Pencarian

Mushasi 13

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 13


Namanya Akemi. Lebih kecil daripada kau, dan wajahnva sedikit lebih bundar. Dia
terlatih kerja di warung teh, dan tingkahnya sedikit lebih dewasa dari umurnya. Apa
kalian melihat dia di sekitar sini?"
Mereka menggelengkan kepala, tak menjawab.
"Aneh sekali. Ada yang bilang dia kelihatan di tempat ini. Aku yakin dia menginap di
salah satu ruangan kuil." Ia menunjukkan perhatian pada mereka, tapi sepertinya ia
bicara kepada diri sendiri. Kemudian ia menggumamkan beberapa kata lagi dan pergi.
Osugi mendecapkan lidahnya. "Satu lagi manusia sampah. Pedangnya dua, jadi mestinya
samurai, tapi coba kaulihat pakaiannya! Dan mencari perempuan pula malam begini!
Mestinya dia sudah melihat sendiri, kita bukan orang yang dicarinya."
Otsu tidak mengatakannya kepada Osugi, tapi ia menduga keras gadis yang dicari orang
itu adalah yang tersesat di penginapan sore tadi. Hubungan apakah yang ada antara
Musashi dan gadis itu dengan orang ini"
"Mari kita pulang," kata Osugi, suaranya terdengar kecewa dan pasrah.
Di depan Hongando, di mana pernah terjadi konfrontasi antara Osugi dan Musashi, mereka
berpapasan lagi dengan Kojiro. Kojiro memandang mereka dan mereka memandangnya, tapi
tak terjadi percakapan. Osugi melihat orang itu naik ke Shiando, kemudian membelok dan
berjalan langsung turun Bukit Sannen.
"Mata orang itu menakutkan," bisik Osugi. "Macam mata Musashi.Justru pada waktu itu
mata Osugi melihat gerakan samar, dan bahunya yang bungkuk itu tersentak tegak. "Oww!"
pekiknya seperti burung hantu. Dari belakang pohon kriptomeria besar kelihatan tangan
memanggil. "Matahachi," bisik Osugi. Terpikir olehnya, sungguh mengharukan bahwa Matahachi tak mau
dilihat orang lain kecuali ibunya sendiri.
Ia berseru kepada Otsu yang sekarang delapan belas atau dua puluh meter di bawahnya.
"Kamu jalan saja terus, Otsu. Tapi jangan jauh-jauh. Tunggu aku di tempat yang namanya
Chirimazuka. Beberapa menit lagi aku datang."
"Baik," kata Otsu.
"Tapi jangan pergi ke mana-mana! Aku melihatmu. Tak perlu kamu lari."
Osugi cepat-cepat lari ke pohon itu. "Matahachi, apa itu kamu?"
"Ya, Bu." Tangan Matahachi keluar dari kegelapan dan menggenggarn tangan ibunya,
seakan-akan sudah bertahun-tahun ia menantikan pertemuan itu.
"Apa kerjamu di belakang pohon itu" Oh, tanganmu dingin seperti es!" Hampir ia
mencucurkan air mata merasakan kekuatirannya sendiri.
"Aku mesti sembunyi," kata Matahachi, sedangkan matanya gugup memandang ke sana kemari.
"Orang yang lewat tempat ini semenit yang lalu, Ibu lihat, kan?"
"Orang yang pakai pedang panjang itu?"
"Ya." "Apa kamu kenal dia?"
"Boleh dibilang begitu. Orang itu Sasaki Kojiro."
"Apa" Bukan kamu yang Sasaki Kojiro?"
"Hah?" "Di Osaka kautunjukkan padaku sertifikat. Nama itu tertulis di sertifikat itu. Itu nama
yang kaupakai, kan?"
"Begitu, ya" Ah, tidak benar itu.... Tadi, ketika dia naik, kulihat dia. Kojiro sudah
bikin aku susah beberapa hari yang lalu, karena itu aku sembunyi menghindari dia. Kalau
dia kembali lewat jalan ini, aku bisa kesulitan."
Osugi demikian terguncang, hingga tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Tapi ia lihat
Matahachi lebih kurus daripada sebelumnya. Hal itu, dan ditambah lagi kegelisahan
anaknya, membuatnya lebih mencintainya lagi setidaknya untuk sementara waktu.
Dengan pandangan yang menyatakan tak ingin mendengar cerita seluruhnya, katanya, "Semua
itu tak apa-apa. Sekarang coba katakan, Nak, apa kau sudah tahu Paman Gon meninggal?"
"Paman Gon..." "Ya, Paman Gon. Dia meninggal di sana itu, di Pantai Sumiyoshi, tepat sesudah engkau
meninggalkan kami." "Aku belum dengar."
"Yah, begitulah kejadiannya. Persoalannya sekarang, apa engkau memahami kematiannya
yang tragis itu, dan kenapa aku meneruskan misi yang panjang dan sedih ini, biarpun
umurku sudah setua ini."
"Ya, hal itu sudah terukir dalam pikiranku sejak malam di Osaka, ketika Ibu...
mengingatkan aku tentang kekurangan-kekuranganku."
"Jadi, engkau ingat, ya" Nah, sekarang aku punya berita untukmu, berita yang akan bikin
kau senang." "Berita apa itu?"
"Otsu." "Oh! Gadis yang dengan Ibu itu!"
Matahachi mulai berjalan mengitari ibunya, tetapi Osugi menghadang jalannya dan
tanyanya mencela, "Ke mana engkau pergi?"
"Kalau dia Otsu, ingin aku bertemu dengan dia. Begitu lama sudah." Osugi mengangguk.
"Kubawa dia kemari dengan maksud menyuruhmu bertemu dengannya. Tapi coba katakan pada
ibumu ini, apa rencanamu?"
"Akan kusampaikan kepadanya aku menyesal. Aku sudah memperlakukan dia dengan buruk
sekali, dan kuharap dia memaafkan aku."
"Sudah itu?" "Kemudian... nah, kemudian akan kukatakan aku takkan berbuat kesalahan macam itu lagi.
Ibu katakanlah juga begitu padanya atas namaku."
"Lalu apa lagi?"
"Lalu akan seperti sebelumnya."
"Apa yang akan seperti sebelumnya?"
"Aku dan Otsu. Aku ingin bertemu lagi dengan dia. Aku ingin mengawini dia. Oh, ibu, apa
menurut Ibu dia masih..."
"Anak tolol!" Dan ditamparnya Matahachi keras-keras.
Matahachi rebah dan memegang pipinya yang pedas. "K"Kenapa, Bu, ada apa?" gagapnya.
Osugi tampak lebih marah dari yang pernah ia lihat semenjak ia disapih. Geramnya, "Baru
saja engkau meyakinkan ibumu takkan melupakan apa yang kukatakan di Osaka, kan?"
Matahachi menundukkan kepala.
"Apa pernah aku bicara tentang minta maaf kepada anjing yang tak ada gunanya itu"
Bagaimana mungkin engkau mohon maaf kepada setan perempuan itu, sesudah dia membuang
dirimu dan lari dengan lelaki lain" Kau akan bertemu dengan dia, bolehlah, tapi kau tak
boleh minta maaf! Sekarang dengarkan aku!" Osugi menangkap Matahachi dengan kedua
tangannya dan mengguncangkannya. Dengan kepala terombang-ambing, Matahachi menutup
matanya, dan dengan takut-takut mendengarkan cacian yang panjang sekali.
"Apa ini?" jerit Osugi. "Kau nangis" Kau masih cinta pada pelacur itu, sampai engkau
menangisinya" Kalau betul begitu, engkau bukan anakku!" Dibantingnya Matahachi ke
tanah, kemudian ia sendiri pun rebah.
Beberapa menit lamanya keduanya duduk menangis.
Tetapi kesedihan Osugi tak dapat lama berada di permukaan. Ia berdiri, katanya, "Sudah
saatnya kau mengambil keputusan. Aku takkan lama lagi hidup. Dan kalau aku mati, kau
takkan dapat bicara denganku macam ini, biarpun kau ingin.
"Pikirkan, Matahachi. Otsu bukan satu-satunya gadis di dunia ini." Kemudian suaranya
menjadi lebih tegang. "Kau tak boleh membiarkan dirimu merasa terikat kepada orang yang
sudah berbuat seperti dia itu. Cari gadis yang kau sukai dan aku akan menjemputnya
untukmu, biarpun aku terpaksa mengunjungi orangtuanya sampai seratus kali"biarpun akan
bikin aku lelah dan mati."
Matahachi tetap murung dan diam.
"Lupakan Otsu, demi nama Hon'iden. Apa pun jalan pikiranmu, dia tak dapat diterima dari
sudut keluarga. Jadi, kalau engkau sama sekali tak dapat lepas dari dia, potong saja
kepalaku yang sudah tua ini. Sudah itu kau dapat berbuat semaumu. Tapi selama aku masih
hidup..." "Sudah, Bu!" Dahsyatnya nada Matahachi itu membuat bulu kuduk Osugi meremang. "Kau berani sekali
membentakku!" "Coba sekarang Ibu jawab: perempuan yang akan kukawini itu akan menjadi istriku atau
istri Ibu?" "Tolol sekali omonganmu itu!"
"Tapi kenapa aku tak boleh memilih sendiri?"
"Nah, nah. Sejak dulu kau memang keras kepala. Kaupikir berapa umurmu itu" Kau bukan
lagi anak-anak, atau kau sudah lupa?"
"Tapi... yah, memang betul Ibu ini ibuku, tapi Ibu terlalu banyak menuntut dariku. Itu
tak adil." Perbedaan pendapat di antara mereka memang sering kali seperti itu, dimulai dengan
bentrokan perasaan keras, diikuti oleh bergulatnya perlawanan yang keras pula. Saling
pengertian sudah runtuh sebelum sempat tumbuh.
"Itu tak adil?" desis Osugi. "Kau pikir kau itu anak siapa" Kau pikir dari perut siapa
engkau lahir?" "Tak ada gunanya bicara macam itu, Bu. Aku mau kawin dengan Otsu! Dialah orang yang
kucintai!" Karena tak tahan melihat kerutan dahi ibunya yang kelabu itu, Matahachi
menujukan kata-katanya ke langit.
"Anakku, apa betul yang kau katakan itu?" Osugi menarik pedang pendeknya dan
mengacungkan mata pedang itu ke tenggorokannya sendiri.
"Bu, apa yang Ibu lakukan ini?"
"Cukuplah. Jangan coba mencegahku! Sekarang tunjukkan kesopananmu dan berikan padaku
tusukan terakhir." "Jangan lakukan itu di depanku! Aku anakmu! Aku tak bisa berdiri di sini membiarkan Ibu
berbuat begitu!" "Baik. Mau tidak kau meninggalkan Otsu-sekarang juga"'
"Kalau itu yang Ibu inginkan dariku, kenapa Ibu bawa dia kemari" Kenapa Ibu menggodaku
dengan memamerkannya di depanku" Tak mengerti aku."
"Coba dengar, buatku gampang sekali membunuh dia, tapi kau yang rugi. Sebagai ibumu,
kupikir lebih baik kuserahkan padamu pelaksanaan hukuman itu. Menurutku, engkau pasti
berterima kasih karenanya."
"Ibu minta aku membunuh Otsu?"
"Kau tidak mau, ya" Kalau memang tidak mau, katakan tak mau! Tapi bulatkan pikiranmu!"
"Tapi... tapi, Bu..."
"Jadi, kau masih tak dapat meninggalkan dia, kan" Baik, kalau memang begitu perasaanmu,
engkau bukan anakku, dan aku bukan ibumu. Kalau kau tak bisa memotong kepala perempuan
nakal itu, paling tidak penggal kepalaku ini! Jatuhkan tebasan terakhir!"
Anak-anak memang bisa merepotkan orangtuanya, tapi kadang-kadang sebaliknya yang
terjadi, demikian renung Matahachi. Osugi tidak hanya membuatnya takut, melainkan juga
telah menempatkannya pada kedudukan yang paling sukar dalam hidupnya. Pandangan liar
pada wajah ibunya itu sungguh mengguncangkannya.
"Bu, berhenti! Jangan lakukan! Baik, akan kulakukan kemauan Ibu. Akan kulupakan Otsu!"
"Cuma itu?" "Aku akan menghukum dia. Aku berjanji akan menghukum dia dengan tanganku sendiri."
"Kau akan membunuhnya?"
"Ah, ya, aku akan membunuhnya."
Dengan penuh kemenangan Osugi menangis gembira. Sambil menyingkirkan pedangnya, ia
mencekal tangan anaknya. "Bagus! Sekarang kau sudah kelihatan seperti calon kepala
Keluarga Hon'iden. Leluhurmu akan bangga denganmu."
"Apa betul begitu menurut Ibu?"
"Pergi laksanakan sekarang! Otsu menunggu di bawah sana, di Chirimazuka. Cepat!"
Mm. "Akan kita kirimkan surat ke Shippoji bersama kepalanya. Dari situ semua orang di
kampung akan tahu aib kita sudah berkurang separuh. Dan kalau Musashi mendengar Otsu
mati, harga dirinya memaksanya datang pada kita. Betapa hebat!... Matahachi, cepat!"
"Ibu tunggu aku di sini, kan?"
"Tidak. Aku ikut kamu, tapi dari tempat yang tidak kelihatan. Kalau nanti Otsu
melihatku, dia akan merengek supaya aku ingat janjiku. Kalau begitu bisa kikuk."
"Ah, dia kan cuma perempuan tak berdaya," kata Matahachi sambil bangkit pelan-pelan.
"Tak ada susahnya membereskan dia, jadi lebih baik Ibu tinggal di sini saja. Akan
kubawa ke sini kepalanya. Tak perlu kuatir. Takkan kubiarkan dia lolos."
"Tapi bisa saja kau kurang hati-hati. Memang dia cuma perempuan, tapi kalau melihat
mata pedangmu, dia bisa melawan."
"Tak usah kuatir. Ini soal gampang."
Sambil menguatkan hatinya, berangkatlah Matahachi turun bukit; ibunya berjalan di
belakang dengan wajah kuatir. "Ingat," katanya, "jangan sampai kurang waspada!"
"Ibu masih ikut" Kupikir Ibu akan tinggal di tempat yang kelihatan." "Chirimazuka masih
jauh di bawah sana."
"Aku tahu, Bu! Kalau Ibu mau terus juga, pergi saja sendiri. Aku tunggu di sini."
"Kenapa pula kamu ragu-ragu?"
"Dia manusia. Kan sukar aku menyerangnya kalau aku merasa seperti membunuh anak kucing
tak berdosa?" "Aku mengerti perasaanmu. Walaupun tidak setia, dia dulu tunanganmu. Baiklah, kalau kau
tak ingin kuawasi, pergilah sendiri. Aku tinggal di sini." Matahachi pergi tanpa
mengucapkan apa pun. Otsu semula bermaksud melarikan diri, tapi kalau ia melarikan diri, segala kesabaran
yang telah ditahankannya selama dua puluh hari itu aka
n sia-sia. Ia memutuskan bertahan
sebentar lagi. Untuk melewatkan waktu, ia memikirkan Musashi, kemudian Jotaro. Cintanya
kepada Musashi menyalakan berjuta-juta bintang terang dalam hatinya. Ia menghitung
berbagai harapan yang dicita-citakannya bagi masa depannya, seakan dalam mimpi. Dan
terkenang olehnya janji-janji Musashi kepadanya-di Celah Nakayama, di Jembatan Hanada.
