Pencarian

Misteri Kereta Api Biru 3

Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie Bagian 3


yang tak dikenal akan datang kemari. Mereka akan berusaha mengorek berita dari
kau dan Marie. Mereka mungkin akan menanyakan beberapa pertanyaan mengenai
diriku." "Ya, Monsieur Comte."
"Atau sudahkah hal itu terjadi?"
"Belum, Monsieur Comte."
"Tak adakah orang-orang yang tak dikenal di sekitar tempat ini. Yakinkah kau?"
"Tak ada seorang pun, Monsieur Comte."
"Baiklah," kata Comte itu datar, "tapi mereka akan datang - aku yakin. Mereka
akan bertanya-tanya."
Hipolyte memandang majikannya dengan pandangan yang membayangkan kecerdasan.
Comte berbicara lambat tanpa melihat pada Hipolyte.
"Kau tahu bahwa aku tiba di sini Selasa pagi yang lalu. Sekiranya polisi atau
orang-orang lain yang bertanya, jangan lupakan itu. Aku tiba pada hari Selasa,
tanggal empat belas - bukan pada hari Rabu tanggal lima belas. Mengerti?"
"Mengerti, Monsieur Comte."
"Dalam perkara yang melibatkan seorang wanita, kita perlu pandai memegang
rahasia. Aku yakin, Hipolyte, bahwa kau pandai menyimpan rahasia."
"Saya bisa menyimpan rahasia, Monsieur."
"Bagaimana dengan Marie?"
"Marie juga. Saya yang akan menjawab untuknya."
"Baiklah kalau begitu," gumam Comte itu.
Setelah Hipolyte mengundurkan diri, Comte itu menghirup kopi hitamnya sambil
termangu. Sekali-sekali dia mengerutkan alisnya, sekali dia menggeleng sedikit,
dua kali dia mengangguk. Di tengah-tengah renungannya itu Hipolyte datang sekali
lagi. "Seorang nyonya, Monsieur."
"Seorang wanita?"
Comte itu merasa heran. Bukan karena suatu kunjungan seorang wanita merupakan
hal yang luar biasa di Vila Marina, tapi pada saat yang istimewa ini, Comte itu
tak bisa memikirkan siapa gerangan wanita itu.
"Saya rasa, Anda tak kenal pada nyonya itu, Monsieur," kata pelayan itu
membantunya. Comte itu jadi makin kebingungan.
"Antar dia kemari, Hipolyte," perintahnya.
Sesaat kemudian sesosok tubuh yang indah sekali dengan berbaju hitam bercampur
jingga, melangkah ke teras, diiringi oleh bau wangi-wangian tajam dari bunga-
bunga yang luar biasa. "Monsieur Comte de la Roche?"
"Siap membantu Anda, Nona," kata Comte itu, sambil membungkuk.
"Nama saya Mirelle. Anda mungkin pernah mendengar tentang saya."
"Oh, tentu Nona, siapa orangnya yang tak terpesona oleh tarian Nona Mirelle"
Luar biasa!" Penari itu menerima baik pujian itu dengan senyum singkat yang tak disadarinya.
"Kedatangan saya kemari ini tak pada tempatnya," dia memulai.
"Silakan duduk, silakan, Nona," seru Comte, sambil menyodorkan sebuah kursi.
Di balik sikap jantannya yang halus itu, dia meneliti wanita itu baik-baik.
Sedikit sekali hal-hal yang tidak diketahui Comte mengenai wanita. Memang benar,
pengalamannya tidak banyak berhubungan dengan wanita-wanita yang segolongan
dengan Mirelle, yaitu golongan yang suka menggaruk kekayaan. Jadi dia dan penari
itu setali tiga uang saja dalam hal itu. Comte itu tahu bahwa keahliannya
menggaruk tidak akan bisa berlaku atas diri wanita seperti Mirelle. Apalagi
wanita itu adalah orang Paris dalam arti sebenarnya pula. Namun demikian ada
satu hal yang bisa dilihat Comte itu dengan jelas waktu dia melihat wanita itu.
Dia segera tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sedang marah
sekali, dan dia tahu betul bahwa seorang wanita yang sedang marah, selalu
berkata-kata tanpa waspada, dan sering merupakan suatu sumber yang menguntungkan
bagi seorang pria yang berpikir sehat dan tetap tenang.
"Anda baik sekali, Nona, memberikan kehormatan pada pondok saya yang buruk ini."
"Ada beberapa orang yang merupakan teman Anda dan teman saya pula di Paris,"
kata Mirelle. "Saya mendengar tentang Anda dari mereka, tapi hari ini saya
datang menjumpai Anda dengan alasan lain. Saya mendengar tentang Anda sejak saya
datang di Nice - dengan cara yang lain, itu perlu Anda ketahui."
"Oh?" kata Comte itu datar.
"Saya akan berterus terang," sambung penari itu, "tapi yakinlah bahwa hal itu
adalah demi kepentingan Anda. Orang-orang di Nice, Monsieur Comte, mengatakan
bahwa Andalah pembunuh wanita Inggris itu, Nyonya Kettering."
"Saya! Pembunuh Nyonya Kettering" Bah! Sungguh tak masuk akal!"
Comte berbicara dengan lemah tidak berapi-api, karena dia tahu bahwa dengan
demikian dia akan lebih memberinya semangat.
"Sungguh," katanya bertahan, "seperti yang saya katakan."
"Orang memang senang ngoceh." gumam Comte itu tak acuh. "Aku terlalu tinggi
untuk mengacuhkan tuduhan liar seperti itu."
"Anda tak mengerti." Mirelle membungkuk - matanya yang hidup, berapi-api. "Itu
bukan ocehan iseng orang sembarangan. Melainkan polisi."
"Polisi - ya?"
Comte lalu duduk tegak, dia jadi waspada.
Mirelle mengangguk kuat-kuat beberapa kali.
"Ya, ya. Anda mengerti kata-kata saya - saya punya teman di mana-mana. Kepala
Polisi sendiri - " Kalimat itu tak diselesaikannya, dan dia mengangkat bahunya
dengan gaya. "Siapa yang akan tahan menyimpan rahasia terhadap seorang wanita cantik?" gumam
Comte dengan sopan. "Polisi percaya bahwa Anda yang membunuh Nyonya Kettering. Tapi mereka keliru."
"Tentu mereka keliru," Comte itu membenarkan seenaknya.
"Anda berkata begitu, tapi Anda tak tahu yang sebenarnya. Saya tahu."
Comte memandangnya dengan rasa ingin tahu.
"Anda tahu siapa yang membunuh Nyonya Kettering. Itukah yang ingin Anda katakan,
Nona?" Mirelle mengangguk dengan bersemangat.
"Ya." "Siapa dia?" tanya Comte dengan tajam.
"Suaminya." Dia membungkuk lebih jauh ke arah Comte, dan berbicara dengan suara
rendah yang bergetar karena marah dan kacau. "Suaminyalah yang membunuhnya."
Comte bersandar di kursinya. Wajahnya seolah-olah ditutupi kedok.
"Boleh saya bertanya, Nona - bagaimana Anda sampai tahu?"
"Bagaimana saya tahu?" Mirelle melompat berdiri, sambil tertawa. "Dia telah
menggembar-gemborkannya lebih dulu. Hidupnya hancur, dia bangkrut, kehilangan
kehormatan. Hanya kematian istrinya yang mampu menyelamatkannya. Begitu katanya
pada saya. Dia bepergian dengan kereta api yang sama - tapi istrinya tak boleh
tahu. Mengapa begitu, coba Anda jawab" Supaya dia bisa menyelinap dan
menyerangnya malam hari - Ah!" Dia mengatupkan matanya. "Saya bisa melihat
bagaimana kejadiannya."
Comte mendehem. "Mungkin - mungkin," gumamnya. "Tapi, Nona, dalam hal itu dia tentu tidak akan
mencuri perhiasan-perhiasannya, bukan?"
"Perhiasan-perhiasan!" desah Mirelle. "Perhiasan-perhiasan. Oh! Batu-batu delima
itu...." Matanya jadi berkaca-kaca, dia merenung jauh. Comte memandangnya dengan rasa
ingin tahu, dan berpikir untuk keseratus kalinya betapa besarnya pengaruh batu-
batu berharga bagi kaum wanita. Kemudian dia mengingatkannya akan hal-hal yang
praktis. "Apa yang Anda ingini supaya saya lakukan, Nona?"
Mirelle lalu menjadi waspada dan praktis lagi.
"Sederhana sekali. Anda harus mendatangi polisi. Anda harus mengatakan pada
mereka bahwa M. Kettering yang telah melakukan pembunuhan itu."
"Dan kalau mereka tak percaya pada saya" Kalau mereka minta bukti?" Dia
memandang wanita itu dengan teliti.
Mirelle tertawa perlahan, dan merapatkan roknya yang berwarna jingga bercampur
hitam itu. "Suruh mereka menghubungi saya, M. Comte," katanya lembut. "Saya akan memberikan
bukti yang mereka ingini."
Setelah itu dia pergi, bagai angin puyuh yang pesat, setelah merasa
menyelesaikan tugasnya. Comte itu memandanginya dari belakang, alisnya agak terangkat.
"Orang itu benar-benar marah," gumamnya. "Apa gerangan yang telah terjadi, yang
membuatnya gusar seperti itu" Tapi dia terlalu blak-blakan. Apakah dia yakin
benar bahwa Tuan Kettering telah membunuh istrinya" Dia ingin aku
mempercayainya. Dia bahkan ingin polisi mempercayainya."
Dia tersenyum sendiri. Dia sama sekali tak punya niat untuk mendatangi polisi.
Dia melihat beberapa kemungkinan lain - kalau dilihat dari senyumnya, semua
kemungkinan itu memberikan harapan baik.
Tetapi kemudian dahinya seakan-akan disaput awan. Menurut kata Mirelle, dia
dicurigai polisi. Hal itu mungkin benar, mungkin pula tak benar. Seorang wanita
yang sedang marah seperti penari itu, tak mungkin peduli tentang kebenaran
pernyataan-pernyataannya. Sebaliknya, wanita itu mungkin dengan mudah memperoleh
informasi dari dalam. Dalam hal itu - mulutnya dikatupkannya rapat-rapat - dalam
hal itu dia harus waspada.
Dia masuk ke rumah dan menanyai Hipolyte sekali lagi dengan bersungguh-sungguh,
apakah ada orang yang tak dikenal datang. Pelayan itu benar-benar yakin bahwa
tidak demikian halnya. Comte lalu naik ke kamar tidurnya dan menyeberang ke
sebuah meja tulis tua yang tersandar pada dinding. Alas meja itu diturunkannya,
dan jari-jarinya yang halus mencari sebuah tombol di belakang salah sebuah
lubang pada dinding. Sebuah laci rahasia terlompat ke luar - di dalamnya
terdapat sebuah bungkusan kecil yang terbungkus kertas berwarna coklat. Comte
mengeluarkannya, lalu menimang-nimangnya di tangan dengan berhati-hati beberapa
lama. Dia lalu mengangkat tangannya ke kepala, lalu ditarik sehelai rambutnya
dengan menggerenyit kesakitan. Rambut itu ditaruhnya di bibir laci lalu
ditutupnya berhati-hati. Sambil tetap membawa bungkusan kecil itu di tangan, dia
turun ke lantai bawah lalu keluar rumah - ke garasi, di mana terdapat sebuah
mobil kecil berwarna merah tua. Sepuluh menit kemudian dia sudah berada dalam
perjalanan ke Monte Carlo.
Beberapa jam dihabiskannya di kasino, lalu dia pergi lagi ke kota. Kemudian dia
masuk kembali ke mobilnya dan melarikannya ke arah Mentone. Agak awal petang
tadi dia telah melihat sebuah mobil berwarna abu-abu yang tak menyolok, berjarak
beberapa jauhnya di belakangnya. Kini mobil itu dilihatnya lagi. Dia tersenyum
sendiri. Jalan menanjak terus. Comte menekankan kakinya kuat-kuat pada pedal
gas. Mobil merah kecil itu telah dirakit khusus berdasarkan rencana Comte
sendiri, dan mesinnya jauh lebih kuat daripada yang diduga orang bila melihat
penampilannya. Mobil itu melesat terus ke depan.
Dia lalu menoleh dan tersenyum - mobil abu-abu itu menyusul terus di belakang.
Mobil merah kecil itu berlari terus di sepanjang jalan yang dipenuhi debu. Kini
jarak antara keduanya genting, tetapi Comte itu adalah seorang pengemudi ulung.
Kini keduanya menuruni bukit, meliuk-liuk, dan membelok-belok tanpa henti. Lalu
mobil merah itu mengurangi kecepatan, dan akhirnya berhenti di depan sebuah
kantor pos. Comte itu melompat ke luar, diangkatnya tutup kotak tempat alat-
alat, dikeluarkannya bungkusan tadi dari situ, lalu bergegas masuk ke kantor pos
itu. Dua menit kemudian dia menuju ke arah Mentone lagi. Waktu mobil abu-abu itu
tiba di sana, Comte sedang minum teh pukul lima menurut kebiasaan orang Inggris,
di teras salah sebuah hotel.
Kemudian dia kembali ke Monte Carlo, makan malam di sana, dan tiba di rumahnya
kembali pukul sebelas malam. Hipolyte keluar menyambutnya dengan wajah kuatir.
"Ah! M. Comte baru pulang. Tak adakah M. Comte menelepon tadi?"
Comte menggeleng. "Padahal jam tiga tadi saya menerima telepon dari M. Comte, supaya saya pergi ke
Nice, di restoran Negresco."
"Begitukah?" kata Comte. "Lalu pergikah kau?"
"Tentu, Monsieur, tapi di Negresco mereka tak tahu apa-apa tentang M. Comte.
Anda tak ada di sana."
"Ah," kata Comte, "pada waktu itu Marie tentu sedang keluar berbelanja?"
"Benar, M. Comte."
"Ah, sudahlah," kata Comte, "itu tak penting. Suatu kekeliruan saja."
Dia naik ke lantai atas, sambil tersenyum sendiri.
Begitu sampai di kamarnya sendiri, ia mengunci pintu, lalu melihat ke
sekelilingnya dengan tajam. Semuanya kelihatan seperti biasa. Dibukanya beberapa
laci dan lemari. Lalu dia mengangguk sendiri. Semuanya sudah dikembalikan hampir
sama benar sebagaimana dia meninggalkannya, tetapi kurang sempurna. Jelas sekali
bahwa kamar itu telah mengalami penggeledahan besar-besaran.
Dia pergi ke meja tulis lalu menekan sebuah tombol yang tersembunyi. Laci itu
melompat ke luar, tetapi rambutnya tak ada lagi di tempat tadi dia menaruhnya.
Dia mengangguk berulang kali.
"Polisi Prancis kita ini memang hebat," gumamnya sendiri - "memang jempolan. Tak
satu pun yang tak dibongkarnya."
Bab 20 KATHERINE MENDAPAT TEMAN Esok paginya Katherine dan Lenox sedang duduk-duduk di teras Vila Marguerite. Di
antara mereka berdua telah timbul semacam persahabatan, meskipun ada perbedaan
umur. Sekiranya Lenox tak ada, Katherine akan merasa bahwa hidup di vila itu
sangat tak tertahankan. Perkara Kettering sedang merupakan bahan pembicaraan
saat itu. Lady Tamplin dengan terus terang memanfaatkan hubungan tamunya dalam
peristiwa itu secara menguntungkan. Penolakan tegas dari pihak Katherine, sama
sekali tak berhasil diresapi oleh Lady Tamplin. Lenox mengambil sikap melepaskan
diri, dia agaknya geli melihat langkah-langkah yang diambil ibunya, dan
memberikan pengertian yang simpatik pada perasaan Katherine. Dengan Chubby
keadaannya tidak lebih baik - kesenangannya yang polos tak terpadamkan, dan
kepada siapa pun juga tanpa pilih bulu, dia memperkenalkan,
"Ini Nona Grey. Tahukah Anda tentang Kereta Api Biru itu" Dia benar-benar
terlibat di dalamnya! Dia sempat berbicara selama beberapa jam dengan Ruth
Kettering sebelum pembunuhan itu! Beruntung dia bukan?"
Pagi itu karena telah beberapa kali mendengar pernyataan seperti itu, Katherine
jadi memberikan jawaban yang kasar, yang tak biasa dilakukannya - dan waktu
mereka berduaan saja, Lenox berkata dengan cara bicaranya yang lamban,
"Kau tak biasa dimanfaatkan seperti itu, ya" Kau harus belajar banyak,
Katherine." "Maaf, aku kehilangan kesabaranku tadi. Aku biasanya tidak begitu."
"Sudah pula waktunya kau belajar unjuk gigi. Chubby itu memang tak tahu apa-apa
- dia tidak membahayakan. Ibuku memang membuat kita kesal, tapi dengan Ibu, biar
kau marah sampai langit akan runtuh, dia tak terkesan. Paling-paling dia hanya
membuka matanya yang biru itu lebar-lebar dengan sedih dan sama sekali tak
peduli." Katherine tidak memberikan jawaban atas hasil observasi anak tentang ibunya itu,
dan Lenox lalu melanjutkan,
"Aku lebih banyak seperti Chubby. Aku suka mendengar tentang pembunuhan, apalagi
- karena kita kenal pada Derek Kettering, lalu lain jadinya."
Katherine mengangguk. "Jadi kau makan siang dengan dia kemarin," Lenox mengejar terus sambil merenung.
