Pencarian

Mushasi 10

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 10


kau haus, ada air panas di atas api buat bikin teh. Tidurlah. Tidur yang enak." Ia
sendiri pergi ke kamar belakang.
Ketika perempuan itu datang kembali untuk mengganti bantal, kemurungan wajahnya sudah
hilang. "Suami saya juga sudah mabuk sekali," katanya, "dan barangkali capek karena
perjalanan. Dia bilang mau tidur sampai siang, karena itu tidurlah yang enak, selama
kau mau. Besok saya sediakan sarapan yang enak dan panas."
"Terima kasih." Musashi tak dapat menjawab. Ia sudah tak sabar lagi untuk melepaskan
kaus kulit dan jubahnya. "Terima kasih banvak."
Ia menyelam ke dalam selimut yang masih hangat, tapi tubuhnya sendiri lebih panas lagi
akibat minuman itu. Istri Baiken berdiri di pintu mengawasinya, kemudian diam-diam meniup lilin, dan
katanya, "Selamat malam."
Kepala Musashi terasa seperti dilingkari ikat baja yang ketat, pelipisnya berdentamdentam sakit. Ia bertanya pada diri sendiri, kenapa minum jauh lebih banyak dari
biasanya. Perasaannya dahsyat, tapi ia tak dapat tidak memikirkan Baiken. Kenapakah
pandai besi yang semula tampak hampir tidak sopan itu tiba-tiba jadi bersahabat dan
memintakan sake lagi" Kenapakah istrinya yang tak enak sikapnya itu menjadi manis dan
tiba-tiba mau membantu" Kenapa mereka memberikan tempat tidur yang hangat ini"
Semua itu seperti tak terjelaskan, tapi sebelum Musashi dapat memecahkan misteri itu,
rasa kantuk sudah menguasainya. Ia menutup mata, menarik napas dalam, dan menaikkan
selimut. Cuma dahinya yang tetap terbuka, diterangi bunga-bunga api yang sekali-sekali
melenting dari perapian. Segera kemudian terdengar tarikan napasnya yang dalam dan
teratur. Istri Baiken mengundurkan diri diam-diam ke kamar belakang, langkah kakinya yang ringan
dan lengket menyeberang tatami.
Musashi bermimpi, atau lebih tepat dikatakan melihat sebagian mimpi yang terus
berulang-ulang. Kenangan masa kecil melompat-lompat dalam otaknya seperti seekor
serangga, kelihatannya seperti mencoba menuliskan sesuatu dengan huruf-huruf cahaya.
Dan ia mendengar kata-kata nyanyian menidurkan bayi.
Tidurlah, tidurlah. Bayi tidur itu manis... Serasa ia kembali berada di Mimasaka, mendengarkan lagu menidurkan bayi yang
dinyanyikan istri pandai besi dalam dialek Ise. Ia sendiri bayi yang digendong seorang
perempuan berkulit kuning berumur sekitar tiga puluh tahun... ibunya... Perempuan itu
tentunya ibunya. Di dada ibunya ia menengadah ke wajah putih itu.
"... nakal, dan bikin ibunya menangis juga...." Sambil mengayun-ayunkannya dalam
gendongan, ibunya menyanyi lembut. Wajahnya yang tirus terawat baik tampak sedikit
kebiruan, seperti kembang buah pir. Tampak sebuah tembok, sebuah tembok batu panjang
yang ditumbuhi tumbuhan menjalar. Dan sebuah tembok tanah yang dipayungi dahandahan
yang menggelap ketika malam mendatang. Cahaya lampu bersirur dari rumah itu. Air mata
berkilauan di pipi ibunya. Dan si bayi memandang kagum air mata itu.
"Pergi! Pulang sana ke rumahmu!"
Suara itu suara Munisai yang menakutkan, yang berasal dari dalam rumah. Dan itu suatu
perintah. Ibu Musashi bangkit pelan-pelan, lalu ia menyusuri tanggul batu yang panjang.
Sambil menangis ia berlari masuk sungai dan berjalan terus ke tengah.
Karena tak dapat bicara, bayi itu menggeliat dalam pelukan ibunya, mencoba mengatakan
bahaya yang menghadang. Tapi semakin bayi itu bertingkah, semakin ketat ibunya
memeluknya. Pipinya yang basah disapukan ke pipi bayi itu. "Takezo," katanya, "kau anak
ayahmu, atau ibumu?"
Munisai memekik dari tepi sungai. Ibunya tenggelam ke dasar sungai Bayinya dilontarkan
ke tepi yang berkerikil, dan di situ ia tergeletak melolong sekuat paru-parunya, di
tengah bunga mawar yang sedang berkembang.
Musashi membuka mata. Ketika ia mulai tertidur lagi, seorang perempuan-ibunyakah" atau
perempuan lain lagi" mengganggu tidurnya dan membangunkannya lagi. Musashi tak dapat
mengingat wajah ibunya. Sering ia memikirkan ibunya, tapi tak dapat menggambarkan
wajahnya. Apabila ia melihat ibu lain, terpikir olehnya, barangkali ibunya seperti ibu
itu. "Ada apa malam ini?" pikirnya.
Sake itu telah hilang pengaruhnya. Ia membuka mata dan memandang ke langit-langit. Di
tengah hitamnya jelaga terlihat cahaya kemerahan, pantulan bara di perapian. Pandangan
matanya berhenti pada kincir mainan yang tergantung pada langit-langit di atasnya. Ia
merasa juga bau ibu dan anak itu masih menempel pada seprai. Dengan rasa nostalgia
samar-samar ia terus berbaring setengah tidur, menatap kincir mainan itu.
Kincir mainan mulai berputar pelan-pelan. Tak ada yang aneh di situ, memang ia dibuat
supaya berputar. Tapi... tapi itu kalau ada angin! Maka Musashi bangun dan menajamkan
pendengaran baik-baik. Terdengar bunyi pintu yang ditutupkan pelan-pelan. Kincir mainan
berhenti berputar. Diam-diam Musashi meletakkan kembali kepalanya ke bantal dan mencoba menduga apa yang
sedang terjadi di rumah itu. Ia laksana seekor serangga di bawah selembar daun, yang
mencoba meramalkan cuaca di atasmya. Seluruh tubuhnya sudah terbiasa dengan perubahan
sekecil apa pun di sekitarnya, dan sarafnya yang peka betul-betul tegang. Musashi tahu,
hidupnva dalam bahaya, tapi dari mana"
"Apa ini sarang penyamun?" begitu mula-mula ia bertanya pada diri sendiri. Tapi tidak.
Kalau mereka pencuri betul, tentunya mereka tahu ia tak punya apa-apa.
"Apa dia dendam padaku?" Itu pun rasanya tidak tepat. Musashi merasa pasti, belum
pernah ia melihat Baiken sebelumnya.
Walaupun tak dapat menggambarkan sebabnya, kulit dan tulangnya dapat merasakan bahwa
seseorang atau sesuatu sedang mengancam hidupnya tahu bahwa apa pun bentuknya, ancaman
itu sangat dekat. Ia harus memutuskan dengan cepat, apakah akan berbaring menunggu
datangnya bahaya, ataukah meloloskan diri sebelum tiba waktunya.
Ia ulurkan tangannya ke atas ambang pintu bengkel untuk mencari sandalnya. Ia selipkan
mula-mula sebelah sandal, dan kemudian sandal yang lain ke bawah seprai, ke bagian kaki
tempat tidur. Kincir mainan itu mulai berputar lagi. Dalam cahava api ia berputar seperti bunga yang
terkena sihir. Langkah-langkah kaki terdengar lirih, baik di dalam maupun di luar
rumah, ketika Musashi pelan-pelan menggulung tilam menjadi bentuk tubuh manusia.
Di bawah tirai pendek di pintu muncul sepasang mata milik orang yang sedang merangkak
masuk dengan pedang terhunus. Seorang lagi yang membawa lembing dan bergayut erat pada
dinding mengendap ke bagian kaki tempat tidur. Kedua orang itu menatap seprai tempat
tidur dan mendengarkan napas orang yang sedang tidur. Kemudian, seperti gumpalan asap,
orang ketiga melompat masuk. Orang itu Baiken sendiri yang memegang sabit dengan tangan
kiri dan peluru dengan tangan kanan.
Ketiga mata orang itu bertemu, dan mereka mempersamakan napas. Orang yang berada di
bagian kepala tempat tidur menendang bantal ke udara, sedangkan yang di bagian kaki
melompat masuk bengkel dan membidikkan lembingnya ke benda terbaring itu.
Dengan sabit di belakang tubuhnya, Baiken berseru, "Bangun, Musashi!"
Tak ada jawaban atau gerakan datang dari tilam. Orang yang memegang lembing
menyingkapkan seprai. "Dia tak ada," serunya.
Baiken melontarkan pandangan bingung ke kamar, dan terpandang olehnya kincir mainan
berputar cepat. "Ada pintu terbuka!" pekiknya.
Segera seorang lagi berseru marah. Pintu bengkel yang menghadap jalan setapak yang
menuju ke belakang rumah terbuka sekitar tiga kali lebarnva. dan angin tajam bertiup ke
dalam. "Dia keluar dari sini!"
"Apa kerja orang-orang tolol itu!" jerit Baiken sambil berlari ke luar. Dari bawah
ujung atap dan bayangan bermunculan sosok-sosok tubuh hitam. "Beres, Pak?" tanya satu
suara rendah bergairah. Baiken menatap berang. "Apa maksudmu, goblok" Menurutmu, kenapa kau kusuruh jaga di
sini" Dia lari! Pasti dia lewat sini tadi."
"Lari" Bagaimana dia bisa lari?"
"Pakai tanya lagi" Keledai kepala besar!" Baiken kembali masuk rumah dan berjalan
mondar-mandir dengan bingung. "Cuma ada dua jalan yang mungkin dia ambil: ke jalan raya
Tsu. Mana pun yang dia tempuh, dia pasti belum jauh. Kejar dia!"
"Lewat jalan mana, menurut Bapak?"
"Aku ke Suzuka. Kamu tutup jalan bawah itu!"
Orang-orang yang ada di dalam bergabung dengan orang-orang yang ada di luar, menjadi
rombongan campuran terdiri atas sekitar sepuluh orang. semuanya bersenjata. Seorang di
antaranya yang membawa bedil tampak seperti pemburu lainnya, yang membawa pedang pendek
barangkali pembelah kayu.
Ketika berpisah, Baiken berseru, "Kalau kau temukan dia tembakkan bedil, dan semua
kumpul." Mereka berangkat cepat-cepat, tapi sekitar satu jam kemudian mereka kembali satu-satu
dengan wajah murung, berceloteh antara sesamanya dengan kesal. Mereka mengira akan
mendapat makian pemimpinnya, tapi sampai di rumah mereka dapati Baiken duduk di lantai
bengkel dengan mata tertunduk tanpa cahaya.
Ketika mereka mencoba menggembirakan hatinya, Baiken berkata, "Tak ada gunanya
menangisinya sekarang." Untuk mencoba melampiaskan kemurkaannya, ia ambil sepotong kayu
arang dan ia patahkan kayu itu dengan lututnya.
"Ambil sake! Aku mau minum." Ia nyalakan api itu kembali dan ia masukkan lagi rantingranting kayu api.
Sambil mencoba menenangkan bayinya, istri Baiken mengingatkan suaminya bahwa sake tak
ada lagi. Seorang dari orang-orang itu dengan sukarela men-datangkan sake dari
rumahnya, dan ia lakukan itu dengan cepat. Segera kemudian minuman itu sudah panas, dan
mangkuk-mangkuk diedarkan.
Percakapan hanya terjadi di sana-sini dan kedengaran murung.
"Bikin aku gila."
"Bajingan kecil busuk."
"Dia punya jimat! Pasti."
"Tak usah kuatir soal itu, Pak. Bapak sudah lakukan semua yang mungkin. Orang-orang di
luar inilah tadi yang gagal dalam tugas."
Orang-orang yang dimaksud itu meminta maaf dengan wajah malu. Mereka mencoba membuat
Baiken mabuk, supaya mau pergi tidur, tapi Baiken hanya duduk memberengut karena
pahitnya sake, tidak menegur siapa pun atas kegagalan itu.
Akhirnya ia berkata, "Mestinya tak usah aku membesarkan soal dengan mengerahkan begitu
banyak bantuan dari kalian. Mestinya aku dapat menanganinya sendiri, tapi tadinya
kupikir aku mesti hati-hati. Dia sudah membunuh saudaraku, sedangkan Tsujikaze Temma
itu bukan pejuang kecil."
"Apa ronin itu betul-betul anak yang sembunyi di rumah Oko empat tahun yang lalu?"
"Mestinya begitu. Jisim saudarakulah yang membawanya kemari, aku yakin. Semula tak
pernah terpikir olehku, tapi kemudian dia mengatakan pernah di Sekigahara, dan namanya
waktu itu Takezo. Melihat umurnya dan macamnya, memang dia yang membunuh saudaraku.
Pasti dialah itu." "Lebih baik Bapak tidak memikirkannya lagi malam ini. Berbaringlah dan tidurlah."
Mereka semua membantunya ke tempat tidur. Beberapa orang memungut bantal yang tadi
ditendang dan meletakkannya di bawah kepalanya. Begitu mata Baiken tertutup, kemurkaan
yang memenuhi dirinya diganti oleh dengkur keras.
Orang-orang saling mengangguk dan mengundurkan diri, bubar ke tengah kabut pagi buta.
Mereka semua orang-orang jembel"anak buah bromocorah seperti Tsujikaze Temma dari Ibuki
dan Tsujikaze Kohei dari Yasugama, yang sekarang menyebut dirinya Shishido Baiken. Bisa
juga mereka itu sekadar begundal di anak tangga terbawah dalam masyarakat bebas. Karena
desakan waktu yang sedang mengalami perubahan, mereka menjadi petani, tukang, atau
pemburu, tapi masih punya gigi yang siap dipakai menggigit orang baik-baik, kapan saja
ada kesempatan. Yang terdengar di rumah itu kini hanya bunyi penghuni yang tidur dan gerekan tikus
ladang. Di sudut gang yang menghubungkan ruang kerja dengan dapur, di samping tungku tanah
besar, berdiri setumpuk kayu bakar. Di atasnya tergantung sebuah payung dan mantelmantel jerami yang berat. Di dalam bayangan antara tungku dan dinding, salah satu
mantel hujan itu bergerak, pelan dan lirih mengingsut ke dinding, sampai akhirnya
tergantung pada paku. Tubuh manusia yang seperti asap itu tiba-tiba seperti muncul dari dinding. Musashi
muncul dari dinding. Musashi tak satu langkah pun meninggalkan rumah itu. Sesudah
menyelinap dari bawah seprai tadi ia membuka pintu luar dan mencampurkan diri dengan
kayu api, dan menutup dirinya dengan mantel hujan.
Kini ia berjalan pelan-pelan melintasi bengkel dan memandang Baiken.
Amandelnya bengkak, pikir Musashi, karena dengkur Baiken bukan main kerasnya. Keadaan
itu terasa lucu olehnya, dan ia menyeringai.
Ia berdiri di sana sejenak, berpikir. Praktis ia sudah memenangkan pertarungan dengan
Baiken. Suatu kemenangan telak. Namun orang yang terbaring itu saudara Tsujikaze Temma
dan sudah mencoba membunuhnya untuk menyenang-kan roh saudaranya yang telah mati"suatu
sentimen yang mengagumkan untuk seorang bromocorah.
Mestikah Musashi membunuhnya" Kalau Musashi membiarkannya hidup, ia akan terus mencari
kesempatan melaksanakan balas dendam. Jalan yang aman, tidak sangsi lagi, adalah
menyingkirkannya sekarang juga. Tapi persoalan yang masih harus dijawab adalah, apakah
orang itu pantas dibunuh.
