Pencarian

Kuman Pengacau Rachel 1

Animorphs - 12 Kuman Pengacau Rachel Bagian 1


K.A. Applegate Kuman Pengacau Rachel (Animorphs # 12) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Rachel. Aku tidak akan memberitahu kalian nama keluargaku atau asalku.
Ini yang bisa kukatakan pada kalian tentang diriku sendiri: Ukuran tubuhku
tergolong tinggi bagi remaja seusiaku. Mungkin bahkan bagi usia berapa pun.
Rambutku pirang. Aku suka senam, belanja, dan berkelahi dengan orang jahat.
Urutan prioritasnya bisa berbeda.
Orang bilang aku cantik, dan kurasa aku lumayan. Orang bilang aku percaya diri,
dan aku tahu itu benar. Sahabat-sahabatku berpendapat aku tak punya rasa takut.
Mereka salah dalam hal ini. Orang yang tak punya rasa takut adalah orang gila.
Aku sering merasa takut. Kadang aku merasa takut sejak saat bangun pagi sampai
mimpi buruk terakhirku pada malam hari.
Kunci rasa takut adalah kita tak boleh takut padanya.
Aku tahu kedengarannya membingungkan. Kurasa maksudku adalah, takutlah kalau
memang harus takut, ya kan" Rasa takut seperti cacing kecil rakus yang hidup
dalam diri kita dan menggerogoti kita hidup-hidup.
Kita harus melawannya. Kita harus mengetahui keberadaannya. Kita harus menerima
kenyataan tidak akan pernah bisa memusnahkannya, tapi tetap melawannya.
Berani bukan berarti tidak takut. Berani berarti kita ketakutan setengah mati
dan tetap tidak menyerah.
Hanya itu yang kami semua lakukan. Kami para Animorph. Kami hanya mencoba tidak
menyerah. Dan di tengah semua itu, di tengah semua bahaya dan pengkhianatan dan ketakutan,
kami mencoba mempertahankan yang normal dan baik. Harus menyelesaikan PR. Harus
siap tes mendadak. Harus tetap mendengarkan musik dan nonton TV dan mungkin nonton bioskop.
Kalian tahu maksudku" Kalau hidup dalam dunia gila, kita harus mempertahankan
hal-hal kecil. Kami semua berenam. Lima manusia, satu tidak-terlalu-manusia. Ada aku; ada Jake,
sepupuku yang lebih bertanggung jawab; Marco, si pengganggu; Cassie, sobat
sejatiku selamanya; Tobias, korban pertama di antara kami, terjebak selamanya
dalam tubuh seekor elang; dan Ax, satu-satunya Andalite yang selamat dalam misi
ke Bumi. Semua dimulai dengan jalan-jalan biasa melalui sebuah lokasi bangunan
terbengkalai pada suatu malam.
Kami berlima, tanpa Ax, asyik dengan diri sendiri, sedang berjalan pulang dari
mall. Tidak ada yang berpikir, Hei, ayo kita melibatkan diri dalam perang antar
bintang. Aku hanya ingin pulang, melakukan semua hal yang normal. Mungkin nonton TV.
Menjelajahi Internet. Mendengarkan CD favorit Mengerjakan PR. Apa pun. Hal-hal
normal. Tapi Andalite Fighter yang rusak itu mendarat tepat di depan kami, dan sejak
saat itu, tidak ada lagi yang normal.
Kita tidak sendirian di jagat raya ini. Ada miliaran bintang dan miliaran
planet. Dan di beberapa planet itu muncul kehidupan seperti di Bumi tercinta.
Di beberapa planet, kehidupan super cerdas berkembang. Seperti juga Homo Sapiens
- manusia - berkembang di sini.
Di bintang-bintang di angkasa luar, ada ras seperti Ellimist yang begitu maju
hingga membuat manusia tampak sebodoh sapi.
Lalu ada ras seperti Andalite, lebih maju daripada kita. Kalian tahu: seperti
murid SMP lebih maju daripada murid SD. Tapi tetap berada dalam zona kenyataan
yang sama. Dan ada ras seperti Hork-Bajir, mesin pembunuh ampuh yang menurut semua orang
dulunya agak baik. Dan seperti Taxxon... yah, kami bisa bilang apa tentang Taxxon" Lipan kanibal
raksasa. Bukan pahlawan galaksi. Bukan makhluk baik.
Dan kemudian ada Yeerk. Bangsa Yeerk, yang memperbudak Hork-Bajir. Bangsa Yeerk,
yang membuat perjanjian iblis dengan Taxxon. Bangsa Yeerk, yang menyebar ke
seluruh galaksi seperti virus, menyerang ras demi ras, memperbudak,
menghancurkan. Mereka parasit. Sebenarnya hanya lendir kelabu. Saat dalam wujud asli, mereka
dengan mudah bisa diinjak dan diremukkan seperti siput tanpa cangkangnya.
Tapi Yeerk punya kemampuan menyusupi spesies lain. Merayap dan menggeleser
masuk, serta menggeliat di dalam kepala mereka. Mereka memipihkan tubuh dan
membungkus otak, menyusup ke dalam setiap relung.
Mereka melekatkan diri ke otak. Mereka menguasai otak dan memperbudak sang
makhluk malang, menjadikannya Pengendali.
Mereka melakukannya pada Hork-Bajir dan Gedd serta Taxxon. Semua Hork-Bajir dan
Taxxon serta Gedd merupakan Pengendali.
Mereka bahkan telah melakukannya pada satu Andalite. Tapi hanya satu. Untungnya.
Dan mereka sedang melakukannya pada manusia. Ratusan, ribuan, mungkin bahkan
jutaan manusia. Beberapa Pengendali disusupi dengan paksa. Yang lain, percaya atau tidak,
menjadi Pengendali dengan sukarela.
Hal itu yang selalu membuatku sangat marah. Siapa pun bisa kalah dalam
pertempuran. Tapi sengaja menyerah" Menjadi pengkhianat" Benar-benar memuakkan.
Yeerk punya organisasi terselubung bernama The Sharing. Maunya sih semacam
kelompok Pramuka, tapi keanggotaannya terbuka bagi cewek sekaligus cowok, dan
orang dewasa sekaligus anak-anak. Seolah untuk kegiatan keluarga. Kalian tahu:
piknik dan penjelajahan alam, dan semuanya merupakan satu keluarga besar yang
bahagia. Hanya saja kenyataannya The Sharing dikendalikan oleh Yeerk. Mereka
menggunakannya untuk mempelajari masyarakat manusia. Mereka menggunakannya untuk
merekrut anggota baru. Aku dulu selalu ingin tahu apa yang mereka katakan hingga orang-orang setuju
menjadi Pengendali. Sekarang aku tahu.
Setidaknya aku tahu apa yang bisa membuat seseorang mengkhianati seluruh
planetnya. Kurasa ia juga mengkhianatiku. Bisa dibilang begitu. Bukan berarti ia
mengenalku. Mungkin ada sejuta cewek seperti aku yang ngebet padanya.
Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Rachel tergila-gila pada cowok" Rachel" Yang
dijuluki Xena: Warrior Princess oleh Marco"
Yah, aku bisa bilang apa" Memang ia kece kok! Dan itu pengaruh yang sangat kuat.
Dan ia yang terimut dari semua cowok keren berlesung pipi.
Sayang aku harus melakukan apa yang telah kulakukan padanya. Bukan hanya dia,
aku juga terluka. Yah... mungkin tidak separah dia.
Tapi kita akan sampai di bagian mengerikan itu nanti. Aku akan mulai dari awal.
Anehnya, semua bermula dari kebun binatang.
Chapter 2 "PENELITIAN LAPANGAN." Dua kata terindah dalam kamusku. Kelas kami akan pergi ke
kebun binatang di The Gardens.
Memang, aku sudah pernah ke sana. Dan ya, ibu Cassie dokter hewan kepala di
sana, hingga aku bisa masuk kapan saja aku mau.
Tapi siapa peduli" Penelitian lapangan mana pun lebih baik daripada duduk di
balik meja, memusatkan perhatian pada sebuah papan tulis.
Ya kan" Maksudku, waktu aku lebih muda, kami melakukan penelitian lapangan ke
sebuah pabrik yang membuat roti dan cokelat.
Mereka bahkan tidak memberi kami oleh-oleh cokelat, tapi apa aku peduli"
Tidak. Karena berada di luar kelas, berjalan-jalan, melihat hal baru, selalu
lebih baik daripada duduk di meja-kursi yang keras.
