Pencarian

Mushasi 19

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 19


ini, Hangawara berarti "setengah bergenting".
Ia datang dari Edo sebagai ronin, tapi karena pandai dan sekaligus ramah, ia
membuktikan dirinya seorang pengelola yang terampil. Tak lama kemudian, ia mampu
bertindak sebagai kontraktor yang mempekerjakan sejumlah besar tukang kayu, tukang
atap, dan pekerja tidak terampil. Dari sejumlah daimyo, ia memperoleh cukup modal untuk
menjangkau juga usaha real estate. Karena sudah terlalu kaya untuk bekerja dengan
tangan sendiri, ia memainkan peranan sebagai majikan. Di antara sejumlah besar majikan
yang berdiri sendiri di Edo, Yajibei termasuk salah seorang yang paling terkenal dan
paling dihormati. Penduduk kota menghormati para majikan dan juga prajurit, tapi dari keduanya itu, para
majikan lebih mereka kagumi, karena para majikan biasanya membela kepentingan rakyat
banyak. Sekalipun para majikan Edo memiliki gaya dan semangat sendiri, mereka tidaklah
unik bagi ibu kota yang baru itu. Sejarah mereka bermula dari zaman akhir ke-shogun-an
Ashikaga yang penuh kekacauan, ketika gerombolan-gerombolan penjahat kejam
bergelandangan di pedesaan, seperti kawanan singa yang menjarah semau-maunya dan sama
sekali tak kenal kendali.
Menurut seorang penulis dari zaman itu, pakaian mereka waktu itu tidak lebih dari cawat
merah terang dan kain penutup perut yang lebar. Pedang mereka sangat panjang-hampir
empat kaki"dan bahkan pedang pendeknya lebih dari dua kaki panjangnya. Banyak di
antaranya menggunakan senjata lain dari jenis yang lebih kasar, seperti misalnya kampak
perang dan "cakar besi". Mereka membiarkan rambut mereka tumbuh liar, menggunakan tali
besar untuk ikat kepala, dan sering kali menutup betisnya dengan pembalut kaki.
Karena tidak mengabdi pada orang-orang tertentu, mereka bertindak sebagai serdadu
bayaran, dan sesudah perdamaian ditegakkan, mereka disingkirkan, baik oleh para petani
maupun samurai. Pada zaman Edo, orang-orang yang tak suka menjadi bandit atau penyamun
sering mencari peruntungan di ibu kota baru. Banyak dari mereka mendapat sukses, dan
pemimpin-pemimpin jenis ini pernah dilukiskan sebagai "bertulang kebajikan, berdaging
kecintaan pada rakyat, dan berkulit ksatriaan." Singkatnya, mereka betul-betul pahlawan
rakyat. *** 64. Pembantaian di Tepi Sungai
HIDUP di bawah atap setengah genting Yajibei itu sangat cocok untuk Osugi, hingga satu
setengah tahun kemudian ia masih tinggal disana. Beberapa minggu pertama
dipergunakannya untuk beristirahat dan menyembuhkan badan. Sesudah itu, hampir tak
pernah ada hari lewat tanpa ia menyatakan ingin pergi meninggalkan tempat itu.
Setiap kali ia memulai pembicaraan tentang itu, Yajibei yang tidak sering dilihatnya,
mendesaknya untuk tinggal lebih lama. "Untuk apa tergesa-gesa?" tanyanya. "Tak ada
alasan buat Ibu pergi ke mana-mana. Tunggu kesempatan dulu, sampai kami menemukan
Musashi. Waktu itulah kami akan bertindak sebagai pendukung Ibu." Yajibei tak tahu apaapa tentang musuh Osugi, kecuali dari yang telah diceritakan Osugi sendiri kepadanya.
Musashi, menurut Osugi, adalah orang paling jahat dari seluruh orang jahat, dan itu
diuraikannya sampai bertele-tele. Semenjak kedatangannya, semua bawahan Yajibei
mendapat perintah untuk segera melaporkan apa pun yang mereka dengar tentang Musashi,
atau apabila mereka melihatnva.
Semula Osugi membenci Edo, tapi kemudian sikapnya melunak, sampai akhirnya ia mau
mengakui bahwa orang-orang itu "bersahabat, periang, dan betul-betul baik hati".
Rumah tangga Hangawara adalah tempat yang sangat gampang, dan merupakan semacam
pelabuhan bagi orang-orang buangan. Pemuda-pemuda desa yang terlampau malas untuk
bertani, ronin yang tersingkir, orang-orang jangak yang telah menghabiskan uang
orangtua mereka, dan bekas-bekas narapidana bertato, di tempat itu membentuk
persekutuan orang kasar dan aneka warna. Semangat korps yang menyatukan mereka anehnya
mirip dengan semangat perguruan prajurit yang terurus baik. Namun yang menjadi ideal di
situ adalah kejantanan penuh gertakan, bukan kelelakian spiritual. Tempat ini betulbetul dojo untuk para penjahat kejam.
Sebagaimana dalam dojo seni perang, di situ terdapat struktur kelas yang ketat. Di
bawah majikan yang merupakan penguasa spiritual dan yang sangat sementara sifatnya,
terdapat kelompok senior yang biasanya disebut "kakak". Di bawah mereka terdapat
bawahan atau kobun, yang kedudukannya sangat ditentukan oleh panjangnya masa dinas. Ada
juga kelas khusus berupa "tamu". Status tamu tergantung pada faktor-faktor seperti
kecakapan mereka menggunakan senjata. Organisasi hierarki ini didukung kode sopan
santun yang asal-usulnya tidak jelas, namun dianut dengan tegas.
Suatu kali, karena menduga Osugi merasa bosan, Yajibei menyarankan agar Osugi mau
mengurusi orang-orang muda itu. Semenjak itu, hari-hari Osugi disibukkan sepenuhnya
oleh kerja menjahit, menambal, mencuci, dan mengatur para kobun. Kebiasaan ceroboh
mereka memberikan banyak kesibukan kepadanya.
Meskipun tidak berpendidikan, para kobun itu bisa menghargai kualitas kalau mereka
menyaksikannya. Mereka umumnya mengagumi kebiasaan-kebiasaan hidup Osugi yang sederhana
dan keras, serta efisiensi kerjanya. "Dia betul-betul wanita samurai," demikian kata
mereka. "Keluarga Hon'iden itu pasti memiliki darah yang sangat balk."
Tuan rumah yang lain dari yang lain itu memperlakukan Osugi dengan penuh perhatian. Ia
bahkan membangun ruang tinggal terpisah untuk Osugi, di tanah kosong di belakang
rumahnya. Kalau sedang berada di rumah, ia selalu pergi menyatakan hormat kepada Osugi,
tiap pagi dan petang. Tatkala salah seorang anak buahnya bertanya, kenapa ia begitu
hormat pada seorang asing, Yajibei mengakui bahwa dulu ia memperlakukan ayah dan ibunya
dengan sangat buruk, selagi mereka masih hidup. "Pada umurku sekarang," katanya, "aku
merasa berkewajiban sebagai anak pada semua orang tua."
Musim semi tiba, dan kembang-kembang prem liar sudah berjatuhan, tapi di kota itu
sendiri, hingga waktu itu hampir belum ada bunga sakura. Selain beberapa pohon di
bukit-bukit barat yang hanya di sana-sini dihuni orang, hanya terdapat pohon-pohon muda
yang ditanam orang-orang Budhis sepanjang jalan menuju Sensoji, di Asakusa. Orang
mengatakan tahun ini pohon-pohon itu akan berkuncup dan berkembang untuk pertama kali.
Pada suatu hari, Yajibei datang ke kamar Osugi, katanya, "Saya akan pergi ke Sensoji.
Barangkali Ibu mau ikut?"
"Senang sekali. Kuil itu dipersembahkan pada Kanzeon, dan saya percaya sekali pada
kekuatannya. Dia bodhisatwa yang sama dengan Kannon yang saya puja di Kuil
Kiyomizudera, Kyoto."
Bersama Yajibei dan Osugi ikut dua dari antara para kobun, Juro dan Koroku. Jutu
mempunyai nama panggilan "Tikar Buluh", yang asalnya tak ada yang mengetahui;
sebaliknya, jelas kenapa Koroku disebut "Akolit". Ia bertubuh kecil, berbadan pejal,
wajahnya sangat ramah, kalau orang tidak menghiraukan tiga bekas luka jelek pada
dahinya, yang menjadi bukti kecenderungannya bertengkar di jalan-jalan.
Pertama, mereka pergi ke parit di Kyobashi, tempat penyewaan perahu.
Koroku dengan terampil mengayuh keluar dari parit, dan masuk Sungai Sumida, kemudian
Yajibei memerintahkan membuka bekal perjalanan.
"Saya pergi ke kuil itu hari ini," jelasnya, "sebab hari ini ulang tahun meninggalnya
ibu saya. Sebetulnya saya mesti pulang berziarah ke makamnya, tapi tempatnya terlalu
jauh, karena itu saya ambil jalan tengah pergi ke Sensoji dan memberikan sumbangan.
Tapi sebetulnya itu serbatanggung jadinya. Anggap sajalah ini piknik." Ia menjangkau
tepi perahu, membasuh mangkuk sake dengan air sungai, dan menawarkannya pada Osugi.
"Bagus sekali Anda ingat pada ibu," kata Osugi ketika menerima mangkuk: sesuai dengan
sifatnya yang suka bertingkah, ia bertanya-tanya apakah Matahachi akan berbuat demikian
juga bila nanti ia sudah mati. "Tapi terpikir juga oleh saya, apa pantas minum sake
pada ulang tahun meninggalnya ibu Anda yang malang itu?"
"Ah, tapi saya lebih baik melakukan ini daripada mengadakan upacara yang muluk-muluk.
Biar bagaimana, saya percaya kepada sang Budha. Itulah yang penting untuk orang udik
bebal macam saya. Ibu kenal dengan peribahasa ini, kan" Barang siapa beriman, dia tidak
membutuhkan pengetahuan'."
Osugi tidak mengganggu-gugat lagi soal itu, dan minta tambah sake beberapa kali lagi.
Beberapa waktu kemudian, ia menyatakan, "Lama sekali saya tidak minum macam ini. Saya
merasa seperti mengapung di udara."
"Minumlah," desak Yajibei. "Sake-nya enak, kan" Jangan kuatir akan jatuh ke air. Kami
di sini menjaga Ibu."
Sungai yang mengalir ke selatan dari Sumida itu lebar dan tenang. Di tepian Shimosa,
yaitu tepi timur yang berhadap-hadapan dengan Edo, terdapat hutan subur. Akar-akar
pohon yang menjulur ke dalam air membentuk sarang. mengelilingi kolam-kolam jernih
bersinar seperti batu safir di sinar matahari.
"Oh," kata Osugi. "Dengarkan burung bulbul itu."
"Kalau musim hujan datang, kita dapat mendengar burung kukuk berbunyi sepanjang hari."
"Mari saya tuangkan lagi. Saya harap Anda tidak keberatan saya ikut dalam perayaan
ini." "Oh, saya senang kalau Ibu senang."
Dari buritan perahu, Koroku berseru keras, "Bagaimana kalau sake diedarkan, Bos?"
"Perhatikan dulu kerjamu. Kalau kau mulai minum sekarang, kita semua bisa tenggelam.
Waktu pulang nanti, kau boleh minum sesukamu."
"Beres. Tapi sebaiknya Anda tahu, sungai ini seluruhnya mulai kelihatan seperti sake."
"Jangan pikirkan lagi soal itu. Nah, bawa perahu ini ke perahu dekat tepi itu, supaya
kita dapat membeli ikan segar."
Koroku memenuhi perintah. Sesudah sedikit tawar-menawar, memperlihatkan senyuman
senang, si nelayan membuka tangki yang ditanam di dek dan mempersilakan mereka
mengambil sesuka mereka. Belum pernah Osugi melihat pemandangan macam itu. Tangki itu
penuh dengan ikan yang menggelepar-gelepar dan mengepak-ngepak, sebagian dari laut,
sebagian lagi dari sungai: ikan gurame, udang, ikan berkumis, porgi hitam, dan ikan
gobi. Bahkan ikan forrel dan bandeng ada juga.
Yajibei menuangkan kecap pada beberapa ikan umpan putih dan mulai melahapnya mentahmentah. Ia menawarkannya juga pada Osugi, tapi Osugi menolak dengan wajah ngeri.
Ketika mereka merapat ke tepi barat dan turun, Osugi kelihatan sedikit goyah kakinya.
"Hati-hati," Yajibei mengingatkan. "Pegang tangan saya ini."
"Terima kasih. Saya tak perlu bantuan," katanya sambil melambaikan satu tangan ke depan
mukanya sendiri dengan sikap marah.
Sesudah Juro dan Koroku menambatkan perahu, keempat orang itu melintasi padang batu dan
kubangan air yang luas, menuju tepi sungai yang bersih.
Serombongan anak kecil sibuk membalik-balik batu, tapi ketika melihat keempat orang
yang tidak biasa mereka lihat itu, mereka pun berhenti dan segera mengelilingi dan
berceloteh dengan riuhnya.
"Beli ini, Pak. Beli, Pak."
"Mau beli, Nek?"
Yajibei rupanya suka anak-anak. Setidaknya, ia tidak memperlihatkan tanda-tanda kesal.
"Apa yang kaujual itu-kepiting?"
"Bukan kepiting, mata panah," seru mereka sambil mengeluarkan sejumlah besar barang itu
dari dalam kimono. "Mata panah?" "Betul, Pak. Banyak orang dan kuda dikubur di bukit dekat kuil itu. Orang datang kemari
beli mata panah buat sesajen orang yang meninggal. Bapak perlu juga?"
"Aku barangkali tidak butuh mata panah, tapi akan kuberi kau uang. Bagaimana kalau
begitu?" Pilihan baik sekali. Begitu Yajibei selesai membagikan beberapa mata uang, anak-anak
itu berlarian pergi dan kembali menggali. Tapi, selagi ia masih memperhatikan, seorang
lelaki keluar dari sebuah rumah beratap lalang, tidak jauh dari sana, mengambil mata
uang itu dari tangan anak-anak, dan masuk kembali ke dalam rumah. Yajibei mendecapkan
lidah dan membuang muka dengan sikap muak.
Osugi melayangkan pandang ke seberang sungai, dengan mata tampak terpesona. "Kalau di
sini banyak mata panah," ujarnya, "tentunya di sini pernah terjadi pertempuran besar."
"Saya tidak tahu benar, tapi rupanya memang terjadi sejumlah pertempuran di sini,
ketika Edo cuma sebuah tanah milik provinsi, empat atau lima ratus tahun yang lalu.
Saya pernah mendengar, Minamoto no Yoritomo datang kemari dari Izu, untuk menyusun
pasukan pada abad dua belas.
Ketika istana Kaisar terpecah-kapan itu, ya, pada abad empat belas"Yang Dipertuan Nitta
dari Musashi dikalahkan oleh Keluarga Ashikaga di sekitar daerah ini. Beberapa abad
terakhir, Ota Dokan dan jenderal setempat lainnya kabarnya melakukan banyak pertempuran
di arah udik." Sementara mereka bercakap-cakap, Juro dan Koroku pergi menyiapkan tempat duduk bagi
mereka di beranda kuil. Sensoji ternyata sangat mengecewakan Osugi. Di matanya, kuil itu tidak lebih dari rumah
besar yang sudah tidak terpelihara, sedangkan tempat tinggal pendeta hanya sebuah
gubuk. "Apa ini yang namanya Sensoji?" tanyanya dengan nada lebih dari sekadar mencela.
