Mushasi 9
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 9
memotong gelungan Gion Toji membikin si pembual itu lebih congkak daripada sebelumnya.
"Itu pasti orang yang kita cari!"
"Jadi, sudah kita temukan sekarang. Tertangkap dia sekarang."
Orang-orang itu melanjutkan pengejaran tanpa satu kali pun berhenti untuk beristirahat,
sekalipun matahari mulai terbenam. Mendekati dermaga Temma, seorang dari mereka
berseru, "Ketinggalan kita!" Yang dimaksud adalah kapal terakhir hari itu.
"Tidak mungkin."
"Kenapa kaupikir kita sudah ketinggalan?" tanya yang lain.
"Tidak lihat, ya" Di sana itu," kata orang yang pertama tadi, menuding dermaga.
"Warung-warung teh sudah menumpuk bangkunya. Kapal tentunya sudah berangkat."
Untuk sesaat mereka semua berdiri terpaku, kehilangan semangat. Kemudian, ketika mereka
bertanya lagi pada orang lain, ternyata samurai itu memang sudah naik kapal terakhir.
Mereka juga mendapat keterangan, kapal itu baru saja berangkat dan untuk beberapa lama
tidak akan berhenti di perhentian berikut, Toyosaki. Kapal-kapal yang berjalan mudik ke
Kyoto umumnya pelan. Maka mereka punya waktu banyak untuk menyusul kapal tambangan itu
di Toyosaki, walaupun tanpa bergegas.
Tahu akan hal ini, mereka memanfaatkan waktu dengan minum teh, makan kue betas, dan
sedikit gula-gula murahan, sebelum berangkat dengan langkah cepat menempuh jalan
sepanjang tepi sungai. Di hadapan sana, sungai tampak bagai seekor ular perak yang
melenggok-lenggok ke kejauhan. Sungai Nakatsu dan Temma bergabung menjadi satu
membentuk Sungai Yodo, di dekat percabangan ini cahaya berkelap-kelip di tengah sungai.
"Itu kapalnya!" seru seseorang.
Ketujuh orang itu bangkit semangatnya, dan segera mereka lupa akan udara dingin yang
menembus kulit. Di ladang-ladang telanjang di tepi jalan, rumput merang kering yang
tertutup embun beku berkilauan seperti pedang-pedang baja ramping. Angin seolah
bermuatan es. Ketika jarak antara mereka dan cahaya mengapung itu memendek, mereka dapat melihat
kapal itu dengan sangat jelas. Tanpa pikir lagi, seorang dari mereka berteriak, "Hei,
yang di sana itu! Kurangi kecepatan!"
"Kenapa?" terdengar balasan dari geladak.
Jengkel karena perhatian orang jadi tertuju pada mereka, teman-temannya mengumpat orang
yang besar mulut itu. Namun kapal berhenti juga di perhentian berikut. Sungguh suatu
kebodohan besar, lebih dulu memberikan peringatan. Karena sudah telanjur, semua
sependapat bahwa langkah terbaik adalah menuntut penumpang itu seketika itu juga.
"Dia hanya sendirian. Jika kita tidak menantangnya sekarang juga, dia bisa curiga,
melompat ke air, dan menyelamatkan diri."
Sambil berjalan mengikuti jalan kapal, sekali lagi mereka berseru pada orang-orang yang
ada di atas kapal. Sebuah suara berwibawa, yang tak sangsi lagi suara Kapten, meminta
keterangan apa yang mereka kehendaki.
"Rapatkan kapal ke tepi!"
"Apa" Apa kalian gila?" terdengar jawabannya, disertai tawa parau.
"Pinggirkan di sini!"
"Mustahil" "Kalau begitu, kami tunggu Anda di perhentian berikut. Kami urusan dengan orang muda
yang ada di kapal Anda. Pakai jambul bawa monyet. Katakan padanya, kalau dia punya
hormat, dia mesti menampakkan diri. Dan kalau Anda membiarkan dia pergi, akan kami
seret kalian semua ke darat."
"Kapten, jangan jawab mereka!" mohon seorang penumpang.
"Apa pun yang mereka katakan, abaikan saja," yang lain menasihati. "Mari jalan terus ke
Moriguchi. Di sana ada pengawal."
Kebanyakan penumpang berkumpul-kumpul ketakutan dan berbicara dengan suara ditekan.
Orang yang berbicara dengan bebasnya kepada para samurai di pantai beberapa waktu lalu
kini berdiri diam. Baginya dan bagi orang-orang lain, keselamatan mereka tergantung
pada jarak antara kapal dan tepi sungai.
Ketujuh orang itu tetap berada dekat kapal dengan lengan baju disingsingkan dan tangan
dilekatkan ke pedang. Sekali mereka berhenti mendengarkan, agaknya mengharapkan jawaban
atas tantangan mereka, tapi mereka tak men-dengar sesuatu.
"Apa Anda tuli?" teriak seorang dari mereka. "Kami minta Anda menyampaikan kepada
pembual muda itu supaya datang ke susuran."
"Maksud Anda, saya?" teriak sebuah suara dari kapal.
"Itu dia di sana, kurang ajar seperti biasanya!"
Orang-orang itu menudingkan jari dan memandang ke kapal, sedangkan celoteh pelan para
penumpang semakin hiruk-pikuk. Mereka itu setiap saat dapat melompat ke geladak.
Orang muda berpedang panjang itu berdiri tegap di lambung kapal, giginya berkilauan
seperti mutiara putih oleh pantulan sinar bulan. "Di kapal tak ada orang lain yang bawa
monyet, jadi saya kira sayalah yang Anda cari. Siapa kalian, bromocorah malang"
Gerombolan aktor lapar?"
Ketika adu teriak semakin menghebat, kapal mendekati tanggul Kema yang memiliki tiangtiang tambatan dan juga gudang. Ketujuh orang itu berlari maju untuk mengepung tempat
mendarat, tapi belum lagi mereka sampai di sana, kapal sudah berhenti di tengah sungai
dan mulai berputar beberapa kali.
Wajah orang-orang Yoshioka jadi pucat kelabu. "Apa yang kaulakukan?"
"Kalian tak bisa tinggal di situ selamanya!"
"Sini kamu, atau kami akan datang ke situ."
Ancaman-ancaman terus berlangsung, sampai akhirnya haluan kapal mulai bergerak ke tepi.
Sebuah suara meraung di udara dingin, "Tutup mulut, orang-orang goblok! Kami akan
mendarat! Lebih baik siapkan diri kalian untuk mempertahankan diri."
Walaupun dicegah oleh penumpang-penumpang lain, orang muda itu tetap merebut galah
orang kapal dan mendaratkan kapal tambangan itu. Ketujuh samurai segera berkerumun
sekitar tempat yang akan disentuh haluan kapal, sementara tubuh yang menggerakkan kapal
dengan galah itu semakin dekat dengan mereka. Tiba-tiba kecepatan kapal meningkat, dan
orang muda itu menyerang mereka sebelum mereka mengetahuinya. Lunas kapal mencakar
dasar sungai dan mereka undur serentak. Pada waktu itulah sebuah benda hitam bulat
melayang melintasi gelagah dan menempelkan diri ke leher seorang di antara mereka.
Sebelum mereka menyadari bahwa benda itu hanya seekor monyet, secara naluriah mereka
semua mencabut pedang dan membabatkan ke udara kosong di sekitar mereka. Untuk
menyembunyikan rasa malu, mereka saling meneriakkan perintah mendesak.
Dengan harapan akan terhindar dari keributan, para penumpang menggerombol di sebuah
sudut kapal. Aniaya yang diderita ketujuh orang di tepi sungai itu membesarkan hati
mereka, sekalipun agak menimbulkan tanda tanya, tapi tak seorang pun berani bicara.
Kemudian secara serentak semua kepala menoleh diiringi suara menggagap. Orang muda itu
menancapkan galahnya ke dalam sungai dan melompat melintasi rumput mendoang, gerakannya
lebih ringan daripada monyet tadi.
Kejadian ini lebih mengacaukan lagi. Tanpa sempat menyusun diri kembali, orang-orang
Yoshioka segera menyerang musuh mereka dalam satu barisan. Serangan demikian justru
memberikan kedudukan menguntungkan bagi si orang muda untuk bertahan.
Orang pertama sudah maju terlampau jauh untuk dapat mundur kembali, dan barulah ia
menyadari kebodohan langkahnya. Pada saat itu segala keterampilan perang yang pernah
dipelajarinya tak ada gunanya. Yang dapat diperbuatnya hanyalah memeringiskan gigi dan
secara ngawur mengayun-ayunkan pedang di depan dirinya.
Sadar akan keuntungan psikologis yang dimilikinya, sosok pemuda tampan itu seakan
tampak makin besar. Tangan kanannya di belakang mernegang gagang pedang, dan sikunya
mencongak di atas bahunya.
"Oh, jadi kalian dari Perguruan Yoshioka" Bagus. Saya memang merasa seperti sudah kenal
kalian. Seorang dari kalian sudah berkenan mengizinkan saya memotong gelungannya.
Rupanya itu tak cukup buat kalian. Apa kalian semua datang buat potong rambut" Kalau
memang begitu, saya yakin dapat membantu kalian. Kebetulan sebentar lagi saya mesti
menajamkan pedang ini, jadi sebaik-nya saya manfaatkan kesempatan ini."
Ketika kata-kata itu berakhir, Galah Pengering pun membelah udara, dan kemudian
membelah tubuh pemain pedang terdekat yang merunduk.
Melihat kawannya terbantai demikian mudah, lumpuhlah otak mereka. Satu demi satu mereka
mundur saling tunjang, seperti bola-bola yang saling bertumbukan. Dan mengambil
keuntungan dari kedudukan mereka yang porak-poranda itu, si penyerang pun mengayunkan
pedang ke samping, ke arah orang berikutnya, dan menjatuhkan pukulan demikian mantap
hingga orang itu terjungkal ke rumput mendoang diiringi suara jeritan.
Orang muda itu membelalakkan mata kepada lima orang sisanya, yang sementara itu
menyusun diri di sekitarnya bagai daun bunga. Mereka saling meyakinkan bahwa taktik
mereka kali itu cukup aman, dan keyakinan mereka pulih, sampai-sampai berani mengejek
orang muda itu lagi. Namun kali ini kata-kata mereka gemetar dan palsu.
Akhirnya, disertai teriakan keras, seorang dari mereka meloncat ke depan dan
mengayunkan pedangnya. Ia yakin telah melakukan penebasan. Padahal ujung pedangnya
masih dua kaki penuh jaraknya dari sasaran, dan kemudian mengakhiri gerak lengkungnya
di sebuah batu karang dengan suara berdentang. Orang itu jatuh ke depan. Tubuhnya
terbuka lebar untuk serangan.
Orang muda itu bukannya membantai mangsa yang demikian mudahnya. Ia melompat ke samping
dan mengayunkan pedang ke arah orang berikut. Jeritan perang masih mendering di udara,
tapi ketiga orang lain sudah angkat kaki seribu.
Dengan wajah kejam, orang muda itu berdiri memegang pedang dengan kedua tangannya.
"Pengecut!" pekiknya. "Kembali ke sini dan ayo berkelahi! Apa ini Gaya Yoshioka yang
kalian banggakan itu" Menantang seseorang, lalu melarikan diri" Tidak heran, Perguruan
Yoshioka menjadi bahan tertawaan."
Bagi samurai mana pun yang punya harga diri, penghinaan seperti itu lebih buruk
daripada diludahi, tetapi bekas-bekas pengejar orang muda itu sudah terlampau sibuk
berlari dan tidak memperhatikannya.
Justru pada waktu itu dari sekitar tanggul terdengar dering giring-giring kuda. Sungai
dan embun beku di ladang memantulkan cukup banyak cahaya bagi pemuda itu untuk melihat
sosok tubuh di punggung kuda dan sosok tubuh lain berlari-lari di belakangnya.
Sekalipun napas beku mengepulngepul dari lubang hidungnya, mereka kelihatan tidak
memperhatikan dinginnya udara dan terus melaju ke depan. Ketiga samurai yang melarikan
diri hampir saja bertumbukan dengan kuda, ketika penunggang kuda itu mendadak sontak
mengekang kudanya. Kenal akan ketiga orang itu, Seijuro memberengut berang. "Apa yang kalian lakukan di
sini?" salaknya. "Ke mana kalian lari?"
"Oh... oh, Tuan Muda!" seorang dari mereka menggagap.
Ueda Ryohei yang muncul dari balik kuda itu menyerang mereka. "Apa artinya ini" Kalian
mestinya mengawal Tuan Muda, gerombolan tolol! Rupanya kalian terlalu sibuk ribut
sesudah minum lagi, ya?"
Ketiga orang itu dengan marah memuntahkan cerita tentang bagaimana mereka
mempertahankan kehormatan Perguruan Yoshioka dan gurunya, dan betapa mereka mengalami
kegagalan berhadapan dengan samurai muda yang seperti setan itu. Jadi, mereka bukannya
berkelahi karena mabuk. "Lihat itu!" teriak seorang dari mereka. "Dia datang kemari."
Mata-mata yang ketakutan memperhatikan musuh yang mendekat.
"Diam kalian!" perintah Ryohei dengan suara muak. "Terlalu banyak kalian bicara. Bagus
sekali kalian melindungi kehormatan perguruan. Tak bakal kita bisa menebus dengan
perbuatan macam itu. Minggir semua! Aku yang akan menghadapinya sendiri." Ia mengambil
jurus menantang, dan menanti.
Pemuda itu menuju ke arah mereka. "Berhenti kalian, dan ayo berkelahi!" teriaknya. "Apa
lari itu seni bela diri Yoshioka" Secara pribadi tak ingin saya membunuh kalian, tapi
Galah Pengering saya masih haus. Karena kalian pengecut, paling sedikit yang dapat
kalian lakukan adalah meninggalkan kepala kalian." Ia lari menyusur tanggul dengan
langkah-langkah besar dan yakin, dan kelihatan akan melompati kepala Ryohei yang waktu
itu sudah meludah ke tangan dan menggenggam kembali pedangnya penuh kemantapan.
Pada saat itulah pemuda itu terbang, sedangkan Ryohei mengeluarkan teriakan yang
memekakkan telinga, mengangkat pedang ke atas jubah warna emas pemuda itu dan
menebaskannya dengan ganas, tapi gagal.
Pemuda itu mendadak menghentikan gerakan, menoleh, dan teriaknya. "Apa ini" Orang
baru?" Ryohei terhuyung ke depan, terbawa oleh kecepatan ayunannya, dan pemuda itu menyapunya
tanpa ampun lagi. Sepanjang hidupnya belum pernah Ryohei menyaksikan pukulan yang
demikian hebat. Ia memang berhasil mengelakkan-nya pada waktunya, tapi terjungkal juga
ia ke sawah. Untung baginya, karena tanggul itu cukup rendah dan sawah itu membeku.
tapi ketika jatuh ia kehilangan senjatanya, dan dengan itu keyakinannya pula.
Ketika ia merangkak kembali ke atas, pemuda itu sedang bergerak dengan kekuatan dan
kecepatan seekor macan yang sedang marah, memporak-porandakan ketiga murid itu dengan
kilasan pedangnya dan sedang mendekati Seijuro.
Seijuro belum lagi merasa ngeri. Menurut pikirannya, segalanya akan berlalu sebelum ia
sendiri terlibat. Tapi sekarang bahaya menyerang langsung dirimya dalam bentuk pedang
yang tamak. Terdorong oleh suatu ilham yang tiba-tiba datang, ia berteriak, "Ganryu! Tunggu!" ia
lepaskan sebelah kakinya dari sanggurdi, ia naikkan ke pelana, dan berdirilah ia luruslurus. Kuda melompat ke depan, ke arah kepala pemuda itu, sedangkan Seijuro terbang ke
belakang, mendarat dengan kedua kakinya sekitar tiga langkah jauhnya.
"Bukan main!" teriak orang muda itu kagum sekali, lalu mendekati Seijuro. "Biarpun kau
musuhku, perbuatan tadi betul-betul bagus! Kau tentunya Seijuro sendiri. Jaga dirimu!"
Mata pedang panjang itu menjadi perwujudan semangat juang. Ia semakin mendekati
Seijuro, namun sekalipun memiliki kelemahan-kelemahan, Seijuro adalah anak Kempo. Ia
dapat menghadapi bahaya itu dengan tenang.
Kepada pemuda itu ia berkata yakin, "Kau Sasaki Kojiro dari Iwakuni. Benar seperti
dugaanmu, aku Yoshioka Seijuro. Tak ada keinginanku berkelahi denganmu. Kalau benarbenar perlu, kita dapat mengundurkannya pada waktu lain. Sekarang ini aku cuma ingin
mengetahui, apa sebab semua ini. Singkirkan pedangmu."
Ketika Seijuro menyebutnya Ganryu, pemuda itu jelas tidak mendengarnya. Tapi sekarang,
disebut Sasaki Kojiro itu ia pun terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu siapa aku?"
tanyanya. Seijuro menampar paha. "Aku tahu! Aku cuma menduga, tapi dugaanku betul!" Kemudian ia
maju ke depan, dan katanya, "Senang sekali bertemu denganmu. Aku sudah banyak mendengar
tentangmu." "Dari siapa?" tanya Kojiro.
"Dari teman seniormu, Ito Yagoro."
"Oh, jadi kau ini temannya?"
"Ya. Sampai musim gugur lalu dia memiliki tempat pertapaan di Bukit Kagura di
Shirakawa, dan aku sering mengunjunginya di sana. Dia beberapa kali juga berkunjung ke
rumahku." Kojiro tersenyum. "Kalau begitu, ini tampaknya bukan pertemuan yang pertama lagi, ya?"
"Tidak. Ittosai agak sering menyebutmu. Dia mengatakan ada satu orang dari Iwakuni
bernama Sasaki yang sudah mempelajari gaya Toda Seigen, dan kemudian belajar di bawah
pimpinan Kanemaki Jisai. Dia mengatakan padaku, Sasaki murid termuda di perguruan
Jisai, tapi suatu hari nanti akan menjadi satu-satunya pemain pedang yang dapat
menantang Ittosai." "Tapi aku masih belum mengerti, bagaimana bisa Anda mengetahui ini begitu cepat."
"Nah, Anda muda dan cocok dengan gambaran itu. Melihat Anda mengguna-kan pedang panjang
itu, aku ingat Anda disebut juga Ganryu"'Pohon Dedalu di Tepi Sungai'. Aku lalu
mendapat firasat, tentu Anda-lah itu, dan aku benar."
Sementara Kojiro mencecap gembira, matanya menoleh memandang pedangnya yang masih
berdarah, yang mengingatkan kepadanya bahwa telah terjadi perkelahian, dan itu
membuatnya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mereka akan menyelesaikan urusan itu.
Namun nyatanya ia dan Seijuro telah bertemu demikian baik, hingga saling pengertian pun
segera tercapai, dan beberapa menit kemudian mereka sudah berjalan bahu-membahu seperti
sahabat lama. Di belakang mereka berjalan Ryohei dan tiga murid yang kesal hati.
Rombongan kecil itu berjalan menuju Kyoto.
Kojiro berkata, "Dari semula aku tak mengerti, gara-gara apa perkelahian itu tadi. Aku
tak punya soal dengan mereka."
Pikiran Seijuro tertuju kepada tingkah laku Gion Toji baru-baru itu. "Aku muak dengan
Toji," katanya. "Kalau aku kembali nanti, akan kupanggil dia supaya bercerita. Kuharap
Anda tidak menganggap aku dendam terhadap Anda. Aku betul-betul malu melihat orangorang perguruanku kurang baik disiplinnya."
"Nah, Anda sudah lihat sendiri, orang macam apa aku ini," jawab Kojiro. "Bicaraku
terlalu besar, dan aku selalu siap berkelahi dengan siapa saja. Murid-murid Anda bukan
satu-satunya orang yang mesti dipersalahkan. Bahkan kukira Anda mesti memberikan pujian
pada mereka karena telah berusaha mempertahankan nama baik perguruan. Sayang mereka itu
tidak seberapa sebagai pejuang, tapi setidak-tidaknya mereka sudah mencoba. Aku sedikit
kasihan pada mereka."
"Aku yang mesti dipersalahkan," kata Seijuro polos. Wajahnya menampakkan rasa sakit
yang sebenar-benarnya. "Mari kita lupakan semuanya."
"Tak ada yang lebih menyenangkan bagiku."
Bersatunya kedua orang itu mendatangkan kelegaan pada yang lain-lain. Siapa menyangka
bahwa anak lelaki yang tampan dan tumbuh lebih besar dari seharusnya ini Sasaki Kojiro
yang besar, yang oleh Ittosai dipuji-puji" ("Keajaiban Iwakuni", begitulah yang
dikatakannya). Tidak mengherankan kalau karena ketidaktahuannya, Toji tergoda untuk
mempermainkannya sedikit. Dan tidak mengherankan bahwa akhirnya ia sendiri yang jadi
tampak konyol. Ryohei dan ketiga orang temannya menggigil kalau ingat betapa mereka hampir kena
berondong Galah Pengering. Kini mata mereka telah terbuka. Melihat bidangnya bahu dan
tegapnya punggung Kojiro itu mereka heran, bagaimana mungkin mereka telah berlaku
demikian bodoh dengan menyepelekannya.
Tak lama kemudian, mereka sampai kembali di tempat perhentian kapal. Mayat-mayat sudah
membeku, dan ketiga orang itu ditugaskan menguburnya, sedangkan Ryohei pergi mencari
kuda. Kojiro pergi bersiul-siul memanggil monyetnya. Tiba-tiba monyet itu muncul entah
dari mana dan melompat ke bahu tuannya.
Seijuro tidak hanya mendesak Kojiro datang ke perguruannya di Jalan Shijo dan tinggal
di sana sejenak, tapi juga menawarkan kudanya. Kojiro menolak.
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang baik," katanya. Sikap hormatnya tidak seperti biasa. "Aku cuma seorang ronin
muda, sedangkan Anda guru sebuah perguruan besar, putra seorang terhormat, pemimpin
beratus-ratus pengikut." Sambil memegang kendali, ia melanjutkan, "Silakan, Andalah
yang naik. Aku memegang kendali ini saja. Lebih mudah jalan begini. Kalau memang tidak
keberatan, aku menerima tawaran Anda tinggal dengan Anda sebentar di Kyoto."
Dengan sikap sopan santun yang sama, Seijuro berkata, "Nah, kalau begitu, aku naik
sekarang, dan kalau kaki Anda lelah nanti, kita dapat bertukar tempat."
Seijuro merasa ada baiknya pemain pedang seperti Sasaki Kojiro itu berada di
sampingnya, pada saat ia terpaksa bertarung dengan Miyamoto Musashi pada permulaan
Tahun Baru. *** 26. Gunung Rajawali PADA tahun 1550-an dan 1560-an, pemain-pemain pedang besar yang paling terkenal di
Jepang Timur adalah Tsukahara Bokuden dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, sedangkan
saingannya di Honshu Tengah adalah Yoshioka Kempo dari Kyoto dan Yagyu Muneyoshi dari
Yamato. Di samping itu ada Yang Dipertuan Kitabatake Tomonori dari Kuwana. seorang guru
seni bela diri dan gubernur terkemuka. Lama sesudah ia meninggal, orang Kuwana masih
berbicara tentang dirinya dengan rasa cinta, karena bagi mereka ia melambangkan hakikat
pemerintahan yang baik dan kemakmuran.
Ketika Kitabatake masih belajar di bawah pimpinan Bokuden, yang terakhir ini menurunkan
kepadanya Ilmu Pedang Tertinggi, yaitu rahasia tertinggi di antara jurus-jurus rahasia
miliknya. Anak Bokuden, Tsukuhara Hikoshiro, mewarisi nama dan tanah milik ayahnya,
tapi tidak mendapat warisan jurus rahasia itu. Itulah sebabnya mengapa Gaya Bokuden
bukannya menyebar di timur, di mana Hikoshiro bergiat, melainkan di daerah Kuwana, di
mana Kitabatake memerintah.
Konon, sesudah meninggalnya Bokuden, Hikoshiro datang ke Kuwana untuk mencoba
memperdayakan Kitabatake agar membukakan jurus rahasia itu. "Ayah saya," demikian
kabarnya ia mengatakan, "dahulu mengajarkannya pada saya, dan saya diberitahu bahwa dia
mengajarkannya juga pada Anda. Belakangan ini saya bertanya-tanya pada diri sendiri,
apakah yang diajarkan pada kita itu bukan barang yang sama. Karena rahasia-rahasia
tertinggi dalam aliran kita jadi kepentingan bersama, apakah tidak sebaiknya kita
membandingkan apa yang telah kita pelajari?"
Kitabatake segera menyadari maksud kurang baik pewaris Bokuden itu. namun ia cepat
menyetujui memberikan demonstrasi. Rahasia yang diketahui Hikoshiro waktu itu hanyalah
bentuk luar Ilmu Pedang Tertinggi, dan bukan rahasia yang paling dalam. Maka Kitabatake
tetap merupakan satu-satunya guru Gaya Bokuden sejati, dan untuk mempelajarinya para
murid harus pergi ke Kuwana. Di sebelah timur, Hikoshiro menurunkan kulit kosong
lancung keterampilan ayahnya sebagai ajaran yang asli: suatu bentuk tanpa inti.
Atau demikianlah setidak-tidaknya cerita yang disampaikan pada setiap musafir yang
kebetulan menginjakkan kaki di daerah Kuwana. Bukan cerita yang jelek, karena ceritacerita seperti itu memang beredar, dan karena didasarkan pada fakta, maka cerita itu
lebih dapat diterima dan kurang ngawur dibandingkan lautan cerita rakyat setempat yang
disampaikan orang untuk menegaskan kembali keunikan kota-kota dan provinsi-provinsi
yang mereka cintai. Musashi yang sedang menuruni Gunung Tarusaka dalam perjalanan dari kota Kuwana
mendengar cerita itu dari tukang kudanya. Ia mengangguk, dan katanya sopan, "Betul
begitu" Menarik sekali!" Waktu itu pertengahan bulan terakhir. Sekalipun iklim Ise
relatif hangat, namun angin yang berembus dari Teluk Nako dingin menggigit.
Ia hanya mengenakan kimono tipis. Pakaian dalamnya dari katun dan jubah tak berlengan.
Berarti pakaian yang terlalu tipis untuk ukuran mana pun. Dan lagi jelas tampak kotor.
Wajahnya bukan lagi berwarna perunggu, melainkan hitam terbakar matahari. Di atas
kepalanya yang termakan cuaca, topi anyamannya yang sudah aus dan berumbai tampak
berlebihan. Sekiranya ia membuang barang itu di jalan, tak seorang pun akan bersusah
payah memungutnya. Rambutnya yang sudah berhari-hari tak dicuci, diikat ke belakang,
tapi tetap masih seperti sarang burung. Apa pun yang dilakukannya selama enam bulan
terakhir itu, menyebabkan kulitnya tampak seperti kulit yang tersamak baik. Matanya
bersinar seperti mutiara putih di tengah lingkungannya yang segelap arang.
Tukang kuda sudah kuatir semenjak membawa penunggang kuda yang acak-acakan itu. Ia
sangsi apakah akan menerima upah, dan yakin tak akan mendapat muatan pulang dari tempat
jauh di tengah pegunungan itu.
"Tuan," katanya agak takut-takut.
"Mm?" "Kita akan sampai Yokkaichi sebelum tengah hari, dan sampai Kameyama petang hari.
Sebelum sampai Desa Ujii, hari pasti sudah tengah malam."
"Mm." "Tak apa-apa?" "Mm." Musashi waktu itu lebih tertarik pada pemandangan teluk daripada berbicara,
hingga tukang kuda itu tidak memperoleh jawaban lebih dari anggukan kepala dan kata
"Mm" yang tak berisi pendapat itu.
Tukang kuda mencoba lagi. "Ujii tak lebih dari dukuh kecil sekitar delapan mil masuk
pegunungan dari punggung Gunung Suzuka. Bagaimana ceritanya sampai Tuan pergi ke tempat
macam itu?" "Saya pergi untuk menemui seseorang."
"Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali petani dan penebang kayu."
"Di Kuwana saya dengar ada satu orang yang pandai sekali main rantai peluru-sabit."
"Saya kira Shishido."
"Itu dia. Namanya Shishido apa?"
"Shishido Baiken."
"Ya." "Dia pandai besi, biasa bikin sabit besar. Saya ingat pernah mendengar dia mahir sekali
bikin senjata itu. Apa Tuan belajar seni bela diri?"
"Mm." "Oh, kalau begitu, daripada menemui Baiken, saya sarankan Tuan pergi ke Matsuzaka.
Beberapa pemain pedang terbaik Provinsi Ise tinggal di sana."
"Siapa misalnya?"
"Misalnya, Mikogami Tanzen."
Musashi mengangguk. "Ya, saya pernah dengar." Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, dan ini
memberikan kesan bahwa ia kenal betul kemampuan-kemampuan besar Mikogami.
Sampai kota kecil Yokkaichi, ia berjalan terpincang-pincang kesakitan menuju sebuah
warung, dan di situ ia memesan makan siang dan duduk makan. Kura-kura sebelah kakinya
terbalut, karena telapak kakinya luka bernanah. Itulah sebabnya ia memilih menyewa kuda
dan bukan berjalan. Walaupun biasanya ia selalu berhati-hati dengan tubuhnya, beberapa
hari sebelumnya, di kota pelabuhan ramai Narumi terinjak olehnya papan berpaku. Kakinya
yang merah bengkak itu tampak seperti kesemek asin, dan sejak kemarin ia demam.
Menurut jalan pikirannya, ia bertempur dengan sebuah paku, dan paku itu menang. Sebagai
murid bela diri, ia merasa malu membiarkan dirinya kena paku tanpa sadar. "Apa tak ada
jalan buat melawan musuh macam itu?" tanyanya beberapa kali kepada dirinya. "Paku itu
mencongak ke atas dan kelihatan jelas. Aku menginjaknya karena aku setengah tertidurtidak, aku buta, karena semangatku belum lagi aktif di seluruh tubuhku. Lebih dan itu,
aku membiarkan paku itu menembus dalam, dan ini terbukti gerak reflekku lamban.
Sekiranya aku menguasai sepenuhnya diriku, pasti aku sudah melihat paku itu begitu
sandalku menyentuhnya."