Cassie tidak sependapat. "Mom akan memberikan presentasi singkat tentang spesies yang terancam
kepunahan," kata Cassie saat kami berjalan bersama rombongan sekelas. "Sebuah
presentasi. Untuk kita."
Kami berada di dalam area luas yang tertutup. Seperti kubah kaca raksasa di atas
berbagai habitat. Kami berjalan menuruni jalan setapak berbelok-belok di antara
macan tutul dan kura-kura serta komodo dan piton - semua binatang yang tidak boleh
terkena udara dingin. Aku menikmati semuanya sambil menyedot minuman Mountain Dew. Dan mengamati cowok
keren yang ada di sana. "Untuk apa sih mereka memamerkan piton?" tanyaku pada Cassie. "Binatang itu
bisanya hanya berbaring di sana. Ular itu mungkin palsu. Mungkin dari plastik.
Nah, kalau macan tutul sih boleh-boleh saja. Mereka mondar-mandir. Mereka tampak
buas. Tapi piton?" "Mom pikir dia harus membawakannya dengan menarik," kata Cassie, masih
mengkhawatirkan presentasi ibunya. "Berbahaya kalau Mom berpikir begitu. Begini,
dipikirnya dia harus bersikap seperti anak muda. Dia akan memakai istilah-
istilah konyol 'The Fudgies, atau 'Snoopy Diggity Dog, atau 'Boys Eleven Men,
atau 'Nice Is Neat.'"
Aku terbahak, cairan Mountain Dew menyembur dari lubang hidungku. "Oke, aku tahu
The Fugees, Snoop Doggy Dogg, dan Boyz II Men. Tapi apa Nice Is Neat?"
Cassie kelihatan bersalah. "NIN. Kau tahu, Nine Inch Nails" Waktu itu aku ingin
beli CD barunya tapi kantongku lagi kempes, jadi kubilang pada Mom, NIN
singkatan Nice Is Neat."
Kucengkeram lengan Cassie dan kubalikkan tubuhnya. "Tidak mungkin. Kau berbuat
begitu" Kedengarannya seperti ide Marco."
Cassie cepat-cepat menunduk. Lalu ia mulai tertawa. "Oke, itu memang ide Marco.
Katanya, "Orangtua mana yang akan menolak grup rock bernama Nice Is Neat"
Begini, Marco ingin aku membeli CD-nya supaya bisa dia rekam di kaset... Yang
jelas, rencananya berhasil."
"Cassie, Cassie, Cassie. Kalau kau mulai menuruti saran Marco, berarti akhir
zaman sudah dekat. Lagi pula, kau dan Nine Inch Nails" Apa kau suka band itu?"
Cassie meringis. "Sebenarnya lagu-lagu mereka agak berkesan tertekan dan suram
dan keras. Meskipun cocok untuk perasaanku hari ini." Ia menggeleng, kembali
cemas. "Aku tahu Mom akan menyebut-nyebutnya. Dia akan bilang, 'Menyelamatkan
spesies yang terancam kepunahan adalah tindakan keren - seperti mendengarkan Nice
Is Neat.' Wah, aku harus pindah sekolah nih. Aku harus pindah ke kota lain."
Ia meraih Mountain Dew-ku dan minum seteguk. "Kenapa, Rachel" Kenapa" Ada begitu
banyak tempat yang bisa kita jadikan objek penelitian lapangan. Kenapa kita
harus mengunjungi tempat kerja Mom?"
Kami bersandar di pagar di atas kandang buaya. Sekitar separo kelas telah lebih
dulu di depan. Sekitar separo lagi masih di belakang kami. Dan sekarang kami
berada di tengah kelas anak TK yang berceloteh ribut, semua memakai label nama.
"Aku tidak tahu," kataku pada Cassie. "Kau saja yang sedang sial, aku..."
Tepat di depanku, tak sampai tiga meter, ada seorang bocah laki-laki bodoh yang
sedang memanjat pagar kandang buaya. "Hei! Hei! Turun dari sana, kau..."
Tiba-tiba tubuhnya hilang. Jatuh ke balik pagar. Ke dalam kandang buaya
Chapter 3 "AAAAAHHHHH!" Bocah laki-laki itu menjerit dan tiba-tiba semua diam. Lalu, sedetik kemudian,
semua berteriak-teriak. Aku, Cassie, para orang dewasa, guru, dan sukarelawan
orangtua kelompok TK. "Tolong! Tolong!"
"Dia jatuh!" "Aku tidak bisa mencegahnya!"
"Aku bahkan tidak lihat!"
"Tyler! Tyler! Kau tak apa-apa?"
Cassie menarik lenganku supaya aku memandangnya. Ia menatap mataku, memastikan
aku mendengarnya. "Aku akan cari bantuan. Aku akan segera kembali. Jangan
bertindak bodoh, Rachel. Jangan!" Ia lalu melesat pergi.
Aku mencondongkan tubuh di atas pagar, jauh ke dalam. Semua saling dorong ingin
melihat bocah bernama Tyler itu. Tapi tidak ada yang bisa melihatnya. Tubuhnya
jatuh lurus ke bawah dan menggelinding ke dalam ceruk dangkal di bagian bawah
dinding. Di tengah habitat buaya itu ada semacam pulau. Di sekitarnya ada sejenis kali
dangkal atau anak sungai atau apa pun sebutannya.
Tepat di bawahku, di dasar dinding, terdapat area kering lainnya. Kurasa di
sanalah kawanan buaya itu berada saat mereka tidak ingin dijadikan tontonan para
pengunjung. Ada enam buaya dalam kandang itu. Keenamnya sedang berbaring tenang di pulau,
dikelilingi air. Mereka semua sedang tidur.
Mereka sama diam dan membosankannya seperti piton yang sedang tidur.
Tapi sekarang aku melihat sebelah mata seekor buaya terbuka. Mata besar berwarna
cokelat dengan celah hitam sebagai bola mata. Mata yang licik dan kejam. Kalau
buaya itu bergerak untuk memangsa si bocah, semua akan sudah berakhir jauh
sebelum bantuan datang. Seekor buaya lain membuka mata dan memutar kepala ke arah bocah itu.
"Oh, man," erangku. Aku menarik napas panjang. Aku tidak punya morf yang bisa
menghadapi buaya sepanjang empat setengahmeter. Morf beruang grizzly-ku tidak
bisa. Mungkin bahkan morf gajahku juga tidak bisa. Dan sekalipun untuk
menyelamatkan nyawa, aku tidak bisa berubah wujud di depan publik.
Berarti tinggal dua pilihan. Tidak melakukan apa-apa, dan membiarkan buaya itu
melukai si bocah. Atau melakukan sesuatu yang sangat bodoh.
Aku memilih bodoh. "Lihat! Di sana!" teriakku sekeras mungkin, menuding-nuding ke satu arah.
Semua kepala menoleh. Aku melompat ke atas pagar, mengatur keseimbangan seperti
layaknya seorang pesenam amatir, lalu meloncat ke dahan pohon palsu terbuat dari
beton yang menggantung di atas kandang.
Kuraih dahan itu. Persis seperti palang bertingkat yang tak rata, hanya saja
dahan buatan itu mengoyak telapak tanganku.
Aku berayun, lalu melompat ke dahan yang lebih rendah. Lengan kananku tergesek
berdarah, tapi aku berhasil menangkap dahan itu, menghentikan gerakan turun
tubuhku, dan menjatuhkan diri setinggi tiga meter ke atas lantai kandang buaya.
"Oh, Tuhan! Gadis itu juga jatuh!"
"Tidak, dia mencoba menyelamatkan anak itu!"
"Jangan bodoh!" teriak seseorang.
Terlambat, pikirku nekat. Aku berdiri di atas pasir. Bocah laki-laki itu ada di
belakangku, terlindung dari pandangan. Sungai selebar dua meter memisahkanku dan
si bocah dari keenam buaya itu. Kini mereka semua terjaga. Tertarik. Tidak yakin
apakah mereka sebaiknya mendekat dan memakan kami atau tidak.
Dan saat itulah aku melihat alasan keraguan mereka.
Begini, bukan enam buaya yang ada dalam kandang itu. Ada tujuh. Yang ketujuh
berbaring hanya sejauh beberapa sentimeter dari kami. Dan ukurannya besar. Cukup
besar hingga jika monster raksasa ini tidak mau membagi mangsanya, buaya yang
lain tidak akan coba-coba mendekat.
