Pencarian

Misteri Di Styles 1

Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie Bagian 1


THE MYSTERIOUS AFFAIR AT STYLES
By Agatha Christie MISTERI DI STYLES Alihbahasa: Mareta Penerbit: PT Gramedia Juni 1987 Bab 1 SAYA PERGI KE STYLES PERHATIAN masyarakat pada sebuah kasus yang dikenal sebagai Kasus Styles
sekarang telah agak berkurang. Namun demikian, Poirot dan keluarga itu sendiri
mendorong saya untuk menuliskan apa yang sebenarnya terjadi dengan harapan agar
isu-isu yang sensasional segera reda.
Saya akan memulainya dengan menceritakan situasi yang melibatkan saya dengan
kejadian tersebut. Waktu itu saya dikirim pulang dari medan perang sebagai seorang invalid. Setelah
mendekam beberapa bulan di rumah sakit, saya mendapat cuti sakit sebulan. Saya
belum tahu apa yang akan saya lakukan selama cuti itu, karena saya tidak punya
keluarga dan sanak saudara yang dekat. Pada saat itulah saya bertemu dengan John
Cavendish. Sudah lama kami tidak bertemu, terutama dalam tahun-tahun terakhir
ini. Dan sesungguhnya, kami memang tidak terlalu akrab. Dia lima belas tahun
lebih tua dari saya, walaupun wajahnya tidak menunjukkan usia yang sebenarnya -
yaitu empat puluh lima. Waktu masih kecil, saya sering bermain ke Styles, rumah
ibunya di Essex. Kami bernostalgia dan membicarakan masa yang telah silam. Dan percakapan kami
berakhir dengan undangannya agar saya melewatkan cuti saya di Styles.
"Ibu akan senang bertemu denganmu lagi - " tambahnya.
"Ibumu sehat-sehat saja?" tanya saya.
"Oh, ya. Kau sudah tahu kan bahwa dia menikah lagi?"
Saya kira wajah saya terlalu menunjukkan rasa heran. Nyonya Cavendish, yang
menikah dengan ayah John, duda beranak dua itu, adalah seorang wanita setengah
baya yang cantik. Pasti umurnya sudah tujuh-puluhan sekarang. Saya masih
mengingatnya sebagai seorang wanita yang enerjik dan otokratik, senang
berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan sosial dan mengadakan bazar. Dia sangat
dermawan, dan kebetulan memang orang yang berkecukupan.
Rumah pedesaan mereka, Styles Court, dibeli oleh Tuan Cavendish pada awal
perkawinan mereka. Nyonya Cavendish memang lebih dominan dalam keluarga itu
sehingga ketika suaminya meninggal, dialah yang mewarisi rumah dan sebagian
besar penghasilannya; suatu pembagian warisan yang kurang adil bagi kedua anak
lelaki itu. Namun demikian, ibu tiri mereka adalah wanita yang murah hati dan
keduanya telah menganggapnya sebagai ibu mereka sendiri.
Lawrence, anak yang lebih muda, tidak terlalu sehat pada masa remajanya.
Berhasil meraih gelar dokter, tapi tidak terlalu menyukai profesinya dan
melepasnya begitu saja. Dia tetap tinggal di rumah sambil mengejar ambisinya
yang lain di bidang sastra, walaupun hasilnya tidak kelihatan.
John pernah berpraktek sebagai pengacara, tetapi kemudian puas dengan kehidupan
tenang sebagai petani di desa. Dia menikah dua tahun yang lalu dan membawa
istrinya ke Styles, meskipun tentu saja akan lebih enak baginya bila bisa
memiliki sebuah rumah sendiri - seandainya ibu tirinya mau memberi tambahan uang
saku untuknya. Nyonya Cavendish adalah orang yang senang membuat rencana sendiri
dan menginginkan agar orang lain mau mengikutinya. Dalam hal ini dia memang
punya senjata yang ampuh, yaitu dompetnya.
John melihat keheranan saya ketika mendengar bahwa ibu tirinya menikah lagi. Dia
hanya tersenyum kecut. "Dengan seorang parasit lagi!" katanya sebal. "Membuat kita semua serba sulit.
Sedangkan Evie - kau ingat Evie?"
"Tidak." "Barangkali dia datang setelah kau lama tidak ke rumah. Dia adalah pembantu Ibu,
teman Ibu ke mana-mana! Menyenangkan memang si Evie itu walaupun tidak cantik
dan muda lagi." "Kau tadi akan mengatakan - ?"
"Oh, si parasit itu! Tiba-tiba saja muncul mengaku sebagai saudara sepupu Evie,
walaupun Evie sendiri tidak begitu senang dengan hubungan itu. Dia adalah orang
luar. Berjenggot hitam lebat dan memakai sepatu bot kulit berwarna hitam, dalam
cuaca apa pun. Tapi Ibu sangat senang, begitu melihatnya langsung diangkat jadi
sekretarisnya - kau kan tahu bahwa Ibu selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan
sosialnya?" Saya mengangguk. "Dengan perang ini, kegiatan itu semakin menjadi-jadi. Dan si parasit memang
sangat membantu Ibu. Tapi kami benar-benar terkejut ketika 3 bulan yang lalu Ibu
mengumumkan bahwa dia dan Alfred bertunangan! Setidak-tidaknya Alfred 20 tahun
lebih muda darinya! Benar-benar tak tahu malu. Tapi yah - Ibu bebas menentukan
keinginannya, dan akhirnya dia menikah."
"Pasti bagi kalian semua keadaannya jadi sulit."
"Sulit" Menyebalkan!"
Begitulah dan tiga hari kemudian saya turun dari kereta api di Stasiun Styles
St. Mary. Sebuah stasiun kecil yang kelihatan aneh karena terletak di kehijauan
padang rumput di tengah persimpangan jalan-jalan desa. John Cavendish menunggu
saya di stasiun dengan mobilnya.
"Masih ada setetes dua tetes bensin," katanya. "Akibat kegiatan Ibu."
Desa Styles St. Mary terletak dua mil dari stasiun, dan Styles Court terletak
satu mil dari stasiun di arah yang berlawanan dengan desa itu. Udara bulan Juli
terasa panas. Kalau melihat dataran Essex yang terbentang hijau dan tenang di
bawah sinar matahari sore, sulit membayangkan bahwa tak jauh darinya pernah
terjadi pertempuran dahsyat. Saya merasa diseret ke suatu dunia lain. Ketika
berbelok masuk ke gerbang, John berkata,
"Kau mungkin akan kesepian di sini, Hastings."
"Justru itulah yang aku inginkan."
"Oh, memang menyenangkan kalau kita ingin bersantai. Aku latihan dengan
sukarelawan-sukarelawan dua kali seminggu, dan sisanya bekerja di ladang.
Istriku juga bekerja 'di ladang'. Dia bangun jam lima pagi, memerah susu dan
mengurus sapi-sapi sampai tiba waktu makan siang. Sebenarnya kami senang dengan
kehidupan seperti ini seandainya si parasit Alfred Inglethorp tidak muncul!"
Tiba-tiba dia menghentikan mobil dan melihat jam. "Barangkali kita bisa
menjemput Cynthia dulu. Ah, tidak perlu, pasti dia sudah berangkat dari rumah
sakit." "Cynthia! Bukan istrimu?"
"Bukan. Cynthia adalah anak asuh Ibu, anak teman sekolahnya yang menikah dengan
seorang pengacara brengsek. Dia bangkrut dan gadis itu menjadi yatim-piatu tanpa
uang sepeser pun. Ibu menolongnya dan dia tinggal bersama kami sejak dua tahun
yang lalu. Dia bekerja di Rumah Sakit Red Cross di Tadminster, tujuh mil dari
sini." Kami sampai di depan sebuah rumah kuno yang bagus. Seorang wanita bergaun wol
kedodoran yang sedang membungkuk di atas sepetak bunga menegakkan tubuhnya
ketika mendengar kedatangan kami.
"Halo, Evie. Ini dia pahlawan kita yang terluka! Tuan Hastings - ini Nona Howard."
Nona Howard menyalami saya dengan genggaman kuat yang hampir menyakitkan.
Matanya yang sangat biru menghiasi wajah yang banyak tersengat matahari. Dia
adalah seorang wanita berumur empat puluhan, kelihatan menyenangkan, bertubuh
besar dan bersuara berat. Kakinya yang juga besar, terbungkus sepatu bot tebal.
Cara bicaranya singkat-singkat, seperti orang mengirim telegram.
"Ilalang ini tumbuh cepat. Seperti api. Bisa-bisa menutup rumah. Harus dibabat.
Sebaiknya hati-hati."
"Saya akan senang bila bisa membantu," kata saya menanggapi.
"Jangan berkata begitu. Sulit memenuhinya. Nanti menyesal."
"Kau sinis, Evie," kata John sambil tertawa. "Kita minum teh di mana - di luar
atau di dalam?" "Di luar. Udara terlalu indah, sayang kalau kita mendekam di dalam rumah."
"Ayolah kalau begitu. Sudah cukup lama kau kerja di kebun hari ini. Kita minum
teh dulu." "Baiklah," kata Nona Howard sambil melepaskan sarung tangannya. "Aku setuju."
Dia berjalan di depan kami, mengitari samping rumah dan menuju tempat teh
dihidangkan di bawah pohon sycamore.
Seseorang berdiri dari sebuah kursi rotan, menyambut kami.
"Istriku, Hastings," kata John.
Saya tak akan melupakan pertemuan saya dengan Mary Cavendish. Tubuhnya yang
langsing berdiri tegak dalam cahaya matahari sore di belakangnya; matanya yang
indah bercahaya berwarna coklat - mata yang mempesona, lain dengan mata wanita-
wanita yang pernah kukenal; kekuatan yang tersimpan dalam ketenangan sikapnya
dan semangat yang liar menyala-nyala terbungkus dalam keanggunan penampilannya -
semua ini terpateri dalam ingatanku. Saya takkan dapat melupakannya.
Dia menyapa saya dengan ramah dan menyenangkan. Suaranya rendah dan jernih. Saya
menjatuhkan diri di kursi rotan dan merasa senang telah menerima undangan John.
Nyonya Cavendish memberikan secangkir teh sambil mengucapkan beberapa kalimat
yang menyenangkan dan membuat saya semakin terkesan. Seorang pendengar yang
simpatik membuat kita bersemangat untuk berbicara lebih banyak. Dan dengan
bergurau saya pun menceritakan beberapa insiden yang terjadi di rumah sakit,
yang kelihatannya menyenangkan nyonya rumah. Walaupun John seorang yang baik,
tapi dia bukanlah seorang teman bicara yang mengasyikkan.
Pada saat itu sebuah suara yang saya kenal terdengar dari jendela besar yang
terbuka lebar. "Kalau begitu kau akan menulis pada Tuan Putri setelah minum teh, Alfred" Aku
akan menulis pada Lady Tadminster untuk hari kedua. Atau kita tunggu dulu
jawaban Tuan Putri" Seandainya ditolak, Lady Tadminster bisa membukanya pada
hari pertama dan Nyonya Crosbie hari kedua. Lalu Duchess - untuk pesta sekolah
itu." Kemudian terdengar gumam seorang lelaki. Lalu terdengar suara Nyonya Inglethorp
yang nyaring. "Ya, baik. Setelah minum teh saja. Kau memang penuh perhatian, Alfred sayang."
Pintu lebar itu terbuka sedikit dan seorang wanita berambut putih dan masih
kelihatan cantik keluar. Seorang laki-laki yang memberikan kesan penurut
mengikuti di belakangnya.
Nyonya Inglethorp menyapa saya dengan sangat ramah.
"Ah, senang sekali bertemu dengan Anda lagi, Tuan Hastings. Sudah bertahun-tahun
rasanya kita tidak berjumpa. Alfred sayang, kenalkan, ini Tuan Hastings - suami
saya." Saya memandang 'Alfred sayang' dengan rasa ingin tahu. Dia memang kelihatan agak
aneh. Saya tidak heran kalau John benci pada jenggotnya. Jenggot itu sangat
panjang dan sangat hitam. Dia memakai kaca mata bulat berbingkai emas. Wajahnya
kelihatan kosong tanpa perasaan, dan memberikan kesan bahwa dia akan lebih hidup
di atas panggung daripada dalam kehidupan yang sebenarnya. Suaranya agak berat
dan kedengaran dibuat-buat. Dia mengulurkan tangan dengan kaku sambil berkata,
"Senang berjumpa dengan Anda, Tuan Hastings." Kemudian berpaling pada istrinya
dan berkata, "Emily sayang, aku rasa bantal itu agak lembab."
Wanita itu kelihatan semakin cerah ketika suaminya mendemonstrasikan
perhatiannya dengan mengganti bantal itu dengan sebuah bantal yang lain. Pesona
aneh macam apa yang telah memikat wanita yang sebenarnya cerdas ini!
Dengan kehadiran Nyonya Inglethorp, saya merasakan suatu ketegangan yang
terselubung sopan-santun menyelimuti kami. Terutama di pihak Nona Howard. Dia
sama sekali tidak berusaha menyembunyikan perasaannya. Tetapi Nyonya Inglethorp
seolah-olah tidak merasakan apa-apa. Bicaranya yang ramah tetap tidak berubah
dan ceritanya berkisar pada penyelenggaraan bazar yang akan datang, yang sedang
ditanganinya. Kadang-kadang dia menanyakan tanggal atau hari pada suaminya.
Sikap suaminya yang penuh perhatian pun tidak berubah. Dari pertama kali saya
memperoleh kesan yang kurang menyenangkan atas diri laki-laki itu dan biasanya
penilaian saya banyak benarnya.
Nyonya Inglethorp memberikan beberapa instruksi tentang surat-surat pada Evelyn
Howard, sedangkan suaminya dengan susah-payah mengajak saya bicara, "Apa profesi
Anda memang seorang militer, Tuan Hastings?"
"Tidak. Sebelum perang saya bekerja di Lloyds."
"Dan setelah perang selesai nanti, Anda akan kembali ke sana?"
"Barangkali. Atau memulai sesuatu yang baru."
Mary Cavendish membungkukkan badannya.
"Profesi apa yang Anda inginkan seandainya Anda bisa memilih?"
"Wah, tergantung."
"Tak ada hobi rahasia?" tanyanya. "Barangkali Anda menyukai sesuatu" Biasanya
setiap orang punya kegemaran tertentu - yang aneh-aneh."
"Anda pasti akan menertawakan saya."
Dia tersenyum. "Barangkali." "Sebenarnya saya ingin menjadi seorang detektif!"
"Scotland Yard" Atau Sherlock Holmes?"
"Oh, tentu saja Sherlock Holmes. Tapi saya benar-benar tertarik. Saya pernah
bertemu dengan seorang detektif terkenal di Belgia. Dia membakar semangat saya.
Dia adalah seorang laki-laki kecil yang luar biasa. Dia selalu berkata bahwa
pekerjaan detektif yang baik sebenarnya hanya soal metode. Sistem yang saya
lakukan berdasarkan sistem dia - walaupun tentu saja saya mengalami banyak
kemajuan. Dia adalah seorang laki-laki yang lucu. Cara berpakaiannya agak luar
biasa, tapi otaknya bukan main."
"Saya suka cerita detektif," kata Nona Howard. "Tapi banyak juga yang asal
ditulis saja. Pelakunya ditemukan dalam bab terakhir. Pembaca dibuat merasa
tolol. Padahal kalau benar-benar terjadi suatu tindak kriminal - kita bisa
merasakannya." "Tapi banyak juga kejahatan yang tak terbongkar," bantah saya.
"Maksud saya bukan polisi, tetapi orang-orang yang terlibat. Keluarganya. Tidak
bisa ditipu begitu saja. Pasti ketahuan."
"Kalau begitu," sahut saya bersemangat, "seandainya Anda berhadapan langsung
dengan suatu tindak kejahatan, misalnya suatu pembunuhan, Anda akan tahu siapa
pembunuhnya?" "Tentu saja. Mungkin saya tidak bisa membuktikannya di depan pengadilan. Tapi
saya yakin bahwa saya akan tahu. Pasti terasa di ujung jari saya kalau laki-laki
itu mendekati saya."
"Mungkin juga dia seorang wanita," kata saya.
"Mungkin. Tapi pembunuhan adalah suatu tindak kriminal yang keras. Lebih wajar
dihubungkan dengan seorang laki-laki."
