Pencarian

Saksi Bisu 5

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie Bagian 5


menceriterakan yang sebenarnya. (2) Nona
Lawson mengarang-ngarang ceritera itu untuk
kepentingan dirinya sendiri. (3) Nona Lawson
yakin akan kebenaran ceriteranya berdasarkan
bros yang dikenalnya- tapi, seperti kukatakan
tadi, bros bisa dipisahkan dari pemiliknya."
"Ya, tapi Theresa ngotot - bros itu tidak pernah lepas dari tangannya."
"Yang dikatakannya itu memang benar. Ada
satu hal kecil yang sangat penting, tapi belum
terperhati-kan olehku."
"Tumben," ujarku bersungguh-sungguh.
"N'est-ce pas" Orang tidak ada yang sempurna.
Setiap orang bisa lupa sesuatu."
"Karena umur semakin tua?"
"Tidak ada hubungannya dengan umur," Poirot berkata dingin.
"baiklah - apa hal kecil yang penting itu?"
tanyaku. Saat itu kami tepat sedang membelok
masuk ke pelataran gedung tempat flat Poirot
terletak. "Akan kutunjukkan." Kami tiba di flat Poirot.
George membukakan pintu. Menjawab
pandangan Poirot yang penuh tanda tanya,
lelaki itu menggelengkan kepala.
"Belum, Tuan. Nyonya Tanios belum ke sini.
Telepon juga tidak ada, Tuan."
Poirot masuk ke ruang duduk. Sejenak dia
berjalan kian kemari seperti orang kebingungan.
Kemudian diraihnya telepon. Mula-mula
diputarnya nomor Hotel Durham.
"Ya - ya. Ah, Dokter Tanios, ini dari Hercule Poirot. Apakah isteri Anda sudah
kembali" Belum" Oh.... Dia membawa barang-barangnya
semua"... Dan anak-anak juga" .. Anda tidak
punya bayangan ke mana perginya.... Ya,... Oh,
tentu... Kalau jasa saya bisa berguna bagi Anda"
Saya pernah mengalami hal yang serupa.... Hal
semacam itu bisa dilakukan dengan diam-
diam.... Tidak, tentu saja tidak... Ya, itu memang benar.... Tentu - tentu. Saya
menghargai maksud Anda." Poirot meletakkan kembali gagang teleponnya.
"Dokter Tanios tidak tahu ke mana isterinya pergi," ujarnya serius. "Kupikir
yang dikatakannya itu memang benar. Kekuatiran
yang kudengar dalam suaranya bukan dibuat-
buat. Tanios tidak mau berurusan dengan polisi.
Itu bisa dimengerti. Ya, itu bisa kumengerti. Dia juga menolak bantuanku. Itu
yang kurang bisa kumengerti... Dia ingin isterinya ditemukan, tapi tak mau kalau aku
mencarinya.... Kelihatannya
dia yakin bisa menyelesaikan sendiri masalah
ini. Katanya, tidak mungkin isterinya
bersembunyi lama-lama - sebab, dia cuma
membawa uang sedikit. Di samping itu, dia
membawa anak-anak Ya, kupikir dia bisa segera
menemukan isterinya. Tapi, Hastings, gerak kita mesti lebih cepat. Aku merasa
ini sangat penting" "Percayakah kau bahwa Nyonya Tanios agak
miring?" tanyaku. "Kupikir dia sedang dalam keadaan sangat
gelisah dan kecapean."
"Tapi tidak sebegitu parahnya sampai mesti dirawat di rumah perawatan orang
gila, kan?" "Pasti tidak." "Aku tidak mengerti semua ini. Poirot."
"Maafkan aku, Hastings - terus terang, kupikir kau memang tidak mengerti sama
sekali." "Rasanya - oh, terlalu banyak aspeknya."
"Memang. Tapi untuk bisa berpikir jernih, kita mesti bisa memisahkan satu dengan
lainnya." "Poirot, sudah lamakah kau menduga ada
delapan kemungkinan dan bukannya tujuh?"
Suara Poirot kering waktu menjawab,
"Itu sudah kupertimbangkan sejak Theresa
Arundell mengatakan bahwa ia bertemu
Donaldson yang terakhir pada malam pemuda
itu datang bersantap malam bersama di Puri
Hijau - tepatnya, tanggal empat belas April."
"Aku kurang mengerti...." cetusku.
"Apanya yang kurang kaumengerti?"
"Yah - kalau Donaldson merencanakan
pembunuhan secara ilmiah - dengan suntikan
atau sejenisnya - aku tidak mengerti kenapa dia mesti menggunakan cara janggal
semacam merentang benang di tangga."
"En verite',[terus terang saja] Hastings, kadang-kadang aku kehabisan kesabaran
berdebat denganmu! Yang satu merupakan metode
tingkat tinggi yang cuma bisa dilakukan oleh
orang yang cukup berpengetahuan di bidang
itu. Betul, kan?" "Ya" "Yang satunya lagi sangat sederhana dan bisa dilakukan oleh siapa pun. Betul?"
"Ya" "Nah, Hastings - pikir! Coba duduk dengan
tenang, pejamkan mata, dan pakai otakmu."
Kupatuhi perintahnya Aku bersandar di kursi
dan kututup mataku. Otakku sibuk
melaksanakan perintah Poirot yang ketiga. Tapi
hasilnya tidak banyak. Kubuka mataku. Kulihat Poirot tengah
memandangku dengan pandangan seorang juru
rawat terhadap pasien kecilnya yang tidur
terlelap. "Eh bien?" Aku herusaha keras menandingi sikap Poirot.
"Yah," ucapku, "kupikir orang yang memasang benang bukan tipe. orang yang
merencanakan pembunuhan dengan menggunakan cara-cara
ilmiah." "Rasanya janggal kalau otak yang sudah terbiasa berpikir kompleks tiba-tiba
memikirkan sesuatu yang kekanak-kanakan macam merencanakan
pemasangan benang itu."
Merasa diberi angin, aku meneruskan, "Karena itu, satu-satunya pemikiran yang
logis adalah begini - keduanya direncanakan oleh orang yang
berbeda. Jadi, yang kita hadapi ini adalah dua
kali percobaan pembunuhan oleh dua orang
yang berbeda." "Kaupikir itu bukan cuma suatu kebetulan?"
"Kau sendiri bilang bahwa dalam setiap kasus pembunuhan selalu ditemukan faktor
kebetulan." "Ya. Itu memang benar. Dan harus kuakui." "Jadi?"
"Siapa kaupikir kedua orang tertuduhmu itu?"
"Donaldson dan Theresa Arundell. Jelas sekali bahwa percobaan pembunuhan kedua
yang ternyata berhasil itu merupakan pekerjaan
dokter. Sebaliknya, kita tahu bahwa Theresa
tersangkut dalam usaha pembunuhan yang
pertama. Kupikir, keduanya bekerja sendiri-
sendiri dalam hal ini."
"Kau senang sekali bilang 'kita tahu', Hastings.
Apa pun yang mungkin Kauketahui, aku merasa
pasti aku sendiri tidak tahu apakah Theresa
terlibat atau tidak."
"Tapi menurut ceritera Nona Lawson..."
"Ceritera Nona Lawson cuma ceritera Nona
Lawson." "Tapi, katanya..."
"Katanya - katanya.... Selalu kau percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan
orang. Sekarang dengar, mon cher. Aku pernah mengatakan
kepadamu bahwa ada sesuatu yang tidak benar
dalam ceritera Nona Lawson."
"Ya. Aku ingat kau pernah berkata begitu. Tapi kau sendiri tidak tahu apanya
yang kaurasa tidak benar itu." "Sekarang aku sudah tahu. Sebentar akan
kutunjukkan kepadamu apa yang mestinya sejak
semula langsung kulihat."
Poirot melangkah ke dekat meja tulisnya.
Dibukanya lacinya dan dikeluarkannya sepotong
karton. Karton itu dipotongnya dengan
menggunakan gunting - memberi isyarat
kepadaku supaya aku tidak melihat apa yang
sedang dilakukannya. "Sabar, Hastings. Sebentar lagi kita akan
melakukan percobaan kita."
Tak lama kemudian kudengar Poirot
menyerukan sesuatu dengan perasaan puas.
Diletakkannya guntingnya, dan dibuangnya sisa
kartonnya ke keranjang sampah. Setelah itu ia
pun segera melangkah mendekatiku.
Kuturuti perintahnya sambil tertawa.
Kedengarannya Poirot merasa puas akan apa
yang dilihatnya. Perlahan-lahan ditariknya aku
menuju kamar tidur yang paling dekat dengan
ruang duduknya. "Sekarang buka matamu, Hastings. Pandang
dirimu di cermin. Kau mengenakan, pada
jaketmu, sebuah bros indah berinisial namamu.
Cuma, bien entendu,[tentu saja] brosmu bukan
terbuat dari logam mengkilap atau emas atau
platina - brosmu cuma terbuat dari karton
sederhana." Kupandangi diriku dalam cermin sambil
tersenyum. Tangan Poirot memang sangat
terampil. Kulihat pada jaketku menempel
sebuah bros yang sangat mirip dengan bros
Theresa - sebuah lingkaran dari karton
mengelilingi inisialku - A.H.
"Eh bien" ujar Poirot. "Kau puas" Brosmu indah sekali, bukan - dan dengan
inisialmu pula..." "Kuakui - bagus sekali, memang."
"Memang tidak mengkilap dan bersinar-sinar, tapi kau-akui kan, bahwa bros itu
kelihatan cukup jelas dari kejauhan?"
"Ya. Aku tidak meragukannya."
"Tepat. Ragu-ragu bukan silatmu. Mudah
percaya - itulah. Dan sekarang, Hastings, coba
buka jaketmu.". Dengan keheran-heranan kuturuti
permintaannya. Poirot sendiri melepaskan
jasnya dan ganti mengenakan kepunyaanku
sambil sedikit menghadap ke belakang.
"Sekarang," ujarnya, "lihat bagaimana brosmu tiba-tiba jadi kepunyaanku."
Poirot berbalik menghadapku. Kupandang dia -
mula-mula tidak mengerti- Baru kemudian aku
tahu maksudnya. "Oh, bodohnya! Tentu saja. H.A. yang kautuliskan pada bros itu, bukan A.H.!"
Poirot tersenyum lebar. Diberikannya jaketku
kepadaku, dan dikenakannya jasnya sendiri.
"Tepat!" katanya. "Sekarang kau tahu apa sebabnya aku merasa ceritera Nona
Lawson salah. Nona Lawson mengatakan dia melihat
jelas inisial Theresa pada bros itu. Tapi, jangan lupa - Nona Lawson melihat
dari cermin. Jadi, kalau memang dia melihat inisial,
kebalikannyalah yang sebenarnya dilihatnya
pada cermin itu." "Mungkin," sanggahku, "dan mungkin juga dia sadar bahwa yang dilihatnya
kebalikannya." "Mon cher, terpikirkah itu olehmu barusan"
Tapi kau tidak berseru 'Ha! Poirot, kau salah -
itu H.A. - bukan A.H.' Tidak, kau tidak berseru macam begitu. Padahal,
menurutku, kau jauh lebih pandai daripada Nona Lawson. Jangan
katakan perempuan seperti Nona Lawson
terbangun, dan masih dalam keadaan setengah
tidur segera menyadari bahwa T.A. yang
dilihatnya sesungguhnya A.T. Tidak, Kawan - itu tidak sesuai dengan mentalitas
Nona Lawson." "Dia ngotot yang dilihatnya itu Theresa," ujarku perlahan.
"Kau sudah semakin dekat dengan
kenyataannya, Kawan. Ingatkah kau, aku pernah
bilang bahwa tidak mungkin Nona Lawson bisa
melihat dengan jelas wajah orang yang
dilihatnya. Lalu apa yang langsung diingatnya?"
"Bros Theresa - tanpa menyadari bahwa dia
melihatnya dalam cermin, yang berarti bahwa
yang dikatakannya tidak benar."
Telepon berdering dengan nyaringnya. Poirot
segera menghambur menerimanya.
Ia cuma mengucapkan beberapa kata.
"Ya" Ya... tentu. Ya, cukupan. Siang, mungkin.
Jam dua" Kelihatannya bisa."
Diletakkannya gadang telepon, dan ia pun
berpaling kepadaku sambil tersenyum.
"Dokter Donaldson ingin berbincang-bincang denganku. Dia mau ke sini besok - jam
dua. Ada kemajuannya, mon ami, ada kemajuannya."
BAB 26 NYONYA TANIOS MENOLAK BERBICARA
Ketika aku tiba keesokan paginya, kulihat Poirot sedang sibuk menulis di meja
tulisnya. ia mengacungkan tangan sebagai isyarat
sapaan, tapi segera menyibukkan dirinya
kembali dengan sesuatu yang sedang ditulisnya.
