Pencarian

Mushasi 12

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 12


Sesudah mengajukan beberapa pertanyaan, tahulah ia bahwa sang ibu yang nama biaranya
Myoshu itu dahulunya seorang istri yang baik dan setia, sebelum akhirnya menjadi
biarawati, sedangkan anaknya ternyata memang si estetikus dan seniman terkemuka itu. Di
antara para pemain pedang, tak seorang pun yang tidak mengenal nama Hon'ami"begitu
hebat reputasi keluarga itu, berkat kemampuan-nya yang sempurna dalar menilai pedang.
Musashi merasa sukar menghubungkan Koetsu dan ibunya denga.gambaran yang ia miliki
tentang bagaimana mestinya keadaan orang-orang seterkenal mereka itu. Baginya, mereka
sekadar orang-orang biasa yang kebetulan ia jumpai di ladang sepi. Itulah justru yang
ia kehendaki, karena kalau tidak, ia sendiri bisa jadi tegang merusak tamasya mereka.
Sambil membawa ketel teh, Myoshu bertanya pada anaknya, "Berapa umur pemuda ini
menurutmu?" Sambil memandang Musashi, jawab Koetsu, "Dua puluh lima atau enam kukira."
Musashi menggeleng. "Tidak, umur saya baru dua puluh tiga."
"Baru dua puluh tiga," kata Myoshu. Kemudian ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
biasa: di mana rumahnya, apakah orangtuanya masih hidup, siapa yang mengajarinya main
pedang, dan seterusnya. Bicaranya lembut, seolah Musashi adalah cucunya, dan ini menyebabkan jiwa kanak-kanak
Musashi muncul. Gaya bicaranya berubah menjadi gaya bicara pemuda yang tidak resmi.
Karena terbiasa dengan disiplin dan latihan keras, dan terbiasa menghabiskan waktu
dengan menempa diri menjadi pedang baja yang bagus, maka tidak sedikit pun ia kenal
sisi kehidupan yang lebih beradab. Sementara biarawati tua itu berbicara, kehangatan
menyebar di seluruh tubuhnya yang sudah tertempa cuaca.
Myoshu, Koetsu, barang-barang di atas permadani, bahkan mangkuk teh itu, dengan
halusnya berpadu dengan suasana menjadi bagian dari alam seluruhnya. Tetapi Musashi
tidak sabar. Tubuhnya terlalu gelisah untuk duduk terus berlama-lama. Memang cukup
menyenangkan mengobrol demikian, tapi ketika Myoshu mulai menatap diam ke ketel teh dan
Koetsu membelakanginya untuk meneruskan melukis, Musashi menjadi bosan. "Apa enaknya
datang kemari ini buat mereka?" tanyanya pada diri sendiri. "Musim semi baru saja
mulai. Udara masih dingin."
Kalau mereka ingin memetik sayuran liar, kenapa tidak menanti sampai udara lebih hangat
dan lebih banyak orang di sekitar" Waktu itu banyak bunga dan tumbuhan hijau yang
segar. Kalau mereka ingin menikmati upacara teh, kenapa pula susah-susah membawa ketel
dan mangkuk-mangkuk teh ke tempat ini" Keluarga terkenal dan makmur seperti mereka ini
pasti punya ruang teh yang anggun di rumahnya.
Apakah untuk melukis"
Ketika memandang punggung Koetsu, tahulah ia bahwa dengan mencondongkan badan ke
samping ia dapat melihat kuas yang sedang bergerak. Tiada lain yang dilukis oleh
seniman itu kecuali garis-garis air yang mengalir, dan matanya terus tertuju pada kali
sempit yang membelok melintasi rumput kering. Koetsu berkonsentrasi hanya pada gerakan
air. Berkali-kali ia mencoba menangkap gerak air mengalir itu, namun sentuhan yang
tepat kelihatannya belum didapatnya. Tak bosan-bosannya ia terus melukis garis-garis
itu. "Yah," pikir Musashi, "melukis tak semudah kelihatannya." Untuk sesaat rasa bosannya
surut, dan ia terpesona memperhatikan goresan kuas Koetsu. Koetsu tentunya sama
perasaannya dengan dirinya sewaktu menghadapi musuh dan ujung pedang yang sudah di
depan mata. Pada tahap tertentu ia akan bangkit mengatasi dirinya dan merasa telah jadi
satu dengan alam-bukan, bukan "merasa", karena segala rasa akan lengkap pada saat
pedang melukai lawan. Saat transenden yang magis itulah segala-galanya.
"Koetsu masih memandang air sebagai musuhnya," pikirnya. "Itu sebabnya dia tak dapat
melukisnya. Air harus menjadi bagian dan dirinya, baru dia akan berhasil."
Karena tak ada yang dikerjakannya, dari kebosanan ia meluncur ke dalam kelesuan, dan
ini menggelisahkannya. Ia tak boleh membiarkan dirinya kendur, biarpun cuma sesaat. Ia
mesti pergi dari tempat itu.
"Saya minta maaf sudah mengganggu," katanya agak kasar, dan mulai mengikatkan kembali
sandalnya. "Oh, begitu cepat akan pergi?" tanya Myoshu.
Koetsu menoleh ke belakang pelan-pelan, dan katanya, "Tak bisa engkau tinggal sedikit
lama" Ibu mau bikin teh sekarang, Kukira engkaulah orang yang bertarung dengan
Perguruan Yoshioka pagi ini. Minum teh sedikit sesudah berkelahi baik untuk badan,
setidak-tidaknya itulah yang dikatakan Yang Dipertuan Maeda. Ieyasu demikian juga. Teh
itu baik untuk semangat. Aku sangsi apakah ada yang lebih baik dari teh. Menurut
pendapatku, aksi dilahirkan oleh ketenangan. Tinggallah, dan bicaralah. Akan kutemani."
Jadi, Koetsu tahu tentang pertarungan itu! Tapi barangkali tidak begitu mengherankan.
Rendaiji tidak jauh, hanya di ladang sebelah sana. Persoalan yang lebih menarik adalah,
kenapa sampai sedemikian jauh ia tidak mengatakan sesuatu. Apakah karena menurut
anggapannya soal-soal macam itu bukan bagian dari dunianya sendiri" Musashi sekali lagi
memandang ibu dan anak itu, kemudian duduk lagi.
"Kalau Anda mendesak, saya akan tinggal," katanya.
"Tak banyak yang dapat kami suguhkan, tapi kami senang engkau bersama kami di sini,"
kata Koetsu. Ia meletakkan tutup pada kotak tintanya, lalu meletakkan kotak itu di atas
lembar-lembar sketsa, agar tidak kabur. Di dalam tangannya kotak tinta itu berkelipkelip seperti kunangkunang. Rupanya berlapis emas tebal, dengan tatahan perak dan
mutiara. Musashi membungkuk untuk memperhatikannya. Sesudah terletak di atas permadani, kotak
itu tidak lagi berkilau cemerlang, Ia tahu, tak ada yang mencolok. Keindahannya
terletak pada lapis emas dan lukisan cat kuil-kuil Momoyama yang dikecilkan beberapa
kali. Juga terasa ada bagiannya yang sangat kuno, yaitu tahi tembaga yang redup, yang
mengingatkan orang pada kebesaran yang sudah pudar. Musashi menatap dengan saksama.
Terasa ada sesuatu yang menyenangkan pada kotak itu.
"Aku membuatnya sendiri," kata Koetsu rendah hati. "Engkau suka?"
"Oh, jadi Tuan membuat barang pernis juga?"
Koetsu hanya tersenyum. Ia memandang pemuda yang kelihatannya lebih mengagumi
kecerdasan manusia daripada keindahan alam itu, dan pikirnya geli, "Bagaimanapun, dia
berasal dari desa." Tak kenal dengan sikap megah Koetsu, Musashi pun berkata penuh ketulusan, "Ini betulbetul indah." ia tidak dapat melepaskan pandangannya dari kotak tinta itu.
"Sudah kukatakan itu kubuat sendiri, tapi sajak di atasnya hasil karya Konoe Nobutada.
Jadi, ini buatan kami berdua."
"Apa itu keluarga Konoe yang menurunkan wali kaisar?"
"Ya. Nobutada adalah anak wali yang dahulu."
"Suami bibi saya mengabdi pada keluarga Konoe bertahun-tahun."
"Siapa namanya?"
"Matsuo Kaname."
"Oh, aku kenal baik Kaname itu. Aku selalu mengunjunginya kalau pergi ke rumah Konoe,
dan dia kadang-kadang datang mengunjungi kami.
"Betul?" "Bu, dunia ini kecil, ya" Bibi dia ini istri Matsuo Kaname."
"Ah, masa!" kata Myoshu.
Myoshu meninggalkan api dan meletakkan mangkuk-mangkuk teh di depan mereka. Tak sangsi
lagi, ia betul-betul ahli dalam hal upacara teh. Gerak-geriknya anggun, namun alamiah,
sedangkan tangannya yang lembut itu lemah gemulai. Sekalipun sudah berumur tujuh puluh,
ia kelihatan sebagai lambang keluwesan dan kecantikan wanita.
Musashi, yang merasa betul-betul tidak leluasa, duduk bersimpuh dengan sopannya, meniru
Koetsu. Kue untuk minum teh berupa kue kismis yang dikenal dengan nama manju Yodo,
tetapi kue itu diletakkan dengan apiknya di atas selembar daun hijau yang jenisnya tak
ada di ladang sekitar. Musashi tahu ada peraturan tertentu berupa etiket untuk
menghidangkan teh, seperti halnya ada peraturan menggunakan pedang, dan selama
memperhatikan Myoshu, ia mengagumi keahliannya. Menilainya dalam istilah ilmu pedang,
"Dia sempurna sekali! Sama sekali tidak membuka peluang." Ketika ia mengangkat mangkuk,
Musashi merasakan di dalam diri perempuan itu keahlian surgawi, seperti kelihatan pada
seorang guru pedang yang siap memukul. "Inilah Jalan," demikian pikirnya. "Inilah
hakikat seni. Orang harus memilikinya, agar dapat sempurna dalam apa saja."
Ia mengalihkan perhatian kepada mangkuk teh di depannya. Inilah pertama kalinya ia
mendapat suguhan dengan cara ini, dan sedikit pun ia tak tahu apa yang mesti dilakukan
berikutnya. Mangkuk teh itu membuat ia kagum, karena meskipun mangkuk itu mirip dengan
yang dibuat anak kecil sewaktu bermain lumpur, namun kalau warna hijau tua pada busa
teh itu diperhatikan dengan latar belakang warna mangkuk, tampaklah warna itu lebih
tenteram dan lembut daripada langit.
Tanpa daya ia pun memandang Koetsu yang sudah menghabiskan kuenya dan sedang memegang
mangkuk dengan penuh cinta. Ia pegang mangkuk dengan kedua tangannya, seperti sedang
membelai benda hangat di malam yang dingin, dan ia habiskan teh itu dengan dua-tiga
hirupan. "Pak," Musashi berkata agak ragu-ragu, "saya ini cuma anak desa yang bodoh, dan saya
tidak tahu seluk-beluk upacara teh. Saya bahkan tidak tahu pasti, bagaimana cara minum
teh." Myoshu segera menegurnya baik-baik. "Oh, begini, Nak, semua itu sama saja. Tak ada yang
namanya canggih atau khusus dalam minum teh. Kalau engkau anak desa, minum saja seperti
caramu di desa." "Apa boleh begitu?"
"Tentu saja. Tingkah laku itu bukan soal peraturan, tapi berasal dari hati. Sama dengan
ilmu pedang, kan?" "Kalau Ibu nyatakan demikian, memang ya."
"Kalau engkau terlalu memikirkan cara yang benar untuk minum, kau takkan menikmati teh
itu. Ketika menggunakan pedang, kau tak bisa membiarkan tubuhmu terlalu tegang. Itu
akan mematahkan keselarasan antara pedang dan semangatmu. Betul begitu?"
"Betul, Ibu." Tanpa disadari Musashi menganggukkan kepalanya dan menanti biarawati itu
melanjutkan pelajarannya.
Biarawati itu tertawa sedikit berderai. "Coba dengarkan aku ini! Bicara tentang main
pedang, padahal aku tak tahu apa-apa tentangnya."
"Saya minum teh saya sekarang," kata Musashi sesudah memperoleh kembali keyakinan
dirinya. Kakinya capek akibat duduk dalam sikap resmi, karena itu ia berganti posisi bersila
supaya lebih enak. Sebentar saja sudah ia kosongkan mangkuk teh itu dan ia letakkan
kembali. Teh itu sangat pahit. Biarpun untuk sekadar basa-basi, ia tak dapat memaksa
diri mengatakan enak. "Tambah lagi?" "Tidak, terima kasih, sudah cukup."
Apa enaknya air pahit macam ini buat orang-orang ini" Kenapa mereka bicara begitu
serius tentang "kemurnian" rasa dan segala macamnya itu" Musashi tak dapat memahami
tuan rumah, namun tak mungkin ia tidak mengaguminya. Bagaimanapun, tentunya ada hal
lain yang tak terlihat olehnya. Kalau tidak, mana mungkin masalah minum teh ini menjadi
faktor penting filsafat tentang estetika dan hidup" Dan mana mungkin pula orang-orang
besar seperti Hideyoshi dan Ieyasu akan mencurahkan perhatian demikian besar pada minum
teh ini, demikian pikir Musashi.
Ia ingat betapa Yagyu Sekishusai menghabiskan umur tuanya untuk Jalan Teh, dan Takuan
pun bicara tentang kemuliaan. Melihat mangkuk teh dan kain tatakannya, tiba-tiba
terbayang olehnya bunga peoni putih dari kebun Sekishusai itu, dan sekali lagi ia
rasakan getaran yang dulu pernah ia alami. Kini mangkuk itu memberikan getaran yang
sama. Caranya tak bisa dijelaskan. Sesaat lamanya ia bertanya-tanya, jangan-jangan tadi
ia terengah keras. Ia menjulurkan tangan, memungut mangkuk dengan penuh cinta dan meletakkannya di atas
lutut. Matanya bercahaya ketika mengamati. Terasa olehnya kegembiraan yang belum pernah
ia rasakan sebelumnya. Diperhatikannya dasar mangkuk itu, demikian juga jejak-jejak
kape tukang tembikar dan sadarlah ia bahwa garis-garis itu menunjukkan ketajaman yang
sama dengan irisan yang dilakukan Sekishusai pada batang bunga peoni. Mangkuk bersahaja
ini pun hasil karya seorang genius. Mangkuk ini mengungkapkan sentuhan semangat dan
wawasan yang misterius. Hampir-hampir ia tak dapat bernapas. Tak tahulah ia, tapi kini ia merasakan kekuatan
seniman besar itu, kekuatan yang diam tapi Paso, karena ia memang lebih peka terhadap
kekuatan laten yang bersemayam di situ daripada kebanyakan orang lain. Ia gosok-gosok
mangkuk itu, tak ingin melepaskan kontak fisik dengannya.
"Pak Koetsu," kata Musashi, "pengetahuan saya tentang alat-alat ini tidak lebih baik
daripada pengetahuan saya tentang teh, tapi saya kira mangkuk ini dibuat oleh tukang
tembikar yang sangat terampil."
"Kenapa begitu?" kata-kata seniman itu sama lembutnya dengan wajahnya. Matanya simpatik
dan mulutnya bagus bentuknya. Sudut-sudut mata yang turun sedikit memberikan kesan
sungguh-sungguh, namun di sekitar ujung mata terdapat kerut-merut.
"Saya tak bisa menjelaskannya, tapi saya merasakannya."
"Jelasnya, bagaimana menurut perasaanmu" Coba ceritakan."
