Pencarian

Saksi Bisu 4

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie Bagian 4


datang. Tetapi ia segera meninggalkan kami."
"Kemudian?" "Nona Arundell menanyakan apakah saya sudah mengerjakan apa yang dimintanya, dan
apakah saya membawa surat wasiat barunya untuk
ditandatangani olehnya."
"Saya katakan bahwa saya sudah
mengerjakannya. Saya - e..." Tuan Purvis ragu-ragu sejenak. Kemudian dengan kaku
ia melanjutkan, "Mungkin ada baiknya saya katakan juga, bahwa sejauh yang pantas dan bisa saya
lakukan, saya memprotes tindakan Nona Arundell. Saya
katakan kepadanya, bahwa surat wasiatnya
yang baru itu sangat tidak adil bagi keluarganya
- yang bagaimanapun juga adalah darah
dagingnya sendiri." "Jawabnya?" "Dia bertanya apakah uangnya boleh
dipergunakan sekehendak hatinya. Dan saya
katakan, bahwa tentu saja dia bebas
menggunakan uangnya sesuka hatinya. 'Kalau
begitu, tidak ada masalah,' katanya. Saya
ingatkan dia bahwa dia belum lama mengenal
Nona Lawson. Saya tanyakan apakah dia benar-
benar yakin bahwa ketidakadilan yang
dilakukannya kepada darah dagingnya sendiri
itu tidak akan disesalkannya. Dan jawabnya,
'Sobat, aku tahu apa yang kulakukan ini."
"Dia mudah sekali tersinggung - seperti yang Anda katakan tadi?"
"Saya pikir, ya, M. Poirot. Tapi saya mengerti bahwa dia orang yang bertanggung
jawab, yang panjang pikir dan bukan orang bodoh. Dia
sangat pandai mengurus dan menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Meskipun saya
kasihan terhadap keluarga Nona Arundell, saya
akan tetap pada pendirian saya yang tadi
mengenai Nona Arundell -di mana pun dan
kapan pun juga." "Itu bisa saya mengerti, Tuan Purvis. Saya hargai sikap dan pendirian Anda itu."
"Nona Arundell membaca surat wasiatnya yang lama, kemudian dia mengulurkan
tangannya - meminta konsep surat wasiat yang baru saya
buatkan. Sebetulnya saya lebih suka
menyerahkan draft lebih dulu, tetapi dia
bersikeras bahwa surat wasiat baru yang dia
minta saya buatkan itu siap untuk
ditandatanganinya kalau saya datang ke Puri
Hijau. Memang tidak sulit membuatnya, karena
pembagian kekayaannya sangat sederhana.
Nona Arundell membacanya, menganggukkan
kepala, dan mengatakan bahwa dia akan segera
menandatanganinya. Saya masih merasa wajib
untuk memperingatkannya sekali lagi.
Didengarkannya kata-kata saya dengan penuh
kesabaran, tetapi dia mengatakan bahwa
keputusannya sudah pasti. Saya memanggil
pegawai saya untuk menyaksikan
penandatanganannya, dan pegawai saya
bersama-sama dengan tukang kebun Nona
Arundell pun masuk menjadi saksi Nona
Arundell membubuhkan tanda tangannya pada
surat wasiat yang baru itu. Bukan salah satu dari pelayannya yang dijadikan
saksi, sebab sebagai ahli waris, mereka tidak berhak menjadi saksi."
"Setelah itu, apakah Nona Arundell
menyerahkan surat wasiat barunya kepada
Anda untuk disimpan?"
"Tidak. Dia menyimpannya dalam laci meja
tulisnya - dan laci itu dikuncinya."
"Diapakan surat wasiatnya yang lama" Apakah surat wasiat itu dimusnahkan?"
"Tidak. Surat wasiatnya yang lama disimpannya bersama-sama dengan yang baru."
"Di mana surat wasiat itu diketemukan, setelah dia meninggal?"
"Masih di laci itu. Sebagai penasihat hukumnya, saya diberi kunci hingga saya
bisa memeriksa semua surat bisnisnya setelah dia meninggal."
"Dua-duanya ada di situ?"
"Ya. Persis seperti ketika kedua surat wasiat itu baru dimasukkan ke situ."
"Apakah Anda menanyakan alasannya
melakukan tindakan yang agak mengejutkan
itu?" "Saya bertanya. Tapi jawaban yang saya terima tidak memuaskan. Dia cuma
meyakinkan saya bahwa dia tahu dan sadar akan apa yang
dilakukannya itu." "Meskipun begitu Anda tetap merasa heran
akan tindakannya itu?"
"Sangat heran. Setahu saya, Nona Arundell itu rasa kekeluargaannya sangat kuat."
Poirot diam. Kemudian katanya,
"Anda toh tak pernah membicarakan masalah
itu dengan Nona Lawson?"
"Tentu saja tidak. Itu sangat terlarang untuk saya lakukan, M. Poirot!"
Tuan Purvis nampak agak tersinggung.
"Pernahkah Nona Arundell mengatakan sesuatu yang mempunyai implikasi bahwa Nona
Lawson telah tahu mengenai surat wasiat barunya?"
"Sebaliknya. Saya menanyakan kepadanya
apakah Nona Lawson tahu mengenai semuanya
itu, dan dengan agak membentak dia
mengatakan Nona Lawson tidak tahu apa-apa.
"Saya pikir, sebaiknya Nona Lawson tidak
diberitahu tentang surat wasiat baru itu. Saya
berusaha menjelaskan dan menekankan hal ini,
dan nona Arundell kelihatannya berpendapat
sama dengan saya." "Mengapa Anda menekankan hal itu, Tuan
Purvis?" Tuan Purvis memandang Poirot dengan penuh
wibawa. "Itu sebaiknya tidak perlu dibicarakan. Di samping itu membicarakannya cuma akan
membawa kekecewaan pada waktu yang akan
datang." "Ah!" Poirot menarik napas panjang. "Menurut saya, itu karena Anda berpikir
bahwa ada kemungkinan Nona Arundell mengubah
pikirannya setelah itu, bukan?"
Tuan Purvis menundukkan kepala.
"Benar. Dalam dugaan saya, Nona Arundell baru berselisih paham dengan kemenakan-
kemenakan-nya. Saya pikir, mungkin saja, bila
hatinya sudah dingin dia akan
mempertimbangkan kembali kepu-tusan yang
diambilnya dengan terburu-buru itu."
"Dalam hal begitu - apa yang mungkin
dilakukannya?" "Mungkin saja dia menyuruh saya membuat
surat wasiat baru lagi"
"Bisa juga dia mengambil cara yang lebih
sederhana: memusnahkan surat wasiat yang
baru -hingga yang lama berlaku kembali."
"Itu bisa didebat. Semua surat wasiat yang dibuat terdahulu tidak berlaku lagi
dengan adanya surat wasiat yang lebih baru."
"Tapi, mungkin saja Nona Arundell tidak
mempunyai pengetahuan seluas itu mengenai
hukum. Dia pikir dengan memusnahkan surat
wasiat yang baru, maka yang lama dengan
sendirinya akan berlaku kembali."
"Kemungkinan itu memang ada."
"Sesungguhnya, seandainya Nona Arundell
meninggal tanpa menulis surat wasiat baru
sebelumnya - uangnya akan dengan sendirinya
diserahkan kepada keluarganya?"
"Ya. Separuh untuk Nyonya Tanios, dan separuh lagi dibagi dua antara Charles dan
Theresa Arundell. Bagaimanapun, nyatanya, Nona
Arundell tidak mengubah keputusannya, sampai
dia meninggal." "Itulah sebabnya saya datang," ujar Poirot.
Tuan Purvis memandang Poirot penuh tanda
tanya. Poirot bangkit dari sandaran kursinya, dan
mendekatkan tubuhnya ke meja Tuan Purvis.
"Andaikata," ujarnya, "Nona Arundell ingin memusnahkan surat wasiat itu beberapa
saat sebelum dia meninggal. Andaikata dia merasa
yakin telah memusnahkan surat wasiat itu -
tapi, dalam kenyataannya, dia memusnahkan
surat wasiatnya yang pertama."
Tuan Purvis menggeleng. "Tidak mungkin. Kedua surat wasiatnya masih tetap utuh."
"Baiklah. Seandainya dia memusnahkan surat wasiat palsu yang tidak ada isinya -
dengan perasaan bahwa dia telah memusnahkan yang
asli. Dia dalam keadaan sakit keras, itu harus
diingat; menipunya dalam keadaan semacam itu
sangat mudah." "Itu memerlukan bukti," Tuan Purvis berkata keras.
"Oh, tentu saja - tentu saja...." "Adakah - kalau boleh saya bertanya - adakah
alasan untuk berpendapat hal semacam itu terjadi?" Poirot terperangah.
"Saya belum mau mengemukakan pendapat
saya pada kesempatan yang sedini ini..."
"Tentu, tentu," kata Tuan Purvis, setuju dengan kata-kata yang biasa
didengarnya. "Kalau saya boleh berkata, tentu saja ini rahasia, ada beberapa hal yang
mencurigakan dalam kasus ini." "Oh, sungguh?" Tuan Purvis mengatupkan kedua belah telapak
tangannya seperti menanti sesuatu yang
menyenangkan hatinya. "Yang saya inginkan dari Anda, dan yang telah saya peroleh adalah," lanjut
Poirot, "bahwa cepat atau lambat. Nona Arundell akan
mengubah pikirannya, dan berbalik kepada
keluarganya sendiri."
"Itu hanya pendapat saya pribadi," ujar Tuan Purvis.
"Oh, saya mengerti itu, Tuan Purvis. Tentunya Anda tidak bertindak sebagai
pengacara Nona Lawson juga, kan?" "Saya anjurkan supaya Nona Lawson mencari
pengacara lain," kata Tuan Purvis.
Nadanya kaku. Poirot menjabat tangan lelaki tua itu sambil
mengucap terima kasih atas kebaikan dan
informasi yang telah diberikannya.
BAB 20 KUNJUNGAN KEDUA KE PURI HIJAU
Dalam perjalanan meninggalkan Harchester,
kira-kira setelah berjalan sejauh sepuluh mil,
kami membicarakan situasinya.
"Memangnya kau punya dasar untuk apa yang
kauucapkan tadi, Poirot?"
"Maksudmu bahwa Nona Arundell mungkin
merasa bahwa dia sudah memusnahkan surat
wasiatnya yang terakhir" Tidak, mon ami, terus
terang, tidak. Tapi aku merasa wajib
mengemukakan sesuatu! Tuan Purvis orang
yang cerdik. Kalau aku tidak mengajukan
kemungkinan-kemungkinan seperti yang
kukatakan tadi, dia yang akan menanyai-ku: apa
yang bisa kulakukan dalam perkara ini."
"Kau mengingatkanku pada sesuatu, Poirot. Kau tahu, apa?"
"Tidak, mon ami"
"Orang meniup air sabun. Sekali tiup berpuluh-puluh bola dengan aneka warna
disemburkan ke udara." "Maksudmu, setiap bola mewakili satu omong kosongku?"
"Begitulah kurang lebih."
"Dan kaupikir, pada suatu hari nanti akan terjadi tubrukan hebat di antara bola-
bola itu?" "Yang jelas, kau tak bisa terus menerus begitu,"
ucapku. "Kau benar. Akan tiba waktunya aku meraih
bola-bola itu satu per satu, membungkukkan
badan dengan penuh hormat, dan pergi
meninggalkan panggung."
"Dan para penonton bertepuk tangan buatmu?"
Poirot memandangku curiga. "Ya - mungkin
saja." "Tak banyak yang kita pelajari dari Tuan Purvis,"
komentarku, menghindar dari topik yang kurang
"Memang tidak banyak. Tapi setidak-tidaknya, kita memperoleh penegasan mengenai
gambaran umum kita semula."
"Dan menegaskan juga pernyataan Nona
Lawson bahwa dia tidak tahu apa-apa mengenai
surat wasiat itu sampai sesudah Nona Arundell
meninggal." "Aku sama sekali tidak menganggapnya begitu."
"Purvis menganjurkan agar Nona Arundell tidak memberitahukan kepada Nona Lawson,
dan Nona Arundell menjawab bahwa dia tidak
punya maksud mengatakannya."
"Ya, itu sangat jelas. Tapi, jangan lupa - ada lubang kunci, dan ada kunci yang
bisa membuka laci tempat surat wasiat itu disimpan."
"Jadi kau berpendapat Nona Lawson nguping?"
tanyaku, agak kaget. Poirot tersenyum. "Nona Lawson bukan orang sebegitu tanpa


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dosanya, mon cher. Dan kita tahu, bahwa paling
tidak ia mendengarkan satu percakapan yang
seharusnya bukan untuk kupingnya - maksudku,
percakapan antara Charles dan Bibinya
mengenai 'ancaman Charles' itu."
Kuakui kebenarannya. "Jadi, bukan tidak mungkin dia juga
mendengarkan percakapan antara Tuan Purvis
dan Nona Arundell. Suara Tuan Purvis jelas dan
keras. Orang-orang yang kelihatannya jinak dan
penakut seperti Nona Lawson sering
mempunyai kebiasaan yang kurang terhormat -
karena itu bisa menjadi semacam hiburan
baginya." "Ah, Poirot!" protesku.
Berkali-kali Poirot mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Tapi kenyataannya memang begitu, Sobat!"
Kami tiba di The George dan memesan dua
kamar. Selelah itu kami berjalan-jalan dengan
tujuan Puri Hijau. Waktu kami membunyikan bel, Bob segera
menyahut. Anjing itu menerobos masuk melalui
Ruang Tengah dan berhenti sambil menyalak-
nyalak di bagian dalam pintu depan.
Terdengar bisikan seseorang menenangkannya.
"Ayo Bob- anjing manis, ayo... masuk ke sini!"
Walaupun segan, Bob terpaksa menuruti
kemauan orang yang menyeretnya ke Ruang
Pagi. Pintu Ruang Pagi ditutup, dan Ellen pun
melepaskan gembok pintu depan dan
membukakannya. "Oh, rupanya Anda yang datang. Tuan!"
serunya. Dibukanya pintu lebar-lebar. Wajahnya
nampak senang. "Silakan masuk, Tuan."
Kami masuk. Dari pintu tertutup di sebelah kiri kami terdengar Bob menggeram,
memprotes. "Biarkan saja dia keluar," ujarku.
"Oh, baik, Tuan. Sebetulnya dia tidak apa-apa.
Cuma suaranya itu... sering kali membuat orang
takut. Yah, tapi dia memang anjing jaga yang
baik." Ellen membuka pintu Ruang Pagi, dan Bob pun
menerobos keluar. Bob memandang ke kiri dan ke kanan sambil
mendengus-dengus. Nampaknya ia mengenali
kami. "Hallo, Bob," seruku. "Apa kabar?"
Bob menggoyang-goyangkan ekornya.