Akhirnya dilipatnya kertas yang ditulisi itu,


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimasukkannya ke dalam amplop, dan
direkatnya amplopnya dengan lem.
"Sedang apa kau?" tanyaku berkelakar.
"Mencatat kasus yang sedang kauselesaikan
buat disimpan di almari besi hingga orang bisa
meneruskan usahamu bila kau sendiri terbunuh
hari ini?" "Dugaanmu tidak banyak meleset, Hastings!"
Sikapnya bersungguh-sungguh.
"Kaupikir pembunuhnya sudah menjadi
berbahaya sekarang?"
"Pembunuh selalu berbahaya," ujar Poirot serius. Sayangnya fakta itu sering
kurang diperhatikan." "Ada berita baru?"
"Dokter Tanios menelepon."
"Istcrinya belum ditemukan?"
"Kalau begitu - aman." "Aku tidak yakin."
"Kau tidak berpikir Nyonya Tanios dibunuh
orang, kan?" Poirot menggelengkan kepala. Nampaknya dia
ragu-ragu. "Kuakui," gumamnya, "aku ingin sekali tahu di mana perempuan itu sekarang."
"Oh," ujarku. "Dia pasti ketemu."
"Optimismemu membuatku lega kadang-
kadang, Hastings." "Oh, Tuhan - maksudmu kaupikir Nyonya Tanios akan kita ketemukan dalam keadaan
terbungkus dan terpotong-potong?"
Poirot berkata pelan, "Aku merasa kekuatiran Dokter Tanios agak
berlebih-lebihan - tapi cuma itu. yang pertama-
tama mesti kita lakukan hari ini adalah
menemui Nona Lawson."
"Kau mau mengatakan kepadanya mengenai
kekeliruan penglihatan pada bros itu?"
"Tentu saja tidak. Fakta itu cuma buatku sendiri sampai tiba saatnya yang tepat
buat menyatakannya.'" "Lalu, apa yang mau kaukatakan?"
"Itu, mon ami, akan kaudengar sendiri nanti "
"Omong kosong lagi?"
"Kadang-kadang kau menyakitkan hati,
Hastings. Orang akan mengira aku suka
berbohong bila mendengar kata-katamu
barusan." "Kupikir, kau memang suka berbohong, Poirot.
Aku malah mulai yakin bahwa kau sungguh-
sungguh suka berbohong."
"Kuakui - kadang-kadang aku kagum akan
kepandaianku menciptakan sesuatu yang
kedengarannya begitu realistis."
Tak kuasa aku menahan tawa. Poirot
memandangku dengan ejekan, dan kami pun
berangkat ke Clanroyden Mansions.
Kami dipersilakan masuk ke ruang tamunya
yang terasa sangat penuh dengan berbagai
barang, dan tak lama kemudian Nona Lawson
keluar dengan tergopoh-gopoh. Sikapnya lebih
tidak menentu daripada biasanya.
"Oh, M. Poirot, selamat pagi! Oh- berantakannya. Maafkan. Tapi pagi ini rasanya
repot sekali. Sejak Bella datang..."
"Apa" Bella?"
"Ya, Bella Tanios. Dia datang setengah jam yang lalu - dengan anak-anaknya.
Mereka kelihatannya sangat kecapean. Oh, kasihannya
mereka itu. Sungguh, saya tidak tahu apa yang
mesti saya lakukan. Anda tahu, M. Poirot - dia
meninggalkan suaminya."
"Meninggalkan Dokter Tanios?"
"Katanya begitu. Oh - tapi saya yakin
tindakannya itu bijaksana. Malangnya anak
itu...." "Dia berceritera terus terang kepada Anda?"
"Yah - sebenarnya tidak juga, M. Poirot. Dia sama sekali tidak mau mengatakan
apa-apa. Cuma berulang-ulang dikatakannya bahwa dia
meninggalkan suaminya dan tidak akan mau
kembali lagi!" "Ini merupakan langkah yang sangat serius."
"Tentu saja.' Seandainya suaminya orang
Inggris, saya akan bujuk agar dia mau - tapi,
suaminya toh bukan orang Inggris. Dan lagi,
tidak tega saya. melihatnya... dia begitu
ketakutan. Tak tahu saya apa yang dilakukan
laki-laki itu terhadap isterinya sampai isterinya seperti itu. Dari dulu saya
sudah menduga, orang Turki kadang-kadang bisa berlaku "Dokter Tanios bukan orang Turki. Dia
Yunani." "Oh, ya, tentu, kebalikannya - maksud saya, mereka yang biasanya dibunuh oleh
orang Turki -oh, atau saya jadi berpikir tentang orang
Yahudi" Sama saja! Pokoknya saya rasa Bella tak perlu kembali kepada suaminya.
Bukankah begitu, M Poirot" Eh, dia bilang ... dia tidak mau kembali. Dia malah tak mau
suaminya tahu di mana dia berada." "Separah itu?" "Ya. Maka dari itu. Anak-anaknya... katanya.
Bella takut suaminya membawa mereka
kembali ke Smyrna. Kasihan! Oh, tahukah anda,
M. Poirot, dia tidak punya uang sama sekali -
sama sekali. Dia tidak tahu lagi ke mana dia
mesti pergi atau apa yang mesti dia lakukan.
Katanya dia ingin bekerja mencari nafkah; tapi, oh, M. Poirot, itu bukan
segampang dikatakan, bukan" Saya tahu susahnya cari pekerjaan. Dan,
Bella tidak punya pendidikan khusus."
"Kapan dia meninggalkan suaminya?"
"Kemarin. Semalam dia menginap di hotel kecil dekat Paddington. Dia datang ke
sini karena tidak tahu mesti ke mana lagi. Oh, kasihannya
anak itu..." "Dan Anda mau menolongnya" Betapa baik hati Anda, Nona Lawson."
"Oh, M. Poirot, sungguh. - saya merasa itu kewajiban saya. Tapi, tentu saja
sangat sulit. Flat ini terlalu kecil, kamarnya tidak ada lagi - di samping itu, oh..."
"Kenapa Anda tidak menyuruhnya tinggal di
Puri Hijau saja?" "Mungkin seharusnya begitu - tapi, oh,
suaminya pasti akan datang mencarinya ke
sana. Sementara, saya sewakan dia kamar di
Hotel Wellington di Queen's Road. Dia tinggal di situ dengan nama samaran Nyonya
Peters." "Oh," ucap Poirot.
Sejenak ia diam. Kemudian katanya,
"Saya Ingin bertemu dengan Nyonya Tanios. Dia mencari saya ke flat saya kemarin,
tapi saya kebetulan sedang keluar."
"Oh, ya" Dia tidak ceritera sama saya. Sebentar, saya katakan kepadanya, ya"!"
"Terima kasih."
Buru-buru Nona Lawson keluar dari ruang
tamunya. Suaranya kedengaran cukup jelas dari
tempat kami duduk. "Bella - Bella sayang, maukah kau menemui M.
Poirot?" Jawaban Nyonya Tanios tidak kedengaran, lapi
beberapa menit kemudian dia keluar ke ruang
tamu. Aku sangat kaget melihat rupanya. Sekeliling
matanya nampak hitam dan pipinya pucat
sekali. Yang lebih mengagetkan lagi, raut
mukanya sangat ketakutan. Perempuan itu
tidak mengucapkan sepatah kata pun, ia cuma
duduk diam mendengarkan. Poirot menyapanya dengan sikap penuh
simpati. Ia bangkit menghampiri Nyonya Tanios,
menjabat tangannya. Kemudian dibimbingnya
perempuan itu ke sebuah kursi dan
dipersilakannya duduk. Ia mengambil sebuah
bantal, lalu kembali ke dekat Nyonya Tanios dan memberikan bantal itu kepadanya.
Poirot memperlakukan perempuan yang pucat dan
ketakutan itu bagaikan seorang puteri.
"Sekarang, Madame, ayo kita mengobrol. Anda datang ke flat saya kemarin?"
Nyonya Tanios mengangguk.
"Saya menyesal sekali tidak bertemu dengan Anda, Madame"
"Ya - saya pun begitu."
"Ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan
kepada saya?" "Ya - maksud saya begitu...." Eh bien, sekarang saya ada di hadapan Anda, siap
mendengar apa pun yang ingin Anda katakan kemarin itu."
Nyonya Tanios tidak menyahut. Dia duduk diam,
memutar-mutar cincin pada jarinya.
"Bagaimana, Madame?"
"Tidak. Saya - kalau dia tahu - dia akan - oh, dia pasti melakukan sesuatu
kepada saya!" "Ayolah, Madame - masakan begitu. Tidak
mungkin." "Bukan tidak mungkin - itu mungkin. Mungkin sekali. Anda tidak tahu dia..."
"Maksud Anda 'dia' itu suami Anda, Madame?"
"Ya. Ya. Dia." Semenit dua menit lamanya Poirot berdiam diri.
Kemudian katanya, "Suami Anda juga datang ke flat saya kemarin, Madame."
Sejenak wajahnya penuh ketakutan.
"Oh, Tidak! Anda tidak mengatakannya
kepadanya - pasti tidak! Anda toh tidak tahu di mana saya. Apakah dia bilang
saya gila?" Poirot menjawab dengan sangat berhati-hati.
"Dia cuma mengatakan bahwa Anda sangat
gelisah." Tapi Nyonya Tanios tidak bisa dibohongi, ia
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, dia bilang saya gila - atau saya akan jadi gila! Dia mau mengurung saya
- supaya saya tidak bisa mengatakan apa-apa kepada siapa
pun buat selama-lamanya."
"Mengatakan apa, Madame?"
Nyonya Tanios menggeleng. Sambil
mempermainkan jari-jari tangannya dengan
gelisah, ia bergumam, "Saya takut..."
"Tapi, Madame, kalau Anda sudah
mengatakannya kepada saya - Anda aman!
Rahasianya sudah keluar! Fakta ini dengan
sendirinya akan melindungi
Tapi Nyonya Tanios tetap tidak menjawab. Dia
terus saja mempermainkan jarinya.
"Anda akan merasakannya sendiri, Madame"
Poirot berkata sangat lembut.
Nyonya Tanios terperangah.
"Bagaimana saya bisa merasakannya"... Oh, ini sangat keterlaluan sekali! Dia
logis.' Dan dia dokter. Orang pasti percaya dia, bukan saya.
Saya tahu itu. Tidak ada orang yang akan
mempercayai saya." "Anda tidak mau memberi kesempatan kepada
saya?" Pandangan Nyonya Tanios mengungkapkan
kebimbangan hatinya. "Bagaimana saya tahu" Mungkin saja Anda ada di pihaknya...."
"Saya tidak pernah berdiri di pihak siapa pun, Madame - saya cuma berdiri di
pihak kebenaran." "Saya tidak tahu," ujar Nyonya Tanios putus asa.
"Oh, betul-betul saya tidak tahu."
Nyonya Tanios meneruskan kata-katanya,
suaranya semakin keras tapi terputus-putus,
"Sudah bertahun-tahun begini ini. Berkali-kali saya menyaksikan hal yang sama
terjadi berulang-ulang. Tapi tidak ada yang bisa saya
katakan atau lakukan. Sebab ada anak-anak
yang harus saya bela, Rasanya mimpi buruk itu
terus berkepanjangan. Dan sekarang ini.... Tapi, saya tidak mau kembali
kepadanya. Saya tak akan membiarkan dia membawa anak-anak.
Saya akan pergi ke suatu tempat yang tak akan
bisa diketemukannya. Minnie Lawson akan
membantu saya. Dia sangat baik hati - sangat
baik hati dan manis. Tidak ada orang lain yang
lebih baik daripadanya." ia berhenti.
Pandangannya menembus mata Poirot. Lalu
katanya, "Apa yang dikatakannya mengenai saya"
Apakah dia bilang saya berkhayal, berangan-
angan?" "Dia mengatakan bahwa - sikap Anda
terhadapnya berubah, Madame"
Nyonya Tanios mengangguk.
"Dan dia bilang saya berkhayal, berangan-
angan.... Betul, bukan?"
"Ya, Madame. Terus terang, dia memang bilang begitu."
"Itulah. Dia akan terus bilang begitu. Sedangkan saya tidak punya bukti - sama
sekali tidak punya bukti yang nyata."
Poirot bersandar pada kursinya. Ketika dia
berbicara lagi, sikapnya betul-betul berubah.
"Apakah Anda mencurigai suami Anda ada
sangkut pautnya dengan pembunuhan Nona


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arundell?" Jawabnya dalang sangat cepat - spontan, "Saya tidak, mencurigainya - saya tahu."
"Kalau begitu, Madame, Anda wajib
mengatakannya." "Ah, tapi itu sukar - ya, sukar."
"Bagaimana dia membunuhnya?"
"Tepatnya saya tidak tahu - tapi dialah yang membunuh."
