Pencarian

Mushasi 15

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 15


Anak itu menghapus air matanya, tapi ketika dilepaskannya tangan itu dari wajahnya dan
menoleh, tak ada lagi yang tampak olehnya kecuali kabut hitam tebal.
"Sensei!" teriaknya.
Biarpun ia berlari ke sudut tembok tanah yang panjang itu, ia tahu teriakannya takkan
menyebabkan Musashi kembali. Ia menempelkan wajah ke tembok. Air matanya kembali
bercucuran. Ia merasa betul-betul terpukul dan sekali lagi pukulan itu datang dari
pemikiran orang dewasa. Ia menangis terus sampai kerongkongannya tegang dan suaranya
tak lagi keluar, tetapi bahunya terus juga berguncang, mengejang-ngejang oleh sedusedannya. Terlihat olehnya seorang perempuan di luar pintu pembantu. Pikirnya, tentu
itu salah seorang gadis dapur yang sedang pulang dari mengerjakan suruhan. Ia ingin
tahu, apakah gadis itu mendengar tangisnya.
Sosok tubuh yang kabur itu mengangkat kerudungnya dan berjalan pelan mendekatinya.
"Jotaro" Kamu, ya?"
"Otsu! Apa kerja Kakak di sini" Kakak lagi sakit!"
"Aku kuatir denganmu. Kenapa kamu pergi tanpa bilang apa-apa pada siapa pun" Di mana
saja kamu tadi" Lampu-lampu sudah menyala dan pintu gerbang sudah tutup, tapi kamu
belum juga kembali. Bukan main kuatirku."
"Gila Kakak ini. Bagaimana kalau demam Kakak naik lagi" Kembali sana ke tempat tidur,
sekarang juga! "Kenapa kamu menangis?"
"Akan kuceritakan nanti."
"Aku mau tahu sekarang. Tentunya ada yang bikin kamu jengkel sekali. Kamu mengejar
Takuan, ya?" "Hmm. Ya." "Kamu sudah tahu di mana Musashi?"
"Takuan jahat. Aku benci dia."
"Dia tidak mau mengatakan?"
"E... tidak." "Kamu menyembunyikan sesuatu."
"Oh, kalian berdua ini betul-betul kelewatan!" lolong Jotaro.
"Kakak dan guruku yang bodoh itu! Aku tak bisa menceritakan sebelum Kakak berbaring dan
aku menempelkan handuk dingin di kepala Kakak. Kalau Kakak tidak kembali ke rumah
sekarang, kuseret Kakak nanti ke sana."
Sambil memegang pergelangan tangan Otsu dengan sebelah tangan dan tangan yang lain
memukul pintu gerbang, ia berseru-seru marah, "Buka pintu! Gadis sakit ini ada di luar!
Kalau tidak cepat-cepat, dia bisa beku!"
*** 45. Minum untuk sang Pagi
MATAHACHI berhenti di jalan berkerikil itu dengan menghapus keringat dari keningnya. Ia
baru berlari dari Jalan Gojo sampai Bukit Sannem Wajahnya merah sekali, tapi itu lebih
disebabkan oleh sake yang telah ia minum daripada oleh pengerahan tenaga fisik yang
jarang dilakukannya itu. Sesudah menyuruk lewat bawah pintu gerbang yang bobrok, ia
menderap ke rumah kecil di seberang kebun sayuran.
"Ibu!" panggilnya panik. Kemudian ia melihat ke dalam rumah dan mengomel pelan, "Apa
dia tidur lagi?" Ia berhenti di sumur, membasuh tangan dan kaki, lalu masuk rumah.
Osugi berhenti mendengkur, membuka sebelah matanya, dan bangkit "Kenapa kamu begitu
ribut?" tanyanya uring-uringan.
"Oh, jadi Ibu akhirnya bangun?"
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Kalau saya duduk semenit saja, Ibu mengomel mengatakan saya malas, lalu mendorongdorong saya mencari Musashi."
"Nah, maafkan Ibu," kata Osugi berang, "karena Ibu sudah tua memang mesti tidur supaya
sehat, tapi tak ada yang kurang dengar semangat Ibu. Ibu belum merasa sehat sejakOtsu
lari. Dan pergelangan yang dicengkeram Takuan itu masih sakit."
"Kenapa setiap kali saya merasa enak, Ibu mulai mengeluh?"
Osugi menatapnya. "Sebetulnya tidak sering kamu mendengar Ibu mengeluh, biarpun umur
Ibu sudah lanjut. Ada kamu dengar sesuatu tentang Otsu atau Musashi?"
"Yang tidak mendengar berita itu di kota ini cuma perempuan-perempuan tua yang
sepanjang hari kerjanya tidur saja."
"Berita! Berita apa?" Osugi segera berlutut dan merangkak mendekati anaknya.
"Musashi akan bertarung ketiga kalinya dengan Perguruan Yoshioka."
"Kapan" Di mana?"
"Ada papan pengumuman di Yanagimachi dengan semua perinciannya Di Kampung Ichijoji,
pagi-pagi besok." "Yanagimachi! Itu daerah lokalisasi." Mata Osugi menyipit. "Apa kerjamu bermalas-malas
tengah hari di tempat seperti itu?"
"Saya bukan bermalas-malas," kata Matahachi membela diri. "Ibu ini selalu salah terima.
Saya di sana karena tempat itu baik buat mencari berita."
"Ya sudah, Ibu cuma menggoda. Ibu puas kamu sudah mau menetap dan tidak mengulang
kehidupan jahat yang pernah kamu jalani itu. Tapi apa benar pendengaran Ibu tadi" Kamu
bilang besok pagi, ya?"
"Ya, jam lima."
Osugi berpikir. "Bukankah kamu pernah bilang punya kenalan di Perguruan Yoshioka?"
"Ya, tapi waktu ketemu mereka, keadaannya kurang menguntungkan. Kenapa Ibu bertanya?"
"Ibu ingin kamu bawa ke perguruan itu sekarang juga. Siap-siaplah." Sekali lagi
Matahachi terpukau oleh sifat tak sabar yang ada pada orang tua.
Tanpa bergerak sedikit pun, katanya dingin, "Kenapa mesti ribut-ribut begini" Seperti
kebakaran rumah saja. Apa yang mau Ibu lakukan di Perguruan Yoshioka itu?"
"Menawarkan jasa, tentu saja!"
"Hah?" "Mereka akan pergi membunuh Musashi besok. Ibu akan minta mereka mengizinkan kita
bergabung dengan mereka. Barangkali kita takkan dapat banyak membantu, tapi mungkin
kita bisa mendapat jatah paling tidak satu pukulan."
"Ibu berkelakar, ya?" kata Matahachi tertawa. "Apanya yang lucu?"
"Pikiran Ibu ini sempit sekali."
"Berani-beraninya kamu bilang begitu! Kamu sendiri yang sempit pikiran!"
"Daripada berdebat, lebih baik Ibu pergi melihat-lihat. Orang-orang Yoshioka sedang
berusaha menuntut darah, dan ini kesempatan terakhir mereka. Peraturan perkelahian
takkan banyak artinya buat mereka. Satu-satunya yang dapat mereka lakukan untuk
menyelamatkan Keluarga Yoshioka adalah membunuh Musashi. Pasti mereka dapat melakukan
itu. Bukan rahasia lagi, mereka akan menyerang dengan kekuatan besar."
"Begitu, ya?" dengkur Osugi. "Jadi, Musashi pasti terbunuh... Begitu, kan?"
"Saya tidak begitu yakin. Bisa saja dia membawa orang-orang lain buat membantunya. Dan
kalau benar begitu, bisa terjadi pertempuran. Dan itulah yang menurut orang-orang akan
terjadi." "Mereka mungkin benar, tapi bagaimanapun menjengkelkan. Kita tak bisa sekadar diam dan
membiarkan orang lain membunuh Musashi, sesudah kita mencarinya selama ini."
"Saya setuju dengan pendapat Ibu, dan saya sudah punya rencana," kata Matahachi
bersemangat. "Kalau kita sampai di sana sebelum pertempuran dimulai, kita dapat
memperkenalkan diri kepada orang-orang Yoshioka dan menerangkan pada mereka kenapa kita
memburu Musashi. Saya yakin mereka mengizinkan kita menjatuhkan pukulan pada mayatnya.
Kemudian kita mengambil sedikit rambutnya, atau lengan kimononya, atau yang lain-lain
lagi dan menggunakannya sebagai bukti kepada orang-orang di kampung bahwa kita sudah
membunuhnya. Itu akan memulihkan nama kita, kan?"
"Rencana yang bagus, Nak. Ibu sangsi, apa ada cara yang lebih baik dan itu." Rupanya ia
sudah lupa bahwa dulu ia pernah juga menyarankan hal ini demikian kepada anaknya, dan
kini ia duduk menegakkan bahunya. "Tidak hanya akan menjernihkan nama kita, tapi dengan
matinya Musashi, Otsu juga akan seperti ikan tanpa air."
Sesudah ketenangan ibunya pulih kembali, Matahachi merasa lega, tapi juga merasa haus
kembali. "Nah, soal itu sudah selesai. Sekarang kita punya waktu beberapa jam buat
menunggu. Bagaimana kalau kita minum anggur sebelum makan malam?"
"Hmm, baiklah. Bawa ke sini. Ibu mau minum juga sedikit buat merayakan kemenangan kita
yang sudah dekat." Waktu meletakkan tangan ke lutut untuk berdiri dan memandang ke samping, Matahachi
mengedip-ngedipkan mata dan terpana.
"Akemi!" teriaknya, lalu berlari ke jendela kecil.
Akemi sedang gemetar ketakutan di bawah sebatang pohon di luar seperti seekor kucing
yang telah berbuat salah, namun tak sempat melarikm diri pada waktunya. Ia menatap
dengan mata tak percaya, lalu gagapnya, "Matahachi, engkau, ya?"
"Bagaimana kau bisa sampai di sini?"
"Ah, sudah beberapa waktu aku di sini."
"Tak mengerti aku. Kau dengan Oko?"
"Tidak." "Kau tidak tinggal dengan dia lagi?"
"Tidak. Engkau tahu Gion Toji, kan?"
"Pernah dengar namanya."
"Dia dan ibuku lari sama-sama." Giring-giring kecil Akemi bergemerencing ketika ia
mengangkat kimono untuk menyembunyikan air matanya.
Cahaya dalam bayangan pohon itu bernada kebiruan. Tengkuk Akemi yang halus, tangannya
yang lembut, dan segala yang ada padanya tampak lain dengan Akemi menurut ingatannya.
Cahaya kegadisan yang pernah demikian memesonanya di Ibuki dan pernah dapat meredakan
kemurungannya di Yomogi, kini tak lagi tampak.
"Matahachi," kata Osugi curiga, "dengan siapa kamu bicara itu?"
"Dengan gadis yang pernah saya ceritakan dulu. Anak Oko."
"Dia" Apa kerjanya di situ" Mencuri dengar?"
Matahachi menoleh, dan katanya bernafsu, "Ibu ini gampang sekali bikin kesimpulan! Dia
tinggal di sini juga! Kebetulan dia sedang lewat. Betul, Akemi?"
"Betul. Tak kusangka engkau ada di sini, padahal aku pernah lihat gadis yang namanya
Otsu itu di sini." "Kau sempat bicara dengan dia?"
"Tidak, tapi kemudian terpikir olehku, apa bukan dia gadis tunanganmu itu?"
"Memang." "Sudah kuduga. Ibuku sudah banyak bikin sulit, ya?"
Matahachi mengabaikan saja pertanyaan itu. "Apa kau belum menikah" Kau kelihatan lain."
"Ibuku membuat hidupku sengsara, sesudah kau pergi. Semua itu kutahankan sekuatku,
karena dia ibuku. Tapi tahun lalu, ketika kami ada di Sumiyoshi, aku lari."
"Dia sudah bikin kacau hidup kita, ya" Tapi tunggu saja, dan lihat. Akhirnya dia akan
mendapat balasan setimpal."
"Aku tak peduli. Aku cuma ingin tahu, apa yang akan kulakukan dari sekarang."
"Aku juga. Masa depanku tidak begitu cerah kelihatannya. Aku ingin membalas Oko, tapi
kukira yang dapat kulakukan cuma memikirkannya." Sementara mereka berdua mengeluh
tentang kesulitan-kesulitannya, Osugi menyibukkan diri dengan persiapan perjalanan.
Kemudian sambil mendecapkan lidah, katanya tajam, "Matahachi, kenapa kamu ngomel dengan
orang yang tak ada hubungannya dengan kita" Sini bantu Ibu beres-beres!"
"Ya, Bu." "Selamat tinggal, Matahachi. Sampai lain kali." Kelihatan murung dan kikuk, Akemi
bergegas pergi. Tak lama kemudian lampu dinyalakan, dan pelayan muncul membawa baki-baki makan malam
dan sake. Ibu dan anak bertukar mangkuk tanpa melihat rekening yang terletak di baki di
antara keduanya. Satu demi satu para pembantu datang menyatakan hormat kepada mereka,
disusul oleh pemilik penginapan sendiri.
"Jadi, Ibu akan berangkat malam ini?" tanya pemilik penginapan. "Kami senang Ibu lama
tinggal di sini. Hanya kami minta maaf tak dapat memberikan perlakuan khusus yang
memang pantas buat Ibu. Kami berharap dapat bertemu lagi dengan Ibu kalau nanti Ibu
datang di Kyoto lagi."
"Terima kasih," jawab Osugi. "Memang ada kemungkinan saya datang lagi. Mari kita
hitung, sekarang ini sudah tiga bulan sejak akhir tahun, kan?"
"Betul, kira-kira begitulah. Kami akan merasa kehilangan Ibu."
"Mari, silakan minum dengan kami!"
"Oh, terima kasih banyak. Rasanya kurang biasa orang berangkat malam hari. Apa ada
sebab tertentu barangkali?"
"Terus terang, tiba-tiba sekali ada urusan penting. Omong-omong, apa Bapak kebetulan
punya peta Kampung Ichijoji?"
"Sebentar. Itu sebuah tempat kecil di seberang Shirakawa, dekat puncak Gunung Hiei.
Saya kira lebih baik Ibu tidak pergi ke sana tengah malam. Sepi sekali dan..."
"Tak apa," sela Matahachi. "Apa bisa Bapak menggambar petanya buat kami?"
"Dengan senang hati. Salah seorang pembantu saya berasal dari sana. Dia dapat
memberikan keterangan yang saya perlukan. Ichijoji tak banyal: penduduknya, tapi
tersebar di daerah yang luas."
Karena sedikit mabuk, Matahachi berkata kasar, "Tak usah kuatir kami pergi ke sana.
Kami cuma ingin tahu jalannya."
"Maafkan kami. Nah, silakan bersiap-siap." Dan sambil menggosok-gosokkan kedua tangan
dengan nada menjilat, ia membungkuk minta diri ke beranda.
Ketika ia akan melangkah turun ke halaman, tiga atau empat orang pegawainya datang
berlari-lari mendapatkannya. Juru tulis kepala berkaca sewot, "Apa dia tidak datang
kemari, Tuan?" "Siapa?" "Gadis yang tinggal di kamar belakang itu."
"Lalu apa urusannya?"
"Saya yakin masih melihat dia sore tadi, tapi kemudian saya melihat kamarnya, dan..."
"Bicara langsung ke persoalannya!"
"Kami tidak menemukannya."