Musashi berpikir sejenak, kemudian katanya, "Nah, saya tak dapat mengungkapkannya
dengan jelas sekali, tapi terasa ada yang melebihi kemampuan manusia pada guratan tajam
tanah liat ini..." "Hmmm." Koetsu memang memiliki sikap seniman sejati. Sesaat pun ia tak pernah menilai
orang lain tahu banyak tentang karya seninya, dan karena itu merasa pasti Musashi
bukanlah perkecualian. Bibirnya mengerut. "Kenapa guratannya, Musashi?"
"Bersih sekali."
"Cuma itu?" "Tidak, tidak... lebih rumit dari itu. Ada sesuatu yang besar dan agung dari
pembuatnya." "Apa lagi?" "Tukang tembikar itu sendiri sama tajamnya dengan pedang Sagami. Tapi dia menyelimuti
semuanya itu dengan keindahan. Mangkuk teh ini tampak sangat sederhana, tapi terasa ada
keangkuhan, sesuatu yang agung dan congkak, seakan-akan dia menganggap orang lain belum
sepenuhnya manusia."
"Mm." "Sebagai manusia, orang yang membuat mangkuk ini sukar ditaksir, saya kira. Siapa pun
orangnya, saya berani bertaruh dia orang terkenal. Tak dapatkah Bapak menyebutkan siapa
dia?" Bibir Koetsu yang tebal itu pun tertawa keras. "Namanya Koetsu. Tapi barang ini kubuat
hanya untuk bersenang-senang hati."
Musashi yang tak tahu bahwa dirinya sedang diuji itu terkejut dan kagum mendengar
Koetsu dapat membuat keramik sendiri. Tapi yang lebih mengesankan daripada luasnya
kecakapan artistik orang itu adalah dalamnya nilai manusia yang tersembunyi dalam
mangkuk teh yang kelihatannya sederhana mi. Agak terganggu juga Ia oleh kedalaman
sumber spiritual Koetsu. Karena terbiasa mengukur orang lain dengan kemampuan
menggunakan pedang, tiba-tiba ia menyimpulkan bahwa kemampuan dirinya terlalu kecil.
Pikiran ini membuatnya merasa hina. Ini satu orang lagi, kepada siapa ia mesti mengakui
kekalahannya. Walaupun pagi itu ia baru saja mendapat kemenangan gemilang, sekarang ia
tak lebih dar seorang pemuda pemalu.
"Jadi, engkau suka keramik juga, ya?" tanya Koetsu. "Engkau rupanya bisa juga menilai
barang tembikar." "Saya sangsi apakah itu benar," jawab Musashi rendah hati. "Saya cuma menyatakan apa
yang ada dalam kepala saya. Maafkan saya, kalau ada yang tolol dalam kata-kata saya."
"Ya, tentu saja kita tak bisa mengharapkan kau tahu banyak tentang soal ini. Untuk
membuat satu mangkuk teh yang baik saja dibutuhkan pengalaman selama hidup. Tapi engkau
memang punya rasa keindahan, ada daya tangkap naluriah yang agak kuat. Kukira engkau
sudah mendapat sedikit kemajuan dalam mengembangkan ketajaman matamu, karena engkau
mempelajari ilmu pedang." Ada nada kagum dalam nada suara Koetsu, tapi sebagai orang
yang lebih tua ia tidak dapat memuji anak itu. Tidak hanya perbuatan itu tidak terpuji,
melainkan juga dapat membuat anak itu sombong.
Tak lama kemudian, pelayan kembali membawa lebih banyak sayuran liar, dan Myoshu
menyiapkan bubur. Ketika ia sudah memindahkan bubur itu ke piring-piring kecil yang
rupanya juga dibuat oleh Koetsu, seguci sake yang harum pun dipanaskan, dan pesta
tamasya pun dimulai. Makanan dalam upacara teh itu terlalu ringan dan lembut untuk selera Musashi.
Jasmaninya menghendaki isi dan rasa yang lebih mantap. Namun ia berusaha juga dengan
sebaik-baiknya menelan bau halus adonan berdaun itu, karena diakuinya banyak yang dapat
ia pelajari dari Koetsu dan ibunya yang luwes itu.
Waktu berlalu terus, dan ia menoleh ke sekitar ladang dengan gelisah. Akhirnya ia
menoleh kepada tuan rumah, katanya, "Semua ini sangat menyenangkan, tapi sudah waktunya
saya pergi sekarang. Saya masih ingin tinggal di sini, tapi saya kuatir lawan-lawan
saya akan datang dan menimbulkan kesulitan. Tak ingin saya melibatkan Bapak dalam hal
seperti ini. Saya harap saya akan mendapatkan kesempatan bertemu lagi dengan Bapak."
Myoshu bangkit melepaskan tamunya, katanya, "Kalau kau kebetulan ada di sekitar Jalan
Hon'ami, jangan tidak mampir ke tempat kami."
"Ya, silakan datang menengok kami. Kita nanti dapat berbincang-bincang yang enak,"
tambah Koetsu. Sebetulnya Musashi sudah kuatir, tapi ternyata tidak tampak tanda-tanda murid-murid
Yoshioka. Habis minta diri, ia berhenti untuk menoleh pada kedua teman barunya. Ya,
dunia mereka itu lain sekali dengan dunianya. Jalannya sendiri yang panjang dan sempit
itu takkan pernah mencapai lingkungan kesenangan hidup Koetsu yang penuh kedamaian. Ia
berjalan diam menuju tepi ladang, kepalanya tertunduk merenung.
*** 35. Terlalu Banyak Kojiro
DI warung minum kecil di luarkota itu, bau kayu terbakar dan makanan yang sedang
direbus memenuhi udara. Warung itu cuma gubuk tak berlantai. Ada papan pengganti meja
dan beberapa bangku di sana-sini. Di luar, cahaya terakhir matahari terbenam membuat
seolah ada bangunan di kejauhan yang sedang terbakar. Burung-burung gagak yang
mengelilingi pagoda Toji tampak seperti abu hitam yang membubung dari nyala kebakaran.
Tiga atau empat pemilik warung dan seorang biarawan pengembara duduk di meja darurat
tadi, sedangkan di sebuah sudut ada beberapa pekerja berjudi dengan taruhan minuman.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gasing yang mereka putar adalah mata uang tembaga yang lubangnya ditusuk dengan
sepotong kayu. "Yoshioka Seijuro betul-betul kesulitan sekarang ini!" kata salah seorang pemilik
warung. "Dan aku senang sekali melihatnya. Mari kita minum!"
"Aku ikut minum," kata yang lain.
"Sake lagi!" kata yang lain lagi pada pemilik warung.
Para pengunjung warung itu minum dengan cepat dan terus-menerus. Lama-kelamaan hanya
cahaya temaram yang menerangi tirai warung. Seorang di antaranya melenguh, "Tak
kelihatan lagi, mangkuk ini sampai hidung atau mulut" Terlalu gelap di sini. Bagaimana
kalau pasang lampu?"
"Tunggu sebentar. Akan kupasang," kata pemilik dengan letih.
Dari tungku tanah yang terbuka segera menjulang nyala api. Makin gelap di luar, makin
merah sinar api itu. "Bikin gila tiap kali memikirkannya," kata orang pertama tadi. "Berapa banyak uang
diutang orang-orang itu buat ikan dan arang! Jatuhnya besar juga. Lihat saja besarnya
perguruan itu! Aku sudah bersumpah akan mendapatkan kembali uang itu pada akhir tahun,
tapi apa yang terjadi waktu aku sampai di sana" Tukang-tukang gertak Yoshioka
menghadang di pintu masuk, menggertak dan mengancam semua orang. Berani betul mereka
itu mengusir penarik rekening, pemilik-pemilik warung yang jujur, yang bertahun-tahun
memberinya kredit!" "Tak ada gunanya menangisi sekarang. Yang sudah terjadi sudahlah. Dan lagi, sesudah
pertarungan di Rendaiji itu, merekalah sekarang yang lebih punya alasan menangis, bukan
kita." "Ah, aku tak marah lagi sekarang. Mereka sudah mendapatkan ganjarannya."
"Coba bayangkan, Seijuro ditundukkan hampir tanpa pertarungan!"
"Apa kau melihat sendiri?"
"Tidak, tapi aku dengar dari orang yang lihat. Musashi bikin lumpuh dia hanya dengan
satu pukulan. Dan dengan pedang kayu pula! Cacat seumur hidup dia sekarang."
"Bagaimana jadinya perguruan itu?"
"Kelihatannya kurang baik juga. Semua murid sekarang menuntut darah Musashi. Kalau
mereka tidak membunuh Musashi, mereka bisa kehilangan muka sama sekali. Nama Yoshioka
terpaksa runtuh. Musashi begitu kuat. Tiap orang merasa satu-satunya yang akan dapat
mengalahkan dia hanya Denshichiro. Mereka sedang mencarinya sekarang."
"Aku tidak tahu Seijuro punya adik."
"Memang hampir tak ada yang tahu, tapi dia pemain pedang yang lebih baik, menurut yang
kudengar. Dialah berandal keluarga itu. Dia tak pernah memperlihat-kan muka di
perguruan itu, kecuali kalau butuh uang. Buang waktu dengan makan dan minum dan
memanfaatkan namanya sendiri. Hidup dari orang-orang yang menghormati ayahnya."
"Bukan main pasangan itu. Bagaimana orang terkemuka macam Yoshioka Kempo bisa
memperanakkan orang-orang macam itu?"
"Itu berarti darah bukan segala-galanya!"
Seorang ronin teronggok setengah sadar di dekat tungku. Sudah beberapa waktu lamanya ia
di situ, dan pemilik warung membiarkannya saja, tapi sekarang dibangunkannya. "Pak,
tolong mundur sedikit," katanya sambil menambahkan ranting-ranting kayu api. "Api ini
bisa membakar kimono Bapak."
Mata Matahachi yang sudah merah oleh sake itu terbuka pelan-pelan. "Mm, mm, aku tahu,
aku tahu. Biarkan aku sendiri."
Warung sake ini bukan satu-satunya tempat Matahachi mendengar tentang pertarungan di
Rendaiji itu. Peristiwa tersebut dibicarakan setiap orang, dan semakin terkenal
Musashi, semakin murung temannya yang bertingkah itu.
"Hei, kasih lagi," panggilnya. "Tak usah dipanaskan, tuangkan saja ke mangkukku."
"Bapak tak apa-apa, ya" Wajah Bapak pucat sekali."
"Apa urusanmu" Ini mukaku sendiri, kan?"
Ia menyandarkan diri ke dinding lagi dan menyilangkan tangan di dada. "Sebentar lagi
akan kutunjukkan pada mereka," pikirnya. "Keahlian main pedang bukan satu-satunya jalan
menuju sukses. Dengan menjadi kaya, atau memiliki gelar, atau menjadi bajingan, sama
saja, asal sampai di puncak. Musashi dan aku sama-sama berumur dua puluh tiga. Orang
yang punya nama pada umur itu tak banyak yang jauh jalannya. Umur tiga puluh tahun
mereka sudah tua dan sempoyongan?"si anak pandai yang menua."
Kabar pertarungan di Rendaiji itu telah menyebar di Osaka, dan mendorong Matahachi
datang ke Kyoto. Sekalipun belum punya tujuan jelas, kemenangan Musashi itu berat
menekan jiwanya, hingga ia mesti melihat sendiri bagaimana keadaannya. "Dia sedang
menanjak sekarang," pikir Matahachi benci, "tapi pasti dia akan jatuh." Banyak orang
yang cakap di perguruan Yoshioka itu"Sepuluh Pemain Pedang, Denshichiro, dan banyak
lagi yang lain..." Hampir-hampir ia tak dapat menanti, kapan Musashi akan menerima
pembalasan. Sementara itu nasibnya sendiri pasti sudah berubah.
"Oh, haus!" katanya keras. Dengan menopang, menggeser, dan punggung bersandar pada
dinding, ia berhasil berdiri. Semua mata memperhatikan ketika ia membungkuk ke tong air
di sudut ruangan dan mencelupkan kepalanya, lalu menenggak beberapa tegukan besar
dengan ciduk. Ciduk dilemparkannya ke samping, digesernya tirai warung, dan keluarlah
ia tertatih-tatih. Setelah menganga keheranan, pemilik warung segera tersadar dan lari mengejar tubuh yang
berjalan gontai itu. "Pak, Bapak belum bayar!" panggilnya.
"Apa?" kata Matahachi tak jelas.
"Saya pikir ada yang Bapak lupakan."
"Aku tidak lupa apa-apa."
"Maksud saya, uang sake itu. Ha, ha!"
"Begitu, ya?" "Maaf sudah mengganggu."
"Aku tak punya uang."
"Tak punya uang?"
"Ya, tak punya sama sekali. Aku punya sampai beberapa hari yang lalu, tapi..."
"Oh, lalu kenapa Bapak duduk minum-minum di sana...! Bapak... Bapak... "
"Diam kamu!" Matahachi meraba-raba dalam kimononya, kemudian mengeluarkan kotak obat
samurai yang sudah mati itu dan melemparkannya kepada orang itu. "Jangan banyak ribut!
Aku samurai dengan dua pedang. Kamu lihat sendiri, kan" Aku belum bangkrut dan tidak
akan ngeluyur tanpa bayar. Barang itu lebih mahal daripada sake yang kuminum. Boleh
kembaliannya kamu simpan!"
Kotak obat tepat mengenai muka orang itu. Ia memekik kesakitan dan menutup mukanya
dengan tangan. Para pembeli lain yang melongokkan kepala lewat celah tirai warung
berteriak marah. Seperti kebanyakan orang mabuk, mereka marah melihat pemabuk lain
ingkar membayar. "Bajingan!" "Penipu busuk!"
"Mari kita hajar dia!"
Mereka berlari mengepung Matahachi.
"Bajingan! Bayar! Tidak bisa kamu pergi begitu saja!"
"Brengsek! Kamu rupanya biasa begitu terus, ya" Kalau kamu tak bisa bayar, kami gantung
kamu!" Matahachi menjamah pedangnya untuk menakut-nakuti mereka. "Kalian pikir kalian bisa?"
gertaknya. "Akan menarik sekali ini. Boleh coba! Apa kalian sudah tahu, siapa aku?"
"Kami tahu macam apa kamu itu"ronin kotor dari tumpukan sampah, yang harga dirinya
lebih rendah dari pengemis, tingkahnya lebih dari pencuri:"
"Jadi, kalian belum tahu!" teriak Matahachi memandang tajam dan mengerutkan kening
dengan ganas. "Bicara kalian akan lain kalau kalian tahu namaku."
"Namamu" Apa istimewanya nama itu?"
"Aku Sasaki Kojiro, murid seangkatan Ito Ittosai, pemain pedang Gaya Chujo. Kalian
pasti sudah mendengar tentangku!"
"Jangan bikin aku ketawa! Tak perlu itu nama-nama khayal, bayar saja."
Satu orang mengulurkan tangan untuk mencekal Matahachi, tapi Matahachi berteriak,
"Kalau kotak obat itu tak cukup, akan kuberi kamu sedikit pedangku buat tambahan!" Ia
cepat menarik senjatanya, menebas tangan orang itu sampai putus.
Melihat bahwa ternyata mereka tadi terlalu menyepelekan musuh, yang lain beraksi seolah
darah mereka sendiri yang sudah tercurah. Mereka pun melarikan diri ke dalam kegelapan.
Dengan wajah penuh kemenangan Matahachi menantang. "Kembali kalian, kutu-kutu! Akan
kutunjukkan pada kalian cara Kojiro menggunakan pedang kalau sedang serius. Sinilah,
akan kupotong kepala kalian."