"Anda tidak tahu cara apa yang dipakainya?"
"Tidak - itu dilakukannya pada hari Minggu sebelum Bibi Emily meninggal."
"Hari Minggu ketika dia datang ke Puri Hijau sendirian?"
"Ya." "Tapi Anda tidak tahu apa persis yang dilaku-
?"Tidak." "Lalu, maaf, Madame, bagaimana Anda bisa
begitu yakin?" "Karena dia..." Nyonya Tanios berhenti.
Kemudian katanya pelan, "Saya yakin!"
"Maaf, Madame, ada sesuatu yang Anda
sembunyikan. Sesuatu yang belum Anda
katakan kepada saya."
"Ya." "Mengapa tidak Anda katakan saja sekalian?"
Bella Tanios mendadak bangkit. "Tidak. Tidak.
Saya tidak bisa. Anak-anak. Ayah mereka. Saya
tidak bisa. Saya tidak bisa...." "Tapi, Madame..."
"Saya tidak bisa menceriterakannya kepada
anda." Suaranya melengking histeris. Mendadak pintu
terbuka dan Nona Lawson masuk. Nampak
sekali ada sesuatu yang menyenangkan hatinya.
"Boleh masuk" Sudah selesai pembicaraan
Anda" Bella sayang, kupikir kau mesti minum
sesuatu... secangkir teh, atau malah sedikit
brandy." Nyonya Tanios menggeleng.
"Saya tidak apa-apa," ujarnya sambil tersenyum lemah. "Saya mesti kembali ke
anak-anak. Sudah terlalu lama saya tinggalkan mereka.
Mereka sedang membereskan pakaian mereka
dari koper ketika saya tinggalkan."
"Oh," ujar Nona Lawson, "lucunya anak-anak itu."
Nyonya Tanios tiba-tiba berpaling kepadanya.
"Oh, saya tak tahu apa yang harus saya lakukan tanpa bantuanmu, Minnie."
ujarnya. "Kau - kau begitu baik."
"Na, na, na, jangan menangis begitu, Bella.
Segala sesuatu akan beres sendiri pada
akhirnya. Kau boleh dalang ke tempat penasihat
hukumku - dia orangnya baik dan sangat
simpatik - dia pasti mau memberi petunjuk
bagaimana caranya mendapatkan surat cerai.
Zaman sekarang itu bukan hal sulit Begitu
kudengar orang-orang berkata. Oh, ada tamu
kedengarannya. Siapa, ya?"
Nona Lawson buru-buru meninggalkan ruang
tamu. Terdengar suara orang bercakap-cakap di
teras. Nona Lawson muncul kembali. Jalannya
berjingkat-jingkat. Ditutupnya pintu pelan-
pelan. Katanya berbisik, "Oh, Bella - suamimu yang datang. Aku tak
tahu..." Nyona Tanios beranjak ke sebuah pintu yang
menuju ke belakang. Nona Lawson
mengangguk-angguk. "Benar, Sayang - masuklah ke sana. Uari situ kau bisa menyelinap keluar
sementara dia kuajak masuk ke sini." Nyonya Tanios berbisik, "Jangan katakan saya dari sini. Jangan katakan Anda barusan ketemu saya."
"Tidak. Tentu saja tidak."
Nyonya Tanios menyelinap keluar. Poirot dan
aku sendiri buru-buru mengikutinya. Kami
ternyata masuk ke ruang makan.
Poirot menyeberangi ruang makan sempit itu,
dan membuka pintu yang berhubungan dengan
teras, ia mengintip dan mendengarkan sesuatu,
kemudian mengangguk. "Nona Lawson sudah mengajaknya masuk."
Berjingkat-jingkat kami keluar. Pintu muka
ditutup oleh Poirot dengan sangat pelan setelah kami semuanya keluar.
Nyonya Tanios berlari-lari kecil menuruni
tangga, tersandung, dan berpegang pada sisi
tangga. Poirot memegang tangannya kuat-kuat,
menahannya supaya tidak jatuh.
"Du calme - du calme.[tenang-tenang.] Tidak ada yang mesti Anda takuti."
Kami masuk ke lobby. "Temani saya," pinta Nyonya Tanios memelas.
Kelihatannya perempuan itu sudah mau
pingsan. "Tentu," ujar Poirot menenangkan hatinya.
Kami menyeberang jalan, berjalan sedikit
melewati tikungan, dan sampai di Queen's
Road. Hotel Wellington ternyata sebuah hotel
kecil yang tidak banyak diketahui orang.
Modelnya seperti asrama. Sesampai di dalam, Nyonya Tanios menjatuhkan
diri pada sebuah sofa. Tangannya memegangi
dadanya yang berdebar-debar.
Poirot menepuk-nepuk bahunya, menenangkan
perempuan itu. "Anda lolos, Madame. Tapi dengarkan saya
baik-baik sekarang."
"Tidak ada lagi yang bisa saya ceriterakan kepada Anda, M. Poirot. Tak benar
kalau saya menceritera-kannya. Anda - Anda tahu apa yang
saya pikir -yang saya yakini. Anda mesti puas
dengan itu." "'Saya minta Anda mendengarkan saya,
Madame. Misalkan - ini cuma suatu pemisalan -
saya sudah tahu semua fakta mengenai kasus
ini. Misalkan saya sudah bisa menebak apa yang
Anda ketahui - masalahnya jadi lain, bukan?"
Nyonya Tanios memandangnya ragu. Sebersit
rasa sakit nampak pada matanya.
"Percayalah, Madame - saya bukan bermaksud menjebak Anda supaya Anda mengatakan
apa yang tidak ingin Anda katakan. Tapi, masalahnya jadi lain, kan?"
"Saya pikir - ya."
"Bagus. Sekarang dengar. Saya, Hercule Poirot, tahu kebenarannya. Saya tidak
meminta Anda mempercayai kata-kata saya. Ambil ini." Poirot menyodorkan sebuah amplop tebal
yang tadi pagi kulihat disiapkannya. "Semua faktanya tertulis di situ. Setelah Anda
membacanya, dan Anda merasa puas, teleponlah saya - nomor
telepon saya ada saya cantumkan di dalam
situ." Agak enggan Nyonya Tanios menerima amplop
itu. Poirot menyambung cepat, "Sekarang, satu hal lagi. Anda harus cepat-cepat meninggalkan hotel ini."
"Mengapa?" "Anda cepat pergi ke Hotel Coniston, dekat Euston Jangan katakan kepada siapa
pun di mana Anda tinggal." "Tapi, oh - mengapa kalau di sini saja" Minnie Lawson tidak mungkin mengatakan
kepada suami saya bahwa saya tinggal di sini."
"Anda pikir begitu?"
"Ya - dia memihak saya!"
"Ya, lapi ingat, Madame, suami Anda sangat pandai. Mudah sekali buatnya membujuk
perempuan tua macam Nona Lawson untuk
mengeluarkan rahasianya. Ini sangat penting -
penting sekali, Madame. Suami Anda tidak
boleh tahu di mana Anda berada."
Nyonya Tanios mengangguk tanpa berkomentar
Poirot memberikan selembar kertas.
"Ini alamatnya. Cepat bereskan barang-barang Anda, dan bawa anak-anak naik taksi
ke alamat itu. Anda mengerti?"
Nyonya Tanios mengangguk.
"Saya mengerti."
"Anak-anaklah yang mesti Anda pikirkan,
Madame - bukan diri Anda sendiri. Anda sayang
mereka, bukan?" Poirot menyentuh bagian yang terpeka.
Warna merah merambati pipi perempuan itu,
dan kepalanya pun menjadi tegak. Ia sekarang
nampak bukan lagi seperti orang yang
ketakutan, tapi seorang wanita gagah dan agak
sombong. "Oke. Semuanya beres, kalau begitu."
Dijabatnya tangan Nyonya Tanios. dan kami pun
pergi. Tapi tidak jauh. Dari bawah naungan atap sebuah cafetaria di seberang
jalan, kami memperhatikan pintu masuk hotel tadi sambil
minum secangkir kopi. Kurang lebih lima menit
kemudian, nampak Dokter Tanios berjalan di
jalan. Dia tidak menoleh sama sekali ke arah
Hotel Wellington. Hotel itu dilaluinya begitu saja Kepalanya tertunduk waktu dia
berjalan. Di tikungan, dia membelok ke stasiun kereta
bawah tanah. Sepuluh menit setelahnya, kami melihat Nyonya
Tanios dan anak-anaknya masuk ke sebuah taksi
dengan membawa barang-barang mereka.
"Bien," ujar Poirot mengacungkan bon
minuman yang dipesannya. "Kita sudah
melakukan apa yang menjadi kewajiban kita.
Semuanya sekarang ada di tangan Tuhan."
BAB 27 KUNJUNGAN DOKTER DONALDSON
Donaldson datang tepat pada pukul dua.
Pembawaannya tenang dan serius seperti
biasanya. Kepribadian Donaldson mulai membangkitkan
minatku. Mula-mula pemuda itu kuanggap
sebagai orang yang agak langka. Aku tidak
mengerti apa yang dilihat oleh gadis secantik
Theresa pada dirinya. Sekarang aku baru sadar
bahwa pemuda ini tak bisa diabaikan begitu
saja. Di balik sikapnya yang ilmiah itu ada
kekuatan yang tersembunyi.
Setelah bersapa-sapaan sebagaimana layaknya
tamu dan tuan rumahnya, Donaldson berkata,
"Alasan kedatangan saya begini. Saya tidak mengerti apa tepatnya posisi Anda
dalam kasus ini, M. Poirot." Jawaban Poirot hati-hati. "Anda tentunya tahu profesi saya,
bukan?" "Tentu.
Terus terang, saya sudah bersusah payah ke
sana-sini mencari keterangan mengenai diri
anda." "Anda orang yang sangat berhati-hati, Dokter."
Kering, Donaldson berkata, "Saya selalu ingin yakin akan fakta-fakta saya."
"Pikiran Anda sangat ilmiah." "Setahu saya, semua orang berpendapat begitu juga
mengenai diri Anda. Tidak diragukan lagi, Anda orang yang sangat
pandai dalam profesi Anda. Anda juga
mendapat julukan detektif yang teliti dan jujur."
"Pujian Anda terlalu berlebihan."
"Itulah sebabnya saya tidak habis berpikir -
mengapa Anda sampai ikut campur dalam
masalah keluarga ini. Apa hubungannya?"
"Sangat sederhana!"
"Sebaliknya," ujar Donaldson. "Mula-mula Anda memperkenalkan diri sebagai
penulis biografi." "Itu bisa dimaafkan, bukan" Hampir tidak
mungkin seorang detektif pergi ke sana-sini
dengan setiap kali memproklamirkan dirinya
seorang detektif - meskipun, saya akui kadang-
kadang ada manfaatnya pula memperkenalkan
diri sebagai detektif.",
"Baiklah." Nada suara Donaldson sangat kering.
"Selanjutnya, Anda menemui Nona Theresa
Arundell dan mengatakan bahwa ada
kemungkinan surat wasiat bibinya bisa
diperkarakan." Poirot cuma menundukkan kepalanya,
mengiyakan. "Itu sangat mengherankan dan menggelikan."
Suara Donaldson tajam. "Anda tahu benar
bahwa surat wasiat itu sah menurut hukum dan
bahwa itu tidak mungkin diubah atau
dibatalkan." "Oh, begitukah pikiran Anda?"
"Saya bukan orang bodoh, M. Poirot...."
"Sama sekali bukan, Dokter Donaldson'."
"Saya tahu sesuatu - tidak banyak, tetapi
cukuplah - mengenai hukum. Surat wasiat itu
tidak mungkin dibatalkan. Mengapa Anda
berpura-pura dan mengatakan ada
kemungkinannya" Jelas itu cuma untuk
kepentingan Anda sendiri - dan, sayang sekali
maksud itu tidak segera ditangkap oleh Nona
Theresa Arundell." "Kedengarannya Anda begitu pasti akan
reaksinya." Seulas senyum tipis menghiasi wajah pemuda
itu. Tanpa diduga-duga, ia berkata,
"Saya tahu lebih banyak mengenai Theresa


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada yang diketahuinya. Saya merasa yakin
bahwa dia dan Charles berpikir Anda akan
membantu mereka. Charles orangnya hampir
tidak punya moral sama sekali. Theresa punya
sifat-sifat menurun yang kurang
menguntungkan, ditambah pula dengan didikan
yang kurang bagus." "Jadi, itulah sebabnya Anda membicarakan
tunangan Anda - seolah-olah dia itu seekor
marmot?" Donaldson menatap Poirot dengan tajam dari
balik kacamata tempelnya.
"Saya tidak pernah menyangkal apa yang benar.
Saya mencintai Theresa Arundell, dan saya
mencintainya sebagaimana adanya - bukan
untuk sifat-sifat baik yang hanya khayalan saja."
