Pencarian

Mushasi 17

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 17


terhitung jumlahnya, yang diciptakan oleh matahari yang bersinar ke rumput basah.
"Ke mana perginya anak itu menurutmu?" tanya Otsu. "Dia sukar sekali diatur."
"Begitu pendapatmu" Oh, aku lebih gawat daripada itu waktu seumur dia. Tapi Matahachi
sebaliknya, betul-betul berkelakuan baik. Heran juga aku, di mana dia sekarang. Aku
lebih kuatir tentang dia daripada tentang Jotaro."
"Aku senang dia tak ada di sini. Sekiranya dia di sini, aku terpaksa menyembunyikan
diri." "Kenapa" Kupikir dia akan mengerti kalau kita menjelaskan."
"Tapi aku sangsi. Dia dan ibunya itu tidak macam orang-orang lain."
"Otsu, apa betul kau takkan mengubah pikiranmu?"
"Tentang apa?" "Maksudku, apa tak mungkin kau memutuskan ingin kawin dengan Matahachi?"
Wajah Otsu mengejang karena guncangan. "Tentu saja tidak!" jawabnya berang. Kelopak
matanya berubah menjadi merah muda bunga anggrek. Ia menutup wajahnya dengan kedua
tangan, sementara getar kecil pada kerahnya yang putih seolah meneriakkan, "Aku
milikmu, dan bukan milik siapa-siapa lagi!"
Musashi menyesali kata-katanya, dan menoleh memandang Otsu. Selama beberapa hari itu,
ia telah memperhatikan permainan cahaya pada tubuh Otsu-pada malam hari seperti sinar
lampu yang berkelip-kelip, pada siang hari seperti sinar hangat matahari. Melihat kulit
Otsu yang berkilau oleh keringat, teringat olehnya kembang teratai. Karena dengan kasur
jerami Otsu ia hanya dipisahkan oleh tabir rapuh, ia dapat mencium harum samar rambut
hitam Otsu. Sekarang deru air menjadi satu dengan dentam darahnya, dan ia merasa
dirinya tertelan oleh suatu dorongan perkasa.
Mendadak ia berdiri dan pergi ke tempat yang diterangi matahari, di mana rumput musim
dingin masih tinggi, kemudian duduk dengan beratnya dan menarik keluh panjang.
Otsu datang dan berlutut di sampingnya, merangkul lututnya dan menjulurkan lehernya
untuk menengok wajah Musashi yang diam dan takut.
"Ada apa?" tanyanya. "Ada kata-kataku yang membuatmu marah" Maafkan aku, aku menyesal."
Semakin tegang Musashi, dan semakin tajam pandangan matanya, semakin erat Otsu bergayut
padanya. Kemudian tiba-tiba Otsu memeluknya. Keharuman serta kehangatan tubuhnya
menguasai Musashi. "Otsu!" teriak Musashi tak sabar, sambil menangkap Otsu dengan tangannya yang berotot,
lalu mendorongnya sampai telentang di rumput.
Kerasnya pelukan Musashi membuat Otsu sesak napas. Ia memberontak untuk membebaskan
diri, lalu meringkuk di samping Musashi.
"Tak boleh! Tak boleh kau melakukan itu!" jeritnya serak. "Bagaimana mungkin kau
melakukan itu" Lebih-lebih kau..." Dan menangislah ia tersedu-sedu.
Nafsu Musashi yang menyala-nyala tiba-tiba mendingin oleh nada nyeri dan ngeri yang
terpancar dari mata Otsu, dan mendadak sontak sadarlah Musashi akan dirinya. "Kenapa?"
teriaknya. "Kenapa?" Karena malu dan marah, ia sendiri hampir saja menangis.
Kemudian Otsu pergi meninggalkan kantong bedak yang terjatuh dari kimononya. Sambil
menatap kosong ke arahnya, Musashi mengerang, kemudian menunduk ke tanah dan membiarkan
air mata nyeri dan kecewa jatuh ke rumput layu.
Ia merasa Otsu telah memperolok-olokkannya, menipunya, mengalahkannya, menyiksanya, dan
mempermalukannya. Tidakkah kata-kata Otsu bibirnya, matanya, rambutnya, tubuhnya"telah
mengundangnya" Tidakkah Otsu telah berusaha keras menyalakan api di dalam hatinya" Tapi
ketika api telah menyala, ia lari ketakutan"
Ditinjau dari sudut logika yang salah, kelihatannya segala usahanya untuk menjadi
manusia super telah gagal, dan segala perjuangan serta kesengsaraan yang dialaminya
jadi tidak berarti sama sekali. la membenamkan wajahnya ke rumput. Dikatakannya pada
diri sendiri bahwa tak ada perbuatannya yang salah, tetapi hati nuraninya tak
terpuaskan. Apa arti keperawanan bagi seorang gadis, yang hanya bisa memilikinya selama periode
singkat dalam hidupnya"betapa berharga dan indahnya keperawanan itu baginya-sama sekali
tak pernah terpikirkan oleh Musashi.
Tapi sementara bernapas dalam bau tanah itu, berangsur-angsur Musashi memperoleh
kembali kendali dirinya. Dan ketika akhirnya ia memaksa dirinya berdiri, api yang
mengamuk itu sudah lenyap dari matanya, dan wajahnya sudah bebas dari nafsu. Tak
sengaja ia menginjak kantong bedak, dan berdiri memandang tanah dengan saksama, seakanakan sedang mendengarkan suara pegunungan. Alisnya yang hitam lebat terjalin menjadi
satu, seperti waktu ia terjun ke tengah pertempuran di bawah pohon pinus lebar itu.
Matahari bersembunyi di balik awan, dan jerit tajam seekor burung membelah udara. Angin
berubah, dan secara tak kentara mengubah bunyi air yang jatuh.
Dengan hati berdebar, seperti hati burung layang-layang yang ketakutan, Otsu
memperhatikan penderitaan Musashi itu dari balik pohon. Sadar bahwa ia telah melukainya
dalam-dalam, ia ingin Musashi berada di sampingnya lagi, tapi betapa ingin pun ia
berlari mendapatkan Musashi dan memohon maaf, tubuhnya tak hendak menurut. Untuk
pertama kali ia sadar bahwa kekasih yang telah diserahi hatinya itu bukanlah pria penuh
kebajikan seperti pernah dibayangkannya. Menemukan binatang yang telanjang itu, berupa
daging, darah, dan nafsu, matanya suram oleh kesedihan dan ketakutan.
Ia tadi lari, tapi baru dua puluh langkah,
Sekarang, sesudah sedikit lebih tenang, ia
berbeda dengan nafsu laki-laki lain. Lebih
maaf dan meyakinkan Musashi bahwa ia tidak
cinta telah menangkap dan menghentikan-nya.
mulai membayangkan bahwa nafsu Musashi itu
dari apa pun di dunia ini, ia ingin meminta
tersinggung oleh perbuatan Musashi.
"Dia masih marah," pikirnya takut, tapi tiba-tiba sadarlah ia bahwa Musashi tidak ada
lagi di depan matanya. "Oh, apa yang mesti kulakukan?"
Dengan gugup ia kembali ke gubuk kecil itu, tetapi di sana hanya ada kabut putih dingin
dan gemuruh air yang seolah mengguncang pohon-pohonan, mengacau segala getaran di
sekitarnya. "Otsu! Ada kejadian mengerikan! Musashi menceburkan diri ke air!" Teriakan kalut Jotaro
itu datang dari tanjung yang menghadap lembah, sesaat sebelum ia mencekal batang
wisteria dan mulai turun, berayun dari dahan ke dahan, seperti monyet.
Otsu tidak begitu jelas mendengar kata-kata Jotaro, tapi ia merasakan gentingnya katakata itu. Ia mengangkat kepala dan mulai merangkak menuruni jalan setapak yang terjal,
tergelincir-gelincir oleh rumput liar, dan berpegangan pada batu-batuan.
Sosok tubuh yang tampak lewat cipratan dan kabut air itu menyerupai sebuah batu besar,
tetapi itulah tubuh Musashi yang telanjang. Kedua tangannya terkatup dan kepalanya
tunduk. Tubuh itu tampak kerdil dibandingkan air setinggi dua puluh meter yang
mengempaskannya. Setengah jalan, Otsu berhenti dan menatap ngeri. Di seberang sungai, Jotaro juga
berdiri terpaku. "Sensei!' "Musashi!" Teriakan mereka tak pernah sampai ke telinga Musashi. Seribu naga perak bagaikan
menggigit kepala dan bahunya, sedangkan mata seribu setan air meledak di sekitarnya.
Kisaran-kisaran air menarik-narik kakinya, siap menyeretnya ke arah maut. Satu
kekeliruan saja dalam bernapas, satu kesalahan saja dalam detak jantung, maka tumitnya
akan kehilangan pegangan lemah atas dasar sungai yang berselimut ganggang itu, tubuhnya
akan tersapu ke dalam aliran dahsyat, dan takkan ada jalan kembali. Paru-paru dan
jantungnya seolah runtuh oleh beban tak terhitung"seluruh massa Pegunungan Magome"yang
jatuh ke tubuhnya. Hasratnya akan Otsu mati pelan-pelan, karena hasrat itu bersaudara dekat dengan watak
pemarahnya. Tanpa watak itu, tak mungkin ia ikut Pertempuran Sekigahara atau
melaksanakan satu pun dari segala prestasinya yang luar biasa. Tetapi bahayanya justru
terletak pada kenyataan bahwa pada taraf tertentu, bertahun-tahun masa latihannya bisa
menjadi tak berdaya menghadapi hasrat itu, dan menenggelamkannya kembali ke taraf
binatang liar yang tidak berbudi. Dan melawan musuh seperti ini, musuh yang tak
berbentuk dan tersembunyi, pedangnya sama sekali tak berguna.
Dengan bingung, kacau, dan sadar akan kekalahan besar yang dideritanya, ia berdoa
semoga air yang menggila itu dapat mengembalikan kepadanya tuntutan disiplin yang
sedang dikejarnya. "Sensei! Sensei!" teriakan Jotaro berubah menjadi lolongan bercampur tangis. "Kakak tak
boleh mati! Kakak jangan mati!" Ia ikut mengatupkan tangan di depan dada. Wajahnya
berubah bentuk, seakan-akan ia ikut menanggung beban air itu, sengatannya, nyerinya,
dan dinginnya. Melihat ke seberang sungai itu, Jotaro tiba-tiba merasa lemas. Ia tak mengerti sama
sekali apa yang dilakukan Musashi; rupanya Musashi bertekad tinggal di bawah aliran
deras itu sampai mati, tapi sekarang Otsu... di mana Otsu" Ia yakin Otsu telah meloncat
sampai mati ke sungai di bawah.
Tapi kemudian ia dengar suara Musashi mengatasi bunyi air. Kata-katanya tidak jelas. Ia
pikir mungkin kata-kata itu dari kitab sutra, tapi kemudian... barangkali juga katakata itu sumpah serapah marah, umpatan pada diri sendiri.
Suara itu penuh kekuatan dan hidup. Bahu Musashi yang lebar dan tubuhnya yang berotot
memancarkan kemudaan dan kekuatan, seakan-akan jiwanya telah dicuci, dan sekarang siap
untuk memulai hidup kembali.
Jotaro mulai merasakan bahwa apa pun yang telah terjadi sudah lewat. Ketika cahaya
matahari petang membentuk pelangi di atas air terjun, ia berseru, "Otsu!" Ia berharap
Otsu telah meninggalkan sisi batu karang itu, karena menduga Musashi tidak berada dalam
bahaya nyata. "Kalau dia yakin Musashi sehat-sehat saja," pikirnya, "tak ada yang mesti
kukuatirkan. Dia kenal Musashi lebih baik dariku, sampai ke dasar hatinya."
Jotaro melompat-lompat dengan riangnya turun ke sungai. Ia menemukan tempat aliran yang
sempit. Ia menyeberanginya dan naik ke tepi yang lain. Ia mendekat diam-diam, dan
terlihat olehnya Otsu ada di dalam gubuk, meringkuk di lantai sambil mendekap kimono
dan pedang Musashi ke dadanya.
Jotaro merasa air mata Otsu yang tak disembunyikan itu bukanlah air mata biasa. Dan
walau tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, ia merasa itu urusan Otsu. Beberapa
menit kemudian, ia menyelinap diam-diam kembali ke tempat lembu berbaring di rumput
yang keputihan, dan menelentangkan diri di sampingnya.
"Dengan kecepatan begini, entah kapan bisa sampai di Edo ," katanya. "
*** BUKU V: LANGIT *** 54. Penculikan DI seberang celah, salju Gunung Koma berkilauan berupa jalur-jalur seperti lembing,
sedangkan lewat pucuk-pucuk pohon yang sedikit kemerahan, tampak salju di Gunung Ontake
terhampar, berupa petak-petak berserakan. Warna hijau muda yang menandakan datangnya
musim semi seolah gemerlapan di sepanjang jalan raya dan di perladangan.
Otsu melamun. Jotaro seperti tanaman yang barn tumbuh, keras kepala dan tegar. Sukar
sekali menundukkan dan tetap menguasainya dalam waktu lama. Akhir-akhir ini Jotaro
tumbuh pesat. Kadang-kadang Otsu merasa seperti menangkap kilasan seorang pria dewasa.
Memang sifat Jotaro yang liar, ribut, dan penuh gairah hidup itu bisa dimaklumi, namun
tetap saja Otsu cemas dengan tingkah lakunya, sekalipun ia telah memperhitungkan latar
belakang Jotaro yang tidak seperti anak lain. Tuntutannya tak kenal ujung, terutama
dalam hal makanan. Tiap kali mereka tiba di warung makanan, ia berhenti seketika dan
tak mau beranjak sebelum Otsu membelikan sesuatu.
Habis membeli kerupuk beras di Suhara, Otsu berjanji, "Ini yang terakhir." Tapi belum
sampai mereka menempuh jarak satu mil, kerupuk sudah habis dan katanya ia sudah
setengah kelaparan. Krisis yang terjadi lagi sesudah itu hanya dapat dihindari dengan
berhenti di sebuah warung teh di Nezame untuk makan siang. Tapi begitu selesai melewati
celah berikut, ia sudah kelaparan lagi.
"Lihat, Otsu! Warung itu menjual kesemek kering. Bagaimana kalau kita beli, biar ada
yang kita bawa?" Otsu berjalan terus, pura-pura tak mendengar.
Ketika mereka sampai di Fukushima, Provinsi Shinano, tempat yang terkenal dengan
keanekaan dan kelimpahan hasil makanannya, hari sudah sore, yaitu waktu untuk makan
makanan kecil. "Mari kita istirahat sebentar," rengek Jotaro. "Ayolah." Otsu tidak memperhatikan.
"Ayolah, Otsu! Mari kita makan kue beras berlapis tepung kedelai itu. Kue buatan tempat
ini terkenal sekali. Kakak tak ingin?" tanyanya kesal.
Dan seakan-akan sudah ada persekutuan rahasia dengan Jotaro, lembu itu berhenti dan
mulai mengunyah rumput di tepi jalan.
"Baik!" bentak Otsu. "Kalau begitu kelakuanmu, aku akan jalan dulu dan mengatakannya
pada Musashi." Otsu berbuat seolah-olah hendak turun dari lembu, tapi Jotaro pecah
ketawanya, karena tahu benar Otsu takkan melaksanakan ancamannya.