"Sukakah kau padanya, Katherine?"
Katherine mempertimbangkannya beberapa saat lamanya.
"Entahlah," katanya lambat sekali.
"Dia menarik sekali."
"Ya, dia memang menarik."
"Apa yang tak kausukai pada dirinya?"
Katherine tidak menjawab pertanyaan itu, atau setidaknya tak langsung. "Dia
membicarakan tentang kematian istrinya," katanya. "Katanya dia tak mau berpura-
pura bahwa kejadian itu malah membawa keberuntungan baginya."
"Dan kurasa kata-katanya itu sangat mengejutkanmu," kata Lenox. Dia berhenti
sebentar, kemudian menambahkan dengan nada suara yang aneh, "Dia suka padamu,
Katherine." "Dia menraktirku makan siang yang enak," kata Katherine.
Lenox tak mau mengalah begitu saja.
"Kulihat hal itu waktu dia datang malam hari yang lalu," katanya merenung.
"Caranya memandangmu; dan kau bukan tipe teman-teman wanitanya yang biasa - kau
benar-benar berlawanan. Yah, kurasa seperti agamalah keadaannya - kita baru
punya kesadaran pada umur tertentu."
"Ada telepon untuk Mademoiselle," kata Marie, yang muncul di pintu ruang tamu.
"M. Hercule Poirot ingin berbicara dengan Anda."
"Wah, makin hebat dan menarik kisahnya. Ayolah, Katherine, pergilah dan
berbicaralah panjang-lebar dengan detektifmu itu."
Suara Hercule Poirot terdengar bersih dan tanpa cacat bagi Katherine.


Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Nona Grey yang berbicara ini" Bon. Mademoiselle, ada pesan yang harus
saya sampaikan pada Anda dari M. Van Aldin, ayah Nyonya Kettering. Dia ingin
sekali berbicara dengan Anda, kalau tidak di Vila Marguerite, di hotelnya saja -
mana yang lebih Anda sukai?"
Katherine berpikir sebentar, tapi kemudian dia memutuskan bahwa kalau Van Aldin
harus datang ke Vila Marguerite, akan menyusahkan saja, dan itu tak perlu. Lady
Tamplin akan menyambut kedatangannya itu dengan kesibukan yang luar biasa dan
berlebihan. Dia tak pernah membuang kesempatan untuk mengambil manfaat dari para
jutawan. Dikatakannya pada Poirot bahwa dia lebih suka pergi ke Nice.
"Bagus, Mademoiselle. Saya sendiri akan menjemput Anda dengan mobil. Bagaimana
kalau tiga perempat jam lagi?"
Poirot muncul tepat pada waktunya. Katherine sudah siap menunggunya, dan mereka
segera berangkat. "Nah, bagaimana keadaan Anda, Mademoiselle?"
Katherine memandang ke matanya yang berbinar, dan dia membenarkan kesannya yang
pertama bahwa ada sesuatu yang menarik pada diri Hercule Poirot.
"Ini roman kriminal kita berdua, bukan?" kata Poirot. "Saya sudah menjanjikan
bahwa kita akan mempelajarinya bersama. Dan saya selalu memenuhi janji-janji
saya." "Anda baik sekali," gumam Katherine.
"Ah, Anda mengejek saya - tapi maukah Anda mendengar tentang perkembangan
perkara itu, atau tidak?"
Katherine mengakui keinginannya, dan Poirot mulai melukiskan sepintas lalu
tentang diri Comte de la Roche.
"Apakah menurut Anda dia yang membunuhnya?" tanya Katherine.
"Itu teorinya," kata Poirot dengan berhati-hati.
"Apakah Anda sendiri percaya?"
"Saya tidak berkata begitu. Dan Anda sendiri, Nona, bagaimana pendapat Anda?"
Katherine menggeleng. "Bagaimana saya bisa tahu" Saya tak tahu apa-apa tentang hal itu, tapi saya
berpikir bahwa - " "Ya," kata Poirot memberi semangat.
"Yah - dari apa yang Anda katakan, Comte itu kedengarannya bukan orang yang
benar-benar mau membunuh orang."
"Oh! Bagus," seru Poirot. "Anda sependapat dengan saya, itulah yang baru saja
saya katakan." Poirot memandangnya dengan tajam. "Tapi sudahkah Anda bertemu
dengan Derek Kettering?"
"Saya bertemu dengannya di Vila Lady Tamplin, dan saya makan siang bersamanya
kemarin." "Dia seorang yang suka berfoya-foya," kata Poirot sambil menggeleng. "Tapi kaum
wanita suka yang begitu, ya?"
Dia mengedipkan matanya pada Katherine, dan Katherine tertawa.
"Dia adalah laki-laki yang akan kelihatan di mana pun dia berada," sambung
Poirot. "Anda pasti melihatnya juga di Kereta Api Biru?"
"Ya, saya melihatnya."
"Di gerbong restoran?"
"Tidak, saya sama sekali tidak melihatnya pada waktu makan. Hanya sekali saya
melihatnya - waktu dia akan masuk ke kamar istrinya."
Poirot mengangguk. "Suatu kaitan peristiwa yang aneh," gumamnya. "Kalau tak
salah Anda berkata bahwa Anda terbangun dan melihat ke luar jendela di Lyons"
Tidakkah Anda melihat seorang pria jangkung yang berambut hitam seperti Comte de
la Roche meninggalkan kereta api?"
Katherine menggeleng. "Saya rasa saya tidak melihat siapa-siapa," katanya. "Ada
seorang anak muda yang memakai topi dan mantel yang keluar, tapi saya rasa dia
bukan meninggalkan kereta api, hanya berjalan-jalan saja hilir-mudik di peron.
Ada seorang Prancis gemuk yang berjanggut, memakai piama dan mantel, yang
menginginkan secangkir kopi. Selebihnya hanya petugas-petugas kereta api."
Poirot mengangguk beberapa kali. "Soalnya begini," katanya membuka rahasia.
"Comte de la Roche punya alibi. Bukti seperti itu menghancurkan, dan selalu ada
kemungkinannya bagi orang yang paling dicurigai sekalipun. Kita sudah sampai!"
Mereka langsung naik ke kamar Van Aldin, di mana mereka bertemu dengan Knighton.
Poirot memperkenalkannya pada Katherine. Setelah sekedar berbasa-basi, Knighton
berkata, "Akan saya katakan pada Tuan Van Aldin bahwa Nona Grey sudah datang."
Dia pergi ke sebuah kamar di sebelahnya melalui pintu yang kedua. Terdengar
suara-suara bergumam, lalu Van Aldin masuk ke ruangan itu dan berjalan menuju
Katherine dengan tangan terulur, sambil menatapnya dengan tajam dan dalam.
"Saya senang bertemu Anda, Nona Grey," katanya singkat. "Saya ingin sekali
mendengar cerita Anda mengenai Ruth."
Katherine senang sekali melihat ketenangan dan kesederhanaan sikap jutawan itu.
Dia merasakan bahwa lawan bicaranya itu sedang mengalami kesedihan yang
mendalam, terutama karena dia tak melihat tanda-tanda lahiriah.
Dia menarik sebuah kursi.
"Silakan duduk di sini, dan tolong ceritakan semuanya pada saya."
Poirot tahu diri dan pergi ke kamar sebelah, meninggalkan Katherine dan Van
Aldin berduaan. Katherine tidak merasa sulit dalam memenuhi permintaan itu.
Dengan wajar dan sederhana diceritakannya percakapannya dengan Ruth Kettering,
kata demi kata sedapat-dapatnya. Van Aldin mendengarkan tanpa berkata apa-apa,
sambil bersandar di kursinya, dan sebelah tangannya menutup matanya. Setelah
Katherine selesai, Van Aldin berkata dengan tenang,
"Terima kasih."
Mereka duduk diam beberapa menit lamanya. Katherine merasa bahwa dia tak perlu
mengucapkan kata-kata hiburan. Kemudian jutawan itu berkata dengan nada yang
berubah, "Saya berterima kasih sekali pada Anda, Nona Grey. Saya rasa Anda telah
melakukan sesuatu yang meringankan pikiran Ruth pada jam-jam terakhir dari
hidupnya. Sekarang saya ingin menanyakan sesuatu pada Anda. Anda tahu - M.
Poirot barangkali sudah mengatakannya pada Anda - tentang bajingan dengan siapa
gadis malangku itu melibatkan dirinya. Dialah laki-laki yang diceritakannya pada
Anda itu - laki-laki yang akan ditemuinya. Menurut Anda, mungkinkah dia mengubah
pikirannya setelah dia bercakap-cakap dengan Anda" Apakah menurut Anda dia akan
menarik kembali kata-katanya?"
"Saya benar-benar tak bisa mengatakannya. Dia sudah mengambil keputusan, itu
sudah pasti, dan oleh karenanya dia jadi lebih senang."
"Tidakkah dia memberi bayangan di mana dia bermaksud akan berjumpa dengan penipu
itu - di Paris atau di Hyeres?"
Katherine menggeleng. "Dia tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu."
"Ah," kata Van Aldin lirih, "padahal itulah soal yang penting. Yah, waktu akan
menunjukkannya." Dia bangkit lalu membuka pintu kamar yang di sebelah. Poirot dan Knighton masuk
kembali. Katherine menolak ajakan jutawan itu untuk makan siang bersama, lalu Knighton
mengantar Katherine turun dan terus ke mobil yang sudah siap menunggu. Waktu dia
kembali didapatinya Poirot dan Van Aldin sedang asyik bercakap-cakap.
"Kalau saja kita tahu," kata jutawan itu merenung, "keputusan apa yang telah
diambil Ruth. Kita harus memilih satu dari barangkali enam kemungkinan. Mungkin
dia bermaksud untuk terus pergi ke Prancis Selatan dan memberikan penjelasan
pada Comte itu di sana. Kita berada dalam kegelapan - benar-benar dalam
kegelapan. Tapi kita sudah mendengar dari pelayannya bahwa Ruth terkejut dan
bingung waktu melihat Comte itu muncul di Stasiun Paris. Jadi jelas bahwa itu
tidak merupakan bagian dari rencana yang sudah diatur. Sependapatkah kau dengan
aku, Knighton?" Sekretaris itu terkejut. "Maaf, Tuan Van Aldin. Saya tidak mendengarkan."
"Sedang ngelamun, ya?" kata Van Aldin. "Tak biasanya kau begitu. Kurasa gadis
itu tadi telah menjadikan kau mabuk."
Merah muka Knighton. "Dia memang gadis yang manis sekali," kata Van Aldin. "Sungguh manis. Adakah kau
melihat matanya?" "Semua laki-laki akan melihat mata itu," kata Knighton.
Bab 21 DI LAPANGAN TENIS Beberapa hari telah berlalu. Pada suatu pagi Katherine berjalan-jalan seorang
diri, waktu dia kembali didapatinya Lenox tersenyum-senyum penuh harapan.
"Sahabat priamu yang muda terus-menerus meneleponmu, Katherine!"
"Siapa yang kausebut sahabat priaku yang muda itu?"
"Orang baru - sekretaris Rufus Van Aldin. Kelihatannya dia amat terkesan padamu.
Kau bakal menjadi orang yang membuat orang-orang patah hati. Mula-mula Derek
Kettering, dan sekarang anak muda Knighton ini. Lucunya lagi, aku ingat benar
padanya. Dia pernah dirawat di Rumah Sakit Perang yang dipimpin ibuku di sini.
Waktu itu aku masih kecil, berumur kira-kira delapan tahun."
"Apakah dia luka parah?"
"Kalau aku tak salah ingat, kakinya tertembak - agak parah juga. Kalau tak
salah, para dokter bersusah-payah menyembuhkannya. Kata mereka dia tidak akan
pincang, tapi waktu dia mula-mula meninggalkan tempat ini jalannya masih
terhuyung-huyung." Lady Tamplin keluar dan menyertai mereka.
"Sudahkah kaukatakan pada Katherine tentang Mayor Knighton?" tanyanya. "Dia anak
muda yang baik sekali! Mula-mula aku tak ingat padanya - karena mereka terlalu
banyak - tapi sekarang aku ingat semua."
"Mula-mula dia kurang penting untuk diingat," kata Lenox. "Setelah ternyata
bahwa dia sekarang adalah sekretaris seorang jutawan Amerika, soalnya jadi
lain." "Sayangku!" Lady Tamplin menegurnya dengan lirih.
"Mengenai apa Mayor Knighton menelepon?" tanya Katherine.
"Dia bertanya apakah kau suka pergi main tenis petang ini. Kalau suka dia akan
menjemputmu naik mobil. Ibu dan aku menerima baik ajakan itu, atas namamu.
Sementara kau main-main dengan sekretaris jutawan itu, kau bisa memberikan
kesempatan padaku dengan jutawannya sendiri, Katherine. Kurasa umurnya kira-kira
enam puluh tahun, jadi mungkin dia mencari gadis cantik yang masih muda seperti
aku." "Aku juga suka bertemu dengan Tuan Van Aldin," kata Lady Tamplin bersungguh-
sungguh. "Banyak sekali cerita orang tentang dia. Tokoh-tokoh kasar yang
menyenangkan dari dunia Barat itu - " Dia berhenti tiba-tiba - "menarik sekali,"
gumamnya. "Mayor Knighton khusus berkata bahwa Tuan Van Aldin-lah yang mengundang," kata
Lenox. "Begitu seringnya dia mengatakan hal itu, hingga aku lalu curiga bahwa
itu omong kosong saja. Kau dan Knighton akan merupakan pasangan yang serasi,
Katherine. Diberkatilah kalian, Anak-anakku."
Katherine tertawa, lalu pergi ke lantai atas untuk berganti pakaian.
Segera setelah makan siang Knighton tiba, dan dengan jantan menahan diri
mendengarkan celoteh Lady Tamplin tentang perkenalan mereka.
Waktu mereka dalam perjalanan ke arah Cannes dia berkata pada Katherine, "Lady
Tamplin sedikit sekali berubah."
"Pembawaannya atau penampilannya?"
"Keduanya. Saya rasa umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun, tapi dia masih
cantik benar." "Memang," Katherine membenarkan.
"Saya senang sekali Anda bisa ikut hari ini," Knighton melanjutkan. "M. Poirot
juga akan berada di sana. Alangkah kecilnya pria itu. Apakah Anda kenal baik
padanya, Nona Grey?"
Katherine menggeleng. "Saya bertemu dengannya di kereta api dalam perjalanan
kemari. Saya sedang membaca sebuah novel, dan waktu itu saya mengatakan bahwa
yang tertulis itu tak mungkin terjadi dalam hidup sebenarnya. Saya tentu saja
tak menyangka, siapa dia."
"Dia memang orang yang jempolan," kata Knighton lembut, "dan telah melakukan
beberapa hal yang hebat pula. Dia benar-benar ahli dalam menggali persoalan
sampai ke akar-akarnya, dan sampai saat terakhir tak seorang pun tahu apa
sebenarnya yang sedang dipikirkannya. Saya ingat, saya pernah menginap di sebuah
rumah di Yorkshire, dan barang-barang perhiasan Lady Clanravon dicuri orang.
Mula-mula kelihatannya seperti perampokan biasa, tapi polisi setempat benar-
benar terkecoh. Saya menyarankan agar mereka memanggil Hercule Poirot, dan
mengatakan bahwa dialah satu-satunya orang yang bisa membantu mereka, tapi
mereka tetap percaya penuh pada Scotland Yard."
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Katherine ingin tahu.
"Barang-barang itu tak pernah ditemukan kembali," kata Knighton datar.
"Anda benar-benar percaya padanya?"
"Memang saya percaya betul. Comte de la Roche itu adalah langganan pembuat
kejahatan yang licik. Dia sering bisa meloloskan dirinya. Tapi saya rasa dengan
Hercule Poirot, ketemu batunya."
"Comte de la Roche," kata Katherine merenung. "Jadi Anda benar-benar yakin bahwa
dia yang melakukannya?"
"Tentu." Knighton melihat padanya dengan terkejut. "Anda tidak?"
"Ya," kata Katherine buru-buru. "Maksud saya, bila itu memang hanya suatu
perampokan kereta api biasa."
"Tentu bisa saja," Knighton membenarkan, "tapi agaknya Comte de la Roche cocok
benar dalam urusan ini."
"Tapi dia punya alibi."
"Ah, itu tak ada artinya!" Knighton tertawa, wajahnya jadi berubah, tampan
dengan senyumnya yang kekanak-kanakan itu.
"Anda mengaku suka membaca buku-buku cerita detektif, Nona Grey. Anda tentu tahu
bahwa orang yang punya alibi yang sempurna, selalu bisa merupakan tersangka yang
kuat." "Apakah Anda pikir bahwa dalam hidup nyata, begitu pula keadaannya?" tanya
Katherine sambil tersenyum.
"Mengapa tidak" Cerita-cerita fiktif itu didasarkan atas kenyataan."
"Tapi sering-sering agak berlebihan," pendapat Katherine.
"Mungkin. Bagaimanapun juga, bila saya seorang penjahat, saya tidak akan senang
bila Hercule Poirot yang mencari jejak saya."
"Saya pun tidak," kata Katherine, dan dia tertawa.
Waktu mereka tiba, mereka disambut oleh Poirot. Karena hari panas dia mengenakan
stelan dari bahan katun, dengan bunga kamelia putih di lubang kancing bajunya.
"Bonjour, Mademoiselle," kata Poirot. "Saya seperti orang Inggris asli, bukan?"