"Orang goblok kamu!" teriak pemilik penginapan. Wajahnya berubah tidak lagi kelihatan
sikap membudak yang beberapa saat sebelumnya ia tunjukkan. "Apa gunanya lari-lari macam
ini sesudah dia pergi" Kalian mestinya sudah tahu dari penampilannya bahwa ada yang
tidak beres. Jadi, sampai seminggu lewat itu kalian tidak tahu dia tak punya uang"
Bagaimana bisa aku terus dengan usaha ini kalau kalian melakukan hal-hal semacam itu?"
"Maaf, Tuan. Tapi dia kelihatan sopan."
"Sudah terlambat sekarang. Lebih baik kalian lihat, apa ada yang hilang dari kamarkamar tamu lain. Betul-betul gerombolan dungu!" Ia membalik ke bagian depan penginapan.
Osugi dan Matahachi minum sedikit sake lagi, kemudian perempuan tua itu beralih minum
teh dan menasihati anaknya berbuat demikian juga.
"Saya cuma akan menghabiskan sisanya," kata Matahachi sambil menuang semangkuk lagi.
"Saya tak butuh makan apa-apa."
"Tak baik kalau kamu tidak makan. Paling tidak, makanlah nasi sedikit dan acar."
Para pegawai dan pembantu berlarian di halaman dan gang sambil membawa lentera.
"Rupanya mereka tak dapat menangkapnya," kata Osugi. "Ibu tak mau terlibat, karena itu
Ibu diam saja di depan pemilik penginapan. Tapi menurutmu, apa bukan gadis yang kamu
ajak bicara itu yang mereka cari?"
"Tak mengherankan kalau memang dia."
"Memang tak banyak yang dapat kita harapkan dari orang yang ibunya seperti itu. Lalu
kenapa kamu begitu akrab dengan dia?"
"Saya kasihan padanya. Hidupnya sangat sukar."
"Nah, hati-hatilah, jangan bilang-bilang kamu kenal dia. Kalau pemilik penginapan tahu
gadis itu ada hubungannya dengan kita, dia bisa minta kita membayar rekeningnya."
Tapi lain lagi yang dipikirkan Matahachi. Sambil mencengkeram belakang kepalanya, ia
berbaring menelentang dan omelnya, "Bisa rasanya aku membunuh sundal itu! Sekarang aku
bisa membayangkan wajahnya. Bukan Musashi yang bikin aku sesat, tapi Oko!"
Osugi memarahinya bukan main. "Jangan bodoh begitu! Kalau kamu bunuh Oko, apa faedahnya
buat nama baik kita" Di kampung tak ada yang kenal dan peduli dia."
Jam dua pemilik penginapan datang ke beranda, membawa lentera dan mengumumkan waktu.
Matahachi meregangkan badan, tanyanya, "Sudah Bapak tangkap gadis itu?"
"Tidak, tidak kelihatan tanda-tandanya." Ia mengeluh. "Gadis begitu cantik. Para
pegawai berpendapat, biarpun dia tak dapat membayar rekeningnya, kita dapat memperoleh
kembali uang itu dengan menyuruhnya tinggal beberapa waktu di sini. Mungkin Anda tahu
maksud saya. Sayang sekali dia sedikit lebih gesit daripada kami."
Matahachi mengikat sandalnya sambil duduk di ujung beranda. Sesudah sekitar semenit
menanti, serunya kesal, "Bu, apa kerja Ibu di situ" Ibu selalu menyuruh saya cepat,
tapi pada saat terakhir tak pernah Ibu siap!"
"Tunggu sebentar, Matahachi, apa kantong uang yang Ibu simpan di tas perjalanan itu Ibu
kasihkan kamu" Ibu membayar rekening dengan uang tunai dari bungkusan di perut, tapi
uang perjalanan kita ada dalam kantong."
"Saya tidak melihatnya."
"Sini sebentar. Ini ada kertas bertuliskan namamu. Ha"... Astaga! Katanya... katanya,
karena dia kenal lama dengan kamu, dia harap kamu memaafkan dia telah meminjam uang
itu. Pinjam... pinjam!"
"Ini tulisan Akemi."
Osugi menoleh kepada pemilik penginapan. "Pak! Kalau milik seorang tamu dicuri orang,
itu tanggung jawab Bapak. Bapak mesti berbuat sesuatu."
"Begitu, ya?" Dan pemilik penginapan tersenyum lebar. "Memang biasa begitu, tapi karena
rupanya Ibu kenal gadis itu, saya kuatir saya mesti lebih dulu minta Ibu mengurus
rekeningnya." Mata Osugi jadi jelalatan, gagapnya. "A-apa yang Bapak bicarakan itu: Selama hidup
belum pernah saya melihat cewek pencuri itu. Matahachi: Jangan lagi kamu bermain-main!
Kalau kita tidak berangkat sekarang, ayam jantan akan segera berkokok."
*** 46. Perangkap Maut KARENA bulan masih tinggi di langit pagi buta itu, bayangan orang-orang yang mendaki
jalan gunung yang putih saling bertumbukan menakutkan, membuat para pendaki merasa
lebih tidak tenang lagi. "Ini lain dengan yang kuharapkan," kata seseorang.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku begitu juga. Banyak wajah tidak kelihatan. Tadinya kusangka paling tidak ada
seratuslima puluh orang."
"Kelihatannya kurang dari separuhnya."
"Kukira, kalau Genzaemon datang dengan orang-orangnya, jumlah kita akan mencapai
sekitar tujuh puluh orang."
"Berat. Keluarga Yoshioka jelas tidak lagi seperti dulu."
Dan dari kelompok lain, "Siapa yang peduli dengan orang-orang yang tak ada di sini"
Begitu dojo ditutup, banyak yang terpaksa memikirkan dulu kehidupannya. Yang di sini
ini orang-orang yang paling punya harga diri dan paling setia. Itu lebih penting
daripada jumlah!" 'Betul! Sekiranya di sini ada seratus atau dua ratus orang, mereka cuma akan saling
silang." "Ha, ha! Omong hebat lagi. Ingat pengalaman di Rengeoin. Dua puluh orang berdiri
berkeliling, tapi Musashi lolos juga!"
Gunung Hiei dan puncak-puncaknya yang lain masih tidur lelap dalam lipatan awan-awan.
Orang-orang itu berkumpul di persimpangan jalan desa kecil, jalan yang satu menuju
puncak Hiei, sedang yang lain mengarah ke Ithijoji. Jalannya terjal, berbatu-batu, dan
disimpangsiuri selokan dalam. Di sekitar tanda paling menonjol berupa pohon pinus besar
yang mengembang seperti payung raksasa itu berkumpul sekelompok murid senior. Sambil
dwduk di tanah seperti kawanan kepiting yang biasa merangkak malam hari. mereka
memperbincangkan medan. "Jalan itu bercabang tiga, jadi persoalannya adalah yang mana yang akan dipergunakan
Musashi. Strategi terbaik adalah membagi orang-orang itu menjadi tiga regu dan
menempatkannya di masing-masing jalan. Kemudian Genjiro dan ayahnya tinggal di sini
dengan satu korps sekitar sepuluh pedang yang terbaik"Miike, Ueda, dan lain-lain."
"Tidak, medan ini terlalu kasar untuk penempatan sejumlah besar orang di satu tempat.
Kita mesti menyebar mereka di ketiga jalan itu. Mereka mesti tetap tersembunyi, sampai
Musashi menempuh setengah jalan. Kemudian mereka dapat menyerang dari depan dan
belakang dengan serentak."
Kelompok-kelompok orang itu datang dan pergi. Bayang-bayang yang terus bergerak-gerak
kelihatan disatukan dengan lembing atau sarung pedang panjang. Memang ada kecenderungan
menyepelekan musuh, namun antara mereka tidak terdapat pengecut.
"Dia datang!" teriak orang yang ada di lingkungan luar.
Bayang-bayang itu jadi diam. Denyutan dingin menjalari nadi setiap samurai.
"Tenang-tenang saja! Cuma Genjiro."
"Lho, dia naik joli?"
"Ah, dia kan masih kanak-kanak!"
Lentera-lentera yang pelan-pelan mendekat dan terayun ke sana kemari dalam angin dingin
dari Gunung Hiei itu tampak membosankan dibandingkan dengan cahaya bulan.
Beberapa menit kemudian, Genzaemon turun dari joli dan menyatakan. "Saya kira kita
semua sudah di sini sekarang."
Genjiro, anak lelaki umur tiga belas tahun, muncul dari joli di sampingnya. Bapak dan
anak mengenakan ikat kepala putih yang dipasang ketat, sedangkan hakama-nya
disingsingkan tinggi-tinggi.
Genzaemon memerintahkan anaknya pergi berdiri ke bawah pohon pinus. Anak itu mengangguk
diam ketika ayahnya menepuk kepalanya untuk membesarkan hatinya, katanya, "Pertempuran
akan dilaksanahan dengan namamu, tapi perkelahian akan dilakukan oleh para murid.
Karena kamu masih terlalu kecil untuk ambil bagian, kamu tak perlu melakukan apa-apa
kecuali berdiri di sana memperhatikan."
Genjiro berlari langsung ke pohon itu. Di situ ia mengambil sikap bermartabat, seperti
boneka samurai pada Festival Anak Lelaki.
"Kita datang terlalu pagi," kata Genzaemon. "Matahari belum akan naik." Ia mencari-cari
sesuatu di pinggangnya, kemudian mengeluarlan pipa panjang yang besar mangkuknya. "Ada
yang punya api?" tanyanya biasa saja, untuk menunjukkan kepada orang-orang lain bahwa
ia sepenuhnya menguasai diri.
Satu orang melangkah maju, dan katanya, "Sebelum duduk merokok, apa menurut Bapak tak
perlu kita memutuskan dulu bagaimana membagi orang-orang itu?"
"Ya, kukira begitu. Mari kita tempatkan mereka dengan cepat, kita siap. Bagaimana
rencana kalian?" "Gugus pusat ditempatkan di bawah pohon. Orang-orang lain sembunyi di beberapa tempat,
pada jarak sekitar dua puluh langkah di kiri-kanan ketiga jalan."
"Siapa di bawah pohon?"
"Anda, saya, dan sekitar sepuluh lainnya. Dengan berada di sini, kita dapat melindungi
Genjiro dan siap terjun kalau ada isyarat bahwa Musashi sudah datang."
"Tunggu sebentar," kata Genzaemon yang memikirkan strategi itu dengan sikap hati-hati
penuh kebijaksanaan. "Kalau orang disebar macam itu, hanya akan ada sekitar dua puluh
orang yang bisa melakukan serangan awal."
"Betul, tapi dia akan terkepung."
"Belum tentu. Kalian boleh yakin, dia pasti akan membawa bantuan. Dan kalian mesti
ingat, sepandai dia berkelahi, pandai juga dia melepaskan diri dari kepungan ketat. Dia
bisa menyerang tempat yang kurang orangnya, melukai tiga atau empat orang, kemudian
pergi. Lalu dia akan berkeliling membual bahwa dia sudah menghadapi lebih dari tujuh
puluh anggota Perguruan Yoshioka, dan keluar sebagai pemenang."
"Kita takkan membiarkan dia berbuat begitu."
"Kemudian kita cuma akan perang kata saja. Biarpun dia membawa pendukung, orang banyak
akan menganggap pertandingan ini pertandingan antara dia pribadi melawan Perguruan
Yoshioka secara keseluruhan. Dan simpati mereka akan tertuju kepada pemain pedang yang
sendirian." "Saya pikir," kata Miike Jurozaemon, "dengan sendirinya kalau dia lolos lagi, kita tak
bisa lagi menebus aib, apa pun yang akan kita katakan. Kita di sini sekarang untuk
membunuh Musashi, dan tak usah repot-repot memikirkan apa cara kita itu lurus atau
tidak. Orang mati akan bungkam."
Jurozaemon memanggil empat orang dari kelompok terdekat untuk maju. Tiga di antaranya
membawa busur kecil, yang keempat membawa bedil. Ia suruh mereka menghadap Genzaemon.
"Barangkali Bapak ingin melihat tindakan berjaga-jaga yang telah kami ambil."
"Oh, senjata terbang."
'Kita dapat menempatkan mereka ini di ketinggian atau di pohon."
"Tapi orang banyak takkan mengatakan kita menggunakan taktik kotor?"
"Kita tak perlu peduli apa yang dikatakan orang. Kita ingin yakin Musashi mati."
"Baiklah. Kalau kalian memang siap menghadapi ancaman, tak perlu lagi aku bicara," kata
orang tua itu, tidak melawan lagi. "Biarpun Musashi membawa lima atau enam orang,
kurang kemungkinannya dia lolos kalau kita bawa busur dan anak panah, serta senapan.
Nah, kalau kita terus brndiri di sini, kita bisa kecolongan. Kuserahkan penempatan
orang-orang itu padamu, dan bawa mereka ke tempat masing-masing, segera."
Bayang-bayang hitam menyebar seperti angsa liar di rawa-rawa, sebagian tmettvelam ke
dalam belukar bambu, sebagian lagi menghilang di belakang pepohonan atau meratakan diri
di atas pematang sawah. Ketiga pemanah naik ke tempat tinggi yang menghadap lapangan.
Dan di bawah sana, pernbawa senapan memanjat cabang atas pohon pinus lebar. Sementara
ia sibuk mencari tempat persembunyian diri, daun dan kulit pinus itu menghujani
Genjiro. Melihat anak itu menggeliat-geliat, Genzaemon memarahinya, "Kamu belum gelisah, kan"
Jangan seperti pengecut!"
"Bukan begitu, Pak. Daun pinus jatuh ke punggung."
"Tenang. Tahan saja. Ini pengalaman baik buatmu. Perhatikan baik-baik kalau perkelahian
yang sebenarnya mulai nanti."
Di jalan paling timur tedengar teriakan ribut. "Berhenti, tolol!" Rumpun-rumpun bambu
bergemeresik demikian kerasnya, hingga Cuma orang tuli yang tidak tahu bahwa ada yang
bersembunyi di sepanjang ketiga jalan itu.
Genjiro berteriak, "Takut!" dan mendekap pinggang ayahnya.
Jurozaemon segera berangkat menuju tempat keributan itu, sekalipun ia merasa bahwa
tanda bahaya itu pasti tidak betul.
Sasaki Kojiro menghardik salah seorang anggota Yoshioka. "Kalian punya mata tidak" Aku
disangka Musashi! Aku datang kemari buat menjadi saksi tapi kalian mengejarku dengan
lembing. Betapa goblok!"
Orang-orang Yoshioka marah juga. Sebagian mencurigainya sedang memata-matai mereka.
Mereka mundur, tapi terus menghalangi jalan Kojiro.
Ketika Jurozaemon kemudian memasuki lingkaran, Kojiro beralih kepadanya. "Aku datang
kemari buat menjadi saksi, tapi orang-orangmu memperlakukan aku seperti musuh. Kalau
mereka bertindak atas perintahmu, biarpun aku pemain pedang yang kikuk, aku lebih dari
senang kalau menghadapi kamu. Tak ada alasanku membantu Musashi, tapi aku punvu
kehormatan yang mesti kujunjung tinggi. Kecuali itu, ini kesempatan baik bagiku
membasahi Galah Pengering ini dengan darah segar, karena memang sudah agak lama juga
aku tidak melakukannya." Kojiro seperti macan tutul meludahkan api. Orang-orang
Yoshioka yang terkecoh oleh pemunculannya yang perlente itu mundur oleh sikapnya yang
garang. Jurozaemon berketetapan untuk memperlihatkan bahwa ia tidak gentar oleh kata-kata
Kojiro, dan ia tertawa, "Ha, ha! Kamu gusar, ya" Tapi cola katakan, siapa yang
memintamu jadi saksi. Tak ingat aku ada permintaan macam itu. Apa Musashi yang minta?"