Karena gertakannya tak mempan, Otsu menyerah dan turun dari lembu. Bersama-sama mereka
masuk ke bangunan kecil yang menempel di depan warung. Jotaro dengan suara keras
memesan dua porsi, kemudian keluar untuk mengikatkan lembu.
Ketika ia kembali, Otsu berkata, "Mestinya kau tak usah pesan untukku. Aku tidak
lapar." "Kakak tak ingin makan apa-apa?"
"Tidak. Orang yang makan terlalu banyak akan berubah jadi babi bodoh."
"Oh, kalau begitu, bagian Kakak saya makan juga nanti."
"Tak kenal malu!"
Mulut Jotaro terlampau penuh, hingga telinganya tidak mendengar. Namun tak lama
kemudian ia berhenti makan untuk menggeser pedangnya ke punggung, karena di situ pedang
takkan mengganggu tulang rusuknya yang mengembang. Ia mulai makan lagi, tapi tiba-tiba
ia menjejalkan kue betas terakhir ke dalam mulutnya dan meloncat ke pintu keluar.
"Sudah selesai?" seru Otsu. Ia meletakkan uang di meja dan mulai mengikuti Jotaro, tapi
Jotaro kembali lagi dan dengan kasar mendorong punggung Otsu ke dalam.
"Tunggu!" katanya heboh. "Saya baru melihat Matahachi."
"Tidak mungkin!" Otsu menjadi pucat. "Apa yang dia kerjakan di tempat ini?"
"Saya tidak tahu. Kakak tidak lihat" Dia pakai topi anyaman, dan tadi dia menatap kita
langsung." "Aku tak percaya."
"Kakak mau saya membawanya kemari buat bukti?"
"Tak mungkin kau berbuat begitu!"
"Jangan kuatir. Kalau ada apa-apa, akan saya panggil Musashi."
Urat nadi Otsu berdentum hebat, tapi karena sadar bahwa makin lama mereka berdiri di
sana makin jauh Musashi mendahului, ia kembali mendekat ke lembu.
Ketika mereka berangkat, Jotaro berkata, "Saya sungguh tak mengerti Sebelum sampai di
air terjun di Magome, kita bertiga sangat bersahabar. Tapi sejak itu Musashi hampir tak
pernah berkata-kata, dan Kakak justru tidak bicara dengan dia. Kenapa?"
Dan ketika Otsu tidak mengatakan apa-apa, ia pun melanjutkan, "Kenapa dia jalan duluan"
Kenapa kita tidur di kamar yang berlainan sekarang" Kalian bertengkar atau bagaimana?"
Otsu tak dapat memaksa dirinya memberikan jawaban yang jujur, karena kepada diri
sendiri pun ia tak dapat. Apakah semua lelaki memperlakukan perempuan seperti Musashi
memperlakukannya" Yaitu terang-terangan mau memaksakan cinta kepadanya" Dan kenapa pula
ia menolak Musashi demikian keras" Kedukaan dan kebingungannya sekarang lebih
menyakitkan dibandingkan penyakit yang baru saja dideritanya. Pancaran cinta yang
bertahun-tahun menghibur hatinya tiba-tiba berubah menjadi air terjun yang mengamuk.
Kenangan air terjun menggema di telinganya, bersamaan dengan teriakan dukanya sendiri
dan protes marah Musashi.
Ia bertanya pada dirinya, apakah mereka akan terus seperti ini selamanya, tak pernah
saling memahami. Tetapi yang lebih tidak logis adalah kenapa sekarang ia membuntuti
Musashi dan berusaha untuk tidak kehilangan. Sekalipun rasa malu membuat mereka
berjalan terpisah dan jarang berbicara, Musashi tidak memperlihatkan tanda-tanda
melanggar janji untuk pergi bersama ke Edo.
Di Kozenji, mereka membelok ke jalan lain. Di puncak bukit pertama terdapat pintu
rintangan. Otsu sudah mendengar bahwa semenjak Pertempuran Sekigahara, di jalan ini
pejabat pemerintah memeriksa para musafir, terutama perempuan, dengan sangat teliti.
Tetapi surat pengantar dari Yang Dipertuan Karasumaru itu sangat membantu, dan mereka
bisa melewati tempat pemeriksaan tanpa kesulitan.
Ketika mereka sampai di warung teh terakhir, di ujung pintu rintangan, Jotaro bertanya,
"Kak, apa artinya 'Fugen'?"
"Fugen?" "Ya. Di sana tadi, di depan warung teh, seorang pendeta menuding Kakak dan bilang Kakak
'tampak seperti Fugen naik lembu'. Apa itu artinya?"
"Kukira yang dimaksudnya sang Bodhisatwa Fugen."
"Tapi itu Bodhisatwa yang naik gajah, kan" Kalau begitu, aku ini sang Bodhisatwa Monju.
Mereka berdua selalu bersama-sama."
"Monju yang sangat rakus!"
"Tapi cukup baik buat Fugen yang cengeng!"
"Oh, begitu kamu, ya?"
"Kenapa Fugen dan Monju itu selalu bersama-sama" Mereka bukan lelaki dan perempuan."
Sengaja atau tidak, ucapan Jotaro mengena lagi. Karena sudah banyak mendengar tentang
hal-hal itu selagi tinggal di Shippoji, sebetulnya Otsu dapat menjawab pertanyaan itu
secara terperinci, tapi ia hanya menjawab, "Monju mewakili kebijaksanaan, sedangkan
Fugen kesetiaan." "Berhenti!" Suara itu suara Matahachi, dan datangnya dari belakang mereka.
Karena sudah muak memberontak, Otsu hanya berpikir, "Si pengecut!" Ia menoleh dan
menatap Matahachi tak acuh.
Matahachi menatap balik. Perasaannya lebih kacau-balau daripada kapan pun. Waktu di
Nakatsugawa yang dirasakannya cuma cemburu, tapi kemudian ia terus memata-matai Musashi
dan Otsu. Ketika melihat Musashi dan Otsu berpisah, ia tafsirkan itu sebagai usaha
untuk menipu orang banyak, dan ia membayangkan segala macam skandal pada waktu mereka
hanya berdua saja. "Turun!" perintahnya.
Otsu menatap kepala lembu, tak dapat bicara. Perasaannya terhadap Matahachi sudah


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantap berubah menjadi dendam dan benci.
"Ayo, turun, perempuan!"
Walaupun terbakar oleh perasaan berang, Otsu menjawab dingin, "Kenapa" Aku tak ada
urusan denganmu." "Begitu, ya?" geram Matahachi mengancam, sambil memegang lengan kimono Otsu. "Boleh
saja kau tak ada urusan denganku, tapi aku ada urusan denganmu. Turun!"
Jotaro melepaskan tali dan berteriak, "Biarkan dia! Kalau dia tak ingin turun, kenapa
mesti turun?" Ditumbuknya dada Matahachi dengan tinjunya.
"Kaukira apa perbuatanmu itu, bajingan cilik?" Matahachi kehilangan keseimbangan. Ia
memasukkan kembali kakinya ke sandal, dan angkat bahu dengan sikap mengancam. "Kalau
tak salah, aku sudah pernah melihat mukamu yang jelek ini. Kau gelandangan dari warung
sake di Kitano itu, kan?"
"Ya, dan sekarang aku tahu, kenapa kau menghabiskan hidupmu dengan minum. Kau tinggal
bersama perempuan jalang tua, dan kau tak punya nyali menghadapinya. Benar begitu?"
Itulah titik paling lemah yang dapat diserang Jotaro.
"Orang kerdil ingusan!" Matahachi mencoba merenggut kerahnya, tapi Jotaro merunduk dan
muncul di sisi lain lembu.
"Kalau aku orang kerdil ingusan, kau apa" Orang bebal ingusan! Takut sama perempuan!"
Matahachi mengejar menikungi lembu, tapi sekali lagi Jotaro menyelinap ke bawah perut
binatang itu, dan muncul di sisi lain. Hal itu terjadi tiga atau empat kali, tapi
akhirnya Matahachi berhasil mengunci kerah anak itu.
"Baik, ucapkan sekali lagi!"
"Orang bebal ingusan! Takut perempuan!"
Pedang kayu Jotaro baru setengah ditarik, Matahachi sudah berhasil menguasai Jotaro dan
melemparkannya dari jalan, ke tengah rumpun bambu. Jotaro jatuh telentang di sebuah
sungai kecil, kaget, dan hampir hilang kesadaran.
Dan ketika sudah cukup sadar untuk merayap seperti belut kembali ke jalan, ia
terlambat. Lembu itu berlari berat menyusuri jalan. Otsu masih ada di punggungnya, dan
Matahachi berlari di depan, memegang talinya.
"Bajingan!" rintih Jotaro, karena tak berdaya. Terlampau pusing untuk bangkit, ia
berbaring saja, mengomel dan memaki.
Musashi sedang mengistirahatkan kakinya di sebuah bukit, sekitar satu mil di depan.
Iseng-iseng ia bertanya pada diri sendiri, apakah awan-awan itu bergerak, ataukah hanya
tergantung antara Gunung Koma dan bukitbukit lebar di kaki gunung, seperti
kelihatannya. Seakan-akan ada komunikasi tanpa kata, ia mengguncangkan badan dan meluruskannya.
Pikirannya memang tertuju pada Otsu. Semakin memikirkannya, semakin ia marah. Baik
perasaan malu maupun kesal telah sirna dalam lembah yang berputar-putar di bawah air
terjun itu, tapi bersamaan dengan berlalunya waktu, keraguan itu berulang-ulang datang.
Jahatkah kalau ia mengungkapkan dirinya pada Otsu" Kenapa Otsu menampiknya dan
menjauhkan diri darinya, seolah-olah membencinya"
"Tinggalkan saja dia!" katanya keras. Namun ia tahu, dengan demikian ia hanya menipu
diri sendiri. Ia sudah mengatakan pada Otsu bahwa apabila mereka sampai Edo, Otsu dapat
belajar apa yang terbaik baginya, sedangkan ia akan menempuh jalannya sendiri. Tersirat
dalam hal itu janji untuk masa depan yang lebih jauh. Ia meninggalkan Kyoto bersama
Otsu. Ia punya tanggung jawab untuk tinggal bersamanya.
"Apa yang akan terjadi denganku" Apa yang akan terjadi dengan pedangku, kalau kami
berdua?" Ia melayangkan matanya ke gunung dan menggigit lidahnya, malu akan
kekerdilannya. Memandang puncak yang agung itu membuat ia merasa rendah diri. Ia heran,
apa yang mungkin menghambat Otsu dan Jotaro. Ia berdiri. Hutan dapat dilihat sampai
sejauh satu mil ke belakang, tapi tak ada orang di sana.
"Mungkinkah mereka terhambat di perbatasan?"
Matahari akan segera terbenam, mestinya sudah sejak tadi mereka menyusulnya.
Tiba-tiba ia merasa kuatir. Tentu ada yang telah terjadi. Dan sebelum ia sadar, ia
sudah menerobos turun bukit demikian cepat, hingga binatangbinatang di ladang
bertemperasan lari ke segala jurusan.
*** 55. Prajurit Kiso BELUM lagi jauh Musashi berlari, seorang musafir sudah berseru kepadanya, "Apa tadi
Anda tidak bersama seorang perempuan muda dan anak laki-1aki?"
Musashi berhenti seketika. "Ya," katanya terenyak.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
Agaknya dialah satu-satunya orang yang belum mendengar cerita yang dengan cepat menjadi
desas-desus umum sepanjang jalan raya itu. Seorang pemuda mendekati gadis itu dan...
menculiknya! Pemuda itu terlihat mencambuki lembu dan membawanya masuk ke sebuah jalan
samping di dekat perbatasan. Belum sempat musafir itu selesai mengulang ceritanya.
Musashi sudah berangkat. Dengan kecepatan setinggi-tingginya, ia masih membutuhkan waktu sejam untuk dapat
sampai perbatasan yang ditutup pada pukul enam. Bersama tutupnya pintu itu, tutup juga
warung-warung teh di kedua sisi jalan. Dengan wajah agak kalut, Musashi mendekati
seorang lelaki tua yang sedang menumpuk bangku-bangku di depan warungnya.
"Ada apa, Pak" Ada yang terlupa?"
"Tidak. Saya mencari seorang perempuan muda dan anak lelaki yang beberapa waktu lalu
lewat tempat ini." "Apa gadis yang kelihatan seperti Fugen naik lembu itu?"
"Itu dia!" jawab Musashi tanpa berpikir. "Ada yang bilang, seorang ronin membawanya
pergi. Barangkali Anda tahu ke mana perginya?"
"Saya tidak melihat sendiri peristiwa itu, tapi saya dengar mereka meninggalkan jalan
utama dekat bukit kuburan-kepala. Artinya menuju Empang Nobu."
Musashi sungguh tak mengerti, siapa yang menculik Otsu, dan kenapa" Nama Matahachi tak
pernah masuk dalam pikirannya. Menurut bayangannya, tentunya orang itu ronin gombal,
seperti beberapa yang ia jumpai di Nara. Atau barangkali seorang dari bromocorah yang
kata orang biasa berkeliaran di hutan sekitar tempat itu. Ia berharap penculik itu
sekadar orang brengsek kecil-kecilan, bukan penjahat yang memang usahanya menculik dan
menjual perempuan dan kadang-kadang dikenal kejam.
Ia berlari terus mencari Empang Nobu. Sesudah matahari terbenam, ia hampir tak dapat
melihat jarak satu kaki ke depan, sekalipun bintang-bintang terang di atas. Jalan mulai
mendaki. Ia simpulkan sedang memasuki perbukitan bawah Gunung Koma.
Karena tak melihat apa pun yang menyerupai empang, dan karena takut salah jalan, ia
berhenti dan menoleh ke sekitar. Di tengah lautan kegelapan yang luas itu, ia dapat
melihat sebuah rumah pertanian yang berdiri sendirian, juga deretan pohon penahan
angin, dan gunung yang membayang gelap di atasnya.
Ketika ia dekati, kelihatan rumah itu besar dan kokoh, walaupun rumput liar tumbuh di
atas atap lalangnya, dan atap lalang itu sendiri mulai membusuk. Di luar terlihat
cahaya entah obor atau api dan di dekat dapur terlihat lembu belang. Ia yakin itulah
binatang yang tadi dinaiki Otsu.
Ia mendekat mengendap-endap, dan berusaha terus bersembunyi dalam bayangan. Ketika
sudah cukup dekat untuk melihat ke dalam dapur, ia dengar suara keras lelaki yang
berasal dari lumbung di sebelah sana timbunan jerami dan kayu bakar.
"Simpan pekerjaanmu itu, Bu," kata orang itu. "Ibu selalu mengeluh penglihatan kurang
baik, tapi Ibu terus bekerja dalam gelap."
Di kamar perapian sebelah dapur ada api, dan Musashi mengira mendengar desir roda
pintal. Sesaat kemudian bunyi itu berhenti, dan ia dengar orang berjalan ke sana
kemari. Lelaki itu keluar dari lumbung dan menutup pintu di belakangnya. "Saya akan kembali
sesudah mencuci kaki," serunya. "Ibu bisa menyiapkan makan malam."
Ia meletakkan sandalnya di atas batu, di tepi kali yang mengalir di belakang dapur.
Sementara ia duduk memainkan kakinya di air, lembu itu mendekatkan kepala ke bahunya
dan ia membelai hidung lembu itu.
"Ibu," panggilnya, "coba ke sini sebentar. Hari ini aku menemukan barang bagus. Coba
tebak" ... Lembu! Lembu yang betul-betul bagus."
