Misteri Kereta Api Biru 4
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie Bagian 4
punya waktu tiga perempat jam saja. Dia mempunyai maksud tersendiri. Mobilnya
tidak membawanya langsung ke Monte Carlo, melainkan ke rumah Lady Tamplin di Cap
Martin, di mana dia minta bertemu dengan Nona Grey. Wanita-wanita di rumah itu
sedang berdandan dan Poirot dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu kecil untuk
menunggu. Tiga atau empat menit kemudian Lenox Tamplin datang menemuinya.
"Katherine belum siap benar," katanya. "Bisakah saya menyampaikan pesan Anda
padanya, atau apakah Anda lebih suka menunggu sampai dia turun sendiri?"
Poirot menatapnya. Satu-dua menit kemudian dia baru menjawab, seolah-olah ada
sesuatu yang berat yang membebaninya dalam mengambil keputusan. Agaknya jawaban
atas pertanyaan yang demikian sederhananya itu, sangat berarti.
"Tidak," katanya akhirnya, "tidak, saya pikir saya tak perlu menunggu untuk
menemui Mademoiselle Katherine. Saya rasa, mungkin, lebih baik tidak. Hal-hal
yang akan saya katakan ini kadang-kadang sulit."
Lenox menunggu dengan sopan, alisnya agak terangkat.
"Ada berita yang harus saya sampaikan," lanjut Poirot. "Barangkali Anda bisa
menyampaikannya pada teman Anda itu. Malam ini M. Kettering telah ditangkap
karena membunuh istrinya."
"Anda ingin saya menceritakannya pada Katherine?" tanya Lenox. Napasnya agak
terengah, seolah-olah dia baru saja berlari - menurut penglihatan Poirot -
wajahnya putih dan tegang, jelas sekali.
"Kalau bisa, Mademoiselle."
"Mengapa?" tanya Lenox. "Apakah Anda rasa Katherine akan menjadi risau" Apakah
dia akan sedih?" "Entahlah, Mademoiselle," kata Poirot. "Saya akui terus terang, biasanya saya
tahu segala-galanya. Tapi dalam hal ini, saya - yah, saya tak tahu. Mungkin Anda
lebih tahu daripada saya."
"Ya," kata Lenox, "saya tahu - tapi saya tidak akan memberitahukannya pada
Anda." Dia diam beberapa menit, alisnya yang hitam bertaut menjadi satu.
"Percayakah Anda bahwa memang Kettering yang melakukannya?" tanya Lenox tiba-
tiba. Poirot mengangkat bahunya.
"Polisi berpendapat demikian."
"Oh," kata Lenox, "Anda mengelak rupanya" Jadi mungkin ada sesuatu yang harus
disembunyikan." Dia diam lagi, sambil tetap mengerutkan alisnya. Poirot berkata dengan lembut,
"Anda sudah lama kenal Derek Kettering, bukan?"
"Sejak saya masih kecil, meskipun jarang-jarang bertemu," kata Lenox kasar.
Poirot mengangguk berulang kali tanpa berkata apa-apa.
Lenox menarik sebuah kursi dengan kasar lalu mendudukinya, menekankan sikunya ke
meja dan menopang wajahnya dengan tangannya. Sambil duduk dengan sikap demikian,
dia memandang langsung pada Poirot yang duduk di seberangnya.
"Berdasarkan apa mereka berbuat demikian?" tanyanya. "Saya rasa, alasan bahwa
Kettering mungkin akan memperoleh uang dengan kematian istrinya."
"Dia akan mendapatkan dua juta."
"Dan bila istrinya tidak meninggal dia akan hancur?"
"Ya." "Tapi tentunya ada lagi yang lebih daripada itu," Lenox bertahan. "Saya tahu
bahwa Kettering bepergian dengan kereta api yang sama, tapi - itu saja tidak
akan cukup." "Sebuah kotak rokok dengan huruf 'K' di atasnya, yang bukan kepunyaan Nyonya
Kettering, telah ditemukan di dalam kamar wanita itu, dan dua orang melihatnya
masuk dan keluar dari kamar itu, sebentar sebelum kereta api tiba di Lyons."
"Siapa kedua orang itu?"
"Teman Anda Katherine adalah salah seorang di antaranya. Yang seorang lagi
adalah Mademoiselle Mirelle, penari itu."
"Lalu Derek sendiri, apa katanya tentang kejadian itu?" tanya Lenox tajam.
"Dia membantah masuk ke kamar istrinya," kata Poirot.
"Tolol!" kata Lenox ketus, sambil merengut. "Sebentar sebelum Lyons, kata Anda"
Tak adakah yang tahu kapan - kapan pastinya dia meninggal?"
"Kesaksian dokter memang bisa tidak terlalu meyakinkan," kata Poirot. "Mereka
menduga bahwa kematian mungkin terjadi sesudah kereta api meninggalkan Lyons.
Dan kami sudah tahu, bahwa beberapa menit setelah meninggalkan Lyons, Nyonya
Kettering sudah meninggal."
"Bagaimana Anda tahu?"
Poirot tersenyum agak aneh.
"Ada seseorang lain yang masuk ke kamarnya dan menemukannya meninggal."
"Dan mereka tidak memberi tahu pihak kereta api?"
"Tidak." "Mengapa begitu?"
"Mereka pasti punya alasan sendiri."
Lenox memandangi Poirot dengan tajam.
"Apakah Anda tahu alasannya?"
"Saya rasa tahu."
Lenox duduk diam-diam membolak-balik persoalan dalam pikirannya. Poirot
memperhatikannya tanpa berkata apa-apa. Akhirnya Lenox mengangkat mukanya.
Pipinya jadi berwarna merah muda dan matanya bersinar.
"Kalian berpikir bahwa seseorang di dalam kereta api yang membunuhnya, tapi itu
sama sekali tak perlu. Apa yang tidak memungkinkan seseorang masuk ke kereta api
waktu kereta api itu berhenti di Lyons" Mereka bisa saja langsung masuk ke kamar
Nyonya Kettering, menjerat leher wanita itu, mengambil permata-permata
delimanya, lalu turun lagi dari kereta api tanpa diketahui seseorang pun.
Mungkin dia sebenarnya dibunuh waktu kereta api berada di stasiun Lyons. Jadi
waktu Derek masuk dia masih hidup, dan yang seorang lagi menemukannya sudah
meninggal." Poirot bersandar di kursinya. Dia menarik napas dalam-dalam. Dia memandang gadis
yang duduk di seberangnya dan mengangguk tiga kali, kemudian dia mendesah.
"Mademoiselle," katanya, "apa yang Anda katakan itu sangat masuk akal - benar
sekali. Saya sedang berjuang dalam gelap, dan Anda telah menunjukkan saya suatu
cahaya. Ada satu hal yang merupakan tanda tanya bagi saya dan Anda sudah
menjadikannya jelas."
Poirot bangkit. "Dan Derek?" tanya Lenox.
"Siapa yang tahu?" kata Poirot, sambil mengangkat bahunya. "Tapi dengar kata-
kata saya ini, Mademoiselle. Saya tak puas, tidak. Hercule Poirot merasa tidak
puas. Mungkin malam ini juga saya akan mendengar sesuatu lagi. Sekurang-
kurangnya saya akan mencoba."
"Apakah Anda akan menemui seseorang?"
"Ya." "Seseorang yang tahu sesuatu?"
"Seseorang yang mungkin tahu sesuatu. Dalam peristiwa seperti sekarang ini kita
tak boleh membiarkan satu pun bahan tanpa disentuh. Au revoir, Mademoiselle."
Lenox mengantarnya sampai ke pintu.
"Apakah - saya telah membantu?" tanyanya.
Wajah Poirot menjadi lembut waktu dia menengadah memandang Lenox yang berdiri di
ambang pintu di atasnya. "Ya, Mademoiselle, Anda telah membantu. Bila Anda dalam kegelapan, ingatlah
itu." Waktu mobil berangkat, Poirot asyik termangu dengan mengerutkan alisnya, tapi
dalam matanya tampak cahaya hijau yang samar - hal mana selalu merupakan suatu
pertanda akan adanya kemenangan yang diharapkannya.
Dia datang terlambat beberapa menit di tempat pertemuan, dan mendapati M.
Papopolous dan putrinya telah tiba lebih dulu. Dia mohon maaf dengan segala
kerendahan hati, dan dengan berlebihan dia menunjukkan sopan santun serta
perhatiannya terhadap tamu wanitanya. Orang Yunani itu ramah sekali dan baik
hati malam itu, seperti seorang jagoan. Zia kelihatan manis dan senang. Makan
malam itu menyenangkan. Poirot ceria dan berseri-seri. Dia mengisahkan lelucon-
lelucon, dia bergurau, dia memuji-muji Zia Papopolous, dan dia menceritakan
peristiwa-peristiwa menarik dalam karirnya. Jenis makanannya terpilih dengan
baik dan anggurnya baik sekali.
Setelah selesai makan, M. Papopolous bertanya dengan sopan,
"Bagaimana dengan petunjuk yang saya berikan dulu" Sudahkah Anda mengadu untung
Anda terhadap kuda itu?"
"Saya sedang mengadakan hubungan dengan - eh - bandar balapan," sahut Poirot.
Kedua laki-laki itu saling berpandangan.
"Seekor kuda yang terkenal, bukan?"
"Bukan," kata Poirot, "kuda itu adalah seperti yang dikatakan orang Inggris,
kuda hitam." "Oh!" kata M. Papopolous, merenung.Sekarang kita harus pergi ke kasino dan mengadu untung kita di meja roulette,?""kata Poirot ceria.
Di kasino mereka berpisah. Poirot selalu mendampingi Zia, sedang M. Papopolous
memisahkan diri. Poirot tidak beruntung, tetapi Zia bernasib baik terus, dan dalam waktu singkat
telah memenangkan beberapa ribu franc.
"Saya rasa sebaiknya saya berhenti saja sekarang," katanya pada Poirot, datar.
Poirot mengedipkan matanya.
"Bagus!" serunya. "Anda memang putri ayah Anda, Mademoiselle Zia. Anda tahu
kapan harus berhenti. Yah! Itulah seninya."
Dia melihat ke sekeliling ruangan.
"Saya tak melihat ayah Anda," katanya tak acuh. "Saya ambilkan mantel Anda,
Mademoiselle, dan kita berjalan-jalan di taman saja."
Tetapi dia tidak langsung pergi ke ruang penyimpanan mantel. Matanya yang tajam
tadi telah melihat kepergian M. Papopolous. Dia ingin sekali tahu rencana orang
Yunani yang licik itu. Tanpa disangka dia menemukannya di ruang duduk besar.
Orang itu sedang berdiri dekat sebuah pilar, bercakap-cakap dengan seorang
wanita yang baru tiba. Wanita itu adalah Mirelle.
Poirot menyingkir tanpa dilihat. Dia berhenti di sisi lain dari pilar, dan tidak
dilihat oleh kedua orang yang sedang berbicara itu. Sebenarnya penari itulah
yang sedang berbicara, sedang Papopolous hanya kadang-kadang menyela dengan
sepatah kata atau dengan gerakan saja.
"Sudah saya katakan, saya butuh waktu," kata penari itu. "Jika Anda mau memberi
saya waktu, saya akan mendapatkan uangnya."
"Menunggu - itulah sulitnya." Orang Yunani itu mengangkat bahunya.
"Hanya sebentar saja," desak lawan bicaranya. "Tolonglah! Seminggu - sepuluh
hari - selama itu saja yang saya minta. Anda akan mendapat untung."
Papopolous berdiri agak menggeser dan menoleh dengan gelisah dan - menemukan
Poirot berdiri dekat benar dengannya dengan wajah polos berseri-seri.
"Ah! Ini Anda rupanya, M. Papopolous. Saya sedang mencari-cari Anda. Bolehkah
saya mengajak Mademoiselle Zia berjalan-jalan di taman" Selamat malam,
Mademoiselle." Dia membungkuk dalam-dalam di depan Mirelle. "Seribu maaf, saya
tak melihat Anda tadi."
Dengan tak sabaran penari itu membalas sapaan itu. Jelas bahwa dia tak senang
percakapannya terganggu. Poirot cepat arif. Papopolous bergumam, "Tentu -
tentu," dan Poirot menarik diri.
Diambilnya mantel Zia, lalu mereka keluar, ke taman.
"Di sinilah orang biasanya membunuh diri," kata Zia.
Poirot mengangkat bahunya. "Begitu kata orang. Manusia memang bodoh bukan,
Mademoiselle" Makan, minum, menghirup udara segar, bukankah itu menyenangkan,
Mademoiselle. Sungguh tolol kalau orang mau meninggalkan itu semua hanya karena
tak punya uang - atau karena hati yang sakit. Cinta itu mendatangkan banyak
bahaya, bukan?" Zia tertawa. "Anda tak boleh menertawakan cinta, Mademoiselle," kata Poirot, sambil
mengguncang-guncangkan telunjuknya ke arah wanita itu. "Anda masih muda dan
cantik." "Tidak lagi," kata Zia. "Anda lupa bahwa umur saya sudah tiga puluh tiga tahun,
M. Poirot. Dengan Anda saya berterus terang, karena tak ada gunanya berbohong.
Sebagaimana Anda katakan pada Ayah, memang tepat tujuh belas tahun yang lalu
Anda membantu kami di Paris."
"Rasanya belum sampai sekian lamanya, bila saya melihat Anda," kata Poirot
dengan jantan. "Waktu itu Anda sama benar dengan sekarang, Mademoiselle, hanya
agak kurus, agak pucat, dan lebih serius. Baru berumur enam belas tahun dan baru
kembali dari sekolah berasrama. Tidak seperti anak kecil di asrama, belum pula
wanita dewasa. Anda waktu itu menggairahkan, menarik, Mademoiselle Zia - orang-
orang lain pasti juga berpendapat demikian."
"Waktu berumur enam belas, pikiran orang masih pendek dan tolol," kata Zia.
"Mungkin saja," kata Poirot. "Ya, mungkin saja. Waktu berumur enam belas, orang
mudah percaya, bukan" Percaya saja apa kata orang lain."
Poirot yang sebenarnya melihat lirikan tajam dari gadis itu, pura-pura tidak
menyadarinya. Dia melanjutkan, "Peristiwa itu memang aneh. Ayah Anda tak pernah
mengerti apa yang ada di baliknya, Mademoiselle."
"Tidakkah?" "Waktu beliau meminta keterangan terperinci, saya berkata begini, 'Saya telah
mengembalikan pada Anda apa-apa yang hilang, tanpa timbul skandal. Anda tak
boleh bertanya-tanya lagi.' Tahukah Anda mengapa saya berkata begitu,
Mademoiselle?" "Saya tak tahu," kata gadis itu dingin.
"Karena saya kasihan pada seorang gadis kecil dari asrama, yang begitu kurus,
pucat, dan serius." "Saya tak mengerti apa yang Anda katakan ini," kata Zia marah.
"Masa tidak, Mademoiselle. Sudah lupakah Anda pada Antonio Pirezzio?"
Didengarnya suara napas yang tertahan - seperti terengah.
"Dia datang untuk bekerja sebagai asisten di toko, tapi bukan hanya dengan cara
begitu dia bisa mendapatkan apa yang diingininya, bukan" Seorang asisten bisa
pula main mata dengan putri majikannya, bukan" Apalagi kalau dia muda, tampan,
dan bermulut manis. Mereka tentu tak bisa bercintaan terus, mereka kadang-kadang
juga membicarakan hal-hal yang mendapatkan perhatian mereka berdua - seperti
umpamanya barang yang amat menarik, yang sementara itu ada di tangan M.
Papopolous. Dan karena - seperti kata Anda, Mademoiselle - seorang muda itu
tolol dan mudah percaya, Anda mudah pula percaya padanya dan bahkan
memperlihatkan padanya di mana barang istimewa itu disimpan. Dan setelah barang
itu hilang - setelah bencana besar yang tak masuk akal itu terjadi - aduh! -
kasihan anak asrama itu. Betapa mengerikan kedudukannya. Dia ketakutan, si kecil
malang itu. Bicara atau tidak" Lalu datanglah orang hebat itu, Hercule Poirot.
Seperti suatu mukjizat saja, bagaimana penyelesaian-penyelesaian terjadi.
Barang-barang warisan yang tak ternilai harganya itu kembali dan tak ada pula
pertanyaan yang akan membuka rahasia."
Zia berpaling padanya dengan geram.
"Jadi selama ini Anda tahu" Siapa mengatakannya pada Anda" Apakah - apakah
Antonio?" Poirot menggeleng. "Tak seorang pun menceritakannya," katanya dengan tenang. "Saya menerka. Terkaan
saya tepat, bukan, Mademoiselle" Soalnya kalau kita tak pandai menerka, tak ada
gunanya menjadi detektif."
Beberapa menit lamanya gadis itu berjalan saja di sisinya tanpa berkata apa-apa.
Kemudian dia berkata dengan keras,
"Lalu apa yang akan Anda lakukan berhubung dengan hal itu" Apakah akan Anda
ceritakan pada Ayah?"
"Tidak," kata Poirot tajam. "Tentu tidak."
Gadis itu memandangnya dengan heran.
"Apakah Anda menginginkan sesuatu dari saya?"
"Saya mengharapkan bantuan Anda, Mademoiselle."
"Mengapa Anda beranggapan bahwa saya bisa membantu Anda?"
"Saya tidak beranggapan apa-apa. Saya hanya berharap."
"Dan bila saya tidak membantu Anda, maka - Anda akan mengatakannya pada ayah
saya?" "Tentu saja tidak! Hilangkan pikiran itu. Saya bukan seorang pemeras. Saya tak
mau memegang rahasia Anda, lalu mengancam dengan bersenjatakan rahasia itu."
"Bila saya menolak membantu Anda - " gadis itu mulai lagi.
"Tolak saja, tidak apa-apa."
"Lalu mengapa - ?" dia terhenti.
"Dengarkan, saya ceritakan. Kaum wanita itu bersifat pemurah, Mademoiselle. Bila
dia bisa memberikan jasa pada orang yang telah berbuat baik padanya, mereka rela
memberikan jasa itu. Saya pernah bermurah hati pada Anda, Mademoiselle. Waktu
itu saya bisa saja berbicara, tapi saya menutup mulut."
Mereka diam lagi, lalu gadis itu berkata, "Beberapa hari yang lalu, ayah saya
telah memberi Anda petunjuk secara sindiran."
"Beliau memang baik."
"Saya rasa," kata Zia ragu-ragu, "tak ada lagi yang dapat saya tambahkan pada
petunjuk itu."
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Poirot tidak memperlihatkan rasa kecewa, kalaupun itu ada. Tak satu pun syaraf
mukanya berubah. "Eh bien!" katanya dengan ceria. "Kalau begitu kita harus berbicara tentang
soal-soal lain." Lalu mulailah dia mengobrol dengan riang. Namun gadis itu seperti orang
linglung, dan jawaban-jawabannya diberikannya secara tak sadar dan tak selalu
tepat. Waktu mereka tiba di dekat kasino lagi, barulah agaknya gadis itu
mengambil keputusan. "M. Poirot?" "Ya, Mademoiselle?"
"Saya - saya ingin membantu Anda kalau bisa."
"Anda baik sekali, Mademoiselle - sangat bersahabat."
Keduanya diam lagi. Poirot tak mau mendesak. Dia mau menunggu dan membiarkan
sampai Zia mulai sendiri.
"Ah," kata Zia, "mengapa saya tak boleh menceritakannya pada Anda" Ayah saya
sangat waspada - selalu berhati-hati dalam segala ucapannya. Tapi saya tahu
bahwa dengan Anda hal itu tak perlu. Anda telah berkata bahwa Anda semata-mata
ingin mencari pembunuh itu, dan bahwa Anda tak mau berurusan dengan permata-
permata itu. Saya percaya pada Anda. Anda benar, waktu Anda menebak bahwa
kehadiran kami di Nice adalah karena permata-permata delima itu. Permata-permata
itu telah diserahkan di sini sebagaimana yang direncanakan. Sekarang permata-
permata itu ada pada ayah saya. Beberapa hari yang lalu dia telah mengisyaratkan
pada Anda siapa nasabah kami yang misterius itu."
"Marquis?" gumam Poirot perlahan.
"Benar, Marquis."
"Pernahkah Anda melihat Marquis itu, Mademoiselle Zia?"
"Satu kali," kata gadis itu. "Tapi tak jelas," tambahnya lagi, "hanya melalui
lubang kunci." "Itu selalu sulit," kata Poirot penuh pengertian, "tapi bagaimanapun juga, Anda
melihatnya. Akan bisakah Anda mengenalinya kembali?"
Zia menggeleng. "Dia memakai kedok," dia menjelaskan.
"Tua atau muda?"
"Dia berambut putih. Itu mungkin rambut palsu, mungkin juga bukan. Tapi pas
sekali. Saya rasa dia tidak tua. Langkahnya waktu berjalan seperti orang muda,
begitu pula suaranya."
"Suaranya?" tanya Poirot bersungguh-sungguh. "Ya, suaranya! Apakah Anda akan
bisa mengenalinya kembali, Mademoiselle Zia?"
"Mungkin bisa," kata gadis itu.
"Anda menaruh perhatian padanya, ya" Itukah sebabnya Anda mengintip melalui
lubang kunci?" Zia mengangguk. "Ya, ya. Saya ingin tahu. Banyak benar yang sudah kita dengar tentang dia - dia
bukan pencuri biasa - dia lebih banyak merupakan seorang tokoh dalam sejarah
atau cerita roman." "Ya," kata Poirot merenung, "ya, mungkin begitu."
"Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan pada Anda," kata Zia. "Ada satu soal
kecil yang saya pikir mungkin - yah - berguna bagi Anda."
"Ya?" "Seperti kata saya tadi, permata-permata delima itu diserahkan pada ayah saya di
Nice ini. Saya tidak melihat orang yang menyerahkannya, tapi - "
"Ya?" "Satu hal saya tahu. Dia adalah seorang wanita."
Bab 29 SURAT DARI RUMAH "Katherine yang baik, - Karena kau hidup di antara sahabat-sahabatmu yang orang-
orang terkemuka sekarang ini, kurasa kau tentu tak ingin lagi mendengar berita
dari kami. Tapi aku selalu berpendapat bahwa kau adalah seorang gadis yang
selalu berakal sehat, jadi kurasa barangkali kau tidak akan menjadi terlalu
berkepala besar. Di sini segalanya berjalan seperti biasa saja. Ada kesulitan
besar mengenai pendeta pembantu yang bukan main angkuhnya. Dalam pandanganku dia
tak lebih tak kurang seorang Kristen biasa. Semua orang sudah berbicara pada
pendeta setempat tentang hal itu. Tapi kau pun tahu siapa pastor kita - tak lain
tak bukan amal derma Kristen saja tanpa semangat yang mendalam. Akhir-akhir ini
aku mengalami kesulitan dengan pembantu-pembantu rumah tangga. Gadis yang
bernama Annie itu tak beres - roknya selalu di atas lutut dan tak mau memakai
kaus kaki dari wol yang baik itu. Tak seorang pun mau ditegur. Aku juga sakit
rematik dan Dokter Harris menganjurkan supaya aku pergi berobat pada seorang
spesialis di London - yang akan berarti pemborosan tiga guinea ditambah ongkos
kereta api, kataku padanya. Tapi dengan menunggu sampai hari Rabu, aku berhasil
mendapatkan kesempatan pergi ke sana dengan ongkos pulang yang murah. Muka
dokter di London itu masam dan bicaranya berputar-putar tak mau berterus terang,
sampai akhirnya aku berkata, 'Saya perempuan sederhana, Dokter, dan saya ingin
segala sesuatu dijelaskan seterang-terangnya. Apakah ini kanker atau bukan"'
Setelah itu dia baru mengatakannya. Katanya aku harus berobat terus selama satu
tahun, dan jangan menunggu sampai terlalu kesakitan, meskipun aku yakin bahwa
aku bisa menanggung sakit. Hidup ini kadang-kadang terasa sepi, karena
kebanyakan sahabat-sahabatku telah meninggal atau pergi. Aku ingin kau berada di
St. Mary Mead, Sayang. Seandainya kau tidak mendapatkan uang itu untuk lalu
pergi memasuki masyarakat orang-orang terkemuka itu, maka aku akan menawarkan
padamu gaji dua kali sebanyak yang dibayar Jane, untuk merawatku. Tapi yah,
sudahlah - tak ada gunanya menginginkan apa yang tak bisa kita dapatkan. Tapi,
siapa tahu nasibmu menjadi buruk - itu mungkin saja. Aku sering sekali mendengar
tentang laki-laki ningrat gadungan yang mengawini gadis-gadis kaya dan mengambil
uang gadis itu untuk kemudian meninggalkannya begitu saja. Aku yakin kau tidak
akan membiarkan hal seperti itu terjadi atas dirimu karena kau mempunyai pikiran
sehat. Tapi siapa tahu - dan karena tak pernah mendapatkan perhatian yang cukup
besar, aku takut kau lalu gelap mata. Jadi kalau sampai terjadi apa-apa, Sayang,
ingatlah bahwa selalu ada rumah untuk tempatmu kembali - dan meskipun aku hanya
seorang perempuan yang bisa bicara apa adanya, aku juga berhati hangat.
Sahabat lamamu yang menyayangimu,
Amelia Viner NB. - Aku melihat namamu tercantum di surat kabar, bersama saudara sepupumu
Viscountess Tamplin. Berita itu kugunting dan kusimpan bersama guntingan-
guntinganku yang lain. Pada hari Minggu aku berdoa semoga kau dihindarkan dari
kesombongan dan kebanggaan hampa."
Katherine membaca surat istimewa itu sampai dua kali, lalu diletakkannya dan dia
menatap ke air Laut Mediterania yang biru melalui jendela kamar tidurnya. Dia
merasa kerongkongannya tersumbat. Dia tiba-tiba jadi rindu pada St. Mary Mead.
Begitu penuh dengan hal-hal kecil yang biasa dan kadang-kadang bodoh - namun -
itulah kampung halamannya. Dia jadi ingin sekali menelungkup dan menangis puas-
puas. Lenox yang pada saat itu masuk, menggagalkan niatnya itu.
"Halo, Katherine," kata Lenox. "Hai - ada apa?"
"Ah, tak apa-apa," kata Katherine, sambil cepat-cepat mengambil surat Miss Viner
dan memasukkan ke dalam tasnya.
"Kau tadi kelihatan aneh," kata Lenox. "Anu - kuharap kau tidak keberatan - aku
tadi menelepon sahabatmu M. Poirot yang detektif itu dan mengajaknya makan siang
bersama kita di Nice. Kukatakan kau ingin bertemu dengan dia, karena kupikir dia
mungkin tak mau datang kalau aku yang mengajaknya."
"Jadi kau yang ingin bertemu dengan dia?" tanya Katherine.
"Ya," kata Lenox. "Aku agak jatuh cinta padanya. Selama ini tak pernah aku
bertemu dengan laki-laki yang matanya benar-benar hijau seperti mata kucing."
"Baiklah," kata Katherine. Dia berbicara tanpa semangat. Hari-hari terakhir ini
banyak guncangannya. Penangkapan atas diri Derek Kettering telah menjadi bahan
pembicaraan hangat, dan misteri Kereta Api Biru telah dibahas habis-habisan dari
segala segi. "Sudah kuperintahkan supaya mobil disiapkan," kata Lenox, "dan Ibu sudah
kubohongi - entah aku tak ingat lagi apa - tapi itu tak penting, dia tak pernah
ingat. Jika dia tahu akan ke mana kita, dia ingin ikut, untuk memompa berita
dari M. Poirot." Kedua gadis itu tiba di Negresco dan mendapati Poirot sedang menunggu.
Dia menunjukkan kesopanan yang luar biasa, dan mengumbar puji-pujian pada kedua
gadis itu, sampai mereka mau tak mau, tertawa - meskipun demikian mereka makan
dengan tidak begitu riang. Katherine banyak termangu dan linglung, sedangkan
Lenox tak sudah-sudahnya berbicara. Waktu mereka sedang duduk di teras menghirup
kopi, Lenox tiba-tiba menyerang Poirot dengan terang-terangan.
"Bagaimana perkara itu" Anda tentu tahu maksud saya, bukan?"
Poirot mengangkat bahunya. "Semuanya berjalan sebagaimana biasanya," katanya.
"Dan Anda membiarkan hal-hal itu berjalan sebagaimana biasanya saja?"
"Anda masih muda, Mademoiselle, Anda harus tahu bahwa ada tiga hal yang tak
dapat diburu-buru - Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan orang-orang tua."
"Omong kosong!" kata Lenox. "Anda tidak tua."
"Ah, menyenangkan sekali kata-kata Anda itu."
"Ini Mayor Knighton," kata Lenox.
Katherine cepat menoleh lalu kembali lagi.
"Dia bersama Tuan Van Aldin," sambung Lenox. "Saya ingin menanyakan sesuatu pada
Mayor Knighton. Sebentar, ya?"
Setelah ditinggalkan berduaan, Poirot membungkuk ke arah Katherine dan berkata,
"Anda kelihatan linglung, Mademoiselle - pikiran Anda melayang jauh sekali,
bukan?" "Hanya sampai di Inggris saja, tidak lebih jauh."
Terdorong oleh sesuatu yang tak disadarinya, Katherine mengeluarkan surat yang
diterimanya tadi pagi, lalu diberikannya pada Poirot supaya dibaca.
"Itulah berita pertama yang saya terima dari dunia saya yang lama. Jadi
bagaimanapun juga saya - merasa sedih."
Poirot membacanya lalu mengembalikannya.
"Jadi Anda akan kembali ke St. Mary Mead?" katanya.
"Tidak," kata Katherine. "Untuk apa?"
"Ah," kata Poirot, "saya keliru. Maafkan saya sebentar."
Dia pergi ke tempat di mana Lenox sedang bercakap-cakap dengan Van Aldin dan
Knighton. Orang Amerika itu kelihatan tua dan letih. Dia menyapa Poirot dengan
anggukan singkat tanpa tanda-tanda persahabatan.
Waktu dia menoleh untuk memberikan jawaban atas suatu pernyataan Lenox, Poirot
menarik Knighton agak menjauh.
"Van Aldin kelihatan sakit," katanya.
"Herankah Anda?" kata Knighton. "Skandal tentang penangkapan Derek Kettering itu
merupakan beban tambahan baginya. Beliau bahkan menyesal telah meminta Anda
untuk menemukan kebenarannya."
"Dia seharusnya kembali ke Inggris," kata Poirot.
"Kami akan berangkat lusa."
"Itu berita yang baik," kata Poirot.
Dia bimbang, lalu menoleh ke teras di mana Katherine duduk.
"Saya ingin Anda bisa mengatakan hal itu pada Nona Grey," gumam Poirot lagi.
"Mengatakan hal apa?"
"Bahwa Anda - maksud saya bahwa M. Van Aldin akan kembali ke Inggris."