Ukurannya raksasa. Benar-benar besar. "Buaya baik," bisikku.
Ia menatapku dengan mata cokelat kekuningan yang hampir berkesan sedang tertawa.
Tentu saja ia tertawa. Ia kira hanya ada satu manusia yang bisa dilahapnya. Sekarang ada dua.
Lalu ia menyerbu. Kita tidak akan mengira sesuatu sebesar itu, dengan kaki pendek gemuk, dapat
bergerak secepat itu. Tapi ia menyerbu kami secepat kilat! Langsung ke arahku!
Aku melompat tinggi ketika moncong mengerikan itu berusaha menggigitku. Aku
mendarat di punggung buaya, terguling, kemudian jatuh-bangun merayap kembali ke
atas tubuhnya. Ekornya memecut seperti cambuk. Tubuhnya meronta-ronta keras, mencoba
melontarkanku. Rahang raksasanya yang menganga lebar menjulur ke belakang,
menantangku masuk jangkauan giginya yang tajam bergerigi.
Aku punya satu harapan kecil. Hanya satu. Kurangkul punggungnya yang kasar
bersisik, dan kutempelkan telapak tangan di tubuhnya serta kupusatkan pikiran
dengan sekuat tenaga. Aku mulai menyadap buaya itu. Sebelum ia dapat "menyadap" aku.
Chapter 4 "MENYADAP" Itulah istilahnya saat kami menyerap DNA makhluk lain.
Kusadap buaya itu, menyerap DNA-nya ke dalam sistemku sendiri, menjadikannya
bagian diriku. Dan, seperti yang biasa terjadi saat proses penyadapan, binatang
itu jadi tenang dan diam.
Ekor buaya berhenti melibas-libas. Binatang itu berhenti mencoba melontarkanku.
Tapi kepalanya berputar dan sebelah matanya membeliak ke arahku dengan sorot


Animorphs - 12 Kuman Pengacau Rachel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bengis. Dan aku tahu ketenangan itu takkan berlangsung lama.
Tapi ada lagi yang terjadi pada saat bersamaan. Untuk pertama kali, perutku
terasa mual saat aku menyadap buaya itu. Mual, seolah aku telah menelan susu,
atau sesuatu, yang sudah basi. Dan pada saat bersamaan, aku merasa sekujur
kulitku disengat rasa hangat.
Tapi saat itu perut dan saraf yang jungkir-balik hanyalah masalah kecil bagiku.
Aku berguling turun dari atas punggung buaya ke dalam ceruk di sebelah bocah
itu. Di dahinya ada sayatan berdarah. Ia tak sadarkan diri, tapi mulai bergerak-
gerak dan mengerang. Dalam beberapa detik, ketenangan buaya itu akan hilang dan hewan besar itu akan
kembali sadar. Gigi depannya hanya tiga puluh sentimeter dari tubuh si bocah.
Di atas terdengar teriakan dan jeritan. Orang berlarian mendekat membawa
bantuan. Tapi mereka tidak akan datang tepat pada waktunya. Mereka bahkan tidak
dapat melihat kami dalam perlindungan ceruk.
"Oke, Rachel," bisikku. "Pusatkan perhatian. Lakukan cepat!"
Kurasakan perubahan mulai terjadi. Dan aku melihatnya terjadi. Aku melihat kulit
lenganku berubah jadi hijau kekuningan, lalu lebih gelap, hampir hijau-hitam.
Kulitku mulai pecah. Kalian tahu dasar danau yang kering" Di mana lumpurnya retak dan membentuk
bercak-bercak besar" Seperti itulah kulitku. Pola retakan menyebar di sepanjang
lenganku dan di sekujur punggungku.
Terasa kulit punggungku mengeras dan kering. Di bagian dada lebih halus, tapi
tetap kaku. Tidak terasa sakit - berubah wujud tidak pernah benar-benar
menyakitkan - tapi tetap ada beberapa hal yang dapat kurasakan. Penebalan,
pengerasan, dan proses pecahnya kulitku.
Peregangan tulang punggungku yang semakin panjang dan bergemeretak. Pemendekan
lengan dan kakiku. Kakiku dengan cepat memendek hingga aku tidak lagi bisa berdiri. Aku
terjerembap, tertelungkup di atas pasir.
Buaya besar itu mengamati. Sekarang sasarannya aku, bukan lagi bocah itu.
Bocah itu mulai sadarkan diri. Kelopak matanya bergerak-gerak. Ia menggerakkan
tangan dan kakinya. Dan ketika ia bergerak, aku dapat melihat mata besar sang
buaya kembali memusatkan perhatian pada bocah itu. Kembali ke mangsanya.
Lalu wajahku mulai membengkak. Semakin lama semakin besar, seperti jerawat yang
mengerikan. Gigi dan gusiku terasa gatal sekali ketika gigi baru bermunculan dan
yang lama memanjang. Tak lama kemudian aku dapat melihat moncongku sendiri yang bersisik dan berwarna
hijau menjulur ke depan. Panjang sekali, dan aku sudah dapat merasakan kekuatan
menakjubkan kedua rahangnya.
Oke, Rachel, bersiaplah! aku memperingatkan diri sendiri.
Aku tahu apa yang kemudian akan terjadi. Ketika perubahan fisik sudah lengkap,
benak buaya akan muncul. Ini bagian dari proses perubahan wujud. Benak dan insting binatang yang disadap
berada berdampingan dengan benak dan pikiranku. Dan kadang keduanya bisa sangat
sulit dikendalikan. Kadang-kadang mustahil mengendalikannya.
Otak buaya tidak dengan cepat menyelubungi otakku. Otak hewan itu tidak bisa
berpikir cepat. Otak itu lamban. Sangat lamban.
Tapi kelambanannya seperti gerakan pelan super-tank - tetap mustahil dihentikan.
Otak binatang itu berguling ke otakku: sangat sederhana. Tidak ada pikiran
rumit. Tidak ada keraguan. Hanya rasa lapar. Lapar semata.
Aku merasakannya menggelegak di dalam kepalaku sendiri, seperti gunung berapi
dalam gerak lambat. Lawan! Tapi benak buaya telah berevolusi jutaan tahun sebelum kera pertama berayun di
pepohonan. Benak buaya berhasil bertahan, tak berubah, ketika dinosaurus punah
dan burung pertama terbang. Otak buaya sangat tua. Tua dan sederhana dan jelas,
dan kini berguling di rongga kepalaku, menyisihkan pikiran manusiaku yang rapuh.
Buaya tahu dua hal. Ada mangsa - bocah laki-laki itu. Dan ada musuh - buaya besar
yang satu lagi. Mataku menonjol ke luar kedua sisi kepala. Penglihatan buaya jelas dan bagus,
tak jauh berbeda dari penglihatanku sendiri. Aku hampir dapat sekaligus melihat
ke segala arah. Tepat di belakangku, di sebelah kiri, sesuatu bergerak-gerak dan mengerang. Aku
bahkan dapat merasakan darah dalam pembuluhnya. Aku dapat merasakan panasnya.
Tepat di depanku ada seekor buaya jantan besar. Persis aku. Ia mengincar mangsa
yang sama. Persamaan sederhana: dua buaya berukuran sebanding mengincar mangsa yang sama.
Aku punya tiga pilihan - bertempur melawan buaya yang lain, atau menerkam mangsa
itu sebelum musuh dapat bertindak, atau mundur.
Aku berputar ke kiri, secepat kilat!
Kubuka. rahangku dengan sangat lebar hingga moncongku sendiri menghalangi
sebagian penglihatanku pada sang mangsa.
Sesaat lagi aku akan mengatupkan rahang pada tubuh bocah laki-laki yang
bergerak-gerak dan mengerang itu dan...
Ada gerakan tiba-tiba! Aku diserang!
Buaya besar itu menyerbu ke arahku dengan kecepatan fantastis. Kusabetkan
ekorku, lalu aku berputar ke arahnya. Gerakan itu membuat tubuhku tergelincir ke
dalam air. Air! Sekarang kami benar-benar dapat bergerak!
Buaya besar itu terjun, mencoba menyerangku dari bawah, mencoba mengoyak perut
bawahku yang empuk. Aku meronta dan berguling. Sebuah ekor berkelebat dalam air
keruh. Aku mengatupkan rahang.
Ya! Rahangku mengimpit sesuatu dan menggigitnya.