"Sadarkah Anda bahwa Nona Theresa Arundell begitu sayang kepada Anda. dan bahwa
keinginannya mendapatkan uang itu semata-
mata supaya cita-cita Anda bisa tercapai?"
"Tentu saja saya sadar akan hal itu. Sudah saya katakan kepada Anda, bahwa saya
bukan orang bodoh. Tapi saya tak mau Theresa menceburkan
dirinya pada situasi yang sulit cuma buat saya
Dalam banyak hal, dia masih kekanak-kanakan.
Saya mampu memajukan karir saya dengan
usaha saya sendiri. Saya tidak mengatakan,
bahwa saya tidak ingin dibantu dalam hal
finansial. Bantuan semacam itu akan sangat
menolong. Tapi, itu cuma menolong
memperpendek jalan saya. Cuma itu."
"Jadi, Anda punya keyakinan bahwa Anda bisa berhasil dengan usaha sendiri,
bukan?" "Mungkin kedengarannya sombong, tapi ya -
saya yakin saya bisa," ujar Donaldson.
"Mari kita lanjutkan. Saya akui bahwa saya memperoleh kepercayaan dari Nona
Theresa dengan menggunakan semacam taktik. Saya
yakinkan dia bahwa saya mau menolongnya,
asal saya dibayar -tentu saja ini tidak benar,
Dokter - tapi, ternyata Nona Theresa segera
percaya." "Ya, karena Theresa yakin semua orang mau
berbuat apa pun, demi uang," ujar dokter muda itu dengan apa adanya.
"Benar. Sikapnya memang begitu - begitu juga kakaknya."
"Charles mungkin mau melakukan apa pun demi uang!"
"Jadi Anda sudah tahu bagaimana calon kakak ipar Anda itu?"
"Ya. Bagi saya dia merupakan studi yang
menarik. Pada dirinya, kelihatannya, ada
semacam gejala neurosis yang terpendam - ah,
itu membuat pembicaraan kita menyimpang.
Kembali ke yang kita bicarakan semula, M.
Poirot - saya cuma bisa menemukan satu
jawaban sehubungan dengan pertanyaan saya
tadi: apa sebabnya Anda berlaku seperti itu.
Jelas bahwa Anda mencurigai Theresa atau
Charles bertanggung jawab atas kematian Nona
Arundell. Jangan - jangan menyangkal kata-kata
saya! Anda menyebutkan mengenai
kemungkinan dilakukannya penggalian kubur
Nona Arundell -dan itu, saya pikir, cuma untuk
memancing reaksinya. Ngomong-ngomong,
sudahkah Anda mengambil langkah ke arah
sana - maksud saya, menghubungi yang
berwenang supaya mereka memerintahkan
penggalian kembali kubur itu?"
"Saya akan berterus terang kepada Anda.
Sampai sekarang saya belum melangkah sejauh
itu." Donaldson mengangguk. "Jadi, saya pikir, Anda mulai
mempertimbangkan bahwa ada kemungkinan
Nona Arundell meninggal secara wajar?"
"Bahwa saya telah mempertimbangkan
kematian itu nampak sebagai kematian wajar -
ya." "Keputusan Anda sudah pasti?"
"Sangat pasti. Seandainya Anda menghadapi
kasus - katakan, tubercolusis yang menunjukkan
gejala-gejala tubercolusis, dan ketika Anda
periksa darahnya menunjukkan tubercolusis
positif- eh bien, Anda pasti menganggapnya
sebagai tubercolusis, bukan?"
"Begitu cara Anda melihat perkaranya" Kalau begitu, apa sebenarnya yang Anda
tunggu?" "Saya menunggu bukti yang final."
Telepon berdering. Menuruti isyarat Poirot, aku beranjak mengangkatnya. Suara
yang kudengar sangat kukenali. "Kapten Hastings" Ini dari Nyonya Tanios.
Maukah Anda menyampaikan kepada M. Poirot,
bahwa dia benar" Kalau M. Poirot mau datang
ke sini jam sepuluh besok pagi, saya bisa
memberikan apa yang diinginkannya."
"Jam sepuluh besok?"
"Ya." "Baiklah. Akan saya sampaikan pesan Anda"
Poirot bertanya dengan matanya. Dan aku
mengangguk. Ia kembali berpaling kepada Donaldson.
Sikapnya berubah - gesit dan yakin.
"Mari saya jelaskan," ujarnya. "Saya sudah mendiagnosa kasus yang saya hadapi
ini sebagai suatu kasus pembunuhan - dan memang, ini
suatu pembunuhan! Itu tidak perlu diragukan
lagi." "Kalau begitu - di mana letak keragu-raguan Anda" Sebab, saya merasa Anda masih
ragu-ragu mengenai sesuatu."
"Mengenai identitas pembunuhnya. Tapi
sekarang, itu pun sudah tidak saya ragukan."
"Sungguh" Anda tahu pembunuhnya?"
"Bukti pastinya akan saya dapatkan besok."
Alis Dokter Donaldson terangkat, sangat ironis.
"Ah," ujarnya. "Besok! Kadang-kadang besok itu tak ada habisnya, M. Poirot."
"Sebaliknya," sahut Poirot, "bagi saya."
Donaldson tersenyum. Ia bangkit.
"Saya lelah menyila terlalu banyak waktu Anda yang berharga, M. Poirot."
"Sama sekali tidak. Saya senang mendapat
kesempatan bertukar pikiran dengan orang
lain." Dengan mengangguk, Dokter Donaldson
meninggalkan kami. BAB 28 KORBAN KEDUA "Dia orang pintar," kata Poirot sungguh-sungguh.
"Agak sulit mengetahui maksudnya."
"Ya. Orangnya agak kurang manusiawi. Tapi
sangat cerdik." "Telepon tadi dari Nyonya Tanios."
"Sudah kuduga."
Kusampaikan pesannya. Poirot mengangguk.
"Bagus. Semuanya berjalan lancar. Dua puluh empat jam lagi, Hastings, kita akan
tahu." "Aku masih bingung. Siapa sebenarnya yang kita curigai?"
"Mana aku tahu siapa yang kau curigai,
Hastings!" "Kadang-kadang aku merasa kau memper-
mainkanku." "Tidak, tidak. Tak akan kusenangkan diriku dengan cara begitu, Kawan."
"Aku tidak yakin."
Poirot menggeleng, tapi pikirannya seolah jauh
menerawang. Kuamati dia. "Ada sesuatu, Poirot?" tanyaku.
"Aku selalu merasa ngeri setiap kali sampai pada akhir suatu kasus. Seandainya
terjadi sesuatu...." "Memangnya ada kemungkinan terjadi
sesuatu?" "Kupikir tidak." ia berhenti, dahinya berkerut.
"Rasanya aku sudah memperhitungkan segala
kemungkinan." "Kalau begitu, bagaimana kalau kita lupakan sejenak urusan ini dan kita nonton?"
"Ma foi, Hastings, idemu bagus sekali!"
Malam itu kami lewatkan dengan cukup santai
dan menyenangkan. Walaupun begitu, ada satu
kesalahan kecil yang kulakukan - aku mengajak
Poirot nonton film pembunuhan yang
melibatkan seorang detektif. Itu sebabnya aku
ingin menyampaikan sedikit pesan kepada para
pembaca: Jangan pernah mengajak seorang
tentara menonton film militer, seorang pelaut
menonton film mengenai angkatan laut, atau
seorang detektif menonton film detektif. Anda
akan lelah mendengar kritikan yang mereka
lontarkan sepanjang pertunjukan! Memang
kritik yang dihujankannya itu kadang-kadang
mengena sekali. Poirot menyayangkan bahwa
detektif pelakunya kurang menguasai aspek
kejiwaan dan cara kerjanya tidak sistematis.
Waktu kami berpisah malam itu, Poirot masih
saja menyinggung-nyinggung kekurangan dalam
babak permulaan lakon yang baru kami nikmati.
"Kalau semuanya menuruti jalan pikiranmu,
Poirot, cerita film tadi tidak akan sepanjang itu,"
Poirot terpaksa mengakui kemungkinan itu.
Jam menunjukkan pukul sembilan lewat
beberapa menit ketika aku masuk ke ruang
duduk flat Poirot keesokan harinya. Poirot
sedang sarapan - seperti biasa, sambil
membuka amplop surat yang diantarkan oleh
petugas pos pagi. Telepon berdering, dan akupun buru-buru
mengangkatnya. Terdengar olehku suara orang perempuan
terengah-engah, "Apakah di situ dengan M. Poirot" Oh, Anda Kapten Hastings."
Suaranya tersendat. "Apakah Anda Nona Lawson?" tanyaku. "Ya, ya, sesuatu yang tidak diharapkan
terjadi!" Kugenggam gagang telepon erat-erat.
"Dia pergi meninggalkan Hotel Wellington -
Bella, maksudku. Saya ke sana kemarin siang.
Katanya dia sudah pergi. Dan, oh - tanpa
meninggalkan pesan apa pun buat saya! Aneh!
Mungkin yang dikatakan Dokter Tanios memang
benar. Laki-laki itu menceriterakan Bella dengan begitu manis dan kelihatannya
begitu sedih. Sekarang saya baru tahu - mungkin yang
dikatakan suaminya itu memang betul."
"Apa yang sebenarnya terjadi, Nona Lawson"
Apakah cuma itu - maksud saya, Nyonya Tanios
cuma pergi meninggalkan Hotel Wellington
tanpa memberitahukan apa-apa kepada Anda?"
"Oh, bukan. Bukan cuma itu! Kalau cuma itu sih tidak apa-apa. Dokter Tanios
mengatakan dia kualir isterinya agak - agak - oh, bukan cuma
agak... katanya dia menderita kelainan
kejiwaan... per-... oh, persecution mania atau
apa, katanya." "Ya." (Sialan, umpatku). "Tapi, apa yang terjadi?"
"Oh - sangat menyedihkan! Dia mati dalam
tidurnya. Minum obat tidur dengan dosis
berlebihan! Dan anak-anak yang malang itu...
oh! Semuanya ini begitu menyedihkan! Rasanya
saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis sejak menerima berita itu."
"Siapa yang mengabari Anda" Coba ceriterakan, Nona Lawson!"
Dari sudut mataku, kulihat Poirot tiba-tiba
berhenti membuka surat-suratnya. Dia
mendengarkan kata-kata yang kuucapkan. Aku
tak ingin memberikan tempatku kepadanya.
Kalau kuberikan telepon kepadanya, aku yakin
Nona Lawson akan mulai meraung-raung tidak
keruan lagi. "Orang menelepon saya dari hotel sana. Hotel Coniston - kalau tak salah.
Kelihatannya mereka menemukan nama dan alamat saya di tasnya.
Oh, M. Poirot - oh, Kapten Hastings - bukankah
ini sangat menyedihkan" Anak-anak itu tidak
beribu lagi." "Tunggu," ujarku- "Yakinkah Anda itu dilakukannya tanpa sengaja" Atau dia
sengaja bunuh diri?" "Oh, Kapten Hastings - kedengarannya kok jadi begitu mengerikan! Oh, saya tidak
tahu. Betul-betul saya tidak tahu. Mungkinkah dia sengaja
bunuh diri" Oh, mengerikan sekali! Tapi dia
memang kelihatan sangat tertekan. Sebetulnya
tak perlu dia begitu. Maksud saya, dia tidak
akan kesulitan uang. Saya sudah merencanakan
hendak berbagi-bagi dengannya. Sungguh, itu
rencana saya. Saya tahu Nona Arundell ingin
begitu. Saya yakin itu keinginannya. Tapi, oh -
bukan main - dia menghabisi hidupnya sendiri -
tapi mungkin juga tidak.... Orang yang
menelepon dari hotel tadi kedengarannya
mengatakan tidak sengaja."
"Obat tidur apa yang diminumnya?"
"Salah satu obat tidur biasa. Veronal, mungkin.
Oh, bukan. Chloral. Ya, itu katanya tadi. Chloral.
Oh, Kapten Hastings - apakah..."
Seperti orang tak tahu aturan, kubanting gagang telepon. Aku cepat berpaling
kepada Poirot. "Nyonya Tanios..."


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poirot mengacungkan tangannya.
"Ya, ya, aku tahu apa yang hendak kaukatakan, Kawan. Dia mati. Betul, kan?"
"Ya. Kebanyakan minum obat tidur. Chloral!"
Poirot bangkit. "Ayo, Hastings, kita mesti segera ke sana."
"Itukah yang kaukuatirkan semalam"
Maksudku, waktu kaubilang kau selalu merasa
ngeri menjelang akhir suatu kasus?"
"Aku takut terjadi kematian lagi - ya."
