Pencarian

Taiko 22

Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 22


menerima kabar buruk. Dan ia telah kehilangan keberanian untuk menyampaikan kabar tersebut
pada junjungannya. Setelah ditegur Mitsuhide, Yojiro sekali lagi menuruni bukit. Sambil
meman-dang berkeliling, dengan lesu ia bersandar pada sebatang pohon pinus dan menatap
bintang-bintang di atasnya.
Seorang penunggang kuda mendekati Yojiro dan berhenti di hadapannya.
"Kawan atau lawan?" Yojiro berseru sambil menghadapi orang tak dikenal itu dengan tombak yang
semula digunakannya sebagai tongkat penyangga.
"Kawan," jawab si penunggang kuda sambil turun.
Hanya dengan mengamati langkahnya yang tertatih-tatih Yojiro mengetahui bahwa ia cedera berat.
Yojiro menghampirinya dan mengulurkan tangan.
"Gyobu!" Yojiro berkata ketika mengenali rekannya. "Genggamlah lenganku. Biar kusangga
badanmu." "Kaukah itu, Yojiro" Di mana Yang Mulia Mitsuhide?"
"Di puncak bukit."
"Beliau masih di sini" Tempat ini sekarang teramat berbahaya bagi beliau. Beliau harus segera
3 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
meninggalkan tempat ini."
Gyobu menemui Mitsuhide. Ia nyaris terjungkal pada waktu bersujud di hadapan junjungannya.
"Seluruh pasukan kita dipukul mundur. Orang-orang yang tengah sekarat jatuh menimpa mereka
yang sudah tewas; begitu banyak yang menemui ajal secara gagah berani, sehingga hamba tak
sanggup mengingat nama semuanya."
Ketika menengadah, ia hanya melihat wajah Mitsuhide yang pucat. Wajah itu seolah-olah
mengambang di bawah pohon-pohon pinus yang gelap. Mitsuhide tidak memberi tanggapan,
seakan- akan tidak mendengarkan ucapan Gyobu.
Gyobu melanjutkan. "Suatu ketika, kami sempat mendesak mendekati pusat kekuatan Hideyoshi,
namun waktu hari mulai gelap, jalur mundur kami terputus, dan kami tak dapat menemukan Yang
Mulia Dengo. Divisi Jendral Sanzaemon dikepung musuh, dan pertempuran yang luar biasa sengit
pun pecah. Beliau akhirnya berhasil meloloskan diri, tapi hanya sekitar dua ratus orang yang tersisa
dari divisi beliau. Pesan terakhir beliau adalah sebagai berikut, 'Segera pergi ke Onbozuka dan
beritahu Yang Mulia agar secepat mungkin mundur ke Benteng Shoryuji, lalu bersiap-siap
mempertahankan benteng atau kembali ke Omi pada malam hari. Sampai saat itu, aku akan
bertindak sebagai barisan belakang. Setelah menerima kabar bahwa Yang Mulia selamat, kami
akan segera menerjang ke perkemahan Hideyoshi dan bertempur sampai titik darah penghabisan.'"
Mitsuhide tetap membisu. Sehabis memberikan laporannya, Gyubo pun ambruk dan
mengembuskan napas terakhir.
Mitsuhide menatap Gyubo dari kursinya. Lalu menatap Yojiro dengan pandangan kosong. Ia
bertanya, "Parahkah luka Gyubo?"
"Ya, tuanku," Yojiro menjawab. Kedua matanya mulai berkaca-kaca.
"Kelihatannya dia sudah mendahului kita."
"Ya, tuanku." "Yojiro," Mitsuhide mendadak berkata dengan nada yang berbeda sama sekali. "Bagaimana laporan
kurir sebelumnya?" "Hamba takkan menutup-nutupi apa pun, tuanku. Pasukan Tsutsui Junkei muncul di medan tempur
dan menyerang sayap kiri kita. Saito Toshimitsu dan seluruh korpsnya tak kuasa menghalanginya,
dan mereka menderita kekalahan total."
"Apa"! Itukah yang terjadi?"
"Hamba sadar bahwa jika hamba menyampaikannya sekarang, tuanku tentu sukar
mempercayainya. Scsungguhnya hamba ingin mengemukakan hal ini pada saat yang tepat, agar
tidak menambah penderitaan tuanku."
"Inilah dunia." Kemudian ia menambahkan. "Tak ada pengaruhnya."
4 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mitsuhide tertawa. Paling tidak, suara menye-rupai tawa. Kemudian ia mendadak melambaikan
tangan ke arah belakang perkemahan. Dengan tak sabar ia menyuruh seseorang membawakan
kudanya. Sebagian besar pasukan Mitsuhide telah dikirim ke garis depan, tapi mestinya masih ada sekitar
dua ribu orang di perkemahannya, termasuk para pengikut senior. Bermodalkan kekuatan ini.
Mitsu-hide hendak bergabung dengan sisa korps Sanzae-mon dan bertempur untuk terakhir kali.
Sambil menaiki kudanya, ia menyerukan perintah menyerang dengan suara yang terdengar di
seluruh Onbozuka. Kemudian, tanpa menunggu sampai para prajurit berkumpul, ia berputar dan
mulai memacu kudanya menuruni bukit, diikuti hanya oleh beberapa samurai berkuda.
"Siapa kau?" Mitsuhide bertanya sambil menghentikan kudanya. Seseorang telah bergegas dari
perkemahan, berlari menuruni lereng, dan menghalangi jalan dengan tangan terentang.
"Tatewaki, kenapa kau menghadangku seperti ini?" Mitsuhide bertanya dengan tajam. Orang itu
ternyata salah satu pengikut seniornya, Hide Tatewaki, dan ia langsung meraih kekang kuda
Mitsuhide. Binatang itu mengentak-entakkan kaki dengan liar.
"Yojiro! Sanjuro! Kenapa kalian tidak mencegah beliau" Turunlah dari kuda kalian," ujar Tatewaki.
memarahi para pembantu Mitsuhide. Kemudian ia membungkuk ke arah Mitsuhide dan berkata,
"Orang yang berada di hadapan hamba bukanlah Yang Mulia Mitsuhide yang menjadi junjungan
hamba. Menderita kekalahan dalam satu pertem-puran tidak berarti kalah perang. Yang Mulia
Mitsuhide yang hamba kenal takkan mencampakkan hidupnya setelah satu pertempuran saja.
Musuh akan mengejek kita jika menyangka kita tak sanggup mengendalikan diri. Meski mengalami
kekalahan di sini, Yang Mulia masih mempunyai keluarga di Sakamoto dan sejumlah jendral di
berbagai provinsi yang hanya menunggu perintah Yang Mulia. Yang Mulia perlu menyusun rencana
untuk masa depan. Pertama-tama, kembalilah ke Benteng Shoryuji."
"Apa maksudmu, Tatewaki?" Mitsuhide menggelengkan kepala. "Mungkinkah orang-orang yang
telah gugur bangkit kembali" Mungkinkah semangat juang mereka kembali berkobar-kobar seperti
sediakala" Aku tak bisa meninggalkan anak buahku dan membiarkan mereka dibantai musuh. Aku
akan memberi pelajaran pada Hideyoshi dan menghukum pengkhianatan Tsutsui Junkei. Aku
bukan mencari tempai untuk mati sia-sia. Aku akan memperlihatkan siapa Mitsuhide. Sekarang
menyingkirlah!" "Mengapa sorot mata tuanku yang bijak begitu nanar" Pasukan kita menerima pukulan telak hari ini,
dan paling tidak tiga ribu orang telah tewas. Mereka yang terluka bahkan tak terhitung lagi. Banyak
jendral kita telah gugur, sementara orang-orang yang baru direkrut tercerai-berai. Menurut tuanku,
berapa jumlah prajurit yang tersisa di perkemahan ini?"
"Lepaskan kudaku! Aku bisa berbuat sesuka hatiku! Lepaskan kudaku!"
"Ucapan tak bertanggung jawab inilah yang membuktikan bahwa tuanku hendak bergegas
menyambut maut, dan hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya. Seandainya
masih ada tiga atau empat ribu prajurit di sini, persoalannya tentu berbeda. Tapi hamba menduga
hanya sekitar empat atau lima ratus orang yang akan mengikuti tuanku. Yang lainnya telah
menyusup keluar dari perkemahan dan melarikan diri." ujar Tatewaki dengan suara berat karena
menahan air mata. Serapuh itukah otak manusia" Dan jika otak berhenti berfungsi, pastikah orang yang bersangkutan
5 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menjadi gila" Tatewaki menatap Mitsu-hide dan bertanya-tanya bagaimana junjungannya itu bisa
berubah begitu banyak. Sambil menitikkan air mata, ia mengenang betapa bijaksana dan cerdas
Mitsuhide dulu. Jendral-jendral lain kini ikut berkerumun di depan kuda Mitsuhide. Dua dari mereka sudah sempat
berada di garis depan, namun karena mencemaskan keselamatan junjungan mereka, keduanya
kembali ke perkemahan. Salah satu dari mereka berkata, "Kami sependapat dengan Yang Mulia
Hide. Shoryuji tidak jauh, dan tentunya belum terlambat untuk menuju ke sana dulu, lalu menyusun
strategi untuk langkah berikutnya."
"Selama kita berada di sini, pasukan musuh akan semakin mendekat, dan segala sesuatu bisa saja
berakhir di titik ini. Sebaiknya kita pacu kuda masing-masing dan secepat mungkin kembali ke
Shoryuji." Tatewaki tak lagi menanyakan kehendak jun-jungannya. Ia menyuruh seseorang meniup
sangka-kala, dan segera memerintahkan mereka mundur ke arah utara. Yojiro dan seorang
pengikut lainnya turun dari kuda. Sambil berjalan kaki mereka meraih kekang kuda Mitsuhide dan
menuntunnya ke utara. Semua prajurit dan komandan yang berada di bukit itu mengikuti mereka.
Tapi, seperti dikatakan Tatewaki tadi, jumlah mereka tak sampai lima ratus orang.
Miyake Tobei komandan Benteng Shoryuji. Di sini pun pertanda kekalahan sudah membayang, dan
seluruh benteng diliputi suasana murung. Dikelilingi lentera-lentera yang berkelap-kelip redup,
semua orang sibuk memikirkan jalan untuk menyelamatkan diri. Namun ketika mereka mencari-cari
kemungkinan yang masuk akal, Mitsuhide pun terpaksa mengakui bahwa tak ada yang dapat
mereka lakukan. Para penjaga di luar benteng sudah berulang kali melaporkan bahwa musuh sedang mendekat, dan
benteng itu sendiri tak cukup kuat untuk menentang kekuatan pasukan Hideyoshi. Benteng Yodo
pun berada dalam kondisi serupa beberapa hari yang lalu, ketika Mitsuhide memerintahkan benteng
tersebut diperkuat. Usaha itu tak ubahnya membangun tanggul pada waktu suara ombak yang
mengamuk telah terdengar.
Barangkali satu-satunya hal yang tidak disesali Mitsuhide pada saat ini adalah bahwa sejumlah
jendral dan prajurit tetap setia padanya dan bertempur dengan garang. Dari satu segi, sungguh
ganjil bahwa ada orang di dalam marga Akechi - marga yang telah menggulingkan junjungan
mereka sendiri - yang masih terus menegakkan ikatan antara junjungan dan pengikut. Mitsuhide
memang berbudi luhur, dan orang-orang itu berpegang teguh pada hukum yang melandasi Jalan
Samurai. Karena inilah jumlah korban yag tewas dan terluka luar biasa tinggi, meskipun pertempuran
berlangsung tak lebih dari tiga jam. Berdasarkan taksiran yang dilakukan kemudian, pihak Akechi
kehilangan lebih dari tiga ribu orang, sementara jumlah pasukan Hideyoshi berkurang lebih dari tiga
ribu tiga ratus orang. Jumlah orang yang terluka tak dapat dipastikan. Angka-angka ini
mencerminkan semangat pasukan Akechi, yang tak kalah sedikit pun dari semangat panglima
mereka. Mengingat kekuatan Mitsuhide yang tak seberapa - kira-kira hanya separo kekuatan
musuh - dan medan yang tak menguntungkan tempat ia bertempur, kekalahan yang diderita
Mitsuhide bukanlah kekalahan yang membuatnya harus menanggung malu.
Pada hari ketiga belas Bulan Keenam, bulan tampak kabur di balik awan tipis. Satu-dua prajurit
berkuda mendului rombongan mereka. Tiga belas penunggang kuda membentuk beberapa
6 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kelompok kecil, dan menuju Fushimi dari utara Sungai Yodo.
Ketika mereka akhirnya mencapai jalan setapak gelap di tengah-tengah pegunungan. Mitsuhide
berbalik dan bertanya pada Tatewaki, "Di mana kita sekarang?"
"Ini Lembah Okame, tuanku."
Cahaya bulan yang menerobos di antara dahan-dahan pohon mengenai Tatewaki dan orang-orang
yang menyusul di belakangnya.
"Kau bermaksud melintas di sebelah utara Momoyama, lalu keluar di Jalan Kuil Kanshu dari
Ogurusu?" tanya Mitsuhide.
"Benar. Jika kita menempuh jalur itu dan bisa sampai di dekat Yamashina dan Otsu sebelum hari
terang, kita tak perlu khawatir."
Shinshi Sakuzaemon tiba-tiba menghentikan kudanya di depan Mitsuhide dan memberi isyarat agar
jangan ada yang bersuara. Mitsuhide dan para penunggang kuda yang mengikutinya juga berhenti.
Tanpa bersuara, mereka memperhatikan Akechi Shigetomo dan Murakoshi Sanjuro maju sebagai
pengintai. Kedua orang itu menghentikan kuda masing-masing di tepi sebuah kali, dan memberi
isyarat agar yang lain menunggu. Agak lama mereka berdiri di sana, memasang telinga.
Perangkap musuhkah" Akhirnya kesan lega muncul pada wajah mereka. Mengikuti lambaian tangan kedua orang di depan,
rombongan itu kembali bergerak maju. Baik bulan maupun awan-awan seakan mengambang di
tengah langit malam. Tapi betapapun mereka berusaha tidak menimbulkan suara, ketika kuda-kuda
mereka mulai menaiki lereng, ada saja batu yang tertendang atau kayu rapuh yang terinjak, dan
gema bunyi-bunyi selemah ini pun sanggup membangunkan burung-burung yang sedang tidur.
Setiap kali ini terjadi, Mitsuhide dan para pengikutnya segera menarik tali kekang.
Setelah menderita kekalahan telak, mereka sempat melarikan diri ke Benteng Shoryuji dan melepas
lelah. Kemudian mereka membahas langkah selanjutnya, namun akhirnya satu-satunya pilihan
adalah mundur ke Sakamoto. Semua pengikut Mitsuhide membujuknya agar tetap bersabar.
Setelah mempercayakan Benteng Shoryuji ke tangan Miyake Tobei, Mitsuhide menyusup ke dalam
kegelapan. Pasukan yang mengikutinya ketika meninggalkan Shoryuji masih berjumlah empat ratus atau lima
ratus orang. Namun pada saat mereka memasuki Desa Fushimi, sebagian besar telah menghilang.