Persoalan yang dihadapinya adalah ketidakmatangan, demikian kesimpulannya. Tubuhnya dan
pedangnya masih belum menjadi satu. Sekalipun kedua tangannya jadi semakin kuat dari
hari ke hari, semangatnya dan bagian lain tubuhnya tidak selaras. Dalam kerangka
pikiran yang mengecam diri pribadi ini, hal itu terasa olehnya sebagai kelainan yang
melumpuhkan. Namun demikian, ia tidak merasa membuang-buang waktu saja enam bulan lalu itu. Sesudah
melarikan diri dari Yagyu, pertama-tama ia pergi ke Iga, kemudian ke jalan raya Omi,
lalu menjelajahi Provinsi Mino dan Owari. Di setiap kota, di setiap ngarai gunung, ia
berusaha menguasai Jalan Pedang yang sejati. Kadang-kadang ia merasa sudah mencapainya,
tapi rahasianya tetap saja sukar ditangkap; sesuatu yang tak dapat ditemukan
tersembunyi di kota ataupun di ngarai.
Tak ingat lagi ia, dengan berapa banyak prajurit ia telah berbentrokan. Jumlahnya
berlusin-lusin dan semuanya pemain pedang yang terlatih baik dan dari kelas tinggi.
Tidak sukar menemukan pemain-pemain pedang cakap. Yang sukar ditemukan adalah manusia
sejati. Dunia ini memang penuh orang, bahkan terlalu penuh, tapi menemukan seorang
manusia sejati tidaklah mudah. Selama perjalanannya, Musashi menjadi yakin akan hal
itu, seyakin-yakinnya, sampai terasa menyakitkan dan semangatnya mengendur. Namun
demikian, pikirannya selalu kembali kepada Takuan, karena tak sangsi lagi dialah
pribadi yang otentik, yang unik.
"Kukira aku beruntung," pikir Musashi. "Setidaknya aku beruntung telah mengenal seorang
manusia sejati. Aku harus membuat pengalaman mengenal dia itu membuahkan sesuatu."
Manakala Musashi memikirkan Takuan, sejenis rasa nyeri menyebar dari pergelangan
tangannya ke seluruh tubuhnya. Perasaan itu aneh, suatu kenangan psikologis akan saat
ia terikat erat pada cabang pohon kriptomeria, "Tunggulah!" sumpah Musashi. "Sebentar
lagi akan kuikat Takuan di pohon itu juga, dan aku akan duduk di tanah, mengkhotbahkan
jalan hidup sejati kepadanya!" Bukannya ia benci kepada Takuan atau punya hasrat
membalas dendam. Ia cuma ingin menunjukkan bahwa taraf yang dapat dicapai seseorang
melalui Jalan Pedang lebih tinggi daripada yang dapat dicapai dengan mempraktekkan Zen.
Musashi tersenyum memikirkan kemungkinan bahwa pada suatu hari nanti ia akan ganti
menguasai biarawan eksentrik itu.
Tentu saja bisa terjadi bahwa segala sesuatu tidak berlangsung tepat seperti yang
direncanakan, tapi sekiranya ia memang mendapat kemajuan besar, dan sekiranya pada
akhirnya ia dapat mengikat Takuan di atas pohon dan menguliahinya, apa yang dapat
dikatakan oleh Takuan" Sudah pasti ia akan berteriak girang dan menyatakan, "Bagus
sekali! Aku bahagia sekarang."
Tapi tidak, Takuan tak akan pernah bersikap langsung macam itu. Sebagai Takuan, ia akan
tertawa dan katanya, "Bodoh kamu! Kau makin maju, tapi masih bodoh!"
Bagaimana persisnya kata-kata tidaklah menjadi persoalan benar. Persoalannya Musashi
merasa, walaupun aneh, bahwa menghantam kepala Takuan dengan keunggulan pribadinya
merupakan suatu keharusan, semacam utang terhadap biarawan itu. Khayalan itu cukup
polos. Musashi telah menempuh jalannya sendiri, dan dari hari kehari ia menemukan
betapa paniang dan sukarnya jalan menuju kemanusiaan sejati. Kalau sisi praktis dirinya
mengingatkan ia betapa Takuan sudah jauh lebih lanjut menempuh jalan itu dibandingkan
dengannya, maka khayalan itu pun lenyap.
Lebih mengguncangkan lagi apabila ia memikirkan betapa mentah dan tak layak dirinya
dibandingkan dengan Sekhishusai. Memikirkan guru Yagyu tua itu membuatnya sinting dan
sekaligus sedih. ia menjadi sadar sesadar-sadarnya akan ketidakmampuannya bicara
tentang Jalan Kesempurnaan, tentang Seni Bela Diri atau yang lain lagi dengan penuh
keyakinan. Pada waktu-waktu seperti ini, dunia yang pernah dikiranya penuh orang bodoh itu
kelihatannya besar menakutkan. Dan Musashi berkata pada diri sendiri bahwa hidup ini
bukanlah soal logika. Pedang bukan logika. Yang penting bukan bicara atau berspekulasi,
melainkan beraksi. Mungkin saja ada orang-orang lain yang sekarang ini jauh lebih besar
daripadanya, tapi ia pun bisa menjadi besar!
Apabila kesangsian terhadap diri sendiri sudah mengancam akan menenggelamkannya, maka
Musashi biasa langsung pergi ke pegunungan dan hidup dengan dirinya dalam kesendirian
itu. Gaya hidupnya di sana tampak jelas dari penampilannya ketika kembali ke peradabanpipinya secekung pipi rusa, tubuhnya penuh cakaran dan luka memar, rambutnya kering dan
kaku karena berjam-jam tersiram air terjun dingin. Ia jadi demikian kotor akibat tidur
di tanah, sehingga giginya yang putih seakan-akan tidak berasal dari dunia. Namun semua
itu hanyalah permukaan semata. Di dalam, ia menyala penuh keyakinan, hampir-hampir
keangkuhan. dan meledak-ledak dengan hasrat menjumpai lawan yang berarti. Dan pencarian
ujian atas keberanian inilah yang selalu membawanya turun dari pegunungan.
Ia dalam perjalanannya sekarang karena ingin tahu apakah ahli rantaipeluru-sabit Kuwana
itu memang cakap. Dalam sepuluh hari yang masih tersisa sebelum ia memenuhi janjinya di
Kyoto, masih ada waktu untuk melihat apakah Shishido Baiken sungguh seorang manusia
sejati, ataukah sekadar cacing pemakan nasi juga, yang demikian banyaknya menghuni bumi
ini" Larut malam barulah ia sampai di tujuannya, jauh di pegunungan itu. Sesudah mengucapkan
terima kasih, dikatakannya bahwa tukang kuda itu bebas untuk pergi, tapi karena sudah
larut, si tukang kuda lebih suka mengawani Musashi ke rumah yang dicarinya dan menginap
di bawah tepi atap. Esok harinya ia akan dapat turun dari Celah Suzuka, dan jika
beruntung ia dapat mengambil penumpang kembali di jalan. Bagaimanapun, cuaca waktu itu
terlalu dingin dan gelap untuk mencoba kembali sebelum matahari terbit.
Musashi sependapat dengannya. Mereka berada di sebuah lembah yang tertutup tiga
sisinya. Jalan mana pun terpaksa mendaki pegunungan yang tertimbun salju setinggi
lutut. "Kalau begitu," kata Musashi, "ayolah ikut saya."
"Ke rumah Shishido Baiken?"
"Ya.." "Terima kasih, Tuan. Mari kita lihat, apa kita dapat menemukannya."
Karena Baiken membuka bengkel, siapa pun di antara petani setempal dapat mengantar
mereka ke rumahnya, tapi pada waktu malam seperti itu seluruh desa sedang tidur. Satusatunya tanda kehidupan adalah bunyi godam yang secara teratur menghantam blok. Sesudah
berjalan melintas, udara dingin mendekati bunyi itu, akhirnya mereka melihat cahaya.
Ternyata itu rumah pandai besi. Di depan terdapat timbunan logam tua: dan sisi bawah
ujung atap hitam oleh asap. Atas perintah Musashi, tukang kuda membuka pintu dan masuk.
Api menyala di dapur api dan seorang perempuan yang membelakangi api sedang menumbuknumbuk kain.
"Selamat malam, Nyonya! Oh! Nyonya ada api. Bagus sekali!" Tukang kuda langsung menuju
dapur api itu. Perempuan itu terlompat karena tukang kuda yang mendadak masuk itu, dan menghentikan
pekerjaannya. "Siapa pula ini?" tanyanya.
"Tunggu sebentar, saya jelaskan," kata tukang kuda sambil memanaskan kedua tangannya.
"Saya membawa seseorang dari jauh untuk bertemu dengan suami Nyonya. Kami baru saja
sampai. Saya tukang kuda dari Kuwana."
"Ya, tapi..." Perempuan itu memandang masam ke arah Musashi. Kerutan keningnya jelas
menunjukkan bahwa ia sudah lebih dari cukup menjumpai shugyosha dan sudah tahu
bagaimana menghadapi mereka. Dengan nada angkuh ia berkata kepada Musashi, seperti
kepada anak kecil, "Tutup pintu! Bayiku bisa masuk angin kalau udara dingin itu masuk."
Musashi membungkuk dan mematuhi perintah itu. Kemudian ia duduk di atas tunggul pohon
di samping dapur api dan mengamati sekitarnyadari daerah penuangan best yang menghitam
sampai ruangan tempat tinggal yang berkamar tiga. Pada sebuah papan yang dipakukan ke
dinding tergantung sekitar sepuluh senjata rantai-peluru-sabit. Ia perkirakan itulah
senjatanya, karena terus terang saja, ia belum pernah melihatnya. Alasannya yang lain
mengadakan perjalanan kemari adalah karena ia berpendapat seorang murid semacam dirinya
haruslah berkenalan dengan segala jenis senjata. Maka berkilau-kilaulah matanya karena
rasa ingin tahu. Perempuan yang umurnya sekitar tiga puluh tahun dan agak manis itu meletakkan palunya
dan kembali ke daerah tempat tinggal. Musashi mengira ia akan membawakan teh, tapi
ternyata ia pergi ke tikar tempat tidur seorang bayi, lalu mengangkat anak itu dan
menyusuinya. Kepada Musashi ia berkata, "Kukira kau ini samurai muda lain lagi yang datang kemari
buat dibikin berlumuran darah oleh suamiku. Kalau betul begitu, kamu beruntung. Suamiku
sedang pergi, jadi kamu tak perlu kuatir cerbunuh." Ia tertawa riang.
Musashi tidak tertawa. Ia jengkel sekali. Ia datang ke desa terpencil ini bukan untuk
dipermainkan oleh seorang perempuan. Menurut renungannya, semua perempuan cenderung
keterlaluan melebihkan status suaminya. Perempuan ini lebih gawat daripada kebanyakan
istri. Ia rupanya mengira suaminya orang terhebat di bumi ini.
Karena tak ingin melukai perasaannya, Musashi berkata, "Saya kecewa suami Nyonya tidak
ada. Ke mana dia pergi?"
"Ke rumah Arakida."
"Di mana itu?" "Ha, ha! Kamu sudah datang di Ise, tapi belum tahu Keluarga Arakida?"
Waktu itu bayi di dadanya mulai rewel, dan tanpa menghiraukan, tamunya, perempuan itu
menyanyikan lagu buaian dalam logat setempat.
Tidurlah, tidurlah Bayi tidur sungguh manis.
Bayi jaga dan nangis, itu nakal
Dan bikin ibunya nangis juga.
Karena menurut pikirannya, setidak-tidaknya ia bisa mempelajari sesuatu dari
memperhatikan senjata-senjata pandai besi itu, Musashi bertanya, "Apa ini senjata yang
digunakan begitu fasihnya oleh suami Nyonya?"
Perempuan itu menggerutu, dan ketika Musashi minta dibolehkan memeriksanya, ia
mengangguk, dan menggerutu lagi.
Musashi menurunkan satu senjata dari sangkutannya. "Jadi, inilah macamnya," katanya,
setengah pada diri sendiri. "Saya dengar orang banyak menggunakannya sekarang ini."
Senjata di tangannya itu terdiri atas satu batang logam yang panjangnya 60 cm (yang
dengan mudah dapat disimpan di dalam obi). Ujungnya memakai cincin tempat menyangkutkan
rantai. Di ujung lain rantai itu terdapat peluru logam yang berat, yang cukup kokoh
untuk memecahkan tengkorak manusia. Di lekuk yang dalam pada salah satu sisi batang
logam itu tampak punggung pisau. Ketika ia menarik benda itu dengan kukunya, benda itu
melenting ke samping, seperti mata sabit. Dengan senjata itu, tidaklah sukar memotong
kepala lawan. "Kukira begini memegangnya," kata Musashi seraya memegang sabit itu dengan tangan kiri
dan rantai dengan tangan kanan. Sambil membayangkan seorang musuh di hadapannya, ia
mengambil jurus dan menimbang-nimbang gerakan yang diperlukannya.
Perempuan itu mengalihkan matanya dari tempat tidur bayinya unruk memperhatikan, dan
umpatnya, "Bukan begitu! Salah sekali!" Sambil menjejalkan buah dadanya kembali ke
dalam kimononya, ia mendekat ke tempat Musashi berdiri. "Kalau kamu memegangnya begitu,
orang yang bersenjata pedang bisa menebasmu tanpa kesulitan sama sekali. Pegang
begini." Ia merebut senjata itu dari tangan Musashi dan memperlihatkan padanya bagaimana cara
berdiri. Musashi tak suka melihat seorang perempuan mengambil jurus tempur dengan
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata yang demikian brutal. la memandang dengan mulut menganga. Ketika menyusui
bayinya tadi, perempuan itu tampak betul-betul seperti sapi, tapi sekarang sesudah siap
tempur ia tampak gagah, bermartabat, dan, ya, bahkan cantik. Sementara memperhatikan,
Musashi melihat bahwa pada pedang berwarna biru kehitaman seperti punggung ikan makerel
itu terdapat tulisan yang bunyinya, "Gaya Shishido Yaegaki".
Perempuan itu mengambil jurus tersebut hanya sesaat. "Yah, kira-kira seperti itulah,"
katanya sambil melipatkan kembali pisau itu ke dalam gagangnya dan menggantungkan
senjata itu ke sangkutannya.
Musashi ingin melihatnya menggunakan alat itu lagi, tapi perempuan itu jelas tak punya
keinginan melakukannya. Sesudah membersihkan dinding, ia kembali sibuk dengan pekerjaan
di dekat bak cuci. Ia mencuci pecah belah atau bersiap memasak sesuatu.
"Kalau perempuan ini dapat mengambil jurus demikian mengesankan," pikir Musashi,
"suaminya tentunya benar-benar patut dilihat." Maka hampir tak sabar lagi ia ingin
menjumpai Baiken, dan pelan-pelan ia bertanya kepada tukang kuda mengenai Keluarga
Arakida. Sambil bersandar ke dinding dan menghangatkan diri pada panas api, tukang kuda
menyatakan dengan suara gumam bahwa mereka itu keluarga yang ditugaskan mengawal Biara
Ise. Kalau ini benar, demikian pikir Musashi, tak akan sukar menemukan tempat mereka itu. Ia
mengambil keputusan untuk mencarinya, lalu melingkarkan diri di tikar dekat api dan
tidur. Pagi-pagi, magang pandai besi itu bangun dan membuka luar bengkel. Musashi bangun juga
dan minta kepada tukang kuda agar membawanya ke Yamada, kota terdekat dengan Biara Ise.
Puas karena telah dibayar hari sebelumnya, tukang kuda segera menyetujui.
Petang hari mereka sudah sampai di jalan panjang berapit pohon yang menuju biara itu.
Warung-warung teh di situ tampak sangat sepi, bahkan juga untuk musim dingin. Hanya
sedikit orang berjalan, dan jalan itu sendiri dalam keadaan buruk. Sejumlah pohon yang
tumbang oleh badai musim gugur masih menggeletak di tempat tumbangnya.
Dari rumah penginapan di Yamada, Musashi mengirim seorang pesuruh untuk bertanya ke
rumah Arakida, apakah Shishido Baiken tinggal di sana. Jawaban yang datang menyatakan
bahwa tentunya telah terjadi kekeliruan. Tak seorang pun yang namanya demikian ada di
sana. Karena kecewa, Musashi mengalihkan perhatian kepada kakinya yang luka, yang dalam
semalam itu sudah sangat membengkak.
Ia gusar karena tinggal beberapa hari lagi waktu yang tersisa baginya untuk berada di
Kyoto. Dalam surat tantangan yang dikirimkannya kepada Sekolah Yoshioka dari Nagoya, ia
menyerahkan pada mereka untuk memilih salah satu hari dalam minggu pertama Tahun Baru.
Ia tak dapat menolak sekarang dengan alasan kaki sakit. Disamping itu, ia berjanji
menjumpai Matahachi di jembatan Jalan Gojo.
Sepanjang hari berikutnya ia gunakan untuk menerapkan obat yang pernah didengarnya.
Ampas tahu ia masukkan dalam kantong kain, ia peras sampai keluar airnya, dan ia rendam
kakinya dalam air itu. Namun tak ada perbaikan. Bahkan lebih buruk lagi bahwa bau tahu
itu memualkan. Sibuk mengurusi kakinya, ia mengeluh atas kebodohannya telah menyeleweng
pergi ke Ise. Mestinya ia langsung ke Kyoto.
Malam itu kakinya ia bungkus di bawah selimut. Demamnya menanjak dan rasa nyerinya tak
tertahankan lagi. Pagi berikutnya dengan putus asa ia cobakan resep-resep lain,
termasuk mengoleskan obat seperti minyak pemberian pemilik rumah penginapan. Orang itu
berani bersumpah bahwa keluarganya telah menggunakannya beberapa generasi. Namun
bengkak tidak juga surut. Kakinya tampak seperti gumpalan tahu besar membengkak. dan
rasanya sudah seberat balok kayu.
Pengalaman itu menyebabkan ia berpikir. Tidak pernah dalam hidupnya ia terbaring tiga
hari lamanya. Selain bisul yang pernah dipunyainya di kepala semasa kanak-kanak,
menurut ingatannya tak pernah ia sakit.
"Sakit adalah sejenis musuh yang paling jahat," demikian pikirnya. "Namun tak berdaya
aku dalam genggamannya." Sampai sekarang ia menduga musuh-musuhnya akan selalu datang
dari luar, maka kenyataan bahwa ia dibikin lumpuh oleh musuh dari dalam, baginya
sungguh baru dan memaksanya untuk berpikir.
"Tinggal berapa hari lagi tahun ini?" demikian ia bertanya-tanya. "Tak bisa aku hanya
tinggal di sini membuang-buang waktu!" Dalam keadaan terbaring dengan perasaan jengkel
itu, tulang-tulang rusuknya terasa seperti menekan jantungnya dan dadanya terasa
mengerut. ia tendang selimut dari kakinya yang bengkak. "Kalau menendang ini saja aku
tak dapat, bagaimana bisa aku mengalahkan seluruh Keluarga Yoshioka?"
Ia membayangkan akan menghimpit dan mencekik setan di dalam dirinya. Ia memaksa dirinya
duduk bersimpuh dalam gaya resmi. Sakit rasanya, sakit sekali. Hampir-hampir pingsan.
Ia menghadap jendela, tapi dengan menutup mata.
Cukup lama waktu berlalu, sebelum akhirnya warna merah pada wajahnya mulai berkurang
dan kepalanya mendingin sedikit. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah setan akan
menyerah pada kegigihannya yang pantang menyerah itu.
Ketika membuka mata, tampaklah di hadapannya hutan sekitar Biara Ise. Di seberang
pepohonan terlihat olehnya Gunung Mai, dan sedikit ke timur Gunung Asama. Menjulang di
atas pegunungan di antara kedua gunung itu tampak sebuah puncak yang menatap dengan
pandangan merendahkan kepada gunung-gunung di sekitarnya, dan menatap pula kepada
Musash dengan kurang ajarnya.
"Itu burung rajawali," pikir Musashi, tanpa mengetahui bahwa namanva memang Gunung
Rajawali. Penampilan puncak gunung yang congkak itu menyinggung perasaannya. Gayanya
yang sombong itu mengejeknya, hingga semangat juangnya sekali lagi tergelitik. Maka
terpikirlah olehnya Yagyu Sekishusai, pemain pedang tua yang mirip dengan puncak angkuh
ini. Lama-kelamaan mulai kelihatan olehnya bahwa puncak itu memang Sekishusai yang
sedang memandang kepadanya dan atas awan-awan, menertawakan kelemahan dan
kekerdilannya. Selagi memandang gunung itu, untuk sementara ia lupa akan kakinya, tapi segera kemudian
rasa nyeri mendesak kembali ke dalam kesadarannya. Sekiranya ia hantamkan kakinya ke
api bengkel pandai besi itu, pasti tak terasa sakit lagi, demikian pikirnya sedih.
Tanpa dikehendakinya, ia tarik kaki yang besar bulat itu dari bawah dirinya dan ia
tatap. Tak hendak ia menerima kenyataan bahwa kaki itu benar-benar sebagian dari
dirinya. Dengan suara keras ia panggil pesuruh. Ketika tidak cepat muncul, ia pukul tatami
dengan tinjunya. "Di mana saja semua orang ini?" pekiknya. "Aku mau pergi dari sini!
Mana rekening! Sediakan makanan-nasi gorengdan bawakan aku tiga pasang sandal jerami
yang berat!" Sebentar kemudian ia sudah ada di jalan, terpincang-pincang melewati lapangan pasar. Di
situlah tentunya dilahirkan prajurit terkenal Tairo no Tadakiyo, pahlawan "Cerita
Perang Hogen". Tapi sekarang sedikit saja yang mengingatkan orang bahwa tempat itu
tempat lahir para pahlawan. Sekarang rempat itu lebih mirip bordil terbuka yang
didereti warung-warung teh dan dikerumuni perempuan. Lebih banyak perempuan penggoda
berdiri di sepanjang jalan itu daripada pohon. Mereka memanggil-maggil orang lewat dan
mencekal lengan baju calon-calon korban yang lewat, sambil mencumbu, membujuk, dan
menggoda. Untuk sampai ke biara itu, Musashi betul-betul harus berjuang melintasi
mereka sambil merengut dan menghindari pandangan mereka yang tak sopan itu.
"Kenapa kakimu?"
"Apa mau saya obati?"
"Sini, biar saya gosoki!"
Mereka menarik-narik pakaiannya, mencengkeram tangannya, menggenggam tangannya.
"Lelaki tampan takkan sampai ke mana-mana dengan mengerutkan dahi macam itu!"
Musashi menjadi merah mukanya dan menghuyungkan diri dengan membuta. Sama sekali tak
bisa ia bertahan terhadap serangan macam itu, dan ia minta maaf pada sebagian dan
mereka, dan dengan sopan menyatakan menyesal pada yang lain. Semua itu hanya membikin
perempuan-perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh. Ketika seorang dari mereka mengatakan
bahwa Musashi "semungil anak macan tutul!", serangan tangan-tangan putih itu menjadi
gencar. Akhirnya ia tak peduli lagi dengan segala macam topeng harga diri, dan ia pun
lari, bahkan ia tak mau berhenti memungut topinya ketika topi itu terlepas dari
kepalanya. Maka suara-suara mengikik mengikutinya di antara pepohonan di luar kota itu.
Tidak mungkin bagi Musashi mengabaikan perempuan. Rangsangan yang ditimbulkan oleh
tangan-tangan yang mencakar-cakar itu lama baru bisa reda. Ingatan tentang bau bedak
putih yang tajam tentu saja sudah dapat membuat detak nadinya menggebu, dan usaha
mental macam apa pun darinya takkan dapat menenangkannya. Itu ancaman yang lebih besar
dibandingkan dengan musuh yang berdiri dengan pedang terhunus di hadapannya. Betulbetul ia tak tahu bagaimana mengatasinya. Belakangan, apabila tubuhnya menyala oleh
birahi, sepanjang malam ia gelisah. Bahkan Otsu yang polos itu pun kadang-kadang
menjadi khayalnya yang penuh nafsu.
Hari ini kakinya memaksanya melepaskan pikiran tentang perempuan, tapi melarikan diri
dari mereka dalam keadaan hampir tak dapat berjalan itu sama saja dengan menyeberangi
kancah logam cair panas. Setiap langkah yang diambilnya berarti tikaman derita di
kepala, yang berasal dari telapak kaki. Bibirnya memerah, tangannya jadi selengket
madu, dan bau rambutnya menyengat karena keringat. Mengangkat kaki yang luka itu saja
menghabiskan seluruh tenaga yang dapat ia kerahkan. Kadang-kadang ia merasa seolah
tubuhnya tiba-tiba akan pecah berantakan. Bukannya ia berkhayal. Ia sudah tahu ketika
meninggalkan rumah penginapan itu bahwa ini akan merupakan siksaan baginya, dan ia
bermaksud mengatasinya. Bagaimanapun ia sudah berhasil tetap mengendalikan diri,
walaupun tiap kali menyeret kaki sial itu ia mengutuk pelan.
Menyeberangi Sungai Isuzu dan memasuki pekarangan biara itu mendatangkan perubahan
suasana yang menyenangkan. Ia merasakan suasana suci dalam tumbuh-tumbuhan, pohonpohonan, bahkan juga dalam suara burung-burung. Apakah itu, pada hakikatnya, tak dapat
ia mengatakan, tapi ia ada di sana.
Ia rebah di akar sebatang pohon kriptomeria besar, sambil merintih pelan kesakitan dan
memegangi kaki dengan kedua tangannya. Lama ia duduk di sana tak bergerak-gerak,
seperti batu karang. Tubuhnya menyala demam, sekalipun kulitnya tersengat oleh angin
dingin. Kenapakah ia tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan melarikan diri dari rumah
penginapan itu" Orang normal mana pun akan tetap tinggal di sana tenang-tenang, sampai
kakinya terobati. Apakah itu tidak kekanak-kanakan. bahkan bodoh, bahwa seorang dewasa
membiarkan dirinya dikuasai ketidaksabaran"
Namun bukan ketidaksabaran itu semata-mata yang menggerakkannya. Yang menggerakkannya
adalah kebutuhan spiritual, dan kebutuhan yang sangat dalam. Kendati dilanda nyeri dan
derita fisik, semangat Musashi pekat dan berdetak penuh daya hidup. Ia angkatkan
kepala, dan dengan mata nyalang ia pandang kehampaan di sekitarnya.
Lewat rintihan pohon-pohon besar yang suram dan tak henti-hentinya terdengar di hutan
suci itu telinga Musashi menangkap bunyi lain. Tidak berapa jauh, entah di mana,
seruling dan buluh menyuarakan musik kuno, musik persembahan bagi para dewa, sementara
suara anak-anak yang halus menvanyikan doa suci. Tertarik oleh bunyi damai ini Musashi
mencoba berdiri. Sambil menggigit bibir ia memaksakan diri berdiri, walau tubuhnya yang
enggan itu menolak setiap gerak. Sesudah mencapai dinding tanah gedung biara, diraihnya
dinding itu dengan kedua tangan dan berusaha merayap dengan gerakan kepiting yang kaku.
Musik itu berasal dari bangunan yang agak lebih jauh letaknya. Seberkas cahaya bersinar
lewat jendelanya yang berkisi-kisi. Wisma Para Perawan ini dihuni gadis-gadis muda yang
mengabdi kepada dewa-dewa. Di sini mereka berlatih memainkan alat-alat musik kuno dan
belajar menarikan tari-tarian suci yang diciptakan berabad-abad sebelumnya.
Musashi mendekati pintu belakang bangunan itu. Ia berhenti dan memandang ke dalam, tapi
tak melihat seorang pun. Merasa lega karena tidak harus memberikan keterangan tentang
dirinya, ia melepaskan pedang dan bungkusan dari punggungnya. Semua itu diikat bersama
dan digantungkannya pada sangkutan di dinding dalam. Dalam keadaan tanpa beban itu ia
letakkan kedua tangannya di pinggul dan ia berjalan terpincang-pincang kembali ke
Sungai Isuzu. Kira-kira sejam kemudian, bertelanjang bulat, ia pecahkan es di permukaan sungai dan ia
ceburkan dirinya ke air dingin itu. Di sana ia diam, berkecipak, dan membasuh badan,
mencelupkan kepala dan memurnikan diri. Untung tak seorang pun ada di sekitar. Pendeta
yang lewat bisa-bisa menduga ia sudah gila dan mengusirnya.
Menurut legenda Ise, seorang pemanah bernama Nikki Yoshinaga dahulu kala menyerang dan
menduduki sebagian wilayah Biara Ise. Merasa sudah mantap, ia memancing di Sungai Isuzu
yang suci dan menggunakan burung elang pemburu untuk menangkap burung-burung kecil di
hutan suci itu. Karena melakukan penjarahan yang melanggar kesucian ini, demikian kata
legenda itu, ia menjadi gila sama sekali. Musashi yang berbuat seperti orang itu dapat
dengan mudah dikira hantu orang gila itu.
Ketika akhirnya ia melompat ke atas batu, ia dapat melakukan lompatan itu dengan
ringannya, seperti seekor burung kecil. Sementara ia mengeringkan diri dan mengenakan
pakaian, helai rambut di sepanjang dahinya kaku menjadi kerat-kerat es.
Bagi Musashi, mencemplungkan diri ke sungai suci itu penting. Kalau tubuhnya tak dapat
menahan dingin, bagaimana mungkin ia bertahan terhadap halangan-halangan yang lebih
mengancam hidup" Dan pada saat ini persoalannya bukanlah kemungkinan masa depan yang
abstrak, melainkan kemungkinan menghadapi Yoshioka Seijuro yang sangat nyata, beserta
seluruh pengikutnya. Mereka akan mengerahkan setiap daya yang ada pada mereka
terhadapnya. Mereka harus berbuat demikian untuk menyelamatkan muka. Mereka tahu bahwa
mereka tak punya pilihan lain kecual membunuhnya, dan Musashi tahu bahwa untuk
menyelamatkan nyawanya ia harus menggunakan muslihat.
Menghadapi kemungkinan seperti ini, samurai pada umumnya pasti akan bicara tentang
"berkelahi dengan segala tenaga" atau "siap menghadapi maut", tapi menurut jalan
pikiran Musashi semua itu omong kosong belaka. Memenangkan perkelahian hidup atau mati
dengan segala kekuatan tidaklah lebih dari naluri binatang. Lagi pula, walau tidak
kehilangan keseimbangan menghadapi mati merupakan keadaan mental yang tinggi tarafnya,
sesungguhnya tidaklah begitu sukar menghadapi maut, kalau ia sudah tahu bahwa la harus
mati. Musashi tidak takut mati, tapi tujuannya memang mutlak, bukan sekadar hidup, dan ia
mencoba membangun keyakinan untuk berbuat demikian. Biarlah orang lain gugur secara
heroik, kalau itu cocok buat mereka. Musashi hanya mau membereskan pertempuran dengan
kemenangan heroik. Kyoto tidak jauh, tidak lebih dari tujuh puluh atau delapan puluh mil. Kalau ia dapat
menjaga langkah, ia bisa sampai di sana dalam tiga hari. Namun waktu yang dibutuhkan
untuk mempersiapkan diri secara spiritual tidaklah dapat ditakar. Apakah secara mental
ia sudah siap" Apakah pikiran dan semangatnya sudah benar-benar satu"
Musashi belum dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini secara positif.