"Sesudah begitu banyak saya mendengar tentang Sensoji..."
Lingkungan kuil itu berupa hutan kuno yang indah, dengan pohon-pohon besar tua, tapi
kekurangannya tidak hanya karena ruang Kanzeon itu tampak kotor. Apabila sungai banjir,
air naik dari hutan, langsung ke beranda. Pada waktu lain pun, air anak-anak sungai
kecil melimpahi pekarangan itu.
"Selamat datang. Saya senang bertemu lagi dengan Bapak."
Osugi menengadah keheranan, dan melihat seorang pendeta berlutut di atas atap.
"Mengerjakan atap?" tanya Yajibei ramah.
"Terpaksa, gara-gara burung. Makin sering saya memperbaikinya, makin sering dia mencuri
lalang untuk membuat sarang. Selalu saja ada yang bocor. Silakan, Pak. Sebentar lagi
saya turun." Yajibei dan Osugi mengambil lilin nazar dan masuk ke dalam ruangan yang remang-remang.
"Tidak heran kalau bocor," pikir Osugi, yang melihat lubang-lubang seperti bintang di
atas kepalanya. Sambil berlutut di samping Yajibei, Osugi mengeluarkan tasbihnya dan dengan pandangan
menerawang ia menyanyikan Sumpah Kanzeon dari kitab Sutra Teratai.
Engkau bersemayam di langit seperti matahari
Dan kalau engkau dikejar orang-orang jahat.
Dan ditolakkan dari Gunung Berlian.
Kenangkan olehmu kuasa Kanzeon.
Dan engkau takkan kehilangan selembar pun rambut kepalamu.
Dan kalau bandit-bandit mengepungmu.
Dan mengancammu dengan pedang
Kalau engkau kenangkan kuasa Kanzeon,
Bandit-bandit akan kasihan kepadamu.
Dan kalau raja menghukum mati engkau
Dan pedang akan memenggal kepalamu,
Kenangkan olehmu kuasa Kanzeon
Pedang akan patah berkeping-keping
Semula ia membacakan lagu itu pelan-pelan, tapi ketika ia sudah lupa akan hadirnya
Yajibei, Juro, dan Koroku, suaranya pun naik dan jadi bergaung; wajahnya tampak asyik.
Delapan puluh empat makhluk perkasa
Mulai dengan sepenuh hati menghasratkan Amuttara-samyak-sambodhi
Kebijaksanaan sang Budha yang tak ada bandingannya.
Tasbih menggeletar dalam jemarinya; tanpa berhenti, Osugi beralih dari pembacaan ke
permohonan pribadinya sendiri.
Hidup Kanzeon Maha Terhormat!
Hidup Bodhisatwa Keampunan Tak terbatas dan
Belas kasihan Tak terbatas!
Kabulkanlah harapan perempuan tua ini.
Izinkan aku menjatuhkan Musashi, segera sekali!
Izinkan aku menjatuhkannya!
Izinkan aku menjatuhkannya!
Tiba-tiba ia menurunkan suaranya dan membungkuk ke lantai.
"Dan jadikan Matahachi anak yang baik!
Datangkan kesejahteraan kepada Keluarga Hon'iden!"
Sesudah doa panjang itu berakhir, menyusul saat tenang dan pendeta mengundang mereka ke
luar untuk minum teh. Yajibei dan kedua orang muda yang berlutut tertib selama
berlangsung pembacaan doa itu bangkit sambil menggosok-gosok kaki yang kesemutan, dan
keluar menuju beranda. "Sekarang boleh minum sake, kan?" tanya Juro. Begitu diberi izin, ia bergegas menuju
rumah pendeta dan menyiapkan makan slang di serambi. Ketika orang-orang lain
menggabungkan diri dengannya, ia sedang menghirup sake dengan satu tangan, dan dengan
tangan satunya memanggang ikan yang tadi mereka beli. "Siapa yang peduli, ada bunga
sakura atau tidak?" ucapnya. "Rasanya sekarang ini saja sudah seperti piknik sambil
meninjau bunga-bunga."
Yajibei menyerahkan kepada pendeta persembahan yang dengan rapi dibungkus kertas, dan
ia minta agar uang itu digunakan untuk membetulkan atap. Saat melakukan itu, kebetulan
ia melihat sebaris piagam dari kayu, yang memuat nama-nama para penyumbang dan jumlah
yang mereka sumbangkan. Hampir semuanya sama dengan jumlah yang diberikan Yajibei.
Beberapa orang kurang jumlahnya, tapi ada satu yang mencolok. Sepuluh mata uang emas,
Daizo dari Narai, Provinsi Shinano.
Sambil menoleh kepada pendeta, Yajibei menyatakan dengan sedikit malu-malu. "Barangkali
kasar saya menyatakan ini, tapi sepuluh mata uang emas adalah jumlah yang besar. Apa
Daizo dari Narai itu memang kaya?"
"Tak bisa saya mengatakan itu. Dia muncul entah dari mana, pada suatu hari menjelang
akhir tahun lalu, dan mengatakan sungguh memalukan bahwa kuil paling terkenal di daerah
Kanto ini dalam keadaan begini jelek. Dia minta saya menambahkan uang itu kepada dana
kami, untuk membeli kayu."
"Kedengarannya seperti orang yang patut dikagumi."
"Dia juga menyumbangkan tiga keping mata uang emas kepada Tempat Suci Yushima, dan tak
kurang dari dua puluh keping kepada Tempat Suci Kanda Myojin. Dia minta agar yang
terakhir itu disimpan baik-baik, karena dia mengabdikan semangat Taira no Masakado.
Daizo menekankan bahwa Masakado bukan seorang pemberontak. Menurutnya, Masakado mesti
dipuja sebagai perintis yang telah membuka bagian timur negeri ini. Anda lihat ada
beberapa penyumbang yang sangat luar biasa di dunia ini."
Belum lagi selesai ia berbicara, segerombolan anak-anak datang berlari, berebut-rebut


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekati mereka. "Apa kerja kalian di sini?" teriak si pendeta dengan garang. "Kalau kalian mau main,
turun sana ke sungai. Kalian jangan lari-lari tak keruan di pekarangan kuil."
Tetapi anak-anak itu terus juga berlari seperti kawanan ikan mino, sampai mereka
mencapai beranda. "Cepat ke sana!" teriak salah satu dari mereka. "Bukan main!"
"Ada samurai di sana. Lagi berkelahi!"
"Satu orang lawan empat."
"Pedang betulan!"
"Terpujilah sang Budha, jangan lagi terjadi!" rintih si pendeta sambil bergegas
mengenakan sandalnya. Sebelum berlari pergi, ia berhenti dulu sebentar, memberi
penjelasan. "Maafkan saya. Terpaksa saya meninggalkan Anda sekalian sebentar. Tapi
sungai ini tempat yang disenangi orang buat berkelahi. Tiap kali saya keliling, ada
saja orang di sana memotong-motong yang lain atau memukulinya sampai tinggal jadi
daging. Kemudian petugas kantor hakim datang menemui saya dan minta laporan tertulis.
Terpaksa sekarang saya pergi melihat apa yang terjadi."
"Perkelahian?" tanya Yajibei dan orang-orangnya serempak, dan segera ikut lari. Osugi
ikut juga, tapi karena jauh lebih lambat jalannya, ketika ia sampai di sana,
perkelahian sudah selesai. Anak-anak dan beberapa penonton dari desa nelayan sekitar
situ berdiri diam berkeliling. Mereka semua menelan ludah dengan susah-payah, muka
mereka pucat. Semula Osugi merasa suasana diam itu aneh, tapi kemudian ia ikut tergagap dan matanya
melotot. Bayangan seekor burung layang-layang melintas di tanah. Seorang samurai muda
berwajah puas diri, berpakaian jubah prajurit warna merah keunguan, berjalan ke arah
mereka. Entah ia melihat para penonton atau tidak, tapi yang jelas ia tidak
memperhatikan mereka. Pandangan Osugi berpindah kepada empat tubuh yang tergeletak tumpang tindih sekitar dua
puluh langkah di belakang samurai itu.
Si pemenang itu berhenti. Begitu ia berhenti, beberapa mulut tergagap, karena seorang
dari orang-orang yang kalah itu bergerak. Mati-matian ia berusaha tegak berdiri, lalu
berteriak, "Tunggu! Tak bisa kau lari!"
Samurai itu mengambil jurus menanti, dan orang yang luka itu berlari ke depan,
terengah-engah, "Pertempuran... ini... belum selesai!"
Ketika orang itu melompat lemah untuk menyerang, si samurai mundur setapak, hingga
orang itu terhuyung ke depan, kemudian ia menebas, dan kepala orang itu pun terbelah
dua. "Nah, selesai sekarang?" teriaknya kejam.
Bahkan tak seorang pun melihat kapan Galah Pengering itu dihunus.
Sesudah menghapus mata pedang, ia membungkuk untuk mencuci tangannya di sungai.
Sekalipun orang-orang desa itu sudah terbiasa dengan perkelahian, mereka terpana
melihat sikap darah dingin samurai itu. Kematian orang terakhir itu tidak hanya
bersifat seketika, tapi juga kejam tak berperikemanusiaan. Tak satu patah kata pun
terucapkan. Samurai itu berdiri meregangkan badan. "Ini seperti Sungai Iwakuni," katanya. "Dan
mengingatkan aku pada rumah." Beberapa saat lamanya ia iseng memandang sungai lebar dan
sekawanan burung layang-layang berdada putih yang menukik dan menyambar air. Kemudian
ia membalik dan berjalan cepat menghilir.
Ia langsung menuju perahu Yajibei, tapi ketika ia baru mulai melepaskan tambatannya,
Juro dan Koroku datang berlari-lari dari hutan.
"Tunggu! Apa maksudmu?" teriak Juro yang kini sudah cukup dekat, hingga melihat darah
pada hakama samurai itu dan tali sandalnya, tapi tidak mengacuhkannya.
Sambil menjatuhkan tali perahu, samurai itu menyeringai, tanyanya, "Apa tak boleh aku
pakai perahu ini?" "Tentu saja tak boleh," sahut Juro.
"Dan kalau kubayar untuk kugunakan?"
"Jangan omong kosong." Suara kasar menolak permintaan samurai itu datang dari Juro,
tapi sepertinya seluruh kota Edo yang baru dan kurang ajar itulah yang bicara tanpa
kenal takut melalui mulutnya.
Samurai itu tidak minta maaf, tapi tidak juga hendak menggunakan kekerasan. Ia hanya
membalik dan pergi tanpa mengatakan sesuatu.
"Kojiro! Kojiro! Tunggu!" panggil Osugi sekuat paru-parunya.
Ketika Kojiro melihat siapa yang memanggilnya, kegarangan pada mukanya pun lenyap, dan
tersungginglah senyuman ramah. "Lho, apa yang Ibu kerjakan di sini" Sebenarnya ingin
tahu juga saya, apa yang terjadi dengan Ibu."
"Saya di sini menyatakan hormat pada Kanzeon. Saya datang dengan Hangawara Yajibei dan
dua pemuda itu. Yajibei memperkenankan saya tinggal di rumahnya, di Bakurocho."
"Kapan terakhir kali kita bertemu, ya" Coba saya ingat-ingat-oh, Gunung Hiei. Waktu itu
Ibu mengatakan akan pergi ke Edo, karena itu saya sudah pikir mungkin akan ketemu Ibu.
Tak disangka bisa ketemu Ibu di sini." Ia memandang Juro dan Koroku yang waktu itu
sedang tercengang-cengang. "Maksud Ibu dua pemuda di sana itu?"
"Ah, mereka itu cuma sepasang bajingan, tapi majikan mereka orang yang baik sekali."
Sama dengan semua orang, Yajibei seperti disambar petir ketika melihat tamunya
mengobrol ramah dengan samurai mengerikan itu. Dalam sekejap ia sudah tiba di tempat
itu dan membungkuk pada Kojiro, katanya, "Barangkali anak-anak buah saya bersikap
sangat kasar pada Anda. Saya harap Anda mau memaafkan mereka. Kami sudah siap untuk
pergi. Barangkali Anda mau menghilir bersama kami?"
*** 65. Serutan SEPERTI halnya orang-orang yang terpaksa berkumpul karena keadaan, walaupun hanya
sedikit saja atau sama sekali tak ada kepentingan bersama, samurai dan tuan rumah itu
segera mendapatkan tempat berpijak yang sama. Persediaan sake banyak, ikan masih segar,
dan Osugi memiliki hubungan spiritual khusus dengan Kojiro, yang menyebabkan suasana
menjadi tidak resmi. Dengan penuh perhatian, Osugi bertanya tentang karier Kojiro
sebagai shugyosha, dan Kojiro bertanya tentang kemajuan Osugi dalam mencapai "ambisi
besar"-nya. Ketika Osugi menyatakan bahwa sudah lama ia tidak mendengar kabar tentang Musashi,
Kojiro menyuguhkan setitik harapan. "Saya dengar dia mengunjungi dua atau tiga petarung
terkemuka pada musim gugur dan musim dingin lalu. Saya duga, dia masih ada diEdo."
Tentu saja Yajibei tidak yakin akan berita itu. Ia nyatakan pada Kojiro bahwa orangorangnya sama sekali tidak mendapat kabar apa pun. Mereka membicarakan keadaan sulit
Osugi itu dari segala sudut, lalu Yajibei berkata, "Saya harap kami dapat terus
mengandalkan diri pada persahabatan Anda."
Kojiro menjawab dengan nada yang sama, serta sedikit pamer, dengan mencuci mangkuk dan
menawarkannya tidak hanya kepada Yajibei, melainkan juga pada kedua anak buahnya. Ia
juga menuangkan sake untuk mereka semua.
Osugi benar-benar gembira. "Orang bilang," katanya sungguh-sungguh, "kebaikan dapat
ditemukan di mana saja. Biarpun begitu, saya sungguh beruntung. Dua orang kuat seperti
Anda ada di pihak saya! Bukan main! Saya yakin, Kanzeon yang agung selalu menjaga
saya." Dan ia sama sekali tidak menyembunyikan isak tangis atau air matanya. '
Karena tak ingin percakapan itu menjadi cengeng, Yajibei berkata, "Coba ceritakan,
Kojiro, siapa empat orang yang Anda robohkan di sana tadi."
Ini rupanya merupakan kesempatan yang sudah dinanti-nantikan Kojiro, karena sesudah itu
lidahnya yang cekatan segera bekerja tanpa ditunda tunda lagi. "Oh, mereka!" ia
memulai, diiringi tawa acuh tak acuh. "Cuma beberapa ronin dari Perguruan Obata. Lima
atau enam kali saya pergi ke sana, untuk membicarakan soal-soal militer dengan Obata,
tapi orang-orang itu terus saja menyela saya dengan pertanyaan-pertanyaan kurang ajar.
Mereka bahkan berani-berani membual mengenai permainan pedang, karena itu saya katakan
pada mereka bahwa kalau mereka mau datang ke tepi Sungai Sumida, akan saya berikan pada
mereka pelajaran tentang rahasia Gaya Ganryu, termasuk pameran mata pedang Galah
Pengering. Saya sampaikan pada mereka, saya tak peduli berapa banyak dari mereka akan
datang. "Waktu saya sampai di sana, lima orang datang, tapi begitu saya pasang jurus, seorang
berbalik dan lari. Bisa saya katakan, Edo memang lebih banyak memiliki orang yang cakap
bicara daripada berkelahi." Ia tertawa lagi, kali ini dengan riuhnya.