Sekarang Bob memperhatikan Poirot. Tidak
lama. Ia segera beranjak meninggalkannya.
"Bob," panggilku.
Dipandangnya aku dari atas bahunya.
"Kalian tidak perlu dijaga. Aku akan kembali ke kandangku," begitu seolah-olah
Bob berkata sambil meninggalkan kami.
"Jendelanya tertutup semua. Oh, maafkan
sebentar..." buru-buru Ellen menghambur ke Ruang Pagi, membuka jendela.
"Bagus," ujar Poirot mengikutinya, sambil duduk di salah satu kursi di situ.
Waktu aku mau mengikutinya, Bob tiba-tiba
muncul kembali. Ia membawa bola pada
mulutnya. Ia melompat-lompat naik tangga.
Sesampainya di atas, ia memandang ke bawah
sambil menggoyang-goyangkan ekornya.
"Ayo," begitu kelihatannya dia berkata. "Ayo, kita main-main!"
Perhatianku teralihkan kepadanya, dan kami
pun bermain-main beberapa menit lamanya.
Aku kemba-li ke Ruang Pagi dengan rasa
bersalah karena melalaikan tugas.
Poirot dan Ellen kedengarannya sedang asyik
berbicara mengenai obat-obatan dan penyakit.
"Pil putih, Tuan - cuma itu yang biasanya
diminum. Dua atau tiga pil setelah makan.
Begitu perintah Dokter Grainger. Oh ya, Nona
Arundell mematuhi perintah itu. Obatnya kecil-
kecil sekali. Tapi kemudian Nona Lawson
memperkenalkan obat baru. Berbentuk kapsul,
rancangan Dokter Lough-barrow. Katanya itu
Kapsul Hati. Mungkin Tuan sudah melihat
iklannya?" "Nona Arundell minum kapsul itu juga?"
"Ya. Mula-mula Nona Lawson yang
memaksanya. Kemudian, Nona Arundell
merasakan khasiatnya, dan sejak saat itu Beliau selalu meminumnya."
"Apakah Dokter Grainger tahu?"
"Tahu, Tuan. Tapi Dokter Grainger tidak
melarangnya. 'Minum saja kalau kaurasa
khasiatnya bagus,' katanya. Lalu Nona Arundell
menyahut, 'Kau boleh menertawakanku, tapi
sungguh, aku merasakan khasiatnya -jauh lebih
berkhasiat dari resepmu.' Dokter Grainger tentu saja tertawa, Tuan. Katanya
keyakinan lebih manjur daripada obat apa pun yang pernah
ditemukan orang." "Adakah obat lain lagi yang diminumnya?"
"Tidak. Suami Nona Bella - dokter asing itu -
memberinya sebotol obat. Tapi, meskipun Nona
Arundell mengucapkan terima kasih, obat itu
dibuang. Saya melihat sendiri waktu Nona
Arundell membuangnya, Tuan. Tapi itu tidak
bisa disalahkan. Kita tidak tahu apa yang
diberikan oleh orang asing
"Nyonya Tanios juga melihat waktu Nona
Arundell membuang obat itu, kan?"
"Ya. Kelihatannya dia sakit hati. Kasihan. Saya mengerti maksud dokter itu
baik." "Tentu. Tentu. Setelah Nona Arundell meninggal semua obat-obatannya dibuang?"
Ellen kelihatan terkejut mendengar pertanyaan
itu. "Oh, ya, Tuan. Juru rawat-nya membuang
semua obat yang ada diluar. Sedang Nona
Lawson sudah mengosongkan lemari obat yang
di kamar mandi." "Di situkah Kapsul Hatinya disimpan?"
"Tidak. Kapsul itu diletakkan di lemari sudut di Ruang Makan supaya mudah
mengambilnya setiap kali selesai makan."
"Siapa juru rawat yang merawat Nona Arundell"
Anda tahu alamatnya?"
Dengan cepat Ellen memberikan nama dan
alamatnya. Poirot terus menanyakan hal-hal yang
berhubungan dengan penyakit Nona Arundell
sebelum meninggal. Ellen menceriterakan dengan mendetil tentang
penyakitnya, tentang keluhannya, tentang
gejala penyakit kuning yang nampak dari luar,
dan tentang saat-saat terakhirnya. Aku tak tahu apakah Poirot puas atau tidak
dengan apa yang didengarnya. Yang jelas, ia mendengarkan
dengan sabar dan kadang-kadang melontarkan
pertanyaan, khususnya mengenai Nona Lawson,
dan lamanya Nona Lawson berada di kamar
Nona Arundell. Poirot nampaknya juga tertarik
akan pengaturan diet Nona Arundell -dengan
membandingkan segalanya dengan pengalaman
keluarganya (yang sebetulnya tidak ada) yang
sekarang sudah meninggal.
Melihat mereka berdua begitu asyik, aku keluar
lagi ke Ruang Tengah. Bob rupanya tertidur di
bagian atas tangga. Bolanya tergeletak dekat
mulutnya. Aku bersiul membangunkannya, ia pun cepat
bangkit dan sigap kembali. Menutupi rasa
malunya (kedapatan tertidur), Bob segera
mempermainkan bolanya dan melemparkannya
kepadaku. Kami bermain-main beberapa
lamanya. Ketika aku kembali ke Ruang Pagi, Poirot sedang membicarakan kunjungan Dokter
Tanios yang tidak terduga-duga hari Minggu sebelum Nona
Arundell meninggal. "Ya, Tuan - Tuan Charles dan Nona Theresa
memang sedang berjalan-jalan ke luar. Kami
memang tidak tahu Dokter Tanios akan datang.
Nona Arundell sedang berbaring. Waktu tahu
Dokter Tanios datang, Beliau sangat terkejut.
'Dokter Tanios"' tanyanya. 'Dengan isterinya"'
Saya katakan dia datang sendirian. Nona
Arundell menyuruh saya mengatakan kepada
Dokter Tanios bahwa Nona Arundell akan
turun." "Lama Dokter Tanios tinggal di sini?"
"Tidak lebih dari satu jam, Tuan Kelihatannya dia kecewa waktu pulang."
"Mungkin Anda kebetulan tahu maksud
kedatangannya?" "Oh, tentu saja tidak, Tuan. Saya tidak tahu apa-apa!"
"Anda tidak mendengar apa-apa sama sekali?"
Wajah Ellen memerah. "Tidak, Tuan! Saya tak pernah nguping di dekat pintu..."
"Oh, Anda salah tangkap," ujar Poirot segera, menghindari Ellen merasa lebih
tersinggung. "Maksud saya, mungkin saja waktu Anda
membawa teh masuk - Anda kebetulan
mendengar apa yang dikatakan."
Ellen nampak tenang mendengar penjelasan
Poirot. "Maafkan saya. Tuan - saya salah mengerti.
Dokter Tanios tidak sampai minum teh di sini."
Poirot memandangnya, matanya bersinar nakal.
"Dan kalau saya tetap ingin tahu maksud
kedatangan Dokter Tanios - besar kemungkinan
Nona Lawson tahu, bukan?"
"Kalau dia tidak tahu, Tuan, orang lain pun tak ada yang tahu," Ellen berkata
dengan nada jijik. "Eee...," Poirot nampaknya mencoba
mengingat-ingat sesuatu. "Nona Lawson -
kamarnya kalau tidak salah berdekatan dengan
kamar Nona Arundell, bukan?"
"Oh, tidak. Tuan. Kamar Nona Lawson persis di bagian kanan atas tangga. Saya
bisa menunjukkannya kepada Anda, Tuan."
Poirot menerima tawarannya. Sementara naik
tangga, ia berjalan sedekat mungkin dengan
dinding di sisi tangga itu. Begitu sampai di
puncak tangga, ia menyerukan sesuatu sambil
membungkuk dan memegangi ujung bawah
pantalonnya. "Pantalon saya tersangkut -ah, ini dia, ada paku di sini, di papan miring ini."
"Oh, ya - memang ada paku di situ, Tuan.
Mungkin mau copot. Baju saya sendiri sudah
beberapa kali tersangkut paku itu."
"Sudah lamakah paku itu begitu?"
"Cukupan, Tuan. Pertama kali saya melihatnya waktu Nona Arundell masih berbaring
setelah kecelakaan di tangga ini. Tuan. Saya mencoba
menariknya, tapi tidak bisa."
"Ada benang yang diikatkan di situ
kelihatannya." "Ya, Tuan. Saya ingat, waktu pertama kali saya melihatnya ada bekas potongan
benang di situ. Saya tidak tahu bekas apa."
Suara Ellen sama sekali tidak mengandung
kecurigaan. Baginya, itu cuma salah satu
kejadian dalam rumah tangga yang tidak
memerlukan penjelasan! Poirot melangkah masuk ke kamar di sebelah
kanan atas tangga. Kamar itu tidak terlalu besar, tetapi juga tidak kecil. Di
salah satu sudutnya terdapat meja dan kaca rias dan di antara dua
jendela yang terdapat di situ, ada sebuah lemari dengan kaca di bagian depannya.
Tempat tidurnya terletak di sebelah kanan, di belakang pintu, menghadap ke jendela. Di
dinding sebelah kiri terdapat sederetan lemari kecil
dengan banyak laci dan sebuah tempat cuci
tangan-dari marmer. Poirot memperhatikan sekeliling kamar itu
dengan sungguh-sungguh. Kemudian dia keluar
lagi. Dia menuju gang, melampaui dua ruang
tidur lainnya, dan akhirnya ke Ruang Tidur
Utama, yang dulunya kamar Emily Arundell.
"Juru rawat kamarnya di sebelah," kata Ellen.
Poirot mengangguk. Sementara kami menuruni tangga, Poirot
bertanya apakah dia boleh berjalan-jalan
melihat taman. "Oh, ya, Tuan. Tentu saja. Taman di sini sedang bagus-bagusnya saat ini."
"Apakah penjaganya masih tetap yang dulu?"
"Angus" Oh, ya, Angus masih di sini. Nona
Lawson ingin agar tamannya tetap terawat
karena itu akan menambah harga rumah ini."
"Ya. Dia bijaksana. Membiarkan rumah dan
tamannya tidak terawat bukan tindakan yang
bijaksana." Tamannya sangat luas dan indah. Kami berjalan
berkeliling, sampai tibalah kami ke suatu
tempat di mana nampak seorang lelaki tua
sedang sibuk bekerja. Dengan hormatnya laki-
laki itu mengangguk kepada kami, dan Poirot


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun mengajaknya bercakap-cakap.
Mendengar kami belum lama berselang
bertemu dengan Tuan Charles rupanya
menyenangkan hati laki-laki itu. Ia menjadi
lincah dan sangat ramah. Banyak ceriteranya mengenai masa kecil
Charles kalau anak itu berkunjung ke Puri Hijau.
"Bulan April yang lalu dia datang ke sini, bukan?"
"Ya. Ke sini - dua akhir minggu berturut-turut.
Persis sebelum Nona Arundell meninggal."
"Banyak mengobrol dengan Anda?"
"Lumayan! Kurang menyenangkan buat anak
muda macam dia berlibur di sini. Itu fakta, Tuan.
Kebanyakan dia jalan-jalan ke The George.
Kadang-kadang juga jalan-jalan di kebun sini -
menghampiri saya, tanya ini dan itu."
"Mengenai tanaman?"
"Yah... bunga-bungaan dan semak-semak juga."
"Semak-semak?" Nada suara Poirot terdengar mengandung arti
lain. Dia berpaling, dan mengamati sederet
kaleng yang terletak tak jauh dari situ, pada rak.
Pandangannya berhenti pada sebuah kaleng.
"Dia mungkin ingin tahu bagaimana cara
membasminya?" "Betul, Tuan!"
"Ini obat pembasminya, kan?"
Poirot memutar kaleng itu perlahan-lahan dan
membaca labelnya. "Betul, Tuan," komentar Angus. "Yang paling mudah memang menggunakan obat itu."
"Apakah tidak berbahaya?"
"Tidak, asal betul cara menggunakannya, Tuan.
Obat itu mengandung banyak arsenik. Tuan
Charles malah bercanda sedikit mengenai obat
itu. Katanya, kalau dia punya isteri yang cerewet dan membosankan, dia akan
datang ke sini minta sedikit obat itu, Tuan. Untuk
menghilangkan isterinya itu, mungkin! Saya
balas dia, dan saya katakan, siapa tahu justru
isterinya yang akan mengambilnya buat dia
sendiri. Dia tertawa terbahak-bahak."
Kami merasa wajib tertawa menanggapi
ceritera yang dianggapnya lucu itu, Poirot
membuka tutup kalengnya. "Sudah hampir habis," gumamnya.
Angus ikut melihat isi kaleng itu.
"Wah. Tak terasa, sudah sebanyak itu yang saya pakai. Saya mesti cepat-cepat
memesan lagi." "Ya," ujar Poirot tersenyum, "Seandainya saya ingin minta sedikit untuk isteri
saya pun sudah tidak cukup!"
Sekali lagi kami tertawa bersama-sama.
"Kelihatannya Anda belum menikah, Tuan?"
"Belum." "Ah, belum kawin saja sudah begitu. Kalau
sudah kawin... nah, itu, baru tahu susahnya!"
"Isteri Anda...?" tanya Poirot, sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Oh, jangan kuatir - dia hidup, segar bugar!"
Angus kelihatan sedikit muram.
Setelah memuji tamannya yang bagus, kamu
pun berpamitan. BAB 21 APOTEKER. JURU RAWAT. DOKTER
Kaleng obat pembasmi semak itu menimbulkan
babak pemikiran baru dalam otakku. Kini aku
betul-betul mempunyai rasa curiga. Perhatian
Charles pada obat itu - dan kenyataan bahwa
Angus mendapatkan kalengnya hampir kosong -
kelihatannya merupakan penanda ke arah
pemikiran yang benar. Seperti biasanya kalau aku senang atau
menaruh curiga, Poirot bersikap acuh-tak-acuh.
"Meskipun terbukti ada seseorang yang
mengambil obat pembasmi semak itu, Hastings
- belum berarti bahwa Charles pelakunya."
"Tapi dia toh banyak sekali mempersoalkan
obat itu dengan Angus," sanggahku.
"Kalau memang itu tujuannya, mengobrol
seperti itu bukan tindakan yang bijaksana."
Kemudian Poirot melanjutkan,
"Nama zat peracun apa yang paling cepat
teringat olehmu kalau kau ditanyai?"
"Ya. Jadi kau mengerti mengapa Charles ragu-ragu sebelum mengucapkan
'strychnine" tadi pagi?"
"Maksudmu..." "Semula dia hendak mengatakan 'menaburkan
arsenik pada sup* - tapi dia tidak jadi mengata-
"Ah!" ucapku. "Mengapa mesti begitu?"
"Tepat, Hastings! Mengapa" Terus terang,
untuk menjawab pertanyaan itulah aku sengaja
mengelilingi taman, mencari sumber pembasmi
semak." "Dan kau berhasil menemukannya."
