Mushasi 7
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 7
"Ah, tidak betul, saya bukan mau menangis. Cuma semuanya itu begitu cepat, sampai tak
tahu saya, apa yang mesti saya lakukan."
"Aku juga begitu, terutama sesudah kamu menyebut nama gurumu itu."
"Tapi bagaimana Kakak bisa kenal dengan Musashi?"
"Kami datang dari desa yang sama."
"Cuma itu?" "Tentu saja cuma itu."
"Lucu. Saya tak mengerti, kenapa pula Kakak mesti menangis hanya karena ada orang
sedesa datang ke sini."
"Tapi apa aku menangis lama?"
"Bagaimana bisa Kakak ingat semua yang saya lakukan, kalau Kakak tak bisa ingat apa
yang Kakak lakukan sendiri" Tapi biar bagaimana, saya kira, saya cukup gentar juga.
Kalau soalnya cuma empat orang biasa lawan guru saya, saya tak akan kuatir. Tapi
kabarnya mereka semua itu jagoan. Ketika mendengar suling itu, saya pun ingat Kakak ada
di puri ini, karena itu saya pikir kalau saya dapat minta maaf kepada Yang
Dipertuan..." "Kalau kamu memang mendengarku main suling, Musashi tentunya mendengar juga. Bahkan dia
mungkin tahu yang main itu aku." Suara Otsu menjadi lunak. "Aku sedang memikirkan dia
ketika aku main itu."
"Saya tak melihat apa pentingnya itu. Cuma, dari bunyi suling itu saya dapat mengirangira di mana Kakak berada."
"Tapi sungguh pertunjukan besar yang kamu lakukan-menyerbu rumah orang dan menjeritjerit tentang 'pertempuran' yang sedang terjadi. Yang Dipertuan jadi terkejut juga."
"Tapi dia orang baik. Ketika saya katakan padanya saya sudah membunuh Taro, dia tidak
mengamuk seperti yang lain-lain."
Tiba-tiba, karena sadar sedang membuang-buang waktu, Otsu bergegas pergi ke gerbang.
"Kita bisa bicara lagi nanti," katanya. "Sekarang ada yang lebih penting dilakukan.
Kita mesti mencari Musashi. Sekishusai malahan sudah melanggar peraturannya sendiri.
Katanya dia mau menemui orang yang sudah melakukan apa yang kamu katakan itu."
Otsu tampak benar-benar riang, seperti bunga. Dalam matahari terang awal musim panas
itu pipinya bersinar seperti buah masak. Ia mencium daun-daun muda, dan ia merasa
kesegaran dedaunan itu mengisi paruparunya.
Musashi yang sedang bersembunyi di antara pepohonan memperhatikannya baik-baik dan
mengagumi kesehatan tubuhnya. Otsu yang ia lihat sekarang ini lain sekali dengan gadis
yang duduk patah hati di beranda Kuil Shippoji dan memandang dunia luar dengan mata
kosong. Perbedaannya adalah karena waktu itu Otsu tak punya orang yang dicintai. Atau
setidak-tidaknya, cinta yang dirasakannya waktu itu hanyalah samar-samar dan sukar
dipegang. Waktu itu ia masih anak-anak yang sentimental, yang sadar benar akan
keyatimannya dan merasa agak benci dengan kenyataan itu.
Sesudah mengenal Musashi dan mengaguminya, lahirlah cinta yang kini menetap di dalam
dirinya dan memberikan arti pada hidupnya. Sepanjang tahun yang dihabiskannya untuk
mengembara mencari Musashi, tubuh dan pikirannya membentuk keberanian untuk menghadapi
apa pun. Musashi cepat menangkap daya hidup Otsu yang baru dan membuatnya bertambah cantik itu,
dan ingin ia membawa gadis itu ke suatu tempat, di mana mereka dapat berduaan saja, dan
menceritakan semua kepadanya Betapa ia merindukan Otsu secara fisik. Ia ingin
mengungkapkan bahwa jauh di dalam hatinya yang terbuat dari baja itu terdapat
kelemahan. Ia ingin menarik kembali kata-kata yang diukirkannya di Jembatan Hanada itu.
Kalau tidak ada orang yang tahu, ia dapat menunjukkan kepada Otsu bahwa ia pun dapat
bersikap mesra. Ia akan menyatakan kepada Otsu. Ia dapat mendekapnya, membelaikan
pipinya ke pipi Otsu, mencurahkan air mata yang ingin ia tangiskan. Sekarang ia cukup
kuat untuk mengaku bahwa semua perasaannya itu nyata.
Hal-hal yang dikatakan Otsu kepadanya di masa lampau kini kembali mengiang di
telinganya, dan ia melihat betapa kejam dan buruknya ia menolak cinta yang sederhana
dan terus terang seperti yang diungkapkan Otsu.
Ia memang merasa sengsara, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak dapat menyerah
kepada segala perasaan itu, sesuatu yang menyatakan kepadanya bahwa itu salah. Dirinya
terpecah menjadi dua: pertama, yang berseru kepada Otsu, dan kedua yang mengatakan
kepadanya bahwa ia orang tolol. Ia tak bisa mengatakan, manakah dirinya yang sebenarnya
Seraya memperhatikan dari balik pohon dan tenggelam dalam keraguan itu ia seperti
melihat dua jalan di hadapanya, satu jalan terang, dan yang lain jalan gelap.
Karena tak tahu adanya Musashi, Otsu berjalan beberapa langkah meninggalkan gerbang.
Dan ketika menoleh ke belakang, ia melihat Jotaro membungkuk mengambil sesuatu.
"Jotaro, apa yang kamu lakukan itu" Ayo cepat!"
"Tunggu!" seru Jotaro riang. "Lihat ini!"
"Ah, itu kan cuma gombal tua yang kotor! Buat apa itu?"
"Ini milik Musashi."
"Milik Musashi?" ucap Otsu sambil berlari kembali mendapatkan Jotaro.
"Ya, ini miliknya," jawab Jotaro seraya membeberkan handuk tangan itu untuk dilihat
Otsu. "Saya ingat ini. Ini dari rumah janda tempat kami menginap di Nara. Lihat ini: ada
gambar daun mapel celupan di sini, dan ada huruf yang bunyinya 'Lin'. Ini nama pemilik
restoran bakpau di sana."
"Apa menurutmu Musashi ada di sini?" teriak Otsu sambil memandang bingung ke
sekitarnya. Jotaro berdiri tegak sampai hampir setinggi gadis itu, dan dengan sekuat suaranya ia
memekik, "Sensei!"
Di tengah rumpun terdengar bunyi gemeresik. Tersengal Otsu memutai badan dan melejit ke
arah pepohonan, diikuti anak itu.
"Ke mana Kakak pergi?" tanya Jotaro.
"Musashi baru saja lari!"
"Ke mana?" "Ke situ." "Saya tak melihat dia."
"Di rumpun pohon sana itu!"
Otsu melihat sosok tubuh Musashi, tetapi kegembiraan sekilas yang dirasakannya segera
digantikan oleh keprihatinan, karena Musashi dengan cepat meningkatkan jarak yang
memisahkan mereka. Otsu berlari mengejar dengan sekuat kakinya. Jotaro berlari
mengikutinya, walau tidak yakin benar bahwa Otsu melihat Musashi.
"Kakak keliru!" pekik Jotaro. "Barangkali orang lain. Kenapa Musashi mesti lari?"
"Coba lihat itu!"
"Ke mana?" "Ke sana!" Ia mengambil napas dalam-dalam, dan sambil mengerahkan suara sekuat-kuatnya
ia menjerit, "Musashi!!" Tapi baru saja teriakan kalut itu keluar dari bibirnya, ia
terhuyung jatuh. Jotaro menolongnya berdiri, tapi ia berteriak, "Kenapa kamu tidak
memanggilnya juga" Panggil dia! Panggil dia!"
Jotaro bukannya melakukan yang disuruhkan Otsu, melainkan kelu karena terkejut, dan
menatap wajah Otsu. Sudah pernah ia melihat wajah itu, dengan matanya yang merah, alis
yang seperti jarum, serta hidung dan rahang yang seperti lilin. Itulah muka topeng!
Topeng perempuan gila yang diberikan kepadanya oleh janda di Nara itu. Pada mulut Otsu
tidak ada bengkokan aneh ke atas, tapi di luar itu keduanya serupa. Jotaro cepat
menarik tangannya dan undur dengan ketakutan.
Otsu terus mencelanya. "Kita tak boleh menyerah! Dia tak akan kembali lagi kalau kita
biarkan dia pergi sekarang! Panggil dia! Suruh dia kembali!"
Ada sesuatu yang menolak dalam diri Jotaro, tapi pandangan wajah Otsu menyatakan
kepadanya, tak ada gunanya berdebat dengannya. Maka mereka berlari kembali, dan ia
mulai berteriak juga sekuat-kuatnya.
Di sebelah hutan terdapat bukit rendah, dan sepanjang kaki bukit itu menghampar jalan
belakang dari Tsukigase ke Iga. "Itu Musashi!" teriak Jotaro. Sampai di jalan tersebut,
anak itu dapat dengan jelas melihat gurunya, tetapi Musashi sudah terlalu jauh di depan
mereka, hingga tak dapat mendengar teriakan mereka.
Otsu dan Jotaro berlari sekuat kaki mereka sambil berteriak-teriak sampai parau.
Jeritan mereka menggema melintasi peladangan. Di ujung lembah mereka tidak melihat
Musashi lagi, karena ia lari langsung masuk kaki perbukitan yang berhutan lebat.
Mereka berhenti dan berdiri di sana, sedih, seperti anak-anak telantar. Awan putih
menghampar kosong di atas mereka, sementara gemericik sungai menambah kesepian mereka.
"Dia sudah gila! Dia tak berakal! Bagaimana mungkin dia meninggalkan saya seperti ini?"
teriak Jotaro sambil mengentak-entakkan kakinya.
Otsu bersandar ke pohon berangan besar, dan air matanya mengucur sejadi-jadinya.
Cintanya yang besar pada Musashi tak mampu menahan kepergian Musashi"walaupun untuk
cinta itu ia bersedia mengorbankan segalanya. Ia heran, merasa kehilangan, dan marah.
Ia tahu, apa tujuan hidup Musashi dan kenapa Musashi menghindari dirinya. Ia sudah tahu
itu, sejak pengalaman di Jembatan Hanada. Namun ia tak bisa mengerti, kenapa Musashi
menganggapnya penghalang antara dirinya dan cita-citanya. Kenapa tekadnya itu mesti
dilemahkan oleh kehadirannya"
Ataukah itu cuma alasan" Apakah alasan sebenarnya karena Musashi tidak cukup
mencintainya" Itulah yang barangkali lebih masuk akal. Namun... namun... Otsu mulai
memahami Musashi ketika melihatnya terikat di pohon di Shippoji itu. Ia tak percaya
bahwa Musashi orang yang bisa berbohong kepada perempuan. Kalau Musashi tak ada minat
kepadanya, ia akan mengatakannya demikian, tapi kenyataannya di Jembatan Hanada Musashi
mengatakan senang sekali kepadanya. Ia mengingat kembali katakata Musashi dengan
sedihnya. Sebagai anak yatim, sikap dingin tertentu mencegah dirinya mempercayai banyak orang,
tapi sekali ia percaya pada seseorang, ia akan mempercayainya sepenuhnya. Pada waktu
ini ia merasa tidak ada orang lain kecuali Musashi yang patut dibela atau
diandalkannya. Pengkhianatan Matahachi telah mengajarkan kepadanya betapa seorang gadis
harus berhati-hati dalam menilai lelaki. Tetapi Musashi bukanlah Matahachi. Ia telah
memutuskan akan hidup untuk Musashi, apa pun yang terjadi, dan ia telah membulatkan
tekad untuk tidak menyesal berbuat demikian.
Tapi kenapa Musashi tak dapat mengucapkan kata-kata, biarpun hanya sepatah" Ini sungguh
terlalu berat untuk ditanggung. Daun-daun pohon berangan bergetar, seakan-akan pohon
itu sendiri mengerti dan bersimpati.
Semakin marah, semakin ia tenggelam dalam cinta pada Musashi. Apakah itu nasib atau
bukan, tidak dapat Ia mengatakannya, tetapi semangatnya yang dirobek-robek kesedihan
menunjukkan bahwa tidak ada hidup sejati baginya di luar Musashi.
Jotaro memandang ke jalan, dan ucapnya, "Nah, ini datang seorang pendeta." Otsu tidak
memperhatikannya. Dengan semakin dekatnya siang, langit di atas berubah menjadi biru tua, transparan.
Biarawan yang menuruni lereng di kejauhan itu tampak seperti turun dari atas awan dan
tak ada hubungan apa pun dengan bumi ini. Ketika mendekati pohon berangan itu, ia
memandangnya dan melihat Otsu.
"Lho, ada apa ini?" katanya. Mendengar suaranya, Otsu menengadah.
Dengan matanya yang bengkak dan lebar karena kagum ia berseru, "Takuan!" Dalam
keadaannya sekarang ini, ia melihat Takuan Soho sebagai penyelamat. Ia bertanya-tanya
dalam hati, apakah ia tidak sedang bermimpi.
Sekalipun melihat Takuan merupakan guncangan bagi Otsu, namun bagi Takuan menemukan
Otsu tidak lebih daripada pembenaran atas sesuatu yang telah ia curigai. Kedatangannya
bukan kebetulan, dan bukan pula keajaiban.
Takuan sudah lama menjalin hubungan persahabatan dengan Keluarga Yagyu. Perkenalannya
dengan mereka bermula ketika ia masih seorang biarawan muda di Kuil Sangen'in,
Daitokuji. Kewajibannya mencakup pembersihan dapur dan pembuatan empleng kacang.
Pada masa itu, Sangen'in yang dikenal dengan nama "Sektor Utara" Daitokuji termasyhur
sebagai tempat berkumpul para samurai "luar biasa", artinya samurai yang mencurahkan
perhatiannya kepada pemikiran filsafat tentang makna hidup dan mati, yaitu orang-orang
yang merasakan perlunya mempelajari peristiwa-peristiwa kejiwaan maupun keterampilan
teknik dalam seni perang. Kaum samurai yang bergerombol di sana lebih besar jumlahnya
dibandingkan dengan kaum biarawan Zen, dan salah satu hasilnya adalah kuil itu jadi
dikenal sebagai wilayah pembibitan pemberontakan.
Di antara samurai yang sering datang ke sana adalah Suzuki Ihaku, saudara lelaki Yang
Dipertuan Koizumi dari Ise, Yagyu Gorozaemon, ahli waris Keluarga Yagyu, dan saudara
lelaki Gorozaemon, yaitu Munenori. Munenori cepat menyukai Takuan, dan keduanya
bersahabat semenjak itu. Sesudah beberapa kali mengadakan kunjungan ke Puri Koyagyu,
Takuan berjumpa dengan Sekishusai dan menaruh rasa hormat yang besar kepada orang tua
itu. Sekishusai pun menyukai biarawan muda ini, yang baginya mengesankan, karena
memiliki banyak harapan di masa depan.
Baru-baru ini Takuan singgah beberapa waktu lamanya di Kuil Nansoji di Provinsi Izumi,
dan dari sana ia mengirimkan surat menanyakan kesehatan Sekishusai dan Munenori. Dan ia
telah menerima jawaban panjang dari Sekishusai, yang di antaranya berbunyi:
Saya sangat beruntung akhir-akhir ini. Munenori sudah mendapat kedudukan dalam Keluarga
Tokugawa di Edo, dan cucu saya yang telah meninggalkan pekerjaannya pada Yang Dipertuan
Kato dari Higo, dan pergi belajar sendiri, banyak mendapat kemajuan. Saya sendiri
sekarang memiliki tenaga seorang gadis muda dan cantik, yang tidak hanya dapat bermain
suling dengan baik, tetapi juga berbicara dengan saya, dan bersama-sama kami menyiapkan
teh, menyusun bunga, dan mengarang sajak. la menjadi kegembiraan dalam umur tua saya,
menjadi bunga yang berkembang di rumah, yang kalau tidak berkat dirinya akan merupakan
gubuk tua yang dingin dan layu. Karena ia mengatakan datang dari Mimasaka yang
berdekatan dengan tempat kelahiran Anda dan dibesarkan di kuil yang bernama Shippoji,
saya pikir Anda dan dia banyak memiliki persamaan. Menyenangkan luar biasa minum sake
malam hari dengan iringan suling yang baik permainannya, dan karena Anda demikian dekat
dengan tempat ini, saya harap Anda datang dan menikmati santapan ini bersama saya.
Dalam keadaan bagaimanapun, sangat sukar bagi Takuan menolak andangan ini, tetapi
dugaannya bahwa gadis yang dilukiskan dalam surat itu adalah Otsu, membuatnya
bersungguh-sungguh menerimanya.
Ketika mereka bertiga berjalan menuju rumah Sekishusai, Takuan mengajukan banyak
pertanyaan pada Otsu, dan Otsu menjawabnya tanpa bertele-tele. Ia menyampaikan kepada
Takuan apa yang dilakukannya semenjak wrakhir kali mereka bertemu di Himeji dahulu,
lalu apa yang telah terjadi pagi itu, dan akhirnya bagaimana perasaannya terhadap
Musashi. Takuan mendengarkan cerita Otsu yang menyedihkan itu sambil mengangguk-angguk sabar.
Ketika Otsu selesai bercerita, ia mengatakan, "Kukira kaum perempuan mampu memilih
jalan hidup yang mustahil bagi kaum lelaki. Menurut penangkapanku, kau menghendaki aku
memberikan nasihat padamu tentang jalan yang harus kautempuh di masa depan."
"Oh, tidak." "Nah.... " "Saya sudah memutuskan apa yang akan saya perbuat."
Takuan memperhatikan dengan saksama. Otsu sudah berhenti berjalan dan kini memandang
tanah. Ia kelihatan berada dalam lembah keputusasaan, namun ada suatu kekuatan dalam
nada bicaranya, yang memaksa Takuan melakukan penilaian kembali.
"Sekiranya saya punya keraguan, sekiranya saya bermaksud menyerah," kata Otsu,
"barangkali tak akan saya meninggalkan Shippoji. Saya masih bertekad menemui Musashi.
Satu-satunya pertanyaan dalam pikiran saya adalah, apakah hal ini akan menimbulkan
kesulitan baginya, dan apakah kalau saya terus hidup akan mendatangkan ketidakbahagiaan
padanya. Kalau memang demikian, saya harus melakukan sesuatu untuknya."
"Dan apa itu artinya?"
"Tak dapat saya mengatakannya pada Bapak."
"Hati-hatilah, Otsu!"
"Terhadap apa?"
'Di bawah matahari yang terang riang ini dewa maut sedang menariknarikmu. "
"Sava... saya tak mengerti apa yang Bapak maksudkan."
"Kukira memang tak akan kamu mengerti, tapi itu karena dewa maut ncminjamkan tenaga
kepadamu. Tolol kamu, Otsu, kalau kau mau mati, khususnva demi hal yang tak lebih dari
cinta yang bertepuk sebelah rangan." kata Takuan tertawa.
Otsu menjadi marah kembali. Pikirnya, tak ada bedanya ini dengan udara kosong, karena
Takuan tidak pernah jatuh cinta. Tak mungkin bagi orang yang tidak pernah jatuh cinta
memahami apa yang dirasakannya. Baginya, mencoba menjelaskan perasaannya kepada Takuan
sama saja dengan Takuan mencoba menjelaskan Budhisme Zen kepada orang pandir. Tapi
seperti halnya terdapat kebenaran dalam Zen, entah yang pandir dapat memahaminya atau
tidak, ada orang-orang yang bersedia mati demi cinta, entah Takuan dapat memahaminya
atau tidak. Setidak-tidaknya bagi perempuan, cinta itu satu hal yang jauh lebih serius
daripada teka-teki sulit seorang pendeta Zen. Bagi seorang yang dibuai oleh cinta yang
bermakna hidup atau mati, tidak ada bedanya bunyi tepukan sebelah tangan. Sambil
menggigit bibir, Otsu bersumpah tak akan mengatakan apa-apa lagi.
Takuan menjadi sungguh-sungguh. "Kau mestinya dilahirkan sebagai laki-laki, Otsu.
Seorang lelaki yang memiliki kemauan seperti yang kaumiliki ini pasti dapat
melaksanakan sesuatu demi kebaikan negeri."
"Jadi, apakah salah, seorang perempuan seperti saya ini hidup" Karena akan mendatangkan
kerugian pada Musashi?"
"Jangan putar balikkan apa-apa yang kukatakan. Aku tidak bicara soal itu. Betapapun
kamu mencintainya, dia masih lari, bukan" Dan aku berani mengatakan kamu tak akan dapat
menangkapnya." "Saya lakukan ini bukan karena saya senang melakukannya. Saya tak bisa berbuat lain.
Saya mencintainya!" "Coba, belum lama aku tidak melihatmu, dan melihatmu lagi kamu sudah berbuat seperti
semua perempuan lain."
"Oh, jadi Bapak tidak lihat, ya" Baiklah, tak usah kita bicara lagi. Pendeta cemerlang
seperti Bapak tak akan dapat memahami perasaan perempuan!"
"Tak bisa aku menjawab ini. Memang benar, perempuan bagiku merupakan teka-teki."
Otsu melengos, dan katanya, "Ayo pergi, Jotaro."
Takuan berdiri memperhatikan, sedangkan Otsu dan Jotaro menuruni jalan samping.
Diiringi kerjapan alisnya yang sedih, biarawan itu sampai pada kesimpulan bahwa tak ada
lagi yang dapat dilakukannya. Maka serunya kepada Otsu, "Apa kamu takkan mengucapkan
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selamat tinggal pada Sekishusai, sebelum pergi menuruti kehendak hati?"
"Saya akan mengucapkan selamat tinggal dalam hati. Beliau tahu, saya tak pernah
bermaksud tinggal lama di sini."
"Jadi, kamu tak akan mempertimbangkannya kembali?"
"Mempertimbangkan apa?"
"Tinggal di Pegunungan Mimasaka itu indah, tapi di sini juga indah. Di sini damai dan
tenang, dan hidup di sini sederhana. Daripada melihat kamu pergi memasuki dunia biasa
dengan segala kesengsaraan dan kesulitannya, aku lebih suka melihatmu hidup dalam
kedamaian, di tengah pegunungan dan sungai-sungai ini, seperti juga burung-burung
bulbul yang kita dengar sedang menyanyi itu."
"Ha, ha! Terima kasih banyak, Pak!"
Takuan mengeluh, karena sadar bahwa ia tidak berdaya menghadapi perempuan muda yang
berkemauan keras ini, yang demikian bertekad pergi membuta menempuh jalan yang telah
dipilihnya. "Kamu boleh tertawa, Otsu, tapi jalan yang hendak kamu tempuh itu jalan
kegelapan." "Kegelapan?" "Kamu dibesarkan di dalam kuil. Kamu mesti tahu, bahwa jalan kegelapan dan keinginan
itu hanya menjurus pada kekecewaan dan kesengsaraan. Kekecewaan dan kesengsaraan yang
tak bisa diselamatkan lagi."
"Tidak pernah ada jalan terang bagi saya, tidak ada, sejak saya lahir."
"Ah, ada, ada!" Takuan memasukkan tetesan daya terakhir ke dalam permohonan-nya, dan ia
dekati gadis itu dan ia pegang tangannya. Ia ingin sekali agar gadis itu
mempercayainya. "Aku akan bicara dengan Sekishusai tentang itu," demikian ditawarkannya. "Tentang
bagaimana kamu bisa hidup dan bahagia. Kamu bisa mendapatkan suami yang baik di
Koyagyu, memiliki anak-anak, dan melakukan hal-hal yang juga dilakukan perempuan lain.
Kamu akan membuat tempat ini lebih baik. Dan itu akan membuatmu lebih bahagia."
"Saya mengerti, Bapak berusaha membantu, tapi..."
"Cobalah! Kuminta kamu mencoba!"
Sambil menarik tangan gadis itu, ia memandang Jotaro, dan katanya, "Kamu juga, Nak!"
Jotaro menggelengkan kepala dengan tegas. "Saya tidak. Saya akan mengikuti guru saya."
"Nah, lakukanlah apa yang kamu suka, tapi setidak-tidaknya kembalilah ke puri
mengucapkan selamat tinggal pada Sekishusai."
"Oh, saya lupa!" kata Jotaro terengah. "Topeng saya tertinggal di sana. Akan saya ambil
dulu." Ia segera berlari, tak peduli dengan jalan kegelapan dan jalan terang itu.
Otsu berdiam diri di persimpangan. Takuan diam, dan kembali menjadi teman lama yang
pernah dikenalnya. Takuan sudah mengingatkannya akan bahaya yang mengintai dalam hidup
yang hendak ditempuhnya dan mencoba meyakinkannya bahwa ada jalan lain untuk menemukan
kebahagiaan. Tapi Otsu tetap tak tergoyahkan.
Kemudian Jotaro kembali berlari-lari mengenakan topeng. Takuan mengerut melihatnya, dan
secara naluriah merasa bahwa itulah wajah masa depan Otsu, wajah yang akan ia saksikan
sesudah Otsu menanggung derita dalam perjalanan panjangnya menelusuri jalan kegelapan.
"Saya pergi sekarang," kata Otsu, dan melangkah meninggalkan Takuan. Jotaro bergayut
pada lengan kimononya, katanya, "Ya, ayo pergi! Sekarang!"
Takuan menengadahkan mata ke awan-awan putih, meratapi kegagalannya. "Tak ada lagi yang
dapat kuperbuat," katanya. "Sang Budha sendiri pun berputus asa menyelamatkan
perempuan." "Selamat tinggal, Pak," kata Otsu. "Saya nyatakan hormat kepada Sekishusai di sini,
tapi saya mohon Bapak menyampaikan terima kasih saya dan ucapan selamat berpisah kepada
beliau." "Oh, aku bahkan mulai berpikir sekarang bahwa pendeta-pendeta adalah orang gila. Ke
mana saja mereka pergi, mereka bertemu dengan orang-orang yang berduyun-duyun menuju
neraka." Takuan mengangkat kedua tangannya, menjatuhkannya, dan katanya dengan sangat
khidmat, "Otsu, kalau kau nanti mulai tenggelam dalam Enam Jalan Jahat atau Tiga
Persimpangan, sebutlah namaku. Pikirkan diriku, dan panggillah namaku! Sementara ini,
yang bisa kukatakan cuma, pergilah sejauh kau bisa, dan cobalah berhati-hati!"
*** BUKU III: API *** 20. Sasaki Kojiro TEPAT di selatan Kyoto, Sungai Yodo melingkar mengelilingi sebuah bukit bernama
Momoyama (daerah Puri Fushimi), kemudian mengalir terus melintasi Dataran Yamashiro ke
arah benteng Puri Osaka, sekitar 20 mil ke sebelah barat daya. Sebagian karena hubungan
air yang langsung ini, setiap gejolak politik di daerah Kyoto segera menimbulkan
gemanya di Osaka. Sedangkan di Fushimi setiap patah kata yang diucapkan oleh seorang
samurai Osaka, apalagi seorang jenderal Osaka, dianggap orang sebagai isyarat masa
depan. Di sekitar Momoyama sedang terjadi pergolakan, karena Tokugawa Ieyasu memutuskan
mengubah cara hidup yang telah berkembang di zaman Hideyoshi. Puri Osaka yang dihuni
oleh Hideyori dan ibunya, Yodogimi, masih terus berusaha bergayut pada sisa kekuasaan
yang sudah pudar, tepat seperti matahari yang sedang terbenam berteguh pada
keindahannya yang perlahan menghilang. Kekuasaan yang sebenarnya berada di Fushimi,
yang dipilih Ieyasu sebagai tempat tinggalnya selama perjalanan-perjalanan jauhnya ke
daerah Kansai. Perbenturan antara yang lama dan yang baru tampak di mana-mana. Itu
kelihatan dari perahu-perahu yang hilir-mudik di sungai, dan tingkah laku orang-orang
di jalan raya, dari lagu-lagu rakyat, dan dari wajah para samurai telantar yang mencari
pekerjaan. Puri Fushimi sedang dibetulkan. Batu-batu karang yang dimuntahkan dari perahu-perahu ke
tepi sungai benar-benar menggunung. Kebanyakan batu itu besar, luasnya paling sedikit
dua meter persegi dan tingginya sekitar satu meter. Batu-batu itu mendesis-desis
terkena sinar matahari yang mendidih. Walaupun waktu itu musim gugur menurut kalender,
panas yang membakar mengingatkan orang pada hari-hari terpanas setelah musim hujan di
awal musim panas. Pohon-pohon liu di dekat jembatan berkilauan putih. Seekor jangkrik melesat berkelokkelok dari sungai ke sebuah rumah kecil di dekat tepi sungai. Atap-atap rumah di desa
itu berwarna abu-abu kering, berdebu, kehilangan warna lembut cahaya lenteranya di
waktu senja. Dalam panasnya tengah hari, dua pekerja yang beruntung mendapat istirahat
setengah jam dari kerja yang mematahkan tulang punggung itu berbaring telentang di
permukaan sebuah batu besar yang lebar, sambil mengobrol tentang soal yang sedang
menjadi buah bibir setiap orang.
"Kau pikir akan ada perang lagi?"
"Kenapa tidak" Rasanya tak ada orang yang cukup kuat untuk memegang kontrol."
"Kupikir kau benar. Jenderal-jenderal Osaka tampaknya sedang mengumpulkan semua ronin
yang dapat mereka temukan."
"Memang kupikir begitu. Barangkali tak boleh aku bicara keras-keras, tapi kudengar
Keluarga Tokugawa sedang membeli senapan dan amunisi kapal-kapal asing."
"Kalau begitu, kenapa Ieyasu mengawinkan cucu perempuannya, Senhime, dengan Hideyori?"
"Mana aku tahu" Apa pun yang dia lakukan, kita boleh bertaruh, pasti ada alasannya.
Orang-orang biasa macam kita ini tak mungkin tahu, apa yang ada dalam pikiran Ieyasu."
Lalat-lalat merubung kedua orang itu. Segerombolan lain merubung dua ekor sapi jantan
tak jauh dari situ. Kedua ekor binatang itu masih terpasang pada gerobak balok yang
kosong, bermalas-malasan di bawah sinar matahari, diam, tenang, dan berliur mulutnya.