Lalu, nyeri! Rasa sakit yang menyengat tiba-tiba terasa pada kaki kiri
belakangku. Darah mengalir dalam air. Buaya itu menggigit kakiku. Aku menggigit
ekornya. Kami mengocok air hingga berbusa, berguling dan mengencangkan impitan
rahang. Perlahan, perlahan, seperti memanjat ke luar sumur, aku merasa benakku sendiri,
benak Rachel, mulai muncul lagi.
Aku terlalu bingung dan letih karena pertempuran itu hingga tidak sanggup
melawan pikiran buaya dalam kepalaku. Buaya besar itu unggul dalam
berkonsentrasi. Dalam kesederhanaan benaknya.
Binatang itu membunuh, makan, dan tidak peduli pada hal lain.
Kami berguling-guling buas dalam air dangkal, dua buaya bergen identik bertempur
memperebutkan dominasi. Bertempur untuk melihat rahang perkasa siapa yang akan
mengatup pada tubuh bocah manusia itu.
Aku melihat kelebatan penonton yang ngeri jauh di atas. Aku melihat kelebatan si
bocah yang mulai merayap menjauh. Aku melihat kelebatan buaya-buaya lain,
menggeleser ke arah air. Mereka berharap bisa mengambil bocah itu saat dua buaya
yang lebih besar sibuk berkelahi.
Aku harus memenangkan pertarungan ini untuk bisa tetap hidup. Dan aku harus
melakukannya secepat mungkin untuk menolong bocah itu.
Aku melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan buaya dengan baik. Aku berpikir.
Aku menggunakan kecerdasanku.
Aku melepaskan ekor musuh sambil menendang sekuat tenaga dengan kaki belakang.
Reaksinya seperti katapel. Buaya musuh terlontar ke belakang. Aku melihat
perutnya yang pucat melesat lewat, dan ekorku dengan cepat melibas keras.
Tubuhnya bergulung menjauh, kalah. Aku menyimpang ke kanan, memotong jalur
buaya-buaya yang sedang bergerak ke arah si bocah. Lalu aku bergegas naik ke
atas pasir dan bergerak cepat ke dalam ceruk, tersembunyi dari penglihatan
penonton di atas. Bocah itu mundur ketakutan.
Aku tidak punya pilihan. Aku harus mencoba. Aku berbicara pada bocah itu dengan
bahasa-pikiran.
Untung bocah itu pintar. Ia cukup kecil untuk tidak mempertanyakan bagaimana
mungkin seekor buaya bicara padanya.
Ia memanjat naik ke atas punggungku seolah aku kuda poni. Aku menggeleser ke
dalam air dan menyeberangkannya ke tumpukan karang buatan di mana ia bisa
memanjat ke tempat aman. Buaya bisa melakukan banyak hal, tapi tidak bisa
memanjat. Aku bergegas kembali ke ceruk dan berubah wujud menjadi manusia, tepat saat enam
pelatih binatang bersenjatakan senapan panah penenang dan jaring berlarian
datang. Bocah itu selamat. Aku selamat. Bahkan buaya besar itu juga sembuh setelah
dioperasi. Jadi, secara keseluruhan, penelitian lapangan itu jadi pengalaman yang
menyenangkan. Dan kami bahkan tidak harus mendengarkan ibu Cassie memberikan
presentasi. Chapter 5 "OH, begitu," kata Jake. "Jadi pada dasarnya menurutmu itu soal kecil. Kau
melompat ke dalam kandang alligator, kau..."
"Crocodile, bukan alligator," Cassie mengoreksi.
Jake mengangkat sebelah alis ke arah Cassie dan gadis itu terdiam.
"Kau melompat ke dalam kandang crocodile, berubah wujud jadi buaya, terlibat
pertarungan memperebutkan bocah itu, dan akhirnya menggendong bocah itu di
punggungmu, dan menurutmu semua itu cukup asyik?"
Aku mengangkat bahu dan menatap Cassie minta dukungan.
"Dia berhasil menyelamatkan bocah itu," Cassie menegaskan.
"Dia juga nyaris menunjukkan pada seluruh dunia siapa dia sebenarnya," kata
Jake, dengan suara bernada halus dan rendah yang biasa digunakannya kalau sedang
sangat kesal. Setelah aku menolong bocah itu, kalian kira teman-temanku akan menyambutku
sebagai pahlawan, ya kan" Salah.
Ini yang sedang terjadi. Aku, Cassie, Jake, Marco, Tobias, dan Ax semua berada
di istal Cassie, yang juga merupakan Klinik Perawatan Satwa Liar.
Jadi bayangkan di mana-mana ada kandang, berisi segala jenis binatang yang luka
dan sakit - rakun, tupai, bebek, babi liar, kelelawar, sigung, serigala, elang,
dan rusa. Jake sedang mondar-mandir, satu lagi kebiasaannya saat kesal.
Jake bukan tipe yang suka berteriak-teriak saat marah. Ia jenis orang yang
mengertakkan gigi, jalan mondar-mandir, dan berbicara dengan suara halus rendah.
Bisa dikatakan Jake-lah pemegang tongkat komando. Sebenarnya tidak ada yang
secara resmi memilihnya, tapi kalau kami melakukan pengambilan suara, semua akan
memilihnya - kecuali dirinya sendiri.
Tidak pernah ada pertanyaan siapa yang akan jadi pemimpin. Mungkin karena kami
semua tahu Jake bukan tipe anak yang benar-benar ingin jadi pemimpin. Ia
melakukannya karena harus ada yang jadi pemimpin, bukan karena hal itu
membuatnya merasa penting.
Mungkin aku akan berpendapat Jake tampan. Tapi ia sepupuku.
Tapi tentu saja Cassie berpendapat ia sempurna. Antara Cassie dan Jake ada
sesuatu. Tentu saja mereka tidak mengakuinya. Dan di antara mereka berdua pun
tidak pernah ada percakapan serius tentang hal itu.
Mereka kira tidak ada yang tahu. Tapi jelas ada reaksi khusus di antara mereka.
Percayalah. Yang jelas, di atas setumpuk rumput jerami bertengger Marco.
Marco sobat dekat Jake. Ia bukan tipe pemimpin. Ia sangat cerdas, tapi sayangnya
ia menggunakan semua kemampuan otaknya untuk membuat lelucon konyol.
Oke, mungkin tidak semua. Jika ia menggunakan semua kemampuan otaknya untuk
membuat lelucon, mungkin leluconnya akan lebih lucu.
Marco lumayan tampan, meskipun tidak setampan dugaannya sendiri. Marco merasa
dirinya cowok yang paling kece sedunia, sampai-sampai tidak ada yang bisa
menyainginya. Ego Marco sama sekali tidak terkendali.
Lalu, ada Tobias. Ia bertengger di kasau di atas, cermat menyisiri bulunya
dengan paruh. Tobias adalah makhluk yang disebut nothlit oleh Andalite. Istilah itu berarti
manusia yang terperangkap dalam bentuk morf.
Perubahan wujud dengan morf mempunyai batas waktu dua jam. Kalau lebih dari dua
jam dalam bentuk morf, kami tidak akan pernah bisa kembali ke wujud semula.
Dulu Tobias adalah remaja berambut pirang berantakan dengan mimik mengantuk.
Tapi sekarang ia elang ekor merah. Mimik mengantuknya sudah lama hilang.
Digantikan tatapan berintensitas sinar laser seekor pemangsa.
Tobias harus menerima kenyataan ia tidak lagi sepenuhnya manusia. Di dalam, ia
masih Tobias. Tapi ia tinggal di hutan dan harus mencari makan dengan berburu,
dan hal itu telah mengubah dirinya.
Lalu ada Cassie. Ia teman akrabku, meskipun kami sama sekali berbeda. Cassie
mungkin orang paling mengagumkan yang pernah aku temui - paling bertanggung jawab
dan serba bisa. Ia harus bersekolah, bekerja membantu ayahnya di Klinik
Perawatan Satwa Liar, dan harus menangani semua masalah kami sebagai Animorph.
Maksudku, siapa lagi yang bisa mempertahankan nilai di sekolah rata-rata B-plus
sambil menyelamatkan hewan liar dan bertempur melawan kerajaan Yeerk"
Terakhir, dan jelas yang paling aneh, adalah Ax. Nama lengkapnya Aximili-
Esgarrouth-Isthill. Itu sebabnya kami hanya memanggilnya "Ax". Ia biasanya tidak
menghadiri rapat, karena itu berarti ia harus bepergian dalam morf manusia. Ia
tidak menyukainya karena menurutnya berjalan hanya di atas dua kaki berbahaya.
