Pencarian

Tugas Tugas Hercules 2

Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie Bagian 2


arsenikum dalam tempat bedak itu ketika Anda beli dari Woolworth, tetapi
ternyata ada ketika benda itu meninggalkan rumah Miss Bristow." Kemudian ia
menambahkan dengan suara lirih, "Tidak bijaksana menyimpan sejumlah racun
arsenikum di rumah."
Miss Harrison menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya. Ia berkata
dengan suara tak jelas, "Benar... semua ini benar.... Saya memang membunuhnya.
Dan semua ini... tak ada gunanya... Saya memang gila."
VII Jean Moncrieffe berkata, "Saya harus minta maaf pada Anda, M. Poirot. Saya marah
sekali pada Anda, waktu itu... marah sekali. Bagi saya, apa yang Anda lakukan
hanyalah memperburuk situasi."
Poirot berkata sambil tersenyum, "Begitulah langkah awal yang saya lakukan. Ini
seperti legenda kuno tentang Hydra, ular penghuni Rawa Lema. Setiap kali satu
kepalanya berhasil dipenggal, dua kepala akan muncul dari leher yang terpenggal
itu. Jadi, saya memulainya dengan menebarkan gosip yang semakin lama semakin tak
terkendali. Tapi, Anda pun akan tahu apa tugas saya - seperti yang dilakukan tokoh
legenda yang namanya sama dengan saya... Hercules - yaitu mencari kepalanya yang
asli - sumbernya. Siapakah yang mulai mengedarkan desa-desus itu" Saya tak butuh
waktu lama untuk mengetahui bahwa Miss Harrison-lah pelaku utamanya. Saya pergi
mengunjunginya. Dia kelihatan seperti wanita yang amat menyenangkan - cerdas dan
penuh simpati. Tapi, tak lama kemudian dia membuat kesalahan yang buruk... dia
mengulangi potongan percakapan antara Anda dan Dr. Oldfield, yang secara tak
sengaja didengarnya. Dan, seperti Anda ketahui, potongan percakapan itu sama
sekali tidak sesuai. Secara psikologis tidak mungkin begitu. Seandainya Anda dan
Dr. Oldfield memang merencanakan membunuh Mrs. Oldfield, Anda berdua terlalu
cerdas dan cerdik untuk melakukan percakapan seperti itu dalam sebuah ruangan
yang pintunya terbuka, sehingga dengan mudah akan terdengar siapa pun yang
sedang menuruni tangga atau sedang berada di dapur. Lebih dari itu, kata-kata
yang menurutnya Anda katakan, sama sekali tidak sesuai dengan kepribadian Anda.
Kata-kata itu akan lebih sesuai seandainya diucapkan seorang wanita yang lebih
tua dan dengan tipe kepribadian yang lain sama sekali. Itu adalah kata-kata yang
mungkin dibayangkan Miss Harrison, yang mungkin dikatakannya seandainya dia
berada dalam situasi seperti itu.
"Sampai saat itu, saya menganggap kasus ini sebenarnya sederhana saja. Miss
Harrison ternyata masih cukup muda dan menarik - dan selama hampir tiga tahun dia
bergaul cukup dekat dengan Dr. Oldfield - dan Dokter amat baik padanya serta amat
berterima kasih padanya, karena Miss Harrison telah merawat istrinya dengan
telaten dan penuh simpati. Miss Harrison telah membangun impiannya... yaitu
seandainya Mrs. Oldfield meninggal... Dr. Oldfield mungkin akan meminangnya.
Tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Setelah meninggalnya Mrs. Oldfield,
barulah dia tahu bahwa Dr. Oldfield mencintai Anda. Langsung saja, didorong
amarah dan cemburu, dia menebar gosip bahwa Dr. Oldfield telah meracuni
istrinya. "Itulah, seperti kata saya tadi, cara saya menganalisis dan membayangkan apa
yang terjadi di sini. Ini adalah kasus yang menyangkut seorang wanita yang
cemburu dan gosip sang tidak benar. Tetapi, pepatah 'Tak ada asap tanpa api'
tetap menggelitik saya. Saya menduga-duga, kalau-kalau Miss Harrison telah
melakukan sesuatu dan itu lebih dari sekadar menebar gosip. Ada kata-kata yang
diucapkannya yang menurut saya aneh. Katanya, parahnya kondisi kesehatan Mrs.
Oldfield sebenarnya hanyalah imajinasi wanita itu saja - yaitu sesungguhnya Mrs.
Oldfield tidak menderita sakit parah. Tetapi Dr. Oldfield sendiri tak meragukan
keadaan istrinya. Dia tidak heran atau kaget ketika akhirnya istrinya meninggal.
Sebelum istrinya meninggal, dia sempat memanggil seorang dokter lain, dan dokter
itu sependapat dengannya tentang parahnya kondisi istrinya. Dengan sengaja, saya
kemukakan gagasan untuk melakukan penggalian jenazah.... Mula-mula Miss Harrison
cemas mendengar gagasan itu. Kemudian, hampir seketika, rasa cemburu dan
bencinya menguasai akal sehatnya. Biar saja mereka menemukan arsenikum pada
tubuh Mrs. Oldfield... orang takkan mencurigainya. Biarlah Dr. Oldfield dan Jean
Moncrieffe yang akan menderita.
"Hanya ada satu harapan. Membuat Miss Harrison lengah dan bertindak gegabah.
Seandainya ada kemungkinan Jean Moncrieffe akan terhindar dari tuduhan, saya
yakin, Miss Harrison akan melakukan apa pun untuk menyeret Anda ke dalam tindak
kejahatan ini. Saya perintahkan pelayan saya yang setia, George - orang yang
paling tidak mencolok mata, yang tidak dikenal Miss Harrison. Dia saya suruh
membuntuti wanita itu ke mana pun dia pergi. Dan... begitulah, semua berakhir
baik." Jean Moncrieffe berkata, "Anda sungguh mengagumkan."
Dr. Oldfield menimpali. Katanya, "Ya, benar. Rasanya, tak mungkin saya ungkapkan
rasa terima kasih saya kepada Anda. Betapa butanya saya selama ini!"
Poirot bertanya dengan penuh ingin tahu, "Apakah Anda juga buta, Mademoiselle?"
Jean Moncrieffe berkata lambat-lambat, "Saya sangat khawatir. Anda tahu, jumlah
sisa arsenikum yang tersimpan di lemari obat tidak sesuai dengan catatan
saya...." Oldfield menyela cepat, "Jean... kaupikir aku...?"
"Bukan, bukan... bukan kamu. Yang kuduga adalah, entah dengan cara bagaimana,
Mrs. Oldfield bisa memperoleh racun itu... dan dengan sengaja meminumnya agar
mengesankan sakitnya lebih parah dari sesungguhnya, dan dengan demikian dapat
menuntut simpati dan perhatianmu. Entah bagaimana, secara tak sengaja, dia minum
terlalu banyak.... Tapi yang kukhawatirkan, kalau autopsi jadi dilakukan dan
mereka menemukan racun itu, mereka pasti takkan mempertimbangkan kemungkinan
lain kecuali bahwa kaulah pelakunya. Itu sebabnya aku tak pernah melaporkan
hilangnya sejumlah arsenikum. Aku bahkan telah membakar buku tentang racun!
Tapi, orang yang sama sekali tak kusangka dan tidak kucurigai adalah Miss
Harrison." Oldfield berkata, "Aku juga. Dia wanita yang sangat lembut. Seperti wanita-
wanita anggun dalam lukisan kuno."
Poirot berkata dengan sedih, "Ya, mungkin dia bisa menjadi istri dan ibu yang
baik.... Sayang sekali, emosinya terlalu bergejolak dan dia tak dapat
mengendalikannya." Dia mendesah dan sekali lagi bergumam lirih, "Hal-hal yang
menyedihkan...." Kemudian ia tersenyum melihat pasangan itu, lelaki setengah baya yang kelihatan
bahagia dan gadis muda yang tampak penuh semangat.
Hercule Poirot berkata pada dirinya sendiri, "Dua makhluk ini telah keluar dari
bayang-bayang kegelapan dan kini berdiri di bawah terang sinar matahari... dan
aku... aku telah melaksanakan Tugas Kedua Hercules."
3 RUSA DARI ARCADIA I HERCULE POIROT mengentak-entakkan kakinya, mencoba menghangatkannya. Ia meniup
jari-jarinya. Serpihan salju meleleh dan menetes dari ujung-ujung kumisnya.
Terdengar ketukan di pintu, disusul munculnya seorang pelayan. Ia adalah gadis
desa yang lugu, yang menatap Hercule Poirot dengan pandangan penuh ingin tahu.
Mungkin ia belum pernah melihat makhluk asing seperti Poirot.
Ia bertanya, "Sir memanggil?"
"Ya. Tolong nyalakan perapian."
Gadis itu keluar dan segera kembali sambil membawa kertas dan ranting-ranting
kayu. Ia berlutut di depan perapian kuno, peninggalan dari Zaman Victoria, lalu
mulai menyalakannya. Hercule Poirot terus mengentak-entakkan kakinya, mengayun-ayunkan lengannya, dan
meniup jari-jarinya. Ia kesal. Mobilnya, Messarro Gratz yang mahal, tidak bekerja dengan baik...
tidak seperti yang diharapkannya dari mesin mobil semahal itu. Sopirnya, seorang
pemuda yang puas dengan gajinya yang cukup besar, telah gagal menghidupkan
mesin. Mobil itu menolak jalan di sebuah jalan sepi, jauh dari mana-mana, tepat
ketika salju mulai turun. Hercule Poirot, yang mengenakan sepatu kulit mahal
yang hanya cocok dipakai di dalam gedung mewah, terpaksa berjalan kaki kira-kira
lima kilometer untuk mencapai desa Hartly Dene yang terletak di pinggir sungai.
Desa itu sebenarnya cukup ramai di musim panas, tetapi keadaannya di musim
dingin benar-benar suram. Penginapan The Black Swan menyambut kedatangan tamunya
dengan sikap murung. Pemiliknya mengatakan bahwa bengkel mobil di desa itu bisa
menyediakan sebuah mobil sehingga tamu asing itu bisa melanjutkan perjalanannya.
Hercule Poirot semakin kesal mendengar usul itu. Sikap hematnya seakan
diremehkan. Menyewa mobil" Ia sudah punya mobil - sebuah mobil yang besar dan
mahal. Hanya dengan mobil itu, bukan yang lain, ia akan melanjutkan
perjalanannya ke kota. Dan dalam keadaan apa pun, seandainya mobilnya bisa
segera diperbaiki, ia takkan sudi melanjutkan perjalanan dalam hujan salju
seperti ini. Ia akan menunggu sampai esok hari. Ia minta disediakan kamar,
perapian yang hangat, dan makanan panas. Sambil mengeluh, pemilik penginapan itu
menyuruh seorang pelayan menyiapkan kamar dan menyalakan perapian. Kemudian ia
merundingkan masalah penyediaan makanan panas dengan istrinya.
Satu jam kemudian, dengan kaki terjulur ke arah perapian yang hangat, Hercule
Poirot merenungkan makanan yang baru saja disantapnya. Bistiknya liat dan banyak
lemaknya, brussels-sprouts-nya - sejenis kol berbentuk mungil sebesar telur ayam -
terlalu besar ukurannya, pucat warnanya, dan terlalu banyak mengandung air;
bagian tengah kentangnya mentah dan keras seperti batu. Tentang setup apel dan
saus manis sebagai pencuci mulut juga tak banyak yang bisa dikatakannya. Kejunya
keras dan biskuitnya lembek. Bagaimanapun juga, pikir Hercule Poirot - sambil
memandangi nyala api dengan penuh rasa syukur, dan menghirup secangkir cairan
pekat mirip lumpur yang secara halus disebut kopi - lebih baik perutnya kenyang
daripada kosong, lebih-lebih setelah menyusuri jalan desa yang tertutup salju
dengan sepatu kulit yang tidak sesuai. Duduk di perapian seperti saat ini,
rasanya seperti di surga!
Terdengar ketukan di pintu. Pelayan itu datang lagi.
"Sir, pegawai bengkel mobil ada di sini, ingin bicara dengan Anda."
Hercule Poirot menjawab dengan ramah, "Suruh dia masuk."
Gadis itu tertawa kecil, kemudian pergi.
Poirot menduga-duga dengan perasaan senang, bahwa gadis itu akan bercerita
tentang dirinya kepada kawan-kawannya dan ceritanya itu akan membuat malam-malam
yang panjang selama musim dingin menjadi mengasyikkan.
Terdengar pintu diketuk lagi, bunyinya tidak sama dengan yang tadi, dan Poirot
berseru, "Masuk."
Dengan pandangan memuji Poirot menatap pemuda yang kemudian masuk dan berdiri
canggung di depan pintu. Tangan si pemuda meremas-remas topinya.
Pikir Poirot, inilah contoh makhluk jantan yang sempurna. Seorang pemuda
sederhana yang penampilannya mirip dewa Yunani.
Pemuda itu berkata, suaranya rendah dan agak serak, "Tentang mobil Anda, Sir,
telah kami bawa ke bengkel. Dan kami telah temukan penyebabnya. Kami butuh kira-
kira satu jam untuk memperbaikinya."
Poirot berkata, "Apanya yang salah?"
Dengan penuh semangat pemuda itu menyampaikan detail-detail yang amat teknis.
Dengan sabar Poirot menganggukkan kepalanya, tapi tidak mendengarkan. Tubuh yang
sempurna, itulah yang sedang dikaguminya. Menurutnya, di dunia ini terlalu
banyak tubuh yang tidak sempurna. Ia menggumam dengan sikap penuh kagum, "Ya,
dewa Yunani... seorang gembala muda dari Arcadia."
Pemuda itu tiba-tiba berhenti bicara. Saat itulah kedua alis Poirot bertaut.
Reaksi pertamanya bersifat estetis, sedang yang kedua bersifat mental. Matanya
menyipit penuh selidik dan ia mendongakkan kepalanya.
Katanya, "Aku mengerti. Ya, aku mengerti." Ia berhenti sejenak, kemudian
melanjutkan, "Sopirku telah memberitahukan apa yang kauceritakan tadi."
Dilihatnya pipi pemuda itu memerah dan tangan yang menggenggam topi itu tampak
gelisah. Dengan terbata-bata pemuda itu berkata, "Yyyaa... hmm... ya, Sir. Saya
mengerti." Hercule Poirot melanjutkan kata-katanya dengan luwes, "Tapi menurutmu sebaiknya
kau datang kemari dan mengatakannya langsung kepadaku, begitu?"
"Eh... ya, Sir, saya pikir sebaiknya begitu."
"Kau sangat baik hati," kala Hercule Poirot. "Terima kasih."
Meskipun samar, nada mengusir terdengar dalam suaranya. Di lain pihak,
sesungguhnya ia sudah menduga bahwa pemuda itu tidak akan mau pergi begitu saja.
Dugaannya benar. Pemuda itu tak bergeming.
Jari-jarinya bergerak gelisah, meremas-remas topi wolnya, dan ia berkata dengan
suara rendah serta malu-malu, "Eh... maafkan saya, Sir, tapi... benarkah Anda
seorang detektif terkenal... benarkah Anda Mr. Hercules Pwarrit?" Nama itu
diucapkannya dengan amat hati-hati.
Poirot menanggapi, "Ya, benar."
Sekali lagi wajah pemuda itu memerah. Katanya, "Saya pernah baca tentang Anda di
koran." "Ya?" Wajah pemuda itu kini benar-benar jadi merah. Matanya memancarkan rasa putus asa
- putus asa sekaligus penuh permohonan. Hercule Poirot segera menolongnya.
Katanya dengan lembut, "Ya" Apakah yang kau ingin saya lakukan?"
Kata-kata itu meluncur begitu saja.