"Obata?" "Anda tak kenal dia" Obata Kagenori. Dia berasal dari garis keturunan Obata Nichijo
yang mengabdi pada Keluarga Takeda dari Kai. Ieyasu mempekerjakannya, dan sekarang dia
memberi kuliah dalam ilmu militer untuk shogun, Hidetada. Dia juga punya perguruan
sendiri." "Oh, ya, saya ingat sekarang." Yajibei heran dan terkesan oleh hubungan erat Kojiro
dengan orang yang demikian terkemuka. "Orang muda ini masih mengenakan jambul,"
demikian kagumnya diam-diam, "tapi tentunya orang penting juga dia, kalau punya
hubungan dengan samurai berpangkat itu." Majikan tukang kayu, bagaimanapun, hanyalah
orang sederhana, dan nilai yang paling dikagumi pada orang sejenisnya adalah kekuatan
kasarnya. Maka kekagumannya terhadap Kojiro semakin besar lagi.
Sambil mendekatkan muka pada samurai itu, katanya, "Sekarang saya ingin mengajukan
tawaran. Di sekitar rumah saya selalu ada empat atau lima puluh pemuda desa. Bagaimana
kalau saya membuat dojo untuk Anda dan saya minta Anda melatih mereka?"
"Ya, saya tidak keberatan memberikan pelajaran pada mereka, tapi Anda mesti mengerti,
demikian banyak daimyo menarik-narik lengan saya dengan membawa tawaran dua ribu, tiga
ribu gantang, sampai saya tak tahu lagi apa yang mesti saya lakukan. Terus terang, saya
takkan mempertimbangkan secara serius pekerjaan pada orang lain dengan penghasilan
kurang dari lima ribu. Lagi pula, untuk kesopanan, saya agak berkewajiban tinggal di
tempat saya berdiam sekarang. Tapi saya tidak keberatan datang ke tempat Anda."
Sambil membungkuk rendah, kata Yajibei, "Oh, saya hargai kesediaan Anda itu."
Osugi melengkapi, "Kami nantikan kedatanganmu."
Juro dan Koroku, yang terlampau naif untuk dapat mengenali keramahan dart propaganda
yang membunga-bungai pembicaraan Kojiro, sungguh terpukau oleh kemurahan hati orang
besar itu. Ketika perahu mengitari belokan dan masuk parit Kyobashi, Kojiro berkata, "Saya turun
di sini." Kemudian ia melompat ke tepi, dan dalam beberapa detik saja ia sudah hilang
ditelan debu yang mengepul di alas j alan.
"Orang muda yang sangat mengesankan," kata Yajibei yang masih juga terpesona.
"Ya," kata Osugi menyetujui, penuh keyakinan. "Dia sungguh seorang petarung sejati.
Saya yakin banyak daimyo yang bersedia memberikan upah yang balk kepadanya." Dan
setelah diam sebentar, ia menambahkan dengan prihatin, "Oh, kalau saja Matahachi bisa
seperti itu." Sekitar lima hari kemudian, Kojiro masuk ke dalam pekarangan Yajibei, dan dipersilakan
masuk ruang tamu. Di sana, empat puluh atau lima puluh anak buah Yajibei hadir
menyatakan hormat kepadanya satu per satu. Karena girang, Kojiro menyatakan pada
Yajibei bahwa rupanya ia kini sedang menempuh hidup yang sangat menarik.
Meneruskan gagasan sebelumnya, Yajibei berkata, "Seperti saya katakan, saya ingin
membangun sebuah dojo. Anda tidak keberatan melihat-lihat dulu pekarangan di sini?"
Lapangan di belakang rumah itu berukuran hampir dua ekar. Di sebuah sudut lapangan,
tergantung kain yang baru selesai dicelup, tapi Yajibei meyakinkan Kojiro bahwa tukang
celup yang menyewa petak tanah itu dapat diusir dengan mudah.
"Sebetulnya Anda tidak memerlukan dojo," kata Kojiro. "Tempat ini tidak terbuka ke
jalan. Tak seorang pun akan masuk."
"Terserah Anda, tapi bagaimana kalau hujan?"
"Saya takkan datang kalau cuaca jelek. Tapi mesti saya ingatkan, latihan saya lebih
kasar daripada yang diadakan oleh Perguruan Yagyu atau perguruan-perguruan lain di kota
ini. Kalau orang-orang Anda tidak berhati-hati, mereka bisa jadi cacat, atau lebih
buruk lagi dari itu. Lebih baik Anda menjelaskan hal itu pada mereka."
"Tak akan ada salah mengerti tentang hal itu. Anda bebas memimpin kelas, dengan cara
yang menurut Anda cocok."
Mereka setuju untuk pelajaran tiga kali sebulan, pada tanggal tiga, tiga belas, dan dua
puluh tiga, asalkan cuaca baik.
Munculnya Kojiro di Bakurocho menjadi sumber desas-desus yang tak ada akhirnya. Seorang
tetangga terdengar mengatakan, "Sekarang mereka bikin pameran yang lebih buruk daripada
semua yang lain itu dijadikan satu." Jambulnya yang kekanak-kanakan itu menimbulkan
banyak komentar juga. Pendapat umum menyatakan bahwa karena umurnya yang tentunya sudah
dua puluh tahun lebih sedikit, sudah waktunya ia menyesuaikan diri dengan kebiasaan
samurai, mencukur kepala. Hanya orang-orang yang ada dalam rumah tangga Hangawara
dikaruniai kesempatan melihat jubah dalam Kojiro yang bersulam cemerlang. Jubah itu
dapat mereka lihat setiap kali Kojiro membuka bahunya, agar lengannya dapat bergerak
bebas. Sikap Kojiro tepat seperti sudah diduga. Walaupun pelajaran itu berupa pelajaran
latihan, dan banyak di antara siswanya masih belum berpengalaman. ia tak kenal ampun.
Baru sampai pelajaran ketiga, korban yang jatuh sudah mencakup satu cacat selamanya,
tambah empat atau lima orang yang menderita cedera kecil. Orang-orang yang luka itu
tidak jauh, rintihan mereka dapat didengar dari belakang rumah.
"Berikutnya!" seru Kojiro sambil mengacungkan pedang panjang yang terbuat dari kayu
lokwat. Pada permulaan pelajaran, ia mengatakan pada mereka bahwa pukulan dengan pedang
lokwat "akan membikin busuk dagingmu sampai ke tulang."
"Mau mengundurkan diri" Kalau tidak, ayo maju. Tapi kalau mengundurkan diri, aku
pulang," celanya merendahkan.
Hanya karena perasaan terhina, satu orang berkata, "Baik, saya akan mencoba." Ia
meninggalkan yang lain dan berjalan mendekati Kojiro, kemudian membungkuk untuk
mengambil pedang kayu. Dengan bunyi keras berderak, Kojiro membuatnya terkapar di
tanah. "Ini," demikian dinyatakannya, "adalah pelajaran tentang kenapa kalian tak boleh
membuka diri. Membuka diri itu sangat berbahaya." Dengan penuh kepuasan ia menoleh ke
sekitar, ke wajah orang-orang lain yane jumlahnya tiga puluh sampai empat puluh orang,
yang kebanyakan menggeletar tubuhnya.
Korban terakhir itu dibawa ke sumur, dan di situ disiram air. Tapi ia tak sadar juga.
"Anak malang itu tidak balik lagi."
"Maksudmu... dia meninggal?"
"Tidak bernapas."
Yang lain-lain berlari untuk menatap rekan mereka yang sudah terbunuh. Sebagian marah,
sebagian lagi bersabar, tapi Kojiro sendiri tak sampai dua kali menoleh mayat itu.
"Kalau kejadian macam ini bikin kalian takut," katanya mengancam. "lebih baik kalian
lupakan pedang. Kalau kupikir, kalian selalu gatal untuk melawan orang di jalan, yang
menyebut kalian pembunuh atau pembual.... " Ia tak meneruskan kalimatnya, tapi ketika
berjalan melintasi lapangan dengan kaus kulitnya, ia meneruskan kuliahnya. "Kalian
pikirkanlah soal ini, perusuh yang baik. Kalian lantas saja menghunus pedang, waktu
orang lain menginjak jari kaki kalian atau menyinggung sarung pedang kalian tapi kalian
cuma bergerombol waktu terjadi pertarungan sesungguhnya Kalian dengan riang mau
membuang nyawa demi seorang perempuan atau demi harga diri picisan kalian, tapi kalian
tak punya nyali buat mengorbankan diri demi hal yang lebih berharga. Kalian emosional,
hanya tergerak oleh tetek-bengek. Ini tak cukup, sama sekali tak cukup."
Sambil membusungkan dada, simpulpya, "Soalnya sederhana saja. Satu-satunya keberanian
sejati dan keyakinan diri yang murni berasal dari latihan dan disiplin pribadi.
Sekarang kutantang kalian semua: bangun, dan lawan aku seperti lelaki."
Dengan keinginan agar ia mencabut kembali kata-katanya, seorang siswa menyerangnya dari
belakang. Kojiro membungkuk hingga hampir menyentuh tanah, dan penyerang itu terbang
lewat kepalanya, mendarat di depannya. Saar berikutnya terdengar derak keras, dan
pedang lokwat Kojiro mengenai tulang pinggul orang itu.
"Cukuplah buat hari ini," katanya sambil melempar pedangnya ke samping, dan pergi ke
sumur untuk mencuci tangan. Mayat itu masih teronggok di samping bak cuci. Kojiro
mencelupkan tangan ke air dan mengusapkan sebagian air itu ke wajahnya, tanpa sedikit
pun ucapan simpati. Ia menyelipkan tangan kembali ke dalam lengan kimono, dan katanya, "Saya dengar banyak
orang pergi ke tempat yang namanya Yoshiwara. Anda tentunya kenal baik daerah itu. Apa
tak ingin Anda memperlihatkannya pada saya?" Sudah menjadi kebiasaan Kojiro untuk
terang-terangan menyatakan bahwa ia ingin bersenang-senang atau pergi minum. Tapi hanya
dapat diduga-duga, apakah ia dengan sengaja bersikap kurang ajar, atau bersikap tulus
memperdayakan. Yajibei memilih tafsiran yang lunak. "Anda belum pernah pergi ke Yoshiwara?" tanyanya
heran. "Kalau begitu, kami mesti membantu. Saya mau saja pergi dengan Anda, tapi, yah,
malam ini saya mesti tinggal di sini, berjaga mayat dan sebagainya itu."
Ia memilih Juro dan Koroku, dan memberi mereka uang, juga peringatan. "Ingat, kalian
berdua, aku kirim kalian bukan untuk keluyuran. Kalian pergi cuma menjaga guru kalian
dan membuatnya senang."
Kojiro berjalan beberapa langkah di depan kedua orang itu. Segera kemudian, ia merasa
sulit dapat tetap berjalan, karena pada malam hari, kebanyakan tempat di Edo gelap
pekat. Ini sama sekali tak terbayangkan untuk kota-kota seperti Kyoto, Nara, dan Osaka.
"Jalan ini mengerikan sekali," katanya. "Kita mesti bawa lentera tadi."
"Orang bisa menertawakan kita, kalau kita masuk daerah lokalisasi membawa lentera,"
kata Juro. "Awas, tumpukan tanah yang Anda injak itu parit baru. Lebih baik Anda turun,
sebelum jatuh ke dalamnya."
Tak lama kemudian, air dalam parit itu menjadi kemerah-merahan, seperti langit di
seberang Sungai Sumida. Bulan akhir musim semi tergantung seperti kue putih gepeng di
atas atap-atap Yoshiwara.
"Di sana tempatnya, di seberang jembatan," kata Juro. "Mau saya pinjami saputangan?"
"Untuk apa?" "Untuk menyembunyikan wajah Anda sedikit, macam ini." juro dan Koroku menarik kain
merah dari dalam obi dan mengikatkannya ke kepala, seperti saputangan. Kojiro menirukan
dengan menggunakan secarik kain sutra cokelat muda.
"Ya, begitu," kata Juro. "Cocok untuk Anda." "Pantas Anda pakai."
Kojiro dan kedua pengawalnya masuk dalam rombongan orang berbandana, yang berjalan dari
rumah ke rumah. Seperti halnya Yanagimachi di Kyoto, Yoshiwara berlampu terang. Pintu


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk ke rumah-rumah itu dihiasi secara meriah dengan tirai-tirai merah atau kuning
pucat. Sebagian memasang bel di bawah, agar gadis-gadis itu tahu apabila tamu-tamu
masuk. Sesudah keluar-masuk dua atau tiga rumah, Juro berkata sambil melirik Kojiro, "Tak ada
guna, mencoba menyembunyikannya."
"Menyembunyikan apa?"
"Anda bilang tak pernah kemari sebelumnya, tapi seorang gadis di rumah terakhir itu
mengenali Anda. Begitu kita masuk, dia memekik kecil dan sembunyi di belakang tirai.
Rahasia Anda terbuka sudah."
"Belum pernah aku pergi kemari. Siapa yang kaubicarakan itu?"
"Jangan pura-pura. Mari kita kembali, nanti saya tunjukkan."
Mereka masuk kembali ke rumah yang tirainya memakai hiasan berbentuk daun semanggi
pecah tiga. Kata "Sumiya" tertulis dengan huruf-huruf agak kecil di sebelah kiri.
Tiang-tiang berat rumah itu, dan gang-gangnya yang megah, mengingatkan orang pada
arsitektur Kuil Kyoto, tapi kilaunya yang tampak baru tidak memberikan suasana tradisi
dan bermartabat. Kojiro menduga keras bahwa tumbuhan rawa masih berkembang pesat di
bawah lantai rumah itu. Ruang besar tempat mereka diantar di lantai atas belum lagi dibereskan, sesudah
dipergunakan tamu-tamu sebelumnya. Di meja dan lantai bertebaran remah-remah makanan,
kertas lap, tusuk gigi, dan barang-barang kecil lain. Gadis pelayan yang kemudian
datang membersihkan tempat itu melaksanakan pekerjaannya dengan kesempurnaan seorang
pekerja harian. Ketika Onao datang untuk menerima pesanan mereka, ia menyatakan juga pada mereka betapa
ia sibuk. Katanya ia hampir tak punya waktu untuk tidur. Tiga tahun lagi, kerja seribut
itu akan membawanya ke hang lahat. Rumah-rumah pelacuran yang lebih baik di Kyoto
berhasil memegang teguh kesan bahwa kehadiran mereka adalah untuk menghibur dan
menyenangkan para tamu. Tapi di sini tujuannya jelas untuk mengosongkan uang orangorang itu secepat-cepatnya.
"Jadi, beginilah rupanya daerah hiburan Edo ini," dengus Kojiro, disertai pandangan
mencela ke arah lubang-lubang kayu di langit-langit. "Brengsek juga."
"Ah, tapi ini cuma sementara," protes Onao. "Gedung yang sedang kami bangun sekarang
akan lebih bagus daripada yang pernah Anda lihat di Kyoto atau Fushimi." Ia menatap
Kojiro sebentar. "Ah, tapi saya sudah pernah lihat Anda sebelum ini. Ah, ya! Tahun
lalu, di jalan raya Koshu."
Kojiro sudah lupa akan pertemuan kebetulan itu, tapi karena diingatkan, maka katanya
sedikit menunjukkan minat, "Oh, ya, saya kira nasib kita ini terjalin."
