Misteri Kereta Api Biru 1
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie Bagian 1
THE MYSTERY OF THE BLUE TRAIN
by Agatha Christie MISTERI KERETA API BIRU Alih bahasa: Ny. Suwarni Penerbit: PT Gramedia Cetakan kelima: Juli 1999
Katherine duduk sambil mengingat-ingat kembali seluruh kejadian itu. Dia merasa
seolah-olah dia mengkhianati kepercayaan orang, tetapi dengan kata 'pembunuhan'
yang mendengung di telinganya, dia tak berani merahasiakan apa-apa. Mungkin
terlalu banyak yang tergantung pada penjelasan yang akan diberikannya itu. Maka
sedapat-dapatnya diulanginyalah kata-kata percakapan dengan wanita yang sudah
meninggal itu. "Menarik," kata Komisaris sambil memandang pada yang seorang lagi. "Menarik
bukan, M. Poirot" Apakah itu ada kaitannya dengan kejahatan itu - " Dia tidak
menyelesaikan kalimat itu.
"Tak mungkinkah itu suatu perkara bunuh diri?" kata Katherine ragu.
"Tidak," kata Komisaris, "itu tak mungkin suatu perbuatan bunuh diri. Dia
dijerat dengan seutas tali hitam."
Bab 1 LELAKI BERAMBUT PUTIH Menjelang tengah malam seorang laki-laki menyeberangi Place de la Concorde.
Tubuhnya yang kurus terbungkus mantel dari bulu binatang yang bagus, namun dia
memberikan kesan sangat lemah dan tak berarti.
Seorang laki-laki kecil yang berwajah seperti tikus. Seorang laki-laki, yang
dapat dikatakan, tidak akan pernah bisa memerankan suatu bagian yang berarti,
atau meningkat mencapai suatu tempat yang terkemuka dalam bidang apa pun juga.
Namun, seseorang yang melihatnya, yang kemudian mengambil kesimpulan seperti
itu, akan keliru. Karena laki-laki itu, meskipun tampak remeh dan tak berarti,
memainkan suatu peran yang penting dalam nasib dunia. Dalam suatu kerajaan yang
dikuasai tikus, dialah raja tikus-tikus itu.
Kini pun suatu kedutaan sedang menantikan kedatangannya kembali. Tetapi dia
harus menyelesaikan urusannya lebih dulu - urusan yang tak diketahui secara
resmi oleh kedutaan itu. Di bawah sinar bulan, wajahnya tampak putih berkilat
dan tajam. Hidungnya yang lancip hampir-hampir tak berlekuk. Ayahnya seseorang
yang berdarah campuran Yahudi-Polandia, seorang penjahit keliling. Urusan yang
membawanya ke luar negeri malam itu adalah urusan yang akan disukai ayahnya
pula. Dia tiba di Sungai Seine, menyeberangi sungai itu, lalu memasuki salah satu
daerah hitam di Paris. Di situ dia berhenti di depan rumah yang tinggi dan tak
terpelihara, lalu dia naik ke sebuah apartemen di lantai empat. Baru saja dia
mengetuk, pintu segera dibuka oleh seorang wanita yang nyata-nyata sedang
menantikan kedatangannya. Wanita itu tidak menyapanya, melainkan membantunya
melepaskan mantelnya, lalu mendahuluinya berjalan menuju ke ruang tamu yang
perabotnya murahan. Lampu listriknya dilindungi bahan berbunga-bunga merah muda
yang kotor, yang melembutkan cahaya lampu itu, tetapi tak mampu menyamarkan
wajah gadis yang dibedaki tebal dengan bahan murahan itu. Cahaya lampu itu tak
pula dapat menyembunyikan wajahnya yang lebar khas orang Mongol. Baik pekerjaan
maupun kebangsaan Olga Demiroff tak perlu diragukan lagi.
"Baik-baik sajakah semua, Anak manis?"
"Semuanya baik-baik saja, Boris Ivanovitch."
Laki-laki itu mengangguk sambil bergumam, "Kurasa aku tidak dibuntuti."
Tetapi nada bicaranya mengandung kekuatiran. Dia pergi ke jendela, menyingkap
tirai jendela sedikit, lalu mengintip ke luar dengan berhati-hati. Dia cepat-
cepat mundur. "Ada dua orang laki-laki - di trotoar di seberang sana. Kelihatannya - " Dia
berhenti berbicara lalu mulai menggigit-gigit kukunya - suatu kebiasaan bila dia
sedang kuatir. Gadis Rusia itu menggeleng perlahan-lahan, tetapi meyakinkan.
"Mereka sudah ada di situ sebelum kau datang."
"Meskipun demikian, kurasa mereka sedang mengamat-amati rumah ini."
"Mungkin," kata gadis itu tak acuh.
"Tapi lalu - "
"Lalu apa" Meskipun mereka tahu - pasti bukan kau yang akan mereka buntuti dari
sini." Senyum tipis dan kejam muncul di bibir lelaki itu.
"Memang," katanya membenarkan, "memang bukan."
Dia termangu sejenak, lalu berkata,
"Orang Amerika sialan itu - dia bisa menjaga dirinya sebaik siapa pun juga."
"Kurasa begitu."
Laki-laki itu pergi ke jendela lagi.
"Orang-orang hebat," katanya tergelak. "Kurasa sudah dikenal polisi. Yah,
kuucapkan saja selamat berburu pada si Bandit."
Olga Demiroff menggeleng.
"Bila orang Amerika itu memang sehebat yang dikatakan orang, maka akan
diperlukan lebih banyak bandit pengecut-pengecut begitu untuk mengalahkannya."
Gadis itu diam sebentar. "Aku ingin tahu - "
"Ya, apa?" "Tak apa-apa. Tapi malam ini ada seorang laki-laki yang dua kali melewati jalan
ini - seorang laki-laki berambut putih."
"Lalu mengapa?"
"Begini. Waktu dia melewati kedua orang itu, dia menjatuhkan sarung tangannya.
Salah seorang di antara kedua orang itu memungutnya lalu mengembalikannya. Suatu
tanda pengenal yang sudah usang."
"Maksudmu - orang berambut putih itu - majikan mereka?"
"Kira-kira begitulah."
Orang Rusia itu kelihatan ketakutan dan gelisah.
"Yakinkah kau - bahwa bungkusan itu aman" Apakah tidak terganggu" Orang terlalu
banyak bicara... terlalu banyak bicara."
Dia menggigit-gigit kukunya lagi.
"Nilailah sendiri."
Gadis itu membungkuk ke perapian, lalu menggeser arang dengan cekatan. Dari
bawah arang itu, di antara gumpalan-gumpalan kertas surat kabar, dari bagian
tengahnya, diambilnya sebuah bungkusan persegi panjang yang dibungkus dengan
surat kabar yang kotor, lalu diberikannya pada laki-laki itu.
"Pandai sekali," kata laki-laki itu, sambil mengangguk memuji.
"Apartemen ini sudah dua kali digeledah. Kasur tempat tidurku sampai disobek."
"Seperti telah kukatakan," gumam laki-laki itu. "Orang terlalu banyak bicara.
Soal tawar-menawar harga - itu keliru."
Laki-laki itu telah membuka surat kabar pembungkus tadi. Di dalamnya ada sebuah
bungkusan kertas coklat kecil. Bungkusan kecil itu dibukanya lagi, dia memeriksa
isinya, lalu cepat-cepat membungkusnya lagi. Sedang dia berbuat demikian, bel
berbunyi nyaring. "Orang Amerika itu tepat benar pada waktunya," kata Olga sambil melihat jam.
Dia meninggalkan kamar itu. Sebentar kemudian dia kembali diikuti oleh seorang
asing, seorang laki-laki besar, berdada bidang, dan jelas kelihatan bahwa dia
berasal dari seberang Samudra Atlantik. Dengan pandangan tajam dia melihat pada
kedua orang itu bergantian.
"M. Krassnine?" tanyanya dengan sopan.
"Sayalah orangnya," kata Boris. "Saya harus minta maaf - karena tempat pertemuan
yang tak baik ini. Tapi kita harus amat berahasia. Saya - saya tak mau disebut-
sebut berhubungan dalam urusan ini."
"Begitukah?" kata orang Amerika itu dengan sopan.
"Anda mau bersumpah, bukan, bahwa jual-beli ini tidak akan diumumkan" Itu
merupakan salah satu syarat - pembeliannya."
Orang Amerika itu mengangguk.
"Itu sudah merupakan perjanjian," katanya tak acuh. "Nah, sekarang Anda
barangkali mau menyerahkan barang itu."
"Apakah uangnya ada pada Anda - dalam bentuk uang kertas?"
"Ya," sahut lawan bicaranya.
Tetapi dia sama sekali tidak bergerak akan memberikannya. Krassnine bimbang
sebentar, lalu menunjuk ke arah bungkusan kecil di atas meja.
Orang Amerika itu membuka kertas pembungkusnya. Dibawa isinya ke dekat lampu
listrik dan diperiksanya dengan teliti sekali. Setelah merasa puas,
dikeluarkannya dompet kulit tebal dari sakunya, lalu dikeluarkannya seikat uang
kertas. Uang itu diserahkannya pada orang Rusia yang lalu menghitungnya dengan
teliti. "Betul?" "Terima kasih, Monsieur. Semua sudah beres."
"Ya!" kata lawan bicaranya. Bungkusan kertas coklat itu diselipkannya
sembarangan saja ke dalam sakunya. Dia mengangguk pada Olga. "Selamat malam,
Nona. Selamat malam, M. Krassnine."
Dia keluar sambil menutup pintu. Kedua orang yang tinggal di dalam kamar itu
saling berpandangan. Yang laki-laki membasahi bibirnya yang kering dengan
lidahnya. "Aku ingin tahu - apakah dia akan bisa kembali ke hotelnya?" gumamnya.
Keduanya secara serentak menoleh ke jendela. Tepat sekali mereka melihat orang
Amerika itu keluar ke jalan di bawah. Dia membelok ke kiri dan berjalan dengan
langkah-langkah pasti tanpa menoleh sekali pun. Dua bayangan menyelinap ke luar
dari sebuah pintu, lalu membuntuti tanpa bersuara. Yang mengejar dan yang
dikejar hilang ditelan malam. Olga Demiroff berkata,
"Dia akan kembali dengan selamat," katanya. "Kau tak perlu takut - atau
berharap." "Mengapa kau berpikir bahwa dia akan selamat?" tanya Krassnine ingin tahu.
"Laki-laki yang sudah berhasil mengumpulkan uang sebanyak dia, tak mungkin
bodoh," kata Olga. "Dan berbicara tentang uang - "
"Eh?" "Bagianku, Boris Ivanovitch."
Dengan enggan, Krassnine menyerahkan dua lembar dari uang kertas tadi. Wanita
itu berterima kasih hanya dengan mengangguk, tanpa memperlihatkan perasaan apa-
apa sedikit pun, lalu menyimpannya di dalam kaus kakinya.
"Bagus," katanya dengan puas.
Laki-laki itu memandangnya dengan rasa ingin tahu.
"Tidakkah kau menyesal, Olga Vassilovna?"
"Menyesal" Mengapa?"
"Mengenai barang yang telah kausimpankan itu. Ada perempuan - kebanyakan
perempuan, kurasa - tergila-gila akan barang seperti itu."
Gadis itu mengangguk sambil merenung.
"Benar katamu itu. Kebanyakan wanita memang tergila-gila. Aku tidak. Kini - aku
ingin tahu - " Dia tiba-tiba terhenti.
"Apa?" tanya yang seorang ingin tahu.
"Orang Amerika itu akan selamat membawa barang itu - ya, aku yakin. Tapi setelah
itu - " "Apa yang kaupikirkan?"
"Dia tentu akan memberikannya pada seorang wanita," kata Olga sambil merenung
terus. "Aku ingin tahu, apa gerangan yang akan terjadi kelak...."
Wanita itu menggeleng tak sabaran lalu pergi ke jendela. Tiba-tiba dia berseru
dan memanggil temannya. "Lihat, dia ada di jalan lagi sekarang - laki-laki itu, maksudku."
Keduanya menatap ke bawah. Sesosok tubuh langsing perlente sedang berjalan
dengan langkah-langkah santai. Dia memakai topi model opera dan mantel. Waktu
dia melewati lampu jalanan, cahayanya menerangi rambutnya yang tebal berwarna
putih. Bab 2 M. MARQUIS Laki-laki berambut putih itu melanjutkan perjalanannya, tanpa bergegas, dan
agaknya tak peduli akan sekelilingnya. Dia membelok ke kanan dan kemudian ke
kiri. Sekali-sekali dia bersenandung.
Tiba-tiba dia berhenti dan memasang telinga. Dia mendengar bunyi. Mungkin bunyi
ban yang meletup, atau mungkin juga - tembakan. Sejenak tampak seulas senyum di
bibirnya. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya dengan santai.
Waktu membelok di sebuah tikungan dia melihat suatu peristiwa penuh kekacauan.
Seorang penegak hukum sedang membuat catatan dalam buku sakunya, dan seorang
atau dua orang yang lewat berkumpul di tempat itu. Laki-laki berambut putih itu
meminta penjelasan dengan sopan pada salah seorang di antaranya.
"Ada sesuatu yang terjadi rupanya?"
"Benar, Tuan. Dua orang bandit mengejar seorang Amerika yang sudah setengah
baya." "Apakah mereka tidak melukainya?"
"Tidak." Laki-laki itu tertawa. "Orang Amerika itu punya pistol di sakunya, dan
sebelum mereka sempat menyerangnya, dia menembakkan beberapa tembakan ke
sekelilingnya dan kedua pengejarnya itu pun lari ketakutan. Dan seperti biasa
polisi datang terlambat!"
"Oh!" kata si penanya.
Dia sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apa-apa.
Dengan tenang dan tanpa kuatir apa-apa dia melanjutkan perjalanan malamnya.
Kemudian dia menyeberangi Sungai Seine, dan tiba di daerah elite Paris. Dua
puluh menit kemudian dia tiba di depan sebuah rumah, di jalan raya daerah kaum
ningrat yang sepi. Toko itu, karena rumah itu memang merupakan toko, biasa-biasa saja dan
sederhana. D. Papopolous, seorang pedagang barang-barang antik, sudah begitu
terkenal hingga dia tak perlu memasang iklan, dan perdagangannya memang tidak
dilakukan melalui meja penjualan. Tuan Papopolous mempunyai apartemen sendiri
yang sangat bagus, menghadap ke Champs Elys?es, dan sepantasnyalah orang menduga
bahwa pada pukul sekian, dia ada di tempat itu dan tidak di tempatnya berdagang
- tetapi laki-laki berambut putih itu agaknya yakin benar akan keberhasilannya
waktu dia menekan bel yang tersembunyi letaknya, setelah dia terlebih dulu
melihat ke kiri ke kanan di jalan yang sudah sepi itu.
Dia memang tidak keliru. Pintu terbuka dan seorang pria berdiri di celah pintu.
Dia memakai anting-anting emas dan wajahnya kehitam-hitaman.
"Selamat malam," kata orang yang tak dikenal tadi. "Adakah majikan Anda di
rumah?" "Ada, tapi beliau tak bisa menerima sembarang pengunjung pada malam selarut
ini," sergahnya. "Saya rasa dia mau menemui saya. Katakan padanya bahwa sahabatnya, M. Marquis,
yang datang." Laki-laki itu membukakan pintu agak lebar lagi dan mengizinkan tamu itu masuk.
Laki-laki yang menamakan dirinya M. Marquis itu melindungi mukanya dengan tangan
ketika berbicara. Waktu pelayan itu kembali untuk memberitahukan bahwa Tuan
Papopolous senang menerima dia, rupa orang asing tadi sudah mengalami perubahan
lagi. Mungkin pelayan itu tak tanggap atau mungkin pula dia sudah demikian
terlatih, hingga dia tak kelihatan heran melihat kedok satin hitam kecil yang
menyembunyikan wajah tamu itu. Dia berjalan mendahuluinya ke arah sebuah pintu
di ujung lorong rumah, dibukanya pintu itu lalu memberitahukan dengan hormat,
"M. Marquis." Orang yang bangkit menerima tamu yang tak dikenal itu bertubuh besar. Tuan
Papopolous memberikan kesan patut dihormati dan anggun. Dahinya luas dan
melengkung dan jenggotnya bagus serta putih warnanya. Sikapnya seperti sikap
seorang biarawan dan dia ramah-tamah.
"Sahabatku," kata Tuan Papopolous.
Dia menggunakan bahasa Prancis yang bernada penuh dan manis.
"Saya minta maaf," kata tamunya, "karena saya datang selarut malam ini."
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa," kata Tuan Papopolous - "saat yang menarik.
Mungkin Anda telah mengalami sesuatu yang menarik malam ini?"
"Secara pribadi tidak," kata M. Marquis.
"Secara pribadi tidak," ulang Tuan Papopolous. "Tidak, tentu tidak. Lalu apakah
ada berita?" Dia memandang tamunya dengan tajam dari samping, pandangan yang sama sekali
tidak lagi seperti pandangan seorang biarawan dan tidak pula ramah.
"Tak ada berita. Usaha itu gagal. Saya memang sudah menduga begitu."
"Memang begitu," kata Tuan Papopolous, "sesuatu yang kasar itu - "
Dia melambaikan tangannya, menyatakan betapa tak sukanya akan kekasaran dalam
bentuk apa pun. Tuan Papopolous memang tak punya potongan kasar, demikian pula
barang-barang yang diperdagangkannya. Dia terkenal dalam kalangan kebanyakan
istana di Eropa, dan secara bercanda raja-raja menamakannya Demetrius. Dia punya
nama baik, karena pertimbangan-pertimbangannya yang tepat. Ditambah lagi dengan
keanggunan pembawaannya, maka dia telah berhasil dalam beberapa urusan jual-beli
yang sangat berarti. "Serangan yang langsung itu - " kata Tuan Papopolous. Dia menggeleng. "Kadang-
kadang memang berhasil - tapi jarang sekali."
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lawan bicaranya mengangkat bahu.
"Cara itu menghemat waktu," katanya, "dan bila gagal tak berarti apa-apa - yah,
boleh dikatakan tidak apa-apa. Rencana yang satu lagi - tidak akan gagal."
"Begitukah?" kata Tuan Papopolous, sambil memandang tajam padanya.
Tamu itu mengangguk perlahan-lahan.
"Saya percaya benar akan - eh - keberhasilan Anda," kata pedagang barang-barang
antik itu. M. Marquis tersenyum kecil.
"Saya rasa saya boleh berkata, bahwa keyakinan Anda itu tidak akan keliru,"
gumamnya. "Anda memang punya kesempatan yang istimewa," kata yang lain dengan nada iri.
"Itu saya usahakan," kata M. Marquis.
Dia bangkit lalu mengambil mantel yang tadi dilemparkannya sembarangan saja di
sandaran kursi. "Anda akan saya kabari terus, M. Papopolous, melalui jalur-jalur yang biasa -
tapi Anda tak boleh mungkir janji."
Tuan Papopolous tersinggung.
"Saya tak pernah mungkir janji," katanya.
Tamunya tersenyum, dan tanpa kata perpisahan dia meninggalkan kamar itu, sambil
menutup pintu. Tuan Papopolous termangu sebentar sambil membelai jenggotnya yang bagus, lalu
dia pergi menuju ke sebuah pintu lain, membukanya ke arah dalam. Waktu dia
memutar gagang pintu itu, seorang gadis yang rupanya sedang bersandar di situ
dengan telinga tertempel di lubang kunci, jatuh terkapar di kamar. Tuan
Papopolous tidak keheranan dan tidak pula cemas. Kelihatannya hal itu sudah
biasa. "Bagaimana, Zia?" tanyanya.
"Saya tidak mendengar dia pergi," Zia menjelaskan.
Dia seorang gadis cantik, bertubuh indah dan anggun, bermata hitam yang
memancar, dan secara umum tampak persamaannya dengan Tuan Papopolous, hingga
mudah dikatakan bahwa mereka adalah ayah dan anak.
"Menjengkelkan sekali," katanya lagi merajuk, "kita tak bisa mengintip melalui
lubang kunci sambil sekaligus memasang telinga dari lubang itu pula."
"Itu juga sering menjengkelkan aku," kata Tuan Papopolous singkat.
"Jadi, itu rupanya M. Marquis itu," kata Zia. "Apakah dia selalu memakai kedok,
Ayah?" "Selalu." Mereka diam. "Urusannya tadi itu saya rasa mengenai batu-batu delima, ya?" tanya Zia.
Ayahnya mengangguk. "Bagaimana pendapatmu, Nak?" tanyanya, dengan bayangan senang di matanya yang
hitam bagai merjan. "Mengenai M. Marquis itu?"
"Ya." "Saya rasa," kata Zia perlahan-lahan, "jarang sekali ada orang Inggris yang
berpendidikan baik, yang sepandai dia, berbahasa Prancis."
"Oh!" kata Tuan Papopolous. "Jadi begitu pendapatmu."
Seperti biasa dia tidak berkata apa-apa, tetapi dia memandangi Zia dengan
pandangan membenarkan yang lembut.
"Saya juga berpikir," kata Zia, "bahwa bentuk kepalanya aneh."
"Pepat," kata ayahnya - "agak pepat. Tapi memang selalu begitu akibatnya kalau
memakai rambut palsu."
Mereka berpandangan lalu tersenyum.
Bab 3 HEART OF FIRE Rufus Van Aldin melalui pintu putar dari Hotel Savoy, lalu berjalan ke meja
resepsionis. Petugas di situ menyapanya dengan hormat sambil tersenyum.
"Saya senang Anda telah kembali, Tuan Van Aldin," katanya.
Jutawan Amerika itu membalas sapaan itu sepintas dengan mengangguk.
"Semua baik-baik saja?" tanyanya.
"Ya, Tuan. Mayor Knighton ada di atas, di kamar Anda."
Van Aldin mengangguk lagi.
"Ada surat-surat?" tanyanya ramah.
"Semuanya sudah dikirim ke atas, Tuan Van Aldin. Oh! Tunggu sebentar."
Dia membungkuk ke sebuah lubang di dinding yang merupakan kotak surat, lalu
mengeluarkan sepucuk surat.
"Ini baru saja datang," dia menjelaskan.
Rufus Van Aldin menerima surat itu, dan waktu dilihatnya tulisan tangannya,
tulisan tangan wanita, wajahnya tiba-tiba berubah. Garis-garis keras di wajah
itu menjadi lembut, dan garis kaku di mulutnya mengendor. Dia menjadi seperti
orang lain. Dia berjalan ke seberang, ke tempat lift, dengan surat itu dan
senyum yang masih menghiasi bibirnya.
Di ruang tamu utama dari kamar hotelnya, seorang pria muda sedang duduk di meja
tulis, menyusun surat-surat dengan cekatan, karena sudah sangat terlatih. Dia
bangkit melompat waktu Van Aldin masuk.
"Halo, Knighton!"
"Saya senang Anda sudah kembali, Tuan. Sudah cukup terhiburkah Anda?"
"Lumayan!" kata jutawan itu tanpa emosi. "Paris sekarang tidak menarik lagi.
Tapi - aku sudah mendapatkan apa yang kucari di sana."
Dia tersenyum masam sendiri.
"Saya rasa Anda memang biasa berhasil," kata sekretarisnya, tertawa.
"Memang," majikannya membenarkan.
Dia berbicara sebagaimana adanya, seperti seseorang mengucapkan suatu kenyataan
yang sudah diketahui umum. Sambil mencampakkan mantelnya yang berat, dia
mendekati meja tulis. "Ada yang mendesak?"
"Saya rasa tidak ada, Tuan. Kebanyakan surat-surat biasa saja. Saya belum
selesai memilihnya."
Van Aldin mengangguk singkat. Dia adalah orang yang jarang mempersalahkan atau
memuji. Caranya menghadapi orang-orang yang bekerja padanya sederhana saja:
mereka itu dicobanya dulu, lalu bila mereka kurang terampil, mereka segera
dipecat. Caranya memilih pegawai tidak menurut kebiasaan. Knighton, umpamanya,
ditemuinya sepintas lalu di tempat pariwisata di Swiss dua bulan sebelumnya. Dia
menyukai anak muda itu, dia melihat catatan masa perang anak muda itu, dan dalam
catatan itu dia menemukan penjelasan mengapa anak muda itu pincang jalannya.
Knighton berterus terang bahwa dia sedang mencari pekerjaan, dan dengan malu-
malu bertanya kalau-kalau jutawan itu tahu ada lowongan pekerjaan. Van Aldin
ingat, sambil tersenyum geli, betapa terkejutnya anak muda itu ketika dia
ditawari pekerjaan sebagai sekretaris orang besar itu sendiri.
"Tapi - tapi saya tak punya pengalaman urusan dagang," gagapnya.
"Itu sama sekali tak apa-apa," sahut Van Aldin. "Aku sudah punya tiga orang
sekretaris untuk mengurusi soal-soal itu. Tapi mungkin aku akan berada di
Inggris selama enam bulan yang akan datang ini, dan aku memerlukan seorang
Inggris yang - yah, tahu tata cara - dan bisa mengurus segi kemasyarakatan dari
segala urusan bagiku."
Sampai sekarang Van Aldin merasa bahwa penilaiannya tentang anak muda itu memang
tepat. Knighton telah membuktikan bahwa dia terampil, cerdas, dan penuh
prakarsa, serta punya daya tarik.
Sekretaris itu menunjuk ke tiga atau empat pucuk surat yang semuanya telah
diletakkan di tempatnya masing-masing di atas meja tulis.
"Barangkali, sebaiknya Tuan melihat sebentar ke surat-surat ini," sarannya.
"Yang di atas sekali mengenai perjanjian dengan Colton - "
Tetapi Rufus Van Aldin mengangkat tangannya menolak.
"Malam ini aku tak mau melihat apa pun juga," katanya. "Semuanya itu biar besok
saja. Kecuali yang ini," ditambahkannya sambil melihat surat yang sedang
dipegangnya. Dan lagi-lagi di wajahnya terbayang senyum aneh yang mengubah air
mukanya. Richard Knighton tersenyum penuh pengertian.
"Nyonya Kettering?" gumamnya. "Beliau menelepon kemarin dan hari ini. Agaknya
beliau sangat ingin segera bertemu dengan Anda, Tuan."
"Begitukah!" Senyuman lenyap dari wajah jutawan itu. Dibukanya amplop yang sedang dipegangnya
dengan menyobeknya, lalu dikeluarkannya kertas yang ada di dalamnya. Waktu dia
membacanya wajahnya menjadi suram, mulutnya terkatup rapat, jadi garis yang
begitu dikenal orang-orang di pusat perdagangan Wall Street, sedang alisnya
bertemu menjadi satu. Knighton tahu diri, lalu memalingkan mukanya, dan terus
membuka surat-surat serta menyusunnya. Jutawan itu mengumpat, dan dengan
tinjunya dia menghantam meja keras-keras.
"Aku tidak akan mendiamkan hal ini," gumamnya sendiri. "Kasihan anakku yang
malang, beruntung dia masih punya ayah yang tua ini di belakangnya."
Beberapa saat lamanya dia berjalan hilir-mudik di kamar itu, dengan alis yang
tetap bertaut mengerikan. Knighton masih tetap menunduk dan bekerja dengan
rajinnya di meja tulis. Tiba-tiba Van Aldin berhenti. Diambil mantelnya dari
kursi tempat dia tadi melemparkannya.
"Apakah Anda akan keluar lagi, Tuan?"
"Ya, aku akan keluar, ke rumah anakku."
"Bila orang-orang dari perusahaan Colton menelepon - "
"Suruh mereka pergi ke neraka," kata Van Aldin.
"Baiklah," kata sekretaris itu tanpa emosi.
Kini Van Aldin telah mengenakan mantelnya. Sambil menghenyakkan topinya ke
kepalanya, pergilah dia ke arah pintu. Tiba-tiba dia berhenti lagi sambil
memegang gagang pintu. "Kau orang baik, Knighton," katanya. "Kau tidak menggangguku kalau aku sedang
marah-marah." Knighton tersenyum kecil tetapi tidak menjawab apa-apa.
"Ruth adalah putriku satu-satunya," kata Van Aldin, "dan di dunia ini tak
seorang pun tahu betapa besar arti anakku itu bagiku."
Seulas senyum kecil membuat wajahnya berseri. Ia memasukkan tangan ke saku
mantelnya. "Maukah kau melihat sesuatu, Knighton?"
Dia mendekati sekretaris itu.
Dari sakunya tadi dikeluarkannya sebuah bungkusan yang terbungkus sembarangan
saja dalam kertas coklat. Bungkusan itu dibuangnya, lalu dikeluarkannya sebuah
kotak dari kain beludru merah, yang besar dan sudah usang. Di tengah-tengah
kotak itu tercantum huruf-huruf awal suatu nama yang melingkar-lingkar dan di
atasnya dihiasi mahkota. Ditekannya sebuah kenop dan kotak itu terbuka -
sekretaris itu menahan napasnya. Dalam cahaya putih yang agak suram di kamar
itu, batu itu memancar bagaikan darah.
"Ya, Tuhan! Tuan," kata Knighton, "apakah - apakah permata-permata itu asli?"
Van Aldin terkekeh geli. "Aku tak heran kau bertanya begitu. Di antara batu-batu delima, yang tiga inilah
yang terbesar di dunia. Ratu Catherine dari Rusia pernah memakainya, Knighton.
Yang di tengah-tengah ini terkenal dengan nama Heart of Fire. Batu itu sempurna
- tak bercacat." "Tapi," gumam sekretaris itu, "harganya tentu mahal sekali."
"Empat atau lima ratus ribu dolar," kata Van Aldin tak acuh, "belum lagi kalau
diingat nilai sejarahnya."
"Dan Anda membawanya begitu saja - ke mana-mana, dalam saku Anda."
Van Aldin tertawa geli. "Memang begitu. Ini hadiahku untuk Ruthie."
Sekretaris itu tersenyum dengan sopan.
"Sekarang saya mengerti mengapa Nyonya Kettering kedengarannya begitu mendesak
waktu menelepon," gumamnya.
Tetapi Van Aldin menggeleng. Wajahnya tampak keras lagi.
"Kau keliru," katanya. "Dia tak tahu tentang barang ini - permata-permata ini
akan merupakan kejutan baginya."
Kotak itu ditutupnya lagi, lalu dibungkusnya lagi perlahan-lahan.
"Memang sulit, Knighton," katanya, "sedikit sekali yang bisa kita perbuat untuk
orang-orang yang kita cintai. Aku bisa saja membelikan setengah dari bumi ini
untuk Ruthie, bila itu akan ada gunanya baginya, tapi tidak. Barang-barang ini
bisa saja kugantungkan di lehernya dan menyenangkan hatinya barang sejenak,
barangkali, tapi - "
Dia menggeleng. "Bila seorang wanita tak bahagia dalam rumah tangganya - "
Kalimat itu tak diselesaikannya. Sekretarisnya mengangguk, dengan sopan. Dia
tahu benar, kelakuan Tuan Derek Kettering. Van Aldin mendesah. Sambil memasukkan
bungkusan tadi ke dalam sakunya, dia mengangguk pada Knighton, lalu meninggalkan
kamar itu. Bab 4 DI CURZON STREET Nyonya Derek Kettering tinggal di Curzon Street. Penjaga pintu yang membukakan
pintu segera mengenali Rufus Van Aldin dan menyapanya dengan tersenyum sopan.
Petugas itu berjalan mendahuluinya, naik ke lantai atas, ke ruang tamu istimewa
yang besar di lantai dua.
Seorang wanita yang sedang duduk di dekat jendela terlompat sambil berteriak,
"Aduh, Ayah, inilah kejutan yang paling hebat daripada segalanya! Sepanjang hari
ini aku menelepon Mayor Knighton untuk mencoba berbicara dengan Ayah, tapi dia
tak bisa mengatakan dengan pasti kapan Ayah akan kembali."
Ruth Kettering berumur dua puluh delapan tahun. Dia tak dapat dikatakan cantik,
bahkan manis pun tidak, namun dia menarik perhatian karena warna rambut dan
matanya. Van Aldin selalu dinamakan 'Wortel' waktu masih kecil gara-gara warna
rambutnya, sedang rambut Ruth merah kecoklatan. Disertai pula dengan bola mata
yang berwarna hitam dan bulu mata yang hitam legam - warna-warna itu lebih
ditonjolkan lagi dengan pemakaian alat-alat kecantikan. Dia jangkung dan
ramping, dan geraknya gemulai. Bila dipandang sekilas, wajahnya seperti Madona
lukisan Raphael. Hanya bila diperhatikan benar orang baru akan melihat garis
rahang dan dagunya yang serupa dengan yang ada pada wajah Van Aldin, yang
menunjukkan kerasnya dan ketetapan hatinya. Hal itu sesuai bagi sang ayah,
tetapi kurang cocok bagi wanita itu. Sejak masa kanak-kanak hingga dewasa Ruth
Van Aldin terbiasa dituruti kemauannya, dan setiap orang yang pernah
menentangnya segera menyadari bahwa putri Rufus Van Aldin itu tak pernah mau
menyerah. "Knighton memang mengatakan bahwa kau menelepon," kata Van Aldin. "Baru setengah
jam yang lalu aku kembali dari Paris. Ada apa dengan si Derek ini?"
Muka Ruth Kettering merah karena marah.
"Keterlaluan! Sudah melewati batas," serunya. "Dia - dia sudah tak mau
mendengarkan apa pun yang kukatakan."
Terdengar nada kebingungan dan kemarahan dalam suaranya.
"Dia akan mendengar apa yang kukatakan," kata jutawan itu dengan keras.
Ruth melanjutkan, "Selama bulan terakhir ini aku hampir-hampir tak pernah bertemu dengannya. Dia
berkeliaran dengan perempuan itu terus."
"Dengan perempuan yang mana?"
"Mirelle. Penari di Parthenon itu. Ayah tahu kan?"
Van Aldin mengangguk. "Minggu yang lalu aku ke Leconbury. Aku - aku bicara dengan mertuaku, Lord
Leconbury. Beliau baik sekali padaku, mengerti keadaanku sepenuhnya. Katanya dia
akan memberi peringatan pada Derek."
"Ah!" kata Van Aldin.
"Apa maksud Ayah dengan 'Ah!' itu, Ayah?"
"Sama benar dengan apa yang kauduga, Ruthie. Pak tua Leconbury yang malang itu
sudah tak berarti apa-apa lagi. Tentu dia memberi pengertian padamu, tentu dia
membujukmu. Karena anak dan ahli warisnya menikah dengan putri salah seorang
yang terkaya di Amerika Serikat, dia tentu saja tak mau sampai terjadi
kekacauan. Tapi umurnya sudah tak akan lama lagi, semua orang tahu itu, dan apa
pun yang dikatakannya tidak akan dipedulikan Derek."
