadap
Emily sangat manis. Mata duitan, itu jelas."
Poirot berdehem. "Saya dengar Nona Arundell sangat kaya ketika meninggal."
Nona Peabody mengenakkan posisi duduknya.
"Itulah yang jadi masalah! Orang tak sangka dia sekaya itu. Begini ceriteranya.
Jenderal Arundell meninggalkan warisan yang menghasilkan
pendapatan bulanan yang lumayan bagi anak-
anaknya. Sebagian penghasilan yang didapat ditanamkan
kembali. Penanaman ini boleh dibilang berhasil
Mereka punya saham di Mortland. Waktu
kawin, Thomas dan Arabella sudah mengambil
bagian mereka. Tapi tiga yang lainnya tetap di
sini. Hidup mereka sederhana. Kupikir,
sepersepuluh penghasilan mereka pun tak habis
mereka makan setiap bulannya. Selebihnya,
mereka tanamkan kembali. Waktu Matilda
meninggal, bagiannya dibagi dua untuk Emily
dan Agnes. Dan waktu Agnes meninggal,
semuanya jadi milik Emily. Emily meneruskan
pola hidupnya yang sederhana. Sebagian besar
penghasilannya ia tanamkan kembali. Begitu
seterusnya. Al hasil... ia meninggal sebagai
wanita yang kaya raya; dan si Lawson mewarisi
semuanya itu!" Nona Peabody mengucapkan kalimat terakhir
itu begitu rupa, seolah menunjukkan bahwa
itulah klimaksnya. "Apakah Anda juga terkejut mengetahuinya,
Nona Peabody?" "Terus terang, ya. Emily selalu mengatakan bahwa bila ia meninggal kekayaannya
akan dibagi tiga untuk ketiga kemenakannya -
setelah, tentu saja dikurangi dulu untuk kasih
tanda jasa sama pembantu-pembantu setianya.
Surat wasiatnya yang mula-mula memang
begitu isinya. Hmmm - wajar saja bila terjadi
kehebohan sewaktu surat wasiatnya dibacakan,
dan ternyata Lawson yang menjadi ahli waris
tunggalnya." "Apakah surat wasiatnya itu belum lama
dibuatnya?" Nona Peabody menatap tajam wajah Poirot.
"Maksud Anda - Emily dipengaruhi orang.
Begitu" Tidak mungkin! Dan lagi, Lawson bukan
orangnya. Dia perempuan bodoh. Tak mungkin
berani coba-coba ke arah situ. Terus terang, dia sendiri kaget sekali mengetahui
isi surat wasiat Emily - begitu, katanya."
Poirot tersenyum mendengar embel-embelnya.
"Surat wasiat itu dibuat sepuluh hari sebelum Emily meninggal," lanjut Nona
Peabody. "Pengacaranya mengatakan - semuanya sah!
Yah -mungkin saja!" "Maksud Anda?" Poirot beringsut. Wajahnya serius.
"Permainan bawah tangan - begitu pikirku," ujar Nona Peabody. "Pokoknya, lihat
saja. Pasti ada yang tidak benar." "Anda tahu pasti?"
"Yah - aku tak tahu. Mana aku tahu di mana letak permainannya. Aku bukan orang
hukum. Tapi ada yang aneh dalam kasus ini.
Percayalah!" Perlahan-lahan Poirot berkata,
"Apakah sudah dicoha mendebat isi surat
wasiat itu?" "Kelihatannya Theresa sudah menghubungi
pengacara. Tapi, sembilan dari sepuluh
pengacara dapat dipastikan menganjurkan -
jangan! Aku sendiri pernah begitu. Lima
penasihat hukum mengatakan 'jangan' - tapi
aku toh tetap maju dan buktinya aku menang!"
Nona Peabody berdecak. Wajahnya berseri-seri.
"Tentunya timbul perasaan tak enak antara
Nona Lawson dan kemenakan Nona Arundell?"
"Mau apa lagi. Manusia ya begitu itu. Anda toh sudah tahu sendiri. Kematian
selalu menimbulkan perselisihan...."
Poirot menghela napas panjang.
"Benar, Madame."
"Begitulah manusia."
Poirot beralih pada subyek yang lain.
"Benarkah Nona Arundell itu pengikut aliran spiritual?"
Sekali lagi, Nona Peabody menatap Poirot lekat-
lekat. "Kalau Anda berpikir arwah almarhum Jenderal Arundell datang menyuruh Emily
mengubah surat wasiatnya supaya semua kekayaannya
jatuh ke si Lawson; lalu Emily menurutinya...
Anda salah besar!" ujar Nona Peabody. "Emily bukan orang bodoh. Ia menganggap
spiritualisme sedikit lebih menarik dibandingkan dengan permainan kartu. Cuma
itu. Sudah ketemu Nona Tripp?" "Kalau ketemu mereka, Anda akan tahu dimana letak kebodohannya. Menjengkelkan
sekali. Kerjanya menyampai-nyampaikan pesan dari
orang mati. Isi pesannya tak pernah masuk akal.
Mereka itu begitu percayanya. Minnie Lawson
juga. Yah -bagiku, kegiatan macam itu tak lebih dari pelewat waktu senggang
saja." Poirot mencoba mengalihkan ke subyek yang
lain lagi. "Mungkin Anda kenal dengan Charles Arundell"
Bagaimana dia?" "Tidak bagus! Menarik memang. Tak pernah tak bangkrut. Utang dibikinnya di mana-
mana. Dia pandai mendekati perempuan. Aku kenal
banyak laki-laki semacamnya! Jadi aku tahu!
Lucu -Thomas bisa punya anak seperti itu. Betul-betul berlawanan. Tak mengerti
siapa yang menurunkan sifat jelek seperti itu! Meskipun
begitu - aku suka pada bajingan itu. Suka, tapi aku tak keberatan menarik suatu
pendapat mengenai anak itu: ia tega membunuh
neneknya sendiri demi uang Sepeser. Tak punya
moral - anak itu. Aku tak mengerti... bagaimana orang bisa dilahirkan tanpa
moral begitu itu..."
"Dan adiknya?" "Theresa?" Nona Peabody menggeleng-geleng.
Perlahan ia berkata. Aku tidak tahu. Orangnya
sangat eksotis. Tidak seperti orang biasa.
Tunangan dengan Dokter Donaldson, kudengar.
Huh, laki-laki pendiam dan sentimental....
Emmm, sudah ketemu Donaldson?"
"Dokter Donaldson, maksud Anda?"
"Betul. Orang bilang dia dokter yang pandai.