Alasan sebenarnya kenapa kuil itu diperbaiki tidak diketahui oleh pekerja rendahan,
yang mengira Ieyasu akan tinggal di situ. Padahal perbaikan itu merupakan satu tahap
saja dalam program pembangunan besar-besaran, suatu bagian penting dari rencana
pemerintahan Tokugawa. Kerja pembangunan besar-besaran dilaksanakan juga di Edo,
Nagoya, Suruga, Hikone, Otsu, dan selusin kota kuil yang lain lagi. Tujuannya sebagian
besar bersifat politik. Salah satu cara Ieyasu untuk mengendalikan para daimyo adalah
memerintahkan mereka menangani proyek bangunan. Karena tak ada yang cukup kuat untuk
menolak, cara ini membuat tuan-tuan feodal yang bersahabat terlampau sibuk untuk
melunak, sekaligus memaksa para daimyo yang melawan Ieyasu di Sekigahara berpisah
dengan sebagian besar penghasilan mereka. Tujuan lain pemerintah adalah memperoleh
dukungan rakyat banyak, yang secara langsung atau tidak mendapat keuntungan juga dari
pekerjaan umum yang besar itu.
Di Fushimi saja, hampir seribu pekerja dikerahkan memperluas gerigi batu di atas
benteng. Akibatnya kota di sekitar kuil tiba-tiba dibanjiri para penjaja, pelacur, dan
lalat langau"lambang-lambang kemakmuran. Masyarakat luas gembira dengan masa baik yang
didatangkan Ieyasu, dan para pedagang mengkhayal bahwa di atas ini semua akan ada
kesempatan buat terjadinya perang lagi"yang akan lebih menguntungkan. Barang-barang
berlalu lintas dengan sibuknya, bahkan sekarang pun kebanyakan barang barang itu berupa
perbekalan militer. Sesudah menghitung dengan sipoa kolektifnya, para pengusaha besar
menyimpulkan bahwa perbekalan militerlah yang paling menguntungkan.
Penduduk kota dengan cepat melupakan hari-hari yang tenang pada masa kekuasaan
Hideyoshi. Sebagai gantinya, mereka berspekulasi tentang apa yang mungkin diperoleh di
hari-hari mendatang. Bagi mereka tidak banyak bedanya siapa yang berkuasa. Selama
mereka dapat memenuhi kebutuhan remehnya, tak ada alasan untuk mengeluh. Dalam hal ini
pun Ieyasu tidak mengecewakan mereka, karena ia dapat menghamburkan uang seperti
menyebarkan gula-gula kepada anak-anak. Memang bukan uangnya sendiri, melainkan uang
orang-orang yang bisa menjadi musuhnya.
Dalam pertanian pun ia memperkenalkan sistem pengendalian baru. Tokoh-tokoh setempat
tidak lagi diizinkan memerintah semaunya atau mengerahkan petani semaunya untuk kerja
luar. Dari sekarang, para petani harus diperbolehkan menggarap tanahnya"dengan sedikit
sekali mengerjakan yang lain. Mereka harus dibuat masa bodoh terhadap politik dan
diajar mengandalkan diri pada kekuasaan yang ada.
Penguasa yang berbudi, menurut jalan pikiran Ieyasu, adalah orang yang tidak membiarkan
para penggarap tanah mati kelaparan, sekaligus menjaga agar mereka tidak naik melebihi
statusnya. Dengan kebijaksanaan inilah ia bermaksud mengabadikan kekuasaan Tokugawa.
Baik orang kota, petani, maupun daimyo tidak sadar bahwa mereka dengan hati-hati sedang
dijalinkan ke dalam sistem feodal yang akhirnya akan mengikat kaki dan tangan mereka.
Tak seorang pun berpikir tentang apa yang bakal terjadi lima ratus tahun lagi. Tak
seorang pun, kecuali Ieyasu.
Para pekerja di Puri Fushimi itu pun tidak memikirkan hari esok. Mereka hanya memiliki
harapan sederhana. Yaitu sekadar melewati hari itu, makin cepat makin baik. Sekalipun
mereka berbicara tentang perang dan tentang kapan perang bisa meletus, namun rencanarencana besar untuk menjaga perdamaian dan meningkatkan kemakmuran tidak berhubungan
sama sekali dengan mereka. Apa pun yang terjadi, tak mungkinlah keadaan mereka lebih
buruk dari yang sekarang.
"Semangka" Ya, siapa beli semangka?" seru seorang anak perempuan petani yang setiap
hari, di waktu seperti itu, biasa berkeliling. Begitu muncul, ia pun berhasil menjual
semangka pada beberapa lelaki yang sedang mengadu mata uang di bawah bayangan batu
besar. Dengan riangnya ia beralih dari satu gerombolan ke gerombolan lain sambil
berseru, "Siapa lagi?"
"Kamu gila, ya" Kaukira kami punya uang buat semangka?"
"Sini! Saya sih mau saja"kalau tanpa bayar."
Kecewa karena keberuntungan awalnya terhenti, gadis itu mendekati seorang pekerja muda.
yang sedang duduk di antara dua batu besar. Ia bersandar pada batu yang satu, dan
kakinya menyandar pada batu lain, sedangkan tangannya merangkul lutut. "Semangka?"
tanya gadis itu, walaupun tidak begitu menaruh harapan.
Pekerja itu kurus, matanya cekung, sedangkan kulitnya merah sehat terbakar matahari.
Bayangan kelelahan menyamarkan usia mudanya. Namun demikian, teman-teman dekatnya masih
mengenalnya. Dialah Hon'iden Matahachi. Dengan lesu ia menghitung beberapa keping mata
uang kotor dalam telapak tangannya, lalu memberikannya kepada gadis itu.
Ketika ia menyandarkan diri kembali ke batu, kepalanya merunduk murung. Gerakan kecil
itu saja sudah membuatnya kehabisan tenaga. Merasa mual, ia mencondongkan badan ke
samping dan mulai meludah ke rumput. Sedikit pun tak ada lagi tenaganya untuk mengambil
kembali semangka yang terjatuh dari pangkuannya. Dengan jemu ia memandang semangka itu,
sedangkan matanya yang hitam tidak memperlihatkan tanda-tanda kekuatan ataupun harapan.
"Babi!" gumamnya lemah. Yang dimaksudkannya adalah orang-orang yang hendak dibalasnya:
Oko, si Wajah Berpupur, dan Takezo, pemilik pedang kayu. Kekeliruannya yang pertama
adalah pergi ke Sekigahara. Yang kedua, tunduk kepada janda yang menggairahkan itu.
Sampailah ia pada keyakinan bahwa sekiranya bukan karena kedua peristiwa itu, ia sudah
ada di rumahnya di Miyamoto sekarang, menjadi kepala Keluarga Hon'iden, menjadi suami
seorang istri yang cantik, dan membikin iri seluruh kampung.
"Kukira Otsu pasti membenciku sekarang.... Apa gerangan yang sedang dia lakukan?" Dalam
keadaan sekarang, kadang-kadang memikirkan bekas tunangannya itu merupakan hiburannya
satu-satunya. Ketika sifat Oko yang sebenarnya akhirnya ia pahami, mulailah ia
merindukan Otsu kembali. Dan semenjak ia berakal sehat, dan membebaskan diri dari
Warung Teh Yomogi, semakin sering ia memikirkan Otsu.
Pada malam keberangkatannya, ia mengetahui bahwa Miyamoto Musashi yang meraih reputasi
sebagai pemain pedang di ibu kota itu ternyata teman lamanya, Takezo. Guncangan keras
ini segera disusul gelombang cemburu hebat.
Karena ingat akan Otsu, ia sudah berhenti minum, dan mencoba menanggalkan sifat malas
dan kebiasaan buruknya. Tetapi mulanya ia tidak dapat menemukan pekerjaan yang cocok.
Disumpahinya dirinya sendiri karena selama lima tahun tidak mengikuti arus perubahan,
sementara selama itu seorang perempuan yang lebih tua menanggung hidupnya. Untuk sesaat
kelihatan olehnya seolah sudah terlambat untuk mengadakan perubahan.
"Belum terlambat!" demikiari ia meyakinkan dirinya. "Umurku baru dua puluh dua. Aku
dapat melakukan apa saja kalau aku mencoba!" Setiap orang bisa saja mengalami perasaan
seperti itu, tapi dalam hal Matahachi, itu berarti menutup mata, meloncati jurang lima
tahun lamanya, dan menjual tenaga sebagai buruh harian di Fushimi.
Di situ ia bekerja keras, membudakkan diri dengan tekun dari hari ke hari, sementara
matahari menyengatnya dari musim panas sampai musim gugur. Agak bangga juga ia dapat
bertahan di situ. "Akan kutunjukkan pada semua orang!" demikian pikirnya, sekalipun sedang mau muntah.
"Tak ada alasan, kenapa aku tak dapat memperoleh nama untuk diriku. Aku dapat melakukan
apa saja yang dilakukan Takezo! Aku dapat melakukan lebih dari itu, dan akan kulakukan.
Lalu aku akan melakukan pembalasan, biarpun sudah mengalami peristiwa dengan Oko. Yang
kubutuhkan sekarang cuma sepuluh tahun."
Sepuluh tahun" Ia berhenti untuk menghitung, berapa sudah umur Otsu waktu itu. Tiga
puluh satu! Apakah Otsu akan tetap sendiri, dan menunggunya selama itu" Sedikit
kemungkinannya. Matahachi tak tahu sama sekali tentang apa yang belum lama itu terjadi
di Mimasaka. Tak dapat ia mengetahui bahwa khayalannya kosong. Tapi sepuluh tahun"tak
mungkin! Tak akan lebih dari lima atau enam tahun! Dalam jangka waktu itu ia sudah
mencapai sukses. Pada waktu itu ia akan kembali ke kampung, meminta maaf kepada Otsu,
dan membujuknya untuk kawin. "Itulah satu-satunya cara!" ucapnya. "Lima tahun, atau
paling banyak enam tahun." Ia menatap semangka itu, dan kilas cahaya tampak kembali
pada matanya. Justru pada waktu itu salah seorang teman kerjanya berdiri di seberang batu besar di
depannya. Sambil menopangkan siku ke puncak batu besar lebar itu, teman itu berseru,
"Hei, Matahachi, apa yang kau gumamkan sendiri" Mukamu kelihatan hijau. Apa semangka
itu busuk?" Matahachi terpaksa menampakkan senyuman lemah, namun sekali lagi ia terserang gelombang
pusing. Air liur keluar dari mulutnya ketika ia mengguncang-guncangkan kepalanya. "Ini
bukan apa-apa, bukan apa-apa!" Sengal-nya. "Kukira terlalu banyak aku terkena panas
matahari. Biar aku beristirahat di sini sekitar sejam."
Para penghela batu besar yang tegap-tegap itu mencemoohkan kelunglaiannya, walaupun
dengan cara baik-baik saja. Salah seorang bertanya, "Kenapa kamu beli semangka kalau
kamu tak bisa makan semangka?"
"Aku beli ini untuk kalian semua," jawab Matahachi. "Kukira itulah yang baik, karena
aku tak bisa mengerjakan bagian kerjaku."
"Oh, bagus juga. Hei, kawan-kawan! Makan ini, Matahachi yang bayar."
Buruh-buruh pun memecahkan semangka itu di sudut batu dan menyerbu-nya seperti semut,
membagi-bagi daging buah yang merah, manis menetes-netes itu. Begitu semangka habis,
seseorang melompat ke atas batu dan pekiknya, "Kembali kerja, hei, kalian!"
Samurai yang bertugas keluar dari sebuah gubuk memegang cambuk. Bau keringatnya
menyebar ke atas tanah. Segera kemudian terdengar lagu kerja para penghela batu di
medan kerja itu, ketika sebuah batu raksasa dipindahkan dengan pengumpil-pengumpil
besar ke atas gelindingan dan diseret dengan tali-tali setebal lengan. Batu itu maju
dengan berat dan lambat, seperti gunung yang bergeser.
Dengan ramainya pembangunan puri, lagu-lagu berirama ini pun berkembang biak. Sekalipun
kata-katanya jarang dituliskan, tidak kurang dari Yang Dipertuan Hachisuka dari Awa,
yang bertanggung jawab atas pembangunan Puri Nagoya, telah mencatat beberapa syairnya
dalam sebuah surat. Yang Dipertuan, yang tentunya tak ada kesempatan biarpun cuma
menyentuh bahan-bahan bangunan, jelas telah mengetahui syair-syair itu dari sebuah
pesta. Karangan sederhana seperti di bawah ini menjadi semacam mode di tengah
masyarakat, juga di antara para pekerja.
Dari Awataguchi kita menariknya
Menyeretnya batu demi batu-demi batu.
Buat Tuan Yang Mulia, Yang Dipertuan Togoro.
Ei, sa, ei, sa... Tarik ya! Seret ya! Tarik ya! Seret ya!
Tuan kita bicara, Kaki tangan kita gemetar.
Tapi kita setia padanya-sampai mati.
Penulisnya berkomentar, "Semua orang, tua-muda, menyanyikan lagu ini, karena lagu ini
bagian dari dunia mengambang yang kita tinggali!"
Kaum buruh di Fushimi tidak sadar akan gema sosial lagu-lagu ini, namun lagu-lagu
mereka benar-benar mencerminkan semangat zaman. Lagu-lagu populer pada zaman merosotnya
ke-shogun-an Ashikaga pada umumnya bersifat dekaden dan kebanyakan dinyanyikan secara
pribadi, tetapi pada tahun-tahun makmur kekuasaan Hideyoshi, lagu-lagu bahagia dan
gembira sering terdengar di tempat umum. Kemudian hari, ketika kerasnya kekuasaan
Ieyasu mulai terasa, nada-nada itu kehilangan sebagian semangat gembiranya. Ketika
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekuasaan Tokugawa menjadi lebih kuat, nyanyian yang spontan sifatnya cenderung
memberikan tempat kepada musik yang digubah oleh para musisi yang mengabdi kepada para
shogun. Matahachi meletakkan kepalanya ke tangan. Kepala itu demam oleh suhu tinggi, dan
nyanyian dengan kata-kata "tarik-ya" itu mendengung, mengiang di telinganya, seperti
segerombolan lebah. Dalam keadaan seorang diri, kini ia menjadi murung.
"Tapi apa gunanya," rintihnya. "Lima tahun. Umpamanya aku kerja keras, apa untungnya
itu untukku" Aku kerja sehari penuh, yang kudapat cuma cukup buat makan sehari. Kalau
tidak kerja, aku tidak makan."
Waktu itu dirasanya ada orang berdiri di dekatnya, dan ia menengadah. Tampak olehnya
seorang pemuda jangkung. Kepalanya tertutup topi anyaman kasar dalam-dalam, dan di
pinggangnya tergantung satu bungkusan seperti yang biasa dibawa oleh shugyosha. Sebuah
emblem dalam bentuk kipas bertulang baja yang setengah terbuka, menghiasi bagian depan
topinya. Ia sedang memandang kerangka bangunan dengan penuh renungan dan sedang
menaksir medannya. Sesudah beberapa waktu, ia pun mendudukkan diri di samping sebuah batu yang lebar rata.
Tinggi batu itu tepat sekali untuk meja tulis. Ditiupnya pasir di atas batu itu,
termasuk juga iringan semut yang sedang berbaris di situ, kemudian sambil menopangkan
kepala ke batu dengan sikunya, ia kembali mengamati baik-baik lingkungan sekitar.
Sekalipun panas matahari menyengat langsung wajahnya, ia tetap tak bergerak, dan
kelihatannya tak mempan oleh panas yang tak menyenangkan itu. Ia tidak melihat
Matahachi yang waktu itu masih terlalu merana untuk peduli, apakah ada orang atau tidak
di dekatnya. Orang lain tidak ada artinya sama sekali baginya. Ia duduk membelakangi
pendatang itu dan sekali-sekali muntah.
Segera kemudian samurai itu tahu bahwa Matahachi sedang muntah.
"Hei," katanya. "Kenapa kamu?"
"Panas ini," jawab Matahachi.
"Kau sedang kurang sehat rupanya."
"Sebetulnya lebih baik dari biasanya, tapi saya pusing."
"Mau obat?" kata samurai itu sambil membuka kotak obat yang dipernis hitam dan
menumpahkan pil-pil merah ke telapak tangannya. Ia mendekat dan memasukkan obat itu ke
mulut Matahachi. "Sebentar lagi kau sembuh," katanya.
"Terima kasih."
"Apa kau mau istirahat lebih lama di sini?"
"Ya." "Kalau begitu, aku mau minta tolong. Kasih tahu aku kalau nanti ada orang dating
lemparkan saja kerikil atau yang lain."
Ia kembali ke batunya sendiri, duduk di situ, dan mengeluarkan kuas dari kantong
tulisnya dan buku tulis dari kimononya. Ia buka alas di atas batu itu, dan mulailah ia
menggambar. Di bawah tepi topinya, matanya bergerak ke sana kemari dari puri ke
lingkungan terdekatnya, termasuk juga menara utama, benteng, pegunungan di latar
belakang, sungai, dan kali-kali kecil.
Tepat sebelum Pertempuran Sekigahara, puri ini diserang oleh kesatuankesatuan Tentara
Barat, dan dua pekarangannya, juga sebagian paritnya, menderita kerusakan besar.
Sekarang benteng ini tidak hanya dibangun kembali, melainkan juga diperkuat, sehingga
akan mengalahkan Benteng Hideyori di Osaka.
Calon prajurit itu membuat sketsa sepintas-lintas secara cepat, namun dengan perincian
luas mengenai seluruh puri, dan pada halaman kedua ia mulai membuat diagram jalan-jalan
dari belakang. "Uh-Oh!" ujar Matahachi pelan. Entah dari mana datangnya, tapi tiba tiba saja muncul
inspektur proyek, yang kemudian berdiri di belakang pembuat sketsa itu, berpakaian
setengah zirah dan mengenakan sandal jerami. Orang itu berdiri diam, seakan-akan
menanti dilihat orang. Matahachi merasa bersalah karena tidak melihat pada waktunya,
supaya dapat memberikan peringatan. Kini sudah terlambat.
Segera kemudian calon prajurit itu mengangkat tangan untuk mengusir lalat dari kerahnya
yang berkeringat, dan waktu itulah tampak olehnya si pengganggu itu. Ia menengadah
dengan mata terkejut, dan si inspektur menatap kembali dengan marahnya sebentar,
kemudian mengulurkan tangan ke arah gambar. Calon prajurit itu menangkap pergelangan
tangannya dan bangkit berdiri.
"Apa yang kamu lakukan ini?" serunya.
Inspektur mengambil buku tulis itu dan mengacungkannya tinggi-tinggi. "Aku mau lihat
dulu," salaknya. "Kau tak punya hak."
"Ini tugasku!" "Mengganggu urusan orang lain itu tugasmu?"
"Kenapa" Apa tak boleh aku melihat?"
"Orang bebal macam kamu tak bakal mengerti."
"Kupikir lebih baik aku menyimpannya."
"He, jangan, jangan!" teriak calon prajurit itu hendak merebut buku tulisnya. Kedua
orang itu tarik-menarik, dan buku tulis sobek menjadi dua.
"Awas kamu!" seru si inspektur. "Lebih baik kamu memberi penjelasan baik-baik. Atau
kuadukan kau." "Apa dasarnya" Apa kamu perwira?"
"Betul." "Apa kelompokmu" Siapa komandanmu?"
"Bukan urusanmu. Tapi kau boleh tahu, aku punya perintah untuk menyelidiki siapa saja
di tempat ini yang kelihatan mencurigakan. Siapa kasih kamu izin membuat sketsa?"
"Lho, aku sedang membuat telaah tentang puri-puri dan ciri-ciri geografisnya buat
rujukan masa depan. Apa salahnya?"
"Tempat ini penuh mata-mata musuh. Mereka semua mengajukan alasan macam itu. Tak peduli
siapa kamu. Kamu mesti menjawab beberapa pertanyaan. Ayo sini ikut aku!"
"Jadi, kau menuduhku penjahat?"
"Tutup mulutmu dan ikut a
ku." "Oh, pegawai-pegawai bejat! Terlalu biasa kalian menakut-nakuti orang banyak, tiap kali
kalian membuka mulut besar itu!"
"Diam kamu! Ayo ikut!"
"Jangan kau coba-coba denganku!" Calon prajurit itu tetap tak mau menyerah.
Nadi-nadi di dahinya menggelembung marah. Inspektur itu menjatuhkan belahan buku tulis
tersebut, menginjaknya, dan menarik lembing kapaknya. Si calon prajurit melompat mundur
selangkah, memperbaiki kedudukannya.
"Kalau kamu tak mau ikut dengan sukarela, terpaksa aku mengikat dan menyeret-mu," kata
si inspektur. Belum lagi kata-kata itu selesai diucapkan, lawannya sudah beraksi. Sambil melolong
keras ditangkapnya leher inspektur itu dengan sebelah tangan, dan dengan tangan lain
dicengkeramnya ujung bawah baju zirahnya, kemudian dibantingnya ke sebuah batu besar.
"Orang udik tak berguna!" jeritnya, tapi kata-kata itu kurang cepat waktunya untuk
didengar si inspektur, karena kepala si inspektur sudah menganga di atas batu, seperti
semangka. Matahachi berteriak ngeri sambil menutup muka dengan tangan untuk melindungi
diri dari gumpalan-gumpalan benda encer merah yang melayang ke arahnya.
Sementara itu, si calon prajurit cepat kembali kepada sikap tenang sepenuhnya.
Matahachi sungguh terpesona. Mungkinkah orang itu sudah terbiasa mem-bunuh dengan cara
brutal seperti itu" Ataukah sifat darah dingin itu sekadar akibat ledakan kemarahan"
Karena gentar yang sehebat-hebatnya, Matahachi mulai mengucurkan keringat. Menurut
terkaannya, orang itu belum lagi berumur tiga puluh. Wajahnya yang kurus dan terbakar
matahari itu bopeng, dan kelihatannya tidak berdagu. Barangkali karena bekas luka
pedang yang dalam dan mencekung aneh bentuknya.
Calon prajurit itu tidak terburu-buru melarikan diri. Ia mengumpulkan dahulu bagianbagian buku tulisnya yang robek-robek. Kemudian ia menoleh ke sekitar tenang-tenang,
untuk mencari topinya yang terbang ketika ia melaksanakan lemparan hebat tadi. Sesudah
ditemukannya topi itu, ia mengenakannya dengan hati-hati di kepala, dan sekali lagi
menyembunyikan mukanya yang mengerikan itu dari pandangan mata. Kemudian pergilah ia
dengan langkah cepat dan semakin cepat, sampai akhirnya seolah-olah ia terbang bersama
angin. Seluruh peristiwa itu terjadi demikian cepat, hingga tak seorang pun dari beratus-ratus
buruh yang ada di sekitar tempat itu, ataupun orang-orang yang mengawasi pekerjaan
mereka, sempat melihatnya. Para pekerja melanjutkan kerja keras seperti lebah,
sementara para pengawas yang bersenjatakan cambuk dan lembing kapak meneriakkan
perintah-perintah ke punggung mereka yang berkeringat.
Namun ada sepasang mata khusus yang menyaksikan semua itu. Mata pengawas umum para
tukang kayu dan pembelah kayu yang berdiri di puncak perancah tinggi, yang
memungkinkannya meninjau seluruh wilayah tersebut. Melihat calon prajurit itu melarikan
diri, ia meneriakkan perintah, dan sekelompok serdadu, yang semula minum teh di bawah
perancah, segera bergerak.
"Ada apa?" "Perkelahian lagi?"
Yang lain-lain mendengar seruan untuk memegang senjata, dan segera kemudian berkepul
debu kuning di dekat gerbang kayu benteng yang memisahkan wilayah pembangunan dengan
kampung. Teriakan-teriakan marah mengudara dari kerumunan orang banyak.
"Ada mata-mata! Mata-mata dari Osaka!"
"Tak mau juga mereka itu belajar."
"Bunuh dia! Bunuh dia!"
Para penghela batu, pengangkut tanah, dan lain-lainnya berteriak-teriak seakan-akan
"mata-mata" itu musuh pribadinya, dan menyerbu ke arah samurai tak berdagu itu. Samurai
itu berlari di belakang kereta sapi yang sedang keluar dari gerbang, dan mencoba
menyelinap, tapi seorang penjaga melihatnya dan menjegalnya dengan tongkat berpaku.
Dari atas perancah pengawas terdengar teriakan, "Jangan lepaskan dia!"
Tanpa ragu-ragu lagi orang banyak itu menyerang si pelaku kejahatan, yang terus melawan
seperti binatang kena perangkap. Ia merebut tongkat dari tangan penjaga, lalu menyerang
si penjaga, dan dengan ujung senjata itu ia banting si penjaga dengan kepala di bawah.
Setelah menjatuhkan empat atau lima orang lagi dengan cara seperti itu, ia menarik
pedang besarnya dan mengambil sikap menyerang. Orang-orang yang hendak menangkapnya
undur ketakutan, tapi ketika ia bersiap-siap menerobos lingkaran yang mengepungnya,
hujan batu menimpanya dari segala jurusan.
Orang banyak melampiaskan kemarahan sepuas-puasnya. Sikap mereka lebih kejam lagi,
karena rasa benci yang dalam terhadap semua shugyosha. Seperti umumnya orang
kebanyakan, kaum buruh ini menganggap samurai pengembara tak berguna, tidak produktif,
dan sombong. "Hei, jangan seperti orang kasar bodoh!" teriak samurai yang sudah terkepung itu,
mencoba menyuruh orang-orang itu berpikir dan menahan diri. Ia memang melawan mereka,
tapi agaknya ia lebih suka mengumpat para penyerangnya daripada menghindari batu-batu
yang dilontarkan kepadanya. Tidak sedikit para penonton yang tidak bersalah ikut
terluka dalam perkelahian itu.
Kemudian dalam sekejap segalanya berlalu. Teriakan mereda, dan kaum buruh mulai kembali
ke tempat kerja masing-masing. Dalam lima menit saja wilayah pembangunan yang luas itu
kembali seperti keadaan semula, seakan-akan tak ada yang telah terjadi. Bunga-bunga api
yang berterbangan dari berbagai alat pemotong, ringkik kuda yang sudah setengah kacau
karena panas matahari, dan panas yang menumpulkan pikiran-semuanya kembali biasa.
Dua pengawal berdiri di samping tubuh yang jatuh itu, yang telah diikat dengan tali
rami besar. "Sudah sembilan puluh persen mati," kata salah seorang pengawal, "jadi bisa
kita tinggalkan dia di sini sampai hakim datang." Ia memandang ke sekitar, dan
terlihatlah olehnya Matahachi. "He, kamu! Jaga orang ini. Biar dia mati, tak apa-apa."
Matahachi mendengar kata-kata itu, tapi kepalanya tidak dapat menangkap maksudnya atau
makna peristiwa yang baru saja disaksikannya. Semua itu seperti mimpi buruk yang tampak
oleh mata, terdengar oleh telinga, tapi tak dimengerti oleh otaknya.
"Hidup ini begini rapuh," pikirnya. "Beberapa menit yang lalu dia masih sibuk membuat
sketsa. Sekarang dia sekarat. Padahal dia belum lagi tua."
Ia merasa kasihan kepada samurai tak berdagu itu. Kepalanya tergeletak miring di tanah,
hitam oleh kotoran dan darah kental, dan mukanya masih memperlihatkan kemarahan. Tali
itu mengikatkannya pada sebuah batu besar. Matahachi merasa heran, kenapa para pengawal
mengambil tindakan berjaga-jaga demikian rupa, padahal orang itu sudah sedemikian dekat
dengan maut, hingga mengeluarkan suara pun tak bisa. Barangkali juga ia sudah mati.
Sebelah kakinya menyembul aneh dari tengah sobekan panjang hakama-nya, sedangkan tulang
keringnya yang putih menyembul dari tengah daging yang merah tua. Darah merembes dari
kulit kepalanya, dan tawon-tawon mulai terbang di sekitar rambutnya yang kusut. Semutsemut sudah hampir menutup kedua tangan dan kakinya.
"Orang sial," pikir Matahachi. "Kalau dia belajar sungguh-sungguh, pasti dia mempunyai
ambisi besar dalam hidup. Ingin tahu juga, dari mana dia datang... dan apa orangtuanya
masih hidup." Matahachi tercengkam oleh kesangsian aneh. Apakah ia benar-benar meratapi nasib orang
itu, ataukah ia prihatin dengan kekaburan masa depannya sendiri" "Untuk orang yang
mempunyai ambisi," demikian pikirnya, "mestinya ada cara yang lebih baik untuk maju."
Waktu itu adalah abad yang memacu harapan orang muda, yang mendorong mereka untuk
mendambakan suatu impian, melecut mereka untuk memperbaiki statusnya dalam hidup. Ya,
abad ketika orang seperti Matahachi pun dapat berkhayal akan bangkit dari ketiadaan dan
menjadi penguasa sebuah puri. Seorang prajurit yang berbakat sederhana dapat mencapai
sukses hanya dengan mengadakan perjalanan dari kuil satu ke kuil lain, dan hidup dari
kedermawanan para pendeta. Kalau beruntung, ia dapat diambil oleh salah seorang
bangsawan daerah, dan jika lebih beruntung lagi ia dapat menerima penghasilan tetap
dari seorang daimyo. Namun, dari semua pemuda yang mulai dengan harapan-harapan tinggi itu, hanya satu dalam
seribu yang benar-benar mengakhiri usahanya dengan menemukan kedudukan dengan
pendapatan memadai. Selebihnya harus merasa puas dengan kepuasan yang dapat mereka
peroleh dari pengetahuan bahwa cita-cita mereka sukar dan berbahaya.
Sementara Matahachi merenungkan samurai yang terbaring di depannya itu, seluruh jalan
pikirannya mulai dirasa betul-betul bodoh olehnya. Ke manakah arah jalan yang ditempuh
Musashi" Keinginan Matahachi untuk menyamai atau melebihi temannya semasa kanak-kanak
memang belum mereda, tetapi melihat prajurit yang berlumur darah itu, Jalan Pedang pun
jadi tampak sia-sia dan tolol.
Kengerian tiba-tiba menyadarkannya bahwa prajurit di depannya itu bergerak, dan urutan
pikirannya pun tiba-tiba berhenti. Tangan orang itu menjulur seperti sirip penyu dan
mencakar tanah. Dengan lemah ia mengangkat tubuhnya, menegakkan kepala, dan menarik
tali tegang-tegang. Hampir Matahachi tak percaya dengan matanya. Orang itu bergerak sedikit demi sedikit di
tanah, menyeret batu karang seberat hampir dua ratus kilogram yang menjadi tambatan
tali pengikatnya. Satu kaki, dua kaki"sungguh suatu peragaan kekuatan seorang manusia
super! Tak seorang pun manusia berotot atau tukang hela batu yang dapat melakukan itu,
sekalipun banyak orang menyombongkan diri memiliki kekuatan setara sepuluh atau dua
puluh orang. Samurai yang terbaring di ambang kematian itu telah dikuasai oleh suatu
kekuatan setani yang memungkinkan-nya jauh melebihi kekuatan manusia biasa.