Musashi berpikir keras sejenak, sebelum akhirnya menemukan pemecahan yang kelihatannya
paling tepat. Ia pergi ke dinding dekat kaki Baiken dan mengambil salah satu senjata
pandai besi itu. Sambil mengeluarkan mata sabit dari lekuknya, ia mengamati wajah orang
yang sedang tidur itu. Kemudian dibungkuskannya secarik kertas lembap di sekitar mata
sabit itu melintang di leher Baiken, dan ia undur mengagumi hasil karyanya.
Kincir mainan itu tidur juga. Sekiranya tak ada kertas pembungkus itu, demikian pikir
Musashi, kincir itu bisa terbangun pagi harinya dan berputar kencang menyaksikan kepala
tuannya terjatuh dari bantal.
Ketika Musashi membunuh Tsujikaze Temma dulu, ia punya alasan untuk melakukannya, lagi
pula waktu itu darahnya masih mendidih oleh demam pertempuran. Namun kini tak ada satu
pun manfaat yang bisa ia peroleh dari mengambil nyawa pandai besi itu. Lagi pula, siapa
tahu, kalau ia membunuh orang itu, anaknya yang masih kecil nantinya akan menghabiskan
hidupnya untuk berusaha membalas dendam kepada pembunuh ayahnya.
Malam itu berkali-kali Musashi memikirkan ayah dan ibunya sendiri. Ia merasa sedikit
iri berdiri di dekat keluarga yang sedang tidur ini, dan samar-samar tercium olehnya
bau manis susu ibu. Ia bahkan merasa enggan meninggalkan tempat itu.
Dalam hatinya ia berkata pada mereka, "Saya minta maaf telah mengganggu kalian.
Tidurlah yang nyenyak." Pelan-pelan ia membuka pintu luar dan pergi.
*** 29. Kuda Terbang OTSU dan Jotaro tiba di perbatasan larut malam, menginap di sebuah rumah penginapan,
kemudian melanjutkan perjalanan lagi sebelum kabut pagi menghilang. Dari Gunung
Fudesute mereka berjalan ke Yonkenjaya. Di situ untuk pertama kali mereka merasakan
hangatnya matahari terbit yang menyinari punggung.
"Bukan main indahnya!" ujar Otsu. Ia berhenti melihat bulatan emas besar itu. Ia tampak
penuh harapan dan keriangan. Itulah saat indah ketika semua benda bernyawa, bahkan juga
tumbuhan dan binatang, merasa puas dan bangga karena hidup di dunia ini.
Jotaro berkata senang, "Kita berdua yang pertama di jalan ini. Tak ada orang di depan
kita." "Kedengarannya bangga betul kamu. Apa artinya?"
"Oh, banyak artinya."
"Apa menurutmu jalan ini lalu jadi lebih pendek?"
"Oh, bukan. Senang rasanya menjadi orang pertama, biar cuma pertama di jalan. Mesti
Kakak akui, itu lebih baik daripada berjalan di belakang joli atau kuda."
"Memang betul."
"Kalau tak ada orang lain di jalan yang kujalani, aku merasa jalan itu milikku."
"Kalau begitu, kenapa tidak kamu umpamakan dirimu seorang samurai besar yang sedang
menunggang kuda dan memeriksa tanahmu yang luas" Aku akan jadi pembantumu." Otsu
memungut sebatang bambu, dan sambil mengayun-ayunkan bambu itu dengan khidmat ia
berseru-seru dengan nada sama, "Semua membungkuk! Semua membungkuk kepada Yang
Dipertuan!" Seorang lelaki memandang bertanya-tanya dari bawah ujung atap warung teh. Tertangkap
basah sedang bermain seperti anak-anak, wajah Otsu memerah dan ia berjalan terus
secepat-cepatnya. "Oh, jangan begitu," protes Jotaro. "Tak boleh kamu lari dari tuanmu. Kalau lari,
terpaksa aku membunuhmu!"
"Aku tak mau main lagi, ah!"
"Lho, kan Kakak yang main tadi, bukan aku?"
"Ya, tapi kamu yang mulai. Lihat itu! Orang di warung teh itu memandang kita terus.
Pasti dikiranya kita sinting."
"Mari kita kembali ke sana."
"Buat apa?" "Aku lapar." "Sudah lapar?" "Apa tak bisa kita makan separuh kue nasi yang buat makan siang?"
"Sabar. Kita belum lagi tiga kilometer. Kalau kubiarkan bisa-bisa kamu makan lima kali
sehari." "Mungkin. Tapi Kakak tak pernah lihat aku naik joli atau menaiki kuda seperti Kakak."
"Ah, itu kan cuma tadi malam, dan cuma karena sudah gelap dan kita mesti buru-buru.
Kalau begitu pendapatmu, aku akan jalan sepanjang hari im.
"Hari ini giliranku naik kuda."
"Anak-anak tak perlu naik kuda."
"Tapi aku ingin naik kuda. Apa tak bisa" Bisa, kan?"
"Barangkali, tapi hari ini saja."
"Kulihat ada kuda terikat di warung teh itu. Kita dapat menyewanya."
"Jangan, sekarang masih terlalu pagi."
"Kalau begitu, Kakak bohong tadi bilang aku boleh naik kuda!"
"Aku tidak bohong, tapi kamu kan belum capek" Menyewa kuda itu membuang-buang uang


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja." "Kakak kan tahu betul, aku tak pernah capek. Aku tak akan capek, biar kita jalan
seratus hari atau seribu lima ratus kilo. Kalau mesti tunggu sampai lelah, tak bakal
aku naik kuda. Ayolah, mari kita sewa kuda sekarang, mumpung tak ada orang di depan
kita. Ini lebih aman daripada kalau jalan ramai. Ayolah!"
Karena merasa bahwa kalau terus begitu mereka akan kehilangan waktu yang sudah mereka
hemat dengan berangkat pagi-pagi, maka Otsu menyetujui. Begitu Jotaro merasa Otsu
mengangguk setuju, ia berlari kembali ke warung teh ia memang tidak menantikan anggukan
Otsu. Walaupun di sekitar itu terdapat empat warung teh, seperti ditunjukkan oleh nama
Yonkenjaya itu, warung-warung itu terletak di berbagai tempat yang berlainan di lereng
Gunung Fudesute dan Kutsutake. Adapun warung yang baru mereka lewati itulah satusatunya yang tampak oleh mereka.
Jotaro berlari menjumpai pemilik warung, kemudian berhenti tiba-tiba, serunya, "Hei,
siapa di situ" Aku mau kuda! Keluarkan satu buatku!"
Orang tua itu sedang menurunkan daun jendela. Teriakan bernafsu anak itu mengejutkannya
dan membangunkannya. Dengan muka masam ia menggerutu, "Apa saja ini! Buat apa memekik
sekeras itu!" "Aku perlu kuda. Minta disiapkan sekarang juga. Berapa sampai Minakuchi" Kalau tak
begitu mahal, bisa diteruskan sampai Kusatsu."
"Tapi kamu ini anak siapa?"
"Aku anak ibuku dan ayahku," jawab Jotaro kurang ajar.
"Kupikir turunan liar dewa badai."
"Kamu ini dewa badainya. Tampangmu gila macam guntur."
"Bandel!" "Mana kudanya!"
"Oh, kau pikir kuda itu buat disewakan" Kuda itu tidak disewakan. Maka aku kuatir tidak
mendapat kehormatan meminjamkannya kepada Tuan."
Dan untuk mengimbangi nada bicara orang itu, Jotaro menyahut, "Oh, jadi aku tak akan
mendapat kehormatan menyewanya?"
"Lancang kamu, ya?" teriak orang itu sambil mengambil ranting menyala dari api di bawah
tungku dan melemparkannya kepada anak itu. Ranting iru tidak mengenai Jotaro, tapi
menimpa kuda tua yang tertambat di bawah ujung atap. Sambil meringkik membelah udara,
kuda itu mundur .ian membenturkan punggungnya ke tiang.
Bajingan!" jerit si pemilik. Ia melompat keluar dari warung sambil memuntahkan sumpah
serapah dan berlari mendapatkan binatang itu.
Selagi ia melepaskan tali dan menuntun kuda itu ke pekarangan samping, Jotaro mulai
lagi. "Pinjamkan dia untuk aku."
"Tidak bisa." "Kenapa tak bisa?"
"Tak ada tukang yang membawanya."
Otsu memihak Jotaro dan menyarankan, kalau tak ada tukang kuda ia dapat membayar uang
di muka dan mengirimkan kuda pulang kembali dari Minakuchi bersama musafir yang pergi
ke sini. Sikap Otsu yang memohon itu melunakkan si orang tua, dan ia mengambil
keputusan bahwa ia dapat mempercayai Otsu. Sambil menyerahkan tali kepada Otsu,
karanva, "Kalau begitu, bisa kaubawa dia ke Minakuchi, atau juga ke Kusatsu, kalau kau
mau. Cuma permintaanku, kirim dia kembali."
Ketika mereka akan berangkat, ujar Jotaro marah, "Apa pendapat Kakak tentang dia" Dia
perlakukan aku seperti keledai, tapi begitu dia lihat wajah manis...."
"Hati-hati kamu, kalau bicara tentang orang tua itu. Kudanya ini mendengarkan. Dia bisa
marah dan melemparkanmu."
"Apa menurut Kakak, kuda tua lemah kaki ini bisa mengalahkan aku?"
"Kamu kan belum bisa naik kuda?"
"Siapa bilang tak bisa?"
"Lalu macam apa pula ini, naik dari belakang?"
"Ah. tolong dong!"
"Brengsek!" Otsu memegang ketiak Jotaro dan menaikkannya ke punggung binatang itu.
Jotaro memandang megah ke sekitar, ke dunia di bawahnya. "Kakak jalan di depan, dong,"
katanya. "Dudukmu belum benar."
"Jangan kuatir. Soal itu beres."
"Baiklah, tapi kamu menyesal nanti." Sambil memegang tali kekang dengan satu tangan,
Otsu melambaikan ucapan selamat berpisah kepada pemilik kuda dengan tangan satunya,
lalu keduanya berangkat. Belum lagi seratus langkah, mereka sudah mendengar pekik keras dari tengah kabut di
belakang mereka, diiringi langkah kaki berlari.
"Siapa itu kira-kira?" tanya Jotaro.
"Apa kita yang dipanggilnya?" tanya Otsu.
Mereka menghentikan kuda itu dan menoleh. Di tengah kabut putih mengasap itu terbentuk
bayangan orang. Semula mereka hanya dapat menangkap garis bentuknya saja, kemudian
warnanya, tapi segera kemudian orang itu sudah cukup dekat, hingga mereka dapat
mengira-ngirakan penampilannya dan umurnya. Hawa setani mengitari tubuhnya, seakan-akan
orang itu diikuti angin pusaran yang sedang mengamuk. Orang itu cepat mendekat ke
samping Otsu, berhenti, dan dengan gerakan cepat merebut tali kekang dari tangan Otsu.
"Turun!" perintahnya sambil menatap Jotaro.
Kuda itu berlari kecil mundur. Sambil mencekal bulu tengkuknya, Jotaro memekik, "Hei,
mana boleh begitu! Aku yang menyewa kuda ini, bukan kamu!"
Orang itu mendengus, menoleh kepada Otsu, katanya, "Perempuan!"
"Ya?" kata Otsu lirih.
"Namaku Shishido Baiken. Aku tinggal di Desa Ujii di pegunungan. sebelah sana
perbatasan. Aku sedang mengejar orang yang namanya Miyamoto Musashi. Dia lewat jalan
ini sebelum fajar tadi. Barangkali dia lewat beberapa jam lalu, jadi aku mesti jalan
cepat kalau mau berhasil mengejar dia di Yasugawa, perbatasan Omi. Berikan kuda ini
padaku." Orang itu bicara sangat cepat, tulang rusuknya mengembang dan mengempis. Dalam
udara dingin itu, kabut mengental menjadi bunga es pada cabang-cabang dan rantingranting pohon, tapi leher orang itu berkelip-kelip seperti ular karena keringat.
Otsu tegak diam, wajahnya putih seperti mayat, seakan bumi di bawahnya menguras seluruh
darah tubuhnya. Bibirnya menggeletar. Ingin sekali ia bertanya, untuk memastikan apa
yang didengarnya itu benar. Tapi ia tak dapat mengucapkan sepatah kata pun.
"Kamu bilang Musashi?" ucap Jotaro. Ia masih mencengkeram bulu tengkuk kuda itu, tapi
kaki dan tangannya gemetar.
Baiken demikian terburu-buru, hingga tidak melihat geletar tubuh mereka. "Ayo cepat!
Kalau tidak kucambuk kamu!" Dan ia mengacungkan ujung tali kekang itu seperti cambuk.
Jotaro tetap menggeleng. "Aku tak mau."
"Apa maksudmu tak mau?"
"Ini kudaku, kamu tak bisa mengambilnya. Tak peduli kamu terburu-buru atau tidak."
"Awas kau! Sikapku sudah baik sekali, kujelaskan duduk perkaranya, kalian cuma seorang
perempuan dan anak yang jalan sendiri, tapi..."
"Betul, kan, Otsu?" sela Jotaro. "Tak boleh dia ambil kuda ini, kan?" Otsu ingin
memeluk anak itu. Baginya soalnya bukanlah kuda itu, tetapi bagaimana mencegah orang
jahat ini mengejar lebih cepat.
"Betul," katanya. "Saya percaya Tuan memang buru-buru, tapi kami juga buru-buru. Tuan
dapat menyewa salah satu kuda yang jalan naik-turun gunung ini dengan teratur. Seperti
dikatakan anak ini, tidak adil kalau Tuan mencoba mengambil kuda ini dari kami."
"Aku tak mau turun," ulang Jotaro. "Lebih baik aku mati daripada turun!"
"Sudah bulat kamu tak mau melepaskan kuda ini?" tanya Baiken kasar.
"Mestinya kamu sudah tahu, kami tak mau," jawab Jotaro geram.
"Anak anjing!" teriak Baiken, marah oleh nada bicara anak itu.
Jotaro yang mengetatkan cengkeramannya pada bulu tengkuk kuda itu tampak hanya sedikit
lebih besar dari seekor kucu. Baiken menjangkau sebelah kaki Jotaro dan menariknya
turun. Inilah saatnya Jotaro mesti menggunakan pedang kayunya. Tapi karena bingung ia
lupa sama sekali akan senjata itu. Berhadapan dengan musuh yang lebih kuat daripada
dirinya, satu-satunya cara bertahan yang teringat olehnya adalah meludahi muka Baiken,
dan itulah yang dilakukannya berulang-ulang.
Otsu jadi ngeri sekali. Rasa takut akan terluka atau terbunuh oleh orang ini
mendatangkan rasa asam dan kering dalam mulutnya. Tapi memang tak ada soal menyerah dan
membiarkan orang itu mengambil kuda. Musashi sedang dikejar makin lama ia dapat
menghambat iblis ini, makin banyak Musashi punya waktu untuk lari. Tak jadi soal
baginya, apakah jarak antara Musahi dan dirinya akan bertambah juga, justru pada waktu
ia tahu bahwa setidak-tidaknya mereka berada di jalan yang sama. Sambil menggigit bibir
dan kemudian menjerit, "Kamu tidak boleh berbuat begitu!" ia memukul dada Baiken dengan
tenaga yang bahkan ia sendiri pun tak menduganya.
Karena masih menghapus ludah dari wajahnya, Baiken kehilangan ke-seimbangan, dan pada
detik itulah tangan Otsu menangkap gagang pedangnya.