"Jangan bicara kosong kamu. Waktu kita memasang papan pengumuman di Yanagimachi itu,
kusampaikan pada kedua belah pihak, aku akan bertindak sebagai saksi."
"Oh, begitu. Itu kamu yang mengatakan. Dengan kata lain, Musashi tidak minta, dan kami
pun tidak minta. Kamu menunjuk dirimu sendiri sebagai peninjau. Yah, dunia ini memang
penuh dengan orang yang ikut campur urusan orang."
"Itu penghinaan!" bentak Kojiro.
Dengan ludah berpercikan dari mulutnya, Jurozaemon berteriak. Kami di sini bukan buat
bikin pertunjukan." Kojiro yang biru mukanya karena marah cepat menyingkir dari kelompok itu dan lari ke
jalan beberapa jauhnya. "Waspadalah, kamu bajingan!" pekiknya dan bersiap menyerang.
Genzaemon yang selama ini terus mengikuti Jurozaemon be
rkata, "Tunggu, anak muda!"
"Kamu yang tunggu!" pekik Kojiro. "Tak ada urusanku dengan kamu. Tapi akan kutunjukkan
padamu, apa jadinya orang yang menghinaku!"
Orang tua itu lari mendatanginya. "Oh, oh, engkau selalu serius menanggapi ini! Harap
maklum, orang-orang kami ini sedang naik semangat. Saya paman Seijuro. Saya sudah
mendengar dari Seijuro bahwa engkau pemain pedang yang baik. Saya yakin sudah terjadi
kekeliruan tadi itu. Saya harap kamu mau memaafkan saya pribadi atas kelakuan orangorang kami."
"Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak yang menyambut saya dengan cara ini. Saya
punya hubungan baik dengan Seijuro, dan saya mengharapkan kebaikan Keluarga Yoshioka,
walaupun tak dapat saya bertindak sebagai pendukungnya. Tapi itu bukan alasan bagi
orang-orang Bapak menghina saya."
Sambil berlutut resmi, Genzaemon berkata, "Engkau benar. Saya harap engkau melupakan
yang sudah terjadi, demi Seijuro dan Denshichiro." Orang tua itu memilih kata-katanya
dengan bijaksana, karena kuatir kalau Kojiro tersinggung ia bisa menyiar-nyiarkan
strategi pengecut yang mereka tempuh.
Kemarahan Kojiro mereda. "Silakan berdiri, Pak. Saya malu melihat orang tua berlutut di
depan saya." Lalu mendadak sontak pemilik Galah Pengering itu menggunakan lidahnya yang
fasih untuk membesarkan hati orang-orang Yoshioka dan menjelek-jelekkan Musashi.
"Beberapa waktu lamanya saya bersahabat dengan Seijuro, dan seperti saya katakan tadi,
saya tak punya hubungan dengan Musashi. Dengan sendirinya saya berpihak pada Keluarga
Yoshioka. "Sudah banyak saya menyaksikan pertentangan antarpetarung, tapi belum pernah saya
menyaksikan tragedi seperti yang menimpa Anda sekalian ini. Sungguh tak bisa dipercaya
bahwa keluarga yang telah mengabdi kepada para shogun Ashikaga sebagai instruktur seni
perang bisa diruntuhkan nama baiknya hanya oleh seorang udik."
Kata-kata yang diucapkan dengan sengaja untuk mencoba membuat telinga pendengarnya
terbakar itu diterima dengan penuh perhatian. Pada wajah Jurozaemon terlihat penyesalan
karena telah bicara demikian kasar kepada orang yang begitu berkemauan baik terhadap
Keluarga Yoshioka. Reaksi yang mereka perlihatkan itu tidak disia-siakan oleh Kojiro. Ia memanfaatkan
momentum itu. "Di masa depan, saya punya rencana mendirikan perguruan saya sendiri.
Karena itulah, bukan karena sekadar ingin tahu. Saya berlatih mengamati pertarungan-
pertarungan dan mempelajari taktik-taktik para pesilat lain. Ini bagian dari pendidikan
saya. Tapi rasanya belum pernah saya menyaksikan atau mendengar tentang pertarungan
yang lebih menjengkelkan daripada kedua pertarungan Anda sekalian dengan Musashi itu.
Coba, berapa banyak jumlah Anda sekalian di Rengeoin, dan sebelum itu juga dia Redaiji.
Tapi Anda sekalian membiarkan Musaslu lolos, hingga dia bisa petentengan di jalan-jalan
Kyoto! Sungguh saya tak dapat memahami itu."
Sambil menjilat bibirnya yang kering, la melanjutkan, "Tak sangsi lagi. Musashi seorang
petarung yang ulet luar biasa, sebagaimana pemain pedang pengembara lainnya. Saya tahu
itu dari beberapa kali melihatnya. Sekarang saya ingin menyampaikan pada Anda sekalian
apa yang saya ketahui tentang Musashi, walaupun ini bisa menimbulkan kesan seolah saya
campur tangan." Tanpa menyebut nama Akemi, ia memberikan uraiannya. "Keterangar pertama sampai di
tangan saya ketika kebetulan saya bertemu dengan seorang perempuan yang mengenal
Musashi sejak dia umur tujuh betas tahun. Kalau keterangan yang diberikannya pada saya
itu dilengkapi dengan lain-lain keterangan yang dapat saya pungut di sana-sini, pada
Anda sekalian bisa diberikan garis besar yang cukup lengkap mengenai kehidupan Musashi.
"Dia lahir sebagai anak samurai lokal di Provinsi Mimasaka. Dia ambil bagian di
Pertempuran Sekigahara, dan sesudah pulang dia melakukan demikian banyak kekejian,
hingga dia diusir dari kampung. Sejak itu dia mengembara di pedesaan.
"Walaupun wataknya jelek, dia memiliki bakat tertentu dalam main pedang. Dan secara
fisik dia kuat sekali. Lebih dari itu, dia berkelahi tanpa menghiraukan hidupnya
sendiri. Karena itu cara-cara ortodoks dalam permainan pedang tidak efektif melawannya,
sama seperti akal sehat tidak efektif untuk melawan penyakit gila. Anda sekalian mesti
menjebaknya, seperti Anda sekalian menjebak binatang ganas. Kalau tidak, Anda sekalian
akan gagal. Sekarang pertimbangkan sendiri, macam apa musuh Anda sekalian itu, dan
buatlah rencana-rencana yang sesuai dengan itu."
Dengan segala keresmian Genzaemon mengucapkan terima kasih kepada Kojiro, dan
selanjutnya melukiskan tindakan berjaga-jaga yang telah diambilnya.
Kojiro mengangguk tanda setuju. "Kalau Anda sekalian bertindak demikian saksama, dia
barangkali tak punya kesempatan lolos dalam keadaan hidup. Namun Anda sekalian
barangkali dapat menggunakan tipu daya yang lebih efektif."
"Tipu daya?" ulang Genzaemon sambil melontarkan pandangan kasar, dan kurang memuji ke
wajah Kojiro yang congkak itu. "Terima kasih. Tapi saya pikir sudah cukup yang kami
lakukan mi. "Belum, kawan, belum cukup. Kalau Musashi datang lewat jalan itu, jujur dan terus
terang, barangkali tak bisa dia meloloskan diri. Tapi bagaimana kalau dia sudah tahu
lebih dulu strategi Anda sekalian dan dia tidak muncul sama sekali" Semua perencanaan
Anda akan sia-sia, kan?"
"Kalau itu yang dia lakukan, kami tinggal memasang papan pengumuman di seluruh kota,
yang akan menjadikan dia bahan tertawaan seluruh kota Kyoto."
"Memang tindakan demikian dapat menyelamatkan wajah Anda sampai taraf tertentu, tapi
jangan lupa, dia masih bebas berkeliaran dan menyatakan taktik-taktik Anda sekalian
kotor. Dalam hal seperti itu, berarti Anda sekalian tidak sepenuhnya menjernihkan nama
guru Anda. Persiapan Anda tak punya arti, kecuali kalau Anda sekalian membunuh Musashi
di sini, di hutan ini. Untuk mendapat kepastian bahwa Anda sekalian akan dapat
melakukan itu, Anda harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin agar dia betul-betul
datang kemari dan jatuh ke perangkap maut yang Anda pasang."
"Apa ada jalan untuk melakukan itu?"
"Tentu saja. Sebetulnya saya dapat merencanakan beberapa cara." Suara Kojiro penuh
keyakinan. Ia pun membungkuk, dan dengan pandangan ramah yang tidak sering tampak pada
mukanya yang angkuh itu ia membisikkan beberapa patah kata ke telinga Genzaemon.
"Bagaimana kalau begitu?" tanyanya keras.
"Hmmm, ya. Saya mengerti yang engkau maksud." Orang tua itu mengangguk beberapa kali,
kemudian menoleh kepada Jurozaemon dan membisikkan rencana itu kepadanya.
*** 47. Pertemuan di Bawah Sinar Bulan
MALAM sudah lewat tengah malam ketika Musashi sampai di penginapan kecil sebelah utara
Kitano, tempat ia pertama kali bertemu dengan Jotaro. Pemilik penginapan kaget, tapi
menyambutnya dengan hangat dan cepat menyediakan tempat tidur untuknya.
Pagi-pagi benar Musashi pergi Dan kembali larut malam, serta menyerahkan kepada orang
tua itu sekarung ketela Kurama. ia menunjukkan pada pemilik penginapan itu satu gulung
kain katun Nara yang sudah dikelantang, yang dibelinya di toko yang tak jauh dari situ.
la bertanya apakah pemilik penginapan dapat membuatkannya baju dalam, kantung perut,
dan cawat. Pemilik penginapan dengan patuhnya membawa kain itu kepada penjahit di daerah tersebut,
dan pulangnya membeli sedikit sake. Ketela ia rebus, dan sambil menghadapi ketela dan
sake ia mengobrol dengan Musashi sampai tengah malam. Waktu itulah penjahit datang
membawa pakaian itu Musashi melipat semua pakaian itu dengan rapi Dan meletakkannya di
samping bantal, sebelum beristirahat.
Orang tua itu terbangun lama sebelum fajar oleh bunyi kecipak air. Ketika ditengok,
tampak olehnya Musashi sudah mandi dengan air sumur yang dingin dan berdiri di bawah
sinar bulan. ia mengenakan baju dalamnya yang baru Dan sedang mengenakan kimononya yang
lama. Musashi menyatakan sedikit bosan dengan Kyoto dan memutusk-an untuk pergi ke Edo. Ia
berjanji dalam tiga atau empat tahun, apabila datang di Kyoto lagi, ia akan tinggal di
penginapan itu. Sesudah pemilik penginapan mengikatkan obi-nya di belakang, berangkat dengan langkah
cepat. Ia mengambil jalan setapak sempit yang melintasi perladangan untuk menuju jalan
raya Kitano. Dengan hati-hati dihindarinya timbunan kotoran sapi di sana-sini. Orang


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua itu memandang sedih sementara kegelapan menelan Musashi.
Pikiran Musashi sama jernihnya dengan langit di atasnya. Karena secara fisik ia sudah
segar kembali, setiap langkah yang diambilnya terasa membuat tubuhnya lebih ringan.
"Tak ada alasan untuk jalan begini cepat," katanya keras sambil melambatkan jalannya.
"Kukira inilah malam terakhir aku berada di lingkungan makhluk hidup." Ucapan itu bukan
seruan bukan pula ratapan, melainkan sekadar pernyataan yang begitu saja keluar dari
bibirnya. Ia masih belum dapat merasakan benar-benar sedang menghadapi maut.
Hari sebelumnya ia lewatkan dengan bermeditasi di bawah sebuah pohon pinus di kuil
dalam Kurama. Ia berharap akan mencapai kebeningan, sehingga tubuh dan jiwa tidak lagi
merupakan persoalan. Tapi sia-sia ia berusaha melepaskan diri dari pikiran tentang
mati. Sekarang rasanya malu ia telah membuang-buang waktu untuk itu.
Udara malam menyegarkan. Sake yang cukup jumlahnya, tidur yang singkat namun lelap, air
sumur yang menyegarkan, dan pakaian barusemua itu membuat ia tidak merasa sebagai orang
yang akan mati. Teringat olehnya malam di tengah musim dingin itu, ketika ia memaksa
diri naik ke puncak Gunung Rajawali. Waktu itu bintang-bintang juga memesona, dan
pepohonan berhiaskan tetesan air beku. Tetesan air beku itu tentunya sekarang telah
digantikan oleh kuncup bunga-bungaan.
Pikirannya melayang-layang dan ia merasa tak mungkin memusatkan diri pada masalah vital
yang dihadapinya. Ia bertanya-tanya, tujuan apa yang hendak dicapainya pada tahap itu
dengan memikirkan persoalan yang dipikirkan seabad pun takkan terpecahkan. Yaitu apa
makna mati, kesengsaraan, maut, dan hidup yang menyusul sesudah itu"
Daerah yang sedang dilewati Musashi itu dihuni oleh bangsawan dan para abdi mereka.
Terdengar olehnya alunan sedih suling kecil, diiringi bunvi lambat organ tiup dari pipa
geladah. Di ruang matanya terlihat orang-orang berkabung yang sedang duduk melingkari
peti mati, menanti tajar. Apakah ia tidak segera menyadarinya, ketika lagu sedih itu
menyusupi telinganya" Barangkali karena lagu itu telah membangkitkan kenangan bawah
sadarnya akan fakta perawan Ise yang sedang menari dan pengalamannva di Gunung
Rajawali. Kesangsian menggerogoti pikirannya.
Ketika ia beristirahat untuk memikirkan soal itu, ia lihat telah melewati Shokokuji dan
tinggal sekitar seratus meter lagi dari Sungai Kamo yang keperakan. Dalam cahaya yang
terpantul ke tembok tanah tampak olehnya sosok tubuh yang gelap, diam. Orang itu
berjalan mendekatinya, diikuti bayangan yang lebih kecil, seekor anjing terikat tali.
Hadirnya binatang itu berarti orang itu bukan salah seorang musuhnya. Musashi pun
santai dan berjalan terus.
Orang itu berjalan terus beberapa langkah, kemudian menoleh, katanya, "Boleh saya
mengganggu Anda?" "Saya?" "Ya, kalau boleh." Topi dan hakama orang itu dari jenis yang biasa dipakai oleh para
pengrajin. "Soal apa?" tanya Musashi.
"Maafkan pertanyaan saya yang agak janggal, tapi apa Tuan tadi melihat rumah yang
terang benderang di jalan ini?"
"Saya tidak begitu memperhatikan, tapi tidak, saya kira saya tak melihatnya."
"Saya kira saya salah jalan lagi."
"Apa yang Anda cari?"
"Rumah yang baru saja kematian."
"Saya tak melihat rumah itu, tapi saya dengar tadi bunyi pipa gelas dan suling sekitar
tiga puluh meter dari sini."
"Mestinya tempat itu. Pendeta Shinto barangkali telah mendahului kami datang dan
memulai jaga mayat."
"Apa Anda mau ikut jaga mayat?"
"Tidak persis begitu. Saya pembuat peti mati dari Bukit Toribe. Saya diminta pergi ke
rumah Matsuo, jadi saya pergi ke Bukit Yoshida, tapi merelea tak lagi tinggal di sana."
"Keluarga Matsuo di Bukit Yoshida?"
"Ya, saya tidak tahu mereka sudah pindah. Sia-sia saja saya jalan begitu jauh. Terima
kasih." "Tunggu," kata Musashi. "Apa itu Matsuo Kaname yang mengabdi pada Yang Dipertuan
Kanoe?" "Betul. Dia jatuh sakit hanya sekitar sepuluh hari sebelum meninggal.
