Pencarian

Murka Penghuni Kubur 1

Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.
com/DuniaAbuKeisel
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Di sebuah tanah datar yang tak begitu luas di
salah satu bagian dari Hutan Seruni. Keheningan
mengekang sekitarnya. Sinar matahari yang panas
menyengat, seolah membuat binatang-binatang lebih suka bersembunyi di bawah
kerimbunan pohon.
Tepat di tengah tanah datar itu, terlihat se-
buah gundukan tanah yang memanjang, mirip se-
buah makam. Kelihatannya, memang tak ada yang
aneh dengan makam itu. Biasa saja sebagai mana
layaknya sebuah makam. Tapi....
Brolll! Mendadak saja, keanehan terjadi, makam itu
tahu-tahu ambrol menerbangkan tanah-tanah ke
segala arah. Seiring dengan itu, satu sosok bayangan putih melompat dari
dalamnya. "Hup!"
Ringan sekali sosok itu saat mendarat di sisi
tanah yang telah membentuk sebuah lubang.
Kini jelas, ternyata sosok bayangan putih itu
adalah seorang kakek tua renta yang sulit sekali di-tafsir umurnya. Rambutnya
yang putih kusut berse-
rakan di bahu. Tubuhnya yang kurus kering dengan
paras pucat pasi mirip mayat, terbungkus kain putih seperti kain kafan. Sekilas,
sosok kakek renta ini tak ubahnya seperti mayat bangkit dari kubur!
Sepasang matanya yang mencorong bak mata
serigala mendadak berkilat-kilat aneh beredar beringas ke sekitarnya. Mulutnya
mengeluarkan gerengan berulang-ulang.
"Keparat! Kenapa Empat Iblis Merah tak men-
girimi ku kembang" Kenapa mereka tak menyiram-
kan air ke atas makamku?" desis kakek renta yang sebenarnya Penghuni Kubur ini
beringas. "Tak seharusnya mereka ceroboh. Bodoh! Pasti ada sesuatu
yang kurang beres...." (Untuk mengetahui siapa Penghuni Kubur, silakan baca
episode: "Titisan Alam Kegelapan" dan "Tapak Merah Darah").
Kembali kakek renta ini mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling. Napasnya memburu. Kedua
pelipisnya bergerak-gerak seperti hendak melam-
piaskan kemarahannya.
"Bajingan! Kalau mereka melalaikan tugas,
kubunuh mereka semua!"
Penghuni Kubur tak ingin membuang-buang
waktu. Segera kakinya menghentak tanah, sehingga
tubuhnya berkelebat cepat ke selatan. Gerakan ke-
dua kakinya seperti biasa saja. Tapi dalam beberapa kelebatan saja, sosoknya
yang tinggi kurus telah
menghilang di balik kerimbunan hutan depan sana.
Hal ini saja sudah membuktikan kalau ilmu
meringankan tubuh Penghuni Kubur yang sebenar-
nya salah satu momok dunia persilatan itu benar-
benar telah mencapai tingkat tinggi. Dan tentu saja kemunculannya akan
menggemparkan dunia persilatan!
* * * Penghuni Kubur tiba di bagian lain di sekitar
Hutan Seruni, tepatnya di sebuah tempat yang telah porak poranda. Lelaki tua ini
yakin di tempat itu telah terjadi pertarungan dahsyat tokoh-tokoh tingkat
tinggi. Berpikir sampai di situ, jantungnya jadi ber-
degup keras. Perasaan tak enak mulai menghantui
benaknya. Sejenak pandangannya beredar ke seke-
liling. Dan....
"Heh..."!"
Sepasang mata Penghuni Kubur yang menco-
rong beringas kontan membeliak liar dengan hati
terkejut saat matanya tertumpuk pada empat gun-
dukan tanah tak jauh dari tempatnya berdiri yang
tampak belum begitu lama digali. Gundukan-
gundukan tanah itu masih lembek, belum padat se-
perti kuburan yang sudah berusia tua.
Penghuni Kubur menggeram penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang beringas seolah terpa-
ku pada tulisan di papan nisan keempat gundukan
tanah merah itu. Di sana tertulis....
Makam Bajing-bajing Merah dari Hutan Seruni!
"Setan alas! Siapa yang melakukan semua
ini?" Sulit dibayangkan betapa murkanya Penghuni Kubur saat itu. Rupanya adik-
adik seperguruannya
yang dipercaya mengurus makamnya, telah tewas.
Pantas saja mereka tidak pernah mengirim kembang
dan air untuk menambah kesaktiannya. Sehingga,
memaksa Penghuni Kubur harus keluar dari tempat
yang selama ini digunakan untuk memperdalam il-
mu hitam yang tengah dipelajarinya.
"Aku harus menuntut balas! Siapa pun juga
yang berani membunuh adik-adik seperguruanku,
harus bertanggung jawab. Biarpun mereka lari ke
liang lahat sekalipun! Pembunuh adik-adik seperguruanku harus modar di
tanganku!" ancam Penghuni Kubur. Disertai dengusan sarat kemarahan, Penghu-
ni Kubur tiba-tiba menghentakkan kakinya ke ta-
nah. Blup! Brolll! Dahsyat sekali. Saat itu juga empat gundukan
tanah yang merupakan kuburan Empat Iblis Merah
kontan berhamburan tinggi ke udara. Bersamaan
dengan itu, dari dalam makam terlontar empat so-
sok bayangan merah.
Buk! Buk! Buk! Buk!
Hebat bukan main tenaga dalam bangkotan
tua satu ini. Hanya sekali menghentakkan kaki ka-
nannya, gundukan tanah itu berhamburan ke uda-
ra. Bahkan empat jasad itu seolah seperti diatur, saat berjatuhan secara
berdampingan ke tanah.
Empat jasad itu tak lain tak bukan adalah mayat Iblis Buntung, Iblis Buta, Iblis
Tuli, dan Iblis Gagu!
Dada Penghuni Kubur bergerak turun naik.
Rahangnya menggembung menyiratkan kemarahan
menggelegak. Empat sosok mayat itu dipandanginya
dengan sepasang mata mencorong beringas!
"Aku harus mengetahui siapa pelaku pembu-
nuhan ini...," desisnya, menggiriskan.
Penghuni Kubur melompat ke arah empat
mayat adik seperguruannya. Ia langsung berjong-
kok, meneliti mayat-mayat itu dengan seksama.
Penghuni Kubur mendesis. Ia tahu, sekujur tubuh
mayat itu menderita luka parah. Tubuh dan kepala
mereka hancur tak karuan.
"Hm...! Tampaknya pelaku pembunuhan ini
bukan satu orang. Bekas-bekas luka di sekujur tu-
buh membuktikan kalau adik-adik seperguruanku
terkena senjata tumpul. Mungkin terkena gebukan
tongkat atau bisa jadi senjata tumpul lainnya."
Penghuni Kubur terus meneliti mayat keem-
pat orang adik seperguruannya lebih seksama. Tan-
gannya meraba-raba ke bagian-bagian tubuh mere-
ka satu persatu.
"Jahanam! Kalau tak salah, ada beberapa pu-
kulan maut yang melukai adik-adik seperguruanku
hingga tewas. Satu di antaranya adalah pukulan
Tongkat Penggebuk Iblis. Dan... pukulan 'Tenaga Inti Bumi'! Jahanam! Pukulan
yang terakhir inilah yang sebenarnya membuat adik-adik seperguruanku
menderita luka dalam hebat. Bahkan mungkin seka-
ligus merenggut nyawa mereka. Apakah tua bangka
dari Gunung Bucu itulah pelakunya...?"
Penghuni Kubur termenung beberapa saat.
Keningnya berkerut-kerut.
"Jahanam! Siapa lagi pelakunya kalau bukan
tua bangka keparat itu! Hm...! Aku harus menuntut balas. Aku harus membuat
perhitungan dengan
orang-orang yang berani mencelakakan adik-adik
seperguruanku. Kamasetyo...! Kau harus bertang-
gung jawab atas perbuatanmu! Juga, orang-orang
Perguruan Pring Sewu. Mereka pun harus bertang-
gung jawab. Siapa lagi di dunia persilatan ini yang memiliki pukulan 'Tongkat
Penggebuk Iblis' kalau bukan orang-orang Perguruan Pring Sewu" Tunggu-lah
pembalasanku. Ratu Pring Sewu! Dua Orang Tua
Aneh Putih Kelabu! Juga kau, Kamasetyo! Kalian
semua harus modar di tanganku!" (Untuk lebih jelasnya harap baca episode :
'Tapak Merah Darah").
Penghuni Kubur tak tahan lagi menahan gele-
gak amarahnya yang seperti hendak memecahkan
kepala. Sepasang matanya jadi kian nyalang mem-
perhatikan sekeliling. Geramannya terdengar bak
banteng terluka. Sebelum geramannya tuntas, ka-
kinya telah menghentak kuat-kuat.
Brasss! Saat itu pula tercipta lubang besar bekas pi-
jakan kaki Penghuni Kubur. Tanah-tanah merah
berhamburan tinggi ke udara, bergulung-gulung
memenuhi tempat itu. Ketika gulungan-gulungan
merah dari tanah yang berhamburan itu sirna, so-
sok Penghuni Kubur telah menghilang entah ke ma-
na. 2 Suasana duka masih menyelimuti Perguruan
Pring Sewu. Kira-kira sepuluh hari sejak peristiwa di Hutan Seruni, banyak murid
Perguruan Pring Sewu
yang merasa kehilangan. Hampir separo dari jumlah mereka tewas di tangan Empat
Iblis Merah dari Hutan Seruni. Keadaan ini jelas membuat sisa-sisa murid Ratu
Pring Sewu amat terpukul, dan nyaris kehilangan kepercayaan diri.
Dan bahkan apa yang dialami Mawarni, ma-
lah jauh lebih menderita dibanding saudara-saudara seperguruan lainnya. Berhari-
hari satu-satunya murid wanita kesayangan Ratu Pring Sewu terus me-
nyesali nasibnya yang malang. Menyesali kesucian-
nya yang hilang direnggut Iblis Tuli dan Iblis Gagu.
Apalagi yang harus diharap" Tak ada. Masa
depannya telah hancur. Penyesalan demi penyesalan terus menghantui hati Mawarni.
Seolah tak ada semangat lagi untuk hidup. Malah segala kata-kata
menghibur diri mulut gurunya tak mampu mem-
bangkitkan semangatnya. Untung saja pada saat-
saat Mawarni dirundung keputusasaan, seorang ka-
kak seperguruannya yang sejak lama mencintainya
berhasil membujuknya. Namanya Gandrik. Meski
tahu kalau Mawarni telah ternoda, namun cinta pe-
muda itu tak pernah pudar. (Untuk mengetahui apa
yang telah dialami Mawarni beserta murid-murid
Perguruan Pring Sewu lainnya, harap baca episode
"Tapak Merah Darah").
