Pencarian

Mushasi 6

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 6


melihat obi merahnya, orang bisa menyangkanya anak lelaki, karena ia mengenakan celana
pendaki gunung. Tanpa menantikan jawaban lagi ia mengatakan, "Kalau mau, sekarang bisa
terus mandi." Musashi berangkat ke kamar mandi, sedangkan Jotaro yang merasa mendapat teman baru yang
seumur dengannya lalu bertanya, "Siapa namamu?"
"Tidak tahu aku," jawab gadis itu. "Gila kamu, tidak tahu nama sendiri."
"Kocha." "Lucu nama itu," Jotaro tertawa.
"Apanya yang lucu?" tanya Kocha sambil meninju Jotaro.
"Dia pukul aku!" pekik Jotaro.
Dari pakaian yang terlipat di lantai kamar tamu, Musashi mengetahui bahwa di bak mandi
ada orang-orang lain. Ia menanggalkan pakaiannya dan membuka pintu masuk kamar mandi
yang beruap. Ada tiga orang sedang berbicara dengan riangnya, tapi ketika melihat tubuh
Musashi yang berotot, mereka berhenti bicara, seakan-akan ada unsur asing telah
menyerobot ke tengah mereka.
Musashi masuk ke dalam bak mandi umum itu sambil melenguh nikmat. Tubuh yang tingginya
180-an sentimeter itu menyebabkan air panas melimpah. Entah karena apa, hal itu
mengejutkan ketiga orang lainnya. Seorang di antaranya langsung menatap Musashi, yang
waktu itu sudah menyandarkan kepala ke tepi kolam dan menutup mata.
Berangsur-angsur mereka menyambung kembali percakapan yang terputus. Mereka membasuh
diri di luar kolam. Kulit punggung mereka putih dan otot-otot mereka lentur. Agaknya
mereka orang kota, karena cara bicaranya halus dan berbau kota.
"Siapa namanya"samurai dari Keluarga Yagyu itu?"
"Kalau tak salah, dia menyebut nama Shoda Kizaemon."
"Kalau Yang Dipertuan Yagyu mengirim pegawai untuk menyampaikan penolakan bertanding,
tentunya dia tidak sebaik yang dikatakan orang."
"Menurut Shoda, Sekishusai sudah mengundurkan diri dan tak pernah lagi bertarung.
Bagaimana pendapatmu, betul demikian, atau cuma mengarang-ngarang?"
"Ah, kupikir tidak betul. Yang jauh lebih mungkin adalah ketika dia mendengar anak
kedua Keluarga Yoshioka menantangnya, dia memutuskan untuk tidak ambil risiko".
"Setidak-tidaknya dia cukup bijaksana dengan mengirim buah dan mengatakan dia berharap
kita dapat menikmati persinggahan kita di sini."
Yoshioka" Musashi mengangkat kepala dan membuka mata. Ia sudah mendengar bahwa
Denshichiro sedang mengadakan perjalanan ke Ise sewaktu ia singgah di Perguruan
Yoshioka. Karenanya Musashi menyimpulkan ketiga orang itu sedang dalam perjalanan
pulang ke Kyoto. Salah seorang dari mereka tentunya Denshichiro. Yang manakah"
"Aku kurang beruntung dengan acara mandi rupanya," pikir Musashi sedih. "Pertama, dulu
Osugi menjebakku dengan mandi, dan sekarang, tanpa pakaian sama sekali, aku bertemu
dengan salah seorang Yoshioka. Dia tentu sudah mendengar tentang apa yang terjadi di
perguruannya. Kalau dia tahu namaku Miyamoto, pasti dia keluar dari pintu itu dan
kembali seketika dengan pedang."
Tapi ketiga orang itu tidak memperhatikannya. Dari percakapan mereka diketahui, begitu
tiba, mereka mengirim surat pada Keluarga Yagyu. Agaknya Sekishusai pernah punya
hubungan dengan Yoshioka Kempo, dulu, ketika Kempo menjadi guru para shogun. Tak sangsi
lagi, justru karena ini Sekishusai tidak membiarkan anak Kempo pergi tanpa menjawab
suratnya, dan karena itu pula ia mengirimkan Shoda untuk melakukan kunjungan kehormatan
ke penginapan. Mengomentari sikap Sekishusai itu, pemuda-pemuda kota tersebut mengatakan bahwa
Sekishusai "bijaksana", bahwa ia memutuskan untuk "tidak ambil risiko", dan bahwa ia
tidak mungkin "sebaik yang dikatakan orang". Mereka rupanya puas sekali dengan diri
mereka, tapi menurut Musashi mereka itu lucu. Berlawanan dengan apa yang sudah ia lihat
di Puri Koyagyu dan keadaan penduduk daerah yang membikin iri hati itu, mereka bertiga
rasanya tidak memiliki apa pun selain kefasihan bicara.
Hal itu mengingatkannya pada pepatah katak di dasar sumur, yang tak dapat melihat apa
yang terjadi di dunia luar. Kadang-kadang ia merasa pepatah itu dapat berlaku
sebaliknya. Anak-anak muda manja dari Kyoto ini punya kesempatan melihat apa yang
terjadi di pusat segala sesuatu dan mengetahui apa yang terjadi di mana-mana. Tetapi
yang terjadi pada mereka adalah: selagi mereka mengawasi lautan terbuka luas, di tempat
lain, di dasar sumur yang dalam, ada seekor katak yang dengan mantap tumbuh makin lama
makin besar clan kuat. Di sini, di Koyagyu, jauh dari pusat politik dan ekonomi negeri,
para samurai tegap berpuluh-puluh tahun lamanya menempuh kehidupan pedesaan yang sehat
dengan mempertahankan nilai-nilai kuno, memperbaiki segi-segi mereka yang lemah dan
semakin kukuh kelebihannya. '
Bersama dengan berlalunya waktu, Koyagyu menghasilkan Yagyu Muneyoshi, seorang guru
besar dalam seni bela diri, dan anaknya Yang Dipertuan Munenori dari Tajima, yang
kegagahannya diakui oleh Ieyasu sendiri. Ada juga anak-anak Muneyoshi yang lebih tua,
Gorozaemon dan Toshikatsu, yang terkenal di seluruh negeri karena keberaniannya, dan
cucunya Hyogo Toshitoshi yang prestasi-prestasi luar biasanya menyebabkan ia dapat
menduduki jabatan yang besar gajinya di bawah Jenderal Kato Kiyomasa dari Higo yang
termasyhur. Dalam hal kemasyhuran dan nama baik, Keluarga Yagyu belum setara Keluarga
Yoshioka. Tetapi dalam hal kecakapan, perbedaan itu hanyalah masa lalu. Denshichiro dan
teman-temannya buta karena keangkuhan sendiri. Namun demikian, Musashi merasa sedikit
kasihan pada mereka. Ia pindah ke sudut tempat disalurkannya air ke dalam kamar itu. Ditanggalkannya ikat
kepalanya, kemudian diambilnya segenggam tanah liat, dan mulailah ia menggosok kulit
kepalanya. Itulah pertama kali selama berminggu-minggu ia bermewah-mewah dengan pencuci
rambut yang baik. Sementara itu, orang-orang Kyoto itu menyelesaikan mandi.
"Uh, enak." "Memang enak. Bagaimana kalau kita panggil gadis-gadis buat menuangkan sake kita?"
"Gagasan bagus! Bagus, bagus!"
Ketiga orang itu selesai mengeringkan dirt dan pergi. Sesudah mandi, membasuh badan
sepenuhnya, dan mengguyur badan lagi dengan air panas, Musashi mengeringkan badan,
mengikat rambut, dan kembali ke kamarnya. Di sana ia temukan Kocha yang tampak seperti
anak lelaki itu sedang menangis.
"Kenapa kamu?" "Anak lelaki Tuan itu. Coba lihat, dia pukul saya!"
"Ah, bohong!" teriak Jotaro marah, dari sudut yang lain.
Musashi baru akan memakinya, Jotaro sudah memprotes, "Si tolol ini bilang Kakak lemah."
"Itu tak benar. Saya tidak bilang begitu."
"Kamu bilang!" "Tuan, saya tidak bilang Tuan atau yang lain itu lemah. Anak bandel ini tadi membual
bahwa Tuan pemain pedang terbesar di negeri ini, karena Tuan sudah membunuh berlusinlusin ronin di Dataran Hannya, tapi saya katakan, di Jepang tak ada yang lebih baik
bermain pedang daripada yang dipertuan daerah ini, lalu dia mulai menampar pipi saya."
Musashi tertawa. "Oh, begitu. Memang tak boleh dia melakukan itu, dan aku akan
memarahinya. Kuharap kamu memaafkan kami. Jo!" katanya keras.
"Ya, Kak," kata anak itu, yang masih juga mendongkol.
"Pergi mandi sana!"
"Saya tak suka mandi!"
"Aku juga tak suka," kata Musashi bohong. "Tapi kamu begitu berkeringat, sampai bau."
"Saya akan mandi di sungai besok pagi."
Anak itu jadi semakin keras kepala, sesudah makin terbiasa dengan Musashi, tapi Musashi
tidak begitu keberatan. Bahkan ia menyukai watak Jotaro itu. Akhirnya anak itu tidak
jadi mandi. Tak lama kemudian Kocha membawakan makan malam dengan baki. Mereka makan tanpa bicara.
Jotaro dan pelayan saling pandang, sementara gadis itu menyediakan makanan.
Musashi sibuk memikirkan maksud pribadinya untuk menemui Sekishusai. Melihat
kedudukannya yang rendah, barangkali usaha ini terlalu berlebihan, tapi kemungkinan,
ya, kemungkinan saja, hal itu bisa.
"Kalau aku beradu senjata dengan seseorang," pikir Musashi, "haruslah dengan orang yang
kuat. Ada manfaatnya membahayakan hidup ini, untuk melihat apakah aku dapat mengalahkan
Yagyu yang bernama besar itu. Tak ada gunanya mengikuti Jalan Pedang jika aku tak punya
keberanian mencoba."
Musashi sadar bahwa kebanyakan orang akan langsung menertawakannya, karena ia punya
pikiran seperti itu. Walaupun bukan salah seorang daimyo penting, Yagyu pemilik puri.
Anaknya dinas di istana shogun, dan seluruh keluarganya mendalami tradisi kelas
prajurit. Di zaman baru yang sedang terbit ini, merekalah yang mengendarai puncak
waktu. "Ini merupakan ujian sejati," pikir Musashi yang sudah mempersiapkan diri untuk
menghadapi pertarungan, sekalipun ia sedang makan nasi.
*** 17. Bunga Peoni KEMULIAAN orang tua itu tumbuh bersama berlalunya waktu, hingga sekarang ia tak lain
dari menyerupai derek megah. Sementara itu, ia mempertahankan penampilan dan tingkah
laku samurai berpendidikan baik. Giginya masih lengkap dan matanya tajam luar biasa.
"Aku akan hidup sampai seratus tahun," demikian sering kali ia meyakinkan semua orang.
Sekishusai sendiri percaya benar akan hal ini. "Keluarga Yagyu selamanya berumur
panjang," demikian ia suka mengatakan. "Yang mati umur dua puluhan dan tiga puluhan
biasanya terbunuh dalam pertempuran. Lainnya hidup sampai melebihi enam puluh tahun."
Di antara peperangan yang tak terhitung jumlahnya, ia ambil bagian dalam beberapa
perang besar, termasuk pemberontakan Miyoshi dan pertempuran-pertempuran yang menandai
bangkit dan jatuhnya Keluarga Matsunaga dan Oda.
Sungguhpun misalnya Sekishusai tidak dilahirkan dalam keluarga seperti itu, jalan hidup
dan terutama sikapnya setelah ia mencapai umur tua menyebabkan orang percaya bahwa ia
akan dapat hidup sampai seratus tahun. Pada umur empat puluh tujuh, karena alasanalasan pribadi ia memutuskan untuk meninggalkan peperangan. Semenjak itu belum ada yang
dapat mengubah tekadnya. Ia menulikan telinga terhadap desakan shogun Ashikaga
Yoshiaki, maupun permohonan yang berulang-ulang dari Nobunaga dan Hideyoshi untuk
menggabungkan diri dengan mereka. Sekalipun ia hidup hampir dalam bayanganKyoto dan
Osaka, namun ia menolak untuk terlibat dalam pertempuran yang sering terjadi pada
pusat-pusat kekuasaan dan intrik itu. Ia lebih suka tinggal di Yagyu, seperti beruang
di dalam gua, dan ia merawat tanahnya yang berpenghasilan lima belas ribu gantang itu
demikian rupa hingga nanti ia dapat menyerahkannya pada keturunannya dalam keadaan
baik. Sekishusai pernah mengatakan, "Aku sudah berbuat sebaik-baiknya dengan berkukuh
pada tanah ini. Pada zaman tidak menentu ini, ketika para pemimpin bangkit dan jatuh
begitu cepat, hampir tak dapat dipercaya bahwa puri kecil ini berhasil tetap tegak
secara lengkap." Ini tidak dibesar-besarkan. Sekiranya ia dulu membantu Yoshiaki, ia mungkin menjadi
korban Nobunaga, dan sekiranya ia dulu membantu Nobunaga, kemungkinan ia bertabrakan
dengan Hideyoshi. Sekiranya ia menerima perlindungan Hideyoshi, hak miliknya mungkin
dicabut oleh Ieyasu sesudah Pertempuran Sekigahara.
Ketajaman pandangannya yang dikagumi orang banyak itu memang merupakan satu faktor
kelebihan, tetapi untuk dapat tetap tegak dalam zaman yang demikian bergolak,
Sekishusai harus memiliki kekuatan dalam yang tidak dimiliki oleh samurai biasa pada
zamannya. Mereka semua cenderung berpihak pada seseorang di suatu hari dan secara tak
kenal malu meninggalkannya pada hari berikutnya, demi kepentingannya sendiri tanpa
memikirkan kesopanan ataupun ketulusan"atau bahkan membantai sanak saudara sendiri yang
mencampuri ambisi pribadi.
"Aku tak dapat berbuat seperti itu," ujar Sekishusai dengan sederhananya. Dan apa yang
dikatakannya itu benar. Namun ia belum meninggalkan Seni Perang itu sendiri. Dalam
ceruk kamar duduknya tergantung sajak yang ditulisnya sendiri. Bunyinya:
Tak ada padaku cara cerdik
Buat menempuh hidup. Aku hanya mengandalkan diri
Pada Seni perang. Itu perlindungan terakhirku.
Ketika diundang Ieyasu untuk mengunjungi Kyoto, mau tak mau Sekishusai merasa harus
menerimanya dan keluar dari keterpencilan tenteram yang berpuluh tahun lamanya itu
untuk melakukan kunjungan pertama ke istana shogun. Ia membawa serta anaknya yang
kelima, Munenori, yang berumur dua puluh empat tahun, dan cucunya Hyogo yang waktu itu
baru berumur enam belas. Ieyasu tidak hanya membenarkan prajurit tua yang patut
dimuliakan itu dalam hal pemilikan tanah, tetapi memintanya menjadi guru dalam seni
perang bagi Keluarga Tokugawa. Sekishusai menolak kehormatan itu dengan alasan umur,
dan minta Munenori ditunjuk menggantikannya. Ieyasu setuju.
Warisan yang dibawa Munenori ke Edo itu lebih dari sekadar kecakapan hebat dalam seni
bela diri, karena ayahnya juga menurunkan pengetahuan taraf tinggi dalam Seni Perang,
yang memungkinkan seorang pemimpin memerintah dengan bijaksana.
