Pencarian

Saksi Bisu 1

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie Bagian 1


SAKSI BISU DUMB WITNESS by Agatha Christie Copyright ? 1937 by Agatha Christie
Mallowan All rights reserved Alihbahasa: Indri K. Hidayat
GM40284-109 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Gambar sampul dikerjakan oleh Nana
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Juni 1984
Untuk PETER anjingku sahabat dan sumber inspirasiku
Agatha Christie dilahirkan di Torquay dan
didorong untuk menulis oleh Eden Phillpotts,
penulis naskah sandiwara dari Devonshire.
Dalam buku pertamanya, The Mysterious Affair
at Styles, dia menciptakan Hercule Poirot,
detektif Belgia yang kini sangat terkenal, sama terkenalnya dengan Sherlock
Holmes ciptaan Conan Doyle. Buku pertamanya ini diterbitkan
pada tahun 1920 dan karya besarnya,
Pembunuhan Atas Roger Ackroyd, diterbitkan
pada tahun 1926. Agatha Christie menulis lebih
dari tujuh puluh lima novel detektif, beberapa
novel romantis - dengan memakai nama
samaran Mary Westmacott - banyak cerita
pendek dan sandiwara, termasuk The
Mousetrap, yang masih tetap dimainkan setelah
lebih dari dua puluh tahun. Banyak novelnya
yang telah difilmkan, di antaranya Sepuluh Anak Negro, Pembunuhan di Sungai Nil,
dan Pembunuhan di Atas Orient Express.
Hercule Poirot akhirnya meninggal dalam Tirai,
novel yang, meskipun udah ditulis dua puluh
tahun sebelumnya, baru diterbitkan sebelum
Agatha Christie meninggal pada tahun 1976.
Agatha Christie menikah dengan Sir Max
Mallowan, arkeolog terkenal.
BAB I PEMILIK PURI HIJAU Nona Arundell meninggal pada tanggal satu
Mei. Sakitnya hanya sebentar. Walaupun begitu
kema-tiannya tidak terlalu mengejutkan Market
Basing, kota kecil yang ditinggalinya sejak ia
berusia enam belas tahun. Usia Nona Arundell
sudah di atas tujuh puluh, dan sejak lama orang tahu bahwa kesehatannya kurang
baik. Delapan belas bulan sebelum kematiannya, ia sudah
hampir menghembuskan napas terakhir akibat
serangan penyakit yang sama.
Kematian puteri terakhir dari kelima anak
almarhum Jenderal Arundell itu memang tidak
mengejutkan siapa pun. Tetapi ada satu hal
yang mengejutkan. Surat wasiatnya! Membaca
isinya, berbagai reaksi bisa timbul di hati orang: heran, gembira, marah, putus
asa, dan tentu saja gosip. Berminggu-minggu. bahkan
berbulan-bulan setelahnya masih itu juga yang
dipercakapkan orang di Market Basing. Setiap
orang punya opini tersendiri. Dari Tuan Jones
penjual sayur, sampai ke Nyonya Lamphrey
yang pegawai kantor pos. "Pasti ada apa-
apanya. Kau ingat saja kata-kataku ini." Begitu dikatakan Nyonya Lamphrey kepada
setiap orang yang dijumpainya. Yang menambah kecurigaan orang: surat itu
baru dibuat pada tanggal dua puluh satu April.
Di samping itu beberapa keluarga terdekat
Nona Arundell datang tepat sehari sebelum
Paskah. Fakta-fakta ini menjadi semacam bahan
pergunjingan yang menyenangkan bagi
masyarakat Market Basing yang sehari-harinya
hidup monoton. Ada satu orang yang diduga kuat tahu lebih
banyak daripada yang mau diakuinya. Dia
adalah Nona Wilhelmina Lawson, wanita yang
bekerja sebagai pelayan pribadi Nona Arundell.
Namun, seperti yang lain-lain, Nona Lawson pun
menyatakan terkejut sekali ketika surat wasiat
itu dibacakan. Banyak orang tak percaya akan pernyataan
Nona Lawson. Tapi hanya seorang yang
mengetahui kebenarannya, dan orang itu sudah
mati. Emily Arundell. Ia lebih suka menyimpan
'kebijaksanaan'nya dalam dirinya sendiri.
Bahkan kepada penasihat hukumnya sekali pun,
wanita itu tak pernah mengemukakan motif
yang melatarbelakangi tindakannya. Ia hanya
menjelaskan sejelas-jelasnya apa yang
diinginkannya. Sikapnya yang 'pendiam' itu merupakan kunci
watak wanita yang dalam segala hal betul-betul
mewakili produk generasinya. Ia memiliki
kebaikan sekaligus keburukannya. Ia keras dan
sering menjengkelkan, namun hatinya penuh
kehangatan. Kata-katanya tajam, tetapi
tindakannya selalu mencerminkan kebaikan
hatinya. Dari luar ia nampak sentimental,
namun di dalam ia cerdik. Sering ia mengancam
teman-temannya, tapi tak jarang pula mereka
menikmati kemurahan hati wanita itu. Ia
mempunyai rasa tanggungjawab yang sangat
besar terhadap keluarga. Hari Jumat sebelum Paskah, Emily Arundell
berdiri di ruang tamu Puri Hijau sambil memberi bermacam-macam perintah kepada
Nona Lawson. Kecantikan dan keanggunannya tidak hilang
dimakan usia. Ia masih tetap tegak dan tegap.
Geraknya gesit. "Di mana saja kauatur tempat tidur mereka?"
tanyanya. "Emm - mudah-mudahan yang saya lakukan
tidak salah - Dokter dan Nyonya Tanios di Ruang Tidur Jati, Theresa di Ruang
Tidur Biru, dan Tuan Charles di bekas kamar tidur anak-anak dulu...."
"Tempatkan Theresa di kamar anak-anak dan
Charles di Ruang Tidur Biru," sela Nona
Arundell. "Baik, Nona. Maafkan saya Saya pikir kamar anak-anak kurang sesuai untuk ..."
"Kamar itu cukup bagus untuk Theresa."
Pada zamannya, wanita selalu menduduki
tempat kedua. Laki-laki dianggap anggota
masyarakat yang terpenting.
"Sayang anak-anak tidak ikut datang," kata Nona lawson.
Walaupun kurang bisa menguasai anak-anak,
wanita itu sangat menyukai mereka.
"Empat tamu sudah cukup banyak," komentar Nona Arundell. "Bella terlalu
memanjakan anak-anaknya," tambahnya. "Itu sebabnya mereka kurang bisa menurut."
Minnie Lawson berkata, "Nyonya Tanios - wanita itu ibu yang baik
sekali." Nona Arundell mengiyakan, "Ia memang baik
sekali." "Tentu berat hidup di daerah terpencil macam Smyrna," ujar Minnie Lawson sambil
menghela napas. "Itu kemauannya sendiri. Ia harus menanggung sendiri risikonya," kata Nona
Arundell menimpali. "Sebaiknya aku ke kota sekarang -
membereskan pesanan kita untuk malam
Minggu nanti." "Biar saya saja yang pergi," cegah Nona Lawson.
"Sebaiknya aku pergi sendiri. Rogers perlu sedikit kata-kata keras, dan kau -
kau agak kurang tegas, Minnie. Bob! Mana anjing itu?"
Seekor anjing terrier berbulu keriting
melompat-lompat menuruni tangga,
menghampiri tuannya. Ia berputar-putar sambil
menyalak-nyalak gembira. Keduanya ke luar melintasi pintu depan dan
jalan setapak yang teratur rapi di halaman
menuju ke pintu gerbang utama.
Masih di pintu, Nona Lawson berdiri
menyaksikan kepergian mereka sambil
tersenyum seperti orang pandir. Tiba-tiha
terdengar suara serak di belakangnya.
"Sarung bantalnya, Non - yang Non berikan tadi bukan pasangannya."
"Oh" Apa iya" Bodohnya aku ini...."
Maka Nona Lawson pun kembali menekuni
tugas rutinnya dalam rumah tangga Puri Hijau.
Emily Arundell. didampingi Bob, nampak
sebagai pemandangan yang mewah berjalan
menelusuri jalan utama Market Basing.
Ia orang kaya yang sangat dihormati. Di setrap
toko yang dimasukinya, Emily Arundell selalu
disambut dengan tergopoh-gopoh oleh pemilik
toko sendiri. Semua orang tahu siapa wanita itu: Pemilik Puri Hijau, Wanita
hasil didikan masa lalu yang kini jarang didapati.
"Selamat pagi, Nona. Bisa saya bantu" Kurang halus" Oh, maaf. Baiklah kalau itu
memang yang Nona inginkan. Tidak. Tentu saja kami tak akan
mengirimkan barang yang kurang bagus ke Puri
Hijau. Ya, Nona - akan saya awasi sendiri
pengirimannya." Di toko penjual sayur nampak beberapa orang
wanita. Satu di antaranya berpakaian mewah
walau tubuhnya sedikit kegemukan. "'Pagi,
Emily," sapa wanita itu.
"Oh. Pagi, Caroline."
Caroline Peabody bertanya.
"Menunggu tamu dari kota?"
"Ya. Mereka datang semua: Theresa, Charles, dan Bella."
"Jadi, Bella juga pulang?" "Ya."
Sepatah kata. Tapi keduanya tahu betul apa
yang tersirat di dalamnya.
Bella Winter, kemenakan Emily Arundell,
menikah dengan orang Yunani. Tidak ada
seorang pun dari Keluarga Arundell yang
'ningrat' itu menikah dengan bangsa yang
dipandang rendah. Untuk mengenakkan suasana yang menjadi
canggung, Caroline Peabody berkala, "Suami Bella sangat cerdas dan
menyenangkan." "Betul," sambut Nona Arundell.
Ketika keduanya meninggalkan toko penjual
sayur, Nona Peabody bertanya,
"Kudengar Theresa bertunangan dengan anak
Donaldson?" Nona Arundell mengangkat bahu.
"Anak muda zaman sekarang - pikiran mereka terlalu pendek." ujarnya. "Kalau
huhungan mereka serius, kupikir mereka tidak bisa cepat-cepat kawin. Pemuda itu
tak puma uang." "Tapi Theresa toh punya uang," komentar Caroline Peabody.
Dengan kaku Nona Arundell menyahut,
"Mana ada laki-laki mau dihidupi isterinya?"
Nona Peabody tertawa. "Buat anak muda zaman sekarang, kelihatannya itu tidak jadi soal. Kau dan aku
sudah kolot, Emily. yang tak bisa kumengerti cuma satu: apa
yang dilihat Theresa pada diri laki-laki itu."
"Dia dokter yang pandai."
"Huh. Kaku, susah diajak bicara. Pada zaman kita dulu laki-laki macam begitu
jadi bahan bulan-bulanan." Percakapan berhenti sejenak sementara Nona
Peabody membayangkan pemuda-pemuda yang
tampan dan menawan pada zamannya ....
Sambil menarik napas panjang ia berkata,
"Suruh Charles main-main ke tempatku, kalau dia
"Tentu. Akan kusampaikan pesanmu." Kedua wanita itu berpisah.
Mereka sudah saling mengenal sejak lebih dari
lima puluh tahun yang lalu. Nona Peabody tahu
benar beberapa hal yang mengecewakan. dalam
kehidupan Jenderal Arundell, ayah Emily. Ia
tahu juga bahwa perkawinan Thomas Arundell
sangat mengejutkan saudara saudara
perempuannya. Itulah sebabnya sangat mudah
bagi Caroline Peabody menarik kesimpulan
tentang apa yang terjadi pada generasi muda
Arundell. Meskipun demikian, Emily dan Caroline tak
pernah menyinggung-nyinggung masalah yang
peka ini dalam pembicaraan mereka. Keduanya
sangat menjunjung tinggi kehormatan keluarga,
berjiwa solider, dan sangat tertutup mengenai
persoalan keluarga. Theresa misalnya. Kehidupan gadis itu tidak lagi bisa dikuasai oleh Emily sejak
ia berpenghasilan sendiri pada usia dua puluh satu. Ia menjadi
gadis yang terkenal sejak itu. Potretnya sering dimuat di majalah. Dan ia
menjadi anggota kehidupan bebas yang penuh pesta pora di
London. Pesta yang sering berakhir di Kantor
Polisi. Popularitas semacam itu bukan untuk


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anggota Keluarga Arundell. Begitu pikir Emily. Ia sangat menentang cara hidup
Theresa. Menanggapi pertunangannya, Emily merasa
ragu. Pertama, karena ia menganggap Dokter
Donaldson kurang memenuhi standar untuk
Keluarga Arundell. Kedua, ia sadar bahwa
Theresa tak mungkin bisa menjadi isteri yang
baik bagi dokter desa itu.
Pikiran wanita itu beralih pada Bella. Bella tak ada kekurangannya. Dia wanita
yang baik sekali -seorang ibu dan isteri yang penuh kasih sayang.
Tindak-tanduknya patut dicontoh - tapi, agak
membosankan! Meskipun begitu Bella belum
bisa dianggap sempurna. Bella kawin dengan
orang asing - dan, bukan sekedar orang asing.
Orang Yunani. Bagi Emily Arundell orang Yunani
tidak lebih daripada orang Yahudi. Sikap dan
tingkah laku Dokter Tanios yang menyenangkan
serta kepandaiannya yang tersohor tidaklah
menambah nilai pria itu di mata Emily Arundell.
Ia curiga terhadap sikap dan pujian yang sering kali dilontarkan olehnya. Dan
untuk alasan ini pulalah Emily sukar untuk menyukai kedua anak
mereka. Keduanya sangat mirip dengan
ayahnya - tak sedikit pun darah Inggris nampak
pada diri mereka. Dan kemudian Charles ....
Ya, Charles .... Tak ada gunanya membutakan diri terhadap
fakta. Charles sangat tampan dan
menyenangkan. Tapi ia tak bisa dipercaya ....
Emily Arundell mengeluh. Tiba-tiba saja ia
merasa lelah, tua, dan begitu sedih ....
Rasanya tidak lama lagi ia bisa bertahan....
Pikirannya melayang pada surat wasiat yang
dibuatnya bertahun-tahun yang lalu.
Sedikit untuk pembantu-pembantu yang setia,
dan sedikit untuk yayasan sosial - bagian
terbesar dari kekayaannya akan dibagi rata di
antara ketiga orang yang merupakan keluarga
terdekatnya yang masih hidup...
Tak ada salahnya membuat rencana seperti itu.
Hanya saja. terlintas dalam pikirannya - kalau-
kalau ada cara yang bisa mencegah Bella
mendapatkan warisan itu. Emily tak rela suami
Bella menyentuh uangnya ... ia akan
menanyakan hal ini kepada Tuan Purvis.