Sekalipun bertahun-tahun telah berlalu, ia percaya dengan segenap hatinya bahwa Musashi
takkan meninggalkannya. Kemudian bayangan Akemi datang mengganggunya, menggelapkan harapan-harapannya dan
membuatnya gelisah. Tapi cuma sesaat. Rasa takutnya pada Akemi tidak berarti
dibandingkan dengan kepercayaannya yang tak terbatas kepada Musashi. Ia ingat pula,
Takuan pernah mengatakan ia mesti dikasihani. Tapi itu tak ada artinya. Bagaimana
mungkin Takuan memandang kegembiraannya yang abadi itu dalam arti demikian"
Sekarang pun, ketika ia berada di tempat sepi menantikan orang yang tak ingin ia lihat,
impiannya yang mengasyikkan mengenai masa depan tetap menguatkannya agar dapat menahan
derita macam apa pun. "Otsu!" "Siapa... itu?" kata Otsu.
"Hon'iden Matahachi."
"Matahachi?" gagap Otsu.
"Kau sudah lupa suaraku?"
"Tidak, aku ingat lagi sekarang. Kau sudah ketemu ibumu?"
"Ya, dia menungguku. Kau tidak berubah, ya" Kau kelihatan seperti waktu di Mimasaka."
"Kau di mana" Begini gelap, sampai aku tak lihat."
"Boleh aku lebih dekat" Aku berdiri di sini. Aku malu sekali berhadapan denganmu. Apa
yang kaupikirkan tadi?"
"Oh, tidak ada, tak ada yang khusus."
"Kau memikirkan aku, ya" Aku tak pernah tidak memikirkan engkau." Ketika Matahachi
pelan-pelan mendekatinya, Otsu merasa sedikit kuatir.
"Matahachi, apa ibumu sudah menjelaskan semuanya?"
"Sudah." "Nah, karena engkau sudah mendengar semuanya," kata Otsu puas sekali, "cobalah kau
memahami perasaanku, tapi aku sendiri minta kau meninjau soal-soal itu dari sudut
pandangku. Mari kita lupakan masa lalu. Semua itu tak disengaja."
"Ah, jangan seperti itu, Otsu." Matahachi menggeleng. Walaupun ia tak tahu apa yang
disampaikan ibunya pada Otsu, tapi ia merasa cukup yakin hal itu dimaksudkan untuk
menipu Otsu. "Sakit rasanya kalau masa lalu disebut-sebut. Sukar bagiku menegakkan
kepala di depanmu. Tapi karena sebab-sebab tertentu, tak mungkin aku berpikir akan
melepaskan engkau." "Matahachi, gunakan akalmu. Tak ada apa pun sekarang antara hatimu dan hatiku. Kita
dipisahkan oleh lembah yang besar."
"Betul. Dan lebih dari lima tahun lewat lembah itu."
"Tepat. Tahun-tahun itu tak akan kembali lagi. Tak ada jalan untuk menangkap kembali
perasaan yang pernah kita punyai."
"Oh, tidak! Kita dapat menangkapnya kembali! Kita dapat!"
"Tidak, semuanya sudah hilang buat selamanya."
Matahachi menatapnya, takjub oleh dinginnya wajah Otsu dan tandasnya nada bicaranya. Ia
bertanya pada diri sendiri, apakah itu gadis yang dahulu seperti sinar matahari musim
semi apabila sudah mau mengungkapkan perasaan cintanya" Kini ia merasa seperti sedang
mengusap batu pualam putih yang bersalju. Di manakah sikap keras ini tersembunyi di
masa lalu" Teringat olehnya beranda Shippoji. Teringat olehnya Otsu duduk di sana dengan mata
jernih melamun, sering sampai setengah hari atau lebih, diam meninjau ke ruang kosong.
Seakan di tengah awan-awan itu ia melihat ayah-ibunya, melihat saudara-saudaranya.
Matahachi lebih mendekat lagi. Dengan sikap takut-takut, seperti sedang berada di
tengah duri ketika memetik kuncup mawar putih, bisiknya, "Mari kita coba lagi, Otsu.
Memang tak ada jalan mengembalikan lima tahun yang sudah lewat itu, tapi marilah kita
mulai lagi, sekarang ini, kita berdua."
"Matahachi," kata Otsu tenang, "apa engkau berkhayal" Aku bukan bicara tentang
panjangnya waktu, aku bicara tentang jurang yang memisahkan hati kita, hidup kita."
"Aku tahu. Tapi yang kumaksud adalah mulai sekarang ini juga aku hendak merebut kembali
cintamu. Barangkali tak perlu aku mengatakan hal itu, tapi apakah kesalahan yang
kuperbuat bukan kesalahan hampir setiap pemuda?"


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bicaralah semaumu, tapi aku tak akan dapat lagi menerima kata-katamu dengan sungguhsungguh."
"Otsu, aku tahu aku salah! Aku lelaki, tapi lihatlah, aku minta maaf pada seorang
perempuan. Apa engkau tak mengerti, betapa berat ini bagiku?"
"Hentikan! Kalau kau seorang lelaki, kau mesti berbuat seperti lelaki."
"Tapi tak ada di dunia ini yang lebih penting bagiku. Kalau kau mau, aku akan berlutut
dan memohon maaf padamu. Aku berikan sumpahku. Aku mau bersumpah demi apa pun yang
kausukai." "Tak peduli aku, apa yang kaulakukan!"
"Kuminta jangan engkau marah. Lihatlah, ini bukan tempat buat bicara. Mari kita pergi
ke tempat lain." "Tidak." "Aku tak mau ibuku melihat kita. Mari kita pergi. Aku tak dapat membunuhmu. Mana bisa
aku membunuhmu." Matahachi memegang tangannya, tapi Otsu melepaskannya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya
marah. "Lebih baik aku dibunuh daripada hidup denganmu!"
"Kau tak mau pergi denganku?"
"Tidak, tidak, tidak."
"Itu keputusan terakhir?"
"Ya!" "Artinya kau masih cinta pada Musashi?"
"Ya, aku cinta padanya. Aku akan mencintainya dalam hidup ini dan hidup yang akan
datang." Tubuh Matahachi menggeletar. "Bukan begitu mestinya kau bicara, Otsu."
"Ibumu sudah tahu. Dan dia bilang akan menyampaikannya padamu. Dia berjanji kita akan
membicarakan ini bersama-sama dan mengakhiri masa lalu itu."
"Oh, begitu. Dan kukira Musashi memerintahkan engkau menemuiku dan menyampaikan semua
itu! Begitu, kan?" "Tidak, tidak begitu! Musashi tak perlu menyuruhku melakukan apa pun."
"Kau tahu aku punya harga diri. Semua lelaki punya harga diri. Kalau memang begitu
perasaanmu terhadapku..."
"Apa yang akan kaulakukan?" teriak Otsu.
"Aku lelaki juga seperti Musashi. Kalau soal ini menyeret seluruh hidupku, akan kucegah
kau bersatu dengan dia. Takkan kuizinkan!"
"Memangnya kau siapa, sampai mesti memberi izin?"
"Takkan kubiarkan kau kawin dengan Musashi! Ingat, Otsu, bukan Musashi tunanganmu."
"Kau bukan orang yang mesti mengemukakan hal itu."
"Kenapa tidak" Engkau dijanjikan jadi istriku. Tak bisa kau kawin dengan siapa pun,
kalau aku tidak menyetujui."
"Kau pengecut, Matahachi! Aku kasihan padamu. Bagaimana kau bisa menurunkan derajat
seperti itu" Sudah lama aku menerima surat darimu dan dari perempuan yang namanya Oko
itu, yang isinya memutuskan pertunangan."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak mengirimkan surat itu. Oko mestinya yang
melakukannya, atas namanya sendiri."
"Bohong. Satu surat ditulis dengan tulisanmu sendiri, dan mengatakan aku mesti
melupakanmu dan mencari orang lain sebagai suami."
"Mana surat itu" Tunjukkan itu padaku!"
"Tak ada lagi. Ketika Takuan membacanya, dia tertawa dan membuang ingus dengannya, dan
membuangnya." "Dengan kata lain, engkau tak punya bukti, dan tak seorang pun akan mempercayaimu.
Semua orang di kampung tahu kau tunanganku. Aku punya segala bukti untuk itu, sedangkan
kau tidak. Ingat. Otsu, kalau kau memutuskan diri dari semua orang agar dapat bersatu
dengan Musashi, kau takkan pernah bahagia. Rupanya Oko mengganggumu, tapi aku
bersumpah, tak ada lagi sama sekali hubunganku dengan dia."
"Kau buang-buang waktu saja."
"Kau tak mau mendengarkan, biarpun aku minta maaf?"
"Matahachi, apa tadi kau tidak menyombongkan diri sebagai lelaki" Kenapa kau tidak
berbuat sebagai lelaki" Tak ada perempuan yang mau menyerahkan hatinya kepada orang
yang lemah, tak tahu malu, dan pengecut yang suka berbohong. Perempuan tidak kagum pada
orang lemah." "Jaga kata-katamu!"
"Lepaskan aku! Lengan kimonoku sobek nanti!"
"Sundal plin-plan... kamu!"
"Hentikan!" "Kalau kau sayang hidupmu, berjanjilah akan meninggalkan Musashi!" Matahachi melepaskan
lengan kimono Otsu untuk menarik pedangnya. Dan sekali sudah ditarik, pedang itu
seperti menguasainya. Ia seperti kesetanan, matanya memancarkan sinar liar. Otsu
menjerit, bukan karena senjata itu, melainkan karena pandangan Matahachi.
"Anjing!" teriak Matahachi ketika Otsu membalik untuk lari. Pedangnya menebas,
menyerempet simpul obi Otsu. "Tak boleh lolos!" pikirnya, lalu mengejar sambil
memanggil ibunya. Osugi datang berlari-lari turun bukit. "Apa dia berbuat ceroboh?" pikir ibunya sambil
mencabut pedangnya sendiri.
"Dia di sana. Tangkap dia, Bu!" seru Matahachi. Tapi segera kemudian ia berlari balik
dan berhenti mendadak ketika hampir bertubrukan dengan perempuan tua itu. Dengan mata
membelalak, tanyanya, "Ke mana tadi larinya?"
"Kau tidak membunuh dia?"
"Tidak, dia lari."
"Tolol!" "Lihat, dia di bawah itu. Itu dia. Itu!"
Otsu yang berlari menuruni tepi curam itu terpaksa berhenti untuk melepaskan lengan
kimononya dari sangkutan ranting pohon. Ia tahu ia sudah dekat dengan air terjun,
karena suaranya terdengar keras sekali. Ketika ia berlari lagi sambil memegang lengan
kimononya yang sobek, Matahachi dan Osugi menghampirinya, dan ketika Osugi berteriak,
"Kita berhasil menjebaknya," maka kata-kata itu terdengar persis di belakangnya.
Di dasar lembah itu kegelapan merajalela seperti dinding, mengepung Otsu.
"Matahachi, bunuh dia! Itu dia di situ, berbaring di tanah."
Matahachi menyerahkan diri seluruhnya kepada pedang sekarang. Sambil melompat ke muka,
ia membidik sosok hitam itu dan menjatuhkan mata pedangnya dengan kejam. "Setan
perempuan!" jeritnya.
Bersama gemertaknya ranting dan cabang pohon terdengar pula jeritan maut.
"Terima ini, terima ini!" Matahachi menebas tiga kali, empat kaliberulang-ulang, sampai
kedengarannya pedang membelah menjadi dua. Ia jadi mabuk darah, matanya memancarkan
api. Kemudian lewat sudah segalanya. Menyusul ketenangan.
Dengan lesu ia memegang pedangnya yang berdarah. Sedikit demi sedikit ia sadar kembali
akan dirinya, dan wajahnya jadi hampa. Ia pandangi kedua tangannya dan ia melihat darah
di situ. Ia raba wajahnya. Di situ ada darah juga, begitu pula di seluruh pakaiannya.
Ia jadi pucat pasi dan pening. Terpikir olehnya setiap tetes darah itu adalah darah
Otsu. "Bagus, Nak! Akhirnya engkau melaksanakannya." Dengan napas terengah-engah, yang lebih
disebabkan kegembiraan daripada pengerahan tenaga, Osugi berdiri di belakang Matahachi,
dan sambil melongok dari atas bahu Matahachi ia pandangi daun-daun yang sudah rusak
terobrak-abrik. "Sungguh senang aku melihat ini," katanya gembira. "Sudah kita
laksanakan, Nak. Sudah terangkat separuh bebanku, dan sekarang aku dapat menegakkan
kepala lagi di kampung. Ada apa denganmu" Lekas! Potong kepalanya!"
Melihat anaknya mau muntah, Osugi tertawa. "Kau ini tak punya nyali. Kalau kau tak
sampai hati memotong kepalanya, aku akan melakukannya untukmu. Menyingkir kamu."
Matahachi berdiri diam, sampai perempuan tua itu berjalan menuju semak. Waktu itulah ia
mengangkat pedangnya dan menjotoskan gagangnya ke bahu ibunya.
"Apa pula ini!" teriak Osugi sambil terhuyung ke depan. "Apa kau sudah gila?"
"Ibu!" "Apa?" Dari tenggorokan Matahachi terdengar bunyi aneh berceguk-ceguk. Ia menghapus mata
dengan tangannya yang berlumuran darah. "Aku sudah... sudah membunuh dia. Aku sudah
membunuh Otsu!" "Dan itu tindakan yang patut dipuji! Oh, kau menangis."
"Aku tak tahan. Oh, orang sinting, orang tua sinting, gila, fanatik!"
"Kau menyesal?"
"Ya... ya! Kalau bukan karena Ibu, mestinya aku dapat membawa Otsu kembali. Ibu
mestinya sudah mati sekarang ini! Persetanlah dengan kehormatan keluarga itu!"
"Hentikan ocehan itu. Kalau dia memang begitu tinggi harganya di matamu, kenapa tidak
kaubunuh saja aku dan kaulindungi dia?"
"Seandainya dapat aku melakukan itu, aku... oh, apakah ada yang lebih menyedihkan
selain punya ibu yang jadi maniak keras kepala?"
"Berhenti! Dan berani amat kau bicara begitu padaku!"
"Mulai sekarang aku mau hidup menurut kemauanku sendiri. Kalaupun ngawur, itu bukan
urusan orang lain, tapi urusanku sendiri."
"Itulah selalu kelemahanmu, Matahachi. Kau gelisah, lalu bikin gaduh, cuma untuk bikin
sulit ibumu." "Memang aku akan bikin sulit, babi betina tua! Kau ini tukang sihir! Aku benci padamu!"
"Oh, oh! Bukan main marahnya dia... Menyingkir! Akan kuambil dulu kepala Otsu, sudah
itu kuberi kau sedikit pelajaran!"
"Omong lagi" Aku takkan mendengarkan."
"Aku ingin kau melihat dengan kepalamu sendiri, bagaimana macamnya perempuan kalau
sudah mati. Tak lain dari tulang. Aku ingin kau memahami bodohnya nafsu itu."
"Tutup mulut!" Matahachi menggeleng-geleng hebat. "Kalau dipikir-pikir, yang kuinginkan
itu Otsu. Ketika aku mengambil kesimpulan tak bisa terus hidup seperti yang sudahsudah, ketika aku mencoba mencari jalan untuk berhasil dan mulai menempuh jalan benar
kembali, semua itu karena aku ingin mengawini dia bukan demi kehormatan keluarga, dan
bukan demi perempuan tua yang mengerikan!"
"Berapa lama kau akan menyesali hal yang sudah terjadi" Akan lebih bermanfaat kalau kau
menyanyikan kitab-kitab sutra. Hidup Amida Budha!"
Osugi meraba-raba di antara ranting-ranting patah dan rumput kering yang penuh percikan
darah, kemudian membungkuk ke rumput dan berlutut di atasnya. "Otsu," katanya, "jangan
kamu membenci aku. Sekarang tak ada lagi dendamku padamu, karena kau sudah mati. Semua
yang lalu itu suatu keharusan. Istirahatlah kamu dalam damai."