"Anda kelihatan hebat," kata Katherine dengan bijak.
"Anda mengejek saya lagi," kata Poirot dengan ramah. "Tapi biarlah. Papa Poirot-
lah yang selalu memperoleh kemenangan."
"Di mana Tuan Van Aldin?" tanya Knighton.
"Dia akan menemui kita di tempat duduk. Terus terang, Sahabat, dia tidak terlalu
senang dengan saya. Ah, orang-orang Amerika itu - mana mereka itu tahu tentang
keyakinan dan ketenangan! Tuan Van Aldin itu, maunya saya terbang sendiri
mengejar penjahat-penjahat melalui semua lorong-lorong di Nice."
"Saya sendiri pun berpikir bahwa itu bukannya rencana yang buruk," Knighton
berpendapat. "Anda salah," kata Poirot, "dalam soal-soal seperti ini bukannya tenaga badaniah
yang diperlukan, melainkan siasat. Dalam permainan tenis, orang bertemu dengan
orang. Itu penting sekali. Oh, itu Tuan Kettering."
Derek langsung mendatangi mereka. Dia kelihatan nekat dan marah, seolah-olah
telah terjadi sesuatu yang menjengkelkannya. Dia dan Knighton saling menyapa
dengan sikap dingin. Hanya Poirot yang agaknya tak menyadari adanya ketegangan,
dan mengobrol terus dengan riang dalam usahanya yang baik untuk membuat semua
orang tenang. Dia mengucapkan pujian-pujian yang tak berarti.
"Luar biasa sekali, M. Kettering, betapa pandainya Anda berbahasa Prancis,"
katanya. "Demikian baiknya hingga bila Anda mengaku orang Prancis, orang akan
percaya. Jarang orang Inggris begitu."
"Saya juga ingin begitu," kata Katherine. "Saya sadar benar bahwa bahasa Prancis
saya masih sangat berbau bahasa Inggris."
Mereka tiba di sebuah bangku, lalu duduk. Knighton segera pula melihat
majikannya memberi isyarat dari ujung lain lapangan itu, dan dia pergi untuk
berbicara dengannya. "Saya suka anak muda itu," kata Poirot sambil tersenyum cerah ke arah sekretaris
yang sedang menjauh itu, "bagaimana Anda, Mademoiselle?"
"Saya suka sekali padanya."
"Dan Anda, M. Kettering?"
Suatu jawaban cepat sudah akan terlompat dari bibir Derek, tapi dia menahannya -
suatu kilatan di mata orang Belgia yang kecil itu telah membuatnya tiba-tiba
menjadi waspada. Dia lalu bercakap dengan berhati-hati, dan memilih kata-
katanya. "Knighton memang orang yang baik sekali," katanya.
Sesaat Katherine melihat bahwa Poirot kecewa.
"Dia sangat kagum pada Anda, M. Poirot," katanya, dan diceritakannya beberapa
hal yang dikatakan Knighton tadi. Dia senang melihat pria kecil itu gembira


Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti burung merak, sambil membusungkan dadanya, dan air muka pura-pura rendah
hati, meskipun hal itu tak bisa membuat siapa pun terkecoh.
"Saya jadi ingat, Nona," katanya tiba-tiba, "ada soal kecil yang ingin saya
bicarakan dengan Anda. Waktu Anda sedang duduk bercakap-cakap dengan wanita
malang itu di kereta api, saya rasa kotak rokok Anda jatuh."
Katherine agak terkejut. "Saya rasa tidak," katanya. Dari sakunya Poirot
mengeluarkan sebuah kotak rokok yang terbuat dari kulit halus berwarna biru,
dengan huruf 'K' yang ditulis dengan tinta emas.
"Bukan, itu bukan kepunyaan saya," kata Katherine.
"Ah, beribu-ribu maaf. Kalau begitu kepunyaan nyonya itu sendiri barangkali. 'K'
tentu adalah singkatan dari Kettering. Kami ragu karena di dalam tasnya ada
sebuah lagi kotak rokok, dan rasanya aneh kalau dia memiliki sampai dua buah."
Dia tiba-tiba berpaling pada Derek. "Saya rasa Anda tak tahu, ya, apakah ini
milik istri Anda atau bukan?"
Derek kelihatan tertegun sesaat. Dia agak tergagap waktu menjawab, "Sa - saya
tak tahu. Barangkali ya."
"Jelas bukan kepunyaan Anda?"
"Tentu bukan. Kalau itu kepunyaan saya, tak mungkin ada pada istri saya."
Poirot kelihatan lebih tulus dan kekanakan daripada biasanya.
"Saya pikir mungkin milik Anda ini jatuh waktu Anda berada di kamar istri Anda,"
dijelaskannya dengan jujur.
"Saya tak pernah berada di sana. Sudah saya katakan hal itu pada polisi
berpuluh-puluh kali."
"Seribu kali maaf," kata Poirot dengan sikap menyesal. "Nona ini yang mengatakan
telah melihat Anda masuk ke sana."
Dia berhenti berbicara dengan sikap malu.
Katherine memandang Derek. Wajah laki-laki itu telah menjadi putih, tapi itu
mungkin hanya bayangannya. Derek tertawa, dan tawanya cukup wajar.
"Anda keliru, Nona Grey," katanya dengan santai. "Dari apa yang dikatakan polisi
pada saya, saya baru tahu bahwa kamar saya hanya berjarak satu atau dua kamar
saja dari kamar istri saya - saya tak pernah menyangka itu. Anda waktu itu tentu
melihat saya masuk ke kamar saya sendiri." Dia cepat-cepat bangkit waktu
dilihatnya Van Aldin dan Knighton mendekat.
"Sekarang saya harus meninggalkan Anda," katanya. "Saya sama sekali tak tahan
melihat mertua saya itu."
Van Aldin menyapa Katherine dengan sopan sekali, tetapi tampak jelas bahwa dia
sedang tak senang. "Agaknya Anda suka sekali nonton tenis, M. Poirot," katanya dengan tak ramah.
"Memang saya suka," sahut Poirot dengan tenang.
"Untung Anda berada di Prancis," kata Van Aldin. "Kami di Amerika memang lebih
keras. Pekerjaan harus didahulukan daripada kesenangan di sana."
Poirot tidak tersinggung - sebaliknya dia malah tersenyum lembut dan tulus pada
jutawan yang marah itu. "Saya harap Anda tidak marah-marah. Setiap orang punya cara-caranya sendiri.
Saya selalu senang kalau bisa menyambilkan pekerjaan dengan kesenangan."
Dia melihat ke dua orang yang lain. Mereka berdua sedang asyik bercakap-cakap.
Poirot mengangguk puas, lalu dia membungkukkan badannya ke arah jutawan itu,
berkata dengan berbisik, "Saya kemari bukan untuk kesenangan, M. Van Aldin. Perhatikan orang di seberang
kita itu, orang tua yang jangkung itu orang yang berwajah kuning dan berjanggut
gaya itu." "Lalu ada apa dengan dia?"
"Dia adalah M. Papopolous."
"Orang Yunanikah dia?"
"Benar - seorang Yunani. Dia pedagang barang-barang antik yang sudah terkenal
luas. Dia punya toko kecil di Paris - dia dicurigai polisi karena dia punya
usaha sampingan lain."
"Apa itu?" "Sebagai penadah barang-barang curian, terutama perhiasan. Tak satu pun soal
mengenai pengasahan atau pemasangan kembali permata-permata yang tak
diketahuinya. Dia berurusan dengan kalangan tertinggi di Eropa, juga dengan
golongan jembel di bawah tanah."
Van Aldin memandang Poirot dengan perhatian yang tiba-tiba besar.
"Lalu?" tanyanya dengan nada baru dalam suaranya.
"Saya heran," kata Poirot. "Saya, Hercule Poirot - " Ditepuk dadanya dengan
dramatis - "saya ingin tahu mengapa M. Papopolous tiba-tiba datang ke Nice?"
Van Aldin jadi terkesan. Mula-mula dia meragukan Poirot dan menyangka laki-laki
itu telah melupakan tugasnya - hanya seorang yang mencari pujian. Kini dalam
sekejap saja, dia kembali pada pendapatnya semula. Dia memandang lurus ke
detektif kecil itu. "Saya harus minta maaf pada Anda, M. Poirot."
Poirot menolak permintaan maaf itu dengan gerak isyarat yang hebat.
"Bah!" serunya. "Semuanya itu tak penting. Sekarang dengarkan, M. Van Aldin,
saya ada berita untuk Anda."
Jutawan itu memandangnya dengan tajam, seluruh perhatiannya tergugah.
Poirot mengangguk. "Seperti saya katakan tadi, Anda akan tertarik. Sebagaimana Anda ketahui, M. Van
Aldin, Comte de la Roche telah berada dalam pengawasan sejak dia ditanyai oleh
Hakim. Sehari setelah itu, waktu dia sedang tak berada di rumah, Vila Marina
digeledah polisi." "Lalu," kata Van Aldin, "adakah mereka menemukan sesuatu" Saya yakin, tidak."
Poirot membungkuk ke arahnya.
"Ketajaman pikiran Anda memang tak meragukan, Tuan Van Aldin. Mereka tidak
menemukan sesuatu yang sifatnya berhubungan dengan peristiwa itu. Memang tidak
diharapkan mereka akan bisa. Comte de la Roche adalah orang yang kata
peribahasa, bukan anak kemarin. Dia pria cerdik dengan pengalaman banyak."
"Ya, teruskan," geram Van Aldin.
"Tentu ada kemungkinannya, bahwa pada Comte itu memang tak ada satu pun yang
sifatnya harus disembunyikan. Tapi kita tak boleh mengabaikan kemungkinannya.
Jadi kalau ada yang harus disembunyikannya, di mana" Tidak di dalam rumah -
polisi telah menggeledah habis-habisan. Tidak pada dirinya, karena dia tahu
bahwa dia bisa ditangkap setiap saat. Tinggal satu tempat - di mobilnya. Seperti
saya katakan, dia berada di bawah pengawasan. Pada suatu hari dia dibayang-
bayangi ke Monte Carlo. Dari sana dia pergi ke Mentone, dia mengemudikan
sendiri. Mobilnya bermesin kuat sekali, hingga bisa meninggalkan para
pengejarnya jauh sekali, dan selama seperempat jam mereka kehilangan jejaknya
sama sekali." "Dalam waktu itu, Anda pikir, dia menyembunyikan sesuatu di pinggir jalan?" kata
Van Aldin yang sangat tertarik.
"Bukan di pinggir jalan. Itu tak praktis. Coba dengarkan - saya telah
menyarankan sesuatu pada M. Carrege. Beliau senang sekali dan menyetujuinya. Di
setiap kantor pos di sekitar ini diusahakan supaya selalu ada seseorang yang
kenal wajah Comte de la Roche. Karena tahukah Anda, cara yang terbaik untuk
menyembunyikan sesuatu ialah dengan mengirimkannya melalui pos."
"Lalu?" tanya Van Aldin.
"Lalu - voila!" Dengan sikap dramatis yang berlebih-lebihan Poirot mengeluarkan
dari sakunya sebuah bungkusan yang terbungkus dalam kertas berwarna coklat yang
talinya sudah dibuka. "Selama waktu yang seperempat jam tadi itu, laki-laki itu mengirimkan ini
melalui pos." "Alamatnya?" tanya jutawan itu dengan tajam.
Poirot mengangguk. "Mungkin itu bisa memberi petunjuk, tapi sialnya, tidak. Bungkusan ini
dialamatkan pada salah sebuah agen surat kabar di Paris, di mana surat-surat dan
bungkusan-bungkusan disimpan sampai diambil, dengan imbalan sedikit."
"Ya, tapi apa yang ada di dalamnya itu?" tanya Van Aldin tak sabar.
Poirot membuka kertas berwarna coklat itu dan mengeluarkan sebuah kotak karton
kecil persegi empat. Dia memandang berkeliling.
"Inilah saat yang baik," katanya dengan tenang. "Semua mata tertuju ke permainan
tenis. Lihat, Monsieur!"
Diangkatnya tutup kotak itu tak sampai sedetik lamanya. Jutawan itu berseru
dengan amat terkejut. Wajahnya menjadi seputih kapur.
"Tuhanku!" desahnya. "Permata-permata delima itu."
Beberapa saat lamanya dia terduduk saja, termangu. Poirot memasukkan kotak itu
ke dalam sakunya lagi dan wajahnya berseri-seri. Lalu jutawan itu seperti
terbangun dari keadaan kemasukan, dia membungkukkan tubuhnya ke arah Poirot dan
meremas-remas tangannya hingga laki-laki kecil itu meringis kesakitan.
"Sungguh hebat," kata Van Aldin. "Hebat! Anda memang hebat, M. Poirot. Sekali
lagi, Anda hebat!" "Ini bukan apa-apa," kata Poirot rendah hati. "Aturan dan cara kerja yang
disiapkan sebelumnya dalam menghadapi segala kemungkinan - itu saja."
"Lalu sekarang saya rasa Comte de la Roche sudah ditangkap?" sambung Van Aldin
penuh harapan. "Tidak," kata Poirot.
Wajah Van Aldin menunjukkan keterkejutan yang amat sangat.
"Mengapa" Apa lagi yang kalian perlukan?"
"Alibi Comte itu masih tak tergoyahkan."
"Omong kosong."
"Ya," kata Poirot. "Saya juga merasa itu omong kosong, tapi sialnya kita masih
harus membuktikannya."
"Sementara itu dia akan menghilang."
Poirot menggeleng kuat-kuat.
"Tidak," katanya, "dia tidak akan berbuat demikian. Ada satu hal yang tak bisa
dikorbankan oleh Comte itu, yaitu kedudukan sosialnya. Bagaimanapun juga dia
harus berhenti dan bermuka tebal."
Van Aldin masih merasa tak puas.
"Tapi saya tak mengerti - "
Poirot mengangkat kedua belah tangannya. "Beri saya waktu sedikit saja,
Monsieur. Saya mempunyai gagasan. Banyak orang mengejek gagasan-gagasan Hercule
Poirot - tapi mereka keliru."
"Nah," kata Van Aldin, "katakanlah. Apa gagasan itu?"
Poirot berhenti sebentar lalu berkata,
"Saya akan ke hotel Anda pukul sebelas besok. Sampai saat itu, janganlah katakan
apa-apa pada siapa pun juga."
Bab 22 M. PAPOPOLOUS MAKAN PAGI M. Papopolous sedang makan pagi. Di hadapannya duduk putrinya, Zia.
Terdengar ketukan pada pintu kamar tamu, dan seorang pelayan masuk membawa kartu
yang disampaikannya pada M. Papopolous. Pria itu memperhatikan kartu itu,
mengangkat alisnya, lalu meneruskannya pada putrinya.
"Ah!" kata M. Papopolous, sambil menggaruk telinga kirinya dengan merenung.
"Hercule Poirot. Ada apa, ya?"
Ayah dan anak saling berpandangan.
"Aku kemarin melihatnya di lapangan tenis," kata M. Papopolous. "Zia, aku kurang
senang." "Dia pernah menolong Ayah," putrinya mengingatkannya.
"Benar," M. Papopolous mengakui! "Dia juga sudah berhenti dari jabatannya yang
aktif, begitu kudengar."
Percakapan antara ayah dan anak itu terjadi dalam bahasa mereka sendiri. Lalu M.
Papopolous berpaling pada pelayan dan berkata dalam bahasa Prancis,
"Persilakan Monsieur masuk."
Beberapa menit kemudian Hercule Poirot, yang berpakaian apik dan mengayunkan
tongkatnya dengan gaya, memasuki kamar itu.
"Sahabatku M. Papopolous."
"Sahabatku M. Poirot."
"Dan Mademoiselle Zia." Poirot membungkuk dalam.
"Maafkan kami melanjutkan sarapan kami," kata M. Papopolous, sambil menuang
secangkir kopi lagi untuknya sendiri. "Agak - ehm! - agak awal juga Anda
datang." "Memang memalukan sekali," kata Poirot, "tapi saya terdesak, harap Anda
mengerti." "Oh," gumam M. Papopolous, "jadi Anda ada urusan."
"Suatu urusan yang serius," kata Poirot, "soal kematian Nyonya Kettering."
"Coba saya ingat-ingat." Dengan pandangan polos M. Papopolous memandangi langit-
langit. "Wanita yang meninggal di Kereta Api Biru itukah" Saya membaca berita
itu di surat-surat kabar, tapi tak ada disebut-sebut tentang adanya permainan
kotor." Mereka diam sebentar. "Lalu dengan jalan apa saya bisa membantu Anda?" tanya pedagang itu dengan
sopan. "Voila," kata Poirot, "baik langsung saya katakan." Dikeluarkannya kotak yang
diperlihatkannya di Cannes dari sakunya, dan setelah membukanya, dikeluarkannya
batu-batu delima itu dan disorongkannya ke seberang meja, ke arah Papopolous.
Sedikit pun tak berubah air muka orang tua itu, meskipun Poirot memperhatikannya
baik-baik. Diambilnya permata-permata itu lalu diperiksanya dengan perhatian
yang tak diperlihatkannya, kemudian dia memandang ke seberang meja, ke arah
detektif itu dengan pandangan bertanya.
"Luar biasa, bukan?" tanya Poirot.
"Bagus sekali," kata M. Papopolous.
"Menurut pikiran Anda, berapa harganya?"
Wajah laki-laki Yunani itu agak bergetar.