Ia merasa bahwa jauh di dalam dirinya terdapat kelemahan, yaitu karena ia tahu dirinya
belum matang. ia sadar, dan itu mengecewakannya, bahwa ia belum mencapai taraf pikiran
seorang guru sejati, bahwa ia masih jauh dari seorang manusia yang lengkap dan
sempurna. Apabila ia membandingkan dirinya dengan Nikkan atau Sekishusai atau Takuan,
tak dapat ia mengelak dari kebenaran sederhana ini: ia masih hijau! Analisis yang
dilakukannya sendiri atas kemampuan dan sifat-sifat dirinya tidak hanya mengungkapkan
kelemahan di beberapa bidang, melainkan juga kekurangan dalam bidang-bidang lain.
Tubuhnya bergetar ketika ia memekik, "Aku harus menang, aku harus menang!" Sambil
berjalan terpincang-pincang memudiki Sungai Isuzu, ia memekik lagi agar semua pohon di
hutan suci itu mendengar, "Aku harus menang!" Ia melintasi air terjun yang tenang dan
beku, dan seperti manusia primitif ia merangkak ke atas batu-batu besar dan bersusah
payah menerobos semak-semak rimbun di ngarai yang dalam, yang sebelumnya tak banyak
ditempuh orang. Wajahnya semerah wajah setan. Hanya dengan mengerahkan segala tenaga, baru ia dapat
maju selangkah, itu pun dengan bergayut pada batu dan tumbuhan menjalar.
Di seberang tempat bernama Ichinose terdapat jurang yang panjangnya lima atau enam
ratus meter, penuh dengan tebing terjal dan riam, hingga ikan forsel pun tak dapat
melintasinya. Di ujungnya menjulang tebing yang hampir terjal. Orang bilang hanya
monyet dan peri dapat memanjatnva.
Musashi memandang batu karang itu, dan katanya tanpa khayal, "Ini dia jalan ke Gunung
Rajawali." Ia gembira melihat tak ada rintangan tak tertembus di sini. Berpegangan pada tumbuhan
menjalar yang kuat, ia mulai mendaki permukaan batu karang, setengah memanjat setengah
berayun, seolah disangga oleh suatu gaya berat terbalik.
Sesampainya di puncak karang meledaklah pekik kemenangan darinya. Dari sana terlihat
olehnya aliran sungai yang putih dan pesisir perak sepanjang pantai Futamigaura. Dan di
hadapannya, di seberang belukar jarang yang berselimut kabut malam, tampak olehnva kaki
Gunung Rajawali. Gunung itu Sekishusai. Dulu ia tertawa ketika Musashi terbaring di tempat tidur, dan
kini puncaknya melanjutkan ejekan itu. Maka semangat Musashi yang tak kenal menyerah
betul-betul tersengat oleh keunggulan Sekishusai. Serangan itu menindasnya, menyeretnya
mundur. Berangsur-angsur terbentuklah tujuan dalam dirinya: mendaki sampai puncak dan
melampiaskan dendam, menginjak-injak seenaknya kepala Sekishusai, untuk menunjukkan
kepadanya bahwa Musashi dapat dan harus menang.
Majulah ia menentang perlawanan rumput liar, pohon, es"musuh-musuh yang mencoba matimatian menyeretnya mundur. Setiap langkah, setiap napas, merupakan tantangan. Darahnya
yang belum lama ini kedinginan kini mendidih dan tubuhnya mengepul ketika keringat yang
keluar dari pori-porinya berjumpa dengan udara dingin. Musashi memeluk permukaan puncak
yang merah warnanya itu sambil mencari-cari pijakan kaki. Setiap kali ia merasa sudah
ada pijakan itu, batu-batu kecil menghujan, menimpa belukar di bawah. Seratus kaki, dua
ratus, tiga ratus"ia kini di tengah awan-awan. Apabila awan-awan itu bersibak, dari
bawah ia tampak seperti tergantung di awang-awang tanpa berat. Puncak gunung menatap
dingin kepadanya. Kini, setelah dekat ke puncak tertinggi, ia pegang teguh hidupnya tercinta. Satu saja
gerakan keliru akan membuatnya melayang ke riam karang dan batu-batu besar. Napasnya
terengah-engah, mendesir-desir, bahkan ia melahap udara dengan pori-porinya. Demikian
pekat tegangan yang dialaminya, hingga jantungnya serasa akan naik dan meledak dari
mulutnya. la hanya dapat memanjat beberapa kaki, lalu berhenti, beberapa kaki, lalu
berhenti lagi. Seluruh dunia terhampar di bawahnya: hutan besar yang memagari tempat suci, jalur p
utih yang tentunya sungai, Gunung Asama, Gunung Mae, kampung nelayan Toba, dan lautan
terbuka luas. "Hampir sampai," pikirnya. "Sedikit lagi!"
"Sedikit lagi." Alangkah mudah dikatakan, tapi alangkah sukar dicapai! Karena "sedikit
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi" itulah yang membedakan pedang kemenangan dengan pedang yang kalah.
Karena bau keringat, ia mulai samar-samar merasa sedang bersarang di dada ibunya.
Permukaan gunung yang kasar mulai terasa seperti kulit ibunya, dan ia jadi ingin sekali
tidur. Tapi justru pada waktu itu sebutir batu di bawah ibu jari kakinya terlepas dan
membuatnya sadar kembali. Ia mencari-cari pijakan lain.
"Ini dia! Hampir sampai!" Dengan kaki-tangan kejang dan sakit, kembali ia mencakar
gunung itu. Kalau tubuh dan daya kemauannya melemah, demikian dikatakannya kepada
dirinya, maka sebagai pemain pedang pasti pada suatu hari ia akan terbunuh. Di sinilah
pertandingan akan ditentukan, dan Musashi tahu itu.
"Ini untukmu, Sekishusai! Untukmu, bajingan!" Dengan segala daya yang ada padanya ia
kutuki raksasa-raksasa yang dihormatinya, para superman yang telah menyebabkannya
datang kemari, para superman yang harus dan akan ditaklukkannya. "Satu untukmu, Nikkan!
Dan untukmu, Takuan!"
Ia panjati kepala berhala-berhala itu, ia injak-injak dan ia tunjukkan pada mereka
siapa yang terbaik di antara mereka. ia dan gunung itu kini satu, tapi seolah-olah
heran melihat mahluk ini mencakarnya, gunung itu menggertak dan meludahkan longsoran
batu kerikil dan pasir. Napas Musashi terhenti, seakan seseorang menepukkan tangan ke
mukanya. Sementara ia bergayut pada batu karang itu, angin berembus, mengancam
meniupnya bersama batu karang dan segalanya.
Kemudian tiba-tiba ia sudah tengkurap, matanya terpejam tak berani bergerak. Tapi dalam
hatinya ia menyanyikan lagu kegembiraan meluap. Dan setelah meluruskan badan, ia
memandang ke segala jurusan, dan cahaya fajar tiba-tiba tampak di tengah lautan awan
putih di bawahnya. "Berhasil! Aku menang!"
Begitu ia sadar telah mencapai puncak, begitu daya kemauannya yang sudah menegang itu
mendetak seperti tali busur. Angin di puncak tertinggi menghujani punggungnya dengan
pasir dan batu. Di sinilah, di perbatasan antara langit dan bumi, Musashi merasa bahwa
kegembiraan yang tak terlukiskan membengkak memenuhi seluruh dirinya. Tubuhnya yang
basah kuyup oleh keringat kini tersatukan dengan permukaan gunung. Semangat manusia dan
gunung kini sedang melaksanakan karya cipta yang agung di keluasan alam tak terbatas di
waktu fajar. Dan dalam selimut kegembiraan meluap yang surgawi itu, tidurlah ia dengan
damai. Ketika akhirnya ia mengangkat kepala, pikirannya pun semurni dan sejernih kristal.
Mendadak ia ingin melompat dan melejit ke sana kemari seperti ikan mino di sungai.
"Tak ada apa pun lagi di atasku!" teriaknya. "Aku sekarang berdiri di atas kepala
rajawali!" Matahari pagi yang baru muncul menyinarkan cahaya kemerahan kepadanya dan kepada gunung
itu, sementara ia merentangkan tangannya yang berotot dan liar ke langit. Ia pandang
kakinya yang terhujam teguh ke puncak tertinggi, dan waktu itu tampak olehnya seolah
seember penuh nanah kekuningan merembes dari kakinya yang cedera. Di tengah kemurnian
angkasa yang mengitarinya, membubunglah napas kemanusiaan"napas manis kegelapan yang
telah terhalau. *** 27. Ngengat di Musim Dingin
TIAP hari, sesudah menyelesaikan kewajiban di biara, para gadis yang hidup di Wisma
Perawan dengan buku di tangan pergi ke ruang belajar di rumah Arakida. Disana mereka
belajar tata bahasa dan berlatih menulis sajak. Untuk menarikan tari-tarian keagamaan,
mereka mengenakan kimono sutra putih dengan celana bertepi lebar merah tua yang disebut
hakama. Tapi sekarang mereka berkimono lengan pendek dan berhakama katun putih, yang
biasa mereka kenakan pada waktu belajar atau melakukan pekerjaan rumah tangga.
Sekelompok gadis menghambur keluar dari pintu belakang, dan tiba-tiba seorang di
antaranya berseru, "Apa itu?" dan menuding bungkusan serta pedang yang terikat di sana,
yang pada malam sebelumnya digantungkan Musashi.
"Punya siapa itu menurutmu?"
"Mestinya punya samurai."
"Sudah pasti." "Tidak, bisa juga pencuri yang meninggalkannya di sini."
Mereka berpandangan dan menahan napas, seakan-akan menemukan begal itu sendiri yang
berikat kepala kulit dan sedang tidur slang. "Barangkali kita mesti memberitahu Otsu,"
saran seorang di antaranya, dan dengan persetujuan bersama mereka berlari kembali ke
asrama dan berseru dari bawah susuran tangga di luar kamar Otsu.
"Sensei! Sensei! Ada yang aneh di bawah sini. Coba lihat sini!"
Otsu meletakkan kuas tulisnya di meja dan menjulurkan kepala ke luar jendela. "Ada
apa?" tanyanya. "Ada pencuri meninggalkan pedang dan bungkusan. Keduanya di sana, tergantung di dinding
belakang." "Ha" Lebih baik itu kalian bawa ke rumah Arakida."
"Ah, jangan! Kami takut memegangnya."
"Itu namanya ribut tak keruan saja. Ayo belajar sana, dan jangan buang buang waktu
lagi." Begitu Otsu turun dari kamarnya, gadis-gadis itu sudah pergi. Yang tinggal di asrama
itu hanyalah perempuan tua juru masak dan seorang gadis yang sakit. "Barang-barang
siapa yang tergantung di sini ini?" tanya Otsu kepada juru masak.
Juru masak tentu saja tidak tahu.
"Biar kubawa ke rumah Arakida," kata Otsu. Ketika ia turun membawa bungkusan dan pedang
itu, hampir saja barang-barang itu terjatuh karena beratnya. Mengangkat barang itu ia
merasa heran, bagaimana kaum pria biasa berjalan membawa beban seberat itu.
Otsu dan Jotaro datang ke tempat itu dua bulan sebelumnya, sesudah mondar-mandir di
Jalan Iga, Omi, dan Mino mencari Musashi. Sesampai di Ise, mereka putuskan untuk
menetap selama menanti musim dingin, karena akan sukar berjalan menerobos pegunungan
selagi ada salju. Semula Otsu memberikan pelajaran suling di daerah Toba, tapi kemudian
ia menarik minat kepala Keluarga Arakida, yang sebagai pemimpin upacara resmi menduduki
tempat kedua sesudah pendeta kepala.
Ketika Arakida meminta Otsu datang ke biara untuk mengajar gadis-gadis itu, ia pun
menerima, bukan karena ingin mengajar, melainkan karena berminat mempelajari musik
kuno, musik suci. Juga, kedamaian hutan tempat suci itu telah mengimbaunya; dan lagi ia
ingin tinggal beberapa waktu lamanya bersama gadis-gadis di tempat suci itu, yang
umurnya sekurang-kurangnya tiga betas atau empat betas tahun, dan sebanyak-banyaknya
sekitar dua puluh. Jotaro sebetulnya menjadi penghalang Otsu menerima jabatan itu, karena ada larangan
menerima lelaki tinggal di asrama anak-anak perempuan, sekalipun umurnya masih muda.
Akhirnya keputusan yang mereka ambil adalah, slang hari Jotaro menyapu pekarangan suci
dan malam hari menginap di gudang kayu Keluarga Arakida.
Ketika Otsu melintasi halaman biara, angin yang menakutkan dan lain dari biasanya
bersiul di antara pepohonan yang tak berdaun. Seberkas asap naik dari sebuah belukar di
kejauhan. Terpikir oleh Otsu , barangkali Jotaro di sana sedang menyapu pekarangan
dengan sapu bambunya. Ia berhenti dan tersenyum, ia merasa senang bahwa Jotaro yang
wataknya sukar diubah, hari-hari itu patuh sekali dan dengan penuh tanggung jawab
menyesuaikan diri dengan pekerjaan, justru pada umur ketika anak-anak lelaki hanya
senang bermain dan menyenang-nyenangkan diri.
Bunyi gemeretak keras yang didengarnya itu mirip bunyi cabang pohon yang patah. Bunyi
itu terdengar lagi, dan sambil mencengkeram barang bawaannya, Otsu berlari menyusuri
jalan setapak melintas belukar, panggilnya,
"Jotaro! Jo-o-ota-ro-o-o!"
"Ya-a-a?" terdengar jawaban gagah. Sebentar saja Otsu sudah mendengar langkah Jotaro.
Tapi ketika anak itu sudah berhenti di depannya, ia hanya mengatakan, "Oh, kakak ini
tadi." "Kupikir kau sedang kerja tadi," kata Otsu tajam. "Apa kerjamu dengan pedang kayu itu"
Dan pakai pakaian kerja putih lagi."
"Aku sedang latihan. Latihan dengan pohon-pohon."
"Tak ada orang yang keberatan dengan latihanmu, tapi bukan di sini Jotaro. Apa kau
sudah lupa, di mana kau sekarang" Halaman ini lambang kedamaian dan kemurnian. Ini
wilayah suci, suci buat dewi leluhur kita semua. Lihat ke sana itu, bahwa di sini
dilarang merusak pohon-pohonan, melukai, atau membunuh binatang" Memalukan kalau orang
yang bekerja di sini mematahkan cabang-cabang pohon dengan pedang kayu."
"Ah, sudah tahu aku semua itu," gerutu Jotaro dengan wajah jengkel.
"Kalau sudah tahu, kenapa kaulakukan" Kalau Pak Arakida menangkap basah kamu, pasti
kita mendapat kesulitan!"
"Menurutku, tak ada salahnya mematahkan dahan yang sudah mati. Tak ada salahnya kalau
memang sudah mati, kan?"
"Itu kalau tidak di sini!"
"Itu yang Kakak ketahui! Coba sekarang aku mau tanya."
"Tanya apa?" "Kalau kebun ini begitu penting, kenapa orang tidak merawatnya lebih baik?"
"Memang sayang sekali mereka tidak merawatnya baik-baik. Membiarkannya rusak seperti
ini sama saja dengan membiarkan rumput liar tumbuh dalam jiwa."
"Tidak begitu jelek kalau cuma rumput liar, tapi lihat pohon-pohon itu. Pohon-pohon
yang disambar petir itu dibiarkan saja mati, dan pohon-pohon yang dirobohkan badai
bergeletakan saja seperti waktu robohnya. Di mana-mana begitu. Burung-burung mematuki
atap bangunan sampai bocor. Dan tak ada orang memperbaiki lentera kalau rusak.
"Bagaimana bisa Kakak mengatakan tempat ini penting" Coba, apa puri di Osaka itu tidak
putih menyilaukan kalau kita lihat dari Samudra di Settsu" Apa Tokugawa Ieyasu tidak
membangun purl-puri yang lebih megah di Fushimi dan selusin tempat lain" Apa rumahrumah baru daimyo dan saudagar-saudagar kaya di Kyoto dan Osaka tidak mengilat karena
perhiasan emasnya" Apa ahli-ahli upacara teh Rikyu dan Kobori Enshu tidak mengatakan
bahwa secercah kotoran di halaman warung teh bisa merusak aroma teh"
"Kebun ini sedang runtuh. Coba, yang kerja di sini cuma aku dan tiga atau empat lelaki
tua! Padahal, coba lihat berapa luasnya?"
"Jotaro!" kata Otsu, memegang dagu Jotaro dan mengangkat wajahnya. "Yang kaukatakan itu
cuma jiplakan kuliah Pak Arakida."
"Oh, jadi Kakak mendengar kuliah itu juga?"
"Tentu saja," kata Otsu menyela.
"Wah, kalau begitu aku tak pernah bisa menang."
"Membeokan apa yang dikatakan Pak Arakida tak ada artinya buatku. Aku tak setuju dengan
cara itu, biarpun yang dikatakannya itu benar."
"Dia memang benar. Waktu aku mendengarkan dia bicara, aku jadi berpikir, apa Nobunaga,
Hideyoshi, dan Ieyasu itu betul-betul orang besar. Aku tahu mereka tentunya orang
penting, tapi apa indahnya menguasai negeri kalau menurut kita, kitalah satu-satunya
orang yang berarti."
"Tapi Nobunaga dan Hideyoshi itu tak seburuk orang-orang lain. Paling tidak, mereka
sudah memperbaiki istana kaisar di Kyoto dan mencoba mem-bahagiakan rakyat. Biarpun
seandainya mereka melakukan hal-hal itu hanya untuk membenarkan tindakannya sendiri
terhadap dirt sendiri dan orang-orang lain, mereka tetap patut mendapat pujian. Shogunshogun Ashikaga jauh lebih buruk."
"Bagaimana buruknya?"
"Kau pernah mendengar tentang Perang Onin, kan?" ,
"Hm." "Ke-shogun-an Ashikaga begitu tidak cakap, sampai terus-menerus terjadi perang. Para
prajurit selamanya saling perang untuk memperebutkan lebih banyak wilayah. Rakyat biasa
tidak mendapatkan kedamaian sedikit pun, dan tak seorang pun punya perhatian sungguhsungguh terhadap negeri secara keseluruhan."
"Maksud Kakak pertempuran yang terkenal antara Keluarga Yaman dan Kosokawa?"
"Ya.... Waktu itulah, lebih seratus tahun lalu, Arakida Ujitsune menjadi pendeta kepala
Tempat Suci Ise, dan uang tak cukup untuk melanjutkan upacara-upacara kuno dan ritusritus suci. Dua puluh tujuh kali Ujitsune mengajukan permohonan bantuan kepada
pemerintah untuk membetulkan bangunan-bangunan suci, tapi istana kaisar terlalu miskin,
ke-shogun-an terlalu lemah, dan para prajurit begitu sibuk dengan pertumpahan darah,
sampai mereka tak peduli dengan apa yang terjadi. Walaupun demikian, Ujitsune pergi
berkeliling juga memperjuangkan cita-citanya, sampai akhirnya berhasil mendirikan
tempat suci baru. "Ini cerita sedih, bukan" Tapi kalau kita pikirkan, waktu sudah dewasa orang suka lupa
bahwa mereka berutang sumber hidup kepada leluhurnya, sama seperti kita semua berutang
hidup kepada Dewi Ise."
Puas karena sudah mendapat pidato panjang berapi-api dari Otsu, Jotaro melompat ke
udara sambil tertawa dan bertepuk tangan. "Sekarang siapa yang membeo Pak Arakida"
Kakak pikir aku belum pernah mendengar itu sebelumnya, kan?"
"Anak bandel kau ini!" ujar Otsu sambil tertawa sendiri. Ingin sebetulnya ia menampar
Jotaro, tapi bungkusan yang dibawanya menghalanginya.
Maka sambil terus tersenyum ia tatap saja anak lelaki itu. Waktu itulah Jotaro melihat
bungkusan yang lain dari yang lain.
"Punya siapa itu?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
"Jangan sentuh! Tak tahu kita punya siapa ini."
"Ah, aku kan tak akan bikin rusak! Aku cuma mau lihat. Berani sumpah, ini mesti berat.
Pedang panjang ini besar sekali, ya?" Dan air liur Jotaro mengucur.
"Sensei" Seorang di antara gadis tempat suci datang berlari-lari, berdetap-detap bunyi
sandal jeraminya. "Pak Arakida memanggil Sensei." Hampir tanpa berhenti, gadis itu
memutar badan dan berlari kembali.
Jotaro menoleh ke sekitar dengan terheran-heran. Matahari musim dingin bersinar melalui
pohon-pohon, dan ranting-ranting berayun-ayun seperti ombak kecil. Mata Jotaro
memandang seolah melihat hantu di antara bercak-bercak cahaya matahari.
"Ada apa?" tanya Otsu. "Apa yang kamu perhatikan?"
"Ah, tak apa-apa," jawab anak itu kesal sambil menggigit jari telunjuknya. "Waktu gadis
itu memanggil 'guru', sesaat kupikir yang dia maksud guruku."
Otsu tiba-tiba merasa sedih dan sedikit kesal. Walaupun pernyataan Jotaro itu diucapkan
dengan penuh kepolosan, kenapa pula ia menyinggung Musashi"
Sekalipun sudah mendapat nasihat Takuan, ia tak pernah bisa mengusir rasa rindu kepada
Musashi dari hatinya. Takuan orang yang begitu tanpa perasaan. Dalam hal tertentu, Otsu
kasihan pada biarawan itu dan pada ketidaktahuannya akan makna cinta.
Cinta itu seperti sakit gigi. Ketika Otsu sedang sibuk, perasaan cinta itu tidak
mengganggu, tapi apabila kenangan mendatanginya, ia tercengkam oleh keinginan yang amat
sangat untuk menyusuri jalan-jalan raya lagi, mencari dan menemukannya, meletakkan
kepala ke dadanya dan mengucurkan air mata bahagia.
Tanpa mengatakan sesuatu, ia berjalan. Di manakah dia" Dari segala kesedihan yang
mungkin merundung mahluk hidup, yang paling menggerek, paling celaka, dan yang paling
menyengsarakan pastilah tak adanya kemampuan untuk memandang orang yang dirindukan. Dan
dengan air mata meleleh di pipi ia berjalan terus.
Pedang berat dan perabot usang itu tak berarti apa-apa baginya. Bagaimana mungkin ia
memimpikan membawa barang-barang milik Musashi"
Karena merasa telah berbuat salah, Jotaro ikut saja dengan sedih, agak jauh di
belakang. Baru ketika Otsu membelok masuk gerbang rumah Arakida, ia berlari mendekati
Otsu, dan tanyanya, "Kakak marah, ya" Karena kata-kataku?"
"Oh, tidak, tak apa-apa."
"Maaf, Kak. Betul-betul aku minta maaf."
"Ini bukan salahmu. Aku cuma merasa sedikit sedih. Tapi jangan kuatir. Aku mau tahu,
apa yang dikehendaki Pak Arakida. Kembalilah kau bekerja."
Arakida Ujitomi menyebut tempat tinggalnya Wisma Belajar. Ia mengubah sebagian rumah
itu menjadi sekolah, tidak hanya untuk gadis-gadis biara, melainkan juga untuk empat
puluh atau lima puluh anak lain dari tiga daerah yang termasuk daerah Biara Ise. Ia
coba memberikan kepada orang-orang muda itu sejenis pendidikan yang sekarang tidak
terlalu populer: mempelajari sejarah Jepang Kuno yang di kota-kota besar dianggap tidak
relevan. Sejarah awal negeri ini berhubungan erat sekali dengan Biara Ise dan tanahtanahnya, padahal sekarang zaman orang banyak cenderung menganggap nasib bangsa ini
adalah nasib kelas prajurit, sehingga apa yang terjadi di masa lalu yang jauh itu tak
banyak berarti. Ujitomi berjuang seorang diri menanamkan benih-benih kebudayaan yang
lebih awal dan lebih tradisional di antara orang-orang muda daerah biara itu. Kalau
orang lain mungkin menyatakan bahwa daerah-daerah provinsi tak ada sangkut pautnya
dengan nasib bangsa, Ujitomi memiliki pandangan lain. Kalau ia dapat mengajar anak-anak
setempat mengenai masa lalu, maka menurut pikirannya barangkali semangat masa lampau
itu pada suatu hari akan tumbuh subur seperti pohon besar di hutan suci.
Dengan penuh keuletan dan pengabdian, tiap hari ia bicara pada anakanak itu tentang
karya-karya klasik Tionghoa dan Catatan Tentang Hal-hal Kuno, sejarah tentang Jepang.
Ia berharap anak-anak didiknya akhirnya akan menghargai buku-buku itu. Ia melakukan hal
tersebut lebih dari sepuluh tahun lamanya. Menurutnya, Hideyoshi boleh memegang kendali
negeri dan menyatakan diri dengan wali, Tokugawa Ieyasu boleh menjadi shogun "penakluk
orang barbar" yang mahakuasa, tapi seperti halnya orangtuanya, anak-anak muda tidak
boleh salah membedakan bintang keberuntungan seorang pahlawan militer dengan matahari
yang indah. Kalau ia bekerja keras dengan sabar, orang-orang muda nantinya akan
mengerti bahwa Dewi Matahari yang agunglah yang menjadi lambang cita-cita bangsa, bukan
prajurit diktator yang tak tahu adat.
Arakida keluar dari ruang belajarnya yang luas dengan wajah sedikit berkeringat. Ketika
anak-anak sudah menghambur keluar seperti kawanan lebah dan melejit cepat ke rumah
masing-masing, seorang gadis biara menyampaikan kepadanya bahwa Otsu sedang menanti.
Sedikit bingung, Arakida berkata, "Betul. Aku kan memanggil tadi. Sudah lupa sama
sekali. Di mana dia?"
Otsu berada di luar. Sudah beberapa waktu ia berdiri di situ, mendengarkan pelajaran
Arakida. "Saya di sini," serunya. "Bapak memanggil saya?"
"Saya minta maaf terpaksa membiarkan engkau menunggu. Silakan masuk."
Ia mengantar Otsu masuk kamar belajar pribadinya, tapi sebelum duduk ia menuding
barang-barang yang dibawa Otsu dan bertanya apakah itu. Otsu menjelaskan bagaimana ia
sampai mendapat barng-barang itu. Arakida melirik, dan kemudian dengan curiga
memperhatikan kedua pedang itu. "Pemuda biasa takkan datang kemari membawa barangbarang seperti itu," katanya. "Dan malam kemarin barang itu belum ada di sana. Tengah
malam tentunya orang datang masuk pekarangan."
Kemudian dengan wajah tak senang ia menggerutu, "Ini barangkali kelakar samurai. Aku
tak suka."
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh" Apa menurut pendapat Bapak seorang lelaki telah masuk Wisma Perawan?"
"Ya, tentu. Dan justru itu yang ingin kukemukakan padamu."
"Apa ini ada hubungannya dengan saya?"
"Nah, aku tak ingin engkau tersinggung tentang ini, tapi soalnya begini. Seorang
samurai menegurku karena memasukkan engkau ke asrama perawan"perawan suci. Dia bilang,
untuk kebaikanku sendiri, dia memperingatkan diriku."
"Apa saya sudah melakukan sesuatu yang berakibat buruk pada Bapak?"
"Tak ada yang mengecewakanku. Cuma inilah... yah, kau tahu sendiri bagaimana omongan
orang. Sekarang kau jangan marah, biar bagaimana, kau memang bukan lagi benar-benar
perawan. Kau sudah ke sana kemari dengan lelaki, dan orang mengatakan menyimpan
perempuan yang bukan perawan bersama-sama gadis-gadis di Wisma Perawan itu bisa menodai
tempat suci." Sekalipun nada bicara Arakida biasa saja, namun air mata marah membanjiri
mata Otsu. Benar ia banyak mengadakan perjalanan ke mana-mana, benar ia terbiasa
menjumpai orang banyak, benar ia mengembara dalam hidup ini membawa serta cinta
lamanya; karena itu barangkali sudah sewajarnya orang menganggapnya perempuan duniawi.
Namun sungguh merupakan pengalaman meremukkan hati dituduh tidak suci, padahal
kenyataannya ia masih suci.
Arakida rupanya tidak terlalu mementingkan soal itu. Ia cuma terganggu bahwa orang
membicarakan yang bukan-bukan, dan karena waktu itu akhir tahun "dan lain sebagainya
itu", demikianlah dikatakannya, maka ia bertanya apakah Otsu berkenan menghentikan
pelajaran suling itu dengan meninggalkan Wisma Perawan.
Otsu cepat menyetujui, bukan sebagai pengakuan kesalahan, melainkan karena ia memang
tak punya rencana tinggal terus di situ dan tak ingin menimbulkan kesulitan, terutama
bagi Pak Arakida. Sekalipun ia benci kebohongan desas-desus itu, ia cepat mengucapkan
terima kasih atas kebaikan Arakida selama ia tinggal di sana, dan menyatakan bahwa ia
akan pergi hari itu juga.
"Oh, tak perlu secepat itu sebetulnya," Arakida berusaha meyakinkan Otsu, sambil
menjangkau rak buku kecil dan mengeluarkan sejumlah uang yang dibungkus kertas.
Jotaro yang tadi mengikuti Otsu memilih saat itu untuk menjengukkan kepalanya dari
beranda, dan bisiknya, "Kalau Kakak pergi, aku ikut. Kebetulan aku sudah jemu menyapu
kebun tua mereka ini."
"Ini ada hadiah kecil," kata Arakida. "Tak banyak, tapi terimalah, dan gunakanlah untuk
perjalanan." Ia mengulurkan bungkusan yang berisi beberapa keping mata uang emas.
Otsu menolak menyentuhnya. Dengan wajah terkejut ia menyatakan pada Arakida bahwa ia
tak pantas mendapat bayaran, hanya karena memberikan pelajaran suling kepada anak-anak
gadis itu. Yang lebih tepat, dialah yang mesti membayar untuk makanan dan
penginapannya. "Tidak," jawab Arakida. "Tak mungkin aku menerima uang darimu, tapi aku ingin minta
pertolonganmu, kalau kebetulan engkau pergi ke Kyoto. Jadi, bolehlah engkau menganggap
uang ini sebagai bayaran atas jasamu."
