Pencarian

Aksi Penyelamatan 2

Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan Bagian 2


Aku bisa melihat mereka - makhluk-makhluk raksasa yang bergerak pelan dan
menjulang tinggi di sekelilingku.
"Rachel" Bagaimana keadaanmu?" Cassie bertanya. Ia mengangkat tumpukan baju yang
menindihku. Suaranya bergemuruh, mirip bunyi guntur di kejauhan. Aku mendengar kata-kata
yang diucapkannya, tapi otak cecurut di dalam kepalaku tidak memahami arti
ucapannya. Naluri cecurut mendorongku untuk mencari jalan lari. Cecurut termasuk binatang
yang gampang takut, tapi juga sangat cerdas. Aku mempertimbangkan semua
kemungkinan untuk menyelamatkan diri.
Aku menaksir jarak di antara ketiga pasang kaki di sekelilingku. Satu pasang
kaki bergeser sedikit. Kesempatan itu tidak kusia-siakan.
Kabur! Kabur! Aku menerobos di antara batang-batang rumput yang kurasakan
setinggi dua meter. Dalam pandanganku, ranting-ranting menyerupai pohon-pohon
tumbang. Aku terpaksa memanjat.
Kakiku yang mungil bergerak dengan kecepatan luar biasa. Aku berlari melewati
seekor kumbang yang bagiku tampak sebesar anjing.
"Rachel, kau harus mengendalikan diri!"
Aku tahu mereka benar. Aku agak memahami kata-kata yang mereka ucapkan. Tapi
rasa takut dalam diriku terlalu kuat. Dorongan untuk menyelamatkan diri terlalu
menggebu-gebu. Tapi secara bersamaan aku mulai menyadari perasaan lain. Rasa lapar. Aku mencium
bau kacang-kacangan. Aku mencium bau bangkai. Aku bahkan bisa mencium bau
belatung yang menggeliat-geliut pada bangkai itu.
Ah, belatung! Aku tahu ini sukar dipercaya, tapi makhluk-makhluk menjijikkan
tersebut ingin kulahap habis.
Di belakangku terdengar langkah berdebam-debam!
Aku langsung berkelit dan menyelinap ke bawah semak-semak. Suara langkah itu
melewatiku, lalu berhenti dan kembali menuju ke arahku.
Mereka lebih cepat ketimbang aku, tapi kalah gesit. Aku pasti bisa lari. Aku
akan lari, mencari sumber bau bangkai itu dan berpesta-pora!
lari.> Ngeri! Lapar!
Ngeri! Lapar! Lari! Rumput dan ranting dan gundukan tanah. Dahan-dahan di atas kepala. Bau makanan.
Bau anjing yang mengencingi semak-semak.
Bunyi langkah berdebam-debam dan suara-suara gemuruh di kejauhan. Mereka mau
menangkapku. Tapi aku bisa bergerak cepat!
Aku cerdik! Tapi tetap kurang cerdik. Aku keluar dari tempat persembunyianku.
Tiba-tiba aku menyadari kehadiran sesuatu. Sebuah bayangan gelap. Dan seketika
aku dicekam ketakutan yang belum pernah kualami. Suara di dalam otak cecurutku
menjerit-jerit. Aku merasakan ketakutan yang tak terbayangkan! Ketakutan yang tidak bisa
dijelaskan dengan kata-kata!
Inilah musuh yang tak mungkin kukalahkan!
Dan ia mengincarku! Chapter 8 AKU berusaha mengelak, tapi gerakanku terlalu lamban. Tubuhku dicengkeram cakar-
cakar besar, dan tiba-tiba saja kakiku sudah tergantung-gantung di udara.