Knighton tampak keheranan, tetapi dengan senang hati dia menyeberang ke teras
mendapatkan Katherine. Poirot memandanginya pergi dan mengangguk dengan rasa puas, lalu dia
menggabungkan diri dengan Lenox dan orang Amerika itu. Sebentar kemudian mereka
bertiga menyertai kedua orang itu. Beberapa lamanya mereka bercakap-cakap biasa,
kemudian jutawan itu pergi dengan sekretarisnya. Poirot juga bersiap-siap untuk
pergi. "Terima kasih banyak atas keramahan Anda berdua," katanya. "Sungguh makan siang
yang menyenangkan. Ma foi, saya membutuhkannya!" Dia membusungkan dadanya lalu
menepuknya. "Sekarang saya sudah menjadi seekor singa - raksasa. Ah,
Mademoiselle Katherine, Anda belum pernah melihat saya dalam keadaan lain. Yang
Anda lihat selalu adalah Hercule Poirot yang tenang dan lemah lembut, tapi ada
Hercule Poirot yang lain. Sekarang saya akan pergi untuk menggertak, untuk
mengancam, untuk menimbulkan rasa takut dalam hati siapa saja yang
mendengarnya." Dia memandang pada kedua gadis itu dengan rasa puas diri - dan mereka
menunjukkan sikap seolah-olah terkesan, meskipun Lenox menggigit-gigit bibir
bawahnya, dan sudut-sudut mulut Katherine mulai bergerak.
"Ya, semua itu akan saya lakukan," katanya dengan bersungguh-sungguh. "Dan saya
akan berhasil." Baru beberapa langkah dia pergi ketika suara Katherine membuatnya menoleh.
"M. Poirot, sa - saya ingin mengatakan pada Anda. Saya rasa kata-kata Anda tadi
benar. Saya akan segera kembali ke Inggris."
Poirot menatapnya lekat-lekat, dan wajah Katherine menjadi merah karena tatapan
itu. "Saya mengerti," katanya bersungguh-sungguh.
"Saya rasa Anda tidak mengerti," kata Katherine.
"Saya tahu lebih banyak daripada yang Anda sangka, Mademoiselle," katanya dengan
tenang. Dia meninggalkan Katherine dengan senyum yang aneh di bibirnya. Dia memasuki
mobil yang sedang menunggunya, lalu pergi ke Antibes.
Hipolyte, pelayan laki-laki Comte de la Roche yang berwajah kaku, sedang sibuk
melap daun meja yang terbuat dari kaca. Comte de la Roche sendiri sedang pergi
ke Monte Carlo hari itu. Waktu dia melihat ke luar jendela, Hipolyte melihat
seorang tamu yang berjalan cepat menuju ke pintu rumahnya. Hipolyte yang sudah
berpengalaman itu, merasa sulit mengingat-ingat siapa tamunya itu, karena
anehnya tamu itu. Dipanggilnya istrinya, Marie, yang sedang sibuk di dapur, dan
diajaknya melihat tamu yang aneh itu.
"Bukan polisi lagi, kan?" kata Marie dengan cemas.
"Lihatlah sendiri," kata Hipolyte.
Marie melihat. "Pasti bukan polisi," katanya. "Aku senang."
"Sebenarnya mereka itu tidak terlalu menyusahkan kita," kata Hipolyte. "Kalau
bukan karena peringatan M. Comte, aku tidak akan menyangka bahwa orang asing di
rumah minum itu, polisi atau detektif."
Bel berbunyi dan Hipolyte pergi membukanya dengan sikap serius tetapi sopan.
"Menyesal sekali, tapi M. Comte tak di rumah."
Laki-laki kecil berkumis besar itu tetap tenang dan wajahnya berseri.
"Saya tahu itu," sahutnya. "Anda Hipolyte Flavelle, bukan?"
"Benar, Monsieur, itu nama saya."
"Dan Anda mempunyai istri yang bernama Marie Flavelle?"
"Ya, Monsieur, tapi - "
"Saya ingin bertemu dengan Anda berdua," kata orang asing itu, dan dengan cepat
dia melangkah masuk melewati Hipolyte.
"Istri Anda pasti ada di dapur," katanya. "Saya akan ke sana."
Sebelum Hipolyte dapat mengatur napasnya kembali, tamunya sudah berhasil memilih
pintu yang tepat di bagian belakang ruangan itu, menjalani sepanjang lorong dan
masuk ke dapur, di mana dia menemukan Marie yang terbelalak dan mulutnya
ternganga. "Voila," kata orang asing itu, sambil menjatuhkan dirinya ke sebuah kursi kayu,
"saya Hercule Poirot."
"Ya, Tuan?" "Apakah kalian tak kenal nama itu?"
"Saya tak pernah mendengarnya," kata Hipolyte.
"Kalau begitu izinkan saya mengatakan bahwa pendidikan kalian kurang. Itu nama
salah seorang besar di dunia ini."
Dia mendesah lalu melipat tangannya ke dadanya.
Hipolyte dan Marie menatapnya dengan gelisah. Mereka tak tahu harus berbuat apa
terhadap tamu asing yang tidak mereka harapkan dan begitu aneh. "Apakah
keinginan Monsieur - ?" gumam Hipolyte sebisanya.
"Saya ingin tahu mengapa kalian berbohong pada polisi."
"Monsieur!" seru Hipolyte. "Saya - saya berbohong pada polisi" Saya tak pernah
berbuat begitu." M. Poirot menggeleng. "Anda keliru," katanya, "Anda telah beberapa kali berbohong. Coba kita lihat."
Dikeluarkannya sebuah buku catatan kecil dari sakunya lalu dibacanya. "Oh ya,
sekurang-kurangnya tujuh kali. Akan saya bacakan kembali."
Dengan suara lembut tanpa emosi dibacakannya garis besar dari tujuh peristiwa.
Hipolyte terperanjat. "Tapi saya tidak akan membicarakan tentang kejadian masa lalu itu," sambung
Poirot. "Ingat, Sahabat, janganlah punya kebiasaan untuk menyangka bahwa Anda
telah pandai. Saya akan menunjukkan satu kebohongan khusus yang ada urusannya
dengan saya - yaitu pernyataan Anda bahwa Comte de la Roche tiba di vila ini
pada pagi hari tanggal empat belas Januari."
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi itu bukan bohong, Monsieur, itu benar. M. Comte tiba di sini pada pagi
hari Selasa, tanggal empat belas. Begitu bukan, Marie?"
Marie membenarkan dengan penuh semangat.
"Ya, benar, itu betul sekali. Saya ingat benar."
"Oh," kata Poirot, "lalu makan siang apa yang Anda hidangkan untuk majikan Anda
hari itu?" "Saya - " Marie diam untuk mencoba berpikir-pikir.
"Aneh," kata Poirot, "kalau ada orang yang bisa mengingat beberapa hal - sedang
yang lain dilupakannya."
Dia membungkuk lalu menghantam meja dengan tinjunya - matanya berapi-api karena
marah. "Ya, ya, benar dugaan saya. Anda berbohong dan Anda menyangka tak seorang pun
yang tahu. Tapi ada dua orang yang tahu. Ya - dua. Satu di antaranya adalah
Tuhan Yang Mahakuasa - "
Diangkatnya tangannya ke atas, lalu dia duduk dengan nyaman lagi di kursinya,
lalu sambil menutup matanya, dia bergumam pula seenaknya,
"Dan yang seorang lagi adalah Hercule Poirot."
"Yakinlah, Monsieur, Anda benar-benar keliru. M. Comte berangkat dari Paris,
Senin malam - " "Betul," kata Poirot - "naik kereta api Rapide. Saya tak tahu di mana dia
menghentikan perjalanannya. Mungkin Anda pun tak tahu. Yang saya tahu adalah
bahwa dia tiba di sini pada hari Rabu pagi, dan bukan pada hari Selasa Pagi."
"Monsieur keliru," kata Marie berkeras.
Poirot bangkit. "Kalau begitu hukum harus turun tangan," gumamnya. "Sayang."
"Apa maksud Anda, Monsieur?" tanya Marie, dengan bayangan kecemasan.
"Kalian akan ditangkap dan ditahan karena berkomplot sehubungan dengan
pembunuhan Nyonya Kettering. Wanita Inggris."
"Pembunuhan!" Wajah Hipolyte menjadi pucat-pasi, lututnya gemetar. Cepit gulung yang sedang
ada di tangan Marie jatuh dan dia mulai menangis.
"Tapi itu tak mungkin - tak mungkin. Saya sangka - "
"Karena kalian berpegang teguh pada cerita kalian, tak ada lagi yang bisa
dikatakan. Saya rasa kalian berdua tolol."
Sedang dia berbalik ke pintu, langkahnya tertahan oleh suara panggilan cemas.
"Monsieur, Monsieur, tunggu sebentar. Sa - saya tak menyangka bahwa begitu
persoalannya. Sa - saya sangka ini hanya berhubungan dengan seorang wanita saja.
Selama ini tak ada kesulitan yang berhubungan dengan polisi kalau mengenai
wanita. Tapi pembunuhan - itu lain."
"Saya tak sabar menghadapi kalian," seru Poirot. Dia berbalik menghadapi mereka
lalu mengacung-acungkan tinjunya ke muka Hipolyte dengan marah. "Apakah saya
harus tetap tinggal di sini sepanjang hari, bertengkar begini dengan sepasang
orang-orang goblok" Saya ingin kebenaran. Bila kalian tak mau memberikannya, itu
urusan kalian. Untuk terakhir kalinya, kapan M. Comte tiba di Vila Marina ini -
hari Selasa pagi atau Rabu pagi?"
"Hari Rabu," desah laki-laki itu, dan di belakangnya Marie mengangguk
membenarkan. Poirot memandangi mereka beberapa lamanya, lalu mengangguk.
"Kalian memang pandai, Anak-anak," katanya dengan tenang. "Hampir saja kalian
berada dalam kesulitan besar."
Ditinggalkannya Vila Marina, sambil tersenyum sendiri.
"Satu dugaan sudah dibenarkan," gumamnya sendiri. "Akan kuambilkan kesempatan
terhadap yang lain?"
Pukul enam sore kartu nama M. Hercule Poirot diserahkan pada Mirelle. Mirelle
menatap kartu itu sebentar, lalu mengangguk. Waktu Poirot masuk, didapatinya
Mirelle sedang berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya dengan gugup. Dia berbalik
menghadapi Poirot dengan marah.
"Nah," serunya, "apa lagi sekarang" Belum cukupkah Anda menyiksa saya, kalian
semua" Tidakkah kalian yang sampai membuat saya mengkhianati Derek-ku yang
malang" Apa lagi yang Anda mau?"
"Hanya satu pertanyaan saja, Mademoiselle. Setelah kereta api berangkat dari
Lyons, waktu Anda masuk ke kamar Nyonya Kettering - "
"Ada apa?" Poirot menatapnya dengan air muka menegur lalu mulai lagi.
"Kata saya, waktu Anda masuk ke kamar Nyonya Kettering - "
"Saya tidak masuk."
"Dan menemukannya - "
"Saya tidak masuk."
"Ah, terkutuk!"
Poirot berbalik menghadapi Mirelle dengan murka dan berteriak padanya, hingga
wanita itu mundur kengerian.
"Apakah Anda akan berbohong pada saya" Dengar, saya tahu betul apa yang telah
terjadi, seolah-olah saya sendiri ada di tempat itu. Anda masuk ke kamarnya dan
Anda menemukannya sudah meninggal. Percayalah, saya tahu. Berbahaya berbohong
pada saya. Berhati-hatilah, Mademoiselle Mirelle."
Mata Mirelle makin lama makin menurun lalu tertunduk.
"Sa - saya tidak - " Dia mulai dengan tak yakin, lalu berhenti.
"Hanya ada satu hal yang saya ragukan," kata Poirot. "Saya ingin tahu,
Mademoiselle, apakah Anda berhasil menemukan apa yang Anda cari ataukah - "
"Ataukah apa?" "Atau adakah orang yang sudah mendahului Anda?"
"Saya tidak akan mau menjawab pertanyaan-pertanyaan apa pun lagi," teriak penari
itu. Dilepaskannya dirinya dari tangan Poirot yang menahannya, lalu menjatuhkan
dirinya ke lantai seperti orang gila, dan berteriak-teriak serta tersedu-sedu.
Pelayannya yang ketakutan, terburu-buru masuk.
Hercule Poirot mengangkat bahunya, mengangkat alisnya, dan dengan tenang
meninggalkan kamar itu. Tetapi dia kelihatan puas.
Bab 30 NONA VINER MEMBERIKAN PENILAIAN
Katherine melihat ke luar dari jendela kamar tidur Nona Viner. Hari hujan, tidak
lebat, tetapi halus dan terus-menerus tanpa mau berhenti. Dari jendela itu kita
dapat melihat ke sebidang pekarangan depan dengan sebuah jalan setapak yang
menuju ke gerbang, yang diapit oleh galangan-galangan kecil ditanami bunga, di
mana bunga mawar, bunga kecil berwarna merah muda, dan hyacint biru kelak akan
bermekaran. Nona Viner sedang berbaring di sebuah tempat tidur besar model Victoria. Sebuah
nampan bekas sarapan disisihkannya dan dia sibuk membuka surat-suratnya sambil
memberikan komentar-komentar pendek tentang surat-surat itu.
Katherine sedang memegang sepucuk surat yang terbuka dan sedang membacanya untuk
kedua kalinya. Surat itu ditulis di Hotel Ritz, Paris.
"Mademoiselle Katherine yang baik," (begitu surat itu dimulai) - "Saya yakin
Anda dalam keadaan sehat walafiat, dan semoga dengan kembalinya Anda ke Inggris
yang sedang musim salju, tidak terlalu memasygulkan. Saya sendiri sedang giat
mengumpulkan petunjuk-petunjuk. Jangan sangka saya sedang berlibur di sini. Tak
lama lagi saya akan berada di Inggris, maka saya berharap akan bertemu lagi
dengan Anda. Bisa, bukan" Setiba di London, saya akan menulis surat pada Anda.
Anda ingat bahwa kita bekerja sama dalam perkara ini, bukan"
Saya yakin Anda tahu itu. Terimalah salam hormat saya yang erat.
Hercule Poirot" Katherine agak mengerutkan dahinya. Rasanya ada sesuatu dalam surat itu yang
menimbulkan pertanyaan dalam dirinya dan yang membuatnya tertarik.
"Ah, akan diadakan piknik oleh para anggota paduan suara gereja," kata Nona
Viner. "Tom Saunders dan Albert Dykes seharusnya ditinggalkan. Aku tidak akan
mendaftarkan diri kalau mereka ikut. Selalu yang tak pantas saja perbuatan
mereka berdua itu di gereja pada hari Minggu. Tommy menyanyikan sebaris lagu,
lalu tak mau lagi membuka mulutnya, dan Albert Dykes makan permen pedas -
penciumanku tak bisa ditipu."
"Saya tahu, mereka itu jahat sekali," Katherine membenarkan.
Katherine membuka surat yang kedua, dan pipinya tiba-tiba memerah. Suara Nona
Viner rasanya menjauh. Waktu kesadarannya kembali lagi pada sekelilingnya, Nona Viner sedang menutup
kisahnya yang panjang dengan sikap kemenangan.
"Lalu kukatakan padanya, 'Tak mengapa. Kebetulan Nona Grey itu saudara sepupu
Lady Tamplin sendiri.' Bagaimana pendapatmu?"
"Apakah Anda berjuang demi saya" Anda baik sekali."
"Boleh saja kautafsirkan begitu. Suatu gelar tak ada artinya bagiku. Biarpun dia
istri pendeta, perempuan itu memang brengsek. Dia menyindir bahwa kau telah
membayar suap supaya bisa diterima dalam masyarakat terkemuka."
"Mungkin dia tidak keliru."
"Padahal, lihatlah keadaanmu ini," sambung Nona Viner. "Apakah kau kembali dan
berlagak sebagai seorang wanita terkemuka, meskipun sebenarnya kau bisa berbuat
demikian" Tidak, kau tetap saja seperti dulu - berakal sehat, memakai kaus kaki
tebal yang baik, dan sepatu yang sehat. Baru kemarin aku berbicara dengan Ellen.
'Ellen,' kataku, 'lihat Nona Grey itu. Dia sudah bergaul dengan orang-orang yang
paling terkemuka, lalu apakah dia seperti kau, yang suka memakai rok di atas
lutut dan kaus kaki sutra yang mudah robek, serta sepatu yang sama sekali tak
masuk akal"'" Katherine tersenyum sendiri, rupanya ada baiknya dia menyesuaikan dirinya dengan
penilaian-penilaian Nona Viner. Wanita tua itu meneruskan bicaranya dengan
bersemangat. "Aku lega sekali bahwa kau tidak menjadi besar kepala. Beberapa hari yang lalu
aku membuka-buka guntingan-guntinganku. Aku menyimpan berita tentang Lady
Tamplin dengan rumah sakitnya dalam masa perang dan sebagainya, tapi aku tak
bisa menemukannya. Tolong carikan, Sayang - penglihatanmu lebih baik daripada
aku. Semuanya ada di dalam laci meja tulis."
Katherine melihat ke surat yang ada di tangannya, dan akan mengatakan sesuatu -
tetapi dibatalkannya sendiri, lalu pergi ke meja tulis, menemukan kotak berisi
guntingan-guntingan lalu mulai mencari. Sejak dia kembali ke St. Mary Mead, dia
amat mengagumi Nona Viner yang selalu tenang dan tabah. Dia merasa bahwa hanya
sedikit yang dapat diperbuatnya untuk sahabatnya yang tua itu, tetapi dari
pengalamannya dia tahu bahwa soal-soal kecil, besar artinya bagi orang-orang
tua. "Ini ada satu," katanya kemudian. "'Viscountess Tamplin, yang telah menjadikan
vilanya di Nice sebagai rumah sakit perwira, baru saja menjadi korban
perampokan, barang-barang perhiasannya dicuri. Di antaranya terdapat batu-batu
zamrud, yang merupakan barang warisan dari keluarga Tamplin.'"
"Ah, mungkin tiruan," kata Nona Viner. "Banyak perhiasan para wanita terkemuka
itu palsu." "Ini ada satu lagi," kata Katherine. "Sebuah fotonya. 'Sebuah foto dari
Viscountess Tamplin dengan putrinya Lenox.'"
"Coba kulihat," kata Nona Viner. "Wajah anak itu tak tampak jelas, ya" Tapi aku
yakin sebaiknya begitu. Di dunia ini, segala-galanya terbalik, ibu-ibu yang
cantik, anak-anaknya buruk sekali. Pasti tukang fotonya menyadari, sebaiknya
mengambil fotonya dari bagian belakang kepala anak itu saja."
Katherine tertawa. "'Salah seorang nyonya rumah yang paling menarik di Riviera dalam musim ini
adalah Viscountess Tamplin, yang mempunyai sebuah vila di Cap Martin. Saudara
sepupunya, Nona Grey, yang baru-baru ini telah mewarisi suatu kekayaan yang
berjumlah besar dengan cara yang romantis, sedang berada di tempat itu
sekarang.'" "Itu yang kucari," kata Nona Viner. "Kurasa sebuah fotomu dalam salah sebuah
surat kabar itu, sulit aku mengenalinya - kau kan tahu bagaimana foto-foto itu.
Nyonya Anu atau Tuan Itu, di tempat itu atau ini, biasanya membawa tongkat
dengan sebelah kakinya terangkat. Bagi orang lain sulit sekali melihat bagaimana
wajahnya." Katherine tak menjawab. Dia sedang melicinkan guntingan itu dengan tangannya,
dan wajahnya kelihatan heran bercampur kuatir. Lalu dikeluarkannya suratnya yang
kedua dari amplop. Dia berpaling pada sahabatnya.
"Nona Viner" Bagaimana ya - ada seorang teman saya, seseorang yang saya temui di
Riviera, yang ingin sekali mengunjungi saya kemari."
"Seorang laki-laki?" tanya Nona Viner.
"Ya." "Siapa dia?" "Dia sekretaris Tuan Van Aldin, jutawan Amerika itu."
"Siapa namanya?"
"Knighton. Mayor Knighton."
"Hm - sekretaris seorang jutawan. Ingin kemari. Dengar, Katherine, aku akan
mengatakan sesuatu demi kebaikanmu sendiri. Kau gadis baik-baik dan berpikiran
sehat, dan meskipun kau bijak dalam banyak hal, satu kali dalam hidupnya seorang
wanita tentu berbuat bodoh. Aku berani bertaruh bahwa yang dikejar laki-laki itu
adalah uangmu." Dia mengangkat tangannya untuk mencegah Katherine menjawab. "Aku sudah menyangka
hal semacam ini akan terjadi. Apalah seorang sekretaris jutawan itu"
Kebanyakannya adalah anak muda yang ingin hidup nyaman. Anak muda yang
bertingkah laku baik dan punya selera untuk kemewahan, tak punya otak dan tak
punya usaha - sedang pekerjaan yang lebih menyenangkan daripada menjadi
sekretaris jutawan adalah mengawini seorang gadis kaya untuk mendapatkan
uangnya. Aku tidak mau mengatakan bahwa kau tidak menarik bagi laki-laki. Tapi
kau sudah tak muda lagi - dan meskipun kulitmu halus, kau tidak pula cantik.
Jadi kuingatkan lagi, Katherine, jangan berbuat bodoh. Tapi kalau kau tetap saja
mau berbuat demikian, jagalah supaya uangmu terikat erat-erat di pinggangmu.
Nah, aku sudah selesai. Apa yang ingin kaukatakan?"
"Tak apa-apa," kata Katherine - "tapi keberatankah Anda kalau dia datang menemui
saya?" "Asal aku tak ikut bertanggung jawab," sahut Nona Viner. "Aku sudah melakukan
tugasku, dan apa pun yang terjadi sekarang adalah tanggung jawabmu sendiri. Kau
ingin mengajaknya makan siang atau makan malam" Aku yakin Ellen pasti bisa
mempersiapkannya - itu pun kalau dia tidak sedang bingung."
"Makan siang pun baik," kata Katherine. "Anda baik sekali, Nona Viner. Dia minta
supaya saya meneleponnya, jadi saya akan mengatakan padanya bahwa kita akan
merasa senang bila dia mau makan siang bersama kita. Dia akan datang bermobil
dari kota." "Ellen lumayan pandainya membuat bistik dengan tomat," kata Nona Viner. "Memang
tidak pandai benar, tapi lebih pandai daripada memasak yang lain-lain. Sebaiknya
jangan menyuguhkan kue tar, sebab dia tak pandai membuatnya. Tapi dia pandai
membuat puding, dan aku yakin kau bisa mendapatkan stilton yang enak di Toko
Abbot. Kudengar kaum pria suka stilton. Dan masih banyak anggur bekas ayahku
dulu, mungkin sebaiknya sebotol moselle yang berbuih-buih itu."
"Ah jangan, Nona Viner, itu tak perlu."
"Omong kosong, Anakku. Tak ada pria yang senang kalau tak disertakan anggur pada
waktu makan. Aku ada simpanan whisky dari sebelum perang, kalau kaupikir dia
lebih suka itu. Nah, lakukanlah apa yang kukatakan, dan jangan membantah. Kunci
kamar penyimpanan anggur ada dalam laci ketiga di bufet, dalam kaus kaki di
sebelah kiri." Dengan patuh Katherine pergi ke tempat yang ditunjukkan.
"Ingat, dalam kaus kaki yang kedua," kata Nona Viner. "Dalam kaus kaki yang
pertama ada anting-antingku yang berlian dan bros yang berukir."
"Oh," kata Katherine agak terkejut, "mengapa Anda tak menyimpannya di dalam
kotak perhiasan Anda?"
Nona Viner mendengus panjang dan kuat.
"Tentu tidak! Aku tidak begitu bodoh untuk berbuat demikian. Aduh, aku ingat
benar, ayahku yang malang menyuruh membuat sebuah tempat penyimpanan di lantai
bawah. Bukan main senangnya dia dengan hasil gagasannya itu, dan dia berkata
pada ibuku, 'Nah, Mary, berikan barang-barang perhiasanmu dengan kotaknya padaku
setiap malam, dan aku akan menguncinya untukmu.' Ibuku adalah seorang wanita
yang bijak sekali, dan dia tahu bahwa kaum pria suka keinginannya dituruti, dan
diberikannya pada Ayah kotak perhiasannya itu. Lalu pada suatu malam pencuri
masuk, dan tentulah - dan wajarlah - kalau yang pertama-tama mereka tuju adalah
tempat penyimpanan itu! Betapa tidak, ayahku telah mengobral cerita tentang
tempat penyimpanan itu ke seluruh kampung dan membangga-banggakannya seolah-olah
dia menyimpan semua intan berlian Nabi Sulaiman di situ. Mereka menyapu bersih
barang-barang kami, mereka ambil gelas-gelas besar bertutup, cangkir-cangkir
perak, dan piring emas yang diterima Ayah sebagai hadiah, dan tentu juga kotak
perhiasan ibuku." Dia mendesah mengenang. "Ayahku ribut sekali mengenai barang-barang perhiasan
ibuku, yang terdiri dari suatu perangkat perhiasan dari Venesia dan beberapa
buah yang berbatu cameo yang bagus. Ada pula yang berbatu koral yang berwarna
dadu pucat, dan dua buah cincin yang bermata berlian besar-besar. Kemudian, Ibu
menceritakan pada Ayah, bahwa dia sebenarnya telah menyimpan barang-barang
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhiasannya itu di dalam gulungan korsetnya, dan barang-barang itu masih aman
di situ." "Jadi kotak perhiasan itu kosong?"
"Oh, tentu tidak," kata Nona Viner, "kalau begitu kotak itu akan terlalu ringan.
Ibuku seorang wanita yang cerdas - hal semacam itu dicegahnya. Dalam kotak itu
disimpannya kancing-kancingnya. Kancing-kancing sepatu di wadah yang teratas,
kancing-kancing celana dalam wadah yang kedua, dan yang terbawah kancing-kancing
hias. Anehnya, ayahku jengkel sekali pada ibuku. Katanya, dia tak suka ditipu.
Ah, aku tak boleh berceloteh terus padamu, kau mau pergi menelepon temanmu itu.
Dan jangan lupa membeli sepotong daging bistik yang bagus, lalu katakan pada
Ellen supaya tidak memakai kaus kaki yang berlubang bila dia sedang melayani
kita makan nanti." "Siapa namanya sebenarnya, Ellen atau Helen, Nona Viner" Saya pikir - "
Nona Viner menutup matanya.
"Aku bisa saja mengucapkan huruf 'h' dengan jelas, Nak, tapi Helen itu bukan
nama yang cocok untuk seorang pembantu. Jengkel aku melihat ulah ibu-ibu dari
golongan rendah zaman sekarang ini."
Hujan telah reda waktu Knighton tiba di rumah itu. Sinar matahari yang redup
menyinari rumah itu, dan menyinari kepala Katherine hingga tampak mengkilap
waktu dia berdiri di ambang pintu untuk menyambut kedatangannya. Knighton
mendatanginya cepat-cepat, dia kelihatan kekanak-kanakan.
"Mudah-mudahan saya tidak menyusahkan Anda. Saya ingin cepat-cepat bertemu Anda
lagi. Saya harap teman tempat Anda tinggal, tidak berkeberatan."
"Mari masuk dan berkenalan serta bersahabat dengannya," kata Katherine. "Dia
bisa sangat menakutkan, tapi Anda akan segera mendapatkan bahwa hatinya lembut
sekali." Nona Viner duduk di ruang tamu utama seperti seorang ratu yang sedang
bersemayam. Dia memakai seperangkat perhiasan berbatu cameo yang terpelihara
dengan baik sekali dalam keluarga itu. Dia menyapa Knighton dengan anggun dan
sopan santun yang sempurna, yang akan melemahkan hati banyak laki-laki. Namun
Knighton punya sifat menarik yang tak mudah disisihkan - dan sepuluh menit
kemudian ternyata bahwa Nona Viner-lah yang mencair. Mereka makan dengan riang,
dan Ellen - atau Helen - yang memakai kaus kaki baru tanpa lubang, melayani
mereka tanpa cacat. Setelah itu Katherine dan Knighton pergi berjalan-jalan,
lalu mereka kembali untuk minum teh berduaan, karena Nona Viner telah masuk ke
kamarnya untuk berbaring.
Setelah akhirnya mobil Knighton pergi, Katherine naik ke lantai atas perlahan-
lahan. Terdengar suara memanggilnya, dan dia masuk ke kamar tidur Nona Viner.
"Sudah pergi tamumu?"
"Sudah. Terima kasih banyak karena telah mengizinkan saya mengajaknya kemari."
"Tak perlu berterima kasih padaku. Apakah kausangka aku ini seorang perempuan
tua yang kikir dan judes, yang tak pernah mau berbuat baik untuk siapa pun
juga." "Saya rasa Anda seorang yang amat saya sayangi."
"Huh," kata Nona Viner dengan lembut.
Waktu Katherine akan meninggalkan kamar itu, dipanggilnya lagi.
"Katherine?" "Ya." "Aku keliru mengenai anak muda temanmu itu. Seorang laki-laki, bila sedang
berusaha untuk mendekati seseorang bisa ramah sekali dan selalu siap membantu
serta penuh dengan puji-pujian tak berarti. Tapi bila laki-laki sedang benar-
benar jatuh cinta, mau tak mau dia jadi kelihatan setolol domba. Nah, setiap
kali laki-laki itu memandang ke arahmu, dia jadi seperti seekor domba. Kutarik
kembali semua perkataanku tadi pagi. Laki-laki itu bersungguh-sungguh."
Bab 31 TUAN AARONS MAKAN SIANG "Ah!" kata Tuan Joseph Aarons dengan nada memuji.
Dia menghirup minumannya lama-lama dari gelasnya yang besar, meletakkannya
sambil mendesah, menyeka busanya dari bibirnya, lalu memandang tuan rumahnya -
M. Hercule Poirot - yang duduk di hadapannya dengan berseri-seri.
Kata Tuan Aarons, "Beri saya sepotong daging bistik Porterhouse dan segelas
minuman yang bermutu, maka siapa pun boleh mengambil segala macam makanan dari
Prancis itu. Ya," ulangnya, "beri saja saya sepotong daging bistik Porterhouse."
Poirot yang baru saja memenuhi kesukaannya itu, tersenyum penuh pengertian.
"Bukan karena masakan daging bercampur ginjal itu tak enak," sambung Aarons.
"Kue tar apel" Ya, saya mau kue tar apel, terima kasih, Nona, dan segelas besar
krim." Mereka makan terus. Akhirnya, dengan mendesah panjang, Tuan Aarons meletakkan
sendok dan garpunya, lalu membalik-balik keju, baru kemudian menujukan
perhatiannya pada soal-soal lain.
"Ada urusan kecil kata Anda tadi, M. Poirot," katanya. "Kalau ada yang dapat
saya bantu, dengan segala senang hati."
"Anda baik sekali," kata Poirot. "Saya sering berkata sendiri, 'Bila kau ingin
tahu apa saja tentang hal ihwal drama, ada satu orang yang tahu segala-galanya
dalam hal itu, dan orang itu adalah sahabat lamaku, Tuan Joseph Aarons.'"