"Apakah Ayah tak bisa berbuat apa-apa?" desak Ruth sebentar kemudian.
"Bisa saja," kata jutawan itu. Dia diam dan berpikir sebentar, lalu berkata
lagi, "Ada beberapa hal yang bisa kulakukan, tapi hanya satu yang ada faedahnya.
Berapa besar keberanianmu, Ruthie?"
Ruth memandangnya dengan terbelalak. Ayahnya membalas pandangan itu lalu
mengangguk. "Aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku. Apakah kau punya keberanian untuk
menyatakan pada seluruh dunia bahwa kau telah berbuat kekeliruan. Hanya ada satu
jalan ke luar dari kekacauan ini, Ruthie. Putuskan hubunganmu dengan dia dan
mulailah lagi dari awal."
"Maksud Ayah - "
"Bercerai." "Bercerai!" Van Aldin tersenyum hambar.
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kauucapkan perkataan itu, Ruthie, seolah-olah kau tak pernah mendengarnya.
Padahal teman-teman di sekelilingmu melakukannya setiap hari."
"Ah, saya tahu. Tapi - "
Ruth berhenti sambil menggigit bibirnya. Ayahnya mengangguk penuh pengertian.
"Aku tahu, Ruth. Kau seperti aku, kau tak suka melepaskan sesuatu. Tapi aku
sudah sadar, dan kau juga harus belajar, bahwa ada waktunya, itulah satu-satunya
jalan ke luar. Aku bisa saja mendapatkan jalan untuk memanggil Derek kembali
dengan mudah, tapi akhirnya kelak akan sama saja. Dia itu tak beres, Ruth, dia
itu busuk, benar-benar busuk. Dan harus kauingat, aku menyesali diriku karena
telah membiarkan kau kawin dengan dia. Tapi kau waktu itu seperti sudah yakin
benar ingin mendapatkan dia, dan dia pun agaknya seperti ingin mengubah cara
hidupnya - dan yah, aku memang pernah mengecewakanmu, Sayang...."
Van Aldin tidak memandang anaknya waktu dia mengucapkan kata-kata yang terakhir
itu. Seandainya dia memandang anaknya, dia akan melihat bahwa wajah anaknya itu
bersemu merah. "Memang," katanya dengan nada keras.
"Dan waktu itu aku tak sampai hati untuk mengecewakanmu untuk kedua kalinya.
Tapi sekarang, tak terkatakan sesalku tidak berbuat demikian. Dalam tahun-tahun
terakhir ini kau telah menjalani hidup penuh sakit hati, Ruth."
"Memang tidak menyenangkan - " kata Nyonya Kettering membenarkan.
"Sebab itu kukatakan hal ini harus dihentikan!" Dibantingnya tangannya kuat-kuat
di meja. "Mungkin kau masih suka pada laki-laki itu. Hapuskan itu. Hadapilah
kenyataan. Derek Kettering mengawinimu karena uangmu. Hanya itu saja. Singkirkan
dia, Ruth." Beberapa saat lamanya Ruth Kettering menunduk memandangi lantai, kemudian tanpa
mengangkat kepalanya dia berkata,
"Seandainya dia tak mau?"
Van Aldin memandangnya dengan terkejut.
"Dia tak akan bisa angkat bicara dalam hal ini."
Muka Ruth memerah dan dia menggigit bibirnya.
"Tidak - tentu tidak. Maksudku - "
Dia berhenti. Ayahnya memandangnya dengan tajam.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku - " Dia berhenti lagi untuk memilih kata-katanya dengan berhati-hati.
"Dia tidak akan mau menerimanya begitu saja."
Terdongak dagu jutawan itu.
"Maksudmu dia akan melawan dalam perkara itu" Biar saja. Tapi bila dilihat
kenyataannya, kau keliru. Dia tidak akan melawan. Pengacara mana pun juga yang
dimintainya pendapat akan menyatakan padanya bahwa dia tak punya kekuatan."
"Ayah kan tidak berpikir - " Dia ragu-ragu - "maksudku - hanya dengan maksud
menyakiti hatiku - dia mungkin, yah, membuat perkara itu jadi bertambah buruk?"
Ayahnya memandangnya dengan terkejut lagi.
"Melawan dalam perkara itu, maksudmu?"
Dia menggeleng. "Sangat tak mungkin. Untuk itu dia harus punya dasar."
Nyonya Kettering tak menyahut. Van Aldin memandangnya dengan tajam.
"Ayolah, Ruth, ceritakanlah. Ada sesuatu yang menyusahkanmu - apa itu?"
"Tidak ada, tak ada apa-apa."
Tetapi suaranya tak meyakinkan.
"Kau takut beritanya akan tersebar luas" Itukah" Serahkan itu padaku. Semuanya
akan kuurus demikian lancarnya, hingga tidak akan ada macam-macamnya."
"Baiklah, Ayah, bila menurut Ayah itu yang terbaik."
"Apakah kau masih cinta pada laki-laki itu, Ruth?"
"Tidak." Kata itu diucapkan dengan tekanan yang meyakinkan. Van Aldin kelihatan puas.
Ditepuknya pundak putrinya itu.
"Semuanya akan beres, Nak. Jangan kuatir. Nah, sekarang mari kita melupakan
semuanya ini. Aku membawa oleh-oleh dari Paris untukmu."
"Untukku" Sesuatu yang bagus sekali?"
"Mudah-mudahan kau berpendapat begitu," kata Van Aldin dengan tersenyum.
Diambilnya bungkusan dari saku mantelnya, lalu diberikannya pada anaknya. Dengan
penuh keinginan putrinya itu membukanya, kemudian membuka kotaknya. Dia
menyerukan kata "Oh" dengan panjang. Ruth Kettering sangat suka perhiasan - dari
dulu sampai sekarang. "Ayah - indah sekali!"
"Tak ada bandingnya, bukan?" kata jutawan itu dengan rasa puas. "Kau suka?"
"Suka" Oh, Ayah, permata-permata ini luar biasa sekali. Bagaimana Ayah sampai
bisa mendapatkannya?"
Van Aldin tersenyum. "Ah itu rahasiaku. Permata-permata seperti itu tentu harus dibeli secara diam-
diam. Permata-permata itu termasyhur. Kaulihat batu yang di tengah-tengah itu"
Barangkali kau pernah mendengar tentang itu, itulah yang terkenal dalam sejarah
dengan nama Heart of Fire."
"Heart of Fire!" ulang Nyonya Kettering.
Permata-permata itu dikeluarkan dari kotaknya lalu didekap di dadanya. Sang
jutawan memandanginya saja. Dia sedang mengenang rangkaian wanita yang pernah
memakainya. Juga rasa sakit hati yang mereka alami, putus asa, dan iri dengki.
Seperti juga batu-batu permata yang terkenal, Heart of Fire telah meninggalkan
tragedi dan kekerasan. Dalam genggaman tangan Ruth Kettering yang mantap,
permata itu seolah-olah kehilangan kekuatannya sebagai penyebab kejahatan.
Dengan sikapnya yang dingin dan tenang, wanita dari dunia barat ini agaknya akan
terhindar dari tragedi atau sakit hati itu. Ruth mengembalikan permata-permata
itu ke dalam kotaknya, lalu dia melompat dan merangkul ayahnya.
"Terima kasih, terima kasih, terima kasih, Ayah. Permata-permata itu indah
sekali! Ayah memang selalu memberi aku hadiah-hadiah yang paling istimewa."
"Sudahlah," kata Van Aldin, sambil menepuk bahu putrinya, "kaulah satu-satunya
milikku, Ruthie." "Ayah makan malam di sini, ya?"
"Kurasa tak bisa. Kau kelihatannya akan keluar."
"Ya, tapi bisa saja kutunda. Tidak begitu penting dan tidak begitu
menyenangkan." "Jangan," kata Van Aldin. "Penuhilah janjimu. Aku banyak urusan. Sampai besok,
Sayangku. Mungkin besok kau akan kutelepon, dan kita bisa bertemu di kantor
Galbraith?" Messrs. Galbraith, Galbraith, Cuthberson & Galbraith adalah penasihat-
penasihat hukum Van Aldin.
"Baiklah, Ayah." Ruth ragu-ragu. "Kurasa - urusan ini tidak akan menghalangi
kepergianku ke Riviera, bukan?"
"Kapan kau akan berangkat?"
"Tanggal empat belas."
"Oh, bisa. Urusan-urusan seperti ini makan waktu lama. Omong-omong, Ruth,
sebaiknya delima-delima itu jangan kaubawa ke luar negeri. Tinggalkan saja di
bank." Nyonya Kettering mengangguk.
"Aku tak ingin kau sampai dirampok atau dibunuh gara-gara Heart of Fire itu,"
kata jutawan itu melucu. "Padahal Ayah sendiri membawanya ke mana-mana begitu saja di dalam saku," tukas
putrinya dengan tersenyum.
"Ya - " Ruth melihat sesuatu, suatu keraguan pada ayahnya.
"Ada apa, Ayah?"
"Tak apa-apa." Dia tersenyum. "Aku teringat akan suatu petualangan kecil di
Paris." "Suatu petualangan?"
"Ya, pada malam waktu aku membeli barang-barang ini."
Dia menunjuk kotak permata itu.
"Aduh, ceritakan Ayah."
"Tak ada yang patut diceritakan, Ruthie. Beberapa orang bandit ingin berbuat
kurang ajar, lalu kutembak dan mereka lari. Itu saja."
Ruth memandang ayahnya dengan rasa bangga.
"Ayah ini memang sulit dikalahkan."
"Jelas, Ruthie."
Dicium anaknya itu dengan penuh kasih sayang, lalu pergi. Setibanya kembali di
Savoy, diberikannya perintah singkat pada Knighton.
"Cari orang yang bernama Goby. Alamatnya bisa kautemukan di dalam buku
pribadiku. Suruh dia kemari jam setengah sepuluh besok pagi."
"Baik, Tuan." "Aku juga ingin bertemu dengan Kettering. Cari dia sampai ketemu. Coba cari di
klubnya - pokoknya, bagaimanapun juga, temukan dia, dan atur supaya dia bisa
menemuiku besok pagi. Sebaiknya agak siang, kira-kira jam dua belas. Orang-orang
seperti dia tak bisa bangun pagi."
Sekretarisnya mengangguk tanda mengerti semua instruksi itu. Van Aldin lalu
meminta pelayan melayani dirinya. Air mandinya sudah disiapkan, dan sedang dia
duduk dengan nyaman dalam air panas, pikirannya melayang kembali pada
percakapannya dengan putrinya. Pada umumnya dia merasa puas. Pikirannya yang
tajam sudah sejak lama menerima kenyataan bahwa perceraian adalah satu-satunya
jalan ke luar. Ruth telah menyetujui penyelesaian yang diusulkannya dengan
kesediaan yang lebih besar daripada yang diharapkannya. Namun, meskipun Ruth
telah memberikan persetujuannya tanpa membantah, dia masih merasa kuatir. Dia
merasa bahwa ada sesuatu dalam gerak-gerik Ruth yang tak wajar. Dia mengerutkan
alisnya. "Mungkin aku hanya berkhayal," gumamnya, "tapi - aku yakin ada sesuatu yang tak
dikatakannya." Bab 5 SEORANG PRIA YANG BERGUNA
Rufus Van Aldin baru saja menyelesaikan sarapannya yang sederhana, - yang
terdiri dari kopi dan roti panggang kering, satu-satunya jenis makanan yang
selalu dimakannya untuk sarapan - ketika Knighton masuk.
"Tuan Goby menunggu Anda di lantai bawah, Tuan."
Jutawan itu melihat ke jam. Tepat pukul setengah sepuluh.
"Baiklah," katanya singkat. "Dia boleh naik."
Satu-dua menit kemudian, Tuan Goby memasuki kamar. Dia seorang pria setengah
baya yang bertubuh kecil, berpakaian kumal, dan matanya memandang ke sekeliling
kamar dengan cermat, serta tak pernah memandang orang yang sedang berbicara
dengannya. "Selamat pagi, Goby," kata jutawan itu. "Silakan duduk."
"Terima kasih, Tuan Van Aldin."
Tuan Goby duduk dengan tangan di pangkuannya, dan menatap radiator dengan penuh
perhatian. "Ada pekerjaan untukmu."
"Ya, Tuan Van Aldin."
"Mungkin kau tahu bahwa putriku menikah dengan Derek Kettering."
Tuan Goby mengalihkan pandangannya dari radiator ke laci meja yang sebelah kiri,
dan wajahnya dihiasi senyum pahit. Tuan Goby banyak tahu, tetapi dia tak pernah
mau mengakuinya. "Atas nasihatku, putriku itu akan mengajukan permintaan untuk bercerai. Itu
tentu urusan penasihat hukum. Tapi demi alasan-alasan pribadi, aku ingin
informasi yang paling sempurna."
Tuan Goby mengalihkan pandangannya ke tirai lalu menggumam,
"Tentang Tuan Kettering?"
"Tentang Tuan Kettering."
"Baiklah, Tuan."
Tuan Goby bangkit. "Kapan bisa selesai?"
"Apakah Anda ingin cepat-cepat, Tuan?"
"Aku selalu ingin cepat-cepat," kata jutawan itu.
Tuan Goby tersenyum penuh pengertian pada besi pelindung perapian.
"Bagaimana kalau jam dua siang ini, Tuan?" tanyanya.
"Bagus," lawan bicaranya memuji. "Selamat pagi, Goby."
"Selamat pagi, Tuan Van Aldin."
"Orang itu memang berguna sekali," kata jutawan itu setelah Goby keluar dan
sekretarisnya masuk. "Dia memang seorang ahli dalam bidangnya sendiri."
"Apa bidangnya?"
"Informasi. Beri dia dua puluh empat jam dan dia akan mampu memberi kita
informasi tentang kehidupan pribadi Uskup Agung dari Cantebury sekalipun."
"Memang orang yang berguna," kata Knighton, tersenyum.
"Sudah dua atau tiga kali dia berguna bagiku," kata Van Aldin. "Nah, Knighton,
aku sudah siap untuk bekerja."
Dalam beberapa jam berikutnya sejumlah besar pekerjaan diselesaikan dengan
cepat. Pukul setengah satu telepon berdering, dan Tuan Van Aldin diberi tahu
bahwa Tuan Kettering telah datang. Knighton memandang Van Aldin, dan menafsirkan
anggukan singkat majikannya itu.
"Persilakan Tuan Kettering naik."
Sekretaris itu mengumpulkan kertas-kertasnya, lalu pergi. Dia berpapasan dengan
tamu itu di ambang pintu, dan Derek Kettering menyisih untuk memberi jalan pada
Knighton. Lalu dia masuk sambil menutup pintu.
"Selamat pagi, Pak. Saya dengar Bapak ingin sekali bertemu dengan saya."
Suara yang bernada malas dengan bunyi ke dalam dan ironis itu menimbulkan
kenangan pada Van Aldin. Suara itu punya daya tarik - yah memang selamanya punya
daya tarik. Dipandang menantunya itu dengan tajam. Derek Kettering berumur tiga
puluh empat tahun, bertubuh langsing, berwajah kecil dengan mata yang hitam,
yang hingga kini masih tampak kekanakan.
"Masuklah," kata Van Aldin singkat. "Duduklah."
Kettering menghempaskan dirinya dengan lembut ke sebuah kursi. Dia memandang
ayah mertuanya dengan manis.
"Sudah lama saya tidak bertemu dengan Bapak," katanya ringan. "Saya rasa sudah
kira-kira dua tahun. Sudahkah Bapak bertemu dengan Ruth?"
"Sudah, kemarin malam," sahut Van Aldin.
"Dia kelihatan segar, bukan?" kata menantunya santai.
"Aku tak yakin kau punya kesempatan untuk menilainya." kata Van Aldin datar.
Derek Kettering mengangkat alisnya.
"Oh, kami kadang-kadang bertemu di sebuah klub malam tanpa sengaja," katanya
seenaknya. "Aku tak mau bertele-tele," kata Van Aldin singkat. "Aku telah menasihati Ruth
supaya mengajukan permintaan bercerai."
Derek Kettering kelihatan tak terpengaruh.
"Tegas sekali!" gumamnya. "Bolehkah saya merokok, Pak?"
Dia menyalakan sebatang rokok, lalu menghembuskan segumpal asap sambil berkata
lagi dengan tak acuh, "Lalu apa kata Ruth?"
"Ruth mau menuruti nasihatku," kata ayah Ruth.
"Apakah dia benar-benar mau?"
"Hanya itukah yang dapat kaukatakan?" kata Van Aldin tajam.
Kettering menjentikkan abu rokoknya ke tempat abu perapian. "Saya rasa, Bapak
pun tahu," katanya mengelak, "bahwa dengan demikian dia akan membuat kesalahan
besar." "Ditinjau dari segimu sendiri, dia memang keliru," kata Van Aldin tegas.
"Ah, cobalah pikir," kata sang menantu, "janganlah kita terlalu bersikap
sendiri-sendiri. Saat ini pun saya tidak memikirkan diri saya sendiri. Saya
memikirkan Ruth. Bapak pun tahu bahwa ayah saya tidak akan lama lagi hidup -
semua dokter berkata begitu. Sebaiknya Ruth bersabar beberapa tahun lagi, sampai
saya menjadi Lord Leconbury, dan dia akan menjadi nyonya besar di Leconbury.
Bukankah untuk itu dia menikah dengan saya dulu."
"Aku tak mau mendengar kelancanganmu itu," sergah Van Aldin.
Derek Kettering tersenyum padanya tanpa perasaan.
"Saya sependapat dengan Bapak. Itu memang pikiran kuno," katanya. "Zaman
sekarang ini, gelar tak ada artinya. Namun Leconbury suatu tempat yang bagus dan
sudah tua, apalagi kami adalah salah satu keluarga yang tertua di Inggris ini.
Ruth tentu akan sakit hati bila kelak dia bercerai dari saya dan melihat saya
menikah lagi, lalu melihat seorang wanita lain yang menjadi ratu di Leconbury
dan bukan dia." "Aku bersungguh-sungguh, Anak muda," kata Van Aldin.
"Demikian pula saya," kata Kettering. "Keadaan keuangan saya memang menyedihkan
sekali, saya akan sulit sekali kalau Ruth sampai menceraikan saya. Lalu,
bagaimanapun juga, kalau dia sudah bertahan selama sepuluh tahun ini, apa
salahnya menahan sebentar lagi" Saya berani bertaruh bahwa ayah saya tidak akan
bertahan delapan belas bulan lagi, dan, seperti yang telah saya katakan tadi,
sayang sekali kalau Ruth tidak mendapatkan apa yang menjadi tujuannya menikah
dengan saya." "Kau mengatakan bahwa putriku kawin denganmu demi gelar dan kedudukanmu?"
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Derek Kettering tertawa, tawanya sama sekali bukan tawa yang lucu.
"Masa Bapak berpikir bahwa perkawinan kami didasarkan atas saling cinta?"
katanya. "Aku hanya tahu," kata Van Aldin lambat-lambat, "bahwa bicaramu lain sekali di
Paris sepuluh tahun yang lalu."
"Benarkah begitu" Mungkin juga begitu. Ruth begitu cantik - seperti bidadari
atau orang suci atau sesuatu yang turun dari lemari penyimpanannya di gereja.
Saya pun punya gagasan yang baik. Bapak tentu ingat bahwa saya punya niat untuk
memutar haluan, akan hidup tenang dan menyesuaikan diri dengan tradisi orang
Inggris yang tertinggi dalam berumah tangga, dengan seorang istri cantik yang
mencintai saya." Dia tertawa lagi, tawa yang sumbang.
"Tapi saya yakin Bapak tidak percaya, bukan?" katanya.
"Aku tak pernah ragu bahwa kau kawin dengan Ruth demi uangnya," kata Van Aldin
tanpa emosi. "Dan bahwa dia kawin dengan saya demi cinta?" kata menantunya dengan sindiran
tajam. "Tentu," kata Van Aldin.
Derek Kettering menatapnya beberapa saat, lalu mengangguk sambil termangu.
"Rupanya Bapak yakin akan hal itu," katanya. "Saya pun demikian pula pada waktu
itu. Tapi dapat saya pastikan, Ayah mertuaku yang baik, bahwa dalam waktu
singkat saja saya telah tak bisa dikelabui lagi."
"Aku tak tahu apa maksudmu," kata Van Aldin, "dan aku tak peduli. Kau telah
memperlakukan Ruth dengan buruk sekali."
"Memang begitu," Kettering membenarkan. "Tapi dia keras, Bapak tahu itu. Dia
putri Anda. Di balik semua kelembutannya, dia itu sekeras batu karang. Kata
orang, Bapak terkenal sebagai orang yang keras, tapi Ruth lebih keras dari
Bapak. Bagaimanapun juga masih ada satu orang yang lebih Bapak cintai daripada
diri Bapak sendiri. Pada Ruth tak ada itu, dan tak akan pernah ada."
"Cukup," kata Van Aldin. "Kau kusuruh datang kemari supaya aku bisa mengatakan
padamu dengan jujur dan terus terang, apa yang akan kulakukan. Putriku harus
mendapatkan kebahagiaan, dan ingatlah selalu, aku berdiri di belakangnya."
Derek Kettering bangkit lalu berdiri di dekat para-para perapian. Rokoknya
dilemparkannya. Suaranya tenang sekali waktu dia berbicara,
"Apa sebenarnya maksud Bapak?" tanyanya.
"Maksudku, supaya sebaiknya kau tidak membela diri dalam perkara ini," kata Van
Aldin. "Oh," kata Kettering, "apakah itu suatu ancaman?"
"Kau bisa menafsirkannya sesukamu," kata Van Aldin.
Kettering menarik sebuah kursi ke dekat meja. Dia lalu duduk menghadapi jutawan
itu. "Dan seandainya," katanya dengan lembut, "hanya sekedar supaya terjadi
pertikaian, saya tetap membela diri dalam perkara itu?"
Van Aldin mengangkat bahunya.
"Kau tak punya kekuatan apa-apa, Anak muda tolol. Tanya saja pada para penasihat
hukum, mereka akan segera memberi tahu padamu. Kelakuanmu selama ini sudah
terkenal buruk, sudah menjadi buah bibir di London."
"Saya rasa Ruth telah menyebarluaskan tentang Mirelle. Tolol sekali dia. Saya
tak pernah mengganggu teman-teman laki-lakinya."
"Apa maksudmu?" tanya Van Aldin dengan tajam.
Derek Kettering tertawa. "Rupanya Anda tak tahu seluruhnya, Pak," katanya. "Tentu saja Bapak lalu
berprasangka." Diambil topi dan tongkatnya lalu berjalan ke arah pintu.
"Memberikan nasihat bukanlah bidang saya." Dia memberikan tusukan terakhir.
"Tapi dalam hal ini saya nasihatkan benar-benar agar ada keterusterangan yang
murni antara ayah dan anak."
Dengan cepat dia keluar dari kamar dan menutup pintunya, tepat pada saat jutawan
itu bangkit melompat. "Huh, apa maksudnya itu?" kata Van Aldin waktu terhenyak kembali ke kursinya.
Semua rasa kuatirnya muncul kembali. Kini ada sesuatu yang tak diketahui
dasarnya. Pesawat telepon terletak di sikunya, ditangkapnya telepon itu, lalu
minta dihubungkan ke nomor telepon putrinya.
"Halo! Halo! Apakah itu Mayfair 81907" Apakah Nyonya Kettering ada" Oh, dia
keluar. Oh, pergi makan. Jam berapa dia kembali" Anda tak tahu" Ya, baiklah.
Tidak, tak ada pesan apa-apa."
Dihempaskannya gagang telepon itu kembali dengan marah. Pukul dua siang dia
berjalan hilir-mudik dalam kamarnya, menunggu kedatangan Goby dengan penuh
harapan. Goby diantar masuk pukul dua lewat sepuluh.
"Bagaimana?" sergah jutawan itu dengan garang.
Namun Tuan Goby yang kecil itu tak bisa diburu-buru. Dia duduk, mengeluarkan
buku saku yang lusuh, lalu mulai membaca dari buku itu dengan suara datar.
Jutawan itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan perasaan lega. Goby
berhenti membaca, lalu melihat dengan penuh perhatian ke keranjang sampah.
"Hm!" kata Van Aldin. "Meyakinkan sekali. Perkaranya akan berjalan lancar
sekali. Bukti dari hotel itu benar, kan?"
"Barang murni," kata Goby, sambil memandangi sebuah kursi yang bersepuh emas
dengan pandangan jahat. "Dan keadaan keuangannya buruk sekali. Dia sekarang sedang mencoba mencari
pinjaman, katamu" Semua yang bisa diharapkannya dari ayahnya boleh dikatakan
sudah digadaikannya. Begitu berita tentang perceraian itu tersiar, dia tidak
akan bisa lagi mendapatkan pinjaman barang sesen pun. Bukan hanya itu, surat-
surat berharganya pun akan bisa dibeli semua, lalu dari segi itu kita akan bisa
menekannya. Dia sudah ada di tangan kita, Goby, dia sudah terjepit di tangan
kita." Dihantamnya meja kuat-kuat dengan tinjunya. Wajahnya keras dan penuh kemenangan.
"Rupanya," kata Tuan Goby dengan suara halus, "informasi saya memuaskan."
"Sekarang aku harus pergi ke Curzon Street," kata Jutawan itu. "Terima kasih
banyak, Goby. Kau memang hebat."
Di wajah pucat pria yang kecil itu terulas senyum mengandung rasa terima kasih.
"Terima kasih, terima kasih, Tuan Van Aldin," katanya, "saya akan berusaha keras
lagi." Van Aldin tidak langsung pergi ke Curzon Street. Dia pergi ke pusat kota dulu,
di mana dia menanyai dua orang lagi dan memperoleh jawab yang menambah
kepuasannya. Dari sana dia naik kereta api bawah tanah ke Down Street. Waktu dia
berjalan di Curzon Street, seseorang keluar dari rumah nomor seratus enam puluh,
dan membelok ke arahnya, sehingga mereka berpapasan di trotoar. Sesaat, jutawan
itu menyangka bahwa laki-laki itu adalah Derek Kettering sendiri - tinggi dan
potongan badannya serupa. Tetapi waktu mereka berhadap-hadapan, dia menyadari
bahwa dia tak kenal pada orang itu. Tetapi - tidak, bukannya tak kenal - wajah
orang itu membangkitkan rasa kenal pada jutawan itu, dan kenangan itu jelas
berhubungan dengan sesuatu yang tak menyenangkan. Dia memeras otaknya benar-
benar, namun tak ada kenangan yang muncul. Dia mencoba lagi, sambil menggoyang-
goyang kepalanya dengan jengkel. Dia tak suka mengalami kegagalan.
Jelas bahwa Ruth Kettering sedang mengharapkan kedatangannya. Wanita itu berlari
mendapatkannya lalu menciumnya waktu dia masuk.
"Nah, Ayah, bagaimana semuanya?"
"Baik-baik saja," kata Van Aldin, "tapi ada beberapa hal yang harus kubicarakan
denganmu, Ruth." Hampir tanpa disadarinya, jutawan itu melihat perubahan pada Ruth - keceriaan
putrinya waktu menyambut kedatangannya tadi berganti menjadi sesuatu yang tajam
dan waspada. Dia lalu duduk di sebuah kursi yang besar.
"Nah, Ayah?" tanyanya. "Ada apa?"
"Aku sudah berbicara dengan suamimu tadi pagi," kata Van Aldin.
"Ayah berbicara dengan Derek?"
"Ya. Bicaranya banyak, tapi kebanyakan omong kosong. Tapi pada saat dia akan
pergi, dia mengatakan sesuatu yang membuat aku jadi tak mengerti. Aku
dianjurkannya supaya mengadakan pembicaraan terus terang antara ayah dan anak.
Apa maksudnya itu, Ruthie?"
Nyonya Kettering bergerak sedikit di dalam kursinya.
"Aku - aku tak tahu, Ayah. Bagaimana aku bisa tahu?"
"Pasti kau tahu," kata Van Aldin. "Ada lagi sesuatu yang dikatakannya, mengenai
dia dan teman-temannya dan tak pernah mencampuri urusanmu dengan teman-temanmu.
Apa maksudnya itu?" "Aku tak tahu," kata Ruth Kettering lagi.
Van Aldin duduk. Mulutnya terkatup rapat.
"Sadarilah, Ruth. Aku tak mau memulai urusan ini dengan mata tertutup. Aku sama
sekali tak yakin bahwa suamimu itu tak punya niat untuk mengacaukan. Yah, dia
memang tak bisa berbuat demikian, aku yakin itu. Aku punya cara untuk menutup
mulutnya, untuk membungkamnya selama-lamanya, tapi aku harus tahu apakah ada
manfaatnya memakai jalan itu. Apa maksudnya mengatakan bahwa kau punya teman-
teman tersendiri?" Nyonya Kettering mengangkat bahunya.
"Temanku banyak sekali," katanya tanpa keyakinan. "Aku tak tahu apa maksudnya,
sungguh." "Kau tahu," kata Van Aldin.
Kini bicaranya seperti dia sedang berbicara dengan lawan usahanya.
"Kutegaskan lagi. Siapa laki-laki itu?"
"Laki-laki yang mana?"
"Laki-laki itu. Itulah yang dimaksud Derek. Seorang laki-laki tertentu yang
menjadi temanmu. Kau tak perlu kuatir, Sayang - aku tahu itu pasti tak ada apa-
apanya, tapi kita harus menghadapi segala sesuatu sebagaimana yang bakal muncul
dalam sidang. Kau kan tahu bahwa mereka biasanya suka mengorek-ngorek banyak
hal. Aku ingin tahu siapa laki-laki itu, dan berapa jauh persahabatanmu dengan
dia." Ruth tak menjawab. Dia memeras-meras tangannya dalam kegugupannya.
"Ayolah, Sayang," kata Van Aldin lemah lembut, "jangan takut pada ayahmu
sendiri. Aku kan tak pernah terlalu keras padamu, juga tidak waktu di Paris itu"
- Astaga!" Dia terhenti bagai disambar petir.
"Dialah itu!" gumamnya sendiri. "Sudah kupikir, aku kenal wajah itu."
"Bicara tentang apa Ayah ini" Aku tak mengerti."
Jutawan itu mendatangi anaknya dengan langkah panjang-panjang lalu mencengkam
pergelangannya erat-erat.
"Akuilah, Ruth, apakah kau berhubungan dengan laki-laki itu lagi?"
"Laki-laki yang mana?"
"Laki-laki yang telah membuat kita pusing bertahun-tahun yang lalu di Paris. Kau
pasti tahu siapa yang kumaksud."
"Maksud Ayah," dia ragu - "maksud Ayah, Comte de la Roche?"
"Comte de la Roche!" dengus Van Aldin. "Sudah kukatakan padamu waktu itu bahwa
laki-laki itu tak lebih dari seorang penipu. Waktu itu kau telah melibatkan
dirimu dengan dia secara mendalam, tapi aku bisa melepaskanmu dari
cengkeramannya." "Memang Ayah waktu itu berhasil," kata Ruth dengan getir. "Dan aku menikah
dengan Derek Kettering."
"Kau yang mau," tukas jutawan itu dengan tajam.
Ruth mengangkat bahunya. "Dan sekarang," kata Van Aldin lambat-lambat, "kau berhubungan lagi dengan dia -
setelah kuberi peringatan. Hari ini pun dia baru saja dari rumah ini. Aku
berpapasan dengan dia di luar - sejenak aku tak ingat siapa dia."
Ruth Kettering kini menemukan kembali sikapnya.
"Satu hal akan kukatakan, Ayah, Ayah keliru mengenai Armand - maksudku Comte de
la Roche. Memang, aku pun tahu, telah terjadi beberapa peristiwa yang patut
disesalkan waktu dia remaja - dia sendiri yang menceritakan hal itu padaku -
tapi, yah, dia selalu sayang padaku. Patah hatinya waktu Ayah memisahkan kami di
Paris, dan sekarang - "
Kata-katanya terputus oleh dengus kemarahan ayahnya.
"Jadi kau tergiur oleh hal-hal begituan, ya" Kau putriku seorang! Ya Tuhan!"
Dia mengangkat kedua belah tangannya.
"Perempuan memang bisa jadi begitu goblok!"
Bab 6 MIRELLE Derek Kettering keluar dari kamar Van Aldin demikian tergesanya, hingga dia
bertabrakan dengan seorang wanita yang sedang berjalan menyeberangi lorong
hotel. Dia meminta maaf, dan wanita itu memaafkannya dengan meyakinkan sambil
tersenyum lalu berjalan terus, meninggalkan pada Kettering suatu kesan yang
menyenangkan tentang seorang pribadi lembut dengan mata bagus yang berwarna abu-
abu. Meskipun dia bersikap tak acuh, percakapan dengan ayah mertuanya tadi telah
menyebabkan guncangan hebat, meskipun dia tak mau memperlihatkannya. Dia makan
siang seorang diri, dan setelah itu - tetap dengan alis yang masih bertaut - dia
pergi ke sebuah rumah susun yang mewah, tempat tinggal wanita yang bernama
Mirelle. Seorang wanita Prancis yang langsing menyambutnya dengan tersenyum
lebar. "Silakan masuk, Tuan. Nyonya sedang beristirahat."
Dia dipersilakan masuk ke sebuah kamar panjang yang perabotnya bergaya Timur.
Kamar itu sudah sangat dikenalnya. Mirelle sedang berbaring di depan, ditopang
bantal kursi banyak sekali, semuanya berwarna merah bata dengan bermacam-macam
variasi, supaya selaras dengan kulitnya yang berwarna kuning. Penari itu
bertubuh indah sekali, dan kalaupun wajah di bawah polesannya yang kuning itu
sebenarnya agak kuyu, namun wajah itu punya daya tarik yang kuat, dan bibirnya
yang jingga tersenyum pada Derek Kettering dengan cara yang mengundang.
Derek menciumnya, lalu menghempaskan dirinya ke sebuah kursi.
"Apa yang sedang kaulakukan" Baru bangun tidur, ya?"
"Tidak," kata penari itu. "Aku baru saja habis bekerja."
Dengan tangannya yang panjang dan pucat, dia menunjuk ke piano, di mana kertas-
kertas musik berserakan. "Ambrose tadi dari sini. Dia memainkan lagu untuk opera yang baru itu."
