Pencarian

The Harsh Cry Of Heron 2

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 2


Kini ia tengah memberi muka pada putra dari musuh lamanya, yang berdahi lebar, bentuk mulut
berlekuk, tanpa mengetahui bahwa Kono memang mirip ayahnya dalam beberapa hal, meskipun tidak
mirip sekali. "Justru kehormatan bagiku bisa bertemu Lord Otori," sahut Kono, dan walaupun kata-kata itu
sopan, Takeo tahu bukan itu maksudnya. Dan hanya ada sedikit peluang untuk perbincangan yang
jujur. Pertemuan itu akan alot dan tegang, dan ia haras bersikap cerdik, kelihatan mahir serta
penuh semangat. Takeo berusaha menenangkan diri, melawan kelelahan juga rasa sakit.
Mereka mulai membicarakan tentang harta kekayaan, Zenko menjelaskan apa yang dia
ketahui. Kono mengungkapkan keinginan untuk melihatnya sendiri, dan langsung dipenuhi Takeo tanpa
protes karena merasa kalau Kono sebenarnya tidak terlalu tertarik pada wilayah itu dan tak
bermaksud tinggal di sana; kalau dia mungkin hanya ingin diakui sebagai pemilik wilayah itu; kalau dia
hanya ingin dikirimi sejumlah keuntungan"tidak seluruh pajak tapi sebagian saja. Harta kekayaan
itu hanyalah alasan dari kunjungan Kono: alasan sempurna yang masuk akal. Kono datang dengan
tujuan lain, tapi dia terus membahas tentang hasil bumi sehingga Takeo mulai bertanya-tanya
kapan dia akan mengatakan tujuannya yang sebenarnya. Tak lama setelah itu, seorang penjaga
datang membawa pesan untuk Lord Arai. Zenko meminta maaf dengan berlebihan lalu berkata kalau
dia terpaksa pergi tapi akan bergabung lagi saat makan siang.
Kepergiannya meninggalkan mereka ber?dua dalam kesenyapan. Minoru meletakkan kuasnya,
semua pembicaraan telah ditulisnya.
Kono berkata, "Aku harus membicarakan satu hal yang memerlukan penanganan yang
bijaksana. Sebaiknya memang dibicarakan berdua saja dengan Lord Otori." Takeo menaikkan alis lalu
menjawab, "Juru tulisku tetap di sini." Ia memberi isyarat pada sisa pengawal yang lain untuk
meninggalkan ruangan. Setelah semua orang pergi, Kono diam selama beberapa saat. Ketika bicara, nada suaranya
lebih hangat dan sikapnya lebih alami, tidak terlalu dibuat-buat.
"Aku ingin Lord Otori tahu bahwa aku hanyalah seorang utusan. Aku tidak memendam
kebencian terhadap Anda. Aku tahu sedikit sejarah dari kedua keluarga kita"keadaan yang tidak
sepantasnya terjadi pada Lady Shirakawa"namun tindakan ayahku acapkali membuat ibuku dan aku
tertekan, ketika beliau masih hidup. Aku tidak percaya kalau ayahku tidak bersalah."
Halaman 473 dari 473 Tidak bersalah" pikir Takeo. Semua kesalahan justru ada padanya: penderitaan dan rusaknya
wajah istriku, terbunuhnya Amano Tenzo, pembantaian tanpa perasaan pada kuda pertamaku, Raku,
serta semua yang kehilangan nyawa di pertempuran Kusahara dan pada saat menarik mundur. Ia
tidak bicara sepatah kata pun. Kono meneruskan, "Ketenaran Lord Otori telah menyebar ke seluruh Delapan Pulau. Kaisar
pun sudah mendengarnya. Paduka Yang Mulia beserta kalangan Istananya mengagumi cara Anda
mewujudkan kedamaian di Tiga Negara."
"Aku merasa tersanjung."
"Sayangnya semua prestasi hebat itu tidak mendapat persetujuan Kaisar." Kono ter?senyum
dengan keramahan dan pengertian yang tidak tulus. "Dan prestasi Anda berasal dari kematian"aku tak
ingin mengatakan itu sebagai pembunuhan"perwakilan di Tiga Negara yang diakui Kaisar, Arai
Daiichi." "Lord Arai tewas, seperti ayahmu, dalam gempa."
"Aku rasa Lord Arai ditembak oleh salah satu pengikut Anda, perompak Terada Fumio, yang
pada dasarnya sudah penjahat. Gempa itu merupakan hukuman dari Surga sebagai akibat dari
tindak pengkhianatan melawan wakil kaisar: itu yang dipercaya di ibukota. Ada juga kematian yang
tak dapat dijelaskan, berhubungan dengan Kaisar yang berkuasa saat itu: kematian Lord Shirakawa,
misalnya, kemungkinan di tangan Kondo Koichi, yang saat itu bekerja pada Anda, dan yang juga terlibat
dalam kematian ayahku." Takeo membalas, "Kondo sudah
meninggal bertahun-tahun lalu. Semua ini sudah menjadi masa lalu. Di Tiga Negara dipercaya
bahwa Surga turun tangan untuk menghukum saudara-saudara dari kakekku dan Arai atas tindakan
dan pengkhianatan keji mereka. Arai menyerang pasukanku yang tidak bersenjata. Bila ada yang
disebut peng?khianatan, maka dialah yang berkhianat." Bumi menghantarkan apa yang diinginkan
Surga. "Nah, putranya, Lord Zenko, adalah saksinya dan laki-laki dengan kejujuran pastilah berkata
yang sebenarnya," sahut Kono acuh tak acuh. Tugasku yang tidak menyenangkan adalah
memberitahukan bahwa karena Anda tidak pernah meminta ijin atau dukungan dari Kaisar, tidak pernah
mengirim pajak atau upeti ke ibukota, maka pemerintahan Anda dianggap tidak sah dan Anda diminta
untuk turun takhta. Anda akan diampuni bila mengasingkan diri ke pulau terpencil. Pedang
keturunan leluhur Otori harus dikembalikan kepada Kaisar."
"Aku sungguh tidak mengerti Anda berani membawa pesan semacam ini," sahut Takeo, seraya
menyembunyikan rasa kaget dan marahnya. "Di bawah kekuasaankulah Tiga Negara menjadi
damai dan sejahtera. Aku tak berniat turun takhta sampai putriku cukup dewasa untuk menjadi
pewarisku. Aku ingin membuat perjanjian dengan Kaisar, dan orang lain yang ingin mendekatiku dengan
damai; aku memiliki tiga putri yang bisa kuaturkan pernikahan politis bagi mereka. Namun aku takkan
terintimidasi oleh ancaman."
"Tidak seorang pun berani mengancam Anda," gumam Kono, sulit membaca ekspresi wajahnya.
Takeo bertanya, "Mengapa baru sekarang kau datang" Di mana minat Kaisar bertahun?tahun
lalu, ketika Iida Sadamu menjarah Tiga Negara dan membunuhi rakyatnya" Apakah Iida bertindak
atas persetujuan Kaisar?"
Dilihatnya Minoru agak menggerakkan kepala, dan berusaha mengendalikan ke?gusarannya.
Tentu saja Kono memang ber?harap untuk membuatnya gusar, berharap menggiringnya membuat
pernyataan terbuka tentang sikap membangkang yang akan diartikan sebagai pemberontakan
selanjutnya. Zenko dan Hana ada di balik semua ini, pikirnya. Tapi pasti ada alasan lain mengapa mereka"
dan Kaisar"berani bergerak menentang dirinya saat ini Kelemahan macam apa yang sedang
mereka eksploitasi" Kekuatan tambahan apa yang mereka kira mereka punya"
"Aku tak bermaksud untuk tidak meng?hormati Kaisar," ujar Takeo dengan hati?hati. "Namun
beliau dihormati di seluruh penjuru Delapan Pulau atas tujuannya untuk mewujudkan kedamaian.
Tentu saja beliau takkan berperang melawan rakyatnya sendiri, kan?"
Benarkah Kaisar takkan menggalang kekuatan untuk melawanku"
"Lord Otori belum mendengar kabar ter?baru," tutur Kono dengan nada sedih. "Kaisar telah
menunjuk jenderal baru: keturunan salah satu keluarga tertua di wilayah Timur, pemimpin sepuluh ribu
pasukan. Lebih dari segalanya, Kaisar ber?tujuan damai, namun beliau tidak dapat mengampuni
tindakan kriminal, dan kini beliau memiliki tangan kanan yang kuat untuk menegakkan hukum dan
keadilan." Halaman 474 dari 474 Kata-kata yang dilontarkan dengan lembut itu mengandung sengatan penghinaan, dan Takeo
merasakan gelombang panas dalam dirinya. Hampir tak tertahankan karena ia dianggap
penjahat: darah Otori dalam dirinya berontak menentang anggapan tersebut. Namun selama bertahuntahun ia
telah memadamkan tantangan dan per?selisihan melalui perundingan dan diplomasi yang
cerdas. Ia tidak percaya kalau cara ini akan mengecewakannya sekarang. Dibiarkan?nya hinaan itu
menyirami dirinya sambil berusaha mengendalikan diri, dan mulai mempertimbangkan jawaban seperti
apa yang akan ia berikan. Jadi mereka mempunyai jenderal perang. Mengapa aku tak pernah mendengar namanya" Di
mana Taku saat aku membutuhkannya" Di mana Kenji"
Kelebihan senjata serta pasukan yang disiapkan Arai Zenko: mungkinkah mereka mendukung
ancaman baru ini" Senjata?senjata: bagaimana kalau itu ternyata senjata api" Bagaimana jika
mereka dalam perjalanan ke Timur"
"Anda di sini sebagai tamu dari penguasa yang berada di bawah kekuasaanku, Arai Zenko,"
akhirnya ia berkata. "itu berarti tamuku juga. Kurasa Anda harus memper panjang masa tinggal Anda di
wilayah Barat, mengunjungi kekayaan mendiang ayah Anda, lalu kembali bersama Lord Arai ke
Kumamoto. Aku akan memanggil Anda sewaktu sudah kuputuskan bagaimana men?jawab ke Kaisar, ke
mana aku akan pergi jika ingin mengundurkan diri, dan bagaimana cara terbaik untuk
mempertahankan kedamaian." "Kuulangi lagi, aku hanyalah utusan," sahut Kono, lalu membungkuk dengan ketulusan yang
jelas. Zenko kembali dan makan siang sudah siap: meskipun hidangannya mewah dan lezat, Takeo
nyaris tidak bisa merasakannya. Perbincangan berjalan dengan ringan dan sopan; ia mencoba turut
ambil bagian di dalamnya. Saat mereka selesai makan, Kono dikawal oleh Zenko menuju ke wisma tamu. Jun dan Shin
sudah menunggu di luar di beranda. Mereka bangkit dan mengikuti Takeo tanpa suara ketika ia
kembali ke kamarnya. "Lord Kono tidak boleh meninggalkan kediaman ini," katanya pada mereka, "Jun, tempatkan
penjaga di gerbang. Shin, segera ambil alih perintah di pelabuhan. Lord Kono akan tinggal di wilayah
Barat sampai kuberi?kan ijin tertulis baginya untuk kembali ke Miyako. Hal yang sama berlaku juga
untuk Lady Arai dan kedua putranya."
Kedua saudara sepupu itu bertukar pandang tapi tidak berkomentar selain, "Tentu saja, Lord
Otori." "Minoru," ujar Takeo pada juru tulisnya. "Pergilah dengan Shin ke pelabuhan dan cari tahu
rincian tentang kapal-kapal yang sedang merapat, terutama yang menuju ke Akashi."
"Aku mengerti," sahut Minoru. "Aku akan kembali secepatnya."
Takeo bersantai di beranda lalu men?dengarkan suasana di kediaman berubah ketika semua
instruksinya dilaksanakan: langkah kaki penjaga, perintah Jun yang keras serta dengan
paksaan, para pelayan yang bingung berjalan bergegas dan komentar bisik-bisik, satu seruan terkejut dari
Zenko, saran Hana yang diucapkan dengan bergumam. Ketika Jun kembali, Takeo menyuruhnya untuk
tetap berada di luar kamar dan jangan sampai ada orang yang mengganggunya. Kemudian ia
istirahat di dalamnya, lalu membolak-balik catatan Minoru tentang pertemuan dengan Kono selagi
menunggu juru tulisnya kembali. Huruf-huruf dalam tulisan seakan melompat ke arahnya dari halaman catatan, kaku dan
goresan dalam tulisan tangan Minoru yang nyaris sempurna. Pengasingan, penjahat, pengkhianatan.
Takeo berjuang untuk mengendalikan amarahnya yang timbul akibat penghinaan semacam ini,
sadar kalau Jun hanya berada tiga langkah darinya. Hanya tinggal me?ngeluarkan satu perintah lagi,
dan mereka semua akan mati: Kono, Zenko, Hana dan anak-anaknya... darah mereka akan
menyapu rasa malu yang bisa dirasakan menoreh lulangnya, mengikis organ-organ tubuhnya. Lalu ia akan
menyerang Kaisar serta jenderalnya sebelum musim panas berakhir, mendesak mereka
kembali ke Miyako, mem?porakporandakan ibukota. Hanya dengan cara inilah kemarahannya bisa reda.
Dipejamkan matanya, melihat motif gambar di kertas kasa terukir di kelopak matanya, lalu
menghela napas panjang, mengenang bangsawan lain yang telah mem?bunuh untuk menyapu habis
penghinaan dan akhimya mencabut nyawa orang lain demi kesenangannya sendiri,
membayangkan betapa mudahnya mengambil jalan keluar seperti itu dan menjadi seperti Iida Sadamu.
Halaman 475 dari 475 Dengan penuh kesadaran, disingkir?kannya rasa terhina dan tikaman rasa malu jauh-jauh,
seraya berkata pada dirinya sendiri kalau pemerintahannya memang ditakdir?kan dan direstui Surga:
ia melihat restu ini dengan kehadiran burung houou, dengan kebahagiaan rakyatnya. Pada
akhirnya kembali lagi pada keputusan untuk meng?hindari pertumpahan darah dan perang sebisa
mungkin, dan tidak akan melakukan apa pun tanpa berkonsultasi dengan Kaede dan penasihat lainnya.
Keputusan ini segera saja diuji kebenaran?nya, ketika Minoru kembali dari ruang catatan
petugas pelabuhan. "Kecurigaan Lord Otori benar," tuturnya. "Dibuat seolah-olah satu kapal berangkat ke Akashi
saat laut pasang semalam, tapi sertifikat pemeriksaan muatannya belum diisi. Shin membujuk kepala
pelabuhan untuk segera menyelidikinya."
Takeo memicingkan mata tanpa ber?komentar.
"Lord Otori jangan khawatir," ujar Minoru untuk meyakinkan. "Shin hamper tidak perlu
bertindak kasar. Orang-orang yang bertanggung jawab sudah dikenali; pegawai pabean yang mengijinkan
kapalnya berangkat, dan pedagang yang menangani muatan. Mereka sudah ditahan, menunggu
keputusan Anda tentang kelanjutan nasib mereka." Ia merendahkan suara. "Tak satu pun dari mereka
mengakui dari mana asal muatan tersebut."


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus mencurigai yang terburuk," sahut Takeo. "Mengapa pula harus meng?hindari
prosedur pemeriksaan" Tapi jangan bicarakan hal ini secara terang-terangan. Kita harus berusaha
menangani mereka sebelum sampai di Akashi."