"Ya. Aku menemukannya."
Aku menggeleng-geleng. "Kelihatannya bukan berita baik buat Charles.
Dan kedengarannya tadi kau membicarakan
penyakit Nona Arundell dengan si Ellen.
Samakah gejalanya dengan gejala keracunan
arsenik?" Poirot menggosok-gosok hidungnya.
"Sukar untuk dikatakan. Nona Arundell merasa perutnya tidak enak - sakit."
"Nah - itu memang gejalanya, bukan?"
"Hmmm, aku kurang yakin."
"Lalu kira-kira keracunan apa kalau begitu?"
"Eh bien, Sobat, melihat gejalanya seperti sakit lever biasa yang mematikan."
"Oh, Poirot!," seruku. "Tidak mungkin itu cuma penyakit biasa! Dia mati
dibunuh!" "Oh, ia ia, kok kita jadi tukar tempat?"
Tiba-tiba Poirot membelok ke sebuah apotek.
Setelah lama memperbincangkan keluhan-
keluhan pribadinya, Poirot membeli sekotak
kecil obat isap untuk sakit tenggorokan.
Kemudian, sementara obat yang dibelinya itu
sedang dibungkus, perhatiannya tiba-tiba
tertarik pada obat berbungkus menarik: Kapsul
Lever Dr. Loughbarrow. "Oh, ya, Tuan - obat itu bagus sekali." Si Apoteker yang setengah baya itu
berpromosi. "Sangat mujarab!"
"Kalau tak salah Nona Arundell biasa
meminumnya. Nona Emily Arundell."
"Memang betul, Tuan. Nona Arundell yang
empunya Puri Hijau itu. Oh, dia perempuan
yang luar biasa. Saya sering melayaninya."
"Banyakkah obat paten yang biasa
diminumnya?" "Tidak, Tuan. Tidak sebanyak yang biasa
diminum perempuan-perempuan tua lainnya.
Nona Lawson, bekas pelayan pribadinya yang
sekarang jadi ahli waris..."
Poirot mengangguk. "Dia banyak minum obat - macam-macam pil,
obat isap, obat untuk melancarkan pencernaan,
obat tambah darah, dan sebagainya. Makin
banyak botol di lemari obatnya, makin senang
dia. Padahal sekarang orang tidak terlalu doyan obat seperti dulu. Meskipun
begitu, obat-obatan yang kami jual masih banyak laku -
karena ada orang yang punya kesenangan
mengumpulkan obat-obatan seperti Nona
Lawson itu." "Apakah Nona Arundell minum kapsul lever ini secara teratur?"
"Ya. Selama tiga bulan terakhir sebelum Beliau meninggal."
"Oh ya - ada keluarganya. Dokter Tanios -kalau tak salah - yang datang ke sini
untuk membeli ramuan obat tertentu. Betul?"
"Ya. Lelaki Yunani yang menikahi kemenakan Nona Arundell. Campuran obatnya baru
rupanya -saya belum pernah menjumpai
campuran seperti itu."
Apoteker itu berbicara mengenai botani.
"Obat baru biasanya memang berkhasiat, Tuan -
sebab tubuh kita lama kelamaan menjadi kebal
dengan obat yang biasa kita minum. Betul, Tuan
-campuran obatnya sangat menarik. Tapi itu
bisa dimengerti - dia seorang dokter, bukan"
Orangnya baik sekali - senang mengobrol
dengannya." "Isterinya pernah belanja ke sini?"
"Pernah atau tidak, ya" Oh, saya tidak ingat.
Tapi, eee, ya, pernah, Tuan. Dia dalang membeli obat tidur
- chloral. Ya, chloral - saya ingat. Dia membeli dosis dua kali lipat yang biasa
diberikan dokter." "Dokter mana yang menulis resepnya?"
"Suaminya, saya pikir. Sekarang ini kami mesti lebih berhati-hati, Tuan. Kadang-
kadang dokter salah menulis resep. Karena itu kami sering
harus mencek ulang. Sebab, Tuan, kalau
umpamanya terjadi sesuatu - bukan dokternya
yang disalahkan, tapi kami. Kami dianggap tahu
dosis yang seharusnya."
"Itu tidak adil!"
"Ya - agak mengkuatirkan, saya akui. Tapi, yah -
saya tidak boleh berkeluh kesah. Amit-amit, tapi selama ini yang seperti itu
belum pernah terjadi dengan apotek kami."
Laki-laki itu mengetuk meja di hadapannya tiga
kali. Poirot membeli sebungkus kapsul lever buatan
Dr. Loughbarrow. "Yang ukuran berapa, Tuan - dua puluh lima, lima puluh, seratus?"
"Yang paling besar pasti jatuhnya lebih murah -
tapi..." "Yang lima puluh sajalah, Tuan. Nona Arundell biasanya mengambil yang lima
puluh." Poirot mengangguk, membayar, dan menerima
bungkusan kapsul levernya.
Kami pergi meninggalkan apotek tadi.
"Jadi Nyonya Tanios pernah membeli obat tidur dengan dosis melebihi normal,"
ujarku setelah kami sampai dijalan. "Minum obat tidur
melebihi dosis kan bisa mematikan?"
"Ya - mati dengan tanpa susah-susah sama
sekali." "Mungkinkah Nona Arundell..." Tiba-tiba aku ingat kata-kata Nona Lawson, Saya
yakin dia mau membunuh siapa pun kalau disuruh
suaminya." Poirot menggeleng. "Chloral itu semacam narkotik - biasanya
dipakai untuk mati rasa dan penenang. Tapi bisa juga membuat orang kecanduan."
"Mungkinkah Nyonya Tanios kecanduan obat
itu?" Poirot menggeleng lagi. "Tidak. Kupikir tidak. Tapi aku jadi curiga. Buat apa dia membeli obat tidur
sebanyak itu. Mungkin..." Poirot tidak melanjutkan kata-katanya, ia segera mengalihkan perhatiannya pada
arlojinya. "Ayo. kita cari alamat Suster Carruthers yang merawat Nona Arundell pada hari-
hari terakhirnya." Suster Carruthers ternyata seorang wanita
setengah baya yang kelihatannya sangat
bijaksana. Kali ini Poirot memainkan peran baru. Ia
berpura-pura mencari juru rawat untuk ibunya
yang sudah tua dan sakit-sakitan.
"Terus terang, ibu saya orangnya sulit. Telah beberapa kali kami memanggil juru
rawat muda yang pandai dan cekatan. Tapi, justru karena
mereka muda itu ibu saya menentang. Beliau
tidak menyukai perempuan muda. Mereka
selalu dihinanya. Saya harus akui, ibu saya keras dan kolot, ia sangat menentang
segala sesuatu yang berbau modern. Karena itu, sulit sekali
bagi saya untuk mencari orang yang bisa cocok
dan sabar menghadapinya," ujar Poirot dengan sedihnya.
"Saya bisa mengerti," kata Suster Carruthers simpati. "Memang kadang-kadang
menjengkelkan. Dengan wanita tua seperti ibu
Anda, kita harus menggunakan banyak taktik.
Tidak baik membuat si pasien marah. Lebih baik
kita yang mengalah sebanyak mungkin. Kalau
dia merasa bahwa kita tidak memaksanya, tidak
memerintah atau mendikte - maka lambat laun
dia akan bersikap santai, dan bahkan
menyerah." "Ah! Saya yakin Anda akan cocok sekali buat ibu saya. Anda kelihatannya mengerti
perasaan wanita tua." "Saya terpaksa mengerti lewat pengalaman-
pengalaman saya," kata Suster Carruthers
sambil tertawa. "Kesabaran dan humor ternyata banyak sekali membantu."
"Ya - itu bijaksana sekali. Saya dengar Anda pernah merawat Nona Arundell.
Beliau pun, saya kira, bukan pasien yang gampang."
"Yah - bagaimana, ya" Kemauannya memang
keras, tapi saya tidak mengalami kesulitan
merawatnya. Tapi mungkin saja itu karena saya
tidak terlalu lama merawatnya. Dia meninggal
pada hari keempat dalam rawatan saya."
"Saya baru kemarin bertemu dengan
kemenakannya, Nona Theresa Arundell."
"Oh, sungguh" Dunia ini memang sempit!"
"Anda kenal dia?"


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, tentu saja. Dia datang setelah bibinya meninggal, dan datang lagi buat
menghadiri pemakamannya. Sebelumnya pun saya sudah
sering melihatnya - kalau dia berjalan-jalan pada waktu berlibur di sini. Dia
sangat cantik." "Ya. Cantik sekali. Sayangnya agak terlalu kurus."
Sadar akan pipinya sendiri yang agak montok,
Suster Carruthers menjadi kemalu-maluan.
"Benar," ujarnya. "Sebaiknya orang tidak terlalu kurus."
"Kasihan dia," lanjut Poirot. "Saya betul-betul merasa kasihan kepadanya. Entre
nous"[antara kita saja] Poirot mendekatkan dirinya pada
Suster Carruthers, dan dengan setengah
berbisik ia berkata, "surat wasiat bibinya sangat tidak terduga-duga."
"Kelihatannya begitu," ujar Suster Carruthers.
"Setahu saya, itu menjadi bahan pembicaraan orang."
"Saya sama sekali tidak bisa membayangkan
mengapa Nona Arundell memutuskan untuk
tidak mewarisi keluarganya sendiri sama sekali.
Tidak biasanya orang berbuat begitu."
"Aneh sekali memang. Dan dengar-dengar,
orang mengatakan ada sesuatu di balik
semuanya itu." "Mungkin Anda punya bayangan - apa
alasannya" Pernahkah Nona Arundell
mengatakan sesuatu mengenai hal itu?"
"Tidak - tidak kepada saya."
"Tapi dia mengatakan kepada orang lain?"
"Yah - saya pikir Nona Arundell mengatakan sesuatu kepada Nona Lawson, dan saya
dengar Nona Lawson berkata, 'Ya. Tapi surat-surat itu
dibawa oleh Tuan Pur...' Purvis kalau tidak
salah. Saya pikir itu nama pengacaranya.
Kemudian Nona Arundell berkata, 'Saya yakin
ada di laci di bawah.' Dan Nona Lawson
mengatakan, 'Tidak. Masakan lupa" Kan, sudah
dikirimkan ke Tuan Purvis"' Setelah itu pasien
saya mengalami serangan mual-mual lagi, dan
Nona Lawson pergi ke luar sementara saya
merawat Nona Arundell. Saya sering bertanya-
tanya - mungkinkah surat wasiat itu yang
mereka perbincangkan."
"Sangat mungkin."
Suster Carruthers melanjutkan,
"Kalau memang benar, saya pikir Nona Arundell merasa gelisah dan ingin
mengubahnya - tapi Beliau begitu lemah dan menderita sampai
ajalnya tiba." "Apakah Nona Lawson membantu
merawatnya?" tanya Poirot.
"Oh, sama sekali tidak. Sikapnya kerap kali justru mengganggu ketenangan
pasien." "Jadi, Anda sendiri yang merawat Nona Arundell selama Beliau sakit" C'est
formidable ca."[bukan main]
"Ada seorang pelayan - - namanya Ellen, kalau saya tidak salah. Dia membantu
saya. Ellen sangat baik. Dia sudah terbiasa merawat orang
sakit, dan kelihatannya dia sangat mengerti apa yang disukai atau tidak disukai
Nona Arundell. Kami berdua bekerja sama dengan baik sekali,
saya akui. Dokter Grainger mengirim seorang
suster jaga malam pada hari Jumat sore. Tapi
Nona Arundell sudah meninggal sebelumnya."
"Mungkin Nona Lawson membantu menyiapkan
makanan pasien Anda?"
"Tidak. Nona Lawson sama sekali tidak
melakukan apa-apa. Terus terang, hampir tidak
ada yang perlu dipersiapkan. Semuanya sudah
saya siapkan di kamar Nona Arundell - Valentine dan brandy-nya, juga glucose dan
sebagainya. yang dilakukan Nona Lawson cuma menangis,
kadang-kadang meraung-raung, mengganggu
semua orang." Sedikit nada pahit terselip dalam suara Suster
Carruthers. "Kedengarannya," komentar Poirot, "Anda kurang menghargai Nona Lawson."
"Pada pikiran saya, pelayan pribadi kebanyakan orang bodoh. Mereka tidak atau
kurang berpendidikan. Cuma bekerja - katakanlah -
sebagai amatiran. Dan umumnya, mereka itu
perempuan yang tidak bisa bekerja yang lain."
"Menurut penglihatan Anda, apakah Nona
Lawson sangat dekat dengan Nona Arundell?"
"Kelihatannya begitu. Waktu Nona Arundell
meninggal, dia yang paling histeris - melebihi
keluarga Nona Arundell sendiri, malah."
"Ya, mungkin juga," ujar Poirot sambil mengangguk-angguk. "Sebab Nona Arundell
nampaknya sangat sadar ketika memutuskan
untuk mewariskan seluruh kekayaannya kepada
Nona Lawson." "Nona Arundell orangnya sangat cerdik," ujar Suster Carruthers. "Pengetahuannya
sangat luas." "Pernahkah dia membicarakan Bob -
anjingnya?" "Lucu, Anda mengatakan begitu! Memang Nona Arundell sering sekali
membicarakannya - lebih-lebih kalau dia mengigau. Tak jelas apa yang
diucapkan. Yang terdengar dia menyebut-
nyebut Bob dan bolanya serta dia jatuh dari
tangga. Bob anjing manis. Saya sangat
menyayangi anjing. Kasihan Bob kelihatannya
sedih sekali ketika maunya meninggal. Kadang-
kadang sukar dimengerti, bukan?"- Anjing
sering mempunyai perasaan seperti manusia."
Dengan pembicaraan mengenai anjing ini, kami
pun minta diri. "Adaseseorang yang nampaknya sama sekali
tidak mempunyai kecurigaan," ujar Poirot di jalan.
Suaranya kurang bersemangat.
Santap malam kami di The George sama sekali
tidak nikmat - Beberapa kali Poirot mengeluh,
lebih-lebih waktu makan supnya.
"Padahal, Hastings, gampang sekali bikin sup yang enak. Le pot au feu..."
Kuhindari topik masak memasak ini dengan
susah payah. Sehabis makan malam, kami mendapat kejutan.
Kami sedang duduk-duduk di lobby. Saat itu
kebetulan tidak ada orang lain yang duduk-
duduk di situ. Waktu makan di ruang makan
tadi ada seorang laki-laki lain yang juga sedang makan. Seorang pengusaha
kelihatannya. Tapi dia tidak tinggal di hotel lama. Dia keluar
setelah selesai santap malam. Aku iseng-iseng
membuka semacam jurnal ekonomi terbitan
lama yang tersedia di meja ketika tiba-tiba
kudengar ada orang menyerukan nama Poirot.
Suara yang kudengar itu rupanya berasal dari
luar. "Mana dia" Di sini" Oh - aku harus menemukan orang itu!"