Kettering mengangguk tanpa menaruh perhatian. Dia sama sekali tak tertarik pada
Claud Ambrose, juga tidak pada rencana operanya yang berjudul Peer Gynt karangan
Ibsen. Mirelle pun sebenarnya demikian pula - dia hanya menganggapnya penting
karena dia mendapatkan kesempatan istimewa untuk memerankan Anitra.
"Tarian itu luar biasa," gumamnya. "Akan kulibatkan semua gairah gurun pasir ke
dalam tarian itu. Aku akan menari dengan seluruh tubuhku digantungi perhiasan -
aduhai! Dan, omong-omong, Mon ami, kemarin aku melihat sebutir mutiara di Bond
Street - sebutir mutiara hitam."
Dia berhenti, lalu memandang Kettering dengan sikap mengundang.
"Gadisku sayang," kata Kettering, "tak ada gunanya berbicara tentang mutiara
hitam denganku. Saat ini, semua kekayaanku boleh dikatakan sudah punah."
Mirelle cepat menanggapi nada bicara Derek. Dia duduk, matanya yang besar
membelalak. "Apa katamu, Derek" Apa yang terjadi?"
"Ayah mertuaku yang mulia," kata Kettering, "sedang bersiap-siap untuk
menghancurkan hidupku habis-habisan."
"Ha?" "Dengan kata lain, dia ingin Ruth menceraikan aku."
"Bodoh sekali!" kata Mirelle. "Mengapa dia mau menceraikan kau?"
Derek Kettering menyeringai.
"Terutama gara-gara kau, Sayang!" katanya.
"Bodoh sekali," kata Mirelle tegas.
"Sangat bodoh memang," Derek membenarkan.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya Mirelle.
"Gadisku, apalah yang bisa kulakukan" Di satu pihak ada laki-laki yang tak
terhitung jumlah uangnya, sedang di pihak lain ada laki-laki yang tak terhitung
jumlah hutangnya. Ini bukan soal siapa yang akan keluar sebagai pemenang."
"Orang-orang Amerika itu luar biasa," kata Mirelle. "Padahal istrimu itu
kelihatannya sayang sekali padamu."
"Yah," kata Derek, "apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Mirelle memandangnya dengan pandangan bertanya. Derek mendatanginya lalu
menggenggam kedua belah tangannya.
"Apakah kau akan tetap setia padaku?"
"Apa maksudmu" Setelah - ?"
"Ya," kata Kettering. "Setelah itu, bila orang-orang yang berpiutang berdatangan
seperti serigala kelaparan. Aku cinta setengah mati padamu, Mirelle. Apakah kau
akan meninggalkan aku?"
Mirelle menarik tangannya dari genggaman Derek.
"Kau tahu aku memujamu, Derek."
Derek mendengar nada mengelak dalam suara itu.
"Jadi begitu rupanya, ya" Di hari panas lupa kacang akan kulitnya."
"Aduh, Derek!"
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan," katanya dengan keras, "kau akan melemparkan aku, kan?"
Mirelle mengangkat bahunya.
"Aku suka sekali padamu, Mon ami - sungguh, aku suka padamu. Kau menarik sekali
- kau pria yang tampan, tapi itu tak banyak manfaatnya."
"Kau biasa dengan laki-laki kaya yang mewah, ya" Begitu, kan?"
"Jika kau mau menafsirkannya begitu."
Dia bersandar pada bantal-bantal, kepalanya ditelentangkannya.
"Bagaimanapun juga, aku suka sekali padamu, Derek."
Derek pergi ke jendela dan berdiri di sana beberapa lamanya, melihat ke luar,
membelakangi Mirelle. Lalu penari itu bertelekan pada sikunya dan menatapnya
dari belakang dengan rasa penuh ingin tahu.
"Apa yang sedang kaupikirkan, Mon ami?"
Derek menoleh ke belakang, memandangnya lalu tersenyum, suatu senyuman yang
aneh, yang membuat Mirelle agak gelisah.
"Kebetulan, aku sedang memikirkan seorang wanita, Sayang."
"Seorang wanita?"
Mirelle menyerangnya dengan sesuatu yang baru ditanggapinya.
"Kau sedang memikirkan seorang wanita lain, begitukah?"
"Ah, kau tak perlu kuatir, hanya sekedar suatu bayangan angan-angan. 'Bayangan
seorang wanita yang bermata abu-abu'."
Mirelle bertanya dengan nada tajam, "Kapan kau bertemu dengan dia?"
Derek Kettering tertawa, dan tawanya mengandung bunyi sindiran yang mengejek.
"Aku berpapasan dengan seorang wanita di lorong Hotel Savoy."
"Lalu apa katanya?"
"Sepanjang ingatanku, aku berkata, 'Maafkan saya,' dan dia menjawab, 'Tidak apa-
apa,' atau kata-kata lain semacam itulah."
"Kemudian?" penari itu mendesak terus.
Kettering mengangkat bahunya.
"Lalu - tak apa-apa. Itulah akhir peristiwa itu."
"Sepatah pun aku tak mengerti apa yang kaukatakan itu," kata penari itu.
"Bayangan seorang wanita yang bermata abu-abu," gumam Derek sambil merenung.
"Rasanya tak mungkin aku akan bertemu dengannya lagi."
"Mengapa?" "Dia mungkin pembawa bencana bagiku. Wanita biasanya begitu."
Diam-diam Mirelle meninggalkan sofanya, lalu pergi mendatangi Derek, dan
melilitkan tangannya bagai seekor ular ke lehernya.
"Kau bodoh, Derek," gumamnya. "Kau tolol sekali. Kau memang pria tampan, dan aku
memujamu, tapi aku tak bisa hidup miskin - tidak, aku benar-benar tak bisa hidup
miskin. Sekarang dengarkan aku. Semuanya sederhana sekali. Kau harus berdamai
dengan istrimu." "Kurasa itu tak akan bisa dilaksanakan," kata Derek datar.
"Apa katamu" Aku tak mengerti."
"Van Aldin tidak akan menyerah, Sayang. Dia terkenal sebagai orang yang pandai
mengambil keputusan dan kemudian tetap berpegang pada keputusan itu."
"Aku pernah mendengar tentang dia." Penari itu mengangguk. "Dia kaya sekali,
bukan" Hampir merupakan orang yang terkaya di Amerika. Beberapa hari yang lalu
di Paris, dia membeli delima yang paling indah di dunia - namanya Heart of
Fire." Kettering tidak menjawab. Penari itu berkata lagi sambil merenung,
"Permata itu indah sekali - permata yang seharusnya menjadi milik seorang wanita
seperti aku. Aku suka sekali permata, Derek. Aduhai! Memakai permata delima
seperti Heart of Fire itu."
Dia mendesah pendek, lalu menjadi serius lagi.
"Kau tidak mengerti soal seperti ini, Derek, kau hanya seorang laki-laki. Kurasa
Van Aldin akan memberikan permata delima itu kepada putrinya. Apakah dia putri
tunggalnya?" "Ya." "Bila Van Aldin meninggal, dia tentu akan mewarisi semua kekayaannya. Dia akan
menjadi wanita yang kaya sekali."
"Sekarang pun dia sudah seorang wanita kaya," kata Derek datar. "Ayahnya telah
memberinya beberapa juta dolar pada waktu perkawinannya."
"Beberapa juta! Alangkah banyaknya. Lalu bila perempuan itu tiba-tiba meninggal"
Apakah semuanya itu akan jatuh padamu?"
"Kalau dilihat keadaannya sekarang," kata Kettering perlahan, "memang begitu.
Sepanjang pengetahuanku Ruth belum membuat surat wasiat."
"Ya, Tuhan!" seru penari itu. "Bila dia meninggal, betapa akan bagus
penyelesaiannya." Mereka diam sebentar, lalu kemudian Derek Kettering tertawa terbahak.
"Aku suka pikiranmu yang sederhana dan praktis itu, Mirelle, tapi aku takut apa
yang kaudambakan itu tidak akan tercapai. Istriku itu wanita yang benar-benar
sehat." "Eh bien!" seru Mirelle. "Bukankah ada kecelakaan."
Derek memandang tajam padanya tetapi tidak menjawab.
Wanita itu melanjutkan lagi.
"Tapi kau benar, Mon ami, kita tak boleh berharap pada kemungkinan-kemungkinan.
Coba lihat, Derek sayang, jangan bicarakan soal perceraian itu lagi. Istrimu
harus menghentikan gagasan itu."
"Dan bila dia tak mau?"
Penari itu memicingkan matanya, hingga hanya merupakan garis saja.
"Kurasa dia mau, Sahabatku. Dia orang yang tak suka dirinya dijadikan bahan
berita. Ada satu atau dua cerita yang bagus tentang dirinya dan dia tentu tak
mau sampai dibaca orang di surat-surat kabar."
"Apa maksudmu?" tanya Kettering tajam.
Mirelle tertawa dengan kepala terdongak.
"Parbleu! Maksudku pria yang bernama Comte de la Roche itu. Aku tahu semua
tentang dia. Ingat, aku ini orang Paris. Bukankah laki-laki itu kekasihnya
sebelum dia kawin dengan kau?"
Kettering menangkap pundak wanita itu kuat-kuat.
"Itu bohong," katanya. "Dan jangan lupa, bagaimanapun juga, orang yang
kauceritakan itu masih tetap istriku."
Mirelle agak sadar. "Kalian orang Inggris ini aneh," keluhnya. "Yah, kau memang benar, orang-orang
Amerika itu tak punya perasaan, bukan" Tapi izinkanlah aku berkata, Mon ami,
bahwa putri Van Aldin itu mencintai Comte de la Roche sebelum dia kawin dengan
kau, lalu ayahnya bertindak dan mengusir Comte itu. Dan Nona kecil kita menangis
sedih. Tapi dia patuh. Namun, kau pasti tahu juga, Derek, bahwa sekarang lain
lagi ceritanya. Hampir setiap hari dia bertemu dengan kekasihnya itu, dan pada
tanggal empat belas nanti dia akan pergi ke Paris untuk menjumpainya."
"Bagaimana kau bisa tahu semuanya itu?" tanya Kettering.
"Aku" Aku punya teman-teman di Paris, Derek sayang, yang kenal baik pada Comte
itu. Semuanya sudah diatur. Istrimu mengatakan dia akan ke Riviera, tapi
sebenarnya Comte akan menemuinya di Paris - siapa tahu! Sungguh, percayalah, itu
semuanya sudah diatur."
Derek Kettering berdiri tanpa bergerak.
"Nah," penari itu merayu, "bila kau pintar, perempuan itu ada dalam genggamanmu.
Kau akan bisa membuat segalanya jadi kacau baginya."
"Ah, demi Tuhan, diamlah," seru Kettering. "Tutup mulutmu yang terkutuk itu!"
Mirelle menghempaskan badannya ke sofa lagi sambil tertawa. Kettering mengambil
topi dan mantelnya lalu meninggalkan tempat itu sambil membanting pintu. Penari
itu tetap duduk di sofa dan tertawa sendiri. Dia puas dengan hasil usahanya.
Bab 7 SURAT-SURAT "Nyonya Samuel Harfield menyampaikan salamnya pada Nona Katherine Grey dan ingin
memberitahukan bahwa dalam keadaan sekarang ini Nona Grey mungkin tak tahu - "
Setelah menulis sampai di situ dengan lancar, Nyonya Harfield tiba-tiba
berhenti, tertahan oleh sesuatu yang merupakan kesulitan besar bagi kebanyakan
orang - yaitu, kesulitan untuk menulis dengan lancar sebagai orang ketiga.
Setelah bimbang beberapa saat, Nyonya Harfield merobek kertas itu lalu mulai
lagi. "Nona Grey yang terhormat, - Sambil menyampaikan penghargaan saya atas
pengabdian Anda yang cukup besar terhadap saudara sepupu saya Emma (yang
kematiannya baru-baru ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi kami semua),
saya hanya bisa merasa - "
Nyonya Harfield terhenti lagi. Sekali lagi surat itu terlempar ke keranjang
sampah. Setelah empat kali gagal memulai surat, barulah Nyonya Harfield berhasil
membuat surat yang memuaskan hatinya. Surat itu direkat dan diberinya perangko
sebagaimana mestinya, lalu dialamatkannya pada Nona Katherine Grey, Little
Crampton, St. Mary Mead, Kent, dan esok paginya pada waktu sarapan, surat itu
sudah terletak di sebelah piring Katherine, bersama dengan sepucuk surat yang
kelihatannya lebih penting, dalam sebuah amplop panjang berwarna biru.
Katherine Grey membuka surat Nyonya Harfield lebih dulu. Beginilah bunyi surat
hasil tulisan Nyonya Harfield itu,
"Nona Grey yth. - Saya dan suami saya ingin menyatakan terima kasih kami kepada
Anda atas layanan Anda terhadap saudara sepupu saya Emma, yang malang.
Kematiannya merupakan pukulan hebat bagi kami, meskipun kami tentu sudah tahu
bahwa sudah beberapa lama pikirannya agak kurang waras. Saya dengar, surat
wasiatnya yang terakhir, aneh sekali sifatnya, dan oleh karenanya surat wasiat
itu tentu tidak akan bisa berlaku di pengadilan mana pun. Saya yakin bahwa Anda
yang biasanya berpikiran sehat, tentu sudah menyadari hal itu. Kata suami saya,
bila urusan-urusan semacam itu bisa diselesaikan secara pribadi, akan jauh lebih
baik. Kami akan senang sekali memberikan surat keterangan yang memuji supaya
Anda bisa mendapatkan pekerjaan yang serupa, dan berharap agar Anda mau menerima
pemberian kecil dari kami. Percayalah pada saya, Nona Grey yang baik.
Salam hangat, Mary Anne Harfield" Katherine Grey membaca surat itu sampai selesai, tersenyum kecil, lalu
membacanya lagi untuk kedua kalinya. Waktu dia meletakkan surat itu setelah
selesai membacanya untuk kedua kalinya, tampak jelas dari wajahnya bahwa dia
merasa geli. Kemudian dia mengambil surat yang kedua. Setelah membacanya
sebentar surat itu diletakkannya dan dia menatap lurus-lurus ke depan. Kali ini
dia tidak tersenyum. Siapa pun yang memperhatikannya pasti akan sulit menebak
perasaan yang tersembunyi di balik pandang renungannya yang tenang itu.
Katherine Grey berumur tiga puluh tiga tahun. Dia berasal dari suatu keluarga
baik-baik, tetapi ayahnya telah kehilangan semua uangnya, dan Katherine sudah
harus mencari nafkah sendiri sejak masih muda. Dia baru saja berumur dua puluh
tiga tahun, waktu dia datang pada Nyonya Harfield tua dan bekerja sebagai
pendampingnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Nyonya Harfield tua itu orang yang 'sulit'.
Pendamping-pendampingnya datang dan pergi silih berganti dalam waktu yang sangat
singkat. Mereka datang dengan penuh harapan dan mereka pergi biasanya dengan
bercucuran air mata. Tetapi sejak Katherine Grey menjejakkan kakinya di Little
Crampton, sepuluh tahun yang lalu, keadaannya aman damai. Tak seorang pun tahu
bagaimana hal itu mungkin terjadi. Kata orang, pawang ular adalah suatu
pembawaan sejak lahir, bukan hasil didikan. Katherine Grey memang dilahirkan
dengan kemampuan untuk mengatur wanita-wanita tua, anjing, dan anak laki-laki
yang masih kecil, dan kelihatannya hal itu dilakukannya tanpa ketegangan.
Pada usia dua puluh tiga tahun, dia adalah seorang gadis pendiam yang bermata
indah. Pada umur tiga puluh tiga, dia adalah seorang wanita yang tenang, dengan
mata yang berwarna abu-abu itu juga, yang bersinar dan memandang dunia dengan
mantap, disertai semacam ketenangan yang mengandung kebahagiaan yang tak
tergoyahkan oleh apa pun. Apalagi, dia dilahirkan dengan rasa humor, yang sampai
sekarang masih dimilikinya.
Waktu dia duduk sarapan dengan menatap ke depan itu, bel rumah berdering,
disusul oleh bunyi pengetuk pintu yang diketukkan kuat-kuat. Sebentar kemudian
pelayan kecil membuka pintu lalu memberi tahu dengan agak terengah,
"Dr. Harrison."
Dokter setengah baya yang bertubuh besar itu masuk dengan langkah-langkah mantap
dan bersemangat, hal mana sudah ditandai sebelumnya oleh ketukannya yang kuat pada pintu.
"Selamat pagi, Nona Grey."
"Selamat pagi, dr. Harrison."
"Saya datang pagi-pagi," kata dokter itu, "saya takut Anda sudah mendapat berita
dari salah seorang sepupu-sepupu Harfield itu. Dia menamakan dirinya Nyonya
Samuel - orang yang benar-benar seperti ular berbisa."
Tanpa berkata apa-apa, Katherine mengambil surat Nyonya Harfield yang terletak
di meja dan memberikannya pada dokter itu. Dengan perasaan geli sekali dia
memperhatikan dokter itu membaca dan mempertautkan alisnya yang tebal. Dengan
gertak dan geramnya terasa kebenciannya yang hebat. Kemudian surat itu
dihempaskannya di meja. "Benar-benar busuk," katanya geram. "Jangan sampai surat itu membuat Anda
kuatir, Anak baik. Mereka itu bicara seenaknya saja. Pikiran Nyonya Harfield
almarhum sama beresnya dengan akal kita berdua, dan tak seorang pun yang akan
membantah Anda dalam hal itu. Mereka sama sekali tak punya kekuatan dan mereka
sebenarnya tahu itu. Semua pembicaraan mereka yang mengatakan akan membawa hal
itu ke pengadilan, hanya gertak saja. Dan semua usaha mereka itu tipuan belaka.
Dan dengar, Anakku, jangan pula Anda biarkan mereka menipu dengan cara yang
halus. Jangan bayangkan bahwa Anda berkewajiban menyerahkan uang itu, atau
berbuat bodoh karena ingin berbasa-basi."
"Saya rasa, saya tak punya niat untuk berbasa-basi," kata Katherine. "Semua
orang itu adalah sanak jauh dari suami Nyonya Harfield, dan mereka tak pernah
mendatanginya atau mempedulikannya selama hidupnya."
"Anda seorang wanita yang bijak," kata dokter itu. "Saya tahu benar, bahwa Anda
telah menjalani hidup yang luar biasa kerasnya selama sepuluh tahun terakhir
ini. Anda berhak sepenuhnya untuk menikmati hasil tabungan wanita tua itu,
seutuhnya." Katherine tersenyum sambil termangu.
"Seutuhnya," ulangnya. "Tak tahukah Anda berapa jumlahnya, Dokter?"
"Yah - saya rasa cukuplah untuk menghasilkan kira-kira lima ratus setahun."
"Begitulah saya pikir," katanya. "Sekarang bacalah ini."
Katherine memberikan surat yang telah dikeluarkannya dari amplop biru tadi
kepada dokter. Dokter itu membacanya, lalu berseru keras karena benar-benar
terperanjat. "Tak mungkin," gumamnya. "Tak mungkin."
"Almarhumah adalah salah seorang pemegang saham yang pertama dari perusahaan
Mortaulds. Empat puluh tahun yang lalu, dia tentu berpenghasilan delapan sampai
sepuluh ribu setahun. Padahal saya yakin, dia tak pernah membelanjakan lebih
dari empat ratus setahun. Beliau selalu amat cermat dengan uang. Saya selalu
menyangka bahwa dia memang harus berhati-hati mengeluarkan setiap penny."
"Dan selama ini penghasilan itu tentu telah menumpuk dengan adanya bunga-
berbunga. Anakku, Anda akan menjadi seorang wanita yang kaya-raya."
Katherine Grey mengangguk.
"Ya," katanya, "begitulah."
Katherine berbicara dengan nada seolah-olah dia sedang membicarakan orang lain,
seolah-olah dia sedang meninjau persoalan itu dari luar.
"Nah," kata dokter sambil bersiap-siap untuk pulang, "kuucapkan selamat yang
setulus-tulusnya." Dijentiknya surat Nyonya Harfield itu dengan ibu jarinya.
"Jangan kuatir tentang wanita itu, juga dengan suratnya yang berbisa itu."
"Surat itu sebenarnya bukan surat yang berbisa," kata Nona Grey dengan
pengertian. "Dalam keadaan seperti ini, saya rasa wajar mereka berbuat
demikian." "Saya kadang-kadang curiga sekali," kata dokter.
"Mengapa?" "Mengenai apa-apa yang menurut Anda wajar itu."
Katherine Grey tertawa. Dokter Harrison menceritakan kembali berita besar itu pada istrinya pada waktu
makan siang. Istrinya gembira sekali mendengarnya.
"Bayangkan Nyonya Harfield tua itu - dengan uang sebanyak itu. Aku senang dia
mewariskannya pada Katherine Grey. Gadis itu seperti orang suci."
Muka dokter itu menjadi masam.
"Aku selalu membayangkan orang-orang suci itu sebagai orang-orang yang sulit.
Katherine Grey itu terlalu manusiawi untuk disebut orang suci."
"Dia seorang suci dengan rasa humor," kata istri dokter itu sambil berkedip.
"Dan, kurasa kau tak pernah menyadarinya, dia itu cantik sekali."
"Katherine Grey?" Dokter itu benar-benar terkejut. "Matanya bagus, itu aku
tahu." "Ah, kalian laki-laki ini!" seru istrinya. "Buta seperti kelelawar. Dasar-dasar
kecantikan ada pada Katherine. Dia hanya memerlukan pakaian!"
"Pakaian" Apa yang kurang pada pakaiannya" Dia selalu kelihatan manis."
Nyonya Harrison mendesah putus asa, dan dokter itu bangkit serta bersiap-siap
untuk melakukan kunjungan keliling.
"Sebaiknya kau pergi menjenguknya, Polly," dokter itu menganjurkan pada
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istrinya. "Aku memang akan pergi," kata Nyonya Harrison segera.
Kunjungan itu dilakukannya pada kira-kira pukul tiga.
"Aku senang sekali, Anak manis," katanya dengan hangat, sambil menjabat tangan
Katherine. "Dan semua orang di desa ini tentu juga senang."
"Baik sekali Anda mau datang dan mengatakan hal itu," kata Katherine. "Saya
memang mengharapkan Anda datang, karena saya ingin tahu tentang Johnnie."
"Oh! Johnnie. Yah - "
Johnnie adalah putra bungsu Nyonya Harrison. Sesaat kemudian mulailah wanita itu
menceritakan riwayat panjang-lebar yang membesar-besarkan penyakit adenoid dan
tonsil Johnnie itu. Katherine mendengarkan dengan penuh perhatian. Kebiasaan
memang sulit menghilangkannya. Mendengarkan memang sudah merupakan makanannya
selama sepuluh tahun. "Nah, sudah pernahkah aku menceritakan tentang pesta
Angkatan Laut di Portsmouth" Waktu itu Lord Charles mengagumi gaunku." Dan
dengan sabar dan manis Katherine akan menyahut, "Kalau tak salah, sudah, Nyonya
Harfield, tapi saya sudah lupa. Maukah Anda menceritakannya lagi?" Maka wanita
tua itu pun akan mulai dengan penuh semangat, dengan banyak pembetulan,
terhenti-henti, serta hal-hal terperinci yang teringat kembali. Dan Katherine
mendengarkan dengan pikiran setengah-setengah, sambil mengatakan sesuatu yang
tepat bila wanita tua itu terhenti....
Kini dia mendengarkan Nyonya Harrison dengan perasaan ganda yang aneh itu.
Setelah setengah jam berlalu, Nyonya Harrison tiba-tiba sadar.
"Aku berbicara tentang diriku saja selama ini," serunya. "Padahal aku kemari
untuk berbicara tentang kau dan rencana-rencanamu."
"Saya tak yakin apakah saya sudah punya rencana."
"Anak manis - kau kan tidak akan tinggal di tempat ini terus?"
Katherine tersenyum mendengar nada ngeri wanita itu.
"Tidak, saya rasa, saya ingin bepergian. Anda pun tahu, bahwa banyak bagian
dunia ini yang belum pernah saya lihat."
"Kurasa memang begitu. Hidupmu selama ini tentunya tidak menyenangkan, ya,
terkurung saja di sini selama bertahun-tahun."
"Entahlah," kata Katherine. "Saya malah merasa mendapatkan banyak kebebasan."
Melihat teman bicaranya tersentak keheranan, wajahnya agak memerah.
"Mungkin kedengarannya tolol sekali - berkata begitu. Tentu, saya tidak
mendapatkan kebebasan lahiriah dalam arti sebenarnya - "
"Memang tak ada," Nyonya Harrison membenarkan. Dia ingat bahwa Katherine jarang
sekali mendapatkan hari libur.
"Tapi bagaimanapun juga, karena secara lahiriah terikat, kita lalu mendapatkan
banyak pandangan-pandangan mental. Kita selalu bebas berpikir. Saya menemukan
perasaan indah bahwa saya punya kebebasan mental."
Nyonya Harrison menggeleng.
"Aku tak mengerti."
"Ah! Bisa saja bila Anda berada di tempat saya. Tapi bagaimanapun juga, saya
merasa memerlukan suatu perubahan. Saya ingin - ingin sekali mengalami suatu
kejadian. Bukan, bukan atas diri saya sendiri - bukan itu maksud saya. Melainkan
berada di tengah-tengah keadaan - hal-hal yang mendebarkan - biarpun saya hanya
penontonnya saja. Anda pun tahu bahwa di St. Mary Mead ini tak ada kejadian apa-
apa." "Memang tidak," kata Nyonya Harrison membenarkan.
"Pertama-tama saya akan pergi ke London," kata Katherine. "Saya sekaligus harus
menjumpai para penasihat hukum. Setelah itu saya rasa, saya akan pergi ke luar
negeri." "Menyenangkan sekali."
"Tetapi, sebelum semuanya itu, tentulah - "
"Apa?" "Saya harus membeli pakaian."
"Itulah yang kukatakan pada Arthur tadi pagi," seru istri dokter itu.
"Ketahuilah, Katherine, kau benar-benar bisa jadi cantik sekali - bila kaucoba."
Nona Grey tertawa tanpa merasa terbuai.
"Ah! Saya rasa saya tidak akan bisa dipercantik lagi," katanya dengan tulus.
"Tapi saya akan senang mempunyai pakaian yang benar-benar bagus. Ah, terlalu
banyak saya membicarakan diri saya sendiri."
Nyonya Harrison memandang lekat padanya.
"Pengalaman ini tentu akan luar biasa sekali bagimu," katanya datar.
Katherine minta diri pada Nona Viner tua sebelum meninggalkan desa itu. Nona
Viner dua tahun lebih tua daripada Nyonya Harfield, dan pikirannya terpusat pada
keberhasilannya hidup lebih lama daripada temannya yang sudah meninggal itu.
"Kau tentu tak menyangka bahwa aku akan hidup lebih lama daripada Jane Harfield,
ya?" katanya dengan rasa kemenangan pada Katherine.
"Dia dan aku satu sekolah. Dan beginilah keadaannya sekarang, dia dipanggil dan
aku ditinggalkan. Siapa sangka?"
"Anda selalu makan roti dari gandum merah setiap malam, bukan?" gumam Katherine
menuruti kebiasaannya. "Bayangkan, kau bisa mengingatnya, Nak. Ya, kalau saja Jane Harfield mau makan
seiris roti dari gandum merah setiap malam dan minum sedikit obat kuat setiap
kali makan, dia sekarang tentu masih hidup."
Wanita tua itu berhenti bicara, sambil mengangguk dengan sikap kemenangan - lalu
karena tiba-tiba teringat dia berkata lagi,
"Jadi kau sekarang mendapat uang banyak, kudengar. Yah, jaga baik-baik. Lalu
apakah kau akan pergi ke London untuk bersenang-senang" Tapi kurasa kau tidak
akan kawin, karena kau tak mau. Kau bukan orang untuk menarik perhatian laki-
laki. Apalagi umurmu juga sudah agak lanjut. Berapa umurmu sekarang, ya?"
"Tiga puluh tiga," kata Katherine.
"Yah," tukas Nona Viner ragu, "belum terlalu kasip. Hanya kau tentu sudah
kehilangan kesegaran remaja."
"Saya rasa begitulah," kata Katherine, dia merasa geli sekali.
"Tapi kau gadis yang manis sekali," kata Nona Viner dengan ramah. "Dan aku yakin
banyak laki-laki akan merasa beruntung bila memperistri dirimu, daripada
mengambil salah seorang gadis genit zaman sekarang yang berkeliaran saja dan
suka menunjukkan terlalu banyak kakinya, daripada yang diizinkan Tuhan. Selamat
jalan, Anakku, kuharap kau akan menikmati perjalananmu. Tapi berhati-hatilah,
karena banyak hal yang tidak asli dalam hidup ini."
Dengan rasa senang karena peringatan-peringatan itu, Katherine mohon diri.
Setengah isi desa datang ke stasiun untuk mengantarnya - termasuk pelayan
kecilnya, Alice, yang membawa sebuah karangan bunga yang kaku, lalu menangis
terang-terangan. "Tak banyak orang seperti dia," isak Alice waktu kereta api akhirnya berangkat.
"Waktu Charlie mengkhianati aku dan main-main dengan gadis dari pabrik pembuat
susu itu, tidak ada yang lebih baik daripada Nona Grey. Dan meskipun dia agak
cerewet mengenai barang-barang kuningan dan debu, dia pulalah yang selalu bisa
melihat bila kita telah menggosok sesuatu secara istimewa. Kapan saja aku akan
mau berbuat apa saja baginya. Bagiku, dia selalu seorang wanita utama."
Demikianlah keberangkatan Katherine dari St. Mary Mead.
Bab 8 LADY TAMPLIN MENULIS SURAT
"Wah," kata Lady Tamplin, "wah."
Diletakkannya surat kabar Daily Mail edisi daratan Eropa, lalu menatap ke air
Laut Mediterania yang biru. Setangkai bunga mimosa berwarna keemasan yang
berjuntai di kepalanya, menjadi pelengkap yang tepat untuk suatu gambaran yang
indah. Seorang wanita yang berambut pirang keemasan, bermata biru, dan
mengenakan baju rumah yang indah sekali. Tak dapat disangkal bahwa rambut yang
pirang keemasan dan kulit muka yang dadu bercampur putih itu adalah buatan,
namun warna mata yang biru adalah pemberian alam, dan pada usia empat puluh
empat, Lady Tamplin masih tergolong wanita cantik.
Lady Tamplin yang begitu menarik itu, baru saat itulah tidak sedang memikirkan
dirinya sendiri. Artinya dia tidak sedang memikirkan penampilannya. Dia sedang
asyik memikirkan soal yang lebih penting.
Lady Tamplin adalah tokoh yang terkenal di Riviera, dan pesta-pesta yang
diselenggarakannya di Vila Marguerite, dibesarkan orang sebagaimana mestinya.
Dia seorang wanita yang punya pengalaman cukup banyak, dan sudah empat orang
suaminya. Suaminya yang pertama hanyalah hasil perkawinan yang tak bijaksana,
dan oleh karenanya jarang disebut-sebut oleh wanita itu. Pria itu cukup arif dan
meninggal pada saat yang tepat sekali, dan setelah itu jandanya menikah dengan
seorang pemilik pabrik kancing yang kaya. Yang kedua ini pun meninggal setelah
perkawinan mereka berumur tiga tahun - kata orang setelah berpesta-pora dengan
teman-temannya sealiran. Setelah itu datang Viscount Tamplin, yang telah
memantapkan Rosalie ke kedudukan tinggi yang memang diingininya. Gelar yang
didapatnya dari perkawinannya yang ketiga itu, dipakainya terus setelah dia
menikah untuk keempat kalinya. Perkawinan yang keempat ini dilakukannya semata-
mata untuk bersenang-senang. Tuan Charles Evans, seorang pria muda yang sangat
tampan, yang baru berumur dua puluh tujuh, bertingkah laku menyenangkan, sangat
menyukai olahraga, dan suka akan barang-barang yang bagus, sebenarnya sama
sekali tak punya uang. Lady Tamplin pada umumnya merasa puas dan senang dengan hidupnya, tetapi dia
kadang-kadang agak cemas mengenai keadaan keuangannya. Pemilik pabrik kancing
telah mewariskan pada jandanya harta yang cukup banyak, tetapi, seperti yang
sering dikatakan Lady Tamplin, "Ada-ada saja soalnya - " (salah satu di antaranya
turunnya harga nilai saham akibat peperangan, dan yang lain adalah pemborosan
yang telah dilakukan oleh Almarhum Lord Tamplin). Dia masih mempunyai kekayaan
cukup banyak. Tetapi kalau hanya cukup banyak saja, kurang memuaskan bagi
seseorang seperti Rosalie Tamplin.
Maka, pada pagi hari yang istimewa dalam bulan Januari itu, dibukanya matanya
yang biru itu lebar-lebar waktu dia membaca sebuah berita dan hanya dapat
mengucapkan satu suku kata seru tanpa arti, "Wah". Hanya ada seorang lain yang
ada di balkon itu bersamanya, yaitu putrinya, Nona Lenox Tamplin. Seorang putri
seperti Lenox itu bagaikan duri di sisi Lady Tamplin - dia seorang gadis yang
tak kenal tenggang rasa, yang berwajah lebih tua daripada umurnya, dan sifat
humornya yang aneh dan penuh sindiran, sekurang-kurangnya bisa disebut tidak
menyenangkan. "Sayang," kata Lady Tamplin, "coba bayangkan."
"Ada apa?" Lady Tamplin mengambil Daily Mail tadi, diberikannya pada putrinya, lalu
menunjuk dengan bersemangat bagian berita yang menarik itu.
Lenox membacanya tanpa semangat seperti yang ditunjukkan ibunya. Surat kabar itu
dikembalikannya. "Apa istimewanya berita itu?" tanyanya. "Hal-hal seperti itu sering terjadi.
Wanita-wanita tua yang kikir selalu meninggal di desa dan meninggalkan
kekayaannya yang berjuta-juta pada pendampingnya yang papa."
"Benar, aku tahu itu," kata ibunya, "dan aku yakin kekayaan itu biasanya
tidaklah sebesar yang diberitakan - surat-surat kabar itu sering tak teliti.
Tapi biar tinggal separuh jumlah itu sekalipun - "
"Yah," sela Lenox, "harta itu kan tidak diwariskan pada kita."
"Secara langsung tidak, Sayang," kata Lady Tamplin, "tapi gadis ini, Katherine
Grey ini, sebenarnya saudara sepupuku. Salah seorang warga Grey dari cabang
Worchestershire, di sebelah Edgeworth. Sepupuku sendiri! Bayangkan!"
"Oh - begitu," kata Lenox.
"Lalu aku jadi berpikir - " kata ibunya.