Mendapat cinta Gandrik yang begitu tulus,
Mawarni mulai dapat melupakan penderitaannya.
Bahkan kini tampak mulai berubah. Wajahnya yang
cantik mulai berseri-seri bila sedang bercakap-cakap dengan Gandrik, maupun
kakak-kakak seperguruan
lainnya. Siang itu, ketika panas matahari memang-
gang bumi, Mawarni berlari-lari kecil mendekati pos penjagaan di depan pintu
gerbang Perguruan Pring
Sewu. Hatinya terasa berbunga-bunga saat akan
menemui pemuda idamannya yang tengah berjaga di
pos depan. "Kakang...! Kau dipanggil Guru," ujar Mawarni dengan napas terengah-engah.
"Ada apa Guru memanggilku, Mawarni?"
tanya Gandrik heran.
Dua orang murid lain yang juga sedang berja-
ga-jaga di pos depan sejenak memperhatikan gadis
cantik berpakaian serba kuning di hadapannya. He-
ran. "Tidak tahu, Kang," Mawarni mengangkat kedua bahunya.
"Hm...!" Gandrik mengangguk-angguk. Entah
apa yang tengah terlintas dalam benak pemuda ga-
gah yang juga berpakaian serba kuning itu. "Baiklah. Aku akan segera menemui
Guru. Maaf, Teman-
teman! Terpaksa aku harus meninggalkan kalian."
"Pergilah!" sahut salah seorang murid seraya menggedikkan kepala.
"Terima kasih."
Gandrik melangkah keluar dari pos penja-
gaan. Senyum manisnya sempat tersungging di bibir saat pandangannya bertatapan
dengan mata Mawarni. Mawarni tersipu. Dadanya berdebar keras
mendapati senyum pemuda tampan di hadapannya.
"Ayo!" ajak Gandrik membuyarkan keterpa-naan Mawarni.
Tanpa banyak cakap si gadis segera melang-
kah di samping Gandrik. Sesekali matanya melirik
pemuda tampan di sampingnya, seraya terus me-
nyusuri halaman depan Perguruan Pring Sewu. Saat
melirik tadi, sekilas terlihat adanya ketegangan yang terpancar di wajah
Gandrik. "Tampaknya ada sesuatu yang sedang kau pi-
kirkan, Kang?" duga Mawarni mengusik kegelisahan Gandrik.
"Hm...! Benar," sahutnya mendesah.
"Apa, Kang?" cecar Mawarni.
"Bukan apa-apa. Hanya aku heran. Tak bi-
asanya guru memanggilku kalau tidak ada satu ke-
perluan yang amat mendesak. Apa kau tahu, apa
yang akan dibicarakan Guru, Mawarni?" Mawarni menggeleng. Gandrik menghela napas
sesak. "Jangan-jangan Guru sudah mengetahui hubungan kita,
Mawarni. Apa kau tak keberatan untuk menjadi is-
triku bila Guru menanyakannya?"
"Aku.... Aku...! Te... terus terang aku sulit sekali untuk menjawab iya. Aku
justru takut akan
mengecewakanmu. Ingat, Kang! Aku sudah tak suci
lagi. Baiknya, pikirkan baik-baik kalau kau ingin menikahiku, Kang," sahut
Mawarni, sekaligus ingin melihat kesungguhan Gandrik.
"Jangan ucapkan itu, Mawarni! Apa pun kea-
daanmu, aku tetap akan menikahimu," tegas Gandrik. "Sebenarnya aku sudah tahu,
Kang. Guru memang ingin menanyakan hal ini padamu. Apa kau


Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersungguh-sungguh ingin menikahiku atau tidak?"
Mendadak Gandrik menghentikan langkah.
Pandang matanya berbinar-binar, seolah tak percaya dengan kata-kata Mawarni.
"Sudahlah, Kang! Aku tahu apa yang ingin
Kakang ucapkan," kata Mawarni mendahului Gandrik yang hendak membuka suara.
"Hm...! Baiklah!"
Gandrik dan Mawarni kembali meneruskan
langkah menyusuri halaman depan Perguruan Pring
Sewu. Mulut mereka terkunci. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka.
Kedua anak muda itu langsung saja mema-
suki pendopo Perguruan Pring Sewu. Begitu tahu di ruangan Ratu Pring Sewu
ternyata memang tengah
menunggu kedatangan mereka. Sosoknya yang ku-
rus kerempeng terbalut pakaian warna kuning tam-
pak kelihatan lemah tak bertenaga. Rambutnya riap-riapan menutupi sebagian
wajahnya yang penuh ke-
riput. Sambil memegangi tongkat bambu kuning di
tangan kanan, sejenak diperhatikannya kedua orang
muridnya itu. "Aku datang menghadap, Guru. Ada hal apa
sehingga Guru memanggilku?" tanya Gandrik begitu tegak di hadapan gurunya.
"Duduklah!"
Gandrik dan Mawarni segera bersimpuh di
hadapan Ratu Pring Sewu. Wajah mereka sama-
sama tertunduk diam, menekuri lantai. Resah me-
nunggu apa yang ingin diucapkan Ratu Pring Sewu.
"Gandrik! Dan kau, Mawarni. Akhir-akhir ini
kulihat hubungan kalian makin akrab. Apa kalian
bersungguh-sungguh" Aku ingin mendengar jawa-
ban kalian. Terutama kau, Gandrik!" buka Ratu Pring Sewu, langsung.
"Aku bersungguh-sungguh, Guru. Bahkan ka-
lau, Guru mengizinkan, aku ingin sekali me...."
"Yayaya...! Aku sudah tahu," sela Ratu Pring Sewu. "Tapi, tentunya kau sudah
tahu keadaan Mawarni, bukan" Apa kau tak kecewa" Apa kau tak
menyesal menikahi seorang gadis yang tak suci la-
gi?" "Tidak, Guru. Apa pun keadaan Mawarni, niatku tak pernah goyah. Guru."
"Bagus! Kalau begitu, kiranya tak ada lagi
yang patut dibicarakan. Aku senang sekali memiliki murid macam kau, Gandrik.
Hari ini juga, aku me-restui perk...."
Mendadak Ratu Pring Sewu menghentikan
ucapannya dengan kening berkerut. Sepasang ma-
tanya yang kelabu berkilat-kilat penuh kemarahan
saat mendengar suara ribut-ribut dan pekik-pekik
kesakitan yang datang dari halaman depan pergu-
ruan. "Siapa lagi yang membuat onar dipergurua-
nku...!" desis Ratu Pring Sewu.
Tanpa diperintah, Gandrik dan Mawarni sege-
ra meloncat bangun dan mengintai apa yang tengah
terjadi di halaman depan perguruan. Ternyata di
luar sana memang terlihat seorang kakek renta dengan tubuh terbalut pakaian
kafan tengah mengamuk
hebat menghantam murid-murid Perguruan Pring
Sewu. Bahkan tak kurang dari lima orang murid te-
was dengan cara amat mengerikan.
"Guru...! Ada seseorang yang tengah menga-
muk di perguruan kita," teriak Gandrik kepada gurunya. Namun manakala kepalanya
berpaling ke be-
lakang, ternyata Ratu Pring Sewu sudah tak berada di tempatnya lagi.
Gandrik dan Mawarni tahu, gurunya telah
melompat keluar melalui jendela. Tanpa banyak pi-
kir panjang, sepasang anak muda itu segera melom-
pat ke luar. "Bagus! Rupanya kau sudah menampakkan
batang hidungmu, Ratu Pring Sewu!" bentak seorang kakek berpakaian kain kafan
yang baru saja menu-runkan tangan maut terhadap murid-murid Pergu-
ruan Pring Sewu. Sepasang matanya yang menco-
rong bak sepasang mata serigala terus memandang
tajam Ratu Pring Sewu.
Ketua Perguruan Pring Sewu menggeretakkan
gerahamnya penuh kemarahan. Ekor matanya yang
tajam sempat melirik ke arah lima orang muridnya
yang telah menemui ajal dengan cara mengenaskan.
Tiga orang tewas dengan isi perut memburai keluar.
Dua orang lainnya tewas dengan kepala pecah.
"Siapakah tua bangka satu ini. Guru" Kenapa
ia begitu telengas membantai saudara-saudara se-
perguruanku?" tanya Mawarni dengan tubuh menggigil saking ngerinya melihat mayat
kelima orang kakak seperguruannya.
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Kedua peli-
pisnya bergerak-gerak pertanda tak dapat lagi mengendalikan gelegak amarahnya.
"Lancang benar kau, Penghuni Kubur! Tak
seharusnya kau bunuh murid-muridku kalau ingin
berurusan denganku!" desis Ratu Pring Sewu, penuh kegeraman.
"Ha ha ha...!"
Lelaki tua yang memang Penghuni Kubur ter-
tawa bergelak. Namun anehnya, kedua bibirnya
yang kepucatan sama sekali tak bergerak-gerak! Tawanya pun seperti suara-suara
setan yang tengah
berpesta pora di liang lahat!
"Salah sendiri, kenapa murid-muridmu berani
kurang ajar terhadapku"!" tukas Penghuni Kubur tetap dengan kedua bibir tak
bergerak-gerak.
"Kurang ajar! Sebenarnya apa urusanmu
hingga susah payah mencariku kemari, he"!"
"Jangan banyak bacot! Sekarang, akui saja
kalau kau serta murid-muridmu dan dua saudara
seperguruanmu telah membunuh Empat Iblis Me-
rah, bukan?" balas Penghuni Kubur garang. "Karena, siapa lagi yang memiliki
pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' kalau bukan kau dan dua saudara se-
perguruanmu!"
"Benar! Memang aku dan saudara-saudara
seperguruankulah yang memiliki pukulan 'Tongkat
Penggebuk Iblis'" Dan memang, sudah sewajarnya
kalau manusia-manusia berhati iblis macam Empat
Iblis Merah itu harus modar. Kenapa kau malah
menyesali?" sahut Ratu Pring Sewu, terus terang mengakui.
"Setan alas! Berarti kau pun harus mampus
di tanganku! Tapi sebelum mengirim nyawa busuk-
mu ke dasar neraka, aku ingin kau menjawab bebe-
rapa pertanyaanku!"
"Siapa sudi meladeni ocehanmu?"
"Bangsat! Hih!"
Breeeesss...! Begitu Penghuni Kubur menjejakkan kakinya,
sebuah lubang besar kontan tercipta.
Ratu Pring Sewu tersenyum kecut. Diam-diam
dikaguminya tenaga dalam tokoh sesat yang menjadi momok dunia persilatan itu.
Meski demikian, bukan berarti harus gentar. Demi menegakkan kebenaran,
Ketua Perguruan Pring Sewu siap menghadapi sepak
terjang Penghuni Kubur walau nyawa taruhannya.