Pintu masuk ke lobby dibuka orang dari luar.
Dokter Grainger masuk tergopoh-gopoh dengan
wajah merah padam dan kedua alisnya bertemu
di tengah. Lelaki itu berhenti sebentar menutup pintu, kemudian menghampiri kami
dengan salah tingkah. "Oh, jadi Anda di sini! M. Poirot, apa maksud Anda datang ke tempat saya dan
membual yang bukan-bukan?" "Ini dia salah satu bola sabunmu, Poirot,"
gumamku. Dengan suara sangat lembut Poirot berkata,
"Oh, Dokter, perkenankan saya menjelaskan..."
"Memperkenankan" Memperkenankan" Huh.
persetan dengan macam-macam perkenan.
Akan kupaksa kau menjelaskan semua duduk
perkaranya! Anda seorang detektif, kan"
Detektif yang kasak-kusuk berusaha mencari
informasi! Apa maksudnya Anda datang ke
tempat praktek saya dan membuat ceritera-
ceritera bohong" Yang katanya mau menulis
buku biografi Jenderal Arundell - lah.... Oh,
"Siapa yang memberitahukan identitas saya
kepada Anda?" tanya Poirot.
"Siapa" Nona Peabody. tentu saja. Dia tidak bisa ditipu. Dia langsung tahu
maksud Anda." "Oh, Nona Peabody- ya." Poirot kedengarannya sedang mencoba mengingat-ingat Nona
Peabody. "Saya pikir..."
Dokter Grainger menyela dengan marahnya.
"Saya menunggu penjelasan Anda, Tuan!"
"Tentu saja! Penjelasannya sangat sederhana.
Usaha Pembunuhan." "Apa" Apa yang Anda katakan?"
Dengan tenang Poirot berkata,
"Nona Arundell mengalami kecelakaan-jatuh
dari tangga. Betul, bukan" Tidak lama. sebelum
Beliau meninggal." "Ya. Apa hubungannya" Dia terpeleset bola
mainan anjingnya sendiri."
Poirot menggeleng. "Tidak, Dokter. Dia bukan jatuh karena
terpeleset atau terantuk bola Bob! Ada benang
yang sengaja direntang pada ujung atas tangga
itu supaya dia tersandung dan jatuh!"
Dokter Grainger membelalak.
"Tapi Nona Arundell tidak mengatakan begitu,"
sanggahnya. "Dia sama sekali tidak pernah
mengatakan apa-apa."
"Itu bisa dimengerti -- kalau memang benar salah seorang keluarganya sendiri
yang memasang benang itu."
"Hmmm," Dokter Grainger melemparkan
pandangan tajam kepada Poirot, kemudian
menjatuhkan dirinya ke kursi. "Nah," ujarnya pula. "Lalu bagaimana Anda bisa
ikut campur dalam urusan ini?"
"Nona Arundell sendiri menulis surat kepada saya. Dia menekankan kerahasiaannya.
Sayangnya surat itu terlambat dikirimkan."
Poirot melanjutkan ceriteranya mengenai
penyelidikannya serta paku yang ditemukannya
di papan miring yang terdapat di sisi tangga.
Dokter Grainger mendengarkan semuanya itu
dengan sungguh-sungguh. Wajahnya serius.
Amarahnya menghilang. "Anda hiea mengerti bagaimana sulitnya
kedudukan saya, bukan, Dokter Grainger?" kata Poirdt akhirnya. "Saya mengerjakan
semuanya ini atas permintaan orang yang sudah
meninggal. Walaupun dia sudah meninggal, tapi
saya merasa bahwa permintaannya memang
penting dan harus dilakukan."
Dahi Dokter Grainger berkerenyit, kedua alisnya hampir bertemu di atas
hidungnya. "Anda belum punya bayangan siapa yang
dengan sengaja memasang benang di tangga
itu?" "Saya belum mempunyai bukti. Tapi itu bukan berarti saya belum punya gambaran"
"Perbuatan yang sangat terkutuk," gumam Dokter Grainger.
Ya. Mula-mula sulit menentukan apakah ada
kelanjutan ceriteranya." "Apa?"
"Kelihatannya Nona Arundell meninggal karena penyakit biasa. Tapi, yakinkah kita
bahwa dia benar-benar meninggal karena penyakit"
Pernah terjadi percobaan pembunuhan
terhadap dirinya. Bagaimana saya bisa yakin
bahwa selanjutnya tidak terjadi percobaan yang
kedua" Dan percobaan yang kedua ini ternyata
berhasil!" Dokter Grainger mengangguk-angguk.
"Jangan marah, Dokter Grainger - tapi, Anda pun merasa yakin bahwa Nona Arundell
meninggal karena penyakitnya, bukan" Maksud
saya, Anda yakin bahwa dia meninggal secara
wajar" Saya baru saja menemukan beberapa
bukti..." Poirot menceriterakan dengan mendetil
percakapannya dengan Angus siang tadi, serta
perhatian Charles yang nampaknya sangat besar
terhadap obat pembasmi semak itu. Poirot juga
menyebutkan keterkejutan Angus waktu tahu
bahwa isi kalengnya sudah hampir habis.
Dokter Grainger mendengarkan dengan penuh
perhatian. Ketika Poirot selesai berceritera, ia berkata.
"Saya mengerti jalan pikiran Anda. Dalam
kebanyakan kasus keracunan arsenik memang
timbul keluhan akut pada ginjal. Meskipun
demikian, kasus semacam ini agak sulit
didefinisikan karena mempunyai akibat yang
berbeda-beda. Bisa akut, sub-akut. mengenai
saraf atau gejala kronis. Mungkin penderita
muntah-muntah dan merasa sakit perut -tapi
gejala semacam ini mungkin juga tidak timbul
sama sekali. Sebaliknya, ada juga kemungkinan
si penderita langsung terkapar dan meninggal,
atau menjadi lumpuh. Gejalanya sangat
bervariasi." Poirot berkata, "Eh bien, melihat fakta-faktanya, bagaimana pendapat Anda?"
Dokter Grainger diam beberapa menit lamanya.
Kemudian dengan perlahan-lahan dia berkata,
"Melihat fakta-faktanya, dan tanpa
dilatarbelakangi oleh pikiran lain selain yang
berhubungan dengan kedokteran, saya
berpendapat tidak ada gejala keracunan arsenik
sama sekali dalam kasus Nona Arundell. Dia


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggal karena penyakit kuning yang
disebabkan oleh kerusakan pada hatinya. Sudah
bertahun-tahun saya menjadi dokter
pribadinya. Dan selama itu, telah beberapa kali saya mengalami penyakitnya itu
kambuh. Pada waktu kambuh, gejala yang nampak sama
dengan gejala yang nampak pada sakitnya yang
terakhir. Begitulah pendapat saya, M. Poirot."
Di situ, pembicaraan dengan sendirinya
berhenti. Rasanya seperti anti-klimaks ketika tiba-tiba
Poirot mengeluarkan bungkusan kapsul lever
yang dibelinya di apotek sore tadi.
"Saya dengar Nona Arundell memakai obat ini?"
tanyanya. Tapi ini toh tidak membahayakan?"
"Obat itu" Tak adajeleknya. Aloes-podophyllin-zat yang terkandung di dalamnya
tergolong lembut dan tidak membahayakan," Dokter
Grainger berkata. "Dia ingin mencoba obat itu.
Dan saya tidak berkeberatan."
Dokter Grainger berdiri. "Anda sendiri meramu obat untuknya?" tanya Poirot.
"Ya - pil lever enteng buat setiap kali habis makan." Mata Dokter Grainger
bersinar aneh. "Seandainya dia memakan satu dos sekaligus pun, tak ada bahayanya. Saya tidak
pernah meracuni pasien-pasien saya, M. Poirot."
Dengan tersenyum dijabatnya tangan kami, dan
dia pun pergi. Poirot membuka dos obat yang dibelinya di
apotek tadi. Isinya kapsul transparan, tiga
perempatnya terisi oleh serbuk berwarna
kecoklatan. "Seperti obat mabok laut yang pernah
kuminum," komentarku.
Poirot membuka sebuah kapsul dan memeriksa
isinya. Dijilatnya serbuk coklat yang baru
dikeluarkan dari kapsulnya. Ia meringis.
"Yah," ujarku sambil menjatuhkan pantatku ke kursi, "Kelihatannya tidak ada yang
membahayakan. Maksudku, kapsul buatan
Dokter Loughbarrow maupun pil ramuan Dokter
Grainger! Dan lagi Dokter Grainger kelihatannya sangat negatif terhadap
kemungkinan keracunan arsenik. Apakah kau akhirnya
percaya, Poirot - Sobatku yang keras kepala?"
"Aku memang keras kepala," ujarnya.
"Jadi, meskipun kau telah mendengar
keterangan apoteker itu, juru rawat, serta
dokter itu sendiri -kau masih tetap yakin bahwa Nona Arundell dibunuh orang?"
Jawaban Poirot sangat pelan,
"Itu keyakinanku. Bukan cuma keyakinan,
Hastings - - aku merasa pasti!"
"Ada cara buat membuktikannya," ujarku lambat. "Gali makamnya, dan periksa sisa-
sisa tubuhnya." Poirot mengangguk. "Itu langkahmu yang berikut?"
"Kawan, aku mesti sangat berhati-hati."
"Mengapa?" "Karena," suaranya turun. "'Aku takut akan terjadi tragedi yang kedua"
"Maksudmu?" "Aku takut, Hastings, aku takut. Itu saja."
BAB 22 PEREMPUAN DI TANGGA SANA Keesokan harinya, datang sepucuk surat
ditujukan kepada Poirot. Tulisannya ragu-ragu
dan miring ke atas di sebelah kanannya.
M. Poirot yang terhormat,
Saya dengar dari Ellen, Anda berkunjung ke Puri Hijau kemarin. Kalau Anda tidak
terlalu sibuk, tolong mampir sebentar hari ini.
"Jadi, dia sedang di sini?" komentarku. "Ya."
"Apa perlunya dia datang?"
Poirot tersenyum. "Jangan sinis begitu, Sobat.
Puri Hijau kan rumahnya sendiri sekarang."
"Memang. Tahukah Poirot, kelihatannya kita akan kejepit lagi. Setiap tipuan yang
dilakukan orang pada akhirnya akan terbuka."
"Aku sependapat denganmu, Hastings."
"Kau masih mencurigai mereka semua?"
"Tidak. Aku cuma mencurigai seorang saja
sekarang ini." "Yang mana?" "Karena baru merupakan dugaan, dan belum
ada buktinya, kupikir sebaiknya kau menarik
kesimpulan sendiri. Jangan lupa akan faktor-
faktor psikologi. Itu sangat penting. Sifat
pembunuhannya mencerminkan temperamen
pelakunya - itu kunci terpentingnya."
"Mana aku bisa tahu temperamen
pembunuhnya kalau pembunuhnya sendiri tidak
kuketahui?" "Kau tidak memperhatikan yang barusan
kukatakan. Kalau kaugambarkan kembali sifat-
sifat yang penting dan menyolok, tentunya -
dari pembunuhan itu. kau akan sadar siapa
sebenarnya pelaku pembunuhan itu."
"Sungguhkah kau tahu, Poirot?" tanyaku ingin tahu.
"Tak bisa aku mengatakan bahwa aku tahu,
Sobat - aku belum punya bukti. Itu sebabnya
aku tidak berani berkata lebih banyak pada saat ini. Tapi aku cukup yakin dan
pasti akan kebenarannya." "Yah," ujarku tertawa, "hati-hati sajalah! Kalau pembunuhnya tahu, bisa-bisa
terjadi tragedi seperti yang kautakutkan."
Poirot agak terperangah. Kelihatannya ia tidak
menganggap komentarku tadi suatu gurauan. Ia
bergumam, "Kau benar. Aku mesti hati-hati
sekali." "Kau mesti pakai baju anti peluru," gurauku.
"Bawa alat pendeteksi racun, kalau perlu.
Malah, tak ada salahnya mulai menyewa tukang
pukul." "Merci,[terima kasih] Hastings! Aku akan
menjaga diriku sendiri."
Poirot kemudian menulis kepada Nona Lawson,
memberitahukan bahwa kami akan datang ke
Puri Hijau kurang lebih jam sebelas nanti.
Setelah itu kami sarapan dan berjalan-jalan ke
alun-alun. Hari sudah hampir menunjukkan
setengah sebelas. Udara terasa panas dan
membuat orang mengantuk. Aku sedang memperhatikan barang-barang
antik yang dipajang di etalase sebuah toko
ketika tiba-tiba bahuku ditepuk orang dengan
keras sekali. "Hai!" serunya dengan suara yang teramat lantang.
Aku berputar, dan di hadapanku berdiri Nona
Peabody. Tangannya memegang sebuah payung
berukuran besar yang nampaknya sangat kekar.
(Payung itulah yang dipakainya memukul
pundakku tadi, pikirku.) Tak sadar akan rasa sakit yang ditimbulkannya
dipundakku, Nona Peabody memperhatikanku,
dan dengan suara amat puas berkata:
"Ha! Benar - tak salah dugaanku. Memang kau yang kulihat!"
Dengan agak dingin kusahuti,
"Ee, selamat pagi. Bisa saya bantu?"
"Bagaimana kemajuan buku yang dibikin
kawanmu itu - Kehidupan Jenderal Arundell"'"
"Terus terang, dia belum mulai menulisnya,"
Nona Peabody tidak bersuara. Namun tawanya
segera keluar, tawa seorang yang merasa puas.
"Kupikir dia tidak akan pernah menulis buku itu."
Tersenyum, kukatakan, "Jadi Anda sudah tahu fiksi kami?"
"Memangnya kaupikir aku ini apa - perempuan pandir?" tanya Nona Peabody. "Tidak
lama - cuma sebentar saja. aku sudah tahu apa yang
sebenarnya dicari oleh kawanmu itu! Dia ingin
aku bicara! Aku tidak berkeberatan sih!
Kebetulan aku memang suka mengobrol.
Sekarang ini susah cari orang yang senang
mendengarkan ceritera orang lain. Terus terang, aku merasa senang atas kunjungan
kalian siang itu." Ia mengerdipkan matanya kepadaku. "Ada apa sebenarnya?"
Aku ragu-ragu menjawabnya. Untunglah Poirot
segera keluar dari toko dan bergabung dengan
kami. Ia mengangguk hormat ketika melihat
Nona Peabody. "Selamat pagi, Mademoiselle. Senang sekali bertemu lagi."
"Selamat pagi," balas Nona Peabody. "Peran apa lagi yang Anda mainkan pagi ini,
Parotti atau Poirot - he?" "Anda sangat cerdik - tahu kedok saya secepat itu," ujar Poirot sambil
tersenyum. "Yah - sedikit orang yang seperti Anda di sekitar sini, bukan" Karena itu sulit
mengatakan bagus atau jelek." "Lebih baik Anda katakan saya ini unik,
Mademoiselle" "Baiklah, kalau itu mau Anda," Nona Peabody berkata acuh tak acuh. "Nah, Tuan
Poirot, tempo hari saya sudah menceri terakan
semuanya yang ingin Anda ketahui. Sekarang
giliran saya bertanya. Ada apa sebenarnya?"