Ia meraba-raba dengan tangan kirinya dan mencekam rambut yang hitam itu.
Suara Takuan terdengar berderai-derai. "Otsu!" Terbawa angin gelap ke dalam ceruk itu,
terdengar seolah sumber suara itu pohon-pohon dan bintang-bintang sendiri.
"Belum juga Anda temukan?" tanyanya dengan suara agak tegang.
"Belum, dia tak ada di sekitar tempat ini." Pemilik penginapan tempat Osugi dan Otsu
tinggal itu menghapus keringat dari keningnya.
"Anda yakin apa yang Anda dengar itu betul?"
"Yakin betul. Sesudah kedatangan pendeta dari Kiyomizudera tadi, nyonya itu mendadak
pergi, katanya akan ke aula Dewa Gunung. Gadis itu ikut." Keduanya melipat tangan di
dada sambil berpikir. "Barangkali mereka naik terus, atau menyimpang ke tempat yang jauh dari jalan," kata
Takuan. "Kenapa Bapak begitu kuatir?"
"Saya kira Otsu telah diperdayakan."
"Apa betul perempuan tua itu begitu jahat?"
"Tidak," kata Takuan bingung. "Dia orang yang baik sekali."
"Oh, tidak, kalau mendengar apa yang baru Bapak ceritakan itu. Sekarang saya ingat
sesuatu." "Apa itu?" "Tadi saya lihat gadis itu menangis di kamarnya."
"Tapi itu mungkin tak banyak artinya."
"Perempuan tua itu bilang gadis itu tunangan anaknya."
"Tentu dia akan bilang begitu."
"Dari cerita Bapak, kelihatannya dendam kesumat yang membuat perempuan tua itu menyiksa
gadis itu." "Itu satu hal. Tap hal lain adalah kenapa dia membawa gadis itu ke gunung pada malam
gelap begini. Saya takut Osugi berencana membunuhnya."
"Membunuh" Lalu bagaimana Bapak bisa mengatakan tadi dia perempuan baik?"
"Sebab dialah yang disebut baik oleh dunia ini. Dia sering pergi memuja di
Kiyomizudera, kan" Pada waktu dia duduk di hadapan Kannon sambil memegang tasbih,
tentunya jiwanya dekat sekali dengan Kannon."
"Saya dengar dia berdoa juga untuk Budha Amida."
"Di dunia ini banyak orang Budhis seperti itu. Mereka disebut orang-orang yang percaya.
Mereka melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan, lalu mereka pergi ke kuil
dan berdoa untuk Amida. Mereka rupanya memikirkan perbuatan-perbuatan setani untuk
dapat diampuni Amida. Dengan senang hati mereka membunuh orang, dan yakin benar bahwa
kalau sesudah itu mereka datang kepada Amida, dosa-dosa mereka akan dihapuskan dan
sesudah mati mereka masuk -Surga- Barat. Orang-orang baik macam ini memang jadi
masalah." Matahachi menoleh ngeri ke sekitar, dan bertanya-tanya dalam hati dari mana datangnya
suara itu. "Dengar itu, Bu?" tanyanya gelisah.
"Kau kenal suara itu?" Osugi mengangkat kepala, tapi gangguan itu tak begitu
merisaukannya. Tangannya masih mencengkeram rambut itu, dan pedangnya tetap dalam
kedudukan siap membabat. "Dengar! Lagi!"
"Aneh. Kalau ada yang mencari Otsu, tentunya anak yang namanya Jotaro."
"Itu suara lelaki."
"Ya, aku tahu, dan kupikir sudah pernah aku mendengar suara itu."
"Berat ini kelihatannya. Sekarang lupakan kepala itu, Bu. Bawa lentera itu. Ada orang
datang!" "Kemari?" "Ya, dua orang. Ayo kita lari."
Bahaya menyatukan ibu dan anak itu seketika, tapi Osugi tidak juga dapat melepaskan
diri dari tugasnya yang berlumuran darah itu.
"Tunggu sebentar," katanya. "Aku tak bisa kembali tanpa kepala ini, padahal sudah pergi
sejauh ini. Kalau tidak kubawa, bagaimana aku bisa membuktikan sudah membalas dendam"
Sebentar lagi aku menyusul."
"Oh!" keluh Matahachi gemas.
Tiba-tiba dari bibir Osugi tercetus teriakan ngeri. Ia jatuhkan kepala itu. Ia setengah
berdiri, terhuyung-huyung, dan rebah di tanah.
"Bukan dia!" jeritnya. la menebas-nebaskan tangannya dan mencoba berdiri, tapi jatuh
kembali. Matahachi melompat mendekat untuk melihat, dan gagapnya, "A-a-apa?"
"Lihat, ini bukan Otsu! Ini lelaki... pengemis... cacat..."
"Lho, mustahil," seru Matahachi. "Aku kenal orang ini."
"Apa" Temanmu?"
"Bukan! Dia yang memperdayakan aku supaya menyerahkan semua uangku padanya," ucapnya.
"Apa kerja penipu kotor macam Akakabe Yasoma ini di dekat-dekat kuil?"
"Siapa di sana?" seru Takuan. "Otsu, kamu, ya?" Tiba-tiba ia sudah berdiri di belakang
mereka. Kaki Matahachi lebih cekatan daripada kaki ibunya. Cepat ia berlari dan hilang dari
pandangan, tapi Takuan berhasil mengejar ibunya dan mencengkeram kerahnya.
"Tepat seperti dugaanku. Dan aku yakin, anakmu tercinta yang lari itu. Matahachi! Apa
maksudmu lari meninggalkan ibumu" Orang udik tak kenal terima kasih! Balik sini!"
Osugi menggeliat-geliat sengsara di lutut Takuan, tapi tak sedikit pun ia kehilangan
keberanian. "Siapa kamu?" tanyanya marah. "Apa maumu?"
Takuan melepaskannya, dan katanya, "Lupa padaku, Nek" Nenek sudah pikun tentunya."
"Takuan!" "Heran, ya?" "Kenapa mesti heran. Pengemis macam kamu dapat pergi ke mana kau suka. Cepat atau
lambat kau pasti hanyut ke Kyoto."
"Betul, Nek," sahut Takuan menyeringai. "Tepat seperti yang Nenek katakan. Aku sudah
mengembara ke Lembah Koyagyu dan Provinsi Izumi, tapi kemudian tiba di ibu kota, dan
semalam di rumah seorang teman aku mendengar berita yang menguatirkan. Kusimpulkan
berita itu penting sekali dan aku harus bertindak."
"Apa hubungannya itu denganku?"
"Kukira Otsu bersamamu, dan aku sedang mencarinya."
"Huh!" "Nek!" "Apa?" "Di mana Otsu?"
"Aku tak tahu."
"Tak percaya." "Pak," kata pemilik warung. "Ada darah tumpah di sini. Masih segar." Dan ia mendekatkan
lenteranya ke mayat itu. Kening Takuan mengerut kaku. Melihat ia sibuk berpikir, Osugi bangkit dan melarikan
diri. Tanpa bergerak sedikit pun pendeta itu berseru, "Tunggu, Nek! Nenek tinggalkan
rumah buat membersihkan nama, kan" Apa Nenek mau pulang sekarang dengan nama yang lebih
kotor lagi" Nenek bilang sayang anak. Apa Nenek mau meninggalkan dia padahal sudah
bikin dia sengsara?" Daya suaranya yang menggelegar itu melingkupi Osugi, membuat ia
berhenti seketika. Dengan wajah buruk akibat kerut-merut menantang, Osugi berteriak, "Menodai nama
keluarga dan bikin anak tidak bahagia" Apa maksudmu?"
"Tepat seperti yang kukatakan ini."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sinting!" Dan ia tertawa singkat mencemooh. "Siapa kau ini" Kau ke sana kemari makan
makanan orang lain, hidup di kuil-kuil orang lain, buang air di lapangan terbuka. Apa
yang kauketahui tentang kehormatan keluarga" Apa pengetahuanmu tentang cinta ibu pada
anaknya" Pernah kau menanggung derita seperti yang dipikul orang biasa" Sebelum
menasihati orang lain apa yang mesti dikerjakannya, coba dulu kerja dan beri makan
dirimu sendiri, seperti semua orang lain."
"Ucapan Nenek mengena sekali, dan aku memang merasakannya. Ada memang pendeta-pendeta
lain di dunia ini yang mesti kukatai demikian juga. Tapi aku sudah mengatakan, aku
bukan tandingan Nenek dalam perang kata-kata, dan kulihat lidah Nenek masih tajam
seperti dulu." "Dan masih ada hal-hal penting lain yang mesti kulakukan di dunia ini. Tak usah kau
menduga bahwa satu-satunya kebiasaanku ini cuma ngomong."
"Sudah. Sekarang aku mau bicara tentang yang lain-lain dengan Nenek."
"Soal apa itu?"
"Malam ini Nenek suruh Matahachi membunuh Otsu, kan" Dan kuduga kalian berdua sudah
membunuhnya." Sambil menjulurkan lehernya yang sudah berkerut, Osugi tertawa menghina. "Takuan, kau
boleh saja terus membawa lentera dalam hidup ini, tapi tak ada faedahnya buatmu kalau
kau tidak membuka matamu. Apa artinya mata itu" Apa sekadar lubang di kepalamu atau
hiasan lucu?" Takuan, yang merasa sedikit tidak enak, akhirnya memperhatikan tempat terjadinya
pembunuhan. Selagi ia menengadah lega, perempuan tua itu berkata, kali ini dengan sikap benci,
"Kukira kau senang yang terbunuh bukan Otsu. Tapi jangan kira aku lupa, kaulah comblang
kotor yang mempertemukan Otsu dan Musashi, dan menyebabkan kesulitan ini."
"Kalau begitu perasaan Nenek, bagus. Tapi aku tahu Nenek orang saleh, dan menurutku
Nenek tak boleh pergi meninggalkan tubuh ini tergeletak di sini."
"Tadi orang itu sudah hampir mati dan menggeletak di situ. Matahachi membunuhnya, tapi
itu bukan kesalahan Matahachi."
"Ronin ini memang agak sinting," kata pemilik warung. "Beberapa hari terakhir dia
sempoyongan di kota, mulutnya mengeluarkan air liur. Di kepalanya ada benjolan besar
sekali." Osugi tak memperlihatkan peduli sama sekali, dan membalikkan tubuh untuk pergi. Takuan
minta pemilik warung mengurus mayat itu, lalu mengikuti Osugi. Osugi jengkel sekali
karenanya, tapi ketika ia menoleh untuk melecutkan lagi lidahnya yang berbisa,
Matahachi memanggilnya pelan, "Ibu."
Ia mendekati suara itu dengan gembira. Bagaimanapun, Matahachi anak baik. Ia tetap
tinggal di situ untuk meyakinkan dirinya bahwa ibunya selamat. Mereka berbisik-bisik,
dan agaknya mengambil kesimpulan bahwa mereka belum sama sekali lepas dari bahaya
akibat hadirnya si pendeta, karena itu mereka lari secepat-cepatnya ke kaki bukit.
"Tak ada gunanya," bisik Takuan. "Melihat perbuatannya, mereka takkan mendengarkan apa
pun yang kukatakan. Oh, sekiranya dunia dapat dilepaskan dari macam-macam salah
pengertian yang tolol, orang yang menderita tidak akan sebanyak ini."
Tapi sekarang ini ia mesti menemukan Otsu. Otsu berhasil meloloskan diri. Semangat
Takuan meningkat sedikit, tapi ia belum dapat benar-benar merasa tenang sebelum yakin
Otsu selamat. Ia memutuskan meneruskan pencarian, sekalipun suasana gelap.
Pemilik warung sudah lebih dahulu mendaki bukit, dan kini ia turun kembali disertai
tujuh atau delapan orang yang membawa lentera. Para penjaga malam di kuil itu datang
membawa sekop, siap membantu penguburan. Tak lama kemudian Takuan mendengar bunyi
galian kubur yang tak menyenangkan itu.
Ketika kira-kira lubang sudah cukup dalam, ada orang berteriak, "Hai, lihat, di sini
ada tubuh lain! Tubuh gadis manis!" Orang itu sekitar sepuluh meter jauhnya dari
kuburan, di ujung sebuah paya.
"Mati?" "Tidak, cuma tidak sadar."
*** 38. Tukang yang Santun SAMPAI hari meninggalnya, ayah Musashi tak berhenti mengingatkan Musashi akan
leluhurnya. "Aku memang hanya samurai desa," katanya, "tapi jangan sekali-kali lupa,
marga Akamatsu pernah terkenal dan perkasa. Hal itu mesti menjadi sumber kekuatan dan
kebanggaanmu." Karena berada diKyoto, Musashi memutuskan untuk mengunjungi Kuil Rakanji. Di dekat kuil
itu Keluarga Akamatsu pernah memiliki rumah. Marga itu sudah lama runtuh, tapi ada
kemungkinan Musashi menemukan catatan tentang leluhurnya di kuil itu. Seandainya tak
dapat menemukannya, ia masih dapat membakar dupa untuk mengenang mereka.
Sampai Jembatan Rakan yang melintasi Kogawa Hilir, ia merasa sudah sampai dekat kuil
itu, karena kata orang kuil itu terletak agak ke timur dari tempat beralihnya Kogawa
Hulu menjadi Kogawa Hilir. Ia bertanya pada orang-orang sekitar tempat itu, tapi tidak
berhasil. Tak seorang pun pernah mendengar tentang kuil itu.
Ia kembali ke jembatan, berdiri memandang air jernih dangkal yang mengalir di bawahnya.
Belum lama Munisai meninggal, tapi rupanya kuil itu sudah dipindahkan atau hancur,
tidak ada lagi sisa-sisanya atau kenangannya.
Dengan malas ia memandang pusaran putih yang sekali muncul sekali menghilang, kemudian
muncul dan menghilang kembali. Melihat lumpur yang menetes-netes dari petak berumput di
tepi kiri, ia menyimpulkan bahwa lumpur itu berasal dari bengkel pengasah pedang.
"Musashi!" Musashi menoleh, dan tampaklah olehnya biarawati tua Myoshu kembali dari melakukan
tugas. "Terima kasih kamu datang kemari," serunya. Disangkanya Musashi ada di situ untuk
berkunjung. "Koetsu ada di rumah hari ini. Dia pasti senang bertemu kamu." Ia mengantar
Musashi melewati gerbang rumah yang tak jauh letaknya dari situ dan menyuruh seorang
pesuruh menjemput anaknya.
Koetsu menyambut tamunya dengan hangat, katanya, "Saat ini aku sedang sibuk melakukan
asahan penting, tapi nanti kita akan dapat mengobrol leluasa. "
Musashi merasa senang melihat kedua ibu dan anak itu bersikap akrab dan wajar,
sebagaimana waktu mereka pertama kali bertemu. Sore dan malam itu ia mengobrol dengan
mereka, dan ketika mereka mendesaknya
untuk bermalam, ia menerimanya. Hari berikutnya, ketika Koetsu memperlihatkan kepadanya
bengkelnya dan menjelaskan teknik mengasah pedang, ia minta Musashi tinggal di sana
seberapa lama ia suka. Rumah yang gerbangnya tampak sederhana itu berdiri di sebuah sudut tenggara reruntuhan
Jissoin. Di seputar tempat itu terdapat beberapa rumah milik saudara sepupu dan
kemenakan Koetsu, atau orang-orang lain yang sama pekerjaannya. Semua anggota Keluarga
Hon'ami hidup dan bekerja di sini, seperti gaya marga-marga di provinsi besar di masa
lalu. Keluarga Hon'ami berasal dari keluarga militer yang cukup terkemuka dan menjadi abdi
para shogun Ashikaga. Dalam hierarki sosial sekarang, keluarga itu tergolong kelas
tukang, tapi dilihat dari kekayaan dan prestisenya, Koetsu dianggap anggota kelas
samurai. Ia bergaul rapat dengan kaum bangsawan tinggi istana dan pernah diundang oleh
Tokugawa Ieyasu datang ke Benteng Fushimi.