Menurut Sekishusai, Seni Perang memang alat untuk memerintah rakyat, tetapi ia pun alat
untuk mengendalikan diri. Ini dipelajarinya dari Yang Dipertuan Koizumi, yang sering
dinamakan dewa pelindung rumah tangga Yagyu. Surat keterangan yang diberikan kepadanya
oleh Yang Dipertuan Koizumi untuk membuktikan penguasaannya atas ilmu pedang Gaya
Shinkage, selalu disimpan di sebuah rak kamar Sekishusai bersama empat jilid buku
pegangan teknik militer yang dihadiahkan kepadanya oleh Yang Dipertuan. Pada ulang
tahun meninggalnya Yang Dipertuan Koizumi, Sekishusai tak pernah lupa menghaturkan
persembahan makanan bagi semua harta milik yang sangat berharga itu.
Di samping gambaran tentang teknik-teknik pedang tersembunyi Gaya Shinkage, buku
pegangan itu berisi gambar-gambar ilustrasi, semuanya hasil tangan Yang Dipertuan
Koizumi sendiri. Bahkan dalam masa pensiunnya pun, Sekishusai senang membuka-buka
gulungan itu dan memeriksa isinya. Tidak henti-hentinya ia merasa kagum dapat menemukan
betapa terampil gurunya memainkan kuas. Gambar-gambar itu menunjukkan orang-orang yang
sedang bertarung dan bermain pedang dalam segala posisi dan langkah yang mungkin.
Apabila Sekishusai memandang gambar-gambar itu, ia merasa para pemain pedang itu turun
dari langit dan bergabung dengannya di rumah pegunungan yang kecil itu.
Yang Dipertuan Koizumi pertama kali datang ke Puri Koyagyu ketika Sekishusai berumur
tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun dan masih meluap-luap ambisi militernya.
Yang Dipertuan bersama dua kemenakannya, Hikida Bungoro dan Suzuki Ihaku waktu itu
sedang mengembara mencari ahli seni perang, dan pada suatu hari ia tiba di Hozoin.
Itulah zaman ketika In'ei sering kali berkunjung ke Puri Koyagyu, dan In'ei pun
menyampaikan pada Sekishusai tentang tamu itu. Itulah permulaan hubungan mereka.
Sekishusai dan Koizumi melakukan pertandingan tiga hari berturut-turut. Dalam
pertandingan pertama Koizumi menyebutkan di mana ia akan menyerang, dan mulailah ia
bertanding tepat sesuai yang dikatakannya.
Hari kedua terjadi hal yang sama. Karena harga dirinya terluka, pada hari ketiga
Sekishusai memusatkan usahanya pada cara baru.
Melihat langkah baru itu, Koizumi hanya mengatakan, "Oh, itu tak bisa. Kalau Anda
melakukan itu, saya akan melakukan ini." Tanpa berpanjang-panjang lagi ia pun menyerang
dan mengalahkan Sekishusai untuk ketiga kalinya. Sejak hari itu Sekishusai meninggalkan
pendekatan congkak atas ilmu pedang. Kemudian diingatnya bahwa pada kesempatan itulah
pertama kali ia melihat Seni Perang sejati.
Atas desakan kuat Sekishusai, Yang Dipertuan Koizumi tinggal di Koyagyu selama enam
bulan, dan selama itu Sekishusai belajar sepenuh hati bak seorang yang baru mulai.
Ketika akhirnya mereka berpisah, Yang Dipertuan Koizumi mengatakan, "Jalan ilmu pedang
saya masih belum sempurna. Anda masih muda, dan Anda mesti mencoba mengusahakannya
sampai sempurna." Kemudian ia memberi Sekishusai sebuah teka-teki Zen: "Apakah artinya
main pedang tanpa pedang?"
Bertahun-tahun lamanya Sekishusai merenungkannya, meninjaunya dari segala penjuru, dan
akhirnya sampai pada jawaban yang memuaskan dirinya.
Ketika Yang Dipertuan Koizumi datang lagi berkunjung, Sekishusai menyambutnya dengan
mata jernih tak terusik, dan menyarankan agar mereka bertanding. Yang Dipertuan
memperhatikannya dengan saksama sesaat lamanya, kemudian katanya, "Jangan, akan sia-sia
saja. Anda sudah menemukan kebenaran."
Kemudian ia menghadiahi Sekishusai surat keterangan dan buku pegangan empat jilid itu.
Dengan ini lahirlah Gaya Yagyu. Pada gilirannya hal itu melahirkan cara hidup damai
Sekishusai di umur tuanya.
Sekishusai tinggal di rumah pegunungan karena ia tidak lagi menyukai puri yang mencolok
dengan segala hiasannya yang rumit itu. Sekalipun ia mencintai hidup mengasingkan diri
menurut ajaran Tao, namun ia senang mendapat teman gadis yang dibawa Shoda Kizaemon
untuk bermain suling baginya, karena gadis itu penuh perhatian, sopan, dan tidak pernah
mengganggu. Tidak hanya dalam permainan suling ia amat menyenangkan, gadis itu juga
menambahkan sentuhan kemudaan dan kewanitaan yang menyenangkan bagi rumah tangganya.
Sekali-sekali gadis itu mengatakan hendak pergi dari situ, tetapi ia selalu memintanya
tinggal sedikit lebih lama.
Sambil mengatur letak terakhir bunga peoni tunggal yang dimasukkannya dalam jambangan
buatan Iga, Sekishusai bertanya kepada Otsu, "Bagaimana pendapatmu" Apa susunan bungaku
cukup hidup?" Otsu yang berdiri di belakang orang tua itu berkata, "Bapak tentunya pernah belajar
keras merangkai bunga."
"Sama sekali tidak. Aku bukan bangsawan Kyoto, dan tak pernah aku belajar merangkai
bunga atau upacara minum teh dengan pimpinan seorang guru."
"Tapi kelihatannya Bapak pernah belajar."
"Cara yang kugunakan untuk bunga sama dengan cara untuk pedang." Otsu tampak terkejut.
"Apa betul Bapak menyusun bunga seperti menggunakan pedang?"
"Ya, Mengerti tidak, semua itu cuma soal semangat. Aku tidak menggunakan peraturanmisalnya bagaimana memilih bunga-bunga itu dengan ujung jari atau mencekiknya di leher.
Soalnya cuma bagaimana menunjukkan semangat sewajarnya-bagaimana membuatnya tampak
hidup, sama seperti waktu dipetik. Lihat itu! Bungaku sama sekali tidak mati."
Otsu merasa orang tua yang cermat ini telah mengajarkan banyak hal yang perlu ia
ketahui, dan karena semua itu hanya diawali oleh pertemuan kebetulan saja di jalan
raya, ia merasa sangat beruntung. "Akan kuajarkan padamu upacara minum teh," demikian
katanya. Atau, "Bisa kau membuat sajak Jepang" Kalau bisa, coba ajarkan padaku gaya
sajak istana. Man'yoshu memang bagus dan apik, tapi hidup di tempat terpencil ini, aku


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih suka mendengar sajak-sajak sederhana tentang alam."
Sebagai gantinya, gadis itu melakukan hal-hal kecil baginya, yang tak terpikirkan oleh
orang lain. Misalnya ia senang sekali ketika gadis itu membuatkannya topi kain kecil
seperti yang biasa dipakai tukang teh. Kini hampir sepanjang waktu ia mengenakan topi
itu dan sangat menghargainya, seakan-akan tak ada barang yang lebih dari itu di mana
pun. Permainan suling gadis itu pun sangat menyenangkan hatinya. Pada malam-malam
terang bulan, bunyi sulingnya yang indah mengalun itu sering kali terdengar sampai ke
puri. Selagi Sekishusai dan Otsu bicara tentang susunan bunga, diam-diam Kizaemon datang di
pintu masuk rumah pegunungan itu dan memanggil Otsu. Otsu keluar dan mempersilakan
Kizaemon masuk, tapi Kizaemon ragu-ragu.
"Tolong sampaikan kepada Yang Dipertuan, aku baru saja kembali dari menjalankan
perintah," katanya. Otsu tertawa. "Oh, ini namanya terbalik."
"Kenapa?" "Tuan kan abdi utama di sini. Saya cuma orang luar yang diundang bermain suling. Tuan
jauh lebih dekat kepada beliau daripada saya. Apa tidak lebih baik Tuan menghadap
langsung kepada beliau daripada lewat saya?"
"Kukira pendapatmu itu betul, tapi di rumah kecil ini kamu orang khusus. Sudahlah,
sampaikan kepada beliau." Kizaemon senang dengan perubahan yang terjadi di situ. Ia
melihat Otsu sangat disukai tuannya.
Hampir seketika itu juga Otsu kembali untuk mengatakan bahwa Sekishusai minta Kizaemon
masuk. Kizaemon mendapati orang tua itu di kamar teh, mengenakan topi kain buatan Otsu.
"Jadi, kamu sudah kembali?" tanya Sekishusai.
"Ya. Saya sudah mendatangi mereka dan menyampaikan surat dan buah itu kepada mereka,
seperti Tuan perintahkan.
"Apa mereka sudah pergi?"
"Belum. Begitu saya kembali di sini, seorang utusan datang dari penginapan, membawa
surat. Isinya, karena mereka telah datang di Yagyu ini, tak hendak mereka pergi sebelum
melihat dojo. Kalau mungkin, mereka akan datang besok. Mereka juga mengatakan ingin
bertemu dengan Tuan dan menyatakan hormat mereka."
"Lancang benar orang tak tahu adat itu! Kenapa pula mereka begitu mengganggu?"
Sekishusai tampak jengkel sekali. "Apa sudah kamu jelaskan bahwa Munenori ada di Edo,
Hyogo di Kumamoto, dan tidak ada orang sama sekali di sini?"
"Sudah." "Aku benci orang seperti itu. Sudah kukirim orang, menyatakan tak bisa menerima mereka,
mereka tetap saja memaksa."
"Saya tak tahu apa..."
"Tampaknya anak-anak Yoshioka itu memang tak becus seperti yang dikatakan orang."
"Yang ada di Wataya itu Denshichiro. Bagi saya dia memang tidak mengesankan."
"Oh, aku heran kalau dia mengesankan. Ayahnya memang orang yang punya watak. Ketika aku
pergi ke Kyoto bersama Yang Dipertuan Koizumi, kami bertemu dia dua-tiga kali dan minum
sake bersama-sama. Kelihatannya keluarga itu merosot terus sejak itu. Orang muda itu
rupanya menyangka karena dia anak Kempo, dia punya hak untuk tidak ditolak masuk sini,
karena itu dia mendesakkan terus tantangannya. Dari sudut pandang kita, tak ada artinya
menerima tantangannya, kemudian membiarkannya pergi membawa kekalahan."
"Denshichiro ini rupanya terlalu percaya diri. Kalau dia memang ingin sekali datang,
barangkali saya sendiri yang akan melayani."
"Tidak, berpikir seperti itu saja pun jangan. Anak-anak orang terkenal itu biasanya
terlalu tinggi menilai dirinya. Lagi pula, mereka itu cenderung mencoba dan memutar
balik segala sesuatu untuk keuntungan sendiri. Kalau kamu hendak mengalahkannya, kamu
mesti mengerti bahwa dia pasti akan mencoba menghancurkan nama baik kita di Kyoto.
Tentang diriku, tak ada persoalan, tapi tak ingin aku membebani Munenori atau Hyogo
dengan hal seperti itu."
"Kalau begitu, apa yang hendak kita lakukan?"
"Yang terbaik adalah kalau kita mencoba meredakan hatinya dan membuatnya merasa bahwa
dia diperlakukan sesuai perlakuan terhadap anak satu keluarga besar. Barangkali keliru
mengirim orang lelaki untuk bertemu dengannya." Sambil mengalihkan pandangan kepada
Otsu, ia melanjutkan, "Kupikir perempuan lebih baik. Otsu kemungkinan orang yang tepat
untuk itu." "Baik," kata Otsu. "Apa saya mesti pergi sekarang?"
"Tidak, tak usah buru-buru. Besok pagi saja."
Sekishusai cepat menulis sepucuk surat sederhana, seperti surat yang ditulis seorang
ahli upacara minum teh, dan menyerahkannya kepada Otsu, disertai sekuntum bunga peoni
seperti yang ia susun dalam jambangan. "Berikan ini padanya, dan katakan kamu datang
mewakili aku karena aku sedang pilek. Mari kita lihat apa jawabnya."
Pagi berikutnya Otsu mengenakan kerudung panjang. Walaupun kerudung sudah tidak model
lagi di Kyoto, bahkan juga di lapisan masyarakat yang lebih tinggi, namun perempuanperempuan kelas atas dan menengah di daerah masih menghargainya.
Di kandang kuda yang terletak di pekarangan luar puri itu, Otsu meminjam kuda.
Tukang kuda yang sedang sibuk bersih-bersih bertanya, "Oh, kamu pergi, ya?"
"Ya, saya harus pergi ke Wataya, disuruh Tuan."
"Saya temani?" "Tak usah." "Tak apa-apa?" "Tentu saja tidak. Saya suka kuda. Kuda-kuda yang dulu biasa saya naiki di Mimasaka
masih liar, atau hampir-hampir liar."
Ketika Otsu berkuda, kerudung cokelatnya yang kemerahan mengapung wrtiup angin di
belakangnya. Ia dapat mengendarai kuda dengan baik; dengan sebelah tangan ia memegang
surat dan bunga peoni yang sudah sedikit layu, dan dengan tangan lain mengendalikan
kuda dengan terampilnya. Para petani dan pekerja di ladang melambaikan tangan
kepadanya, karena dalam waktu yang singkat di sana itu Otsu sudah cukup dikenal oleh
rakyat setempat. Memang, hubungan mereka dengan Sekishusai jauh lebih bersahabat
daripada yang biasa terjadi antara tuan tanah dan para petani. Para petani di situ
semuanya tahu bahwa seorang perempuan muda yang cantik datang untuk bermain suling bagi
tuannya. Kekaguman serta rasa hormat kepadanya pun menjalar kepada Otsu.
Sesampai di Wataya, Otsu turun dan menambatkan kudanya ke pohon di halaman.
"Selamat datang!" kata Kocha menyambutnya. "Mau menginap?"
"Tidak, saya datang dari Puri Koyagyu membawa surat untuk Yoshioka Denshichiro. Dia
masih di sini, bukan?"
"Silakan tunggu sebentar."
Dalam waktu singkat selama ditinggalkan Kocha itu, Otsu telah membikin suasana jadi
sedikit hiruk di antara para musafir, yang waktu itu sibuk mengenakan legging dan
sandal serta mengikatkan bawaannya ke punggung.
"Siapa itu?" tanya seorang.
"Menurutmu siapa yang akan dia temui?"
Kecantikan Otsu, dan keelokannya yang anggun dan jarang ditemui orang di pedesaan,
membuat para tamu yang hendak pergi berbisik-bisik dan menatapnya dengan penuh
perhatian, sampai kemudian ia mengikuti Kocha dan menghilang dari pandangan.
Denshichiro dan teman-temannya baru saja bangun, karena malam harinya mereka minum
sampai larut. Ketika disampaikan kepada mereka bahwa seorang utusan telah datang dari
puri, mereka menyangka utusan itu adalah orang yang datang hari sebelumnya. Melihat
Otsu membawa bunga peoni putih, mereka pun terkejut.
"Oh, maaf. Kamarnya berantakan."