"Saya takut Anda katai pengecut, Sir. Tapi, Anda sudah di sini, dan ini
kesempatan ajaib yang... tak mungkin saya lepaskan begitu saja. Saya sudah baca
tentang Anda dan bagaimana Anda melakukan hal-hal yang ajaib. Jadi, saya pikir
ada baiknya kalau saya minta bantuan Anda. Tidak ada salahnya, bukan, meminta
bantuan Anda?" Hercule Poirot menggeleng. Katanya, "Kau membutuhkan bantuan saya untuk
sesuatu?" Lawan bicaranya mengangguk. Pemuda itu menjawab dengan suara serak dan malu-
malu, "Ini tentang... seorang gadis. Seandainya... seandainya Anda bisa
menemukan dia... demi saya."
"Menemukan dia" Apakah dia hilang?"
"Benar, Sir." Hercule Poirot menegakkan duduknya. Ia berkata dengan suara tajam, "Aku dapat
membantumu, mungkin. Tapi lebih tepat jika kau melapor pada polisi. Ini tugas
mereka dan mereka punya lebih banyak tenaga yang dapat mereka andalkan."
Pemuda itu menggores-goreskan kakinya. Ia berkata dengan canggung, "Tak mungkin,
Sir. Masalah ini lain, sama sekali lain. Bahkan agak aneh, kalau saya boleh
menyebutnya begitu."
Hercule Poirot menatapnya dengan tajam. Kemudian ia mempersilakan pemuda itu
agar duduk. "Eh bien, kalau begitu silakan duduk... siapa namamu?"
"Williamson, Sir, Ted Williamson."
"Duduklah, Ted. Dan ceritakan semuanya padaku."
"Terima kasih, Sir." Ia menarik kursi itu ke depan lalu duduk di ujungnya dengan
sikap hati-hati. Matanya masih memancarkan permohonan, seperti mata seekor
anjing. Hercule Poirot berkata ramah, "Ceritakan."
Ted Williamson mengambil napas dalam-dalam.
"Well, begini, Sir. Saya hanya sekali melihatnya. Dan saya tak tahu siapa
namanya atau dari mana dia. Tapi aneh sekali, surat-surat saya selalu
dikembalikan." "Mulailah," sela Hercule Poirot, "dari awal. Jangan terburu-buru. Ceritakan saja
semua yang terjadi."
"Ya, Sir. Well, mungkin Anda tahu Grasslawn, rumah besar di pinggir sungai,
sesudah jembatan itu?"
"Aku tak tahu apa-apa."
"Itu rumah milik Sir George Sanderfield. Dia menggunakannya untuk berakhir pekan
atau mengadakan pesta-pesta di musim panas - tamu-tamunya dari kalangan terkenal.
Bintang film, aktris panggung, yang semacam itu. Bulan Juni yang lalu - ada
kerusakan pada alat pengeras suara mereka... dan saya dipanggil untuk
memperbaikinya." Poirot mengangguk. "Jadi saya ke sana. Sir George sedang bertamasya di pinggir sungai bersama tamu-
tamunya, koki sedang keluar, dan pelayan laki-laki sedang melayani para tamu di
kebun, menghidangkan minuman. Hanya ada gadis itu di dalam rumah, dia pelayan
pribadi salah seorang tamu wanita. Dia menyuruh saya masuk dan menunjukkan di
mana alat yang harus saya perbaiki itu. Dia menunggui saya sementara saya
bekerja. Maka kami pun mengobrol... Nita namanya, begitu katanya pada saya, dan
dia pelayan seorang penari Rusia yang sedang bertamu di sana."
"Orang mana dia, Inggris?"
"Bukan, Sir. Mungkin Prancis. Logat bicaranya lucu. Tapi bahasa Inggris-nya
cukup bagus. Dia... dia amat ramah dan saya jadi berani bertanya, kalau-kalau
dia bisa keluar dan pergi nonton bersama saya malam itu. Tapi dia menjawab bahwa
majikannya akan membutuhkannya malam itu. Tapi kemudian dia mengatakan bisa
keluar sebentar sebelum sore, sebab tamu-tamu yang lain baru akan kembali dari
bertamasya setelah hari benar-benar gelap. Singkatnya, siang itu saya membolos


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerja tanpa izin - dan hampir dipecat karenanya - dan kami pun pergi berjalan-jalan
di tepi sungai." Ia berhenti. Wajahnya tersenyum samar. Matanya menerawang.
Poirot berkata dengan lembut, "Dia cantik, kan?"
"Dia adalah makhluk paling cantik yang pernah ada di bumi ini. Rambutnya
bagaikan emas - kedua sisinya terangkat bagaikan sepasang sayap - dan langkah
kakinya begitu lincah, meloncat-loncat. Saya... saya... yah, saya langsung jatuh
cinta padanya, Sir. Dan saya tidak pura-pura."
Poirot mengangguk. Pemuda itu melanjutkan, "Dia bilang majikannya akan datang ke sini dua minggu
lagi, dan kami pun berjanji bertemu lagi." Dia berhenti sejenak. "Tapi dia tak
pernah datang. Saya menunggunya di tempat yang telah dijanjikannya, tapi dia tak
kunjung datang. Akhirnya saya memberanikan diri pergi ke rumah itu dan
menanyakan dia. Wanita Rusia itu memang sedang menginap di sana, bersama
pelayannya pula, kata mereka. Pelayan itu dipanggil, tapi waktu datang, aneh,
gadis itu bukanlah Nita! Dia hanyalah gadis biasa yang bersikap menantang dan
berkulit gelap. Namanya Marie. 'Kau cari aku, ya"' tanyanya dengan nada kurang
ajar. Pasti dilihatnya bahwa saya kaget sekali. Saya tanyakan apakah benar dia
pelayan pribadi wanita Rusia itu dan mengapa tidak sama dengan yang saya kenal
sebelumnya. Mendengar itu dia tertawa dan berkata bahwa pelayan terakhir sebelum
dia tiba-tiba disuruh pergi. 'Disuruh pergi"' tanya saya. 'Untuk apa"' Gadis itu
hanya mengangkat bahu dan mengulurkan tangannya. 'Mana aku tahu"' katanya. 'Aku
tak ada di sini waktu itu.'
"Well, Sir, saya kaget sekali. Saat itu saya tak bisa bicara dan tak bisa
berpikir. Tapi setelah itu saya beranikan diri untuk menemui Marie lagi. Saya
minta alamat Nita padanya. Tak saya katakan padanya bahwa nama keluarga Nita pun
saya tak tahu. Saya janjikan sesuatu kalau dia bisa memberikan alamat Nita - dia
jenis gadis yang takkan melakukan apa-apa untuk Anda kalau tak diberi upah.
Akhirnya dia berhasil memperoleh alamat Nita - sebuah alamat di kawasan London
Utara, lalu saya menyurati Nita pada alamat itu - tapi surat saya dikembalikan -
lewat kantor pos dengan tulisan tak ada lagi pada alamat tersebut tertulis di
sampulnya." Ted Williamson berhenti bicara. Mata birunya yang menyorot tajam kini menatap
Poirot. Katanya, "Anda bisa mengerti sekarang" Ini bukan kasus yang bisa
ditangani polisi. Tapi saya ingin menemukan gadis itu. Dan saya tak tahu
bagaimana mencarinya. Jika... jika Anda berhasil menemukannya..." wajahnya
memerah, "saya... saya punya sedikit uang. Mungkin lima... atau sepuluh pound."
Poirot berkata dengan lembut, "Urusan keuangan tak perlu kita bicarakan
sekarang. Coba kita renungkan fakta ini... Nita, gadis itu, apakah dia tahu
namamu dan di mana kau bekerja?"
"Ya, Sir." "Dia bisa menghubungimu kalau memang mau?"
Ted menanggapi dengan pelan, "Ya, Sir."
"Tidakkah kau berpikir... mungkin..."
Ted Williamson menyela, "Maksud Anda, Sir, saya jatuh cinta padanya, tapi dia
tidak cinta pada saya" Mungkin ada benarnya... dalam hal tertentu... Tapi dia
mencintai saya... sungguh... dan baginya ini bukan sekadar lelucon. Saya sudah
lama merenungkan hal ini, Sir, pasti ada alasan tertentu di balik kejadian ini.
Anda tahu, yang menginap di sana adalah orang-orang aneh. Mungkin saja dia dalam
bahaya, kalau Anda mengerti maksud saya."
"Maksudmu, apakah dia sedang hamil" Anakmu?"
"Bukan anak saya." Wajah Ted memerah. "Kami tidak berbuat sejauh itu."
Poirot merenung sambil memandang pemuda itu. Ia bergumam, "Dan seandainya
dugaanmu itu benar - apakah kau masih tetap ingin menemukannya?"
Wajah Ted Williamson semakin merah. Katanya, "Ya! Dan itu tak dapat ditawar
lagi! Saya ingin menikahinya, kalau dia bersedia. Saya tak peduli pada masa
lalunya. Maukah Anda mencoba mencarinya... demi saya, Sir?"
Hercule Poirot tersenyum. Ia berkata, seperti bergumam pada diri sendiri,
"'Rambut bagaikan sayap-sayap emas.' Ya, kurasa inilah Tugas Ketiga Hercules...
Kalau tak salah ingat... peristiwa ini terjadi di Arcadia...."
II Sambil merenung Hercule Poirot memandangi secarik kertas dengan sebuah nama dan
alamat yang dengan sungguh-sungguh ditulis oleh Ted Williamson.
Miss Valetta, 17 Upper Renfrew Lane, N. 15.
Poirot tidak yakin apakah ia akan bisa mengorek sesuatu dari alamat tersebut.
Rasanya tidak. Tapi hanya itu satu-satunya petunjuk yang dimiliki Ted.
No. 17 Upper Renfrew Lane adalah sepotong jalan yang tidak terlalu lebar tetapi
cukup terhormat. Seorang wanita berpenampilan gagah membukakan pintu yang
diketuk Poirot. "Miss Valetta?"
"Sudah lama dia pergi."
Poirot maju selangkah di ambang pintu, tepat ketika pintu itu akan ditutup.
"Bisakah Anda memberikan alamatnya?"
"Tidak bisa, sungguh. Dia tidak meninggalkan alamat."
"Kapan perginya?"
"Musim panas yang lalu."
"Tepatnya kapan?"
Terdengar suara gemerincing dari tangan kanan Poirot yang mempermainkan dua
keping uang logam. Mata tajam wanita itu langsung melembut. Ajaib! Sikapnya pun langsung berubah
jadi ramah. "Ya, saya bersedia membantu Anda, Sir. Coba saya ingat-ingat. Agustus, tidak,
sebelum itu - Juli - ya, pasti Juli. Kira-kira minggu pertama bulan Juli. Dia pergi
tergesa-gesa. Saya yakin dia kembali ke Italia."
"Jadi dia dari Italia?"
"Benar, Sir." "Dan dia pernah menjadi pelayan pribadi seorang penari Rusia, ya, kan?"
"Tepat. Namanya, kalau tidak salah, Madame Semoulina... atau kira-kira begitu
bunyinya. Dia menari di Bally bersama kelompok balet Thespian Theatre yang
dipuji-puji di mana-mana. Dia salah satu bintangnya."
Poirot berkata, "Tahukah Anda mengapa Miss Valetta disuruh pergi?"
Wanita itu ragu-ragu sejenak sebelum berkata, "Saya tak bisa bilang apa-apa."
"Bukankah dia diusir?"
"Well, menurut saya, istilahnya, keadaan memang sedang dibersihkan! Tapi ingat,
Miss Valetta tak terlalu peduli pada omongan orang. Dia bukan tipe gadis yang
suka sensasi. Di lain pihak, dia bukan gadis yang suka membuang barang begitu
saja. Tapi dia marah sekali mendengar kasus ini. Dia amat mudah marah - khas orang
Italia - matanya yang hitam tajam akan menatap kita, seakan-akan dia berniat
menusuk kita dengan sorot matanya itu. Saya tak berani mendekatinya, kalau dia
sedang marah-marah seperti itu!"
"Apakah Anda memang tak tahu alamat Miss Valetta sekarang?"
Terdengar gemerincing uang di saku Poirot.
Jawabannya amat meyakinkan dan hampir pasti benar.
"Ya, seandainya tahu, saya pasti akan senang memberitahukannya pada Anda.
Tapi... dia pergi dengan tergesa-gesa... dan itulah faktanya!"
Poirot bergumam sambil merenung, "Ya, begitulah faktanya...."
III Ambrose Vandel, sambil mengalihkan perhatiannya yang penuh antusias pada d?cor
yang dirancangnya untuk pertunjukan balet berikutnya, dengan senang hati
memberikan informasi yang diminta.
"Sanderfield" George Sanderfield" Manusia licik. Bergelimang uang, tapi orang
bilang dia tidak beres. Penjudi gelap! Ada affair dengan penari" Tentu saja...
dia memang ada affair dengan Katrina. Katrina Samoushenka. Anda pasti pernah
melihatnya. Oh, dia amat... amat pandai menari. Tekniknya bagus. The Swan of
Tuolela... Anda pasti pernah menonton yang itu. My decor! Lalu karya Debussy
atau apakah itu Mannine 'La Biche au Bois'" Dia menari berpasangan dengan
Michael Novgin. Pria itu sungguh luar biasa, kan?"
"Dan gadis itu kawan Sir George Sanderfield?"
"Ya. Dia sering berakhir pekan di rumah George Sanderfield di pinggir sungai.
Pesta-pesta yang diadakan di sana sungguh mewah dan meriah."
"Apakah mungkin, mon cher, Anda memperkenalkan saya pada Mademoiselle
Samoushenka?" "Tapi dia tidak ada lagi di sini. Tiba-tiba saja dia pergi ke Paris, atau entah
ke mana. Orang bilang dia mata-mata Bolshevik - tapi itu tak berarti saya percaya
omongan orang - Anda tahu sendiri, orang suka membicarakan yang seperti itu.
Katrina selalu berpura-pura bahwa dia orang Rusia Putih - ayahnya pangeran atau
bangsawan tinggi - semacam itulah! Hal seperti itu banyak gunanya." Vandel
berhenti bicara dan kembali asyik dengan pekerjaannya. "Nah, dengar kata saya,
kalau Anda ingin bisa memahami karakter Bathsheba, Anda harus mempelajari
tradisi bangsa Semit. Saya mengungkapkannya dengan..."
Dan dia terus bicara tanpa henti....
IV Wawancara yang dilakukan Hercule Poirot terhadap Sir George Sanderfield tidak
berjalan mulus, tidak sesuai dengan rencana Poirot.
Si "Penjudi Gelap", julukan yang diberikan Vandel padanya, rupanya sedang uring-
uringan. Sir George seorang pria bertubuh pendek dengan rambut kasar hitam dan
lemak yang bergelambir di sekeliling lehernya.
Ia berkata, "Well, M. Poirot, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda" Eh... saya
rasa kita belum pernah bertemu, bukan?"
"Belum, memang belum."
"Well, ada apa" Terus terang, saya jadi ingin tahu."
"Oh, hanya soal kecil... saya membutuhkan informasi dari Anda."
Sir George Sanderfield tertawa salah tingkah.
"Anda ingin saya memberikan ramalan pemenangnya dari kalangan 'dalam'" Saya kira
Anda tidak tertarik pada masalah keuangan."
"Ini bukan masalah les affaires seperti yang Anda duga. Ini pertanyaan tentang
seorang wanita tertentu."
"Oh, seorang perempuan." Sir George Sanderfield menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Ia tampak santai sekarang. Suaranya pun terdengar lebih ramah.
Poirot berkata. "Saya rasa Anda kenal dengan Mademoiselle Katrina Samoushenka.
Benar?" Sanderfield tertawa. "Ya. Makhluk yang sangat menawan. Sayang dia sudah meninggalkan London."
"Mengapa dia meninggalkan London?"
"Saya tidak tahu. Bertengkar dengan manajernya, barangkali. Dia wanita yang
temperamental. Ya, sangat khas Rusia wataknya. Sulit diduga emosinya. Maaf, saya
tak dapat membantu Anda, tapi saya memang tak tahu, sungguh, di mana dia
sekarang. Saya sudah tak berhubungan lagi dengannya."
Terdengar nada mengusir dalam suaranya, ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir
itu sambil bangkit berdiri.
Poirot berkata, "Tapi, bukan Mademoiselle Samoushenka sendiri yang ingin saya
cari." "Oh ya?" "Bukan dia. Yang ingin saya tanyakan adalah pelayannya."