Minoru tersenyum tipis. "Aku juga ada kabar baik untuk Anda. Kapal Terada Fumio sedang
menunggu di galangan. Mereka akan tiba di Hofu saat laut pasang malam ini."
"Dia datang di saat yang tepat," seru Takeo, semangatnya segera bangkit. Fumio dan ayahnya
adalah teman lamanya yang mengawasi pasukan kapal yang digunakan Klan Otori untuk melakukan
perdagangan dan mempertahankan garis pantai mereka. Fumio pergi selama berbulan-bulan
bersama tabib Ishida, dalam perjalanan yang sering dilakukan untuk perdagangan dan
pen?jelajahan. "Katakan pada Shin untuk membawa pesan pada Fumio kalau dia akan ke?datangan tamu
malam ini. Pesannya tak perlu terlalu jelas. Fumio pasti mengerti."
Takeo sangat lega untuk beberapa hal. Fumio pasti punya berita terbaru mengenai Kaisar; jika
ia bisa segera berangkat, maka peluang untuk mengejar kapal ilegal itu cukup besar; dan Ishida pasti
membawa obat-obatan, sesuatu yang bisa meredakan rasa sakitnya yang berkepanjangan.
"Dan sekarang aku harus bicara dengan adik iparku. Panggil Lord Zenko untuk datang
menghadap." Ia senang punya alasan tentang petugas pabean untuk menekan adik iparnya. Zenko
mengungkapkan permintaan maaf dan ber?janji untuk mengatur eksekusinya, me?yakinkan
Takeo kalau itu adalah peristiwa yang jarang terjadi, hanya contoh dari keserakahan manusia.
"Kuharap kau benar," sahut Takeo. "Aku ingin kau meyakinkan kesetiaan penuhmu kepadaku:
kau berhutang nyawa padaku; kau menikah dengan adik istriku; ibumu adalah sepupuku dan
sahabatku. Kau memegang Kumamoto atas keinginan dan ijinku. Kemarin kau menawarkan salah satu
putramu kepadaku. Kuterima tawaranmu. Tentu saja aku akan membawa keduanya; saat berangkat ke
Hagi mereka akan menemaniku. Mulai saat ini mereka akan tinggal bersama keluargaku dan
dibesarkan sebagai putraku. Aku akan mengangkat Sunaomi, bila kau tetap setia padaku. Hidup Sunaomi
dan adiknya akan diserahkan ke tanganku bila ada sedikit saja tanda ketidaksetiaan. Masalah
pernikahan akan diputuskan nanti. Istrimu boleh bergabung dengan kedua putranya di Hagi, jika dia mau,
tapi aku yakin kau menginginkan istrimu tetap bersamamu."
Takeo mengamati wajah adik iparnya lekat-lekat ia bicara. Zenko tidak berani menatapnya.
Bola matanya ikit berputar dan bicara terlalu cepat untuk memberi tanggapan.
"Lord Takeo harus tahu kalau aku betul?betul setia. Apa yang telah Kono katakan hingga Anda
beranggapan seperti ini" Apakah dia bicara tentang masalah-masalah di wilayah Timur"
"Jangan pura-pura tidak tahu! Takeo tergoda ingin langsung menantangnya, tapi memutuskan kalau
saatnya belum tiba. "Kita abaikan saja apa yang telah dikatakannya: itu tidak penting. Sekarang, di hadapan
semua saksi di sini, ucapkan sumpah setiamu kepadaku."
Halaman 476 dari 476 Zenko melakukannya dengan mem?bungkuk dalam-dalam, tapi Takeo ingat bagaimana
ayahnya, Arai Daiichi, telah bersumpah setia hanya untuk meng?khianatinya, dan di saat yang paling genting
lebih memilih kekuasaan melebihi dari nyawa kedua putranya.
Putranya pun akan bersikap sama, pikirnya. Seharusnya kuperintahkan dia menca but
nyawanya sekarang juga. Namun tak kuasa bertindak seperti itu, karena pada akhirnya semua kesedihan
hanya akan menimpa keluarganya sendiri. Lebih baik tetap mencoba menjinakkannya, ketimbang
membunuhnya. Tapi betapa lebih mudahnya kalau dia mati.
Disingkirkannya pikiran itu seraya berjanji pada dirinya sendiri sekali lagi untuk ber?pegang
pada jalan yang lebih rumit dan sulit, jauh dari kemudahan yang menipu dari pembunuhan atau bunuh
diri. Begitu Zenko selesai menyampaikan semua keberatannya, semua dicatat oleh Minoru, Takeo
ber?istirahat di wismanya, berkata kalau ia akan makan sendirian dan istirahat lebih awal karena hendak
berangkat ke Hagi keesokan paginya. Ia ingin sekali berada di rumah, berbaring bersama istrinya dan
membuka hati kepadanya, bertemu dengan putri?putrinya. Dikatakannya pada Zenko agar kedua
putranya harus siap melakukan perjalanan bersamanya.
Sepanjang hari hujan turun dan reda. tapi saat ini langit mulai cerah, angin berhembus
lembut dari selatan meluluhkan awan gelap. Matahari tenggelam dalam warna merah muda dan cahaya
keemasan yang membuat banyak warna hijau di taman bermandikan cahaya. Keadaan akan
baikbaik saja pada pagi hari, hari yang baik untuk melakukan perjalanan, baik juga untuk kegiatan
malam hari yang terlintas di benaknya.
Takeo mandi lalu mengenakan jubah dari bahan katun tipis seolah bersiap pergi tidur, makan
sedikit tapi tanpa minum sake, kemudian menyuruh semua pelayan pergi, mengatakan pada mereka
kalau ia tak mau diganggu. Kemudian menenangkan dirinya sendiri, bersila di matras dengan mata
ter?pejam dan kedua jari telunjuk dan ibu jari saling bersentuhan ditekan seakan tenggelam dalam posisi
meditasi. Dipasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan suara-suara di dalam kediaman.
Tiap suara terdengar olehnya: percakapan pelan para penjaga di gerbang, pelayan dapur
mengobrol sambil membersihkan piring lalu menyimpannya, anjing-anjing menyalak, musik dan tempat
minumminum di sekitar pelabuhan, gemuruh tanpa henti air laut, gemerisik dedaunan dan teriakan burung
hantu dari gunung. Terdengar olehnya Zenko dan Hana membicarakan pengaturan untuk keesokan harinya, tapi
percakapan yang sepele, seolah mereka ingat kalau ia mungkin saja sedang mendengarkan.
Dalam permainan berbahaya yang telah mereka mulai, mereka tidak mau ambil resiko Takeo mencuri
dengar strategi mereka, terutama bila ia memang jadi menahan kedua putra mereka. Tak lama
kemudian, mereka bertemu Kono untuk makan malam, namun mereka sama berhati?hatinya: yang
terdengar tak lebih dari tata rambut model terbaru dan cara berpakaian di istana, kegemaran Kono akan
puisi dan drama, serta olahraga para bangsawan, bola tendang dan berburu anjing.
Percakapan itu menjadi semakin hidup: seperti ayahnya, Zenko gemar minum sake. Takeo
berdiri dan mengganti pakaiannya, memakai jubah yang tidak mencolok berwarna pudar seperti yang
biasa dikenakan pedagang. Ketika melewati Jun dan Shin, yang sedari tadi duduk di luar pintu, Jun
menaikkan alis; Takeo menggelengkan kepala. Tak ingin ada yang tahu kalau ia pergi.
Dipakainya sandal jerami di anak tangga taman, menghilang lalu berjalan lewat gerbang yang masih
terbuka. Anjing-anjing menggiringnya dengan tatapan mata tapi para penjaga tidak memerhatikannya.
Bersyukurlah kalian tak berjaga di gerbang istana di Miyako, katanya tanpa suara pada anjinganjing.
Karena mereka akan memburu kalian dengan hujan anak panah untuk olahraga.
Di satu sudut yang gelap tidak jauh dari pelabuhan, Takeo melangkah masuk ke bayangan tak
tertihat dan keluar dengan penyamarannya sebagai pedagang yang sedang terburu-buru untuk
pekerjaan di kota. Udara terasa penuh dengan aroma garam, ikan yang sedang dikeringkan dan rumput laut
di atas rak-rak di tepi pantai, ikan dan gurita panggang di rumah makan. Lentera menerangi
jalanan sempit dan cahaya lampu bersinar jingga dari balik kertas kasa.
Di tepi galangan, kapal-kapal kayu saling bergesekan, terombang-ambing oleh ombak, air
menghantam badan kapal, dengan tiang pancang yang kekar dan berwarna gelap di bawah
siraman cahaya malam penuh bintang. Di kejauhan dapat dilihatnya pulau?pulau dari Laut Lingkar; di
balik bentuknya yang menyembul tajam tampak cahaya temaram bulan yang baru naik.
Tungku bara menyala di samping tali tambatan salah satu kapal besar, dan Takeo, dengan
menggunakan dialek kota itu, ber?seru pada orang-orang yang, memanggang potonganpotongan
Halaman 477 dari 477 abon kering dan berbagi sebotol sake. "Apakah Terada datang dengan kapal ini?"
"Ya, benar," sahut satu orang. "dia sedang makan di Umedaya."
"Apakah kau berharap melihat kirin*?" timpal yang lain. "Lord Terada menyembunyikannya
di tempat yang aman sampai bisa diperlihatkan kepada penguasa kami, Lord Otori."
"Kirin?" Takeo terkejut. Kirin adalah hewan dalam tongeng, separuh naga, separuh kuda, dan
separuh singa. Dikiranya hewan itu hanya legenda. Apa yang ditemukan Terada dan Ishida di daratan
utama" "Seharusnya ini rahasia," orang pertama memperingatkan temannya. "Dan kau terus saja
mengoceh pada semua orang!" "Tapi ini kirin!" sahut yang lainnya. "Sungguh suatu mukjizat bisa memiliki hewan ini hiduphidup! Dan
tidakkah itu membuktikan bahwa Lord Otori adil dan bijaksana melebihi yang lainnya"
Pertama burung houou, burung suci kembali ke Tiga Negara, dan kini muncul seekor kirin!"
Orang itu menenggak lagi sakenya lalu menawarkan botolnya pada Takeo.
"Bersulang untuk kirin dan Lord Otori!" "Baiklah, terima kasih," sahut Takeo sambil tersenyum.
"Aku berharap bisa melihatnya suatu hari nanti."
"Tidak akan sebelum Lord Otori melihat?nya!" Takeo masih tersenyum selagi berjalan
menjauh, kerasnya rasa sake membangkitkan semangatnya sama banyaknya dengan niat baik orangorang
tadi. Saat kudengar tidak lain dari kritikan tentang Lord Otori"saat itulah aku akan mengundurkan
diri, katanya pada diri sendiri. Tapi tidak sebelum saat itu tiba, walau dipaksa sepuluh kaisar dan
jenderaljenderalnya sekalipun.* _________________________________________
* Kirin atau qilin (dalam bahasa cina) merupakan mahluk dongeng yang kemunnculannya
dianggap sebagai simbol kemakmuran negeri dan keadilan bangsa
Umedaya adalah sebuah rumah makan yang berada di antara pelabuhan dan distrik utama
kota, satu dari banyak bangunan rendah yang menghadap ke arah sungai dan diapit pohon?pohon willow.
Lentera digantung di tiang?tiang beranda dan di perahu-perahu besar pengangkut yang
ditambatkan di depannya dengan muatan berbal-bal beras dan gandum, serta hasil pertanian lainnya dari
pedalaman ke laut. Banyak pelanggan duduk di luar menikmati indahnya bulan yang kini
berada di atas puncak pegunungan, meman-tulkan warna keperakan pada alur gelom?bang.
"Selamat datang! Selamat datang!" seru pelayan saat Takeo menyibak tirai rumah makan itu
lalu melangkah masuk; disebut?nya nama Terada dan dia menunjuk ke sudut beranda yang ada di
bagian dalam. Fumio tampak sedang sibuk menelan ikan rebus dengan tergesa-gesa sambil berbicara
dengan keras. Tabib Ishida duduk bersamanya, makan sama lahapnya, sambil mendengarkan dengan
senyum tipis di wajahnya. Beberapa anak buah Fumio. beberapa di antaranya sudah dikenal
Takeo, ada bersamanya. Halaman 478 dari 478 Berdiri tanpa dikenali dalam kegelapan, Takeo mengamati kawan lamanya selama beberapa
waktu. Fumio tetap kelihatan kekar seperti biasa, dengan pipi tembam dan kumis tipis, meskipun kini
kelihatan ada bekas luka baru di salah satu pelipisnya. Ishida kelihatan lebih tua, lebih kurus
kering, kulitnya kekuningan. Takeo senang melihat keduanya lalu melangkah naik ke area duduk. Salah satu mantan
perompak segera melompat berdiri menghalangi jalannya, mengira kalau ia hanyalah pedagang yang tak
penting. Tapi setelah beberapa saat terkejut dan ke?bingungan, Fumio bangkit, mendorong
anak buahnya ke samping, sambil berbisik, "Ini Lord Otori!" lalu memeluk Takeo.
"Walaupun memang sedang menunggu?mu, aku tidak mengenalimu!" serunya. "Misterius dan
aneh: aku tidak akan ter?biasa."
Tabib Ishida tersenyum lebar. "Lord Otori!" Dipanggilnya pelayan untuk mem?bawakan sake
lagi. Takeo duduk di samping Fumio, berhadapan dengan si tabib, yang mengamatinya dengan
seksama di bawah cahaya temaram. "Ada masalah?" tanya Ishida setelah mereka bersulang.
"Ada beberapa hal yang perlu kubicara?kan," sahut Takeo. Fumio memberikan isyarat dengan
kepala, lalu anak buahnya pindah ke meja lain.
"Aku ada hadiah untukmu," katanya pada Takeo. "Hadiah yang akan mengalihkan perhatianmu
dari masalah. Coba tebak apa hadiahnya! Lebih hebat dari apa pun yang pernah kau inginkan!"
"Ada satu hal yang kudambakan lebih dari segalanya," jawab Takeo. "Yaitu melihat seekor kirin
sebelum aku mati." "Ah. Mereka sudah mengatakannya pada?mu. Dasar manusia brengsek yang tak ber?guna.
Akan kurobek mulut mereka."
"Mereka menceritakannya pada seorang pedagang miskin yang tak berani," sahut Takeo
tertawa. "Aku harus mencegahmu menghukum mereka. Lagipula, aku juga hampir tidak percaya pada
mereka. Apakah itu benar?" "Ya dan tidak," kata Ishida. "Tentu saja, bukan kirin yang sesungguhnya: kirin adalah hewan
dalam dongeng, sedangkan yang ini adalah hewan sungguhan. Tapi hewan yang luar biasa, dan yang
paling mirip dengan kirin dibanding hewan lain yang pernah kulihat."
"Ishida jatuh hati pada hewan itu," tutur Fumio. "Dia menghabiskan waktu berjam?jam
menemaninya. Ia lebih parah ketim?bang kau dan kuda tuamu itu, siapa nama?nya?"
"Shun," sahut Takeo. Shun mati karena usia tua tahun lalu; tak akan ada lagi kuda sepertinya.