"Saya kira memang begitu," kata Juro sambil tertawa, "kalau di sini ada gadis yang
ingat Anda." Sambil menggoda Kojiro mengenai masa lalunya, ia melukiskan wajah gadis
itu dan pakaiannya, serta minta Onao pergi mencarinya.
"Saya tahu yang Anda maksud," kata Onao, lalu pergi menjemput gadis itu.
Beberapa waktu berlalu, tapi perempuan itu masih belum kembali, karena itu Juro dan
Koroku pergi ke ruang besar dan bertepuk tangan memanggilnya, dan barulah akhirnya
perempuan itu muncul kembali.
"Yang Anda minta itu tak ada di sini," kata Onao.
"Dia ada di sini beberapa menit lalu."
"Memang aneh, seperti saya katakan pada majikan saya. Dulu, ketika kami ada di Celah
Kobotoke, samurai yang bersama tuan-tuan itu datang, dan gadis itu juga lari."
Di belakang Sumiya itu berdiri kerangka gedung yang masih baru, atapnya sebagian sudah
selesai, tapi belum berdinding. "Hanagiri! Hanagiri!"
Itulah nama yang diberikan pada Akemi. Ia bersembunyi di antara timbunan kayu dan
onggokan serutan. Beberapa kali para pencari lewat begitu dekat dengannya, hingga ia
mesti menahan napas. "Memuakkan sekali!" pikirnya.
Kojiro seorang. Tapi sekarang
Seijuro, samurai di Hachioji,
Semua lelaki adalah musuhnya,
Beberapa menit pertama, kemarahannya hanya tertuju pada
kemarahan itu meluas mencakup semua lelaki-Kojiro,
dan tamu-tamu yang menganiayanya tiap malam di Sumiya.
semuanya buruk sekali. Kecuali satu, yang benar, yaitu yang seperti Musashi, yang ia cari tak henti-hentinya.
Sesudah melepaskan khayal tentang Musashi yang sebenarnya, ia membayangkan akan
menyenangkan kiranya kalau ia berpura-pura jatuh cinta pada orang yang mirip Musashi.
Tapi sungguh mengecewakan bahwa ia tidak menemukan satu pun orang yang mirip Musashi.
"Ha-na-gi-ri!" Orang itu Shoji Jinnai sendiri, yang semula berseru dari belakang rumah,
tapi kemudian makin mendekat ke tempat persembunyiannya.
Ia dikawani Kojiro dan kedua kawannya. Mereka mengomel tak henti-hentinya, hingga
menyebabkan Jinnai mengulang-ulang permintaan maafnya. Tapi akhirnya mereka pergi ke
arah jalan. Melihat mereka pergi, Akemi menarik napas lega dan menunggu sampai Jinnai kembali ke
dalam, kemudian ia berlari langsung ke pintu dapur.
"Lho, Hanagiri, apa engkau di luar terus malam ini tadi?" tanya pelayan dapur,
histeris. "Sst! Tenanglah, dan beri aku sake."
"Sake" Sekarang?"
"Ya, sake!" Semenjak tiba di Edo, memang semakin sering Akemi mencari hiburan dalam
sake. Karena takut, gadis pelayan itu menuangkannya satu mangkuk besar. Sambil memejamkan
mata, Akemi mengosongkan isi mangkuk itu. Wajahnya yang berbedak ditegakkan ke
belakang, sampai hampir sejajar dengan mangkuk putih itu.
Ketika ia pergi meninggalkan pintu, gadis pelayan itu berteriak kuatir. "Kau mau ke
mana sekarang?" "Tutup mulut! Aku cuma mau membasuh kaki, lalu kembali masuk." Karena percaya dengan
kata-katanya, gadis pelayan itu menutup pintu dan kembali pada pekerjaannya.
Akemi memasukkan kakinya ke zori pertama yang dilihatnya, dan melangkah agak gontai ke
jalan. "Alangkah senangnya berada di luar. Itulah reaksinya yang pertama, tapi perasaan
itu segera diikuti perasaan muak. Ia meludah ke semua arah, kepada para pencari
kesenangan yang sedang menyusuri jalan yang berlampu terang, lalu enyah dari tempat
itu. Sampai di tempat bintang-bintang tercermin di dalam parit, ia berhenti untuk melihat.
Ia dengar bunyi kaki berlari-lari di belakangnya. "Oh, oh" Pakai lentera pula sekarang.
Dan dari Sumiya mereka. Binatang! Tak dapatkah mereka memberi kedamaian beberapa menit
saja pada seorang gadis. Tidak mau! Temukan dia! Kembalikan dia buat mencetak uang.
Mengubah daging dan darah menjadi kayu untuk rumah baru mereka itulah satu-satunya yang
dapat memuaskan hati mereka. Tapi tak bakal mereka dapat mengembalikan aku!"
Serutan kayu yang melingkar-lingkar dan bergantung lepas pada rambutnya melompat-lompat
naik-turun, ketika ia berlari sekencang-kencangnya dalam kegelapan. Tak tahu ia ke mana
akan pergi, dan ia pun tak peduli. Pokoknya ia pergi, pergi jauh.
*** 66. Burung Hantu KETIKA akhirnya mereka meninggalkan warung teh, Kojiro hampir tak dapat lagi berdiri.
"Topang... topang," katanya sambil menggapai Juro dan Koroku, mencari topangan.
Ketiga orang itu berjalan goyah menyusuri jalanan gelap dan sepi itu. Juro berkata,
"Saya sudah bilang, kita mesti menginap."
"Di warung murahan itu" Tak bakalan! Lebih baik aku kembali ke Sumiya."
"Enggan saya." "Kenapa?" "Gadis itu, dia melarikan diri dari Anda. Kalau mereka menemukan gadis itu, mereka akan
menahannya supaya tidur dengan Anda, tapi untuk apa" Anda tak dapat menikmatinya."
"Ya. Barangkali kau benar."
"Anda ingin dengan dia, ya?"
"Enggak." "Tapi Anda tak bisa melupakan dia,kan?"
"Tak pernah aku jatuh cinta dalam hidupku. Aku bukan orang macam itu. Ada hal-hal yang
lebih penting yang mesti kulakukan."
"Apa itu?" "Oh, itu jelas. Aku mau jadi pemain pedang terbaik dan paling terkenal, dan jalan
tercepat untuk mencapai itu adalah menjadi guru shogun."
"Tapi sudah ada Keluarga Yagyu yang mengajarnya. Dan saya dengar, belum lama ini dia
mempekerjakan juga Ono Jiroemon."
"Ono Jiroemon! Siapa pula yang peduli tentang dia" Keluarga Yagyu saja tidak membuatku
terkesan. Tunggu saja aku. Hari-hari ini..."
Mereka sampai di bagian jalan yang di sisinya dibuat parit baru. Lumpur lunak tertimbun
di situ, setinggi setengah pohon liu.
"Hati-hati, licin sekali," kata Juro ketika ia dan Koroku mencoba membantu gurunya
turun dari timbunan lumpur itu.
"Awas!" pekik Kojiro. Tiba-tiba ia menolakkan kedua kawannya. Dengan cepat ia meluncur
turun dari timbunan lumpur. "Siapa di situ?"
Orang yang baru saja menerjang punggung Kojiro itu kehilangan keseimbangan dan
terjungkal masuk parit. "Sudah lupa kamu, Sasaki?"
"Kau membunuh empat kawan kami!"
Kojiro melompat ke puncak onggokan lumpur, dan dari situ ia melihat setidaknya ada
sepuluh orang berdiri di antara pepohonan, sebagian tersembunyi dalam rumpun mendong.
Pedang-pedang diarahkan kepadanya, dan mereka mulai merapat.
"Oh, jadi kalian dari Perguruan Obata?" tanyanya dengan nada menghina. Aksi mendadak
itu membuatnya sadar dari mabuknya. "Yang lalu itu. kalian kehilangan empat dari antara
lima orang. Berapa orang lagi kalian datang malam ini" Berapa orang ingin mati" Ayo
berikan jumlahnya, biar aku melayani kalian. Pengecut! Maju, kalau kalian berani!"
Tangannya pun dengan tangkas bergerak ke atas bahu, menangkap gagang Galah Pengering.
Sebelum mencukur rambut kepalanya, Obata Nichijo adalah seorang di antara prajurit
paling terkemuka di Kai, sebuah provinsi yang termasyhur karena para samurainya yang
heroik. Sesudah dikalahkannya Keluarga Takeda oleh Tokugawa Ieyasu. Keluarga Obata
hidup tak dikenal orang, sampai akhirnya Kagenori mendapat nama dalam Pertempuran
Sekigahara. Sesudah itu, ia diminta oleh Ieyasu sendiri untuk mengabdi dan memperoleh
kemasyhuran sebagai guru dalam ilmu militer. Namun ia menolak tawaran shogun untuk
memilih petak tanah di Edo Tengah, dengan alasan bahwa seorang prajurit desa seperti
dirinya akan merasa asing di sana. Ia lebih menyukai bidang tanah berhutan yang
berdekatan dengan Tempat Suci Hirakawa Tenjin, di mana ia membangun perguruan sendiri,
di dalam sebuah rumah pertanian tua beratap lalang. Sesudah itu ditambahkan olehnya
sebuah ruang kuliah baru dan pintu masuk yang agak mengesankan.
Sekarang Kagenori sudah berusia lanjut dan menderita gangguan saraf. Pada bulan-bulan
terakhir itu, ia hanya tinggal di kamar dan jarang sekali muncul di ruang kuliah. Hutan
di sekitar tempat itu penuh burung hantu dan Kagenori pun mulai suka menulis namanya
sebagai "Orang Tua Burung Hantu". Kadang-kadang ia tersenyum lemah, dan katanya, "Aku
ini burung hantu, seperti orang-orang lain juga."
Bukan tidak sering rasa nyeri dari pinggang ke atas tidak tertahankan lagi olehnya. Dan
malam itu ia kumat lagi. "Sudah lebih baik" Mau sedikit air?" Yang berbicara itu Hojo Shinzo, anak Hojo
Ujikatsu, ahli strategi militer terkemuka.
"Jauh lebih enak sekarang," kata Kagenori. "Kenapa kau tidak tidur, sebentar lagi
terang." Rambut orang sakit itu putih, tubuhnya kurus sekali, bersegi-segi seperti
pohon prem tua. "Tak usah kuatir dengan saya. Saya banyak tidur siang hari."
"Tak mungkin kau punya banyak waktu buat tidur, kalau waktu siangmu kau habiskan buat
mendengarkan kuliah-kuliahku. Kau satu-satunya yang dapat melakukan itu."
"Tidur terlalu banyak bukan disiplin yang baik."
Melihat bahwa lampu sudah akan man, Shinzo berhenti menggosok punggung orang tua itu,
dan pergi mengambil minyak. Begitu ia kembali, Kagenori yang masih berbaring tengkurap
mengangkat wajahnya yang kurus dari bantal. Cahaya lampu terpantul menakutkan pada
matanya. "Ada apa, Pak?"
"Kau tidak mendengar" Kedengarannya seperti air berkecipak."
"Kedengarannya dari sumur."
"Siapa pula itu, malam-malam begini" Apa menurutmu sebagian orangorang itu pergi minum
lagi?" "Mungkin juga. Akan saya lihat."
"Kau mesti memarahi mereka."
"Baik, Pak. Sekarang lebih baik Bapak tidur. Bapak tentunya lelah." Ketika rasa nyeri
Kagenori sudah berkurang dan ia jatuh tertidur, dengan hati-hati Shinzo menaikkan
selimut ke bahunya dan pergi ke pintu belakang.
Dua murid membungkuk ke ember sumur, sedang mencuci darah dari wajah dan tangan mereka.
Ia berlari mendapatkan mereka dengan wajah marah. "Kalian pergi, ya?" katanya singkat.
"Padahal sudah kularang!" Kegusaran dalam suaranya mereda ketika ia melihat orang
ketiga terbaring dalam bayangan sumur. Dari cara orang itu mengerang, kedengaran bahwa
setiap saat ia bisa mati karena lukanya.
Seperti anak kecil yang memohon bantuan dari kakaknya, dengan wajah tak keruan
bentuknya, kedua orang itu terisak-isak tak terkendalikan.
"Tolol!" Shinzo mesti mengendalikan diri untuk tidak menyabet mereka. "Berapa kali
sudah kuperingatkan pada kalian, bahwa kalian bukan tandingannya" Kenapa kalian tidak
mendengarkan?" "Sesudah dia benamkan nama guru kita ke dalam lumpur" Sesudah dia bunuh empat orang di
antara kita" Kau selalu bilang kami tak cukup akal. Apa bukan kau sendiri yang sudah
kehilangan akal sehat" Kau mengendalikan kemarahan, menahan diri, menerima saja hinaan
diam-diam! Apa itu yang kau namakan akal sehat" Itu bukan Jalan Samurai."
"Bukan, ya" Kalau soalnya berhadapan dengan Sasaki Kojiro, aku yang akan menantangnya
sendiri. Dia sudah memilih jalan menghina guru kita dan melakukan kebiadaban-kebiadaban
lain terhadap kita, tapi itu bukan alasan bagi kita untuk kehilangan rasa keseimbangan.
Aku tidak takut mati, tapi Kojiro tidak pantas membahayakan hidupku atau hidup orang
lain lagi." "Tapi itu bukan pendapat kebanyakan orang. Mereka pikir kita takut padanya. Takut
membela kehormatan kita. Kojiro sudah menjelek-jelekkan Kagenori di seluruh Edo."
"Kalau dia mau lari pada omongan, biar saja. Kalian pikir orang yang kenal dengan
Kagenori kalah argumentasi dengan orang baru yang congkak itu?"
"Terserah padamu, Shinzo. Kami takkan duduk menonton tanpa berbuat apa-apa."
"Lalu apa yang kalian maksud?"
"Cuma satu hal. Bunuh dia!"
"Kalian pikir dapat" Aku sudah bilang, kalian jangan pergi ke Sensoji. Kalian tak mau
mendengarkan. Empat orang meninggal. Dan sekarang kalian baru kembali sesudah
dikalahkan lagi olehnya. Apa itu bukan menambahkan aib ke atas kecemaran" Bukan Kojiro
yang menghancurkan nama baik Kagenori, tapi kalian. Nah, aku punya satu pertanyaan. Apa
kalian berhasil membunuh dia?"
Tak terdengar jawaban. "Tentu saja tidak. Aku berani bertaruh, kena goresan pun dia tidak. Sulitnya dengan
kalian adalah kalian tak punya cukup pertimbangan buat menghindari pertemuan dengannya
menurut persyaratannya sendiri. Kalian tak mengerti kekuatannya. Memang benar, dia
masih muda, wataknya rendah, kasar, sombong. Tapi dia pemain pedang yang bagus.
Bagaimana dia mempelajari keterampilan itu aku tak tahu, tapi tak bisa dibantah lagi.
dia memilikinya. Kalian menyepelekan dia. Itulah kesalahan kalian yang utama."
Satu orang menghampiri Shinzo, seakan siap menyerangnya secara fisik. "Kaubilang apa
pun yang dilakukan bajingan itu, tak ada yang dapat kita perbuat?"
Shinzo mengangguk menantang. "Tepat sekali. Tak ada yang dapat kita lakukan. Kita ini
bukan pedang, kita ini murid ilmu militer. Kalau menurut kalian sikapku ini pengecut,
akan kuterima diriku disebut pengecut." Orang yang terluka di dekat kaki mereka
mengerang. "Air... air... minta air." Kedua kawannya berlutut dan mendudukkannya.