"Tidak dalam hal peracunan," kata Mary Cavendish dengan suara yang nyaring dan
mengagetkan saya. "Kemarin Dokter Bauerstein mengatakan, karena banyaknya
dokter-dokter yang tidak kenal dengan racun yang aneh-aneh, maka banyak pula
kasus-kasus peracunan yang tidak dicurigai."
"Ah, Mary, pembicaraan yang kurang menyenangkan!" seru Nyonya Inglethorp. "Aku
merasa seolah-olah ada seekor angsa berjalan di atas kuburku. Oh, itu Cynthia
datang!" Seorang gadis muda dalam pakaian seragam berlari-lari melintasi kebun.
"Kau terlambat hari ini, Cynthia. Kenalkan, ini Tuan Hastings - Nona Murdock."
Cynthia Murdock adalah seorang gadis muda yang segar dan penuh semangat. Dia
membuka topi seragamnya dan saya kagum melihat rambut pirangnya yang lebat
berombak, serta tangan mungil yang putih terulur mengambil teh. Seandainya mata
dan bulu matanya berwarna gelap, pasti dia akan kelihatan cantik.
Dia menjatuhkan diri di rumput di samping John, dan tersenyum pada saya ketika
saya menawarkan sepiring sandwich.
"Duduklah di sini, di rumput. Enak dan menyenangkan."
Saya hanya menurut. "Anda bekerja di Tadminster, bukan, Nona Murdock?"
Dia mengangguk. "Karena saya telah berdosa."
"Mereka menghukum Anda, kalau begitu?" tanya saya tersenyum geli.
"Mana berani!" kata Cynthia sombong.
"Saya punya saudara sepupu. Dia perawat," kata saya. "Dan dia takut setengah
mati pada 'suster'."
"Tidak heran. Suster-suster itu memang menakutkan, Tuan Hastings. Mereka benar-
benar membuat orang ketakutan! Tapi saya bukan perawat. Saya bekerja di bagian
obat-obatan." "Berapa orang yang sudah Anda racuni?" tanya saya tersenyum.
Cynthia ikut tersenyum. "Oh, beratus-ratus!" jawabnya.
"Cynthia," kata Nyonya Inglethorp. "Kau bisa membantu menulis beberapa catatan
untukku?" "Tentu, Bibi Emily."
Dia meloncat dengan cepat. Sikapnya menunjukkan bahwa kedudukannya sangat
tergantung pada Nyonya Inglethorp. Dan walaupun Nyonya Inglethorp seorang yang


Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik hati, dia tidak ingin Cynthia melupakan hal itu.
Nyonya rumah berkata pada saya.
"John akan menunjukkan kamar Anda. Makan malam akan dimulai jam tujuh tiga puluh
nanti. Kami tidak lagi makan terlalu malam sekarang. Lady Tadminster, salah
seorang istri anggota kami - putri almarhum Lord Abbotsbury - juga melakukan hal
yang sama. Dia setuju dengan pendapat saya bahwa kami harus memberikan contoh
bagaimana bersikap ekonomis. Kita sedang hidup di zaman perang sekarang; dan
tidak seharusnya membuang-buang yang masih bisa disimpan. Bahkan selembar kertas
bekas pun kami simpan."
Saya memberikan penghargaan atas sikap tersebut, dan John membawa saya masuk ke
dalam rumah, menaiki tangga lebar yang bercabang ke kiri dan ke kanan. Kamar
saya ada di sayap kiri, menghadap taman.
John meninggalkan saya dan beberapa menit kemudian dari jendela saya melihatnya
sedang berjalan-jalan berpegangan tangan dengan Cynthia Murdock di halaman
berumput. Saya mendengar suara Nyonya Inglethorp memanggil 'Cynthia' dengan
tidak sabar, dan gadis itu berlari kembali masuk rumah. Pada saat yang sama,
saya melihat seorang laki-laki keluar dari bayang-bayang pohon dan berjalan ke
arah yang sama. Usianya sekitar empat puluhan. Wajahnya tercukur bersih tetapi
kelihatan melankolis dan menyimpan emosi yang terpendam. Dia memandang ke arah
jendela kamar saya dan saya bisa mengenali wajahnya, walaupun telah berubah
banyak dalam waktu lima belas tahun sejak saya terakhir kali melihatnya. Dia
adalah Lawrence Cavendish, adik John. Saya tak tahu apa yang tersembunyi di
balik wajah yang menyimpan emosi itu.
Akhirnya saya mengalihkan pikiran ke diri saya sendiri.
Sisa hari itu terlewatkan dengan menyenangkan. Malam itu saya memimpikan Mary
Cavendish, wanita yang penuh teka-teki itu.
Pagi harinya cuaca sangat bagus. Matahari bersinar cerah dan saya berharap akan
bisa menikmati hari itu. Saya tidak melihat Nyonya Cavendish sampai saat makan siang. Sehabis makan siang
dia mengajak saya berjalan-jalan dan kami menyusuri hutan sampai jam lima sore.
Ketika kami masuk, John menyuruh kami menuju ruang keluarga. Saya melihat dari
wajahnya bahwa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Kami mengikutinya dan dia
menutup pintu. "Mary, ada yang tidak beres. Evie baru saja bertengkar dengan Alfred Inglethorp
dan dia minta keluar."
"Evie" Keluar?"
John mengangguk dengan muka suram.
"Ya. Dia telah bicara dengan Ibu, dan - oh, ini dia."
Nona Howard masuk. Kedua bibirnya terkatup rapat. Tangannya menenteng sebuah
kopor kecil. Dia kelihatan marah tetapi bersikap tegas.
"Pokoknya aku telah mengeluarkan isi hatiku!" katanya.
"Evie. Apa kau serius?" tanya Mary Cavendish.
Nona Howard mengangguk pasti.
"Benar! Mungkin aku telah mengeluarkan kata-kata yang tak bisa dilupakan atau
dimaafkan Emily. Tak apa. Mungkin juga tak akan masuk hatinya. Aku berkata,
'Emily, engkau adalah seorang wanita tua. Dan tak ada orang tolol seperti orang
yang tolol. Laki-laki itu 20 tahun lebih muda daripadamu, jangan kau membutakan
diri terhadap motivasinya menikahimu. Uang! Jangan kaubiarkan dia mendapat
terlalu banyak. Tuan Raikes punya seorang istri yang sangat cantik dan masih
muda. Tanyakan pada Alfred-mu, telah berapa kali dia mengunjungi wanita itu.'
Dia sangat marah Maklum! Aku tambahkan lagi, 'Aku ingin mengingatkanmu, tak
peduli kau senang atau tidak. Laki-laki itu akan segera membunuhmu di tempat
tidur. Dia bukan orang yang bisa dipercaya. Kau boleh mengataiku apa saja, tapi
ingatlah apa yang kukatakan padamu. Dia tak bisa dipercaya!'"
"Apa yang dikatakannya?"
Nona Howard hanya nyengir.
"'Alfred sayang' - 'Alfred kekasihku' - 'tuduhan-tuduhan jahat' - 'omong kosong' - untuk
menuduh 'suami tercinta'-nya. Lebih cepat aku pergi, lebih baik. Jadi aku pergi
saja." "Tapi tidak sekarang, kan?"
"Detik ini juga!"
Sesaat kami terhenyak memandangnya. Akhirnya, karena John Cavendish merasa tak
berhasil menahannya, dia pergi untuk mencek jadwal kereta api. Istrinya
mengikuti sambil bergumam bahwa dia akan membujuk Nyonya Inglethorp untuk
mempertimbangkan keputusannya kembali.
Ketika Mary keluar, wajah Nona Howard berubah. Dia membungkuk mendekatkan
mukanya pada saya. "Tuan Hastings, Anda seorang yang jujur. Bisakah saya mempercayai Anda?"
Saya agak terkejut. Dia meletakkan tangannya di lengan saya dan berbisik pelan.
"Jagalah dia, Tuan Hastings. Emily yang malang. Mereka semua adalah hiu-hiu yang
ganas - semuanya. Saya tahu apa yang saya katakan. Tak seorang pun di antara
mereka yang tidak punya kesulitan keuangan dan saya telah berusaha sebisa-bisa
saya untuk melindungi Emily. Sekarang saya akan pergi dan dia harus menghadap
mereka." "Tentu, Nona Howard," kata saya. "Saya akan berusaha. Tapi saya yakin bahwa Anda
telah bersikap emosional dan terlalu tegang."
Dia menyela saya dengan menggoyangkan telunjuknya.
"Percayalah, Anak muda. Saya telah hidup di dunia ini lebih lama dan Anda. Yang
saya inginkan adalah agar Anda membuka mata lebar-lebar. Anda akan mengerti apa
yang saya katakan." Deru mobil terdengar dari jendela yang terbuka dan Nona Howard berdiri menuju
pintu. Di luar terdengar suara John. Dengan tangan memegang handel pintu, Nona
Howard memalingkan kepalanya sambil berkata,
"Terutama sekali perhatikan setan itu - suaminya."
Tak ada waktu lagi untuk bicara. Nona Howard sibuk dengan ucapan selamat jalan
dan protes-protes mereka. Suami-istri Inglethorp tidak kelihatan.
Ketika mobil itu berangkat, Nyonya Cavendish memisahkan diri dan berjalan ke
halaman menemui seorang laki-laki berjenggot lebat yang kelihatannya akan masuk
ke dalam rumah. Pipi wanita itu memerah ketika dia mengulurkan tangan menyalami
tamunya. "Siapa itu?" tanya saya tajam, karena saya langsung merasa tidak suka pada orang
itu. "Dokter Bauerstein," jawab John singkat.
"Siapa dia?" "Dia tinggal di desa ini untuk beristirahat setelah sakit saraf yang berat.
Seorang spesialis dari London, sangat pandai - ahli racun."
"Dan dia teman baik Mary," sela Cynthia.
John Cavendish cemberut lalu mengalihkan percakapan.
"Ayo jalan-jalan, Hastings. Kejadian tadi benar-benar menyebalkan. Lidah Evelyn
memang tajam, tapi tak ada kawan yang lebih setia darinya."
Kami berjalan menyeberangi kebun dan akhirnya sampai di desa melalui hutan yang
membatasi satu sisi tanah milik Styles Court.
Ketika kami melewati salah satu gerbang pada waktu kembali ke rumah, kami
berpapasan dengan seorang wanita muda cantik bertipe gipsi yang tersenyum pada
kami. "Cantik gadis itu," kata saya memuji.
Wajah John membeku. "Itu Nyonya Raikes."
"Oh, yang disebut-sebut Nona Howard - "
"Benar," potong John cepat.
Saya membayangkan wanita tua berambut putih yang ada di rumah, dan wajah cantik
tetapi kejam yang baru saja tersenyum kepada kami. Bulu kuduk saya meremang.
Tapi saya berusaha melupakannya.
"Styles benar-benar tempat yang menyenangkan, walaupun sudah tua," kata saya
pada John. Dia mengangguk dengan wajah yang agak muram.
"Ya, tanah perkebunan yang bagus. Akan menjadi milikku kelak - seharusnya sudah
menjadi milikku seandainya Ayah membuat surat wasiat yang benar. Dan aku tak
perlu miskin seperti ini."
"Apa kau kesulitan?"
"Terus terang saja, sesen pun aku tak punya."
"Apa adikmu tak bisa membantumu?"
"Lawrence" Sama saja. Uangnya habis untuk menerbitkan buku-buku picisan itu. Ibu
selalu baik kepada kami. Sampai sekarang. Tapi tentu saja sejak dia menikah - "
Dia berhenti dengan wajah merenung.
Untuk pertama kali saya merasakan bahwa kepergian Evelyn Howard sangat besar
pengaruhnya. Kehadirannya memang menimbulkan rasa aman. Tapi rasa aman itu
sekarang tidak ada lagi - dan suasana rasanya penuh dengan kecurigaan. Wajah Dr.
Bauerstein yang menyebalkan itu terbayang lagi oleh saya. Suatu kecurigaan yang
samar-samar muncul dan memenuhi pikiran saya. Sekilas saya merasakan datangnya
suatu bencana. Bab 2 TANGGAL 16 DAN 17 JULI SAYA tiba di Styles pada tanggal 5 Juli. Sekarang akan saya ceritakan apa yang
terjadi pada tanggal 16 dan 17 Juli. Supaya mudah, akan saya ceritakan dengan
terinci apa yang terjadi pada hari itu. Kejadian-kejadian pada hari itu saya
ingat sekali karena berkali-kali ditanyakan dalam pemeriksaan yang lama dan
melelahkan. Saya menerima surat dari Evelyn Howard dua hari setelah kepergiannya. Dia
menceritakan bahwa dia telah bekerja lagi sebagai seorang perawat di sebuah
rumah sakit besar di Middlingham, sebuah kota industri yang jauhnya lima belas
mil dari Styles. Dia ingin diberi tahu seandainya Nyonya Inglethorp ingin
berbaik kembali dengannya.
Satu-satunya hal yang mengganggu ketenangan saya adalah hubungan yang sangat
akrab antara Nyonya Cavendish dengan Dr. Bauerstein. Saya tak mengerti apa yang
dilihatnya pada laki-laki itu.
Tanggal 16 Juli jatuh pada hari Senin. Hari itu terjadilah suatu kekacauan.
Bazar yang meriah diadakan pada hari Sabtu dan suatu pertunjukan, di mana Nyonya
Inglethorp akan membaca sebuah puisi perang, juga diadakan pada hari itu.
Sepanjang pagi kami semua sibuk, menghiasi gedung pertemuan desa, tempat
diselenggarakannya bazar tersebut. Kami terlambat makan siang dan istirahat di
taman setelah makan. Saya melihat sikap John yang tidak seperti biasa. Dia
kelihatan gelisah. Setelah minum teh, Nyonya Inglethorp berbaring sebentar untuk beristirahat. Saya
menantang Mary Cavendish untuk main tenis.
Pada jam tujuh kurang seperempat, Nyonya Inglethorp memanggil kami dan
mengatakan bahwa kami pasti terlambat karena makan malam akan dihidangkan lebih
awal. Kami tergesa-gesa bersiap, dan sebelum selesai makan, mobil telah menunggu
di pintu. Pertunjukan itu sangat berhasil. Nyonya Inglethorp mendapat sambutan dan tepukan
meriah dari para penonton. Ada juga pertunjukan tablo, dan Cynthia ikut bermain.
Dia tidak pulang bersama kami karena diundang ke sebuah pesta dan akan menginap
di tempat kawannya yang ikut main tablo.
Pagi harinya, Nyonya Inglethorp makan pagi di tempat tidurnya, karena dia
terlalu lelah. Tetapi dia kelihatan segar pada jam 12.30 dan mengajak Lawrence
dan saya ke sebuah undangan makan siang.
"Undangan yang ramah dari Nyonya Rolleston. Adik Lady Tadminster. Keluarga
Rolleston masih berkerabat dengan Raja William. Salah satu keluarga yang sudah
tua." Mary tidak ikut karena akan pergi dengan Dr Bauerstein.
Makan siang itu sangat menyenangkan. Ketika kami pulang, Lawrence mengajak lewat
Tadminster untuk mengunjungi tempat kerja Cynthia. Nyonya Inglethorp mengatakan
bahwa dia masih punya beberapa surat yang harus diselesaikan, walaupun
sebenarnya ingin ikut. Jadi kami akan ditinggal di sana dan bersama Cynthia kami
bisa kembali dengan kereta kuda.
Setelah ditahan oleh petugas rumah sakit, akhirnya kami bisa menemui Cynthia.
Dia kelihatan acuh tapi manis dalam seragam putihnya. Dia membawa kami naik ke
ruang obat dan memperkenalkan kami dengan temannya yang dipanggil 'Nibs'.
"Ini sih pabrik botol!" seru saya. "Apa kau benar-benar tahu apa yang ada di
setiap botol?" "Kenapa nggak ngomong yang lain sih?" jawab Cynthia. "Setiap orang yang masuk
sini berkata begitu. Kami merencanakan memberi hadiah bagi orang pertama yang
tidak mengucapkan kata-kata itu pada waktu masuk ruangan ini. Dan pertanyaan
berikut yang diajukan pasti: 'Berapa orang yang sudah kamu racuni"'"
Saya minta maaf sambil tertawa.