"Dengar! Buka telingamu lebar-lebar, Ratu
Pring Sewu! Apakah tua bangka dari Gunung Bucu
itu juga ikut berperan atas tewasnya keempat orang saudara seperguruanku?" desis
Penghuni Kubur.
"Manusia berbudi luhur macam Eyang Bega-
wan Kamasetyo mana pantas berurusan dengan
manusia-manusia berhati binatang macam adik-
adik seperguruanmu itu, Penghuni Kubur!" sahut Ratu Pring Sewu, kalem.
Bukan main murkanya Penghuni Kubur
mendengar ejekan Ratu Pring Sewu. Kalau saja tidak membutuhkan beberapa
keterangan, sudah pasti
akan diterjangnya perempuan tua itu.
"Bacotmu sungguh tak enak didengar, Ratu
Pring Sewu. Untuk beberapa saat, aku masih men-
gampuni nyawa busukmu. Tapi sekali ini kau tak
mau menjawab pertanyaanku, jangan salahkan ka-
lau aku terpaksa harus membunuhmu berikut mu-
rid-muridmu!" ancam Penghuni Kubur, menggeram.
"Siapa takut ancamanmu, Manusia Iblis?"
"Setan! Jawab pertanyaanku! Apa benar Be-
gawan Kamasetyo ikut membantumu membunuh
adik-adik seperguruanku?"
"Hm...! Jadi Siluman Ular Putih itu muridnya Begawan Kamasetyo" Pantas, aku
seperti mengenali
pukulan bocah gondrong itu sewaktu melawan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni...," gumam Ratu Pring Sewu dalam hati seraya
mengangguk-angguk.
"Kau tak mau menjawab, Ratu Pring Sewu?"
desak Penghuni Kubur.
"Menyesal sekali. Tak mungkin orang tua satu itu turut campur membunuh cecunguk-
cecunguk merah itu," desah Ratu Pring Sewu.
"Jadi" Siapa saja yang ikut membunuh adik-
adik seperguruanku, he"!" geram Penghuni Kubur tak sabar.
Dalam hati, Penghuni Kubur menduga-duga,
apakah tua bangka dari Gunung Bucu yang bergelar
Begawan Kamasetyo mempunyai murid" Tapi siapa"
"Tunggu! Apa kau tahu siapa muridnya Bega-
wan Kamasetyo?" lanjut Penghuni Kubur, untuk menjelaskan dugaannya.
"Tak usah banyak omong, Penghuni Kubur!
Aku tak tahu, siapa yang kau maksudkan!" tegas Ratu Pring Sewu.
"Setan alas! Meski kau tak buka mulut, aku
tetap akan membuat perhitungan dengan tua bang-
ka keparat itu. Juga kau, Ratu Pring Sewu! Kaulah
orang pertama yang harus bertanggung jawab!
Mungkin, bisa jadi ditambah dua orang kakak se-
perguruanmu yang bergelar Dua Orang Tua Aneh
Putih Kelabu!" tunjuk lelaki tua berbalut kain kafan itu. Ratu Pring Sewu
terkekeh. Diam-diam dikaguminya kecerdikan Penghuni Kubur.
"Pintar! Tak kusangka otak bobrokmu masih
bisa berpikir jernih. Tapi kalau boleh kuperingatkan, sebaiknya jangan teruskan
niat busukmu ini! Berto-batlah sebelum ajal menemuimu!"
"Keparat! Aku tak butuh khotbahmu, Ratu
Pring Sewu! Aku butuh nyawa busukmu! Juga,
nyawa orang-orang yang telah berani lancang mem-
bunuh adik-adik seperguruanku!" desis Penghuni Kubur penuh kemarahan
Sebelum geramannya tuntas, Penghuni Kubur
sudah menerjang hebat Ratu Pring Sewu. Kedua te-
lapak tangannya yang masih berlumuran darah ce-
pat menyambar ubun-ubun kepala. Hebatnya sebe-
lum kedua telapak tangan itu mengenai sasaran,
terlebih dulu berkesiur angin dingin menggiriskan.
"Heh..."!"
Ratu Pring Sewu terkesiap. Tak menyangka
akan mendapat serangan demikian hebat. Tentu sa-
ja Ketua Perguruan Pring Sewu tak sudi batok kepalanya jadi sasaran empuk
tangan-tangan Penghuni
Kubur. Maka dengan jurus andalan 'Tongkat Maut
Selaksa Prahara', tubuhnya segera berkelit ke samping dengan tongkat digerakkan
secara menyelinap ke ulu hati.
Wuttt! Wuttt! Melihat tongkat di tangan Ratu Pring Sewu
bergerak mengancam ulu hatinya, sedikit pun Peng-
huni Kubur tak terkejut. Malah dengan satu perhi-
tungan tepat, tahu-tahu lengan kanannya menge-
but. Langsung ditangkisnya tongkat Ratu Pring Se-
wu. Prakkk! "Setan!"
Tongkat bambu kuning itu kontan hancur
berkeping-keping begitu terhantam lengan kurus
Penghuni Kubur. Hal ini membuat perempuan tua
itu menggeram marah. Telapak tangannya sempat
tergetar hebat akibat bentrokan tadi. Bahkan belum sempat keterkejutan Ratu
Pring Sewu lenyap, mendadak telapak tangan kiri Penghuni Kubur telah balik
menghantam dada. Sebisanya, Ratu Pring Sewu
bergerak ke samping. Tapi....
Desss! "Aaah...!"
Tanpa ampun tubuh Ratu Pring Sewu kontan
terbanting keras disertai keluhan tertahan. Untung saja tadi tubuhnya sempat
bergeser ke samping. Kalau tidak, bukan mustahil dadanya akan hancur
terkena hantaman Penghuni Kubur. Meski demikian
pundaknya yang terkena hantaman terasa ngilu bu-
kan main. Ratu Pring Sewu meringis kesakitan. Dengan
susah payah kembali ia meloncat bangun.
"Bajingan! Beraninya kau melukai Guru kami,
he"! Makanlah tongkatku, Tua Bangka Keparat!" teriak Gandrik gusar bukan main.
Dan tanpa banyak cakap lagi, Gandrik segera
menerjang Penghuni Kubur. Bersamaan dengan itu,
Mawarni dan keenam murid Ratu Pring Sewu lain-
nya segera turut membantu serangan dengan senja-
ta bambu kuning.
"Jangan gegabah, Murid-muridku! Kalian bu-
kanlah tandingannya!" teriak Ratu Pring Sewu gusar. Namun sayang, kedelapan
orang murid Ratu
Pring Sewu yang sudah kalap itu tak mau menden-
gar nasihat gurunya. Malah tongkat bambu kuning
mereka makin hebat menyerang Penghuni Kubur.
"Ha ha ha...! Anak-anak manis! Kalian me-
mang patut mendapat pelajaran dariku. Enyahlah
kalian semua! Hea...!"
Tiba-tiba Penghuni Kubur berkelebat cepat
sekali di antara gulungan-gulungan kuning yang
mendesaknya. Sambil berkelebat, tangan-tangannya
berputaran mencari mangsa.
Wut! Wuttt! Prak! Prakkk! "Aaa...!"
Dua kali tangan Penghuni Kubur bergerak,
maka seketika terdengar dua pekik yang amat me-
nyayat hati dari tubuh dua orang murid Ratu Pring Sewu yang terkena hantaman.
Tampak dua sosok
tubuh roboh, tak mampu bangun lagi dengan kepala
pecah! "Minggir! Kalian semua minggir!" bentak Ratu Pring Sewu seraya kembali
menerjang Penghuni Kubur. Penghuni Kubur menjengekkan hidungnya.
Sedikit pun hatinya tak gentar menghadapi seran-
gan-serangan Ratu Pring Sewu. Hanya menggeser


Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya sedikit ke samping, tahu-tahu tangan-
tangan mautnya kembali meminta korban.
Prak! Prakkk! "Aaa...!"
Kembali dua orang murid Ratu Pring Sewu ke
tanah, tak mampu bangun lagi. Sampai di sini,
Penghuni Kubur pun rupanya belum puas menebar
maut. Tangan-tangan mautnya kembali mencari
korban tanpa ampun. Maka hanya dalam sekejap
mata saja, empat orang murid Ratu Pring Sewu
kembali terjungkal, termasuk Mawarni dan Gandrik.
Gandrik dan Mawarni menggigil di tempatnya.
Paras mereka pucat pasi dengan dada yang terkena
hantaman terasa mau jebol. Namun nasib kedua
murid Ratu Pring Sewu ini masih jauh lebih baik dibanding dua orang teman
seperguruannya yang kon-
tan roboh dengan kepala retak!
"Bajingan! Kau tak pantas melawan murid-
muridku, Penghuni Kubur. Akulah lawanmu!"
Ratu Pring Sewu mengkelap bukan main me-
lihat keenam orang muridnya, tewas mengerikan di
tangan Penghuni Kubur hanya dengan beberapa ge-
brakan. Perempuan tua ini tak tahan lagi melihat
pembantaian di depannya. Dengan kemarahan me-
luap, kembali diterjangnya Penghuni Kubur.
"Ha ha ha...!"
Penghuni Kubur hanya tertawa bergelak. Se-
rangan-serangan Ratu Pring Sewu mudah dapat di-
hindari dengan berkelit ke sana kemari. Akibatnya serangan-serangan Ketua
Perguruan Pring Sewu
hanya mengenai angin kosong.
"Apa kau masih keras kepala tak mau menga-
takan siapa murid Begawan Kamasetyo, Ratu Pring
Sewu?" kata Penghuni Kubur sambil terus mendesak.
"Siapa sudi dengan bacotmu, Tua Bangka Ke-
parat! Tanyakan saja pada setan gentayangan peng-
huni dasar neraka!" dengus Ratu Pring Sewu.
"Bagus! Kalau begitu, berarti kau tak sayang pada dua orang muridmu itu!" tuding
Penghuni Kubur pada Gandrik dan Mawarni.
Belum sempat Ratu Pring Sewu berpikir, ta-
hu-tahu Penghuni Kubur telah menerjang Gandrik
dan Mawarni. Perempuan tua ini gusar bukan main.
Dengan kemarahan meluap, cepat dilontarkannya
pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' ke arah Penghuni Kubur. Wesss! Wesss!
Seketika meluruk dua larik sinar kuning dari
kedua telapak tangan Ratu Pring Sewu ke arah
Penghuni Kubur. Sebelum serangan dua larik sinar
kuning itu mengenai sasaran, terlebih dahulu berkesiur hawa panas bukan
kepalang! Penghuni Kubur tentu saja tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Begitu merasakan hawa
panas menyambar punggung, tubuhnya segera di-
buang jauh ke samping. Hingga akibatnya...
Desss! Desss! "Aaah...!"