"Pelayannya?" Sanderfield menatap Poirot tak percaya.
Poirot berkata, "Apakah Anda masih ingat... siapa pelayannya?"
Sikap Sanderfield yang kaku kini muncul kembali. Dengan canggung dia menjawab,
"Ya, Tuhan, apakah saya harus ingat dia" Tentu saja saya tahu dia punya
pelayan... Menurut saya, pelayannya itu bukan gadis baik-baik. Gadis yang suka
nguping dan mengintip. Kalau saya jadi Anda, sedikit pun saya takkan percaya
pada apa yang dikatakannya. Dia jenis gadis yang terlahir sebagai pembohong."
Poirot bergumam, "Jadi, sesungguhnya banyak yang Anda ingat tentang dia, bukan?"
Sanderfield segera menukas, "Hanya kesan saya saja... Saya bahkan tak ingat
siapa namanya. Marie siapa... kira-kira begitu namanya. Maaf, rasanya saya tak
dapat membantu Anda dalam hal ini. Maaf"
Poirot berkata dengan suara lembut, "Saya sudah mendapat nama Marie Hellin dari
Thespian Theatre - dan alamatnya. Tapi, Sir George, yang saya maksud adalah gadis
yang melayani Mademoiselle Samoushenka sebelum Marie Hellin. Yang saya maksud
Nita Valetta." Sanderfield terpana, kemudian berkata, "Sungguh, saya tak ingat. Marie, dia
satu-satunya yang saya ingat. Gadis bertubuh mungil dan berkulit gelap dengan
mata yang memancarkan kelicikan hatinya."
Poirot berkata, "Gadis yang saya maksud menginap di rumah Anda, di Grasslawn,
bulan Juni yang lalu."
Sanderfield menyahut dengan gusar, "Well, sekali lagi saya katakan, saya tak
ingat siapa dia. Saya rasa Katrina tidak membawa pelayan waktu itu. Saya rasa
Anda keliru." Hercule Poirot menggeleng. Ia tidak merasa membuat kekeliruan.
V Marie Hellin memandang Poirot sekilas, dengan matanya yang kecil dan cerdas,
lalu segera mengalihkan pandangannya lagi. Suaranya terdengar lancar dan bernada
datar waktu bicara. "Tapi saya ingat benar, Monsieur. Saya bekerja pada Madame Samoushenka pada
minggu terakhir bulan Juni. Pelayannya yang sebelumnya tiba-tiba pergi dengan
tergesa-gesa." "Tahukah kau apa sebabnya dia pergi?"
"Dia pergi... tiba-tiba... itu saja yang saya ketahui! Mungkin karena sakit...
ya, semacam itulah. Madame tidak mengatakan apa-apa."
Poirot berkata, "Apakah menurutmu, majikanmu wanita yang tidak rewel?"
Gadis itu mengangkat bahu.
"Perasaannya gampang berubah-ubah. Sering sekali dia menangis, lalu tertawa,
lalu menangis lagi, begitu. Kadang-kadang dia seperti putus asa, tidak mau
bicara dan tidak mau makan. Kadang-kadang dia amat riang. Ya, penari-penari
terkenal memang seperti itu. Wataknya sulit diduga."
"Dan Sir George?"
Gadis itu mengangkat kepala dengan sikap waspada. Matanya bersinar jail, tidak
menyenangkan. "Ah, Sir George Sanderfield" Anda ingin tahu tentang dia" Mungkin memang dia
yang ingin Anda ketahui, dan yang satunya hanya untuk alasan saja, ya, kan" Ah,
Sir George, banyak hal ganjil tentang dia yang bisa saya ceritakan pada Anda,
misalnya..." Poirot menyela, "Itu tidak penting."
Gadis itu ternganga. Matanya terbelalak menatap Poirot. Rasa marah dan kesal
terpancar dari matanya yang licik.
VI "Saya selalu berkata bahwa Anda tahu segalanya, Alexis Pavlovitch."
Poirot menggumamkan kata-kata itu dengan suara rendah penuh harapan.
Ia sedang merenung-renungkan, ternyata Tugas Ketiga Hercules ini membutuhkan
lebih banyak perjalanan dan wawancara dari yang semula dibayangkannya. Masalah
sepele tentang hilangnya gadis pelayan seorang penari terkenal ini ternyata
menjadi masalah yang berkepanjangan dan jauh lebih sulit dari masalah-masalah
yang pernah ditanganinya. Setiap jejak, setelah diteliti dan ditelusurinya,
ternyata berakhir di jalan buntu.
Malam ini, jejak itu membawanya ke Samovar Restaurant di Paris. Pemiliknya,
Count Alexis Pavlovitch, membanggakan diri dengan mengatakan dirinya selalu tahu
segala sesuatu yang terjadi di kalangan seni dan seniman.
Kini ia mengangguk sambil berpikir-pikir, "Ya, kawan, ya... saya selalu tahu.
Kau bertanya di mana kini Samoushenka... si penari mungil yang amat
mengagumkan... berada" Ah, dia adalah contoh penari sempurna." Alexis mencium
ujung jarinya sendiri. "Sungguh suatu kerugian besar! Dia bisa saja mencapai
puncak kariernya. Dia bisa menjadi Premi?re Ballerina pada zamannya - tapi, tiba-
tiba saja semuanya berakhir. Dia pergi diam-diam... ke ujung dunia, dan tak lama
lagi... tak lama lagi orang akan melupakannya."
"Di mana dia sekarang?" tukas Poirot menuntut jawab.
"Di Swiss. Di Vagray les Alpes. Ke sanalah mereka pergi, mereka yang menderita
batuk kering dan yang tubuhnya makin lama makin kurus. Dia akan mati, ya... dia
akan mati! Sifatnya memang fatalistik. Dia pasti akan mati."
Poirot berdeham, menyela ramalan yang tragis itu. Ia membutuhkan informasi.
"Apakah Anda ingat gadis pelayannya" Namanya Nita Valetta."
"Valetta" Valetta" Saya memang pernah melihat pelayannya sekali... di stasiun
ketika saya mengantarkan Katrina yang akan pergi ke London. Dia gadis Italia
dari kota Pisa, ya, kan" Ya, saya yakin dia gadis Italia dari kota Pisa."
Hercule Poirot menggeram.
"Kalau begitu," katanya, "saya terpaksa pergi ke Pisa."
VII Hercule Poirot berdiri di Campo Santo, di Pisa, dan memandang makam itu.
Jadi rupanya di sinilah perjalanannya harus berakhir. Di sini, pada seonggok
tanah makam yang sederhana. Di bawahnya terbaring makhluk lincah yang telah
menggugah hati dan imajinasi seorang pemuda Inggris yang sederhana, seorang
pegawai bengkel mobil.

Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah ini akhir yang paling baik bagi kisah cinta kilat yang aneh itu" Kini
gadis itu akan hidup sebagai kenangan, seperti yang dilihat pemuda itu selama
beberapa jam yang amat indah pada suatu sore di bulan Juni. Perbedaan bangsa,
perbedaan derajat, sakitnya perasaan karena impian yang hancur, semua itu takkan
terjadi. Hercule Poirot menggeleng dengan sedih. Pikirannya kembali pada pembicaraannya
dengan keluarga Valetta. Sang ibu dengan wajah petani desa yang lebar dan
sederhana, sang ayah yang tampak sedih sekali, dan sang adik perempuan yang
berbibir tebal. "Sangat tiba-tiba, Signor, sangat mendadak. Meskipun sudah bertahun-tahun
sakitnya kadang-kadang kambuh... Dokter tak memberikan pilihan bagi kami...
katanya usus buntunya harus segera dioperasi. Dibawanya dia ke rumah sakit dan
di sana... Si, si, dia meninggal ketika masih dibius. Dia tak pernah sadar
lagi." Ibunya terisak, dan bergumam, "Bianca gadis yang cerdas. Sayang sekali, dia
harus mati dalam usia yang amat muda...."
Hercule Poirot mengulanginya lirih, "Dia mati dalam usia amat muda...."
Itulah pesan yang harus disampaikannya pada pemuda yang telah meminta bantuannya
dan yang percaya penuh akan kemampuannya.
"Dia bukan untukmu, kawan. Dia mati muda."
Perjalanannya telah berakhir... di sini, tempat menara miring menampilkan siluet
indah berlatar langit senja. Di sini, ketika bunga-bunga mulai bermunculan di
awal musim semi, dengan warna-warna pucat yang lembut, penuh janji akan
kehidupan dan kegembiraan yang akan datang.
Apakah gairah musim semi ini yang menyebabkannya menolak menerima akhir cerita
seperti itu" Ataukah ada sesuatu yang lain" Sesuatu terlintas di benaknya - kata-
kata - sebuah kalimat - sebuah nama. Bukankah semua ini terlalu sempurna akhirnya"
Terlalu jelas" Hercule Poirot mendesah. Ia harus melakukan perjalanan sekali lagi, untuk
menyelesaikan teka-teki ini sampai tuntas. Ia harus pergi ke Vagray les Alpes.
VIII Inilah, pikir Poirot, yang disebut ujung dunia. Pondok-pondok yang tertutup
salju... yang bertebaran dan yang di dalamnya terbaring sesosok manusia yang tak
kuasa bergerak, manusia yang berusaha melawan maut.
Akhirnya ia bertemu dengan Katrina Samoushenka. Ketika dilihatnya wanita itu
terbaring, dengan pipi cekung yang diberi pemerah, dengan tangan kurus panjang
yang terulur dari balik selimut, sebuah kenangan mengusiknya. Poirot tidak ingat
namanya, tapi pernah melihat wanita itu menari - dan ia pernah tenggelam dalam
pesona yang dipancarkan sang penari yang kini terbaring di depannya. Pesona
adiseni yang membuatnya lupa akan seni.
Ia ingat akan Michael Novgin, sang Pemburu, yang melompat dan berputar-putar
dalam hutan ajaib seperti yang dibayangkan Ambrose Vandel. Dan ia ingat akan
sang Rusa yang amat menawan, yang berlari bagaikan terbang... yang selalu
dikejar-kejar dan didambakan... seekor makhluk cantik berkulit emas dengan
sepasang tanduk di kepala dan sepasang kaki yang lincah menari-nari. Poirot
ingat bagaimana makhluk cantik itu akhirnya mati, terpanah dan terluka, dan
Michael Novgin berdiri dengan perasaan ngeri, tangannya memeluk sang Rusa yang
terluka. Katrina Samoushenka memandang tamunya dengan pandangan penuh ingin tahu. Ia
berkata, "Saya belum pernah bertemu Anda, bukan" Apa maksud Anda datang kemari?"
Hercule Poirot membungkuk memberi hormat.
"Pertama-tama, Madame, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda... karena
seni yang Anda pentaskan telah membuat salah satu malam saya penuh keindahan."
Wanita itu tersenyum samar.
"Tapi saya datang kemari juga untuk sesuatu hal. Saya telah lama mencari-cari,
Madame, lama sekali saya mencari seorang pelayan Anda... namanya Nita."
"Nita?" Wanita itu terbelalak. Matanya besar dan kelihatan kaget sekali. Katanya, "Apa
yang Anda ketahui tentang Nita?"
"Akan saya ceritakan."
Poirot bercerita tentang malam ketika mobilnya mogok, tentang Ted Williamson
yang datang menemuinya sambil meremas-remas topi wolnya dengan gelisah, dan
tentang pemuda yang mengisahkan kisah cintanya dan rasa penasarannya. Wanita itu
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ketika Hercule Poirot selesai bicara, ia berkata, "Sangat menyentuh hati... ya,
sangat menyentuh hati...."
Hercule Poirot mengangguk.
"Ya," katanya. "Itu bagaikan cerita tentang sang Rusa dari Arcadia, bukan" Apa
yang bisa Anda ceritakan tentang gadis itu, Madame?"
Katrina Samoushenka mendesah.
"Saya punya seorang pelayan... Juanita. Dia gadis yang menarik, ya, periang,
lincah, dan baik hati. Apa yang terjadi padanya adalah seperti apa yang sering
terjadi pada makhluk-makhluk yang dikasihi Tuhan. Dia mati muda."
Itulah kata-kata yang juga diucapkan Poirot... kata-kata terakhir... kata-kata
yang terus menggema. Kini didengarnya lagi kata-kata itu... namun Poirot tak mau
menerimanya. Ia bertanya, "Dia sudah meninggal?"
"Ya, dia sudah mati."
Selama satu menit Poirot diam, kemudian berkata, "Tapi ada satu hal yang tak
dapat saya mengerti. Saya bertanya kepada Sir George Sanderfield tentang pelayan
Anda itu, dan dia seperti takut. Mengapa?"
Sekilas tampak rasa jijik terlintas di wajah sang penari.
"Anda hanya menyebut salah satu pelayan saya. Dia mengira itu Marie... gadis
yang datang pada saya setelah Juanita pergi. Marie mencoba memerasnya, saya
rasa, karena sesuatu yang diketahuinya tentang pria itu. Mulut gadis itu memang
berbisa... suka mengintip, selalu mau ikut campur urusan orang, suka membuka-
buka surat dan laci yang terkunci."
Poirot bergumam. "Dalam hal itu, masalahnya sudah jelas."
Ia berhenti selama satu menit, kemudian melanjutkan, nada suaranya tetap
mendesak, "Nama keluarga Juanita adalah Valetta, dan dia meninggal waktu
menjalani operasi usus buntu di Pisa. Benarkah itu?"
Poirot melihat adanya keraguan yang samar, hampir tak kentara, sebelum sang
penari menganggukkan kepalanya.
"Ya, itu benar..."
Poirot berkata sambil merenung, "Tapi... masih ada satu titik kecil...
keluarganya menyebutnya Bianca, bukan Juanita."
Katrina mengangkat bahunya yang kurus. Katanya, "Bianca... Juanita.. apa
hubungannya" Saya rasa nama aslinya Bianca, tapi gadis itu menganggap nama
Juanita lebih romantis, jadi dia memilih nama itu sebagai nama panggilannya."
"Ah, Anda pikir itu alasannya?" Hercule Poirot diam sejenak, kemudian
melanjutkan dengan nada suara berbeda. Katanya, "Bagi saya, ada penjelasan
lain." "Apakah itu?" Poirot mencondongkan badannya ke depan. Katanya, "Gadis yang dilihat Ted
Williamson mempunyai rambut yang digambarkannya bagaikan sayap-sayap emas."
Ia makin mencondongkan tubuhnya ke depan. Tangannya menyentuh ujung rambut
Katrina. "Sepasang sayap emas, sepasang tanduk emas" Itu tergantung bagaimana kita
melihatnya, apakah kita melihatnya sebagai malaikat atau sebagai setan! Anda
bisa saja memerankan dua-duanya. Ataukah mungkin yang kita bayangkan adalah
sepasang tanduk emas di kepala seekor rusa yang terluka?"
Katrina menggumam, "Seekor rusa yang terluka..." Suaranya adalah suara seorang
wanita yang tak punya harapan lagi.
Poirot berkata, "Apa yang digambarkan Ted Williamson selalu mengusik saya... mengingatkan saya
akan sesuatu... dan sesuatu itu adalah Anda, yang menari-nari dengan kaki
lincah, berputar-putar di tengah hutan. Bolehkah saya katakan apa yang saya
pikirkan, Mademoiselle" Saya rasa ada waktu selama seminggu ketika Anda tidak
punya pelayan, yaitu ketika Anda datang sendirian ke Grasslawn, sebab Bianca
Valetta telah pergi dan Anda belum mendapat penggantinya. Anda telah merasa
serangan penyakit yang sudah lama Anda derita dan sesekali kambuh. Suatu hari
Anda tetap tinggal di rumah ketika tamu-tamu yang lain pergi bertamasya ke tepi
sungai. Terdengar bel pintu berdering dan Anda membukakannya, dan Anda
melihat... bolehkah saya katakan apa yang Anda lihat ketika itu" Anda melihat
seorang pemuda yang polos seperti kanak-kanak, tapi sekaligus sangat tampan
bagaikan dewa Yunani! Dan untuknya Anda menciptakan seorang tokoh gadis... bukan
Juanita... melainkan Incognita... dan selama beberapa jam Anda berjalan-jalan
bersamanya di Arcadia...."