"Apakah kita akan mendapatkan bagian juga," sambung Lenox dengan senyum mencibir
yang selalu sulit dipahami ibunya.
"Ah, Sayang," kata Lady Tamplin, dengan nada teguran yang tak tegas.
Teguran itu memang hanya samar-samar saja, sebab Lady Tamplin sudah terbiasa
akan kelancangan mulut putrinya dan dengan apa yang disebutnya cara bicara Lenox
yang tak menyenangkan. "Aku sedang berpikir," kata Lady Tamplin sambil mengerutkan alisnya yang
digambar dengan bagus sekali, "apakah - oh, selamat pagi, Chubby sayang, apakah
kau akan main tenis" Baik sekali!"
Orang yang biasa dipanggil 'Chubby' itu tersenyum ramah, berkata sebagaimana
mestinya, "Kau kelihatan cantik sekali memakai baju berwarna buah peach itu,"
lalu berjalan terus melewati mereka dan menuruni tangga.
"Kekasihku itu," kata Lady Tamplin, sambil memandangi suaminya dari belakang
dengan penuh kasih sayang. "Oh ya, apa kataku tadi" Oh!" Pikirannya diputarnya
kembali pada urusannya tadi. "Aku sedang berpikir - "
"Aduh, demi Tuhan, teruskanlah kata-kata itu. Sudah tiga kali Ibu berkata
begitu." "Ya, Sayang," kata Lady Tamplin, "kupikir, alangkah baiknya bila aku menulis
surat pada Katherine yang baik itu dan mengajaknya mengunjungi kita di sini. Dia
memang kurang biasa hidup dalam masyarakat. Akan lebih baik jika dia dibiasakan
bergaul dalam masyarakat dengan diantar oleh salah seorang sanaknya sendiri.
Suatu keuntungan baginya, juga bagi kita."
"Menurut Ibu, berapa dia akan memberi Ibu?" tanya Lenox.
Ibunya melihat padanya dengan pandangan menegur lalu menggumam,
"Kita tentu akan bisa mengatur segi keuangannya. Soalnya selalu ada-ada saja -
peperanganlah - mana ayahmu yang malang itu."
"Dan sekarang Chubby," kata Lenox. "Dia itu suka kemewahan."
"Sepanjang ingatanku, Katherine itu seorang gadis yang manis," gumam Lady
Tamplin, mengikuti jalan pikirannya lagi - "pendiam, tak pernah ingin
menonjolkan diri, tidak cantik dan tak pernah suka mengejar laki-laki."
"Oh, kalau begitu, dia tidak akan mengganggu Chubby, ya?" kata Lenox.
Lady Tamplin memandangnya dengan menyalahkan. "Chubby tidak akan pernah mau - "
dia mulai. "Tentu tidak," kata Lenox. "Saya rasa dia memang tidak akan mau - dia kan tahu
betul siapa yang menghidupinya."
"Ah, kau," kata Lady Tamplin, "caramu menyatakan sesuatu selalu kasar."
"Maaf," kata Lenox.
Lady Tamplin mengambil surat kabar Daily Mail tadi, sebuah tas alat-alat
kecantikan, dan beberapa pucuk surat, lalu mengangkat bajunya.
"Aku akan segera menulis surat pada Katherine yang baik itu," katanya, "dan
mengingatkannya kembali pada masa lalu yang menyenangkan di Edgeworth."
Dia masuk ke rumah, dengan mata yang memancarkan cahaya yang mengandung suatu
tekad. Penulisan surat itu dilakukan dengan lancar sekali tidak seperti Nyonya Samuel
Harfield. Empat halaman dipenuhinya tanpa berhenti atau bersusah payah, dan
setelah membacanya kembali dilihatnya bahwa dia tak perlu mengubah barang
sepatah kata pun. Katherine menerima surat itu pada pagi hari kedatangannya di London. Tak seorang
pun tahu apakah terbaca olehnya apa yang tersirat dalam apa yang tersurat.
Dimasukkannya surat itu ke dalam tasnya lalu keluar untuk memenuhi janji
pertemuannya dengan para penasihat hukum Nyonya Harfield.
Perusahaan itu sudah lama didirikan, bertempat di Lincoln's Inn Fields. Dua
puluh menit kemudian, Katherine diantar masuk ke ruang salah seorang pemimpin
yang sudah tua - seorang pria tua yang baik, bermata biru tajam, dan bersikap
kebapakan. Selama dua puluh menit mereka membahas surat wasiat Nyonya Harfield dan beberapa
soal lain, lalu Katherine memberikan surat Nyonya Samuel pada pengacara itu.
"Saya rasa sebaiknya saya perlihatkan surat ini pada Anda," katanya, "meskipun
sebenarnya tak masuk akal."
Pengacara itu membacanya, lalu tersenyum kecil.
"Sungguh, suatu perbuatan yang kasar, Nona Grey. Saya rasa saya tak perlu lagi
memberi tahu Anda, bahwa orang-orang ini sama sekali tak punya hak sedikit pun
atas peninggalan itu. Dan bila mereka berusaha untuk menuntut surat wasiat itu,
tak satu pengadilan pun mau menerima pengaduan itu."
"Saya pun berpikir begitu."
"Sifat manusia memang tidak selamanya baik. Bila saya berada di tempat Nyonya
Samuel Harfield, saya akan lebih cenderung mengharapkan kemurahan hati Anda."
"Itulah salah satu hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Saya ingin agar
suatu jumlah tertentu diberikan pada orang-orang itu."
"Tak ada keharusan untuk itu."
"Saya tahu." "Dan mereka tidak akan menerimanya dengan pengertian yang Anda maksud. Mereka
mungkin akan menganggapnya sebagai suatu usaha untuk menyuap mereka, meskipun
mereka tidak akan menolaknya."
"Saya mengerti, dan kita tak bisa berbuat apa-apa."
"Saya ingin menasihati Anda, Nona Grey, sebaiknya Anda buang gagasan itu dari
pikiran Anda." Katherine menggeleng. "Saya tahu, Anda pasti benar, namun bagaimanapun saya
tetap ingin hal itu dilaksanakan."
"Mereka akan menerkam uang itu dan sesudah itu akan makin mencaci-maki Anda."
"Yah," kata Katherine, "biarkan saja mereka kalau mereka suka. Kita semua punya
cara masing-masing untuk menghibur diri. Bagaimanapun juga, hanya merekalah
sanak Nyonya Harfield, dan meskipun mereka membencinya karena miskinnya dan tak
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah memperhatikannya waktu dia masih hidup, saya rasa tidaklah adil bila
mereka disisihkan tanpa mendapatkan apa-apa."
Katherine tetap berpegang pada pendiriannya, meski pengacara itu masih enggan.
Kemudian dia keluar ke jalan di London dengan perasaan senang, karena dia akan
bisa membelanjakan uang dengan bebas dan membuat rencana apa saja yang
disukainya untuk masa depannya. Yang pertama-tama dilakukannya adalah
mengunjungi gedung tempat seorang penjahit yang terkenal.
Seorang wanita Prancis kecil yang sudah berumur, yang serupa dengan seorang
bangsawan wanita yang sedang bermimpi, menyambutnya, dan Katherine berbicara
seperti orang yang tak tahu apa-apa.
"Kalau boleh saya ingin mempercayakan diri saya pada Anda. Selama hidup saya,
saya miskin sekali dan tak tahu apa-apa tentang pakaian. Tetapi sekarang saya
mendapat uang dan ingin benar-benar berpakaian bagus."
Wanita Prancis itu merasa tertarik. Dia mempunyai rasa seni, dan dia merasa pagi
itu rasa seninya telah dinodai gara-gara kedatangan seorang ratu daging dari
Argentina, yang berkeras akan membeli baju yang modelnya sama sekali tak cocok
dengan kecantikannya yang menyolok. Diawasinya Katherine dengan mata yang tajam
dan berpengalaman. "Ya - ya, saya senang sekali. Nona berpotongan tubuh bagus
sekali. Untuk Anda potongan yang sederhanalah yang terbaik. Nona juga
berpenampilan khas Inggris. Ada orang yang marah kalau saya berkata begitu, tapi
Nona tidak. Model gadis Inggris, adalah potongan yang paling bagus."
Sikapnya yang menyerupai bangsawan wanita yang sedang bermimpi, tiba-tiba
lenyap. Dia meneriakkan perintah-perintah pada beberapa orang peragawati. "Ayo,
Clothilde. Virginie - cepat, Anak-anak - kenakan 'stelan yang berwarna abu-abu
cerah' dan 'gaun makan malam musim gugur'. Marcelle sayang, pakai stelan dari
bahan crepe de chine yang berbunga-bunga mimosa."
Pagi itu cerah. Marcelle, Clothilde, dan Virginie yang sudah merasa bosan dan
angkuh, melewati mereka sambil berputar-putar perlahan-lahan, meliuk-liuk dan
menggeliat sebagaimana biasanya peragawati. Wanita Prancis itu berdiri di dekat
Katherine dan menuliskan pilihan Katherine dalam sebuah buku catatan kecil.
"Pilihan yang bagus sekali, Nona. Nona memang punya selera yang baik. Sungguh,
Nona memang paling pantas mengenakan stelan-stelan itu bila akan bepergian ke
Riviera dalam musim salju ini."
"Boleh saya melihat gaun malam itu sekali lagi," kata Katherine - "yang berwarna
merah muda bercampur hijau kebiru-biruan."
Virginie muncul lagi, sambil berputar perlahan-lahan.
"Itulah yang paling cantik," kata Katherine, ketika dia memperhatikan baju lebar
yang teramat berwarna kehijauan, abu-abu, dan biru. "Apa namanya?"
"Desah di musim gugur. Ya, ya, baju itu tepat benar bagi Nona."
Kata-kata itu terkenang kembali dengan menimbulkan bayangan rasa sedih, setelah
Katherine meninggalkan gedung tukang jahit itu.
"'Desah di musim gugur; baju itu tepat benar untuk Nona.'" Musim gugur, ya,
umurnya memang sudah berada di musim gugur sekarang. Dia tak pernah mengenal
musim semi atau musim panas dan tidak akan pernah mengenalnya lagi sekarang.
Sesuatu yang telah hilang dari hidupnya dan tidak akan pernah kembali padanya.
Tahun-tahun pelayanannya di St. Mary Mead - dan sementara itu hidup pun berlalu.
"Goblok sekali aku," kata Katherine sendiri. "Tolol. Apa yang kuingini" Ah,
sebulan yang lalu aku lebih berbahagia daripada sekarang."
Dikeluarkan dari tasnya surat yang tadi pagi diterimanya dari Lady Tamplin.
Katherine tidak bodoh. Dia mengerti maksud sampingan dari surat itu. Juga alasan
mengapa Lady Tamplin tiba-tiba menunjukkan kasih sayangnya terhadap saudara
sepupu yang telah lama dilupakan, tak luput dari pengertiannya. Hanya demi
keuntunganlah Lady Tamplin begitu besar keinginannya untuk bertemu dengan
saudara sepupu tersayang, bukan untuk menghiburnya. Tetapi, yah, mengapa tidak"
Kedua pihak akan mengalami keuntungan.
"Aku akan pergi," kata Katherine.
Pada saat itu dia sedang berjalan di Piccadilly, lalu membelok masuk ke kantor
Cook untuk langsung melaksanakan urusan itu. Dia harus menunggu beberapa menit.
Pria yang sedang dilayani petugas akan pergi ke Riviera juga. Semua orang akan
bepergian, pikirnya. Yah, untuk pertama kali dalam hidupnya dia juga akan
melakukan apa yang dilakukan oleh 'semua orang'.
Pria yang berdiri di depannya tiba-tiba keluar dari antrian, dan Katherine maju
ke tempatnya. Dia mengatur pesanannya pada petugas itu, tetapi pada saat yang
sama separuh dari pikirannya sibuk memikirkan sesuatu. Wajah pria itu - samar-
samar rasanya dikenalnya. Di mana dia melihatnya sebelum ini" Tiba-tiba dia
ingat. Dia melihatnya di Savoy, di luar kamarnya tadi pagi. Dia tabrakan dengan
pria itu di lorong hotel. Suatu kebetulan yang aneh bahwa sehari dua kali dia
bertemu dengan orang yang sama. Dia menoleh ke belakang, didorong oleh suatu
rasa kuatir yang tak diketahuinya. Pria itu berdiri di ambang pintu dan menoleh
padanya. Berdiri bulu roma Katherine - dia merasa seolah-olah dihantui oleh
suatu tragedi, nasib buruk yang akan terjadi....
Lalu kesan itu dilepaskannya dari dirinya dengan akal sehat yang biasa
dimilikinya dan menujukan perhatian sepenuhnya pada kata-kata petugas.
Bab 9 SUATU TAWARAN YANG DITOLAK
Jarang sekali Derek Kettering membiarkan rasa marah menguasai dirinya. Sifatnya
yang paling menonjol adalah selalu santai, dan bukan hanya satu kali sifatnya
itu telah menolongnya mengatasi suatu kesulitan. Bahkan sekarang pun, setelah
dia meninggalkan flat Mirelle, dia sudah tenang kembali. Dia memang butuh
ketenangan. Kesulitan yang sedang dialaminya sekarang ini lebih besar daripada
sebelumnya, dan faktor-faktor yang tak terduga telah timbul, dan saat itu dia
tak tahu bagaimana harus menanganinya.
Dia berjalan terus sambil tenggelam dalam pikirannya. Alisnya bertaut, dan sama
sekali tak tampak gayanya yang santai dan perlente, yang begitu sesuai dengan
pribadinya. Beberapa kemungkinan terbayang di dalam pikirannya. Dapat dikatakan
bahwa Derek Kettering tidaklah sebodoh yang tampak pada penampilannya. Dia
melihat satu jalan ke luar yang masih dapat ditempuhnya - khususnya satu. Bila
jalan itu tidak segera ditempuhnya, itu hanya untuk sementara saja. Penyakit
yang hebat memerlukan obat yang hebat pula. Dugaannya mengenai ayah mertuanya
tepat. Suatu peperangan antara Derek Kettering dan Rufus Van Aldin hanya punya
satu penyelesaian. Derek mengutuk uang dan kekuasaan uang habis-habisan. Dia
berjalan menuju St. Jame's Street, di seberang Piccadilly, lalu berjalan di
sepanjang jalan itu ke arah Piccadilly Circus. Waktu dia melewati kantor Messr.
Thomas Cook & Sons, langkahnya diperlambatnya. Tetapi dia berjalan terus,
sambil membalik-balik persoalan itu dalam pikirannya. Akhirnya dia mengangguk
singkat, dan membelok mendadak - demikian mendadaknya hingga dia bertabrakan
dengan beberapa orang pejalan kaki yang sedang berjalan di belakangnya, lalu
melalui jalan yang tadi telah ditempuhnya. Kali ini kantor Cook tidak
dilewatinya, tapi dimasukinya. Kantor itu boleh dikatakan kosong, dan dia
langsung dilayani. "Saya akan pergi ke Nice minggu depan. Dapatkah Anda memberikan penjelasan?"
"Tanggal berapa, Tuan?"
"Tanggal empat belas. Kereta api apa yang terbaik?"
"Yah, kereta api yang terbaik tentulah yang bernama Kereta Api Biru. Dengan
demikian Anda akan terhindar dari urusan bea cukai yang memusingkan di Calais."
Derek mengangguk. Dia sudah tahu itu.
"Tanggal empat belas," gumam petugas itu, "agak cepat juga. Kereta Api Biru
hampir selalu terjual habis karcisnya."
"Tolong carikan kalau-kalau masih ada kamar yang bertempat tidur," kata Derek.
"Bila tak ada - " Kalimat itu dibiarkannya tak selesai, dan dia tersenyum penuh
arti. Petugas itu menghilang beberapa menit, kemudian kembali lagi. "Beres, Tuan,
masih ada tiga kamar kosong. Anda akan saya daftarkan untuk salah satu kamar
itu. Nama Anda?" "Pavett," kata Derek. Diberikannya alamat tempat tinggalnya di Jermyn Street.
Petugas itu mengangguk, setelah selesai menuliskannya, dia mengucapkan selamat
pagi dengan sopan pada Derek, lalu menunjukkan perhatiannya pada nasabah
berikutnya. "Saya akan pergi ke Nice - pada tanggal empat belas. Bukankah ada kereta api
yang bernama Kereta Api Biru?"
Derek menoleh dengan tajam.
Kebetulan - suatu kebetulan yang aneh. Dia teringat kata-katanya sendiri yang
aneh pada Mirelle tadi. Gambaran seorang wanita bermata abu-abu. Kurasa aku
tidak akan bertemu dengannya lagi. Tetapi ternyata dia bertemu lagi dengan
wanita itu - dan bukan itu saja, dia akan pergi ke Riviera pada hari yang sama
pula dengan kepergiannya sendiri.
Sesaat lamanya dia merasa bergidik - kadang-kadang dia percaya akan tahyul. Dia
tadi berkata, dengan setengah bergurau, bahwa wanita itu akan membawa nasib
buruk bagi dirinya. Seandainya - yah, seandainya itu benar. Dari ambang pintu,
Derek menoleh lagi pada wanita itu, dia sedang bercakap-cakap dengan petugas.
Sekali ini ingatannya tidak keliru. Seorang wanita utama - dalam arti yang
sebenar-benarnya. Tidak begitu muda, tidak pula terlalu cantik. Tetapi ada
sesuatu - mata abu-abu yang mungkin telah melihat terlalu banyak. Waktu dia
keluar dari gedung itu dia tahu bahwa dia merasa takut pada wanita itu. Dia
punya firasat akan adanya bencana.
Dia kembali ke tempat tinggalnya di Jermyn Street, lalu memanggil pelayannya,
"Uangkan cek ini, Pavett, lalu pergi ke kantor Cook di Piccadilly. Mereka di
sana sudah menyiapkan karcis yang dicatatkan atas namamu. Bayarlah, lalu bawa
kemari." "Baik, Tuan." Pavett pergi. Derek pergi ke sebuah meja kecil, lalu mengambil segenggam surat. Surat-surat
itu semua senada bunyinya, dan amat dikenalnya. Surat-surat tagihan, dalam
jumlah besar dan kecil, semuanya mendesak pembayaran. Nada tagihannya masih
sopan. Derek tahu bahwa semua nada sopan itu akan berubah, yaitu segera setelah
- suatu berita tersiar. Dia menghempaskan dirinya dengan jengkel ke sebuah kursi besar berlapis kulit.
Dia merasa sedang berada dalam - sebuah lubang terkutuk. Ya, sebuah lubang
terkutuk! Sedang jalan ke luar dari lubang terkutuk itu tidak memberi harapan.
Pavett muncul kembali dengan mendehem halus.
"Ada seorang pria yang ingin bertemu Anda - Tuan - Mayor Knighton."
"Knighton?" Derek menegakkan duduknya, mengerutkan alisnya, dan tiba-tiba jadi waspada.
"Knighton - " katanya dengan nada halus, seolah-olah pada dirinya sendiri, "ada
apa pula ini?" "Apakah - eh - akan saya antar dia kemari, Tuan?"
Majikannya mengangguk. Waktu Knighton masuk ke kamar itu, dia menemukan seorang
tuan rumah yang menarik dan ramah menunggunya.
"Baik benar Anda mau mengunjungi saya," kata Derek.
Knighton tampak gugup. Mata Derek yang tajam segera melihat kegugupan itu. Sekretaris itu jelas tidak
menyukai berita yang harus disampaikannya. Orang itu menjawab percakapan Derek
yang mengalir terus, seperti tanpa disadarinya saja. Dia menolak waktu ditawari
minuman, dan sikapnya jadi lebih kaku dari semula. Derek berpura-pura baru
melihat hal itu. "Yah," katanya dengan ceria, "apa yang dikehendaki ayah mertuaku yang terhormat
dari diriku" Saya percaya Anda tentu datang untuk urusan beliau?"
Knighton tidak membalas senyum itu.
"Memang benar," katanya berhati-hati. "Sebenarnya - saya ingin Tuan Van Aldin
menyuruh orang lain saja."
Derek mengangkat alisnya, berpura-pura heran.
"Apakah begitu buruknya berita yang Anda bawa itu" Ketahuilah, Knighton, saya
tidak terlalu mudah tersinggung."
"Memang tidak," kata Knighton; "tapi ini - "
Dia berhenti. Derek memandangnya dengan tajam.
"Ayo, katakanlah," katanya dengan ramah. "Saya tahu, berita-berita yang disuruh
sampaikan oleh ayah mertuaku memang tidak selalu menyenangkan."
Knighton meneguk air liurnya. Dia berbicara dengan nada resmi yang dipaksakan,
untuk membebaskan dirinya dari rasa tak enak.
"Saya diperintah Tuan Van Aldin untuk mengajukan suatu tawaran."
"Suatu tawaran?" Derek memperlihatkan rasa terkejutnya. Kata-kata pembukaan
Knighton sama sekali tidak diharapkannya. Knighton ditawarinya rokok. Untuknya
sendiri dinyatakannya sebatang, lalu bersandar di kursinya sambil menggumam
dengan suara agak mengejek,
"Suatu tawaran" Agaknya menarik."
"Bolehkah saya teruskan?"
"Silakan. Maafkan keheranan saya, tapi agaknya ayah mertuaku yang baik itu sudah
mau mengurangi tuntutannya daripada waktu kami bercakap-cakap tadi pagi. Padahal
kita biasanya tak bisa mengharapkan orang kuat, raja-raja uang itu, mengurangi
tuntutannya. Itu berarti - kurasa itu berarti bahwa dia merasa kedudukannya
lebih lemah daripada yang disangkanya semula."
Dengan sopan Knighton mendengarkan saja kata-kata yang diucapkan dengan
seenaknya dan mengejek itu, dan wajahnya yang agak beku itu sama sekali tidak
menunjukkan tanda apa-apa. Ditunggunya sampai Derek selesai, lalu dia berkata
dengan tenang, "Akan saya sampaikan usul itu dengan sesingkat mungkin."
"Silakan." Knighton tidak melihat pada lawan bicaranya. Suaranya singkat dan tegas.
"Begini soalnya. Seperti Anda ketahui, Nyonya Kettering akan mengajukan
permohonan perceraian. Bila perkara itu diadili tanpa ada pembelaan diri dari
pihak Anda, maka Anda akan menerima seratus ribu pada hari surat perceraian itu
beres." Derek yang sedang menyalakan rokoknya, tiba-tiba terhenti. "Seratus ribu!"
katanya tajam. "Dolar?"
"Pound." Selama sekurang-kurangnya dua menit keadaan sunyi-sepi. Kettering mengerutkan
alisnya, berpikir. Seratus ribu pound. Itu akan berarti Mirelle dan kelangsungan
cara hidupnya yang menyenangkan dan santai. Itu berarti pula bahwa Van Aldin
mengetahui sesuatu. Van Aldin tidak akan mau membayar percuma. Dia bangkit lalu
berdiri dekat cerobong asap perapian.
"Dan bagaimana kalau tawarannya yang menarik itu saya tolak?" tanyanya dengan
sopan-santun yang dingin dan mengandung ejekan.
Knighton mengangkat kedua belah tangannya seolah menolak.
"Saya tekankan, Tuan Kettering," katanya bersungguh-sungguh, "bahwa saya kemari
membawa pesan ini adalah dengan rasa enggan yang sebesar-besarnya."
"Tak apa-apa," kata Kettering. "Jangan susah, bukan salah Anda. Nah - saya tadi
bertanya, tolong jawab."
Knighton juga bangkit. Dia berbicara lebih enggan dari semula.
"Bila Anda menolak usul itu," katanya, "Tuan Van Aldin menyuruh saya mengatakan
pada Anda dengan kata-kata yang jelas bahwa dia berniat untuk menghancurkan
hidup Anda. Hanya itu."
Kettering mengangkat alisnya, tetapi dia mempertahankan sikap santainya yang
lucu. "Wah, wah!" katanya. "Kurasa dia memang bisa berbuat demikian. Saya pasti tidak
akan mampu melawan orang Amerika yang punya uang berjuta-juta itu. Seratus ribu!
Bila akan menyuap orang harus melakukannya dengan sempurna. Seandainya saya
suruh Anda mengatakan bahwa saya mau melakukan apa yang dikehendakinya dengan
bayaran dua ratus ribu, bagaimana?"
"Saya akan menyampaikan pesan Anda itu pada Tuan Van Aldin," kata Knighton tanpa
emosi. "Itukah jawab Anda?"
"Bukan," kata Derek. "Lucu memang, tapi itu bukan jawaban saya. Anda bisa
kembali pada mertuaku itu dan katakan padanya supaya dia pergi ke neraka bersama
uang suapnya itu. Jelas?"
"Jelas sekali," kata Knighton. Dia bangkit, ragu-ragu sebentar, lalu mukanya
memerah. "Saya - izinkanlah saya berkata Tuan Kettering, bahwa saya senang Anda
menjawab demikian." Derek tidak menyahut. Setelah tamunya meninggalkan kamar itu dia termenung
selama satu-dua menit. Kemudian dia tersenyum aneh.
"Beres," katanya dengan suara halus.
Bab 10 DI KERETA API BIRU "Ayah!" Nyonya Kettering amat terkejut. Pagi itu dia kurang dapat mengendalikan
syarafnya. Dengan berpakaian sempurna - sebuah mantel panjang dari bulu binatang
dan sebuah topi kecil model Cina yang dipernis merah - dia sedang berjalan-jalan
di peron di Stasiun Victoria yang ramai, sambil berpikir. Dan kemunculan ayahnya
yang begitu mendadak yang disertai salam pertemuan yang mesra, tidak begitu
diharapkannya. "Aduh, Ruth, mengapa kau begitu terperanjat!"
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak saya sangka akan bertemu Ayah. Ayah sudah mengucapkan selamat jalan semalam
dan Ayah berkata bahwa pagi ini ada pertemuan."
"Memang benar," kata Van Aldin, "tapi kau lebih penting daripada pertemuan yang
mana pun juga. Aku datang untuk melihatmu terakhir kalinya, karena aku tidak
akan bertemu denganmu beberapa lamanya."
"Ayah baik sekali. Aku akan senang bila Ayah pergi juga."
"Bagaimana kalau aku memang ikut?"
Pertanyaan itu hanya suatu senda-gurau. Oleh karenanya dia heran melihat pipi
Ruth menjadi merah menyala. Sesaat dia merasa melihat kekecewaan membayang di
mata Ruth. Ruth tertawa tanpa yakin dan dengan gugup.
"Kusangka Ayah bersungguh-sungguh tadi," katanya.
"Apakah kau akan senang?"
"Tentu." Dia berbicara dengan tekanan yang berlebihan.
"Yah," kata Van Aldin, "baguslah."
"Aku pergi tak akan lama, Ayah." Ruth melanjutkan, "bukankah Ayah akan ke sana
juga bulan depan?" "Akh!" kata Van Aldin tanpa emosi. "Kadang-kadang ingin aku pergi ke tempat
salah seorang dokter-dokter besar di Harley Street itu dan menyuruhnya
mengatakan padaku bahwa aku memerlukan sinar matahari dan perubahan udara
sekarang juga." "Jangan begitu malas ah," seru Ruth. "Bulan depan akan lebih menyenangkan di
sana daripada bulan ini. Macam-macam hal yang tak dapat Ayah tinggalkan sekarang
ini." "Yah kurasa memang begitu," kata Van Aldin dengan mendesah. "Sebaiknya kau naik
ke keretamu, Ruth. Mana tempat dudukmu?"
Ruth Kettering mengangkat mukanya melihat ke kereta api. Di ambang pintu salah
satu kereta Pullman, berdiri seorang wanita semampai yang berpakaian hitam -
pelayan Ruth Kettering. Dia menyingkir waktu majikannya berjalan ke arahnya.
"Peti pakaian Anda sudah saya letakkan di bawah tempat duduk Anda, Nyonya,
kalau-kalau Nyonya memerlukannya. Maukah Nyonya saya ambilkan selimut kaki, atau
akan Anda minta sendiri?"
"Tidak, tidak, aku tidak akan memerlukannya. Sebaiknya kau pergi mencari tempat
dudukmu sendiri, Mason."
"Baik, Nyonya."
Pelayan itu pergi. Van Aldin masuk ke kereta Pullman bersama putrinya. Ruth menemukan tempat
duduknya, dan Van Aldin meletakkan beberapa lembar surat kabar dan majalah di
atas meja di hadapannya. Tempat duduk di depannya sudah ditempati seseorang, dan
orang Amerika itu memandang sepintas pada orang itu. Kesan sepintas yang
diperolehnya adalah, mata abu-abu yang menarik dan pakaian bepergian yang rapi.
Dia terpaksa hanya mempercakapkan hal-hal tetek-bengek saja dengan Ruth,
percakapan aneh yang biasa dilakukan orang bila sedang mengantar seseorang
dengan kereta api. Kemudian setelah peluit berbunyi dia melihat ke arlojinya.
"Sebaiknya aku turun saja. Selamat jalan, Sayangku. Jangan kuatir, semuanya akan
kuurus." "Ah, Ayah!" Van Aldin berbalik dengan tiba-tiba. Dia mendengar sesuatu dalam suara Ruth -
sesuatu yang aneh sekali, tidak seperti biasanya - yang membuatnya heran.
Hampir-hampir seperti jeritan orang yang dalam keputusasaan. Tanpa disadarinya,
Ruth bergerak ke arah ayahnya, tetapi sesaat kemudian dia sudah dapat menguasai
dirinya sendiri lagi. "Sampai bulan depan," katanya, dengan ceria.
Dua menit kemudian kereta api itu berangkat.
Ruth duduk diam, sambil menggigit-gigit bibir bawahnya dan berusaha keras untuk
menahan air matanya yang tak biasanya mengalir. Dia tiba-tiba merasa kesepian
sekali. Rasanya ada keinginan nekat untuk melompat ke luar dari kereta api dan
kembali sebelum terlambat. Dia yang biasanya begitu tenang, begitu percaya pada
diri sendiri, untuk pertama kali selama hidupnya merasa seperti daun yang ditiup
angin. Bila ayahnya tahu - apakah katanya"
Gila-gilaan! Ya, pasti gila-gilaan! Untuk pertama kali dalam hidupnya dia
terbawa oleh emosinya, terbawa sampai-sampai akan melakukan suatu hal yang
bahkan dinilainya sendiri sangat bodoh dan sembrono. Tak percuma dia putri Van
Aldin, hingga dia menyadari kebodohannya sendiri, dan dia cukup berakal sehat
untuk mengutuk perbuatannya sendiri. Tapi dia juga putri ayahnya dalam
pengertian lain pula. Dia memiliki kekerasan hati bagai baja, yang ingin
mendapatkan semua yang diingininya, dan bila dia sudah mengambil suatu keputusan
dia tidak akan mundur. Dia sudah punya kemauan keras sejak dari buaiannya, dan
keadaan-keadaan dalam hidupnya telah mengembangkan kemauan yang kuat itu. Kini
kemauannya yang kuat itu mendorongnya tanpa ampun.
Yah, semuanya sudah terlanjur. Dia harus melaksanakannya terus.
Dia mengangkat mukanya, dan bertemu mata dengan wanita yang duduk di hadapannya.
Dia tiba-tiba berkhayal bahwa wanita itu telah membaca pikirannya. Di mata yang
berwarna abu-abu itu dia melihat pengertian dan juga - belas kasihan.
Itu hanya merupakan kesan sepintas. Wajah kedua wanita itu menjadi kaku, menjadi
tanpa emosi, hal mana menunjukkan bahwa keduanya berpendidikan baik. Nyonya
Kettering mengambil majalah, dan Katherine Grey melihat ke luar jendela,
memperhatikan serangkaian pemandangan jalan-jalan dan rumah-rumah pinggiran kota
yang menyedihkan. Ruth merasa makin lama makin sulit untuk memusatkan pikirannya pada halaman-
halaman bercetak yang sedang dihadapinya. Mau tak mau, pikirannya digerayangi
beribu-ribu kecemasan. Betapa bodohnya dia! Benar-benar bodoh! Sebagai mana
layaknya semua orang yang berkepala dingin dan merasa puas diri, maka bila dia
kehilangan penguasaan dirinya, habislah semuanya. Sekarang sudah terlambat....
Benarkah sudah terlambat" Alangkah senangnya bila ada seorang kawan bicara,
seseorang yang bisa memberinya nasihat. Selama ini tak pernah dia punya
keinginan seperti itu - dulu dia mencemoohkan gagasan untuk meminta penilaian
orang lain kecuali dirinya sendiri, tetapi sekarang - ada apa dengan dia" Panik.
Ya, itulah kata yang paling tepat - panik. Dia, Ruth Kettering benar-benar
terserang panik. Diam-diam dia mencuri pandang ke arah orang yang duduk di hadapannya itu. Kalau
saja dia mengenal seseorang seperti orang itu - seorang makhluk yang baik,
dingin, dan menaruh perhatian. Orang yang begitulah yang bisa diajak bicara.
Tetapi kita tentu tak bisa membuka rahasia diri pada orang yang tak dikenal.
Ruth lalu tersenyum kecil memikirkan hal itu. Diambilnya lagi majalahnya tadi.
Dia benar-benar harus menguasai dirinya. Bagaimanapun juga semua rencananya
sudah dipikirkannya baik-baik. Dia telah mengambil keputusan atas kehendaknya
sendiri. Kebahagiaan apa yang telah didapatnya dalam hidupnya selama ini"
"Mengapa aku tak boleh mengecap kebahagiaan" Tak seorang pun akan pernah tahu,"
pikirnya sendiri dengan gelisah.
Rasanya sebentar saja mereka sudah tiba di Dover, dari mana mereka harus
menyeberang untuk pergi ke Prancis. Ruth sudah biasa berlayar. Tetapi dia tak
suka hawa dingin, dan merasa senang ketika bisa masuk ke dalam perlindungan
kamar di kapal yang telah dipesannya lewat telegram. Ruth agak percaya tahyul,
meskipun dia tak mau mengakuinya. Dia termasuk kelompok orang yang tertarik akan
kejadian yang merupakan kebetulan. Setelah mendarat di Calais dan mengambil
tempat di kamar rangkap Kereta Api Biru bersama pelayannya, dia lalu pergi ke
kereta restoran. Dia tersentak keheranan mendapatkan dirinya duduk di sebuah
meja kecil, berhadapan dengan wanita yang tadi duduk berhadapan pula dengannya
di dalam Pullman. Kedua wanita itu jadi tersenyum kecil.
"Benar-benar suatu kebetulan," kata Nyonya Kettering.
"Ya," kata Katherine, "aneh sekali semua kejadian ini."