Suara itu bergaung di dalam kepalaku. Aku memahami ucapannya. Dan akhirnya rasa
takutku mereda. sebagai manusia. Pikirkan soal sekolah. Kau masih ingat sekolah">
Sekolah" Ya. Aku ingat sekolah.
Sekonyong-konyong akal sehatku berhasil mendesak naluri cecurut yang sejak tadi
menguasaiku. Perubahannya mendadak sekali.
Rasanya seperti ada orang memencet tombol. Aku kembali memegang kendali. Aku
kembali tahu siapa diriku.
ujarku.
Tobias berputar dan mendarat dengan hati-hati. cakarku"> "Kau tidak apa-apa, Rachel?" Itu suara Jake.
rajawali. Dua-duanya begitu tenang kalau dibandingkancecurut.>
"Ini seperti waktu Jake berubah jadi kadal," ujar Cassie. "Dia juga sempat
panik. Binatang-binatang lain yang pernah kita tiru semuanya besar dan berwibawa
- gorila, harimau. Tapi kuda juga gampang gugup."
kataku. baik, biar aku bisa berubah lagi.>
Aku memang telah berhasil menguasai diri, tapi bau bangkai tadi masih tajam
tercium. Aku juga masih mendengar suara ribuan belatung yang sedang berpesta-
pora. Makhluk-makhluk menjijikkan itu makanan cecurut. Dan aku lapar sekali.
"Kau yakin bisa tetap tenang?" tanya Marco. Kulihat ia menatapku dari ketinggian
sejuta mil. "Kau tetap tampak gelisah. Ekormu bergoyang terus dan hidungmu
berkedut-kedut." ke pohon yang dipanjat Fluffer. Aku tidak tahu arahnya.>
Sebelum aku sempat protes, Marco sudah membungkuk dan meraihku dengan dua
tangan. Ia mengangkatku dan menatap mataku.
"Aku belum pernah melihatmu secantik ini, Rachel. Tampangmu seperti gadis
sampul." Kami berjalan menyusuri trotoar. Kemudian Marco menurunkanku di kaki pohon
tempat Fluffer bersembunyi.
kataku.
"Tapi jangan terlalu jauh," Jake segera menanggapi. "Kami harus bertindak cepat
sebelum Fluffer menerkammu."
aku berkelakar. Terus
terang, aku agak malu karena sempat tidak bisa mengendalikan diri tadi.
"Yeah," Marco berkomentar. "Kucing lawan tikus. Kira-kira siapa ya yang menang?"
"Kau tidak pernah nonton Itchy and Scratchy?" tanya Cassie.
"Tentu saja tikus. Lagi pula, dia bukan tikus."
Asal tahu saja: terjebak dalam tubuh cecurut sambil menunggu apakah seekor
kucing raksasa mau turun dari pohon untuk membunuh kita, sama sekali tidak
asyik. Naluri cecurut dalam diriku memang sudah bisa kukuasai, tapi si cecurut
tetap saja ketakutan. Ia sudah sempat disergap elang, dan sekarang ia harus
menunggu apakah musuh bebuyutannya yang satu lagi akan menyerang... hmm,
bagaimana ia tidak panik"
Aku begitu disibukkan oleh rasa lapar si cecurut sehingga aku tidak
memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya. Aku baru sadar ketika terdengar
bunyi kulit pohon tergesek-gesek, tepat di atas kepalaku.
Astaga! Fluffer mau menerkamku!
Saking paniknya, aku tidak bisa bergerak. Aku seperti patung!
Untung saja Jake dan Marco tidak ikut bingung. Marco mencoba menangkap Fluffer,
tapi kucing itu malah mencakar tangannya. Marco memekik kesakitan.
Kucing itu hampir terlepas. Tapi Jake cepat-cepat menyambar tengkuk Fluffer, dan
Cassie segera menghampiri sambil membawa kurungan kucing.
Bertiga mereka berhasil mengurung Fluffer yang terus mencakar-cakar dan
mendesis-desis. Sementara itu aku mulai berubah wujud.
"Tanganku berdarah!" seru Marco.
"Kita semua terluka," ujar Cassie tenang. "Kan sudah kubilang: kucing bisa galak
sekali kalau merasa terganggu."
Tubuhku melesat ke atas, kembali ke wujud asliku.
"Idih! Idih! Pokoknya, sampai kapan pun aku tak mau jadi cecurut lagi!" aku
berseru begitu lidah dan bibirku kembali normal.
Aku menoleh ke belakang untuk memastikan ekorku juga telah lenyap. Ternyata
sudah. Aku kembali menjadi diriku sendiri. Aku memang cuma berbaju senam, dan
kakiku pun tidak bersepatu, tapi yang penting aku telah kembali berwujud
manusia. Aku merinding. Bulu kudukku berdiri mengingat perasaan panik dan lapar yang
bercampur baur dalam otak si cecurut. Perutku langsung mual. Aku hampir muntah.
Jake menatapku dan geleng-geleng kepala. "Seharusnya aku yang maju. Seharusnya
aku yang mencoba memancing Fluffer supaya turun dari pohon. Dia pasti juga
tertarik pada kadal."
Aku menggelengkan kepala. "Kau kan sempat panik waktu berubah jadi kadal,"
"Dan sekarang kau yang kalang kabut," sahut Jake. "Tapi jangan kuatir, kau pasti
segera pulih. Paling tidak kau tidak sampai makan labah-labah."
"Yeah. Sudahlah, aku cuma capek, kok. Sekarang aku mau menyadap kucing brengsek
ini. Supaya urusan ini bisa cepat selesai."
"Kau masih sanggup?" tanya Cassie. "Meniru dua binatang dalam semalam?"
"Seharusnya kau tidak kuizinkan berubah jadi tikus. Maksudku, cecurut," ujar
Jake. Ia masih merasa bersalah.
"Hei, aku sendiri yang mau, oke" Lagi pula, sejak kapan aku harus dapat izin
darimu untuk melakukan sesuatu" Memangnya kau siapa" Raja" Yang benar saja! Ayo,
masih banyak yang harus kita kerjakan." Aku berdiri tegak dan memaksakan senyum.
"Sekarang aku lebih besar dari Fluffer. Coba kita lihat apakah dia masih berani
macam-macam." Tapi tampaknya Fluffer sudah capek membuat ulah. Ia tertidur di dalam kurungan.
Tertidur lelap, seakan tidak terjadi apa-apa. Dasar kucing. Ia malah mendengkur-
dengkur ketika aku menyadap pola DNA-nya.
Setelah selesai, aku menyadari Cassie menatapku sambil tersenyum.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aku cuma penasaran. Tampangmu sama sekali tidak berubah; padahal dalam dirimu
sekarang ada gajah, cecurut, rajawali, dan kucing. Empat jenis binatang. Paling
banyak di antara kita semua." Ia mengerutkan kening. "Kita belum tahu banyak
tentang kemampuan metamorfosis ini. Siapa tahu jumlah binatang yang bisa kita
tiru terbatas." "Lama-lama juga tahu," kilah Marco. "Mungkin kita akan tahu pada saat paling
tidak menguntungkan."
Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah mereka benar. Perasaanku jadi tidak
menentu. Aku memiliki kemampuan untuk menjelma menjadi empat binatang berbeda.
Di antaranya bahkan ada yang saling memangsa. Jangan-jangan ada pengaruhnya
terhadap diriku. Tiba-tiba aku lelah sekali. "Ehm, pola DNA Fluffer sudah kusadap. Tapi mungkin
lebih baik urusan selanjutnya kita selesaikan besok malam saja. Aku... aku tidak
yakin aku sanggup meneruskannya malam ini."
"Baik kalau begitu. Lain kali saja," ujar Jake. Ia tampak lega. Agaknya ia
menguatirkan diriku. Memang begitulah sepupuku yang satu ini.
"Kalau begitu, Fluffer sudah bisa dilepas," kata Cassie. Ia membuka pintu
kurungan. Fluffer keluar dengan hati-hati. Setelah yakin keadaan aman, kucing itu lari dan
menghilang di kegelapan malam.
"Dia pasti mau menghabisi cecurut tadi," Marco menduga-duga.
Aku langsung merinding. Chapter 9 "AAAAAAAAH! Aaaaah! Aaaaaaaaah!"
"Bangun. Rachel, bangun!"
" Aaah! Oh. Oh. Oh." Aku terduduk. Napasku tersengal-sengal.
Keadaan di sekelilingku gelap, tapi aku bisa melihat wajah Jordan. Ia
membangunkan diriku. Aku meraba-raba wajah. Bibir. Mata. Hidung.
Aku menepuk-nepuk seluruh tubuhku. Tak ada bulu. Tak ada ekor. Aku berwujud
manusia. Manusia normal. Kemudian aku teringat mimpiku.
"Oh. Oh," aku mengerang. Aku menyingkap selimut dan bangkit dengan susah payah.
Terseok-seok aku menuju ke pintu kamar mandi. Kamarku dan kamar Jordan dan Sara
dihubungkan oleh kamar mandi. Aku mencoba menghidupkan lampu, tapi tanganku
tidak menemukan sakelarnya. Aku tidak tahan lagi. Langsung saja aku berlutut di
depan WC dan muntah. Jordan terus bertanya, "Kau tidak apa-apa, Rachel" Kau tidak apa-apa" Mungkin
lebih baik aku panggil Mom."
"Jangan," ujarku begitu aku bisa bicara. "Tak usah. Aku tidak apa-apa kok. Tidak
perlu panggil Mom." Untung saja Sara kecil tidak ikut terbangun. Aku menggosok gigi, lalu minum.
Tersipu-sipu aku menatap Jordan. Kami sama sekali tidak mirip. Aku lebih mirip
Dad, sedangkan Jordan lebih mirip Mom, dengan mata dan rambutnya yang gelap. Ia
tampak bingung bercampur cemas.
"Aku tidak apa-apa," aku menegaskan. "Aku cuma mimpi buruk tadi."
Jordan sedikit lebih tenang. "Mimpinya pasti mengerikan sekali."
"Mestinya, sih. Aku malah sudah lupa aku mimpi apa. Aku cuma ingat perutku mual
waktu bangun." "Ah, masa sih kau sudah lupa" Kau pakai jerit-jerit dan guling-guling di tempat
tidur segala." Aku angkat bahu. "Aku tidak ingat apa-apa. Sudahlah, kau tidur saja lagi."
Ia menatapku dengan serius. "Aku tahu aku dua tahun lebih muda, tapi kau pasti
cerita kan kalau kau punya masalah" Aku takkan cerita pada Mom. Aku bisa jaga
rahasia." Aku tersenyum, lalu merangkulnya. "Aku percaya. Kalau aku ada masalah, kau pasti
akan kuberitahu." Perasaanku benar-benar tidak enak karena aku terpaksa membohongi Jordan. Aku
mempercayai adikku. Aku yakin sekali ia bukan Pengendali.
Tapi tentu saja semula Jake pun berpikir begitu mengenai Tom.
Kudekap adikku lebih erat. Aku muak karena setiap pikiranku telah disusupi
kecurigaan. Aku muak karena aku tidak bisa mempercayainya seratus persen.
"Selamat tidur," ujarku. "Terima kasih kau telah menyelamatkanku dari mimpi
buruk tadi." Jordan menuju ke pintu kamar mandi, tapi kemudian ia berbalik. Lampu kamar mandi
yang terang-benderang menyinarinya dari belakang. "Sebelum jerit-jerit tadi, kau
sempat menyerukan sesuatu."
"Apa?" tanyaku waswas.
Ia mengerutkan kening. "Kedengarannya seperti 'belatung'. Atau sesuatu yang
mirip itu." Aku memaksakan senyum. "Sampai besok, Jordan." Aku kembali ke tempat tidur.
Bantalku basah kuyup karena keringat.
Sepraiku juga terasa lembap.
Belatung. Belatung yang menggeliat-geliut dan merangkak kian kemari pada
seonggok daging berbulu yang sudah membusuk. Dalam mimpiku, onggokan daging itu
bangkai kucing. Bangkai kucing yang sedang digerogoti belatung.
Lalu muncul seekor cecurut. Cecurut yang langsung asyik melahap bangkai serta
belatung-belatung yang berkerumun.
Dalam mimpi pun aku tahu: akulah cecurut itu.
**** "Kau kelihatan capek," kata Jake keesokan paginya. Kami sama-sama naik bus
sekolah. "Thanks," sahutku kesal.
"Kau kurang tidur, ya?"
"Bisa jadi, kalau tampangku memang separah yang kaukatakan."
"Aku tidak bilang tampangmu parah. Aku cuma bilang kau kelihatan capek." Ia
terdiam, lalu melirik ke belakang untuk melihat apakah ada yang menguping
percakapan kami. Untung saja suasana di dalam bus cukup ramai.
Jake merendahkan suara dan mencondongkan badan ke arahku. "Kau tidak apa-apa,
kan" Maksudku, soal cecurut semalam?"
"Kenapa" Hanya karena aku cewek, kaupikir aku lebih gampang terpengaruh daripada
kau atau Marco?" "Bukan, bukan begitu," Jake membantah. "Aku cuma... ehm, waktu aku berubah jadi
kadal, pikiranku agak kacau. Sampai berhari-hari sesudahnya. Aku sempat mimpi
buruk..." "Mimpi buruk?" ujarku. Suaraku agak terlalu keras. Cepat-cepat aku merendahkan
suara lagi. "Mimpi buruk?"
"Oh, yeah. Aku juga mimpi macam-macam waktu aku jadi harimau, tapi bukan mimpi
buruk." "Mimpinya seperti apa?"
Ia tersenyum. "Mimpinya menyenangkan. Aku menjelajahi hutan gelap di malam hari.


Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk berburu. Aku bertekad menangkap mangsaku, tapi kalau gagal juga tidak apa-
apa. Aku sudah senang bisa berlari dan mengendap-endap di hutan."
Aku mengangguk. "Perasaanku juga begitu setelah aku menjelma jadi gajah. Aku
merasa begitu besar dan tak terkalahkan. Rasanya aku tidak takut pada apa pun."
"Tapi cecurut pasti lain, kan?"
"Ya. Mungkin karena setiap binatang punya watak berbeda. Ada yang cocok untuk
otak manusia, ada juga yang kurang cocok."
Aku diam sejenak dan memandang keluar jendela.
"Kautahu apa yang membuatku gelisah?" tanyaku.
Di luar dugaanku, Jake mengangguk. "Yeah. Kau takut suatu hari kita harus
berubah jadi serangga."
Aku merinding. "Ih, tidak terbayang deh. Aku yakin aku takkan sanggup."
"Yang jelas, tugasmu yang berikut adalah menjelma jadi kucing. Tobias pernah
jadi kucing. Katanya sih asyik. Dia suka. Sama seperti aku senang jadi anjing.
Kadang-kadang, kalau aku lagi sebal, aku ingin berubah jadi anjing saja. Anjing
selalu bisa bersenang-senang."
Bus kami berhenti di depan gedung sekolah. "Kembali ke sekolah. Kembali ke
kehidupan normal." Aku mengamati anak-anak yang berkerumun di halaman dan di tangga. Kemudian aku
melihat Melissa. "Sampai nanti, Jake," ujarku. "Thanks."
"Sama-sama. Kita memang harus saling mendukung."
Aku turun dari bus dan bergegas menghampiri Melissa. Tapi setelah dekat, kulihat
matanya merah dan sembap. Rupanya ia habis menangis.
"Hei, Melissa, apa kabar?"
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Apa?"
"Aku tanya bagaimana kabarmu."
Ia menggelengkan kepala, seakan-akan heran aku menyapanya. "Sejak kapan kau
peduli?" "Melissa. Tentu saja aku peduli. Ada apa, sih?"
Matanya menerawang. Pandangannya seakan-akan menembus diriku. "Ada apa" Semuanya
kacau. Semuanya beres, tapi sekaligus kacau."
"Apa sih maksudmu?"
"Sudahlah, lupakan saja," katanya. Ia berbalik.
Cepat-cepat aku meraih lengannya. "Ceritalah. Aku kan tetap temanmu. Tak ada
yang berubah." "Jangan ganggu aku," ia menyahut geram. "Semuanya sudah berubah. Semua orang
sudah berubah. Kau bukan temanku lagi. Dan Mom dan Dad..."
"Ada apa dengan mereka?" tanyaku.
Bel sekolah berdering nyaring.
"Aku harus masuk." Ia melepaskan lengannya dari peganganku.
Apa lagi yang bisa kulakukan" Kubiarkan ia pergi. Tapi dalam hati aku bertanya-
tanya. Apa yang hendak ia katakan tentang ayahnya. Mungkinkah ia sudah tahu
rahasia ayahnya" Sambil termenung aku menaiki tangga menuju pintu utama.
Aku berjalan sambil menunduk, tidak memperhatikan langkahku. Akibatnya aku
bertabrakan dengan seseorang saat melewati pintu.
"Hei, hati-hati, Nona."
"Mr. Chapman!" Aku langsung mundur karena ngeri.
Orang inilah yang pernah memberi perintah kepada prajurit Hork-Bajir untuk
membunuh kami semua kalau kami tertangkap. Prajurit itu cukup membawa kepala
kami untuk diidentifikasi.
Hal seperti itu sulit dilupakan.
Chapman menatapku. "Ada apa Rachel" Kau kelihatan agak tegang pagi ini."
Aku mengangguk. "Ya,Sir. Saya kurang tidur semalam."
"Mimpi buruk?" ia bertanya.
Mulutku kering-kerontang. "Ya, Mr. Chapman."
Ia mengembangkan senyum, senyum yang tampak biasa.
"Sudahlah, lupakan saja. Mimpi buruk hanya mimpi, bukan kenyataan."
"Biasanya memang begitu," aku bergumam pelan.
Chapter 10 MALAM berikutnya kami tidak bisa ke rumah Chapman karena Marco dan aku banyak
PR. Dan lusanya, ayah Cassie berulang tahun.
Tapi akhirnya kami kembali berkumpul di jalan di depan rumah Chapman, pukul
delapan kurang sedikit. Fluffer ada di luar rumah. Ia sedang mengendus-endus tiang pagar di ujung jalan
yang dikencingi kucing lain. Paling tidak, begitulah laporan Tobias.
"Siap?" tanya Jake padaku.
Aku mengangguk. "Kau yakin?" tanya Cassie. "Kalau perlu, bisa kita tunda. Tidak harus malam ini
kok." "Lebih cepat lebih baik," ujarku. "Kita sudah tahu ada yang tidak beres di sini.
Dan Melissa temanku. Barangkali aku bisa berbuat sesuatu untuk menolongnya."
"Tugasmu bukan menolong Melissa Chapman," sergah Marco. "Tugasmu memata-matai
Chapman. Kau harus mencari jalan untuk mendatangi kaum Yeerk, supaya kita semua
bisa berubah jadi binatang dan dibantai ramai-ramai."
"Aku tahu yang harus kulakukan, Marco," sahutku.
Ia mengangguk. "Oke. Tapi hati-hatilah. Kau berhadapan dengan wakil kepala
sekolah. Kalau dia tahu kau berubah jadi kucing dan menyusup ke rumahnya, kau
akan dihukum. Seperti aku. Tapi lebih lama, sampai tahun depan."
Kami tertawa. Hukuman mengerjakan PR sampai tuntas di sekolah tidak lagi
menakutkan bagi kami. Kadang-kadang Marco memang menjengkelkan, tapi di pihak
lain, ia bisa membuat kami tertawa pada saat kami benar-benar membutuhkan tawa.
"Aku siap," ujarku. Aku melambaikan tangan ke langit malam yang gelap.
Tobias meluncur turun. Ia merentangkan sayap untuk mengurangi kecepatan, lalu
bertengger di atas pagar di samping kami.
"Bagaimana situasinya, Tobias?" tanya Jake.
Loughlin Street. Ada beberapa mobil, tapi tak ada yang menuju kemari.>
"Sebenarnya kau dan aku bisa kerja sama," kata Marco kepada Tobias. "Kita jadi
maling, dan Jake jadi Spiderman yang berusaha menangkap kita."
"Oke, kita sudah bisa mulai," aku berkata sekali lagi.
Tobias mengirimkan pesan melalui pikirannya. beres, lari saja keluar. Aku akan mengangkat dan membawamu ke tempat aman.>
Aku siap-siap berubah wujud. Kupusatkan pikiran pada Fluffer. Seketika aku
teringat bagaimana kucing itu melompat dari pohon saat hendak menerkamku ketika
aku jadi cecurut. Pola DNA Fluffer sudah tersimpan dalam tubuhku dan siap digunakan. Aku tinggal
konsentrasi... konsentrasi....
Proses metamorfosis selalu beda. Terutama kalau kita untuk pertama kali meniru
seekor binatang. Cassie pun tidak sanggup mengendalikan perubahannya yang
pertama. Kali ini, yang pertama muncul adalah bulu. Mula-mula bulu hitam, lalu bulu
putih. Aku masih bersosok manusia ketika sebagian besar tubuhku sudah tertutup
bulu kucing. Tanganku. Kakiku. Wajahku. Bulu dan kumis kucing.
"Wow, keren!" seru Cassie. Ia menatapku sambil tersenyum lebar. "Keren sekali!"
Marco dan Jake mengangguk-angguk.
"Agak ajaib, tapi bagus," puji Marco. "Mestinya kau jadi bintang iklan makanan
kucing. Menyanyi sedikit, menari sedikit. Morris the Cat pasti kalah deh. Kau
tidak punya saingan."
Aku mulai mengerut. Bajuku berjatuhan. Tapi anehnya, aku tidak merasa tubuhku
semakin kecil. Aku justru merasa tambah kuat. Aku merasa bebas. Bebas dari
kakiku yahg panjang dan kaku. Lenganku yang tidak bertenaga. Bahkan tubuhku tak
lagi seperti sekumpulan daging dan tulang.
Aku serasa terbuat dari baja cair.
Tak ada perasaan ngeri. Tidak seperti ketika aku menjelma jadi cecurut. Tapi aku
juga tidak merasa paling hebat seperti ketika aku jadi gajah atau elang.
Ini lain. Memang ada perasaan takut. Tapi di baliknya terdapat rasa percaya diri
yang besar. Sang kucing sadar ia punya musuh, namun ia yakin ia sanggup
menghadapi musuh-musuhnya.
Aku merasa... kuat. Ya, kuat.
Kemudian indra sang kucing mulai bekerja.
aku berseru kaget. kelihatan jelas sekali.>
"Pada malam hari, mata kucing hampir delapan kali lebih kuat daripada mata
manusia," Cassie menjelaskan. "Aku pernah membacanya di sebuah buku."
"Delapan kali?" Marco mengulangi. "Bukan tujuh, atau sembilan kali" Bagaimana
cara mengukurnya?" Tapi bukan cuma penglihatan yang mengejutkan. Yang tak kalah aneh adalah apa
yang kulihat. Manusia cenderung mengamati hal-hal tertentu, misalnya warna. Kucing pun bisa
melihat warna, tapi warna tidak menarik baginya. Reaksinya cuma, oke, benda itu
merah. Terus kenapa"
Kucing lebih tertarik pada gerakan. Gerakan sekecil apa pun pasti diketahui
olehnya. Aku berdiri di rumput dan memandang berkeliling dengan mata kucingku
yang besar, dan di mana-mana aku melihat gerakan. Aku melihat setiap batang
rumput yang bergoyang karena tiupan angin. Aku melihat setiap serangga yang
merayap pada batang-batang rumput itu. Aku melihat setiap burung yang
merentangkan sayap di pohon-pohon. Dan aku melihat setiap tikus dan setiap tupai
yang ada di sekitarku. Kira-kira lima meter dariku mendekam seekor tikus. Aku bisa melihat setiap helai
kumis yang berkedut ketika tikus itu mengerut -ngerutkan hidung. Semua yang
tidak bergerak sama sekali tidak menarik bagiku. Seandainya tikus di hadapanku
diam saja, aku akan lupa ia ada di situ.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Jake.
Suaranya terdengar jelas sekali. Tapi ucapannya tidak bermakna.
Lalu aku mendengar bunyi berderik. Rupanya tikus tadi sedang menggerogoti biji
pohon yang jatuh ke rumput. Bunyi itulah yang menarik perhatianku. Sangat
menarik perhatianku. "Rachel, kau dengar, tidak" Ini aku, Cassie."
yang bisa didengar, dilihat, diendus-endus.>
"Hmm, paling tidak, dia tidak lari kalang kabut seperti cecurut waktu itu," ujar
Marco. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu di atasku, sebuah sosok, sebuah bayangan.
Secepat kilat aku menoleh. Telingaku merapat ke kepala. Bulu di punggungku
berdiri tegak, dan ekorku mengembang sampai tiga kali ukuran sesungguhnya. Aku
mengeluarkan cakar. Lalu aku menyeringai dan memamerkan gigi taringku.
Semua itu terjadi dalam waktu sepersekian detik. Aku siap bertempur.
Dan apa pun yang menyerangku akan kubuat menyesal seumur hidup karena telah
berani mengganggu Fluffer McKitty.
"Hhhhhisssss! Chapter 11 AKU siap menyambut musuh. Aku siap bertarung sampai mati.
Membunuh atau dibunuh. Perasaanku bergelora ketika aku mengeluarkan cakarku yang setajam pisau cukur.
"Tenang, Rachel. Tenang. Itu cuma Tobias," kata Cassie menenteramkan. "Halo
Tobias" Lebih baik kau jangan dekat-dekat dulu," ia berseru ke arah langit.
"Secara naluri, kucing memang takut pada burung besar."
Cassie benar. Aku takut melihat bayangan Tobias. Ketakutan serupa juga kurasakan
waktu aku menjelma sebagai cecurut.
Tapi ketakutan seekor kucing berbeda. Ketakutanku kali ini bercampur baur dengan
kemarahan. Entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya. Yang kutahu cuma aku
mendesis untuk menyampaikan pesan.
Dan pesannya adalah, "Jangan ganggu aku. Boleh saja badanmu lebih besar dariku.
Boleh saja kau membuatku takut dan memaksaku lari, tapi aku siap melawan kalau
terpaksa." Itulah pesan seekor kucing kepada dunia: jangan ganggu aku. Jangan sentuh aku
kalau aku lagi tidak mau disentuh, jangan halangi keinginanku.
Aku betul-betul mandiri. Aku tidak butuh apa-apa selain diriku sendiri. Aku
sepenuhnya bebas. aku berkata kepada Cassie. diri sekarang.> "Bagaimana rasanya jadi kucing?" tanya Cassie.
Eastwood" Dia jago tembak. Ketika ia masuk ke bar, semua orang langsung
menyingkir. Dia tidak mau cari perkara, tapi sebaiknya dia juga jangan diganggu.
Nah, kira-kira begitu rasanya. Aku seperti Clint Eastwood.>
"Bagaimana, Rachel" Kau sanggup meneruskan rencana kita?" tanya Jake.