Ia memandang ke langit dan tertawa terpingkal-pingkal, giginya yang putih berkilau di
tengah kegelapan, girang atas suksesnya. Kemudian tiba-tiba sikapnya berubah. Wajahnya
berselimut kesedihan. Ia seperti mencucurkan air mata. Dengan kaku ia entakkan
pedangnya kembali masuk ke sarungnya dan pergilah ia dengan gontai.
Kotak obat di tanah itu berkelip-kelip di bawah sinar bintang. Kotak itu terbuat dari
kayu cendana dengan tatahan kulit kerang; kelihatannya tidak terlalu berharga, tetapi
kilat kulit kerang mutiara yang biru itu menyinarkan keindahan lembut, seperti
sekelompok kecil kunang-kunang.
Ketika keluar dari gubuk, si biarawan pengembara melihat kotak obat itu dan
memungutnya. Ia berjalan terus, tapi kemudian kembali dan berdiri di bawah ujung atap
warung. Dalam cahaya redup yang keluar dari celah dinding ia amat-amati pola dan tali
kotak itu dengan saksama. "Hmmm,? pikirnya. "Ini pasti milik guru itu. Dia tentu sedang
membawanya ketika terbunuh di Kuil Fushimi. Ya, ini namanya, Tenki, tertulis di
dasarnya." Biarawan itu segera mengejar Matahachi. "Sasaki!" panggilnya. "Sasaki Kojiro!"
Matahachi mendengar nama itu, tapi dalam keadaan bingung ia tak mampu menghubungkannya
dengan dirinya. Ia terhuyung terus dari Jalan Kujo ke Jalan Horikawa.
Biarawan itu berhasil mengejarnya dan memegang ujung sarung pedangnya. "Tunggu,
Kojiro," katanya. "Tunggu sebentar."
"Hah?" kata Matahachi tersentak, "Maksudmu aku?"
"Anda Sasaki Kojiro, kan?" Sinar tajam menyala dalam mata biarawan itu. Matahachi
sedikit sadar sekarang. "Ya, aku Kojiro. Apa urusannya itu denganmu?"
"Saya mau mengajukan satu pertanyaan."
"Nah, pertanyaan apa itu?"
"Di mana Anda mendapat kotak obat ini?"
"Kotak obat?" tanya Matahachi kosong.
"Ya. Di mana Anda mendapatkannya" Itu yang ingin saya ketahui. Bagaimana kotak ini bisa
menjadi milik Anda?" Biarawan itu berbicara agak resmi. Ia masih muda, barangkali baru
sekitar dua puluh enam tahun, dan tampaknya bukan biarawan pengemis yang tak
bersemangat, yang mengembara dari kuil ke kuil dan hidup dari derma. Sebelah tangannya
memegang tongkat kayu ek bulat, lebih dari enam kaki panjangnya.
"Tapi siapa kamu ini?" tanya Matahachi, wajahnya mulai tampak prihatin.
"Itu tak penting. Kenapa tidak Anda nyatakan saja dari mana ini datangnya?"
"Tidak dari mana-mana. Selamanya itu milikku."
"Anda bohong! Katakan yang sebenarnya!"
"Sudah kukatakan yang sebenarnya."
"Anda menolak mengakuinya?"
"Mengakui apa?" tanya Matahachi tak bersalah.
"Kau bukan Kojiro!" Seketika tongkat di tangan biarawan itu membelah udara.
Naluri Matahachi mendorongnya bergerak mundur, tapi ia masih terlampau pening untuk
cepat beraksi. Tongkat mengenai sasaran, dan melolong kesakitan ia sempoyongan ke
belakang lima belas atau dua puluh kaki jauhnya, dan jatuh telentang. Begitu bangkit
lagi, ia langsung lari. Si biarawan mengejarnya, dan beberapa langkah kemudian melontarkan lagi tongkat ek itu.
Matahachi mendengar tongkat itu terbang ke arahnya. Ia meren-dahkan kepala. Peluru
terbang itu melayang lewat telinganya. Karena ketakutan, ia melipatgandakan
kecepatannya. Si biarawan meraih senjata yang terjatuh itu, mengambilnya, dan sesudah membidik baikbaik, melontarkannya lagi, tapi sekali lagi Matahachi merunduk.
Sesudah berlari dengan kecepatan tinggi lebih dari satu setengah kilometer, Matahachi
melewati Jalan Rokujo dan mendekati Jalan Gojo. Akhirnya ia lepas dari kejaran dan
berhenti. Terengah-engah ia mengetuk-ngetuk dadanya. "Tongkat itu... senjata
mengerikan! Orang mesti berhati-hati sekarang ini."
Sudah tenang benar tapi haus bukan main, ia mencari sumur. Ia temukan sumur itu di
ujung sebuah jalan sempit. Ia angkat satu timba dan ia reguk air sepuas-puasnya,
kemudian ia taruh ember di tanah dan berkecipaklah ia membasahi wajahnya dan
berkeringat. "Siapa pula orang itu?" pikirnya, "Dan apa maunya?" Tapi begitu merasa normal kembali,
datanglah kembali rasa murung itu. Di ruang matanya tampaklah wajah mayat tak berdagu
yang kelihatan menderita sekali di Fushimi.
Hati nuraninya terasa sakit, karena ia menggunakan uang orang mati itu. Bukan untuk
pertama kalinya ia bermaksud menebus perbuatan keliru itu. "Kalau aku punya uang,"
sumpahnya, "yang pertama akan kulakukan adalah membayar kembali utangku. Barangkali
nanti setelah aku sukses akan kudirikan batu peringatan untuknya."
Cuma sertifikat itu yang tinggal. Barangkali aku mesti melepaskannya. Kalau nanti orang
yang tidak tepat tahu aku yang memilikinya, bisa timbul kesulitan." Ia meraba ke dalam
kimononya dan menyentuh gulungan yang selama itu selalu diselipkan di perut, di bawah
obi, sekalipun terasa tak enak.
Bahkan kalaupun ia memang tak dapat mengubahnya menjadi uang dalam jumlah banyak,
sertifikat itu dapat menjadi pembuka ke anak tangga ajaib yang pertama menuju sukses.
Jadi, pengalaman sial dengan Akakabe Yasoma tidak menyembuhkan-nya dari penyakit mimpi.
Sertifikat itu sudah menjadi amat berguna. Dengan menunjukkannya ke dojo-dojo kecil tak
bernama atau kepada orang kota yang polos dan ingin belajar main pedang, ia dapat
memperoleh penghormatan dari mereka bahkan juga mendapat makan bebas dan tempat
menginap, walaupun tidak dimintanya. Begitulah cara ia hidup selama enam bulan terakhir
ini. "Tidak ada alasan membuangnya. Ah, apa yang terjadi dengan diriku ini" Rupanya makin
lama aku makin jadi penakut. Barangkali itulah vang menghalangiku mencapai kemajuan di
dunia ini. Dari sekarang aku takkaa berbuat seperti itu lagi! Aku akan jadi besar dan
berani, seperti Musash. Akan kutunjukkan pada mereka!"
Ia menoleh ke sekitar, ke pondok-pondok yang mengitari sumur. Orang-orang yang tinggal
di situ membuatnya iri. Memang rumah mereka melengkung akibat beratnya lumpur dan
rumput liar di atapnya, tapi setidaknya mereka memiliki peneduh. Ia mengintip, melihat
beberapa di antara keluarga itu. Di satu rumah ia lihat sepasang suami-istri duduk
menghadapi kuali berisi makan malam mereka yang sederhana. Di dekat mereka duduk anak
lelaki dan perempuan bersama nenek mereka yang sedang memotong-motong.
Sekalipun miskin dalam hal keduniaan, mereka memiliki semangat kesatuan keluarga, suatu
kekayaan yang tidak dimiliki bahkan oleh orang-orang besar seperti Hideyoshi dan
Ieyasu. Matahachi merasa bahwa semakin orang menderita kemiskinan, semakin kuat rasa
saling cinta. Orang miskin juga dapat memahami kegembiraan sebagai manusia.
Dengan rasa malu ia teringat benturan kemauan yang menyebabkan ia pergi meninggalkan
ibunya sendiri di Sumiyoshi. "Mestinya aku tak boleh berlaku demikian terhadapnya,"
pikirnya. "Apa pun kesalahannya, tak bakal ada orang lain yang cintanya padaku seperti
cintanya." Selama seminggu tinggal bersama, berjalan dari tempat suci ke kuil, dan dari kuil ke
tempat suci yang sangat menjengkelkan itu, Osugi berkali-kali berbicara kepadanya
tentang daya-daya ajaib Kannon di Kiyomizudera. "Tak ada bodhisatwa di dunia ini yang
dapat menciptakan keajaiban lebih besar daripada dia," demikian ibunya meyakinkannya.
"Kurang dari tiga minggu sesudah aku pergi berdoa ke sana, Kannon memimpin Takezo
datang padaku membawanya langsung ke kuil itu. Aku tahu engkau tak begitu peduli dengan
agama, tapi lebih baik engkau percaya kepada Kannon."
Sekarang hal itu terpikir oleh Matahachi, dan teringat olehnya ibunya mengatakan bahwa
sesudah tahun baru ia punya rencana akan pergi ke Kiyomizu, meminta perlindungan Kannon
atas keluarga Hon'iden. Jadi, ke sanalah ia mesti pergi! Malam itu ia tak punya tempat
untuk tidur. Ia dapat menginap di beranda, ada kemungkinan bisa bertemu dengan ibunya
kembali. Ketika menyusuri jalan-jalan gelap menuju Jalan Gojo, ia diikuti segerombolan anjing
kampung liar yang menyalak-nyalak, yang sialnya bukan dari jenis yang dapat dibungkam
dengan melemparkan sebutir dua butir batu. Untungnya ia sudah biasa digonggong anjing,
jadi tidak ada halangan anjing-anjing itu menggeram kepadanya dan memperlihatkan gigi
mereka. Di Matsubara, sebuah hutan pinus dekat Jalan Gojo, ia melihat kawanan anjing kampung
lain berkumpul sekitar sebatang pohon. Anjing-anjing yang mengawalnya itu berlari
menggabungkan diri dengan mereka. Jumlahnya lebih banyak dari yang dapat dihitungnya.
Semuanya begitu gaduh. Sebagian ada yang melompat-lompat sampai setinggi dua meter ke
batang itu. Ia menajamkan mata, dan tampak olehnya seorang gadis meringkuk gemetar di sebuah cabang
pohon itu. Paling tidak, ia cukup yakin orang itu seorang gadis.
Ia mengacung-acungkan tinju dan berteriak mengusir anjing-anjing itu. Ketika dilihatnya
tanpa hasil, ia lemparkan batu-batuan, tapi juga tak berhasil. Kemudian ia ingat kata
orang, cara menakuti anjing adalah dengan merangkak dan meraung keras. la pun berbuat
demikian. Tapi ini pun tak ada hasilnya. Barangkali jumlah anjing itu demikian
banyaknya, melompat ke sana kemari seperti ikan dalam jaring. Ada yang mengibasngibaskan ekor, mencakar-cakar kulit pohon, dan melolong kejam.
Tiba-tiba terpikir olehnya, seorang perempuan bisa menganggap lucu bahwa seorang pemuda
dengan dua bilah pedang merangkak menirukan binatang. Sambil memaki ia meloncat
berdiri. Sesaat kemudian seekor anjing melolong untuk terakhir kali dan mati. Ketika
yang lain-lain melihat pedang Matahachi yang berdarah itu teracung di atas kepalanya,
mereka pun menarik diri berdekatan, hingga punggung mereka yang kurus-kurusitu berombak
naik-turun seperti ombak samudra. "Mau lagi, ya?"
Takut akan ancaman pedang itu, anjing-anjing buyar ke segala jurusan. "Hai, yang di
atas itu!" seru Matahachi. "Turun kamu sekarang."
Dari tengah dedaunan pinus itu ia dengar denting logam kecil yang manis. "Oh, Akemi,"
gagapnya. "Akemi, kau, ya?"


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan terdengar Akemi berseru ke bawah, "Siapa kamu?"
"Matahachi. Apa kau tidak kenal suaraku?"
"Mana mungkin! Kamu bilang Matahachi?"
"Apa kerjamu di atas itu" Kamu bukan orang yang gampang takut dengan anjing."
"Aku di atas ini bukan karena anjing."
"Nah, apa pun sebabnya, turunlah."
Dari tempat bertenggernya, Akemi meninjau ke sekitar, ke tengah kegelapan yang tenang.
"Matahachi!" katanya mendesak. "Pergi kamu dari sini. Kukira dia datang mencariku."
"Dia" Siapa dia itu?"
"Tak ada waktu membicarakannya. Seorang lelaki. Dia menawarkan bantuan padaku akhir
tahun lalu, tapi ternyata dia binatang. Semula kukira dia baik, tapi kemudian
dilakukannya segala macam tindakan kejam padaku. Malam ini kulihat kesempatan lari."
"Apa bukan Oko yang mengejarmu?"
"Bukan, bukan Ibu. Lelaki!"
"Gion Toji, barangkali?"
"Jangan melucu begitu, aku tidak takut pada Gion Toji.... Oh, oh, dia sudah di sana.
Kalau kamu tetap di situ, dia nanti menemukan aku. Dan dia akan berbuat yang mengerikan
juga padamu! Cepat sembunyi!"
"Jadi, maumu aku lari hanya karena muncul seorang lelaki?" Matahachi tetap berdiri,
gelisah oleh sikap ragu-ragunya sendiri. Ia setengah ingin melakukan perbuatan gagah
berani. Ia seorang lelaki. Ada perempuan dalam bahaya. Ia ingin menebus malu karena
merangkak ketika hendak mengusir anjing tadi. Semakin Akemi mendesaknya bersembunyi,
semakin ingin Matahachi memperlihatkan kejantanannya, baik kepada Akemi maupun kepada
diri sendiri. "Siapa di situ!"
Kata-kata itu serentak diucapkan oleh Matahachi dan Kojiro. Kojiro menatap pedang
Matahachi dan darah yang masih menetes-netes darinya. "Siapa engkau?" tanyanya dengan
sikap bermusuhan. Matahachi diam saja. Mendengar nada takut dalam suara Akemi tadi, ia menjadi tegang.
Tapi sesudah memperhatikan lagi ketegangan pun mereda. Orang baru itu jangkung dan
tegap tubuhnya, tapi tak lebih tua dari Matahachi sendiri. Dari potongan rambut dan
pakaiannya, Matahachi menduga orang itu bawahan yang masih buruk kelakuan dan matanya
pun tampak merendahkan. Biarawan tadi memang telah membuat ia ketakutan, tapi ia yakin
takkan kalah oleh pemuda pesolek itu.
"Apa ini orang kejam yang sudah menyiksa Akemi?" tanyanya pada dirinya sendiri.
"Kelihatannya begitu hijau seperti labu. Cerita seluruhnya belum kudengar, tapi kalau
memang dia orang yang bikin susah itu, kukira lebih baik kuberi dia satu-dua
pelajaran." "Siapa engkau?" tanya Kojiro lagi. Daya ucapan itu demikian rupa, hingga seolah dapat
mengusir kegelapan sekitar mereka.
"Aku?" jawab Matahachi menggoda. "Aku cuma manusia." Dan dengan sengaja ia menyeringai.
Wajah Kojiro merah oleh amarah. "Jadi, engkau tak punya nama rupanya," katanya. "Atau
barangkali kau malu dengan namamu?"
Matahachi merasa gusar, namun tidak takut, dan jawabnya pedas, "Aku tak melihat
perlunya memberikan nama kepada orang asing yang barangkali juga takkan mengenali nama
itu." "Jaga lidahmu itu!" bentak Kojiro. "Tapi mari kita tunda dulu perkelahian antara kita.
Aku mau menurunkan gadis dari atas pohon itu dan mengembalikannya ke tempat semestinya.