Seorang pelayan yang sedang bertugas, langsung mendatangi mereka dengan
Pedang Penakluk Iblis 8 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 3
THE MYSTERY OF THE BLUE TRAIN
by Agatha Christie MISTERI KERETA API BIRU Alih bahasa: Ny. Suwarni Penerbit: PT Gramedia Cetakan kelima: Juli 1999
Katherine duduk sambil mengingat-ingat kembali seluruh kejadian itu. Dia merasa
seolah-olah dia mengkhianati kepercayaan orang, tetapi dengan kata 'pembunuhan'
yang mendengung di telinganya, dia tak berani merahasiakan apa-apa. Mungkin
terlalu banyak yang tergantung pada penjelasan yang akan diberikannya itu. Maka
sedapat-dapatnya diulanginyalah kata-kata percakapan dengan wanita yang sudah
meninggal itu. "Menarik," kata Komisaris sambil memandang pada yang seorang lagi. "Menarik
bukan, M. Poirot" Apakah itu ada kaitannya dengan kejahatan itu - " Dia tidak
menyelesaikan kalimat itu.
"Tak mungkinkah itu suatu perkara bunuh diri?" kata Katherine ragu.
"Tidak," kata Komisaris, "itu tak mungkin suatu perbuatan bunuh diri. Dia
dijerat dengan seutas tali hitam."
Bab 1 LELAKI BERAMBUT PUTIH Menjelang tengah malam seorang laki-laki menyeberangi Place de la Concorde.
Tubuhnya yang kurus terbungkus mantel dari bulu binatang yang bagus, namun dia
memberikan kesan sangat lemah dan tak berarti.
Seorang laki-laki kecil yang berwajah seperti tikus. Seorang laki-laki, yang
dapat dikatakan, tidak akan pernah bisa memerankan suatu bagian yang berarti,
atau meningkat mencapai suatu tempat yang terkemuka dalam bidang apa pun juga.
Namun, seseorang yang melihatnya, yang kemudian mengambil kesimpulan seperti
itu, akan keliru. Karena laki-laki itu, meskipun tampak remeh dan tak berarti,
memainkan suatu peran yang penting dalam nasib dunia. Dalam suatu kerajaan yang
dikuasai tikus, dialah raja tikus-tikus itu.
Kini pun suatu kedutaan sedang menantikan kedatangannya kembali. Tetapi dia
harus menyelesaikan urusannya lebih dulu - urusan yang tak diketahui secara
resmi oleh kedutaan itu. Di bawah sinar bulan, wajahnya tampak putih berkilat
dan tajam. Hidungnya yang lancip hampir-hampir tak berlekuk. Ayahnya seseorang
yang berdarah campuran Yahudi-Polandia, seorang penjahit keliling. Urusan yang
membawanya ke luar negeri malam itu adalah urusan yang akan disukai ayahnya
pula. Dia tiba di Sungai Seine, menyeberangi sungai itu, lalu memasuki salah satu
daerah hitam di Paris. Di situ dia berhenti di depan rumah yang tinggi dan tak
terpelihara, lalu dia naik ke sebuah apartemen di lantai empat. Baru saja dia
mengetuk, pintu segera dibuka oleh seorang wanita yang nyata-nyata sedang
menantikan kedatangannya. Wanita itu tidak menyapanya, melainkan membantunya
melepaskan mantelnya, lalu mendahuluinya berjalan menuju ke ruang tamu yang
perabotnya murahan. Lampu listriknya dilindungi bahan berbunga-bunga merah muda
yang kotor, yang melembutkan cahaya lampu itu, tetapi tak mampu menyamarkan
wajah gadis yang dibedaki tebal dengan bahan murahan itu. Cahaya lampu itu tak
pula dapat menyembunyikan wajahnya yang lebar khas orang Mongol. Baik pekerjaan
maupun kebangsaan Olga Demiroff tak perlu diragukan lagi.
"Baik-baik sajakah semua, Anak manis?"
"Semuanya baik-baik saja, Boris Ivanovitch."
Laki-laki itu mengangguk sambil bergumam, "Kurasa aku tidak dibuntuti."
Tetapi nada bicaranya mengandung kekuatiran. Dia pergi ke jendela, menyingkap
tirai jendela sedikit, lalu mengintip ke luar dengan berhati-hati. Dia cepat-
cepat mundur. "Ada dua orang laki-laki - di trotoar di seberang sana. Kelihatannya - " Dia
berhenti berbicara lalu mulai menggigit-gigit kukunya - suatu kebiasaan bila dia
sedang kuatir. Gadis Rusia itu menggeleng perlahan-lahan, tetapi meyakinkan.
"Mereka sudah ada di situ sebelum kau datang."
"Meskipun demikian, kurasa mereka sedang mengamat-amati rumah ini."
"Mungkin," kata gadis itu tak acuh.
"Tapi lalu - "
"Lalu apa" Meskipun mereka tahu - pasti bukan kau yang akan mereka buntuti dari
sini." Senyum tipis dan kejam muncul di bibir lelaki itu.
"Memang," katanya membenarkan, "memang bukan."
Dia termangu sejenak, lalu berkata,
"Orang Amerika sialan itu - dia bisa menjaga dirinya sebaik siapa pun juga."
"Kurasa begitu."
Laki-laki itu pergi ke jendela lagi.
"Orang-orang hebat," katanya tergelak. "Kurasa sudah dikenal polisi. Yah,
kuucapkan saja selamat berburu pada si Bandit."
Olga Demiroff menggeleng.
"Bila orang Amerika itu memang sehebat yang dikatakan orang, maka akan
diperlukan lebih banyak bandit pengecut-pengecut begitu untuk mengalahkannya."
Gadis itu diam sebentar. "Aku ingin tahu - "
"Ya, apa?" "Tak apa-apa. Tapi malam ini ada seorang laki-laki yang dua kali melewati jalan
ini - seorang laki-laki berambut putih."
"Lalu mengapa?"
"Begini. Waktu dia melewati kedua orang itu, dia menjatuhkan sarung tangannya.
Salah seorang di antara kedua orang itu memungutnya lalu mengembalikannya. Suatu
tanda pengenal yang sudah usang."
"Maksudmu - orang berambut putih itu - majikan mereka?"
"Kira-kira begitulah."
Orang Rusia itu kelihatan ketakutan dan gelisah.
"Yakinkah kau - bahwa bungkusan itu aman" Apakah tidak terganggu" Orang terlalu
banyak bicara... terlalu banyak bicara."
Dia menggigit-gigit kukunya lagi.
"Nilailah sendiri."
Gadis itu membungkuk ke perapian, lalu menggeser arang dengan cekatan. Dari
bawah arang itu, di antara gumpalan-gumpalan kertas surat kabar, dari bagian
tengahnya, diambilnya sebuah bungkusan persegi panjang yang dibungkus dengan
surat kabar yang kotor, lalu diberikannya pada laki-laki itu.
"Pandai sekali," kata laki-laki itu, sambil mengangguk memuji.
"Apartemen ini sudah dua kali digeledah. Kasur tempat tidurku sampai disobek."
"Seperti telah kukatakan," gumam laki-laki itu. "Orang terlalu banyak bicara.
Soal tawar-menawar harga - itu keliru."
Laki-laki itu telah membuka surat kabar pembungkus tadi. Di dalamnya ada sebuah
bungkusan kertas coklat kecil. Bungkusan kecil itu dibukanya lagi, dia memeriksa
isinya, lalu cepat-cepat membungkusnya lagi. Sedang dia berbuat demikian, bel
berbunyi nyaring. "Orang Amerika itu tepat benar pada waktunya," kata Olga sambil melihat jam.
Dia meninggalkan kamar itu. Sebentar kemudian dia kembali diikuti oleh seorang
asing, seorang laki-laki besar, berdada bidang, dan jelas kelihatan bahwa dia
berasal dari seberang Samudra Atlantik. Dengan pandangan tajam dia melihat pada
kedua orang itu bergantian.
"M. Krassnine?" tanyanya dengan sopan.
"Sayalah orangnya," kata Boris. "Saya harus minta maaf - karena tempat pertemuan
yang tak baik ini. Tapi kita harus amat berahasia. Saya - saya tak mau disebut-
sebut berhubungan dalam urusan ini."
"Begitukah?" kata orang Amerika itu dengan sopan.
"Anda mau bersumpah, bukan, bahwa jual-beli ini tidak akan diumumkan" Itu
merupakan salah satu syarat - pembeliannya."
Orang Amerika itu mengangguk.
"Itu sudah merupakan perjanjian," katanya tak acuh. "Nah, sekarang Anda
barangkali mau menyerahkan barang itu."
"Apakah uangnya ada pada Anda - dalam bentuk uang kertas?"
"Ya," sahut lawan bicaranya.
Tetapi dia sama sekali tidak bergerak akan memberikannya. Krassnine bimbang
sebentar, lalu menunjuk ke arah bungkusan kecil di atas meja.
Orang Amerika itu membuka kertas pembungkusnya. Dibawa isinya ke dekat lampu
listrik dan diperiksanya dengan teliti sekali. Setelah merasa puas,
dikeluarkannya dompet kulit tebal dari sakunya, lalu dikeluarkannya seikat uang
kertas. Uang itu diserahkannya pada orang Rusia yang lalu menghitungnya dengan
teliti. "Betul?" "Terima kasih, Monsieur. Semua sudah beres."
"Ya!" kata lawan bicaranya. Bungkusan kertas coklat itu diselipkannya
sembarangan saja ke dalam sakunya. Dia mengangguk pada Olga. "Selamat malam,
Nona. Selamat malam, M. Krassnine."
Dia keluar sambil menutup pintu. Kedua orang yang tinggal di dalam kamar itu
saling berpandangan. Yang laki-laki membasahi bibirnya yang kering dengan
lidahnya. "Aku ingin tahu - apakah dia akan bisa kembali ke hotelnya?" gumamnya.
Keduanya secara serentak menoleh ke jendela. Tepat sekali mereka melihat orang
Amerika itu keluar ke jalan di bawah. Dia membelok ke kiri dan berjalan dengan
langkah-langkah pasti tanpa menoleh sekali pun. Dua bayangan menyelinap ke luar
dari sebuah pintu, lalu membuntuti tanpa bersuara. Yang mengejar dan yang
dikejar hilang ditelan malam. Olga Demiroff berkata,
"Dia akan kembali dengan selamat," katanya. "Kau tak perlu takut - atau
berharap." "Mengapa kau berpikir bahwa dia akan selamat?" tanya Krassnine ingin tahu.
"Laki-laki yang sudah berhasil mengumpulkan uang sebanyak dia, tak mungkin
bodoh," kata Olga. "Dan berbicara tentang uang - "
"Eh?" "Bagianku, Boris Ivanovitch."
Dengan enggan, Krassnine menyerahkan dua lembar dari uang kertas tadi. Wanita
itu berterima kasih hanya dengan mengangguk, tanpa memperlihatkan perasaan apa-
apa sedikit pun, lalu menyimpannya di dalam kaus kakinya.
"Bagus," katanya dengan puas.
Laki-laki itu memandangnya dengan rasa ingin tahu.
"Tidakkah kau menyesal, Olga Vassilovna?"
"Menyesal" Mengapa?"
"Mengenai barang yang telah kausimpankan itu. Ada perempuan - kebanyakan
perempuan, kurasa - tergila-gila akan barang seperti itu."
Gadis itu mengangguk sambil merenung.
"Benar katamu itu. Kebanyakan wanita memang tergila-gila. Aku tidak. Kini - aku
ingin tahu - " Dia tiba-tiba terhenti.
"Apa?" tanya yang seorang ingin tahu.
"Orang Amerika itu akan selamat membawa barang itu - ya, aku yakin. Tapi setelah
itu - " "Apa yang kaupikirkan?"
"Dia tentu akan memberikannya pada seorang wanita," kata Olga sambil merenung
terus. "Aku ingin tahu, apa gerangan yang akan terjadi kelak...."
Wanita itu menggeleng tak sabaran lalu pergi ke jendela. Tiba-tiba dia berseru
dan memanggil temannya. "Lihat, dia ada di jalan lagi sekarang - laki-laki itu, maksudku."
Keduanya menatap ke bawah. Sesosok tubuh langsing perlente sedang berjalan
dengan langkah-langkah santai. Dia memakai topi model opera dan mantel. Waktu
dia melewati lampu jalanan, cahayanya menerangi rambutnya yang tebal berwarna
putih. Bab 2 M. MARQUIS Laki-laki berambut putih itu melanjutkan perjalanannya, tanpa bergegas, dan
agaknya tak peduli akan sekelilingnya. Dia membelok ke kanan dan kemudian ke
kiri. Sekali-sekali dia bersenandung.
Tiba-tiba dia berhenti dan memasang telinga. Dia mendengar bunyi. Mungkin bunyi
ban yang meletup, atau mungkin juga - tembakan. Sejenak tampak seulas senyum di
bibirnya. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya dengan santai.
Waktu membelok di sebuah tikungan dia melihat suatu peristiwa penuh kekacauan.
Seorang penegak hukum sedang membuat catatan dalam buku sakunya, dan seorang
atau dua orang yang lewat berkumpul di tempat itu. Laki-laki berambut putih itu
meminta penjelasan dengan sopan pada salah seorang di antaranya.
"Ada sesuatu yang terjadi rupanya?"
"Benar, Tuan. Dua orang bandit mengejar seorang Amerika yang sudah setengah
baya." "Apakah mereka tidak melukainya?"
"Tidak." Laki-laki itu tertawa. "Orang Amerika itu punya pistol di sakunya, dan
sebelum mereka sempat menyerangnya, dia menembakkan beberapa tembakan ke
sekelilingnya dan kedua pengejarnya itu pun lari ketakutan. Dan seperti biasa
polisi datang terlambat!"
"Oh!" kata si penanya.
Dia sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apa-apa.
Dengan tenang dan tanpa kuatir apa-apa dia melanjutkan perjalanan malamnya.
Kemudian dia menyeberangi Sungai Seine, dan tiba di daerah elite Paris. Dua
puluh menit kemudian dia tiba di depan sebuah rumah, di jalan raya daerah kaum
ningrat yang sepi. Toko itu, karena rumah itu memang merupakan toko, biasa-biasa saja dan
sederhana. D. Papopolous, seorang pedagang barang-barang antik, sudah begitu
terkenal hingga dia tak perlu memasang iklan, dan perdagangannya memang tidak
dilakukan melalui meja penjualan. Tuan Papopolous mempunyai apartemen sendiri
yang sangat bagus, menghadap ke Champs Elys?es, dan sepantasnyalah orang menduga
bahwa pada pukul sekian, dia ada di tempat itu dan tidak di tempatnya berdagang
- tetapi laki-laki berambut putih itu agaknya yakin benar akan keberhasilannya
waktu dia menekan bel yang tersembunyi letaknya, setelah dia terlebih dulu
melihat ke kiri ke kanan di jalan yang sudah sepi itu.
Dia memang tidak keliru. Pintu terbuka dan seorang pria berdiri di celah pintu.
Dia memakai anting-anting emas dan wajahnya kehitam-hitaman.
"Selamat malam," kata orang yang tak dikenal tadi. "Adakah majikan Anda di
rumah?" "Ada, tapi beliau tak bisa menerima sembarang pengunjung pada malam selarut
ini," sergahnya. "Saya rasa dia mau menemui saya. Katakan padanya bahwa sahabatnya, M. Marquis,
yang datang." Laki-laki itu membukakan pintu agak lebar lagi dan mengizinkan tamu itu masuk.
Laki-laki yang menamakan dirinya M. Marquis itu melindungi mukanya dengan tangan
ketika berbicara. Waktu pelayan itu kembali untuk memberitahukan bahwa Tuan
Papopolous senang menerima dia, rupa orang asing tadi sudah mengalami perubahan
lagi. Mungkin pelayan itu tak tanggap atau mungkin pula dia sudah demikian
terlatih, hingga dia tak kelihatan heran melihat kedok satin hitam kecil yang
menyembunyikan wajah tamu itu. Dia berjalan mendahuluinya ke arah sebuah pintu
di ujung lorong rumah, dibukanya pintu itu lalu memberitahukan dengan hormat,
"M. Marquis." Orang yang bangkit menerima tamu yang tak dikenal itu bertubuh besar. Tuan
Papopolous memberikan kesan patut dihormati dan anggun. Dahinya luas dan
melengkung dan jenggotnya bagus serta putih warnanya. Sikapnya seperti sikap
seorang biarawan dan dia ramah-tamah.
"Sahabatku," kata Tuan Papopolous.
Dia menggunakan bahasa Prancis yang bernada penuh dan manis.
"Saya minta maaf," kata tamunya, "karena saya datang selarut malam ini."
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa," kata Tuan Papopolous - "saat yang menarik.
Mungkin Anda telah mengalami sesuatu yang menarik malam ini?"
"Secara pribadi tidak," kata M. Marquis.
"Secara pribadi tidak," ulang Tuan Papopolous. "Tidak, tentu tidak. Lalu apakah
ada berita?" Dia memandang tamunya dengan tajam dari samping, pandangan yang sama sekali
tidak lagi seperti pandangan seorang biarawan dan tidak pula ramah.
"Tak ada berita. Usaha itu gagal. Saya memang sudah menduga begitu."
"Memang begitu," kata Tuan Papopolous, "sesuatu yang kasar itu - "
Dia melambaikan tangannya, menyatakan betapa tak sukanya akan kekasaran dalam
bentuk apa pun. Tuan Papopolous memang tak punya potongan kasar, demikian pula
barang-barang yang diperdagangkannya. Dia terkenal dalam kalangan kebanyakan
istana di Eropa, dan secara bercanda raja-raja menamakannya Demetrius. Dia punya
nama baik, karena pertimbangan-pertimbangannya yang tepat. Ditambah lagi dengan
keanggunan pembawaannya, maka dia telah berhasil dalam beberapa urusan jual-beli
yang sangat berarti. "Serangan yang langsung itu - " kata Tuan Papopolous. Dia menggeleng. "Kadang-
kadang memang berhasil - tapi jarang sekali."
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lawan bicaranya mengangkat bahu.
"Cara itu menghemat waktu," katanya, "dan bila gagal tak berarti apa-apa - yah,
boleh dikatakan tidak apa-apa. Rencana yang satu lagi - tidak akan gagal."
"Begitukah?" kata Tuan Papopolous, sambil memandang tajam padanya.
Tamu itu mengangguk perlahan-lahan.
"Saya percaya benar akan - eh - keberhasilan Anda," kata pedagang barang-barang
antik itu. M. Marquis tersenyum kecil.
"Saya rasa saya boleh berkata, bahwa keyakinan Anda itu tidak akan keliru,"
gumamnya. "Anda memang punya kesempatan yang istimewa," kata yang lain dengan nada iri.
"Itu saya usahakan," kata M. Marquis.
Dia bangkit lalu mengambil mantel yang tadi dilemparkannya sembarangan saja di
sandaran kursi. "Anda akan saya kabari terus, M. Papopolous, melalui jalur-jalur yang biasa -
tapi Anda tak boleh mungkir janji."
Tuan Papopolous tersinggung.
"Saya tak pernah mungkir janji," katanya.
Tamunya tersenyum, dan tanpa kata perpisahan dia meninggalkan kamar itu, sambil
menutup pintu. Tuan Papopolous termangu sebentar sambil membelai jenggotnya yang bagus, lalu
dia pergi menuju ke sebuah pintu lain, membukanya ke arah dalam. Waktu dia
memutar gagang pintu itu, seorang gadis yang rupanya sedang bersandar di situ
dengan telinga tertempel di lubang kunci, jatuh terkapar di kamar. Tuan
Papopolous tidak keheranan dan tidak pula cemas. Kelihatannya hal itu sudah
biasa. "Bagaimana, Zia?" tanyanya.
"Saya tidak mendengar dia pergi," Zia menjelaskan.
Dia seorang gadis cantik, bertubuh indah dan anggun, bermata hitam yang
memancar, dan secara umum tampak persamaannya dengan Tuan Papopolous, hingga
mudah dikatakan bahwa mereka adalah ayah dan anak.
"Menjengkelkan sekali," katanya lagi merajuk, "kita tak bisa mengintip melalui
lubang kunci sambil sekaligus memasang telinga dari lubang itu pula."
"Itu juga sering menjengkelkan aku," kata Tuan Papopolous singkat.
"Jadi, itu rupanya M. Marquis itu," kata Zia. "Apakah dia selalu memakai kedok,
Ayah?" "Selalu." Mereka diam. "Urusannya tadi itu saya rasa mengenai batu-batu delima, ya?" tanya Zia.
Ayahnya mengangguk. "Bagaimana pendapatmu, Nak?" tanyanya, dengan bayangan senang di matanya yang
hitam bagai merjan. "Mengenai M. Marquis itu?"
"Ya." "Saya rasa," kata Zia perlahan-lahan, "jarang sekali ada orang Inggris yang
berpendidikan baik, yang sepandai dia, berbahasa Prancis."
"Oh!" kata Tuan Papopolous. "Jadi begitu pendapatmu."
Seperti biasa dia tidak berkata apa-apa, tetapi dia memandangi Zia dengan
pandangan membenarkan yang lembut.
"Saya juga berpikir," kata Zia, "bahwa bentuk kepalanya aneh."
"Pepat," kata ayahnya - "agak pepat. Tapi memang selalu begitu akibatnya kalau
memakai rambut palsu."
Mereka berpandangan lalu tersenyum.
Bab 3 HEART OF FIRE Rufus Van Aldin melalui pintu putar dari Hotel Savoy, lalu berjalan ke meja
resepsionis. Petugas di situ menyapanya dengan hormat sambil tersenyum.
"Saya senang Anda telah kembali, Tuan Van Aldin," katanya.
Jutawan Amerika itu membalas sapaan itu sepintas dengan mengangguk.
"Semua baik-baik saja?" tanyanya.
"Ya, Tuan. Mayor Knighton ada di atas, di kamar Anda."
Van Aldin mengangguk lagi.
"Ada surat-surat?" tanyanya ramah.
"Semuanya sudah dikirim ke atas, Tuan Van Aldin. Oh! Tunggu sebentar."
Dia membungkuk ke sebuah lubang di dinding yang merupakan kotak surat, lalu
mengeluarkan sepucuk surat.
"Ini baru saja datang," dia menjelaskan.
Rufus Van Aldin menerima surat itu, dan waktu dilihatnya tulisan tangannya,
tulisan tangan wanita, wajahnya tiba-tiba berubah. Garis-garis keras di wajah
itu menjadi lembut, dan garis kaku di mulutnya mengendor. Dia menjadi seperti
orang lain. Dia berjalan ke seberang, ke tempat lift, dengan surat itu dan
senyum yang masih menghiasi bibirnya.
Di ruang tamu utama dari kamar hotelnya, seorang pria muda sedang duduk di meja
tulis, menyusun surat-surat dengan cekatan, karena sudah sangat terlatih. Dia
bangkit melompat waktu Van Aldin masuk.
"Halo, Knighton!"
"Saya senang Anda sudah kembali, Tuan. Sudah cukup terhiburkah Anda?"
"Lumayan!" kata jutawan itu tanpa emosi. "Paris sekarang tidak menarik lagi.
Tapi - aku sudah mendapatkan apa yang kucari di sana."
Dia tersenyum masam sendiri.
"Saya rasa Anda memang biasa berhasil," kata sekretarisnya, tertawa.
"Memang," majikannya membenarkan.
Dia berbicara sebagaimana adanya, seperti seseorang mengucapkan suatu kenyataan
yang sudah diketahui umum. Sambil mencampakkan mantelnya yang berat, dia
mendekati meja tulis. "Ada yang mendesak?"
"Saya rasa tidak ada, Tuan. Kebanyakan surat-surat biasa saja. Saya belum
selesai memilihnya."
Van Aldin mengangguk singkat. Dia adalah orang yang jarang mempersalahkan atau
memuji. Caranya menghadapi orang-orang yang bekerja padanya sederhana saja:
mereka itu dicobanya dulu, lalu bila mereka kurang terampil, mereka segera
dipecat. Caranya memilih pegawai tidak menurut kebiasaan. Knighton, umpamanya,
ditemuinya sepintas lalu di tempat pariwisata di Swiss dua bulan sebelumnya. Dia
menyukai anak muda itu, dia melihat catatan masa perang anak muda itu, dan dalam
catatan itu dia menemukan penjelasan mengapa anak muda itu pincang jalannya.
Knighton berterus terang bahwa dia sedang mencari pekerjaan, dan dengan malu-
malu bertanya kalau-kalau jutawan itu tahu ada lowongan pekerjaan. Van Aldin
ingat, sambil tersenyum geli, betapa terkejutnya anak muda itu ketika dia
ditawari pekerjaan sebagai sekretaris orang besar itu sendiri.
"Tapi - tapi saya tak punya pengalaman urusan dagang," gagapnya.
"Itu sama sekali tak apa-apa," sahut Van Aldin. "Aku sudah punya tiga orang
sekretaris untuk mengurusi soal-soal itu. Tapi mungkin aku akan berada di
Inggris selama enam bulan yang akan datang ini, dan aku memerlukan seorang
Inggris yang - yah, tahu tata cara - dan bisa mengurus segi kemasyarakatan dari
segala urusan bagiku."
Sampai sekarang Van Aldin merasa bahwa penilaiannya tentang anak muda itu memang
tepat. Knighton telah membuktikan bahwa dia terampil, cerdas, dan penuh
prakarsa, serta punya daya tarik.
Sekretaris itu menunjuk ke tiga atau empat pucuk surat yang semuanya telah
diletakkan di tempatnya masing-masing di atas meja tulis.
"Barangkali, sebaiknya Tuan melihat sebentar ke surat-surat ini," sarannya.
"Yang di atas sekali mengenai perjanjian dengan Colton - "
Tetapi Rufus Van Aldin mengangkat tangannya menolak.
"Malam ini aku tak mau melihat apa pun juga," katanya. "Semuanya itu biar besok
saja. Kecuali yang ini," ditambahkannya sambil melihat surat yang sedang
dipegangnya. Dan lagi-lagi di wajahnya terbayang senyum aneh yang mengubah air
mukanya. Richard Knighton tersenyum penuh pengertian.
"Nyonya Kettering?" gumamnya. "Beliau menelepon kemarin dan hari ini. Agaknya
beliau sangat ingin segera bertemu dengan Anda, Tuan."
"Begitukah!" Senyuman lenyap dari wajah jutawan itu. Dibukanya amplop yang sedang dipegangnya
dengan menyobeknya, lalu dikeluarkannya kertas yang ada di dalamnya. Waktu dia
membacanya wajahnya menjadi suram, mulutnya terkatup rapat, jadi garis yang
begitu dikenal orang-orang di pusat perdagangan Wall Street, sedang alisnya
bertemu menjadi satu. Knighton tahu diri, lalu memalingkan mukanya, dan terus
membuka surat-surat serta menyusunnya. Jutawan itu mengumpat, dan dengan
tinjunya dia menghantam meja keras-keras.
"Aku tidak akan mendiamkan hal ini," gumamnya sendiri. "Kasihan anakku yang
malang, beruntung dia masih punya ayah yang tua ini di belakangnya."
Beberapa saat lamanya dia berjalan hilir-mudik di kamar itu, dengan alis yang
tetap bertaut mengerikan. Knighton masih tetap menunduk dan bekerja dengan
rajinnya di meja tulis. Tiba-tiba Van Aldin berhenti. Diambil mantelnya dari
kursi tempat dia tadi melemparkannya.
"Apakah Anda akan keluar lagi, Tuan?"
"Ya, aku akan keluar, ke rumah anakku."
"Bila orang-orang dari perusahaan Colton menelepon - "
"Suruh mereka pergi ke neraka," kata Van Aldin.
"Baiklah," kata sekretaris itu tanpa emosi.
Kini Van Aldin telah mengenakan mantelnya. Sambil menghenyakkan topinya ke
kepalanya, pergilah dia ke arah pintu. Tiba-tiba dia berhenti lagi sambil
memegang gagang pintu. "Kau orang baik, Knighton," katanya. "Kau tidak menggangguku kalau aku sedang
marah-marah." Knighton tersenyum kecil tetapi tidak menjawab apa-apa.
"Ruth adalah putriku satu-satunya," kata Van Aldin, "dan di dunia ini tak
seorang pun tahu betapa besar arti anakku itu bagiku."
Seulas senyum kecil membuat wajahnya berseri. Ia memasukkan tangan ke saku
mantelnya. "Maukah kau melihat sesuatu, Knighton?"
Dia mendekati sekretaris itu.
Dari sakunya tadi dikeluarkannya sebuah bungkusan yang terbungkus sembarangan
saja dalam kertas coklat. Bungkusan itu dibuangnya, lalu dikeluarkannya sebuah
kotak dari kain beludru merah, yang besar dan sudah usang. Di tengah-tengah
kotak itu tercantum huruf-huruf awal suatu nama yang melingkar-lingkar dan di
atasnya dihiasi mahkota. Ditekannya sebuah kenop dan kotak itu terbuka -
sekretaris itu menahan napasnya. Dalam cahaya putih yang agak suram di kamar
itu, batu itu memancar bagaikan darah.
"Ya, Tuhan! Tuan," kata Knighton, "apakah - apakah permata-permata itu asli?"
Van Aldin terkekeh geli. "Aku tak heran kau bertanya begitu. Di antara batu-batu delima, yang tiga inilah
yang terbesar di dunia. Ratu Catherine dari Rusia pernah memakainya, Knighton.
Yang di tengah-tengah ini terkenal dengan nama Heart of Fire. Batu itu sempurna
- tak bercacat." "Tapi," gumam sekretaris itu, "harganya tentu mahal sekali."
"Empat atau lima ratus ribu dolar," kata Van Aldin tak acuh, "belum lagi kalau
diingat nilai sejarahnya."
"Dan Anda membawanya begitu saja - ke mana-mana, dalam saku Anda."
Van Aldin tertawa geli. "Memang begitu. Ini hadiahku untuk Ruthie."
Sekretaris itu tersenyum dengan sopan.
"Sekarang saya mengerti mengapa Nyonya Kettering kedengarannya begitu mendesak
waktu menelepon," gumamnya.
Tetapi Van Aldin menggeleng. Wajahnya tampak keras lagi.
"Kau keliru," katanya. "Dia tak tahu tentang barang ini - permata-permata ini
akan merupakan kejutan baginya."
Kotak itu ditutupnya lagi, lalu dibungkusnya lagi perlahan-lahan.
"Memang sulit, Knighton," katanya, "sedikit sekali yang bisa kita perbuat untuk
orang-orang yang kita cintai. Aku bisa saja membelikan setengah dari bumi ini
untuk Ruthie, bila itu akan ada gunanya baginya, tapi tidak. Barang-barang ini
bisa saja kugantungkan di lehernya dan menyenangkan hatinya barang sejenak,
barangkali, tapi - "
Dia menggeleng. "Bila seorang wanita tak bahagia dalam rumah tangganya - "
Kalimat itu tak diselesaikannya. Sekretarisnya mengangguk, dengan sopan. Dia
tahu benar, kelakuan Tuan Derek Kettering. Van Aldin mendesah. Sambil memasukkan
bungkusan tadi ke dalam sakunya, dia mengangguk pada Knighton, lalu meninggalkan
kamar itu. Bab 4 DI CURZON STREET Nyonya Derek Kettering tinggal di Curzon Street. Penjaga pintu yang membukakan
pintu segera mengenali Rufus Van Aldin dan menyapanya dengan tersenyum sopan.
Petugas itu berjalan mendahuluinya, naik ke lantai atas, ke ruang tamu istimewa
yang besar di lantai dua.
Seorang wanita yang sedang duduk di dekat jendela terlompat sambil berteriak,
"Aduh, Ayah, inilah kejutan yang paling hebat daripada segalanya! Sepanjang hari
ini aku menelepon Mayor Knighton untuk mencoba berbicara dengan Ayah, tapi dia
tak bisa mengatakan dengan pasti kapan Ayah akan kembali."
Ruth Kettering berumur dua puluh delapan tahun. Dia tak dapat dikatakan cantik,
bahkan manis pun tidak, namun dia menarik perhatian karena warna rambut dan
matanya. Van Aldin selalu dinamakan 'Wortel' waktu masih kecil gara-gara warna
rambutnya, sedang rambut Ruth merah kecoklatan. Disertai pula dengan bola mata
yang berwarna hitam dan bulu mata yang hitam legam - warna-warna itu lebih
ditonjolkan lagi dengan pemakaian alat-alat kecantikan. Dia jangkung dan
ramping, dan geraknya gemulai. Bila dipandang sekilas, wajahnya seperti Madona
lukisan Raphael. Hanya bila diperhatikan benar orang baru akan melihat garis
rahang dan dagunya yang serupa dengan yang ada pada wajah Van Aldin, yang
menunjukkan kerasnya dan ketetapan hatinya. Hal itu sesuai bagi sang ayah,
tetapi kurang cocok bagi wanita itu. Sejak masa kanak-kanak hingga dewasa Ruth
Van Aldin terbiasa dituruti kemauannya, dan setiap orang yang pernah
menentangnya segera menyadari bahwa putri Rufus Van Aldin itu tak pernah mau
menyerah. "Knighton memang mengatakan bahwa kau menelepon," kata Van Aldin. "Baru setengah
jam yang lalu aku kembali dari Paris. Ada apa dengan si Derek ini?"
Muka Ruth Kettering merah karena marah.
"Keterlaluan! Sudah melewati batas," serunya. "Dia - dia sudah tak mau
mendengarkan apa pun yang kukatakan."
Terdengar nada kebingungan dan kemarahan dalam suaranya.
"Dia akan mendengar apa yang kukatakan," kata jutawan itu dengan keras.
Ruth melanjutkan, "Selama bulan terakhir ini aku hampir-hampir tak pernah bertemu dengannya. Dia
berkeliaran dengan perempuan itu terus."
"Dengan perempuan yang mana?"
"Mirelle. Penari di Parthenon itu. Ayah tahu kan?"
Van Aldin mengangguk. "Minggu yang lalu aku ke Leconbury. Aku - aku bicara dengan mertuaku, Lord
Leconbury. Beliau baik sekali padaku, mengerti keadaanku sepenuhnya. Katanya dia
akan memberi peringatan pada Derek."
"Ah!" kata Van Aldin.
"Apa maksud Ayah dengan 'Ah!' itu, Ayah?"
"Sama benar dengan apa yang kauduga, Ruthie. Pak tua Leconbury yang malang itu
sudah tak berarti apa-apa lagi. Tentu dia memberi pengertian padamu, tentu dia
membujukmu. Karena anak dan ahli warisnya menikah dengan putri salah seorang
yang terkaya di Amerika Serikat, dia tentu saja tak mau sampai terjadi
kekacauan. Tapi umurnya sudah tak akan lama lagi, semua orang tahu itu, dan apa
pun yang dikatakannya tidak akan dipedulikan Derek."