Kedudukan seperti yang dimiliki keluarga Hon'ami itu tidak istimewa. Kebanyakan tukangtukang dan saudagar-saudagar kaya zaman itu-di antaranya Suminokura Soan, Chaya
Shirojiro, dan Haiya Shoyu-adalah keturunan samurai. Di bawah para shogun Ashikaga,
nenek moyang mereka itu diserahi pekerjaan yang ada hubungannya dengan pembuatan barang
atau perdagangan. Keberhasilan yang mereka capai dalam bidang-bidang itu sedikit demi
sedikit mengakibatkan putusnya hubungan mereka dengan kelas militer, dan ketika
perusahaan swasta mulai mendatangkan untung, mereka tidak lagi tergantung pada upah
feodal mereka. Sekalipun tingkat sosial mereka lebih rendah daripada tingkat sosial
prajurit, mereka itu kuat sekali.
Untuk bisnis, status samurai lebih bersifat menghalangi daripada membantu. Dan lagi ada
keuntungan-keuntungan yang pasti kalau orang menjadi orang biasa, terutama dalam hal
kestabilan. Apabila meletus pertempuran, saudagar-saudagar besar biasanya dilindungi
kedua pihak yang bertempur. Benar, mereka kadang-kadang dipaksa menyediakan perbekalan
militer dengan pembayaran kecil atau tanpa pembayaran, tapi mereka menganggap beban ini
sebagai sekadar pembayaran untuk mengganti harta benda yang hancur selama perang.
Selama berlangsungnya perang Onin tahun 1460-an dan 1470-an, seluruh daerah sekitar
reruntuhan Jissoin diratakan dengan tanah, bahkan sekarang orang-orang yang menanam
pohon di sana sering masih menemukan bagian-bagian pedang atau topi baja yang berkarat.
Gedung kediaman Hon'ami adalah satu dari yang pertama dibangun di sekitar tempat icu
sesudah perang. Cabang Sungai Arisugawa mengalir melintasi tempat itu, mula-mula berkelok-kelok
melintasi sekitar satu ekar kebun sayuran, kemudian menghilang ke tengah semak, dan
akhirnya muncul lagi dekat sumur tak jauh dari depan bangunan utama. Ada satu cabangnya
yang mengalir menuju sebuah warung teh sederhana dan kasar, di mana air jernihnya
dipergunakan untuk upacara teh. Sungai itu merupakan sumber air bagi bengkel tempat
pedang yang ditempa ahli seperti Masamune, Muramasa, dan Osafune, digosok dengan
cermat. Karena bengkel itu suci bagi keluarga itu, maka ada tali yang digantungkan di
atas jalan masuknya, seperti di kuil-kuil Shinto.
Hampir tanpa sepengetahuannya empat hari telah berlalu, dan Musashi memutuskan untuk
meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum ia mendapat kesempatan menyampaikannya, Koetsu
sudah berkata, "Kami barangkali tak banyak menghiburmu, tapi kalau engkau tidak bosan,
tinggallah di sini semaumu. Di kamar belajarku ada buku-buku tua dan barang-barang
menarik. Kalau kau suka memperhatikannya, lihatlah dengan sebebasnya. Sehari-dua hari
lagi aku akan membakar mangkuk dan pinggan teh. Mungkin engkau akan suka melihatnya.
Engkau akan melihat nanti bahwa keramik hampir sama menariknya dengan pedang. Mungkin
engkau dapat membuat satu-dua model sendiri."
Tersentuh oleh ramahnya undangan dan kata-kata tuan rumah bahwa takkan ada orang
tersinggung kalau ia memutuskan untuk pergi seketika, Musashi memutuskan tinggal di
situ dan menikmati suasana santai itu. Ia jauh dari merasa bosan. Kamar belajar itu
berisi buku-buku dalam bahasa Cina dan Jepang, lukisan-lukisan gulung dari zaman
Kamakura, salinansalinan kaligrafi dari ahli-ahli Cina, dan berlusin-lusin karya lain
lagi yang masing-masing dapat dengan senang dinikmati oleh Musashi untuk sehari atau
lebih. Terutama la tertarik pada sebuah lukisan yang tergantung di ceruk kamar. Lukisan
itu berjudul Buah Berangan oleh pelukis ulung Liangk'ai dari zaman Sung. Lukisan itu
kecil, sekitar enam puluh senti tingginya dan lima belas senti lebarnya, sudah demikian
tua, sehingga tak mungkin orang mengatakan jenis kertas apa yang dipakai melukis.
Musashi duduk memandangnya pada jam-jam tertentu. Akhirnya pada suatu hari ia
menyatakan pada Koetsu, "Saya yakin tak ada pelukis amatir awam yang dapat membuat
lukisan seperti yang Bapak lukis, tapi ingin tahu juga saya, apakah saya tak dapat
membuat lukisan sesederhana itu?"
"Sebaliknya," jelas Koetsu. "Orang dapat belajar melukis seperti aku. Tetapi di dalam
lukisan Liang-k'ai itu terdapat kedalaman dan keagungan spiritual yang tak dapat
dicapai hanya dengan mempelajari seni."
"Apakah benar demikian?" tanya Musashi heran. Dan ia pun diyakinkan bahwa memang
demikianlah adanya. Lukisan itu hanya memperlihatkan seekor bajing yang memperhatikan dua buah berangan
yang jatuh. Yang satu terbuka dan yang lain masih utuh, seakan-akan ia ingin mengikuti
dorongan alamiahnya untuk melalap buah berangan itu, tetapi ragu-ragu karena takut pada
durinya. Karena lukisan itu dibuat bebas sekali dengan tinta hitam, maka mulanya
Musashi merasa lukisan itu tampak naif. Tapi sesudah berbicara dengan Koetsu, semakin
diperhatikannya semakin jelas ia melihat bahwa seniman itu benar.
Pada suatu sore, Koetsu datang dan berkata, "Engkau memperhatikan lukisan Liang-k'ai
lagi" Rupanya kau suka sekali dengannya. Kalau nanti kau pergi, gulung itu dan bawa
pulang. Aku senang engkau memilikinya."
Tapi Musashi keberatan. "Berat rasanya saya menerimanya. Terlalu lama tinggal di rumah
ini saja sudah kurang baik buat saya. Tentunya lukisan ini pusaka keluarga!"
"Tapi engkau menyukainya, kan?" Orang tua itu tersenyum ramah. "Kau boleh memilikinya,
kalau kau mau. Aku betul-betul tidak membutuhkannya. Lukisan mesti dimiliki oleh orangorang yang betul-betul mencintai dan menghargainya. Aku yakin itulah yang diinginkan
oleh si seniman." "Kalau demikian pendapat Bapak, saya bukan orangnya yang mesti memiliki lukisan seperti
itu. Terus terang, sudah beberapa kali saya berpikir, senang rasanya memilikinya, tapi
kalau saya memilikinya, apa yang akan saya buat dengannya" Saya hanya pemain pedang
pengembara. Saya tak pernah tinggal di satu tempat."
"Saya kira memang repot sekali membawa-bawa lukisan ke mana kita pergi. Pada umur
seperti sekarang ini barangkali engkau pun belum ingin memiliki rumah sendiri, tapi
kupikir setiap orang mesti memiliki tempat yang dia pandang sebagai rumahnya, sekalipun
tak lebih dari sebuah gubuk kecil. Tanpa rumah, orang bisa kesepian-merasa bingung.
Bagaimana kalau engkau mengumpulkan balok dan kemudian membangun pondok di sudut kota
yang tenang?" "Tak pernah saya memikirkan hal itu. Saya ingin melakukan perjalanan ke tempat-tempat
jauh, pergi ke ujung terjauh Kyushu, dan melihat bagaimana orang hidup di bawah
pengaruh asing di Nagasaki. Dan saya ingin sekali melihat ibu kota baru yang sedang
dibangun oleh shogun di Edo; juga melihat gunung-gunung besar dan sungai-sungai di
Honshu Utara. Barangkali di dalam hati ini, saya hanya seorang pengelana."
"Engkau sama sekali bukan satu-satunya. Itu wajar sekali, tapi kau harus menghindari
godaan untuk berpikir bahwa impian-impian itu hanya dapat ditujukan di tempat yang jauh
letaknya. Kalau engkau berpikir seperti itu, engkau akan mengabaikan kemungkinan dalam
lingkunganmu yang terdekat. Aku kuatir kebanyakan orang muda memang berpikir demikian,
lalu kecewa dengan hidupnya." Koetsu tertawa. "Tapi orang tua malas macam aku ini tak
ada urusan berkhotbah kepada orang muda. Bagaimanapun, aku datang kemari bukan untuk
bicara tentang itu. Aku datang untuk mengajakmu pergi malam ini. Pernah engkau pergi ke
daerah lokalisasi?" "Daerah geisha?"
"Ya. Aku punya teman, namanya Haiya Shoyu. Walaupun umurnya sudah lanjut, selalu ada
saja yang dilakukannya. Baru saja aku menerima suratnya yang mengundangku ikut dia di
dekat Jalan Rokujo malam ini. Aku ingin tahu apa engkau mau ikut."
"Tidak, saya kira tidak."
"Kalau engkau benar-benar tak ingin, aku takkan memaksa, tapi kupikir akan menarik
untukmu." Myoshu, yang diam-diam datang mendekat dan mendengarkan percakapan mereka dengan penuh
perhatian, menyela, "Kupikir kau mesti pergi, Musashi. Kesempatan melihat hal yang
belum kaulihat. Haiya Shoyu bukan orang yang mesti dihadapi dengan kaku dan resmi, dan
aku percaya kau akan menikmati pengalaman itu. Biar bagaimana, pergilah!"
Biarawati tua itu pergi ke lemari dan megeluarkan kimono dan obi. Pada umumnya orangorang tua berusaha benar mencegah orang muda membuang-buang waktu luangnya di rumah
geisha, tapi Myoshu begitu bersemangat, seakan ia sendiri pun siap pergi.
"Nah, coba lihat, mana kimono yang kamu suka?" tanyanya. "Obi ini cocok, tidak?" Sambil
terus mengoceh, ia sibuk mengeluarkan barangbarang untuk Musashi, seakan Musashi
anaknya. Ia pilih kotak obat pernis, sebilah pedang pendek dekoratif, dan sebuah dompet
brokat. Kemudian ia ambil beberapa mata uang emas dari laci uang dan ia masukkan dalam
dompet itu. "Yah," kata Musashi yang kini hampir hilang enggannya, "kalau Ibu mendesak, saya akan
pergi, tapi saya takkan pantas dengan barang-barang bagus itu. Saya memakai kimono tua
yang saya pakai ini saja. Saya tidur dengan kimono ini, kalau sedang di udara terbuka.
Saya terbiasa dengannya."
"Oh, kamu tak boleh begitu!" kata Myoshu tegas. "Kau sendiri barangkali tak apa-apa,
tapi pikirkan orang-orang lain! Di kamar yang indah itu nanti kau bisa kelihatan tak
lebih dari gombal kotor. Orang pergi ke sana untuk bersenang-senang dan melupakan
kesulitan hidup. Mereka ingin dilingkari barang-barang bagus. Jangan mengira ke sana
itu cuma bersolek supaya kau tampak seperti orang lain. Dan lagi pakaian ini tidak
seindah yang dipakai orang-orang lain. Cuma bersih dan rapi. Nah, pakailah sekarang!"
Musashi menurut. Sesudah ia berpakaian, kata Myoshu riang, "Nah, kelihatan tampan sekali kamu sekarang."
Ketika akan berangkat, Koetsu pergi ke altar Budha di rumah dan menyalakan lilin di
situ. Ia dan ibunya anggota setia sekte Nichiren.
Di pintu depan, Myoshu meletakkan dua pasang sandal dengan tali baru. Ketika mereka
sedang mengenakannya, Myoshu berbisik-bisik dengan salah seorang pembantu yang berdiri
menanti untuk menutup gerbang depan sesudah mereka pergi.
Koetsu mengucapkan selamat tinggal pada ibunya, tapi ibunya cepat memandangnya,
katanya, "Tunggu sebentar." Wajahnya tampak kusut karena kerutan kekuatiran.
"Ada apa?" "Dia bilang tiga samurai bertampang angker baru saja datang dan bicara kasar sekali.
Apa menurutmu penting?"
Koetsu memandang Musashi dengan nada bertanya.
"Tak ada alasan untuk takut," kata Musashi menenangkan. "Mereka barangkali dari
Keluarga Yoshioka. Mereka bisa menyerang saya, tapi mereka tak punya soal dengan
Bapak." "Salah seorang pembantu itu mengatakan beberapa hari lalu terjadi hal serupa. Cuma
seorang samurai, tapi dia datang lewat gerbang tanpa dipersilakan dan melongok lewat
pagar dekat jalan ke warung teh, ke arah bagian rumah tempat kamu tinggal."
"Kalau begitu, saya yakin mereka orang-orang Yoshioka."
"Kupikir juga begitu," kata Koetsu menyetujui. Ia menoleh kepada penjaga gerbang yang
gemetaran. "Apa kata mereka?"
"Para pekerja sudah pulang semua, dan saya baru saja mau menutup gerbang, tapi tibatiba samurai itu mengepung saya. Seorang dari mereka yang kelihatan gampang marah
mengeluarkan surat dari dalam kimononya dan memerintahkan saya menyampaikan surat itu
kepada tamu yang tinggal di sini."
"Dia tidak bilang Musashi?"
"Ya, kemudian dia bilang 'Miyamoto Musashi'. Dan dia bilang Musashi sudah tinggal di
sini beberapa hari."
"Lalu apa katamu?"
"Bapak sudah kasih perintah tidak bicara tentang Musashi kepada orang lain, jadi saya
menggeleng dan bilang tak ada orang dengan nama itu di sini. Dia marah dan menyebut


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya pembohong, tapi seorang dari mereka yang agak lebih tua dan selalu senyum
menenangkan dia dan mengatakan mereka akan mencari jalan menyampaikan surat itu
langsung. Saya tak mengerti apa yang dia maksud, tapi kedengarannya seperti ancaman.
Lalu mereka pergi ke sudut di sana itu."
"Bapak sebaiknya berjalan sedikit di depan saya," kata Musashi. "Saya tak ingin Bapak
terluka atau terlibat kesulitan karena saya."
Koetsu menjawab dengan tertawa, "Tak perlu kuatir dengan aku, terutama kalau kau yakin
mereka itu orang-orang Yoshioka. Aku sama sekali tidak takut pada mereka. Mari jalan."
Sesudah berada di luar, Koetsu kembali melongokkan kepala ke pintu kecil pada gerbang
dan memanggil, "Bu!"
"Ada yang terlupa?" tanya ibunya.
"Tidak, cuma terpikir olehku, kalau Ibu kuatir denganku aku dapat menyuruh orang ke
Shoyu, mengatakan padanya aku tak dapat datang malam ini."
"Oh, tidak. Aku lebih takut akan terjadi apa-apa dengan Musashi. Tapi kupikir dia
takkan kembali, biarpun kau mencoba menghentikannya. Pergilah. dan mudah-mudahan
senang!" Koetsu menyusul Musashi, dan ketika mereka sudah berjalan santai menyusuri tepi sungai,
Koetsu berkata, "Rumah Shoyu di sana, di Jalan Ichijo dan Jalan Horikawa. Barangkali
dia sudah siap-siap sekarang, jadi mari kita menjemputnya. Rumahnya di tengah
perjalanan." Hari masih terang. Berjalan sepanjang sungai itu menyenangkan, lebih-lebih karena
sedang senggang sekali pada waktu semua orang lain sedang sibuk.