Karena kami sudah aman berada di dalam istal, Ax kini kembali ke wujudnya
sendiri. Tubuhnya campuran aneh, tapi keren, antara tubuh rusa kebiruan, lengan
dan bahu seperti manusia, dan kepala yang sepenuhnya makhluk asing. Ia tidak
bermulut. Ia punya dua mata besar seminormal di wajahnya, dan dua ekstra mata di
ujung tanduk pendeknya. Dan ia berekor. Seperti ekor skorpio. Sangat cepat, sangat berbahaya dalam
pertarungan. Biasanya kalau kami sedang berada dalam istal, Cassie akan sibuk membersihkan
kandang atau memberikan obat pada kadal atau binatang lain. Tapi kurasa sekarang
ia merasa wajib menolongku membela diri. Jadi ia berdiri di sana, tampak
bersalah meskipun tidak melakukan kesalahan apa pun.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada Jake. "Membiarkan bocah laki-laki itu
dilumat?" "Ya!" celetuk Marco. "Ya. Begini, kita bertempur untuk menyelamatkan seluruh
dunia, bukan satu bocah. Dan kau mempertaruhkan semuanya dengan mencoba jadi
anak Xena: Warrior Princess dengan Superman."
kata
Tobias dalam bahasa pikiran kepada semua yang hadir.
Aku tersenyum ke atas padanya. Tentu saja ia tidak bisa membalas tersenyum.
Lalu, dalam bisikan yang hanya bisa didengar olehku, Tobias menambahkan,
akan berhenti memarahimu.>
Aku dengan hati-hati bersikap seolah Tobias tidak berbisik padaku. "Jake, jika
menurutmu apa yang aku lakukan sangat keliru, apa yang akan kaulakukan kalau
jadi aku?" Jake berhenti mondar-mandir. "Masalahnya, kerahasiaan harus dijaga penuh,"
katanya. "Jake," ulangku, "apa yang akan kaulakukan kalau jadi aku?"
Chapter 6 JAKE menggaruk telinganya. Ia meringis malu. "Hanya karena aku akan melakukan
hal serupa, bukan berarti tindakanmu benar."
"Menurutku Rachel pahlawan sejati," komentar Cassie.

Marco memutar mata ke arah Ax. "Terima kasih, Obi-Wan Kenobi, untuk kata-kata
bijakmu. Tentu saja dia pahlawan. Dia selalu jadi pahlawan. Rachel tidak bisa
tak bersikap seperti pahlawan. Kenekatannya seperti gerakan senewen yang tidak
bisa dia kendalikan. Tapi bagaimana jika ada yang merekam perubahan wujudnya
dengan kamera video?"
Ucapannya membuyarkan senyum di wajahku. Meskipun menjengkelkan, Marco benar.
Jika ada yang merekamku... Yeerk ada di mana-mana. Jika punya bukti aku berubah
wujud jadi buaya, mereka akan tahu siapa dan apa aku ini.
Kaum Yeerk yakin kami sekelompok pejuang Andalite yang sangat terlatih. Jika
mereka tahu kami hanya remaja manusia... kami akan disapu bersih sebelum sempat
berkedip dua kali. "Oke, yah, bagaimanapun, Rachel, kau sangat berani. Kau juga sangat beruntung.
Siaran berita mengatakan kau 'jatuh ke dalam' kandang karena mencoba melihat
bocah itu. Semua memusatkan perhatian pada betapa mengagumkannya seorang bocah
dapat menunggangi seekor alligator... crocodile. Bocah itu akan tampil pada lima
program obrolan di TV."
"Bagus. Jadi aku cewek idiot yang 'jatuh' ke dalam kandang, dan bocah itu jadi
pahlawan besar." "Bersyukurlah semua berakhir baik," komentar Jake.
Sesaat aku berniat bercerita tentang rasa mual yang kurasakan saat berubah wujud
jadi buaya. Tapi aku mengurungkan niat. Buat apa memberi Jake alasan lain untuk
khawatir"

Animorphs - 12 Kuman Pengacau Rachel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cassie mengangkat tangan. "Apa kita sudah selesai memarahi Rachel" Aku punya
pekerjaan yang harus dilakukan."
Jake tertawa. "Aku tidak marah," katanya. "Aku bukan orangtua siapa pun."
"Setuju, Dad," celetuk Marco.
Kami semua tertawa dan suasana tegang mencair. Selama sekitar sepuluh detik -
sampai Jake berkata, "Hei, omong-omong, Tom mengatakan sesuatu tentang rencana
The Sharing menyewa remaja pemeran Power House itu sebagai juru bicara."
"Acara TV itu?" tanya Marco. "Huh. Aneh. Yah, bagaimanapun, aku punya setumpuk
PR di meja belajarku di rumah. Ditambah aku punya game Nintendo yang baru.
Kalian tahu kan, yang..."
Ia berhenti bicara dan hanya menatap Cassie serta aku.
Mungkin karena Cassie dan aku sedang berdiri di sana dengan mulut menganga
lebar. "Kenapa mereka?" tanya Marco pada Jake.
Jake kelihatan bingung. "Kenapa sih kalian berdua?"
"Jeremy Jason McCole akan mendukung The Sharing?" tanyaku dengan suara gemetar.
"Jeremy Jason McCole?" Cassie mengulang dengan nada kagum.
Jake mengangkat bahu. "Yeah, sayang, tapi toh tidak ada yang peduli. Dia cuma
aktor kacangan. Maksudku, dia tidak seperti Michael Jordan..."
".....atau Brett Favre," tambah Marco.
<... atau Wayne Gretzky,> Tobias ikut bicara.
tanya Ax.
".....atau orang penting lainnya," Jake menyimpulkan. "Dia cuma seorang aktor.
Maksudku, dia badut."
tanya Ax.
celetuk Tobias menghina.
"Aku suka rambutnya," kata Cassie.
"Ditambah dia bahkan lebih pendek daripada aku," kata Marco.
"Bedanya, Jeremy Jason McCole keren," kataku.
"Dia bukan hanya keren," tambah Cassie. "Dia satu-satunya cowok ter-imut di
planet ini." "Dia muncul di tiap majalah," kataku. "Teen, YM, Seventeen."
"Wussy Weekly, Midget Monthly, The New Dork Times...," tambah Marco. Ia dan Jake
melakukan tepuk high five.
Aku mengabaikan Marco. Aku hampir selalu mengabaikannya.
Aku malah memastikan Jake memperhatikanku sebelum berkata, "Jake, kau tidak
paham. Sekitar separo cewek di sekolah kita memasang poster Jeremy Jason McCole
di kamar atau di locker mereka, atau di keduanya. Dia cowok paling keren di
negara ini. Dia punya sekitar dua puluh Web site. Jika dia mendukung The
Sharing, sama dengan..." Aku menatap Cassie minta bantuan.
"Sama dengan seluruh pemeran wanita Baywatch mendukung sesuatu," Cassie
melengkapi. "Yeah. Seperti itu."
Senyum Jake menguap. "Maksudmu aktor bocah ini punya pengaruh seperti itu?" .
"Dia punya pengaruh sebesar itu?" tanya Marco. "Dia punya pengaruh setingkat
Baywatch?" ulang Tobias.
ulang Ax.
"Jika Jeremy Jason McCole jadi juru bicara The Sharing, mereka akan kebanjiran
anggota cewek," kataku.
"Kalau begitu ini serius," kata Jake.
"Yeah, Jake, memang. Kita harus menghentikannya." Cassie melemparkan lirikan
licik. "Tentu saja... kita mungkin akan harus benar-benar bertemu Jeremy Jason
supaya bisa menyelamatkannya."
"Kita harus melakukan tugas kita," kataku. "Maksudku, sebagai awal, kita harus
mencari tahu apakah dia sudah jadi Pengendali."
"Dan kita mungkin akan harus bertemu dengannya untuk bisa melakukan hal itu."
"Berada di dekatnya."
"Sangat dekat."
"Sudah pasti." "Mmm-hmmm." "Kalian berdua membuatku mual," sergah Jake.
Chapter 27 SIARAN ulang Power House ditayangkan tiap malam pukul tujuh. Tepat setelah
siaran berita. Aku menontonnya bersama kedua adik perempuanku, Sara dan Jordan.
Sara terlalu kecil untuk peduli pada cowok. Tapi usia Jordan tak jauh beda
denganku. "Menurutmu Jeremy Jason McCole keren?" tanyaku padanya.
"Dengan skala satu sampai sepuluh" Mungkin sekitar seribu."