Meskipun begitu aku tak akan pilih laki-laki
macam dia kalau aku jadi Theresa. Tapi Theresa
sudah dewasa- Ia harus tahu pikiran dan
keinginannya sendiri. Aku percaya ia sudah
berpengalaman." "Pernahkah Dokter Donaldson merawat Nona
Arundell?" "Kadang-kadang, kalau Dokter Grainger cuti."
"Dan pada waktu sakitnya yang terakhir?"
"Kurasa tak pernah."
Sambil tersenyum Poirot berkata,
"Kelihatannya, Nona Peabody, Anda ragu akan kepandaian Dokter muda itu?"
"Aku tak pernah bilang begitu. Dugaan Anda salah! Lelaki itu cerdas dan pandai.
Cuma kebetulan saja caranya mengobati orang
berbeda dengan cara yang baik menurut
pendapatku. Kita ambil contoh. Dulu, kalau anak kecil kebanyakan makan apel
hijau dan mabok. Dokter akan mengatakan bahwa anak itu
memang mabok apel hijau. Dokter itu akan
memberinya obat. Nah, lain lagi dokter
sekarang, ia tak akan menyebut si anak mabok
apel hijau. Yang dia katakan, si anak menderita gejala acidosis -dietnya mesti
diperhatikan - ia memberi si anak obat. pil putih kecil-kecil yang halus
buatannya tapi harganya tiga kali lipat
harga pil yang sama dengan yang diberikan
dokter tua. a n vak ibu-ibu muda lebih menyukai dokter yang begitu.
Kedengarannya lebih mengenakkan. Tapi, laki laki muda itu tak akan
lama lagi tinggal di sini. Cita-citanya ke London, Mengambil spesialisasi."
"Tahukah Anda. bidang spesialisasi mana yang diminatinya?"
Pengobatan Serum, kalau aku tak salah.
Maksudnya begini menyelidiki zat-zat apa saja
yang bisa disuntikkan ke tubuh orang sehat
supaya orang itu kebal terhadap sesuatu
penyakit tertentu. Aku sendiri belum pernah
mencobanya." Apakah Dokter Donaldson sedang melakukan
eksperimen untuk suatu jenis penyakit tertentu
sekarang ini?" "Jangan tanyai aku. Aku cuma tahu - dia merasa kurang bila ia cuma jadi dokter
praktek umum. Dia ingin mengembangkan karirnya di London.
Tapi untuk itu ia perlu uang. Padahal dia
orangnya miskin sekali."
Poirot bergumam. "Sayang sekali. Memang banyak terjadi suatu kepandaian tidak bisa dikembangkan
cuma gara-gara tidak tersedianya biaya. padahal. ada orang yang tak habis memakan
sepersepuluh penghasilannya." "Seperti Emily Arundell," komentar Nona Peabody. "Orang terkejut - waktu surat
wasiatnya dibacakan - bukan cuma karena tahu
siapa ahli warisnya. Tapi, juga mengetahui
jumlahnya yang sebegitu banyak."
"Menurut pendapat Anda, apakah keluarga
Nona Arundell sendiri terkejut mengetahui
besarnya warisan itu?"
"Itulah," ujar Nona Peabody. Matanya bersinar-sinar. "Aku tak bisa bilang ya
atau tidak. Tapi, menurutku, salah satu di antara mereka pasti
bisa mengira-ngira."
"Yang mana?" "Tuan Charles, tentu saja. Dia pasti sudah membuat perhitungan sendiri. Ingat,
Charles bukan orang bodoh." "Tidak bodoh, cuma sedikit liar?"
"Yang jelas tidak membosankan macam si
Donaldson." Sejenak wanita itu diam. Lalu tanyanya,
"Mau menemuinya?"
"Itu memang maksud saya," jawab Poirot kalem. "Saya pikir, mungkin dia masih
menyimpan surat-surat mengenai kakeknya...."
"Hmm, lebih besar kemungkinannya anak muda itu sudah membakarnya. Charles sama
sekali tak punya rasa hormat terhadap generasi
tuanya." "Yah, tak ada salahnya dicoba," komentar Poirot. "Orang harus mencoba semua
jalan yang mungkin ditempuh."
"Memang," ujar Nona Peabody kering.
Kerling mata perempuan itu rupanya Poirot
merasa tidak enak. Ia bangkit.
"Saya tak akan menyita waktu Anda lebih lama lagi, Madame, Terima kasih banyak
atas informasi yang telah Anda berikan."
"Kurasa, aku sudah memberikan selengkapnya -
meskipun, agak terlalu menyimpang dari Indian
Mutiny, bukan?" "Kasih kabar kalau bukunya sudah terbit,"
pesannya sebelum kami meninggalkannya.
Setelah itu kudengar jelas decak perempuan itu.
Decak khas seorang wanita zaman victoria yang
anggak. BAB 11 BERKUNJUNG KE GUBUK NONA TRIPP
"Sekarang," ucap Poirot sewaktu kami masuk ke mobil, "apa yang akan kita


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakukan?" Ingat pengalaman sebelumnya, aku tidak lagi
mengusulkan pulang ke London. Sebaliknya, aku
mengusulkan agar kami cari warung, dan
minum teh sebentar. Poirot menggerutu. "Dasar orang Inggris. Tak hidup kalau tak ada teh! Tidak, mon ami. Bukan
waktunya. Belum. Ini sudah jam setengah enam. Beberapa hari
yang lalu aku membaca sebuah buku etika.
Katanya, bertamu tak boleh melebihi jam enam
sore. Kita masih punya setengah jam sekarang.
Sebaiknya kita selesaikan dulu tugas kita."
"Bukan main!" komentarku. "Dan, siapa kali ini yang akan kita kunjungi?"
"Les demoiselles[nona-nona] Tripp."
"Alasanmu sekarang: tetap sebagai penulis
kisah hidup Jenderal Arundell" Atau ganti
menjadi penulis tentang Spiritualisme?"
"Jauh lebih sederhana dari yang kauduga,
Kawan. Tapi kita mesti cari informasi dulu di
mana alamat mereka."
Tak banyak kesulitan yang kami hadapi
mencarinya. Tempat tinggal kakak beradik Tripp
ternyata sebuah gubuk mungil yang sangat unik.
Begitu unik dan kunonya - sampai kupikir tinggal menunggu waktu robohnya saja.
Seorang anak berusia tiga belas atau empat
belasan membukakan pintu. Dengan susah
payah ia minggir merapatkan diri ke dinding
memberi jalan kami masuk.
Bagian dalam gubuk itu terbuat dari kayu jati
tua. Sebuah perapian tua nampak mendominasi
ruangan yang sempit itu. Jendelanya kecil sekali.