Hening yang lama. Akhirnya Katrina bicara, suaranya serak, "Dalam satu hal
setidak-tidaknya saya telah berkata jujur kepada Anda. Saya telah mengakhiri
cerita Anda itu dengan benar. Nita akan mati muda."
"Ah non!" seru Hercule Poirot. Sikapnya berubah. Ia memukul meja dengan
tinjunya. Tiba-tiba ia bersikap wajar, praktis, dan terus terang.
Katanya, "Itu tidak perlu! Anda tidak harus meninggal sekarang. Anda bisa
berjuang mempertahankan hidup Anda, ya, kan?"
Wanita itu menggeleng... sedih dan tanpa harapan...
"Kehidupan macam apa yang masih tersisa untuk saya?"
"Bukan kehidupan panggung, bien entendu! Tapi, coba pikirkan, masih ada
kehidupan lain untuk Anda. Ayolah, Mademoiselle, jujurlah, apakah ayah Anda
benar-benar pangeran atau bangsawan, atau bahkan jenderal?"
Tiba-tiba wanita itu tertawa. Ia berkata, "Dia masinis kereta api di Leningrad."
"Bagus sekali! Lalu mengapa Anda tidak bisa menikah dengan seorang pemuda desa
yang bekerja di bengkel mobil" Dan mempunyai anak-anak yang tampan dan cantik
bagaikan dewa-dewi, dengan kaki-kaki, mungkin, yang akan lincah menari seperti
kaki-kaki Anda?" Katrina menahan napas. "Tapi gagasan ini sungguh fantastis!"
"Walau demikian," kata Hercule Poirot penuh rasa puas, "saya percaya, itu akan
menjadi kenyataan!" 4 BABI HUTAN DARI GUNUNG ERYMANTHUS
I PENYELESAIAN Tugas Ketiga Hercules membawanya ke Swiss. Hercule Poirot
memutuskan, karena sudah ada di sana, untuk mengunjungi tempat-tempat yang
sampai saat itu belum dikenalnya.
Ia menghabiskan beberapa hari yang menyenangkan di Chamonix, bersantai satu-dua
hari di Montreux, kemudian pergi ke Aldermatt, suatu tempat yang banyak dipuji
sejumlah kenalannya. Sayangnya, Aldermatt membuatnya merasa tidak enak. Letaknya di ujung sebuah
lembah, dengan gunung bersalju menjulang tinggi di belakangnya. Ia merasa,
walaupun itu tidak masuk akal, seakan-akan sulit bernapas di sana.
"Tak mungkin tinggal di sini lama-lama," kata Poirot pada diri sendiri. Saat
itulah ia melihat sebuah funicular - kereta gantung - mendekat. "Jelas aku harus
naik kereta gantung itu."
Kereta gantung itu ternyata mula-mula naik ke Les Avines, kemudian ke Caurouchet
dan akhirnya ke Rochers Neiges, kira-kira tiga ribu meter di atas permukaan
laut. Poirot tidak berencana naik setinggi itu. Menurutnya Les Avines sudah cukup
tinggi untuknya. Tapi kejadian itu tidak dianggapnya sebagai kebetulan yang sering terjadi dalam
hidup seseorang. Kereta gantung itu baru saja bergerak ketika kondekturnya
menghampirinya dan memintanya menunjukkan karcisnya. Setelah memeriksa dan
menandainya dengan gunting yang kelihatan menyeramkan, ia mengembalikannya
sambil sedikit membungkuk hormat. Pada saat yang sama Poirot merasakan ada
secarik kertas yang diselipkan ke dalam tangannya bersama karcisnya.
Alis Poirot terangkat sedikit. Kemudian, tanpa kelihatan tergesa-gesa,
diluruskannya secarik kertas yang terlipat-lipat itu. Ternyata sebuah pesan yang
ditulis dengan pensil dan dengan tergesa-gesa.
Tidak mungkin (begitu tertulis di kertas itu) melupakan kumis yang hebat itu!
Salam hormatku untukmu, kawan. Jika bersedia kau bisa membantuku. Aku yakin kau
sudah membaca kasus Salley. Pembunuhnya - Marrascaud - diduga akan bertemu dengan
anggota komplotannya di Rochers Neiges. Tempat paling ajaib di dunia! Tentu saja
ada kemungkinan ini semua hanya jebakan - tapi sumber informasi kami bisa
dipercaya - selalu saja ada tikus yang mencicit, bukan" Jadi, silakan buka mata
lebar-lebar, kawan. Hubungi Inspektur Drouet di sana. Dia orang yang bisa
dipercaya... tapi tak mungkin berpura-pura di depan Hercule Poirot yang sangat
brilian. Adalah penting menangkap Marrascaud... menangkapnya hidup-hidup. Dia
bukan manusia... dia babi hutan liar... salah satu pembunuh berbahaya yang
sekarang masih hidup. Aku tak berani ambil risiko bicara padamu di Aldermatt,
karena mungkin saja aku selalu dimata-matai. Tapi, dengan begini tanganmu bisa
lebih bebas bekerja, kalau mereka menganggapmu sebagai turis biasa. Selamat
berburu! Kawan lamamu... Lementeuil.
Sambil merenung, Hercule Poirot mengusap-usap kumisnya. Ya, tak mungkin orang
melupakan kumis Hercule Poirot. Masalah apa lagi yang akan dihadapinya sekarang"
Dia telah membaca l'affaire Salley sampai ke detail-detailnya di koran-koran -
pembunuhan berdarah dingin atas seorang hartawan Paris yang amat terkenal.
Identitas pembunuhnya sudah diketahui. Marrascaud adalah anggota gang penjudi
yang suka bertaruh di pacuan kuda. Ia juga dicurigai telah melakukan banyak
pembunuhan lain - tapi kali ini kesalahannya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti
yang amat kuat. Ia berhasil meloloskan diri, keluar dari Prancis kata orang.
Polisi di setiap negara Eropa sedang memburu dan berusaha menangkapnya.
Jadi, terdengar kabar bahwa Marrascaud ingin mengadakan pertemuan di Rochers
Neiges.... Hercule Poirot menggelengkan kepalanya pelan-pelan. Ia bingung. Rochers Neiges
terletak di atas garis batas daerah bersalju. Di atas sana memang ada sebuah
hotel, tetapi satu-satunya hubungan dengan dunia luar hanyalah melalui kereta
gantung, karena hotel itu terletak di sebuah dataran sempit di punggung gunung
yang seakan-akan menggantung di atas lembah. Hotel itu dibuka mulai bulan Juni,
tetapi jarang sekali ada tamu yang menginap sebelum bulan Juli dan Agustus.
Tempat itu hanya mempunyai satu jalan keluar. Jika seorang buronan dilacak
jejaknya sampai ke sana, ia bagaikan tikus masuk perangkap. Sepertinya itu bukan
tempat yang tepat yang akan dipilih para penjahat untuk bertemu.
Namun begitu, jika Lementeuil mengatakan informasinya dapat dipercaya,
kemungkinan besar ia memang benar. Hercule Poirot menghormati Komisaris Polisi Swiss itu. Dia mengenalnya sebagai orang yang teguh dan dapat
diandalkan. Karena alasan yang tidak diketahui, Marrascaud memilih tempat pertemuan yang
jauh di puncak gunung, jauh dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
Hercule Poirot mendesah. Memburu seorang pembunuh kejam bukanlah rencana yang
sesuai untuk mengisi liburan yang menyenangkan. Ia lebih suka menghabiskan waktu
dengan berpikir, mengasah otak, sambil duduk di sebuah kursi yang nyaman. Ya,
kerja otak lebih sesuai untuknya. Bukannya mencoba menangkap babi hutan liar di
pegunungan. Babi hutan liar... itu istilah yang dipakai Lementeuil. Suatu kebetulan yang
aneh.... Ia bergumam pada diri sendiri, "Tugas Keempat Hercules. Babi Hutan dari Gunung
Erymanthus?" Dengan hati-hati, tanpa mencolok mata, ia mulai mengamati kawan-kawan
seperjalanannya. Di kursi di depannya, duduk seorang turis Amerika. Motif kain bajunya, mantel
panjangnya, tas yang dibawanya, sampai ke sikapnya yang selalu berusaha tampak
ramah dan kekagumannya akan pemandangan alam sekitar, bahkan buku panduan wisata
di tangannya... semua itu memperkuat cirinya sebagai orang Amerika yang berasal
dari sebuah kota kecil yang baru sekali itu mengunjungi Eropa. Satu atau dua
menit lagi, tebak Poirot, lelaki itu pasti akan bicara. Pandangannya yang
seperti pandangan anjing yang penuh harap... tak mungkin ditafsirkan lain.
Di sisi lain kereta gantung itu, seorang pria yang berpenampilan khas, dengan
rambut abu-abu dan hidung besar yang bengkok, sedang membaca sebuah buku
berbahasa Jerman. Jari-jarinya lincah dan kuat, mungkin ia seorang musikus atau
ahli bedah. Agak di sebelah sana ada tiga pria yang bertipe sama. Laki-laki dengan kaki agak
bengkok, yang membuat orang menebak bahwa pemiliknya sering menunggang kuda.
Mereka sedang main kartu. Mungkin sebentar lagi mereka akan mempersilakan
seorang asing ikut dalam permainan mereka.
Dan untuk permainan pertama, si orang asing akan menang. Sesudah itu, roda
keberuntungan akan berputar dan berganti arah.
Tak ada yang istimewa pada ketiga orang itu. Satu-satunya yang tidak wajar pada
ketiga orang itu adalah tempat mereka berada sekarang.
Orang bisa menemukan lelaki-lelaki seperti mereka dalam sebuah kereta api yang
sedang berjalan ke tempat pacuan kuda - atau dalam sebuah kapal pesiar yang biasa-
biasa saja. Tapi... dalam kereta gantung yang hampir kosong... aneh!
Masih ada satu penumpang lain... seorang wanita. Ia jangkung dan berkulit gelap.


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajahnya cantik... wajah yang mungkin mengekspresikan keseluruhan emosinya...
tapi anehnya, saat itu wajah itu justru tampak beku tanpa ekspresi. Wanita itu
tidak memandang siapa-siapa, pandangannya terarah ke lembah di bawah sana.
Seperti dugaan Poirot, lelaki Amerika itu angkat bicara. Namanya Schwartz,
begitu katanya. Ini kunjungannya yang pertama ke Eropa. Pemandangan di sini
benar-benar luar biasa, katanya. Ia sangat terkesan melihat Kastil Chilion.
Menurutnya Paris biasa-biasa saja... tidak seperti yang dikatakan orang-orang.
Ia telah pergi ke Folies Berg?res, Louvre, dan N?tre Dame... dan menurutnya tak
ada restoran di Paris yang bisa menyuguhkan permainan musik jazz yang benar.
Champs Elys?es menurutnya cukup bagus, terutama air mancurnya yang disinari
cahaya aneka warna di malam hari.
Tak ada yang turun di Les Avines maupun di Caurouchet. Jelas semua penumpang
bertujuan sama: Rochers Neiges.
Mr. Schwartz menjelaskan alasannya. Katanya, ia sudah lama ingin berada di
tempat yang tinggi, di antara gunung-gunung bersalju. Tiga ribu meter lebih
cukup sesuai dengan keinginannya - dia pernah mendengar orang berkata bahwa di
tempat setinggi itu kita tidak bisa merebus telur dengan benar.
Dengan keramahannya yang lugu, Mr. Schwartz mencoba mengajak pria berambut abu-
abu yang duduk di sisi lain kereta untuk mengobrol dengannya, tetapi yang
terakhir membalas keramahannya dengan pandangan dingin di balik kacamata tanpa
gagang yang dikenakannya. Pria berambut abu-abu itu segera kembali menekuni
bukunya. Mr. Schwartz kemudian menawarkan diri untuk bertukar tempat dengan wanita yang
berkulit gelap itu... wanita itu akan mendapat sudut pandang yang lebih baik,
kata lelaki Amerika itu. Mungkin saja wanita itu tak paham bahasa Inggris. Ia hanya menggeleng dan makin
merapatkan mantel bulu yang dikenakannya.
Mr. Schwartz berkata lirih pada Poirot, "Aneh sekali melihat seorang wanita
melakukan perjalanan sendirian seperti dia. Tak ada yang menemani dan
menjaganya. Wanita yang melakukan perjalanan jauh memerlukan pendamping yang
bisa diandalkan." Ingat akan wanita-wanita Amerika yang pernah ditemuinya dalam berbagai
perjalanan di Eropa, Hercule Poirot mengangguk sependapat.
Mr. Schwartz mendesah. Ia merasa orang-orang tidak bersikap ramah padanya.
Padahal, wajahnya menyiratkan, tak ada salahnya bersikap ramah kepada orang
lain, bukan" II Diterima oleh seorang manajer hotel yang mengenakan jas lengkap dan sepatu kulit
yang mahal sepertinya aneh di tempat yang jauh dari mana-mana seperti itu, atau
lebih tepatnya: di atas mana pun.
Ia seorang pria tampan bertubuh besar, dengan penampilan seperti orang yang
sadar akan pentingnya dirinya. Ia berkali-kali meminta maaf.
Terlalu cepat... belum musim wisata... sistem air panasnya rusak... semua belum
siap... Tentu saja ia akan berusaha sebaik-baiknya... Staf hotel belum lengkap
pada tanggal-tanggal seperti saat itu... Ia agak bingung menerima tamu sebanyak
itu... benar-benar di luar dugaan.
Semua itu diucapkannya dengan lancar, namun mata Poirot yang awas melihat bahwa
di balik fa?ade yang serba mulus itu ada secercah rasa waswas yang hendak
disembunyikan. Pria ini, dengan sikapnya yang luwes dan santai, sesungguhnya
benar-benar sedang tidak santai. Ia mencemaskan sesuatu.
Makan siang dihidangkan di ruangan panjang yang menghadap ke lembah di bawah
sana. Satu-satunya pelayan laki-laki, Gustave, tampak amat tangkas dan cekatan.
Dengan lincah ia bergerak ke sana kemari, mencatat pesanan-pesanan, sambil
mengibar-ngibarkan tali pinggangnya. Tiga lelaki yang mirip penunggang kuda itu
duduk semeja. Mereka tertawa-tawa dan berbicara dalam bahasa Prancis. Suara
mereka terdengar nyaring.
Hai, Joseph! Apa kabarnya si mungil Denise, mon vieux" Kau masih ingat kuda
sialan yang membuat kita rugi di Auteuil"
Semua terlihat begitu akrab, begitu sesuai dengan penampilan mereka... namun
amat tak sesuai dengan tempat dan situasi di sekitar mereka.
Wanita berwajah cantik itu duduk sendirian di sebuah meja di pojok ruangan. Ia
tidak memandang siapa-siapa.
Setelah makan siang, Poirot bersantai di ruang duduk. Manajer datang
menghampirinya dan berkata dengan suara rendah.
Monsieur jangan menilai hotel ini dengan penilaian yang merendahkan. Saat ini
memang belum musim wisatawan. Biasanya tak ada yang berkunjung atau menginap di
hotel ini sebelum akhir Juli. Wanita itu, mungkin Tuan telah mengamatinya" Dia
selalu datang kemari setiap tahun, pada saat yang sama. Tiga tahun yang lalu
suaminya meninggal waktu mendaki gunung. Sungguh menyedihkan. Mereka saling
mencintai. Dia selalu datang kemari sebelum musim wisatawan mulai - ketika suasana
masih tenang. Dia kemari untuk melakukan ziarah suci. Pria yang sudah agak tua
itu dokter terkenal, Dr. Karl Lutz, dari Wina. Dia datang kemari untuk mencari
ketenangan dan beristirahat.
"Ya, di sini memang tenang dan damai," Hercule Poirot sependapat. "Dan ces
Messieurs yang di sana itu?" katanya sambil menunjuk tiga lelaki itu. "Apakah
mereka juga mencari ketenangan" Bagaimana menurut Anda?"