Bunyi menggelegak terdengar dari tenggorokan orang sekarat itu. Ia mencoba mati-matian
untuk berbicara, tetapi lidahnya sudah menjadi hitam dan kering, hingga tak mungkin
baginya membentuk kata-kata. Napasnya terdengar sebagai desisan yang merongga terputusputus. Matanya yang menonjol dari ceruknya memandang dengan nada memohon kepada
Matahachi. "To-lo-lo-ng..."
Sedikit demi sedikit mengertilah Matahachi bahwa orang itu mengatakan "tolong".
Kemudian terdengar bunyi lain yang tak jelas ucapannya, dan Matahachi menangkapnya
sebagai ucapan "saya minta". Namun mata orang itulah yang terutama berbicara. Di
situlah terletak akhir air matanya dan kepastian mautnya. Kepalanya jatuh ke belakang
dan napasnya berhenti. Maka lebih banyak lagi semut keluar dari dalam rumput untuk
menjelajahi rambut yang memutih oleh debu itu. Sebagian di antaranya bahkan masuk ke
dalam lubang hidungnya yang sudah tersumbat keringan darah, dan tampaklah oleh
Matahachi, kulit di bawah kerah kimononya sudah berwarna biru kehitaman.
Apakah yang diinginkan orang itu darinya" Matahachi merasa dikejar-kejar oleh pikiran
bahwa kini ia menanggung kewajiban. Samurai itu sudah mendatanginya ketika ia sakit,
dan telah menunjukkan kebaikan hatinya dengan memberikan obat kepadanya. Kenapa nasib
telah membutakan mata Matahachi, sedangkan seharusnya ia mengingat-kan orang itu akan
datangnya sang inspektur" Apakah memang sudah ditakdirkan itu terjadi"
Matahachi mencoba-coba meraba bungkusan kain dalam obi orang mati itu. Isinya pastilah
dapat mengungkapkan siapa orang itu dan dari mana ia datang. Matahachi menduga bahwa
permintaan orang itu di waktu sekarat adalah agar tanda mata yang ada padanya
disampaikan pada keluarganya.
Maka diambilnya bungkusan itu dan dimasukkannya cepat-cepat ke dalam kimononya sendiri.
Lalu ia bersoal-jawab dengan dirinya sendiri, apakah akan memotong sedikit rambut orang
itu untuk disampaikan kepada ibunya, tapi ketika sedang menatap wajah yang mengerikan
itu, ia dengar langkah-langkah kaki mendekat. Ditengoknya dari balik sebuah batu, dan
tampak olehnya seorang samurai datang untuk mengambil mayat itu. Kalau tertangkap
menyimpan milik orang mati itu, pasti ia mengalami kesulitan hebat. Maka ia mengendap
rendah-rendah dan menyelinap dari bayangan batu yang satu ke bayangan batu yang lain
dan meninggalkan tempat itu seperti seekor tikus ladang.
Dua jam kemudian ia tiba di toko manisan tempat ia tinggal. Istri pemilik toko sedang
berada di samping rumah, membasuh diri dengan air tempayan. Mendengar Matahachi ada di
dalam rumah, ia memperlihatkan sebagian kulitnya yang putih dari balik pintu samping,
dan serunya, "Kamu itu, Matahachi?"
Matahachi menjawab dengan gerutuan keras, kemudian masuk cepat ke kamarnya sendiri dan
mengambil kimono dan pedang dari lemari, kemudian ia ikatkan handuk yang sudah digulung
di sekitar kepalanya dan bersiapsiap mengenakan sandal lagi.
"Apa tidak gelap di situ?" seru perempuan itu.
"Tidak, saya bisa lihat dengan jelas."
"Akan saya bawakan lampu."
"Tak perlu. Saya akan pergi."
"Apa tidak mandi" "
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. Nanti saja."
Ia bergegas keluar menuju ladang dan cepat menghindar dari rumah jembel itu. Beberapa
menit kemudian ia menoleh ke belakang, dan terlihat olehnya sekelompok samurai datang
dari seberang padang miskantus. Tak sangsi lagi mereka datang dari puri. Mereka
memasuki toko manisan itu dari depan dan belakang.
"Hampir saja aku celaka," pikirnya. "Tapi aku tidak mencuri sesuatu. Aku cuma
mengambilnya untuk disimpan. Aku harus melakukannya. Dia minta betul aku melakukannya."
Menurut jalan pikirannya, selama ia mengakui barang-barang itu bukan miliknya, ia tidak
merasa melakukan kejahatan. Tapi bersamaan dengan itu ia pun sadar bahwa ia tidak dapat
lagi memperlihatkan diri di wilayah pembangunan itu.
Bunga miskantus tegak setinggi bahunya, dan tabir kabut petang mengambang di atasnya.
Tak seorang pun dapat melihatnya dari kejauhan. Mudahlah ia menyelinap pergi dari situ.
Tapi ke mana ia harus pergi" Suatu pilihan yang sukar. Lebih-lebih karena ia yakin
benar bahwa keberuntungan terletak di satu jurusan dan nasib malang di jurusan lain.
Osaka" Kyoto" Nagoya" Edo" Ia tak punya seorang pun teman di tempat-tempat itu. Rasanya
ingin ia melempar dadu untuk memutuskan ke mana akan pergi. Seperti halnya pada
Matahachi, pada dadu semua adalah kemungkinan. Kalau angin bertiup, angin akan
membawanya berembus. Ia merasa makin jauh ia berjalan, makin dalam ia masuk ke rumpun miskantus. Serangga
mendengung-dengung di sekitarnya, dan kabut yang turun melembapkan pakaiannya. Tepi
pakaiannya yang basah melibat kakinya. Biji-biji rumput menempel ke lengan kimononya.
Tulang keringnya gatal. Ingatan mengenai rasa muak yang dialaminya tengah hari itu kini
hilang, tapi sekarang ia lapar bukan kepalang. Segera sesudah merasa jauh dari
jangkauan para pengejarnya, ia pun mulai merasa sengsara karena harus berjalan.
Karena ingin menemukan tempat berbaring dan beristirahat, ia terus berjalan menempuh
panjangnya ladang itu, dan di seberang sana tampak atap sebuah rumah. Ketika ia sudah
lebih dekat, tampak bahwa pagar dan pintu gerbang rumah itu miring, agaknya dirusak
badai yang belum lama menimpa. Atap rumah itu pun membutuhkan perbaikan. Namun rumah
itu tadinya tentu milik satu keluarga berada, karena ada keanggunan tertentu, walaupun
sudah layu. Ia membayangkan seorang wanita istana cantik, duduk di kereta bertabir
mewah yang sedang mendekati rumah itu dengan langkah megah.
Ketika melintas gerbang yang tampak murung itu, tampak olehnya rumah utama dan rumah
kecil yang terpisah itu sudah hampir terkubur rumput liar. Pemandangan di situ
mengingatkannya pada sebagian sajak penyair Saigyo yang pernah ia pelajari di masa
kanak-kanak: Saya dengar ada kenalan saya tinggal di Fushimi, dan saya pergi berkunjung kepadanya,
tetapi halamannya demikian tertutup semak! Saya bahkan tak dapat melihat jalannya.
Sementara serangga-serangga menyanyi, saya pun menggubah sajak ini:
Menerobos rumput liar, Kusembunyikan rasa senduku
Dalam lipatan lengan kimonoku.
Di halaman penuh embun Serangga yang hina pun berlagu.
Hati Matahachi jadi menggigil. Ia meringkuk di dekat rumah itu sambil membisikkan katakata yang sudah lama dilupakannya itu.
Baru saja ia akan menyimpulkan rumah itu kosong, seberkas cahaya merah muncul dari
dalam. Segera kemudian ia dengar ratapan merana shakuhachi, suling bambu yang biasa
dimainkan pendeta pengemis apabila sedang mengemis di jalan-jalan. Ketika menengok ke
dalam, didapatinya si pemain memang anggota kelas itu. Orang itu duduk di samping
perapian. Api yang baru dinyalakannya bertambah terang, dan bayangan dirinya di dinding
makin besar. Ia memainkan lagu sedih, ratapan tunggal mengenai kesendirian dan sendunya
musim gugur, yang hanya dimaksud untuk telinga sendiri. Orang itu bermain sederhana
saja, tanpa banyak kembang, hingga Matahachi mendapat kesan bahwa ia cuma menaruh
sedikit rasa bangga pada permainannya sendiri.
Ketika lagu berhenti, pendeta itu mengeluh dalam dan mulai meratap.
"Orang bilang, kalau kita berumur empat puluh tahun, kita bebas dari godaan. Tapi
cobalah lihat diriku ini! Empat puluh tujuh ketika kuhancurkan nama baik keluargaku.
Empat puluh tujuh tahun! Dan masih saja aku tergoda angan-angan buruk dan kehilangan
semuanya-pendapatan, kedudukan, nama baik. Bukan hanya itu. Telah kubiarkan anak
lelakiku satusatunya mengurus diri sendiri di dunia yang brengsek ini.... Untuk apa"
Cinta buta" "Memalukan"tak dapat lagi aku menghadapi arwah istriku, juga anak lelakiku, di mana pun
ia berada. Ha! Kalau orang berbicara bahwa kita menjadi bijaksana sesudah umur empat
puluh, mestinya yang dibicarakan itu orang-orang besar, bukan orang-orang tolol seperti
aku ini. Daripada menganggap diri bijaksana karena usia, lebih baik aku harus lebih
berhati-hati. Sungguh gila tidak berhati-hati, kalau soalnya menyangkut perempuan."
Sambil menegakkan shakuhachi di depannya dan mengganjalkan kedua tangan pada pipinya,
ia meneruskan, "Ketika urusan dengan Otsu itu terjadi, tak seorang pun mau memaafkan
aku lagi. Sudah terlambat, terlambat."
Matahachi merangkak masuk kamar sebelah. Ia mendengarkan, tetapi jijik dengan apa yang
dilihatnya. Pipi pendeta itu cekung, bahunya kelihatan lancip seperti bahu anjing liar,
dan rambutnya tidak mengilat. Matahachi meringkuk diam-diam. Dalam cahaya api yang
mengejap-ngejap, sosok tubuh orang itu menimbulkan khayalan tentang setan-setan malam.
"Oh, apa yang harus kuperbuat?" rintih pendeta itu lagi sambil mengangkat matanya yang
cekung ke langit-langit. Kimononya polos dan kumal, tetapi ia mengenakan juga baju
jubah hitam, yang menunjukkan bahwa ia pengikut guru Zen Cina, P'u-hua. Tikar buluh
tempat ia duduk, yang digulungnya dan dibawanya ke mana saja ia pergi itu, barangkali
satusatunya harta rumah tangganya-tempat tidurnya, tabirnya, dan dalam cuaca buruk,
juga atapnya. Pendeta itu memungut shakuhachi-nya dan berjalan dengan lesu ke luar rumah. Matahachi
seperti melihat ada kumis menyerabut di bawah hidungnya yang kurus. "Sungguh orang
aneh!" pikirnya. "Dia belum lagi tua, tapi berdirinya sudah begitu goyah." Karena
dikiranya orang itu kurang waras, Matahachi merasa sedikit kasihan kepadanya.
Karena tiupan angin malam, nyala api dari ranting-ranting patah mulai membakar lantai.
Matahachi masuk kamar kosong itu, menemukan kendi air, dan menuangkan isinya ke api.
Sambil melakukan itu terpikir olehnya, alangkah cerobohnya pendeta itu.
Tak apa-apa kalau yang terbakar habis cuma rumah tua yang kosong itu. tapi bagaimana
kalau yang terbakar itu kuil kuno dari zaman Asuka atau Kamakura" Matahachi merasakan
gejolak kemarahan yang jarang terjadi padanya. "Justru karena orang-orang seperti dia
itu kuil-kuil kuno di Nara dan Gunung Koya begitu sering hancur," pikirnya. "Pendetapendeta pengembara yang gila ini tak punya harta milik, tak punya keluarga. Mereka tak
pernah berpikir, betapa besarnya bahaya api. Mereka bisa saja menyalakan api di ruang
besar sebuah biara tua, di dekat lukisan dinding, hanya untuk menghangatkan bangkainya
sendiri yang tak ada manfaatnya bagi siapa pun.
"Tapi ini ada yang menarik," gumamnya sambil menolehkan matanya ke arah ceruk kamar.
Bukan pola anggun kamar ataupun sisa-sisa jambangan berharga yang memikat perhatiannya,
melainkan sebuah kuali logam yang sudah hitam dan sebuah guci sake bermulut sumbing di
sebelahnya. Di dalam kuali itu ada sedikit bubur nasi, dan ketika ia mengguncangkan
guci itu, terdengar dari dalamnya suara gemericik gembira. Ia tersenyum lebar, merasa
bersyukur atas nasib baiknya, namun kurang pikir tentang hak milik orang lain, seperti
yang biasa terjadi pada orang lapar mana pun.
Cepat ia mengosongkan sake itu dengan beberapa tegukan panjang, kemudian mengosongkan
isi kuali nasi dan mengucapkan selamat kepada dirt sendiri karena perutnya sudah
kenyang. Sambil mengangguk-angguk mengantuk di samping perapian, ia mendengar dengung serangga
yang seperti hujan datang dari ladang gelap di luar"tidak hanya dari ladang, melainkan
juga dari dinding, langit-langit, dan tikar tatami yang membusuk.
Tepat sebelum berlayar ke alam tidur, teringat olehnya bungkusan yang diambil-nya dari
prajurit yang sekarat tadi. Ia bangun dan membukanya. Bungkusan itu berupa kain krep
kotor yang dicelup dengan celupan kayu sappan merah tua. Isinya pakaian dalam yang
sudah dicuci bersih, serta barang-barang yang biasa dibawa musafir. Ketika pakaian
dibuka, ditemukannya sebuah benda yang ukuran dan bentuknya seperti gulungan surat,
terbungkus dengan amat hati-hati dalam kertas minyak. Terdapat juga sebuah pundi-pundi
yang seketika jatuh dari lipatan kain dengan denting nyaring. Pundi-pundi itu terbuat
dari kulit bercelup warna lembayung. Isinya emas dan perak dalam jumlah demikian
banyak, hingga tangan Matahachi gemetar ketakutan. "Ini uang orang lain, bukan uangku,"
demikian ia mengingatkan dirinya.
Ketika dibukanya kertas minyak yang membungkus barang yang panjang, tampak sebuah
gulungan dililitkan pada sebuah gelindingan dengan kain brokat emas di ujungnya. Segera
ia merasa bahwa gulungan itu mengandung rahasia penting. Dengan rasa ingin tahu yang
besar diletakkannya gulungan itu di hadapannya, dan pelan-pelan dibukanya. Bunyinya,
SERTIFIKAT Dengan sumpah suci saya bersumpah telah menurunkan kepada Sasaki Kojiro tujuh metoda
rahasia seni pedang Gaya Chujo berikut ini:
Secara terang-terangan - gaya kilat, gaya roda, gaya bulat, gaya perahu mengapung.
Secara rahasia - Berlian, Olah Batin, Tak Terhingga.
Dikeluarkan di Kampung Jokyoji, Usaka Demesne, Provinsi Echizen, pada bari... bulan"
Kinemaki Jisai, murid Toda Seigen
Di atas secarik kertas yang agaknya ditambahkan kemudian, terdapat sebuah sajak.
Bulan yang memancarkan sinar
Ke air yang tiada Dalam sumur yang belum digali
Menghasilkan manusia Tanpa bayangan ataupun bentuk
Matahachi sadar bahwa ia memegang sertifikat yang diberikan kepada seorang murid yang
telah mempelajari segala yang diajarkan gurunya, tetapi nama Kanemaki Jisai itu tak ada
artinya sama sekali baginya. Ia pasti akan dapat mengenali nama Ito Yagoro, yang dengan
nama Ittosai telah menciptakan gaya main pedang yang terkenal dan sangat dikagumi, tapi
ia tidak tahu bahwa Jisai guru Ito. Ia pun tidak tahu bahwa Jisai seorang samurai yang
baik sekali wataknya, yang telah menguasai Gaya Toda Seigen sejati dan telah
mengundurkan diri ke sebuah kampung terpencil untuk menghabiskan masa tuanya sebagai
orang tak dikenal, dan sesudah itu menurunkan Metoda Seigen hanya kepada beberapa murid
pilihan. Matahachi membaca kembali nama pertama itu. "Sasaki Kojiro ini pasti samurai yang
terbunuh di Fushimi hari ini," pikirnya. "Dia tentunya pemain pedang mahir yang patut
mendapat hadiah surat keterangan untuk Gaya Chujo, apa pun macamnya gaya itu. Sungguh
sayang dia mesti mati! Tapi aku jadi yakin sekarang. Betul sekali dugaanku. Dia
tentunya ingin aku menyampaikan ini pada seseorang, barangkali orang yang berasal dari
tempat kelahirannya."
Macahachi membacakan doa pendek kepada sang Budha untuk Sasaki Kojiro, kemudian
berjanji pada diri sendiri bahwa bagaimanapun ia akan melaksanakan misinya yang baru
ini. Untuk menghilangkan rasa dingin, ia menghidupkan api kembali, kemudian membaringkan
diri di dekat perapian. Segera ia jatuh tertidur.
Dari kejauhan terdengar bunyi shakuhachi pendeta tua itu. Lagu sedih yang agaknya
mencari-cari sesuatu dan menyeru pada seseorang terus mendayu-dayu, sementara gelombang
pedih mengalun di atas desir ladang.
*** 21. Berkumpul Kembali di Osaka
LADANG itu diselimuti kabut kelabu, dan udara dingin pagi hari mengisyaratkan musim
gugur sudah benar-benar dimulai. Bajing-bajing berkeliaran di mana-mana, dan di dapur
tak berpintu pada rumah tak berpenghuni itu jejak-jejak rubah yang masih baru simpang
siur di lantai. Pendeta pengemis yang kembali dengan terhuyung-huyung sebelum matahari terbit
membaringkan diri karena lelah di lantai kamar sepen. Tangannya masih menggenggam
shakuhachi. Kimono dan jubahnya yang kotor basah oleh embun, dan di sana-sini dikotori
rumput yang menempel selagi ia mengembara seperti orang hilang melewati malam. Ketika
ia membuka matanya dan duduk, hidungnya mengerut, lubang hidung dan matanya membuka
lebar, dan berguncanglah tubuhnya oleh bersin hebat. Namun ia tidak berusaha menghapus
ingus yang mengucur dari hidung ke kumisnya yang tipis.
Ia duduk di sana beberapa menit, sebelum akhirnya teringat bahwa ia masih menyimpan
sedikit sake sisa malam sebelumnya. Sambil menggumam sendiri ia berjalan menyusuri gang
panjang ke kamar perapian di bagian belakang rumah itu. Di siang hari terdapat lebih
banyak kamar di rumah itu daripada yang kelihatan waktu malam hari, tapi pendeta itu
dapat menemukan jalannya tanpa kesulitan. Tetapi alangkah heran ia, karena guci sake
sudah tidak ada di tempat-nya.
Sebagai gantinya ada seorang asing di dekat perapian, kepalanya berbantalkan satu
lengan dan air liur menetes dari mulutnya. Ia tidur nyenyak. Maka jelaslah ke mana
larinya sake itu. Tentu saja bukan hanya sake yang hilang. Setelah pemeriksaan cepat, terbukti tak
sedikit pun tertinggal bubur beras yang maksudnya untuk sarapan. Pendeta itu merah
padam oleh amarah; tanpa sake ia masih tak apa-apa, tetapi nasi adalah soal hidup dan
mati. Sambil memekik seru ditendangnya si penidur itu sekuat-kuatnya, tapi Matahachi
hanya berkomat-kamit sambil mengantuk, kemudian menarik tangan dari bawah badannya dan
dengan malas mengangkat kepala.
"Kamu... kamu...!" gagap pendeta itu dan menendang sekali lagi.
"Apa pula ini?" teriak Matahachi. Urat-urat nadi menggelembung pada wajahnya yang
mengantuk itu ketika ia melompat berdiri. "Jangan menendang macam itu!"
"Oh, tendangan saja belum cukup! Siapa bilang kamu boleh masuk rumah ini dan mencuri
nasi dan sake-ku?" "Oh, jadi nasi dan sake itu punyamu?"
"Tentu saja punyaku!"
"Maaf." "Maaf" Apa gunanya itu buatku?"
"Saya minta maaf."
"Kamu mesti berbuat lebih dari itu!"
"Apa yang mesti saya lakukan?"
"Kembalikan nasi dan sake itu!"
"Ah! Dua-duanya sudah dalam perut saya dan sudah memperpanjang hidup saya satu malam.
Tak bisa saya mengembalikannya sekarang!"
"Tapi aku mesti hidup juga, kan" Paling banyak yang kudapat dari keliling-keliling main
musik di pintu gerbang orang banyak itu cuma sedikit beras atau beberapa tetes sake.
Dungu kamu! Kaukira aku bisa berdiri saja diam-diam dan membiarkanmu mencuri makananku"
Kuminta kembalikan barang itu!" Nada yang dipergunakannya mengajukan tuntutan yang
tidak masuk akal itu penuh paksaan, dan suaranya bagi Matahachi terdengar seperti suara
setan lapar yang langsung datang dari neraka.
"Janganlah begitu kikir," kata Matahachi dengan sikap meremehkan. "Buat apa pula mesti
jengkel hanya karena sedikit nasi dan kurang dari setengah guci sake kelas tiga."
"Keledai kamu! Mungkin kamu menampik nasi sisa, tapi buatku itu makanan sehari-hidup
sehari!" Pendeta itu menggeram dan mencengkeram pergelangan tangan Matahachi. "Takkan
kulepaskan kamu begitu saja!"
"Jangan seperti orang sinting begitu!" bentak Matahachi. Ditariknya lengan-nya keraskeras sampai lepas dari cengkeraman, dan dicengkeramnya rambut orang tua yang sudah
jarang itu, lain ia coba melontarkan orang itu dengan sentakan cepat. Tapi alangkah
terkejutnya ia karena tubuh yang kelaparan itu tidak beranjak. Pendeta itu mencengkeram
erat leher Matahachi dan tak hendak melepaskannya.
"Bajingan kamu!" salak Matahachi sambil menaksir kekuatan lawannya.
Tapi sudah terlambat. Pendeta itu menghujamkan kakinya mantap-mantap ke lantai, dan
dengan sekali tolak saja Matahachi pun terguling. Suatu gerakan cekatan, dengan
menggunakan kekuatan Matahachi sendiri. Dan Matahachi pun terus berguling, sampai
akhirnya berdebam menghantam dinding plester di sisi luar kamar sebelah. Karena tiangtiang dan galar-galar sudah lapuk, sebagian besar dinding itu runtuh menghujani
Matahachi dengan kotoran. Sambil meludah semulut penuh Matahachi bangkit berdiri,
menghunus pedang, dan menyerang orang tua itu.
Si pendeta sudah siap menangkis serangan dengan shakuhachi-nya, tetapi belum-belum ia
sudah tersengal-sengal mencari udara.
"Nah. lihat sekarang akibat ulahmu sendiri!" pekik Matahachi sambil mengayun pedang.
Ayunan pedang tidak mengenai sasaran, tapi terus juga ia mengayun tanpa kenal ampun dan
tidak memberikan kesempatan kepada pendeta itu untuk memperoleh papas kembali. Muka
orang tua itu tampak seperti hantu. Berkali-kali ia melompat mundur. Lompatan itu tidak
melenting. dan ia rupanya sudah hampir pingsan. Setiap kali ia mengelak, terdengar
teriakan sedih, seperti rengek orang yang sedang sekarat. Namun karena ia terus-menerus
beralih kedudukan, maka tak mungkin Matahachi menebaskan pedangnya.
Akhirnya Matahachi celaka oleh kecerobohannya sendiri. Ketika pendeta itu melompat ke
kebun, Matahachi mengikutinya dengan membabi-buta, namun begitu kakinya menginjak
lantai beranda yang lapuk, papan-papan berderak dan patah. Matahachi jatuh telentang,
sebelah kakinya terayun-ayun masuk ke sebuah lubang.
Si pendeta melompat menyerang. Ditangkapnya bagian depan kimono Matahachi dan
dipukulinya kepala Matahachi, pelipis dan tubuhnya-mana raja yang dapat dikenai
shakuhachi-nya. Dan setiap kali menghantam, ia menggeram keras. Karena sebelah kakinya
terjerat, Matahachi tak berdaya. Kepalanya tampak membengkak sampai sebesar tong, tapi
beruntunglah ia karena pada detik itu keping-keping emas dan perak mulai berjatuhan
dari kimononya. Setiap jatuhnya pukulan diikuti bunyi gemerincing mata uang yang jatuh
ke lantai. "Apa itu?" seru si pendeta tersengal-sengal, lalu melepaskan korbannya. Matahachi
segera membebaskan kakinya dan melompat meloloskan diri, tapi waktu itu orang tua itu
sudah tidak marah lagi. Biarpun tinjunya sakit dan napasnya sesak, tak dapat ia tidak
menatap uang itu dengan heran.
Sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut, Matahachi berseru, "Lihat tidak, orang
tua sinting" Tak perlu kamu naik darah cuma karena nasi dan sake sedikit saja. Uang
bisa kubuang-buang! Ambillah kalau kau mau! Tapi sebagai gantinya kau mesti menerima
kembali pukulan yang sudah kauberikan padaku. Keluarkan kepalamu yang tolol itu, dan
akan kubayar kamu dengan bunganya untuk ganti nasi dan minumanmu itu!"
Si pendeta bukannya menjawab cacian itu, melainkan meletakkan wajahnya ke lantai dan
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai menangis. Kemarahan Matahachi mereda sedikit, tapi katanya berbisa, "Coba lihat
dirimu itu! Begitu melihat uang, terus saja berantakan."
"Oh, sungguh memalukan diriku!" lolong sang pendeta. "Kenapa aku jadi begini tolol!"
Seperti halnya kekuatan yang baru saja dipakainya untuk berkelahi, sikap mencela diri
sendiri itu lebih hebat daripada yang dimiliki kebanyakan orang. "Sungguh aku keledai!"
sambungnya. "Apa belum juga sadar aku akan diriku" Pada umur ini" Juga sesudah terbuang
dari masyarakat dan tenggelam sedalam-dalamnya?"
Ia menoleh ke tiang hitam di sampingnya, dan mulailah ia membenturbenturkan kepalanya
pada tiang itu. Rintihnya, "Kenapa aku memainkan shakuhachi ini" Apa untuk mengusir
khayalanku, kebodohanku, kegairahanku, sikapku yang mementingkan diri sendiri, dan
nafsu-nafsu jahatku lewat kelima lubangnya" Bagaimana mungkin aku mengizinkan diriku
terlibat dalam pertarungan hidup-mati hanya demi secuil makanan dan minuman" Dan dengan
orang yang pantas menjadi anakku pula?"
Belum pernah Matahachi melihat orang seperti ini. Orang tua itu menangis beberapa waktu
lamanya, kemudian membenturkan kepala lagi ke tiang. Ia rupanya bermaksud menghantamkan
dahinya sampai belah menjadi dua. Sampai sedemikian jauh, hukuman yang dijatuhkannya
pada diri sendiri lebih banyak jumlahnya daripada pukulan yang dijatuhkannya kepada
Matahachi. Sebentar kemudian darah mulai mengalir dari keningnya.
Matahachi merasa berkewajiban mencegahnya menyiksa diri lebih lanjut. "Hai! katanya,
"Hentikan! Apa-apaan kamu ini."
"Biarkan aku sendiri," pinta si pendeta.
"Tapi ada apa kau ini?"
"Tak ada apa-apa."
"Pasti ada. Apa kau sakit?"
"Tidak." "Kalau begitu apa?"
"Aku muak dengan diriku. Aku mau memukul badanku yang jahat ini sampai mati dan
menyuruh burung-burung gagak memakannya, tapi tak mau aku mati seperti orang bebal yang
bodoh. Aku ingin kuat dan jujur seperti orang lain, sebelum aku membuang daging ini.
Kehilangan kendali diri telah membuat diriku marah. Kupikir kau dapat menamakan ini
penyakit." Karena merasa kasihan kepadanya, Matahachi memungut uang yang jatuh itu dan mencoba
memasukkan sebagian ke tangan si pendeta. "Sebagian karena kesalahanku," katanya dengan
nada minta maaf. "Kuberikan ini padamu, dan barangkali kamu akan memaafkan aku."
"Aku tak ingin!" teriak pendeta sambil cepat menarik tangannya. "Aku tak perlu uang.
Aku tak perlu uang, kataku!" Meskipun sebelum itu telah meledak kemarahannya gara-gara
secuil bubur nasi, sekarang ia pandang uang itu dengan penuh kejijikan. Sambil
menggeleng-gelengkan kepala dengan hebat, ia membalikkan badan dan masih terus
berlutut. "Aneh juga kau ini," kata Matahachi.
"Kukira tidak."
"Tapi kau berbuat aneh."
"Tak usahlah kamu kuatir."
"Kau rupanya dari provinsi barat, ya" Kentara dari tekanan katamu."
"Kukira begitu. Aku lahir di Himeji."
"Betul" Aku dari sana juga"Mimasaka."
"Mimasaka?" ulang si pendeta sambil menatap Matahachi. "Di mana di Mimasaka" "
"Kampung Yoshino. Tepatnya Miyamoto."
Orang tua itu tampak santai. Sambil menundukkan diri di beranda, katanya tenang,
"Miyamoto" Oh, itu nama yang membawa kenang-kenangan. Pernah aku bertugas jaga di
Benteng Hinagura. Aku kenal betul daerah itu."
"Kalau begitu, Anda pernah jadi samurai di tanah perdikan Himeji?"
"Ya. Kukira sekarang tampangku sudah tak pantas lagi, tapi waktu itu aku menjadi
semacam prajurit. Namaku Aoki Tan..."
Sampai di situ mendadak ia berhenti, kemudian tiba-tiba pula melanjutkan. "Ah, itu
tidak betul. Aku cuma mengarang-ngarang. Lupakan bahwa aku pernah mengatakan sesuatu."