"Apakah Anda bukan menanyakan pertanyaan
yang sudah bisa Anda jawab sendiri?"
"Oooh," Nona Peabody memandang tajam
Poirot. "Kecurangan mengenai surat wasiat itu"
Atau ada yang lain lagi" Punya rencana
membongkar kubur Emily" Begitukah?" Poirot tidak menjawab.
Nona Peabody mengangguk-angguk seolah ia
telah menerima jawab yang diinginkannya.
"Sering saya bayangkan," ujar perempuan itu menyimpang dari pembicaraan semula,
"bagaimana rasanya... membaca koran -
membayangkan pada suatu hari orang
membongkar kuburan di Market Basing... Tak
kusangka Emily Arundell..."
Tiba-tiba Nona Peabody menyorot Poirot
dengan pandangan menyelidik,
"Emily tidak suka kalau dia tahu... Sudahkah itu Anda pertimbangkan?"
"Ya - sudah." "Aku percaya -Anda bukan orang bodoh!"
Poirot mengangguk. "Terima kasih,
Mademoiselle." "Melihat kumis Anda itu, tak hanyak orang yang akan menjuluki Anda seperti itu.
Mengapa Anda memelihara kumis seperti itu" Suka?"
Aku menoleh, hampir tak bisa menahan tawa.
"Di Inggris kelihatannya seni memelihara kumis kurang diperhatikan orang," sahut
Poirot. Tangannya mengusap-usap kumisnya dengan
penuh kebanggaan. "Oh, lucu!" ujar Nona Peabody. "Syukurlah kalau Anda menyukai apa yang diberikan
oleh Tuhan. Biasanya orang malah sebaliknya."
Nona Peabody menggeleng-gelengkan
kepalanya dan mengeluh. "Tak pernah mengira ada pembunuhan di
tempat terpencil seperti ini," Lagi-lagi
pandangannya tajam ditujukan kepada Poirot.
"Yang mana pembunuhnya?"
"Apakah saya mesti keras-keras mengatakannya kepada Anda di tengah jalan
begini?" "Mungkin Anda tidak tahu siapa pembunuhnya.
Atau, Anda tahu" Oh - keturunan jelek. Aku dulu setengah mati ingin tahu apakah
perempuan bernama Varley itu betul membunuh suaminya.
Tapi, yah - itu lain lagi!"
"Anda percaya pada sifat-sifat yang menurun?"
Nona Peabody berkata cepat,
"Mudah-mudahan saja si Tanios. Dia orang lain!
Tapi harapan tidak selalu menjadi kenyataan.
Yah -kupikir aku mesti pulang. Kelihatannya
Anda tidak mau menceriterakan apa pun
kepada saya.... Buat siapa sih Anda bekerja?"
Dengan suara berat Poirot berkata,
"Saya bekerja atas perintah yang sudah
meninggal, Mademoiselle."
Jengkel sekali rasanya ketika Nona Peabody
tertawa terkekeh-kekeh mendengar keterangan
Poirot tadi. Meskipun demikian ia segera
menghentikan tawanya dan berkata,
"Maafkan saya. Seperti Isabel Tripp - cuma itu!
Bukan main! Lebih-lebih Julia. Nah, sampat
ketemu lagi. Sudah bertemu Dokter Grainger?"
"Mademoiselle, Anda sudah membocorkan
rahasia saya." Nona Peabody berdecak. "Laki-laki berpikir terlalu sederhana. Mau saja dibohongi. Oh, dia marah sekali
waktu saya beri tahu! Dia langsung pergi mencari Anda!"
"'Dia sudah menemukan saya tadi malam."
"Oh, sayang - saya tidak menyaksikan
kejadiannya." "Sungguh sayang. Mademoiselle."
Nona Peabody tertawa dan bersiap-siap
meneruskan perjalanannya. Lewat atas bahunya
dia menyapaku, "Sampai ketemu lagi. Anak Muda! Jangan
terlalu terpaku pada barang antik di toko itu -


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barang tiruan!" Dengan berdecak dia meninggalkan kami.
"Dia," ujar Poirot, "haru namanya perempuan tua yang cerdik"
"Kaujuluki dia begitu meskipun dia rak
menyukai kumismu?" "Selera dan otak tidak sama, Sobat," bantahnya.
Kami masuk ke dalam sebuah toko, dan
menghabiskan waktu sambil melihat-lihat
barang yang dijual di situ. Hampir jam sebelas
ketika kami keluar dan berjalan ke arah Puri
Hijau. Dengan wajah lebih merah daripada biasanya,
Ellen buru-buru membukakan pintu dan
mempersilakan kami masuk. Dari Ruang Tengah
terdengar langkah seseorang menuruni tangga.
Tak lama kemudian Nona Lawson muncul.
Napasnya terengah-engah dan kelihatannya
sedikit bingung. Rambutnya diikat dengan
sebuah saputangan sutera "Maafkan saya keluar dalam keadaan tidak rapi seperti ini, M. Poirot. Saya baru
saja membongkar lemari yang selama ini belum
pernah saya buka. Bukan main. Banyak sekali
barang yang dikumpulkan oleh Nona Arundell.
Bayangkan, dia menyimpan dua lusin buku
sulam-menyulam - dua lusin!"
"Maksud Anda Nona Arundell membeli dua
lusin buku sulam-menyulam?"
"Ya, dan menyimpannya di lemari - kemudian melupakannya. Tentu saja jarumnya
sudah karatan semuanya - sayang. Biasanya Nona
Arundell suka menghadiahkannya kepada para
pelayan sebagai hadiah Natal."
"Dia sangat pelupa?"
"Sangat! Lebih-lebih kalau menyimpan
sesuatu." Nona Lawson tertawa - rupanya geli mengingat
kejadian yang pernah dialaminya. Ia
mengeluarkan sapu tangan dan mulai
membersihkan hidungnya. "Oh," ujarnya berkaca-kaca, "tak pantas benar aku menertawakannya seperti ini."
"Anda terlalu perasa," hibur Poirot. "Sampai hal-hal yang terlalu kecil pun Anda
rasakan." "Begitu kata ibu saya selalu, M. Poirot. 'Kau terlalu banyak memasukkan segala
sesuatu ke dalam hatimu, Mina,' begitu ibu saya sering
berkata. Berat rasanya jadi orang yang terlalu
sensitif, M. Poirot -lebih-lebih kalau kebetulan kita ini perlu mencari nafkah
buat hidup." "Memang; tapi itu toh sudah lalu. Anda
sekarang tak perlu lagi bekerja susah payah.
Anda bisa pesiar - tanpa perlu punya rasa kuatir apa pun."
"Ya. Itu benar," Nona Lawson berkata agak ragu-ragu.
"Tentu saja benar," hibur Poirot. "Ngomong-ngomong tentang sifat pelupa Nona
Arundell, saya jadi mengerti mengapa surat yang
ditulisnya kepada saya sampai begitu lambat
diposkannya." Poirot menceriterakan bagaimana surat itu
dike-temukan. Tiba-tiba pipi Nona Lawson
menjadi merah. Katanya, "Seharusnya Ellen mengatakan kepada saya!
Lancang benar dia - mengirimkan begitu saja
surat itu kepada Anda! Setidaknya, dia harus
meminta pendapat saya dulu. lancang! Tak
sepatah kata pun pernah saya dengar mengenai
surat itu. Oh, keterlaluan sekali! Memalukan!"
"Nona Lawson, saya yakin Ellen tidak
bermaksud buruk." "Pokoknya saya tetap menganggap itu tidak
sepatutnya! Sangat tidak patut! Memang
pembantu kadang-kadang tidak tahu apa yang
seharusnya mereka lakukan. Ellen harus ingat,
bahwa saya pemilik rumah ini sekarang!"
Merasa dirinya penting, Nona Lawson
menegakkan duduknya. "Ellen sangat setia kepada majikannya, bukan?"
ujar Poirot. "Ya. Tapi tetap saja dia salah. Seharusnya dia memberitahukannya kepada saya."
"Yang penting - saya telah menerima suratnya,"
ujar Poirot lagi. "Oh, ya. Saya setuju - tidak ada gunanya
meributkan yang telah lewat. Meskipun begitu,
saya tetap harus memberitahu Ellen" supaya tidak bertindak semaunya sendiri
seperti itu." Nona Lawson berhenti bicara. Kedua pipinya
masih nampak merah. Poirot berdiam diri beberapa saat lamanya.
Kemudian ia bertanya, "Anda mengundang saya datang ke sini. Ada
yang saya bisa lakukan untuk Anda,
Mademoiselle?" Kejengkelan hati Nona Lawson hilang secepat
timbulnya. Ia mulai bingung dan tidak koheren
lagi bicaranya. "Eh - begini - e - terus terang, M. Poirot...
begini... saya datang ke sini kemarin sore. Dan tentu saja Ellen mengatakan
bahwa Anda baru saja ke sini. Yah - saya merasa aneh - maksud
saya, yah -saya tidak tahu apa perlunya.."
"Maksud saya datang ke sini ini?" tanya Poirot menyelesaikan kalimat Nona
Lawson. Nona Lawson memandang Poirot dengan wajah
bersemu merah. Ia nampak kemalu-maluan.
namun pandangannya penuh rasa ingin tahu.
"Saya harus mengakui kesalahan saya," ujar Poirot. "Selama ini, seolah-olah saya
memberi pengertian kepada Anda bahwa isi surat Nona
Arundell yang ditulis kepada saya itu mengenai
uang yang dicuri - kemungkinan oleh Tuan
Charles Arundell." Nona Lawson mengangguk. "Sebenarnya, bukan itu isi suratnya... terus terang, baru dari Anda saya
mendengar mengenai uang yang hilang itu... Nona Arundell
sendiri menulis mengenai kecelakaannya"
"Kecelakaannya?"
"Ya. Nona Arundell pernah jatuh dari tangga, bukan?"
"Betul, betul...." Nona Lawson nampak tidak percaya. Dipandangnya Poirot dengan
pandangan kosong. Lanjutnya, "Maaf - saya
tahu saya bodoh - tapi, apa perlunya dia
menulis kepada Anda" Setahu saya, atau kalau
tak salah Anda pernah bilang sendiri - Anda
seorang detektif. Anda bukan dokter, kan" Atau
mungkin Anda juga seorang penganut
kepercayaan...?" "Bukan. Saya bukan dokter - juga bukan
penganut aliran kepercayaan tertentu. Tapi,
seperti dokter, saya sering mengurusi hal-hal
yang berhubungan dengan kematian seseorang
yang disebabkan oleh kecelakaan."
"Kematian karena kecelakaan?"
"Sebangsa itu. Memang betul Nona Arundell
tidak meninggal akibat kecelakaan yang
dialaminya. Tapi, ia bisa meninggal karena
kecelakaan itu." "Oh, ya... dokter bilang begitu. Tapi saya tidak mengerti...."
Nona Lawson masih nampak bingung dan tidak
percaya. Penyebab kecelakaan Nona Arundell itu diduga
bola Bob. Betul, bukan?"
"Ya. Memang. Bola Bob yang menyebabkan."
"Sebenarnya bukan. Bukan bola Bob yang jadi penyebab Nona Arundell jatuh."
"Maaf, Tuan Poirot, tapi saya melihat sendiri bola itu ada di situ - itu waktu
kami semua keluar begitu mendengar suara Nona Arundell
berteriak." "Anda memang melihat bola itu. Tapi, bola itu bukanyang menyebabkan Nona
Arundell jatuh. Penyebabnya, Nona Lawson, seutas benang
berwarna gelap yang direntang dari sisi ke sisi tangga d. bagian atas tangga
itu!" "Tapi, tidak mungkin anjing bisa..."
"Tepat sekali," potong Poirot. "Seekor anjing memang tidak mungkin melakukan hal
semacam itu - anjing tidak sepandai itu - atau, boleh juga dikatakan: anjing
tidak berhati sejahat itu... Jadi, ada orang yang sengaja
memasang benang di situ dengan maksud..."
Wajah Nona Lawson mendadak pucat pasi.
Dengan tangan gemetar, ditutupnya wajahnya.
"Oh, M. Poirot," raungnya, "rasanya saya tidak percaya. Oh keterlaluan sekali.
Maksud Anda, ada orang yang sengaja melakukannya?"
"Ya. Sengaja" "Oh, keterlaluan! Itu sama saja dengan - dengan membunuh orang namanya."
"Seandainya Nona Arundell meninggal, ya - dia membunuh. Dengan kata lain, itu
suatu pembunuh-an. Bukan kecelakaan biasa."
Nona Lawson menjadi histeris. Masih dengan
nada berat Poirot melanjutkan. "Ada sebuah paku ditancapkan pada papan pegangan
di sisi tangga. Paku itulah yang dipakai untuk
mengikatkan benangnya. Paku itu dicat warna
gelap sehingga tidak mudah kelihatan.
Pernahkah Anda merasa ada bau cat basah yang
dari mana asalnya Anda tidak tahu?" Nona
Lawson terkesiap. "Oh, bukan main anehnya! Kalau dipikir
kembali! Oh, ya - tentui Dan selama ini saya
tidak pernah berpikir - bermimpi - tapi memang
bagaimana bisa" Padahal, waktu itu saya
merasa aneh sekali."
Poirot mendekatkan tubuhnya pada meja yang
menjadi batas kami dengan Nona Lawson.
"Jadi, Anda bisa membantu kami,
Mademoiselle. Sekali lagi saya katakan, Anda
bisa membantu kami. C'est epatant![bagus
sekali!] "Oh, rasanya - tidak terpikir waktu itu bahwa itu penyebab - Oh,..."
"Sekarang, tolong ceriterakan kepada saya.
Anda mencium bau cat - betul?"
"Ya. Mula-mula saya tidak tahu bau apa yang tercium itu. Saya pikir.... Oh, jadi
itu bau cat" Saya pikir itu cuma bayangan saya." "Kapan kejadiannya?" "Kapan ya" Tunggu..-"
"Apakah dalam liburan Paskah, waktu rumah ini dipenuhi tamu?"
"Ya. Benar - memang pada waktu itu
kejadiannya - cuma, saya sedang mengingat-
ingat hari apa tepatnya.... Yang jelas... bukan Minggu. Bukan, dan juga bukan
hari Selasa -- sebab Selasa malam itu Dokter Donaldson
datang makan malam di sini. Hari Rabu - mereka
semua pulang. Oh, ya - tepatnya pada hari
Senin, M. Poirot! Malam itu saya berbaring-
baring di tempat tidur saya. Ada sesuatu yang
sedang saya pikirkan. Daging yang saya pesan
cuma cukup untuk makan malam. Saya sangat
takut Nona Arundell marah kalau
mengetahuinya. Seharusnya saya memesan tiga
setengah kilo waktu belanja hari Sabtunya. Tapi, pikir-pikir, dua setengah kilo
sudah cukup. Padahal seharusnya saya tahu, Nona Arundell
suka marah kalau persediaan kurang. Dia
orangnya suka sekali menjamu orang...."