Diam-diam Musashi melintasi pintu depan rumah. Sambil merunduk pada batu di bawah
jendela samping, ia melihat ke dalam ruangan yang ternyata kamar perapian. Barang
pertama yang dilihatnya adalah sebatang lembing yang tergantung pada rak yang menghitam
dekat bagian atas dinding. Sebuah senjata bagus yang dipoles dan dirawat dengan penuh
kecintaan. Keping-keping emas berkilau redup pada kulit sarungnya. Musashi tak tahu
untuk apa barang itu. Lembing itu bukan barang yang biasa ada dalam rumah petani. Para
petani dilarang memiliki senjata, sekalipun mereka bisa memilikinya.
Orang itu muncul sebentar dalam terang api luar. Sepintas kilas Musashi tahu ia bukan
petani biasa. Matanya terlampau terang, terlampau waspada. Ia mengenakan kimono kerja
setinggi lutut dan pembalut kaki yang terpercik lumpur. Wajahnya bulat dan rambutnya
yang lebat diikat di belakang dengan dua-tiga potong jerami. Walaupun tubuhnya pendek,
tak lebih dari 165 cm, dadanya tebal dan badannya pejal. Kalau ia berjalan, langkahnya
pasti dan mantap. Asap mulai keluar dari jendela. Musashi mengangkat lengan kimono untuk menutup mukanya,
tapi terlambat. Ia hirup asap itu sepenuh paruparunya, dan tak bisa lagi menghindari
batuk. "Siapa itu?" seru perempuan tua itu dari dapur. Ia masuk kamar perapian, dan katanya,
"Gonnosuke, apa lumbung sudah kaututup" Ada pencuri jewawut di sini. Aku dengar
batuknya." Musashi menyelinap meninggalkan jendela dan menyembunyikan diri di antara pohon-pohon
pelindung. "Di mana?" teriak Gonnosuke, bergegas dari belakang rumah.
Perempuan tua itu muncul di jendela kecil. "Kira-kira di sini. Aku dengar tadi
batuknya." "Apa bukan karena telingamu?"
"Pendengaranku masih baik! Dan aku yakin melihat wajahnya di jendela. Asap api itu yang
bikin dia batuk." Pelan-pelan dan penuh curiga, Gonnosuke maju lima belas atau dua puluh langkah, sambil
melihat hati-hati ke kanan dan ke kiri, seakan-akan ia seorang penjaga yang mengawal
sebuah benteng. "Barangkali Ibu benar," katanya. "Aku seperti mencium bau manusia."
Mengambil isyarat dari pandangan Gonnosuke, Musashi menunggu kesempatan yang baik. Ada
yang tampak mencolok pada postur orang itu, hal yang menyatakan bahwa sebaiknya ia
berhati-hati. Tubuh orang itu tampak agak mencondong ke depan, mulai dari pinggangnya.
Musashi tak dapat memastikan senjata apa yang dibawanya, tapi ketika ia menoleh,
Musashi melihat orang itu memegang tongkat semeter di belakang punggungnya. Senjata itu
bukan galah biasa. Melihat kilaunya, senjata itu telah banyak dipakai, dan rupanya
telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh orang itu. Tak ada keraguan dalam
pikiran Musashi bahwa orang itu hidup dengan senjatanya hari demi hari, dan tahu dengan
tepat bagaimana menggunakannya.
Musashi memperlihatkan diri, berteriak, "Hei, tak peduli siapa kau, tapi aku datang
menjemput teman-temanku!"
Gonnosuke menatapnya tanpa mengatakan sesuatu.
"Kembalikan padaku perempuan dan anak lelaki yang kauculik di jalan raya itu! Kalau
mereka tidak cedera, kita hentikan persoalan sampai di sini Tapi kalau cedera, kau yang
bertanggung jawab." Salju yang mencair memenuhi kali-kali di daerah itu menyebabkan angin menusuk dingin,
yang entah bagaimana menambah ketenangan waktu itu.
"Kembalikan mereka padaku. Sekarang!" Suara Musashi lebih tajam daripada tusukan angin.
Gonnosuke memegang tongkatnya dengan cara yang dinamakan pegangan terbalik. Rambutnya
tegak seperti bulu landak. Ia pun menegakkan diri dan pekiknya, "Bedebah kau! Siapa
yang kausebut penculik itu?"
"Kau! Kau tentu melihat anak lelaki dan perempuan itu tak ada pelindungnya, karena itu
kau culik mereka dan kau bawa kemari. Keluarkan mereka!"
Tongkat itu menghilang dari sisi Gonnosuke dalam gerakan demikian cepat, hingga Musashi
tak dapat melihat di mana akhir tangan orang itu, dan di mana awal senjatanya.
Musashi melompat ke samping. "Jangan lakukan perbuatan yang akan membuatmu menyesal!"
katanya memperingatkan, kemudian mundur beberapa langkah.
"Kaupikir siapa kau ini, bajingan gila?" Sambil meludahkan jawabannya, Gonnosuke cepat
beraksi lagi, dengan tekad tidak memberikan istirahat sedikit pun pada Musashi. Ketika
Musashi beranjak sepuluh langkah, ia serentak menutup jarak itu.
Dua kali Musashi mulai menggerakkan tangan kanannya ke gagang pedangnya, tapi dua kali
juga ia berhenti di tengah jalan. Pada detik ia meraba pedangnya, sikunya pasti
terbuka. Musashi telah melihat cepatnya gerak tongkat Gonnosuke, dan ia tahu ia takkan
sempat menyelesaikan gerakan itu. Ia pun melihat, jika ia membiarkan dirinya menganggap
enteng lawannya yang pejal itu, ia akan mengalami kesulitan. Dan kalau ia tidak tinggal
tenang, mengambil napas saja pun dapat membahayakannya.
Musashi harus mengukur kekuatan musuhnya, yang waktu itu menunjukkan jurus indah dengan
kaki dan tubuhnya, jurus jenis Sempurna Tak-Terpatahkan. Musashi sudah mulai merasa
bahwa petani ini memiliki teknik lebih unggul daripada teknik pemain pedang ahli mana
pun yang pernah dijumpainya, dan pandangan matanya menunjukkan bahwa ia menguasai pula
Jalan yang selama itu terus dicari Musashi.
Tapi hanya sedikit waktu yang dipunyainya untuk menaksir. Pukulan demi pukulan
dijatuhkan hanya dalam hitungan detik, sementara kata-kata kutukan mencurah dari mulut
Gonnosuke. Kadang-kadang ia menggunakan kedua tangannya, kadang-kadang hanya satu,
dalam melakukan pukulan atas kepala, pukulan samping, tusukan dan geseran, dan semua
itu dilakukan dengan kecekatan luar biasa. Sebilah pedang jelas terbagi atas mata dan
gagangnya, dan hanya punya satu ujung, tapi kedua ujung tongkat dapat dipergunakan
secara sama-sama mematikan. Gonnosuke menggunakan tongkat itu sama cekatannya dengan
seorang pembuat gula-gula menangani gula-gula. Sekali panjang, sekali pendek, sekali
tak tampak, sekali tinggi, dan sekali rendah. Ia kelihatan ada di mana-mana sekaligus.
Dari jendela, perempuan tua itu mendesak anaknya untuk berhati-hati.
"Gonnosuke! Kelihatannya dia bukan samurai biasa!" Tampak perempuan itu ikut terlibat
dalam perkelahian anaknya.
"Jangan kuatir!" Karena tahu ibunya memperhatikan, semangat juang Gonnosuke naik
setinggi-tingginya. Saat itu juga Musashi menghindari hantaman ke arah bahunya, dan dengan gerakan yang
sama, menyerobot ke arah Gonnosuke dan menangkap pergelangannya. Detik berikutnya
petani itu sudah telentang, kakinya menendang-nendang ke udara.
"Tunggu!" pekik si ibu, heboh, sambil merusak kisi-kisi jendela. Rambutnya tegak, ia
seperti disambar petir melihat anaknya dijatuhkan.
Pandangan liar pada wajah ibu itu menyebabkan Musashi tidak mengambil langkah logis
berikutnya, yaitu melecutkan pedangnya dan menghabisi Gonnosuke. "Baik, aku akan
menunggu," teriaknya mengangkangi dada Gonnosuke dan menjepitnya ke tanah.
Gonnosuke berjuang dengan gagah berani untuk membebaskan diri. Kakinya yang tidak
dikuasai Musashi terbang ke udara, kemudian menubruk bumi ketika ia melengkungkan
punggungnya. Hanya itu yang dapat dilakukan Musashi, supaya Gonnosuke tetap di bawah.
Si ibu datang berlari dari pintu dapur sambil menjerit mencaci maki. "Lihat dirimu itu!
Bagaimana mungkin kau jadi macam itu?" Tapi kemudian ia menambahkan, "Jangan menyerah.
Aku di sini membantumu."
Karena tadi ia minta Musashi menunggu, Musashi mengira perempuan itu akan berlutut dan
mohon padanya agar tidak membunuh anaknya. Tapi sekali tatap, ia tahu bahwa ia salah
besar. Perempuan itu memegang lembing yang sudah terhunus di belakang badannya. Musashi
melihat kilaunya, dan ia merasa mata perempuan itu menyala menembus punggungnya. "Mau
pakai lemparan tipuan, ya" Kaupikir kami cuma petani bodoh?"
Musashi tak dapat membalik untuk menangkis serangan dari belakang. karena Gonnosuke
terus menggeliat dan mencoba memaksa Musashi berada pada kedudukan yang menguntungkan
ibunya. "Jangan kuatir, Bu!" katanya. "Akan kuusahakan. Dan jangan terlalu dekat."
"Tenang," kata ibunya mengingatkan. "Kau tak boleh kalah dengan orang macam dia! Ingat
nenek moyangmu! Apa yang terjadi dengan darah yang kauwarisi dari Kakumyo Agung, yang
berjuang berdampingan dengan Jenderal Kiso?"
"Aku takkan lupa!" pekik Gonnosuke. Baru saja kata-kata itu keluar dari mulutnya, ia
berhasil mengangkat kepalanya dan membenamkan giginya ke paha Musashi, dan bersamaan
dengan itu melepaskan tongkatnya dan memukul Musashi dengan kedua tangannya. Ibunya
memilih saat itu untuk menujukan lembingnya ke punggung Musashi.
"Tunggu!" teriak Musashi.
Kini sampailah mereka pada tahap di mana pemecahan persoalan hanya mungkin dicapai
dengan kematian salah seorang dari mereka. Sekiranya Musashi yakin benar bahwa dengan
memperoleh kemenangan ia dapat membebaskan Otsu dan Jotaro, ia akan menekan terus.
Sekaranglah saat terbaik baginya untuk menghentikan pertempuran dan membicarakan
persoalannya. Ia memutar bahu ke arah perempuan tua itu dan memintanya menurunkan
lembing. "Apa yang mesti kulakukan, Nak?"
Gonnosuke masih terpaku di tanah, tapi ia mulai berpikir kembali. Barangkali ronin ini
punya alasan untuk menduga bahwa teman-temannya ada di sini. Tak ada gunanya
membahayakan jiwa, kalau hanya karena salah paham.
Mereka saling melepaskan cengkeraman, dan dalam beberapa menit saja menjadi jelas,
bahwa semua itu cuma kesalahan.
Ketiga orang itu mengundurkan diri ke rumah, ke depan api yang menyala-nyala. Sambil
berlutut di dekat perapian, si ibu berkata, "Berbahaya sekali! Bayangkan, tak ada
alasan sama sekali buat berkelahi!"
Ketika Gonnosuke bersiap duduk di samping ibunya, si ibu menggelengkan kepala. "Sebelum
kau duduk," kata ibunya, "bawa samurai ini melihat-lihat rumah, supaya dia membuktikan
sendiri, teman-temannya tak ada di sini." Kemudian kepada Musashi, "Lihatlah baik-baik,
dan saksikan sendiri."
"Gagasan bagus juga," kata Gonnosuke setuju. "Mari ikut saya. Periksa rumah ini dari
atas sampai bawah. Saya tak suka dicurigai menculik."
Musashi sudah duduk, dan ia menolak tawaran itu.
"Tak perlu. Dari cerita Anda, saya sudah yakin Anda tak ada hubungan dengan penculikan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Maafkan saya telah menuduh Anda."
"Sebagian juga kesalahan saya," kata Gonnosuke meminta maaf. "Mestinya saya tanyakan
dulu, apa yang Anda bicarakan itu, sebelum naik darah."
Kemudian Musashi bertanya agak ragu-ragu tentang lembu itu. Ia juga menjelaskan bahwa
ia yakin benar lembu itulah yang disewanya di Seta.
"Saya kebetulan sekali menemukan lembu itu," jawab Gonnosuke. "Petang tadi, saya ada di
Empang Nobu, menjaring ikan lumpur, dan dalam perjalanan pulang saya lihat lembu itu
terbenam sebelah kakinya di lumpur. Tempat itu memang berawa-rawa. Makin dia meronta,
makin dalam dia terbenam. Dia heboh bukan main, jadi saya tarik dia keluar. Ketika saya
tanya-tanyakan ke sekitar, ternyata lembu itu bukan milik siapa-siapa, jadi saya pikir
tentunya seorang pencuri sudah mencurinya dan kemudian menelantarkannya.
"Nilai lembu itu sekitar setengah manusia di pertanian, dan lembu ini lembu baik,
susunya masih muda." Gonnosuke tertawa. "Padahal saya sudah mengambil kesimpulan,
tentunya langit mengirim lembu itu untuk saya, karena saya miskin dan tak dapat
melakukan apa pun buat ibu saya tanpa sedikit bantuan tangan gaib. Saya tidak keberatan
mengembalikan binatang itu kepada pemiliknya, tapi saya tak tahu siapa pemiliknya."
Musashi melihat bahwa Gonnosuke menyampaikan ceritanya dengan ketulusan yang sederhana,
seperti biasa ditunjukkan orang yang dilahirkan dan dibesarkan di desa.
Ibunya menunjukkan sikap simpatik. "Aku yakin ronin ini prihatin dengan nasib temantemannya." katanya. "Makan malamlah dulu, kemudian bawa dia mencarinya. Kuharap mereka
masih di daerah empang itu. Bukit-bukit itu bukan tempat yang tepat buat orang dari
daerah lain. Penuh dengan bandit, pencuri segala macam barang, kuda, sayuran, apa saja!
Soal ini kelihatannya kerja mereka juga!"
Angin berembus bagai bisikan, kemudian mengencang menjadi siulan keras, dan akhirnya
meraung di antara pepohonan, mendatangkan kebinasaan pada tumbuh-tumbuhan kecil.
Ketika angin meneduh dan bintang-bintang di langit diam mengancam, Gonnosuke mengangkat
obornya tinggi-tinggi, menanti Musashi menyusulnya.
"Sayang," katanya, "tapi rupanya tak ada yang tahu tentang mereka. Tinggal satu rumah
lagi dari tempat ini sampai empang. Tempatnya di belakang hutan di sana itu.
Penghuninya pada pokoknya bertani, dan selebihnya berburu. Kalau dia tak dapat menolong
kita, tak ada lagi tempat yang dapat kita lihat."