Kata Musashi, "Saya sudah pernah mendengar nama Haiya Shoyu, tapi saya tidak tahu apaapa tentang dia."
"Aku heran kau belum pernah mendengar tentangnya. Dia terkenal ahli dalam membuat sajak
berangkai." "Oh! Jadi, dia penyair!"
"Ya, tapi tentu saja dia tidak hidup dari menulis sajak. Dia berasal dari keluarga
saudagar Kyoto lama."
"Dari mana dia mendapat nama Haiya?"
"Itu nama usahanya."
"Apa yang dia jual?"
"Namanya itu artinya 'penjual abu', dan memang itu yang dia jual abu."
"Abu?" "Ya, abu itu dipakai untuk mencelup kain. Oh, itu usaha besar. Dia menjualnya pada
serikat-serikat pencelup besar di seluruh negeri. Pada permulaan zaman Ashikaga,
perdagangan abu dikendalikan oleh agen shogun, tapi kemudian diserahkan kepada grosir
swasta. Di Kyoto ada tiga rumah grosir besar, dan Shoyu satu di antaranya. Dia sendiri
tentu saja tidak perlu kerja. Dia sudah berhenti kerja dan hidup tenteram. Lihat ke
sana itu, kau bisa melihat rumahnya yang gerbangnya bergaya itu."
Sementara mendengarkan, Musashi mengangguk-angguk, tapi perhatiannya teralih kepada
rasa di lengan kimononya. Lengan sebelah kanan melambailambai ringan oleh angin, tapi
lengan kiri tak bergerak sama sekali. Ia masukkan tangannya dan ia keluarkan sebuah
benda, cukup untuk melihat barang apa itu-tali kulit ungu yang baik samakannya, seperti
yang biasa dipakai para prajurit untuk mengikat lengan kimono waktu berkelahi.
"Myoshu," pikirnya. "Hanya dia yang mungkin memasukkannya."
Ia menoleh ke belakang dan tersenyum pada orang-orang lelaki di belakang mereka.
Sepengetahuannya, sejak ia dan Koetsu keluar dari Jalan Hon'ami, mereka membuntutinya
pada jarak yang cukup hati-hati.
Senyuman itu agaknya melegakan hati ketiga orang itu. Mereka berbisik-bisik sedikit,
lalu mengambil langkah lebih panjang.
Tiba di rumah Haiya, Koetsu membunyikan genta di pintu gerbang, dan seorang pembantu
yang membawa sapu datang mempersilakan mereka. Ketika Koetsu melewati pintu gerbang dan
berada di halaman muka, barulah ia tahu bahwa Musashi tidak bersamanya. Sambil menoleh
ke pintu gerbang ia berseru, "Masuk, Musashi. Tak usah ragu-ragu."
Ketiga samurai itu mengepung Musashi, menyorongkan siku, dan mencengkeram pedang.
Koetsu tak dapat menangkap apa yang mereka katakan kepada Musashi dan apa jawaban lirih
Musashi. Musashi minta Koetsu untuk tidak menunggu, dan Koetsu menjawab dengan nada tenang
sekali, "Baik, aku di rumah itu. Ikutlah aku nanti, begitu engkau selesai dengan
urusanmu." Salah seorang samurai itu berkata, "Kami di sini bukan untuk berbantah tentang apakah
Anda sudah lari sembunyi atau tidak. Nama saya Otaguro Hyosuke. Saya seorang dari
Sepuluh Pemain Pedang Perguruan Yoshioka. Saya membawa surat dari adik Seijuro,
Denshichiro." Ia mengeluarkan surat itu dan memperlihatkannya kepada Musashi. "Silakan
baca, dan berikan balasannya segera."
Musashi membukanya biasa saja, membacanya cepat, dan katanya, "Saya terima."
Hyosuke memandangnya curiga. "Anda yakin?"
Musashi mengangguk. "Yakin sekali."
Sikap Musashi yang tidak formal itu membuat mereka tak lagi berjaga-jaga.
"Kalau Anda tidak memenuhi janji, Anda takkan dapat lagi memperlihatkan muka di Kyoto."
Pandangan mata Musashi disertai senyum simpul, tapi la tidak mengatakan sesuatu.
"Anda puas dengan persyaratannya" Tak banyak lagi waktu buat Anda mempersiapkan diri."
"Saya sudah siap," jawab Musashi tenang.
"Kalau begitu, kami akan bertemu lagi dengan Anda malam ini."
Ketika Musashi melewati gerbang, Hyosuke mendekatinya lagi dan bertanya, "Anda akan di
sini sampai waktu yang sudah ditentukan itu?"
"Tidak. Tuan rumah mengajak saya pergi ke daerah lokalisasi dekat Jalan Rokujo."
"Daerah lokalisasi?" tanya Hyosuke heran. "Kalau begitu, Anda di sini atau di sana.
Kalau Anda terlambat, akan saya kirim orang menjemput Anda. Saya percaya Anda takkan
menggunakan tipu daya."
Musashi sudah membalikkan badan dan memasuki halaman depan, satu langkah yang
membawanya ke suatu dunia lain.
Batu-batu pijakan yang bentuknya tidak teratur dan bertebaran secara asal saja di
halaman itu kelihatan begitu alamiah. Di kiri-kanan terdapat rumpun bambu basah, pendek
seperti pakis, di sana-sini disela rebung yang lebih tinggi, tidak lebih besar dari
kuas tulis. Ketika ia berjalan terus, tampaklah olehnya atap bangunan utama, kemudian
pintu depan, sebuah rumah kecil terpisah dan rumah musim panas di halaman. Masing-
masing ikut menciptakan suasana kuno yang patut dimuliakan dan tradisi lama. Di sekitar
semua bangunan itu tumbuh pohon-pohon pinus tinggi yang mengingatkan orang pada
kemakmuran dan kenyamanan.
Musashi mendengar orang bermain bola sepak. Bunyi gedebak-gedebuk itu sering terdengar
dari belakang dinding rumah persemayaman para bangsawan istana. Ia heran mendengarnya
dari rumah saudagar. Sampai di rumah, ia dipersilakan masuk ruangan yang menghadap halaman. Dua pelayan
masuk membawa teh dan kue-kue, seorang antaranya menyampaikan bahwa tuan rumah akan
segera datang. Melihat tingkah laku para pelayan, Musashi dapat mengatakan bahwa mereka
terlatih sempurna. Koetsu berbisik, "Sesudah matahari terbenam, udara dingin, ya?" Ia berharap agar shoji
ditutup, tapi ia tidak memintanya karena Musashi rupanya menikmati pemandangan kembang
prem. Koetsu melayangkan juga mata ke arah pemandangan itu. "Aku melihat ada awan di
atas Gunung." ucapnya. "Kukira dari utara. Apa engkau tidak kedinginan?"
"Tidak terlalu," jawab Musashi jujur, sama sekali tidak menangkap isyarat temannya.
Seorang pelayan membawa tempat lilin, dan Koetsu menggunakan kesempatan itu untuk
menutup shoji. Musashi jadi sadar akan suasana ruangan itu, damai. Sambil mendengarkan
suara-suara yang datang dari halaman dalam rumah, ia terpukau oleh tiadanya sama sekali
sifat bermegah-megah, seakan-akan dekorasi lingkungan itu dengan sengaja dibuat
sesederhana mungkin. Bahkan terbayang olehnya dirinya sedang berada di kamar sebuah
pertanian besar di pedesaan.
Haiya Shoyu memasuki ruangan, katanya, "Saya minta maaf merepotkan Anda sekalian
menunggu demikian lama." Suaranya yang terbuka, bersemangat, dan mengandung kemudaan
itu berlawanan dengan suara Koetsu lembut diseret-seret. Orangnya kurus seperti burung
bangau, umurnya sepuluh tahun lebih tua dari temannya, tapi wataknya periang. Ketika
Koetsu menjelaskan tentang Musashi, ia mengatakan. "Jadi Anda ini kemenakan Matsuo
Kaname" Saya kenal baik dengan dia.'
Perkenalan Shoyu dengan pamannya itu tentunya lewat keluarga pikir Musashi yang mulai
merasakan eratnya hubungan antara saudagar kaya dengan orang-orang istana.
Tanpa berpanjang kata, saudagar tua yang gesit itu berkata, "Mari kita jalan sekarang.
Tadinya saya bermaksud pergi sementara hari masih terang, supaya kita dapat
bercengkerama. Tapi karena sekarang sudah gelap, aku pikir kita mesti panggil joli.
Saya percaya, orang muda ini ikut kita."
Joli pun dipanggil, dan ketiga orang itu berangkat, Shoyu dan Koetsu di depan, dan
Musashi di belakang. Itulah pertama kali Musashi naik joli.
Ketika mereka sampai Lapangan Berkuda Yanagi, para pemikul sudah mengepulkan uap putih.
"Oh, dingin!" keluh salah seorang. "Anginnya menusuk-nusuk, ya?"
"Padahal katanya ini musim semi!"
Lentera mereka terayun ke sana kemari, berkelip-kelip tertiup angin. Awan gelap di atas
kota mengalamatkan datangnya cuaca yang lebih buruk lagi sebelum malam berlalu. Di
seberang lapangan berkuda, lampu-lampu kota bersinar penuh semarak. Musashi mendapat
kesan seolah-olah lautan kunang-kunang berkelip-kelip riang di tengah angin yang dingin
jernih. "Musashi!" panggil Koetsu dari joli tengah. "Kita ke sana itu. Rasanya aneh mendadak
pergi ke sana , ya?" Ia menjelaskan bahwa sampai tiga tahun lalu, daerah lokalisasi itu
terletak di Jalan Nijo, dekat istana, tapi kemudian Hakim Itakura Katsushige
memindahkannya, karena suara nyanyian dan mabuk-mabukan pada malam hari mengganggu
sekali. Ia mengatakan bahwa seluruh daerah itu berkembang pesat. Semua mode baru
berasal dari tengah deretan lampu itu.
"Kita hampir dapat mengatakan bahwa suatu kebudayaan baru tercipta di sana." Sambil
berhenti dan mendengarkan sebentar dengan saksama, ia menambahkan, "Engkau dapat
mendengarnya, kan" Itu suara dawai dan nyanyian."
Musashi belum pernah mendengar jenis musik itu.
"Alat musiknya shamisen, versi yang sudah dikembangkan dari alat musik bersenar tiga
dari Kepulauan Ryukyu. Banyak sekali lagu baru diciptakan daerah ini, kemudian tersebar
di tengah penduduk biasa. Jadi, kau dapat mengerti, bagaimana berpengaruhnya daerah ini
dan mengapa ukuran-ukuran kesopanan tertentu mesti dipertahankan, sekalipun daerah itu
agak terpencil dari bagian kota yang lain."
Mereka membelok ke salah satu jalan lain. Cahaya lampu dan lentera gemilang yang tak
terhitung jumlahnya dan bergantungan di pohon-pohon Liu tercermin dalam mata Musashi.
Daerah itu tetap memakai nama lama sebelum dipindahkan, yaitu Yanagimachi, Kota Pohon
Liu, karena pohon Liu sudah lama dihubungkan orang dengan kebiasaan minum dan
membuangbuang waktu. Koetsu dan Shoyu dikenal orang di tempat yang mereka masuki itu. Sambutan orang terasa
menjilat, namun lucu. Segera menjadi jelas bahwa di sini mereka menggunakan nama-nama
julukan atau "nama ejekan". Koetsu dikenal dengan nama Mizuochi-sama-Tuan Air Terjunakibat sungai-sungai yang melintasi tanah miliknya, sedangkan Shoyu adalah Funabashisama-Tuan Jembatan Perahu-akibat jembatan ponton yang ada di dekat rumahnya.
Kalau Musashi menjadi pengunjung tetap tempat itu, pasti ia memperoleh nama julukan
sendiri, karena di tanah antah berantah ini hanya sedikit orang menggunakan nama
sebenarnya. Hayashiya Yojibei hanyalah nama samaran pemilik rumah yang mereka kunjungi
itu, tetapi la lebih sering dipanggil Ogiya, nama perusahaannya. Bersama dengan
Kikyoya, Ogiva adalah satu dari dua rumah yang paling terkenal di daerah itu. Hanya dua
itu saja yang dikenal betul-betul bereputasi kelas satu. Perempuan cantik yang paling
berkuasa di Ogiya adalah Yoshino Dayu, sedangkan rekanm-a di Kikyoya adalah Murogimi
Dayu. Kemasyhuran kedua wanita itu di seluruh kota hanya dapat tersaingi oleh
kemasyhuran daimyo terbesar.
Sekalipun Musashi berusaha keras untuk tidak menganga, ia terkagumkagum oleh keanggunan
lingkungan yang mendekati keanggunan istana-istana paling mewah itu. Langit-langitnya
yang rumit, lubang-lubang anginnya yang penuh ukiran dan sulaman, susuran tangganya
yang belekuk-lekuk indah, dan kebun-kebun dalamnya yang dirawat dengan teliti-semuanya
merupakan pesta bagi mata yang memandang. Karena sibuk menikmati lukisan pada daun
pintu kayu, ia tak sadar teman-temannya telah jauh di depan, sampai Koetsu kembali
menjemputnya. Pintu-pintu warna perak dari kamar yang mereka masuki berpendar-pendar oleh sinar
lampu. Satu sisi menghadap kebun gaya Kobori Enshu. Pasirnya yang digaruk baik-baik dan
susunan batunya mengingatkan orang pada pemandangan gunung di Tiongkok, seperti dapat
dilihat dalam lukisan zaman Sung.
Shoyu mengeluh kedinginan, ia duduk di bantalan dan menguncupkan bahunya. Koetsu duduk
juga dan mempersilakan Musashi berbuat sama. Tak lama kemudian, gadis-gadis pelayan
datang membawa sake hangat.
Melihat mangkuk yang disodorkan kepada Musashi mendingin, Shoyu jadi mendesak.
"Minumlah, anak muda," katanya, "dan ambil yang panas."
Sesudah hat itu berulang dua-tiga kali, tingkah Shoyu mulai mendekati kekerasan.
"Kobosatsu!" katanya kepada salah seorang gadis pelayan. "Suruh dia minum! Kamu,
Musashi! Kenapa kamu" Kenapa tidak minum?"
"Saya minum, Pak," protes Musashi.
Orang tua itu sudah sedikit pusing. "Ah, kurang baik itu. Kamu punya semangat!"
"Saya memang bukan peminum."
"Maksudmu, kamu bukan pemain pedang yang kuat, kan?"
"Barangkali betul juga," kata Musashi lunak, dan menertawakan penghinaan itu.
"Kalau kamu kuatir minum itu mengganggu pelajaranmu atau menghilangkan keseimbanganmu
atau melemahkan daya kemauanmu atau mencegahmu memasyhurkan nama, artinya kamu tak
punya keberanian menjadi petarung."
"Ah, bukan itu soalnya. Hanya ada satu masalah kecil."
"Apa masalah itu?"
"Minum bikin saya ngantuk."
"Nah, kamu bisa pergi tidur di sini atau di mana saja di tempat ini. Tak ada yang
keberatan." Sambil menoleh kepada gadis-gadis, katanya, "Orang muda ini takut mengantuk
kalau dia minum. Kalau dia ngantuk, masukkan dia ke tempat tidur!"
"Oh, dengan senang hati!" kata gadis-gadis itu bersama-sama sambil tersenyum malu-malu
kucing. "Kalau dia tidur, harus ada yang bikin dia tetap hangat. Koetsu, yang mana baiknya?"
"Ya, yang mana, ya?" kata Koetsu, tak mau terlibat.