Ratu Pring Sewu memekik kaget dengan paras
kontan pucat pasi melihat tubuh Gandrik dan Ma-
warni melayang jauh ke belakang, begitu terkena
pukulan nyasar. Kedua anak muda itu pun tak
sempat mengeluarkan pekikan saat tubuhnya me-
layang dan terbanting keras di tanah. Mereka tak
dapat bangun lagi dengan sekujur tubuh hangus
terbakar! "Bajingan! Kau harus bertanggung jawab atas
semua peristiwa ini, Penghuni Kubur! Kau harus
bertanggung jawab! Tak cukup nyawa busukmu se-
bagai tebusannya! Hea...!"
Bukan main murkanya Ratu Pring Sewu be-
tapa dua orang murid kesayangannya telah tewas
menemui ajal akibat kecorobohannya. Maka tanpa
pikir panjang lagi, kembali diterjangnya Penghuni Kubur. Kedua telapak tangannya
yang kian berubah
kuning hingga ke pangkal siku kembali dihantam-
kan ke depan dengan kekuatan tenaga dalam pe-
nuh. "Heaaa...!"
Kembali melesat dua larik sinar kuning dari
kedua telapak tangan Ratu Pring Sewu.
Mendapati serangan begini, Penghuni Kubur
tertawa bergelak. Tapi diam-diam segera dikerah-
kannya tenaga dalam tinggi.
"Makanlah pukulan 'Pembetot Darah Mayat'-
ku! Heaa...!"
Begitu Penghuni Kubur mengerahkan puku-
lan maut, seketika melesat dua sinar hijau dari kedua telapaknya, langsung
memapaki pukulan Ratu
Pring Sewu. Sehingga....
Blammm! Bukan main hebatnya bentrokan dua tenaga
dalam tingkat tinggi yang terjadi. Seketika bumi berguncang hebat. Hawa panas
kontan menebar ke se-
genap penjuru, memporakporandakan apa saja yang
ada di sekitar pertarungan. Ranting-ranting pohon bergerak dengan daun-daun
hangus terbakar!
Sementara sewaktu terjadinya bentrokan tadi,
Ratu Pring Sewu melayang bagai layangan putus ta-
li. Tubuhnya berputar-putar sebentar, lalu meng-
hantam batang pohon di belakangnya. Perempuan
tua ini mengeluh hebat. Seisi dadanya berguncang
hebat dengan kedua telapak tangannya melepuh.
Sementara itu sambil mengumbar tawa, se-
langkah demi selangkah Penghuni Kubur mendekati
Ratu Pring Sewu yang tengah meringis-ringis mena-
han sakit. Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah hijau siap melabrak tubuh Ratu Pring Sewu.
Tak ada pilihan lain. Ratu Pring Sewu segera
bertindak. Tangan kanannya cepat menyelinap ke
balik baju. Begitu tercabut, tangannya yang telah memegang beberapa benda
sebesar buah melinjo itu
mengibas. Dan.... Plarrr! Ledakan kecil yang disertai asap kuning sege-
ra memenuhi tempat pertarungan saat benda-benda
sebesar melinjo itu menghantam tanah. Asap kuning itu terus bergulung-gulung
membungkus tubuh
Penghuni Kubur dan Ratu Pring Sewu.
Penghuni Kubur menggeram murka. Sekali
kibaskan kain kafannya dengan tangan kiri, maka
gulungan-gulungan asap kekuningan itu pun sirna.
Namun pada saat itu juga, sosok Ratu Pring Sewu
sudah tak terlihat lagi.
"Setan alas! Sampai ujung dunia pun, tak
mungkin aku membiarkanmu begitu saja, Bajingan!"
Penghuni Kubur menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat. Rahangnya sampai mengembung, saking
tak tahannya menahan amarah menggelegak. Kedua
telapak tangannya yang tadi siap dihantamkan ke
tubuh Ratu Pring Sewu segera dihantamkan ke de-
pan. Maka seketika meluruk dua larik sinar hijau
dari kedua telapak tangannya. Lalu....
Blarrr...! Sebuah pohon besar dua lingkaran tangan
manusia dewasa kontan bergoyang-goyang begitu
terkena pukulan Penghuni Kubur. Pada bagian ba-
tang pohon yang terkena bekas pukulan kontan
mengepulkan uap tipis kehijau-hijauan. Selang be-
berapa saat, terdengar suara bergemuruh yang di-
akhiri bunyi keras dari batang pohon yang tumbang!
Blammm! Debu-debu kontan membubung tinggi, me-
menuhi tempat itu. Angin siang itu berhembus semilir, perlahan-lahan
menyingkirkan debu-debu yang
membubung tinggi. Ketika debu-debu itu sirna ter-
tiup angin, sosok Penghuni Kubur pun telah me-
ninggalkan tempat itu!
3 Sinar matahari bersinar garang. Namun kare-
na kerimbunan hutan bambu membuat sekitarnya
menjadi sejuk. Apalagi angin semilir bertiup lembut mengusap kulit, seolah ingin
melelapkan siapa saja yang lewat di tempat ini.
Namun tidak demikian buat kedua anak mu-
da yang tengah melangkah ringan. Seolah tak ingin beristirahat, mereka terus
saja melangkah dengan
tawa renyah yang terdengar meriah di antara ki-
cauan burung-burung di ranting pohon. Mereka se-
perti menikmati suasana siang itu.
Yang berjalan di sebelah kanan dengan kepala
sesekali berpaling ke camping adalah seorang pe-
muda tampan berusia kira-kira sembilan belas ta-
hun. Wajahnya berbentuk lonjong dengan sepasang
mata tajam berwarna kebiruan. Di kepalanya yang
ditumbuhi rambut gondrong melingkar ikat kepala
warna putih keperakan. Seperti warna ikat kepa-
lanya, tubuhnya yang tinggi kekar pun dibalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Bila badannya berbalik tampak pula senjata andalannya yang berupa anak
panah yang memiliki
cakra kembar. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan
Soma" Di sebelah si pemuda adalah seorang gadis
cantik berusia tak lebih dari tujuh belas tahun. Ku-litnya putih bersih.
Wajahnya berbentuk bulat telur.
Rambutnya digelung ke atas, dihiasi untaian bunga melati. Sedang tubuhnya yang
tinggi ramping dibalut pakaian ketat warna hijau.
"Kalau begini terus, lama-lama aku bisa jatuh cinta, Arum. Kau tampak cantik,
menarik, penuh daya pesona. Hm...! Enak benar aku punya kawan
secantikmu," celoteh si pemuda dengan kepala berpaling sedikit ke samping, ke
arah gadis yang me-
mang Arum Sari murid Nenek Rambut Putih.
Entah kenapa wajah cantik Arum Sari men-
dadak memerah. Hatinya rusuh sekali. Hampir se-
tengah purnama lebih mereka melakukan perjala-
nan bersama mencari pembunuh kedua orangtua si
gadis. Tentu saja hal ini membuat hubungan kedua
anak muda itu makin akrab. Dalam relung hati
Arum Sari sendiri pun mulai digelayuti perasaan tak menentu. Aneh. Rasa-rasanya
gadis cantik itu merasakan satu perasaan yang seumur hidupnya belum
pernah dialami. (Untuk lebih jelasnya baca episode :
"Titisan Alam Kegelapan" dan "Tapak Merah Darah").
"Jangan menggodaku, Soma!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Arum Sari.
Padahal kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin
sekali mengatakan lebih. Atau setidaknya, membiarkan godaan pemuda tampan di
sampingnya. Yang
penting hatinya berbunga-bunga.
"Kenapa" Toh, kalau tak salah penglihatanku
kau senang, bukan" Buktinya aku baru ngomong
begitu saja, pipimu sudah merah. Iya. kan" Jangan-jangan kau mulai berpikir
lain?" goda Soma, keterla-luan. "Berpikir lain apa?" sungut Arum Sari.
"Yaaa. Tahulah. Pokoknya, akhir-akhir ini kau tampak lain. Tapi tak apa-apalah.
Aku malah senang kok, melihat kau gembira seperti ini," ujar Soma seraya
mengumbar senyum.
Hati Arum Sari makin dibuat blingsatan tak
karuan manakala melihat senyum pemuda tampan
di sampingnya. Ada apa pula ini" Kenapa hatiku jadi risau begini" Desis Arum
Sari dalam hati.
"Lho" Kok, malah memandangiku seperti itu"
Ada apa, nih" Jangan-jangan benar dugaanku?" go-da Soma, melanjuti.
"Jangan ngawur kau, Soma! Aku tidak berpi-
kir macam-macam. Aku hanya teringat kedua orang-
tuaku," tangkis Arum Sari, berdusta.
Begitu teringat kedua orangtuanya. Arum Sari
jadi sedih. Wajahnya seketika murung membayang-
kan wajah kedua orangtuanya yang sulit sekali ter-lukis dalam benaknya.
"Oh, ya" Sayang sekali. Kukira kau sedang
memikirkanku?"
Arum Sari menggeleng. Senyum getirnya tam-
pak tersungging di bibir.
"Apa kau tak ingat kedua orangtua mu. So-
ma" Oh, ya" Bagaimana kabar kedua orangtuamu"
Kenapa kau tak pernah bercerita padaku?" tanya Arum Sari tiba-tiba, berusaha
menepis kesedihan
yang menggelayuti hatinya.
"Tak lebih buruk dari apa yang dialami kedua orangtuamu. Arum," sahut Soma, kali
ini bersikap sungguh-sungguh.
"Maksudmu" Apa kedua orangtuamu sudah
meninggal?"
Soma menggeleng pelan. "Lalu kenapa?"
"Ayahku tewas dibunuh Manusia Rambut Me-
rah," jelas Siluman Ular Putih mendesah sedih.
"Lalu, bagaimana dengan ibumu?" kejar si gadis. "Hmhh...!" Soma menghela napas
sesak. "Ibuku.... Ah...! Dia.... Dia masih berwujud seekor ular."
"Berwujud ular" Kenapa bisa begitu?" tanya Arum Sari heran.
"Itu akibat ibuku memaksakan diri untuk
mempelajari ilmu yang diajarkan Eyang. Ah...!" Lagi-lagi Soma menghela napas
sesak. "Nanti kalau urusan ini sudah selesai, aku ingin sekali menemui Ibu.
Sudah lama sekali aku tak menemuinya."
"Boleh aku menemanimu menemui ibumu.
Soma?" tanya Arum Sari dengan suara bergetar.
Soma kembali memalingkan kepala ke samp-
ing. Entah, apa yang tengah berkecamuk dalam be-
naknya. Yang jelas. Arum Sari malah menundukkan
kepala saat Soma memandangnya.
"Bagaimana, Soma" Apa kau keberatan?"
tanya Arum Sari, malu-malu.
"Hmhh...!"
Soma mengatur jalan napas sebentar. Kali ini
ia benar-benar merasa aneh melihat sikap Arum Sa-
ri. Sejenak diperhatikannya gadis cantik di hada-
pannya.

Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boleh, kalau...."