"Anjing!" salak orang itu, berusaha mencengkeram pergelangan tangan Otsu. Tapi tibatiba ia melolong kesakitan. Karena sebagian pedang itu sudah keluar dari sarungnya,
bukan tangan Otsu yang ia parut, tapi mata pedang. Ujung dua jari tangan kanannya jatuh
ke tanah. Sambil memegang tangan yang berdarah itu ia melompat mundur, sehingga tak
sengaja menghunus pedang dari sarungnya. Baja berkilau cemerlang yang terulur dari
tangan Otsu menggaruk tanah dan berhenti di belakang gadis itu.
Baiken melakukan kesalahan lebih besar lagi daripada malam sebelumnya.
Sambil mengutuk diri sendiri karena sikapnya yang tidak hati-hati, ia berjuang untuk
memperoleh kembali keseimbangannya. Otsu kini tidak takut pada apa pun dan mengayunkan
pedang itu ke samping, ke arah orang itu. Tapi senjata itu senjata besar berlempeng
lebar, panjangnya hampir tiga kaki, tidak setiap lelaki dapat menggunakannya. Ketika
Baiken menghindar, tangan Otsu guncang dan ia terhuyung ke depan. Ia rasakan kedua
tangannya terpilin sekilas dan darah hitam kemerahan menyembur ke wajahnya. Setelah
pusing sebentar, ia sadar bahwa pedang mengenai pantat kuda.
Luka itu tidak dalam, tapi kuda itu memperdengarkan suara men
gerikan, kemudian mundur dan menyepak dengan liarnya. Disertai teriakan tak keruan, Baiken mencengkeram terus
pergelangan tangan Otsu dan mencoba memperoleh kembali pedangnya, tapi waktu itu si
kuda menyepak mereka berdua ke udara. Kemudian, sambil berdiri pada kaki belakangnya,
kuda meringkik keras dan terbang ke jalan seperti anak panah lepas dari busurnya,
sementara Jotaro terus bergayut kuat-kuat pada punggungnya dan darah mencurah di
belakangnya. Baiken terhuyung-huyung di udara penuh debu. Ia tahu tak dapat menangkap binatang yang
menggila itu, karena itu dengan mata marah ia menoleh ke tempat Otsu tadi berada. Tapi
Otsu sudah tak ada. Sesaat kemudian ia melihat pedangnya di bawah
ia mengambilnya kembali. Sesudah ia membenahi
hubungan antara perempuan ini dengan Musashi!
menjadi umpan yang baik sekali. Setidaknya ia
sebatang pohon larch, dan sekali sergap
diri, terpikir olehnya: tentunya ada
Dan kalau ia teman Musashi, ia bisa
pasti tahu ke mana perginya Musashi.
Setengah berlari setengah meluncur ia menuruni tanggul di samping jalan, mengitari
sebuah rumah pertanian beratap lalang, memeriksa bawah lantai dan dalam gudangnya.
Seorang perempuan tua yang membungkuk di balik mesin pemintal dalam rumah memandangnya
ketakutan. Kemudian tampak olehnya Otsu berlari kencang melintasi rumpun kriptomeria yang rimbun,
menuju lembah di kejauhan. Kelihatan bercak-bercak salju terakhir.
Ia menyerbu turun bukit dengan tenaga bagai tanah longsor dan segera dapat menguasai
jarak yang memisahkan mereka.
"Anjing!" teriaknya sambil mengulurkan tangan kiri dan memegang rambut Otsu.
Otsu jatuh ke bawah dan berpegangan pada akar-akar sebatang pohon, tapi kakinya
tergelincir dan tubuhnya jatuh ke ujung karang terjal. Di situ tubuh itu berayun-ayun
seperti bandul jam. Lumpur dan kerikil jatuh ke wajahnya ketika ia memandang ke atas,
ke mata Baiken yang besar dan pedangnya yang berkilauan.
"Tolol!" kata Baiken menghina. "Kau pikir kau bisa lolos sekarang?"
Otsu menatap ke bawah. Lima puluh atau enam puluh kaki di bawah sana sebatang sungai
melintasi dasar lembah. Anehnya ia tidak takut. Ia menganggap lembah itu sebagai
penyelamatnya. Kapan saja ia mau, ia dapat meloloskan diri hanya dengan melepaskan
pohon itu dan melemparkan diri, menyerahkan diri kepada ruang terbuka di bawah. Ia
merasakan dekatnya maut, tapi bukan itu yang dipikirkannya. Ia pusatkan pikiran pada
satu-satunya bayangan dalam batinnya: Musashi. Ia seolah melihat Musashi seperti bulan
bulat di langit penuh badai.
Baiken cepat menangkap pergelangan Otsu, mengangkatnya, dan menyeretnya dari ujung
karang. Tepat pada saat itu seorang begundalnya memanggil dari jalan. "Apa kerja Bapak di sana"
Sebaiknya kita cepat-cepat. Orang tua di warung itu tadi bilang, seorang samurai
membangunkannva sebelum fajar, memesan makan siang, dan lari ke Lembah Kaga."
"Lembah Kaga?" "Katanya. Tapi dia pergi ke sana atau menyeberang Gunung Tsuchi ke Minakuchi, bukan
soal. Semua jalan itu sampai Ishibe. Kalau kita cepat-cepat ke Yasugawa, kita akan bisa
menangkapnya di sana."
Punggung Baiken membelakangi orang itu, sedangkan matanya terpancang pada Otsu yang
meringkuk di depannya, seakan terjebak oleh pandangan ganas Baiken. "Hei!" raung
Baiken. "Kalian bertiga turun sini!"
"Ada apa?" "Turun sini cepat!"
"Kalau kita buang waktu, Musashi akan mendahului kita ke Yasugawa."
"Biar." Ketiga orang itu sebagian orang-orang yang ikut melakukan pencarian sia-sia malam
sebelumya. Karena terbiasa berjalan melintasi pegunungan, mereka dapat menyerbu
menuruni lereng dengan kecepatan gerombolan babi hutan. Sampai di tempat berdirinya
Baiken, mereka melihat Otsu. Pemimpin mereka cepat menjelaskan keadaan itu.
"Ikat dia dan bawa," kata Baiken sebelum berangkat melintasi hutan.
Mereka mengikat Otsu, tapi merasa kasihan kepadanya. Otsu terbaring tanpa daya di
tanah, wajahnya menghadap ke samping. Dengan mencuri-curi mereka melontarkan pandangan
malu ke raut muka Otsu yang pucat.
Baiken sudah di Lembah Kaga. Ia berhenti, menoleh ke karang, dan berteriak, "Kita
ketemu di Yasugawa. Aku ambil jalan pintas, tapi kalian terus ambil jalan raya. Dan
buka mata kalian." "Baik, Pak!" sahut mereka serempak.
Baiken berlari seperti kambing gunung di antara batu-batu karang, dan segera kemudian
sudah tidak kelihatan. Jotaro terus meluncur ke jalan raya. Meskipun sudah tua, kuda itu demikian menggila,
hingga tak dapat dihentikan seutas tali kekang, kalaupun Jotaro tahu caranva. Karena
luka baru yang membakar seperti obor, ia melaju membuta ke depan, mendaki bukit turun
lembah, melintasi desa-desa.
Suatu nasib baik semata-mata bahwa Jotaro tidak terlontar. "Awas! awas!" jeritnya
berulang-ulang. Kata-kata itu sudah seperti doa yang terus diulangulangnya.
Karena tak bisa lagi bergayut pada bulu tengkuk kuda, ia mengetatkan cekalannya pada
leher kuda. Matanya tertutup.
Apabila pantat binatang itu naik ke udara, Jotaro ikut juga naik. Karena lama-kelamaan
sadar bahwa teriakan-teriakannya tidak bermanfaat, berangsur-angsur permohonannya
berganti dengan lolongan sedih. Ketika ia minta Otsu membolehkannya naik kuda tadi,
pikirnya alangkah hebat mencongklang sekehendak hati dengan kuda indah, tapi sesudah
beberapa menit saja naik dengan cara yang menegakkan bulu roma seperti itu, kapoklah
ia. Jotaro berharap ada orang-siapa saja-yang mau bersukarela menangkap tali kekang yang
lepas itu dan menghentikan si kuda. Tapi harapan itu rasanya berlebihan, karena orang
jalan dan orang desa tak ada yang mau terluka oleh perkara yang tidak menyangkut
kepentingan mereka. Bukannya membantu, semua orang malah mencoba mencari tempat aman di
pinggir jalan dan memaki penunggang kuda yang tidak bertanggung jawab itu.
Sebentar saja ia telah melewati Desa Mikumo dan sampai di kota penginapan Natsumi.
Sekiranya ia penunggang ahli yang dapat dengan sempurna mengendalikan kudanya, dapat
kiranya ia memayungi mata dengan tangan, dan dengan tenang meninjau pegunungan dan
lembah Iga yang indah itu-meninjau ke puncak Nunobiki, Sungai Yakota, dan di kejauhan
perairan Danau Biwa yang seperti cermin.
"Berhenti! Berhenti! Berhenti!" nada teriakannya telah berubah. Lebih kuatir. Dan
ketika mulai menuruni Bukit Koji, teriakannya mendadak berubah lagi. "Tolong! Tolong!"
jeritnya. Kuda mulai menuruni lereng terjal, dan Jotaro terpental-pental seperti bola di atas
punggungnya. Sekitar sepertiga jalan ke bawah, sebatang pohon ek besar menonjol dari sebuah karang
terjal di sebelah kiri, dan salah satu cabangnya mencongak menyeberang jalan. Ketika
Jotaro merasa daun-daunan menempel di wajahnya, ia menyatukan kedua tangannya, dengan
keyakinan bahwa dewa-dewa telah mendengar doanya dan menggerakkan anggota badannya ke
depan. Barangkali ia benar. Ia melompat seperti kodok, dan sesaat kemudian sudah
tergantung di udara, kedua tangannya merangkum erat-erat dahan di atas kepalanya. Kuda
lolos dari bawahnya dan lari sedikit lebih cepat, karena tanpa pengendara lagi.
Untuk menjatuhkan diri ke tanah, jaraknya tidak lebih tiga meter. Tapi Jotaro tak mau
memaksa diri melepaskan cengkeramannya. Dalam keadaan sangat terguncang itu, jarak yang
begitu dekat terasa seperti jurang menganga. Ia bergantung terus pada dahan penyelamat
hidupnya, ia silangkan kedua kakinya di atas dahan itu, ia perbaiki letak tangannya
yang sakit, dan bertanya-tanya dengan gundahnya dalam hati, apa yang harus
dilakukannya. Persoalan segera terpecahkan. Cabang itu patah dengan suara berderak.
Sesaat Jotaro menyangka telah mati, duduk di tanah tanpa cedera.
"Haa ... h," hanya itu yang dapat dikatakannya.
Beberapa menit lamanya ia duduk malas, semangatnya merosot, kalau tak hendak dikatakan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patah. Kemudian ia ingat, kenapa ada di sana, dan langsung lompat berdiri.
Tanpa mengindahkan tanah yang diinjaknya ia berseru, "Otsu!"
Ia berlari balik mendaki lereng, sebelah tangannya erat memegang pedang kayu.
"Apa yang mungkin terjadi dengan dia" ...Otsu, Otsu! O-tsu-u-u!"
Tak lama kemudian ia bertemu dengan seorang lelaki berkimono merah kelabu yang menuruni
bukit. Orang asing itu mengenakan hakama kulit dan membawa dua bilah pedang, tapi tak
berjubah. Sesudah melewati Jotaro ia menoleh dan katanya, "Halo!" Jotaro menengok, dan
orang itu bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Bapak datang dari atas bukit sana, kan?" tanya Jotaro.
"Ya." "Apa Bapak lihat perempuan manis umur sekitar dua puluh tahun?"
"Ya, kulihat." "Di mana?" "Di Natsumi kulihat beberapa bromocorah berjalan dengan seorang gadis. Tangan gadis itu
terikat di belakang. Tentu saja aneh, tapi aku tak punya alasan untuk campur tangan.
Aku yakin orang-orang itu gerombolan Tsujikaze Kohei. Mereka pindahan satu desa penuh
gelandangan dari Yasugawa ke Lembah Suzuka beberapa tahun lalu."
"Itu dia, aku yakin," Jotaro mulai berjalan terus, tapi orang itu menghentikannya.
"Apa kalian tadi jalan bersama?" tanyanya.
"Ya. Namanya Otsu."
"Kalau kau nekat, kau bisa terbunuh sebelum dapat menolong orang lain. Kenapa kau tidak
tunggu saja di sini" Cepat atau lambat mereka akan lewat sini. Nah, sekarang ceritakan
padaku, apa saja semua ini. Barangkali aku dapat memberimu nasihat."
Jotaro segera menaruh kepercayaan pada orang itu dan menceritakan segala yang terjadi
sejak pagi. Berkali-kali orang bertopi itu menganggukangguk. Ketika Jotaro selesai
bercerita, ia berkata, "Aku mengerti kesulitannya, tapi biarpun dengan keberanian,
seorang perempuan dan... anak lelaki bukan tandingan orang-orang Kohei. Kupikir lebih
baik kuselamatkan Otsu, betul itu namanya?"
"Apa mau mereka menyerahkannya pada Bapak?"
"Barangkali tidak, kalau cuma diminta, tapi akan kupikirkan hal itu nanti. Sementara
ini sembunyilah kamu di semak-semak, dan diam di sana."
Sementara Jotaro memilih rumpun semak dan bersembunyi di baliknya. orang itu
melanjutkan jalan cepat menuruni bukit. Sesaat Jotaro bertanya-tanya dalam hati, apakah
ia tidak tertipu. Karena merasa kuatir, ia mengangkat kepala ke atas belukar, tapi
karena mendengar suara orang, ia menundukkan badan lagi.
Satu-dua menit kemudian Otsu tampak, dikitari tiga orang dengan tangan terikat erat di
belakang. Darah mengering di goresan pada kakinya yang putih.
Salah seorang bajingan itu menggeram sambil mendorong bahu Otsu ke depan, "Apa pula
menoleh-noleh! Jalan cepat!"
"Betul itu, jalan!"
"Saya mencari teman saya. Apa yang terjadi dengannya"... Jotaro!"
"Diam!" Jotaro sudah hampir memekik dan melompat keluar dari persembunyiannya, tapi ronin itu
sudah kembali lagi, kali ini tampak mengenakan topi. Umurnya dua puluh enam atau dua
puluh tujuh, dan warna mukanya gelap. Pandangan matanya tampak lurus dan tidak
mengembara ke kanan atau ke kiri. Sambil berjalan cepat mendaki lereng, ia berkata
seolah kepada diri sendiri, "Mengerikan, betul-betul mengerikan!"
Ketika melewati Otsu dan orang-orang yang menangkapnya, ia menegur mereka dengan
gumaman dan berjalan terus cepat-cepat, tetapi orang-orang itu menghentikannya. "Hei!"
seru seorang di antaranya. "Apa kamu bukan kemenakan Watanabe" Apanya yang mengerikan?"
Watanabe adalah nama keluarga tua di daerah itu. Kepala keluarganya sekarang Watanabe
Hanzo, seorang pelaksana taktik gaib yang dikenal dengan nama Ninjutzu.
"Belum dengar?"
"Dengar apa?" "Di kaki bukit ini ada samurai, namanya Miyamoto Musashi, yang siap melakukan
pertarungan besar. Dia berdiri di tengah jalan dengan pedang terhunus, dan menanyai
tiap orang yang lewat. Matanya paling dahsyat yang pernah saya lihat."
"Musashi?" "Betul. Dia langsung mendatangi saya dan menanyakan nama saya, jadi saya katakan
padanya nama saya Tsuge Sannojo, kemenakan Watanabe Hanzo, dan saya datang dari Iga.