Wajah Poirot geram dan kaku. Hampir tak ada
yang kami percakapkan dalam perjalanan
menuju Euston. Sesekali kulihat Poirot
menggeleng-geleng. Takut-takut aku berkata, "Kau pikir - mungkinkah itu kebetulan saja,
"Tidak, Hastings - itu bukan suatu kebetulan atau kecelakaan."
"Bagaimana mungkin Tanios tahu tempat
isterinya tinggal?" Poirot cuma menggeleng tanpa memberi
komentar. Hotel Coniston ternyata sebuah hotel yang
kurang menarik di bilangan stasiun Euston.
Poirot, dengan kartu pengenalnya dan dengan
gayanya yang sok penting, dengan cepat bisa
menerobos ke kantor direkturnya.
Faktanya sangat sederhana.
Nyonya Peters, begitu katanya, dan dua
anaknya tiba kurang lebih jam dua belas tiga
puluh. Mereka bersantap siang pada jam satu.
Pada jam empat, datang seorang lelaki
membawa surat untuk Nyonya Peters. Surat itu
diantarkan ke kamarnya. Tak lama kemudian
Nyonya Peters turun bersama kedua anaknya
dengan membawa sebuah koper. Anak-anaknya
kemudian pergi dengan tamu pria tadi. Nyonya
Peters lalu pergi ke kantor tata usaha. Dia
mengatakan, bahwa dia cuma perlu satu kamar
saja. Nampaknya Nyonya Peters biasa-biasa saja -
tidak gelisah atau kebingungan sama sekali;
orang malah melihatnya sebagai seorang wanita
yang berpembawaan tenang dan berwibawa.
Nyonya Peters turun makan malam pada jam
tujuh tiga puluh dan langsung kembali masuk ke
dalam kamarnya. Pada waktu pelayan masuk ke kamarnya pagi-
pagi esok harinya, ditemuinya Nyonya Peters
sudah meninggal. Dokter dipanggil dan menyatakan bahwa
Nyonya Peters sudah beberapa jam lamanya
meninggal. Sebuah gelas kosong ditemukan di
atas meja di samping tempat tidurnya. Jelas
sekali, ia minum obat tidur - tanpa sengaja,
melebihi dosis. Hidrat Chloral, begitu kata
dokter yang memeriksanya, mungkin jenis obat
yang diminumnya. Tidak ada tanda-tanda
bahwa Nyonya Peters melakukan bunuh diri.
Tidak ada surat yang ditinggalkan. Waktu orang
berusaha mencari identitas Nyonya Peters
untuk memberi kabar kepada keluarganya,
ditemukan nama dan alamat Nona Lawson pada
secarik kertas dalam tas perempuan itu. Maka
Nona Lawson pun segera diberi kabar melalui
telepon. Poirot menanyakan kalau-kalau ada surat atau
kertas-kertas penting tertentu diketemukan.
Sebagai contoh, surat yang dibawa tamu pria
yang datang menjemput anak-anaknya.
Tidak ada secarik kertas pun ditemukan, begitu
kata pemilik hotel, tapi kelihatannya ada bekas kertas dibakar di perapian.
Poirot mengangguk-angguk.
Sejauh yang diketahui orang, Nyonya Peters
tidak menerima tamu, dan tak ada seorang pun
yang berkunjung ke kamarnya, kecuali orang
yang menjemput anak-anaknya.
Kutanyai portir mengenai ciri-ciri laki-laki yang menjemput kedua anak Nyonya
Peters, tapi kelihatannya dia kurang ingat. Orangnya tidak
terlalu tinggi - kalau tidak salah rambutnya agak pirang- tubuhnya kekar. Tapi
dia yakin laki-laki itu tidak berjanggut.
"Bukan Tanios," bisikku kepada Poirot.
"Oh, Hasting - kaupikir, setelah susah payah menghindari suaminya seperti itu,
Nyonya Tanios segampang itu akan menyerahkan anak-
anaknya kepada suaminya?"
"Lalu, siapa orangnya?"
"Jelas dia orang yang dipercaya Nyonya Tanios, atau orang suruhan orang yang
dipercaya Nyonya Tanios." "Orangnya tidak terlalu tinggi," ujarku pula.
"Kau tidak perlu merisaukan bagaimana rupa laki-laki itu, Hastings. Aku yakin
laki-laki itu tidak penting dalam urusan kita. Paling-paling dia
cuma orang suruhan."
"Dan yang menyuruhnya" Orang yang menulis
surat itu?" "Ya." "Dan orang itu orang kepercayaan Nyonya
"Kelihatannya."
"Surat itu dibakar oleh Nyonya Tanios." "Atas permintaan pengirimnya." "Apa yang
terjadi dengan ringkasan peristiwa yang kautuliskan
buatnya?" Wajah Poirot kelihatan sangat geram. "Dibakar juga! Tapi biar saja, itu tidak
penting." Tidak?"
"Tidak - semuanya sudah ada dalam otak
Hercule Poirot" Poirot meraih lenganku. "Ayo kita pergi. Hastings. Kita bukan berurusan dengan yang sudah mati, tapi
dengan yang masih hidup. Dengan merekalah aku mesti
berurusan." BAB 29 PEMERIKSAAN LEBIH LANJUT DI PURI HIJAU
Jam sebelas pagi keesokan harinya.
Tujuh orang berkumpul di Puri Hijau. Hercule
Poirot berdiri dekat perapian. Charles dan
Theresa duduk di sofa, Charles pada sandaran
tangan sofa itu sementara sebelah tangannya
merangkul bahu Theresa. Dokter Tanios duduk
di kursi goyang. Matanya masih nampak merah
dan sembab. Pada pergelangan tangannya
melingkar ban hitam. Pada sebuah kursi tegak yang terletak dekat
meja bulat, duduk pemilik rumah. Nona Lawson.
Mata perempuan itu pun nampak merah.
Rambutnya lebih kusut dan arak-arakan
daripada biasanya. Dokter Donaldson duduk
tepat menghadap kepada Poirot. Wajahnya
tidak menunjukkan perasaan tertentu.
Semangatku tumbuh sementara kupandang
wajah mereka berganti-ganti.
Sejak kukenal Poirot, telah beberapa kali aku
menemaninya dalam acara semacam itu -
dikelilingi oleh sekelompok orang yang masing-
masing nampak tenang dan berwibawa dari
luar. Telah kusaksikan pula bagaimana Poirot
biasanya membuka kedok mereka satu per satu
- menunjukkan apa yang terdapat di balik kedok
itu, wajah seorang pembunuh!
Ya, aku tak ragu lagi. Seorang dari ketujuh orang yang kami hadapi ttu pasti
pembunuh. Tapi yang mana" Sampai sekarang aku masih
bingung. Poirot berdehem - dengan congkak, seperti
biasanya. Lalu ia pun mulai berbicara.
"Kita semuanya berkumpul di sini, Ibu-ibu dan Bapak-bapak sekalian, untuk
mempertanggungjawabkan kematian Nona
Emily Arundell pada tanggal satu Mei yang lalu.
Ada empat kemungkinan: Beliau meninggal
secara wajar -Beliau meninggal akibat suatu
kecelakaan - Beliau meninggal karena bunuh diri atau, bisa juga Beliau meninggal
akibat perbuatan orang, seseorang yang mungkin
dikenal atau tidak dikenal.
"Pada waktu Beliau meninggal, tidak dilakukan suatu pemeriksaan pun - karena
semua orang menganggap Beliau meninggal secara wajar. Hal
ini ditunjang pula oleh surat pernyataan Dokter Grainger mengenai penyebab
kematian Beliau. "Dalam hal terjadi keragu-raguan mengenai
sebab musabab kematian seseorang setelah
orang yang bersangkutan dimakamkan,
biasanya dilakukan penggalian makamnya dan
pemeriksaan terhadap jenazahnya. Meskipun
begitu, ada beberapa alasan yang mencegah
saya meminta hal tersebut dilaksanakan atas
diri Nona Emily Arundell. Alasan yang paling
penting ialah, karena saya tahu klien saya tidak akan menyukai cara itu."
Dokter Donaldson menyela Katanya,
"Klien Anda?" Poirot berpaling kepadanya "Klien saya adalah Nona Emily Arundell. Saya
bertindak atas permintaannya. Beliau menegaskan, bahwa
Beliau tidak menghendaki adanya skandal."
Kulompati saja apa yang dibicarakan Poirot
selama sepuluh menit pertama, karena itu
merupakan ulangan dari yang sudah kita
ketahui. Poirot mcnceriterakan mengenai surat
yang diterimanya, menunjukkan surat itu, dan
membacakan isinya keras-keras- Ia
menceriterakan pula langkah-langkah yang
diambilnya pada waktu datang ke Market
Basing serta menjelaskan setiap penemuannya
yang berhubungan dengan kecelakaan Nona
Arundell. Kemudian ia berhenti, berdehem sekali lagi, dan melanjutkan ceriteranya,
"Sekarang saya akan mengajak Anda sekalian menelusuri kembali jalan yang telah
saya tempuh dalam mencari kebenarannya. Saya
akan menunjukkan rekonstruksi dari setiap
fakta dalam kasus ini, yang saya sangat yakin
akan kebenarannya. "Pertama-tama, perlu kiranya kita bayangkan sejelas-jelasnya apa yang terlintas
dalam pikiran Nona Arundell. Itu, saya pikir, cukup mudah. Dia jatuh,
penyebabnya diduga orang bola mainan
Bob, tapi dia sendiri tahu bukan itu
penyebabnya. Sementara berbaring di tempat
tidur setelah mengalami kecelakaan itu, otak
Nona Arundell yang giat dan cerdik itu tidak
henti-hentinya berpikir - memikirkan apa yang
baru dialaminya itu. Beliau akhirnya sampai
pada suatu kesimpulan: ada orang yang sengaja
berbuat sesuatu untuk mencelakakannya -atau,
bahkan membunuhnya. "Berdasarkan kesimpulan itu, Nona Arundell mulai berpikir: siapa orangnya. Ada
tujuh orang yang tinggal dalam rumahnya pada waktu
kecelakaan itu terjadi: empat tamu, seorang
pelayan pribadinya, dan dua orang pembantu
rumah tangga. Dari ketujuh orang ini, cuma
seorang yang secara logis dapat dibebaskan dari tuduhan. Hal ini disebabkan
karena orang yang satu ini tidak akan memperoleh keuntungan
*pa-apa dari kematiannya. Beliau juga tidak bisa sungguh-sungguh mencurigai
kedua pembantu rumah tangganya, karena mereka itu sudah
bertahun-tahun mengabdi dengan setia. Karena
itu, tinggal empat orang yang bisa dicurigai -
tiga orang keluarganya sendiri, dan yang
seorang lagi berhubungan keluarga akibat
perkawinan. Masing-masing dari keempat orang
itu akan mendapat keuntungan, atau tepatnya,
warisan bila Nona Arundell meninggal - tiga
orang mendapatkannya secara langsung, dan
seorang secara tidak langsung.
"Nona Arundell merasa dirinya ada pada posisi yang sulit. Di satu pihak Beliau
dikenal sebagai seorang wanita yang sangat kuat rasa
kekeluargaannya dan tidak mau jika keburukan
keluarganya diketahui oleh orang lain. Di lain
pihak, Beliau tidak mau tinggal diam dan
menyerah begitu saja atas usaha pembunuhan
yang telah dilakukan terhadap dirinya!
"Akhirnya Nona Arundell membuat suatu keputusan. Beliau menulis surat kepada
saya. Bukan itu saja. Beliau juga mengambil langkah lebih
jauh lagi. Langkah ini diambilnya karena
terdorong oleh dua motif. Pertama,
kecurigaannya menimbulkan rasa benci
terhadap keluarganya, dan Beliau ingin
menghukum mereka. Kedua, Beliau ingin
melindungi diri sendiri. Seperti kita sekalian
ketahui, Beliau menulis surat kepada
pengacaranya, Tuan Purvis - memintanya
menulis surat wasiat baru yang isinya pada
dasarnya menjatuhkan seluruh kekayaannya
kepada satu-satunya orang yang pada pikiran
Nona Arundell sama sekali tidak punya andil
dalam usaha pembunuhan itu.
"Melihat isi surat yang ditulisnya kepada saya, dan juga melihat tindakan-
tindakannya, saya merasa yakin bahwa Nona Arundell tidak lagi
mencurigai keempat orang yang semula


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dicurigainya, melainkan seorang saja di antara
mereka Nada suratnya sangat menekankan
bahwa masalah ini harus sangat dirahasiakan
karena menyangkut kehormatan keluarga.
"Saya pikir, Nona Arundell yang masih
berpikiran seperti orang-orang zaman Victoria
itu mencurigai seseorang yang menyandang
nama keluarga - dan besar kemungkinan, yang
dicurigainya itu seorang pria.