Ia berdiri, katanya, "Aku akan pergi ke kota, main shakuhachi, dan mencari sesuap
nasi." Sampai di situ ia membalikkan badan dan berjalan cepat menuju ladang miskantus.
Sesudah orang tua itu pergi, mulailah Matahachi berpikir-pikir, apakah benar sikapnya
menawarkan uang yang berasal dari pundi-pundi samurai yang telah mati kepada pendeta
itu" Tapi segera kemudian ia sudah dapat memecahkan dilema itu dengan mengatakan pada
diri sendiri bahwa mungkin tak ada salahnya meminjam uang itu sedikit, asalkan tidak
banyak. "Kalau kusampaikan uang itu ke rumah orang yang mati itu seperti dimintanya,"
demikian pikirnya, "aku pasti membutuhkan biaya, dan pilihan apa lagi yang ada padaku,
kalau bukan mengambilnya dari kantong yang kubawa ini?" Sikap membenarkan diri sendiri
yang sederhana itu demikian menyenangkan, hingga semenjak hari itu mulailah ia
menggunakan uang itu sedikit demi sedikit.
Tinggallah kini persoalan surat keterangan Sasaki Kojiro. Orang itu agaknya ronin, tapi
tak mungkinkah misalnya ia bekerja pada seorang daimyo" Matahachi tidak menemukan
jawaban atas soal dari manakah asal orang itu. Karena itu pula ia tak tahu ke mana
harus membawa surat itu. Satu-satunya harapan, demikian diputuskannya, adalah menemukan
guru pedang Kanemaki Jisai, yang pasti tahu segala sesuatu tentang Sasaki.
Dalam perjalanan dari Fushimi ke Osaka, di tiap warung teh, rumah makan, dan rumah
penginapan, Matahachi bertanya apakah ada yang mengetahui tentang Jisai. Semua jawaban
yang diperolehnya negatif. Bahkan tambahan keterangan bahwa Jisai murid yang diakui
Toda Seigen tidak mendatangkan tanggapan.
Akhirnya seorang samurai yang kebetulan dikenalnya di jalan memberikan titik terang.
"Saya pernah mendengar tentang Jisai, tapi kalau dia masih hidup, pasti dia sudah
sangat tua. Ada yang bilang dia pergi ke timur dan menjadi pertapa di sebuah desa di
Kozuke atau di tempat lain lagi. Kalau Anda ingin tahu lebih banyak tentang dia, Anda
mesti pergi ke Puri Osaka dan bicara dengan orang yang namanya Tomita Mondonosho."
Mondonosho agaknya salah seorang guru Hideyori dalam seni perang, dan orang yang
memberikan keterangan kepada Matahachi merasa cukup yakin bahwa orang itu keluarga yang
sama dengan Seigen. Walaupun kecewa karena tidak terangnya petunjuk yang pertama didapatnya itu, Matahachi
memutuskan untuk mengikutinya. Setibanya di Osaka, ia menyewa kamar di sebuah rumah
penginapan murah di salah satu jalan ramai, dan segera sesudah beres ia bertanya pada
pemilik rumah penginapan, apakah orang itu tahu orang yang bernama Tomita Mondonosho di
Puri Osaka. "Ya, saya sudah pernah mendengar nama itu," jawab pemilik rumah penginapan. "Saya
percaya dia cucu Toda Seigen. Dia bukan instruktur pribadi Yang Dipertuan Hideyori,
tapi dia memang mengajarkan ilmu pedang pada sejumlah samurai di puri itu. Atau
setidaknya pernah mengajarkannya. Saya pikir, boleh jadi dia sudah kembali ke Echizen
beberapa tahun yang lalu. Ya, itulah yang dia lakukan.
"Anda bisa pergi ke Echizen dan mencari dia di sana, tapi tidak ada jaminan apakah dia
masih ada di sana. Daripada mengadakan perjalanan begitu jauh hanya berpegangan dugaan,
apa tidak lebih mudah menjumpai Ito Ittosai" Saya agak yakin dia mempelajari Gaya Chujo
pada Jisai, sebelum mengembangkan gaya sendiri."
Saran pemilik rumah penginapan itu tampaknya masuk akal, tapi ketika Matahachi mulai
mencari Ittosai, ia menemukan dirinya berada di jalan buntu lain lagi. Sejauh yang
dapat diketahuinya, orang itu sampai baru-baru ini masih tinggal di sebuah gubuk kecil
di Shirakawa di sebelah timur Kyoto, tapi sekarang sudah tidak tinggal lagi di sana,
dan beberapa waktu lamanya sudah tidak kelihatan lagi di Kyoto atau Osaka.
Tak lama kemudian tekad Matahachi pun merosot, dan ia bermaksud meninggalkan seluruh
urusan itu. Kesibukan dan kegairahan kota itu menyulut kembali ambisinya dan
menggelitik jiwa mudanya. Di sebuah kota yang terbuka lebar seperti ini, kenapa pula ia
menghabiskan waktu dengan mencari keluarga orang mati" Banyak hal dapat dilakukan di
sini. Orang mencari para pemuda seperti dirinya. Di Puri Fushimi, para pejabat secara
tulus-ikhlas melaksanakan kebijaksanaan pemerintah Tokugawa. Namun di sini para
jenderal yang menguasai Puri Osaka mencari ronin untuk dijadikan tentara. Tentu saja
tidak secara terang-terangan, namun cukup terbuka, hingga sudah umum diketahui ronin
lebih diterima dan dapat hidup lebih baik di sini daripada di kota puri mana pun di
negeri ini. Desas-desus sembarangan beredar di antara penduduk kota. Dikatakan misalnya, Hideyori
diam-diam menyediakan dana untuk para daimyo pelarian seperti Goto Matabei, Sanada
Yukimura, Akashi Kamon, dan bahkan Chosokabe Morichika yang berbahaya, yang sekarang
tinggal di sebuah rumah sewaan di jalan sempit di luar kota.
Sekalipun masih muda, Chosokabe telah mencukur kepalanya seperti pendeta Budha dan
mengubah namanya menjadi Ichimusai "Manusia dengan impian tunggal". Ini suatu
pernyataan bahwa peristiwa dunia yang mengambang ini tidak lagi menjadi perhatiannya,
dan secara pura-pura ia menghabiskan waktu dengan tingkah laku sembrono yang perlente.
Namun umum diketahui bahwa ada tujuh atau delapan ratus ronin bekerja padanya, semuanya
teguh dalam keyakinan bahwa apabila tiba saatnva, ia akan bangkit membela nama baik
mendiang Hideyoshi yang pernah bersikap dermawan kepadanya. Didesas-desuskan bahwa
biaya hidupnya, termasuk gaji untuk para ronin-nya, semua keluar dari kantong pribadi
Hideyori. Dua bulan lamanya Matahachi berkeliaran di Osaka, dan makin lama ia makin yakin bahwa
inilah tempat baginya. Di sinilah ia akan meraih kesempatan menuju sukses. Untuk
pertama kalinya selama bertahun-tahun ia merasa seberani dan setak-kenal-takut seperti
ketika berangkat perang dulu. la merasa sehat dan hidup kembali, tak gentar oleh
semakin menipisnya uang samurai yang sudah mati itu, karena ia percaya bahwa akhirnya
nasib baik telah beralih kepadanya. Setiap hari baru adalah kebahagiaan, kegembiraan.
Ia yakin bahwa ia akan terantuk pada sebuah batu dan muncul bertimbun uang.
Keberuntungan sedang mencarinya.
Pakaian baru! Itulah yang dia perlukan. Ia pun membeli pakaian lengkap yang baru, dan
dengan hati-hati memilih bahan yang cocok untuk cuaca di musim dingin yang sudah
mendekat. Kemudian, karena menurut anggapannya hidup di sebuah rumah penginapan
terlampau mahal, ia menyewa sebuah kamar kecil milik seorang tukang sadel di sekitar
Parit Junkei dan mulai makan di luar. Ia melihat apa yang ingin dilihatnya, dan pulang
apabila ingin pulang. Sering ia pergi sepanjang malam, apabila semangat menghendakinya.
Sambil hidup bersenang-senang, ia terus mencari seorang teman, seorang penghubung yang
akan mengantarkannya ke kedudukan dengan gaji besar pada seorang daimyo besar.
Sebetulnya Matahachi perlu mengendalikan diri untuk tetap hidup dalam batas-batas
kemampuannya. Tetapi ia merasa sudah berlaku lebih baik daripada kapan pun sebelumnya.
Berulang-ulang ia merasa tergugah oleh cerita tentang samurai ini atau itu yang belum
lama masih menyeret kotoran dari wilayah pembangunan, namun sekarang sudah tampak
mengendarai kuda dengan megahnya, melintasi kota bersama dua puluh pegawai dan seekor
kuda cadangan. Pada waktu lain ia merasakan sisa-sisa patah hati yang dialaminya. "Dunia ini dinding
batu," demikian pikirnya. "Dan batu-batu itu sudah disusun demikian rapat, hingga tak
ada satu pun celah yang dapat dilewatinya." Namun kekecewaan ini selalu menyingkir.
"Apa yang kubicarakan ini" Memang begitulah kelihatannya, kalau kita masih belum
mendapat kesempatan. Selamanya sukar masuknya, tapi sekali kutemukan peluang..."
Ketika ia bertanya kepada pembuat sadel apakah ia tahu kedudukan seperti itu, tukang
sadel menjawab dengan penuh optimisme, "Kamu muda dan kuat. Kalau kamu mengajukan
permohonan di puri, pasti kamu mendapat tempat."
Tetapi menemukan pekerjaan yang tepat tidaklah semudah itu. Bulan terakhir tahun itu
Matahachi masih juga menganggur, sedang uangnya tinggal separuh.
Di bawah sinar matahari musim dingin pada bulan yang paling sibuk tahun itu,
mengherankan juga gerombolan orang yang berbondong-bondong menelusuri jalan tampak
tidak terburu-buru. Di pusat kota ada bidangbidang tanah kosong, dan pagi-pagi benar
rumput di situ putih oleh embun beku. Semakin siang jalan-jalan semakin berlumpur, dan
suasana musim dingin terusir oleh suara para pedagang yang menjajakan barang
dagangannya diiringi suara gong bertalu-talu dan genderang berdentumdentum. Tujuh atau
delapan kios yang dikelilingi tikar jerami lusuh, untuk mencegah orang luar menengok ke
dalam, berusaha memikat orang banyak dengan bendera-bendera kertas dan lembing yang
dihias aneka warna bulu untuk mereklamekan pertunjukan yang sedang diadakan di dalam.
Tukang-tukang teriak berlomba dengan suara lantang memikat orang lewat yang iseng untuk
memasuki teater mereka yang rapuh.
Bau kecap murah mengambang di udara. Lelaki-lelaki dengan kaki berbulu dan mulut penuh
makanan meringkik seperti kuda di toko-toko, dan waktu senja wanita-wanita berbaju
lengan panjang dan berbedak tersenyum-senyum tolol seperti biri-biri, berjalan
bergerombol-gerombol sambil mengunyah penganan kacang panggang.
Pada suatu petang terjadi perkelahian antara para pembeli sebuah warung sake yang
menempatkan beberapa bangku di tepi jalan. Belum lagi dapat dikatakan siapa yang
menang, orang-orang yang berkelahi itu sudah balik kanan dan angkat kaki, meninggalkan
jejak tetesan darah. "Terima kasih, Tuan," kata penjual sake kepada Matahachi. Berkat penampilan Matahachi
yang menyilaukan, orang-orang kota yang sedang berkelahi itu melarikan diri. "Kalau
Tuan tak ada di sini, pasti mereka sudah bikin pecah semua pinggan saya." Orang itu
membungkuk beberapa kali, kemudian menghidangkan satu guci sake lagi pada Matahachi.
Menurutnya sake itu sudah dihangatkan sampai pada suhu yang tepat. Ia menghidangkan
juga sejumlah makanan kecil sebagai tanda penghargaan.
Matahachi merasa puas dengan dirinya. Percekcokan meletus antara dua pekerja, dan
ketika ia memandang marah kepada mereka dan mengancam akan membunuh keduanya kalau
mereka menimbulkan kerusuhan di kios itu, mereka melarikan diri.
"Banyak sekali orang sekitar sini, ya?" ucapnya bersahabat.
"Ini akhir tahun, Tuan. Mereka tinggal sebentar di sini, kemudian pergi lagi. Tapi ada
saja yang datang lagi."
"Bagus sekali cuaca bertahan begini."
Wajah Matahachi merah oleh minuman. Ketika mengangkat mangkuk, ingatlah ia akan
sumpahnya untuk berhenti minum sebelum ia pergi bekerja di Fushimi, dan samar-samar
sadarlah ia betapa ia mulai minum lagi. "Ah, tapi apa salahnya?" pikirnya. "Kalau orang
lelaki tak boleh minum sekali-sekali..."
"Satu lagi, kawan," katanya keras.
Orang yang duduk diam di bangku di samping Matahachi juga seorang ronin. Pedangnya yang
panjang dan pendek tampak mengesankan. Orangorang kota cenderung menyingkir, sekalipun
ia tidak mengenakan jubah penutup kimono; sekitar leher kimono itu sangat kotor.
"Hei, bawakan juga aku satu, dan cepat!" serunya. Sambil mengganjalkan kaki kanan ke
lutut kirinya, ia memperhatikan Matahachi dari bawah ke atas. Ketika matanya sampai
pada wajah Matahachi, ia pun tersenyum, katanya, "Halo."
"Halo," kata Matahachi. "Boleh coba ini punyaku, sementara menunggu punyamu
dihangatkan." "Terima kasih," kata orang itu sambil mengangkat mangkuk. "Sungguh memalu-kan menjadi
pemabuk, ya" Kulihat kamu duduk di sini menghadapi sake. Bau harumnya mengambang di
udara dan menarik-narikku kemari, sepertinya lengan bajuku ini yang ditariknya." Ia
mengosongkan isi mangkuknva sekali teguk.
Matahachi suka melihat gayanya. Orang itu kelihatan bersahabat, dan ada sesuatu yang
memikat dalam dirinya. Ia biasa minum juga. Beberapa menit kemudian ia sudah menenggak
lima guci, sedangkan Matahachi baru menghabiskan satu guci. Dan orang itu masih juga
sadar. "Berapa banyak biasanya kau minum?" tanya Matahachi.
"Ah, tak tahulah aku," jawab orang itu asal saja. "Sepuluh atau dua belas guci, kalau
sedang mau." Akhirnya mulailah mereka bicara tentang situasi politik, dan sebentar kemudian ronin
itu mengangkat bahu, dan katanya, "Siapa pula Ieyasu itu" Omong kosong saja kalau dia
bisa mengabaikan tuntutan Hideyori dan ke sana kemari menyebut dirinya 'Maharaja
Agung'. Tanpa Honda Masazumi dan beberapa pendukung lamanya yang lain, apanya yang
tinggal" Cuma darah dingin, kelicikan, dan sedikit saja kemampuan politik"maksudku yang
dipunyainya itu cuma bakat politik tertentu, yang biasanya tak ada pada orang-orang
militer. "Secara pribadi aku mengharap Ishida Mitsunari yang menang di Sekigahara, tapi dia
terlalu berjiwa besar untuk mengorganisir para daimyo, sedangkan statusnya tidak cukup
tinggi." Sesudah menyatakan penilaiannya itu, tiba-tiba la bertanya, "Kalau nanti Osaka
bentrok dengan Edo lagi, pihak mana yang akan kaupilih?"
Disertai sikap ragu-ragu, Matahachi menjawab, "Osaka."
"Bagus!" Orang itu berdiri memegang guci sake. "Engkau seorang dari kami. Mari kita
minum! Dari daerah mana... oh, tapi kukira tak boleh aku menanyakan itu, sebelum aku
memberitahukan siapa diriku. Namaku Akakabe Yasoma. Aku dari Gamo. Barangkali kau
pernah mendengar tentang Ban Dan'emon" Aku sahabatnya. Kami akan berkumpul lagi
harihari ini. Aku juga teman Susukida Hayato Kanesuke, jenderal ternama dari Puri
Osaka. Kami pernah mengadakan perjalanan bersama ketika dia masih menjadi ronin. Aku
juga pernah bertemu dengan Ono Shurinosuke tiga atau empat kali, tapi menurutku dia
terlalu murung, walaupun dia memang memiliki lebih banyak pengaruh politik daripada
Kanesuke." Ia mundur, diam sebentar, karena agaknya menimbang kembali apakah ia berbicara terlalu
banyak, kemudian tanyanya, "Kau sendiri siapa?"
Matahachi memang tidak mempercayai segala yang dikatakan orang itu, namun ia merasa
bahwa untuk sementara ia dipaksa kalah pengaruh.
"Apa kau tahu Toda Seigen?" tanyanya. "Orang yang menemukan Gaya Tomita?"
"Aku pernah mendengar nama itu."
"Nah, guruku pertapa Kanemaki Jisai yang agung dan tak mementingkan diri sendiri, yang
telah menerima Gaya Tomita sejati dari Seigen dan kemudian mengem-bangkan Gaya Chujo."
"Kalau begitu, kau ini tentunya pemain pedang tulen."
"Betul," jawab Matahachi. Dan ia mulai menikmati permainan itu.
"Percaya tidak," kata Yasoma, "sebetulnya aku sudah dari tadi menyangka begitu. Tubuhmu
tampak terdisiplin, dan terasa ada kemampuan padamu. Siapa namamu waktu kau mendapat
latihan di bawah pimpinan Jisai" Maksudku, kalau pantas aku menanyakan hal ini."
"Namaku Sasaki Kojiro," kata Matahachi dengan wajah sungguh-sungguh. "Ito Yagoro,
pencipta Gaya Itto, adalah murid senior dari sekolah yang sama itu."
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa betul begitu?" kata Yasoma heran.
Untuk sesaat yang penuh kegelisahan, Matahachi terpikir akan menarik kembali segala
keterangannya itu, tapi sudah terlambat. Yasoma sudah berlutut di tanah dan membungkuk
dalam. Tak ada lagi jalan kembali.
"Maafkan saya," katanya beberapa kali. "Saya sudah sering mendengar Sasaki Kojiro
pemain pedang yang baik sekali, dan saya harus minta maaf karena tadi tidak berbicara
lebih sopan. Tapi saya memang tak bisa tahu tadi, siapa sesungguhnya Anda."
Matahachi lega luar biasa. Sekiranya Yasoma kebetulan teman atau kenalan Kojiro, ia
terpaksa berkelahi demi hidupnya.
"Tak perlu engkau membungkuk seperti itu," kata Matahachi dengan murah hati. "Kalau kau
berkeras mengambil sikap resmi, tak akan dapat kita bicara sebagai teman."
"Tapi Anda tentunya tersinggung oleh bualan saya tadi itu."
"Kenapa" Aku tak punya status dan kedudukan khusus. Aku cuma pemuda yang tak banyak
kenal dengan dunia ini."
"Ya, tapi Sekarang, memandang kedudukan Anda pemain pedang besar. Sudah banyak kali saya mendengar nama Anda.
sesudah saya pikirkan lagi, jelaslah buat saya, Andalah Sasaki Kojiro." Ia
Matahachi baik-baik. "Tapi saya pikir tidak betul kalau Anda tak punya
resmi." Matahachi menjawab polos, "Yah, aku telah membaktikan diriku dengan tulus ikhlas kepada
pedangku, hingga tak banyak waktuku untuk bersahabat dengan orang banyak."
"Oh, begitu. Apakah itu berarti Anda tidak berminat menemukan kedudukan yang baik?"
"Tidak, aku selalu berpikir bahwa pada suatu hari aku akan terpaksa mencari seorang
tuan untuk kuabdi. Tapi sekarang belum sampai aku pada ritik itu."
"Oh, yang yang tahu soal itu gampang sekali. Anda punya nama baik yang didukung pedang, dan itulah
membuat Anda berbeda. Tentu saja, kalau Anda tetap diam, berapa banyak pun bakat
Anda punyai, tak seorang pun akan mencari Anda. Cobalah pikir, saya bahkan tak
siapa Anda, sebelum Anda menyatakan pada saya. Saya betul-betul terkejut."
Yasoma berhenti, kemudian katanya, "Sekiranya Anda menghendaki saya membantu, saya akan
senang melakukannya. Terus terang, saya sudah minta teman saya, Susukida Kanesuke,
mencarikan kedudukan buat saya juga. Saya ingin dimasukkan Puri Osaka, biarpun
barangkali gajinya tidak banyak. Saya yakin Kanesuke akan senang merekomendasikan orang
seperti Anda kepada pihak berwenang di sana. Kalau Anda suka, dengan senang hati saya
akan bicara dengannya."
Sementara Yasoma bertambah gembira dengan prospek-prospek yang dihadapinya, Matahachi
sendiri tak dapat menghindari perasaan bahwa ia telah tercebur langsung ke dalam suatu
kancah, dan tidak akan mudah ia keluar dari sana. Ia memang ingin sekali mendapat
pekerjaan, tapi ia takut membuat kesalahan kalau membawakan diri sebagal Sasaki Kojiro.
Sebaliknya, kalau ia mengatakan bahwa ia Hon'iden Matahachi, seorang samurai kampungan
dari Mimasaka, Yasoma tak akan menawarkan bantuan kepadanya. Barangkali Yasoma akan
memandang rendah kepadanya. Tak bisa dihindari nama Sasaki Kojiro telah menimbulkan
kesan kuat. Tapi.... adakah sesuatu yang benar-benar perlu dikuatirkan" Kojiro yang sebenarnya
sudah mati, dan Matahachi satu-satunya orang yang mengetahui hal itu, karena ia yang
menyimpan surat keterangan yang merupakan satu-satunva pengenal orang yang telah mati
itu. Tanpa surat keterangan itu tidak ada jalan bagi penguasa untuk mengetahui siapakah
si ronin itu. Dan kecil kemungkinan mereka akan bersusah payah melakukan penyelidikan.
Lagi pula, siapakah orang itu, kalau bukan seorang "mata-mata" yang telah dilempari
batu sampai matt" Maka, sementara Matahachi sedikit-sedikit meyakinkan dirinya bahwa
rahasianya itu tidak akan diketahui orang, terbentuklah dengan pasti rencana berani
dalam kepalanya: ia akan menjadi Sasaki Kojiro. Semenjak saat ini.
"Mana rekeningnya," serunya sambil mengeluarkan beberapa mata uang dari pundi-pundinya.
Matahachi bangkit akan meninggalkan tempat itu, dan Yasoma jadi bingung, ujarnya,
"Bagaimana dengan usul saya itu?"
"Oh," jawab Matahachi, "aku akan sangat berterima kasih kalau kau mau bicara dengan
temanmu itu atas namaku, tapi kita tak dapat membicarakan soal macam itu di sini. Mari
kita pergi ke tempat lain yang tenang, di mana kita dapat tinggal berdua saja."
"Oh, tentu, tentu," kata Yasoma yang kelihatan lega sekali. Agaknya menurutnya wajar
sekali, kalau Matahachi membayar rekeningnya juga.
Segera kemudian mereka sudah berada di sebuah daerah lain, beberapa jauh dari jalanjalan utama itu.
Matahachi semula bermaksud membawa teman yang baru ditemukannya itu ke sebuah tempat
minum yang mentereng, tapi Yasoma menyarankan untuk pergi ke tempat lain yang lebih
murah dan lebih menarik. Sambil menyanyikan puji-pujian pada daerah lampu merah, ia
membawa Matahachi ke daerah yang supaya enak disebut Kota Pendeta Wanita. Kata orang,
dan ini cuma sedikit saja dibesar-besarkan, di sana terdapat seribu rumah hiburan
dengan perdagangan yang demikian berkembang, hingga dalam satu malam saja dihabiskan
seratus barel minyak lampu. Matahachi semula sedikit enggan, tapi segera ia tertarik
oleh kegembiraan suasana di situ.
Tidak jauh dari sana terdapat parit kuil yang biasa dialiri air banjiran dari teluk.
Kalau orang memperhatikan dengan saksama, terlihat kutu ikan dan kepiting sungai yang
merayap ke sana kemari di bawah jendela-jendela menonjol dan lentera-lentera merah.
Matahachi memang memperhatikan baik-baik, dan akhirnya ia pun merasa sedikit kurang
enak, karena keduanya itu mengingatkannya pada kalajengking pembawa maut.
Daerah itu sebagian besar dihuni oleh perempuan yang tebal pupurnya. Di antara mereka
sekali-sekali memang tampak wajah yang manis, tapi yang terbanyak kelihatan sudah
berumur lebih dari empat puluh tahun. Perempuanperempuan ini biasa mengarungi jalanjalan, yang meskipun dengan mata muram, kepala terbungkus kain penolak dingin, dan gigi
yang sudah hitam, tetap mencoba dengan lesunya menggelitik hati lelaki yang berkumpul
di sana. "Banyak juga mereka," kata Matahachi mengeluh.
"Sudah saya katakan tadi," jawab Yasoma, bersusah payah membela para wanita itu. "Dan
mereka ini lebih baik daripada pelayan warung teh atau gadis penyanyi di rumah sebelah
yang kemungkinan mengawani Anda.
Orang cenderung menolak gagasan tentang penjualan seks, tapi kalau kita lewatkan satu
malam di musim dingin dengan seorang dari mereka dan bicara dengannya tentang
keluarganya dan sebagainya, kemungkinan besar kita akan menemukan bahwa dia sama
seperti wanita lain. Dan mereka tak dapat betul-betul dipersalahkan karena sudah
menjadi sundal. "Sebagian dari mereka pernah menjadi gundik shogun, dan banyak di antaranya yang
ayahnya pernah menjadi pegawai daimyo yang sudah kehilangan kekuasaan. Ini terjadi pada
abad-abad ketika Taira jatuh ke tangan Minamoto. Jadi, Anda akan melihat bahwa di dalam
selokan dunia yang mengambang ini, banyak di antara sampah itu terdiri atas bunga-bunga
yang sudah gugur." Mereka masuk sebuah rumah, dan Matahachi menyerahkan segalanya kepada Yasoma yang
kelihatannya berpengalaman. Ia tahu bagaimana memesan sake dan menghadapi gadis-gadis.
Ia betul-betul tanpa cela. Matahachi merasa pengalaman itu sangat menyenang-kan.
Mereka menginap di sana, namun pada tengah hari berikutnya Yasoma belum juga
memperlihatkan kelelahan. Matahachi merasa dalam batas-batas tertentu ia telah mendapat
ganti dari perlakuan terhadapnya ketika ia digusur ke kamar belakang di Yomogi itu.
Tetapi ia mulai merasa lunglai.
Akhirnya ia mengaku sudah cukup banyak minum. Katanya, "Aku tak mau lagi minum. Ayo
kita pergi." Tapi Yasoma tak hendak pergi. "Tinggallah dengan saya sampai malam," katanya.
"Ada apa?" "Saya punya janji menemui Susukida Kanesuke. Terlalu pagi sekarang ini, kalau kita
pergi ke rumahnya, dan lagi tak bisa saya membicarakan keadaan Anda sebelum saya
mendapat gagasan yang lebih baik tentang apa yang Anda kehendaki."
"Aku tak akan minta upah terlalu besar sebagai permulaan."
"Tak ada alasan menjual diri terlalu murah bagi Anda. Seorang samurai sekaliber Anda
ini dapat menerima jumlah berapa saja yang Anda sebut. Kalau Anda mengatakan bersedia
menerima kedudukan seperti dulu, berarti Anda merendahkan diri sendiri. Bagaimana kalau
saya katakan kepadanya bahwa Anda menginginkan upah dua ribu lima ratus gantang"
Seorang samurai yang yakin dirinya baik, selalu dibayar dan diperlakukan lebih baik.
Anda tak boleh memberikan kesan bahwa Anda puas dengan jumlah berapapun."
Sementara malam datang, jalan-jalan yang terletak di dalam bayangan besar Puri Osaka
itu cepat menjadi gelap. Sesudah meninggalkan bordil itu, Matahachi dan Yasoma pergi
melintasi kota, menuju salah satu wilayah pemukiman samurai yang lebih eksklusif.
Mereka berdiri membelakangi parit, sementara angin dingin terusir akibat sake yang
telah mereka masukkan he dalam tubuh sepanjang hari itu.
"Di sana rumah Susukida," kata Yasoma.
"Yang gerbangnya pakai atap kurung itu?"
"Bukan, rumah sudut di sampingnya itu."
"Hmm, besar, ya?"
"Kanesuke sudah dapat nama. Sebelum umur sekitar tiga puluh, tak seorang pun pernah
mendengar tentangnya, tapi sekarang..."
Matahachi berpura-pura tidak mencurahkan perhatian pada apa yang dikatakan Yasoma.
Bukannya ia tidak percaya. Sebaliknya, ia sudah demikian bulat mempercayai Yasoma,
hingga ia tidak lagi mengajukan pertanyaan tentang apa yang dikatakan orang itu. Namun
ia merasa harus tetap acuh tak acuh. Sementara memandang rumah-rumah semayam para
daimyo yang mengitari purl besar itu, semangat mudanya yang mentah berkata, "Aku pun
akan tinggal di tempat seperti itu"tak lama lagi."
"Sekarang," kata Yasoma, "saya akan bertemu dengan Kanesuke dan bicara dengannya supaya
dia mempekerjakan Anda. Tapi sebelum itu, bagaimana dengan soal uang?"
"Oh, tentu," kata Matahachi, sadar bahwa suap memang umum. Ketika mengeluarkan pundipundi dari dadanya, tahulah ia bahwa isinya sudah susut sampai sekitar sepertiga dari
jumlah semula. Sambil mengeluarkan seluruh isinya, ia berkata, "Hanya ini yang
kupunyai. Apa ini cukup?"
"Oh, tentu, cukup sekali."
"Apa tak perlu kau membungkusnya?"
"Tidak, tidak. Kanesuke bukan satu-satunya orang di tempat ini yang menerima bayaran
karena mencarikan kedudukan untuk seseorang. Semua orang melakukannya, dan sangat
terbuka. Tak perlu malu."
Matahachi mengambil kembali sebagian kecil dari uang tunai itu, tapi sesudah
menyerahkan selebihnya, mulailah ia merasa tidak tenang. Ketika Yasoma pergi, ia
mengikuti beberapa langkah. "Usahakan sebaik-baiknya," mohonnya.
"Jangan kuatir. Kalau kelihatannya ada kesulitan, saya cuma harus menyimpan kembali
uang ini dan mengembalikannya pada Anda. Dia bukan satu-satunya orang berpengaruh di
Osaka. Dengan mudah saya dapat minta bantuan pada Ono atau Goto. Saya punya banyak
Petualang Asmara 5 Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir Api Di Bukit Menoreh 27
"Ah, tidak betul, saya bukan mau menangis. Cuma semuanya itu begitu cepat, sampai tak
tahu saya, apa yang mesti saya lakukan."