"Dengan senang hati saya melakukan permintaan Bapak itu, tapi kebaikan Bapak sendiri
sudah merupakan bayaran buat saya."
Arakida menoleh kepada Jotaro, katanya, "Bagaimana kalau uang ini kuberikan saja pada
anak ini" Dia dapat membelikan apa-apa buat kalian berdua di perjalanan."
"Terima kasih," kata Jotaro yang cepat mengulurkan tangannya untuk menerima bungkusan
itu. Tapi sesudah berpikir lagi ia memandang Otsu, katanya, "Boleh, kan?"
Karena sudah dipojokkan, Otsu akhirnya menyetujui dan mengucapkan terima kasih kepada
Arakida. "Pertolongan yang kuminta padamu," kata Arakida, "adalah menyampaikan bingkisan kepada
Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro yang tinggal di Horikawa, Kyoto," Sambil berkata
demikian, ia mengambil dua gulungan dari rak yang sudah goyang di dinding. "Yang
Dipertuan Karasumaru minta padaku dua tahun lalu untuk melukis ini. Akhirnya lukisanlukisan ini selesai. Beliau ada rencana menulis komentar yang cocok dengan lukisan ini
dan menghadiahkannya pada Kaisar. Itu sebabnya aku tak ingin mempercayakan-nya kepada
pembawa surat biasa atau orang istana. Apa engkau bersedia membawanya dan menjaga
supaya lukisan-lukisan ini tak kena air atau minyak di jalan?"
Ini tugas yang tak terduga-duga pentingnya, dan semula Otsu ragu-ragu menerimanya. Tapi
kurang pantas kalau ia menolaknya, dan sejenak kemudian ia menyatakan setuju. Kemudian
Arakida mengeluarkan kotak dan kertas minyak, tapi sebelum membungkus dan memeterai
gulungan itu, katanya, "Tapi barangkali ada baiknya kutunjukkan dulu padamu lukisan
ini." Ia duduk dan mulai membuka lukisan itu di lantai di hadapannya. Ia kelihatan
bangga akan karyanya, dan ia sendiri ingin melayangkan pandangan terakhir sebelum
berpisah dengan karya itu.
Otsu tersengal melihat keindahan gulungan itu, sedangkan mata Jotaro melebar ketika ia
membungkuk memperhatikannya lebih saksama. Karena komentar untuk lukisan itu belum lagi
ditulis, mereka tidak mengetahui cerita apa yang dilukiskan di situ, tapi ketika
Arakida membuka gulungan itu adegan demi adegan, mereka saksikan di hadapan mereka
gambaran kehidupan istana kekaisaran kuno dalam coretan kasar dan warna-warna indah
serta sentuhan-sentuhan bubuk emas. Lukisan itu dibuat dengan Gaya Tosa dan bersumber
pada seni Jepang klasik. Walaupun Jotaro tak pernah mendapat pelajaran seni, terpukau juga ia oleh apa yang
dilihatnya. "Lihat apinya itu," ujarnya. "Kelihatan seperti menyala betulan, ya?"
"Jangan sentuh," tegur Otsu. "Lihat saja."
Selagi mereka menatapkan mata dengan penuh kekaguman, seorang pesuruh masuk, siap
menyampaikan sesuatu kepada Arakida dengan suara pelan sekali; Arakida mengangguk, dan
jawabnya, "Ya-ya.... Kukira boleh. Tapi sebaiknya suruh orang itu membuat surat tanda
terima." Dan ia menyerahkan bungkusan dan dua bilah pedang yang tadi dibawa Otsu.
Mendengar guru suling mereka akan pergi, gadis-gadis Wisma Perawan pun jadi sedih.
Selama dua bulan Otsu tinggal bersama mereka, mereka telah menganggapnya sebagai kakak
sendiri, karena itu mereka tampak murung ketika berkumpul mengerumuni Otsu.
"Apa betul?" "Sensei betul akan pergi?"
"Sensei takkan kembali lagi?"
Dari seberang asrama, Jotaro berteriak, "Aku sudah siap. Apa lagi yang ditunggu?" Ia
sudah menanggalkan jubah putih dan kembali mengenakan kimono pendek yang biasa, dengan
pedang kayu di pinggang. Kotak yang terbungkus kain berisi gulungan disandang melintang
di punggung. Dari jendela, Otsu balas berteriak, "Ah, cepat sekali!"
"Aku selalu cepat!" jawab Jotaro pedas. "Belum juga Kakak siap" Kenapa ya, perempuan
begitu lama kalau berpakaian dan berkemas?" Waktu itu ia berjemur di pekarangan sambil
menguap. Tapi memang dasar tidak sabaran, sebentar kemudian ia sudah bosan. "Apa belum
juga siap?" serunya lagi.
"Sebentar gadis itu menghibur Sementara itu tidak lagi slap," jawab Otsu. Sebetulnya ia sudah selesai berkemas, tapi gadistak hendak melepaskannya. Dalam usahanya meloloskan diri, ia berkata
gadis-gadis itu, "Tak usah sedih. Saya akan datang berkunjung hari-hari ini.
itu, jaga diri kalian baik-baik." Tak enak juga ia bahwa yang dikatakannya
benar, karena melihat keadaannya kecil kemungkinannya ia akan kembali lagi.
Barangkali gadis-gadis itu pun menerkanya demikian. Beberapa di antara mereka menangis.
Akhirnya seorang dari mereka mengusulkan agar mereka semua mengantar Otsu sampai
jembatan suci di seberang Sungai Isuzu. Mereka mengerumuninya dan mengantarnya ke luar.
Di sana Jotaro tidak segera tampak, karena itu mereka corongkan tangan di mulut dan
mereka panggil namanya, namun tak ada jawaban. Otsu sudah hafal dengan cara-cara
Jotaro; tanpa perasaan kuatir ia berkata, "Barangkali dia capek menunggu, dan dia jalan
duluan." "Anak brengsek!" ucap seorang gadis.
Seorang lagi tiba-tiba memandang Otsu, dan tanyanya, "Apa dia anak Sensei?"
"Anakku" Bagaimana kamu bisa berpikir begitu" Tahun depan aku belum lagi dua puluh
satu. Apa tampangku begitu tua dan pantas punya anak sebesar itu?"
"Tidak, tapi ada yang bilang, dia anak Sensei."
Ingat akan percakapannya dengan Arakida, wajah Otsu memerah, tapi kemudian ia menghibur
diri dengan pendapat bahwa yang dikatakan orang lain tak berarti, selama Musashi setia
kepadanya. Pada waktu itu Jotaro datang berlari-lari mendapatkan mereka. "Hei, ada apa sih
sebetulnya?" katanya memberengut. "Tadi Kakak suruh aku menunggu berabad-abad, tapi
sekarang Kakak berangkat tanpa aku!"
"Tapi tadi kamu tak ada di tempat!" ujar Otsu.
"Tapi mestinya Kakak bisa mencariku, kan" Tadi kulihat di jalan raya Toba sana itu ada
orang yang mirip guruku. Aku lari buat melihatnya, apa betul dia."
"Orang yang seperti Musashi?"
"Ya, tapi ternyata bukan dia. Aku mendekati sampai barisan pohon itu dan melihat orang
itu baik-baik dari belakang, tapi tak mungkin orang itu Musashi, karena dia pincang."
Selamanya seperti itu saja, kalau Otsu dan Jotaro mengadakan perjalanan. Tak ada hari
tanpa menyaksikan cahaya harapan, yang disusul kekecewaan. Ke mana pun mereka pergi,
mereka melihat orang yang mengingatkan keduanya kepada Musashi-orang yang lewat
jendela, samurai di perahu yang baru saja berangkat, ronin yang menunggang kuda,
musafir yang samar-samar kelihatan dalam joli. Dengan harapan menjulang tinggi, mereka
mengejar untuk memastikannya, tapi akhirnya hanya saling pandang dengan sedih. Hal
seperti ini sering terjadi berlusin-lusin kali.
Karena itulah sekarang Otsu tidak sekesal biasanya, sekalipun Jotaro sendiri patah
hati. Sambil menertawakan kejadian itu, katanya, "Sayang sekali kau keliru, tapi jangan
lalu uring-uringan karena aku jalan dulu. Kupikir aku akan menjumpaimu di jembatan.
Tahu tidak, orang bilang, kalau kita memulai perjalanan dengan kesal, kita akan marah
terus sepanjang jalan. Nah, tenanglah sekarang."
Walaupun kelihatan puas, Jotaro masih juga melengos dan melontarkan pandangan kasar
kepada gadis-gadis yang berarak-arak di belakang.
"Apa saja kerja mereka ini di sini" Apa akan pergi dengan kita?"
"Tentu saja tidak. Mereka cuma sayang melihat aku pergi, jadi baik sekali mereka
mengawani kita sampai jembatan."
"Oh, betapa baiknya mereka," kata Jotaro, meniru gaya kata-kata Otsu. Tingkah Jotaro
membuat semuanya tertawa terpingkal-pingkal. Kini, sesudah Jotaro menggabungkan diri
dengan rombongan, kesedihan karena perpisahan menjadi surut, dan gadis-gadis itu pulih
kembali semangatnya. "Sensei," panggil seorang di antaranya, "keliru, itu bukan jalan ke jembatan."
"Aku tahu," kata Otsu tenang. Ia memang membelok ke Gerbang Tamagushi untuk menyatakan
hormat ke kuil pusat. Sambil menangkupkan tangan satu kali, ia menundukkan kepala ke
arah tempat suci itu dan beberapa saat lamanya mengambil sikap berdoa diam.
"Oh, begitu!" gumam Jotaro. "Dia pikir tak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ucapan
selamat berpisah kepada dewi." Ia puas melihat dari kejauhan, tapi gadis-gadis itu
menyodok punggungnya dan bertanya kepadanya kenapa ia tidak mencontoh yang dilakukan
Otsu. "Aku?" tanya anak itu tak percaya. "Aku tak ingin membungkuk pada tempat suci tua mana
pun." "Tak boleh kau bicara begitu. Kau bisa kena hukum suatu hari nanti."
"Tolol rasanya membungkuk macam itu."
"Apanya yang tolol, menunjukkan hormat kepada Dewi Matahari" Dia tak seperti dewa-dewa
kecil yang dipuja orang di kota-kota itu."
"Aku tak tahu!"
"Nah, kalau begitu kenapa kau tidak menyatakan hormat?"
"Sebab aku tak mau."
"Tidak percaya, ya?"
"Diam, kalian semua perempuan sinting!"
"Aduh, aduh!" seru gadis-gadis itu serentak, kaget oleh kekasaran Jotaro. "Jahat
sekali!" ujar salah seorang gadis.
Waktu itu Otsu sudah selesai sembahyang dan datang kembali ke dekat mereka. "Apa yang
terjadi?" tanyanya "Kalian kelihatan kesal."
Salah seorang gadis mengungkapkan, "Dia sebut kami perempuan sinting. cuma karena kami
menyuruhnya membungkuk kepada dewi."
"Kau tahu itu tidak baik, Jotaro," tegur Otsu. "Betul-betul kau mesti berdoa."
"Buat apa?" "Apa kau sendiri tak pernah cerita" Waktu Musashi akan dibunuh pendeta-pendeta dari
Hozoin itu kau mengangkat tanganmu dan berdoa sekeras-kerasnya! Kenapa di sini tak bisa
kamu berdoa?" "Tapi... mereka semua melihat."
"Baiklah, kami akan membalikkan badan, supaya tidak melihat kamu."
Mereka pun membelakanginya, tapi Otsu mencuri pandang kepadanya. Jotaro berlari ke arah
Gerbang Tamagushi. Sampai di sana ia menghadap tempat suci, dan dengan cara yang sangat
kekanak-kanakan ia membungkuk dalam-dalam secepat kilat.
*** 28. Kincir Mainan MUSASHI duduk di beranda sempit sebuah warung makanan laut yang menghadap ke laut.
Keistimewaan warung itu adalah siput laut yang dihidangkan mendidih bersama kerangnya.
Dua perempuan penyelam dengan keranjang berisi kerang sorban yang baru saja ditangkap
dan seorang tukang perahu berdiri dekat beranda. Tukang perahu itu menawarkan tamasya
perahu ke pulau-pulau lepas pantai, sedangkan kedua perempuan mencoba membujuknya
membeli siput laut. Musashi sedang sibuk menanggalkan perban bernanah dari kakinya. Sesudah menderita
demikian hebat akibat luka itu, hampir tak dapat ia percaya bahwa demam maupun
bengkaknya akhirnya lenyap. Kaki itu kembali pada ukuran semula. Sekalipun kulitnya
menjadi putih dan mengerut, sedikit saja ia merasa sakit.
Dengan lambaian tangan diusirnya tukang perahu dan penyelam, lalu ia menurunkan kakinya
yang rawan itu ke pasir dan berjalanlah ia ke pesisir untuk membasuhnya. Kembali di
beranda, ia nantikan gadis warung yang telah ia suruh membelikan kaus kulit dan sandal
baru. Waktu gadis itu kembali, dikenakannya keduanya, lalu ia mulai melangkah dengan
hati-hati. Jalannya masih sedikit pincang, tapi tak lagi seperti sebelumnya.
Orang tua yang memasak siput memandangnya. "Tukang tambangan menanyakan Tuan. Apa bukan
Tuan yang punya rencana menyeberang ke Ominato?"
"Ya. Saya kira ada perahu yang jalan teratur dari sini ke Tsu."
"Memang ada, dan ada juga perahu-perahu keYokkaichi dan Kuwana."
"Tinggal berapa hari lagi akhir tahun ini?"
Orang tua itu tertawa. "Sungguh iri saya pada Tuan," katanya. "Jelas Tuan tak punya
kewajiban bayar utang akhir tahun. Hari ini tanggal dua puluh empat."
"Betul" Saya kira sudah lebih kemudian."
"Senang sekali jadi orang muda!"
Musashi lari berderap ke pangkalan perahu tambang. Ingin sekali ia terus berlari, makin
lama makin jauh, dan makin lama makin cepat. Peralihan dari sakit menjadi sehat itu
meningkatkan semangatnya, tapi yang menjadikannya jauh lebih bahagia adalah pengalaman
spiritual yang telah didapatnya pagi itu.
Perahu tambang sudah penuh, tapi ia masih mendapat tempat. Di seberang teluk, di
Ominato, ia berpindah ke perahu yang lebih besar, yang menuju Owari. Layar-layar
menangkap angin, dan perahu meluncur di permukaan Teluk Ise yang seperti kaca itu.
Musashi berdiri berdesakan dengan penumpang-penumpang lain dan memandang tenang ke
seberang air di sebelah kiri-ke arah pasar lama, jalan raya Yamada, dan Matsuzaka.
Kalau ia pergi ke Matsuzaka, mungkin ia mendapat kesempatan bertemu dengan pemain
pedang Mikogami Tenzen yang luar biasa itu. Tapi tidak. terlalu cepat untuk itu. Dan
seperti direncanakannya, ia turun di Tsu.
Begitu meninggalkan perahu, ia perhatikan ada seorang lelaki berjalan di depannya,
membawa pentung pendek di pinggang. Pentung itu berlilit rantai dan di ujung rantai
terdapat peluru. Orang itu mengenakan juga pedang pendek bersarung kulit. Kelihatannya
umurnya empat puluh dua atau empat puluh tiga tahun. Wajahnya gelap seperti Musashi dan
bopeng-bopeng, sedangkan rambutnya yang kemerahan digelung ke belakang.
Kalau bukan karena anak lelaki yang mengikutinya, orang itu bisa disangka bromocorah.
Pipi anak itu hitam oleh jelaga dan ia membawa palu godam. Jelas ia magang pandai besi.
"Tunggu sebentar, Pak!"
"Ayolah jalan terus!"
"Palu saya ketinggalan di perahu."
"Ketinggalan alat yang jadi penghidupanmu, ya?"
"Akan saya ambil sekarang."
"Dan kukira itu bikin kamu bangga, ya" Lain kali, kalau kamu lupa lagi, kupecahkan
tengkorakmu." "Pak...," mohon anak itu.
"Diam!" "Apa tak bisa kita bermalam di Tsu?"
"Masih terang sekarang ini. Kita bisa sampai rumah sebelum malam tiba."
"Tapi ingin rasanya berhenti. Perjalanan begini harusnya dinikmati."
"Jangan omong kosong!"
Jalan masuk kota itu diapit barisan toko cindera mata dan penuh pencari pelanggan rumah
penginapan, seperti halnya kota-kota pelabuhan lain. Si magang sekali lagi kehilangan
penglihatan atas tuannya dan dengan cemas mencari-carinya di tengah orang banyak,
sampai akhirnya orang itu muncul dari sebuah toko mainan, membawa sebuah kincir mainan
yang bem,arna-warni. "Iwa!" serunya memanggil anak itu.
"Ya, Pak." "Bawa ini. Dan hati-hati, jangan sampai pecah! Simpan dalam kerahmu."
"Hadiah buat bayi Bapak?"
"Mm," gumam orang itu. Sesudah beberapa hari pergi melaksanakan tugas, orang itu ingin
memandang anaknya menyeringai girang waktu ia menyerahkan barang itu.
Jadinya seolah kedua orang itu menuntun arah jalan Musashi. Setiap kali ia hendak
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membelok, mereka membelok juga di depannya. Terpikir oleh Musashi, barangkali pandai
besi itu Shishido Baiken, namun ia tak bisa memperoleh kepastian, karena itu ia gunakan
akal kecil untuk mendapat kepastian. Ia berpura-pura tidak memperhatikan mereka, dan
berjalan di depan mereka sebentar, kemudian melambatkan jalan lagi sambil mendengarkan
percakapan mereka. Kedua orang itu melintasi kota puri, kemudian ke jalan gunung yang
menuju Suzuka. Agaknya jalan yang akan ditempuh Baiken pulang ke rumahnya. Kalau
digabungkan dengan potongan-potongan percakapan yang kebetulan didengarnya, Musashi
menyimpulkan orang itu memang Baiken.
Sebetulnya Musashi bermaksud langsung pergi ke Kyoto , tapi pertemuan yang kebetulan
ini demikian menggodanya. Ia mendekat, dan katanya dengan nada ramah, "Kembali ke
Umehata?" Tapi jawaban orang itu kaku, "Ya, ke Umehata. Kenapa?"
"Dari tadi saya bertanya dalam hati, apakah Bapak ini Shishido Baiken."
"Memang. Dan Anda siapa?"
"Nama saya Miyamoto Musashi. Saya calon prajurit. Belum lama saya ke rumah Anda di Ujii
dan bertemu dengan istri Anda. Rupanya nasib mempertemukan kita di sini."
"Oh, begitu?" kata Baiken. Dengan wajah yang tiba-tiba menyatakan paham, ia bertanya,
"Apa engkau yang tinggal di penginapan Yamada dan ingin bertarung denganku?"
"Bagaimana Anda bisa dengar itu?"
"Kau menyuruh orang ke rumah Arakida untuk mencariku, kan?"
"Ya." "Waktu itu aku sedang melakukan tugas untuk Arakida, tapi aku tidak tinggal di
rumahnya. Kupinjam tempat kerja di desa. Itu pekerjaan yang tak bisa dilakukan orang
lain, kecuali aku." "Oh, begitu. Saya dengar Anda ahli rantai-peluru-sabit."
"Ha, ha! Tapi katamu tadi sudah ketemu istriku?"
"Ya. Dan dia mendemonstrasikan satu jurus Yaegaki pada saya."
"Nah, itu mestinya cukup buatmu. Tak ada alasan buat mengikutiku. Tentu saja aku dapat
memperlihatkan lebih banyak lagi daripada yang diperlihatkan istriku, tapi begitu
engkau melihatnya, begitu engkau sampai di jalan ke dunia lain."
Bagi Musashi, istri orang ini sudah berkesan amat sok menguasai, tapi orang ini sendiri
benar-benar angkuh. Musashi cukup yakin bahwa dari apa yang dilihatnya ia sudah dapat
mengukur kemampuan orang ini, namun ia mengingatkan diri untuk tidak terburu-buru.
Takuan telah mengajarkan kepadanya pelajaran pertama dalam hidup ini, yaitu bahwa di
dunia ini terdapat orang-orang yang kemungkinan lebih baik dari diri kita. Pelajaran
ini diperkuat oleh pengalaman-pengalamannya di Hozoin dan Puri Koyagyu. Sebelum ia
membiarkan rasa bangga dan keyakinan mengkhianatinya dan menyebabkannya menyepelekan
lawan, ia ingin mengukur lawan itu dari segala segi. Sementara meletakkan landasan bagi
dirinya, ia akan tetap bersikap ramah, sekalipun kadang-kadang hal itu bisa memberikan
kesan pengecut atau tunduk kepada musuh.
Menjawab ucapan Baiken yang merendahkan itu, dengan sikap hormat yang sesuai dengan
umurnya ia berkata, "Oh, begitu. Saya memang sudah banyak belajar dari istri Anda, tapi
karena saya sudah beruntung bertemu dengan Anda, saya akan berterima kasih kalau Anda
mau lebih banyak menerangkan senjata yang Anda pergunakan."
"Kalau yang engkau inginkan itu bicara, baik. Apa kau punya rencana menginap di
penginapan dekat perbatasan?"
"Itulah yang tadinya saya maksudkan, kecuali kalau Anda berkenan menerima saya menginap
semalam lagi." "Kau boleh tinggal, kalau kau bersedia tidur di bengkel bersama Iwa. Tapi aku bukan
pengusaha penginapan, dan kami tak punya tilam ekstra."
Senja hari mereka sampai di kaki Gunung Suzuka. Desa kecil yang dipayungi awan merah
itu tampak setenang danau. Iwa berlari mendahului untuk menyampaikan kedatangan mereka,
dan ketika mereka tiba di rumah itu, istri Baiken menanti di bawah ujung atap,
menggendong bayinya yang memegang kincir mainan.
"Lihat, lihat, lihat!" dekut perempuan itu. "Bapak pergi, dan sekarang Bapak pulang.
Lihat, itu dia." Dalam sekejap mata saja si bapak sudah tidak lagi menjadi contoh keangkuhan; ia
memperlihatkan senyum kebapakan. "Ini, Nak, ini Bapak," celotehnya sambil mengangkat
sebelah tangan dan menari-narikan jari-jarinya.
Suami-istri itu menghilang ke dalam dan duduk, hanya bicara tentang bayi dan soal-soal
rumah tangga, tanpa memperhatikan Musashi.
Akhirnya, ketika makan malam siap, Baiken ingat akan tamunya. "Oh ya, kasih orang itu
makan," katanya kepada istrinya.
Musashi duduk di ruang bengkel yang berlantai tanah, menghangatkan diri di dekat api.
la bahkan tidak melepas sandalnya.
"Baru kemarin dia dari sini. Bermalam," jawab perempuan itu cemberut.
Ia menghangatkan sake di perapian dengan suaminya. "Orang muda," panggil Baiken. "Apa
kau minum sake?" "Saya bukan tak suka sake."
"Nah, minum semangkuk."
"Terima kasih." Musashi mendekat ke ambang pintu kamar perapian serta menerima mangkuk
berisi minuman dan menghirupnya. Asam rasanya. Selesai meneguk, ia kembalikan mangkuk
itu kepada Baiken, katanya, "Mari saya tuangkan buat Anda."
"Tak usah, sudah ada." Ia memandang Musashi sesaat, dan bertanya, "Berapa umurmu?"
"Dua puluh dua."
"Asal dari mana?"
"Mimasaka." Mata Baiken yang semula mengembara ke jurusan lain kini berayun kembali kepada Musashi
dan mengamat-amatinya kembali dari kepala sampai jari kaki.
"Nanti dulu, apa yang barusan kaukatakan" Namamu... siapa namamu tadi?"
"Miyamoto Musashi"
"Bagaimana engkau menuliskan Musashi?"
"Ditulis sama dengan Takezo."
Istri orang itu masuk dan meletakkan sup, acar, supit, dan mangkuk nasi di tikar jerami
di depan Musashi. "Makanlah!" katanya tanpa basa-basi.
"Terima kasih," jawab Musashi.
Baiken menanti beberapa tarikan napas, kemudian katanya, seolah pada diri sendiri,
"Panas rasanya sekarang, sake itu!" Sambil menuangkan semangkuk lagi untuk Musashi, ia
bertanya biasa saja, "Artinya namamu Takezo waktu engkau muda?"
"Ya." "Apa engkau masih bernama begitu waktu umur sekitar tujuh belas?"
"Ya." "Waktu umurmu sekitar itu, apa kebetulan engkau tidak berada di pertempuran Sekigahara,
dengan anak lain seumurmu?"
Kini Musashi yang mendapat giliran terkejut. "Bagaimana Anda bisa tahu?" tanyanya
pelan. "Oh, aku tahu banyak hal. Aku di Sekigahara juga waktu itu." Mendengar ini, Musashi
merasa lebih senang pada orang itu. Baiken sendiri tiba-tiba kelihatan lebih akrab.
"Kupikir aku pernah melihatmu, entah di mana," kata pandai besi itu. "Mestinya kita
sudah berjumpa di pertempuran itu."
"Apakah Anda pernah di kamp Ukita juga?"
"Aku tinggal di Yasugawa waktu itu, dan aku pergi perang dengan rombongan samurai dari
sana. Kami ada di garis depan waktu itu."
"Oh, begitu" Kalau begitu, barangkali kita pernah bertemu."
"Lalu apa yang terjadi dengan temanmu itu?"
"Saya tak pernah lihat dia lagi sejak itu."
"Sejak pertempuran itu?"
"Tidak tepat sejak itu. Kami tinggal sementara waktu di sebuah rumah di Ibuki, menunggu
sembuhnya luka-luka, dan berpisah di situ. Itulah penghabisan kali saya melihatnya."
Baiken memberitahu istrinya bahwa sake mereka habis. Istri Baiken sudah di tempat tidur
dengan bayinya, "Tak ada lagi yang lain," jawabnya.
"Aku minta lagi. Sekarang!"
"Kenapa mesti minum begitu banyak malam ini?"
"Percakapan kami menarik. Aku perlu sake lagi."
"Tapi sake tak ada lagi."
"Iwa!" panggil Baiken lewat papan rapuh di sudut bengkel.
" Ada apa, Pak?" tanya anak itu. Ia membuka pintu dan memperlihatkan wajahnya sambil
membungkuk, karena rendahnya ambang pintu.
"Pergi ke rumah Onosaku, pinjam sebotol sake."
Musashi sudah cukup minum. "Kalau Anda tidak keberatan, saya akan makan," katanya
sambil memungut supitnya.
"Tidak, tidak, tunggu," kata Baiken dan cepat menangkap pergelangan Musashi. "Ini bukan
waktu makan. Aku sudah mintakan sake, jadi minumlah sedikit lagi."
"Kalau sake itu buat saya, lebih baik tak usah. Rasanya saya tak bisa minum lagi."
"Ah, ayolah," desak Baiken. "Katamu kau ingin dengar lebih banyak tentang rantaipeluru-sabit. Akan kuceritakan semuanya sekarang, tapi mari minum sedikit selagi
bicara." Ketika Iwa kembali membawa sake, Baiken menuangkannya sebagian ke guci pemanas dan
meletakkannya di atas api, lalu bicara panjang-lebar tentang rantai-peluru-sabit serta
cara-cara penggunaannya yang terbaik dalam pertempuran yang sebenar-benarnya. Ia
berkata, "Berlainan dengan pedang. senjata itu tidak memberikan kesempatan kepada musuh
untuk mempertahankan diri. Juga, sebelum menyerang langsung, ada kemungkinan merebut
senjata musuh dengan rantai. Rantai dilontarkan dengan terampil, disentakkan tajam, dan
musuh tak berpedang lagi."
Masih dalam keadaan duduk, Baiken mendemonstrasikan satu jurus. "Lihat, kita pegang
sabit dengan tangan kiri dan bola dengan tangan kanan. Kalau musuh mendatangi kita,
kita hadapi dia dengan mata sabit. kemudian kita hembalangkan bola ke mukanya. Itu satu
cara." Sambil mengubah kedudukan, ia meneruskan, "Kalau ada jarak antara kita dan musuh, kita
sabet senjatanya dengan rantai. Tak peduli macam apa senjata itu"pedang, lembing,
tongkat kayu, atau apa pun."
Baiken terus bercerita pada Musashi tentang cara-cara melemparkan peluru, tentang
sepuluh atau lebih cerita turun-temurun mengenai senjata ini, tentang miripnya rantai
itu dengan ular, tentang kemungkinan menciptakan khayal penglihatan orang dengan
mengubah gerakan rantai dan sabit, hingga pertahanan musuh akhirnya akan merugikan
dirinya sendiri, juga tentang semua cara rahasia dalam menggunakan senjata itu.
Musashi betul-betul terpesona. Mendengar orang berbicara seperti ini, ia selalu
mendengarkan dengan seluruh tubuhnya. Ia ingin menyerap segala seluk-beluknya.
Rantai. Sabit. Dua belah tangan....
Sementara ia mendengarkan, benih-benih pikiran lain terbentuk dalam kepalanya. "Pedang
dapat dipergunakan dengan satu tangan, sedangkan manusia punya dua tangan..."
Botol sake yang kedua pun kosong. Baiken sudah cukup banyak minum, dan mendesak Musashi
minum lagi. Musashi sendiri sudah jauh melewati batas kemampuannya dan sudah lebih
mabuk dari yang pernah dialaminya.
"Bangun!" seru Baiken kepada istrinya. "Biar tamu kita tidur di sini. Kau dan aku tidur
di kamar belakang. Siapkan tempat tidur di sana."
Perempuan itu tak beranjak dari tempatnya.
"Bangun!" seru Baiken lebih keras. "Tamu kita sudah capek. Biar dia tidur sekarang."
Kaki sang istri sudah enak dan hangat sekarang. Bangun pasti tak menyenangkan.
"Kaubilang dia dapat tidur di bengkel dengan Iwa," gumamnya.
"Jangan membantah. Kerjakan yang kusuruh!"
Perempuan itu bangkit dengan gusar dan berangkat ke kamar belakang. Baiken mengambil
bayinya yang tidur, dan katanya, "Selimutnya sudah tua, tapi api di ada dekatmu. Kalau
Hijaunya Lembah Hijaunya 10 Animorphs - 22 Akhir Sebuah Pengkhianatan Siluman Hutan Waringin 2
memotong gelungan Gion Toji membikin si pembual itu lebih congkak daripada sebelumnya.