"Dan kata-kata Anda itu tak keliru," kata Tuan Aarons dengan tenang. "Entah
mengenai masa lampau, masa kini, atau masa depan, Joe Aarons-lah yang patut
didatangi." "Tepat. Sekarang saya ingin bertanya pada Anda, M. Aarons, apa yang Anda ketahui
tentang seorang wanita muda yang bernama Kidd."
"Kidd" Kitty Kidd?"
"Kitty Kidd." "Dia hebat sekali. Memainkan peran sebagai laki-laki, menyanyi dan menari - yang
itu?" "Ya, yang itu."
"Dia memang hebat sekali. Penghasilannya besar. Tak putus kontrak. Sering
memainkan peran sebagai laki-laki, tapi, dia tak bisa digolongkan pada aktris
drama." "Begitu yang saya dengar," kata Poirot - "Tapi akhir-akhir ini dia tidak lagi
muncul, bukan?" "Tidak. Dia tiba-tiba menghentikan segala-galanya. Dia menyeberang ke Prancis
dan hidup bersama seorang laki-laki ningrat yang terkemuka. Saya rasa sejak itu
dia sama sekali mengorbankan pentas."
"Berapa lama hal itu sudah berlalu?"
"Kira-kira tiga tahun yang lalu. Ketahuilah - khalayak ramai kehilangan dia."
"Pandaikah dia itu?"
"Pintar sekali."
"Tak tahukah Anda nama laki-laki yang menjadi temannya di Paris itu?"
"Laki-laki itu juga orang hebat, saya tahu itu. Dia seorang yang bergelar Count
- atau mungkin Marquis" Ya, sekarang saya ingat, dia adalah seorang Marquis."
"Dan sejak itu Anda tak pernah tahu tentang dia lagi?"
"Tidak. Bahkan bertemu secara kebetulan pun tak pernah. Saya rasa dia bepergian
terus ke pemukiman-pemukiman orang-orang asing. Maklumlah berteman seorang
Marquis. Kita tak bisa menandingi kehebatan Kitty. Dia bisa mempertontonkan
kehebatannya itu setiap saat."
"Saya mengerti," kata Poirot merenung.
"Saya menyesal tak bisa menceritakan lebih banyak, M. Poirot," kata Tuan Aarons
lagi. "Saya ingin membantu Anda kalau bisa. Anda pernah membantu saya."
"Oh, kita sekarang sudah seimbang dalam hal itu - Anda pun telah memberi saya
bantuan." "Jasa baik sepantasnya mendapat balasan, bukan," kata Tuan Aarons.
"Pekerjaan Anda ini pasti menyenangkan, ya?" kata Poirot.
"Lumayan," kata Tuan Aarons tanpa semangat. "Kalau dipikir-pikir keadaan saya
tidaklah buruk benar. Kita tak pernah tahu apa keinginan masyarakat kelak."
"Dalam tahun-tahun terakhir ini, tari-tarian yang menonjol," gumam Poirot
merenung. "Saya sendiri kurang suka balet Rusia, tapi orang-orang suka. Menurut saya
tarian itu terlalu terpelajar."
"Saya bertemu dengan seorang penari di Riviera - Mademoiselle Mirelle."
"Mirelle" Dia sedang populer. Uang mengalir terus pada gadis itu - tapi dia
memang pandai menari. Saya pernah melihatnya, dan saya pandai menilai. Saya
sendiri tak pernah berurusan dengan dia, tapi saya dengar sukar sekali bekerja
sama dengan dia. Dia sering marah-marah dan mengamuk."
"Ya," kata Poirot, "ya, saya rasa itu benar."
"Berdarah panas!" kata Tuan Aarons. "Ya, mereka sebut itu darah panas. Istri
saya juga seorang penari sebelum dia menikah dengan saya, tapi saya bersyukur
dia tidak berdarah panas. Kita tidak menginginkan darah panas itu dalam rumah
tangga, M. Poirot." "Saya sependapat dengan Anda; bukan tempatnya memang."
"Seorang wanita harus tenang dan simpatik, dan pandai memasak," kata Tuan
Aarons. "Mirelle itu belum lama muncul di pentas, bukan?" tanya Poirot.
"Baru kira-kira dua tahun setengah," kata Tuan Aarons. "Seorang bangsawan
Prancis yang menampilkannya pertama kali. Saya dengar dia sekarang berteman
dengan bekas Perdana Menteri Yunani. Orang begitu itu pandai menyisihkan uang
diam-diam." "Itu berita baru bagi saya."
"Oh, Mirelle itu tidak akan membiarkan kesempatan lewat begitu saja. Kata orang,
anak muda yang bernama Kettering itu sampai membunuh istrinya demi dia. Saya
tentu tak tahu benar-tidaknya. Tapi dia masuk penjara, dan si Mirelle harus
mencari yang lain lagi - dia memang pandai sekali dalam hal itu. Kata orang,
sekarang dia memakai permata delima sebesar telur burung dara - yah, saya sih
belum pernah melihat telur burung dara, tapi para pengarang selalu membuat
perbandingan begitu."
"Permata delima sebesar telur burung dara!" seru Poirot. Matanya menjadi hijau
dan seperti kucing. "Menarik sekali!"
"Saya mendengar berita itu dari seorang teman," kata Tuan Aarons. "Tapi, mungkin
saja itu hanya kaca berwarna. Kaum wanita sama saja - mereka tak pernah berhenti
berkisah tentang barang perhiasan mereka. Mirelle ke mana-mana membanggakan
bahwa permata-permata itu ada kutukannya. Kalau tak salah dia menyebutkan
namanya Heart of Fire."
"Tapi kalau saya tak salah," kata Poirot, "yang disebut Heart of Fire itu adalah
delima yang terikat di tengah-tengah seuntai kalung."
"Nah, benar bukan, kata saya bahwa kaum wanita tak sudah-sudahnya membual
tentang barang-barang perhiasan mereka" Yang dipakainya itu batu tunggal, pada
rantai emas platina. Tapi seperti saya katakan tadi, saya berani bertaruh bahwa
itu adalah kaca berwarna."
"Bukan," kata Poirot dengan halus, "bukan - saya tetap beranggapan bahwa itu
bukan kaca berwarna."
Bab 32 KATHERINE DAN POIROT MEMBANDINGKAN CATATAN
"Anda telah berubah, Mademoiselle," kata Poirot tiba-tiba. Dia sedang duduk
berhadapan dengan Katherine di meja kecil di Savoy.
"Sungguh, Anda telah berubah," sambungnya.
"Dalam hal apa?"
"Sukar mengatakannya, Mademoiselle."
"Saya sudah bertambah tua, tentu."
"Ya, Anda sudah bertambah tua. Tapi bukan maksud saya kerut-merut di wajah Anda
sudah banyak tampak. Waktu saya pertama kali bertemu dengan Anda, Anda merupakan
sekedar penonton dari kehidupan. Anda tak ubahnya seseorang yang duduk bersandar
di kursi penonton, menonton sandiwara dengan tenang dan senang."
"Dan sekarang?"
"Sekarang Anda tidak lagi sekedar menonton. Mungkin saya mengatakan sesuatu yang
tak masuk akal, tapi Anda kelihatan seperti seorang petinju yang sedang
menghadapi suatu pertandingan yang berat."
"Teman wanita tempat saya tinggal adalah seorang yang sulit," kata Katherine
sambil tersenyum, "tapi saya sama sekali tidak sering bertentangan dengan
beliau. Baiknya Anda sekali-sekali datang mengunjunginya, M. Poirot. Saya rasa
Anda akan menghargai keberanian dan semangat beliau."
Mereka diam sementara pelayan dengan cekatan menyuguhkan ayam goreng. Setelah
dia pergi, Poirot berkata, "Pernahkah Anda mendengar saya bercerita tentang
teman saya yang bernama Hastings" - Dia mengatakan bahwa saya ini manusia tiram.
Eh bien, Mademoiselle, saya menemukan pasangan yang sepadan dalam diri Anda.
Anda menangani persoalan seorang diri saja, saya bahkan tidak sampai begitu."
"Omong kosong," kata Katherine seenaknya.
"Hercule Poirot tak pernah omong kosong. Apa yang saya katakan itu kenyataan."
Keduanya diam lagi. Poirot memecahkan kesunyian itu dengan bertanya,
"Adakah Anda bertemu dengan salah seorang teman kita di Riviera dulu, sejak Anda
kembali, Mademoiselle?"
"Saya bertemu sebentar dengan Mayor Knighton."
"Ah-ha. Begitukah?"
Ada sesuatu dalam mata Poirot yang berkedip, membuat Katherine tertunduk.
"Jadi rupanya Tuan Van Aldin tinggal di London."
"Ya." "Saya harus mencoba menemuinya besok atau lusa."
"Apakah Anda menerima berita dari dia?"
"Mengapa Anda berpikiran begitu?"
"Saya - ingin tahu, hanya itu saja."
Poirot memandangi Katherine dengan mata bersinar.
"Nah, saya bisa melihat, Mademoiselle, banyak yang ingin Anda tanyakan pada
saya. Dan itu memang pada tempatnya. Bukankah urusan di Kereta Api Biru itu
merupakan roman kriminal kita berdua?"
"Memang ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada Anda."
"Eh bien?" Katherine mendongak dengan air muka yang tiba-tiba nekat.
"Apa yang Anda lakukan di Paris, M. Poirot?"
Poirot tersenyum kecil. "Saya menghadap ke Kedutaan Rusia."
"Oh." "Saya lihat hal itu tak berarti apa-apa bagi Anda. Tapi saya tak mau menjadi
manusia tiram. Tidak, saya akan membuka kartu, suatu hal yang pasti tak pernah
dilakukan oleh - tiram. Anda menduga, bahwa saya tak puas dengan perkara
terhadap Derek Kettering, bukan?"
"Itulah yang sedang saya pertanyakan. Saya sangka, waktu di Nice perkara itu
sudah selesai." "Anda tidak mengatakan apa yang sebenarnya Anda maksudkan, Mademoiselle. Tapi
baiklah saya akui semua. Sayalah - berkat hasil pemeriksaan sayalah - maka Derek
Kettering berada dalam penjara. Kalau bukan karena saya, Jaksa Pemeriksa pasti
masih berusaha terus untuk menangkap Comte de la Roche dan pasti gagal. Eh bien,
Mademoiselle, apa yang telah saya lakukan tidak saya sesali. Saya hanya punya
satu tugas - mencari kebenaran, dan jalan untuk itu langsung menuju ke arah Tuan
Kettering. Tapi apakah itu berakhir di situ" Polisi berkata ya, tapi saya,
Hercule Poirot, merasa tak puas."
Dia tiba-tiba berhenti. "Adakah Anda mendapatkan berita dari Nona Lenox akhir-
akhir ini, Mademoiselle?"
"Hanya satu kali, itu pun merupakan surat pendek yang tak ramah. Saya rasa dia
jengkel, karena saya kembali ke Inggris ini."
Poirot mengangguk. "Pada malam hari tertangkapnya M. Kettering, saya bercakap-cakap dengan dia.
Dalam banyak hal percakapan itu menarik."
Dia diam lagi, dan Katherine tidak mengganggu jalan pikirannya. "Mademoiselle,"
katanya akhirnya, "sekarang saya akan menyinggung soal yang peka. Saya rasa ada
seseorang yang mencintai M. Kettering. Katakan terus terang kalau saya salah -
dan untuk kepentingan orang itulah - ya - untuk kepentingan orang itu, saya
berharap semoga saya yang benar dan polisi salah. Anda tentu tahu siapa orang
itu." Diam sebentar, lalu Katherine berkata,
"Ya - saya rasa saya tahu."
Poirot menyandarkan tubuhnya ke meja supaya lebih dekat pada Katherine.
"Saya tidak puas, Mademoiselle. Semua bukti-bukti menuju langsung pada M.
Kettering. Tapi ada satu hal yang tak diperhitungkan."
"Apa itu?" "Wajah korban yang dirusak. Beratus kali saya bertanya pada diri sendiri,
Mademoiselle, apakah Derek Kettering itu orang yang mau memukul sampai hancur
setelah membunuh" Apa maksudnya" Tujuan apa yang ingin dicapainya" Apakah
perbuatan itu sesuai dengan temperamen M. Kettering" Dan jawab dari semua
pertanyaan itu sama sekali tidak memuaskan, Mademoiselle. Lagi-lagi saya
terbentur pada satu pertanyaan - 'mengapa"' Padahal itulah satu-satunya hal yang
bisa membantu saya untuk memecahkan masalah itu."
Dikeluarkannya buku sakunya lalu dikeluarkannya dari buku saku itu sesuatu yang
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipegangnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Ingatkah Anda, Mademoiselle" Bukankah Anda melihat saya mengambil rambut ini
dari selimut di kereta api?"
Katherine membungkuk, mengamat-amati rambut itu dengan teliti.
Poirot mengangguk beberapa kali.
"Menurut penglihatan saya, rambut ini tak ada artinya bagi Anda, Mademoiselle.
Padahal saya rasa Anda telah melihat banyak."
"Saya punya beberapa gagasan," kata Katherine lambat-lambat, "gagasan-gagasan
aneh. Sebab itu saya tadi bertanya apa yang Anda perbuat di Paris, M. Poirot."
"Waktu saya menulis surat pada Anda - "
"Dari Hotel Ritz?"
"Benar, dari Ritz. Saya kadang-kadang memang suka mewah - bila dibayarkan oleh
seorang jutawan." "Kedutaan Rusia," kata Katherine, sambil mengerutkan dahinya. "Saya tak bisa
melihat hubungannya."
"Memang tak ada hubungannya secara langsung, Mademoiselle. Saya ke sana untuk
mendapatkan informasi. Saya bertemu dengan seseorang dan saya mengancamnya -
sungguh, Mademoiselle, saya telah mengancamnya."
"Dengan polisi?"
"Tidak," kata Poirot datar, "dengan pers - senjata yang lebih mematikan."
Dia melihat pada Katherine dan Katherine tersenyum padanya, sambil menggeleng.
"Apakah Anda tidak kembali menjadi tiram lagi. M. Poirot?"
"Tidak, tidak - saya tak ingin membuat misteri. Dengar, akan saya ceritakan
segalanya. Saya mencurigai laki-laki itu sebagai pihak yang aktif mengambil
bagian dalam penjualan barang-barang perhiasan milik M. Van Aldin. Saya
mengancamnya dengan perbuatannya itu, dan akhirnya saya mendengar seluruh
kejadiannya dari dia. Dia memberitahukan di mana barang-barang perhiasan itu
diserahkan, dan saya juga jadi tahu tentang laki-laki yang berjalan hilir-mudik
di jalan - seorang laki-laki yang kepalanya aneh dan berambut putih, tapi yang
langkahnya ringan dan bergaya seperti orang muda - dan orang itu saya beri nama
dalam pikiran saya sendiri - nama itu adalah 'Marquis'."
"Dan sekarang Anda berada di London untuk bertemu dengan Tuan Van Aldin."
"Tidak semata-mata untuk itu. Saya ada kegiatan lain. Sejak berada di London,
saya telah bertemu dengan dua orang lain - seorang agen pertunjukan-pertunjukan
drama dan seorang dokter di Harley Street. Dari masing-masing orang itu saya
telah mendapatkan informasi pula. Coba Anda gabungkan semuanya itu,
Mademoiselle, dan lihat apakah Anda bisa menarik kesimpulan seperti saya."
"Saya?" "Ya, Anda. Akan saya katakan satu hal, Mademoiselle. Pikiran tertuju
pada satu hal yang meragukan, apakah perampokan dan pembunuhan itu dilakukan
oleh satu orang yang sama. Lama saya meragukan hal itu - "
"Dan sekarang?"
"Dan sekarang saya sudah tahu."
Keduanya diam. Lalu Katherine mengangkat mukanya. Matanya bersinar.
"Saya tak sepandai Anda, M. Poirot. Setengah dari yang Anda ceritakan itu
agaknya tak ada artinya bagi saya. Gagasan yang saya dapatkan, datang dari sudut
yang lain sekali - "
"Ah, memang selalu begitu," kata Poirot tenang. "Cermin selalu memperlihatkan
kebenaran tapi semua orang yang melihat ke cermin itu berdiri di tempat yang
berbeda-beda." "Gagasan saya mungkin tak masuk akal - mungkin sama sekali berbeda dari pikiran
Anda, tapi - " "Ya?" "Coba lihat, apakah ini bisa membantu barang sedikit?"
Poirot menerima guntingan surat kabar dari Katherine. Dibacanya, lalu dia
mengangkat kepalanya dan mengangguk dengan penuh kesungguhan.
"Seperti saya katakan tadi, Mademoiselle, orang berdiri dari sudut yang berbeda-
beda waktu melihat ke dalam cermin, tapi cerminnya sama dan yang terpantul dari
cermin itu pun sama pula."
Katherine bangkit. "Saya harus bergegas," katanya. "Saya harus mengejar kereta
api, M. Poirot - " "Ya, Mademoiselle."
"Jangan - jangan biarkan lebih lama ya. Sa - saya tak bisa tahan lebih lama."
Suara Katherine terputus.
Poirot menepuk tangannya untuk memberikan keyakinan.
"Besarkan hati, Mademoiselle, Anda sekarang tak boleh gagal - perkara ini sudah
mendekati akhirnya."
Bab 33 TEORI BARU "M. Poirot ingin bertemu Anda, Tuan."
"Terkutuk orang itu!" kata Van Aldin.
Knighton diam saja dan menunjukkan pengertiannya.
Van Aldin bangkit dari kursinya lalu berjalan hilir-mudik.
"Kau pasti sudah membaca surat-surat kabar terkutuk itu pagi ini, ya?"
"Saya hanya melihat sekilas saja, Tuan."
"Masih hangat terus berita itu."
"Rupanya begitu, Tuan."
Jutawan itu duduk kembali lalu menekankan tangannya ke dahinya.
"Kalau saja aku tahu akan begini jadinya," erangnya. "Demi Tuhan, aku tidak akan
pernah menyuruh orang Belgia kecil itu mengorek kebenaran dari peristiwa itu.
Pikiranku hanya satu - mencari pembunuh Ruth."
"Tuan tentu tak ingin menantu Tuan dibebaskan begitu saja?"
Van Aldin mendesah. "Aku lebih suka menangani hukum sendiri."
"Saya rasa itu tidak akan merupakan penyelesaian yang baik, Tuan."
"Bagaimanapun juga - benarkah orang itu akan bertemu denganku?"
"Benar, Tuan. Katanya mendesak sekali."
"Baiklah. Suruhlah dia masuk."
Poirot diantar masuk - dia segar dan ceria sekali. Dia seolah-olah tak melihat
ketidakramahan pada sikap jutawan itu, dan mengobrol dengan riang tentang
berbagai hal yang tak penting. Dijelaskannya, bahwa dia berada di London untuk
menemui dokternya. Disebutkannya nama seorang ahli bedah terkemuka.
"Bukan, bukan bekas tembakan dalam peperangan - ini suatu kenangan waktu saya
masih aktif dalam angkatan kepolisian, sebuah peluru dari seorang bandit."
Dia menunjuk pundak kirinya lalu benar-benar menyeringai.
"Saya selalu menganggap Anda seorang yang beruntung, M. Van Aldin. Anda tidak
seperti anggapan umum di sini mengenai jutawan-jutawan Amerika, yang tersiksa
gara-gara terlalu banyak makan."
"Saya cukup kuat," kata Van Aldin. "Saya hidup sederhana sekali, makan sederhana
dan tidak terlalu banyak."
"Anda pernah bertemu sebentar dengan Nona Grey, bukan?" tanya Poirot polos,
sambil menoleh pada sekretaris.
"Saya - ya, satu atau dua kali," kata Knighton.
Mukanya agak memerah dan Van Aldin berseru keheranan,
"Aneh, kau tak pernah mengatakan bahwa kau berjumpa dengan dia, Knighton."
"Saya sangka Anda tidak akan menaruh perhatian, Tuan."
"Aku suka sekali pada gadis itu," kata Van Aldin.
"Memang sayang sekali dia menguburkan dirinya lagi di St. Mary Mead itu," kata
Poirot. "Baik sekali dia berbuat demikian," kata Knighton sengit. "Sedikit sekali orang
yang mau menguburkan dirinya di tempat yang begitu untuk merawat seorang wanita
cerewet yang tak punya hak apa-apa atas dirinya."
"Saya tak bisa berkata apa-apa," kata Poirot, matanya agak berbinar. "Tapi
bagaimanapun saya tetap mengatakan bahwa itu sayang. Nah, sekarang, Tuan-tuan,
mari kita membicarakan urusan kita."
Kedua laki-laki lawan bicaranya memandangnya dengan heran.
"Saya harap Anda berdua jangan terkejut atau ketakutan mendengar apa yang akan
saya katakan ini. Seandainya, M. Van Aldin, ternyata M. Derek Kettering sama
sekali tidak membunuh istrinya?"
"Apa?" Kedua laki-laki itu terbelalak benar-benar keheranan.
"Kata saya, seandainya bukan M. Derek Kettering pembunuh istrinya?"
"Sudah gilakah Anda, M. Poirot?" kata Van Aldin.
"Tidak," kata Poirot, "saya tidak gila. Saya lain dari yang lain, mungkin - ada
orang berkata begitu; tapi kalau berhubungan dengan pekerjaan saya, saya betul-
betul mantap, kata orang. Saya ingin bertanya, M. Van Aldin, apakah Anda akan
senang atau menyesal, bila apa yang saya katakan tadi benar?"
Van Aldin hanya menatapnya saja.
"Tentulah saya akan senang," katanya akhirnya. "Apakah ini sekedar pengandaian
biasa saja, M. Poirot, atau apakah ada kebenarannya di baliknya?"
Poirot memandang ke loteng.
"Ada kemungkinannya," katanya dengan tenang, "bahwa rupanya memang Comte de la
Roche. Sekurang-kurangnya, saya telah berhasil membatalkan alibinya."
"Bagaimana Anda bisa berhasil?"
Poirot hanya mengangkat bahunya menunjukkan kerendahan hatinya.
"Saya punya beberapa metode sendiri. Saya gunakan sedikit kebijaksanaan,
ditambah dengan sedikit akal - dan berhasillah."
"Tapi permata-permata delima itu," kata Van Aldin, "permata delima yang ada pada
Comte itu bukankah palsu."
"Padahal jelas bahwa dia tidak akan melakukan kejahatan itu kalau bukan untuk
permata-permata itu. Tapi Anda tidak melihat satu hal, M. Van Aldin. Mengenai
permata-permata delima itu, mungkin sudah ada orang yang mendahuluinya."
"Itu teori yang benar-benar baru," seru Knighton.
"Apakah Anda benar-benar percaya akan semua omong kosong itu, M. Poirot?" tanya
jutawan itu. "Hal itu tidak dibuktikan," kata Poirot dengan tenang. "Itu memang hanya suatu
teori, tapi dengarlah, M. Van Aldin, kenyataan itu pantas diselidiki. Sebaiknya
Anda ikut saya ke Prancis Selatan dan pergi ke tempat kejadiannya."
"Apakah memang benar-benar perlu - maksud saya, memang perlukah saya pergi?"
"Saya rasa yang penting adalah, apakah Anda ingin ikut atau tidak," kata Poirot.
Nada bicaranya mengandung teguran - hal mana disadari oleh lawan bicaranya.
"Baik, baiklah," katanya. "Kapan Anda akan berangkat, M. Poirot?"
"Anda sekarang sedang sibuk, Tuan," sela Knighton.
Tetapi jutawan itu telah mengambil keputusan, dan keberatan yang diajukan
sekretarisnya ditolaknya.
"Kurasa urusan ini harus didahulukan," katanya. "Baiklah, M. Poirot, besok.
Kereta api apa?" "Saya rasa sebaiknya, kita pergi naik Kereta Api Biru," kata Poirot, lalu
tersenyum. Bab 34 SEKALI LAGI KERETA API BIRU
Kereta api yang kadang-kadang disebut 'Kereta Api Para Jutawan' itu, membelok di
sebuah tikungan dengan kecepatan yang membahayakan. Van Aldin, Knighton, dan
Poirot duduk diam-diam. Knighton dan Van Aldin mengambil dua buah kamar yang
berbatasan, sebagaimana yang ditempati Ruth Kettering dan pelayannya dalam
perjalanan yang menentukan dulu itu. Kamar Poirot sendiri terletak agak jauh di
gerbong itu. Perjalanan itu memilukan hati Van Aldin, karena membuatnya teringat kembali akan
kenangan yang sangat menyiksa. Poirot dan Knighton sekali-sekali bercakap-cakap
perlahan, supaya tidak mengganggunya.
Tetapi setelah kereta api menyelesaikan perjalanannya yang lambat mengitari
daerah luar kota Paris dan tiba di Gare de Lyon, Poirot tiba-tiba tersentak,
menjadi bersemangat. Van Aldin menyadari bahwa tujuan dari perjalanan itu antara
lain, usaha untuk merekonstruksi kejahatan itu. Poirot sendiri yang menjalankan
semua peranan. Dia berganti-ganti menjadi pelayan yang tergesa-gesa menutup
dirinya dalam kamar, menjadi Nyonya Kettering yang mengenali suaminya dan
terkejut serta cemas, dan kemudian menjadi Derek Kettering yang menemukan bahwa
istrinya sedang bepergian dengan kereta api yang sama. Dia mencobakan beberapa
kemungkinan, seperti cara yang terbaik untuk menyembunyikan diri dalam kamar di
sebelahnya. Kemudian rupanya dia mendapatkan suatu gagasan. Dia mencengkam lengan Van Aldin.
"Mon Dieu, saya tak terpikir akan hal itu! Kita harus menghentikan perjalanan
kita di Paris. Cepat, cepat, mari kita segera turun."
Sambil cepat-cepat mengambil kopor dia bergegas meninggalkan kereta api. Van
Aldin dan Knighton menyusulnya dengan keheranan, tetapi patuh. Van Aldin yang
sudah terlanjur mengakui kemampuan Poirot, tak mudah melepaskan pendiriannya.
Mereka ditahan di pagar rintangan. Karcis-karcis mereka masih ada pada kondektur
kereta api, suatu hal yang dilupakan oleh ketiganya.
Poirot memberikan penjelasan dengan cepat, lancar, dan tenang, namun semuanya
tak berkesan pada petugas yang berwajah kaku.
"Mari kita selesaikan soal ini," kata Van Aldin tiba-tiba. "Anda agaknya
tergesa-gesa, M. Poirot. Demi Tuhan, bayar saja lagi perjalanan dari Calais tadi
dan mari kita cepat-cepat melaksanakan apa yang ada dalam pikiran Anda."
Tetapi kata-kata Poirot yang mengalir itu tiba-tiba terhenti sama sekali, dan
dia kelihatan seperti orang yang berubah menjadi batu. Lengannya yang sedang
terentang untuk menyertai kata-katanya, tetap terentang seolah-olah terserang
lumpuh dalam keadaan itu.
"Tolol sekali saya," katanya. "Ma foi, saya jadi pelupa sekarang. Mari kita
kembali dan melanjutkan perjalanan kita dengan tenang. Kalau nasib kita baik,
kereta api belum akan berangkat."
Mereka hampir terlambat, kereta api sudah mulai bergerak waktu Knighton, yang
terakhir dari mereka bertiga, melompat naik dengan kopornya.
Kondektur memberi mereka teguran keras, dan membantu mereka membawa kembali
barang-barang bawaan mereka ke kamar. Van Aldin tidak berkata apa-apa, tapi
jelas kelihatan bahwa dia tak suka akan kelakuan Poirot yang aneh itu. Waktu dia
berduaan sebentar dengan Knighton, dia berkata,
"Ini namanya mengejar bayang-bayang. Orang itu sudah kehilangan pegangan. Dia
memang punya otak, tapi orang yang pelupa yang berlari kian kemari seperti
kelinci ketakutan, sama sekali tak ada gunanya."
Sebentar kemudian Poirot mendatangi mereka, dengan permintaan maaf yang tulus,
dan jelas sangat patah semangat, hingga dia tak perlu lagi diumpat dengan kata-
kata kasar. Van Aldin menanggapi permintaan maafnya dengan tenang, dan berhasil
menahan dirinya supaya tidak mengucapkan kata-kata yang pedas.
Mereka makan malam di kereta api, dan setelah itu Poirot membuat kedua teman
seperjalanannya terkejut lagi, waktu dia mengusulkan supaya mereka bertiga duduk
saja tanpa tidur, di kamar Van Aldin.
Jutawan itu melihat padanya keheranan.
"Apakah ada sesuatu yang Anda sembunyikan dari kami, M. Poirot?"
"Saya?" Poirot membelalakkan matanya tak mengerti. "Pikiran apa itu."
Van Aldin tidak menjawab, tetapi dia tak puas. Kondektur sudah diberi tahu
supaya dia tidak menyiapkan tempat tidur bagi mereka. Semua keheranannya
terhapus oleh persen besar yang diberikan Van Aldin padanya. Ketiga orang laki-
laki itu duduk berdiaman. Poirot gelisah dan kelihatan tak tenang. Akhirnya dia
berpaling pada sekretaris.
"Mayor Knighton, apakah pintu kamar Anda sudah dikunci" Maksud saya, pintu yang
menuju ke lorong." "Sudah, saya sendiri yang menguncinya tadi."
"Yakinkah Anda?" tanya Poirot.
"Biar saya pergi untuk meyakinkannya, kalau itu yang Anda ingini," kata Knighton
sambil tersenyum. "Tidak, jangan menyusahkan Anda. Biar saya sendiri yang melihatnya."
Dia melewati pintu penghubung dan sebentar kemudian kembali lagi, sambil
mengangguk. "Ya, memang benar kata Anda. Maafkan laki-laki tua cerewet ini." Pintu
penghubung ditutupnya dan dia duduk kembali di sudut sebelah kanan.
Waktu berlalu. Ketiga orang itu tertidur dengan nyenyak, dan tersentak bangun
dengan rasa tak nyaman. Mungkin tak pernah terjadi sebelumnya, bahwa ada tiga
orang yang telah memesan kamar bertempat tidur yang terdapat di kereta api yang
paling mewah, lalu menolak memanfaatkan kenyamanan yang telah mereka bayar.
Poirot sekali-sekali melihat ke arlojinya, lalu mengangguk dan mengatur duduknya
kembali untuk tidur lagi. Satu kali dia bangkit dari tempat duduknya lalu
membuka pintu penghubung, mengintip dengan tajam ke kamar yang di sebelahnya,
untuk kemudian kembali ke tempat duduknya sambil menggeleng.
"Ada apa?" bisik Knighton. "Apakah Anda mengharapkan sesuatu akan terjadi?"
"Saya gugup," Poirot mengaku. "Saya rasanya seperti duduk di atas bara. Suatu
bunyi yang kecil sekalipun membuat saya terkejut."
Knighton menguap. "Inilah perjalanan yang paling tak enak," gumamnya. "Saya harap saja Anda tahu
apa yang sedang Anda perbuat, M. Poirot."
Dia lalu mengatur duduknya sebaik-baiknya untuk tidur. Dia dan Van Aldin telah
tertidur nyenyak, ketika Poirot, setelah melihat ke arlojinya untuk keempat
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belas kalinya, membungkuk ke arah mereka lalu menepuk bahu jutawan itu.