"Kalau kalian tahu bagaimana mudahnya kami meracuni orang dengan membuat sedikit
kesalahan, pasti kalian tak akan bercanda dengan hal itu. Ayo minum teh. Semua
yang ada di lemari itu rahasia. Jangan, Lawrence - itu lemari racun. Lemari besar
itu - ya." Kami minum teh dengan gembira dan membantu Cynthia membereskan cangkir-cangkir
itu sesudahnya. Kami mendengar ketukan di pintu ketika selesai mengembalikan
sendok teh ke tempatnya. Wajah Cynthia dan Nibs berubah menjadi serius.
"Masuk," kata Cynthia dengan nada tegas.
Seorang perawat muda dengan wajah agak ketakutan muncul mengacungkan sebuah
botol pada Nibs yang menunjukkan jari kepada Cynthia sambil berkata,
"Aku tidak bertugas hari ini."
Cynthia menerima botol itu dan memeriksanya dengan teliti.
"Seharusnya dikirim tadi pagi."
"Suster lupa - dia minta maaf."
"Seharusnya dia membaca peraturan di pintu itu."
Saya rasa perawat itu tidak akan mengalami kesulitan untuk menceritakan hal itu
pada 'suster' yang menakutkan.
"Jadi tidak bisa dikerjakan sekarang," kata Cynthia.
"Apa kami tidak bisa memperolehnya malam ini?"
"Sebenarnya kami sibuk. Tapi kalau ada waktu bisa dikerjakan nanti," jawab
Cynthia bermurah hati. Perawat muda itu keluar dan Cynthia dengan cepat mengeluarkan sebuah botol besar
dari rak, mengisi botol yang baru diterimanya dan meletakkannya di sebuah meja
di luar pintu. Saya tertawa. "Disiplin harus ditegakkan, ya?"
"Tepat. Ayo keluar ke balkon kecil itu. Kau bisa melihat bangsal-bangsal di
luar." Saya mengikuti Cynthia dan temannya. Lawrence tetap saja berada di ruangan itu.
Tapi tidak lama kemudian Cynthia memanggilnya. Lalu melihat jamnya.
"Tak ada yang dikerjakan lagi, Nibs?"
"Tidak." "Bagus. Kalau begitu kita kunci saja lalu pulang."
Saya melihat betapa berbedanya Lawrence dengan John sore itu. Lawrence adalah
orang yang sulit didekati. Hampir merupakan kebalikan kakaknya. Sangat pemalu
dan tertutup. Namun ada juga sifat-sifatnya yang menarik. Dan saya rasa kalau
kita mengenal dia lebih baik, kita bisa menyayanginya. Sikapnya pada Cynthia
sangat kaku, dan Cynthia sendiri pun menjadi kaku di hadapannya. Tetapi keduanya
cukup santai sore ini dan ngobrol dengan asyik seperti dua orang anak kecil.
Ketika pulang saya teringat bahwa saya perlu perangko. Jadi kami berhenti
sebentar di kantor pos. Ketika keluar, saya menabrak seorang laki-laki berbadan kecil yang baru masuk.
Saya minggir dan minta maaf, tapi laki-laki itu memeluk saya dan mencium saya
dengan hangat. "Mon ami, Hastings!" serunya, "Tidak kusangka!"
"Poirot!" seru saya.
Saya kembali ke kereta. "Ini suatu pertemuan yang menyenangkan, Nona Cynthia. Kenalkan kawan lama saya,
Tuan Poirot. Sudah bertahun-tahun kami tidak berjumpa."
"Oh, kami kenal Tuan Poirot," kata Cynthia ramah. "Tapi saya tidak tahu dia
kawanmu." "Ya," kata Poirot serius. "Saya kenal Nona Cynthia. Saya ada di sini karena
kedermawanan Nyonya Inglethorp." Ketika saya memandangnya dengan wajah bertanya-
tanya dia berkata, "Ya, Kawan, dia sangat dermawan. Ada tujuh orang dari negara
saya yang mendapat bantuan sebagai pengungsi. Kami, orang-orang Belgia, merasa
berterima kasih padanya."
Poirot adalah seorang laki-laki kecil yang luar biasa. Tingginya tidak lebih
dari lima kaki empat inci, tetapi sangat berwibawa. Kepalanya berbentuk seperti
telur, dan selalu miring sedikit ke satu sisi. Kumisnya sangat kaku. Pakaiannya
rapi sekali. Saya kira dia akan merasa lebih sakit bila ada setitik debu
menempel di bajunya daripada sebutir peluru nyasar di tubuhnya. Tetapi laki-laki
yang pernah menjadi seorang anggota kepolisian Belgia yang disegani itu sekarang
timpang. Sebagai seorang detektif, bakatnya memang luar biasa. Dia mampu
menyelesaikan kasus-kasus yang paling memusingkan di masa itu.
Dia menunjukkan pada saya sebuah rumah kecil yang didiaminya bersama teman-teman


Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belgianya. Saya berjanji akan menengoknya pada suatu ketika nanti. Dia
mengangkat topinya dengan sikap berlebihan pada Cynthia, dan kami pun meneruskan
perjalanan. "Dia seorang laki-laki kecil yang menyenangkan," kata Cynthia. "Aku tidak tahu
kau kenal dia." "Kau telah bertemu dengan seorang pria yang sangat hebat tanpa diduga-duga."
Dan sepanjang jalan saya pun menceritakan keberhasilan Poirot menangani berbagai
kasus. Kami tiba di rumah dengan hati yang amat cerah. Ketika kami masuk, Nyonya
Inglethorp keluar dari kamar kerjanya. Wajahnya marah dan kelihatan sedih.
"Oh, kalian," katanya.
"Ada apa, Bibi Emily?" tanya Cynthia.
"Nggak ada apa-apa," jawabnya tajam. "Memang kenapa sih?" Ketika dia melihat
Dorcas, pelayan kamar, sedang berada di ruang makan, dipanggilnya pelayan itu
untuk membawa perangko ke kamar kerjanya.
"Ya, Nyonya," katanya ragu-ragu. Lalu menambahkan, "Apa Nyonya tidak istirahat
saja" Kelihatannya lelah."
"Barangkali kau benar, Dorcas - ya - tidak - tidak sekarang. Aku harus menulis surat
dan harus kuselesaikan supaya bisa dikirim nanti. Apa kau telah menyalakan api
di kamarku?" "Sudah, Nyonya."
"Kalau begitu aku akan langsung tidur setelah makan malam."
Dia masuk lagi ke dalam kamar kerjanya. Cynthia memandangnya lama.
"Ya, Tuhan! Ada apa sih?" tanyanya pada Lawrence.
Kelihatannya Lawrence tidak mendengar, karena dia lalu berbalik dan keluar rumah
begitu saja tanpa bicara.
Saya mengusulkan untuk main tenis sebentar sebelum makan. Cynthia setuju, dan
saya naik untuk mengambil raket.
Nyonya Cavendish sedang menuruni tangga. Mungkin itu hanya khayalanku saja, tapi
kelihatannya dia agak bingung dan tidak seperti biasanya.
"Senang berjalan-jalan dengan Dokter Bauerstein?" tanya saya berlagak tak acuh.
"Aku tidak pergi," katanya singkat. "Mana Nyonya Inglethorp?"
"Di kamar kerjanya."
Dia kelihatan ragu-ragu. Lalu mengepalkan tangan dan turun ke bawah dengan
cepat, kemudian masuk ke kamar kerja Nyonya Inglethorp dan menutup pintunya.
Ketika saya berlari menuju lapangan tenis melewati jendela kamar Nyonya
Inglethorp, saya mendengar sepotong percakapan. Mary Cavendish bicara dengan
suara yang dengan susah-payah dikendalikannya,
"Jadi Ibu tidak mau memperlihatkannya kepadaku?"
Nyonya Inglethorp menjawab,
"Mary, itu tak ada hubungannya dengan persoalanmu."
"Kalau begitu tunjukkan padaku."
"Sudah kukatakan bukan seperti yang kaubayangkan. Sama sekali tak ada
hubungannya denganmu."
Mary Cavendish menjawab dengan nada yang lebih pahit,
"Tentu saja. Aku seharusnya tahu bahwa Ibu akan memihak dia."
Cynthia sedang menunggu saya dan menyambut dengan kata-kata,
"Tahu, nggak" Tadi ada pertengkaran seru! Dorcas yang cerita."
"Pertengkaran apa?"
"Bibi Emily dan dia. Mudah-mudahan saja Bibi Emily tahu apa yang dilakukannya!"
"Apa Dorcas ada di situ waktu mereka bertengkar?"
"Tentu saja tidak. Dia 'kebetulan ada di dekat pintu'. Benar-benar seru. Sayang
aku tak tahu apa yang mereka ributkan."
Saya membayangkan wajah Nyonya Raikes yang seperti gipsi dan peringatan Evelyn
Howard, tetapi saya memutuskan untuk berdiam diri saja walaupun Cynthia
mengajukan berbagai hipotesa dan berharap agar 'Bibi Emily mengusirnya'.
Sebetulnya saya ingin bicara dengan John, tapi dia tidak ada. Kelihatannya
memang sore itu ada kejadian yang luar biasa. Saya berusaha melupakan kata-kata
yang saya dengar secara tidak sengaja tadi, tapi tidak terlalu mudah rupanya.
Apa yang diributkan Mary Cavendish"
Tuan Inglethorp sedang berada di ruang keluarga ketika saya turun makan malam.
Wajahnya tenang seperti biasa, namun ada sesuatu yang rasanya aneh.
Akhirnya Nyonya Inglethorp keluar. Dia masih kelihatan gelisah dan suasana
menjadi tegang selama makan malam. Inglethorp sangat diam. Tapi seperti
biasanya, dia memberikan perhatian besar terhadap hal-hal kecil, meletakkan
bantal di punggung istrinya, dan memainkan peranan suami setia. Segera setelah
selesai, Nyonya Inglethorp masuk lagi ke dalam kamar kerjanya.
"Bawa kopiku ke sini, Mary," katanya. "Aku akan menyelesaikan surat-suratku
secepatnya." Cynthia dan saya duduk di dekat jendela yang terbuka di ruang keluarga. Mary
Cavendish membawakan kopi kami. Dia kelihatan gelisah.
"Apa kalian perlu lampu terang atau lebih suka duduk dalam cahaya remang-
remang?" tanyanya pada kami. "Maukah kau mengantarkan kopi Nyonya Inglethorp,
Cynthia" Aku tuangkan sebentar."
"Jangan repot-repot, Mary" kata Inglethorp. "Biar aku bawakan kopinya." Dia
menuang kopi itu ke cangkir dan membawanya ke luar dengan hati-hati.
Lawrence mengikutinya dan Nyonya Cavendish duduk di dekat kami.
Kami bertiga diam sejenak. Malam itu indah sekali, panas dan sunyi. Nyonya
Cavendish mengipasi dirinya pelan-pelan, dengan daun palem.
"Panas sekali," katanya. "Pasti hujan lebat malam ini."
Sayang, waktu yang menyenangkan itu tidak berlangsung terlalu lama! Ketenangan
kami rusak oleh sebuah suara yang kami kenal.
"Dokter Bauerstein!" seru Cynthia. "Masa datang pada waktu seperti ini."
Saya melirik cemburu ke arah Mary Cavendish, tetapi dia kelihatan tenang-tenang
saja. Pipinya yang pucat tidak berubah.
Beberapa saat kemudian, Alfred Inglethorp mengajaknya masuk. Dr. Bauerstein
menolak sambil tertawa dan berkata bahwa dia tidak-siap untuk duduk di ruang
keluarga Memang penampilannya sangat menggelikan, badannya penuh lumpur.
"Apa yang Anda lakukan, Dokter?" seru Nyonya Cavendish.
"Maafkan saya," katanya. "Sebenarnya saya tak bermaksud kemari, tapi Tuan
Inglethorp mendesak."
"Ah, Anda memang luar biasa," kata John sambil berjalan masuk. "Silakan minum
kopi dan ceritakan apa yang baru saja Anda lakukan."
"Terima kasih. Baiklah," katanya tertawa, tawanya sedikit kasar. Dia bercerita
bahwa dia baru saja menemukan sejenis tanaman paku di suatu tempat yang sulit
dicapai. Ketika akan mengambilnya dia kehilangan keseimbangan dan masuk ke dalam
kolam berlumpur. "Matahari memang mengeringkan saya dengan cepat," tambahnya, "tetapi tampang
saya tetap saja seperti ini."
Pada saat itu terdengar suara Nyonya Inglethorp memanggil Cynthia dari koridor
dan gadis itu berlari ke luar.
"Tolong bawakan tas kerjaku ke atas. Aku akan segera tidur."
Pintu ruang keluarga itu memang terbuka lebar dan saya berdiri ketika Cynthia
keluar. John ada di dekat saya. Jadi ada tiga orang saksi yang melihat bahwa
Nyonya Inglethorp membawa cangkir kopinya yang masih utuh itu.
Malam itu jadi rusak karena kehadiran Dr Bauerstein. Kelihatannya dia tidak akan
beranjak dari tempat duduknya. Ketika akhirnya dia berdiri, saya menarik napas
lega. "Akan saya temani sampai ke desa," kata Tuan Inglethorp. "Saya harus menemui
agen yang menangani pembukuan tanah." Dia berbalik menghadap John sambil
berkata, "Tak perlu menunggu saya. Saya akan membawa kunci."
Bab 3 MALAM NAAS AGAR cerita saya pada bagian ini lebih jelas, saya gambarkan denah lantai dua
rumah di Styles itu. Kamar para pembantu bisa dicapai dari pintu B. Pembantu-
pembantu itu tak bisa masuk langsung dari sisi kanan, di mana terdapat kamar
suami-istri Inglethorp. [IMG-AC192001.jpg] Kira-kira tengah malam saya dibangunkan oleh Lawrence Cavendish. Dia memegang
sebatang lilin dan mukanya yang bingung menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak
beres. "Ada apa?" tanya saya sambil duduk di tempat tidur dan berusaha berkonsentrasi.
"Kami kuatir akan Ibu. Kelihatannya dia sakit. Tapi semua pintu terkunci, dan
dia ada di dalam kamarnya sendiri."
Saya meloncat dari tempat tidur sambil menyambar kimono dan mengikuti Lawrence
menuju ke sayap kanan rumah.
John Cavendish berjalan bersama kami dan satu atau dua orang pembantu berdiri
dengan sikap gelisah. Lawrence bertanya kepada kakaknya.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan?"
Kelihatan sekali sikapnya yang kurang yakin.
John menggoyang-goyangkan pegangan pintu kamar Nyonya Inglethorp tanpa hasil.
Jelas pintu itu terkunci dari dalam. Seluruh penghuni rumah sekarang sudah
bangun. Kami mendengar suara yang mengkhawatirkan dari dalam kamar. Kami harus
berbuat sesuatu. "Coba masuk dari kamar Tuan Inglethorp!" teriak Dorcas. "Oh, kasihan Nyonya!"
Tiba-tiba saya sadar bahwa Alfred Inglethorp tak ada di tengah-tengah kami. John
membuka pintu kamarnya Gelap gulita di dalam. Untunglah Lawrence membawa lilin.
Dalam keremangan cahaya lilin, kami tahu bahwa tempat tidurnya masih belum
ditiduri. Juga tak ada tanda-tanda bahwa kamar itu dimasuki pemiliknya.
Kami langsung menuju ke pintu penghubung. Tapi pintu itu juga terkunci. Apa yang
harus kami lakukan" "Ya, Tuhan," keluh Dorcas sambil meremas-remas tangannya, "apa yang akan kita
lakukan?" "Aku rasa kita harus membuka pintu itu dengan mendobraknya. Memang sulit, tapi
akan kita lakukan. Coba salah satu dari kalian membangunkan Baily dan suruh dia
menjemput Dokter Wilkins," kata John pada para pelayan. "Sekarang kita dobrak
pintu ini. Eh, tunggu sebentar. Ada pintu penghubung ke kamar Cynthia, kan?"
"Ada, Tuan, tetapi selalu dikunci, tak pernah dibuka."
"Coba kita lihat dulu."
Dia berlari dengan cepat ke kamar Cynthia. Mary Cavendish ada di dalam, sedang
mengguncang-guncang gadis itu dan berusaha membangunkannya.
Sesaat kemudian John kembali.
"Sama saja. Juga dikunci. Kita terpaksa mendobrak pintu. Aku rasa yang ini lebih
tipis." Kami bersama-sama mendorong pintu itu sekuat tenaga. Kerangka pintu itu sangat
kuat dan kami bergelut cukup lama untuk menaklukkannya. Akhirnya dengan suara
berdebam pintu itu pun terbuka.