Dengan wajah amat menyesal mereka meluruskan kimono dan duduk baik-baik, bersimpuh
sedikit kaku. "Silakan masuk, silakan masuk."
"Saya datang kemari diutus oleh Yang Dipertuan Puri Koyagyu," kata Otsu sederhana,
sambil meletakkan surat dan bunga peoni itu di hadapan Denshichiro. "Saya persilakan
membaca surat ini sekarang juga."
"Ah, ya.., ini suratnya" Ya, saya baca."
Ia membaca gulungan yang tidak lebih dari sekaki panjangnya itu. Surat ditulis dengan
tinta tipis dan menyebarkan sedikit bau teh. Bunyinya:
Maafkan saya, karena telah mengirimkan salam lewat surat dan bukannya menjumpai Anda
sendiri, tapi sayang sekali saya sedang sedikit pilek. Saya pikir sekuntum bunga peoni
yang putih bersih akan lebih menyenangkan bagi Anda daripada hidung ingusan seorang
tua. Saya kirimkan bunga ini lewat tangan sekuntum bunga pula, dengan harapan bahwa
Anda akan menerima maaf saya. Tubuh saya yang sudah sangat tua ini kini berada di luar
kehidupan sehari-hari. Saya sangsi akan memperlihatkan muka. Mudah-mudahan Anda dapat
tersenyum maklum kepada orang tua ini.
Denshichiro mendengus jijik dan menggulung surat itu. "Hanya ini?" tanyanya.
"Tidak, beliau juga mengatakan, meskipun ingin minum teh dengan Anda, beliau ragu-ragu
mengundang Anda datang ke rumah, karena tak ada orang lain di sana kecuali prajuritprajurit yang tak kenal enaknya teh. Karena Munenori berada di Edo, beliau merasa
suguhan teh akan terasa kasar, sehingga bisa menimbulkan tawa di bibir orang-orang ibu
kota kekaisaran. Beliau minta saya menyampaikan maaf kepada Anda, dan menyampaikan
kepada Anda pula bahwa beliau berharap bertemu dengan Anda pada kesempatan lain nanti."
"Ha, ha!" ucap Denshichiro seraya memperlihatkan wajah curiga. "Kalau benar penangkapan
saya, Sekishusai mengira yang kami inginkan adalah menyaksikan indahnya upacara minum
teh. Terus terang saja, karena kami berasal dari keluarga samurai, kami tak tahu apaapa tentang teh. Maksud kami sebenarnya adalah menanyakan secara pribadi kesehatan
Sekishusai dan membujuk beliau untuk memberikan pelajaran ilmu pedang pada kami."
"Beliau mengerti benar soal itu, tentu saja. Tapi beliau sekarang sedang menghabiskan
umur tuanya dengan menyendiri, dan kini beliau punya kebiasaan mengungkapkan banyak
buah pikirannya dengan istilah-istilah upacara minum teh."
Dengan sikap muak yang tampak jelas sekali, Denshichiro menjawab, "Yah, beliau tidak
memberikan pada kami pilihan lain kecuali menerima. Tolong sampaikan pada beliau, bahwa
kalau kami datang lagi nanti, kami ingin bertemu dengan beliau." Dan dikembalikannya
bunga peoni itu kepada Otsu.
"Anda tak suka ini" Beliau merasa bunga ini akan menggembirakan dalam perjalanan.
Beliau mengatakan Anda dapat menggantungkannya di sudut joli Anda, atau kalau Anda naik
kuda, menggantungkannya di sadel."
"Beliau maksudkan ini sebagai tanda mata?" Denshichiro menundukkan mata seakan-akan
terhina, kemudian dengan wajah masam ia berkata, "Aneh! Sampaikan pada beliau, kami
punya peoni sendiri di Kyoto!"
Kalau memang demikian perasaannya, tak ada gunanya mendesaknya menerima hadiah itu,
demikian kesimpulan Otsu. Dengan janji akan menyampaikan pesan itu, Otsu meninggalkan
tempat itu dengan berat, seberat kalau ia mesti membuka perban dari luka yang terbuka.
Karena marah, tuan-tuan rumah itu hampir tidak melihat kepergian Otsu.
Begitu sampai di lorong rumah, Otsu tertawa pelan sendiri. Dipandangnya lantai hitam
mengkilat yang menuju kamar tinggal Musashi, lalu ia membelok ke jurusan lain.
Kocha keluar dari kamar Musashi dan berlari mengejarnya.
"Mau pulang?" tanyanya.
"Ya, sudah selesai urusan saya."
"Oh, cepat sekali, ya?" Melihat tangan Otsu, ia bertanya, "Apa itu bunga peoni" Saya
baru tahu ada yang putih warnanya."
"Ya. Ini dari halaman puri. Boleh ambil kalau kamu suka."
"Oh, mau," kata Kocha sambil mengulurkan tangan.
Sesudah berpisah dengan Otsu, Kocha pergi ke petak pembantu dan memperlihatkan bunga
itu pada semua orang di sana. Karena tak seorang pun mengaguminya, dengan kecewa ia
kembali ke kamar Musashi.
Musashi duduk di jendela sambil bertopang dagu. Ia memandang ke arah puri dan berpikir
keras tentang tujuannya: bagaimana caranya agar, pertama, ia dapat bertemu dengan
Sekishusai, dan kedua, mengalahkannya dengan pedang.
"Tuan suka bunga?" tanya Kocha ketika masuk.
"Bunga?" Dan ditunjukkannya bunga peoni itu.
"Hmm, bagus ini."
"Tuan suka?" "Ya." "Ini namanya peoni, peoni putih."
"Betul" Kenapa tidak kamu masukkan jambangan di sana itu?"
"Saya tak bisa menyusun bunga. Tuan saja yang menyusun."
"Tidak, kamu saja. Lebih baik menyusunnya tanpa berpikir bagaimana jadinya."
"Baik, saya akan ambil air," kata Kocha sambil membawa jambangan itu keluar.
Secara kebetulan mata Musashi tertuju pada pangkal batang peoni yang terpapas.
Kepalanya miring terkejut, walaupun belum dapat ia memastikan apa gerangan yang memikat
perhatiannya itu. Minat yang hanya sambil lalu itu telah berubah menjadi pemikiran asyik ketika Kocha
kembali. Kocha meletakkan jambangan dalam ceruk kamar dan mencoba memasukkan bunga itu
ke dalamnya, tapi kurang berhasil.
"Batangnya terlalu panjang," kata Musashi. "Bawa kemari, biar kupotong. Nanti kalau
kamu dirikan, akan tampak pantas.
Kocha membawa bunga itu dan menyampaikannya kepada Musashi. Belum lagi sadar akan apa
yang terjadi, ia sudah melepaskan bunga itu dan mencucurkan air mata. Sungguh ajaib,
karena dalam sekejap mata Musashi sudah menghunus pedang pendeknya, memekik keras,
memotong pangkal bunga yang ada di antara kedua tangan Kocha, dan memasukkan kembali
pedang ke dalam sarungnya. Bagi Kocha, kilas baja dan bunyi pedang yang mendetak masuk
kembali ke dalam sarungnya itu seakan-akan terjadi serentak.
Tanpa mencoba menghibur gadis yang ketakutan itu, Musashi memungut potongan batang
bunga yang telah diirisnya dan mulai membandingkan ujungnya dengan ujung yang lain. Ia
tampak tenggelam sepenuhnya di situ. Akhirnya, ketika melihat gadis yang kebingungan
itu, ia minta maaf dan membelai-belai kepalanya.
Selesai membujuk gadis itu agar tidak menangis lagi, ia bertanya, "Kamu tahu, siapa
yang memotong bunga ini?"
"Tidak. Bunga ini pemberian orang."
"Siapa yang memberi?"
"Orang dari puri."
"Salah seorang samurai itu?"
"Tidak, seorang perempuan muda."
"Mm. Lalu kamu pikir bunga itu dari puri?"
"Ya, dia yang mengatakan."
"Maaf aku sudah bikin kamu takut tadi. Kalau kubelikan kamu kue nanti, mau kamu
memaafkan aku" Biar bagaimana, bunga sudah bisa disusun sekarang. Coba masukkan dalam
jambangan." "Begini?" "Ya, bagus itu."
Sebenarnya Kocha menyukai Musashi, tapi kilasan pedangnya itu membikin tubuhnya dingin
sampai ke tulang sumsum. Ia meninggalkan kamar itu dan tak ingin kembali sampai tugas
benar-benar memaksanya. Musashi jauh lebih terpesona oleh potongan batang bunga yang delapan inci panjangnya
itu daripada oleh bunga di ceruk kamar. Ia yakin potongan yang pertama tidak dibuat
dengan gunting atau pisau. Batang bunga peoni itu lentur dan luwes, maka potongan itu
hanya mungkin dilakukan dengan pedang, dan hanya hantaman yang sangat mantap saja dapat
membuat irisan yang demikian bersih. Siapa pun yang telah melakukannya, bukanlah orang
biasa. Sekalipun ia sendiri baru saja mencoba meniru potongan itu dengan pedangnya,
waktu kedua ujung potongan itu dibandingkan, segera ia sadar bahwa potongan yang
dilakukannya masih kalah jauh. Perbedaannya seperti patung Budha hasil ukiran ahli dan
patung buatan tukang kebanyakan saja.
Ia bertanya pada diri sendiri, apa gerangan makna yang tersembunyi di situ. "Jika
seorang samurai yang bekerja di kebun puri dapat melakukan potongan seperti itu, maka
taraf Keluarga Yagyu tentunya lebih tinggi lagi daripada yang kuduga."
Dan tiba-tiba saja keyakinan dirinya buyar. "Aku sama sekali belum siap."
Namun selangkah demi selangkah ia pulih kembali dari perasaan itu. "Bagaimanapun,
orang-orang Yagyu itu lawan yang layak. Kalaupun aku kalah nanti, aku dapat menjatuhkan
diri ke kaki mereka dan menerima kekalahan dengan keanggunan. Aku toh sudah memutuskan
bersedia menghadapi apa pun, termasuk mati." Sementara duduk memanas-manaskan
keberaniannya, ia merasa dirinya jadi tambah bersemangat.
Tapi bagaimana ia bisa melakukannya" Biarpun seorang siswa sudah datang di ambang
pintunya dan memperkenalkan diri baik-baik, belum tentu Sekishusai setuju bertanding.
Pemilik penginapan itu cukup banyak bercerita. Dan karena Munenori maupun Hyogo tak ada
di rumah, tak ada lagi yang mesti ditantang kecuali Sekishusai sendiri.
Sekali lagi ia mencoba mencari jalan untuk memperoleh izin masuk purl. Pandangan
matanya kembali ke bunga di dalam ceruk kamar. Mulailah terbentuk di hadapan matanya
bayangan seseorang, karena secara tak sadar ia diingatkan oleh bunga itu. Memandang
wajah Otsu dalam mata pikirannya itu menenangkan semangatnya dan menyejukkan sarafnya.
Otsu sendiri sedang dalam perjalanan pulang ke Puri Koyagyu, ketika tiba-tiba
didengarnya pekikan parau di belakangnya. Ia menoleh, dan kelihatan olehnya seorang
anak muncul dari rumpun pohon di kaki sebuah batu karang. Anak itu jelas datang untuk
menemui Otsu, tapi karena anak-anak di wilayah itu terlampau pemalu untuk menyapa
seorang perempuan muda seperti dirinya, maka Otsu sengaja menghentikan kudanya, sekadar
untuk memenuhi keingintahuannya.
Jotaro telanjang bulat. Rambutnya basah dan pakaiannya digulung bulat terkepit di
ketiaknya. Tanpa malu, walaupun telanjang, ia berkata, "Anda kan Kakak yang main suling
itu. Apa Kakak masih tinggal di sini?" Ia memandang kuda Otsu dengan sikap tak suka,
kemudian langsung memandang Otsu.
"Kamu!" seru Otsu, sebelum akhirnya memalingkan muka karena malu. "Anak kecil yang
menangis di jalan raya Yamato itu."
"Menangis" Saya tidak menangis!"
"Ya sudahlah. Sudah berapa lama kamu di sini?"
"Baru kemarin datang."
"Sendiri?" "Tidak, dengan guru saya."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O ya, betul. Kamu bilang sedang belajar seni pedang, kan" Lalu kenapa pakaianmu kamu
tanggalkan?" "Mana mungkin saya terjun ke sungai dengan pakaian lengkap?"
"Sungai" Tapi air sungai tentunya sedang membeku sekarang. Orang di sini bisa tertawa
mendengar orang berenang musim begini."
"Bukan berenang; saya mandi. Guru saya bilang, keringat saya bau, karena itu saya ke
sungai." Otsu mendecap. "Di mana kamu tinggal?"
"Di Wataya." "Lho, aku baru dari sana."
"Sayang sekali Kakak tidak bertemu kami. Bagaimana kalau kembali lagi dengan saya
sekarang?" "Tak bisa sekarang. Aku sedang disuruh."
"Kalau begitu, selamat berpisah!" kata Jotaro dan terus membalik untuk pergi.
"Jotaro, datanglah ke tempatku di puri sekali-sekali."
"Apa boleh saya datang?"
Baru saja Otsu mengucapkan kata-kata itu, ia sudah menyayangkannya, tapi katanya, "Ya,
boleh, tapi jangan sampai kamu tampil seperti sekarang ini.
"Oh, kalau begitu pendapat Kakak, tak mau saya ke sana. Saya tak suka tempat-tempat
yang orangnya cerewet."
Otsu merasa lega. Senyuman masih tampak pada wajahnya ketika ia mengendarai kudanya
melewati gerbang puri. Sesudah mengembalikan kudanya ke kandang, ia pergi melapor ke
Sekishusai. Sekishusai tertawa, katanya, "Jadi, mereka marah! Bagus! Biar mereka marah. Tak ada
yang bisa mereka perbuat dengan itu." Sejenak kemudian, seakan-akan teringat sesuatu,
ia bertanya, "Apa bunga peoni itu kamu buang?"
Otsu menjelaskan bahwa bunga itu telah ia berikan kepada pembantu di penginapan, dan
Sekishusai mengangguk setuju. "Apa anak Yoshioka itu memegang bunga itu dan
melihatnya?" tanyanya.
"Ya. Ketika dia membaca surat itu."
"Lalu?" "Dia cuma mengembalikannya pada saya."
"Dia tidak melihat batangnya?"
"Setahu saya tidak."
"Dia tidak memeriksanya atau mengatakan sesuatu tentangnya?"
"Tidak." "Kalau begitu, memang sudah benar aku menolak bertemu dengan dia. Tak ada gunanya dia
ditemui. Jadi, Keluarga Yoshioka itu boleh dikatakan sudah berakhir dengan matinya
Kempo." Dojo Yagyu dapat dengan tepat dilukiskan: megah. Dojo itu terletak di pekarangan luar
puri, dan dibangun kembali kira-kira waktu Sekishusai berumur empat puluh tahun. Balok
kekar yang dipergunakan untuk membangunnya memberikan kesan tak terhancurkan. Kilau
kayu yang terbentuk bertahun-tahun lamanya itu mencerminkan kekerasan orangorang yang
telah memperoleh latihan di situ. Bangunan itu pun cukup luas untuk dipakai sebagai
barak para samurai di masa perang.
"Yang enteng! Bukan dengan ujung pedang! Dengan tekad, dengan tekad!" demikian Shoda
Kizaemon meraungkan perintah-perintah marah kcpada dua pemain pedang yang bercita-cita
tinggi. Shoda Kizaemon duduk di podium yang ditinggikan sedikit dan mengenakan jubah
dalam dan hakama. "Sekali lagi! Tadi itu salah sama sekali!"