Musashi berbalik dan berjalan terus. Pembuat peti mati bergegas jurusan sebaliknya.
"Jadi, pamanku meninggal," pikir Musashi biasa. Teringat olehnya betapa sukar pamannya
itu mengais dan menyimpan untuk mengumpulkan uang. Terpikir olehnya kue betas yang ia
terima dari bibinya, dan kemudian ia lahap di tepi sungai yang beku di pagi Tahun Baru
itu. Ia tidak tahu, bagaimana bibinya hidup selanjutnya tanpa suami.
Ia berdiri di tepi Sungai Kamo Hulu, memperhatikan pemandangan gelap ketiga puluh enam
bukit Higashiyama. Masing-masing puncaknya seolah membalas pandangan matanya dengan
sikap bermusuhan. Kemudian ia lari turun ke jembatan pohon. Dari bagian utara kota,
orang ramai menyeberang di sini untuk dapat sampai ke jalan Gunung Hiei dan yang menuju
Provinsi Omi. Ia sudah setengah jalan menyeberangi jembatan ketika didengarnya suara keras, namun tak
jelas. Ia berhenti mendengarkan. Air yang cepat bergemerecik riang, sedangkan angin
dingin bertiup melintas lembah. Tak dapat ia menetapkan tempat asal teriakan itu.
Beberapa langkah kemudian ia beristirahat lagi karena mendengar suara itu. Karena masih
juga tidak dapat menentukan asal suara, ia bergegas pergi ke tepi yang lain. Begitu
jembatan ditinggalkannya, tampak olehnya seorang lelaki dengan tangan terangkat ke atas
berlari menyongsongnya dari utara. Sosok tubuh orang yang seperti dikenalnya. Orang itu
Sasaki Kojiro, orang yang di mana-mana menentukan.
Sambil mendekat, ia menyambut Musashi dengan ramah sekali. Ia menatap ke seberang
jembatan, lalu bertanya, "Engkau sendirian?"
"Tentu saja sendirian."
"Kuharap engkau memaafkan aku dalam peristiwa malam itu," kata Kojiro. "Terima kasih
atas penerimaan campur tanganku."
"Kupikir aku yang mesti mengucapkan terima kasih," jawab Musashi dengan sikap sopan
juga. "Engkau menuju pertarungan?"
"Ya." "Sendiri saja?" tanya Kojiro lagi.
"Ya, tentu saja."
"Hmmmm. Ingin tahu juga aku, Musashi, apa engkau menyalahartikan papan pengumuman yang
kita pasang di Yanagimachi itu."
"Kukira tidak."
"Apa engkau sadar betul syarat-syaratnya" Ini bukan pertarungan satu lawan satu seperti
dalam hal Seijuro dan Denshichiro."
"Aku tahu." "Walaupun pertempuran dilaksanakan atas nama Genjiro, tapi dia dibantu oleh anggota
Perguruan Yoshioka. Apa engkau mengerti bahwa Perguruan Yoshioka itu bisa sepuluh,
seratus, atau bahkan seribu?"
"Ya, kenapa engkau bertanya?"
"Beberapa orang lemah sudah lari dari perguruan itu, tapi yang kuat dan berani semuanya
sudah pergi ke pohon pinus lebar itu. Sekarang ini mereka sudah mengambil tempat di
seluruh sisi bukit, menantimu."
"Apa engkau sudah melihatnya?"
"Ya. Dan aku beranggapan lebih baik aku kembali mengingatkanmu. Karena tahu kau akan
menyeberang jembatan pohon ini, aku menunggu di sini. Kuanggap ini kewajibanku, karena
aku yang menulis papan pengumuman itu."
"Itu perbuatan bijaksana."
"Nah, jadi begitulah keadaannya. Apa engkau betul-betul bermaksud pergi sendiri, atau
barangkali engkau punya pendukung yang datang lewat jalan lain?"
"Aku punya seorang teman."
"Oh" Di mana dia sekarang?"
"Di tempat ini juga!" Musashi menuding bayangannya sendiri. Karena tertawa, giginya
berkilau disinari bulan. Kojiro meremang bulu tengkuknya. "Ini bukan bahan tertawaan."
"Dan aku juga tidak menganggapnya lelucon."
"Oh" Kedengarannya seperti engkau menertawakan nasihatku."
Musashi mengambil sikap lebih serius lagi daripada sikap Kojiro, dan ujarnya, "Apa
menurutmu orang suci Shinran yang agung itu berkelakar ketika dia mengatakan bahwa
setiap orang yang percaya itu memiliki kekuatan dua kali lipat karena sang Budha Amida
bersamanya?" Kojiro tidak membalasnya.
"Melihat segala sesuatunya, rasanya orang Yoshioka dalam keadaan yang lebih
menguntungkan. Mereka mengerahkan segala kekuatan. Aku sendirian. Tidak sangsi lagi,
engkau menyimpulkan aku akan kalah. Tapi kuminta engkau tak usah menguatirkan aku.
Sekiranya aku tahu mereka memiliki sepuluh orang dan aku membawa sepuluh orang juga,
apa yang akan terjadi" Meraka akan mengerahkan dua puluh orang, bukan sepuluh orang..
Kalau kubawa dua puluh orang, mereka akan meningkatkan jumlahnya menjadi tiga puluh
atau empat puluh, dan pertempuran akan mengakibatkan huru-hara yang lebih besar lagi.
Banyak orang akan terbunuh atau terluka. Hasilnya adalah pelanggaran serius terhadap
prinsip pemerintah, tanpa memberikan kemajuan apa pun bagi ilmu permainan pedang.
Dengan kata lain, kalau aku mendatangkan bantuan, akan banyak kerugiannya daripada
keuntungannya." "Walaupun memang benar demikian, tapi tidak sesuai dengan Seni Perang kalau kita
memasuki pertempuran, padahal kita tahu kita akan kalah."
"Ada masa-masa sikap begini perlu."
"Tidak! Menurut Seni Perang tidak begitu. Lain sekali halnya kalau engkau memang
berbuat gegabah." "Apakah caraku ini sesuai atau tidak dengan Seni Perang, tapi aku tahu apa yang perlu
bagi diriku." "Engkau melanggar semua aturan."
Musashi tertawa. "Kalau engkau berkeras hendak melanggar aturan," kilah Kojiro, "kenapa tidak kau pilih
tindakan yang memberi kemungkinan untuk terus hidup, setidak-tidaknya?"
"Jalan yang kutempuh ini bagiku jalan yang menuju hidup yang lebih penuh."
"Beruntunglah kau kalau jalan itu tidak menyeretmu masuk neraka!"
"Sungai ini mungkin saja sungai neraka yang bercabang tiga. Jalan ini jalan panjang
menuju kebinasaan, dan bukit yang segera kudaki itu adalah gunung jarum tempat
penyiksaan orang-orang terkutuk. Namun demikian ini jalan satu-satunya menuju kehidupan
sejati." "Melihat cara bicaramu, barangkali engkau sudah dikuasai dewa maut."
"Boleh engkau berpikir semaumu. Memang ada orang-orang yang mati dengan tetap hidup,
tapi ada juga yang memperoleh hidup dengan mati."
"Setan malang engkau!" kata Kojiro setengah mencemooh.
"Boleh aku bertanya, Kojiro"kalau kuikuti jalan ini, sampai di mana akhirnya?"
"Sampai Desa Hananoki, dan kemudian pohon pinus lebar di Ichijoji, tempat yang kaupilih
untuk mati itu." "Berapa jauhnya?"
"Cuma sekitar dua mil. Kamu masih banyak waktu."
"Terima kasih. Sampai ketemu lagi," kata Musashi gembira sekali, lalu berbelok menuruni
sebuah jalan pinggiran. "Bukan jalan itu!"
Musashi mengangguk. "Salah jalan kataku."
"Aku tahu." Musashi terus menuruni lereng bukit. Di sebelah sana pepohonan, di kiri-kanan jalan,
terdapat sawah bertingkat, sedang di kejauhan terdapat beberapa rumah pertanian beratap
ilalang. Kojiro melihat Musashi berhenti, menengadah ke bulan, dan sejenak berdiri
diam. Kojiro pecah ketawanya ketika mengetahui bahwa ternyata Musashi sedang buang air kecil.
Ia sendiri menengadah ke bulan. Terpikir olehnya bahwa sebelum bulan terbenam, akan
banyak orang yang mati dan sekarat.
Musashi tidak kembali lagi. Kojiro duduk di akar sebatang pohon dan merenungkan
pertempuran yang bakal terjadi itu dengan perasaan mendekati pembira. "Melihat
ketenangan Musashi, dia seperti sudah pasrah untuk mati. Namun dia akan memberikan
perlawanan hebat. Semakin banyak dia menyembelih mereka, semakin menarik untuk dilihat.
Ah, tapi orang-orang Yoshioka itu punya senjata terbang. Kalau Musashi terkena salah
satu darinya, pertunjukan akan segera berhenti. Dan itu merusak segala-galanya. Kupikir
lebih baik kusampaikan padanya tentang senjata itu."
Waktu itu turun sedikit kabut, dan udara dingin menjelang fajar.
Sambil berdiri, Kojiro memanggil, "Musashi, lama betul engkau di situ?" Kojiro merasa
ada sesuatu yang tidak beres, dan itu menyebabkan ia kuatir berjalan cepat menuruni
lereng dan memanggil lagi. Tapi satu-satunya bunyi yang kedengaran olehnya adalah
putaran roda air. "Bajingan tolol!"
Ia kembali secepat-cepatnya ke jalan utama dan menoleh ke segala iurusan, tapi yang
tampak olehnya hanya atap-atap kuil dan hutan Shirakawa yang tumbuh di lereng-lereng
Higashiyama, dan juga bulan. Ia mengambil kesimpulan bahwa Musashi telah lari. Ia caci
dirinya karena tidak memahami ketenangan Musashi, dan berangkatlah ia secepat-cepatnya
ke Ichijoji. Sambil menyeringai Musashi muncul dari balik sebatang pohon dan berhenti di tempat
Kojiro berdiri tadi. Ia senang lepas dari Kojiro. Ia tak butuh orang yang senang
menonton orang lain mati, yang secara pasif hanya menonton, sementara orang lain
mempertaruhkan hidupnya demi sesuatu yang penting bagi mereka. Kojiro bukan sekadar
penonton polos yang hanya didorong keinginan untuk belajar. Ia tukang campur tangan
yang penuh tipu daya, yang selalu siap mengambil keuntungan dari kedua belah pihak,
yang selalu menampilkan diri sebagai orang hebat yang ingin membantu semua orang.
Barangkali Kojiro menyangka bahwa jika la menyampaikan kepada Musashi betapa kuat
musuhnya, Musashi akan merangkak meminta dia menjadi pendukungnya. Dapat dimengerti
bahwa jika tujuan pertama Musashi adalah menyelamatkan hidupnya sendiri, ia akan
menerima dengan baik bantuan orang lain. Padahal sebelum bertemu dengan Kojiro ia sudah
cukup memperoleh keterangan bahwa ia mungkin akan harus berhadapan dengan seratus
orang. Bukannya ia sudah lupa akan pelajaran yang diajarkan Takuan kepadanya: orang yang
benar-benar berani adalah yang mencintai hidup dan mendambakannya sebagai harta
kekayaan yang sekali hilang takkan dapat ditemukan kembali. Ia tahu benar bahwa hidup
itu lebih dari sekadar harus tetap hidup. Masalahnya adalah bagaimana menjalin hidupnya
dengan makna, bagaimana menjamin bahwa hidupnya akan memancarkan cahaya cemerlang ke
masa depan, sekalipun terpaksa mengorbankan hidup sendiri demi cita-cita. Kalau ia
berhasil melaksanakan ini, tidak banyak bedanya berapa panjang umur itu-dua puluh atau
tujuh puluh tahun. Jangka hidup hanyalah selingan tak berarti dalam arungan waktu yang
tanpa akhir. Menurut jalan pikiran Musashi, ada jalan hidup orang biasa, ada jalan hidup prajurit.
Sungguh penting baginya hidup sebagai samurai dan mati sebagai samurai juga. Tak ada
jalan kembali dalam menempuh jalan yang telah dipilihnya. Sekalipun ia akan dicacah
berkeping-keping, musuh tak dapat menghapuskan kenyataan bahwa ia menyambut tantangan
tanpa takut dan dengan tulus.
Ia perhatikan jalan-jalan yang dapat ditempuhnya. Jalan terpendek, terlebar, dan
termudah dilalui adalah jalan yang diambil Kojiro. Jalan lain yang tidak begitu
langsung adalah jalan yang menyusuri Sungai Takana induk Sungai Kamo, menuju jalan raya
Ohara, dan kemudian Ichijoj lewat vila Kaisar Shugakuin. Jalan ketiga menuju ke timur
beberapa jauhnya, ke utara sampai kaki Bukit Uryu, dan akhirnya melintasi sebuah jalan
setapak masuk desa. Ketiga jalan itu bertemu di dekat pohon pinus lebar. Perbedaan jarak itu tidak penting,
namun dari sudut pandang kekuatan kecil yang menyerang kekuatan yang jauh lebih besar,
pendekatan itu penting sekali. Pilihan ini sendiri dapat menentukan kemenangan atau
kekalahan. Musashi tidak berlama-lama menimbang masalah itu. Sesudah beristirahat sebentar, ia
berlari ke jurusan yang hampir berlawanan dengan jurusan Ichijoji. Pertama-tama ia
melintas ke kaki Bukit Kagura, sampai suatu tempat di belakang makam Kaisar Go-Ichijo.
Kemudian melewati rumpun bambu yang rimbun, ia sampai di sebuah sungai yang melintasi
desa dari barat laut. Sisi utara Gunung Daimonji tampak membayang di atasma Diam-diam
ia mulai mendaki. Lewat pepohonan di sebelah kanannya ia dapat melihat tembok kebun milik Ginkakuji.
Kolam berbentuk buah jujube di kebun yang terletak hampir langsung di bawahnya
berkilauan seperti cermin. Ketika ia mendaki ke atas lagi, kolam itu hilang di balik
pepohonan, dan Sungai Kamo yang beriak pun tampak. Ia merasa seakan menggenggam seluruh
kota di tangannya. Ia berhenti sesaat untuk memeriksa kedudukannya. Dengan berjalan terus mendatar
melintasi lereng empat bukit, ia dapat mencapai suatu tempat yang terletak di atas dan
di belakang pohon pinus lebar. Dari situ ia dapat dengan bebas meninjau selintas
kedudukan musuh. Seperti halnya Oda Nobunaga pada Pertempuran Okehazama, ia menolak
jalan biasa dan mengambil jalan melingkar yang susah.
"Siapa di situ?"
Musashi diam seketika, dan menanti. Langkah-langkah kaki mendekati dengan hati-hati.
Melihat orang yang berpakaian seperti samurai yang bekerja pada bangsawan istana,
Musashi menyimpulkan orang itu bukan anggota Yoshioka.
Hidung orang itu cemong oleh asap obornya. Kimononya lembap berpercik lumpur. Dan ia
berteriak kecil karena terkejut. Musashi menatapnya curiga.
"Apa Anda bukan Miyamoto Musashi?" tanya orang itu sambil membungkuk rendah. Matanya
tampak ketakutan. Mata Musashi jadi terang oleh cahaya obor.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa Anda Miyamoto Musashi?" Karena ketakutan, samurai itu kelihatan sedikit tertatihtatih jalannya. Sifat ganas yang tampak dalam mata Musashi tidak sering ada pada
makhluk manusia. "Siapa engkau?" tanya Musashi singkat.