"Itu pasti orang yang kita cari!"
"Jadi, sudah kita temukan sekarang. Tertangkap dia sekarang."
Orang-orang itu melanjutkan pengejaran tanpa satu kali pun berhenti untuk beristirahat,
sekalipun matahari mulai terbenam. Mendekati dermaga Temma, seorang dari mereka
berseru, "Ketinggalan kita!" Yang dimaksud adalah kapal terakhir hari itu.
"Tidak mungkin."
"Kenapa kaupikir kita sudah ketinggalan?" tanya yang lain.
"Tidak lihat, ya" Di sana itu," kata orang yang pertama tadi, menuding dermaga.
"Warung-warung teh sudah menumpuk bangkunya. Kapal tentunya sudah berangkat."
Untuk sesaat mereka semua berdiri terpaku, kehilangan semangat. Kemudian, ketika mereka
bertanya lagi pada orang lain, ternyata samurai itu memang sudah naik kapal terakhir.
Mereka juga mendapat keterangan, kapal itu baru saja berangkat dan untuk beberapa lama
tidak akan berhenti di perhentian berikut, Toyosaki. Kapal-kapal yang berjalan mudik ke
Kyoto umumnya pelan. Maka mereka punya waktu banyak untuk menyusul kapal tambangan itu
di Toyosaki, walaupun tanpa bergegas.
Tahu akan hal ini, mereka memanfaatkan waktu dengan minum teh, makan kue betas, dan
sedikit gula-gula murahan, sebelum berangkat dengan langkah cepat menempuh jalan
sepanjang tepi sungai. Di hadapan sana, sungai tampak bagai seekor ular perak yang
melenggok-lenggok ke kejauhan. Sungai Nakatsu dan Temma bergabung menjadi satu
membentuk Sungai Yodo, di dekat percabangan ini cahaya berkelap-kelip di tengah sungai.
"Itu kapalnya!" seru seseorang.
Ketujuh orang itu bangkit semangatnya, dan segera mereka lupa akan udara dingin yang
menembus kulit. Di ladang-ladang telanjang di tepi jalan, rumput merang kering yang
tertutup embun beku berkilauan seperti pedang-pedang baja ramping. Angin seolah
bermuatan es. Ketika jarak antara mereka dan cahaya mengapung itu memendek, mereka dapat melihat
kapal itu dengan sangat jelas. Tanpa pikir lagi, seorang dari mereka berteriak, "Hei,
yang di sana itu! Kurangi kecepatan!"
"Kenapa?" terdengar balasan dari geladak.
Jengkel karena perhatian orang jadi tertuju pada mereka, teman-temannya mengumpat orang
yang besar mulut itu. Namun kapal berhenti juga di perhentian berikut. Sungguh suatu
kebodohan besar, lebih dulu memberikan peringatan. Karena sudah telanjur, semua
sependapat bahwa langkah terbaik adalah menuntut penumpang itu seketika itu juga.
"Dia hanya sendirian. Jika kita tidak menantangnya sekarang juga, dia bisa curiga,
melompat ke air, dan menyelamatkan diri."
Sambil berjalan mengikuti jalan kapal, sekali lagi mereka berseru pada orang-orang yang
ada di atas kapal. Sebuah suara berwibawa, yang tak sangsi lagi suara Kapten, meminta
keterangan apa yang mereka kehendaki.
"Rapatkan kapal ke tepi!"
"Apa" Apa kalian gila?" terdengar jawabannya, disertai tawa parau.
"Pinggirkan di sini!"
"Mustahil" "Kalau begitu, kami tunggu Anda di perhentian berikut. Kami urusan dengan orang muda
yang ada di kapal Anda. Pakai jambul bawa monyet. Katakan padanya, kalau dia punya
hormat, dia mesti menampakkan diri. Dan kalau Anda membiarkan dia pergi, akan kami
seret kalian semua ke darat."
"Kapten, jangan jawab mereka!" mohon seorang penumpang.
"Apa pun yang mereka katakan, abaikan saja," yang lain menasihati. "Mari jalan terus ke
Moriguchi. Di sana ada pengawal."
Kebanyakan penumpang berkumpul-kumpul ketakutan dan berbicara dengan suara ditekan.
Orang yang berbicara dengan bebasnya kepada para samurai di pantai beberapa waktu lalu
kini berdiri diam. Baginya dan bagi orang-orang lain, keselamatan mereka tergantung
pada jarak antara kapal dan tepi sungai.
Ketujuh orang itu tetap berada dekat kapal dengan lengan baju disingsingkan dan tangan
dilekatkan ke pedang. Sekali mereka berhenti mendengarkan, agaknya mengharapkan jawaban
atas tantangan mereka, tapi mereka tak men-dengar sesuatu.
"Apa Anda tuli?" teriak seorang dari mereka. "Kami minta Anda menyampaikan kepada
pembual muda itu supaya datang ke susuran."
"Maksud Anda, saya?" teriak sebuah suara dari kapal.
"Itu dia di sana, kurang ajar seperti biasanya!"
Orang-orang itu menudingkan jari dan memandang ke kapal, sedangkan celoteh pelan para
penumpang semakin hiruk-pikuk. Mereka itu setiap saat dapat melompat ke geladak.
Orang muda berpedang panjang itu berdiri tegap di lambung kapal, giginya berkilauan
seperti mutiara putih oleh pantulan sinar bulan. "Di kapal tak ada orang lain yang bawa
monyet, jadi saya kira sayalah yang Anda cari. Siapa kalian, bromocorah malang"
Gerombolan aktor lapar?"
Ketika adu teriak semakin menghebat, kapal mendekati tanggul Kema yang memiliki tiangtiang tambatan dan juga gudang. Ketujuh orang itu berlari maju untuk mengepung tempat
mendarat, tapi belum lagi mereka sampai di sana, kapal sudah berhenti di tengah sungai
dan mulai berputar beberapa kali.
Wajah orang-orang Yoshioka jadi pucat kelabu. "Apa yang kaulakukan?"
"Kalian tak bisa tinggal di situ selamanya!"
"Sini kamu, atau kami akan datang ke situ."
Ancaman-ancaman terus berlangsung, sampai akhirnya haluan kapal mulai bergerak ke tepi.
Sebuah suara meraung di udara dingin, "Tutup mulut, orang-orang goblok! Kami akan
mendarat! Lebih baik siapkan diri kalian untuk mempertahankan diri."
Walaupun dicegah oleh penumpang-penumpang lain, orang muda itu tetap merebut galah
orang kapal dan mendaratkan kapal tambangan itu. Ketujuh samurai segera berkerumun
sekitar tempat yang akan disentuh haluan kapal, sementara tubuh yang menggerakkan kapal
dengan galah itu semakin dekat dengan mereka. Tiba-tiba kecepatan kapal meningkat, dan
orang muda itu menyerang mereka sebelum mereka mengetahuinya. Lunas kapal mencakar
dasar sungai dan mereka undur serentak. Pada waktu itulah sebuah benda hitam bulat
melayang melintasi gelagah dan menempelkan diri ke leher seorang di antara mereka.
Sebelum mereka menyadari bahwa benda itu hanya seekor monyet, secara naluriah mereka
semua mencabut pedang dan membabatkan ke udara kosong di sekitar mereka. Untuk
menyembunyikan rasa malu, mereka saling meneriakkan perintah mendesak.
Dengan harapan akan terhindar dari keributan, para penumpang menggerombol di sebuah
sudut kapal. Aniaya yang diderita ketujuh orang di tepi sungai itu membesarkan hati
mereka, sekalipun agak menimbulkan tanda tanya, tapi tak seorang pun berani bicara.
Kemudian secara serentak semua kepala menoleh diiringi suara menggagap. Orang muda itu
menancapkan galahnya ke dalam sungai dan melompat melintasi rumput mendoang, gerakannya
lebih ringan daripada monyet tadi.
Kejadian ini lebih mengacaukan lagi. Tanpa sempat menyusun diri kembali, orang-orang
Yoshioka segera menyerang musuh mereka dalam satu barisan. Serangan demikian justru
memberikan kedudukan menguntungkan bagi si orang muda untuk bertahan.
Orang pertama sudah maju terlampau jauh untuk dapat mundur kembali, dan barulah ia
menyadari kebodohan langkahnya. Pada saat itu segala keterampilan perang yang pernah
dipelajarinya tak ada gunanya. Yang dapat diperbuatnya hanyalah memeringiskan gigi dan
secara ngawur mengayun-ayunkan pedang di depan dirinya.
Sadar akan keuntungan psikologis yang dimilikinya, sosok pemuda tampan itu seakan
tampak makin besar. Tangan kanannya di belakang mernegang gagang pedang, dan sikunya
mencongak di atas bahunya.
"Oh, jadi kalian dari Perguruan Yoshioka" Bagus. Saya memang merasa seperti sudah kenal
kalian. Seorang dari kalian sudah berkenan mengizinkan saya memotong gelungannya.
Rupanya itu tak cukup buat kalian. Apa kalian semua datang buat potong rambut" Kalau
memang begitu, saya yakin dapat membantu kalian. Kebetulan sebentar lagi saya mesti
menajamkan pedang ini, jadi sebaik-nya saya manfaatkan kesempatan ini."
Ketika kata-kata itu berakhir, Galah Pengering pun membelah udara, dan kemudian
membelah tubuh pemain pedang terdekat yang merunduk.
Melihat kawannya terbantai demikian mudah, lumpuhlah otak mereka. Satu demi satu mereka
mundur saling tunjang, seperti bola-bola yang saling bertumbukan. Dan mengambil
keuntungan dari kedudukan mereka yang porak-poranda itu, si penyerang pun mengayunkan
pedang ke samping, ke arah orang berikutnya, dan menjatuhkan pukulan demikian mantap
hingga orang itu terjungkal ke rumput mendoang diiringi suara jeritan.
Orang muda itu membelalakkan mata kepada lima orang sisanya, yang sementara itu
menyusun diri di sekitarnya bagai daun bunga. Mereka saling meyakinkan bahwa taktik
mereka kali itu cukup aman, dan keyakinan mereka pulih, sampai-sampai berani mengejek
orang muda itu lagi. Namun kali ini kata-kata mereka gemetar dan palsu.
Akhirnya, disertai teriakan keras, seorang dari mereka meloncat ke depan dan
mengayunkan pedangnya. Ia yakin telah melakukan penebasan. Padahal ujung pedangnya
masih dua kaki penuh jaraknya dari sasaran, dan kemudian mengakhiri gerak lengkungnya
di sebuah batu karang dengan suara berdentang. Orang itu jatuh ke depan. Tubuhnya
terbuka lebar untuk serangan.
Orang muda itu bukannya membantai mangsa yang demikian mudahnya. Ia melompat ke samping
dan mengayunkan pedang ke arah orang berikut. Jeritan perang masih mendering di udara,
tapi ketiga orang lain sudah angkat kaki seribu.
Dengan wajah kejam, orang muda itu berdiri memegang pedang dengan kedua tangannya.
"Pengecut!" pekiknya. "Kembali ke sini dan ayo berkelahi! Apa ini Gaya Yoshioka yang
kalian banggakan itu" Menantang seseorang, lalu melarikan diri" Tidak heran, Perguruan
Yoshioka menjadi bahan tertawaan."
Bagi samurai mana pun yang punya harga diri, penghinaan seperti itu lebih buruk
daripada diludahi, tetapi bekas-bekas pengejar orang muda itu sudah terlampau sibuk
berlari dan tidak memperhatikannya.
Justru pada waktu itu dari sekitar tanggul terdengar dering giring-giring kuda. Sungai
dan embun beku di ladang memantulkan cukup banyak cahaya bagi pemuda itu untuk melihat
sosok tubuh di punggung kuda dan sosok tubuh lain berlari-lari di belakangnya.
Sekalipun napas beku mengepulngepul dari lubang hidungnya, mereka kelihatan tidak
memperhatikan dinginnya udara dan terus melaju ke depan. Ketiga samurai yang melarikan
diri hampir saja bertumbukan dengan kuda, ketika penunggang kuda itu mendadak sontak
mengekang kudanya. Kenal akan ketiga orang itu, Seijuro memberengut berang. "Apa yang kalian lakukan di
sini?" salaknya. "Ke mana kalian lari?"
"Oh... oh, Tuan Muda!" seorang dari mereka menggagap.
Ueda Ryohei yang muncul dari balik kuda itu menyerang mereka. "Apa artinya ini" Kalian
mestinya mengawal Tuan Muda, gerombolan tolol! Rupanya kalian terlalu sibuk ribut
sesudah minum lagi, ya?"
Ketiga orang itu dengan marah memuntahkan cerita tentang bagaimana mereka
mempertahankan kehormatan Perguruan Yoshioka dan gurunya, dan betapa mereka mengalami
kegagalan berhadapan dengan samurai muda yang seperti setan itu. Jadi, mereka bukannya
berkelahi karena mabuk. "Lihat itu!" teriak seorang dari mereka. "Dia datang kemari."
Mata-mata yang ketakutan memperhatikan musuh yang mendekat.
"Diam kalian!" perintah Ryohei dengan suara muak. "Terlalu banyak kalian bicara. Bagus
sekali kalian melindungi kehormatan perguruan. Tak bakal kita bisa menebus dengan
perbuatan macam itu. Minggir semua! Aku yang akan menghadapinya sendiri." Ia mengambil
jurus menantang, dan menanti.
Pemuda itu menuju ke arah mereka. "Berhenti kalian, dan ayo berkelahi!" teriaknya. "Apa
lari itu seni bela diri Yoshioka" Secara pribadi tak ingin saya membunuh kalian, tapi
Galah Pengering saya masih haus. Karena kalian pengecut, paling sedikit yang dapat
kalian lakukan adalah meninggalkan kepala kalian." Ia lari menyusur tanggul dengan
langkah-langkah besar dan yakin, dan kelihatan akan melompati kepala Ryohei yang waktu
itu sudah meludah ke tangan dan menggenggam kembali pedangnya penuh kemantapan.
Pada saat itulah pemuda itu terbang, sedangkan Ryohei mengeluarkan teriakan yang
memekakkan telinga, mengangkat pedang ke atas jubah warna emas pemuda itu dan
menebaskannya dengan ganas, tapi gagal.
Pemuda itu mendadak menghentikan gerakan, menoleh, dan teriaknya. "Apa ini" Orang
baru?" Ryohei terhuyung ke depan, terbawa oleh kecepatan ayunannya, dan pemuda itu menyapunya
tanpa ampun lagi. Sepanjang hidupnya belum pernah Ryohei menyaksikan pukulan yang
demikian hebat. Ia memang berhasil mengelakkan-nya pada waktunya, tapi terjungkal juga
ia ke sawah. Untung baginya, karena tanggul itu cukup rendah dan sawah itu membeku.
tapi ketika jatuh ia kehilangan senjatanya, dan dengan itu keyakinannya pula.
Ketika ia merangkak kembali ke atas, pemuda itu sedang bergerak dengan kekuatan dan
kecepatan seekor macan yang sedang marah, memporak-porandakan ketiga murid itu dengan
kilasan pedangnya dan sedang mendekati Seijuro.
Seijuro belum lagi merasa ngeri. Menurut pikirannya, segalanya akan berlalu sebelum ia
sendiri terlibat. Tapi sekarang bahaya menyerang langsung dirimya dalam bentuk pedang
yang tamak. Terdorong oleh suatu ilham yang tiba-tiba datang, ia berteriak, "Ganryu! Tunggu!" ia
lepaskan sebelah kakinya dari sanggurdi, ia naikkan ke pelana, dan berdirilah ia luruslurus. Kuda melompat ke depan, ke arah kepala pemuda itu, sedangkan Seijuro terbang ke
belakang, mendarat dengan kedua kakinya sekitar tiga langkah jauhnya.
"Bukan main!" teriak orang muda itu kagum sekali, lalu mendekati Seijuro. "Biarpun kau
musuhku, perbuatan tadi betul-betul bagus! Kau tentunya Seijuro sendiri. Jaga dirimu!"
Mata pedang panjang itu menjadi perwujudan semangat juang. Ia semakin mendekati
Seijuro, namun sekalipun memiliki kelemahan-kelemahan, Seijuro adalah anak Kempo. Ia
dapat menghadapi bahaya itu dengan tenang.
Kepada pemuda itu ia berkata yakin, "Kau Sasaki Kojiro dari Iwakuni. Benar seperti
dugaanmu, aku Yoshioka Seijuro. Tak ada keinginanku berkelahi denganmu. Kalau benarbenar perlu, kita dapat mengundurkannya pada waktu lain. Sekarang ini aku cuma ingin
mengetahui, apa sebab semua ini. Singkirkan pedangmu."
Ketika Seijuro menyebutnya Ganryu, pemuda itu jelas tidak mendengarnya. Tapi sekarang,
disebut Sasaki Kojiro itu ia pun terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu siapa aku?"
tanyanya. Seijuro menampar paha. "Aku tahu! Aku cuma menduga, tapi dugaanku betul!" Kemudian ia
maju ke depan, dan katanya, "Senang sekali bertemu denganmu. Aku sudah banyak mendengar
tentangmu." "Dari siapa?" tanya Kojiro.
"Dari teman seniormu, Ito Yagoro."
"Oh, jadi kau ini temannya?"
"Ya. Sampai musim gugur lalu dia memiliki tempat pertapaan di Bukit Kagura di
Shirakawa, dan aku sering mengunjunginya di sana. Dia beberapa kali juga berkunjung ke
rumahku." Kojiro tersenyum. "Kalau begitu, ini tampaknya bukan pertemuan yang pertama lagi, ya?"
"Tidak. Ittosai agak sering menyebutmu. Dia mengatakan ada satu orang dari Iwakuni
bernama Sasaki yang sudah mempelajari gaya Toda Seigen, dan kemudian belajar di bawah
pimpinan Kanemaki Jisai. Dia mengatakan padaku, Sasaki murid termuda di perguruan
Jisai, tapi suatu hari nanti akan menjadi satu-satunya pemain pedang yang dapat
menantang Ittosai." "Tapi aku masih belum mengerti, bagaimana bisa Anda mengetahui ini begitu cepat."
"Nah, Anda muda dan cocok dengan gambaran itu. Melihat Anda mengguna-kan pedang panjang
itu, aku ingat Anda disebut juga Ganryu"'Pohon Dedalu di Tepi Sungai'. Aku lalu
mendapat firasat, tentu Anda-lah itu, dan aku benar."
Sementara Kojiro mencecap gembira, matanya menoleh memandang pedangnya yang masih
berdarah, yang mengingatkan kepadanya bahwa telah terjadi perkelahian, dan itu
membuatnya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mereka akan menyelesaikan urusan itu.
Namun nyatanya ia dan Seijuro telah bertemu demikian baik, hingga saling pengertian pun
segera tercapai, dan beberapa menit kemudian mereka sudah berjalan bahu-membahu seperti
sahabat lama. Di belakang mereka berjalan Ryohei dan tiga murid yang kesal hati.
Rombongan kecil itu berjalan menuju Kyoto.
Kojiro berkata, "Dari semula aku tak mengerti, gara-gara apa perkelahian itu tadi. Aku
tak punya soal dengan mereka."
Pikiran Seijuro tertuju kepada tingkah laku Gion Toji baru-baru itu. "Aku muak dengan
Toji," katanya. "Kalau aku kembali nanti, akan kupanggil dia supaya bercerita. Kuharap
Anda tidak menganggap aku dendam terhadap Anda. Aku betul-betul malu melihat orangorang perguruanku kurang baik disiplinnya."
"Nah, Anda sudah lihat sendiri, orang macam apa aku ini," jawab Kojiro. "Bicaraku
terlalu besar, dan aku selalu siap berkelahi dengan siapa saja. Murid-murid Anda bukan
satu-satunya orang yang mesti dipersalahkan. Bahkan kukira Anda mesti memberikan pujian
pada mereka karena telah berusaha mempertahankan nama baik perguruan. Sayang mereka itu
tidak seberapa sebagai pejuang, tapi setidak-tidaknya mereka sudah mencoba. Aku sedikit
kasihan pada mereka."
"Aku yang mesti dipersalahkan," kata Seijuro polos. Wajahnya menampakkan rasa sakit
yang sebenar-benarnya. "Mari kita lupakan semuanya."
"Tak ada yang lebih menyenangkan bagiku."
Bersatunya kedua orang itu mendatangkan kelegaan pada yang lain-lain. Siapa menyangka
bahwa anak lelaki yang tampan dan tumbuh lebih besar dari seharusnya ini Sasaki Kojiro
yang besar, yang oleh Ittosai dipuji-puji" ("Keajaiban Iwakuni", begitulah yang
dikatakannya). Tidak mengherankan kalau karena ketidaktahuannya, Toji tergoda untuk
mempermainkannya sedikit. Dan tidak mengherankan bahwa akhirnya ia sendiri yang jadi
tampak konyol. Ryohei dan ketiga orang temannya menggigil kalau ingat betapa mereka hampir kena
berondong Galah Pengering. Kini mata mereka telah terbuka. Melihat bidangnya bahu dan
tegapnya punggung Kojiro itu mereka heran, bagaimana mungkin mereka telah berlaku
demikian bodoh dengan menyepelekannya.
Tak lama kemudian, mereka sampai kembali di tempat perhentian kapal. Mayat-mayat sudah
membeku, dan ketiga orang itu ditugaskan menguburnya, sedangkan Ryohei pergi mencari
kuda. Kojiro pergi bersiul-siul memanggil monyetnya. Tiba-tiba monyet itu muncul entah
dari mana dan melompat ke bahu tuannya.
Seijuro tidak hanya mendesak Kojiro datang ke perguruannya di Jalan Shijo dan tinggal
di sana sejenak, tapi juga menawarkan kudanya. Kojiro menolak.
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang baik," katanya. Sikap hormatnya tidak seperti biasa. "Aku cuma seorang ronin
muda, sedangkan Anda guru sebuah perguruan besar, putra seorang terhormat, pemimpin
beratus-ratus pengikut." Sambil memegang kendali, ia melanjutkan, "Silakan, Andalah
yang naik. Aku memegang kendali ini saja. Lebih mudah jalan begini. Kalau memang tidak
keberatan, aku menerima tawaran Anda tinggal dengan Anda sebentar di Kyoto."
Dengan sikap sopan santun yang sama, Seijuro berkata, "Nah, kalau begitu, aku naik
sekarang, dan kalau kaki Anda lelah nanti, kita dapat bertukar tempat."
Seijuro merasa ada baiknya pemain pedang seperti Sasaki Kojiro itu berada di
sampingnya, pada saat ia terpaksa bertarung dengan Miyamoto Musashi pada permulaan
Tahun Baru. *** 26. Gunung Rajawali PADA tahun 1550-an dan 1560-an, pemain-pemain pedang besar yang paling terkenal di
Jepang Timur adalah Tsukahara Bokuden dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise, sedangkan
saingannya di Honshu Tengah adalah Yoshioka Kempo dari Kyoto dan Yagyu Muneyoshi dari
Yamato. Di samping itu ada Yang Dipertuan Kitabatake Tomonori dari Kuwana. seorang guru
seni bela diri dan gubernur terkemuka. Lama sesudah ia meninggal, orang Kuwana masih
berbicara tentang dirinya dengan rasa cinta, karena bagi mereka ia melambangkan hakikat
pemerintahan yang baik dan kemakmuran.
Ketika Kitabatake masih belajar di bawah pimpinan Bokuden, yang terakhir ini menurunkan
kepadanya Ilmu Pedang Tertinggi, yaitu rahasia tertinggi di antara jurus-jurus rahasia
miliknya. Anak Bokuden, Tsukuhara Hikoshiro, mewarisi nama dan tanah milik ayahnya,
tapi tidak mendapat warisan jurus rahasia itu. Itulah sebabnya mengapa Gaya Bokuden
bukannya menyebar di timur, di mana Hikoshiro bergiat, melainkan di daerah Kuwana, di
mana Kitabatake memerintah.
Konon, sesudah meninggalnya Bokuden, Hikoshiro datang ke Kuwana untuk mencoba
memperdayakan Kitabatake agar membukakan jurus rahasia itu. "Ayah saya," demikian
kabarnya ia mengatakan, "dahulu mengajarkannya pada saya, dan saya diberitahu bahwa dia
mengajarkannya juga pada Anda. Belakangan ini saya bertanya-tanya pada diri sendiri,
apakah yang diajarkan pada kita itu bukan barang yang sama. Karena rahasia-rahasia
tertinggi dalam aliran kita jadi kepentingan bersama, apakah tidak sebaiknya kita
membandingkan apa yang telah kita pelajari?"
Kitabatake segera menyadari maksud kurang baik pewaris Bokuden itu. namun ia cepat
menyetujui memberikan demonstrasi. Rahasia yang diketahui Hikoshiro waktu itu hanyalah
bentuk luar Ilmu Pedang Tertinggi, dan bukan rahasia yang paling dalam. Maka Kitabatake
tetap merupakan satu-satunya guru Gaya Bokuden sejati, dan untuk mempelajarinya para
murid harus pergi ke Kuwana. Di sebelah timur, Hikoshiro menurunkan kulit kosong
lancung keterampilan ayahnya sebagai ajaran yang asli: suatu bentuk tanpa inti.
Atau demikianlah setidak-tidaknya cerita yang disampaikan pada setiap musafir yang
kebetulan menginjakkan kaki di daerah Kuwana. Bukan cerita yang jelek, karena ceritacerita seperti itu memang beredar, dan karena didasarkan pada fakta, maka cerita itu
lebih dapat diterima dan kurang ngawur dibandingkan lautan cerita rakyat setempat yang
disampaikan orang untuk menegaskan kembali keunikan kota-kota dan provinsi-provinsi
yang mereka cintai. Musashi yang sedang menuruni Gunung Tarusaka dalam perjalanan dari kota Kuwana
mendengar cerita itu dari tukang kudanya. Ia mengangguk, dan katanya sopan, "Betul
begitu" Menarik sekali!" Waktu itu pertengahan bulan terakhir. Sekalipun iklim Ise
relatif hangat, namun angin yang berembus dari Teluk Nako dingin menggigit.
Ia hanya mengenakan kimono tipis. Pakaian dalamnya dari katun dan jubah tak berlengan.
Berarti pakaian yang terlalu tipis untuk ukuran mana pun. Dan lagi jelas tampak kotor.
Wajahnya bukan lagi berwarna perunggu, melainkan hitam terbakar matahari. Di atas
kepalanya yang termakan cuaca, topi anyamannya yang sudah aus dan berumbai tampak
berlebihan. Sekiranya ia membuang barang itu di jalan, tak seorang pun akan bersusah
payah memungutnya. Rambutnya yang sudah berhari-hari tak dicuci, diikat ke belakang,
tapi tetap masih seperti sarang burung. Apa pun yang dilakukannya selama enam bulan
terakhir itu, menyebabkan kulitnya tampak seperti kulit yang tersamak baik. Matanya
bersinar seperti mutiara putih di tengah lingkungannya yang segelap arang.
Tukang kuda sudah kuatir semenjak membawa penunggang kuda yang acak-acakan itu. Ia
sangsi apakah akan menerima upah, dan yakin tak akan mendapat muatan pulang dari tempat
jauh di tengah pegunungan itu.
"Tuan," katanya agak takut-takut.
"Mm?" "Kita akan sampai Yokkaichi sebelum tengah hari, dan sampai Kameyama petang hari.
Sebelum sampai Desa Ujii, hari pasti sudah tengah malam."
"Mm." "Tak apa-apa?" "Mm." Musashi waktu itu lebih tertarik pada pemandangan teluk daripada berbicara,
hingga tukang kuda itu tidak memperoleh jawaban lebih dari anggukan kepala dan kata
"Mm" yang tak berisi pendapat itu.
Tukang kuda mencoba lagi. "Ujii tak lebih dari dukuh kecil sekitar delapan mil masuk
pegunungan dari punggung Gunung Suzuka. Bagaimana ceritanya sampai Tuan pergi ke tempat
macam itu?" "Saya pergi untuk menemui seseorang."
"Tak ada siapa-siapa di sana, kecuali petani dan penebang kayu."
"Di Kuwana saya dengar ada satu orang yang pandai sekali main rantai peluru-sabit."
"Saya kira Shishido."
"Itu dia. Namanya Shishido apa?"
"Shishido Baiken."
"Ya." "Dia pandai besi, biasa bikin sabit besar. Saya ingat pernah mendengar dia mahir sekali
bikin senjata itu. Apa Tuan belajar seni bela diri?"
"Mm." "Oh, kalau begitu, daripada menemui Baiken, saya sarankan Tuan pergi ke Matsuzaka.
Beberapa pemain pedang terbaik Provinsi Ise tinggal di sana."
"Siapa misalnya?"
"Misalnya, Mikogami Tanzen."
Musashi mengangguk. "Ya, saya pernah dengar." Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, dan ini
memberikan kesan bahwa ia kenal betul kemampuan-kemampuan besar Mikogami.
Sampai kota kecil Yokkaichi, ia berjalan terpincang-pincang kesakitan menuju sebuah
warung, dan di situ ia memesan makan siang dan duduk makan. Kura-kura sebelah kakinya
terbalut, karena telapak kakinya luka bernanah. Itulah sebabnya ia memilih menyewa kuda
dan bukan berjalan. Walaupun biasanya ia selalu berhati-hati dengan tubuhnya, beberapa
hari sebelumnya, di kota pelabuhan ramai Narumi terinjak olehnya papan berpaku. Kakinya
yang merah bengkak itu tampak seperti kesemek asin, dan sejak kemarin ia demam.
Menurut jalan pikirannya, ia bertempur dengan sebuah paku, dan paku itu menang. Sebagai
murid bela diri, ia merasa malu membiarkan dirinya kena paku tanpa sadar. "Apa tak ada
jalan buat melawan musuh macam itu?" tanyanya beberapa kali kepada dirinya. "Paku itu
mencongak ke atas dan kelihatan jelas. Aku menginjaknya karena aku setengah tertidurtidak, aku buta, karena semangatku belum lagi aktif di seluruh tubuhku. Lebih dan itu,
aku membiarkan paku itu menembus dalam, dan ini terbukti gerak reflekku lamban.
Sekiranya aku menguasai sepenuhnya diriku, pasti aku sudah melihat paku itu begitu
sandalku menyentuhnya."