"Kau tidak bisa menunggangi hewan ini, tapi mungkin bisa menggantikan Shun, agar kau bisa
mencurahkan kasih sayangmu," tutur Fumio.
"Aku ingin sekali melihatnya. Di mana hewan itu sekarang?"
"Di kuil Daifukuji; mereka menemukan taman yang tenang untuk hewan itu, dengan dinding
yang tinggi. Kami akan perlihatkan padamu besok. Karena kau sudah merusak kejutan kami, maka
sekalian

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja ceritakan masalah-masalahmu pada kami." Fumio menuang sake lagi.
"Apa yang kau tahu tentang jenderal baru Kaisar?" tanya Takeo.
"Kalau kau tanya aku beberapa minggu lalu, aku akan jawab, 'Tidak tahu apa-apa,' karena
kami sudah pergi selama enam bulan, tapi kami pulang melalui Akashi, dan kota itu sibuk
membicarakannya. Namanya Saga Hideki, dengan julukan Pemburu Anjing."
"Pemburu Anjing?"
"Dia sangat suka berburu anjing, dan kabarnya mahir melakukannya. Jenderal itu mahir
berkuda dan memanah, serta ahli siasat perang yang cerdas. Mendominasi propinsi-propinsi di wilayah
Timur, kabar?nya memiliki ambisi menaklukkan seluruh Delapan Pulau, dan baru-baru ini ditunjuk
Kaisar untuk bertempur atas nama Paduka Yang Mulia serta membinasakan musuh?musuhnya dalam
rangka mencapai tujuan itu."
Halaman 479 dari 479 "Sepertinya aku termasuk dalam daftar musuhnya," ujar Takeo. "Putra Lord Fujiwara, Kono,
datang menghadapku hari ini. Ternyata Kaisar memintaku meng?undurkan diri, dan jika aku menolak,
beliau akan mengirim si Penangkap Anjing untuk melawanku."
Wajah Ishida berubah pucat ketika nama Fujiwara disebut. "masalah," gumamnya.
"Apakah ada indikasi kalau senjata api di perdagangkan di Imai?"
"Tidak, justru sebaliknya; beberapa pedagang mendekatiku, menanyakan ten- tang senjata
dan bubuk mesiu, berharap menghindar pelarangan dari Otori. Mesti kuperingatkan padamu, mereka
menawar?kan uang dalam jumlah besar. Jika jenderal Kaisar tengah bersiap melawanmu,
kemung?kinan dia berusaha membeli senjata api: demi uang sebesar itu, cepat atau lambat
akan ada orang yang akan menyediakan senjata api."
"Aku khawatir mereka sudah dalam per?jalanan," ujar Takeo, dan menceritakan pada Fumio
tentang kecurigaannya pada Zenko.
"Mereka punya waktu kurang dari sehari untuk memulainya," sahut Fumio, meneng?gak habis
minumnya lalu berdiri. "Kita bisa hentikan mereka. Aku ingin melihat wajah?mu saat
kuperlihatkan kirin, tapi nanti Ishida bisa menceritakannya padaku. Tahan Lord Kono di wilayah Barat sampai
aku kembali. Sebelum mereka bisa menandingi jumlah senjata api, mereka takkan memancingmu
dalam pertempuran. Angin bertiup dari arah barat: kita bisa mendapat laut pasang jika berangkat
sekarang." Dipanggil anak buah?nya, dan mereka pun berdiri, menjejalkan sisa makanan, menenggak
habis sake, mengucapkan selamat tinggal pada pelayan perempuan dengan perasaan enggan. Takeo
memberitahu mereka nama kapalnya.
Fumio pergi begitu cepat hingga mereka hampir tidak sempat mengucapkan selamat berpisah.
Takeo ditinggal bersama Ishida. "Fumio tak berubah," katanya, terhibur dengan tin?dakan
cekatan kawannya. "Dia masih tetap sama," sahut Ishida. "Seperti angin topan, tidak pernah bisa diam." Si tabib
menuang sake lagi lalu minum sampai habis. "Dia adalah teman seperjalanan yang memberi semangat,
namun melelahkan." Mereka berbincang-bincang tentang per?jalanan, dan Takeo memberi kabar tentang
keluarganya yang selalu menyita perhatian Ishida, karena dia sudah menikah dengan Muto Shizuka selama
lima belas tahun. "Rasa sakitmu terasa lagi?" tanya si tabib. "Kelihatan dari wajahmu."
"Ya, cuaca yang lembap memperburuknya: kadang kurasa masih ada sisa racun yang hingga
terasa panas. Acapkali lukanya kelihatan memerah di balik carutannya. Membuat sekujur tubuhku
sakit." "Akan kuperiksa nanti, berdua saja," sahut Ishida.
"Bisakah sekarang kau kembali bersama?ku?"
"Aku punya cukup persediaan akar-akaran dari Shin, dan obat tidur terbuat dari bunga candu.
Untung saja kuputuskan untuk mem?bawanya," komentar Ishida seraya meng?ambil sebuah buntalan
kain dan kotak kayu kecil. Tadinya aku bermaksud meninggal?kannya di kapal. Kalau tidak kubawa
pasti barang-barang ini sudah setengah perjalanan menuju Akashi dan tidak terlalu berguna
bagimu." Nada suara Ishida kedengaran murung. Takeo mengira dia akan melanjutkan bicara?nya,
namun setelah beberapa saat dalam hening yang tidak mengenakkan, si tabib tampak berhasil
mengendalikan perasaannya; dikumpulkan barang-barangnya lalu berkata dengan riang,
"Setelah itu aku harus pergi memeriksa kirin. Aku akan menginap di Daifukuji malam ini. Kirin sudah
terbiasa denganku, bahkan terikat dengan diriku: aku tak ingin membuatnya gelisah."
Sedari tadi Takeo menyadari ada suara orang berdebat dari bagian dalam rumah makan,
seorang laki-laki berbicara dengan bahasa asing dan suara seorang perempuan menerjemahkan. Suara
perempuan itu membuatnya tertarik karena logatnya berasal dari wilayah Timur, meskipun
perempuan itu bicara dengan dialek setempat, dan ada sesuatu dengan intonasi suaranya yang tidak asing
bagi Takeo. Ketika berjalan melewati ruang bagian dalam, Takeo mengenali si orang asing, yang dipanggil
Don Joao. Ia yakin belum pernah bertemu dengan perempuan yang berlutut di samping orang asing
itu, namun seperti ada sesuatu...
Halaman 480 dari 480 Selagi ia mengira-ngira siapa perempuan itu, si orang asing melihat Ishida lalu memanggilnya.
Ishida amat disukai orang asing itu dan menghabiskan banyak waktu menemani mereka, saling
bertukar ilmu pengetahuan medis, informasi tentang perawatan serta tanaman herbal, serta
membandingkan kebiasaan dan bahasa mereka.
Don Joao pernah bertemu Takeo beberapa kali, tapi selalu dalam suasana resmi, dan
sepertinya saat ini dia tidak bisa mengenali. Orang asing itu gembira bertemu sang tabib dan ingin agar dia
duduk dan mengobrol, tapi Ishida memohon pergi karena ada pasien yang membutuhkannya. Perempuan
itu, yang mungkin berusia dua puluh lima tahunan, melihat sekilas ke arah Takeo, yang terus
memalingkan wajah dari perempuan itu. Dia menerjemahkan perkataan Ishida" sepertinya
perempuan itu cukup fasih berbicara bahasa asing"lalu melayangkan pandangannya ke arah
Takeo lagi; kelihatan?nya tengah mengamati Takeo dengan penuh seksama, seakan-akan mengira
kalau mung?kin mengenal Takeo. Perempuan itu mengangkat tangan untuk menutup mulut, dengan pakaiannya terlipat ke
belakang dan memperlihatkan kulit lengannya, halus dan gelap. Takeo merasa kulit perempuan itu
amat mirip dengan kulitnya, amat mirip dengan kulit ibunya.
Keterkejutannya tak terlukiskan, hingga tak kuasa mengendalikan diri, mengubahdirinya
menjadi seorang bocah yang ketakutan serta tersiksa. Perempuan itu tercekat lalu berkata, "Tomasu?"
Air mata menggenang di matanya. Tubuh perempuan itu terguncang karena luapan perasaan.
Takeo ingat pada seorang gadis cilik yang menangis dengan cara yang sama karena menangisi seekor
burung yang mati, kehilangan mainan. Selama ini ia menduga gadis cilik itu sudah tiada,
tergeletak di sebelah ibu dan kakak perempuannya yang mati terbujur kaku"perempuan itu memili?ki
ketenangan serta wajah yang lebar mirip ibu dan kakak perempuannya, dan warna kulit yang sama
dengannya. Takeo menyebut nama adiknya dengan keras untuk pertama kalinya selama lebih dari enam
belas tahun: "Madaren!" Sirna sudah semua hal yang ada dibenak?nya: ancaman dan wilayah Timur, misi Fumio
merebut senjata api yang diselundup?kan, Kono, bahkan rasa sakitnya, bahkan kirin sekalipun. Ia hanya
mampu meman?dangi adik yang dikiranya sudah tiada; hidupnya seperti meluruh lalu
memudar. Yang ada dalam ingatannya hanyalah masa kecilnya, keluarganya.
Ishida bertanya, "Lord, Anda baik-baik saja" Anda tidak sehat."
Takeo bicara dengan cepat pada Madaren, "Katakan pada Don Joao aku akan menemuinya
besok. Kabari aku di Daifukuji."
"Aku akan datang ke sana besok," sahutnya, dengan tatapan terpaku pada wajah Takeo.
Ia berhasil mcngendalikan diri lalu ber?kata, "Kita tidak bisa bicara sekarang. Aku akan datang
ke Daifukuji; tunggu aku di sana."
"Semoga Dia memberkati dan melin?dungimu," ujarnya, memanjatkan doa kaum Hidden saat
berpisah. Meskipun atas perin?tahnya kaum Hidden kini bebas untuk ber?ibadah secara
terbuka, tetap saja membuat?nya terkejut melihat terungkapnya sesuatu yang sebelumnya merupakan
rahasia, sama seperti salib yang dikenakan Don Joao di dadanya tampak seperti pameran
sesuatu yang keji. "Kau lebih tidak sehat dari yang kukira," seru Ishida saat mereka berdua berada di luar. "Perlu
kupanggilkan tandu?"
"Tidak, tentu saja tidak perlu!" Takeo mengambil napas dalam-dalam. Tadi hanya udara yang
terasa pengap. Juga terlalu banyak minum sake, terlalu cepat."
"Kelihatannya kau sangat terguncang. Kau mengenal perempuan itu?"
"Bertahun-tahun yang silam. Aku tidak tahu kalau dia menerjemahkan untuk orang asing."
"Aku pernah bertemu dengannya, tapi tidak akhir-akhir ini"aku pergi selama ber?bulanbulan." Kota
itu semakin senyap, cahaya dimatikan satu demi satu. Selagi mereka menyeberangi jembatan
kayu di luar Umedaya dan mengambil salah satu jalan sempit yang mengarah ke kediaman, Ishida
berkomentar, "Perempuan itu mengenalmu bukan sebagai Lord Otori, tapi sebagai orang lain."
Halaman 481 dari 481 "Seperti yang tadi kubilang, aku sudah sangat lama mengenalnya, sebelum aku menjadi Otori."
Takeo masih setengah tercengang dengan pertemuan tadi"dan cenderung setengah
menyangsikannya. Bagaimana mungkin itu adiknya" Bagaimana dia bisa selamat dari
pembantaian yang menghabisi keluarga dan membakar habis desanya" Tak diragukan lagi bahwa dia bukan
sekadar seorang juru bahasa: terlihat olehnya pada tangan dan mata Don Joao. Pria asing itu
kerap mengun?jungi rumah pelacuran itu seperti laki-laki lain, tapi sebagian besar perempuan
peng?huninya enggan tidur dengan mereka, hanya pelacur kelas terendah yang tidur dengan
mereka. Ia merasa ngeri saat memikirkan hidup seperti apa yang telah dijalani adiknya.
Namun perempuan itu memanggil dengan nama aslinya. Dan Takeo pun mengenalinya.
Di rumah terakhir sebelum sampai di gerbang kediaman, Takeo menarik Ishida ke bawah
bayangan gelap. "Tunggu di sini sebentar. Aku harus masuk tanpa terlihat. Aku akan mengirim perintah
pada penjaga agar membiarkanmu masuk."
Gerbang sudah ditutup, disingsingkannya keliman panjang jubahnya ke sabuk lalu memanjat
dinding dengan cukup ringan, kendati hentakan saat mendarat di sisi dinding satunya membuat
sakitnya terasa lagi. Menghilang, lalu menyelinap melewati taman yang sunyi, melewati Jun dan Shin
menuju ke kamarnya. Mengganti pakaian dengan jubah tidur lalu meminta dibawakan lentera dan teh,
mengirim Jun untuk mengatakan pada penjaga agar membiarkan Ishida masuk.
Si tabib tiba: mereka saling memberi salam dengan riang, seolah belum bertemu selama enam
bulan lamanya. Pelayan perempuan menuang teh dan membawakan lagi air panas, lalu Takeo
menyuruhnya pergi. Dilepasnya sarung tangan sutra yang me?nutupi tangan cacatnya dan
Ishida menarik lentera lebih dekat agar bisa melihatnya. Di?tekannya jaringan kulit yang tumbuh
meng?gantikan jaringan yang rusak dengan ujung jarinya lalu melemaskan jari yang tersisa.
"Kau masih bisa menulis dengan tangan ini?"
"Setelah berlatih berulang kali. Aku me?nulis dengan tangan kiri." Diperlihatkannya pada
Ishida. "Rasanya aku masih bisa ber?tarung menggunakan pedang, tapi tidak ada alasan untuk itu
selama bertahun-tahun." "Tidak kelihatan memerah karena infeksi," kata Ishida akhirnya. "Aku akan mencoba dengan
jarum besok, untuk mengiris garis bujurnya. Untuk sementara waktu, ini akan membantumu untuk
tidur." Selagi menyiapkan teh, Ishida bicara dengan suara pelan, "Aku sering membuat ini untuk
istriku. Aku takut bertemu Kono; hanya mengetahui putranya berbaring di dalam kediaman ini, telah
mengorek banyak kenangan. Aku ingin tahu apakah dia seperti ayahnya."
"Aku belum pernah bertemu Fujiwara."
"Kau beruntung. Aku menjalankan perin?tahnya, selama hampir seumur hidupku. Aku tahu dia
orang yang kejam tapi dia selalu memperlakukan diriku dengan baik, menye?mangatiku untuk
belajar dan melakukan perjalanan, mengijinkan aku melihat koleksi buku-bukunya yang berharga juga
harta benda yang lainnya. Kupalingkan wajahku dari kegermarannya yang keji. Aku tidak pernah
menyangka kekejamannya akan menimpa diriku."
Tiba-tiba Ishida berhenti bicara dan menuang air mendidih ke atas herba kering. Aroma
samar-samar dari rumput musim panas menyeruak, harum dan menenang?kan.
"Istriku pernah cerita sedikit tentang saat?saat itu," sahut Takeo pelan.