Gusrakkk! Suara Siluman Ular Putih terpangkas ketika
mendadak terdengar langkah kasar di semak belu-
kar di samping mereka. Untuk sesaat kedua anak
muda itu hanya bisa saling berpandangan.
"Sebentar...!"
Siluman Ular Putih segera melompat ke arah
datangnya suara. Tapi, Arum Sari tak ingin ketinggalan. Segera disusulnya Soma.
* * * "Ratu Pring Sewu..."!" sebut Soma dan Arum Sari begitu tiba di tempat yang
dicurigai tadi.
Kedua anak muda itu terpaku di tempatnya.
Sepasang mata mereka membelalak liar. Di hadapan
mereka kini tergolek sesosok tubuh belum lama di-
kenalnya. Ratu Pring Sewu!
Betapa tubuh Ketua Perguruan Pring Sewu
itu teramat mengenaskan. Parasnya pucat pasi. Ke-
dua telapak tangannya melepuh. Darah kering tam-
pak menghiasi sudut-sudut bibirnya.
"Ratu Pring Sewu! Siapa yang melakukan
perbuatan keji ini?" tanya Siluman Ular Putih berte-riak jengkel. Buru-buru
diraihnya tubuh Ratu Pring Sewu dan diletakkan di atas pahanya. Soma meng-
guncang-guncang tubuh nenek renta itu, tapi
sayang keburu pingsan.
Siluman Ular Putih cepat menotok beberapa
jalan darah di tubuh Ratu Pring Sewu. Selang beberapa saat, kelopak mata Ketua
Perguruan Pring Se-
wu mulai bergerak-gerak. Kedua bibirnya bergetar-
getar. Napasnya pun memburu. Mengenaskan sekali
keadaannya. "Dia.... Dia ingin menyatroni puncak Gunung
Buc... Bucu...."
Dengan susah payah, bibir Ratu Pring Sewu
yang bergetar-getar itu pun membuka suara. Dan ini membuat Siluman Ular Putih
terperangah. Ya! Puncak Gunung Bucu adalah tempat kediaman eyang
dan ibunya. Ada apa ini" Siluman Ular Putih jadi gelisah. "Siapa yang kau
maksudkan, Ratu Pring Se-wu?" tanya Siluman Ular Putih, tak sabar.
"Dia.... Dia... ah...!"
Kepala Ratu Pring Sewu kembali terkulai.
Sementara Siluman Ular Putih jadi gelisah
bukan main. Soma tak menginginkan Ratu Pring
Sewu mati. Pemuda ini merasa harus dapat mengo-
rek keterangan siapa yang telah berani mencelaka-
kan perempuan tua ini, sekaligus ingin menyatroni puncak Gunung Bucu. Maka,
buru-buru Siluman
Ular Putih menotok beberapa jalan darah di tubuh
Ratu Pring Sewu yang kembali pingsan. Kali ini paras perempuan tua itu tampak
demikian mengeri-
kan. Pucat mirip mayat!
"Katakan, Nek! Siapa yang memperlakukan
ini semua?" desak Siluman Ular Putih tak sabar.
"Peng.... Penghuni Kubuuur...!'
Bersamaan dengan putusnya ucapan, maka
putus pula nyawa Ratu Pring Sewu dari raga. Kepa-
lanya terkulai ke samping, tak bergerak-gerak lagi.
"Keparat! Lagi-lagi si keparat itu yang mem-
buat ulah. Dulu kedua orangtuaku yang tewas di
tangannya. Kini Ratu Pring Sewu! Benar-benar ke-
parat! Tak mungkin aku membiarkan sepak terjang-
nya begitu saja!" geram Arum Sari penuh kemarahan. Jari-jari tangannya terkepal
erat, seolah ingin sekali melampiaskan kemarahannya saat itu juga.
Siluman Ular Putih tak menanggapi ucapan
Arum Sari. Ia segera memondong tubuh nenek renta
itu dan membaringkannya ke rerumputan. Matanya
sejenak beredar, mencari-cari tempat yang layak untuk menguburkan jasad Ratu
Pring Sewu. "Soma! Tak mungkin kita membiarkan sepak
terjang Penghuni Kubur begitu saja! Kita harus bertindak. Terlepas dari kedua
orangtuaku yang tewas, aku tetap akan menuntut pertanggungjawaban
Penghuni Kubur!" teriak Arum Sari.
"Ya ya ya...! Kita memang harus meminta per-
tanggungjawabannya!" sahut Soma singkat.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan. So-
ma?" tanya Arum Sari.
Soma menghela napasnya panjang.
"Sebaiknya Bantu aku dulu menguburkan
mayat Ratu Pring Sewu. Baru setelah itu, kita kejar Penghuni Kubur," sahut Soma.
"Itu berarti, kita harus ke Gunung Bucu?"
"Ya! Lagi pula, aku juga sudah kangen dengan eyang dan ibuku. Ayo kita kubur
dulu mayat ini."
"Ayo!"
4 Puncak Gunung Bucu.
Sesosok bayangan berkelebat cepat menuju
puncak Gunung Bucu. Gerakan kakinya cepat luar
biasa laksana terbang. Sehingga dalam waktu sing-
kat sosok bayangan itu telah tiba di puncak gunung.
Sosok bayangan yang ternyata berpakaian
tambal-tambalan itu menghentikan langkahnya.
Menilik alis mata, bulu mata, dan rambut putihnya yang awut-awutan, jelas sekali
usia lelaki renta ber-tubuh tinggi kurus ini sudah mencapai delapan pu-
luh tahun lebih. Wajahnya tirus dengan mata sipit dan hidung kecil. Bibirnya
tebal berwarna hitam.
Siapa lagi lelaki renta yang memiliki ciri-ciri seperti itu kalau bukan Raja
Penyihir. Apa maksud kehadiran Raja Penyihir di Gu-
nung Bucu" Sebenarnya, lelaki berwajah tirus ini
hanya ingin menemui Eyang Begawan Kamasetyo
untuk minta izin agar Siluman Ular Putih sudi me-
manggilnya guru. Hal itu pun sebenarnya atas saran Siluman Ular Putih. Karena
kalau tidak demikian.
Tak bakalan sudi Soma memanggilnya guru. Maka
tak heran kalau lelaki tua itu mau bersusah payah ke sini. Raja Penyihir
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hamparan pasir dan bebatuan tampak ber-
serakan di sana sini. Sedang jauh di bawahnya ka-
but tebal berkejar-kejaran searah tiupan angin.
Meski suasana sore itu belum begitu larut, namun
udara pegunungan terasa dingin menusuk kulit.
Raja Penyihir tak menghiraukan udara dingin
yang terasa menyengat tulang belulangnya. Hanya
sedikit mengerahkan hawa murni, maka udara din-
gin yang mengungkung lenyap entah ke mana.
"Kalau tak salah, tua bangka itu bertapa di
goa sebelah sana," duga Raja Penyihir seraya menudingkan ujung tongkatnya ke
arah lereng sebelah
barat Gunung Bucu. "Yah...! Kukira aku harus secepatnya ke sana."
Raja Penyihir segera menutulkan kakinya ke
tanah. Lalu berkelebat cepat menuju tempat yang
dimaksud. Di sebelah barat puncak Gunung Bucu me-
mang terdapat sebuah mulut goa menghadap ke
lembah-lembah hijau di sekitar Pegunungan Perahu.
Raja Penyihir tak ingin membuang-buang waktu.
Begitu tiba, tubuhnya segera berkelebat masuk ke
dalam mulut goa.
Mulut goa itu memang tidak begitu lebar, pal-
ing hanya setengah tombak. Namun ketika Raja Pe-
nyihir menyusuri, lama kelamaan lorong goa itu makin melebar.
Di sebuah lorong yang bercabang, mendadak
Raja Penyihir menghentikan langkahnya. Kepalanya
celingukkan ke sana kemari, mencari arah yang be-
nar. Namun di saat lelaki tua ini tengah kebingungan, mendadak....
"Siapa pun juga yang ingin bertamu, kenapa
tidak langsung menemuiku?"
Terdengar teguran yang datang dari lorong
sebelah kanan. Bukannya kaget, Raja Penyihir malah terke-
keh senang. Jelas sekali kalau ia amat mengenali
siapa pemilik suara parau itu.
"Ah... rupanya masih hidup juga, Kamasetyo!
Kukira kau sudah mampus dimakan belatung-
belatung goa ini. Ayo, lekas keluar! Sambut aku!"
Tak ada sahutan. Hanya gerutuan seseorang
saja yang terdengar. Gerutuan yang diduga berasal dari mulut Eyang Begawan
Kamasetyo. Raja Penyihir bersungut. Aneh sekali watak tokoh sakti dari puncak
Gunung Tidar ini. Tadi terkekeh-kekeh senang.
Sekarang mulutnya membentuk kerucut karena ke-
cewa ucapannya tak ditanggapi Eyang Begawan Ka-
masetyo. Meski demikian, toh akhirnya mau juga
menyeret langkahnya ke lorong sebelah.
Begitu berada di lorong sebelah, kening Raja
Penyihir kontan berkernyit melihat sosok Eyang Begawan Kamasetyo masih tetap
bersila. Jadi, betapa tajamnya pendengaran lelaki tua yang tengah bersila itu.
Tubuhnya yang kurus terbalut pakaian putih.
Rambutnya yang juga berwarna putih digelung ke
atas. Seperti rambut dan pakaiannya, ternyata wa-
jahnya pun juga berkulit putih bersih.
Tak jauh dari Eyang Begawan Kamasetyo ber-
sila seekor ular putih raksasa tengah melingkar di atas batu putih pipih. Ukuran
tubuh ular putih raksasa itu amat besar. Hampir sebesar pohon kelapa.
Dalam keadaan melingkar seperti itu, sepasang ma-
tanya terpejam. Namun, mulutnya terus mendesis-
desis. Entah, apa maksudnya.
Raja Penyihir berkali-kali menggeleng. Merasa
trenyuh melihat sosok ular putih raksasa yang tak lain adalah Siluman Naga
Puspa! Ya, dialah ibu
kandung dari Siluman Ular Putih.
Sebenarnya, sosok ular putih raksasa itu ada-
lah seorang wanita cantik. Namanya, Dewi Ratri.
Hanya karena gagal untuk mempelajari ilmu pa-
mungkas ajian 'Titisan Siluman Ular Putih', maka
wanita yang sebenarnya putri Eyang Begawan Ka-
masetyo itu menjelma seekor ular putih raksasa!
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode :
"Misteri Bayi Ular").
"Ada apa kau menyambangiku kemari, Damar
Suto?" tanya Eyang Begawan Kamasetyo, langsung memanggil nama asli Raja
Penyihir. Rupanya guru
dari Siluman Ular Putih sudah mengenai baik, siapa Raja Penyihir.