Dia minta maaf dan membiarkan saya pergi. Dia sangat sopan sesungguhnya. Katanya,
selama saya tak ada hubungan dengan Tsujikaze Kohei, beres saja."
"Begitu?" "Saya bertanya padanya, apa yang terjadi. Dia bilang Kohei ada di jalan itu dengan
begundal-begundalnya, mau menangkap dan membunuhnya. Dia bertekad berkubu di tempat itu
dan menanti serangan di situ. Rupanya dia siap tempur sampai penghabisan."
"Benar yang kau katakan itu, Sannojo?"
"Tentu saja. Buat apa saya bohong?"
Wajah ketiga orang itu pucat. Mereka saling pandang dengan gelisah, ragu-ragu apa yang
hendak mereka lakukan. "Lebih baik Anda sekalian hati-hati," kata Sannojo, pura-pura meneruskan jalan mendaki
bukit. "Sannojo!" "Ya?" "Aku tak tahu apa yang mesti kami lakukan. Pak Ketua bilang, Musashi ini luar biasa
kuatnya." "Memang kelihatannya dia yakin betul dengan dirinya. Waktu dia mendekati saya dengan
pedang, saya betul-betul merasa takkan bisa melawannya."
"Apa yang mesti kami lakukan menurutmu" Kami lagi membawa perempuan ini ke Yasugawa
atas perintah Pak Ketua."
"Tak ada hubungannya dengan saya."
"Jangan seperti itu. Tolonglah kami."
"Mustahil! Kalau saya tolong Anda sekalian dan paman saya tahu, dia takkan mengakui
saya lagi. Tapi tentu saja saya dapat memberikan nasihat pada kalian."
"Nah, bicaralah! Apa yang mesti kami lakukan?"
"Hm... Pertama, kalian dapat mengikat perempuan itu pada sebuah pohon dan
meninggalkannya. Dengan begitu, kalian dapat bergerak lebih cepat."
"Ada lagi?" "Kalian jangan ambil jalan ini. Ada jalan yang agak lebih jauh, Anda sekalian dapat
menempuh jalan lembah ke Yasugawa dan memberitahu orang-orang di sana tentang semua
ini. Kemudian kalian dapat mengepung Musashi dan berangsur-angsur menjepitnya."
"Tidak jelek gagasan itu."
"Tapi Anda sekalian mesti hati-hati sekali. Musashi akan berkelahi demi hidupnya, dan
dia akan membawa beberapa nyawa kalau dia pergi. Lebih baik Anda sekalian menghindar."
Mereka segera sependapat dengan saran Sannojo, lalu mereka seret Otsu ke sebuah belukar
dan mereka ikatkan talinya pada sebatang pohon. Kemudian mereka pergi, tapi beberapa
menit kemudian mereka kembali untuk menyumbat mulutnya.
"Cukup kukira," kata seorang.
"Mari jalan." Mereka masuk hutan. Sambil jongkok di belakang tabir dedaunan, Jotaro menanti dengan sabar, sebelum
akhirnya mengangkat kepala, meninjau sekitarnya. Tak seorang pun tampak olehnya-tak ada
orang jalan, tak ada bromocorah, tak ada Sannojo.
"Otsu!" panggilnya sambil berjingkrak keluar dari semak. Ia cepat mendapatkan Otsu,
melepaskan ikatannya, dan menggandengnya. Mereka berlari ke jalan. "Ayo pergi dari
sini!" desaknya. "Apa kerjamu sembunyi dalam semak itu?"
"Tidak apa-apa! Ayo kita pergi!"
"Tunggu sebentar," kata Otsu sambil berhenti untuk merapikan rambutnya, meluruskan
kerahnya, dan membetulkan letak obi-nya.
Jotaro mendecapkan lidahnya. "Ini bukan waktu buat berdandan. Apa tak bisa Kakak
mengaturnya kemudian?"
"Tapi ronin itu bilang Musashi ada di kaki bukit."
"Oh, jadi itu sebabnya Kakak mempercantik diri?"
"Tentu saja tidak," kata Otsu, mempertahankan diri dengan sikap serius yang hampirhampir lucu. "Tapi kalau Musashi sudah begitu dekat, tak ada yang mesti kita kuatirkan.
Dan karena kesulitan kita boleh dibilang sudah lewat, aku merasa tenang dan cukup aman
memikirkan penampilan."
"Apa Kakak percaya, ronin itu betul-betul melihat Musashi?"
"Tentu saja. Tapi omong-omong, di mana dia tadi?"
"Dia baru saja menghilang. Agak aneh juga dia itu, ya?"
"Kita pergi sekarang?" kata Otsu.
"Kakak yakin sekarang sudah cukup manis?"
"Jotaro!" "Ah, cuma main-main. Kakak kelihatan senang."
"Kamu juga." "Memang, tapi aku tak mencoba menyembunyikannya seperti Kakak. Aku akan berteriak,
supaya tiap orang mendengar, 'Aku senang!"' Ia menari-nari sedikit, melambai-lambaikan
tangan, dan menendang-nendangkan kaki, kemudian katanya, "Sungguh mengecewakan kalau
Musashi tak ada di sana, ya" Aku akan lari duluan buat melihat."
Otsu tenang saja. Hatinya sudah terbang ke dasar lereng sana, lebih cepat daripada lari
Jotaro. "Tampangku tak keruan," pikirnya sambil mengamati kakinya yang luka dan berlumpur serta
dedaunan yang menempel pada lngan kimononya.
"Ayolah!" seru Jotaro. "Apa yang dikutik-kutik itu?" Dari irama bicaranya, Otsu merasa
pasti bahwa Jotaro sudah melihat Musashi.
"Akhirnya," demikian pikirnya. Sampai waktu itu ia harus mencari kesenangan di dalam
dirinya sendiri, dan ia sudah bosan. Ia merasakan semacam kebanggaan, baik kepada
dirinya maupun kepada dewa-dewa, karena tetap setia pada tujuan. Sekarang, ketika ia
akan bertemu dengan Musashi kembali, semangatnya menari-nari gembira. Ia tahu
kegembiraan ini disebabkan oleh harapan yang dipendam-nya, namun ia tak dapat
meramalkan apakah Musashi akan menerima kesetiaan-nya. Kegembiraan akan berjumpa dengan
Musashi itu hanya sedikit ternodai firasat pedih, bahwa penemuan mungkin membawa
kesedihan. Di lereng bukit Koji yang teduh itu bumi beku, tapi di warung teh dekat kaki bukit,
cuaca hangat hingga lalat-lalat berterbangan. Ini kota penginapan, karena itu tentu
saja warung menjual teh kepada para musafir. Dijual juga berbagai barang kebutuhan para
petani daerah itu, mulai dari gula-gula murah sampai terompah sapi jerami. Jotaro
berdiri di depan warung itu sebagai anak kecil di tengah lautan manusia vans ribut.
"Di mana Musashi?" Otsu mencari-cari ke sekitar.
"Tak ada," jawab Jotaro lesu.
"Tak ada" Dia mesti ada!"
"Tapi aku tidak menemukannya dan tukang warung bilang tidak melihat samurai macam itu
di sini. Mestinya keliru." Jotaro memang tapi tidak patah hati.
Otsu bisa saja mengakui bahwa sebetulnya tak ada alasan baginya berharap seperti
sekarang itu, tapi jawaban Jotaro yang tak acuh menjengkelkannya. Karena guncang
hatinya dan sedikit marah melihat kurangnya perhatian Jotaro, ia berkata, "Apa sudah
kau cari di sana?" "Sudah." "Bagaimana kalau di belakang tonggak kilometer Koshin"
"Aku sudah lihat. Tak ada di situ."
"Di belakang warung teh?"
"Sudah kubilang, tak ada di situ!" Otsu membuang muka dari Jotaro. "Kakak menangis?"
tanya Jotaro. "Bukan urusanmu," kata Otsu tajam.
"Sungguh tak mengerti aku. Kakak ini biasanya cukup bijaksana, tapi kadang-kadang
seperi bayi. Bagaimana mungkin kita tahu apakah Sannojo itu benar atau tidak" Kakak
memutuskan sendiri cerita itu benar, tapi ketika ternyata tidak, Kakak menangis.
Perempuan memang gila," ujar Jotaro, lalu pecah ketawanya.
Otsu merasa ingin langsung duduk dan menyerah. Dalam sejenak saja cahaya hidupnya
hilang. Ia merasa kehilangan harapan seperti sebehumnya, bahkan lebih lagi. Gigi sulung
rusak dalam mulut Jotaro yang sedang tertawa itu memuakkannya. Dengan marah ia bertanya
pada dirinya, kenapa ia menyeret-nyeret anak semacam ini ke mana-mana. Ia iadi ingin
sekali meninggalkannya di tempat itu juga.
Benar, anak itu mencari Musashi juga, tapi ia mencarinya hanya sebagai guru. Bagi Otsu,
Musashi adalah hidup itu sendiri. Jotaro dapat melepaskan segalanya dengan tawa dan
kembali girang seperti biasa daiam sekejap, tapi Otsu bisa berhari-hari lamanya
kehilangan daya untuk terus hidup. Dalam pikiran Jotaro yang masih muda itu terdapat
keyakinan gembira bahwa pada suatu hari nanti, cepat atau lambat, ia akan bertemu
kembali dengan Musashi. Otsu tak punya keyakinan akan akhir yang bahagia seperti itu.
Sesudah terlampau optimis akan dapat bertemu dengan Musashi hari ini, kini ia berayun
ke arah yang berlawanan dan bertanya pada diri sendiri, apakah hidupnya akan
berlangsung selamanya seperti ini, dan ia tak akan lagi melihat atau berbicara dengan
orang yang dicintainya. Orang-orang yang dilanda cinta biasa mencari filsafat, dan karena itulah mereka suka
akan kesendirian. Dalam hal Otsu yang yatim, ia merasa sangat terpencil dari orang
lain. Untuk membalas sikap tak acuh Jotaro itu, ia mengerutkan kening dan diam-diam
pergi meninggalkan warung teh.
"Otsu!" Suara itu suara Sannojo. Ia muncul dari belakang tonggak kilometer Koshin dan
menghampiri Otsu lewat belukar yang layu. Sarung pedangnya lembap.
"Bapak bohong," tuduh Jotaro.
"Apa maksudmu?"
"Bapak bilang Musashi menunggu di kaki bukit. Bapak bohong!"
"Jangan bodoh begitu!" kata Sannojo mencela. "Justru karena kebohongan itu Otsu dapat
lolos, kan" Apa yang kamu keluhkan" Apa kamu tak mesti mengucapkan terima kasih
padaku?" "Jadi, Bapak mengarang cerita itu buat mengecoh orang-orang tadi?"
"Tentu saja." Sambil menoleh pada Otsu dengan sikap penuh kemenangan, Jotaro berkata, "Lihat tidak"
Kubilang begitu tadi, kan?"
Otsu merasa berhak penuh marah kepada Jotaro, tapi tak ada alasan baginya menggerutu
kepada Sannojo. Beberapa kali ia membungkuk pada Sannojo dan banyak-banvak mengucapkan
terima kasih karena Sannojo telah menyelamatkan-nya.
"Gerombolan gelandangan dari Suzuka itu jauh lebih jinak daripada dulu," kata Sannojo,
"tapi kalau mereka pergi mencegat seseorang, kurang kemungkinannya orang itu dapat
lewat jalan ini dengan selamat. Tapi dari pendengaranku tentang Musashi yang kalian
risaukan itu, rasanya dia cukup cekatan, hingga tak mungkin masuk salah satu perangkap
mereka." "Apakah selain jalan ini ada jalan-jalan lain ke Omi?"
"Ada," jawab Sannojo sambil menengadahkan mata ke puncak-puncak gunung-gunung yang
berkilauan oleh matahari tengah hari.
"Kalau kalian pergi ke Lembah Iga, di sana ada jalan menuju Ueno, dan dari Lembah Ano
ada satu jalan yang menuju Yokkaichi dan Kuwana. Kalau tak salah, ada tiga atau empat
jalan gunung dan terobosan lain. Perkiraanku, Musashi sudah meninggalkan jalan raya
pagi-pagi." "Jadi, menurut Bapak, dia masih selamat?"
"Itu yang paling mungkin. Paling tidak, lebih aman daripada kalian berdua. Kalian sudah
selamat satu kali hari ini, tapi kalau kalian tetap ada di jalan ini, orang-orang
Tsujikaze akan menangkap kalian lagi di Yasugawa. Kalau kalian sanggup sedikit mendaki,
ayo jalan denganku. Akan kutunjukkan jalan yang praktis tak diketahui siapa pun."
Cepat saja mereka menerima saran itu.
Sannojo mengantar mereka naik Desa Kaga, menuju Celah Makado. Dari Celah Makado
terdapat jalan setapak turun ke Seto, di Otsu.
Sesudah menjelaskan seterang-terangnya cara melanjutkan perjalanan, Sannojo berkata,
"Kalian sudah lepas dari jalan yang berbahaya sekarang. Buka mata dan telinga kalian,
dan yakinlah kalian akan menemukan tempat aman sebelum gelap."
Otsu mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Sannojo, dan berangkat, tetapi
Sannojo memandangnya dan berkata, "Kita berpisah di sini sekarang." Kata-kata itu
terasa penuh arti, dan tampak matanya memancarkan keprihatinan. "Sepanjang jalan tadi
terpikir olehku. 'Apa dia akan bertanya sekarang?"' demikian ia melanjutkan, "tapi tak
juga kamu bertanya."
"Menanyakan apa?"
"Namaku." "Tapi saya sudah mendengar nama Bapak, waktu kita di Bukit Koji."
"Kamu ingat nama itu?"
"Tentu ingat Tsuge Sannojo, kemenakan Watanabe Hanzo."
"Terima kasih. Bukannya aku minta supaya kamu selamanya berterima kasih padaku atau
yang serupa itu, tapi kuharap betul kamu ingat aku."
"Tentu, saya berutang sekali pada Tuan."
"Bukan itu maksudku. Yang kumaksud, nah, aku ini belum kawin. Kalau pamanku tak sekeras
itu, mau aku membawamu langsung pulang sekarang.... Tapi kulihat kamu tergesa-gesa.
Setidaknya akan kamu temui nanti penginapan kecil beberapa mil dari sini, dan di situ
kalian dapat menginap. Aku kenal baik dengan pemilik penginapan itu, karena icu sebut
saja namaku kepadanya. Selamat jalan!"
Sesudah orang itu pergi, terasa aneh oleh Otsu. Dari semula ia tak dapat menggambarkan
orang macam apakah Sannojo itu, dan ketika mereka berpisah, terasa olehnya seakan ia
lolos dari cengkeraman seekor binatang berbahaya. Selama ini dirasanya ia mesti terus
mengucapkan terima kasih kepada orang itu, padahal di dalam hatinya ia tak merasa
berterima kasih. Jotaro ada kecenderungan menyukai orang-orang baru, namun reaksinya terhadap orang itu
hampir sama dengan Otsu. Ketika mereka berdua sudah mulai menuruni celah itu, ia


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, "Aku tak suka orang itu."
Otsu tak ingin bicara buruk di belakang Sannojo, tapi ia membenarkan bahwa ia pun tak
suka orang itu, dan tambahnya, "Menurutmu, apa maksudnya bilang dia masih sendiri itu?"
"Ah, itu isyarat dia mau melamarmu nanti."
"Wah, tidak lucu!"
Mereka melanjutkan perjalanan ke Kyoto tanpa kejadian apa pun, walaupun merasa kecewa
karena tidak menjumpai Musashi di tempat-tempat yang mereka harapkan di tepi danau di
Omi, di jembatan Kara di Seta, ataupun di perbatasan di Osaka.