"Hanya gempa yang menyelamatkan kami. Belum pernah aku begitu ketakutan, meski?pun
pernah menghadapi berbagai macam bahaya: badai di laut, kapal karam, perompak dan orang
primitif. Aku pernah menghempa-skan diri di bawah kakinya dan memohon agar diijinkan bunuh diri. Dia
berpurapura mengabulkannya, mempermainkan rasa takutku. Terkadang aku memimpikannya; sesuatu
yang tak akan pulih dalam diriku; sungguh suatu perwujudan iblis dalam diri manusia."
Ishida berhenti sebentar, tenggelam dalam kenangannya. "Saat itu anjingku melolong,"
tuturnya dengan amat pelan. "Bisa kudengar anjingku melolong. Dia selalu memperingat?kanku tentang
gempa dengan cara seperti itu. Kutemukan diriku bertanya-tanya apakah ada orang yang
memeliharanya." Diambilnya mangkuk lalu diberikan pada Takeo, "Aku mohon maaf yang sedalam?dalamnya
atas keterlibatanku dalam memen?jarakan istrimu."
Halaman 482 dari 482

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semua itu sudah berlalu," sahut Takeo, seraya mengambil mangkuk tadi lalu me?nenggaknya
sampai habis dengan rasa syukur.
"Namun bila putranya sama seperti ayah?nya, dia hanya akan menyakitimu. Waspada?lah."
"Kau memberiku obat dan memperingat?kanku dalam satu tarikan napas," ujar Takeo.
"Mungkin aku memang harus menahan rasa sakit ini"paling tidak untuk membuatku tetap terjaga."
"Aku harus berada di sini bersamamu..."
"Jangan. Kirin membutuhkanmu. Anak buahku ada di sini untuk menjagaku. Untuk sementara
ini aku tidak dalam bahaya."
Takeo berjalan melewati taman bersama Ishida sampai ke gerbang, merasa lega karena rasa
sakitnya mulai berkurang. Ia tidak terjaga lama"hanya cukup lama untuk menghitung
kejadian luar biasa hari ini: Kono, ketidaksenangan Kaisar. Si Pemburu Anjing, kirin dan adiknya: apa yang
akan dilakukannya dengan Madaren, perempuan milik si orang asing. salah satu kaum Hidden, adik
perempuan Lord Otori"*
Melihat kakak laki-laki yang dikiranya sudah tiada, bagi perempuan yang dulunya dipanggil
Madaren tak kurang terkejutnya, nama yang biasa dipakai kaum Hidden. Selama bertahun-tahun
setelah peristiwa pembantaian. Madaren berganti nama men?jadi Tomiko, nama yang diberikan
perempu?an yang membelinya dari prajurit Tohan. Prajurit yang turut ambil bagian dalam pemerkosaan
dan pembunuhan ibu serta kakak perempuannya, namun Maraden tidak ingat semua dari kejadian
itu: yang diingat?nya hanyalah hujan musim panas, bau keringat kuda ketika pipinya menempel di
lehemya, tangan laki-laki yang memegangi tubuhnya, tangan yang sepertinya lebih besar dan
lebih berat dibandingkan sekujur tubuh?nya. Semuanya berbau asap dan lumpur dan sadar kalau ia
takkan bersih lagi. Saat awal terjadinya kebakaran, kuda kuda dan pedang, ia berteriak memanggil
ayahnya, memanggil Tomasu, seperti yang dilakukannya pada awal tahun itu ketika terjatuh ke sungai berarus
deras dan terjebak di bebatuan sungai yang licin, dan Tomasu mendengar teriakan?nya dari sawah lalu
berlari menghampiri untuk menariknya keluar dari sungai, meng?hardik juga menenangkannya.
Tapi kali ini Tomasu tidak mendengar teriakannya; begitu pula ayahnya yang telah tiada; tak
seorang pun mendengar teriakan?nya dan tak seorang pun datang menolong?nya.
Banyak anak, tidak hanya yang hidup di kalangan kaum Hidden, merasakan pen?deritaan yang
sama ketika Iida Sadamu berkuasa di kastil berdinding hitam miliknya di Inuyama; begitu pula
dengan situasi yang berubah setelah Inuyama jatuh ke tangan Arai. Beberapa di antaranya bertahan
hidup hingga dewasa, Madaren merupakan salah satunya, salah satu dari sejumlah besar gadis yang
melayani kebutuhan klas ksatria, menjadi pelayan rumah, pelayan dapur atau penghuni rumah
pelacuran. Mereka tidak punya keluarga, sehingga tanpa perlindung?an; Madaren bekerja
pada perempuan yang membelinya, menjadi kelas terendah dari
pelayan, menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari dan tidak boleh tidur sebelum
pelanggan terakhir pulang. Ia mengira kelelahan dan rasa lapar telah membuat diri?nya kebal terhadap
segala sesuatu di se?kelilingnya, tapi saat dewasa dan segera men?jadi gadis yang disukai, ia
menyadari kalau selama ini telah belajar dari gadis-gadis yang lebih tua, dengan mengamati serta
men?dengarkan mereka, dan menjadi bijaksana tanpa menyadarinya pada sasaran"benar,
satusatunya sasaran mereka yaitu para laki?laki yang datang berkunjung.
Rumah pelacuran barangkali merupakan tempat yang paling kejam di Inuyama, terletak jauh
dari kastil di salah satu jalan sempit yang terbentang di jalan utama, tempat rumah-rumah kecil
yang dibangun kembali setelah kobaran api meluluh?lantakkan semuanya bak sarang tawon yang
saling Halaman 483 dari 483 berdempetan. Tapi semua laki-laki memiliki hasrat, bahkan kuli pengangkut barang, buruh
serta kuli angkut tanah di malam hari, dan di antara mereka ini banyak yang bisa diperdayai oleh cinta
seperti laki?laki golongan klas lainnya. Itulah yang dipelajari Madaren; pada waktu yang ber
samaan ia juga belajar bahwa perempuan yang dikuasai cinta merupakan makhluk yang paling
tak berdaya di kota ini, dengan mudahnya disingkirkan bak anak kucing yang tidak diinginkan, dan
ia memanfaatkan apa yang dipelajarinya ini dengan cerdas. Ia mau pergi dengan laki-laki yang
dijauhi oleh gadis-gadis lain, memanfaatkan rasa terima kasih mereka. Ia bisa memeras hadiah dari
mereka, atau kadang mencurinya, dan pada akhirnya membiarkan seorang pedagang yang hampir
bangkrut membawanya ke Hofu, pergi meninggalkan rumah sebelum matahari terbit lalu menemui lakilaki itu
galangan kapal yang masih berkabut. Mereka me?numpang kapal yang mengangkut kayu cedar
dari hutan menuju wilayah Timur, dan aroma kayu itu mengingatkannya pada Mino, tanah
kelahirannya. Hal itu meng?ingatkannya pada keluarganya dan laki-laki agak aneh yang menjadi kakaknya,
yang membuat gusar sekaligus memesona ibu mereka. Air mata menggenang di matanya saat
meringkuk di bawah papan tebal, dan ketika kekasihnya berbalik untuk memeluk?nya. Madaren
menampiknya. Pedagang itu membosankan serta membuatnya gusar, dan
akhimya ia kembali ke kehidupan lamanya, bergabung ke rumah pelacuran yang lebih tinggi
kelasnya dibandingkan yang pertama.
Kemudian orang-orang asing berjanggut berdatangan, bau mereka yang aneh dan tubuh
mereka yang besar. Madaren melihat ada semacam kekuatan dalam diri mereka yang mungkin bisa
dimanfaatkan dan dengan sukarela tidur dengan mereka; ia memilih orang yang bernama Don
Joao, walaupun laki-laki itu mengira kalau dialah yang memilih Madaren: orang-orang asing bersifat
sentimental sekaligus pemalu bila sudah berhubungan dengan kebutuhan jasmani: mereka
ingin merasa istimewa bagi seorang perempuan, bahkan setelah mereka membeli?nya. Mereka
memberi bayaran yang memadai dalam mata uang perak; Madaren berhasil menjelaskan pada pemilik
rumah bahwa Don Joao hanya menginginkannya, dan tak lama kemudian ia tidak harus tidur dengan
laki?laki lain. Awalnya, bahasa mereka hanyalah bahasa tubuh: nafsu si laki-laki, kemampuan si perempuan
memuaskannya. Orang-orang asing sebelumnya memiliki seorang juru bahasa, seorang nelayan
yang mereka selamatkan dari laut oleh kaum mereka karena kapalnya tenggelam dan dibawa ke markas
mereka di Kepulauan Selatan. Nelayan itu mempelajari bahasa mereka: kadang menemani mereka ke
rumah pelacuran; jelas dari cara bicaranya kalau si nelayan tidak berpendidikan dan berasal dari klas
rendahan, namun hubungannya dengan orang asing memberinya status dan kekuasa?an.
Mereka bergantung sepenuhnya kepada?nya. Nelayan itu merupakan pintu masuk mereka ke dunia
baru yang rumit, yang mereka temukan dan mereka harapkan bisa meraih kekayaan dan
kemenangan. Mereka percaya semua yang dikatakannya, bahkan ketika dia hanya mengarang sembarangan.
Aku juga bisa meraih kekuasaan semacam itu, karena nelayan itu tidak lebih baik dariku, pikir
Madaren, dan ia mulai berusaha me?mahami Don Joao, lalu mendorong laki-laki itu untuk
mengajarinya. Bahasanya sulit, penuh dengan bunyi aneh dan dikumpulkan dari depan ke
belakang" semuanya memiliki jenis kelamin. Ia tak bisa membayangkan alasannya, tapi pintu termasuk
jenis perempuan, begitu pula hujan; sedangkan lantai matahari berjenis laki-laki"tapi hal itu
justru memesonanya; dan jika bicara dengan bahasa itu pada Don Joao, ia merasa seperti
menjadi orang lain. Karena Madaren sema?kin fasih"Don Joao tidak menguasai lebih dari beberapa
patah kata dari bahasa Madaren"mereka mulai membicarakan hal?hal yang lebih mendalam. Don
Joao mem?punyai istri dan anak-anak di Porutogaru*, kampung halamannya, orang-orang yang dia
tangisi ketika sedang mabuk. Madaren tidak mengindahkan mereka, tak percaya kalau Don Joao bisa
bertemu mereka lagi. Mereka begitu jauh hingga ia tak mampu membayangkan seperti apa
kehidupan mereka, dan Don Joao bicara tentang kepercayaan serta Tuhannya"Deus**" dan kata-kata
serta salib yang dikalungkan di lehernya membangkitkan kenangan masa kecil Madaren
tentang kepercayaan keluarga?nya dan ritual kaum Hidden.
Halaman 484 dari 484 Don Joao bicara penuh semangat tentang Deus, dan menceritakan tentang pendeta dalam
agamanya yang berkeinginan kuat agar negara lain menganut kepercayaan mereka. Hal ini mengejutkan
Madaren. Ia hanya *) Porutogaru adalah lafal Jepang untuk menyebut Portugal [pent.]
**) Deus berarti Tuhan dalam bahasa Portugal [pent.]
ingat sedikit tentang kepercayaan kaum Hidden, hanya ingat gema doa serta ritual yang
dilakukan keluarganya dengan komu?nitas kecil mereka. Penguasa baru Tiga Negara, Otori Takeo,
mengeluarkan ke?putusan bahwa rakyatnya bebas beribadah dan percaya pada kepercayaan
pilihan me?reka, dan prasangka lama pun perlahan menghilang. Tentu saja, banyak yang tertarik
dengan agama orang asing dan bahkan berkeinginan mencoba bila itu bisa mening?katkan
perdagangan dan kekayaan bagi semua orang. Ada juga kabar burung yang mengatakan bahwa Lord Otori
dulunya adalah orang Hidden, dan bahwa penguasa Maruyama yang sebelumnya, Maruyama Naomi,
juga menganut kepercayaan itu. Tapi menurut Madaren keduanya tak mungkin melakukannya"
karena bukankah Lord Otori membunuh kakek pamannya untuk balas dendam" Bukankah Lady
Maruyama menceburkan diri ke sungai di Inuyama ber?sama putrinya" Satu hal yang diketahui semua
orang tentang kaum Hidden yaitu Tuhan mereka, Tuhan Rahasia, melarang mereka mencabut nyawa,
baik nyawa mereka sendiri maupun nyawa orang lain.
Pada titik inilah sepertinya Tuhan Rahasia dan Deus berbeda, karena Don Joao men?ceritakan
kalau mereka adalah orang ber?agama sekaligus prajurit. Apakah itu keduanya atau tidak satu pun,
selalu atau tidak pernah, sudah atau belum" Don Joao selalu bersenjatakan pedang panjang tipis,
penutup kepalanya berlekuk dan melindungi, bertahtakan emas dan kerang mutiara, dan membual bila
dia selalu punya tujuan untuk menggunakan pedang ini. Orang asing itu terkejut karena
penyiksaan dilarang di Tiga Negara, dan menceritakan bagaimana ke?kerasan digunakan di negaranya dan
ter?hadap penduduk asli Kepulauan lain untuk menghukum, untuk mendapatkan informasi
serta menyelamatkan nyawa. "Saat pendeta datang, kau harus dibaptis," kata Don Joao, dan ketika Madaren me?mahami
maksudnya, ia ingat yang sering dikatakan ibunya: dilahirkan dengan air, lalu menyebut nama
baptisnya. "Madalena!" ulang Don Joao dengan terperanjat, lalu membuat gerakan berbentuk tanda salib
di depannya. Orang itu tertarik setengah mati pada kaum Hidden, dan ingin bertemu lebih
banyak lagi penganutnya; Madaren menangkap ketertarikannya dan mereka mulai bertemu dengan para penganut dalam
jamuan makan di kalangan kaum Hidden. Don Joao mengajukan banyak per?tanyaan dan
Madaren menerjemahkannya, juga jawabannya. Madaren bertemu dengan orang-orang yang
mengetahui desanya dan mendengar tentang pembantaian bertahun?tahun yang lalu di Mino; menurut
mereka, ia bisa selamat merupakan mukjizat, dan menyatakan kalau Madaren masih dibiarkan hidup oleh
Tuhan Rahasia untuk tujuan isti?mewa tertentu. Madaren menyambut kem?bali kepercayaan yang
pernah hilang dari masa kecilnya dengan hangat, lalu mulai menunggu waktu untuk menjalankan
misi. Kemudian Tomasu dikirimkan padanya, maka ia tahu misi itu berhubungan dengan kakaknya.
Orang-orang asing hanya memahami sedikit sekali tentang sikap dan kesopanan, dan Don Joao
berharap Madaren mene?maninya kemana pun ia pergi, terutama untuk menerjemahkan.
Dengan keyakinan mencapai tujuan yang dibawanya sejak berhasil lolos dari Inuyama dan
mempelajari bahasa asing, ia mempelajari keadaan di
sekelilingnya yang masih asing, selalu ber?lutut dengan rendah hati sedikit di belakang orangorang
asing dan lawan bicara mereka, bicara dengan pelan dan jelas, serta mem?perindah
terjemahannya bila terdengar kurang sopan. Seringkali ditemukan dirinya berada di rumah para pedagang,
sadar akan tatapan penuh hina serta kecurigaan dari istri-istri dan anak perempuan mereka dan
bahkan kadang di tempat-tempat yang lebih berkelas, terakhir bahkan di kediaman Lord Arai. Ia
merasa kagum pada dirinya sendiri, satu hari berada di ruangan yang sama dengan Lord Arai Zenko,
lalu Halaman 485 dari 485 berikutnya di penginapan semacam Umedaya. Nalurinya ternyata benar: kemampuannya
berbahasa asing membuka jalan pada sebagian dari kekuasaan serta kebebasan mereka. Dan sebagian
dari kekuasaan itu dia gunakan untuk memanfaatkan orang-orang itu: mereka membutuhkannya
dan mulai meng?andalkan dirinya. Madaren pernah bertemu tabib Ishida beberapa kali, dan bertindak sebagai juru bahasa dalam
perbincangan yang panjang; Ishida kadang membawa teks-teks dan mem?bacakannya untuk
diterjemahkan karena Madaren tidak bisa membaca maupun menulis; Don Joao juga membacakan kitab suci
untuknya dan mengenali potongan?poiongan kalimai dari doa dan pemberkatan di masa kecilnya.