Persoalan yang dihadapinya adalah ketidakmatangan, demikian kesimpulannya. Tubuhnya dan
pedangnya masih belum menjadi satu. Sekalipun kedua tangannya jadi semakin kuat dari
hari ke hari, semangatnya dan bagian lain tubuhnya tidak selaras. Dalam kerangka
pikiran yang mengecam diri pribadi ini, hal itu terasa olehnya sebagai kelainan yang
melumpuhkan. Namun demikian, ia tidak merasa membuang-buang waktu saja enam bulan lalu itu. Sesudah
melarikan diri dari Yagyu, pertama-tama ia pergi ke Iga, kemudian ke jalan raya Omi,
lalu menjelajahi Provinsi Mino dan Owari. Di setiap kota, di setiap ngarai gunung, ia
berusaha menguasai Jalan Pedang yang sejati. Kadang-kadang ia merasa sudah mencapainya,
tapi rahasianya tetap saja sukar ditangkap; sesuatu yang tak dapat ditemukan
tersembunyi di kota ataupun di ngarai.
Tak ingat lagi ia, dengan berapa banyak prajurit ia telah berbentrokan. Jumlahnya
berlusin-lusin dan semuanya pemain pedang yang terlatih baik dan dari kelas tinggi.
Tidak sukar menemukan pemain-pemain pedang cakap. Yang sukar ditemukan adalah manusia
sejati. Dunia ini memang penuh orang, bahkan terlalu penuh, tapi menemukan seorang
manusia sejati tidaklah mudah. Selama perjalanannya, Musashi menjadi yakin akan hal
itu, seyakin-yakinnya, sampai terasa menyakitkan dan semangatnya mengendur. Namun
demikian, pikirannya selalu kembali kepada Takuan, karena tak sangsi lagi dialah
pribadi yang otentik, yang unik.
"Kukira aku beruntung," pikir Musashi. "Setidaknya aku beruntung telah mengenal seorang
manusia sejati. Aku harus membuat pengalaman mengenal dia itu membuahkan sesuatu."
Manakala Musashi memikirkan Takuan, sejenis rasa nyeri menyebar dari pergelangan
tangannya ke seluruh tubuhnya. Perasaan itu aneh, suatu kenangan psikologis akan saat
ia terikat erat pada cabang pohon kriptomeria, "Tunggulah!" sumpah Musashi. "Sebentar
lagi akan kuikat Takuan di pohon itu juga, dan aku akan duduk di tanah, mengkhotbahkan
jalan hidup sejati kepadanya!" Bukannya ia benci kepada Takuan atau punya hasrat
membalas dendam. Ia cuma ingin menunjukkan bahwa taraf yang dapat dicapai seseorang
melalui Jalan Pedang lebih tinggi daripada yang dapat dicapai dengan mempraktekkan Zen.
Musashi tersenyum memikirkan kemungkinan bahwa pada suatu hari nanti ia akan ganti
menguasai biarawan eksentrik itu.
Tentu saja bisa terjadi bahwa segala sesuatu tidak berlangsung tepat seperti yang
direncanakan, tapi sekiranya ia memang mendapat kemajuan besar, dan sekiranya pada
akhirnya ia dapat mengikat Takuan di atas pohon dan menguliahinya, apa yang dapat
dikatakan oleh Takuan" Sudah pasti ia akan berteriak girang dan menyatakan, "Bagus
sekali! Aku bahagia sekarang."
Tapi tidak, Takuan tak akan pernah bersikap langsung macam itu. Sebagai Takuan, ia akan
tertawa dan katanya, "Bodoh kamu! Kau makin maju, tapi masih bodoh!"
Bagaimana persisnya kata-kata tidaklah menjadi persoalan benar. Persoalannya Musashi
merasa, walaupun aneh, bahwa menghantam kepala Takuan dengan keunggulan pribadinya
merupakan suatu keharusan, semacam utang terhadap biarawan itu. Khayalan itu cukup
polos. Musashi telah menempuh jalannya sendiri, dan dari hari kehari ia menemukan
betapa paniang dan sukarnya jalan menuju kemanusiaan sejati. Kalau sisi praktis dirinya
mengingatkan ia betapa Takuan sudah jauh lebih lanjut menempuh jalan itu dibandingkan
dengannya, maka khayalan itu pun lenyap.
Lebih mengguncangkan lagi apabila ia memikirkan betapa mentah dan tak layak dirinya
dibandingkan dengan Sekhishusai. Memikirkan guru Yagyu tua itu membuatnya sinting dan
sekaligus sedih. ia menjadi sadar sesadar-sadarnya akan ketidakmampuannya bicara
tentang Jalan Kesempurnaan, tentang Seni Bela Diri atau yang lain lagi dengan penuh
keyakinan. Pada waktu-waktu seperti ini, dunia yang pernah dikiranya penuh orang bodoh itu
kelihatannya besar menakutkan. Dan Musashi berkata pada diri sendiri bahwa hidup ini
bukanlah soal logika. Pedang bukan logika. Yang penting bukan bicara atau berspekulasi,
melainkan beraksi. Mungkin saja ada orang-orang lain yang sekarang ini jauh lebih besar
daripadanya, tapi ia pun bisa menjadi besar!
Apabila kesangsian terhadap diri sendiri sudah mengancam akan menenggelamkannya, maka
Musashi biasa langsung pergi ke pegunungan dan hidup dengan dirinya dalam kesendirian
itu. Gaya hidupnya di sana tampak jelas dari penampilannya ketika kembali ke peradabanpipinya secekung pipi rusa, tubuhnya penuh cakaran dan luka memar, rambutnya kering dan
kaku karena berjam-jam tersiram air terjun dingin. Ia jadi demikian kotor akibat tidur
di tanah, sehingga giginya yang putih seakan-akan tidak berasal dari dunia. Namun semua
itu hanyalah permukaan semata. Di dalam, ia menyala penuh keyakinan, hampir-hampir
keangkuhan. dan meledak-ledak dengan hasrat menjumpai lawan yang berarti. Dan pencarian
ujian atas keberanian inilah yang selalu membawanya turun dari pegunungan.
Ia dalam perjalanannya sekarang karena ingin tahu apakah ahli rantaipeluru-sabit Kuwana
itu memang cakap. Dalam sepuluh hari yang masih tersisa sebelum ia memenuhi janjinya di
Kyoto, masih ada waktu untuk melihat apakah Shishido Baiken sungguh seorang manusia
sejati, ataukah sekadar cacing pemakan nasi juga, yang demikian banyaknya menghuni bumi
ini" Larut malam barulah ia sampai di tujuannya, jauh di pegunungan itu. Sesudah mengucapkan
terima kasih, dikatakannya bahwa tukang kuda itu bebas untuk pergi, tapi karena sudah
larut, si tukang kuda lebih suka mengawani Musashi ke rumah yang dicarinya dan menginap
di bawah tepi atap. Esok harinya ia akan dapat turun dari Celah Suzuka, dan jika
beruntung ia dapat mengambil penumpang kembali di jalan. Bagaimanapun, cuaca waktu itu
terlalu dingin dan gelap untuk mencoba kembali sebelum matahari terbit.
Musashi sependapat dengannya. Mereka berada di sebuah lembah yang tertutup tiga
sisinya. Jalan mana pun terpaksa mendaki pegunungan yang tertimbun salju setinggi
lutut. "Kalau begitu," kata Musashi, "ayolah ikut saya."
"Ke rumah Shishido Baiken?"
"Ya.." "Terima kasih, Tuan. Mari kita lihat, apa kita dapat menemukannya."
Karena Baiken membuka bengkel, siapa pun di antara petani setempal dapat mengantar
mereka ke rumahnya, tapi pada waktu malam seperti itu seluruh desa sedang tidur. Satusatunya tanda kehidupan adalah bunyi godam yang secara teratur menghantam blok. Sesudah
berjalan melintas, udara dingin mendekati bunyi itu, akhirnya mereka melihat cahaya.
Ternyata itu rumah pandai besi. Di depan terdapat timbunan logam tua: dan sisi bawah
ujung atap hitam oleh asap. Atas perintah Musashi, tukang kuda membuka pintu dan masuk.
Api menyala di dapur api dan seorang perempuan yang membelakangi api sedang menumbuknumbuk kain.
"Selamat malam, Nyonya! Oh! Nyonya ada api. Bagus sekali!" Tukang kuda langsung menuju
dapur api itu. Perempuan itu terlompat karena tukang kuda yang mendadak masuk itu, dan menghentikan
pekerjaannya. "Siapa pula ini?" tanyanya.
"Tunggu sebentar, saya jelaskan," kata tukang kuda sambil memanaskan kedua tangannya.
"Saya membawa seseorang dari jauh untuk bertemu dengan suami Nyonya. Kami baru saja
sampai. Saya tukang kuda dari Kuwana."
"Ya, tapi..." Perempuan itu memandang masam ke arah Musashi. Kerutan keningnya jelas
menunjukkan bahwa ia sudah lebih dari cukup menjumpai shugyosha dan sudah tahu
bagaimana menghadapi mereka. Dengan nada angkuh ia berkata kepada Musashi, seperti
kepada anak kecil, "Tutup pintu! Bayiku bisa masuk angin kalau udara dingin itu masuk."
Musashi membungkuk dan mematuhi perintah itu. Kemudian ia duduk di atas tunggul pohon
di samping dapur api dan mengamati sekitarnyadari daerah penuangan best yang menghitam
sampai ruangan tempat tinggal yang berkamar tiga. Pada sebuah papan yang dipakukan ke
dinding tergantung sekitar sepuluh senjata rantai-peluru-sabit. Ia perkirakan itulah
senjatanya, karena terus terang saja, ia belum pernah melihatnya. Alasannya yang lain
mengadakan perjalanan kemari adalah karena ia berpendapat seorang murid semacam dirinya
haruslah berkenalan dengan segala jenis senjata. Maka berkilau-kilaulah matanya karena
rasa ingin tahu. Perempuan yang umurnya sekitar tiga puluh tahun dan agak manis itu meletakkan palunya
dan kembali ke daerah tempat tinggal. Musashi mengira ia akan membawakan teh, tapi
ternyata ia pergi ke tikar tempat tidur seorang bayi, lalu mengangkat anak itu dan
menyusuinya. Kepada Musashi ia berkata, "Kukira kau ini samurai muda lain lagi yang datang kemari
buat dibikin berlumuran darah oleh suamiku. Kalau betul begitu, kamu beruntung. Suamiku
sedang pergi, jadi kamu tak perlu kuatir cerbunuh." Ia tertawa riang.
Musashi tidak tertawa. Ia jengkel sekali. Ia datang ke desa terpencil ini bukan untuk
dipermainkan oleh seorang perempuan. Menurut renungannya, semua perempuan cenderung
keterlaluan melebihkan status suaminya. Perempuan ini lebih gawat daripada kebanyakan
istri. Ia rupanya mengira suaminya orang terhebat di bumi ini.
Karena tak ingin melukai perasaannya, Musashi berkata, "Saya kecewa suami Nyonya tidak
ada. Ke mana dia pergi?"
"Ke rumah Arakida."
"Di mana itu?" "Ha, ha! Kamu sudah datang di Ise, tapi belum tahu Keluarga Arakida?"
Waktu itu bayi di dadanya mulai rewel, dan tanpa menghiraukan, tamunya, perempuan itu
menyanyikan lagu buaian dalam logat setempat.
Tidurlah, tidurlah Bayi tidur sungguh manis.
Bayi jaga dan nangis, itu nakal
Dan bikin ibunya nangis juga.
Karena menurut pikirannya, setidak-tidaknya ia bisa mempelajari sesuatu dari
memperhatikan senjata-senjata pandai besi itu, Musashi bertanya, "Apa ini senjata yang
digunakan begitu fasihnya oleh suami Nyonya?"
Perempuan itu menggerutu, dan ketika Musashi minta dibolehkan memeriksanya, ia
mengangguk, dan menggerutu lagi.
Musashi menurunkan satu senjata dari sangkutannya. "Jadi, inilah macamnya," katanya,
setengah pada diri sendiri. "Saya dengar orang banyak menggunakannya sekarang ini."
Senjata di tangannya itu terdiri atas satu batang logam yang panjangnya 60 cm (yang
dengan mudah dapat disimpan di dalam obi). Ujungnya memakai cincin tempat menyangkutkan
rantai. Di ujung lain rantai itu terdapat peluru logam yang berat, yang cukup kokoh
untuk memecahkan tengkorak manusia. Di lekuk yang dalam pada salah satu sisi batang
logam itu tampak punggung pisau. Ketika ia menarik benda itu dengan kukunya, benda itu
melenting ke samping, seperti mata sabit. Dengan senjata itu, tidaklah sukar memotong
kepala lawan. "Kukira begini memegangnya," kata Musashi seraya memegang sabit itu dengan tangan kiri
dan rantai dengan tangan kanan. Sambil membayangkan seorang musuh di hadapannya, ia
mengambil jurus dan menimbang-nimbang gerakan yang diperlukannya.
Perempuan itu mengalihkan matanya dari tempat tidur bayinya unruk memperhatikan, dan
umpatnya, "Bukan begitu! Salah sekali!" Sambil menjejalkan buah dadanya kembali ke
dalam kimononya, ia mendekat ke tempat Musashi berdiri. "Kalau kamu memegangnya begitu,
orang yang bersenjata pedang bisa menebasmu tanpa kesulitan sama sekali. Pegang
begini." Ia merebut senjata itu dari tangan Musashi dan memperlihatkan padanya bagaimana cara
berdiri. Musashi tak suka melihat seorang perempuan mengambil jurus tempur dengan
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata yang demikian brutal. la memandang dengan mulut menganga. Ketika menyusui
bayinya tadi, perempuan itu tampak betul-betul seperti sapi, tapi sekarang sesudah siap
tempur ia tampak gagah, bermartabat, dan, ya, bahkan cantik. Sementara memperhatikan,
Musashi melihat bahwa pada pedang berwarna biru kehitaman seperti punggung ikan makerel
itu terdapat tulisan yang bunyinya, "Gaya Shishido Yaegaki".
Perempuan itu mengambil jurus tersebut hanya sesaat. "Yah, kira-kira seperti itulah,"
katanya sambil melipatkan kembali pisau itu ke dalam gagangnya dan menggantungkan
senjata itu ke sangkutannya.
Musashi ingin melihatnya menggunakan alat itu lagi, tapi perempuan itu jelas tak punya
keinginan melakukannya. Sesudah membersihkan dinding, ia kembali sibuk dengan pekerjaan
di dekat bak cuci. Ia mencuci pecah belah atau bersiap memasak sesuatu.
"Kalau perempuan ini dapat mengambil jurus demikian mengesankan," pikir Musashi,
"suaminya tentunya benar-benar patut dilihat." Maka hampir tak sabar lagi ia ingin
menjumpai Baiken, dan pelan-pelan ia bertanya kepada tukang kuda mengenai Keluarga
Arakida. Sambil bersandar ke dinding dan menghangatkan diri pada panas api, tukang kuda
menyatakan dengan suara gumam bahwa mereka itu keluarga yang ditugaskan mengawal Biara
Ise. Kalau ini benar, demikian pikir Musashi, tak akan sukar menemukan tempat mereka itu. Ia
mengambil keputusan untuk mencarinya, lalu melingkarkan diri di tikar dekat api dan
tidur. Pagi-pagi, magang pandai besi itu bangun dan membuka luar bengkel. Musashi bangun juga
dan minta kepada tukang kuda agar membawanya ke Yamada, kota terdekat dengan Biara Ise.
Puas karena telah dibayar hari sebelumnya, tukang kuda segera menyetujui.
Petang hari mereka sudah sampai di jalan panjang berapit pohon yang menuju biara itu.
Warung-warung teh di situ tampak sangat sepi, bahkan juga untuk musim dingin. Hanya
sedikit orang berjalan, dan jalan itu sendiri dalam keadaan buruk. Sejumlah pohon yang
tumbang oleh badai musim gugur masih menggeletak di tempat tumbangnya.
Dari rumah penginapan di Yamada, Musashi mengirim seorang pesuruh untuk bertanya ke
rumah Arakida, apakah Shishido Baiken tinggal di sana. Jawaban yang datang menyatakan
bahwa tentunya telah terjadi kekeliruan. Tak seorang pun yang namanya demikian ada di
sana. Karena kecewa, Musashi mengalihkan perhatian kepada kakinya yang luka, yang dalam
semalam itu sudah sangat membengkak.
Ia gusar karena tinggal beberapa hari lagi waktu yang tersisa baginya untuk berada di
Kyoto. Dalam surat tantangan yang dikirimkannya kepada Sekolah Yoshioka dari Nagoya, ia
menyerahkan pada mereka untuk memilih salah satu hari dalam minggu pertama Tahun Baru.
Ia tak dapat menolak sekarang dengan alasan kaki sakit. Disamping itu, ia berjanji
menjumpai Matahachi di jembatan Jalan Gojo.
Sepanjang hari berikutnya ia gunakan untuk menerapkan obat yang pernah didengarnya.
Ampas tahu ia masukkan dalam kantong kain, ia peras sampai keluar airnya, dan ia rendam
kakinya dalam air itu. Namun tak ada perbaikan. Bahkan lebih buruk lagi bahwa bau tahu
itu memualkan. Sibuk mengurusi kakinya, ia mengeluh atas kebodohannya telah menyeleweng
pergi ke Ise. Mestinya ia langsung ke Kyoto.
Malam itu kakinya ia bungkus di bawah selimut. Demamnya menanjak dan rasa nyerinya tak
tertahankan lagi. Pagi berikutnya dengan putus asa ia cobakan resep-resep lain,
termasuk mengoleskan obat seperti minyak pemberian pemilik rumah penginapan. Orang itu
berani bersumpah bahwa keluarganya telah menggunakannya beberapa generasi. Namun
bengkak tidak juga surut. Kakinya tampak seperti gumpalan tahu besar membengkak. dan
rasanya sudah seberat balok kayu.
Pengalaman itu menyebabkan ia berpikir. Tidak pernah dalam hidupnya ia terbaring tiga
hari lamanya. Selain bisul yang pernah dipunyainya di kepala semasa kanak-kanak,
menurut ingatannya tak pernah ia sakit.
"Sakit adalah sejenis musuh yang paling jahat," demikian pikirnya. "Namun tak berdaya
aku dalam genggamannya." Sampai sekarang ia menduga musuh-musuhnya akan selalu datang
dari luar, maka kenyataan bahwa ia dibikin lumpuh oleh musuh dari dalam, baginya
sungguh baru dan memaksanya untuk berpikir.
"Tinggal berapa hari lagi tahun ini?" demikian ia bertanya-tanya. "Tak bisa aku hanya
tinggal di sini membuang-buang waktu!" Dalam keadaan terbaring dengan perasaan jengkel
itu, tulang-tulang rusuknya terasa seperti menekan jantungnya dan dadanya terasa
mengerut. ia tendang selimut dari kakinya yang bengkak. "Kalau menendang ini saja aku
tak dapat, bagaimana bisa aku mengalahkan seluruh Keluarga Yoshioka?"
Ia membayangkan akan menghimpit dan mencekik setan di dalam dirinya. Ia memaksa dirinya
duduk bersimpuh dalam gaya resmi. Sakit rasanya, sakit sekali. Hampir-hampir pingsan.
Ia menghadap jendela, tapi dengan menutup mata.
Cukup lama waktu berlalu, sebelum akhirnya warna merah pada wajahnya mulai berkurang
dan kepalanya mendingin sedikit. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah setan akan
menyerah pada kegigihannya yang pantang menyerah itu.
Ketika membuka mata, tampaklah di hadapannya hutan sekitar Biara Ise. Di seberang
pepohonan terlihat olehnya Gunung Mai, dan sedikit ke timur Gunung Asama. Menjulang di
atas pegunungan di antara kedua gunung itu tampak sebuah puncak yang menatap dengan
pandangan merendahkan kepada gunung-gunung di sekitarnya, dan menatap pula kepada
Musash dengan kurang ajarnya.
"Itu burung rajawali," pikir Musashi, tanpa mengetahui bahwa namanva memang Gunung
Rajawali. Penampilan puncak gunung yang congkak itu menyinggung perasaannya. Gayanya
yang sombong itu mengejeknya, hingga semangat juangnya sekali lagi tergelitik. Maka
terpikirlah olehnya Yagyu Sekishusai, pemain pedang tua yang mirip dengan puncak angkuh
ini. Lama-kelamaan mulai kelihatan olehnya bahwa puncak itu memang Sekishusai yang
sedang memandang kepadanya dan atas awan-awan, menertawakan kelemahan dan
kekerdilannya. Selagi memandang gunung itu, untuk sementara ia lupa akan kakinya, tapi segera kemudian
rasa nyeri mendesak kembali ke dalam kesadarannya. Sekiranya ia hantamkan kakinya ke
api bengkel pandai besi itu, pasti tak terasa sakit lagi, demikian pikirnya sedih.
Tanpa dikehendakinya, ia tarik kaki yang besar bulat itu dari bawah dirinya dan ia
tatap. Tak hendak ia menerima kenyataan bahwa kaki itu benar-benar sebagian dari
dirinya. Dengan suara keras ia panggil pesuruh. Ketika tidak cepat muncul, ia pukul tatami
dengan tinjunya. "Di mana saja semua orang ini?" pekiknya. "Aku mau pergi dari sini!
Mana rekening! Sediakan makanan-nasi gorengdan bawakan aku tiga pasang sandal jerami
yang berat!" Sebentar kemudian ia sudah ada di jalan, terpincang-pincang melewati lapangan pasar. Di
situlah tentunya dilahirkan prajurit terkenal Tairo no Tadakiyo, pahlawan "Cerita
Perang Hogen". Tapi sekarang sedikit saja yang mengingatkan orang bahwa tempat itu
tempat lahir para pahlawan. Sekarang rempat itu lebih mirip bordil terbuka yang
didereti warung-warung teh dan dikerumuni perempuan. Lebih banyak perempuan penggoda
berdiri di sepanjang jalan itu daripada pohon. Mereka memanggil-maggil orang lewat dan
mencekal lengan baju calon-calon korban yang lewat, sambil mencumbu, membujuk, dan
menggoda. Untuk sampai ke biara itu, Musashi betul-betul harus berjuang melintasi
mereka sambil merengut dan menghindari pandangan mereka yang tak sopan itu.
"Kenapa kakimu?"
"Apa mau saya obati?"
"Sini, biar saya gosoki!"
Mereka menarik-narik pakaiannya, mencengkeram tangannya, menggenggam tangannya.
"Lelaki tampan takkan sampai ke mana-mana dengan mengerutkan dahi macam itu!"
Musashi menjadi merah mukanya dan menghuyungkan diri dengan membuta. Sama sekali tak
bisa ia bertahan terhadap serangan macam itu, dan ia minta maaf pada sebagian dan
mereka, dan dengan sopan menyatakan menyesal pada yang lain. Semua itu hanya membikin
perempuan-perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh. Ketika seorang dari mereka mengatakan
bahwa Musashi "semungil anak macan tutul!", serangan tangan-tangan putih itu menjadi
gencar. Akhirnya ia tak peduli lagi dengan segala macam topeng harga diri, dan ia pun
lari, bahkan ia tak mau berhenti memungut topinya ketika topi itu terlepas dari
kepalanya. Maka suara-suara mengikik mengikutinya di antara pepohonan di luar kota itu.
Tidak mungkin bagi Musashi mengabaikan perempuan. Rangsangan yang ditimbulkan oleh
tangan-tangan yang mencakar-cakar itu lama baru bisa reda. Ingatan tentang bau bedak
putih yang tajam tentu saja sudah dapat membuat detak nadinya menggebu, dan usaha
mental macam apa pun darinya takkan dapat menenangkannya. Itu ancaman yang lebih besar
dibandingkan dengan musuh yang berdiri dengan pedang terhunus di hadapannya. Betulbetul ia tak tahu bagaimana mengatasinya. Belakangan, apabila tubuhnya menyala oleh
birahi, sepanjang malam ia gelisah. Bahkan Otsu yang polos itu pun kadang-kadang
menjadi khayalnya yang penuh nafsu.
Hari ini kakinya memaksanya melepaskan pikiran tentang perempuan, tapi melarikan diri
dari mereka dalam keadaan hampir tak dapat berjalan itu sama saja dengan menyeberangi
kancah logam cair panas. Setiap langkah yang diambilnya berarti tikaman derita di
kepala, yang berasal dari telapak kaki. Bibirnya memerah, tangannya jadi selengket
madu, dan bau rambutnya menyengat karena keringat. Mengangkat kaki yang luka itu saja
menghabiskan seluruh tenaga yang dapat ia kerahkan. Kadang-kadang ia merasa seolah
tubuhnya tiba-tiba akan pecah berantakan. Bukannya ia berkhayal. Ia sudah tahu ketika
meninggalkan rumah penginapan itu bahwa ini akan merupakan siksaan baginya, dan ia
bermaksud mengatasinya. Bagaimanapun ia sudah berhasil tetap mengendalikan diri,
walaupun tiap kali menyeret kaki sial itu ia mengutuk pelan.
Menyeberangi Sungai Isuzu dan memasuki pekarangan biara itu mendatangkan perubahan
suasana yang menyenangkan. Ia merasakan suasana suci dalam tumbuh-tumbuhan, pohonpohonan, bahkan juga dalam suara burung-burung. Apakah itu, pada hakikatnya, tak dapat
ia mengatakan, tapi ia ada di sana.
Ia rebah di akar sebatang pohon kriptomeria besar, sambil merintih pelan kesakitan dan
memegangi kaki dengan kedua tangannya. Lama ia duduk di sana tak bergerak-gerak,
seperti batu karang. Tubuhnya menyala demam, sekalipun kulitnya tersengat oleh angin
dingin. Kenapakah ia tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan melarikan diri dari rumah
penginapan itu" Orang normal mana pun akan tetap tinggal di sana tenang-tenang, sampai
kakinya terobati. Apakah itu tidak kekanak-kanakan. bahkan bodoh, bahwa seorang dewasa
membiarkan dirinya dikuasai ketidaksabaran"
Namun bukan ketidaksabaran itu semata-mata yang menggerakkannya. Yang menggerakkannya
adalah kebutuhan spiritual, dan kebutuhan yang sangat dalam. Kendati dilanda nyeri dan
derita fisik, semangat Musashi pekat dan berdetak penuh daya hidup. Ia angkatkan
kepala, dan dengan mata nyalang ia pandang kehampaan di sekitarnya.
Lewat rintihan pohon-pohon besar yang suram dan tak henti-hentinya terdengar di hutan
suci itu telinga Musashi menangkap bunyi lain. Tidak berapa jauh, entah di mana,
seruling dan buluh menyuarakan musik kuno, musik persembahan bagi para dewa, sementara
suara anak-anak yang halus menvanyikan doa suci. Tertarik oleh bunyi damai ini Musashi
mencoba berdiri. Sambil menggigit bibir ia memaksakan diri berdiri, walau tubuhnya yang
enggan itu menolak setiap gerak. Sesudah mencapai dinding tanah gedung biara, diraihnya
dinding itu dengan kedua tangan dan berusaha merayap dengan gerakan kepiting yang kaku.
Musik itu berasal dari bangunan yang agak lebih jauh letaknya. Seberkas cahaya bersinar
lewat jendelanya yang berkisi-kisi. Wisma Para Perawan ini dihuni gadis-gadis muda yang
mengabdi kepada dewa-dewa. Di sini mereka berlatih memainkan alat-alat musik kuno dan
belajar menarikan tari-tarian suci yang diciptakan berabad-abad sebelumnya.
Musashi mendekati pintu belakang bangunan itu. Ia berhenti dan memandang ke dalam, tapi
tak melihat seorang pun. Merasa lega karena tidak harus memberikan keterangan tentang
dirinya, ia melepaskan pedang dan bungkusan dari punggungnya. Semua itu diikat bersama
dan digantungkannya pada sangkutan di dinding dalam. Dalam keadaan tanpa beban itu ia
letakkan kedua tangannya di pinggul dan ia berjalan terpincang-pincang kembali ke
Sungai Isuzu. Kira-kira sejam kemudian, bertelanjang bulat, ia pecahkan es di permukaan sungai dan ia
ceburkan dirinya ke air dingin itu. Di sana ia diam, berkecipak, dan membasuh badan,
mencelupkan kepala dan memurnikan diri. Untung tak seorang pun ada di sekitar. Pendeta
yang lewat bisa-bisa menduga ia sudah gila dan mengusirnya.
Menurut legenda Ise, seorang pemanah bernama Nikki Yoshinaga dahulu kala menyerang dan
menduduki sebagian wilayah Biara Ise. Merasa sudah mantap, ia memancing di Sungai Isuzu
yang suci dan menggunakan burung elang pemburu untuk menangkap burung-burung kecil di
hutan suci itu. Karena melakukan penjarahan yang melanggar kesucian ini, demikian kata
legenda itu, ia menjadi gila sama sekali. Musashi yang berbuat seperti orang itu dapat
dengan mudah dikira hantu orang gila itu.
Ketika akhirnya ia melompat ke atas batu, ia dapat melakukan lompatan itu dengan
ringannya, seperti seekor burung kecil. Sementara ia mengeringkan diri dan mengenakan
pakaian, helai rambut di sepanjang dahinya kaku menjadi kerat-kerat es.
Bagi Musashi, mencemplungkan diri ke sungai suci itu penting. Kalau tubuhnya tak dapat
menahan dingin, bagaimana mungkin ia bertahan terhadap halangan-halangan yang lebih
mengancam hidup" Dan pada saat ini persoalannya bukanlah kemungkinan masa depan yang
abstrak, melainkan kemungkinan menghadapi Yoshioka Seijuro yang sangat nyata, beserta
seluruh pengikutnya. Mereka akan mengerahkan setiap daya yang ada pada mereka
terhadapnya. Mereka harus berbuat demikian untuk menyelamatkan muka. Mereka tahu bahwa
mereka tak punya pilihan lain kecual membunuhnya, dan Musashi tahu bahwa untuk
menyelamatkan nyawanya ia harus menggunakan muslihat.
Menghadapi kemungkinan seperti ini, samurai pada umumnya pasti akan bicara tentang
"berkelahi dengan segala tenaga" atau "siap menghadapi maut", tapi menurut jalan
pikiran Musashi semua itu omong kosong belaka. Memenangkan perkelahian hidup atau mati
dengan segala kekuatan tidaklah lebih dari naluri binatang. Lagi pula, walau tidak
kehilangan keseimbangan menghadapi mati merupakan keadaan mental yang tinggi tarafnya,
sesungguhnya tidaklah begitu sukar menghadapi maut, kalau ia sudah tahu bahwa la harus
mati. Musashi tidak takut mati, tapi tujuannya memang mutlak, bukan sekadar hidup, dan ia
mencoba membangun keyakinan untuk berbuat demikian. Biarlah orang lain gugur secara
heroik, kalau itu cocok buat mereka. Musashi hanya mau membereskan pertempuran dengan
kemenangan heroik. Kyoto tidak jauh, tidak lebih dari tujuh puluh atau delapan puluh mil. Kalau ia dapat
menjaga langkah, ia bisa sampai di sana dalam tiga hari. Namun waktu yang dibutuhkan
untuk mempersiapkan diri secara spiritual tidaklah dapat ditakar. Apakah secara mental
ia sudah siap" Apakah pikiran dan semangatnya sudah benar-benar satu"
Musashi belum dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini secara positif.