Kami terjungkal ke dalam kamar bersama-sama. Lawrence tetap memegang lilinnya.
Nyonya Inglethorp telentang di tempat tidurnya. Tubuhnya mengejang-ngejang
gelisah menahan rasa sakit. Pasti tadi tangannya menampar meja yang ada di
dekatnya sampai roboh. Waktu akhirnya kami semua masuk, dia menjadi tenang dan
badannya terkulai di atas bantal-bantal.
John cepat-cepat memasang gas. Dia menyuruh Annie, salah seorang pelayan, untuk
mengambil brandy di ruang makan. Lalu dia berjalan ke tempat tidur. Saya sendiri
membuka pintu yang menghubungkan kamar itu dengan koridor.
Saya berbalik pada Lawrence untuk mengatakan bahwa sebaiknya saya kembali ke
kamar karena bantuan saya sudah tidak diperlukan lagi. Tapi kata-kata yang akan
saya keluarkan membeku di bibir. Belum pernah saya melihat orang sepucat dia.
Wajahnya kelihatan seputih kapur. Tangannya gemetar. Dan lilin yang dipegangnya
meleleh menetes di atas karpet. Matanya yang ketakutan terpaku menatap ke suatu
titik di dinding. Dia seolah-olah melihat sesuatu yang membuatnya berubah
menjadi batu. Secara refleks saya mengikuti arah pandangannya. Tapi saya tak
melihat sesuatu yang luarbiasa. Saya hanya melihat abu di perapian yang masih
berkelap-kelip, dan jajaran hiasan di atas perapian - sama sekali tak berbahaya.
Rasa sakit Nyonya Inglethorp kelihatannya telah reda. Dia bisa bicara perlahan-
lahan dan terputus-putus.
"Sudah enak - sekarang - tiba-tiba - bodoh aku - mengunci diri di kamar."
Saya melihat bayangan seseorang di belakang saya Ternyata Mary Cavendish berdiri
di pintu dengan tangan merangkul Cynthia. Kelihatannya dia sedang menopang
Cynthia yang seolah-olah akan tumbang. Wajah Cynthia sangat merah dan berkali-
kali menguap. Aneh dan tidak seperti biasanya dia.
"Cynthia sangat ketakutan," kata Nyonya Cavendish dengan suara rendah. Mary
sendiri sudah memakai pakaian kerja. Saya kemudian sadar bahwa hari mulai terang
Jam yang ada di atas perapian menunjukkan hampir pukul lima.
Sebuah jeritan tertahan dari tempat tidur mengejutkan saya. Wanita tua itu
rupanya mendapat serangan lagi. Dia tak kuat menahan sakit. Tubuhnya terguncang
lalu mengejang. Kami maju ke tempat tidur mengelilingi dia tanpa mampu memberi
pertolongan. Sebuah kejangan terakhir mengangkat tubuhnya dari tempat tidur,
membentuk suatu garis lengkung yang disangga oleh kepala dan tumitnya. Dengan
susah payah Mary dan John berusaha memberikan brandy. Sekali lagi tubuh tua itu
mengejang dan melengkung ke atas dengan aneh.
Pada saat itu Dr. Bauerstein masuk ke dalam kamar. Sesaat dia berhenti terpaku
memandang tubuh di atas tempat tidur. Tiba-tiba Nyonya Inglethorp berteriak
dalam suara tertahan. Matanya memandang dokter itu,
"Alfred - Alfred - " Kemudian tubuhnya terbanting diam di atas bantal-bantal.
Dr. Bauerstein melangkah cepat ke tempat tidur, mengguncang-guncang kedua tangan
Nyonya Inglethorp dan membuat pernapasan buatan. Dia memberikan perintah-
perintah singkat pada para pelayan. Lambaian tangannya membuat kami mundur ke
pintu. Kami memandang dia, terpesona dengan kecekatannya, walaupun hati kecil
kami mengatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah terlambat. Wajah dokter itu
sendiri menunjukkan bahwa dia tidak terlalu banyak berharap.
Akhirnya dia menghentikan pekerjaannya, menggelengkan kepalanya dengan sedih.
Pada saat itu kami mendengar suara langkah kaki di luar, dan Dr. Wilkins, dokter
pribadi Nyonya Inglethorp, masuk ke dalam.
Dengan singkat Dr Bauerstein menjelaskan bahwa dia kebetulan melewati pintu
gerbang ketika mobil keluar dan berlari masuk secepat-cepatnya, sementara mobil
itu menjemput Dr. Wilkins. Dia menunjuk tubuh di atas tempat tidur.
"Sa - ngat menyedihkan. Sangat - menyedihkan," gumam Dr Wilkins. "Kasihan. Terlalu
aktif - terlalu banyak kegiatan - padahal sudah saya peringatkan. Jantungnya tidak
terlalu kuat. 'Santai saja,' saran saya kepadanya. Tapi memang dia suka bekerja
Terlalu banyak. Melawan hukum alam."
Dr. Bauerstein memperhatikan Dr. Wilkins. Matanya tetap terpaku pada dokter desa
itu ketika ia bicara. "Kekejangan itu sangat aneh, Dok. Sayang Anda belum datang waktu itu untuk
melihatnya sendiri. Kejang-kejang yang bersifat tetanik."
"Ah!" kata Dr. Wilkins bijaksana.
"Saya ingin bicara dengan Anda secara pribadi," kata Dr Bauerstein. Dia
memandang John. "Anda tak keberatan?"
"Tentu saja tidak."
Kami semua keluar menuju koridor kecuali kedua dokter itu. Saya mendengar pintu
dikunci di belakang kami.
Kami berjalan perlahan-lahan menuruni tangga. Perasaan saya tak keruan. Saya
memang punya bakat untuk membuat deduksi, dan sikap Dr. Bauerstein menimbulkan
berbagai macam dugaan dalam benak saya. Mary Cavendish meletakkan tangannya pada
lengan saya. "Ada apa" Kenapa Dokter Bauerstein kelihatan begitu - aneh?"
Saya memandangnya. "Kau tahu apa yang kupikir?"
"Apa?" "Dengar!" Saya memandang berkeliling. Tak ada orang yang akan mendengarkan kami.
Saya berbisik, "Aku rasa dia diracuni! Aku yakin Dokter Bauerstein mencurigai
hal itu." "Apa?" Dia merapat ke dinding, kedua bola matanya terbelalak. Kemudian dengan
teriakan yang tiba-tiba dan mengejutkan saya dia menjerit, "Tidak, tidak - bukan
itu!" Dia lari naik ke atas. Karena takut dia pingsan, saya mengikutinya dari
belakang. Mary bersandar pada pegangan tangga dengan wajah pucat pasi. Tangannya
melambai mengusir saya. "Jangan - tinggalkan aku. Aku ingin sendirian sejenak. Turunlah bersama yang
lain." Saya mengikuti kemauannya dengan enggan. John dan Lawrence ada di ruang makan.
Saya juga ke sana. Kami semua diam. Tapi akhirnya saya berkata,
"Mana Tuan Inglethorp?"
John menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada." Mata kami bertemu. Di mana Alfred Inglethorp tadi" Ketidakhadirannya aneh dan
tak bisa dipahami. Saya teringat kata-kata Nyonya Inglethorp yang terakhir. Apa
sebenarnya maksudnya" Apa lagi yang mungkin akan dikatakannya seandainya dia
sempat mengatakannya"
Akhirnya kami mendengar langkah-langkah kedua dokter menuruni tangga. Dr.
Wilkins kelihatan merasa dirinya penting dan penuh semangat walaupun berusaha


Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk bersikap tenang. Dr. Bauerstein tetap tenang. Wajahnya yang suram tidak
berubah. Dr. Wilkins mewakili mereka berbicara kepada John.
"Tuan Cavendish, saya memerlukan persetujuan Anda untuk melakukan pemeriksaan
mayat." "Apakah itu perlu?" tanya John sedih.
"Sangat perlu," kata Dr. Bauerstein.
"Maksud Anda - ?"
"Baik Dokter Wilkins maupun saya tidak bisa memberikan surat keterangan kematian
dalam kondisi seperti ini."
John menundukkan kepalanya.
"Kalau begitu tak ada pilihan lain kecuali setuju."
"Terima kasih," kata Dr. Wilkins singkat. "Kami usulkan untuk dilakukan besok
malam - atau lebih baik malam ini juga." Dia memandang ke luar. Fajar mulai
menyingsing. "Dalam kondisi seperti ini, saya rasa terpaksa harus dilakukan
pemeriksaan. Formalitas ini perlu Tapi saya harap Anda tidak terlalu merasa
risau." Mereka diam sejenak. Kemudian Dr. Bauerstein mengeluarkan dua buah kunci dari
sakunya dan memberikannya kepada John.
"Ini adalah kunci dari kedua kamar itu. Keduanya saya kunci. Saya rasa kamar-
kamar itu sebaiknya tetap dikunci."
Dokter-dokter itu kemudian pergi.
Saya telah memikirkan sesuatu, dan saya merasa sudah tiba saatnya untuk
mengeluarkannya. Tapi saya agak enggan untuk melakukannya. Saya tahu bahwa John
tidak suka publisitas. Dia adalah seorang pria optimis yang tidak suka
menghadapi kesulitan di tengah jalan. Mungkin agak sulit meyakinkan kebaikan
rencana saya. Sebaliknya, Lawrence lebih modern dan punya lebih banyak
imajinasi. Mungkin saya bisa menjadikannya sekutu saya. Saya yakin bahwa
sekaranglah giliran saya untuk bicara.
"John, aku ingin bertanya," kata saya.
"Apa?" "Kau ingat aku pernah bercerita tentang kawanku Poirot" Orang Belgia yang sedang
ada di sini" Dia adalah seorang detektif ulung."
"Ya" "Aku ingin agar kau memanggilnya untuk menyelidiki hal ini."
"Apa" Sekarang" Sebelum pemeriksaan mayat?"
"Ya. Lebih cepat lebih baik kalau seandainya ada hal-hal yang tidak beres."
"Apa-apaan ini!" teriak Lawrence marah. "Ini kan akal-akalannya Bauerstein saja.
Wilkins sendiri tidak punya ide seperti itu sebelum Bauerstein menyuntiknya.
Dalam hal ini Bauerstein memang punya kepentingan. Racun adalah hobinya. Jadi
dia selalu melihat racun di mana-mana."
Terus terang saya terkejut melihat sikap Lawrence. Dia tidak pernah begitu emosi
sebelumnya. John ragu-ragu. "Aku tak sependapat denganmu, Lawrence," katanya pada akhirnya. "Aku akan
memberi kebebasan pada Hastings, walaupun aku lebih suka bila kita menunggu
sebentar. Kita tidak menginginkan suatu skandal."
"Pasti tidak," kata saya cepat. "Jangan kuatir akan hal itu, John. Poirot bisa
dipercaya." "Baiklah kalau begitu. Aku serahkan semuanya kepadamu. Kalau memang terjadi
suatu hal yang kita curigai, maka kasus itu sangat jelas. Mudah-mudahan Tuhan
mengampuni kalau aku menuduh dia!"
Saya melihat jam saya. Jam enam. Saya tak ingin kehilangan waktu.
Tapi saya melewatkan lima menit mengobrak-abrik perpustakaan sampai saya
menemukan sebuah buku kedokteran yang memberikan keterangan tentang keracunan
strychnine. Bab 4 POIROT MENYELIDIK RUMAH yang ditempati orang-orang Belgia itu terletak di dekat pintu gerbang
perkebunan. Kita bisa mencapainya lebih cepat dengan berjalan di jalan setapak,
di antara rerumputan yang tinggi daripada mengikuti jalan licin yang berkelok-
kelok. Jadi saya pun mengambil jalan pintas itu. Ketika berada di dekat rumah
itu saya melihat seseorang berlari-lari ke arah saya. Ternyata Tuan Inglethorp.
Dari mana dia" Bagaimana dia akan memberikan alasan atas ketidakhadirannya"
Dia mendatangi saya. "Ya, Tuhan! Mengerikan sekali! Istriku yang malang! Aku baru saja mendengar
berita itu." "Anda dari mana?" tanya saya.
"Denby menahanku tadi malam. Kami baru selesai jam satu. Saya baru sadar bahwa
saya tidak membawa kunci. Saya tak ingin mengganggu orang di rumah. Jadi saya
tidur di tempat Denby."
"Bagaimana Anda tahu apa yang terjadi?" tanya saya.
"Wilkins mengetuk rumah Denby dan memberi tahu dia. Kasihan Emily. Dia begitu
baik - suka berkorban. Dia bekerja melebihi kekuatannya."
Saya merasa sebal. Alangkah munafiknya laki-laki ini!
"Saya terburu-buru, maaf," kata saya cepat dan bersyukur karena dia tidak
menanyakan tujuan saya. Beberapa menit kemudian saya mengetuk pintu rumah orang-orang Belgia itu, yaitu
Pondok Leastways. Karena tak ada jawaban, saya mengulangi ketukan dengan tidak sabar. Sebuah
jendela di atas saya dibuka dengan hati-hati. Poirot melongokkan kepalanya.
Dia berseru heran melihat saya. Dengan cepat saya ceritakan tragedi yang terjadi
dan bahwa saya memerlukan bantuannya.
"Tunggu, Kawan, aku akan membukakan pintu. Kau bisa bercerita sambil menungguku
berpakaian." Sebentar kemudian dia membuka palang pintu dan saya mengikutinya ke atas. Dia
menyuruh saya duduk di kursi dalam kamarnya dan menceritakan segala sesuatu
tanpa menghilangkan detil-detilnya. Dia sendiri mulai berdandan.
Saya ceritakan bagaimana saya terbangun, kata-kata terakhir Nyonya Inglethorp,
ketidakhadiran suaminya, pertengkaran yang terjadi, potongan percakapan yang
sempat saya dengar antara Mary dengan ibu mertuanya, pertengkaran Nyonya
Inglethorp dengan Evelyn Howard, dan sindiran-sindiran Nona Evelyn.
Saya merasa tidak bisa bercerita sejelas yang saya inginkan. Saya mengulangi hal
yang sama dan kadang-kadang harus kembali karena ada yang ketinggalan. Poirot
hanya tersenyum. "Pikiranmu sedang kacau. Pelan-pelan saja, mon ami. Engkau merasa bingung,
gelisah - itu bisa dimengerti. Kalau pikiran kita lebih tenang, kita akan bisa
menyusun fakta dengan rapi dan pada tempatnya. Kita periksa, kita tolak, dan
yang penting kita sisihkan. Yang tidak penting - buh!" - Dia mengembangkan pipinya
dan menghembuskannya dengan lucu.
"Itu memang bagus," kata saya, "tapi bagaimana kita tahu yang ini penting dan
yang itu tidak" Sulit bagiku menentukannya."
Poirot menggelengkan kepala kuat-kuat Dia sekarang merapikan kumisnya dengan
hati-hati. "Tidak begitu. Voyons! Sebuah fakta akan menggiring kita ke fakta lainnya - jadi
begitulah terus-menerus Apa fakta berikutnya cocok" A merveille! Bagus! Bisa
kita teruskan. Fakta kecil berikutnya ini - sebuah mata rantai dari rantai itu tak
ada di sini. Kita periksa. Kita selidiki. Dan fakta kecil yang mencurigakan itu,
detil kecil yang remeh itu kita tempatkan di sini!" Dia membuat suatu gerakan
dengan tangannya. "Kelihatan jelas! Luar biasa!"
"Y - a - ." "Ah!" Poirot menggoyang-goyangkan telunjuknya dengan kencang di depan saya
sampai saya gemetar. "Awas! Bahaya bila seorang detektif berkata, 'Ah, kecil - tak
penting. Tak ada hubungannya. Lupakan saja.' Di situlah letak kesulitannya!
Segala sesuatu itu penting!"
"Ya, aku tahu. Kau selalu mengatakan hal itu Karena itulah aku menceritakan
semua detil, baik yang kelihatan relevan maupun yang tidak, kepadamu."
"Dan aku senang sekali. Ingatanmu tajam dan semua kauceritakan. Mengenai urutan
ceritamu, aku tak mau berkomentar, karena menyedihkan! Tapi aku mengerti - kau
sedang bingung! Karena itu kau melupakan satu hal yang sangat penting."
"Apa itu?" tanya saya.