Manajer itu mengangkat bahu. Sekali lagi matanya menyiratkan kecemasan hatinya.
Ia berkata samar, "Ah, wisatawan biasa, mereka selalu ingin mencari pengalaman
baru.... Tempat yang amat tinggi... itu sudah suatu sensasi tersendiri."
Ya, pikir Poirot, tapi bukan sensasi yang menyenangkan. Ia pun sadar akan
jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasa. Baris-baris lagu-lagu kanak-
kanak terngiang-ngiang di telinganya.
Up above the world so high,
Like a tea tray in the sky.
Schwartz masuk ke ruang duduk. Matanya bersinar cerah ketika ia melihat Poirot.
Langsung saja ia menghampiri detektif itu.
"Saya sudah bicara dengan dokter itu. Dia bisa bicara bahasa Inggris. Dia orang
Yahudi... pernah diusir dari Austria oleh Nazi. Menurut saya, orang-orang itu
gila! Dr. Lutz sungguh besar badannya. Saya rasa dia spesialis penyakit saraf...
ahli psikoanalisis... atau yang semacam itulah."
Matanya beralih ke wanita yang sedang memandang ke luar jendela, ke arah
pegunungan yang sambung-menyambung. Pria Amerika itu merendahkan suaranya.
"Saya tahu namanya dari pelayan. Madame Grandier. Suaminya meninggal waktu
mendaki gunung. Itu sebabnya dia kemari. Menurut saya, apakah Anda setuju,
sebaiknya kita membantunya dan membuatnya agar tidak terlalu menutup diri
seperti itu?" Hercule Poirot menanggapi, "Jika saya jadi Anda, saya takkan berani
mengusiknya." Tapi sikap ramah Mr. Schwartz tak tergoyahkan.
Poirot melihat bagaimana pria itu mencoba memperkenalkan diri, mengajak
berkenalan, dan ia pun melihat bagaimana keramahannya mendapat tanggapan yang
dingin. Selama satu menit, kedua orang itu berdiri bagaikan siluet berlatarkan
cahaya dari luar sana. Wanita itu lebih tinggi dari Schwartz. Kepalanya
ditelengkan ke belakang dan ekspresinya tampak dingin dan tak ingin diganggu.
Poirot tak mendengar apa yang dikatakannya, tapi Schwartz kembali padanya dengan
sikap seperti terpukul. "Tak ada gunanya," katanya. Kemudian ia menambahkan, dengan penuh harap, "Bagi
saya, karena kita sama-sama manusia, tak ada alasan untuk tidak mencoba bersikap
ramah pada orang lain. Bagaimana menurut Anda, Mr.... Maaf, saya tak tahu nama
Anda..." "Nama saya," kata Poirot, "Poirier." Lalu tambahnya, "Saya pedagang sutra dari
Lyons." "Ini kartu nama saya, Tuan Poirier. Dan jika suatu waktu Anda berkunjung ke
Fountain Springs, Anda pasti akan mendapat sambutan yang hangat."
Poirot menerima kartu itu, memasukkan tangannya ke sakunya, dan bergumam,
"Sayang, saya tak membawa kartu nama saya saat ini...."
Malam itu, sebelum tidur, dengan cermat Poirot membaca surat Lementeuil sekali
lagi. Kemudian dilipatnya surat itu dengan rapi dan disimpannya kembali dalam
dompetnya. Sambil membaringkan diri ia bergumam sendiri, "Aneh... apakah
mungkin..." III Gustave, si pelayan, mengantarkan sarapan pagi Poirot, yaitu kopi dan roti. Ia
meminta maaf karena kopi itu.
"Saya harap Tuan mengerti, di tempat setinggi ini kita tak bisa membuat kopi
yang benar-benar panas. Air yang dimasak terlalu cepat mendidih."
Poirot bergumam, "Orang harus menerima tantangan alam dengan tabah."
Gustave menanggapi, "Tuan seorang filsuf."
Ia pergi ke pintu, tapi bukannya meninggalkan kamar itu, ia malah melongok ke
luar dengan cepat, lalu menutup pintu lagi dan kembali ke samping tempat tidur.
Katanya, "M. Hercule Poirot" Saya Drouet, inspektur polisi."
"Ah," kata Poirot, "sudah saya duga."
Drouet merendahkan suaranya, "M. Poirot, sesuatu yang sangat serius telah
terjadi, yaitu kecelakaan yang menimpa kereta gantung itu!"
"Kecelakaan?" Poirot terduduk. "Kecelakaan apa?"
"Tak ada penumpang yang terluka. Terjadinya malam hari. Penyebabnya, mungkin,
adalah keadaan alam di sini - telah terjadi longsoran salju yang menggelincirkan
batu-batu besar dan kecil. Tapi, mungkin saja itu disengaja oleh seseorang.
Siapa tahu" Singkatnya, dibutuhkan waktu beberapa hari sebelum kereta itu bisa
diperbaiki, dan selama itu kita terperangkap di sini. Musim wisata belum mulai,
salju masih terlalu tebal, dan tak mungkin kita menghubungi desa di lembah di
bawah sana." Hercule Poirot kini benar-benar duduk di tempat tidurnya. Ia berkata pelan,
"Sangat menarik. Ini sangat menarik."
Inspektur polisi itu mengangguk.
"Ya," katanya. "Ini membuktikan informasi yang kami peroleh benar. Marrascaud
memang merencanakan suatu pertemuan di sini, dan sudah mengambil langkah-langkah
yang perlu agar rendezvous mereka tidak terganggu."
Hercule Poirot menyela dengan tidak sabar, "Tapi ini sungguh fantastis!"
"Saya sependapat," kata Inspektur Drouet sambil mengangkat tangan. "Memang tidak
masuk akal... tapi beginilah kenyataannya. Marrascaud, seperti Anda ketahui,
adalah makhluk fantastis! Menurut saya," katanya sambil mengangguk, "dia itu
gila!" Poirot berkata, "Lelaki gila dan pembunuh!"
Drouet menanggapi dengan nada pahit. "Menurut saya ini tidak lucu!"
Poirot berkata pelan, "Tapi jika dia merancang sebuah rendezvous di sini, di
dataran sempit bersalju, jauh tinggi di atas dunia, itu artinya Marrascaud pasti
sudah ada di sini, karena komunikasi ke luar sudah terputus."
Drouet berkata dengan tenang, "Saya tahu."
Kedua orang itu terdiam beberapa saat lamanya. Kemudian Poirot bertanya, "Dr.
Lutz" Mungkinkah dia sebenarnya Marrascaud?"
Drouet menggeleng. "Saya rasa bukan. Memang ada tokoh asli Dr. Lutz... saya pernah melihat fotonya
di koran-koran... seorang pria terhormat dan terkenal. Pria itu amat mirip
dengan foto-fotonya."
Poirot bergumam, "Seandainya Marrascaud aktor yang pandai menyamar, dia telah
memainkan perannya dengan sangat baik."
"Ya, tapi benarkah dia begitu" Saya belum pernah mendengar orang mengatakan dia
pandai menyamar. Dia bukan orang yang licin dan cerdik seperti ular. Dia lebih
mirip babi hutan, kasar, liar, dan suka menyiksa musuhnya secara membabi buta."
Poirot berkata, "Bagaimanapun juga..."
Drouet cepat-cepat menyetujui.
"Ah, ya, dia pelanggar hukum yang melarikan diri. Karenanya, dia dipaksa keadaan
untuk selalu mengubah identitasnya. Karenanya, mungkin saja dia - atau lebih
tepatnya pasti - sedang menyamar."
"Anda punya gambaran tentang dia?"
Inspektur Drouet mengangkat bahu.
"Hanya samar-samar. Foto resmi dari Bertillon dan ciri-cirinya seharusnya
dikirimkan pada saya hari ini. Saya hanya tahu umurnya kira-kira tiga puluh,
tingginya sedang - lebih tinggi sedikit - dan kulitnya gelap. Tak ada ciri-ciri
istimewa." Poirot mengangkat bahu. "Itu bisa sesuai dengan siapa saja. Bagaimana dengan Schwartz, si orang
Amerika?" "Saya justru yang akan bertanya pada Anda tentang dia. Anda telah bercakap-cakap
dengannya, dan Anda lebih banyak bergaul dengan orang-orang Inggris serta
Amerika. Sekilas dia memang mirip seorang wisatawan Amerika biasa. Paspornya
beres. Yang aneh mungkin hanyalah mengapa dia memilih tempat ini... tapi
wisatawan Amerika memang tak bisa ditebak. Bagaimana pendapat Anda sendiri?"
Hercule Poirot menggeleng, agak kaget.
Katanya, "Dari luarnya, dari segala hal, dia agaknya pria yang tak berbahaya.
Hanya saja dia agak terlalu ramah. Mungkin dia membosankan, tapi sulit
membayangkan dia sebagai orang yang berbahaya." Ia melanjutkan, "Tapi ada tiga
tamu lain di sini." Inspektur itu mengangguk, wajahnya tiba-tiba bersungguh-sungguh.
"Ya, mereka adalah tipe yang kita cari. Saya berani sumpah, M. Poirot, ketiga
lelaki itu anggota komplotan Marrascaud. Menurut pengamatan saya, mereka penjudi
yang gemar bertaruh di pacuan kuda. Dan satu di antara mereka mungkin saja
Marrascaud sendiri."
Hercule Poirot merenungkan kata-kata itu. Diingat-ingatnya wajah ketiga lelaki
itu. Yang pertama berwajah lebar dengan alis tebal yang seperti menggantung, dagunya
berlemak, serta wajahnya tirus dan kejam. Yang kedua jangkung dan kurus, dengan
wajah sempit dan mata yang bersinar dingin. Pria ketiga berwajah lembek dengan
kesan menjijikkan. Ya, salah satu dari mereka mungkin Marrascaud. Tapi jika benar begitu, ada satu
pertanyaan yang mengganggu: mengapa" Mengapa Marrascaud dan kedua kawannya
bersama-sama pergi ke tempat yang seperti perangkap tikus ini, jauh tinggi di
puncak gunung" Sebuah pertemuan tentunya bisa diatur di tempat yang lebih aman
dan tidak aneh seperti ini. Bisa saja di sebuah kafe, di stasiun kereta api, di
gedung bioskop yang penuh, di taman umum... pokoknya di suatu tempat yang punya
banyak jalan keluar - bukan di sini, jauh di atas dunia dan di tengah kawasan
bersalju tebal. Poirot menyampaikan apa yang direnungkannya itu pada Inspektur Drouet. Lawan
bicaranya itu langsung sependapat.
"Ah, ini sungguh fantastis dan tidak masuk akal."
"Kalau ini sebuah rendezvous, mengapa mereka melakukan perjalanan bersama-sama"
Ya, ini memang tidak masuk akal."
Drouet berkata, wajahnya kelihatan cemas, "Kalau begitu, kita harus menyelidiki
kemungkinan kedua. Ketiga orang itu adalah anggota komplotan Marrascaud dan
mereka kemari untuk menemui Marrascaud. Lalu, siapakah Marrascaud?"
Poirot bertanya, "Bagaimana dengan staf hotel?"
Drouet mengangkat bahu. "Tak ada yang bisa disebut staf di sini. Ada seorang wanita tua yang bertugas
memasak dan suaminya yang sudah tua, Jacques - mereka sudah bekerja di sini selama
lima puluh tahun. Lalu ada satu pelayan yang tugasnya saya gantikan. Hanya itu."
Poirot berkata, "Tentunya Manajer tahu siapa Anda?"
"Tentu saja. Kami membutuhkan kerja samanya."
"Apakah Anda tahu," kata Hercule Poirot, "dia berusaha menyembunyikan
kekhawatirannya?" Pertanyaan itu mengagetkan Drouet. Ia berkata sambil merenung, "Ya, dia memang
kelihatan takut." "Barangkali takut karena terlibat dalam urusan polisi."
"Tapi menurut Anda mungkin lebih dari itu" Menurut Anda mungkin dia... tahu
sesuatu?" "Itu dugaan saya."
Drouet berkata dengan murung, "Hmm, aneh."
Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, "Apakah kita bisa mengorek sesuatu
darinya" Bagaimana menurut Anda?"
Poirot menggeleng dengan ragu-ragu. Katanya, "Ada baiknya, menurut saya, kalau
kita tidak membuatnya tahu bahwa kita mencurigainya. Awasi saja dia."
Drouet mengangguk. Ia berbalik ke arah pintu.
"Anda punya usul, M. Poirot" Saya... saya tahu reputasi Anda. Di negeri kami
ini, berita tentang Anda sudah tersebar."
Poirot berkata dengan canggung, "Untuk saat ini saya belum bisa mengusulkan apa-
apa. Bagi saya alasannya tidak jelas - alasan untuk mengadakan rendezvous di
tempat seperti ini. Bahkan, alasan untuk mengadakan rendezvous itu sendiri sudah
aneh." "Uang," kata Drouet dengan ringkas.
"Kalau begitu, Salley yang malang itu telah dirampok lalu dibunuh, begitu, ya?"
"Ya, dia punya uang banyak sekali. Uang itu tak ditemukan."


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, menurut Anda, pertemuan ini adalah untuk membagi uang itu?"
"Sudah jelas, bukan?"
Poirot menggeleng dengan sikap tidak puas.
"Bisa saja, tapi mengapa di sini?" Lalu ia melanjutkan dengan suara pelan,
"Tempat yang paling tidak sesuai untuk pertemuan komplotan penjahat. Tempat ini
lebih cocok untuk... misalnya, bertemu dengan seorang wanita...."
Drouet melangkah maju dengan cepat.
Ia berkata penuh semangat, "Menurut Anda...?"
"Menurut saya," kata Poirot, "Madame Grandier wanita yang sangat cantik. Menurut
saya, seorang lelaki akan bersedia mendaki sampai ketinggian tiga ribu meter
lebih demi dia... itu kalau wanita itu memang menginginkannya begitu."
"Gagasan Anda," kata Drouet, "benar-benar menarik. Saya tak pernah menghubungkan
dia dengan kasus ini. Nyatanya, dia selalu kemari beberapa tahun terakhir ini."
Poirot berkata tenang, "Ya... karena itu kehadirannya takkan menimbulkan
kecurigaan. Itu akan menjadi alasan mengapa Rochers Neiges dipilih sebagai
tempat pertemuan. Ya, kan?"
Drouet berkata penuh semangat, "Gagasan Anda luar biasa, M. Poirot. Saya akan
menyelidiki kemungkinan itu."
IV Hari itu berlalu tanpa kejadian yang berarti. Untunglah persediaan makanan dan
minuman di hotel cukup. Dalam hal itu, Manajer menjelaskan, para tamu tak perlu
khawatir. Persediaan makanan cukup banyak.
Hercule Poirot mencoba mengajak Dr. Karl Lutz bercakap-cakap, tetapi tidak
ditanggapi dengan baik. Dengan singkat dokter itu menegaskan bahwa psikologi
adalah bidang yang digelutinya dan ia tak hendak membicarakannya dengan seorang
amatir. Ia duduk di sudut ruangan, membaca sebuah buku tebal berbahasa Jerman
tentang alam bawah sadar sambil membuat catatan-catatan dan sejumlah salinan.
Hercule Poirot keluar lalu berjalan tanpa tujuan pasti. Akhirnya ia sampai ke
dapur. Di sana ia mengobrol dengan si tua Jacques yang bersikap masam dan penuh
curiga. Istrinya, si tukang masak, lebih terbuka sifatnya. Untunglah, katanya
pada Poirot, ada banyak sekali makanan kalengan tersedia... meskipun ia sendiri
selalu membenci makanan kalengan. Itu makanan mahal dan tak bergizi. Tuhan yang
baik tak pernah menghendaki umatnya hidup dari makanan kalengan.
Pembicaraan akhirnya sampai pada staf hotel. Awal bulan Juli nanti pelayan-
pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar akan datang, begitu pula
pelayan-pelayan laki-laki. Tapi selama tiga minggu mendatang, takkan ada yang
datang kemari. Atau... hampir tak ada. Kebanyakan orang datang kemari untuk
makan siang, lalu turun lagi. Ia, Jacques, dan satu pelayan yang lain itu pasti
dapat mengatasinya dengan mudah.