Dari Keage mereka bergabung dengan lautan manusia yang merayakan akhir tahun dekat
pintu masuk Jalan Sanjo yang menuju kota. Di ibu kota itu, seperti sudah menjadi
tradisi pada Tahun Baru, dinding depan rumah dihiasi ranting-ranting pohon pinus.
Melihat perhiasan itu, Otsu menjadi riang. Ia tidak meratapi lepasnya kesempatan di
masa lalu, dan memnutuskan untuk menaruh harapan pada masa depan dan kemungkinankemungkinannya untuk menjumpai Musashi. Jembatan Besar Jalan Gojo. Hari pertama Tahun
Baru. Kalau Musashi tak muncul lagi hari itu, maka pagi keduanya. atau pagi
ketiganya... Musashi sudah mengatakan pasti akan ada di sana. demikian yang
diketahuinya dari Jotaro. Walaupun Musashi datang tidak untuk menjumpainya, tapi
cukuplah kalau ia dapat datang melihat pemuda itu dan bicara lagi dengannya.
Kemungkinan berjumpa dengan Matahachi merupakan awan tergelap yang membayangi
impiannya. Menurut Jotaro, pesan Musashi hanya disampaikannya kepada Akemi, jadi
Matahachi kemungkinan tidak menerima pesan itu. Otsu berdoa semoga Matahachi tidak
menerimanya, agar Musashilah yang datang, dan bukan Matahachi.
Otsu melambatkan jalannya, karena terpikir olehnya mungkin Musashi ada di tengah orang
banyak itu juga. Bulu romanya pun berdiri, dan ia berjalan lebih cepat. Ibu Matahachi
yang mengerikan itu bisa saja muncul setiap saat.
Jotaro sendiri tak punva masalah di dunia ini. Warna-warna dan suara kota yang dilihat
dan didengarnya sesudah sekian lama, menyegarkan kembali dirinva. "Apa kita mau
langsung ke penginapan?" tanyanya prihatin.
"Tidak, belum."
"Bagus! Membosankan tinggal di dalam rumah kalau di luar masih terang. Mari kita jalan
dulu lagi. Kelihatannya ada pasar di sana."
"Tak ada waktu buat ke pasar. Ada urusan penting yang mesti kira selesaikan."
"Urusan" Kita punya urusan?"
"Apa kamu lupa dengan kotak di punggungmu itu?"
"Oh, ini?" "Ya, itu. Takkan tenang perasaanku sebelum aku menemukan tempat semayam Yang Dipertuan
Karasumaru Mitsuhiro dan menyampaikan gulungan itu kepada beliau."
"Apa kita akan tinggal di rumahnya malam ini?"
"Tentu saja tidak." Otsu tertawa sambil memandang Sungai Kamo. "Apa menurutmu bangsawan
besar macam beliau mau menerima anak kotor macam kamu menginap di bawah atapnya?"
*** 30. Kupu-Kupu di Musim Dingin
AKEMI menyelinap dari penginapan di Sumiyoshi tanpa memberitahu siapa pun ia merasa
seperti burung lepas sangkar, tapi masih belum cukup sembuh dari persentuhannya dengan
maut, hingga belum terbang terlampau tinggi. Bekas-bekas luka yang ditinggalkan oleh
kekerasan Seijuro tak akan sembuh dengan cepat. Seijuro telah memporak-porandakan
impian yang diidam-idamkannya, yaitu menyerahkan diri tanpa noda kepada lelaki yang
benar-benar dicintainya. Di perahu yang membawanya memudiki Sungai Yodo keKyoto ia merasa bahwa seluruh air
sungai itu tidaklah sebanyak air mata yang ingin dicurahkannya. Ketika perahu-perahu
lain yang bermuatan hiasan dan perbekalan peringatan Tahun Baru didayung lewat dengan
cepat, ia menatapnya dan pikirnya, "Sekarang, walaupun betul-betul bertemu dengan
Musashi..." Matanya yang resah berlinang, dan tumpahlah air matanya. Tak seorang pun
tahu, betapa besar harapannya terhadap pagi Tahun Baru itu, ketika ia akan bertemu
dengan Musashi di Jembatan Besar Jalan Gojo.
Kerinduannya kepada Musashi tumbuh semakin dalam dan semakin kuat. Benang cinta telah
memanjang, dan menggulung menjadi bola di dalam dadanya. Bertahun-tahun ia terus
memintal benang kenangan, jauh dari remah-remah berita yang didengarnya, dan
menggulungnya pada bola itu serta menjadikan benang itu lebih panjang dan lebih besar.
Sampai beberapa hari lalu ia tetap mengagungkan kegadisannya dan terus membawabawanya
seperti bunga liar segar dari lereng Gunung Ibuki. Tapi kini kembang di dalam dirinya
telah hancur. Walaupun kurang kemungkinannya tiap orang mengetahui kejadian itu,
terbayang olehnya setiap orang memandang kepadanya dengan mata maklum.
Di Kyoto, dalam cahaya petang yang memudar itu, Akemi berjalan di antara pohon-pohon
liu tak berdaun dan pagoda-pagoda mini Teramachi dekat Jalan Gojo dengan wajah dingin
dan murung, seperti kupu-kupu di musim dingin.
"Hei, gadis cantik!" tegur seorang lelaki. "Tali obi-mu lepas. Bagaimana kalau
kuikatkan?" Orang itu kurus, pakaiannya jembel, dan bicaranya kurang ajar, tapi ia
menyandang dua pedang samurai.
Akemi belum pernah melihatnya, tapi para langganan tempat-tempat minum sekitar itu
tentu dapat mengatakan kepadanya nama orang itu, Akakabe Yasoma. Pada malam-malam musim
dingin ia biasa bergelandangan di jalan-jalan gelap. Sandal jeraminya yang sudah usang
mendetap-detap ketika ia berlari ke belakang Akemi dan menangkap ujung tali obi Akemi
yang terlepas. "Apa kerjamu sendirian di tempat ini" Kamu bukan bangsanya perempuanperempuan gila yang
suka main sandiwara Kyoken itu, kan" Wajahmu manis. Kenapa tidak kamu tata rambutmu
sedikit, dan jalan macam gadis-gadis lain?"
Akemi berjalan terus, pura-pura tak bertelinga, tapi Yasoma mengiranya malu. "Kamu
kelihatannya gadis kota. Apa kerjamu" Lari dari rumah" Atau suamimu mau kamu
tinggalkan?" Akemi tak menjawab. "Gadis manis macam kau mesti hati-hati berkeliaran tak menentu, seperti lagi dalam
kesulitan atau semacam itu. Kamu belum tahu apa yang bisa terjadi. Di sini tak ada
pencuri atau bajingan, macam yang berkeliaran seperti Rashomon. Tapi di sini banyak
bromocorah yang segera mengocor air liurnya kalau lihat perempuan. Juga gelandangan,
dan orang-orang yang suka jual-beli perempuan."
Walau Akemi tak mengucapkan sepatah kata pun, Yasoma terus ngotot, dan bila diperlukan
ia pun menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri.
"Betul-betul bahaya. Kata orang, perempuan Kyoto dijual dengan harga tinggi di Edo
sekarang. Dulu orang biasa membawa perempuan dari sini ke Hiraizumi di timur laut sana,
tapi sekarang ke Edo. Sebabnya shogun kedua, Hidetada, sedang membangun kota itu
secepat mungkin. Rumah-rumah pelesiran di Kyoto semua buka cabang di sana sekarang."
Akemi diam saja. "Kamu tampak mencolok di mana saja, karena itu mesti hati-hati. Kalau tidak awas, kamu
bisa terlibat dengan bajingan. Betul-betul bahaya!"
Maka habislah kesabaran Akemi. Sambil menyampirkan lengan kimononya ke bahu dengan
marah, ia menoleh dan mendesis keras kepada Yasoma. Yasoma hanya tertawa. "Percaya
tidak, kupikir kamu ini betul-betul gila!"
"Diam, dan pergi dari sini!"
"Kamu memang gila, ya?"
"Kamu yang gila!"
"Ha, ha, ha! Itu namanya membuktikan! Kamu gila. Kasihan."
"Kalau kamu tidak pergi, kulempar batu!"
"Ah, kamu main-main saja, kan?"
"Pergi kamu, binatang!" Kedok angkuh yang dikenakannya itu memang untuk menutupi rasa
takut yang dirasakannya. Dibentaknya Yasoma, lalu ia lari masuk ladang miskantus, bekas
tempat bersemayam Yang Dipertuan Komatsu dan kebunnya yang penuh lentera batu. Akemi
seolah berenang di tengah tanaman yang berayun-ayun itu.
"Tunggu!" teriak Yasoma, mengejarnya seperti anjing pemburu.
Di atas Bukit Toribe bulan petang membubung seperti setan betina yang menyeringai liar.
Tak seorang pun kelihatan di sekitar. Orang terdekat di tempat itu jaraknya sekitar
tiga ratus meter. Mereka adalah rombongan yang pelan-pelan menuruni bukit, tapi mereka
tidak bakal datang menyelamatkan Akemi, sekalipun mendengar pekikannya, karena mereka
sedang kembali dari penguburan. Mereka mengenakan pakaian putih, topi berpita putih
pula, dan memegang tasbih. Sebagian masih menangis.
Tiba-tiba Akemi didorong tajam dari belakang, terantuk, dan jatuh.
"Oh, maaf," kata Yasoma. Ia terjatuh menimpa Akemi, dan terus juga meminta maaf.
"Sakit, ya?" tanyanya sok baik, sambil mendekap Akemi.
Mendidih karena marah, Akemi menampar wajahnya yang berjenggot, tapi tamparan itu tidak
membuat ia mundur, bahkan ia kelihatan senang. Ia melirik dan menyeringai ketika Akemi
memukul, kemudian ia dekap Akemi lebih erat dan ia gosokkan pipinya ke pipi Akemi.
Hampir Akemi tak dapat bernapas. Ia cakar Yasoma dengan sekenanya, dan kebetulan salah
satu kukunya mencakar bagian dalam hidung Yasoma, hingga darah memancar. Namun Yasoma
tidak mengendurkan pelukannya.
Lonceng Gedung Amida di Bukit Toribe memperdengarkan lagu penguburan, suatu ratapan
atas kefanaan dan kesia-siaan hidup. Tapi lonceng itu tidak membawa kesan kepada dua
orang yang sedang bergumul itu. Miskantus layu berayun-ayun hebat terkena gerakan
mereka. "Tenanglah, jangan melawan lagi," mohon Yasoma. "Tak ada yang mesti ditakutkan. Kamu
bisa jadi calon istriku. Kamu suka, kan?"
Akemi menjerit, "Aku cuma ingin mati!" Derita dalam suaranya mengejutkan Yasoma.
"Kenapa" Apa soalnya?" gagapnya.
Posisi Akemi meringkuk. Tangan, lutut, dan dada yang terikat erat jadi satu itu mirip
kuncup bunga sasankua. Yasoma menghibur dan membujuk, dengan harapan dapat meredakan
Akemi dan menundukkannya. Rupanya bukan pertama kali ini ia menjumpai keadaan semacam
itu. Sebaliknya, kelihatannya ia menyukainya, karena wajahnya bersinar senang, tapi
tetap menyimpan ancaman. Ia tidak terburu-buru. Seperti kucing, ia menikmati permainan
dengan korbannya. "Jangan menangis," katanya. "Tak ada yang mesti ditangiskan, kan?" Sambil memberi
ciuman di telinga, ia melanjutkan, "Kamu mestinya sudah pernah dengan lelaki. Gadis
seumurmu tak mungkin masih suci."
Seijuro. Akemi pun teringat, betapa ia pernah tercekik dan menderita, betapa sosok
shoji itu mengabur di depan matanya.
"Tunggu!" kata Akemi.
"Tunggu" Baik, aku akan tunggu," kata Yasoma, yang mengira panas tubuh Akemi yang
seperti demam itu panas nafsu. "Tapi jangan coba-coba kamu lari. Aku bisa jadi kasar."
Sambil menggerutu tajam Akemi menggeliatkan bahunya dan mengibaskan tangan Yasoma. Ia
menatap wajah Yasoma dan bangkit pelan-pelan. "Mau berbuat apa kamu padaku?"
"Kamu tahu keinginanku!"
"Kaupikir kau dapat menggarap perempuan seperti orang tolol, kan" Kalian orang lelaki
semuanya begitu! Nah, aku memang perempuan, tapi aku punya keberanian." Darah merembes
keluar dari bibir Akemi yang tergores daun miskantus. Sambil menggigit bibir itu, ia
kembali mengucurkan air mata.
"Bicaramu aneh," kata Yasoma. "Tak mungkin lain, kamu pasti gila."
"Terserah aku mau bicara apa!" jerit Akemi. Ia tolakkan dada Yasoma dengan segala
kekuatannya, kemudian ia tinggalkan tempat itu, menempuh padang miskantus yang
menghampar sejauh mata memandang dalam sinar bulan.
"Pembunuh! Tolong! Pembunuh!"
Yasoma menyergapnya. Belum lagi Akemi mencapai sepuluh langkah, Yasoma sudah
menangkapnya dan menjatuhkannya kembali. Kaki Akemi yang putih tampak di bawah
kimononya, rambutnya membelit muka, dan ia tergeletak dengan pipi tertempel ke tanah.
Kimononya setengah terbuka, dan buah dadanya yang putih merasakan angin dingin.
Baru saja Yasoma akan menerkamnya, sesuatu yang keras mendarat di dekat telinganya.
Darah muncrat ke kepala dan ia menjerit kesakitan. Ketika ia menoleh untuk melihat,
benda keras itu datang lagi menghantam puncak kepalanya. Kali ini tak mungkin lagi ia
merasa sakit, karena ia segera jatuh pingsan, kepalanya bergoyang kosong seperti kepala
macan kertas. Ia tergeletak dengan mulut menganga.
Penyerangnya, seorang pendeta pengemis, berdiri di atasnya, memegang shakuhachi yang
tadi dipergunakannya memukul.
"Binatang jahat!" katanya. "Tapi ternyata lebih mudah mengalahkannya daripada yang
kusangka." Pendeta itu memandang Yasoma beberapa waktu lamanya, ragu-ragu apakah lebih
baik ia membunuhnya sekaligus, sebab kalaupun sadar kembali, orang itu tak bakal dapat
waras kembali. Akemi menatap kosong kepada penyelamatnya. Kecuali shakuhachi, tak ada hal lain yang
dapat menunjukkan bahwa ia pendeta. Melihat pakaiannya yang kotor dan pedang yang
tergantung di pinggangnya, barangkali ia samurai melarat atau bahkan pengemis.
"Aman sekarang," katanya. "Kamu tak perlu kuatir lagi."
Setelah pulih dari bingungnya, Akemi mengucapkan terima kasih kepadanya dan mulai
meluruskan rambut dan kimononya. Namun ia memandang kegelapan di sekitarnya dengan mata
masih ketakutan. "Di mana kau tinggal?" tanya pendeta itu.
"Ya" Tinggal"... Maksud Bapak, di mana rumah saya?" kata Akemi sambil menutup muka
dengan tangan. Disertai sedu sedannya, Akemi mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
orang itu, tapi ia merasa tak dapat berlaku jujur sepenuhnya. Sebagian dari yang
disampaikannya pada orang itu memang benar-ibunya lain dengan dirinya, ibunya mencoba
menukarkan d:rinya dengan uang, dan la lari ke sini dari Sumiyoshi-tapi selebihnya
dikarangnya seketika itu juga.