Perabotannya dibuat sangat sederhana -
sekedar bisa dipergunakan. Nampak buah-
buahan tersusun pada beberapa mangkuk buah.
Sementara itu di sana-sini tergantung potret
dua orang perempuan dalam berbagai pose.
Ada yang sedang mendekap seikat bunga, ada
yang sedang memakai topi lebar.
Anak yang menerima kedatangan kami
menggumamkan sesuatu ketika meninggalkan
ruang tamu. Namun, tak lama kemudian
terdengar suaranya cukup nyaring di loteng.
"Ada tamu, Non!"
Terdengar suara perempuan berbicara, dan
dengan diiringi suara gemerisik dan
gemerincing, seorang wanita terlihat turun.
Usianya sudah mendekati lima puluhan.
Rambut-nya dibelah di tengah model Madona.
Matanya coklat dan sedikit cekung. Gaunnya
dari bahan muslin bercorak ramai.
Poirot melangkah mendekatinya, dan dengan
lancarnya mulai berbicara.
"Maafkan saya mengganggu Anda,
Mademoiselle. Saya datang ke Market Basing ini
mencari teman saya. Tapi rupanya ia sudah
pindah. Saya tanya orang dijalan. Katanya Anda
pasti bisa memberikan alamatnya."
"Oh. Siapa teman Anda itu?"
"Nona Lawson." "Ooo... Minnie Lawson" Tentu saja saya tahu alamatnya. Dia teman baik kami.
Silakan duduk, Tuan..." "Parotti, nama saya. Dan ini kawan saya. Kapten Hastings."
Nona Tripp mengangguk kepadaku, lalu
menyibukkan diri. "Silakan duduk di sini. Saya lebih suka kursi bersandaran tegak. Sudah enak
duduknya" Oh, Minnie Lawson.... Oh, ini dia adik saya."
Terdengar lagi suara gemerisik dan gemerincing
ketika di tangga terlihat seorang wanita lain
turun. Gaunnya berwarna hijau cerah - lebih
cocok dikenakan oleh remaja belasan tahun.
"Adik saya - Isabel. Isabel, ini Tuan - eh. Parrot, dan temannya, Kapten
Hawkins," Perempuan yang pertama tadi berkata memperkenalkan.
"Tahukah, kau, Isabel?" tambahnya. "Tuan-tuan ini ternyata temannya Minnie
Lawson." Nona Isabel Tripp tidak semontok kakaknya.
Perempuan yang satu ini malah bisa dikatakan
kurus. Rambutnya berwarna terang dan
kelihatannya dikeriting. Sikapnya agak kekanak-
kanakan, dan dengan mudah bisa dikenali
sebagai model foto-foto gadis yang berpose
membawa bunga. Ia bertepuk tangan
kegirangan seperti anak kecil.
"Oh, Minnie Lawson" Anda ketemu dia baru-
baru ini" Bagaimana kabarnya dia?"
"Sudah bertahun-tahun saya tak jumpa
dengannya," ujar Poirot. "Kami saling kehilangan jejak. Saya baru pulang dari
perjalanan jauh. Itulah sebabnya saya sangat
terkejut dan girang bukan buatan mendangar
nasib baik yang dialaminya."
"Benar. Minnie memang berhak mendapat
rejeki. Minnie - oh, orangnya - oh, jarang ada
orang seperti dia. Sederhana... tulus..."
"Julia," seru Isabel tiba-tiba.
"Bukan main. Ingatkah kau huruf P yang
semalam kita lihat di papan jaelangkung kita"
Tamu dari seberang... dan initialnya P."
"Oh, ya- betul." Julia menjawab.
Kedua perempuan itu memandangi Poirot
seperti tidak percaya. "Sama sekali tidak pernah salah," kata Julia lembut. "Apakah Anda juga tertarik
pada keajaiban ini, Tuan Parrot?"
"Pengalaman saya masih sedikit, Mademoiselle.
Tapi seperti orang lain yang pernah tinggal di
negara-negara di Timur sana, saya pun
mengakui adanya hal-hal yang tak dapat
dijelaskan di alam ini."
"Benar," ujar Julia. "Tepat sekali."
"Hmmm... Negeri Timur," gumam Isabel.
"Daerah asal mistis dan okultis."
Perjalanan Poirot ke Timur, setahuku, cuma
sampai ke Siria dan dilanjutkan ke Irak.
Iramanya tidak lebih dari seminggu atau dua
minggu. Mendengar kata-katanya barusan, aku
yakin orang mengira ia sudah bertahun-tahun
hidup mengembara di hutan belantara bersama
sesama pengikut aliran mistis.
Dari penelitianku selama duduk di situ, dapat
kupastikan kedua tuan rumah kami itu
vegetans. Juga, bahwa mereka itu penganut
teosofi, suka mempelajari berbagai bangsa:
Inggris. Israel, serta mempelajari ajaran Kristen, spiritual. Mereka juga
fotographer amatir kelihatannya. "Kadang-kadang orang merasa," Julia berkata sambil berdesah, "Market Basing ini
bukan tempat yang ideal buat hidup Tak punya
keindahan - dan tak punya jiwa. Bukankah
setiap manusia memerlukan jiwa buat bisa
hidup, Kapten Hawkins?"
"Ya," sahutku malu-malu. "Itu memang benar."
"Tak punya imajinasi, orang akan mati," kutip Isabel. "Sering saya berusaha
untuk mendiskusikannya dengan Bapak Pendeta. Tapi
pandangan Beliau rasanya terlalu sempit.
Bagaimana pandangan Anda, Tuan Parrot.
Bukankah setiap kepercayaan itu membuat
orang cenderung berpikir sempit?"
"Padahal segala sesuatu itu sesungguhnya
sangat sederhana," sela Julia. "Semua orang pada dasarnya sudah tahu, bahwa
segala sesuatu itu tak lain daripada kebahagiaan dan
cinta kasih." "Benar, benar!" ujar Poirot. "Sayangnya manusia masih sering berselisih paham
dan bertengkar -lebih-lebih kalau berurusan dengan
uang." "Uang itu kotor," cela Julia.
"Nona Arundell almarhum juga pengikut aliran Anda?"
Kedua kakak beradik itu saling pandang.
"Saya tidak tahu," kata Isabel.
"Terus terang, kami tak pernah merasa yakin akan hal itu," sambung julia.
"Kadang-kadang kelihatannya dia itu percaya... tapi kata-katanya selalu
mencemooh, meremehkan."