"Seandainya Nyonya Tanios yang dicurigainya, saya yakin Beliau juga akan
menekankan agar masalahnya dirahasiakan. Walaupun begitu,
permintaannya itu tidak akan seserius
permintaannya untuk melindungi nama baik
orang yang betul-betul dicurigainya. Nyonya
Tanios, bagaimanapun, tidak menyandang nama
keluarga. Begitu pula dengan Theresa.
"Charles merupakan seorang Arundell. ia
merupakan penerus keluarga Arundell! Alasan
Beliau mencurigai Charles sangat jelas. Pertama, karena Beliau sangat mengenal
dan mengakui kekurangan-kekurangan pada diri Charles.
Pernah Charles hampir menodai nama keluarga.
Itu sebabnya Nona Arundell bukan saja
berpendapat bahwa Charles patut dicurigai,
melainkan menganggapnya mampu berbuat
kejahatan. Charles pernah memalsukan tanda
tangannya pada sebuah cek - dan baginya, kalau
Charles bisa melakukan kejahatan macam itu,
maka tidak mustahil bila ia pun bisa melakukan
kejahatan yang sedikit lebih serius, membunuh,
misalnya. "Sebagai tambahan, pernah terjadi suatu
percakapan di antara Nona Arundell dan Charles
yang bisa memperkuat keyakinannya. Dalam
percakapan yang terjadi dua hari sebelum
kecelakaan itu, Charles meminta uang kepada
bibinya dan ditolak. Charles kemudian memberi
komentar, dengan cukup halus, yang pada
dasarnya menyatakan bahwa sikap bibinya yang
begitu menantang orang untuk membunuhnya.
Nona Arundell menanggapi dengan mengatakan
bahwa Beliau cukup bisa menjaga diri! Menurut
informasi yang saya dapat, Charles menimpali
tanggapan bibinya itu dengan mengatakan,
Jangan kelewat yakin.' - dan, dua hari
kemudian, terjadilah kecelakaan yang
mengerikan itu. "Tidak perlu kiranya dipertanyakan lagi
bagaimana jalan pikiran Nona Arundell
sementara ia berbaring bingung dan gelisah
memikirkan siapa yang berusaha menghabisi
nyawanya itu. Nona Arundell mengambil
kesimpulan bahwa Charles-lah yang
merencanakan semuanya itu.
"Urut-urutan kejadiannya cukup jelas.
Percakapannya dengan Charles. Kecelakaannya.
Surat yang ditulisnya kepada saya dalam
keadaan resah. Suratnya kepada Tuan Purvis.
Pada hari Selasa minggu berikutnya, tepatnya
pada tanggal dua puluh satu April, Tuan Purvis
datang membawa surat wasiat baru yang siap
untuk ditandatangani oleh Nona Arundell.
"Charles dan Theresa datang menjenguknya
pada akhir pekan berikutnya, dan Nona Arundell
pun segera mengambil langkah-langkah yang
dirasanya perlu untuk melindungi diri. Nona
Arundell mengatakan kepada Charles, bahwa
Beliau telah membuat surat wasiat baru. Bukan
cuma mengatakan, Beliau malah menunjukkan
surat wasiatnya yang baru kepada Charles! Pada
pikiran saya, maksudnya sangat jelas. Nona
Arundell ingin menjalakan kepada si calon
pembunuhnya bahwa dengan membunuhnya ia
tidak akan memperoleh apa pun!
"Mungkin Nona Arundell mengira bahwa
Charles otomatis akan menceriterakan hal itu
kepada adiknya. Tetapi, ternyata tidak.
Mengapa" Saya pikir, Charles punya alasan yang
cukup bisa diterima - dia merasa bersalah!
Charles merasa bahwa akibat perbuatannyalah
maka bibinya mengubah surat wasiat itu Tapi,
mengapa dia merasa bersalah" Apakah karena
dia memang yang telah mencoba membunuh
bibinya" Atau cuma karena dia merasa bersalah
telah mencuri sedikit uang" Yang jelas, salah
satu dari kedua alasan tadi membuatnya
merasa tidak enak. Dia tidak memberi komentar
apa-apa kepada bibinya, dan cuma berharap,
bahwa pada suatu hari nanti bibinya akan
mengubah pikirannya dan mengganti lagi surat
wasiatnya. "Mengenai jalan pikiran Nona Arundell, saya rasa saya telah merekonstruksikannya
dengan cukup jelas dan benar. Itulah sebabnya, langkah selanjutnya yang harus saya
ambil adalah menyelidiki apakah kecurigaan Nona Arundell
itu pada kenyataannya memang beralasan.
"Seperti Beliau, saya pun sadar hahwa
kecurigaan saya cuma terbatas kepada tujuh
orang saja. Charles dan Theresa Arundell.
Dokter dan Nyonya Tanios, serta kedua
pembantu rumah tangga dan Nona Lawson. Ada
orang kedelapan yang juga saya pertimbangkan
- namanya, Dokter Donaldson.
Dokter Donaldson datang bersantap malam di
Puri Hijau pada malam terjadinya kecelakaan
itu. Tapi. ini baru saya ketahui belakangan.
"Ketujuh orang yang saya curigai ini dengan mudah dapat dibagi menjadi dua
kategori. Enam di antaranya - sedikit atau banyak - akan
mendapat keuntungan dari kematian Nona
Arundell. Bila salah seorang di antara mereka
yang melakukan kejahatan, maka dapat
dipastikan motifnya adalah warisan. Dalam
kategori yang kedua cuma ada satu orang saja,
yaitu Nona lawson Nona Lawson sama sekali
tidak akan memperoleh keuntungan bila Nona
Arundell meninggal pada kecelakaan itu, tetapi, akibat kecelakaan itu, ia
mendapat keuntungan yang sangat banyak di kemudian hari.
"Artinya, kalau Nona Lawson yang
merencanakan kecelakaan itu..."
"Saya tidak pernah berbuat seperti itu!" sela Nona Lawson. "Sangat memalukan!
Berdiri di depan situ dan mengatakan begitu!"
"Bersabarlah sedikit. Mademoiselle. Dan saya mohon, jangan menvela-nvela lagi."
kata Poirot. Nona Lawson menghempaskan kepalanya pada
sandaran kursi dengan marahnya.
"Saya tetap akan memprotes! Memalukan! Ya -
fitnahan itu sangat memalukan!"
Tanpa mempedulikan protesnya, Poirot
melanjutkan pidatonya, "Yang sedang saya ucapkan tadi ialah, bahwa bila Nona Lawson yang merencanakan
kecelakaan itu. maka perbuatannya itu didasari
oleh alasan yang lain - yaitu, ia berusaha
menciptakan situasi sedemikian rupa supaya
Nona Arundell mencurigai keluarganya dan
memusuhi mereka. Itu merupakan suatu
kemungkinan! Saya menyelidiki kebenaran atau kemustahilan
kemungkinan itu, dan saya berhasil
mendapatkan suatu fakta yang pasti. Kalau
Nona Lawson memang mempunyai keinginan
supaya Nona Arundell mencurigai keluarganya,
dia akan menekankan fakta bahwa Bob malam
itu tidak ada di rumah. Tetapi sebaliknya, Nona Lawson berusaha keras supaya
Nona Arundell tidak mengetahui fakta ini. Berdasarkan hal itu, saya mengambil kesimpulan bahwa
Nona Lawson tidak bersalah."
Nona Lawson herkata tajam,
"Nah, begitu dong!"
"Selanjutnya yang saya pikirkan adalah masalah Kematian Nona Arundell. Bila
orang mencoba membunuh seseorang dan gagal, biasanya ia
akan mencoba lagi. Dan pada pikiran saya,
jangka waktu dua minggu itu cukup masuk akal.
Karena itu saya memulai penyelidikan saya.
"Dokter Grainger rupanya tidak melihat adanya keanehan dalam kematian pasiennya.
Pendapatnya ini tentu saja berlawanan dengan
teori saya. Tetapi, setelah bertanya kepada
beberapa orang mengenai peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada malam terakhir sebelum
Beliau sakit, saya menemukan suatu fakta yang
cukup berarti. Nona Julia Tripp menyebutkan
bahwa ia melihat ada semacam lingkaran kabut
bercahaya di sekeliling kepala Nona Arundell.
Pernyataan ini didukung oleh saudaranya, Nona
Isabel Tripp. Kedua Nona Tripp itu tentu saja
menghubungkan fenomena tadi sesuai dengan
keyakinan mereka, yaitu dengan hal-hal yang
sifatnya magis. Pada waktu saya menanyai Nona
Lawson, saya juga mendapat informasi yang
sangat menarik. Nona Lawson menyatakan
bahwa dia melihat ada semacam kepulan asap
bercahaya yang bentuknya seperti pita keluar
dari mulut Nona Arundell dan kemudian
membentuk lingkaran di sekeliling kepalanya.
"Bagi saya menjadi jelas, bahwa walaupun
diungkapkan secara sedikit berbeda, tapi
kenyataannya memang ada dan sama. Lepas
dari pemikiran kaum spiritualis, yang terjadi itu adalah sebagai berikut. Pada
malam yang dimaksud, napas Nona Arundell mengandung
fosfor! Dokter Donaldson bergerak.
Poirot mengangguk kepadanya.
"Nah, rupanya Anda mulai mengerti sekarang.
Bahan yang mengandung zat fosfor dalam dosis
yang tinggi tidak banyak terdapat. Tapi, yang
pertama-tama saya temui dan kelihatannya
cukup banyak dipakai betul-betul merupakan
bahan yang memang sedang saya cari-cari. Akan
saya bacakan kepada Anda sekalian cuplikan
sebuah artikel mengenai keracunan zat ini.
"Sebelum korban merasakan pengaruh
racunnya, mula-mula napasnya akan
mengandung fosfor. Nah, itulah yang disaksikan
oleh Nona Lawson serta kedua kakak beradik
Tripp di ruang gelap tempat mereka duduk-
duduk bersama Nona Arundell. Yang mereka
lihat itu tidak lain adalah napas Nona Arundell yang sudah mengandung fosfor.
Selanjutnya, artikel itu menyebutkan sebagai berikut: Gejala yang muncul kemudian dapat
disamakan dengan gejala-gejala umum yang biasa
ditemukan pada penderita penyakit kuning.
Racun fosfor merambat dan mempengaruhi
jaringan-jaringan darah pada tubuh si korban.
Pengaruhnya terhadap darah sama dengan
pengaruh yang ditimbulkan oleh kerusakan
pada hati penderita sakit kuning.
"Cerdik sekali, bukan" Kita semua tahu bahwa Nona Arundell telah bertahun-tahun
mengidap penyakit lever, dan bahwa telah beberapa kali
penyakitnya itu kambuh dengan gejala seperti
yang baru saja saya sebutkan. Gejala keracunan
fosfor pada dirinya cuma akan kelihatan seperti kambuhnya penyakit lama itu.
Tidak ada yang baru, dan tidak akan menimbulkan kecurigaan
apa pun. "Perencanaannya memang sangat sempurna!
Mencari fosfor bukan pekerjaan yang terlalu
sulit. Di samping itu, sedikit saja sudah bisa
mematikan. Dalam obat-obatan, biasanya unsur
fosfor tidak melebihi seperseribu sampai
seperlimaratus gram. "Voila. Pandai dan sangat mengagumkan.
Dokter Grainger jelas-jelas tertipu. Itu bisa
dimaafkan karena saya kebetulan tahu, bahwa
indera penciuman dokter tua itu sudah rusak.
Jadi, bau tajam yang dikeluarkan oleh napas
pasiennya - ini merupakan salah satu gejala jelas keracunan fosfor - tidak
mungkin tercium oleh dokter itu. Di samping itu Dokter Grainger
memang tidak menaruh curiga sama sekali. Ini
bisa dimengerti, sebab memang dia tidak
menemukan gejala yang mencurigakan pada diri
pasiennya. Satu-satunya gejala yang terlihat
tidak dilihatnya sendiri. Dan, seandainya ia
mendengar mengenai gejala ini pun, besar
kemungkinan dia akan menganggapnya sebagai
omong kosong penganut aliran spiritual.
"Berdasarkan kesaksian Nona Lawson dan
kedua kakak beradik Tripp tadi, yakinlah saya,
bahwa kematian Nona Arundell bukan kematian
wajar melainkan hasil pembunuhan.
Pertanyaannya ialah: siapa pelakunya" Saya
tidak mencurigai pembantu rumah tangga,


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena saya tahu pemikiran mereka tidak akan
serumit itu. Begitu pula halnya dengan Nona
Lawson. Seandainya Nona Lawson yang
meracuni Nona Arundell, ia tidak akan
mencerite-rakan tentang asap yang keluar dari
mulut Nona Arundell. Charles pun saya buang
dari kemungkinan ini. Charles telah melihat
surat wasiat yang baru dibuat bibinya, dan ia
tahu kematian bibinya tidak akan memberinya
keuntungan apa pun. "Sisanya tinggal Theresa, Dokter Tanios, Nyonya Tanios, dan Dokter Donaldson.