"Terima kasih atas kesediaan ikut bersusah-payah. Kita sudah menengok lebih dari
sepuluh rumah, jadi saya kira tak banyak harapan bahwa mereka ada di sekitar daerah
ini. Kalau di rumah berikut ini tidak kita temukan apa-apa, kita akhiri saja, dan kita
pulang." Waktu itu lewat tengah malam. Musashi berharap setidaknya dapat menemukan jejak Jotaro,
tapi ternyata tak seorang pun melihatnya. Sementara itu, gambaran yang diberikannya
pada orang banyak tentang Otsu tidak mendatangkan apa-apa, kecuali pandangan kosong dan
perhentian-perhentian lama di desa.
"Kalau jalan yang Anda pikirkan, tidak jadi soal buat saya. Saya dapat berjalan
sepanjang malam. Apa perempuan dan anak lelaki itu pembantu Anda" Atau saudara lelaki"
Atau saudara perempuan?"
"Mereka orang yang paling dekat dengan saya."
Sebetulnya masing-masing pihak masih ingin bertanya lebih banyak: tentang yang lain,
tapi Gonnosuke terdiam, kemudian maju selangkah-dua langkah mendahului dan memimpin
Musashi menyusuri jalan setapak menuju Empang Nobu.
Musashi ingin sekali tahu tentang keterampilan Gonnsuke memainkan tongkat dan cara ia
memperolehnya, tapi rasa kesopanan mencegahnya bertanya. Ia merasa pertemuannya dengan
orang itu akibat kecelakaan dan kecerobohannya sendiri, namun ia merasa sangat
bersyukur. Sungguh sayang kalau ia tidak menyaksikan teknik memikat petarung besar ini.
Gonnosuke berhenti, katanya, "Lebih baik Anda tunggu di sini. Orang-orang itu
barangkali tidur, dan kita tidak ingin mereka jadi takut. Saya pergi sendiri, melihat
apa ada yang dapat saya ketahui."
Ia menuding rumah yang atap lalangnya tampak seperti hampir terkubur di tengah
pepohonan. Langkah-langkah larinya diiringi gemeresik pohon bambu. Tak lama kemudian,
Musashi mendengarnya mengetuk keras pintu rumah itu.
Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa cerita yang memberikan Musashi petunjuk
nyata pertama. Ia butuh waktu beberapa lama untuk memberikan pengertian pada suamiistri di rumah itu tentang apa yang ditanyakannya, tapi akhirnya sang istri bercerita
kepadanya tentang peristiwa yang terjadi sore itu.
Sesaat sebelum matahari tenggelam, dalam perjalanan pulang berbelanja, perempuan itu
melihat seorang anak lelaki berlari menuju Yabuhara dengan tangan dan kaki kotor oleh
lumpur. Anak itu membawa pedang kayu panjang dalam obi-nya. Ia hentikan anak itu dan
bertanya apa yang terjadi, tapi anak itu balas bertanya kepadanya, di mana kantor wakil
shogun. Selanjut nya anak itu mengatakan bahwa seorang jahat telah melarikan teman
seperjalanannya. Kepada anak itu, perempuan tersebut menyatakan bahwa ia cuma membuangbuang waktu, karena perwira-perwira shogun takkan melakukan pencarian atas orang yang
tidak penting. Jika yang dicari itu orang besar atau penting, atau ada perintah dari
atasan, baru mereka akan meneliti setiap gumpal tahi kuda dan setiap butir pasir yang
ada. Bagi mereka, rakyat biasa bukan apa-apa. Bagaimanapun, bukan hal luar biasa kalau
seorang perempuan diculik atau seorang musafir dihadang oleh para penyamun. Hal-hal
seperti itu terjadi pagi, siang, maupun malam.
Ia suruh anak itu pergi lewat Yabuhara, ke tempat bernama Narai. Di sebuah persimpangan
jalan yang mudah terlihat di sana, ia akan menemukan rumah seorang pedagang ramuan
bumbu masak. Pedagang itu bernama Daizo. Ia akan mau mendengarkan ceritanya, dan
kemungkinan sekali akan memberikan bantuan kepadanya. Tidak seperti para pejabat, Daizo
tidak hanya bersimpati kepada orang lemah, melainkan juga akan berusaha keras membantu
mereka, jika menurut pendapatnya persoalan mereka itu ada nilainya.
Gonnosuke mengakhiri ceritanya dengan mengatakan, "Rasanya anak yang dimaksudnya itu
Jotaro. Bagaimana pendapat Anda?"
"Saya yakin," kata Musashi. "Saya kira yang terbaik adalah pergi ke Narai secepatcepatnya dan menjumpai orang yang namanya Daizo itu. Berkat bantuan Anda, setidaknya
saya sudah mendapat gagasan, apa yang mesti saya perbuat."
"Bagaimana kalau Anda menghabiskan sisa malam ini di rumah saya" Anda dapat berangkat
pagi hari, sesudah sarapan."
"Boleh?" "Tentu. Kalau kita menyeberang Empang Nobu, kita dapat sampai di rumah lebih cepat dari
separuh waktu yang kita butuhkan untuk kemari. Saya sudah minta pada orang tadi, dan
dia bilang kita dapat menggunakan perahunya."
Empang yang terletak di ujung jalan pendek yang menuruni bukit itu tampak seperti kulit
genderang raksasa. Empang itu dilingkungi pohonpohon liu lembayung, dan garis tengahnya
kira-kira seribu dua ratus atau tiga ratus meter. Bayangan gelap Gunung Koma tercermin
di airnya. termasuk langit penuh bintang.
Mereka meluncur tenang melintas tengah empang itu. Musashi memegang obor dan Gonnosuke
memainkan galah. Pantulan obor di air yang lembut jauh lebih merah daripada obornya
sendiri. *** 56. Taring Berbisa DARI kejauhan, obor dan pantulannya itu menggambarkan sepasang burung api yang sedang
berenang menyeberangi permukaan Empang Nobu yang tenteram.
"Ada orang datang!" bisik Matahachi. "Baik, kalau begitu kita jalan sini," katanya
sambil menarik tali yang dipakainya mengikat Otsu. "Ayo!"
"Aku takkan pergi ke mana-mana," protes Otsu sambil membenamkan tumitnya.
"Bangun!" Dengan ujung tali itu Matahachi mencambuk punggung Otsu, berkali-kali. Tetapi setiap
cambukan yang dijatuhkannya hanya meningkatkan perlawanan Otsu.
Matahachi jadi putus asa. "Ayolah!" mohonnya. "Ayolah jalan."
Ketika Otsu masih juga menolak berdiri, kemarahan Matahachi menyala lagi, dan
ditangkapnya kerah Otsu. "Kau harus jalan, mau atau tidak?"
Otsu mencoba menoleh ke empang dan menjerit, tapi Matahachi cepat menyumbat mulutnya
dengan saputangan. Akhirnya ia berhasil menyeret Otsu ke sebuah kuil kecil yang
tersembunyi di antara pohon-pohon liu.
Otsu ingin sekali tangannya lepas, agar dapat menyerang penculiknya. Terpikir olehnya,
alangkah senang kalau ia dapat berubah menjadi ular, seperti yang dilihatnya terlukis
pada sebuah piagam. Ular itu melilit pada sebuah batang pohon liu, mendesis pada
seorang lelaki yang sedang mengutuknya.
"Untung sekali ini." Sambil mendesah lega, Matahachi mendorong Otsu masuk kuil, dan ia
sendiri menyandarkan badan ke bagian luar pintunya yang berjeruji. Diperhatikannya
benar-benar perahu kecil yang meluncur masuk teluk kecil sekitar empat ratus meter dari
situ. Hari itu sungguh menghabiskan tenaganya. Ketika ia mencoba menggunakan kekasaran untuk
menguasai Otsu, Otsu menyatakan lebih baik mati daripada menyerah. Gadis itu bahkan
mengancam akan menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Matahachi kenal betul Otsu,
maka ia mengerti bahwa ancaman itu bukan ancaman kosong. Kekecewaan yang dialaminya
hampir saja menyebabkan ia membunuh, tetapi pikiran untuk berbuat demikian akhirnya
mengurangi kekuatannya dan mendinginkan nafsunya.
Tak dapat ia menduga, kenapa Otsu mencintai Musashi dan bukan dirinya padahal lama
sebelumnya yang terjadi adalah sebaliknya. Tidakkah para wanita lebih menyukainya
daripada teman lamanya itu" Tidakkah demikian yang dulu selalu terjadi" Tidakkah Oko
segera saja tertarik kepadanya ketika untuk pertama kali mereka menjumpai perempuan
itu" Ya, itulah yang terjadi. Hanya ada satu penjelasan yang mungkin: Musashi
memfitnahnya di belakang punggungnya. Sambil membayang-bayangkan pengkhianatan Musashi
itu, Matahachi membakar-bakar kemarahannya sendiri.
"Sungguh aku keledai bodoh yang mudah tertipu! Bagaimana mungkin kubiarkan dia
memperolok-olok diriku" Padahal sampai bercucuran air mata aku mendengarkan dia bicara
tentang persahabatan abadi, dan tentang bagaimana dia menjunjung tinggi persahabatan
itu! Ha!" Ia mencela dirinya karena mengabaikan peringatan Kojiro yang kini terngiang-ngiang di
telinganya. "Kalau kau percaya pada si bangsat Musashi itu, kau pasti menyesal."
Sampai hari itu, ia masih terombang-ambing antara suka dan tidak suka kepada teman masa
kecilnya itu, tapi sekarang ia sudah jijik pada Musashi. Sekalipun tak dapat memaksa
diri untuk mengucapkannya, namun sumpah serapah berisi kutukan abadi untuk Musashi
sudah terbentuk di dalam hatinya.
Yakinlah ia bahwa Musashi adalah musuhnya, yang dilahirkan untuk setiap kali
menghalanginya, dan akhirnya menghancurkannya. "Si munafik brengsek!" pikirnya. "Dia
temui aku sesudah demikian lama berpisah, dan mulai berkhotbah menyuruhku membangkitkan
semangat, dan mengatakan sejak sekarang kita akan bergandengan tangan sebagai teman
seumur hidup. Aku ingat setiap patah katanya, dan caranya mengatakan semua itu dengan
sikap demikian tulus. Kalau dipikir, sungguh aku muak. Barangkali dia tertawa terus
sendiri sepanjang waktu ini.
"Yang dinamakan orang baik di dunia ini sesungguhnya orang-orang lancung macam
Musashi," demikian ia meyakinkan dirinya kembali. "Sekarang aku dapat melihat mereka.
Tak bisa lagi mereka menipuku. Mempelajari buku-buku konyol dan mencoba menahankan
segala macam cobaan. hanya untuk menjadi munafik, itu sungguh omong kosong! Dari
sekarang bolehlah mereka mengatakan apa saja padaku. Sekalipun terpaksa menjadi
penjahat, entah dengan cara bagaimana aku harus menghentikan bajingan itu memasyhurkan
namanya. Untuk selanjutnya, aku akan menghalangi jalannya!'
Ia membalikkan badan dan menendang pintu berjeruji itu, kemudian dilepasnya sumbatan
Otsu, dan tanyanya, "Masih nangis, ya?"
Otsu tidak menjawab. "Jawab! Jawab pertanyaanku."
Marah karena Otsu diam saja, ditendangnya sosok tubuh gelap di lantai itu. Otsu
menjauhkan diri, katanya, "Tak ada yang mau kukatakan padamu. Kalau kau mau membunuhku,
lakukan seperti lelaki."
"Jangan bicara macam orang tolol! Aku sudah mantap sekarang. Kau dan Musashi yang
menghancurkan hidupku, dan aku bermaksud mengambil tindakan yang setimpal, tak peduli
berapa lama waktunya."
"Omong kosong. Tak ada yang membuatmu sesat, kecuali dirimu sendiri. Memang, mungkin
saja kau mendapat sedikit pengaruh buruk dari perempuan bernama Oko itu."
"Jaga omonganmu!"
"Bayangkan dirimu dan ibumu itu! Apa sebenarnya yang terjadi dengan keluargamu" Kenapa
kalian selalu berkeliling membenci orang lain?"
"Terlalu banyak bicaramu! Sekarang aku ingin tahu, kau mau kawin denganku atau tidak?"
"Pertanyaan itu dapat kujawab dengan mudah."
"Nah, jawab kalau begitu."
"Selama hidup ini dan hidup abadi nanti, hatiku hanya untuk seorang lelaki, Miyamoto
Musashi. Bagaimana mungkin aku peduli dengan orang lain, apalagi orang lemah macam kau"
Aku benci padamu!" Seluruh tubuh Matahachi bergetar. Sambil tertawa kejam, katanya, "Oh, jadi kau benci
padaku" Sayang sekali, karena suka tidak suka, sejak malam ini tubuhmu milikku!"
Otsu menggeleng murka. "Kau masih mau rewel soal itu?"
"Aku dibesarkan di kuil. Tak pernah melihat ayah atau ibuku. Karena itu, maut sama
sekali tak menggetarkan hatiku."
"Kau berkelakar, ya?" geram Matahachi sambil menjatuhkan diri ke lantai di samping Otsu
dan menekankan wajahnya ke wajah Otsu. "Siapa pula yang bicara soal mati" Membunuhmu
takkan memberikan kepuasan padaku. Inilah yang akan kulakukan!" Ditangkapnya bahu dan
pergelangan kiri Otsu, lalu dibenamkannya giginya ke lengan atas Otsu lewat lengan
kimononya. Otsu mencoba membebaskan diri sambil menjerit dan mengerang. Tindakan itu malah
mengetatkan cengkeraman gigi Matahachi atas lengannya. Matahachi tak melepaskannya,
sekalipun darah sudah turun ke pergelangan yang dipegangnya.
Otsu lemas karena sakit, dan wajahnya pucat pasi. Karena merasa tubuh Otsu lemas,
Matahachi melepaskannya dan lekas-lekas membuka mulut Otsu dengan paksa, untuk
meyakinkan dirinya bahwa Otsu tidak benar-benar menggigit lidahnya sendiri. Wajah Otsu
basah oleh keringat. "Otsu!" lolongnya. "Maaf." Ia mengguncangkan badan Otsu sampai Otsu sadar.
Begitu dapat bicara lagi, Otsu meregangkan sekujur tubuhnya dan merintih histeris. "Oh,
sakit! Sakit sekali. Jotaro! Jotaro, Jotaro, tolong aku!"
Dengan muka pucat dan napas tersengal-sengal, Matahachi berkata, "Sakit, ya" Sayang
sekali. Biarpun nanti sudah sembuh, tanda gigiku masih akan kelihatan untuk waktu lama.
Apa kata orang kalau melihatnya nanti" Apa pikir Musashi" Kutaruh tanda itu di situ
sebagai cap, supaya semua orang tahu bahwa hari-hari ini kau menjadi milikku. Kalau kau
mau lari, larilah, tapi tak mungkin lagi kau tak ingat padaku sekarang."
Di kuil gelap itu, yang sedikit berkabut akibat debu, keheningannya hanya terpecahkan
oleh sedu-sedan Otsu. "Sudah, jangan nangis lagi! Bikin aku senewen. Aku takkan menyentuhmu, karena itu
tenang saja. Mau kuambilkan air?" Ia mengambil mangkuk tanah dari altar, dan pergi ke
luar. Ia heran melihat seorang lelaki berdiri di luar, sedang melihat ke dalam. Orang itu
melarikan diri, tapi Matahachi segera meloncat lewat pintu dan mencengkeramnya.
Orang itu petani yang sedang dalam perjalanan ke pasar besar di Shiojiri, membawa
beberapa karung padi-padian yang diangkut dengan kuda. Ia menjatuhkan diri ke kaki
Matahachi dengan tubuh gemetar ketakutan. "Saya tak bermaksud apa-apa. Tadi saya dengar
perempuan menangis, lalu saya menengok ke dalam, buat melihat apa yang terjadi."