Nona Lawson berhenti sebentar, mengambil
napas. Kemudian lanjutnya,
"Saya sedang berbaring, membayangkan apa
yang akan dikatakan oleh Nona Arundell
seandainya dia tahu keesokan paginya. Berpikir-
pikir begitu rupanya membuat saya ketiduran.
Tapi, tepat sebelum saya terlelap, ada sesuatu
yang seperti membangunkan saya - bunyi
semacam gesekan pada kayu, atau sejenisnya..,.
Saya segera bangun, duduk di tempat tidur
dengan hati was-was. Saya mencoba mencium
kalau-kalau ada bau barang terbakar.... Oh,
selama ini saya paling takut sama api. Saya
takut sekali kalau terjadi kebakaran. Bayangkan, bagaimana rasanya terkurung di
tengah-tengah api. Saya memang mencium sesuatu; baunya
agak aneh - saya terus mencium dan mencium,
mencoba menemukan bau apa yang tercium
oleh saya itu. Yang jelas, bukan bau asap atau
sebangsanya. Saya katakan kepada diri saya
sendiri - kok seperti bau cat. Tapi tak mungkin, mana ada orang mengecat tengah
malam begitu Tapi baunya cukup tajam. Saya masih
tetap duduk sambil mencium-cium bau yang
tercium tadi. Baru setelah itu saya melihat
gadis..." "Siapa?"
"Saya melihatnya dari cermin saya - waktu itu pintu kamar saya sedikit terbuka.
Saya memang biasa meninggalkannya setengah terbuka begitu
-supaya kalau Nona Arundell memanggil saya,
cepat terdengar. Di samping itu juga supaya
gampang melihat apakah Nona Arundell naik
atau turun tangga. Di gang, selalu ada satu
lampu yang menyala -jadi saya bisa dengan
mudah melihat keluar tanpa berdiri dari tempat
tidur saya. Dari cermin itulah saya lihat dia
berlutut di tangga - Theresa, maksud saya. Dia
berlutut kira-kira pada anak tangga ketiga dari atas. Kepalanya menunduk,


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti sedang memperhatikan sesuatu. Saya merasa heran.
Mungkinkah dia sakit - saya pikir Tapi tepat
ketika itu, dia bangkit dan berjalan pergi. Jadi, saya pikir dia terpeleset,
mungkin. Atau, mungkin juga dia mengambil sesuatu yang
jatuh. Tapi, tentu saja saya tidak pernah lagi
memikirkan kejadian itu."
"Yang membangunkan Anda mungkin bunyi
palu yang dipakai untuk menancapkan paku
itu," ujar Poirot. "Ya. Mungkin saja. Tapi, oh, M. Poirot - itu toh keterlaluan - keterlaluan
sekali! Dari dulu memang saya tahu Theresa agak liar, tapi
berbuat sekeji itu..."
"Anda yakin itu Theresa?"
"Oh, ya - tentu saja."
"Tidak mungkinkah yang Anda lihat itu Nyonya Tanios atau salah seorang pelayan?"
Nona Lawson menggeleng-geleng dan
bergumam kepada dirinya sendiri- "Oh, oh!"
berkali-kali. Cara Poirot memandangnya tidak bisa
kumengerti. "Bolehkah saya membuat semacam eksperimen
di atas?" pintanya. "Saya ingin kita semuanya ke atas untuk merekonstruksikan
kejadian yang baru saja Anda ceriterakan itu."
"Merekonstruksi" Oh, sungguh - saya tidak tahu
- maksud saya, saya tak mengerti...."
"Akan saya tunjukkan kepada Anda," ujar Poirot tegas, menghentikan keragu-raguan
Nona Lawson. Dengan agak kebingungan, Nona Lawson
mempersilakan kami masuk dan naik ke atas.
"Mudah-mudahan kamarnya tidak berantakan -
akhir-akhir ini begitu banyak yang harus
dikerjakan - ini dan itu..."
Kamar Nona Lawson memang penuh dengan
berbagai benda yang rupanya hasil bongkaran
lemarinya pagi tadi. Dengan bahasanya yang
acak-acakan Nona Lawson mencoba
menjelaskan bagaimana posisinya waktu
melihat pemandangan yang nampak dari
cerminnya. Poirot sendiri kelihatannya sudah
bisa membayangkan. Memang sebagian tangga
nampak terpantul pada cermin di kamar Nona
Lawson. "Sekarang, Mademoiselle," pinta Poirot,
"hisakah Anda menirukan pemandangan yang
pernah Anda saksikan dari cermin ttu?"
Masih tetap menggumamkan sesuatu kepada
dirinya sendiri, Nona Lawson segera ke luar -
memainkan perannya. Sementara itu Poirot
menyaksikan melalui cermin.
Setelah selesai itu, Poirot keluar dan
menamakan lampu mana yang selalu dibiarkan
menyala sepanjang malam. "Yang ini - yang ini. Persis di luar pintu kamar tidur Nona Arundell."
Poirot mendekati lampu yang ditunjuk, meraih
bola lampunya, dan melepaskannya.
"Empat puluh watt. Tidak begitu terang."
"Memang. Lampu itu cuma supaya gang ini
tidak gelap sama sekali saja."
Setelah mengembalikan bola lampu ke
tempatnya, Poirot melangkah kembali ke dekat
tangga. "Maaf, Mademoiselle- tapi, menurut
pengamatan saya, dengan cahaya lampu yang
selemah itu ditambah pula dengan jatuhnya
bayangan yang ditimbulkan lampu tadi - saya
rasa Anda kurang bisa melihat dengan jelas.
Yakinkah Anda bahwa yang Anda lihat itu
Theresa - bukan perempuan lainnya?"
Nona Lawson bersikeras, "Sungguh, M. Poirot! Saya yakin benar! Saya toh kenal sekali Theresa! Saya yakin
dia yang saya lihat! Kimononya yang berwarna gelap dan bros
besar mengkilap yang menunjukkan inisial
namanya itu... tak salah lagi, M. Poirot!
Memang Theresa yang saya lihat!"
"Jadi Anda sudah benar-benar yakin bahwa
penglihatan Anda tidak salah. Anda melihat
betul inisialnya?" "Ya. T.A. Saya kenal sekali dengan bros itu.
Theresa sering mengenakannya. Berani sumpah,
M. Poirot - dia memang Theresa."
Ketegasan dan kepastiannya sangat
mengagumkan bila dibandingkan dengan
caranya berbicara yang selalu membingungkan.
Poirot memandangnya. Ada sesuatu yang tak
bisa kudefinisikan pada caranya memandang.
"Anda berani sumpah - betul?" tanyanya.
"Kalau - kalau perlu. Tapi, memang perlu,
Sekali lagi Poirot melontarkan pandangan yang
tak bisa kudefinisikan kepada perempuan itu.
"Itu tergantung dari hasil pemeriksaan jasadnya nanti," ujarnya pula.
"Oh - apakah itu perlu" Maksud saya,
keluarganya pasti tidak setuju bila itu dilakukan
-mereka akan menolak!"
"Mungkin." "Saya yakin mereka tidak mau tahu!"
"Tapi, seandainya itu perintah dari Kantor Polisi, bagaimana?"
"Tapi, tapi - mengapa harus begitu, M. Poirot"
Maksud saya - itu bukan... itu bukan..."
"Itu bukan apa?"
"Bukan berarti... ada yang tidak beres, bukan?"
"Apakah Anda berpikir begitu?"
"Oh, mengapa tiba-tiba ada yang tidak beres"
Bukankah - oh, bukankah dokter dan juru rawat
dan semuanya..." "Jangan terlalu pikirkan hal itu," kata Poirot tenang.
"Oh, bagaimana mungkin" Oh, Nona Arundell -
betapa malangnya dia! Padahal Theresa tidak
ada di sini waktu dia meninggal."
"Memang. Theresa pulang pada hari Senin,
sebelum Nona Arundell sakit. Betul, kan?"
"Ya - dia berangkat pagi-pagi sekali. Jadi, pasti dia tidak ada sangkut pautnya
dengan kematian Nona Arundell, M. Poirot"!"
"Mudah-mudahan tidak."
"Oh. Tuhan!" keluh Nona Lawson sambil mengatupkan kedua telapak tangannya.
"Belum pernah saya menyaksikan hal yang begitu
keterlaluan seperti ini. Saya sungguh tidak
mengerti." Poirot melihat arlojinya.
"Sudah waktunya kami pulang. Kami masih
harus berjalan jauh kembali ke London. Anda
sendiri, Mademoiselle- masih mau tinggal di sini lebih lama?"
"K, saya belum punya rencana. Sebenarnya saya cuma ke sini buat semalam saja -
membereskan yang perlu dibereskan...."
"Kalau begitu, sampai bertemu lagi,
Mademoiselle. Maafkan kami mengganggu
ketenangan Anda." "Oh, M. Poirot! Anda bilang mengganggu
ketenangan saya" Rasanya saya jadi sakit! Oh,
Tuhan - Oh -betapa kejamnya dunia ini! Betapa
sangat kejamnya!" Poirot menghentikan ocehan Nona Lawson yang
mulai tidak menentu itu dengan meraih lengan
wanita tua itu dan menggenggamnya erat-erat.
"Memang kejam dunia ini, Nona Lawson. Anda masih bersedia bersumpah melihat
Theresa Arundell berlutut di tangga pada hari Senin
malam setelah Paskah?"
"Oh, ya - tentu saja saya berani sumpah!"
"Anda juga berani bersumpah bahwa Anda
melihat semacam lingkaran kabut yang
bercahaya di sekeliling kepala Nona Arundell
pada malam terakhir Anda bersama Nona Tripp
dan Nona Arundell berkumpul di ruang gelap
untuk memanggil roh orang mati?"
Mulut Nona Lawson menganga.
"M. Poirot - oh, jangan, semuanya itu Anda jadikan bahan lelucon!"
"Saya tidak melucu, Nona Lawson.... Saya
serius!" Kemudian Nona Lawson berkata dengan
sungguh-sungguh, "Mungkin tidak bisa dikatakan sebagai lingkaran kabut, M. Poirot. Yang jelas,
kelihatannya mau jadi begitu - dan asalnya dari kabut berbentuk
pita yang keluar dari mulutnya."
"Sangat mengagumkan! Au revoir,
Mademoiselle. Tolong rahasiakan dulu
semuanya ini." "Oh, tentu saja - tentu saja. Saya tidak punya maksud menceritakannya kepada
siapa pun..." Nona Lawson, dengan wajah tololnya,
menyaksikan kepergian kami dari pintu depan
Puri Hijau. BAB 23 KEDATANGAN DOKTER TANIOS Begitu meninggalkan Puri Hijau wajah Poirot
mendadak tegang. "Dipechons nous,[ayo, cepat] Hastings,"
ujarnya. "Kita mesti segera kembali ke London."
"Ayo," sahutku, melangkah lebih cepat -
menyesuaikan diri dengan langkahnya. Diam-
diam kucuri pandang - wajahnya masih nampak
tegang dan tidak tenang. "Siapa yang kaucurigai, Poirot?" tanyaku.
"Percayakah kau bahwa Theresa Arundell yang dilihat Nona Lawson berlutut di
tangga?" Poirot tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah
balik bertanya: "Pikir sebelum menjawab - menurutmu, bisa
dipercayakah kata-kata Nona Lawson tadi?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau aku tahu. aku tak akan bertanya,
Hastings." "Itu aku tahu. Cuma, apa maksudmu 'bisa
dipercaya' itu?" "Ya itu. Aku tak bisa menyatakannya dengan lebih tepat. Yang jelas, sementara
dia berceritera tadi -aku merasakan adanya sesuatu
yang tidak atau kurang nyata... seolah-olah ada sesuatu - sesuatu yang kecil
tapi salah - itu, ya, itu yang terasa -sesuatu yang tidak mungkin..."
"Kelihatannya dia yakin sekali bahwa itu
Theresa!" "Ya, ya." "Bagaimanapun, cahaya lampu itu terlalu
lemah. Aku tidak mengerti bagaimana Nona
Lawson bisa begitu yakin."
"Kau tidak membantuku, Hastings. Ada sesuatu
- suatu hal yang sepele - ada hubungannya
dengan - ya, aku yakin - dengan kamar tidur."
"Kamar tidur?" ulangku sementara pikiranku sibuk membayangkan kembali detil
kamar tidur Nona Lawson. "Oh, rasanya aku memang tidak bisa membantumu, Poirot!" Poirot
menggeleng-geleng. "Mengapa kausebut-sebut lagi urusan roh orang mati itu?" tanyaku. "Itu penting."
"Apanya yang penting" Pita bercahaya itu?"
"Kauingat bagaimana Nona Tripp
menggambarkan yang mereka saksikan malam
itu?" "Ingat. Mereka bilang kepala Nona Arundell diselubungi asap berwarna terang yang
membentuk semacam lingkaran suci." Aku
tertawa mengakak. "Masakan dia orang suci
macam santa-santa! Nona Lawson saja
ketakutan dimarahi cuma karena kurang
membeli daging. Bayangkan!"
"Ya. Kuakui, itu agak menarik."
"Apa yang akan kita lakukan sesampai di London nanti?" tanyaku waktu kami
membelok ke The George. "Kita harus segera menemui Theresa Arundell,"
ujar Poirot sambil membayar rekening hotel
kami. "Mengorek kebenaran ceritera Nona Lawson
tadi" Tapi, bagaimana kalau dia menyangkal?"
"Mon cher, berlutut di tangga bukan perbuatan kriminal! Siapa tahu dia sedang
membungkuk mengambil penitinya yang jatuh?"
"Lalu, apa hubungannya dengan bau cat itu?"
Percakapan kami terhenti oleh kedatangan
pelayan hotel. Dalam perjalanan kembali ke London, sangat
sedikit yang kami perbincangkan. Aku kurang
suka mengobrol sambil mengemudikan mobil.
Sementara itu Poirot rupanya sibuk melindungi
kumisnya dari serangan angin yang cukup keras.
Kami tiba di flat Poirot kurang lebih jam dua
kurang dua puluh. George, pelayan Poirot yang selalu berpakaian
rapi dan sikapnya sangat keinggris-inggrisan itu mem bukakan pintu.
"Ada tamu menunggu, Tuan. Namanya Dokter
Tanios. Sudah hampir setengah jam Beliau di
sini." "Dokter Tanios" Di mana dia menunggu?"
"Di Ruang Duduk, Tuan. Sebelumnya ada
seorang wanita datang ke sini, Tuan.


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelihatannya sangat kecewa dan bingung waktu
saya katakan Anda tidak ada di rumah.