Tunggu di sini." "Jangan bicara macam orang tolol! Bagaimana kau bisa menduga akan kubiarkan kau
mengambil gadis itu?"
"Lho, ada hubungan apa denganmu?"
"Ibu gadis itu dulu istriku, dan aku takkan membiarkannya dibikin cedera. Kalau kau
meletakkan satu jari saja padanya, akan kurajang kau."
"Oh, menarik. Engkau rupanya mengkhayalkan dirimu sebagai samurai. Terpaksa kukatakan
di sini, lama aku tak melihat samurai yang begini kurus. Tapi ada yang perlu
kauketahui. Galah Pengering di punggungku ini terus menangis dalam tidurnya, karena
sejak diturunkan sebagai pusaka belum sekali pun merasa puas minum darah. Dan sudah
sedikit karatan juga, jadi kupikir sekarang akan kugosok dia sedikit dengan bangkaimu
yang kurus itu. Dan jangan coba-coba lari!"
Matahachi tak punya kemampuan menilai bahwa ini bukan gertak sambal, karenanya ia
berkata mengejek, "Cukup omongan besar itu! Kalau engkau mau berpikir sekali lagi,
sekarang ini waktunya. Pergi dari sini. selagi kau masih melihat jalan. Akan
kuselamatkan nyawamu."
"Sama juga denganmu, hai manusia tampan. Kamu membanggakan diri bahwa namamu terlalu
bagus untuk disebutkan kepada orang-orang macam aku. Coba sebutkan, siapa namamu yang
indah itu" Menyebutkan nama itu bagian dari etiket dalam berkelahi. Atau kamu tak tahu
itu?" "Aku tidak keberatan menyebutnya, tapi jangan kaget kalau kamu mendengarnya."
"Aku akan menguatkan diri untuk tidak terkejut. Tapi lebih dulu, apa gaya main
pedangmu?" Matahachi membayangkan bahwa orang yang mengoceh secara itu tak mungkin pemain pedang
berarti, maka taksirannya terhadap lawannya pun lebih turun lagi.
"Aku punya sertifikat Gaya Chujo, cabang dari Gaya Toda Seigen," jelas Matahachi.
Kojiro kaget, tapi mencoba menyembunyikannya.
Matahachi percaya bahwa ia lebih unggul, karenanya ia berpendapat. tolol sekali kalau
ia tidak menekan terus. Menirukan orang yang bertanya kepadanya, katanya, "Sekarang
sebutkan, apa gayamu" Itu bagian etiket dalam perkelahian, Iho!"
"Nanti. Tapi dari mana kamu belajar Gaya Chujo itu?"
"Dari Kanemaki Jisai, tentu saja," jawab Matahachi fasih. "Dari siapa lagi?"
"Oh?" ucap Kojiro yang sekarang benar-benar heran. "Dan apa kamu kenal Ito Ittosai?"
"Tentu saja." Menurut tafsiran Matahachi, pertanyaan-pertanyaan Kojiro itu membuktikan
bahwa cerita yang dikarangnya ada hasilnya, dan ia merasa yakin bahwa orang muda itu
akan segera mengajukan kompromi. Untuk lebih menekan sedikit lagi, katanya, "Kukira tak
ada alasan menyembunyikan hubunganku dengan Ito Ittosai. Dia pendahuluku. Yang
kumaksud, kami berdua belajar di bawah pimpinan Kanemaki Jisai. Kenapa kamu tanyakan?"
Kojiro mengabaikan saja pertanyaan it
u. "Kalau begitu, boleh aku tanva lagi, siapa
kamu?" "Aku Sasaki Kojiro."
"Katakan lagi!"
"Aku Sasaki Kojiro," ulang Matahachi dengan sopan sekali.
Setelah terdiam sejenak karena tercengang, Kojiro pun memperdengarkan suara geram dan
memperlihatkan lesung pipitnya.
Matahachi menatapnya. "Kenapa kamu pandang aku macam itu" Apa namaku mengejutkanmu?"
"Kukira begitu."
'Baiklah... sekarang pergi!" Matahachi memerintah dengan nada mengancam. dengan dagu
ditegakkan. "Ha, ha, ha, ha! Oh! Ha, ha, ha!" Kojiro memegang perutnya agar tidak roboh karena
tawa. Ketika akhirnya ia dapat mengendalikan diri kembali, katanva, "Sudah banyak
kutemui orang dalam perjalananku, tapi belum pernah aku mendengar hal seperti ini. Nah,
Sasaki Kojiro, sekarang sudilah kamu menyatakan padaku, siapa aku ini?"
"Mana aku tahu?"
"Kamu mesti tahu! Kuharap sikapku tidak terasa kasar, tapi untuk memastikan bahwa
pendengaranku benar, harap sebut namamu sekali lagi."
"Apa kamu tidak bertelinga" Aku Sasaki Kojiro."
"Dan aku...?" "Manusia lain, kukira."
"Tentu saja, tapi siapa namaku?"
"Bajingan kamu, apa kamu mau mempermainkan aku?"
"Tentu saja tidak. Aku sungguh-sungguh. Belum pernah aku lebih serius dari sekarang.
Katakan padaku, Kojiro, siapa namaku?"
"Kenapa bikin susah diri sendiri" Jawab sendiri pertanyaan itu."
"Baik. Aku akan bertanya pada diriku sendiri siapa namaku, dan kemudian, meskipun bisa
kelihatan lancang, akan kusampaikan nama itu padamu."
"Baik. " "Jangan terkejut!"
"Orang goblok!"
"Aku Sasaki Kojiro, dan dikenal juga sebagai Ganryu."
"A-apa?" "Sejak zaman nenek moyangku, keluargaku sudah tinggal di Iwakuni. Nama Kojiro itu
kuterima dari orangtuaku. Akulah orang yang di kalangan pemain pedang dikenal dengan
nama Ganryu. Nah, kapan dan bagaimana bisa menurutmu, di dunia ini terdapat dua Sasaki
Kojiro?" "Kalau begitu kamu... kamu..."
"Ya, sekalipun banyak sekali orang mengadakan perjalanan di pedesaan, kamulah orang
pertama yang kutemui memakai namaku. Yang pertama sekali! Apa bukan suatu kebetulan
aneh bahwa kita bertemu?"
Matahachi berpikir cepat.
"Ada apa" Kamu kelihatan gemetar." Matahachi jadi ngeri.
Kojiro mendekat, menepuk bahunya, dan katanya, "Mari kita berteman." Dengan muka pucat
pasi Matahachi melepaskan diri dan mendengking. "Kalau kamu lari, kubunuh kau!" Suara
Kojiro itu menembus seperti lembing langsung ke wajah Matahachi.
Galah Pengering mendesis di atas bahu Kojiro bagai ular perak. Satu pukulan saja, tak
lebih. Dengan sekali lambungan Matahachi mental hampir tiga meter. Seperti serangga
yang diembuskan dari selembar daun, ia cerjungkir balik tiga kali dan jatuh telentang
tak sadarkan diri. Kojiro malahan tak melihat ke arah jatuhnya Matahachi. Pedang yang panjangnya tiga kaki
dan masih tak berdarah itu masuk kembali ke dalam sarungnya.
"Akemi!" panggil Kojiro. "Turunlah! Takkan kulakukan hal itu lagi karena itu kembalilah
ke penginapan denganku. Oh, kurobohkan temanmu. tapi aku tidak betul-betul melukainya.
Turun sini, dan rawatlah."
Tak ada jawaban. Karena tak melihat apa-apa di cabang-cabang gelap itu, Kojiro memanjat
pohon, tapi kemudian dilihatnya ia hanya sendirian. Akemi sudah lari lagi.
Angin bertiup lembut lewat dedaunan pinus. Ia duduk diam di ala, dahan, bertanya-tanya
pada diri sendiri, ke mana terbangnya burung layang-layang yang kecil itu. Ia tak dapat
menduga, kenapa Akemi begitu takut kepadanya. Tidakkah ia mencurahkan cintanya dengan
cara terbaik yang dikenalnya" Memang mungkin caranya memperlihatkan kasih sedikit
kasar. tapi ia tak sadar bahwa cara itu berlainan dengan cara orang lain dalam
bercinta. Jawaban atas soal itu barangkali dapat ditemukan dalam sikapnya terhadap seni pedang.
Selagi kanak-kanak ia memasuki sekolah Kanemaki Jisai. Ia memperlihat-kan kemampuan
besar dan diperlakukan sebagai anak ajaib. Caranya mempergunakan pedang sungguh luar
biasa. Tetapi yang lebih luar biasa lagi adalah kegigihannya. Ia menolak menyerah sama
sekali. Kalau berhadapan dengan lawan yang lebih kuat, semakin ketat lagi ia berusaha.
Pada zaman ini, cara yang dipergunakan seorang pesilat untuk menang jadi jauh kurang
penting dibandingkan dengan kemenangan itu sendiri. Tak seorang pun mempertanyakan
cara-cara itu dengan saksama, dan kecenderungan Kojiro untuk bertahan dengan jalan apa
pun sampai akhirnya menang tidak dianggap sebagai cara yang kotor. Lawan-lawannya
mengeluh karena ia masih terus saja menyerang mereka, padahal kalau orang lain sudah
mengaku kalah, tapi tak seorang pun menganggapnya tidak jantan.
Pada suatu kali, ketika ia masih kanak-kanak, sekelompok murid yang lebih besar dan
terang-terangan ia benci menghajarnya dengan pedang kayu sampai pingsan. Karena kasihan
kepadanya, salah seorang penyerangnya memberinya air dan menunggunya sampai sadar
kembali. Waktu itulah Kojiro merebut pedang kayu orang yang telah menolongnya itu dan
memukulnya sampai mati. Kalau ia kalah dalam pertarungan, tak pernah ia melupakannya. Ia akan mengintai terus
sampai musuh itu lengah-di tempat gelap, saat musuhnya berada di tempat tidur, atau
bahkan di kamar kecil dan diserangnya musuh itu dengan sehebat-hebatnya. Mengalahkan
Kojiro sama saja dengan menciptakan musuh kepala batu.
Setelah dewasa, ia biasa bicara tentang dirinya sebagai seorang jenius. Memang ini
bukan sekadar bualan, dan baik Jisai maupun Ittosai membenarkannya. Ketika ia
menyatakan telah belajar menebas burung layang-layang yang sedang terbang dan
menciptakan gayanya sendiri, ia memang tidak mengada-ada. Itu pula yang menyebabkan
orang menganggapnya "tukang sihir", suatu pujian yang ia terima dengan senang hati.
Tak seorang pun tahu, apa wujud keinginannya yang keras itu, ketika Kojiro jatuh cinta
kepada seorang perempuan. Tapi tak mungkin ada keraguan bahwa di situ pun ia akan
menempuh jalannya yang biasa. Namun ia sendiri tak melihat ada hubungan apa pun antara
kemampuannya bermain pedang dengan caranya bercinta. Tak dapat ia memahami, kenapa
Akemi tidak menyukainya, padahal ia demikian cinta kepada gadis itu.
Ketika sedang merenungkan masalah cintanya itu, ia lihat sesosok tubuh berjalan ke sana
kemari di bawah pohon, tanpa menyadari kehadiran Kojiro.
"Ada orang menggeletak di sini," kata orang baru itu. Ia membungkuk untuk melihat lebih
jelas, kemudian serunya, "Oh, ini bangsat dari warung sake itu!"
Orang itu biarawan pengembara. Ia menurunkan bungkusan dari punggungnya, ucapnya,
"Kelihatannya tidak luka. Dan tubuhnya hangat." Ia meraba-rabanya dan menemukan tali di
bawah obi Matahachi. Tali dilepaskan dan diikatnya tangan Matahachi ke punggung.
Kemudian ia tekankan lututnya pada lekuk pinggang Matahachi dan ia sentakkan bahu
Matahachi ke belakang. Bersamaan dengan itu, ia tekan keras saraf simpatisnya.
Matahachi sadar kembali, merintih tak jelas. Biarawan itu mengangkatnya seperti
sekarung kentang ke sebatang pohon dan menyandarkannya di situ.
"Berdiri!" katanya tajam. Ditegaskannya perintahnya itu dengan tendangan. "Berdiri
kamu!" Matahachi yang sudah setengah jalan ke neraka itu memperoleh kembali kesadarannya, tapi
belum dapat memahami apa yang sedang terjadi. Masih dalam keadaan pusing, ia paksakan
dirinya berdiri. "Bagus," kata si biarawan. "Berdiri saja begitu." Kemudian ia ikat kaki dan dada
Matahachi ke pohon. Matahachi membuka mata sedikit dan berteriak heran.
"Hei, penipu," kata orang yang menangkapnya, "kau membuatku lari mengejar, tapi
semuanya sudah lewat sekarang." Pelan-pelan ia mulai menggarap Matahachi. Ditamparnya
dahinya beberapa kali hingga kepala Matahachi membentur-bentur pohon. "Di mana kau
mendapat kotak obat itu?" tanyanya. "Katakan yang sebenarnya. Ayo!"
Matahachi tidak menjawab.
"Kaupikir kau bisa terus bertahan dengan tak tahu malu begitu, ya?" Dengan marah
biarawan itu menjepitkan jempol dan jari telunjuknya ke hidung Matahachi dan
mengguncangkan kepalanya ke depan ke belakang.
Matahachi tersengal-sengal, dan ketika ia kelihatan mencoba berbican, biarawan itu
melepaskan hidunganya. "Aku akan bicara," kata Matahachi putus asa. "Akan kuceritakan
semuanya." Air matanya meleleh. "Peristiwa itu terjadi musim panas lalu...," mulainya, lalu
diceritakannya seluruh peristiwa itu, yang akhirnya dengan permintaan ampun. "Saya tak
dapat membayar uang itu sekarang juga, tapi saya berjanji, kalau Bapak tidak membunuh
saya, saya akan kerja keras dan mengembalikannya nanti. Akan saya berikan janji
tertulis, yang ditandatangani dan diberi meterai."
Mengakui kesalahan seperti mengeluarkan nanah dari luka yang mesti disembunyikannya.
Kini, setelah tak ada lagi yang mesti disembunyikan, tak ada lagi yang mesti
ditakutkan. Paling tidak, itulah dugaan Matahachi.
"Benar begitu?" tanya si biarawan.
"Benar." Matahachi menundukkan kepala penuh sesal.
Sesudah beberapa menit mereka diam, biarawan itu menarik pedang pendek dan
menudingkannya ke muka Matahachi.
Matahachi berteriak sambil cepat menolehkan muka ke samping, "Bapak mau bunuh saya?"
"Ya, kau mesti mati."
"Sudah saya ceritakan semuanya pada Bapak dengan penuh kejujuran. Sudah saya kembalikan
kotak obat itu, dan akan saya serahkan kepada Bapak sertifikat itu. Tak lama lagi akan
saya bayar kembali uang itu. Saya bersumpah! Kenapa saya mesti dibunuh?"
"Aku percaya padamu, tapi kedudukanku sangat sulit. Aku tinggal di Shimonida, di
Kozuke, dan aku pembantu Kusanagi Tenki. Dia samurai yang tewas di Kuil Fushimi itu.
Biar aku berpakaian biarawan, aku ini samurai. Namaku Ichinomiya Gempachi."
Matahachi tidak mendengarkan kata-kata itu. Ia mencoba melepaskan diri dan lari. "Saya
minta ampun," katanya hina dina. "Saya tahu sudah melakukan perbuatan salah, tapi saya
tidak bermaksud apa-apa. Saya bermaksud menyampaikan semuanya itu pada keluarganya,
tapi kemudian, yah, kemudian saya kehabisan uang, dan yah, saya tahu tak boleh saya
melakukan itu, tapi saya sudah menggunakannya. Saya mau minta ampun bagaimana saja
menurut keinginan Bapak, tapi mohon jangan bunuh saya."