Sasaran cacian Kizaemon itu dua samurai Yagyu, yang sekalipun sudah setengah sadar dan
mandi keringat, namun terus juga beradu. Langkahhngkah diambil, senjata disiapkan, dan
keduanya bertemu lagi seperti api dengan api.
"A-o-o-oh!" "Y-a-a-ah!" Di Yagyu, para pemula tidak diizinkan menggunakan pedang kayu. Sebagai gantinya, mereka
menggunakan tongkat yang dibuat khusus untuk Gaya Shinkage. Tongkat itu berupa kantong
kulit panjang tipis yang diisi belahan-belahan bambu. Sebetulnya benda itu tongkat
kulit tak bergagang dan tak berpelindung tangan. Tongkat ini kurang berbahaya
dibandingkan dengan pedang kayu, namun masih dapat menghilangkan telinga atau mengubah
hidung menjadi buah delima. Tidak ada batasan mengenai bagian tubuh mana yang dapat
diserang oleh petarung. Merobohkan lawan dengan memukul kakinya mendatar diperbolehkan,
dan tidak ada peraturan yang melarang melabrak orang yang sudah jatuh.
"Ya, terus begitu! Terus macam itu! Sama dengan yang tadi!" demikian Kizaemon mendorong
para siswanya. Kebiasaan yang berlaku di sini adalah tidak membiarkan orang meninggalkan tempat
sebelum la hampir roboh. Para pemula diajar sangat keras, tidak pernah dipuji, dan
dijadikan sasaran caci-maki yang tidak sedikit. Karena itu, rata-rata samurai tahu
bahwa bekerja pada Keluarga Yagyu bukanlah sesuatu yang mesti diterima enteng. Para
pendatang baru jarang bertahan lama, dan orang-orang yang kini bekerja pada Yagyu
adalah hasil saringan yang sangat cermat. Prajurit biasa dan tukang kuda pun orangorang yang sudah lanjut dalam mempelajari seni pedang.
Tak perlu disebutkan lagi, Shoda Kizaemon adalah pemain pedang yang sudah jadi dan
telah menguasai Gaya Shinkage pada umur sangat muda. Di bawah pengawasan Sekishusai
sendiri ia kemudian mempelajari rahasia-rahasia Gaya Yagyu. Semua itu ditambahnya
dengan beberapa teknik pribadinya sendiri, dan kini ia dapat bicara dengan bangga
tentang "Gaya Shoda Sejati".
Pelatih kuda Yagyu, Kimura Sukekuro, juga seorang ahli seperti halnya Murata Yozo, yang
walaupun dipekerjakan sebagai penjaga gudang, kabarnya lawan tangguh Hyogo. Debuchi
Magobei, seorang pejabat lain yang relative tak penting, mempelajari seni pedang sejak
kanak-kanak dan dapat menggunakan sebuah senjata yang perkasa. Yang Dipertuan Echizen
telah mencoba membujuk Debuchi untuk bekerja padanya, dan Keluarga Tokugawa dari Kii
telah mencoba memikat Murata pergi dari situ, namun kedua orang itu memilih tinggal di
Yagyu, meskipun keuntungan materilnya lebih kecil.
Keluarga Yagyu yang kini mencapai puncak peruntungan itu sudah menghasilkan jajaran
pemain pedang besar yang kelihatannya tanpa henti. Lagi pula, para samurai Yagyu belum
diakui sebagai pemain pedang sebelum mereka membuktikan kesanggupannya menempuh cara
hidup yang tak kenal ampun.
"Hei, yang di sana itu!" seru Kizaemon pada seorang pengawal yang lewat di luar. Ia
rupanya terkejut melihat Jotaro yang berjalan mengikuti samurai.
"Halo!" seru Jotaro dengan seramah-ramahnya.
"Apa kerjamu dalam puri ini?" tanya Kizaemon tajam.
"Orang di pintu gerbang yang membawa saya masuk," jawab Jotaro sesuai dengan
kenyataannya. "Betul begitu?" Kemudian kepada pengawal, Kizaemon bertanya, "Kenapa kamu bawa dia
kemari?" "Dia bilang mau bertemu Tuan."
"Maksudmu, kamu bawa anak ini kemari atas kehendak dia sendiri" Hei, Nak!"
"Ya, Tuan." "Ini bukan tempat main. Pergi kamu dari sini."
"Tapi saya datang bukan buat bermain. Saya bawa surat dari guru saya."
"Dari gurumu" Kamu pernah bilang, dia murid yang mengembara itu, kan?"
"Silakan Tuan lihat suratnya."
"Tak perlu." "Kenapa" Apa Tuan tak bisa baca?"
Kizaemon mendengus. "Nah, kalau Tuan bisa baca, silakan baca."
"Oh, anak bandel yang pintar sekali kamu. Sebabnya aku tak perlu membaca surat itu,
karena aku sudah tahu isinya."
"Biar begitu, apa tidak lebih sopan kalau membacanya?"
"Murid di tempat ini meruap seperti nyamuk dan belatung. Kalau kusediakan waktu buat
berlaku sopan pada mereka semua, takkan dapat aku melakukan yang lain. Tapi aku kasihan
padamu, karena itu akan kusebutkan padamu apa isi surat itu. Baik" Isinya, penulis
ingin diizinkan melihat dojo yang sangat indah di sini, ingin walaupun hanya sesaat
bersenang-senang di bawah bayangan guru terbesar di negeri ini, dan untuk kepentingan
semua pengikut yang akan menempuh Jalan Pedang, dia akan sangat berterima kasih
mendapat pelajaran di sini. Kukira itulah kira-kira isi surat itu."
Mata Jotaro membundar. "Apa itu isi surat ini?"
"Ya. jadi tak perlu aku membacanya, kan" Biar begitu, jangan sampai dikarakan Keluarga
Yagyu dengan darah dingin menolak orang-orang yang datang bertamu kepada mereka." Ia
berhenti bicara, kemudian melanjutkan, seakan-akan sudah terlatih mengucapkan
pidatonya. "Minta kepada penjaga di sana supaya menjelaskan padamu semuanya. Kalau
murid datang ke rumah ini. dia masuk lewat gerbang utama, lalu terus ke gerbang tengah
yang di sebelah kanannya ada bangunan yang namanya Shin'indo. Ada papan nama tergantung
di bangunan itu. Kalau murid itu minta kepada pengurus di sana, dia bebas untuk
beristirahat sebentar, dan di sana ada tempat untuk menginap semalam-dua malam. Kalau
dia pergi, dia mendapat sedikit uang untuk bantuan dalam perjalanan. Sekarang, yang
mesti kamu lakukan adalah memberikan surat itu kepada pengurus di Shin'indo"mengerti?"
"Tidak!" kata Jotaro. la menggelengkan kepala dan mengangkat bahu kanannya sedikit.
"Coba Tuan dengar!"
"Ha"' "Tuan tak boleh menilai orang lain dari penampilannya. Saya bukan anak pengemis!"
"Kuakui kamu punya kecakapan menggunakan kata-kata."
"Kenapa tidak Tuan lihat surat ini" Mungkin isinya lain sekali dari yang Tuan duga.
Lalu apa yang akan Tuan lakukan nanti" Apa akan Tuan suruh saya memotong kepala Tuan?"
"Tunggu dulu!" Kizaemon tertawa. Wajah dan mulutnya yang merah di balik jenggotnya yang
seperti paku itu tampak seperti bagian dalam buah berangan yang sudah pecah. "Tidak,
kamu tak dapat memotong kepalaku."
"Nah, kalau begitu Tuan lihatlah surat ini."
"Coba sini." "Untuk apa?" Jotaro pun merasa menyesal telah melangkah demikian jauh.
"Aku kagum dengan tekadmu untuk tidak membiarkan pesan gurumu tak disampaikan. Aku akan
membacanya." "Kenapa pula tidak" Tuan pejabat paling tinggi dalam Keluarga Yagyu, kan?"
"Kamu pintar sekali menggunakan lidahmu. Kita harapkan, kamu dapat berbuat sama dengan
pedangmu, kalau kamu besar nanti." Kizaemon melepaskan meterai surat itu, dan dengan
diam ia baca pesan Musashi. Selagi membaca, wajahnya menjadi sunguh-sungguh. Selesai
membaca ia bertanya, "Apa kamu bawa yang lain disamping surat ini?"
"Oh, ya, saya lupa! Saya mesti menyampaikan ini juga." Jotaro cepat-cepat mengeluarkan
batang peoni dari dalam kimononya.
Tanpa mengatakan sesuatu, Kizaemon memeriksa kedua ujung batang itu. Wajahnya tampak
agak heran. Ia tidak sepenuhnya dapat memahami makna surat Musashi.
Surat itu menjelaskan bahwa pelayan penginapan telah memberikan kepadanya sekuntum
bunga yang katanya berasal dari puri, dan ketika ia memeriksa batang bunga itu, ia
melihat bahwa potongan bunga itu dibuat oleh "orang yang bukan orang biasa". Surat
menyatakan lagi: Sesudah memasukkan bunga itu ke dalam jambangan, saya merasa
mendapatkan suatu semangat khusus darinya, dan saya merasa harus menemukan orang yang
telah melakukan pemotongan itu. Persoalan ini bisa saja kelihatan remeh, tapi kalau
Tuan tidak berkeberatan menyampaikan kepada saya, siapakah di antara anggota rumah
tangga Tuan yang sudah melakukannya, saya akan sangat berterima kasih kalau Tuan
mengirimkan balasannya lewat anak yang membawa surat int.
Hanya itu"tak ada disebutkan bahwa si penulis seorang murid, dan tak ada permintaan
untuk bertanding. "Aneh juga tulisan ini," pikir Kizaemon. Sekali lagi ia memandang batang peoni itu, dan
sekali lagi ia memeriksa kedua ujungnya baik-baik, namun ia tak dapat membedakan apakah
ujung yang satu berlainan dengan ujung yang lain.
"Murata!" panggilnya. "Coba lihat ini. Apa bisa kamu melihat beda antara potongan di
kedua ujung batang ini" Apa barangkali yang satu tampak lebih tajam?"
Murata Yozo mengamat-amati batang bunga itu, tapi la terpaksa mengaku tidak melihat
beda kedua potongan itu. "Mari kita perlihatkan kepada Kimura."
Mereka pergi ke kantor di belakang bangunan itu dan mengajukan soal itu kepada rekan
mereka di sana, yang sementara itu sama kagumnya dengan mereka. Debuchi yang kebetulan
ada di kamar itu mengatakan, "Ini salah satu bunga yang dipotong oleh Yang Dipertuan
sendiri kemarin dulu. Apa engkau tidak bersama beliau waktu itu, Shoda?"
"Tidak, aku memang melihat beliau mengatur bunga. Tapi aku tidak melihat beliau
memotongnya." "Nah, ini satu dari dua bunga yang beliau potong. Beliau masukkan yang satu ke
jambangan di kamar beliau, dan yang lain beliau suruh Otsu bawa ke Yoshioka bersama
surat." "Ya, aku ingat," kata Kizaemon, ketika ia mulai membaca surat Musashi lagi. Tiba-tiba
ia menengadah dengan mata kaget. "Surat ini ditandatangani oleh 'Shimmen Musashi',"
katanya. "Apa menurutmu Musashi yang sudah membantu para pendeta Hozoin membunuh semua
jembel di Dataran Hannya itu" Tentunya dia!"
Debuchi dan Murata berganti-ganti mengambil surat itu dan membacanya kembali.
"Tulisannya memang berwatak," kata Debuchi.
"Ya," gumam Murata. "Kelihatannya dia luar biasa."
"Kalau apa yang dinyatakan surat itu benar," kata Kizaemon, "dan dia betul-betul dapat
menyatakan bahwa batang ini sudah dipotong oleh seorang ahli, tentunya dia mengetahui
sesuatu yang tidak kita ketahui. Guru Tua itu yang memotongnya sendiri, dan rupanya hal
ini cukup jelas bagi orang yang matanya memang benar-benar dapat melihat."
Kata Debuchi, "Hm. Ingin aku bertemu dengannya.... Dengan begitu kita dapat mengecek
soal itu, dan kita dapat juga meminta dia menceritakan peristiwa yang terjadi di
Dataran Hannya." Namun Debuchi tak hendak melibatkan dirinya seorang, melainkan
menanyakan pendapat Kimura. Kimura menyatakan bahwa karena mereka tidak pernah menerima
shugyosha, maka tidak dapat mereka menerimanya sebagai tamu di ruangan praktek, namun
tak ada alasan kenapa mereka tak dapat mengundangnya makan atau menikmati sake di
Shin'indo. Bunga-bunga iris sudah berkembang di sana, katanya, dan bunga-bunga azalea
liar mulai berkembang. Mereka bisa mengadakan pesta kecil dan bicara tentang seni
pedang dan hal-hal lain seperti itu. Kemungkinan besar Musashi dengan senang hati
datang, dan Yang Dipertuan pasti tidak keberatan kalau beliau mendengar tentangnya.
Kizaemon menepuk lututnya, dan katanya, "Saran yang baik sekali."
"Jadi, pesta buat kita juga," sambung Murata. "Mari kita kirimkan jawaban sekarang
juga." Selagi duduk menulis jawaban, Kizaemon berkata, "Anak itu ada di luar. Suruh dia
masuk." Beberapa menit sebelumnya Jotaro memang sudah menguap dan menggerutu. "Lamanya mereka
itu." Sementara itu, seekor anjing hitam besar mencium baunya dan datang mengendusnya.
Merasa mendapat teman baru, Jotaro bicara dengan anjing itu dan menarik telinganya
supaya maju mendekat. "Ayo kita bergulat," desaknya, kemudian merangkum anjing itu dan melemparkannya. Anjing
suka dengan permainan itu. Jotaro menangkapnya lagi dan melemparkannya dua-tiga kali
lagi. Kemudian, sambil memegang kedua rahang anjing itu, Jotaro berkata, "Nah, menyalak
sekarang!" Perbuatan itu membuat si anjing marah. Sambil melepaskan diri ia gigit tepian kimono
Jotaro dan ia tarik sekuat-kuatnya.
Kim giliran Jotaro yang jadi marah. "Kamu kira apa aku ini" Tidak boleh kamu lakukan
itu!" serunya. Ia menarik pedang kayunya dan mengancamnya ke kepala anjing. Anjing menganggapnya
sungguh-sungguh dan mulai menyalak keras-keras, hingga menarik perhatian para pengawal.
Sambil mengutuk, Jotaro menebaskan pedangnya ke kepala anjing. Kedengaran seperti
pedang itu menghantam karang. Anjing meloncat ke punggung anak itu, menggigit obi-nya,
dan menjatuhkan Jotaro ke tanah. Belum lagi Jotaro sempat berdiri, anjing itu sudah
menyerangnya lagi, dan Jotaro dengan bingung mencoba melindungi wajahnya dengan kedua
belah tangannya. Ia mencoba meloloskan diri, tapi anjing itu terus menempelnya. Gema salaknya memantulmantul melintasi pegunungan. Darah mulai mengalir dari antara jari-jari yang menutup
muka Jotaro, dan segera kemudian lolongan kesakitan anak itu sudah mengalahkan lolongan
si anjing. *** 18. Pembalasan Jotaro KEMBALI di penginapan, Jotaro duduk di depan Musashi dengan wajah puas. Ia melaporkan
sudah melaksanakan tugasnya. Beberapa goresan menyilangi muka anak itu, sedang
hidungnya tampak seperti buah arbei masak. Tak sangsi lagi, ia pasti kesakitan, tapi
karena ia tidak memberikan penjelasan, Musashi tidak mengajukan pertanyaan.