"Ah, tapi ingatkah kau saat terakhir itu" Benar-benar menakjubkan." Sambil
berpaling kepada Poirot, Isabel melanjutkan. "Malam itu malam pertama Nona
Arundell jatuh sakit. Kami sedang
berkunjung ke Puri Hijau, dan duduk-duduk di
ruang gelap bersama-sama. Kami berempat
waktu itu: Nona Arundell, Minnie Lawson, dan
kami berdua. Kami - maksud saya Minnie dan
kami berdua menyaksikan pemandangan yang
sangat menakjubkan. Di atas kepala Nona
Arundell nampak kepulan asap berwarna terang
membentuk semacam lingkaran suci."
"Bercahaya?" "Yah... asapnya memang seperti bercahaya.
kan?" tanya Julia kepada Isabel.
"Benar'. Tepat! Perlahan-lahan... sedikit demi sedikit... asap itu mengepul di
atas kepala Nona Arundell. Itu suatu pertanda - bahwa ia akan
pindah ke alam yang lain."
"Bukan main," ujar Poirot dengan nada kagum.
"Jadi ketika itu Anda sedang duduk-duduk di ruang gelap, bukan?"
"Ya. Jaelangkung kami hasilnya lebih bagus kalau dibuat di tempat gelap. Malam
itu udara hangat. Jadi perapian pun tidak dinyalakan."
"Ada roh yang datang dan berbicara kepada
kami waktu itu," lanjut Isabel.
"Namanya Fatima. Katanya, ia mau pada zaman para nabi. Pesannya indah sekali.'"
"Roh itu benar-benar berbicara"'
"Tidak dengan mulut seperti kita. Bicaranya melalui ketukan-ketukan. Cinta,
harapan, hidup -Oh, semua pesannya itu begitu indah."
"Nona Arundell betul-betul sakit sesudahnya?"
Poirot bertanya. "Ya. Sesudahnya. Saya ingat. Waktu itu
dihidangkan anggur dan kue-kue. Nona Arundell
tak mau makan apa-apa. Katanya tidak enak
badan. Itu memang permulaan sakitnya.
Untunglah, ia tidak terlalu lama menderita."
"Ya. Nona Arundell meninggal empat hari
setelahnya," .sambung Isabel.
"Malahan sudah ada pesan-pesannya yang
disampaikan kepada kami," Julia berkata
bersemangat. "Katanya ia sangat berbahagia.
Semuanya indah, dan harapannya - damai
menyertai orang-orang yang dicintainya."
Poirot berdehem. "Padahal - eh, yang terjadi justru sebaliknya,
"Kemenakannya memperlakukan Minnie
keterlaluan sekali. Kasihan Minnie," komentar Isabel. Wajahnya merah padam
menunjukkan perasaan marahnya. "Padahal Minnie itu orangnya baik - tidak
materialistis sama sekali," tambah Julia.
"Banyak orang yang menuduhnya sembarangan.
Katanya Minnie sengaja mendalangi permainan
kotor itu - hingga Nona Arundell terpaksa
mewariskan semua kekayaannya kepadanya."
"Padahal dia sendiri terkejut...."
"ia tidak percaya waktu surat wasiat itu
dibacakan oleh penasihat hukum Nona
Arundell...." "Ia sendiri berkata kepada kami. 'Julia,' katanya,
'aku benar-benar tak bisa percaya. Bayangkan -
semuanya diwariskan kepadaku setelah
dipotong sedikit untuk membagi-bagi tanda jasa
kepada pelayan setianya.' Minnie sangat
terharu. Ia hampir-hampir tak kuasa bicara.
Setelah beberapa saat ia baru bisa bertanya -
berapa jumlah warisan yang diberikan
kepadanya. Dipikirnya cuma beberapa ribu
pound saja. Nyatanya tiga ratus tujuh puluh
lima ribu pound. Begitu kata penasihat hukum
Nona Arundell setelah menjelaskan panjang
lebar dari mana asal semua uang itu. Minnie
hampir saja pingsan - begitu katanya."
"Ia sama sekali tidak pernah membayangkan,"
cetus Isabel. "Ia tidak pernah berpikir nasib semacam itu akan dialaminya."
"Jadi begitu ceriteranya kepada Anda?"
"Ya. Ia berulang-ulang menceriterakan
pengalamannya itu. Makanya --saya pikir -
sungguh tak patut Arundell-Arundell muda itu
bersikap seperti itu kepada Minnie. Menuduh,
mencurigai... Ini kan negara merdeka...."
Poirot menggumamkan sesuatu.
"Orang toh bebas mewariskan uangnya kepada siapa saja yang disukainya"! Nona
Arundell orangnya memang sangat bijaksana. Kelihatan
sekali wanita tua itu tidak percaya kepada
keluarganya sendiri. Dan itu beralasan."
"Ah," Poirot berkata penuh antusias. "Benarkah begitu?"
Perhatiannya yang serius itu mendorong Isabel
lebih bernapsu mengisahkan ceriteranya.
"Tentu saja benar. Tuan Charles Arundell - dia itu kemenakan Nona Arundell -
orangnya betul-betul tidak terpuji. Semua orang tahu itu. Kalau tak salah, ia


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malah dikejar-kejar polisi di negeri asing. Sifatnya tak bisa dibanggakan.
Adiknya - yah, terus terang saya belum pernah bicara
sendiri dengan gadis itu. Tapi rupanya aneh,
Tuan. Aneh sekali. Dia itu gadis ultra modern.
Make-upnya selalu tebal. Melihat warna
bibirnya, saya jadi mual rasanya. Merah -
seperti darah segar. Saya pikir gadis itu sudah kena pengaruh ganja pula...
sikapnya tidak wajar. Dengar-dengar ia tunangan dengan
dokter muda Donaldson. Tapi Donaldson pun
rupanya sering merasa jijik melihatnya.
Memang dia menarik. Tapi... oh, mudah-
mudahan dokter muda itu cepat sadar.
Donaldson harusnya dapat isteri yang baik-baik.
Gadis desa yang patuh dan menyukai alam."
"Adakah sanak keluarga Nona Arundell yang lain lagi?"
"Yang satu ini juga, Tuan - kurang bisa
dibanggakan. Bukannya saya menjelek-jelekkan
Nyonya Tanios. Oh, orangnya sih sangat baik.
Tetapi bodohnya minta ampun. Ia betul-betul
dikuasai suaminya. Suaminya orang Turki, kalau
tak salah. Sangat memalukan - gadis Inggris
kawin dengan orang Turki. Kelihatan sekali
rendahnya. Nyonya Tanios itu seorang ibu yang
sangat baik, walaupun rupa anak-anaknya
kurang menarik." "Jadi, dengan kata lain Nona Lawson-lah yang paling pantas menerima warisan
itu?" Dengan tulus Julia berkata, "Minnie Lawson itu
orangnya benar-benar baik. Sedikit pun ia tidak materialistis. Masalah uang sama
sekali tidak pernah dipikirkannya. Hal-hal semacam itu
sangat jauh dari pikirannya."