"Aku juga begitu, terutama sesudah kamu menyebut nama gurumu itu."
"Tapi bagaimana Kakak bisa kenal dengan Musashi?"
"Kami datang dari desa yang sama."
"Cuma itu?" "Tentu saja cuma itu."
"Lucu. Saya tak mengerti, kenapa pula Kakak mesti menangis hanya karena ada orang
sedesa datang ke sini."
"Tapi apa aku menangis lama?"
"Bagaimana bisa Kakak ingat semua yang saya lakukan, kalau Kakak tak bisa ingat apa
yang Kakak lakukan sendiri" Tapi biar bagaimana, saya kira, saya cukup gentar juga.
Kalau soalnya cuma empat orang biasa lawan guru saya, saya tak akan kuatir. Tapi
kabarnya mereka semua itu jagoan. Ketika mendengar suling itu, saya pun ingat Kakak ada
di puri ini, karena itu saya pikir kalau saya dapat minta maaf kepada Yang
Dipertuan..." "Kalau kamu memang mendengarku main suling, Musashi tentunya mendengar juga. Bahkan dia
mungkin tahu yang main itu aku." Suara Otsu menjadi lunak. "Aku sedang memikirkan dia
ketika aku main itu."
"Saya tak melihat apa pentingnya itu. Cuma, dari bunyi suling itu saya dapat mengirangira di mana Kakak berada."
"Tapi sungguh pertunjukan besar yang kamu lakukan-menyerbu rumah orang dan menjeritjerit tentang 'pertempuran' yang sedang terjadi. Yang Dipertuan jadi terkejut juga."
"Tapi dia orang baik. Ketika saya katakan padanya saya sudah membunuh Taro, dia tidak
mengamuk seperti yang lain-lain."
Tiba-tiba, karena sadar sedang membuang-buang waktu, Otsu bergegas pergi ke gerbang.
"Kita bisa bicara lagi nanti," katanya. "Sekarang ada yang lebih penting dilakukan.
Kita mesti mencari Musashi. Sekishusai malahan sudah melanggar peraturannya sendiri.
Katanya dia mau menemui orang yang sudah melakukan apa yang kamu katakan itu."
Otsu tampak benar-benar riang, seperti bunga. Dalam matahari terang awal musim panas
itu pipinya bersinar seperti buah masak. Ia mencium daun-daun muda, dan ia merasa
kesegaran dedaunan itu mengisi paruparunya.
Musashi yang sedang bersembunyi di antara pepohonan memperhatikannya baik-baik dan
mengagumi kesehatan tubuhnya. Otsu yang ia lihat sekarang ini lain sekali dengan gadis
yang duduk patah hati di beranda Kuil Shippoji dan memandang dunia luar dengan mata
kosong. Perbedaannya adalah karena waktu itu Otsu tak punya orang yang dicintai. Atau
setidak-tidaknya, cinta yang dirasakannya waktu itu hanyalah samar-samar dan sukar
dipegang. Waktu itu ia masih anak-anak yang sentimental, yang sadar benar akan
keyatimannya dan merasa agak benci dengan kenyataan itu.
Sesudah mengenal Musashi dan mengaguminya, lahirlah cinta yang kini menetap di dalam
dirinya dan memberikan arti pada hidupnya. Sepanjang tahun yang dihabiskannya untuk
mengembara mencari Musashi, tubuh dan pikirannya membentuk keberanian untuk menghadapi
apa pun. Musashi cepat menangkap daya hidup Otsu yang baru dan membuatnya bertambah cantik itu,
dan ingin ia membawa gadis itu ke suatu tempat, di mana mereka dapat berduaan saja, dan
menceritakan semua kepadanya Betapa ia merindukan Otsu secara fisik. Ia ingin
mengungkapkan bahwa jauh di dalam hatinya yang terbuat dari baja itu terdapat
kelemahan. Ia ingin menarik kembali kata-kata yang diukirkannya di Jembatan Hanada itu.
Kalau tidak ada orang yang tahu, ia dapat menunjukkan kepada Otsu bahwa ia pun dapat
bersikap mesra. Ia akan menyatakan kepada Otsu. Ia dapat mendekapnya, membelaikan
pipinya ke pipi Otsu, mencurahkan air mata yang ingin ia tangiskan. Sekarang ia cukup
kuat untuk mengaku bahwa semua perasaannya itu nyata.
Hal-hal yang dikatakan Otsu kepadanya di masa lampau kini kembali mengiang di
telinganya, dan ia melihat betapa kejam dan buruknya ia menolak cinta yang sederhana
dan terus terang seperti yang diungkapkan Otsu.
Ia memang merasa sengsara, namun ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak dapat menyerah
kepada segala perasaan itu, sesuatu yang menyatakan kepadanya bahwa itu salah. Dirinya
terpecah menjadi dua: pertama, yang berseru kepada Otsu, dan kedua yang mengatakan
kepadanya bahwa ia orang tolol. Ia tak bisa mengatakan, manakah dirinya yang sebenarnya
Seraya memperhatikan dari balik pohon dan tenggelam dalam keraguan itu ia seperti
melihat dua jalan di hadapanya, satu jalan terang, dan yang lain jalan gelap.
Karena tak tahu adanya Musashi, Otsu berjalan beberapa langkah meninggalkan gerbang.
Dan ketika menoleh ke belakang, ia melihat Jotaro membungkuk mengambil sesuatu.
"Jotaro, apa yang kamu lakukan itu" Ayo cepat!"
"Tunggu!" seru Jotaro riang. "Lihat ini!"
"Ah, itu kan cuma gombal tua yang kotor! Buat apa itu?"
"Ini milik Musashi."
"Milik Musashi?" ucap Otsu sambil berlari kembali mendapatkan Jotaro.
"Ya, ini miliknya," jawab Jotaro seraya membeberkan handuk tangan itu untuk dilihat
Otsu. "Saya ingat ini. Ini dari rumah janda tempat kami menginap di Nara. Lihat ini: ada
gambar daun mapel celupan di sini, dan ada huruf yang bunyinya 'Lin'. Ini nama pemilik
restoran bakpau di sana."
"Apa menurutmu Musashi ada di sini?" teriak Otsu sambil memandang bingung ke
sekitarnya. Jotaro berdiri tegak sampai hampir setinggi gadis itu, dan dengan sekuat suaranya ia
memekik, "Sensei!"
Di tengah rumpun terdengar bunyi gemeresik. Tersengal Otsu memutai badan dan melejit ke
arah pepohonan, diikuti anak itu.
"Ke mana Kakak pergi?" tanya Jotaro.
"Musashi baru saja lari!"
"Ke mana?" "Ke situ." "Saya tak melihat dia."
"Di rumpun pohon sana itu!"
Otsu melihat sosok tubuh Musashi, tetapi kegembiraan sekilas yang dirasakannya segera
digantikan oleh keprihatinan, karena Musashi dengan cepat meningkatkan jarak yang
memisahkan mereka. Otsu berlari mengejar dengan sekuat kakinya. Jotaro berlari
mengikutinya, walau tidak yakin benar bahwa Otsu melihat Musashi.
"Kakak keliru!" pekik Jotaro. "Barangkali orang lain. Kenapa Musashi mesti lari?"
"Coba lihat itu!"
"Ke mana?" "Ke sana!" Ia mengambil napas dalam-dalam, dan sambil mengerahkan suara sekuat-kuatnya
ia menjerit, "Musashi!!" Tapi baru saja teriakan kalut itu keluar dari bibirnya, ia
terhuyung jatuh. Jotaro menolongnya berdiri, tapi ia berteriak, "Kenapa kamu tidak
memanggilnya juga" Panggil dia! Panggil dia!"
Jotaro bukannya melakukan yang disuruhkan Otsu, melainkan kelu karena terkejut, dan
menatap wajah Otsu. Sudah pernah ia melihat wajah itu, dengan matanya yang merah, alis
yang seperti jarum, serta hidung dan rahang yang seperti lilin. Itulah muka topeng!
Topeng perempuan gila yang diberikan kepadanya oleh janda di Nara itu. Pada mulut Otsu
tidak ada bengkokan aneh ke atas, tapi di luar itu keduanya serupa. Jotaro cepat
menarik tangannya dan undur dengan ketakutan.
Otsu terus mencelanya. "Kita tak boleh menyerah! Dia tak akan kembali lagi kalau kita
biarkan dia pergi sekarang! Panggil dia! Suruh dia kembali!"
Ada sesuatu yang menolak dalam diri Jotaro, tapi pandangan wajah Otsu menyatakan
kepadanya, tak ada gunanya berdebat dengannya. Maka mereka berlari kembali, dan ia
mulai berteriak juga sekuat-kuatnya.
Di sebelah hutan terdapat bukit rendah, dan sepanjang kaki bukit itu menghampar jalan
belakang dari Tsukigase ke Iga. "Itu Musashi!" teriak Jotaro. Sampai di jalan tersebut,
anak itu dapat dengan jelas melihat gurunya, tetapi Musashi sudah terlalu jauh di depan
mereka, hingga tak dapat mendengar teriakan mereka.
Otsu dan Jotaro berlari sekuat kaki mereka sambil berteriak-teriak sampai parau.
Jeritan mereka menggema melintasi peladangan. Di ujung lembah mereka tidak melihat
Musashi lagi, karena ia lari langsung masuk kaki perbukitan yang berhutan lebat.
Mereka berhenti dan berdiri di sana, sedih, seperti anak-anak telantar. Awan putih
menghampar kosong di atas mereka, sementara gemericik sungai menambah kesepian mereka.
"Dia sudah gila! Dia tak berakal! Bagaimana mungkin dia meninggalkan saya seperti ini?"
teriak Jotaro sambil mengentak-entakkan kakinya.
Otsu bersandar ke pohon berangan besar, dan air matanya mengucur sejadi-jadinya.
Cintanya yang besar pada Musashi tak mampu menahan kepergian Musashi"walaupun untuk
cinta itu ia bersedia mengorbankan segalanya. Ia heran, merasa kehilangan, dan marah.
Ia tahu, apa tujuan hidup Musashi dan kenapa Musashi menghindari dirinya. Ia sudah tahu
itu, sejak pengalaman di Jembatan Hanada. Namun ia tak bisa mengerti, kenapa Musashi
menganggapnya penghalang antara dirinya dan cita-citanya. Kenapa tekadnya itu mesti
dilemahkan oleh kehadirannya"
Ataukah itu cuma alasan" Apakah alasan sebenarnya karena Musashi tidak cukup
mencintainya" Itulah yang barangkali lebih masuk akal. Namun... namun... Otsu mulai
memahami Musashi ketika melihatnya terikat di pohon di Shippoji itu. Ia tak percaya
bahwa Musashi orang yang bisa berbohong kepada perempuan. Kalau Musashi tak ada minat
kepadanya, ia akan mengatakannya demikian, tapi kenyataannya di Jembatan Hanada Musashi
mengatakan senang sekali kepadanya. Ia mengingat kembali katakata Musashi dengan
sedihnya. Sebagai anak yatim, sikap dingin tertentu mencegah dirinya mempercayai banyak orang,
tapi sekali ia percaya pada seseorang, ia akan mempercayainya sepenuhnya. Pada waktu
ini ia merasa tidak ada orang lain kecuali Musashi yang patut dibela atau
diandalkannya. Pengkhianatan Matahachi telah mengajarkan kepadanya betapa seorang gadis
harus berhati-hati dalam menilai lelaki. Tetapi Musashi bukanlah Matahachi. Ia telah
memutuskan akan hidup untuk Musashi, apa pun yang terjadi, dan ia telah membulatkan
tekad untuk tidak menyesal berbuat demikian.
Tapi kenapa Musashi tak dapat mengucapkan kata-kata, biarpun hanya sepatah" Ini sungguh
terlalu berat untuk ditanggung. Daun-daun pohon berangan bergetar, seakan-akan pohon
itu sendiri mengerti dan bersimpati.
Semakin marah, semakin ia tenggelam dalam cinta pada Musashi. Apakah itu nasib atau
bukan, tidak dapat Ia mengatakannya, tetapi semangatnya yang dirobek-robek kesedihan
menunjukkan bahwa tidak ada hidup sejati baginya di luar Musashi.
Jotaro memandang ke jalan, dan ucapnya, "Nah, ini datang seorang pendeta." Otsu tidak
memperhatikannya. Dengan semakin dekatnya siang, langit di atas berubah menjadi biru tua, transparan.
Biarawan yang menuruni lereng di kejauhan itu tampak seperti turun dari atas awan dan
tak ada hubungan apa pun dengan bumi ini. Ketika mendekati pohon berangan itu, ia
memandangnya dan melihat Otsu.
"Lho, ada apa ini?" katanya. Mendengar suaranya, Otsu menengadah.
Dengan matanya yang bengkak dan lebar karena kagum ia berseru, "Takuan!" Dalam
keadaannya sekarang ini, ia melihat Takuan Soho sebagai penyelamat. Ia bertanya-tanya
dalam hati, apakah ia tidak sedang bermimpi.
Sekalipun melihat Takuan merupakan guncangan bagi Otsu, namun bagi Takuan menemukan
Otsu tidak lebih daripada pembenaran atas sesuatu yang telah ia curigai. Kedatangannya
bukan kebetulan, dan bukan pula keajaiban.
Takuan sudah lama menjalin hubungan persahabatan dengan Keluarga Yagyu. Perkenalannya
dengan mereka bermula ketika ia masih seorang biarawan muda di Kuil Sangen'in,
Daitokuji. Kewajibannya mencakup pembersihan dapur dan pembuatan empleng kacang.
Pada masa itu, Sangen'in yang dikenal dengan nama "Sektor Utara" Daitokuji termasyhur
sebagai tempat berkumpul para samurai "luar biasa", artinya samurai yang mencurahkan
perhatiannya kepada pemikiran filsafat tentang makna hidup dan mati, yaitu orang-orang
yang merasakan perlunya mempelajari peristiwa-peristiwa kejiwaan maupun keterampilan
teknik dalam seni perang. Kaum samurai yang bergerombol di sana lebih besar jumlahnya
dibandingkan dengan kaum biarawan Zen, dan salah satu hasilnya adalah kuil itu jadi
dikenal sebagai wilayah pembibitan pemberontakan.
Di antara samurai yang sering datang ke sana adalah Suzuki Ihaku, saudara lelaki Yang
Dipertuan Koizumi dari Ise, Yagyu Gorozaemon, ahli waris Keluarga Yagyu, dan saudara
lelaki Gorozaemon, yaitu Munenori. Munenori cepat menyukai Takuan, dan keduanya
bersahabat semenjak itu. Sesudah beberapa kali mengadakan kunjungan ke Puri Koyagyu,
Takuan berjumpa dengan Sekishusai dan menaruh rasa hormat yang besar kepada orang tua
itu. Sekishusai pun menyukai biarawan muda ini, yang baginya mengesankan, karena
memiliki banyak harapan di masa depan.
Baru-baru ini Takuan singgah beberapa waktu lamanya di Kuil Nansoji di Provinsi Izumi,
dan dari sana ia mengirimkan surat menanyakan kesehatan Sekishusai dan Munenori. Dan ia
telah menerima jawaban panjang dari Sekishusai, yang di antaranya berbunyi:
Saya sangat beruntung akhir-akhir ini. Munenori sudah mendapat kedudukan dalam Keluarga
Tokugawa di Edo, dan cucu saya yang telah meninggalkan pekerjaannya pada Yang Dipertuan
Kato dari Higo, dan pergi belajar sendiri, banyak mendapat kemajuan. Saya sendiri
sekarang memiliki tenaga seorang gadis muda dan cantik, yang tidak hanya dapat bermain
suling dengan baik, tetapi juga berbicara dengan saya, dan bersama-sama kami menyiapkan
teh, menyusun bunga, dan mengarang sajak. la menjadi kegembiraan dalam umur tua saya,
menjadi bunga yang berkembang di rumah, yang kalau tidak berkat dirinya akan merupakan
gubuk tua yang dingin dan layu. Karena ia mengatakan datang dari Mimasaka yang
berdekatan dengan tempat kelahiran Anda dan dibesarkan di kuil yang bernama Shippoji,
saya pikir Anda dan dia banyak memiliki persamaan. Menyenangkan luar biasa minum sake
malam hari dengan iringan suling yang baik permainannya, dan karena Anda demikian dekat
dengan tempat ini, saya harap Anda datang dan menikmati santapan ini bersama saya.
Dalam keadaan bagaimanapun, sangat sukar bagi Takuan menolak andangan ini, tetapi
dugaannya bahwa gadis yang dilukiskan dalam surat itu adalah Otsu, membuatnya
bersungguh-sungguh menerimanya.
Ketika mereka bertiga berjalan menuju rumah Sekishusai, Takuan mengajukan banyak
pertanyaan pada Otsu, dan Otsu menjawabnya tanpa bertele-tele. Ia menyampaikan kepada
Takuan apa yang dilakukannya semenjak wrakhir kali mereka bertemu di Himeji dahulu,
lalu apa yang telah terjadi pagi itu, dan akhirnya bagaimana perasaannya terhadap
Musashi. Takuan mendengarkan cerita Otsu yang menyedihkan itu sambil mengangguk-angguk sabar.
Ketika Otsu selesai bercerita, ia mengatakan, "Kukira kaum perempuan mampu memilih
jalan hidup yang mustahil bagi kaum lelaki. Menurut penangkapanku, kau menghendaki aku
memberikan nasihat padamu tentang jalan yang harus kautempuh di masa depan."
"Oh, tidak." "Nah.... " "Saya sudah memutuskan apa yang akan saya perbuat."
Takuan memperhatikan dengan saksama. Otsu sudah berhenti berjalan dan kini memandang
tanah. Ia kelihatan berada dalam lembah keputusasaan, namun ada suatu kekuatan dalam
nada bicaranya, yang memaksa Takuan melakukan penilaian kembali.
"Sekiranya saya punya keraguan, sekiranya saya bermaksud menyerah," kata Otsu,
"barangkali tak akan saya meninggalkan Shippoji. Saya masih bertekad menemui Musashi.
Satu-satunya pertanyaan dalam pikiran saya adalah, apakah hal ini akan menimbulkan
kesulitan baginya, dan apakah kalau saya terus hidup akan mendatangkan ketidakbahagiaan
padanya. Kalau memang demikian, saya harus melakukan sesuatu untuknya."
"Dan apa itu artinya?"
"Tak dapat saya mengatakannya pada Bapak."
"Hati-hatilah, Otsu!"
"Terhadap apa?"
'Di bawah matahari yang terang riang ini dewa maut sedang menariknarikmu. "
"Sava... saya tak mengerti apa yang Bapak maksudkan."
"Kukira memang tak akan kamu mengerti, tapi itu karena dewa maut ncminjamkan tenaga
kepadamu. Tolol kamu, Otsu, kalau kau mau mati, khususnva demi hal yang tak lebih dari
cinta yang bertepuk sebelah rangan." kata Takuan tertawa.
Otsu menjadi marah kembali. Pikirnya, tak ada bedanya ini dengan udara kosong, karena
Takuan tidak pernah jatuh cinta. Tak mungkin bagi orang yang tidak pernah jatuh cinta
memahami apa yang dirasakannya. Baginya, mencoba menjelaskan perasaannya kepada Takuan
sama saja dengan Takuan mencoba menjelaskan Budhisme Zen kepada orang pandir. Tapi
seperti halnya terdapat kebenaran dalam Zen, entah yang pandir dapat memahaminya atau
tidak, ada orang-orang yang bersedia mati demi cinta, entah Takuan dapat memahaminya
atau tidak. Setidak-tidaknya bagi perempuan, cinta itu satu hal yang jauh lebih serius
daripada teka-teki sulit seorang pendeta Zen. Bagi seorang yang dibuai oleh cinta yang
bermakna hidup atau mati, tidak ada bedanya bunyi tepukan sebelah tangan. Sambil
menggigit bibir, Otsu bersumpah tak akan mengatakan apa-apa lagi.
Takuan menjadi sungguh-sungguh. "Kau mestinya dilahirkan sebagai laki-laki, Otsu.
Seorang lelaki yang memiliki kemauan seperti yang kaumiliki ini pasti dapat
melaksanakan sesuatu demi kebaikan negeri."
"Jadi, apakah salah, seorang perempuan seperti saya ini hidup" Karena akan mendatangkan
kerugian pada Musashi?"
"Jangan putar balikkan apa-apa yang kukatakan. Aku tidak bicara soal itu. Betapapun
kamu mencintainya, dia masih lari, bukan" Dan aku berani mengatakan kamu tak akan dapat
menangkapnya." "Saya lakukan ini bukan karena saya senang melakukannya. Saya tak bisa berbuat lain.
Saya mencintainya!" "Coba, belum lama aku tidak melihatmu, dan melihatmu lagi kamu sudah berbuat seperti
semua perempuan lain."
"Oh, jadi Bapak tidak lihat, ya" Baiklah, tak usah kita bicara lagi. Pendeta cemerlang
seperti Bapak tak akan dapat memahami perasaan perempuan!"
"Tak bisa aku menjawab ini. Memang benar, perempuan bagiku merupakan teka-teki."
Otsu melengos, dan katanya, "Ayo pergi, Jotaro."
Takuan berdiri memperhatikan, sedangkan Otsu dan Jotaro menuruni jalan samping.
Diiringi kerjapan alisnya yang sedih, biarawan itu sampai pada kesimpulan bahwa tak ada
lagi yang dapat dilakukannya. Maka serunya kepada Otsu, "Apa kamu takkan mengucapkan
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selamat tinggal pada Sekishusai, sebelum pergi menuruti kehendak hati?"
"Saya akan mengucapkan selamat tinggal dalam hati. Beliau tahu, saya tak pernah
bermaksud tinggal lama di sini."
"Jadi, kamu tak akan mempertimbangkannya kembali?"
"Mempertimbangkan apa?"
"Tinggal di Pegunungan Mimasaka itu indah, tapi di sini juga indah. Di sini damai dan
tenang, dan hidup di sini sederhana. Daripada melihat kamu pergi memasuki dunia biasa
dengan segala kesengsaraan dan kesulitannya, aku lebih suka melihatmu hidup dalam
kedamaian, di tengah pegunungan dan sungai-sungai ini, seperti juga burung-burung
bulbul yang kita dengar sedang menyanyi itu."
"Ha, ha! Terima kasih banyak, Pak!"
Takuan mengeluh, karena sadar bahwa ia tidak berdaya menghadapi perempuan muda yang
berkemauan keras ini, yang demikian bertekad pergi membuta menempuh jalan yang telah
dipilihnya. "Kamu boleh tertawa, Otsu, tapi jalan yang hendak kamu tempuh itu jalan
kegelapan." "Kegelapan?" "Kamu dibesarkan di dalam kuil. Kamu mesti tahu, bahwa jalan kegelapan dan keinginan
itu hanya menjurus pada kekecewaan dan kesengsaraan. Kekecewaan dan kesengsaraan yang
tak bisa diselamatkan lagi."
"Tidak pernah ada jalan terang bagi saya, tidak ada, sejak saya lahir."
"Ah, ada, ada!" Takuan memasukkan tetesan daya terakhir ke dalam permohonan-nya, dan ia
dekati gadis itu dan ia pegang tangannya. Ia ingin sekali agar gadis itu
mempercayainya. "Aku akan bicara dengan Sekishusai tentang itu," demikian ditawarkannya. "Tentang
bagaimana kamu bisa hidup dan bahagia. Kamu bisa mendapatkan suami yang baik di
Koyagyu, memiliki anak-anak, dan melakukan hal-hal yang juga dilakukan perempuan lain.
Kamu akan membuat tempat ini lebih baik. Dan itu akan membuatmu lebih bahagia."
"Saya mengerti, Bapak berusaha membantu, tapi..."
"Cobalah! Kuminta kamu mencoba!"
Sambil menarik tangan gadis itu, ia memandang Jotaro, dan katanya, "Kamu juga, Nak!"
Jotaro menggelengkan kepala dengan tegas. "Saya tidak. Saya akan mengikuti guru saya."
"Nah, lakukanlah apa yang kamu suka, tapi setidak-tidaknya kembalilah ke puri
mengucapkan selamat tinggal pada Sekishusai."
"Oh, saya lupa!" kata Jotaro terengah. "Topeng saya tertinggal di sana. Akan saya ambil
dulu." Ia segera berlari, tak peduli dengan jalan kegelapan dan jalan terang itu.
Otsu berdiam diri di persimpangan. Takuan diam, dan kembali menjadi teman lama yang
pernah dikenalnya. Takuan sudah mengingatkannya akan bahaya yang mengintai dalam hidup
yang hendak ditempuhnya dan mencoba meyakinkannya bahwa ada jalan lain untuk menemukan
kebahagiaan. Tapi Otsu tetap tak tergoyahkan.
Kemudian Jotaro kembali berlari-lari mengenakan topeng. Takuan mengerut melihatnya, dan
secara naluriah merasa bahwa itulah wajah masa depan Otsu, wajah yang akan ia saksikan
sesudah Otsu menanggung derita dalam perjalanan panjangnya menelusuri jalan kegelapan.
"Saya pergi sekarang," kata Otsu, dan melangkah meninggalkan Takuan. Jotaro bergayut
pada lengan kimononya, katanya, "Ya, ayo pergi! Sekarang!"
Takuan menengadahkan mata ke awan-awan putih, meratapi kegagalannya. "Tak ada lagi yang
dapat kuperbuat," katanya. "Sang Budha sendiri pun berputus asa menyelamatkan
perempuan." "Selamat tinggal, Pak," kata Otsu. "Saya nyatakan hormat kepada Sekishusai di sini,
tapi saya mohon Bapak menyampaikan terima kasih saya dan ucapan selamat berpisah kepada
beliau." "Oh, aku bahkan mulai berpikir sekarang bahwa pendeta-pendeta adalah orang gila. Ke
mana saja mereka pergi, mereka bertemu dengan orang-orang yang berduyun-duyun menuju
neraka." Takuan mengangkat kedua tangannya, menjatuhkannya, dan katanya dengan sangat
khidmat, "Otsu, kalau kau nanti mulai tenggelam dalam Enam Jalan Jahat atau Tiga
Persimpangan, sebutlah namaku. Pikirkan diriku, dan panggillah namaku! Sementara ini,
yang bisa kukatakan cuma, pergilah sejauh kau bisa, dan cobalah berhati-hati!"
*** BUKU III: API *** 20. Sasaki Kojiro TEPAT di selatan Kyoto, Sungai Yodo melingkar mengelilingi sebuah bukit bernama
Momoyama (daerah Puri Fushimi), kemudian mengalir terus melintasi Dataran Yamashiro ke
arah benteng Puri Osaka, sekitar 20 mil ke sebelah barat daya. Sebagian karena hubungan
air yang langsung ini, setiap gejolak politik di daerah Kyoto segera menimbulkan
gemanya di Osaka. Sedangkan di Fushimi setiap patah kata yang diucapkan oleh seorang
samurai Osaka, apalagi seorang jenderal Osaka, dianggap orang sebagai isyarat masa
depan. Di sekitar Momoyama sedang terjadi pergolakan, karena Tokugawa Ieyasu memutuskan
mengubah cara hidup yang telah berkembang di zaman Hideyoshi. Puri Osaka yang dihuni
oleh Hideyori dan ibunya, Yodogimi, masih terus berusaha bergayut pada sisa kekuasaan
yang sudah pudar, tepat seperti matahari yang sedang terbenam berteguh pada
keindahannya yang perlahan menghilang. Kekuasaan yang sebenarnya berada di Fushimi,
yang dipilih Ieyasu sebagai tempat tinggalnya selama perjalanan-perjalanan jauhnya ke
daerah Kansai. Perbenturan antara yang lama dan yang baru tampak di mana-mana. Itu
kelihatan dari perahu-perahu yang hilir-mudik di sungai, dan tingkah laku orang-orang
di jalan raya, dari lagu-lagu rakyat, dan dari wajah para samurai telantar yang mencari
pekerjaan. Puri Fushimi sedang dibetulkan. Batu-batu karang yang dimuntahkan dari perahu-perahu ke
tepi sungai benar-benar menggunung. Kebanyakan batu itu besar, luasnya paling sedikit
dua meter persegi dan tingginya sekitar satu meter. Batu-batu itu mendesis-desis
terkena sinar matahari yang mendidih. Walaupun waktu itu musim gugur menurut kalender,
panas yang membakar mengingatkan orang pada hari-hari terpanas setelah musim hujan di
awal musim panas. Pohon-pohon liu di dekat jembatan berkilauan putih. Seekor jangkrik melesat berkelokkelok dari sungai ke sebuah rumah kecil di dekat tepi sungai. Atap-atap rumah di desa
itu berwarna abu-abu kering, berdebu, kehilangan warna lembut cahaya lenteranya di
waktu senja. Dalam panasnya tengah hari, dua pekerja yang beruntung mendapat istirahat
setengah jam dari kerja yang mematahkan tulang punggung itu berbaring telentang di
permukaan sebuah batu besar yang lebar, sambil mengobrol tentang soal yang sedang
menjadi buah bibir setiap orang.
"Kau pikir akan ada perang lagi?"
"Kenapa tidak" Rasanya tak ada orang yang cukup kuat untuk memegang kontrol."
"Kupikir kau benar. Jenderal-jenderal Osaka tampaknya sedang mengumpulkan semua ronin
yang dapat mereka temukan."
"Memang kupikir begitu. Barangkali tak boleh aku bicara keras-keras, tapi kudengar
Keluarga Tokugawa sedang membeli senapan dan amunisi kapal-kapal asing."
"Kalau begitu, kenapa Ieyasu mengawinkan cucu perempuannya, Senhime, dengan Hideyori?"
"Mana aku tahu" Apa pun yang dia lakukan, kita boleh bertaruh, pasti ada alasannya.
Orang-orang biasa macam kita ini tak mungkin tahu, apa yang ada dalam pikiran Ieyasu."
Lalat-lalat merubung kedua orang itu. Segerombolan lain merubung dua ekor sapi jantan
tak jauh dari situ. Kedua ekor binatang itu masih terpasang pada gerobak balok yang
kosong, bermalas-malasan di bawah sinar matahari, diam, tenang, dan berliur mulutnya.