"Perlu benarkah dikatakan pada Anda, M. Poirot?" tanyanya.
"Penglihatan Anda tajam, Monsieur. Saya yakin, permata-permata ini pasti tidak
sampai lima ratus ribu dolar harganya."
Papopolous tertawa, dan Poirot ikut tertawa.
"Sebagai barang tiruan," kata Papopolous, sambil mengembalikannya pada Poirot,
"seperti saya katakan tadi, batu-batu ini bagus sekali. Apakah akan tak sopan
bila saya tanyakan, dari mana Anda memperolehnya, M. Poirot?"
"Sama sekali tidak," kata Poirot. "Saya tak berkeberatan untuk menceritakannya
pada Anda sebagai seorang sahabat lama. Barang-barang ini dimiliki oleh Comte de
la Roche." Alis mata M. Papopolous cepat terangkat.
"Pan - tas," gumamnya.
Poirot menyandarkan tubuhnya ke depan dan air mukanya kembali polos dan
menyembunyikan sesuatu. "M. Papopolous," katanya, "saya akan membuka kartu. Permata-permata ini yang
asli telah dicuri dari Nyonya Kettering di Kereta Api Biru. Sekarang, ini dulu
yang akan saya katakan pada Anda: Saya tak ada urusan dengan kembalinya permata-
permata ini. Itu urusan polisi. Saya tidak bekerja untuk polisi melainkan untuk
M. Van Aldin. Saya ingin menangkap orang yang telah membunuh Nyonya Kettering.
Saya hanya menaruh perhatian pada permata-permata itu, sejauh dia dapat membuka
jalan kepada pembunuh itu. Mengertikah Anda?"
Kedua kata-kata yang terakhir itu diucapkannya dengan tekanan yang jelas. Dengan
wajah yang tak berubah, M. Papopolous berkata dengan tenang,
"Teruskan." "Saya rasa, Monsieur, mungkin permata-permata itu akan beralih tangan di Nice -
bahkan sekarang mungkin sudah."
"Ah!" kata M. Papopolous.
Dia menghirup kopinya sambil merenung, dan kelihatan agak lebih segar.
"Saya pikir," sambung Poirot dengan ramah, "alangkah beruntungnya! Sahabat
lamaku M. Papopolous ada di Nice. Dia pasti bisa membantuku."
"Lalu bagaimana saya bisa membantu Anda?" tanya M. Papopolous dingin.
"Saya yakin, Anda berada di Nice ini pasti untuk suatu urusan."
"Sama sekali tidak," kata M. Papopolous, "saya di sini demi kesehatan saya -
atas anjuran dokter."
Dia batuk hampa. "Sedih saya mendengar hal itu," sahut Poirot, dengan simpati yang tulus. "Tapi
selanjutnya. Bila seorang Grand Duke dari Rusia, seorang Archduchess dari
Austria, atau seorang pangeran dari Itali ingin menjual permata-permata
keluarganya - siapa yang mereka datangi" M. Papopolous, bukan" Anda sudah
terkenal di seluruh dunia karena cara Anda yang penuh rahasia dalam menangani
jual-beli itu." Lawan bicaranya membungkuk.
"Anda memuji saya."
"Sikap tutup mulut itu, besar sekali artinya," renung Poirot, dan sebagai
jawaban, suatu senyum simpul tersungging di wajah orang Yunani itu. "Saya pun
bisa menutup mulut."
Kedua orang itu saling berpandangan.
Kemudian Poirot meneruskan bicaranya lambat-lambat, dan agaknya memilih kata-
katanya dengan teliti.

Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kata saya pada diri sendiri: bila permata-permata itu sudah beralih tangan di
Nice. M. Papopolous pasti mendengar beritanya. Dia tahu tentang segala-galanya
yang terjadi di dunia permata."
"Ah!" kata M. Papopolous, lalu mengambil sepotong roti croissant.
"Perlu Anda ketahui bahwa polisi tidak mencampuri soal ini," kata M. Poirot.
"Ini urusan pribadi."
"Memang ada terdengar desas-desus," M. Papopolous mengaku dengan waspada.
"Umpamanya?" desak Poirot.
"Adakah alasannya mengapa saya harus menyampaikannya pada Anda?"
"Ya," kata Poirot, "saya pikir ada. Mungkin Anda ingat, M. Papopolous, bahwa
tujuh belas tahun yang lalu dalam tangan Anda ada semacam barang yang diserahkan
sebagai jaminan oleh seorang - er - yang sangat terkemuka. Barang itu Anda yang
menyimpannya dan tanpa bisa masuk akal, barang itu hilang. Waktu itu Anda berada
dalam kesulitan besar."
Matanya beralih dengan lembut pada gadis yang ada di samping ayahnya. Gadis itu
telah menyingkirkan cangkir dan piring, dan dengan bertelekan pada kedua sikunya
di atas meja dan menopang dagunya dengan tangannya, dia mendengarkan dengan
penuh perhatian. Sambil tetap memandang gadis itu, Poirot meneruskan,
"Waktu itu saya berada di Paris. Anda meminta saya datang. Anda menyerahkan diri
Anda ke dalam tangan saya. Bila saya bisa mengembalikan barang itu, kata Anda,
Anda akan berterima kasih pada saya seumur hidup. Eh bien! Saya berhasil
mengembalikannya pada Anda."
M. Papopolous mendesah panjang.
"Itulah saat yang paling tak menyenangkan dalam perjalanan karier saya,"
gumamnya. "Tujuh belas tahun memang lama," kata Poirot tercenung, "tapi saya rasa saya tak
keliru bila saya katakan, bahwa bangsa Anda tak pernah lupa."
"Bangsa Yunani?" kata Papopolous, dengan senyum ironis.
"Bukan, darah Yunaninya yang saya maksud," kata Poirot.
Sepi sebentar, kemudian orang tua itu kembali pada sikapnya yang anggun.
"Anda memang benar, M. Poirot," katanya dengan tenang. "Saya seorang Yahudi. Dan
seperti Anda katakan, bangsa kami tak mudah lupa."
"Kalau begitu, maukah Anda membantu saya?"
"Mengenai permata-permata itu, Monsieur, saya tak bisa berbuat apa-apa."
Sebagaimana yang dilakukan Poirot tadi, orang tua itu memilih kata-katanya
dengan berhati-hati. "Saya tak tahu apa-apa. Saya tak mendengar apa-apa. Tapi mungkin saya bisa
memberi Anda pertolongan - itu pun, kalau Anda menaruh perhatian pada pacuan
kuda." "Dalam keadaan tertentu, saya mungkin tertarik," kata Poirot sambil
memandangnya lekat. "Ada seekor kuda yang akan ikut pacuan di Longchamps, yang saya rasa, juga akan
menaruh perhatian. Saya tak yakin apakah Anda mengerti perumpamaan itu, berita
itu sudah melalui banyak tangan."
Dia berhenti lalu memandangi Poirot lekat-lekat, seolah-olah ingin meyakinkan
bahwa Poirot memahaminya.
"Saya mengerti, mengerti betul," kata Poirot sambil mengangguk.
"Nama kuda itu," kata M. Papopolous, sambil bersandar dan mempertemukan ujung
jari-jarinya, "adalah Marquis. Saya rasa, tapi saya tak yakin, bahwa kuda itu
kuda Inggris, ya, Zia?"
"Saya rasa juga demikian," kata gadis itu.
Poirot bangkit dengan bersemangat.
"Terima kasih, Monsieur," katanya. "Besar sekali artinya mendapatkan petunjuk
dari orang yang benar-benar tahu. Au revoir, Monsieur, dan terima kasih banyak."
Dia berpaling pada gadis itu.
"Au revoir, Mademoiselle Zia. Rasanya baru kemarin saya bertemu dengan Anda di
Paris. Rasanya paling-paling baru dua tahun yang lalu."
"Umur enam belas dan tiga puluh tiga tahun itu besar bedanya," kata Zia sedih.
"Kalau mengenai diri Anda, tidak," Poirot menegaskan dengan jantan. "Barangkali
Anda dan ayah Anda mau makan malam bersama saya suatu kali kelak."
"Kami akan senang sekali," sahut Zia.
"Kalau begitu nanti kita atur," kata Poirot, "dan sekarang - saya pergi dulu
menyelesaikan urusan saya."
Poirot berjalan di sepanjang jalan sambil bersenandung kecil. Diputar-putarkan
tongkatnya dengan gaya, satu atau dua kali dia tersenyum sendiri. Dia memasuki
kantor pos yang pertama-tama dijumpainya dan mengirim telegram. Agak lama dia
berpikir untuk mencari kata-katanya, tapi kata-kata tadi harus merupakan kode
dan dia harus mengembalikan ingatannya. Telegram itu harus seolah-olah berurusan
dengan sebuah peniti dasi yang hilang dan dialamatkan pada Inspektur Japp,
Scotland Yard. Bila kode itu diuraikan kembali, bunyinya akan menjadi singkat dan tegas. "Beri
kabar dengan telegram segala sesuatu yang diketahui mengenai seseorang yang nama
julukannya Marquis."
Bab 23 SEBUAH TEORI BARU Tepat pukul sebelas Poirot datang ke hotel Van Aldin. Didapatinya jutawan itu
sedang seorang diri. "Anda datang tepat pada waktunya, M. Poirot," katanya dengan tersenyum, sambil
berdiri menyalami detektif itu.
"Saya selalu datang pada waktunya," kata Poirot. "Saya selalu memperhatikan
ketepatan waktu. Tanpa aturan dan metode - "
Dia berhenti tiba-tiba. "Ah, mungkin saya sudah mengatakan hal itu pada Anda
dulu. Mari kita langsung saja membicarakan tujuan kedatangan saya ini."
"Mengenai gagasan Anda itukah?"
"Ya, mengenai gagasan saya itu." Poirot tersenyum.
"Pertama-tama, Monsieur, saya ingin menanyai pelayan wanita itu, Ada Mason,
sekali lagi. Adakah dia di sini?"
"Ya, ada." "Bagus!" Van Aldin memandangnya dengan rasa ingin tahu. Dibunyikannya bel, dan seorang
pelayan diperintah untuk memanggil Mason.
Poirot menyapanya dengan sopan santun yang merupakan kebiasaannya, hal mana
selalu berpengaruh baik bagi orang-orang golongan itu.
"Selamat siang, Nona," katanya dengan ceria. "Silakan duduk, bila diperkenankan
Monsieur." "Ya, ya, duduklah," kata Van Aldin.
"Terima kasih, Tuan," kata Mason dengan sopan, dan dia duduk di ujung sebuah
kursi. Dia tampak lebih kurus dan wajahnya lebih masam daripada biasanya.
"Saya datang untuk menanyai Anda beberapa pertanyaan lagi," kata Poirot. "Kita
harus menyelesaikan soal ini sampai tuntas. Saya selalu kembali pada laki-laki
yang di kereta api itu. Kepada Anda telah diperlihatkan Comte de la Roche. Kata
Anda mungkin dia orangnya, tapi Anda tak yakin."
"Sudah saya katakan, Tuan, saya tidak melihat wajah laki-laki itu. Itulah sulitnya."
Wajah Poirot cerah dan dia mengangguk.
"Tepat, tepat. Saya mengerti benar kesulitannya. Sekarang, Nona, kata Anda, baru
dua bulan Anda bekerja pada Nyonya Kettering. Selama waktu itu, berapa kali Anda
melihat suami majikan Anda?"
Mason berpikir beberapa saat, lalu berkata,
"Hanya dua kali, Tuan."
"Dari dekat atau dari jauh?"
"Satu kali beliau datang ke Curzon Street. Saya sedang berada di lantai atas,
saya melihat melalui susuran tangga dan melihat beliau yang sedang berada di
lorong rumah di bawah. Anda tentu mengerti bahwa saya ingin tahu, karena saya
tahu - eh - bagaimana persoalannya." Mason menyudahi kalimatnya dengan mendehem
kecil. "Dan yang satu kali lagi?"
"Saya sedang berada di taman, bersama Annie - salah seorang pembantu rumah
tangga - lalu Annie menunjukkan Tuan yang sedang berjalan dengan seorang wanita
asing." "Sekarang dengarkan, Mason, laki-laki yang Anda lihat di kereta, yang sedang
bercakap-cakap dengan Nyonya di Gare de Lyon, Anda tahu bahwa itu bukan suami
majikan Anda?" "Tuan" Ah, saya rasa itu tak mungkin."
"Tapi Anda tak yakin," desak Poirot.
"Yah - saya tak pernah memikirkannya, Tuan."
Jelas bahwa Mason merasa risau dengan gagasan itu.
"Anda sudah mendengar bahwa suami majikan Anda juga berada di kereta api.
Bukankah wajar saja kalau beliau yang datang melalui lorong kereta api itu?"
"Tapi pria yang berbicara dengan Nyonya itu mestinya datang dari luar, Tuan. Dia
berpakaian untuk di jalanan. Dia mengenakan mantel dan topi lembut."
"Bagus, Nona, ingat-ingat terus. Kereta api baru saja tiba di Gare de Lyon.
Kebanyakan penumpang berjalan-jalan di peron. Majikan Anda pun akan berbuat
demikian pula, dan untuk keperluan itu, beliau pasti mengenakan mantel bulu
binatangnya, bukan?"
"Benar, Tuan," Mason membenarkan.
"Kalau begitu, suami majikan Anda juga mungkin berbuat demikian. Dalam kereta
api memang ada pemanasan, tapi di luar, yaitu di stasiun, dingin. Dia mengenakan
mantel dan topinya, dan dia berjalan di sisi kereta api. Dan waktu dia
menengadah melihat jendela-jendela yang berlampu, dia tiba-tiba melihat Nyonya
Kettering. Sebelum itu dia sama sekali tak tahu bahwa istrinya ada di kereta api
itu. Wajarlah kalau dia naik ke kereta lalu pergi ke kamarnya. Istrinya berseru
terkejut melihat suaminya dan cepat menutup pintu di antara kedua kamar kalian,
karena mungkin percakapan mereka bersifat pribadi."
Dia bersandar pada kursinya dan memperhatikan akibat kata-katanya itu. Tak ada
orang yang lebih tahu daripada Hercule Poirot bahwa orang-orang segolongan Mason
tak dapat diburu-buru. Dia harus memberinya waktu untuk menghilangkan gagasan
yang sudah dibentuknya sendiri. Tiga menit kemudian Mason berbicara,
"Yah, tentu mungkin saja begitu, Tuan. Saya tak pernah berpikir akan begitu
keadaannya. Suami Nyonya saya jangkung dan berambut hitam, dan potongan badannya
pun hampir sama. Melihat topi dan mantelnya, saya jadi berpikir bahwa dia adalah
seorang pria dari luar. Ya, mungkin saja, Tuan. Saya tak ingin membantahnya."
"Terima kasih banyak, Nona. Saya tidak akan mengganggu Anda lagi. Oh ya, satu
lagi." Dikeluarkan dari sakunya, kotak rokok yang telah diperlihatkannya pada
Katherine. "Apakah ini kotak rokok majikan Anda?" tanyanya pada Mason.
"Bukan, Tuan, bukan kepunyaan Nyonya - setidak-tidaknya - " Tiba-tiba dia tampak
terkejut. Jelas bahwa dia baru menggarap suatu gagasan dalam pikirannya.
"Bagaimana?" tanya Poirot mendorong.
"Saya rasa, Tuan - saya tak yakin, tapi saya rasa - itu kotak yang dibelikan
Nyonya untuk Tuan." "Oh," kata Poirot dengan sikap yang tak mengandung arti apa-apa.
"Tapi apakah jadi diberikannya atau tidak, saya tak bisa mengatakannya."
"Tentu," kata Poirot, "tentu. Saya rasa sekian saja, Nona. Selamat siang."
Ada Mason pergi dengan sopan, dan menutup pintu tanpa berbunyi.
Poirot melihat pada Van Aldin, dengan wajah yang berhias senyum yang samar.
Jutawan itu kelihatan sangat terkejut.
"Menurut Anda - Anda pikir Derek-kah orangnya?" tanyanya. "Tapi - segalanya
menunjuk ke orang yang lain. Comte itu boleh dikatakan telah tertangkap basah
dengan adanya permata-permata itu padanya."
"Tidak." "Tapi Anda sendiri mengatakannya pada saya - "
"Apa yang saya katakan pada Anda?"
"Mengenai permata-permata itu. Anda tunjukkan pada saya."
"Tidak." "Kemarin di lapangan tenis?"
"Tidak." "Gilakah Anda, M. Poirot, atau sayakah yang sudah linglung?"
"Tak ada di antara kita yang gila," kata sang detektif. "Anda bertanya, saya
menjawabnya. Kata Anda apakah saya kemarin tidak memperlihatkan permata-permata
pada Anda" Saya jawab - tidak. Yang saya tunjukkan pada Anda, M. Van Aldin,
adalah tiruannya yang memang hebat, hampir tak bisa dibedakan dari aslinya,
kecuali oleh seseorang yang benar-benar ahli."
Bab 24 POIROT MEMBERI NASIHAT Jutawan itu membutuhkan beberapa menit untuk menyerapi kata-kata itu. Dia
menatap Poirot seolah-olah dia sudah menjadi bisu. Orang Belgia yang kecil itu
mengangguk-angguk perlahan.
"Ya," katanya, "hal itu mengubah keadaan, bukan?"