"Betul begitu" Kau yakin?" Sikap Matahachi keras, seperti sikap hakim setempat.
"Betul, saya berani sumpah."
"Kalau begitu, kau boleh tetap hidup. Turunkan karung-karung itu dari punggung kuda,
dan ikatkan perempuan itu ke atasnya. Kemudian kau akan ikut bersama kami sampai
selesai urusanku denganmu." Jari-jari Matahachi memainkan gagang pedang, penuh ancaman.
Karena takut melawan perintah, petani itu melakukan saja apa yanz diperintahkan
kepadanya, kemudian mereka berangkat.
Matahachi mengambil bilah bambu untuk cambuk. "Kita pergi ke Edo, dan kita tidak
membutuhkan teman, karena itu tinggalkan jalan besar." perintahnya. "Ambil jalan di
mana kita takkan ketemu siapa-siapa."
"Oh, itu sukar sekali."
"Aku tak peduli sukarnya! Ambil jalan lain. Kita mesti pergi ke Ina, dan dan sana ke
Koshu, tanpa melewati jalan raya utama."
"Artinya kita mesti mendaki jalan gunung yang jelek sekali dari Ubagami ke Celah
Gombei." "Baik, ayo mulai mendaki! Dan jangan coba-coba menggunakan tipu daya, atau kubelah
kepalamu. Sebetulnya aku tidak terlalu membutuhkanmu. Yang kubutuhkan kuda itu. Kau
mesti berterima kasih masih kubawa serta."
Jalan setapak yang gelap itu tampak makin lama makin terjal. Begitu mereka sampai
Ubagami, yang berarti setengah jalan mendaki, baik kedua orang itu maupun sang kuda
sudah hampir ambruk. Di bawah kaki mereka, awan berayun-ayun seperti ombak. Cahaya
lemah meronai langit timur.
Sepanjang malam Otsu naik kuda tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tapi ketika ia
melihat cahaya matahari, katanya pelan, "Matahachi, biarkan orang itu pergi. Dan
kembalikan kudanya. Aku berjanji takkan lari."
Matahachi enggan memenuhi permintaan itu, tapi Otsu mengulang permohonannya tiga-empat
kali, dan ia menyerah. Ketika petani itu pergi, kata Matahachi, "Sekarang kau jalan
saja tenang-tenang, dan jangan mencoba meloloskan diri."
Otsu meletakkan tangan ke lengannya yang terluka, dan sambil menggigit bibir, katanya,
"Aku takkan lari. Apa pikirmu aku ingin orang melihat tanda taringmu yang berbisa ini?"
*** 57. Peringatan Ibu "Bu," kata Gonnosuke, "Ibu ini sudah keterlaluan. Apa Ibu tak lihat aku sendiri juga
jengkel?" Waktu itu ia menangis, dan kata-kata itu keluar tersendat-sendat.
"Ssst! Nanti dia bangun." Suara ibunya pelan, tapi tegas. Nadanya seperti mengomeli
anak umur tiga tahun. "Kalau kau memang merasa kecewa, satu-satunya yang mesti
kaulakukan adalah kendalikan dirimu dan ikuti Jalan itu dengan segenap hatimu. Menangis
tak banyak gunanya. Dan lagi tak pantas. Hapus mukamu itu."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pertama-tama, Ibu berjanji memaafkan aku atas kegagalan kemarin."
"Memang tak mungkin Ibu tidak mengomelimu, tapi Ibu kira bagaimanapun soal ini soal
keterampilan. Orang bilang, makin lama orang tidak menghadapi tantangan, makin lemah
dia. Sudah sewajarnya kalau kau kalah."
"Mendengar pendapat Ibu, membuat soal ini lebih berat lagi. Ibu sudah memberikan
dorongan padaku, tapi aku kalah. Aku tahu sekarang, tak ada bakat atau semangatku
menjadi petarung sejati. Terpaksa aku meninggalkan seni perang, dan puas menjadi petani
saja. Lebih banyak aku dapat berbuat untuk Ibu dengan cangkul daripada dengan tongkat."
Musashi sudah terjaga. Ia duduk tegak, dan kagum mengetahui bahwa pemuda dan ibunya
menanggapi perkelahian itu demikian sungguh-sungguh. Ia sendiri sudah melupakan-nya,
menganggapnya sebagai kesalahan dirinva dan Gonnosuke. "Tinggi sekali rasa kehormatan
mereka," gumamnya. Diam-diam ia merangkak ke kamar sebelah. Ia pergi ke ujung kamar dan
mengintip dari celah papan shoji.
Dalam cahaya samar matahari terbit, tampak ibu Gonnosuke duduk membelakangi altar
Budha. Gonnosuke berlutut dengan patuh di depannya, matanya memandang ke bawah dan
wajahnya basah oleh air mata.
Sambil mencengkeram bagian belakang kerah anaknya, kata ibu berapi-api, "Apa katamu
tadi" Apa pula itu, mau hidup sebagai petani' " Sambil menarik anaknya ke dekatnya,
hingga kepala Gonnosuke terletak di lututnya, ia melanjutkan dengan nada sakit hati,
"Cuma satu pegangan Ibu menempuh tahun-tahun ini, yaitu agar dapat menjadikanmu seorang
samurai untuk memulihkan nama baik keluarga kita. Karena itu kuminta kau membaca semua
buku itu dan mempelajari seni perang. Dan itu sebabnya Ibu bisa hidup bertahun-tahun
ini dalam serba kekurangan. Tapi sekarang... sekarang kaubilang akan membuang semua
itu?" Si ibu sendiri mulai menangis. "Semenjak kau membiarkan dia mengunggulimu, di situ kau
mesti sudah ada niat memperbaiki namamu. Dia masih di sini. Kalau nanti dia bangun,
tantang dia mengadakan pertarungan lagi. Itulah satu-satunya jalan untuk mendapatkan
kembali kepercayaan dirimu."
Sambil mengangkat muka, kata Gonnosuke sedih, "Sekiranya aku dapat melakukannya, Bu,
tak akan aku merasa seperti sekarang ini."
"Apa yang terjadi denganmu" Tak wajar sikapmu ini. Di mana semangatmu?"
"Tadi malam, ketika aku pergi dengannya ke empang, kubuka selalu mataku lebar-lebar,
mencari kesempatan menyerangnya, tapi aku tak dapat melakukannya. Meskipun pada diri
sendiri terus kubisikkan dia cuma seorang ronin tak bernama, tapi saat kuperhatikan dia
baik-baik, tanganku menolak bergerak."
"Itu karena kau berpikir seperti pengecut."
"Terserah. Aku tahu dalam diriku mengalir darah samurai Kiso. Dan aku belum lupa
bagaimana aku berdoa di depan Dewa Ontake dua puluh satu hari lamanya."
"Kau sudah bersumpah di depan Dewa Ontake akan menggunakan tongkatmu untuk menciptakan
perguruan sendiri, kan?"
"Ya, tapi kukira aku terlalu puas diri. Tak pernah aku memikirkan bahwa orang lain pun
tahu cara bertarung. Kalau aku sementah seperti kutunjukkan kemarin, bagaimana mungkin
aku mendirikan perguruan sendiri" Daripada aku hidup dalam kemiskinan dan menyaksikan
Ibu kelaparan, lebih baik kupatahkan tongkatku dan kulupakan dia."
"Belum pernah sebelum ini kau kalah, dan kau sudah mengalami sejumlah pertandingan.
Barangkali Dewa Ontake bermaksud memberikan pelajaran kepadamu dengan kekalahan kemarin
itu. Barangkali kau dihukum karena merasa terlalu yakin. Meninggalkan tongkat untuk
lebih mencurahkan perhatian pada Ibu bukan cara untuk membuat Ibu bahagia. Kalau ronin
itu bangun, tantang dia. Kalau kau kalah lagi, baru boleh kau mematahkan tongkat dan
melupakan ambisimu."
Musashi kembali ke kamarnya untuk memikirkan persoalan itu. Kalau Gonnosuke
menantangnya, terpaksa ia berkelahi. Dan kalau ia berkelahi, ia pasti menang. Gonnosuke
akan hancur, dan ibunya akan patah hati.
"Tak ada jalan lain kecuali menghindarinya," simpulnya. Tanpa menimbulkan bunyi,
dibukanya pintu ke beranda, dan ia keluar.
Matahari pagi menumpahkan cahaya keputihan lewat pepohonan. Di sudut pekarangan, di
dekat gudang, lembu itu berdiri, bersyukur atas datangnya hari baru dan atas rumput
yang tumbuh di kakinya. Setelah diam-diam mengucapkan selamat tinggal pada binatang
itu, Musashi pergi melintasi pohon-pohon penahan angin dan menempuh jalan setapak yang
berkelokkelok melintasi perladangan.
Gunung Koma hari itu tampak dari puncak sampai ke kakinya. Gumpalar awan tak terhitung
jumlahnya, kecil-kecil seperti kapas, masing-masing berlainan bentuknya, dan semua
bermain dengan bebasnya di tengah angin.
"Jotaro masih muda, dan Otsu lemah," kata Musashi pada diri sendiri.
"Tapi ada saja orang yang memiliki kebaikan hati untuk membela orang yang masih muda
dan lemah. Kekuatan di alam semesta ini yang akan menentukan, apakah aku akan menemukan
mereka atau tidak." Semangatnya yang kacau semenjak pengalaman di air terjun itu
rupanya sudah terancam bahaya kehilangan jalan. Namun sekarang semangat itu kembali
menapaki jalan yang mesti ditempuhnya. Pada pagi seperti ini, berpikir semata-mata
tentang Otsu dan Jotaro rasanya seperti katak di bawah tempurung. Biarpun mereka itu
penting baginya, ia mesti tetap mencurahkan perhatian ke Jalan yang menurut sumpahnya
akan diikutinya sepanjang hidup ini dan hidup berikutnya.
Narai, yang dicapainya sebentar selepas tengah hari itu, adalah masyarakat yang sedang
berkembang. Satu toko memperagakan aneka warna kulit bulu di depan pintunya. Yang lain
khusus menjual sisir Kiso.
Dengan maksud menanyakan jalan, Musashi melongokkan kepala ke sebuah toko yang menjual
obat dari empedu beruang. Ada papan nama yang bunyinya "Beruang Besar", dan di dekat
pintu masuk terdapat seekor beruang besar dalam kandang.
Sambil membalikkan badan, pemilik toji yang baru selesai menuangka,n teh ke cangkirnya
mengatakan, "Cari apa, Pak?"
"Apa Anda tahu toko milik orang yang namanya Daizo?"
"Daizo" Turun sana, di persimpangan satu lagi." Orang itu keluar toko sambil memegang
cangkir tehnya, dan menuding jalan itu. Tapi ketika dilihatnya magangnya pulang dari
melakukan suruhan, ia pun memanggilnnya "Sini kamu! Bapak ini mau ke tempat Daizo.
Barangkali dia tidak mengenali toko itu, karena itu lebih baik kauantar ke sana."
Magang itu gundul, tapi berkuncung di depan dan belakang. Ia jalan bergegas, diikuti
Musashi. Musashi merasa bersyukur atas kebaikan itu. Ia membayangkan bahwa Daizo
tentunya sangat dihormati orang-orang sekotanya.
"Di sana ," kata anak itu. Ia menuding bangunan di sebelah kiri, dan segera pergi.
Musashi heran, karena sebelumnya ia menyangka akan melihat cokel seperti yang biasa
menjual barang-barang perbekalan musafir. Jendela etalasenya yang berjeruji panjangnya
enam meter, dan di belakang toko itu terdapat dua gudang. Rumahnya besar dan tampak
memanjang ke belakang. Tembok tinggi mengelilingi pekarangan, berpintu masuk
mengesankan. Pintu itu tertutup.
Dengan sikap ragu-ragu, Musashi membuka pintu dan berseru, "Selamat siang!" Bagian
dalam rumah yang luas dan remang-remang itu mengingatkannya pada bagian dalam tempat
pembuatan sake. Karena lantainya terbuat dari tanah, udaranya sejuk menyenangkan.
Seorang lelaki berdiri di depan meja pemegang buku di dalam kantor. Kantor itu berupa
ruangan yang lantainya ditinggikan dan tertutup tatami.
Sesudah menutup pintu di belakangnya, Musashi menjelaskan maksudnya. Belum lagi ia
selesai bicara, kerani itu sudah mengangguk, katanya, "Ya, ya, jadi Anda datang
menjemput anak itu." Ia membungkuk dan menawarkan bantalan pada Musashi. "Maaf kalau
saya katakan Anda terlambat. Dia muncul di sini tengah malam, ketika kami sedang
mempersiapkan keberangkatan majikan kami. Rupanya perempuan teman jalannya diculik
orang, dan dia ingin majikan kami membantu menemukannya. Majikan mengatakan dengan
senang hati akan mencoba, tapi beliau tak dapat memberikan jaminan apa-apa. Kalau
perempuan itu diambil bromocorah atau bandit dari sekitar tempat ini, takkan ada
masalah. Tapi rupanya yang mengambil itu musafir lain, dan orang itu pasti menghindari
jalan-jalan utama. Tadi pagi Majikan mengirim orang-orang untuk melihat, tapi mereka
tidak menemukan petunjuk. Anak itu menangis mendengarnya, karena itu Majikan
menasihatkan supaya dia ikut saja. Dengan begitu, mereka dapat mencari perempuan itu di
jalan, atau bahkan berjumpa dengan Anda. Anak itu kelihatan ingin sekali pergi, dan tak
lama sesudah itu, mereka berangkat. Saya kira sudah sekitar empat jam sampai sekarang.
Sayang sekali Anda terlambat!"
Musashi merasa kecewa, walau ia tahu tak mungkin ia tiba pada waktunya, biarpun
misalnya Ia berangkat lebih dini dan berjalan lebih cepat. Tinggallah ia menghibur
diri, dengan pendapat bahwa masih ada hari esok.
"Ke mana Daizo pergi?" tanyanya.
"Sukar saya mengatakan. Kami tidak buka toko dalam arti biasa. Ramuan ini disiapkan di
pegunungan dan dibawa kemari. Dua kali setahun, musim semi dan musim gugur, para
pedagang menimbunnya di sini dan pergi meninggalkannya. Karena tak banyak yang mesti
dilakukan, Majikan sering melakukan perjalanan, kadang-kadang ke kuil-kuil atau tempattempat suci, kadang-kadang juga ke tempat-tempat yang terkenal pemandangannya. Sekarang
ini saya kira dia pergi ke Zenkoji, mengelilingi Echigo, kemudian ke Edo. Tapi itu cuma
dugaan. Tak pernah dia menyebutkan ke mana akan pergi.... Apa Anda suka teh?"
Sementara teh segar diambil dari dapur, Musashi menanti dengan tak sabar dan gelisah di
tengah lingkungan yang demikian rupa itu. Ketika teh datang, ia menanyakan penampilan
Daizo. "Oh, kalau melihatnya, Anda akan segera mengenalinya. Umurnya lima puluh dua tahun,
sangat tegap juga tampak kuat, mukanya agak persegi, merah sehat, sedikit bopeng.
Pelipis kanannya agak botak."
"Berapa tingginya?"
"Rata-rata, saya kira."
"Bagaimana pakaiannya?"