Emily Arundell membelok dan memasuki pintu
gerbang Puri Hijau. Charles dan Theresa Arundell tiba dengan
menumpang mobil - sedang suami-isteri Tanios
dengan kereta api. Charles dan adiknya datang lebih dahulu. Tinggi, tampan dan dengan sikapnya yang
sedikit mengejek, Charles menyapa bibinya,
"Halo, Bibi Emily! Apa kabar" Kelihatannya Bibi sehat-sehat saja."
Lalu diciumnya pipi wanita tua itu.
Theresa menempelkan pipinya yang penuh dan
segar pada pipi Emily yang telah tampak
keriput. "Apa kabar, Bibi Emily?"
Kelihatannya Theresa kurang sehat, pikir Emily.
Di balik make-up-nya yang tebal, ia kelihatan
pucat. Dan di sekeliling matanya nampak
lingkaran gelap. Mereka minum teh di Ruang Santai. Bella tak
henti-hentinya memandang saudara
sepupunya, Theresa, mencoba mengingat
seteliti mungkin model baju yang dikenakannya.
Bella sangat menyukai pakaian. Sayangnya, ia
tidak mempunyai selera yang bagus. Pakaian
Theresa mahal, dan modelnya sedikit berani.
Tapi tubuh Theresa memang bagus dan cocok
untuk pakaiannya. Ketika datang ke London dari Smyrna, Bella
mencoba meniru keanggunan Theresa. Tetapi
kelihatannya murahan dan tidak cocok dengan
pribadinya. Dokter Tanios bertubuh besar, berjanggut tebal, dan pembawaannya selalu gembira,
ia berbicara dengan Nona Arundell. Suaranya hangat dan
sangat mempesona orang yang mendengarnya.
Bahkan. Nona Arundell pun terpesona.
Nona Lawson sangat sibuk. Ia mondar-mandir
membawa piring berisi kue-kue dan
menyiapkan minuman untuk tamu-tamunya.
Beberapa kali Charles berdiri membantunya.
Tapi sedikit pun Nona Lawson tidak
menunjukkan rasa terima kasih.
Setelah selesai minum teh, mereka berjalan-
jalan di taman. Charles berbisik kepada adiknya,
"Lawson tak menyukaiku. Aneh, bukan?"
Dengan mengejek Theresa berkata,
"Sangat aneh. jadi terbukti masih ada orang yang tidak tunduk oleh pikatan
pesonamu, Charles." Charles meringis. Katanya,
"Untungnya cuma Nona Lawson...."
Di taman, Nona Lawson berjalan dekat Nyonya
Tanios. Ia menanyakan keadaan anak-anak.
Wajah Bella Tanios menjadi hidup. Dan, ia lupa
mengamati Theresa. Dengan penuh semangat ia
berceritera tentang kedua anaknya.
Bella merasa Minnie Lawson mendengarkan
ceriteranya dengan penuh simpati.
Seorang laki-laki berwajah serius dan
berkacamata tempel dipersilakan menemui
mereka di halaman oleh seorang pelayan. Laki-
laki berambut pirang itu kelihatan malu-malu.
Nona Arundell menyapanya dengan sopan.
Theresa berseru, "Halo, Rex!" Ia menggelayut pada lengan laki-laki itu. Lalu
mereka berdua pergi. Charles mencibir. Ia pun berlalu dan
menghampiri tukang kebun yang dulu pernah
menjadi sahabatnya. Ketika Nona Arundell masuk kembali ke dalam
rumah, Charles sedang bermain-main dengan
Bob. Bob berdiri di puncak tangga. Di mulutnya
tergigit bola mainannya. Ekornya bergerak-
gerak. "Ayo, Bob!" seru Charles.
Bob perlahan-lahan melipat kaki belakangnya
dengan bola masih di moncongnya. Kemudian
dengan hati-hati anjing itu mendorong bolanya
semakin ke pinggir mulutnya. Ketika bolanya
terlepas dan menggelinding ke bawah, ia berdiri sambil menyalak-nyalak gembira.
Charles memungut bola itu dan melemparkannya
kembali kepada Bob. Bob menangkap dengan
mulutnya. Dan permainan pun diulang berkali-
kali. "Ini mainannya sehari-hari," ujar Charles.
Emily Arundell tersenyum.
"Kalau diteruskan, dia kuat bermain berjam-jam," katanya.
Nona Arundell masuk ke Ruang Santai, dan
Charles mengikutinya. Bob menyalak-nyalak
menarik perhatian. Ketika dilihatnya Charles
terus mengikuti tuannya, anjing itu tampak
kecewa. Sambil memandang ke luar jendela, Charles
berkata, "Lihatlah Theresa dan pemuda idamannya itu.
Pasangan yang aneh!" "Kaupikir Theresa serius?"
"Oh. Theresa sangat tergila-gila padanya!" ujar Charles. "Aneh. Tapi begitu
adanya. Mungkin karena caranya memandang Theresa. Ia
memandang Theresa bukan sebagai wanita
hidup melainkan sebagai preparat yang hendak
diselidiki. Theresa suka diperlakukan begitu.
Kasihan. Laki-laki itu miskin. Selera Theresa
mahal." Acuh tak acuh, Nona Arundell berkata,
"Theresa bisa mengubah cara hidupnya - kalau dia mau. Dan lagi dia punya
penghasilan." "Apa" Oh, ya. Tentu saja."
Pandangan Charles memancarkan rasa bersalah.
Ketika mereka sedang duduk-duduk di Ruang
Santai sambil menanti siapnya santapan malam,
tiba-tiba terdengar bunyi berdembam dari arah
tangga- Charles masuk dengan wajah merah.
"Maaf, Bibi Emily. Terlalu lama menungguku"
Hampir saja aku jatuh dari loteng. Anjing itu -
dia meninggalkan bolanya di atas."
"Kau sembrono, Bob," seru Nona Lawson sambil membungkuk dekat Bob-Bob
memandangnya dengan penuh kebencian, dan kemudian
memalingkan muka. "Itu sangat berbahaya," ujar Nona Arundell.
"Minnie, ambil bolanya dan simpan."
Tergopoh-gopoh Nona Lawson keluar.
Di meja makan, Dokter Tanios memonopoli
percakapan. Ia menceriterakan kehidupannya
yang menyenangkan di Smyrna.
Mereka masuk ke kamar masing-masing tak
lama setelah selesai makan malam. Sambil
membawa gulungan benang wol, kacamata, tas
beludru, dan sebuah buku, Nona Lawson
mengantarkan majikannya ke ruang tidurnya.
Dengan wajah berseri-seri ia berceloteh.
"Sangat menyenangkan laki-laki itu - Dokter Tanios. Bella tentu senang ditemani
laki-laki seperti dia setiap saat. Meskipun, oh, aku tak
berani membayangkan hidupdi daerah terpencil
seperti itu. Air harus dimasak dulu. Susu cuma
ada susu kambing.... Hi, bagaimana rasanya?"
Nona Arundell menyela, "Sudah kaukatakan pada Ellen supaya
membangunkanku jam setengah tujuh?"
"Ya, Nona Arundell. Sudah saya katakan juga dia tak perlu menyiapkan teh, tapi -
tidakkah lebih baik .... Maksud saya, Pendeta di Southbridge
yang terkenal paling bijaksana itu mengatakan
bahwa sebetulnya tidak wajib kita puasa
sebelum...." Sekali lagi Nona Arundell menyela,
"Aku belum pernah makan atau minum apa pun sebelum Misa pagi, danaku tidak akan
membiasakan begitu. Kalau kau lebih suka
makan atau minum dulu, silakan."
Bukan begitu maksud saya ...." Nona Lawson merasa tersinggung dan malu "Lepaskan
ikat leher Bob," perintah Nona Arundell.
Buru-buru Nona Lawson melaksanakan perintah
majikannya. Berusaha menyenangkan hati majikannya, ia
berkata, "Malam ini sangat memenangkan. Mereka
semuanya kelihatannya senang di sini."
"Hmm," komentar Nona Arundell, "mereka ke sini untuk mendapatkan yang mereka
ingini." "Oh, Nona Arundell ..."
"Minnie, aku sama sekali bukan orang bodoh!
Aku cuma ingin tahu, siapa di antara mereka
yang berani mengatakan lebih dulu."
Rasa ingin tahu Nona Arundell tidak berusia
panjang. Keesokan paginya, ketika ia pulang dari Misa pagi bersama Nona Lawson
kurang lebih pukul sembilan. Dokter dan Nyonya Tanios
sedang duduk-duduk di Ruang Makan Kakak
beradik Arundell tidak kelihatan. Setelah
sarapan, sementara yang lain meninggalkannya,
Nona Arundell duduk menuliskan sesuatu di
buku notesnya. Charles masuk kurang lebih pukul sepuluh.
"Maaf kesiangan. Bibi Emily. Tapi Theresa lebih-lebih lagi. Dia belum bangun."
"Selengah sebelas sarapan akan dibersihkan dari meja. Zaman sekarang memang jadi
mode: tidak peduli dengan jadwal kerja pembantu.
Tapi, tidak begitu di rumahku." "Bagus!" ujar Charles.
Ia mengambil sepotong daging, dan duduk di
dekat bibinya. Seperti biasa, tawa dan
senyumnya sangat mempesona. Emily Arundell
pun tersenyum sayang kepadanya. Merasa
mendapat angin, Charles berkata,
"'Bibi Emily - maaf kalau aku merepotkan. Tapi aku sedang perlu sekali uang. Aku
harus melunasi utang. Bisa Bibi menolongku" Seratus
saja." Wajah bibinya menjadi kaku, dan
pandangannya menunjukkan rasa tidak senang.
Emily Arundell bukan orang yang takut
mengemukakan pikirannya. Dan ia pun
mengatakan dengan terus terang apa yang ada
dalam otaknya. Di Ruang Tamu, hampir saja Nona Lawson
bertubrukan dengan Charles yang keluar dari
Ruang Makan. Diliriknya pemuda itu dengan
penuh tanda tanya. Ketika ia masuk ke Ruang
Makan, didapatinya Nona Arundell duduk tegak
dengan wajah merah padam.
BAB 2 KELUARGA

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Charles berlari ke loteng dan mengetuk pintu
kamar tidur adiknya. Jawaban, "Masuk", terdengar seketika. Dan Charles pun
masuk. Theresa duduk di atas tempat tidurnya sambil
menguap. Charles mendekatinya, dan duduk di sisi tempat
tidur. "Kau cantik sekali, Theresa," ujarnya sambil memandangi adiknya dengan kagum.
Dengan tajam Theresa berkata, Charles meringis. "Hmm, judesnya. Aku mendahuluimu, Sayang."
"Lalu?"" Charles merentangkan tangannya ke bawah
sambil mengangkat bahu. "Tak ada gunanya! Bibi Emily menempatkanku di tempatku. Dia menyatakan bahwa dia
tidak punya bayangan tentang mengapa keluarga
terdekatnya berkumpul di dekatnya. Dan dia
juga menyebutkan, bahwa keluarga terdekat
yang katanya menyayanginya itu akan kecewa."
"Mestinya kau menunggu dulu," ujar Theresa tak acuh.
Charles tersenyum. "Aku takut kau atau Tanios mcndahuluiku. Dan aku sungguh kuatir, Theresa, kita
gagal kali ini. Bibi Emily bukan orang bodoh."
"Tak ada yang pernah mengatakan dia bodoh."
"Aku malah mencoba memberinya angin."
"Maksudmu?" "Kukatakan dia pandai sekali. Tapi,
bagaimanapun dia tak akan bisa membawa
kekayaannya ke kubur. Mengapa dia tak mau
melepaskannya sedikit?"
"Kau bodoh, Charles!"
"Sama sekali tidak! Aku cuma sedikit
mempraktekkan teori psikologi Tak baik selalu
membenarkan kata perempuan tua itu. Dan aku
cuma menyatakan apa yang masuk di akal.
Kalau dia mati, kita toh akan mendapat uangnya
-- tak ada salahnya kan kalau dia mulai berpisah dengan hartanya sedikit demi
sedikit"... Supaya kita tidak tergoda mempercepat prosesnya."
"Dia tahu maksudmu?" tanya Theresa marah.
"Itu, aku kurang yakin. Dia tidak mengatakan apa-apa. Cuma bilang terima kasih -
dengan agak tajam- atas nasihatku, dan bahwa dia bisa
menjaga diri. 'Pokoknya aku sudah
mengingatkan,' kataku. Dan dia menjawab. Aku
tak akan melupakannya.' "
Dengan sangat marah Theresa berkata,
"Kau betul-betul bodoh, Charles."
"Aku tak peduli, Theresa. Aku dalam kesusahan.
Dan perempuan tua itu hidup dengan enaknya -
enak sekali, tanpa banyak pengeluaran. Paling-
paling ia menggunakan tak lebih dari
sepersepuluh pendapatannya. Buat apa sih" Dia
tak perlu apa-apa! Sedang kita - muda, saatnya
menikmati hidup! Tapi... Oh, sekedar untuk
memukul kita, aku yakin perempuan itu bisa
bertahan hidup sampai seratus tahun. Aku ingin
bersenang-senang sekarang.... Kau pun
begitu...." Theresa mengangguk. Perlahan-lahan dan sedikit tersendat-sendat,
Theresa berkata, "Mereka tidak mengerti. Orang-orang tua itu...
mereka tidak dapat mengerti.... Mereka tak
tahu apa artinya hidup ini!"
Beberapa menit kakak beradik itu terdiam.
Charles bangkit. "Selamat berjuang. Mudah-mudahan kau
berhasil. Tapi aku tak yakin."
"Aku agak menggantungkan diri pada Rex -
sebagai taktik. Kalau saja aku bisa meyakinkan
Emily tentang kepandaiannya - dan tentang
kesempatan yang bisa didapatnya bila ia tak
perlu bergumul dengan pasien di kampung
untuk mencari nafkah.... Oh, Charles, dengan
modal beberapa ribu saja, dunia kita akan lain
sekali!" "Kudoakan kau berhasil. Tapi aku ragu. Kau selama ini agak terlalu boros.
Theresa, bagaimana menurut pikiranmu" Mungkinkah
Bella atau Tanios mendapatkan sesuatu?"
"Aku tak bisa melihat manfaat uang bual Bella.
Seleranya terlalu murah."
"Mungkin bukan untuk dirinya sendiri. Tapi Bella pasti butuh uang untuk anak-
anaknya. Uang sekolah, les musik, makanan bergizi....
Yah... bukan Bella, kupikir. Tapi Tanios. Dia suka sekali uang. Kau tahu kan,
uang Bella dipakainya berspekulasi, dan akhirnya hilang begitu saja."
"Kaupikir Bibi Emily akan memberinya
warisan?" "Tidak. Akan kuusahakan ia tak mendapat apa-apa," ujar Charles geram.
Charles turun ke ruang bawah. Bob ada di ruang
tamu. Anjing itu dengan gembira menyambut
kedatangan Charles. Bob berlari-lari kecil menuju Ruang Santai.