Melihat mereka akan memberikan air kepadanya, Shinzo berteriak kuatir.
"Berhenti! Kalau dia minum air, mati dia!"
Selagi mereka masih ragu-ragu, orang itu meletakkan mulutnya ke ember. Satu hirupan
saja, dan kepalanya pun jatuh ke dalam ember, hingga jumlah orang yang tewas malam itu
menjadi lima. Diiringi suara burung-burung hantu yang menyambut bulan pagi, diamdiam Shinzo kembali
ke kamar si sakit. Kagenori masih tidur, napasnya dalam. Dengan perasaan tenteram,
Shinzo masuk ke kamarnya sendiri.
Karya-karya tentang ilmu militer terbentang di mejanya. Buku-buku itu sedang dibacanya,
tapi tak ada waktu untuk menyelesaikannya. Sekalipun ia dari keluarga berkecukupan,
selagi kanak-kanak ia ikut membelah kayu bakar, mengangkut air, dan berjam-jam belajar
dengan lampu lilin. Ayahnya, seorang samurai besar, tidak percaya bahwa pemuda-pemuda
segolongannya mesti dimanjakan. Shinzo masuk Perguruan Obata dengan tujuan akhir
menyempurnakan keterampilan militer yang didapatnva di keluarganya. Sekalipun tergolong
murid muda, ia menduduki tempat tertinggi dalam penilaian gurunya.
Karena merawat gurunya yang sakit, kebanyakan malam hari ia terpaksa berjaga. Sekarang
ia duduk melipat tangan dan menarik napas panjang. Siapa yang akan merawat Kagenori,
kalau ia tak ada di sana" Semua murid lain yang tinggal di perguruan itu orang-orang
kasar yang tertarik pada soal-soal militer, sedangkan mereka yang datang ke perguruan
hanya untuk masuk kelas, lebih jelek lagi. Mereka bicara keras di mana-mana,
mengemukakan pendapat tentang soal-soal jantan yang biasa dibicarakan para samurai. Tak
ada di antara mereka yang benar-benar mengerti semangat guru mereka, seorang kesepian
yang berakal budi. Soal-soal yang lebih dalam mengenai ilmu militer tidak masuk dalam
kepala mereka. Yang lebih mudah mereka pahami adalah cercaan jenis apa saja, baik yang
nyata maupun khayal, terhadap harga diri atau kemampuan mereka sebagai samurai. Kalau
merasa terhina, seketika mereka menjadi alat balas dendam yang tidak berakal.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shinzo sedang bepergian ketika Kojiro datang di perguruan itu. Karena Kojiro menyatakan
ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang buku-buku pelajaran militer, minatnya itu
tampak murni, dan ia diperkenalkan dengan sang guru. Tetapi kemudian, tanpa mengajukan
satu pertanyaan pun, ia mulai berdebat dengan Kagenori dengan lancang dan sombongnya,
dan ini menyebabkan orang menduga bahwa tujuannya yang sebenarnya adalah justru
menghina orang tua itu. Ketika akhirnya beberapa murid berhasil membawanya ke kamar
lain dan minta penjelasan kepadanya, ia membalas dengan banjir makian dan tantangan
untuk berkelahi dengan siapa saja di antara mereka dan kapan saja.
Kojiro kemudian menimbulkan kesan bahwa studi militer Obata itu dangkal, bahwa studi
itu tidak lebih dari kunyahan Gaya Kusunoki atau buku militer Tiongkok kuno yang
dikenal dengan nama Enam Rahasia, dan bahwa mereka itu lancung dan tak dapat
diandalkan. Ketika ucapan-ucapannya yang jahat itu memantul kembali ke telinga para
murid, mereka bersumpah memaksanya membayar dengan nyawa.
Oposisi dari pihak Shinzo ternyata sia-sia, sekalipun ia juga sudah menyatakan bahwa
sebelum mengambil langkah menentukan, anak Kagenori, yaitu Yogoro yang waktu itu dalam
perjalanan jauh, supaya lebih dulu diajak berbicara. Pendapat Shinzo sendiri: itu
masalah kecil, guru mereka tidak perlu diganggu dengan soal-soal macam itu, karena
Kojiro bukanlah murid serius dalam ilmu militer.
"Apa mereka tidak melihat, berapa banyak kesulitan sia-sia yang telah mereka
timbulkan?" sesal Shinzo. Cahaya lampu yang meredup, samarsamar menerangi wajahnya yang
keruh. Sambil masih mencoba mengerahkan otaknya, mencari pemecahan, ia meletakkan kedua
lengannya menyilang ke buku-buku yang terbuka itu, dan jat
uh tertidur. Ia terbangun oleh suara bisik-bisik tak jelas. Mula-mula ia pergi ke ruang kuliah, tapi
didapatinya ruangan itu kosong, karena itu ia pun memasukkan kakinya ke dalam zori dan
pergi ke luar. Di tengah rumpun bambu yang menjadi bagian dari pekarangan Tempat Suci
Hirakawa Tenjin, ia saksikan apa yang memang sudah ia duga sebelumnya: sekelompok besar
murid sedang mengadakan sidang perang yang penuh emosi. Dua orang yang terluka, dengan
wajah pucat pasi dan tangan tergantung dalam gendongan putih, berdiri berdampingan,
melukiskan bencana yang telah terjadi malam itu.
Satu orang bertanya marah, "Kaubilang sepuluh orang berangkat dan setengahnya dibunuh
oleh satu orang itu saja?"
"Kukira demikian. Bahkan mendekatinya saja kami tak bisa."
"Murata dan Ayabe bisa dikatakan pemain pedang terbaik kita."
"Mereka yang pertama pergi. Cuma karena keuletannya, Yosobei berhasil kembali kemari,
tapi dia membuat kesalahan dengan minum air, sebelum kami dapat menghentikannya."
Keheningan murung menyelimuti kelompok orang itu. Sebagai murid ilmu militer, mereka
berkepentingan dengan masalah logistik, strategi, perhubungan, intel, dan sebagainya,
tapi bukan dengan teknik-teknik perkelahian satu lawan satu. Sebagian besar dari mereka
percaya, karena begitulah yang diajarkan pada mereka, bahwa permainan pedang adalah
untuk prajurit biasa, bukan untuk jenderal. Namun kebanggaan mereka sebagai samurai
menghalangi mereka untuk menerima akibat yang wajar, bahwa mereka jadi tak berdaya
menghadapi pemain pedang ahli seperti Sasaki Kojiro.
"Apa yang dapat kita lakukan?" tanya seseorang dengan suara merenung. Untuk sesaat,
satu-satunya jawaban yang terdengar adalah suara burung hantu.
Kemudian seorang murid berkata nyaring, "Saya punya saudara sepupu dalam Keluarga
Yagyu. Barangkali lewat dia, kita dapat minta bantuan mereka."
"Jangan bodoh!" teriak beberapa yang lain. "Kita tak bisa minta bantuan dari luar. Itu
akan mendatangkan banyak aib pada guru kita. Itu berarti mengakui kelemahan."
"Nah, kalau begitu, apa yang dapat kita lakukan?"
"Satu-satunya cara, dengan kembali menghadapi Kojiro. Tapi kalau kita lakukan di
jalanan gelap lagi, akan lebih rusaklah nama baik perguruan kita. Kalau kita mesti mati
dalam pertempuran terbuka, biarlah. Paling tidak, kita takkan dianggap pengecut."
"Apa akan kita kirimkan tantangan resmi kepadanya?"
"Ya, dan kita mesti terus berpegang pada tantangan itu, tak peduli berapa kali kita
akan kalah." "Kupikir kau benar, tapi Shinzo takkan menyukai ini."
"Dia tak boleh tahu soal ini, juga guru kita. Kalian semua mesti ingat. Kita dapat
meminjam kuas dan tinta dari pendeta."
Dan berangkatlah mereka diam-diam ke rumah pendeta. Tapi belum lagi sepuluh langkah
mereka pergi, orang yang berjalan di depan tergagap dan undur selangkah. Yang lain-lain
seketika berhenti, dan mata mereka terarah ke beranda belakang bangunan tempat suci
yang sudah usang oleh waktu. Di sana, dengan latar belakang yang dibentuk oleh bayangan
pohon prem yang lebat buahnya dan masih hijau, berdiri Kojiro. Satu kakinya ditopangkan
pada susuran beranda, dan wajahnya memperlihatkan seringai jahat. Tanpa kecuali, para
siswa menjadi pucat. Beberapa orang jadi susah bernapas.
Suara Kojiro terdengar sengit, "Aku mengerti dari pembicaraan kalian, bahwa kalian
masih belum juga mau belajar. Kalian memutuskan menulis surat tantangan dan
menyampaikan padaku. Nah, kalian tak usah repot-repot. Aku di sini, dan siap tempur.
"Tadi malam, sebelum sempat membasuh darah dari tanganku, aku sudah mengambil
kesimpulan akan ada sambungannya, karena itu kuikuti kalian, pengecut-pengecut cengeng
ini, pulang." Ia berhenti, menanti kata-katanya dimengerti, kemudian melanjutkan dengan nada ironis.
"Tadi aku ingin juga tahu, bagaimana kalian akan menetapkan waktu dan tempat untuk
menantang seorang musuh. Apa kalian melihat horoskop dulu untuk memilih hari baik" Atau
menurut kalian lebih bijaksana untuk tidak menarik pedang sampai datang malam gelap,
ketika lawan kalian mabuk dan dalam perjalanan pulang dari daerah lokalisasi." Ia
berhenti lagi, seakan-akan menantikan jawaban.
"Tak ada yang kalian katakan" Tak ada satu pun orang berdarah merah di antara kalian"
Kalau kalian memang ingin sekali berkelahi denganku, ayolah. Satu-satu, atau semua
sekaligus, sama saja buatku! Tak bakal aku lari dari orang-orang macam kalian, biarpun
kalian pakai ketopong lengkap dan maju bersama dengan pukulan genderang!"
Tak ada suara terdengar dari orang-orang yang ketakutan itu.
"Apa yang terjadi dengan kalian?" Makin lama makin panjang ia berhenti bicara. "Apa
kalian memutuskan tak jadi menantangku" Apa tak ada satu pun di antara kalian yang
punya tulang punggung"
"Baiklah, sudah waktunya sekarang aku membuka telinga kalian yang bodoh. Dengarlah. Aku
Sasaki Kojiro. Aku belajar seni pedang secara tak langsung dari Toda Seigen yang agung,
sesudah kematiannya. Aku tahu rahasia-rahasia menghunus pedang yang ditemukan Katayama
Hisayasu, dan aku sendiri sudah menciptakan Gaya Ganryu. Aku ini tak seperti orangorang yang urusannya teori, yang kerjanya membaca buku-buku dan mendengarkan kuliah
tentang Sun-tzu atau Enam Rahasia. Dalam semangat dan dalam kemauan, kalian dan aku tak
ada persamaan. "Aku tak tahu perincian pelajaran kalian sehari-hari, tapi akan kutunjukkar pada kalian
sekarang, apa artinya ilmu berkelahi itu dalam kehidupan nyata. Aku tidak membual. Coba
pikirkan! Kalau orang diserang dalam kegelapan, seperti halnya diriku tadi malam, maka
kalau dia beruntung bisa selamat, apa yang dilakukannya" Kalau dia orang biasa, dia
akan pergi secepat-cepatnya ke tempat aman. Di situ dia akan memikirkan kembali
peristiwa yang baru dialaminya, dan mengucapkan selamat kepada dirinya karena tetap
hidup. Betul begitu" Apa bukan itu yang akan kalian perbuat"
"Tapi apa aku berbuat demikian" Tidak! Aku tidak hanya merobohkan setengah dari kalian,
tapi kuikuti tukang-tukang keluyur itu pulang, dan aku menanti di sini, langsung di
bawah hidung kalian. Aku mendengarkan ketika kalian mencoba menyusun pikiran kalian
yang lemah itu, dan aku menimbulkan kejutan pada kalian. Kalau mau, aku dapat menyerang
kalian sekarang juga dan menghancurkan kalian berkeping-keping. Itulah makna menjadi
militer! Itulah rahasia ilmu militer!
"Sebagian dari kalian mengatakan, Sasaki Kojiro cuma pemain pedang: dia tak ada urusan
datang ke perguruan militer dan buka mulut di sini. Seberapa jauh aku mesti meyakinkan
kalian bahwa kalian keliru" Barangkali hari ini juga aku akan membuktikan pada kalian,
bahwa aku bukan saja pemain pedang terbesar di negeri ini, tapi juga ahli taktik!
"Ha, ha! Jadilah kuliah kecil, ya" Aku kuatir kalau kulanjutkan menuangkan
pengetahuanku ini, Obata Kagenori yang malang itu bisa kehabisan penghasilan. Itu tak
pantas, bukan" "Oh, aku haus. Koroku! Juro! Bawa air sini!"
"Sekarang juga, Pak!" jawab kedua orang itu serentak dari samping tempat suci. Mereka
memperhatikan peristiwa itu dengan penuh kekaguman. Juro membawakan Kojiro satu mangkuk
besar air, kemudian bertanya ingin tahu, "Apa yang akan Bapak lakukan sekarang?"
"Tanya mereka itu!" kata Kojiro mengejek. "Jawaban untukmu ada di muka-muka kosong
macam muka musang itu!"
"Pernah Bapak lihat orang yang mukanya begitu bodoh?" Koroku tertawa.
"Kumpulan orang tak punya nyali!" kata Juro. "Mari kita pergi sekarang, Pak. Mereka
takkan menghadapi Bapak."
Ketika ketiga orang itu berjalan petentengan melewati gerbang tempat suci, Shinzo yang
tersembunyi di tengah pepohonan bergumam dengan gigi terkatup, "Awas pembalasanku!"
Para murid merasa sangat sedih. Kojiro sudah membikin lumpuh dan mengalahkan mereka.
Kemudian ia bermegah-megah, meninggalkan mereka dalam keadaan ketakutan dan terhina.
Ketenangan itu pecah oleh seorang murid yang datang berlari-lari dan bertanya dengan
nada bingung, "Apa kita sudah pesan peti mati?" Dan ketika tak seorang pun menjawab,
katanya, "Tukang peti mayat baru saja datang, membawa lima peti. Dia menunggu
sekarang." Akhirnya seorang dari mereka menjawab lesu, "Sudah diperintahkan supaya mayat-mayat
dibawa kemari, tapi belum datang. Aku tidak begitu yakin, tapi kupikir kita membutuhkan
satu peti mati lagi. Suruh dia membuatnya, dan menyimpan yang sudah dibawanya dalam
gudang." Malam itu diadakan jaga mayat di ruang kuliah. Segalanya dilakukan dengan tenang,
dengan harapan Kagenori tidak mendengar. Tapi ia dapat iuga menduga apa yang telah
terjadi. Hanya saja ia menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan, dan Shinzo pun
tidak berkomentar. Sejak hari itu, noda kekalahan mengawang di atas perguruan tersebut. Hanya Shinzo yang
menganjurkan menahan diri dan mendapat tuduhan pengecut itu yang tetap menyimpan
keinginan untuk membalas dendam. Matanya menyimpan kilauan yang tak dapat ditebak oleh
yang lain-lain. Awal musim gugur, sakit Kagenori makin parah. Dari tempat tidurnya, ia bisa melihat
seekor burung hantu hinggap di atas cabang pohon zelkova besar. Mata burung itu
menatapnya, sekalipun ia tak bergerak, dan sepanjang hari ia berbunyi ke arah bulan.