"Meskipun begitu, tak pernah terpikir olehnya buat menolak warisan itu?" Isabel
terperangah. "Oh, mana ada orang mau berbuat begitu?"
Poirot tersenyum. "Tentu saja tidak ada."
"Tahukah Anda, Tuan Parrot," ujar Julia.
"Minnie menganggap warisan itu dipercayakan kepadanya. Kepercayaan yang tulus
dan suci dari majikannya." "Ia rela berbuat sesuatu untuk Nyonya Tanios, atau untuk kepentingan anak-
anaknya," lanjut Isabel. "Ia cuma tidak rela kalau suami Bella -
TuanTanios maksudku- menguasai hak isterinya.
"Katanya, ia malah sedang berpikir-pikir untuk memberi uang saku bulanan kepada
Theresa." Bukankah semuanya itu mencerminkan
kebaikan hatinya" Padahal, selama ini mereka
itu memperlakukan Minnie jelek sekali."
"Sungguh, Tuan Parrot, Minnie itu orang yang paling baik. Anda toh tahu sendiri
bagaimana dia itu." "Ya," ujar Poirot. "Saya mengenalnya, memang.
Tapi - di mana alamatnya?"
"Oh, maaf.... Betapa bodohnya saya! Perlu saya tuliskan?"
"Biar saya tulis sendiri."
Poirot mengeluarkan buku sakunya.
"17 Clanroyden Mansions, W.2. Tidak jauh dari Whiteles. Tolong sampaikan salam
kami, ya Tuan. Kami sudah agak lama juga tidak
mendapat kabar dari Minnie."
Poirot beranjak dari duduknya. Aku meng-
ikutinya. "Terima kasih banyak," ucap Poirot, "atas keramahan Anda. Juga atas ceritera-
ceritera Anda. Terima kasih juga Anda mau memberikan
alamat Minnie." "Oh, tak habis pikir mengapa orang-orang di Puri Hijau tidak memberikan alamat
Minnie," Isabel berkata. "Pasti si Ellen! Dasar pembantu!
Sukanya iri dan sangat picik. Mereka juga sering kasar terhadap Minnie."
Julia berjabat tangan penuh hormat. "Terima kasih atas kunjungannya," ujarnya
anggun. "Oh..." Ia mengerling saudaranya.
"Apakah Anda," wajahnya bersemu merah.
"Apakah Anda mau makan malam bersama
kami, mungkin" Tidak ada apa-apa... cuma roti,
sayuran, dan mentega... tambah buah-
buahan...." "Hmmm... lezat kedengarannya," kata Poirot buru-buru. "Tapi sayang, kami harus
segera kembali ke London."
Setelah bersalaman sekali lagi, kami pun pamit
dan pergi. BAB 12 POIROT MEMPERSOALKAN KASUSNYA
"Untunglah, Poirot," kataku bersungguh-sungguh, "kau segera menghindar dari
tawaran makan wortel mentah mereka! Hmm... bukan
main., kedua perempuan itu."
"Pour nous un bon bifteck[untuk kita bistik lezat] ditambah kentang goreng dan
sebotol anggur. Minuman apa yang akan disajikan kalau
kita mau, ya?" "Air sumur, mungkin," jawabku bergidik. "Atau sari apel non-alkohol. Heran aku.
Begitu sederhananya dan seadanya. Mungkin kamar
mandi dan WC pun tak ada di situ. Yang ada
cuma lubang dan pancuran di halaman
belakang." "Heran, memang. Ada perempuan yang suka
hidup susah begitu." Poirot nampak berpikir.
"Padahal bukan karena miskin. Situasi itu
sengaja mereka ciptakan. Hm... pandai juga."
"Sekarang, perintah apa yang diberikan kepada sopir?" tanyaku sementara kami
menikung menuju jalan raya ke luar kota Market Basing.
"Siapa lagi yang mendapat giliran kita kunjungi sekarang" Atau mau balik ke
restoran George - menanyai lagi pelayan berpenyakit asma itu?"
"Nah, sekarang, kau pasti senang
mendengarnya, Hastings. Tugas kita di Market
Basing sudah selesai..."
"Bagus." "Selesai buat hari ini saja, Sobat. Kita masih harus kembali lagi ke sini."
"Masih dalam rangka memburu pembunuh yang
gagal membunuh itu?"
"Persis sekali."
"Apakah data-datamu bertambah dengan
mendengarkan ocehan kakak beradik Tripp
barusan?" "Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,"
sahut Poirot. "Tokoh-tokoh drama kita semakin jelas ketahuan sifatnya.
Ceriteranya mirip-mirip novelet zaman dulu, bukan" Pelayan yang papa,
yang dulunya dihina dan dicerca - berubah nasib menjadi orang yang kaya raya,
yang murah hati..." "Menurutku, orang yang merasa dirinya sebagai ahli waris yang sah akan merasa
segan berlaku seperti itu." "Benar, Hastings. Yang kaukatakan itu seratus persen benar!"
Kami berdiam diri beberapa menit lamanya,
sementara mesin Austin-ku menderu lembut
mengarungi jalan menuju London.
Kudengungkan sebuah nada lagu. "Little Man.
You've Had a Busy Day."
"Senang, Poirot?" tanyaku akhirnya.
Poirot menyahut dingin, "Aku tak mengerti maksudmu. Hastings."
"Yah, kelihatannya hari ini kau menghabiskan waktu buat memuaskan hobimu."
"Jadi kaupikir aku main-main?"
"Oh, tentu saja kau serius. Tapi kurasa tak ada gunanya terlalu melibatkan diri
pada kasus ini. Kau melakukannya cuma untuk kepuasan
hatimu sendiri. Maksudku, ini bukan kasus yang
nyata..." "Au contraire,[sebaliknya] ini benar-benar nyata." "Mungkin caraku
mengemukakan salah. Yang kumaksud adalah - seandainya
dengan apa yang kaulakukan itu kau bisa
menyelamatkan Nona Arundell, maka - yah,
bolehlah. Ada kepuasannya! Tapi dalam hal ini,
apa gunanya... toh nenek itu sudah meninggal."
"Kalau begitu, mon ami, apa gunanya orang
menyelidiki kasus-kasus pembunuhan?"