Sesampai di pintu, ia menengok ke belakang -
menarik perhatian Charles.
"Ada apa?" tanya Charles sambil mengikutinya.
Bob melompat ke dalam dan duduk menanti di
dekat sebuah lemari kecil.
Charles mendekatinya. "Apa maksudmu?"
Bob menggoyang-goyangkan ekornya dan
memandang tajam ke arah laci lemari itu sambil
mengeluarkan suara aneh seolah
mengharapkan sesuatu. "Ingin sesuatu di dalam situ?"
Charles menarik laci yang paling alas. "Oh, oh...
aku tahu sekarang," ujarnya sambil alisnya terangkat.
Di sudut laci didapatinya setumpuk uang.
Charles mengambil tumpukan itu dan
menghitungnya. Dengan tersenyum lebar
diambilnya tiga Lembar uang pound, dua
lembar uang puluhan shilling dan
dimasukkannya ke dalam sakunya. Sisanya
dikembalikannya ke sudut laci.
"Idemu bagus, Bob," katanya. "Pamanmu Charles akhirnya dapat jalan keluar.
Setidaknya ada uang tunai tersedia di tangan."
Bob menyalak galak waktu Charles menutup
kembali laci. "Maaf, Bob," ujarnya sambil menarik laci yang kedua. Di sudut laci itu, terlihat
bola mainan Bob. Charles mengambilnya. "Nih, bermainlah sepuas hatimu."
Bob menangkap bola yang dilemparkan Charles
kepadanya. Sementara Bob bermain dengan
riangnya, Charles keluar menuju halaman.
Udara segar, dan matahari bersinar cerah.
Wangi bunga lili semerbak menusuk hidungnya.
Dokter Tanios duduk di samping Nona Arundell.
Ia sedang membicarakan bagusnya pendidikan
Inggris untuk anak-anak, dan menyatakan
penyesalannya bahwa ia tak sanggup
membiayai pendidikan seperti itu untuk anak-
anaknya. Charles tersenyum sinis. Ia menggabungkan diri
dalam percakapan mereka, dan sedikit demi
sedikit mengalihkan topik pembicaraan.
Emily Arundell tersenyum lembut kepadanya.
Dalam hati Charles merasa bibinya senang ia
mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang lain.
Semangat Charles tumbuh kembali. Mungkin,
akhirnya, sebelum pulang ia...
Charles orangnya terlalu optimis.
Dokter Donaldson menjemput Theresa dengan
mobilnya siang itu. Mereka pergi ke Worthem
Abbey, salah satu gereja yang terindah. Dari situ mereka berjalan-jalan ke hutan
kecil yang tak jauh letaknya dari gereja itu.
Di sana Rcx menceriterakan kepada Theresa
tentang teori-teorinya dan juga tentang
beberapa percobaannya. Theresa kurang
mengerti, tetapi ia mendengarkan dengan
penuh perhatian. Dalam hati ia berkata,
"Bukan main pandainya Rex - dan ia begitu
mempesona." Tunangannya berhenti bicara, dan dengan ragu-
ragu ia berkata, "Ceriteraku membosankan, Theresa?"
"Oh, sama sekali tidak. Ccriteramu sangat
menarik. Sayang," ujar Theresa tegas.
"Lanjutkan. Kau mengambil darah kelinci yang sakit itu, lalu..."
Dokter Donaldson melanjutkan ceriteranya.
Aneh rasanya bagi Theresa. Hampir tak ada di
antara kawan-kawannya yang bekerja seserius
Rex. Kalau toh ada yang bekerja, mereka selalu
berkeluh kesah. Seperti telah sekali atau dua kali terlintas dalam pikirannya, gadis itu merasa
aneh bahwa dirinya bisa jatuh cinta pada Rex Donaldson. Mengapa
hal yang sama sekali tak masuk akal dan gila ini bisa terjadi" Terjadi pada
dirinya" Dahinya berkerut. Pikirannya melayang kepada
kawan-kawannya. Mereka hidup bebas ceria,
dan sangat sinis. Cinta, bagi mereka, perlu
untuk hidup. Tapi buat apa terlalu serius
memikirkannya" Mereka jatuh cinta dan tak
lama kemudian berpisah. Jatuh cinta lagi - dan
berpisah lagi. Tapi perasaannya terhadap Rex Donaldson ini
lain; lebih dalam daripada yang pernah
dirasakannya sebelumnya. Ia merasa, kali ini tak mungkin ia berpisah untuk jatuh
cinta lagi dengan yang lain. Ia sangat membutuhkan Rex.
Segalanya pada diri Rex membuatnya
terpesona. Ketenangan dan kesendi-riannya -
sungguh berbeda dengan kawan-kawannya
yang ribut dan tak pernah berpikir, pikirannya
yangjernih dan penuh ilmu, serta sesuatu yang
lain - yang tak pernah dapat dimengerti olehnya secara sempurna namun bisa
dirasakan melalui instingnya - kekuatan tersembunyi yang ada
dalam diri laki-laki bersikap sederhana dan
patuh ini. Ia tahu bahwa Rex sangat jenius, dan bahwa
baginya profesi merupakan yang paling utama.
Ia sadar bahwa bagi Rex ia hanya merupakan
sebagian kecil saja dari kehidupan yang
diperlukannya. Kesadaran ini menambah daya
tarik Rex baginya. Kali ini Theresa menyadari
dengan sepenuh hati dan pikirannya, bahwa ia
untuk pertama kalinya mau menerima tempat
kedua. Ini sangat menarik hatinya. Untuk Rcx, ia mau melakukan apa saja - apa
saja! "Betapa besarnya arti uang," ujar Theresa menerawangjauh ke depan. "Kalau saja
Bibi Emily meninggal, kita bisa segera kawin dan kau bisa pergi ke London. Di sana
kau bisa punya laboratorium sendiri lengkap dengan kelinci-
kelinci percobaannya dan kau tak perlu lagi
bekerja keras mengobati anak-anak yang sakit
campak dan wanita-wanita tua berpenyakit
lever." Donaldson berkata, "Bibimu bisa hidup sampai bertahun-tahun lagi.
kalau dia berhati-hati." "Aku tahu..."
Di Ruang Tidur berukuran besar dengan
perabotannya yang kuno. Dokter Tanios berkata
kepada isterinya, "Aku sudah mempersiapkan jalannya. Sekarang giliranmu, Sayang."
Dokter Tanios menuangkan air dari dalam
sebuah galon ke sebuah baskom cina
berhiaskan gambar mawar. Bella Tanios duduk di depan kaca rias. Ia
mencoba menyisir rambutnya seperti Theresa,
tapi hasilnya tidak sebagus yang diinginkannya.
Ia tidak segera menjawab.
"Aku tak mau - minta uang pada Bibi Emily,"
katanya. "Uang itu bukan untuk dirimu sendiri, Bella; untuk anak-anak. Kita sudah mencoba
untuk menginvestasikan apa yang kita miliki, tetapi
gagal." Bella melirik suaminya. Tapi laki-laki itu tak tahu karena ia membelakangi
isterinya. "Apa pun alasannya, lebih baik tidak.... Bibi Emily orangnya susah dimengerti.
Dia murah hati, kadang-kadang, tapi ia tak suka kalau kita meminta." balas Bella sedikit
keras kepala. Tanios mendekati isterinya sambil
mengeringkan tangannya dengan handuk.
"Kau biasanya tidak keras begini, Bella. Ingat, buat apa kita jauh-jauh datang
ke sini?" Bella bergumam, "Aku tak pernah berpikir... maksudku,... bukan untuk minta uang..."
"Tetapi kau setuju bahwa satu-satunya harapan kita untuk bisa menyekolahkan
anak-anak dengan pantas - cuma dengan bantuan bibimu."
Bella Tanios tidak menjawab. Ia bangkit dan


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan tanpa tujuan. Wajahnya tetap lembut. Suami yang pandai
sering menggunakan kelemah-lembutan
isterinya sebagai senjata.
Akhirnya Bella berkata, "Siapa tahu Bibi Emily sendiri akan
mengusulkan..." "Mungkin saja, tapi aku belum melihat tanda-tandanya sejauh ini."
"Coba anak-anak kita bawa. Bibi Emily pasti sangat menyayangi Mary. Dan Edward
begitu cerdas..." Tanios menimpali, "Kupikir bibimu kurang suka pada anak-anak.
Tak ada gunanya membawa mereka." "Oh, Jacob...."
"Ya, ya, Sayang. Aku tahu perasaanmu. Tapi perawan tua Inggris yang satu ini ...
Bah! Dia bukan manusia. Dan, kita ingin berbuat yang
sebaik-baiknya untuk anak-anak kita, bukan"
Memberikan bantuan sedikit buat kita tak akan
memberatkan Nona Arundell."
Nyonya Tanios berpaling kepada suaminya.
Wajahnya merah padam. "Oh, Jacob, jangan sekarang. Memang itu
kurang bijaksana. Tapi aku.... Oh, lebih baik
tidak." Tanios berdiri dekat di belakang isterinya,
lengannya merangkul bahunya. Bella merinding,
namun ia diam - betul-betul diam.
Tanios, dengan suara lembut, berkata,
"Bagaimanapun juga, Bella, kupikir - kupikir kau mau melakukan apa yang
kuminta.... Biasanya kau mau, meskipun mula-mula menolak.... Ya,
kupikir kau mau melakukan apa yang
kukatakan...." BAB 3 KECELAKAAN Selasa sore. Pintu samping yang menuju ke
halaman terbuka. Nona Arundell berdiri di
ambang pintu dan melemparkan bola kepada
Bob yang kemudian berlari-lari mengejarnya.
"Sekali lagi, Bob," ujar Emily Arundell. "Yang bagus kali ini."
Sekali lagi bolanya menggelinding, dan Bob
berlari mengejarnya dengan sekuat tenaga.
Nona Arundell membungkuk, memungut bola
dari tempat Bob meletakkan dekat kakinya, dan
kemudian masuk. Bob mengikutinya dari
belakang Emily Arundell menutupkan pintu
samping, dan masuk ke Ruang Santai. Dengan
Bob masih mengikutinya, Emily Arundell
menarik laci dan menyimpan bola Bob di
tempatnya. Ia memandang jam dinding di atas perapian.
Pukul setengah tujuh. "Istirahat sebentar sebelum makan malam,
Bob." Emily Arundell menaiki tangga menuju kamar
tidurnya. Bob menemaninya Berbaring di dipan
dengan Bob mendengus-dengus di kakinya,
Emily Arundell mengeluh. Lega rasanya sudah
hari Selasa. Besok tamu-tamunya akan pulang.
Malam Minggu kemarin tidak menambah
pengetahuannya, cuma saja lebih meyakinkan
apa yang telah lama diketahuinya. Ia semakin
yakin bahwa ia harus mempercayai pikirannya
sendiri. Kepada dirinya sendiri ia berkata,
"Aku semakin tua, kupikir..." Dan kemudian dengan agak terkejut, "Aku memang
sudah tua...." Ia berbaring dengan mata terpejam kurang
lebih setengah jam lamanya. Kemudian Ellen
datang membawakan air panas untuk mandi.
Emily Arundell bangkit dan mulai menyiapkan
diri untuk makan malam. Dokter Donaldson diundang makan malam.
Emily Arundell ingin menggunakan kesempatan
itu untuk mengenal dari dekat pemuda idaman
Theresa. Ia masih belum bisa menerima
kenyataan bahwa Theresa yang begitu
cemerlang ingin menikah dengan laki-laki yang
kaku dan serius ini. (a juga tak bisa menerima
bahwa laki-laki yang kaku dan serius itu ingin
menikah dengan perempuan macam Theresa.
Meskipun demikian, tak banyak hasil yang diraih Emily. Malam semakin larut,
tetapi tak sedikit pun pengetahuannya tentang Rex Donaldson
bertambah. Pemuda itu sangat sopan dan
sikapnya resmi. Pada pikirannya, pemuda itu
sedikit membosankan. Diam-diam ia setuju
dengan pendapat Nona Peabody. "Memang,
jauh lebih menarik pemuda-pemuda zaman
kami dulu." Dokter Donaldson tak tinggal sampai larut
malam. Pukul sepuluh ia sudah mohon diri.
Setelah pemuda itu pulang, Emily pun pamit -
ingin tidur agak sore. Ia pergi ke atas, begitu juga tamu-tamunya. Mereka
sedikit diam malam ini. Nona Lawson tinggal di bawah
menyelesaikan tugasnya: melepaskan Bob
supaya berlari-lari sebentar sebelum tidur,
mematikan api di perapian, memeriksa pintu-
pintu dan jendela, menggulung karpet supaya
jauh dari api. Kurang lebih lima menit kemudian, ia datang
dengan terengah-engah ke kamar tidur
majikannya. "Semuanya saya bawa," ujarnya sambil
meletakkan gulungan benang wol dan sebuah
buku perpustakaan. "Mudah-mudahan bukunya
bagus. Gadis penjaga perpustakaan itu bilang
mereka tak punya buku yang tertulis di daftar
Anda. Katanya, dia yakin Anda akan menyukai
buku ini." "Gadis itu tak punya selera," komentar Nona Arundell.
"Oh, maaf. Seharusnya saya...."
"Jangan pikirkan hal itu, Minnie," hibur Emily Arundell, "Itu bukan kesalahanmu.
Bagaimana siang tadi" Menyenangkan?"
Wajah Nona Lawson berseri-seri. ia kelihatan
bersemangat dan muda kembali.
"Sangat menyenangkan. Terima kasih banyak.
Anda sangat baik hati - memikirkan perasaan
saya. Kami memanggil roh orang yang sudah
meninggal, dan meminta pesan-pesan mereka.
Cukup banyak pesan yang tertulis di papan
kami.... Oh, untunglah kegiatan semacam itu
masih diijinkan..." Sambil tersenyum Nona Arundell
mengomentari, "Hati-hati saja. Kalau Bapak Pendeta mendengar itu..."
"Tapi, Nona Arundell, kupikir tak ada salahnya melakukan permainan itu.
Seharusnya Tuan Lond-sale meneliti dulu. Picik orang yang
menyalahkan sesuatu tanpa meneliti lebih dulu
masalahnya. Julia dan Isabel Tripp bukan wanita sembarangan. Mereka pengikut
sejati aliran spiritual." "Terlalu sejati untuk orang yang masih hidup,"
ujar Nona Arundell. Nona Arundell tak peduli dengan Julia dan
Isabel Tripp. Pakaian mereka menggelikan.
Begitu juga makanan dan sikap mereka. Mereka
bukan wanita hasil kebudayaan tertentu, tak
punya akar yang baik - dan, tak punya
pendidikan! Tapi ia tak mau mencela sahabat
baik Minnie. Minnie nampak sangat gembira malam ini.
Matanya bersinar-sinar. Ia berjalan kian kemari dalam kamar tidur majikannya.