"Kebetulan Anda bertanya. Saya kira itulah jalan terbaik untuk mengenalinya. Dia
memakai kimono katun Cina bergaris-garis yang dipesannya dari Sakai, khusus untuk
perjalanan ini. Kain itu sangat tidak biasa. Saya sangsi ada orang lain yang
memakainya." Musashi mendapat kesan tersendiri tentang watak dan penampilan orang itu. Karena alasan
kesopanan, ia berlama-lama tinggal di situ, menghabiskan tehnya. Ia tidak dapat
menyusul mereka sebelum matahari terbenam, tapi menurut perhitungannya, kalau ia
berjalan malam, pada waktu fajar ia akan sampai di Celah Shiojiri dan dapat menanti
mereka di sana. Waktu ia sampai di kaki celah itu, matahari sudah menghilang dan kabut petang turun
dengan lembutnya ke jalan raya. Waktu itu musim semi, lampu rumah-rumah sepanjang jalan
menegaskan sepinya pegunungan. Tempat itu masih lima mil jauhnya dari puncak celah.
Musashi mendaki terus tanpa berhenti, sampai tiba di Inojigahara, suatu tempat tinggi
dan rata dekat celah. Di sini ia berbaring di antara bintang-bintang, membiarkan
pikirannya mengelana. Tak lama kemudian, ia tertidur lelap.
Kuil kecil Sengen menandai puncak bukit karang yang berdiri menjulang seperti bisul di
atas dataran tinggi. Itulah titik tertinggi wilayah Shiojiri.
Tidur Musashi terganggu suara-suara orang. "Naik sini," teriak seseorang. "Dari sini
kita dapat melihat Gunung Fuji." Musashi duduk dan memandang ke sekitar, tapi tak
melihat seorang pun. Cahaya pagi itu memesona. Dan di sana kelihatan segi tiga merah Gunung Fuji yang
mengapung di lautan awan, masih mengenakan mantel salju musim dinginnya. Pemandangan
itu melantunkan pekik kegembiraan kekanak-kanakan dari bibir Musashi. Ia telah
menyaksikan banyak lukisan tentang gunung yang terkenal ini dan memiliki gambaran
tersendiri tentangnya, tapi baru pertama kali inilah ia benar-benar menyaksikannya.
Gunung itu hampir seratus lima puluh kilometer jauhnya, tapi seperti terletak pada
dataran yang sama dengan dataran tempatnya berdiri.
"Indah sekali!" desahnya, dan dibiarkannya air mata mengambang pada matanya yang tidak
berkedip. Ia tertegun oleh kekecilannya sendiri, dan sedih memikirkan betapa tak berarti dirinya
di tengah keluasan alam semesta. Semenjak kemenangannya di pohon pinus lebar itu, diamdiam ia sudah berani berpikir bahwa hanya ada beberapa orang, itu pun kalau benar-benar
ada, yang seperti dirinya, memenuhi syarat untuk disebut pemain pedang besar. Hidupnya
di bumi ini pendek, terbatas, tetapi keindahan dan kemegahan Gunung Fuji itu abadi.
Jengkel dan murung, ia bertanya pada diri sendiri, bagaimana ia dapat memberikan arti
kepada prestasi-prestasi dengan pedangnya itu.
Ada hal yang tak terhindarkan dalam cara alam itu menjulang dengan anggun dan garang di
atas dirinya. Wajarlah bahwa ia ditakdirkan tetap berada di bawahnya. Maka ia berlutut
di hadapan gunung itu, berharap agar kecongkakannya diampuni, lalu ia menangkupkan
tangan untuk berdoa demi ketenangan abadi ibunya dan demi keselamatan Otsu dan Jotaro.
Ia menyatakan terima kasih kepada negerinya dan mohon diizinkan menjadi besar,
sekalipun misalnya ia tidak dapat ambil bagian dalam kebesaran alam.
Tetapi selagi berlutut, berbagai pikiran datang berlomba dalam otaknya. Apakah yang
menyebabkan ia berpikir bahwa manusia itu sendiri kecil" Tidakkah alam itu sendiri
besar hanya apabila dicerminkan oleh mata manusia" Tidakkah dewa-dewa sendiri ada hanya
apabila mereka mengadakan hubungan dengan hati makhluk hidup" Manusia adalah jiwa-jiwa
hidup, bukannya batu karang mati yang melaksanakan perbuatan-perbuatan terbesar.
"Sebagai manusia," katanya pada dirinya, "aku tidak begitu jauh dari dewa-dewa dan alam
semesta. Aku dapat menyentuh mereka dengan pedang semeter yang kubawa ini. Tapi itu tak
akan terjadi seandainya aku masih merasakan perbedaan yang begitu besar antara alam dan
manusia. Dan seandainya aku tetap jauh dari dunia empu sejati, manusia yang berkembang
penuh." Renungannya terganggu oleh ocehan beberapa saudagar yang sudah naik ke tempat yang tak
jauh darinya, dan sedang memandang puncak gunung itu. "Mereka benar. Kita dapat
melihatnya." "Tapi tak sering kita dapat membungkuk di hadapan gunung suci itu dari tempat ini."
Para musafir masuk seperti barisan semut dari dua jurusan, sambil memikul beraneka
warna muatan. Cepat atau lambat, Daizo dan Jotaro akan sampai di atas bukit ini.
Sekiranya ia kebetulan gagal menemukan mereka di antara para musafir itu, pasti mereka
melihat papan pernyataan yang ditinggalkannya di kaki batu karang: Kepada Daizo dari
Narai. Saya ingin sekali bertemu dengan Anda apabila lewat tempat ini. Saya nantikan
Anda di kuil atas. Musashi, guru Jotaro.
Matahari sudah tinggi sekarang. Selama itu, Musashi terus mengawasi jalan, seperti
seekor burung elang, tapi tak ada tanda-tanda Daizo. Di sisi lain celah itu, jalan
terbagi menjadi tiga. Satu langsung menuju Edo, lewat Koshu. Jalan kedua, yang
merupakan jalan utama, melewati Celah Usui dan memasuki Edo dari utara. Jalan ketiga
membelok ke provinsi-provinsi utara. Apakah Daizo menuju utara ke Zenkoji atau menuju
timur ke Edo, ia tetap mesti menggunakan celah ini. Namun, seperti disadari Musashi,
orang tidak selamanya bepergian dengan cara yang diharapkan. Pedagang besar itu bisa
saja pergi ke suatu tempat yang jauh dari jalan yang biasa ditempuh orang, atau dapat
juga ia menginap satu malam lagi di kaki gunung. Musashi memutuskan tidak ada jeleknya
kembali ke sana untuk bertanya tentang Daizo.
Baru saja ia menuruni pintasan yang menuju karang terjal, didengarnya suara serak yang
dikenalnya, "Itu dia di atas!" Seketika itu juga teringat olehnya tongkat yang sudah
menyerempet tubuhnya dua malam sebelum itu.
"Turun dari sana!" teriak Gonnosuke. Ia menatap Musashi dengan tongkat di tangan. "Kau
lari! Kau sudah menduga aku akan menantangmu dan kau lari ke luar! Turun sini, dan ayo
lawan aku sekali lagi!"
Musashi berhenti di antara dua batu, bersandar pada salah satu darinya dan menatap
Gonnosuke tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Gonnosuke menyimpulkan bahwa Musashi takkan datang, karena itu katanya pada ibunya,
"Ibu tunggu di sini. Aku akan naik dan melemparkannya ke bawah. Lihat saja!"
"Tunggu!" cela ibunya yang waktu itu naik lembu. "Itulah kesalahanmu. Kau tidak
sabaran. Kau mesti belajar membaca pikiran musuhmu sebelum masuk dalam pertempuran.
Sekiranya dia melemparkan batu besar padamu. apa yang akan terjadi?"
Musashi mendengar suara mereka, tapi kata-katanya tak jelas. Tentang dirinya, ia merasa
sudah menang. Ia sudah mengerti bagaimana Gonnosuke menggunakan tongkatnya. Yang terasa
mengganggu adalah kebencian mereka dan keinginan mereka untuk membalas dendam. Kalau
Gonnosuke kalah lagi, mereka akan jauh lebih dendam lagi. Dari pengalamannya dengan
Keluarga Yoshioka, ia kenal jeleknya pertarungan yang mengakibatkan permusuhan lebih
besar lagi. Lebih gawat dari itu adalah ibu orang itu yang menurut penglihatan Musashi
adalah Osugi kedua, seorang perempuan yang mencintai anak lelakinya secara membuta dan
akan menaruh dendam abadi pada siapa saja yang merugikan anaknya.
Ia membalikkan badan dan mulai mendaki.
"Tunggu!" Tertahan oleh daya suara perempuan tua itu, Musashi berhenti dan membalikkan badan.
Perempuan itu turun dari lembu dan berjalan ke kaki batu. Ketika merasa yakin bahwa
Musashi memperhatikan, ia berlutut meletakkan kedua tangannya ke tanah dan membungkuk
rendah. Musashi belum pernah melakukan apa pun yang menyebabkan perempuan itu menghinakan diri
di hadapannya, namun ia balas membungkuk sebaik-baiknya di jalan setapak berbatu itu.
Tangannya dikedepankan, seakan hendak menolong perempuan itu berdiri.
"Samurai yang baik!" seru perempuan itu. "Saya malu muncul di hadapan Anda seperti ini.
Saya yakin Anda tidak menyimpan perasaan lain terhadap saya, selain perasaan
mencemoohkan karena sifat keras kepala saya. Tapi saya bertindak seperti ini bukan
karena benci, dengki, atau niat jahat. Saya harap Anda menaruh kasihan pada anak saya.
Sepuluh tahun lamanya dia berlatih sendirian tanpa guru, tanpa teman, tanpa lawan yang
benar-benar bernilai. Saya mohon Anda memberikan kepadanya pelajaran sekali lagi dalam
seni pertarungan." Musashi mendengarkan tanpa berkata-kata.
"Saya gusar melihat Anda meninggalkan kami seperti ini," sambung perempuan itu dengan
penuh perasaan. "Prestasi anak saya dua hari lalu itu jelek sekali. Kalau dia tidak
melakukan sesuatu untuk membuktikan kemampuannya, baik dia maupun saya takkan dapat
menghadapi nenek moyang kami. Sekarang ini, dia tak lebih dari seorang petani yang
kalah berkelahi. Karena dia sudah mendapat peruntungan baik berjumpa dengan petarung
setaraf Anda, sungguh sayang kalau dia tidak mengambil keuntungan dari pengalaman itu.
Itu sebabnya saya bawa dia kemari. Saya mohon Anda memperhatikan permintaan saya ini
dan menerima tantangannya."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai berbicara, ia membungkuk lagi, hampir seperti sedang memuja di kaki Musashi.
Musashi turun bukit, memegang tangannya dan membantunya kembali naik lembu.
"Gonnosuke," katanya, "ambil tali ini. Mari kita bicara sambil jalan. Akan
kupertimbangkan aku berkelahi denganmu atau tidak."
Musashi berjalan agak di depan mereka. Tak sepatah kata pun diucapkannya, sekalipun ia
menyarankan bicara tentang soal itu. Gonnosuke terus memandang punggung Musashi dengan
sikap curiga, sekali-sekali dengan iseng menjentikkan cambuk pada kaki lembu. Ibunya
tampak gelisah dan kuatir.
Ketika mereka telah berjalan sekitar satu kilometer, Musashi menggerutu dan menoleh ke
belakang. "Baik, aku akan berkelahi!" katanya.
Sambil melepaskan tali, Gonnosuke berkata, "Kau siap sekarang?" Ia menoleh ke sekitar
untuk memeriksa posisinya, seakan-akan ia hendak menyelesaikan perkara itu seketika itu
juga. Musashi mengabaikan saja pemuda itu, dan sebaliknya menyapa ibunya, "Apa Ibu siap
menghadapi yang terburuk" Pertarungan macam ini sama saja dengan perkelahian sampai
mati, sekalipun senjatanya tidak sama."
Untuk pertama kalinya perempuan tua itu tertawa. "Tak perlu berkata begitu. Kalau dia
kalah dari orang yang lebih muda seperti Anda, dia dapat meninggalkan seni perang sama
sekali. Dan kalau dia memang meninggalkannya, tak ada lagi gunanya hidup. Kalau itu
yang terjadi, saya takkan dendam pada Anda."
"Kalau memang begitu pikir Ibu, baik." Musashi mengambil tali yang tadi dijatuhkan
Gonnosuke. "Kalau kita tetap di jalan, orang banyak akan datang. Mari kita ikatkan
lembu ini, dan saya akan berkelahi sampai kapan pun."
Sebatang pohon besar tumbuh di tengah tanah datar tempat mereka berdiri. Musashi
menudingnya dan mengajak mereka ke sana.
"Siapkan dirimu, Gonnosuke," katanya tenang.
Gonnosuke tidak memerlukan dorongan lagi. Seketika itu ia sudah berdiri di hadapan
Musashi, dengan tongkat dihadapkan ke tanah.
Musashi berdiri dengan tangan kosong, lengan dan bahunya kendur. "Kau tidak bersiap?"
tanya Gonnosuke. "Buat apa?" Kemarahan Gonnosuke menggejolak. "Ambil senjata untuk berkelahi. Apa saja."
"Aku siap." "Tanpa senjata?"
"Senjataku di sini," jawab Musashi, meletakkan tangan kirinya ke gagang pedang.
"Kau berkelahi dengan pedang?"
Jawaban Musashi hanya senyuman kecil miring pada sudut mulutnya. Mereka sampai pada
tahap yang tak memungkinkan penghamburan percakapan kecil.
Ibu Gonnosuke duduk di bawah pohon, sambil memperhatikan seperti Budha dari batu.
"Jangan berkelahi dulu. Tunggu!" katanya.
Tapi keduanya tidak mendengar kata-kata itu. Mereka saling menatap, tanpa membuat
gerakan sekecil apa pun. Tongkat Gonnosuke ada di bawah lengannya, menanti kesempatan
memukul. Tongkat itu seakan-akan telah menghirup seluruh udara dataran tinggi itu, dan
siap mengembuskannya dalam suatu pukulan besar bercampur jeritan. Tangan Musashi
menempel ke bagian bawah gagang pedangnya, matanya seakan menembus tubuh Gonnosuke.
Secara mental pertempuran sudah dimulai, karena mata dapat mendatangkan kerusakan lebih
hebat kepada manusia daripada pedang atau tongkat. Sesudah sayatan pembukaan dilakukan
dengan mata, barulah pedang atau tongkat menyelinap masuk dengan mudah.
"Tunggu!" seru si ibu lagi.
"Ada apa?" tanya Musashi sambil melompat mundur dua-tiga meter ke tempat aman.
"Anda berkelahi dengan pedang sungguhan?"
"Cara saya tidak membedakan pedang kayu atau pedang sungguhan."
"Saya bukannya mau menghentikan Anda."
"Saya minta Ibu mengerti. Dari kayu atau baja, pedang itu mutlak. Dalam pertarungan
yang betul-betul, tidak ada ukuran setengah jalan. Satu-satunya cara untuk menghindari
bahaya adalah lari."
"Anda benar sekali, tapi menurut saya dalam pertandingan sepenting ini Anda mesti
menyatakan diri secara resmi. Masing-masing dari kalian menghadapi lawan yang jarang
kalian temui. Pada waktu perkelahian selesai semuanya sudah terlambat."
"Benar." "Gonnosuke, sebutkan dulu namamu."
Gonnosuke membungkuk resmi kepada Musashi. "Moyang jauh kami kabarnya Kakumyo yang
pernah berjuang di bawah panji-panji prajurit besar dari Kiso, Minamoto no Yoshinaka.