"Kau belum memberi tahu apakah Nyonya Inglethorp makan dengan enak tadi malam."
Saya memandang Poirot dengan kasihan. Pasti perang yang kejam itu telah
mempengaruhi otaknya Dengan tenang dia menyikat mantelnya sebelum mengenakannya.
"Aku tak ingat," jawab saya. "Dan lagi rasanya kok - "
"Kok tidak ada hubungannya" Itu sangat penting."
"Aku tidak mengerti," kata saya dengan keras kepala. "Seingatku dia tidak makan
terlalu banyak. Dia sedang bingung dan sedih, karena itu tidak terlalu berselera
untuk makan. Itu wajar."
"Ya," kata Poirot merenung. "Itu wajar."
Dia membuka laci mejanya, mengeluarkan sebuah tas kecil dan berkata kepada saya.
"Aku siap sekarang. Kita ke sana melihat tempat itu. Maaf, mon ami, kau tadi
pasti tergesa-gesa. Dasimu miring. Maaf." Dengan cekatan jarinya mengatur dasi
saya. "Ca y est! Kita berangkat sekarang?"
Kami bergegas berjalan, dan akhirnya sampai di gerbang perkebunan. Poirot
berhenti sejenak, memandang sedih pada kebun yang membentang luas, berkilauan
embunnya kena cahaya pagi.
"Begitu indah. Sangat indah. Tapi keluarga itu sedang berkabung, tenggelam dalam
kesedihan." Dia memandang saya dengan tajam waktu berbicara, dan saya sadar bahwa wajah saya
memerah di bawah tatapannya.
Apakah keluarga itu tenggelam dalam kesedihan" Apakah mereka sangat kehilangan"
Saya sadar bahwa tidak ada perasaan seperti itu pada mereka. Wanita yang telah
meninggal itu tidak memiliki cinta Kematiannya memang mengejutkan, tapi tak
seorang pun merasa kehilangan dia.
Poirot kelihatannya mengetahui pikiran saya. Dia mengangguk dengan sedih.
"Kau benar," katanya. "Memang tak ada ikatan darah. Dia memang baik dan murah
hati pada kedua kakak-beradik Cavendish, tapi dia bukanlah ibu mereka. Darah
memang menunjukkan - ingatlah hal itu - darah menunjukkan."
"Poirot," kata saya, "mengapa tadi kau bertanya apakah Nyonya Inglethorp makan
enak tadi malam" Aku telah berpikir-pikir dari tadi tapi tidak mengerti mengapa
kau menanyakan hal itu."
Dia diam sejenak sambil terus berjalan. Tapi akhirnya dia berkata,
"Aku tak keberatan mengatakannya padamu, walaupun aku tak biasa menjelaskan
sesuatu sebelum semuanya selesai. Anggapan yang berlaku sekarang adalah Nyonya
Inglethorp meninggal karena keracunan strychnine yang mungkin dimasukkan ke
dalam cangkir kopinya."
"Ya?" "Jam berapa kopi disuguhkan?"
"Kira-kira jam delapan."
"Kalau begitu dia meminumnya antara jam setengah delapan sampai jam delapan - tak
lebih dari itu. Nah, strychnine adalah racun yang bekerja cepat. Efeknya akan
segera terasa, barangkali dalam waktu satu jam. Tapi dalam kasus Nyonya
Inglethorp, tanda-tanda itu tidak terlihat sampai pukul lima pagi: sembilan jam!
Tetapi apabila dia makan banyak, maka itu bisa memperlambat kerjanya racun,
walaupun tidak akan selama itu. Walaupun begitu kemungkinan tersebut masih perlu
diperhatikan. Tapi tadi kau mengatakan bahwa dia hanya makan sedikit, sedangkan
tanda-tanda itu terlihat pada jam lima pagi! Ini adalah situasi yang
mencurigakan, Kawan. Mungkin ada sesuatu yang bisa dijelaskan dalam otopsi
nanti. Sekarang, ingat-ingat saja hal itu."
Ketika kami berada di dekat rumah, John keluar menemui kami. Wajahnya kelihatan
capek dan kusut. "Ini benar-benar hal yang tidak menyenangkan, Tuan Poirot," katanya. "Apa
Hastings telah memberi tahu Anda bahwa kami tidak menginginkan publisitas?"
"Saya mengerti."
"Sejauh ini, soal itu hanya merupakan suatu kecurigaan."
"Tepat. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja."
John berpaling kepada saya, mengeluarkan kotak rokoknya, dan menyalakan
sebatang. "Kau tahu si Inglethorp telah kembali?"
"Ya. Aku ketemu tadi."
John melempar korek api bekasnya ke bedeng tanaman. Pasti ini sangat menyakitkan
hati Poirot Dia mencari korek itu dan ditanamnya dengan rapi.
"Aku tak tahu bagaimana harus memperlakukan dia."
"Kesulitan itu tak akan lama," kata Poirot tenang.
John kelihatan bingung dan tidak mengerti arti pernyataan yang penuh teka-teki
itu. Dia menyerahkan pada saya kedua kunci yang diberikan oleh Dr. Bauerstein
tadi. "Tunjukkan pada Tuan Poirot apa saja yang ingin diketahuinya."
"Kamar-kamar itu dikunci?" tanya Poirot.
"Dr. Bauerstein berpendapat sebaiknya begitu."
Poirot mengangguk sambil merenung.
"Kalau begitu dia sangat yakin. Ya, itu akan mempermudah kita."
Kami naik ke atas bersama-sama dan masuk ke dalam kamar. Supaya lebih jelas,
saya gambar denah kamar itu dan barang-barang yang ada di dalamnya.
[IMG-AC192002.jpg] Poirot mengunci pintu dari dalam, lalu memeriksa kamar dengan teliti. Dia
berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan lincah seperti belalang. Saya
hanya berdiri di dekat pintu, takut menghapus suatu petunjuk. Tetapi
kelihatannya Poirot tidak berterima kasih kepada saya dengan kesabaran saya itu.
"He, kenapa kau berdiri saja di situ seperti - seperti babi dirantai?" serunya.
Saya jelaskan bahwa saya takut - jangan-jangan saya menghapus jejak kaki.
"Jejak kaki" Wah! Kelihatannya sudah ada sepasukan orang masuk ke tempat ini!
Jejak kaki yang mana yang kita perlukan" Ke sini sajalah membantu-bantu aku. Aku
akan meletakkan tasku di sini saja."
Dia meletakkan tasnya di atas sebuah meja bulat di dekat jendela. Tapi rupanya
sedang sial, daun meja itu bergoyang dan miring, lalu menjatuhkan tas Poirot.
"En voila une table!" teriaknya. "Ah. Belum tentu tinggal di rumah besar
menyenangkan." Setelah itu dia meneruskan penyelidikannya.
Dia tertarik pada sebuah tas kecil berwarna ungu dengan kunci yang masih
menempel. Tas itu terletak di atas meja tulis. Dia mengambil kunci tas itu dan
menyuruh saya untuk memeriksanya. Tapi saya tidak melihat sesuatu yang aneh.
Kunci itu kunci Yale yang biasa saja. Pada kepalanya terdapat sebuah kawat kecil
yang agak bengkok. Kemudian dia memeriksa kerangka pintu yang kami dobrak sambil mencek apakah
kuncinya benar-benar mengunci. Kemudian dia pergi ke pintu yang menuju kamar
Cynthia. Pintu itu juga terkunci, seperti telah saya ceritakan. Tetapi dia
membuka kunci pintu itu dan menutupnya lagi.
Dia lakukan hal itu beberapa kali dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan
suara. Tiba-tiba sesuatu pada gerendel kunci itu mengalihkan perhatiannya. Dia
memeriksanya dengan hati-hati, kemudian dia mengambil penjepit dari tasnya dan
menjepit sebuah benda yang amat kecil yang dengan hati-hati dimasukkannya ke
dalam sebuah amplop kecil.
Di atas sebuah lemari berlaci ada sebuah nampan dengan lampu minyak dan sebuah
panci kecil di atasnya. Dalam panci itu terdapat cairan hitam, dan sebuah
cangkir yang telah kosong bekas diminum berdiri di dekatnya.
Saya merasa kesal pada diri saya sendiri karena saya tidak teliti dan baru
melihat benda-benda tersebut saat itu. Ini pasti merupakan petunjuk yang amat
penting. Poirot mencelupkan sebuah jarinya ke dalam panci kecil dan mencicipnya
sedikit dengan agak takut-takut. Dia menyeringai.
"Coklat - campur - kelihatannya - rum."
Dia melewati pecahan barang-barang di lantai, di dekat meja yang terguling tadi.
Lampu baca, buku-buku, korek api, serenceng kunci, dan pecahan cangkir kopi
terserak di situ. "Ah, ini mencurigakan," katanya.
"Terus terang saja aku tidak berpikir ada yang mencurigakan di sini."
"Tidak" Coba perhatikan. Lampu baca ini - semprongnya pecah; pecahannya
berserakan di situ waktu benda itu jatuh. Tapi lihat, cangkir kopi ini remuk
menjadi bubuk." "Ah," kata saya capek. "Pasti ada orang yang menginjaknya."
"Tepat," kata Poirot dengan suara aneh. "Seseorang telah menginjaknya."
Dia berdiri, kemudian berjalan ke perapian. Dia memegang-megang benda pajangan
yang ada di atas perapian itu sambil merenung.
"Mon ami," katanya, "orang itu menginjak cangkir kopi sampai remuk karena
cangkir itu mengandung strychnine - atau - yang lebih gawat lagi - karena cangkir itu
tidak mengandung strychnine!"
Saya hanya diam. Saya bingung tapi saya tahu tak ada gunanya meminta dia supaya
menerangkannya. Sesaat kemudian dia bergerak lagi dan melanjutkan
penyelidikannya. Dia mengambil rencengan kunci itu dari lantai dan mengamatinya.


Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipilihnya sebuah yang masih baru dan dimasukkannya ke lubang kunci tas berwarna
ungu itu. Ternyata cocok. Dia membuka tas itu. Tetapi setelah ragu-ragu sejenak
dia menutup dan menguncinya kembali. Dia memasukkan rencengan kunci dan kunci
tas itu sendiri ke dalam sakunya.
"Aku tak punya hak untuk membuka-buka dokumen ini. Tapi harus dibuka juga - suatu
saat!" Kemudian dia memeriksa laci bak cuci dengan sangat hati-hati. Di dekat jendela
sebelah kiri setitik noda di atas karpet berwarna coklat yang menarik
perhatiannya. Dia berjongkok dan memeriksanya dengan teliti - bahkan mencium noda
itu. Akhirnya dia memasukkan beberapa tetes coklat ke dalam tabung kecil dan
menutupnya dengan hati-hati. Kemudian dia mengeluarkan catatan kecilnya.
"Kita temukan dalam kamar ini," katanya sambil menulis "enam hal yang menarik.
Perlu aku sebutkan - atau kau yang akan menyebutkan?"
"Oh, kau saja," kata saya cepat-cepat.
"Baik kalau begitu. Satu, sebuah cangkir kopi yang hancur-lebur; dua, sebuah tas
kecil dengan kuncinya; tiga, noda di atas lantai."
"Mungkin juga noda itu sudah lama di situ," sela saya.
"Tidak, karena masih lembab dan berbau kopi. Empat, secarik kain berwarna hijau
tua - hanya terdiri dari dua - tiga helai benang, tapi jelas kelihatan."
"Ah!" seru saya. "Itu yang kaumasukkan ke dalam amplop, bukan?"
"Ya. Barangkali cuma sobekan baju Nyonya Inglethorp sendiri dan tidak berarti
apa-apa. Tapi kita lihat saja. Kelima, ini!" Dengan gerakan dramatis dia
menunjuk ke tetesan lilin di atas lantai di dekat meja tulis. "Pasti terjadi
kemarin, karena pembantu akan membersihkannya kalau sudah ada di situ
sebelumnya." "Bisa jadi tadi malam. Kami semua sangat bingung. Atau mungkin Nyonya Inglethorp
sendiri yang membuat tetesan itu."
"Kalian hanya membawa sebuah lilin waktu masuk kamar?"
"Ya, Lawrence Cavendish yang membawanya. Tapi dia sangat bingung dan kacau. Dia
seolah-olah melihat sesuatu di situ yang membuatnya lumpuh," kata saya sambil
menunjuk perapian. "Menarik sekali," kata Poirot dengan cepat. "Ya, agak mencurigakan - " Matanya
memandang ke seluruh bagian dinding - "tapi ini bukan tetesan lilinnya, karena
lilin ini putih, sedang lilin Tuan Lawrence yang masih terletak di meja rias itu
berwarna merah muda. Sebaliknya, Nyonya Inglethorp tidak punya tempat lilin
karena tidak memakai lilin. Dia memakai lampu baca."
"Lalu apa kesimpulanmu?" tanya saya.
Kawan saya hanya memberikan jawaban yang menyebalkan karena dia menyuruh saya
berpikir sendiri. "Dan yang keenam" Apa contoh coklat itu?" tanya saya.
"Bukan," jawab Poirot sambil berpikir-pikir. "Sebenarnya aku mau memasukkannya
pada daftar keenam, tapi tak jadi. Hal yang keenam aku simpan saja dulu."
Dia memperhatikan kamar itu dari ujung ke ujung dengan cepat. "Rasanya tak ada
lagi yang bisa kita lakukan di sini, kecuali - "Dia memperhatikan abu yang ada di
tungku perapian. "Api itu menyala - dan membakar. Tapi barangkali - coba kita
lihat." Dengan cekatan dan sangat hati-hati tangannya mengorek abu di perapian. Tiba-
tiba dia berseru, "Penjepit, Hastings!"
Dengan cepat saya ulurkan benda yang dimintanya. Dia mengambil sepotong kecil
kertas yang hampir gosong.
"Nah, mon ami!" katanya. "Apa pendapatmu?"
Saya memperhatikan dengan teliti. Inilah reproduksinya:
[IMG-AC192003.jpg] Saya bingung. Kertas itu tebal, tidak seperti kertas biasa. Tiba-tiba saya
berseru, "Poirot! Ini kan potongan surat wasiat!"
"Memang." Saya memandangnya dengan tajam.
"Kau tidak heran?"
"Tidak. Aku memang mengharapkannya," katanya dengan sedih.
Saya melepaskan kertas itu dan Poirot menyimpannya dengan hati-hati dan sangat
rapi di dalam tasnya. Pikiran saya berputar. Apa yang terjadi dengan surat
wasiat ini" Siapa yang membakarnya" Orang yang meneteskan lilin di lantai"
Kelihatannya begitu. Tap bagaimana dia bisa masuk" Semua pintu terkunci dari
dalam. "Sekarang kita pergi dari sini," kata Poirot cepat. "Aku ingin menanyai pelayan
kamar - Dorcas ya, namanya?"
Kami masuk ke kamar Alfred Inglethorp, dan Poirot berhenti untuk menelitinya.
Kami keluar dari kamar Alfred dan mengunci kembali pintunya serta pintu kamar
Nyonya Inglethorp. Kami turun dan masuk ke ruang kerja Nyonya Inglethorp karena Poirot ingin
melihatnya. Kemudian saya keluar mencari Dorcas.
Ketika saya kembali dengan Dorcas, ruangan itu kosong.
"Poirot, di mana kau?" seru saya.
"Aku di sini." Rupanya dia berada di luar, di teras, berdiri menikmati dan mengagumi kebun
bunga di luar. "Mengagumkan!" katanya. "Sangat mengagumkan. Begitu simetris! Lihat lengkungan
itu, dan bentuk wajik itu - rapi sekali. Jaraknya juga sempurna."
"Ya. Kelihatannya mereka mengerjakannya kemarin sore. Tapi masuklah - Dorcas ada
di sini." "Eh bien, eh bien! Jangan mengganggu, aku sedang menikmati pemandangan indah
ini." "Ya, tapi kejadian ini kan lebih penting."
"Apa kau yakin bahwa begonia yang indah itu tidak sama pentingnya?"
Saya hanya mengangkat bahu. Tak ada gunanya berargumentasi dengan dia kalau
pandangannya sudah begitu.
"Kau tidak setuju" Tapi hal-hal semacam itu pernah terjadi. Baiklah, aku akan
bicara dengan Dorcas yang tabah itu."
Dorcas berdiri di kamar kerja itu. Tangannya dilipat di depan. Rambut abu-abunya
berombak kaku di bawah topi putihnya. Dia memang merupakan model dan gambaran
yang tepat dari seorang pelayan yang kuno.