"Sumigiku Dayu tak mungkin, dia istriku yang manis. Dan engkau sendiri tak mau kalau
mesti Kobosatsu Dayu. Ada si Karakoto Dayu. Ah, tapi dia tak cocok. Terlalu keras untuk
mengawani." "Apa Yoshino Dayu tidak datang?" tanya Koetsu.
"Betul. Dia yang paling cocok! Bahkan tamu kita yang enggan ini akan senang padanya.
Ingin tahu juga aku, kenapa dia tak ada di sini sekarang. Tolong panggil dia. Mau
kutunjukkan dia pada samurai muda ini."
Sumigiku keberatan. "Yoshino tidak seperti kami. Dia punya banyak langganan, dan dia
takkan lekas datang memenuhi panggilan."
"Oh, dia akan dengan siapa. dan berteriak main di kamar datang"untukku! Katakan aku di sini, dia akan datang, tak peduli sedang
Pergi sana panggil dia!" Shoyu menegakkan kepala, memandang ke sekitar,
kepada gadis-gadis kecil pembantu para pelacur yang kini sedang bermainsebelah, "Rin'ya ada di situ?"
Rin'ya sendiri yang menyahut.
"Ke sini sebentar. Kamu biasa meladeni Yoshino Dayu, kan" Kenapa dia tak ada di sini"
Katakan padanya Funabashi di sini, dia mesti datang sekarang juga. Kalau bisa bawa dia
kemari, kukasih kamu hadiah."
Rin'ya tampak sedikit bingung. Matanya membelalak, tapi sebentar kemudian la memberi
isyarat setuju. Anak itu sudah menunjukkan tandatanda akan menjadi cantik sekali, dan
hampir pasti bahwa ia akan menjadi pengganti Yoshino yang terkenal itu dalam angkatan
berikutnya. Tapi ia baru berumur sebelas tahun. Baru saja sampai di gang luar dan
menutup pintu di belakangnya, ia sudah bertepuk tangan dan memanggil-manggil keras,
"Uneme, Tamami, Itonosuke! Lihat sini!"
Ketiga gadis itu berlari keluar dan mulai bertepuk-tepuk tangan dan berteriak-teriak
gembira menemukan salju di luar.
Orang-orang menengok ke luar untuk melihat kenapa anak-anak itu begitu ramai. Kecuali
Shoyu, semua senang melihat pembantu-pembantu muda itu berkicau dengan riangnya,
mencoba menerka-nerka apakah pagi berikutnya salju masih akan ada di tanah. Rin'ya
sudah lupa akan apa yang dikerjakannya dan berlari ke halaman untuk bermain di salju.
Karena tak sabar, Shoyu menyuruh salah seorang pelacur mencari Yoshino Dayu. Pelacur
itu kembali dan berbisik ke telinganya, "Yoshino mengatakan dia senang sekali dapat
berkumpul dengan Bapak, tapi tamunya tidak mengizinkannya."
"Tidak mengizinkannya! Lucu! Perempuan lain boleh dipaksa melakukan suruhan
langganannya, tapi Yoshino bisa melakukan apa saja yang dia mau. Atau barangkali dia
sudah membiarkan dirinya dibeli dengan uang sekarang?"
"Oh, tidak, tapi tamu yang ditemaninya malam ini keras kepala sekali. Tiap kali Yoshino
mengatakan akan pergi, tamu itu mendesak keras lagi supaya Yoshino tinggal."
"Hm. Kukira memang tak seorang pun di antara langganan itu menghendaki Yoshino pergi.
Tapi dengan siapa dia sekarang?"
"Yang Dipertuan Karasumaru."
"Yang Dipertuan Karasumaru?" ulang Shoyu disertai senyum ironis. "Apa dia sendirian?"
"Tidak." "Bersama beberapa sahabatnya yang biasa?"
"Ya." Shoyu menepuk lututnya sendiri. "Oh, ini bisa menarik. Salju sedang baik sekarang, sake
juga bagus, dan kalau ada Yoshino, segalanya akan bagus sekali. Koetsu, mari kita
menulis kepada Yang Dipertuan. Coba. Nona, ambilkan aku tempat tinta dan kuas."
Dan ketika gadis itu meletakkan alat-alat tulis di depan Koetsu, katanya. "Apa yang


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mesti saya tulis?" "Sajak panjang dan bagus. Prosa bisa juga, tapi sajak lebih baik. Yang Dipertuan
Karasumaru salah seorang penyair kita yang terkemuka."
"Saya sangsi apakah saya bisa membuatnya. Yang kita inginkan syair untuk meyakinkan dia
agar menyerahkan Yoshino kepada kita, kan?"
"Betul." "Kalau sajaknya tidak bagus, tak akan bisa mengubah pikirannya. Tapi sajak yang baik
tidak mudah ditulis seketika. Bagaimana kalau engkau menulis baris-baris pertamanya,
dan aku selebihnya?"
"Hmm. Mari kita lihat, apa yang dapat kita lakukan." Shoyu mengambil kertas dan
menulis: Ke gubuk kami yang hina Biarlah datang sebatang pohon ceri, Pohon ceri dari Yoshino.
"Kurasa bagus," kata Koetsu, lalu menulis:
Bunga-bunga gemetar karena dingin Di tengah awan di atas kemuncak.
Shoyu senang bukan main. "Bagus sekali," katanya. "Ini mestinya dapat menarik Yang
Dipertuan dari para pengiringnya yang mulia"'orang-orang di atas awan' itu." Kertas itu
dilipat rapi, kemudian diserahkannya kepada Sumigiku, katanya sungguh-sungguh, "Gadisgadis lain rasanya tidak memiliki martabat seperti yang kaumiliki, karena itu kutunjuk
kau menjadi utusanku kepada Yang Dipertuan Kangan. Kalau tak salah, itulah namanya yang
dikenal di tempat ini." Nama julukan yang artinya "Tebing Gunung Dingin" itu dipakai
untuk menunjukkan status agung Yang Dipertuan Karasumaru.
Sumigiku kembali tak lama kemudian. "Silakan, ini jawaban Yang Dipertuan Kangan,"
katanya, dan dengan hormat meletakkan kotak surat yang dibuat dengan indahnya di depan
Shoyu dan Koetsu. Mereka memandang kotak yang secara tak langsung menunjukkan sikap
resmi itu, kemudian mereka saling pandang. Apa yang dimulai sebagai lelucon kecil
ternyata berkembang menjadi lebih serius.
"Nah," kata Shoyu. "Kita mesti lebih hati-hati lain kali. Mereka tentunya kaget. Pasti
mereka tidak tahu bahwa kita di sini malam ini."
Dengan harapan tetap dapat mengambil manfaat dari pertukaran itu, Shoyu membuka kotak
dan merentangkan balasan. Tapi alangkah kagetnya mereka kerena tak ada yang mereka
lihat kecuali secarik kertas berwarna krem, tanpa tulisan apa pun.
Karena pikirnya ada yang terjatuh dari tangannya, Shoyu menoleh ke sekitar, mencari
lembar kedua, kemudian menengok kembali ke dalam kotak.
"Sumigiku, apa ini artinya?"
"Saya sendiri tak mengerti, Tuan. Yang Dipertuan Kangan menyerahkan kotak itu pada saya
dan menyuruh saya menyerahkannya pada Tuan."
"Apa dia mencoba menertawakan kita" Atau barangkali sajak kita terlalu tinggi untuknya,
hingga dia menaikkan bendera putih tanda menyerah?"
Shoyu memang terbiasa menafsirkan segala sesuatu sesuai keinginannya sendiri, tapi kali
ini ia tampak ragu-ragu. Ia serahkan kertas itu pada
Koetsu, dan tanyanya, "Apa pendapatmu?"
"Kupikir, maksudnya kita disuruh membaca."
"Membaca kertas kosong?"
"Tapi kupikir, bagaimanapun dapat ditafsirkan."
"Dapat" Lalu apa kira-kira maksudnya?"
Koetsu berpikir sejenak, "Salju... salju menutup segalanya."
"Hmm. Mungkin juga kau benar."
"Menjawab permintaan kita yang berupa pohon ceri dari Yoshino, surat ini bisa berarti:
Kala Anda memandang salju
Dan mengisi mangkuk sake Anda, Tanpa bunga pun ...
"Dengan kata lain, ia menyatakan pada kita karena malam ini salju turun, kita mesti
melupakan cinta, membuka pintu, dan mengagumi salju sambil minum. Atau setidak-tidaknya
begitulah kesanku." "Sungguh menjengkelkan!" seru Shoyu tak senang. "Tak ada maksudku minum semaunya macam
itu. Aku tak akan duduk berdiam diri. Biar bagaimana, kita tanamkan pohon Yoshino itu
di kamar kita, dan kita kagumi kembangnya." Ia jadi naik darah, dan membasahi bibirnya
dengan lidah. Koetsu mengajaknya bergurau agar ia tenang, tapi Shoyu terus juga menyuruh gadis-gadis
itu membawa Yoshino, dan lama sekali menolak mengganti pokok pembicaraan. Kegigihannya
tidak membawa hasil, yang akhirnya menjadi lucu, hingga gadis-gadis itu bergulingguling di lantai sambil tertawa.
Diam-diam Musashi meninggalkan tempat duduknya. Ia memilih waktu yang tepat. Tak
seorang pun melihat kepergiannya.
*** 39. Gema di Dalam Saiju MUSASHI melewati banyak gang untuk menghindari kamar-kamar yang berpenerangan sangat
terang. Ia sampai di sebuah kamar gelap tempat menyimpan tilam dan kamar lain yang
penuh perkakas. Dinding-dinding seperti memancarkan bau hangat makanan yang sedang
dimasak, namun ia tak dapat juga menemukan dapur.
Seorang pembantu keluar dari sebuah kamar, merentangkan tangannya. "Pak, tamu-tamu tak
boleh masuk di sini," katanya mantap, sama sekali tidak kelihatan kemungilan kanakkanaknya, seperti biasa ia tunjukkan di kamar tamu.
"Oh, jadi tak boleh, ya?"
"Tentu saja tak boleh!" Ia dorong Musashi ke arah depan, lalu ia sendiri berjalan ke
arah yang sama. "Apa bukan kamu yang jatuh ke salju tadi" Rin'ya namamu, ya?"
"Ya, nama saya Rin'ya. Saya kira Bapak tersesat mencari kamar kecil. Mari saya
tunjukkan." Ia memegang tangan Musashi dan menariknya.
"Bukan aku. Aku tidak mabuk. Aku cuma minta pertolonganmu. Bawa aku ke kamar kosong dan
bawakan aku makanan."
"Makanan" Kalau itu yang Bapak minta, nanti kubawakan ke kamar Bapak."
"Tidak, tidak kesana. Semua orang sedang senang-senang sekarang. Mereka belum mau
diingatkan tentang makan malam."
Rin'ya menelengkan kepalanya. "Saya kira Bapak benar. Saya bawa makanan ke sini. Bapak
mau makan apa?" "Tak usah yang istimewa, dua gumpal besar nasi cukuplah."
Anak itu kembali beberapa menit kemudian, membawa gumpalan nasi dan menyuguhkannya
kepada Musashi di sebuah kamar tanpa lampu. Sesudah selesai, kata Musashi, "Aku bisa
keluar lewat kebun dalam sana?" Dan tanpa menanti jawaban lagi, ia berdiri dan berjalan
ke beranda. "Mau ke mana, Pak?"
"Jangan kuatir, aku segera kembali."
"Kenapa Bapak pergi lewat pintu belakang?"
"Orang bisa ribut kalau aku lewat pintu depan. Dan kalau tuan rumah melihatku, mereka
akan tersinggung dan kesenangan mereka jadi rusak."
"Saya bukakan pintu gerbang, tapi jangan lupa kembali lagi segera. Kalau tidak, mereka
bisa menyalahkan saya."
"Aku mengerti. Kalau Pak Mizuochi bertanya tentangku, katakan padanya aku pergi ke
dekat Rengeoin, bertemu orang yang sudah kukenal. Aku bermaksud lekas kembali."
"Bapak mesti lekas kembali. Teman Bapak malam ini Yoshino Dayu." Ia membuka pintu
gerbang kayu lipat yang bersalju itu dan mempersilakan Musashi keluar.
Tepat di depan pintu masuk utama ke daerah hiburan itu terdapat Warung Teh Amigasajaya. Musashi berhenti, minta sepasang sandal jerami. tapi mereka tak punya. Seperti
ditunjukkan namanya, warung itu terutama menjual topi anyaman kepada lelaki yang ingin
menyembunyikan identitasnya waktu memasuki daerah itu.
Musashi menyuruh seorang gadis warung membeli sandal, kemudian duduk di ujung bangku
dan mengeratkan obi dan tali di bawahnya. Ia lepaskan mantelnya yang longgar dan ia
lipat rapi-rapi, kemudian ia pinjam kertas dan kuas, dan ia tulis catatan singkat yang
kemudian ia lipat dan ia selipkan ke dalam lengan mantel. Kemudian ia sapa orang tua
yang meringkuk di samping perapian dalam kamar di belakang warung, yang ternyata
pemilik warung itu. "Boleh saya minta tolong menyimpan mantel ini" Kalau saya tidak
kembali jam sebelas nanti, tolong mantel ini dibawa ke Ogiya dan diserahkan kepada
orang yang namanya Koetsu. Ada surat untuknya di dalam lengannya."
Orang itu menjawab bahwa dengan senang hati ia akan menolong. Ketika ditanya, ia
memberitahukan pada Musashi bahwa waktu itu baru sekitar pukul tujuh, karena penjaga
baru saja lewat memberitahukan waktu.
Ketika gadis warung kembali membawa sandal, Musashi memeriksa talinya untuk memastikan
kepangannya tidak terlalu erat, kemudian ia ikatkan tali itu ke kaus kulitnya. Pemilik
warung ia beri uang yang jumlahnya lebih banyak daripada biasa, kemudian ia ambil topi
anyaman baru, dan keluarlah ia. Topi itu tidak diikatkan, tapi ditaruh saja di atas
kepala untuk menolak saiju yang waktu itu turun berkeping-keping, lebih lembut dari
bunga sakura. Lampu kelihatan di sepanjang tepi sungai di Jalan Shijo, tetapi di timur. di hutan
Gion, suasana gelap pekat, hanya ada bercak-bercak cahaya di sana-sini, pancaran
lentera-lentera batu. Ketenangan yang beku itu hanya kadang-kadang saja dipecahkan oleh
bunyi salju yang menggelincir dari cabang pohon.
Di depan sebuah gerbang tempat suci ada sekitar dua puluh lelaki sedang berdoa sambil
berlutut menghadap bangunan kosong itu. Lonceng kuil di bukit-bukit yang tak jauh dari
sana baru berbunyi lima kali, menandai pukul delapan. Pada malam istimewa ini, bunyi
lonceng yang keras nyaring itu terasa menembus sampai ulu hati.
"Cukup kita berdoa," kata Denshichiro. "Mari kita jalan."
Ketika mereka berangkat, seorang dari orang-orang itu bertanya pada Denshichiro apakah
tali sandalnya baik keadaannya. "Malam beku macam ini, kalau terlalu erat bisa putus."
"Sudah bagus. Kalau udara dingin macam ini, yang terbaik dipakai adalah tali kain.
Lebih baik itu kauingat."
Di tempat suci itulah Denshichiro menyelesaikan persiapan tempurnya, sampai pada ikat
kepala dan tali lengan baju dari kulit. Dikelilingi rombongannya yang berwajah seram,
ia berjalan melintasi saiju dengan tarikan napas panjang dan embusan uap putih.
Tantangan yang disampaikan pada Musashi menyebutkan daerah belakang Rengeoin pada pukul
sembilan. Orang-orang Yoshioka takut atau menyatakan takut bahwa jika mereka memberikan
waktu ekstra pada Musashi, ia bisa lari dan tidak kembali lagi, karena itu mereka
bertindak cepat. Hyosuke tetap tinggal di sekitar rumah Shoyu, tapi dua rekannya ia
suruh melaporkan keadaan.