Ia merasa bahwa jauh di dalam dirinya terdapat kelemahan, yaitu karena ia tahu dirinya
belum matang. ia sadar, dan itu mengecewakannya, bahwa ia belum mencapai taraf pikiran
seorang guru sejati, bahwa ia masih jauh dari seorang manusia yang lengkap dan
sempurna. Apabila ia membandingkan dirinya dengan Nikkan atau Sekishusai atau Takuan,
tak dapat ia mengelak dari kebenaran sederhana ini: ia masih hijau! Analisis yang
dilakukannya sendiri atas kemampuan dan sifat-sifat dirinya tidak hanya mengungkapkan
kelemahan di beberapa bidang, melainkan juga kekurangan dalam bidang-bidang lain.
Tubuhnya bergetar ketika ia memekik, "Aku harus menang, aku harus menang!" Sambil
berjalan terpincang-pincang memudiki Sungai Isuzu, ia memekik lagi agar semua pohon di
hutan suci itu mendengar, "Aku harus menang!" Ia melintasi air terjun yang tenang dan
beku, dan seperti manusia primitif ia merangkak ke atas batu-batu besar dan bersusah
payah menerobos semak-semak rimbun di ngarai yang dalam, yang sebelumnya tak banyak
ditempuh orang. Wajahnya semerah wajah setan. Hanya dengan mengerahkan segala tenaga, baru ia dapat
maju selangkah, itu pun dengan bergayut pada batu dan tumbuhan menjalar.
Di seberang tempat bernama Ichinose terdapat jurang yang panjangnya lima atau enam
ratus meter, penuh dengan tebing terjal dan riam, hingga ikan forsel pun tak dapat
melintasinya. Di ujungnya menjulang tebing yang hampir terjal. Orang bilang hanya
monyet dan peri dapat memanjatnva.
Musashi memandang batu karang itu, dan katanya tanpa khayal, "Ini dia jalan ke Gunung
Rajawali." Ia gembira melihat tak ada rintangan tak tertembus di sini. Berpegangan pada tumbuhan
menjalar yang kuat, ia mulai mendaki permukaan batu karang, setengah memanjat setengah
berayun, seolah disangga oleh suatu gaya berat terbalik.
Sesampainya di puncak karang meledaklah pekik kemenangan darinya. Dari sana terlihat
olehnya aliran sungai yang putih dan pesisir perak sepanjang pantai Futamigaura. Dan di
hadapannya, di seberang belukar jarang yang berselimut kabut malam, tampak olehnva kaki
Gunung Rajawali. Gunung itu Sekishusai. Dulu ia tertawa ketika Musashi terbaring di tempat tidur, dan
kini puncaknya melanjutkan ejekan itu. Maka semangat Musashi yang tak kenal menyerah
betul-betul tersengat oleh keunggulan Sekishusai. Serangan itu menindasnya, menyeretnya
mundur. Berangsur-angsur terbentuklah tujuan dalam dirinya: mendaki sampai puncak dan
melampiaskan dendam, menginjak-injak seenaknya kepala Sekishusai, untuk menunjukkan
kepadanya bahwa Musashi dapat dan harus menang.
Majulah ia menentang perlawanan rumput liar, pohon, es"musuh-musuh yang mencoba matimatian menyeretnya mundur. Setiap langkah, setiap napas, merupakan tantangan. Darahnya
yang belum lama ini kedinginan kini mendidih dan tubuhnya mengepul ketika keringat yang
keluar dari pori-porinya berjumpa dengan udara dingin. Musashi memeluk permukaan puncak
yang merah warnanya itu sambil mencari-cari pijakan kaki. Setiap kali ia merasa sudah
ada pijakan itu, batu-batu kecil menghujan, menimpa belukar di bawah. Seratus kaki, dua
ratus, tiga ratus"ia kini di tengah awan-awan. Apabila awan-awan itu bersibak, dari
bawah ia tampak seperti tergantung di awang-awang tanpa berat. Puncak gunung menatap
dingin kepadanya. Kini, setelah dekat ke puncak tertinggi, ia pegang teguh hidupnya tercinta. Satu saja
gerakan keliru akan membuatnya melayang ke riam karang dan batu-batu besar. Napasnya
terengah-engah, mendesir-desir, bahkan ia melahap udara dengan pori-porinya. Demikian
pekat tegangan yang dialaminya, hingga jantungnya serasa akan naik dan meledak dari
mulutnya. la hanya dapat memanjat beberapa kaki, lalu berhenti, beberapa kaki, lalu
berhenti lagi. Seluruh dunia terhampar di bawahnya: hutan besar yang memagari tempat suci, jalur p
utih yang tentunya sungai, Gunung Asama, Gunung Mae, kampung nelayan Toba, dan lautan
terbuka luas. "Hampir sampai," pikirnya. "Sedikit lagi!"
"Sedikit lagi." Alangkah mudah dikatakan, tapi alangkah sukar dicapai! Karena "sedikit
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi" itulah yang membedakan pedang kemenangan dengan pedang yang kalah.
Karena bau keringat, ia mulai samar-samar merasa sedang bersarang di dada ibunya.
Permukaan gunung yang kasar mulai terasa seperti kulit ibunya, dan ia jadi ingin sekali
tidur. Tapi justru pada waktu itu sebutir batu di bawah ibu jari kakinya terlepas dan
membuatnya sadar kembali. Ia mencari-cari pijakan lain.
"Ini dia! Hampir sampai!" Dengan kaki-tangan kejang dan sakit, kembali ia mencakar
gunung itu. Kalau tubuh dan daya kemauannya melemah, demikian dikatakannya kepada
dirinya, maka sebagai pemain pedang pasti pada suatu hari ia akan terbunuh. Di sinilah
pertandingan akan ditentukan, dan Musashi tahu itu.
"Ini untukmu, Sekishusai! Untukmu, bajingan!" Dengan segala daya yang ada padanya ia
kutuki raksasa-raksasa yang dihormatinya, para superman yang telah menyebabkannya
datang kemari, para superman yang harus dan akan ditaklukkannya. "Satu untukmu, Nikkan!
Dan untukmu, Takuan!"
Ia panjati kepala berhala-berhala itu, ia injak-injak dan ia tunjukkan pada mereka
siapa yang terbaik di antara mereka. ia dan gunung itu kini satu, tapi seolah-olah
heran melihat mahluk ini mencakarnya, gunung itu menggertak dan meludahkan longsoran
batu kerikil dan pasir. Napas Musashi terhenti, seakan seseorang menepukkan tangan ke
mukanya. Sementara ia bergayut pada batu karang itu, angin berembus, mengancam
meniupnya bersama batu karang dan segalanya.
Kemudian tiba-tiba ia sudah tengkurap, matanya terpejam tak berani bergerak. Tapi dalam
hatinya ia menyanyikan lagu kegembiraan meluap. Dan setelah meluruskan badan, ia
memandang ke segala jurusan, dan cahaya fajar tiba-tiba tampak di tengah lautan awan
putih di bawahnya. "Berhasil! Aku menang!"
Begitu ia sadar telah mencapai puncak, begitu daya kemauannya yang sudah menegang itu
mendetak seperti tali busur. Angin di puncak tertinggi menghujani punggungnya dengan
pasir dan batu. Di sinilah, di perbatasan antara langit dan bumi, Musashi merasa bahwa
kegembiraan yang tak terlukiskan membengkak memenuhi seluruh dirinya. Tubuhnya yang
basah kuyup oleh keringat kini tersatukan dengan permukaan gunung. Semangat manusia dan
gunung kini sedang melaksanakan karya cipta yang agung di keluasan alam tak terbatas di
waktu fajar. Dan dalam selimut kegembiraan meluap yang surgawi itu, tidurlah ia dengan
damai. Ketika akhirnya ia mengangkat kepala, pikirannya pun semurni dan sejernih kristal.
Mendadak ia ingin melompat dan melejit ke sana kemari seperti ikan mino di sungai.
"Tak ada apa pun lagi di atasku!" teriaknya. "Aku sekarang berdiri di atas kepala
rajawali!" Matahari pagi yang baru muncul menyinarkan cahaya kemerahan kepadanya dan kepada gunung
itu, sementara ia merentangkan tangannya yang berotot dan liar ke langit. Ia pandang
kakinya yang terhujam teguh ke puncak tertinggi, dan waktu itu tampak olehnya seolah
seember penuh nanah kekuningan merembes dari kakinya yang cedera. Di tengah kemurnian
angkasa yang mengitarinya, membubunglah napas kemanusiaan"napas manis kegelapan yang
telah terhalau. *** 27. Ngengat di Musim Dingin
TIAP hari, sesudah menyelesaikan kewajiban di biara, para gadis yang hidup di Wisma
Perawan dengan buku di tangan pergi ke ruang belajar di rumah Arakida. Disana mereka
belajar tata bahasa dan berlatih menulis sajak. Untuk menarikan tari-tarian keagamaan,
mereka mengenakan kimono sutra putih dengan celana bertepi lebar merah tua yang disebut
hakama. Tapi sekarang mereka berkimono lengan pendek dan berhakama katun putih, yang
biasa mereka kenakan pada waktu belajar atau melakukan pekerjaan rumah tangga.
Sekelompok gadis menghambur keluar dari pintu belakang, dan tiba-tiba seorang di
antaranya berseru, "Apa itu?" dan menuding bungkusan serta pedang yang terikat di sana,
yang pada malam sebelumnya digantungkan Musashi.
"Punya siapa itu menurutmu?"
"Mestinya punya samurai."
"Sudah pasti." "Tidak, bisa juga pencuri yang meninggalkannya di sini."
Mereka berpandangan dan menahan napas, seakan-akan menemukan begal itu sendiri yang
berikat kepala kulit dan sedang tidur slang. "Barangkali kita mesti memberitahu Otsu,"
saran seorang di antaranya, dan dengan persetujuan bersama mereka berlari kembali ke
asrama dan berseru dari bawah susuran tangga di luar kamar Otsu.
"Sensei! Sensei! Ada yang aneh di bawah sini. Coba lihat sini!"
Otsu meletakkan kuas tulisnya di meja dan menjulurkan kepala ke luar jendela. "Ada
apa?" tanyanya. "Ada pencuri meninggalkan pedang dan bungkusan. Keduanya di sana, tergantung di dinding
belakang." "Ha" Lebih baik itu kalian bawa ke rumah Arakida."
"Ah, jangan! Kami takut memegangnya."
"Itu namanya ribut tak keruan saja. Ayo belajar sana, dan jangan buang buang waktu
lagi." Begitu Otsu turun dari kamarnya, gadis-gadis itu sudah pergi. Yang tinggal di asrama
itu hanyalah perempuan tua juru masak dan seorang gadis yang sakit. "Barang-barang
siapa yang tergantung di sini ini?" tanya Otsu kepada juru masak.
Juru masak tentu saja tidak tahu.
"Biar kubawa ke rumah Arakida," kata Otsu. Ketika ia turun membawa bungkusan dan pedang
itu, hampir saja barang-barang itu terjatuh karena beratnya. Mengangkat barang itu ia
merasa heran, bagaimana kaum pria biasa berjalan membawa beban seberat itu.
Otsu dan Jotaro datang ke tempat itu dua bulan sebelumnya, sesudah mondar-mandir di
Jalan Iga, Omi, dan Mino mencari Musashi. Sesampai di Ise, mereka putuskan untuk
menetap selama menanti musim dingin, karena akan sukar berjalan menerobos pegunungan
selagi ada salju. Semula Otsu memberikan pelajaran suling di daerah Toba, tapi kemudian
ia menarik minat kepala Keluarga Arakida, yang sebagai pemimpin upacara resmi menduduki
tempat kedua sesudah pendeta kepala.
Ketika Arakida meminta Otsu datang ke biara untuk mengajar gadis-gadis itu, ia pun
menerima, bukan karena ingin mengajar, melainkan karena berminat mempelajari musik
kuno, musik suci. Juga, kedamaian hutan tempat suci itu telah mengimbaunya; dan lagi ia
ingin tinggal beberapa waktu lamanya bersama gadis-gadis di tempat suci itu, yang
umurnya sekurang-kurangnya tiga betas atau empat betas tahun, dan sebanyak-banyaknya
sekitar dua puluh. Jotaro sebetulnya menjadi penghalang Otsu menerima jabatan itu, karena ada larangan
menerima lelaki tinggal di asrama anak-anak perempuan, sekalipun umurnya masih muda.
Akhirnya keputusan yang mereka ambil adalah, slang hari Jotaro menyapu pekarangan suci
dan malam hari menginap di gudang kayu Keluarga Arakida.
Ketika Otsu melintasi halaman biara, angin yang menakutkan dan lain dari biasanya
bersiul di antara pepohonan yang tak berdaun. Seberkas asap naik dari sebuah belukar di
kejauhan. Terpikir oleh Otsu , barangkali Jotaro di sana sedang menyapu pekarangan
dengan sapu bambunya. Ia berhenti dan tersenyum, ia merasa senang bahwa Jotaro yang
wataknya sukar diubah, hari-hari itu patuh sekali dan dengan penuh tanggung jawab
menyesuaikan diri dengan pekerjaan, justru pada umur ketika anak-anak lelaki hanya
senang bermain dan menyenang-nyenangkan diri.
Bunyi gemeretak keras yang didengarnya itu mirip bunyi cabang pohon yang patah. Bunyi
itu terdengar lagi, dan sambil mencengkeram barang bawaannya, Otsu berlari menyusuri
jalan setapak melintas belukar, panggilnya,
"Jotaro! Jo-o-ota-ro-o-o!"
"Ya-a-a?" terdengar jawaban gagah. Sebentar saja Otsu sudah mendengar langkah Jotaro.
Tapi ketika anak itu sudah berhenti di depannya, ia hanya mengatakan, "Oh, kakak ini
tadi." "Kupikir kau sedang kerja tadi," kata Otsu tajam. "Apa kerjamu dengan pedang kayu itu"
Dan pakai pakaian kerja putih lagi."
"Aku sedang latihan. Latihan dengan pohon-pohon."
"Tak ada orang yang keberatan dengan latihanmu, tapi bukan di sini Jotaro. Apa kau
sudah lupa, di mana kau sekarang" Halaman ini lambang kedamaian dan kemurnian. Ini
wilayah suci, suci buat dewi leluhur kita semua. Lihat ke sana itu, bahwa di sini
dilarang merusak pohon-pohonan, melukai, atau membunuh binatang" Memalukan kalau orang
yang bekerja di sini mematahkan cabang-cabang pohon dengan pedang kayu."
"Ah, sudah tahu aku semua itu," gerutu Jotaro dengan wajah jengkel.
"Kalau sudah tahu, kenapa kaulakukan" Kalau Pak Arakida menangkap basah kamu, pasti
kita mendapat kesulitan!"
"Menurutku, tak ada salahnya mematahkan dahan yang sudah mati. Tak ada salahnya kalau
memang sudah mati, kan?"
"Itu kalau tidak di sini!"
"Itu yang Kakak ketahui! Coba sekarang aku mau tanya."
"Tanya apa?" "Kalau kebun ini begitu penting, kenapa orang tidak merawatnya lebih baik?"
"Memang sayang sekali mereka tidak merawatnya baik-baik. Membiarkannya rusak seperti
ini sama saja dengan membiarkan rumput liar tumbuh dalam jiwa."
"Tidak begitu jelek kalau cuma rumput liar, tapi lihat pohon-pohon itu. Pohon-pohon
yang disambar petir itu dibiarkan saja mati, dan pohon-pohon yang dirobohkan badai
bergeletakan saja seperti waktu robohnya. Di mana-mana begitu. Burung-burung mematuki
atap bangunan sampai bocor. Dan tak ada orang memperbaiki lentera kalau rusak.
"Bagaimana bisa Kakak mengatakan tempat ini penting" Coba, apa puri di Osaka itu tidak
putih menyilaukan kalau kita lihat dari Samudra di Settsu" Apa Tokugawa Ieyasu tidak
membangun purl-puri yang lebih megah di Fushimi dan selusin tempat lain" Apa rumahrumah baru daimyo dan saudagar-saudagar kaya di Kyoto dan Osaka tidak mengilat karena
perhiasan emasnya" Apa ahli-ahli upacara teh Rikyu dan Kobori Enshu tidak mengatakan
bahwa secercah kotoran di halaman warung teh bisa merusak aroma teh"
"Kebun ini sedang runtuh. Coba, yang kerja di sini cuma aku dan tiga atau empat lelaki
tua! Padahal, coba lihat berapa luasnya?"
"Jotaro!" kata Otsu, memegang dagu Jotaro dan mengangkat wajahnya. "Yang kaukatakan itu
cuma jiplakan kuliah Pak Arakida."
"Oh, jadi Kakak mendengar kuliah itu juga?"
"Tentu saja," kata Otsu menyela.
"Wah, kalau begitu aku tak pernah bisa menang."
"Membeokan apa yang dikatakan Pak Arakida tak ada artinya buatku. Aku tak setuju dengan
cara itu, biarpun yang dikatakannya itu benar."
"Dia memang benar. Waktu aku mendengarkan dia bicara, aku jadi berpikir, apa Nobunaga,
Hideyoshi, dan Ieyasu itu betul-betul orang besar. Aku tahu mereka tentunya orang
penting, tapi apa indahnya menguasai negeri kalau menurut kita, kitalah satu-satunya
orang yang berarti."
"Tapi Nobunaga dan Hideyoshi itu tak seburuk orang-orang lain. Paling tidak, mereka
sudah memperbaiki istana kaisar di Kyoto dan mencoba mem-bahagiakan rakyat. Biarpun
seandainya mereka melakukan hal-hal itu hanya untuk membenarkan tindakannya sendiri
terhadap dirt sendiri dan orang-orang lain, mereka tetap patut mendapat pujian. Shogunshogun Ashikaga jauh lebih buruk."
"Bagaimana buruknya?"
"Kau pernah mendengar tentang Perang Onin, kan?" ,
"Hm." "Ke-shogun-an Ashikaga begitu tidak cakap, sampai terus-menerus terjadi perang. Para
prajurit selamanya saling perang untuk memperebutkan lebih banyak wilayah. Rakyat biasa
tidak mendapatkan kedamaian sedikit pun, dan tak seorang pun punya perhatian sungguhsungguh terhadap negeri secara keseluruhan."
"Maksud Kakak pertempuran yang terkenal antara Keluarga Yaman dan Kosokawa?"
"Ya.... Waktu itulah, lebih seratus tahun lalu, Arakida Ujitsune menjadi pendeta kepala
Tempat Suci Ise, dan uang tak cukup untuk melanjutkan upacara-upacara kuno dan ritusritus suci. Dua puluh tujuh kali Ujitsune mengajukan permohonan bantuan kepada
pemerintah untuk membetulkan bangunan-bangunan suci, tapi istana kaisar terlalu miskin,
ke-shogun-an terlalu lemah, dan para prajurit begitu sibuk dengan pertumpahan darah,
sampai mereka tak peduli dengan apa yang terjadi. Walaupun demikian, Ujitsune pergi
berkeliling juga memperjuangkan cita-citanya, sampai akhirnya berhasil mendirikan
tempat suci baru. "Ini cerita sedih, bukan" Tapi kalau kita pikirkan, waktu sudah dewasa orang suka lupa
bahwa mereka berutang sumber hidup kepada leluhurnya, sama seperti kita semua berutang
hidup kepada Dewi Ise."
Puas karena sudah mendapat pidato panjang berapi-api dari Otsu, Jotaro melompat ke
udara sambil tertawa dan bertepuk tangan. "Sekarang siapa yang membeo Pak Arakida"
Kakak pikir aku belum pernah mendengar itu sebelumnya, kan?"
"Anak bandel kau ini!" ujar Otsu sambil tertawa sendiri. Ingin sebetulnya ia menampar
Jotaro, tapi bungkusan yang dibawanya menghalanginya.
Maka sambil terus tersenyum ia tatap saja anak lelaki itu. Waktu itulah Jotaro melihat
bungkusan yang lain dari yang lain.
"Punya siapa itu?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
"Jangan sentuh! Tak tahu kita punya siapa ini."
"Ah, aku kan tak akan bikin rusak! Aku cuma mau lihat. Berani sumpah, ini mesti berat.
Pedang panjang ini besar sekali, ya?" Dan air liur Jotaro mengucur.
"Sensei" Seorang di antara gadis tempat suci datang berlari-lari, berdetap-detap bunyi
sandal jeraminya. "Pak Arakida memanggil Sensei." Hampir tanpa berhenti, gadis itu
memutar badan dan berlari kembali.
Jotaro menoleh ke sekitar dengan terheran-heran. Matahari musim dingin bersinar melalui
pohon-pohon, dan ranting-ranting berayun-ayun seperti ombak kecil. Mata Jotaro
memandang seolah melihat hantu di antara bercak-bercak cahaya matahari.
"Ada apa?" tanya Otsu. "Apa yang kamu perhatikan?"
"Ah, tak apa-apa," jawab anak itu kesal sambil menggigit jari telunjuknya. "Waktu gadis
itu memanggil 'guru', sesaat kupikir yang dia maksud guruku."
Otsu tiba-tiba merasa sedih dan sedikit kesal. Walaupun pernyataan Jotaro itu diucapkan
dengan penuh kepolosan, kenapa pula ia menyinggung Musashi"
Sekalipun sudah mendapat nasihat Takuan, ia tak pernah bisa mengusir rasa rindu kepada
Musashi dari hatinya. Takuan orang yang begitu tanpa perasaan. Dalam hal tertentu, Otsu
kasihan pada biarawan itu dan pada ketidaktahuannya akan makna cinta.
Cinta itu seperti sakit gigi. Ketika Otsu sedang sibuk, perasaan cinta itu tidak
mengganggu, tapi apabila kenangan mendatanginya, ia tercengkam oleh keinginan yang amat
sangat untuk menyusuri jalan-jalan raya lagi, mencari dan menemukannya, meletakkan
kepala ke dadanya dan mengucurkan air mata bahagia.
Tanpa mengatakan sesuatu, ia berjalan. Di manakah dia" Dari segala kesedihan yang
mungkin merundung mahluk hidup, yang paling menggerek, paling celaka, dan yang paling
menyengsarakan pastilah tak adanya kemampuan untuk memandang orang yang dirindukan. Dan
dengan air mata meleleh di pipi ia berjalan terus.
Pedang berat dan perabot usang itu tak berarti apa-apa baginya. Bagaimana mungkin ia
memimpikan membawa barang-barang milik Musashi"
Karena merasa telah berbuat salah, Jotaro ikut saja dengan sedih, agak jauh di
belakang. Baru ketika Otsu membelok masuk gerbang rumah Arakida, ia berlari mendekati
Otsu, dan tanyanya, "Kakak marah, ya" Karena kata-kataku?"
"Oh, tidak, tak apa-apa."
"Maaf, Kak. Betul-betul aku minta maaf."
"Ini bukan salahmu. Aku cuma merasa sedikit sedih. Tapi jangan kuatir. Aku mau tahu,
apa yang dikehendaki Pak Arakida. Kembalilah kau bekerja."
Arakida Ujitomi menyebut tempat tinggalnya Wisma Belajar. Ia mengubah sebagian rumah
itu menjadi sekolah, tidak hanya untuk gadis-gadis biara, melainkan juga untuk empat
puluh atau lima puluh anak lain dari tiga daerah yang termasuk daerah Biara Ise. Ia
coba memberikan kepada orang-orang muda itu sejenis pendidikan yang sekarang tidak
terlalu populer: mempelajari sejarah Jepang Kuno yang di kota-kota besar dianggap tidak
relevan. Sejarah awal negeri ini berhubungan erat sekali dengan Biara Ise dan tanahtanahnya, padahal sekarang zaman orang banyak cenderung menganggap nasib bangsa ini
adalah nasib kelas prajurit, sehingga apa yang terjadi di masa lalu yang jauh itu tak
banyak berarti. Ujitomi berjuang seorang diri menanamkan benih-benih kebudayaan yang
lebih awal dan lebih tradisional di antara orang-orang muda daerah biara itu. Kalau
orang lain mungkin menyatakan bahwa daerah-daerah provinsi tak ada sangkut pautnya
dengan nasib bangsa, Ujitomi memiliki pandangan lain. Kalau ia dapat mengajar anak-anak
setempat mengenai masa lalu, maka menurut pikirannya barangkali semangat masa lampau
itu pada suatu hari akan tumbuh subur seperti pohon besar di hutan suci.
Dengan penuh keuletan dan pengabdian, tiap hari ia bicara pada anakanak itu tentang
karya-karya klasik Tionghoa dan Catatan Tentang Hal-hal Kuno, sejarah tentang Jepang.
Ia berharap anak-anak didiknya akhirnya akan menghargai buku-buku itu. Ia melakukan hal
tersebut lebih dari sepuluh tahun lamanya. Menurutnya, Hideyoshi boleh memegang kendali
negeri dan menyatakan diri dengan wali, Tokugawa Ieyasu boleh menjadi shogun "penakluk
orang barbar" yang mahakuasa, tapi seperti halnya orangtuanya, anak-anak muda tidak
boleh salah membedakan bintang keberuntungan seorang pahlawan militer dengan matahari
yang indah. Kalau ia bekerja keras dengan sabar, orang-orang muda nantinya akan
mengerti bahwa Dewi Matahari yang agunglah yang menjadi lambang cita-cita bangsa, bukan
prajurit diktator yang tak tahu adat.
Arakida keluar dari ruang belajarnya yang luas dengan wajah sedikit berkeringat. Ketika
anak-anak sudah menghambur keluar seperti kawanan lebah dan melejit cepat ke rumah
masing-masing, seorang gadis biara menyampaikan kepadanya bahwa Otsu sedang menanti.
Sedikit bingung, Arakida berkata, "Betul. Aku kan memanggil tadi. Sudah lupa sama
sekali. Di mana dia?"
Otsu berada di luar. Sudah beberapa waktu ia berdiri di situ, mendengarkan pelajaran
Arakida. "Saya di sini," serunya. "Bapak memanggil saya?"
"Saya minta maaf terpaksa membiarkan engkau menunggu. Silakan masuk."
Ia mengantar Otsu masuk kamar belajar pribadinya, tapi sebelum duduk ia menuding
barang-barang yang dibawa Otsu dan bertanya apakah itu. Otsu menjelaskan bagaimana ia
sampai mendapat barng-barang itu. Arakida melirik, dan kemudian dengan curiga
memperhatikan kedua pedang itu. "Pemuda biasa takkan datang kemari membawa barangbarang seperti itu," katanya. "Dan malam kemarin barang itu belum ada di sana. Tengah
malam tentunya orang datang masuk pekarangan."
Kemudian dengan wajah tak senang ia menggerutu, "Ini barangkali kelakar samurai. Aku
tak suka."
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh" Apa menurut pendapat Bapak seorang lelaki telah masuk Wisma Perawan?"
"Ya, tentu. Dan justru itu yang ingin kukemukakan padamu."
"Apa ini ada hubungannya dengan saya?"
"Nah, aku tak ingin engkau tersinggung tentang ini, tapi soalnya begini. Seorang
samurai menegurku karena memasukkan engkau ke asrama perawan"perawan suci. Dia bilang,
untuk kebaikanku sendiri, dia memperingatkan diriku."
"Apa saya sudah melakukan sesuatu yang berakibat buruk pada Bapak?"
"Tak ada yang mengecewakanku. Cuma inilah... yah, kau tahu sendiri bagaimana omongan
orang. Sekarang kau jangan marah, biar bagaimana, kau memang bukan lagi benar-benar
perawan. Kau sudah ke sana kemari dengan lelaki, dan orang mengatakan menyimpan
perempuan yang bukan perawan bersama-sama gadis-gadis di Wisma Perawan itu bisa menodai
tempat suci." Sekalipun nada bicara Arakida biasa saja, namun air mata marah membanjiri
mata Otsu. Benar ia banyak mengadakan perjalanan ke mana-mana, benar ia terbiasa
menjumpai orang banyak, benar ia mengembara dalam hidup ini membawa serta cinta
lamanya; karena itu barangkali sudah sewajarnya orang menganggapnya perempuan duniawi.
Namun sungguh merupakan pengalaman meremukkan hati dituduh tidak suci, padahal
kenyataannya ia masih suci.
Arakida rupanya tidak terlalu mementingkan soal itu. Ia cuma terganggu bahwa orang
membicarakan yang bukan-bukan, dan karena waktu itu akhir tahun "dan lain sebagainya
itu", demikianlah dikatakannya, maka ia bertanya apakah Otsu berkenan menghentikan
pelajaran suling itu dengan meninggalkan Wisma Perawan.
Otsu cepat menyetujui, bukan sebagai pengakuan kesalahan, melainkan karena ia memang
tak punya rencana tinggal terus di situ dan tak ingin menimbulkan kesulitan, terutama
bagi Pak Arakida. Sekalipun ia benci kebohongan desas-desus itu, ia cepat mengucapkan
terima kasih atas kebaikan Arakida selama ia tinggal di sana, dan menyatakan bahwa ia
akan pergi hari itu juga.
"Oh, tak perlu secepat itu sebetulnya," Arakida berusaha meyakinkan Otsu, sambil
menjangkau rak buku kecil dan mengeluarkan sejumlah uang yang dibungkus kertas.
Jotaro yang tadi mengikuti Otsu memilih saat itu untuk menjengukkan kepalanya dari
beranda, dan bisiknya, "Kalau Kakak pergi, aku ikut. Kebetulan aku sudah jemu menyapu
kebun tua mereka ini."
"Ini ada hadiah kecil," kata Arakida. "Tak banyak, tapi terimalah, dan gunakanlah untuk
perjalanan." Ia mengulurkan bungkusan yang berisi beberapa keping mata uang emas.
Otsu menolak menyentuhnya. Dengan wajah terkejut ia menyatakan pada Arakida bahwa ia
tak pantas mendapat bayaran, hanya karena memberikan pelajaran suling kepada anak-anak
gadis itu. Yang lebih tepat, dialah yang mesti membayar untuk makanan dan
penginapannya. "Tidak," jawab Arakida. "Tak mungkin aku menerima uang darimu, tapi aku ingin minta
pertolonganmu, kalau kebetulan engkau pergi ke Kyoto. Jadi, bolehlah engkau menganggap
uang ini sebagai bayaran atas jasamu."