Sikapnya terhadap Poirot cenderung curiga, tetapi dengan cepat Poirot mematahkan
sikap itu. Dia mendorong sebuah kursi.
"Silakan duduk, Nona."
"Terima kasih, Tuan."
"Kau telah lama bekerja di sini, bukan?"
"Sepuluh tahun, Tuan."
"Wah, sudah lama sekali. Kau benar-benar setia. Tentunya kau dekat dengan
Nyonya, ya?" "Beliau sangat baik, Tuan."
"Kalau begitu kau tak akan keberatan menjawab beberapa pertanyaan. Aku
mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini dengan izin Tuan Cavendish."
"Oh, tentu, Tuan."
"Baik. Aku akan mulai dengan kejadian kemarin. Apa Nyonya Inglethorp
bertengkar?" "Ya, Tuan. Tapi saya tak tahu apakah saya - " Dorcas ragu-ragu.
Poirot memandangnya dengan tajam.
"Dorcas, aku perlu mengetahui semuanya secara mendetil. Jangan berpikir bahwa
kau mengkhianati nyonyamu. Beliau sekarang telah meninggal, dan kita perlu
mengetahui segalanya kalau kita mau menuntut bela untuknya. Memang tak akan ada
sesuatu yang bisa membuatnya hidup kembali, tapi seandainya ada hal-hal yang
tidak beres, kita perlu tahu siapa pelakunya."
"Mudah-mudahan," kata Dorcas tegas. "Dan tanpa menyebut nama, memang ada
seseorang di rumah ini yang tidak disukai siapa pun di sini! Dan sejak
kedatangannya tak ada hal yang beres di sini."
Poirot dengan sabar menunggu sampai rasa marah Dorcas berkurang. Kemudian dengan
tegas dia berkata, "Dan tentang pertengkaran itu" Apa yang kaudengar pertama kali?"
"Kebetulan kemarin sore - saya berada di koridor - "
"Jam berapa itu?"
"Saya tak ingat tepatnya, Tuan. Tapi tidak lama sebelum waktu minum teh.
Barangkali jam empat. Atau lebih. Saya kebetulan lewat ruangan ini kemarin dan
saya mendengar suara keras dan ribut di sini. Saya tak bermaksud mendengarkan
pembicaraan itu, tapi - saya berhenti. Pintu itu tertutup. Tapi Nyonya bicara
dengan suara keras dan nyaring. Saya bisa mendengar dengan jelas suaranya, Kau
membohongiku dan menipuku. Saya tak mendengar jawaban Tuan Inglethorp karena dia
bicara dengan suara rendah. Kemudian Nyonya berkata lagi, 'Kau memang
keterlaluan. Sudah dihidupi, diberi makan dan pakaian, tapi apa balasmu" Membuat
aku malu!' Saya tidak mendengar apa yang dikatakan Tuan Inglethorp. Tapi Nyonya
melanjutkan, 'Tak ada gunanya apa yang kaukatakan itu. Aku tahu apa yang harus
kulakukan. Aku sudah menentukan sikap. Aku tak peduli dengan publisitas apa pun
yang akan tersebar karena skandal suami-istri ini.' Saya cepat-cepat pergi
karena kelihatannya mereka akan keluar."
"Kau yakin bahwa yang kaudengar itu adalah suara Tuan Inglethorp?"
"Oh ya, Tuan. Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Lalu apa yang terjadi kemudian?"
"Beberapa saat kemudian saya kembali ke koridor itu, tapi suasana sepi sekali.
Jam lima Nyonya Inglethorp membunyikan bel dan menyuruh saya membawa secangkir
teh - tanpa kue - ke kamar kerja beliau. Wajahnya sangat mencemaskan - pucat dan
gelisah. 'Dorcas,' katanya, 'ada hal yang mengejutkanku.' 'Sebaiknya Nyonya
minum secangkir teh panas dulu. Supaya merasa enak.' Tangan Nyonya memegang
sesuatu. Saya tak tahu apakah itu surat atau selembar kertas biasa, tapi ada
tulisannya, dan Nyonya memandang kertas itu terus-menerus, seolah-olah tak
percaya dengan apa yang tertulis di situ. Nyonya berbisik sendiri seolah-olah
lupa bahwa saya ada di situ. 'Kata-kata ini - semuanya berubah.' Dan kemudian
beliau berkata pada saya, 'Jangan percaya pada lelaki, Dorcas. Tak ada gunanya!'
Saya cepat-cepat keluar, mengambil secangkir teh kental. Nyonya berterima kasih
dan berkata bahwa Nyonya akan merasa lebih enak setelah minum teh itu. 'Aku tak
tahu apa yang harus aku lakukan,' katanya. 'Skandal antara suami-istri sangat
mengerikan, Dorcas. Rasanya aku lebih suka menutupinya kalau bisa.' Kemudian Nyonya Cavendish masuk, jadi Nyonya tidak bicara apa-apa lagi."
"Apa surat atau kertas itu masih dipegangnya?"
"Ya, Tuan." "Kira-kira apa yang akan dilakukannya dengan kertas itu?"
"Saya tak tahu, Tuan. Saya rasa Nyonya akan menyimpannya dalam tas ungunya."
"Apakah beliau biasanya menyimpan surat-surat penting di situ?"
"Ya, Tuan. Beliau biasanya membawa turun tas itu kalau pagi, dan membawanya ke
atas kalau malam." "Kapan kunci tas itu hilang?"
"Kunci itu hilang kemarin pada waktu makan siang, Tuan, dan Nyonya menyuruh saya
agar menjaganya dengan hati-hati. Beliau sangat bingung."
"Tapi beliau punya kunci duplikat, kan?"
"Oh, ya, Tuan."
Dorcas memandang Poirot dengan curiga. Saya pun sebenarnya ingin tahu. Kenapa
dia menanyakan kunci yang hilang itu" Poirot tersenyum.
"Jangan kuatir, Dorcas. Pekerjaanku mengharuskan aku untuk mengetahui banyak
hal. Apakah kunci ini yang hilang?" Dia mengeluarkan kunci yang ditemukannya di
tas ungu itu dari sakunya.
Mata Dorcas seolah-olah akan copot.
"Benar, Tuan. Memang itu kuncinya. Tuan dapat dari mana" Saya sudah mencarinya
di mana-mana." "Tapi kunci itu tidak di tempat yang sama seperti kemarin pada waktu kutemukan.
Nah, aku ingin bertanya lagi. Apa Nyonya punya baju berwarna hijau tua?"
Dorcas agak terkejut dengan pertanyaan yang tak terduga itu.
"Tidak, Tuan." "Kau yakin?" "Ya, Tuan." "Apa ada seseorang di rumah ini yang punya gaun berwarna hijau?"
Dorcas mengingat-ingat. "Nona Cynthia punya gaun malam berwarna hijau."
"Hijau muda atau tua?"
"Hijau muda, Tuan. Dari sifon."
"Ah, itu bukan yang aku maksud. Tak ada lagi yang punya gaun hijau?"
"Tidak, Tuan - setahu saya tidak."
Wajah Poirot tidak menunjukkan perasaannya. Dia hanya berkata,
"Baik. Kita teruskan dengan hal yang lain. Apa kau tahu bahwa Nyonya makan bubuk
obat tidur tadi malam?"
"Bukan tadi malam, Tuan. Saya tahu benar."
"Bagaimana kamu bisa yakin?"
"Karena tempatnya kosong. Terakhir kali beliau makan dua hari yang lalu, dan
belum membeli lagi."
"Kau yakin akan hal itu?"
"Yakin sekali."
"Baiklah. Apa Nyonya menyuruhmu menandatangani sesuatu kemarin?"
"Menandatangan" Tidak, Tuan."
"Ketika Tuan Hastings dan Tuan Lawrence datang kemarin malam, Nyonya sedang
sibuk menulis surat. Apa kau tahu kepada siapa saja surat itu ditujukan?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Kemarin malam saya keluar. Barangkali Annie bisa memberi
tahu. Tapi dia agak ceroboh. Tidak membersihkan cangkir-cangkir kopi tadi malam.
Selalu begitu kalau tak ada saya. - Tak ada yang beres."
Poirot mengangkat tangannya.
"Karena belum dibersihkan, biarkan dulu cangkir-cangkir itu, Dorcas. Aku ingin
memeriksanya." "Baik, Tuan." "Jam berapa kau keluar kemarin malam?"
"Kira-kira jam enam, Tuan."
"Terima kasih, Dorcas. Itu dulu pertanyaanku." Dia berdiri dan mondar-mandir di
dekat jendela. "Aku mengagumi kebun bunga itu. Berapa tukang kebun yang bekerja
di sini?" "Hanya tiga, Tuan. Ada lima sebelum perang. Ketika rumah ini masih dipelihara
dengan baik seperti seharusnya rumah orang yang terhormat. Seandainya Tuan bisa
melihat saat itu - ah, indah sekali. Tapi sekarang hanya ada Pak Tua Manning dan
si William, dan seorang tukang kebun wanita yang modern dan memakai celana
panjang. Ah, ini memang bukan masa yang menyenangkan!"
"Masa yang menyenangkan akan datang lagi, Dorcas. Setidak-tidaknya kita harapkan
demikian. Coba sekarang tolong panggilkan Annie."
"Ya, Tuan. Terima kasih, Tuan."
"Bagaimana kau tahu bahwa Nyonya Inglethorp makan bubuk obat tidur?" tanya saya
ingin tahu ketika Dorcas telah keluar. "Dan tentang kunci yang hilang dan
duplikatnya?" "Satu per satu kalau bertanya. Tentang obat itu aku tahu dari ini." Tiba-tiba
dia mengeluarkan sebuah dos kecil yang biasa di pakai di toko-toko obat.
"Dari mana benda itu?"
"Dari laci bak cuci dalam kamar Nyonya Inglethorp. Ini adalah benda keenam yang
kutemukan di sana." "Tapi tidak penting lagi, kan" Isinya sudah habis dua hari yang lalu."
"Barangkali tidak. Tapi apakah kau melihat sesuatu yang aneh pada kotak ini?"
Saya memeriksanya. "Rasanya tidak ada."
"Lihatlah labelnya."
Saya membaca Label itu dengan teliti, "'Satu bungkus sebelum tidur, kalau perlu
Nyonya Inglethorp'. Tak ada yang aneh," kata saya.
"Tidak aneh kalau tak ada nama tokonya?"
"Ah! Ya, benar!"
"Kau sudah pernah melihat seorang ahli obat yang mengeluarkan obat tanpa
membubuhkan nama tokonya?"
"Belum" Saya jadi bersemangat. Tetapi Poirot meredakan perasaan saya dengan berkata,
"Penjelasannya sederhana saja. Jangan berpikir terlalu jauh."
Suara langkah Annie terdengar mendekat. Jadi saya tak berkata apa-apa.
Annie adalah seorang gadis yang manis. Kelihatannya dia justru menikmati
kegemparan karena tragedi yang terjadi di dekatnya.
Poirot menanyainya dengan tegas tanpa membuang waktu.
"Kau kupanggil karena mungkin kau bisa memberi tahu aku tentang surat-surat yang
ditulis Nyonya Inglethorp kemarin malam. Ada berapa surat dan tahukah kau nama-
nama dan alamat penerimanya?"
Annie berpikir. "Ada empat surat, Tuan. Satu untuk Nona Howard, dan satu untuk Tuan Wells,


Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengacara Nyonya. Dua surat yang lain tidak saya ingat - oh ya, satu untuk Ross's,
pemilik katering di Tadminster, yang satu lagi saya tidak ingat."
"Coba diingat-ingat dulu," desak Poirot.
Annie mencoba berpikir keras.
"Maafkan, Tuan. Saya tidak ingat. Saya rasa saya tidak membacanya."
"Baiklah, tak apa-apa," kata Poirot tanpa menunjukkan kekecewaannya. "Aku ingin
menanyakan hal lainnya. Ada sebuah panci kecil di kamar Nyonya Inglethorp yang
berisi coklat. Apa dia biasa minum coklat setiap malam?"
"Ya, Tuan Kami selalu menyediakannya di kamar setiap malam. Nyonya akan
menghangatkan sendiri kalau ingin minum."
"Apa isi panci itu" Coklat saja?"
"Ya, Tuan. Dicampur dengan susu, satu sendok teh gula, dan dua sendok teh rum."
"Siapa yang membawanya ke kamar?"
"Saya, Tuan." "Selalu?" "Ya, Tuan." "Jam berapa?" "Kira-kira saat saya masuk untuk menutup gorden."
"Apa kau selalu membawanya langsung dari dapur?"
"Tidak Tuan. Kompor tidak cukup banyak. Jadi juru masak membuatnya dulu sebelum
masak sayur untuk makan malam. Lalu saya membawanya ke atas dan meletakkannya di
atas meja di dekat pintu ayun untuk sementara. Saya membawanya masuk kemudian."
"Pintu ayun itu ada di bagian kiri rumah, kan?"
"Betul, Tuan." "Dan meja itu, apa ada di sebelah sini, atau di sebelah sana, dekat ruang
pelayan?" "Di sebelah sini, Tuan."
"Jam berapa kau membawanya ke atas tadi malam?"
"Kira-kira jam tujuh seperempat, Tuan."
"Dan jam berapa kau membawanya masuk?"
"Kira-kira jam delapan. Nyonya Inglethorp sudah siap akan tidur sebelum saya
selesai menutup gorden."
"Jadi, kalau begitu coklat itu ada di meja di sayap kiri antara jam tujuh
seperempat sampai jam delapan?"
"Ya, Tuan." Wajah Annie bertambah merah. Tiba-tiba tanpa diduga dia berkata,
"Dan kalau di dalamnya ada garam, bukan saya yang menaruhnya. Saya tak pernah
meletakkan garam itu di dekatnya."
"Kenapa kau mengatakan ada garam di dalamnya?" tanya Poirot.
"Karena saya melihatnya di nampan, Tuan."
"Kau melihat garam di nampan?"
"Ya. Garam dapur yang kasar kelihatannya. Saya tidak melihatnya ketika membawa
nampan itu ke atas, tapi ketika membawanya masuk ke kamar Nyonya, baru saya
melihatnya. Seharusnya saya membawanya turun dan minta juru masak membuatkan
lagi. Tapi saya terburu-buru sebab Dorcas tidak ada. Saya pikir coklat itu tidak
apa-apa dan garam itu hanya mengotori nampan saja. Jadi saya bersihkan garam itu
dengan celemek saya."
Hampir saja saya tak bisa mengendalikan emosi. Tanpa dia sadari, Annie telah
memberikan sebuah bukti yang amat penting. Dia pasti terkejut kalau tahu bahwa
'garam dapur kasar'-nya itu adalah strychnine, salah satu racun paling
berbahaya. Saya memandang Poirot yang kelihatan tenang-tenang saja. Kontrol
dirinya memang luar biasa. Saya menunggu pertanyaannya yang berikut dengan tidak
sabar. Tapi saya kecewa setelah mendengarnya.
"Ketika kamu masuk kamar Nyonya Inglethorp, apa pintu yang menghubungkan kamar
Nona Cynthia terkunci?"
"Oh! Ya, Tuan; selalu. Pintu itu tak pernah dibuka."
"Dan pintu ke kamar Tuan Inglethorp" Apa kau melihat pintu itu dikunci?"
Annie ragu-ragu. "Saya tak bisa mengatakannya, Tuan; pintu itu ditutup tapi saya tidak tahu
apakah dikunci atau tidak."
"Ketika kamu keluar dari kamar, apakah Nyonya Inglethorp langsung mengunci
pintunya?" "Tidak, Tuan. Tapi Nyonya pasti menguncinya kemudian. Biasanya beliau mengunci
pintu itu pada malam hari. Maksud saya, pintu yang ke koridor."
"Apa kau melihat bekas tetesan lilin pada waktu membersihkan kamar kemarin?"
"Tetesan lilin" Oh, tidak Tuan. Nyonya Inglethorp tak punya lilin. Beliau
memakai lampu baca."
"Kalau begitu, seandainya ada tetesan lilin di atas lantai, kau pasti
melihatnya?" "Ya, Tuan. Dan pasti akan saya bersihkan."
Lalu Poirot mengulangi pertanyaan yang tadi ia tujukan pada Dorcas,
"Apakah Nyonya punya gaun berwarna hijau?"