Malam itu Don Joao melihat Ishida lalu memanggilnya, berharap bisa berbincang, namun


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ishida memohon pergi karena ada pasien yang membutuhkannya. Madaren menduga kalau pasiennya
itu adalah kawan?nya dan memelihat laki-laki yang satunya lagi, memerhatikan tangannya yang
cacat dan kerutan di matanya. Ia tidak langsung mengenalinya, namun jantungnya seperti berhenti
berdetak kemudian berdebar-debar, seolah kulitnya mengenali laki-laki itu dan segera mengenalinya
kalau mereka lahir dari ibu yang sama.
Madaren nyaris tak bisa tidur, menemu?kan tubuh si orang asing di sebelahnya teramat sangat
panas, dan menyelinap keluar sebelum matahari terbit, dan berjalan menyusuri tepi sungai di
bawah pohon willow. Bulan melintasi langit dan kini menggantung di barat, membulat serta pucat.
Ombak laut surut dan kepiting berlarian cepat di atas lumpur yang mengering,
bayangan mereka tampak seperti tangan yang sedang menggenggam. Madarien tidak ingin
mengatakan pada Don Joao kemana ia pergi: tidak ingin harus berpikir dalam bahasa laki?laki
itu atau khawatir tentang laki-laki itu. Ia berjalan melewati jalanan sempit menuju rumah tempat ia
dulu bekerja, membangun?kan pelayannya, mandi dan berpakaian di sana; lalu duduk tenang dan
minum teh hingga mentari pagi bersinar terang. Selama berjalan ke Daifukuji, benak Madaren tersita
oleh keragu-raguan: kemarin itu bukan Tomasu; dia salah lihat, memimpikan tentang semuanya;
dia takkan datang; jelas sekali kalau kedudukannya amat tinggi, dia seperti pedagang meskipun
jelas bukan pedagang yang berhasil"yang tak ingin punya hubungan apa-apa dengannya. Dia tidak
datang menghampiri untuk menolong?nya; selama ini ternyata dia masih hidup dan tidak
berusaha mencarinya. Madaren berjalan perlahan, melupakan aliran sungai yang tergesa-gesa di
sekelilingnya ketika gelom?bang laut pasang menyapu.
Daifukuji menghadap ke laut: gerbang merahnya bisa terlihat dari seberang ombak laut,
menyambut para pelaut dan pedagang serta mengingatkan mereka untuk bersyukur pada Ebisu, dewa laut, agar melindungi mereka
selama perjalanan. Madaren melihat?lihat ukiran dan area di kuil itu dengan perasaan tidak suka,
karena ia telah percaya, seperti halnya Don Jolo, kalau benda-benda semacam itu dibenci Tuhan
Rahasia dan sama seperti menyembah setan. Ia bertanya?tanya sendiri mengapa memilih tempat seperti
ini untuk bertemu, takut kalau kakak?nya bukan lagi penganut kepercayaan, menyelipkan tangannya di
balik jubahnya untuk menyentuh salib pemberian Don Joao, dan menyadari pasti inilah misinya:
menye?lamatkan Tomasu. Madaren berjalan masuk gerbang, me?nunggu kakaknya, setengah tidak nyaman dengan
lantunan doa dan genta dari dalam kuil, meskipun terpesona dan terbuai oleh keindahan tamannya.
Bunga lili menghiasi tepian kolam, dan belukar azalea musim panas pertama bermekaran menjadi bunga
berwarna merah tua. Sinar matahari terasa makin panas dan bayangan taman semakin
menariknya masuk. Ia berjalan ke aula utama. Di sebelah kanannya berdiri beberapa pohon cedar tua,
yang dililit tali jerami yang berkilauan, dan tepat di belakangnya ter?dapat kurungan berdinding putih di sekitar taman
dengan pepohonan yang jauh lebih kecil, ia menduga itu pohon ceri walaupun bunganya sudah lama
gugur. Kerumunan kecil sebagian besar rahib dengan kepala botak dan jubah berwarna tidak
mencolok, berdiri di luar dinding, memandang ke atas. Madaren mengikuti arah pandangan mereka dan
dan melihat apa yang sedang mereka perhatikan: awalnya ia mengira itu, patung ukiran,
penggambaran Halaman 486 dari 486 semacam inkarnasi perwujudan atau iblis kemudian benda itu mengedipkan mata dengan bulu
matanya yang panjang, mengepakkan telinganya yang datar, lalu menjilat hidungnya yang
berwarna coklat muda kekuningan lembut dengan lidah abu-abu tuanya. Makhluk itu memalingkan
kepala bertanduknya dan menatap ramah ke arah para pengagumnya. Ternyata itu makhluk hidup:
tapi makhluk apa yang punya leher begitu panjang hingga bisa melihat ke balik dinding yang lebih
tinggi dari manusia yang paling tinggi sekalipun"
Itu adalah kirin. Selagi Madaren memandangi hewan yang
luar biasa itu, kelelahan dan kebimbangan dalam benaknya membuatnya serasa ber?mimpi.
Kemudian terlihat kesibukan dari gerbang utama kuil, dan didengarnya suara laki-laki berseru
dengan penuh semangat, "Lord Otori sudah datang!" Madaren seolah tersentak dari mimpinya selagi
berlutut lalu melihat penguasa Tiga Negara itu berjalan memasuki taman dan dikelilingi sebarisan
ksatria. Laki-laki itu mengenakan jubah musim panas resmi berwarna krem dan emas, dengan topi
hitam kecil, namun dilihatnya tangan cacat bersarung sutra, dan mengenali wajahnya, dan
menyadari kalau orang itu adalah Tomasu, kakaknya.*
TAKEO sadar kalau adiknya tengah berlulut dengan sikap rendah hati di bawah bayangan di
bagian samping taman, tapi ia tidak memerhatikannya. Bila adiknya memang akan tetap di situ,
maka Takeo akan bicara padanya berdua saja: bila dia pergi dan menghilang lagi dari hidupnya, apa pun
yang dirasakannya entah kesedihan atau penye?salan, ia takkan mencarinya. Bakal lebih baik,
mungkin juga lebih mudah, bila adiknya menghilang. Akan cukup mudah untuk mengaturnya: terbersit
olehnya pikiran itu namun kemudian menyingkirkannya jauh?jauh. Takeo akan menangani adiknya
dengan adil, seperti yang akan dilakukannya pada Zenko dan Kono: dengan perundingan, menurut
hukum yang telah dibuatnya sendiri.
Seakan Surga makin menunjukkan dukungannya, gerbang menuju taman yang dikelilingi
dinding terbuka dan kirin muncul.
Ishida mengendalikannya dengan seuntai tali terbuat dari sutra merah yang diikatkan pada
untaian kalung mutiara. Tinggi kepala Ishida tidak sampai setinggi bagian paling atas punggung kirin,
namun hewan itu mengikutinya dengan sikap percaya diri sekaligus berwibawa. Kulitnya berwarna
merah bata pucat, terpecah menjadi corak bergaris bentuk berwarna krem berbentuk dan sebesar
telapak tangan manusia. Hewan itu mengendus aroma air lalu merentangkan leher panjangnya ke arah kolam. Ishida
membiarkannya mendekat, lalu hewan itu merentangkan kaki ke samping agar bisa menunduk
untuk minum. Kerumunan kecil biarawan dan prajurit tertawa kegirangan karena tampak seolah hewan
mengagumkan itu membungkuk hormat pada Lord Otori.
Takeo pun gembira melihat kejadian itu. Ketika ia mendekat, hewan itu membiar?kannya
mengelus kulitnya yang lembut dan bercorak indah itu. Hewan itu tampak tidakk terlalu takut,
walaupun lebih suka tetap berada di dekat Ishida.
"Hewan ini jantan atau betina?" tanyanya. "Kurasa, betina," jawab Ishida. "Hewan ini
tidak memiliki alat kelamin jantan, dan lebih lembut dari yang bisa kuharapkan dari hewan
jantan sebesar ini. Tapi dia masih sangat muda. Mungkin akan memperlihatkan beberapa perubahan
saat tumbuh semakin besar, pada saat itulah kita bisa yakin."
Halaman 487 dari 487 "Di mana kau menemukannya?"
"Di selatan Tenjiku. Tapi dia berasal dari pulau lain, masih jauh lagi ke barat; para pelaut
membicarakan tentang benua yang amat besar tempat hewan-hewan seperti ini merumput
dalam jumlah besar bersama gajah darat dan sungai, singa emas raksasa dan burung berwarna merah
muda. Orang?orangnya berukuran dua kali lebih besar daripada kita, berkulit sehitam warna
pernis, dan mampu membengkokkan besi dengan tangan kosong."
"Dan bagaimana kau bisa mendapatkan?nya" Tentunya hewan seperti ini tak ternilai
harganya?" "Hewan ini ditawarkan padaku sebagai semacam alat pembayaran," sahut Ishida. "Aku berhasil
mengobati seorang pangeran di daerah itu. Aku langsung berpikir tentang Lady Shigeko, dan
betapa dia akan sangat menyukainya, maka aku terima tawaran ini
dan mengatur agar hewan ini bisa menemani kami pulang."
Takeo tersenyum memikirkan keahlian putrinya dengan kuda dan kasih sayangnya pada semua
hewan. "Tidakkah sulit untuk mempertahankan agar dia tetap hidup" Apa makanannya?"
"Untungnya perjalanan pulang tidak ber?ombak, dan kirin bersifat tenang serta mudah
dihibur. Makanannya dedaunan dari pohon tempat asalnya, tapi ternyata se-nang juga menerima
rumput, segar atau pun kering, serta dedaunan hijau yang lezat."
"Bisakah dia berjalan sampai ke Hagi?"
"Barangkali kita harus mengangkutnya dengan kapal. Hewan ini bisa berjalan bermil-mil
jauhnya tanpa kelelahan, namun kurasa tidak bisa berjalan melewati pe?gunungan."
Ketika selesai mengagumi kirin, Ishida membawa hewan itu kembali ke kandang, kemudian
pergi bersama Takeo menuju kuil, tempat upacara singkat dilakukan, doa dipanjatkan bagi
kesehatan kirin dan Lord Otori. Takeo menyalakan dupa dan lilin serta berlutut di depan patung dewa;
dilaku?kannya semua praktik keagamaan yang
diharapkan darinya dengan khidmat dan hormat; semua sekte dan kepercayaan diperbolehkan
di Tiga Negara, selama tidak mengancam tatanan rnasyarakat. Ia sendiri memercayai tuhan
manapun, walau diakui-nya keseluruhan manusia akan alasan spiritual bagi keberadaan mereka, dan tentu
dirinya pun memiliki kebutuhan yang sama.
Setelah melakukan upacara, yang ada penyembahan atas sang Pencerah dan Ebisu dewa laut,
teh dibawa masuk dengan manisan osenbei. Takeo, Ishida dan Kepala Biara setempat bercerita
dengan gembira dan menggubah puisi penuh dengan permainan kata-kata tentang kirin.
Sesaat sebelum tengah hari, Takeo berdiri dan mengatakan bahwa ingin sendirian di taman
sebentar, lalu berjalan menyusuri aula utama ke aula yang lebih kecil di belakangnya. Perempuan itu
masih berlutut dengan sabar di tempat yang sama. Takeo memberi isyarat dengan gerakan tangan
saat berjalan melewatinya, meminta agar perempuan itu mengikutinya.
Bangunan kuil menghadap ke timur; sisi sebelah selatan bermandikan cahaya, namun di
beranda. di bawah bayangan gelap dari
atap yang melengkung, udara masih terasa dingin. Dua rahib muda yang sedang bertugas
membersihkan patung dan menyapu lantai mengundurkan diri tanpa bicara. Takeo duduk di
pinggiran beranda: hayunya yang telah termakan cuaca berwarna abu-abu ke-pcrakan dan masih hangat
terkena cahaya matahari. Terdengar olehnya keraguan dalam langkah kaki Madaren di atas
kerikil jalan setapak, terdengar pula deru napasnya yang cepat dan pendek. Burung gereja berkicau
di taman dan merpati bergumam di pepohonan cedar. Madaren berlutut lagi, menyembunyikan
wajahnya. "Tidak perlu takut," ujar Takeo.
Halaman 488 dari 488 "Ini bukan ketakutan," sahut Madaren setelah beberapa saat. "Aku... tidak mengerti. Mungkin
aku telah melakukan kesalahan besar. Tapi Lord Otori sekarang bicara berdua saja denganku, yang
tak akan pernah terjadi kecuali dugaanku benar adanya."
"Kita saling mengenali semalam," ujar Takeo. "Memang benar aku kakakmu. Tapi sudah
bertahuntahun lamanya sejak terakhir kali ada orang yang memanggilku Tomasu."
Madaren menatap langsung matanya; Takeo tidak membalas tatapannya, malah
memalingkan wajah ke arah bayangan gelap rumpun pepohonan, dan dinding di ke?jauhan
tempat kirin mengayunkan kepalanya di atas genteng bak mainan anak-anak.
Ia sadar kalau ketenangannya tampak seperti ketidakacuhan bagi Madaren, dan juga tahu ada
semacam amarah terpendam dalam diri adiknya. Nada suara Madaren nyaris terdengar seperti
tuduhan. "Selama enam belas tahun kudengar balada dan cerita yang digubah tentang dirimu. Kau
tampak seperti pahlawan yang jauh tak tergapai dan cuma legenda: bagai?mana bisa kau adalah
Tomasu dari Mino" Apa yang terjadi padamu ketika aku dijual dari satu rumah bordil ke rumah bordil
lainnya?" "Aku diselamatkan Lord Otori Shigeru: beliau mengangkatku menjadi pewarisnya dan
menginginkan aku menikah dengan Shirakawa Kaede, pewaris Maruyama."
Itu garis besar paling sederhana dari perjalanan luar penuh gejolak yang telah menggiringnya
menjadi orang paling ber?kuasa di Tiga Negara.
Madaren bicara dengan nada kecut, "Kulihat kau berdiri di hadapan patung
emas. Dan aku tahu dari cerita-cerita bahwa kau pemah membunuh orang lain.."
Kepala Takeo bergerak sedikit untuk membenarkan kata-kata adiknya. Seraya ber?tanya-tanya
apa yang diinginkan Madaren darinya, apa yang bisa ia lakukan untuk adiknya : apa saja, yang bisa
memulihkan hidupnya yang telah terlanjur hancur.
"Kurasa ibu dan kakak kita..." kata Takeo dengan sedih.
"Keduanya sudah mati. Aku bahkan tidak tahu di mana jasad mereka."