Segelintir orang yang masih tersisa adalah para pengikut kepercayaannya, dan jumlah mereka
hanya tiga belas orang. "Rombongan besar justru akan menarik per-
hatian musuh, dan setiap orang yang belum membulatkan tekad untuk menyertai junjungan kita
dalam keadaan apa pun hanya akan menjadi penghalang. Yang Mulia Mitsuharu berada di
Sakamoto beserta tiga ribu prajurit. Satu-satunya keinginanku adalah tiba dengan selamat di sana.
Aku berdoa agar para dewa sudi membantu jun-jungan kita yang malang."
Dengan cara inilah para pengikut setia yang masih tersisa saling menghibur diri.
7 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Meski daerah yang mereka lalui berbukit-bukit, tak ada bagian yang benar-benar terjal. Bulan
tampak di langit, tapi akibat hujan, tanah di bawah pohon-pohon becek, dan di sana-sini air
menggenang di permukaan jalan.
Kecuali itu, baik Mitsuhide maupun para pengikutnya telah lelah. Mereka sudah berada di dekat
Yamashina, dan jika berhasil sampai di Otsu, mereka akan aman. Inilah kata-kata yang mereka
gunakan untuk saling membesarkan hati, tapi bagi orang-orang yang nyaris kehabisan tenaga itu,
jaraknya terasa seperti beratus-ratus mil.
"Kita memasuki sebuah desa."
"Ini tentu Ogurusu. Jangan berisik."
Pondok-pondok beratap rumbia terlihat di sana-sini. Sebenarnya rombongan Mitsuhide sedapat
mungkin ingin menghindari daerah pemukiman, tapi jalan yang mereka lalui melintas di antara
rumah-rumah itu. Untung saja tak satu lentera pun tampak menyala. Pondok-pondok itu dikelilingi
rumpun-rumpun bambu yang diterangi cahaya bulan, dan segala sesuatu mengisyaratkan bahwa
semua orang sedang tidur nyenyak, tanpa menya-dari kekacauan yang melanda dunia.
Dengan sorot mata tajam yang menembus kegelapan, Akechi Shigetomo dan Murakoshi Sanjuro
menjalankan tugas sebagai pengintai, menyusuri jalan desa yang sempit, tanpa gangguan. Di
tempat jalanan membelok di balik sebuah rumpun bambu, mereka berhenti dan menunggu
Mitsuhide serta rombongannya.
Sosok kedua orang itu, dan pantulan tombak-tombak mereka, terlihat jelas di hadapan
bayang-bayang pepohonan yang berada lima puluh meter di depan.
Sekonyong-konyong bunyi bambu diinjak-injak serta dengusan binatang liar seakan-akan meledak
dari kegelapan. Tatewaki, yang sedang menuntun kudanya di depan Mitsuhide, segera menoleh ke belakang.
Kegelapan menyelubungi pagar sebuah pondok yang berada di bawah naungan rumpun bambu.
Sekitar dua puluh meter di belakang, siluet Mitsu-hide tampak seolah-olah terpaku di tempat .
"Tuanku," Tatewaki memanggil. Rumpun bambu muda bergoyang-goyang di langit yang tanpa
angin. Tatewaki baru hendak berbalik ketika Mitsu-
hide tiba-tiba memacu kudanya dan melesat melewati Tatewaki, tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Ia merunduk dan memeluk leher kudanya. Tatewaki menganggapnya ganjil, namun kemudian
segera mengikuti junjungannya, sama halnya dengan yang lain.
Dengan cara inilah mereka memacu kuda masing-masing sekitar tiga ratus meter, tanpa ke-jadian
apa pun. Setelah bergabung kembali dengan kedua pengintai tadi, ketiga belas orang itu
meneruskan perjalanan. Mitsuhide berada di urutan keenam dari depan.
Tiba-tiba kuda Murakoshi memberontak. Se-ketika ia menghunus pedang dan mengayunkannya di
sebelah kiri pelana. 8 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Bunyi gemerincing terdengar nyaring ketika pedangnya menebas ujung sebuah bambu runcing.
Tangan yang memegang tombak itu segera menghilang di dalam rumpun bambu, tapi yang lain
sempat melihat apa yang terjadi.
"Apa itu" Bandit?"
"Mestinya. Awas, sepertinya mereka bersem-bunyi di tengah rumpun bambu ini."
"Murakoshi, kau tak apa-apa?"
"Hah, kaupikir aku bisa terluka oleh bambu runcing pencuri yang hina?"
"Jangan terpancing! Teruskan perjalanan. Jangan cari masalah."
"Bagaimana dengan Yang Mulia?"
Semuanya menoleh. "Lihat, di sebelah sana!"
Mereka mendadak pucat. Kira-kira seratus langkah di depan mereka, Mitsuhide terjatuh dari
kudanya. Bukan itu saja, ia menggeliat di tanah. mengerang-erang kesakitan, dan sepertinya tak
sanggup bangkit kembali. "Tuanku!" Shigetomo dan Tatewaki turun dari kuda, berlari menghampirinya, dan mencoba mengangkatnya ke
pelana. Namun rupanya Mitsuhide sudah tak mampu meneruskan perjalanan. Ia hanya
menggelengkan kepala. "Tuanku, apa yang terjadi?" Yang lainnya segera berkerumun dalam kegelapan. Hanya erangan
Mitsuhide serta desahan para pengikutnya yang terdengar. Dan tepai pada saat itu bulan bersinar
lebih cerah. Tiba-tiba bunyi langkah dan teriakan-teriakan para bandit terdengar dari kegelapan yang
menye-lubungi rumpun bambu.
"Sepertinya mereka hendak menyerang dari belakang. Beginilah kebiasaan para perampok; mereka
memanfaatkan setiap tanda kelemahan. Sanjuro dan Yojiro, tangani mereka."
Atas perintah Shigetomo, mereka segera berpencar. Tombak disiagakan dan pedang-pedang
dihunus. "Bedebah!" Sambil berteriak lantang, seseorang melompat keluar dari rumpun bambu. Bunyi yang
menyerupai bunyi daun berguguran, atau mungkin suara sekawanan monyet, memecahkan
kehe-ningan malam. "Shigetomo... Shigetomo..." Mitsuhide berbisik. "Hamba di sini, tuanku."
"Ah... Shigetomo," Mitsuhide berkata sekali lagi. Kemudian ia meraba-raba, seakan-akan mencari


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan yang menopangnya. 9 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Darah bercucuran dari sisi dadanya, pandangannya mulai kabur, dan ia sukar berbicara.
"Hamba akan membalut luka tuanku, lalu memberikan obat, jadi hamba mohon tuanku bersabar
sejenak." Mitsuhide menggelengkan kepala untuk menga-takan bahwa lukanya tak perlu dibalut. Kemudian
kedua tangannya bergerak, seolah-olah mencari sesuatu.
"Ada apa, tuanku?" "Kuas..."
Shigetomo cepat-tepat mengeluarkan kertas, tinta, dan kuas. Mitsuhide meraih kuas itu dengan jari
gemetar dan menatap kertas yang putih. Shigetomo sadar bahwa junjungannya hendak menuliskan
sajak kematiannya, dan tenggorokannya mulai tercekat. Ia nyaris tidak tahan menyaksikan sikap
Mitsuhide, dan berpegang teguh pada apa yang dirasakannya sebagai takdir junjungannya, ia
berkata. "Jangan coretkan kuas dulu, tuanku.
Perjalanan ke Otsu tinggal secarikan napas, dan kalau kita tiba di sana, tuanku akan disambut oleh
Yang Mulia Mitsuharu. Perkenankanlah hamba membalut luka ini."
Ketika Shigetomo meletakkan kertas tadi ke tanah dan mulai membuka ikat pinggangnya, Mitsuhide
tiba-tiba mengibaskan tangannya de-ngan tenaga tak terduga. Kemudian, dengan tangan kirinya, ia
menolakkan tubuhnya dari tanah. Sambil merentangkan tangan kanan, ia menggenggam kuas tadi
dengan erat dan mulai menulis:
Tak benar ada dua gerbang: kesetiaan dan pengkhianatan.
Tapi tangannya begitu gemetar, sehingga ia seakan-akan tak sanggup menuliskan baris berikutnya.
Mitsuhide menyerahkan kuas pada Shige-tomo. "Tolong selesaikan sisanya."
Sambil bersandar pada pangkuan Shigetomo, Mitsuhide memutar kepalanya ke arah langit dan
memandang bulan selama beberapa waktu. Ketika bayangan maut yang bahkan lebih pucat
daripada bulan mengisi seluruh wajahnya, ia berkata dengan nada mantap yang tak terduga dan
menyelesaikan sajaknya. Jalan Besar menembus lubuk hati.
Terjaga dari mimpi lima puluh lima tahun, Aku berpulang kepada Yang Satu.
Shigetomo meletakkan kuas dan mulai menangis. Saat itulah Mitsuhide mencabut pedang pendek
dan menggorok lehernya sendiri. Sakuzae-mon dan Tatewaki segera berlari menghampirinya.
Keduanya mendekati jenazah junjungan mereka, lalu menjatuhkan diri ke atas pedang
masing-masing. Empat orang lagi, lalu enam, lalu delapan mengelilingi jenazah Mitsuhide dengan
cara yang sama dan menyusulnya ke akhirat. Dalam sekejap tubuh-tubuh tak bernyawa itu
tergeletak di tanah, menyerupai sekuntum bunga yang terbuat dari darah.
Yojiro telah menerobos ke tengah-tengah rumpun bambu untuk menghadapi gerombolan bandit
tadi. Murakoshi memanggil-manggil ke dalam kegelapan, cemas akan keselamatan rekannya.
"Yojiro, kembalilah! Yojiro! Yojiro!"
10 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tapi beberapa kali pun ia memanggil. Yojiro tidak muncul-muncul. Murakoshi pun mengalami
cedera di beberapa tempat. Ketika ia akhirnya berhasil merangkak keluar dari semak-semak, ia
melihat satu sosok lewat di hadapannya.
"Ah! Yang Mulia Shigetomo." "Sanjuro?"
"Bagaimana keadaan yang Mulia Mitsuhide?" "Beliau telah mengembuskan napas terakhir." "Oh!"
Sanjuro terkejut. "Di mana?"
"Beliau ada di sini, Sanjuro." Shigetomo menun-
juk kepala Mitsuhide yang terbungkus kain dan tergantung pada pelananya. Dengan sedih ia
memalingkan wajah. Sanjuro langsung melompat maju. Ketika meraih kepala Mitsuhide, ia melepaskan teriakan pan-jang
bernada meratap. Beberapa saat kemudian ia bertanya. "Apa ucapan terakhir beliau?"
"Beliau membacakan sebuah sajak yang dimulai dengan, 'Tidak benar ada dua gerbang: kesetiaan
dan pengkhianatan.'"
"Beliau berkata begitu?"
"Walaupun beliau menyerang Nobunaga, tin-dakannya tak dapat dipandang dari segi kesetiaan
atau pengkhianatan. Beliau dan Nobunaga sama-sama samurai, dan keduanya mengabdi pada
sang Tenno. Ketika Yang Mulia Mitsuhide akhirnya terjaga dari mimpi yang berlangsung lima puluh
lima tahun, beliau menyadari bahwa beliau pun tak dapat meloloskan diri dari cercaan maupun
sanjungan dunia. Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau mencabut nyawa sendiri."
"Hamba mengerti." Murakoshi terisak-isak. Dengan tangan terkepal ia menghapus air mata dari
wajahnya. "Beliau tidak mengindahkan teguran Yang Mulia Toshimitsu dan tidak menghindari
pertempuran yang menentukan di Yamazaki dengan pasukan kecil di medan yang tak
menguntungkan, semua karena beliau berpegang teguh pada Jalan Kebesaran. Dari segi itu,
mundur dari Yamazaki tak ubahnya menyerahkan Kyoto kepada musuh. Setelah menyadari apa
yang tersimpan di hati beliau, hamba tak kuasa menahan tangis."
"Walaupun dikalahkan, Yang Mulia tak sekali pun menyimpang dari jalan yang diyakininya, dan tak
pelak beliau wafat dengan ambisi yang telah lama diiidam-idamkan itu. Tapi, kalau kita
membuang-buang waktu di sini, begundal-begundal tadi mungkin kembali dan menyerang lagi."
"Benar." "Aku tak sanggup menangani segala sesuatu di sini seorang diri. Aku meninggalkan jenazah
junjungan kita tanpa kepala. Sudikah kau mengu-burnya agar tak ditemukan siapa pun?"
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Mereka berkumpul di sekitar jasadnya dan gugur dengan gagah."
"Setelah melaksanakan perintah Yang Mulia, hamba pun akan mencari tempat untuk menuju
11 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
akhirat." "Aku akan membawa kepala beliau pada Yang Mulia Mitsutada di Kuil Chionin. Setelah itu aku pun
akan menyambut maut. Selamat jalan."
"Selamat jalan."
Kedua laki-laki itu menuju arah berlawanan pada jalan setapak sempit yang melewati rumpun
bambu. Pancaran cahaya bulan yang menerobos dedaunan sungguh indah dipandang.
Malam itu Benteng Shoryuji dipaksa bertekuk lutut, kira-kira pada saat Mitsuhide menemui ajal di
Ogurusu. Nakagawa Sebei, Takayama Ukon, Ikeda Shonyu, dan Hori Kyutaro memindahkan pos
komando masing-masing ke sana. Setelah menyalakan api unggun raksasa, mereka menderetkan
kursi di muka gerbang benteng dan menantikan kedatangan Hideyoshi dan Nobutaka. Tak lama
kemudian Nobutaka telah berdiri di hadapan mereka.
Merebut benteng itu merupakan kemenangan gemilang. Para prajurit dan perwira sama-sama
menegakkan panji-panji dan memandang Nobu-taka dengan takzim. Ketika Nobutaka turun dari
kuda dan memeriksa barisan. Ia mengangguk-angguk ramah. Sikapnya terhadap para jendral
bahkan hampir terlalu sopan. Ia menyapa mereka dengan hormat, dan secara terang-terangan
menunjukkan rasa terima kasihnya.
Sambil meraih tangan Sebei , ia berkata, "Berkat kesetiaan dan keberanianmulah orang-orang
Akechi dapat dihancurkan dalam pertempuran satu hari. Kini arwah ayahku telah tenteram, dan aku
takkan pernah melupakan ini."
Pujian yang sama diberikannya kepada Taka-yama Ukon dan Ikeda Shonyu. Tapi Hideyoshi, yang
tiba beberapa saat kemudian, tak mengucapkan sepatah kau pun pada semua orang itu. Ketika
lewat di atas tandunya, ia malah seakan-akan meremehkan mereka.
Kegarangan Sebei dikenal tanpa tandingan, biarpun di tengah-tengah prajurit yang kasar, jadi tidak
aneh kalau ia merasa tersinggung oleh sikap Hideyoshi. Ia berdeham cukup keras. Hideyoshi
melirik dari tandu dan berlalu sambil berkomentar. "Pekerjaanmu bagus, Sebei."
Sebei mengentakkan kaki dengan geram. "Yang Mulia Nobutaka pun bersedia turun dari kuda untuk
kita, tapi orang ini begitu congkak, sehingga tetap saja duduk dalam tandu. Barangkali si Monyet
menyangka telah menguasai seluruh negeri." Ucapannya cukup keras untuk didengar semua orang
di sekelilingnya, tapi selain itu ia tak kuasa berbuat apa-apa.