Kini Shinzo menangkap bunyi burung hantu itu sebagai tanda bahwa ajal gurunya sudah
dekat. Kemudian datang surat dari Yogoro, menyatakan bahwa ia telah mendengar tentang Kojiro,
dan sedang dalam perjalanan pulang. Beberapa hari sesudah itu, Shinzo terus bertanyatanya, mana yang akan terjadi lebih dulu, kedatangan sang anak atau kematian sang ayah.
Baik yang pertama maupun yang kedua, akan berarti datangnya hari yang dinantinantikannya, yaitu ketika ia akan lepas dari kewajiban-kewajibannya.
Pada malam sebelum Yogoro diperkirakan datang, Shinzo meninggalkan surat berpamitan di
mejanya dan meninggalkan Perguruan Obata. Dari hutan di dekat tempat suci, ia menghadap
ke kamar Kagenori dan berkata pelan, "Maafkan saya, karena pergi tanpa izin Bapak.
Beristirahatlah dalam damai, guru yang baik. Yogoro akan pulang besok. Saya tak tahu
apakah saya dapat mempersembahkan kepala Kojiro sebelum Bapak meninggal, tapi saya
harus berusaha. Kalau sekiranya saya mati dalam usaha ini, akan saya nantikan Bapak di
negeri orang-orang mati."
*** 67. Sepiring Ikan Lumpur MUSASHI terus mengembara di pedesaan, menghabiskan waktu dengan berlatih hidup secara
kekurangan, menghukum tubuhnya untuk menyempurnakan jiwa. Lebih dari sebelumnya, ia
bertekad untuk menempuh semua itu sendirian. Kalau itu berarti ia mesti menanggung
lapar, hidup di udara terbuka, di tengah udara dingin dan hujan, serta berkeliling
dengan pakaian compang-camping dan kotor, ia biarkan saja. Di dalam hatinya akan
tersimpan impian yang takkan pernah terpuaskan jika ia menerima kedudukan sebagai
pegawai Yang Dipertuan Date, sekalipun seandaimya Yang Dipertuan itu menawarkan
kepadanya seluruh tanah perdikannya yang berpenghasilan tiga juta gantang.
Sesudah melakukan perjalanan panjang naik ke Nakasendo, hanya beberapa malam ia tinggal
di Edo, dan kemudian turun ke jalan lagi, kali ini ke utara, menujuSendai. Uang yang
diberikan kepadanya oleh Ishimoda Geki menjadi beban nuraninya. Semenjak menemukan uang
itu, ia tahu takkan punya kedamaian, sebelum ia mengembalikannya.
Sekarang, satu setengah tahun kemudian, ia berada di Hotengahara, satu dataran di
Provinsi Shimosa, sebelah timur Edo, yang sedikit berubah sejak pemberontak Taira no
Masakado dan pasukannya mengamuk melintasi daerah itu pada abad sepuluh. Dataran itu
tempat yang suram, baru sedikit dihuni orang, dan tak punya tumbuhan bernilai. Yang ada
hanyalah rumput liar, sejumlah pohon, dan beberapa rumpun bambu dan rumput mendong.
Matahari yang bergantung rendah di kaki langit memantulkan warna merah di kolam-kolam
air yang mandek, rerumputan dan semaksemak menjadi tak berwarna dan tidak tegas
kelihatannya. "Apa lagi sekarang?" gumam Musashi sambil mengistirahatkan kakinya yang letih di
persimpangan jalan. Badannya terasa lesu dan masih lembap akibat hujan deras yang
menimpanya beberapa hari sebelum itu di Celah Tochigi. Kelembapan malam membuatnya
ingin sekali menemukan tempat tinggal manusia. Dua malam terakhir itu, ia tidur di
bawah bintang, tapi sekarang ia menginginkan kehangatan perapian dan makanan sungguhan,
bahkan juga makanan petani yang sederhana, seperti jewawut yang dimasak campur nasi.
Rasa garam dalam angin yang bertiup menandakan bahwa laut tidak jauh dari tempat itu.
Kalau ia menuju ke sana, ia bisa menemukan rumah, barangkali juga desa nelayan atau
pelabuhan kecil, demikian pikirnya. Kalau tidak, terpaksa ia mesti puas tinggal semalam
lagi di rumput musim gugur, di bawah bulan penuh musim gugur.
Ia menyadari pula dengan nada ironis, bahwa sekiranya ia orang yang berjiwa lebih
puitis, ia bisa menikmati detik-detik berada di tengah pemandangan yang sangat tenang
itu. Tapi kali ini ia hanya ingin meloloskan diri, berada di tengah orang banyak,
menyantap makanan yang pantas, dan beristirahat, namun dengung serangga yang tak hentihentinya itu seperti membacakan rangkaian doa untuk pengembaraannya yang dilakukan
seorang diri. Musashi berhenti di sebuah jembatan yang penuh kotoran. Bunyi kecipak jelas terdengar,
mengatasi desir damai sungai sempit itu. Apakah itu berang-berang" Dalam cahaya sore
yang mulai mengabur, ia tajamkan pandangan matanya, sampai ia melihat sesosok tubuh
sedang berlutut di dalam lubang di tepi air. Ia mendecap melihat seorang anak lelaki
memandang kepadanya. Muka anak itu betul-betul mirip muka berang-berang.
"Apa yang kaulakukan di bawah situ?" seru Musashi dengan suara ramah.
"Ikan lumpur," terdengar jawaban singkat. Anak itu mengguncangguncangkan keranjang
anyam di dalam air, untuk membersihkan lumpur dan pasir dari hasil tangkapannya yang
menggelepar-gelepar. "Sudah dapat banyak?" tanya Musashi, yang enggan memutuskan ikatan yang baru
ditemukannya dengan manusia lain itu.
"Tak banyak di sini. Sudah musim gugur."
"Boleh aku minta ikan itu?"
"Ikan lumpur ini?"
"Ya, sedikit saja. Akan kubayar."
"Maaf, tapi ini buat ayah saya." Sambil memeluk keranjangnya, anak itu melompat dengan
cekatan ke tepi sungai, dan enyah dari situ, seperti tembakan ke dalam kegelapan.
"Cepat juga. Seperti setan." Musashi, yang kembali sendirian, tertawa. Ia teringat akan
masa kecilnya sendiri, dan juga akan Jotaro. "Ingin tahu juga aku, apa jadinya anak
itu," renungnya. Jotaro berumur empat belas tahun ketika Musashi terakhir bertemu
dengannya. Sebentar lagi ia berumur enam belas. "Anak malang. Dia menerimaku sebagai
guru, mencintaiku sebagai guru, melayaniku sebagai guru, tapi apa yang kulakukan
untuknya" Tak ada."
Karena tenggelam dalam kenangan, ia lupa akan rasa lelahnya. Ia berhenti dan berdiri
diam. Bulan sudah naik, terang, dan penuh. Pada malam seperti itu, Otsu suka bermain
suling. Di tengah bunyi-bunyi serangga, Musashi serasa mendengar suara tawa Otsu dan
Jotaro bersama-sama. Ketika ia menoleh ke samping, tampak olehnya seberkas cahaya. Dengan seluruh sisa
tubuhnya ditolehkannya ke arah itu, dan ia pun berjalan ke sana. Lespedeza tumbuh di
seputar gubuk terpencil itu, hampir setinggi atapnya yang miring. Dinding-dinding gubuk
tertutup pohon labu, dari kembangnya tampak seperti titik-titik embun yang besar.
Ketika mendekat, ia terkejut oleh dengus marah seekor kuda tak berpelana yang ditambat
di samping gubuk. "Siapa itu?" Musashi mengenali suara dan gubuk itu. Suara anak yang membawa ikan lumpur tadi. Sambil
tersenyum, serunya, "Apa boleh aku menginap sini" Aku akan pergi pagi-pagi."
Anak lelaki itu mendekat ke pintu dan mengamati Musashi baik-baik. Sebentar kemudian,
katanya, "Baik. Silakan masuk."
Rumah itu sama reyotnya dengan rumah-rumah lain yang pernah dilihat Musashi. Bulan
bersinar menerobos celah-celah dinding dan atap. Setelah melepaskan jubahnya, Musashi
tak dapat menemukan sangkutan untuk menggantungkan jubah itu. Angin dari bawah
menyebabkan lantai berangin, sekalipun lantai itu tertutup tikar buluh.
Anak itu berlutut di depan tamunya, sesuai kebiasaan, dan katanya, "Waktu di sungai
tadi, Bapak menginginkan ikan lumpur, kan" Apa Bapak suka ikan lumpur?"
Di tengah lingkungan seperti itu, sikap resmi si anak mengherankan Musashi, hingga ia
hanya menatap. "Apa yang Bapak perhatikan?"
"Berapa tahun umurmu?"
"Dua belas." Musashi terkesan oleh wajahnya. Wajah anak itu sama kotornya dengan akar bunga teratai
yang baru dicabut dari tanah, dan rambutnya panjang dan berbau seperti sarang burung.
Namun wajahnya mengekspresikan karakter. Pipinya sintal, dan matanya, yang bersinar
seperti manik-manik di tengah debu yang mengitarinya itu, indah sekali.
"Saya punya jewawut campur nasi sedikit," kata anak itu ramah. "Dan kalau suka, Bapak
dapat ambil sisa ikan itu, karena sudah saya berikan sebagian pada Ayah."
"Terima kasih."
"Saya kira Bapak ingin teh juga."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kalau tidak terlalu mengganggu."
"Silakan tunggu di sini." Ia membuka pintu yang berbunyi menderit. Ia masuk ke kamar
sebelah. Musashi mendengarnya mematahkan kayu kemudian mengipasi api dalam hibachi
tanah. Tak lama kemudian asap yang memenuhi gubuk itu mengusir kawanan serangga ke
luar. Anak itu kembali membawa baki, yang kemudian diletakkannya di lantai, di depan Musashi.
Musashi segera mulai makan, melalap ikan lumpur panggang yang asin itu, juga jewawut
dan nasi, serta kue kedele manis, dalam waktu singkat sekali.
"Enak sekali," katanya berterima kasih.
"Betul?" Anak itu rupanya ikut senang melihat orang lain puas.
Anak yang baik kelakuannya, pikir Musashi. "Aku ingin mengucapkan terima kasih pada
kepala rumah tangga. Apa beliau sudah pergi tidur?"
"Tidak, dia ada di depan Bapak." Anak itu menunjuk hidungnya sendiri. "Kau tinggal di
sini sendirian?" "Ya." "Begitu." Menyusul keheningan yang kaku. "Lalu apa kerjamu buat makan sehari-hari?"
tanya Musashi. "Saya menyewakan kuda, dan pergi ke mana-mana sebagai tukang kuda. Kami dulu bertani
juga sedikit... Oh, kita kehabisan minyak lampu. Bapak tentunya sudah ingin tidur,
kan?" Musashi membenarkan, kemudian membaringkan diri di kasur jerami usang yang ditebarkan
dekat dinding. Dengung serangga terdengar menenteramkan. Ia segera jatuh tertidur, tapi
mungkin karena kecapekan, keringatnya keluar. Kemudian ia bermimpi mendengar hujan
turun. Bunyi dalam mimpinya membuat ia duduk terkejut. Tak salah lagi. Yang didengarnya kini
adalah bunyi pisau atau pedang yang sedang diasah. Ketika ia menjangkau pedangnya
sambil berpikir-pikir, anak itu berseru kepadanya, "Bapak tak bisa tidur?"
Bagaimana mungkin dia tahu" Dengan heran Musashi berkata, "Apa kerjamu mengasah pisau,
malam-malam begini?" Pertanyaan itu diucapkan demikian tegang, hingga kedengarannya
lebih seperti pukulan batik sebilah pedang, bukan sebuah pertanyaan.
Anak itu tertawa keras. "Gara-gara saya, Bapak jadi takut, ya" Bapak kelihatan begitu
kuat dan berani, jadi mestinya tidak begitu mudah merasa takut."
Musashi terdiam. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ia bertemu dengan setan yang tahu
segalanya, dalam samaran seorang anak petani.
Ketika gosokan pisau pada asahan itu terdengar lagi, Musashi pergi ke pintu. Lewat
sebuah celah, ia dapat melihat bahwa kamar lain itu dapur, dengan ruang tidur kecil di
ujungnya. Anak itu berlutut dalam sinar bulan di samping jendela, dan di dekatnya
berdiri guci air besar. Pedang yang diasahnya adalah dari jenis yang biasa dipakai
petani. "Apa yang mau kaulakukan dengan pedang itu?" tanya Musashi.
Anak itu menoleh ke pintu, tapi terus juga dengan pekerjaannya. Beberapa menit
kemudian, ia mengelap pedang yang panjangnya sekitar setengah meter itu dan
memeriksanya. Pedang itu berkilau cemerlang dalam sinar bulan.
"Menurut Bapak, apa saya bisa memotong orang jadi dua dengan pedang ini?" tanyanya.
"Tergantung, kau tahu menggunakannya atau tidak."
"Oh, saya yakin tahu."
"Apa ada orang tertentu yang kaupikirkan?"
"Ayah saya." "Ayahmu!" Musashi membuka pintu. "Kuharap ini bukan kelakar."
"Saya tidak berkelakar."
"Tak mungkin kau bermaksud membunuh ayahmu. Tikus dan tawon di tengah alam liar yang
terpencil saja punya akal lebih baik daripada membunuh orangtuanya."
"Tapi kalau tidak saya potong jadi dua, tak bisa saya membawanya."
"Membawanya ke mana?"
"Saya mesti membawanya ke kuburnya."
"Maksudmu, dia sudah meninggal?"
"Ya." Musashi memandang kembali dinding di sebelah sana. Tidak terpikir olehnya bahwa sosok
besar yang la lihat di sana itu tubuh manusia. Sekarang ia melihat bahwa benda itu
memang mayat seorang tua yang diletakkan lurus, kepalanya diganjal bantal dan ditutup
kimono. Di sampingnya terdapat cambung nasi, secangkir air, dan seporsi ikan lumpur
panggang di piring kayu. Musashi merasa agak malu, mengingat tanpa disadarinya ia minta anak itu membagi ikan
lumpur yang dimaksudkannya sebagai sesaji untuk jiwa orang yang sudah mati. Bersamaan
dengan itu, ia mengagumi anak ini. karena memiliki ketenangan hendak memotong tubuh itu
menjadi beberapa potongan, agar dapat membawanya. Matanya diarahkan ke wajah anak itu,
dan untuk beberapa waktu ia tidak mengatakan apa-apa.
"Kapan dia meninggal?"
"Tadi pagi." "Berapa jauh kuburan dari sini?"
"Di atas bukit sana."
"Apa tak bisa kau menyuruh orang lain?"
"Saya tak punya uang."
"Ini, kuberikan."
Anak itu menggeleng. "Tidak. Ayah saya tak suka menerima hadiah. Dan juga tak suka
pergi ke kuil. Terima kasih, saya bisa menyelesaikannya."
Dari semangat dan keberanian anak itu, dari sifatnya yang tenang namun praktis, Musashi
menduga bahwa ayahnya bukan petani biasa. Mesti ada alasan tertentu, kenapa anak itu
memiliki sifat mandiri yang mengagumkan sepern itu.