"Lebih baik saya mati daripada pulang," lolongnya. "Banyak beban Ibu yang mesti saya
tanggung! Saya sudah dipermalukan dengan berbagai macam cara! Bahkan ketika masih
kecil, saya sudah mesti pergi ke medan pertempuran buat mengambil barang-barang dan
tubuh prajurit yang tewas."
Kebencian terhadap ibunya membuat tulang-tulangnya gemetar.
Aoki Tanzaemon membantunya menyingkir ke sebuah lembah kecil, di mana keadaan tenang
dan angin tidak begitu dingin. Sampai di sebuah kuil kecil yang sudah runtuh, ia
menyeringai, dan katanya, "Di sini aku tinggal. Semuanya serba seadanya, tapi aku suka
di sini." Akemi sadar, pertanyaan berikut ini sedikit kasar, tapi ia tak dapat tidak
menyampaikannya, "Bapak betul-betul tinggal di sini?"
Tanzaemon membuka pintu berjeruji dengan mendorongnya dan mempersilakan Akemi masuk.
Akemi ragu-ragu. "Di dalam lebih hangat daripada yang kauduga," katanya. "Buat tutup lantai, aku cuma
punya tikar jerami tipis. Tap itu lebih baik daripada tak ada. Kau takut padaku seperti
pada binatang di sana tadi?"
Akemi menggeleng diam. Tanzaemon tidak membuatnya takut.
lagi pula sudah cukup umur. Ia terka umurnya sudah lebih
membuatnya mundur adalah kotornya kuil kecil itu dan bau
Tapi ia tak dapat pergi ke tempat lain, belum lagi kalau
semacamnya menemukannya, padahal kepalanya masih menyala
Ia yakin orang itu orang baik,
dari lima puluh. Yang tubuh serta pakaian Tanzaemon.
Yasoma atau orang lain oleh demam. "Apa saya tidak mengganggu Bapak?" tanyanya ketika ia mendaki anak tangga.
"Sama sekali tidak. Tak ada yang keberatan, biar engkau tinggal di sini beberapa
bulan." Bangunan itu hitam legam, tempat yang cocok buat kelelawar.
"Tunggu sebentar," kata Tanzaemon.
Terdengar oleh Akemi suara goresan logam pada batu api, dan sebuah lampu kecil
memancarkan sinar lemah. Entah dari mana dipungutnya lampu itu. Akemi menoleh ke
sekitar, dan tampak olehnya orang aneh itu ternyata telah mengumpulkan berbagai alat
kebutuhan rumah tangga yang pokok-satu-dua buah kuali, beberapa pinggan, bantal kayu,
dan tikar jerami. Ia bilang akan membuat sedikit bubur soba untuk Akemi, dan mulai
meromet dengan anglo tanahnya yang sudah pecah. Mula-mula dimasukkannya sedikit arang,
kemudian beberapa bilah kayu, dan akhirnya naiklah bunga-bunga api. Api menyala.
"Orang tua yang baik," pikir Akemi. Sesudah mulai merasa lebih tenang, Akemi merasa
tempat itu tidak lagi kotor.
"Nah, nah," kata Tanzaemon. "Kaubilang cuma capek, padahal kelihatannya kau demam.
Barangkali masuk angin. Lebih baik kau berbaring di sana, menunggu makanan siap." Ia
menuding ke kasur darurat dari jerami dan kantong beras.
Akemi menebarkan kertas yang ada padanya di atas bantal kayu, dan berbaringlah ia
sesudah menggumamkan permintaan maaf karena ia beristirahat, sementara Tanzaemon
bekerja. Sebagai selimut dipergunakannya sisasisa kelambu yang sudah compang-camping.
Kelambu itu ditutupkannya ke badannya, tapi justru ketika itu seekor binatang dengan
mata gemerlap meloncat dari bawahnya dan melompati kepalanya. Akemi menjerit
membenamkan muka ke kasur.
Tanzaemon lebih kaget lagi. Kantong tepung yang sedang dituangkannya ke air terjatuh,
hingga setengahnya tercurah ke lututnya. "Apa itu?" teriaknya.
Akemi menjawab sambil terus menyembunyikan wajah, "Entahlah, kelihatannya lebih besar
dari tikus." "Barangkali bajing. Kadang-kadang memang datang kalau bau makanan. Tapi mana?"
Sambil mengangkat kepala sedikit, kata Akemi, "Itu dia!" "Di mana?"
Tanzaemon menegakkan badan dan menoleh ke sekitar. Seekor monyet kecil bertengger di
atas susuran tempat semadi bagian dalam, yang sudah lama tak berpatung Budha lagi.
Monyet itu meringkuk ketakutan oleh pandangan tajam Tanzaemon.
Tanzaemon tampak terheran-heran, tapi monyet itu tidak kelihatan takut. Sesudah
beberapa kali meloncat naik-turun susuran yang warna merahnya sudah pudar, ia duduk
kembali. Ia perlihatkan mukanya yang seperti buah persik berbulu panjang, dan mulai
mengedip-ngedipkan mata. "Dari mana dia datang, menurutmu"... Aha! Aku tahu sekarang. Kalau tak salah, tadi
beras berceceran." Ia bergerak mendekati monyet itu. Melihat ia mendekat, monyet itu


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat ke belakang tempat semadi dan bersembunyi.
"Setan kecil mungil," kata Tanzaemon. "Kalau kita beri dia makan sedikit, barangkali
dia tak akan bertingkah. Mari kita biarkan dia." Ia kibaskan tepung dari lututnya, dan
kembali ia duduk di depan anglo. "Tak ada yang perlu ditakutkan, Akemi. Istirahatlah."
"Apa menurut Bapak dia baik?"
"Ya. Monyet ini bukan monyet liar. Tentunya milik seseorang. Tak perlu kita kuatir. Apa
sudah cukup hangat?"
"Ya." "Kalau begitu, tidurlah. Itulah obat terbaik buat melawan masuk angin."
Ia tuangkan lagi tepung di dalam air, dan ia aduk bubur itu dengan sumpit. Api menyalanyala sekarang. Sementara adonan memanas, Tanzaemon mengiris-iris brambang. Daun meja
tua dipakainya sebagai talenan, dan pisaunya belati kecil berkarat. Dengan tangan yang
tidak dibasuh ia gusurkan brambang itu ke dalam mangkuk kayu, kemudian ia bersihkan
talenan dan ia ubah menjadi baki.
Gejolak dalam kuali yang sedang mendidih berangsur-angsur memanaskan ruangan. Sambil
duduk merangkum lutut yang kurus, bekas samurai itu memandang air kaldunya dengan mata
lapar. Ia memandang dengan perasaan bahagia dan penuh hasrat, seakan-akan kuali di
hadapannya itu berisi kenikmatan tertinggi umat manusia.
Lonceng Kiyomizudera berdentang seperti kebiasaannya tiap malam. Kerasnya udara musim
dingin yang berlangsung tiga puluh hari sudah berakhir, dan Tahun Baru sudah dekat,
tapi seperti biasa kalau tahun akan berakhir, beban jiwa orang banyak tampak semakin
besar. Sampai jauh malam para pemohon berkah masih terus membunyikan gong timah di atas
pintu masuk kuil. Mereka membungkuk berdoa, dan lagu-lagu bernada tinggi yang
menyerukan minta pertolongan sang Budha mendengung membosankan.
Sambil mengaduk bubur pelan-pelan agar tidak gosong, Tanzaemon melamun. "Aku telah
menerima hukuman dan bertobat atas dosa-dosaku, tapi apa yang terjadi dengan Jotaro"
Tak ada perbuatan anak itu yang salah. Oh, Kannon yang terberkati, aku mohon, hukumlah
orang tua ini karena dosa-dosanya, tapi layangkanlah pandangan penuh kecintaan kepada
anak..." Suatu jeritan tiba-tiba melengking melengkapi doanya. "Binatang kamu!" Mata Akemi masih
terpejam, wajahnya menempel erat ke bantal kayu, tapi ia menangis sedih. Ia terus
mengigau, sampai bunyi suaranya sendiri membangunkannya.
"Apa saya mengigau?" tanyanya.
"Ya, bikin aku terkejut," kata Tanzaemon. Ia datang ke sisi tempat tidur dan menghapus
dahi Akemi dengan gombal sejuk. "Keringatmu luar biasa. Tentunya demam."
"Saya... saya... bilang apa?"
"Oh, banyak." "Apa saja?" Wajah Akemi yang demam jadi bertambah merah karena malu. Ia tarik selimut
untuk menutupinya. Tanzaemon tidak menjawab langsung, tapi katanya, "Akemi, ada lelaki yang ingin kau
kutuk, ya?" "Apa saya mengatakannya?"
"Hm. Apa yang terjadi" Apa dia meninggalkanmu?"
"Tidak. " "Oh, begitu," kata Tanzaemon mengambil kesimpulan sendiri.
Sambil menggeser badannya ke atas hingga setengah duduk, Akemi berkata, "Oh, apa yang
mesti saya lakukan sekarang" Tolonglah, katakan." Ia sudah bersumpah takkan
mengungkapkan aib yang menjadi rahasianya itu pada siapa pun, tapi kemarahan,
kesedihan, dan rasa kehilangan yang terpendam dalam dirinya demikian hebat untuk
ditanggung sendirian. Ia meringkuk di lutut Tanzaemon dan mengungkapkan seluruh
riwayatnya, sambil tersedu-sedu dan meratap.
"Oh," lolongnya akhirnya. "Aku ingin mati, mati! Biarlah aku mati!"
Napas Tanzaemon menjadi panas. Begitu lama ia tidak begini dekat dengan perempuan. Bau
perempuan itu membakar lubang-lubang hidungnya, juga matanya. Hasrat tubuh, yang
menurut persangkaannya sudah dapat diatasinya, kini mulai membengkak akibat masuknya
darah panas. Tubuhnya yang sampai waktu itu tidak lebih dari sebatang pohon mandul kini
mulai memperlihatkan hidup baru. Sebagai gantinya, ia teringat bahwa di balik tulang
rusuknya bersemayam paru-paru dan jantung.
"Mm," gumamnya. "Jadi, begitu macamnya Yoshioka Seijuro." Dan kebencian hebat terhadap
Seijuro menggelegak di dalam dirinya. Bukan hanya kemarahan. Semacam rasa cemburu
menggerakkannya untuk mengetatkan pelukan, seakan-akan anak perempuannya sendiri yang
diperkosa. Sementara Akemi menggeliat berurai air mata di lututnya. ia merasa
memperoleh keakraban, dan pandangan bingung merayapi wajahnya.
"Sudah, sudah, jangan menangis lagi. Hatimu masih suci. Engkau tidak membiarkan lelaki
itu menggaulimu dan tidak membalas cintanya. Yang penting pada seorang perempuan bukan
tubuhnya, tapi hatinya, dan kemurnian adalah soal batin. Sebaliknya, kalau seorang
perempuan tidak menyerahkan diri pada seorang lelaki, namun memandang lelaki itu dengan
bernafsu, dia menjadi tidak murni dan tidak bersih, setidak-tidaknya selama perasaan
itu berlangsung. "Sudahlah, sudah. Jangan menangis lagi," kata Tanzaemon lagi, menepuk punggung Akemi.
Tetapi geletar leher Akemi yang putih itu tidak memungkinkan ia menunjukkan simpati
yang tulus. Kulit yang lembut itu, yang demikian manis baunya, telah dicuri lelaki
lain. Tapi tepat waktu itu si monyet menyelinap ke kuali dan menyantap isinya, maka tanpa
basa-basi Tanzaemon memindahkan kepala Akemi dari lututnya. Ia ayunkan tinjunya dan ia
kutuk binatang itu sehabis-habisnya. Makanan jelas lebih penting daripada penderitaan
seorang perempuan. Pagi berikutnya Tanzaemon menyatakan akan pergi ke kota membawa mangkuk
pengemisnya."Engkau tinggal di sini selama aku pergi," katanya. "Aku mesti cari uang
buat membelikanmu obat, dan lagi kita butuh beras dan minyak, agar dapat makan panas."
Topinya bukan topi tinggi yang dianyam dari gelagah seperti biasa dipakai kebanyakan
pendeta pengembara, melainkan dari bambu biasa, dan sandal jeraminya yang sudah lusuh
dan belah di tumit mencakar-cakar tanah selagi ia berjalan. Tidak hanya kumisnya,
melainkan segala yang ada padanya menampilkan kemesuman. Namun, biarpun tampangnya
seperti pengejut burung, ia biasa pergi tiap hari, kecuali kalau hujan.
Karena tak nyenyak tidur, pagi itu matanya tampak muram sekali. Sesudah menangis
berkepanjangan malam itu, Akemi sempat menyantap bubur hingga bercucuran keringat, dan
ia tidur nyenyak. Sampai fajar, Tanzaemon hampir tak memejamkan mata. Bahkan ketika
berjalan di bawah matahari pagi yang cemerlang, penyebab kurang tidurnya tetap
bertahan. la tak dapat mengusirnya dari pikiran.
"Hampir sama umurnya dengan Otsu," pikirnya. "Tapi wataknya sama sekali berlainan. Pada
Otsu ada keanggunan dan kehalusan budi, tapi terasa dingin. Sedangkan Akemi merangsang,
baik sedang tertawa, menangis, atau cemberut."
Umur muda di dalam sel-sel tubuh Tanzaemon yang sudah mengering itu bangkit oleh sinar
tajam pesona Akemi. Perasaan itu membuatnya sadar akan umurnya. Semalam, sementara ia
memandang penuh hasrat kepada Akemi, yaitu selagi gadis itu bergerak dalam tidurnya,
peringatan lain memperdengarkan diri dalam hatinya. "Sungguh aku orang tolol yang sial!
Apa belum juga aku belajar" Biarpun aku memakai jubah pendeta dan memainkan shakuhachi
pengemis, masih jauh aku dari memperoleh pencerahan P'u-hua yang jernih dan sempurna.
Tak pernahkah aku akan menemukan kebijaksanaan yang akan membebaskan diriku dari tubuh
ini?" Sesudah menghukum dirinya berkepanjangan, ia memaksa matanya yang sedih memejam dan
mencoba tidur, tapi sia-sia.
Di waktu fajar, sekali lagi ia memutuskan, "Aku mau dan harus meninggalkan pikiranpikiran jahat!" Tapi Akemi itu gadis yang memesona dan demikian menderita. Ia harus
mencoba menyenangkan hatinya. Ia harus memperlihatkan pada gadis itu, bahwa tidak semua
lelaki di dunia ini setan-setan nafsu.
Disamping obat, ia memikirkan hadiah macam apa yang akan dibawakannya untuk Akemi kalau
ia pulang malam nanti. Selama mengemis sepanjang hari itu, semangatnya terdorong oleh
keinginan melakukan sesuatu untuk membuat Akemi sedikit lebih bahagia. Cukuplah itu. Ia
tidak mendambakan hasrat yang lebih besar.
Kira-kira ketika ia sudah memperoleh ketenangan kembali, dan ketika warna merah sudah
kembali ke wajahnya, terdengar olehnya kepak-kepak sayap di atas karang terjal di
sampingnya. Bayangan elang pemburu yang besar meluncur, dan tampaklah oleh Tanzaemon
bulu cokelat seekor burung kecil menggeletar turun dari sebuah cabang pohon ek di
tengah belukar tak berdaun di atasnya. Sambil mencengkeram burung kecil itu, elang
pemburu membubung ke udara, memperlihatkan bagian bawah sayapnya.