Ikeda Shonyu, Takayama Ukon, dan yang lain berkedudukan sederajat dengan Hideyoshi, namun
sejak beberapa waktu lalu, Hideyoshi mulai bersikap seolah-olah mereka bawahannya. Mereka pun
merasa bahwa entah bagaimana mereka berada di bawah komando Hideyoshi. Tak perlu diragukan
bahwa perasaan itu tak berkenan di hati mereka, tapi tak seorang pun mengatakan sesuatu.
Ketika memasuki benteng pun Hideyoshi hanya menatap sekilas pada reruntuhan bangunan yang
telah hangus itu. Tampaknya ia belum memikirkan istirahat. Setelah memerintahkan agar petak
bertirai didirikan di pekarangan, ia menempatkan kursinya di samping kursi Nobutaka, segera me-
manggil para jendral, dan mulai memberikan perintah-perintah.
12 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kyutaro, bawa pasukanmu ke Desa Yamashina, lalu maju ke arah Awadaguchi. Tugasmu adalah
menutup jalan antara Azuchi dan Sakamoto di Otsu." Kemudian ia berpaling pada Sebei dan Ukon.
"Kalian harus segera menyusuri Jalan Raya Tamba. Kelihatannya banyak musuh melarikan diri ke
arah Tamba, dan kita tidak boleh memberi kesempatan pada mereka untuk mencapai Benteng
Kameyama, sehingga mereka dapat mengadakan persiapan. Jika kita berlambat-lambat di sini, kita
akan kehilangan lebih banyak waktu lagi. Kalau kalian bisa tiba di Kameyama besok siang, benteng
itu seharusnya dapat kalian taklukkan tanpa banyak kesulitan."
Kemudian beberapa orang dikirim ke Toba dan ke daerah Shichijo, sementara sejumlah orang lain
disuruh menuju sekitar Yoshida dan Shirakawa. Perintah-perintah itu sangat jelas, dan Nobutaka
hanya mendengarkan semuanya, tanpa berkata apa-apa. Namun di mata para jendral, sikap
Hideyoshi sungguh lancang.
Meski demikian, Sebei pun, yang semula menyuarakan ketidaksenangannya secara
terang-terangan, kini diam saja dan menerima perintah yang diberikan padanya seperti yang lain.
Akhirnya mereka membagi-bagikan ransum kepada para prajurit, menuang sake, mengisi perut
masing- masing, dan sekali lagi bertolak ke medan tempur berikut.
Hideyoshi paham bahwa selalu ada waktu dan tempat yang tepat untuk membuat orang-orang
tunduk padanya, dan kali ini ia sengaja menunggu sampai masing-masing jendral berhasil meraih
kemenangan. Namun Hideyoshi juga menyadari bahwa rekan-rekannya merupakan orang dengan
keberanian tanpa tandingan dan tak pernah gentar, sehingga ia pun tak berani bersikap gegabah
dengan hanya mengandalkan satu cara ini.
Sebuah pasukan harus mempunyai pemimpin. Dari segi kedudukan, Nobutakalah yang paling
pantas menjadi panglima tertinggi. Tapi ia baru saja bergabung, dan semua jendral mengakui
bahwa baik wibawa maupun tekadnya tidak memadai. Karena itu, tak ada yang dapat memegang
tampuk kepemimpinan selain Hideyoshi.
Meski tak satu jendral pun rela tunduk pada Hideyoshi, semuanya menyadari bahwa tak ada orang
lain yang dapat diterima oleh semua pihak. Hideyoshi merencanakan pertempuran ini sebagai
upacara peringatan bagi Nobunaga dan telah mengumpulkan mereka semua. Jadi, jika kini mereka
mengeluh karena ia memperlakukan mereka sebagai bawahan, mereka hanya akan membuka
peluang untuk dituduh mengejar ke-pentingan pribadi.
Para jendral tidak mendapat kesempatan ber-
istirahat, melainkan diharuskan langsung bertolak ke medan tempur baru, sesuai perintah yang
mereka terima. Ketika mereka berdiri untuk berangkat, Hideyoshi tetap duduk di kursi komandan
dan hanya memberi isyarat dengan gerakan dagunya kepada masing-masing orang.
Hideyoshi tinggal di Kuil Mii, dan pada malam hari keempat belas, badai petir kembali melanda.
Bara api di reruntuhan Benteng Sakamoto padam, sepanjang malam kilat menyambar-nyambar di
atas Shimeigatake dan danau yang warnanya menye-rupai tinta.
Namun seiring fajar, awan-awan kelabu menyingkir dan langit musim panas muncul sekali lagi. Dari
perkemahan utama di Kuil Mii, asap tebal berwama kuning terlihat mengepul dari arah Azuchi di tepi
timur danau. 13 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Azuchi terbakar!"
Mendengar laporan para penjaga, para jendral keluar ke serambi. Hideyoshi dan yang lainnya
melindungi mata dengan sarung tangan.
Seorang kurir melaporkan, "Yang Mulia Nobuo, yang semula berkemah di Tsuchiyama di Omi, dan
Yang Mulia Gamo menggabungkan kekuatan dan menyerang Azuchi sejak pagi. Mereka menyulut
api di kota dan benteng, dan angin dari danau menyebabkan kobaran api merambat ke seluruh
Azuchi. Tapi ternyata tak ada prajurit musuh di Azuchi, sehingga tidak terjadi pertempuran."
Hideyoshi dapat membayangkan apa yang terjadi di tempat jauh.
"Tak ada alasan untuk menyulut kebakaran." ia bergumam sambil merengut. "Yang Mulia Nobuo
dan Gamo telah bertindak gegabah."
Tapi dengan cepat ia berhasil menenangkan diri. Keruntuhan budaya yang dibentuk Nobunaga
dengan darah dan keringat selama setengah umurnya memang patut disesali, tapi Hideyoshi yakin
bahwa tak lama lagi - dan dengan kekuatannya sendiri - ia akan membangun benteng dan budaya
yang lebih besar lagi. Tepat saat itu, sebuah patroli tiba dari gerbang utama kuil. Mereka mengelilingi satu orang dan
menggiringnya ke hadapan Hideyoshi. "Petani dari Ogurusu bernama Chobei ini mengaku
menemukan kepala Yang Mulia Mitsuhide."
Telah menjadi kebiasaan untuk memeriksa kepala jendral musuh dengan khidmat, dan Hide-yoshi
memerintahkan agar kursinya disiapkan di muka kuil utama. Tak lama kemudian, ia duduk bersama
para jendral lain dan menatap kepala Mitsuhide sambil membisu.
Setelah itu, kepala tersebut dipajang di reruntuhan Kuil Honno. Baru satu setengah bulan berlalu
sejak panji berlambang kembang lonceng ditegakkan di tengah-tengah teriakan perang pasukan
Akechi. Kepala Mitsuhide dipajang agar dapat dilihat oleh para warga ibu kota, dan mereka terus
berdatangan dari pagi sampai malam. Bahkan mereka yang mencela pengkhianatan Mitsuhide kini
mengucapkan doa, sementara orang-orang lain mena-burkan bunga di bawah tengkorak yang telah
mulai membusuk. Perintah-perintah militer Hideyoshi sederhana dan jelas. Ia hanya mempunyai tiga undang-undang:
Bekerja sungguh-sungguh. Jangan melakukan kesalahan. Pembuat onar akan dihukum mati.
Hideyoshi belum mengadakan upacara pema-kaman resmi bagi Nobunaga; upacara kebesaran
yang dikehendakinya tak dapat dilaksanakan dengan kekuatan militer semata-mata, dan rasanya
tak pantas jika ia memprakarsainya seorang diri. Api di ibu kota akhirnya padam, tapi pengaruhnya
menyebar ke semua provinsi.
Nobunaga telah wafat, Mitsuhide telah wafat, dan ada kemungkinan seluruh negeri akan kembali
terbagi ke dalam tiga kutub kekuasaan, seperti pada masa sebelum Nobunaga. Kecuali itu,
sengketa keluarga dan panglima-panglima yang memperjuangkan kepentingan masing-masing
mungkin saja menjerumuskan seluruh negeri ke dalam kekacauan yang menandai keshogunan
14 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
selama tahun-tahun terakhirnya.
Dari Kuil Mii, Hideyoshi memindahkan segenap pasukannya ke atas armada kapal perang. Ia
mengangkut segala sesuatu, mulai dari kuda-
kuda sampai penyekat-penyekat berlapis emas. Ini terjadi pada hari kedelapan belas di bulan itu,
dan tujuannya adalah untuk pindah ke Azuchi. Pasukan lain juga merayap ke Timur. Lewat jalan
darat. Iring-iringan kapal yang melintasi danau digerakkan oleh angin yang mengibarkan panji-panji,
dan bergerak sejajar dengan pasukan darat yang menyusuri pesisir.
Tapi Azuchi telah dibumihanguskan, dan begitu pasukan Hideyoshi tiba di sana, mereka langsung
patah semangat. Dinding-dinding Azuchi yang berwarna biru dan emas tak ada lagi. Semua
gerbang tembok luar serta atap Kuil Soken yang menjulang tinggi telah terbakar habis. Keadaan di
kota benteng bahkan lebih parah lagi. Anjing-anjing liar pun tak sanggup menemukan makanan,
dan para misionaris berjalan mondar-mandir dengan pan-dangan kosong.
Nobuo seharusnya berada di sini, tapi ia sedang memerangi pemberontak-pemberontak di Ise dan
Iga. Akhirnya jelaslah bahwa pembakaran Azuchi tidak diperintahkan oleh Nobuo. Api memang
disulut oleh anak buahnya, tapi rupanya perbuatan mereka disebabkan oleh salah paham, atau
mung-kin oleh desas-desus palsu yang disebarkan musuh.
Hideyoshi dan Nobutaka menempuh perjalanan ke Azuchi bersama-sama, dan mereka sangat
menyesalkan kehancurannya. Namun, se-telah menyadari bahwa bukan Nobuo yang ber-
tanggung jawab atas kejadian tersebut, kemarahan mereka sedikit berkurang. Hanya dua hari
mereka tinggal di Azuchi. Iring-iringan kapal kembali berlayar, kali ini ke arah utara. Hideyoshi
hendak memindahkan pasukan utamanya ke bentengnya di Nagahama.
Benteng itu ternyata aman. Tak ada tanda-tanda kehadiran musuh, dan pasukan sekutu telah mulai
memasuki pekarangan benteng. Ketika panji komandan berlambang labu emas dikibarkan, para
warga kota benteng tampak bersukaria. Mereka memadati jalan-jalan yang dilalui Hideyoshi dari
kapal ke benteng. Kaum perempuan, anak-anak, dan orang-orang tua bersujud di tanah untuk
menyambutnya. Beberapa orang menitikkan air mata, bahkan ada yang tak sanggup
menengadahkan wajah. Ada yang bersorak-sorai sambil melam-baikan tangan, dan tak sedikit yang
seolah-olah lupa diri dan menari-nari riang. Hideyoshi sengaja menunggang kuda untuk
menanggapi sambutan meriah yang diberikan padanya.
Namun bagi Hideyoshi masih ada satu hal yang sangat membebani pikirannya, dan beban itu
semakin berat ketika ia memasuki Benteng Naga-hama. Ia sudah tak sabar untuk melepas rindu.
Selamatkah ibu dan istrinya"
Setelah duduk di benteng dalam, ia mengajukan pertanyaan ini berulang-ulang pada semua
jendralnya yang datang dan pergi. Tiba-tiba ia sangat men-
cemaskan keadaan keluarganya.
"Kami telah mencari mereka ke mana-mana, tapi sampai sekarang belum ada laporan jelas," para
jendral berkata. "Masa tak satu orang pun yang mengetahui ke-beradaan mereka?" tanya Hideyoshi .
15 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kami juga berpikir demikian," salah satu jendral menjawab. "Tapi rupanya tak seorang pun melihat
mereka. Pada waktu mereka melarikan diri dari sini, tempat yang mereka tuju dirahasiakan secara
ketat." "Begitu. Memang benar, seandainya rencana mereka bocor ke kalangan orang kebanyakan, musuh
tentu akan melakukan pengejaran, dan mereka akan terancam bahaya."
Hideyoshi mengadakan pertemuan dengan jendral lain dan membahas hal yang sama sekali
berbeda. Hari itu pasukan musuh di Benteng Sawayama telah meninggalkan benteng tersebut dan
melarikan diri ke arah Wakasa. Hideyoshi diberitahu bahwa benteng itu sudah dikembalikan ke
tangan bekas komandannya, Niwa Nagahide.
Ishida Sakichi serta lima atau empat anggota kelompok pelayan pribadi tiba-tiba kembali dari suatu
tempat yang tak diketahui. Sebelum mereka sampai di ruangan Hideyoshi, suara-suara riang
terdengar dari selasar dan ruang para pelayan, dan Hideyoshi bertanya pada mereka yang berada
di sckelilingnya. "Sudah kembalikah Sakichi" Kenapa dia tidak segera ke sini?" Ia mengutus
seseorang untuk menegurnya.


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ishida Sakichi kelahiran Nagahama, dan ia mengenal medan di daerah itu lebih baik dari siapa pun.
Karena itu, ia menganggap sekaranglah waktu terbaik untuk memanfaatkan pengetahuannya. Sejak
siang ia pergi atas inisiatif sendiri, mencari-cari tempat ibu dan istri junjungannya mungkin
bersembunyi. Penuh hormat, Sakichi berlutut di hadapan Hideyoshi. Berdasarkan laporannya, ibu dan istri
Hideyoshi, sertna para anggota rumah tangga lainnya, bersembunyi di pegunungan kira-kira tiga
puluh mil dari Nagahama. Tampaknya hanya dengan susah payah mereka dapat bertahan.
"Baiklah, mari kita bersiap-siap untuk segera berangkat. Jika kita berangkat sekarang, mestinya
besok malam kita sudah sampai di sana," ujar Hideyoshi sambil berdiri. Ia nyaris tak sanggup
menahan diri. "Uruslah segala sesuatu sementara aku pergi." ia memberi perintah pada Kyutaro. "Hikoemon
berada di Otsu, dan Yang Mulia Nobutaka masih di Azuchi."
Ketika Hideyoshi keluar lewat gerbang benteng, ia melihat sekitar enam ratus sampai tujuh ratus
orang menunggunya sambil berbaris. Berturut-turut mereka mengikuti pertempuran di Yamazaki
dan Sakamoto, dan bahkan di Azuchi pun mereka tidak mendapat kesempatan melepas lelah.
Prajurit-prajurit itu baru tiba pagi hari, dan wajah-wajah mereka yang berlepotan lumpur masih
menyiratkan keletihan. Hideyoshi berkata. "Lima puluh penunggang kuda sudah memadai untuk
menyertaiku." Hideyoshi baru mengatakannya setelah para penunggang yang membawa obor mulai memim-pin
iring-iringan itu. Berarti sebagian besar dari mereka akan tinggal di Nagahama.
"Itu berbahaya." ujar Kyutaro. "Lima puluh penunggang kuda terlalu sedikit. Jalanan yang harus
dilalui malam ini melintas di dekat Gunung Ibuki, dan mungkin saja sisa-sisa pasukan musuh masih
bersembunyi di sana."