"Eh, saya... saya...
"Tak usah gagap. Siapa engkau?"
"Saya... saya dari rumah Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro."
"Aku Miyamoto Musashi, tapi apa kerja abdi Yang Dipertuan Karasumaru di tengah malam
begini di sini?" "Jadi, Anda Musashi!" Orang itu mengeluh lega. Sekejap kemudian ia lari sekencangkencangnya menuruni gunung, sedang obornya meninggalkan iejak cahaya di belakangnya.
Musashi membalik dan meneruskan jalannya melintasi sisi gunung.
Ketika samurai itu sampai di kitaran Ginkakuji, ia berteriak, "Kura, di mana kamu?"
"Kami di sini. Di mana kamu?" Suara itu bukan suara Kura, abdi Karasumaru yang lain,
tetapi suara Jotaro. "Jo-ta-ro! Kamu, ya?"
"Sini cepat!" "Tidak bisa. Otsu tidak bisa jalan lagi."
Samurai itu mengutuk pelan, kemudian mengeraskan suaranya, teriaknya "Sini cepat! Aku
sudah menemukan Musashi! Mu-sa-shi! Kalau kalian tidak cepat-cepat, bisa-bisa
kehilangan dia!" Jotaro dan Otsu berada sekitar dua ratus meter di bawah. Untuk sampai ke tempat samurai
itu, bayangan mereka berdua yang kelihatan menyatu membutuhkan banyak waktu untuk
tertatih-tatih mendaki. Samurai itu melambai-lambaikan obor, menyuruh mereka lebih
cepat, dan beberapa detik kemudian ia sudah mendengar sendiri napas berat Otsu. Wajah
Otsu tampak lebih putih daripada bulan. Perlengkapan perjalanan yang ada di tangan dan
kakinya yang kurus tampak kejam dan keterlaluan. Tetapi ketika cahaya jatuh sepenuhnya
ke wajahnya, pipinya tampak merah sehat.
"Betul?" tanyanya terengah-engah.
"Ya, aku baru saja melihatnya." Kemudian dengan nada lebih genting, "Kalau engkau
cepat-cepat, engkau akan bisa mengejarnya. Tapi kalau engkau membuang-buang waktu..."
"Ke mana jalannya?" tanya Jotaro yang jengkel karena sekaligus menghadapi seorang
lelaki tak sabaran dan seorang perempuan sakit.
Keadaan fisik Otsu sama sekali tidak membaik, tetapi sekali Jotaro membocorkan berita
tentang pertempuran Musashi yang akan segera berlangsung, tak ada lagi yang dapat
menahannya di tempat tidur, padahal dengan tinggal di tempat tidur hidupnya bisa
diperpanjang. Tanpa menghiraukan permohonan apa pun, ia mengikat rambut, kemudian
mengikat sandal jeraminya dan berjalan terhuyung-huyung keluar dari pintu gerbang Yang
Dipertuan Karasumaru. Ketika ternyata tidak mungkin lagi menghentikannya, Yang
Dipertuan Karasumaru pun melakukan segala yang mungkin untuk membantunya. Ia memimpin
pekerjaan itu sendiri. Sementara Otsu tertatih pelan menuju Ginkakuji, ia mengirimkan
orang-orangnya untuk menjelajahi berbagai jalan yang menuju Desa Ichijoji. Orang-orang
itu berjalan sampai kaki mereka sakit. Mereka sudah hampir putus asa ketika buruan itu
akhirnya ditemukan. Samurai itu menuding dan Otsu mendaki bukit itu dengan mantap. Karena takut jatuh,
setiap langkah Jotaro bertanya, "Kakak tak apa-apa, kan" Bisa jalan terus?"
Otsu tak menjawab. Kalau mau terus terang, ia sebetulnya bahkan tidak mendengar katakata Jotaro. Tubuhnya yang kurus kering hanya mau bereaksi terhadap kebutuhan untuk
bertemu Musashi. Sekalipun mulutnya kering, keringat kering mengucur dari dahinya yang
kelabu. "Tentunya ini jalannya," kata Jotaro, dengan maksud membesarkan hatinya. "Jalan ini
menuju Gunung Hiei, dan sekarang jalan itu rata. Tak ada lagi mendaki. Apa Kakak mau
istirahat sebentar?"
Otsu menggeleng diam, sambil terus memegang teguh tongkat yang mereka pikul bersama. Ia
berjuang mengatur napasnya, seakan-akan seluruh kesulitan hidup ini dijejalkan ke dalam
satu perjalanan ini saja.
Ketika mereka akhirnya berhasil menempuh jarak hampir satu mil, Jotaro berteriak,
"Musashi! Sensei!" Dann terus berteriak-teriak.
Suaranya yang kuat membangkitkan keberanian Otsu, tapi tak lama kemudian kekuatan Otsu
pun habis. "Jo-Jotaro," bisiknya lemah. Dilepaskannya pikulan, dan ia runtuh ke rumput
di tepi jalan. Wajahnya ke tanah, ia menangkupkan jari-jarinya yang halus ke mulutnya.
Bahunya bergerak mengejang-ngejang.
"Otsu! Oh, darah! Kakak muntah darah! Otsu!" Sambil hampir menangis, Jotaro
merangkulkan tangannya ke pinggang Otsu, menegakkannya. Otsu menggeleng-gelengkan
kepala pelan. Karena tak tahu apa yang mesti dilakukan, Jotaro menepuk-nepuk punggung
Otsu dengan lembut. "Kakak mau apa?" tanyanya.
Otsu tak dapat lagi menjawab.
"Oh, aku tahu! Air! Air, ya?"
Otsu mengangguk lemah. "Tunggu di sini. Akan kuambilkan."
Jotaro berdiri memandang ke sekitar, mendengarkan sejenak, lalu pergi ke ngarai tak
jauh dari situ. Dari tempat itu terdengar air mengalir. Dengan sedikit kesulitan ia
dapat menemukan sebuah sumber yang membual dari dalam bebatuan. Tapi ketika sudah
menciduk air dengan kedua tangannya, ia mulai ragu dan matanya menatap kepitingkepiting kecil di dasar kolam murni itu. Bulan tidak bersinar langsung ke air, tetapi
pantulan langit lebih indah daripada awan putih perak itu sendiri. Ia memutuskan untuk
menghirup dahulu air itu sebelum melaksanakan tugas. Ia bergerak beberapa kaki ke sisi,
lalu merangkak dengan leher menjulur seperti bebek.
Tiba-tiba ia tergagap. "Hantu?" dan tubuhnya meremang seperti buah berangan berduri. Di
dalam kolam kecil itu tercermin pola bergaris-garis, sedangkan di sisi lain setengah
lusin pohon. Tepat di samping pohon itu tampak gambaran Musashi.
Jotaro mengira ia sedang dipermainkan oleh imajinasinya dan menduga bayangan itu akan
segera menghilang. Tapi ternyata tidak, karena itu pelanpelan sekali ia mengangkat
matanya. "Kakak di sini!" teriaknya. "Kakak betul-betul di sini!" Pantulan langit yang damai itu
berubah menjadi lumpur ketika Ia berkecipak ke pinggir yang lain, hingga kimononya
basah sampai bahu. "Kakak di sini!" Ia memeluk kaki Musashi.
"Tenanglah!" kata Musashi pelan. "Berbahaya di sini. Datanglah lagi nanti."
"Tidak! Saya sudah menemukan Kakak. Saya akan tinggal dengan Kakak."
"Tenanglah. Tadi kudengar suaramu. Aku menunggu di sini. Sekarang bawakan Otsu air."
"Airnya keruh sekarang."
"Ada sungai kecil lain di sana. Lihat itu" Nah, bawa ini." Ia berikan kepada Jotaro
sebatang bumbung. Jotaro mengangkat muka, katanya, "Tidak! Kakak saja yang bawa untuk Otsu."
Mereka berdiri seperti itu beberapa detik lamanya, kemudian Musashi mengangguk dan
pergi ke sungai lain. Sesudah mengisi bumbung, ia membawanya ke samping Otsu. Dengan
lembut ia peluk Otsu dan ia minumkan air bumbung ke mulutnya.
Jotaro berdiri di samping mereka. "Lihat, Otsu! Ini Musashi. Kakak mengerti" Musashi!"
Ketika Otsu sudah menghirup air dingin itu, napasnya jadi ringan sedikit, walaupun ia
tetap lemah dalam pelukan Musashi. Matanya kelihatan menatap sesuatu di kejauhan.
"Otsu, lihat tidak" Ini bukan aku, tapi Musashi! Ini tangan Musashi yang memeluk Kakak,
bukan tanganku." Air mata panas mengambang pada mata Otsu yang kosong, hingga mata itu tampak seperti
kaca. Dua aliran air mata berkilau menuruni pipi. Otsu mengangguk.
Jotaro tak tahan lagi karena gembira. "Kakak bahagia sekarang, ya ini yang Kakak
maksud, kan?" Kemudian kepada Musashi, "Dia terus saja mengatakan biar bagaimana dia
mesti ketemu Kakak. Dia tidak mau mendengarkan siapa pun! Coba sekarang katakan
padanya, kalau dia terus berbuat begitu, dia akan mati. Dia tak mau memperhatikan saya.
Barangkali dia mau menurut perintah Kakak."
"Semua ini salahku," kata Musashi. "Aku akan minta maaf, dan akan minta padanya supaya
lebih baik lagi menjaga dirinya. Jotaro..."
"Ya?" "Sekarang kuminta kamu meninggalkan kami, sebentar saja."
"Kenapa" Kenapa saya tak boleh tinggal di sini?"
"Jangan seperti itu, Jotaro," kata Otsu memohon. "Hanya beberapa menit saja. Ayolah."
"Baiklah." Tak dapat Jotaro menolak Otsu, walaupun ia tak mengerti maksudnya. "Aku naik
bukit. Panggil aku, kalau Kakak sudah selesai."
Sifat malu-malu Otsu yang alamiah bertambah besar oleh penyakitnya. Ia tak dapat
memutuskan apa yang hendak dikatakannya.
Sementara Musashi membuang muka karena malu, Otsu membelakanginya. Musashi, menatap
tanah. Musashi menatap langit.
Secara naluriah Musashi takut tak ada kata-kata yang dapat dipakainya mengungkapkan apa
yang ada di dalam hatinya. Segala yang terjadi semenjak Otsu membebaskan dirinya dari
pohon kriptomeria pada malam hari itu melintas dalam pikirannya, dan ia mengakui
kemurnian cinta yang menyebabkan Otsu mencarinya lima tahun penuh.
Siapa yang lebih kuat dan siapa yang lebih menderita" Otsu-kah, dengan hidupnya yang
sukar dan rumit, dan yang menyala oleh cinta yang tak dapat disembunyikannya" Ataukah
ia sendiri, yang menyembunyikan perasaannya di balik wajah yang membatu dan yang
mengubur bara nafsunya di bawah lapisan abu yang dingin" Musashi tahu sebelumnya, dan
sekarang pun ia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya lebih sengsara. Namun dalam keteguhan
Otsu terdapat kekuatan dan keberanian. Beban yang harus ditanggungnya itu masih
terlampau berat untuk ditanggung sendiri oleh umumnya laki-laki.
"Waktu tinggal sedikit, dan aku harus pergi," pikir Musashi.
Bulan rendah di langit, cahayanya lebih putih sekarang. Fajar tak lagi jauh. Segera
juga bulan dan dirinya akan menghilang ke balik gunung maut. Dalam waktu singkat yang
masih tinggal itu, ia harus menyampaikan kebenaran kepada Otsu. Ia berutang budi benar
atas kesetiaan dan ketulusan gadis itu. Tapi kata-kata itu tak dapat keluar. Semakin
keras ia mencoba bicara, semakin kaku lidahnya. la menatap langit tanpa daya, seakan
ilham bisa turun dari langit itu.
Otsu menatap tanah dan menangis. Di dalam hatinya selama itu bersemayam cinta yang
menyala, cinta yang demikian hebat hingga dapat mengusir segala yang lain dari dalam
hatinya. Prinsip, agama, minat terhadap kesejahteraan diri, dan harga diri... semua
memucat berdampingan dengan hasrat yang menelan segala-galanya ini. Sampai batas
tertentu, ia percaya cintanya mesti dapat mengalahkan perlawanan Musashi. Bagaimanapun,
dengan air mata ia harus menemukan jalan agar mereka berdua dapat hidup bersama,
terpisah dari dunia orang biasa. Tapi sesudah berada bersama Musashi sekarang, ternyata
ia tanpa daya. Ia tak dapat mengerahkan diri untuk melukiskan betapa sakit berada jauh
dari Musashi, betapa sengsara mengarungi hidup sendiri, dan betapa menderita ia
mendapati Musashi tak menyimpan perasaan sama sekali. Oh, alangkah baiknya jika ia
memiliki ibu, tempat ia mencurahkan segala kesedihan....
Kediaman panjang itu terganggu oleh kuak sekawanan angsa. Terbiasa dengan datangnya
fajar, angsa-angsa itu naik ke atas pepohonan dan terbang ke atas puncak gunung.
"Angsa-angsa itu terbang ke utara," kata Musashi, walaupun sadar bahwa kata-kata itu
tidak relevan sama sekali.
"Musashi..." Mata mereka bertemu, sama-sama terkenang akan tahun-tahun mereka di desa, ketika angsaangsa melintas tinggi di atas mereka tiap musim semi dan musim gugur.
Waktu itu segalanya begitu sederhana. Ia bersahabat dengan Matahachi. Musashi tidak
disukainya karena kasar, tapi tidak pernah ia takut membalas kata-katanya, kalau
Musashi menghinanya. Kini masing-masing berpikir rentang gunung tempat tegak Shippoji
dan kedua tepi Sungai Yoshino di bawahnya. Dan keduanya sadar bahwa mereka sedang
menyia-nyiakan saat-saat berharga-saat-saat yang takkan pernah kembali lagi.
"Jotaro bilang kau sakit. Apa penyakitmu berat?"
"Tidak begitu."
"Apa kau merasa lebih baik sekarang?"
"Ya, tapi tak seberapa. Apa menurut dugaanmu engkau akan terbunuh hari ini?"
"Kukira begitu."
"Kalau kau mati, aku tak dapat hidup terus. Barangkali itu sebabnya begitu mudah aku
melupakan penyakitku sekarang."
Ada cahaya tertentu yang mulai memancar dalam mata Otsu, dan itu membuat Musashi sadar
bahwa tekadnya sendiri lemah dibandingkan dengan tekad Otsu. Bahkan untuk mencapai satu
tahap penguasaan diri saja ia harus merenungkan soal hidup dan mati selama bertahuntahun, harus mendisiplinkan diri terhadap setiap godaan, dan memaksa dirinya menjalani
kerasnya latihan samurai. Tanpa latihan maupun pendisiplinan diri secara sadar,
perempuan ini tanpa sangsi sedikit pun dapat mengatakan bahwa ia siap mati jika Musashi
mati. Wajah Otsu mengungkapkan ketenangan sempurna, matanya menyatakan kepada Musashi
bahwa ia tidak berbohong ataupun berbicara menuruti perasaan belaka. Ia kelihatan
hampir-hampir bahagia menghadapi kemungkinan mengikuti Musashi menjemput maut. Musashi
pun heran bercampur malu, betapa mungkin perempuan bisa begitu kuatnya.
"Jangan bodoh begitu, Otsu!" ucap Musashi tiba-tiba. "Tak ada alasan kau mesti mati."