Tidak jauh dari situ terdengar orang mengatakan, "Sukses!" Dan pemilik elang bersuit
kepada burungnya. Beberapa detik kemudian Tanzaemon melihat dua orang berpakaian pemburu turun bukit di
belakang Ennenji. Elang itu bertengger di tinju kiri seorang dari mereka yang
menyandang kantong rajut buat tangkapannya di sisi pinggang yang berlawanan dengan
kedua pedangnya. Seekor anjing pemburu yang tampak cerdas dan cokelat warnanya menderap
di belakangnya. Kojiro berhenti dan memperhatikan sekitarnya. "Kira-kira di sini kejadiannya kemarin
petang," katanya. "Monyetku berkelahi dengan anjing, dan anjing itu menggigit ekornya.
Dia lalu sembunyi dan tak muncul lagi. Terpikir olehku sekarang, apa dia tidak berada
di atas salah satu pohon itu."
Seijuro tampak agak tak puas. Ia duduk di sebuah batu. "Mengapa pula dia mesti terus di
sini" Dia kan punya kaki" Dan lagi, aku tak mengerti kenapa Anda membawa-bawa monyet,
padahal Anda berburu dengan elang."
Kojiro duduk seenak mungkin di akar sebatang pohon. "Oh, aku tidak membawanya, tapi aku
tak dapat mencegahnya ikut. Dan aku begitu terbiasa dengan dia, hingga rasanya
kehilangan kalau dia tak ada."
"Tadinya aku menyangka cuma perempuan dan orang yang suka melengah waktu yang menyukai
monyet dan anjing timangan, tapi ternyata sangkaanku keliru. Sukar dibayangkan bahwa
seorang prajurit seperti Anda begitu terikat pada seekor monyet." Sesudah melihat
Kojiro beraksi di tanggul Kema itu, Seijuro sungguh menghargai keahliannya bermain
pedang, tetapi selera dan cara hidupnya pada umumnya kelihatan terlampau kekanakkanakan. Sesudah tinggal serumah dengannya beberapa hari itu, yakinlah Seijuro bahwa
kematangan dicapai bersamaan dengan bertambahnya umur. Sukar baginya menghormati Kojiro
sebagai pribadi, tapi dalam hal tertentu hal itu mempermudah ia berhubungan dengan
pemuda ini. Kojiro menjawab tertawa, "Sebabnya karena aku masih amat muda. Tak lama lagi aku akan
belajar menyukai perempuan, baru sesudah itu barangkali aku akan melupakan monyet itu."
Kojiro mengobrol dengan nada ringan, sebaliknya wajah Seijuro kelihatan makin lama
makin prihatin. Matanya memperlihatkan sorot resah, hampir serupa dengan mata elang
yang bertengger di tangannya. Mendadak katanya tak senang, "Apa kerja pendeta pengemis
di sana itu" Dari tadi dia berdiri memandangi kita, sejak kita sampai di sini."
Seijuro menatap Tanzaemon dengan curiga, dan Kojiro memutar badan untuk melihat.
Tanzaemon membalikkan badan dan pergi tertatih-tatih.
Tiba-tiba Seijuro berdiri. "Kojiro," katanya, "aku mau pulang. Bagaimanapun, mi bukan
waktu buat berburu. Sekarang sudah tanggal dua puluh sembilan."
Sambil tertawa dan dengan nada mencela, kata Kojiro, "Tapi kita pergi ini buat berburu,
kan" Baru dapat seekor perkutut dan beberapa mural buat bukti. Kita mesti coba lebih
jauh naik bukit." "Tidak, mari kita hentikan. Aku tak suka berburu sekarang, dan kalau aku tidak merasa
senang, elang ini jadi tidak benar terbangnya. Mari pulang dan berlatih." Kemudian
tambahnya, seolah kepada diri sendiri, "Itulah yang kuperlukan, berlatih."
"Nah, kalau Anda memang mesti pulang, aku ikut." Ia berjalan di samping Seijuro, tapi
tampak kurang senang. "Kupikir saranku keliru."
"Saran apa?" "Pergi berburu kemarin dan hari ini."
"Sudahlah. Aku tahu Anda bermaksud baik. Cuma, ini akhir tahun, sedang pertarungan
dengan Musashi semakin dekat."
"Itu sebabnya menurutku baik kalau Anda pergi berburu. Anda dapat bersantai, supaya
semangat Anda wajar. Tapi kukira Anda bukan orang ,vang dapat melakukan hal itu."
"Hm. Semakin aku mendengar tentang Musashi, semakin aku cenderung untuk tidak
menyepelekannya." "Apa itu bukan lebih merupakan alasan untuk menghindari keresahan dan kepanikan" Anda
mesti mendisiplinkan semangat Anda."
"Aku tidak panik. Pelajaran pertama dalam seni bela diri adalah tidak :nenganggap
enteng musuh, dan kupikir masuk akal kalau kita mencoba banyak berlatih sebelum
bertarung. Kalau mesti kalah, setidaknya aku tahu. Bahwa aku sudah mencoba sebaikbaiknya. Kalau orang itu memang lebih baik daripada aku, yah..."
Sekalipun Kojiro sangat menghargai ketulusan Seijuro, menurutnya dalam diri Seijuro
terdapat kekerdilan semangat, dan ini menyulitkan Seijuro menjunjung tinggi nama baik
Perguruan Yoshioka. Karena Seijuro tidak memiliki visi pribadi yang diperlukan untuk mengikuti jejak
ayahnya dan menyelenggarakan perguruan besar itu sebaik-baiknya, maka Kojiro merasa
kasihan kepadanya. Menurut pendapatnya, adik Seijuro, Denshichiro, lebih kuat wataknya,
tapi Denshichiro seorang playboy yang sudah rusak. Sekalipun ia pemain pedang yang
lebih mampu dibanding Seijuro, ia tak bisa diharapkan untuk mempertahankan nama
Yoshioka. Kojiro menginginkan Seijuro melupakan pertarungan dengan Musashi yang terus mendekat
itu, karena menurut keyakinannya itulah persiapan terbaik baginya. Pertanyaan yang
ingin dilontarkannya, namun tidak dilontarkannya adalah apa yang ingin dipelajari
Seijuro sejak sekarang sampai saat pertandingan. "Yah," demikian pikirnya pasrah,
"Itulah dia. Kukira tak banyak yang bisa kubantu."
Anjing itu lari dan kini menggonggong galak di kejauhan.
"Itu berarti dia menemukan mangsa!" kata Kojiro, dan matanya bercahaya.
"Biar dia pergi. Nanti toh menyusul kita."
"Akan kulihat. Anda tunggu di sini."
Kojiro berlari cepat ke arah datangnya gonggongan, dan semenit dua menit kemudian
terlihat olehnya anjing itu berada di beranda sebuah kuil kuno yang sudah bobrok.
Binatang itu melompat-lompat ke pintu kisi-kisi yang bobrok, tapi berulang-ulang mundur
kembali. Sesudah beberapa kali mencoba, ia mencakar-cakar tiang dan dinding bangunan
berlak merah usang itu. Sambil bertanya-tanya dalam hati, apa gerangan yang membuat
anjing itu demikian ribut, Kojiro pergi ke pintu lain. Melihat ke dalam kisi-kisi itu
seperti melihat ke dalam jambangan lak hitam.
Derak-derik pintu yang dibukanya membuat anjing itu berlari mengikutinya sambil
mengibas-ngibaskan ekor. Kojiro menendang pergi anjing itu, tapi tak banyak hasilnya.
Dan ketika ia masuk, si anjing cepat berlari menyerobot.
Jeritan perempuan itu memekakkan telinga, sejenis jeritan yang dapat memecahkan kaca.
Kemudian anjing itu melolong, dan terjadilah adu suara antara dia dan perempuan yang
menjerit itu. Kojiro bertaya-tanya dalam hati, apakah tiang-tiang tak akan ambruk. Ia
berlari maju, dan dilihatnya Akemi berbaring di bawah kelambu, sementara monyet yang
melompat masuk dari jendela untuk menghindari anjing itu bersembunyi di belakangnya.
Akemi ada di antara anjing dan monyet, menghalangi jalan anjing. Karena itu anjing
menyerangnya. Ketika Akemi berguling ke samping, lolongan anjing mencapai puncaknya.
Akemi kini menjerit bukan karena takut, tapi karena sakit. Anjing menggigit lengannya.
Sambil menyumpah, Kojiro menendangnya lagi keras-keras pada rusuknya. Anjing itu mati
oleh tendangan pertama, tapi sesudah tendangan kedua pun giginya tetap mengatup erat ke
lengan Akemi. "Lepaskan! Lepaskan!" jerit Akemi sambil menggeliat di lantai.
Kojiro berlutut di sampingnya dan membuka paksa rahang anjing itu. Bunyinya seperti
potongan-potongan kayu berlem yang dipisahkan satu dari yang lain. Mulut anjing itu
terluka. Sedikit saja lagi tenaga Kojiro akan membuat kepala anjing itu belah menjadi
dua. Ia lemparkan bangkai anjing itu ke luar pintu, lalu kembali ke sisi Akemi.
"Beres sekarang," katanya menghibur, tapi lengan Akemi tampak parah. Darah yang
mengalir di kulit putih itu membuat gigitan tersebut seperti bunga peoni besar berwarna
merah tua. Melihat itu, Kojiro menggigil. "Apa tak ada sake di sini" Nanti kubasuh dengan sake....
Oh ya, kukira tak ada sake di tempat seperti ini." Darah hangat mengalir turun dari
lengan ke pergelangan. "Akan kucoba," katanya. "Kalau tidak, racun gigi anjing bisa
bikin kau gila. Dia memang aneh tingkahnya beberapa hari terakhir ini."
Sementara Kojiro menimbang-nimbang apa yang dapat diperbuatnva lekas-lekas, Akemi
mengerutkan kening sampai alisnya menjadi satu, menggeliatkan lehernya yang putih
indah, dan teriaknya, "Gila" Oh, itu sungguh bagus! Itu yang saya inginkan"gila! Betulbetul gila sama sekali!"
"A-a-apa maksudmu?" gagap Kojiro. Dan tanpa banyak bicara lagi ia membengkokkan lengan
Akemi dan mengisap darah dari lukanya. Ketika mulutnya penuh, ia ludahkan isinya dan ia
lekatkan kembali ke kulit yang putih itu dan ia isap sampai pipinya menggelembung.
Malam hari Tanzaemon kembali dari perjalanan hariannya. "Aku pulang, Akemi," katanya
sambil masuk kuil, "Apa kau kesepian selagi aku pergi?"
Ia letakkan obat untuk Akemi di sudut, bersama makanan dan guci minyak yang dibelinya,
dan katanya, "Tunggu sebentar, akan kunyalakan lampu."
Ketika lilin sudah dinyalakan, ia lihat Akemi tak ada di dalam ruangan. "Akemi"
panggilnya. "Ke mana perginya dia?"
Cinta sebelah tangan tiba-tiba berubah menjadi kemarahan, tapi kemudian cepat
digantikan pula oleh kesepian. Seperti kejadian sebelumnya, Tanzaemon diingatkan bahwa
ia takkan menjadi muda kembali, dan bahwa tak ada lagi padanya kehormatan, tak ada lagi
harapan. Terpikir olehnya tubuhnya yang menua, dan ia menggerenyit.
"Aku sudah menyelamatkan dia dan merawatnya," gerutunya, "tapi sekarang dia pergi tanpa
pesan. Akan begitukah dunia ini selamanya" Memang begitukah dia" Atau masihkah dia
curiga dengan maksud-maksudku?"
Di tempat tidur ia temukan potongan kain, jelas sobekan ujung obi Akemi. Bercak darah
pada kain itu membangkitkan naluri binatangnya. Ia tendang tilam jerami itu ke udara
dan ia lemparkan obat ke luar jendela.
Dalam keadaan lapar, namun tak ingin menyiapkan makanan, ia ambil shakuhachi, dan
sambil mengeluh ia pergi ke beranda. Sekitar sejam lamanva tak henti-henti ia bermain,
mencoba mengusir keinginan dan angan-angannya. Namun jelas baginya, nafsu-nafsu dalam
dirinya tetap dan akan tinggal dengannya sampai ia mati. "Akemi sudah diambil lelaki
lain," renungnya. "Kenapa pula kemarin aku mesti begitu bermoral dan jujur" Tak ada
gunanya aku berbaring sendirian, merana sepanjang malam."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Separuh dirinya menyesal karena ia tidak berbuat, tapi separuh lagi mengutuk hasratnya
yang bejat. Justru konflik emosi yang tanpa hentihentinya bergejolak dalam nadinya
itulah yang oleh sang Budha disebut nafsu. Sekarang ia sedang mencoba membasuh dirinya
yang tidak murni, tapi semakin ia berusaha, semakin keruh nada shakuhachi yang
dimainkannya. Pengemis yang tidur di bawah kuil itu melongokkan kepalanya dari bawah beranda. "Kenapa
kau main suling?" tanyanya. "Apa ada kejadian yang menyenangkan" Kalau kau bawa banyak
uang dan beli sake, bagaimana kalau aku minta minum?" Orang itu pincang, dan dari sudut
pandangnya yang hina, Tanzaemon hidup seperti raja.
"Apa kau tahu, apa yang terjadi dengan gadis yang kubawa semalam?"
"Manis juga cewek itu, ya" Kalau aku bisa, takkan kubiarkan dia pergi. Tak lama sesudah
kau pergi tadi, seorang samurai muda yang pakai kuncung dan pedang raksasa membawanya
pergi. Juga monyet itu. Yang satu dipikul di kiri, yang lain di kanan."
"Samurai... kuncung?"
"Ya. Dan bukan main tampannya anak itu, jelas lebih tampan daripada kau dan aku!"
Humor kalimat tersebut membuat pengemis itu tertawa terbahak-bahak.
*** 31. Pengumuman SEIJURO tiba kembali di sekolah dalam keadaan murung. Ia sorongkan elangnya ke tangan
seorang murid, dan dengan singkat ia perintahkan murid itu memasukkannya kembali ke
sangkarnya. "Kojiro tidak bersama Tuan?" tanya murid itu.
"Tidak, tapi aku yakin sebentar lagi dia datang."
Sesudah mengganti pakaian, Seijuro duduk di kamar tamu. Di seberang, halaman ada dojo
besar yang sudah ditutup sejak latihan terakhir tanggal dua puluhlima. Selama setahun
itu sekitar seribu orang murid pergi-datang. Dojo takkan dibuka lagi sampai datangnya
masa latihan pertama Tahun Baru. Karena pedang-pedang kayu tak berbunyi, rumah jadi
terasa sunyi dan dingin. Seijuro ingin sekali berpasangan latihan dengan Kojiro, karena itu berulang-ulang ia
bertanya kepada muridnya, apakah Kojiro sudah kembali. Tapi Kojiro tidak kembali, tidak
juga malam itu, dan hari berikutnya.
Tamu-tamu lain, sebaliknya, datang dengan paksa, karena itu hari terakhir rahun ini,
yaitu hari untuk membereskan semua rekening. Bagi orang-orang rang bergerak dalam
bidang usaha, persoalannya adalah menagih sekarang atau menanti sampai pesta Bon musim
panas berikut. Karena itu, tengah hari kamar depan penuh penagih rekening. Biasanya
orang-orang itu memperlihatkan wajah patuh sepenuhnya di hadapan samurai, tapi kini
kesabaran mereka sudah habis. Mereka mengambil sikap blak-blakan dan menggunakan
istilah-istilah jelas. "Apa tak bisa Bapak paling tidak membayar sebagian utang?"
"Bapak selalu bilang, orang yang bertugas sedang keluar, atau guru sedang pergi selama
beberapa bulan ini. Apa Bapak kira Bapak bisa menangguhkan selamanya?"
"Berapa kali kami mesti datang kemari?"
"Pak Guru yang tua dulu langganan yang baik. Saya takkan mengatakan apa-apa kalau cuma
untuk setengah tahun terakhir, tapi tengah tahun pun Bapak belum bayar. Oh, bahkan dari
tahun lalu ada rekening-rekening yang tak terbayar!"