Baik Kyutaro maupun Shonyu mewanti-wanti Hideyoshi, namun Hideyoshi tampak yakin bahwa
16 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kekhawatiran mereka tidak beralasan. Setelah menjawab bahwa tak ada yang perlu dicemaskan, ia
menyuruh para pembawa obor berjalan di depan. dan mereka mulai menyusun jalan yang diapit
pepohonan ke arah timur laut.
Dengan berkuda sampai giliran jaga keempat, Hideyoshi menempuh lima belas mil tanpa terlalu
terburu-buru. Tengah malam rombongannya tiba di Kuil Sanjuin. Semula Hideyoshi menyangka keda-tangannya
akan mengejutkan para biksu, namun di luar dugaannya, ketika mereka membuka gerbang utama,
ia melihat bagian dalam kuil terang benderang oleh cahaya lentera-lentera, pekarangan telah
disiram air, dan seluruh tempat itu telah disapu sampai bersih.
"Pasti ada yang mendului kita dan memberi-tahukan kedatanganku pada mereka."
"Hamba yang melakukannya," ujar Sakichi. "Kau?"
"Ya. Hamba pikir tuanku mungkin akan mampir di sini untuk beristitahat sejenak, jadi hamba
mengutus pemuda jago lari dan memesan makanan untuk lima puluh orang."
Sakichi pernah menjadi murid di Kuil Sanjuin. tapi pada usia dua belas tahun ia diterima oleh
Hideyoshi sebagai pelayan di Benteng Nagahama. Itu terjadi delapan tahun silam, dan sekarang ia
telah berumur dua puluh tahun. Sakichi sangat cerdas dan lebih tanggap daripada kebanyakan
orang. Menjelang fajar, sosok Gunung Ibuki mulai membayang di hadapan merah muda dan biru pucatnya
langit; tak ada suara selain kicauan burung-burung kecil. Embun membasahi jalan, dan kegelapan
masih bercokol di bawah pe-pohonan.
Hideyoshi tampak gembira. Ia tahu bahwa dengan setiap langkah, ia semakin mendekati ibu dan
istrinya, dan sepertinya ia tak memedulikan jalan yang menanjak maupun kelelahannya sen-
diri. Kini, semakin ia mendekati Nishitani seiring semakin terangnya Gunung Ibuki, semakin kuat
perasaannya bahwa ia didekap di dada ibunya.
Tak peduli berapa lama mereka mendaki dan menyusuri Sungai Azusa, sepertinya mereka tak
kunjung tiba di sumbernya. Justru sebaliknya, mereka sampai di sebuah lembah yang sedemikian
lebar, sehingga memberi kesan bahwa mereka tidak berada di tengah-tengah pegunungan.
"Itu Gunung Kanakuso," ujar biksu yang bertindak sebagai pemandu, dan ia menunjuk sebuah
puncak terjal tepat di hadapan mereka. Ia mengusap keringat yang membasahi keningnya.
Mata-hari telah mencapai puncak perjalanannya melintasi langit, dan udara semakin panas.
Biksu itu kembali menyusuri jalan setapak yang sempit. Setelah beberapa saat, jalan setapaknya
be-gitu menyempit, sehingga Hideyoshi dan para pembantunya terpaksa turun dari kuda.
Sekonyong-konyong orang-orang di sekeliling Hideyoshi berhenti.
"Kelihatannya seperti musuh," mereka berkata dengan waswas.
Hideyoshi dan rombongan kecilnya baru saja mengitari puncak gunung. Di kejauhan mereka melihat
sekelompok prajurit di lereng gunung. Orang-orang itu pun tampak terkejut dan berdiri serempak.
17 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sepertinya salah satu dari mereka memberikan perintah-perintah, sementara yang lain segera
berpencar dalam keadaan kacau-balau. "Barangkali mereka sisa pasukan musuh," sese-
orang berkata, "Hamba dengar mereka melarikan diri sampai ke Ibuki."
Itu memang suatu kemungkinan, dan seketika para penembak berlari ke depan. Perintah siaga
menghadapi pertempuran segera diberikan, tapi kedua biksu yang bertindak sebagai pemandu
langsung berseru-seru. "Mereka bukan musuh. Mereka petugas-petugas pengintai dari kuil. Jangan menembak!"
Kemudian mereka berpaling ke arah gunung di kejauhan dan membuka komunikasi dengan
melambaikan tangan dan berteriak sekuat tenaga.
Sesudah itu, para prajurit menuruni gunung bagaikan batu yang menggelinding dari tebing. Tak
lama kemudian seorang perwira dengan bendera kecil terpasang di punggung berlari menemui
mereka. Hideyoshi mengenalinya sebagai pengikut dari Nagahama.
Kuil Daikichi tak lebih dari kuil pegunungan yang kecil. Jika turun hujan, air merembes lewat atap.
Jika angin bertiup, semua dinding dan balok bergoyang-goyang. Nene tinggal dan menunggui ibu
mertuanya di kuil utama, sementara para dayang ditempatkan di bagian hunian para biksu. Para
pengikut yang menyusul dari Nagahama mendirikan pondok-pondok kecil di daerah sekitar.
atau menginap di rumah-rumah petani di desa. Dalam kondisi menyedihkan inilah sebuah keluar-ga
besar berjumlah lebih dari dua ratus orang hidup selama lebih dari dua minggu.
Ketika berita mengenai pembunuhan Nobu-naga sampai di telinga mereka, barisan depan pasukan
Akechi telah terlihat dari benteng, dan hampir tak ada waktu untuk memikirkan langkah yang harus
diambil. Nene sempat mengirim surat kepada suaminya yang berada di wilayah Barat yang jauh,
tapi hanya pada saat-saat terakhir. Ia membawa ibu mertuanya melarikan diri dari benteng,
meninggalkan segala sesuatu di sana. Ia hanya membawa satu kuda beban, dengan pakaian untuk
ibu mertua dan hadiah dari Nobunaga untuk suaminya.
Dalam situasi itu, Nene merasakan beban tang-gung jawab yang diemban kaum perempuan. Ia
memimpin benteng sementara Hideyoshi pergi, dan ia harus melayani mertuanya yang berusia
lanjut dan mengatur rumah tangga benteng yang besar. Tentunya dengan sepenuh hati ia ingin
merasakan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh pujian suaminya, namun Hideyoshi berada jauh di
medan tempur. Sampai saat itu, Nene hidup aman di dalam benteng, sementara suaminya berada
di medan perang, tapi sekarang tak ada perbedaan lagi di antara mereka.
Dalam masa perang, situasi semacam ini bukan alasan untuk berputus asa, tapi Nene risau
memikirkan ke mana ia harus memindahkan ibu Hideyoshi. Kalaupun benteng diserahkan pada
musuh, tak perlu diragukan bahwa Hideyoshi akan segera merebutnya kembali. Tapi sebagai
istrinya, jika ia membiarkan ibu mertuanya terluka, ia takkan sanggup menghadapi suaminya lagi.
"Jangan pikirkan apa-apa selain melindungi ibu mertuaku. Jangan cemaskan aku. Dan walau terasa
berat, tinggalkan segala sesuatu yang tak mutlak diperlukan. Jangan terpengaruh oleh harta
benda." Demikianlah Nene membesarkan hati para pelayan perempuan dan semua anggota rumah
tangga ketika mereka menyusuri jalan ke arah timur.
18 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Di sebelah barat Nagahama dibatasi oleh Danau Biwa, daerah sebelah utara dikuasai oleh
marga-marga musuh, sedangkan keadaan ke arah Jalan Raya Mino tidak diketahui pasti. Karena
itu, tak ada pilihan selain mengungsi ke arah Gunung Ibuki.
Jika marganya meraih kemenangan, hati istri prajurit akan meluap oleh kebahagiaan.
Tapi jika suaminya berada di pihak yang kalah, atau mereka diusir dari bentengnya dan terpaksa
mengungsi, istri yang malang itu merasakan ke-sedihan yang tak terbayangkan oleh laki-laki yang
bekerja di ladang atau berdagang di kota.
Sejak hari itu, para anggota rumah tangga Hideyoshi mengalami kelaparan, membaringkan diri
untuk tidur di tempat terbuka, dan terus dihantui ketakutan akan patroli musuh. Pada malam hari,
mereka sukar menghindari embun; pada siang hari, kaki mereka yang berdarah tak henti-hentinya
melangkah. Selama masa penderitaan itu ada satu pikiran yang menjadi pegangan bagi mereka: kalau sampai
tertangkap oleh musuh, kita akan menunjukkan pada mereka siapa kita. Hampir semuanya berikrar
demikian dalam hati. Desa itu merupakan tempat pengungsian yang baik. Sejumlah penjaga telah ditugaskan di
ke-jauhan, sehingga tak ada bahaya serangan mendadak. Para pengungsi mempunyai tempat
menginap dan perbekalan memadai. Satu-satunya masalah adalah keterpencilan mereka. Karena
begitu jauh dari pemukiman lain, mereka tidak mengetahui perkembangan yang terjadi.
Tak lama lagi, kurir yang diutus seharusnya sudah kembali. Nene membiarkan pikirannya melayang
ke langit Barat. Pada malam sebelum meninggalkan Nagahama, ia sempat terburu-buru menulis
surat untuk suaminya. Dan sejak itu tak ada kabar dari kurir yang bertugas menyampaikan suratnya.
Barangkali orang itu tertangkap oleh pihak Akechi, atau ia tak mampu menemukan tempat
persembunyian mereka. Siang-malam Nene memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut
Belakangan Nene mendengar bahwa terjadi pertempuran di Yamazaki. Ketika peristiwa itu
diberitahukan padanya, kulit Nene langsung bersemu merah.
"Mungkin saja. Begitulah anak itu," ujar ibu Hideyoshi.
Rambut perempuan tua itu telah putih semuanya, dan kini ia duduk di bangsal utama Kuil Daikichi
sejak terjaga di pagi hari sampai beranjak tidur, hampir tanpa bergerak, berdoa dengan tulus bagi
kejayaan putranya. Betapa besar pun ke-kacauan yang melanda dunia, ia yakin sepenuhnya bahwa
putra yang dilahirkannya takkan pernah berpaling dari Jalan Kebesaran. Sekarang pun, pada saat
berbincang-bincang dengan Nene, ia tak dapat meninggalkan kebiasaan lamanya, yaitu memanggil
Hideyoshi dengan sebutan "anak itu".
"Biarkan dia kembali dengan membawa ke-menangan, meskipun kemenangannya harus ditebus
dengan tubuh renta ini." Itulah doa yang diucapkannya sepanjang hari. Dari waktu ke waktu ia
menengadah sambil mendesah lega dan menatap patung Dewi Kannon.
"Ibu, aku mendapat firasat bahwa tak lama lagi kita akan menerima kabar baik," ujar Nene suatu
hari. "Aku juga merasakannya, tapi aku tidak tahu apa sebabnya," kata ibu Hideyoshi.
19 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Aku tiba-tiba saja merasakannya, sewaktu menatap wajah Dewi Kannon," ujar Nene. "Sepertinya
Dewi Kannon tersenyum pada kita. kemarin lebih jelas daripada hari sebelumnya, dan hari ini lebih
jelas daripada kemarin."
Perbincangan kedua perempuan itu terjadi pada pagi hari menjelang kedatangan Hideyoshi.
Matahari sedang terbenam, dan temaram senja telah mewarnai dinding-dinding kuil. Nene
menghidupkan lentera-lentera di tempat persembahan, sementara ibu Hideyoshi duduk berdoa di
hadapan patung Dewi Kannon.
Tiba-tiba mereka mendengar prajurit-prajurit bergegas keluar. Ibu Hideyoshi menoleh terkejut dan
Nene keluar ke serambi. "Yang Mulia datang!"
Seruan para penjaga menggema di pekarangan. Setiap hari mereka menyusuri sungai sejauh enam
mil ke arah hulu, untuk berjaga-jaga. Mereka terengah-engah karena berlari sampai ke gerbang
utama, tapi ketika melihat Nene berdiri di seram-bi, mereka langsung berseru-seru, seakan-akan tak
ada waktu lagi untuk mendekat.
"Ibu!" Nene berseru. "Nene!"
Perempuan tua dan menantunya itu berpelukan sambil menitikkan air mata. Ibu Hideyoshi bersujud
di hadapan patung Dewi Kannon. Nene berlutut di sampingnya dan membungkuk khid-mat.
"Sudah lama anak itu tak berjumpa denganmu. Kau tampak agak lelah. Sikatlah dulu rambutmu."
"Baik. Ibu." Nene segera pergi ke kamarnya. Ia menyikat rambut, mengambil semangkuk air dari pipa bambu
untuk mencuci muka, lalu cepat-cepat memoles wajah.
Semua anggota rumah tangga serta para samurai berada di depan gerbang, berbaris berdasarkan
usia dan pangkat untuk menyambut Hideyoshi. Baik tua maupun muda, dan tak sedikit di antaranya
penduduk desa, mengintip dari balik pepohonan. Mata mereka membeliak karena ingin tahu apa
yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian, dua prajurit yang mendului yang lain tiba di gerbang
dan mengumumkan bahwa junjungan mereka berikut rombongannya akan segera menyusul.
Setelah melapor pada Nene, mereka bergabung di ujung barisan, dan semua orang terdiam.
Semuanya menantikan kemunculan Hideyoshi di ke-jauhan. Sorot mata Nene tampak muram.
Tak lama kemudian sekelompok orang dan kuda datang, udara dipenuhi bau keringat dan debu,
serta hiruk-pikuk orang-orang yang hendak mengelu-elukan junjungan mereka.
Hideyoshi berada dalam rombongan itu. Perjalanan singkat dari desa ditempuhnya dengan
berkuda, tapi di dalam gerbang kuil ia segera turun dari kudanya. Sambil menyerahkan tali kekang
pada salah satu pembantunya, ia memandang sekelompok anak kecil yang berdiri di ujung barisan
di sebelah kanannya. "Di pegunungan ini tentu banyak tempat bermain," katanya. Lalu ia menepuk-nepuk bahu para
bocah yang berdiri di dekatnya. Mereka semua anak para pengikutnya; ibu, nenek, dan kakek
20 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mereka pun hadir di sini. Hideyoshi menatap semuanya sambil tersenyum ketika menuju tangga
gerbang. "Hmm, hmm. Kelihatannya semuanya aman. Aku lega." Kemudian ia berpaling ke sebelah kirinya,
tempat para prajurit marganya berdiri sambil membisu. Hideyoshi meninggikan suaranya. "Aku telah
kembali. Aku memahami ke-sengsaraan yang kalian derita selama kepergianku. Kalian dipaksa
bekerja sangat keras."
Para prajurit dalam barisan itu membungkuk. Di bawah gerbang di ujung tangga, para pengikut
utama serta anggota-anggota kerabat terdekatnya, tua maupun muda, menunggu untuk
menyambutnya. Hideyoshi hanya melirik ke kiri-kanan sambil tersenyum. Kepada istrinya, Nene, ia
hanya melirik sekilas, lalu melewati gerbang kuil tanpa berkata apa-apa.