"Aku ada sedikit urusan denganmu. Tapi,
nantilah. Aku ingin bercakap-cakap sebentar dengan putrimu ini," kilah Raja
Penyihir. "Jangan diganggu, Damar Suto! Putriku se-
dang bertapa," tegur Eyang Begawan Kamasetyo, langsung.
"Bertapa" Untuk apa?" tanya Raja Penyihir tak mengerti.
"Putriku ingin menjelma menjadi manusia
kembali. Untuk itu, ia kusuruh terus bertapa."
"Oooo...!" Raja Penyihir mengangguk-angguk.
"Kasihan sekali nasib putrimu ini, Kamasetyo. Kalau saja aku dapat membantu,
tentu aku akan melaku-kannya. Tapi sayang, aku...."
"Sudahlah!" potong Eyang Begawan Kama-
setyo. "Katakan saja, kau ada keperluan apa hingga susah payah datang kemari?"
"Oh, ya" Aku memang ada sedikit urusan
denganmu, Kamasetyo," jelas Raja Penyihir seraya menepuk jidat.
"Aku tahu. Setiap kau menemuiku, pasti ingin
minta bantuanku, bukan?" tebak Eyang Begawan Kamasetyo, tak bermaksud menyindir.
"Siapa yang butuh bantuanmu" Aku tidak bu-
tuh bantuanmu. Aku hanya ingin minta izin pada-
mu," sungut Raja Penyihir tak senang.
"Minta izin apa?"
"Muridmu.... Eh, cucumu harus memanggilku
guru. Untuk itulah aku minta izin padamu," papar Raja Penyihir.
"Oh, ya" Jadi kau sudah bertemu cucuku"!"
sentak Eyang Begawan Kamasetyo, gembira. "Suruh dia pulang. Aku dan ibunya sudah
lama sekali tak
bertemu. Cucuku harus cepat kau ajak kemari, Da-
mar Suto!"
"Eh...! Tunggu dulu! Kau belum menjawab
pertanyaanku. Apa kau mengizinkan cucumu me-
manggilku guru?" terabas Raja Penyihir.
"Ah...! Kau ini aneh-aneh saja. Siapa yang
menyuruhmu minta izin padaku" Kalau kau ingin,
dipanggil guru oleh cucuku, ya silakan! Kenapa mes-ti minta izin?"
"Justru karena cucumu itulah yang mengha-
ruskan agar aku minta izin padamu. Tapi boleh kan, cucumu memanggilku guru"
Masa' aku sudah me-wariskan hampir semua kepandaianku, tapi cucumu
tetap saja tak mau memanggilku guru" Ini kan lu-
cu." "Hm...!" Eyang Begawan Kamasetyo menggeleng-gelengkan kepala. "Kau ini ada-
ada saja, Damar Suto. Mau-maunya dikerjai cucuku yang nakal itu."
"Habis...."
"Kau ini lucu. Masa sudah tua begini masih
saja mau diakali bocah kemarin sore. Apa susahnya
sih, bilang bahwa kau sudah menemuiku?"
"Ah...!" Lagi-lagi Raja Penyihir hanya menepuk-nepuk jidatnya. "Benar! Kau
benar, Kamasetyo.
Cucumu memang nakal. Bodohnya aku, kenapa
mau dikerjai begini. Awas kalau ketemu nanti. Pasti cucumu akan kubalas."
"Ggggecerrrr...!"
Tiba-tiba dinding-dinding goa di puncak Gu-
nung Bucu bergetar keras oleh sebuah gerengan
menyeramkan. Batu-batu besar kecil berjatuhan da-
ri langit-langit goa. Raja Penyihir dan Eyang Begawan Kamasetyo heran sekali.
Buru-buru mereka
mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara
gerengan barusan.
"Ggggeeerrrr...!"
Kedua lelaki tua ini sama-sama memandang
heran pada sepasang mata Siluman Naga Puspa
yang mencorong beringas. Jelas arahnya ke Raja Penyihir. Ujung ekornya
dikibaskan ke sana kemari,
membuat dinding-dinding goa bergelar. Pada saat itu juga, tiba-tiba tercium
harum bunga melati yang
amat menusuk hidung.
Eyang Begawan Kamasetyo tahu, putrinya
tengah marah namun ia belum tahu kenapa tiba-
tiba Siluman Naga Puspa jadi bersikap demikian.
"Ratri! Hentikan!" tegur Eyang Begawan Kamasetyo.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis sambil
mengibas-ngibaskan ekornya ke sana kemari.


Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oooo! Jadi kau tak terima kalau Raja Penyi-
hir akan menuntut balas pada puteramu..,?" kata Eyang Begawan Kamasetyo, dapat
menangkap apa arti desisan Siluman Naga Puspa.
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi.
Eyang Begawan Kamasetyo mengangguk-angguk.
"Baik! Aku tahu kalau kau sangat menyayangi puteramu. Kukira, aku pun juga tak
menginginkan orang lain mencelakakan puteramu."
"Ratri! Kau jangan salah paham! Aku tak
bermaksud mencelakakan puteramu. Aku hanya in-
gin memarahinya," jelas Raja Penyihir.
Siluman Naga Puspa kembali mendesis-desis.
Tapi sayang, Raja Penyihir hanya melongo. Lelaki
tua ini tak tahu, apa yang dikatakan Siluman Naga Puspa. Terpaksa kepalanya
menoleh ke arah Eyang
Begawan Kamasetyo.
"Putriku bilang, tak apa-apa kalau kau hanya ingin memarahi. Asal, jangan sampai
mencelakakannya," papar guru dari Siluman Ular Putih.
"Edan! Mana mungkin aku mencelakakan bo-
cah sinting itu. Soma sudah kuanggap seperti mu-
ridku sendiri. Ya, memang puteramu itu muridku.
Tapi puteramu malah mengerjaiku," sungut Raja Penyihir. Siluman Naga Puspa
mendesis-desis lagi. Kali ini, tak ditujukan pada Raja Penyihir. Tapi, ditujukan
pada Eyang Begawan Kamasetyo.
"Apa kau bilang. Ratri" Kau kangen pada pu-
teramu" Ya ya ya...! Aku tahu. Dan kau ingin berte-mu dengan puteramu! Hm...!"
Eyang Begawan Kamasetyo mengangguk-angguk, lalu menoleh pada
Raja Penyihir. "Bagaimana, Damar Suto" Kukira kau harus segera membawa cucuku
kemari!" "Waduh! Apa mau bocah sinting itu kuajak
kemari, Kamasetyo" Disuruh memanggil guru pada-
ku saja, susahnya minta ampun. Apalagi kalau ha-
rus disuruh membawa cucumu kemari," keluh Ki Damar Suto.
"Bilang, ibunya ingin ketemu! Mustahil cucu-
ku tak mau pulang. Cepat sana pergi!" ujar Eyang Begawan Kamasetyo.
"Baik," sahut Raja Penyihir cepat, seraya berbalik. Tanpa banyak cakap. Raja
Penyihir segera
berkelebat keluar dari lorong goa tempat tinggal
Eyang Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Pus-
pa. "Zzzzt! Zzzzt!"
Siluman Naga Puspa mendesis desis lagi. Se-
pasang matanya yang mencorong kini berair, seolah-olah tak tahan lagi menahan
rindunya untuk segera bertemu dengan putra kesayangannya.
"Sudahlah! Jangan menangis, Ratri! Sekarang
teruskan saja tapamu! Nanti Raja Penyihir toh juga akan membawa puteramu
kemari." Siluman Naga Puspa mendesis-desis seraya
menggeleng-geleng.
"Apa" Kau tak ingin melanjutkan bertapa ka-
lau belum bertemu puteramu?"
Siluman Naga Puspa mengangguk-angguk.
Eyang Begawan Kamasetyo sebenarnya ingin
melarang. Namun, saat teringat akan penderitaan
putrinya, hatinya jadi tak tega.
"Baiklah! Kalau memang itu kemauanmu, Ra-
tri," desah Eyang Begawan Kamasetyo, mengalah.
5 Di antara tebalnya kabut yang bergerak per-
lahan dua sosok bayangan putih dan kelabu tengah
saling gebrak. Begitu cepat gerakan mereka sehingga yang terlihat hanya
kelebatan bayangan putih dan
kelabu yang saling gebrak, kemudian saling men-
jauh seperti mengambil jarak.
Begitu masing-masing berdiri tegak, tampak
sepintas kalau paras maupun potongan tubuh ke-
dua orang kakek itu sama. Tubuh mereka kurus
kering. Rambut, alis mata, bulu mata, dan jenggot semua memutih. Hanya pakaian
itu saja yang mem-bedakan mereka. Yang satu berpakaian serba putih, dan satu
lagi berwarna kelabu. Siapa lagi kedua tokoh ini kalau bukan Dua Orang Tua Aneh
Putih Ke- labu, yang merupakan kakak seperguruan Ratu
Pring Sewu. "Ayo, Kelabu! Cepat keluarkan jurus 'Kuda
Binal dari Utara'!" teriak kakek berpakaian serba putih. "Baik. Jangan menyesal
kalau pantatmu kena gebuk, Kang," sahut kakek berpakaian kelabu.
Kakek Kelabu menghentak-hentakkan ka-
kinya keras-keras. Dari mulutnya terdengar ringkikan mirip kuda. Suara
ringkikannya membahana
memenuhi hutan itu.
Kakek Putih sejenak tergetar mendengar sua-
ra-suara ringkikan dari Kakek Kelabu yang seolah
hendak merobek-robek gendang telinga. Maka buru-
buru tenaga dalamnya dikerahkan, sehingga ringki-
kan Kakek Kelabu tak lagi mengganggu.
"Heaaa...!"
Dikawal teriakan membahana, Kakek Kelabu
menerjang ganas Kakek Putih. Dari kedua telapak
tangannya mengeluarkan sinar terang yang mene-
barkan hawa panas. Inilah pukulan sakti Kakek Ke-
labu yang lebih dikenal dengan pukulan 'Tongkat
Penggebuk Iblis'.
"He he he...! Cuma pukulan 'Tongkat Pengge-
buk Iblis'. Aku tak takut," ejek Kakek Putih, senang sekali meladeni adik
seperguruannya.
Satu tombak lagi datang serangan, Kakek Pu-
tih segera mengeluarkan pukulan andalan. Tanpa
banyak cakap segera dikerahkannya tenaga dalam
ke arah kedua tangan yang kemudian dihadapkan
ke depan. Seketika meluruk dua larik sinar kuning terang dari kedua telapak
tangannya memapak pukulan Kakek Kelabu.
Besss! Tak terdengar apa-apa akibat bentrokan dua
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Namun, pukulan
'Tongkat Penggebuk Iblis' milik Kakek Kelabu tiba-tiba tertahan di udara. Lalu
laksana dihantam kekuatan luar biasa, tiba-tiba pukulan itu menukik
keras ke bawah!