"Eh" Ada apa?"
"Lima atau sepuluh menit lagi, kita akan tiba di Lyons."
"Oh, Tuhan!" Dalam cahaya yang samar itu tampak wajah Van Aldin putih dan letih.
"Jadi kira-kira jam sekian inilah, Ruth anakku malang, terbunuh."
Dia duduk menatap ke depan. Bibirnya tegang, pikirannya melayang kembali pada
tragedi mengerikan yang telah membuat hidupnya menjadi sedih.
Terdengar bunyi rem mendesah menderik panjang, dan kereta api mengurangi
kecepatan lalu masuk ke Lyons. Van Aldin menurunkan jendela lalu menjenguk ke
luar. "Seandainya bukan Derek - bila teori Anda itu benar, di sinilah laki-laki itu
turun dari kereta api, begitukah?" tanyanya sambil menoleh ke belakang.
Dia terkejut karena Poirot menggeleng.
"Tidak," kata Poirot. "tak ada laki-laki yang meninggalkan kereta api, tapi saya
pikir, seorang wanita yang turun."
Knighton menahan napas. "Seorang wanita?" tanya Van Aldin tajam.
"Ya, seorang wanita," kata Poirot sambil mengangguk. "Anda mungkin tak ingat, M.
Van Aldin, Nona Grey dalam kesaksiannya mengatakan bahwa seorang anak muda yang
bertopi pet dan bermantel turun ke peron, agaknya untuk meluruskan kakinya.
Menurut saya anak muda itu mungkin seorang wanita."
"Tapi siapa dia?"
Wajah Van Aldin menunjukkan rasa tak percaya, tetapi Poirot menyahut dengan
serius dan secara tertib,
"Namanya - Kitty Kid - itu nama yang sudah dikenal umum selama bertahun-tahun.
Tapi Anda, M. Van Aldin, mengenalnya dengan nama lain - yaitu Ada Mason."
Knighton berdiri dengan melompat.
"Apa?" teriaknya.
Poirot berbalik menghadapinya.
"Oh! - Sebelum saya lupa." Ditariknya sesuatu dari sakunya lalu
diperlihatkannya. "Izinkan saya menawarkan sebatang rokok - dari kotak rokok Anda sendiri. Anda
teledor, sampai barang ini jatuh waktu Anda naik ke kereta api ini di pinggiran
kota Paris." Knighton berdiri menatapnya seperti terbius. Lalu dia membuat suatu gerakan,
tetapi Poirot mengangkat tangannya, mengisyaratkan suatu peringatan.
"Jangan, jangan bergerak," katanya dengan suara halus sekali. "Pintu ke kamar
sebelah ini terbuka, dan Anda sedang dibayang-bayangi dari situ saat ini. Saya
telah membuka kunci pintu kamar yang menuju ke lorong waktu kita berangkat dari
Paris tadi, dan sahabat-sahabat kita, polisi, sudah diperintahkan untuk
mengambil tempatnya masing-masing. Saya rasa Anda pun menyadari, bahwa polisi
berhasrat besar untuk menangkap Anda, Mayor Knighton - atau haruskah saya
menyebut - M. Marquis?"
Bab 35 PENJELASAN "Penjelasan?" Poirot tersenyum. Dia sedang duduk berhadapan dengan jutawan di meja makan siang
di kamar pribadi jutawan itu di Negresco. Pria yang duduk di hadapannya itu
tampak lega tetapi tak mengerti. Poirot bersandar di kursinya, menyalakan
sebatang rokoknya yang kecil, dan menatap merenungi loteng.
"Ya, saya akan memberi penjelasan pada Anda. Dimulai dari satu titik yang
membuat saya tak mengerti. Tahukah Anda titik itu" Wajah yang dirusak. Adalah
soal biasa bahwa dalam menyelidiki suatu kejahatan timbul pertanyaan pertama,
yaitu soal pengenalan si korban. Itulah pula yang terjadi atas diri saya. Apakah
wanita yang meninggal itu benar-benar Nyonya Kettering" Ternyata wanita yang
meninggal itu memang benar Nyonya Kettering - kesaksian Nona Grey positif dan
sangat bisa dipercaya. Maka gagasan saya yang pertama saya kesampingkan saja."
"Kapan Anda pertama kali mulai mencurigai pelayan Ruth itu?"
"Beberapa lama saya tidak mencurigainya, tapi satu hal aneh menarik perhatian
saya ke arahnya. Kotak rokok yang ditemukan di gerbong kereta api dan yang
dikatakannya pada kita adalah pemberian Nyonya Kettering pada suaminya.
Keterangan itu jelas-jelas tak masuk akal, mengingat hubungan kedua suami istri
itu. Pernyataan itu menimbulkan keraguan dalam otak saya, mengenai kebenaran
semua pernyataan Ada Mason pada umumnya. Ada satu hal lagi yang agak
mencurigakan dan harus diingat benar, yaitu bahwa dia baru dua bulan bekerja
pada majikannya. Tentulah rasanya tak mungkin ada kaitannya dengan kejahatan itu
karena dia ditinggalkan di Paris dan beberapa orang melihat Nyonya Kettering
masih hidup sesudah itu, tapi - "
Poirot membungkukkan tubuhnya ke depan. Diangkatnya jari telunjuknya lalu
diguncangkannya kuat-kuat ke arah Van Aldin.
"Tapi saya seorang detektif yang baik. Itu perasaan saya. Tak seorang pun dan
tak satu pun yang tidak saya curigai. Tak satu pun yang diceritakan pada saya,
saya percayai. Saya berkata sendiri: bagaimana kita tahu bahwa Ada Mason memang
ditinggalkan di Paris" Dan mula-mula jawab dari pertanyaan itu memuaskan. Ada
kesaksian dari sekretaris Anda, Mayor Knighton - seorang orang luar - yang
kesaksiannya dapat dianggap sama sekali tak memihak, dan ada pula kata-kata yang
diucapkan wanita yang sudah meninggal itu pada kondektur kereta api. Tapi hal
yang terakhir ini saya kesampingkan dulu sementara, karena ada suatu gagasan
aneh - suatu gagasan yang mungkin hanya khayalan saja dan tak masuk akal -
sedang berkembang dalam pikiran saya. Bila gagasan itu benar, maka kesaksian itu
jadi tak berlaku. "Saya memusatkan pikiran saya pada rintangan utama teori saya, yaitu pernyataan
Mayor Knighton bahwa dia bertemu dengan Ada Mason di Ritz setelah Kereta Api
Biru berangkat dari Paris. Pernyataan itu kelihatannya cukup meyakinkan, namun
setelah mempelajari kenyataan-kenyataannya dengan seksama, saya mencatat dua
hal. Pertama, bahwa secara kebetulan yang sangat aneh, dia pun baru tepat dua
bulan bekerja pada Anda. Kedua, huruf awal namanya juga - 'K'. Seandainya -
seandainya saja - itu kotak rokok dia yang ditemukan di gerbong. Kemudian bila
Ada Mason dan dia bekerja sama, dan wanita itu mengenali barang itu waktu
ditunjukkan padanya, tidakkah dia akan bertindak tepat seperti yang telah
dilakukannya" Mula-mula karena sangat terkejut, dia cepat-cepat mengembangkan
suatu teori yang masuk akal, yang akan lebih memberatkan Tuan Kettering. Patut
dicatat bahwa itu bukan gagasan mereka semula. Comte de la Roche-lah yang semula
akan dijadikan kambing hitam, meskipun Ada Mason tidak akan mengenalinya dengan
terlalu meyakinkan, karena kuatir kalau-kalau Comte itu bisa mengemukakan alibi.
Bila Anda mau mengingat-ingat kembali ke waktu itu, Anda akan ingat sesuatu yang
menarik telah terjadi. Saya menekankan pada Ada Mason bahwa laki-laki yang
dilihatnya di kereta api bukan Comte de la Roche, melainkan Derek Kettering.
Pada saat itu dia tak yakin, tapi setelah saya tiba kembali di hotel saya, Anda
menelepon saya dan mengatakan bahwa dia mendatangi Anda dan berkata bahwa
setelah memikir-mikirkannya kembali, dia kini yakin benar bahwa laki-laki itu
memang benar Tuan Kettering. Saya memang sudah mengharapkan hal itu akan
terjadi. Hanya ada satu penjelasan mengenai keyakinan wanita itu yang mendadak.
Setelah meninggalkan hotel Anda, dia sempat membicarakannya dengan seseorang,
menerima instruksi, lalu bertindak berdasarkan instruksi itu. Siapa yang
memberinya instruksi itu" Mayor Knighton. Dan ada lagi satu titik kecil sekali,
yang mungkin tak ada artinya, tapi bisa juga berarti banyak. Dalam suatu
percakapan santai, Knighton pernah bercerita tentang suatu perampokan barang-
barang perhiasan di Yorkshire di sebuah rumah di mana dia sedang menginap.
Mungkin hanya suatu kebetulan - mungkin pula suatu mata rantai kecil lagi."
"Tapi ada satu hal yang saya tidak mengerti, M. Poirot. Saya rasa saya ini
kurang tanggap, sebab kalau tidak, saya tentu sudah mengerti sebelumnya. Siapa
sebenarnya laki-laki di kereta api di Paris waktu itu" Derek Kettering atau
Comte de la Roche?" "Itu sederhana sekali. Sama sekali tak ada laki-laki. Ah - tidakkah Anda
menyadari kepandaian mereka yang terkutuk itu" Siapakah yang berkata bahwa ada
laki-laki di kereta api" Tak lain, Ada Mason. Dan kita percaya pada Ada Mason
karena kesaksian Knighton yang mengatakan bahwa wanita itu telah ditinggalkan di
Paris." "Tapi Ruth sendiri juga telah mengatakan pada kondektur bahwa dia telah
meninggalkan pelayannya di Paris," Van Aldin mengemukakan keberatannya.
"Oh! Saya baru akan menjelaskan hal itu. Kita memang mendapatkan kesaksian
Nyonya Kettering itu, tapi sebaliknya, kita sebenarnya tidak mendapatkan
kesaksian itu, karena, M. Van Aldin, seorang wanita yang sudah meninggal tentu
tak bisa memberikan kesaksian. Itu bukan kesaksian dari Nyonya Kettering,
melainkan dari kondektur itu - jadi lain sekali persoalannya."
"Jadi menurut Anda laki-laki itu berbohong?"
"Tidak, sama sekali tidak. Dia mengatakan apa yang disangkanya memang benar.
Tapi wanita yang berkata padanya bahwa dia telah meninggalkan pelayannya di
Paris itu, bukan Nyonya Kettering."
Van Aldin menatapnya. "M. Van Aldin, Ruth Kettering sudah meninggal sebelum kereta api tiba di Gare de
Lyon. Ada Mason-lah yang mengenakan pakaian majikannya yang istimewa itu, yang
memesan keranjang berisi makan malam, dan yang memerlukan memberi tahu kondektur
tentang pelayannya itu."
"Tak mungkin!" "Tidak, tidak. M. Van Aldin - bukannya tak mungkin. Kaum wanita zaman sekarang
banyak yang serupa, hingga orang hanya mengenalinya dari pakaiannya saja, bukan
dari wajahnya. Ada Mason sama tingginya dengan putri Anda. Dengan mengenakan
mantel dari bulu binatang yang sangat mewah itu, dan topi berpolitur merah yang
kecil itu dipasang dalam-dalam sampai ke matanya, dengan hanya mengeluarkan
sedikit rambut berwarna merah kecoklatan di telinganya, tak heran kalau
kondektur itu sampai tertipu. Ingat, dia belum pernah berbicara dengan Nyonya
Kettering. Memang dia telah melihat pelayan itu sebentar waktu wanita itu
menyerahkan karcis mereka, tapi kesan yang didapatnya hanya seorang perempuan
kurus berpakaian hitam. Bila kondektur itu adalah laki-laki yang cerdas, mungkin
dia akan berkata bahwa majikan dan pelayan tak banyak berbeda, tapi sangat tak
mungkin dia berpikiran sejauh itu. Dan ingat pula, bahwa Ada Mason atau Kitty
Kid adalah seorang artis, yang pandai mengubah penampilannya dan nada suaranya,
dalam waktu singkat. Tidak, sama sekali tidak akan ada bahayanya bahwa kondektur
akan mengenali pelayan yang memakai pakaian majikannya itu, tapi akan ada
bahayanya kalau nanti kondektur disuruh mengenali jenazah. Dia mungkin akan
menyadari bahwa itu bukanlah wanita yang berbicara dengan dia malam sebelumnya.
Sekarang kita lihat alasan, mengapa wajah itu harus dirusak. Bahaya utama yang
ditakuti Ada Mason adalah kalau-kalau Katherine Grey mendatangi kamarnya lagi
setelah kereta api berangkat dari Paris, dan hal itu dicegahnya dengan cara
memesan makan malam dalam keranjang dan dengan mengunci dirinya dalam kamar."
"Lalu siapa yang membunuh Ruth - dan kapan?"
"Pertama-tama, ingat baik-baik bahwa kejahatan itu telah direncanakan dan
dilaksanakan oleh mereka berdua - Knighton dan Ada Mason yang bekerja sama. Pada
hari itu Knighton berada di Paris untuk urusan Anda. Dia naik kereta api di
suatu tempat sedang kereta api itu menjalani daerah pinggiran kota Paris. Nyonya
Kettering tentu heran melihatnya, tapi dia tidak curiga. Mungkin laki-laki itu
memancing perhatian wanita itu supaya dia melihat ke luar jendela, dan waktu
wanita itu menoleh, Knighton menjeratkan tali ke leher wanita itu - dan
selesailah pekerjaan itu dalam waktu singkat sekali. Pintu kamar terkunci dan
dia bersama Ada Mason mulai bekerja. Dibukanya pakaian luar wanita yang sudah
meninggal itu. Mason dan Knighton menggulung jenazah dalam sehelai selimut dan
ditaruh di tempat duduk di kamar sebelah di antara tas-tas dan kopor-kopor.
Knighton turun lagi dari kereta api, dengan membawa peti perhiasan yang berisi
permata delima itu. Karena kejahatan itu menurut perkiraan orang dilaksanakan
kira-kira dua belas jam kemudian, maka dia benar-benar aman. Dan kesaksiannya
diperkuat oleh kata-kata yang menurut persangkaan, diucapkan oleh Nyonya
Kettering pada kondektur, akan merupakan alibi yang sempurna pula bagi
komplotannya. "Di Gare de Lyon, Ada Mason menerima keranjang makan malamnya, dan dengan
mengurung dirinya dalam kamar, dia cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan
pakaian majikannya, dan memasang dua berkas rambut palsu berwarna merah
kecoklatan, lalu bersolek untuk menyamainya semirip mungkin. Waktu kondektur
datang untuk menyiapkan tempat tidur, dikatakannya tentang pelayannya yang
ditinggalkannya di Paris, sebagaimana yang sudah direncanakan! Sementara laki-
laki itu menyiapkan tempat tidur, wanita itu berdiri memandang ke luar jendela,
hingga punggungnya menghadap ke lorong kereta api, dan orang-orang yang lalu
lalang di sana melihatnya. Itu merupakan tindak penjagaan yang baik, karena
sebagaimana yang kita ketahui, Nona Grey adalah salah seorang yang lewat di situ
- dan dia sebagaimana juga beberapa orang yang lain, bersedia disumpah bahwa
pada jam itu Nyonya Kettering masih hidup."
"Teruskan," kata Van Aldin.
"Sebelum tiba di Lyons, Ada Mason membaringkan jenazah majikannya di tempat
tidur, melipat pakaiannya, lalu meletakkannya di ujung tempat tidur - dia
sendiri lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian laki-laki dan bersiap-siap
untuk turun dari kereta api tanpa diketahui orang. Segera setelah kondektur
turun di Lyons, dia pun menyusul, dan berlenggang seenaknya seolah-olah sedang
makan angin. Pada saat dia merasa tidak dilihat orang, dia cepat-cepat
menyeberang ke peron yang lain, dan naik kereta api pertama yang akan berangkat
ke Paris serta langsung ke Hotel Ritz. Di sana namanya sudah dicatatkan sejak
malam sebelumnya oleh salah seorang wanita lain anggota komplotan Knighton. Tak
ada yang perlu dilakukannya di sana kecuali menunggu dengan sabar kedatangan
Anda. Barang-barang perhiasannya tak ada padanya, baik waktu itu maupun
sekarang. Karena tak ada kecurigaan atas diri Knighton sebagai sekretaris Anda,
dibawanya barang-barang itu ke Nice, tanpa rasa takut sedikit pun juga akan
ketahuan. Penyerahan barang-barang itu di sana pada M. Papopolous sudah diatur,
dan pada saat-saat terakhir barang-barang itu dipercayakan pada Mason untuk
diserahkan pada orang Yunani itu. Keseluruhannya merupakan suatu perampokan yang
direncanakan secara apik, sebagaimana yang memang diharapkan dari seorang jagoan
dalam bidangnya seperti Marquis itu."
"Jadi Anda benar-benar yakin bahwa Richard Knighton itu seorang penjahat
terkenal, yang sudah bekerja bertahun-tahun?"
Poirot mengangguk. "Salah satu keuntungan laki-laki yang bernama Marquis itu adalah, sikap mencari
mukanya yang sempurna. Anda telah menjadi korban daya tariknya itu, M. Van
Aldin, waktu Anda menerimanya bekerja sebagai sekretaris Anda, setelah
mengenalnya begitu singkat."
"Saya berani sumpah bahwa dia tak pernah memancing untuk mendapatkan pekerjaan
itu," seru jutawan itu.
"Hal itu telah dilakukannya dengan cerdik sekali - demikian cerdiknya hingga
tertipulah seorang pria yang telah begitu banyak mengenal pribadi manusia,
seperti Anda." "Saya juga meneliti surat-surat keterangannya. Semuanya baik sekali."
"Ya, ya, itu merupakan bagian dari permainan itu. Sebagai Richard Knighton,
hidupnya memang tak bercacat. Dia lahir dari keluarga baik-baik, pernah mengabdi
dengan penuh kehormatan dalam perang, dan agaknya benar-benar tak bisa
dicurigai. Tapi waktu saya mengumpulkan informasi mengenai Marquis yang
misterius itu, saya menemukan banyak persamaan. Knighton berbahasa Prancis
seperti orang Prancis asli. Kehadirannya di Amerika, Prancis, dan Inggris selalu
bertepatan waktunya dengan waktu Marquis beroperasi. Yang terakhir terdengar,
Marquis berada di Swiss mendalangi beberapa perampokan barang-barang perhiasan,
dan di Swiss pula Anda bertemu dengan Mayor Knighton - dan kira-kira pada waktu
itu pulalah terdengar desas-desus bahwa Anda sedang dalam rangka pembelian
permata-permata delima yang terkenal itu."
"Tapi mengapa harus membunuh?" gumam Van Aldin terputus-putus. "Seorang pencuri
yang pandai tentu bisa mencuri barang-barang itu tanpa mempertaruhkan
keselamatan dirinya."
Poirot menggeleng. "Ini bukan pembunuhan pertama yang telah dilakukannya. Dia
punya naluri seorang pembunuh - dia juga selalu bekerja dengan tidak
meninggalkan jejak. Wanita dan pria yang sudah meninggal tidak akan bisa
berbicara. "Marquis itu punya hasrat besar sekali terhadap barang-barang perhiasan yang
terkenal dan bersejarah. Lama sebelumnya dia sudah mengatur rencana dengan
menempatkan dirinya sebagai sekretaris Anda dan menyuruh anggota komplotannya
untuk mendapatkan kedudukan sebagai pelayan pada putri Anda, karena dia sudah
menduga bahwa permata-permata itu Anda beli untuknya. Dan meskipun itu merupakan
rencananya yang sudah dipikirkannya dengan cermat, dia tak segan mengambil jalan
pintas lain dengan menyewa beberapa orang bajingan untuk mencegat Anda di Paris
pada malam hari Anda membeli permata-permata itu. Rencana itu gagal, hal mana
saya rasa tidak mengherankannya. Rencana yang satu ini, menurut dia, benar-benar
aman. Tak ada kecurigaan yang bisa dilemparkan atas diri Richard Knighton.
Tetapi sebagaimana biasanya orang-orang hebat - dan Marquis adalah seorang yang
hebat - dia punya beberapa kelemahan. Dia jatuh cinta setulus-tulusnya pada Nona
Grey. Dan karena menduga bahwa wanita itu mencintai Derek Kettering, dia tak
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat menahan godaan untuk menudingkan kejahatan itu pada pria itu, begitu
kesempatan untuk itu muncul. Dan sekarang, M. Van Aldin, akan saya ceritakan
sesuatu yang sangat aneh. Nona Grey sama sekali tak suka berkhayal, namun dia
yakin benar bahwa dia merasakan kehadiran putri Anda di sisinya pada suatu hari
di taman kasino di Monte Carlo, segera setelah dia berbicara panjang dengan
Knighton. Katanya dia yakin benar bahwa almarhumah mencoba dengan sekuat tenaga
untuk mengatakan sesuatu padanya, dan dia tiba-tiba menyadari bahwa apa yang
ingin dikatakan almarhumah adalah bahwa Knighton-lah yang membunuhnya! Pada saat
itu, gagasan itu seolah-olah terlalu diangan-angankan hingga Nona Grey tak mau
membicarakannya dengan siapa pun juga. Tapi dia yakin sekali akan kebenarannya,
hingga dia bertindak - meskipun kelihatannya tak masuk akal. Dia tidak mencoba
menghentikan usaha-usaha Knighton untuk mendekatinya, dan dia berpura-pura yakin
bahwa Derek Kettering bersalah."
"Luar biasa," kata Van Aldin.
"Ya, memang aneh sekali. Orang tak bisa menjelaskan soal-soal begitu. Lalu ada
satu hal lagi yang membuat saya sangat tercengang. Sekretaris Anda jelas pincang
- suatu akibat dari lukanya dalam perang. Sedang Marquis sama sekali tak
pincang. Itu merupakan suatu rintangan. Tapi, Nona Lenox Tamplin pada suatu hari
mengatakan bahwa ahli bedah yang menangani mayor itu di rumah sakit ibunya
merasa heran, mengapa dia pincang. Itu menimbulkan kesan penyamaran. Waktu saya
di London, saya mengunjungi ahli bedah tersebut, dan dia memberi saya beberapa
penjelasan terperinci, hingga saya menjadi yakin akan kebenaran kesan saya itu.
Saya menyebutkan nama ahli bedah itu di hadapan Knighton kemarin dulu.
Sebenarnya waktu itu, wajarnya Knighton mengatakan bahwa dia dirawat oleh dokter
itu juga dalam masa perang, tapi dia tidak berkata apa-apa - dan soal kecil itu
memberikan saya keyakinan terakhir bahwa teori saya tentang kejahatan itu,
memang benar. Nona Grey juga memberi saya guntingan surat kabar, yang
memberitakan tentang adanya perampokan di rumah Lady Tamplin waktu Knighton
berada di sana. Dia menyadari bahwa jalan pikiran saya sama dengan jalan
pikirannya, waktu saya menulis surat padanya dari Hotel Ritz di Paris.
"Saya menemukan kesulitan waktu mencari informasi di sana, tapi saya berhasil
mendapatkan apa yang saya ingini - yaitu bukti bahwa Ada Mason tiba di sana pada
pagi hari setelah kejahatan itu dan bukan pada malam sebelumnya."
Lama mereka diam, lalu jutawan itu mengulurkan tangannya di atas meja ke arah
Poirot. "Saya rasa Anda tahu apa artinya penyelesaian ini bagi saya, M. Poirot," katanya
dengan suara serak. "Besok pagi akan saya kirimkan cek pada Anda, tapi tak ada
cek di dunia ini yang mampu menyatakan bagaimana perasaan saya mengenai apa yang
telah Anda lakukan demi saya. Anda memang hebat, M. Poirot. Anda memang selalu
hebat." Poirot bangkit, dadanya membusung.
"Saya hanya seorang Hercule Poirot," katanya dengan rendah hati. "Ya, seperti
Anda katakan, saya orang besar dalam bidang saya, sebagaimana Anda pun seorang
yang besar pula. Saya senang dan puas telah bisa menolong Anda. Sekarang saya
harus membenahi barang-barang bekas perjalanan. Susahnya, pembantu saya, George
yang efisien itu tak ada di sini."
Di ruang tunggu hotel dia bertemu dengan seorang teman yang patut disegani - M.
Papopolous, bersama putrinya Zia.
"Saya sangka Anda sudah meninggalkan Nice, M. Poirot," kata orang Yunani itu
sambil menyambut salam persahabatan detektif itu.
"Saya terpaksa kembali karena ada urusan, M. Papopolous."
"Urusan?" "Ya, urusan. Dan berbicara soal urusan, saya harap kesehatan Anda sudah membaik,
Sahabat." "Jauh lebih baik. Kami bahkan akan kembali ke Paris besok."
"Saya senang mendengar berita baik itu. Saya harap Anda tidak menghancurkan
bekas Perdana Menteri Yunani itu."
"Saya?" "Saya dengar Anda sudah menjual sebuah permata delima yang bagus sekali padanya,
yang - antara kita berdua saja - dipakai oleh Mademoiselle Mirelle, penari itu?"
"Ya," gumam M. Papopolous. "Ya, memang benar."
"Sebuah delima yang tidak berbeda dari Heart of Fire yang terkenal itu."
"Ada kesamaannya tentu," kata orang Yunani itu seenaknya.
"Anda memang bertangan dingin dengan barang-barang perhiasan, M. Papopolous.
Saya ucapkan selamat. Mademoiselle Zia, saya merasa sedih Anda akan kembali ke
Paris begitu cepat. Saya berharap akan bisa bertemu lagi dengan Anda setelah
urusan saya selesai."
"Apakah saya lancang kalau bertanya apa urusan Anda itu?" tanya M. Papopolous.
"Sama sekali tidak. Saya baru saja berhasil menangkap Marquis."
Air muka M. Papopolous seolah-olah menatap jauh ke depan.
"Marquis?" gumamnya. "Mengapa rasanya tak asing nama itu bagi saya" Ah, tidak -
saya tak ingat." "Saya percaya, Anda tak ingat," kata Poirot. "Yang saya bicarakan itu adalah
seorang penjahat yang sangat ulung dan perampok barang-barang perhiasan. Dia
baru saja ditangkap karena membunuh Nyonya Kettering, seorang wanita Inggris."
"Benarkah" Menarik sekali!"
Mereka saling berpamitan dengan sopan, dan setelah Poirot jauh serta tak dapat
mendengar lagi, M. Papopolous berpaling pada putrinya.
"Zia," katanya dengan sengit, "laki-laki itu setan!"
"Aku suka padanya."
"Aku juga suka padanya," M. Papopolous mengakui. "Tapi dia tetap setan."
Bab 36 DI TEPI LAUT Musim bunga mimosa hampir berlalu. Baunya yang memenuhi udara, kurang enak.
Bunga geranium berwarna merah muda merambat di sepanjang langkan vila Lady
Tamplin, dan bunga anyelir yang banyak terdapat di bawah, menyebarkan bau harum
yang manis. Air Laut Mediterania, biru sekali. Poirot duduk di teras dengan
Lenox Tamplin. Laki-laki itu baru saja selesai menceritakan pada Lenox, kisah
yang diceritakannya pada Van Aldin dua hari yang lalu. Lenox mendengarkannya
dengan penuh perhatian dan asyik sekali, alisnya berkerut dan matanya murung.
Setelah dia selesai, Lenox hanya bertanya,
"Dan Derek?" "Dia dilepaskan kemarin."
"Dan dia sudah pergi - ke mana?"
"Dia berangkat dari Nice kemarin malam."
"Ke St. Mary Mead?"
"Ya, ke St. Mary Mead."
Keduanya diam. "Saya keliru mengenai Katherine," kata Lenox. "Saya sangka dia tak suka."
"Dia amat berhati-hati. Tak seorang pun dipercayainya."
"Dia sebenarnya bisa mempercayai saya," kata Lenox agak getir.
"Ya," kata Poirot dengan tenang, "dia sebenarnya bisa mempercayai Anda. Tapi
Mademoiselle Katherine itu sudah menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan
mendengarkan, dan orang-orang yang biasa mendengarkan, tak mudah berbicara.
Kesedihan-kesedihan dan kesenangan-kesenangannya disimpannya sendiri dan tidak
dikatakannya pada siapa pun juga."
"Saya bodoh," kata Lenox. "Saya sangka dia benar-benar suka pada Knighton.
Seharusnya saya tahu. Saya rasa, saya mengira demikian karena - yah, saya
berharap demikian." Poirot mengambil tangan Lenox, lalu meremasnya dengan sikap persahabatan.
"Besarkan hati Anda, Mademoiselle," katanya lembut.
Lenox memandang lurus-lurus ke laut, dan wajahnya yang kaku sejenak tampak
cantik namun menyedihkan.
"Ah, sudahlah," katanya akhirnya, "itu tidak akan terjadi. Saya terlalu muda
untuk Derek - dia itu seperti kanak-kanak yang tak pernah tumbuh. Dia suka pada
wanita model Madona."
Lama mereka tak berbicara, lalu Lenox tiba-tiba berpaling padanya. "Tapi,
bukankah saya telah memberikan bantuan, M. Poirot - bagaimanapun juga saya ada
membantu." "Benar, Mademoiselle. Andalah yang memberi saya bayangan kebenaran yang pertama
waktu Anda berkata bahwa orang yang melakukan kejahatan itu sama sekali tak
perlu berada di kereta api itu. Sebelum itu saya tak bisa mengerti bagaimana hal
itu dilakukan." Lenox menarik napas panjang.
"Saya senang," katanya. "Pokoknya - itu adalah sesuatu."
Dari kejauhan di belakang mereka terdengar bunyi peluit kereta api yang panjang
memekakkan. "Itu dia, Kereta Api Biru terkutuk itu," kata Lenox. "Kereta api memang sesuatu
yang tak punya tenggang rasa bukan, M. Poirot" Orang-orang dibunuh dan mati,
tapi kereta api terus juga melaju. Bicara saya omong kosong, tapi Anda tahu
maksud saya." "Ya, saya tahu. Kehidupan juga seperti kereta api, Mademoiselle. Dia berjalan
terus. Dan itu bagus."
"Mengapa?" "Karena kereta api pada akhirnya tiba di tempat tujuan, dan dalam bahasa Anda
ada pepatah mengenai hal itu, Mademoiselle."
"'Perjalanan berakhir setelah terjadi pertemuan cinta.'" Lenox tertawa. "Hal itu
tidak akan berlaku bagi saya."
"Ya - itu memang benar. Anda masih muda, lebih muda daripada yang Anda duga
sendiri. Percayalah pada falsafah kereta api itu, Mademoiselle, karena Tuhan
Yang Mahakuasa-lah yang mengemudikannya."
Peluit kereta api terdengar lagi.
"Percayalah pada falsafah kereta api, Mademoiselle," gumam Poirot lagi. "Dan
percayalah pada Hercule Poirot - karena dia tahu."
Sumber buku: I - (Trims, ya.)
Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Murka Penghuni Kubur 1 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Mister Tabib Siluman 2
punya waktu tiga perempat jam saja. Dia mempunyai maksud tersendiri. Mobilnya
tidak membawanya langsung ke Monte Carlo, melainkan ke rumah Lady Tamplin di Cap
Martin, di mana dia minta bertemu dengan Nona Grey. Wanita-wanita di rumah itu
sedang berdandan dan Poirot dipersilakan masuk ke sebuah kamar tamu kecil untuk
menunggu. Tiga atau empat menit kemudian Lenox Tamplin datang menemuinya.
"Katherine belum siap benar," katanya. "Bisakah saya menyampaikan pesan Anda
padanya, atau apakah Anda lebih suka menunggu sampai dia turun sendiri?"
Poirot menatapnya. Satu-dua menit kemudian dia baru menjawab, seolah-olah ada
sesuatu yang berat yang membebaninya dalam mengambil keputusan. Agaknya jawaban
atas pertanyaan yang demikian sederhananya itu, sangat berarti.
"Tidak," katanya akhirnya, "tidak, saya pikir saya tak perlu menunggu untuk
menemui Mademoiselle Katherine. Saya rasa, mungkin, lebih baik tidak. Hal-hal
yang akan saya katakan ini kadang-kadang sulit."
Lenox menunggu dengan sopan, alisnya agak terangkat.
"Ada berita yang harus saya sampaikan," lanjut Poirot. "Barangkali Anda bisa
menyampaikannya pada teman Anda itu. Malam ini M. Kettering telah ditangkap
karena membunuh istrinya."
"Anda ingin saya menceritakannya pada Katherine?" tanya Lenox. Napasnya agak
terengah, seolah-olah dia baru saja berlari - menurut penglihatan Poirot -
wajahnya putih dan tegang, jelas sekali.
"Kalau bisa, Mademoiselle."
"Mengapa?" tanya Lenox. "Apakah Anda rasa Katherine akan menjadi risau" Apakah
dia akan sedih?" "Entahlah, Mademoiselle," kata Poirot. "Saya akui terus terang, biasanya saya
tahu segala-galanya. Tapi dalam hal ini, saya - yah, saya tak tahu. Mungkin Anda
lebih tahu daripada saya."
"Ya," kata Lenox, "saya tahu - tapi saya tidak akan memberitahukannya pada
Anda." Dia diam beberapa menit, alisnya yang hitam bertaut menjadi satu.
"Percayakah Anda bahwa memang Kettering yang melakukannya?" tanya Lenox tiba-
tiba. Poirot mengangkat bahunya.
"Polisi berpendapat demikian."
"Oh," kata Lenox, "Anda mengelak rupanya" Jadi mungkin ada sesuatu yang harus
disembunyikan." Dia diam lagi, sambil tetap mengerutkan alisnya. Poirot berkata dengan lembut,
"Anda sudah lama kenal Derek Kettering, bukan?"
"Sejak saya masih kecil, meskipun jarang-jarang bertemu," kata Lenox kasar.
Poirot mengangguk berulang kali tanpa berkata apa-apa.
Lenox menarik sebuah kursi dengan kasar lalu mendudukinya, menekankan sikunya ke
meja dan menopang wajahnya dengan tangannya. Sambil duduk dengan sikap demikian,
dia memandang langsung pada Poirot yang duduk di seberangnya.
"Berdasarkan apa mereka berbuat demikian?" tanyanya. "Saya rasa, alasan bahwa
Kettering mungkin akan memperoleh uang dengan kematian istrinya."
"Dia akan mendapatkan dua juta."
"Dan bila istrinya tidak meninggal dia akan hancur?"
"Ya." "Tapi tentunya ada lagi yang lebih daripada itu," Lenox bertahan. "Saya tahu
bahwa Kettering bepergian dengan kereta api yang sama, tapi - itu saja tidak
akan cukup." "Sebuah kotak rokok dengan huruf 'K' di atasnya, yang bukan kepunyaan Nyonya
Kettering, telah ditemukan di dalam kamar wanita itu, dan dua orang melihatnya
masuk dan keluar dari kamar itu, sebentar sebelum kereta api tiba di Lyons."
"Siapa kedua orang itu?"
"Teman Anda Katherine adalah salah seorang di antaranya. Yang seorang lagi
adalah Mademoiselle Mirelle, penari itu."
"Lalu Derek sendiri, apa katanya tentang kejadian itu?" tanya Lenox tajam.
"Dia membantah masuk ke kamar istrinya," kata Poirot.
"Tolol!" kata Lenox ketus, sambil merengut. "Sebentar sebelum Lyons, kata Anda"
Tak adakah yang tahu kapan - kapan pastinya dia meninggal?"
"Kesaksian dokter memang bisa tidak terlalu meyakinkan," kata Poirot. "Mereka
menduga bahwa kematian mungkin terjadi sesudah kereta api meninggalkan Lyons.
Dan kami sudah tahu, bahwa beberapa menit setelah meninggalkan Lyons, Nyonya
Kettering sudah meninggal."
"Bagaimana Anda tahu?"
Poirot tersenyum agak aneh.
"Ada seseorang lain yang masuk ke kamarnya dan menemukannya meninggal."
"Dan mereka tidak memberi tahu pihak kereta api?"
"Tidak." "Mengapa begitu?"
"Mereka pasti punya alasan sendiri."
Lenox memandangi Poirot dengan tajam.
"Apakah Anda tahu alasannya?"
"Saya rasa tahu."
Lenox duduk diam-diam membolak-balik persoalan dalam pikirannya. Poirot
memperhatikannya tanpa berkata apa-apa. Akhirnya Lenox mengangkat mukanya.
Pipinya jadi berwarna merah muda dan matanya bersinar.
"Kalian berpikir bahwa seseorang di dalam kereta api yang membunuhnya, tapi itu
sama sekali tak perlu. Apa yang tidak memungkinkan seseorang masuk ke kereta api
waktu kereta api itu berhenti di Lyons" Mereka bisa saja langsung masuk ke kamar
Nyonya Kettering, menjerat leher wanita itu, mengambil permata-permata
delimanya, lalu turun lagi dari kereta api tanpa diketahui seseorang pun.
Mungkin dia sebenarnya dibunuh waktu kereta api berada di stasiun Lyons. Jadi
waktu Derek masuk dia masih hidup, dan yang seorang lagi menemukannya sudah
meninggal." Poirot bersandar di kursinya. Dia menarik napas dalam-dalam. Dia memandang gadis
yang duduk di seberangnya dan mengangguk tiga kali, kemudian dia mendesah.
"Mademoiselle," katanya, "apa yang Anda katakan itu sangat masuk akal - benar
sekali. Saya sedang berjuang dalam gelap, dan Anda telah menunjukkan saya suatu
cahaya. Ada satu hal yang merupakan tanda tanya bagi saya dan Anda sudah
menjadikannya jelas."
Poirot bangkit. "Dan Derek?" tanya Lenox.
"Siapa yang tahu?" kata Poirot, sambil mengangkat bahunya. "Tapi dengar kata-
kata saya ini, Mademoiselle. Saya tak puas, tidak. Hercule Poirot merasa tidak
puas. Mungkin malam ini juga saya akan mendengar sesuatu lagi. Sekurang-
kurangnya saya akan mencoba."
"Apakah Anda akan menemui seseorang?"
"Ya." "Seseorang yang tahu sesuatu?"
"Seseorang yang mungkin tahu sesuatu. Dalam peristiwa seperti sekarang ini kita
tak boleh membiarkan satu pun bahan tanpa disentuh. Au revoir, Mademoiselle."
Lenox mengantarnya sampai ke pintu.
"Apakah - saya telah membantu?" tanyanya.
Wajah Poirot menjadi lembut waktu dia menengadah memandang Lenox yang berdiri di
ambang pintu di atasnya. "Ya, Mademoiselle, Anda telah membantu. Bila Anda dalam kegelapan, ingatlah
itu." Waktu mobil berangkat, Poirot asyik termangu dengan mengerutkan alisnya, tapi
dalam matanya tampak cahaya hijau yang samar - hal mana selalu merupakan suatu
pertanda akan adanya kemenangan yang diharapkannya.
Dia datang terlambat beberapa menit di tempat pertemuan, dan mendapati M.
Papopolous dan putrinya telah tiba lebih dulu. Dia mohon maaf dengan segala
kerendahan hati, dan dengan berlebihan dia menunjukkan sopan santun serta
perhatiannya terhadap tamu wanitanya. Orang Yunani itu ramah sekali dan baik
hati malam itu, seperti seorang jagoan. Zia kelihatan manis dan senang. Makan
malam itu menyenangkan. Poirot ceria dan berseri-seri. Dia mengisahkan lelucon-
lelucon, dia bergurau, dia memuji-muji Zia Papopolous, dan dia menceritakan
peristiwa-peristiwa menarik dalam karirnya. Jenis makanannya terpilih dengan
baik dan anggurnya baik sekali.
Setelah selesai makan, M. Papopolous bertanya dengan sopan,
"Bagaimana dengan petunjuk yang saya berikan dulu" Sudahkah Anda mengadu untung
Anda terhadap kuda itu?"
"Saya sedang mengadakan hubungan dengan - eh - bandar balapan," sahut Poirot.
Kedua laki-laki itu saling berpandangan.
"Seekor kuda yang terkenal, bukan?"
"Bukan," kata Poirot, "kuda itu adalah seperti yang dikatakan orang Inggris,
kuda hitam." "Oh!" kata M. Papopolous, merenung.Sekarang kita harus pergi ke kasino dan mengadu untung kita di meja roulette,?""kata Poirot ceria.
Di kasino mereka berpisah. Poirot selalu mendampingi Zia, sedang M. Papopolous
memisahkan diri. Poirot tidak beruntung, tetapi Zia bernasib baik terus, dan dalam waktu singkat
telah memenangkan beberapa ribu franc.
"Saya rasa sebaiknya saya berhenti saja sekarang," katanya pada Poirot, datar.
Poirot mengedipkan matanya.
"Bagus!" serunya. "Anda memang putri ayah Anda, Mademoiselle Zia. Anda tahu
kapan harus berhenti. Yah! Itulah seninya."
Dia melihat ke sekeliling ruangan.
"Saya tak melihat ayah Anda," katanya tak acuh. "Saya ambilkan mantel Anda,
Mademoiselle, dan kita berjalan-jalan di taman saja."
Tetapi dia tidak langsung pergi ke ruang penyimpanan mantel. Matanya yang tajam
tadi telah melihat kepergian M. Papopolous. Dia ingin sekali tahu rencana orang
Yunani yang licik itu. Tanpa disangka dia menemukannya di ruang duduk besar.
Orang itu sedang berdiri dekat sebuah pilar, bercakap-cakap dengan seorang
wanita yang baru tiba. Wanita itu adalah Mirelle.
Poirot menyingkir tanpa dilihat. Dia berhenti di sisi lain dari pilar, dan tidak
dilihat oleh kedua orang yang sedang berbicara itu. Sebenarnya penari itulah
yang sedang berbicara, sedang Papopolous hanya kadang-kadang menyela dengan
sepatah kata atau dengan gerakan saja.
"Sudah saya katakan, saya butuh waktu," kata penari itu. "Jika Anda mau memberi
saya waktu, saya akan mendapatkan uangnya."
"Menunggu - itulah sulitnya." Orang Yunani itu mengangkat bahunya.
"Hanya sebentar saja," desak lawan bicaranya. "Tolonglah! Seminggu - sepuluh
hari - selama itu saja yang saya minta. Anda akan mendapat untung."
Papopolous berdiri agak menggeser dan menoleh dengan gelisah dan - menemukan
Poirot berdiri dekat benar dengannya dengan wajah polos berseri-seri.
"Ah! Ini Anda rupanya, M. Papopolous. Saya sedang mencari-cari Anda. Bolehkah
saya mengajak Mademoiselle Zia berjalan-jalan di taman" Selamat malam,
Mademoiselle." Dia membungkuk dalam-dalam di depan Mirelle. "Seribu maaf, saya
tak melihat Anda tadi."
Dengan tak sabaran penari itu membalas sapaan itu. Jelas bahwa dia tak senang
percakapannya terganggu. Poirot cepat arif. Papopolous bergumam, "Tentu -
tentu," dan Poirot menarik diri.
Diambilnya mantel Zia, lalu mereka keluar, ke taman.
"Di sinilah orang biasanya membunuh diri," kata Zia.
Poirot mengangkat bahunya. "Begitu kata orang. Manusia memang bodoh bukan,
Mademoiselle" Makan, minum, menghirup udara segar, bukankah itu menyenangkan,
Mademoiselle. Sungguh tolol kalau orang mau meninggalkan itu semua hanya karena
tak punya uang - atau karena hati yang sakit. Cinta itu mendatangkan banyak
bahaya, bukan?" Zia tertawa. "Anda tak boleh menertawakan cinta, Mademoiselle," kata Poirot, sambil
mengguncang-guncangkan telunjuknya ke arah wanita itu. "Anda masih muda dan
cantik." "Tidak lagi," kata Zia. "Anda lupa bahwa umur saya sudah tiga puluh tiga tahun,
M. Poirot. Dengan Anda saya berterus terang, karena tak ada gunanya berbohong.
Sebagaimana Anda katakan pada Ayah, memang tepat tujuh belas tahun yang lalu
Anda membantu kami di Paris."
"Rasanya belum sampai sekian lamanya, bila saya melihat Anda," kata Poirot
dengan jantan. "Waktu itu Anda sama benar dengan sekarang, Mademoiselle, hanya
agak kurus, agak pucat, dan lebih serius. Baru berumur enam belas tahun dan baru
kembali dari sekolah berasrama. Tidak seperti anak kecil di asrama, belum pula
wanita dewasa. Anda waktu itu menggairahkan, menarik, Mademoiselle Zia - orang-
orang lain pasti juga berpendapat demikian."
"Waktu berumur enam belas, pikiran orang masih pendek dan tolol," kata Zia.
"Mungkin saja," kata Poirot. "Ya, mungkin saja. Waktu berumur enam belas, orang
mudah percaya, bukan" Percaya saja apa kata orang lain."
Poirot yang sebenarnya melihat lirikan tajam dari gadis itu, pura-pura tidak
menyadarinya. Dia melanjutkan, "Peristiwa itu memang aneh. Ayah Anda tak pernah
mengerti apa yang ada di baliknya, Mademoiselle."
"Tidakkah?" "Waktu beliau meminta keterangan terperinci, saya berkata begini, 'Saya telah
mengembalikan pada Anda apa-apa yang hilang, tanpa timbul skandal. Anda tak
boleh bertanya-tanya lagi.' Tahukah Anda mengapa saya berkata begitu,
Mademoiselle?" "Saya tak tahu," kata gadis itu dingin.
"Karena saya kasihan pada seorang gadis kecil dari asrama, yang begitu kurus,
pucat, dan serius." "Saya tak mengerti apa yang Anda katakan ini," kata Zia marah.
"Masa tidak, Mademoiselle. Sudah lupakah Anda pada Antonio Pirezzio?"
Didengarnya suara napas yang tertahan - seperti terengah.
"Dia datang untuk bekerja sebagai asisten di toko, tapi bukan hanya dengan cara
begitu dia bisa mendapatkan apa yang diingininya, bukan" Seorang asisten bisa
pula main mata dengan putri majikannya, bukan" Apalagi kalau dia muda, tampan,
dan bermulut manis. Mereka tentu tak bisa bercintaan terus, mereka kadang-kadang
juga membicarakan hal-hal yang mendapatkan perhatian mereka berdua - seperti
umpamanya barang yang amat menarik, yang sementara itu ada di tangan M.
Papopolous. Dan karena - seperti kata Anda, Mademoiselle - seorang muda itu
tolol dan mudah percaya, Anda mudah pula percaya padanya dan bahkan
memperlihatkan padanya di mana barang istimewa itu disimpan. Dan setelah barang
itu hilang - setelah bencana besar yang tak masuk akal itu terjadi - aduh! -
kasihan anak asrama itu. Betapa mengerikan kedudukannya. Dia ketakutan, si kecil
malang itu. Bicara atau tidak" Lalu datanglah orang hebat itu, Hercule Poirot.
Seperti suatu mukjizat saja, bagaimana penyelesaian-penyelesaian terjadi.
Barang-barang warisan yang tak ternilai harganya itu kembali dan tak ada pula
pertanyaan yang akan membuka rahasia."
Zia berpaling padanya dengan geram.
"Jadi selama ini Anda tahu" Siapa mengatakannya pada Anda" Apakah - apakah
Antonio?" Poirot menggeleng. "Tak seorang pun menceritakannya," katanya dengan tenang. "Saya menerka. Terkaan
saya tepat, bukan, Mademoiselle" Soalnya kalau kita tak pandai menerka, tak ada
gunanya menjadi detektif."
Beberapa menit lamanya gadis itu berjalan saja di sisinya tanpa berkata apa-apa.
Kemudian dia berkata dengan keras,
"Lalu apa yang akan Anda lakukan berhubung dengan hal itu" Apakah akan Anda
ceritakan pada Ayah?"
"Tidak," kata Poirot tajam. "Tentu tidak."
Gadis itu memandangnya dengan heran.
"Apakah Anda menginginkan sesuatu dari saya?"
"Saya mengharapkan bantuan Anda, Mademoiselle."
"Mengapa Anda beranggapan bahwa saya bisa membantu Anda?"
"Saya tidak beranggapan apa-apa. Saya hanya berharap."
"Dan bila saya tidak membantu Anda, maka - Anda akan mengatakannya pada ayah
saya?" "Tentu saja tidak! Hilangkan pikiran itu. Saya bukan seorang pemeras. Saya tak
mau memegang rahasia Anda, lalu mengancam dengan bersenjatakan rahasia itu."
"Bila saya menolak membantu Anda - " gadis itu mulai lagi.
"Tolak saja, tidak apa-apa."
"Lalu mengapa - ?" dia terhenti.
"Dengarkan, saya ceritakan. Kaum wanita itu bersifat pemurah, Mademoiselle. Bila
dia bisa memberikan jasa pada orang yang telah berbuat baik padanya, mereka rela
memberikan jasa itu. Saya pernah bermurah hati pada Anda, Mademoiselle. Waktu
itu saya bisa saja berbicara, tapi saya menutup mulut."
Mereka diam lagi, lalu gadis itu berkata, "Beberapa hari yang lalu, ayah saya
telah memberi Anda petunjuk secara sindiran."
"Beliau memang baik."
"Saya rasa," kata Zia ragu-ragu, "tak ada lagi yang dapat saya tambahkan pada
petunjuk itu."
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Poirot tidak memperlihatkan rasa kecewa, kalaupun itu ada. Tak satu pun syaraf
mukanya berubah. "Eh bien!" katanya dengan ceria. "Kalau begitu kita harus berbicara tentang
soal-soal lain." Lalu mulailah dia mengobrol dengan riang. Namun gadis itu seperti orang
linglung, dan jawaban-jawabannya diberikannya secara tak sadar dan tak selalu
tepat. Waktu mereka tiba di dekat kasino lagi, barulah agaknya gadis itu
mengambil keputusan. "M. Poirot?" "Ya, Mademoiselle?"
"Saya - saya ingin membantu Anda kalau bisa."
"Anda baik sekali, Mademoiselle - sangat bersahabat."
Keduanya diam lagi. Poirot tak mau mendesak. Dia mau menunggu dan membiarkan
sampai Zia mulai sendiri.
"Ah," kata Zia, "mengapa saya tak boleh menceritakannya pada Anda" Ayah saya
sangat waspada - selalu berhati-hati dalam segala ucapannya. Tapi saya tahu
bahwa dengan Anda hal itu tak perlu. Anda telah berkata bahwa Anda semata-mata
ingin mencari pembunuh itu, dan bahwa Anda tak mau berurusan dengan permata-
permata itu. Saya percaya pada Anda. Anda benar, waktu Anda menebak bahwa
kehadiran kami di Nice adalah karena permata-permata delima itu. Permata-permata
itu telah diserahkan di sini sebagaimana yang direncanakan. Sekarang permata-
permata itu ada pada ayah saya. Beberapa hari yang lalu dia telah mengisyaratkan
pada Anda siapa nasabah kami yang misterius itu."
"Marquis?" gumam Poirot perlahan.
"Benar, Marquis."
"Pernahkah Anda melihat Marquis itu, Mademoiselle Zia?"
"Satu kali," kata gadis itu. "Tapi tak jelas," tambahnya lagi, "hanya melalui
lubang kunci." "Itu selalu sulit," kata Poirot penuh pengertian, "tapi bagaimanapun juga, Anda
melihatnya. Akan bisakah Anda mengenalinya kembali?"
Zia menggeleng. "Dia memakai kedok," dia menjelaskan.
"Tua atau muda?"
"Dia berambut putih. Itu mungkin rambut palsu, mungkin juga bukan. Tapi pas
sekali. Saya rasa dia tidak tua. Langkahnya waktu berjalan seperti orang muda,
begitu pula suaranya."
"Suaranya?" tanya Poirot bersungguh-sungguh. "Ya, suaranya! Apakah Anda akan
bisa mengenalinya kembali, Mademoiselle Zia?"
"Mungkin bisa," kata gadis itu.
"Anda menaruh perhatian padanya, ya" Itukah sebabnya Anda mengintip melalui
lubang kunci?" Zia mengangguk. "Ya, ya. Saya ingin tahu. Banyak benar yang sudah kita dengar tentang dia - dia
bukan pencuri biasa - dia lebih banyak merupakan seorang tokoh dalam sejarah
atau cerita roman." "Ya," kata Poirot merenung, "ya, mungkin begitu."
"Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan pada Anda," kata Zia. "Ada satu soal
kecil yang saya pikir mungkin - yah - berguna bagi Anda."
"Ya?" "Seperti kata saya tadi, permata-permata delima itu diserahkan pada ayah saya di
Nice ini. Saya tidak melihat orang yang menyerahkannya, tapi - "
"Ya?" "Satu hal saya tahu. Dia adalah seorang wanita."
Bab 29 SURAT DARI RUMAH "Katherine yang baik, - Karena kau hidup di antara sahabat-sahabatmu yang orang-
orang terkemuka sekarang ini, kurasa kau tentu tak ingin lagi mendengar berita
dari kami. Tapi aku selalu berpendapat bahwa kau adalah seorang gadis yang
selalu berakal sehat, jadi kurasa barangkali kau tidak akan menjadi terlalu
berkepala besar. Di sini segalanya berjalan seperti biasa saja. Ada kesulitan
besar mengenai pendeta pembantu yang bukan main angkuhnya. Dalam pandanganku dia
tak lebih tak kurang seorang Kristen biasa. Semua orang sudah berbicara pada
pendeta setempat tentang hal itu. Tapi kau pun tahu siapa pastor kita - tak lain
tak bukan amal derma Kristen saja tanpa semangat yang mendalam. Akhir-akhir ini
aku mengalami kesulitan dengan pembantu-pembantu rumah tangga. Gadis yang
bernama Annie itu tak beres - roknya selalu di atas lutut dan tak mau memakai
kaus kaki dari wol yang baik itu. Tak seorang pun mau ditegur. Aku juga sakit
rematik dan Dokter Harris menganjurkan supaya aku pergi berobat pada seorang
spesialis di London - yang akan berarti pemborosan tiga guinea ditambah ongkos
kereta api, kataku padanya. Tapi dengan menunggu sampai hari Rabu, aku berhasil
mendapatkan kesempatan pergi ke sana dengan ongkos pulang yang murah. Muka
dokter di London itu masam dan bicaranya berputar-putar tak mau berterus terang,
sampai akhirnya aku berkata, 'Saya perempuan sederhana, Dokter, dan saya ingin
segala sesuatu dijelaskan seterang-terangnya. Apakah ini kanker atau bukan"'
Setelah itu dia baru mengatakannya. Katanya aku harus berobat terus selama satu
tahun, dan jangan menunggu sampai terlalu kesakitan, meskipun aku yakin bahwa
aku bisa menanggung sakit. Hidup ini kadang-kadang terasa sepi, karena
kebanyakan sahabat-sahabatku telah meninggal atau pergi. Aku ingin kau berada di
St. Mary Mead, Sayang. Seandainya kau tidak mendapatkan uang itu untuk lalu
pergi memasuki masyarakat orang-orang terkemuka itu, maka aku akan menawarkan
padamu gaji dua kali sebanyak yang dibayar Jane, untuk merawatku. Tapi yah,
sudahlah - tak ada gunanya menginginkan apa yang tak bisa kita dapatkan. Tapi,
siapa tahu nasibmu menjadi buruk - itu mungkin saja. Aku sering sekali mendengar
tentang laki-laki ningrat gadungan yang mengawini gadis-gadis kaya dan mengambil
uang gadis itu untuk kemudian meninggalkannya begitu saja. Aku yakin kau tidak
akan membiarkan hal seperti itu terjadi atas dirimu karena kau mempunyai pikiran
sehat. Tapi siapa tahu - dan karena tak pernah mendapatkan perhatian yang cukup
besar, aku takut kau lalu gelap mata. Jadi kalau sampai terjadi apa-apa, Sayang,
ingatlah bahwa selalu ada rumah untuk tempatmu kembali - dan meskipun aku hanya
seorang perempuan yang bisa bicara apa adanya, aku juga berhati hangat.
Sahabat lamamu yang menyayangimu,
Amelia Viner NB. - Aku melihat namamu tercantum di surat kabar, bersama saudara sepupumu
Viscountess Tamplin. Berita itu kugunting dan kusimpan bersama guntingan-
guntinganku yang lain. Pada hari Minggu aku berdoa semoga kau dihindarkan dari
kesombongan dan kebanggaan hampa."
Katherine membaca surat istimewa itu sampai dua kali, lalu diletakkannya dan dia
menatap ke air Laut Mediterania yang biru melalui jendela kamar tidurnya. Dia
merasa kerongkongannya tersumbat. Dia tiba-tiba jadi rindu pada St. Mary Mead.
Begitu penuh dengan hal-hal kecil yang biasa dan kadang-kadang bodoh - namun -
itulah kampung halamannya. Dia jadi ingin sekali menelungkup dan menangis puas-
puas. Lenox yang pada saat itu masuk, menggagalkan niatnya itu.
"Halo, Katherine," kata Lenox. "Hai - ada apa?"
"Ah, tak apa-apa," kata Katherine, sambil cepat-cepat mengambil surat Miss Viner
dan memasukkan ke dalam tasnya.
"Kau tadi kelihatan aneh," kata Lenox. "Anu - kuharap kau tidak keberatan - aku
tadi menelepon sahabatmu M. Poirot yang detektif itu dan mengajaknya makan siang
bersama kita di Nice. Kukatakan kau ingin bertemu dengan dia, karena kupikir dia
mungkin tak mau datang kalau aku yang mengajaknya."
"Jadi kau yang ingin bertemu dengan dia?" tanya Katherine.
"Ya," kata Lenox. "Aku agak jatuh cinta padanya. Selama ini tak pernah aku
bertemu dengan laki-laki yang matanya benar-benar hijau seperti mata kucing."
"Baiklah," kata Katherine. Dia berbicara tanpa semangat. Hari-hari terakhir ini
banyak guncangannya. Penangkapan atas diri Derek Kettering telah menjadi bahan
pembicaraan hangat, dan misteri Kereta Api Biru telah dibahas habis-habisan dari
segala segi. "Sudah kuperintahkan supaya mobil disiapkan," kata Lenox, "dan Ibu sudah
kubohongi - entah aku tak ingat lagi apa - tapi itu tak penting, dia tak pernah
ingat. Jika dia tahu akan ke mana kita, dia ingin ikut, untuk memompa berita
dari M. Poirot." Kedua gadis itu tiba di Negresco dan mendapati Poirot sedang menunggu.
Dia menunjukkan kesopanan yang luar biasa, dan mengumbar puji-pujian pada kedua
gadis itu, sampai mereka mau tak mau, tertawa - meskipun demikian mereka makan
dengan tidak begitu riang. Katherine banyak termangu dan linglung, sedangkan
Lenox tak sudah-sudahnya berbicara. Waktu mereka sedang duduk di teras menghirup
kopi, Lenox tiba-tiba menyerang Poirot dengan terang-terangan.
"Bagaimana perkara itu" Anda tentu tahu maksud saya, bukan?"
Poirot mengangkat bahunya. "Semuanya berjalan sebagaimana biasanya," katanya.
"Dan Anda membiarkan hal-hal itu berjalan sebagaimana biasanya saja?"
"Anda masih muda, Mademoiselle, Anda harus tahu bahwa ada tiga hal yang tak
dapat diburu-buru - Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan orang-orang tua."
"Omong kosong!" kata Lenox. "Anda tidak tua."
"Ah, menyenangkan sekali kata-kata Anda itu."
"Ini Mayor Knighton," kata Lenox.
Katherine cepat menoleh lalu kembali lagi.
"Dia bersama Tuan Van Aldin," sambung Lenox. "Saya ingin menanyakan sesuatu pada
Mayor Knighton. Sebentar, ya?"
Setelah ditinggalkan berduaan, Poirot membungkuk ke arah Katherine dan berkata,
"Anda kelihatan linglung, Mademoiselle - pikiran Anda melayang jauh sekali,
bukan?" "Hanya sampai di Inggris saja, tidak lebih jauh."
Terdorong oleh sesuatu yang tak disadarinya, Katherine mengeluarkan surat yang
diterimanya tadi pagi, lalu diberikannya pada Poirot supaya dibaca.
"Itulah berita pertama yang saya terima dari dunia saya yang lama. Jadi
bagaimanapun juga saya - merasa sedih."
Poirot membacanya lalu mengembalikannya.
"Jadi Anda akan kembali ke St. Mary Mead?" katanya.
"Tidak," kata Katherine. "Untuk apa?"
"Ah," kata Poirot, "saya keliru. Maafkan saya sebentar."
Dia pergi ke tempat di mana Lenox sedang bercakap-cakap dengan Van Aldin dan
Knighton. Orang Amerika itu kelihatan tua dan letih. Dia menyapa Poirot dengan
anggukan singkat tanpa tanda-tanda persahabatan.
Waktu dia menoleh untuk memberikan jawaban atas suatu pernyataan Lenox, Poirot
menarik Knighton agak menjauh.
"Van Aldin kelihatan sakit," katanya.
"Herankah Anda?" kata Knighton. "Skandal tentang penangkapan Derek Kettering itu
merupakan beban tambahan baginya. Beliau bahkan menyesal telah meminta Anda
untuk menemukan kebenarannya."
"Dia seharusnya kembali ke Inggris," kata Poirot.
"Kami akan berangkat lusa."
"Itu berita yang baik," kata Poirot.
Dia bimbang, lalu menoleh ke teras di mana Katherine duduk.
"Saya ingin Anda bisa mengatakan hal itu pada Nona Grey," gumam Poirot lagi.
"Mengatakan hal apa?"
"Bahwa Anda - maksud saya bahwa M. Van Aldin akan kembali ke Inggris."