"Aku minta maaf atas semua penderitaan yang telah kau alami." Takeo menyadari bahkan saat
ia bicara pun nada suaranya kaku dan terlalu dibuat-buat, ia tak punya cukup kata-kata untuk
mengungkapkannya. Jarak di antara mereka sudah terbentang terlalu jauh. Tidak ada cara
yang bisa mereka lakukan untuk saling mendekati. Bila mereka masih menganut kepercayaan yang sama
mungkin mereka bisa memanjatkan doa bersama, namun kini kepercayaan masa kecil yang


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu menyatukan mereka justru menjadi penghalang yang tak bisa dilalui. Mengetahui itu membuat
ia tertekan dan iba. "Jika kau butuh apa pun, kau bisa
mendekati pejabat kota yang berwenang," tutur Takeo. "Akan kupastikan kau diurus dengan
baik. Tapi aku tidak bisa mengumumkan tentang hubungan kekeluar?gaan kita, dan aku harus
memintamu umuk tidak mengatakannya pada siapa pun."
Takeo melihat kalau ia telah menyakiti adiknya, dan rasa iba muncul lagi, tapi juga tahu kalau
ia tak bisa membiarkan adiknya mengambil tempat lebih banyak lagi dalam kehidupannya selain
dengan cara seperti ini: berada dalam perlindungannya.
"Tomasu," kata Madaren. "Kau adalah kakakku. Kita saling memiliki kewajiban. Kau satusatunya
keluargaku. Aku bibi dari anak-anakmu. Dan aku pun memiliki tugas spiritual terhadapmu. Aku
peduli pada jiwamu. Aku tak bisa melihatmu masuk neraka!"
Takeo bangkit lalu berjalan menjauh. "Tidak ada yang namanya neraka," sahutnya sambil
sedikit memalingkan wajah. "Selain neraka yang diciptakan manusia di bumi. Jangan coba-coba
mendekatiku lagi."* Halaman 489 dari 489 "Dan murid-murid pengikut Sang Pen-cerah melihat macan dan anak-anaknya yang sedang
kelaparan," tutur Shigeko dengan suaranya yang khidmat, "dan tanpa memikir?kan nyawanya
sendiri, mereka pergi ke tebing yang sangat curam lalu menghempaskan diri di bebatuan di bawahnya.
Lalu macan-macan itu bisa memakan mereka."
Sore itu terasa hangat di awal musim panas, dan ketiga gadis itu diperintahkan belajar di
rumah sampai udara panas ber?kurang. Selama beberapa saat mereka berlatih menulis dengan rajin,
lalu dengung meleng?king jangkrik dan udara yang terasa lembut membuat mereka mengantuk.
Mereka sudah keluar sebelum matahari terbit, dan sedikit demi sedikit tubuh mereka menjadi lebih
santai dari posisi formal saat duduk menulis. Shigeko dengan mudah terbujuk untuk membuka gulungan
gambar hewan lalu membacakan ceritanya. Namun sepertinya cerita yang paling baik mesti memiliki moral cerita. Shigeko berkata
dengan khidmat, "Itulah contoh yang mesti kita teladani; kita harus menyerahkan nyawa kita agar
bermanfaat bagi seluruh makhluk yang berperasaan peka."
Maya dan Miki saling bertukar pandang. Mereka amat menyayangi kakak mereka, namun
belakangan ini Shigeko terlalu gemar menceramahi mereka.
"Aku lebih suka jadi macannya," ujar Maya.
"Lalu memakan para murid yang mati itu!" timpal adik kembarnya sepakat.
"Harus ada orang yang menjadi makhluk yang berperasaan peka," bantah Maya ketika melihat
Shigeko mengernyitkan dahi.
Maya baru saja kembali setelah beberapa minggu tinggal di Kagemura, desa ter?sembunyi
Muto, untuk berlatih dan meng?asah bakat. Selanjutnya giliran Miki. Si kembar jarang bersama;
tanpa pernah sepenuhnya mengerti sebabnya, dia tahu kalau itu ada hubungannya dengan perasaan
ibu mereka. Kaede tidak suka melihat mereka bersama. Wajah mereka yang serupa mem
buat Kaede kesal. Sebaliknya, Shigeko selalu membela mereka, bahkan saat tak bisa
mem?bedakan keduanya. Mereka tidak suka berpisah, tapi akhimya mulai terbiasa. Shizuka menenangkan mere?ka,
mengatakan kalau itu akan membuat ikatan batin di antara mereka makin kuat. Dan ternyata
memang demikian adanya. Jika Maya sakit, Miki pun sakit. Kadang mereka bertemu dalam mimpi;
mereka nyaris tidak bisa melihat dengan jelas antara apa yang terjadi di dunia lain dan apa yang
terjadi dunia nyata. Saat-saat terbaik adalah ketika ayah mereka datang ke desa rahasia Tribe, kadang membawa
salah satu dari mereka dan meng?ajak yang satunya pulang. Selama beberapa hari bersama,
mereka menunjukkan apa yang telah mereka pelajari dan kemampuan baru yang mulai muncul. Dan
Takeo yang ketika di dunia Otori menjaga jarak dan bersikap formal, di dunia Muto berubah menjadi
orang yang berbeda, guru seperti Kenji dan Taku, memperlakukan mereka dengan disiplin keras.
Ketika mereka mandi bersama di mata air panas dan menghujaninya dengan cipratan, mereka
menelusuri bekas luka di badan ayahnya dan tak lelah mendengarkan kisah di balik setiap bekas luka dmulai dengan
pertarungan melawan Kotaro ketua Kikuta yang hingga ayah mereka kehilangan dua jari di
tangan kanannya. Halaman 490 dari 490 Saat nama Kikuta disebut, si kembar tanpa sadar menyentuh ujung jari mereka pada lekukan
yang melintang di telapak tangan mereka, menandai diri mereka seperti sang ayah, seperti Taku,
sebagai Kikuta. Itu me?rupakan lambang jalur sempit yang mereka lalui di antara dunia.
Mereka tahu kalau sang ibu tidak menyukai kemampuan Tribe yang mereka miliki, dan bahwa
klas ksatria menganggap mereka penyihir: mereka belajar sejak dini apa yang bisa dibanggakan di
desa Muto haruslah disembunyikan di kastil seperti Hagi atau Yamagata, tapi terkadang godaan
untuk mengelabui guru-guru mereka, mem?permainkan kakak perempuan mereka atau menghukum
orang yang lewat di depan mereka sulit dibendung.
"Kau seperti aku ketika aku masih kecil," ujar Shizuka ketika Maya bersembunyi selama
setengah hari tanpa bergerak di dalam keranjang bambu, atau ketika Miki
memanjat kayu kaso selentur dan secepal kera liar, menghilang di balik atap yang terbuat dari
ilalang. Shizuka jarang marah. "Nikmati saja," tuturnya. "Tidak ada yang lebih menyenangkan."
"Kau beruntung Shizuka. Kau ada di sana saat Inuyama jatuh! Kau bertarung bersama Ayah!"
"Sekarang Ayah mengatakan tak akan ada lagi perang; kita takkan menghadapi per?tarungan
yang sebenamya." "Berdoa saja takkan ada perang lagi," ujar Shigeko. Si kembar mengerang.
"Berdoalah seperti kakak kalian agar kalian tidak pernah mengenal perang yang sebenar?nya,"
Shizuka memperingatkan mereka.
Maya kembali ke pokok pembicaraan tadi. "Jika tidak akan ada perang, mengapa Ayah dan Ibu
memaksa kami belajar kemampuan bertarung?" tanyanya, karena ketiga gadis itu, layaknya
anak kelas ksatria, belajar memanah, menunggang kuda serta menggunakan pedang, diajarkan oleh
Shizuka dan Sugita Hiroshi atau ksatria besar lainnya di Tiga Negara.
"Kata Lord Hiroshi siap perang adalah pertahanan terbaik melawannya," sahut
Shigeko. "Lord Hiroshi," bisik Miki, sambil menyi?kut Maya. Kedua gadis kembar itu tertawa cekikikan.
Wajah Shigeko bersemu merah. "Apa?" tanyanya.
"Kau selalu mengatakan ucapan Lord Hiroshi, lalu wajahmu bersemu merah."
"Aku tidak menyadari itu," kata Shigeko, menutupi rasa malu dengan berbicara dengan nada
resmi. "Lagipula, itu tidak berarti apa?apa. Hiroshi adalah salah satu guru"yang sangat bijaksana.
Sudah sewajarnya aku mempelajari peribahasa yang dipakainya."
"Lord Miyoshi Gemba juga salah satu gurumu," ujar Miki. "Tapi kau jarang mengutip apa yang
dikatakannya." "Dan Lord Miyoshi tidak membuat wajah?mu merah!" timpal Maya.
"Kurasa kalian seharusnya bisa jauh lebih baik dalam menulis, adik-adikku. Jelas sekali kalian
perlu banyak latihan. Ambil kuasnya!" Shigeko membuka satu gulungan lagi| lalu mulai
mendiktekannya. Isinya adalah salah satu hikayat kuno Tiga Negara, penuh dengan istilah sulit dan kejadian
yang sukar dimengerti. Shigeko harus mempelajari
semua sejarah ini, begitu pula dengan si kembar. Shigeko berharap pelajaran itu bisa menghukum
mereka karena menggodanya soal Hiroshi, dan berharap mencegah mereka membicarakan
tentang topik itu lagi. Shigeko memutuskan untuk lebih berhati?hati, tidak membiarkan dirinya
dengan bodohnya menyebut nama Hiroshi. Untungnya laki-laki itu sudah kembali ke Maruyama untuk
mengawasi hasil panen dan persiapan upacara pengukuhan ia menjadi pewaris wilayah itu.
Hiroshi sering menulis surat, karena dia pengawal senior dan orangtuanya berharap ia
mengenal setiap detil wilayahnya. Surat?suratnya bersifat resmi, tapi Shigeko suka melihat tulisan
tangannya, bergaya tulisan tangan ksatria, tebal dan dibentuk dengan baik. Surat-surat itu menyebut
nama para tetua serta karakter mereka, dan tentang kuda. Hiroshi menceritakan dengan rinci setiap
anak kuda Halaman 491 dari 491 yang baru lahir dan perkembangan kuda-kuda jantan yang pernah mereka jinakkan bersama.
Kudakuda Maruyama sudah tumbuh satu tangan lebih tinggi dibandingkan dua puluh tahun lalu, ketika
Hiroshi masih kecil. Shigeko merindukannya dan amat ingin berjumpa lagi dengannya: Hiroshi sudah seperti
kakaknya, tinggal di kediaman Otori, dianggap sebagai putra dalam keluarga. Dia mengajari Shigeko
menunggang kuda, me-manah serta bertarung dengan pedang: Hiroshi juga mengajarinya seni
perang, strategi dan taktik, begitu pula dengan seni pemerintahan. Lebih dari segalanya,
Shigeko berharap Hiroshi menjadi suaminya, tapi menduga kalau itu tidak mungkin. Hiroshi bisa
menjadi penasihat yang paling berharga, bahkan teman yang paling baik, tapi tidak akan lebih. Ia
pernah mendengar per?bincangan soal pernikahan dirinya karena kini usianya beranjak lima belas
tahun. Ia tahu akan ada rencana pertunangan, per?nikahan yang akan memperkuat posisi keluarganya
dan menopang hasrat ayahnya untuk kedamaian.
Semua pikiran ini melintas di benaknya selagi membaca secara perlahan dan hati-hati dari
gulungan. Tangan si kembar terasa sakit dan mata mereka terasa gatal saat Shigeko selesai
membacanya. Tak satu pun dari keduanya berani berkomentar, dan Shigeko mengurangi ketegasannya. Shigeko
memper baiki pekerjaan adik-adiknya dengan baik hati, cukup sering menyuruh mereka berlatih lagi
menulis huruf yang salah guratannya. Ketika matahari mulai tenggelam dan udara terasa agak dingin,
Shigeko menyarankan agar mereka berjalan-jalan sebelum latihan di sore hari.
Si kembar, yang melemah dengan beratnya hukuman yang mereka dapatkan, menye?tujuinya
dengan patuh. "Kita ke biara," seru Shigeko, membuat kedua adiknya bersorak kegirangan, karena biara itu
dipersembahkan bagi dewa sungai dan kuda. "Bolehkah kita berjalan melewati pagar
penangkap ikan?" tanya Maya dengan nada memohon.
"Tentu saja tidak bisa," sahut Shigeko. "Tempat itu hanya boleh digunakan anak berandalan,
bukan putri-putri Lord Otori. Kita akan berjalan menuju jembatan batu. memanggil Shizuka dan
memintanya untuk ikut bersama kita. Dan kurasa kita sebaiknya membawa beberapa pengawal."
"Kita tidak butuh pengawal."
"Bolehkah kami membawa pedang?" tanya Maya dan Miki serempak.
"Untuk berkunjung ke biara, di jantung
Hagi" Kita tidak butuh pedang."
"Ingat serangan di Inuyama!" Miki meng?ingatkan.
"Seorang ksatria sebaiknya selalu siaga," ujar Maya lumayan mirip menirukan Hiroshi.
"Mungkin kau perlu latihan menulis lagi," balas Shigeko, kelihatan seakan ingin duduk lagi.
"Baiklah, mari kita pergi seperti yang kau katakan, kakak," sahut Miki cepat. "Pengawal, tidak
ada pedang." *** Shigeko memikirkan selama beberapa saat tentang masalah tandu: apakah memaksa si
kembar ditandu dalam kegelapan atau mem?biarkan mereka berjalan kaki. Tak satu satu pun dari
keduanya ingin ditandu, tapi ia tahu kalau Ibunya tidak suka si kembar terlihat bersama di tempat
umum. Di sisi lain, ini di Hagi. kampung halaman mereka, tidak seformal dan sekeras di Inuyama, dan kedua
adiknya yang gelisah mungkin bisa tenang dan lelah setelah berjalan kaki. Shigeko pun ingin
berjalan kaki, ingin melihat kehidupan
Halaman 492 dari 492 kota yang penuh semangat, jalan-jalan sempitnya serta toko-toko kecil penuh ber?bagai hasil
bumi dan kerajinan. Di belakang jalan utama lebar yang mengarah dari gerbang kastil menuju
jembatan batu, terbentang dunia yang sangat menyenang?kan, tempat yang jarang bisa dikunjungi si
kembar. Dua pengawal berjalan di depan mereka dan dua lagi di belakang; satu pelayan perempuan
membawa keranjang bambu berisi botol sake serta sesaji lain, termasuk wortel untuk kuil
kuda. Shizuka berjalan di samping Maya, dan Miki berdampingan dengan Shigeko. Mereka semua
mengenakan sandal kayu serta jubah tipis musim panas. Shigeko memegang parasol, karena
kulitnya seputih kulit ibunya dan takut terkena sinar matahari, tapi kulit si kembar kekuningan seperti
ayahnya merasa tidak perlu melin?dungi kulit mereka.
Gelombang menghempas ketika mereka tiba di jembatan batu, sungai berbau asin dan
lumpur. Di jembatan yang pernah hancur dalam peristiwa gempa"yang dipercaya rakyat sebagai
hukuman atas pengkhianatan Arai Daiichi"ada pahatan kalimat: Klan
Otori menyambut keadilan dan kesetiaan. Wasp adalah ketidakadilan dan ketidak?setiaan.