"Tiruan!" Dia membungkuk. "Selama ini, M. Poirot, apakah Anda sudah mengetahui hal itu" Apakah yang ingin
Anda katakan selama ini" Anda tak pernah percaya bahwa Comte de la Roche itu
pembunuhnya?" "Saya pernah ragu," kata Poirot dengan tenang. "Pernah pula hal itu saya katakan
pada Anda. Perampokan dengan kekerasan dan pembunuhan - " Dia menggeleng kuat-
kuat - "tidak, sukar dibayangkan. Tidak cocok dengan kepribadian Comte de la
Roche." "Tapi Anda percaya bahwa dia berniat untuk mencuri permata-permata delima itu?"
"Tentu. Mengenai hal itu saya tak ragu. Dengar, akan saya ceritakan kembali
peristiwa itu pada Anda menurut penglihatan saya. Comte itu tahu tentang permata
delima itu dan dia segera menyusun rencananya. Dia mengarang-ngarang suatu kisah
yang romantis mengenai buku yang sedang ditulisnya, untuk membujuk putri Anda
membawa permata-permata itu padanya. Dia menyiapkan tiruan yang sama benar
dengan permata itu. Jelas bukan, bahwa dia bermaksud untuk menukarnya" Putri
Anda tidak ahli dalam hal batu-batu permata. Mungkin akan lama baru dia tahu apa
yang telah terjadi. Bila demikian halnya - yah - saya rasa dia tidak akan
mengadukan Comte itu ke pengadilan. Terlalu banyak yang akan terungkap. Ya,
suatu rencana yang betul-betul aman dalam pandangan Comte - sesuatu yang mungkin
telah pernah dilakukannya."
"Agaknya jelas begitu, memang," kata Van Aldin merenung.
"Hal itu memang sesuai dengan kepribadian Comte de la Roche," kata Poirot.
"Ya, tapi lalu - " Van Aldin melihat pada Poirot dengan pandangan menyelidik -
"apa yang terjadi sebenarnya" Ceritakan, M. Poirot."
Poirot mengangkat bahunya.
"Itu sederhana sekali," katanya - "seseorang telah mengambil langkah mendahului
Comte." Lama mereka diam. Agaknya Van Aldin sedang memutar ingatannya. Lalu dia berbicara tanpa tedeng
aling-aling. "Sudah berapa lama Anda mencurigai menantu saya, M. Poirot?"
"Sejak semula. Dia mempunyai alasan dan kesempatan. Semua orang dengan
sendirinya percaya bahwa laki-laki yang ada di dalam kamar Nyonya Kettering itu
adalah Comte de la Roche. Saya juga berpikir begitu. Lalu Anda kebetulan pernah
berkata bahwa Anda satu kali keliru melihat Comte yang Anda sangka menantu Anda.
Hal itu membuat saya menarik kesimpulan bahwa mereka itu sama tinggi dan
potongan badannya, dan sama pula warna rambutnya. Lalu timbul beberapa gagasan
lain dalam otak saya. Pelayan itu baru sebentar bekerja pada putri Anda. Tak
mungkin dia bisa mengenali betul Tuan Kettering bila dia melihatnya, karena Tuan
Kettering tidak tinggal di Curzon Street - apalagi laki-laki itu sangat berhati-
hati dan selalu memalingkan mukanya."
"Anda percaya bahwa dia - telah membunuhnya?" tanya Van Aldin dengan suara
serak. Poirot cepat-cepat mengangkat tangannya.
"Tidak, tidak, saya tidak berkata begitu - tapi itu suatu kemungkinan - suatu
kemungkinan besar. Dia berada dalam kesempitan, kesempitan yang benar-benar
menjepit, yang mengancam kehancurannya. Inilah satu-satunya jalan ke luar."
"Tetapi, mengapa permata-permata itu diambilnya?"
"Supaya kejahatan itu kelihatannya seperti kejahatan biasa yang dilakukan oleh
perampok-perampok. Kalau tak begitu orang akan langsung mencurigainya."
"Kalau begitu, apa yang telah dilakukannya dengan permata-permata delima itu?"
"Itu yang masih harus kita lihat. Ada beberapa kemungkinan. Ada seseorang di
Nice yang mungkin bisa membantu, pria yang saya tunjukkan pada Anda di lapangan
tenis itu." Dia bangkit dan Van Aldin juga bangkit, lalu meletakkan tangannya ke pundak
laki-laki kecil itu. Waktu dia berbicara, suaranya keras penuh emosi.
"Temukan pembunuh Ruth," katanya, "hanya itu yang saya minta."
Poirot menghadapinya dengan gagah.
"Serahkan itu ke tangan Hercule Poirot," katanya dengan yakin. "Jangan kuatir.
Saya akan menemukan kebenarannya."
Dia menepiskan sehelai bulu halus dari topinya, tersenyum meyakinkan pada
jutawan itu, lalu pergi meninggalkan kamar itu. Namun sedang dia menuruni
tangga, keyakinan diri itu agak tersapu dari wajahnya.


Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang semuanya beres," gumamnya sendiri, "tapi ada kesulitannya. Ya,
kesulitannya besar."
Waktu dia sedang berjalan ke luar hotel, dia tiba-tiba berhenti. Sebuah mobil
berhenti di depan pintu. Di dalamnya ada Katherine Grey, dan Derek Kettering
sedang berdiri di sisi mobil itu, asyik bercakap-cakap dengan gadis itu.
Beberapa menit kemudian mobil itu berangkat lagi dan tinggallah Derek berdiri di
trotoar memperhatikan mobil itu dari belakang. Air mukanya kelihatan aneh. Dia
tiba-tiba menggerakkan bahunya, mendesah dalam-dalam, lalu berpaling, dan
mendapatkan Hercule Poirot berdiri di sampingnya. Dia terkejut. Kedua laki-laki
itu saling bertatapan. Poirot dengan tetap dan tak ragu, sedang Derek dengan
agak menantang. Waktu dia berbicara, nadanya mengandung cemoohan dan ejekan, dan
dia mengangkat alis matanya.
"Manis sekali dia, ya?" tanyanya santai.
Sikapnya wajar sekali. "Ya," kata Poirot sambil merenung, "itu memang kata-kata yang tepat sekali bagi
Mademoiselle Katherine. Ungkapan khas bahasa Inggris, dan Mademoiselle Katherine
itu juga orang Inggris sejati."
Derek diam saja tanpa menjawab.
"Tapi dia juga simpatik, ya?"
"Ya," kata Derek. "Tak banyak orang seperti dia."
Dia berbicara dengan suara halus, seolah-olah pada dirinya sendiri. Poirot
mengangguk membenarkan. Kemudian dia membungkukkan tubuhnya ke arah Derek dan
berbicara dengan nada lain, nada tenang, dan bersungguh-sungguh, yang tak biasa
bagi Derek. "Maukah Anda memaafkan orang tua, Monsieur, bila dia mengatakan sesuatu yang
dianggap lancang pada Anda. Saya ingin mengingatkan Anda pada sebuah peribahasa
dalam bahasa Inggris. Peribahasa itu berbunyi, 'Sebaiknya putuskan dulu cinta
yang lama, sebelum memulai cinta yang baru.'"
Kettering berpaling padanya dengan marah.
"Apa maksud Anda ini?"
"Anda marah sekali pada saya," kata Poirot dengan tenang. "Sudah saya duga.
Mengenai maksud saya - maksud saya, Monsieur - ada sebuah mobil lain dengan
seorang wanita di dalamnya. Bila Anda berpaling, Anda akan melihatnya."
Derek berputar. Merah-padam wajahnya karena marah.
"Mirelle, terkutuk dia!" gumamnya. "Aku akan segera - "
Poirot menghalangi gerakan yang akan dilakukan Derek.
"Apakah bijak yang akan Anda lakukan itu?" tanyanya memberi peringatan. Matanya
bersinar lembut dengan cahaya hijau di dalamnya. Tapi Derek tak melihat tanda-
tanda peringatan itu. Karena marahnya dia tak dapat menguasai dirinya.
"Saya sudah benar-benar putus dengan dia, dan dia tahu itu," seru Derek dengan
marah. "Anda sudah putus dengan dia, benar, tapi apakah dia sudah putus dengan Anda?"
Derek tiba-tiba tertawa sumbang.
"Kalau bisa, dia tidak akan mau putus dengan dua juta pound," gumamnya dengan
kasar, "begitulah, Monsieur."
Poirot mengangkat alisnya.
"Anda sinis sekali," gumamnya.
"Begitukah?" Dia tiba-tiba tersenyum lebar - senyum itu mengandung kesenangan.
"Sudah cukup lama saya hidup di dunia, M. Poirot, untuk mengetahui bahwa
perempuan sama saja." Tiba-tiba wajahnya menjadi lembut. "Semuanya, kecuali
satu." Dibalasnya pandangan Poirot dengan menantang. Mula-mula matanya mengandung
kewaspadaan, lalu mengabur lagi. "Yang itu," katanya, dan kepalanya
dianggukkannya ke arah Cap Martin.
"Oh!" kata Poirot.
Ketenangan bicaranya memang sudah diperhitungkannya untuk merangsang temperamen
lawan bicaranya. "Saya tahu apa yang akan Anda katakan," kata Derek cepat. "Cara hidup yang saya
jalani selama ini, kenyataan bahwa saya tak pantas baginya. Anda akan berkata
bahwa saya bahkan tak punya hak untuk berpikir ke arah itu. Anda akan berkata
bahwa Anda tidak sedang menjelek-jelekkan saya - saya tahu bahwa saya tak pantas
berbicara begini karena istri saya baru beberapa hari meninggal, dan dibunuh
pula." Derek berhenti sebentar untuk bernapas, dan Poirot memanfaatkan jeda itu untuk
berkata dengan lirih, "Tapi, saya kan sama sekali tidak berkata apa-apa."
"Tapi nanti Anda akan berkata."
"Ha?" kata Poirot.
"Anda berkata bahwa saya sama sekali tak punya kesempatan mengawini Katherine."
"Tidak," kata Poirot, "saya tidak akan berkata begitu. Anda memang terkenal
punya nama buruk, tapi kaum wanita tak pernah mengacuhkan hal-hal yang begituan.
Bila Anda seorang yang berwatak baik sekali, yang bermoral tinggi, dan yang
tidak akan mau melakukan apa yang terlarang, dan - mungkin melakukan segala-
galanya yang memang seharusnya - eh bien! - maka saya benar-benar akan meragukan
keberhasilan Anda dengan kaum wanita. Anda tahu, nilai-nilai moral itu tidak
romantis. Tapi, hal itu dihargai oleh para janda."
Derek Kettering menatapnya, lalu berbalik dan pergi ke mobilnya yang sedang
menunggu. Poirot memandanginya dengan penuh perhatian dari belakang. Dilihatnya bayangan
wanita cantik itu mengulurkan kepalanya ke luar mobilnya dan mengatakan sesuatu.
Derek Kettering tak berhenti. Dia mengangkat topinya lalu berjalan terus
melewatinya. "Yah, begitulah," kata M. Hercule Poirot, "kurasa sudah waktunya aku pulang."
Didapatinya George yang selalu berkepala dingin, sedang menyeterika celananya.
"Hari yang menyenangkan, Georges, agak meletihkan, tapi sangat menarik,"
katanya. Sebagaimana biasa George menanggapi kata-kata itu dengan kaku.
"Memang, Tuan."
"Pribadi seorang penjahat itu, suatu soal yang menarik, Georges. Banyak pembunuh
yang mempunyai kepribadian dengan daya tarik."
"Saya selalu mendengar, Tuan, bahwa Dr. Crippen adalah pria yang cara bicaranya
menyenangkan. Padahal dia sampai hati mencincang istrinya."
"Contoh-contoh yang kauberikan selalu tepat, Georges."
Pelayan itu tidak menjawab dan pada saat itu telepon berdering. Poirot
mengangkat gagangnya. "Halo - halo - ya, ya, Hercule Poirot yang bicara ini."
"Di sini Knighton. Tolong tunggu sebentar, M. Poirot. Tuan Van Aldin ingin
berbicara dengan Anda."
Sepi sebentar, lalu terdengar suara jutawan itu.
"Andakah itu, M. Poirot" Saya hanya akan mengatakan pada Anda bahwa Mason telah
datang pada saya atas kehendaknya sendiri. Dia telah memikirkannya, dan katanya
boleh dikatakan dia sudah yakin bahwa laki-laki di Paris itu adalah Derek
Kettering. Katanya, pada waktu itu ada sesuatu yang dikenalinya, tapi beberapa
waktu lamanya dia tak dapat memastikannya. Sekarang dia merasa yakin."
"Oh," kata Poirot, "terima kasih, M. Van Aldin. Itu kemajuan bagi kita."
Gagang telepon dikembalikannya, dan berdiri sebentar dengan senyuman yang aneh
di wajahnya. George harus berkata dua kali dengannya, barulah mendapatkan
jawaban. "Eh?" tanya Poirot. "Apa katamu tadi?"
"Apakah Anda akan makan siang di sini, atau akan keluar, Tuan?"
"Kedua-duanya tidak," kata Poirot. "Aku akan pergi tidur dan minum sampanye
ringan. Apa yang kuharapkan telah terjadi, dan bila yang diharapkan telah
terjadi, aku jadi emosi."
Bab 25 PERLAWANAN Waktu Derek Kettering melewati mobilnya, Mirelle mengulurkan kepalanya.
"Derek - aku harus berbicara sebentar denganmu - "
Tetapi Derek melewatinya saja tanpa berhenti, sambil mengangkat topinya.
Waktu Derek tiba kembali di hotelnya, penjaga pintu meletakkan pena kayunya dan
berbicara dengannya. "Seorang pria sedang menunggu, ingin berbicara dengan Anda, Monsieur."
"Siapa?" "Dia tidak menyebutkan namanya, Monsieur, tapi katanya urusannya dengan Anda
penting sekali, dan bahwa dia akan menunggu."
"Di mana dia?" "Di kamar tamu kecil, Monsieur. Dia lebih suka di situ daripada di ruang tunggu,
katanya, karena urusannya bersifat pribadi."
Derek mengangguk, dan menujukan langkahnya ke arah kamar itu.
Dalam kamar tamu kecil itu hanya ada tamu itu - dia bangkit dan membungkuk
memberi hormat dengan gaya asing, waktu Derek masuk. Derek hanya satu kali
bertemu dengan Comte de la Roche, tapi dia tidak mengalami kesulitan untuk
mengenali pria ningrat itu, dan dia mengerutkan dahinya dengan marah. Sungguh
lancang! "Comte de la Roche, bukan?" katanya. "Saya rasa Anda membuang-buang waktu saja
datang kemari." "Saya harap tidak," kata Comte itu dengan sabar. Giginya yang putih, berkilat.
Sikap menarik Comte itu biasanya memang tak mempan bagi sesama kaum pria. Semua
laki-laki, tanpa kecuali, benar-benar benci padanya. Derek Kettering menyadari
suatu keinginan besar dalam dirinya untuk menendang Comte itu keluar dari kamar
itu. Hanya kesadaran bahwa suatu skandal akan lebih tidak menguntungkan pada
saat itu sajalah, yang mencegahnya untuk berbuat demikian. Dia merasa heran
bagaimana Ruth sampai bisa jatuh cinta pada laki-laki itu. Seorang bajingan yang
banyak gaya, bahkan lebih jahat daripada itu. Dia melihat ke tangan pria itu -
kuku-kukunya dipotong bagus sekali, dia merasa jijik.
"Saya datang untuk suatu urusan kecil," kata Comte. "Saya rasa sebaiknya Anda
mau mendengarkan saya."
Sekali lagi Derek merasa amat tergoda untuk menendangnya ke luar, tetapi sekali
lagi ditahan dirinya. Dia bukannya tak bisa menangkap sindiran berupa ancaman
atas dirinya, tetapi hal itu ditafsirkannya dengan caranya sendiri. Ada beberapa
alasan mengapa akan lebih baik mendengarkan dulu apa yang akan dikatakan Comte
itu. Dia duduk dan mengetuk-ngetukkan jarinya dengan tak sabaran di atas meja.
"Nah," katanya dengan tajam, "ada apa?"
Bukanlah kebiasaan Comte itu untuk segera buka kartu.
"Izinkanlah saya terlebih dulu, Monsieur, untuk menyatakan belasungkawa saya
atas duka cita yang baru saja Anda alami."
"Bila saya mendengar kelancangan dari Anda," kata Derek dengan tenang, "Anda
akan saya tendang ke luar dari pintu itu."
Dia menganggukkan kepalanya ke arah pintu di samping Comte, dan Comte itu
menggeser dengan gelisah.
"Akan saya kirimkan sahabat-sahabat saya pada Anda, Monsieur, bila itu keinginan
Anda," katanya dengan angkuh.
Derek tertawa. "Suatu pertarungan, ya" Comte, saya tidak menganggap Anda serius. Tapi saya akan
senang sekali kalau bisa menendang Anda sampai ke Promenade des Anglais."
Comte itu sama sekali tak ingin merasa tersinggung. Dia hanya mengangkat alisnya
dan bergumam, "Orang-orang Inggris memang biadab."
"Nah," kata Derek, "apa yang akan Anda katakan pada saya?"
"Saya akan berterus terang," kata Comte itu, "saya akan segera mengatakan
persoalannya. Itulah yang terbaik bagi kita berdua, bukan?"
Dia tersenyum lagi dengan tenang.
"Teruskan," kata Derek singkat.
Comte memandangi loteng, mempertemukan ujung-ujung jarinya, lalu berkata dengan
halus, "Anda telah mewarisi uang banyak sekali, Monsieur."