"Ini jawaban mereka," kata Jotaro sambil menyerahkan kepada Musashisurat Shoda Kizaemon
serta menambahkan beberapa patah kata tentang pertemuannya dengan samurai itu. Tapi ia
tidak mengatakan apa-apa tentang anjing itu. Sementara ia bicara, luka-lukanya mulai
berdarah lagi. "Cukup sekian saja?" tanyanya.
"Ya, sekian saja. Terima kasih."
Musashi membuka surat Kizaemon, dan Jotaro menutup mukanya dengan tangan dan buru-buru
meninggalkan kamar. Kocha memburunya dan mem perhatikan goresan-goresan di wajahnya
dengan pandangan kuatir. "Kenapa mukamu itu?" tanyanya.
"Seekor anjing menyerangku."
"Anjing siapa?"
"Salah satu anjing di puri."
"Oh, apa bukan anjing Kishu yang besar hitam itu" Dia memang jahat. Aku yakin, biarpun
kamu kuat, takkan dapat kamu menandinginya. Oh, dia sudah menggigit tukang-tukang
rampas sampai mati!"
Walaupun hubungan mereka berdua tidak begitu balk, Kocha mengantar Jotaro ke kali dan
menyuruhnya membasuh wajahnya. Kemudian ia pergi mengambil salep dan mengoleskannya ke


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah Jotaro. Jotaro bersikap sopan. Sesudah gadis itu selesai menolongnya, Jotaro
membungkukan badan berulang-ulang untuk mengucapkan terima kasih.
"Hentikan angguk-angguk itu. Kamu kan lelaki, dan perbuatan itu lucu kelihatannya."
"Tapi aku menghargai sekali jasamu."
"Biar kita banyak berkelahi, tapi aku suka kamu," kata gadis itu mengaku.
"Aku suka kamu juga."
"Betul?" Bagian-bagian wajah Jotaro yang tidak terkena salep berubah menjadi merah tua, dan pipi
Kocha jadi manyala. Tak seorang pun kelihatan. Matahari bersinar lewat kembang persik
merah muda. "Tuanmu barangkali akan segera pergi, ya?" tanyanya dengan nada kecewa.
"Kami masih akan tinggal di sini sebentar," jawab Jotaro, berusaha meyakinkan Kocha.
"Aku ingin kamu bisa tinggal di sini setahun atau dua tahun."
Keduanya lalu masuk gubuk tempat menyimpan makanan kuda, dan di sana mereka berbaring
telentang di atas jerami. Tangan mereka bersentuhan, dan rasa hangat menyengat tubuh
Jotaro. Tanpa peringatan lagi ia menarik tangan Kocha dan menggigit jarinya.
"Ohh!" "Sakit ya" Maaf."
"Tak apa-apa. Gigit sekali lagi."
"Kamu tidak keberatan?"
"Tidak, tidak, terus gigit lagi! Gigit lebih keras!"
Jotaro memenuhi permintaannya dan menyentak-nyentak jari-jari gadis itu seperti anak
anjing. Jerami berhamburan menutupi kepala mereka, dan tak lama kemudian mereka sudah
saling peluk, tanpa ada maksud lain, ketika ayah Kocha datang mencari anaknya. Ngeri
melihat pemandangan itu, ekspresinya berubah keras, seperti wajah orang bijaksana dalam
agama Kong-Hu-Cu. "He, geblek, apa yang kalian lakukan ini" Kalian ini masih anak-anak!" Diseretnya
mereka keluar pada tengkuknya, dan diberinya Kocha beberapa pukulan keras di pantat.
Seterusnya hari itu Musashi sedikit sekali bicara dengan orang lain. Ia duduk saja
dengan tangan terlipat dan berpikir.
Sekali, di tengah malam, Jotaro terbangun, dan dengan mengangkat kepala sedikit ia
mencuri pandang pada tuannya. Musashi berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka
lebar, menatap langit-langit dengan pemusatan penuh.
Hari berikutnya pun Musashi tetap menyendiri. Jotaro ketakutan. Kemungkinan gurunya
sudah mendengar tentang bagaimana ia main dengan Kocha di dalam gubuk. Namun Musashi
tidak mengatakan apa-apa. Sorenya Musashi menyuruh anak itu minta kuitansi mereka dan
bersiap-siap berangkat, dan juru tulis datang membawanya. Ketika ditanya apakah ia
menghendaki makan malam, ia menjawab tidak.
Sambil berdiri menganggur di sudut kamar, Kocha bertanya, "Tuan tak akan pulang tidur
malam ini?" "Tidak. Terima kasih, Kocha, atas pelayanan yang baik. Aku yakin kami sudah banyak
mengganggu. Selamat tinggal."
"Jaga diri Tuan baik-baik," kata Kocha. Ia menutupkan tangannya ke muka, menyembunyikan
air matanya. Di pintu gerbang, kepala penginapan dan dua pelayan lain berbaris mengantar mereka.
Sangat aneh bagi mereka bahwa kedua tamu itu berangkat tepat sebelum matahari
tenggelam. Sesudah berjalan sebentar, Musashi menoleh mencari Jotaro. Karena tidak melihat anak
itu, ia kembali ke penginapan. Anak itu berada di bawah gudang, sedang mengucapkan
selamat berpisah pada Kocha. Melihat Musashi mendekat, mereka cepat-cepat saling
memisahkan diri. "Selamat jalan," kata Kocha.
"Selamat tinggal," seru Jotaro sambil berlari ke sisi Musashi. Walaupun takut kepada
mata Musashi, anak itu tak dapat tidak mencuri pandangnya ke belakang, sampai
penginapan tidak kelihatan lagi.
Lampu-lampu mulai bermunculan dalam lembah itu. Musashi berjalan terus tanpa berkata-
kata dan tidak sekali pun menoleh ke belakang. Jotaro mengikuti dengan murung.
Beberapa waktu kemudian Musashi bertanya, "Apa kita belum sampai?"
"Di mana?" "Di gerbang utama Puri Koyagyu."
"Apa kita pergi ke puri itu?"
"Ya." "Apa kita akan menginap di sana malam ini?"
"Tak tahu aku. Itu tergantung perkembangan nanti."
"Itu. Itu gerbangnya."
Musashi berhenti dan berdiri di depan gerbang, kedua kakinya dirapatkan. Di atas
benteng yang ditumbuhi lumut, pohon-pohon besar memperdengarkan bunyi desir. Seberkas
cahaya tunggal menyorot dari sebuah jendela persegi.
Musashi berseru, dan seorang pengawal muncul. Sambil menyerahkan surat dari Shoda
Kizaemon ia berkata, "Nama saya Musashi, dan saya datang kemari atas undangan Shoda.
Minta tolong disampaikan kepadanya, saya sudah datang."
Pengawal itu memang sudah menantinya. "Mereka sedang menanti Anda," katanya sambil
memberikan isyarat kepada Musashi untuk mengikutinya.
Disamping fungsi-fungsi lainnya, Shin'indo merupakan tempat bagi para pemuda puri untuk
mempelajari agama Kong-Hu-Cu. Tempat itu juga menjadi perpustakaan tanah perdikan
tersebut. Kamar-kamar di sepanjang lorong yang menuju belakang bangunan itu semuanya
didereti rak-rak buku. Sekalipun Keluarga Yagyu termasyhur berkat kecakapan militernya,
namun Musashi dapat melihat bahwa puri itu menekankan sekali pendidikan. Segala sesuatu
dalam puri kelihatan diliputi sejarah.
Dan segala sesuatu kelihatan terurus baik, kalau dinilai dari kerapian jalan dari
gerbang sampai Shin'indo, sikap sopan santun pengawalnya, dan pemberian lampu yang
cermat, damai, di sekitar menara utama.
Pada waktu memasuki sebuah rumah untuk pertama kali, kadang-kadang seorang tamu merasa
sudah kenal baik dengan tempat itu dan para penghuninya. Musashi mendapat kesan itu
sekarang, ketika ia duduk di lantai kayu dalam kamar besar yang ditunjukkan kepadanya
oleh pengawal. Pengawal menyerahkan kepadanya bantalan bundar keras dari jerami, yang
diterimanya dengan ucapan terima kasih, kemudian meninggalkannya sendiri. Di
perjalanan, Jotaro ditinggalkan di kamar tunggu pembantu.
Pengawal kembali beberapa menit kemudian, dan mengatakan kepada Musashi bahwa tuan
rumah akan segera datang.
Musashi menggeser bantal bundar itu ke sebuah sudut dan bersandar pada tiang. Dari
cahaya lampu rendah yang bersinar ke halaman ia dapat melihat lilitan tanaman wisteria
yang sedang berkembang, berwarna putih dan lembayung muda. Bau wisteria yang manis itu
mengambang di udara. la kaget mendengar dengkung katak. Dengkung pertama tahun itu.
Air terdengar berkericik di suatu tempat di halaman. Sungai agaknya mengalir di bawah
bangunan. Sesudah ia duduk tenang, terdengar olehnya bunyi air mengalir di bawah
dirinya. Namun tak lama kemudian terasa olehnya bahwa bunyi itu datang dari langitlangit, dari dinding, bahkan dari lampu. Ia merasa sejuk dan santai. Namun jauh di
dalam dirinya menindih suatu perasaan gelisah yang tak dapat ditekan. Itulah semangat
juang yang tak terpuaskan, yang mengalir dalam nadinya, sekalipun dalam suasana
setenang itu. Dari bantalan pada tiang itu ia memandang ke sekeliling dengan hati
bertanya-tanya. "Siapakah Yagyu itu?" tanyanya dengan mata menantang. "Dia pemain pedang, dan aku pun
pemain pedang. Dalam hal ini kami sama. Tapi malam ini aku akan maju selangkah ke depan
dan meninggalkan Yagyu di belakang."
"Maaf, kami membiarkan Anda menanti."
Shoda Kizaemon masuk ke kamar bersama Kimura, Debuchi, dan Murata.
"Selamat datang di Koyagyu," kata Kizaemon hangat.
Sesudah ketiga orang lain memperkenalkan diri, para pelayan mendatangkan berbaki-baki
sake dan penganan. Sake di situ merupakan hasil rebusan sendiri, pekat, agak seperti
sirup, dan dihidangkan dalam mangkukmangkuk besar gaya lama yang tinggi pegangannya.
"Di desa ini," kata Kizaemon, "tak banyak yang dapat kami suguhkan, tapi kami harap
Anda kerasan." Dengan penuh kehangatan, yang lain-lain pun mendorongnya untuk merasa senang dan tidak
berkukuh pada upacara. Sesudah diajak, Musashi pun mau menerima sedikit sake, sekalipun
ia tidak suka benar minuman itu. Bukannya ia membenci sake, melainkan karena ia masih
terlalu muda untuk dapat menghargai kehalusan rasanya. Sake malam itu cukup lezat, tapi
tidak begitu lekas mendatangkan akibat kepadanya.
"Kelihatannya Anda biasa juga minum," kata Kimura Sukekuro, dan menawarkan untuk
mengisi lagi mangkuknya. "Omong-omong, saya mendengar bahwa peoni yang Anda tanyakan
kemarin dipotong sendiri oleh Yang Dipertuan puri ini."
Musashi menepuk lututnya. "Memang sudah saya duga!" serunya. "Potongan itu bagus
sekali!" Kimura mendekat. "Yang ingin saya ketahui adalah, bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa
potongan batang lunak dan kecil itu dibuat oleh guru pemain pedang. Kami semua terkesan
oleh kemampuan Anda melihatnva."
Karena belum tahu benar ke mana arah pembicaraan itu, Musashi berkata, sekadar
memenangkan waktu, "Begitu, ya" Betul?"
"Ya, tak salah lagi!" kata Kizaemon, Debuchi, dan Murata hampir bersamaan.
"Kami sendiri tidak melihat ada hal khusus di situ," kata Kizaemon. "Dan kami sampai
pada kesimpulan bahwa dibutuhkan seorang jenius untuk mengenali jenius yang lain. Kami
berpendapat akan sangat membantu pendidikan kami di masa depan kalau Anda dapat
menjelaskannya pada kami."
Sesudah menghirup sake lagi, Musashi berkata, "Ah, tak ada yang khusus di sini-itu cuma
terkaan yang mengena."
"Ayolah, jangan merendahkan diri."
"Saya bukan merendahkan diri. Saya cuma merasa begitu sesudah melihat potongan batang
itu." "Merasa bagaimana?"
Keempat siswa senior Keluarga Yagyu itu mencoba menganalisis Musashi sebagai seorang
manusia dan sekaligus mengujinya, seperti yang akan mereka lakukan juga terhadap orang
asing lain. Mereka sudah mengamati fisiknya, mengagumi pembawaannya, dan ekspresi
matanya. Tetapi cara Musashi memegang mangkuk sake dan sumpit itu bagaimanapun
menunjukkan bahwa ia berpendidikan kampung, dan ini membuat mereka cenderung
mengguruinya. Baru menghabiskan tiga atau empat mangkuk sake saja, wajah Musashi sudah
jadi merah tembaga. Karena malu, dua-tiga kali ia menyentuh dahi dan pipinya. Sikap
kekanak-kanakan ini membuat mereka tertawa.
"Tentang perasaan Anda itu," ulang Kizaemon, "apa tidak bisa Anda menceritakannya lebih
banyak" Anda tahu gedung Shin'indo ini dibangun dengan sengaja untuk kediaman Yang
Dipertuan Koizumi dari Ise, kalau beliau sedang berkunjung. Ini gedung penting dalam
sejarah seni pedang. Tempat yang cocok bagi kami untuk mendengar kuliah dari Anda malam
ini." Karena sadar bahwa memprotes sanjungan itu tak akan dapat meloloskan dirinya, Musashi
memutuskan untuk mencebur sekalian.
"Kalau kita merasakan sesuatu, itu artinya kita merasakannya," katanya. "Betul-betul
tak ada cara lain untuk menjelaskannya. Kalau Anda sekalian menghendaki saya
memperlihatkan apa yang saya maksudkan itu, terpaksa Anda sekalian mencabut pedang dan
menghadapi saya dalam pertarungan. Tak ada cara lain."
Asap lampu naik, sehitam tinta cumi-cumi, ke udara malam yang tenang itu. Dengkung
katak terdengar lagi. Kizaemon dan Debuchi, yang tertua di antara mereka, saling pandang dan tertawa.
Sekalipun Musashi berbicara tenang, pernyataannya tentang keharusan mengujinya tidak
dapat disangkal lagi merupakan tantangan, dan mereka memang menganggapnya demikian.
Tanpa menanggapi tantangan itu, mereka berbicara tentang pedang, kemudian tentang Zen,
tentang peristiwa-peristiwa di provinsi-provinsi lain, tentang Pertempuran Sekigahara.
Kizaemon, Debuchi, dan Kimura telah ambil bagian dalam pertempuran berdarah itu. Bagi
Musashi, yang dalam pertempuran berdarah itu berada di pihak lawan, cerita-cerita
mereka terdengar bagai kebenaran yang pahit. Tuan rumah tampaknya sangat menikmati
percakapan itu, sedangkan Musashi merasa sangat terpesona mendengarkannya.