"Lihat apa yang terjadi padanya!" ujar Maya dengan nada puas selagi mereka berdiri di depan
batu itu. Mereka mempersembah?kan sesaji sake, berterima kasih pada dewa sungai karena
melindungi Otori dan mem-peringati tukang batu yang dikubur hidup?hidup di dalam dinding itu
bertahun-tahun silam. Tulang belulangnya ditemukan di sungai dan dikuburkan kembali selama pembangunan
kembali jembatan. Shizuka sering menceritakan ini pada ketiga gadis itu, juga cerita tentang


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putri si tukang batu, Akane, dan terkadang mereka mengunjungi kuil di kawah gunung berapi tempat
kematian tragis Akane diperingati dan arwahnya yang dipanggil kembali oleh para kekasih
yang tidak bahagia, laki-laki maupun perempuan.
"Shizuka pasti bersedih atas kematian Lord Arai," kata Shigeko pelan saat mereka
meninggalkan jembatan, Sesaat si kembar berjalan berdampingan: para pejalan kaki berlutut ketika Shigeko
lewat, tapi mema?lingkan wajah ketika si kembar lewat.
"Aku bersedih atas cinta yang pernah ada di antara kami," sahut Shizuka. "Juga untuk kedua
putraku, yang menyaksikan ayah mereka mati di depan mata mereka. Tapi Arai telah membuatku
menjadi musuhnya, dan telah memberi perintah agar aku di?bunuh. Kematiannya tidak lebih dari akhir
yang adil atas cara hidup yang dipilihnya."
"Kau tahu banyak tentang masa-masa itu!" seru Shigeko.
"Benar, barangkali lebih banyak dari siapa pun," aku Shizuka. "Semakin usiaku ber?tambah,
semua yang terjadi di masa lalu menjadi lebih jelas di benakku. Selama ini Isihida dan aku mencatat
semua ingatanku: ayah kalian yang memintanya."
"Dan kau mengenal Lord Shigeru?"
"Namamu, Shigeko, adalah nama perem?puan dari Shigeru. Ya, aku mengenalnya dekat. Kami
saling menaruh kepercayaan satu sama lain selama bertahun-tahun, dan saling percaya dengan
taruhan nyawa kami." "Beliau pasti orang yang baik."
"Aku belum pernah bertemu orang seperti dia."
"Apakah dia lebih baik ketimbang Ayah?" "Shigeko! Aku tidak bisa menilai ayahmu!"
"Kenapa tidak" Ayah adalah sepupumu. Kau mengenalnya lebih baik ketimbang kebanyakan
orang." "Takeo sangat mirip Shigeru: dia seorang laki-laki serta pemimpin yang hebat." "Tapi...?"
"Semua orang memiliki kelemahan," tutur Shizuka. "Ayahmu berusaha mcnguasai
ke?lemahannya, namun sifatnya terbagi dengan cara yang tidak terjadi pada Shigeru."
Shigeko tiba-tiba merinding, meskipun udara masih terasa hangat. "Jangan teruskan lagi! Aku
menyesal sudah bertanya."
"Ada apa" Apakah kau mendapatkan firasat?"
Halaman 493 dari 493 "Aku selalu mendapatkan firasat," sahut Shigeko pelan. "Aku tahu berapa banyak orang yang
menginginkan kematian ayahku." Ia memberi isyarat pada si kembar yang tengah menunggu di
gerbang kuil. "Keluarga kami terbelah dengan cara yang sama: kami adalah gambaran dari
sifat ayah. Apa yang akan terjadi pada adik-adikku kelak" Di mana tempat mereka di dunia ini?" Shigeko
bergidik lagi, dan berusaha mengubah topik pembicaraan.
"Suamimu sudah kembali?" tanya Shigeko.
"Mungkin pulang dalam beberapa hari ini; mungkin dia sudah di Hofu. Aku belum mendengar
kabarnya." "Ayah sedang di Hofu! Mungkin mereka bertemu di sana. Mungkin mereka akan pulang
bersama." Shigeko berbalik dan me?natap kembali ke arah teluk. "Besok kita akan mendaki bukit dan
melihat apakah kapal mereka sudah terlihat."
Mereka memasuki pintu kuil, lewat bagian bawah gerbang besar. Di lengkungan gerbang
dipenuhi ukiran hewan dalam dongeng: houou, kirin dan shishi. Kuil itu dibalut hijau?nya tetumbuhan.
Pepohonan willow besar berbaris di tepi sungai; di samping pe?pohonan tumbuh pohon oak
dan cedar, unsur terakhir dari hutan jaman purba yang pernah menyelimuti tanah ini. Hiruk-pikuk
kota memudar menjadi senyap, hanya ter-pecahkan oleh kicau burung. Arah cahaya tampak miring
dari barat menerangi debu di sela-sela besarnya batang pohon dengan pancaran sinar keemasan.
Seekor kuda putih di dalam istal berukiran indah meringkik kelaparan melihat mereka, dan si
kembar pergi meinpersembahkan sesaji bagi hewan yang dianggap keramat itu.
Seorang laki-laki tua muncul dari belakang aula utama. Dia adalah seorang biarawan, dan
mengabdikan diri melayani dewa sungai sejak kecil setelah kakaknya tenggelam di pagar
penangkap ikan. Namanya Hiroki. Putra ketiga Mori Yusuke, pawang kuda dari Klan Otori. Kakak lakilakinya,
Kiyoshige, dulu adalah teman dekat Lord Shigeru.
Hiroki tersenyum sewaktu menghampiri mereka. Dia memiliki ikatan khusus dengan Shigeko
melalui kecintaan mereka terhadap kuda. Hiroki mempertahankan tradisi keluarganya, merawat kuda
Klan Otori setelah ayahnya pergi ke ujung dunia dalam rangka mencari kuda-kuda cepat dari tanah
datar yang luas. Yusuke sendiri tidak pemah kembali, namun mengirimkan seekor kuda hitam jantan
yang menjadi ayah dari Raku dan Shun, keduanya dijinakkan dan dilatih oleh Takeshi, adik Shigeru,
selama berbulan?bulan sebelum kematiannya.
"Selamat datang, Lady!" Layaknya banyak orang yang mengabaikan si kembar, seolah
keberadaan mereka terlalu memalukan untuk diakui. Kedua gadis itu sedikit menarik din di bawah
bayangan pepohonan, memerhati?kan si pendeta baik-baik dengan tatapan
mata yang sukar dimengerti. Shigeko melihat kalau mereka marah. Terutama Miki yang
mempunyai sifat pemarah, yang belum belajar cara mengendalikan amarahnya. Watak Maya lebih dingin,
namun lebih sulit untuk diredam.
Setelah beramah tamah dan Shigeko mempersembahkan sesaji, Hiroki menarik tali genta
untuk membangkitkan arwah dan Shigeko memanjatkan doa, memandang diri?nya sebagai
penghubung antara dunia fana dan dunia arwah bagi makhluk-makhtuk yang tidak bisa bicara sehingga
tidak ada doa. Seekor anak kucing berlari terbirit-birit di sepanjang beranda, mengejar sehelai daun gugur.
Hiroki menangkap kucing itu dengan kedua tangannya, mengelus-elus kepala dan telinganya. Kucing
itu pun mendengkur dengan suara parau. Matanya besar dan ber?warna kuning kecoklatan, bola
matanya me-mantulkan cerahnya cahaya matahari, bulu berwarna coklat muda pucat dengan bintik
hitam dan coklat kemerahan. "Anda punya teman baru," seru Shigeko.
"Benar, dia datang mencari tempat tinggal pada suatu malam saat hujan deras dan sejak saat
itu dia tinggal di sini. Dia teman yang
Halaman 494 dari 494 baik, kuda-kuda suka padanya, dan mem?bungkam tikus-tikus."
Shigeko belum pemah melihat kucing setampan itu; warna bulunya yang kontras sungguh
memukau. Dilihatnya Hiroki amat menyayangi hewan itu, dan merasa senang. Semua anggota keluarga
Hiroki telah tiada: dia hidup dengan menyaksikan kekalahan Otori di Yaegahara hingga kehancuran
kota saat gempa. Satu-satunya hal yang menarik baginya saat ini adalah melayani dewa sungai dan
kasih sayangnya pada kuda. Si kucing membiarkan dirinya ditepuk?tepuk selama beberapa saat, kemudian meronta sampai
Hiroki melepasnya. Kucing itu pergi tergesa-gesa dengan ekor tegak lurus.
"Akan terjadi badai," ujar Hiroki, tertawa kecil. "Dia bisa merasakan cuaca di bulu?bulunya."
Maya memungut sebatang ranting. Mem?bungkuk lalu menggores dedaunan dengan ranting
itu. Kucing itu diam saja, tatapan matanya tajam.
"Mari pergi melihat kuda," ajak Shigeko. "Ikutlah bersamaku, Shizuka."
Miki berlari mengejar mereka, tapi Maya
tetap membungkuk di bawah bayangan, membujuk si kucing untuk mendekat. Sementara
pelayan menunggu dengan sabar di beranda.
Salah satu sudut di ladang kecil dipagari bambu, dan seekor kuda jantan hitam di?kurung di
dalamnya. Tanah tempat si kuda agak menanjak, rumputnya kering dan banyak bekas jejak
kaki. Saat melihat mereka, kuda itu meringkik nyaring lalu bergerak mundur. Dua kuda yang lebih muda
berseru menyahutinya. Mereka gelisah dan mudah gugup. Keduanya memiliki bekas luka gigitan baru
di leher dan bagian sampingnya. Seorang anak laki-laki lengah mengisi ember air minum kuda hitam jantan itu. "Dia sengaja
menendang ember itu," gerutu?nya. Di salah satu lengannya terlihat tanda bekas gigitan dan
lebam. "Apakah dia menggigitmu?" tanya Shi?geko.
Orang itu mengangguk. "Dia juga menendangku." Diperlihatkannya lebam ber?warna ungu
gelap di betisnya. "Aku tidak tahu apa yang harus dilaku?kan," tutur Hiroki. "Dia selalu menyulitkan: sekarang
malah menjadi berbahaya." "Dia tampan sekali," ujar Shigeko, menga?gumi kaki panjang dan punggungnya yang berotot,
bentuk kepala yang sempuma dan mata yang besar.
"Ya, dia memang tampan, juga tinggi: kuda tertinggi yang kami miliki. Tapi dia sangat keras
kepala, aku tidak tahu apakah dia bisa dijinakkan, atau apakah kita mesti mengawinkannya."
"Tampaknya dia sudah siap dikawinkan!" komentar Shizuka, dan mereka semua ter?tawa
karena si kuda memperlihatkan semua gejala kuda jantan yang birahi.
"Aku khawatir menaruhnya bersama kuda betina justru akan memperparah keadaan," tutur
Hiroki. Shigeko mendekati si kuda hitam jantan. Bola mata kuda itu berputar dan telinganya
menegakkan. "Hati-hati," Hiroki memperingatkan, dan saat itulah si kuda mencoba menggigit Shigeko.
Bocah pengurus kuda memukulnya ketika Shigeko undur di luar jangkauan gigi si kuda.
Diamatinya kuda itu selama beberapa saat tanpa bicara sepatah kata pun.
"Dikurung pasti membuat keadaannya
lebih buruk," ujarnya. "Pindahkan kuda yang lebih muda dan biarkan dia memiliki ladang ini
sendirian. Bagaimana bila kau membawa sepasang kuda betina yang tua dan mandul" apakah mereka
bisa menenangkannya dan mengajarinya sopan santun?"
Halaman 495 dari 495 "Gagasan yang bagus; aku akan mencoba?nya," sahut si laki-laki tua, dan menyuruh bocah tadi
menuntun dua kuda tadi ke padang rumput yang lebih jauh. "Kami akan membawa kuda
betina dalam satu atau dua hari. Dia akan lebih menghargai teman bila kesepian!"
Aku akan datang setiap hari dan melihat apakah kuda ini bisa dijinakkan," kata Shigeko,
seraya berpikir akan menulis surat pada Hiroshi dan menanyakan sarannya. Mungkin Hiroshi akan
datang dan mem?bantuku menjinakkannya....
Shigeko tersenyum pada diri sendiri se?waktu mereka kembali ke kuil.
Maya tengah duduk di beranda di sebelah pelayan, matanya menatap ke bawah. Si kucing
tergeletak lemas di atas tanah, semua keindahan dan semangat hidup kucing itu tidak terlihat lagi.
Laki-laki tua itu menjerit, lalu bergegas
menghampiri, kemudian tersandung, ke arah kucing itu. Diraihnya hewan itu lalu dipeluk?nya
eraterat. Kucing itu bergerak tedikit, tapi tidak bangun.
Shizuka langsung menghampiri Maya. "Apa yang kau lakukan?"
Tidak ada," jawabnya. "Kucing itu menatapku, lalu tertidur."
"Bangun, Mikkan," laki-laki tua itu memohon dengan sia-sia. "Bangunlah!"
Shizuka menatap kucing itu dengan perasaan panik. Dengan usaha yang kentara
mengendalikan reaksinya, dia berkata pelan, "Kucing itu takkan bangun. Kalaupun ter?bangun, tidak dalam
waktu yang lama." "Ada apa?" tanya Shigeko. "Apa yang Maya lakukan pada kucing itu?"
"Aku tidak melakukan apa-apa," kata Maya lagi, tapi dari tatapan matanya saat mendongak,
Maya terlihat seperti ke?girangan. Dan ketika menatap Hiroki yang mulai menangis pelan, bibirnya
berkerut dengan sinis. Ketika tersadar, Shigeko berkata dengan kesal, "Itu pasti salah satu kemampuan rahasia, kan"
Sesuatu yang dipelajarinya sewaktu dia pergi" Kemampuan sihir yang
mengerikan!" "Jangan bicarakan itu di sini," gumam Shizuka, karena para pelayan kuil berkumpul dan
menatap dengan mulut menganga seraya memegangi jimat. "Kita harus pulang. Maya harus dihukum.
Tapi mungkin sudah ter-lambat."
"Terlambat untuk apa"' tanya Shigeko.
"Nanti kuceritakan. Aku hanya mengerti sebagian tentang kemampuan Kikuta seperti ini.
Kuharap ayahmu ada di sini."
*** Shigeko bahkan lebih merindukan ayahnya pulang saat menghadapi kemarahan ibunya.
Sorenya di hari yang sama: Shizuka mengajak si kembar pergi untuk menghukum Maya, dan mereka
berdua diperintahkan tidur di kamar yang terpisah. Badai menderu di kejauhan, dan dari tempatnya
berlutut, kepala tertunduk di hadapan ibunya, dapat Shigeko melihat cahaya samar di dinding
berhiaskan motif emas menonjol saat kilatan halilintar tampak mengarah ke laut. Ramalan cuaca si kucing
ternyata benar. Kaede berkata, "Seharusnya kau tidak ajak
mereka ke sana! Kau tahu kalau Ibu tak ingin mereka terlihat berdua di depan umum."
"Maaf, Ibu," bisik Shigeko. Ia tidak ter?biasa dengan kemarahan ibunya dan itu amat
menyakitkan baginya. Tapi ia juga khawatir pada si kembar, dan merasa kalau ibunya bersikap tidak adil
pada mereka. "Hari ini panas sekali; mereka sudah belajar dengan giat. Mereka perlu pergi keluar."