"Tidak, Tuan." "Atau mantel atau baju hangat?"
"Tak ada yang hijau, Tuan."
"Mungkin orang lain di rumah ini?"
Annie berpikir. "Tidak, Tuan." "Kau yakin?" "Sangat yakin."
"Bien! Itu saja yang ingin kuketahui. Terima kasih."
Dengan agak gugup Annie keluar. Emosi saya meledak.
"Poirot," seru saya. "Selamat! Benar-benar penemuan besar."
"Penemuan besar apa?"
"Bahwa coklatnya, dan bukan kopinya yang diracuni. Pantas! Tentu saja
pengaruhnya baru kelihatan di pagi hari, karena coklatnya baru diminum sekitar
tengah malam." "Jadi kau berpikir bahwa coklat itu - perhatikan kata-kataku, Hastings - coklat itu
yang mengandung racun?"
"Tentu saja! Garam di nampan itu, apa lagi kalau bukan strychnine?"
"Barangkali juga memang garam," kata Poirot tenang.
Saya hanya mengangkat bahu. kalau dia sudah berpendapat begitu, tak ada gunanya
berdebat dengan dia. Pikiran bahwa Poirot tua itu memang bertambah tua, berkali-
kali muncul di kepala saya. Dan diam-diam saya berpikir dia beruntung karena
bisa bertukar pikiran dengan orang-orang yang bisa menerima idenya dengan baik.
Poirot memandang saya dengan mata bersinar.
"Kau tidak senang denganku, mon ami?"
"Poirot, aku kan tidak mendiktemu. Kau dan aku sama-sama punya hak untuk
berpendapat." "Pendapat yang bagus," katanya. "Aku sudah selesai dengan ruangan ini. Meja
kecil itu meja siapa?"
"Tuan Inglethorp."
"Ah!" Dia mencoba membuka tutupnya. "Terkunci. Tapi barangkali salah satu kunci
Nyonya Inglethorp bisa dipakai." Dia mencoba beberapa kunci dengan cekatan.
Akhirnya dia berseru dengan keras, "Voila! Bukan kunci. Meja ini akan membuka
kalau ditekan." Dia membuka meja itu dan tangannya yang cekatan membuka-buka
dokumen yang tertumpuk rapi. Saya heran karena Poirot tidak memeriksa dokumen-
dokumen itu, tetapi hanya berkata, "Tuan Inglethorp memang orang yang punya
metode." Dalam kamus Poirot, 'orang yang punya metode' merupakan pujian yang paling
tinggi bagi seseorang. Sekali lagi saya merasa bahwa Poirot yang sekarang bukanlah Poirot yang dulu
ketika dia bergumam sendiri,
"Tidak ada perangko di meja ini. Tapi barangkali sebelumnya ada, eh, mon ami"
Mungkin sebelumnya ada. Ya," Matanya memandang berkeliling ruangan - "tak ada
lagi yang bisa diceritakan oleh ruangan ini kepada kita. Kecuali ini."
Dia mengeluarkan segumpal amplop dari sakunya dan mencoba meluruskannya sambil
menyodorkannya kepada saya. Amplop itu agak aneh. Amplop biasa yang kelihatan
kotor dengan kata-kata yang tertulis tidak keruan seperti ini:
[IMG-AC192004.jpg] Bab 5 "BUKAN STRYCHNINE, KAN?"
"DARI MANA ini?" tanya saya pada Poirot, ingin tahu.
"Dari keranjang sampah. Kau kenal tulisan tangan ini?"
"Ya. Tulisan Nyonya Inglethorp. Tapi apa artinya?"
Poirot mengangkat bahu. "Aku tak tahu - tapi agak mencurigakan."
Sebuah kekuatiran hinggap di benak saya. Mungkinkah Nyonya Inglethorp sakit
jiwa" Atau dikuasai roh jahat" Kalau demikian, bukankah ada kemungkinan bahwa
dia sendirilah yang mengakhiri hidupnya"
Pendapat itu baru saja akan saya beri tahukan pada Poirot ketika dia berkata,
"Ayo kita periksa cangkir-cangkir kopi itu!"
"Poirot, apa gunanya kita melakukan hal itu" Kita kan sudah menemukan coklat
itu?" "Oh, l? l?. Coklat itu!" seru Poirot dengan santai.
Dia tertawa geli sambil mengangkat tangan ke atas seolah-olah mengejek saya.
Huh, seleranya rendah sekali.
"Dan lagi," kata saya dengan nada dingin, "kan Nyonya Inglethorp sendiri yang
membawa kopinya ke atas, rasanya tak ada lagi yang bisa kita temukan, kecuali
kalau kau menganggap ada kemungkinan besar kita menemukan sebungkus strychnine
di atas nampan!" Poirot seketika jadi tenang.
"Baiklah, Kawan," katanya sambil menyelipkan tangannya di lengan saya. "Ne vous
f?chez pas! Biarlah aku memeriksa cangkir kopi itu. Kau boleh meneruskan ide
coklatmu itu, setuju?"
Dia bicara begitu lucu sehingga saya terpaksa tertawa. Kami ke ruang keluarga
bersama-sama, cangkir-cangkir kopi dan nampannya masih tetap tak berubah,
seperti waktu kami tinggalkan.
Poirot meminta saya menceritakan kembali kejadian kemarin malam Dia mendengarkan
dengan penuh perhatian sambil memperjelas letak masing-masing cangkir.
"Jadi Nyonya Cavendish berdiri di dekat nampan - dan menuang kopi. Ya. Kemudian
dia berjalan ke jendela ke dekat tempatmu duduk dengan Cynthia. Ya. Ini ada tiga
cangkir Dan ada cangkir yang di atas perapian, yang isinya tinggal separuh.
Tentunya ini kopi Tuan Lawrence Cavendish. Dan satu cangkir yang ada di nampan?"
"Cangkir John Cavendish. Aku melihatnya meletakkan cangkir itu di situ."
"Bagus. Satu, dua, tiga, empat, lima - lho, mana cangkir kopi Tuan Inglethorp?"
"Dia tidak minum kopi."
"Kalau begitu semua sudah terhitung. Sebentar, Kawan."
Dengan sangat hati-hati dia mengambil contoh kopi dari setiap cangkir dan
dimasukkannya ke dalam tabung-tabung kecil setelah dicicipinya. Wajahnya
berubah, kelihatan setengah heran setengah lega.
"Bien!" akhirnya dia berkata. "Sudah terbukti! Ideku ternyata keliru. Ya, aku
membuat kekeliruan. Tapi aneh. Tak apalah!"
Sambil mengangkat bahu dengan gayanya yang khas dia membicarakan hal-hal yang
membuatnya kuatir. Saya sebenarnya ingin mengatakan kepadanya bahwa persoalan
kopi itu tak akan membawanya ke mana-mana, tapi saya berusaha menahan diri.
Walaupun kini sudah tua, dulu Poirot adalah seorang detektif ulung.
"Sarapan sudah siap," kata John Cavendish sambil berjalan masuk. "Anda bersedia
makan bersama kami, Tuan Poirot?"
Poirot setuju. Saya memperhatikan John. Kelihatannya dia telah kembali seperti
biasa. Kejutan kemarin malam hanya membuatnya bingung sebentar. Sekarang dia
telah normal kembali. John memang seorang lelaki yang hanya memiliki sedikit
imajinasi. Sangat berbeda dengan Lawrence, yang mungkin justru punya terlalu
banyak. Sejak pagi John telah sibuk. Mengirim telegram - salah satu di antaranya untuk
Evelyn Howard - menulis pemberitahuan di koran, dan menyiapkan segala sesuatu
lainnya yang biasa dilakukan kalau ada kematian.
"Apa boleh saya tanya bagaimana hasil penyelidikan Anda?" katanya. "Apa
penyelidikan itu mengarah pada kesimpulan bahwa ibu saya meninggal secara wajar -
atau - atau - apa sebaiknya kita bersiap dengan hal yang paling buruk?"
"Tuan Cavendish," kata Poirot dengan nada suara yang hati-hati, "saya rasa
sebaiknya Anda tidak menenggelamkan diri dalam buaian harapan palsu. Apa Anda
bisa menceritakan pada saya tentang pendapat para anggota keluarga yang lain?"
"Adik saya Lawrence sangat yakin bahwa kita ini hanya mengada-ada Dia mengatakan
bahwa yang dialami Ibu adalah kasus serangan jantung yang sederhana saja."
"Ah, begitukah" Sangat menarik - sangat menarik," gumam Poirot lembut. "Dan Nyonya
Cavendish?" Wajah John menjadi suram.
"Saya sama sekali tidak tahu apa pendapat istri saya tentang hal ini."
Dia menjawab dengan suara kaku. Tapi kemudian berusaha untuk tidak terdengar
kaku dengan membelokkan pembicaraan,
"Saya telah memberitahukan bahwa Tuan Inglethorp telah kembali, bukan?"
Poirot menganggukkan kepalanya.
"Kami semua jadi serba salah. Tentu saja kami harus memperlakukan dia seperti
biasa - tapi, Anda mengerti bukan, bagaimana rasanya harus duduk dan makan bersama
orang yang mungkin adalah seorang pembunuh!"
Poirot mengangguk penuh pengertian.
"Saya mengerti. Memang merupakan posisi yang menyulitkan bagi Anda, Tuan
Cavendish. Saya ingin menanyakan satu hal. Alasan Tuan Inglethorp tidak pulang
kemarin malam adalah karena kuncinya ketinggalan, bukan?"
"Ya." "Anda yakin bahwa kunci itu memang ketinggalan" Bahwa memang dia sengaja tidak
membawanya?" "Saya tak tahu Saya tak pernah mencek. Kami selalu menyimpannya di laci ruang
depan. Akan saya lihat kalau begitu apa kunci itu ada di situ."
Poirot mengacungkan tangannya sambil tersenyum.
"Tak perlu, Tuan Cavendish. Sudah terlambat sekarang. Saya yakin bahwa Anda
pasti akan melihat kunci itu di situ. Seandainya Tuan Inglethorp membawa kunci
itu, dia punya banyak waktu untuk mengembalikannya."
"Tapi, apakah Anda pikir - "
"Saya tidak memikirkan apa-apa. Seandainya ada yang melihat laci itu pagi tadi
sebelum dia kembali, dan kunci itu ada di sana, maka itu akan sangat menguatkan
alasan Tuan Inglethorp. Itu saja."
John kelihatan bingung. "Jangan kuatir," kata Poirot lembut. "Jangan dipikirkan lagi. Karena Anda sudah
begitu baik, kita mulai saja sarapan pagi."
Semua berkumpul di ruang makan. Tentu saja tak seorang pun berwajah gembira.
Reaksi setelah adanya suatu kejutan memang kelihatan. Dan kami semua
merasakannya. Tapi saya tak yakin apakah penguasaan diri yang menyebabkan tak
seorang pun dari kami yang bermata merah atau bermuka sedih. Yang saya ketahui,
Dorcas-lah satu-satunya orang yang merasakan tragedi ini secara pribadi.
Saya perhatikan Alfred Inglethorp yang sedang memainkan peranan seorang suami
yang ditinggal mati istrinya Sikapnya yang munafik itu sangat menyebalkan. Saya
tak tahu apakah dia merasa bahwa kami mencurigainya. Tentunya dia bisa
melihatnya dengan jelas. Apakah dia merasakan suatu ketakutan" Atau justru
merasa yakin bahwa perbuatan jahatnya akan berlalu dengan aman tanpa hukuman"
Tentunya suasana di sekitarnya cukup memberi tanda bahwa dirinya merupakan orang
yang dicurigai. Tapi apakah setiap orang mencurigainya" Bagaimana dengan Nyonya Cavendish" Dia
duduk di ujung meja dengan sikap yang luwes, anggun, dan misterius. Dengan gaun
abu-abu berhias renda putih di ujung tangannya yang ramping itu, dia kelihatan
sangat cantik. Tetapi dia juga bisa bersikap seperti sphinx yang misterius itu.
Dia tak banyak bicara, hampir tak pernah membuka mulut. Namun demikian, anehnya
aku merasa bahwa kekuatan pribadinya seolah-olah mendominasi kita semua.
Dan Cynthia" Apakah dia mencurigai seseorang" Gadis itu kelihatan kurang sehat
dan lelah. Saya bertanya apakah dia sakit, dan dia menjawab,
"Ya, kepalaku pusing sekali."
"Mau tambah lagi kopinya?" kata Poirot penuh perhatian. "Akan lebih menyegarkan.
Tidak sama dengan mal de t?te." Poirot segera berdiri dan mengambil cangkir
Cynthia. "Tidak pakai gula," kata Cynthia sambil memperhatikan Poirot yang sedang
memegang penjepit gula. "Tidak pakai gula" Anda tidak memakainya lagi dalam masa perang ini?"
"Tidak. Saya memang tidak pernah minum kopi dengan gula."
"Sacre!" Poirot bergumam sendiri ketika membawa cangkir kopi Cynthia.
Hanya sayalah yang mendengar perkataannya Dengan agak curiga saya pandangi
wajahnya yang kelihatan menyimpan suatu rahasia. Matanya sehijau mata kucing.
Apakah dia mendengar atau melihat sesuatu yang sangat mencurigakan" Tapi apakah
itu" Saya merasa bahwa saya bukan orang tolol. Tapi saya akui bahwa tak ada
sesuatu yang luar biasa yang menarik perhatian saya.
Pintu terbuka dan Dorcas masuk.


Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan Wells ingin bertemu, Tuan," katanya pada John.
Saya ingat bahwa dia adalah pengacara Nyonya Inglethorp.
John segera berdiri. "Antarkan beliau ke ruang kerjaku," Kemudian dia berkata kepada kami, "Pengacara
Ibu," katanya menerangkan. Dan dengan suara rendah menambahkan, "Dia juga
seorang Coroner* Barangkali Anda ingin bicara dengannya?" (*petugas pemeriksa
sebab-musabab kematian) Kami setuju dan mengikutinya ke luar ruang makan. John berjalan di depan dan
saya menggunakan kesempatan itu untuk bertanya kepada Poirot,
"Kalau begitu akan ada pemeriksaan?"
Poirot mengangguk linglung. Kelihatannya ada yang sedang dipikirkannya. Saya
jadi ingin tahu. "Ada apa" Kau tidak memperhatikan pertanyaanku?"
"Benar, Kawan. Aku sedang kuatir."
"Mengapa?" "Karena Nona Cynthia tidak minum kopi dengan gula."
"Apa kau serius?"
"Tentu saja. Ah, ada sesuatu yang tak kumengerti. Instingku memang benar."
"Insting apa?" "Insting yang membuatku memeriksa cangkir-cangkir itu. Chut! Sudahlah!"
Kami mengikuti John masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia menutup pintu.
Tuan Wells adalah seorang lelaki setengah baya yang menyenangkan, bermata tajam
dan bermulut seperti kebanyakan pengacara lainnya. John memperkenalkan kami dan
menerangkan alasan kehadiran kami.
"Kuharap kau mengerti, Wells, bahwa ini semua dilakukan dengan diam-diam. Kami
masih berharap agar tak perlu ada pemeriksaan."
"Benar. Benar," kata Tuan Wells dengan simpatik. "Mudah-mudahan saja kami tak
perlu melakukan pemeriksaan dan tak perlu ada publisitas apa-apa. Tapi memang
tak bisa dihindarkan kalau tak ada surat keterangan dari dokter."
"Ya, memang begitu."
"Bauerstein memang luar biasa. Aku dengar dia menguasai bidang toksikologi."
"Ya," jawab John dengan kaku. Lalu dia menambahkan dengan ragu-ragu, "Apa kami
harus hadir sebagai saksi" Maksudku kami semua?"
"Yang pasti kau - dan ah - er - Tuan - er - Inglethorp."
Setelah diam sejenak, pengacara itu melanjutkan dengan sikap menghibur,
"Bukti lainnya akan sangat menguatkan."
"Hm, begitu." Wajah John menjadi lega. Aku sendiri heran melihat sikapnya karena nampaknya dia
sama sekali tak terpengaruh.
"Kalau kau tak keberatan, aku merencanakan pemeriksaan itu hari Jumat nanti,
supaya kami bisa mempelajari laporan dokter. Pemeriksaan mayat akan dilakukan
malam ini, bukan?" "Ya." "Kalau begitu kau bisa menyetujui rencana kami?"
"Ya." "Aku sendiri ikut sedih dengan peristiwa ini, John."