Alasan sebenarnya kenapa kuil itu diperbaiki tidak diketahui oleh pekerja rendahan,
yang mengira Ieyasu akan tinggal di situ. Padahal perbaikan itu merupakan satu tahap
saja dalam program pembangunan besar-besaran, suatu bagian penting dari rencana
pemerintahan Tokugawa. Kerja pembangunan besar-besaran dilaksanakan juga di Edo,
Nagoya, Suruga, Hikone, Otsu, dan selusin kota kuil yang lain lagi. Tujuannya sebagian
besar bersifat politik. Salah satu cara Ieyasu untuk mengendalikan para daimyo adalah
memerintahkan mereka menangani proyek bangunan. Karena tak ada yang cukup kuat untuk
menolak, cara ini membuat tuan-tuan feodal yang bersahabat terlampau sibuk untuk
melunak, sekaligus memaksa para daimyo yang melawan Ieyasu di Sekigahara berpisah
dengan sebagian besar penghasilan mereka. Tujuan lain pemerintah adalah memperoleh
dukungan rakyat banyak, yang secara langsung atau tidak mendapat keuntungan juga dari
pekerjaan umum yang besar itu.
Di Fushimi saja, hampir seribu pekerja dikerahkan memperluas gerigi batu di atas
benteng. Akibatnya kota di sekitar kuil tiba-tiba dibanjiri para penjaja, pelacur, dan
lalat langau"lambang-lambang kemakmuran. Masyarakat luas gembira dengan masa baik yang
didatangkan Ieyasu, dan para pedagang mengkhayal bahwa di atas ini semua akan ada
kesempatan buat terjadinya perang lagi"yang akan lebih menguntungkan. Barang-barang
berlalu lintas dengan sibuknya, bahkan sekarang pun kebanyakan barang barang itu berupa
perbekalan militer. Sesudah menghitung dengan sipoa kolektifnya, para pengusaha besar
menyimpulkan bahwa perbekalan militerlah yang paling menguntungkan.
Penduduk kota dengan cepat melupakan hari-hari yang tenang pada masa kekuasaan
Hideyoshi. Sebagai gantinya, mereka berspekulasi tentang apa yang mungkin diperoleh di
hari-hari mendatang. Bagi mereka tidak banyak bedanya siapa yang berkuasa. Selama
mereka dapat memenuhi kebutuhan remehnya, tak ada alasan untuk mengeluh. Dalam hal ini
pun Ieyasu tidak mengecewakan mereka, karena ia dapat menghamburkan uang seperti
menyebarkan gula-gula kepada anak-anak. Memang bukan uangnya sendiri, melainkan uang
orang-orang yang bisa menjadi musuhnya.
Dalam pertanian pun ia memperkenalkan sistem pengendalian baru. Tokoh-tokoh setempat
tidak lagi diizinkan memerintah semaunya atau mengerahkan petani semaunya untuk kerja
luar. Dari sekarang, para petani harus diperbolehkan menggarap tanahnya"dengan sedikit
sekali mengerjakan yang lain. Mereka harus dibuat masa bodoh terhadap politik dan
diajar mengandalkan diri pada kekuasaan yang ada.
Penguasa yang berbudi, menurut jalan pikiran Ieyasu, adalah orang yang tidak membiarkan
para penggarap tanah mati kelaparan, sekaligus menjaga agar mereka tidak naik melebihi
statusnya. Dengan kebijaksanaan inilah ia bermaksud mengabadikan kekuasaan Tokugawa.
Baik orang kota, petani, maupun daimyo tidak sadar bahwa mereka dengan hati-hati sedang
dijalinkan ke dalam sistem feodal yang akhirnya akan mengikat kaki dan tangan mereka.
Tak seorang pun berpikir tentang apa yang bakal terjadi lima ratus tahun lagi. Tak
seorang pun, kecuali Ieyasu.
Para pekerja di Puri Fushimi itu pun tidak memikirkan hari esok. Mereka hanya memiliki
harapan sederhana. Yaitu sekadar melewati hari itu, makin cepat makin baik. Sekalipun
mereka berbicara tentang perang dan tentang kapan perang bisa meletus, namun rencanarencana besar untuk menjaga perdamaian dan meningkatkan kemakmuran tidak berhubungan
sama sekali dengan mereka. Apa pun yang terjadi, tak mungkinlah keadaan mereka lebih
buruk dari yang sekarang.
"Semangka" Ya, siapa beli semangka?" seru seorang anak perempuan petani yang setiap
hari, di waktu seperti itu, biasa berkeliling. Begitu muncul, ia pun berhasil menjual
semangka pada beberapa lelaki yang sedang mengadu mata uang di bawah bayangan batu
besar. Dengan riangnya ia beralih dari satu gerombolan ke gerombolan lain sambil
berseru, "Siapa lagi?"
"Kamu gila, ya" Kaukira kami punya uang buat semangka?"
"Sini! Saya sih mau saja"kalau tanpa bayar."
Kecewa karena keberuntungan awalnya terhenti, gadis itu mendekati seorang pekerja muda.
yang sedang duduk di antara dua batu besar. Ia bersandar pada batu yang satu, dan
kakinya menyandar pada batu lain, sedangkan tangannya merangkul lutut. "Semangka?"
tanya gadis itu, walaupun tidak begitu menaruh harapan.
Pekerja itu kurus, matanya cekung, sedangkan kulitnya merah sehat terbakar matahari.
Bayangan kelelahan menyamarkan usia mudanya. Namun demikian, teman-teman dekatnya masih
mengenalnya. Dialah Hon'iden Matahachi. Dengan lesu ia menghitung beberapa keping mata
uang kotor dalam telapak tangannya, lalu memberikannya kepada gadis itu.
Ketika ia menyandarkan diri kembali ke batu, kepalanya merunduk murung. Gerakan kecil
itu saja sudah membuatnya kehabisan tenaga. Merasa mual, ia mencondongkan badan ke
samping dan mulai meludah ke rumput. Sedikit pun tak ada lagi tenaganya untuk mengambil
kembali semangka yang terjatuh dari pangkuannya. Dengan jemu ia memandang semangka itu,
sedangkan matanya yang hitam tidak memperlihatkan tanda-tanda kekuatan ataupun harapan.
"Babi!" gumamnya lemah. Yang dimaksudkannya adalah orang-orang yang hendak dibalasnya:
Oko, si Wajah Berpupur, dan Takezo, pemilik pedang kayu. Kekeliruannya yang pertama
adalah pergi ke Sekigahara. Yang kedua, tunduk kepada janda yang menggairahkan itu.
Sampailah ia pada keyakinan bahwa sekiranya bukan karena kedua peristiwa itu, ia sudah
ada di rumahnya di Miyamoto sekarang, menjadi kepala Keluarga Hon'iden, menjadi suami
seorang istri yang cantik, dan membikin iri seluruh kampung.
"Kukira Otsu pasti membenciku sekarang.... Apa gerangan yang sedang dia lakukan?" Dalam
keadaan sekarang, kadang-kadang memikirkan bekas tunangannya itu merupakan hiburannya
satu-satunya. Ketika sifat Oko yang sebenarnya akhirnya ia pahami, mulailah ia
merindukan Otsu kembali. Dan semenjak ia berakal sehat, dan membebaskan diri dari
Warung Teh Yomogi, semakin sering ia memikirkan Otsu.
Pada malam keberangkatannya, ia mengetahui bahwa Miyamoto Musashi yang meraih reputasi
sebagai pemain pedang di ibu kota itu ternyata teman lamanya, Takezo. Guncangan keras
ini segera disusul gelombang cemburu hebat.
Karena ingat akan Otsu, ia sudah berhenti minum, dan mencoba menanggalkan sifat malas
dan kebiasaan buruknya. Tetapi mulanya ia tidak dapat menemukan pekerjaan yang cocok.
Disumpahinya dirinya sendiri karena selama lima tahun tidak mengikuti arus perubahan,
sementara selama itu seorang perempuan yang lebih tua menanggung hidupnya. Untuk sesaat
kelihatan olehnya seolah sudah terlambat untuk mengadakan perubahan.
"Belum terlambat!" demikiari ia meyakinkan dirinya. "Umurku baru dua puluh dua. Aku
dapat melakukan apa saja kalau aku mencoba!" Setiap orang bisa saja mengalami perasaan
seperti itu, tapi dalam hal Matahachi, itu berarti menutup mata, meloncati jurang lima
tahun lamanya, dan menjual tenaga sebagai buruh harian di Fushimi.
Di situ ia bekerja keras, membudakkan diri dengan tekun dari hari ke hari, sementara
matahari menyengatnya dari musim panas sampai musim gugur. Agak bangga juga ia dapat
bertahan di situ. "Akan kutunjukkan pada semua orang!" demikian pikirnya, sekalipun sedang mau muntah.
"Tak ada alasan, kenapa aku tak dapat memperoleh nama untuk diriku. Aku dapat melakukan
apa saja yang dilakukan Takezo! Aku dapat melakukan lebih dari itu, dan akan kulakukan.
Lalu aku akan melakukan pembalasan, biarpun sudah mengalami peristiwa dengan Oko. Yang
kubutuhkan sekarang cuma sepuluh tahun."
Sepuluh tahun" Ia berhenti untuk menghitung, berapa sudah umur Otsu waktu itu. Tiga
puluh satu! Apakah Otsu akan tetap sendiri, dan menunggunya selama itu" Sedikit
kemungkinannya. Matahachi tak tahu sama sekali tentang apa yang belum lama itu terjadi
di Mimasaka. Tak dapat ia mengetahui bahwa khayalannya kosong. Tapi sepuluh tahun"tak
mungkin! Tak akan lebih dari lima atau enam tahun! Dalam jangka waktu itu ia sudah
mencapai sukses. Pada waktu itu ia akan kembali ke kampung, meminta maaf kepada Otsu,
dan membujuknya untuk kawin. "Itulah satu-satunya cara!" ucapnya. "Lima tahun, atau
paling banyak enam tahun." Ia menatap semangka itu, dan kilas cahaya tampak kembali
pada matanya. Justru pada waktu itu salah seorang teman kerjanya berdiri di seberang batu besar di
depannya. Sambil menopangkan siku ke puncak batu besar lebar itu, teman itu berseru,
"Hei, Matahachi, apa yang kau gumamkan sendiri" Mukamu kelihatan hijau. Apa semangka
itu busuk?" Matahachi terpaksa menampakkan senyuman lemah, namun sekali lagi ia terserang gelombang
pusing. Air liur keluar dari mulutnya ketika ia mengguncang-guncangkan kepalanya. "Ini
bukan apa-apa, bukan apa-apa!" Sengal-nya. "Kukira terlalu banyak aku terkena panas
matahari. Biar aku beristirahat di sini sekitar sejam."
Para penghela batu besar yang tegap-tegap itu mencemoohkan kelunglaiannya, walaupun
dengan cara baik-baik saja. Salah seorang bertanya, "Kenapa kamu beli semangka kalau
kamu tak bisa makan semangka?"
"Aku beli ini untuk kalian semua," jawab Matahachi. "Kukira itulah yang baik, karena
aku tak bisa mengerjakan bagian kerjaku."
"Oh, bagus juga. Hei, kawan-kawan! Makan ini, Matahachi yang bayar."
Buruh-buruh pun memecahkan semangka itu di sudut batu dan menyerbu-nya seperti semut,
membagi-bagi daging buah yang merah, manis menetes-netes itu. Begitu semangka habis,
seseorang melompat ke atas batu dan pekiknya, "Kembali kerja, hei, kalian!"
Samurai yang bertugas keluar dari sebuah gubuk memegang cambuk. Bau keringatnya
menyebar ke atas tanah. Segera kemudian terdengar lagu kerja para penghela batu di
medan kerja itu, ketika sebuah batu raksasa dipindahkan dengan pengumpil-pengumpil
besar ke atas gelindingan dan diseret dengan tali-tali setebal lengan. Batu itu maju
dengan berat dan lambat, seperti gunung yang bergeser.
Dengan ramainya pembangunan puri, lagu-lagu berirama ini pun berkembang biak. Sekalipun
kata-katanya jarang dituliskan, tidak kurang dari Yang Dipertuan Hachisuka dari Awa,
yang bertanggung jawab atas pembangunan Puri Nagoya, telah mencatat beberapa syairnya
dalam sebuah surat. Yang Dipertuan, yang tentunya tak ada kesempatan biarpun cuma
menyentuh bahan-bahan bangunan, jelas telah mengetahui syair-syair itu dari sebuah
pesta. Karangan sederhana seperti di bawah ini menjadi semacam mode di tengah
masyarakat, juga di antara para pekerja.
Dari Awataguchi kita menariknya
Menyeretnya batu demi batu-demi batu.
Buat Tuan Yang Mulia, Yang Dipertuan Togoro.
Ei, sa, ei, sa... Tarik ya! Seret ya! Tarik ya! Seret ya!
Tuan kita bicara, Kaki tangan kita gemetar.
Tapi kita setia padanya-sampai mati.
Penulisnya berkomentar, "Semua orang, tua-muda, menyanyikan lagu ini, karena lagu ini
bagian dari dunia mengambang yang kita tinggali!"
Kaum buruh di Fushimi tidak sadar akan gema sosial lagu-lagu ini, namun lagu-lagu
mereka benar-benar mencerminkan semangat zaman. Lagu-lagu populer pada zaman merosotnya
ke-shogun-an Ashikaga pada umumnya bersifat dekaden dan kebanyakan dinyanyikan secara
pribadi, tetapi pada tahun-tahun makmur kekuasaan Hideyoshi, lagu-lagu bahagia dan
gembira sering terdengar di tempat umum. Kemudian hari, ketika kerasnya kekuasaan
Ieyasu mulai terasa, nada-nada itu kehilangan sebagian semangat gembiranya. Ketika
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekuasaan Tokugawa menjadi lebih kuat, nyanyian yang spontan sifatnya cenderung
memberikan tempat kepada musik yang digubah oleh para musisi yang mengabdi kepada para
shogun. Matahachi meletakkan kepalanya ke tangan. Kepala itu demam oleh suhu tinggi, dan
nyanyian dengan kata-kata "tarik-ya" itu mendengung, mengiang di telinganya, seperti
segerombolan lebah. Dalam keadaan seorang diri, kini ia menjadi murung.
"Tapi apa gunanya," rintihnya. "Lima tahun. Umpamanya aku kerja keras, apa untungnya
itu untukku" Aku kerja sehari penuh, yang kudapat cuma cukup buat makan sehari. Kalau
tidak kerja, aku tidak makan."
Waktu itu dirasanya ada orang berdiri di dekatnya, dan ia menengadah. Tampak olehnya
seorang pemuda jangkung. Kepalanya tertutup topi anyaman kasar dalam-dalam, dan di
pinggangnya tergantung satu bungkusan seperti yang biasa dibawa oleh shugyosha. Sebuah
emblem dalam bentuk kipas bertulang baja yang setengah terbuka, menghiasi bagian depan
topinya. Ia sedang memandang kerangka bangunan dengan penuh renungan dan sedang
menaksir medannya. Sesudah beberapa waktu, ia pun mendudukkan diri di samping sebuah batu yang lebar rata.
Tinggi batu itu tepat sekali untuk meja tulis. Ditiupnya pasir di atas batu itu,
termasuk juga iringan semut yang sedang berbaris di situ, kemudian sambil menopangkan
kepala ke batu dengan sikunya, ia kembali mengamati baik-baik lingkungan sekitar.
Sekalipun panas matahari menyengat langsung wajahnya, ia tetap tak bergerak, dan
kelihatannya tak mempan oleh panas yang tak menyenangkan itu. Ia tidak melihat
Matahachi yang waktu itu masih terlalu merana untuk peduli, apakah ada orang atau tidak
di dekatnya. Orang lain tidak ada artinya sama sekali baginya. Ia duduk membelakangi
pendatang itu dan sekali-sekali muntah.
Segera kemudian samurai itu tahu bahwa Matahachi sedang muntah.
"Hei," katanya. "Kenapa kamu?"
"Panas ini," jawab Matahachi.
"Kau sedang kurang sehat rupanya."
"Sebetulnya lebih baik dari biasanya, tapi saya pusing."
"Mau obat?" kata samurai itu sambil membuka kotak obat yang dipernis hitam dan
menumpahkan pil-pil merah ke telapak tangannya. Ia mendekat dan memasukkan obat itu ke
mulut Matahachi. "Sebentar lagi kau sembuh," katanya.
"Terima kasih."
"Apa kau mau istirahat lebih lama di sini?"
"Ya." "Kalau begitu, aku mau minta tolong. Kasih tahu aku kalau nanti ada orang dating
lemparkan saja kerikil atau yang lain."
Ia kembali ke batunya sendiri, duduk di situ, dan mengeluarkan kuas dari kantong
tulisnya dan buku tulis dari kimononya. Ia buka alas di atas batu itu, dan mulailah ia
menggambar. Di bawah tepi topinya, matanya bergerak ke sana kemari dari puri ke
lingkungan terdekatnya, termasuk juga menara utama, benteng, pegunungan di latar
belakang, sungai, dan kali-kali kecil.
Tepat sebelum Pertempuran Sekigahara, puri ini diserang oleh kesatuankesatuan Tentara
Barat, dan dua pekarangannya, juga sebagian paritnya, menderita kerusakan besar.
Sekarang benteng ini tidak hanya dibangun kembali, melainkan juga diperkuat, sehingga
akan mengalahkan Benteng Hideyori di Osaka.
Calon prajurit itu membuat sketsa sepintas-lintas secara cepat, namun dengan perincian
luas mengenai seluruh puri, dan pada halaman kedua ia mulai membuat diagram jalan-jalan
dari belakang. "Uh-Oh!" ujar Matahachi pelan. Entah dari mana datangnya, tapi tiba tiba saja muncul
inspektur proyek, yang kemudian berdiri di belakang pembuat sketsa itu, berpakaian
setengah zirah dan mengenakan sandal jerami. Orang itu berdiri diam, seakan-akan
menanti dilihat orang. Matahachi merasa bersalah karena tidak melihat pada waktunya,
supaya dapat memberikan peringatan. Kini sudah terlambat.
Segera kemudian calon prajurit itu mengangkat tangan untuk mengusir lalat dari kerahnya
yang berkeringat, dan waktu itulah tampak olehnya si pengganggu itu. Ia menengadah
dengan mata terkejut, dan si inspektur menatap kembali dengan marahnya sebentar,
kemudian mengulurkan tangan ke arah gambar. Calon prajurit itu menangkap pergelangan
tangannya dan bangkit berdiri.
"Apa yang kamu lakukan ini?" serunya.
Inspektur mengambil buku tulis itu dan mengacungkannya tinggi-tinggi. "Aku mau lihat
dulu," salaknya. "Kau tak punya hak."
"Ini tugasku!" "Mengganggu urusan orang lain itu tugasmu?"
"Kenapa" Apa tak boleh aku melihat?"
"Orang bebal macam kamu tak bakal mengerti."
"Kupikir lebih baik aku menyimpannya."
"He, jangan, jangan!" teriak calon prajurit itu hendak merebut buku tulisnya. Kedua
orang itu tarik-menarik, dan buku tulis sobek menjadi dua.
"Awas kamu!" seru si inspektur. "Lebih baik kamu memberi penjelasan baik-baik. Atau
kuadukan kau." "Apa dasarnya" Apa kamu perwira?"
"Betul." "Apa kelompokmu" Siapa komandanmu?"
"Bukan urusanmu. Tapi kau boleh tahu, aku punya perintah untuk menyelidiki siapa saja
di tempat ini yang kelihatan mencurigakan. Siapa kasih kamu izin membuat sketsa?"
"Lho, aku sedang membuat telaah tentang puri-puri dan ciri-ciri geografisnya buat
rujukan masa depan. Apa salahnya?"
"Tempat ini penuh mata-mata musuh. Mereka semua mengajukan alasan macam itu. Tak peduli
siapa kamu. Kamu mesti menjawab beberapa pertanyaan. Ayo sini ikut aku!"
"Jadi, kau menuduhku penjahat?"
"Tutup mulutmu dan ikut a
ku." "Oh, pegawai-pegawai bejat! Terlalu biasa kalian menakut-nakuti orang banyak, tiap kali
kalian membuka mulut besar itu!"
"Diam kamu! Ayo ikut!"
"Jangan kau coba-coba denganku!" Calon prajurit itu tetap tak mau menyerah.
Nadi-nadi di dahinya menggelembung marah. Inspektur itu menjatuhkan belahan buku tulis
tersebut, menginjaknya, dan menarik lembing kapaknya. Si calon prajurit melompat mundur
selangkah, memperbaiki kedudukannya.
"Kalau kamu tak mau ikut dengan sukarela, terpaksa aku mengikat dan menyeret-mu," kata
si inspektur. Belum lagi kata-kata itu selesai diucapkan, lawannya sudah beraksi. Sambil melolong
keras ditangkapnya leher inspektur itu dengan sebelah tangan, dan dengan tangan lain
dicengkeramnya ujung bawah baju zirahnya, kemudian dibantingnya ke sebuah batu besar.
"Orang udik tak berguna!" jeritnya, tapi kata-kata itu kurang cepat waktunya untuk
didengar si inspektur, karena kepala si inspektur sudah menganga di atas batu, seperti
semangka. Matahachi berteriak ngeri sambil menutup muka dengan tangan untuk melindungi
diri dari gumpalan-gumpalan benda encer merah yang melayang ke arahnya.
Sementara itu, si calon prajurit cepat kembali kepada sikap tenang sepenuhnya.
Matahachi sungguh terpesona. Mungkinkah orang itu sudah terbiasa mem-bunuh dengan cara
brutal seperti itu" Ataukah sifat darah dingin itu sekadar akibat ledakan kemarahan"
Karena gentar yang sehebat-hebatnya, Matahachi mulai mengucurkan keringat. Menurut
terkaannya, orang itu belum lagi berumur tiga puluh. Wajahnya yang kurus dan terbakar
matahari itu bopeng, dan kelihatannya tidak berdagu. Barangkali karena bekas luka
pedang yang dalam dan mencekung aneh bentuknya.
Calon prajurit itu tidak terburu-buru melarikan diri. Ia mengumpulkan dahulu bagianbagian buku tulisnya yang robek-robek. Kemudian ia menoleh ke sekitar tenang-tenang,
untuk mencari topinya yang terbang ketika ia melaksanakan lemparan hebat tadi. Sesudah
ditemukannya topi itu, ia mengenakannya dengan hati-hati di kepala, dan sekali lagi
menyembunyikan mukanya yang mengerikan itu dari pandangan mata. Kemudian pergilah ia
dengan langkah cepat dan semakin cepat, sampai akhirnya seolah-olah ia terbang bersama
angin. Seluruh peristiwa itu terjadi demikian cepat, hingga tak seorang pun dari beratus-ratus
buruh yang ada di sekitar tempat itu, ataupun orang-orang yang mengawasi pekerjaan
mereka, sempat melihatnya. Para pekerja melanjutkan kerja keras seperti lebah,
sementara para pengawas yang bersenjatakan cambuk dan lembing kapak meneriakkan
perintah-perintah ke punggung mereka yang berkeringat.
Namun ada sepasang mata khusus yang menyaksikan semua itu. Mata pengawas umum para
tukang kayu dan pembelah kayu yang berdiri di puncak perancah tinggi, yang
memungkinkannya meninjau seluruh wilayah tersebut. Melihat calon prajurit itu melarikan
diri, ia meneriakkan perintah, dan sekelompok serdadu, yang semula minum teh di bawah
perancah, segera bergerak.
"Ada apa?" "Perkelahian lagi?"
Yang lain-lain mendengar seruan untuk memegang senjata, dan segera kemudian berkepul
debu kuning di dekat gerbang kayu benteng yang memisahkan wilayah pembangunan dengan
kampung. Teriakan-teriakan marah mengudara dari kerumunan orang banyak.
"Ada mata-mata! Mata-mata dari Osaka!"
"Tak mau juga mereka itu belajar."
"Bunuh dia! Bunuh dia!"
Para penghela batu, pengangkut tanah, dan lain-lainnya berteriak-teriak seakan-akan
"mata-mata" itu musuh pribadinya, dan menyerbu ke arah samurai tak berdagu itu. Samurai
itu berlari di belakang kereta sapi yang sedang keluar dari gerbang, dan mencoba
menyelinap, tapi seorang penjaga melihatnya dan menjegalnya dengan tongkat berpaku.
Dari atas perancah pengawas terdengar teriakan, "Jangan lepaskan dia!"
Tanpa ragu-ragu lagi orang banyak itu menyerang si pelaku kejahatan, yang terus melawan
seperti binatang kena perangkap. Ia merebut tongkat dari tangan penjaga, lalu menyerang
si penjaga, dan dengan ujung senjata itu ia banting si penjaga dengan kepala di bawah.
Setelah menjatuhkan empat atau lima orang lagi dengan cara seperti itu, ia menarik
pedang besarnya dan mengambil sikap menyerang. Orang-orang yang hendak menangkapnya
undur ketakutan, tapi ketika ia bersiap-siap menerobos lingkaran yang mengepungnya,
hujan batu menimpanya dari segala jurusan.
Orang banyak melampiaskan kemarahan sepuas-puasnya. Sikap mereka lebih kejam lagi,
karena rasa benci yang dalam terhadap semua shugyosha. Seperti umumnya orang
kebanyakan, kaum buruh ini menganggap samurai pengembara tak berguna, tidak produktif,
dan sombong. "Hei, jangan seperti orang kasar bodoh!" teriak samurai yang sudah terkepung itu,
mencoba menyuruh orang-orang itu berpikir dan menahan diri. Ia memang melawan mereka,
tapi agaknya ia lebih suka mengumpat para penyerangnya daripada menghindari batu-batu
yang dilontarkan kepadanya. Tidak sedikit para penonton yang tidak bersalah ikut
terluka dalam perkelahian itu.
Kemudian dalam sekejap segalanya berlalu. Teriakan mereda, dan kaum buruh mulai kembali
ke tempat kerja masing-masing. Dalam lima menit saja wilayah pembangunan yang luas itu
kembali seperti keadaan semula, seakan-akan tak ada yang telah terjadi. Bunga-bunga api
yang berterbangan dari berbagai alat pemotong, ringkik kuda yang sudah setengah kacau
karena panas matahari, dan panas yang menumpulkan pikiran-semuanya kembali biasa.
Dua pengawal berdiri di samping tubuh yang jatuh itu, yang telah diikat dengan tali
rami besar. "Sudah sembilan puluh persen mati," kata salah seorang pengawal, "jadi bisa
kita tinggalkan dia di sini sampai hakim datang." Ia memandang ke sekitar, dan
terlihatlah olehnya Matahachi. "He, kamu! Jaga orang ini. Biar dia mati, tak apa-apa."
Matahachi mendengar kata-kata itu, tapi kepalanya tidak dapat menangkap maksudnya atau
makna peristiwa yang baru saja disaksikannya. Semua itu seperti mimpi buruk yang tampak
oleh mata, terdengar oleh telinga, tapi tak dimengerti oleh otaknya.
"Hidup ini begini rapuh," pikirnya. "Beberapa menit yang lalu dia masih sibuk membuat
sketsa. Sekarang dia sekarat. Padahal dia belum lagi tua."
Ia merasa kasihan kepada samurai tak berdagu itu. Kepalanya tergeletak miring di tanah,
hitam oleh kotoran dan darah kental, dan mukanya masih memperlihatkan kemarahan. Tali
itu mengikatkannya pada sebuah batu besar. Matahachi merasa heran, kenapa para pengawal
mengambil tindakan berjaga-jaga demikian rupa, padahal orang itu sudah sedemikian dekat
dengan maut, hingga mengeluarkan suara pun tak bisa. Barangkali juga ia sudah mati.
Sebelah kakinya menyembul aneh dari tengah sobekan panjang hakama-nya, sedangkan tulang
keringnya yang putih menyembul dari tengah daging yang merah tua. Darah merembes dari
kulit kepalanya, dan tawon-tawon mulai terbang di sekitar rambutnya yang kusut. Semutsemut sudah hampir menutup kedua tangan dan kakinya.
"Orang sial," pikir Matahachi. "Kalau dia belajar sungguh-sungguh, pasti dia mempunyai
ambisi besar dalam hidup. Ingin tahu juga, dari mana dia datang... dan apa orangtuanya
masih hidup." Matahachi tercengkam oleh kesangsian aneh. Apakah ia benar-benar meratapi nasib orang
itu, ataukah ia prihatin dengan kekaburan masa depannya sendiri" "Untuk orang yang
mempunyai ambisi," demikian pikirnya, "mestinya ada cara yang lebih baik untuk maju."
Waktu itu adalah abad yang memacu harapan orang muda, yang mendorong mereka untuk
mendambakan suatu impian, melecut mereka untuk memperbaiki statusnya dalam hidup. Ya,
abad ketika orang seperti Matahachi pun dapat berkhayal akan bangkit dari ketiadaan dan
menjadi penguasa sebuah puri. Seorang prajurit yang berbakat sederhana dapat mencapai
sukses hanya dengan mengadakan perjalanan dari kuil satu ke kuil lain, dan hidup dari
kedermawanan para pendeta. Kalau beruntung, ia dapat diambil oleh salah seorang
bangsawan daerah, dan jika lebih beruntung lagi ia dapat menerima penghasilan tetap
dari seorang daimyo. Namun, dari semua pemuda yang mulai dengan harapan-harapan tinggi itu, hanya satu dalam
seribu yang benar-benar mengakhiri usahanya dengan menemukan kedudukan dengan
pendapatan memadai. Selebihnya harus merasa puas dengan kepuasan yang dapat mereka
peroleh dari pengetahuan bahwa cita-cita mereka sukar dan berbahaya.
Sementara Matahachi merenungkan samurai yang terbaring di depannya itu, seluruh jalan
pikirannya mulai dirasa betul-betul bodoh olehnya. Ke manakah arah jalan yang ditempuh
Musashi" Keinginan Matahachi untuk menyamai atau melebihi temannya semasa kanak-kanak
memang belum mereda, tetapi melihat prajurit yang berlumur darah itu, Jalan Pedang pun
jadi tampak sia-sia dan tolol.
Kengerian tiba-tiba menyadarkannya bahwa prajurit di depannya itu bergerak, dan urutan
pikirannya pun tiba-tiba berhenti. Tangan orang itu menjulur seperti sirip penyu dan
mencakar tanah. Dengan lemah ia mengangkat tubuhnya, menegakkan kepala, dan menarik
tali tegang-tegang. Hampir Matahachi tak percaya dengan matanya. Orang itu bergerak sedikit demi sedikit di
tanah, menyeret batu karang seberat hampir dua ratus kilogram yang menjadi tambatan
tali pengikatnya. Satu kaki, dua kaki"sungguh suatu peragaan kekuatan seorang manusia
super! Tak seorang pun manusia berotot atau tukang hela batu yang dapat melakukan itu,
sekalipun banyak orang menyombongkan diri memiliki kekuatan setara sepuluh atau dua
puluh orang. Samurai yang terbaring di ambang kematian itu telah dikuasai oleh suatu
kekuatan setani yang memungkinkan-nya jauh melebihi kekuatan manusia biasa.