Namun demikian, ia sadar bahwa waktu berlalu dengan cepat, dan dalam hati ia tahu,
kalau malam ini ia tidak bertemu dengan Sekishusai, ia tak akan bertemu dengannya untuk
selamanya. Kizaemon mengatakan sudah waktunya menghidangkan makanan terakhir, yaitu gerst campur
nasi. Sake pun diundurkan.
"Bagaimana aku bisa bertemu dengannya?" pikir Musashi. Semakin lama semakin jelas
baginya bahwa ia mungkin terpaksa harus menggunakan akal licik. Haruskah ia menyodok
salah seorang dari tuan rumah itu supaya naik darah" Itu sukar kalau ia sendiri tidak
sedang marah, karena itu dengan sengaja ia beberapa kali mengatakan tidak sependapat
dengan apa yang mereka katakan, dan bicara dengan cara kasar dan kurang ajar. Mendengar
itu, Shoda dan Debuchi memilih tertawa. Tak seorang pun dari keempat orang itu mau kena
provokasi untuk melakukan sesuatu yang kurang pikir.
Maka akhirnya Musashi pun nekat. Ia tak dapat menerima kalau ia harus meninggalkan
tempat itu tanpa melaksanakan maksudnya. Untuk memperoleh mahkota, ia menghendaki
bintang kemenangan yang cemerlang, dan untuk sejarah, ia ingin orang mengetahui bahwa
Musashi pernah berkunjung ke tempat itu, sudah pergi, dan sudah meninggalkan tanda pada
Keluarga Yagyu. Dengan pedangnya sendiri ia ingin membuat Sekishusai, bapak agung seni
perang yang disebut "naga kuno" itu, bertekuk lutut.
Apakah mereka sudah mengenalinya sepenuhnya" Baru saja ia memikirkan hal itu, tiba-tiba
jalan peristiwa membelok tak terduga-duga.
"Kalian dengar?" tanya Kimura.
Murata keluar ke beranda, kemudian ketika masuk kamar kembali, katanva, "Taro menyalakbiasanya tidak begitu salaknya. Saya pikir ada yang tak beres."
Taro anjing yang bermasalah dengan Jotaro. Tak bisa dibantah bahwa salak anjing yang
sepertinya datang dari lingkaran kedua puri itu sangat mengerikan. Kedengarannya
terlalu keras dan mengerikan, kalau berasal hanya dari seekor anjing saja.
Debuchi berkata, "Lebih baik saya lihat. Maafkan saya, Musashi, pesta ini terganggu.
Tapi barangkali ini penting. Silakan terus tanpa saya."
Baru saja ia pergi, Murata dan Kimura minta mengundurkan diri juga dan dengan sopan
minta maaf kepada Musashi.
Salak anjing itu jadi semakin mendesak. Ia rupanya berusaha memberikan peringatan
tentang adanya bahaya. Kalau salah satu anjing puri berbuat demikian, hampir merupakan
tanda pasti bahwa sedang terjadi sesuatu yang tak menguntungkan. Memang kedamaian yang
dinikmati negeri itu belumlah mantap sehingga seorang daimyo dapat mengendurkan
kewaspadaannya terhadap tanah-tanah perdikan yang berdekatan. Masih ada prajuritprajurit rusak yang suka melongok-longok untuk memuaskan ambisinya sendiri, juga matamata yang bergelandangan mencari sasaran empuk dan mudah dijadikan mangsa.
Kizaemon tampak sangat terganggu. Ia terus menatap cahaya lampu kecil yang tak
menyenangkan, seolah-olah sedang menghitung gema suara yang tak wajar.
Akhirnya terdengar raungan panjang dan sedih. Kizaemon berkomat-kamit dan memandang
Musashi. "Mati dia," kata Musashi.
"Ya, dia dibunuh." Tak lagi dapat menahan diri, Kizaemon pun bangkit. "Saya tak bisa
mengerti." Ia berangkat, tapi Musashi menghentikannya, katanya, "Tunggu. Apa Jotaro, anak yang
datang dengan saya itu, masih di kamar tunggu?"
Mereka pun menujukan pertanyaan itu kepada samurai muda di depan Shin'indo. Sesudah
mencari-cari, samurai mengatakan bahwa anak itu tak ditemukan di mana pun.
Musashi menunjukkan wajah prihatin. Sambil menoleh pada Kizaemon, ia berkata, "Saya
pikir, saya tahu apa yang sudah terjadi. Boleh saya pergi bersama Anda?"
"Tentu." Sekitar tiga ratus meter dari dojo telah berkumpul sejumlah orang, dan beberapa obor
dinyalakan. Di samping Murata, Debuchi, dan Kimura, ada sejumlah prajurit biasa dan
pengawal, membentuk lingkaran hitam, semuanya berbicara dan berteriak-teriak.
Dari pinggir luar lingkaran itu Musashi mengintip ke tempat terbuka di tengah. Maka
hatinya pun serasa terbang. Tepat seperti yang ditakutkannya, Jotaro ada di sana,
berlumuran darah dan tampak seperti anak setantangannya memegang pedang kayu, giginya
mengatup erat, dan bahunya naik-turun akibat napasnya yang berat.
Di sampingnya terbaring Taro, giginya menyeringai, kakinya terjulur. Matanya yang tak
melihat lagi memantulkan cahaya obor. Darah mengucur dari mulutnya.
"Ini anjing Yang Dipertuan," kata seseorang sedih.
Seorang samurai mendekati Jotaro dan pekiknya, "Bajingan kecil kamu! Apa yang kau
lakukan" Kau yang membunuh anjing ini?" Orang itu mengangkat tangannya dan menampar
dengan berang, tapi dapat dielakkan Jotaro.
Sambil membidangkan bahunya, Jotaro berseru menantang, "Ya, saya yang melakukan!"
"Kamu mengaku?"
"Ada sebabnya!"
"Ha!" "Saya cuma membalas dendam."
"Apa?" Semua orang heran mendengar jawaban Jotaro. Dan semuanya marah. Taro binatang
kesayangan Yang Dipertuan Munenori dari Tajima. Bukan hanya itu, ia keturunan ras dari
Raiko, anjing betina milik Yang Dipertuan Yorinori dari Kishu yang sangat disayanginya.
Yang Dipertuan Yorinori secara pribadi memberikan anak anjing itu kepada Munenori, dan
Munenori merawatnya sendiri. Pembantaian binatang itu sudah pasti akan diperiksa dengan
tuntas, dan nasib dua orang samurai yang telah dibayar untuk mengurus anjing itu
sekarang dalam bahaya. Yang berhadapan dengan Jotaro itu seorang dari kedua samurai tersebut.
"Tutup mulut!" serunya sambil melayangkan tinjunya ke kepala Jotaro. Kali ini Jotaro
tidak menghindar pada waktunya. Pukulan mendarat di sekitar telinganya.
Jotaro mengangkat tangan meraba lukanya. "Apa pula ini?" jeritnya.
"Kamu sudah membunuh anjing Tuan. Jadi, kamu tidak keberatan kalau aku memukul kamu
juga sampai mati, kan" Dan memang itu yang akan kulakukan."
"Saya cuma membalas apa yang sudah dia perbuat. Kenapa saya dihukum" Orang dewasa mesti
tahu, itu tidak betul!"
Menurut pandangan Jotaro, ia cuma membela kehormatannya dan membahayakan hidupnya dalam


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan hal itu, karena luka yang kelihatan adalah aib besar bagi seorang samurai.
Untuk membela harga diri, tidak ada pilihan lain kecuali membunuh anjing itu. Memang,
bagaimanapun ia mengharapkan dipuji atas perbuatannya yang berani itu. Ia telah
bertahan dan bertekad tidak akan mundur.
"Tutup mulutmu yang kurang ajar itu!" raung perawat anjing. "Aku tak peduli, biar kamu
anak kecil, kamu sudah cukup besar untuk dapat membedakan anjing dan manusia. Macam apa
pula itu"membalas dendam kepada binatang yang bodoh!"
Ia mencengkeram kerah Jotaro, memandang orang banyak untuk meminta persetujuan, dan
menyatakan bahwa ia wajib menghukum pembunuh anjing itu. Orang banyak mengangguk diam
sebagai pernyataan setuju. Keempat orang yang belum lama sebelumnya menjamu Musashi itu
tampak sedih, tapi mereka tidak mengatakan apa-apa.
"Menyalaklah, Nak! Menyalak seperti anjing!" perawat anjing itu berteriak. Lalu ia
ayunkan Jotaro berputar-putar pada kerahnya dan dengan pandangan muram ia jatuhkan
Jotaro ke tanah. Kemudian ia ambil tongkat kayu ek dan ia hantamkan kuat-kuat ke tubuh
anak itu. "Kamu membunuh anjing itu, penjahat kecil. Sekarang datang giliranmu! Berdiri kamu,
supaya dapat aku membunuhmu! Menyalaklah! Gigit aku!"
Jotaro mengatupkan giginya erat-erat, kemudian menopang dirinya dengan sebelah tangan
dan berjuang menegakkan diri sambil memegang pedang kayunya. Air mukanya tidak
meninggalkan ciri peri air
, dan ekspresi wajahnya pun tetap saja ekspresi kanak-kanak,
tapi lolongan yang keluar dari tenggorokannya terdengar sangat liar mengerikan.
Apabila seorang dewasa marah, sering ia menyesal di kemudian hari, tapi apabila
kemarahan anak-anak sudah bangkit, ibunya sendiri yang melahirkannya ke dunia pun tak
dapat menenteramkannya. "Bunuh aku!" jeritnya. "Ayo, bunuh aku!"
"Nah, matilah kamu!" pekik perawat anjing mengamuk. Ia pun memukul.
Pukulannya bisa membunuh anak itu jika mengena, tapi pukulan itu tidak mengena. Bunyi
berderak tajam bergema di telinga orang-orang yang berdiri menonton, dan pedang kayu
Jotaro terbang ke udara. Tanpa pikir lagi ia menangkis pukulan perawat anjing itu.
Tanpa senjata ia menutup mata dan secara membuta menyerang tubuh bagian depan musuh itu
dan menguncikan gigi ke obi-nya. Dengan anggapan bahwa hidup itu berharga, ia mencakar
selangkangan si perawat anjing dengan kukunya, sedangkan si perawat anjing dengan siasia mengayun-ayunkan tongkatnya.
Musashi tetap diam, tangannya dilipatkan dan wajahnya tidak mengungkapkan sesuatu,
namun pada waktu itu muncullah tongkat kayu ek lain. Orang kedua menderap ke tengah
lingkaran dan sudah hendak memverang Jotaro dari belakang. Musashi bertindak. Tangannya
turun, dan dalam sekejap ia sudah menerobos dinding manusia yang kokoh itu dan meloncat
ke tengah medan. "Pengecut!" pekiknya kepada orang kedua itu.
Sebuah tongkat kayu ek dan dua kaki itu membentuk sebuah relung di udara, dan mendarat
jadi onggokan sekitar empat meter jauhnya.
Musashi memekik, "Dan sekarang giliranmu, setan kecil!" Ia mencengkeram obi Jotaro
dengan kedua tangan, ia angkat anak itu ke atas kepala dan ia biarkan terus di sana.
Sambil menoleh kepada perawat anjing yang waktu itu kembali menggenggam tongkatnya, ia
mengatakan, "Saya sudah melihat semua ini dari permulaan, dan saya pikir Anda keliru
menindaknya. Anak ini pembantu saya, dan kalau Anda mau memeriksa dia, Anda mesti
memeriksa saya juga."
Dengan nada berapi-api, perawat anjing menjawab, "Baik. Kami periksa kalian berdua!"
"Bagus! Kami berdua akan menghadapi Anda. Nah, ini anaknya!"
Ia melemparkan Jotaro langsung kepada orang itu. Orang banyak pun menggagap kaget dan
mundur selangkah. Apa orang itu sudah gila" Siapa pernah mendengar ada orang
menggunakan manusia sebagai senjata pelawan manusia lain"
Perawat anjing memandang bengong ketika Jotaro melayang di udara dan membentur dadanya.
Orang itu langsung rebah ke belakang, seolah-olah penopang yang mengganjalnya tiba-tiba
diambil. Sukar dikatakan, apakah kepalanya yang telah membentur batu karang, atau
tulang iganya yang patah, tapi ia menghantam tanah diiringi suara lolongan, dan
langsung muntah darah. Jotaro melentingkan diri dari dada orang itu, berjungkir balik
di udara, dan berguling seperti bola ke tempat yang jauhnya dua puluh atau tiga puluh
kaki dari situ. "Kalian lihat?" pekik satu orang.
"Siapa pula ronin gila ini?"
Perkelahian kini tidak lagi hanya melibatkan perawat anjing, samurai-samurai lain mulai
memaki-maki Musashi. Kebanyakan mereka sudah tidak sadar bahwa Musashi tamu yang
diundang, dan beberapa orang menyarankan untuk membunuhnya seketika itu juga dan di
tempat itu juga. "Nah," kata Musashi, "dengarkan, hai, kalian semua!"
Mereka menatapnya dengan saksama ketika ia mengambil pedang kayu Jotaro dan menghadapi
mereka dengan wajah memberengut menakutkan.
"Kejahatan anak ini adalah kejahatan tuannya. Dan kami berdua siap membayarnya. Tapi
pertama-tama, izinkan saya mengatakan ini: kami tidak bermaksud membiarkan diri kami
dibunuh seperti anjing. Kami siap menghadapi kalian."
Jadi, ia bukannya mengakui kejahatannya dan menerima hukuman, melainkan menantang
mereka! Kalau pada waktu itu Musashi minta maaf untuk Jotaro dan bicara membelanya,
kalau sekiranya ia mau sedikit saja berusaha meredakan perasaan para samurai Yagyu yang
sedang kacau itu, maka seluruh kejadian itu akan berlalu dengan damai. Tetapi sikap
Musashi mencegah terjadinya hal itu. Ia rupanya sudah bertekad menciptakan gangguan
yang lebih besar lagi. Shoda, Kimura, Debuchi, dan Murata semuanya mengerutkan kening, tak habis-habis heran
mereka. Orang sinting macam apakah yang telah mereka undang datang ke puri itu" Mereka
menyesal bahwa Musashi tidak berakal sehat, dan berangsur-angsur mereka pun mengitari
orang banyak itu, dengan mata menatap tajam kepada Musashi.
Orang banyak itu sudah menggelegak darahnya, kini ditambah lagi dengan tantangan
Musashi. "Dengarkan dia itu! Dia orang di luar hukum!"
"Dia mata-mata! Ikat dia!"
"Tidak, potong saja dia!"
"Jangan biarkan dia lari!"
Untuk sesaat lamanya tampak seolah Musashi dan Jotaro yang sudah kembali ke sisinya itu
akan ditelan oleh lautan pedang, tetapi saat itu juga terdengar teriakan berwibawa.
"Tunggu!" Itulah suara Kizaemon, yang bersama Debuchi dan Murata berusaha mengendalikan orang
banyak itu. "Orang itu rupanya sudah merencanakan semua ini," kata Kizaemon. "Kalau kalian
membiarkan dia menyesatkan kalian, dan kalian terluka atau terbunuh, kita terpaksa
mempertanggungjawabkannya kepada Yang Dipertuan. Anjing itu memang penting, tapi tidak
sepenting hidup manusia. Kami berempat akan mengambil alih tanggung jawab ini. Yakinlah
bahwa tak ada hal buruk akan menimpa kalian, kalau nanti kami mengambil tindakan.
Sekarang tenanglah, dan pulanglah."
Dengan enggan orang-orang itu bubar, meninggalkan keempat orang yang telah menjamu
Musashi di Shin'indo itu. Sekarang persoalannya bukanlah tamu dengan tuan rumah, tetapi
persoalan orang di luar hukum dengan para hakimnya.