"Apa Anda bisa membantu kami memecahkan persoalan ini?" tanya Poirot.
"Saya?" "Ya. Kami dengar Nyonya Inglethorp menulis surat kepada Anda kemarin malam.
Tentunya surat itu telah Anda terima tadi pagi."
"Benar. Tapi tidak ada isinya. Hanya mengatakan agar saya menemuinya pagi ini
karena dia memerlukan nasihat saya."
"Apa tidak ada - petunjuk, barangkali. Kira-kira tentang hal apa."
"Sayang sekali tidak ada."
"Ah, sayang," kata John.
"Ya, sayang sekali," kata Poirot kaku.
Kami diam Poirot diam berpikir beberapa saat. Akhirnya dia bertanya lagi pada
pengacara itu. "Tuan Wells, ada hal yang ingin saya tanyakan - kalau ini tidak menyalahi etika
profesi Anda. Dengan kematian Nyonya Inglethorp, siapa yang akan mewarisi
kekayaannya?" Pengacara itu ragu-ragu sejenak, lalu menjawab,
"Hal ini akan segera diketahui umum. Jadi kalau Tuan Cavendish tak keberatan - "
"Sama sekali tidak," kata John.
"Saya tak punya alasan untuk tidak menjawab pertanyaan Anda. Surat wasiat Nyonya
Inglethorp yang terakhir, tertanggal bulan Agustus tahun lalu, menyatakan bahwa
setelah memberikan beberapa peninggalan kepada para pembantu dan sebagainya, dia
mewariskan semuanya kepada anak tirinya, Tuan John Cavendish."
"Bukankah itu - maafkan perkataan saya, Tuan Cavendish - agak kurang adil untuk Tuan
Lawrence Cavendish?"
"Saya rasa tidak. Karena dalam wasiat ayah mereka ada pernyataan bahwa apabila
ibu mereka meninggal, maka John akan menerima rumah dan perkebunan; sedangkan
Lawrence akan menerima sejumlah uang yang cukup banyak. Nyonya Inglethorp
mewariskan uangnya pada John karena tahu bahwa dia memerlukannya untuk
pemeliharaan rumah dan kebun. Menurut saya, pembagian itu sangat adil."
Poirot mengangguk sambil berpikir.
"Baik. Tapi bukankah hukum Inggris menyatakan bahwa surat wasiat tersebut akan
batal secara otomatis apabila Nyonya Inglethorp menikah lagi?"
Tuan Wells menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya saya akan melanjutkan dengan hal ini, Tuan Poirot. Memang dokumen
tadi menjadi tak berarti."
"Hein!" seru Poirot. Dia diam sejenak, kemudian bertanya, "Apakah Nyonya
Inglethorp mengerti akan hal tersebut?"
"Saya tak tahu. Mungkin, dia tahu."
"Dia tahu," kata John tanpa diduga. "Kami membicarakan hal itu kemarin."
"Ah! Satu pertanyaan lagi, Tuan Wells. Anda tadi mengatakan 'wasiatnya yang
terakhir'. Apakah Nyonya Inglethorp beberapa kali membuat surat wasiat?"
"Rata-rata dia membuat surat wasiat setahun sekali," jawab Tuan Wells dengan
tenang. "Dia memang sering berubah pendapat. Kali ini menguntungkan satu anggota
keluarga, kali lain yang lainnya lagi."
"Seandainya," kata Poirot melanjutkan, "tanpa Anda ketahui, tiba-tiba dia
membuat surat wasiat yang menguntungkan orang lain - yang tidak ada hubungan
keluarga dengannya - misalnya saja, untuk Nona Howard - apakah Anda akan terkejut?"
"Sama sekali tidak."
"Ah!" Poirot kelihatannya mengakhiri pertanyaan-pertanyaannya.
Saya mendekatinya ketika John dan pengacara itu sedang asyik bicara untuk
memeriksa dokumen Nyonya Inglethorp.
"Apa kaupikir Nyonya Inglethorp membuat surat wasiat yang mewariskan hartanya
untuk Nona Howard?" bisik saya pada Poirot penuh rasa ingin tahu.
Poirot tersenyum. "Tidak." "Kalau begitu, kenapa kautanyakan?"
"Ssst!" John Cavendish berpaling ke Poirot.
"Anda mau ikut kami, Tuan Poirot" Kami akan memeriksa dokumen-dokumen Ibu. Tuan
Inglethorp bersedia menyerahkan hal itu pada Tuan Wells dan saya."
"Itu akan memudahkan," kata Tuan Wells. "Secara teknis dia berhak - " Dia tidak
melanjutkan kalimatnya. "Kita periksa meja yang ada di ruang kerjanya dulu," kata John. "Setelah itu
yang ada di kamar tidurnya. Ibu biasa menyimpan surat-surat penting dalam tas
kerjanya." "Ya. Mungkin ada sebuah surat wasiat yang lebih baru daripada yang saya pegang,"
kata Tuan Wells. "Memang ada," terdengar suara Poirot.
"Apa?" John dan pengacara itu terkejut.
"Atau, lebih tepatnya," kata kawan saya dengan tenang, "pernah ada."
"Apa maksud Anda - pernah ada" Di mana sekarang?"
"Dibakar!" "Dibakar?" "Ya. Lihat ini." Dia mengambil potongan kertas yang terbakar yang ditemukannya
di perapian dalam kamar Nyonya Inglethorp. Diulurkannya benda itu pada Tuan
Wells sambil menjelaskan dengan singkat di mana dan kapan dia menemukannya.
"Mungkin ini sebuah surat wasiat lama."
"Saya rasa tidak. Saya yakin bahwa surat wasiat itu dibuat kemarin siang."
"Apa?" "Tak mungkin!" Kedua pernyataan itu keluar hampir bersamaan.
Poirot memandang John. "Kalau Anda tak berkeberatan memanggil tukang kebun Anda, saya akan
membuktikannya." "Oh, tentu saja - tapi saya tidak mengerti - "
Poirot mengangkat tangannya.
"Lakukan saja apa yang saya minta. Setelah itu Anda bisa menanyakan apa saja
yang Anda mau." "Baiklah." Dia membunyikan bel.
Dorcas muncul tak lama kemudian.
"Dorcas, tolong panggilkan Manning kemari."
"Ya, Tuan." Dorcas keluar. Kami menunggu dengan perasaan tegang. Poirot sendiri kelihatan santai. Dia
membersihkan debu di sudut lemari buku.
Suara debam sepatu bot di atas kerikil di luar menandakan kedatangan Manning.
John memandang Poirot dengan penuh pertanyaan. Poirot hanya mengangguk.
"Masuklah, Manning. Aku ingin bicara denganmu," kata John.
Manning masuk perlahan-lahan dan dengan ragu-ragu, lalu berdiri dekat jendela.
Topinya dilepas dan dipegangnya sambil diputar-putar. Punggungnya bongkok,
walaupun umurnya mungkin tidak setua penampilannya. Matanya tajam dan kelihatan
cerdas. Bicaranya pelan dan hati-hati.
"Manning," kata John. "Tuan ini ingin menanyakan beberapa pertanyaan padamu.
Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik."
"Ya, Tuan," katanya bergumam.
Poirot melangkah ke depan dengan cepat. Manning memandangnya sekilas dengan
pandangan agak merendahkan.
"Kemarin siang engkau menanam begonia di sisi selatan rumah, bukan?"
"Ya, Tuan. Saya dan William."
"Dan Nyonya Inglethorp datang ke jendela dan memanggilmu, bukan?"
"Ya, Tuan. Benar."
"Coba ceritakan dengan kata-katamu sendiri apa yang terjadi setelah itu."
"Tak banyak, Tuan. Beliau menyuruh William ke desa dengan sepedanya untuk
membeli formulir surat wasiat atau apa - saya tak tahu apa tepatnya - Nyonya
menuliskannya untuk William."
"Lalu?" "Lalu dia pergi."
"Setelah itu apa yang terjadi?"
"Kami melanjutkan menanam begonia, Tuan."
"Apa Nyonya Inglethorp tidak memanggilmu lagi?"
"Ya, Tuan. Nyonya memanggil William dan saya."
"Kemudian?" "Nyonya menyuruh kami masuk, dan menandatangani nama kami di bagian bawah kertas
yang panjang - di bawah tanda tangan Nyonya."
"Apa kau membaca sesuatu yang ada di atas tanda tangannya?" tanya Poirot tajam.
"Tidak, Tuan. Bagian itu ditutup dengan kertas pengering."
"Dan kau menandatangani di tempat yang diperintahkan?"
"Ya, Tuan. Saya dulu, lalu William."
"Apa yang dilakukan Nyonya setelah itu?"
"Nyonya memasukkan kertas itu ke dalam amplop panjang, lalu memasukkannya ke
dalam tas ungu di atas meja."
"Jam berapa ketika Nyonya memanggilmu pertama kali?"
"Kira-kira jam empat, Tuan."
"Tidak lebih siang" Bukan jam setengah empat?"
"Saya kira tidak. Mungkin lebih dari jam empat. Tapi tidak sebelumnya."
"Baiklah. Terima kasih, Manning," kata Poirot ramah.
Tukang kebun itu memandang tuannya. John mengangguk dan Manning menempelkan
sebuah jari di dahinya sambil menggumamkan sesuatu, lalu dia keluar.
Kami saling berpandangan.
"Ya, Tuhan!" seru John. "Suatu kebetulan yang luar biasa."
"Apa - kebetulan?"
"Bahwa Ibu membuat surat wasiat pada hari kematiannya!"
Tuan Wells berdehem dan berkata,
"Anda yakin bahwa hal itu merupakan suatu kebetulan, Tuan Cavendish?"
"Apa maksud Anda?"
"Anda pernah mengatakan bahwa Ibu Anda bertengkar hebat dengan seseorang kemarin
siang - " "Apa maksud Anda?" seru John. Suaranya bernada takut dan wajahnya menjadi pucat.
"Karena pertengkaran itu, ibu Anda lalu membuat surat wasiat dengan tergesa-
gesa. Isi surat wasiat itu tak seorang pun tahu. Dia tak mengatakannya kepada
orang lain. Seandainya ada kesempatan, pasti pagi ini dia membicarakannya dengan
saya. Surat wasiat itu lenyap, dan dia membawa rahasia itu ke kuburnya.
Cavendish, saya rasa tak ada unsur kebetulan di sini. Tuan Poirot, apa Anda
sependapat dengan saya bahwa fakta-fakta itu mencurigakan?"
"Mencurigakan atau tidak," sela John, "kami sangat berterima kasih pada Tuan
Poirot yang telah menjelaskan persoalan ini. Apa Anda keberatan kalau saya ingin
tahu apa yang membuat Anda mencurigai hal tersebut?"
Poirot tersenyum dan menjawab,
"Suatu coretan di atas amplop tua dan begonia yang baru ditanam."
John pasti akan mempertanyakan hal tersebut lebih lanjut seandainya tidak
terdengar gemuruh suara mobil yang melewati jendela.
"Evie!" seru John. "Maaf, Wells," katanya sambil bergegas ke luar.
Poirot memandang saya dengan mata bertanya.
"Nona Howard," kata saya menjelaskan.
"Ah, syukurlah dia datang. Ada juga wanita yang punya hati dan pikiran. Sayang
Tuhan tidak menganugerahinya kecantikan."
Saya mengikuti John ke luar ruangan menemui Nona Howard. Saya merasa sangat
bersalah ketika matanya memandang saya. Inilah wanita yang pernah memperingatkan
saya, namun yang kata-katanya tak pernah saya perhatikan. Begitu cepat saya
melupakan dan begitu ringan saya anggap pesan-pesannya Dan sekarang ketika apa
yang ditakutkannya menjadi kenyataan, saya merasa amat malu. Dia mengenal Alfred
Inglethorp dengan baik. Saya tak tahu apakah bila dia tetap tinggal di sini,
tragedi itu tak akan pernah terjadi. Barangkali saja laki-laki itu takut pada
matanya yang selalu awas.
Saya merasa lega ketika dia menyalami saya dengan genggaman yang kuat dan agak
menyakitkan. Mata yang menatap mata saya memang sedih tetapi tidak membenci.
Dari matanya yang merah kelihatan bahwa dia baru saja menangis. Namun sikapnya
tetap kasar. "Begitu dapat telegram, langsung menyewa mobil. Supaya cepat sampai. Untung
sedang tidak tugas."
"Kau sudah makan, Evie?" tanya John.
"Belum." "Makanlah dulu kalau begitu. Makan pagi masih belum disingkirkan. Mereka akan
membuatkan teh segar untukmu." John berpaling kepada saya. "Tolong temani dia,
Hastings. Wells menungguku. Oh, ini dia Tuan Poirot. Beliau membantu kami,
Evie." Nona Howard bersalaman dengan Poirot, tetapi melemparkan pandangan curiga ke
arah John. "Apa maksudmu - membantu kami?"
"Membantu menyelidik."
"Tak ada yang perlu diselidiki Apa mereka sudah membawanya ke penjara?"
"Membawa siapa?"
"Siapa" Tentu saja, Alfred Inglethorp!"
"Evie, hati-hati. Lawrence saja berpendapat bahwa Ibu meninggal karena serangan
jantung." "Lawrence memang tolol," sahut Evie marah. "Pasti si Alfred itu yang membunuh
Emily - aku selalu mengatakan hal itu."
"Evie, jangan berteriak seperti itu. Apa pun yang kita pikirkan atau curigai,
sebaiknya tidak perlu kita katakan untuk sementara Pemeriksaan baru akan
dilakukan hari Jumat"
"Mengapa menunggu sampai kiamat?" sahut Evie dengan marah. "Kalian semua apa
sudah tidak bisa berpikir lagi" Laki-laki itu nanti pasti sudah kabur ke luar
negeri. Kalau dia punya otak, dia tak akan enak-enakan diam di sini menunggu
tiang gantungan." John Cavendish memandang Evie tanpa daya.


Misteri Di Styles The Mysterious Affair At Styles Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu sebabnya," katanya kepada John. "Kau pasti mengikuti perintah dokter!
Jangan sekali-kali dengarkan mereka. Apa sih yang mereka tahu" Tak ada. Aku tahu
karena ayahku adalah dokter. Dan si Wilkins itu tak lebih dari orang tolol.
Serangan jantung! Itu pasti yang dikatakannya. Siapa pun yang berpikiran waras
akan segera melihat bahwa suaminyalah yang telah meracunnya. Aku selalu bilang
bahwa dia akan membunuh Emily di tempat tidurnya. Sekarang dia sudah
melakukannya. Dan yang kalian lakukan hanyalah menggumamkan hal-hal tolol
seperti 'serangan jantung', 'pemeriksaan pada hari Jumat'. Seharusnya kau merasa
malu, John Cavendish."
"Aku kausuruh harus bagaimana?" tanya John sambil tersenyum kecil. "Persetan
Evie. Aku kan tidak bisa melemparnya ke kantor polisi dengan borgol-di
lehernya." "Ya - pokoknya kau harus berbuat sesuatu. Selidiki bagaimana dia melakukannya."
Rasanya mengakurkan Nona Howard dan Alfred Inglethorp di bawah satu atap
merupakan pekerjaan yang luar biasa. Dan saya tidak iri pada John. Saya tahu
bahwa dia menyadari hal itu. Yang dilakukannya saat itu adalah mundur dan ke
luar ruangan. Dorcas membawa masuk secangkir teh segar.
Setelah dia ke luar, Poirot mendekati Nona Howard.
"Nona," katanya dengan nada datar, "saya ingin menanyakan sesuatu."
"Tanyakan saja," katanya dengan mata yang menunjukkan rasa kurang senang pada
Poirot. "Saya ingin mendapat bantuan Anda."
"Saya akan dengan senang hati membantu Anda menggantung Alfred," jawabnya dengan
kasar. "Gantungan terlalu bagus untuknya. Seharusnya ditenggelamkan atau direjam
seperti zaman dulu."
"Kalau begitu kita sependapat. Karena saya juga ingin menggantung pembunuh itu."
"Alfred Inglethorp?"
"Dia, atau yang lainnya."
"Tak ada yang lain. Tak ada yang membunuh Emily sampai dia datang. Saya tidak
mengatakan bahwa Emily tidak dikelilingi ikan hiu. Tapi hiu-hiu itu hanyalah
Bayang Bayang Maut 3 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Rahasia Kampung Setan 1
^