Kekuatan suaranya dan kedalaman perasaannya bahkan mengejutkan dirinya sendiri. "Lain
sekali soalnya kalau aku mati karena berkelahi melawan orang-orang Yoshioka. Tidak saja
karena sudah seharusnya orang yang hidup dengan pedang mesti mati karena pedang, tapi
aku juga punya kewajiban mengingatkan para pengecut yang menempuh Jalan Samurai.
Kesediaanmu mengikutiku menyambut maut itu sangat mengharukan, tapi apa manfaatnya" Tak
lebih dari matinya seekor serangga yang menyedihkan."
Melihat Otsu mencucurkan air mata lagi, Musashi menyesali kata-katanya yang kasar.
"Sekarang aku mengerti, kenapa bertahun-tahun lamanya aku berbohong padamu, juga pada
diri sendiri. Aku tidak bermaksud menipumu ketika kita lari dari desa, atau ketika aku
melihatmu di Jembatan Hanada, tapi aku tolol menipumu-dengan berpura-pura dingin dan
tak acuh. Padahal bukan itu perasaanku.
"Sebentar lagi aku mati. Yang akan kukatakan ini, itulah yang benar. Aku cinta padamu,
Otsu. Akan kubuang segalanya jauh-jauh dan kuhabiskan umurku denganmu, sekiranya
saja..." Dan sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan dengan nada lebih bertenaga. "Kau mesti
percaya akan setiap kata yang akan kukatakan, karena aku takkan punya kesempatan lagi
untuk menyampaikannya. Sekarang ini kau bicara tanpa harga diri ataupun pretensi. Ada
hari-hari di kala aku tak dapat memusatkan perhatian karena memikirkanmu, dan malammalam kala aku tak dapat tidur karena memimpikanmu. Mimpi-mimpi yang panas penuh
gairah, Otsu, mimpi-mimpi yang hampir membuatku gila. Sering aku mendekap kasurku dan
membayangkannya sebagai dirimu.
"Tapi pada saat merasa demikian pun, kalau aku mengeluarkan pedangku dan memandangnya,
kegilaan itu pun menguap dan darahku jadi mendingin."
Otsu menoleh kepadanya, penuh air mata, tapi berseri-seri seperti semarak pagi, dan ia
mulai bicara. Tetapi melihat kegairahan dalam mata Musashi, kata-kata tersangkut di
tenggorokannya, dan ia memandang tanah kembali.
"Pedang adalah pelarianku. Setiap kali nafsu mengancam akan menguasaiku, kupaksa diriku
kembali ke dunia pedang. Inilah nasibku, Otsu. Aku terbelah antara cinta dan disiplin
diri. Rasanya aku meniti dua jalan sekaligus. Tetapi manakala kedua jalan itu
menyimpang, aku selalu berhasil menempatkan diriku pada jalan yang benar.
"Aku kenal diriku lebih baik daripada siapa pun. Aku bukan jenius, dan bukan juga orang
besar." Ia terdiam kembali. Walaupun ingin mengungkapkan perasaannya dengan tulus, ia merasa
kata-katanya menyembunyikan kebenaran. Hatinya menyuruhnya lebih terus terang lagi.
"Ya, begitulah diriku ini. Apa lagi yang bisa kukatakan" Kalau aku memikirkan pedangku,
engkau tersingkir ke sudut gelap pikiranku"bahkan menghilang sama sekali, tanpa
meninggalkan jejak. Pada waktu-waktu seperti itu, aku merasa paling bahagia dan paling
puas dengan hidupku. Kau mengerti, Otsu" Selama ini kau menderita, membahayakan tubuh
dan jiwamu demi orang yang lebih cinta kepada pedangnya daripada kepadamu. Aku sedia
mati demi membuktikan kebenaran pedangku, tapi aku tak mau mati demi kau. Sesungguhnya
aku ingin berlutut dan minta maaf padamu, tapi tak dapat."
Musashi merasa jemari Otsu yang peka itu lebih ketat memegang pergelangan tangannya.
Otsu tak lagi menangis, "Aku tahu semua itu," katanya penuh tekanan. "Kalau aku tidak
mengetahuinya, aku tak dapat mencintaimu seperti ini."
"Tapi apa kau tidak melihat bahwa mati demi diriku itu bodoh" Saat ini aku milikmu,
badan dan jiwaku. Tapi sekali aku sudah meninggalkanmu... tak perlu kau mati demi orang
macam aku. Ada jalan yang baik, Otsu, jalan yang wajar untuk hidup seorang perempuan.
Engkau harus mencarinya, dan membangun hidup bahagia untuk dirimu sendiri. Inilah katakata perpisahanku. Sudah waktunya aku pergi."
Pelan-pelan Musashi menyingkirkan tangan Otsu dari pergelangannya, dan berdiri. Otsu
menangkap lengan kimononya, dan serunya, "Musashi, sebentar saja lagi!"
Begitu banyak yang ingin ia ceritakan kepada Musashi. Ia tak peduli apakah Musashi akan
melupakannya ketika tidak bersamanya. Ia tak peduli disebut tidak penting. Ia tidak
berkhayal tentang watak Musashi ketika ia jatuh cinta kepadanya. Kembali ia menangkap
lengan kimono Musashi dan matanya mencari mata Musashi, mencoba memperpanjang saat
terakhir itu dan mencegahnya berakhir.
Permohonan Otsu yang diam itu hampir menjatuhkan Musashi. Di dalam kelemahan yang
menyebabkan Otsu tak bisa bicara itu pun terdapat keindahan. Terpengaruh oleh kelemahan
dan ketakutannya sendiri, Musashi merasa dirinya seperti sebatang pohon berakar rapuh
yang terancam angin menggila. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ketaatannya yang
suci kepada Jalan Pedang itu akan runtuh seperti tanah longsor oleh beratnya air mata
Otsu. Untuk memecahkan ketenangan, ia bertanya, "Kau mengerti?"
"Ya," jawab Otsu lemah. "Aku mengerti betul, tapi kalau kau mati, aku akan mati juga.
Matiku akan punya arti buat diriku seperti matimu berarti buatmu. Kalau kau dapat
menghadapi akhir hidupmu dengan tenang, aku pun dapat. Aku takkan terinjak-injak
seperti serangga atau tenggelam oleh kesedihan. Akulah yang menentukan jalanku sendiri.
Tak ada orang lain yang dapat melakukannya, biarpun orang lain itu engkau."
Dengan kekuatan yang besar dan ketenangan yang sempurna, ia melanjutkan. "Kalau di
dalam hatimu kau mau menganggapku sebagai calon istrimu, cukuplah. Itulah kegembiraan
dan berkat yang cuma dimiliki olehku, di antara begini banyak perempuan di dunia ini.
Kaubilang tak ingin membuatku sedih. Aku dapat memberikan jaminan padamu bahwa aku
takkan mati karena sedih. Ada orang-orang yang rupanya menganggapku tidak beruntung,
tapi aku sendiri sama sekali tidak merasa demikian. Dengan senang hati aku menyongsong
hari kematianku. Hari itu akan seperti pagi yang indah ketika burung-burung menyanyi,
dan aku akan pergi dengan bahagia, sebahagia kalau aku sedang menuju pesta
perkawinanku." Hampir kehabisan napas, ia melipat tangan di dada dan memandang puas ke atas, seakanakan terperangkap oleh mimpi yang menggairahkan.
Bulan seakan tenggelam. Walaupun matahari belum lagi merekah, kabut mulai naik lewat


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pepohonan. Ketenangan itu diporakporandakan oleh jerit mengerikan yang membelah udara seperti
pekik burung dalam dongeng. Jerit itu datang dari karang terjal yang tadi didaki
Jotaro. Otsu terkejut dan lepas dari mimpi-mimpinya. Ia layangkan pandangan ke puncak
karang. Saat itulah yang dipilih Musashi untuk pergi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia
menarik diri dari samping Otsu dan pergi memenuhi janji dengan maut.
Disertai teriakan tercekik, Otsu berlari beberapa langkah mengejarnya.
Musashi berlari cepat meninggalkannya, kemudian menoleh ke belakang, katanya, "Aku
mengerti perasaanmu, Otsu, tapi kuminta jangan engkau mati seperti pengecut. Jangan
karena kesedihan, kaubiarkan dirimu tenggelam dalam lembah maut dan tewas sebagai orang
lemah. Sembuhlah engkau dulu, kemudian pikirkan itu. Aku sendiri bukannya membuang
hidup demi cita-cita tak berguna. Kupilih melakukan apa yang kulakukan sekarang ini
karena dengan mati aku dapat memperoleh hidup kekal. Aku berpegang pada satu hal ini:
tubuhku boleh menjadi debu, tapi aku akan tetap hidup."
Sambil mengatur napas, ia menambahkan peringatan. "Kau mendengarkan tidak" Kalau kau
mencoba mengikuti mendapatkan maut, kau akan menemukan dirimu mati sendirian. Kau bisa
mencariku di dunia sana, tapi nanti akan kaulihat bahwa aku tak ada di sana. Aku mau
hidup terus sampai seratus atau seribu tahun, di hati bangsaku, di dalam semangat ilmu
permainan pedang Jepang."
Sebelum Otsu dapat berbicara lagi, kata-kata Musashi sudah tidak dapat didengar. Otsu
merasa jiwanya sudah meninggalkan dirinya, tapi hal itu tak dirasakannya sebagai
perpisahan. Ia merasa seolah-olah mereka berdua sedang ditelan ombak besar antara hidup
dan mati. Campuran lumpur dan kerikil terjun ke bawah dan berhenti di kaki karang, segera
kemudian disusul oleh Jotaro. Jotaro mengenakan topeng ajaib yang dulu diterimanya dari
janda di Nara itu. Sambil mengacungkan kedua tangannya, katanya, "Belum pernah aku begini terkejut selama
hidup!" "Apa yang terjadi?" bisik Otsu, walaupun belum sepenuhnya sembuh dari guncangan akibat
melihat topeng itu. "Kakak tadi tidak mendengar" Aku tidak tahu mengapa, tapi tiba-tiba sekali terdengar
jerit mengerikan tadi."
"Di mana kamu tadi" Kamu tadi pakai topeng itu, ya?"
"Aku duduk di atas batu karang tadi. DI atas sana ada jalan selebar jalan ini. Aku
mendaki sedikit, dan kutemukan batu besar bagus, karena itu aku duduk di sana,
memandang bulan." "Topeng itu... apa kamu pakai topeng itu?"
"Ya. Kudengar rubah-rubah mengaung, dan barangkali juga luak atau yang lain lagi
gemeresik di sekitarku. Kupikir topeng itu bisa bikin takut mereka. Tapi kemudian
kudengar jeritan yang bikin beku darah itu, yang sepertinya datang dari hantu neraka!"
*** 48. Angsa-Angsa Sesat "TUNGGU, Matahachi. Kenapa kamu jalan begitu cepat?" Osugi yang jauh ketinggalan dan
sudah sama sekali kehabisan napas kini kehilangan kesabaran maupun harga dirinya.
Dengan suara yang disengaja akan dapat didengar ibunya, Matahachi menggerutu, "Begitu
buru-buru dia waktu meninggalkan penginapan, tapi coba dengar sekarang. Dia lebih bisa
bicara daripada jalan."
Sampai di kaki Gunung Daimonji tadi, mereka masih berada di War, menuju Ichijoji, tapi
sekarang, setelah jauh memasuki pegunungan, mereka tersesat.
Osugi tak mau menyerah. "Kau ini mengomeli ibumu saja," geramnya "Orang bisa mengira
kau punya dendam hebat kepada ibumu sendiri.Baru selesai ia menghapus keringat,
Matahachi sudah berangkat lagi.
"Kamu tak mau lambat sedikit, ya?" teriak Osugi. "Ayo duduk di sini sebentar."
"Kalau Ibu terus berhenti istirahat tiap tiga meter, tak bakal kita sampai disana
sebelum matahari terbit."
"Matahari belum akan terbit, dan biasanya Ibu tidak kesulitan dengan jalan gunung macam
ini, tapi Ibu lagi masuk angin."
"Ibu tak pernah mengaku salah, ya" Tadi di sana waktu saya bangunkan pemilik penginapan
supaya Ibu dapat istirahat, Ibu tidak bisa duduk tenang sedikit pun. Ibu tak mau minum,
dan Ibu mulai mengomel mengatakan kita akan terlambat. Baru saja dapat dua hirupan, Ibu
sudah menyeret saya ke luar. Saya tahu Ibu ini ibuku, tapi Ibu sukar sekali diajak
bergaul baik"baik."
"Ha! Masih jengkel karena Ibu tidak kasih kesempatan minum, ya" Betul" Kenapa kau ini
tak mau berlatih mengendalikan diri sedikit: Ada hal-hal penting yang mesti kita
lakukan hari ini!" "Tapi kan bukan kita sendiri yang akan melecutkan pedang atau melakukan tugas itu" Yang
mesti kita lakukan cuma mendapat rambut Musashi, atau bagian lain tubuhnya. Tak ada
sukarnya sama sekali."
"Terserah pandanganmu! Tapi tak ada gunanya bertengkar macam ini. Ayo jalan!"
Ketika mereka mulai berjalan lagi, kembali Matahachi bicara sendiri, menyatakan rasa
tak puasnya. "Urusan konyol ini. Membawa pulang seberkas rambut ke desa, dan
menunjukkannya sebagai bukti bahwa tugas besar hidup sudah terlaksana! Dan orang-orang
udik itu tak pernah keluar dari pegunungan, karena itu mereka akan terkesan sekali! Oh,
aku benci sekali desa itu!"
Ia memang belum bosan sake Nada yang baik, dengan gadis-gadis Kyoto yang manis, dan
dengan sejumlah hal lain lagi. Ia masih percaya bahwa di kota itulah ia akan memperoleh
nasib baik. Siapa dapat membantah bahwa pada suatu pagi nanti ia bangun dan sudah
memperoleh segala yang pernah diinginkannya" "Aku tak akan pernah kembali ke desa kecil
itu," sumpahnya diam-diam.
Osugi yang kembali tertinggal di belakang kini lupa akan harga dirinya. "Matahachi,"
bujuknya, "gendong aku di punggungmu. Ayolah, sebentar saja."
Matahachi mengerutkan kening tanpa berkata-kata, tapi ia berhenti juga untuk memberi
kesempatan kepada ibunya mengejar. Baru saja ibunya sampai di tempatnya, mereka sudah
mendengar jeritan mengerikan yang tadi mengguncangkan Otsu dan Jotaro. Dengan wajah
tertegun mereka berdiri diam mendengarkan baik-baik. Sesaat kemudian Osugi berteriak
cemas, karena Matahachi tiba-tiba berlari ke ujung batu karang.
"Ke mana kamu?"
"Mestinya di bawah sana!" kata Matahachi, dan menghilang ke balik batu karang itu. "Ibu
tinggal saja di situ. Saya akan lihat siapa itu."
Sebentar kemudian Osugi mengejar kembali. "Tolol!" teriaknya. "Ke mana kamu pergi?"
"Tuli, ya" Apa Ibu tidak dengar jeritan itu?"
"Ada urusan apa denganmu" Kembali kamu! Kembali sini!"
Tanpa memedulikan ibunya, dengan cepat Matahachi bergerak dari akar pohon yang satu ke
akar pohon yang lain, menuju dasar ngarai kecil itu. "Tolol! Orang tolol!" teriak
Osugi. Ia kelihatan seperti sedang menyalak ke bulan.