"Apakah Ayah tak bisa berbuat apa-apa?" desak Ruth sebentar kemudian.
"Bisa saja," kata jutawan itu. Dia diam dan berpikir sebentar, lalu berkata
lagi, "Ada beberapa hal yang bisa kulakukan, tapi hanya satu yang ada faedahnya.
Berapa besar keberanianmu, Ruthie?"
Ruth memandangnya dengan terbelalak. Ayahnya membalas pandangan itu lalu
mengangguk. "Aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku. Apakah kau punya keberanian untuk
menyatakan pada seluruh dunia bahwa kau telah berbuat kekeliruan. Hanya ada satu
jalan ke luar dari kekacauan ini, Ruthie. Putuskan hubunganmu dengan dia dan
mulailah lagi dari awal."
"Maksud Ayah - "
"Bercerai." "Bercerai!" Van Aldin tersenyum hambar.
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kauucapkan perkataan itu, Ruthie, seolah-olah kau tak pernah mendengarnya.
Padahal teman-teman di sekelilingmu melakukannya setiap hari."
"Ah, saya tahu. Tapi - "
Ruth berhenti sambil menggigit bibirnya. Ayahnya mengangguk penuh pengertian.
"Aku tahu, Ruth. Kau seperti aku, kau tak suka melepaskan sesuatu. Tapi aku
sudah sadar, dan kau juga harus belajar, bahwa ada waktunya, itulah satu-satunya
jalan ke luar. Aku bisa saja mendapatkan jalan untuk memanggil Derek kembali
dengan mudah, tapi akhirnya kelak akan sama saja. Dia itu tak beres, Ruth, dia
itu busuk, benar-benar busuk. Dan harus kauingat, aku menyesali diriku karena
telah membiarkan kau kawin dengan dia. Tapi kau waktu itu seperti sudah yakin
benar ingin mendapatkan dia, dan dia pun agaknya seperti ingin mengubah cara
hidupnya - dan yah, aku memang pernah mengecewakanmu, Sayang...."
Van Aldin tidak memandang anaknya waktu dia mengucapkan kata-kata yang terakhir
itu. Seandainya dia memandang anaknya, dia akan melihat bahwa wajah anaknya itu
bersemu merah. "Memang," katanya dengan nada keras.
"Dan waktu itu aku tak sampai hati untuk mengecewakanmu untuk kedua kalinya.
Tapi sekarang, tak terkatakan sesalku tidak berbuat demikian. Dalam tahun-tahun
terakhir ini kau telah menjalani hidup penuh sakit hati, Ruth."
"Memang tidak menyenangkan - " kata Nyonya Kettering membenarkan.
"Sebab itu kukatakan hal ini harus dihentikan!" Dibantingnya tangannya kuat-kuat
di meja. "Mungkin kau masih suka pada laki-laki itu. Hapuskan itu. Hadapilah
kenyataan. Derek Kettering mengawinimu karena uangmu. Hanya itu saja. Singkirkan
dia, Ruth." Beberapa saat lamanya Ruth Kettering menunduk memandangi lantai, kemudian tanpa
mengangkat kepalanya dia berkata,
"Seandainya dia tak mau?"
Van Aldin memandangnya dengan terkejut.
"Dia tak akan bisa angkat bicara dalam hal ini."
Muka Ruth memerah dan dia menggigit bibirnya.
"Tidak - tentu tidak. Maksudku - "
Dia berhenti. Ayahnya memandangnya dengan tajam.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku - " Dia berhenti lagi untuk memilih kata-katanya dengan berhati-hati.
"Dia tidak akan mau menerimanya begitu saja."
Terdongak dagu jutawan itu.
"Maksudmu dia akan melawan dalam perkara itu" Biar saja. Tapi bila dilihat
kenyataannya, kau keliru. Dia tidak akan melawan. Pengacara mana pun juga yang
dimintainya pendapat akan menyatakan padanya bahwa dia tak punya kekuatan."
"Ayah kan tidak berpikir - " Dia ragu-ragu - "maksudku - hanya dengan maksud
menyakiti hatiku - dia mungkin, yah, membuat perkara itu jadi bertambah buruk?"
Ayahnya memandangnya dengan terkejut lagi.
"Melawan dalam perkara itu, maksudmu?"
Dia menggeleng. "Sangat tak mungkin. Untuk itu dia harus punya dasar."
Nyonya Kettering tak menyahut. Van Aldin memandangnya dengan tajam.
"Ayolah, Ruth, ceritakanlah. Ada sesuatu yang menyusahkanmu - apa itu?"
"Tidak ada, tak ada apa-apa."
Tetapi suaranya tak meyakinkan.
"Kau takut beritanya akan tersebar luas" Itukah" Serahkan itu padaku. Semuanya
akan kuurus demikian lancarnya, hingga tidak akan ada macam-macamnya."
"Baiklah, Ayah, bila menurut Ayah itu yang terbaik."
"Apakah kau masih cinta pada laki-laki itu, Ruth?"
"Tidak." Kata itu diucapkan dengan tekanan yang meyakinkan. Van Aldin kelihatan puas.
Ditepuknya pundak putrinya itu.
"Semuanya akan beres, Nak. Jangan kuatir. Nah, sekarang mari kita melupakan
semuanya ini. Aku membawa oleh-oleh dari Paris untukmu."
"Untukku" Sesuatu yang bagus sekali?"
"Mudah-mudahan kau berpendapat begitu," kata Van Aldin dengan tersenyum.
Diambilnya bungkusan dari saku mantelnya, lalu diberikannya pada anaknya. Dengan
penuh keinginan putrinya itu membukanya, kemudian membuka kotaknya. Dia
menyerukan kata "Oh" dengan panjang. Ruth Kettering sangat suka perhiasan - dari
dulu sampai sekarang. "Ayah - indah sekali!"
"Tak ada bandingnya, bukan?" kata jutawan itu dengan rasa puas. "Kau suka?"
"Suka" Oh, Ayah, permata-permata ini luar biasa sekali. Bagaimana Ayah sampai
bisa mendapatkannya?"
Van Aldin tersenyum. "Ah itu rahasiaku. Permata-permata seperti itu tentu harus dibeli secara diam-
diam. Permata-permata itu termasyhur. Kaulihat batu yang di tengah-tengah itu"
Barangkali kau pernah mendengar tentang itu, itulah yang terkenal dalam sejarah
dengan nama Heart of Fire."
"Heart of Fire!" ulang Nyonya Kettering.
Permata-permata itu dikeluarkan dari kotaknya lalu didekap di dadanya. Sang
jutawan memandanginya saja. Dia sedang mengenang rangkaian wanita yang pernah
memakainya. Juga rasa sakit hati yang mereka alami, putus asa, dan iri dengki.
Seperti juga batu-batu permata yang terkenal, Heart of Fire telah meninggalkan
tragedi dan kekerasan. Dalam genggaman tangan Ruth Kettering yang mantap,
permata itu seolah-olah kehilangan kekuatannya sebagai penyebab kejahatan.
Dengan sikapnya yang dingin dan tenang, wanita dari dunia barat ini agaknya akan
terhindar dari tragedi atau sakit hati itu. Ruth mengembalikan permata-permata
itu ke dalam kotaknya, lalu dia melompat dan merangkul ayahnya.
"Terima kasih, terima kasih, terima kasih, Ayah. Permata-permata itu indah
sekali! Ayah memang selalu memberi aku hadiah-hadiah yang paling istimewa."
"Sudahlah," kata Van Aldin, sambil menepuk bahu putrinya, "kaulah satu-satunya
milikku, Ruthie." "Ayah makan malam di sini, ya?"
"Kurasa tak bisa. Kau kelihatannya akan keluar."
"Ya, tapi bisa saja kutunda. Tidak begitu penting dan tidak begitu
menyenangkan." "Jangan," kata Van Aldin. "Penuhilah janjimu. Aku banyak urusan. Sampai besok,
Sayangku. Mungkin besok kau akan kutelepon, dan kita bisa bertemu di kantor
Galbraith?" Messrs. Galbraith, Galbraith, Cuthberson & Galbraith adalah penasihat-
penasihat hukum Van Aldin.
"Baiklah, Ayah." Ruth ragu-ragu. "Kurasa - urusan ini tidak akan menghalangi
kepergianku ke Riviera, bukan?"
"Kapan kau akan berangkat?"
"Tanggal empat belas."
"Oh, bisa. Urusan-urusan seperti ini makan waktu lama. Omong-omong, Ruth,
sebaiknya delima-delima itu jangan kaubawa ke luar negeri. Tinggalkan saja di
bank." Nyonya Kettering mengangguk.
"Aku tak ingin kau sampai dirampok atau dibunuh gara-gara Heart of Fire itu,"
kata jutawan itu melucu. "Padahal Ayah sendiri membawanya ke mana-mana begitu saja di dalam saku," tukas
putrinya dengan tersenyum.
"Ya - " Ruth melihat sesuatu, suatu keraguan pada ayahnya.
"Ada apa, Ayah?"
"Tak apa-apa." Dia tersenyum. "Aku teringat akan suatu petualangan kecil di
Paris." "Suatu petualangan?"
"Ya, pada malam waktu aku membeli barang-barang ini."
Dia menunjuk kotak permata itu.
"Aduh, ceritakan Ayah."
"Tak ada yang patut diceritakan, Ruthie. Beberapa orang bandit ingin berbuat
kurang ajar, lalu kutembak dan mereka lari. Itu saja."
Ruth memandang ayahnya dengan rasa bangga.
"Ayah ini memang sulit dikalahkan."
"Jelas, Ruthie."
Dicium anaknya itu dengan penuh kasih sayang, lalu pergi. Setibanya kembali di
Savoy, diberikannya perintah singkat pada Knighton.
"Cari orang yang bernama Goby. Alamatnya bisa kautemukan di dalam buku
pribadiku. Suruh dia kemari jam setengah sepuluh besok pagi."
"Baik, Tuan." "Aku juga ingin bertemu dengan Kettering. Cari dia sampai ketemu. Coba cari di
klubnya - pokoknya, bagaimanapun juga, temukan dia, dan atur supaya dia bisa
menemuiku besok pagi. Sebaiknya agak siang, kira-kira jam dua belas. Orang-orang
seperti dia tak bisa bangun pagi."
Sekretarisnya mengangguk tanda mengerti semua instruksi itu. Van Aldin lalu
meminta pelayan melayani dirinya. Air mandinya sudah disiapkan, dan sedang dia
duduk dengan nyaman dalam air panas, pikirannya melayang kembali pada
percakapannya dengan putrinya. Pada umumnya dia merasa puas. Pikirannya yang
tajam sudah sejak lama menerima kenyataan bahwa perceraian adalah satu-satunya
jalan ke luar. Ruth telah menyetujui penyelesaian yang diusulkannya dengan
kesediaan yang lebih besar daripada yang diharapkannya. Namun, meskipun Ruth
telah memberikan persetujuannya tanpa membantah, dia masih merasa kuatir. Dia
merasa bahwa ada sesuatu dalam gerak-gerik Ruth yang tak wajar. Dia mengerutkan
alisnya. "Mungkin aku hanya berkhayal," gumamnya, "tapi - aku yakin ada sesuatu yang tak
dikatakannya." Bab 5 SEORANG PRIA YANG BERGUNA
Rufus Van Aldin baru saja menyelesaikan sarapannya yang sederhana, - yang
terdiri dari kopi dan roti panggang kering, satu-satunya jenis makanan yang
selalu dimakannya untuk sarapan - ketika Knighton masuk.
"Tuan Goby menunggu Anda di lantai bawah, Tuan."
Jutawan itu melihat ke jam. Tepat pukul setengah sepuluh.
"Baiklah," katanya singkat. "Dia boleh naik."
Satu-dua menit kemudian, Tuan Goby memasuki kamar. Dia seorang pria setengah
baya yang bertubuh kecil, berpakaian kumal, dan matanya memandang ke sekeliling
kamar dengan cermat, serta tak pernah memandang orang yang sedang berbicara
dengannya. "Selamat pagi, Goby," kata jutawan itu. "Silakan duduk."
"Terima kasih, Tuan Van Aldin."
Tuan Goby duduk dengan tangan di pangkuannya, dan menatap radiator dengan penuh
perhatian. "Ada pekerjaan untukmu."
"Ya, Tuan Van Aldin."
"Mungkin kau tahu bahwa putriku menikah dengan Derek Kettering."
Tuan Goby mengalihkan pandangannya dari radiator ke laci meja yang sebelah kiri,
dan wajahnya dihiasi senyum pahit. Tuan Goby banyak tahu, tetapi dia tak pernah
mau mengakuinya. "Atas nasihatku, putriku itu akan mengajukan permintaan untuk bercerai. Itu
tentu urusan penasihat hukum. Tapi demi alasan-alasan pribadi, aku ingin
informasi yang paling sempurna."
Tuan Goby mengalihkan pandangannya ke tirai lalu menggumam,
"Tentang Tuan Kettering?"
"Tentang Tuan Kettering."
"Baiklah, Tuan."
Tuan Goby bangkit. "Kapan bisa selesai?"
"Apakah Anda ingin cepat-cepat, Tuan?"
"Aku selalu ingin cepat-cepat," kata jutawan itu.
Tuan Goby tersenyum penuh pengertian pada besi pelindung perapian.
"Bagaimana kalau jam dua siang ini, Tuan?" tanyanya.
"Bagus," lawan bicaranya memuji. "Selamat pagi, Goby."
"Selamat pagi, Tuan Van Aldin."
"Orang itu memang berguna sekali," kata jutawan itu setelah Goby keluar dan
sekretarisnya masuk. "Dia memang seorang ahli dalam bidangnya sendiri."
"Apa bidangnya?"
"Informasi. Beri dia dua puluh empat jam dan dia akan mampu memberi kita
informasi tentang kehidupan pribadi Uskup Agung dari Cantebury sekalipun."
"Memang orang yang berguna," kata Knighton, tersenyum.
"Sudah dua atau tiga kali dia berguna bagiku," kata Van Aldin. "Nah, Knighton,
aku sudah siap untuk bekerja."
Dalam beberapa jam berikutnya sejumlah besar pekerjaan diselesaikan dengan
cepat. Pukul setengah satu telepon berdering, dan Tuan Van Aldin diberi tahu
bahwa Tuan Kettering telah datang. Knighton memandang Van Aldin, dan menafsirkan
anggukan singkat majikannya itu.
"Persilakan Tuan Kettering naik."
Sekretaris itu mengumpulkan kertas-kertasnya, lalu pergi. Dia berpapasan dengan
tamu itu di ambang pintu, dan Derek Kettering menyisih untuk memberi jalan pada
Knighton. Lalu dia masuk sambil menutup pintu.
"Selamat pagi, Pak. Saya dengar Bapak ingin sekali bertemu dengan saya."
Suara yang bernada malas dengan bunyi ke dalam dan ironis itu menimbulkan
kenangan pada Van Aldin. Suara itu punya daya tarik - yah memang selamanya punya
daya tarik. Dipandang menantunya itu dengan tajam. Derek Kettering berumur tiga
puluh empat tahun, bertubuh langsing, berwajah kecil dengan mata yang hitam,
yang hingga kini masih tampak kekanakan.
"Masuklah," kata Van Aldin singkat. "Duduklah."
Kettering menghempaskan dirinya dengan lembut ke sebuah kursi. Dia memandang
ayah mertuanya dengan manis.
"Sudah lama saya tidak bertemu dengan Bapak," katanya ringan. "Saya rasa sudah
kira-kira dua tahun. Sudahkah Bapak bertemu dengan Ruth?"
"Sudah, kemarin malam," sahut Van Aldin.
"Dia kelihatan segar, bukan?" kata menantunya santai.
"Aku tak yakin kau punya kesempatan untuk menilainya." kata Van Aldin datar.
Derek Kettering mengangkat alisnya.
"Oh, kami kadang-kadang bertemu di sebuah klub malam tanpa sengaja," katanya
seenaknya. "Aku tak mau bertele-tele," kata Van Aldin singkat. "Aku telah menasihati Ruth
supaya mengajukan permintaan bercerai."
Derek Kettering kelihatan tak terpengaruh.
"Tegas sekali!" gumamnya. "Bolehkah saya merokok, Pak?"
Dia menyalakan sebatang rokok, lalu menghembuskan segumpal asap sambil berkata
lagi dengan tak acuh, "Lalu apa kata Ruth?"
"Ruth mau menuruti nasihatku," kata ayah Ruth.
"Apakah dia benar-benar mau?"
"Hanya itukah yang dapat kaukatakan?" kata Van Aldin tajam.
Kettering menjentikkan abu rokoknya ke tempat abu perapian. "Saya rasa, Bapak
pun tahu," katanya mengelak, "bahwa dengan demikian dia akan membuat kesalahan
besar." "Ditinjau dari segimu sendiri, dia memang keliru," kata Van Aldin tegas.
"Ah, cobalah pikir," kata sang menantu, "janganlah kita terlalu bersikap
sendiri-sendiri. Saat ini pun saya tidak memikirkan diri saya sendiri. Saya
memikirkan Ruth. Bapak pun tahu bahwa ayah saya tidak akan lama lagi hidup -
semua dokter berkata begitu. Sebaiknya Ruth bersabar beberapa tahun lagi, sampai
saya menjadi Lord Leconbury, dan dia akan menjadi nyonya besar di Leconbury.
Bukankah untuk itu dia menikah dengan saya dulu."
"Aku tak mau mendengar kelancanganmu itu," sergah Van Aldin.
Derek Kettering tersenyum padanya tanpa perasaan.
"Saya sependapat dengan Bapak. Itu memang pikiran kuno," katanya. "Zaman
sekarang ini, gelar tak ada artinya. Namun Leconbury suatu tempat yang bagus dan
sudah tua, apalagi kami adalah salah satu keluarga yang tertua di Inggris ini.
Ruth tentu akan sakit hati bila kelak dia bercerai dari saya dan melihat saya
menikah lagi, lalu melihat seorang wanita lain yang menjadi ratu di Leconbury
dan bukan dia." "Aku bersungguh-sungguh, Anak muda," kata Van Aldin.
"Demikian pula saya," kata Kettering. "Keadaan keuangan saya memang menyedihkan
sekali, saya akan sulit sekali kalau Ruth sampai menceraikan saya. Lalu,
bagaimanapun juga, kalau dia sudah bertahan selama sepuluh tahun ini, apa
salahnya menahan sebentar lagi" Saya berani bertaruh bahwa ayah saya tidak akan
bertahan delapan belas bulan lagi, dan, seperti yang telah saya katakan tadi,
sayang sekali kalau Ruth tidak mendapatkan apa yang menjadi tujuannya menikah
dengan saya." "Kau mengatakan bahwa putriku kawin denganmu demi gelar dan kedudukanmu?"
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Derek Kettering tertawa, tawanya sama sekali bukan tawa yang lucu.
"Masa Bapak berpikir bahwa perkawinan kami didasarkan atas saling cinta?"
katanya. "Aku hanya tahu," kata Van Aldin lambat-lambat, "bahwa bicaramu lain sekali di
Paris sepuluh tahun yang lalu."
"Benarkah begitu" Mungkin juga begitu. Ruth begitu cantik - seperti bidadari
atau orang suci atau sesuatu yang turun dari lemari penyimpanannya di gereja.
Saya pun punya gagasan yang baik. Bapak tentu ingat bahwa saya punya niat untuk
memutar haluan, akan hidup tenang dan menyesuaikan diri dengan tradisi orang
Inggris yang tertinggi dalam berumah tangga, dengan seorang istri cantik yang
mencintai saya." Dia tertawa lagi, tawa yang sumbang.
"Tapi saya yakin Bapak tidak percaya, bukan?" katanya.
"Aku tak pernah ragu bahwa kau kawin dengan Ruth demi uangnya," kata Van Aldin
tanpa emosi. "Dan bahwa dia kawin dengan saya demi cinta?" kata menantunya dengan sindiran
tajam. "Tentu," kata Van Aldin.
Derek Kettering menatapnya beberapa saat, lalu mengangguk sambil termangu.
"Rupanya Bapak yakin akan hal itu," katanya. "Saya pun demikian pula pada waktu
itu. Tapi dapat saya pastikan, Ayah mertuaku yang baik, bahwa dalam waktu
singkat saja saya telah tak bisa dikelabui lagi."
"Aku tak tahu apa maksudmu," kata Van Aldin, "dan aku tak peduli. Kau telah
memperlakukan Ruth dengan buruk sekali."
"Memang begitu," Kettering membenarkan. "Tapi dia keras, Bapak tahu itu. Dia
putri Anda. Di balik semua kelembutannya, dia itu sekeras batu karang. Kata
orang, Bapak terkenal sebagai orang yang keras, tapi Ruth lebih keras dari
Bapak. Bagaimanapun juga masih ada satu orang yang lebih Bapak cintai daripada
diri Bapak sendiri. Pada Ruth tak ada itu, dan tak akan pernah ada."
"Cukup," kata Van Aldin. "Kau kusuruh datang kemari supaya aku bisa mengatakan
padamu dengan jujur dan terus terang, apa yang akan kulakukan. Putriku harus
mendapatkan kebahagiaan, dan ingatlah selalu, aku berdiri di belakangnya."
Derek Kettering bangkit lalu berdiri di dekat para-para perapian. Rokoknya
dilemparkannya. Suaranya tenang sekali waktu dia berbicara,
"Apa sebenarnya maksud Bapak?" tanyanya.
"Maksudku, supaya sebaiknya kau tidak membela diri dalam perkara ini," kata Van
Aldin. "Oh," kata Kettering, "apakah itu suatu ancaman?"
"Kau bisa menafsirkannya sesukamu," kata Van Aldin.
Kettering menarik sebuah kursi ke dekat meja. Dia lalu duduk menghadapi jutawan
itu. "Dan seandainya," katanya dengan lembut, "hanya sekedar supaya terjadi
pertikaian, saya tetap membela diri dalam perkara itu?"
Van Aldin mengangkat bahunya.
"Kau tak punya kekuatan apa-apa, Anak muda tolol. Tanya saja pada para penasihat
hukum, mereka akan segera memberi tahu padamu. Kelakuanmu selama ini sudah
terkenal buruk, sudah menjadi buah bibir di London."
"Saya rasa Ruth telah menyebarluaskan tentang Mirelle. Tolol sekali dia. Saya
tak pernah mengganggu teman-teman laki-lakinya."
"Apa maksudmu?" tanya Van Aldin dengan tajam.
Derek Kettering tertawa. "Rupanya Anda tak tahu seluruhnya, Pak," katanya. "Tentu saja Bapak lalu
berprasangka." Diambil topi dan tongkatnya lalu berjalan ke arah pintu.
"Memberikan nasihat bukanlah bidang saya." Dia memberikan tusukan terakhir.
"Tapi dalam hal ini saya nasihatkan benar-benar agar ada keterusterangan yang
murni antara ayah dan anak."
Dengan cepat dia keluar dari kamar dan menutup pintunya, tepat pada saat jutawan
itu bangkit melompat. "Huh, apa maksudnya itu?" kata Van Aldin waktu terhenyak kembali ke kursinya.
Semua rasa kuatirnya muncul kembali. Kini ada sesuatu yang tak diketahui
dasarnya. Pesawat telepon terletak di sikunya, ditangkapnya telepon itu, lalu
minta dihubungkan ke nomor telepon putrinya.
"Halo! Halo! Apakah itu Mayfair 81907" Apakah Nyonya Kettering ada" Oh, dia
keluar. Oh, pergi makan. Jam berapa dia kembali" Anda tak tahu" Ya, baiklah.
Tidak, tak ada pesan apa-apa."
Dihempaskannya gagang telepon itu kembali dengan marah. Pukul dua siang dia
berjalan hilir-mudik dalam kamarnya, menunggu kedatangan Goby dengan penuh
harapan. Goby diantar masuk pukul dua lewat sepuluh.
"Bagaimana?" sergah jutawan itu dengan garang.
Namun Tuan Goby yang kecil itu tak bisa diburu-buru. Dia duduk, mengeluarkan
buku saku yang lusuh, lalu mulai membaca dari buku itu dengan suara datar.
Jutawan itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan perasaan lega. Goby
berhenti membaca, lalu melihat dengan penuh perhatian ke keranjang sampah.
"Hm!" kata Van Aldin. "Meyakinkan sekali. Perkaranya akan berjalan lancar
sekali. Bukti dari hotel itu benar, kan?"
"Barang murni," kata Goby, sambil memandangi sebuah kursi yang bersepuh emas
dengan pandangan jahat. "Dan keadaan keuangannya buruk sekali. Dia sekarang sedang mencoba mencari
pinjaman, katamu" Semua yang bisa diharapkannya dari ayahnya boleh dikatakan
sudah digadaikannya. Begitu berita tentang perceraian itu tersiar, dia tidak
akan bisa lagi mendapatkan pinjaman barang sesen pun. Bukan hanya itu, surat-
surat berharganya pun akan bisa dibeli semua, lalu dari segi itu kita akan bisa
menekannya. Dia sudah ada di tangan kita, Goby, dia sudah terjepit di tangan
kita." Dihantamnya meja kuat-kuat dengan tinjunya. Wajahnya keras dan penuh kemenangan.
"Rupanya," kata Tuan Goby dengan suara halus, "informasi saya memuaskan."
"Sekarang aku harus pergi ke Curzon Street," kata Jutawan itu. "Terima kasih
banyak, Goby. Kau memang hebat."
Di wajah pucat pria yang kecil itu terulas senyum mengandung rasa terima kasih.
"Terima kasih, terima kasih, Tuan Van Aldin," katanya, "saya akan berusaha keras
lagi." Van Aldin tidak langsung pergi ke Curzon Street. Dia pergi ke pusat kota dulu,
di mana dia menanyai dua orang lagi dan memperoleh jawab yang menambah
kepuasannya. Dari sana dia naik kereta api bawah tanah ke Down Street. Waktu dia
berjalan di Curzon Street, seseorang keluar dari rumah nomor seratus enam puluh,
dan membelok ke arahnya, sehingga mereka berpapasan di trotoar. Sesaat, jutawan
itu menyangka bahwa laki-laki itu adalah Derek Kettering sendiri - tinggi dan
potongan badannya serupa. Tetapi waktu mereka berhadap-hadapan, dia menyadari
bahwa dia tak kenal pada orang itu. Tetapi - tidak, bukannya tak kenal - wajah
orang itu membangkitkan rasa kenal pada jutawan itu, dan kenangan itu jelas
berhubungan dengan sesuatu yang tak menyenangkan. Dia memeras otaknya benar-
benar, namun tak ada kenangan yang muncul. Dia mencoba lagi, sambil menggoyang-
goyang kepalanya dengan jengkel. Dia tak suka mengalami kegagalan.
Jelas bahwa Ruth Kettering sedang mengharapkan kedatangannya. Wanita itu berlari
mendapatkannya lalu menciumnya waktu dia masuk.
"Nah, Ayah, bagaimana semuanya?"
"Baik-baik saja," kata Van Aldin, "tapi ada beberapa hal yang harus kubicarakan
denganmu, Ruth." Hampir tanpa disadarinya, jutawan itu melihat perubahan pada Ruth - keceriaan
putrinya waktu menyambut kedatangannya tadi berganti menjadi sesuatu yang tajam
dan waspada. Dia lalu duduk di sebuah kursi yang besar.
"Nah, Ayah?" tanyanya. "Ada apa?"
"Aku sudah berbicara dengan suamimu tadi pagi," kata Van Aldin.
"Ayah berbicara dengan Derek?"
"Ya. Bicaranya banyak, tapi kebanyakan omong kosong. Tapi pada saat dia akan
pergi, dia mengatakan sesuatu yang membuat aku jadi tak mengerti. Aku
dianjurkannya supaya mengadakan pembicaraan terus terang antara ayah dan anak.
Apa maksudnya itu, Ruthie?"
Nyonya Kettering bergerak sedikit di dalam kursinya.
"Aku - aku tak tahu, Ayah. Bagaimana aku bisa tahu?"
"Pasti kau tahu," kata Van Aldin. "Ada lagi sesuatu yang dikatakannya, mengenai
dia dan teman-temannya dan tak pernah mencampuri urusanmu dengan teman-temanmu.
Apa maksudnya itu?" "Aku tak tahu," kata Ruth Kettering lagi.
Van Aldin duduk. Mulutnya terkatup rapat.
"Sadarilah, Ruth. Aku tak mau memulai urusan ini dengan mata tertutup. Aku sama
sekali tak yakin bahwa suamimu itu tak punya niat untuk mengacaukan. Yah, dia
memang tak bisa berbuat demikian, aku yakin itu. Aku punya cara untuk menutup
mulutnya, untuk membungkamnya selama-lamanya, tapi aku harus tahu apakah ada
manfaatnya memakai jalan itu. Apa maksudnya mengatakan bahwa kau punya teman-
teman tersendiri?" Nyonya Kettering mengangkat bahunya.
"Temanku banyak sekali," katanya tanpa keyakinan. "Aku tak tahu apa maksudnya,
sungguh." "Kau tahu," kata Van Aldin.
Kini bicaranya seperti dia sedang berbicara dengan lawan usahanya.
"Kutegaskan lagi. Siapa laki-laki itu?"
"Laki-laki yang mana?"
"Laki-laki itu. Itulah yang dimaksud Derek. Seorang laki-laki tertentu yang
menjadi temanmu. Kau tak perlu kuatir, Sayang - aku tahu itu pasti tak ada apa-
apanya, tapi kita harus menghadapi segala sesuatu sebagaimana yang bakal muncul
dalam sidang. Kau kan tahu bahwa mereka biasanya suka mengorek-ngorek banyak
hal. Aku ingin tahu siapa laki-laki itu, dan berapa jauh persahabatanmu dengan
dia." Ruth tak menjawab. Dia memeras-meras tangannya dalam kegugupannya.
"Ayolah, Sayang," kata Van Aldin lemah lembut, "jangan takut pada ayahmu
sendiri. Aku kan tak pernah terlalu keras padamu, juga tidak waktu di Paris itu"
- Astaga!" Dia terhenti bagai disambar petir.
"Dialah itu!" gumamnya sendiri. "Sudah kupikir, aku kenal wajah itu."
"Bicara tentang apa Ayah ini" Aku tak mengerti."
Jutawan itu mendatangi anaknya dengan langkah panjang-panjang lalu mencengkam
pergelangannya erat-erat.
"Akuilah, Ruth, apakah kau berhubungan dengan laki-laki itu lagi?"
"Laki-laki yang mana?"
"Laki-laki yang telah membuat kita pusing bertahun-tahun yang lalu di Paris. Kau
pasti tahu siapa yang kumaksud."
"Maksud Ayah," dia ragu - "maksud Ayah, Comte de la Roche?"
"Comte de la Roche!" dengus Van Aldin. "Sudah kukatakan padamu waktu itu bahwa
laki-laki itu tak lebih dari seorang penipu. Waktu itu kau telah melibatkan
dirimu dengan dia secara mendalam, tapi aku bisa melepaskanmu dari
cengkeramannya." "Memang Ayah waktu itu berhasil," kata Ruth dengan getir. "Dan aku menikah
dengan Derek Kettering."
"Kau yang mau," tukas jutawan itu dengan tajam.
Ruth mengangkat bahunya. "Dan sekarang," kata Van Aldin lambat-lambat, "kau berhubungan lagi dengan dia -
setelah kuberi peringatan. Hari ini pun dia baru saja dari rumah ini. Aku
berpapasan dengan dia di luar - sejenak aku tak ingat siapa dia."
Ruth Kettering kini menemukan kembali sikapnya.
"Satu hal akan kukatakan, Ayah, Ayah keliru mengenai Armand - maksudku Comte de
la Roche. Memang, aku pun tahu, telah terjadi beberapa peristiwa yang patut
disesalkan waktu dia remaja - dia sendiri yang menceritakan hal itu padaku -
tapi, yah, dia selalu sayang padaku. Patah hatinya waktu Ayah memisahkan kami di
Paris, dan sekarang - "
Kata-katanya terputus oleh dengus kemarahan ayahnya.
"Jadi kau tergiur oleh hal-hal begituan, ya" Kau putriku seorang! Ya Tuhan!"
Dia mengangkat kedua belah tangannya.
"Perempuan memang bisa jadi begitu goblok!"
Bab 6 MIRELLE Derek Kettering keluar dari kamar Van Aldin demikian tergesanya, hingga dia
bertabrakan dengan seorang wanita yang sedang berjalan menyeberangi lorong
hotel. Dia meminta maaf, dan wanita itu memaafkannya dengan meyakinkan sambil
tersenyum lalu berjalan terus, meninggalkan pada Kettering suatu kesan yang
menyenangkan tentang seorang pribadi lembut dengan mata bagus yang berwarna abu-
abu. Meskipun dia bersikap tak acuh, percakapan dengan ayah mertuanya tadi telah
menyebabkan guncangan hebat, meskipun dia tak mau memperlihatkannya. Dia makan
siang seorang diri, dan setelah itu - tetap dengan alis yang masih bertaut - dia
pergi ke sebuah rumah susun yang mewah, tempat tinggal wanita yang bernama
Mirelle. Seorang wanita Prancis yang langsing menyambutnya dengan tersenyum
lebar. "Silakan masuk, Tuan. Nyonya sedang beristirahat."
Dia dipersilakan masuk ke sebuah kamar panjang yang perabotnya bergaya Timur.
Kamar itu sudah sangat dikenalnya. Mirelle sedang berbaring di depan, ditopang
bantal kursi banyak sekali, semuanya berwarna merah bata dengan bermacam-macam
variasi, supaya selaras dengan kulitnya yang berwarna kuning. Penari itu
bertubuh indah sekali, dan kalaupun wajah di bawah polesannya yang kuning itu
sebenarnya agak kuyu, namun wajah itu punya daya tarik yang kuat, dan bibirnya
yang jingga tersenyum pada Derek Kettering dengan cara yang mengundang.
Derek menciumnya, lalu menghempaskan dirinya ke sebuah kursi.
"Apa yang sedang kaulakukan" Baru bangun tidur, ya?"
"Tidak," kata penari itu. "Aku baru saja habis bekerja."
Dengan tangannya yang panjang dan pucat, dia menunjuk ke piano, di mana kertas-
kertas musik berserakan. "Ambrose tadi dari sini. Dia memainkan lagu untuk opera yang baru itu."
Kettering mengangguk tanpa menaruh perhatian. Dia sama sekali tak tertarik pada
Claud Ambrose, juga tidak pada rencana operanya yang berjudul Peer Gynt karangan
Ibsen. Mirelle pun sebenarnya demikian pula - dia hanya menganggapnya penting
karena dia mendapatkan kesempatan istimewa untuk memerankan Anitra.