"Dengan senang hati saya melakukan permintaan Bapak itu, tapi kebaikan Bapak sendiri
sudah merupakan bayaran buat saya."
Arakida menoleh kepada Jotaro, katanya, "Bagaimana kalau uang ini kuberikan saja pada
anak ini" Dia dapat membelikan apa-apa buat kalian berdua di perjalanan."
"Terima kasih," kata Jotaro yang cepat mengulurkan tangannya untuk menerima bungkusan
itu. Tapi sesudah berpikir lagi ia memandang Otsu, katanya, "Boleh, kan?"
Karena sudah dipojokkan, Otsu akhirnya menyetujui dan mengucapkan terima kasih kepada
Arakida. "Pertolongan yang kuminta padamu," kata Arakida, "adalah menyampaikan bingkisan kepada
Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro yang tinggal di Horikawa, Kyoto," Sambil berkata
demikian, ia mengambil dua gulungan dari rak yang sudah goyang di dinding. "Yang
Dipertuan Karasumaru minta padaku dua tahun lalu untuk melukis ini. Akhirnya lukisanlukisan ini selesai. Beliau ada rencana menulis komentar yang cocok dengan lukisan ini
dan menghadiahkannya pada Kaisar. Itu sebabnya aku tak ingin mempercayakan-nya kepada
pembawa surat biasa atau orang istana. Apa engkau bersedia membawanya dan menjaga
supaya lukisan-lukisan ini tak kena air atau minyak di jalan?"
Ini tugas yang tak terduga-duga pentingnya, dan semula Otsu ragu-ragu menerimanya. Tapi
kurang pantas kalau ia menolaknya, dan sejenak kemudian ia menyatakan setuju. Kemudian
Arakida mengeluarkan kotak dan kertas minyak, tapi sebelum membungkus dan memeterai
gulungan itu, katanya, "Tapi barangkali ada baiknya kutunjukkan dulu padamu lukisan
ini." Ia duduk dan mulai membuka lukisan itu di lantai di hadapannya. Ia kelihatan
bangga akan karyanya, dan ia sendiri ingin melayangkan pandangan terakhir sebelum
berpisah dengan karya itu.
Otsu tersengal melihat keindahan gulungan itu, sedangkan mata Jotaro melebar ketika ia
membungkuk memperhatikannya lebih saksama. Karena komentar untuk lukisan itu belum lagi
ditulis, mereka tidak mengetahui cerita apa yang dilukiskan di situ, tapi ketika
Arakida membuka gulungan itu adegan demi adegan, mereka saksikan di hadapan mereka
gambaran kehidupan istana kekaisaran kuno dalam coretan kasar dan warna-warna indah
serta sentuhan-sentuhan bubuk emas. Lukisan itu dibuat dengan Gaya Tosa dan bersumber
pada seni Jepang klasik. Walaupun Jotaro tak pernah mendapat pelajaran seni, terpukau juga ia oleh apa yang
dilihatnya. "Lihat apinya itu," ujarnya. "Kelihatan seperti menyala betulan, ya?"
"Jangan sentuh," tegur Otsu. "Lihat saja."
Selagi mereka menatapkan mata dengan penuh kekaguman, seorang pesuruh masuk, siap
menyampaikan sesuatu kepada Arakida dengan suara pelan sekali; Arakida mengangguk, dan
jawabnya, "Ya-ya.... Kukira boleh. Tapi sebaiknya suruh orang itu membuat surat tanda
terima." Dan ia menyerahkan bungkusan dan dua bilah pedang yang tadi dibawa Otsu.
Mendengar guru suling mereka akan pergi, gadis-gadis Wisma Perawan pun jadi sedih.
Selama dua bulan Otsu tinggal bersama mereka, mereka telah menganggapnya sebagai kakak
sendiri, karena itu mereka tampak murung ketika berkumpul mengerumuni Otsu.
"Apa betul?" "Sensei betul akan pergi?"
"Sensei takkan kembali lagi?"
Dari seberang asrama, Jotaro berteriak, "Aku sudah siap. Apa lagi yang ditunggu?" Ia
sudah menanggalkan jubah putih dan kembali mengenakan kimono pendek yang biasa, dengan
pedang kayu di pinggang. Kotak yang terbungkus kain berisi gulungan disandang melintang
di punggung. Dari jendela, Otsu balas berteriak, "Ah, cepat sekali!"
"Aku selalu cepat!" jawab Jotaro pedas. "Belum juga Kakak siap" Kenapa ya, perempuan
begitu lama kalau berpakaian dan berkemas?" Waktu itu ia berjemur di pekarangan sambil
menguap. Tapi memang dasar tidak sabaran, sebentar kemudian ia sudah bosan. "Apa belum
juga siap?" serunya lagi.
"Sebentar gadis itu menghibur Sementara itu tidak lagi slap," jawab Otsu. Sebetulnya ia sudah selesai berkemas, tapi gadistak hendak melepaskannya. Dalam usahanya meloloskan diri, ia berkata
gadis-gadis itu, "Tak usah sedih. Saya akan datang berkunjung hari-hari ini.
itu, jaga diri kalian baik-baik." Tak enak juga ia bahwa yang dikatakannya
benar, karena melihat keadaannya kecil kemungkinannya ia akan kembali lagi.
Barangkali gadis-gadis itu pun menerkanya demikian. Beberapa di antara mereka menangis.
Akhirnya seorang dari mereka mengusulkan agar mereka semua mengantar Otsu sampai
jembatan suci di seberang Sungai Isuzu. Mereka mengerumuninya dan mengantarnya ke luar.
Di sana Jotaro tidak segera tampak, karena itu mereka corongkan tangan di mulut dan
mereka panggil namanya, namun tak ada jawaban. Otsu sudah hafal dengan cara-cara
Jotaro; tanpa perasaan kuatir ia berkata, "Barangkali dia capek menunggu, dan dia jalan
duluan." "Anak brengsek!" ucap seorang gadis.
Seorang lagi tiba-tiba memandang Otsu, dan tanyanya, "Apa dia anak Sensei?"
"Anakku" Bagaimana kamu bisa berpikir begitu" Tahun depan aku belum lagi dua puluh
satu. Apa tampangku begitu tua dan pantas punya anak sebesar itu?"
"Tidak, tapi ada yang bilang, dia anak Sensei."
Ingat akan percakapannya dengan Arakida, wajah Otsu memerah, tapi kemudian ia menghibur
diri dengan pendapat bahwa yang dikatakan orang lain tak berarti, selama Musashi setia
kepadanya. Pada waktu itu Jotaro datang berlari-lari mendapatkan mereka. "Hei, ada apa sih
sebetulnya?" katanya memberengut. "Tadi Kakak suruh aku menunggu berabad-abad, tapi
sekarang Kakak berangkat tanpa aku!"
"Tapi tadi kamu tak ada di tempat!" ujar Otsu.
"Tapi mestinya Kakak bisa mencariku, kan" Tadi kulihat di jalan raya Toba sana itu ada
orang yang mirip guruku. Aku lari buat melihatnya, apa betul dia."
"Orang yang seperti Musashi?"
"Ya, tapi ternyata bukan dia. Aku mendekati sampai barisan pohon itu dan melihat orang
itu baik-baik dari belakang, tapi tak mungkin orang itu Musashi, karena dia pincang."
Selamanya seperti itu saja, kalau Otsu dan Jotaro mengadakan perjalanan. Tak ada hari
tanpa menyaksikan cahaya harapan, yang disusul kekecewaan. Ke mana pun mereka pergi,
mereka melihat orang yang mengingatkan keduanya kepada Musashi-orang yang lewat
jendela, samurai di perahu yang baru saja berangkat, ronin yang menunggang kuda,
musafir yang samar-samar kelihatan dalam joli. Dengan harapan menjulang tinggi, mereka
mengejar untuk memastikannya, tapi akhirnya hanya saling pandang dengan sedih. Hal
seperti ini sering terjadi berlusin-lusin kali.
Karena itulah sekarang Otsu tidak sekesal biasanya, sekalipun Jotaro sendiri patah
hati. Sambil menertawakan kejadian itu, katanya, "Sayang sekali kau keliru, tapi jangan
lalu uring-uringan karena aku jalan dulu. Kupikir aku akan menjumpaimu di jembatan.
Tahu tidak, orang bilang, kalau kita memulai perjalanan dengan kesal, kita akan marah
terus sepanjang jalan. Nah, tenanglah sekarang."
Walaupun kelihatan puas, Jotaro masih juga melengos dan melontarkan pandangan kasar
kepada gadis-gadis yang berarak-arak di belakang.
"Apa saja kerja mereka ini di sini" Apa akan pergi dengan kita?"
"Tentu saja tidak. Mereka cuma sayang melihat aku pergi, jadi baik sekali mereka
mengawani kita sampai jembatan."
"Oh, betapa baiknya mereka," kata Jotaro, meniru gaya kata-kata Otsu. Tingkah Jotaro
membuat semuanya tertawa terpingkal-pingkal. Kini, sesudah Jotaro menggabungkan diri
dengan rombongan, kesedihan karena perpisahan menjadi surut, dan gadis-gadis itu pulih
kembali semangatnya. "Sensei," panggil seorang di antaranya, "keliru, itu bukan jalan ke jembatan."
"Aku tahu," kata Otsu tenang. Ia memang membelok ke Gerbang Tamagushi untuk menyatakan
hormat ke kuil pusat. Sambil menangkupkan tangan satu kali, ia menundukkan kepala ke
arah tempat suci itu dan beberapa saat lamanya mengambil sikap berdoa diam.
"Oh, begitu!" gumam Jotaro. "Dia pikir tak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ucapan
selamat berpisah kepada dewi." Ia puas melihat dari kejauhan, tapi gadis-gadis itu
menyodok punggungnya dan bertanya kepadanya kenapa ia tidak mencontoh yang dilakukan
Otsu. "Aku?" tanya anak itu tak percaya. "Aku tak ingin membungkuk pada tempat suci tua mana
pun." "Tak boleh kau bicara begitu. Kau bisa kena hukum suatu hari nanti."
"Tolol rasanya membungkuk macam itu."
"Apanya yang tolol, menunjukkan hormat kepada Dewi Matahari" Dia tak seperti dewa-dewa
kecil yang dipuja orang di kota-kota itu."
"Aku tak tahu!"
"Nah, kalau begitu kenapa kau tidak menyatakan hormat?"
"Sebab aku tak mau."
"Tidak percaya, ya?"
"Diam, kalian semua perempuan sinting!"
"Aduh, aduh!" seru gadis-gadis itu serentak, kaget oleh kekasaran Jotaro. "Jahat
sekali!" ujar salah seorang gadis.
Waktu itu Otsu sudah selesai sembahyang dan datang kembali ke dekat mereka. "Apa yang
terjadi?" tanyanya "Kalian kelihatan kesal."
Salah seorang gadis mengungkapkan, "Dia sebut kami perempuan sinting. cuma karena kami
menyuruhnya membungkuk kepada dewi."
"Kau tahu itu tidak baik, Jotaro," tegur Otsu. "Betul-betul kau mesti berdoa."
"Buat apa?" "Apa kau sendiri tak pernah cerita" Waktu Musashi akan dibunuh pendeta-pendeta dari
Hozoin itu kau mengangkat tanganmu dan berdoa sekeras-kerasnya! Kenapa di sini tak bisa
kamu berdoa?" "Tapi... mereka semua melihat."
"Baiklah, kami akan membalikkan badan, supaya tidak melihat kamu."
Mereka pun membelakanginya, tapi Otsu mencuri pandang kepadanya. Jotaro berlari ke arah
Gerbang Tamagushi. Sampai di sana ia menghadap tempat suci, dan dengan cara yang sangat
kekanak-kanakan ia membungkuk dalam-dalam secepat kilat.
*** 28. Kincir Mainan MUSASHI duduk di beranda sempit sebuah warung makanan laut yang menghadap ke laut.
Keistimewaan warung itu adalah siput laut yang dihidangkan mendidih bersama kerangnya.
Dua perempuan penyelam dengan keranjang berisi kerang sorban yang baru saja ditangkap
dan seorang tukang perahu berdiri dekat beranda. Tukang perahu itu menawarkan tamasya
perahu ke pulau-pulau lepas pantai, sedangkan kedua perempuan mencoba membujuknya
membeli siput laut. Musashi sedang sibuk menanggalkan perban bernanah dari kakinya. Sesudah menderita
demikian hebat akibat luka itu, hampir tak dapat ia percaya bahwa demam maupun
bengkaknya akhirnya lenyap. Kaki itu kembali pada ukuran semula. Sekalipun kulitnya
menjadi putih dan mengerut, sedikit saja ia merasa sakit.
Dengan lambaian tangan diusirnya tukang perahu dan penyelam, lalu ia menurunkan kakinya
yang rawan itu ke pasir dan berjalanlah ia ke pesisir untuk membasuhnya. Kembali di
beranda, ia nantikan gadis warung yang telah ia suruh membelikan kaus kulit dan sandal
baru. Waktu gadis itu kembali, dikenakannya keduanya, lalu ia mulai melangkah dengan
hati-hati. Jalannya masih sedikit pincang, tapi tak lagi seperti sebelumnya.
Orang tua yang memasak siput memandangnya. "Tukang tambangan menanyakan Tuan. Apa bukan
Tuan yang punya rencana menyeberang ke Ominato?"
"Ya. Saya kira ada perahu yang jalan teratur dari sini ke Tsu."
"Memang ada, dan ada juga perahu-perahu keYokkaichi dan Kuwana."
"Tinggal berapa hari lagi akhir tahun ini?"
Orang tua itu tertawa. "Sungguh iri saya pada Tuan," katanya. "Jelas Tuan tak punya
kewajiban bayar utang akhir tahun. Hari ini tanggal dua puluh empat."
"Betul" Saya kira sudah lebih kemudian."
"Senang sekali jadi orang muda!"
Musashi lari berderap ke pangkalan perahu tambang. Ingin sekali ia terus berlari, makin
lama makin jauh, dan makin lama makin cepat. Peralihan dari sakit menjadi sehat itu
meningkatkan semangatnya, tapi yang menjadikannya jauh lebih bahagia adalah pengalaman
spiritual yang telah didapatnya pagi itu.
Perahu tambang sudah penuh, tapi ia masih mendapat tempat. Di seberang teluk, di
Ominato, ia berpindah ke perahu yang lebih besar, yang menuju Owari. Layar-layar
menangkap angin, dan perahu meluncur di permukaan Teluk Ise yang seperti kaca itu.
Musashi berdiri berdesakan dengan penumpang-penumpang lain dan memandang tenang ke
seberang air di sebelah kiri-ke arah pasar lama, jalan raya Yamada, dan Matsuzaka.
Kalau ia pergi ke Matsuzaka, mungkin ia mendapat kesempatan bertemu dengan pemain
pedang Mikogami Tenzen yang luar biasa itu. Tapi tidak. terlalu cepat untuk itu. Dan
seperti direncanakannya, ia turun di Tsu.
Begitu meninggalkan perahu, ia perhatikan ada seorang lelaki berjalan di depannya,
membawa pentung pendek di pinggang. Pentung itu berlilit rantai dan di ujung rantai
terdapat peluru. Orang itu mengenakan juga pedang pendek bersarung kulit. Kelihatannya
umurnya empat puluh dua atau empat puluh tiga tahun. Wajahnya gelap seperti Musashi dan
bopeng-bopeng, sedangkan rambutnya yang kemerahan digelung ke belakang.
Kalau bukan karena anak lelaki yang mengikutinya, orang itu bisa disangka bromocorah.
Pipi anak itu hitam oleh jelaga dan ia membawa palu godam. Jelas ia magang pandai besi.
"Tunggu sebentar, Pak!"
"Ayolah jalan terus!"
"Palu saya ketinggalan di perahu."
"Ketinggalan alat yang jadi penghidupanmu, ya?"
"Akan saya ambil sekarang."
"Dan kukira itu bikin kamu bangga, ya" Lain kali, kalau kamu lupa lagi, kupecahkan
tengkorakmu." "Pak...," mohon anak itu.
"Diam!" "Apa tak bisa kita bermalam di Tsu?"
"Masih terang sekarang ini. Kita bisa sampai rumah sebelum malam tiba."
"Tapi ingin rasanya berhenti. Perjalanan begini harusnya dinikmati."
"Jangan omong kosong!"
Jalan masuk kota itu diapit barisan toko cindera mata dan penuh pencari pelanggan rumah
penginapan, seperti halnya kota-kota pelabuhan lain. Si magang sekali lagi kehilangan
penglihatan atas tuannya dan dengan cemas mencari-carinya di tengah orang banyak,
sampai akhirnya orang itu muncul dari sebuah toko mainan, membawa sebuah kincir mainan
yang bem,arna-warni. "Iwa!" serunya memanggil anak itu.
"Ya, Pak." "Bawa ini. Dan hati-hati, jangan sampai pecah! Simpan dalam kerahmu."
"Hadiah buat bayi Bapak?"
"Mm," gumam orang itu. Sesudah beberapa hari pergi melaksanakan tugas, orang itu ingin
memandang anaknya menyeringai girang waktu ia menyerahkan barang itu.
Jadinya seolah kedua orang itu menuntun arah jalan Musashi. Setiap kali ia hendak
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membelok, mereka membelok juga di depannya. Terpikir oleh Musashi, barangkali pandai
besi itu Shishido Baiken, namun ia tak bisa memperoleh kepastian, karena itu ia gunakan
akal kecil untuk mendapat kepastian. Ia berpura-pura tidak memperhatikan mereka, dan
berjalan di depan mereka sebentar, kemudian melambatkan jalan lagi sambil mendengarkan
percakapan mereka. Kedua orang itu melintasi kota puri, kemudian ke jalan gunung yang
menuju Suzuka. Agaknya jalan yang akan ditempuh Baiken pulang ke rumahnya. Kalau
digabungkan dengan potongan-potongan percakapan yang kebetulan didengarnya, Musashi
menyimpulkan orang itu memang Baiken.
Sebetulnya Musashi bermaksud langsung pergi ke Kyoto , tapi pertemuan yang kebetulan
ini demikian menggodanya. Ia mendekat, dan katanya dengan nada ramah, "Kembali ke
Umehata?" Tapi jawaban orang itu kaku, "Ya, ke Umehata. Kenapa?"
"Dari tadi saya bertanya dalam hati, apakah Bapak ini Shishido Baiken."
"Memang. Dan Anda siapa?"
"Nama saya Miyamoto Musashi. Saya calon prajurit. Belum lama saya ke rumah Anda di Ujii
dan bertemu dengan istri Anda. Rupanya nasib mempertemukan kita di sini."
"Oh, begitu?" kata Baiken. Dengan wajah yang tiba-tiba menyatakan paham, ia bertanya,
"Apa engkau yang tinggal di penginapan Yamada dan ingin bertarung denganku?"
"Bagaimana Anda bisa dengar itu?"
"Kau menyuruh orang ke rumah Arakida untuk mencariku, kan?"
"Ya." "Waktu itu aku sedang melakukan tugas untuk Arakida, tapi aku tidak tinggal di
rumahnya. Kupinjam tempat kerja di desa. Itu pekerjaan yang tak bisa dilakukan orang
lain, kecuali aku." "Oh, begitu. Saya dengar Anda ahli rantai-peluru-sabit."
"Ha, ha! Tapi katamu tadi sudah ketemu istriku?"
"Ya. Dan dia mendemonstrasikan satu jurus Yaegaki pada saya."
"Nah, itu mestinya cukup buatmu. Tak ada alasan buat mengikutiku. Tentu saja aku dapat
memperlihatkan lebih banyak lagi daripada yang diperlihatkan istriku, tapi begitu
engkau melihatnya, begitu engkau sampai di jalan ke dunia lain."
Bagi Musashi, istri orang ini sudah berkesan amat sok menguasai, tapi orang ini sendiri
benar-benar angkuh. Musashi cukup yakin bahwa dari apa yang dilihatnya ia sudah dapat
mengukur kemampuan orang ini, namun ia mengingatkan diri untuk tidak terburu-buru.
Takuan telah mengajarkan kepadanya pelajaran pertama dalam hidup ini, yaitu bahwa di
dunia ini terdapat orang-orang yang kemungkinan lebih baik dari diri kita. Pelajaran
ini diperkuat oleh pengalaman-pengalamannya di Hozoin dan Puri Koyagyu. Sebelum ia
membiarkan rasa bangga dan keyakinan mengkhianatinya dan menyebabkannya menyepelekan
lawan, ia ingin mengukur lawan itu dari segala segi. Sementara meletakkan landasan bagi
dirinya, ia akan tetap bersikap ramah, sekalipun kadang-kadang hal itu bisa memberikan
kesan pengecut atau tunduk kepada musuh.
Menjawab ucapan Baiken yang merendahkan itu, dengan sikap hormat yang sesuai dengan
umurnya ia berkata, "Oh, begitu. Saya memang sudah banyak belajar dari istri Anda, tapi
karena saya sudah beruntung bertemu dengan Anda, saya akan berterima kasih kalau Anda
mau lebih banyak menerangkan senjata yang Anda pergunakan."
"Kalau yang engkau inginkan itu bicara, baik. Apa kau punya rencana menginap di
penginapan dekat perbatasan?"
"Itulah yang tadinya saya maksudkan, kecuali kalau Anda berkenan menerima saya menginap
semalam lagi." "Kau boleh tinggal, kalau kau bersedia tidur di bengkel bersama Iwa. Tapi aku bukan
pengusaha penginapan, dan kami tak punya tilam ekstra."
Senja hari mereka sampai di kaki Gunung Suzuka. Desa kecil yang dipayungi awan merah
itu tampak setenang danau. Iwa berlari mendahului untuk menyampaikan kedatangan mereka,
dan ketika mereka tiba di rumah itu, istri Baiken menanti di bawah ujung atap,
menggendong bayinya yang memegang kincir mainan.
"Lihat, lihat, lihat!" dekut perempuan itu. "Bapak pergi, dan sekarang Bapak pulang.
Lihat, itu dia." Dalam sekejap mata saja si bapak sudah tidak lagi menjadi contoh keangkuhan; ia
memperlihatkan senyum kebapakan. "Ini, Nak, ini Bapak," celotehnya sambil mengangkat
sebelah tangan dan menari-narikan jari-jarinya.
Suami-istri itu menghilang ke dalam dan duduk, hanya bicara tentang bayi dan soal-soal
rumah tangga, tanpa memperhatikan Musashi.
Akhirnya, ketika makan malam siap, Baiken ingat akan tamunya. "Oh ya, kasih orang itu
makan," katanya kepada istrinya.
Musashi duduk di ruang bengkel yang berlantai tanah, menghangatkan diri di dekat api.
la bahkan tidak melepas sandalnya.
"Baru kemarin dia dari sini. Bermalam," jawab perempuan itu cemberut.
Ia menghangatkan sake di perapian dengan suaminya. "Orang muda," panggil Baiken. "Apa
kau minum sake?" "Saya bukan tak suka sake."
"Nah, minum semangkuk."
"Terima kasih." Musashi mendekat ke ambang pintu kamar perapian serta menerima mangkuk
berisi minuman dan menghirupnya. Asam rasanya. Selesai meneguk, ia kembalikan mangkuk
itu kepada Baiken, katanya, "Mari saya tuangkan buat Anda."
"Tak usah, sudah ada." Ia memandang Musashi sesaat, dan bertanya, "Berapa umurmu?"
"Dua puluh dua."
"Asal dari mana?"
"Mimasaka." Mata Baiken yang semula mengembara ke jurusan lain kini berayun kembali kepada Musashi
dan mengamat-amatinya kembali dari kepala sampai jari kaki.
"Nanti dulu, apa yang barusan kaukatakan" Namamu... siapa namamu tadi?"
"Miyamoto Musashi"
"Bagaimana engkau menuliskan Musashi?"
"Ditulis sama dengan Takezo."
Istri orang itu masuk dan meletakkan sup, acar, supit, dan mangkuk nasi di tikar jerami
di depan Musashi. "Makanlah!" katanya tanpa basa-basi.
"Terima kasih," jawab Musashi.
Baiken menanti beberapa tarikan napas, kemudian katanya, seolah pada diri sendiri,
"Panas rasanya sekarang, sake itu!" Sambil menuangkan semangkuk lagi untuk Musashi, ia
bertanya biasa saja, "Artinya namamu Takezo waktu engkau muda?"
"Ya." "Apa engkau masih bernama begitu waktu umur sekitar tujuh belas?"
"Ya." "Waktu umurmu sekitar itu, apa kebetulan engkau tidak berada di pertempuran Sekigahara,
dengan anak lain seumurmu?"
Kini Musashi yang mendapat giliran terkejut. "Bagaimana Anda bisa tahu?" tanyanya
pelan. "Oh, aku tahu banyak hal. Aku di Sekigahara juga waktu itu." Mendengar ini, Musashi
merasa lebih senang pada orang itu. Baiken sendiri tiba-tiba kelihatan lebih akrab.
"Kupikir aku pernah melihatmu, entah di mana," kata pandai besi itu. "Mestinya kita
sudah berjumpa di pertempuran itu."
"Apakah Anda pernah di kamp Ukita juga?"
"Aku tinggal di Yasugawa waktu itu, dan aku pergi perang dengan rombongan samurai dari
sana. Kami ada di garis depan waktu itu."
"Oh, begitu" Kalau begitu, barangkali kita pernah bertemu."
"Lalu apa yang terjadi dengan temanmu itu?"
"Saya tak pernah lihat dia lagi sejak itu."
"Sejak pertempuran itu?"
"Tidak tepat sejak itu. Kami tinggal sementara waktu di sebuah rumah di Ibuki, menunggu
sembuhnya luka-luka, dan berpisah di situ. Itulah penghabisan kali saya melihatnya."
Baiken memberitahu istrinya bahwa sake mereka habis. Istri Baiken sudah di tempat tidur
dengan bayinya, "Tak ada lagi yang lain," jawabnya.
"Aku minta lagi. Sekarang!"
"Kenapa mesti minum begitu banyak malam ini?"
"Percakapan kami menarik. Aku perlu sake lagi."
"Tapi sake tak ada lagi."
"Iwa!" panggil Baiken lewat papan rapuh di sudut bengkel.
" Ada apa, Pak?" tanya anak itu. Ia membuka pintu dan memperlihatkan wajahnya sambil
membungkuk, karena rendahnya ambang pintu.
"Pergi ke rumah Onosaku, pinjam sebotol sake."
Musashi sudah cukup minum. "Kalau Anda tidak keberatan, saya akan makan," katanya
sambil memungut supitnya.
"Tidak, tidak, tunggu," kata Baiken dan cepat menangkap pergelangan Musashi. "Ini bukan
waktu makan. Aku sudah mintakan sake, jadi minumlah sedikit lagi."
"Kalau sake itu buat saya, lebih baik tak usah. Rasanya saya tak bisa minum lagi."
"Ah, ayolah," desak Baiken. "Katamu kau ingin dengar lebih banyak tentang rantaipeluru-sabit. Akan kuceritakan semuanya sekarang, tapi mari minum sedikit selagi
bicara." Ketika Iwa kembali membawa sake, Baiken menuangkannya sebagian ke guci pemanas dan
meletakkannya di atas api, lalu bicara panjang-lebar tentang rantai-peluru-sabit serta
cara-cara penggunaannya yang terbaik dalam pertempuran yang sebenar-benarnya. Ia
berkata, "Berlainan dengan pedang. senjata itu tidak memberikan kesempatan kepada musuh
untuk mempertahankan diri. Juga, sebelum menyerang langsung, ada kemungkinan merebut
senjata musuh dengan rantai. Rantai dilontarkan dengan terampil, disentakkan tajam, dan
musuh tak berpedang lagi."
Masih dalam keadaan duduk, Baiken mendemonstrasikan satu jurus. "Lihat, kita pegang
sabit dengan tangan kiri dan bola dengan tangan kanan. Kalau musuh mendatangi kita,
kita hadapi dia dengan mata sabit. kemudian kita hembalangkan bola ke mukanya. Itu satu
cara." Sambil mengubah kedudukan, ia meneruskan, "Kalau ada jarak antara kita dan musuh, kita
sabet senjatanya dengan rantai. Tak peduli macam apa senjata itu"pedang, lembing,
tongkat kayu, atau apa pun."
Baiken terus bercerita pada Musashi tentang cara-cara melemparkan peluru, tentang
sepuluh atau lebih cerita turun-temurun mengenai senjata ini, tentang miripnya rantai
itu dengan ular, tentang kemungkinan menciptakan khayal penglihatan orang dengan
mengubah gerakan rantai dan sabit, hingga pertahanan musuh akhirnya akan merugikan
dirinya sendiri, juga tentang semua cara rahasia dalam menggunakan senjata itu.
Musashi betul-betul terpesona. Mendengar orang berbicara seperti ini, ia selalu
mendengarkan dengan seluruh tubuhnya. Ia ingin menyerap segala seluk-beluknya.
Rantai. Sabit. Dua belah tangan....
Sementara ia mendengarkan, benih-benih pikiran lain terbentuk dalam kepalanya. "Pedang
dapat dipergunakan dengan satu tangan, sedangkan manusia punya dua tangan..."
Botol sake yang kedua pun kosong. Baiken sudah cukup banyak minum, dan mendesak Musashi
minum lagi. Musashi sendiri sudah jauh melewati batas kemampuannya dan sudah lebih
mabuk dari yang pernah dialaminya.
"Bangun!" seru Baiken kepada istrinya. "Biar tamu kita tidur di sini. Kau dan aku tidur
di kamar belakang. Siapkan tempat tidur di sana."
Perempuan itu tak beranjak dari tempatnya.
"Bangun!" seru Baiken lebih keras. "Tamu kita sudah capek. Biar dia tidur sekarang."
Kaki sang istri sudah enak dan hangat sekarang. Bangun pasti tak menyenangkan.
"Kaubilang dia dapat tidur di bengkel dengan Iwa," gumamnya.
"Jangan membantah. Kerjakan yang kusuruh!"
Perempuan itu bangkit dengan gusar dan berangkat ke kamar belakang. Baiken mengambil
bayinya yang tidur, dan katanya, "Selimutnya sudah tua, tapi api di ada dekatmu. Kalau
Hijaunya Lembah Hijaunya 10 Animorphs - 22 Akhir Sebuah Pengkhianatan Siluman Hutan Waringin 2