Datangnya sebelum saya menerima telepon dari
Tuan - jadi saya tidak bisa memberi tahu kapan
Tuan pulang." "Coba ceriterakan bagaimana rupa perempuan itu."
"Perawakannya tinggi, Tuan - rambutnya
berwarna gelap dan matanya berwarna biru
muda. Dia mengenakan rok dan jas warna abu-
abu. Topinya dipakai agak ke belakang, tidak seperti kebanyakan orang - agak ke
depan." "Nyonya Tanios," seruku dengan suara tertahan.
"Kelihatannya dia sedang kebingungan sekali.
Tuan. Katanya dia perlu sekali bertemu dengan
Tuan secepat mungkin."
"Jam berapa datangnya?"
"Kurang lebih jam setengah sebelas. Tuan."
Poirot menggeleng-geleng sementara
melangkahkan kakinya ke Ruang Duduk.
"Ini kedua kalinya aku tak jadi mendengar apa yang hendak dikatakan Nyonya
Tanios. Apa kira-kira pada pikirmu. Hastings" Apakah
menyangkut nasib - kira-kiranya?"
"Yah - kali ketiga kau akan mendengarnya,"
hiburku. Poirot menggeleng penuh keraguan.
"Akan adakah kali yang ketiga" Aku tidak yakin.
Ayo, kita temui suaminya."
Dokter Tanios sedang duduk pada sebuah kursi
santai membaca salah sebuah buku psikologi
kepunyaan Poirot. Mendengar kami datang,
laki-laki itu segera bangkit dan menyalami kami.
"Maafkan saya mengganggu begini. Anda tidak marah saya menunggui Anda seperti
ini. bukan?" "Du tout, du tout.[Sama sekali tidak.] Silakan duduk. Mau minum sherry?"
"Terima kasih. Masalahnya begini, M. Poirot.
saya sangat kualir akan isteri saya." "Kualir akan isteri Anda" Ada apa?" Tanios
berkata. "Baru-baru ini mungkin Anda bertemu
dengannya?" Pertanyaannya wajar, tapi lirik mata yang
menyertainya terasa tidak wajar. Poirot
menjawab seadanya, "Saya belum bertemu lagi dengannya sejak
waktu kami menemui Anda di hotel kemarin."
"Ah - saya pikir mungkin dia datang ke sini menemui anda."
Poirot menyibukkan diri dengan menuang
minuman ke gelas. Katanya,
"Tidak. Apa sebabnya dia perlu menemui saya?"
"Oh, tidak apa-apa." Dokter Tanios menerima gelas sherrynya. "Terima kasih
Terima kasih banyak. Sebetulnya memang tidak ada alasan
yang pasti mengapa isteri saya perlu menemui
Anda. Terus terang, saya sedang sangat kualir
akan keadaan kesehatan isteri saya."
"Ah. kondisi badannya lemah?"
"Kesehatan fisiknya," ujar Tanios perlahan-lahan, "bagus. Sayangnya, tidak
begitu mentalnya." "Ah?" "Saya sungguh kualir, M. Poirot, dia sudah mencapai garis batas... sewaktu-waktu
dia bisa mengalami nervous breakdown total."
"Oh, saya ikut sedih mendengarnya. Dokter
Tanios." "Ini sudah agak lama kelihatannya. Dalam dua bulan terakhir ini sikapnya kepada
saya sudah betul-betul berubah. Selalu gelisah, cepat
terkejut, dan suka membayangkan yang tidak-
tidak. Bukan cuma membayangkan, M. Poirot -
dia malah mulai berangan-angan... dan, angan-
angannya itu rupanya begitu hidup dan kuat..."
"Sungguh?" "Ya. Dia menderita apa yang disebut
persecution mania - semacam napsu
menganiaya." Poirot menggeleng-geleng dengan penuh
simpati, "Anda bisa mengerti kekuatiran saya, bukan?"
"Tentu! Tentu! Cuma, yang saya tidak mengerti
-mengapa Anda datang kepada saya. Apa yang
bisa saya lakukan buat menolong Anda, Dokter
Tanios?" Dokter Tanios nampak kemalu-maluan.
"Saya mempunyai pikiran bahwa isteri saya
sudah, atau akan, datang kemari
menceriterakan yang bukan-bukan. Besar
kemungkinan dia akan mengatakan bahwa diri
saya mengancam keselamatannya, atau - yah,
semacam itulah." "Tapi, apa perlunya dia datang menemui saya?"
Dokter Tanios tersenyum-senyum. Senyumnya
teramat menawan, namun agak sayu.
"Anda detektif kenamaan, M. Poirot. Saya
melihat, bahwa isteri saya sangat terkesan
bertemu dengan Anda kemarin itu. Kenyataan
bahwa dia bertemu dengan seorang detektif
bisa menimbulkan ide yang tidak-tidak pada
pikirannya yang sedang dalam kondisi seperti
itu. Saya begitu yakin dia akan mencari Anda
dan mengeluarkan isi hatinya. Orang yang
sedang mengalami gangguan mental seperti
isteri saya - biasanya, mempunyai
kecenderungan untuk menentang orang-orang
yang terdekat dan yang disayangi."
"Oh." "Sungguh, M. Poirot. Saya sangat sedih. Saya sangat sayang kepada isteri saya."
Waktu mengucapkan ini suara Dokter Tanios
kedengaran sangat mesra. "Saya selalu
mengagumi keberaniannya -mengawini saya,
lelaki bangsa lain - lalu pergi mengikuti saya ke tempat yang begitu jauh dari
tanah airnya sendiri, meninggalkan semua kawan dan sanak
saudaranya. Hari-hari terakhir ini saya sungguh-sungguh merasa putus asa....
Bagi saya kelihatannya cuma ada satu pilihan...." "Ya?"
"Ketenangan dan istirahat total - serta
perawatan kejiwaan yang sesuai. Ada tempat
yang menurut saya baik, dikelola oleh seorang
yang sungguh-sungguh hebat. Ingin saya
membawanya ke sana -Norfolk, nama
tempatnya - secepat mungkin. Istirahat total
dan isolasi dari segala pengaruh luar - - itu yang diperlukan oleh isteri saya.
Saya yakin -sebulan atau dua bulan dirawat secara intensif di sana, pasti sudah
akan kelihatan perubahannya."
"Ya. Saya mengerti," ujar Poirot.
Caranya mengatakan betul-betul apa adanya,
tanpa mengungkapkan sedikit pun perasaan
atau tanggapannya. Tanios meliriknya. "Itulah sebabnya, M. Poirot - saya akan sangat tertolong, bila Anda mau memberi
kabar kepada saya seandainya isteri saya benar-benar
datang ke sini." "Oh, tentu. Saya akan segera menelepon Anda.
Anda masih tinggal di Hotel Durham?"
"Ya. Saya akan kembali ke sana sekarang."
"Isteri Anda tidak ada di sana sekarang ini?"
"Dia meninggalkan hotel seusai sarapan tadi pagi."
"Tanpa mengatakan ke mana perginya?"
"Tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak biasanya dia berbuat seperti itu."
"Dan anak-anak, bagaimana?"
"Anak-anak dibawanya."
"Oh." Tanios berdiri. "Terima kasih banyak, M. Poirot. Saya tidak perlu mengatakan, bukan -- bahwa
bila isteri saya datang dan menceriterakan kepada Anda
hal-hal yang sifatnya mengancam, menganiaya
dan sebagainya, Anda tidak perlu
memperhatikannya. Itu merupakan salah satu
gejala penyakitnya."
"Sungguh saya ikut bersedih atas keadaan isteri Anda, Dokter Tanios," kata
Poirot simpati. "Memang, sangat menyedihkan. Meskipun,
sebagai orang yang tahu banyak mengenai
kesehatan saya tahu bahwa itu sebetulnya
penyakit, tapi rasanya -sakit hati saya
diperlakukan begitu oleh orang yang saya
sayangi. Cinta kasihnya tiba-tiba saja berubah
menjadi kebencian." "Saya sangat bersimpati terhadap Anda. Dokter Tanios," kata Poirot sewaktu
menjabat tangan tamunya. "Ngomong-ngomong..." ujar Poirot ketika Tanios sudah hampir sampai ke pintu.
"Ya?" "Pernahkah Anda menulis resep chloral buat isteri Tanios terperangah.
"Saya - tidak. Setidaknya, akhir-akhir ini tidak pernah. Isteri saya membenci
semua jenis obat tidur." "Ah! Karena dia tidak percaya kepada Anda?"
"M. Poirot!" Tanios melangkah masuk kembali dengan
sangat "Itu juga salah satu gejala penyakitnya," ujar Poirot tanpa ragu.
Tanios berhenti. "Ya. Ya, tentu saja."
"Ada kemungkinan dia mencurigai segala
sesuatu yang Anda berikan kepadanya untuk
diminum atau dimakan. Mungkin dia merasa
curiga bahwa Anda ingin meracuninya?"
"Oh, M. Poirot! Anda memang benar. Jadi Anda mengerti kasus-kasus semacam itu.
bukan?" "Dalam profesi saya, sesekali orang pasti
menjumpai kasus semacam itu. Saya tidak
bermaksud menunda kepergian Anda, Dokter
Tanios. Siapa tahu isteri Anda sudah ada di hotel menunggu Anda.
"Ya. Mudah-mudahan. Saya sungguh-sungguh
merasa kuatir." Dokter Tanios buru-buru keluar.
Poirot segera menuju ke tempat telepon.
Dibuka-bukanya buku petunjuk nomor telepon,
dan kemudian diputarnya suatu nomor.
"Halo - Halo - di situ Hotel Durham" Apakah Nyonya Tanios ada di situ" Apa" T-A-
N-I-O-S. Ya. betul. Ya" Oh!" Poirot meletakkan kembali
gagang teleponnya. "Nyonya Tanios
meninggalkan hotel pagi-pagi sekali tadi. Dia
pulang jam sebelas, menunggu di dalam taksi
sementara koper pakaiannya diambilkan dari
kamarnya. Setelah itu dia pergi bersama semua
kopernya." "Tahukah Tanios bahwa isterinya membawa
semua kopernya?" "Kupikir, dia belum tahu sekarang ini." "Ke mana perginya dia?"
"Mana aku tahu?" "Mungkinkah dia ke sini lagi?"
"Mungkin. Tapi aku tidak yakin."
"Mungkin dia akan menulis buatmu."
"Apa yang bisa kita lakukan?" Poirot
menggeleng. Dia nampak gelisah dan bingung.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang.
Sebaiknya kita cepat-cepat makan siang, dan
sesudah itu kita ke tempat Theresa Arundell."
"Kau yakin dia yang berlutut di tangga?"
"Aku tidak tahu. Yang jelas, aku yakin Nona Lawson tidak bisa melihat wajahnya
dengan cahaya lampu selemah itu. Yang dilihatnya
cuma tubuh seorang perempuan yang tinggi,
mengenakan kimono warna gelap. Cuma itu."
"Bagaimana dengan brosnya?"
"Hastings, bros bukan merupakan bagian
anatomi seseorang! Bisa dipisahkan dari
orangnya. Bisa hilang - bisa juga dipinjam atau dicuri."
"Dengan kata lain, kau tidak mau menduga
Theresa Arundell sebagai orang yang bersalah?"
"Aku ingin mendengar pendapatnya.'"
"Bagaimana kalau Nyonya Tanios ke sini lagi?"
"Itu bisa diatur."
George masuk membawa dadar telur.
"Dengarkan, George," kata Poirot. "Kalau Nyonya yang tadi itu datang lagi, suruh
dia tunggu, ya! Dan kalau Dokter Tanios datang
sementara Nyonya itu ada di sini, jangan sampai kaupersilakan dia masuk. Kalau
dia menanyakan apakah isterinya ada di sini, katakan saja tidak ada. Mengerti?"
"Ya, Tuan." Poirot melahap dadar telurnya.
"Urusan ini menjadi rumit," ujarnya. "Kita harus melangkah dengan hati-hati
sekali. Kalau tidak, pembunuhnya akan beraksi lagi."
"Kalau dia beraksi lagi, kau pasti bisa
menangkapnya." "Ya. Tapi aku lebih suka dia tidak memakan korban lagi. Karena itu, kita mesti
hati-hati sekali" BAB 24 SANGKALAN THERESA Pada waktu kami datang, Theresa sedang
bersiap-siap hendak pergi.
Ia kelihatan sangat menarik. Sebuah topi mungil bermodel eksklusif bertengger
dengan manisnya, menutupi bagian kanan depan
kepalanya. Teringat olehku Bella mengenakan
tiruan topi semacam itu kemarin - dan, seperti


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dikatakan George -cara memakainya
terlalu ke belakang. Jelas sekali dalam ingatanku bagaimana ia beberapa kali
mendorong topinya hingga letaknya makin ke belakang pada
rambutnya yang acak-acakan.
Poirot berkata dengan sopan.
"Bolehkah saya mengganggu semenit atau dua menit saja, Mademoiselle" Atau, itu
terlalu mengganggu waktu Anda?"
Theresa tertawa. "Oh, tidak apa-apa. Silakan!
Saya selalu terlambat paling tidak tiga per
empat jam. Tidak ada salahnya kali ini terlambat satu jam."
Theresa mempersilakan kami masuk ke ruang
tamu. Kaget sekali aku melihat Dokter
Donaldson bangkit dari sebuah kursi di dekat
jendela. "Kau sudah jumpa dengan M. Poirot, bukan,
Rex?" "Ya. Di Market Basing," kata Donaldson kaku.
"Anda berpura-pura hendak menulis tentang
kehidupan kakek saya yang pemabuk itu
rupanya?" tanya Theresa. "Rex. Manisku, maukah kau meninggalkan kami sebentar?"
"Terima kasih, Theresa, lapi ditinjau dari segala segi, saya berpendapat lebih
baik saya mendengarkan wawancara ini."
Sejenak keduanya beradu pandang. Pandangan
Theresa memerintah. Sedangkan pandangan
Donaldson tidak mau mengalah. Theresa
kelihatan "Baiklah, kalau itu maumu!" bentaknya.
Dokter Donaldson kelihatannya tak gentar.
Dia duduk lagi di kursi yang tadi didudukinya,
dekat jendela. Buku yang sedang dibacanya ia
letakkan pada sandaran tangan kursinya. Buku
mengenai kelenjar bawah otak, rupanya.
Theresa duduk pada kursi rendah kesukaannya.
Dipandangnya Poirot dengan perasaan tidak
sabar. "Anda sudah bertemu dengan Purvis"
Bagaimana hasilnya?"
Tanpa menyatakan pendapat, Poirot berkata,
"Kemungkinannya ada, Mademoiselle."
Theresa memandangnya penuh perhatian.
Kemudian dilontarkannya pandangannya
kepada si dokter. Kupikir, itu semacam
peringatan yang ingin disampaikannya kepada
Poirot. "Saya pikir," lanjut Poirot, "mengenai hal itu lebih baik saya laporkan lain
kali, kalau rencana saya sudah lebih pasti."