"Bukan begitu. Itu lain lagi. Maksudku, dalam kasus pembunuhan biasanya jelas
ada orang yang mati terbunuh.... Oh, sudahlah. Lupakan
saja!" ujarku kesal "Jangan marah! Aku mengerti maksudmu. Kau
membedakan kematian yang jelas-jelas
disebabkan oleh pembunuhan dan kematian
yang kelihatannya biasa-biasa saja. Seandainya, Nona Arundell mati dianiaya,
misalnya - dan bukan mati karena penyakit yang sudah lama
diidapnya - kau tentu tak akan meremehkan
usahaku membongkar kebenarannya. Begitu,
kan?" "Ya."
"Pokoknya, ada orang yang mencoba
membunuhnya." "Ya. Tapi gagal. Ada bedanya. kan?" "Apa kau tidak kepingin tahu siapa orangnya
yang ingin membunuh Nona Arundell itu?" "Tentu saja."
"Sebenarnya lingkupnya cukup sempit," ujar Poirot. "Tali itu..."
"Ah, tali itu cuma ada dalam bayanganmu,
Poirot - karena kau melihat paku itu,"
sanggahku. "Siapa tahu paku itu sudah
bertahun-tahun tertancap di situ?"
"Tidak. Catnya masih baru."
Penjelasannya" Saat itu, tak sebuah alasan pun
terpikir olehku. Poirot menggunakan
kesempatan itu untuk melanjutkan teorinya
sendiri. "Ya. Lingkupnya memang sangat sempit. Tali itu direntangkan setelah semua
penghuni rumah pergi tidur. Karena itu, kemungkinannya cuma
penghuni rumah pada waktu itu yang perlu
dicurigai. Dengan kata lain, orangnya ada di
antara ketujuh orang yang tinggal di Puri Hijau waktu itu. Dokter Tanios. Nyonya
Tanios. Theresa Arundell. Charles Arundell. Nona
Lawson. Ellen. Koki."
"Kupikir pelayan tak perlu kaucurigai, Poirot."
"Perlu. Mereka juga menerima bagian warisan, lain: sakit hati, pertengkaran,
ketidakjujuran... mana kita tahu?" "Itu tak mungkin."
"Tak mungkin. Aku setuju, tapi, orang harus mempertimbangkan setiap
kemungkinan." "Kalau begitu, mestinya delapan orang yang harus kaucurigai."
"Mengapa begitu?"
Kasanya kali ini aku menang angka.
"Nona Arundell sendiri! Siapa tahu dia sengaja merentang tali di situ dengan
maksud supaya orang lain yang jatuh?"
Poirot mengangkat bahu. "Tidak masuk akal. Kalau benar Nona Arundell sendiri yang memasang tali itu, dia
tentu akan berhati-hati. Nyatanya dia sendiri yang jatuh.
Kesal, aku tidak lagi mencoba-coba
membantahnya. Sambil menerawang jauh sekali, Poirot berkata,
"Urut-urutan kejadiannya cukup jelas: Nona Arundell jatuh - suratnya kepadaku -
kedatangan penasihat hukumnya - cuma ada
satu hal yang meragukan. Apakah Nona
Arundell sengaja menahan suratnya - tidak jadi
mengirimkannya. Atau dia punya perasaan surat
itu sudah dikirimkan?"
"Kita cuma bisa menebak. Secara pribadi, aku berpendapat Nona Arundell mengira
surat itu sudah diposkan. Dan dia pasti heran mengapa
jawabannya tidak kunjung datang."
Pikiranku sedang sibuk sendiri.
"Bagaimana pendapatmu tentang aliran
spiritual itu, Poirot" Ada artinyakah?" tanyaku.
"Maksudku, mungkinkah yang dikatakan Nona
Peabody itu benar: arwah jenderal Arundell
datang menyampaikan pesan supaya Nona
Arundell mengubah surat wasiatnya; supaya
semua kekayaannya itu diwariskan kepada
Minnie Lawson." Ragu, Poirot menggeleng. "Bukan seperti itu bayanganku tentang Nona Arundell."
"Kata Nona Tripp, Nona Lawson sangat terkejut waktu surat wasiat itu dibacakan,"
ujarku pula. "Begitu memang ceritera Nona Lawson kepada
"Tapi kau tidak percaya?"
"Mon ami, kau tahu kan, betapa pencuriganya diriku! Aku tidak akan mempercayai
apa pun yang dikatakan oleh siapa pun, kecuali bila ada buktinya."
"Benar, Sobat," komentarku. "Kau memang begitu orangnya."
"Katanya. Bah! Apa artinya itu" Tidak ada. Sama sekali tak ada. Mungkin saja
yang dikatakan itu benar. Tapi bukan tak mungkin itu sengaja
dikatakan untuk mengacaukan kita. Aku, Sobat,
cuma mau berurusan dengan fakta" "Dan faktanya..-?"
"Nona Arundell jatuh. Semua orang yakin itu cuma kecelakaan biasa. Padahal
kecelakaan itu sebenarnya tidak wajar - kecelakaan itu dibuat."
"Buktinya... Hercule Poirot bilang begitu." "Oh.
Sama sekali bukan! Ada bukti yang kuat: paku
itu. Bukti lain" Surat Nona Arundell sendiri.
Bukti yang lain lagi" Kata-kata yang diucapkan
Nona Arundell sebelum meninggal - tentang


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lukisan pada guci, dan tentang bola Bob.
Semuanya itu adalah fakta."
"Fakta yang berikutnya lagi?" "jawaban kita sendiri terhadap pertanyaan manusia
normal. Bila Nona Arundell meninggal -siapa yang
mendapat keuntungan" Jawabnya -Nona
Lawson!" "Si Pelayan yang tak disukai itu! Di lain pihak, yang lain-lain mengira akan
mendapat sesuatu bila Nona Arundell meninggal. Dan pada saat
terjadinya kecelakaan, mereka memang akan
menerima warisan bila Nona Arundell
meninggal." "Tepat, Hastings. Itulah sebabnya kedudukan mereka semuanya sama: perlu
dicurigai. Ada lagi suatu fakta sepele yang perlu diperhatikan: mengapa Nona Lawson bersikeras
agar majikannya tidak mengetahui bahwa Bob tidak
di rumah semalaman." "Curiga?"
"Tidak. Aku cuma mencatat fakta kecil itu. Bisa saja itu merupakan hal yang
wajar. Tindakan seorang pelayan yang bijaksana - demi
ketenangan hati majikannya. Dan pada pikirku,
inilah yang benar." Kukerling Poirot. Gampang sekali ia berubah
pendapat. "Nona Peabody menyebutkan bahwa ada
permainan di balik surat wasiat yang baru,"
ujarku. "Menurutmu, apa maksudnya, Poirot?"
"Itu cuma caranya mengemukakan suatu
kecurigaan yang tak bisa didefinisikannya."