"Tarian itu luar biasa," gumamnya. "Akan kulibatkan semua gairah gurun pasir ke
dalam tarian itu. Aku akan menari dengan seluruh tubuhku digantungi perhiasan -
aduhai! Dan, omong-omong, Mon ami, kemarin aku melihat sebutir mutiara di Bond
Street - sebutir mutiara hitam."
Dia berhenti, lalu memandang Kettering dengan sikap mengundang.
"Gadisku sayang," kata Kettering, "tak ada gunanya berbicara tentang mutiara
hitam denganku. Saat ini, semua kekayaanku boleh dikatakan sudah punah."
Mirelle cepat menanggapi nada bicara Derek. Dia duduk, matanya yang besar
membelalak. "Apa katamu, Derek" Apa yang terjadi?"
"Ayah mertuaku yang mulia," kata Kettering, "sedang bersiap-siap untuk
menghancurkan hidupku habis-habisan."
"Ha?" "Dengan kata lain, dia ingin Ruth menceraikan aku."
"Bodoh sekali!" kata Mirelle. "Mengapa dia mau menceraikan kau?"
Derek Kettering menyeringai.
"Terutama gara-gara kau, Sayang!" katanya.
"Bodoh sekali," kata Mirelle tegas.
"Sangat bodoh memang," Derek membenarkan.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya Mirelle.
"Gadisku, apalah yang bisa kulakukan" Di satu pihak ada laki-laki yang tak
terhitung jumlah uangnya, sedang di pihak lain ada laki-laki yang tak terhitung
jumlah hutangnya. Ini bukan soal siapa yang akan keluar sebagai pemenang."
"Orang-orang Amerika itu luar biasa," kata Mirelle. "Padahal istrimu itu
kelihatannya sayang sekali padamu."
"Yah," kata Derek, "apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Mirelle memandangnya dengan pandangan bertanya. Derek mendatanginya lalu
menggenggam kedua belah tangannya.
"Apakah kau akan tetap setia padaku?"
"Apa maksudmu" Setelah - ?"
"Ya," kata Kettering. "Setelah itu, bila orang-orang yang berpiutang berdatangan
seperti serigala kelaparan. Aku cinta setengah mati padamu, Mirelle. Apakah kau
akan meninggalkan aku?"
Mirelle menarik tangannya dari genggaman Derek.
"Kau tahu aku memujamu, Derek."
Derek mendengar nada mengelak dalam suara itu.
"Jadi begitu rupanya, ya" Di hari panas lupa kacang akan kulitnya."
"Aduh, Derek!"
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan," katanya dengan keras, "kau akan melemparkan aku, kan?"
Mirelle mengangkat bahunya.
"Aku suka sekali padamu, Mon ami - sungguh, aku suka padamu. Kau menarik sekali
- kau pria yang tampan, tapi itu tak banyak manfaatnya."
"Kau biasa dengan laki-laki kaya yang mewah, ya" Begitu, kan?"
"Jika kau mau menafsirkannya begitu."
Dia bersandar pada bantal-bantal, kepalanya ditelentangkannya.
"Bagaimanapun juga, aku suka sekali padamu, Derek."
Derek pergi ke jendela dan berdiri di sana beberapa lamanya, melihat ke luar,
membelakangi Mirelle. Lalu penari itu bertelekan pada sikunya dan menatapnya
dari belakang dengan rasa penuh ingin tahu.
"Apa yang sedang kaupikirkan, Mon ami?"
Derek menoleh ke belakang, memandangnya lalu tersenyum, suatu senyuman yang
aneh, yang membuat Mirelle agak gelisah.
"Kebetulan, aku sedang memikirkan seorang wanita, Sayang."
"Seorang wanita?"
Mirelle menyerangnya dengan sesuatu yang baru ditanggapinya.
"Kau sedang memikirkan seorang wanita lain, begitukah?"
"Ah, kau tak perlu kuatir, hanya sekedar suatu bayangan angan-angan. 'Bayangan
seorang wanita yang bermata abu-abu'."
Mirelle bertanya dengan nada tajam, "Kapan kau bertemu dengan dia?"
Derek Kettering tertawa, dan tawanya mengandung bunyi sindiran yang mengejek.
"Aku berpapasan dengan seorang wanita di lorong Hotel Savoy."
"Lalu apa katanya?"
"Sepanjang ingatanku, aku berkata, 'Maafkan saya,' dan dia menjawab, 'Tidak apa-
apa,' atau kata-kata lain semacam itulah."
"Kemudian?" penari itu mendesak terus.
Kettering mengangkat bahunya.
"Lalu - tak apa-apa. Itulah akhir peristiwa itu."
"Sepatah pun aku tak mengerti apa yang kaukatakan itu," kata penari itu.
"Bayangan seorang wanita yang bermata abu-abu," gumam Derek sambil merenung.
"Rasanya tak mungkin aku akan bertemu dengannya lagi."
"Mengapa?" "Dia mungkin pembawa bencana bagiku. Wanita biasanya begitu."
Diam-diam Mirelle meninggalkan sofanya, lalu pergi mendatangi Derek, dan
melilitkan tangannya bagai seekor ular ke lehernya.
"Kau bodoh, Derek," gumamnya. "Kau tolol sekali. Kau memang pria tampan, dan aku
memujamu, tapi aku tak bisa hidup miskin - tidak, aku benar-benar tak bisa hidup
miskin. Sekarang dengarkan aku. Semuanya sederhana sekali. Kau harus berdamai
dengan istrimu." "Kurasa itu tak akan bisa dilaksanakan," kata Derek datar.
"Apa katamu" Aku tak mengerti."
"Van Aldin tidak akan menyerah, Sayang. Dia terkenal sebagai orang yang pandai
mengambil keputusan dan kemudian tetap berpegang pada keputusan itu."
"Aku pernah mendengar tentang dia." Penari itu mengangguk. "Dia kaya sekali,
bukan" Hampir merupakan orang yang terkaya di Amerika. Beberapa hari yang lalu
di Paris, dia membeli delima yang paling indah di dunia - namanya Heart of
Fire." Kettering tidak menjawab. Penari itu berkata lagi sambil merenung,
"Permata itu indah sekali - permata yang seharusnya menjadi milik seorang wanita
seperti aku. Aku suka sekali permata, Derek. Aduhai! Memakai permata delima
seperti Heart of Fire itu."
Dia mendesah pendek, lalu menjadi serius lagi.
"Kau tidak mengerti soal seperti ini, Derek, kau hanya seorang laki-laki. Kurasa
Van Aldin akan memberikan permata delima itu kepada putrinya. Apakah dia putri
tunggalnya?" "Ya." "Bila Van Aldin meninggal, dia tentu akan mewarisi semua kekayaannya. Dia akan
menjadi wanita yang kaya sekali."
"Sekarang pun dia sudah seorang wanita kaya," kata Derek datar. "Ayahnya telah
memberinya beberapa juta dolar pada waktu perkawinannya."
"Beberapa juta! Alangkah banyaknya. Lalu bila perempuan itu tiba-tiba meninggal"
Apakah semuanya itu akan jatuh padamu?"
"Kalau dilihat keadaannya sekarang," kata Kettering perlahan, "memang begitu.
Sepanjang pengetahuanku Ruth belum membuat surat wasiat."
"Ya, Tuhan!" seru penari itu. "Bila dia meninggal, betapa akan bagus
penyelesaiannya." Mereka diam sebentar, lalu kemudian Derek Kettering tertawa terbahak.
"Aku suka pikiranmu yang sederhana dan praktis itu, Mirelle, tapi aku takut apa
yang kaudambakan itu tidak akan tercapai. Istriku itu wanita yang benar-benar
sehat." "Eh bien!" seru Mirelle. "Bukankah ada kecelakaan."
Derek memandang tajam padanya tetapi tidak menjawab.
Wanita itu melanjutkan lagi.
"Tapi kau benar, Mon ami, kita tak boleh berharap pada kemungkinan-kemungkinan.
Coba lihat, Derek sayang, jangan bicarakan soal perceraian itu lagi. Istrimu
harus menghentikan gagasan itu."
"Dan bila dia tak mau?"
Penari itu memicingkan matanya, hingga hanya merupakan garis saja.
"Kurasa dia mau, Sahabatku. Dia orang yang tak suka dirinya dijadikan bahan
berita. Ada satu atau dua cerita yang bagus tentang dirinya dan dia tentu tak
mau sampai dibaca orang di surat-surat kabar."
"Apa maksudmu?" tanya Kettering tajam.
Mirelle tertawa dengan kepala terdongak.
"Parbleu! Maksudku pria yang bernama Comte de la Roche itu. Aku tahu semua
tentang dia. Ingat, aku ini orang Paris. Bukankah laki-laki itu kekasihnya
sebelum dia kawin dengan kau?"
Kettering menangkap pundak wanita itu kuat-kuat.
"Itu bohong," katanya. "Dan jangan lupa, bagaimanapun juga, orang yang
kauceritakan itu masih tetap istriku."
Mirelle agak sadar. "Kalian orang Inggris ini aneh," keluhnya. "Yah, kau memang benar, orang-orang
Amerika itu tak punya perasaan, bukan" Tapi izinkanlah aku berkata, Mon ami,
bahwa putri Van Aldin itu mencintai Comte de la Roche sebelum dia kawin dengan
kau, lalu ayahnya bertindak dan mengusir Comte itu. Dan Nona kecil kita menangis
sedih. Tapi dia patuh. Namun, kau pasti tahu juga, Derek, bahwa sekarang lain
lagi ceritanya. Hampir setiap hari dia bertemu dengan kekasihnya itu, dan pada
tanggal empat belas nanti dia akan pergi ke Paris untuk menjumpainya."
"Bagaimana kau bisa tahu semuanya itu?" tanya Kettering.
"Aku" Aku punya teman-teman di Paris, Derek sayang, yang kenal baik pada Comte
itu. Semuanya sudah diatur. Istrimu mengatakan dia akan ke Riviera, tapi
sebenarnya Comte akan menemuinya di Paris - siapa tahu! Sungguh, percayalah, itu
semuanya sudah diatur."
Derek Kettering berdiri tanpa bergerak.
"Nah," penari itu merayu, "bila kau pintar, perempuan itu ada dalam genggamanmu.
Kau akan bisa membuat segalanya jadi kacau baginya."
"Ah, demi Tuhan, diamlah," seru Kettering. "Tutup mulutmu yang terkutuk itu!"
Mirelle menghempaskan badannya ke sofa lagi sambil tertawa. Kettering mengambil
topi dan mantelnya lalu meninggalkan tempat itu sambil membanting pintu. Penari
itu tetap duduk di sofa dan tertawa sendiri. Dia puas dengan hasil usahanya.
Bab 7 SURAT-SURAT "Nyonya Samuel Harfield menyampaikan salamnya pada Nona Katherine Grey dan ingin
memberitahukan bahwa dalam keadaan sekarang ini Nona Grey mungkin tak tahu - "
Setelah menulis sampai di situ dengan lancar, Nyonya Harfield tiba-tiba
berhenti, tertahan oleh sesuatu yang merupakan kesulitan besar bagi kebanyakan
orang - yaitu, kesulitan untuk menulis dengan lancar sebagai orang ketiga.
Setelah bimbang beberapa saat, Nyonya Harfield merobek kertas itu lalu mulai
lagi. "Nona Grey yang terhormat, - Sambil menyampaikan penghargaan saya atas
pengabdian Anda yang cukup besar terhadap saudara sepupu saya Emma (yang
kematiannya baru-baru ini benar-benar merupakan pukulan hebat bagi kami semua),
saya hanya bisa merasa - "
Nyonya Harfield terhenti lagi. Sekali lagi surat itu terlempar ke keranjang
sampah. Setelah empat kali gagal memulai surat, barulah Nyonya Harfield berhasil
membuat surat yang memuaskan hatinya. Surat itu direkat dan diberinya perangko
sebagaimana mestinya, lalu dialamatkannya pada Nona Katherine Grey, Little
Crampton, St. Mary Mead, Kent, dan esok paginya pada waktu sarapan, surat itu
sudah terletak di sebelah piring Katherine, bersama dengan sepucuk surat yang
kelihatannya lebih penting, dalam sebuah amplop panjang berwarna biru.
Katherine Grey membuka surat Nyonya Harfield lebih dulu. Beginilah bunyi surat
hasil tulisan Nyonya Harfield itu,
"Nona Grey yth. - Saya dan suami saya ingin menyatakan terima kasih kami kepada
Anda atas layanan Anda terhadap saudara sepupu saya Emma, yang malang.
Kematiannya merupakan pukulan hebat bagi kami, meskipun kami tentu sudah tahu
bahwa sudah beberapa lama pikirannya agak kurang waras. Saya dengar, surat
wasiatnya yang terakhir, aneh sekali sifatnya, dan oleh karenanya surat wasiat
itu tentu tidak akan bisa berlaku di pengadilan mana pun. Saya yakin bahwa Anda
yang biasanya berpikiran sehat, tentu sudah menyadari hal itu. Kata suami saya,
bila urusan-urusan semacam itu bisa diselesaikan secara pribadi, akan jauh lebih
baik. Kami akan senang sekali memberikan surat keterangan yang memuji supaya
Anda bisa mendapatkan pekerjaan yang serupa, dan berharap agar Anda mau menerima
pemberian kecil dari kami. Percayalah pada saya, Nona Grey yang baik.
Salam hangat, Mary Anne Harfield" Katherine Grey membaca surat itu sampai selesai, tersenyum kecil, lalu
membacanya lagi untuk kedua kalinya. Waktu dia meletakkan surat itu setelah
selesai membacanya untuk kedua kalinya, tampak jelas dari wajahnya bahwa dia
merasa geli. Kemudian dia mengambil surat yang kedua. Setelah membacanya
sebentar surat itu diletakkannya dan dia menatap lurus-lurus ke depan. Kali ini
dia tidak tersenyum. Siapa pun yang memperhatikannya pasti akan sulit menebak
perasaan yang tersembunyi di balik pandang renungannya yang tenang itu.
Katherine Grey berumur tiga puluh tiga tahun. Dia berasal dari suatu keluarga
baik-baik, tetapi ayahnya telah kehilangan semua uangnya, dan Katherine sudah
harus mencari nafkah sendiri sejak masih muda. Dia baru saja berumur dua puluh
tiga tahun, waktu dia datang pada Nyonya Harfield tua dan bekerja sebagai
pendampingnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Nyonya Harfield tua itu orang yang 'sulit'.
Pendamping-pendampingnya datang dan pergi silih berganti dalam waktu yang sangat
singkat. Mereka datang dengan penuh harapan dan mereka pergi biasanya dengan
bercucuran air mata. Tetapi sejak Katherine Grey menjejakkan kakinya di Little
Crampton, sepuluh tahun yang lalu, keadaannya aman damai. Tak seorang pun tahu
bagaimana hal itu mungkin terjadi. Kata orang, pawang ular adalah suatu
pembawaan sejak lahir, bukan hasil didikan. Katherine Grey memang dilahirkan
dengan kemampuan untuk mengatur wanita-wanita tua, anjing, dan anak laki-laki
yang masih kecil, dan kelihatannya hal itu dilakukannya tanpa ketegangan.
Pada usia dua puluh tiga tahun, dia adalah seorang gadis pendiam yang bermata
indah. Pada umur tiga puluh tiga, dia adalah seorang wanita yang tenang, dengan
mata yang berwarna abu-abu itu juga, yang bersinar dan memandang dunia dengan
mantap, disertai semacam ketenangan yang mengandung kebahagiaan yang tak
tergoyahkan oleh apa pun. Apalagi, dia dilahirkan dengan rasa humor, yang sampai
sekarang masih dimilikinya.
Waktu dia duduk sarapan dengan menatap ke depan itu, bel rumah berdering,
disusul oleh bunyi pengetuk pintu yang diketukkan kuat-kuat. Sebentar kemudian
pelayan kecil membuka pintu lalu memberi tahu dengan agak terengah,
"Dr. Harrison."
Dokter setengah baya yang bertubuh besar itu masuk dengan langkah-langkah mantap
dan bersemangat, hal mana sudah ditandai sebelumnya oleh ketukannya yang kuat pada pintu.
"Selamat pagi, Nona Grey."
"Selamat pagi, dr. Harrison."
"Saya datang pagi-pagi," kata dokter itu, "saya takut Anda sudah mendapat berita
dari salah seorang sepupu-sepupu Harfield itu. Dia menamakan dirinya Nyonya
Samuel - orang yang benar-benar seperti ular berbisa."
Tanpa berkata apa-apa, Katherine mengambil surat Nyonya Harfield yang terletak
di meja dan memberikannya pada dokter itu. Dengan perasaan geli sekali dia
memperhatikan dokter itu membaca dan mempertautkan alisnya yang tebal. Dengan
gertak dan geramnya terasa kebenciannya yang hebat. Kemudian surat itu
dihempaskannya di meja. "Benar-benar busuk," katanya geram. "Jangan sampai surat itu membuat Anda
kuatir, Anak baik. Mereka itu bicara seenaknya saja. Pikiran Nyonya Harfield
almarhum sama beresnya dengan akal kita berdua, dan tak seorang pun yang akan
membantah Anda dalam hal itu. Mereka sama sekali tak punya kekuatan dan mereka
sebenarnya tahu itu. Semua pembicaraan mereka yang mengatakan akan membawa hal
itu ke pengadilan, hanya gertak saja. Dan semua usaha mereka itu tipuan belaka.
Dan dengar, Anakku, jangan pula Anda biarkan mereka menipu dengan cara yang
halus. Jangan bayangkan bahwa Anda berkewajiban menyerahkan uang itu, atau
berbuat bodoh karena ingin berbasa-basi."
"Saya rasa, saya tak punya niat untuk berbasa-basi," kata Katherine. "Semua
orang itu adalah sanak jauh dari suami Nyonya Harfield, dan mereka tak pernah
mendatanginya atau mempedulikannya selama hidupnya."
"Anda seorang wanita yang bijak," kata dokter itu. "Saya tahu benar, bahwa Anda
telah menjalani hidup yang luar biasa kerasnya selama sepuluh tahun terakhir
ini. Anda berhak sepenuhnya untuk menikmati hasil tabungan wanita tua itu,
seutuhnya." Katherine tersenyum sambil termangu.
"Seutuhnya," ulangnya. "Tak tahukah Anda berapa jumlahnya, Dokter?"
"Yah - saya rasa cukuplah untuk menghasilkan kira-kira lima ratus setahun."
"Begitulah saya pikir," katanya. "Sekarang bacalah ini."
Katherine memberikan surat yang telah dikeluarkannya dari amplop biru tadi
kepada dokter. Dokter itu membacanya, lalu berseru keras karena benar-benar
terperanjat. "Tak mungkin," gumamnya. "Tak mungkin."
"Almarhumah adalah salah seorang pemegang saham yang pertama dari perusahaan
Mortaulds. Empat puluh tahun yang lalu, dia tentu berpenghasilan delapan sampai
sepuluh ribu setahun. Padahal saya yakin, dia tak pernah membelanjakan lebih
dari empat ratus setahun. Beliau selalu amat cermat dengan uang. Saya selalu
menyangka bahwa dia memang harus berhati-hati mengeluarkan setiap penny."
"Dan selama ini penghasilan itu tentu telah menumpuk dengan adanya bunga-
berbunga. Anakku, Anda akan menjadi seorang wanita yang kaya-raya."
Katherine Grey mengangguk.
"Ya," katanya, "begitulah."
Katherine berbicara dengan nada seolah-olah dia sedang membicarakan orang lain,
seolah-olah dia sedang meninjau persoalan itu dari luar.
"Nah," kata dokter sambil bersiap-siap untuk pulang, "kuucapkan selamat yang
setulus-tulusnya." Dijentiknya surat Nyonya Harfield itu dengan ibu jarinya.
"Jangan kuatir tentang wanita itu, juga dengan suratnya yang berbisa itu."
"Surat itu sebenarnya bukan surat yang berbisa," kata Nona Grey dengan
pengertian. "Dalam keadaan seperti ini, saya rasa wajar mereka berbuat
demikian." "Saya kadang-kadang curiga sekali," kata dokter.
"Mengapa?" "Mengenai apa-apa yang menurut Anda wajar itu."
Katherine Grey tertawa. Dokter Harrison menceritakan kembali berita besar itu pada istrinya pada waktu
makan siang. Istrinya gembira sekali mendengarnya.
"Bayangkan Nyonya Harfield tua itu - dengan uang sebanyak itu. Aku senang dia
mewariskannya pada Katherine Grey. Gadis itu seperti orang suci."
Muka dokter itu menjadi masam.
"Aku selalu membayangkan orang-orang suci itu sebagai orang-orang yang sulit.
Katherine Grey itu terlalu manusiawi untuk disebut orang suci."
"Dia seorang suci dengan rasa humor," kata istri dokter itu sambil berkedip.
"Dan, kurasa kau tak pernah menyadarinya, dia itu cantik sekali."
"Katherine Grey?" Dokter itu benar-benar terkejut. "Matanya bagus, itu aku
tahu." "Ah, kalian laki-laki ini!" seru istrinya. "Buta seperti kelelawar. Dasar-dasar
kecantikan ada pada Katherine. Dia hanya memerlukan pakaian!"
"Pakaian" Apa yang kurang pada pakaiannya" Dia selalu kelihatan manis."
Nyonya Harrison mendesah putus asa, dan dokter itu bangkit serta bersiap-siap
untuk melakukan kunjungan keliling.
"Sebaiknya kau pergi menjenguknya, Polly," dokter itu menganjurkan pada
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istrinya. "Aku memang akan pergi," kata Nyonya Harrison segera.
Kunjungan itu dilakukannya pada kira-kira pukul tiga.
"Aku senang sekali, Anak manis," katanya dengan hangat, sambil menjabat tangan
Katherine. "Dan semua orang di desa ini tentu juga senang."
"Baik sekali Anda mau datang dan mengatakan hal itu," kata Katherine. "Saya
memang mengharapkan Anda datang, karena saya ingin tahu tentang Johnnie."
"Oh! Johnnie. Yah - "
Johnnie adalah putra bungsu Nyonya Harrison. Sesaat kemudian mulailah wanita itu
menceritakan riwayat panjang-lebar yang membesar-besarkan penyakit adenoid dan
tonsil Johnnie itu. Katherine mendengarkan dengan penuh perhatian. Kebiasaan
memang sulit menghilangkannya. Mendengarkan memang sudah merupakan makanannya
selama sepuluh tahun. "Nah, sudah pernahkah aku menceritakan tentang pesta
Angkatan Laut di Portsmouth" Waktu itu Lord Charles mengagumi gaunku." Dan
dengan sabar dan manis Katherine akan menyahut, "Kalau tak salah, sudah, Nyonya
Harfield, tapi saya sudah lupa. Maukah Anda menceritakannya lagi?" Maka wanita
tua itu pun akan mulai dengan penuh semangat, dengan banyak pembetulan,
terhenti-henti, serta hal-hal terperinci yang teringat kembali. Dan Katherine
mendengarkan dengan pikiran setengah-setengah, sambil mengatakan sesuatu yang
tepat bila wanita tua itu terhenti....
Kini dia mendengarkan Nyonya Harrison dengan perasaan ganda yang aneh itu.
Setelah setengah jam berlalu, Nyonya Harrison tiba-tiba sadar.
"Aku berbicara tentang diriku saja selama ini," serunya. "Padahal aku kemari
untuk berbicara tentang kau dan rencana-rencanamu."
"Saya tak yakin apakah saya sudah punya rencana."
"Anak manis - kau kan tidak akan tinggal di tempat ini terus?"
Katherine tersenyum mendengar nada ngeri wanita itu.
"Tidak, saya rasa, saya ingin bepergian. Anda pun tahu, bahwa banyak bagian
dunia ini yang belum pernah saya lihat."
"Kurasa memang begitu. Hidupmu selama ini tentunya tidak menyenangkan, ya,
terkurung saja di sini selama bertahun-tahun."
"Entahlah," kata Katherine. "Saya malah merasa mendapatkan banyak kebebasan."
Melihat teman bicaranya tersentak keheranan, wajahnya agak memerah.
"Mungkin kedengarannya tolol sekali - berkata begitu. Tentu, saya tidak
mendapatkan kebebasan lahiriah dalam arti sebenarnya - "
"Memang tak ada," Nyonya Harrison membenarkan. Dia ingat bahwa Katherine jarang
sekali mendapatkan hari libur.
"Tapi bagaimanapun juga, karena secara lahiriah terikat, kita lalu mendapatkan
banyak pandangan-pandangan mental. Kita selalu bebas berpikir. Saya menemukan
perasaan indah bahwa saya punya kebebasan mental."
Nyonya Harrison menggeleng.
"Aku tak mengerti."
"Ah! Bisa saja bila Anda berada di tempat saya. Tapi bagaimanapun juga, saya
merasa memerlukan suatu perubahan. Saya ingin - ingin sekali mengalami suatu
kejadian. Bukan, bukan atas diri saya sendiri - bukan itu maksud saya. Melainkan
berada di tengah-tengah keadaan - hal-hal yang mendebarkan - biarpun saya hanya
penontonnya saja. Anda pun tahu bahwa di St. Mary Mead ini tak ada kejadian apa-
apa." "Memang tidak," kata Nyonya Harrison membenarkan.
"Pertama-tama saya akan pergi ke London," kata Katherine. "Saya sekaligus harus
menjumpai para penasihat hukum. Setelah itu saya rasa, saya akan pergi ke luar
negeri." "Menyenangkan sekali."
"Tetapi, sebelum semuanya itu, tentulah - "
"Apa?" "Saya harus membeli pakaian."
"Itulah yang kukatakan pada Arthur tadi pagi," seru istri dokter itu.
"Ketahuilah, Katherine, kau benar-benar bisa jadi cantik sekali - bila kaucoba."
Nona Grey tertawa tanpa merasa terbuai.
"Ah! Saya rasa saya tidak akan bisa dipercantik lagi," katanya dengan tulus.
"Tapi saya akan senang mempunyai pakaian yang benar-benar bagus. Ah, terlalu
banyak saya membicarakan diri saya sendiri."
Nyonya Harrison memandang lekat padanya.
"Pengalaman ini tentu akan luar biasa sekali bagimu," katanya datar.
Katherine minta diri pada Nona Viner tua sebelum meninggalkan desa itu. Nona
Viner dua tahun lebih tua daripada Nyonya Harfield, dan pikirannya terpusat pada
keberhasilannya hidup lebih lama daripada temannya yang sudah meninggal itu.
"Kau tentu tak menyangka bahwa aku akan hidup lebih lama daripada Jane Harfield,
ya?" katanya dengan rasa kemenangan pada Katherine.
"Dia dan aku satu sekolah. Dan beginilah keadaannya sekarang, dia dipanggil dan
aku ditinggalkan. Siapa sangka?"
"Anda selalu makan roti dari gandum merah setiap malam, bukan?" gumam Katherine
menuruti kebiasaannya. "Bayangkan, kau bisa mengingatnya, Nak. Ya, kalau saja Jane Harfield mau makan
seiris roti dari gandum merah setiap malam dan minum sedikit obat kuat setiap
kali makan, dia sekarang tentu masih hidup."
Wanita tua itu berhenti bicara, sambil mengangguk dengan sikap kemenangan - lalu
karena tiba-tiba teringat dia berkata lagi,
"Jadi kau sekarang mendapat uang banyak, kudengar. Yah, jaga baik-baik. Lalu
apakah kau akan pergi ke London untuk bersenang-senang" Tapi kurasa kau tidak
akan kawin, karena kau tak mau. Kau bukan orang untuk menarik perhatian laki-
laki. Apalagi umurmu juga sudah agak lanjut. Berapa umurmu sekarang, ya?"
"Tiga puluh tiga," kata Katherine.
"Yah," tukas Nona Viner ragu, "belum terlalu kasip. Hanya kau tentu sudah
kehilangan kesegaran remaja."
"Saya rasa begitulah," kata Katherine, dia merasa geli sekali.
"Tapi kau gadis yang manis sekali," kata Nona Viner dengan ramah. "Dan aku yakin
banyak laki-laki akan merasa beruntung bila memperistri dirimu, daripada
mengambil salah seorang gadis genit zaman sekarang yang berkeliaran saja dan
suka menunjukkan terlalu banyak kakinya, daripada yang diizinkan Tuhan. Selamat
jalan, Anakku, kuharap kau akan menikmati perjalananmu. Tapi berhati-hatilah,
karena banyak hal yang tidak asli dalam hidup ini."
Dengan rasa senang karena peringatan-peringatan itu, Katherine mohon diri.
Setengah isi desa datang ke stasiun untuk mengantarnya - termasuk pelayan
kecilnya, Alice, yang membawa sebuah karangan bunga yang kaku, lalu menangis
terang-terangan. "Tak banyak orang seperti dia," isak Alice waktu kereta api akhirnya berangkat.
"Waktu Charlie mengkhianati aku dan main-main dengan gadis dari pabrik pembuat
susu itu, tidak ada yang lebih baik daripada Nona Grey. Dan meskipun dia agak
cerewet mengenai barang-barang kuningan dan debu, dia pulalah yang selalu bisa
melihat bila kita telah menggosok sesuatu secara istimewa. Kapan saja aku akan
mau berbuat apa saja baginya. Bagiku, dia selalu seorang wanita utama."
Demikianlah keberangkatan Katherine dari St. Mary Mead.
Bab 8 LADY TAMPLIN MENULIS SURAT
"Wah," kata Lady Tamplin, "wah."
Diletakkannya surat kabar Daily Mail edisi daratan Eropa, lalu menatap ke air
Laut Mediterania yang biru. Setangkai bunga mimosa berwarna keemasan yang
berjuntai di kepalanya, menjadi pelengkap yang tepat untuk suatu gambaran yang
indah. Seorang wanita yang berambut pirang keemasan, bermata biru, dan
mengenakan baju rumah yang indah sekali. Tak dapat disangkal bahwa rambut yang
pirang keemasan dan kulit muka yang dadu bercampur putih itu adalah buatan,
namun warna mata yang biru adalah pemberian alam, dan pada usia empat puluh
empat, Lady Tamplin masih tergolong wanita cantik.
Lady Tamplin yang begitu menarik itu, baru saat itulah tidak sedang memikirkan
dirinya sendiri. Artinya dia tidak sedang memikirkan penampilannya. Dia sedang
asyik memikirkan soal yang lebih penting.
Lady Tamplin adalah tokoh yang terkenal di Riviera, dan pesta-pesta yang
diselenggarakannya di Vila Marguerite, dibesarkan orang sebagaimana mestinya.
Dia seorang wanita yang punya pengalaman cukup banyak, dan sudah empat orang
suaminya. Suaminya yang pertama hanyalah hasil perkawinan yang tak bijaksana,
dan oleh karenanya jarang disebut-sebut oleh wanita itu. Pria itu cukup arif dan
meninggal pada saat yang tepat sekali, dan setelah itu jandanya menikah dengan
seorang pemilik pabrik kancing yang kaya. Yang kedua ini pun meninggal setelah
perkawinan mereka berumur tiga tahun - kata orang setelah berpesta-pora dengan
teman-temannya sealiran. Setelah itu datang Viscount Tamplin, yang telah
memantapkan Rosalie ke kedudukan tinggi yang memang diingininya. Gelar yang
didapatnya dari perkawinannya yang ketiga itu, dipakainya terus setelah dia
menikah untuk keempat kalinya. Perkawinan yang keempat ini dilakukannya semata-
mata untuk bersenang-senang. Tuan Charles Evans, seorang pria muda yang sangat
tampan, yang baru berumur dua puluh tujuh, bertingkah laku menyenangkan, sangat
menyukai olahraga, dan suka akan barang-barang yang bagus, sebenarnya sama
sekali tak punya uang. Lady Tamplin pada umumnya merasa puas dan senang dengan hidupnya, tetapi dia
kadang-kadang agak cemas mengenai keadaan keuangannya. Pemilik pabrik kancing
telah mewariskan pada jandanya harta yang cukup banyak, tetapi, seperti yang
sering dikatakan Lady Tamplin, "Ada-ada saja soalnya - " (salah satu di antaranya
turunnya harga nilai saham akibat peperangan, dan yang lain adalah pemborosan
yang telah dilakukan oleh Almarhum Lord Tamplin). Dia masih mempunyai kekayaan
cukup banyak. Tetapi kalau hanya cukup banyak saja, kurang memuaskan bagi
seseorang seperti Rosalie Tamplin.
Maka, pada pagi hari yang istimewa dalam bulan Januari itu, dibukanya matanya
yang biru itu lebar-lebar waktu dia membaca sebuah berita dan hanya dapat
mengucapkan satu suku kata seru tanpa arti, "Wah". Hanya ada seorang lain yang
ada di balkon itu bersamanya, yaitu putrinya, Nona Lenox Tamplin. Seorang putri
seperti Lenox itu bagaikan duri di sisi Lady Tamplin - dia seorang gadis yang
tak kenal tenggang rasa, yang berwajah lebih tua daripada umurnya, dan sifat
humornya yang aneh dan penuh sindiran, sekurang-kurangnya bisa disebut tidak
menyenangkan. "Sayang," kata Lady Tamplin, "coba bayangkan."
"Ada apa?" Lady Tamplin mengambil Daily Mail tadi, diberikannya pada putrinya, lalu
menunjuk dengan bersemangat bagian berita yang menarik itu.
Lenox membacanya tanpa semangat seperti yang ditunjukkan ibunya. Surat kabar itu
dikembalikannya. "Apa istimewanya berita itu?" tanyanya. "Hal-hal seperti itu sering terjadi.
Wanita-wanita tua yang kikir selalu meninggal di desa dan meninggalkan
kekayaannya yang berjuta-juta pada pendampingnya yang papa."
"Benar, aku tahu itu," kata ibunya, "dan aku yakin kekayaan itu biasanya
tidaklah sebesar yang diberitakan - surat-surat kabar itu sering tak teliti.
Tapi biar tinggal separuh jumlah itu sekalipun - "
"Yah," sela Lenox, "harta itu kan tidak diwariskan pada kita."
"Secara langsung tidak, Sayang," kata Lady Tamplin, "tapi gadis ini, Katherine
Grey ini, sebenarnya saudara sepupuku. Salah seorang warga Grey dari cabang
Worchestershire, di sebelah Edgeworth. Sepupuku sendiri! Bayangkan!"
"Oh - begitu," kata Lenox.
"Lalu aku jadi berpikir - " kata ibunya.
"Apakah kita akan mendapatkan bagian juga," sambung Lenox dengan senyum mencibir
yang selalu sulit dipahami ibunya.