"Apa urusannya dengan Anda?"
Comte duduk tegak. "Monsieur, nama saya ternoda! Saya dicurigai - dituduh - telah melakukan suatu
kejahatan kotor." "Tuduhan itu tak berasal dari saya," kata Derek dingin. "Sebagai pihak yang
berkepentingan, saya tak pernah menyatakan pendapat saya."
"Saya tak bersalah," kata Comte itu. "Saya berani bersumpah - ."Diangkat tangannya
ke arah langit - "bahwa saya tak bersalah."
"Saya rasa, M. Carrege-lah yang akan menjadi Hakim Ketua dalam urusan perkara
ini," sindir Derek dengan sopan.
Comte itu tak peduli. "Saya tidak saja telah dicurigai secara tak adil, telah melakukan kejahatan,
tapi saya juga perlu uang."
Dia mendehem perlahan tapi meyakinkan.
Derek bangkit. "Itu sudah kuduga," katanya dengan suara halus. "Pemeras bajingan! Tidak satu
penny pun akan kuberikan padamu. Istriku sudah meninggal, dan skandal sebesar
apa pun tidak akan berpengaruh atas dirinya lagi sekarang. Pasti dia telah
menulis surat-surat yang bodoh padamu. Kalaupun aku harus membelinya darimu
dengan harga yang tinggi sekali pada saat ini, aku yakin bahwa kau akan berusaha
untuk menyimpan beberapa di antaranya. Dan kukatakan padamu, M. Comte de la
Roche, pemerasan adalah perbuatan yang jahat, baik di Inggris maupun di Prancis.
Itulah jawabanku. Selamat siang."
"Sebentar, - " Comte mengulurkan tangannya waktu Derek berbalik akan meninggalkan
kamar itu. "Anda keliru, Monsieur, benar-benar keliru. Saya harap saya ini cukup
'terhormat'." Derek tertawa. "Setiap surat yang ditulis oleh seorang wanita
kepada saya, saya anggap suci." Didongakkannya kepalanya dengan gaya anggun yang
bagus sekali. "Usul yang akan saya ajukan pada Anda, lain sekali sifatnya.
Sebagaimana saya katakan, saya amat memerlukan uang, dan saya akan merasa
terpaksa pergi pada polisi dengan memberikan informasi tertentu."
Derek masuk lambat-lambat sekali kembali ke dalam kamar.
"Apa maksud Anda?"
Sekali lagi senyum Comte yang menyenangkan menghiasi wajahnya.
"Kita tak perlu membicarakannya secara terperinci," katanya dengan suara seperti
kucing mendengkur. "Kata orang, carilah orang yang mendapatkan keuntungan dari
suatu kejahatan, begitu bukan" Sebagaimana saya katakan tadi, Anda telah
mendapatkan uang banyak sekali."
Derek tertawa. "Kalau hanya itu saja - " katanya dengan angkuh.
Tapi Comte menggeleng. "Bukan hanya itu, Tuan yang baik. Saya tak perlu datang pada Anda kalau saya tak
punya informasi yang tepat dan lebih terperinci daripada itu. Sangat tidak
menyenangkan, Monsieur, kalau kita ditangkap dan diadili karena pembunuhan."
Derek memaki sambil mendekatinya. Wajahnya membayangkan marah yang demikian
hebatnya hingga mau tak mau Comte mundur selangkah-selangkah.
"Apakah Anda mengancam saya?" tanya laki-laki muda itu geram.
"Anda tidak akan mendengar hal semacam itu," Comte meyakinkannya.
"Gertak apa pula - "
Comte mengangkat tangannya yang putih.
"Anda keliru. Ini bukan suatu gertakan. Untuk meyakinkan Anda, akan saya katakan
ini. Informasi saya berasal dari seorang wanita. Dialah yang memegang bukti yang
tak bisa disangkal, bahwa Andalah yang telah melakukan pembunuhan itu."
"Siapa dia?" "Mademoiselle Mirelle."
Derek mundur seolah-olah ditampar.
"Mirelle," gumamnya.
Apa yang dianggap kesempatan baik itu cepat-cepat ditangkap oleh Comte.
"Seratus ribu franc hanya suatu jumlah kecil," katanya. "Saya tak minta lebih."
"Eh?" kata Derek linglung.
"Kata saya tadi, Monsieur, sejumlah kecil sebesar seratus ribu franc sudah akan
cukup untuk - memuaskan saya."
Derek agaknya baru sadar. Dia memandang Comte tajam-tajam.
"Anda ingin jawabnya sekarang?"
"Kalau bisa, Monsieur."
"Dengar ini - pergilah ke neraka. Tahu?"
Derek berbalik dan keluar dari kamar itu, meninggalkan Comte yang terlalu
terkejut hingga tak dapat berkata apa-apa.
Setelah keluar dari hotel itu dia menghentikan sebuah taksi dan pergi ke hotel
Mirelle. Waktu dia bertanya, dikatakan petugas di situ bahwa penari itu baru
saja datang. Derek memberikan kartunya pada penjaga pintu.
"Tolong antarkan ini pada Madame dan tanyakan apakah beliau mau menerima saya."
Sebentar kemudian Derek diminta mengikuti pelayan.
Bau harum minyak wangi yang tajam menusuk hidung Derek waktu dia melangkahi
ambang pintu apartemen penari itu. Kamar itu penuh dengan bunga anyelir,


Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anggrek, dan mimosa. Mirelle sedang berdiri di dekat jendela dengan mengenakan
kimono yang berenda-renda.
Dia menyambut Derek dengan tangan terulur.
"Derek - kau datang juga padaku. Aku tahu kau pasti datang."
Tangan yang mencengkam ditepiskan Derek dan memandangnya dengan tajam.
"Mengapa kausuruh Comte de la Roche mendatangiku?"
Mirelle memandangnya dengan terkejut - dia kelihatan sungguh-sungguh.
"Aku" Menyuruh Comte de la Roche mendatangi kau" Buat apa?"
"Agaknya untuk pemerasan," kata Derek tegas.
Sekali lagi Mirelle terbelalak. Lalu tiba-tiba dia tersenyum dan mengangguk.
"Tentu. Itu memang bisa diharapkan. Itu pasti dilakukannya, itu memang ciri khas
laki-laki itu. Aku seharusnya tahu itu. Sungguh, Derek, aku benar-benar tidak
menyuruhnya." Derek memandanginya dengan tajam sekali, seolah-olah ingin membaca pikirannya.
"Baiklah kuceritakan," kata Mirelle. "Aku sebenarnya malu, tapi akan kuceritakan
saja. Beberapa hari yang lalu aku marah, aku mengamuk, aku marah sekali, kurasa
kau maklum - " Dia melakukan suatu gerakan lincah. "Temperamenku ini, aku tak
sabar. Aku ingin membalas dendam padamu, maka aku lalu mendatangi Comte de la
Roche, dan kusuruh dia pergi ke polisi untuk mengatakan begini begitu. Tapi
jangan takut, Derek. Aku tidak marah habis-habisan padamu - bukti itu hanya ada
padaku sendiri. Polisi tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa bukti dariku, kau
mengerti" Dan sekarang - sekarang?"
Dia mendekati Derek lalu menyandarkan dirinya padanya, sambil memandangnya
dengan merayu. Derek menolakkannya dengan kasar. Mirelle berdiri dengan napas terengah, dan
mata terpicing seperti kucing mengintai.
"Hati-hati, Derek, hati-hati betul kau. Kau mau kembali padaku, bukan?"
"Aku tidak akan kembali padamu," kata Derek dengan pasti.
"Oh!" Penari itu makin kelihatan seperti seekor kucing. Kelopak matanya berkedip-
kedip. "Jadi ada seorang wanita lain rupanya" Yang makan siang bersamamu waktu itukah
dia" Eh" Aku betul, kan?"
"Aku bermaksud untuk melamar wanita itu. Sebaiknya kau tahu itu."
"Wanita Inggris yang terlalu sopan santun itu! Apakah kausangka aku akan sudi
menunjang maksudmu itu" Tidak akan." Tubuhnya yang cantik lentur itu menggetar.
"Dengarkan, Derek, ingatkah kau percakapan kita di London waktu itu" Kaukatakan
bahwa satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkanmu adalah kematian istrimu. Kau
menyesal bahwa dia begitu sehat. Kemudian kau mendapatkan gagasan tentang suatu
kecelakaan. Bahkan lebih dari suatu kecelakaan."
"Kurasa," kata Derek dengan angkuh, "percakapan itulah yang kausampaikan pada
Comte de la Roche." Mirelle tertawa. "Apakah aku sebodoh itu" Bisakah polisi berbuat sesuatu berdasarkan cerita yang
samar-samar seperti itu" Dengar - aku akan memberimu kesempatan terakhir.
Putuskan hubunganmu dengan wanita Inggris itu. Kembalilah padaku. Maka kemudian,
Sayang, aku tak akan pernah menceritakan - "
"Menceritakan apa?"
Mirelle tertawa dengan halus. "Kausangka tak seorang pun melihatmu - "
"Apa maksudmu?"
"Seperti yang kukatakan, kausangka tak seorang pun melihatmu - tapi aku melihat
kau, Derek, Mon ami - aku melihat kau keluar dari kamar istrimu sebentar sebelum
kereta api memasuki Lyons malam itu. Dan aku tahu lebih banyak dari itu. Aku
tahu bahwa waktu kau keluar dari kamar itu, dia meninggal."
Derek hanya menatap wanita itu. Kemudian seperti seorang yang sedang bermimpi,
dia berbalik perlahan sekali dan keluar dari kamar itu - jalannya terhuyung.
Bab 26 SUATU PERINGATAN "Jadi begitulah," kata Poirot, "kita berteman dan saling tidak menyembunyikan
rahasia." Katherine memalingkan kepala untuk memandangnya. Ada sesuatu dalam suaranya itu,
sesuatu yang serius, yang tersembunyi, yang tak pernah didengar sebelumnya.
Mereka sedang duduk-duduk dalam taman di Monte Carlo. Katherine datang dengan
teman-temannya dan begitu tiba, mereka bertemu dengan Knighton dan Poirot. Lady
Tamplin langsung menguasai Knighton dan menghujaninya dengan kenangan-kenangan
lama. Katherine curiga bahwa kebanyakan di antara kenangan itu hanya dicari-cari
saja. Mereka berdua menjauh - Lady Tamplin dengan tangannya menggandeng lengan
anak muda itu. Knighton beberapa kali menoleh lewat bahunya, dan mata Poirot
berkedip melihat hal itu.
"Tentu saja kita bersahabat," kata Katherine.
"Sejak semula kita sudah saling menaruh simpati," kata Poirot.
"Yaitu waktu Anda mengatakan pada saya bahwa suatu roman kriminal bisa terjadi
dalam kehidupan biasa."
"Dan saya benar, bukan?" Poirot menantangnya, sambil mengangkat telunjuknya.
"Kini kita tercebur di tengah-tengahnya. Bagi saya itu wajar saja - itu memang
bidang saya - tapi bagi Anda lain halnya. Ya," tambahnya dengan merenung. "Bagi
Anda memang lain." Katherine memandangnya dengan tajam. Poirot seolah-olah memberinya suatu
peringatan, yang menunjukkan adanya suatu bahaya yang tak tampak olehnya.
"Mengapa Anda katakan bahwa saya berada di tengah-tengahnya" Memang benar, saya
bercakap-cakap dengan Nyonya Kettering tak lama sebelum dia meninggal, tapi
sekarang - sekarang semuanya sudah berlalu. Saya tidak lagi ada urusan dalam
perkara itu." "Ah, Mademoiselle, pernahkah kita bisa berkata, 'aku sudah tak punya hubungan
lagi dengan ini atau itu'?"
Katherine berputar untuk menghadapi laki-laki itu.
"Ada apa sebenarnya?" tanyanya. "Anda sedang mencoba untuk mengatakan sesuatu
pada saya - atau lebih tepat menyampaikan sesuatu. Tapi saya tak pandai
menafsirkan sindiran. Saya jauh lebih suka Anda mengatakan apa yang harus Anda
katakan itu secara langsung saja."
Poirot memandangnya dengan murung. "Ah, benar-benar sifat khas orang Inggris,"
gumamnya. "Semuanya maunya hitam atau putih, segala-galanya gamblang dan tertera
dengan jelas. Tapi hidup ini tidak seperti itu, Mademoiselle. Ada hal-hal yang
belum ada, tapi sudah ada bayang-bayangannya sebelumnya."
Poirot menyeka dahinya dengan sehelai sapu tangan yang besar sekali dan
bergumam, "Ah, saya jadi puitis. Marilah kita bicarakan kenyataan-kenyataan saja, menurut
kehendak Anda. Dan berbicara tentang kenyataan, bagaimana pendapat Anda tentang
Mayor Knighton?" "Saya suka padanya," kata Katherine dengan hangat - "dia menyenangkan."
Poirot mendesah. "Ada apa?" tanya Katherine.
"Anda menjawab begitu bersemangat," kata Poirot. "Kalau saja Anda berkata dengan
suara yang tak acuh, 'Oh, cukup baik,' umpamanya - eh bien - terus terang saya
akan lebih senang." Katherine tak menjawab. Dia merasa agak gelisah. Poirot melanjutkan dengan
menerawang, "Tapi, yah, siapa tahu" Kaum wanita memang punya banyak jalan untuk
menyembunyikan perasaannya - dan berbuat seolah-olah suka, mungkin cara yang
cukup baik pula untuk menyembunyikan."
Poirot mendesah lagi. "Saya tak mengerti - " Katherine mulai berkata.
Poirot menyela, "Anda tak mengerti mengapa saya begitu lancang, Mademoiselle" Saya orang tua,
dan sekali-sekali - tidak terlalu sering saya bertemu dengan seseorang yang
kesejahteraannya amat saya pikirkan. Kita bersahabat, Mademoiselle. Anda sendiri
berkata begitu. Dan soalnya hanyalah - saya ingin melihat Anda berbahagia."
Katherine menatap lurus ke depannya. Dia memegang sebuah payung dari katun
berbunga-bunga, dan dengan ujungnya dia membuat gambar-gambar kecil pada kerikil
di kakinya. "Tadi saya bertanya tentang Mayor Knighton, sekarang saya akan menanyakan satu
hal lagi. Sukakah Anda pada Tuan Derek Kettering?"
"Saya baru kenal padanya," kata Katherine.
"Itu bukan jawaban."
"Saya rasa itu cukup jelas."
Poirot memandangnya, terkejut mendengar nada bicaranya. Kemudian dia mengangguk
lambat-lambat dan dengan bersungguh-sungguh.
"Mungkin Anda benar, Mademoiselle. Percayalah, saya ini sudah banyak makan
garam, dan saya tahu bahwa ada dua hal yang benar. Seorang laki-laki yang baik
mungkin hancur karena cintanya pada seorang wanita yang jahat - tapi sebaliknya
juga berlaku. Seorang pria yang jahat juga bisa hancur karena cintanya pada
seorang wanita yang baik."
Katherine mengangkat mukanya mendadak.
"Maksud Anda dengan hancur - "
"Maksud saya adalah, kalau ditinjau dari sudut laki-laki itu. Dalam kejahatan,
orang juga harus bulat hati seperti halnya dengan yang lain-lain."
"Agaknya Anda mencoba memberi peringatan pada saya," kata Katherine dengan suara
rendah. "Terhadap siapa?"
"Saya tak dapat melihat ke dalam hati Anda, Mademoiselle. Kalaupun bisa, saya
rasa Anda tidak akan membiarkan saya berbuat demikian. Saya hanya mengatakan ini
- ada laki-laki yang punya pesona terhadap kaum wanita."
"Comte de la Roche," kata Katherine dengan tersenyum.
"Ada lagi yang lain - lebih berbahaya daripada Comte de la Roche. Mereka punya
kemampuan-kemampuan yang menarik - nekat, pemberani, gagah. Anda sedang
terpesona, Mademoiselle; saya bisa melihatnya, tapi saya rasa tidak lebih dari
itu. Saya harap saja demikian. Orang yang sedang saya bicarakan ini, perasaannya
memang sungguh-sungguh, tapi meski demikian - "
"Ya?" Poirot berdiri dan memandangi Katherine dari atas. Lalu dia berkata dengan suara
rendah tetapi jelas. "Anda mungkin boleh mencintai seorang pencuri, Mademoiselle, tapi seorang
pembunuh, jangan." Setelah itu dia berbalik dan meninggalkan Katherine duduk seorang diri.
Didengarnya Katherine terengah tetapi dia tidak mempedulikannya. Dia telah
mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Ditinggalkannya Katherine seorang diri
untuk mencernakan ungkapannya yang terakhir, yang cukup jelas itu.
Derek Kettering yang baru keluar dari kasino ke sinar matahari, melihatnya duduk
seorang diri di bangku itu, dan segera menemaninya.
"Saya baru saja berjudi," katanya sambil tertawa kecil, "berjudi tanpa hasil.
Saya kalah sampai habis - habis, artinya semua uang yang saya bawa."
Katherine melihat padanya dengan wajah kuatir. Dia tiba-tiba menyadari adanya
sesuatu yang baru dalam sikap Kettering, suatu luapan yang tersembunyi, yang
menampilkan diri dalam bentuk beratus-ratus tanda-tanda kecil yang lain.
"Anda pasti selalu suka berjudi. Anda tertarik pada semangat berjudi itu."