"Rasanya lebih baik kamu tidak minta ampun," kata Gempachi yang kelihatan sedang
bergulat dalam batinnya. Ia menggeleng-geleng sedih, lanjutnya, "Aku sudah pergi ke
Fushima menyelidiki ini. Semuanya cocok dengan yang kaukatakan. Tapi aku mesti membawa
pulang sesuatu untuk penghibur keluarga Tenki. Bukan uang. Aku cuma butuh sesuatu buat
menunjukkan bahwa pembalasan sudah dilaksana-kan. Tapi tak ada satu penjahatnya, tak
ada satu orang tertentu yang sudah membunuh Tenki. Jadi, bagaimana aku dapat membawa
kepala pembunuh itu buat mereka?"
"Tapi saya... saya... saya tidak membunuh dia. Jangan Bapak salah."
"Aku tahu kau tidak membunuh dia. Tapi keluarga dan teman-temannya tidak tahu dia
dikeroyok dan dibunuh pekerja. Dan lagi itu bukan cerita yang akan bikin dia terhormat.
Tak suka aku menceritakan pada mereka hal yang sebenarnya. Jadi, biarpun aku kasihan
padamu, kupikir kau mesti dijadikan orang yang bersalah itu. Akan lebih baik keadaannya
kalau kau setuju aku membunuhmu."
Sambil merenggangkan tali-tali yang mengikatnya, Matahachi berteriak, "Lepaskan saya!


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya tak mau mati!" "Dengan sendirinya. Tapi coba tinjau soal ini dari sudut lain. Kamu tak dapat membayar
sake yang kauminum. Itu berarti kau tidak cakap menghidupi dirimu sendiri. Daripada
kelaparan dan menjalani hidup memalukan di dunia yang kejam ini, apa tidak lebih baik
kau istirahat dengan damai di dunia lain" Kalau uang yang jadi persoalanmu, aku punya
sedikit. Dengan senang hati aku akan mengirimkan kepada orangtuamu sebagai sumbangan
penguburan. Dan kalau kau mau, aku dapat mengirimkannya ke kuil leluhurmu sebagai
sumbangan peringatan. Aku jamin, uang akan disampaikan sebaik-baiknya."
"Gila. Aku tak perlu uang; aku mau hidup! Tolong!"
"Aku sudah menjelaskan semuanya baik-baik. Setuju atau tidak, kau terpaksa berperan
selaku pembunuh tuanku. Menyerahlah, kawan. Anggap saja ini nasib." Ia mencengkeram
pedangnya dan melangkah mundur, agar ada ruang baginya untuk menebas.
"Gempachi, tunggu!" seru Kojiro.
Gempachi menengadah dan teriaknya, "Siapa di situ?"
"Sasaki Kojiro."
Gempachi mengulang nama itu pelan-pelan dengan curiga. Apakah ada Kojiro palsu lain
lagi turun dari langit" Namun suara itu mirip sekali dengan suara manusia, bukan suara
hantu. Ia melompat menghindari pohon dan mengangkat pedang tegak-tegak.
"Ini keterlaluan," katanya sambil tertawa. "Rupanya tiap orang menyebut dirinya Sasaki
Kojiro sekarang ini. Di bawah sini ada satu, yang kelihatan begitu sedih. Ah, ya!
Sekarang aku mulai mengerti. Kau teman orang ini, ya?"
"Bukan, aku Kojiro. Dengar, Gempachi, engkau sudah siap memotongku jadi dua kalau aku
turun, ya?" "Ya. Bawa sini berapa saja Kojiro palsu itu semaumu. Akan kuhadapi mereka semua."
"Cukup adil. Kalau kau dapat memotongku, bolehlah kau yakin aku yang palsu, tapi kalau
kau yang mati, yakinlah bahwa aku Kojiro sejati. Aku turun sekarang, dan kuperingatkan
kamu, kalau kau tak dapat melukaiku di udara, Galah Pengering akan membelahmu seperti
sepotong bambu." "Tunggu. Rasanya aku ingat suaramu. Kalau pedangmu bernama Galah Pengering yang
terkenal itu, benar engkau Kojiro."
"Kau percaya sekarang?"
"Ya, tapi apa kerjamu di atas itu?"
"Kita bicarakan nanti."
Kojiro melompat lewat wajah Gempachi yang tengadah dan mendarat di belakangnya,
disertai hujan daun pinus. Perubahan sosok Kojiro itu mengagumkan Gempachi. Kojiro,
menurut ingatannya di sekolah Jisai itu. anak yang hitam kulitnya dan kikuk. Pekerjaan
satu-satunya waktu itu menimba air, dan sesuai dengan kecintaan Jisai akan
kesederhanaan, tidak pernah Kojiro menggunakan pakaian lain kecuali yang paling
sederhana. Kojiro duduk di pangkal pohon dan mengajak Gempachi berbuat demikian juga. Gempachi
kemudian bercerita bahwa Tenki dikira mata-mata dari Osaka dan dilempari batu sampai
mati, dan bahwa sertifikatnya jatuh ke tangan Matahachi.
Kojiro senang sekali mengetahui ada orang yang memakai namanya, tapi ia mengatakan tak
ada untungnya membunuh orang yang demikian lemah. Ada cara lain untuk menghukum
Matahachi. Kalau Gempachi kuatir dengan keluarga Tenki atau reputasinya, Kojiro sendiri
akan pergi ke Kozuke dan mengatur segala sesuatunya agar majikan Gempachi dianggap
sebagai prajurit berani dan terhormat. Tak perlu membuat Matahachi sebagai kambing
hitam. "Engkau setuju, Gempachi?" tutup Kojiro.
"Kalau demikian, kukira ya."
"Baiklah kalau begitu. Aku mesti pergi sekarang, tapi kukira kau mesti pulang ke
Kozuke." "Memang aku mau pulang. Aku akan langsung pulang."
"Terus terang, aku agak buru-buru. Aku sedang mencari gadis yang tiba-tiba
meninggalkanku." "Apa tak ada yang kaulupakan?"
"Kukira tidak."
"Bagaimana dengan sertifikat itu?"
"Oh, itu." Gempachi menggerayangi Matahachi dan mengambil gulungan itu. Matahachi merasa ringan
dan lepas dari beban. Kini ia merasa hidupnya akan selamat, dan ia senang terlepas dari
dokumen itu. "Hmm," kata Gempachi. "Coba pikirkan, barangkali kejadian malam ini memang diatur roh
Jisai dan Tenki, hingga aku bisa mendapatkan kembali sertifikat ini dan memberikannya
padamu." "Aku tak mau," kata Kojiro.
"Kenapa?" tanya Gempachi tak percaya.
"Aku tidak memerlukannya."
"Aku tak mengerti."
"Aku tak perlu kertas macam itu."
"Apa yang kaukatakan! Apa engkau tidak merasa berterima kasih kepada gurumu" Bertahuntahun Jisai mempersiapkan diri untuk memutuskan apakah dia akan memberikan sertifikat
ini padamu. Dan dia tidak juga mengambil keputusan, sebelum akhirnya berada di ranjang
kematian. Dia menugaskan Tenki untuk menyerahkannya padamu, tapi lihatlah sendiri apa
yang terjadi dengan Tenki. Engkau mesti malu bersikap begitu."
"Apa yang dilakukan Jisai itu urusannya sendiri. Aku punya ambisi sendiri."
"Bukan begitu mestinya bicara."
"Jangan engkau salah mengerti."
"Engkau menghina orang yang sudah mengajarmu?"
"Sama sekali tidak, tapi aku dilahirkan dengan bakat-bakat yang lebih besar daripada
dia. Aku bermaksud lebih maju daripada dia. Menjadi pemain pedang yang tak dikenal di
daerah pedesaan bukanlah tujuanku."
"Engkau bersungguh-sungguh?"
"Tidak salah lagi." Kojiro tidak menyesal mengungkapkan ambisi-ambisinya, sekalipun
menurut ukuran biasa tak patut. "Aku berterima kasih pada Jisai, tapi sertifikat dari
sekolah desa yang tidak begitu dikenal itu lebih merugikan diriku daripada
menguntungkan. Ito Ittosai menerima sertifikatnya, tapi dia tidak meneruskan Gaya
Chujo. Dia menciptakan gayanya yang baru. Aku bermaksud berbuat demikian juga.
Kepentinganku adalah menciptakan Gaya Ganryu. Tak lama lagi nama Ganryu akan sangat
terkenal. Engkau lihat, dokumen itu tak ada artinya buatku. Bawa itu kembali ke Kozuke
dan minta kuil di sana menyimpannya bersama catatan kelahiran dan kematian." Tak ada
sama sekali nada kesederhanaan ataupun kerendahan hati dalam bicara Kojiro.
Gempachi memandangnya benci.
"Tolong sampaikan salamku untuk keluarga Kusanagi," kata Kojiro sopan. "Beberapa lama
lagi aku akan pergi ke timur dan mengunjungi mereka. Yakinlah." Dan ia akhiri kata-kata
perpisahan itu dengan senyum lebar.
Bagi Gempachi, pameran kesopanan yang terakhir itu mengandung sikap menggurui. Ia
berpikir untuk menegur Kojiro atas sikapnya yang tak kenal terima kasih dan tidak
hormat kepada Jisai itu, tapi sesudah mempertimbangkannya lagi sejenak, ia menganggap
buang-buang waktu saja. Maka pergilah ia menghampiri bungkusannya, memasukkan
sertifikat ke dalamnya, dan mengucapkan selamat berpisah singkat dan pergi.
Sesudah ia pergi, Kojiro tertawa senang sekali. "Aduh, aduh, dia marah rupanya. Ha, ha,
ha, ha!" Kemudian ia menoleh kepada Matahachi. "Nah, apa sekarang katamu tentang dirimu
sendiri, orang palsu tak berguna?"
Matahachi tentu saja tak bisa bicara apa-apa.
"Jawab pertanyaanku! Kamu mengaku mencoba memalsukan aku, kan?"
"Ya.." "Aku tahu namamu Matahachi, tapi siapa nama lengkapmu?"
"Hon'iden Matahachi."
"Apa kamu ronin?"
"Ya." "Ambil pelajaran dariku, keledai tak bertulang punggung! Kaulihat aku mengembalikan
sertifikat itu, kan" Kalau orang lelaki tak punya keberanian berbuat seperti itu, tak
bakal dia dapat melakukan apa-apa sendiri. Tapi! coba lihat dirimu itu! Kamu pakai nama
orang lain, mencuri sertifikatnya. dan ke sana kemari hidup dengan reputasinya. Apa ada
yang lebih keji daripada itu" Barangkali pengalaman malam ini memberikan pelajaran
kepadamu: kucing bisa saja mengenakan kulit macan, tapi tetap saja dia kucing."
"Saya akan berhati-hati sekali di masa depan."
"Aku menahan diri tidak membunuhmu, tapi kukira lebih baik kamu membebaskan dirimu
sendiri, kalau kau bisa." Tapi tiba-tiba Kojiro mendapat pikiran baru. Ia hunus belati
dari sarungnya dan ia pun mengorek-ngorek kulit pohon di atas kepala Matahachi.
Serpihan kulit pohon berjatuhan ke leher Matahachi. "Aku butuh alat tulis," gumam
Kojiro. "Ada kantong kuas dan tempat tinta dalam obi saya," kata Matahachi ingin membantu.
"Bagus! Kupinjam sebentar."
Kojiro membasahi kuas itu dengan tinta dan menulis di atas petak batang pohon yang
sudah ia korek kulitnya. Kemudian ia mundur sedikil mengagumi hasil kerjanya. "Orang
ini," bunyinya, "adalah penipu lihai. Dengan menggunakan nama saya, ia pergi ke sana
kemari di pedesaan. melakukan perbuatan tidak terhormat. Saya sudah menangkapnya, dan
saya meninggalkannya di sini untuk diejek-ejek oleh siapa saja. Nama saya, dan nama
pedang saya yang menjadi milik saya seorang, adalah Sasaki Kojiro, Ganryu."
"Cukup begini," kata Kojiro puas.
Di hutan gelap itu angin menderu seperti air pasang. Kojiro pergi sambil memikirkan
ambisi masa depannya dan kembali menempuh jalur aksinya waktu itu. Matanya menyala
ketika ia menerobos hutan, seperti seekor macan tutul.
*** 36. Adik SEMENJAK zaman kuno, orang-orang kelas tertinggi dapat naik joli. Baru belakangan saja
joli jenis sederhana dapat dipergunakan oleh orang kebanyakan. Joli itu sedikit lebih
besar dari keranjang besar bersisi rendah yang diikatkan pada pikulan. Supaya penumpang
tidak jatuh keluar, ia harus berpegangan erat pada tali di depan dan belakang. Para
pemikul yang biasanya menyanyi berirama untuk menyamakan langkah, mempunyai
kecenderungan memperlakukan penumpangnya sebagai muatan. Orang-orang yang memilih
bentuk kendaraan ini dinasihatkan untuk menyesuaikan napasnya dengan irama pemikul,
terutama apabila para pemikul berlari.
Joli yang berjalan cepat ke arah hutan pinus di Jalan Gojo itu diiringi tujuh atau
delapan orang. Baik pemikul maupun orang-orang lainnya terengah-engah, seakan hendak
memuntahkan jantung mereka.
"Kita sampai di Jalan Gojo."
"Apa ini bukan Matsubara?"
"Tidak jauh lagi."
Walaupun lentera-lentera yang mereka bawa berbulu jambul seperti yang biasa dipakai
para pelacur bersurat ijin di wilayah Osaka, penumpangnya bukanlah kupu-kupu malam.
"Pak Denshichiro!" seru salah seorang pembantu di depan. "Kita hampir sampai di Jalan
Shijo." Denshichiro tidak mendengar. Ia tertidur, kepalanya berayun-ayun naik turun seperti
kepala macan kertas. Kemudian keranjang itu tersentak, dan seorang pemikul mengeluarkan
tangan untuk menahan penumpangnya agar tidak jatuh.
Sambil membuka matanya yang besar, Denshichiro berkata, "Aku haus. Kasih aku sake!"
Senang karena mendapat kesempatan beristirahat, para pemikul menurunkan joli ke tanah
dan mulai menghapus keringat lengket dari wajah dan dada mereka yang berambut dengan
saputangan. "Sake tinggal sedikit lagi," kata seorang pembantu sambil menyerahkan tabung bambu pada
Denshichiro. Denshichiro mengosongkannya dengan sekali teguk, kemudian mengeluh. "Dingin sekali,
sampai ngilu gigiku." Tapi sake itu cukup menyegarkannya karena ia menyatakan, "Masih
gelap. Rupanya jalan kita cepat sekali."
"Kalau menurut kakak Bapak, tentunya lambat sekali. Dia begitu ingin bertemu dengan
Bapak, hingga tiap menit seperti setahun."
"Kuharap dia masih hidup."
"Dokter bilang dia akan sembuh. Tapi dia gelisah, dan lukanya terus mengeluarkan darah.
Itu berbahaya." Denshichiro mengangkat tabung kosong itu ke bibirnya dan menjungkirkannya. "Musashi!"
katanya muak sambil melemparkan tabung. "Mari jalan!" lenguhnya. "Lekas!"
Denshichiro memang peminum kuat, tapi ia pesilat yang lebih kuat lagi dan cepat marah.