Aku mengangguk. "Yeah. Dia memang keren."
"Dia bahkan lebih keren daripada si Marco. Kau kenal kan, teman sepupu kita,
Jake?" "Yeah, aku kenal Marco," kataku hati-hati. Tubuhku merinding. "Kau benar-benar
berpendapat Marco keren?"
"Ya." "Jordan, lakukan sesuatu untukku dan seluruh dunia. Jangan pernah bilang begitu
padanya." "Ngapain!" "Tapi kau tidak berpendapat dia sekeren Jeremy Jason, kan?"
"Tentu saja tidak. Jeremy Jason terkenal."
"Oh. Nah, coba aku tanya. Jika kau tahu ada klub yang mau menerimamu sebagai
anggota dan di sana kau mungkin akan bertemu Jeremy Ja..."
Ia meloncat berdiri. "Klub apa" Klub apa" Klub apa"!"
Sikapnya menjawab pertanyaanku. Reaksinya yang hebat menyebabkan kekhawatiranku
akan dukungan Jeremy Jason McCole pada The Sharing memang beralasan.
Jika Jeremy Jason berhasil membuat para cewek bergabung dengan The Sharing, apa
lagi yang akan dilakukan Yeerk"
Aku menonton Power House dengan sudut pandang lain, mengetahui sesuatu yang baru
tentang salah satu bintangnya. Masa sih orang seperti Jeremy Jason McCole jadi
Pengendali" Tidak mungkin. Dan jika aku kebetulan menyelamatkannya dari incaran Yeerk,
yah... Setelah makan malam dan setelah Power House selesai, aku
naik ke kamarku untuk membantai PR-ku yang menumpuk. Aku punya tugas makalah
yang minimum harus lima halaman. Aku punya bahan yang panjangnya sekitar empat
halaman. Jadi aku mengotak-atik font serta margin sampai keempat halaman itu
bisa menjadi lima halaman. Lalu aku mengklik print dan berharap guruku tidak
akan tahu apa yang telah kuperbuat.
"Rachel" Aku mau ke toko sebentar untuk beli susu," teriak Mom dari bawah. "Kau
yang jaga rumah." Aku keluar dari program word-processing dan masuk ke dalam Internet. Aku membuka
jendela kamar karena udara di luar hangat dan Tobias kadang mampir pada malam
hari. Lalu aku mulai memeriksa berbagai Web site Jeremy Jason.
"Kenali musuhmu," gumamku pelan. Bukan berarti aku bisa benar-benar menganggap
Jeremy Jason sebagai musuh.
Aku harus menunggu sinyal sibuk sebelum bisa membuka home page-nya sendiri. Lalu
layarku dipenuhi sebuah foto aktor itu.
"Jauh terlalu keren untuk jadi Pengendali," kataku pada diri sendiri.
Aku menggulung layar dan menemukan biografinya. Panjangnya dua halaman. Aku
print. Lalu aku mengklik jadwal pemunculannya. Aku menggulung halaman itu.
Lalu, "Wah! Wah!"
Aku berhenti dan menggulung layar mundur. Itu dia. Tanggal dua puluh empat.
Jeremy Jason sedang berkeliling dan akan tampil di acara Barry and Cindy Sue
Show. Berkeliling... tepat di kota kami minggu ini.
Dua hari lagi! Dia akan ada di sini! Di sini!
Kurenggut telepon portabel. Kutekan nomor Cassie. "Dia akan datang ke sini!"
"Siapa" Apa?"
"Jeremy Jason. Dia akan muncul dalam acara Barry and Cindy Sue Show di sini!"
"Yang benar!" "Oh, ya. Sudah pasti ya." Aku mematikan sambungan telepon dan mulai mengklik Web
site lain untuk memastikan kebenaran berita itu.
Aku merasa seperti tidak bisa bernapas. Aku sangat bersemangat. Aku tahu, aku
tahu tidak keren bersikap histeris karena seorang aktor TV, tapi Jeremy Jason
McCole seperti cinta pertamaku waktu aku umur sepuluh.
Kutarik napas dalam, menenangkan diri.
Tapi aku tidak bisa melakukannya. Napasku tersengal-sengal. Seolah aku dijepit.
Sekujur kulitku seperti disengat jarum panas.
Ini bukan karena Jeremy Jason. Sudah jelas ada yang salah pada diriku. Aku tidak
bisa bernapas. Kusedot udara dan kujauhkan kursiku dari komputer. Dan saat itulah aku melihat
tanganku. Tangan kananku berwarna hijau. Hijau gelap berbercak seperti kulit reptilia.
Chapter 8 "APA-APAAN..." Kuangkat tangan kiriku. Warnanya juga hijau. Dan kulihat semakin hijau. Semakin
kasar. Berubah! Di kulitku bermunculan sisik. Menyebar ke lengan bagian atas.
Aku melompat dari kursi dan lari ke cermin panjang. Wajahku mulai membengkak.
Sebuah moncong raksasa panjang berwarna hijau kehitaman, mulai muncul. Kalian
pasti ogah melihat hal seperti ini.
"Iiihhhhh!" jeritku.
Tonjolan yang membengkak itu merekah memperlihatkan sederet gigi panjang kuning.
"Krekkk!" aku bermaksud bicara, tapi mulutku sudah tidak seperti mulut manusia
lagi - tidak bisa mengeluarkan suara manusia.
Kakiku menyusut dan aku hanya bisa menatap tak berdaya. Aku tersungkur ke
lantai. Ekor raksasa muncul di belakangku. Kurasakan tulang punggungku meregang.
Tidak! Tidak! Aku belum memutuskan berubah wujud!
Namun ternyata aku berubah wujud. Dengan kecepatan menakjubkan! Aku tergeletak
di lantai kamar tidurku, berubah menjadi seekor buaya pembunuh sepanjang enam
meter. Berubah kembali! kuperintahkan diriku sendiri. Berubah kembali!
Tapi perubahan itu berlanjut. Aku terlalu besar untuk ruangan itu! Moncongku
terdesak ke satu sudut, sementara ekorku membentang di bawah ranjang dan
bergelung di ujung. Apa yang sedang terjadi padaku"
Kalau Jordan atau Sara atau Mom masuk ke dalam kamar, rahasiaku akan terbongkar.
Lebih buruk lagi, aku tidak yakin bisa mengendalikan buaya ini.
Hewan ini lapar. Pusatkan perhatian, Rachel! Pusatkan perhatian! Berubah kembali! Jadi manusia!
Tapi tubuhku tidak berubah kembali. Setidaknya, tak kembali menjadi manusia.
Aku malahan mulai melihat perubahan yang sama sekali lain. Tubuhku mengecil di
dua tempat. Mengerut. Membentuk tiga bagian tubuh yang berbeda: kepala, perut,
dan dada. Aku menjadi serangga! Dan saat itulah aku merasa takut. Sebab tidak mungkin langsung berubah dari satu
bentuk ke bentuk lain. Aku harus berubah jadi manusia terlebih dulu, sebelum
jadi makhluk lainnya. Tapi kini, aku jelas-jelas langsung berubah wujud tanpa
berubah jadi manusia lebih dulu. Aku masih berbentuk buaya raksasa, tapi kepala
buayaku yang sangat besar tersambung ke tubuhku oleh sebuah leher kecil kurus.
Dan bagian yang menghubungkan tubuh persegi buaya dengan ekor gemuk buaya telah
sangat mengecil hingga ukurannya jadi sebesar pergelangan tangan manusia.
Aku berteriak sendiri.
Tapi aku sudah selusin, mungkin ratusan kali, mendapat mimpi buruk tentang
berubah wujud. Dan tidak pernah ada yang seperti ini.
Terdengar tulangku berdesis mencair dan lenyap. Terlihat sisik hijau kehitaman
buaya berubah jadi cokelat tua, hampir hitam, ketika eksoskeleton serangga
tumbuh di atas tubuhku seperti perisai.
Rambut tajam raksasa menyembul seperti belati dari punggungku. Gigi besarku
menyatu, mengeras, menghitam, dan berubah jadi tabung panjang yang tampak
mengerikan. Dua kaki baru muncul dari sisi badanku. Dua kaki bertungkai banyak
dan berduri. Aku kenal semua perubahan ini. Ini morf yang sudah pernah kulakukan. Tapi tidak
pernah seperti ini! Aku dalam proses menjadi lalat. Tapi karena proses perubahan wujud tidak pernah
masuk akal, aku jadi lalat raksasa. Aku sudah jadi lalat sebelum tubuhku sempat
menyusut. Lalu proses pengerutan mulai terjadi dan tubuhku yang berputar-putar tak
terkendali jatuh ke lantai. Panjangku berubah dari tujuh setengah meter jadi
setengah sentimeter! Aku ingin berteriak minta tolong. Tapi siapa yang bisa menolongku" Tidak ada.