Sebentar menyentuh ini, dan sebentar lagi mengelus itu.
Ia tak tahu apa yang dilakukannya. Ia cuma ingin menunjukkan perasaannya, lewat
kedua matanya yang cerah dan bersinar-sinar.
Dengan takut-takut dan sedikit tersendat
wanita itu berkata, "'Kalau saja Anda di sana tadi, Nona Arundell....
Aku tahu Anda bukan orang yang mudah
mempercayai hal-hal semacam itu. Tapi malam
ini ada sebuah pesan untuk seorang berinisial
E.A.. Aku yakin sekali melihat inisial itu tertulis.
Pesannya datang dari orang yang meninggal
bertahun-tahun yang lalu - seorang laki-laki,
tentara, yang sangat tampan. Isabel jelas sekali melihat wajahnya. Pasti itu
Tuan Jenderal Arundell. Pesannya sangat indah, disampaikan
dengan penuh kasih sayang dan di dalamnya
tersirat bahwa dengan kesabaran semuanya
dapat dicapai." "Papa orangnya tidak sentimental." ujar Nona Arundell.
"Tapi, orang berubah - di dunia sana, Nona Arundell. Semuanya berubah. Di sana
mereka cuma mengenal kasih sayang dan pengertian.
Pesan yang tertulis di papan kami menyatakan
sesuatu mengenai sebuah kunci - kupikir,
maksudnya kunci lemari Boule Mungkinkah
pesan itu benar?" "Kunci lemari Boule?" tanya Nona Arundell tajam. Suaranya menunjukkan perasaan
tertarik pada ceritera Nona Lawson.
"Saya pikir begitu. Saya pikir mungkin ada hubungannya dengan surat surat
penting - atau semacamnya. Pernah terjadi, ada pesan yang
menuliskan tentang perabot tertentu. Dan
akhirnya ternyata ditemukan surat wasiat dalam
perabot itu." "Tidak ada surat wasiat dalam lemari Boule,"
ujar Nona Arundell dengan sedikit kasar.
"Pergilah tidur, Minnie. Kau lelah. Begitu juga aku. Kapan-kapan kita undang
Julia dan Isabel Tripp ke sini." "Oh, tentu akan sangat menyenangkan, Nona
Arundell. Selamat tidur. Tak ada lagi yang Anda perlukan" Mudah-mudahan Anda
tidak terlalu merasa lelah dengan begitu banyak orang di
sini. Besok saya suruh Ellen membersihkan
Ruang Santai sampai bersih. Rokok mereka
meninggalkan bau tak sehat. Anda sungguh baik
hati membiarkan mereka merokok di situ."
" Kita tidak boleh terlalu menentang yang
modern, Minnie," kata Nona Arundell. "Selamat tidur."
Waktu wanita itu meninggalkan Tuang tidurnya,
Emily Arundell menjadi tak yakin bahwa aliran
spiritual berpengaruh baik bagi Minnie.
Matanya kadang-kadang menerawang terlalu
jauh, dan ia nampaknya menjadi lelah dan
terlalu terpengaruh perasaannya.
Aneh yang dikatakannya mengenai lemari
Boule, pikir Nona Arundell sambil
membaringkan dirinya di tempat tidur. Ia
tersenyum tak senang mengingat peristiwa yang
terjadi bertahun-tahun yang lalu. Lemari Boule
itu pernah dibuka setelah Papa meninggal. Dan
yang keluar botol-botol brandy kosong. Hal itu
tak mungkin diketahui oleh Minnie Lawson,
apalagi Julia dan Isabel Tripp. Bahwa lemari
Boule disebut-sebut mereka, itu membuat
orang jadi ragu-ragu untuk seratus persen tidak mempercayai kebenaran aliran
mereka.... Di tempat tidurnya yang berukuran besar itu
Nona Arundell tak bisa memejamkan mata.
Akhir-akhir ini ia sering sulit tidur. Tapi ia tak mau meminum obat tidur yang
diberikan Dokter Grainger. Obat tidur bukan untuknya.
Obat tidur dipakai oleh orang-orang yang
lemah, yang tak kuasa menahan sakit.
Sering Nona Arundell bangun dan berjalan kian
kemari dalam rumahnya, mengambil sebuah
buku, memeriksa hiasan dinding, mengatur
kembali bunga yang sudah teratur dalam vas,
menulis surat... sambil menunggu kantuknya
tiba. Bahkan dalam kesepian malam, ia
merasakan ada sesuatu yang hidup dalam
rumahnya. Dan ia menyukai perasaan itu.
Seolah-olah roh mereka ada di sekitarnya. Roh
kakak dan adik perempuannya: Arbella, Matilda,
dan Agues; roh Thomas, adik laki-lakinya yang
sangat dekat dengannya sampai ia direbut oleh
wanita itu! Bahkan juga roh Jenderal John
Laverton Arundell, seorang tiran yang
menawan, yang sering memerintah anak-
anaknya dengan kekerasan, tapi yang selalu
menjadi kebanggaan mereka.
Pikirannya melayang kepada tunangan
kemenakannya. "Laki-laki itu tak akan berani minum! Katanya dia laki-laki. Tapi
cuma air bening yang diminumnya malam tadi! Air
bening! Sedang aku saja berani minum anggur
khusus kesukaan Papa."
Lain dengan Charles. Dia laki-laki sejati. Oh,
kalau saja Charles bisa dipercaya. Kalau saja
orang tak tahu bahwa dengannya...


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pikirannya terpecah belah., kini Emily Arundell mengingat kembali semua kejadian
sejak malam Minggu yang lalu.... Rasanya semuanya meresahkan....
Ia mencoba membuang jauh-jauh perasaan
kuatirnya. Tapi tak bisa.
Ia bangkit, dan dengan bantuan cahaya lampu
tidurnya yang temaram dilihatnya jam dinding.
Pukul satu. Tapi sedikit pun ia tak merasa
mengantuk. Dikenakannya sandal dan kimono. Ia ingin
turun, sekedar memeriksa buku-buku yang akan
dibayarnya besok pagi. Seperti bayang-bayang, wanita itu keluar
menyelinap dari dalam kamar tidurnya.
Ditelusurinya jalan menuju anak tangga yang
diterangi oleh sebuah lampu kecil. Lampu itu
selalu dibiarkan menyala sepanjang malam.
Sampai di ujung koridor, ia mengulurkan
tangannya - hendak berpegang pada ril yang
terdapat di sisi tangga. Tapi, tanpa diduga-duga, tiba-tiba saja ia terjungkal.
Gagal menjaga keseimbangan badannya, wanita tua itu
terguling dan jatuh menggelinding ke bawah.
Hempasan tubuhnya di lantai, teriakannya yang
melengking, memecah keheningan malam
mengusik kelelapan tidur seisi rumah. Pintu-
pintu dibuka, dan lampu dinyalakan.
Nona Lawson melongok ke luar kamarnya yang
terletak paling dekat tangga.
Berteriak histeris, wanita itu tergopoh-gopoh
turun. Yang lain berdatangan satu per satu.
Charles menguap dan masih mengenakan jas
kamar. Theresa, tubuhnya cuma diliput sehelai
kain sutera warna gelap. Bella, dengan kimono
biru laut dan rambut penuh gulungan.
Dengan pikiran tak menentu, Emily Arundell
terbaring di lantai. Bahu, pergelangan kaki, dan seluruh tubuhnya terasa sakit.
Ia sadar dirinya dikelihngi orang. Sadar juga bahwa Minnie
Lawson meraung-raung sambil merabai
tubuhnya tak karuan, bahwa Bella berdiri
melongo, dan bahwa Charles - dari tempat yang
jauh sekali - bicara, "Bola Bob penyebabnya! Lagi-lagi anjing bodoh itu meninggalkan bolanya di sini.
Lihat, ini dia bolanya. Kasihan Bibi Emily."
Kemudian Emily merasa dirinya didekati oleh
orang yang menguasai situasi. Yang lain-lain
diperintahkannya minggir. Orang itu berlutut di sampingnya, merabai tubuhnya
dengan penuh pengetahuan tentang bagian-bagian yang perlu
diperiksanya. Perasaan lega meliputi diri Emily. Ia merasa
aman. Dengan suara tegas Dokter Tanios berkata,
"Untung tidak apa-apa. Tak ada patah tulang.
Cuma shock dan sedikit lecet-lecet."
Setelah sekali lagi menyuruh orang-orang di
sekitarnya minggir. Dokter Tanios mengangkat
tubuh Emily dan menggendongnya kembali ke
kamarnya. Di situ ia memeriksa denyut nadi
Emily. Kemudian sambil mengangguk ia
menyuruh Minnie (wanita itu masih saja
menangis meraung-raung) keluar mengambil
brandy dan botol air panas.
Dalam keadaan bingung tak menentu seperti itu
dan dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya,
Emily Arundell merasa bersyukur ada Jacob
Tanios di dekatnya. Ia merasa aman di tangan
laki-laki profesional semacamnya. Laki-laki itu memberikan perasaan yakin serta
menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Itu
memang tugas dan kewajiban seorang dokter.
Namun ada sesuatu - ya, ada sesuatu yang
membuatnya resah. Ia tak tahu apa, dan segan
mencari jawabnya sekarang. Ia akan minum
brandy yang diberikan kepadanya, dan tidur. Itu perintah dokter.
Hanya saja hatinya yakin akan sesuatu. Sesuatu
yang hilang. Ya, ada sesuatu yang hilang.
Oh, ia tak mau berpikir... Bahunya amat sakit.
Diminumnya isi gelas yang disodorkan
kepadanya. Terdengar Dokter Tanios berkata, suaranya
sejuk dan meyakinkan, "Dia akan sehat kembali besok."
Dan, Emily pun memejamkan mata. Ia
terbangun oleh bunyi yang tak asing - salak
anjing. Sebentar saja Emily jadi benar-benar terjaga.
Bob - Bob yang nakal! Ia menyalak-nyalak minta
dibukakan pintu. Begitu selalu nadanya
menyalak kalau semalaman tidak pulang.
Lembut memelas, seolah menyampaikan
permintaan maaf dan minta dirinya diterima
kembali di rumah. Nona Arundell memasang telinga. Oh, beres.
Terdengar Minnie turun membukakan pintu
buat Bob, dan dengan suara tertahan ia
memarahi Bob, "Kau memang nakal sekali,
Bobsie...!" Terdengar suara pintu dibuka. Pintu dapur. Tempat tidur Bob letaknya
di bawah meja dapur. Kini Emily Arundell sadar apa yang semalam
dirasanya hilang. Bob! Dalam keadaan normal,
Bob pasti ikut-ikutan menonton dirinya ketika ia terbaring kebingungan di kaki
tangga semalam. Paling tidak, kalau ia sudah terkunci di dapur, ia akan menyalak-nyalak sambil
menggurat pintu dapur dengan kukunya - minta .dibukakan
pintu. Itu, kalau Bob ada di rumah.
Jadi itulah yang mengganggu pikirannya tadi
malam. Sekarang semuanya sudah jelas. Bob
rupanya pergi mencari kesenangan di luar
rumah, fa memang sekali-sekali suka begitu.
Naluri hewaninya kadang-kadang melupakan
sopan santun yang telah diajarkan kepadanya.
Bob, Bob! Oh, tapi ia selalu minta maaf
sesudahnya. Masalahnya sudah gamblang kini. Tapi, benar-
kah" Apa lagi yang seolah masih mengganjal
pikirannya" Kecelakaan itu - kecelakaan yang
baru saja dialaminya. Ya, rasanya ada
hubungannya dengan itu. Benar. Ada orang yang mengatakan - Charles,
orangnya. Ya, Charles mengatakan bahwa ia
jatuh karena bola Bob - karena Bob
meninggalkan lagi bolanya di dekat tangga....
Bola itu ada di sana - Charles memungut dan
menunjukkan bola itu kepada yang lain....
Emily Arundell merasa pusing. Bahunya berde-
nyut-denyut. Tubuhnya yang lecet terasa
perih.... Namun, di balik segala penderitaannya, pikirannya tetap terang dan
jernih. Ia tidak kebingungan lagi. Ingatannya sangat jelas.
Ia mengingat segala peristiwa yang terjadi sejak pukul enam sore kemarin... satu
per satu... sampai tiba pada saat ia berada di ujung tangga, hendak turun...
Tiba-tiba ia diliputi ketakutan yang dahsyat....
Pasti - pasti pikirannya salah... Orang memang
cenderung membayangkan yang aneh-aneh
setelah mengalami kecelakaan. Ia kembali lagi
kepada pikirannya semula. Ia berusaha, betul-
betul berusaha, mengingat kakinya menyentuh
benda bulat -bola Bob - sebelum melangkah dan
terjatuh.... Tapi tidak. Ia yakin sekali tak ada bola yang
menghalangi langkahnya. Bukan bola, melainkan... "Bah! Ini semua cuma perasaanku," ujar Emily Arundell pada dirinya sendiri.
"Cuma bayangan-bayangan tolol."
Walaupun begitu akal sehat dan otaknya yang
teramat cerdik itu tak mau menerima
kesimpulannya sendiri. Ia bukan orang bodoh.
BAB 4 NONA ARUNDELL MENULIS SURAT
Hari jumat. Tamunya sudah pulang semua.
Mereka pulang hari Rabu, seperti rencana
semula. Masing-masing menawarkan diri untuk
tinggal lebih lama, menemaninya. Tetapi Emily
Arundell menolak semua tawaran mereka. Ia
lebih suka 'ketenangan', Selama dua hari semenjak kemenakannya
meninggalkan Market Basing, tak henti-
hentinya Emily Arundell merenung. Sering tak
kedengaran olehnya Minnie berbicara
kepadanya. Ia cuma memandang wanita itu
dengan acuh tak acuh dan menyuruhnya
mengulangi lagi kata-katanya.
"Shock-nya. belum hilang," ujar Minnie Lawson.
"Aku kuatir dia tak bisa kembali seperti dulu lagi," tambahnya mengungkapkan isi
hatinya. Sebaliknya, Dokter Grainger sangat
membesarkan hati. Katanya, satu dua hari lagi Nona Arundell sudah boleh meninggalkan tempat tidur,
dan bahkan boleh turun ke ruang bawah. Dikatakannya pula
bahwa ia sangat beruntung tulangnya tidak ada
yang patah, bahwa ia seorang pasien yang
sebetulnya tidak memerlukan dokter - dan,
bahwa jika semua pasien sikapnya seperti itu, ia bisa tutup praktek.