Knighton tampak keheranan, tetapi dengan senang hati dia menyeberang ke teras
mendapatkan Katherine. Poirot memandanginya pergi dan mengangguk dengan rasa puas, lalu dia
menggabungkan diri dengan Lenox dan orang Amerika itu. Sebentar kemudian mereka
bertiga menyertai kedua orang itu. Beberapa lamanya mereka bercakap-cakap biasa,
kemudian jutawan itu pergi dengan sekretarisnya. Poirot juga bersiap-siap untuk
pergi. "Terima kasih banyak atas keramahan Anda berdua," katanya. "Sungguh makan siang
yang menyenangkan. Ma foi, saya membutuhkannya!" Dia membusungkan dadanya lalu
menepuknya. "Sekarang saya sudah menjadi seekor singa - raksasa. Ah,
Mademoiselle Katherine, Anda belum pernah melihat saya dalam keadaan lain. Yang
Anda lihat selalu adalah Hercule Poirot yang tenang dan lemah lembut, tapi ada
Hercule Poirot yang lain. Sekarang saya akan pergi untuk menggertak, untuk
mengancam, untuk menimbulkan rasa takut dalam hati siapa saja yang
mendengarnya." Dia memandang pada kedua gadis itu dengan rasa puas diri - dan mereka
menunjukkan sikap seolah-olah terkesan, meskipun Lenox menggigit-gigit bibir
bawahnya, dan sudut-sudut mulut Katherine mulai bergerak.
"Ya, semua itu akan saya lakukan," katanya dengan bersungguh-sungguh. "Dan saya
akan berhasil." Baru beberapa langkah dia pergi ketika suara Katherine membuatnya menoleh.
"M. Poirot, sa - saya ingin mengatakan pada Anda. Saya rasa kata-kata Anda tadi
benar. Saya akan segera kembali ke Inggris."
Poirot menatapnya lekat-lekat, dan wajah Katherine menjadi merah karena tatapan
itu. "Saya mengerti," katanya bersungguh-sungguh.
"Saya rasa Anda tidak mengerti," kata Katherine.
"Saya tahu lebih banyak daripada yang Anda sangka, Mademoiselle," katanya dengan
tenang. Dia meninggalkan Katherine dengan senyum yang aneh di bibirnya. Dia memasuki
mobil yang sedang menunggunya, lalu pergi ke Antibes.
Hipolyte, pelayan laki-laki Comte de la Roche yang berwajah kaku, sedang sibuk
melap daun meja yang terbuat dari kaca. Comte de la Roche sendiri sedang pergi
ke Monte Carlo hari itu. Waktu dia melihat ke luar jendela, Hipolyte melihat
seorang tamu yang berjalan cepat menuju ke pintu rumahnya. Hipolyte yang sudah
berpengalaman itu, merasa sulit mengingat-ingat siapa tamunya itu, karena
anehnya tamu itu. Dipanggilnya istrinya, Marie, yang sedang sibuk di dapur, dan
diajaknya melihat tamu yang aneh itu.
"Bukan polisi lagi, kan?" kata Marie dengan cemas.
"Lihatlah sendiri," kata Hipolyte.
Marie melihat. "Pasti bukan polisi," katanya. "Aku senang."
"Sebenarnya mereka itu tidak terlalu menyusahkan kita," kata Hipolyte. "Kalau
bukan karena peringatan M. Comte, aku tidak akan menyangka bahwa orang asing di
rumah minum itu, polisi atau detektif."
Bel berbunyi dan Hipolyte pergi membukanya dengan sikap serius tetapi sopan.
"Menyesal sekali, tapi M. Comte tak di rumah."
Laki-laki kecil berkumis besar itu tetap tenang dan wajahnya berseri.
"Saya tahu itu," sahutnya. "Anda Hipolyte Flavelle, bukan?"
"Benar, Monsieur, itu nama saya."
"Dan Anda mempunyai istri yang bernama Marie Flavelle?"
"Ya, Monsieur, tapi - "
"Saya ingin bertemu dengan Anda berdua," kata orang asing itu, dan dengan cepat
dia melangkah masuk melewati Hipolyte.
"Istri Anda pasti ada di dapur," katanya. "Saya akan ke sana."
Sebelum Hipolyte dapat mengatur napasnya kembali, tamunya sudah berhasil memilih
pintu yang tepat di bagian belakang ruangan itu, menjalani sepanjang lorong dan
masuk ke dapur, di mana dia menemukan Marie yang terbelalak dan mulutnya
ternganga. "Voila," kata orang asing itu, sambil menjatuhkan dirinya ke sebuah kursi kayu,
"saya Hercule Poirot."
"Ya, Tuan?" "Apakah kalian tak kenal nama itu?"
"Saya tak pernah mendengarnya," kata Hipolyte.
"Kalau begitu izinkan saya mengatakan bahwa pendidikan kalian kurang. Itu nama
salah seorang besar di dunia ini."
Dia mendesah lalu melipat tangannya ke dadanya.
Hipolyte dan Marie menatapnya dengan gelisah. Mereka tak tahu harus berbuat apa
terhadap tamu asing yang tidak mereka harapkan dan begitu aneh. "Apakah
keinginan Monsieur - ?" gumam Hipolyte sebisanya.
"Saya ingin tahu mengapa kalian berbohong pada polisi."
"Monsieur!" seru Hipolyte. "Saya - saya berbohong pada polisi" Saya tak pernah
berbuat begitu." M. Poirot menggeleng. "Anda keliru," katanya, "Anda telah beberapa kali berbohong. Coba kita lihat."
Dikeluarkannya sebuah buku catatan kecil dari sakunya lalu dibacanya. "Oh ya,
sekurang-kurangnya tujuh kali. Akan saya bacakan kembali."
Dengan suara lembut tanpa emosi dibacakannya garis besar dari tujuh peristiwa.
Hipolyte terperanjat. "Tapi saya tidak akan membicarakan tentang kejadian masa lalu itu," sambung
Poirot. "Ingat, Sahabat, janganlah punya kebiasaan untuk menyangka bahwa Anda
telah pandai. Saya akan menunjukkan satu kebohongan khusus yang ada urusannya
dengan saya - yaitu pernyataan Anda bahwa Comte de la Roche tiba di vila ini
pada pagi hari tanggal empat belas Januari."
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi itu bukan bohong, Monsieur, itu benar. M. Comte tiba di sini pada pagi
hari Selasa, tanggal empat belas. Begitu bukan, Marie?"
Marie membenarkan dengan penuh semangat.
"Ya, benar, itu betul sekali. Saya ingat benar."
"Oh," kata Poirot, "lalu makan siang apa yang Anda hidangkan untuk majikan Anda
hari itu?" "Saya - " Marie diam untuk mencoba berpikir-pikir.
"Aneh," kata Poirot, "kalau ada orang yang bisa mengingat beberapa hal - sedang
yang lain dilupakannya."
Dia membungkuk lalu menghantam meja dengan tinjunya - matanya berapi-api karena
marah. "Ya, ya, benar dugaan saya. Anda berbohong dan Anda menyangka tak seorang pun
yang tahu. Tapi ada dua orang yang tahu. Ya - dua. Satu di antaranya adalah
Tuhan Yang Mahakuasa - "
Diangkatnya tangannya ke atas, lalu dia duduk dengan nyaman lagi di kursinya,
lalu sambil menutup matanya, dia bergumam pula seenaknya,
"Dan yang seorang lagi adalah Hercule Poirot."
"Yakinlah, Monsieur, Anda benar-benar keliru. M. Comte berangkat dari Paris,
Senin malam - " "Betul," kata Poirot - "naik kereta api Rapide. Saya tak tahu di mana dia
menghentikan perjalanannya. Mungkin Anda pun tak tahu. Yang saya tahu adalah
bahwa dia tiba di sini pada hari Rabu pagi, dan bukan pada hari Selasa Pagi."
"Monsieur keliru," kata Marie berkeras.
Poirot bangkit. "Kalau begitu hukum harus turun tangan," gumamnya. "Sayang."
"Apa maksud Anda, Monsieur?" tanya Marie, dengan bayangan kecemasan.
"Kalian akan ditangkap dan ditahan karena berkomplot sehubungan dengan
pembunuhan Nyonya Kettering. Wanita Inggris."
"Pembunuhan!" Wajah Hipolyte menjadi pucat-pasi, lututnya gemetar. Cepit gulung yang sedang
ada di tangan Marie jatuh dan dia mulai menangis.
"Tapi itu tak mungkin - tak mungkin. Saya sangka - "
"Karena kalian berpegang teguh pada cerita kalian, tak ada lagi yang bisa
dikatakan. Saya rasa kalian berdua tolol."
Sedang dia berbalik ke pintu, langkahnya tertahan oleh suara panggilan cemas.
"Monsieur, Monsieur, tunggu sebentar. Sa - saya tak menyangka bahwa begitu
persoalannya. Sa - saya sangka ini hanya berhubungan dengan seorang wanita saja.
Selama ini tak ada kesulitan yang berhubungan dengan polisi kalau mengenai
wanita. Tapi pembunuhan - itu lain."
"Saya tak sabar menghadapi kalian," seru Poirot. Dia berbalik menghadapi mereka
lalu mengacung-acungkan tinjunya ke muka Hipolyte dengan marah. "Apakah saya
harus tetap tinggal di sini sepanjang hari, bertengkar begini dengan sepasang
orang-orang goblok" Saya ingin kebenaran. Bila kalian tak mau memberikannya, itu
urusan kalian. Untuk terakhir kalinya, kapan M. Comte tiba di Vila Marina ini -
hari Selasa pagi atau Rabu pagi?"
"Hari Rabu," desah laki-laki itu, dan di belakangnya Marie mengangguk
membenarkan. Poirot memandangi mereka beberapa lamanya, lalu mengangguk.
"Kalian memang pandai, Anak-anak," katanya dengan tenang. "Hampir saja kalian
berada dalam kesulitan besar."
Ditinggalkannya Vila Marina, sambil tersenyum sendiri.
"Satu dugaan sudah dibenarkan," gumamnya sendiri. "Akan kuambilkan kesempatan
terhadap yang lain?"
Pukul enam sore kartu nama M. Hercule Poirot diserahkan pada Mirelle. Mirelle
menatap kartu itu sebentar, lalu mengangguk. Waktu Poirot masuk, didapatinya
Mirelle sedang berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya dengan gugup. Dia berbalik
menghadapi Poirot dengan marah.
"Nah," serunya, "apa lagi sekarang" Belum cukupkah Anda menyiksa saya, kalian
semua" Tidakkah kalian yang sampai membuat saya mengkhianati Derek-ku yang
malang" Apa lagi yang Anda mau?"
"Hanya satu pertanyaan saja, Mademoiselle. Setelah kereta api berangkat dari
Lyons, waktu Anda masuk ke kamar Nyonya Kettering - "
"Ada apa?" Poirot menatapnya dengan air muka menegur lalu mulai lagi.
"Kata saya, waktu Anda masuk ke kamar Nyonya Kettering - "
"Saya tidak masuk."
"Dan menemukannya - "
"Saya tidak masuk."
"Ah, terkutuk!"
Poirot berbalik menghadapi Mirelle dengan murka dan berteriak padanya, hingga
wanita itu mundur kengerian.
"Apakah Anda akan berbohong pada saya" Dengar, saya tahu betul apa yang telah
terjadi, seolah-olah saya sendiri ada di tempat itu. Anda masuk ke kamarnya dan
Anda menemukannya sudah meninggal. Percayalah, saya tahu. Berbahaya berbohong
pada saya. Berhati-hatilah, Mademoiselle Mirelle."
Mata Mirelle makin lama makin menurun lalu tertunduk.
"Sa - saya tidak - " Dia mulai dengan tak yakin, lalu berhenti.
"Hanya ada satu hal yang saya ragukan," kata Poirot. "Saya ingin tahu,
Mademoiselle, apakah Anda berhasil menemukan apa yang Anda cari ataukah - "
"Ataukah apa?" "Atau adakah orang yang sudah mendahului Anda?"
"Saya tidak akan mau menjawab pertanyaan-pertanyaan apa pun lagi," teriak penari
itu. Dilepaskannya dirinya dari tangan Poirot yang menahannya, lalu menjatuhkan
dirinya ke lantai seperti orang gila, dan berteriak-teriak serta tersedu-sedu.
Pelayannya yang ketakutan, terburu-buru masuk.
Hercule Poirot mengangkat bahunya, mengangkat alisnya, dan dengan tenang
meninggalkan kamar itu. Tetapi dia kelihatan puas.
Bab 30 NONA VINER MEMBERIKAN PENILAIAN
Katherine melihat ke luar dari jendela kamar tidur Nona Viner. Hari hujan, tidak
lebat, tetapi halus dan terus-menerus tanpa mau berhenti. Dari jendela itu kita
dapat melihat ke sebidang pekarangan depan dengan sebuah jalan setapak yang
menuju ke gerbang, yang diapit oleh galangan-galangan kecil ditanami bunga, di
mana bunga mawar, bunga kecil berwarna merah muda, dan hyacint biru kelak akan
bermekaran. Nona Viner sedang berbaring di sebuah tempat tidur besar model Victoria. Sebuah
nampan bekas sarapan disisihkannya dan dia sibuk membuka surat-suratnya sambil
memberikan komentar-komentar pendek tentang surat-surat itu.
Katherine sedang memegang sepucuk surat yang terbuka dan sedang membacanya untuk
kedua kalinya. Surat itu ditulis di Hotel Ritz, Paris.
"Mademoiselle Katherine yang baik," (begitu surat itu dimulai) - "Saya yakin
Anda dalam keadaan sehat walafiat, dan semoga dengan kembalinya Anda ke Inggris
yang sedang musim salju, tidak terlalu memasygulkan. Saya sendiri sedang giat
mengumpulkan petunjuk-petunjuk. Jangan sangka saya sedang berlibur di sini. Tak
lama lagi saya akan berada di Inggris, maka saya berharap akan bertemu lagi
dengan Anda. Bisa, bukan" Setiba di London, saya akan menulis surat pada Anda.
Anda ingat bahwa kita bekerja sama dalam perkara ini, bukan"
Saya yakin Anda tahu itu. Terimalah salam hormat saya yang erat.
Hercule Poirot" Katherine agak mengerutkan dahinya. Rasanya ada sesuatu dalam surat itu yang
menimbulkan pertanyaan dalam dirinya dan yang membuatnya tertarik.
"Ah, akan diadakan piknik oleh para anggota paduan suara gereja," kata Nona
Viner. "Tom Saunders dan Albert Dykes seharusnya ditinggalkan. Aku tidak akan
mendaftarkan diri kalau mereka ikut. Selalu yang tak pantas saja perbuatan
mereka berdua itu di gereja pada hari Minggu. Tommy menyanyikan sebaris lagu,
lalu tak mau lagi membuka mulutnya, dan Albert Dykes makan permen pedas -
penciumanku tak bisa ditipu."
"Saya tahu, mereka itu jahat sekali," Katherine membenarkan.
Katherine membuka surat yang kedua, dan pipinya tiba-tiba memerah. Suara Nona
Viner rasanya menjauh. Waktu kesadarannya kembali lagi pada sekelilingnya, Nona Viner sedang menutup
kisahnya yang panjang dengan sikap kemenangan.
"Lalu kukatakan padanya, 'Tak mengapa. Kebetulan Nona Grey itu saudara sepupu
Lady Tamplin sendiri.' Bagaimana pendapatmu?"
"Apakah Anda berjuang demi saya" Anda baik sekali."
"Boleh saja kautafsirkan begitu. Suatu gelar tak ada artinya bagiku. Biarpun dia
istri pendeta, perempuan itu memang brengsek. Dia menyindir bahwa kau telah
membayar suap supaya bisa diterima dalam masyarakat terkemuka."
"Mungkin dia tidak keliru."
"Padahal, lihatlah keadaanmu ini," sambung Nona Viner. "Apakah kau kembali dan
berlagak sebagai seorang wanita terkemuka, meskipun sebenarnya kau bisa berbuat
demikian" Tidak, kau tetap saja seperti dulu - berakal sehat, memakai kaus kaki
tebal yang baik, dan sepatu yang sehat. Baru kemarin aku berbicara dengan Ellen.
'Ellen,' kataku, 'lihat Nona Grey itu. Dia sudah bergaul dengan orang-orang yang
paling terkemuka, lalu apakah dia seperti kau, yang suka memakai rok di atas
lutut dan kaus kaki sutra yang mudah robek, serta sepatu yang sama sekali tak
masuk akal"'" Katherine tersenyum sendiri, rupanya ada baiknya dia menyesuaikan dirinya dengan
penilaian-penilaian Nona Viner. Wanita tua itu meneruskan bicaranya dengan
bersemangat. "Aku lega sekali bahwa kau tidak menjadi besar kepala. Beberapa hari yang lalu
aku membuka-buka guntingan-guntinganku. Aku menyimpan berita tentang Lady
Tamplin dengan rumah sakitnya dalam masa perang dan sebagainya, tapi aku tak
bisa menemukannya. Tolong carikan, Sayang - penglihatanmu lebih baik daripada
aku. Semuanya ada di dalam laci meja tulis."
Katherine melihat ke surat yang ada di tangannya, dan akan mengatakan sesuatu -
tetapi dibatalkannya sendiri, lalu pergi ke meja tulis, menemukan kotak berisi
guntingan-guntingan lalu mulai mencari. Sejak dia kembali ke St. Mary Mead, dia
amat mengagumi Nona Viner yang selalu tenang dan tabah. Dia merasa bahwa hanya
sedikit yang dapat diperbuatnya untuk sahabatnya yang tua itu, tetapi dari
pengalamannya dia tahu bahwa soal-soal kecil, besar artinya bagi orang-orang
tua. "Ini ada satu," katanya kemudian. "'Viscountess Tamplin, yang telah menjadikan
vilanya di Nice sebagai rumah sakit perwira, baru saja menjadi korban
perampokan, barang-barang perhiasannya dicuri. Di antaranya terdapat batu-batu
zamrud, yang merupakan barang warisan dari keluarga Tamplin.'"
"Ah, mungkin tiruan," kata Nona Viner. "Banyak perhiasan para wanita terkemuka
itu palsu." "Ini ada satu lagi," kata Katherine. "Sebuah fotonya. 'Sebuah foto dari
Viscountess Tamplin dengan putrinya Lenox.'"
"Coba kulihat," kata Nona Viner. "Wajah anak itu tak tampak jelas, ya" Tapi aku
yakin sebaiknya begitu. Di dunia ini, segala-galanya terbalik, ibu-ibu yang
cantik, anak-anaknya buruk sekali. Pasti tukang fotonya menyadari, sebaiknya
mengambil fotonya dari bagian belakang kepala anak itu saja."
Katherine tertawa. "'Salah seorang nyonya rumah yang paling menarik di Riviera dalam musim ini
adalah Viscountess Tamplin, yang mempunyai sebuah vila di Cap Martin. Saudara
sepupunya, Nona Grey, yang baru-baru ini telah mewarisi suatu kekayaan yang
berjumlah besar dengan cara yang romantis, sedang berada di tempat itu
sekarang.'" "Itu yang kucari," kata Nona Viner. "Kurasa sebuah fotomu dalam salah sebuah
surat kabar itu, sulit aku mengenalinya - kau kan tahu bagaimana foto-foto itu.
Nyonya Anu atau Tuan Itu, di tempat itu atau ini, biasanya membawa tongkat
dengan sebelah kakinya terangkat. Bagi orang lain sulit sekali melihat bagaimana
wajahnya." Katherine tak menjawab. Dia sedang melicinkan guntingan itu dengan tangannya,
dan wajahnya kelihatan heran bercampur kuatir. Lalu dikeluarkannya suratnya yang
kedua dari amplop. Dia berpaling pada sahabatnya.
"Nona Viner" Bagaimana ya - ada seorang teman saya, seseorang yang saya temui di
Riviera, yang ingin sekali mengunjungi saya kemari."
"Seorang laki-laki?" tanya Nona Viner.
"Ya." "Siapa dia?" "Dia sekretaris Tuan Van Aldin, jutawan Amerika itu."
"Siapa namanya?"
"Knighton. Mayor Knighton."
"Hm - sekretaris seorang jutawan. Ingin kemari. Dengar, Katherine, aku akan
mengatakan sesuatu demi kebaikanmu sendiri. Kau gadis baik-baik dan berpikiran
sehat, dan meskipun kau bijak dalam banyak hal, satu kali dalam hidupnya seorang
wanita tentu berbuat bodoh. Aku berani bertaruh bahwa yang dikejar laki-laki itu
adalah uangmu." Dia mengangkat tangannya untuk mencegah Katherine menjawab. "Aku sudah menyangka
hal semacam ini akan terjadi. Apalah seorang sekretaris jutawan itu"
Kebanyakannya adalah anak muda yang ingin hidup nyaman. Anak muda yang
bertingkah laku baik dan punya selera untuk kemewahan, tak punya otak dan tak
punya usaha - sedang pekerjaan yang lebih menyenangkan daripada menjadi
sekretaris jutawan adalah mengawini seorang gadis kaya untuk mendapatkan
uangnya. Aku tidak mau mengatakan bahwa kau tidak menarik bagi laki-laki. Tapi
kau sudah tak muda lagi - dan meskipun kulitmu halus, kau tidak pula cantik.
Jadi kuingatkan lagi, Katherine, jangan berbuat bodoh. Tapi kalau kau tetap saja
mau berbuat demikian, jagalah supaya uangmu terikat erat-erat di pinggangmu.
Nah, aku sudah selesai. Apa yang ingin kaukatakan?"
"Tak apa-apa," kata Katherine - "tapi keberatankah Anda kalau dia datang menemui
saya?" "Asal aku tak ikut bertanggung jawab," sahut Nona Viner. "Aku sudah melakukan
tugasku, dan apa pun yang terjadi sekarang adalah tanggung jawabmu sendiri. Kau
ingin mengajaknya makan siang atau makan malam" Aku yakin Ellen pasti bisa
mempersiapkannya - itu pun kalau dia tidak sedang bingung."
"Makan siang pun baik," kata Katherine. "Anda baik sekali, Nona Viner. Dia minta
supaya saya meneleponnya, jadi saya akan mengatakan padanya bahwa kita akan
merasa senang bila dia mau makan siang bersama kita. Dia akan datang bermobil
dari kota." "Ellen lumayan pandainya membuat bistik dengan tomat," kata Nona Viner. "Memang
tidak pandai benar, tapi lebih pandai daripada memasak yang lain-lain. Sebaiknya
jangan menyuguhkan kue tar, sebab dia tak pandai membuatnya. Tapi dia pandai
membuat puding, dan aku yakin kau bisa mendapatkan stilton yang enak di Toko
Abbot. Kudengar kaum pria suka stilton. Dan masih banyak anggur bekas ayahku
dulu, mungkin sebaiknya sebotol moselle yang berbuih-buih itu."
"Ah jangan, Nona Viner, itu tak perlu."
"Omong kosong, Anakku. Tak ada pria yang senang kalau tak disertakan anggur pada
waktu makan. Aku ada simpanan whisky dari sebelum perang, kalau kaupikir dia
lebih suka itu. Nah, lakukanlah apa yang kukatakan, dan jangan membantah. Kunci
kamar penyimpanan anggur ada dalam laci ketiga di bufet, dalam kaus kaki di
sebelah kiri." Dengan patuh Katherine pergi ke tempat yang ditunjukkan.
"Ingat, dalam kaus kaki yang kedua," kata Nona Viner. "Dalam kaus kaki yang
pertama ada anting-antingku yang berlian dan bros yang berukir."
"Oh," kata Katherine agak terkejut, "mengapa Anda tak menyimpannya di dalam
kotak perhiasan Anda?"
Nona Viner mendengus panjang dan kuat.
"Tentu tidak! Aku tidak begitu bodoh untuk berbuat demikian. Aduh, aku ingat
benar, ayahku yang malang menyuruh membuat sebuah tempat penyimpanan di lantai
bawah. Bukan main senangnya dia dengan hasil gagasannya itu, dan dia berkata
pada ibuku, 'Nah, Mary, berikan barang-barang perhiasanmu dengan kotaknya padaku
setiap malam, dan aku akan menguncinya untukmu.' Ibuku adalah seorang wanita
yang bijak sekali, dan dia tahu bahwa kaum pria suka keinginannya dituruti, dan
diberikannya pada Ayah kotak perhiasannya itu. Lalu pada suatu malam pencuri
masuk, dan tentulah - dan wajarlah - kalau yang pertama-tama mereka tuju adalah
tempat penyimpanan itu! Betapa tidak, ayahku telah mengobral cerita tentang
tempat penyimpanan itu ke seluruh kampung dan membangga-banggakannya seolah-olah
dia menyimpan semua intan berlian Nabi Sulaiman di situ. Mereka menyapu bersih
barang-barang kami, mereka ambil gelas-gelas besar bertutup, cangkir-cangkir
perak, dan piring emas yang diterima Ayah sebagai hadiah, dan tentu juga kotak
perhiasan ibuku." Dia mendesah mengenang. "Ayahku ribut sekali mengenai barang-barang perhiasan
ibuku, yang terdiri dari suatu perangkat perhiasan dari Venesia dan beberapa
buah yang berbatu cameo yang bagus. Ada pula yang berbatu koral yang berwarna
dadu pucat, dan dua buah cincin yang bermata berlian besar-besar. Kemudian, Ibu
menceritakan pada Ayah, bahwa dia sebenarnya telah menyimpan barang-barang
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhiasannya itu di dalam gulungan korsetnya, dan barang-barang itu masih aman
di situ." "Jadi kotak perhiasan itu kosong?"
"Oh, tentu tidak," kata Nona Viner, "kalau begitu kotak itu akan terlalu ringan.
Ibuku seorang wanita yang cerdas - hal semacam itu dicegahnya. Dalam kotak itu
disimpannya kancing-kancingnya. Kancing-kancing sepatu di wadah yang teratas,
kancing-kancing celana dalam wadah yang kedua, dan yang terbawah kancing-kancing
hias. Anehnya, ayahku jengkel sekali pada ibuku. Katanya, dia tak suka ditipu.
Ah, aku tak boleh berceloteh terus padamu, kau mau pergi menelepon temanmu itu.
Dan jangan lupa membeli sepotong daging bistik yang bagus, lalu katakan pada
Ellen supaya tidak memakai kaus kaki yang berlubang bila dia sedang melayani
kita makan nanti." "Siapa namanya sebenarnya, Ellen atau Helen, Nona Viner" Saya pikir - "
Nona Viner menutup matanya.
"Aku bisa saja mengucapkan huruf 'h' dengan jelas, Nak, tapi Helen itu bukan
nama yang cocok untuk seorang pembantu. Jengkel aku melihat ulah ibu-ibu dari
golongan rendah zaman sekarang ini."
Hujan telah reda waktu Knighton tiba di rumah itu. Sinar matahari yang redup
menyinari rumah itu, dan menyinari kepala Katherine hingga tampak mengkilap
waktu dia berdiri di ambang pintu untuk menyambut kedatangannya. Knighton
mendatanginya cepat-cepat, dia kelihatan kekanak-kanakan.
"Mudah-mudahan saya tidak menyusahkan Anda. Saya ingin cepat-cepat bertemu Anda
lagi. Saya harap teman tempat Anda tinggal, tidak berkeberatan."
"Mari masuk dan berkenalan serta bersahabat dengannya," kata Katherine. "Dia
bisa sangat menakutkan, tapi Anda akan segera mendapatkan bahwa hatinya lembut
sekali." Nona Viner duduk di ruang tamu utama seperti seorang ratu yang sedang
bersemayam. Dia memakai seperangkat perhiasan berbatu cameo yang terpelihara
dengan baik sekali dalam keluarga itu. Dia menyapa Knighton dengan anggun dan
sopan santun yang sempurna, yang akan melemahkan hati banyak laki-laki. Namun
Knighton punya sifat menarik yang tak mudah disisihkan - dan sepuluh menit
kemudian ternyata bahwa Nona Viner-lah yang mencair. Mereka makan dengan riang,
dan Ellen - atau Helen - yang memakai kaus kaki baru tanpa lubang, melayani
mereka tanpa cacat. Setelah itu Katherine dan Knighton pergi berjalan-jalan,
lalu mereka kembali untuk minum teh berduaan, karena Nona Viner telah masuk ke
kamarnya untuk berbaring.
Setelah akhirnya mobil Knighton pergi, Katherine naik ke lantai atas perlahan-
lahan. Terdengar suara memanggilnya, dan dia masuk ke kamar tidur Nona Viner.
"Sudah pergi tamumu?"
"Sudah. Terima kasih banyak karena telah mengizinkan saya mengajaknya kemari."
"Tak perlu berterima kasih padaku. Apakah kausangka aku ini seorang perempuan
tua yang kikir dan judes, yang tak pernah mau berbuat baik untuk siapa pun
juga." "Saya rasa Anda seorang yang amat saya sayangi."
"Huh," kata Nona Viner dengan lembut.
Waktu Katherine akan meninggalkan kamar itu, dipanggilnya lagi.
"Katherine?" "Ya." "Aku keliru mengenai anak muda temanmu itu. Seorang laki-laki, bila sedang
berusaha untuk mendekati seseorang bisa ramah sekali dan selalu siap membantu
serta penuh dengan puji-pujian tak berarti. Tapi bila laki-laki sedang benar-
benar jatuh cinta, mau tak mau dia jadi kelihatan setolol domba. Nah, setiap
kali laki-laki itu memandang ke arahmu, dia jadi seperti seekor domba. Kutarik
kembali semua perkataanku tadi pagi. Laki-laki itu bersungguh-sungguh."
Bab 31 TUAN AARONS MAKAN SIANG "Ah!" kata Tuan Joseph Aarons dengan nada memuji.
Dia menghirup minumannya lama-lama dari gelasnya yang besar, meletakkannya
sambil mendesah, menyeka busanya dari bibirnya, lalu memandang tuan rumahnya -
M. Hercule Poirot - yang duduk di hadapannya dengan berseri-seri.
Kata Tuan Aarons, "Beri saya sepotong daging bistik Porterhouse dan segelas
minuman yang bermutu, maka siapa pun boleh mengambil segala macam makanan dari
Prancis itu. Ya," ulangnya, "beri saja saya sepotong daging bistik Porterhouse."
Poirot yang baru saja memenuhi kesukaannya itu, tersenyum penuh pengertian.
"Bukan karena masakan daging bercampur ginjal itu tak enak," sambung Aarons.
"Kue tar apel" Ya, saya mau kue tar apel, terima kasih, Nona, dan segelas besar
krim." Mereka makan terus. Akhirnya, dengan mendesah panjang, Tuan Aarons meletakkan
sendok dan garpunya, lalu membalik-balik keju, baru kemudian menujukan
perhatiannya pada soal-soal lain.
"Ada urusan kecil kata Anda tadi, M. Poirot," katanya. "Kalau ada yang dapat
saya bantu, dengan segala senang hati."
"Anda baik sekali," kata Poirot. "Saya sering berkata sendiri, 'Bila kau ingin
tahu apa saja tentang hal ihwal drama, ada satu orang yang tahu segala-galanya
dalam hal itu, dan orang itu adalah sahabat lamaku, Tuan Joseph Aarons.'"