"Maksud Anda, setiap hari dan dalam segala hal, seorang penjudi" Anda hampir
benar. Tidakkah Anda melihat sesuatu yang merangsang dalam judi itu" Kita
mempertaruhkan segala-galanya dalam satu lemparan saja - tak ada yang lebih
menyenangkan dari itu."
Katherine yang merasa dirinya tenang dan tak tergoyahkan, merasa bergairah untuk
menjawab. "Saya ingin berbicara dengan Anda," lanjut Derek, "siapa tahu kapan lagi saya
akan mendapatkan kesempatan lain" Ada semacam gagasan yang sedang tersebar,
bahwa saya telah membunuh istri saya - jangan, jangan menyela. Itu tentu omong
kosong." Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, bicaranya lebih nekat. "Bila
berhadapan dengan polisi dan para pemuka setempat di sini, saya harus selalu
berpura-pura - ah - sopan. Saya lebih suka tidak berpura-pura dengan Anda. Saya
ingin kawin dengan harapan akan mendapatkan uang. Saya sedang mencari uang,
ketika saya bertemu dengan Ruth Van Aldin. Dia mirip Madona yang langsing,
sedang - saya - eh - saya membuat bermacam-macam rencana yang muluk-muluk, lalu
saya dikecewakan dan merasa getir. Istri saya mencintai seorang pria waktu kami
menikah. Dia tak pernah mencintai saya barang sedikit pun. Ah, saya bukannya
mengeluh - perkawinan itu memang suatu tukar-menukar secara terhormat dan
sempurna. Dia menginginkan Leconbury dan saya ingin uangnya. Kesalahan timbul
semata-mata gara-gara darah Amerika Ruth. Tanpa sedikit pun mempedulikan saya,
dia ingin saya selalu menjadi pesuruhnya. Berulang kali dikatakannya bahwa dia
telah membeli saya dan bahwa saya adalah miliknya. Akibatnya, saya jadi
berkelakuan buruk terhadapnya. Mertua saya akan menceritakan itu pada Anda, dan
dia memang benar. Pada saat kematian Ruth, saya sedang menghadapi kehancuran
mutlak." Dia tiba-tiba tertawa. "Tentu saja orang menghadapi kehancuran mutlak
bila harus berhadapan melawan Rufus Van Aldin."
"Lalu?" tanya Katherine dengan suara rendah.
"Lalu - " Derek mengangkat bahunya - "Ruth terbunuh pada saat yang tepat."
Dia tertawa, dan suara tawanya menyakitkan Katherine. Dia merinding.
"Ya," kata Derek, "kata-kata saya itu memang jahat bunyinya. Tapi itu memang
benar. Sekarang akan saya ceritakan sesuatu yang lain. Sejak pertama kali
melihat Anda, saya tahu Andalah satu-satunya wanita di dunia ini bagi saya. Saya
- takut pada Anda. Saya sangka Anda akan membawa nasib buruk bagi saya."
"Nasib buruk?" tanya Katherine tajam.
Derek menatapnya. "Mengapa Anda ulangi begitu" Apa yang ada dalam pikiran Anda?"
"Saya teringat apa yang dikatakan orang pada saya."
Derek tiba-tiba tertawa kecil. "Orang-orang tentu berbicara banyak tentang saya
pada Anda, dan banyak di antaranya memang benar. Ya, bahkan ada hal-hal yang
lebih buruk lagi - hal-hal yang tidak akan pernah saya ceritakan pada Anda.
Selama ini saya suka berjudi - dan saya suka menggunakan kesempatan dalam
kesempitan. Saya tak mau melakukannya pada Anda lagi. Yang sudah biarlah
berlalu. Tapi ada satu hal yang saya ingin Anda percaya. Saya bersumpah dengan
sekhidmat-khidmatnya bahwa saya tidak membunuh istri saya."
Diucapkannya kata-kata itu dengan amat bersungguh-sungguh, namun tampak sedikit
bersandiwara. Ditatapnya mata Katherine yang penuh cemas lalu dilanjutkannya,
"Saya tahu. Saya telah berbohong beberapa hari yang lalu. Memang benar, kamar
istri saya yang saya masuki waktu itu."
"Oh," kata Katherine.
"Sulit dijelaskan mengapa saya masuk ke situ, tapi akan saya coba. Saya hanya
terdorong saja berbuat demikian. Bolehlah dikatakan saya sedang memata-matai
istri saya. Saya tak mau dilihat orang dalam kereta api. Mirelle telah
mengatakan pada saya bahwa Comte de la Roche akan bertemu dengan istri saya di
Paris. Nah, sepanjang penglihatan saya, itu tak benar. Saya merasa malu, dan
tiba-tiba saya berpikir sebaiknya saya nyatakan saja penyesalan saya itu padanya
supaya selesai, maka saya dorong saja pintu kamarnya dan saya masuk."
Dia berhenti sebentar. "Lalu?" tanya Katherine lembut.
"Ruth sedang terbaring tidur di bangku - mukanya tidak menghadap ke pintu - saya
hanya bisa melihat bagian belakang dari kepalanya. Saya tentu bisa saja
membangunkannya. Tapi tiba-tiba saya tak mau. Lagipula, apa lagi yang harus
diucapkan, bukankah sudah beratus kali dikatakan sebelumnya" Dia tampak tidur
begitu tenangnya. Saya tinggalkan kamar itu perlahan-lahan sekali."
"Mengapa tak Anda katakan terus terang begitu pada polisi?" kata Katherine.
"Karena saya tidak setolol itu. Sejak semula saya sudah menyadari bahwa kalau
ditinjau dari sudut alasan, sayalah pembunuh yang paling masuk akal. Kalau satu
kali saja saya akui bahwa saya masuk ke dalam kamarnya sebentar sebelum dia
terbunuh, habislah saya."
"Oh, begitu." Mengertikah Katherine" Dia sendiri tak tahu. Dia merasakan adanya daya tarik
yang kuat dari kepribadian Derek, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang melawan,
yang menahan... "Katherine - "
"Saya - " "Kau tahu aku cinta padamu. Apakah - apakah kau cinta padaku?"
"Saya - entahlah, aku tak tahu."
Katherine merasa lemah. Entah disadarinya entah tidak. Kalau saja - .
Katherine memandang ke sekelilingnya dengan putus asa, seolah-olah sedang
mencari sesuatu yang bisa menolongnya. Wajahnya jadi bersemu dadu waktu seorang
laki-laki jangkung berambut pirang terpincang-pincang bergegas menjalani jalan
setapak ke arah mereka - Mayor Knighton.
Suara Katherine terdengar lega dan hangat waktu dia menyapa laki-laki itu.
Derek bangkit, mukanya masam, kelam seperti tersaput awan hitam.
"Apakah Lady Tamplin sedang berjudi?" tanyanya dengan nada ringan. "Saya harus
mendatanginya dan memberi tahu sistem saya supaya dia menang."
Dia berbalik lalu meninggalkan mereka berdua. Katherine duduk lagi. Jantungnya
berdebar kuat dan tak teratur, tetapi sementara dia duduk di situ, bercakap-


Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cakap biasa-biasa saja dengan laki-laki yang pendiam dan agak pemalu di sisinya
itu, kepercayaan dirinya pun kembali.
Kemudian dia terkejut waktu menyadari bahwa Knighton juga sedang membuka isi
hatinya, seperti yang telah dilakukan Derek, hanya dengan cara yang lain sekali.
Dia malu dan tergagap-gagap. Kata-katanya terputus-putus, dan sama sekali tak
didukung oleh kefasihan lidah.
"Sejak pertama kali saya melihat Anda - saya - sebenarnya tak boleh saya bicara
seperti ini - tapi Tuan Van Aldin sewaktu-waktu bisa berangkat dari sini, dan
saya mungkin tak punya kesempatan lain lagi. Saya tahu Anda tidak akan bisa
segera mencintai saya - itu tak mungkin. Saya yakin saya telah berbuat lancang.
Saya mempunyai milik pribadi, meskipun tak banyak - jangan, jangan jawab
sekarang. Saya tahu jawaban apa yang akan Anda berikan. Tapi kalau saya harus
pergi tiba-tiba, saya hanya ingin Anda tahu - bahwa saya mencintai Anda."
Katherine merasa terguncang, dia terkesan. Caranya begitu lembut dan menarik.
"Ada satu hal lagi. Saya hanya akan mengatakan bahwa bila - kapan saja Anda
dalam kesusahan, apa pun yang bisa saya lakukan - "
Dipegangnya tangan Katherine, digenggamnya erat-erat sesaat lamanya, lalu
dilepaskannya, kemudian berjalan cepat-cepat ke arah kasino tanpa menoleh.
Katherine duduk tanpa bergerak, memandanginya dari belakang. Derek Kettering -
Richard Knighton - dua orang laki-laki yang begitu berbeda - begitu jauh
berbeda. Ada kebaikan hati pada Knighton, baik dan dapat dipercaya. Sedangkan
Derek - Lalu tiba-tiba Katherine dilanda perasaan aneh. Dia merasa bahwa dia tidak duduk
seorang diri lagi di bangku dalam taman kasino itu, bahwa ada seseorang yang
berdiri di sampingnya, dan bahwa orang itu adalah wanita yang sudah meninggal
itu, Ruth Kettering. Selanjutnya dia juga berperasaan bahwa Ruth ingin - dengan
amat sangat - menceritakan sesuatu padanya. Perasaan itu begitu aneh, tetapi
begitu jelas, hingga tak dapat dihapuskan. Dia merasa benar-benar yakin bahwa
roh Ruth Kettering sedang mencoba untuk menyampaikan sesuatu yang penting sekali
padanya. Tetapi perasaan itu lalu menghilang. Katherine bangkit, agak gemetar.
Apakah yang ingin dikatakan Ruth Kettering tadi itu"
Bab 27 WAWANCARA DENGAN MIRELLE Setelah Knighton meninggalkan Katherine, dia pergi mencari Hercule Poirot, yang
ditemukannya di ruang perjudian, sedang dengan gayanya meletakkan pasangan dalam
jumlah yang terkecil pada angka-angka genap. Knighton lalu mendekatinya - waktu
itu nomor tiga puluh tiga yang keluar, dan uang pasangan Poirot ditarik.
"Nasib buruk!" kata Knighton. "Apakah Anda masih akan memasang?"
Poirot menggeleng. "Tidak lagi." "Apakah Anda dapat merasakan pesona judi?" tanya Knighton ingin tahu.
"Judi roulette tidak."
Knighton cepat menoleh padanya. Wajahnya membayangkan kecemasan. Dia berbicara
dengan sikap hormat dan terhenti-henti.
"Apakah Anda sibuk, M. Poirot" Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan pada Anda."
"Saya bersedia. Sebaiknya kita keluar. Di luar menyenangkan, ada sinar
matahari." Mereka berjalan berdua, dan Knighton menghirup napas panjang.
"Saya suka Riviera," katanya. "Saya kemari satu kali dua belas tahun yang lalu,
dalam masa perang, waktu saya dibawa ke rumah sakit Lady Tamplin untuk dirawat.
Rasanya seperti surga, karena waktu itu saya datang dari Flanders."
"Tentu," kata Poirot.
"Sudah lama benar rasanya perang berlalu!" renung Knighton.
Mereka berjalan terus beberapa jauhnya tanpa bercakap.
"Adakah sesuatu yang sedang Anda pikirkan?" tanya Poirot.
Knighton memandangnya dengan terkejut.
"Anda benar," dia mengaku. "Saya tak mengerti bagaimana Anda sampai tahu."
"Hal itu nyata benar kelihatan," kata Poirot datar.
"Saya tak tahu bahwa saya begitu tembus cahaya."
"Pekerjaan saya adalah mengawasi kegiatan jiwa orang dari gerak lahiriahnya,"
pria kecil itu menjelaskan dengan menepuk dada.
"Baik saya katakan pada Anda, M. Poirot. Sudahkah Anda mendengar tentang penari
itu - Mirelle?" "Kekasih M. Derek Kettering itukah?"
"Ya, itulah dia. Dan karena Anda tahu, Anda tentu akan mengerti pula bahwa
wajarlah kalau Tuan Van Aldin berprasangka terhadapnya. Penari itu menulis surat
pada majikan saya itu, untuk minta wawancara. Tuan Van Aldin menulis surat
singkat yang merupakan penolakan, hal mana tentu saja saya lakukan. Tadi pagi
dia datang ke hotel dan menyuruh orang mengantarkan kartu namanya, dengan
mengatakan bahwa soalnya sangat mendesak dan penting dia segera bertemu dengan
Tuan Van Aldin." "Saya merasa tertarik," kata Poirot.
"Tuan Van Aldin marah sekali. Disuruhnya saya membawa pesan pada wanita itu.
Saya memberanikan diri untuk tidak membenarkan beliau. Saya melihat adanya
kemungkinan bahwa Mirelle memberi kita informasi yang berarti. Kita tahu bahwa
dia ada di Kereta Api Biru, dan dia mungkin melihat atau mendengar sesuatu yang
barangkali penting sekali kita ketahui. Sependapat atau tidak Anda dengan saya,
M. Poirot?" "Setuju," kata Poirot datar. "Kalau saya boleh berkata, M. Van Aldin telah
berbuat bodoh sekali."
"Saya senang Anda berpandangan demikian dalam hal ini," kata sekretaris itu.
"Nah, saya akan menceritakan sesuatu, M. Poirot. Saya merasa bahwa sikap Tuan
Van Aldin itu tak bijak, hingga saya lalu turun dan mengadakan wawancara sendiri
dengan wanita itu." "Eh bien?" "Sulitnya, dia berkeras ingin bertemu dengan M. Van Aldin sendiri. Saya
sampaikan pesan beliau dengan memperhalusnya sedapat mungkin. Terus terang, saya
malah menyampaikannya dalam bentuk yang lain. Saya katakan bahwa Tuan Van Aldin
terlalu sibuk hingga tak bisa menerimanya sekarang, tapi bahwa kalau mau, dia
boleh berhubungan dengan saya saja. Dia tak mau berbuat demikian, dan pergi
tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi saya mendapat kesan yang kuat, M. Poirot, bahwa
perempuan itu tahu sesuatu."
"Ini serius," kata Poirot dengan tenang. "Tahukah Anda di mana dia menginap?"
"Ya." Knighton menyebutkan nama sebuah hotel.
"Bagus," kata Poirot, "kita langsung pergi ke sana."
Sekretaris itu memandangnya dengan bimbang.
"Bagaimana dengan Tuan Val Aldin?" tanyanya ragu.
"M. Van Aldin adalah orang yang keras kepala," kata Poirot datar. "Saya tak suka
bertengkar dengan orang yang keras kepala. Saya bertindak tanpa persetujuan
mereka. Kita akan segera pergi dan menjumpai wanita itu. Saya akan mengatakan
padanya, bahwa Anda telah diberi kuasa atas nama M. Van Aldin, dan jagalah diri
Anda baik-baik supaya tidak sampai menentang saya."
Knighton masih kelihatan agak ragu, tetapi Poirot tidak mempedulikan
kebimbangannya itu. Di hotel mereka diberi tahu bahwa Mirelle ada, dan Poirot minta disampaikan
kartu namanya dan kepunyaan Knighton, dengan ditulisi Dari Tuan Van Aldin di
atas kedua kartu itu. Mereka menerima pesan bahwa Mademoiselle bersedia menerima mereka.
Waktu mereka diantar masuk ke apartemen penari itu, Poirot segera mengambil alih
pimpinan. "Mademoiselle," gumamnya sambil membungkuk dalam-dalam, "kami kemari atas nama
M. Van Aldin." "Oh! Mengapa dia tak datang sendiri?"
"Dia tak sehat," kata Poirot berbohong. "Sakit tenggorokan, Riviera telah
menyerangnya, dan saya diberinya hak untuk bertindak atas namanya, demikian pula
Mayor Knighton, sekretarisnya. Itu pun tentu, kalau Mademoiselle tak ingin
menunggu dua minggu lagi."
Poirot punya keyakinan bahwa, bagi seseorang bertemperamen seperti Mirelle, kata
'tunggu' adalah suatu pantangan.
"Eh bien, saya akan bicara, Tuan-tuan," serunya. "Selama ini saya bersabar. Saya
menahan diri. Tapi untuk apa" Saya malah dihina! Ya, dihina! Ah! Sangkanya dia
bisa memperlakukan Mirelle seperti itu" Membuang Mirelle begitu saja seperti
sampah. Ketahuilah, tak pernah ada laki-laki yang bosan dengan saya. Selalu
sayalah yang bosan, bukan mereka."
Dia berjalan hilir-mudik di kamar itu, tubuhnya yang langsing gemetar karena
murkanya. Sebuah meja kecil menghalangi langkahnya, lalu disepaknya ke sudut, di
mana meja itu berantakan kena dinding.
"Begitulah dia akan kubuat," serunya, "dan begini!"
Sambil mengambil sebuah mangkuk kaca berisi bunga lili, dilemparkannya ke
perapian, di mana mangkuk itu hancur berkeping-keping.
Knighton memandanginya dengan sikap tak suka dan dingin layaknya orang Inggris.
Dia merasa malu dan tak enak. Sebaliknya, Poirot senang dan melihat pemandangan
itu dengan mata berkedip-kedip.
"Ah, hebat sekali!" serunya. "Bisa dilihat bahwa Mademoiselle berdarah panas."