Poirot bertanya, "Pasti sudah ada pelayan lain sebelum Gustave datang, ya, kan?"
"Ya, memang. Pelayan yang sangat malang. Tak punya keterampilan, tak punya
pengalaman. Benar-benar tidak bermutu."
"Sudah berapa lama dia bekerja di sini sebelum Gustave menggantikannya?"
"Hanya beberapa hari... tak sampai seminggu. Tentu saja dia langsung
dikeluarkan. Kami tidak heran. Sudah kami duga."
Poirot berkata lirih, "Dia tidak memprotes atau mengeluh?"
"Ah, tidak. Dia pergi diam-diam. Memangnya apa yang bisa dia lakukan" Ini hotel
yang bermutu. Kami harus memberikan pelayanan yang baik di sini."
Poirot mengangguk, lalu bertanya, "Ke mana dia pergi?"
"Maksud Anda, si Robert?" Wanita itu mengangkat bahu. "Pasti kembali ke salah
satu kafe tak bermutu, di tempatnya bekerja sebelum ke sini."
"Dia turun dengan kereta gantung itu?"
Wanita itu memandang Poirot dengan curiga.
"Tentu saja, Monsieur. Tak ada cara lain, kan?"
Poirot bertanya, "Apakah seseorang melihat dia pergi?"
Mereka berdua terpana menatap Poirot.
"Ah! Anda pikir kami mau repot-repot melihat makhluk tak berguna itu pergi" Dia
bisa besar kepala kalau begitu. Kami punya banyak urusan yang harus kami
selesaikan." "Tepat sekali," komentar Poirot.
Pelan-pelan ia meninggalkan dapur. Sambil berjalan ia memandang bangunan yang
menjulang di atasnya. Hotel ini besar... hanya satu sayap bangunannya yang
dibuka saat ini. Di sayap-sayap lain ada banyak kamar, semua tertutup rapat.
Orang takkan sudi masuk ke salah satu kamar itu....
Ia berputar di sudut bangunan dan hampir saja bertabrakan dengan salah satu dari
ketiga lelaki yang suka bermain kartu. Lelaki yang berwajah lembek dan bermata
pucat. Mata itu memandang Poirot tanpa ekspresi. Hanya bibirnya yang tersenyum
tipis, menunjukkan deretan gigi seperti gigi kuda liar.
Poirot melewatinya dan melanjutkan langkahnya. Ada seseorang di depannya - sosok
jangkung yang luwes: Madame Grandier.
Poirot mempercepat langkahnya dan menyusul wanita itu. Ia berkata, "Kecelakaan
yang menimpa kereta gantung itu, sungguh menyebalkan, bukan" Saya harap hal ini
tidak merusak rencana Anda, Madame."
Wanita itu berkata, "Tak jadi soal bagi saya."
Suaranya amat dalam... suara contralto yang sempurna. Ia tidak memandang Poirot.
Ia membelok ke samping lalu masuk ke hotel lewat sebuah pintu samping yang
kecil. V Hercule Poirot pergi tidur sore-sore. Ia terbangun beberapa saat setelah tengah
malam. Seseorang mencoba mengutak-atik kunci pintu kamarnya.
Ia duduk, lalu menyalakan lampu. Pada saat yang sama, kunci pintu berhasil
dibuka dan pintu pun terbuka lebar. Tiga pria berdiri di sana, tiga lelaki yang
suka bermain kartu itu. Mereka, menurut Poirot, tampak agak mabuk. Tampang
mereka tampak tolol tetapi sekaligus juga kejam. Ia melihat kilatan pisau yang
tajam. Laki-laki yang bertubuh kekar melangkah maju. Ia bicara dengan suara menggeram.
"Dasar detektif tolol! Bah!"
Mulutnya terus mengeluarkan umpatan-umpatan kasar. Mereka bertiga maju,
mengepung laki-laki tak berdaya yang duduk di tempat tidur.
"Kita cincang dia, sobat. Eh, anjing buduk! Kita kuliti saja wajah Monsieur
Detektif. Dia bukan yang pertama malam ini."
Mereka terus mendesak maju, makin dekat, makin mengancam. Bilah-bilah belati
berkilat.... Dan kemudian, sebuah suara nyaring beraksen Amerika memecah ketegangan, "Angkat
tangan!" Mereka berbalik. Schwartz berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan piama bergaris-
garis dengan motif dan warna yang aneh. Tangannya menggenggam sebuah pistol
otomatis. "Simpan pisau-pisau itu, Bung! Aku penembak jitu!"
Ia menekan pelatuk... dan sebutir peluru mendesing, lewat tepat di samping
telinga si tinggi kekar, lalu menerjang bingkai jendela.
Tiga pasang tangan langsung terangkat.
Schwartz berkata, "Boleh minta tolong, M. Poirier?"
Secepat kilat Hercule Poirot turun dari tempat tidurnya. Dikumpulkannya pisau-
pisau yang berkilat-kilat itu dan diperiksanya tubuh ketiga lelaki itu, untuk
meyakinkan bahwa mereka tidak menyembunyikan senjata.
Schwartz berkata, "Sekarang berbaris, cepat! Ada sebuah lemari besar di lorong
sana. Tanpa jendela. Cocok untuk mengurung kalian."
Digiringnya ketiga lelaki itu masuk ke lemari dan dikuncinya dari luar. Kemudian
ia berbalik, menghadap Poirot. Suaranya terdengar puas.
"Tontonan yang lumayan, ya" Tahukah Anda. M. Poirier, orang-orang di Fountain
Springs selalu menertawakan saya karena saya bilang akan membawa senjata kalau
pergi ke luar negeri. 'Kaupikir kau akan pergi ke mana"' ejek mereka. 'Ke hutan
belantara, ya"' Well, Sir, saya rasa sayalah yang pantas tertawa sekarang.
Pernahkah Anda berurusan dengan orang-orang jelek yang menjijikkan seperti
mereka?" Poirot berkata, "Mr. Schwartz, Anda muncul tepat pada waktunya. Bisa saja
terjadi tragedi yang menyedihkan! Saya berutang nyawa pada Anda!"
"Ah, saya senang bisa menolong. Nah, ke mana kita sekarang" Kita harus
menyerahkan orang-orang itu pada polisi dan itu justru yang tidak dapat kita
lakukan. Ini benar-benar rumit. Mungkin sebaiknya kita bicarakan hal ini dengan
manajer hotel." Hercule Poirot berkata, "Ah, sang Manajer. Saya rasa sebaiknya kita bicara
dengan Gustave, si pelayan, alias Inspektur Drouet. Ya, Gustave si pelayan
sesungguhnya seorang detektif."
Schwartz menatapnya tak percaya.
"Oh, jadi itu sebabnya mengapa mereka melakukannya!"
"Apa" Mengapa siapa melakukan apa?"
"Bajingan-bajingan ini menangani Anda sebagai korban kedua. Mereka sudah
mencincang Gustave."
"Apa?" "Ikut saya. Dokter sedang sibuk merawatnya."
Kamar Drouet merupakan kamar sempit di lantai paling atas. Dr. Lutz, dalam baju
tidur, sedang sibuk membalut wajah lelaki yang penuh luka itu.
Ia memalingkan wajahnya ketika mereka masuk.
"Ah! Rupanya Anda, Mr. Schwartz. Benar-benar keji! Dasar tukang jagal yang
kejam! Monster yang tidak manusiawi!"
Drouet terbaring tak bergerak. Ia mengerang lirih.
Schwartz bertanya, "Apakah kondisinya berbahaya?"
"Dia tidak akan mati karena ini, kalau itu yang Anda maksud. Tapi dia belum
boleh bicara... tak boleh dikagetkan. Saya sudah membersihkan dan membalut luka-
lukanya... tak ada risiko kena septicaemia."
Ketiga orang itu meninggalkan ruangan bersama-sama. Schwartz berkata pada
Poirot, "Apakah Anda tadi mengatakan Gustave seorang polisi?"
Hercule Poirot mengangguk.
"Tapi untuk apa dia datang ke Rochers Neiges?"
"Dia sedang memburu seorang penjahat yang sangat berbahaya."
Dengan singkat Poirot menjelaskan situasinya.
Dr. Lutz menyela, "Marrascaud" Saya baca kasusnya di koran. Kalau saja saya bisa
bertemu orang itu. Ada gejala ketidaknormalan yang amat parah! Saya tertarik
mempelajari masa kecilnya."
"Bagi saya sendiri," kata Hercule Poirot, "saya ingin tahu, di mana persisnya
dia berada saat ini."
Schwartz berkata, "Apakah dia bukan salah satu dari ketiga lelaki yang kita
kurung di dalam lemari?"
Poirot berkata dengan nada tidak sabar, "Memang mungkin... ya, tapi saya, saya
tidak yakin.... Saya punya gagasan...."
Kata-katanya terputus, matanya terbelalak menatap karpet. Karpet itu berwarna
terang, dan di atasnya terdapat noda-noda berwarna cokelat tua.
Hercule Poirot berkata, "Jejak kaki... jejak kaki yang telah menginjak darah dan
berasal dari sayap hotel yang belum dibuka untuk umum. Cepat... kita harus
cepat!" Mereka mengikutinya, melalui pintu goyang, menyusuri koridor yang panjang,
berdebu, dan remang-remang. Mereka berbelok di ujung koridor, masih tetap
mengikuti jejak kaki itu sampai akhirnya tiba di depan sebuah pintu yang agak
terbuka. Poirot mendorong pintu itu hingga terbuka lalu masuk.
Ia berseru tertahan penuh kengerian.
Ruang di balik pintu itu adalah sebuah kamar tidur. Tempat tidurnya bekas
ditiduri dan di meja ada sebuah nampan berisi makanan.
Di tengah ruangan, di lantai, terbaring sosok tubuh seorang laki-laki. Tingginya
sedang. Ia telah disiksa dengan amat kejam. Tubuhnya penuh luka, kepala dan
wajahnya hancur tak berbentuk lagi.
Schwartz menjerit seperti orang tercekik, lalu cepat-cepat membuang muka,
wajahnya seperti orang kesakitan.
Dr. Lutz menyerukan kengeriannya dalam bahasa Jerman.
Schwartz bicara lirih sekali. "Siapa dia" Adakah yang tahu, siapa dia?"
"Menurut dugaan saya," kata Poirot, "di sini dia dikenal dengan nama Robert,
pelayan yang canggung dan tidak terampil..."
Lutz mendekat, membungkuk di atas sosok itu. Ia menunjuk dengan jarinya.
Ada secarik kertas disematkan di dada mayat itu. Kata-katanya digoreskan dengan
tinta dan tulisannya tidak rapi.
Marrascaud takkan membunuh lagi... dia juga takkan merampok kawan-kawannya!
Schwartz berseru, "Marrascaud" Jadi ini Marrascaud! Tapi apa yang membuatnya
datang ke tempat terpencil seperti ini" Dan mengapa Anda mengatakan namanya
Robert?" Poirot berkata, "Dia di sini, menyamar sebagai pelayan... dan dia pelayan yang
benar-benar jelek. Begitu jeleknya kerjanya hingga tak ada yang kaget ketika dia
dipecat. Dia pergi... diduga untuk kembali ke Aldermatt. Tapi tak ada yang
melihatnya pergi." Lutz bicara, suaranya pelan dan serak, "Jadi... menurut Anda, apa yang
sebenarnya terjadi?"
Poirot menjawab, "Saya rasa kita sudah menemukan penjelasan untuk sikap manajer
hotel yang seperti orang ketakutan dan menyembunyikan sesuatu. Marrascaud pasti
sudah menyuap dia agar diizinkan tinggal di sayap hotel yang tidak dipakai
ini...." Kemudian ia menambahkan sambil merenung, "Tapi, manajer hotel tidak senang
karenanya. Tidak, dia malah ketakutan."
"Dan Marrascaud tetap tinggal di sini, dan hanya Manajer yang tahu akan hal ini,
begitu?" "Tampaknya memang demikian. Mungkin saja memang begitu."
Dr. Lutz berkata, "Lalu mengapa dia dibunuh" Dan siapa yang membunuhnya?"
Schwartz berseru, "Itu gampang sekali. Dia harus membagi uang itu dengan anggota
komplotannya. Dia tak mau. Dia malah mengkhianati dan menjerumuskan mereka. Dia
datang ke sini, ke tempat terpencil ini, untuk menyembunyikan diri - sementara.
Dia mengira kawan-kawannya takkan mencarinya sampai ke sini. Dia keliru. Entah
bagaimana, mereka tahu dan memburunya ke sini." Ia menyentuh mayat itu dengan
ujung sepatunya. "Dan mereka menyelesaikan perhitungan mereka dengan cara...
seperti ini." Hercule Poirot menggumam, "Ya, ini bukan jenis pertemuan seperti yang kita
duga." Dr. Lutz berkata dengan nada tidak enak, "Bagaimana dan mengapa... semua teori
itu memang menarik, tapi saya lebih prihatin akan keadaan kita sekarang. Ada
mayat seseorang di sini. Saya punya seorang pasien yang harus dirawat, padahal
persediaan obat-obatan sangat terbatas. Dan hubungan kita dengan dunia luar
terputus! Sampai kapan?"
Schwartz menambahkan, "Dan kita mengurung tiga pembunuh dalam sebuah lemari!
Menurutku, situasi ini benar-benar menarik."
Dr. Lutz berkata, "Apa yang bisa kita lakukan?"
Poirot berkata, "Pertama, kita harus memberi tahu manajer hotel. Dia bukan
penjahat, dia hanya orang yang tamak dan mata duitan. Dia juga pengecut. Dia
akan melakukan apa pun yang akan kita perintahkan. Kawan kita Jacques, atau
istrinya, mungkin bisa mencarikan tali untuk kita. Tiga penjahat itu harus kita
tempatkan sedemikian, sehingga dapat kita awasi terus-menerus sampai bantuan
datang. Saya rasa pistol otomatis Mr. Schwartz akan banyak gunanya dalam hal
ini." Dr. Lutz berkata, "Dan saya" Apa yang harus saya lakukan?"
"Anda, Dokter," kata Poirot dengan sungguh-sungguh, "harus melakukan apa yang
bisa Anda lakukan, demi pasien itu. Dan kita semua, kecuali Dokter, harus tetap
waspada... setiap saat... dan menunggu. Tak ada hal lain yang bisa kita
lakukan." VI Tiga hari kemudian, serombongan pria muncul di depan hotel. Hari masih pagi
benar. Hercule Poirot membukakan pintu untuk mereka, lalu berseru riang, "Selamat
datang, mon vieux." Monsieur Lementeuil, komisaris polisi, menyalami kedua tangan Poirot.
"Ah, kawan, senang sekali bisa bertemu lagi denganmu! Ini benar-benar luar
biasa! Kau pasti melewatkan hari-hari yang amat menegangkan! Dan kami di bawah,
cemas, takut... tak tahu apa-apa... amat ngeri. Tak ada radio penghubung... tak
ada sarana komunikasi. Heliograph itu, itu akal Anda yang benar-benar jenius."
"Tidak, tidak," sela Poirot, mencoba bersikap rendah hati. "Jika alat ciptaan
manusia tidak berfungsi lagi, kita harus kembali ke alam. Selalu ada matahari di
langit." Rombongan itu masuk ke hotel. Lementeuil berkata, "Kami bukan tamu yang
diharapkan, ya?" Senyumnya agak sedih.
Poirot juga tersenyum. Katanya, "Bukan begitu! Tapi kami beranggapan kereta
gantung itu belum berhasil diperbaiki."
Lementeuil berkata penuh emosi, "Ah, ini hari istimewa. Tak ada keraguan lagi,


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan" Benarkah Marrascaud memang di sini?"
Mereka naik ke lantai atas. Pintu terbuka dan Schwartz keluar dengan pakaian
tidurnya. Ia terbelalak ketika melihat orang-orang itu.
"Saya dengar suara-suara," katanya. "Mengapa" Ada apa ini?"
Hercule Poirot berkata dengan nada seperti orang penting sedang bicara, "Bantuan
telah datang! Ikut kami, Monsieur. Ini saat yang amat penting."