Matahachi kembali berteriak kepadanya, minta supaya tinggal di tempat, tapi ia sendiri
sudah demikian jauh di bawah, hingga Osugi hampir tidak mendengarnya. "Bagaimana
sekarang?" pikirnya, mulai menyesali tindakannya yang terburu-buru itu. Kalau ia keliru
menduga arah datangnya teriakan itu, berarti ia membuang-buang waktu dan tenaga.
Walaupun cahaya bulan tidak menembus dedaunan, sedikit demi sedikit matanya mulai
terbiasa dengan kegelapan. Sampailah ia di salah satu jalan pintas yang saling
menyilang pegunungan sebelah timur Kyoto menuju Sakamoto dan Otsu. Sesudah berjalan
menyusuri sungai kecil berair terjun dan beriam, ia temukan sebuah gubuk yang mungkin
tempat berteduh bagi orang-orang yang datang untuk menombak ikan forel gunung. Gubuk
itu terlalu kecil untuk lebih dari satu orang, dan agaknya kosong, tapi dl belakang
tampak olehnya sesosok tubuh yang wajahnya merunduk dan tangannya putih semata.
"Oh, perempuan!" pikirnya senang, lalu menyembunyikan diri di belakang batu besar.
Beberapa menit kemudian, perempuan itu merangkak dari belakang gubuk, pergi ke tepi
sungai dan menciduk air untuk diminum. Matahachi melangkah mendekat. Seakan digerakkan
oleh naluri binatang, gadis itu menoleh diam-diam ke sekitarnya, lalu mulai lari.
"Akemi!" "Oh, engkau bikin aku ketakutan!" Tapi dalam suaranya terdengar nada lega. Ia menelan
air yang tersangkut di tenggorokannya dan menarik keluhan dalam.
Sesudah memandang Akemi dari atas ke bawah, Matahachi bertanya. "Apa yang terjadi" Apa
kerjamu di sini malam begini, dan dengan pakaian perjalanan pula?"
"Di mana ibumu?"
"Dia di atas sana." Matahachi melambaikan tangan. "Berani bertaruh, dia pasti marah
sekali." "Karena uang itu?"
"Ya. Aku betul-betul minta maaf, Matahachi. Waktu itu aku harus lekas-lekas pergi, tapi
aku tak punya cukup uang buat membayar rekening, dan tak punya apa pun buat bepergian.
Aku tahu perbuatan itu salah, tapi aku panik. Maafkan aku. Jangan paksa aku kembali!
Aku berjanji akan mengembalikan uang itu nanti." Dan ia mulai berurai air mata.
"Buat apa segala permintaan maaf itu" Oh, begitu, ya" Jadi, pikirmu kami datang kemari
buat menangkapmu?" "Ya, aku tidak menyalahkanmu. Biarpun perbuatanku itu cuma menurutkan kata hati, tapi
aku betul-betul sudah melarikan uang itu. Kala aku ditangkap dan diperlakukan seperti
pencuri, kukira tak pantas aku mengeluh."
"Memang begitu mestinya pandangan ibuku, tapi aku
uang itu jumlahnya tidak banyak. Sekiranya engkau
hati aku memberikannya kepadamu. Aku tidak marah.
kenapa kau begitu tiba-tiba pergi dan apa kerjamu
bukan orang macam itu. Lagi pula,
memang membutuhkannya, dengan senang
Yang lebih ingin kuketahui adalah
di sini?" "Aku mendengar pembicaraanmu dengan ibumu tadi malam."
"Oh" Tentang Musashi?"
"Ya." "Dan engkau tiba-tiba memutuskan pergi ke Ichijoji?" Akemi tidak menjawab.
"Oh ya, aku lupa!" kata Matahachi, ingat akan maksud kedatangannya ke ngarai itu. "Apa
engkau yang menjerit beberapa menit yang lalu?"
Akemi mengangguk, kemudian cepat mencuri pandang takut ke lereng di atas mereka. Dengan
perasaan puas karena tak ada suatu pun lagi di sana, ia menyampaikan pada Matahachi
bahwa tadi ia menyeberang sungai dan mendaki tebing terjal, tapi ketika menoleh ke
atas, ia lihat hantu bertampang jahat sekali duduk di batu tinggi, menatap bulan. Hantu
itu tubuhnya cebol, tetapi wajahnya wajah perempuan dan warnanya mengerikan, lebih
putih dari putih, dan mulutnya tersayat sebelah, sampai ke telinga. Hantu itu kelihatan
secara gaib menertawakannya, sehingga ia ketakutan sampai kehilangan akal. Belum lagi
sadar, ia sudah merosot kembali masuk ngarai.
Walaupun cerita itu keterlaluan kedengarannya, tapi Akemi menceritakannya dengan
sungguh-sungguh sekali. Matahachi mencoba mendengarkan dengan sopan, tapi segera
kemudian ia tertawa terbahak-bahak.
"Ha, ha! Engkau mengarang saja semua itu! Barangkali kau yang menakuti hantu itu. Kau
kan dulu biasa menjelajahi medan perang" Kau malah tidak menunggu sampai jiwa-jiwa itu
pergi, langsung saja melucuti mayat-mayat itu."
"Aku masih kanak-kanak waktu itu. Belum kenal rasa takut."
"Tapi waktu itu kau tidak terlalu muda juga.... Kukira, kau masih merana karena Musashi
sekarang." "Dia... Dia memang cinta pertamaku, tapi..."
"Kalau begitu, kenapa kau pergi ke Ichijoji?"
"Aku sendiri tidak tahu kenapa. Cuma terpikir kalau aku pergi, aku dapat melihatnya."
"Menghabis-habiskan waktu saja," kata Matahachi penuh tekanan, kemudian disampaikannya
kepada Akemi bahwa Musashi tak punya kesempatan satu banding seribu untuk keluar dari
pertempuran dalam keadaan hidup.
Sesudah mengalami peristiwa dengan Seijuro dan Kojiro, pikiran Akemi tentang Musashi
tidak lagi dapat membangkitkan khayal kebahagiaan bersama seperti yang pernah ia
punyai. Ia tidak mati, namun tidak pula menemukan hidup yang menggairahkannya, karena
itu ia merasa seperti jiwa yang telantar-seperti angsa yang terpisah dari kawanannya,
dan tersesat. Melihat tampang Akemi, Matahachi terkesan sekali oleh miripnya keadaan Akemi itu dengan
keadaannya sendiri. Mereka berdua terputus dan hanyut dari tambatan. Dari wajah Akemi
yang berbedak itu, tampak bahwa ia membutuhkan teman.
Matahachi memeluknya dan menempelkan pipinya ke pipi Akemi, dan bisiknya, "Akemi, mari
kita pergi ke Edo." "Ke... ke Edo" Kau berkelakar, ya?" kata Akemi, tapi gagasan tentang pergi ke Edo itu
membuatnya sadar. Sambil mengeratkan pelukannya pada bahu Akemi, Matahachi berkata, "Tidak mesti Edo,
tapi tiap orang mengatakan Edo kota masa depan. Osaka dan Kyoto sudah tua sekarang.
Barangkali itu sebabnya shogun membangun ibu kota baru di timur. Kalau kita pergi ke
sana sekarang, mestinya masih banyak pekerjaan yang baik, bahkan juga untuk sepasang
angsa sesat macam engkau dan aku ini. Mari, Akemi, katakanlah kau mau pergi." Melihat
wajah Akemi semakin memperlihatkan minat, Matahachi meneruskan dengan lebih berapi-api.
"Kita bisa bersenang-senang, Akemi. Kita dapat melakukan hal-hal yang ingin kita
lakukan. Buat apa hidup, kalau kita tak dapat melakukannya" Kita masih muda. Kita mesti
belajar berani dan pandai. Kalau berlaku seperti orang lemah, kita takkan mendapat apaapa. Semakin kita mencoba menjadi orang baik, tulus dan bersungguh-sungguh, semakin
keras nasib menyepak dan menertawakan kita. Akhirnya kita cuma bisa menangis saja, lalu
apa gunanya itu" "Kukira itulah selalu yang kau alami, kan" Kau selamanya membiarkan dirimu dilalap oleh
ibumu dan oleh lelaki-lelaki brutal. Dari sekarang, kau mesti menjadi yang makan, bukan
yang dimakan." Akemi mulai bimbang. Memang mereka berdua telah melarikan diri dari sangkar, yaitu
warung teh ibunya. Namun semenjak itu dunia tidak memperlihatkan apa pun kepadanya,
kecuali kekejaman. Ia merasa Matahachi lebih kuat dan lebih mampu mengatasi hidup ini
daripada dirinya. Bagaimanapun, Matahachi kan lelaki.
"Mau kau pergi?" tanya Matahachi.
Sekalipun Akemi tahu, ia bagaikan orang yang berusaha membangun kembali rumah yang
sudah hancur terbakar dengan abunya, tidak mudah juga mengibaskan khayalnya: mimpi
siang bolong memesona, tentang Musashi yang menjadi miliknya seorang. Tapi akhirnya ia
mengangguk juga tanpa mengatakan sesuatu.
"Kalau begitu, jadi. Mari pergi sekarang!"
"Bagaimana dengan ibumu?"
"Dia?" Matahachi mendengus menengadah ke batu karang. "Kalau nanti dia berhasil
mendapat barang yang bisa dipakainya membuktikan bahwa Musashi sudah mati, dia akan
pulang ke desa. Memang kalau ditemukannya aku tak ada, dia akan marah seperti lalat
kerbau. Aku sudah bisa membayangkannya sekarang, dia mengatakan pada semua orang aku
telah meninggalkannya di gunung, supaya mati, seperti kebiasaan membuang perempuan tua
di beberapa tempat di negeri kita. Tapi kalau nanti aku mendapat sukses, itu yang akan
menentukan segalanya. Bagaimanapun, kita sudah mengambil keputusan. Mari kita pergi!"
Ia melangkah, tapi Akemi menahannya.
"Matahachi, jangan lewat jalan itu!"
"Kenapa?" "Kita nanti terpaksa lewat batu itu lagi."
"Ha, ha! Dan melihat orang cebol bermuka perempuan lagi" Lupakanlah! Aku bersamamu
sekarang. Oh, tapi dengarkan... apa bukan ibuku yang memanggil-manggil itu" Ayo cepat!
Kalau tidak, dia akan mencariku. Dia jauh lebih gawat daripada hantu kecil bermuka
seram itu." *** 49. Pohon Pinus Lebar ANGIN berdesir di pohon bambu. Walaupun hari masih terlampau gelap untuk terbang,
burung-burung sudah bangun dan berkicau.
"Jangan serang! Ini aku"Kojiro!" Sesudah berlari seperti setan lebih dari satu mil
jauhnya, napas Kojiro bersemburan sesampainya ia di pohon pinus lebar itu.
Wajah orang-orang yang muncul dari tempat-tempat persembunyian untuk mengepungnya
tampak kaku karena menanti.
"Tidak kautemukan dia?" tanya Genzaemon tak sabar.
"Kutemukan," jawab Kojiro dengan nada yang membuat semua mata tertuju kepadanya. Sambil
menoleh dingin ke sekitar, katanya, "Aku menemukan dia, dan kami jalan bersama memudiki
Sungai Takano sebentar, tapi kemudian dia..."
"Dia lari!" seru Miike Jurozaemon.
"Tidak!" kata Kojiro tegas. "Melihat ketenangannya dan kata-katanya, menurutku dia
tidak lari. Semula memang begitu kelihatannya, tapi sesudah kupikirkan lagi, aku
berpendapat dia cuma mencoba melepaskan diri dariku. Dia barangkali menyusun strategi
yang mau disembunyikan dariku. Lebih baik Anda sekalian siap sekarang!"
"Strategi" Strategi macam apa?"
Orang-orang itu berdesak-desakan agar kata-kata Kojiro tidak terlewatkan sepatah pun.
"Kukira dia memperoleh beberapa pendukung. Barangkali sekarang dia dalam perjalanan
menjemput mereka, supaya mereka dapat menyerang sekaligus."
"Wah!" rintih Genzaemon. "Mungkin juga. Artinya, tak lama lagi mereka datang."
Jurozaemon memisahkan diri dari kelompok orang itu dan memerintahkan orang-orangnya
kembali ke pos masing-masing. "Kalau Musashi menyerang ketika kita cerai-berai begini,"
katanya memperingatkan, "kita bisa kalah dalam pertempuran pertama. Kita tidak tahu
berapa orang akan dibawanya, tapi jumlahnya tak mungkin banyak sekali. Kita akan
berpegang terus pada rencana semula."
"Betul. Tak boleh kita kena serangan mendadak selagi lengah."
"Mudah sekali berbuat kesalahan, kalau kita lelah menanti. Hati-hatilah!" Berangsurangsur mereka bubar. Pemegang bedil menempatkan diri kembali di cabang atas pohon
pinus. Melihat Genjiro berdiri kaku dan bersandar pada batang pohon itu, Kojiro bertanya,
"Mengantuk?"

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak!" jawab anak itu tabah.
Kojiro menepuk kepalanya. "Bibirmu sudah biru! Tentunya kau kedinginan. Kau wakil
Keluarga Yoshioka, karena itu kau mesti berani dan kuat. Sabarlah sedikit lagi, nanti
kau akan menyaksikan tontonan menarik." Dan sambil pergi, tambahnya, "Sekarang aku
mesti cari tempat yang baik untuk diriku sendiri."
Bulan berjalan bersama Musashi dari lembah antara Bukit Shiga dan Bukit Uryu, tempat ia
meninggalkan Otsu. Sekarang bulan itu terbenam di belakang gunung. Awan-awan pelanpelan bergerak naik dan berhenti di ketiga puluh enam puncak gunung itu. Dunia akan
segera mengawali pekerjaannya sehari-hari.
Musashi mempercepat langkahnya. Langsung di bawahnya tampak atap sebuah kuil. "Tak jauh
lagi sekarang," pikirnya. Ia memandang ke atas, dan terpikir olehnya bahwa dalam waktu
singkat-beberapa tarikan napas saja jiwanya akan bergabung dengan awan-awan yang naik
ke udara itu. Bagi alam semesta ini, kematian satu orang mustahil memiliki nilai yang
lebih penting daripada kematian seekor kupu-kupu. Tetapi di tengah lingkungan manusia,
satu kematian bisa mempengaruhi segalanya, ke arah yang baik atau sebaliknya. Satusatunya soal yang dihadapi Musashi sekarang adalah bagaimana mati secara mulia.
Bunyi air yang mengelu-elukannya terdengar di telinga. Ia berhenti dan berlutut di kaki
sebuah batu besar, lalu menciduk air dari sungai dan meminumnya cepat. Lidahnya terasa
nyeri oleh segarnya air itu, suatu petunjuk bahwa semangatnya tenang dan bulat, dan
keberanian tidak meninggalkan dirinya. Demikian yang diharapkannya.
Selagi istirahat sebentar, ia seperti mendengar suara memanggilnya. Otsu" Jotaro" ia
tahu, tak mungkin Otsu. Otsu bukan jenis orang yang dapat kehilangan kendali diri, lalu
mengejarnya pada saat seperti ini. Otsu sudah mengenalnya betul, sehingga tak mungkin
melakukannya. Namun Musashi tak dapat melepaskan diri dari perasaan bahwa ada orang
yang sedang memanggilnya. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, dengan harapan akan
melihat seseorang. Dugaan bahwa dirinya mendapat halusinasi sangat melemahkannya.
Namun ia tak dapat membuang-buang waktu lagi. Terlambat berarti tidak hanya melanggar
janji, tapi juga meletakkannya pada kedudukan yang sangat tidak menguntungkan. Untuk
seorang prajurit yang sedang mencoba menghadapi sebarisan lawan, waktu yang ideal
adalah jeda singkat sesudah bulan tenggelam, tapi sebelum langit sepenuhnya terang.