Seulas senyum tipis nampak sejenak pada wajah
Theresa. Poirot lebih lanjut mengatakan,
"Saya baru saja pulang dari Market Basing. Di sana saya bertemu dan berbicara
dengan Nona Lawson. Saya ingin mendengar penjelasan
Anda, Mademoiselle: apakah Anda pada tanggal
tiga belas April malam berlutut di tangga
setelah semua orang pergi tidur?"
"Oh, Hercule Poirot, pertanyaan Anda aneh
sekali! Apa perlunya saya berlutut di situ?"
"Pertanyaannya, Mademoiselle, bukan apa
perlunya melainkan apa Anda melakukannya?"
"Saya rasa tidak."
"Untuk Anda ketahui, Mademoiselle, Nona
Lawson mengatakan bahwa Anda
melakukannya." Theresa mengangkat bahunya
yang indah. "Apakah itu penting?" "Sangat penting."
Theresa memandang Poirot dengan ramah, dan
Poirot balik memandangnya. "Aneh!" ujar Theresa. "Maaf, Anda bilang apa?"
"Aneh sekali!" kata Theresa. "Bagaimana pendapatmu, Rex?"
Dokter Donaldson batuk. "Maafkan saya, M. Poirot - apa tujuan Anda menanyakan itu?"
Poirot merentangkan kedua tangannya lebar-
lebar. "Sangat sederhana! Ada seseorang yang sengaja menancapkan paku di tempat yang
strategis pada papan pegangan di sisi tangga. Paku itu
dicat Sedemikian rupa sehingga warnanya mirip
dengan warna papan pegangan tempatnya
ditancapkan." "Apakah ini semacam ilmu gaib baru?" tanya Theresa.
"Tidak, Mademoiselle. Masalahnya jauh lebih umum dan sederhana daripada itu.
Pada malam berikutnya. Selasa malam, seseorang
mengikatkan seutas benang atau tali pada paku
itu dan merentangkannya serta mengikatkan
ujung lain dari benang atau tali itu pada pagar yang terdapat di sisi lain
tangga. Akibatnya ketika Nona Arundell keluar dari kamarnya dia
tersandung dan jatuh."
Theresa menarik napas dengan keras.
"Bola Bob!" "Maaf, tapi bukan!"
Hening sejenak. Keheningan itu dipecahkan oleh
Donaldson dengan suara yang tenang dan
seksama, "Maaf, bukti apa yang Anda miliki sebagai
pendukung pernyataan Anda itu?"
Dengan sama tenangnya Poirot menjawab,
"Bukti adanya paku itu, tulisan Nona Arundell sendiri dalam suratnya yang
ditujukan kepada saya. dan akhirnya bukti yang disampaikan oleh
Nona Lawson, bahwa dia manyaksikan
seseorang berlutut di tangga itu pada tanggal
tiga belas April." Suara Theresa terdengar kembali.
"Nona Lawson mengatakan saya yang
melakukannya, bukan?"
Poirot tidak menjawab. Dia cuma menundukkan
kepalanya sedikit. "Itu bohong! Saya tidak melakukan hal serupa itu sama sekali!"
"Mungkin Anda jongkok untuk mengambil
sesuatu?" "Saya tidak pernah berlutut di tangga itu!"
"Hati-hati, Mademoiselle"
"Saya tidak pernah di situ! Saya tidak pernah keluar dari kamar setelah masuk
buat tidur selama saya menginap di situ."
"Nona Lawson mengenali Anda."
"Mungkin Bella Tanios atau salah seorang
pelayan yang dilihatnya."
"Dia mengatakan Anda yang dilihatnya."
"Pembohong!" "Nona Lawson mengenali kimono dan bros yang Anda kenakan."
"Bros" Bros apa?"
"Bros dengan inisial Anda."
"Oh, ya - aku tahu brosnya! Tapi - dia
berbohong!" "Jadi Anda menyangkal bahwa yang dilihat
Nona Lawson itu Anda?"
"Kalau kata-kata saya menuduhnya..."
"Anda lebih pandai menipu daripada dia -
begitu?" Dengan tenang Theresa berkata,
"Mungkin itu benar. Tapi kali ini saya
mengatakan yang sebenarnya. Saya sama sekali
tidak berlutut di tangga itu untuk kepentingan
apa pun." "Anda punya bros yang dimaksud?"
"Mungkin masih ada. Ingin melihatnya?"
"Kalau Anda tidak berkeberatan, Mademoiselle"
Theresa bangkit dan meninggalkan ruang tamu.
Keheningan yang mengikuti kepergian gadis itu
terasa kaku. Cara Dokter Donaldson
memandang Poirot, menurut pikiranku, seperti
caranya memperhatikan sediaan di
laboratorium. Theresa datang kembali. "Ini dia!"
Gadis itu setengah melemparkan brosnya
kepada Poirot. Bros itu besar, terbuat dari
logam putih mengkilap dengan bentuk T.A.
dalam sebuah lingkaran. Kuakui, bros itu cukup
besar dan terang bila dilihat dari jarak jauh
melalui cermin di kamar Nona Lawson.
"Saya tidak pernah lagi memakainya. Sudah
bosan," ujar Theresa. "London rasanya penuh dengan perhiasan macam begitu. Semua
orang memakainya." "Tapi harganya masih mahal waktu Anda
membelinya?" "Oh, ya, memang Mula-mula bros macam ini
merupakan barang eksklusif."
"Kapan itu?" "Natal tahun yang lalu, kalau taksalah. Ya kurang lebih waktu itu."
"Pernah Anda meminjamkannya kepada orang
lain?" "Tidak." "Anda membawanya ke Puri Hijau?"
"Saya rasa, ya. Ya. Saya memang membawanya.
Saya ingat sekarang."
"Anda meninggalkannya sembarangan" Atau,
pernahkah bros itu lepas dari tangan Anda
selama Anda tinggal di sana?"
"Tidak. Saya memasang bros itu di sweater hijau saya. Dan, saya ingat betul -
selama di sana saya memakai sweater itu setiap hari."
"Dan pada malam hari?"
"Bros itu tetap menempel di sweater."
"Sweaternya?" "Oh - sweatemya saya gantungkan di kursi."
"Anda yakin tidak ada orang yang melepaskan bros itu dari sweater Anda dan
mengembalikannya lagi keesokan harinya?"
"Saya cukup yakin hal seperti itu tidak terjadi!
Mungkin saja ada orang yang mencoba meniru
saya, tapi saya rasa itu pun tidak mungkin!"
Dahi Poirot berkerut. Ia bangkit, dikaitkannya
bros itu perlahan-lahan pada bagian depan
jasnya, dan ia berjalan ke dekat cermin yang
terletak di atas sebuah meja pada sudut ruang
tamu. ia berdiri di depannya, dan kemudian
perlahan-lahan mundur, melihat pantulan pada
cermin dari kejauhan. "Bodoh! Betapa bodohnya saya ini!" serunya.
Poirot kembali. Diserahkannya bros itu kepada
Theresa. Sambil membungkuk dia berkata,
"Anda benar, Mademoiselle. Bros ini memang tidak pernah lepas dari tangan Anda!
Maafkan kebodohan saya." "Saya suka akan kerendahan hati Anda," ujar Theresa, mengunci brosnya dengan
sembrono. Setelah itu ia memandang Poirot.
"Ada yang lain lagi" Saya mesti pergi."
"Yang lain bisa dibicarakan lain kali."
Theresa berjalan ke pintu. Poirot dengan suara
tenang berkata, "Ada kemungkinan harus dilakukan penggalian makam Nona Arundell. Benarkah..."
Mendadak sontak Theresa menghentikan
langkahnya. Bros yang dipegangnya jatuh ke
lantai. Dengan jelas Poirot berkata, "Ada kemungkinan jasad Nona Arundell harus
diperiksa." Theresa berdiri terpaku. Tangannya tergenggam
tegang. Ia berbicara dengan suara pelan tapi
marah, "Apakah ini ulah Anda" Yang jelas, itu tidak bisa dilakukan tanpa izin tertulis
keluarganya." "Anda salah. Mademoiselle. itu bisa dilakukan atas perintah yang berwenang."
"Oh, Tuhan!" seru Theresa, ia berbalik dan berjalan kian
kemari. Donaldson berkata,
"Kupikir, tak ada gunanya marah-marah begitu, Tessa. Aku tahu kesannya bagi
orang luar kurang enak, tapi..."
Theresa menyela, "Jangan bodoh, kau, Rex!"
Poirot bertanya, "Apakah kemungkinan itu mengganggu
ketenangan Anda, Mademoiselle?"
"Tentu saja! Tidak sopan kedengarannya.
Kasihan Bibi Emily! Mengapa dia mesti digali
dari kuburnya?" "Kukira," ujar Donaldson, "ada keragu-raguan mengenai penyebab kemauannya?"'
Dokter muda itu memandang Poirot penuh rasa ingin
tahu. Lanjutnya, "Saya akui - saya kaget. Saya pikir kematian Nona Arundell
disebabkan oleh penyakit yang sudah lama diidapnya."
"Kau pernah menceriterakan seekor kelinci dan kerusakan pada hatinya," Theresa
berkata. "Saya sudah lupa ceriteranya, tapi kalau tak salah kau memasukkan darah orang
berpenyakit kuning ke tubuh kelinci itu. Setelah itu kauambil darah kelinci itu dan
kausuntikkan ke tubuh kelinci lainnya - dan akhirnya, kausuntikkan
darah kelinci yang kedua itu ke tubuh orang.
Orang itu jadi punya penyakit lever."
"Itu cuma buat melukiskan pengobatan melalui serum," Donaldson berkata sabar.
"Sayangnya terlalu banyak kelinci dalam ceritera itu!" Theresa tertawa. "Tak ada
di antara kita yang memelihara kelinci." Theresa kini
memandang Poirot. Suaranya berubah. "M.
Poirot, benarkah itu?" tanyanya.


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, Mademoiselle, tetapi - ada beberapa cara untuk menghindari hal itu."
"Kalau begitu, hindari!" suaranya hampir menyerupai bisikan. Walaupun begitu
pasti dan memaksa. "Hindari, berapa pun besarnya yang harus kita korbankan!"
Poirot bangkit. "Itu perintah Anda?" suaranya sangat formal.
"Ya. Itu perintah saya."
"Tetapi, Tessa...." sela Donaldson.
Theresa berputar menghadapi tunangannya.
"Diam. Dia bibiku. Mengapa bibiku harus digali dari kuburnya" Tahukah kau berita
apa yang akan ditulis di koran dan gosip apa yang akan
timbul?" Theresa berbalik menghadapi Poirot.
"Cegah tindakan itu! Saya memberikan carte blanche.[kekuasaan sepenuhnya]
Lakukan apa saja, asal tindakan itu tidak dilakukan."
Poirot mengangguk hormat.
"Akan saya lakukan yang saya bisa lakukan, Mademoiselle. Au revoir,
Mademoiselle, au revoir. Doctor." "Oh, pergi!" seru Theresa. "Kenapa aku mesti bertemu dengan kalian!"
Kami meninggalkan ruang tamu Theresa. Kali ini
Poirot tidak berusaha nguping lagi. Dia sengaja tinggal lebih lama di luar ruang
tamu itu. Dan itu berhasil. Suara Theresa terdengar jelas dan keras.
"Jangan pandang aku seperti itu, Rex."
Kemudian, dengan tersendat, "Oh, Sayangku!"
Terdengar suara Dokter Donaldson, "Laki-laki itu bermaksud jahat." Poirot
meringis. Ditariknya tanganku keluar. "Ayo," katanya, "c'est drole, ca!"[lucu]
Secara pribadi, kupikir lelucon itu konyol.
BAB 25 MEMBAYANGKAN KEMBALI Tidak, kupikir, sementara aku buru-buru
mengikuti Poirot. Tak ada keragu-raguan lagi
sekarang. Nona Arundell memang mati
dibunuh, dan Theresa tahu. Tapi, dia sendirikah pelakunya, atau ada orang lain"
Yang jelas Theresa ketakuean. Tapi, takut buat
dirinya sendiri atau buat orang lain"
Mungkinkah-orang lain itu si dokter yang tenang dan cermat"
Mungkinkah Nona Arundell mati karena
penyakit sungguhan yang sengaja dimasukkan
ke dalam tubuhnya" Sampai titik tertentu semuanya terasa pas -
ambisi - Donaldson dan pikirannya bahwa
Theresa akan menerima warisan bila bibinya
mati Dan pemuda itu datang makan malam
pada hari Selasa malam. Gampang sekali
sengaja meninggalkan sebuah jendela terbuka.
Tengah malam dia kembali untuk memasang
benang di tangga. Tapi, bagaimana ceriteranya
dia bisa memasang paku di situ"
Ah. Theresa bisa melakukannya. Ya, Theresa
bekerja sama dengan tunangannya. Kalau
mereka bekerja sama, perkaranya jadi jelas.
Mungkin juga Theresa sendiri yang memasang
benang itu. Kejahatan pertama, kejahatan yang
gagal - itu hasil pekerjaan Theresa. Yang kedua, yang berhasil, hasil pekerjaan
Donaldson yang memang ahli dalam hal semacam itu.
Ya - rasanya memang pas. Meskipun begitu, ada keganjilannya. Mengapa
Theresa menyebut-nyebut penyuntikan darah
kelinci berpenyakit lever ke dalam tubuh
manusia" Kalau begitu, rupanya dia tidak tahu..
. Tapi - pikiranku jadi kacau dan kuhentikan
spekulasiku. Aku bertanya kepada Poirot,
"Kita ke mana sekarang, Poirot?"
"Kembali ke flatku. Mungkin Nyonya Tanios ada di sana."
Pikiranku berpindah ke jalur yang lain.
Nyonya Tanios! Misteri lain lagi! Kaiau
Donaldson dan Theresa memang bersalah, apa
peran Nyonya Tanios dan suaminya yang selalu
tersenyum itu" Apa yang ingin dikatakan
perempuan itu kepada Poirot - dan mengapa
suaminya berusaha mencegahnya"
"Poirot," ucapku merendahkan diri. "Rasanya aku jadi pusing. Mereka tidak
melakukannya bersama-sama, bukan?"
"Membunuh dengan membentuk sindikat"
Sindikat keluarga" Tidak Kali ini tidak. Ada
tanda-tanda bahwa semuanya ini dilakukan oleh
satu otak- dan cuma satu otak saja. Masalah
kejiwaannya sudah jelas."
"Maksudmu, Theresa atau Donaldson yang
melakukannya - lapi bukan mereka berdua"
Paling tidak Donaldson mengambilkan palu buat
Theresa..." "Oh, Hastings - sejak saat Nona Lawson
menceriterakan kesaksiannya, kusadari adanya
tiga kemungkinan: (l) Nona Lawson memang
Gelang Kemala 2 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Dewi Ular 1
^