Ia hampir merupakan kebalikan dari kakaknya. Ketika Kempo masih hidup pun sudah ada
orang-orang yang berani menyatakan bahwa ia lebih mampu daripada ayahnya. Pemuda itu
sendiri sependapat dengan pandangan orang tentang bakat-bakatnya itu. Ketika ayah
mereka masih hidup, kedua bersaudara tersebut berlatih bersama di dojo, dan di situ
mereka dapat bekerja sama, tapi begitu Kempo meninggal, Denshichiro tidak lagi ambil
bagian dalam kegiatan sekolah, dan bahkan sampai pernah langsung mengatakan kepada
Seijuro bahwa Seijuro harus mundur dan menyerahkan segala yang menyangkut permainan
pedang kepadanya. Semenjak keberangkatannya ke Ise tahun lalu, orang memberitakan bahwa ia menghabiskan
waktunya di Provinsi Yamato. Barulah sesudah terjadi bencana di Rendaiji, orang dikirim
untuk mencarinya. Sekalipun tak suka kepada Seijuro, Denshichiro langsung sepakat untuk
kembali. Dalam perjalanan tergesa-gesa kembali ke Kyoto itu, ia memburu-buru para pemikul
demikian hebatnya, hingga tiga atau empat kali mereka mesti diganti. Tapi ada saja
waktunya buat berhenti di setiap pemberhentian di jalan raya untuk membeli sake.
Barangkali alkohol itu dibutuhkannya untuk menenangkan saraf, karena memang ia dalam
ketegangan luar biasa. Ketika mereka baru akan berangkat lagi, anjing-anjing yang menggonggong di hutan gelap
itu memikat perhatian mereka.
"Apa itu kira-kira?"
"Cuma segerombolan anjing."
Kota itu memang penuh anjing liar. Bergerombol-gerombol mereka masuk kota, karena tidak
ada lagi pertempuran yang menyediakan daging manusia buat mereka.
Denshichiro berteriak marah agar orang-orang tidak membuang-buang waktu lagi, tapi
salah seorang murid berkata, "Tunggu dulu; ada yang aneh di sana."
"Coba lihat, ada apa," kata Denshichiro yang kemudian pergi sendiri mendahului.
Sesudah Kojiro pergi, anjing-anjing itu datang kembali. Tiga atau empat kawanan anjing
di sekitar Matahachi dan pohon tempat ia terikat itu heboh besar. Kalau saja anjing-
anjing bisa mengungkapkan perasaan, mungkin dapat dibayangkan bahwa mereka sedang
melakukan balas dendam atas kematian seekor dari kawannya.
Namun yang lebih mungkin adalah mereka sekadar menyiksa korban yang menurut mereka
dalam keadaan tak berdaya. Semuanya tampak lapar, seperti serigala-perutnya cekung,
tulang punggungnya tajam seperti pisau, dan giginya demikian tajam, seperti dikikir.
Matahachi jauh lebih takut pada anjing-anjing itu daripada kepada Kojiro atau Gempachi.
Karena tak dapat menggunakan tangan dan kakinya, senjatanya tinggal wajah dan suaranya.
Semula dengan naif ia mencoba mengajak bicara binatang-binatang itu, tapi kemudian ia
mengubah taktik. Ia melolong seperti binatang liar. Anjing-anjing itu menjadi takut dan
mundur sedikit. Tapi kemudian hidung Matahachi mulai beringus dan efek lolongannya
segera menurun. Berikutnya ia membuka mulut dan mata selebar mungkin, dan menatap tanpa mengedip. Ia
kerutkan muka dan ia julurkan lidahnya hingga dapat menyentuh ujung hidung, tapi ia
justru jadi cepat kehabisan tenaga. Dengan mengerahkan kekuatan otaknya kembali, ia
berpura-pura menjadi seekor dari mereka dan tidak memusuhi mereka. Ia menyalak, bahkan
membayangkan dirinya memiliki ekor untuk dikibas-kibaskan.
Gonggongan makin lama makin keras. Anjing-anjing yang terdekat memperlihat-kan gigi ke
muka Matahachi dan menjilati kakinya.
Dengan harapan dapat menenangkan anjing-anjing itu dengan musik, mulailah Matahachi
menyanyikan bagian yang terkenal dari dongeng tentang Heike, menirukan tukang nyanyi
yang biasa keliling membawakan cerita itu dengan iringan kecapi.
Kemudian kaisar yang menyendiri itu memutuskan
Pada musim semi tahun kedua
Melihat vila luar kota Kenreimon'in,
Di pegunungan dekat Ohara.
Tetapi selama bulan kedua dan ketiga
Angin bertiup kencang, dan udara dingin mengepung,
Dan salju putih di puncak gunung pun tidak mencair.
Dengan mata terpejam, muka menegang menyeringai kesakitan, Matahachi menyanyi keras
hingga hampir memekakkan dirinya sendiri. Ia masih menyanyi ketika Denshichiro dan
teman-temannya datang dan anjing-anjing itu lari cerai-berai.
Lupa akan harga dirinya, Matahachi berteriak, "Tolong! Selamatkan saya!"
"Saya pernah lihat orang ini di Yomogi," kata salah seorang samurai.
"Ya, ini suami Oko."
"Suami" Seharusnya dia tak punya suami."
"Itu ceritanya pada Toji."
Karena kasihan kepada Matahachi, Denshichiro memerintahkan orang-orang itu berhenti
bergunjing dan membebaskannya.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, Matahachi mengarang cerita. Sifat-sifatnya yang
luhur dilukiskan dengan baik sekali, sedangkan kelemahankelemahannya tak disinggung
sama sekali. Mengambil keuntungan dari pembicaraannya dengan pengikut Yoshioka, ia
menampilkan nama Musashi. Ia ungkapkan bahwa di masa kecil ia dan Musashi bersahabat,
sampai kemudian Musashi melarikan tunangannya dan melumuri keluarganya dengan aib yang
tak dapat dilukiskan. Ibunya yang gagah berani sudah bersumpah takkan pulang. Baik
ibunya maupun dirinya bertekad akan menemukan Musashi dan menghancurkannya. Suatu hal
yang jauh dari kebenaran kalau orang mengatakan bahwa ia suami Oko. Ia memang lama
tinggal di Warung Teh Yomogi, tapi itu bukan karena ada hubungan pribadi dengan
pemiliknya. Buktinya Oko jatuh cinta kepada Gion Toji.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian ia menjelaskan kenapa ia terikat pada pohon itu. Ia diserang kawanan perampok
yang merampas uangnya. Tentu saja ia tidak melakukan perlawanan. Ia mesti berhati-hati
agar tidak terluka justru karena kewajiban terhadap ibunya.
Dengan harapan mereka percaya akan semua itu, kata Matahachi, "Terima kasih. Saya
merasa barangkali nasiblah yang mempertemukan kita. Ada satu orang yang sama-sama
menjadi musuh kita, musuh yang tak bisa kita biarkan hidup di bawah naungan langit
kita. Malam ini Anda sekalian datang justru pada saat yang tepat. Saya berterima kasih
untuk selamanya. "Dari penampilan Anda, saya menduga Anda Denshichiro. Saya merasa pasti Anda punya
rencana menghadapi Musashi. Siapa di antara kita yang akan membunuhnya lebih dahulu
tidak dapat saya katakan, tapi saya berharap akan mendapat kesempatan bertemu lagi
dengan Anda." Ia tak ingin memberikan kesempatan pada mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
karena itu ia bergegas pergi. "Osugi, ibu saya, sedang berziarah ke Kiyomizudera untuk
berdoa demi suksesnya pertempuran kami melawan Musashi. Saya dalam perjalanan
menjumpainya sekarang. Tak lama lagi pasti saya berkunjung ke rumah di Jalan Shijo
untuk menyatakan penghormatan saya. Sementara itu, izinkan saya memohon maaf karena
menghambat Anda yang sedang demikian terburu-buru."
Dan pergilah ia cepat-cepat, hingga para pendengarnya terheran-heran, seberapa benar
isi cerita itu. "Siapa pula badut itu?" dengus Denshichiro sambil mendecapkan lidah, menyesali waktunya
yang terbuang. Seperti dikatakan dokter, beberapa hari pertama akan merupakan hari-hari terberat.
Waktu itu hari keempat. Malam sebelumnya Seijuro sudah merasa sedikit lebih ringan.
Pelan-pelan ia membuka mata dan bertanya-tanya malamkah itu atau siang. Lampu bertutup
kertas di samping bantalnya hampir mati. Dari kamar sebelah terdengar suara dengkur.
Orang-orang yang menjaganya jatuh tertidur.
"Aku mestinya masih hidup," pikirnya. "Hidup tapi dalam keadaan malu sekali!" Ia
menarik selimut ke wajahnya dengan jari-jari gemetar. "Bagaimana aku dapat menghadapi
orang lain sesudah ini?" ia menelan ludah keraskeras untuk menindas air matanya.
"Habislah semuanya!" rintihnya. "Ini akhir diriku dan akhir Keluarga Yoshioka."
Seekor ayam jantan berkokok dan lampu man dengan suara mendetik. Ketika cahaya fajar
yang redup menjalar ke dalam ruangan, ia terkenang kembali akan pagi di Rendaiji itu.
Pandangan mata Musashi! Kenangan itu membuatnya menggigil. Terpaksa ia mengakui bahwa
ia bukanlah tandingan orang itu. Kenapa ia tidak membuang saja pedang kayunya, mengaku
kalah, dan berusaha menyelamatkan reputasi keluarganya"
"Terlalu tinggi aku menilai diriku," rintihnya. "Padahal selain menjadi anak Yoshioka
Kempo, apa yang pernah kulakukan untuk meningkatkan diriku?"
Bahkan ia menyadari bahwa cepat atau lambat akan tiba saat keruntuhan Keluarga Yoshioka
jika ia tetap memegang kendalinya. Dengan terjadinya perubahan suasana, tidak mungkin
keluarga itu terus sejahtera.
"Pertarunganku dengan Musashi itu sekadar mempercepat keruntuhan. Kenapa.aku tidak mati
saja di sana" Kenapa pula aku hidup?"
Ia mengerutkan kening. Bahunya yang tak berlengan berdenyut-denyut sakit. Hanya
beberapa detik sesudah terdengar ketukan di gerbang depan, satu orang masuk
membangunkan samurai di kamar Seijuro. "Denshichiro?" tanya suatu suara kaget.
"Ya, dia baru saja datang."
Dua orang bergegas menjumpainya, seorang lagi berlari ke sisi Seijuro.
"Pak! Berita baik! Denshichiro pulang."
Daun jendela dibuka, arang dimasukkan ke anglo, dan sebuah bantal ditata di lantai.
Sebentar kemudian suara Denshichiro terdengar dari sebelah shoji, "Kakakku ada di
sini?" Seijuro terkenang masa lalu. "Lama sudah waktu itu." Walaupun ia minta berjumpa dengan
Denshichiro, ia takut dilihat dalam keadaannya sekarang, terutama oleh adiknya. Ketika
Denshichiro masuk Seijuro menengadah lemah dan mencoba tersenyum, namun tak berhasil.
Denshichiro berbicara bersemangat. "Lihat, kan?" ia tertawa. "Kalau engkau dalam
kesulitan, adikmu yang tak berguna ini datang menolongmu. Kutinggalkan segalanya dan
aku datang selekas-lekasnya. Kami berhenti di Osaka untuk membeli perbekalan, kemudian
jalan lagi sepanjang malam. Aku di sini sekarang, jadi engkau dapat merasa tenang. Apa
pun yang terjadi, takkan kubiarkan seorang pun menjamahkan jari ke sekolah ini...
"Apa ini?" katanya kasar sambil menoleh pada seorang pelayan yang membawakan teh. "Aku
tak perlu teh! Sana pergi ambil sake." Kemudian ia berteriak pada seseorang supaya
menutup pintu-pintu luar. "Apa kalian semua gila" Apa tidak kalian lihat kakakku
kedinginan?" Ia duduk mencangkung ke anglo serta memandang diam wajah si sakit. "Jurus apa yang
engkau pergunakan dalam pertarungan itu?" tanyanya. "Kenapa kau kalah" Mungkin saja
Miyamoto Musashi sedang menanjak sekarang, tapi dia tak lebih dari pemula biasa, kan"
Bagaimana bisa engkau membiarkan dirimu lengah diserang oleh orang tak punya nama macam
dia?" Salah seorang murid menyebut nama Denshichiro dari pintu masuk. "Nah, ada apa?"
"Sake sudah siap."
"Bawa masuk!" "Sudah saya siapkan di kamar lain. Tuan mau mandi dulu, kan?"
"Aku tak mau mandi! Bawa sake itu ke sini."
"Di samping tempat tidur Tuan Muda?"
"Kenapa tidak" Aku sudah beberapa bulan tidak melihat dia, dan aku ingin bicara
dengannya. Hubungan kami memang selalu kurang baik, tapi tak ada yang lebih baik dari
saudara, kalau kita memerlukannya. Aku minum di sini dengan dia."
Ia menuang untuk dirinya semangkuk penuh, kemudian semangkuk lagi. dan bermangkukmangkuk lagi. "Oh, enak. Kalau kau sehat, kutuangkan juga untukmu."
Seijuro menyabarkan diri beberapa menit lamanya, kemudian mengangkat mata dan katanya,
"Bagaimana kalau kau tidak minum di sini?"
"Ha?" "Bikin teringat hal-hal yang tak menyenangkan."
"Oh?" "Terpikir olehku ayah kita. Dia takkan senang melihat caramu dan caraku memperturutkan
hati. Dan apa gunanya bagi kita?"
"Kenapa kau ini?"
"Barangkali kau belum lagi melihatnya, tapi sementara berbaring di tempat ini, aku
sudah sempat menyesali hidupku yang terbuang sia-sia."
Denshichiro tertawa. "Bicaralah atas nama dirimu sendiri! Sejak dulu kau selalu gugup
dan sensitif. Itu sebabnya kau tak akan menjadi jago pedang sejati. Kalau kau mau
mendengar yang sebenarnya, kupikir salah engkau menghadapi Musashi. Tapi sesungguhnya
tak ada bedanya, apa itu Musashi atau yang lain. Berkelahi tak ada dalam darahmu. Kau
mesti menganggap kekalahan ini sebagai pelajaran, dan kau mesti melupakan permainan
pedang. Seperti kukatakan dulu, kau mesti mengundurkan diri. Kau masih mengepalai
Keluarga Yoshioka. Jika ada orang menantangmu hingga engkau tak dapat menghindarinya,
aku yang akan berkelahi untukmu. Tinggalkan dojo itu padaku dari sekarang. Akan
kubuktikan aku dapat membuatnya beberapa kali lebih berhasil dari zaman ayah kita.
Kalau engkau mau menyingkirkan kecurigaanmu bahwa aku mencoba merebut perguruanmu, akan
kutunjukkan padamu apa yang dapat kulakukan." Ia tuangkan sisa sake yang terakhir ke
dalam mangkuknya. "Denshichiro?" teriak Seijuro. Ia mencoba bangkit dari kasur jeraminya, menepiskan
selimut pun ia tak dapat. Ia rebah kembali, kemudian mengulurkan tangan dan menangkap
pergelangan adiknya. "Awas!" gerutu Denshichiro. "Bisa tumpah." Ia memindahkan mangkuknya ke tangan lain.
"Denshichiro, dengan senang hati akan kuserahkan perguruan ini kepadamu, tapi engkau
mesti menerima juga kedudukanku sebagai kepala rumah."
"Baik, kalau itu yang kaukehendaki."
"Engkau jangan menerima beban itu demikian gampang. Lebih baik pikirkan dulu. Aku
sendiri lebih suka... menutup tempat ini daripada mengulangi kesalahan yang kuperbuat
dan mendatangkan aib yang lebih besar lagi kepada ayah kita."
"Jangan edan begitu. Aku tidak seperti kau."
"Apa kau berjanji akan memperbaiki cara-cara hidupmu?"
"Tunggu! Aku akan minum kapan aku mau kalau itu yang kaumaksudkan."