Sesudah kematian Yoshinaka, Kakumyo menjadi pengikut Honen yang kudus. Ada kemungkinan,
kami berasal dari keluarga yang sama dengan dia. Berabad-abad nenek moyang kami hidup
di wilayah ini, tapi pada angkatan ayahku kami menderita bencana yang takkan kusebutkan
di sini. Dalam kekecewaanku, aku pergi dengan ibuku ke Kuil Ontake dan bersumpah secara
tertulis bahwa aku akan memulihkan nama baik kami dengan mengikuti Jalan Samurai. Di
hadapan dewa Kuil Ontake, aku memperoleh teknik penggunaan tongkat. Aku sebut itu Gaya
Muso, artinya Gaya Wahyu, karena aku memperolehnya di kuil itu. Orang menyebutku Muso
Gonnosuke." Musashi balas membungkuk. "Keluargaku diturunkan oleh Hirata Shogen. Keluargaku cabang
dari Keluarga Akamatsu dari Harima. Aku anak tunggal Shimmen Munisai yang tinggal di
desa Miyamoto, di Mimasaka. Aku mendapat nama Miyamoto Musashi. Aku tak punya keluarga
dekat, dan aku membaktikan hidupku pada Jalan Pedang. Kalau aku gugur oleh tongkat, tak
perlu kau susah payah mengurus mayatku."
Ia kembali pada jurus awalnya. Teriaknya, "Siap!"
"Siap!" Perempuan tua itu kelihatan hampir tak bernapas. Bukannya membiarkan bahaya datang pada
dirinya dan anaknya, ia justru pergi mencari-cari bahaya itu, dan dengan sengaja
menempatkan anaknya di hadapan pedang Musashi yang berkilau. Jalan yang ditempuhnya itu
sungguh tak terpikirkan untuk seorang ibu biasa, tapi ia percaya sepenuhnya bahwa yang
diperbuatnya itu benar. Sekarang ia duduk dalam sikap resmi, bahunya sedikit
dikedepankan dan tangannya disusun di pangkuan dengan santun. Tubuhnya seperti mengecil
dan mengisut. Sukar dipercaya bahwa ia telah melahirkan beberapa anak. Semuanya
meninggal kecuali seorang, tapi ia bertekad menempuh berapa pun kesulitan yang ada
untuk menjadikan anaknya yang masih hidup itu seorang petarung.
Mata perempuan itu memperlihatkan kilas cahaya, seakan-akan semua dewa dan bodhisatwa
di alam semesta berkumpul dalam dirinya untuk menyaksikan pertempuran itu.
Begitu Musashi mencabut pedangnya, bulu roma Gonnosuke meremang. Secara naluriah ia
merasa bahwa berhadapan dengan pedang Musashi, nasibnya sudah ditentukan. Yang ia lihat
di hadapannya ini adalah orang yang belum pernah ia saksikan. Dua hari sebelumnya, ia
perhatikan Musashi dalam sikap santai dan luwes, bagaikan garis-garis lembut mengalir
pada tulisan kaligrafi. Ia tak siap menghadapi orang yang kini ia hadapi. Orang yang bisa menjadi contoh dalam
soal kecermatan, seperti huruf yang ditulis persegi dan rapi sekali, di mana garis dan
titik terletak pada tempat yang tepat.
Karena sadar telah salah menilai lawan, ia merasa tak dapat mengayunkan serangan hebat
seperti yang ia lakukan sebelumnya. Tongkatnya tetap dalam kedudukan seimbang, tapi
tidak berdaya di atas kepalanya.
Selagi kedua orang itu berhadapan dalam diam, kabut pagi terakhir telah menghilang.
Seekor burung terbang malas di antara mereka dan pegunungan tampak kabur di kejauhan.
Sekonyong-konyong sebuah jeritan membelah udara, seakan-akan burung itu terjungkal ke
bumi. Sukar sekali dikatakan bunyi itu berasal dari pedang atau dari tongkat. Bunyi itu
seperti tak nyata, seperti tepukan sebelah tangan, menurut istilah para pemeluk Zen.
Serentak dengan itu, dua tubuh yang bergerak seirama senjata masing-masing, mengubah
posisi. Perubahan itu terjadi lebih cepat daripada beralihnya gambaran dari mata ke
otak. Pukulan Gonnosuke tidak mengenai sasaran. Secara defensif, Musashi memutar lengan
bawahnya dan menyapukannya ke atas dari sisi Gonnosuke, ke suatu titik di atas
kepalanya, hingga hampir saja mengenai bahu kanan dan pelipisnya. Sesudah itu Musashi
melepaskan pukulan balik yang hebat, suatu pukulan yang sebelumnya telah menyebabkan
semua lawannya kerepotan. Tetapi Gonnosuke menahan pedang itu di atas kepala dengan
tongkat yang dipegang dekat kedua ujungnya.
Sekiranya pedang itu tidak miring saat mengenai kayu, senjata Gonnosuke pasti terbelah
dua. Seraya beranjak, Gonnosuke menusukkan siku kiri ke depan dan mengangkat siku
kanan, dengan maksud memukul jaringan saraf simpatis Musashi. Tetapi pada saat yang
seharusnya mendatangkan dampak menentukan itu, ujung tongkat ternyata masih kurang satu
inci dari tubuh Musashi. Karena pedang dan tongkat bersilang di atas kepala Gonnosuke, maka mereka sama-sama tak
dapat maju atau mundur. Keduanya tahu bahwa gerakan keliru berarti maut mendadak.
Sekalipun posisi waktu itu serupa jalan buntu: perisai-pedang, lawan, perisai-pedang,
namun Musashi sadar akan perbedaan penting antara pedang dan tongkat. Tongkat jelas tak
punya perisai, tak punya lempengan, tak punya gagang, tak punya ujung, tetapi di tangan
seorang ahli seperti Gonnosuke, bagian mana pun dari senjata sepanjang empat kaki itu
dapat menjadi lempengan, ujung, atau gagang. Dengan demikian, tongkat itu jauh lebih
serbaguna daripada pedang, dan bahkan dapat dipergunakan sebagai lembing pendek.
Karena tak dapat meramalkan reaksi Gonnosuke, Musashi tak dapat menarik senjatanya.
Gonnosuke, sebaliknya, berada pada posisi lebih berbahaya: senjatanya hanya memainkan
peranan pasif untuk menahan lempengan pedang Musashi. Jika ia membiarkan semangatnya
guncang sesaat saja, pedang akan membelah kepalanya.
Wajah Gonnosuke pucat. Ia menggigit bibir bawahnya, dan keringat berkilau di sekitar
sudut-sudut matanya yang menengadah. Kedua senjata yang bersilang itu mulai berguncang,
dan napas Gonnosuke menjadi berat.
"Gonnosuke!" teriak ibunya. Wajahnya lebih pucat lagi. Ia mengangkat tubuhnya dan
menampar pahanya sendiri. "Pahamu terlalu tinggi!" teriaknya. Kemudian ia menjatuhkan
diri ke depan. Kesadaran seakan-akan meninggalkan dirinya. Terdengar suara seolah ia
muntah darah. Tampak seolah pedang dan tongkat akan tetap berpaut sampai kedua petarung itu berubah
menjadi batu. Mendengar teriakan perempuan tua itu, kedua petarung berpisah dengan
kekuatan lebih mengerikan daripada ketika mereka berpaut.
Sambil mengentakkan tumit ke tanah, Musashi melompat mundur tiga meter jauhnya. Jarak
itu dalam sekejap ditutup Gonnosuke beserta panjang tongkatnya. Hampir Musashi tak
berhasil melompat ke samping.
Karena serangan maut mi, Gonnosuke terhuyung ke depan dan kehilangan keseimbangan,
hingga punggungnya terbuka untuk serangan. Musashi bergerak dengan kecepatan elang
pemburu, dan kilat cahaya kecil pun mengenai otot-otot punggung musuhnya; musuh
terhuyung dan jatuh tengkurap, diiringi embik anak sapi ketakutan. Musashi duduk
bergedebuk di rumput, sambil menangkupkan tangan di perut.
"Aku menyerah," teriaknya.
Tidak terdengar suara apa pun dari pihak Gonnosuke. Ibunya hanya menatap kosong ke
sosok yang tak berdaya itu. Ia terlalu takjub, hingga tak dapat berbicara.
"Cuma punggung pedang yang saya pakai tadi," kata Musashi kepadanya. Tapi karena
kelihatannya ibu itu tidak memahaminya, katanya lagi, "Bawakan dia air. Lukanya tidak
begitu parah." "Apa?" teriak perempuan itu tak percaya. Melihat bahwa pada tubuh anaknya tak ada
darah, ia berjalan tertatih-tatih ke sisinya dan memeluknya. Ia sebut nama anaknya, ia
bawakan air, dan kemudian ia guncang-guncangkan sampai Gonnosuke sadar kembali.
Gonnosuke memandang kosong pada Musashi beberapa menit lamanya, kemudian datang
mendekat dan membungkukkan kepala sampai ke tanah. "Maaf," katanya pendek. "Anda
terlalu baik buat saya."
Musashi, yang seperti baru tersadar dari keadaan kesurupan, meraih tangannya, katanya,
"Kenapa begitu" Kau tidak kalah, akulah yang kalah." Ia buka bagian depan kimononya.
"Lihat ini!" Ia tuding noda merah bekas pukulan tongkat. "Sedikit saja lagi, aku
terbunuh." Dalam suaranya terasa getar guncangan, karena sesungguhnya ia belum dapat
membayangkan kapan dan bagaimana ia mendapat luka itu.
Gonnosuke dan ibunya menatap tanda merah itu, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Musashi menutup kembali kimononya, dan bertanya kepada perempuan tua itu, kenapa ia
memperingatkan ada yang keliru atau berbahaya dalam jurus anaknya"
"Saya bukan ahli dalam soal-soal ini, tapi ketika saya perhatikan dia mengerahkan
seluruh kekuatannya untuk menahan pedang Anda, terasa oleh saya dia kehilangan
kesempatan. Dia tak dapat maju, tak dapat mundur, padahal dia terlampau bergairah waktu
itu. Tapi saya melihat sekiranya dia mau menurunkan pahanya saja, sedangkan letak
tangan tetap dipertahankan, ujung tongkat dengan sendirinya dapat memukul dada Anda.
Semua itu terjadi cuma sesaat. Waktu itu saya sendiri tak sadar akan apa yang saya
katakan." Musashi mengangguk. Ia menganggap dirinya beruntung, menerima pelajaran bermanfaat
tanpa mesti membayar dengan hidupnya. Gonnosuke pun mendengarkan dengan takzim. Ia juga
memperoleh wawasan baru. Apa yang baru saja dialaminya itu bukannya wahyu, melainkan
perjalanan ke perbatasan hidup dan mati. Ibunya, yang mengerti bahwa ia berada di
ambang bencana, telah memberikan pelajaran bagaimana bertahan hidup.
Bertahun-tahun kemudian, sesudah Gonnosuke memantapkan gayanya sendiri dan menjadi
terkenal di mana-mana, ia mencatat teknik yang ditemukan ibunya saat itu. Walaupun ia
menulis cukup panjang tentang kesetiaan ibunya dan pertandingannya dengan Musashi, ia
tetap menahan diri dan tidak mengatakan ia menang. Sebaliknya, untuk selanjutnya kepada
orang banyak ia mengatakan kalah, walaupun kekalahan itu merupakan pelajaran yang tidak
ternilai baginya. Sesudah menyampaikan harapannya akan kesehatan yang baik bagi ibu dan anak, Musashi
melanjutkan perjalanan dari Inojigahara ke Kamisuwa. Ia tidak tahu bahwa ia terus
diikuti oleh samurai yang di sepanjang jalan itu terus menanyai tukang kuda di pos kuda
dan semua musafir lain. apakah mereka melihat Musashi.
*** 58. Cinta Semalam LUKA Musashi terasa sakit sekali, karenanya ia tidak menggunakan waktunya di Kamisuwa
untuk bertanya-tanya tentangOtsu dan Jotaro, melainkan pergi ke sumber air panas di
Shimosuwa. Kota yang terletak di tepi Danau Suwa itu besar sekali. Jumlah rumah
penduduk biasa saja lebih dari seribu buah.
Di penginapan yang diperuntukkan bagi para daimyo, permandiannya ditutup atap, tetapi
kolam-kolam yang terletak di sepanjang jalan tidak beratap, dan dapat dipergunakan oleh
siapa saja yang ingin menggunakannya.
Musashi menggantungkan pakaian dan pedangnya pada sebatang pohon, dan masuk ke air yang
beruap. Sambil memijat-mijat bagian yang bengkak pada sisi kanan perutnya, ia
mengistirahatkan kepalanya ke batu di ujung kolam, memejamkan mata, dan menikmati rasa
nyaman yang menyenangkan, sekalipun sedikit pening. Matahari mulai terbenam, dan kabut
kemerahan naik dari permukaan danau yang tampak di antara rumah-rumah nelayan sepanjang
pantai. Sejumlah petak sayuran kecil ada di antara kolam dan jalan, di mana orang dan kuda
datang dan pergi, diiringi suara orang dan hiruk-pikuk biasa. Di sebuah warung yang
menjual minyak lampu dan tetek-bengek lain, seorang samurai sedang membeli sandal
jerami. Sesudah memilih sepasang yang cocok baginya, ia duduk di sebuah bangku,
melepaskan sandal lamanya, dan mengikatkan yang baru.
"Anda mestinya sudah mendengar tentang itu," katanya kepada pemilik warung.
"Peristiwanya terjadi di bawah pohon pinus lebar besar di Ichijoji, dekat Kyoto. Ronin
itu sendirian menghadapi seluruh Keluarga Yoshioka, dan dia berkelahi dengan semangat
yang sudah jarang kita dengar sekarang. Saya yakin dia melewati jalan ini. Anda yakin
tidak melihatnya?" Sekalipun keinginannya sangat besar, samurai itu rupanya sedikit sekali mengetahui
tentang orang yang dicarinya, termasuk umur dan cara orang itu berpakaian. Mendengar
jawaban tidak, dua-tiga kali ia mengulang dengan kecewa, "Biar bagaimana, saya mesti
ketemu dia," sambil menyelesaikan ikatan sandalnya.
Samurai yang umurnya sekitar empat puluh tahun itu berpakaian baik, kulitnya terbakar
matahari akibat berjalan jauh. Rambut pada pelipisnya tegak di seputar tali anyaman
yang dikenakannya, sedangkan kekuatan ekspresi wajahnya sesuai dengan sosok tubuhnya
yang jantan. Musashi menduga bahwa pada tubuh orang itu terdapat tanda-tanda dan
penebalan kulit akibat pemakaian ketopong. "Tak ingat aku, apa pernah melihatnya
sebelumnya," pikirnya. "Tapi kalau dia pergi ke sana kemari bicara tentang Perguruan
Yoshioka, barangkali dia salah seorang murid di situ. Perguruan itu punya banyak sekali
murid. Beberapa orang tentunya punya tulang punggung. Mungkin mereka merencanakan
komplotan baru untuk membalas dendam."
Ketika orang itu selesai dengan urusannya dan pergi, Musashi mengeringkan badan dan
mengenakan pakaian. la mengira keadaan sudah aman. Tetapi ketika keluar menuju jalan
raya, ia hampir bertumbukan dengan orang itu.