Tapi sejak saat itu sang suami selalu disertai sosok istrinya yang bersahaja. Para pelayan yang
mengikuti mereka sambil berkerumun dan para anggora keluarga bubar dan beristirahat, sesuai
petunjuk Nene, atau memberi hormat dari serambi, lalu menghilang ke kamar masing-masing.
Di dalam kuil utama yang berlangit-langit tinggi, sebuah lentera memancarkan cahayanya yang
berkelap-kelip. Di sebelahnya duduk seorang perem-puan dengan rambut seputih kepompong ulat
sutra, mengenakan kimono berwarna cokelat muda.
Ia mendengar suara putranya ketika diantar dari serambi oleh istrinya. Tanpa bersuara, ibu
Hide-yoshi berdiri dan pindah ke tepi ruangan. Tata cara untuk kesempatan itu menuntut
penyam-butan untuk kepala marga yang pulang dengan membawa kemenangan; ini merupakan
tradisi golongan samurai, bukan urusan sehari-hari antara orangtua dan anak. Tapi begitu
Hideyoshi melihat ibunya dalam keadaan sehat, ia tak merasakan apa pun selain cinta kasih bagi
darah dagingnya sen-diri. Sambil membisu ia menghampiri ibunya. Namun dengan sopan
perempuan tua itu menolak.
"Kau telah kembali dengan selamat. Sebelum menanyakan penderitaan atau kabarku, maukah kau
bercerita mengenai kematian Yang Mulia Nobunaga" Dan tolong beritahu aku, apakah kau berhasil
menghancurkan musuh kita, Mitsuhide?"
Tanpa sadar Hideyoshi menegakkan badan. Ibunya melanjutkan. "Entah kau menyadarinya atau
tidak, tapi hari demi hari yang dicemaskan ibumu yang tua ini bukanlah pertanyaan apakah kau
masih hidup atau tidak. Aku bertanya-tanya, apakah kau akan bertindak sebagai Jendral Hideyoshi
yang agung, pengikut Yang Mulia Nobunaga. Kemudian aku mendengar kau menggempur
Amagasaki dan Yamazaki. Tapi sesudah itu kami tidak mendapat berita lagi."
"Maafkan kelalaianku."
Ibu Hideyoshi sengaja menjaga jarak, dan kata-katanya seakan-akan tidak mengandung nada kasih
sayang, tapi Hideyoshi gemetar karena bahagia. Ia merasa teguran ibunya menunjukkan kasih
sayang yang jauh lebih besar daripada sekadar kasih sayang seorang ibu, dan teguran itu pun
memberikan semangat padanya untuk menghadapi masa depan.
Hideyoshi lalu bercerita secara terperinci mengenai apa saja yang terjadi setelah kematian
Nobunaga, dan tentang hal-hal besar yang ingin diraihnya. Ia membicarakan semuanya secara
gamblang, agar dapat dimengerti oleh ibunya yang tua.
21 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Baru sekarang ibunya menitikkan air mata dan memuji putranya. "Syukurlah kau berhasil
menum-pas orang-orang Akechi dalam beberapa hari saja. Arwah Yang Mulia Nobunaga tentu
puas, dan beliau takkan menyesal telah membimbingmu selama ini. Sesungguhnya, aku telah
bertekad untuk tidak membiarkanmu melewatkan satu malam pun di sini, seandainya kau datang
sebelum melihat kepala Mitsuhide."
"Dan aku takkan dapat menemui Ibunda sebelum menuntaskan urusan itu, jadi aku tak ada pilihan
selain bertempur terus sampai dua atau tiga hari yang lalu."
"Pertemuan kita di sini menunjukkan bahwa jalan yang kautempuh scsuai dengan kehendak para
dewa dan Buddha. Hmm... Nene, kemarilah. Kita perlu mengucap syukur bersama-sama."
Kemudian perempuan itu sekali lagi berpaling kepada patung Dewa Kannon. Sampai saat itu, Nene
duduk terpisah dari Hideyoshi dan ibunya. Namun ketika ibu mertuanya memanggil, ia segera
bcrdiri dan menghampiri tempat persembahan.
Setelah menyalakan lentera, ia segera kembali. Baru sekarang ia duduk di samping suaminya.
Ketiga-tiganya membungkuk ke arah cahaya redup di hadapan mereka. Setelah Hideyoshi
menenga-dah dan menatap patung itu, mereka membung-kuk sekali lagi. Sebuah lempeng
peringatan bertuliskan nama Yang Mulia Nobunaga telah ditempatkan di sana.
Setelah selesai, ibu Hideyoshi merasa seolah-olah sebuah beban berat telah terangkat dari
pundaknya. "Nene," perempuan tua itu memanggil dengan lembut. "Anak itu tentu ingin mandi. Sudah siapkah
semuanya?" "Sudah. Mandi memang lebih menyenangkan daripada apa pun, jadi aku sudah menyiapkan
semuanya." "Bagus, jadi dia bisa membersihkan keringat dan debu yang melekat. Sementara itu, aku akan ke
dapur untuk menyiapkan beberapa hidangan kesukaannya."
Perempuan tua itu membiarkan mereka berduaan saja.
"Nene." "Ya?"
"Kurasa kau pun melalui banyak penderitaan kali ini. Tapi dengan segala kesulitan yang


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau-hadapi, kau berhasil mengamankan ibuku. Sesungguhnya itulah satu-satunya
kekhawatiran-ku." "Istri prajurit selalu siap menghadapi cobaan seperti ini, jadi rasanya tidak terlampau berat."
"Betulkah" Kalau begitu, kau paham bahwa tak ada yang lebih memuaskan daripada menoleh ke
belakang dan melihat bahwa segala kesulitan telah berhasil kaulewati."
"Kalau aku melihat suamiku pulang dengan selamat, aku pun memahami maksud ucapan itu."
Keesokan harinya mereka kembali ke Naga-hama. Matahari pagi terpantul pada kabut yang putih.
Menyusuri Sungai Azusa, jalanan semakin menyempit, para prajurit turun dan menuntun kuda
22 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
masing-masing. Di tengah perjalanan, mereka bertemu salah satu perwira staf dari Nagahama yang datang untuk
melaporkan situasi perang.
"Surat tuanku mengenai hukuman terhadap orang-orang Akechi telah dikirim kepada marga-marga
lain, dan barangkali karena segera diberi-tahu, pasukan Yang Mulia Ieyasu telah kembali ke
Hamamatsu dari Narumi. Di pihak lain, pasukan Yang Mulia Katsuie, yang sudah sempat mencapai
perbatasan Omi, kabarnya kini menghentikan gerak majunya."
Hideyoshi tersenyum simpul, lalu bergumam, seakan-akan berbicara pada diri sendiri, "Rupanya
kali ini Yang Mulia Ieyasu pun agak bingung. Meski tidak secara langsung, kelihatannya kesiaga-an
Ieyasu telah membubarkan kekuatan militer Mitsuhide. Para prajurit Tokugawa pasti amat kecewa,
karena terpaksa pulang tanpa sempat mencicipi pertempuran."
Jadi, pada hari kedua puluh lima bulan itu, sehari setelah ia mengantar ibunya ke Nagahama,
Hideyoshi bertolak ke Mino.
Provinsi Mino sempat dilanda huru-hara, tapi begitu pasukan Hideyoshi maju, daerah itu segera
kembali tenteram. Pertama-tama ia menyerahkan benteng di Inabayama kepada Nobutaka, dan
dengan demikian ia menunjukkan kesetiaannya terhadap marga bekas junjungannya. Kemudian
dengan tenang ia menunggu pertemuan di Kiyosu, yang menurut rencana dimulai pada tanggal dua
puluh tujuh bulan itu. Perang Kata-Kata TAHUN itu Shibata Katsuie berusia lima puluh dua tahun. Sebagai panglima, ia telah turut serta
dalam banyak pertempuran; sebagai laki-laki, ia telah menyaksikan banyak perubahan selama
perjalanan hidupnya. Ia berasal dari keluarga terpandang dan kariernya menonjol; ia membawahi
pasukan yang kuat, dan dikaruniai tubuh kekar. Tak pelak lagi, ia orang terpilih. Ia sendiri pun
beranggapan bahwa hal tersebut tak perlu dipertanyakan. Pada hari keempat di Bulan Keenam, ia
berkemah di Uozaki di Etchu. Begitu menerima kabar mengenai peristiwa Kuil Honno, ia berkata
dalam hati. "Tindakanku yang berikut teramat penting, dan aku harus melakukannya dengan baik."
Karena itulah ia tidak segera bertindak. Demiki-an hati-hatinya ia. Namun bagaikan angin,
pikirannya langsung melayang ke Kyoto.
Ia paling senior di antara para pengikut marga Oda, sekaligus penguasa militer provinsi-provinsi
Utara. Kini, berbekal kebijakan dan kekuatan yang dimilikinya, ia mempertaruhkan seluruh kariernya
pada satu langkah. Ia meninggalkan medan perang di Utara dan bergegas menuju ibu kota. Walau
dikatakan bergegas, ia memerlukan beberapa hari sebelum meninggalkan Etchu dan
menghabiskan beberapa hari lagi di bentengnya di Kitanosho di Echizen. Namun ia sendiri tidak
menganggap gerakannya lambat. Begitu orang seperti Katsuie memulai misi sepenting ini, segala
sesuatu harus dilakukan berdasarkan peraturan, dan itu menun-tut sikap hati-hati dan pemilihan
waktu yang tepat. 23 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kecepatan gerak pasukannya dipandang luar biasa oleh Katsuie, tapi pada waktu pasukan
utamanya mencapai perbatasan antara Echizen dan Omi, hari kelima belas di bulan itu telah tiba.
Baru menjelang siang keesokan harinya barisan belakang dari Kitanosho menyusulnya, dan seluruh
pasukan mengistirahatkan kuda-kuda di jalan tembus pegunungan. Ketika menatap dataran yang
membentang di bawah, mereka melihat awan musim panas sudah tinggi di langit.
Dua belas hari telah berlalu sejak Katsuie mene-rima kabar mengenai kematian Nobunaga.
Memang benar, Hideyoshi - yang tengah menggempur Klan Mori di wilayah Barat - mendapat
laporan dari Kyoto satu hari lebih awal daripada Katsuie. Tapi pada hari keempat di bulan itu,
Hideyoshi telah berdamai dengan pihak Mori, pada hari kelima ia telah berangkat, pada hari ketujuh
ia tiba di Himeji, pada hari kesembilan ia berpaling ke arah Amagasaki, pada hari ketiga belas ia
menaklukkan Mitsuhide dalam pertempuran di Yamazaki, dan pada waktu Katsuie mencapai
perbatasan Omi, Hideyoshi telah membersihkan ibu kota dari sisa-sisa pasukan musuh.
Meski benar bahwa jalan dari Echizen ke ibu koia lebih panjang dan lebih berat dibandingkan jalan
dari Takamatsu, kesulitan yang menghadang Hideyoshi dan kesulitan yang dihadapi Katsuie
tidaklah sebanding. Katsuie jelas-jelas mempunyai keuntungan. Ia jauh lebih mudah menggerakkan
pasukan dan meninggalkan medan tempur diban-dingkan Hideyoshi. Kalau begitu, apa sebabnya ia
demikian terlambat" Jawabannya sederhana: bagi Katsuie, sikap hati-hati dan ketaatan pada
peraturan lebih penting daripada kecepatan.
Pengalaman yang diperolehnya dengan turut serta dalam sekian banyak pertempuran, dan rasa
percaya diri yang muncul sebagai akibatnya, telah membentuk perisai di sekeliling pemikiran dan
kemampuannya mengambil keputusan. Sifat-sirat itu justru menjadi penghalang untuk bergerak
cepat pada saat kepentingan negara terancam, dan juga menambah ketidakmampuan Katsuie
untuk melampaui taktik dan strategi konvensional.
Desa pegunungan Yanagase dipenuhi kuda dan orang. Ibu kota terletak di sebelah barat. Jika
berpaling ke timur, pasukan Katsuie akan melewati Danau Yogo dan memasuki jalan menuju
Benteng Nagahama. Katsuie mendirikan markas sementaranya di pekarangan sebuah tempat
persembahan kecil. Katsuie teramat peka terhadap udara panas, dan sepertinya ia menderita akibat udara panas serta
pendakian pada hari itu. Setelah menaruh kursinya di bawah naungan pepohonan, ia menyuruh
memasang tirai dari pohon ke pohon, kemudian ia melepaskan baju tempur di baliknya. Ia lalu
duduk membelakangi anak asuhnya, Katsutoshi, dan berkata, "Gosoklah punggungku. Katsutoshi."
Dua pelayan mengayunkan kipas-kipas besar. Setelah peluhnya mengering, tubuh Katsuie mulai
gatal-gatal. "Katsutoshi, lebih keras. Lebih keras," ia menggerutu.
Anak itu baru berusia lima belas tahun. Sungguh mengharukan melihat sikapnya yang demikian taat
di tengah-tengah pergerakan militer.
Kulit Katsuie terserang semacam ruam. Dan bukan Katsuie saja yang menderita pada musim panas
itu. Di antara para prajurit yang mengenakan baju tempur yang terbuat dari kulit dan logam, banyak
yang mengalami gangguan pada kulit, yang mungkin dapat disebut ruam baju tempur, tapi kasus
Katsuie termasuk yang paling parah.
24 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ia berusaha meyakinkan diri bahwa kelemahannya dalam musim panas timbul karena selama tiga
tahun terakhir ia menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tugasnya di wilayah Utara. Tapi
kenyataan yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa seiring bertambahnya usia, ia pun rupanya
semakin melemah. Katsutoshi menggosok lebih keras, seperti yang diperintahkan padanya, sampai
kulit Katsuie mulai berdarah.
Dua kurir tiba. Yang satu pengikut Hideyoshi, satu lagi pengikut Nobutaka. Mereka membawa surat
dari majikan masing-masing, dan bersama-sama mereka menyerahkan surat-surat itu pada Katsuie.
Kedua surat itu ditulis sendiri oleh Hideyoshi dan Nobutaka, yang sama-sama berkemah di Kuil Mii
di Otsu, dan keduanya ditulis pada hari keempat belas bulan itu. Surat Hideyoshi berbunyi sebagai
berikut: Hari ini aku memeriksa kepala sang jendral pemberontak, Akechi Mitsuhide. Dengan demikian.
upacara peringatan bagi mendiang junjungan kita berakhir sesuai harapan. Kami ingin
mengumumkan hal ini secepat mungkin kepada para pengikut Oda yang berada di wilayah Utara,
dan akan segera mengirimkan laporan. Wafatnya junjungan kita telah menimbulkan duka tak terkira
dalam hati kita semua, tapi kepala sang jendral pemberontak telah dipajang dan pasukan
pemberontak dibasmi sampai ke orang terakhir, semuanya dalam waktu sebelas hari. Kami tidak
membanggakan hal ini, tapi kami percaya bahwa tindakan kami akan dapat menenteramkan arwah
junjungan kita di akhirat, walau hanya sedikit.