Bunyi menggelegak terdengar dari tenggorokan orang sekarat itu. Ia mencoba mati-matian
untuk berbicara, tetapi lidahnya sudah menjadi hitam dan kering, hingga tak mungkin
baginya membentuk kata-kata. Napasnya terdengar sebagai desisan yang merongga terputusputus. Matanya yang menonjol dari ceruknya memandang dengan nada memohon kepada
Matahachi. "To-lo-lo-ng..."
Sedikit demi sedikit mengertilah Matahachi bahwa orang itu mengatakan "tolong".
Kemudian terdengar bunyi lain yang tak jelas ucapannya, dan Matahachi menangkapnya
sebagai ucapan "saya minta". Namun mata orang itulah yang terutama berbicara. Di
situlah terletak akhir air matanya dan kepastian mautnya. Kepalanya jatuh ke belakang
dan napasnya berhenti. Maka lebih banyak lagi semut keluar dari dalam rumput untuk
menjelajahi rambut yang memutih oleh debu itu. Sebagian di antaranya bahkan masuk ke
dalam lubang hidungnya yang sudah tersumbat keringan darah, dan tampaklah oleh
Matahachi, kulit di bawah kerah kimononya sudah berwarna biru kehitaman.
Apakah yang diinginkan orang itu darinya" Matahachi merasa dikejar-kejar oleh pikiran
bahwa kini ia menanggung kewajiban. Samurai itu sudah mendatanginya ketika ia sakit,
dan telah menunjukkan kebaikan hatinya dengan memberikan obat kepadanya. Kenapa nasib
telah membutakan mata Matahachi, sedangkan seharusnya ia mengingat-kan orang itu akan
datangnya sang inspektur" Apakah memang sudah ditakdirkan itu terjadi"
Matahachi mencoba-coba meraba bungkusan kain dalam obi orang mati itu. Isinya pastilah
dapat mengungkapkan siapa orang itu dan dari mana ia datang. Matahachi menduga bahwa
permintaan orang itu di waktu sekarat adalah agar tanda mata yang ada padanya
disampaikan pada keluarganya.
Maka diambilnya bungkusan itu dan dimasukkannya cepat-cepat ke dalam kimononya sendiri.
Lalu ia bersoal-jawab dengan dirinya sendiri, apakah akan memotong sedikit rambut orang
itu untuk disampaikan kepada ibunya, tapi ketika sedang menatap wajah yang mengerikan
itu, ia dengar langkah-langkah kaki mendekat. Ditengoknya dari balik sebuah batu, dan
tampak olehnya seorang samurai datang untuk mengambil mayat itu. Kalau tertangkap
menyimpan milik orang mati itu, pasti ia mengalami kesulitan hebat. Maka ia mengendap
rendah-rendah dan menyelinap dari bayangan batu yang satu ke bayangan batu yang lain
dan meninggalkan tempat itu seperti seekor tikus ladang.
Dua jam kemudian ia tiba di toko manisan tempat ia tinggal. Istri pemilik toko sedang
berada di samping rumah, membasuh diri dengan air tempayan. Mendengar Matahachi ada di
dalam rumah, ia memperlihatkan sebagian kulitnya yang putih dari balik pintu samping,
dan serunya, "Kamu itu, Matahachi?"
Matahachi menjawab dengan gerutuan keras, kemudian masuk cepat ke kamarnya sendiri dan
mengambil kimono dan pedang dari lemari, kemudian ia ikatkan handuk yang sudah digulung
di sekitar kepalanya dan bersiapsiap mengenakan sandal lagi.
"Apa tidak gelap di situ?" seru perempuan itu.
"Tidak, saya bisa lihat dengan jelas."
"Akan saya bawakan lampu."
"Tak perlu. Saya akan pergi."
"Apa tidak mandi" "
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. Nanti saja."
Ia bergegas keluar menuju ladang dan cepat menghindar dari rumah jembel itu. Beberapa
menit kemudian ia menoleh ke belakang, dan terlihat olehnya sekelompok samurai datang
dari seberang padang miskantus. Tak sangsi lagi mereka datang dari puri. Mereka
memasuki toko manisan itu dari depan dan belakang.
"Hampir saja aku celaka," pikirnya. "Tapi aku tidak mencuri sesuatu. Aku cuma
mengambilnya untuk disimpan. Aku harus melakukannya. Dia minta betul aku melakukannya."
Menurut jalan pikirannya, selama ia mengakui barang-barang itu bukan miliknya, ia tidak
merasa melakukan kejahatan. Tapi bersamaan dengan itu ia pun sadar bahwa ia tidak dapat
lagi memperlihatkan diri di wilayah pembangunan itu.
Bunga miskantus tegak setinggi bahunya, dan tabir kabut petang mengambang di atasnya.
Tak seorang pun dapat melihatnya dari kejauhan. Mudahlah ia menyelinap pergi dari situ.
Tapi ke mana ia harus pergi" Suatu pilihan yang sukar. Lebih-lebih karena ia yakin
benar bahwa keberuntungan terletak di satu jurusan dan nasib malang di jurusan lain.
Osaka" Kyoto" Nagoya" Edo" Ia tak punya seorang pun teman di tempat-tempat itu. Rasanya
ingin ia melempar dadu untuk memutuskan ke mana akan pergi. Seperti halnya pada
Matahachi, pada dadu semua adalah kemungkinan. Kalau angin bertiup, angin akan
membawanya berembus. Ia merasa makin jauh ia berjalan, makin dalam ia masuk ke rumpun miskantus. Serangga
mendengung-dengung di sekitarnya, dan kabut yang turun melembapkan pakaiannya. Tepi
pakaiannya yang basah melibat kakinya. Biji-biji rumput menempel ke lengan kimononya.
Tulang keringnya gatal. Ingatan mengenai rasa muak yang dialaminya tengah hari itu kini
hilang, tapi sekarang ia lapar bukan kepalang. Segera sesudah merasa jauh dari
jangkauan para pengejarnya, ia pun mulai merasa sengsara karena harus berjalan.
Karena ingin menemukan tempat berbaring dan beristirahat, ia terus berjalan menempuh
panjangnya ladang itu, dan di seberang sana tampak atap sebuah rumah. Ketika ia sudah
lebih dekat, tampak bahwa pagar dan pintu gerbang rumah itu miring, agaknya dirusak
badai yang belum lama menimpa. Atap rumah itu pun membutuhkan perbaikan. Namun rumah
itu tadinya tentu milik satu keluarga berada, karena ada keanggunan tertentu, walaupun
sudah layu. Ia membayangkan seorang wanita istana cantik, duduk di kereta bertabir
mewah yang sedang mendekati rumah itu dengan langkah megah.
Ketika melintas gerbang yang tampak murung itu, tampak olehnya rumah utama dan rumah
kecil yang terpisah itu sudah hampir terkubur rumput liar. Pemandangan di situ
mengingatkannya pada sebagian sajak penyair Saigyo yang pernah ia pelajari di masa
kanak-kanak: Saya dengar ada kenalan saya tinggal di Fushimi, dan saya pergi berkunjung kepadanya,
tetapi halamannya demikian tertutup semak! Saya bahkan tak dapat melihat jalannya.
Sementara serangga-serangga menyanyi, saya pun menggubah sajak ini:
Menerobos rumput liar, Kusembunyikan rasa senduku
Dalam lipatan lengan kimonoku.
Di halaman penuh embun Serangga yang hina pun berlagu.
Hati Matahachi jadi menggigil. Ia meringkuk di dekat rumah itu sambil membisikkan katakata yang sudah lama dilupakannya itu.
Baru saja ia akan menyimpulkan rumah itu kosong, seberkas cahaya merah muncul dari
dalam. Segera kemudian ia dengar ratapan merana shakuhachi, suling bambu yang biasa
dimainkan pendeta pengemis apabila sedang mengemis di jalan-jalan. Ketika menengok ke
dalam, didapatinya si pemain memang anggota kelas itu. Orang itu duduk di samping
perapian. Api yang baru dinyalakannya bertambah terang, dan bayangan dirinya di dinding
makin besar. Ia memainkan lagu sedih, ratapan tunggal mengenai kesendirian dan sendunya
musim gugur, yang hanya dimaksud untuk telinga sendiri. Orang itu bermain sederhana
saja, tanpa banyak kembang, hingga Matahachi mendapat kesan bahwa ia cuma menaruh
sedikit rasa bangga pada permainannya sendiri.
Ketika lagu berhenti, pendeta itu mengeluh dalam dan mulai meratap.
"Orang bilang, kalau kita berumur empat puluh tahun, kita bebas dari godaan. Tapi
cobalah lihat diriku ini! Empat puluh tujuh ketika kuhancurkan nama baik keluargaku.
Empat puluh tujuh tahun! Dan masih saja aku tergoda angan-angan buruk dan kehilangan
semuanya-pendapatan, kedudukan, nama baik. Bukan hanya itu. Telah kubiarkan anak
lelakiku satusatunya mengurus diri sendiri di dunia yang brengsek ini.... Untuk apa"
Cinta buta" "Memalukan"tak dapat lagi aku menghadapi arwah istriku, juga anak lelakiku, di mana pun
ia berada. Ha! Kalau orang berbicara bahwa kita menjadi bijaksana sesudah umur empat
puluh, mestinya yang dibicarakan itu orang-orang besar, bukan orang-orang tolol seperti
aku ini. Daripada menganggap diri bijaksana karena usia, lebih baik aku harus lebih
berhati-hati. Sungguh gila tidak berhati-hati, kalau soalnya menyangkut perempuan."
Sambil menegakkan shakuhachi di depannya dan mengganjalkan kedua tangan pada pipinya,
ia meneruskan, "Ketika urusan dengan Otsu itu terjadi, tak seorang pun mau memaafkan
aku lagi. Sudah terlambat, terlambat."
Matahachi merangkak masuk kamar sebelah. Ia mendengarkan, tetapi jijik dengan apa yang
dilihatnya. Pipi pendeta itu cekung, bahunya kelihatan lancip seperti bahu anjing liar,
dan rambutnya tidak mengilat. Matahachi meringkuk diam-diam. Dalam cahaya api yang
mengejap-ngejap, sosok tubuh orang itu menimbulkan khayalan tentang setan-setan malam.
"Oh, apa yang harus kuperbuat?" rintih pendeta itu lagi sambil mengangkat matanya yang
cekung ke langit-langit. Kimononya polos dan kumal, tetapi ia mengenakan juga baju
jubah hitam, yang menunjukkan bahwa ia pengikut guru Zen Cina, P'u-hua. Tikar buluh
tempat ia duduk, yang digulungnya dan dibawanya ke mana saja ia pergi itu, barangkali
satusatunya harta rumah tangganya-tempat tidurnya, tabirnya, dan dalam cuaca buruk,
juga atapnya. Pendeta itu memungut shakuhachi-nya dan berjalan dengan lesu ke luar rumah. Matahachi
seperti melihat ada kumis menyerabut di bawah hidungnya yang kurus. "Sungguh orang
aneh!" pikirnya. "Dia belum lagi tua, tapi berdirinya sudah begitu goyah." Karena
dikiranya orang itu kurang waras, Matahachi merasa sedikit kasihan kepadanya.
Karena tiupan angin malam, nyala api dari ranting-ranting patah mulai membakar lantai.
Matahachi masuk kamar kosong itu, menemukan kendi air, dan menuangkan isinya ke api.
Sambil melakukan itu terpikir olehnya, alangkah cerobohnya pendeta itu.
Tak apa-apa kalau yang terbakar habis cuma rumah tua yang kosong itu. tapi bagaimana
kalau yang terbakar itu kuil kuno dari zaman Asuka atau Kamakura" Matahachi merasakan
gejolak kemarahan yang jarang terjadi padanya. "Justru karena orang-orang seperti dia
itu kuil-kuil kuno di Nara dan Gunung Koya begitu sering hancur," pikirnya. "Pendetapendeta pengembara yang gila ini tak punya harta milik, tak punya keluarga. Mereka tak
pernah berpikir, betapa besarnya bahaya api. Mereka bisa saja menyalakan api di ruang
besar sebuah biara tua, di dekat lukisan dinding, hanya untuk menghangatkan bangkainya
sendiri yang tak ada manfaatnya bagi siapa pun.
"Tapi ini ada yang menarik," gumamnya sambil menolehkan matanya ke arah ceruk kamar.
Bukan pola anggun kamar ataupun sisa-sisa jambangan berharga yang memikat perhatiannya,
melainkan sebuah kuali logam yang sudah hitam dan sebuah guci sake bermulut sumbing di
sebelahnya. Di dalam kuali itu ada sedikit bubur nasi, dan ketika ia mengguncangkan
guci itu, terdengar dari dalamnya suara gemericik gembira. Ia tersenyum lebar, merasa
bersyukur atas nasib baiknya, namun kurang pikir tentang hak milik orang lain, seperti
yang biasa terjadi pada orang lapar mana pun.
Cepat ia mengosongkan sake itu dengan beberapa tegukan panjang, kemudian mengosongkan
isi kuali nasi dan mengucapkan selamat kepada dirt sendiri karena perutnya sudah
kenyang. Sambil mengangguk-angguk mengantuk di samping perapian, ia mendengar dengung serangga
yang seperti hujan datang dari ladang gelap di luar"tidak hanya dari ladang, melainkan
juga dari dinding, langit-langit, dan tikar tatami yang membusuk.
Tepat sebelum berlayar ke alam tidur, teringat olehnya bungkusan yang diambil-nya dari
prajurit yang sekarat tadi. Ia bangun dan membukanya. Bungkusan itu berupa kain krep
kotor yang dicelup dengan celupan kayu sappan merah tua. Isinya pakaian dalam yang
sudah dicuci bersih, serta barang-barang yang biasa dibawa musafir. Ketika pakaian
dibuka, ditemukannya sebuah benda yang ukuran dan bentuknya seperti gulungan surat,
terbungkus dengan amat hati-hati dalam kertas minyak. Terdapat juga sebuah pundi-pundi
yang seketika jatuh dari lipatan kain dengan denting nyaring. Pundi-pundi itu terbuat
dari kulit bercelup warna lembayung. Isinya emas dan perak dalam jumlah demikian
banyak, hingga tangan Matahachi gemetar ketakutan. "Ini uang orang lain, bukan uangku,"
demikian ia mengingatkan dirinya.
Ketika dibukanya kertas minyak yang membungkus barang yang panjang, tampak sebuah
gulungan dililitkan pada sebuah gelindingan dengan kain brokat emas di ujungnya. Segera
ia merasa bahwa gulungan itu mengandung rahasia penting. Dengan rasa ingin tahu yang
besar diletakkannya gulungan itu di hadapannya, dan pelan-pelan dibukanya. Bunyinya,
SERTIFIKAT Dengan sumpah suci saya bersumpah telah menurunkan kepada Sasaki Kojiro tujuh metoda
rahasia seni pedang Gaya Chujo berikut ini:
Secara terang-terangan - gaya kilat, gaya roda, gaya bulat, gaya perahu mengapung.
Secara rahasia - Berlian, Olah Batin, Tak Terhingga.
Dikeluarkan di Kampung Jokyoji, Usaka Demesne, Provinsi Echizen, pada bari... bulan"
Kinemaki Jisai, murid Toda Seigen
Di atas secarik kertas yang agaknya ditambahkan kemudian, terdapat sebuah sajak.
Bulan yang memancarkan sinar
Ke air yang tiada Dalam sumur yang belum digali
Menghasilkan manusia Tanpa bayangan ataupun bentuk
Matahachi sadar bahwa ia memegang sertifikat yang diberikan kepada seorang murid yang
telah mempelajari segala yang diajarkan gurunya, tetapi nama Kanemaki Jisai itu tak ada
artinya sama sekali baginya. Ia pasti akan dapat mengenali nama Ito Yagoro, yang dengan
nama Ittosai telah menciptakan gaya main pedang yang terkenal dan sangat dikagumi, tapi
ia tidak tahu bahwa Jisai guru Ito. Ia pun tidak tahu bahwa Jisai seorang samurai yang
baik sekali wataknya, yang telah menguasai Gaya Toda Seigen sejati dan telah
mengundurkan diri ke sebuah kampung terpencil untuk menghabiskan masa tuanya sebagai
orang tak dikenal, dan sesudah itu menurunkan Metoda Seigen hanya kepada beberapa murid
pilihan. Matahachi membaca kembali nama pertama itu. "Sasaki Kojiro ini pasti samurai yang
terbunuh di Fushimi hari ini," pikirnya. "Dia tentunya pemain pedang mahir yang patut
mendapat hadiah surat keterangan untuk Gaya Chujo, apa pun macamnya gaya itu. Sungguh
sayang dia mesti mati! Tapi aku jadi yakin sekarang. Betul sekali dugaanku. Dia
tentunya ingin aku menyampaikan ini pada seseorang, barangkali orang yang berasal dari
tempat kelahirannya."
Macahachi membacakan doa pendek kepada sang Budha untuk Sasaki Kojiro, kemudian
berjanji pada diri sendiri bahwa bagaimanapun ia akan melaksanakan misinya yang baru
ini. Untuk menghilangkan rasa dingin, ia menghidupkan api kembali, kemudian membaringkan
diri di dekat perapian. Segera ia jatuh tertidur.
Dari kejauhan terdengar bunyi shakuhachi pendeta tua itu. Lagu sedih yang agaknya
mencari-cari sesuatu dan menyeru pada seseorang terus mendayu-dayu, sementara gelombang
pedih mengalun di atas desir ladang.
*** 21. Berkumpul Kembali di Osaka
LADANG itu diselimuti kabut kelabu, dan udara dingin pagi hari mengisyaratkan musim
gugur sudah benar-benar dimulai. Bajing-bajing berkeliaran di mana-mana, dan di dapur
tak berpintu pada rumah tak berpenghuni itu jejak-jejak rubah yang masih baru simpang
siur di lantai. Pendeta pengemis yang kembali dengan terhuyung-huyung sebelum matahari terbit
membaringkan diri karena lelah di lantai kamar sepen. Tangannya masih menggenggam
shakuhachi. Kimono dan jubahnya yang kotor basah oleh embun, dan di sana-sini dikotori
rumput yang menempel selagi ia mengembara seperti orang hilang melewati malam. Ketika
ia membuka matanya dan duduk, hidungnya mengerut, lubang hidung dan matanya membuka
lebar, dan berguncanglah tubuhnya oleh bersin hebat. Namun ia tidak berusaha menghapus
ingus yang mengucur dari hidung ke kumisnya yang tipis.
Ia duduk di sana beberapa menit, sebelum akhirnya teringat bahwa ia masih menyimpan
sedikit sake sisa malam sebelumnya. Sambil menggumam sendiri ia berjalan menyusuri gang
panjang ke kamar perapian di bagian belakang rumah itu. Di siang hari terdapat lebih
banyak kamar di rumah itu daripada yang kelihatan waktu malam hari, tapi pendeta itu
dapat menemukan jalannya tanpa kesulitan. Tetapi alangkah heran ia, karena guci sake
sudah tidak ada di tempat-nya.
Sebagai gantinya ada seorang asing di dekat perapian, kepalanya berbantalkan satu
lengan dan air liur menetes dari mulutnya. Ia tidur nyenyak. Maka jelaslah ke mana
larinya sake itu. Tentu saja bukan hanya sake yang hilang. Setelah pemeriksaan cepat, terbukti tak
sedikit pun tertinggal bubur beras yang maksudnya untuk sarapan. Pendeta itu merah
padam oleh amarah; tanpa sake ia masih tak apa-apa, tetapi nasi adalah soal hidup dan
mati. Sambil memekik seru ditendangnya si penidur itu sekuat-kuatnya, tapi Matahachi
hanya berkomat-kamit sambil mengantuk, kemudian menarik tangan dari bawah badannya dan
dengan malas mengangkat kepala.
"Kamu... kamu...!" gagap pendeta itu dan menendang sekali lagi.
"Apa pula ini?" teriak Matahachi. Urat-urat nadi menggelembung pada wajahnya yang
mengantuk itu ketika ia melompat berdiri. "Jangan menendang macam itu!"
"Oh, tendangan saja belum cukup! Siapa bilang kamu boleh masuk rumah ini dan mencuri
nasi dan sake-ku?" "Oh, jadi nasi dan sake itu punyamu?"
"Tentu saja punyaku!"
"Maaf." "Maaf" Apa gunanya itu buatku?"
"Saya minta maaf."
"Kamu mesti berbuat lebih dari itu!"
"Apa yang mesti saya lakukan?"
"Kembalikan nasi dan sake itu!"
"Ah! Dua-duanya sudah dalam perut saya dan sudah memperpanjang hidup saya satu malam.
Tak bisa saya mengembalikannya sekarang!"
"Tapi aku mesti hidup juga, kan" Paling banyak yang kudapat dari keliling-keliling main
musik di pintu gerbang orang banyak itu cuma sedikit beras atau beberapa tetes sake.
Dungu kamu! Kaukira aku bisa berdiri saja diam-diam dan membiarkanmu mencuri makananku"
Kuminta kembalikan barang itu!" Nada yang dipergunakannya mengajukan tuntutan yang
tidak masuk akal itu penuh paksaan, dan suaranya bagi Matahachi terdengar seperti suara
setan lapar yang langsung datang dari neraka.
"Janganlah begitu kikir," kata Matahachi dengan sikap meremehkan. "Buat apa pula mesti
jengkel hanya karena sedikit nasi dan kurang dari setengah guci sake kelas tiga."
"Keledai kamu! Mungkin kamu menampik nasi sisa, tapi buatku itu makanan sehari-hidup
sehari!" Pendeta itu menggeram dan mencengkeram pergelangan tangan Matahachi. "Takkan
kulepaskan kamu begitu saja!"
"Jangan seperti orang sinting begitu!" bentak Matahachi. Ditariknya lengan-nya keraskeras sampai lepas dari cengkeraman, dan dicengkeramnya rambut orang tua yang sudah
jarang itu, lain ia coba melontarkan orang itu dengan sentakan cepat. Tapi alangkah
terkejutnya ia karena tubuh yang kelaparan itu tidak beranjak. Pendeta itu mencengkeram
erat leher Matahachi dan tak hendak melepaskannya.
"Bajingan kamu!" salak Matahachi sambil menaksir kekuatan lawannya.
Tapi sudah terlambat. Pendeta itu menghujamkan kakinya mantap-mantap ke lantai, dan
dengan sekali tolak saja Matahachi pun terguling. Suatu gerakan cekatan, dengan
menggunakan kekuatan Matahachi sendiri. Dan Matahachi pun terus berguling, sampai
akhirnya berdebam menghantam dinding plester di sisi luar kamar sebelah. Karena tiangtiang dan galar-galar sudah lapuk, sebagian besar dinding itu runtuh menghujani
Matahachi dengan kotoran. Sambil meludah semulut penuh Matahachi bangkit berdiri,
menghunus pedang, dan menyerang orang tua itu.
Si pendeta sudah siap menangkis serangan dengan shakuhachi-nya, tetapi belum-belum ia
sudah tersengal-sengal mencari udara.
"Nah. lihat sekarang akibat ulahmu sendiri!" pekik Matahachi sambil mengayun pedang.
Ayunan pedang tidak mengenai sasaran, tapi terus juga ia mengayun tanpa kenal ampun dan
tidak memberikan kesempatan kepada pendeta itu untuk memperoleh papas kembali. Muka
orang tua itu tampak seperti hantu. Berkali-kali ia melompat mundur. Lompatan itu tidak
melenting. dan ia rupanya sudah hampir pingsan. Setiap kali ia mengelak, terdengar
teriakan sedih, seperti rengek orang yang sedang sekarat. Namun karena ia terus-menerus
beralih kedudukan, maka tak mungkin Matahachi menebaskan pedangnya.
Akhirnya Matahachi celaka oleh kecerobohannya sendiri. Ketika pendeta itu melompat ke
kebun, Matahachi mengikutinya dengan membabi-buta, namun begitu kakinya menginjak
lantai beranda yang lapuk, papan-papan berderak dan patah. Matahachi jatuh telentang,
sebelah kakinya terayun-ayun masuk ke sebuah lubang.
Si pendeta melompat menyerang. Ditangkapnya bagian depan kimono Matahachi dan
dipukulinya kepala Matahachi, pelipis dan tubuhnya-mana raja yang dapat dikenai
shakuhachi-nya. Dan setiap kali menghantam, ia menggeram keras. Karena sebelah kakinya
terjerat, Matahachi tak berdaya. Kepalanya tampak membengkak sampai sebesar tong, tapi
beruntunglah ia karena pada detik itu keping-keping emas dan perak mulai berjatuhan
dari kimononya. Setiap jatuhnya pukulan diikuti bunyi gemerincing mata uang yang jatuh
ke lantai. "Apa itu?" seru si pendeta tersengal-sengal, lalu melepaskan korbannya. Matahachi
segera membebaskan kakinya dan melompat meloloskan diri, tapi waktu itu orang tua itu
sudah tidak marah lagi. Biarpun tinjunya sakit dan napasnya sesak, tak dapat ia tidak
menatap uang itu dengan heran.
Sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut, Matahachi berseru, "Lihat tidak, orang
tua sinting" Tak perlu kamu naik darah cuma karena nasi dan sake sedikit saja. Uang
bisa kubuang-buang! Ambillah kalau kau mau! Tapi sebagai gantinya kau mesti menerima
kembali pukulan yang sudah kauberikan padaku. Keluarkan kepalamu yang tolol itu, dan
akan kubayar kamu dengan bunganya untuk ganti nasi dan minumanmu itu!"
Si pendeta bukannya menjawab cacian itu, melainkan meletakkan wajahnya ke lantai dan
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai menangis. Kemarahan Matahachi mereda sedikit, tapi katanya berbisa, "Coba lihat
dirimu itu! Begitu melihat uang, terus saja berantakan."
"Oh, sungguh memalukan diriku!" lolong sang pendeta. "Kenapa aku jadi begini tolol!"
Seperti halnya kekuatan yang baru saja dipakainya untuk berkelahi, sikap mencela diri
sendiri itu lebih hebat daripada yang dimiliki kebanyakan orang. "Sungguh aku keledai!"
sambungnya. "Apa belum juga sadar aku akan diriku" Pada umur ini" Juga sesudah terbuang
dari masyarakat dan tenggelam sedalam-dalamnya?"
Ia menoleh ke tiang hitam di sampingnya, dan mulailah ia membenturbenturkan kepalanya
pada tiang itu. Rintihnya, "Kenapa aku memainkan shakuhachi ini" Apa untuk mengusir
khayalanku, kebodohanku, kegairahanku, sikapku yang mementingkan diri sendiri, dan
nafsu-nafsu jahatku lewat kelima lubangnya" Bagaimana mungkin aku mengizinkan diriku
terlibat dalam pertarungan hidup-mati hanya demi secuil makanan dan minuman" Dan dengan
orang yang pantas menjadi anakku pula?"
Belum pernah Matahachi melihat orang seperti ini. Orang tua itu menangis beberapa waktu
lamanya, kemudian membenturkan kepala lagi ke tiang. Ia rupanya bermaksud menghantamkan
dahinya sampai belah menjadi dua. Sampai sedemikian jauh, hukuman yang dijatuhkannya
pada diri sendiri lebih banyak jumlahnya daripada pukulan yang dijatuhkannya kepada
Matahachi. Sebentar kemudian darah mulai mengalir dari keningnya.
Matahachi merasa berkewajiban mencegahnya menyiksa diri lebih lanjut. "Hai! katanya,
"Hentikan! Apa-apaan kamu ini."
"Biarkan aku sendiri," pinta si pendeta.
"Tapi ada apa kau ini?"
"Tak ada apa-apa."
"Pasti ada. Apa kau sakit?"
"Tidak." "Kalau begitu apa?"
"Aku muak dengan diriku. Aku mau memukul badanku yang jahat ini sampai mati dan
menyuruh burung-burung gagak memakannya, tapi tak mau aku mati seperti orang bebal yang
bodoh. Aku ingin kuat dan jujur seperti orang lain, sebelum aku membuang daging ini.
Kehilangan kendali diri telah membuat diriku marah. Kupikir kau dapat menamakan ini
penyakit." Karena merasa kasihan kepadanya, Matahachi memungut uang yang jatuh itu dan mencoba
memasukkan sebagian ke tangan si pendeta. "Sebagian karena kesalahanku," katanya dengan
nada minta maaf. "Kuberikan ini padamu, dan barangkali kamu akan memaafkan aku."
"Aku tak ingin!" teriak pendeta sambil cepat menarik tangannya. "Aku tak perlu uang.
Aku tak perlu uang, kataku!" Meskipun sebelum itu telah meledak kemarahannya gara-gara
secuil bubur nasi, sekarang ia pandang uang itu dengan penuh kejijikan. Sambil
menggeleng-gelengkan kepala dengan hebat, ia membalikkan badan dan masih terus
berlutut. "Aneh juga kau ini," kata Matahachi.
"Kukira tidak."
"Tapi kau berbuat aneh."
"Tak usahlah kamu kuatir."
"Kau rupanya dari provinsi barat, ya" Kentara dari tekanan katamu."
"Kukira begitu. Aku lahir di Himeji."
"Betul" Aku dari sana juga"Mimasaka."
"Mimasaka?" ulang si pendeta sambil menatap Matahachi. "Di mana di Mimasaka" "
"Kampung Yoshino. Tepatnya Miyamoto."
Orang tua itu tampak santai. Sambil menundukkan diri di beranda, katanya tenang,
"Miyamoto" Oh, itu nama yang membawa kenang-kenangan. Pernah aku bertugas jaga di
Benteng Hinagura. Aku kenal betul daerah itu."
"Kalau begitu, Anda pernah jadi samurai di tanah perdikan Himeji?"
"Ya. Kukira sekarang tampangku sudah tak pantas lagi, tapi waktu itu aku menjadi
semacam prajurit. Namaku Aoki Tan..."
Sampai di situ mendadak ia berhenti, kemudian tiba-tiba pula melanjutkan. "Ah, itu
tidak betul. Aku cuma mengarang-ngarang. Lupakan bahwa aku pernah mengatakan sesuatu."
Ia berdiri, katanya, "Aku akan pergi ke kota, main shakuhachi, dan mencari sesuap
nasi." Sampai di situ ia membalikkan badan dan berjalan cepat menuju ladang miskantus.