Biasanya, Emily Arundell menangkis kata-kata
dokternya dengan penuh semangat. Ia dan
Dokter Grainger tua itu sudah lama sekali
bersahabat. Dokter Grainger sering
mengancam, dan Nona Arundell mentah-
mentah menantang. Keduanya menemukan
banyak kesenangan dalam persahabatan
mereka. Tapi kini, sesudah dokternya pergi, Emily
Arundell berbaring dengan dahi berkerut. Ia
masih terus berpikir - dan berpikir. Kata-kata
Minnie Lawson cuma selengah kedengaran
olehnya. Tapi, tanpa diduga-duga ia tersentak
dan kembali ke lingkungannya yang nyata. Kalau
sudah begitu, kata-kata Minnie Lawson
ditanggapinya dengan tajam.
"Bobsie, Bobsie," ujar Minnie Lawson sambil membungkuk membelai Bob yang sedang
berbaring di atas permadani di kaki tempat
tidur tuannya. "Kalau kau tahu betapa fatal akibat kelalaianmu, Bobsie - kau
pasti akan sangat menyesal dan bersedih."
Emily Arundell membentak, "Jangan bodoh,
kau, Minnie! Di Inggris berlaku hukum, bahwa
tak seorang pun boleh dituduh bersalah
sebelum kesalahannya terbukti. Tak tahukah
kau akan hukum itu?" "Oh, tapi kita kan tahu..."
Sekali lagi Emily membentaknya, "Kita tidak tahu apa-apa sama sekali. Hentikan
tindak-tanduk dungumu itu-jalan sana, jalan sini
sentuh ini, sentuh itu. Menjengkelkan sekali.
Tak tahukah kau bagaimana mesti bersikap di
kamar orang sakit" Pergi, kau! Suruh Ellen ke
sini." Dengan patuh Nona Lawson keluar dari kamar
majikannya. Emily Arundell memandang wanita itu dengan
sedikit menyesali kata-katanya. Walau sering
menjengkelkan, Minnie Lawson selalu berusaha
melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Kerut-kerut kembali menghiasi dahinya.
Ia merasa bingung dan sedih tiada menentu.
Biasanya ia benci melihat orang bersikap seperti dirinya saat itu. Pikirannya
yang hidup dan kemauannya yang keras selalu mengatakan,
bahwa selalu ada jalan keluar dari situasi yang bagaimanapun sulitnya. Tetapi
kali ini, ia betul-betul tak mengerti langkah apa yang harus
diambilnya. Ada kalanya ia bimbang akan pikirannya sendiri, akan daya ingatannya. Tapi, tak
ada seorang pun tempat ia bisa mencurahkan isi hatinya.
Setengah jam kemudian, ketika Nona Lawson
masuk dengan berjingkat-jingkat ke kamar
majikannya, dilihatnya majikannya tidur.
Hampir saja cangkir yang dibawanya terjatuh
ketika tiba-tiba Nona Arundell berkata,
"Mary Fox," "Apa?" tanya Nona Lawson.
"Sudah jadi tulikah, kau, Minnie" Mary Fox, kataku. Perempuan yang kujumpai di
Cheltenham tahun lalu. Dia saudara pendeta
yang ada di Kathedral Exeter. kesinikan cangkir itu. Kau kurang hati-hati.
Isinya kautumpahkan, Minnie. Dan ingat, jangan lagi berjingkat-jingkat kalau
masuk ke kamarku. Tingkah seperti itu
sangat menjengkelkan. Sekarang, turunlah kau.
Ambilkan buku telepon."
"Bisa saya bantu cari nomornya" Atau Anda
mungkin perlu suatu alamat?"
"Kalau aku ingin kaulakukan itu, tentu sudah kukatakan dari tadi, Minnie.
Lakukan perintahku. Bawa buku itu ke sini, dan letakkan map yang berisi kertas suratku
di meja samping ranjangku." Nona Lawson mengikuti perintah yang


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diterimanya. Setelah yakin semua permintaan majikannya
terpenuhi, ia pun beranjak meninggalkan kamar
Nona Arundell. Tanpa diduga-duga, Emily
Arundell berkata, "Kau baik dan setia, Minnie. Jangan hiraukan kalau aku membentakmu. Aku tahu itu
menyakitkan. Tapi, kau sangat sabar dan baik
kepadaku." Nona Lawson keluar dengan wajah bersemu
merah. Mulutnya komat-kamit menyemburkan
kata-kata yang tak menentu.
Duduk bersandar di tempat tidurnya, Nona
Arundell menulis surat. Ia menulis dengan
perlahan-lahan dan sangat berhati-hati. Kadang-
kadang ia berhenti untuk berpikir atau
menggarisbawahi kata-kata yang telah
ditulisnya. Berkali-kali ia mencoret kata-kata yang baru
ditulisnya. Ia tidak berusaha menyalin kembali
halaman yang dipenuhi coretan. Di sekolahnya
dulu, ia diajar tidak membuang-buang kertas
tulis. Akhirnya, dengan rasa puas ia
menandatangani suratnya dan memasukkannya
ke dalam amplop. Ia menuliskan sebuah nama
di bagian depan amplop itu. Kemudian
diambilnya sehelai kertas tulis baru. Kali ini ia membuat draft. Setelah membaca
kembali dan membetulkan beberapa bagian pada surat ini,
disalinnya isinya. Dibacanya sekali lagi dengan hati-hati -- lalu, dimasukkannya
ke dalam sebuah amplop. Di bagian depannya ia
menuliskan: Tuan William Purvis, Kantor
Pengacara Purvis, Purvis, Charlesworth,
Harchester. Diambilnya kembali amplop yang pertama yang
bertuliskan M. Hercule Poirot di bagian
depannya. Kemudian, dibukanya buku telepon.
Setelah menemukan alamatnya, dituliskannya
alamat itu pada amplop tadi.
Ada yang mengetuk pintu kamarnya.
Nona Arundell cepat-cepat memasukkan
amplop yang baru diberinya alamat ke dalam
salah satu kantong pada map kertas suratnya.
Ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan Minnie.
Minnie terlalu suka mencampuri urusan orang
lain. "Masuk," serunya sambil membaringkan
kembali tubuhnya dengan perasaan lega.
Ia telah mengambil langkah yang diperlukannya
untuk mengatasi situasinya.
BAB 5 HERCULE POIROT MENERIMA SURAT
Kejadian yang baru saja kuceriterakan tadi
tentulah tidak kuketahui sampai berbulan-bulan
sesudahnya. Tetapi, dengan menanyai berbagai
anggota keluarga Nona Arundell secara teliti,
dapatlah kususun urut-urutan kejadiannya
dengan cukup sempurna. Kami, Poirot dan aku, baru terlibat dalam
skandal itu sendiri setelah menerima surat Nona Arundell.
Ingat benar aku akan hari itu. Suatu hari yang
panas dan gersang menjelang akhir bulan Juni.
Poirot sedang melakukan pekerjaan rutinnya:
membuka surat yang diterimanya dari petugas
pos pagi. Dipungutnya surat-surat itu satu per
satu, diamat amannya dengan cermat, dan baru
kemudian dengan hati-hati ia membuka
amplopnya menggunakan pisau pemotong
kertasnya. Setelah membaca isinya dengan
sungguh-sungguh, ia meletakkan surat itu pada
salah satu dari keempat tumpukan yang terletak
di seberang termos coklat-nya. (Poirot punya
kebiasaan minum coklat sebagai sarapan).
Pekerjaannya ini dilakukan tiap hari seperti
mesin. Begitu teratur dan lancar langkah-langkahnya
melakukan pekerjaan itu. hingga penyimpangan
sedikit saja pada gerakannya segera menarik
perhatian orang yang bersamanya.
Saat itu aku sedang duduk dekat jendela,
memperhatikan lalu lintas di bawah. Aku baru
saja kembali dari Argentina. Hatiku serasa hidup kembali berada di tengah deru
kota London. Kutengok Poirot, dan sembari tersenyum
kukatakan, "Poirot, boleh aku menebak sesuatu?" "Hmm.
Tentu saja. Apa itu?" Kutrgakkan dudukku. Lalu dengan angkuh kukatakan,
"Pagi ini kau menerima surat yang menarik
perhatianmu!" "Kau memang benar-benar seorang Sherlock
Holmes! Ya, tepat sekali."
Aku tertawa. "Aku kenal cara kerjamu, Poirot. Kalau kau sampai membaca sebuah surat dua kali,
pasti ada sesuatu di dalamnya yang menarik
perhatianmu." "Itu kesimpulanmu sendiri, Hastings!"
Sambil tersenyum Poirot menyodorkan surat
yang kami perbincangkan kepadaku.
Kuterima surat itu. Aku meringis. Tulisannya
bengkok-bengkok - model tulisan kuno, dan
penuh coretan di sana sini.
"'Mesti kubacakan surat ini. Poirot?" keluhku.
"Tidak ada yang mengharuskanmu. Kawan."
"Mau kasih tahu apa isinya?"
"Lebih baik kaubaca sendiri supaya kau bisa menyimpulkannya. Tapi, kalau kau
segan, tak usah repot-repot." "Aku ingin tahu isinya," protesku.
Poirot berkomentar tak acuh,
"Percuma. Surat itu tak ada isinya."
Kupikir Poirot mulai mempermainkanku Tanpa
berlama-lama, kucurahkan perhatianku pada
surat itu. M. Hercule Poirot. Dengan hormat, Setelah lama sekali kebingungan, saya
memenulis (kata yang terakhir dicoret). Saya
terpaksa menulis surat kepada Anda dengan
harapan Anda bisa membantu saya
memecahkan suatu masalah yang sangat
pribadi sifatnya (dua kata terakhir digarisbawahi rangkap tiga).
Saya mengenal nama Anda. Nona Fox dari
Exeter pernah menyebutkan nama Anda kepada
saya, Nona Fox sendiri tidak kenal Anda. Ia
cuma mengatakan bahwa saudara perempuan
kakak iparnya (namanya, maaf saya lupa)
menceriterakan kebaikan dan kebijaksanaan
Anda yang luar biasa (kata-kata luar biasa
digarisbawahi). Tentu saja saya tidak
menanyakan apa masalahnya yang pernah Anda
bantu pemecahannya itu (masalahnya
digarisbawahi) Meskipun begitu, Nona Fox
mengatakan, bahwa masalahnya sangat
menyedihkan dan rahasia (empat kata terakhir
diberi garis bawah tebal).
Aku berhenti membaca tulisan yang sukar sekali
dibaca itu. "Poirot," tanyaku, "mestikah kuteruskan"
Rasanya berbelit-belit sekali."
"Lanjutkan, Kawan. Sabar."
"Sabar," gerutuku. "Ini sih tak ada bedanya dengan membaca.... Oh, aku jadi
membayangkan laba-laba yang kecempelung ke
botol tinta lalu berjalan di atas kertas ini....
Hasilnya pasti guratan-guratan macam tulisan
ini." Sekali lagi kualihkan perhatianku kepada surat
di tanganku. Dalam dilema yang sedang saya hadapi ini, saya
pikir Anda bisa membantu menyelidiki
beberapa hal. Masalahnya, seperti yang
tentunya Anda ketahui, sangat memerlukan
kebijaksanaan, dan saya - tidak perlu kiranya
saya kemukakan di sini, betapa saya berdoa
(kata berdoa ini digarisbawahi dua kali) supaya masalah ini - semoga apa yang
ada dalam pikiran saya ini - tidak benar. Saya sadar, orang sering cenderung mempersulit
masalah yang sesungguhnya amat sederhana.
"Ada halaman yang hilang, mungkin?"
gumamku sedikit heran. "Tidak. Tidak ada."
"Tidak masuk akal. Apa sih yang sebenarnya dibicarakan wanita ini?" "Teruskan
saja, Bung." Masalahnya, seperti yang Anda mengerti....
Bah! Yang ini sudah kubaca tadi. Nah! Ini...
sampai di sini aku tadi. Dalam situasi begini, saya yakin Anda dapat
menghargai pikiran saya yang satu ini, tak
seorang pun dapat saya mintai pendapat di
Market Basing ini. (Kutengok kembali kepala
suratnya. Puri Hijau, Market Basing, Berks.)
Tentunya Anda juga dapat mengerti betapa
tidak enaknya perasaan saya (tidak enak
digarisbawahi). Sejak beberapa hari belakangan
ini, berkali-kali saya menuduh diri saya terlalu membayangkan yang tidak-tidak
(empat kata terakhir digaris tiga di bawahnya). Namun, hati saya semakin tidak enak.
Berkali-kali pula saya yakinkan diri saya, bahwa perasaan saya itu
tidak ada artinya dan bahwa saya bodoh kalau
terlalu menghanyutkan diri terhadap perasaan
seperti itu, tetapi tetap saja. Perasaan tidak
enak dalam hati saya tidak mau hilang. Saya
merasa pasti akan hal itu. Berpikir begini terus-menerus sangat mempengaruhi
kesehatan saya. Tentu saja saya ada dalam posisi yang sulit,
karena saya tidak bisa mengatakan apa pun
kepada siapa pun (apa pun kepada siapa pun
diberi garis bawah tebal). Mungkin Anda
berpikir, bahwa semuanya ini hanyalah masalah
yang sepele. Memang. Mungkin muatan
terhadap masalah ini pun sebetulnya sepele
(sepele digarisbawahi). Meskipun begitu, meski
bagaimanapun sepele kelihatannya, saya selalu
merasa gelisah dan ketakutan semenjak
kecelakaan yang disebabkan oleh bola- mainan
anjing itu. Saya minta pendapat dan nasihat
Anda dalam hal ini. Saya yakin, ini akan sangat meringankan beban pikiran saya.
Mohon Anda kabarkan berapa imbalan yang Anda minta, dan
apa yang harus saya lakukan dalam hal ini.
Sekali lagi, saya tekankan di sini, bahwa tidak ada seorang pun di sini yang
tahu mengenai hal ini. Faktanya, saya tahu, sangat sepele dan tidak penting, tapi kesehatan saya
buruk dan perasaan saya (perasaan diberi garis bawah tiga kali) tidak lagi seperti dulu.
Kekuatiran seperti ini jelek bagi diri saya. Dan, semakin saya
pikirkan masalahnya, semakin saya yakin akan
kebenaran pikiran saya - bahwa saya tidak
mungkin salah. Tentu saja saya tidak akan
mengatakan apa pun (ini digarisbawahi) kepada
siapa pun (juga digarisbawahi).
Nasihat Anda yang segera sangat saya
harapkan. Hormat saya, Emily Arundell
Kubalik surat itu dan kubaca lagi setiap halaman dengan teliti. "Tapi, Poirot,"
seruku, "Apa maksudnya surat ini?"
Poirot mengangkat bahu. "Benar. Apa
sebetulnya maksudnya?" Kuketuk-ketuk surat itu dengan perasaan tak sabar.
"Bukan main! Nyonya - atau, Nona-kah dia?"
"Kupikir dia seorang Nona. Gaya suratnya khas gaya surat perawan tua."
"Benar," ujarku. "Perawan tua yang cerewet.
Aku tidak mengerti."
Poirot menarik napas. "Persis seperti yang kauhilang, tanpa susunan dan tanpa metoda. Hastings..."