Untuk menghormati keinginan orang yang meninggal itu, Musashi rela menyimpan uangnya,
tapi sebaliknya menawarkan sumbangan tenaga yang diperlukan untuk mengangkut tubuh itu
dalam keadaan utuh. Anak itu menyetujui, dan bersama-sama mereka menaikkan mayat itu ke
atas kuda. Saat mendaki jalan terjal, mereka turunkan mayat dari kuda, dan Musashi
mendukungnya di punggung. Kuburan itu ternyata suatu tempat terbuka kecil, di bawah
sebatang pohon berangan. Di sana terdapat satu batu bundar sebagai tanda.
Sesudah penguburan, anak itu meletakkan sedikit bunga ke atas makam, dan katanya,
"Kakek, nenek, dan ibu saya dikubur di sini juga." Ia melipat tangan untuk berdoa.
Musashi ikut dengannya, memohon ketenangan keluarga dengan diam.
"Batu makam itu kelihatannya belum lama," ujar Musashi. "Kapan keluargamu menetap di
sini?" "Di masa hidup kakek saya."
"Dan di mana mereka tinggal sebelum itu?"
"Kakek saya seorang samurai dari suku Mogami, tapi sesudah kekalahan tuannya, dia
membakar silsilah kami dan semua yang lain. Tak ada lagi yang tertinggal."
"Pada batu itu tak ada kulihat namanya. Bahkan tak ada lambang keluarga atau tanggal."
"Ketika meninggal, dia memerintahkan agar tidak ditulis apa-apa di batu. Dia sangat
keras. Satu kali datang orang-orang dari perdikan Gamo, lalu dari perdikan Date,
menawarkan kedudukan kepadanya, tapi dia menolak. Dia bilang seorang samurai tidak
boleh mengabdi pada lebih dari seorang tuan. Itulah juga sikapnya mengenai batu itu.
Karena sudah menjadi petani, dia bilang menuliskan nama di batu itu akan membuat malu
tuannya yang sudah meninggal."
"Apa kau tahu nama kakekmu?"
"Tahu. Namanya Misawa Iori. Karena ayah saya cuma petani, dia menghilangkan nama
keluarga dan menyebut dirinya San'emon saja."
"Dan namamu?" "Sannosuke." "Apa kau punya sanak saudara?"
"Ada kakak perempuan, tapi dia sudah lama pergi. Tak tahu saya, di mana dia sekarang."'
"Tak ada orang yang tahu?"
"Tidak." "Apa rencana hidupmu sekarang?"
"Seperti sebelumnya, saya kira." Tapi kemudian ia buru-buru menambahkan, "Tapi begini.
Bapak seorang shugyosha, kan" Bapak tentunya jalan keliling ke mana-mana. Bawalah saya.
Bapak dapat naik kuda saya, dan saya akan jadi tukang kudanya."
Sementara menimbang-nimbang permintaan anak itu, Musashi melayangkan pandang ke tanah
di bawah mereka. Karena tanah itu cukup subur untuk menghidupi demikian banyak rumput
liar, tak mengerti ia kenapa tanah itu tidak digarap. Sudah pasti itu bukan karena
orang di sekitar tempat itu sudah makmur. Ia melihat sendiri bukti kemelaratan di manamana.
Menurut Musashi, peradaban tidak akan berkembang sebelum orang belajar mengendalikan
kekuatan alam. Ia heran, kenapa penduduk di tengah Dataran Kanto ini demikian tak
berdaya, kenapa mereka membiarkan diri ditindas oleh alam. Ketika matahari naik,
Musashi melihat binatang-binatang kecil dan burung-burung bersuka ria di tengah
kekayaan yang belum diketahui cara memanfaatkannya ini. Atau begitulah kira-kira.
Segera ia tersadar, bahwa sekalipun memiliki keberanian dan kemandirian. Sannosuke
hanyalah anak kecil. Sinar matahari menyebabkan dedaunan yang berembun itu berkilaukilau. Mereka siap untuk kembali pulang, dan anak itu tidak lagi sedih, bahkan
kelihatannya sudah mengusir seluruh pikiran tentang ayahnya dari kepalanya.
Di tengah jalan menuruni bukit, mulailah ia mendesak-desak Musashi memberikan jawaban
atas usulnya. "Saya siap mulai hari ini," katanya. "Pikirkan saja, ke mana pergi, Bapak
dapat naik kuda ini, dan saya akan selalu melayani Bapak."
Desakan itu menyebabkan Musashi diam-diam bersungut-sungut. Banyak yang bisa ditawarkan
oleh Sannosuke, tapi Musashi bertanya pada diri sendiri, apakah ia mesti menempatkan
diri lagi pada tanggung jawab atas masa depan seorang anak. Jotaro anak yang memiliki
kemampuan alamiah. Tapi keuntungan apa yang didapatnya dengan mengikatkan diri pada
Musashi. Dan sekarang, ketika Jotaro lenyap entah ke mana, lebih terasa lagi oleh Musashi
tanggung jawabnya. Namun, menurut Musashi, kalau orang hanya memikirkan bahaya-bahaya
yang menghadang, ia takkan dapat maju selangkah pun, apalagi mencapai sukses dalam
hidup ini. Lebih daripada itu, dalam persoalan seorang anak, tak seorang pun dapat
benar-benar menjamin masa depannya, termasuk juga orangtuanya sendiri. "Mungkinkah
secara objektif memutuskan apa yang baik untuk seorang anak, dan apa yang tidak baik?"
tanyanya pada diri sendiri. "Kalau persoalannya mengembangkan bakat-bakat Sannosuke dan
memimpinnya ke arah yang benar, aku dapat melakukannya. Kukira hal itu sama juga dengan
yang dapat dilakukan orang lain."
"Bapak mau berjanji, kan" Ayolah," desak anak itu.
"Sannosuke, apa kau ingin jadi tukang kuda seumur hidupmu?"
"Tentu saja tidak. Saya ingin jadi samurai."
"Justru itu yang kupikirkan. Tapi kalau kau ikut aku dan menjadi muridku, kau akan
mengalami banyak penderitaan."
Anak itu menjatuhkan tali kuda, dan sebelum Musashi tahu apa yang hendak dilakukannya,
ia sudah berlutut di tanah, di bawah kepala kuda. Sambil membungkuk dalam-dalam,
katanya, "Saya mohon, Bapak menjadikan saya seorang samurai. Itulah yang diinginkan
ayah saya, tapi tak ada orang yang dapat dimintai pertolongannya."
Musashi turun dari kuda, menoleh ke sekitarnya sebentar, kemudian memungut sebilah
tongkat dart menyerahkannya pada Sannosuke. Ia ambil tongkat satu lagi untuk dirinya,
dan katanya, "Coba pukul aku dengan tongkat itu. Sesudah kulihat bagaimana kau
melakukannya, baru aku dapat memastikan, apa kau punya bakat jadi samurai."
"Kalau saya dapat memukul Bapak, apa Bapak akan mengatakan ya?"
"Coba dulu, dan lihat." Musashi tertawa.
Sannosuke mencengkeram erat senjatanya dan menyerbu ke depan, seperti orang kesurupan.
Musashi tak kenal belas kasihan. Berkali-kali anak itu dipukulnya di bahu, di wajah, di
tangan. Setiap kali si anak mundur terhuyung jauh, tapi selalu kembali menyerang.
"Sebentar lagi dia pasti menangis," pikir Musashi.
Tapi Sannosuke tak hendak menyerah. Ketika tongkatnya patah dua, ia menyerang dengan
tangan kosong. "Apa yang kaulakukan, orang kerdil?" bentak Musashi dengan sikap marah yang disengaja.
Ditangkapnya obi anak itu dan dibantingnya si anak ke tanah.
"Bajingan besar!" teriak Sannosuke yang sudah berdiri lagi dan menyerang kembali.
Musashi menangkap pinggangnya dan mengangkatnya ke udara. "Cukup?"
"Tidak!" teriak anak itu, sekalipun matanya sudah basah, dan tangan serta kakinya
menggapai-gapai sia-sia. "Kubanting kau ke batu di sana, dan kau akan mati. Menyerah, tidak?"
"Tidak!" "Keras kepala, ya" Apa tak lihat, kau sudah kalah?"
"Selama masih hidup, aku belum kalah! Lihat saja, akhirnya aku akan menang."
"Dengan cara apa?"
"Aku akan latihan, aku akan mendisiplinkan diriku."
"Tapi selagi kau berlatih sepuluh tahun lamanya, aku juga berbuat begitu."
"Ya, tapi kau jauh lebih tua dariku. Kau akan mati dulu."
"Hmm." "Dan kalau orang memasukkanmu ke peti mati, aku akan kasih pukulan rerakhir, dan
menang!" "Tolol!" teriak Musashi sambil melontarkan anak itu ke tanah.
Ketika Sannosuke berdiri lagi, sesaat Musashi memandang wajahnya, tertcawa, dan
bertepuk tangan. "Bagus. Kau boleh jadi muridku."
*** 68. Begitu Gurunya, Begitu Pula Muridnya
DALAM perjalanan singkat kembali ke gubuk itu, Sannosuke terus mengoceh tentang impianimpian masa depannya.
Tapi malam itu, ketika Musashi mengatakan bahwa ia harus siap mengucapkan selamat
tinggal kepada satu-satunya rumah yang pernah dikenalnva itu, ia jadi sedih. Mereka
tetap jaga sampai larut malam, dan Sannosuke dengan mata berkaca-kaca dan dengan suara
lirih bercerita kepada Musashi tentang orangtua dan kakek-kakeknya.
Pagi hari, ketika mereka bersiap keluar, Musashi menyatakan bahwa sejak saat itu ia
akan menyebut Sannosuke dengan nama Iori. "Kalau kau ingin menjadi samurai," jelasnya,
"sudah sewajarnya kau mengambil nama kakekmu." Anak itu belum cukup dewasa untuk
mendapat upacara akil-balig, yaitu ketika seorang anak memperoleh nama dewasa. Tapi,
menurut pendapat Musashi, menggunakan nama kakeknya akan menyemangati anak itu.
Kemudian, ketika anak itu kelihatan masih ingin berlama-lama di dalam rumah, Musashi
berkata tenang, tapi mantap, "Iori, ayo cepat. Di sini tak ada yang kauperlukan. Kau
tidak membutuhkan sisa-sisa masa lalu."
Iori berlari ke luar rumah, memakai kimono yang sedikit menutupi pahanya, mengenakan
sandal jerami tukang kuda, dan membawa bungkus kain berisi bekal makanan yang terdiri
atas jewawut campur nasi. Ia tampak seperti kodok kecil, tapi slap dan ingin sekali
menempuh hidup baru. "Pilih satu pohon yang jauh dari rumah, dan ikatkan kuda itu," perintah Musashi.
"Bapak bisa naik sekarang."
"Kerjakan perintahku."
"Baik, Pak." Musashi merasakan sikap sopan itu. Suatu tanda kecil, tapi menggembirakan, bahwa anak
itu bersedia memilih jalan samurai sebagai ganti omongan teledor kaum tani.
Iori mengikatkan kuda, dan kembali ke tempat Musashi berdiri di bawah tepian atap gubuk
tua itu, seraya memandang dataran di sekitar. "Apa yang ditunggu?" tanya anak itu dalam
hati. Sambil meletakkan tangan ke kepala Iori, kata Musashi, "Inilah tempatmu dilahirkan, dan
tempatmu memperoleh tekad untuk menang."
Iori mengangguk. "Daripada mengabdi kepada tuan kedua, kakekmu menarik diri dari golongan prajurit.
Ayahmu, yang setia pada harapan terakhir kakekmu, merasa puas dengan hanya menjadi
petani. Kematiannya membuatmu seorang diri di dunia ini, karena itu sudah tiba waktunya
bagimu untuk berdiri di atas kaki sendiri."
"Ya, Pak." "Kau mesti menjadi orang besar!"
"Akan saya coba." Air mata merebak di matanya.
"Selama tiga generasi, rumah ini meneduhi keluargamu dari angin dan hujan. Ucapkan
terima kasih kepadanya, kemudian ucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya, dan
jangan menyesal." Musashi masuk ke dalam, dan membakar pondok itu. Ketika ia keluar, Iori menatap dengan
mata berkaca-kaca. "Kalau kita tinggalkan rumah ini berdiri," kata Musashi, "cuma akan menjadi tempat
persembunyian penyamun atau pencuri. Kubakar dia agar orang-orang macam itu tidak
menodai kenangan mengenai ayah dan akekmu."
"Saya berterima kasih."
Gubuk itu berubah menjadi onggokan api, kemudian runtuh.
"Mari kita pergi," kata Iori, yang tidak lagi berminat pada sisa-sisa masa lalu.
"Belum." "Tapi tak ada lagi yang mesti kita lakukan di sini,kan?"
Musashi tertawa. "Kita membangun rumah baru di atas bukit kecil di sana itu."
"Rumah baru" Buat apa" Bapak baru saja membakar yang lama."
"Itu milik ayah dan kakekmu. Yang kita bangun itu akan menjadi milik kita."
"Maksud Bapak, kita akan tinggal di situ?"
"Betul." "Kita tak akan pergi ke mana-mana, berlatih, dan mendisiplinkan diri?"
"Akan kita lakukan itu di situ."
"Apa yang dapat kita latih di situ?"
"Menjadi pemain pedang, menjadi samurai. Kita akan mendisiplinkan semangat kita, dan
kerja keras mengubah diri kita menjadi manusia sejati. Ayo ikut aku, dan bawa kapak
itu." Ia menunjuk rumpun rumput tempat ia meletakkan alat-alat pertanian.
Sambil memanggul kapak, Iori mengikuti Musashi menuju bukit kecil. Di sana tumbuh
beberapa pohon berangan, pinus, dan kriptomeria.
Sesudah membuka baju sampai pinggang, Musashi mengambil kapak dan pergi bekerja. Segera
kemudian ia betul-betul membikin hujan dari remah-remah kayu mentah.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iori memperhatikan dan berpikir, "Barangkali dia akan membangun dojo. Atau apa kami
akan berlatih di lapangan terbuka?"
Satu pohon tumbang, kemudian yang lain lagi. Keringat mengucur dari pipi Musashi yang
merah sehat, membasuh kelesuan dan kesepian beberapa tahun yang lewat itu.
Ia menyusun rencana ini ketika berdiri di dekat makam baru petani, di atas kuburan
kecil itu. "Aku akan meletakkan pedang sementara waktu, demikian diputuskannya, "dan
sebagai gantinya, bekerja dengan cangkul. Zen, kaligrafi, seni minum teh, melukis, dan
mengukir patung-semua itu bermanfaat untuk menyempurnakan ilmu pedang seseorang. Apakah
menggarap ladang tidak dapat juga memberikan sumbangan kepada latihannya" Bukankah
petak tanah luas ini, yang menanti garapan tangan manusia merupakan ruang latihan yang
sempurna" Dengan mengubah tanah datar yang tidak ramah menjadi tanah pertanian, ia
dapat memajukan kesejahteraan generasi masa depan.
Selama ini ia menempuh hidup seperti pendeta pengemis Zen boleh dikatakan hidup atas
prinsip menerima, yaitu tergantung pada makanan, peneduh, dan sumbangan orang lain. Ia
ingin mengadakan perubahan radikal, karena sudah lama ia menduga bahwa hanya mereka
yang benar-benar menanam padi dan sayuran sendiri, dapat benar-benar memahami betapa
suci dan bernilai keduanya itu. Mereka yang belum pernah menanam itu, seperti pendeta
yang tidak mempraktekkan apa yang mereka khotbahkan. atau pemain pedang yang belajar
teknik-teknik perkelahian, tapi tak tahu apa-apa tentang Jalan Samurai.