Tidak ada! Tiba-tiba mata reptiliaku membengkak dan menonjol seperti balon. Dunia di
sekitarku pecah menjadi seribu gambar kecil. Aku bermata lalat!
Benakku berputar-Putar. Ini pasti mimpi buruk. Ini tidak mungkin. Ini pasti
mimpi mengerikan! Aku menyusut begitu cepat hingga sudut-sudut ruangan seolah melesat menjauhiku.
Serat kayu tampak semakin besar dan gelap serta jelas. Celah di antara kayu
melebar sebesar kubangan.
Dan kemudian, dengan gerakan berhenti yang tiba-tiba, aku sadar tubuhku berhenti
menyusut. Aku kembali membesar.
Serat kayu mengecil. Celah menyusut. Dan aku membesar. Dan membesar. Dan
membesar! Kaki ekstraku lenyap. Sekarang aku hanya punya empat. Empat kaki yang jadi
semakin tebal dan tinggi dan tebal dan tinggi!

Toing! Toing! Pegas kasurku menyembul ke luar saat berat badanku meremukkannya.
Aku terlalu besar untuk kamar itu. Bahkan lebih besar daripada buaya tadi. Rak
buku terguling. Meja terpental ke dinding. Percik api beterbangan dari
komputerku dan layarnya tiba-tiba gelap.
Terlalu besar untuk kamar itu! Aku cukup besar untuk dihitung dalam ton, bukan
kilogram. Aku berubah wujud menjadi gajah Afrika dewasa. Dalam kamar tidurku
yang kecil. K-r-r-r-r-r-e-e-e-e-k! bisikku. Aku dapat merasakan lantai benar-benar melesak di bawah
bobotku yang luar biasa. Kepalaku terdesak ke langit-langit.
B-r-r-rAAAAK! Diikuti derak kayu patah, lantai ambrol.
Tubuhku melayang jatuh. Dan....
B-r-r-UUUUK! Aku, dengan sangat tiba-tiba, berada di dapur.
Chapter 9 BRUK! BUM! Aku terhuyung-huyung dan jatuh menindih puing kamarku serta reruntuhan yang
lebih parah di dapur. Benar-benar kacau-balau! Tidak ada yang masuk akal.
Kompor tergeletak miring dengan potongan kayu sebesar dua kali empat menembus
pintu kacanya. Kulkas terbuka, dan semua isinya tercecer. Segalon susu mengalir
dari kotaknya yang terguling miring dan membanjiri lantai.
Sara! Jordan! Apa mereka ada di dapur"
Apa Mom juga" Oh, Tuhan! Tidak ada yang bisa selamat terimpit reruntuhan ini!
"Rachel! Rachell"
Itu suara Jordan. Ia terdengar takut tapi tak terluka. Dan telinga gajahku
memberitahukan ia tidak ada di ruangan itu bersamaku. Ia ada di luar, di
koridor. Ia tidak bisa melihatku di bawah tumpukan reruntuhan.
Aku tak bisa menjawab. Aku tidak punya mulut atau tenggorokan manusia.
Apa aku bisa kembali ke wujud manusia" Aku harus mencoba.
Kupusatkan perhatian pada tubuhku sendiri. Bentuk manusiaku. Dan mula-mula
dengan pelan, lalu lebih cepat, aku mulai menyusut.
Tiba-tiba reruntuhan tidak lagi mengimpitku terlalu kencang. Di koridor
terdengar Jordan berkata, "Sembilan-satu-satu" Eh, eh, ada keadaan darurat!
Rumah kami ambles!" Aku ingin tertawa... seandainya aku yakin Sara dan Mom selamat. Lalu aku ingat -
Mom sedang keluar. Berarti tinggal Sara.
Sementara itu, aku mulai melihat pemandangan terindah di dunia: kulit manusia
muncul dari balik kulit tebal kelabu gajah. Aku masih berdiri di atas empat
kaki, tapi aku dapat melihat jari-jari manusia mulai tumbuh di kaki raksasa si
gajah. "Rachel! Rachel, di mana kau?"
Kali ini suara Sara. Ia pasti telah mengambil alih telepon. Aku mengembuskan


Animorphs - 12 Kuman Pengacau Rachel di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napas panjang karena lega.
"Ya, cepat ke sini! Tolong! Kurasa saudaraku terjebak!"
Belalaiku menyusut naik, meninggalkan sepotong kecil hidung manusia. Aku
berdeham. Apa aku sudah bisa bicara"
"Jordan?" panggilku. Ya. Itu suaraku. Suara manusiaku sendiri!
"Rachel" Itu kau?"
"Ya, memangnya siapa lagi?" tanyaku. Aku tidak bermaksud terdengar sinis. Aku
ketakutan setengah mati, dan aku jadi judes kalau takut.
"Itu sih memang Rachel," kata Sara. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku memar-memar," jawabku. "Tapi kurasa aku akan hidup."
Kalau sedang dalam wujud manusia sewaktu lantai runtuh, aku pasti sudah mati
atau akan lama dirawat di rumah sakit. Di lain pihak, kalau aku berwujud
manusia, lantai tidak akan runtuh.
Apa yang terjadi pada diriku" Mengapa aku berubah wujud"
Aku punya waktu beberapa menit memikirkannya, sebelum paramedis dan pemadam
kebakaran serta polisi dan Mom dan semua orang dalam radius enam blok
berdatangan. Tapi aku tidak mendapat jawaban.
Aku telah berubah wujud di luar keinginanku.
Petugas pemadam kebakaran menggaliku ke luar reruntuhan.
Mereka tak hentinya menyuruhku jangan khawatir. Huh, mereka tahu apa" Apa mereka
pernah tiba-tiba jadi buaya" Apa mereka pernah punya kemampuan morf yang tak
terkendali" Mom sampai di rumah saat mereka menggaliku ke luar. Ia berteriak dan meratap
serta memeluk dan menangis. Mereka memaksaku naik ambulans ke rumah sakit untuk
melakukan pemeriksaan lengkap.
Sesaat aku merasa seolah berada dalam film seri E.R.
Kukatakan aku tak apa-apa, tapi tidak ada yang percaya. Tidak ada yang percaya
seorang gadis terjebak dalam rumah runtuh tanpa luka-luka.
Lalu stasiun TV tahu aku gadis yang "jatuh" ke dalam kandang buaya. Jadi selama
sekitar satu jam setelah itu aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
sangat konyol dari para wartawan yang menjulurkan kamera serta lampu ke wajahku.
Aku duduk di ranjang rumah sakit, mengenakan baju senam hitam yang kupakai untuk
berubah wujud, penuh dikitari mikrofon yang disodorkan ke arahku. Aku tidak
hentinya berpikir, aduh, jangan-jangan rambutku berantakan.
"Bagaimana rasanya jatuh ke dalam kandang buaya, lalu jatuh tertimpa rumah?"
"Tidak terlalu enak," jawabku.
"Anda sangat beruntung, ya?"
"Ehm, tidak juga. Jika beruntung, saya tidak akan berulang kali jatuh. Ya kan?"
"Tapi Anda tidak terluka dalam kedua insiden itu."
"Saya akan merasa beruntung kalau menang lotre. Kalau jatuh tertimpa rumah sih
bukan beruntung namanya."
Di balik kerumunan kamera terlihat wajah yang kukenal. Cassie. Kami berdua
saling tatap. Aku hanya bisa mengangkat bahu.
"Apa Anda punya saran untuk remaja lain seperti Anda?"
"Ehm, ya. Saran saya, jangan jatuh ke dalam kandang buaya dan jangan biarkan
rumah menimpa kalian."
Setelah itu, kurasa, orang-orang media massa memutuskan aku bersikap sinis.
Mereka memutuskan sudah cukup mewawancaraiku.
Baguslah, karena aku benar-benar sudah lelah.
"Sayang, kau tak apa-apa?" tanya Mom untuk kesejuta kalinya ketika semua kamera
sudah menyingkir. Cassie berada tepat di sampingnya. "Yeah, bagaimana keadaanmu?" tanyanya dengan
nada sangat wajar. Aku mengangkat bahu. "Aku baik-baik saja. Aku akan semakin baik kalau tidak
tiba-tiba jadi 'Cewek Tukang Jatuh yang Mengagumkan.'" Sayangnya, ibuku bukan
orang yang bisa kuajak bicara terus terang mengenai apa yang telah terjadi.