"Jangan sampai kau dapat masalah karena terlalu yakin," Marco mewanti-wanti.
"Kau mungkin merasa hebat sebagai kucing, tapi musuh kita bukan orang biasa."
"Marco benar, Rachel," Cassie menambahkan. "Pikiranmu harus terfokus. Kau tidak
boleh gegabah." Aku melirik ke arah tikus tadi. Aku yakin aku bisa membunuhnya. Tikus kecil
gendut itu bukan lawan sepadan bagiku.
Tapi ia beruntung. Aku sedang tidak lapar, dan karena itu ia selamat - untuk
sementara. sahutku. "Pokoknya, kami siap menolongmu kalau ada kesulitan," ujar Cassie.
Fluffer sudah bisa kukendalikan. Semua pasti beres.>
Tapi sebenarnya aku bohong. Cuma sedikit sih bohongnya.
Naluri Fluffer belum sepenuhnya kukendalikan. Dan entah kenapa, aku memang tidak
ingin. Kesombongan Fluffer membuatku lebih yakin. Dan aku memang tidak boleh
ragu-ragu menghadapi tugas ini.
"Oke, waktumu cuma dua jam," Cassie mengingatkan.
"Sekarang jam delapan lewat seperempat. Jangan lupa itu."
Aku mulai menyusuri trotoar, menuju ke rumah Chapman. Langkahku ringan sekali.
Wah, coba kalau tubuhku selentur ini pada saat senam, pikirku.
Kucing memiliki keanggunan alami yang tak terbayangkan oleh manusia. Aku
melewati pagar kayu. Bagian atasnya berupa balok kayu yang membentang sepanjang
pagar. Tingginya kira-kira satu meter dari trotoar. Aku menatap balok itu dan
kemudian, sebelum sempat pikir-pikir, aku melompat. Kaki belakangku menekuk
sedikit untuk mengambil ancang-ancang, lalu melontarkan tubuhku ke udara.
Aku melesat. Satu meter tegak lurus ke atas, padahal sebagai kucing tinggi
badanku cuma tiga puluh senti. Untuk ukuran manusia, itu sama saja dengan
melompat ke atas gedung berlantai dua.
Dan itu belum apa-apa. Aku lompat cuma karena ingin lompat. Aku ingin mendarat
pada balok kayu selebar lima senti, dan tentu saja tidak ada masalah.
Dibandingkan kucing, pesenam terbaik yang pernah ada pun tetap berkesan serba
kikuk dan canggung. "Ehm, Rachel, sedang apa kau?" tanya Jake.
Mereka semua menatapku. Aku sama sekali lupa mereka masih di dekatku.
jawabku. Aku melompat turun ke rumput.
Oke, kataku dalam hati, selesaikan dulu tugasmu. Habis itu, baru kau boleh
memikirkan Olimpiade Kucing.
Aku kembali menuju ke rumah Chapman, tapi lagi-lagi ada sesuatu yang membuat
perhatianku beralih. Aku mencium bau sangat menarik. Asalnya dari tiang telepon
di pinggir trotoar. Tanpa pikir panjang aku menghampiri tiang itu dan mengendus-
endus. Udara yang kuhirup menyusup ke lekuk-lekuk rongga hidungku dan tertahan
di situ, meskipun aku terus bernapas. Dengan cara itu aku bisa mendapatkan
sebanyak mungkin informasi dari bau itu.
Hmm, baunya jelas-jelas bau kucing jantan. Ada kucing jantan yang menandai tiang
ini dengan mengencinginya. Wah, kucing jagoan nih. Baunya membuatku gelisah. Aku
bukannya takut, hanya agak was-was. Seandainya kucing itu muncul, aku terpaksa
mengalah. Aku harus menunduk dan menghormati kedudukannya yang lebih tinggi.
Atau bisa juga aku nekat melawan dan dihajar habis-habisan.
Hanya ada dua pilihan. Aku kembali menuju ke rumah Chapman.

Suara Tobias bergaung di dalam kepalaku.

ujarku. bersandiwara.> ia menyahut dengan nada ragu. memang asyik kalau cuma untuk sementara. Lain soal kalau untuk selama-lamanya.
Waktumu cuma dua jam.>
Peringatan Tobias segera membuatku sadar. Aku serasa disiram air dingin. Aku
memusatkan pikiran manusiaku untuk mengendalikan naluri Fluffer. Tapi itu tidak


Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudah. Soalnya kucing tidak mengenal kata patuh. Karena itu aku memanfaatkan
sesuatu yang pasti dipahami oleh setiap kucing. Aku mengingat-ingat bau kucing
jantan jagoan yang kucium tadi. Dan benar saja, dorongan naluri Fluffer langsung
mereda. Akal sehat manusiaku mulai memegang kendali.
kata Tobias.
rumahku. Semua ini milikku.>
itu.> Aku menuju ke pintu kucing. Chapman. Visser Three. Hah, siapa takut" Aku
merupakan gabungan antara Rachel dan Fluffer.
Kenapa mesti peduli soal Chapman dan Visser Three"
Lampu di dalam rumah terang-benderang. Mataku langsung menyesuaikan diri.
Hidungku mencium bau makanan kucing, tapi sudah terlalu kering dan lama sehingga
tak mengundang seleraku. Aku juga mencium bau orang-orang yang tinggal di sini:
Melissa, Mr. Chapman, dan Mrs. Chapman. Jangan tanya bagaimana aku tahu.
Pokoknya aku tahu. Aku melihat kecoak di tengah debu dalam kegelapan di bawah lemari es, tapi aku
tidak tertarik. Kecoak cuma asyik untuk ditonton.
Apalagi kalau mereka sedang lari. Tapi baunya salah. Kecoak bukan mangsa.
Sebuah bayangan berkelebat!
Kaki. Kaki manusia. Tanpa perlu menoleh aku langsung tahu bahwa itu Mrs.
Chapman. Bunyi bernada tinggi terdengar dari motor lemari es. Bunyinya mengganggu.
Kecuali itu terdengar suara burung di luar. Mereka membuat sarang di bawah atap.
Kemudian aku mendengar suara Melissa.
Di mana Melissa" Aku tidak melihatnya. Suaranya juga cuma terdengar sayup-sayup.
Aku konsentrasi. Telingaku berputar ke arah asal bunyi itu. Ternyata dari atas.
Suara Melissa berasal dari tempat jauh, di atasku.
Ia berada di kamarnya. Ucapannya tidak terdengar jelas, tapi aku tahu ia sedang
bergumam-gumam sendiri. Aku melintasi dapur. Sebagai Rachel, aku tahu aku seharusnya takut. Tapi tidak
mungkin. Segala sesuatu di sini berbau aku. Bau khas itu melekat pada daun
pintu, lemari, kursi, dan membuatku tenang.
Bau kucing jagoan tadi tidak tercium di sini. Tidak ada kucing selain aku di
sini. Yang ada hanya bau manusia, dan bau itu tidak penting.
Aku keluar dari dapur dan berhenti di pojok antara koridor dan ruang keluarga.
Chapman ada di situ, di ruang duduk. Aku bisa mencium baunya. Ia sedang duduk di
sofa. Aku menatapnya sepintas lalu, kemudian kembali berjalan.
Tapi kemudian aku berhenti. Akal sehat manusiaku mengatakan ada yang tidak
beres. Chapman cuma duduk di sofa. Tak ada TV. Tak ada musik. Ia tidak membaca
buku atau koran. Ia cuma duduk.
Aku kembali ke dapur dan mengamati Mrs. Chapman. Ia sedang mengerjakan sesuatu
di tempat cuci piring. Mungkin mencuci piring. Oh bukan, ia sedang memotong-
motong sayuran. Tapi sekali lagi tak ada TV. Tak ada musik. Ia juga tidak
bersenandung atau bicara sendiri, seperti yang selalu dilakukan ibuku kalau ia
bekerja di dapur. Aneh sekali. Aku semakin yakin ada yang tidak beres dengan Mr. dan Mrs. Chapman.
Aku berbalik lagi. Di ujung koridor ada tangga yang menuju ke kamar-kamar di
lantai dua. Suara Melissa terdengar lebih jelas di sini.
Aku memusatkan pikiran. Aku berusaha mengabaikan kicau burung dari sarang di
bawah atap. Seluruh perhatianku tertuju pada suara Melissa.
"...dibagi akar kuadrat... oh, bukan. Akar kuadrat dikali... Ah, bagaimana sih
ini?" Ia sedang membuat PR. Jelasnya PR matematika.
Mestinya aku juga, pikirku. Sekonyong-konyong aku diserang rasa bersalah. Aku
bukannya membuat PR malah menyusup ke rumah temanku untuk memata-matai
keluarganya. Aku berusaha mencari jam. Waktuku dua jam, sampai pukul sembilan empat lima. Dan
jauh sebelumnya aku sudah ingin kembali ke tubuhku yang asli. Mudah-mudahan aku
masih sempat membuat PR matematika dan membaca buku pelajaran IPS. Aku melihat
jam yang tergantung di atas perapian, di antara foto-foto keluarga Chapman.
Jarumnya menunjukkan pukul delapan kurang tiga menit.
Masih banyak waktu. Sebuah gerakan mendadak membuatku terkejut.
Oh, rupanya Chapman berdiri.
Chapman sama sekali tidak menarik bagi seekor kucing. Tapi aku memaksakan diri
untuk memperhatikannya. Aku harus mengawasi gerak-geriknya. Itulah tujuan
kedatanganku ke rumahnya.
Apakah ia termasuk mangsa" tanya otak kucing di dalam kepalaku.
Ya. Ya, otak manusiaku segera menyahut.
Chapman mangsa kami. Chapter 12 AKU mengikuti Chapman menyusuri koridor. Ia sama sekali tidak menggubrisku.
Tidak melihatku, atau ia memang tidak peduli.
Ia membuka pintu, dan seketika aku mencium aneka bau.
Kelembapan. Jamur. Serangga.

Aku tersentak kaget. Gerakan yang tidak lazim bagi seekor kucing.
Ternyata Tobias. Aku bisa mendengar pikirannya, berarti ia cukup dekat denganku.
Mungkin ia bertengger di atas atap atau di dahan pohon di sekitar rumah. Aku
pasang telinga. Burung-burung di bawah atap mendadak terdiam. Mereka takut
elang. sahutku.


jawabku ketus. Entah kenapa, suara Tobias yang
bergaung dalam kepalaku membuatku terganggu. Suara itu memaksaku membagi
perhatian, padahal itu sulit kulakukan. Otak kucingku sama sekali tidak
menggubris ucapan Tobias. Otak kucingku justru menyuruhku segera turun dan
memeriksa ruang bawah tanah. Untung saja, otak manusiaku berkeinginan sama.
Aku menyusul Chapman ke bawah. Tapi berjalan menuruni tangga kayu dengan kepala
lebih dulu membuatku gamang. Rasanya aneh sekali.
agak sibuk.>
Aku menunggu. Tobias diam saja.
aku memanggil.
Tapi tak ada jawaban. Kami belum sepenuhnya menguasai proses bicara melalui
pikiran. Kami tahu "suara" kami terdengar hanya sampai jarak tertentu, tapi kami
belum pasti seberapa jauh jarak itu.
Dinding ruang bawah tanah dilapisi panel-panel kayu. Langit-langitnya tidak
dicat dan penuh sarang labah-labah. Sayangnya tidak ada tikus. Tak ada mangsa.
Tapi cukup banyak yang bisa dikejar-kejar.
Chapman mangsa kami, aku berkata dalam hati. Chapman yang harus kami buru.
Aku melihat semacam ruang TV dengan meja biliar dan beberapa kursi tua serta
sofa. Tampaknya perabot itu sudah lama tidak digunakan. Tak ada bau manusia yang
melekat. Semua penuh debu.
Di dalam pesawat TV malah terdengar suara labah-labah.
Hanya ada satu bagian ruang bawah tanah yang tampaknya sering dilewati. Aku bisa
mencium jejak yang ditinggalkan sepatu Chapman.
Chapman melintasi ruang bawah tanah, dan berhenti di depan pintu sederhana
bercat putih. Ia mengeluarkan seikat kunci dari kantong.
Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Satu setengah meter setelah pintu putih
itu, terdapat pintu kedua. Pintu ini terbuat dari baja mengilap. Kelihatannya
seperti pintu lemari besi di bank.
Di samping pintu baja ada bujur sangkar kecil berwarna putih yang diterangi
lampu dari dalam. Chapman menempelkan tangan ke bujur sangkar itu.
Seketika pintu baja itu bergeser masuk ke dalam dinding, persis pintu-pintu
dalam film Star Trek. Aku tahu aku harus mengikutinya. Tapi akal sehat manusiaku melarang. Sementara
otak kucingku tidak melihat perlunya masuk ke tempat gelap itu. Tempat itu
seperti perangkap. Dan aku kuatir aku takkan bisa keluar lagi.
Tapi aku harus masuk. Aku harus menyelidiki apa yang dilakukan Chapman di situ.
Justru itu tujuanku menyusup ke dalam rumahnya.
Pada saat terakhir, tepat ketika pintu itu hampir menutup, aku melompat masuk.
Mula-mula keadaannya gelap gulita, namun bagiku bukan masalah. Lalu Chapman
menyalakan lampu bercahaya redup.
Anehnya, aku justru bisa melihat lebih jelas dalam gelap dibandingkan setelah
lampu itu dihidupkan. Aku melihat meja yang menempel ke dinding. Meja itu terbuat dari baja kelabu,
dan bentuknya bukan seperti meja biasa. Ada sejumlah panel berlampu kecil dengan
aneka warna cerah. Selain itu ada lampu sorot kecil namun rumit yang tergantung
dari langit-langit. Di depan meja ada kursi. Kursi kantor biasa. Chapman langsung mendudukinya.
Tangannya meraba panel biru. Kemudian ia menatap arlojinya, dan menyandarkan
punggung. Tampaknya ia menunggu sesuatu.
Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Aku mencoba bersikap acuh tak acuh, seakan-akan
aku cuma kebetulan masuk ke ruangan itu. Aku juga berusaha supaya aku tetap di
belakang Chapman, sehingga ia tidak melihatku.
Aku teringat pesan Jake. Orang lain pasti menyangka aku cuma kucing biasa. Tapi
Chapman tahu soal metamorfosis. Kaum Yeerk tahu tentang teknologi morph yang
dikembangkan kaum Andalite.
Jika Chapman atau Pengendali mana saja melihat binatang yang bertingkah tidak
biasa, mereka pasti langsung curiga.
Sekonyong-konyong ada cahaya terang benderang. Mata kucingku segera menyesuaikan
diri, tapi aku tetap kesilauan. Cahaya itu berasal dari lampu sorot kecil tadi.
Chapman memutar kursinya dan menghadap lampu itu.
Cahayanya mulai berubah. Aku mulai melihat sosok dengan berbagai warna.
Empat kaki muncul. Disusul tubuh berbulu kebiruan. Tangan berjari banyak. Wajah
datar berkesan cerdas, tanpa mulut dan dengan celah-celah sebagai pengganti
hidung. Mata utama yang sipit dan menyorot tajam.
Selanjutnya menyusul mata-mata tambahan pada ujung tanduk-tanduk yang bisa
berputar untuk mengamati sekeliling. Dan yang terakhir adalah ekor yang
melengkung mengerikan, mirip ekor kalajengking.
Sosok Andalite. Tepat seperti pangeran Andalite yang memberi kami kemampuan
berubah wujud. Tapi aku tahu ini bukan Andalite sejati. Dan serta-merta aku dicekam perasaan
ngeri. Ini bukan Andalite sungguhan. Ini satu-satunya tubuh Andalite yang berhasil
dirampas dan diambil alih kaum Yeerk. Ini satu-satunya Pengendali-Andalite yang
ada di seluruh galaksi. Inilah Visser Three. Pemimpin pasukan Yeerk yang berniat menaklukkan Bumi.
Makhluk jahat yang bisa menjelma menjadi monster-monster dari seluruh pelosok
jagat raya. Inilah Visser Three, makhluk keji yang tega membunuh sang pangeran Andalite yang
sudah tak berdaya. Inilah Visser Three, makhluk bengis yang nyaris membunuh kami semua di neraka
kolam Yeerk. "Selamat datang, Visser," Chapman berkata dengan nada penuh hormat. "Iniss dua
dua enam dari kolam Sulp Niaar menundukkan kepala di hadapanmu. Semoga engkau
senantiasa diberkahi sinar Kandrona."
"Begitu pula kau, Iniss dua dua enam," Visser Three menyahut.
Aku terkejut karena bisa mendengar suara Visser Three. Tubuh Andalite yang
ditumpanginya tidak punya mulut. Kaum Andalite berkomunikasi melalui pikiran,
sama seperti aku saat sedang berubah wujud. Kejutan kedua adalah nama panggilan
itu. "Iniss dua dua enam." Itu pasti nama Yeerk yang menguasai Chapman.
Sementara itu, otak kucingku sibuk memikirkan pertanyaan lain. Apakah Visser
Three benar-benar hadir di sini" Hmm, rasanya sih tidak. Aku tidak mencium bau
apa pun. Sosok di hadapanku cuma permainan cahaya dan bayangan.
Aku tahu yang kuhadapi sebuah hologram. Tapi hologram itu sangat menyakinkan.
Visser Three tampak seperti aslinya. Ia memandang berkeliling seakan-akan bisa
melihat segi ruangan. Aku hanya bisa berharap ia tidak menatapku. "Laporanmu, Iniss."
"Baik, Visser."
Sebagian dari diriku ingin segera angkat kaki. Kehadiran Visser Three, walaupun
hanya dalam bentuk hologram, bisa membuat kita gemetaran ketakutan. Tapi setelah
tahu yang kuhadapi hanya bayangan, otak kucingku tak lagi menaruh perhatian
padanya. Aku mengerti kenapa aku bisa mendengar suara Visser Three - proyektor hologram
yang digunakan Chapman rupanya tidak mampu memancarkan pikiran. Karena itu pesan
Visser Three secara otomatis diterjemahkan menjadi ucapan biasa.
"Kau sudah berhasil melacak gerombolan bandit Andalite?"
"Belum, Visser. Sampai sekarang belum ada kemajuan."
Aku tahu siapa yang mereka maksud dengan "bandit Andalite". Kami, para anggota
Animorphs. "Mereka harus ditemukan. SECEPATNYA!"
Chapman tersentak kaget mendengar bentakan Visser. Aku bisa mencium bau
ketakutan yang menyebar dari tubuhnya.
Kemudian Visser Three melanjutkan dengan nada lebih tenang,
"Ini tidak bisa dibiarkan, Iniss dua dua enam, tidak bisa. Cepat atau lambat
kabar ini akan terdengar oleh Dewan Tiga Belas. Dan mereka akan bertanya-tanya
kenapa aku melaporkan semua pesawat Andalite di sekitar planet ini telah
dihancurkan dan semua Andalite telah tewas. Mereka akan curiga. Mereka akan
marah. Dan kalau Dewan Tiga Belas marah padaku, aku akan marah padamu."
Chapman tampak gemetaran. Aku mencium bau keringat manusia. Tapi kecuali itu ada
bau lain. Bau yang bukan bau manusia.
Samar-samar... mungkinkah aku sedang mencium bau Yeerk yang bercokol dalam
kepala Chapman" Ah, tidak mungkin deh. Hmm, bau apa itu" Aku memusatkan pikiran kucingku untuk
menganalisis bau tersebut.
"Apa itu?" Chapman memutar kursinya.
Aku menoleh dan membelalakkan mata. Chapman memandang tepat ke arahku. Lebih
gawat lagi, mata tambahan Visser Three juga terfokus pada diriku.
"Makhluk ini disebut kucing," Chapman berkata dengan gelisah. "Spesies ini biasa
dijadikan piaraan di Bumi. Kaum manusia suka kucing."
"Kenapa dia ada di sini?"
"Dia milik gadis itu. Putriku... ehm, putri induk semangku."
"Hmm, begitu," ujar Visser Three. "Ya sudah, bunuh saja. Sekarang juga."
Chapter 13 BUNUH saja. Sekarang juga.
Hampir saja aku kabur tunggang langgang. Hampir saja aku panik.
Tapi berkat kecerdikan kucing dan akal sehatku sendiri, aku bisa lolos dari
bahaya maut. Aku tidak bereaksi sama sekali. Andaikata aku bergerak, biarpun cuma sedikit,
nyawaku tentu langsung melayang. Itu sudah pasti. Kalau dari sikapku terlihat
aku memahami ucapan mereka,
Visser Three dan Chapman akan segera tahu aku bukan kucing biasa.
Hologram Visser Three mengamatiku dengan saksama.
Keempat mata Andalite-nya menatapku tanpa berkedip. Raut mukanya sih berkesan
lemah lembut, tapi aku tahu di baliknya tersembunyi makhluk Yeerk yang keji.
Chapman juga memandangku. Sorot matanya sama seperti ia memandang murid yang
tertangkap basah saat hendak membolos.
Aku - Rachel, maksudnya - benar-benar ngeri. Tapi Fluffer sama sekali tidak peduli.
Fluffer bisa merasakan kecemasan otak manusiaku, tapi ia sendiri tenang-tenang
saja. Tak ada burung pemangsa di sini. Tak ada anjing. Tak ada bau kucing
jagoan. Yang ada cuma bayangan tiga dimensi yang tidak menyebarkan bau. Dan
Chapman. Chapman mungkin mangsa, mungkin juga tidak, tapi yang jelas ia bukan
ancaman. "Barangkali dia salah satu Andalite," ujar Visser Three. "Cepat, hancurkan dia."
Aku menanggapinya dengan berkata, "Meong."
Visser Three mendelik. "Apa itu?"
"I-itu s-s-suara kucing, Visser. Kurasa dia lapar."
SAWWWAPP! Tiba-tiba, tanpa peringatan lebih dulu, Visser Three mengayunkan ekornya. Duri
melengkung sepanjang tiga puluh sentimeter menyambar ke arahku. Tak seorang pun
bisa lolos dari ekor yang melesat kencang itu.
Tapi aku bukan sekadar manusia.
Reaksiku lebih cepat daripada kedipan mata. Begitu aku melihat gerakan mendadak


Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, aku langsung tiarap sambil merapatkan telinga dan memperlihatkan taring.
Serta-merta aku mengayunkan cakar.
Cakarku menerobos hologram tersebut. Dan duri itu, yang tak lebih dari bayangan,
juga menembus diriku. "Ha, ha, ha." Aku sempat bingung sebelum mengenali suara itu. Ternyata Visser Three tertawa.
Chapman juga tampak bingung. Tampaknya ia belum pernah mendengar Visser Three
tertawa. Seolah tak pernah terbayang olehnya bahwa Visser Three bisa tertawa.
"Betapa galaknya makhluk mungil ini," kata Visser Three sambil mengangguk-
angguk. "Dia tidak mundur sedikit pun, apalagi lari! Aku jauh lebih besar, tapi
dia berani menyerangku. Sayang sekali spesies ini terlalu kecil untuk dijadikan
induk semang." "Ya, sayang," Chapman membeo.
"Bunuh dia," kata Visser Three. "Ini wujud terbaik yang bisa digunakan kaum
Andalite. Bunuh saja. Kita tidak boleh ambil risiko."
"Baik, Visser," sahut Chapman. "T-t-tapi..."
"Tapi apa?" Visser Three membentak.
"Makhluk ini milik putri induk semangku. Dia akan marah kalau aku membunuhnya.
Ini bisa menarik perhatian. Membunuh kucing dianggap perbuatan tercela.
Penyamaranku bisa terancam."
Visser Three tampak gusar karena perintahnya tidak ditaati. Namun ia tidak
pernah gegabah dalam mengambil keputusan. Ia merenung sejenak, sementara nyawaku
berada di ujung tanduk. "Penyamaranmu tidak boleh terbongkar. Kau tidak boleh menarik perhatian," Visser
Three akhirnya berkata. Aku merasa sudah saatnya aku berbuat sesuatu. Aku menghampiri Chapman dan
menggosok-gosokkan badan ke kakinya.
"Mau apa dia?" tanya Visser Three.
"Dia minta makan."
"Hmm, menarik. Dia galak. Punya cakar dan taring, tapi dia juga mampu
memanipulasi makhluk yang lebih besar. Hebat. Ya, biarkan dia hidup, untuk
sementara. Biarkan dia hidup sampai kita membereskan urusan anak perempuan itu."
Wajah Chapman tampak berkedut. "Anak perempuan itu" Tapi... Visser...
kesepakatan kita dengan manusia bernama Chapman..."
Visser Three menyeringai. "Hah, kesepakatan! Jangan konyol. Kita membuat
kesepakatan untuk menjaring induk semang sukarela. Kesepakatan hanya alat. Sama
seperti kau pun sekadar alat bagiku. Seandainya kau menyerahkan para bandit
Andalite padaku, aku tak perlu memikirkan kucing atau anak perempuan."
Chapman menundukkan kepala. "Aku akan menyerahkan mereka padamu."
"Sebaiknya begitu," sahut Visser Three dengan nada mengancam. Sesaat kemudian
bayangannya mulai berubah. Tubuh Andalite-nya seakan meleleh, dan sebagai
gantinya muncul monster yang lebih mengerikan daripada makhluk apa pun yang
pernah ada di Bumi. Kepala si Andalite hilang, digantikan semacam tabung besar dan panjang. Di ujung
tabung terdapat lubang berbentuk seperti mulut. Makhluk itu berwarna ungu dan
tubuhnya tembus cahaya, bahkan hampir tembus pandang. Tapi aku tidak tahu apakah
memang aslinya begitu, atau karena ini cuma hologramnya.
Visser mendekatkan mulut tabungnya ke kepala Chapman.
Ketika ia membuka mulut aku melihat ratusan, bahkan ribuan, pengisap kecil yang
masing-masing mengeluarkan cairan kental seperti lendir.
Kepala Chapman seakan-akan ditelan.
Chapman gemetaran dan menggigil ketakutan.
Suara Visser Three berkata, "Jangan lupa, Iniss dua dua enam. Aku yang
memberikan tubuh Chapman ini padamu. Kau kutempatkan di dalam kepalanya dan
kujadikan tangan kananku karena aku percaya padamu. Tapi kalau kau mengecewakan
aku, kau akan kuisap keluar lagi. Mau tahu bagaimana nasib mereka yang membuat
aku kecewa?" Tiba-tiba sebuah gambar melayang di udara, seperti film.
Hologram lagi. Hologram itu memperlihatkan seorang wanita menjerit-jerit
kesakitan karena kepalanya diisap-isap makhluk ungu.
Chapman mulai mengerang. "Oh, oh, jangan Visser. Ampun."
Makhluk ungu dalam film itu mendadak kejang-kejang. Dari telinga wanita tadi
muncul makhluk kelabu berlendir, mirip keong tanpa rumah. Makhluk itu tersedot
keluar dari kepala si wanita.
Si makhluk ungu menelan keong Yeerk itu bulat-bulat.
Lalu film itu berakhir. "Bagaimana, Iniss dua dua enam" Kau tentu tidak ingin bernasib seperti itu,
bukan?" Chapman cuma menggelengkan kepala. Matanya masih menatap film yang sudah lenyap
itu. Visser Three kembali ke wujud Andalite.
"Jangan kecewakan aku," ia berpesan dengan tegas.
Chapter 14 TIBA-TIBA bayangan Visser Three lenyap. Ruangan mendadak gelap lagi. Chapman
termenung di depan meja. Kedua tangannya menempel di pipi. Baru beberapa saat
kemudian ia bangkit dan membuka pintu. Kami berdua kembali menaiki tangga.
Mrs. Chapman sudah menunggu. "Apa perintah sang Visser?" ia bertanya dengan
suara sangat pelan. Wajah Chapman pucat pasi. Ia seperti baru melihat hantu. "Dia menuntut para
bandit Andalite segera ditangkap. Dia... dia berubah menjadi Vanarx. Menjadi
Yeerkbane." Chapman juga berbisik-bisik.
Ia melirik ke arah tangga. Mungkin ia kuatir percakapan mereka terdengar oleh
Melissa. Mrs. Chapman gemetaran. "Aku memang pernah dengar dia bisa berubah menjadi
Vanarx. Tapi kupikir itu cuma cerita untuk menakut-nakuti bawahannya."
"Dia memperlihatkan... dia memperlihatkan bagaimana dia menghancurkan Iniss satu
tujuh empat." Mrs. Chapman membelalakkan mata. "Dia menggunakan Vanarx untuk menghukum Iniss
dari abad kedua?" "Brengsek," Chapman mengumpat. "Moga-moga Dewan Tiga Belas segera tahu bagaimana
Visser Three menangani planet ini. Moga-moga mereka merampas tubuh Andalite-nya
dan membuangnya ke kolam terpencil di planet asal kita."
"Jangan berkata begitu," Mrs. Chapman menanggapinya dengan serius. "Jauh sebelum
Visser Three kehilangan kekuasaan, kau pasti sudah dihukum olehnya karena gagal
melaksanakan tugas."
Telingaku lebih dulu menangkap bunyi itu daripada suami-istri Chapman. Ada
sesuatu yang bergerak. Langkah kaki manusia. Aku mengarahkan telinga ke tangga.
"Mom" Dad" Aku perlu bantuan untuk mengerjakan soal matematika ini."
Ternyata Melissa. Ia berhenti di tengah tangga dan menatap orangtuanya penuh
harap. "Kami lagi sibuk, Melissa," Chapman berkata dengan ketus.
"Lagi pula, Sayang, kau harus berusaha menyelesaikan sendiri tugas-tugasmu.
Begitulah caranya belajar," Mrs. Chapman menambahkan. "Kalau setelah dicoba
belum bisa juga, nanti ayahmu akan membantu."
Melissa tampak kecewa. Ia memaksakan senyum, namun senyumnya hambar, tanpa
keceriaan sedikit pun. "Oke, Mom. Tapi soal akar kuadrat ini sulit sekali."
Mrs. Chapman tersenyum. Lagi-lagi senyum hambar. "Akar kuadrat memang
merepotkan. Tapi kau pasti bisa."
"Nanti Dad ke atas, sebelum kau tidur," kata Mr. Chapman.
Chapman dan istrinya mengucapkan kata-kata bujukan itu dengan nada datar, tanpa
kasih sayang. Ini betul-betul mengerikan. Sekarang aku bisa membayangkan betapa besar
penderitaan Melissa. Dan tahu-tahu aku sudah mengejar Melissa yang bergegas menaiki tangga. Ketika
aku sampai di kamarnya, Melissa sedang duduk di tempat tidur sambil terisak-
isak.