"Aku tidak keberatan engkau minum, asalkan tidak sampai keterlaluan bagaimana,
kesalahan-kesalahan yang telah kubuat sebenarnya tidak, babkan oleh sake"
"Aku berani bertaruh, kesulitanmu itu menyangkut perempuan. Yang mesti kaulakukan kalau
nanti engkau sembuh adalah kawin dan menetap.
"Tidak. Aku memang akan meninggalkan pedang, tapi belum waktunya berpikir tentang
beristri. Namun ada satu orang yang mesti mendapat perhatianku. Tapi kalau aku bisa
mendapat keyakinan bahwa dia bahagia, tak ada lagi yang kuminta. Aku puas hidup sendiri
di sebuah gubuk beratap ilalang di hutan."
"Siapa dia itu?"
"Tak usahlah, karena tak ada urusannya denganmu. Sebagai samurai aku mesti bertahan dan
mencoba menebus diriku. Tapi aku bisa menindas harga diriku. Ambillah tanggung jawab
perguruan ini." "Akan kulakukan, aku berjanji. Aku juga bersumpah, tak lama lagi akan kujernihkan
namamu. Tapi di mana Musashi sekarang?"
"Musashi?" Seijuro tercekik. "Kukira engkau takkan memerangi Musashi! Baru saja
kuperingatkan engkau untuk tidak berbuat kesalahan yang sama dengan yang kubuat."
"Mana boleh aku memikirkan yang lain" Apa bukan ini sebabnya kau memanggilku" Kita
mesti menemukan Musashi, sebelum dia meloloskan diri. Kalau bukan karena itu, ada
urusan apa aku begini cepat pulang?"
"Kau tidak mengerti apa yang kubicarakan." Seijuro menggelengkan kepala. "Kularang
engkau melawan Musashi!"
Nada bicara Denshichiro mengandung kebencian. Selamanya ia jengkel menerima perintah
kakaknya. "Kenapa?" Rona merah muda muncul di pipi Seijuro yang pucat. "Engkau takkan bisa menang!" katanya
singkat. "Siapa takkan bisa menang?" Muka Denshichiro jadi kebiruan.
"Kau. Takkan bisa engkau melawan Musashi."
"Kenapa begitu?"
"Engkau tak cukup kuat."
"Omong kosong!" Dengan sengaja Denshichiro memperdengarkan tawanya hingga bahunya
berguncang. Dilepaskannya tangannya dari Seijuro dan dibalikkannya guci sake. "Hei,
bawa sake sini!" lenguhnya.
"Tak ada sisa lagi."
Ketika seorang murid masuk membawa sake, Denshichiro sudah tidak ada lagi di dalam
kamar, sedangkan Seijuro tengkurap di bawah selimut. Ketika murid itu menelentangkannya
dan menaruh kepalanya di atas bantal, kata Seijuro pelan, "Panggil dia lagi kemari. Ada
yang mau kukatakan lagi kepadanya."
Merasa senang karena majikannya bicara jelas, orang itu berlari ke luar mencari
Denshichiro. Ia menemukannya sedang duduk di lantai dojo dengan Ueda Ryohei dan Miike
Jurozaemon, Nampo Yoichibei, Otaguro Hyosuke, dan beberapa murid senior.
Satu orang bertanya, "Bapak sudah ketemu Seijuro?"
"Ya, aku barusan di kamarnya."
"Dia tentu senang melihat Bapak."
"Kelihatannya tidak begitu senang. Sebelum masuk kamarnya, aku ingin sekali bertemu
dengannya. Tapi dia sedang murung dan uring-uringan. karena itu kukatakan saja apa yang
ingin kukatakan. Kami jadi bertengkar, seperti biasa."
"Bapak bertengkar dengannya" Mestinya tak usah. Dia baru mulai sembuh."
"Tunggu sampai kaudengar seluruh ceritanya."
Denshichiro dan murid-murid senior itu sudah seperti sahabat lama. Ia mencekal bahu
Ryohei yang mencela tadi dan ia guncangkan bahu itu dengan sikap bersahabat.
"Dengar apa yang dikatakan kakakku," mulainya. "Dia bilang aku tak boleh menjernihkan
namanya dengan melawan Musashi, karena aku tak dapat mengalahkan Musashi! Dan kalau aku
kalah, Keluarga Yoshioka akan runtuh. Dia bilang dia akan mengundurkan diri dan
menerima tanggung jawab aib yang terjadi. Dia tak ingin aku melakukan yang lain kecuali
melanjutkan pekerjaannya dan kerja keras menegakkan kembali sekolah."
"Oh, begitu?" "Apa maksudmu berkata begitu?" Ryohei diam saja.
Ketika mereka sedang duduk diam, murid itu masuk dan berkata pada Denshichiro, "Bapak
Seijuro minta Anda kembali ke kamarnya."
Denshichiro memberengut. "Bagaimana dengan sake itu?" detapnya.
"Saya tinggalkan di kamar Pak Seijuro."
"Nah, bawa kemari."
"Bagaimana dengan kakak Anda?"
"Dia rupanya menderita kegugupan. Kerjakan seperti kukatakan."
Protes dari yang lain-lain bahwa mereka tak ingin minum dan bahwa ini bukan waktu
minum, membikin jengkel Denshichiro, dan ia menyerang mereka. "Apa yang terjadi dengan
kalian semua" Apa kalian takut kepada Musashi juga?"
Rasa terguncang, rasa sakit, dan rasa sedih tergambar jelas pada wajah mereka. Sampai
tiba ajal mereka, mereka akan tetap ingat, bagaimana guru mereka dibikin cacat hanya
dengan satu pukulan pedang kayu, dan perguruan mereka dibikin malu. Namun demikian, tak
dapat mereka menyusun satu rencana aksi. Setiap pembicaraan tentang tiga hari lalu itu
memecah mereka menjadi dua kelompok, sebagian menyetujui dilontarkannya tantangan
kedua, sebagian lagi menyatakan lebih baik membiarkan saja pengalaman buruk yang lalu
itu. Sekarang beberapa orang yang lebih tua dapat menerima pendapat Denshichiro,
sedangkan sebagian lagi, termasuk Ryohei, cenderung setuju dengan guru mereka yang
telah dikalahkan. Sayangnya, anjuran Seijuro untuk bersabar itu sukar sekali disetujui
para murid, terutama di hadapan adik yang berkepala panas itu.
Melihat keraguan sikap mereka, Denshichiro mengatakan, "Biarpun kakakku sudah luka, tak
perlu dia berlaku seperti pengecut. Macam perempuan saja! Bagaimana mungkin aku diminta
mendengarkan kata-katanya, apalagi menyetujuinya?"
Sake datang, ia menuangkannya seorang semangkuk. Sekarang, karena ia yang akan memegang
kendali, ia bermaksud membawakan gaya yang ia sukai: semua orang ini harus merupakan
kesatuan manusia sejati. "Dan inilah yang akan kulakukan," katanya mengumumkan. "Aku akan melawan Musashi dan
mengalahkannya! Tak peduli apa yang dikatakan kakakku. Kalau menurutnya kita mesti
membiarkan orang ini lepas setelah melakukan perbuatannya itu, tidak mengherankan kalau
dia kalah. Jangan sampai siapa pun di antara kalian berbuat kesalahan dengan menyangka
aku ini masih hijau macam dia."
Nampo Yoichibei angkat bicara. "Tak ada persoalan tentang kemampuan Anda. Kami semua
yakin, tapi..." "Tapi apa" Apa yang terpikir olehmu?"
"Nah, kakak Anda rupanya berpendapat Musashi tidak penting. Dia benar, kan" Pikirkan
risikonya..." "Risiko?" lolong Denshichiro.
"Eh, maksud saya bukan begitu! Saya cabut kembali kata-kata saya.," gagap Yoichibei.
Tapi sudah terlambat. Denshichiro melompat dan menangkap tengkuk Yoichibei, lalu
membenturkannya keras-keras ke dinding. "Keluar dari sini! Pengecut!"
"Saya tadi keliru mengucapkan. Yang saya maksud..."
"Tutup mulutmu! Keluar! Orang lemah tak pantas minum denganku."
Yoichibei pucat, kemudian diam berlutut menghadap semua yang lain. "Saya ucapkan terima
kasih kepada Anda sekalian yang mengizinkan sava berada di tengah Anda sekalian
demikian lama," katanya pendek. Ia pergi ke tempat suci Shinto di belakang kamar,
membungkuk, dan pergi. Tanpa menoleh lagi ke arahnya, Denshichiro berkata, "Mari sekarang kita semua minum.
Sesudah itu, kuminta kalian mencari Musashi. Kukira dia belum meninggalkan Kyoto.
Barangkali dia masih berkeliaran membanggakan kemenangannya.
"Dan satu hal lagi. Kita akan kembali memberikan semangat kepada dojo ini. Aku minta
kalian masing-masing berlatih keras dan mengajak murid lain berbuat demikian juga.
Sesudah beristirahat, aku sendiri mulai berlatih. Dan ingat satu hal ini: Aku bukan
orang lunak macam kakakku. Murid yang termuda pun kuminta berusaha sebaik-baiknya."
Tepat seminggu kemudian, seorang di antara murid yang masih muda datang berlari-lari
masuk dojo, membawa berita, "Saya sudah menemukannya!"
Sesuai dengan ucapannya, Denshichiro berlatih dengan keras hari demi hari. Tenaganya
yang seakan tak ada habis-habisnya itu membikin para murid kagum. Sekelompok di antara
mereka sedang memperhatikan bagaimana ia menangani Otaguro, salah seorang dari murid
yang paling berpengalaman, seakan-akan murid itu masih kanak-kanak.
"Kita berhenti sekarang," kata Denshichiro sambil menarik pedang dan duduk di ujung
petak latihan. "Kamu bilang sudah menemukannya?"
"Ya." Murid itu mendekat dan berlutut di depan Denshichiro.
"Di mana?" "Di timur Jissoin, di Jalan Hon'ami. Musashi tinggal di rumah Hon'ami Koetsu. Saya
yakin." "Aneh. Bagaimana mungkin orang kasar macam Musashi sampai kenal orang macam Koetsu?"
"Saya tidak tahu, tapi dia di situ."
"Baiklah, mari mengejarnya. Sekarang!" salak Denshichiro sambil melangkah mempersiapkan
diri. Otaguro dan Ueda yang mengikutinya mencoba mencegahnya.
"Menyergap dia bisa tampak seperti perkelahian umum. Orang-orang takkan menyetujuinya,
biarpun kita menang."
"Tidak apa. Etiket itu untuk dojo. Dalam pertempuran sebenarnya yang menang itulah yang
menang!" "Betul, tapi bukan itu cara yang dipakai orang bebal itu mengalahkan kakak Anda. Apa
menurut Anda tidak lebih cocok buat pemain pedang kalau mengirimkan surat kepadanya
untuk menetapkan waktu dan tempat, kemudian mengalahkannya dengan adil dan jujur?"
"Barangkali juga engkau benar. Baik, akan kita lakukan demikian. Sementara itu, aku tak
ingin siapa pun di antara kalian memberikan peluang kepada kakakku mempengaruhi kalian


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melawanku. Aku akan melawan Musashi, apa pun yang dikatakan Seijuro atau yang
lain lagi." "Sudah kita singkirkan semua orang yang tidak sependapat dengan Anda, juga orang-orang
yang tak kenal terima kasih dan ingin pergi."
"Bagus! Jadi, kita sudah jauh lebih kuat sekarang. Kita tidak butuh orang-orang
brengsek macam Gion Toji atau orang-orang penakut macam Nampo Yoichibei."
"Apa akan kita sampaikan pada kakak Anda sebelum kita kirimkan surat?"
"Jangan! Aku sendiri tak akan menyampaikannya."
Ketika ia pergi ke kamar Seijuro, yang lain-lain pun berdoa semoga takkan terjadi lagi
bentrokan antara dua bersaudara. Keduanya memang tak mau sedikit pun mundur dalam
persoalan Musashi: Ketika ternyata tidak terdengar suara-suara dari kamar sesudah
beberapa waktu lewat, para murid pun mulai membicarakan waktu dan tempat untuk
konfrontasi kedua dengati musuh bebuyutan mereka.
Tapi waktu itulah suara Denshichiro terdengar berderai, "Ueda! Miike! Otaguro... semua
kalian! Sini!" Denshichiro berdiri di tengah kamar dengan pandangan murung dan air mata bercucuran.
Tak seorang pun pernah melihatnya dalam keadaan seperti itu.
"Coba kalian semua lihat ini."
Ia angkat tinggi-tinggi sepucuk surat yang sangat panjang, dan katanya dengan kemarahan
dipaksakan, "Coba lihat apa yang sudah diperbuat kakakku yang goblok itu. Dia
mengemukakan lagi pendapatnya padaku, tapi dia pergi selamanya.... Bahkan tidak
menyebutkan ke mana perginya."
*** 37. Cinta Seorang Ibu OTSU menurunkan jahitannya dan berseru, "Siapa itu?"
Dibukanya shoji yang menghadap beranda, tapi tak seorang pun kelihatan Semangatnya
terbang. Tadinya ia mengharap orang itu Jotaro. Sekarang in: ia butuh sekali anak itu,
lebih butuh dari kapan pun.
Lagi satu hari yang penuh kesepian. la tak dapat mencurahkan perhatiannya kepada kerja
menjahit itu. Di bawah Kiyomizudera ini, di kaki Bukit Sannen, jalan-jalan kotor sekali, tetapi di
belakang rumah-rumah dan warung terdapat rumpunrumpun bambu dan ladang-ladang kecil,
bunga-bunga kamelia yang sedang berkembang, prem yang mulai berjatuhan. Osugi suka
sekali penginapan khusus ini. Ia selalu tinggal di situ bila berada di Kyoto, dan
pemilik penginapan selalu menyediakan baginya rumah kecil, terpisah, dan tenang ini. Di
belakangnya terdapat petak pohon-pohon, bagian dari kebun rumah sebelah. Di depan
terdapat kebun sayuran kecil dan di sebelahnya dapur penginapan yang selalu sibuk.
"Otsu!" terdengar suara dari dapur. "Sudah waktunya makan siang. Boleh kubawa masuk
sekarang?" "Makan siang?" tanya Otsu. "Aku akan makan dengan nyonya tua itu saja, kalau nanti dia
kembali." "Dia sudah bilang takkan lekas pulang. Barangkali sampai malam."
"Aku tidak lapar."
"Tak mengerti aku, bagaimana engkau bisa tahan, makan begitu sedikit. "
Asap kayu pinus mengepul masuk ruangan dari tempat pembakaran tembikar di sekitar
tempat itu. Pada hari-hari pembakaran selamanya banyak asap. Tetapi sesudah udara
bersih, langit awal musim semi itu lebih biru daripada biasa.
Dari jalan terdengar suara kuda, langkah kaki, dan suara para peziarah yang sedang
dalam perjalanan ke kuil. Dari orang-orang lewat itulah cerita tentang kemenangan
Musashi atas Seijuro sampai di telinga Otsu. Wajah Musashi terbayang di depan matanya.
"Jotaro tentunya ada di Rendaiji hari itu," pikirnya. "Oh, coba kalau dia datang dan
menceritakannya padaku."
Ia tak yakin anak itu mencarinya dan tak dapat menemukannya. Dua puluh hari telah
berlalu, dan Jotaro tahu ia tinggal kaki Bukit Sannen itu. Jotaro kemungkinan sakit,
tapi ia tak yakin Jotaro sakit. Jotaro bukan jenis orang yang biasa sakit. "Barangkali
dia sedang main layang-layang menyenangkan diri," katanya pada diri sendiri. Pikiran
itu membuatnya sedikit kesal.
Mungkin Jotaro-lah yang justru menunggu. Memang Otsu tidak kembali ke rumah Karasumaru,
walaupun ia berjanji kepada Jotaro akan segera kembali.