Ketika mendekati Rengeoin, mereka melihat api unggun di dekat bagian belakang kuil.
"Siapa itu?" tanya Denshichiro.
"Barangkali Ryohei dan Jurozaemon."
"Mereka di sini juga?" tanya Denshichiro dengan nada jengkel. "Terlalu banyak orang
kita hadir di sini. Aku tak ingin orang bilang Musashi kalah karena diserang pasukan
besar." "Kalau tiba saatnya, kami pergi."
Bangunan utama Kuil Sanjusangendo itu memanjang sederetan lengkung bertiang tiga puluh
tiga. Di belakang terdapat ruangan besar terbuka yang bngus sekali untuk berlatih
panahan dan memang sudah lama dipergunakan untuk tujuan itu. Karena ada hubungannya
dengan salah satu aliran seni pcrang itulah maka Denshichiro terdorong memilih Rengeoin
sebagai tempat bararung melawan Musashi. Denshichiro dan orang-orangnya senang dengan
ptlihan itu. Di situ terdapat beberapa pohon pinus, cukup untuk membuat pcmandangan di
situ tidak tampak gersang, tapi tak ada rumput liar atau ilalang yang bisa menghambat
selama berlangsungnya pertempuran.
Ryohei dan Jurozaemon bangkit menyambut Denshichiro. Kata Ryohei, ?'Anda tentu
kedinginan berjalan tadi. Masih banyak waktu sekarang. Silahkan duduk menghangatkan
diri." Tanpa mengatakan sesuatu, Denshichiro duduk di tempat yang ditunjukkan Ryohei. Ia
menjulurkan kedua tangannya ke atas nyala api dan memetakkan buku-buku jarinya satu
demi satu. "Kukira terlalu pagi aku datang," katanya. Wajahnya yang sudah hangat oleh
api mulai tampak haus darah. Sambil mengerutkan kening Ia bertanya, "Di jalan tadi, apa
kita tidak melewati warung teh?"
"Ya, tapi warung itu tutup."
"Pergilah seorang dari kalian ke sana ambil sake. Kalau kau mengetuk cukup lama, mereka
pasti menjawab." "Sake, sekarang?"
"Ya, sekarang, aku kedinginan." Denshichiro lebih mendekatkan diri ke api sambil
jongkok, sampai hampir-hampir mendekap api itu.
Tak seorang pun ingat kapan Denshichiro masuk dojo tanpa bau alkohol. baik pagi, siang,
atau malam. Karena itu, kebiasaannya minum sudah diterima sebagai hal biasa. Sekalipun
nasib seluruh Perguruan Yoshioka sedang dipertaruhkan, ada yang mempunyai pertimbangan
barangkali lebih baik kalau Denshichiro menghangatkan badan dengan sake sedikit
daripada mencoba menggerakkan pedang dengan tangan dan kaki yang beku. Seorang lagi
dengan tenang menyatakan terlalu berbahaya melawan kehendak Denshichiro, sekalipun
untuk kebaikan sendiri. Maka beberapa orang berlari ke warung teh. Sake yang mereka
bawa panas sekali. "Bagus!" kata Denshichiro. "Ini teman dan sekutumu yang terbaik."
Denshichiro minum dan yang lain-lain memperhatikan dengan bingung seraya berdoa semoga
ia tidak minum sebanyak biasanya. Untunglah Denshichiro tidak minum sampai mencapai
takarannya yang biasa. Sekalipun memperlihatkan sikap acuh tak acuh, ia tahu benar
bahwa hidupnya dalam taruhan.
"Hei, dengar! Apa mungkin itu Musashi?"
Telinga-telinga ditegakkan.
Orang-orang sekitar api cepat berdiri, dan satu sosok tubuh gelap muncul di luar sudut
bangunan. Ia melambaikan tangan dan berseru. "Jangan kuatir! Cuma aku
Walaupun berpakaian megah, dengan hakama yang disingsingkan, orang itu tidak dapat
menyembunyikan umurnya. Punggungnya bungkuk seperti bentuk busur. Ketika orang-orang
itu dapat melihatnya lebih jelas, mereka saling menerangkan bahwa orang itu tak lebih
dan "orang tua dari Mibu" dan keributan pun mereda. Orang tua itu Yoshioka Genzaemon,
saudara lelaki Kempo, paman Denshichiro.
"Oh, Paman Gen! Kenapa Paman datang ke sini?" tanya Denshichiro.
Tak pernah terpikir olehnya bahwa pamannya menganggap bantuan darinya diperlukan malam
ini. "Ah, Denshichiro," kata Genzaemon, "aku yakin engkau dapat menyelesaikannya dengan
baik. Aku lega melihat kau di sini."
"Tadinya saya bermaksud membicarakan dulu soal ini dengan Paman, tapi. . . "
"Membicarakan" Apa yang mesti dibicarakan" Nama Yoshioka masuk lumpur, dan kakakmu
sudah jadi cacat! Kalau engkau tidak ambil tindakan, berarti aku yang mesti menjawab!"
"Tak ada yang mesti dikuatirkan. Saya bukan orang lembek macam kakakku."
"Aku percaya dengan kata-katamu. Dan aku tahu engkau akan menang, tapi kupikir lebih
baik aku datang memberikan dorongan kepadamu. Dari Mibu aku lari kemari. Denshichiro,
kuperingatkan kau, menurut yang kudengar, kau tak boleh menganggap enteng lawanmu ini."
"Saya tahu." "Jangan terlalu buru-buru ingin menang. Tenanglah, dan serahkan semuanya pada dewadewa. Kalau kebetulan engkau terbunuh, aku akan mengurus tubuhmu."
"Ha, ha, ha, ha! Ayolah, Paman Gen, hangatkan badan dekat api."
Orang tua itu pelan-pelan minum semangkuk sake, kemudian katanya pada yang lain-lain
dengan nada mencela, "Apa yang kalian buat di sini" Kalian tidak bermaksud membantu
dengan pedang, kan" Pertandingan ini antara seorang pemain pedang lawan pemain pedang
lain. Kelihatan pengecut kalau banyak pendukung di mana-mana. Sudah hampir waktunya
sekarang. Ayo, kalian semua ikut aku. Kita pergi ke tempat yang cukup jauh, supaya
tidak kelihatan kita punya rencana melakukan serangan keroyokan."
Orang-orang itu menurut perintah dan meninggalkan Denshichiro sendiri. Denshichiro
duduk dekat api, berpikir, "Waktu aku mendengar lonceng tadi, jam delapan. Mestinya
sudah jam sembilan sekarang. Musashi terlambat."
Satu-satunya tanda yang ditinggalkan para muridnya adalah jejak-jejak kaki hitam di
atas salju, sedangkan satu-satunya bunyi adalah detak-detik tetesan air membeku yang
lepas dari ujung atap kuil. Satu kali cabang sebuah pohon patah oleh beratnya salju.
Setiap kali ketenangan terganggu, mata Denshichiro jelalatan seperti mata burung elang
pemburu. Dan seperti elang pemburu, seorang lelaki datang menderap di saiju.
Dengan gugup dan terengah-engah, Hyosuke berkata, "Dia datang."
Denshichiro memahami kabar itu sebelum mendengarnya, dan ia sudah berdiri. "Dia
datang?" tanyanya membeo, dan dengan sendirinya kakinya menginjak bara api yang
terakhir. Hyosuke melaporkan bahwa Musashi bersikap tenang sesudah meninggalkan Ogiya, seakanakan tak peduli dengan salju yang turun hebat. "Beberapa menit lalu dia mendaki tangga
batu Tempat Suci Gion. Saya ambil jalan belakang dan jalan secepat-cepatnya, tapi
biarpun dia jalan santai saja, saya tak bisa jauh meninggalkan dia. Saya harap Tuan
sudah siap." "Hmm, ini dia... Hyosuke, pergi dari sini."
"Di mana yang lain-lain?"
"Aku tidak tahu, tapi aku tak ingin engkau di sini. Kau membuatku gugup."
"Baik, Tuan." Nada bicara Hyosuke tunduk, tapi ia tak mau pergi. Dan ia berketetapan
untuk tidak pergi. Sesudah Denshichiro menginjak-injak api sampai menjadi lumpur salju,
dan kemudian berjalan ke halaman kuil dengan sikap naik darah, Hyosuke menyuruk ke
bawah lantai kuil dan berjongkok di kegelapan. Ia tidak begitu memperhatikan angin yang
datang dari luar, padahal di bawah bangunan itu angin melecut dingin. Karena dingin
merasuk ke tulang, ia merangkum lutut. Ia mencoba menipu dirinya dengan berpikir bahwa
gemeretuk giginya dan getar nyeri yang menjalari tulang punggungnya itu hanya
diakibatkan oleh dingin dan tak ada hubungannya sama sekali dengan rasa takut.
Denshichiro berjalan sekitar seratus langkah dari kuil dan mengambil jurus mantap
dengan menahankan sebelah kakinya pada akar pohon pinus yang tinggi dan menanti dengan
tak sabar. Kehangatan sake cepat menghilang. Denshichiro merasa hawa dingin menggigit
dagingnya. Kesabarannya semakin habis. Hal itu tampak juga oleh Hyosuke yang dapat
melihat halaman seterang siang.
Setumpuk salju jatuh dari cabang sebuah pohon. Denshichiro terkejut dan gugup.
Musashi belum juga muncul.
Akhirnya, karena tidak dapat duduk lebih lama lagi, Hyosuke keluar dari tempat
persembunyiannya dan berteriak, "Ada apa dengan Musashi?"
"Kamu masih di sini, ya?" tanya Denshichiro marah, tapi ia sama jengkelnya dengan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hyosuke, karena itu ia tidak memerintahkan Hyosuke pergi. Diam-diam kedua orang itu
saling mendekati. Mereka berdiri sambil melihat-lihat ke segala jurusan, dan berulang
kali secara bergantian mereka mengatakan, "Dia tidak kelihatan." Setiap kali nada
bicaranya semakin marah dan curiga.
"Bajingan! Dia lari!" seru Denshichiro.
"Tak m ungkin," tekan Hyosuke. Kemudian ia menceritakan kembali dengan sungguh-sungguh
segala yang telah ia lihat, juga menerangkan kenapa ia merasa yakin Musashi akan
datang. Tapi Denshichiro menyelanya. "Apa itu?" tanyanya sambil cepat melayangkan pandangan ke
salah satu ujung kuil. Sebuah lilin bergoyang muncul dari bangunan dapur di belakang aula panjang. Lilin itu
dipegang seorang pendeta. Sampai di situ jelas, tapi mereka tak dapat melihat sosok
tubuh remang-remang yang ada di belakang si pendeta.
Kedua bayangan dan berkas cahaya itu melintas pintu gerbang antan dapur dan bangunan
utama, lalu naik ke beranda panjang Sanjusangendo.
Si pendeta bicara dengan suara ditekan, "Malam hari semua di sini tutup, karena itu
saya tidak tahu. Tadi ada beberapa samurai memanaskan diri di halaman. Barangkali
mereka itu yang Anda tanyakan, tapi mereka sudah pergi sekarang, seperti Anda lihat
sendiri." Orang satunya bicara pelan. "Saya minta maaf telah mengganggu Bapak sementara Bapak
tidur. Ah, tapi di bawah pohon di sana itu ada dua orang, kan" Mereka itu barangkali
yang mengirim pesan, mengatakan akan menunggu saya di sini."
"Nah, kalau begitu tak ada salahnya menanyai mereka."
"Saya yang akan bertanya. Sekarang saya dapat menemukan jalan sendiri, karena itu
silakan kalau Bapak mau kembali ke kamar Bapak."
"Anda ikut teman-teman berpesta meninjau salju?"
"Yah, semacam itulah," kata orang satunva itu sambil tertawa sedikit.
Sambil mematikan lilin, si pendeta berkata, "Saya kira tak perlu saya menyebutkannya,
tapi kalau Anda membuat api dekat kuil seperti orang-orang itu tadi, harap hati-hati
dan mematikannya waktu Anda pergi."
"Pasti saya lakukan."
"Bagus, kalau begitu. Sekarang maafkan saya."
Pendeta itu kembali lewat pintu gerbang dan menutupnya. Orang di beranda itu berdiri
diam sejenak sambil memandang saksama ke arah Denshichiro.
"Hyosuke, siapa itu?"
"Tak tahu saya, tapi dia datang dari dapur."
"Kelihatannya bukan orang kuil."
Kedua orang itu berjalan sekitar dua puluh langkah mendekati bangunan. Orang yang tak
jelas itu berjalan ke suatu tempat dekat tengah beranda, di situ berhenti dan mengikat
lengan bajunya. Kedua orang di halaman secara tidak sadar sudah demikian menghampiri,
hingga dapat melihatnya, tapi kemudian kaki mereka tak bisa lagi diajak mendekat.
Selang dua-tiga tarikan napas, Denshichiro berseru, "Musashi!" Ia sadar benar bahwa
orang yang berdiri beberapa kaki di atas itu berada dalam kedudukan yang sangat
menguntungkan. Tidak hanya ia aman sekali dari belakang, melainkan juga setiap orang
yang mencoba menyerangnya dari kanan atau kiri akan terpaksa naik lebih dulu sampai ke
tingkatnya. Dengan demikian, ia bebas mencurahkan perhatiannya kepada musuh di depan.
Di belakang Denshichiro terdapat pekarangan terbuka, salju dan angin, ia yakin Musashi
tidak membawa orang lain, tapi ia tak boleh mengabaikan ruang luas di belakangnya itu.
Ia membuat gerakan seakan melepas sesuatu dari kimononya, dan mendesak Hyosuke, "Pergi
kamu dari sini!" Hyosuke pergi ke ujung belakang halaman.
"Anda siap?" pertanyaan Musashi tenang tapi tajam, dan jatuh seperti air es pada
lawannya yang sudah naik darah.
Sekarang untuk pertama kalinya Denshichiro dapat melihat Musashi dengan jelas. "Jadi,
inilah bajingan itu!" pikirnya. Dendamnya sungguh menyeluruh. Ia benci karena kakaknya
dibikin cacat, ia jengkel karena diperbandingkan dengan Musashi oleh orang banyak, dan
ia jijik sekali melihat orang yang menurut anggapannya hanya pemuda dari desa yang
berlagak sebagai samurai.
"Berani-beraninya kau bertanya Anda siap" Ini sudah lewat jam sembilan!"
"Apa aku bilang akan datang tepat jam sembilan?"
"Jangan cari-cari alasan! Aku sudah lama menunggu. Seperti kaulihat, aku siap. Sekarang
turun kamu dari situ!" Ia tidak menyepelekan lawannya dengan memberanikan diri
menyerang dari kedudukannya sekarang.
"Sebentar," jawab Musashi sambil tertawa kecil.
Ada perbedaan pengertian siap menurut Musashi dan menurut lawannya. Sekalipun secara
fisik Denshichiro sudah siap, secara spiritual ia baru saja mulai mengerahkan dirinya,
sedangkan Musashi sudah mulai bergulat lama sebelum ia tampil di depan musuhnya.
Baginya, pertempuran ini sedang memasuki tahap kedua, tahap utama. Di Tempat Suci Gion
ia telah melihat jejak-jejak kaki di atas salju, dan pada saat itu naluri juangnya
sudah bangkit. Melihat bayangan yang mengikutinya tidak ada lagi, dengan berani ia
masuk gerbang depan Rengeoin dan mendekati dapur. Ia membangunkan pendeta. lalu memulai
percakapan, dan dengan halus bertanya kepada si pendeta tentang apa yang telah terjadi
pada awal petang itu. Walaupun tahu dirinya terlambat sedikit, ia minum teh juga dan
menghangatkan badan. Kemudian. ketika ia tampil, penampilannya bersifat mendadak dan
dari tempat yang relatif aman pula di beranda. Ia memegang kendali.