"Ah, Sayang," kata Lady Tamplin, dengan nada teguran yang tak tegas.
Teguran itu memang hanya samar-samar saja, sebab Lady Tamplin sudah terbiasa
akan kelancangan mulut putrinya dan dengan apa yang disebutnya cara bicara Lenox
yang tak menyenangkan. "Aku sedang berpikir," kata Lady Tamplin sambil mengerutkan alisnya yang
digambar dengan bagus sekali, "apakah - oh, selamat pagi, Chubby sayang, apakah
kau akan main tenis" Baik sekali!"
Orang yang biasa dipanggil 'Chubby' itu tersenyum ramah, berkata sebagaimana
mestinya, "Kau kelihatan cantik sekali memakai baju berwarna buah peach itu,"
lalu berjalan terus melewati mereka dan menuruni tangga.
"Kekasihku itu," kata Lady Tamplin, sambil memandangi suaminya dari belakang
dengan penuh kasih sayang. "Oh ya, apa kataku tadi" Oh!" Pikirannya diputarnya
kembali pada urusannya tadi. "Aku sedang berpikir - "
"Aduh, demi Tuhan, teruskanlah kata-kata itu. Sudah tiga kali Ibu berkata
begitu." "Ya, Sayang," kata Lady Tamplin, "kupikir, alangkah baiknya bila aku menulis
surat pada Katherine yang baik itu dan mengajaknya mengunjungi kita di sini. Dia
memang kurang biasa hidup dalam masyarakat. Akan lebih baik jika dia dibiasakan
bergaul dalam masyarakat dengan diantar oleh salah seorang sanaknya sendiri.
Suatu keuntungan baginya, juga bagi kita."
"Menurut Ibu, berapa dia akan memberi Ibu?" tanya Lenox.
Ibunya melihat padanya dengan pandangan menegur lalu menggumam,
"Kita tentu akan bisa mengatur segi keuangannya. Soalnya selalu ada-ada saja -
peperanganlah - mana ayahmu yang malang itu."
"Dan sekarang Chubby," kata Lenox. "Dia itu suka kemewahan."
"Sepanjang ingatanku, Katherine itu seorang gadis yang manis," gumam Lady
Tamplin, mengikuti jalan pikirannya lagi - "pendiam, tak pernah ingin
menonjolkan diri, tidak cantik dan tak pernah suka mengejar laki-laki."
"Oh, kalau begitu, dia tidak akan mengganggu Chubby, ya?" kata Lenox.
Lady Tamplin memandangnya dengan menyalahkan. "Chubby tidak akan pernah mau - "
dia mulai. "Tentu tidak," kata Lenox. "Saya rasa dia memang tidak akan mau - dia kan tahu
betul siapa yang menghidupinya."
"Ah, kau," kata Lady Tamplin, "caramu menyatakan sesuatu selalu kasar."
"Maaf," kata Lenox.
Lady Tamplin mengambil surat kabar Daily Mail tadi, sebuah tas alat-alat
kecantikan, dan beberapa pucuk surat, lalu mengangkat bajunya.
"Aku akan segera menulis surat pada Katherine yang baik itu," katanya, "dan
mengingatkannya kembali pada masa lalu yang menyenangkan di Edgeworth."
Dia masuk ke rumah, dengan mata yang memancarkan cahaya yang mengandung suatu
tekad. Penulisan surat itu dilakukan dengan lancar sekali tidak seperti Nyonya Samuel
Harfield. Empat halaman dipenuhinya tanpa berhenti atau bersusah payah, dan
setelah membacanya kembali dilihatnya bahwa dia tak perlu mengubah barang
sepatah kata pun. Katherine menerima surat itu pada pagi hari kedatangannya di London. Tak seorang
pun tahu apakah terbaca olehnya apa yang tersirat dalam apa yang tersurat.
Dimasukkannya surat itu ke dalam tasnya lalu keluar untuk memenuhi janji
pertemuannya dengan para penasihat hukum Nyonya Harfield.
Perusahaan itu sudah lama didirikan, bertempat di Lincoln's Inn Fields. Dua
puluh menit kemudian, Katherine diantar masuk ke ruang salah seorang pemimpin
yang sudah tua - seorang pria tua yang baik, bermata biru tajam, dan bersikap
kebapakan. Selama dua puluh menit mereka membahas surat wasiat Nyonya Harfield dan beberapa
soal lain, lalu Katherine memberikan surat Nyonya Samuel pada pengacara itu.
"Saya rasa sebaiknya saya perlihatkan surat ini pada Anda," katanya, "meskipun
sebenarnya tak masuk akal."
Pengacara itu membacanya, lalu tersenyum kecil.
"Sungguh, suatu perbuatan yang kasar, Nona Grey. Saya rasa saya tak perlu lagi
memberi tahu Anda, bahwa orang-orang ini sama sekali tak punya hak sedikit pun
atas peninggalan itu. Dan bila mereka berusaha untuk menuntut surat wasiat itu,
tak satu pengadilan pun mau menerima pengaduan itu."
"Saya pun berpikir begitu."
"Sifat manusia memang tidak selamanya baik. Bila saya berada di tempat Nyonya
Samuel Harfield, saya akan lebih cenderung mengharapkan kemurahan hati Anda."
"Itulah salah satu hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Saya ingin agar
suatu jumlah tertentu diberikan pada orang-orang itu."
"Tak ada keharusan untuk itu."
"Saya tahu." "Dan mereka tidak akan menerimanya dengan pengertian yang Anda maksud. Mereka
mungkin akan menganggapnya sebagai suatu usaha untuk menyuap mereka, meskipun
mereka tidak akan menolaknya."
"Saya mengerti, dan kita tak bisa berbuat apa-apa."
"Saya ingin menasihati Anda, Nona Grey, sebaiknya Anda buang gagasan itu dari
pikiran Anda." Katherine menggeleng. "Saya tahu, Anda pasti benar, namun bagaimanapun saya
tetap ingin hal itu dilaksanakan."
"Mereka akan menerkam uang itu dan sesudah itu akan makin mencaci-maki Anda."
"Yah," kata Katherine, "biarkan saja mereka kalau mereka suka. Kita semua punya
cara masing-masing untuk menghibur diri. Bagaimanapun juga, hanya merekalah
sanak Nyonya Harfield, dan meskipun mereka membencinya karena miskinnya dan tak
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah memperhatikannya waktu dia masih hidup, saya rasa tidaklah adil bila
mereka disisihkan tanpa mendapatkan apa-apa."
Katherine tetap berpegang pada pendiriannya, meski pengacara itu masih enggan.
Kemudian dia keluar ke jalan di London dengan perasaan senang, karena dia akan
bisa membelanjakan uang dengan bebas dan membuat rencana apa saja yang
disukainya untuk masa depannya. Yang pertama-tama dilakukannya adalah
mengunjungi gedung tempat seorang penjahit yang terkenal.
Seorang wanita Prancis kecil yang sudah berumur, yang serupa dengan seorang
bangsawan wanita yang sedang bermimpi, menyambutnya, dan Katherine berbicara
seperti orang yang tak tahu apa-apa.
"Kalau boleh saya ingin mempercayakan diri saya pada Anda. Selama hidup saya,
saya miskin sekali dan tak tahu apa-apa tentang pakaian. Tetapi sekarang saya
mendapat uang dan ingin benar-benar berpakaian bagus."
Wanita Prancis itu merasa tertarik. Dia mempunyai rasa seni, dan dia merasa pagi
itu rasa seninya telah dinodai gara-gara kedatangan seorang ratu daging dari
Argentina, yang berkeras akan membeli baju yang modelnya sama sekali tak cocok
dengan kecantikannya yang menyolok. Diawasinya Katherine dengan mata yang tajam
dan berpengalaman. "Ya - ya, saya senang sekali. Nona berpotongan tubuh bagus
sekali. Untuk Anda potongan yang sederhanalah yang terbaik. Nona juga
berpenampilan khas Inggris. Ada orang yang marah kalau saya berkata begitu, tapi
Nona tidak. Model gadis Inggris, adalah potongan yang paling bagus."
Sikapnya yang menyerupai bangsawan wanita yang sedang bermimpi, tiba-tiba
lenyap. Dia meneriakkan perintah-perintah pada beberapa orang peragawati. "Ayo,
Clothilde. Virginie - cepat, Anak-anak - kenakan 'stelan yang berwarna abu-abu
cerah' dan 'gaun makan malam musim gugur'. Marcelle sayang, pakai stelan dari
bahan crepe de chine yang berbunga-bunga mimosa."
Pagi itu cerah. Marcelle, Clothilde, dan Virginie yang sudah merasa bosan dan
angkuh, melewati mereka sambil berputar-putar perlahan-lahan, meliuk-liuk dan
menggeliat sebagaimana biasanya peragawati. Wanita Prancis itu berdiri di dekat
Katherine dan menuliskan pilihan Katherine dalam sebuah buku catatan kecil.
"Pilihan yang bagus sekali, Nona. Nona memang punya selera yang baik. Sungguh,
Nona memang paling pantas mengenakan stelan-stelan itu bila akan bepergian ke
Riviera dalam musim salju ini."
"Boleh saya melihat gaun malam itu sekali lagi," kata Katherine - "yang berwarna
merah muda bercampur hijau kebiru-biruan."
Virginie muncul lagi, sambil berputar perlahan-lahan.
"Itulah yang paling cantik," kata Katherine, ketika dia memperhatikan baju lebar
yang teramat berwarna kehijauan, abu-abu, dan biru. "Apa namanya?"
"Desah di musim gugur. Ya, ya, baju itu tepat benar bagi Nona."
Kata-kata itu terkenang kembali dengan menimbulkan bayangan rasa sedih, setelah
Katherine meninggalkan gedung tukang jahit itu.
"'Desah di musim gugur; baju itu tepat benar untuk Nona.'" Musim gugur, ya,
umurnya memang sudah berada di musim gugur sekarang. Dia tak pernah mengenal
musim semi atau musim panas dan tidak akan pernah mengenalnya lagi sekarang.
Sesuatu yang telah hilang dari hidupnya dan tidak akan pernah kembali padanya.
Tahun-tahun pelayanannya di St. Mary Mead - dan sementara itu hidup pun berlalu.
"Goblok sekali aku," kata Katherine sendiri. "Tolol. Apa yang kuingini" Ah,
sebulan yang lalu aku lebih berbahagia daripada sekarang."
Dikeluarkan dari tasnya surat yang tadi pagi diterimanya dari Lady Tamplin.
Katherine tidak bodoh. Dia mengerti maksud sampingan dari surat itu. Juga alasan
mengapa Lady Tamplin tiba-tiba menunjukkan kasih sayangnya terhadap saudara
sepupu yang telah lama dilupakan, tak luput dari pengertiannya. Hanya demi
keuntunganlah Lady Tamplin begitu besar keinginannya untuk bertemu dengan
saudara sepupu tersayang, bukan untuk menghiburnya. Tetapi, yah, mengapa tidak"
Kedua pihak akan mengalami keuntungan.
"Aku akan pergi," kata Katherine.
Pada saat itu dia sedang berjalan di Piccadilly, lalu membelok masuk ke kantor
Cook untuk langsung melaksanakan urusan itu. Dia harus menunggu beberapa menit.
Pria yang sedang dilayani petugas akan pergi ke Riviera juga. Semua orang akan
bepergian, pikirnya. Yah, untuk pertama kali dalam hidupnya dia juga akan
melakukan apa yang dilakukan oleh 'semua orang'.
Pria yang berdiri di depannya tiba-tiba keluar dari antrian, dan Katherine maju
ke tempatnya. Dia mengatur pesanannya pada petugas itu, tetapi pada saat yang
sama separuh dari pikirannya sibuk memikirkan sesuatu. Wajah pria itu - samar-
samar rasanya dikenalnya. Di mana dia melihatnya sebelum ini" Tiba-tiba dia
ingat. Dia melihatnya di Savoy, di luar kamarnya tadi pagi. Dia tabrakan dengan
pria itu di lorong hotel. Suatu kebetulan yang aneh bahwa sehari dua kali dia
bertemu dengan orang yang sama. Dia menoleh ke belakang, didorong oleh suatu
rasa kuatir yang tak diketahuinya. Pria itu berdiri di ambang pintu dan menoleh
padanya. Berdiri bulu roma Katherine - dia merasa seolah-olah dihantui oleh
suatu tragedi, nasib buruk yang akan terjadi....
Lalu kesan itu dilepaskannya dari dirinya dengan akal sehat yang biasa
dimilikinya dan menujukan perhatian sepenuhnya pada kata-kata petugas.
Bab 9 SUATU TAWARAN YANG DITOLAK
Jarang sekali Derek Kettering membiarkan rasa marah menguasai dirinya. Sifatnya
yang paling menonjol adalah selalu santai, dan bukan hanya satu kali sifatnya
itu telah menolongnya mengatasi suatu kesulitan. Bahkan sekarang pun, setelah
dia meninggalkan flat Mirelle, dia sudah tenang kembali. Dia memang butuh
ketenangan. Kesulitan yang sedang dialaminya sekarang ini lebih besar daripada
sebelumnya, dan faktor-faktor yang tak terduga telah timbul, dan saat itu dia
tak tahu bagaimana harus menanganinya.
Dia berjalan terus sambil tenggelam dalam pikirannya. Alisnya bertaut, dan sama
sekali tak tampak gayanya yang santai dan perlente, yang begitu sesuai dengan
pribadinya. Beberapa kemungkinan terbayang di dalam pikirannya. Dapat dikatakan
bahwa Derek Kettering tidaklah sebodoh yang tampak pada penampilannya. Dia
melihat satu jalan ke luar yang masih dapat ditempuhnya - khususnya satu. Bila
jalan itu tidak segera ditempuhnya, itu hanya untuk sementara saja. Penyakit
yang hebat memerlukan obat yang hebat pula. Dugaannya mengenai ayah mertuanya
tepat. Suatu peperangan antara Derek Kettering dan Rufus Van Aldin hanya punya
satu penyelesaian. Derek mengutuk uang dan kekuasaan uang habis-habisan. Dia
berjalan menuju St. Jame's Street, di seberang Piccadilly, lalu berjalan di
sepanjang jalan itu ke arah Piccadilly Circus. Waktu dia melewati kantor Messr.
Thomas Cook & Sons, langkahnya diperlambatnya. Tetapi dia berjalan terus,
sambil membalik-balik persoalan itu dalam pikirannya. Akhirnya dia mengangguk
singkat, dan membelok mendadak - demikian mendadaknya hingga dia bertabrakan
dengan beberapa orang pejalan kaki yang sedang berjalan di belakangnya, lalu
melalui jalan yang tadi telah ditempuhnya. Kali ini kantor Cook tidak
dilewatinya, tapi dimasukinya. Kantor itu boleh dikatakan kosong, dan dia
langsung dilayani. "Saya akan pergi ke Nice minggu depan. Dapatkah Anda memberikan penjelasan?"
"Tanggal berapa, Tuan?"
"Tanggal empat belas. Kereta api apa yang terbaik?"
"Yah, kereta api yang terbaik tentulah yang bernama Kereta Api Biru. Dengan
demikian Anda akan terhindar dari urusan bea cukai yang memusingkan di Calais."
Derek mengangguk. Dia sudah tahu itu.
"Tanggal empat belas," gumam petugas itu, "agak cepat juga. Kereta Api Biru
hampir selalu terjual habis karcisnya."
"Tolong carikan kalau-kalau masih ada kamar yang bertempat tidur," kata Derek.
"Bila tak ada - " Kalimat itu dibiarkannya tak selesai, dan dia tersenyum penuh
arti. Petugas itu menghilang beberapa menit, kemudian kembali lagi. "Beres, Tuan,
masih ada tiga kamar kosong. Anda akan saya daftarkan untuk salah satu kamar
itu. Nama Anda?" "Pavett," kata Derek. Diberikannya alamat tempat tinggalnya di Jermyn Street.
Petugas itu mengangguk, setelah selesai menuliskannya, dia mengucapkan selamat
pagi dengan sopan pada Derek, lalu menunjukkan perhatiannya pada nasabah
berikutnya. "Saya akan pergi ke Nice - pada tanggal empat belas. Bukankah ada kereta api
yang bernama Kereta Api Biru?"
Derek menoleh dengan tajam.
Kebetulan - suatu kebetulan yang aneh. Dia teringat kata-katanya sendiri yang
aneh pada Mirelle tadi. Gambaran seorang wanita bermata abu-abu. Kurasa aku
tidak akan bertemu dengannya lagi. Tetapi ternyata dia bertemu lagi dengan
wanita itu - dan bukan itu saja, dia akan pergi ke Riviera pada hari yang sama
pula dengan kepergiannya sendiri.
Sesaat lamanya dia merasa bergidik - kadang-kadang dia percaya akan tahyul. Dia
tadi berkata, dengan setengah bergurau, bahwa wanita itu akan membawa nasib
buruk bagi dirinya. Seandainya - yah, seandainya itu benar. Dari ambang pintu,
Derek menoleh lagi pada wanita itu, dia sedang bercakap-cakap dengan petugas.
Sekali ini ingatannya tidak keliru. Seorang wanita utama - dalam arti yang
sebenar-benarnya. Tidak begitu muda, tidak pula terlalu cantik. Tetapi ada
sesuatu - mata abu-abu yang mungkin telah melihat terlalu banyak. Waktu dia
keluar dari gedung itu dia tahu bahwa dia merasa takut pada wanita itu. Dia
punya firasat akan adanya bencana.
Dia kembali ke tempat tinggalnya di Jermyn Street, lalu memanggil pelayannya,
"Uangkan cek ini, Pavett, lalu pergi ke kantor Cook di Piccadilly. Mereka di
sana sudah menyiapkan karcis yang dicatatkan atas namamu. Bayarlah, lalu bawa
kemari." "Baik, Tuan." Pavett pergi. Derek pergi ke sebuah meja kecil, lalu mengambil segenggam surat. Surat-surat
itu semua senada bunyinya, dan amat dikenalnya. Surat-surat tagihan, dalam
jumlah besar dan kecil, semuanya mendesak pembayaran. Nada tagihannya masih
sopan. Derek tahu bahwa semua nada sopan itu akan berubah, yaitu segera setelah
- suatu berita tersiar. Dia menghempaskan dirinya dengan jengkel ke sebuah kursi besar berlapis kulit.
Dia merasa sedang berada dalam - sebuah lubang terkutuk. Ya, sebuah lubang
terkutuk! Sedang jalan ke luar dari lubang terkutuk itu tidak memberi harapan.
Pavett muncul kembali dengan mendehem halus.
"Ada seorang pria yang ingin bertemu Anda - Tuan - Mayor Knighton."
"Knighton?" Derek menegakkan duduknya, mengerutkan alisnya, dan tiba-tiba jadi waspada.
"Knighton - " katanya dengan nada halus, seolah-olah pada dirinya sendiri, "ada
apa pula ini?" "Apakah - eh - akan saya antar dia kemari, Tuan?"
Majikannya mengangguk. Waktu Knighton masuk ke kamar itu, dia menemukan seorang
tuan rumah yang menarik dan ramah menunggunya.
"Baik benar Anda mau mengunjungi saya," kata Derek.
Knighton tampak gugup. Mata Derek yang tajam segera melihat kegugupan itu. Sekretaris itu jelas tidak
menyukai berita yang harus disampaikannya. Orang itu menjawab percakapan Derek
yang mengalir terus, seperti tanpa disadarinya saja. Dia menolak waktu ditawari
minuman, dan sikapnya jadi lebih kaku dari semula. Derek berpura-pura baru
melihat hal itu. "Yah," katanya dengan ceria, "apa yang dikehendaki ayah mertuaku yang terhormat
dari diriku" Saya percaya Anda tentu datang untuk urusan beliau?"
Knighton tidak membalas senyum itu.
"Memang benar," katanya berhati-hati. "Sebenarnya - saya ingin Tuan Van Aldin
menyuruh orang lain saja."
Derek mengangkat alisnya, berpura-pura heran.
"Apakah begitu buruknya berita yang Anda bawa itu" Ketahuilah, Knighton, saya
tidak terlalu mudah tersinggung."
"Memang tidak," kata Knighton; "tapi ini - "
Dia berhenti. Derek memandangnya dengan tajam.
"Ayo, katakanlah," katanya dengan ramah. "Saya tahu, berita-berita yang disuruh
sampaikan oleh ayah mertuaku memang tidak selalu menyenangkan."
Knighton meneguk air liurnya. Dia berbicara dengan nada resmi yang dipaksakan,
untuk membebaskan dirinya dari rasa tak enak.
"Saya diperintah Tuan Van Aldin untuk mengajukan suatu tawaran."
"Suatu tawaran?" Derek memperlihatkan rasa terkejutnya. Kata-kata pembukaan
Knighton sama sekali tidak diharapkannya. Knighton ditawarinya rokok. Untuknya
sendiri dinyatakannya sebatang, lalu bersandar di kursinya sambil menggumam
dengan suara agak mengejek,
"Suatu tawaran" Agaknya menarik."
"Bolehkah saya teruskan?"
"Silakan. Maafkan keheranan saya, tapi agaknya ayah mertuaku yang baik itu sudah
mau mengurangi tuntutannya daripada waktu kami bercakap-cakap tadi pagi. Padahal
kita biasanya tak bisa mengharapkan orang kuat, raja-raja uang itu, mengurangi
tuntutannya. Itu berarti - kurasa itu berarti bahwa dia merasa kedudukannya
lebih lemah daripada yang disangkanya semula."
Dengan sopan Knighton mendengarkan saja kata-kata yang diucapkan dengan
seenaknya dan mengejek itu, dan wajahnya yang agak beku itu sama sekali tidak
menunjukkan tanda apa-apa. Ditunggunya sampai Derek selesai, lalu dia berkata
dengan tenang, "Akan saya sampaikan usul itu dengan sesingkat mungkin."
"Silakan." Knighton tidak melihat pada lawan bicaranya. Suaranya singkat dan tegas.
"Begini soalnya. Seperti Anda ketahui, Nyonya Kettering akan mengajukan
permohonan perceraian. Bila perkara itu diadili tanpa ada pembelaan diri dari
pihak Anda, maka Anda akan menerima seratus ribu pada hari surat perceraian itu
beres." Derek yang sedang menyalakan rokoknya, tiba-tiba terhenti. "Seratus ribu!"
katanya tajam. "Dolar?"
"Pound." Selama sekurang-kurangnya dua menit keadaan sunyi-sepi. Kettering mengerutkan
alisnya, berpikir. Seratus ribu pound. Itu akan berarti Mirelle dan kelangsungan
cara hidupnya yang menyenangkan dan santai. Itu berarti pula bahwa Van Aldin
mengetahui sesuatu. Van Aldin tidak akan mau membayar percuma. Dia bangkit lalu
berdiri dekat cerobong asap perapian.
"Dan bagaimana kalau tawarannya yang menarik itu saya tolak?" tanyanya dengan
sopan-santun yang dingin dan mengandung ejekan.
Knighton mengangkat kedua belah tangannya seolah menolak.
"Saya tekankan, Tuan Kettering," katanya bersungguh-sungguh, "bahwa saya kemari
membawa pesan ini adalah dengan rasa enggan yang sebesar-besarnya."
"Tak apa-apa," kata Kettering. "Jangan susah, bukan salah Anda. Nah - saya tadi
bertanya, tolong jawab."
Knighton juga bangkit. Dia berbicara lebih enggan dari semula.
"Bila Anda menolak usul itu," katanya, "Tuan Van Aldin menyuruh saya mengatakan
pada Anda dengan kata-kata yang jelas bahwa dia berniat untuk menghancurkan
hidup Anda. Hanya itu."
Kettering mengangkat alisnya, tetapi dia mempertahankan sikap santainya yang
lucu. "Wah, wah!" katanya. "Kurasa dia memang bisa berbuat demikian. Saya pasti tidak
akan mampu melawan orang Amerika yang punya uang berjuta-juta itu. Seratus ribu!
Bila akan menyuap orang harus melakukannya dengan sempurna. Seandainya saya
suruh Anda mengatakan bahwa saya mau melakukan apa yang dikehendakinya dengan
bayaran dua ratus ribu, bagaimana?"
"Saya akan menyampaikan pesan Anda itu pada Tuan Van Aldin," kata Knighton tanpa
emosi. "Itukah jawab Anda?"
"Bukan," kata Derek. "Lucu memang, tapi itu bukan jawaban saya. Anda bisa
kembali pada mertuaku itu dan katakan padanya supaya dia pergi ke neraka bersama
uang suapnya itu. Jelas?"
"Jelas sekali," kata Knighton. Dia bangkit, ragu-ragu sebentar, lalu mukanya
memerah. "Saya - izinkanlah saya berkata Tuan Kettering, bahwa saya senang Anda
menjawab demikian." Derek tidak menyahut. Setelah tamunya meninggalkan kamar itu dia termenung
selama satu-dua menit. Kemudian dia tersenyum aneh.
"Beres," katanya dengan suara halus.
Bab 10 DI KERETA API BIRU "Ayah!" Nyonya Kettering amat terkejut. Pagi itu dia kurang dapat mengendalikan
syarafnya. Dengan berpakaian sempurna - sebuah mantel panjang dari bulu binatang
dan sebuah topi kecil model Cina yang dipernis merah - dia sedang berjalan-jalan
di peron di Stasiun Victoria yang ramai, sambil berpikir. Dan kemunculan ayahnya
yang begitu mendadak yang disertai salam pertemuan yang mesra, tidak begitu
diharapkannya. "Aduh, Ruth, mengapa kau begitu terperanjat!"
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tak saya sangka akan bertemu Ayah. Ayah sudah mengucapkan selamat jalan semalam
dan Ayah berkata bahwa pagi ini ada pertemuan."
"Memang benar," kata Van Aldin, "tapi kau lebih penting daripada pertemuan yang
mana pun juga. Aku datang untuk melihatmu terakhir kalinya, karena aku tidak
akan bertemu denganmu beberapa lamanya."
"Ayah baik sekali. Aku akan senang bila Ayah pergi juga."
"Bagaimana kalau aku memang ikut?"
Pertanyaan itu hanya suatu senda-gurau. Oleh karenanya dia heran melihat pipi
Ruth menjadi merah menyala. Sesaat dia merasa melihat kekecewaan membayang di
mata Ruth. Ruth tertawa tanpa yakin dan dengan gugup.
"Kusangka Ayah bersungguh-sungguh tadi," katanya.
"Apakah kau akan senang?"
"Tentu." Dia berbicara dengan tekanan yang berlebihan.
"Yah," kata Van Aldin, "baguslah."
"Aku pergi tak akan lama, Ayah." Ruth melanjutkan, "bukankah Ayah akan ke sana
juga bulan depan?" "Akh!" kata Van Aldin tanpa emosi. "Kadang-kadang ingin aku pergi ke tempat
salah seorang dokter-dokter besar di Harley Street itu dan menyuruhnya
mengatakan padaku bahwa aku memerlukan sinar matahari dan perubahan udara
sekarang juga." "Jangan begitu malas ah," seru Ruth. "Bulan depan akan lebih menyenangkan di
sana daripada bulan ini. Macam-macam hal yang tak dapat Ayah tinggalkan sekarang
ini." "Yah kurasa memang begitu," kata Van Aldin dengan mendesah. "Sebaiknya kau naik
ke keretamu, Ruth. Mana tempat dudukmu?"
Ruth Kettering mengangkat mukanya melihat ke kereta api. Di ambang pintu salah
satu kereta Pullman, berdiri seorang wanita semampai yang berpakaian hitam -
pelayan Ruth Kettering. Dia menyingkir waktu majikannya berjalan ke arahnya.
"Peti pakaian Anda sudah saya letakkan di bawah tempat duduk Anda, Nyonya,
kalau-kalau Nyonya memerlukannya. Maukah Nyonya saya ambilkan selimut kaki, atau
akan Anda minta sendiri?"
"Tidak, tidak, aku tidak akan memerlukannya. Sebaiknya kau pergi mencari tempat
dudukmu sendiri, Mason."
"Baik, Nyonya."
Pelayan itu pergi. Van Aldin masuk ke kereta Pullman bersama putrinya. Ruth menemukan tempat
duduknya, dan Van Aldin meletakkan beberapa lembar surat kabar dan majalah di
atas meja di hadapannya. Tempat duduk di depannya sudah ditempati seseorang, dan
orang Amerika itu memandang sepintas pada orang itu. Kesan sepintas yang
diperolehnya adalah, mata abu-abu yang menarik dan pakaian bepergian yang rapi.
Dia terpaksa hanya mempercakapkan hal-hal tetek-bengek saja dengan Ruth,
percakapan aneh yang biasa dilakukan orang bila sedang mengantar seseorang
dengan kereta api. Kemudian setelah peluit berbunyi dia melihat ke arlojinya.
"Sebaiknya aku turun saja. Selamat jalan, Sayangku. Jangan kuatir, semuanya akan
kuurus." "Ah, Ayah!" Van Aldin berbalik dengan tiba-tiba. Dia mendengar sesuatu dalam suara Ruth -
sesuatu yang aneh sekali, tidak seperti biasanya - yang membuatnya heran.
Hampir-hampir seperti jeritan orang yang dalam keputusasaan. Tanpa disadarinya,
Ruth bergerak ke arah ayahnya, tetapi sesaat kemudian dia sudah dapat menguasai
dirinya sendiri lagi. "Sampai bulan depan," katanya, dengan ceria.
Dua menit kemudian kereta api itu berangkat.
Ruth duduk diam, sambil menggigit-gigit bibir bawahnya dan berusaha keras untuk
menahan air matanya yang tak biasanya mengalir. Dia tiba-tiba merasa kesepian
sekali. Rasanya ada keinginan nekat untuk melompat ke luar dari kereta api dan
kembali sebelum terlambat. Dia yang biasanya begitu tenang, begitu percaya pada
diri sendiri, untuk pertama kali selama hidupnya merasa seperti daun yang ditiup
angin. Bila ayahnya tahu - apakah katanya"
Gila-gilaan! Ya, pasti gila-gilaan! Untuk pertama kali dalam hidupnya dia
terbawa oleh emosinya, terbawa sampai-sampai akan melakukan suatu hal yang
bahkan dinilainya sendiri sangat bodoh dan sembrono. Tak percuma dia putri Van
Aldin, hingga dia menyadari kebodohannya sendiri, dan dia cukup berakal sehat
untuk mengutuk perbuatannya sendiri. Tapi dia juga putri ayahnya dalam
pengertian lain pula. Dia memiliki kekerasan hati bagai baja, yang ingin
mendapatkan semua yang diingininya, dan bila dia sudah mengambil suatu keputusan
dia tidak akan mundur. Dia sudah punya kemauan keras sejak dari buaiannya, dan
keadaan-keadaan dalam hidupnya telah mengembangkan kemauan yang kuat itu. Kini
kemauannya yang kuat itu mendorongnya tanpa ampun.
Yah, semuanya sudah terlanjur. Dia harus melaksanakannya terus.
Dia mengangkat mukanya, dan bertemu mata dengan wanita yang duduk di hadapannya.
Dia tiba-tiba berkhayal bahwa wanita itu telah membaca pikirannya. Di mata yang
berwarna abu-abu itu dia melihat pengertian dan juga - belas kasihan.
Itu hanya merupakan kesan sepintas. Wajah kedua wanita itu menjadi kaku, menjadi
tanpa emosi, hal mana menunjukkan bahwa keduanya berpendidikan baik. Nyonya
Kettering mengambil majalah, dan Katherine Grey melihat ke luar jendela,
memperhatikan serangkaian pemandangan jalan-jalan dan rumah-rumah pinggiran kota
yang menyedihkan. Ruth merasa makin lama makin sulit untuk memusatkan pikirannya pada halaman-
halaman bercetak yang sedang dihadapinya. Mau tak mau, pikirannya digerayangi
beribu-ribu kecemasan. Betapa bodohnya dia! Benar-benar bodoh! Sebagai mana
layaknya semua orang yang berkepala dingin dan merasa puas diri, maka bila dia
kehilangan penguasaan dirinya, habislah semuanya. Sekarang sudah terlambat....
Benarkah sudah terlambat" Alangkah senangnya bila ada seorang kawan bicara,
seseorang yang bisa memberinya nasihat. Selama ini tak pernah dia punya
keinginan seperti itu - dulu dia mencemoohkan gagasan untuk meminta penilaian
orang lain kecuali dirinya sendiri, tetapi sekarang - ada apa dengan dia" Panik.
Ya, itulah kata yang paling tepat - panik. Dia, Ruth Kettering benar-benar
terserang panik. Diam-diam dia mencuri pandang ke arah orang yang duduk di hadapannya itu. Kalau
saja dia mengenal seseorang seperti orang itu - seorang makhluk yang baik,
dingin, dan menaruh perhatian. Orang yang begitulah yang bisa diajak bicara.
Tetapi kita tentu tak bisa membuka rahasia diri pada orang yang tak dikenal.
Ruth lalu tersenyum kecil memikirkan hal itu. Diambilnya lagi majalahnya tadi.
Dia benar-benar harus menguasai dirinya. Bagaimanapun juga semua rencananya
sudah dipikirkannya baik-baik. Dia telah mengambil keputusan atas kehendaknya
sendiri. Kebahagiaan apa yang telah didapatnya dalam hidupnya selama ini"
"Mengapa aku tak boleh mengecap kebahagiaan" Tak seorang pun akan pernah tahu,"
pikirnya sendiri dengan gelisah.
Rasanya sebentar saja mereka sudah tiba di Dover, dari mana mereka harus
menyeberang untuk pergi ke Prancis. Ruth sudah biasa berlayar. Tetapi dia tak
suka hawa dingin, dan merasa senang ketika bisa masuk ke dalam perlindungan
kamar di kapal yang telah dipesannya lewat telegram. Ruth agak percaya tahyul,
meskipun dia tak mau mengakuinya. Dia termasuk kelompok orang yang tertarik akan
kejadian yang merupakan kebetulan. Setelah mendarat di Calais dan mengambil
tempat di kamar rangkap Kereta Api Biru bersama pelayannya, dia lalu pergi ke
kereta restoran. Dia tersentak keheranan mendapatkan dirinya duduk di sebuah
meja kecil, berhadapan dengan wanita yang tadi duduk berhadapan pula dengannya
di dalam Pullman. Kedua wanita itu jadi tersenyum kecil.
"Benar-benar suatu kebetulan," kata Nyonya Kettering.
"Ya," kata Katherine, "aneh sekali semua kejadian ini."
Seorang pelayan yang sedang bertugas, langsung mendatangi mereka dengan
Pedang Penakluk Iblis 8 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 3