"Persis," potongku cepat-cepat, "Tidak memakai otak sama sekali."
"Bukan begitu, Kawan."
"Lalu, apa maksudnya menulis surat seperti itu?"
"Hm. Hm," gumam Poirot. "Isinya memang hampir tidak ada."
"Bertele-tele, ke sana kemari, tapi tidak ada tujuannya. Mungkin dia cuma mau
mengatakan anjingnya terserang penyakit asma... Oh,
sungguh membingungkan. Begitu, tapi kau
membacanya sampai dua kali, Poirot."
Poirot tersenyum. "Kalau kau, Hastings - apa yang hendak
kaulakukan" Membuangnya ke tempat
sampah?" "Kupikir begitu," sahutku sambil sekali lagi meneliti surat yang masih kupegang.
"Mungkin pikiranku sedang buntu. Tapi, sungguh mati, aku tidak melihat sesuatu
yang menarik dalam surat ini." "Ada yang sangat menarik - yang langsung
menarik perhatianku begitu amplopnya
kubuka." "Tunggu," cegahku. "Jangan katakan dulu.
Kucoba sekali lagi mencari point yang menarik
perhatianmu. Mungkin kali mi aku bisa
menemukannya " Aku jadi penasaran. Kuteliti lagi surat itu Akhirnya aku cuma
bisa geleng

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala. "Aku menyerah, Sobat. Perempuan tua itu
terlalu berbelit-belit. Mungkin insting yang
menyebabkan-mu..." Poirot nampak tersinggung.
"Insting! Kau tahu betapa aku membenci kata yang satu itu, Hastings. Perasaan
tidak kupakai dalam urusan begini. Otak! Sekali lagi. olak yang kupakai. Matamu
kurang jeli, Hastings."
"Oke," komentarku lelah "Sebutkan sekarang di mana kebodohanku."
"Kau tidak bodoh, cuma kurang jeli."
"Sudahlah! Katakan sekarang apa yang menarik perhatianmu itu. Paling-paling.. "
Poirot tidak mempedulikan omelanku. Dengan
tenang sekali ia berkata,
"Yang menarik tanggalnya"
"Tanggalnya?" Kupungut kembali suratnya Pada sudut kiri atas
kulihat tertulis: tujuh belas April.
"Ya." komentarku lambat. "Memang aneh.
Tanggal tujuh belas April."
"Sekarang sudah tanggal dua puluh delapan
Juni. Mencurigakan, bukan" Lebih dari dua
bulan yang lalu surat itu ditulis."
Kugelengkan kepala dengan bimbang.
"Siapa yang tahu itu tidak punya arti apa-apa.
Salah tulis. Maksudnya mau menulis tujuh belas
Juni, keliru jadi tujuh belas April."
"Seandainya toh betul begitu, masih tetap aneh.
Berarti baru sepuluh atau sebelas hari
kemudian surat itu kuterima. Tapi dugaanmu itu
pasti salah. Lihat kertasnya, dan warna tintanya.
Surat ini ditulis lebih dari cuma sepuluh atau
sebelas hari yang lalu. Aku yakin tanggal yang
tertulis di situ tidak salah. Tapi. apa sebabnya surat itu tidak segera
dikirimkan?" "Itu gampang dijelaskan," ujarku. "Penulisnya ragu-ragu, dan memutuskan untuk
tidak mengirimkannya." "Kalau begitu, mengapa tidak dia musnahkan saja suratnya, dan bukannya menunggu
sampai begitu lama baru mengirimkannya?"
Harus kuakui, sulit menjawab pertanyaan Poirot
yang satu ini. Aku tak berhasii mencari jawaban yang memuaskan. Karena itu aku
cuma menggeleng. Poirot manggut-manggut. "Sekarang kau tahu, kan" Ini sungguh-sungguh mencurigakan."
Ia beranjak kembali ke meja tulisnya,
mengambil pena. "Akan kaujawab surat itu?" tanyaku. "Oui, mon ami."[Ya, Sobat.]
Hening meliputi suasana ruang kerja Poirot.
Yang kudengar cuma gesekan penanya dengan
kertas. Udara terasa pengap. Bau debu dan
aspal panas menerobos masuk melalui jendela.
Poirot bangkit. Surat yang baru ditulis
dipegangnya. Dibukanya laci, dan
dikeluarkannya sebuah kotak kecil. Dari dalam
kotak itu, Poirot mengeluarkan sebuah
perangko. Dibasahinya belakang perang-ko itu
dengan busa basah, lalu ia pun siap
menempelkannya pada amplopnya.
Tetapi, tiba-tiba ia tertegun. Dengan perangko
basah masih terpegang di tangannya, ia
menggeleng "geleng. "Non!" serunya. "Tindakan begini salah." Poirot merobek surat yang baru
ditulisnya dan melemparkan serpihan kertasnya ke dalam
keranjang sampah. "Bukan begitu caranya. Kita harus pergi ke sana."
"Maksudmu ke Market Basing?"
"Persis. Apa salahnya" Daripada kepanasan di London hari ini.... Hawa pedesaan
tentu lebih menyenangkan." "Terserah kalau itu maumu," ujarku. "Kita naik mobil?"
Aku baru saja dapat mobil bekas merek Austin.
"Bagus! Cuacanya pas benar buat melancong
naik mobil. Tak perlu dasi - cukup jaket dan
syal sutera..." "Poirot - buat apa" Kita toh bukan mau ke
kutub?" protesku. "Yah, untuk jaga kesehatan saja. Kita mesti baik-baik menghindari flu sekarang
ini," komentar Poirot.
"Meskipun hari gerah seperti ini?" tanyaku keheranan.
Tanpa mempedulikan protesku, Poirot
mengambil jaket, mengenakannya, dan
kemudian melilitkan saputangan sutera pada
lehernya. Ia meletakkan perangko yang telah
dibasahinya tadi di atas kertas penghisap
dengan bagian yang basah di sebelah atas.
Selelah itu kami pun berangkat.
BAB 6 PURI HIJAU Tak terbayangkan olehku bagaimana rasanya
Poirot dalam pakaiannya yang seperti itu. Aku
sendiri, yang tanpa jaket dan syal, sudah merasa dipanggang sebelum kami keluar
dari lalu lintas London yang hiruk-pikuk Mobil berkap terbuka
bukan tempat yang nyaman pada siang hari
sepanas itu. Sekeluar dari London, semangatku timbul
kembali. Perjalanan kami memakan waktu kurang lebih
satu jam setengah. Sudah hampir pukul dua
belas ketika kami sampai di Market Basing.
Dulunya kota ini terletak di pinggir jalan utama.
Sekarang sudah ada jalan by-pass kurang lebih
tiga mil di sebelah utaranya. Dengan demikian
Market Basing terhindar dari kebisingan lalu-
lintas jalan raya antarkota. Kota itu tidak
kehilangan keanggunan dan ketenangan masa
lalunya. Satu-satunya jalan raya dan pasar
berpelataran luas yang ada di situ seolah-olah
mengatakan, "Aku pernah menjadi tempat
penting. Orang berpendidikan akan tetap
menganggapku demikian. Biarkan dunia
modern yang serba tergesa-gesa lewat
dijalannya yang baru dan megah; Aku dibangun
pada zamanku - zaman setia kawan dan
keindahan - dan aku harus tetap bertahan."
Tempat parkir di pasar itu cukup luas meski
cuma beberapa buah mobil diparkir di situ.
Kuparkir Austin-ku, dan Poirot pun
menanggalkan pakaiannya yang berlebihan. Ia
meraba kumisnya, memeriksa apakah
bentuknya tetap rapi dan simetris.
Pertanyaan kami yang pertama tidak
mendapatkan respons yang memuaskan. "Maaf, saya sendiri orang baru di sini."
Pada penglihatan kami, hampir mustahil ada orang
baru di kota kuno ini. Aku pun merasa bahwa
kami berdua sudah mulai menjadi perhatian
orang. Pembawaan kami semacam tidak sesuai
dengan lingkungan kota yang masih penuh
tradisi itu. "Puri Hijau?" Laki-laki gendut bermata bulat yang kami tanyai memandang kami
dengan keheran-heranan. "Terus saja. Pasti ketemu.
Anda tidak mungkin kesasar. Setelah melewati
Bank, rumah besar yang pertama di sebelah kiri
jalan. Namanya tertulis di pintu gerbangnya."
Sekali lagi ia berkala, "Pasti ketemu."
Pandangannya mengikuti kepergian kami.
"Oh, Tuhan," keluhku. "Aku merasa diriku aneh di tengah-tengah kota seperti ini.
Tapi, kau, Poirot, kau lebih kelihatan aneh lagi."
"Maksudmu, aku kelihatan seperti orang asing.
Begitu?" "Persis," ujarku.
"Padahal pakaianku jahitan penjahit Inggris."
"Pakaian bukan satu-satunya tolok ukur,"
sahutku. "Kepribadianmu itu lho, Poirot. Sangat menyolok. Sering aku merasa
heran kelebihanmu ini bisa berjalan berdampingan
dengan karirmu. Maksudku, ini bisa
menghambat karir pada orang lain."
Poirot menarik napas. "Itu karena kau punya bayangan yang salah
tentang detektif. Hastings Detektif tidak perlu selalu memakai janggut palsu dan
bersembunyi di balik pilar! Janggut palsu itu cuma kedok.
Sedang bersembunyi - itu cuma dilakukan oleh
detektif-detektif pemula Hercule Poirot lain. ia cuma perlu duduk dan berpikir."
"Lalu mengapa kita mesti berjalan berpanas-panas seperti ini?"
"Jawabanmu hagus sekali, Hastings. Ini pertama kalinya kau menang angka dariku.'
Tanpa menemui kesukaran, kami menemukan
Puri Hijau. Namun sesuatu membuat kami
terkejut. Sebuah papan bertuliskan hama
sebuah agen jual/beli rumah terpampang di
tlepannya. Sementara kami memperhatikan papan nama
itu. terdengar salak seekor anjing Dari antara
daun-daunan, kulihat berdiri seekor anjing
Anjing terrier. Bulunya keriting dan tampak
lusuh. Kakinya mengangkang, dan ia menyalak-
nyalak dengan riang. "Lihatlah aku." begitu kira-kira kata anjing itu.
"Aku penjaga rumah ini Tapi jangan takut! Aku memang suka menyalak-nyalak
begini. Dan ini memang tugasku. Tapi aku senang kalian
datang. Pagi ini aku bosan sekali Pekerjaan yang sedikit ini menghiburku. Mau
masuk" Mudah-mudahan ya. Aku ingin teman mengobrol."
"Hai, Bung!" ujarku.
Anjing itu mendekat, dan melongokkan
kepalanya melalui sela-sela jeruji pagar, ia
mendengus-dengus. ekornya bergoyang-
goyang, ia nampak sedikit curiga.
"Aku mesti begini," ia seolah berkata. "Aku belum dikenalkan kepada kalian. Tapi
kelihatannya kalian haik baik."
"Anjing yang cerdik," ujarku.
"Guk," sahut anjing itu ramah.
"Nah, Poirot?" tanyaku mengalihkan perhatian dari anjing itu.
Ekspresi wajah Poirot aneh Aku tak bisa
menebak apa maknanya - semacam perasaan
senang yang tertahan. Begitulah!
"Kecelakaan yang disebabkan oleh bola mainan anjing," gumamnya. "Paling tidak,
kita telah ketemu dengan seekor anjing di sini."
"Guk," kawan haru kami memperhatikan gerak gerik kami. Kemudian ia duduk dan
menguap. Matanya menatap kami dengan penuh harap.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
tanyaku. Pertanyaan yang sama nampak pada mata si
anjing. "Meneruskan perjalanan ke Firma - apa tadi -
Firma Gabler and Stretcher," ujar Poirot sambil melihat kembali ke papan yang
terdapat di depan Puri Hijau. "Sudah kutebak," komentarku.
Kami berputar haluan, kembali ke arah Pasar.
Kawan baru kami menggonggong, seolah
memprotes kepergian kami.
Firma Gabler and Stretcher berkantor di sekitar pasar. kami masuk ke dalam
sebuah ruangan kantor yang agak gelap. Di situ kami disambut
oleh seorang wanita muda yang nampaknya
menderita adenoid. Matanya kuyu tanpa gairah.
"Selamat pagi," sapa Poirot sopan.
Wanita muda itu sedang berbicara di telepon. Ia mempersilakan kami duduk dengan
anggukan kepala. Di depan meja wanita itu cuma ada
sebuah kursi Untunglah aku menemukan
sebuah kursi lain yang segera kuseret ke dekat
kursi yang sudah diduduki Poirot.
"Saya tidak bisa mengatakan," ujar wanita itu dingin. "Saya tidak tahu berapa
harganya.... Apa" Oh, sumur, saya kira - tapi saya tidak
yakin... Maaf. Ya.... dia sedang keluar.... Saya tidak tahu.... Ya. Nanti saya
tanyakan kepadanya... Ya... 8135" Bisa diulang lagi" Oh...
8935... 39.... Oh. 5135.... Ya. Saya akan minta dia menelepon Anda nanti....
Setelah jam enam.... Oh, maaf. Sebelum jam enam. Terima
kasih banyak." Ia meletakkan gagang telepon, menuliskan 5319
pada secarik kertas, dan dengan acuh tak acuh
mengalihkan pandangannya kepada Poirot.
Segera Poirot membuka pembicaraan,
"Kelihatannya ada rumah dijual di pinggiran kota ini. Puri Hijau namanya, kalau
saya tak salah." "Rumah yang akan disewakan atau dijual,"
ulang Poirot lambat-lambat dan dengan sangat
jelas- "Puri Hijau."
"Oh, Puri Hijau," ucap wanita muda tadi tak jelas. "Puri Hijau?"
"Betul, Nona. Itu yang saya tanyakan."
"Puri Hijau," ujar wanita itu lagi- Nampaknya ada sesuatu yang ingin ia
sembunyikan. "Oh, Tuan Gabler yang tahu tentang rumah itu."
"Kalau begitu bolehkah saya bertemu dengan Tuan Gabler?"
"Sedang keluar," jawabnya. Ia kelihaian puas.
Ekspresi wajahnya seolah mengatakan, "Satu -
Nol." "Jam berapa kembalinya?" "Tidak tahu,"
ujarnya.

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya sedang mencari rumah di sekitar sini,"
Poirot berkata. "Oh," komentar wanita itu tak acuh.
"Saya tertarik sekali pada Puri Hijau. Boleh saya melihat brosur rumah itu?"
"Brosur?" wanita itu nampak terkejut.
"Ya. Brosur atau " data-data yang seadanya mengenai rumah itu."
Dengan segan ia membuka laci dan
mengeluarkan setumpuk kertas. Kemudian ia
berseru, "John!"