Blammm! Tanah berbatu kontan berhamburan tinggi ke
udara dan segera menutupi pemandangan untuk
beberapa saat. Samar-samar Kakek Kelabu mencelat
sampai dua tombak ke belakang. Ia berusaha men-
guasai keseimbangan tubuh begitu mendarat di ta-
nah. Namun sayang kedua kakinya goyah. Maka ti-
dak lama kemudian, Kakek Kelabu pun jatuh terdu-
duk dengan tubuh bergetar dan napas memburu!
Di pihak lain, tubuh Kakek Putih sendiri ter-
jajar mundur beberapa langkah ke belakang. Sosok-
nya terlihat bergoyang-goyang. Namun sebentar ke-
mudian telah diam. Malah sembari berkacak ping-
gang ia terkekeh senang.
"He he he...! Apa kubilang" Pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis'-mu tak berarti
sama sekali, bukan?" ejeknya.
"Enak saja ngomong! Kau pikir aku sudah ka-
lah, he"!" balas Kakek Kelabu sengit.
"He he he! Sudah! Jangan marah-marah! Kita
hentikan saja latihan ini. Kalau diteruskan, bisa modar nanti," ujar Kakek
Putih, meredam kemarahan Kakek Kelabu.
"Tapi.... Tapi...," Kakek Kelabu memberengut.
"Aku penasaran, Kang."
"Aku juga. Tapi, bukan penasaran denganmu.
Melainkan, dengan Siluman Ular Putih. Tak kusang-
ka bocah gondrong itu mampu mengatasi Empat Ib-
lis Merah dari Hutan Seruni. Apa kau tak penasa-
ran, Kelabu" Apa kau tak ingin menjajal kehebatan bocah gondrong itu?" tukas
Kakek Putih. "Ah, iya" Benar juga kau, Kang. Aku juga pe-
nasaran. Aku ingin sekali mengajaknya bertarung
untuk membuktikan siapa yang lebih unggul," sambut Kakek Kelabu gembira. Padahal
mulutnya baru saja bersungut-sungut tak senang mendengar eje-
kan kakak kembarnya.
"Nah...! Memang itulah yang kuinginkan, Ke-
labu. Tapi, sayang. Bocah gondrong itu tak ada di sini. Kalau ada, sudah pasti
kutantang bertarung,"
keluh Kakek Putih.
"Ya ya ya...! Bagaimana kalau kita cari saja
bocah gondrong itu, Kang?" usul Kakek Kelabu.
"Baik! Aku setuju usulmu, Kelabu. Ayo, kita
cari bocah gondrong itu!" .sahut Kakek Putih menye-tujui. Saat itu pula, Kakek
Putih segera menjejak ke tanah. Sosoknya yang tinggi kurus pun segera berkelebat
cepat, meninggalkan tempat itu. Namun ba-
ru beberapa tombak....
"Tunggu, Kang! Lihat! Siapa yang datang!" teriak Kakek Kelabu yang belum
beranjak dari tem-
patnya. Telunjuknya menuding ke jalan setapak tak jauh dari tempat ini.
Mau tidak mau Kakek Putih harus berhenti.
Pandangan matanya segera dialihkan ke arah jalan
setapak. "Ah, iya" Kau benar, Kelabu. Inilah mungkin
yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba. Ayo, cepat hampiri mereka!"
Tanpa menunggu kesanggupan adik sepergu-
ruannya, Kakek Putih kembali berkelebat ke tempat yang dimaksud. Hanya dalam
beberapa kelebatan
saja, sosoknya telah berada di kejauhan. Sementara tentu saja Kakek Kelabu tak
mau kalah ketinggalan.
Dengan sekali menghentak, tiba-tiba sosoknya telah berkelebat menyusul kakak
seperguruannya.
* * * "Selamat bertemu kembali, Siluman Ular Pu-
tih. Beruntung benar aku kali ini. Baru saja kami membicarakanmu, eh, tahu-tahu
orangnya sudah muncul," sambut Kakek Pulih sumringah, begitu ti-ba di hadapan orang yang
ditunjuk Kakek Kelabu
tadi. Rupanya tadi Kakek Kelabu melihat Siluman
Ular Pulih dan Arum Sari yang tengah berjalan sambil bersenda gurau.
"Iya. Rupanya kau panjang umur juga, Bocah
Gondrong. Tapi ngomong-ngomong, tampaknya ka-
lian asyik sekali. Mau ke manakah kalian berdua?"
timpal Kakek Kelabu pula.
"Kami berdua sedang melakukan perjalanan
ke puncak Gunung Bucu. Ada apakah" Kenapa ka-
lian tersenyum-senyum begitu?" tanya Siluman Ular Pulih dengan kening berkerut,
menangkap senyum
penuh arti Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu.
"He he he...! Katanya kau ingin mencari Penghuni Kubur?" kata Kakek Kelabu,
berbasa-basi. "Memang. Apakah kalian tahu di mana dia?"
Arum Sari yang menyahuti.
"Belum. Bangkotan tua itu sulit sekali dicari.
Tapi...." "Ala...! Sudahlah, Kelabu! Jangan basa-basi!
Bilang saja terus terang! Kenapa plintal-plintut begini?" tukas Kakek Pulih tak
sabar. Kakek Kelabu meringis. Seringaiannya diha-
diahkan sebentar ke arah Siluman Ular Putih dan
Arum Sari. "Ada apa sih" Kok, sepertinya ada sesuatu
yang disembunyikan?" tanya Siluman Ular Putih heran. "He he he...! Kau adalah
pendekar besar, Siluman Ular Pulih. Aku senang sekali bertemu den-
ganmu," kekeh Kakek Kelabu.
"Ah...! Jangan terlalu melebih-lebihkanku.
Aku masih belum seberapa dibanding kalian ber-
dua." "Siapa bilang kau di bawah kami" Buktinya
saja, Empat Iblis Merah dibuat tak berdaya olehmu.
Apa itu bukan bukti" Coba pikir lagi, apa julukan Siluman Ular Putih bukan satu
nama besar di dunia persilatan dibanding kami-kami yang sudah tua
ini?" terabas Kakek Putih, memancing.
"Hm...! Sebenarnya kalian berdua ini mau
apa, sih?" tanya Siluman Ular Putih masih belum mengerti maksud dua orang tua di
hadapannya. "Iya, Kek. Baiknya katakan saja terus terang.
Mumpung kami ada sedikit waktu sebelum melan-
jutkan perjalanan di puncak Gunung Bucu," pinta Arum Sari, menambahi.
"Eh...! Tidak boleh! Kalian tidak boleh me-
ninggalkan kami dulu. Kalian harus melayani kami
dulu!" tukas Kakek Putih sewot.
"Melayani apa?" tanya Arum Sari, mulai tak senang.
Kakek Putih tidak langsung menjawab. Kepa-
lanya menoleh sebentar ke arah Kakek Kelabu. Lalu, kedua orang tua renta itu pun
sudah terkekeh-kekeh senang. Entah apa maksud kekehan mereka
itu. "He he he...! Sudah tentu kalian harus melayani kami. Tapi, jangan berpikir
macam-macam dulu, ya! Kami hanya ingin minta petunjuk barang
satu dua jurusan, Siluman Ular Putih," jelas Kakek Kelabu.
"Ah...! Jangan begitu, Orang Tua! Harap ka-
lian mengerti! Kami berdua sedang terburu-buru. Di samping itu, temanku belum
tentu mau meladeni
kalian! Untuk itu, berilah kami lewat, Orang Tua!"
tolak Arum Sari kalem.
"Yeeee...! Tak bisa begitu! Tepatnya, kita harus berlatih barang beberapa jurus.
Setelah itu, kalian boleh meneruskan perjalanan. Bukankah begi-
tu, Kakang Putih?"
"Betul! Kau harus menuruti keinginan kami,
Siluman Ular Putih. Sudah, jangan sungkan-
sungkan seperti anak perawan mau dipingit! Ayo, ki-ta berlatih!"
"Kalian terlalu memaksa. Bagaimana ini,
Arum?" tanya Siluman Ular Pulih, seraya menoleh ke arah Arum Sari untuk minta
pendapat. "Bolehlah! Barangkali mereka memang ingin
mendapat pelajaran dari kita," sahut Arum Sari, kesal juga.
"Hik hik hik...! Gadis cantik itu benar. Kita memang harus berlatih barang
beberapa jurus dulu.
Tapi, harap hati-hati. Jangan-jangan malah kalian yang terkena gebukan
tongkatku!" ujar Kakek Putih, senang sekali melihat Arum Sari tak menolak
keinginan mereka.
"Hm...! Sebenarnya aku tak senang dengan la-
tihan ini, Kek. Tapi, berhubung kalian terlalu memaksa, yah.... Apa boleh buat?"
"Kita hanya berlatih. Ingat! Kita hanya bertarung bohong-bohongan," kekeh Kakek


Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelabu tak dapat menyembunyikan perasaan senang.
"Sekarang, begini. Berhubung kami berjumlah
dua orang, kalian boleh menyerang satu di antara
kami. Atau, dua-duanya. Demikian juga dengan ka-
mi. Kami boleh saja menyerang Siluman Ular Pulih
maupun gadis cantik itu. Bagaimana?" tambal Kakek Putih.
"Baik. Apa pun cara main kalian, kami menu-
rut!" putus Arum Sari tak sabar.
"Bagus-bagus! Memang itulah yang kami in-
ginkan." Tanpa banyak cakap, Kakek Putih dan Kakek
Kelabu segera menerjang Siluman Ular Pulih dan
Arum Sari dengan jurus-jurus andalan. Tongkat di
tangan mereka telah berkelebat cepat, mengurung
kedua anak muda itu.
Wut! Wuttt! Melihat datangnya serangan, Siluman Ular
Putih segera memainkan jurus andalan 'Terjangan
Maut Siluman Ular Putih'. Kedua telapak tangannya yang telah membentuk kepala
ular telah meliuk-liuk indah di antara gulungan-gulungan tongkat. Dan
dengan satu gerak tipu yang cukup manis, tiba-tiba kedua patukan tangan Siluman
Ular Putih telah
mengancam dada Kakek Putih.
"Ah...!" Kakek Putih terkesiap kaget. Sungguh tak disangka kalau akan mendapat
serangan demikian hebatnya. Padahal tadi, ia sebenarnya sedang mendesak Siluman
Ular Putih. Menyadari dadanya hendak jadi sasaran em-
puk, Kakek Putih segera menarik mundur tubuhnya
ke belakang. Sambil bergerak, tongkat di tangan kanannya cepat mengayun ke
bawah. "Hup!"
Tiba-tiba Siluman Ular Putih berkelit ke
samping. Saat itu pula patukan tangan kanannya telah meluncur ke iga Kakek
Putih. Tuk! Tukkk! "Aaah...!"
Dua kali iga kiri Kakek Pulih terkena patukan
tangan Siluman Ular Putih hingga kontan menjerit
kesakitan. Parasnya pias, saking terkejutnya. Iganya yang terkena patukan tadi
terasa ngilu bukan main.