Hideyoshi mengakhiri suratnya dengan berpesan bahwa hasil akhir tragedi ini seharusnya
ditanggapi dengan sukacita, tapi Katsuie sama sekali tidak gembira. Justru sebaliknya, roman
mukanya memperlihatkan emosi berlawanan, bahkan sebelum ia selesai membaca. Namun dalam
surat balasannya ia tentu saja menulis bahwa tak ada yang dapat membuatnya lebih bahagia
dari-pada berita Hideyoshi. Ia juga menekankan bahwa pasukannya sendiri telah maju sampai ke
Yanagase. Sambil merenungkan laporan para kurir dan isi kedua surat itu, Katsuie bimbang mengenai
langkahnya yang berikut. Ketika para kurir pergi, ia memilih sejumlah laki-laki muda dengan kaki
kuat dan mengirim mereka dari Otsu ke Kyoto untuk menyelidiki keadaan sesungguhnya di sana.
Ke-lihatannya ia berniat tetap berkemah di tempat ia berada, sampai ia mengetahui cerita
keseluruhannya. "Adakah alasan untuk menganggap laporan ini palsu?" Katsuie bertanya. Ia bahkan lebih terkejut
dibandingkan ketika menerima laporan tragis mengenai Nobunaga beberapa hari sebelumnya.
Jika ada orang yang mendului Katsuie menghadapi pasukan Mitsuhide dalam suatu "pertem-puran
peringatan", orang itu seharusnya Nobutaka atau Niwa Nagahide, atau bahkan salah satu peng-ikut
Oda di ibu kota yang mungkin bergabung dengan Tokugawa Ieyasu, yang pada saat itu sedang
berada di Sakai. Dan kalau begitu, kemenangan takkan tercapai dalam satu hari dan satu malam.
Tak seorang pun dalam marga Oda berpangkat lebih tinggi dan Katsuie, dan ia tahu persis bahwa
sekiranya ia berada di sana, semua orang akan memandangnya sebagai panglima tertinggi dalam
pertempuran melawan pihak Akechi. Itu tak perlu dipertanyakan lagi.
Katsuie tak pernah menilai Hideyoshi berdasarkan penampilannya. Malah sebaliknya, ia menge-nal
Hideyoshi cukup baik, dan kemampuan Hideyoshi tak pernah ia anggap enteng. Meski demikian,
Katsuie tak habis pikir bagaimana cara Hideyoshi berhasil meninggalkan wilayah Barat begitu cepat.
25 Pendekar Bodoh . Raja Alam Sihir m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Keesokan harinya pertahanan di sekeliling perkemahan Katsuie mulai diperkuat. Semua jalan dijaga
ketat, dan orang-orang yang datang dari ibu kota dihentikan oleh para prajuritnya untuk diperiksa.
Setiap informasi segera diteruskan melalui berbagai perwira ke markas besar di perkemahan
utama. Berdasarkan keterangan yang terkumpul, tak perlu diragukan lagi bahwa pasukan Akechi
telah musnah dan bahwa Benteng Sakamoto telah jatuh. Menurut beberapa orang, api dan asap
hitam terlihat mengepul di daerah Azuchi pada hari itu, dan seseorang melaporkan bahwa Yang
Mulia Hideyoshi membawa sebagian pasukannya ke arah Nagahama.
Keesokan harinya pikiran Katsuie belum juga tenang. Ia masih mengalami kesulitan untuk
menentukan langkah selanjutnya, dan terus dihantui rasa malu. Ia telah membawa pasukannya dari
Utara, dan ia tak sanggup berdiam diri sementara Hideyoshi mengambil tindakan.
Apa yang harus dilakukan" Seharusnya pengikut Oda yang paling seniorlah yang mengemban
tanggung jawab untuk menyerang orang-orang Akechi, tapi tugas tersebut telah dirampungkan oleh
Hideyoshi. Lantas, dalam keadaan sekarang, urusan manakah yang paling penting dan mendesak"
Dan strategi apa yang akan digunakannya untuk menghadapi Hideyoshi yang kini berada di atas
angin" Tak henti-hentinya Katsuie memikirkan Hide-yoshi. Kecuali itu, pemikirannya dikuasai oleh rasa tak
senang yang menjurus ke arah kebencian. Setelah mengumpulkan para penasihat seniornya, ia
membahas masalah itu bersama mereka sampai larut malam. Keesokan harinya, kurir-kurir dan
pembawa-pembawa pesan rahasia bergegas ke segala arah dari markas besar. Pada waktu yang
sama, Katsuie menulis surat bernada sangat bersahabat kepada Tokugawa Ieyasu.
Meski pun telah menitipkan surat balasan khusus pada kurir Nobutaka, Katsuie kini menulis dan
mengirim satu surat lagi kepada putra Nobu-naga itu. Ia m
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
26Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:26:14
emilih salah satu pengikut senior sebagai utusan, dan menugaskan dua pengikut lain untuk
menyertai orang tersebut, mengisyaratkan pentingnya misi mereka.
Untuk menghubungi para pengikut dekat lainnya, dua juru tulis mencatat kata-kata Katsuie, lalu
menghabiskan setengah hari untuk menuliskan lebih dari dua puluh surat. Inti surat-surat itu adalah
bahwa pada hari pertama Bulan Ketujuh. mereka semua akan bertemu di Kiyosu untuk
membicarakan berbagai masalah penting, misalnya siapa yang akan menjadi penerus Nobunaga,
dan bagaimana bekas wilayah Akechi akan dibagi-bagikan.
Sebagai pemrakarsa rapat tersebut, Katsuie dapat menegakkan wibawanya sebagai pengikut
senior. Tentunya semua pihak mengakui bahwa tanpa kehadirannya, masalah-masalah penting
seperti itu tak dapat diselesaikan. Dengan mengandalkan pengaruh ini sebagai "kunci". Katsuie
mengubah arah dan menuju Benteng Kiyosu di Owari.
Dalam perjalanan, dari apa yang didengarnya dan dari laporan para pengintai, Katsuie menge-tahui
bahwa banyak pengikut Oda yang selamat telah menuju Kiyosu sebelum suratnya diantarkan.
Samboshi, putra pewaris Nobunaga, Nobutada, sudah berada di sana, dan dengan sendirinya
semua orang menganggap bahwa pusat marga Oda pun akan dipindahkan ke tempat itu. Namun
Katsuie menduga Hideyoshi-lah yang telah ber-
tindak lancang dengan mengatur segala sesuatunya.
Setiap hari pemandangan luar biasa berupa iring-iringan penunggang kuda yang menaiki bukit
menuju gerbang benteng terlihat di Benteng Kiyosu.
Tanah yang menjadi titik tolak bagi Nobunaga dalam mewujudkan karya agungnya kini dijadikan
tempat untuk membicarakan penyelesaian urusan marga.
Para pengikut Oda yang berkumpul di sana mengaku datang dalam rangka kunjungan kehor-matan
kepada Samboshi. Tak seorang pun menyinggung bahwa ia menerima surat Katsuie, atau bahwa ia
datang untuk memenuhi undangan Hideyoshi.
Tapi semua orang tahu bahwa pertemuan resmi akan segera dimulai di dalam benteng. Topik
pertemuan itu pun bukan rahasia lagi. Hanya pengumuman mengenai hari dan waktunya yang
masih perlu dipasang. Setelah para pengikut mengunjungi Samboshi, tak satu pun dan mereka
akan kembali ke provinsi asalnya. Masing-masing membawa sejumlah prajurit yang menunggu di
tempat mereka menginap di kota.
Jumlah penduduk kota benteng telah membengkak, dan itu, bersama udara musim panas dan
ukuran kota yang kecil, menciptakan suasana yang luar biasa kacau dan gaduh. Dengan kuda-kuda
berlarian di jalanan, pelayan-pelayan yang terlibat perkelahian, dan kebakaran yang berulang kali
terjadi, tak ada waktu untuk merasa jemu.
Menjelang akhir bulan, kedua putra Nobunaga yang selamat, Nobutaka dan Nobuo, dan para
jendralnya, termasuk Katsuie dan Hideyoshi, tiba di Kiyosu.
Hanya Takigawa Kazumasu yang belum mun-cul. Karena ketidakhadirannya, ia menjadi sasaran
kritik di jalan-jalan. 1 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Takigawa tidak keberatan menerima berbagai jabatan semasa hidup Yang Mulia Nobunaga,
bahkan ditunjuk untuk menduduki posisi penting sebagai gubernur jendral Jepang bagian timur, jadi
kenapa dia begitu terlambat dalam krisis ini" Sikapnya sungguh memalukan."
Orang lain memberikan kritik yang bahkan lebih pedas lagi.
"Dia politikus yang lihai, dan dia bukanlah orang dengan kesetiaan tak tergoyahkan. Kemung-kinan
inilah sebabnya dia belum bergerak."
Selentingan seperti itulah yang beredar di kedai-kedai minuman.
Tak lama setelah itu, kritik mengenai keterlambatan Katsuie dalam menyerang Mitsuhide pun mulai
terdengar di sana-sini. Tentu saja marga-marga yang sedang berada di Kiyosu juga mendengarnya,
dan Hideyoshi segera menerima laporan dari para pengikutnya.
"Begitukah" Jadi, itu juga sudah mulai" Kritik ini menyangkut Katsuie, jadi tak seorang pun akan
menduga bahwa Katsuie sendiri yang menyebarkan desas-desus itu, tapi kelihatannya dia
berusaha menanam benih-benih perpecahan di antara kita - pertarungan siasat sebelum rapat
besar. Tapi tak apalah, biarkan saja mereka, Takigawa toh sudah berada di pihak Katsuie."
Sebelum rapat dimulai, semua orang sibuk mengira-ngira masa depan masing-masing, dan
mencoba menerka apa yang ada dalam pikiran yang lain. Sementara itu, pertentangan dan
persetujuan yang tak terucapkan terus berjalan, sama halnya dengan penyebaran desas-desus
yang tak berdasar. Dengan segala cara, orang-orang berusaha merangkul yang lain serta
memecah-belah pihak lawan.
Hubungan antara Shibata Katsuie dan Nobu-taka cukup mencurigakan; yang satu memiliki pangkat
tertinggi di antara para sesepuh marga, sementara yang satu lagi putra ketiga Nobunaga.
Keakraban antara kedua orang ini melampaui urusan resmi dan tak dapat dirahasiakan.
Pendapat umum mengatakan bahwa Katsuie bermaksud mengabaikan putra kedua Nobunaga.
Nobuo, dan bahwa ia mendukung Nobutaka sebagai pewaris berikut. Namun semua orang pun
sependapat bahwa Nobuo pasti akan menentang Nobutaka.
Hampir tak ada yang meragukan bahwa Nobutaka atau Nobuo - keduanya adik Nobutada, yang
gugur di Benteng Nijo pada waktu ayahnya wafat - yang akan terpilih sebagai penerus Nobu-naga.
Tapi semua orang bingung, siapa di antara keduanya yang harus mereka dukung.
Nobuo dan Nobutaka; kedua-duanya lahir pada Bulan Pertama di tahun pertama Eiroku, dan
masing-masing kini berusia dua puluh empat tahun. Walaupun terasa janggal bahwa mereka lahir di
tahun yang sama, namun mereka tetap disebut kakak dan adik; penjelasannya sederhana saja:
mereka lahir dari ibu yang berbeda. Meski Nobuo dianggap sebagai kakak dan Nobutaka sebagai
adik. Nobutaka sebenarnya lahir dua puluh hari lebih awal daripada Nobuo. Karena itu, se-harusnya
Nobutaka yang dipandang sebagai kakak, kalau saja ibunya tidak berasal dari marga kecil yang
tidak terkenal. Itulah sebabnya ia disebut putra ketiga, sementara Nobuo dikukuhkan se-bagai putra
kedua. Karena itu pula, walaupun mereka disebut kakak-adik, mereka tidak memiliki keakraban yang
lazimnya terjalin antara saudara kandung. Pembawaan Nobuo lesu dan negatif, dan satu-satunya
2 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sikap positif yang ditunjukkannya adalah perlawanan terhadap Nobutaka, yang ia pandang sebagai
adik yang harus tunduk padanya.
Kalau keduanya dibandingkan secara adil, semua orang mengakui bahwa Nobutaka jauh lebih
pantas menjadi penerus Nobunaga. Di medan tempur, ia jauh lebih menyerupai panglima daripada
Nobuo; ia memperlihatkan ambisi besar dalam tutur katanya sehari-hari, dan yang paling penting, ia
tidak malu-malu seperti saudaranya.
Jadi, tidaklah mengherankan kalau ia secara mendadak mulai menampilkan sikap agresif tak lama
setelah pergi ke Yamazaki dan membuat kehadirannya terasa di perkemahan Hideyoshi.
Kesediaannya untuk memikul tanggung jawab se-bagai pewaris Oda tercermin dalam ucapan dan
sikapnya belakangan ini, dan seakan-akan ingin membuktikan ambisi yang dipendamnya, setelah
pertempuran Yamazaki ia pun mulai membenci Hideyoshi.
Bagi Nobuo, yang panik ketika orang-orang Akechi menyerang, Nobutaka mempunyai kata-kata
tajam.

Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika hukuman dijatuhkan tanpa pandang bulu, dia pun harus mempertanggungjawabkan
tin-dakannya. "Nobuo orang bodoh." Meski perasaan-perasaan tersebut tidak dibeberkan secara
terbuka, Kiyosu diliputi suasana tegang, dan dapat dipastikan bahwa ada orang yang
menyampaikan ucapan tersebut kepada Nobuo. Dalam situasi ini, berbagai persekongkolan
tersembunyi membawa sifat-sifat manusia yang paling menjijikkan ke permukaan.
Pembukaan rapat dijadwalkan pada hari kedua puluh tujuh bulan ini, tapi karena Takigawa
Kazumasu terlambat, pembukaannya terus diun-dur-undur, sampai akhirnya, pada hari pertama
Bulan Ketujuh, sebuah pengumuman diedarkan kepada semua pengikut penting yang berada di
Kiyosu, "Besok, pada pertengahan kedua jam Naga, semuanya diharapkan hadir di benteng, untuk
menentukan siapa yang akan menjadi penguasa negeri. Rapat besar ini akan dipimpin oleh Shibata
Katsuie." Nobutaka menaikkan gengsi Katsuie, sementara Katsuie menambah pengaruh Nobutaka, dan
keduanya berkoar bahwa kehendak merekalah yang akan dituruti dalam rapat. Kecuali itu, ketika
rapat tersebut akhirnya dibuka, ternyata banyak yang memang sudah cenderung berpihak pada
mereka. Hari itu semua dinding penyekat di Benteng Kiyosu diangkat, tak pelak karena matahari terus
bersinar, sehingga hawa panas dan pengap takkan tertahankan seandainya penyekat-penyekat itu
dibiarkan tetap terpasang. Tapi tindakan tersebut juga menunjukkan bahwa pihak penyelenggara
berusaha mencegah pembicaraan rahasia. Hampir semua penjaga di dalam benteng merupakan
pengikut Shibata Katsuie.
Pada Jam Ular, semua pembesar telah berkumpul di bangsal utara.
Susunan tempat duduk mereka sebagai berikut: Katsuie dan Takigawa duduk di sebelah kanan,
menghadap Hideyoshi dan Niwa di sebelah kiri. Pengikut-pengikut berpangkat lebih rendah seperti
Shonyu, Hosokawa, Tsutsui, Gamo, dan Hachiya, ditempatkan di belakang mereka. Tempat paling
depan, tempat bagi orang-orang dengan ke-dudukan paling tinggi, diberikan kepada Nobutaka dan
Nobuo. Tapi dari samping, Hasegawa Tamba terlihat memangku anak kecil.