"Ya, Non?" "Kau punya data-data... apa Anda bilang tadi?"
"Puri Hijau," ucap Poirot jelas.
"Ini dia iklannya - terpasang jelas sekali di sini,"
ujarku sambil menunjuk pada papan iklan yang
tergantung di dinding. Wanita itu memandangku dingin. Dua - Satu.
Begitu kelihatannya ia berpikir, meskipun jelas-jelas permainan itu curang.
"Kau tidak tahu surat-surat mengenai rumah itu, kan, John?" tambahnya.
"Tidak, Non." ujar yang ditanya. "Di arsip barangkali."
"Maaf." ujarnya. "Mungkin surat-surat mengenai rumah itu sedang dipinjam orang."
"C'est dommage."[sayang.] "Apa?"
"Sayang." "Ada bungalow yang cantik di Hemel End - dua kamar tidur, satu ruang duduk." Ia
bicara tanpa semangat, sekedar menunaikan tugas.
"Terima kasih. Saya tidak tertarik."
"Ada lagi yang lain. Halamannya luas. Punya rumah taman. Data-datanya ada di
sini sekarang." "Tidak. Terima kasih. Saya cuma ingin tahu sewa Puri Hijau."
"Puri Hijau tidak disewakan," kata wanita itu.
Akhirnya ia meninggalkan sikap tidak-tahu-
menahu-nya mengenai Puri Hijau. Sekali lagi
gayanya seperti ia menang point lagi. "Rumah itu hendak dijual. Segera."
"Tapi di papannya saya baca disewakan/dijual."
"Oh, saya tidak tahu menahu tentang papan itu.
Yang saya tahu Cuma bahwa rumah itu dijual."
Pintu dibuka. Seorang laki-laki setengah baya
berambut abu-abu masuk dengan terburu-buru.
Matanya memandang kami bersinar-sinar. Alis
matanya naik seperti menanyakan sesuatu
kepada anak buahnya. "Ini Tuan Gahler," ujar wanita muda tadi.
Tuan Gabler membuka pintu ke dalam.
"Silakan masuk, Tuan," katanya sambil menunjukkan kursi. Sementara itu dia
sendiri berjalan mengelilingi meja kerjanya ke kursinya sendiri. Ia duduk menghadapi
kami. "Bisa saya bantu?"
Poirot memulai lagi. "Saya ingin mengetahui data-data mengenai
Puri Hijau..." Poirot tak sempat menyelesaikan kalimatnya
Tuan Gabler sudah mengambil alih
pembicaraan. "Oh, Puri Hijau! Penawaran yang menarik sekali itu, Tuan! Baru saja dipasarkan.
Jarang ada rumah taraf itu dijual dengan harga serendah
ini, Tuan. Selera orang sekarang rupanya
kembali lagi ke model kuno. Orang mulai bosan
dengan model-model bangunan sekarang.
Mereka ingin yang antik: gedung yang bagus,
kuat. dan buatan zaman dulu. Puri Hijau ini
sungguh-sungguh istimewa, Tuan. Modelnya,
suasananya... segalanya benar-benar
menyerupai zaman Gorgia dulu. Itu justru yang
dicari orang sekarang. Puri Hijau tidak akan
lama ada di daftar penjualan kami. Pasti cepat
laku. Kemarin, hari Sabtu yang lalu, ada seorang anggota Parlemen yang melihat.
Kelihatannya dia sangat tertarik. Janji akan datang lagi Sabtu depan. Ada lagi orang lain
yang melihat. Kalau tidak salah dari Bursa Saham. Orang mencari
ketenangan sekarang ini. Tuan. Mereka ingin
menjauhi keramaian kota. Rumah desa banyak
dijual. Tapi, hidup di desa itu kurang bermutu.
Lain dengan Puri Hijau ini. Tuan. Puri Hijau
mutunya luar biasa. Tahu sendiri bagaimana
mutu bangunan kuno. Jauh lebih bagus
buatannya daripada bangunan sekarang. Juga
lebih kuat, Tuan. Pasti cepat lakunya."
Tuan Gabler berhenti hicara. Kecapean
kelihatannya. "Apa rumah itu sering ganti tangan tahun-tahun belakangan ini, Pak?" tanya
Poirot. "Sebaliknya, Tuan. Rumah itu dimiliki oleh satu keluarga selama lebih dari lima
puluh tahun. Keluarga Arundell. Sangat dihormati di sini.
Mereka itu sisa-sisa pendidikan zaman dulu,
Tuan. Pute-rinya..." Ia membuka pintu dan
berseru, "Tolong ambilkan surat-surat Puri Hijau, Nona Jenkins. Cepat." Dan kembali kc
kursinya. "Saya sedang mencari rumah di luar London,"
ujar Poirot. "Di kota kecil, bukan terlalu di desa.
Anda mengerti maksud saya, kan?"
"Tentu. Tentu, Tuan. Tinggal di desa itu kurang nyaman. Pertama, pembantu jarang
mau bekerja di desa. Di sini. di Market Basing ini, Anda bisa merasakan kehidupan
desa tanpa mengurangi fasilitas yang bisa didapat di kota."
Nona Jenkins masuk membawa sehelai kertas
berhuruf ketik. Diletakkannya kertas itu di
hadapan majikannya, dan ia pun disuruh keluar
oleh Tuan Gabler. "Ini dia," ucap Tuan Gabler. Ia membaca tulisan pada kertas di hadapannya.
"Rumah kuno penuh karisma: empat ruang tamu, delapan
kamar tidur dan kamar pakaian, ruang kantor,
dapur luas, bangunan pelayan terpisah, istal
kuda, dan sebagai-nya. Air sumur, taman,
pemeliharaan murah, luas tanah dan bangunan
dua belas ribu meter persegi. Punya beberapa
rumah taman, dan sebagainya, dan sebagainya.
Harga permintaan 2.850 pound. Damai."
"Boleh dilihat?"
"Tentu. Tuan. Tentu." Tuan Gabler menulis dengan penuh semangat. "Nama dan
alamat Tuan?" Aku sedikit terkejut. Poirot menyebut dirinya
dengan nama Parotti. "Ada satu atau dua rumah lain di catatan kami yang mungkin menarik bagi Tuan,"
lanjut Tuan Gabler. Poirot membiarkan laki-laki itu berbicara. "Jadi Puri Hijau bisa dilihat setiap
saat?" tanyanya. "Tentu, Tuan. Tentu," jawabnya. "Akan saya telepon pelayannya. Supaya mereka
siap-siap." "Kapan Tuan akan melihat?" tanyanya,
"Sekarang, atau sesudah makan siang nanti?"
"Sesudah makan siang," jawab Poirot.
"Akan saya telepon mereka, Tuan. Saya katakan kira-kira jam dua. Begitu, ya.
Tuan?" "Terima kasih. Bapak tadi menyebut pemiliknya
- Nona Arundell. Betulkah itu?"
"Lawson. Nona Lawson. Tuan. Itu pemiliknya yang baru. Nona Arundell sudah
meninggal. Belum lama. Itu sebabnya Puri Hijau dijual.
Percayalah, Tuan - rumah itu pasti cepat
lakunya. Antara Tuan dengan saya saja... kalau
Tuan tidak jadi membelinya, saya rasa saya
sendiri yang akan membelinya. Ini rahasia,
Tuan. Seperti sudah saya katakan tadi, sudah
dua orang peminatnya. Mereka pasti
mengajukan tawaran satu atau dua hari lagi.
Mereka berlomba-lomba. Mudah-mudahan saja
Tuan tidak keduluan."
"Nona Lawson ingin cepat-cepat menjualnya?"
Tuan Gabler mengangguk penuh rahasia.
"Begitulah. Rumah itu terlalu besar untuknya -
wanita setengah baya yang hidup sendirian. Ia
ingin menjual Puri Hijau dan membeli rumah di
London. Bisa dimengerti. Itulah sebabnya dijual begitu murah."
"Kira-kira harganya bisa ditawar?"
"Itulah, Tuan. Cepat-cepat saja ajukan tawaran, dan bereskan. Saya yakin tak ada
kesukaran kalau Tuan menawar tidak terlalu jauh dari
harga permintaannya. Membangun rumah
seperti itu sekarang bisa habis enam ribu
pound... belum lagi harga tanah dan
perabotnya." "Nona Arundell. Apakah dia meninggalnya
mendadak?" "Sebetulnya tidak juga. Tuan. Mungkin memang sudah saatnya. Umurnya sudah tujuh
puluh lebih dan dia sudah lama sakit-sakitan. Dia yang paling akhir meninggal di
antara saudara-saudaranya. Mungkin Anda kenal atau
mengetahui sesuatu tentang keluarga itu?"
"Saya punya beberapa kenalan yang katanya
punya keluarga di daerah sini. Nama mereka
juga Arundell. Jadi saya pikir mungkin masih ada hubungannya."
"Mungkin sekali, Tuan. Ada empat bersaudara.
Perempuan semua. Yang satu kawin sudah tua.
Yang tiga lagi hidup di sini sampai akhir
hayatnya. Nona Emily yang bertahan paling
lama. Sangat dihormati di sini."
Tuan Gabler menyerahkan surat pengantar
kepada Poirot. "Tuan datang lagi, kan, Tuan" Memberitahukan keputusan Tuan" Memang di sana-sini
perlu diperbaharui. Tapi, berapalah biaya
memperbaiki satu atau dua kamar mandi" Itu
toh gampang diatur."
Kami beranjak meninggalkan ruangan kerja
Tuan Gabler. Sebelum keluar, terdengar suara
Nona Jenkins, "Tadi ada telepon dari Nyonya Samuel. Dia
minta ditelepon kembali. Negeri Belanda -
nomornya 5391." Seingatku, itu bukan nomor yang ditulis Nona
Jenkins tadi. Kukira, bukan juga nomor yang
disebutkan oleh peneleponnya tadi.
Aku yakin Nona Jenkins sedang membalas
dendam - karena ia dipaksa mencari surat-surat
Puri Hijau. BAB 7 SANTAP SIANG DI RESTORAN GEORGE
Di luar, kukatakan kepada Poirot bahwa Tuan
Gabler sesuai dengan namanya - cerewet.
Poirot tersenyum sambil manggut-manggut.
"Dia pasti kecewa kalau kau tidak muncul lagi,"
ujarku. "Ia begitu yakin kau akan membelinya."
"Betul. Tapi kelihatannya dia tak sadar dirinya dikibuli."
"Sebaiknya kita makan dulu sebelum kembali ke London. Atau, mungkin kau lebih
suka makan di perjalanan saja?" "Hastings, aku belum punya rencana buat
meninggalkan Market Basing begitu cepat.
Tujuan kita datang ke sini belum lagi tercapai."
Aku diam keheranan. "Maksudmu - oh, buat apa" Bukankah nenek itu sudah mati?"
Nadanya mengucapkan itu membuatku lebih
terbengong bengong. nyata benar bahwa otak
Poirot sangat dipengaruhi oleh surat yang
diterimanya pagi tadi. "Tapi, Poirot," protesku, "buat apa kaulakukan semuanya ini kalau orangnya sudah
mati" Dia tidak bisa menjelaskan apa-apa kepadamu.
Problem apapun yang dihadapinya waktu
menulis surat itu -sudah lewat. Perkaranya
sudah selesai." "Gampang sekali kau mengesampingkan urusan ini, Hastings. Dengar, tidak ada satu
perkara pun bisa dianggap selesai sebelum Hercule Poirot
mengundurkan diri dari perkara itu."
Mestinya, dari pengalaman aku harus tahu,
bahwa berbantah dengan Poirot tak ada
gunanya. Tapi toh kuteruskan juga.
"Tapi, karena dia sudah mati..."
"Persis, Hastings. Persis. Persis sekali. Berkali-kali kauulang fakta penting
yang satu itu tanpa menyadari kepentingannya. Nona Arundell
sudah mati." "Tapi ingat. Poirot. Ia meninggal dengan biasa-biasa saja... tidak ada keanehan
yang menyangkut kematiannya. Kau dengar sendiri
Tuan Gabler bilang begitu."
"Dia juga yang mengatakan bahwa Puri Hijau ditawarkan dengan harga 2.850 pound.
Kau juga percaya itu?" "Tentu saja tidak. Pada pikiranku itu cuma taktik supaya Puri Hijau cepat laku.
Siapa tahu keadaannya sudah parah sekali - perlu
perbaikan dari pondasi sampai atap" Aku yakin,
dalam hal begitu, kliennya mau menerima
tawaran yang jauh lebih rendah dari harga
permintaannya. Dari depan memang kelihatan
bagus. nyatanya, yang punya ingin cepat-cepat
membebaskan diri dari rumah itu. Pasti ada
apa-apanya." "Nah," tukas Poirot, "makanya jangan gampang saja mengatakan 'Kan Gabler bilang
begitu.' - seolah-olah ia nabi yang ucapannya tidak bisa
salah saja."

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hampir aku memprotesnya. Tapi, dengan
isyarat Poirot menghentikan niatku bicara. Kami tepat melintasi pintu masuk
sebuah restoran. Restoran George. Dan kami pun masuk.
Seorang pelayan mempersilakan kami masuk ke
dalam sebuah ruangan berukuran sedang
dengan semua jendela tertutup rapat. Udara di
situ dipenuhi aroma daging panggang. Kami
dilayani oleh seorang pelayan yang kira-kira
setengah umur. Napas pelayan itu terdengar
berat. Hidangan yang disajikan kepada kami
terdiri dari daging kambing dengan kubis dan
kentang. Kelihatannya kami satu-satunya tamu
siang itu. Selesai dengan hidangan utama,
disajikan buah-buahan dan agar-agar. Sebagai
hidangan penutup, pelayan kami
menghidangkan cairan yang disebutnya sebagai
kopi dengan beberapa potong biskuit.
Poirot memanggil pelayan itu.
"Ya. Saya tahu tempatnya, Tuan. Hemel Down kira-kira tiga mil dari sini -
dijalan Much Benham. Rumah Pertanian Nylor kira-kira satu
mil. Ada jalan kecil menuju ke situ selewatnya
Patung Kepala Raja. Bisset Grange" Rasanya
saya belum pernah mendengar, Tuan. Puri Hijau
- dekat sekali, Tuan Cuma beberapa menit
berjalan dari sini."
"Ya. Saya sendiri sudah melihatnya dari luar."
ujar Poirot. "Saya rasa Puri Hijaulah yang paling cocok. Bagaimana keadaannya"
Masih bagus?" "Bagus sekali, Tuan. Atapnya, saluran airnya...
Oh, kalau Pun Hijau saya tahu semuanya bagus.
Kuno memang. Tuan. Belum pernah dipugar
sama sekali Tamannya sangat indah. Nona
Arundell sangat mencintai tamannya."