"Dan kata-kata Anda itu tak keliru," kata Tuan Aarons dengan tenang. "Entah
mengenai masa lampau, masa kini, atau masa depan, Joe Aarons-lah yang patut
didatangi." "Tepat. Sekarang saya ingin bertanya pada Anda, M. Aarons, apa yang Anda ketahui
tentang seorang wanita muda yang bernama Kidd."
"Kidd" Kitty Kidd?"
"Kitty Kidd." "Dia hebat sekali. Memainkan peran sebagai laki-laki, menyanyi dan menari - yang
itu?" "Ya, yang itu."
"Dia memang hebat sekali. Penghasilannya besar. Tak putus kontrak. Sering
memainkan peran sebagai laki-laki, tapi, dia tak bisa digolongkan pada aktris
drama." "Begitu yang saya dengar," kata Poirot - "Tapi akhir-akhir ini dia tidak lagi
muncul, bukan?" "Tidak. Dia tiba-tiba menghentikan segala-galanya. Dia menyeberang ke Prancis
dan hidup bersama seorang laki-laki ningrat yang terkemuka. Saya rasa sejak itu
dia sama sekali mengorbankan pentas."
"Berapa lama hal itu sudah berlalu?"
"Kira-kira tiga tahun yang lalu. Ketahuilah - khalayak ramai kehilangan dia."
"Pandaikah dia itu?"
"Pintar sekali."
"Tak tahukah Anda nama laki-laki yang menjadi temannya di Paris itu?"
"Laki-laki itu juga orang hebat, saya tahu itu. Dia seorang yang bergelar Count
- atau mungkin Marquis" Ya, sekarang saya ingat, dia adalah seorang Marquis."
"Dan sejak itu Anda tak pernah tahu tentang dia lagi?"
"Tidak. Bahkan bertemu secara kebetulan pun tak pernah. Saya rasa dia bepergian
terus ke pemukiman-pemukiman orang-orang asing. Maklumlah berteman seorang
Marquis. Kita tak bisa menandingi kehebatan Kitty. Dia bisa mempertontonkan
kehebatannya itu setiap saat."
"Saya mengerti," kata Poirot merenung.
"Saya menyesal tak bisa menceritakan lebih banyak, M. Poirot," kata Tuan Aarons
lagi. "Saya ingin membantu Anda kalau bisa. Anda pernah membantu saya."
"Oh, kita sekarang sudah seimbang dalam hal itu - Anda pun telah memberi saya
bantuan." "Jasa baik sepantasnya mendapat balasan, bukan," kata Tuan Aarons.
"Pekerjaan Anda ini pasti menyenangkan, ya?" kata Poirot.
"Lumayan," kata Tuan Aarons tanpa semangat. "Kalau dipikir-pikir keadaan saya
tidaklah buruk benar. Kita tak pernah tahu apa keinginan masyarakat kelak."
"Dalam tahun-tahun terakhir ini, tari-tarian yang menonjol," gumam Poirot
merenung. "Saya sendiri kurang suka balet Rusia, tapi orang-orang suka. Menurut saya
tarian itu terlalu terpelajar."
"Saya bertemu dengan seorang penari di Riviera - Mademoiselle Mirelle."
"Mirelle" Dia sedang populer. Uang mengalir terus pada gadis itu - tapi dia
memang pandai menari. Saya pernah melihatnya, dan saya pandai menilai. Saya
sendiri tak pernah berurusan dengan dia, tapi saya dengar sukar sekali bekerja
sama dengan dia. Dia sering marah-marah dan mengamuk."
"Ya," kata Poirot, "ya, saya rasa itu benar."
"Berdarah panas!" kata Tuan Aarons. "Ya, mereka sebut itu darah panas. Istri
saya juga seorang penari sebelum dia menikah dengan saya, tapi saya bersyukur
dia tidak berdarah panas. Kita tidak menginginkan darah panas itu dalam rumah
tangga, M. Poirot." "Saya sependapat dengan Anda; bukan tempatnya memang."
"Seorang wanita harus tenang dan simpatik, dan pandai memasak," kata Tuan
Aarons. "Mirelle itu belum lama muncul di pentas, bukan?" tanya Poirot.
"Baru kira-kira dua tahun setengah," kata Tuan Aarons. "Seorang bangsawan
Prancis yang menampilkannya pertama kali. Saya dengar dia sekarang berteman
dengan bekas Perdana Menteri Yunani. Orang begitu itu pandai menyisihkan uang
diam-diam." "Itu berita baru bagi saya."
"Oh, Mirelle itu tidak akan membiarkan kesempatan lewat begitu saja. Kata orang,
anak muda yang bernama Kettering itu sampai membunuh istrinya demi dia. Saya
tentu tak tahu benar-tidaknya. Tapi dia masuk penjara, dan si Mirelle harus
mencari yang lain lagi - dia memang pandai sekali dalam hal itu. Kata orang,
sekarang dia memakai permata delima sebesar telur burung dara - yah, saya sih
belum pernah melihat telur burung dara, tapi para pengarang selalu membuat
perbandingan begitu."
"Permata delima sebesar telur burung dara!" seru Poirot. Matanya menjadi hijau
dan seperti kucing. "Menarik sekali!"
"Saya mendengar berita itu dari seorang teman," kata Tuan Aarons. "Tapi, mungkin
saja itu hanya kaca berwarna. Kaum wanita sama saja - mereka tak pernah berhenti
berkisah tentang barang perhiasan mereka. Mirelle ke mana-mana membanggakan
bahwa permata-permata itu ada kutukannya. Kalau tak salah dia menyebutkan
namanya Heart of Fire."
"Tapi kalau saya tak salah," kata Poirot, "yang disebut Heart of Fire itu adalah
delima yang terikat di tengah-tengah seuntai kalung."
"Nah, benar bukan, kata saya bahwa kaum wanita tak sudah-sudahnya membual
tentang barang-barang perhiasan mereka" Yang dipakainya itu batu tunggal, pada
rantai emas platina. Tapi seperti saya katakan tadi, saya berani bertaruh bahwa
itu adalah kaca berwarna."
"Bukan," kata Poirot dengan halus, "bukan - saya tetap beranggapan bahwa itu
bukan kaca berwarna."
Bab 32 KATHERINE DAN POIROT MEMBANDINGKAN CATATAN
"Anda telah berubah, Mademoiselle," kata Poirot tiba-tiba. Dia sedang duduk
berhadapan dengan Katherine di meja kecil di Savoy.
"Sungguh, Anda telah berubah," sambungnya.
"Dalam hal apa?"
"Sukar mengatakannya, Mademoiselle."
"Saya sudah bertambah tua, tentu."
"Ya, Anda sudah bertambah tua. Tapi bukan maksud saya kerut-merut di wajah Anda
sudah banyak tampak. Waktu saya pertama kali bertemu dengan Anda, Anda merupakan
sekedar penonton dari kehidupan. Anda tak ubahnya seseorang yang duduk bersandar
di kursi penonton, menonton sandiwara dengan tenang dan senang."
"Dan sekarang?"
"Sekarang Anda tidak lagi sekedar menonton. Mungkin saya mengatakan sesuatu yang
tak masuk akal, tapi Anda kelihatan seperti seorang petinju yang sedang
menghadapi suatu pertandingan yang berat."
"Teman wanita tempat saya tinggal adalah seorang yang sulit," kata Katherine
sambil tersenyum, "tapi saya sama sekali tidak sering bertentangan dengan
beliau. Baiknya Anda sekali-sekali datang mengunjunginya, M. Poirot. Saya rasa
Anda akan menghargai keberanian dan semangat beliau."
Mereka diam sementara pelayan dengan cekatan menyuguhkan ayam goreng. Setelah
dia pergi, Poirot berkata, "Pernahkah Anda mendengar saya bercerita tentang
teman saya yang bernama Hastings" - Dia mengatakan bahwa saya ini manusia tiram.
Eh bien, Mademoiselle, saya menemukan pasangan yang sepadan dalam diri Anda.
Anda menangani persoalan seorang diri saja, saya bahkan tidak sampai begitu."
"Omong kosong," kata Katherine seenaknya.
"Hercule Poirot tak pernah omong kosong. Apa yang saya katakan itu kenyataan."
Keduanya diam lagi. Poirot memecahkan kesunyian itu dengan bertanya,
"Adakah Anda bertemu dengan salah seorang teman kita di Riviera dulu, sejak Anda
kembali, Mademoiselle?"
"Saya bertemu sebentar dengan Mayor Knighton."
"Ah-ha. Begitukah?"
Ada sesuatu dalam mata Poirot yang berkedip, membuat Katherine tertunduk.
"Jadi rupanya Tuan Van Aldin tinggal di London."
"Ya." "Saya harus mencoba menemuinya besok atau lusa."
"Apakah Anda menerima berita dari dia?"
"Mengapa Anda berpikiran begitu?"
"Saya - ingin tahu, hanya itu saja."
Poirot memandangi Katherine dengan mata bersinar.
"Nah, saya bisa melihat, Mademoiselle, banyak yang ingin Anda tanyakan pada
saya. Dan itu memang pada tempatnya. Bukankah urusan di Kereta Api Biru itu
merupakan roman kriminal kita berdua?"
"Memang ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada Anda."
"Eh bien?" Katherine mendongak dengan air muka yang tiba-tiba nekat.
"Apa yang Anda lakukan di Paris, M. Poirot?"
Poirot tersenyum kecil. "Saya menghadap ke Kedutaan Rusia."
"Oh." "Saya lihat hal itu tak berarti apa-apa bagi Anda. Tapi saya tak mau menjadi
manusia tiram. Tidak, saya akan membuka kartu, suatu hal yang pasti tak pernah
dilakukan oleh - tiram. Anda menduga, bahwa saya tak puas dengan perkara
terhadap Derek Kettering, bukan?"
"Itulah yang sedang saya pertanyakan. Saya sangka, waktu di Nice perkara itu
sudah selesai." "Anda tidak mengatakan apa yang sebenarnya Anda maksudkan, Mademoiselle. Tapi
baiklah saya akui semua. Sayalah - berkat hasil pemeriksaan sayalah - maka Derek
Kettering berada dalam penjara. Kalau bukan karena saya, Jaksa Pemeriksa pasti
masih berusaha terus untuk menangkap Comte de la Roche dan pasti gagal. Eh bien,
Mademoiselle, apa yang telah saya lakukan tidak saya sesali. Saya hanya punya
satu tugas - mencari kebenaran, dan jalan untuk itu langsung menuju ke arah Tuan
Kettering. Tapi apakah itu berakhir di situ" Polisi berkata ya, tapi saya,
Hercule Poirot, merasa tak puas."
Dia tiba-tiba berhenti. "Adakah Anda mendapatkan berita dari Nona Lenox akhir-
akhir ini, Mademoiselle?"
"Hanya satu kali, itu pun merupakan surat pendek yang tak ramah. Saya rasa dia
jengkel, karena saya kembali ke Inggris ini."
Poirot mengangguk. "Pada malam hari tertangkapnya M. Kettering, saya bercakap-cakap dengan dia.
Dalam banyak hal percakapan itu menarik."
Dia diam lagi, dan Katherine tidak mengganggu jalan pikirannya. "Mademoiselle,"
katanya akhirnya, "sekarang saya akan menyinggung soal yang peka. Saya rasa ada
seseorang yang mencintai M. Kettering. Katakan terus terang kalau saya salah -
dan untuk kepentingan orang itulah - ya - untuk kepentingan orang itu, saya
berharap semoga saya yang benar dan polisi salah. Anda tentu tahu siapa orang
itu." Diam sebentar, lalu Katherine berkata,
"Ya - saya rasa saya tahu."
Poirot menyandarkan tubuhnya ke meja supaya lebih dekat pada Katherine.
"Saya tidak puas, Mademoiselle. Semua bukti-bukti menuju langsung pada M.
Kettering. Tapi ada satu hal yang tak diperhitungkan."
"Apa itu?" "Wajah korban yang dirusak. Beratus kali saya bertanya pada diri sendiri,
Mademoiselle, apakah Derek Kettering itu orang yang mau memukul sampai hancur
setelah membunuh" Apa maksudnya" Tujuan apa yang ingin dicapainya" Apakah
perbuatan itu sesuai dengan temperamen M. Kettering" Dan jawab dari semua
pertanyaan itu sama sekali tidak memuaskan, Mademoiselle. Lagi-lagi saya
terbentur pada satu pertanyaan - 'mengapa"' Padahal itulah satu-satunya hal yang
bisa membantu saya untuk memecahkan masalah itu."
Dikeluarkannya buku sakunya lalu dikeluarkannya dari buku saku itu sesuatu yang
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipegangnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Ingatkah Anda, Mademoiselle" Bukankah Anda melihat saya mengambil rambut ini
dari selimut di kereta api?"
Katherine membungkuk, mengamat-amati rambut itu dengan teliti.
Poirot mengangguk beberapa kali.
"Menurut penglihatan saya, rambut ini tak ada artinya bagi Anda, Mademoiselle.
Padahal saya rasa Anda telah melihat banyak."
"Saya punya beberapa gagasan," kata Katherine lambat-lambat, "gagasan-gagasan
aneh. Sebab itu saya tadi bertanya apa yang Anda perbuat di Paris, M. Poirot."
"Waktu saya menulis surat pada Anda - "
"Dari Hotel Ritz?"
"Benar, dari Ritz. Saya kadang-kadang memang suka mewah - bila dibayarkan oleh
seorang jutawan." "Kedutaan Rusia," kata Katherine, sambil mengerutkan dahinya. "Saya tak bisa
melihat hubungannya."
"Memang tak ada hubungannya secara langsung, Mademoiselle. Saya ke sana untuk
mendapatkan informasi. Saya bertemu dengan seseorang dan saya mengancamnya -
sungguh, Mademoiselle, saya telah mengancamnya."
"Dengan polisi?"
"Tidak," kata Poirot datar, "dengan pers - senjata yang lebih mematikan."
Dia melihat pada Katherine dan Katherine tersenyum padanya, sambil menggeleng.
"Apakah Anda tidak kembali menjadi tiram lagi. M. Poirot?"
"Tidak, tidak - saya tak ingin membuat misteri. Dengar, akan saya ceritakan
segalanya. Saya mencurigai laki-laki itu sebagai pihak yang aktif mengambil
bagian dalam penjualan barang-barang perhiasan milik M. Van Aldin. Saya
mengancamnya dengan perbuatannya itu, dan akhirnya saya mendengar seluruh
kejadiannya dari dia. Dia memberitahukan di mana barang-barang perhiasan itu
diserahkan, dan saya juga jadi tahu tentang laki-laki yang berjalan hilir-mudik
di jalan - seorang laki-laki yang kepalanya aneh dan berambut putih, tapi yang
langkahnya ringan dan bergaya seperti orang muda - dan orang itu saya beri nama
dalam pikiran saya sendiri - nama itu adalah 'Marquis'."
"Dan sekarang Anda berada di London untuk bertemu dengan Tuan Van Aldin."
"Tidak semata-mata untuk itu. Saya ada kegiatan lain. Sejak berada di London,
saya telah bertemu dengan dua orang lain - seorang agen pertunjukan-pertunjukan
drama dan seorang dokter di Harley Street. Dari masing-masing orang itu saya
telah mendapatkan informasi pula. Coba Anda gabungkan semuanya itu,
Mademoiselle, dan lihat apakah Anda bisa menarik kesimpulan seperti saya."
"Saya?" "Ya, Anda. Akan saya katakan satu hal, Mademoiselle. Pikiran tertuju
pada satu hal yang meragukan, apakah perampokan dan pembunuhan itu dilakukan
oleh satu orang yang sama. Lama saya meragukan hal itu - "
"Dan sekarang?"
"Dan sekarang saya sudah tahu."
Keduanya diam. Lalu Katherine mengangkat mukanya. Matanya bersinar.
"Saya tak sepandai Anda, M. Poirot. Setengah dari yang Anda ceritakan itu
agaknya tak ada artinya bagi saya. Gagasan yang saya dapatkan, datang dari sudut
yang lain sekali - "
"Ah, memang selalu begitu," kata Poirot tenang. "Cermin selalu memperlihatkan
kebenaran tapi semua orang yang melihat ke cermin itu berdiri di tempat yang
berbeda-beda." "Gagasan saya mungkin tak masuk akal - mungkin sama sekali berbeda dari pikiran
Anda, tapi - " "Ya?" "Coba lihat, apakah ini bisa membantu barang sedikit?"
Poirot menerima guntingan surat kabar dari Katherine. Dibacanya, lalu dia
mengangkat kepalanya dan mengangguk dengan penuh kesungguhan.
"Seperti saya katakan tadi, Mademoiselle, orang berdiri dari sudut yang berbeda-
beda waktu melihat ke dalam cermin, tapi cerminnya sama dan yang terpantul dari
cermin itu pun sama pula."
Katherine bangkit. "Saya harus bergegas," katanya. "Saya harus mengejar kereta
api, M. Poirot - " "Ya, Mademoiselle."
"Jangan - jangan biarkan lebih lama ya. Sa - saya tak bisa tahan lebih lama."
Suara Katherine terputus.
Poirot menepuk tangannya untuk memberikan keyakinan.
"Besarkan hati, Mademoiselle, Anda sekarang tak boleh gagal - perkara ini sudah
mendekati akhirnya."
Bab 33 TEORI BARU "M. Poirot ingin bertemu Anda, Tuan."
"Terkutuk orang itu!" kata Van Aldin.
Knighton diam saja dan menunjukkan pengertiannya.
Van Aldin bangkit dari kursinya lalu berjalan hilir-mudik.
"Kau pasti sudah membaca surat-surat kabar terkutuk itu pagi ini, ya?"
"Saya hanya melihat sekilas saja, Tuan."
"Masih hangat terus berita itu."
"Rupanya begitu, Tuan."
Jutawan itu duduk kembali lalu menekankan tangannya ke dahinya.
"Kalau saja aku tahu akan begini jadinya," erangnya. "Demi Tuhan, aku tidak akan
pernah menyuruh orang Belgia kecil itu mengorek kebenaran dari peristiwa itu.
Pikiranku hanya satu - mencari pembunuh Ruth."
"Tuan tentu tak ingin menantu Tuan dibebaskan begitu saja?"
Van Aldin mendesah. "Aku lebih suka menangani hukum sendiri."
"Saya rasa itu tidak akan merupakan penyelesaian yang baik, Tuan."
"Bagaimanapun juga - benarkah orang itu akan bertemu denganku?"
"Benar, Tuan. Katanya mendesak sekali."
"Baiklah. Suruhlah dia masuk."
Poirot diantar masuk - dia segar dan ceria sekali. Dia seolah-olah tak melihat
ketidakramahan pada sikap jutawan itu, dan mengobrol dengan riang tentang
berbagai hal yang tak penting. Dijelaskannya, bahwa dia berada di London untuk
menemui dokternya. Disebutkannya nama seorang ahli bedah terkemuka.
"Bukan, bukan bekas tembakan dalam peperangan - ini suatu kenangan waktu saya
masih aktif dalam angkatan kepolisian, sebuah peluru dari seorang bandit."
Dia menunjuk pundak kirinya lalu benar-benar menyeringai.
"Saya selalu menganggap Anda seorang yang beruntung, M. Van Aldin. Anda tidak
seperti anggapan umum di sini mengenai jutawan-jutawan Amerika, yang tersiksa
gara-gara terlalu banyak makan."
"Saya cukup kuat," kata Van Aldin. "Saya hidup sederhana sekali, makan sederhana
dan tidak terlalu banyak."
"Anda pernah bertemu sebentar dengan Nona Grey, bukan?" tanya Poirot polos,
sambil menoleh pada sekretaris.
"Saya - ya, satu atau dua kali," kata Knighton.
Mukanya agak memerah dan Van Aldin berseru keheranan,
"Aneh, kau tak pernah mengatakan bahwa kau berjumpa dengan dia, Knighton."
"Saya sangka Anda tidak akan menaruh perhatian, Tuan."
"Aku suka sekali pada gadis itu," kata Van Aldin.
"Memang sayang sekali dia menguburkan dirinya lagi di St. Mary Mead itu," kata
Poirot. "Baik sekali dia berbuat demikian," kata Knighton sengit. "Sedikit sekali orang
yang mau menguburkan dirinya di tempat yang begitu untuk merawat seorang wanita
cerewet yang tak punya hak apa-apa atas dirinya."
"Saya tak bisa berkata apa-apa," kata Poirot, matanya agak berbinar. "Tapi
bagaimanapun saya tetap mengatakan bahwa itu sayang. Nah, sekarang, Tuan-tuan,
mari kita membicarakan urusan kita."
Kedua laki-laki lawan bicaranya memandangnya dengan heran.
"Saya harap Anda berdua jangan terkejut atau ketakutan mendengar apa yang akan
saya katakan ini. Seandainya, M. Van Aldin, ternyata M. Derek Kettering sama
sekali tidak membunuh istrinya?"
"Apa?" Kedua laki-laki itu terbelalak benar-benar keheranan.
"Kata saya, seandainya bukan M. Derek Kettering pembunuh istrinya?"
"Sudah gilakah Anda, M. Poirot?" kata Van Aldin.
"Tidak," kata Poirot, "saya tidak gila. Saya lain dari yang lain, mungkin - ada
orang berkata begitu; tapi kalau berhubungan dengan pekerjaan saya, saya betul-
betul mantap, kata orang. Saya ingin bertanya, M. Van Aldin, apakah Anda akan
senang atau menyesal, bila apa yang saya katakan tadi benar?"
Van Aldin hanya menatapnya saja.
"Tentulah saya akan senang," katanya akhirnya. "Apakah ini sekedar pengandaian
biasa saja, M. Poirot, atau apakah ada kebenarannya di baliknya?"
Poirot memandang ke loteng.
"Ada kemungkinannya," katanya dengan tenang, "bahwa rupanya memang Comte de la
Roche. Sekurang-kurangnya, saya telah berhasil membatalkan alibinya."
"Bagaimana Anda bisa berhasil?"
Poirot hanya mengangkat bahunya menunjukkan kerendahan hatinya.
"Saya punya beberapa metode sendiri. Saya gunakan sedikit kebijaksanaan,
ditambah dengan sedikit akal - dan berhasillah."
"Tapi permata-permata delima itu," kata Van Aldin, "permata delima yang ada pada
Comte itu bukankah palsu."
"Padahal jelas bahwa dia tidak akan melakukan kejahatan itu kalau bukan untuk
permata-permata itu. Tapi Anda tidak melihat satu hal, M. Van Aldin. Mengenai
permata-permata delima itu, mungkin sudah ada orang yang mendahuluinya."
"Itu teori yang benar-benar baru," seru Knighton.
"Apakah Anda benar-benar percaya akan semua omong kosong itu, M. Poirot?" tanya
jutawan itu. "Hal itu tidak dibuktikan," kata Poirot dengan tenang. "Itu memang hanya suatu
teori, tapi dengarlah, M. Van Aldin, kenyataan itu pantas diselidiki. Sebaiknya
Anda ikut saya ke Prancis Selatan dan pergi ke tempat kejadiannya."
"Apakah memang benar-benar perlu - maksud saya, memang perlukah saya pergi?"
"Saya rasa yang penting adalah, apakah Anda ingin ikut atau tidak," kata Poirot.
Nada bicaranya mengandung teguran - hal mana disadari oleh lawan bicaranya.
"Baik, baiklah," katanya. "Kapan Anda akan berangkat, M. Poirot?"
"Anda sekarang sedang sibuk, Tuan," sela Knighton.
Tetapi jutawan itu telah mengambil keputusan, dan keberatan yang diajukan
sekretarisnya ditolaknya.
"Kurasa urusan ini harus didahulukan," katanya. "Baiklah, M. Poirot, besok.
Kereta api apa?" "Saya rasa sebaiknya, kita pergi naik Kereta Api Biru," kata Poirot, lalu
tersenyum. Bab 34 SEKALI LAGI KERETA API BIRU
Kereta api yang kadang-kadang disebut 'Kereta Api Para Jutawan' itu, membelok di
sebuah tikungan dengan kecepatan yang membahayakan. Van Aldin, Knighton, dan
Poirot duduk diam-diam. Knighton dan Van Aldin mengambil dua buah kamar yang
berbatasan, sebagaimana yang ditempati Ruth Kettering dan pelayannya dalam
perjalanan yang menentukan dulu itu. Kamar Poirot sendiri terletak agak jauh di
gerbong itu. Perjalanan itu memilukan hati Van Aldin, karena membuatnya teringat kembali akan
kenangan yang sangat menyiksa. Poirot dan Knighton sekali-sekali bercakap-cakap
perlahan, supaya tidak mengganggunya.
Tetapi setelah kereta api menyelesaikan perjalanannya yang lambat mengitari
daerah luar kota Paris dan tiba di Gare de Lyon, Poirot tiba-tiba tersentak,
menjadi bersemangat. Van Aldin menyadari bahwa tujuan dari perjalanan itu antara
lain, usaha untuk merekonstruksi kejahatan itu. Poirot sendiri yang menjalankan
semua peranan. Dia berganti-ganti menjadi pelayan yang tergesa-gesa menutup
dirinya dalam kamar, menjadi Nyonya Kettering yang mengenali suaminya dan
terkejut serta cemas, dan kemudian menjadi Derek Kettering yang menemukan bahwa
istrinya sedang bepergian dengan kereta api yang sama. Dia mencobakan beberapa
kemungkinan, seperti cara yang terbaik untuk menyembunyikan diri dalam kamar di
sebelahnya. Kemudian rupanya dia mendapatkan suatu gagasan. Dia mencengkam lengan Van Aldin.
"Mon Dieu, saya tak terpikir akan hal itu! Kita harus menghentikan perjalanan
kita di Paris. Cepat, cepat, mari kita segera turun."
Sambil cepat-cepat mengambil kopor dia bergegas meninggalkan kereta api. Van
Aldin dan Knighton menyusulnya dengan keheranan, tetapi patuh. Van Aldin yang
sudah terlanjur mengakui kemampuan Poirot, tak mudah melepaskan pendiriannya.
Mereka ditahan di pagar rintangan. Karcis-karcis mereka masih ada pada kondektur
kereta api, suatu hal yang dilupakan oleh ketiganya.
Poirot memberikan penjelasan dengan cepat, lancar, dan tenang, namun semuanya
tak berkesan pada petugas yang berwajah kaku.
"Mari kita selesaikan soal ini," kata Van Aldin tiba-tiba. "Anda agaknya
tergesa-gesa, M. Poirot. Demi Tuhan, bayar saja lagi perjalanan dari Calais tadi
dan mari kita cepat-cepat melaksanakan apa yang ada dalam pikiran Anda."
Tetapi kata-kata Poirot yang mengalir itu tiba-tiba terhenti sama sekali, dan
dia kelihatan seperti orang yang berubah menjadi batu. Lengannya yang sedang
terentang untuk menyertai kata-katanya, tetap terentang seolah-olah terserang
lumpuh dalam keadaan itu.
"Tolol sekali saya," katanya. "Ma foi, saya jadi pelupa sekarang. Mari kita
kembali dan melanjutkan perjalanan kita dengan tenang. Kalau nasib kita baik,
kereta api belum akan berangkat."
Mereka hampir terlambat, kereta api sudah mulai bergerak waktu Knighton, yang
terakhir dari mereka bertiga, melompat naik dengan kopornya.
Kondektur memberi mereka teguran keras, dan membantu mereka membawa kembali
barang-barang bawaan mereka ke kamar. Van Aldin tidak berkata apa-apa, tapi
jelas kelihatan bahwa dia tak suka akan kelakuan Poirot yang aneh itu. Waktu dia
berduaan sebentar dengan Knighton, dia berkata,
"Ini namanya mengejar bayang-bayang. Orang itu sudah kehilangan pegangan. Dia
memang punya otak, tapi orang yang pelupa yang berlari kian kemari seperti
kelinci ketakutan, sama sekali tak ada gunanya."
Sebentar kemudian Poirot mendatangi mereka, dengan permintaan maaf yang tulus,
dan jelas sangat patah semangat, hingga dia tak perlu lagi diumpat dengan kata-
kata kasar. Van Aldin menanggapi permintaan maafnya dengan tenang, dan berhasil
menahan dirinya supaya tidak mengucapkan kata-kata yang pedas.
Mereka makan malam di kereta api, dan setelah itu Poirot membuat kedua teman
seperjalanannya terkejut lagi, waktu dia mengusulkan supaya mereka bertiga duduk
saja tanpa tidur, di kamar Van Aldin.
Jutawan itu melihat padanya keheranan.
"Apakah ada sesuatu yang Anda sembunyikan dari kami, M. Poirot?"
"Saya?" Poirot membelalakkan matanya tak mengerti. "Pikiran apa itu."
Van Aldin tidak menjawab, tetapi dia tak puas. Kondektur sudah diberi tahu
supaya dia tidak menyiapkan tempat tidur bagi mereka. Semua keheranannya
terhapus oleh persen besar yang diberikan Van Aldin padanya. Ketiga orang laki-
laki itu duduk berdiaman. Poirot gelisah dan kelihatan tak tenang. Akhirnya dia
berpaling pada sekretaris.
"Mayor Knighton, apakah pintu kamar Anda sudah dikunci" Maksud saya, pintu yang
menuju ke lorong." "Sudah, saya sendiri yang menguncinya tadi."
"Yakinkah Anda?" tanya Poirot.
"Biar saya pergi untuk meyakinkannya, kalau itu yang Anda ingini," kata Knighton
sambil tersenyum. "Tidak, jangan menyusahkan Anda. Biar saya sendiri yang melihatnya."
Dia melewati pintu penghubung dan sebentar kemudian kembali lagi, sambil
mengangguk. "Ya, memang benar kata Anda. Maafkan laki-laki tua cerewet ini." Pintu
penghubung ditutupnya dan dia duduk kembali di sudut sebelah kanan.
Waktu berlalu. Ketiga orang itu tertidur dengan nyenyak, dan tersentak bangun
dengan rasa tak nyaman. Mungkin tak pernah terjadi sebelumnya, bahwa ada tiga
orang yang telah memesan kamar bertempat tidur yang terdapat di kereta api yang
paling mewah, lalu menolak memanfaatkan kenyamanan yang telah mereka bayar.
Poirot sekali-sekali melihat ke arlojinya, lalu mengangguk dan mengatur duduknya
kembali untuk tidur lagi. Satu kali dia bangkit dari tempat duduknya lalu
membuka pintu penghubung, mengintip dengan tajam ke kamar yang di sebelahnya,
untuk kemudian kembali ke tempat duduknya sambil menggeleng.
"Ada apa?" bisik Knighton. "Apakah Anda mengharapkan sesuatu akan terjadi?"
"Saya gugup," Poirot mengaku. "Saya rasanya seperti duduk di atas bara. Suatu
bunyi yang kecil sekalipun membuat saya terkejut."
Knighton menguap. "Inilah perjalanan yang paling tak enak," gumamnya. "Saya harap saja Anda tahu
apa yang sedang Anda perbuat, M. Poirot."
Dia lalu mengatur duduknya sebaik-baiknya untuk tidur. Dia dan Van Aldin telah
tertidur nyenyak, ketika Poirot, setelah melihat ke arlojinya untuk keempat
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belas kalinya, membungkuk ke arah mereka lalu menepuk bahu jutawan itu.