Itu, tentu saja, Samboshi.
3 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Di sebelah mereka ada Maeda Geni, pengikut yang menerima perintah terakhir Nobutada ketika
Nobutada menghadapi ajal dalam pertempuran di Benteng Nijo. Rupanya ia tidak menganggap
sebagai kehormatan bahwa ia satu-satunya yang selamat dan kini hadir di sini.
Samboshi baru berusia dua tahun, dan ia pun tak bisa diam ketika dipangku walinya di hadapan
para pembesar. Ia merentangkan tangan, mendorong dagu Tamba, dan berdiri di pangkuannya.
Untuk membantu Tamba yang kebingungan, Geni berusaha menghibur anak itu dengan
membisikkan sesuatu dari belakang; langsung saja Samboshi meraih melewati bahu Tamba dan
menarik telinga Geni. Geni diam saja, dan sekali lagi pengasuh anak yang berlutut di belakang
mereka meletakkan lipatan kertas berbentuk burung bangau ke tangan Samboshi. Telinga Geni
berhasil diselamatkan. Pandangan para jendral tertuju pada anak itu. Beberapa dari mereka tersenyum samar, sementara
yang lain menitikkan air mata secara sembunyi-sembunyi. Hanya Katsuie yang tampak merengut.
Sepertinya ia hendak menggerutu mengenai "gangguan yang menyusahkan" itu.
Sebagai ketua rapat dan juru bicara yang serius dan penuh wibawa, ia seharusnya membuka acara
dengan berbicara paling dulu. Namun kini perhaitan semua orang telah beralih, dan ia ke-hilangan
kesempatan berbicara. Akhirnya Katsuie membuka mulut dan berkata, "Tuan Hideyoshi."
Hideyoshi langsung menatap matanya Katsuie memaksakan senyum. "Apa yang harus kita
lakukan?" ia bertanya, seolah-olah membuka perundingan. "Yang Mulia Samboshi masih
kanakkanak tanpa dosa. Pembatasan gerak-geriknya pasti tidak menyenangkan baginya."
"Barangkali memang demikian," ujar Hideyoshi dengan nada datar. Katsuie mungkin merasa
Hideyoshi bermaksud menjadi penengah, dan ia segera memperlihatkan sikap menentang. Antipati
yang bercampur dengan usaha menegakkan wibawa membuatnya tampak kaku, dan kini ia
memasang wajah yang mengungkapkan perasaan tak senang.
"Baiklah. Tuan Hideyoshi. Bukankah Tuan sendiri yang menuntut kehadiran Yang Mulia Samboshi"
Aku sungguh tak mengerti, tapi..."
"Tuan tidak keliru. Aku menyarankannya berdasarkan keharusan."
"Keharusan?" Katsuie merapikan kerut-kerut pada kimononya. Hari belum siang, sehingga udara panas belum
seberapa mengganggu, tapi akibat pakaiannya yang tebal dan gangguan kulit yang dideritanya, ia
rupanya merasa sangat tidak nyaman. Hal seperti itu mungkin dianggap sepele, namun tetap
mempengaruhi nada suaranya dan menyebabkan roman mukanya berkesan geram.
Pandangan Katsuie mengenai Hideyoshi berubah sejak peristiwa Yanagase. Sampai saat itu, ia
menganggap Hideyoshi sebagai junior, dan berpendapat bahwa hubungan mereka tidak terlalu
baik. Tapi pertempuran Yamazaki merupakan titik balik. Nama Hideyoshi kini terus disebut-sebut
sehubungan dengan pekerjaan yang belum tuntas setelah kematian Nobunaga. Dan Katsuie tak
sanggup menyaksikan hal itu sambil berpangku tangan. Perasaannya diperkuat oleh reaksinya
4 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
terhadap apa yang dianggapnya kelancangan Hide-yoshi dalam memulai pertempuran peringatan
bagi Nobunaga. Dipandang setaraf dengan Hideyoshi sangat mengganggu pikiran Katsuie. Ia tidak terima bahwa
perannya sebagai sesepuh marga Oda selama bertahun-tahun dikesampingkan karena sepak
terjang Hideyoshi belakangan ini. Kenapa Shibata Katsuie harus menempati posisi lebih rendah dari
seseorang yang kini mengenakan kimono dan tutup kepala dengan demikian bangga, tapi di zaman
dulu di Kiyosu tak lebih dari pesuruh yang merangkak naik dari jabatan pembersih selokan dan
tukang sapu kotoran kuda" Hari ini dada Katsuie terasa sesak karena emosi dan strategi yang tak
terhitung jumlahnya. "Aku tidak tahu bagaimana pandangan Tuan mcngenai rapat hari ini, tapi pada umumnya para
pembesar yang berkumpul di sini menyadari bahwa marga Oda belum pernah bertemu seperti ini
untuk membicarakan masalah yang teramat penting. Kenapa anak berumur dua tahun itu harus
hadir?" Katsuie bertanya secara blak-blakan.
Baik ucapan maupun sikapnya menunjukkan bahwa ia mengharapkan dukungan, bukan saja dari
Hideyoshi, melainkan juga dari semua pembesar yang hadir. Ketika menyadari bahwa ia takkan
memperoleh jawaban jelas dari Hideyoshi, ia melanjutkan dengan nada yang sama.
"Kita tidak punya waktu untuk bermain-main. Kenapa kita tidak minta agar Yang Mulia Samboshi
menarik diri sebelum kita membuka rapat ini" Bagaimana, setujukah, Tuan Hideyoshi?" Penampilan
Hideyoshi tidak istimewa, meski-pun ia mengenakan kimono resmi. Asal-usulnya tak dapat
ditutup-tutupi kalau ia berada bersama orang lain.
Mengenai pangkatnya, semasa hidup Nobunaga ia diberi sejumlah gelar penting. Ia telah
memperlihatkan kekuatan sesungguhnya, baik dalam operasi militer di provinsi-provinsi Barat
maupun ketika ia meraih kemenangan di Yamazaki.
Tapi jika seseorang berhadap-hadapan dengan Hideyoshi, tak aneh bila ia merasa ragu, apakah ia
akan berpihak pada Hideyoshi dalam masa yang penuh bahaya ini, dan apakah ia bersedia
mempertaruhkan nyawa untuknya.
Di antara para hadirin, ada yang sepintas lalu tampak cukup mengesankan. Takigawa Kazumasu,
misalnya, mempunyai sikap gagah yang oleh semua orang diakui sangat pantas bagi jendral
tersohor. Niwa Nagahide memiliki kesederhanaan yang anggun, dan dengan garis rambut yang
mulai mundur, ia tampak seperti prajurit yang tegap. Gamo Ujisato paling muda di antara
semuanya, tapi dengan asal-usulnya yang terhormat serta kemuliaan wataknya, ia memperlihatkan
moralitas tinggi. Dari segi ketenangan dan martabat, Ikeda Shonyu bahkan lebih tidak
mengesankan daripada Hideyoshi, namun matanya memancarkan sorot tertentu. Lalu ada
Hosokawa Fujitaka yang tulus dan lembut, tapi memiliki kematangan yang membuatnya tak dapat
diduga. Jadi, walaupun penampilan Hideyoshi biasa-
biasa saja, ia tampak lusuh jika berada di tengah orang-orang itu. Para pembesar yang berkumpul
untuk mengadakan rapat di Kiyosu pada hari itu termasuk yang paling berpengaruh di antara
orang-orang sezaman mereka. Maeda Inuchiyo dan Sassa Narimasa tidak hadir, karena masih
bertempur di wilayah Utara. Dan meski ia merupakan kasus khusus, seandainya nama Tokugawa
Ieyasu ditam-bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa orang-orang di Kiyosu itu merupakan
5 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
para pemim-pin negeri. Dan Hideyoshi berada di antara mereka, tanpa terpengaruh oleh
penampilannya. Hideyoshi sendiri mengakui kebesaran rekan-rekannya, dan ia berhati-hati serta merendah.
Kesombongan yang diperlihatkannya seusai pertempuran Yamazaki kini tak tampak. Sejak awal ia
bersikap sangat serius. Ketika menjawab ucapan Katsuie pun ia menahan diri dengan penuh
hor-mat. Namun kini ia sepertinya tak lagi bisa mengelak dari penanyaan Katsuie.
"Ucapan Tuan masuk akal. Walau sesungguhnya ada alasan untuk kehadiran Yang Mulia
Samboshi dalam rapat ini, berhubung usianya yang begitu muda, dan karena rapat ini tentu akan
berlangsung lama. Yang Mulia pasti merasa terkung-kung. Jika Tuan menghendakinya, nanti kita
minta agar Yang Mulia segera menarik diri." Setelah menanggapi tuntutan Katsuie dengan bahasa
demikian halus, Hideyoshi menoleh dan minta kepada sang wali agar Samboshi meninggalkan
ruangan. Tamba mengangguk, dan setelah mengangkat Samboshi dari pangkuan, menyerahkan anak itu
kepada pengasuh di belakangnya. Samboshi tampaknya menyukai kerumunan laki-laki berpakaian
lengkap, dan ia menampik tangan pengasuhnya dengan keras. Tapi perempuan itu tetap
memegangnya, lalu berdiri untuk pergi. Samboshi tiba-tiba mengayun-ayunkan tangan dan kaki, lalu
mulai menangis. Kemudian ia melemparkan burung-burungan kertas ke tengah-tengah para
pembesar yang sedang duduk. Mata semua orang mendadak berkaca-kaca.
Siang pun tiba. Ketegangan di bangsal utama seakan-akan dapat diiris dengan pisau.
Katsuie memberikan pidato pembukaan. "Ke-matian tragis Yang Mulia Nobunaga telah
menim-bulkan kesedihan mendalam, tapi sekarang kita harus memilih penerus yang pantas untuk
menyambung perjuangan beliau. Kita wajib memperlihatkan pengabdian kita, meski beliau telah
wafat. Inilah Jalan Samurai."
Katsuie melemparkan masalah suksesi kepada para hadirin. Berulang kali ia minta usulan dari
mereka, namun tak seorang pun bersedia menjadi orang pertama yang angkat bicara untuk
menyampaikan pandangannya. Kalaupun ada yang cukup gegabah untuk mengemukakan
pemikiran- nya dalam kesempatan itu, seandainya orang yang didukungnya sebagai penerus marga Oda tidak
terpilih dalam seleksi terakhir, dapat dipastikan nyawanya akan terancam.
Tak satu pun dari mereka mau membuka mulut secara sembrono, dan semuanya duduk sambil
membisu. Katsuie pun memahami hal itu, dan menunggu dengan sabar. Barangkali ia telah
menduga perkembangan ini. Dengan nada penuh wibawa ia berkata, "Jika tak ada yang
mempunyai pendapat tertentu, untuk sementara ini perkenankanlah aku mengemukakan
pandanganku sebagai pengikut senior."
Seketika terlihat perubahan pada roman muka Nobutaka yang duduk di kursi kehormatan. Katsuie
menatap Hideyoshi, yang sebaliknya memandang bolak-balik antara Takigawa dan Nobu-taka.
Gerak-gerik samar ini menimbulkan gelombang-gelombang halus yang memancar dari hati ke hati.
Benteng Kiyosu diliputi ketegangan yang bisu, seakan-akan tak ada manusia di dalamnya.
Akhirnya Katsuie angkat bicara. "Dalam pan-danganku, Yang Mulia Nobutaka berada dalam usia
6 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tepat, dan memiliki kemampuan alami serta asal-usul yang cocok untuk menjadi penerus Yang
Mulia Nobunaga. Yang Mulia Nobutaka-lah pilihanku."
Pernyataan tersebut disusun secara cermat, sehingga hampir merupakan pengukuhan. Katsuie
berpendapat bahwa kendali telah berada di tangannya.
Tapi kemudian seseorang membantah. "Tidak, itu tidak benar." Orang itu ternyata Hideyoshi. "Dari
segi silsilah," ia melanjutkan. "urutan yang tepat adalah putra tertua Nobunaga, Yang Mulia
Nobutada, lalu putranya, Yang Mulia Samboshi. Provinsi kita mempunyai hukum, dan marga
mempunyai peraturan rumah ungga."
Wajah Katsuie langsung merah. "Ah, tunggu sebentar, Tuan Hideyoshi."
"Tidak," balas Hideyoshi. "Tuan akan berdalih bahwa Yang Mulia Samboshi masih kanak-kanak.
Tapi jika seluruh marga - mulai dari Tuan sendiri, serta semua pengikut dan jendral - bertekad
melin-dunginya, tak ada yang perlu dipermasalahkan. Kesetiaan kira seharusnya tidak dikaitkan
dengan usia. Menurutku, jika suksesi dijalankan secara benar, Yang Mulia Samboshi-lah yang
harus menjadi penerus."
Terkejut, Katsuie mengeluarkan saputangan dari kimono dan mengusap keringat yang membasahi
tengkuknya. Apa yang dituntut Hideyoshi memang merupakan hukum marga Oda. Ucapannya tak
dapat dikesampingkan begitu saja sebagai tuntutan tak berdasar.
Orang lain yang memperlihatkan kekhawatiran pada wajahnya adalah Nobuo. Ia merupakan
saingan utama Nobutaka dan telah secara resmi dikukuhkan sebagai kakak, sedangkan ibunya
berasal dari keluarga terpandang. Tak perlu diragukan bahwa ia pun menyimpan ambisi terselubung
untuk dipilih sebagai penerus ayahnya.
Karena harapannya telah dipupuskan, biarpun hanya secara tak langsung, ia segera menunjukkan
wataknya yang asli. Ia tampak seolah-olah tak tahan berada di dalam bangsal. Nobutaka,
sebaliknya, menatap Hideyoshi sambil mendelik. Katsuie tak sanggup berkata apa-apa, dan hanya
bergumam tak jelas. Orang-orang lain pun tidak menyatakan setuju maupun keberatan.
Katsuie telah memperlihatkan maksud sesung-guhnya, dan ucapan Hideyoshi pun tak kalah terus
terang. Pendapat kedua orang itu saling berlawanan dan telah dikemukakan sedemikian jelas,
sehingga semua orang terpaksa berpikir dua kali sebelum berpihak pada salah satu. Keheningan
menyelubungi para hadirin, bagaikan kerak tebal.
Berkali-kali Katsuie mengajak rekan-rekannya untuk mengemukakan pandangan masing-masing,
dan setiap kali ia membuka mulut, Takigawa mcngangguk-angguk. Namun rupanya masih sukar
untuk menebak isi hati yang lainnya.
Sekali lagi Hideyoshi angkat bicara. "Seandainya istri Yang Mulia Nobutada baru mengandung
sekarang, dan kita harus menunggu sampai tali pusar dipotong untuk mengetahui apakah anaknya
laki-laki atau perempuan, rapat seperti ini memang diperlukan. Tapi kita sudah mempunyai penerus
yang cocok, jadi apa lagi yang perlu dipersoalkan atau dibicarakan" Kupikir kira harus segera
memu-tuskan untuk menunjuk Yang Mulia Samboshi."