Sekarang Otsu tak dapat pergi ke mana-mana, karena dilarang meninggalkan penginapan
tanpa izin Osugi. Osugi rupanya minta kepada pemilik penginapan dan para pembantu untuk
mengawasinya. Baru ia memandang ke jalan saja orang sudah bertanya, "Engkau akan pergi,
Otsu?" Pertanyaan dan nada pertanyaan itu terasa polos, tapi ia mengerti maknanya.
Satu-satunya jalan baginya untuk mengirimkan surat adalah dengan mempercayakannya
kepada orang-orang penginapan, yang sudah diberi instruksi untuk menyimpan baik-baik
surat apa saja yang mungkin hendak dikirimnya.
Osugi cukup terkenal di wilayah itu, dan orang di situ gampang disuruh melaksanakan
perintahnya. Sebagian pemilik warung, pemikul tandu, dan kusir gerobak di sekitar
tempat itu ikut menyaksikan aksi Osugi tahun lalu ketika ia menantang Musashi di
Kiyomizudera. Melihat sifatnya yang gampang marah itu, mereka memandangnya dengan
perasaan kagum bercampur kasihan.
Ketika Otsu sekali lagi hendak menyelesaikan jahitan pakaian perjalanan Osugi yang
telah dilepas jahitannya untuk dicuci, sebuah bayangan muncul di luar. Ia mendengar
suara yang tak dikenalnya mengatakan, "Ah, apa saya keliru?"
Seorang perempuan muda masuk gang dari jalan, dan waktu itu sedang berdiri di bawah
potion prem antara dua petak tanaman bawang. la kelihatan bingung, sedikit malu, tapi
enggan kembali. "Apa ini bukan penginapan" Ada lentera di pintu masuk gang, menyatakan ini penginapan,"
katanya kepada Otsu. Hampir Otsu tak dapat mempercayai matanya, dan demikian menyakitkan kenangan yang tibatiba timbul padanya.
Dengan nada bersalah, Akemi bertanya malu-malu, "Boleh tanya, yang mana yang
penginapan?" Kemudian, ketika ia menoleh ke sekitar, terlihat olehnya kembang prem dan
ia berseru, "Aduh, bukan main bagusnya!"
Otsu memandang saja gadis itu tanpa menjawab.
Seorang pegawai yang dipanggil salah seorang gadis dapur datang terburuburu melewati
sudut penginapan. "Engkau mencari jalan masuk?" tanyanya.
"Ya." "Di sudut situ, sebelah kanan gang."
"Penginapan ini langsung menghadap jalan itu?"
"Betul, tapi kamar-kamarnya tenang."
"Saya ingin tempat yang dapat dipakai keluar-masuk tanpa dilihat orang. Saya pikir
tadinya penginapan ini jauh dari jalan. Apa rumah kecil itu bukan bagian dari
penginapan?" "Ya." "Kelihatannya tenang dan enak."
"Kami ada juga kamar-kamar yang sangat enak di bangunan utama."
"Kelihatannya ada perempuan yang meninggalinya, tapi apa tak bisa saya tinggal di sana
juga?" "Tapi di situ ada lagi seorang nyonya. Dia sudah tua dan agak penggugup.
"Ah, tak apa-apa, asal dia mau."
"Akan saya tanya dia, kalau nanti kembali. Lagi pergi sekarang."
"Boleh saya minta kamar buat istirahat sambil menanti?"
"Tentu saja." Pegawai itu mengantar Akemi turun gang, meninggalkan Otsu. Otsu menyesal kenapa ia
tidak menggunakan kesempatan tadi dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Alangkah
baiknya kalau ia bisa sedikit lebih agresif pikirnya sedih.
Untuk meredakan rasa cemburunya, berkali-kali Otsu mencoba meyakinkan dirinya bahwa
Musashi bukan jenis lelaki yang biasa main-main dengan perempuan lain. Tetapi sejak
hari itu ia jadi kecil hati. "Dia lebih banyak punya kesempatan berada dekat
Musashi.... Barangkali dia jauh lebih pandai dari aku, dan lebih tahu bagaimana merebut
hati lelaki." Sebelum hari itu, kemungkinan adanya perempuan lain tidak terlintas dalam pikirannya.
Sekarang ia sibuk memikirkan hal yang menurut anggapannya merupakan kelemahannya
sendiri. "Aku tidak cantik.... Dan tidak cemerlang.... Aku tak punya orangtua atau
sanak keluarga yang menunjangku dalam perkawinan." Kalau ia membandingkan dirinya
dengan perempuan lain, terasa olehnya cita-cita hidupnya itu sesungguhnya berada di
luar jangkauannya. Adalah suatu kesombongan memimpikan Musashi sebagai miliknya. Dan ia
tak dapat lagi mengarahkan keberanian seperti yang pernah memungkinkannya memanjat
pohon kriptomeria tua di tengah badai besar itu.
"Alangkah baiknya kalau aku mendapat bantuan Jotaro!" demikian sesalnya. Ia bahkan
membayangkan dirinya telah kehilangan kemudaannya. "DI Shippoji itu aku masih memiliki
sebagian dari kepolosan yang sekarang ada pada Jotaro. Itu sebabnya waktu itu aku dapat
membebaskan Musashi." Dan ia menangis bersama jahitannya.
"Kamu di situ, Otsu?" tanya Osugi angkuh. "Apa kerjamu duduk dalam gelap itu?"
Senja telah turun, tapi gadis itu tidak menyadarinya, "Oh, akan saya menyalakan lampu
sekarang juga," katanya minta maaf sambil bangkit dan kemudian pergi ke kamar kecil di
belakang. Ketika akhirnya ia masuk dan duduk, Osugi melemparkan pandangan dingin ke punggung
Otsu. Otsu meletakkan lampu di samping Osugi dan membungkuk. "Nenek tentunya lelah," katanya.
"Apa yang Nenek lakukan tadi?"
"Kau mestinya tahu, tanpa mesti tanya."
"Bagaimana kalau saya pijat kaki Nenek?"
"Kakiku tidak begitu capek, tapi bahuku kaku sudah empat atau lima hari terakhir ini.
Barangkali karena udara. Kalau mau pijatlah sedikit." Kepada diri sendiri ia menyatakan
ia mesti bersabar menghadapi gadis mengerikan ini sebentar lagi, sampai nanti ia
bertemu Matahachi dan menyuruhnya membereskan cacat cela masa lalu itu.
Otsu berlutut di belakangnya dan mulai memijat bahunya. "Memang kaku bahunya. Tentunya
sakit buat bernapas."
"Kadang-kadang rasanya dadaku tersumbat. Tapi aku memang sudah tua. Tak lama lagi
barangkali aku dapat serangan jantung dan mati."
"Ah, tak akan terjadi. Nenek punya lebih banyak semangat hidup daripada kebanyakan
orang muda." "Mungkin juga, tapi aku teringat Paman Gon. Dia masih segar bugar waktu itu, tapi
kemudian semua itu lewat dalam sedetik. Manusia memang tak tahu apa yang akan terjadi
dengan dirinya. Tapi tak ada yang keliru tentang satu hal itu. Supaya aku tetap menjadi
diriku, aku mesti berpikir tentang Musashi."
"Dugaan Nenek tentang Musashi itu keliru. Dia bukan orang jahat."
"Ya, ya, betul," kata perempuan tua itu, mendengus sedikit. "Biar bagaimana, dia lelaki
yang begitu kaucintai, sampai kau meninggalkan anakku. Sudahlah, aku takkan bicara
jelek tentang dia padamu."
"Oh, bukan itu maksud saya!"
"Bukan, begitu" Kau lebih cinta pada Musashi daripada pada Matahachi, kan" Kenapa tidak
diakui saja?" Otsu terdiam, dan perempuan itu melanjutkan, "Kalau nanti kita temukan Matahachi, aku
akan bicara dengan dia dan memutuskan semuanya sesuai dengan keinginanmu. Tapi kukira
sesudah itu kau akan langsung lari kepada Musashi dan selanjutnya kalian berdua
memfitnah kami." "Kenapa Nenek berpikir begitu" Saya bukan manusia macam itu. Saya takkan melupakan
banyak hal yang telah Nenek lakukan untuk saya di walau lalu."
"Begitulah cara gadis-gadis muda sekarang bicara! Tak tahulah bagaimana kamu bisa
bicara begitu manis. Aku sendiri orang jujur. Aku tak dapat menvembunyikan perasaanku
dengan kata-kata halus. Kau tahu, kalau kau kawin dengan Musashi, kau jadi musuhku. Ha,
ha, ha! Tentunya menjengkelkan memijat bahuku ini."
Otsu tak menjawab. "Kenapa kau menangis?"
"Saya tidak menangis."
"Air apa yang jatuh ke leherku?"
"Maaf. Saya tak tahan."
"Hentikan! Rasanya seperti bangsat merayap ke sana kemari. Tak usah lagi merana karena
Musashi dan keraskan pijatanmu!"
Di halaman tampak cahaya. Otsu mengira itu pelayan yang biasanya membawa makan malam
mereka sekitar waktu itu, tapi ternyata seorang pendeta.
"Maaf," katanya sambil masuk beranda. "Apa ini kamar Nyonya Hon' iden" Oh, Nyonya
sendiri." Lentera yang dibawanya bertulisan "Kiyomizudera di Gunung Otowa".
"Baiklah saya jelaskan," mulainya. "Saya pendeta dari Shiando, di atas bukit sana." Ia
turunkan lentera dan ia ambil surat dari dalam kimononya. "Saya tak kenal orang itu,
tapi petang tadi, sebelum matahari terbenam, seorang ronin datang ke kuil dan bertanya
apakah seorang wanita tua dari Mimasaka ada di sana. Saya katakan tidak, tapi seorang
pemuja taat menjawab bahwa Anda kadang-kadang memang datang. Dia lalu minta kuas dan
menulis surat ini. Dia minta saya menyerahkannya pada wanita itu kalau datang. Saya
mendengar Nyonya tinggal di sini, dan karena saya dalam perjalanan ke Jalan Gojo, saya
singgah menyampaikannya kepada Nyonya."
"Terima kasih banyak," kata Osugi hormat. Ia menawarkan bantal kepada tamu itu, tapi
pendeta itu langsung minta diri.
"Apa pula ini?" pikir Osugi. Ia buka surat itu. Sementara membaca, warna mukanya
berubah. "Otsu," panggilnya.
"Ada apa, Nek?" jawab gadis itu dari kamar belakang.
"Tak usah menyuguhkan teh. Dia sudah pergi."
"Sudah" Kalau begitu Nenek saja yang minum."
"Berani-berani kamu menyuguhi aku teh yang kamu buat untuk dia! Aku bukan comberan.
Lupakan teh itu, dan sekarang berpakaian!"
"Apa kita akan pergi?"
"Ya. Malam ini kita akan sampai di tempat yang kamu harapkan."
"Oh, kalau begitu surat itu dari Matahachi."
"Bukan urusanmu."
"Baiklah, saya akan minta orang menyiapkan makan malam."
"Apa kamu belum makan?"
"Belum, saya menanti Nenek datang tadi."
"Kamu memang tolol. Aku sudah makan waktu pergi tadi. Nah, makanlah nasi dan acar. Tapi
cepat!" Ketika Otsu berangkat ke dapur, kata perempuan tua itu, "Di gunung akan dingin nanti
malam. Apa kamu sudah selesai menjahit jubahku?"
"Sedikit lagi saya selesaikan jahitan kimono Nenek."
"Yang kubicarakan bukan kimono, tapi jubah. Sudah kuminta tadi kamu mengerjakannya
juga. Dan apa sudah kaucuci kausku" Tali sandalku itu kendur. Ambil yang baru."
Perintah-perintah itu datang begitu bertubi-tubi, hingga tak sempat Otsu menjawab,
apalagi menuruti, namun ia merasa tak berdaya untuk berontak.
Semangatnya seperti runtuh, takut, dan putus asa menghadapi perempuan tua jelek itu.
Makanan tak sempat pula dimakan. Dalam beberapa menit saja Osugi sudah menyatakan siap
berangkat. Sambil meletakkan sandal baru di beranda, kata Otsu, "Nenek berangkat saja dulu. Saya
menyusul." "Kamu bawa lentera?"
"Tidak." "Dungu! Jadi, maumu aku tersandung-sandung di sisi glinting itu tanpa lampu" Pinjam
sana sama penginapan."
"Maaf, saya tak ingat."
Otsu ingin tahu ke mana mereka akan pergi, tapi ia tidak bertanya, karena tahu hal itu
akan membangkitkan kemarahan Osugi. Ia mengambil lentera, lalu berjalan diam mendahului
di muka, mendekati Bukit Sannen. Walaupun mendapat macam-macam hal menjengkelkan, ia
tetap merasa riang. Surat itu tentunya dari Matahachi, dan ini berarti masalah yang
telah mengganggunya bertahun-tahun lamanya akan terpecahkan malam itu. "Begitu semuanya
sudah dibicarakan," demikian pikirnya, "aku akan pergi ke rumah Karasumaru. Aku mesti
ketemu Jotaro." Mendaki bukit itu bukan pekerjaan ringan. Mereka harus berjalan hatihati menghindari
batu-batu jatuhan dan lubang-lubang di tengah jalan. Di tengah ketenangan alam itu, air
terjun terdengar lebih keras daripada di slang hari.
Beberapa waktu kemudian Osugi berkata, "Aku yakin ini tempat suci buat dewa gunung ini.
Oh, ini papan namanya, 'Pohon Ceri Dewa Gunung'."
"Matahachi!" panggilnya ke tengah kegelapan. "Matahachi! Ibu di sini!" Suara yang
gemetar dan wajah yang penuh ungkapan kecintaan ibu itu terasa bagai wahyu bagi Otsu.
Ia tak pernah menduga akan melihat Osugi demikian tenggelam dalam keprihatinan terhadap
anaknya. "Jangan sampai lentera itu mati!" bentak Osugi.
"Akan saya jaga," jawab Otsu penuh tanggung jawab.
Perempuan tua itu menggerutu dan terengah-engah. "Dia tak ada. Dia betul-betul tak
ada." Ia sudah mengelilingi pekarangan kuil, tapi dikelilinginya sekali lagi.
"Dalam surat dia bilang aku mesti datang ke aula Dewa Gunung."
"Apa dikatakannya malam ini?"
"Dia tidak bilang malam ini atau besok atau kapan lagi yang lain. Aku ingin lihat juga,
apa dia jadi lebih besar. Heran juga, kenapa dia tidak datang ke penginapan. Barangkali
dia malu karena kejadian di Osaka itu.'
Otsu menarik lengan kimononya, katanya, "Ssst! Barangkali itu dia. Ada orang naik
bukit." "Kamu itu, Matahachi?" tanya Osugi.
Orang itu melewati mereka tanpa menoleh dan langsung menuju belakang kuil kecil itu.
Tapi sebentar kemudian ia kembali dan berhenti di samping mereka dan menatap muka Otsu
dengan terang-terangan. Ketika ia lewat tadi, Otsu tak mengenalinya, tapi sekarang ia


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingat-dialah samurai yang dulu duduk di bawah jembatan pada Hari Tahun Baru.
"Kalian berdua baru saja naik?" kata Kojiro.
Pertanyaan itu demikian mendadak, hingga baik Otsu atau Osugi tak menjawab. Keheranan
mereka menjadi lengkap melihat pakaian Kojiro yang sangat mencolok itu.
Sambil menudingkan jari ke wajah Otsu, lanjut Kojiro, "Aku mencari gadis yang seumurmu.
Perjalanan Ke Akhirat 2 Trio Detektif 22 Misteri Teka Teki Aneh Api Di Bukit Menoreh 29
^