Kesempatan kedua datang dalam bentuk usaha Denshichiro menariknya ke luar. Salah satu
cara berkelahi adalah dengan menerima ajakan itu. Cara lain dengan mengabaikannya dan
membuka peluang sendiri. Sikap hati-hati dijaga. Dalam hal seperti ini, kemenangan
ibarat bulan yang tercermin di danau. Kalau orang melompat menggapainya secara
impulsif, ia bisa tenggelam.
Kejengkelan Denshichiro tak kenal batas. "Kau tidak hanya terlambat." teriaknya, "kau
juga belum siap. Dan aku tidak mendapat pijakan yang enak di sini."
Musashi yang masih tetap tenang menjawab, "Aku akan turun. Tunggu sebentar."
Denshichiro tak perlu diberitahu bahwa kemarahan dapat mengakibatkan kekalahan, tapi
menghadapi usaha sengaja untuk menjengkelkannya itu ia tidak dapat lagi mengendalikan
emosinya. Pelajaran-pelajaran tentang strategi yang pernah la terima terlupakan sudah.
"Turun!" pekiknya. "Sini, di halaman! Tinggalkan tipu daya, dan ayo berkelahi dengan
jantan! Aku Yoshioka Denshichiro! Aku muak dengan taktik darurat dan serangan pengecut.
Kalau kau sudah ketakutan sebelum pertandingan mulai, tak pantas kau menghadapi aku.
Turun dari situ!" Musashi menyeringai. "Yoshioka Denshichiro, ya" Apa yang mesti kutakutkan padamu" Kau
sudah kupotong dua musim semi tahun lalu. Kalau malam ini kukalahkan lagi, itu cuma
mengulangi yang lalu."
"Apa yang kaubicarakan itu" Di mana" Kapan?"
"Di Koyagyu, Yamato."
"Yamato?" "Tepatnya di pemandian Penginapan Wataya."
"Kau di sana?" "Aku di sana. Kita telanjang waktu itu, tentu saja, tapi dengan mataku aku sudah
memperhitungkan, aku bisa memotongmu jadi dua atau tidak. Dan dengan mataku aku sudah
memotongmu seketika, dengan agak indah juga, kalau boleh kukatakan demikian. Kau
barangkali tidak memperhatikan, karena tak ada bekas luka pada badanmu, tapi kau sudah
kukalahkan. Pasti. Orang lain mungkin mau mendengarmu menyombongkan diri tentang
kemampuanmu sebagai pemain pedang, tapi dariku kau hanya akan mendapat tertawaan."
"Tadinya aku ingin tahu bagaimana bicaramu. Sekarang aku tahu, macam orang goblok! Tapi
ocehanmu itu merangsangku. Turun kamu dari situ! Akan kubukakan matamu yang congkak
itu!" "Apa senjatamu" Pedang" Pedang kayu?"
"Kenapa tanya kalau kau tak punya pedang kayu" Kau datang ingin menggunakan pedang,
kan?" "Memang, tapi kupikir kalau kau mau pakai pedang kayu, akan kuambil punyamu dan aku
akan berkelahi dengannya."
"Aku tak punya pedang kayu, tolol! Cukup omong besar itu. Ayo berkelahi!"
"Siap?" "Belum!" Tumit Denshichiro membuat garis miring hitam sepanjang dua setengah meter ketika ia
membuka ruang tempat Musashi mendarat. Musashi cepat melangkah tujuh-delapan menyamping
sebelum melompat turun. Dengan pedang masih tersarung dan sambil saling memperhatikan
dengan saksama, mereka menjauh sekitar enam puluh meter dari kuil. Waktu itulah
Denshichiro kehilangan kesabarannya. Pedangnya panjang, ukuran tepat untuk tubuhnya.
Pedang itu hanya memperdengar-kan siulan kecil, membelah udara dengan kecepatan
mengagumkan, langsung mengenai tempat Musashi berdiri.
Musashi lebih cepat dari pedang. Dan lebih cepat lagi lejitan pedang berkilau dari
sarungnya sendiri. Kedua orang itu sudah terlampau dekat untuk dapat tampil tanpa
cedera, tapi sejenak sesudah cahaya pantulan pedang menari-nari, mereka mundur.
Beberapa menit tegang berlalu. Keduanya diam tak bergerak, pedang berhenti di udara,
ujung bersasaran ujung, tetapi dipisahkan oleh jarak sekitar dua setengah meter. Salju
yang menumpuk di kening Denshichiro jatuh ke bulu matanya. Untuk mengibaskannya, ia
menggerakkan wajahnya sampai urat-urat nadinya tampak seperti bisul-bisul bergerak, tak
terhitung pumlahnya. Bola matanya membelalak menyala seperti jendela dapur peleburan
besi, dan embusan napasnya yang dalam dan tetap itu panas dan ribut seperti dalam
puputan. Keputusasaan menyelinap dalam pikiran, karena ia sadar betapa jelek kedudukannya.
"Kenapa kupegang pedang ini setinggi mata, padahal pedang selamanya kupegang di atas
kepala buat menyerang?" tanyanya pada diri sendiri. Ia berpikir tidak dalam makna yang
biasa. Darahnya berdebur di dalam nadi, sampai dapat didengar. Sekujur tubuhnya, sampai
pada kukukuku jari kakinya, kini terpusat pada usahanya untuk tampak garang.
Ia tahu, jurus setinggi mata tidak menempatkannya pada kedudukan unggul, dan ini
menjengkelkannya. Berkali-kali ia ingin mengangkat siku dan menaikkan pedang ke atas
kepala, tapi terlampau berbahaya. Musashi waspada sekali menantikan peluang itu,
menantikan saat sepersekian detik ketika pandangan matanya tertutup tangannya.
Musashi memegang pedang setinggi mata juga, tapi sikunya dalam keadaan santai, luwes,
dan dapat digerakkan ke mana saja. Tangan Denshichiro yang berada dalam jurus yang
tidak biasa itu ketat dan kaku. dan pedangnya tidak mantap. Pedang Musashi diam
sepenuhnya. Salju mulai menumpuk di atas ujungnya yang tipis.
Sementara menanti lawan membuat kekeliruan sekecil apa pun dengan mata elang, Musashi
menghitung jumlah napasnya. Ia tidak hanya ingin menang, ia harus menang. Ia sadar
benar bahwa sekali lagi ia berada di garis perbatasan"di satu pihak hidup, di lain
pihak maut. Ia melihat Denshichiro bagai batu raksasa, suatu sosok yang sungguh gagah.
Teringat olehnya nama dewa perang, Hachiman.
"Tekniknya lebih baik daripada teknikku," pikirnya jujur. Ia jadi merasa rendah diri,
seperti yang dirasakannya di Benteng Koyagyu dulu, ketika ia dikelilingi empat pemain
pedang terkemuka Perguruan Yagyu. Selamanya seperti ini kalau ia menghadapi pemainpemain pedang dari perguruan ortodoks, karena tekniknya sendiri tanpa bentuk atau
penalaran. Metodenya tak lebih dari "lakukanlah, kalau tidak engkau mati". Sementara
memperhatikan Denshichiro, ia melihat bahwa gaya yang diciptakan dan dikembangkan
Yoshioka Kempo dalam masa hidupnya itu memiliki kesederhanaan dan kerumitan. Gaya itu
tersusun baik dan sistematis, dan tidak dapat diungguli dengan kekuatan kasar atau
semangat belaka. Musashi menjaga betul agar tidak melakukan gerakan tak perlu. Taktik-taktiknya yang
primitif tidak dapat dipergunakan. Sampai batas-batas tertentu ia merasa heran, karena
tangannya menolak dijulurkan. Maka hal terbaik yang dapat dilakukannya adalah mengambil
jurus bertahan konservatif dan menanti. Matanya semakin merah mencari peluang, dan ia
berdoa kepada Hachiman agar menang.
Karena semakin terangsang, detak jantungnya semakin berpacu. Sekiranya ia orang biasa,
pasti ia sudah terserap ke dalam pusaran kebingungan. dan menyerah. Namun ia tetap
mantap. Perasaan kurang sempurna dikibaskannya seakan tak lebih dari salju di atas
lengan bajunya. Kemampuannya mengendalikan kegairahan yang baru itu adalah hasil
beberapa kali berhadapan dengan maut. Semangatnya sepenuhnya dijaga sekarang, seakanakan tabir tengah disingkirkan dari depan matanya.
Diam kini bagai kuburan. Salju menumpuk di atas rambut Musashi, dan di atas bahu
Denshichiro. Musashi tidak lagi melihat batu besar di hadapannya. Ia sendiri tidak lagi hadir
sebagai manusia tersendiri. Keinginan menang telah terlupakan. ia memandang putihnya
salju yang jatuh di antara dirinya dan lawannya. Semangat salju itu sama ringan dengan
semangatnya sendiri. Ruang di antaranya kini terasa bagai perpanjangan tubuhnya
sendiri. Ia telah menjadi alam semesta, atau alam semesta menjadi dirinya. Ia ada di
sana, namun tak ada di sana.
Kaki Denshichiro mengingsut ke depan. Pada ujung pedangnya, daya kemampuannya tampak
menggeletar hendak memulai gerakan.
Dua nyawa melayang oleh dua pukulan yang berasal dari sebilah pedang. Mula-mula Musashi
menyerang ke belakang, dan kepala Otaguro Hyosuke atau sebagian dari kepala itu
melayang melewati Musashi seperti buah ceri besar merah tua, sementara tubuhnya
terhuyung tanpa nyawa ke arah Denshichiro. Pekik dahsyat yang kedua-pekik serangan
Denshichiro-mati di tengah jalan, dan putus menghilang ke dalam ruang di seputar
mereka. Demikian tinggi lompatan Musashi, hingga seolah ia melompat dari ketinggian
dada lawannya. Sosok tubuh Denshichiro yang besar itu rebah ke belakang dan jatuh
disertai muncratnya salju putih.
Dengan tubuh terlipat menyedihkan dan wajah terperosok dalam salju, orang sekarat itu
berteriak, "Tunggu! Tunggu!"
Musashi tak lagi di sana.
"Dengar itu?" "Itu Denshichiro!"
"Dia luka!" Genzaemon dan murid-murid Yoshioka bergegas melintas halaman, seperti ombak.
"Lihat! Hyosuke terbunuh!"
"Denshichiro!" "Denshichiro!" Namun mereka tahu tak ada gunanya memanggil dan tak ada gunanya memikirkan pengobatan.
Kepala Hyosuke terbelah miring dari telinga kanan ke tengah mulut, sedangkan kepala
Denshichiro dari puncak ke nilang pipi kanan. Keduanya terjadi hanya dalam beberapa
detik. "Itu makanya... itu makanya kuperingatkan engkau," gerutu Genzaemon. Itu makanya
kubilang engkau jangan menyepelekan dia. Oh, Denshichiro, Denshichiro!"
Orang tua itu mendekap tubuh kemenakannya, dan sia-sia menghiburnya. Genzaemon terus
bergayut pada mayat Denshichiro. Ia berang melihat orang-orang lain hanya bergerak
kebingungan ke sana kemari di salju yang merah oleh darah.
"Lalu bagaimana dengan Musashi?" gunturnya.
Beberapa orang mulai mencari, tapi mereka tidak melihat tanda-tanda Musashi.
"Dia tak ada," terdengar jawaban malu-malu dan bodoh.
"Dia pasti masih di sekitar sini!" salak Genzaemon. "Dia tak punya sayap. Kalau aku tak
sempat membalas dendam, aku takkan lagi dapat menegakkan kepala sebagai anggota
Keluarga Yoshioka. Cari dia!"
Satu orang tergagap dan menuding. Yang lain-lain mundur selangkah dan memandang ke arah
yang dituding. "Itu Musashi!" "Musashi?" Sementara pikiran tentang Musashi meresap ke dalam hati, ketenangan pun memenuhi udara,
bukan ketenangan tempat pemujaan, melainkan ketenangan yang celaka dan setani, seakanakan telinga, mata, dan otak tidak lagi berfungsi.
Apa pun yang terlihat oleh seorang dari orang-orang itu, orang yang dituding itu bukan
Musashi, karena Musashi waktu itu sudah berdiri di bawah ujung atap bangunan terdekat.
Ia menatap orang-orang Yoshioka. Punggungnya menempel ke dinding. Ia menyingkir pelanpelan, sampai akhirnya tiba di sudut barat daya Sanjusangendo. Ia naik ke beranda, dan
kemudian pelan-pelan dan diam-diam merangkak di tanah.
"Apa mereka akan menyerang?" tanyanya pada diri sendiri. Setelah dilihatnya mereka tak
bergerak ke arahnya, dengan mencuri-curi ia menuju sisi utara bangunan itu, dan dengan
satu loncatan menghilang ke dalam kegelapan.
*** 40. Orang-Orang Perlente "TAK ada bangsawan kurang ajar yang akan bisa mengalahkan aku! Kalau dia pikir dia
dapat menolakku dengan mengirim kertas kosong, aku terpaksa bicara dengan dia. Dan akan
kuambil Yoshino kembali, demi harga diriku."
Orang bilang, kita tak perlu berumur muda untuk dapat menikmati permainan. Pada waktu
Haiya Shoyu sedang mabuk, tak bisa ia dicegah.
"Bawa aku ke kamar mereka!" perintahnya pada Sumigiku. Ia meletakkan sebelah tangannya
ke bahu Sumigiku agar dapat berdiri tegak.
Sia-sia Koetsu mengingatkannya supaya tenang.
"Tidak! Akan kurebut Yoshino.... Pemegang panji-panji, maju! Jenderalmu akan bertindak!
Siapa punya keberanian, ikuti aku!"
Ciri khusus orang mabuk adalah bahwa sekalipun mereka tampak selalu dalam bahaya akan
jatuh atau mengalami kecelakaan yang lebih jelek, namun kalau ditinggalkan sendirian
biasanya mereka dapat lolos dari hal yang tidak menguntungkan. Tapi kalau tak seorang
pun mengambil langkahlangkah untuk melindunginya, kurang kena memang. Berkat pengalaman
bertahun-tahun, Shoyu dapat menetapkan batas yang jelas antara menghibur diri dan
menyenangkan hati orang lain. Apabila orang menyangka ia sudah cukup pening hingga
mudah ditangani, ia akan mengambil sikap sesukar-sukarnya ditangani, berjalan
terhuyung-huyung sedemikian rupa, hingga orang datang menyelamatkannya. Sampai di situ
terjadilah pertempuran semangat kondisi mabuknya mendapat tanggapan simpatik.
"Bapak bisa jatuh," teriak Sumigiku sambil bergegas mencegahnya.
"Jangan tolol kamu. Kakiku boleh saja goyang sedikit, tapi semangatku kokoh!" Suaranya
kedengaran kesal. "Coba Bapak berjalan sendiri."
Sumigiku membiarkannya, tapi segera kemudian Shoyu pun runtuh. "Aku sedikit lelah.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terpaksa digotong." Dalam perjalanan ke kamar Yang Dipertuan Kangan, Shoyu seolah-olah tak tahu apa-apa,
padahal ia sadar sepenuhnya akan segalanya. Ia terhuyung-huyung, terayun-ayun, dan
sekali-sekali ambruk. Kalau tidak, ia membuat para pengikutnya terus gugup dari ujung
ke ujung gang yang panjang.
Yang dipersoalkan sekarang adalah apakah yang disebutnya "Orang-orang bangsawan kurang
ajar dan setengah matang" itu akan terus memonopoli Yoshino Dayu.Para saudagar besar
Bujukan Gambar Lukisan 11 Mamamo Karya Sara Tee Pangeran Berdarah Campuran 9
^