terperangkap di ruang bawah tanah.>

Cassie, Jake, dan Marco berusaha menangkapnya lagi, tapi kau tahu sendiri
seperti apa kucing itu.>
Melissa merebahkan diri di tempat tidur. Ia menutupi kepalanya dengan bantal dan
menangis tersedu-sedu. sahutku.

kukerjakan.> Aku menuju ke tempat tidur Melissa. Karena tubuhku kecil, tepi tempat tidur itu
tampak seperti dinding gedung bertingkat dua. Aku menekuk kaki belakang, siap
mengambil ancang-ancang. Kemudian aku melompat ke atas tempat tidur.
Aku menghampiri Melissa dan mengendus-endus rambutnya yang menyembul dari bawah
bantal. Tiba-tiba terdengar bunyi yang membuatku teringat pada ibuku.
Aku jadi teringat pada kedua ibuku; ibuku sendiri dan ibu kucing yang dulu
menjilat-jilat buluku. Bunyi itu kukenali sebagai bunyi mendengkur.
Aku yang mendengkur. Melissa merangkulku dan menarikku mendekat. Sentuhannya membuatku agak gelisah.
Fluffer tidak suka dipeluk-peluk, dan nalurinya mendorongku untuk segera pergi.
Tapi Melissa mulai menggaruk-garuk tengkuk dan belakang telingaku. Aku
mendengkur semakin keras dan memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama.
"Aku tidak tahu apa salahku," ujar Melissa.
Aku sempat tersentak kaget ketika ia mulai bicara denganku.
Apakah ia tahu rahasiaku" Apakah ia tahu siapa aku sesungguhnya"
Hmm, kurasa tidak. Ia cuma anak perempuan yang berbicara kepada kucingnya.
"Aku tidak tahu apa salahku," Melissa mengulangi. "Tolong beritahu aku, Fluffer
McKitty. Apa salahku?"