"Nona Arundell bukan potongan orang yang
mudah dipengaruhi orang lain. Jadi, kupikir,
kemungkinan itu kita abaikan saja. Juga, ia tidak mungkin bisa dipengaruhi oleh
hal-hal tolol semacam aliran spiritual itu."
"Mengapa aliran itu kausebut tolol, Hastings?"
Kupandang Poirot dengan keheran-heranan.
"Ya ampun, Poirot - perempuan-perempuan
tolol itu toh sama sekali tak masuk akal.."!"
Poirot tersenyum. "Aku setuju akan penilaianmu terhadap kedua Nona Tripp. Tapi, jangan karena hal
itu dikemuka-kan oleh orang yang kaunilai rendah
lalu kausama-ratakan nilainya dengan orang
yang mengemukakannya."
"Maksudmu, kau percaya aliran itu?"
"Aku tidak menutup pikiranku untuk hal-hal semacam itu. Aku sendiri belum pernah
mempelajari manifestasinya. Tapi hal itu tentu
bisa diterima kalau melihat banyaknya ilmuwan
yang menyatakan bahwa mereka mengakui
adanya beberapa fenomena yang tidak bisa
dijabarkan." "Kalau begitu, kau percaya bahwa kabut bulat bercahaya itu benar-benar ada di
atas kepala Nona Arundell?" Poirot mengibaskan tangan.
"Aku cuma bicara secara umum, Sobat -
mengomentari penilaianmu yang agak terlalu
sempit. Baiklah kujelaskan sekarang. Setelah
tahu dan menilai bagaimana Nona Tripp itu,
kupikir, kita mesti hati-hati sekali menyaring apa yang mereka kemukakan.
Perempuan yang dungu, tetap saja dungu, Sobat - tak peduli apa pun yang dibicarakannya."
"Tapi semua yang diucapkannya kauperhatikan dengan sungguh-sungguh," tuduhku.
"Itu tugasku hari ini. Mendengarkan dengan teliti. Mendengarkan pendapat
berbagai orang mengenai ketujuh tokoh yang ingin kukenal -
khususnya, kelima orang yang terlibat secara
langsung. Sekarang kita tahu aspek-aspek
tertentu dari orang-orang ini. Ambil contoh
Nona Lawson. Dari Nona Tripp kita dengar
bahwa ia tokoh yang setia, tidak materialistis, murah hati, dan... semuanya yang
bagus-bagus. Dari Nona Peabody lain lagi yang kita dengar:
orangnya dungu, tak punya keberanian dan
pikiran untuk berbuat jahat. Dokter Grainger
mengatakan Nona Lawson cepat bingung,
tergantung pada orang lain, dan selalu
ketakutan. Dari pelayan di Restoran George, kita dapat keterangan bahwa Nona
Lawson orang yang disegani. Sedangkan Ellen mengatakan,
Bob sangat membencinya. Nah, bukankah
masing-masing orang melihatnya dari segi yang
berbeda-beda" Begitu juga halnya dengan
tokoh-tokoh lainnya. Tak seorang pun
berpendapat positif terhadap Charles Arundell,
misalnya. Walaupun begitu, cara mereka
membicarakannya berbeda-beda. Dokter
Grainger menyebutnya tidak menghargai orang
tua. Nona Peabody menyatakan ia bisa
membunuh neneknya cuma untuk uang
beberapa sen - ia juga mengatakan, bahwa
secara pribadi ia lebih menyukai Charles
daripada Donaldson yang tekun dan patuh.
Nona Tripp bukan cuma mengatakan Charles
bisa berbuat jahat. Ia malah menyebutkan
bahwa Charles sudah sering melakukannya.
Semua pandangan ini sangat berguna dan
sekaligus menarik sekali. Berdasarkan semua itu kita bisa melakukan apa yang
selanjutnya mesti kita lakukan." "Apa?"
"Menarik kesimpulan sendiri, Sobat."
BAB 13 THERESA ARUNDELL Pagi berikutnya kami menuju alamat yang
diberikan oleh Dokter Donaldson.
Kuusulkan kepada Poirot untuk menemui
penasihat hukum Nona Arundell. tapi Poirot
menolak. "Jangan," katanya. "Apa yang akan kita katakan kepadanya" Alasan apa yang akan
kita ajukan untuk mengorek info dari dia?"
"Aaah, kan itu gampang, Poirot! Selama ini otakmu tak pernah kehabisan
alasan...." "Ya. Tapi menghadapi ahli hukum lain lagi, Hastings. Risikonya besar."
"Baiklah kalau begitu," ujarku. "Jangan."
Jadi, seperti telah kukatakan tadi, kami pergi ke flat yang dihuni Theresa
Arundell. Letaknya di daerah Chelsea. Pemandangan di sekitarnya
indah, dengan sungai jernih mengalir tak jauh
dari situ. Perabotannya sangat modern dan
tampak mahal harganya- Semua terbuat dari
khrom mengkilat dengan kombinasi kulit.
Karpetnya tebal bermotifkan garis-garis
geometris. Beberapa menit kami menunggu. Kemudian
keluarlah seorang gadis. Gadis itu menemui
kami dengan wajah penuh tanda tanya.
Kelihaiannya Theresa Arundell berumur dua
puluh delapan atau dua puluh sembilan-an.
Perawakannya tinggi, dan tubuhnya amat
langsing. Dalam gaun hitam putih yang
dikenakannya, ia nampak seperti lukisan yang
terlalu dibuat-buat. Rambutnya hitam legam -
wajahnya bermake-up tebal dan sangat putih.
Alisnya yang sengaja dibentuk itu memberi
kesan kurang menyenangkan. Bibirnya
merupakan satu-satunya warna cerah. Merah
menyala - pada wajah yang teramat putih. Ia
juga memancarkan suatu kesan, bahwa di
dalamnya tersembunyi kekuatan dan semangat
yang besar sekali. Aku sendiri tak tahu mengapa aku memperoleh kesan seperti
itu. Tapi, sungguh; kesan itulah yang kudapat sejak aku
melihatnya. Dengan pandangan dingin dan penuh tanda
tanya ia melihatku. Kemudian dialihkannya
pandangannya kepada Poirot.
Lelah berbohong (kukira), Poirot kali ini
menunjukkan kartu namanya sendiri. Theresa
memegang kartu itu sambil mengamat-
amatinya. "Anda M. Poirot?" tanyanya. Poirot mengangguk dan bersikap sangat
sopan. "Benar, Mademoiselle. Boleh saya mengganggu Anda sebentar?"
Seolah menirukan sikap Poirot yang resmi, gadis itu berkata. "Tentu saja. M.
Poirot. Silakan duduk.' Poirot memilih kursi santai yang rendah.