Ia menaiki tangga berikutnya.
Schwartz berkata, "Anda akan naik menemui Drouet" Bagaimana keadaannya
sekarang?" "Menurut laporan Dr. Lutz, semalam keadaannya semakin baik."
Mereka sampai di depan kamar Drouet. Poirot membuka pintu itu lebar-lebar,
sambil berkata, "Inilah babi hutan liar yang Anda buru, Tuan-tuan. Bawa dia
hidup-hidup dan jangan biarkan dia bebas dari pisau guillotine."
Lelaki yang terbaring itu, dengan wajah masih terbalut rapat, tampak kaget. Tapi
para polisi sudah mencekal kedua tangannya sebelum dia sempat melakukan sesuatu.
Schwartz berteriak ngeri, "Tapi dia Gustave, si pelayan.... Dia Inspektur
Drouet." "Dia memang Gustave, benar... tapi dia bukan Drouet. Drouet adalah pelayan yang
pertama, si Robert yang dikurung dalam sebuah kamar di sayap hotel yang tidak
dipakai dan yang dibunuh Marrascaud pada malam saya diserang kawan-kawannya."
VII Sambil menikmati sarapan, dengan tenang Poirot menjelaskan semuanya pada pria
Amerika yang masih tampak bingung dan ngeri itu.
"Anda bisa mengerti... ada hal-hal tertentu yang dapat kita ketahui - yang bisa
segera kita ketahui berkat pengalaman bertahun-tahun dalam profesi seseorang.
Misalnya, orang akan bisa membedakan detektif dari pembunuh! Gustave bukan
pelayan sebenarnya... itu segera saya ketahui... tapi dia juga bukan polisi.
Sepanjang karier saya, saya selalu berurusan dengan polisi dan saya tahu. Bagi
orang awam, dia bisa berpura-pura menjadi detektif... tapi dia takkan bisa
mengelabui orang yang pernah menjadi polisi.
"Karena itu, saya langsung curiga. Malam itu saya tidak minum kopi yang
disajikan untuk saya. Saya buang. Dan dugaan saya benar. Larut malam, seseorang
masuk ke kamar saya, dengan mudah dan dengan penuh percaya diri, karena yakin
penghuni kamar itu telah dibiusnya. Dia menggeledah barang-barang saya dan
menemukan surat itu di dompet saya... yang memang sengaja saya letakkan di sana
agar ditemukannya! Esok harinya Gustave muncul di kamar saya, menghidangkan
kopi. Dia menyapa saya dengan nama saya yang sebenarnya dan memainkan perannya
dengan meyakinkan. Tapi dia cemas... sangat cemas... karena bagaimanapun juga
polisi telah berhasil mencium jejaknya! Polisi tahu di mana dia bersembunyi, dan
itu amat berbahaya baginya. Itu mengacaukan rencananya. Dia terjebak di sini,
seperti tikus masuk perangkap."
Schwartz berkata, "Bodoh benar dia memilih sembunyi di sini! Mengapa?"
Poirot berkata dengan sungguh-sungguh, "Tidak sebodoh yang Anda duga. Dia
membutuhkan - kebutuhan yang sangat mendesak - sebuah tempat terpencil, tempat dia
bisa bertemu dengan seseorang, dan tempat sesuatu akan terjadi."
"Orang seperti apa?"
"Dr. Lutz." "Dr. Lutz" Apakah dia juga penjahat?"
"Dr. Lutz memang Dr. Lutz. Tapi dia bukan spesialis penyakit saraf... bukan pula
ahli psikoanalisis. Dia ahli bedah, kawan, dengan spesialisasi bedah plastik
atau mengubah wajah. Itu sebabnya dia harus menemui Marrascaud di sini. Dia
sekarang jatuh miskin, terusir dari negaranya. Dia ditawari untuk menemui
seseorang di sini, diminta mengubah wajah orang itu dengan keterampilannya
sebagai ahli bedah... dan kepadanya dijanjikan upah yang sangat besar. Mungkin
dia tahu pasien yang dirawatnya itu penjahat, tapi dia pura-pura tak tahu.
Menyadari kenyataan ini, mereka tidak berani mengambil risiko dengan melakukan
perawatan di sebuah rumah sakit di suatu negara asing. Ini tempat yang sangat
ideal untuk keperluan mereka. Tak ada orang yang akan menginap di sini sebelum
liburan musim panas mulai; manajernya butuh uang dan dengan mudah bisa disuap.
"Tapi, seperti yang saya katakan tadi, rencana mereka tidak berjalan mulus.
Marrascaud dikhianati. Tiga pengawalnya, yang seharusnya menjaga dan
mengawalnya, belum datang juga. Tapi Marrascaud segera bertindak. Polisi yang
menyamar sebagai pelayan segera diculiknya, dan dia menggantikan tempatnya.
Pengawal-pengawalnya sengaja merusak kereta gantung itu. Kini hanya soal waktu.
Malam berikutnya Drouet dibunuh dan secarik kertas disematkan di dadanya.
Harapannya, ketika hubungan dengan dunia luar sudah tersambung lagi, mayat
Drouet sudah dikuburkan sebagai mayat Marrascaud. Dr. Lutz melakukan operasinya
tanpa menunda-nunda lagi. Tapi ada satu orang yang harus dibungkam - yaitu Hercule
Poirot. Jadi dia menyuruh anak buahnya untuk menghabisi saya. Terima kasih,
kawan...." Hercule Poirot membungkuk penuh hormat dan terima kasih kepada Schwartz yang
menanggapinya sambil berkata, "Jadi, Anda benar-benar Hercule Poirot?"
"Tepat!" "Dan sedetik pun Anda tak pernah terkecoh mayat itu" Anda sudah tahu itu bukan
mayat Marrascaud?" "Tepat!" "Mengapa Anda tidak bilang?"
Wajah Hercule Poirot langsung menjadi sungguh-sungguh.
"Sebab saya harus yakin bahwa Marrascaud bisa saya serahkan hidup-hidup pada
polisi." Ia menggumam lirih, "Menangkapnya hidup-hidup... menangkap babi hutan liar dari
Gunung Erymanthus..."
5 KANDANG-KANDANG SAPI RAJA AUGEAS
I "SITUASINYA sungguh sangat gawat dan rumit, M. Poirot."
Senyum tipis tersungging di bibir Poirot. Hampir saja ia berkata, "Biasanya
memang begitu!" Namun, yang dilakukannya adalah menahan diri dan berusaha menampilkan sikap dan
ekspresi seperti orang yang mendengarkan wasiat seseorang menjelang ajalnya.
Dengan berat hati Sir George Conway melanjutkan. Kalimat-kalimat meluncur lancar
dari bibirnya... bahayanya bagi posisi Pemerintah... perhatian dan minat
masyarakat... solidaritas di dalam tubuh Partai... perlunya menampilkan citra
persatuan di depan umum... kekuatan pers... dan nasib negeri ini....
Semuanya terdengar bagus... dan tak ada maknanya. Hercule Poirot bosan, ia
menahan diri agar tidak menguap meskipun dagunya pegal. Ia tak ingin dikatakan
tidak tahu sopan santun. Perasaan seperti ini kadang-kadang dirasakannya bila ia
harus membaca lembar-lembar laporan debat-debat di parlemen. Tapi dalam
kesempatan-kesempatan seperti itu, ia tak perlu menahan diri untuk tidak
menguap. Dipaksanya dirinya bersikap sabar. Pada saat yang sama, ia bersimpati pada Sir
George Conway. Jelas pria itu ingin menyampaikan sesuatu yang penting padanya,
dan jelas pula bahwa ia telah kehilangan kemampuannya untuk mengatakan hal
tersebut dengan ringkas dan sederhana. Kata-kata baginya telah menjadi senjata
untuk menutupi dan mengaburkan kenyataan... bukan membuka dan membuatnya menjadi
jelas. Ia amat mahir dalam seni menggunakan kalimat-kalimat yang "berguna"...
maksudnya kalimat-kalimat yang enak didengar tetapi sesungguhnya kosong dan tak
ada artinya. Kata-kata terus meluncur... Sir George yang malang. Wajahnya kini benar-benar
memerah. Dengan putus asa dan penuh permohonan ia memandang pria yang duduk di
ujung meja. Yang dipandang segera menanggapi.
Edward Ferrier berkata, "Baiklah, George, aku yang akan mengatakannya."
Hercule Poirot mengalihkan pandangannya dari Menteri Dalam Negeri kepada Perdana
Menteri. Ia tertarik pada Edward Ferrier. Rasa tertariknya dibangkitkan oleh
kata-kata yang pernah didengarnya, yang diucapkan oleh seorang pria berusia 82
tahun. Profesor Fergus MacLeod, setelah memecahkan kasus kimia yang rumit dalam
urusan pembuktian suatu pembunuhan, sejenak mengalihkan pembicaraan pada masalah
politik. Dengan pensiunnya John Hammett (sekarang bergelar Lord Comworthy) yang
terkenal dan dicintai rakyat, menantunya, Edward Ferrier, diminta membentuk
sebuah kabinet. Menurut ukuran seorang politikus, menantu John Hammett itu masih
muda, belum ada lima puluh tahun umurnya. Profesor MacLeod berkata, "Ferrier
pernah menjadi murid saya. Dia sangat jujur dan berpendirian teguh."
Hanya itu yang dikatakannya, tapi kata-kata itu meninggalkan kesan yang dalam
pada Hercule Poirot. Jika MacLeod mengatakan seseorang jujur dan teguh, pastilah
memang begitu keadaannya, meskipun sering kali karakter seperti ini tidak
dipertimbangkan pers atau masyarakat pada umumnya.
Karakter seperti itu, dan ini benar, erat kaitannya dengan dugaan khalayak
ramai. Edward Ferrier dianggap jujur dan teguh - hanya itu - tidak brilian, bukan
negarawan besar, bukan ahli pidato yang pandai memikat, tidak pula sangat
terpelajar. Ia jujur dan teguh... orang yang dibesarkan dalam tradisi yang
kukuh, yang menikahi putri John Hammett, dan yang telah lama menjadi tangan
kanan John Hammett. Edward Ferrier dapat diandalkan dan pasti akan meneruskan
jejak John Hammett dalam mengatur negeri ini... sesuai dengan tradisi John
Hammett. John Hammett sendiri amat disayangi masyarakat dan pers Inggris. Ia merupakan
cerminan kualitas yang amat dikagumi masyarakat Inggris. Tentang dia, orang
berkata, "Orang bisa merasakan kejujuran ala Hammett." Banyak lelucon tentang
kehidupan pribadinya yang amat sederhana, tentang kesukaannya berkebun. Sepadan
dengan Baldwin dengan pipanya dan Chamberlain dengan payungnya, orang selalu
mengasosiasikan Hammett dengan jas hujannya. Ia selalu membawa jas hujannya - yang
sudah amat lusuh - ke mana-mana. Benda itu menjadi simbol yang melambangkan iklim
Inggris Raya, kebijakan jalan pikiran bangsa Inggris, dan kecintaan bangsa
Inggris akan benda yang sudah lama menjadi miliknya. Lebih dari itu, dengan
gayanya yang tegas dan khas pria Inggris, John Hammett adalah orator ulung.
Pidato-pidatonya, yang disampaikan dengan tenang dan bersungguh-sungguh, banyak
mengandung kalimat-kalimat klise yang sentimental, yang amat digemari orang
Inggris. Orang-orang asing kadang-kadang mengkritik pidatonya sebagai pidato
yang hipokrit dan sok ningrat. John Hammett sendiri memang suka menampilkan
kesan bahwa dirinya adalah bangsawan yang sederhana.
Itu semua masih ditambah dengan penampilan fisiknya: jangkung, penuh percaya
diri, dengan kulit bersih dan sepasang mata biru yang bersinar cerah. Ibunya
berasal dari Denmark dan ia telah menduduki jabatan Lord of the Admiralty
(Kepala Staf Angkatan Laut) selama beberapa tahun. Kedua kenyataan itu
membuatnya dijuluki "the Viking". Ketika akhirnya kesehatannya memaksanya
meletakkan jabatan, muncullah perasaan tidak enak yang sudah lama terpendam.
Siapa yang akan menggantikannya" Lord Charles Delafield yang brilian" (Terlalu
brilian... Inggris tidak membutuhkan pemimpin yang brilian.) Evan Whittler"
(Pintar... tapi mungkin kurang jujur.) John Potter" (Orang yang mungkin akan
senang membayangkan dirinya sendiri sebagai diktator - dan kita tidak menginginkan
seorang diktator di negeri ini, terima kasih banyak.) Maka orang menghela napas
lega ketika Edward Ferrier mewarisi kantor mertuanya. Ferrier cukup baik. Ia
telah dilatih sang Pemimpin, ia menikah dengan putri sang Pemimpin. Dan dalam
kalimat klasik bahasa Inggris, Ferrier akan "melanjutkan".
Hercule Poirot mengamati pria berwajah gelap dan berpembawaan tenang yang sedang
bicara dengan suara rendah yang bernada menyenangkan. Pria itu sekarang
kelihatan murung dan letih.
Edward Ferrier sedang berkata, "M. Poirot, mungkin Anda pernah mendengar tentang
sebuah mingguan bernama X-ray News?"
"Ya, saya pernah membacanya sekilas," Poirot mengakui, wajahnya sedikit memerah.
Perdana Menteri berkata, "Jadi, setidak-tidaknya Anda tahu sedikit tentang
isinya. Isu-isu yang berbahaya. Kalimat-kalimat tajam yang menyiratkan rahasia-
rahasia sejarah yang sensasional. Beberapa di antaranya memang benar, beberapa
di antaranya tidak berbahaya - tapi semua disajikan dalam gaya bahasa yang
memikat. Kadang-kadang..."
Ia berhenti, kemudian melanjutkan, suaranya agak berubah, "Kadang-kadang ada
yang lebih dari itu...."
Hercule Poirot tidak menanggapi.
Ferrier melanjutkan, "Selama dua minggu terakhir ini, telah dimuat berita-berita
yang mengarah ke pengungkapan skandal paling besar dalam 'kalangan politik
tertinggi'. 'Terbongkarnya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang
mengejutkan.'" Hercule Poirot berkata sambil mengangkat bahu. "Akal yang sudah diketahui umum.
Ketika berita yang benar akhirnya muncul, pasti itu akan mengecewakan pembaca
yang sudah mengharapkan akan disuguhi sensasi."
Ferrier berkata datar, "Yang ini tidak akan mengecewakan mereka."
Hercule Poirot bertanya, "Kalau begitu, Anda tahu pengungkapan apa yang akan
mereka sajikan?" "Dari sumber yang dapat dipercaya."
Edward Ferrier diam sesaat, kemudian melanjutkan. Dengan hati-hati, dengan
sistematis, diringkasnya bahan berita itu.
Itu bukan kisah yang luar biasa. Tuduhan penggelapan yang memalukan, permainan
saham, penyalahgunaan dana Partai. Tuduhan itu semua diarahkan pada mantan
Perdana Menteri, John Hammett. Mereka menuduhnya sebagai serigala licik, pejabat
yang tidak jujur, orang yang mengelabui rakyat di balik sikap anggunnya, yang
menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri.
Akhirnya, suara Perdana Menteri yang bernada rendah itu terhenti. Menteri Dalam
Negeri menggeram. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari mulutnya,
"Mengerikan... mengerikan! Perry, orang yang menyunting berita itu, seharusnya
ditembak saja." Hercule Poirot berkata, "Berita memalukan ini akan dimuat di X-ray News?"
"Ya." "Langkah apa yang Anda usulkan untuk melawan mereka?"
Ferrier berkata pelan, "Berita itu merupakan serangan pribadi atas John Hammett.
Terserah dia, apakah akan menuntut mingguan itu karena telah mencemarkan
namanya." "Maukah dia?" "Tidak." "Mengapa tidak?"
Ferrier berkata, "Hal itu justru akan menguntungkan X-ray News. Publikasi yang
menyusul berita itu pasti akan besar-besaran. Mereka pasti akan membela diri
dengan mengatakan apa yang mereka muat itu benar. Masalahnya pasti akan membesar
dengan cepat, seperti nyala api."