Waktu masih kanak-kanak, ia sering dibawa ibunya ke ladang, dan di sana bekerja bersama
petani penyewa dan orang-orang desa. Tetapi tujuan yang hendak dicapainya sekarang
lebih dari sekadar menghasilkan makanan untuk makannya sehari-hari. Ia mencari makanan
yang berfaedah untuk jiwanya. Ia ingin mempelajari arti bekerja untuk hidup, dan bukan
sekadar meminta. Ia juga ingin menanamkan jalan pikirannya kepada orang-orang di daerah
itu. Menurut penglihatannya, menyerahkan tanah itu kepada rumput liar dan widuri, dan
membiarkannya ditimpa badai dan banjir berarti menurunkan hidup melarat dari generasi
yang satu kepada generasi yang lain, tanpa membuka mata terhadap kemampuan mereka
sendiri dan kemampuan tanah sekitar mereka.
"Iori," panggilnya, "ambil tali, dan ikat balok ini. Kemudian seret ke tepi sungai."
Ketika perintah sudah dilaksanakan, Musashi menyandarkan kapaknya ke sebuah pohon dan
menghapus keringat di dahinya dengan siku. Kemudian ia turun dan mengupas kulit pohon
itu dengan kapak. Gelap turun, dan mereka menyalakan api unggun dengan serpih-serpih
kayu, serta membuat potongan-potongan kayu untuk bantal.
"Pekerjaan menarik, ya?" kata Musashi.
Dengan penuh kejujuran, Iori menjawab, "Saya pikir sama sekali tak menarik. Tak perlu
saya menjadi murid Bapak, kalau cuma untuk belajar mengerjakan ini."
"Lama-lama kau akan suka."
Bersamaan dengan perginya musim gugur, bunvi-bunyi serangga pun menghilang. Dedaunan
menjadi layu dan berjacuhan. Musashi dan Iori selesai mengerjakan pondok mereka, dan
kini memusatkan perhatian pada tugas menyiapkan tanah untuk ditanami.
Pada suatu hari, ketika sedang mengamati tanah itu, tiba-tiba terpikir oleh Musashi
bahwa suasana tanah itu seperti diagram keresahan sosial yang telah berlangsung seabad,
sesudah Perang Onin. Tanpa pikiran-pikiran itu pun, sesungguhnya keadaan tanah tidaklah
membesarkan hati. Musashi tidak tahu bahwa Hotengahara sudah berabad-abad lamanya tertimbun abu gunung
berapi berkali-kali dari Gunung Fuji, dan Sungai Tone sudah berulang-ulang membanjiri
dataran itu. Apabila cuaca cerah, tanah itu kering sekali, tapi apabila turun hujan
lebat, air memahat saluran-saluran baru, dan sekaligus mengangkut sejumlah besar lumpur
dan bebatuan. Tidak ada alur pokok yang dapat secara alamiah menjadi curahan alur-alur
kecil. Yang ada cuma lembah lebar yang tidak memiliki kemampuan untuk mengairi atau
mengeringkan daerah itu secara menyeluruh. Kebutuhan yang paling mendesak adalah
mengendalikan air itu. Dan makin ia memperhatikan, makin sering ia bertanya pada diri sendiri, kenapa daerah
itu tidak berkembang. "Pekerjaan ini takkan mudah," pikirnya, tergugah oleh tantangan
yang dihadapkan tanah itu kepadanya. Menggabungkan air dan tanah untuk menciptakan
ladang-ladang produktif tidak banyak bedanya dengan memimpin manusia lelaki dan
perempuan demikian rupa, hingga peradaban bisa berkembang pesat. Bagi Musashi,
tujuannya ini sesuai benar dengan cita-citanya dalam permainan pedang.
Mulailah ia melihat Jalan Pedang secara baru. Setahun-dua tahun yang lalu, ia hanya
ingin menaklukkan semua saingannya, tapi sekarang ia tidak lagi puas pada jalan pikiran
yang mengatakan bahwa pedang ada di dunia untuk tujuan memberi kekuasaan atas orang
lain. Merobohkan orang, membuktikan kejayaan kepada mereka, memamerkan batas kekuatan
dirisemua itu makin terasa sia-sia olehnya. Ia ingin menaklukkan dirinya sendiri,
membuat hidup itu sendiri takluk kepadanya, mendorong orang lain untuk hidup, dan bukan
untuk mati. Jalan Pedang tidak boleh dipergunakan semata-mata untuk menyempurnakan
diri. Ia harus menjadi sumber kekuatan untuk menguasai orang banyak, dan memimpin
mereka ke arah perdamaian dan kebahagiaan.
Ia sadar bahwa cita-citanya yang agung tidak lagi sekadar impian, dan cita-cita itu
akan tetap ada selama la masih belum memiliki kekuasaan politik untuk melaksanakannya.
Tetapi di tanah gurun ini ia tidak membutuhkan pangkat atau kekuasaan. Dan ia
menceburkan diri dalam perjuangan itu dengan penuh kegembiraan dan semangat.
Hari-hari datang dan pergi; tanggul-tanggul kayu dicabut, batu kerikil disaring, tanah
garapan diratakan, tanah dan batu dibuat tanggul. Musashi dan Iori bekerja dari sebelum
fajar sampai sesudah bintang-bintang bersinar terang di langit.
Kerja keras mereka yang tak kenal lelah itu memikat perhatian. Orang-orang desa yang
lewat sering kali berhenti, memperhatikan, dan memberi komentar.
"Menurut mereka, apa yang mereka kerjakan itu?"
"Bagaimana mereka bisa hidup di tempat macam itu?"
"Apa anak lelaki itu bukan anak si tua San'emon?"
Semua orang tertawa, tapi tidak semua berlalu demikian saja. Satu orang datang dengan
bekal kebaikan hati semata-mata, dan katanya, "Saya tak suka mengatakan ini, tapi saya
kira Anda membuang-buang waktu saja. Tulang punggung Anda bisa patah membuat ladang di
sini. Satu kali saja datang badai, dalam semalam akan habis semuanya."
Ketika beberapa hari kemudian ia lihat mereka masih saja mengerjakannya, ia rupanya
sedikit tersinggung. "Baiklah, Anda saya beri tahu: yang Anda lakukan di sini cuma
membuat lubang-lubang air, dan itu tak ada gunanya."
Beberapa hari kemudian, ia menyimpulkan bahwa samurai yang aneh itu tak punya otak.
"Orang-orang tolol!" teriaknya muak.
Hari berikutnya, datang satu rombongan untuk mengejek-ejek.
"Kalau memang ada yang bisa tumbuh di sini, kita tidak akan mandi keringat di bawah
matahari panas, mengerjakan ladang kita sendiri, seperti orang-orang malang itu. Lebih
baik kita tinggal di rumah, main suling."
"Dan tidak bakal ada bencana kelaparan."
"Kalian sia-sia saja mencangkul."
"Otak kalian seperti setumpukan rabuk."
Sambil mencangkul, Musashi terus menatap tanah, dan menyeringai. Iori merasa kurang
senang, sekalipun sebelum itu Musashi sudah memarahinya karena menanggapi omongan para
petani itu secara sungguh-sungguh. "Tapi, Pak," demikian ia mencebil, "yang mereka
katakan yang itu-itu juga!"
"Jangan perhatikan."
"Saya tak tahan!" teriak anak itu sambil mengambil sebuah batu untuk dilemparkan kepada
orang-orang yang mengejeknya. Mata Musashi membelalak, mencegahnya berbuat sesuatu.
"Coba pikir apa ada gunanya" Kalau kau tidak berlaku sopan, tak akan kau kuterima jadi
murid." Telinga Iori terbakar mendengar omelan itu, tapi ia bukannya membuang batu tersebut,
melainkan mengutuk dan melemparkannya ke sebuah batu besar. Batu itu pecah menjadi dua,
hingga timbul bunga-bunga api darinya. Iori melemparkan cangkulnya dan menangis.
Musashi mengabaikan saja, walaupun sesungguhnya tergugah juga hatinya. "Dia seorang
diri di dunia ini, seperti aku," pikirnya.
Seolah bersimpati pada kesedihan anak itu, angin senja bertiup di atas dataran,
menggerakkan segala bentuk kehidupan, langit menggelap, dan titik-titik hujan turun.
"Ayo, Iori, masuk!" panggil Musashi. "Kelihatannya akan datang angin topan." Dengan
tergesa-gesa ia mengumpulkan peralatannya, dan berlari menuju rumah. Begitu ia sampai
di dalam, hujan turun dengan derasnya.
"Iori!" teriaknya heran, karena ternyata anak itu tidak masuk bersamanya. Ia pergi ke
jendela dan melayangkan pandang ke arah ladang. Hujan memercik ke wajahnya, dari ambang
jendela. Kilat membelah udara, menyambar bumi. Ketika memejamkan mata dan menutupi
telinga, ia bisa merasakan kekuatan halilintar itu.
Di tengah angin dan hujan, Musashi seolah melihat pohon kriptomeria di Kuil Shippoji
itu, dan mendengar suara garang Takuan. Ia merasa bahwa apa pun yang telah ia capai
semenjak itu, ia berutang budi pada keduanya. Ia ingin memiliki kekuatan agung yang
dimiliki pohon itu, juga hasrat dingin tak tergoyahkan yang dimiliki Takuan. Kalau ia
dapat menunjukkan sikap kepada Iori sebagaimana sikap kriptomeria tua itu kepadanya, ia
merasa telah berhasil membayar kembali sebagian utangnya kepada biarawan itu.
"Iori! ... Iori!"
Tidak ada jawaban. Yang ada hanya halilintar dan hujan yang menghantam atap.
"Ke mana pula perginya?" tanyanya pada diri sendiri, tapi ia masih enggan pergi ke
luar. Ketika kemudian hujan mereda menjadi gerimis, barulah ia keluar. Ternyata Iori belum
beranjak satu inci pun dari tempatnya. Dengan pakaian masih melekat pada tubuhnya, dan
wajah masih cemberut marah, ia agak mirip dengan pengejut burung. Bagaimana mungkin
seorang anak bersikap demikian kepala batu"
"Goblok!" umpat Musashi. "Balik sana ke rumah! Basah kuyup macam itu tak baik buatmu.
Cepat, sebelum sungai-sungai itu naik! Bisa-bisa kau tidak kembali."
Iori menoleh, seakan berusaha menemukan asal suara Musashi, kemudian mulai tertawa.
"Bapak kuatir" Hujan macam ini tak lama. Lihat, awan sudah bubar."
Musashi tak menduga bakal menerima pelajaran dari muridnya, karena itu agak kesal juga
ia, padahal Iori sendiri tidak memikirkan lagi soal itu. "Marilah," kata anak itu
sambil memungut cangkulnya. "Kita masih dapat bekerja sedikit lagi, sebelum matahari
tenggelam." Lima hari berikutnya, burung bulbul dan jagal bersahut-sahutan di bawah langit biru tak
berawan. Retak-retak besar bermunculan di tanah, dan petak-petak kecil terbentuk di
sekitar akar-akar mendong. Pada hari keenam, serangkaian awan hitam kecil-kecil muncul
di kaki langit, dan dengan cepat menyebar di keluasan langit, sampai seluruh dataran
tampak seolah terkena gerhana.
Iori mengamati langit itu sebentar, kemudian katanya dengan nada kuatir, "Kali ini
benar-benar." Bahkan ketika ia masih berbicara, angin hitam sudah memusar di sekitar
mereka. Dedaunan bergetar dan burungburung kecil berjatuhan ke tanah, seakan dijatuhkan
oleh gerombolan pemburu yang diam tak terlihat.
"Hujan sebentar lagi?" tanya Musashi.
"Kalau langit begini, tidak cuma sebentar. Lebih baik saya pergi ke desa, dan Bapak
lebih baik mengumpulkan alat-alat dan masuk rumah selekas-lekasnya." Sebelum Musashi
dapat bertanya kenapa demikian, Iori sudah berangkat melintasi dataran, dan segera
kemudian sudah tenggelam di lautan rumput yang tinggi.
Sekali lagi, penilaian Iori tentang cuaca itu tepat. Hujan deras yang tiba-tiba turun
itu mengembangkan irama khasnya sendiri, dipacu oleh angin ribut menggila, yang
menyebabkan Musashi buru-buru mencari peneduh. Untuk sesaat lamanya, hujan turun dalam
kederasan tak terbayangkan, lalu tiba-tiba berhenti, dan akhirnya mulai lagi dengan
lebih hebat. Malam tiba, tapi badai tak juga mereda. Kelihatannya langit mengubah
seluruh bumi menjadi samudra. Beberapa kali Musashi merasa kuatir angin akan
menyingkapkan atap. Lantai rumah sudah kotor oleh strap yang tercerabut dari sisi bawah
atap itu. Pagi tiba, kelabu dan tanpa bentuk. Tidak ada tanda-tanda di mana Iori berada. Musashi
berdiri dekat jendela. Hatinya serasa terbang. Ia tak dapat melakukan sesuatu. Di sanasini kelihatan sebatang pohon atau rumput-rumput. Di luar itu hanyalah lautan paya
berlumpur. Untunglah pondok itu masih berada di atas permukaan air, tapi di tempat
bantaran sungai yang biasanya kering, di bawah sana, sekarang menderas arus air yang
menggelandang segalanya. Karena tak tahu benar, apakah Iori barangkali sudah jatuh ke air dar, tenggelam,
Musashi merasa waktu berjalan sangat lambat, sampai akhirnya dirasanya ia mendengar
suara Iori memanggil, "Sensei! Sini!" Anak itu ada di seberang sungai, sedang
mengendarai sapi kebiri. Sebuah bungkusan besar terikat di punggungnya.
Musashi memandang dengan cemas ketika Iori dengan sapinya langsung masuk aliran lumpur
yang seakan-akan hendak mengisapnya itu.
Ketika sampai di tepi, ia guncangkan badannya untuk mengusir rasa dingin dan basah,
tapi dengan tenang ia tuntun sapi itu ke samping pondok.
"Kau pergi ke mana?" tanya Musashi. Dalam suaranya ada nada marah, tapi sekaligus juga
lega. "Ke desa, tentu saja. Saya membawa banyak makanan. Badai ini sama dengan hujan setengah
tahun, dan kalau nanti berhenti, kita akan terperangkap air banjir."
Bungkusan jerami mereka bawa ke dalam rumah, kemudian Iori membuka talinya dan
mengeluarkan isinya satu per satu dari bungkusan kertas minyak. "Ini buah berangan...
buncis miju-miju... ikan asin.... Kita takkan kehabisan makanan, biarpun sebulan-dua
bulan kita menunggu turunnya air."
Mata Musashi berkaca-kaca oleh rasa terima kasih, tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Terlampau malu ia tidak memikirkan semua itu. Bagaimana mungkin ia memimpin umat
manusia, kalau ia tak bisa mengurusi masalah hidup-matinya sendiri" Kalau tidak karena
jasa Iori, barangkali sekarang ia akan kelaparan. Sebaliknya, karena dibesarkan di
daerah pertanian terpencil, anak itu sudah tahu menimbun perbekalan semenjak ia berumur
dua tahun. Musashi sungguh heran bahwa orang-orang desa mau menyediakan semua makanan itu. Mereka
tak mungkin memilikinya dalam jumlah terlampau banyak. Ketika akhirnya ia dapat
Lovasket 2 The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Sumpah Iblis Kubur 1
^