Sedang aku sendiri memilih yang bersandaran
tegak. Dengan anggun namun cukup santai,
Theresa menjatuhkan dirinya pada kursi pendek
di dekat perapian, ia menawarkan rokok. Ketika
kami menolak, ia pun menyulut sebatang untuk
dirinya sendiri. "Anda mungkin sudah mengenal nama saya.
Mademoiselle?" Theresa mengangguk. "Komplotannya Scotland Yard. Betul, bukan?"
Poirot nampak senang dijuluki begitu. Dengan
merasa diri penting, ia berkata,
"Saya memang menyibukkan diri saya dengan
menangani masalah-masalah kriminalitas,
Mademoiselle?" "Oh, menarik sekali kedengarannya," ujar Theresa walaupun nadanya bosan. "Sayang
buku tandatangan saya hilang. Saya yakin
tandatangan Tuan termasuk yang banyak
diburu." "Kali ini saya menghadapi suatu masalah," lanjut Poirot. "Saya menerima surat
dari bibi Anda." "Dari bibi saya?"
"Betul. Begitu saya bilang tadi," komentar Poirot. Theresa bergumam,
"Maafkan saya. Tapi, sungguh - saya tidak punya bibi. Semua bibi saya sudah
meninggal. Yang terakhir meninggal kurang lebih dua bulan yang
lalu." "Nona Emily Arundell?"
"Ya. Nona Emily Arundell namanya. Anda toh bukan menerima surat dari orang yang
sudah mati, M. Poirot?" "Ada kalanya, Mademoiselle."
Ada sesuatu yang baru dalam suara gadis itu.
Perhatian, dan juga kehati-hatian.
"Apa yang ditulis bibi saya, M. Poirot?"
"Itu, Mademoiselle, belum bisa saya kemukakan sekarang," ujar Poirot berdehem.
"Masalahnya agak sensitif."
Sunyi. Theresa Arundell menghisap asap
rokoknya. Kemudian katanya,
"Kedengarannya berahasia sekali, Anda. Lalu apa hubungannya dengan saya?"
"Saya harap, Mademoiselle, Anda bersedia
menjawab beberapa pertanyaan."
"Pertanyaan" Mengenai apa?"
"Mengenai keluarga Anda."
Mata Theresa membelalak. "Itu terlalu luas, saya kira. Bisakah Anda memberi contoh, kira-kira macam apa
pertanyaannya?" "Contohnya, bisakah Mademoiselle
memberikan alamat kakak Mademoiselle -
Charles?" Kini matanya yang tadi membelalak kembali
menjadi sempit. Tenaganya yang tadi nampak
tersembunyi, sekarang tidak kelihatan sama
sekali. Ia seperti keong yang menarik diri ke
dalam siputnya. "Tidak. Saya jarang sekali berkirim surat
kepadanya. Dia pun begitu. Saat ini dia sedang
di luar negeri." "Oh." Poirot diam. "Cuma itu yang ingin Anda tanyakan?"
"Masih ada beberapa pertanyaan lagi. Salah satunya, apakah Anda merasa puas
dengan cara bibi Anda mewariskan hartanya" Pertanyaan
yang lain, sudah berapa lamakah Anda
bertunangan dengan Dokter Donaldson?"
"Taktik Anda cepat juga rupanya."
"Eh bien - kita tidak saling mengenal. Karena itu cuma satu jawaban saya:
semuanya itu bukan urusan Anda. Ca ne vous regarde pas, M.
Hercule Poirot." Poirot memperhatikannya tanpa kedip.
Kemudian, tanpa menunjukkan rasa kecewa
sedikit pun, ia bangkit. "Oh, jadi begitu! Sudah kuduga. B again biarkan saya memuji aksen bahasa Prancis
Anda yang sangat mengagumkan itu, Mademoiselle.
Selamat pagi, dan banyak terima kasih. Ayo,
Hastings!" Kami sudah sampai di pintu ketika terdengar
suaranya. Kekuatannya yang terpendam
kelihatan timbul lagi. Ia tak sedikit pun beranjak dari tempat duduknya semula.
Namun sepatah kata yang diucapkannya toh mengubah
suasana. "Kembalilah!" Poirot menurut. Ia duduk kembali dan
memandangnya penuh tanda tanya.
"Sebaiknya kita hentikan semua pura-pura ini,"
katanya. "Siapa tahu Anda bisa menolong saya, M-Poirot."
"Dengan segala senang hati, Mademoiselle. Apa yang harus saya lakukan?"
Di antara dua kepulan asap rokok yang
disembur-kannya, ia berkata dengan tenang dan


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teratur. "Tolong kasih tahu saya: bagaimana cara
membatalkan surat wasiat itu."
"Oh, pengacara..."
"Ya. Tentu saja," selanya. "Pengacara memang bisa melakukannya - asal kita
ketemu pengacara yang tepat. Pengacara yang saya kenal
semuanya orang-orang terhormat. Mereka
bilang surat itu sudah sah. Mereka menasihati
supaya saya tidak mencoba-coba
menyangkalnya. Percuma, katanya. Cuma
menghabiskan biaya saja."
"Anda tidak percaya akan hal itu?"
"Saya percaya bahwa di dunia ini selalu ada cara untuk melakukan apa pun - asal
tidak terlalu takut salah, dan berani membayar. Nah, saya
dalam hal ini bersedia membayar."
"Anda yakin saya mau melakukannya kalau saya dibayar?"
"Setahu saya, kebanyakan orang mau. Apa
bedanya Anda dengan yang lain. Menyangkal
kejujuran diri sendiri memang wajar... tapi itu cuma mula-mula saja...."
"Oh, begitu. Jadi, ini merupakan bagian dari permainannya" Seandainya saya
bersedia melakukannya - apa kira-kira yang mesti saya
lakukan?" "Saya sendiri tidak tahu. Anda kan orang pandai.
Semua orang tahu itu, M. Poirot. Saya percaya
Anda bisa memikirkan suatu cara." "Misalnya?"
Theresa mengangkat bahu. "Itu urusan Anda. Mencuri surat wasiat itu dan memalsunya, kek. Menculik si
Lawson dan memaksanya mengaku bahwa dia memaksa Bibi
Emily menulis surat wasiat itu.... Mengarang
surat wasiat baru yang seolah-olah dibuat oleh
Bibi Emily sesaat sebelum meninggal.... Yah,
banyak cara!" "imajinasi Anda sangat mengagumkan.
Mademoiselle." "Nah, bagaimana jawaban Anda" Saya sudah
cukup terang-terangan. Kalau Anda menolak,
Si Racun Dari Barat 10 Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua Penelitian Rahasia 8
^