Sesudah orang tua itu pergi, mulailah Matahachi berpikir-pikir, apakah benar sikapnya
menawarkan uang yang berasal dari pundi-pundi samurai yang telah mati kepada pendeta
itu" Tapi segera kemudian ia sudah dapat memecahkan dilema itu dengan mengatakan pada
diri sendiri bahwa mungkin tak ada salahnya meminjam uang itu sedikit, asalkan tidak
banyak. "Kalau kusampaikan uang itu ke rumah orang yang mati itu seperti dimintanya,"
demikian pikirnya, "aku pasti membutuhkan biaya, dan pilihan apa lagi yang ada padaku,
kalau bukan mengambilnya dari kantong yang kubawa ini?" Sikap membenarkan diri sendiri
yang sederhana itu demikian menyenangkan, hingga semenjak hari itu mulailah ia
menggunakan uang itu sedikit demi sedikit.
Tinggallah kini persoalan surat keterangan Sasaki Kojiro. Orang itu agaknya ronin, tapi
tak mungkinkah misalnya ia bekerja pada seorang daimyo" Matahachi tidak menemukan
jawaban atas soal dari manakah asal orang itu. Karena itu pula ia tak tahu ke mana
harus membawa surat itu. Satu-satunya harapan, demikian diputuskannya, adalah menemukan
guru pedang Kanemaki Jisai, yang pasti tahu segala sesuatu tentang Sasaki.
Dalam perjalanan dari Fushimi ke Osaka, di tiap warung teh, rumah makan, dan rumah
penginapan, Matahachi bertanya apakah ada yang mengetahui tentang Jisai. Semua jawaban
yang diperolehnya negatif. Bahkan tambahan keterangan bahwa Jisai murid yang diakui
Toda Seigen tidak mendatangkan tanggapan.
Akhirnya seorang samurai yang kebetulan dikenalnya di jalan memberikan titik terang.
"Saya pernah mendengar tentang Jisai, tapi kalau dia masih hidup, pasti dia sudah
sangat tua. Ada yang bilang dia pergi ke timur dan menjadi pertapa di sebuah desa di
Kozuke atau di tempat lain lagi. Kalau Anda ingin tahu lebih banyak tentang dia, Anda
mesti pergi ke Puri Osaka dan bicara dengan orang yang namanya Tomita Mondonosho."
Mondonosho agaknya salah seorang guru Hideyori dalam seni perang, dan orang yang
memberikan keterangan kepada Matahachi merasa cukup yakin bahwa orang itu keluarga yang
sama dengan Seigen. Walaupun kecewa karena tidak terangnya petunjuk yang pertama didapatnya itu, Matahachi
memutuskan untuk mengikutinya. Setibanya di Osaka, ia menyewa kamar di sebuah rumah
penginapan murah di salah satu jalan ramai, dan segera sesudah beres ia bertanya pada
pemilik rumah penginapan, apakah orang itu tahu orang yang bernama Tomita Mondonosho di
Puri Osaka. "Ya, saya sudah pernah mendengar nama itu," jawab pemilik rumah penginapan. "Saya
percaya dia cucu Toda Seigen. Dia bukan instruktur pribadi Yang Dipertuan Hideyori,
tapi dia memang mengajarkan ilmu pedang pada sejumlah samurai di puri itu. Atau
setidaknya pernah mengajarkannya. Saya pikir, boleh jadi dia sudah kembali ke Echizen
beberapa tahun yang lalu. Ya, itulah yang dia lakukan.
"Anda bisa pergi ke Echizen dan mencari dia di sana, tapi tidak ada jaminan apakah dia
masih ada di sana. Daripada mengadakan perjalanan begitu jauh hanya berpegangan dugaan,
apa tidak lebih mudah menjumpai Ito Ittosai" Saya agak yakin dia mempelajari Gaya Chujo
pada Jisai, sebelum mengembangkan gaya sendiri."
Saran pemilik rumah penginapan itu tampaknya masuk akal, tapi ketika Matahachi mulai
mencari Ittosai, ia menemukan dirinya berada di jalan buntu lain lagi. Sejauh yang
dapat diketahuinya, orang itu sampai baru-baru ini masih tinggal di sebuah gubuk kecil
di Shirakawa di sebelah timur Kyoto, tapi sekarang sudah tidak tinggal lagi di sana,
dan beberapa waktu lamanya sudah tidak kelihatan lagi di Kyoto atau Osaka.
Tak lama kemudian tekad Matahachi pun merosot, dan ia bermaksud meninggalkan seluruh
urusan itu. Kesibukan dan kegairahan kota itu menyulut kembali ambisinya dan
menggelitik jiwa mudanya. Di sebuah kota yang terbuka lebar seperti ini, kenapa pula ia
menghabiskan waktu dengan mencari keluarga orang mati" Banyak hal dapat dilakukan di
sini. Orang mencari para pemuda seperti dirinya. Di Puri Fushimi, para pejabat secara
tulus-ikhlas melaksanakan kebijaksanaan pemerintah Tokugawa. Namun di sini para
jenderal yang menguasai Puri Osaka mencari ronin untuk dijadikan tentara. Tentu saja
tidak secara terang-terangan, namun cukup terbuka, hingga sudah umum diketahui ronin
lebih diterima dan dapat hidup lebih baik di sini daripada di kota puri mana pun di
negeri ini. Desas-desus sembarangan beredar di antara penduduk kota. Dikatakan misalnya, Hideyori
diam-diam menyediakan dana untuk para daimyo pelarian seperti Goto Matabei, Sanada
Yukimura, Akashi Kamon, dan bahkan Chosokabe Morichika yang berbahaya, yang sekarang
tinggal di sebuah rumah sewaan di jalan sempit di luar kota.
Sekalipun masih muda, Chosokabe telah mencukur kepalanya seperti pendeta Budha dan
mengubah namanya menjadi Ichimusai "Manusia dengan impian tunggal". Ini suatu
pernyataan bahwa peristiwa dunia yang mengambang ini tidak lagi menjadi perhatiannya,
dan secara pura-pura ia menghabiskan waktu dengan tingkah laku sembrono yang perlente.
Namun umum diketahui bahwa ada tujuh atau delapan ratus ronin bekerja padanya, semuanya
teguh dalam keyakinan bahwa apabila tiba saatnva, ia akan bangkit membela nama baik
mendiang Hideyoshi yang pernah bersikap dermawan kepadanya. Didesas-desuskan bahwa
biaya hidupnya, termasuk gaji untuk para ronin-nya, semua keluar dari kantong pribadi
Hideyori. Dua bulan lamanya Matahachi berkeliaran di Osaka, dan makin lama ia makin yakin bahwa
inilah tempat baginya. Di sinilah ia akan meraih kesempatan menuju sukses. Untuk
pertama kalinya selama bertahun-tahun ia merasa seberani dan setak-kenal-takut seperti
ketika berangkat perang dulu. la merasa sehat dan hidup kembali, tak gentar oleh
semakin menipisnya uang samurai yang sudah mati itu, karena ia percaya bahwa akhirnya
nasib baik telah beralih kepadanya. Setiap hari baru adalah kebahagiaan, kegembiraan.
Ia yakin bahwa ia akan terantuk pada sebuah batu dan muncul bertimbun uang.
Keberuntungan sedang mencarinya.
Pakaian baru! Itulah yang dia perlukan. Ia pun membeli pakaian lengkap yang baru, dan
dengan hati-hati memilih bahan yang cocok untuk cuaca di musim dingin yang sudah
mendekat. Kemudian, karena menurut anggapannya hidup di sebuah rumah penginapan
terlampau mahal, ia menyewa sebuah kamar kecil milik seorang tukang sadel di sekitar
Parit Junkei dan mulai makan di luar. Ia melihat apa yang ingin dilihatnya, dan pulang
apabila ingin pulang. Sering ia pergi sepanjang malam, apabila semangat menghendakinya.
Sambil hidup bersenang-senang, ia terus mencari seorang teman, seorang penghubung yang
akan mengantarkannya ke kedudukan dengan gaji besar pada seorang daimyo besar.
Sebetulnya Matahachi perlu mengendalikan diri untuk tetap hidup dalam batas-batas
kemampuannya. Tetapi ia merasa sudah berlaku lebih baik daripada kapan pun sebelumnya.
Berulang-ulang ia merasa tergugah oleh cerita tentang samurai ini atau itu yang belum
lama masih menyeret kotoran dari wilayah pembangunan, namun sekarang sudah tampak
mengendarai kuda dengan megahnya, melintasi kota bersama dua puluh pegawai dan seekor
kuda cadangan. Pada waktu lain ia merasakan sisa-sisa patah hati yang dialaminya. "Dunia ini dinding
batu," demikian pikirnya. "Dan batu-batu itu sudah disusun demikian rapat, hingga tak
ada satu pun celah yang dapat dilewatinya." Namun kekecewaan ini selalu menyingkir.
"Apa yang kubicarakan ini" Memang begitulah kelihatannya, kalau kita masih belum
mendapat kesempatan. Selamanya sukar masuknya, tapi sekali kutemukan peluang..."
Ketika ia bertanya kepada pembuat sadel apakah ia tahu kedudukan seperti itu, tukang
sadel menjawab dengan penuh optimisme, "Kamu muda dan kuat. Kalau kamu mengajukan
permohonan di puri, pasti kamu mendapat tempat."
Tetapi menemukan pekerjaan yang tepat tidaklah semudah itu. Bulan terakhir tahun itu
Matahachi masih juga menganggur, sedang uangnya tinggal separuh.
Di bawah sinar matahari musim dingin pada bulan yang paling sibuk tahun itu,
mengherankan juga gerombolan orang yang berbondong-bondong menelusuri jalan tampak
tidak terburu-buru. Di pusat kota ada bidangbidang tanah kosong, dan pagi-pagi benar
rumput di situ putih oleh embun beku. Semakin siang jalan-jalan semakin berlumpur, dan
suasana musim dingin terusir oleh suara para pedagang yang menjajakan barang
dagangannya diiringi suara gong bertalu-talu dan genderang berdentumdentum. Tujuh atau
delapan kios yang dikelilingi tikar jerami lusuh, untuk mencegah orang luar menengok ke
dalam, berusaha memikat orang banyak dengan bendera-bendera kertas dan lembing yang
dihias aneka warna bulu untuk mereklamekan pertunjukan yang sedang diadakan di dalam.
Tukang-tukang teriak berlomba dengan suara lantang memikat orang lewat yang iseng untuk
memasuki teater mereka yang rapuh.
Bau kecap murah mengambang di udara. Lelaki-lelaki dengan kaki berbulu dan mulut penuh
makanan meringkik seperti kuda di toko-toko, dan waktu senja wanita-wanita berbaju
lengan panjang dan berbedak tersenyum-senyum tolol seperti biri-biri, berjalan
bergerombol-gerombol sambil mengunyah penganan kacang panggang.
Pada suatu petang terjadi perkelahian antara para pembeli sebuah warung sake yang
menempatkan beberapa bangku di tepi jalan. Belum lagi dapat dikatakan siapa yang
menang, orang-orang yang berkelahi itu sudah balik kanan dan angkat kaki, meninggalkan
jejak tetesan darah. "Terima kasih, Tuan," kata penjual sake kepada Matahachi. Berkat penampilan Matahachi
yang menyilaukan, orang-orang kota yang sedang berkelahi itu melarikan diri. "Kalau
Tuan tak ada di sini, pasti mereka sudah bikin pecah semua pinggan saya." Orang itu
membungkuk beberapa kali, kemudian menghidangkan satu guci sake lagi pada Matahachi.
Menurutnya sake itu sudah dihangatkan sampai pada suhu yang tepat. Ia menghidangkan
juga sejumlah makanan kecil sebagai tanda penghargaan.
Matahachi merasa puas dengan dirinya. Percekcokan meletus antara dua pekerja, dan
ketika ia memandang marah kepada mereka dan mengancam akan membunuh keduanya kalau
mereka menimbulkan kerusuhan di kios itu, mereka melarikan diri.
"Banyak sekali orang sekitar sini, ya?" ucapnya bersahabat.
"Ini akhir tahun, Tuan. Mereka tinggal sebentar di sini, kemudian pergi lagi. Tapi ada
saja yang datang lagi."
"Bagus sekali cuaca bertahan begini."
Wajah Matahachi merah oleh minuman. Ketika mengangkat mangkuk, ingatlah ia akan
sumpahnya untuk berhenti minum sebelum ia pergi bekerja di Fushimi, dan samar-samar
sadarlah ia betapa ia mulai minum lagi. "Ah, tapi apa salahnya?" pikirnya. "Kalau orang
lelaki tak boleh minum sekali-sekali..."
"Satu lagi, kawan," katanya keras.
Orang yang duduk diam di bangku di samping Matahachi juga seorang ronin. Pedangnya yang
panjang dan pendek tampak mengesankan. Orangorang kota cenderung menyingkir, sekalipun
ia tidak mengenakan jubah penutup kimono; sekitar leher kimono itu sangat kotor.
"Hei, bawakan juga aku satu, dan cepat!" serunya. Sambil mengganjalkan kaki kanan ke
lutut kirinya, ia memperhatikan Matahachi dari bawah ke atas. Ketika matanya sampai
pada wajah Matahachi, ia pun tersenyum, katanya, "Halo."
"Halo," kata Matahachi. "Boleh coba ini punyaku, sementara menunggu punyamu
dihangatkan." "Terima kasih," kata orang itu sambil mengangkat mangkuk. "Sungguh memalu-kan menjadi
pemabuk, ya" Kulihat kamu duduk di sini menghadapi sake. Bau harumnya mengambang di
udara dan menarik-narikku kemari, sepertinya lengan bajuku ini yang ditariknya." Ia
mengosongkan isi mangkuknva sekali teguk.
Matahachi suka melihat gayanya. Orang itu kelihatan bersahabat, dan ada sesuatu yang
memikat dalam dirinya. Ia biasa minum juga. Beberapa menit kemudian ia sudah menenggak
lima guci, sedangkan Matahachi baru menghabiskan satu guci. Dan orang itu masih juga
sadar. "Berapa banyak biasanya kau minum?" tanya Matahachi.
"Ah, tak tahulah aku," jawab orang itu asal saja. "Sepuluh atau dua belas guci, kalau
sedang mau." Akhirnya mulailah mereka bicara tentang situasi politik, dan sebentar kemudian ronin
itu mengangkat bahu, dan katanya, "Siapa pula Ieyasu itu" Omong kosong saja kalau dia
bisa mengabaikan tuntutan Hideyori dan ke sana kemari menyebut dirinya 'Maharaja
Agung'. Tanpa Honda Masazumi dan beberapa pendukung lamanya yang lain, apanya yang
tinggal" Cuma darah dingin, kelicikan, dan sedikit saja kemampuan politik"maksudku yang
dipunyainya itu cuma bakat politik tertentu, yang biasanya tak ada pada orang-orang
militer. "Secara pribadi aku mengharap Ishida Mitsunari yang menang di Sekigahara, tapi dia
terlalu berjiwa besar untuk mengorganisir para daimyo, sedangkan statusnya tidak cukup
tinggi." Sesudah menyatakan penilaiannya itu, tiba-tiba la bertanya, "Kalau nanti Osaka
bentrok dengan Edo lagi, pihak mana yang akan kaupilih?"
Disertai sikap ragu-ragu, Matahachi menjawab, "Osaka."
"Bagus!" Orang itu berdiri memegang guci sake. "Engkau seorang dari kami. Mari kita
minum! Dari daerah mana... oh, tapi kukira tak boleh aku menanyakan itu, sebelum aku
memberitahukan siapa diriku. Namaku Akakabe Yasoma. Aku dari Gamo. Barangkali kau
pernah mendengar tentang Ban Dan'emon" Aku sahabatnya. Kami akan berkumpul lagi
harihari ini. Aku juga teman Susukida Hayato Kanesuke, jenderal ternama dari Puri
Osaka. Kami pernah mengadakan perjalanan bersama ketika dia masih menjadi ronin. Aku
juga pernah bertemu dengan Ono Shurinosuke tiga atau empat kali, tapi menurutku dia
terlalu murung, walaupun dia memang memiliki lebih banyak pengaruh politik daripada
Kanesuke." Ia mundur, diam sebentar, karena agaknya menimbang kembali apakah ia berbicara terlalu
banyak, kemudian tanyanya, "Kau sendiri siapa?"
Matahachi memang tidak mempercayai segala yang dikatakan orang itu, namun ia merasa
bahwa untuk sementara ia dipaksa kalah pengaruh.
"Apa kau tahu Toda Seigen?" tanyanya. "Orang yang menemukan Gaya Tomita?"
"Aku pernah mendengar nama itu."
"Nah, guruku pertapa Kanemaki Jisai yang agung dan tak mementingkan diri sendiri, yang
telah menerima Gaya Tomita sejati dari Seigen dan kemudian mengem-bangkan Gaya Chujo."
"Kalau begitu, kau ini tentunya pemain pedang tulen."
"Betul," jawab Matahachi. Dan ia mulai menikmati permainan itu.
"Percaya tidak," kata Yasoma, "sebetulnya aku sudah dari tadi menyangka begitu. Tubuhmu
tampak terdisiplin, dan terasa ada kemampuan padamu. Siapa namamu waktu kau mendapat
latihan di bawah pimpinan Jisai" Maksudku, kalau pantas aku menanyakan hal ini."
"Namaku Sasaki Kojiro," kata Matahachi dengan wajah sungguh-sungguh. "Ito Yagoro,
pencipta Gaya Itto, adalah murid senior dari sekolah yang sama itu."
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa betul begitu?" kata Yasoma heran.
Untuk sesaat yang penuh kegelisahan, Matahachi terpikir akan menarik kembali segala
keterangannya itu, tapi sudah terlambat. Yasoma sudah berlutut di tanah dan membungkuk
dalam. Tak ada lagi jalan kembali.
"Maafkan saya," katanya beberapa kali. "Saya sudah sering mendengar Sasaki Kojiro
pemain pedang yang baik sekali, dan saya harus minta maaf karena tadi tidak berbicara
lebih sopan. Tapi saya memang tak bisa tahu tadi, siapa sesungguhnya Anda."
Matahachi lega luar biasa. Sekiranya Yasoma kebetulan teman atau kenalan Kojiro, ia
terpaksa berkelahi demi hidupnya.
"Tak perlu engkau membungkuk seperti itu," kata Matahachi dengan murah hati. "Kalau kau
berkeras mengambil sikap resmi, tak akan dapat kita bicara sebagai teman."
"Tapi Anda tentunya tersinggung oleh bualan saya tadi itu."
"Kenapa" Aku tak punya status dan kedudukan khusus. Aku cuma pemuda yang tak banyak
kenal dengan dunia ini."
"Ya, tapi Sekarang, memandang kedudukan Anda pemain pedang besar. Sudah banyak kali saya mendengar nama Anda.
sesudah saya pikirkan lagi, jelaslah buat saya, Andalah Sasaki Kojiro." Ia
Matahachi baik-baik. "Tapi saya pikir tidak betul kalau Anda tak punya
resmi." Matahachi menjawab polos, "Yah, aku telah membaktikan diriku dengan tulus ikhlas kepada
pedangku, hingga tak banyak waktuku untuk bersahabat dengan orang banyak."
"Oh, begitu. Apakah itu berarti Anda tidak berminat menemukan kedudukan yang baik?"
"Tidak, aku selalu berpikir bahwa pada suatu hari aku akan terpaksa mencari seorang
tuan untuk kuabdi. Tapi sekarang belum sampai aku pada ritik itu."
"Oh, yang yang tahu soal itu gampang sekali. Anda punya nama baik yang didukung pedang, dan itulah
membuat Anda berbeda. Tentu saja, kalau Anda tetap diam, berapa banyak pun bakat
Anda punyai, tak seorang pun akan mencari Anda. Cobalah pikir, saya bahkan tak
siapa Anda, sebelum Anda menyatakan pada saya. Saya betul-betul terkejut."
Yasoma berhenti, kemudian katanya, "Sekiranya Anda menghendaki saya membantu, saya akan
senang melakukannya. Terus terang, saya sudah minta teman saya, Susukida Kanesuke,
mencarikan kedudukan buat saya juga. Saya ingin dimasukkan Puri Osaka, biarpun
barangkali gajinya tidak banyak. Saya yakin Kanesuke akan senang merekomendasikan orang
seperti Anda kepada pihak berwenang di sana. Kalau Anda suka, dengan senang hati saya
akan bicara dengannya."
Sementara Yasoma bertambah gembira dengan prospek-prospek yang dihadapinya, Matahachi
sendiri tak dapat menghindari perasaan bahwa ia telah tercebur langsung ke dalam suatu
kancah, dan tidak akan mudah ia keluar dari sana. Ia memang ingin sekali mendapat
pekerjaan, tapi ia takut membuat kesalahan kalau membawakan diri sebagal Sasaki Kojiro.
Sebaliknya, kalau ia mengatakan bahwa ia Hon'iden Matahachi, seorang samurai kampungan
dari Mimasaka, Yasoma tak akan menawarkan bantuan kepadanya. Barangkali Yasoma akan
memandang rendah kepadanya. Tak bisa dihindari nama Sasaki Kojiro telah menimbulkan
kesan kuat. Tapi.... adakah sesuatu yang benar-benar perlu dikuatirkan" Kojiro yang sebenarnya
sudah mati, dan Matahachi satu-satunya orang yang mengetahui hal itu, karena ia yang
menyimpan surat keterangan yang merupakan satu-satunva pengenal orang yang telah mati
itu. Tanpa surat keterangan itu tidak ada jalan bagi penguasa untuk mengetahui siapakah
si ronin itu. Dan kecil kemungkinan mereka akan bersusah payah melakukan penyelidikan.
Lagi pula, siapakah orang itu, kalau bukan seorang "mata-mata" yang telah dilempari
batu sampai matt" Maka, sementara Matahachi sedikit-sedikit meyakinkan dirinya bahwa
rahasianya itu tidak akan diketahui orang, terbentuklah dengan pasti rencana berani
dalam kepalanya: ia akan menjadi Sasaki Kojiro. Semenjak saat ini.
"Mana rekeningnya," serunya sambil mengeluarkan beberapa mata uang dari pundi-pundinya.
Matahachi bangkit akan meninggalkan tempat itu, dan Yasoma jadi bingung, ujarnya,
"Bagaimana dengan usul saya itu?"
"Oh," jawab Matahachi, "aku akan sangat berterima kasih kalau kau mau bicara dengan
temanmu itu atas namaku, tapi kita tak dapat membicarakan soal macam itu di sini. Mari
kita pergi ke tempat lain yang tenang, di mana kita dapat tinggal berdua saja."
"Oh, tentu, tentu," kata Yasoma yang kelihatan lega sekali. Agaknya menurutnya wajar
sekali, kalau Matahachi membayar rekeningnya juga.
Segera kemudian mereka sudah berada di sebuah daerah lain, beberapa jauh dari jalanjalan utama itu.
Matahachi semula bermaksud membawa teman yang baru ditemukannya itu ke sebuah tempat
minum yang mentereng, tapi Yasoma menyarankan untuk pergi ke tempat lain yang lebih
murah dan lebih menarik. Sambil menyanyikan puji-pujian pada daerah lampu merah, ia
membawa Matahachi ke daerah yang supaya enak disebut Kota Pendeta Wanita. Kata orang,
dan ini cuma sedikit saja dibesar-besarkan, di sana terdapat seribu rumah hiburan
dengan perdagangan yang demikian berkembang, hingga dalam satu malam saja dihabiskan
seratus barel minyak lampu. Matahachi semula sedikit enggan, tapi segera ia tertarik
oleh kegembiraan suasana di situ.
Tidak jauh dari sana terdapat parit kuil yang biasa dialiri air banjiran dari teluk.
Kalau orang memperhatikan dengan saksama, terlihat kutu ikan dan kepiting sungai yang
merayap ke sana kemari di bawah jendela-jendela menonjol dan lentera-lentera merah.
Matahachi memang memperhatikan baik-baik, dan akhirnya ia pun merasa sedikit kurang
enak, karena keduanya itu mengingatkannya pada kalajengking pembawa maut.
Daerah itu sebagian besar dihuni oleh perempuan yang tebal pupurnya. Di antara mereka
sekali-sekali memang tampak wajah yang manis, tapi yang terbanyak kelihatan sudah
berumur lebih dari empat puluh tahun. Perempuanperempuan ini biasa mengarungi jalanjalan, yang meskipun dengan mata muram, kepala terbungkus kain penolak dingin, dan gigi
yang sudah hitam, tetap mencoba dengan lesunya menggelitik hati lelaki yang berkumpul
di sana. "Banyak juga mereka," kata Matahachi mengeluh.
"Sudah saya katakan tadi," jawab Yasoma, bersusah payah membela para wanita itu. "Dan
mereka ini lebih baik daripada pelayan warung teh atau gadis penyanyi di rumah sebelah
yang kemungkinan mengawani Anda.
Orang cenderung menolak gagasan tentang penjualan seks, tapi kalau kita lewatkan satu
malam di musim dingin dengan seorang dari mereka dan bicara dengannya tentang
keluarganya dan sebagainya, kemungkinan besar kita akan menemukan bahwa dia sama
seperti wanita lain. Dan mereka tak dapat betul-betul dipersalahkan karena sudah
menjadi sundal. "Sebagian dari mereka pernah menjadi gundik shogun, dan banyak di antaranya yang
ayahnya pernah menjadi pegawai daimyo yang sudah kehilangan kekuasaan. Ini terjadi pada
abad-abad ketika Taira jatuh ke tangan Minamoto. Jadi, Anda akan melihat bahwa di dalam
selokan dunia yang mengambang ini, banyak di antara sampah itu terdiri atas bunga-bunga
yang sudah gugur." Mereka masuk sebuah rumah, dan Matahachi menyerahkan segalanya kepada Yasoma yang
kelihatannya berpengalaman. Ia tahu bagaimana memesan sake dan menghadapi gadis-gadis.
Ia betul-betul tanpa cela. Matahachi merasa pengalaman itu sangat menyenang-kan.
Mereka menginap di sana, namun pada tengah hari berikutnya Yasoma belum juga
memperlihatkan kelelahan. Matahachi merasa dalam batas-batas tertentu ia telah mendapat
ganti dari perlakuan terhadapnya ketika ia digusur ke kamar belakang di Yomogi itu.
Tetapi ia mulai merasa lunglai.
Akhirnya ia mengaku sudah cukup banyak minum. Katanya, "Aku tak mau lagi minum. Ayo
kita pergi." Tapi Yasoma tak hendak pergi. "Tinggallah dengan saya sampai malam," katanya.
"Ada apa?" "Saya punya janji menemui Susukida Kanesuke. Terlalu pagi sekarang ini, kalau kita
pergi ke rumahnya, dan lagi tak bisa saya membicarakan keadaan Anda sebelum saya
mendapat gagasan yang lebih baik tentang apa yang Anda kehendaki."
"Aku tak akan minta upah terlalu besar sebagai permulaan."
"Tak ada alasan menjual diri terlalu murah bagi Anda. Seorang samurai sekaliber Anda
ini dapat menerima jumlah berapa saja yang Anda sebut. Kalau Anda mengatakan bersedia
menerima kedudukan seperti dulu, berarti Anda merendahkan diri sendiri. Bagaimana kalau
saya katakan kepadanya bahwa Anda menginginkan upah dua ribu lima ratus gantang"
Seorang samurai yang yakin dirinya baik, selalu dibayar dan diperlakukan lebih baik.
Anda tak boleh memberikan kesan bahwa Anda puas dengan jumlah berapapun."
Sementara malam datang, jalan-jalan yang terletak di dalam bayangan besar Puri Osaka
itu cepat menjadi gelap. Sesudah meninggalkan bordil itu, Matahachi dan Yasoma pergi
melintasi kota, menuju salah satu wilayah pemukiman samurai yang lebih eksklusif.
Mereka berdiri membelakangi parit, sementara angin dingin terusir akibat sake yang
telah mereka masukkan he dalam tubuh sepanjang hari itu.
"Di sana rumah Susukida," kata Yasoma.
"Yang gerbangnya pakai atap kurung itu?"
"Bukan, rumah sudut di sampingnya itu."
"Hmm, besar, ya?"
"Kanesuke sudah dapat nama. Sebelum umur sekitar tiga puluh, tak seorang pun pernah
mendengar tentangnya, tapi sekarang..."
Matahachi berpura-pura tidak mencurahkan perhatian pada apa yang dikatakan Yasoma.
Bukannya ia tidak percaya. Sebaliknya, ia sudah demikian bulat mempercayai Yasoma,
hingga ia tidak lagi mengajukan pertanyaan tentang apa yang dikatakan orang itu. Namun
ia merasa harus tetap acuh tak acuh. Sementara memandang rumah-rumah semayam para
daimyo yang mengitari purl besar itu, semangat mudanya yang mentah berkata, "Aku pun
akan tinggal di tempat seperti itu"tak lama lagi."
"Sekarang," kata Yasoma, "saya akan bertemu dengan Kanesuke dan bicara dengannya supaya
dia mempekerjakan Anda. Tapi sebelum itu, bagaimana dengan soal uang?"
"Oh, tentu," kata Matahachi, sadar bahwa suap memang umum. Ketika mengeluarkan pundipundi dari dadanya, tahulah ia bahwa isinya sudah susut sampai sekitar sepertiga dari
jumlah semula. Sambil mengeluarkan seluruh isinya, ia berkata, "Hanya ini yang
kupunyai. Apa ini cukup?"
"Oh, tentu, cukup sekali."
"Apa tak perlu kau membungkusnya?"
"Tidak, tidak. Kanesuke bukan satu-satunya orang di tempat ini yang menerima bayaran
karena mencarikan kedudukan untuk seseorang. Semua orang melakukannya, dan sangat
terbuka. Tak perlu malu."
Matahachi mengambil kembali sebagian kecil dari uang tunai itu, tapi sesudah
menyerahkan selebihnya, mulailah ia merasa tidak tenang. Ketika Yasoma pergi, ia
mengikuti beberapa langkah. "Usahakan sebaik-baiknya," mohonnya.
"Jangan kuatir. Kalau kelihatannya ada kesulitan, saya cuma harus menyimpan kembali
uang ini dan mengembalikannya pada Anda. Dia bukan satu-satunya orang berpengaruh di
Osaka. Dengan mudah saya dapat minta bantuan pada Ono atau Goto. Saya punya banyak
Petualang Asmara 5 Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir Api Di Bukit Menoreh 27