Beberapa orang dengan tak sabar mengetuk-ngetuk buku rekeningnya dan menyodorkannya ke
bawah hidung murid itu. Mereka itu tukang kayu, tukang plester, tukang beras, pedagang
sake, penjahit pakaian, dan macam-macam warung teh di mana Seijuro makan dan minum
dengan berutang. Tapi semua itu cuma kecil saja, dan tagihan mereka tidak seberapa
dibandingkan dengan tagihan dari para lintah darat. Tanpa sepengetahuan kakaknya.
Denshichiro meminjam uang tunai pada mereka.
Setengah lusin di antara orang-orang itu tetap duduk, menolak meninggalkan tempat.
"Kami mau bicara dengan Seijuro sendiri. Menghabiskan waktu saja bicara dengan muridmurid."
Seijuro menyendiri di belakang rumah. Pesannya hanyalah, "Katakan pada mereka, aku
pergi." Denshichiro tentu saja takkan berada dekat-dekat rumah pada hari seperti itu.
Wajah paling mencolok yang tidak kelihatan adalah wajah orang yang bertanggung jawab
atas buku perguruan dan rekening rumah tangga, Gion Toji. Beberapa hari sebelumnya ia
melarikan diri dengan Oko beserta semua uang yang telah dihimpunnya dalam perjalanan ke
barat. Tak lama kemudian, enam atau tujuh orang berjalan petentengan masuk, dipimpin Ueda
Ryohei. Dalam keadaan demikian memalukan pun Ueda Ryohei tetap merasa bangga menjadi
seorang di antara Sepuluh Pemain Pedang Keluarga Yoshioka. Dengan pandangan mengancam
ia bertanya, "Apa yang terjadi di sini?"
Murid itu memberikan ikhtisar singkat, walaupun berusaha menyatakan bahwa menurut
anggapannya penjelasan tidaklah perlu.
"Cuma itu?" tanya Ryohei mencela. "Jadi, ini cuma rombongan buaya duit" Apa bedanya"
Toh akhirnya akan dibayar. Suruh orang-orang yang tak mau tunggu pembayaran itu masuk
ruang latihan. Akan kubicarakan dengan mereka menurut bahasaku sendiri."
Mendengar ancaman ini tukang tagih rekening jadi sebal. Karena kejujuran Yoshioka Kempo
dahulu dalam persoalan uang, belum lagi karena kedudukannya sebagai instruktur militer
untuk para shogun Ashikaga, para penagih rekening sangat hormat pada Keluarga Yoshioka,
mau menyembah-nyembah, mau meminjamkan barang dan segalanya, mau datang apabila
dipanggil dan pergi apabila disuruh pergi, dan mau mengatakan ya mengenai segala soal.
Tapi ada batasnya sampai berapa lama mereka mesti menjilat prajurit-prajurit kosong
ini. Begitu mereka membiarkan dirinya digertak dengan ancaman seperti yang dilontarkan
Ryohei, begitu kelas saudagar akan terusir dari dunia usaha. Padahal tanpa mereka, apa
yang dapat dilakukan kaum samurai" Apa mereka menyangka dapat menjalankan segalanya itu
sendiri" Sementara mereka berdiri bergerombol sambil menggerutu, Ryohei menyatakan terangterangan bahwa menurut anggapannya mereka itu cuma sampah. "Ya sudah, pulang kalian
sekarang! Menggerombol di sini tak ada gunanya buat kalian."
Para saudagar terdiam, tapi tak bergerak meninggalkan tempat. "Usir mereka keluar!"
teriak Ryohei. "Pak, ini keterlaluan!"
"Apanya yang keterlaluan?" tanya Ryohei.
"Sama sekali tak bertanggung jawab!"
"Siapa bilang tak bertanggung jawab?"
"Tapi mengusir kami keluar itu tak bertanggung jawab!"
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak pergi baik-baik" Kami sibuk di sini."
"Kami takkan mengemis di sini kalau ini bukan hari terakhir tahun ini. Kami butuh uang
buat menutup utang-utang kami sendiri sebelum hari ini habis."
"Berat. Berat sekali. Sekarang pergi kalian!"
"Bukan begini cara memperlakukan kami!"
"Kupikir sudah cukup aku mendengar keluhan kalian!" Suara Ryohei menjadi marah lagi.
"Tak seorang pun akan mengeluh kalau Bapak mau bayar!"
"Sini!" perintah Ryohei.
"Si-siapa?" "Siapa saja yang tak puas."
"Gila!" "Siapa yang bilang begitu?"
"Saya tidak bicara tentang Bapak. Saya bicara tentang ke... adaan ini."
"Diam!" Ryohei mencekal rambut orang itu dan melemparkannya ke luar pintu samping.
"Ada lagi yang mau mengeluh?" geram Ryohei. "Takkan kubiarkan orang jembel macam kalian
berada di rumah ini menuntut uang sesen dua sen. Takkan kubiarkan! Biarpun Tuan Muda
ingin membayar kalian, akan kucegah dia melakukannya."
Melihat tinju Ryohei, para penagih rekening berlari serabutan ke luar gerbang. Tapi
begitu mereka sampai di luar, penghinaan yang mereka lontarkan pada Keluarga Yoshioka
bertambah hebat. "Aku akan tertawa dan tepuk tangan nanti, kalau tanda 'Dijual' dipasang di tempat ini!
Tunggulah, sebentar lagi akan terjadi."
"Ya, memang, kata orang tak lama lagi."
"Mana mungkin?"
Ryohei merasa senang sekali. Sambil tertawa memegang perutnya, ia pergi ke belakang
rumah. Murid-murid lain pergi bersamanya ke ruang tempat Seijuro membungkuk ke anglo,
sendirian dalam diam. "Tuan Muda," kata Ryohei, "Tuan begitu diam. Apa ada yang terjadi?"
"Oh, tidak," jawab Seijuro, sedikit riang melihat para pengikutnya yang paling setia.
"Sebentar lagi tiba harinya, ya?" katanya.
"Ya," Ryohei membenarkan. "Itu sebabnya kami datang menjumpai Tuan. Apa tidak kita
tentukan waktu dan tempatnya dan memberitahukan pada Musashi?"
"Ya, kukira begitu," kata Seijuro termenung. "Tempatnya... di mana tempat yang baik"
Bagaimana kalau lapangan Rendaiji di utara kota?"
"Bagus juga... dan waktunya?"
"Sebelum hiasan Tahun Baru diturunkan, atau sesudahnya?"
"Makin cepat makin baik. Jangan kasih kesempatan pengecut itu menyelinap lari."
"Bagaimana kalau hari kedelapan?"
"Hari kedelapan itu kan ulang tahun meninggalnya Empu Kempo?"
"Betul kalau begitu, bagaimana kalau hari kesembilan" Jam tujuh pagi: Cocok, kan?"
"Bagus, kita pasang pengumuman di jembatan malam ini."
"Bagus!" "Apa Anda sudah siap?" tanya Ryohei.
"Sudah lama aku siap," jawab Seijuro yang memang tak mungkin menjawab lain. Ia sama
sekali tak memikirkan kemungkinan kalah dari Musashi. Sesudah belajar di bawah pimpinan
ayahnya sejak kecil, dan sesudah selalu menang melawan siapa pun di perguruan, bahkan
dengan yang paling tua dan paling terlatih sekalipun, ia tak dapat membayangkan
terkalahkan oleh orang udik yang masih muda dan tak berpengalaman itu.
Namun keyakinannya itu tidaklah mutlak. Ia merasakan adanya rona ketidakpastian. Ia
tidak mencari sebab kekurangyakinannya itu pada kegagalannya melaksanakan Jalan
Samurai, tapi menganggapnya disebabkan oleh kesulitan-kesulitan pribadi belum lama ini.
Salah satu kesulitan itu. barangkali yang terbesar, adalah Akemi. Ia merasa kurang
senang semenjak di Sumiyoshi. Ketika Gion Toji lari diam-diam, mengertilah ia bahwa
kanker keuangan dalam rumah tangga Yoshioka telah mencapai tahap kritis.
Ryohei dan lain-lainnya kembali membawa pesan untuk Musashi yang ditulis di papan yang
baru dipotong. "Beginikah yang Anda maksud?" tanya Ryohei. Bunyi huruf-huruf yang masih basah mengilat
itu sebagai berikut: Jawaban-Menjawab permintaan Anda untuk mengadakan pertandingan, dengan ini saya
sebutkan waktu dan tempatnya. Tempat: Lapangan Rendaiji. Waktu: Jam tujuh pagi, hari
kesembilan bulan pertama. Saya ucapkan sumpah suci bahwa saya akan datang.
Kalau karena sesuatu alasan Anda tidak memenuhi janji Anda, saya anggap menjadi hak
saya untuk menertawakan Anda di depan umum.
Kalau saya melanggar perjanjian ini, semoga hukuman dewa-dewa jatuh pada saya! Seijuro,
Yoshioka Kempo II dari Kyoto. Dibuat pada hari terakhir/tahun 1605.
Kepada ronin dari Mimasaka, Miyamoto Musahi.
Sesudah membacanya, Seijuro berkata, "Baik." Pengumuman itu membuat-nya merasa lebih
santai, barangkali karena itulah untuk pertama kali ia sadar bahwa dadu sudah
dilemparkan. Pada waktu matahari terbenam, Ryohei mengepit tanda pengumuman itu dan berjalan bangga
bersama sejumlah murid lain untuk memasangnya di Jembatan Besar Jalan Gojo.
Di kaki Bukit Yoshida, orang yang dimaksud dalam pengumuman itu berjalan melewati
daerah samurai keturunan bangsawan tapi tidak kaya. Mereka cenderung konservatif, hidup
biasa-biasa saja, dan tidak melakukan sesuatu yang istimewa.
Musashi berjalan dari gerbang yang satu ke gerbang lain, memeriksa papan-papan nama
yang ada. Akhirnya ia berhenti di tengah jalan, kelihatannya tak mau atau tak bisa
melihat lebih jauh lagi. Ia sedang mencari bibinya, satu-satunya sanak yang masih hidup
di luar Ogin. Suami bibinya adalah samurai yang bekerja dengan gaji kecil pada Keluarga Konoe. Semula
Musashi menyangka mudah menemukan rumah dekat Bukit Yoshida itu, tapi segera ia paham
bahwa sukar sekali membedakan rumah yang satu dengan yang lain. Kebanyakan ruimah itu
kecil dan dikelilingi pohon-pohonan. Gerbang-gerbangnya tertutup rapat. Cukup banyak
juga gerbang yang tak berpapan nama.
Karena kurang pasti tentang tempat yang dicarinya, ia enggan bertanya. Mereka tentunya
sudah pindah," pikirnya. "Lebih baik aku tidak mencari lagi, ia kembali ke pusat kota.
Kota waktu itu berselimut kabut yang memantulkan lampu-lampu pasar akhir tahun.
Sekalipun waktu itu malam Tahun Baru, jalan-jalan di pusat kota masih berdengung oleh
bunyi kesibukan orang banyak.
Musashi menoleh, melihat seorang perempuan yang baru saja lewat ke arah berlawanan.
Paling sedikit tujuh atau delapan tahun ia tidak melihat bibinya, tapi ia yakin
perempuan itu bibinya, karena ia mirip dengan gambaran yang diciptakannya tentang
ibunya. Ia mengikutinya dari jarak dekat dan memanggilnya.
Perempuan itu menatapnya penuh kecurigaan sesaat dua saat. Keterkejutannya sangat
tercermin dalam matanya yang mengeriput oleh hidup yang membosankan, dengan anggaran
belanja kecil bertahun-tahun lamanya. "Engkau Musashi, anak Munisai, kan?" tanyanya
akhirnya. Musashi heran, kenapa perempuan itu memanggilnya Musashi, bukan Takezo. Tapi yang
betul-betul menggundahkan adalah kesan bahwa perempuan itu tidak menerimanya dengan
baik. "Ya," demikian jawabnya. "saya Takezo dari keluarga Shimmen."
Perempuan itu memandangnya dari kaki sampai rambut, tanpa mengucapkan "oh" atau "ah"
yang biasa diucapkan orang, dan tidak menyatakan betapa Musashi sudah besar dan betapa
berlainan wajahnya dari sebelumnya. "Kenapa kau datang kemari?" tanyanya dingin, dengan
agak menguji. "Saya datang tanpa maksud khusus. Kebetulan saja saya ada di Kyoto. Saya pikir alangkah
senang ketemu Bibi ." Melihat mata dan garis rambut bibinya, ia ingat ibunya. Sekiranya
masih hidup, pasti ibu setinggi perempuan ini, dan suara bicaranya pun serupa.
"Engkau bermaksud menengok aku?" tanya bibinya tak percaya.
"Ya. Maaf, begini tiba-tiba."
Bibinya mengibaskan tangan di depan muka, sebagai tanda tak perlu minta maaf. "Nah,
engkau sudah bertemu denganku, jadi tak ada urusan lagi. Pergilah!"
Merasa dipermalukan oleh penerimaan yang dingin ini, Musashi marah, "Kenapa Bibi
mengatakan itu, padahal Bibi baru melihat saya" Kalau Bibi menyuruh saya pergi, saya
akan pergi, tapi saya tak mengerti sebabnya. Apakah saya melakukan sesuatu yang tidak
Bibi sukai" Kalau memang, demikian, setidak-tidaknya katakanlah."
Bibinya kelihatan enggan berterus terang. "Ya, berhubung kau sudah di sini, bagaimana
kalau kau datang ke rumah kami dan menjumpai pamanmu. Tapi kau tahu sendiri, orang
macam apa dia, jadi jangan kecewa dengan apa yang mungkin dikatakannya. Aku bibimu dan
karena engkau datang menegok kami, aku tak ingin kau pergi dengan perasaan berat."
Sambil menyenangkan diri sedikit dengan ucapan bibinya itu, Musashi berjalan bersamanya
ke rumah bibinya, kemudian menanti di kamar depan sementara bibinya mengabari suaminya.
Lewat shoji ia dapat mendengar suara pamannya yang asmatis menggerutu. Nama paman itu
Matsuo Kaname. "Apa?" tanya Kaname dengan jengkel. "Anak Munisai di sini" Memang itu yang kutakutkan.
Akhirnya dia muncul. Maksudmu dia di sini, di rumah ini" Kau membiarkannya masuk tanpa
tanya aku dulu?" Cukup sudah. Tapi ketika Musashi berseru mengucapkan selamat berpisah kepada bibinya,
Kaname berkata, "Kau di sini, ya?" dan membuka pintu. Ia bukannya mengerutkan kening
lagi, tapi menunjukkan sikap benci sebenci-bencinya, seperti sikap yang ditunjukkan
orang kota kepada sanak dari desa yang tidak mandi, seakan-akan seekor sapi masuk rumah
dan menginjakkan kakinya ke atas tatami.
"Kenapa engkau datang kemari?" tanya Kaname.
"Kebetulan saja saya ada di kota ini. Saya cuma ingin melihat keadaan Paman."
"Bohong!" "Paman?" "Kau boleh bohong semaumu, tapi aku tahu apa yang kaulakukan. Kau mendatangkan banyak
kesulitan di Mimasaka, membuat banyak orang membencimu, mengaibkan nama keluargamu, dan
kemudian lari. Apa tidak benar begitu?"
Musashi tercengang. "Bagaimana mungkin kau bisa begitu tak tahu malu mengunjungi sanak keluarga?"
"Saya minta maaf atas segala yang telah saya perbuat," kata Musashi. "Tapi saya betulbetul bermaksud menebusnya, demi leluhur saya dan desa saya."
Naga Merah 2 Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil Kemelut Rimba Hijau 2
^