Kalau saja Siluman Ular Pulih mengeluarkan tenaga dalam tinggi, bukan mustahil
iga Kakek Putih akan remuk. Tapi, Soma tadi memang sengaja hanya
mengerahkan sebagian dari kekuatan tenaga dalam-
nya. "Hebat! Kau memang pantas menyandang ge-larmu, Bocah Gondrong! Tapi, ingat!
Aku belum ka- lah," teriak Kakek Putih penuh kagum.
"Sudahlah! Tak ada gunanya kita meneruskan
pertarungan ini. Baiknya hentikan saja, Kek!" ujar Siluman Ular Putih tak
melanjutkan pertarungan.
"Tidak bisa! Kau hutang satu pukulan, Bocah.
Mana mungkin aku membiarkanmu kalau aku be-
lum membayar impas!" tandas Kakek Pulih, seraya bergerak menerjang.
Siluman Ular Putih sebenarnya ingin mem-
bantah. Namun manakala tongkat di tangan Kakek
Pulih kembali bergulung-gulung cepat menyerang
dirinya, tak ada pilihan lain kecuali harus melade-ninya. Buk! Bukkk!
"Augh...!"
"Heh..."!"
Siluman Ular Putih tersentak kaget ketika
mendadak dikejutkan teriakan Arum Sari di sebe-
lahnya. Tampak tubuh gadis cantik itu terbanting
keras. Hal ini membuat Soma gusar bukan main.
Buru-buru ditinggalkannya Kakek Putih dan segera
menghampiri Arum Sari.
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Arum?" tanya Siluman Ular Putih cemas.
Arum Sari meringis kesakitan. Bibirnya yang
kemerah-merahan digigit kuat-kuat. Lalu kepalanya menggeleng lemah.
Siluman Ular Putih jadi jengkel sekali. Ia hen-
dak memaki Kakek Putih dan Kakek Kelabu. Tapi
kedua orang tua aneh itu malah sudah berjongkok
di sampingnya. "Aduuuh...! Kenapa jadi begini" Aku tadi
hanya memukul biasa. Tapi kenapa begini akibat-
nya?" keluh Kakek Kelabu, penuh sesal. Wajahnya yang penuh keriput mendadak jadi
murung. "Maaf-kan aku, ya! Aku benar-benar tak ingin mencelaka-
kanmu. Tapi... Tapi...."
"Aduh...! Kenapa kalian jadi ribut! Katanya
tak ingin mencelakakan temanku. Tapi buktinya te-
manku terluka," semprot Siluman Ular Putih.
"Yah...! Namanya juga latihan. Terkadang la-
tihan kan bisa saja terkena pukulan agak keras. Ja-di, kau tak pantas
menyalahkan adikku!" kilah Kakek Putih membela adik kembarnya.
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Kau memang tidak bermaksud mencelakakan temanku,"
ujar Siluman Ular Putih seraya menghela napas.
Kakek Putih dan Kakek Kelabu jadi berpan-
dangan sendiri. Entah, apa maksud pandang mata
kedua orang tua aneh itu. Namun menilik parasnya
yang murung jelas kalau mereka sebenarnya juga
tak menginginkan kejadian itu.
Siluman Ular Putih tak begitu menggubris
Kakek Putih dan Kakek Kelabu. Ia terus saja meno-
tok beberapa jalan darah di tubuh Arum Sari.
"Minumlah obat ini! Pasti lukamu cepat sem-
buh, Gadis!" ujar Kakek Putih mengulurkan sebuah
obat berwarna kuning ke arah Arum Sari.
Arum Sari ragu-ragu sebentar. Demikian juga
Siluman Ular Putih.
"Kenapa melongo" Ragu-ragu, ya" Ini bukan
racun. Ini obat penambah kekuatan bagi orang-
orang yang terluka. Kalau tak percaya, lihat!" Tiba-tiba Kakek Putih menelan pil
dalam genggaman tan-
gannya. "Tidak apa-apa, kan?"
Arum Sari dan Siluman Ular Putih saling ber-
pandangan sebentar.
"Sudah! Jangan ragu-ragu! Masa' aku ingin
mencelakakan kalian, sih! Ayo, telan obat ini!" ujar Kakek Pulih lagi, kembali
menyodorkan sebutir obat berwarna kuning yang baru saja diambil dari kan-tung
kecil yang menggelantung di pinggang.
"Hm...! Baiklah. Kukira kau memang benar,
Kek. Minumlah, Arum. Aku yakin orang tua itu tak
mungkin mencelakakanmu," ujar Siluman Ular Putih, memungut obat berwarna kuning
dari telapak tangan Kakek Pulih. "Minumlah, Arum!"
Arum Sari memandang Siluman Ular Putih
seksama "Baiklah. Kukira orang tua itu memang tak
salah. Aku sendiri yang salah, kenapa jadi teledor"
Kalau aku tak teledor, tak mungkin terluka begini,"
kata Arum Sari. Tangan kanannya pun segera men-
jumput sebutir obat berwarna kuning di tangan Si-
luman Ular Putih dan menelannya.
Selang beberapa saat, napas Arum Sari pun
tak lagi memburu. Dadanya yang tadi terkena gebu-
kan tongkat Kakek Kelabu lebih enakan.
"Iya, kan" Kami tak bermaksud mencelaka-
kan kalian," kata Kakek Putih bangga dengan obat
yang diberikan tadi.
"Terima kasih atas obatmu tadi, Kek. Teman-
ku kini sedikit mendingan. Oh, ya. Kakek berdua
mau ke mana?" tanya Siluman Ular Putih.
"Wah...! Kita diusir, Kelabu," ujar Kakek Putih terlalu perasa.
"Sudahlah, Kang! Bagaimanapun juga kita
yang salah! Kalau sekarang bocah gondrong itu
mengusir kita, ya... apa boleh buat" Kita turuti saja kemauannya."
"Hm...! Sebenarnya aku belum puas. Bocah
gondrong itu masih punya hutang satu pukulan pa-
daku. Aku belum sempat membayarnya," gumam
Kakek Putih seraya mengerling ke arah Siluman Ular Putih. "Ah...! Kalian ini
bagaimana sih" Kalau kalian mau pergi, pergilah!" kata Siluman Ular Putih.
"Baik-baik. Kami memang ingin pergi," sungut Kakek Putih.
"Sudahlah, Kang! Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" Kakek Kelabu cepat meraih
lengan Kakek Putih.
Terdorong rasa bersalahnya, segera digeretnya
Kakek Putih untuk cepat meninggalkan tempat ini.
Dan hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosok
mereka telah menghilang di kejauhan sana tertelan kerimbunan hutan.
Siluman Ular Putih menghela napas panjang.
"Sekarang bagaimana keadaanmu. Arum"
Sudah mulai membaik?" tanya Siluman Ular Putih penuh perhatian.
Arum Sari tersenyum samar. Entah kenapa,
hatinya jadi rusuh sekali. Bukannya rusuh memi-
kirkan dadanya yang masih sedikit sesak, melainkan
karena memikirkan seraut wajah tampan di hada-
pannya. "Aku sudah mendingan. Soma. Memang da-
daku masih sedikit nyeri. Tapi, kukira tak apa-apa.
Mungkin sebentar lagi juga sembuh," ucap Arum Sa-ri dengan senyum manis
terkembang di bibir.
Sewaktu Arum Sari menyebutkan kalau da-
danya masih sedikit nyeri, tanpa sadar Soma pun
melirik ke bagian tubuh yang dimaksudkan gadis
itu. Dilihatnya, pakaian yang menutupi dada si gadis memang sedikit terkuak
lebar, menampakkan sebagian bukit kembarnya yang membusung indah.
"Ah...! Kau nakal, Soma!" Arum Sari memberengut manja. Tanpa malu-malu,
pakaiannya yang
robek segera dibetulkan.
Soma malah cengar-cengir. Entah kenapa
tangannya lantas bergerak ke atas, menggaruk-
garuk kepala "Sudah, kan?" tanya gadis itu.
"Ya," gumam Soma kaku. Mungkin kecewa
dengan perbuatan Arum Sari yang membetulkan ba-
ju atau mungkin juga sebaliknya. "Bagaimana keadaan mu sekarang" Apa sudah dapat
untuk melan- jutkan perjalanan?"
"Hm...! Baiknya sebentar lagi saja, Soma. Aku ingin bersemadi barang sebentar
untuk memulihkan
tenaga dalam," pinta Arum Sari.
"Baiklah."
6 Kakek Putih dan Kakek Kelabu terus berkele-
bat cepat ke utara. Sesekali terdengar gerutuan kedua tokoh aneh itu karena
merasa tak puas dengan
apa yang baru saja dialami. Meski telah bertarung beberapa jurus, tetapi Dua
Orang Tua Aneh Putih
Kelabu merasa tak puas karena belum sepenuhnya
menguji kepandaian Siluman Ular Putih.
Hal ini terutama sekali dialami oleh Kakek
Putih. Maksud hatinya dalam menguji kepandaian
Siluman Ular Putih harus terpangkas. Dan ini se-
mua gara-gara Kakek Kelabu yang tidak dapat men-
gendalikan diri, sehingga membuat Arum Sari terlu-ka.
"Sial. Sudah ketemu orangnya, malah diusir.
Gagal sudah keinginanku untuk menguji kepan-
daian Siluman Ular Putih. Dan ini semua gara-gara kau, Kelabu!" sungut Kakek
Putih kesal. "Eh...! Jangan sembarangan menuduh, Kang!
Aku sendiri juga tak menginginkan hal ini. Tapi, gadis itu memang brengsek.
Kalau tak becus mengha-
dapiku, kenapa petentang-petenteng lagak. Huh!"
dengus Kakek Kelabu, menyalahkan Arum Sari.
"Jangan menyalahkan orang lain! Kau sendiri
harusnya tahu diri. Sudah tahu gadis itu berkepandaian tak seberapa, kenapa kau
mencelakakannya?"
"Aku tak mencelakakannya!" kilah Kakek Kelabu seraya membantingkan kaki kesal.
Sepasang matanya yang kelabu berkilat-kilat.
"Heh"! Tak mencelakakannya?" Kakek Putih menjengekkan hidung. "Buktinya" Kau
melukainya. Bahkan kaulah yang menggagalkan rencana kita un-
tuk menguji kepandaian Siluman Ular Putih."
Bukan main kesalnya Kakek Kelabu selalu
disalahkan begitu. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini.
"Kupret! Kau benar-benar kupret, Kang! Kalau masih bersikeras ingin menguji
kepandaian Siluman Ular Putih, ayo sekarang hadapi aku! Anggap saja
aku Siluman Ular Putih," makinya.
Kisah Si Rase Terbang 2 Pendekar Rajawali Sakti 54 Pembalasan Mintarsih Pahlawan Dan Kaisar 18
^