Demikianlah dugaannya. Teringat olehnya pepatah lama, "Mudah menghancurkan musuh di luar diri sendiri, tapi
tak mungkin mengalahkan musuh di dalam." Ia bersumpah mengusir Otsu dari pikirannya, ia
bahkan sudah menyatakan dengan sejelas-jelasnya kepada Otsu ketika gadis itu bergayut
pada lengan kimononya. Namun rupanya ia tak dapat mengusir suara gadis itu dari
otaknya. Ia mengutuk pelan. "Seperti perempuan! Lelaki yang sedang menjalankan tugas tak boleh
berpikir tentang tetek-bengek macam cinta!"
Ia memacu terus dirinya dan berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba tampak di bawahnya
jalur putih yang naik dari kaki gunung melintas rumpun bambu, pepohonan, dan
perladangan. Itu salah satu jalan menuju Ichijoji. Ia kini hanya sekitar tiga ratus
lima puluh meter dari tempat jalan itu bertemu dengan dua jalan lainnya. Lewat kabut
yang seperti susu, ia dapat melihat cabang-cabang pohon pinus besar itu.
Ia berlutut. Tubuhnya tegang. Bahkan pepohonan di sekitarnya seperti berubah menjadi
musuh yang potensial. Dengan gerakan kaku seekor kadal, ia tinggalkan jalan setapak
itu, berangkat menuju lokasi yang langsung berada di atas pinus. Tiupan angin dingin
bergerak turun dari puncak gunung, mendesak kabut bergulung-gulung yang melanda pohonpohon pinus dan bambu. Cabang-cabang pinus lebar itu bergetar, seakan-akan mengingatkan
kepada dunia tentang datangnya bencana.
Dengan mengerahkan penglihatannya, Musashi dapat melihat sosok sepuluh orang yang
berdiri diam sempurna di sekitar pohon pinus, dengan lembing siaga di tangan. Hadirnya
orang lain lagi di tempat-tempat lain di gunung itu dapat dirasakannya, sekalipun ia
tidak melihatnya. Musashi tahu, ia sekarang memasuki wilayah maut. Perasaan dahsyat
menyebabkan bulu-bulu di punggung tangannya meremang, namun napasnya tetap dalam dan
mantap. Sampai ujung jari kakinya ia sudah siap beraksi. Selama merangkak pelan ke
depan, jari-jari kakinya dapat mencekam tanah dengan kekuatan dan kepastian jari-jari
tangannya. Tidak jauh dari tempat itu tampak tanggul batu yang dulunya tenrbagian dari sebuah
kubu. Sekadar menuruti kehendak hati, ia berjalan d antara batu-batu karang, menuju
tempat berdirinya tanggul itu. Di situ ia mendapatkan sebuah tonjolan batu yang
menghadap langsung ke pohon pinus lebar. Di belakangnya terdapat pekarangan suci yang
dilindungi beberapa jenis pohon hijau tinggi, dan di antara baris-baris pohon itu ia
melihat sebuah bangunan suci
Sekalipun tidak terbayang olehnya dewa apa yang disembah orang di situ, ia lari juga
lewat pohon itu ke pintu tempat suci dan berlutut di depannya. Sadar akan dekatnya
maut, ia tidak dapat menahan getar jantungnya, mengingat hadirnya sang dewa. Bagian
dalam tempat suci itu gelap, hanya ada sebuah lampu suci yang berayun-ayun tertiup
angin. Lampu itu terancam mati, tapi secara ajaib dapat merebut kembali kecemerlangan
penuhnya. Piagam di atas pintu berbunyi "Tempat Keramat Hachidai".
Musashi senang karena merasa memiliki sekutu yang perkasa, dan merasa kalau ia
menyerang menuruni gunung itu, dewa perang akan berada di belakangnya. Ia tahu dewadewa selalu memihak kepada yang benar. Ia ingat, dalam perjalanan ke Pertempuran
Okehazama, Nobunaga yang agung pun beristirahat untuk bersujud di Tempat Keramat
Atsuta. Penemuan tempat suci ini sungguh sangat tepat.
Di dalam pintu gerbang terdapat sebuah tempayan batu, di mana para pemohon dapat
membersihkan diri sebelum berdoa. Ia berkumur, kemudian mengisi mulutnya dengan air dan
menyemprotkan air itu ke gagang pedang dan tali sandalnya. Dengan cara demikian, ia
disucikan. Ia menyingsingkan lengan kimononya dengan tali kulit dan menaikkan ikat kepala dari
katun. Ia lenturkan otot-otot kakinya sambil berjalan dan pergi ke tangga tempat suci,
dan di situ memegang tali yang tergantung pada gong di atas pintu masuk. Dengan cara
yang sepanjang zaman dipatuhi orang, ia hendak membunyikan gong itu dan berdoa pada
dewa. Tiba-tiba ia ingat diri dan cepat menarik tangannya. "Apa yang kulakukan ini?" pikirnya
ngeri. Tali yang terjalin dari benang katun merah-putih itu seakan mengajaknya
memegangnya, membunyikan gong itu, dan menyampaikan permohonannya. Ia menatapnya. "Apa
yang hendak kumohon?" tanyanya pada diri sendiri. "Bantuan apa yang kuharapkan dari
dewa-dewa" Apakah aku sudah menjadi satu dengan alam semesta" Tidakkah aku selalu
mengatakan harus siap menghadapi maut setiap waktu" Tidakkah aku selalu melatih diriku
menghadapi maut dengan tenang dan yakin?"
Ia tertegun. Tanpa berpikir, tanpa mengingat tahun-tahun yang telah dilaluinya dalam
berlatih dan mendisiplinkan diri, hampir saja ia memohon bantuan adikodrati. Terasa
olehnya ada sesuatu yang salah, karena jauh di dasar hatinya ia tahu sekutu sejati
seorang samurai bukanlah dewa-dewa, melainkan maut itu sendiri. Tadi malam dan awal
pagi tadi ia yakin telah menerima nasib. Tapi lihatlah, hampir saja ia lupa akan segala
yang pernah dipelajarinya, yaitu memohon bantuan kepada dewa. Maka dengan kepala
tertunduk malu, ia berdiri seperti batu.
"Sungguh tolol aku! Tadinya aku mengira sudah mencapai kemurnian dan pencerahan, tapi
ternyata di dalam diriku masih ada bagian yang menghendaki hidup terus. Suatu khayal
yang membangkitkan pikiran tentang Otsu atau kakak perempuanku! Suatu harapan palsu
yang mendorongku bergayut pada apa saja. Suatu damba setani yang menyebabkan aku lupa
diri dan memikatku berdoa minta bantuan pada dewa-dewa."
Ia merasa muak dan jengkel terhadap tubuhnya, jiwanya, dan kegagalannya menguasai Jalan
Samurai. Air mata yang ditahan-tahannya di hadapan Otsu kini bercucuran dari matanya.
"Semua itu tadi tidak kusadari. Aku tidak bemaksud berdoa, bahkan apa yang akan
kudoakan pun tak terpikir olehku.Tapi bahwa aku telah melakukannya tanpa sadar, itu
lebih buruk lagi." Tersiksa oleh kesangsiannya sendiri, ia merasa tolol dan belum matang.
Apakah ia memang punya kemampuan menjadi seorang prajurit" Kalau ia mencapai keadaan
tenang yang diidam-idamkannya, tentunya ia tidak perlu berdoa atau mengajukan
permohonan, walaupun secara tak sadar. Dalam satu saat yang mengguncangkan, hanya
beberapa menit sebelum pertempuran. ia menemukan di dalam hatinya benih-benih sejati
kekalahan. Tak mungkin sekarang ia menganggap maut yang mendekat sebagai puncak hidup
seorang samurai! Dalam tarikan napas berikutnya, gelombang rasa syukur melandanva. Kehadiran dan
kebesaran dewata meliputinya. Pertempuran belum lagi dimulai. Ujian yang sebenarnya
masih ada di depan. Ia mendapat peringatan pada waktunya! Dengan mengakui kegagalannya,
berarti ia telah mengatasinya. Kesangsiannya lenyap. Dewata memimpinnya ke tempat ini
untuk diajari hal itu. Ia memang percaya secara tulus kepada dewa-dewa, tapi ia tidak menganggap mencari
bantuan kepada dewa-dewa itu sebagai Jalan Samurai. Jalan Samurai adalah kebenaran
tertinggi yang melebihi dewa-dewa dan para Budha. Ia mundur selangkah dan melipat
tangan, bukannya meminta perlindungan, ia menyatakan terima kasih kepada dewa-dewa atas
bantuan mereka yang datang tepat pada waktunya.
Ia membungkuk cepat dan bergegas keluar dari pekarangan tempat keramat dan menuruni
jalan setapak yang sempit dan terjal. Kalau hujan deras turun, jalan itu pasti segera
berubah menjadi kali deras. Kerikil dan gumpalan kotoran rapuh hancur di tumitnya,
memecah kesunyian. Begitu pohon pinus lebar tampak lagi, ia meninggalkan jalan setapak
dan merunduk di dalam semak. Belum setitik pun embun jatuh dari dedaunan, dan lutut
serta dadanya pun segera saja basah kuyup. Pohon pinus itu tidak lebih dari empat atau
lima puluh langkah di bawahnya. Terlihat olehnya orang yang memegang bedil di atas
cabangnya. Kemarahannya meluap. "Pengecut!" katanya, hampir terdengar keras. "Semua itu hanya
untuk melawan satu orang?"
Tapi ada juga rasa kasihannya kepada musuh yang sampai harus mengambil tindakan ekstrem
macam itu. Bagaimanapun, ia telah menduga akan menghadapi hal seperti itu, dan sejauh
mungkin siap menghadapinya. Karena mereka pasti beranggapan ia tidak sendirian, maka
sikap bijaksana menyebabkan mereka menyiapkan setidak-tidaknya satu senjata terbang,
bahkan barangkali juga lebih dari satu. Kalau mereka mempergunakan juga busur-busur
pendek, maka para pemanah barangkali bersembunyi di balik batu-batu karang atau di
tempat-tempat rendah. Musashi punya satu keuntungan besar. Baik yang ada di atas pohon maupun mereka yang ada
di bawahnya itu membelakanginya. Ia merangkak maju, hampir-hampir merayap, sambil
merunduk demikian rendah hingga gagang pedangnya mencuat di atas kepalanya. Kemudian ia
tempuh jarak sekitar dua puluh langkah dengan berlari kencang.
Pemegang bedil memutar kepala, melihatnya, dan berteriak, "Itu dia!"
Musashi berlari lagi sepuluh langkah, tahu bahwa orang itu akan terpaksa mengubah
posisi untuk membidik dan menembak.
"Di mana?" teriak orang-orang yang paling dekat dengan pohon.
"Di belakang kalian!" terdengar jawaban yang memecahkan tenggorokan.
Pemegang bedil mengarahkan senjatanya ke
dari sumbu bedil itu menghujan ke bawah,
di udara. Batu yang dilemparkannya tepat
pemegang bedil menjadi satu dengan bunyi
itu pun terjungkal ke bumi.
kepala Musashi. Ketika bunga api yang keluar
siku kanan Musashi membuat gerakan melengkung
mengenai sumbu dengan kekuatan dahsyat. Pekik
cabang-cabang yang berderak-derak, dan orang
Seketika itu juga nama Musashi ada di setiap bibir. Tak seorang pun dari mereka mau
bersusah-susah memikirkan situasi itu secara menyeluruh, atau memperkirakan Musashi
mungkin menggunakan cara menyerang ke satuan pusat
terlebih dahulu. Maka kebingungan
melanda mereka semua. Dalam ketergesaan untuk menyusun diri kembali, kesepuluh orang
itu saling bertubrukan, senjata mereka tersangkut-sangkut, dan mereka saling menginjak
tebing. Suasana kacau balau, semuanya saling teriak agar jangan sampai melepaskan
Musashi. Baru saja mereka memilah-milah diri dan mulai membentuk susunan tengah lingkaran,
mereka sudah ditantang, "Aku Miyamoto Musashi, anak Shimmen Munisai dari Provinsi
Mimasaka. Aku datang sesuai dengan persetujuan yang kita buat kemarin dulu di
Yanagimachi. "Genjiro, kamu di sana" Kuminta kau jangan ceroboh macam Seijuro dan Denshichiro
sebelum ini. Aku mengerti karena umurmu yang masih muda, kau didukung beberapa orang.
Tapi aku, Musashi, datang sendiri. Orang-orangmu boleh menyerang sendiri-sendiri atau
berkelompok, terserah mereka. Nah, sekarang ayo berkelahi!"
Sekali lagi orang-orang terkejut luar biasa. Tak seorang pun mengira Musashi akan
menyampaikan tantangan resmi! Sampai-sampai mereka yang ingin sekali menjawab dengan
cara seperti itu juga kehilangan sikap yang diperlukan.
"Musashi, kau terlambat!" teriak sebuah suara serak.
Banyak di antara orang-orang itu naik semangatnya oleh pernyataan Musashi bahwa ia
sendirian, tetapi Genzaemon dan Jurozaemon yakin bahwa itu tipu daya, karena itu mereka
menoleh ke sekitar, untuk mencari bala bantuan yang dimiliki Musashi.
Suatu desing keras melengking ke satu sisi, dan sekejap kemudian disusul oleh kilau
pedang Musashi yang membelah udara. Anak panah yang diarahkan ke wajahnya patah,
separuh jatuh ke belakang bahunya, separuh lagi jatuh ke dekat ujung pedangnya yang
diturunkan, atau lebih tepat dikatakan jatuh ke bekas tempat pedangnya, karena waktu
itu juga Musashi sudah bergerak lagi. Dengan rambut tegak seperti bulu tengkuk singa,
ia menyerang ke arah sosok gelap di belakang pohon pinus lebar.
Genjiro mendekap batang pohon sambil menjerit, "Tolong! Aku takut!"
Genzaemon melompat maju sambil melolong, seakan pukulan itu mengenainya, tapi sudah
terlambat! Pedang Musashi menyabet kulit pokok pinus sepanjang dua kaki, dan kulit itu
jatuh ke tanah, di samping kepala Genjiro yang berlumuran darah.
Sungguh perbuatan setan garang! Tanpa menghiraukan yang lain-lain, Musashi langsung
menyerang anak itu. Dan kelihatan ia memang sudah bermaksud demikian sejak dari semula.
Serangan itu merupakan suatu kebuasan luar biasa. Tetapi kemarian Genjiro tidak
mengurangi sedikit pun daya tempur orang-orang Yoshioki. Kebingungan campur kegugupan
menjadi nafsu gila untuk membunuh.
"Binatang!" pekik Genzaemon dengan muka pucat kelabu karena sedih dan berang. Dengan
kepala menyuruk, ia langsung menerjang ke arahMusashi, dengan pedang yang agak terlalu
berat untuk orang seumurmya. Musashi menggeser tumit ke belakang sekitar satu kaki,
mencondongkan badan ke samping, lalu menebas ke atas, menyerempet siku dan wajah
Genzaemon dengan ujung pedangnya. Tak mungkin orang mengatakan siapa yang melolong,
karena justru pada waktu itu seorang yang menyerang Musashi dengan lembing dari
belakang telah terhuyung ke muka dan jatuh menimpa orang tua itu. Saat berikutnya,
pemain pedang ketiga yang datang dari muka terpapas dari bahu sampai pusar. Kepalanya
terkulai dan tangannva lunglai, sementara kedua kakinya terus membawa tubuhnya yang
Maryamah Karpov 2 Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret Sepasang Pedang Iblis 13
^