Dokter Donaldson saya masukkan dalam pertimbangan
saya. karena belakangan saya tahu bahwa ia
datang bersantap malam di Puri Hijau pada
malam terjadinya kecelakaan Nona Arundell.
"Sampai di sini, saya merasa tidak banyak lagi kenyataan yang bisa membantu
saya. Karena itu saya mulai menyandarkan pemikiran saya pada
psikologi kejahatannya dan kepribadian
pembunuhnya! Secara kasar kedua kejahatan
yang dilakukan terhadap diri Nona Arundell itu
mempunyai garis besar yang sama: sederhana!
Keduanya hasil pemikiran licik, dan dilaksanakan dengan sangat efisien. Untuk
melaksanakan ini diperlukan sejumlah pengetahuan tertentu,
tetapi tidak banyak. Hal-hal yang berhubungan
dengan keracunan fosfor mudah dipelajari. Di
samping itu, zat kimia itu sendiri tidak terlalu sulit didapat, lebih-lebih di
luar negeri. "Kecurigaan saya mula-mula tertuju kepada dua pria yang mungkin melakukannya.
Mereka sama-sama merupakan dokter yang pandai.
Tidak mustahil kalau satu di antara mereka
berpikir bahwa fosfor merupakan racun yang
paling tepat digunakan dalam kasus ini. Tetapi, kemudian terpikir oleh saya,
bahwa tidak mungkin percobaan pembunuhan yang pertama
itu hasil pemikiran seorang pria. Pada pikiran
saya, kecelakaan yang diduga disebabkan oleh
bola Bob itu pasti hasil pemikiran seorang
wanita. "Kecurigaan saya berpindah, mula-mula kepada Theresa Arundell. Theresa mempunyai
sifat-sifat tertentu yang potensial. Keras, kasar,
kurang berperasaan. Di samping itu,
kehidupannya selama ini tamak dan egois. Ia
selalu mendapat apa yang diingininya, dan pada
saat ini ia sudah mencapai suatu titik di mana ia sangat membutuhkan uang -untuk
dirinya sendiri, dan juga untuk kepentingan kekasihnya.
Lain daripada itu, dari sikapnya dapat diambil
kesimpulan bahwa ia tahu bibinya dibunuh.
"Antara dia dan kakaknya terjadi perselisihan kecil yang sangat menarik
perhatian saya. Saya mendapat kesan bahwa mereka saling
mencurigai. Charles setengah memaksanya
untuk mengatakan, bahwa ia tahu mengenai
surat wasiat baru yang dibuat bibinya.
Mengapa" Jelas kalau Theresa mengetahui
adanya surat wasiat baru itu, ia tidak akan
dicurigai sebagai pembunuh. Sebaliknya,
Theresa tidak percaya akan pernyataan
kakaknya bahwa Nona Arundell menunjukkan
surat wasiat baru itu kepadanya. Theresa
menganggap pernyataan kakaknya itu sebagai
usaha yang janggal untuk membebaskan dirinya
sendiri dari kecurigaan. "Ada satu hal lagi yang cukup penting. Charles menunjukkan keengganan
menggunakan kata 'arsenik'. Belakangan baru saya tahu, bahwa ia
pernah menanyakan kekuatan obat pembasmi
semak-semak pada tukang kebun tua di Puri
Hijau. Apa yang dipikirkan Charles jelas
terlihat." Charles menggeserkan duduknya sedikit.
"Saya memang pernah memikirkan itu,"
ujarnya. "Tapi - yah, saya merasa takut." Poirot mengangguk.
"Tepat, itu memang bukan ciri psikologi Anda.
Kalau Anda melakukan kejahatan, kejahatan itu
pasti sifatnya lemah. Mencuri, memalsu - ya,
yang mudah-mudah semacam itulah! Tapi
membunuh -tidak.' Untuk membunuh,
seseorang perlu pikiran yang bisa dibakar oleh
ide tertentu." Poirot kembali pada posisinya sebagai pemberi
ceramah. "Menurut pendapat saya. Theresa Arundell
punya cukup kekuatan untuk melaksanakan
kejahatan semacam itu. tetapi ada beberapa hal
yang patut dipertiimbangkan. Theresa belum
pernah dikekang - hidupnya selalu bebas dan
egois. Tapi tipe orangnya bukan tipe orangyang
bisa membunuh - kecuali, mungkin dalam
keadaan sangat marah. Walaupun begitu, saya
merasa yakin - Theresa-lah yang mencuri obat
pembasmi semak dari kalengnya."
Tiba-tiba Theresa berkata,
"Saya akan menceriterakannya secara jujur. Itu memang terlintas dalam pikiran
saya. Dan saya memang mengambil sedikit obat pembasmi
semak itu dari sebuah kaleng di kebun Puri
Hijau. Tetapi saya tak sampai hati buat
melakukannya! Saya begitu senang hidup -
bersyukur bahwa saya diberi hidup - dan saya
merasa tidak tega melakukan hal itu kepada
orang lain - mengambil hidup orang lain.... Saya memang jelek dan egois, tapi
ada hal-hal tertentu yang tidak bisa saya lakukan! Saya
tidak tega membunuh orang yang jelas-jelas
masih hidup, masih bernapas!"
Poirot mengangguk. "Yang Anda katakan
memang benar. Mademoiselle. Dan Anda
sebetulnya tidak sejelek yang Anda gambarkan.
Anda cuma muda - dan sembrono."
Kemudian lanjutnya, "Satu-satunya yang tertinggal adalah Nyonya Tanios Begitu bertemu dengannya,
saya sadar bahwa ia ketakutan. Ia tahu bahwa saya
menyadari hal itu, dan dengan cepat
menggunakan kesempatan itu. Ia memberikan
gambaran yang begitu meyakin kan tentang
dirinya sendiri sebagai seorang wanita yang
takut pada suaminya. Tak lama kemudian ia
mengubah taktiknya. Ini dilakukannya dengan
teramat cermat - tapi toh perubahannya tak
lepas dan pengamatan saya. Seorang wanita
bisa merasa takut untuk suaminya, dan bisa
juga takut pada suaminya tapi yang jelas, tidak kedua-duanya sekaligus. Nyonya
Tanios memutuskan untuk berperan sebagai yang
kedua, dan ia memerankannya dengan bagus
sekali - bahkan sampai berlari mengejar saya ke lobby hotel berpura-pura hendak
mengatakan sesuatu. Ketika suaminya keluar mencarinya -
kemungkinan ini sudah diperhitungkannya - ia
berpura-pura tidak dapat berbicara di hadapan
suaminya. "Segera saya menjadi sadar, bahwa ia bukan takut pada suaminya melainkan
membenci suaminya. Dan segera pula saya merasa yakin,
bahwa inilah sifat yang saya cari-cari. ia bukan seorang wanita yang selalu
memanjakan dirinya sendiri, melainkan seorang wanita yang
terkekang. Seorang gadis sederhana, tidak bisa
menarik perhatian lelaki yang diingininya, dan
akhirnya menerima seorang pria yang tidak
dicintainya cuma karena takut menjadi perawan
tua. Saya bisa menelusuri kembali
ketidakpuasan dalam hidupnya yang makin hari
makin dirasakannya. Kehidupan di Smyrna
mengasingkannya dari segala yang dicintainya
dalam hidupnya. Kemudian lahirlah anak-
anaknya, dan ia pun melekatkan hidupnya pada
mereka. "Suaminya sangat setia kepadanya, tetapi ia diam-diam jadi semakin membencinya.
Suaminya pernah menggunakan uangnya untuk
berspekulasi, dan uangnya tidak pernah kembali
- itu merupakan salah satu penyebab perasaan
dendamnya. "Cuma ada satu hal yang menjadi titik terang dalam hidupnya yang merana itu:
harapannya akan kematian bibi Emilynya. Dengan kematian
bibinya ia akan memperoleh uang, kebebasan,
biaya untuk pendidikan anak-anaknya - seperti
yang selama ini menjadi cita-citanya. Ada satu
hal yang patut diingat, baginya pendidikan
merupakan hal yang sangat penting: dia puteri
seorang profesor. "Ada kemungkinan dia sudah merencanakan
kejahatan yang akan dilakukannya, paling tidak
sudah punya bayangan - sebelum ia datang di
Inggris. Dia mempunyai pengetahuan yang
cukup dalam bidang kimia, karena dulunya ia
banyak menghabiskan waktunya membantu
ayahnya di laboratorium. Ia tahu penyakit yang
diderita Nona Arundell, dan sadar bahwa fosfor
merupakan zat paling ideal untuk
merealisasikan rencananya.
"Tapi, ketika sampai di Puri Hijau, cara yang lebih sederhana terpikir olehnya.
Bola Bob - seutas tali atau benang direntang di tangga. Ini adalah ide sederhana yang bisa
terpikir oleh seorang perempuan yang bodoh sekalipun.
"Dia mencoba - tapi gagal Saya pikir, ia tidak sadar bahwa Nona Arundell
sesungguhnya tahu penyebab kecelakaannya. Bagaimanapun,
kecurigaan Nona Arundell tertuju pada Charles
seorang. Dan karenanya, saya pikir, sikap Nona
Arundell terhadap Bella tidak berubah. Diam-
diam, dan dengan tekad yang bulat, perempuan
pendiam yang tidak bahagia dan ambisius itu
melaksanakan apa yang semula telah
direncanakannya.-Ia menemukan media yang
cocok sekali untuk racunnya, yaitu sejenis
kapsul yang selalu diminum oleh Nona Arundell
selelah makan. Membuka kapsul, memasukkan
fosfor ke dalamnya, dan menutup kapsul itu
kembali -merupakan permainan anak kecil.
Kapsul tadi dikembalikannya ke dalam botolnya.
Cepat atau lambat Nona Arundell pasti akan
meminumnya. Orang tidak mungkin mengira
Nona Arundell keracunan. Seandainya toh
terbukti bahwa Nona Arundell keracunan, ia
sendiri sudah tidak ada di dekat-dekat Market
Basing. "Meskipun begitu, ia masih mengambil langkah bual berjaga-jaga Dengan memalsu
tanda tangan suaminya pada lembaran resep, ia
membeli hidrat chloral di apotek. Maksudnya
tidak saya ragukan lagi - untuk disimpan dan
digunakan bila suatu ketidakberesan terjadi.
"Seperti telah saya katakan tadi, saya yakin sejak saat pertama bertemu
dengannya, bahwa Nyonya Tanios adalah orang yang saya cari-cari -
tapi saya sama sekali tidak mempunyai - bukti.
Karena itu, saya harus berhati-hati sekali. Saya kualir Nyonya Tanios akan
memakan korban lagi bila tahu bahwa saya mencurigainya. Lebih
lanjut, saya sudah bisa membayangkan siapa
korban berikut yang diincarnya. Ia ingin
membebaskan hidupnya dari suaminya.
"Pembunuhan yang telah dilakukannya ternyata tidak membawa hasil yang
diharapkannya, uang yang diidam-idamkannya semuanya jatuh ke
tangan Nona Lawson! Itu merupakan pukulan
buatnya, tetapi ia tidak habis akal. ia mulai
mempengaruhi perasaan Nona Lawson dengan
cara yang begitu pandai supaya Nona Lawson
semakin merasa tidak enak."
Tiba-tiba terdengar tangis terisak-isak. Nona
Lawson mengeluarkan saputangannya dan
menangis tersedu-sedu. Jahat," isaknya. "Saya jahat! Sangat jahat. Oh, saya pernah merasa begitu
kepingin tahu mengenai surat wasiat itu - maksud saya,
mengapa Nona Arundell menulis surat wasiat
baru. Pada suatu hari, ketika Nona Arundell
sedang mengaso, saya mencoba-coba membuka
laci meja tulisnya. Pada waktu itu saya tahu
bahwa ia mewariskan semua kekayaannya
kepada saya! Saya tidak pernah membayangkan
akan menerima warisan sebegitu banyak.
Beberapa ribu saja - itu yang saya bayangkan.
Saya jadi berpikir - mengapa tidak" Toh
keluarganya tidak ada yang sayang kepadanya!
Tetapi kemudian, pada waktu ia sakit keras, ia
menanyakan surat wasiatnya. Saya tahu - dia
bermaksud menyobek surat wasiat itu.... Di situ kejahatan saya timbul. Saya
katakan kepadanya, bahwa surat itu sudah dikembalikan kepada


Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengacaranya, Tuan Purvis. Saya tahu dia
orangnya Sangat pelupa. Dia tidak ingat lagi
apa-apa yang pernah dilakukannya. Dan, dia
percaya pada kata-kata saya. Dia menyuruh
saya menulis kepada Tuan Purvis, meminta
kembali surat wasiat itu, dan saya bilang ya.