Ia tetap bertahan pada posisinya, bahkan tanpa melirik wajah para pembesar lainnya. Ucapannya
terutama ditujukan kepada Katsuie.
7 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Meskipun pandangan para jendral lain tidak dikemukakan secara terbuka, mereka tampak tergerak
oleh pendapat Hideyoshi, dan sepertinya dalam hati mereka setuju dengannya. Sebelum pertemuan
dibuka, mereka sempat melihat putra Nobutada yang tak berdaya, dan mereka semua mempunyai
anak-anak dalam rumah tangga masing-masing. Mereka samurai, dan walaupun mereka hidup
pada hari ini, hari esok tetap merupakan tanda tanya. Ketika memandang sosok Samboshi yang
mengibakan hati, mau tak mau perasaan mereka pun tersentuh.
Perasaan itu didukung oleh alasan yang mulia dan kuat. Meskipun para jendral terus membisu,
dalam hati mereka terpengaruh oleh tuntutan Hideyoshi.
Scbaliknya, biarpun sampai batas tertentu alasan Katsuie tampak masuk akal, sesungguhnya
dasarnya lemah. Alasan itu berpangkal pada suatu kebijaksanaan yang mengabaikan status Nobuo.
Tidaklah sukar memperkirakan bahwa Nobuo akan mundur untuk mendukung Samboshi, bukannya
Nobutaka. Katsuie berusaha keras menemukan dalih yang dapat digunakannya melawan Hideyoshi. Sejak
semula Katsuie sudah yakin bahwa Hideyoshi takkan begitu saja menerima usulannya dalam
pertemuan hari ini, tapi ia tak menyangka betapa gigihnya orang itu dalam memberikan dukungan
kepada Samboshi. Ia pun tidak menduga bahwa begitu banyak jendral akan cenderung mendukung
anak itu. "Hmm, baiklah. Sepintas lalu ucapan Tuan memang logis, tapi ada perbedaan besar antara
mengurus junjungan berusia dua tahun dan memberi hormat pada seseorang yang cukup usia dan
memiliki kemampuan militer. Jangan lupa, kita, para pengikut yang masih tersisa, wajib memikul
tanggung jawab untuk menegakkan pemerintahan dan mengamankan kebijaksanaan jangka
panjang di masa mendatang. Selain itu masih ada berbagai masalah dengan marga Mori dan
Uesugi. Apa jadinya kalau kita memilih junjungan yang masih kanak-kanak" Perjuangan bekas
junjungan kita bisa terhenti di tengah jalan, dan wilayah marga Oda bahkan mungkin berkurang.
Tidak, jika kita memilih sikap bertahan, musuh-musuh di keempat sisi kita tentu akan merasa
kesempatan mereka telah tiba, dan mereka pasti akan menyerang. Kemudian seluruh negeri akan
kembali dilanda kekacauan. Tidak, aku menganggap gagasan Tuan terlalu berbahaya. Bagaimana
pendapat yang lain?"
Sambil memandang orang-orang yang duduk di bangsal utama, matanya mencari-cari siapa yang
mungkin mendukungnya. Namun ia bukan saja tidak menemukan tanggapan tegas, tapi tiba-tiba
matanya beradu dengan tatapan orang lain.
"Katsuie." Seseorang memanggil namanya dengan nada menentang yang begitu kental, sehingga terasa
bagai tikaman dari samping.
"Ah, Nagahide, ada apa?" Katsuie langsung membalas dengan muak, tanpa berpikir lebih dulu.
"Aku sudah mendengarkan uraianmu yang penuh kebijakan, tapi mau tak mau aku harus
membenarkan alasan yang dikemukakan Hide-yoshi. Aku sepenuhnya setuju dengan usul
Hide-yoshi." Niwa berkedudukan sebagai sesepuh. Setelah memecahkan keheningan dan menunjukkan bahwa
8 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ia berpihak pada Hideyoshi, Katsuie dan semua hadirin lain mendadak gelisah.
"Kenapa kau berkata demikian, Niwa?"
Niwa telah mengenal Katsuie selama bertahun-tahun, dan mengenalnya dengan baik. Karena itu ia
berbicara dengan nada menenangkan, "Jangan gusar, Katsuie." Sambil memandang Katsuie
dengan ekspresi ramah, ia melanjutkan, "Bagai-
manapun, bukankah Hideyoshi yang paling pandai menyenangkan hati junjungan kita" Dan ketika
Yang Mulia Nobunaga menemui ajal sebelum waktunya, Hideyoshi-lah yang kembali dari wilayah
Barat untuk menyerang Mitsuhide yang tak bermoral itu."
Katsuie meringis. Tapi ia tak sudi mengaku kalah, dan pendiriannya tercermin dalam sikap
tubuhnya. Niwa Nagahide kembali berkata. "Pada waktu itu, kau sibuk dengan operasi militer di wilayah Utara.
Kalaupun pasukan yang berada di bawah komandomu tidak siap, seandainya kau bergegas ke ibu
kota setelah menerima kabar mengenai kematian Yang Mulia Nobunaga, kau tentu mampu
menghancurkan orang-orang Akechi - bagaimanapun, statusmu jauh lebih tinggi diban-dingkan
Hideyoshi. Tapi karena kelalaianmu, kau terlambat, dan itu patut disesalkan."
Semua yang hadir berpendapat sama, dan ucapan Niwa mengungkapkan perasaan mereka yang


Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling dalam. Kelalaian itulah titik lemah Katsuie. Keterlambatan yang menyebabkan ia tidak ikut
ambil bagian dalam pertempuran untuk memperingati mendiang junjungan mereka tak dapat
dimaafkan. Setelah mengungkapkan hal tersebut, Niwa memberikan dukungan pada Hideyoshi
dengan menyebut usulannya sebagai adil dan pantas.
Setelah Niwa selesai berbicara, suasana di bangsal utama terasa muram.
Seakan-akan hendak membantu Katsuie, Taki-gawa segera memanfaatkan kesempatan itu untuk
berbisik-bisik pada orang di sebelahnya, dan dalam sekejap seluruh ruangan dipenuhi suara-suara
serupa. Tampaknya kesepakatan semakin sukar tercapai. Ini mungkin titik balik bagi marga Oda. Di
permukaan, tak ada apa-apa selain kegaduhan yang ditimbulkan oleh suara-suara para hadirin, tapi
di baliknya terselip kecemasan mengenai hasil kon-frontasi antara Katsuie dan Hideyoshi.
Di tengah suasana menyesakkan ini, seorang ahli seni minum teh masuk dan memberi tahu Katsuie
bahwa hari telah melewati siang. Sambil mengangguk, Katsuie lalu menyuruh orang itu membawa
sesuatu untuk menyeka keringat dari tubuhnya. Ketika salah satu pembantunya menye-rahkan kain
puiih yang lembap, ia segera meraihnya dengan tangannya yang besar dan menyeka keringat dari
tengkuk. Pada saat itulah Hideyoshi tiba-tiba memegang perutnya. Sambil meringis dan mengerutkan alis, ia
berpaling pada Katsuie dan berkata, "Aku mohon diri sejenak, Tuan Katsuie. Perutku mendadak
sakit." Sekonyong-konyong ia berdiri dan meninggalkan ruang pertemuan.
"Ampun, sakitnya." ia mengeluh keras-keras, sehingga orang-orang di sekitarnya menjadi bingung.
9 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hideyoshi tampak amat tidak sehat ketika merebahkan diri di suatu ruangan terpisah. Namun
sepertinya ia masih sanggup menguasai diri. Ia sendiri mengatur bantal agar dapat menghadap
embusan angin dan pekarangan, membelakangi yang lain, dan membuka kerah yang basah karena
keringat. Baik dokter maupun para pembantu segera dipanggil. Pengikui-pengikut Hideyoshi pun
berdatangan satu per satu, untuk mengetahui keadaannya.
Tapi Hideyoshi menoleh pun tidak. Sambil tetap membelakangi mereka, ia menggerakkan tangan,
seakan-akan mengusir lalat.
"Ini sudah biasa. Biarkan aku sendiri, dan aku akan segera membaik."
Para pembantu cepat-cepat menyiapkan ramuan berbau manis untuk Hideyoshi, dan ia
menghabiskannya dengan sekali tenggak. Kemudian ia kembali berbaring dan sepertinya tertidur,
sehing-ga para pembantu dan samurai meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang sebelah.
Ruang rapat berjarak agak jauh, jadi Hideyoshi tidak mengetahui perkembangan yang terjadi
setelah ia mohon diri. Ia pergi pada waktu para pembantu berulang kali mengumumkan bahwa
siang telah tiba, sehingga ada kemungkinan para jendral memanfaatkan kepergiannya dengan
menangguhkan rapat untuk makan siang.
Sekitar dua jam berlalu. Selama itu matahari sore bersinar tanpa ampun. Benteng diliputi
ke-damaian, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Niwa memasuki ruangan dan bertanya, "Bagai-mana keadaanmu, Hideyoshi" Perutmu sudah lebih
tenang?" Hideyoshi berbalik dan menopangkan badan pada satu siku. Melihat wajah Niwa, ia langsung
kembali sadar dan duduk tegak. "Astaga, maafkan aku!"
"Katsuie minta aku menjemputmu." "Bagaimana pertemuannya?"
"Kita tidak bisa melanjutkan selama kau belum hadir. Katsuie memutuskan bahwa kita akan mulai
lagi setelah kau kembali."
"Aku sudah mengungkapkan segenap isi hati-ku."
"Setelah beristirahat satu jam, sikap para pengikut tampaknya berubah. Katsuie pun pikir-pikir lagi."
"Mari kita ke sana."
Hideyoshi berdiri. Niwa tersenyum, tapi Hide-yoshi sudah melangkah keluar dengan wajah serius.
Katsuie menyambutnya dengan tatapan tajam, sementara orang-orang yang berkumpul di sana
kelihatan lega. Suasana ruang rapat telah berubah. Secara tegas Katsuie menyatakan bahwa ia
bersedia mengalah, dan menerima usul Hideyoshi. Semuanya telah sepakat bahwa Samboshi akan
dikukuhkan sebagai pewaris Nobunaga.
10 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Seiring perubahan pendirian Katsuie, semua awan mendung yang semula menyelubungi ruang
rapat terhapus seketika. Suasana damai mulai bangkit.
"Semuanya setuju bahwa Yang Mulia Samboshi dipandang sebagai pemimpin marga Oda, dan aku
tidak keberatan." Katsuie mengulangi. Menyadari bahwa pendapatnya sendiri ditolak oleh
rekan-rekannya. Katsuie segera menarik komentar-komentar sebelumnya, tapi kekecewaannya
nyaris tak tertahankan. Namun ada satu harapan yang masih digeng-gamnya.
Harapan itu berkaitan dengan masalah berikut yang akan dibahas dalam rapat: nasib bekas wilayah
kekuasaan Akechi - atau, dengan kata lain, masalah pembagian wilayah tersebut di antara para
pengikut Oda yang selamat.
Masalah yang secara langsung menyangkut kepentingan semua jendral ini merupakan masalah
pelik yang - bahkan lebih dari persoalan suksesi - tak terelakkan.
"Urusan ini seyogyanya diputuskan oleh para pengikut senior," ujar Hideyoshi yang telah meraih
kemenangan pertama. Pendapatnya ini sangat memperlancar jalannya rapat.
"Baiklah, bagaimana pandangan pengikut paling senior?"
Niwa, Takigawa, dan yang lain kini menyelamatkan muka Katsuie dengan memberikan peran
sentral padanya. Namun kehadiran Hideyoshi sukar diabaikan, dan akhirnya rencana usulan Katsuie pun sampai ke
tangannya. Rupanya rencana itu tak dapat dirampungkan sebelum menanyakan pendapat
Hideyoshi lebih dulu. "Ambilkan kuas," ia memerintahkan. Setelah mencelupkan kuas ke dalam tinta, ia segera mencoreti
tiga atau empat ketentuan dan menambahkan pendapatnya sendiri. Setelah itu ia mengem-balikan
rencana usulan tersebut. Sekali lagi Katsuie membacanya, dan ia tampak tak senang. Beberapa saat ia merenung sambil
membisu; ketentuan-ketentuan yang memuat keinginannya masih basah oleh lima yang dicoretkan
Hideyoshi. Namun Hideyoshi juga mencoret ketentuan mengenai pengalihan hak atas Benteng
Sakamoto pada dirinya, yang digantinya dengan Provinsi Tamba.
Dengan memperlihatkan bahwa ia tidak mementingkan diri sendiri, ia berharap Katsuie pun
bersikap demikian. Akhirnya sebagian besar wilayah Akechi diberikan pada Nobuo dan Nobutaka,
dan sisanya dibagi-bagikan, sesuai jasa masing-masing orang pada pertempuran Yamazaki. "Besok
masih ada urusan lagi," Katsuie berkata. "Dan mengingat rapat panjang ini berlangsung dalam
udara begitu panas, aku yakin kalian semua tentu lelah. Yang jelas, aku merasa letih. Bagai-
mana kalau rapat kita tangguhkan?"
Katsuie akhirnya memilih cara ini agar terhindar dari keharusan untuk segera menanggapi usul baru
Hideyoshi. Tak ada yang keberatan. Matahari sore bcrsinar cerah, dan udara panas semakin
menyesakkan. Hari pertama telah usai.
11 Pendekar Bodoh . Rahasia Sumur Tua m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Keesokan harinya Katsuie menyodorkan kom-promi ke hadapan para pengikut senior. Pada malam
sebelumnya ia telah mengumpulkan pengikut-pengikutnya sendiri, dan mengadakan perundingan di
tempat mereka menginap. Namun usul baru ini pun ditolak oleh Hideyoshi.
Pada hari yang sama, ketentuan mengenai pembagian wilayah kembali memisahkan kedua orang
itu, dan perselisihan mereka semakin menajam. Tapi pada umumnya para pembesar lain
cen-derung berpihak pada Hideyoshi. Katsuie memperjuangkan pendiriannya dengan gigih, tapi
akhirnya usul Hideyoshi-lah yang diterima.
Siang hari diisi masa jeda, dan pada Jam Kambing, semua keputusan diumumkan kepada para
jendral. Wilayah yang dibagi-bagikan terdiri atas wilayah Akechi yang disita serta wilayah pribadi Nobunaga.
Urutan teratas pada daftar pembagian provinsi-provinsi Oda ditempati oleh Nobuo, yang menerima
seluruh Provinsi Owari, diikuti Nobu-taka, yang memperoleh Provinsi Mino. Yang pertama provinsi
asal marga Oda; yang satu lagi rumah kedua Nobunaga.
Namun masih ada dua ketentuan yang merupakan tambahan berarti terhadap usulan semula: Ikeda
Shonyu mendapatkan Osaka, Amagasaki, dan Hyogo, yang bernilai seratus dua puluh ribu gantang;
Niwa Nagahide memperoleh Wasaka dan dua distrik di Provinsi Omi. Hideyoshi menerima Provinsi
Tamba. Satu-satunya pemberian bagi Katsuie adalah Benteng Nagahama milik Hideyoshi, yang merupakan
titik strategis pada jalan dari Echizen, provinsi asal Katsuie, ke Kyoto. Katsuie telah menuntut keras
Api Di Bukit Menoreh 11 Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara Sepasang Naga Lembah Iblis 4
^