Dia minta aku menyuruhmu keluar.>

Aku telah berhenti mendengkur. Mungkin karena sibuk berdebat dengan Tobias. Kini
aku mulai lagi. Aku berharap bisa meringankan beban Melissa dengan cara itu.
Ia masih menangis. Dan masih menggaruk-garuk belakang telingaku.
"Apa salahku, Fluffer?" ia kembali bertanya. "Kenapa aku tidak disayang lagi?"
Hatiku serasa diiris-iris mendengar pertanyaan itu. Soalnya aku mendadak
mengerti kenapa Melissa menjauhiku. Sekarang aku sadar kenapa ia menutup diri.
Dan betapa tipis harapan yang dimilikinya.
Lain kali kalau Marco bertanya kenapa kami harus melawan kaum Yeerk, aku sudah
punya jawaban baru untuknya. Karena kaum Yeerk menghancurkan cinta kasih
orangtua untuk putri mereka.
Karena makhluk-makhluk jahanam itu menyebabkan Melissa Chapman menangis di
tempat tidur, tanpa ada yang menghiburnya selain seekor kucing.
Aku tahu jawabanku tidak kedengaran gagah. Tidak seperti melindungi umat
manusia, misalnya. Aku tahu jawabanku cuma menyangkut satu anak perempuan saja.
Seorang temanku yang kini menderita karena tanpa sadar telah kehilangan
orangtuanya. ada tugas yang harus kaukerjakan. Kau ada di situ bukan untuk...>
sahutku gusar. keluar. Tapi nanti.> Aku mendengkur senyaring mungkin. Melissa menangis. Aku membayangkan anak-anak
yang telah kehilangan orangtua akibat ulah kaum Yeerk. Dan juga para orangtua
yang kehilangan anak-anak mereka.
Huh, betapa mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanku
seandainya aku tak lagi disayangi Mom dan Dad.
Setelah beberapa saat Melissa tertidur. Aku keluar dari kamarnya dan turun
tangga, menuju ke pintu kucing.
Udara di luar cukup dingin. Teman-temanku sudah menunggu.
Mereka agak kesal karena aku telah membuat mereka menunggu dalam kecemasan.
"Waktumu tinggal sepuluh menit, Rachel," kata Jake. "Mudah-mudahan kau mendapat
hasil sepadan dengan risiko yang kauambil. Bagaimana, ada informasi berguna
untuk kita?" Three. Visser Three mendesaknya untuk segera menangkap kita. Sampai Sekarang dia
masih menyangka kita prajurit Andalite. Selain itu, aku juga telah memutuskan
sesuatu.> "Apa itu?" Cassie bertanya.
Aku tidak peduli apa yang terjadi denganku. Aku benci kaum Yeerk. Aku benci
mereka. Aku benci mereka. Dan aku akan menemukan cara untuk menghentikan
mereka.> Chapter 15 MALAM itu dan juga keesokan paginya, aku sibuk membuat PR, tapi hanya setengah
yang berhasil kuselesaikan. Waktu pelajaran matematika, aku mendapat nilai "C".
Sudah lama aku tak mendapat nilai "sejelek" ini. Nilai-nilaiku di sekolah
semakin hancur karena aku sibuk mencoba menyelamatkan dunia. Atau paling tidak,
menyelamatkan seorang teman lama.
Kini aku tahu apa yang telah terjadi. Kini aku tahu kenapa Melissa dan aku tak
lagi berteman, kenapa kami tak lagi seakrab dulu.
Hidupnya mendadak berantakan. Orangtuanya tak lagi sayang padanya. Mereka memang
bersikap seakan tidak ada apa-apa, namun Melissa sadar mereka cuma berpura-pura.
Setiap kali aku teringat, hatiku serasa terbakar. Aku bisa membayangkan
bagaimana perasaannya. Ketika orangtuaku bercerai, aku sempat takut itu berarti
mereka tak lagi sayang padaku.
Aku keliru. Mereka tetap sayang padaku. Aku sekarang lebih jarang bertemu Dad,
tapi aku tahu ia sayang padaku. Ibuku sayang padaku. Bahkan adik-adikku pun
sayang padaku. Kasih sayang sangat penting, karena membuat kita kuat.
Jake muncul di sampingku ketika aku keluar dari ruang kelas, seusai pelajaran
matematika. "Nanti ada pertemuan, oke?"
"Beres. Di mana?"
"Di menara gereja, tempat yang sama seperti waktu itu."
"Oke. Tapi jalan ke sana lumayan jauh."
Ia berputar untuk menghadapku, dan berjalan mundur sambil nyengir lebar. "Kenapa
mesti jalan?" ujarnya. Lalu ia berbalik dan berlari menyusuri koridor.
Dua jam kemudian aku sudah siap-siap terbang. Tapi asal tahu saja: mengudara
sebagai elang bukan pekerjaan mudah. Kita benar-benar harus memeras tenaga.
Mudah-mudahan saja tubuh manusiaku ikut memperoleh manfaat dari kerja keras yang
harus kulakukan. Begitu lepas landas, aku mulai bisa memanfaatkan tiupan angin untuk menambah
ketinggian. Sayangnya, angin di dekat permukaan tanah terlalu pelan. Baru
setelah berada di atas pepohonan dan gedung-gedung sekolah, aku mendapatkan
angin yang cukup kencang untuk mendorongku ke atas.
Ketika aku akhirnya cukup tinggi, aku melihat Tobias. Bulu ekornya yang merah
tampak mencolok. ujarku setelah cukup dekat.


Aspalnya, mobil-mobil yang diparkir, gedungnya, semuanya panas. Jadi hampir
selalu ada angin termal.>
ujarku sambil melamun.
Tobias membenarkan. Misalnya duduk di sofa dengan sekaleng soda dan sekantong keripik sambil nonton
film bagus di TV. Apalagi kalau besoknya libur. Itu juga asyik.>
Ia tidak bermaksud menyesali diri. Kata-katanya memang benar kok.
sudah mulai berubah lagi.>
ajak Tobias.
Sepuluh menit kemudian aku telah kembali menjelma sebagai manusia.
"Kalian tahu, apa yang perlu kita pikirkan?" tanya Marco. "Kita perlu mengatur
baju yang kita pakai waktu kita berubah. Coba lihat, Cassie pakai celana hijau
dan baju ungu, dan Jake pakai celana balap sepeda, dan Rachel seperti biasa
tampil gaya dengan celana ketat hitamnya. Kombinasinya kacau-balau."
"Terus, apa maumu?" Jake balik bertanya. "Memangnya kita harus pakai baju biru
dengan angka empat di dada" Biar jadi Fantastic Four?"
Tobias menimpali.


Animorphs - 2 Aksi Penyelamatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan," balas Marco. "Jangan Fantastic Four. Aku cenderung memilih kelompok X-
Men. Baju kita tidak perlu seragam, yang penting gaya. Kalau ada yang melihat
kita sekarang ini, mana ada yang bilang, 'Wow, hebat lho. Mereka superhero.'
Malah mereka akan bilang, 'Mereka norak banget sih.'"
"Marco," kataku, "sebaiknya kau jangan berkhayal terus. Kita bukan superhero.
Ini bukan cerita komik."
"Ya, tapi justru itu yang kuharapkan. Soalnya pahlawan buku komik tidak pernah
mati. Oke, Superman memang sempat mati, tapi kan cuma sementara."
"Kalian sudah selesai berdebat?" tanya Jake. "Kita kemari untuk membahas urusan
penting." "Apa salahnya pakai celana hijau dan baju ungu?" tanya Cassie pada Marco.
"Itu pantangan nomor satu di dunia mode," sahut Marco.
"Kau langganan majalah Gadis, ya?" aku menggodanya.
Jake segera membekap mulut Marco. "Hei, teman-teman. Kita harus memutuskan
langkah selanjutnya lho."
Marco melepaskan tangan Jake. "Aku akan memutuskan apa yang bukan langkah
selanjutnya. Seharusnya aku lebih sering menemani ayahku. Kalian kan tahu, dia
masih terpukul karena ibuku..."
Marco selalu terbata-bata kalau menyinggung soal ibunya. Sikap awalnya sih gagah
perkasa, tapi akhirnya ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Dua tahun
telah berlalu sejak ibunya hilang. Menurut catatan resmi, ibunya tenggelam di
laut, tapi enazahnya tak pernah ditemukan. Hidup ayah Marco langsung kacau-
balau. Dan inilah alasan utama Marco enggan menjadi anggota Animorphs. Ia takut
ayahnya semakin merana kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya.
Jake kelihatannya mulai tidak sabar. Aku pun merasa Marco perlu membuka mata dan
menghadapi kenyataan. Tapi Cassie menggamit lengan Marco. "Jangan sampai waktumu bersama ayahmu
tersita habis urusan ini," ia berkata serius.
"Dia membutuhkanmu. Kami juga membutuhkanmu, Marco, tapi ayahmu lebih penting."
Ia menatap Jake, lalu aku. "Apa yang kita lakukan ini tak banyak gunanya kalau
kita lupa alasan kita melakukannya."
Aku teringat Melissa. Aku teringat orangtuaku. Aku bersyukur aku memiliki
mereka, walaupun mereka kadang-kadang membuatku jengkel.
"Cassie benar, Marco. Kalau kau pulang nanti, katakan pada ayahmu bahwa kau
sayang padanya," kataku tanpa pikir panjang. Aku sendiri sampai kaget. Tidak
biasanya aku begitu sentimental.
"Terima kasih, Dokter Rachel," sahut Marco.
Ucapannya sinis, tapi aku tahu ia memahami maksudku. Sikap Marco mendadak
berubah. Penuh semangat ia menggosok-gosok tangan. "Oke, sudah waktunya kita
serius. Cara apa yang kita pilih untuk bunuh diri kali ini" Berubah jadi lalat
di tengah pertemuan kodok" Atau menjelma sebagai ayam kalkun pada perayaan
Thanksgiving?" "Aku mau ke sana lagi," ujarku. "Ke rumah Chapman."
"Untuk apa?" tanya Jake. "Informasi yang kita dapat sudah cukup. Kita..."
"Kita belum tahu lokasi Kandrona," aku memotong. "Itulah sasaran kita
sebenarnya. Si Andalite sempat memberitahu Tobias bahwa Kandrona merupakan titik
lemah kaum Yeerk. Kandrona memancarkan sinar yang selanjutnya dikumpulkan di
dalam kolam-kolam Yeerk. Kalau kita bisa menghancurkan Kandrona, berarti kita
telah memberikan pukulan telak."
Marco mengerutkan kening. "Sori, Rachel, tapi sebenarnya apa sih Kandrona itu"
Kita memang sudah tahu fungsinya, tapi bagaimana bentuknya" Dan besarnya"
Jangan-jangan Kandrona cuma sebesar korek api dan selalu disimpan kantong Visser
Three." Tobias
angkat bicara. "Oke, oke," Marco berkata tidak sabar. "Masalahnya, bagaimana mungkin kita
menghancurkan sesuatu, padahal kita tidak tahu apa-apa tentang benda itu?"
"Justru karena itu aku harus mendekati Chapman lagi," ujarku.
"Dia bisa berkomunikasi dengan Visser Three. Dan mereka berdua tahu lokasi
Kandrona. Barangkali aku bisa mendapat petunjuk baru."
Semua memandang ke arahku. Marco menatapku seakan-akan aku sudah gila. Jake
mengerutkan kening. Cassie tampak cemas. Tobias pun menatapku dengan mata
elangnya yang menusuk. lain"> ia bertanya padaku.
Hanya aku yang bisa mendengar pertanyaannya.
"Sebaiknya kau jangan sendirian ke sana," ujar Jake.
"Tapi siapa yang mau ikut denganku?" tanyaku. "Masa ada dua kucing mondar-mandir
Si Dungu 4 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pemberontakan Subandria 1
^