"Saya dengar pemiliknya bernama Nona
Lawson." "Betul itu, Tuan. Sekarang memang kepunyaan Nona Lawson ia dulunya pelayan
pribadi Nona Arundell. Waktu Nona Arundell meninggal,
semua kekayaannya diwariskan kepada Nona
Lawson. Semuanya... rumah, dan... oh,
pokoknya semuanya. Tuan."
"Oh ya" Oh, mungkin Nona Arundell tidak
punya sanak saudara yang masih hidup."
"Sebetulnya bukan begitu. Tuan. Nona Arundell punya beberapa orang kemenakan.
Mereka masih hidup. Tapi yang selalu menemaninya ya
Nona Lawson itu. Tuan. Dan lagi... yah, dia
sudah tua. Jadi begitulah, Tuan."
"Mungkin cuma rumah yang diwariskan. Jadi
sukar dibagi-bagi." ditanyakan secara blak-blakan - dengan
menyatakan asumsi yang salah malah akan
mendapatkan jawaban yang benar.
"Oooh, uangnya banyak sekali Tuan. banyaaak sekali. orang tidak menyangka nenek
itu punya uang sebanyak itu. Surat wasiatnya dimuat di
koran. lengkap dengan jumlah uangnya dan lain
lainnya. kalau tidak salah, jumlahnya tiga... atau empat ratus ribu pund, Tuan." "Bukan
main," seru Poirot "Seperti dongeng saja!
Jadi pelayan itu kaya mendadak" Hmmm...
masih mudakah dia" Maksudku, kalau masih
muda Nona Lawson bisa foya-foya...." "Tidak tuan. Ia sudah cukup tua. Kurang
lebih... yah, setengah baya-an." "Kemenakan Nona Arundell tentu sangat
kecewa," ujar Poirot.
"Tentu saja, Tuan. Mereka sangat terkejut dan kecewa. Sama sekali tidak diduga-
duga. Orang jadi berpendapat macam-macam. Ada yang
menyalahkan Nona Arundell - tidak mewariskan
harta miliknya kepada darah dagingnya sendiri.
Tapi ada juga orang yang berpendapat - orang
behas memberikan miliknya kepada siapa yang
disukainya. Keduanya tentu ada benar salahnya,
Tuan." "Sudah lamakah Nona Arundell tinggal di sini?"
"Ya, Tuan. Dia dan saudara-saudara
perempuannya. Mereka puteri Jenderal
Arundell. Saya belum lahir waktu ayahnya itu
hidup, Tuan. Saya cuma banyak mendengar
ceriteranya. Dia tokoh yang disegani, Tuan.
Pernah memimpin pasukan di India."
"Banyakkah puteri Jenderal itu?"
"Setahu saya yang tinggal di sini tiga orang, Tuan. Selain itu ada yang kawin
satu. Nona Matilda, Nona Agnes, dan Nona Emily. Yang
duluan meninggal itu Nona Matilda, lalu Nona
Agnes. Nona Emily yang paling akhir."
"Dan itu baru-baru saja?"
"Awal Mei - atau, mungkin juga akhir April,
"Sudah lamakah sakitnya?"
"Dia memang sakit-sakitan sejak lama. Dari dulu begitu. Tahun lalu sudah hampir
meninggal karena sakit kuning. Tuan. Tapi tidak jadi. Kalau tidak salah, sudah sejak lima
tahun yang lalu dia sakit-sakitan, Tuan."
"Tapi di sini banyak dokter, kan?"
"Yah. Ada, Tuan. Dokter Grainger. Sudah dua puluh tahunan dokter itu di sini.
Kebanyakan orang berobat kepadanya. Orangnya sedikit
aneh. Tapi ia sangat pandai. Tak ada
tandingannya. Tuan. Dia punya patner kerja.
Seorang dokter muda. Dr. Donaldson namanya.
Ada memang yang lebih senang berobat ke
dokter muda ini. Dia tipenya lain dengan Dokter Grainger. Masih ada satu lagi,
Tuan... Namanya, Dokter Harding. Pasiennya
"Dokter Grainger kelihaiannya dokternya Nona Arundell. Betul?"
Betul, Tuan. Berkali-kali sudah dokter itu
menyembuhkan Nona Arundell. Dia memang
suka menantang orang. Tuan - biar hidup
terus." Poirot mengangguk-angguk. "Sebelum tinggal di daerah baru, orang harus
mempelajari dulu lingkungannya Salah satunya cari tahu dokter
mana yang haik." "Betul sekali, Tuan."
Poirot minta diambilkan bon makanannya dan
memberikan tip cukup banyak kepada pelayan
itu. "Terima kasih banyak. Tuan. Terima kasih.
Mudah-mudahan Tuan jadi menetap di sini."
"Mudah-mudahan." sahut Poirot.
Kami keluar dari restoran George.
"Puas kau, Poirot?" tanyaku sewaktu kami melangkahkan kaki kembali kc jalan.
"Sama sekali belum. Sobat."
Poirot membelok ke arah yang tidak kuduga-
duga. "Mau ke mana lagi, Poirot?" tanyaku.
"Gereja. Di sana mungkin ada sesuatu yang
menarik." Aku cuma bisa geleng-geleng kepala.
Poirot hanya sebentar meneliti bagian dalam
gereja. Ia keluar, dan seperti orang iseng, menelusuri
halaman gereja, membaca tulisan pada nisan-
nisan yang berjajar di situ.
Aku tidak terkejut melihat ia berhenti di depan sebuah semacam monumen terbuat
dari marmer. Tulisan yang agak buram pada
monumen itu menyebutkan: UNTUK MENGENANG JOHN LAVERTON ARUNDELL JENDERAL RESIMEN SIKH KE-24
YANG BERISTIRAHAT DALAM KRISTUS
PADA 19 MEI 1888 DALAM USIA 69 TAHUN 'PERJUANGKAN PERJUANGAN YANG BAIK
DENGAN IMAN DAN HATI NURANI YANG
MURNI'. JUGA MATILDA ANN ARUNDELL YANG MENINGGAL PADA 10 MARET 1912 'AKU AKAN BANGKIT DAN PERGI KEPADA
BAPAKU' JUGA AGNES GEORGINA MARY ARUNDELL
YANG MENINGGAL PADA 20 NOVEMBER 1921 'MINTALAH MAKA AKAN DIBERIKAN
KEPADAMU' Tulisan yang selanjutnya nampak baru dan
sangat jelas: JUGA EMILY HARRIET LAVERTON ARUNDELL
YANG MENINGGAL PADA 1 MEI 1936 'JADILAH KEHENDAKMU' Poirot berdiri memandangi monumen itu
beberapa menit lamanya. "Tanggal satu Mei... satu Mei...," gumamnya.
"Dan sekarang, tanggal dua puluh delapan Juni
- kuterima suratnya. Kau mengerti, kan,
Hastings - ini harus dijelaskan?" Aku mengerti.
Maksudku, aku tahu Poirot berniat
mengungkapkan teka-teki yang katanya perlu
dijelaskan itu. BAB 8 DI PURI HIJAU Sekeluar dari halaman gereja, langkah kami
pasti menuju Puri Hijau. Kupikir Poirot akan
tetap berperan sebagai calon pembeli. Poirot
mendorong pintu gerbangnya, dan langsung
menuju ke pintu depan. Kali ini kawan baru kami, si Terrier, tidak
nampak meskipun suaranya terdengar di
kejauhan. Kupikir, anjing itu ada di sekitar
dapur. Kami mendengar langkah kaki di ruang depan.
Seorang wanita membukakan pintu. Wajahnya
sangat menyenangkan. Umurnya kira-kira lima
puluhan. Segera terlihat bahwa wanita ini
seorang pelayan. Pclayan peninggalan zaman
silam, yang jarang ada sekarang.
Poirot memperkenalkan diri.
"Ya, Tuan. Tadi kami sudah ditelepon oleh agen yang mau menjualkan rumah ini.
Silakan masuk." Kerai yang pagi tadi tertutup, kini nampak
terbuka lebar menyambut kedatangan kami.
Pada-penglihatanku segala sesuatu di situ amat
bersih dan terpelihara baik Wanita yang
menemani kami tampaknya sangat berhati-hati.
"Ini Ruang Paginya, Tuan."
Kupandangi ruangan itu. Bagus dan
menyenangkan. Jendelanya besar-besar dengan
pemandangan ke jalan. Perabotnya berat dan
kuno, model Zaman Victoria. Meskipun begitu
ruangan itu dihuni pula oleh sebuah rak buku
ringan dan satu stel kursi santai berwarna putih menarik.
Kami bersikap sebagai layaknya calon pembeli
rumah. Berdiri mengamati, sambil berkomentar
macam, "Bagus sekali." "Menyenangkan."
"Ruangan apa Anda bilang tadi?"
Kami dibawa ke ruangan yang berseberangan
letaknya dengan Ruang Pagi. Yang ini jauh lebih luas.
"Ini Ruang Makan, Tuan." Ruangan ini betul-betul diperaboti dengan model
Victoria. Sebuah meja makan besar dari kayu berpelitur gelap,
sebuah bupet berukir dan berpelitur sama gelap
serta kursi makan dengan bantalan kulit asli.
Pada dindingnya tergantung beberapa potret.
Kelihatannya potret keluarga.
Si Terrier masih kedengaran terus menyalak-
nyalak. Mula-mula suaranya terdengar jauh.
Tiba-tiba suaranya terdengar lebih jelas,
bersamaan dengan suara kakinya yang berlari-
lari kecil. "Siapa yang berani-berani masuk" Kuhajar dia,"
begitu kelihatannya ia berkata.
"Oh, Bob - kau mulai nakal lagi, ya...." seru pclayan yang menyertai kami.
Jangan hiraukan dia, Tuan. Dia tidak galak."
Melihat siapa tamunya. Bob segera mengubah
sikapnya. Ia menghampiri kami dan
memperkenalkan diri dengan manisnya.
"Aku senang berkenalan denganmu." begitu pandangannya berkata sementara dia
mengelilingi kami sambil mendengus-dengus.
"Maafkan salakan-ku tadi. Aku cuma melakukan tugas. Aku harus berhati-hati
membiarkan tamu masuk. Hidupku membosankan. Aku senang kau
bertamu. Kau mengerti jiwa anjing. Punya
anjingkah kau di rumahmu?"
Kata-kata itu seolah ditujukannya kepadaku.
Kutepuk dia. "Anjing ini manis ujarku kepada pelayan tadi.
"Memang, Tuan."
Sudah tuakah dia?" "Belum. Bob baru berumur enam tahun. Kadang-kadang


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelakuannya masih seperti anjing kecil. Menggigit gigit sandal koki dan membawanya ke mana-mana.
Dipikirnya itu mainan. Mendengar dia menyalak seperti tadi,
Anda tidak akan percaya bila saya katakan
anjing ini sangat lembut. Satu-satunya orang
yang diserangnya cuma Tukang Pos. Dan sampai
sekarang Tukang Pos kami selalu ketakutan jika
melihat Bob." Sekarang Bob memperhatikan ujung bawah
pantalon Poirot. Setelah puas mempelajarinya
ia mendengus dengus dan kembali ke dekatku.
Duduk sambil memiringkan kepalanya, ia
memandangku penuh harap. "Saya tidak mengerti mengapa anjing sangat membenci tukang pos," ujar pelayan
itu lagi. "Pasti ada alasannya, komentar Poirot. "Anjing makhluk yang cerdik; ia mengambil
kesimpulan dari apa yang dilihatnya ia segera tahu siapa-
siapa yang boleh masuk ke dalam rumah dan
siapa-siapa yang tidak. Eh bien[baiklah], siapa orangnya yang sering ngotot
mengetuk pintu rumah lapi tak pernah disilakan masuk" Tukang
Pos. Pasti dalam pikiran anjing itu,
si Tukang Pos bukan tamu yang disukai
majikannya. Karena itu anjing itu merasa bahwa
ia punya tugas mengusir orang yang tidak
disukai ini; menggigitnya bilamana perlu. Jalan pikirannya bagus. Dapat diterima
oleh akal sehat." Poirot tersenyum kepada Bob.
"Dia sangat pandai kelihatannya."
"Ya. Betul, Tuan. Kadang-kadang Bob seperti manusia malahan."
Pelayan itu membuka pintu ke ruangan yang
lain. "Ini Ruang Santai, Tuan."
Ruangan ini, kelihatannya, penuh kenangan
lama. Tirai jendelanya yang bermotif mawar
tampak sudah lusuh dindingnya digantungi
lukisan-lukisan dari cat air. Di sana-sini
diletakkan patung keramik Cina berbentuk
penggembala. Bantal-bantal kursinya diberi
bersarung rajutan Tampak beberapa potret
lusuh dalam pigura indah terbuai dari perak.
Yang paling menarik perhatianku adalah
boneka-boneka perempuan yang diletakkan
dalam peti kaca. Ada dua boneka. Yang satu
memegang alat pintal benang, yang lain
memangku seekor kucing. Boneka-boneka itu
terbuat dari kertas tissue, dan dibentuk bagus
sekali. Ruang ini betul-betul mengingatkan orang pada
zaman dulu, zaman kehidupan tenang dan
damai. Ruang semacam ini betul-betul
diciptakan untuk bersantai. Di sini para wanita duduk mengerjakan kerajinan
tangan. Dan bila ada anggota keluarga dari jenis laki-laki ikut
nimbrung dan merokok di situ, dapat
dibayangkan betapa keras kerja pelayan
membersihkan ruangan itu setelahnya.
Perhatianku tertarik oleh sikap Bob. ia duduk
seperti memikirkan sesuatu di dekat lemari kecil berbentuk elegan dan berlaci
dua. Ketika ia tahu bahwa aku memperhatikannya, ia
mengeluarkan bunyi-bunyian aneh,
memandangku dan kemudian memandang
lemari kecil di sampingnya.
"Apa yang kauinginkan?" tanyaku.
Perhatian kami terhadap Bob rupanya
menyenangkan hati pelayan yang menemani
kami. Pasti wanita itu sangat sayang pada Bob.
"Bola mainannya, Tuan. Bolanya selalu disimpan di situ. Itu sebabnya dia duduk
di situ dan minta diambilkan bolanya." Suaranya berubah.
Dengan suara hampir melengking ia berkata
kepada Bob, "Bolamu tidak di situ lagi, Sayang.
Bola Bob sekarang di dapur tempatnya. Di
dapur, Bobsie." Bob mengalihkan perhatiannya kepada Poirot
dengan tak sabar. "Perempuan ini tolol," matanya berkata. "Lain denganmu- Kau kelihatannya
berotak- Bola ada tempatnya - laci ini salah satunya. Di situ selalu ada bola. Sekarang pun harus
ada. Itu logis, kan?" Hei. bolamu sudah tidak ada di situ
sekarang," ujarku. Dia memandangku ragu. Ketika kami beranjak
meninggalkan ruangan itu. ia mengikuti kami
Rahasia 180 Patung Mas 18 Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Anak Naga 21
^