Samurai itu membungkuk sambil memperhatikan Musashi dengari saksama, katanya, "Anda kan
Miyamoto Musashi?" Musashi mengangguk. Samurai itu mengabaikan saja ekspresi curiga di wajah Musashi. Ia
berkata, "Saya memang sudah tahu tadi." Sebentar ia memuji-muji ketajaman
penglihatannya sendiri, lalu melanjutkan dengan nada bersahabat, "Anda tak mungkin
membayangkan, betapa bahagia sava dapat bertemu Anda akhirnya. Saya merasa akan bertemu
Anda entah di mana di jalan ini." Tanpa berhenti untuk memberikan kesempatan bicara
kepada Musashi, ia mendesak Musashi menginap di penginapan yang sama dengannya.
"Percayalah," tambahnya, "Anda tak perlu kuatir dengan sava. Status saya, maafkan saya
karena menyebutkan, adalah demikian rupa. hingga biasanya saya mengadakan perjalanan
dengan selusin abdi dan hak penggantian kuda. Saya pembantu Date Masamune, Yang
Dipertuan Benteng Aoba di Mutsu. Nama saya Ishimoda Geki."
Ketika Musashi pasif saja menerima undangan itu, Geki mendesak agar mereka tinggal di
penginapan para daimyo, dan ia mengantar Musashi ke tempat itu.
"Bagaimana kalau kita mandi?" tanyanya. "Tapi, ya, Anda baru saia mandi. Baiklah, saya
persilakan Anda bersantai dulu sementara saya mandi. Saya akan segera kembali." Ia
melepaskan pakaian perjalanannya, mengambil handuk, dan meninggalkan ruangan.
Walaupun orang itu memiliki cara bergaul yang menawan, kepala Musashi penuh dijejali
pertanyaan. Kenapa pula prajurit yang sudah baik kedudukannya ini mencarinya" Kenapa


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sikapnya demikian bersahabat"
"Bapak tak ingin ganti pakaian yang lebih enak?" tanya gadis pelayan sambil mengulurkan
kimono berlapis kapuk yang memang disediakan untuk para tamu.
"Tidak, terima kasih. Saya barangkali tidak tinggal di sini."
Musashi melangkah ke beranda. Di belakangnya, ia dengar gadis itu tenang-tenang
mengatur baki-baki makan malam. Ketika ia perhatikan riak air danau itu berubah dari
warna nila tua menjadi hitam, bayangan mata Otsu yang sedih terbentuk dalam kepalanya.
"Tempatku mencari mungkin salah," pikirnya. "Penjahat yang tega menculik seorang
perempuan pasti punya naluri menghindari kota-kota." Ia seperti mendengar Otsu
berseruseru minta tolong. Benarkah bila kita menerima pandangan filsafat bahwa segala
yang terjadi di dunia ini adalah akibat kemauan langit" ia merasa bersalah karena hanya
berdiri di situ, tanpa melakukan sesuatu.
Kembali dari mandi, Ishimoda Geki minta maaf telah meninggalkan Musashi sendirian.
Kemudian ia duduk menghadapi baki makan malam. Melihat Musashi masih mengenakan
kimononya sendiri, ia bertanya, "Kenapa Anda tidak ganti pakaian?"
"Saya merasa senang dengan pakaian saya sendiri. Saya selalu mengenakan ini di jalan,
di dalam rumah, dan ketika tidur di tanah, di bawah pohon."
Geki merasa terkesan sekali. "Saya mengerti," katanya. "Anda ingin selalu siap
bertindak, tak peduli di mana pun. Yang Dipertuan Date akan kagum dengan sikap itu." Ia
menatap wajah Musashi. Perasaan kagum tak disembunyikannya. Wajah Musashi waktu itu
diterangi lampu dari samping. Sebentar kemudian ia sadar kembali, katanya, "Nah,
silakan duduk dan mari minum sake sedikit." Ia membasuh mangkuk dalam cambung air dan
menawarkannya pada Musashi.
Musashi duduk dan membungkuk. Ia meletakkan tangan di pangkuan, tanyanya, "Boleh saya
bertanya, kenapa Anda memperlakukan saya demikian bersahabat" Dan kalau Anda tidak
keberatan, kenapa Anda bertanya-tanya tentang saya di jalan-jalan?"
"Saya kira memang wajar kalau Anda heran, tapi sesungguhnya sedikit sekali
keterangannya. Barangkali cara paling sederhana untuk menerangkannya adalah saya
terobsesi pada Anda." Ia berhenti sebentar, tertawa, dan lanjutnya, "Ya, soalnya cuma
tergila-gila, seorang lelaki tertarik kepada lelaki lain."
Geki kelihatannya merasa penjelasan itu sudah cukup, tapi Musashi justru jadi lebih
bingung lagi. Memang agaknya bukan tidak mungkin seorang lelaki terpikat lelaki lain,
tapi ia sendiri tak pernah punya pengalaman macam itu. Takuan orangnya terlalu keras,
hingga tidak menimbulkan perasaan sayang yang kuat. Koetsu hidup di dunia yang sama
sekali berbeda. Sekishusai menduduki taraf yang jauh di atas Musashi, hingga perasaan
suka atau tak suka tidak terbayangkan olehnya. Kemungkinan, itulah cara Geki menjilat,
tapi orang yang membuat pernyataan seperti itu berarti membuka diri terhadap tuduhan
bahwa ia tidak jujur. Namun Musashi sangsi apakah samurai ini seorang penjilat.
Orangnya terlalu pejal dan perawakannya terlalu jantan.
"Jelasnya, apa maksud Anda," tanya Musashi dengan nada sabar, "waktu Anda mengatakan
tertarik pada saya itu?"
"Barangkali saya terlalu lancang, tapi semenjak mendengar tentang prestasi Anda di
Ichijoji itu, saya yakin Anda orang yang saya sukai dan akan sangat saya sukai."
"Anda di Kyoto waktu itu?"
"Ya, saya datang pada bulan pertama, dan saya tinggal di kediaman Yang Dipertuan Date
di Jalan Sanjo. Ketika kebetulan singgah di kediaman Yang Dipertuan Karasumaru
Mitsuhiro, sehari sesudah pertempuran itu, sava mendengar sedikit tentang Anda. Beliau
mengatakan pernah berjumpa dengan Anda, dan beliau bicara tentang masa muda Anda, dan
tentang apa yang Anda lakukan di waktu lampau. Karena merasa tertarik sekali, saya
putuskan saya harus berusaha menjumpai Anda. Dalam perjalanan dari Kyoto, saya lihat
papan pengumuman yang Anda pasang di Celah Shiojiri.'
"Oh, Anda melihatnya?" Sungguh ironis, pikir Musashi, bahwa papan itu bukan
mendatangkan Jotaro, melainkan orang lain yang kehadirannya tak pernah la mimpikan.
Tetapi makin lama ia timbang-timbang persoalan itu, makin ia merasa kurang pantas
mendapat kehormatan seperti yang diberikan Geki itu.
Sadar akan kekeliruan dan kegalauannya sendiri, ia merasa pujian-pujian Geki itu hanya
membuatnya malu. Dengan penuh ketulusan ia berkata, "Saya pikir terlalu tinggi Anda menilai saya."
"Ada banyak samurai terkemuka yang bekerja di bawah Yang Dipertuan Date. Tanah
perdikannya saja menghasilkan lima juta gantang. Saya sudah bertemu dengan banyak
pemain pedang yang cakap, tapi dari pendengaran saya, rasanya hanya sedikit yang dapat
dibandingkan dengan Anda. Apalagi Anda masih sangat muda. Masa depan Anda masih
panjang. Dan itulah saya kira yang menyebabkan saya terangsang. Bagaimanapun, sesudah
kita bertemu sekarang, marilah kita bersahabat. Silakan minum dan bicara tentang apa
saja yang menarik minat Anda."
Musashi menerima mangkuk sake itu dengan senang hati, dan mulai mengimbangi
pengundangnya dalam minum. Tak lama kemudian, wajahnya sudah merah padam.
Geki kuat sekali minum. Katanya, "Kami samurai dari utara dapat banyak minum. Kami
melakukannya supaya badan hangat. Yang Dipertuan Date dapat mengalahkan kami semua
dalam minum. Dengan seorang jenderal kuat yang memimpin di muka, pasukan tidak
ketinggalan." Gadis pelayan terus juga mendatangkan sake tambahan. Bahkan sesudah beberapa kali ia
merapikan sumbu lampu, Geki belum memperlihatkan kecenderungan berhenti. "Mari kita
minum sepanjang malam," sarannya "Dengan begitu, kita dapat bicara sepanjang malam."
"Baik," kata Musashi menyetujui. Kemudian sambil tersenyum, "Anda bilang Anda pernah
bicara dengan Karasumaru. Apa Anda kenal baik dengannya?"
"Kami tak dapat disebut sahabat dekat, tapi selama beberapa tahun, berkali-kali saya
datang ke rumahnya, menyampaikan pesan. Sikapnya sangat bersahabat."
"Betul, saya pernah bertemu dengannya, diperkenalkan oleh Hon'ami Koetsu. Untuk seorang
bangsawan, dia tampak sekali penuh semangat hidup."
Dengan wajah agak tak puas, Geki berkata, "Apa itu satu-satunya kesan Anda" Kalau Anda
bicara dengannya agak lama, saya pikir Anda akan terkesan oleh kecerdasan dan
ketulusannya." "Kami waktu itu bersama-sama pergi ke daerah lokalisasi."
"Kalau demikian, saya kira dia menahan diri untuk tidak mengungkapkan dirinya yang
sebenarnya waktu itu."
"Bagaimana dia sebenarnya?"
Geki memperlihatkan gaya lebih resmi, dan dengan nada agak sungguh-sungguh, katanya,
"Dia orang yang gelisah. Kalau mau, dapat Anda katakan dia orang yang sedih. Cara-cara
diktatorial yang dipakai shogun sangat menggelisahkan dirinya."
Sejenak Musashi mendengar bunyi berirama gembira dari arah danau, dan melihat bayangan
yang ditimbulkan oleh cahaya lampu putih.
Mendadak Geki bertanya, "Musashi sahabatku, demi siapa Anda berusaha menyempurnakan
permainan pedang Anda?"
Karena tak pernah memikirkan pertanyaan itu, Musashi menjawab dengan penuh
keterusterangan, "Demi diri saya sendiri."
"Soal itu baik saja, tapi demi siapa Anda berusaha meningkatkan diri" Saya yakin tujuan
Anda bukan sekadar kehormatan atau kemuliaan pribadi. Itu rasanya tak cukup untuk orang
setaraf Anda." Secara kebetulan, atau memang menurut rencana, Geki sampai pada persoalan yang memang
hendak dibicarakannya. "Sekarang, ketika seluruh negeri berada di bawah kekuasaan
Ieyasu," katanya, "kita punya semacam perdamaian dan kesejahteraan. Tapi apa keduanya
itu nyata" Apa rakyat benar-benar hidup bahagia di bawah sistem yang sekarang"
"Berabad-abad lamanya kita diperintah Keluarga Hojo, Ashikaga, Oda Nobunaga, Hideyoshisatu rangkaian panjang penguasa militer yang menindas tidak hanya rakyat, tetapi juga
kaisar dan istana. Pemerintah kaisar dimanfaatkan, dan rakyat diperas tanpa kenal
ampun. Segala keuntungan jatuh ke tangan kelas militer. Hal ini terjadi sejak Minamoto
no Yoritomo, kan" Dan situasi sekarang tidak berubah.
"Nobunaga rupanya punya pengertian tentang ketidakadilan yang sedang berlaku.
Setidaknya dia membangun istana baru untuk Kaisar. Hideyoshi tidak hanya menghormati
Kaisar Go-Yozei dengan menyuruh semua daimyo menunjukkan sembah kepadanya, tapi bahkan
mencoba memberikan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyat biasa. Tapi bagaimana
dengan Ieyasu" Maksud dan tujuannya tidak pernah keluar dari keuntungan klannya
sendiri. Sekali lagi, kebahagiaan rakyat dan kesejahteraan keluarga kaisar dikorbankan
untuk menciptakan kekayaan dan kekuasaan diktator militer. Kita rupanya berada di
ambang pintu abad tirani yang lain lagi. Tak seorang pun lebih prihatin dengan keadaan
ini daripada Yang Dipertuan Date Masamune, juga Yang Dipertuan Karasumaru sebagai wakil
kaum bangsawan." Geki berhenti bicara untuk menantikan tanggapan, tapi tak ada kata-kata Musashi selain,
"Oh, begitu," yang hampir tanpa tekanan.
Seperti orang lain juga, Musashi sadar akan terjadinya perubahan-perubahan politik yang
drastis semenjak Pertempuran Sekigahara. Namun ia tidak pernah mencurahkan perhatian
pada kegiatan para daimyo daerah Osaka dan motif-motif tersembunyi Keluarga Tokugawa,
juga sikap yang diambil oleh bangsawan-bangsawan kuat dari luar kalangan, seperti Date
dan Shimazu. Yang ia ketahui tentang Date hanyalah bahwa tanah perdikannya secara resmi
memiliki penghasilan tiga juta gantang setahun, tapi dalam kenyataan barangkali
menghasilkan lima juta gantang, sebagaimana disebutkan Geki.
"Dua kali setahun," sambung Geki, "Yang Dipertuan Date mengirimkan hasil tanah perdikan
kami kepada Yang Dipertuan Konoe di Kyoto, untuk dipersembahkan pada Kaisar. Tak pernah
dia tidak melakukan hal itu, bahkan juga di masa perang. Itu juga sebabnya saya berada
di Kyoto. "Benteng Aoba adalah satu-satunya di negeri ini yang memiliki ruangan khusus bagi
Kaisar. Tampaknya ruangan itu tak pernah digunakan, tetapi Yang Dipertuan Date
bagaimanapun menyisihkan ruangan yang dibangun dari kayu Istana Kaisar lama, ketika
istana itu dibangun kembali. Ia bawa kayu itu dari Kyoto ke Sendai, dengan perahu.
"Dan sekarang baiklah saya ceritakan tentang perang di Korea. Selama berlangsungnya
peperangan di sana itu, Kato, Konishi, dan jenderal-jenderal lain bersaing
memperebutkan kemasyhuran dan kemenangan pribadi. Tidak demikian halnya dengan Yang
Dipertuan Date. Dia tidak menggunakan lambang keluarga sendiri, melainkan lambang
matahari terbit, dan dia menyatakan pada semua orang bahwa dia memimpin orang-orangnya
ke Korea itu sama sekali bukan untuk kemuliaan sendiri, atau untuk kemuliaan Hideyoshi.
Dia pergi ke sana karena cintanya kepada Jepang."
Musashi mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Geki jadi tenggelam dalam monolog yang
melukiskan tuannya dengan istilah-istilah mentereng, dan meyakinkan Musashi bahwa
tuannya tidak tertandingi dalam kesetiaan bulatnya kepada bangsa dan Kaisar.
Sejenak ia lupa akan minuman, tapi kemudian tiba-tiba ia memandang ke bawah, dan
katanya, "Sake sudah dingin." Ia menepukkan tangan memanggil gadis pelayan, dan hendak
memesan lagi. Musashi buru-buru menyelanya. "Saya sudah lebih dari cukup. Kalau Anda tidak keberatan,
saya lebih suka makan nasi dan minum teh sekarang."
"Sudah?" gerutu Geki. la kelihatan kecewa, tetapi karena rasa hormat kepada temannya,
ia menyuruh gadis pelayan membawakan nasi.
Putri Samudera 2 Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr Rahasia Diri 1
^