Cassie bisa. Tapi kami harus menunggu sampai tinggal berdua saja.
Mom tertawa dan mengacak-acak rambutku. "Kau memang mengagumkan, Rachel. Suatu
mukjizat kau selamat. Kurasa kita harus bersyukur."
"Bersyukur" Rumah roboh menimpaku. Rumah kita hancur."
"Kita punya asuransi," kata Mom. Lalu ia menyeringai. "Ditambah kita mungkin
bisa menuntut banyak pihak. Maksudku, rumah seharusnya tidak boleh roboh seperti
itu. Kita bisa menuntut pembangunnya, semua kontraktor dan subkontraktor,
pengawas kota, pemilik sebelumnya..."
Ia terus mengoceh seperti itu selama beberapa saat. Maklum, Mom seorang
pengacara. "Apa kita sekarang bisa pergi?"
"Dokter bilang kau tidak apa-apa. Tapi pertanyaannya, kita mau pergi ke mana"
Kita tidak bisa pulang ke rumah dan..."
"Daddy!" Aku melihat sosoknya menjulang di belakang Cassie.
Orangtuaku sudah cerai. Dad sekarang tinggal di negara bagian lain, tapi aku
bisa bertemu dengannya sebulan sekali. Paling tidak, itulah yang sering
kulakukan. "Hai, Dan," kata Mom dengan nada manis dibuat-buat, yang biasa ia gunakan kalau
bicara dengan Dad. "Halo, Naomi," balas Dad dengan nada dibuat-buat versinya sendiri. Lalu dengan
nada tulus ia bertanya, "Bagaimana kabar gadisku?"
Aku mengangkat bahu. "Tidak ada yang istimewa, Dad. Seperti hari lain: pagi-pagi
menyelam dengan buaya, lalu rumah roboh menimpaku."
Ia tertawa. Dad sangat menyenangkan. Ia sendiri seorang wartawan TV. Tapi tidak
seperti mereka-mereka yang sudah membuatku gila. Dad lebih seperti pembawa acara
60 Minutes. Kalian tahu kan, sangat bertanggung jawab dan serius. Setidaknya di
TV ia serius. Dalam kehidupan sehari-hari, ia sama sekali tidak begitu.
"Aku lihat berita tentang insiden di kebun binatang itu," katanya. "Aku naik
penerbangan berikutnya. Tidak pernah terpikir olehku kau akan melakukan satu
lagi tindakan tak masuk akal dalam satu hari."
"Yeah, tapi minggu ini sudah cukup," komentarku. "Kurasa sudah cukup petualangan
yang kualami." Dad tertawa dan Mom memutar bola matanya. Menurut Mom aku lebih menyukai Dad.
Itu sama sekali tidak benar. Hanya saja Mom selalu ada di sekitarku. Tidak
seperti Dad. "Di mana kalian semua akan tinggal?" tanya Dad pada Mom.
"Di rumah ibuku, kurasa," jawab Mom. Lalu ia menambahkan dengan menggumam pelan,
"Sampai wanita tua itu membuatku gila."
Dad mengangguk bersimpati. "Begini, aku akan ada di kota ini untuk beberapa
hari. Mungkin aku bisa membantu Rachel. Menghindari kejaran media."
"Tampaknya mereka sudah tidak tertarik pada berita ini," kata Mom ragu.
Dad menggeleng. "Jangan terlalu yakin. Mereka hanya ingin memenuhi batas waktu
siaran berita tengah malam. Ini cerita human interest yang menarik. Tapi sebagai
sesama wartawan, aku mungkin akan dapat mengendurkan niat mereka."
"Rachel bisa tinggal bersamaku," kata Cassie. "Aku tahu Mom dan Dad tidak akan
keberatan." Dad mengedipkan sebelah mata padanya. "Trims, Cassie." Lalu ia kembali
menatapku. "Begini, Rachel, aku punya kamar suite di Fairview Hotel. Mengapa
tidak tinggal denganku sampai semuanya reda" Pelayanan kamar" Klub kebugaran?"
"Asyik! Maksudku, boleh, Mom?"
Ia tampak bersungut-sungut. "Yah, memang masuk akal. Kurasa boleh."
Saat itu juga aku menyadari ada kesempatan emas yang sempurna membuka di
hadapanku. "Dad" Bagaimana pendapatmu tentang semua acara obrolan TV yang ingin
mewawancaraiku" Bukankah lebih baik kalau aku setuju mengisi satu acara" Dengan
begitu yang lain akan mengabaikanku. Ya kan?"
Dad mengangguk. "Yeah. Tapi, Sayang, kau tidak perlu mengisi acara apa pun. Aku
bisa membuat semua berhenti mengganggumu."
"Tapi aku bisa melakukan satu," kataku. "Sebenarnya... apa pendapatmu tentang
Barry and Cindy Sue Show" Kudengar mereka akan datang ke kota ini."
Kedua orangtuaku tampak bingung. Tapi kulihat sorot mengerti terbersit di mata
Cassie. "Barry and Cindy Sue?" tanya Mom. "Rachel, sebenarnya kenapa kau ingin tampil di
acara Barry and Cindy Sue?"
Aku melihat Cassie hanya melongo menatapku. Seolah ia tidak percaya aku masih
sempat memikirkan si kece Jeremy Jason McCole pada saat-saat seperti ini.
"Yah, Daddy... ada cowok. Dia aktor... aktor yang agak keren..."
Chapter 10 DARI rumah sakit aku langsung ke hotel Dad. Semua sudah memutuskan aku butuh
istirahat. Aku sendiri tidak berpendapat begitu. Yang kubutuhkan adalah beberapa
jawaban. Apa yang sedang terjadi pada diriku"
Kamar hotel itu ada di lantai dua puluh dua. Kubayangkan apa yang akan terjadi
kalau aku tiba-tiba berubah wujud jadi gajah lagi.
Aku akan ambruk jatuh menembus dua puluh dua lantai.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diriku" Aku berulang kali melihat tangan
dan kakiku untuk memeriksa apakah aku masih seutuhnya manusia.
Aku harus bicara dengan seseorang yang mengerti. Seseorang yang benar-benar bisa
kuajak bicara. Dad memang hebat, tapi ia tak hentinya bicara tentang lantai yang seharusnya
tidak boleh ambruk. Lagi pula rumah itu umurnya baru sepuluh tahun. Dan mengapa
kebun binatang tidak membuat pagar yang lebih tinggi supaya orang tidak jatuh ke
dalam kandang buaya"
Aku tidak jatuh ke dalam kandang buaya. Dan lantai tidak kebetulan runtuh. Aku
berubah wujud jadi hewan yang berbobot lebih berat daripada dua truk pickup.
Rumah tidak dibuat untuk menahan beban seberat gajah.
Aku sangat ingin menelepon Cassie dan bicara dengannya. Tapi kami punya aturan
keras mengenai hal itu. Kami tidak pernah tahu siapa yang sedang mendengarkan
percakapan di telepon. Jadi aku harus menunggu.
Aku malah menelepon pelayanan kamar.
"Saya pesan salad dengan saus poppyseed. Dan... saya pesan cheeseburger dan
kentang goreng. Dan pai ceri a la mode. Dan saladnya batal saja."
Aku tidak peduli pada makanan sehat. Aku tidak peduli lemak.
Aku lapar. Hari itu sangat melelahkan. Aku layak mendapat sedikit lemak dan
gula. "Dan apakah ada milk shake" Rasa cokelat?"
Aku menggunakan remote control untuk memilih saluran Pay-Per-View. Yang ada
hanya film bela diri, film kriminal, film aksi petualangan... Sementara yang
kuperlukan film percintaan yang tenang dan manis. Hidupku sudah merupakan film
aksi petualangan. Telepon berdering. Kukira petugas pelayanan kamar yang
memeriksa ulang pesananku. "Ya?"
"Kau sendirian?" Itu suara Cassie. Aku hampir jatuh karena lega. Aku bahkan
tidak menyadari betapa tegangnya aku.
"Aku lega sekali kau menelepon! Ya, Dad sudah pergi. Setidaknya untuk beberapa
Satria Penggali Kubur 1 Shugyosa Samurai Pengembara 6 Pengelana Rimba Persilatan 7
^