"Saya seorang artis," kata Mirelle, "setiap artis berdarah panas. Sudah saya
katakan pada Derek supaya dia berhati-hati, tapi dia tak mau mendengarkan."
Tiba-tiba dia berbalik menghadapi Poirot. "Benarkah dia akan mengawini gadis
Inggris itu?" Poirot mendehem. "Menurut desas-desus," gumamnya, "dia memujanya dengan sepenuh hati."
Mirelle mendekati mereka.
"Dia telah membunuh istrinya," teriaknya. "Nah - kalian sudah mendengarnya!
Sudah dikatakannya pada saya sebelumnya bahwa dia berniat akan membunuhnya. Dia
terbentur pada jalan buntu - ah! - dia lalu mengambil jalan yang paling mudah."
"Kata Anda M. Kettering membunuh istrinya."
"Ya, ya, ya. Bukankah sudah saya katakan?"
"Polisi akan memerlukan bukti dari pernyataan itu," kata Poirot.
"Saya melihatnya keluar dari kamar istrinya malam itu di kereta api."
"Kapan?" tanya Poirot tajam.
"Sebentar sebelum kereta api tiba di Lyons."
"Bersediakah Anda bersumpah, Mademoiselle?"
Kini berubah sikap Poirot waktu berbicara, tajam dan tegas.
"Ya." Semua diam sejenak. Mirelle bernapas terengah, matanya yang setengah menantang
dan setengah ketakutan memandang dari laki-laki yang seorang ke laki-laki yang
seorang lagi. "Ini soal serius, Mademoiselle," kata detektif itu. "Sadarkah Anda betapa
seriusnya?" "Tentu saja sadar."
"Bagus," kata Poirot. "Kalau begitu Anda tentu mengerti bahwa kita tak boleh
membuang-buang waktu. Maukah Anda menyertai kami ke kantor Jaksa Pemeriksa?"
Mirelle terperanjat. Dia bimbang, tapi dia tak punya jalan untuk mengelak.
"Baiklah," katanya, "saya akan mengambil mantel."
Sepeninggalnya, Poirot dan Knighton saling berpandangan.
"Memang perlu kita bertindak selagi - apa kata pepatah Anda - selagi besi masih
panas," gumam Poirot. "Dia berdarah panas. Dalam waktu satu jam, dia mungkin
menyesal, dan dia ingin menarik diri. Kita harus berusaha untuk mencegah hal
itu." Mirelle muncul kembali, mengenakan mantel beludru berwarna pasir dan bertepian
kulit macan tutul. Dia memang tampak seperti seekor macan tutul betina, merah
kekuningan dan amat berbahaya. Matanya masih memancarkan kemarahan dan
kepastian. Mereka menemukan M. Caux sedang bersama Jaksa Pemeriksa. Setelah beberapa kata
perkenalan singkat dari Poirot, Mademoiselle Mirelle pun diminta dengan hormat
untuk menceritakan kisahnya. Hal itu dilakukannya dengan kata-kata yang sama
benar dengan yang diucapkannya pada Poirot dan Knighton tadi, tetapi dengan cara
yang jauh lebih tenang. "Cerita yang luar biasa, Mademoiselle," kata M. Carrege. Dia bersandar pada
kursinya, memperbaiki letak kaca matanya yang tak bergagang, dan memandangi
penari itu dengan tajam serta penuh selidik.
"Anda ingin kami mempercayai bahwa M. Kettering benar-benar telah menggembar-
gemborkan kejahatan yang dilakukannya, pada Anda?"
"Ya, ya. Katanya, istrinya terlalu sehat. Bila dia harus meninggal, harus
melalui kecelakaan - dan dia yang akan mengurus semuanya."
"Sadarkah Anda, Mademoiselle," kata M. Carrege dengan tegas, "bahwa Anda telah
menjadikan diri Anda terlibat sebelum kejadian itu?"
"Saya" Sama sekali tidak, Monsieur. Sedikit pun saya tidak menanggapi pernyataan
itu secara serius. Sungguh tidak! Saya kenal laki-laki, Monsieur - mereka sering
berucap sembarangan. Akan banyak kekacauan kalau orang menanggapi semua yang
mereka katakan secara harfiah."
Jaksa Pemeriksa mengangkat alisnya.
"Jadi, kami harus beranggapan bahwa Anda menanggapi ancaman-ancaman Kettering
itu sebagai kata-kata iseng saja" Bolehkah saya bertanya, Mademoiselle, mengapa
Anda sampai memutuskan kontrak di London dan datang ke Riviera ini?"
Mirelle melihat padanya dengan mata hitam yang sendu.
"Saya ingin menyertai laki-laki yang saya cintai," katanya polos. "Apakah itu
tak wajar?" Poirot menyelakan suatu pertanyaan dengan halus.
"Jadi, apakah atas keinginan M. Kettering Anda menyertainya ke Nice?"
Mirelle kelihatan agak sulit menjawab. Kelihatan bahwa dia agak bimbang sebelum
dia berbicara. Kemudian dia berkata dengan angkuh dan tak acuh.
"Dalam hal-hal seperti itu saya berbuat sesuka saya, Monsieur," katanya.
Ketiga pria yang ada di situ tahu bahwa itu sama sekali bukan jawaban. Mereka
tidak berkata apa-apa. "Kapan Anda menjadi yakin bahwa M. Kettering telah membunuh istrinya?"
"Sebagaimana saya katakan, saya melihatnya keluar dari kamar istrinya sebentar
sebelum kereta api memasuki Lyons. Pandangannya - oh! waktu itu saya tak
mengerti - suatu pandangan yang mengerikan, seolah-olah dia baru saja melihat
hantu. Saya tidak akan lupa pandangan itu."
Suaranya naik melengking, dan tangannya diangkatnya dengan gaya yang berlebihan.
"Baik," kata M. Carrege.
"Setelah itu, waktu saya mendengar bahwa Nyonya Kettering meninggal waktu kereta
api meninggalkan Lyons, waktu itulah - saya tahu!"
"Tapi - Anda tidak melaporkannya pada polisi, Mademoiselle," kata Komisaris.
Mirelle menoleh padanya dengan gaya, dia kelihatan senang memainkan perannya.
"Apakah saya mau mengkhianati kekasih saya?" tanyanya. "Jangan, jangan suruh
seorang wanita berbuat begitu."
"Tapi sekarang - " sindir M. Caux.
"Sekarang lain halnya. Dia telah mengkhianati saya! Apakah saya harus
menanggungnya diam-diam"...."
Jaksa Pemeriksa menahannya.
"Benar, benar," katanya membujuk. "Sekarang, Mademoiselle, tolong baca
pernyataan yang telah Anda ceritakan pada kami tadi. Lihat, apakah itu benar,
dan tolong tanda tangani."
Mirelle tak banyak membuang waktu untuk membaca laporan itu.
"Ya, ya," katanya, "sudah betul." Dia bangkit. "Anda tidak memerlukan saya lagi,
Tuan-tuan?" "Untuk sementara, tidak, Mademoiselle."
"Dan Derek akan ditangkap?"
"Segera, Mademoiselle."
Mirelle tertawa dengan kejam lalu merapatkan mantelnya yang dari bulu binatang
itu ke tubuhnya. "Seharusnya dia mempertimbangkan kemungkinan ini sebelum dia menghina saya,"
serunya. "Ada satu soal kecil - " Poirot mendehem menyatakan maaf - "hanya soal sepele."
"Ya?" "Apa yang membuat Anda menduga bahwa Nyonya Kettering sudah meninggal waktu
kereta api meninggalkan Lyons?"
Mirelle terbelalak. "Tapi dia sudah meninggal."
"Benarkah begitu?"
"Ya, tentu. Saya - "
Wanita itu tiba-tiba berhenti. Poirot memandang lekat padanya, dan dia melihat
bayangan kewaspadaan di mata wanita itu.
"Saya diberi tahu. Semua orang berkata begitu."
"Oh," kata Poirot, "saya tak tahu bahwa kenyataan itu telah disebut-sebut di
luar kantor Jaksa Pemeriksa."
Mirelle kelihatan agak salah tingkah.
"Hal-hal begitu memang cepat kedengaran," katanya samar-samar. "Berita begitu
cepat tersiar. Seseorang mengatakannya pada saya. Saya tak ingat siapa."


Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mirelle berjalan ke pintu. M. Caux melompat ke depan untuk membukakan pintu itu,
dan sedang dia berbuat demikian, terdengar suara Poirot yang halus sekali lagi.
"Lalu mengenai barang-barang perhiasannya" Maafkan saya, Mademoiselle. Dapatkah
Anda menceritakannya?"
"Barang-barang perhiasan" Perhiasan apa?"
"Permata delima bekas milik Ratu Catherine yang Agung. Karena Anda banyak
mendengar, Anda tentu juga mendengar tentang barang-barang itu."
"Saya tak tahu apa-apa tentang permata apa pun," kata Mirelle tajam.
Dia keluar dan menutup pintu. M. Caux kembali ke kursinya, Jaksa Pemeriksa
mendesah. "Bukan main pemarahnya!" katanya. "Tapi benar-benar gaya. Saya ingin tahu apakah
dia berkata benar" Saya rasa begitu."
"Ada suatu kebenaran dalam ceritanya, itu pasti," kata Poirot. "Hal itu sudah
dibenarkan oleh Nona Grey. Dia melihat ke sepanjang lorong kereta api sebentar
sebelum kereta api tiba di Lyons, dan dia melihat M. Kettering memasuki kamar
istrinya." "Agaknya tuduhan terhadapnya sudah jelas," Komisaris mendesah. "Sayang, seribu
sayang," gumamnya. "Apa maksud Anda?" tanya Poirot.
"Sudah menjadi keinginan saya yang terbesar selama hidup ini untuk menangkap
Comte de la Roche itu. Kali ini, ma foi, saya sangka kami akan berhasil
mendapatkannya. Yang seorang itu - tak begitu memuaskan."
M. Carrege menggosok-gosok hidungnya.
"Bila sampai terjadi kesalahan," katanya dengan berhati-hati, "akan memalukan
sekali. M. Kettering itu dari keluarga ningrat. Berita ini akan dimuat dalam
surat-surat kabar. Bila kita membuat kesalahan - " Dia mengangkat bahunya dengan
perasaan tak enak. "Lalu mengenai barang-barang perhiasannya," kata Komisaris, "menurut Tuan-tuan,
apa yang dilakukannya dengan barang-barang itu?"
"Diambilnya untuk suatu rencana masa depannya, tentu," kata M. Carrege. "Barang-
barang itu tentu menyulitkannya dan sulit pula dilepas."
Poirot tersenyum. "Saya punya gagasan sendiri mengenai permata-permata itu. Tuan-tuan, tahukah
Anda tentang seseorang yang bernama Marquis?"
Komisaris menyandarkan tubuhnya ke depan dengan penuh semangat.
"Marquis," katanya, "Marquis" Apakah menurut Anda dia terlibat dalam hal ini, M.
Poirot?" "Saya bertanya apakah Anda tahu tentang dia."
Komisaris menyeringai dengan penuh arti.
"Tidak sebanyak yang saya ingini," katanya lirih. "Dia selalu bekerja di balik
layar. Dia punya anak buah yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kotor untuknya.
Tapi dia dari kalangan atas. Kami yakin itu. Dia tidak berasal dari kelompok-
kelompok penjahat." "Seorang Prancis?"
"Ya, mungkin. Saya rasa begitu. Tapi kami tak yakin. Dia telah beroperasi di
Prancis, Inggris, Amerika. Dalam musim gugur yang lalu di Swiss telah terjadi
serangkaian perampokan yang diduga adalah perbuatan dia. Bagaimanapun juga dia
orang besar dalam bidangnya, yang pandai berbahasa Inggris dan Prancis dengan
sempurna, sedang asal-usulnya merupakan suatu misteri."
Poirot mengangguk lalu bangkit untuk pergi.
"Apakah Anda tak bisa memberi petunjuk lebih banyak lagi pada kami, M. Poirot?"
desak Komisaris. "Untuk sementara, tidak," kata Poirot, "tapi mungkin ada berita menunggu saya di
hotel." M. Carrege kelihatan merasa tak senang. "Bila Marquis terlibat dalam perkara ini
- " katanya mulai, lalu berhenti.
"Maka semua gagasan kita buyar," keluh M. Caux.
"Gagasan saya tidak akan buyar," kata Poirot. "Sebaliknya, hal itu akan sangat
sesuai dengan gagasan-gagasan saya. Au revoir, Messieurs. Bila saya mendapatkan
berita penting, saya akan segera menghubungi Anda."
Dia berjalan kembali ke hotelnya dengan wajah suram. Waktu dia sedang tak berada
di tempat, sepucuk telegram telah datang. Dengan sebuah pisau pemotong kertas
yang dikeluarkan dari sakunya, telegram itu dibukanya. Telegram itu panjang, dan
setelah dia membacanya dua kali barulah dimasukkannya lambat-lambat ke dalam
sakunya. Di lantai atas, George sedang menunggu kedatangan majikannya.
"Aku letih sekali, George, letih sekali. Tolong pesankan secangkir coklat."
Minuman itu langsung dipesan dan diantar, dan George meletakkannya di meja kecil
dekat siku majikannya. Waktu dia bersiap-siap akan meninggalkan tempat itu,
Poirot berkata, "George, kurasa kau banyak tahu tentang kaum ningrat Inggris, ya?"
George tersenyum seperti ingin meminta maaf.
"Saya rasa saya boleh berkata begitu, Tuan," sahutnya.
"Kurasa kau berpendapat bahwa penjahat-penjahat biasanya berasal dari kalangan
rendahan kan, Georges?"
"Tidak selalu, Tuan. Salah seorang putra Duke dari Devize menimbulkan banyak
kesulitan. Dia meninggalkan Eton dengan nama buruk dan setelah itu beberapa kali
dia menimbulkan kekacauan besar. Polisi tak mau menerima anggapan bahwa
perbuatan-perbuatannya itu disebabkan oleh kleptomania. Dia seorang pria muda
yang pintar, Tuan, tapi jahatnya bukan main. Ayahnya mengusirnya ke Australia,
dan saya dengar dia ditangkap di sana dengan nama lain. Sungguh aneh, Tuan, tapi
itulah kenyataan. Tak perlu saya katakan bahwa tuan muda itu tidak kekurangan
uang." "Barangkali dia suka akan sesuatu yang mendebarkan," gumam Poirot, "dan ada
kelainan sedikit di otaknya. Sekarang aku ingin tahu - "
Dikeluarkannya telegram tadi dari sakunya dan dibacanya lagi.
"Lalu ada lagi putri Lady Fox," pelayan itu melanjutkan, rupanya dia sedang
senang mengingat-ingat. "Dia menipu para pedagang, memalukan sekali! Dia sangat
mencemaskan keluarga baik-baik itu, dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa
aneh yang bisa saya sebutkan."
"Kau punya pengalaman luas, George," gumam Poirot. "Aku sering bertanya-tanya,
mengapa kau mau merendahkan diri dan menjadi pelayanku, padahal kau biasa hidup
dengan keluarga-keluarga terkemuka dan bergelar bangsawan. Aku berkesimpulan
bahwa kau juga menyukai sesuatu yang mendebarkan."
"Bukan itu, Tuan," kata George. "Saya pernah membaca dalam Berita Singkat
Kalangan Atas bahwa Anda pernah diterima di Buckingham Palace. Dikatakan di situ
bahwa Yang Mulia Raja sangat baik dan sangat ramah serta sangat memuji keahlian
Anda. Waktu itu kebetulan saya sedang mencari pekerjaan baru."
"Ah," kata Poirot, "orang memang selalu ingin tahu alasan."
Beberapa saat lamanya dia tenggelam dalam pikirannya, lalu dia berkata,
"Sudahkah kautelepon Mademoiselle Papopolous?"
"Sudah, Tuan - dia dan ayahnya akan merasa senang makan malam dengan Anda malam
ini." "Oh," kata Poirot merenung. Diminum coklatnya sampai habis, diletakkannya
cangkir dan alasnya dengan rapi di tengah-tengah nampan, lalu berkata dengan
halus, seolah-olah bukan pada pelayannya, melainkan pada dirinya sendiri,
"Seekor tupai, George, mengumpulkan kenari. Buah itu dikumpulkannya dalam musim
gugur untuk bisa dimakannya kemudian hari. Supaya kita berhasil dalam hidup ini,
George, kita harus mau mengambil pelajaran dari kehidupan makhluk yang lebih
rendah daripada kita, yaitu dari kerajaan binatang. Aku selalu berbuat begitu.
Aku pernah berperan seperti kucing, yang mengamat-amati lubang tikus terus-
menerus. Aku juga pernah menjalankan cara tupai, George. Kukumpulkan fakta-fakta
dari sana-sini. Sekarang aku mau pergi ke gudang penyimpananku itu dan mengambil
satu buah kenari khusus, kenari yang sudah kusimpan - berapa lama, ya" Tujuh
belas tahun yang lalu. Mengerti kau, George?"
"Saya rasa, Tuan," kata George, "kenari tidak akan bisa tahan selama itu, meski
saya tahu bahwa ilmu pengawetan makanan memang besar artinya."
Poirot memandangnya lalu tersenyum.
Bab 28 POIROT BERPERAN SEBAGAI TUPAI
Poirot mempersiapkan dirinya untuk memenuhi janji makan malam, ketika dia hanya
Suramnya Bayang Bayang 13 Raja Petir 13 Rahasia Tonggak Sangga Buana Harimau Kemala Putih 13
^