"Tapi, jika dalam kasus itu mereka kalah, mereka pasti akan rugi besar."
Ferrier berkata pelan, "Mungkin saja mereka akan menang."
"Mengapa?" Sir George menyela, "Sungguh, menurut saya..."
Tapi Edward Ferrier telah lebih dahulu bicara, "Sebab apa yang akan mereka muat
itu... benar." Terdengar geram kesal dari arah tempat duduk Sir George Conway. Ia jengkel
mendengar pernyataan yang sama sekali tidak diplomatis itu. Pernyataan yang amat
jujur. Ia berkata nyaring, "Edward, kawanku. Tentu saja kita tidak mengakui..."
Senyum sekilas terlintas di bibir Edward Ferrier yang tampak letih. Ia berkata,
"Sayangnya, George, ada saat-saat ketika kebenaran yang pahit harus dinyatakan
secara terbuka. Ini salah satu kasus seperti itu."
Sir George berseru, "Anda tahu benar, kan, M. Poirot. Ini semua benar-benar
rahasia. Satu kata pun..."
Ferrier menyelanya. Katanya, "M. Poirot memahami itu." Ia menambahkan pelan-
pelan, "Apa yang mungkin tidak dimengertinya adalah, masa depan Partai Rakyat
sedang dipertaruhkan. John Hammett, M. Poirot, seperti diketahui, selalu
dikaitkan dengan Partai Rakyat. Dia merupakan simbol kesopanan dan kejujuran,
dua nilai luhur yang amat dihargai orang Inggris. Orang tak menganggap orang-
orang seperti kami ini brilian. Kita telah terkecoh dan dibelokkan jalan pikiran
kita. Tapi kita akan tetap berteguh demi tugas yang akan kita jalankan sebaik-
baiknya... dan kita pun akan berdiri tegak membela kejujuran. Yang dapat
menghancurkan kita adalah ini... bahwa tokoh panutan kita... pemimpin Partai
Rakyat... sang Pria Jujur, par excellence... ternyata adalah penjahat paling
cerdik di zaman kita."
Sekali lagi Sir George menggeram.
Poirot bertanya, "Anda semula sama sekali tidak tahu?"
Sekali lagi senyum terlintas di wajah letih itu. Ferrier berkata, "Anda mungkin
tidak percaya pada saya, M. Poirot, tapi seperti orang-orang lain, saya telah
terkecoh. Saya tak bisa memahami sikap menjauh dan menjaga jarak yang
ditunjukkan istri saya terhadap ayahnya. Kini saya bisa mengerti. Istri saya
tahu bagaimana sebenarnya karakter ayahnya."
Ia berhenti sejenak, kemudian berkata, "Ketika kebenaran mulai bocor ke luar,
saya amat terkejut dan ngeri. Kami memaksa ayah mertua saya mengundurkan diri
dengan alasan kesehatan... dan kami segera mulai... mulai membersihkan kotoran
itu, begitukah istilahnya?"
Sir George menggeram. "Kandang-kandang Sapi Raja Augeas!"


Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poirot kaget. Ferrier berkata, "Yang saya khawatirkan, untuk membersihkannya dibutuhkan
seorang Hercules. Sekali kenyataannya dipublikasikan, negeri ini akan dilanda
reaksi dan kekacauan yang luar biasa. Pemerintah akan jatuh. Akan diadakan
Pemilihan Umum dan kemungkinan besar Everhard dan partainya akan kembali
berkuasa. Anda tahu garis politik Everhard, bukan?"
Sir George terbatuk-batuk.
"Sapu bersih... benar-benar sapu bersih."
Ferrier berkata dengan murung, "Everhard mempunyai kemampuan... tapi gegabah,
tidak panjang pikir, dan sama sekali tidak bijaksana. Para pendukungnya pun
cukup berpengaruh... singkatnya, dia akan memerintah seperti diktator."
Hercule Poirot mengangguk.
Sir George menyela cepat, "Kalau saja masalah ini bisa dipeti-eskan..."
Pelan-pelan Perdana Menteri menggelengkan kepalanya. Ia seperti orang kalah.
Poirot berkata, "Menurut Anda, masalah ini tak dapat dipeti-eskan?"
Ferrier berkata, "Saya menemui Anda, M. Poirot, sebagai harapan terakhir.
Menurut saya, kasus ini sudah amat berkembang, terlalu banyak orang yang tahu
dan akan sulit sekali ditutupi. Hanya ada dua cara yang masih terbuka bagi kita,
yaitu - kalau saya boleh mengatakannya secara apa adanya - menggunakan kekerasan,
atau dengan cara menyuap - dua-duanya saya ragukan keberhasilannya. Menteri Dalam
Negeri membandingkan masalah kita ini dengan pembersihan Kandang-kandang Sapi
Raja Augeas. Untuk itu dibutuhkan, M. Poirot, sungai besar yang berarus deras,
yang mempunyai kekuatan penghancur yang besar.... ya, kekuatan alam yang
dahsyat... dan itu adalah suatu mukjizat."
"Sesungguhnya, yang dibutuhkan adalah seorang Hercules," kata Poirot sambil
mengangguk-angguk. Ia kelihatan senang.
Ditambahkannya. "Ingat, nama saya adalah Hercule...."
Edward Ferrier berkata, "Dapatkah Anda membuat mukjizat, M. Poirot?"
"Bukankah untuk itu Anda memanggil saya" Karena Anda menganggap itu bisa saja
saya lakukan?" "Benar... ya, benar... Saya menyadari, seandainya pertolongan dan penyelamatan
bisa dilakukan, itu harus dilakukan dengan cara yang fantastis dan benar-benar
di luar kebiasaan." Ia diam sesaat, lalu melanjutkan, "Tapi, M. Poirot, barangkali Anda akan
mempertimbangkan segi etis situasi ini" John Hammett seorang penjahat. Legenda
John Hammett harus dihancurkan. Bisakah orang membangun pemerintahan yang bersih
dan jujur berdasarkan fondasi yang kotor dan tidak jujur" Entahlah. Saya tak
tahu. Tapi yang saya tahu, saya bersedia mencoba." Tiba-tiba ia tersenyum pahit.
"Para politisi ingin tetap berkuasa... dan seperti biasa, dengan alasan-alasan
yang mulia." Hercule Poirot bangkit berdiri. Katanya, "Monsieur, pengalaman saya di
kepolisian membuat saya tidak terlalu menghargai politikus. Kalaupun John
Hammett masih memerintah... saya takkan peduli, tak akan. Tapi saya tahu sesuatu
tentang Anda. Saya diberitahu seorang laki-laki terhormat, ilmuwan paling besar
di zaman ini, bahwa Anda adalah... orang yang jujur dan berpendirian teguh. Saya
akan berusaha sebaik-baiknya."
Ia membungkuk lalu meninggalkan ruangan.
Sir George langsung meledak, "Dasar laki-laki aneh...."
Tapi, Edward Ferrier berkata sambil tetap tersenyum, "Kuanggap itu sebagai
pujian." II Waktu menuruni tangga, Hercule Poirot digamit seorang wanita berkulit terang dan
berambut pirang. Wanita itu berkata, "Silakan singgah ke ruangan saya, M.
Poirot." Hercule Poirot mengangguk, lalu mengikuti wanita itu.
Wanita itu menutup pintu, menyilakan Poirot duduk di sebuah kursi, dan
menawarinya sebatang rokok. Kemudian ia duduk di depannya. Pelan ia berkata,
"Anda baru saja bicara dengan suami saya... dan dia telah mengatakan pada
Anda... tentang ayah saya."
Poirot memandang wanita itu dengan penuh minat. Dilihatnya seorang wanita
jangkung, masih kelihatan menarik, dengan wajah yang mencerminkan kecerdasan dan
wataknya yang kuat. Mrs. Ferrier adalah tokoh yang populer di masyarakat.
Sebagai istri Perdana Menteri, tentu saja kehidupan pribadinya selalu mendapat
sorotan. Sebagai putri ayahnya, popularitasnya justru lebih besar, Dagmar
Ferrier mencerminkan citra ideal wanita Inggris.
Ia istri yang penuh bakti, ibu yang penuh kasih, dan sama-sama menyenangi
kehidupan di pedesaan - seperti suaminya. Ia menyibukkan diri dengan aspek-aspek
kehidupan masyarakat yang jelas-jelas sesuai untuk mendapat perhatian seorang
wanita. Pakaiannya selalu rapi dan menarik, tetapi tidak pernah berlebih-
lebihan. Sebagian besar waktunya diabdikan untuk berbagai kegiatan sosial
berskala besar, ia juga telah menciptakan tunjangan khusus untuk istri-istri
para penganggur. Rakyat Inggris amat menghargainya dan karenanya ia merupakan
aset tak ternilai bagi partainya.
Hercule Poirot berkata, "Anda pasti cemas sekali, Madame."
"Oh ya, memang... Anda tak bisa membayangkan betapa cemasnya saya. Sudah
bertahun-tahun saya menahan diri... melihat itu semua."
Poirot menanggapi, "Anda tidak punya bayangan tentang apa yang sebenarnya
terjadi?" Dagmar Ferrier menggeleng. "Tidak... sedikit pun tidak. Saya hanya tahu ayah
saya tidak... tidak seperti yang dibayangkan orang-orang. Sejak masih kanak-
kanak, saya sudah sadar bahwa ayah saya adalah... penjahat yang licin."
Suaranya terdengar sedih dan pahit. Lanjutnya, "Karena menikah dengan saya,
Edward... Edward akan kehilangan segala-galanya."
Poirot berkata dengan tenang dan bersungguh-sungguh, "Apakah Anda mempunyai
musuh, Madame?" Yang ditanya memandang Poirot dengan kaget.
"Musuh" Rasanya tidak."
"Saya rasa Anda punya...."
Lalu Poirot melanjutkan, "Apakah Anda punya keberanian, Madame" Segera akan
tersiar berita-berita... yang akan memojokkan dan berusaha menjatuhkan suami
Anda... dan Anda sendiri. Anda harus bersiap mempertahankan diri."
Mrs. Ferrier berseru, "Tapi tak jadi soal bila masalahnya menyangkut saya.
Asalkan jangan menghancurkan Edward!"
Poirot berkata, "Yang satu menarik yang lain. Ingat, Madame, Anda adalah istri
Caesar." Poirot melihat wajah wanita itu memucat. Mrs. Ferrier mencondongkan tubuhnya ke
depan. Katanya, "Apa yang sebenarnya ingin Anda katakan?"
III Percy Perry, editor X-ray News, duduk di belakang mejanya sambil merokok.
Ia bertubuh kecil dengan wajah seperti berang-berang.
Ia sedang bicara, suaranya halus dan meluncur lancar, "Akan kita lempari mereka
dengan kotoran! Bagus, bagus! Oh, boy!"
Wakilnya, pemuda kurus berkacamata, berkata dengan berat hati, "Anda tidak
gugup, kan?" "Mengharapkan uluran tangan yang kokoh" Bukan mereka. Mereka tak punya nyali.
Tak akan baik juga bagi mereka. Ini bukan cara kita membongkar skandal... di
negeri ini, di daratan Eropa, maupun di Amerika."
Lawan bicaranya menanggapi, "Mereka pasti seperti cacing kepanasan. Apakah
mereka tidak akan membalas?"
"Mereka akan mengirim seseorang untuk merayu kita...."
Terdengar dering telepon. Percy Perry mengangkatnya. Katanya, "Siapa, kata Anda"
Baik, suruh dia kemari."
Diletakkannya telepon. Ia tersenyum.
"Mereka menyewa detektif Belgia yang sombong itu. Sekarang dia datang kemari
untuk melakukan tugasnya. Aku mau tahu, akan kulayani permainannya."
Hercule Poirot masuk. Pakaian yang dikenakannya betul-betul sempurna dan dari
jenis yang mahal. Sekuntum bunga camelia putih tersemat di lubang kancing
jasnya. Percy Perry berkata, "Senang bisa berkenalan dengan Anda, M. Poirot. Sedang akan
pergi ke Ascot menonton final pacuan kuda" Tidak" Ah, saya keliru kalau begitu."
Hercule Poirot berkata, "Saya merasa tersanjung. Saya hanya ingin berpenampilan
rapi. Dan ini lebih penting lagi," dengan gaya tanpa dosa matanya menyapu tuan
rumahnya dan ruangan tempat kerjanya, "jika seseorang tidak dianugerahi banyak
kelebihan." Perry menyahut singkat, "Apa maksud kedatangan Anda kemari?"
Poirot mencondongkan badannya ke depan, menepuk-nepuk lutut tuan rumah, kemudian
berkata sambil tersenyum cerah, "Memeras!"
"Apa maksud Anda" Memeras?"
"Saya mendengar kabar burung... bahwa Anda sudah siap menerbitkan pernyataan-
pernyataan yang berbahaya dan sangat merusak dalam majalah Anda yang sangat
spirituel... dan karena itu, tabungan Anda meningkat dalam jumlah yang cukup
menggiurkan... dan bagaimanapun juga pernyataan-pernyataan tersebut belum juga
dipublikasikan." Poirot bersandar kembali dan kepalanya mengangguk-angguk dengan sikap puas.
"Apakah Anda sadar apa yang Anda katakan itu sama artinya dengan pemerasan
juga?" Poirot tersenyum penuh keyakinan. "Saya yakin Anda takkan berani menentangnya."
"Saya tidak menentangnya! Tentang pemerasan yang Anda tuduhkan, tak ada bukti
bahwa saya telah memeras seseorang."
"Memang tidak. Dalam hal itu saya pun yakin, tidak. Anda salah mengerti. Saya
bukannya mengancam Anda. Saya sedang menggiring Anda ke sebuah pertanyaan
sederhana. Berapa?" "Saya tidak mengerti maksud Anda," kata Percy Perry.
"Masalah kepentingan nasional, M. Perry."
Mereka berpandangan, saling mengerti.
Percy Perry berkata, "Saya seorang pembaharu, M. Poirot. Saya ingin melihat
politik yang bersih. Saya antikorupsi. Tahukah Anda bagaimana keadaan politik di
negeri ini" Kotor, busuk, dan menjijikkan! Persis Kandang-kandang Sapi Raja
Augeas, persis sekali!"
"Tiens!" kata Hercule Poirot. "Anda pun mengutip kalimat yang sama."
"Dan yang kita butuhkan," lanjut editor itu, "adalah membersihkan kandang-
kandang itu dengan banjir besar yang disebut Opini Masyarakat."
Hercule Poirot bangkit berdiri. Ia berkata, "Saya menghargai cita-cita Anda."
Ditambahkannya, "Sayang sekali, Anda tidak butuh uang."
Percy Perry berkata dengan tergesa-gesa, "Eh, tunggu... saya tidak mengatakannya
begitu...." Tapi Hercule Poirot telah keluar. Alasan-alasan yang dikemukakannya kemudian
adalah, ia benci pada para pemeras.
IV Everitt Dashwood, pemuda periang yang menjadi staf di The Branch, menepuk-nepuk
punggung Poirot dengan akrab.
Katanya, "Ada kotoran dan kotoran, kawan. Punya saya adalah kotoran yang bersih.
Titik." "Saya tidak mendakwa Anda berkomplot dengan Percy Perry."
"Pemeras sialan. Dialah perusak dalam profesi kami. Kami akan menghancurkannya
kalau bisa." "Saat ini," kata Hercule Poirot, "saya diminta membereskan kasus skandal
politik." "Membersihkan Kandang-kandang Sapi Raja Augeas, ya?" kata Dashwood. "Terlalu
berat bagi Anda, kawan. Harapan tinggal harapan. Bagaimana mungkin orang
mengalihkan aliran Sungai Thames dan melenyapkan Gedung Parlemen dengan banjir
besar?" "Anda sinis," kata Hercule Poirot sambil menggelengkan kepala.
"Saya kenal betul dunia ini. Titik."
Poirot berkata, "Andalah, menurut saya, orang yang saya cari-cari. Anda punya
Anak Naga 6 Pendekar Rajawali Sakti 26 Hantu Karang Bolong Pedang Kelelawar Putih 1
^