"Oh, Tuhan... tapi dia semakin gawat sakitnya, dan tidak bisa berpikir lagi.
Lalu dia meninggal. Dan. ketika surat wasiat itu dibacakan, saya
merasa bersalah. Tiga ratus tujuh puluh lima
ribu pound. Oh. kalau tahu jumlahnya sebanyak
itu, saya tidak akan berbuat jahat. Saya pikir
uang yang diwariskan Nona Arundell itu cuma
beberapa ribu saja. Sungguh -kalau tahu
sebanyak itu, saya tidak akan membohongi
Nona Arundell. "Saya merasa saya telah merampas uang
sebanyak itu, dan saya tidak tahu apa yang
mesti saya lakukan dengan uang sebanyak itu.
Waktu Bella dalang ke tempat saya, saya
katakan kepadanya, bahwa dia akan saya beri
separuh dari uang yang saya terima itu. Pada
waktu itu saya merasa yakin, bahwa dengan
begitu saya bisa merasa gembira lagi dan bebas
dari perasaan bersalah."
"Betul, bukan" Nyonya Tanios berhasil
mencapai sasarannya," sambung Poirot. "Itu sebabnya ia menentang keinginan
sepupu-sepupunya untuk memperkarakan surat wasiat
itu. Dia sudah punya rencana sendiri, dan yang
jelas-jelas tak mau dilakukannya adalah
menyerang Nona lawson. ia berpura-pura
bahwa ia perlu merundingkannya dulu dengan
suaminya, tapi sama sekali tidak
menyembunyikan pendapatnya pribadi.
"Pada waktu itu ada dua hal yang menjadi
tujuannya: memisahkan diri bersama kedua
anaknya dari suaminya, dan menerima bagian
uang yang dijanjikan oleh Nona lawson. Setelah
itu ia akan menjadi seperti yang dicita-
citakannya-hidup kaya dan tenang di Inggris
bersama anak-anaknya. "Lama-kelamaan ia tidak bisa menyembunyikan rasa bencinya terhadap suaminya.
Tentu saja suaminya merasa sangat bingung dan sedih. Ia
tidak bisa mengerti mengapa isterinya jadi
bertingkah laku begitu. Padahal sebenarnya
tingkah lakunya itu logis. Dia sengaja bertingkah laku seperti orang yang
menderita semacam kelainan jiwa - orang yang selalu dibayangi oleh perasaan takut. Ia sadar, bahwa
saya mencurigai kematian Nona Arundell bukan
kematian wajar melainkan suatu pembunuhan.
Dan ia berusaha meyakinkan diri saya, bahwa
suaminyalah yang melakukan pembunuhan itu.
Sementara itu saya sadar, bahwa setiap saat
bisa terjadi pembunuhan yang kedua. Saya
yakin itu sudah direncanakannya. Saya tahu
bahwa ia menyimpan chloral dengan dosis
berlebih. Saya kuatir ia akan memproklamirkan
bahwa suaminya bunuh diri.
"Tapi, saya lelap belum punya bukti untuk
mempermasalahkannya! Ketika saya sudah
hampir putus asa, saya menemukan sesuatu!
Nona Lawson menceriterakan bahwa dia
melihat Theresa Arundell berlutut di tangga
pada hari Senin malam setelah Paskah.
Berdasarkan pengamatan saya, tidak mungkin
Nona Lawson bisa melihat wajah Theresa
dengan jelas. Meskipun begitu, Nona Lawson
sangat pasti bahwa yang dilihatnya itu Theresa.
Dalam keadaan terpojok oleh pertanyaan-
pertanyaan saya, Nona Lawson teringat akan
sesuatu yang membuatnya merasa pasti bahwa
yang dilihatnya itu Theresa. Perempuan yang
dilihatnya dari cerminnya mengenakan bros
dengan inisial Theresa - T.A.
"Atas permintaan saya, Theresa menunjukkan bros termaksud kepada saya. Pada
waktu itu Theresa menyangkal bahwa ia pernah
melakukan sesuatu di tangga. Mula-mula, saya
mengira ada orang lain yang meminjam bros itu,
tetapi - ketika saya melihat bros itu di depan
cermin saya segera tahu kebenarannya. Nona
Lawson yang terbangun dengan kaget melihat
seorang wanita mengenakan bros dengan inisial
T.A. dari cermin di kamarnya. Dari situ dia
menyimpulkan bahwa yang dilihatnya itu adalah
Theresa Arundell. "Tetapi, bila yang dilihat Nona Lawson dicerminnya itu inisial T.A. - maka
inisial tersebut sesungguhnya adalah kebalikannya, yakni A.T.
Cermin selalu merefleksikan kebalikan dari yang sesungguhnya - yang kanan jadi
nampak di sebelah kiri, dan yang kiri jadi nampak di
sebelah kanan. "Tentu saja ibu Nyonya Tanios bernama
Arabella Arundell. Bella merupakan kependekan
dari nama itu. Jadi, A.T. sebenarnya merupakan
inisial Arabella Tanios. Bahwa Nyonya Tanios
memiliki bros semacam itu, bukanlah
merupakan hal yang aneh. Bros semacam itu
masih merupakan barang eksklusif sekitar hari
Natal tahun lalu. Tapi, menjelang musim semi
tahun ini imitasinya mulai dijual dengan harga
murah. Di samping itu, saya pernah mendengar,
Nyonya Tanios suka meniru model pakaian dan
topi yang dikenakan Theresa dengan biaya yang
tentu saja terbatas. "Berdasarkan penemuan itu, secara pribadi saya berpendapat bahwa kasusnya telah
terbukti. "Lalu, apa yang selanjutnya mesti saya lakukan"
Meminta yang berwenang supaya
mengeluarkan surat perintah buat membongkar
kubur Nona Arundell" Saya yakin itu bisa saya
lakukan. Mungkin saya akan bisa membuktikan
bahwa Nona Arundell memang meninggal
karena diracuni dengan fosfor. Tapi saya kurang yakin bahwa hal itu bisa
dibuktikan. Bagaimanapun, sudah lebih dari dua bulan
Nona Arundell dimakamkan. Di samping itu,
saya dengar dalam beberapa kasus keracunan
fosfor tidak nampak adanya bekas-bekas
tertentu pada jenazah korbannya. Tapi, bisakah
saya membuktikan bahwa Nyonya Tanios
menyimpan atau memiliki fosfor" Saya ragu,
karena besar kemungkinan fosfor itu dibelinya
di luar negeri. "Pada saat saya bingung memikirkan bagaimana mendapatkan bukti yang saya
perlukan. Nyonya Tanios mulai bertindak. Ia meninggalkan
suaminya, dan menjatuhkan dirinya pada
rangkulan belas kasihan Nona Lawson. Ia
sekaligus menuduh suaminya sebagai
pembunuh. "Kalau saya tidak bertindak, saya yakin Dokter Tanios akan menjadi korban
pembunuhan berikutnya. Saya berusaha memisahkan mereka
satu sama lain dengan alasan demi keselamatan
Nyonya Tanios. Nyonya Tanios tidak bisa
menolak anjuran saya itu. Padahal maksud saya
yang sebenarnya adalah demi keselamatan
suaminya. Dan kemudian -dan kemudian..."
Poirot berhenti - kali ini cukup lama. Wajahnya nampak sedikit pucat.
"Tapi itu cuma buat sementara. Saya harus
berbuat sesuatu agar si pembunuh tidak
membunuh orang lain lagi. Saya harus
melindungi orang yang tidak bersalah.
"Maka saya pun menuliskan rekonstruksi
kasusnya dan menyerahkan tulisan saya itu
kepada Nyonya Tanios."
Lama Poirot tidak menyambung bicaranya.
Dokter Tanios menjerit, "Ya, Tuhan... jadi itu sebabnya dia bunuh diri."
Lembut Poirot berkata, "Bukankah itu jalan yang paling baik" Nyonya Tanios menganggapnya begitu. Masih
ada anak-anak yang perlu dipikirkan."
Dokter Tanios menutup wajahnya dengan kedua
belah telapak tangannya. Poirot mendekatinya dan memegangi bahu pria
itu. "Memang begitu seharusnya Percayalah, itu
memang harus terjadi. Kalau tidak, akan
bertambah jumlah korbannya. Mula-mula Anda
sendiri, lalu -sangat mungkin Nona Lawson juga.
Dan belum tentu ini tidak akan herlanjut lagi."
Dengan suara serak Tanios berkata,
"Pernah dia menvuruh saya - minum obat
tidur... Tapi, saya lihat ada sesuatu pada
wajahnya - saya buang obat itu. Itulah mula-
mulanya saya merasa yakin bahwa pikirannya
tidak..." "Bila dipikir-pikir, ada benarnya juga dugaan Anda itu. Tapi bukan dalam arti
kala yang sebenarnya. sebab - sesungguhnya dia tahu apa
arti tindakannya...."
Amat sedih kedengarannya suara Dokter Tanios
waktu ia mengatakan. "Padahal... dia baik sekali - selalu terasa terlalu baik buatku."
Kenangan yang aneh akan seseorang yang
mengaku dirinya pembunuh!
BAB 30 PENUTUP Hampir tidak ada lagi yang mesti kuceriterakan.
Theresa kawin dengan dokter pujaan hatinya
tidak lama setelah peristiwa itu. Mereka
kukenal dengan baik sekarang ini, dan aku mulai menghargai Donaldson - jalan
pikirannya yang jernih, serta kekuatan dan kemanusiaannya
Memang sikapnya masih kaku seperti dulu,
Theresa sering menirukan sikap kakunya itu
waktu bergurau. Kelihaiannya Theresa sangat
berbahagia, perhatiannya tercurah pada karir
suaminya. Donaldson memang sudah mulai
punya nama dan kedudukan yang terpandang di
kalangannya. Nona Lawson, karena merasa begitu bersalah,
bersikeras mengembalikan setiap sen yang
pernah diterimanya. Tapi akhirnya, dengan
bantuan Tuan Purvis, dibuatlah suatu surat
persetujuan bersama -warisan Nona Arundell
dibagi sama rata untuk Nona Lawson, Theresa.
Charles, dan kedua anak Tanios.
Bagian Charles sudah habis dalam waktu
setahun lebih sedikit. Pemuda itu saat ini. kalau tidak salah, berada di British
Columbia. Ada dua insiden yang patut kucatat.
"Anda memang pandai, bukan?" tanya Nona Peabody ketika kami melangkah ke luar
dan halaman Puri Hijau pada suatu hari. "Bisa
menghentikan segala desas-desus! Tidak jadi
digali kubur Emily, bukan" Semuanya kalian
lakukan dengan sopan."
"Tidak diragukan lagi kematian Nona Arundell memang disebabkan oleh penyakit
kuning karena levernya kambuh," komentar Poirot
halus. "Kedengarannya memuaskan," ujar Nona
Peabody pula. "Oh, ya - dengar-dengar Bella Tanios minum obat tidur kelewat
banyak?" "Ya. Sangat menyedihkan."
"Yah - hidupnya sangat menyedihkan - anak itu -
selalu ingin yang tidak dipunyainya. Orang
sering kali jadi gila kalau menuruti perasaan
seperti itu. Pernah ada pembantu, tukang
masak. Begitu juga. Anaknya sederhana. Sadar
akan kenyataan itu. Ingin terkenal. Mulai
menulis surat kaleng. Masuk rumah sakit gila
akhirnya. Tapi, yah - mungkin itu yang terbaik."
"Orang memang selalu mengharapkan yang
paling baik, Madame."
"Yah," kata Nona Peabody sambil bersiap-siap hendak meneruskan perjalanannya,
"Kuakui, Anda benar-benar pandai. Bisa menghentikan
desas-desus dengan cara yang begitu bagus,"
Ia pergi. Kudengar bunyi 'Guk' di belakangku.
Aku berbalik, membukakan pintu.
"Ayo, Bob!" Bob menerobos ke luar. "Jangan bawa bob itu ke jalan!"
Bob mengeluh, tapi dengan enggan segera
mendorong bolanya ke dalam pagar. Dipandang
bolanya yang menggelinding, setelah itu ia pun
kembali ke dekatku. Ia memandangku. "Kuturuti perintahmu, Tuan." Kutarik napas panjang.
"Oh, Poirot - senang sekali rasanya punya anjing lagi."
"Ingat, Kawan," ujar Poirot, "Nona Lawson menghadiahkan anjing itu kepadaku,
bukan kepadamu."

Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu." sahutku. "Tapi kau toh kurang suka anjing, Poirot. Kau tidak
mengerti jiwa seekor anjing! Bob dan aku saling mengerti satu sama
lain. Betul kan, Bob?"
"Guk," sahut Bob penuh semangat.
-End- Lentera Maut 4 Pendekar Rajawali Sakti 72 Korban Ratu Pelangi Pendekar Sakti Im Yang 4
^