"Musashi," kata Kizaemon, "maaf terpaksa saya sampaikan kepada Anda bahwa rencana Anda
telah gagal. Saya kira ada orang yang menugaskan Anda memata-matai Puri Koyagyu ini
atau sekadar menimbulkan kerusuhan, tapi saya kira rencana itu tidak berhasil."
Sementara mereka berempat mengepung Musashi, Musashi sadar bahwa tak ada di antara
mereka yang bukan ahli pedang. Ia berdiri diam sambil menopangkan tangan ke bahu
Jotaro. Dalam keadaan terkepung demikian, tidak akan dapat ia meloloskan diri, biarpun
misalnya ia memiliki sayap.
"Musashi!" panggil Debuchi sambil mencabut sedikit pedangnya dari sarungnya. "Anda
gagal. Yang pantas untuk Anda adalah bunuh diri. Anda mungkin seorang bajingan, tapi
Anda sudah memperlihatkan keberanian luar biasa dengan datang di puri ini hanya
berteman anak itu. Kita sudah berpesta bersama dalam suasana bersahabat, sekarang kami
akan menanti, sementara Anda menyiapkan diri melakukan harakiri. Kalau Anda siap, Anda
dapat membuktikan bahwa Anda seorang samurai sejati!"
Itu merupakan pemecahan ideal kiranya. Mereka tidak berkonsultasi dengan Sekishusai,
dan jika Musashi mati sekarang, seluruh kejadian akan dikubur bersama badan Musashi.
Tetapi Musashi punya pikiran lain. "Anda mengira saya akan membunuh diri sendiri" Oh,
itu keterlaluan! Saya tidak bermaksud untuk mati, tidak untuk waktu lama." Dan bahunya
pun berguncang karena tertawa.
"Baiklah," kata Debuchi. Nadanya tenang, tetapi maknanya jelas seperti kristal. "Kami
sudah mencoba memperlakukan Anda dengan pantas, tapi Anda justru mengambil keuntungan
dari kami." Kimura menyela, katanya, "Tak ada gunanya bicara lagi!"
Ia pergi ke belakang Musashi dan mendorongnya. "Jalan!" perintahnya.
"Jalan ke mana?"
"Ke sel!" Musashi mengangguk dan mulai berjalan, tetapi ke arah yang dipilihnya sendiri, langsung
menuju menara utama. "Ke mana jalanmu ini?" teriak Kimura sambil melompat ke depan Musashi clan merentangkan
tangan untuk menghalanginya.
"Ini bukan jalan ke sel. Sel ada di belakangmu. Balik!"
"Tidak!" teriak Musashi. Ia menunduk memandang Jotaro yang masih bergayut di sisinya.
Disuruhnya Jotaro pergi duduk di bawah pohon pinus di halaman, di depan menara utama.
Tanah di sekitar pohon-pohon pinus itu ditimbuni pasir putih yang digaruk baik-baik.
Jotaro melejit dari bawah lengan kimono Musashi dan bersembunyi di balik pohon. Ia
bertanya-tanya dalam hati, apakah yang hendak diperbuat Musashi. Kenangan tentang
keberanian gurunya di Dataran Hannya datang kembali padanya, dan tubuhnya membengkak
karena gembira. Kizaemon dan Debuchi mengambil posisi di kedua sisi Musashi clan mencoba menariknya ke
belakang dengan menarik lengannya, tapi Musashi tak beranjak.
"Ayo!" "Aku tak akan pergi!"
"Kau mau melawan?"
"Betul!" Kimura kehilangan kesabaran dan mulai menarik pedangnya, tetapi temannya yang lebih
senior, Kizaemon dan Debuchi, memerintahkannya untuk menahan diri.
"Apa pula ini" Mau ke mana kamu?"
"Mau bertemu Yagyu Sekishusai."
"Apa?" Tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa pemuda tak waras itu punya maksud yang
demikian tak masuk akal. "Dan apa yang akan kaulakukan, kalau sudah bertemu dengan beliau?" tanya Kizaemon.
"Aku seorang pemuda, dan aku sedang belajar seni perang. Salah satu tujuanku dalam
hidup ini adalah menerima pelajaran dari guru Gaya Yagyu."
"Kalau itu yang kauinginkan, kenapa kau tidak minta?"
"Bukankah Sekishusai tak pernah bertemu dengan siapa pun, dan tak pernah memberikan
pelajaran kepada murid prajurit?"
"Betul." "Kalau begitu, apa lagi yang bisa kuperbuat selain menantangnya" Memang aku sadar bahwa
kalaupun aku menantangnya, barangkali dia menolak meninggalkan istirahatnya. Karena
itu, sebagai gantinya aku menantang seluruh puri ini untuk bertempur."
"Bertempur?" kata keempat orang itu bersama-sama.
Dengan lengan masih dipegang oleh Kizaemon dan Debuchi, Musashi menengadah ke langit.
Terdengar bunyi mengepak ketika seekor rajawali terbang ke arah mereka dari balik awan
hitam yang menyelimuti Gunung Kasagi. Seperti kain kafan raksasa, bayangan burung itu
menutupi bintangbintang dari pandangan mata, sebelum ia meluncur dengan ributnya dan
turun ke atap gudang beras.
Bagi keempat pegawai itu, kata "bertempur" terdengar begitu melodramatis hingga patut
ditertawakan, tetapi bagi Musashi kata itu cukup memadai untuk mengungkapkan
pengertiannya mengenai apa yang bakal terjadi. Yang dibicarakannya bukan hanya
pertandingan pedang yang harus diselesaikan dengan keterampilan teknik semata-mata.
Yang dimaksudkan olehnya adalah perang total, di mana kedua pihak yang berperang
memusatkan segenap jiwa dan kecakapannya dan nasib mereka ditentukan. Pertempuran
antara dua tentara bisa saja lain bentuknya, tapi hakikatnya sama saja. Pertempuran
sekarang ini sederhana saja. Satu orang lawan satu puri. Tekad Musashi dalam hal ini
kelihatan dengan jelas dari teguhnya tumitnya menghunjam ke bumi. Tekad baja inilah
yang membuat kata "bertempur" itu wajar diucapkan bibirnya.
Keempat orang itu merenungi wajah Musashi dan sekali lagi bertanyatanya, apakah Musashi
masih memiliki akal sehat, biarpun sedikit.
Akhirnya Kimura menerima tantangan itu. Sambil menendang sandal jeraminya ke udara dan
menyingsingkan hakama-nya ia berkata, "Bagus! Tak ada yang lebih kusukai daripada
pertempuran! Tak dapat aku menyuguhkan dentam genderang atau dengung gong, tapi aku
dapat menyuguhkan perkelahian. Shoda, Debuchi, dorong dia kemari." Kimura-lah yang
pertama kali tadi menyarankan agar mereka menghukum Musashi, tapi kemudian ia
mengendalikan diri dan berusaha bersabar. Sekarang ia sudah kehilangan kesabaran.
"Ayo dorong!" desaknya. "Biar aku yang membereskannya!"
Saat itu juga Kizaemon dan Debuchi menolakkan Musashi ke depan. Musashi terhuyung empat
atau lima langkah ke arah Kimura. Kimura undur selangkah, mengangkat siku ke depan
wajahnya, dan sambil menarik napas cepat ia menebaskan pedang ke arah sosok Musashi
yang sedang terhuyung-huyung. Terdengar bunyi serupa bunyi pasir yang aneh ketika
pedang itu mendesah di udara.
Saar itu juga terdengar pekikan, bukan dart Musashi, melainkan dari Jotaro yang waktu
itu meloncat keluar dari tempatnya di belakang pohon pinus. Segengggam pasir yang
dilemparkannya itulah sumber dari bunyi aneh itu.
Karena sadar bahwa Kimura menaksir jarak untuk dapat menebas dengan efektif, maka
Musashi dengan sengaja menambah kecepatan langkahnya yang terhuyung itu, dan pada saat
jatuhnya tebasan itu ia menjadi jauh lebih dekat kepada Kimura daripada yang diduga
oleh Kimura. Pedang tidak menyentuh apa pun kecuali udara dan pasir.
Kedua pihak dengan cepat melompat mundur, dipisahkan oleh jarak tiga atau empat
langkah. Di sana mereka berdiri, saling tatap penuh ancaman, dalam kediaman penuh
ketegangan. "Oh, ini pantas untuk ditonton," kata Kizaemon pelan.
Debuchi dan Murata tidak berada dalam wilayah pertempuran, tapi keduanya mengambil
posisi baru dan menyiapkan langkah bertahan. Dan apa yang mereka lihat sampai
sedemikian jauh, nyatalah bahwa Musashi seorang pejuang terampil. Caranya mengelak dan
menyusun kembali posisi sudah meyakinkan mereka bahwa ia lawan setanding Kimura.
Pedang Kimura ditempatkan sedikit lebih rendah dari dadanya. Ia berdiri tak bergerak.
Musashi sama diamnya, tangannya memegang gagang pedang, bahu kanan maju ke depan dan
sikunya di atas. Matanya seperti dua batu putih yang digosok di tengah wajah yang
kabur. Untuk sesaat yang terjadi adalah pertempuran saraf. Tapi sebelum salah satu pihak
bergerak, kegelapan sekitar Kimura seperti goyah, berubah, namun sukar dilukiskan.
Segera kemudian jelaslah bahwa ia bernapas lebih cepat dan lebih gelisah daripada
Musashi. Bunyi gerutu pelan yang hampir tak terdengar dikeluarkan oleh Debuchi. Ia tahu sekarang
bahwa apa yang dimulai sebagai sesuatu yang agak tak berarti itu akan berubah menjadi
bencana besar. Ia yakin Kizaemon dan Murata pun mengerti hat ini. Tidak mudah
mengakhiri semua itu. Hasil pertarungan antara Musashi clan Kimura kini boleh dikatakan telah ditentukan,
kecuali kalau langkah-langkah istimewa diambil. Walau enggan melakukan sesuatu yang
dapat dinilai sebagai sikap pengecut, tapi mereka terpaksa bertindak untuk mencegah
terjadinya bencana. Pemecahan terbaik adalah melepaskan diri mereka dari si penyerbu
yang aneh dan tak punya keseimbangan ini secepat mungkin dan mencegah agar diri mereka
tidak mendapat luka secara sia-sia. Di sini tidak diperlukan tukar kata. Mereka dapat
saling berhubungan dengan baik sekali lewat mata.
Secara serentak mereka bertiga mengepung Musashi. Pada detik yang sama, pedang Musashi
mengoyak udara seperti desing tali busur, dan pekik mengguntur memenuhi ruangan kosong.
Pekik pertempuran itu tidak hanya keluar dari mulutnya, tapi dari seluruh tubuhnya,
sedangkan dentang-dentang lonceng kuil yang tiba-tiba terdengar menggemakannya ke
segala penjuru. Dari arah keempat lawannya yang tersusun di kedua sisinya, di depan dan
di belakangnya, terdengar bunyi mereguk dan mendesis.
Musashi merasa benar-benar hidup. Darahnya terasa seperti mau meletus dari setiap poriporinya, tapi kepalanya sendiri sedingin es. Inikah bunga seroja yang menyala, seperti
dikatakan oleh orang-orang Budha" Yaitu panas yang teramat sangat bergabung dengan
dingin yang teramat sangat, sintesa nyala api dan air"
Tak ada lagi pasir dihamburkan ke udara. Jotaro sudah menghilang. Angin bersiul turun
dari puncak Gunung Kasagi; pedang-pedang yang digenggam erat berkilau bercahaya.
Satu lawan empat. Namun Musashi merasa tidak berada dalam posisi yang sangat tidak
menguntungkan. Ia sadar terjadinya pembengkakan pada urat-urat nadinya. Pada saat-saat
seperti itu, kata orang pikiran tentang mati akan mendesakkan diri ke dalam otak, tapi
pada Musashi tak ada sedikit pun pikiran tentang maut. Namun bersamaan dengan itu ia
pun tidak merasa yakin akan mampu menang.
Angin terasa seperti bertiup melintasi kepalanya, menyejukkan otaknya, membikin terang
pandangannya, sekalipun tubuhnya jadi bertambah pekat dan titik-titik keringat
berminyak berkilau-kilau di dahinya.
Terdengar gemeresik pelan. Seperti sungut kumbang, pedang Musashi menyampaikan
kepadanya bahwa orang yang di sebelah kin telah menggerakkan sebelah kakinya seinci dua
inci. Ia pun melakukan penyesuaian dalam meletakkan senjatanya, dan sang musuh yang
juga tanggap itu pun tidak membuat gerakan lebih lanjut untuk menyerang. Kelima orang
itu membentuk tablo yang seakan-akan statis.
Musashi sadar bahwa makin lama hal ini berlangsung, makin kurang menguntungkan keadaan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baginya. Ingin ia sebenarnyar agar lawan-lawannya bukan mengepungnya, tetapi menyebar
dalam garis lurus-agar dapat dihadapinya satu per satu-tetapi ia tidak berhadapan
dengan orang-orang amatir sekarang ini. Kenyataannya, sebelum salah seorang dari mereka
mengubah kedudukan atas kehendak sendiri, tak dapat ia membuat gerakan. Satu-satunya
yang dapat ia lakukan adalah menanti, dan berharap bahwa pada akhirnya salah seorang
dari mereka akan mengambil langkah sementara yang keliru dan memberikan peluang
kepadanya. Lawan-lawan Musashi sebetulnya sedikit saja merasa enak memiliki keunggulan jumlah itu.
Mereka tahu bahwa apabila seorang dari mereka memperlihatkan tanda sekecil apa pun
bahwa mereka mengendurkan sikap, Musashi akan menyerang. Mereka mengerti bahwa Musashi
bukanlah jenis orang yang biasa dijumpai di dunia ini.
Kizaemon pun tidak dapat membuat gerakan. "Aneh sekali orang ini!" pikirnya.
Pedang, manusia, tanah, dan langit-semuanya seperti sudah membeku jadi padat. Tetapi
justru pada waktu itu ke tengah kediaman tersebut mengalun bunyi yang sama sekali tak
diduga-duga, yaitu bunyi alunan suling yang ditiup angin.
Begitu nadanya menyerobot ke dalam telinga Musashi, ia lupa akan dirinya, lupa akan
musuh, lupa akan hidup dan man. Jauh di dasar hatinya ia mengenali bunyi ini. Bunyi
inilah yang telah memikatnya keluar dari persembunyian di Gunung Takateru dulu-bunyi
yang telah menjatuhkannya ke tangan Takuan. Itulah suling Otsu, dan Otsu-lah yang
memainkannya. Batinnya menjadi lumpuh. Dari luar, perubahan itu hampir tidak dapat dilihat, tapi itu
sudah cukup. Dengan memperdengarkan teriakan perang yang keluar dari pinggangnya,
Kimura menerjang ke depan, lengan pedangnya seakan-akan menjelma enam atau tujuh kaki
panjangnya. Otot-otot Musashi menegang, dan darah seakan-akan menderas di dalam dirinya, menjurus
kepada perdarahan. Ia yakin telah terluka. Lengan kimono kirinya tersobek dari bahu
sampai pergelangan tangan, dan lengannya yang tiba-tiba kelihatan itu membuatnya
menyangka bahwa ia terluka.
Untuk sesaat ia kehilangan penguasaan diri, dan ia pun menjerit menyerukan nama dewa
perang. Ia melompat, tiba-tiba berpaling, dan melihat Kimura sudah menghuyung ke tempat
tadi ia berdiri. "Musashi!" seru Debuchi Magobei.