"Eh" Ada apa?"
"Lima atau sepuluh menit lagi, kita akan tiba di Lyons."
"Oh, Tuhan!" Dalam cahaya yang samar itu tampak wajah Van Aldin putih dan letih.
"Jadi kira-kira jam sekian inilah, Ruth anakku malang, terbunuh."
Dia duduk menatap ke depan. Bibirnya tegang, pikirannya melayang kembali pada
tragedi mengerikan yang telah membuat hidupnya menjadi sedih.
Terdengar bunyi rem mendesah menderik panjang, dan kereta api mengurangi
kecepatan lalu masuk ke Lyons. Van Aldin menurunkan jendela lalu menjenguk ke
luar. "Seandainya bukan Derek - bila teori Anda itu benar, di sinilah laki-laki itu
turun dari kereta api, begitukah?" tanyanya sambil menoleh ke belakang.
Dia terkejut karena Poirot menggeleng.
"Tidak," kata Poirot. "tak ada laki-laki yang meninggalkan kereta api, tapi saya
pikir, seorang wanita yang turun."
Knighton menahan napas. "Seorang wanita?" tanya Van Aldin tajam.
"Ya, seorang wanita," kata Poirot sambil mengangguk. "Anda mungkin tak ingat, M.
Van Aldin, Nona Grey dalam kesaksiannya mengatakan bahwa seorang anak muda yang
bertopi pet dan bermantel turun ke peron, agaknya untuk meluruskan kakinya.
Menurut saya anak muda itu mungkin seorang wanita."
"Tapi siapa dia?"
Wajah Van Aldin menunjukkan rasa tak percaya, tetapi Poirot menyahut dengan
serius dan secara tertib,
"Namanya - Kitty Kid - itu nama yang sudah dikenal umum selama bertahun-tahun.
Tapi Anda, M. Van Aldin, mengenalnya dengan nama lain - yaitu Ada Mason."
Knighton berdiri dengan melompat.
"Apa?" teriaknya.
Poirot berbalik menghadapinya.
"Oh! - Sebelum saya lupa." Ditariknya sesuatu dari sakunya lalu
diperlihatkannya. "Izinkan saya menawarkan sebatang rokok - dari kotak rokok Anda sendiri. Anda
teledor, sampai barang ini jatuh waktu Anda naik ke kereta api ini di pinggiran
kota Paris." Knighton berdiri menatapnya seperti terbius. Lalu dia membuat suatu gerakan,
tetapi Poirot mengangkat tangannya, mengisyaratkan suatu peringatan.
"Jangan, jangan bergerak," katanya dengan suara halus sekali. "Pintu ke kamar
sebelah ini terbuka, dan Anda sedang dibayang-bayangi dari situ saat ini. Saya
telah membuka kunci pintu kamar yang menuju ke lorong waktu kita berangkat dari
Paris tadi, dan sahabat-sahabat kita, polisi, sudah diperintahkan untuk
mengambil tempatnya masing-masing. Saya rasa Anda pun menyadari, bahwa polisi
berhasrat besar untuk menangkap Anda, Mayor Knighton - atau haruskah saya
menyebut - M. Marquis?"
Bab 35 PENJELASAN "Penjelasan?" Poirot tersenyum. Dia sedang duduk berhadapan dengan jutawan di meja makan siang
di kamar pribadi jutawan itu di Negresco. Pria yang duduk di hadapannya itu
tampak lega tetapi tak mengerti. Poirot bersandar di kursinya, menyalakan
sebatang rokoknya yang kecil, dan menatap merenungi loteng.
"Ya, saya akan memberi penjelasan pada Anda. Dimulai dari satu titik yang
membuat saya tak mengerti. Tahukah Anda titik itu" Wajah yang dirusak. Adalah
soal biasa bahwa dalam menyelidiki suatu kejahatan timbul pertanyaan pertama,
yaitu soal pengenalan si korban. Itulah pula yang terjadi atas diri saya. Apakah
wanita yang meninggal itu benar-benar Nyonya Kettering" Ternyata wanita yang
meninggal itu memang benar Nyonya Kettering - kesaksian Nona Grey positif dan
sangat bisa dipercaya. Maka gagasan saya yang pertama saya kesampingkan saja."
"Kapan Anda pertama kali mulai mencurigai pelayan Ruth itu?"
"Beberapa lama saya tidak mencurigainya, tapi satu hal aneh menarik perhatian
saya ke arahnya. Kotak rokok yang ditemukan di gerbong kereta api dan yang
dikatakannya pada kita adalah pemberian Nyonya Kettering pada suaminya.
Keterangan itu jelas-jelas tak masuk akal, mengingat hubungan kedua suami istri
itu. Pernyataan itu menimbulkan keraguan dalam otak saya, mengenai kebenaran
semua pernyataan Ada Mason pada umumnya. Ada satu hal lagi yang agak
mencurigakan dan harus diingat benar, yaitu bahwa dia baru dua bulan bekerja
pada majikannya. Tentulah rasanya tak mungkin ada kaitannya dengan kejahatan itu
karena dia ditinggalkan di Paris dan beberapa orang melihat Nyonya Kettering
masih hidup sesudah itu, tapi - "
Poirot membungkukkan tubuhnya ke depan. Diangkatnya jari telunjuknya lalu
diguncangkannya kuat-kuat ke arah Van Aldin.
"Tapi saya seorang detektif yang baik. Itu perasaan saya. Tak seorang pun dan
tak satu pun yang tidak saya curigai. Tak satu pun yang diceritakan pada saya,
saya percayai. Saya berkata sendiri: bagaimana kita tahu bahwa Ada Mason memang
ditinggalkan di Paris" Dan mula-mula jawab dari pertanyaan itu memuaskan. Ada
kesaksian dari sekretaris Anda, Mayor Knighton - seorang orang luar - yang
kesaksiannya dapat dianggap sama sekali tak memihak, dan ada pula kata-kata yang
diucapkan wanita yang sudah meninggal itu pada kondektur kereta api. Tapi hal
yang terakhir ini saya kesampingkan dulu sementara, karena ada suatu gagasan
aneh - suatu gagasan yang mungkin hanya khayalan saja dan tak masuk akal -
sedang berkembang dalam pikiran saya. Bila gagasan itu benar, maka kesaksian itu
jadi tak berlaku. "Saya memusatkan pikiran saya pada rintangan utama teori saya, yaitu pernyataan
Mayor Knighton bahwa dia bertemu dengan Ada Mason di Ritz setelah Kereta Api
Biru berangkat dari Paris. Pernyataan itu kelihatannya cukup meyakinkan, namun
setelah mempelajari kenyataan-kenyataannya dengan seksama, saya mencatat dua
hal. Pertama, bahwa secara kebetulan yang sangat aneh, dia pun baru tepat dua
bulan bekerja pada Anda. Kedua, huruf awal namanya juga - 'K'. Seandainya -
seandainya saja - itu kotak rokok dia yang ditemukan di gerbong. Kemudian bila
Ada Mason dan dia bekerja sama, dan wanita itu mengenali barang itu waktu
ditunjukkan padanya, tidakkah dia akan bertindak tepat seperti yang telah
dilakukannya" Mula-mula karena sangat terkejut, dia cepat-cepat mengembangkan
suatu teori yang masuk akal, yang akan lebih memberatkan Tuan Kettering. Patut
dicatat bahwa itu bukan gagasan mereka semula. Comte de la Roche-lah yang semula
akan dijadikan kambing hitam, meskipun Ada Mason tidak akan mengenalinya dengan
terlalu meyakinkan, karena kuatir kalau-kalau Comte itu bisa mengemukakan alibi.
Bila Anda mau mengingat-ingat kembali ke waktu itu, Anda akan ingat sesuatu yang
menarik telah terjadi. Saya menekankan pada Ada Mason bahwa laki-laki yang
dilihatnya di kereta api bukan Comte de la Roche, melainkan Derek Kettering.
Pada saat itu dia tak yakin, tapi setelah saya tiba kembali di hotel saya, Anda
menelepon saya dan mengatakan bahwa dia mendatangi Anda dan berkata bahwa
setelah memikir-mikirkannya kembali, dia kini yakin benar bahwa laki-laki itu
memang benar Tuan Kettering. Saya memang sudah mengharapkan hal itu akan
terjadi. Hanya ada satu penjelasan mengenai keyakinan wanita itu yang mendadak.
Setelah meninggalkan hotel Anda, dia sempat membicarakannya dengan seseorang,
menerima instruksi, lalu bertindak berdasarkan instruksi itu. Siapa yang
memberinya instruksi itu" Mayor Knighton. Dan ada lagi satu titik kecil sekali,
yang mungkin tak ada artinya, tapi bisa juga berarti banyak. Dalam suatu
percakapan santai, Knighton pernah bercerita tentang suatu perampokan barang-
barang perhiasan di Yorkshire di sebuah rumah di mana dia sedang menginap.
Mungkin hanya suatu kebetulan - mungkin pula suatu mata rantai kecil lagi."
"Tapi ada satu hal yang saya tidak mengerti, M. Poirot. Saya rasa saya ini
kurang tanggap, sebab kalau tidak, saya tentu sudah mengerti sebelumnya. Siapa
sebenarnya laki-laki di kereta api di Paris waktu itu" Derek Kettering atau
Comte de la Roche?" "Itu sederhana sekali. Sama sekali tak ada laki-laki. Ah - tidakkah Anda
menyadari kepandaian mereka yang terkutuk itu" Siapakah yang berkata bahwa ada
laki-laki di kereta api" Tak lain, Ada Mason. Dan kita percaya pada Ada Mason
karena kesaksian Knighton yang mengatakan bahwa wanita itu telah ditinggalkan di
Paris." "Tapi Ruth sendiri juga telah mengatakan pada kondektur bahwa dia telah
meninggalkan pelayannya di Paris," Van Aldin mengemukakan keberatannya.
"Oh! Saya baru akan menjelaskan hal itu. Kita memang mendapatkan kesaksian
Nyonya Kettering itu, tapi sebaliknya, kita sebenarnya tidak mendapatkan
kesaksian itu, karena, M. Van Aldin, seorang wanita yang sudah meninggal tentu
tak bisa memberikan kesaksian. Itu bukan kesaksian dari Nyonya Kettering,
melainkan dari kondektur itu - jadi lain sekali persoalannya."
"Jadi menurut Anda laki-laki itu berbohong?"
"Tidak, sama sekali tidak. Dia mengatakan apa yang disangkanya memang benar.
Tapi wanita yang berkata padanya bahwa dia telah meninggalkan pelayannya di
Paris itu, bukan Nyonya Kettering."
Van Aldin menatapnya. "M. Van Aldin, Ruth Kettering sudah meninggal sebelum kereta api tiba di Gare de
Lyon. Ada Mason-lah yang mengenakan pakaian majikannya yang istimewa itu, yang
memesan keranjang berisi makan malam, dan yang memerlukan memberi tahu kondektur
tentang pelayannya itu."
"Tak mungkin!" "Tidak, tidak. M. Van Aldin - bukannya tak mungkin. Kaum wanita zaman sekarang
banyak yang serupa, hingga orang hanya mengenalinya dari pakaiannya saja, bukan
dari wajahnya. Ada Mason sama tingginya dengan putri Anda. Dengan mengenakan
mantel dari bulu binatang yang sangat mewah itu, dan topi berpolitur merah yang
kecil itu dipasang dalam-dalam sampai ke matanya, dengan hanya mengeluarkan
sedikit rambut berwarna merah kecoklatan di telinganya, tak heran kalau
kondektur itu sampai tertipu. Ingat, dia belum pernah berbicara dengan Nyonya
Kettering. Memang dia telah melihat pelayan itu sebentar waktu wanita itu
menyerahkan karcis mereka, tapi kesan yang didapatnya hanya seorang perempuan
kurus berpakaian hitam. Bila kondektur itu adalah laki-laki yang cerdas, mungkin
dia akan berkata bahwa majikan dan pelayan tak banyak berbeda, tapi sangat tak
mungkin dia berpikiran sejauh itu. Dan ingat pula, bahwa Ada Mason atau Kitty
Kid adalah seorang artis, yang pandai mengubah penampilannya dan nada suaranya,
dalam waktu singkat. Tidak, sama sekali tidak akan ada bahayanya bahwa kondektur
akan mengenali pelayan yang memakai pakaian majikannya itu, tapi akan ada
bahayanya kalau nanti kondektur disuruh mengenali jenazah. Dia mungkin akan
menyadari bahwa itu bukanlah wanita yang berbicara dengan dia malam sebelumnya.
Sekarang kita lihat alasan, mengapa wajah itu harus dirusak. Bahaya utama yang
ditakuti Ada Mason adalah kalau-kalau Katherine Grey mendatangi kamarnya lagi
setelah kereta api berangkat dari Paris, dan hal itu dicegahnya dengan cara
memesan makan malam dalam keranjang dan dengan mengunci dirinya dalam kamar."
"Lalu siapa yang membunuh Ruth - dan kapan?"
"Pertama-tama, ingat baik-baik bahwa kejahatan itu telah direncanakan dan
dilaksanakan oleh mereka berdua - Knighton dan Ada Mason yang bekerja sama. Pada
hari itu Knighton berada di Paris untuk urusan Anda. Dia naik kereta api di
suatu tempat sedang kereta api itu menjalani daerah pinggiran kota Paris. Nyonya
Kettering tentu heran melihatnya, tapi dia tidak curiga. Mungkin laki-laki itu
memancing perhatian wanita itu supaya dia melihat ke luar jendela, dan waktu
wanita itu menoleh, Knighton menjeratkan tali ke leher wanita itu - dan
selesailah pekerjaan itu dalam waktu singkat sekali. Pintu kamar terkunci dan
dia bersama Ada Mason mulai bekerja. Dibukanya pakaian luar wanita yang sudah
meninggal itu. Mason dan Knighton menggulung jenazah dalam sehelai selimut dan
ditaruh di tempat duduk di kamar sebelah di antara tas-tas dan kopor-kopor.
Knighton turun lagi dari kereta api, dengan membawa peti perhiasan yang berisi
permata delima itu. Karena kejahatan itu menurut perkiraan orang dilaksanakan
kira-kira dua belas jam kemudian, maka dia benar-benar aman. Dan kesaksiannya
diperkuat oleh kata-kata yang menurut persangkaan, diucapkan oleh Nyonya
Kettering pada kondektur, akan merupakan alibi yang sempurna pula bagi
komplotannya. "Di Gare de Lyon, Ada Mason menerima keranjang makan malamnya, dan dengan
mengurung dirinya dalam kamar, dia cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan
pakaian majikannya, dan memasang dua berkas rambut palsu berwarna merah
kecoklatan, lalu bersolek untuk menyamainya semirip mungkin. Waktu kondektur
datang untuk menyiapkan tempat tidur, dikatakannya tentang pelayannya yang
ditinggalkannya di Paris, sebagaimana yang sudah direncanakan! Sementara laki-
laki itu menyiapkan tempat tidur, wanita itu berdiri memandang ke luar jendela,
hingga punggungnya menghadap ke lorong kereta api, dan orang-orang yang lalu
lalang di sana melihatnya. Itu merupakan tindak penjagaan yang baik, karena
sebagaimana yang kita ketahui, Nona Grey adalah salah seorang yang lewat di situ
- dan dia sebagaimana juga beberapa orang yang lain, bersedia disumpah bahwa
pada jam itu Nyonya Kettering masih hidup."
"Teruskan," kata Van Aldin.
"Sebelum tiba di Lyons, Ada Mason membaringkan jenazah majikannya di tempat
tidur, melipat pakaiannya, lalu meletakkannya di ujung tempat tidur - dia
sendiri lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian laki-laki dan bersiap-siap
untuk turun dari kereta api tanpa diketahui orang. Segera setelah kondektur
turun di Lyons, dia pun menyusul, dan berlenggang seenaknya seolah-olah sedang
makan angin. Pada saat dia merasa tidak dilihat orang, dia cepat-cepat
menyeberang ke peron yang lain, dan naik kereta api pertama yang akan berangkat
ke Paris serta langsung ke Hotel Ritz. Di sana namanya sudah dicatatkan sejak
malam sebelumnya oleh salah seorang wanita lain anggota komplotan Knighton. Tak
ada yang perlu dilakukannya di sana kecuali menunggu dengan sabar kedatangan
Anda. Barang-barang perhiasannya tak ada padanya, baik waktu itu maupun
sekarang. Karena tak ada kecurigaan atas diri Knighton sebagai sekretaris Anda,
dibawanya barang-barang itu ke Nice, tanpa rasa takut sedikit pun juga akan
ketahuan. Penyerahan barang-barang itu di sana pada M. Papopolous sudah diatur,
dan pada saat-saat terakhir barang-barang itu dipercayakan pada Mason untuk
diserahkan pada orang Yunani itu. Keseluruhannya merupakan suatu perampokan yang
direncanakan secara apik, sebagaimana yang memang diharapkan dari seorang jagoan
dalam bidangnya seperti Marquis itu."
"Jadi Anda benar-benar yakin bahwa Richard Knighton itu seorang penjahat
terkenal, yang sudah bekerja bertahun-tahun?"
Poirot mengangguk. "Salah satu keuntungan laki-laki yang bernama Marquis itu adalah, sikap mencari
mukanya yang sempurna. Anda telah menjadi korban daya tariknya itu, M. Van
Aldin, waktu Anda menerimanya bekerja sebagai sekretaris Anda, setelah
mengenalnya begitu singkat."
"Saya berani sumpah bahwa dia tak pernah memancing untuk mendapatkan pekerjaan
itu," seru jutawan itu.
"Hal itu telah dilakukannya dengan cerdik sekali - demikian cerdiknya hingga
tertipulah seorang pria yang telah begitu banyak mengenal pribadi manusia,
seperti Anda." "Saya juga meneliti surat-surat keterangannya. Semuanya baik sekali."
"Ya, ya, itu merupakan bagian dari permainan itu. Sebagai Richard Knighton,
hidupnya memang tak bercacat. Dia lahir dari keluarga baik-baik, pernah mengabdi
dengan penuh kehormatan dalam perang, dan agaknya benar-benar tak bisa
dicurigai. Tapi waktu saya mengumpulkan informasi mengenai Marquis yang
misterius itu, saya menemukan banyak persamaan. Knighton berbahasa Prancis
seperti orang Prancis asli. Kehadirannya di Amerika, Prancis, dan Inggris selalu
bertepatan waktunya dengan waktu Marquis beroperasi. Yang terakhir terdengar,
Marquis berada di Swiss mendalangi beberapa perampokan barang-barang perhiasan,
dan di Swiss pula Anda bertemu dengan Mayor Knighton - dan kira-kira pada waktu
itu pulalah terdengar desas-desus bahwa Anda sedang dalam rangka pembelian
permata-permata delima yang terkenal itu."
"Tapi mengapa harus membunuh?" gumam Van Aldin terputus-putus. "Seorang pencuri
yang pandai tentu bisa mencuri barang-barang itu tanpa mempertaruhkan
keselamatan dirinya."
Poirot menggeleng. "Ini bukan pembunuhan pertama yang telah dilakukannya. Dia
punya naluri seorang pembunuh - dia juga selalu bekerja dengan tidak
meninggalkan jejak. Wanita dan pria yang sudah meninggal tidak akan bisa
berbicara. "Marquis itu punya hasrat besar sekali terhadap barang-barang perhiasan yang
terkenal dan bersejarah. Lama sebelumnya dia sudah mengatur rencana dengan
menempatkan dirinya sebagai sekretaris Anda dan menyuruh anggota komplotannya
untuk mendapatkan kedudukan sebagai pelayan pada putri Anda, karena dia sudah
menduga bahwa permata-permata itu Anda beli untuknya. Dan meskipun itu merupakan
rencananya yang sudah dipikirkannya dengan cermat, dia tak segan mengambil jalan
pintas lain dengan menyewa beberapa orang bajingan untuk mencegat Anda di Paris
pada malam hari Anda membeli permata-permata itu. Rencana itu gagal, hal mana
saya rasa tidak mengherankannya. Rencana yang satu ini, menurut dia, benar-benar
aman. Tak ada kecurigaan yang bisa dilemparkan atas diri Richard Knighton.
Tetapi sebagaimana biasanya orang-orang hebat - dan Marquis adalah seorang yang
hebat - dia punya beberapa kelemahan. Dia jatuh cinta setulus-tulusnya pada Nona
Grey. Dan karena menduga bahwa wanita itu mencintai Derek Kettering, dia tak
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat menahan godaan untuk menudingkan kejahatan itu pada pria itu, begitu
kesempatan untuk itu muncul. Dan sekarang, M. Van Aldin, akan saya ceritakan
sesuatu yang sangat aneh. Nona Grey sama sekali tak suka berkhayal, namun dia
yakin benar bahwa dia merasakan kehadiran putri Anda di sisinya pada suatu hari
di taman kasino di Monte Carlo, segera setelah dia berbicara panjang dengan
Knighton. Katanya dia yakin benar bahwa almarhumah mencoba dengan sekuat tenaga
untuk mengatakan sesuatu padanya, dan dia tiba-tiba menyadari bahwa apa yang
ingin dikatakan almarhumah adalah bahwa Knighton-lah yang membunuhnya! Pada saat
itu, gagasan itu seolah-olah terlalu diangan-angankan hingga Nona Grey tak mau
membicarakannya dengan siapa pun juga. Tapi dia yakin sekali akan kebenarannya,
hingga dia bertindak - meskipun kelihatannya tak masuk akal. Dia tidak mencoba
menghentikan usaha-usaha Knighton untuk mendekatinya, dan dia berpura-pura yakin
bahwa Derek Kettering bersalah."
"Luar biasa," kata Van Aldin.
"Ya, memang aneh sekali. Orang tak bisa menjelaskan soal-soal begitu. Lalu ada
satu hal lagi yang membuat saya sangat tercengang. Sekretaris Anda jelas pincang
- suatu akibat dari lukanya dalam perang. Sedang Marquis sama sekali tak
pincang. Itu merupakan suatu rintangan. Tapi, Nona Lenox Tamplin pada suatu hari
mengatakan bahwa ahli bedah yang menangani mayor itu di rumah sakit ibunya
merasa heran, mengapa dia pincang. Itu menimbulkan kesan penyamaran. Waktu saya
di London, saya mengunjungi ahli bedah tersebut, dan dia memberi saya beberapa
penjelasan terperinci, hingga saya menjadi yakin akan kebenaran kesan saya itu.
Saya menyebutkan nama ahli bedah itu di hadapan Knighton kemarin dulu.
Sebenarnya waktu itu, wajarnya Knighton mengatakan bahwa dia dirawat oleh dokter
itu juga dalam masa perang, tapi dia tidak berkata apa-apa - dan soal kecil itu
memberikan saya keyakinan terakhir bahwa teori saya tentang kejahatan itu,
memang benar. Nona Grey juga memberi saya guntingan surat kabar, yang
memberitakan tentang adanya perampokan di rumah Lady Tamplin waktu Knighton
berada di sana. Dia menyadari bahwa jalan pikiran saya sama dengan jalan
pikirannya, waktu saya menulis surat padanya dari Hotel Ritz di Paris.
"Saya menemukan kesulitan waktu mencari informasi di sana, tapi saya berhasil
mendapatkan apa yang saya ingini - yaitu bukti bahwa Ada Mason tiba di sana pada
pagi hari setelah kejahatan itu dan bukan pada malam sebelumnya."
Lama mereka diam, lalu jutawan itu mengulurkan tangannya di atas meja ke arah
Poirot. "Saya rasa Anda tahu apa artinya penyelesaian ini bagi saya, M. Poirot," katanya
dengan suara serak. "Besok pagi akan saya kirimkan cek pada Anda, tapi tak ada
cek di dunia ini yang mampu menyatakan bagaimana perasaan saya mengenai apa yang
telah Anda lakukan demi saya. Anda memang hebat, M. Poirot. Anda memang selalu
hebat." Poirot bangkit, dadanya membusung.
"Saya hanya seorang Hercule Poirot," katanya dengan rendah hati. "Ya, seperti
Anda katakan, saya orang besar dalam bidang saya, sebagaimana Anda pun seorang
yang besar pula. Saya senang dan puas telah bisa menolong Anda. Sekarang saya
harus membenahi barang-barang bekas perjalanan. Susahnya, pembantu saya, George
yang efisien itu tak ada di sini."
Di ruang tunggu hotel dia bertemu dengan seorang teman yang patut disegani - M.
Papopolous, bersama putrinya Zia.
"Saya sangka Anda sudah meninggalkan Nice, M. Poirot," kata orang Yunani itu
sambil menyambut salam persahabatan detektif itu.
"Saya terpaksa kembali karena ada urusan, M. Papopolous."
"Urusan?" "Ya, urusan. Dan berbicara soal urusan, saya harap kesehatan Anda sudah membaik,
Sahabat." "Jauh lebih baik. Kami bahkan akan kembali ke Paris besok."
"Saya senang mendengar berita baik itu. Saya harap Anda tidak menghancurkan
bekas Perdana Menteri Yunani itu."
"Saya?" "Saya dengar Anda sudah menjual sebuah permata delima yang bagus sekali padanya,
yang - antara kita berdua saja - dipakai oleh Mademoiselle Mirelle, penari itu?"
"Ya," gumam M. Papopolous. "Ya, memang benar."
"Sebuah delima yang tidak berbeda dari Heart of Fire yang terkenal itu."
"Ada kesamaannya tentu," kata orang Yunani itu seenaknya.
"Anda memang bertangan dingin dengan barang-barang perhiasan, M. Papopolous.
Saya ucapkan selamat. Mademoiselle Zia, saya merasa sedih Anda akan kembali ke
Paris begitu cepat. Saya berharap akan bisa bertemu lagi dengan Anda setelah
urusan saya selesai."
"Apakah saya lancang kalau bertanya apa urusan Anda itu?" tanya M. Papopolous.
"Sama sekali tidak. Saya baru saja berhasil menangkap Marquis."
Air muka M. Papopolous seolah-olah menatap jauh ke depan.
"Marquis?" gumamnya. "Mengapa rasanya tak asing nama itu bagi saya" Ah, tidak -
saya tak ingat." "Saya percaya, Anda tak ingat," kata Poirot. "Yang saya bicarakan itu adalah
seorang penjahat yang sangat ulung dan perampok barang-barang perhiasan. Dia
baru saja ditangkap karena membunuh Nyonya Kettering, seorang wanita Inggris."
"Benarkah" Menarik sekali!"
Mereka saling berpamitan dengan sopan, dan setelah Poirot jauh serta tak dapat
mendengar lagi, M. Papopolous berpaling pada putrinya.
"Zia," katanya dengan sengit, "laki-laki itu setan!"
"Aku suka padanya."
"Aku juga suka padanya," M. Papopolous mengakui. "Tapi dia tetap setan."
Bab 36 DI TEPI LAUT Musim bunga mimosa hampir berlalu. Baunya yang memenuhi udara, kurang enak.
Bunga geranium berwarna merah muda merambat di sepanjang langkan vila Lady
Tamplin, dan bunga anyelir yang banyak terdapat di bawah, menyebarkan bau harum
yang manis. Air Laut Mediterania, biru sekali. Poirot duduk di teras dengan
Lenox Tamplin. Laki-laki itu baru saja selesai menceritakan pada Lenox, kisah
yang diceritakannya pada Van Aldin dua hari yang lalu. Lenox mendengarkannya
dengan penuh perhatian dan asyik sekali, alisnya berkerut dan matanya murung.
Setelah dia selesai, Lenox hanya bertanya,
"Dan Derek?" "Dia dilepaskan kemarin."
"Dan dia sudah pergi - ke mana?"
"Dia berangkat dari Nice kemarin malam."
"Ke St. Mary Mead?"
"Ya, ke St. Mary Mead."
Keduanya diam. "Saya keliru mengenai Katherine," kata Lenox. "Saya sangka dia tak suka."
"Dia amat berhati-hati. Tak seorang pun dipercayainya."
"Dia sebenarnya bisa mempercayai saya," kata Lenox agak getir.
"Ya," kata Poirot dengan tenang, "dia sebenarnya bisa mempercayai Anda. Tapi
Mademoiselle Katherine itu sudah menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan
mendengarkan, dan orang-orang yang biasa mendengarkan, tak mudah berbicara.
Kesedihan-kesedihan dan kesenangan-kesenangannya disimpannya sendiri dan tidak
dikatakannya pada siapa pun juga."
"Saya bodoh," kata Lenox. "Saya sangka dia benar-benar suka pada Knighton.
Seharusnya saya tahu. Saya rasa, saya mengira demikian karena - yah, saya
berharap demikian." Poirot mengambil tangan Lenox, lalu meremasnya dengan sikap persahabatan.
"Besarkan hati Anda, Mademoiselle," katanya lembut.
Lenox memandang lurus-lurus ke laut, dan wajahnya yang kaku sejenak tampak
cantik namun menyedihkan.
"Ah, sudahlah," katanya akhirnya, "itu tidak akan terjadi. Saya terlalu muda
untuk Derek - dia itu seperti kanak-kanak yang tak pernah tumbuh. Dia suka pada
wanita model Madona."
Lama mereka tak berbicara, lalu Lenox tiba-tiba berpaling padanya. "Tapi,
bukankah saya telah memberikan bantuan, M. Poirot - bagaimanapun juga saya ada
membantu." "Benar, Mademoiselle. Andalah yang memberi saya bayangan kebenaran yang pertama
waktu Anda berkata bahwa orang yang melakukan kejahatan itu sama sekali tak
perlu berada di kereta api itu. Sebelum itu saya tak bisa mengerti bagaimana hal
itu dilakukan." Lenox menarik napas panjang.
"Saya senang," katanya. "Pokoknya - itu adalah sesuatu."
Dari kejauhan di belakang mereka terdengar bunyi peluit kereta api yang panjang
memekakkan. "Itu dia, Kereta Api Biru terkutuk itu," kata Lenox. "Kereta api memang sesuatu
yang tak punya tenggang rasa bukan, M. Poirot" Orang-orang dibunuh dan mati,
tapi kereta api terus juga melaju. Bicara saya omong kosong, tapi Anda tahu
maksud saya." "Ya, saya tahu. Kehidupan juga seperti kereta api, Mademoiselle. Dia berjalan
terus. Dan itu bagus."
"Mengapa?" "Karena kereta api pada akhirnya tiba di tempat tujuan, dan dalam bahasa Anda
ada pepatah mengenai hal itu, Mademoiselle."
"'Perjalanan berakhir setelah terjadi pertemuan cinta.'" Lenox tertawa. "Hal itu
tidak akan berlaku bagi saya."
"Ya - itu memang benar. Anda masih muda, lebih muda daripada yang Anda duga
sendiri. Percayalah pada falsafah kereta api itu, Mademoiselle, karena Tuhan
Yang Mahakuasa-lah yang mengemudikannya."
Peluit kereta api terdengar lagi.
"Percayalah pada falsafah kereta api, Mademoiselle," gumam Poirot lagi. "Dan
percayalah pada Hercule Poirot - karena dia tahu."
Sumber buku: I - (Trims, ya.)
Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Murka Penghuni Kubur 1 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Mister Tabib Siluman 2