"Kau ini lebih pintar bicara daripada berkelahi!" ejek Murata ketika ia dan Kizaemon
berusaha menghadang Musashi.
Tetapi Musashi waktu itu juga menendang tanah sekuat-kuatnya dan melompat demikian
tinggi, hingga mengenai cabang-cabang bawah pepohonan pinus. Kemudian ia melompat
berulang-ulang lagi, lenyap ke dalam gelap, dan tidak menoleh-noleh lagi.
"Pengecut!" "Musashi!" "Ayo berkelahi seperti lelaki!"
Ketika Musashi sampai di tepi parit sekitar kuil dalam, terdengar gemeretak
rerantingan, tapi sudah itu diam. Satu-satunya bunyi yang terdengar hanyalah alunan
suara suling yang manis di kejauhan.
*** 19. Burung-Burung Bulbul TIDAK mungkinlah untuk mengetahui berapa lama air hujan yang ada di dasar parit yang
dalamnya tiga puluh kaki itu dapat menggenang. Musashi menyuruk ke dalam pagar di dekat
puncak parit dan meluncur cepat setengah jalan turun, lalu berhenti dan melemparkan
sebuah batu. Karena tidak mendengar kecipak air, ia meloncat ke dasar pant, dan di situ
ia berbaring telentang di rumput, tanpa membuat bunyi apa pun.
Sebentar kemudian tulang-tulang iganya sudah berhenti naik-turun dan detak nadinya
kembali normal. Ketika keringat sudah menyejuk, ia mulai bernapas teratur kembali.
"Tak mungkinOtsu ada di Koyagyu ini!" katanya pada diri sendiri. "Telingaku tentunya
salah.... Meskipun begitu, bukan tak mungkin juga dia di sini. Mungkin juga dia."
Sambil berdebat dengan dirinya, ia membayangkan mata Otsu di tengah bintang-bintang di
atasnya, dan segera kemudian ia terbawa hanyut oleh kenangan: Otsu di celah perbatasan
Mimasaka-Harima, mengatakan tidak dapat hidup tanpa dirinya dan tak ada lelaki lain
baginya di dunia ini. Kemudian di Jembatan Hanada di Himeji, gadis itu mengatakan
kepadanya telah menantinya hampir seribu hari, dan akan menanti sepuluh atau dua puluh
tahun lagi-sampai ia tua dan putih rambutnya. Lalu minta dibawa serta, dan menyatakan
bahwa ia dapat menahan kesukaran apa pun.
Perbuatan Musashi lari dari Himeji itu merupakan pengkhianatan. Oh, tentunya sesudah
peristiwa itu gadis itu sangat membencinya! Oh, tentunya ia menggigit bibir dan
mengutuk sifat lelaki yang tak dapat diduga-duga itu.
"Maafkan aku!" Kata-kata yang diukirnya di pagar jembatan itu kini keluar dari
bibirnya. Air mata meleleh dari sudut-sudut matanya.
Terkejut ia mendengar teriakan dari puncak parit. Kedengarannya seperti, "Tak ada dia
di sini." Tiga atau empat obor kayu pinus menyala di antara pepohonan, kemudian
menghilang. Mereka tidak mengetahui tempatnya.
Ia jadi kecewa melihat dirinya menangis. "Apa yang kubutuhkan dari seorang perempuan?"
katanya mengolok-olok dirinya, sambil menghapus mata dengan tangannya. Ia bangkit
berdiri dan menengadah memandang sosok hitam Puri Koyagyu.
"Mereka sebut aku pengecut, dan katanya aku tak dapat berkelahi seperti lelaki! Tapi
aku belum lagi menyerah, sama sekali belum menyerah! Aku tidak melarikan diri. Aku cuma
melakukan gerak mundur taktis."
Hampir satu jam berlalu. Ia mulai berjalan pelan-pelan sepanjang dasar parit itu.
"Bagaimanapun, tak ada gunanya bertempur dengan keempat orang itu. Bukan itu sasaranku.
Kalau aku bertemu dengan Sekishusai sendiri, di situlah pertempuran dimulai."
Ia berhenti dan mulai mengumpulkan ranting-ranting jatuhan yang kemudian ia patahpatahkan menjadi bilah-bilah pendek dengan lututnya. Satu demi satu bilah-bilah itu ia
masukkan ke celah-celah dinding batu dan ia gunakan sebagai tempat menapak, lalu
memanjat ke luar parit. Tak ia dengar lagi bunyi suling. Sesaat ia mendapat perasaan samar-samar bahwa Jotaro
memanggilnya, tapi ketika ia berhenti dan mendengarkan lebih saksama, ternyata tidak
ada sesuatu pun yang terdengar. Sebetulnya ia tidak begitu gundah memikirkan anak itu.
Anak itu dapat menjaga dirinya. Barangkali ia kini sudah bermil-mil jauhnya. Tidak
adanya obor lagi menunjukkan bahwa pencarian sudah dihentikan, setidaknya untuk malam
itu. Keinginan untuk menemukan dan mengalahkan Sekishusai sekali lagi menjadi nafsu yang
mengendalikan semuanya, menjadi hantu utama yang terbentuk akibat hasratnya yang
mahahebat untuk mendapat pengakuan dan kehormatan.
Ia sudah mendengar dari pemilik penginapan itu bahwa Sekishusai mundur bukan ke salah
satu lingkaran puri, melainkan ke satu tempat terpencil di wilayah luar. Musashi
berjalan terus menembus hutan dan lembah. Kadang-kadang ia merasa sudah tersesat di
luar wilayah puri, tapi kemudian potongan pant, dinding batu, atau lumbung padi
meyakinkannya kembali bahwa ia masih ada di dalam.
Sepanjang malam ia mencari, dipaksa oleh dorongan setani. ia bermaksud, kalau nanti
menemukan rumah pegunungan itu, akan menerobos masuk sambil mengucapkan tantangannya.
Tapi ketika jam demi jam berlalu, mau rasanya ia melihat hantu dalam bentuk Sekishusai.
Hari sudah mendekati fajar ketika ia berada di gerbang belakang puri. Di sebelah sana
menjulang tebing, dan di atas tebing itu Gunung Kasagi. Ketika ia sudah hampir menjerit
karena frustrasi, ia kembali mengayun langkah ke arah selatan. Akhirnya, di kaki lereng
yang menjurus ke bagian tenggara purl, pepohonan yang bagus bentuknya dan rumput yang
terawat balk pun menyatakan kepadanya bahwa ia telah menemukan tempat memencilkan diri
itu. Terkaannya segera dibenarkan oleh sebuah gerbang beratap lalang dengan gaya yang
disukai ahli upacara minum teh besar Sen no Rikyu. Di dalam sana ia melihat rumpun
bambu yang terselimut kabut pagi.
Ketika mengintip lewat celah di pintu gerbang, ia melihat jalan itu berkelok-kelok
melintasi rumpun pohon, mendaki bukit, seperti yang terdapat di tempat-tempat penganut
Budha Zen menyendiri di pegunungan. Sesaat ia tergiur untuk melompati pagar, tetapi ia
masih menahan diri. Ada sesuatu pada lingkungan itu yang menghambatnya berbuat
demikian. Apakah karena perawatan penuh cinta yang telah diberikan pada daerah itu,
ataukah karena ia melihat daun-daun bunga putih di tanah" Apa pun alasannya, kepekaan
penghuni tempat itu menembusnya hingga gejolak perasaan Musashi mereda. Tetapi tibatiba terpikir olehnya penampilannya sendiri. Tentunya ia tampak seperti orang
gelandangan sekarang, dengan rambut awut-awutan dan kimono berantakan.
"Tak perlu buru-buru," katanya pada diri sendiri, karena ia sekarang sadar bahwa
tenaganya sudah habis. Ia mesti menguasai diri terlebih dahulu, sebelum menampilkan
diri kepada tuan di dalam itu.
"Lambat atau cepat," pikirnya, "pasti seseorang datang ke gerbang ini. Dan itulah
waktunya. Kalau dia masih menolak menemuiku sebagai murid pengembara, akan kupergunakan
pendekatan lain." Ia duduk di bawah tepi atap gerbang, bersandar ke tiang, dan jatuh
tertidur. Bintang-bintang sedang memudar dan bunga-bunga aster putih berayunayun, ketika sebutir
embun besar jatuh dengan dinginnya ke lehernya dan membangunkannya. Cahaya siang
datang, dan ketika ia menggerakkan badan dari tidurnya, kepalanya dibasuh oleh angin
pagi dan nyanyian burung bulbul. Tak ada lagi kelelahan yang tersisa ia merasa lahir
kembali. Ketika ia menggosok-gosok matanya dan menengadah, tampak olehnya matahari merah
cemerlang naik di atas pegunungan. Ia bangkit. Panas matahari telah menghidupkan
kembali semangatnya, dan tenaga yang tertimbun di dalam anggota badannya menghendaki
kegiatan. Sambil meregangkan badan, ia berkata lirih, "Hari inilah harinya."
Ia lapar, dan entah kenapa ia teringat pada Jotaro. Barangkali ia telah memperlakukan
anak itu terlalu kasar malam sebelumnya, tapi itu gerakan yang sudah diperhitungkannya,
dan bagian dari latihan anak itu. Sekali lagi Musashi merasa yakin bahwa di mana pun
Jotaro waktu itu, ia tidak berada dalam bahaya.
Ia mendengarkan suara sungai kecil yang mengalir menuruni sisi gunung, mengambil jalan
memutar dalam pagar, mengitari rumpun bambu, dan kemudian muncul dari bawah pagar dalam
perjalanan menuju wilayah puri bawah. Musashi membasuh wajah dan minum sekenyangkenyangnya untuk ganti makan pagi. Air itu bagus, ya, bagus sekali, hingga Musashi
membayangkan bahwa mungkin itulah alasan utama Sekishusai memilih tempat ini untuk
mengundurkan diri dari dunia. Namun karena ia tak tahu apa-apa tentang seni upacara
minum teh, tak terbayang olehnya bahwa air semurni itulah yang menjadi cita-cita setiap
ahli upacara minum teh. Ia basuh handuk tangannya di dalam sungai, dan sesudah menggosok tengkuk seluruhnya, ia
membersihkan kotoran kukunya. Kemudian ia rapikan rambut dengan belati yang melekat
pada pedangnya. Karena Sekishusai tidak hanya pemilik Gaya Yagyu, tetapi juga salah
satu orang besar di negeri itu, Musashi bermaksud menampilkan diri sebaik-baiknya. Ia
sendiri tidak lebih dari seorang prajurit tak bernama. Ia berbeda dari Sekishusai,
seperti berbedanya bintang yang terkecil dengan bulan.
Ia menepuk-nepuk rambutnya dan meluruskan kerahnya, dan ia merasa mantap dalam hati.
Pikirannya terang; ia bertekad mengetuk pintu gerbang itu sebagai tamu yang sah.
Rumah itu cukup jauh letaknya di atas bukit. Karena itu kemungkinan ketukan biasa tidak
akan terdengar. Maka dicarinya alat pengetuk, kalau ada, dan terlihatlah olehnya
sepasang tanda peringatan di kedua sisi gerbang. Keduanya ditulis dengan indah, dan
tulisan yang berupa ukiran itu diisi dengan tanah liat kebiruan yang tampaknya seperti
lapisan perunggu. Di sebelah kanan tertulis:
Janganlah curiga, hai para penulis,
Akan dia yang menyukai purinya tertutup.
Dan di sebelah kiri: Takkan kautemukan pemain pedang di sini, Hanya burung-burung bulbul muda di ladang.
Sajak itu ditujukan kepada para "penulis", maksudnya para pejabat puri, namun maknanya
lebih dalam dari itu. Orang tua itu menutup gerbangnya tidak hanya bagi para murid yang
mengembara, tetapi juga bagi semua peristiwa dunia ini, bagi segala kemuliaan ataupun
kesengsaraannya. Ia sudah meninggalkan sama sekali hasrat dunia, baik itu hasratnya
sendiri maupun hasrat orang lain.
"Aku masih muda," pikir Musashi. "Terlalu muda! Orang ini ada di luar jangkauanku sama
sekali." Keinginan untuk mengetuk gerbang pun menguap. Ya, pikiran untuk menyerobot masuk
mendatangi pertapa kuno itu kini terasa liar, dan ia merasa sangat malu terhadap diri
sendiri. Hanya bunga dan burung, angin dan bulan, yang akan memasuki gerbang ini. Sekishusai
bukan lagi pemain pedang terbesar di negeri ini, bukan lagi penguasa tanah perdikan,
tetapi orang yang telah kembali kepada alam, yang menolak kesia-siaan hidup manusia.
Mengganggu rumah tangganya akan merupakan pelanggaran besar. Dan kehormatan apakah, dan
jasa apakah, yang mungkin diperoleh dari mengalahkan orang yang sudah tidak menghargai
kehormatan dan jasa"
"Bagus juga aku membaca ini," kata Musashi pada diri sendiri. "Kalau tidak, aku akan
menjadikan diriku orang yang setolol-tololnya!"
Bersama dengan semakin tingginya matahari di langit, nyanyian burung bulbul mereda.
Dari kejauhan di atas bukit terdengar bunyi langkah-langkah cepat. Agaknya karena takut
mendengar bunyi ribut itu, sekelompok burung kecil mengangkasa. Musashi mengintip lewat
gerbang, siapakah yang datang itu.
Ternyata Otsu. Jadi, suling gadis itulah yang telah didengarnya! Haruskah ia menanti dan kemudian
menjumpainya" Atau pergi saja" "Aku ingin bicara dengannya," pikirnya. "Aku harus!"
Keragu-raguan mencengkamnya. Jantungnya berdebar-debar dan keyakinan dirinya terbang.
Otsu berlari turun, hingga jaraknya tinggal beberapa meter saja dari tempatnya berdiri.
Kemudian Otsu berhenti dan membalik, serta memperdengarkan teriakan terkejut.
"Kukira tadi dia ada di belakangku," gumamnya sambil menoleh ke sekitar. Kemudian ia
berlari kembali ke atas bukit, dan serunya, "Jotaro! Di mana kamu?"
Mendengar suaranya, Musashi menjadi merah mukanya karena malu, dan mulailah ia
berkeringat. Ia merasa muak karena telah kehilangan keyakinan. Tak dapat ia bergerak
dari tempat sembunyinya di dalam bayangan pepohonan itu.
Beberapa waktu kemudian Otsu memanggil kembali, dan kali ini terdengar balasannya.
"Saya di sini! Di mana Kakak?" seru Jotaro dari bagian atas rumpun.
"Di sini!" jawab Otsu. "Aku kan sudah bilang tadi, jangan pergi ke manamana."
Jotaro datang berlari-lari mendekati Otsu. "Oh, jadi Kakak di sini, ya?" serunya.
"Kan sudah kubilang kau ikut aku."
"Saya juga sudah ikut, tapi kemudian saya lihat ayam pegar, jadi saya mengejarnya."
"Mana bisa begitu, mengejar ayam pegar! Apa kamu lupa, mesti mencari orang penting pagi
ini?" "Ah, tapi saya tidak kuatir dengan dia. Dia bukan orang yang gampang terluka."
"Kedengarannya lain dengan kejadian tadi malam itu: kamu datang lari-lari ke kamarku
dan langsung mau nangis saja."
Perjanjian Dengan Roh 2 Pendekar Bloon 7 Neraka Neraka Blackstone Affair 3
^