"Mereka bisa bermain di taman sini," sahut Kaede. "Maya harus dikirim pergi."
Halaman 496 dari 496 "Ini musim panas terakhir yang akan kita habiskan bersama di Hagi," Shigeko me?mohon.
"Biarkan dia tinggal setidaknya sampai Ayah pulang."
"Miki masih bisa diatur, tapi Maya sudah mulai tak terkendali," seru Kaede. "Dan tak ada
hukuman yang bisa membuatnya jera. Berpisah dengan adiknya bisa menjadi cara terbaik


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengendalikannya. Juga akan mem?buat kita lebih tenang selama musim panas!"
"Ibu...?" Shigeko mulai bicara, namun tak mampu meneruskan kalimatnya.
"Aku tahu kau pikir Ibu bersikap keras pada mereka," tutur Kaede setelah beberapa saat
terdiam. Kaede mendekat agar bisa melihat wajah putrinya itu. Lalu dibelainya
rambut Shigeko yang panjang dan halus. "Indahnya rambutmu! Seperti rambut Ibu dulu!"
"Mereka berharap Ibu bisa menyayangi mereka," Shigeko berani angkat bicara, merasakan
kalau amarah ibunya sudah reda. "Mereka merasa dibenci Ibu karena mereka b uk an anak l ak i-l ak
i." "Ibu tidak membenci mereka," sahut Kaede. "Ibu malu dengan kehadiran mereka. Buruk sekali
memiliki anak kembar, seperti mendapat kutukan. Ibu merasa seperti men?dapat semacam
hukuman, peringatan dari Surga. Dan kejadian atas kucing ini mem?buat Ibu ketakutan. Seringkali Ibu
berpikir sebaiknya mereka mati saat lahir, seperti kebanyakan anak kembar lainnya. Ayahmu tak ingin
itu. Dia membiarkan mereka tetap hidup. Tapi kini Ibu bertanya pada diri sendiri: apa tujuannya"
Mereka putri keluarga Otori; mereka tidak bisa pergi dan tinggal bersama Tribe. Tak lama lagi usia mereka
akan cukup untuk dinikahkan"tapi siapa dari kalangan klas ksatria yang mau menikahi mereka"
Siapa yang mau beristri penyihir" Jika kemampuan mereka ter?ungkap, para ksatria bahkan akan
mem b unuh si k emb ar."
Shigeko merasakan tubuh ibunya gemetar.
"Ibu menyayangi mereka," bisik Kaede. "Namun terkadang mereka membuat Ibu sangat
menderita dan ketakutan hingga Ibu berharap mereka mati saja. Dan Ibu selalu merindukan kehadiran
anak lakilaki, dan tidak bisa berpura-pura bersikap sebaliknya. Masalah siapa yang akan menikah denganmu
juga menyiksa Ibu. Dulu Ibu berpikr sungguh anugerah yang tak terkira bisa menikah
dengannya. Namun Ibu juga sudah melihat kalau itu bukannya tanpa pengor?banan. Ibu bertindak bodoh
dan egois dengan berbagai macam cara. Ibu menentang semua yang diajarkan sejak kecil, yang
diharapkan dan disarankan untuk melak-sanakannya, dan mungkin harus menebusnya selama
sisa hidup Ibu. Ibu tak ingin kau mengulangi kesalahan yang sama, terutama karena kami tidak
punya anak laki-laki, maka memilih suamimu menjadi masalah politis."
"Aku sering dengar Ayah bilang kalau Ayah bahagia kalau seorang gadis"aku" akan mewarisi
Tiga Negara." "Begitulah yang selalu dikatakannya. Hanya untuk menghibur Ibu. Semua laki
laki ingin anak laki-laki."
Namun Ayah kelihatannya tidak begitu, pikir Shigeko. Tapi perkataan ibunya, nada penyesalan
yang terkandung di dalamnya, serta keseriusan dalam nada suaranya, membekas di dalam hatinya.*
Berita kematian Muto Kenji memerlukan waktu berminggu-minggu untuk sampai ke Inuyama.
Kikuta ingin merahasiakannya selama mungkin sambil berusaha menyela?matkan para tawanan, tapi
mereka juga ingin menyebarkan berita itu untuk menunjukkan pada Otori bahwa di luar Tiga
Negara, dia tidak berdaya. Halaman 497 dari 497 Selama pemerintahan Takeo dan Kaede, jalan-jalan di seluruh Tiga Negara telah diperbaiki
dan pesan-pesan dibawa dengan cepat antar kota-kota besar. Tapi di luar wilayah Timur, tempat
Barisan Awan Tinggi membentuk penghalang alami, terbentang bermil-mil negeri tak bertuan sampai
ke kota bebas Akashi, pelabuhan yang membentuk gerbang masuk ke ibukota Kaisar, Miyako. Desasdesus
tentang kematian Muto Kenji terdengar di Akashi kira-kira di bulan keempat, dan dari sana
kabar itu tersiar hingga ke Inumaya melalui pedagang yang
sering meneruskan kabar berita dari wilayah Timur kepada Muto Taku.
Walaupun sudah menduganya, Taku merasa sedih juga marah atas berita itu. Ia merasa
seharusnya Kenji mati dengan damai di kampung halamannya sendiri, karena kematian seperti itu akan
dianggap kelemahan di mata Kikuta dan hanya akan membuat mereka lebih bersemangat. Ia berdoa
agar kematian Kenji terjadi dengan cepat dan bukannya tanpa makna.
Taku merasa harus memberitahukan kabar itu pada Takeo, dan Sonoda juga Ai setuju kalau ia
harus segera bewingkat ke Hofu, tempat Takeo pergi untuk beberapa alasan pemerintahan,
sementara Kaede dan anak-anaknya sudah kembali ke Hagi selama musim panas.
Keputusan atas nasib tawanan juga harus secara resmi dilaksanakan baik oleh Takeo maupun
Kaede. Mungkin mereka akan dieksekusi sekarang, tapi harus dilakukan sesuai hukum agar
tidak dianggap sebagai tindakan balas dendam. Taku sendiri mewarisi sifat sinis Kenji dan tidak
enggan melakukan tindakan balas dendam, namun dia menghormati ketegasan Takeo pada
keadilan"atau setidaknya memberi kesan adil. Kematian Kenji juga memengaruhi Tribe,
karena dia sudah menjadi ketua lebih dari dua puluh tahun: seorang keluarga Muto harus dipilih untuk
menggantikan keduduk-annya. Kakak Taku, Zenko, merupakan kerabat laki-laki terdekat
karena Kenji hanya memiliki seorang putri yang sudah mati, Yuki, namun Zenko mengambil nama keluarga
ayahnya dan tidak memiliki ke-mampuan Tribe. Apalagi kini dia berstatus sebagai ksatria
berkedudukan tertinggi, pimpinan Klan Arai yang memimpin wilayah Kumamoto.
Orang yang tersisa hanyalah Taku yang sudah jelas oinat berbakat dalam kemampuan
menghilang serta menggunakan sosok kedua, dilatih oleh Kenji, dipercaya oleh Takeo. Satu alasan lagi
untuk mengadakan per-jalanan saat ini yaitu untuk bertemu keluarga Tribe, untuk memastikan
kesetiaan dan dukungan mereka serta membahas tentang siapa yang akan menjadi Ketua.
Lagipula Taku merasa gelisah: ia sudah di Inuyama sepanjang musim dingin. Istrinya
menyenangkan, anak-anak menghiburnya, tapi kehidupan rumah tangga membuatnya
bosan; diucapkannya selamat tinggal pada keluarganya tanpa penyesalan, dan meskipun
misinya membawa kabar menyedihkan, ia bersiap pergi keesokan harinya dengan lega bercampur
penuh harapan, menunggang kuda pemberian Takeo kepadanya saat masih kecil: anak dari Raku,
kuda dengan kulit abu-abu pucat, surai dan ekor sehitam arang" warna yang amat dihargai di Tiga
Negara. Taku menamainya Ryume. Ryume sudah menjadi ayah dari banyak kuda jantan, dan kini sudah tua, namun ia tak pernah
menyukai kuda seperti kuda yang satu ini, yang dijinakkannya sendiri serta tumbuh dewasa
bersama dirinya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan, hujan musim semi baru saja
mulai turun, tapi berita itu tidak bisa ditunda lagi, tak ingin orang lain yang membawa berita ini.
Taku berkuda dengan cepat meskipun di tengah cuaca buruk, seraya berharap bisa bertemu Takeo
sebelum meninggalkan Hofu.
Kedatangan kirin dan pertemuan dengan adik perempuannya mencegah Takeo untuk pergi
secepatnya ke Hagi seperti yang diinginkannya. Keponakannya, Sunaomi dan Chikara bersiapsiap
melakukan perjalanan, namun badai hebat| menunda keberangkatan mereka selama dua hari.
Itulah sebabnya Takeo masih berada di Hofu ketika Muto Taku datang dari Inuyama ke rumah
kakak?nya, meminta segera dipertemukan dengan Lord Otori. Sangat jelas bahwa Taku mem?bawa berita
buruk. Ia tiba hampir malam, kelelahan dan tubuhnya yang kotor karena berjalan jauh, tapi tidak
ingin mandi atau makan sebelum bicara dengan Takeo. Tidak ada rincian, hanya kenyataan keji bahwa
Muto Kenji Halaman 498 dari 498 sudah tiada. Tak ada jenazah yang bisa ditangisi, tak ada batu nisan untuk menandai
makamnya: cara kematian yang paling sulit untuk ditangisi, jauh dan tak terlihat. Kesedihan Takeo
memuncak, semakin diperburuk oleh keputusasaannya. Namun ia merasa tak mampu menumpahkan
perasaannya di rumah Zenko, dan tak mampu menahan Taku sepenuhnya sesuai dengan
kehendaknya. Diputuskannya untuk pergi ke Hagi keesokan harinya, dan
menunggang kuda dengan cepat. Keinginan utamanya adalah bertemu Kaede, agar istrinya itu
bisa menghiburnya. Namun kekhawatirannya yang lain tak bisa dising?kirkan dan menunggu
sementara ia meng-hadapi kesedihannya. Setidaknya ia harus membawa salah satu putra Zenko; Sunaomi
yang akan dibawanya"bocah itu pasti bisa menunggang kuda dengan cepat"lalu mengirim adiknya
bersama Ishida dan kirin dengan naik kapal begitu cuaca membaik. Taku bisa mengurusnya.
Dan Kono" Mungkin Taku bisa tinggal di wilayah Barat untuk mengawasinya. Berapa lama lagi
sampai ia bisa mendapat kabar dari Fumio" Berhasilkah dia menggagalkan penyelun?dupansenjata api"
Dan jika tidak berhasil, berapa lama lagi waktu yang mereka butuhkan untuk menandingi jumlah
per?senjataan miliknya"
Kenangan tentang gurunya dan masa lalu menghujani dirinya. Ia berduka tidak hanya karena
kehilangan Kenji, tapi juga ke?hilangan semua yang berhubungan dengan?nya. Kenji sahabat
Shigeru: satu mata rantai lagi yang terputus.
Lalu masalah tawanan di Inuyama yang
harus dihukum mati, namun harus dilakukan sesuai hukum, dan ia atau salah satu anggota
keluarganya harus hadir. Ia harus menulis surat pada suami Ai, Sonoda, mengirim perintah
agar Ai menggantikan Kaede, se-suatu tugas yang akan menciutkan nyali adik iparnya yang berhati
lembut itu. Takeo terjaga semalaman hanya ditemani kesedihan. Saat matahari terbit, ia memang?gil
Minoru dan mendiktekan surat untuk Sonoda dan Ai, tapi sebelum membubuhkan cap, ia berbicara lagi
dengan Taku. "Aku merasa enggan untuk memerintah?kan hukuman mati kedua pemuda-pemudi itu. Apakah
ada cara lain?" "Mereka hendak membunuh keluargamu," sahut Taku. "Kau yang membuat aturan dan
hukuman. Apa yang akan kau lakukan pada mereka" Memaafkan lalu membebaskan me?reka justru akan
kelihatan seperti kelemahan; dan dipenjara dalam waktu lama lebih kejam ketimbang kematian dengan
cara cepat." "Tapi apakah kematian mereka akan men?cegah serangan-serangan selanjutnya" Bukan?kah ini
semakin membangkitkan amarah Kikuta pada diriku dan keluargaku?"
"Dendam Akio padamu sudah mutlak
sifatnya. Ia tak akan mundur selama kau masih hidup," sahut Taku, lalu menambah?kan,
"Namun kematian akan menyingkirkan dua pembunuh lagi, dan cepat atau lambat mereka akan
kehabisan orang yang mau dan mampu melakukannya. Kau harus hidup lebih lama daripada mereka."
"Kau seperti Kenji," ujar Takeo. "Sama realistis dan pragmatisnya seperti Kenji. Kurasa kau
yang akan mengambil alih kepemimpinan keluarga sekarang?"
"Aku akan bicarakan dengan ibuku. Dan kakakku, tentu saja, demi formalitas. Zenko hanya
memiliki sedikit kemampuan Tribe, dan mengambil nama ayah kami, tapi tetap saja dia lebih tua
dariku." Takeo menaikkan alis sedikit. Ia lebih suka menyerahkan penanganan masalah pada Kenji dan
Taku, memercayai Kenji sepenuh?nya. Ia merasa tak nyaman dengan pemikiran harus berbagi
rahasia mereka dengan Zenko. "Kakakmu mengusulkan agar aku meng?angkat salah satu putranya," tutur Takeo, membiarkan
nada terkejut terdengar dalam suaranya, yang diketahuinya tak akan luput dari perhatian Taku.
"Sunaomi akan menemaniku ke Hagi. Aku akan berangkat
Halaman 499 dari 499 sebentar lagi. Tapi ada banyak hal yang harus kita bicarakan terlebih dulu. Mari
berjalan?jalan di taman." "Lord Otori," Minoru mengingatkannya. "Tidakkah Anda harus menyelesaikan surat?nya lebih
dulu?" "Tidak, bawa saja bersama kita. Aku akan membicarakan masalah itu lebih jauh lagi dengan
istriku sebelum aku memutuskan. Kita akan mengirimnya dari Hagi."
Sinar matahari yang baru terbit tampak kelabu, pagi terasa lembap dan basah, dengan hujan
yang mengancam akan turun. Per?jalanan itu akan basah dan tidak nyaman.
Takeo sudah bisa memperkirakan bagai?mana rasa sakit pada luka lamanya akan
memperburuk harihari selama menunggang kuda. Ia sadar kalau Zenko mungkin sedang mengawasinya, membenci
kedekatannya dengan Taku, tahu kalau dirinya akan menaruh kepercayaan pada adiknya.
Meng?ingat kalau Zenko juga keluarga Muto, serta ada hubungan saudara dengan Kikuta,
mem?buatnya selalu siaga. Berharap benar adanya kalau Zenko tak memiliki kemampuan
Tribe, Takeo menceritakan dengan pelan pada Taku secara singkat tentang pesan Lord
Kono, begitu pula dengan masalah penyelundupan senjata.
Taku menyerap semua penjelasan ini dalam diam; satu-satunya komentar darinya, "Kurasa,
kepercayaanmu pada kakakku sudah terkikis."
"Kakakmu telah memperbarui sumpah setianya padaku, tapi kita semua tahu sumpah setia
tidak ada artinya bila ber?hadapan dengan ambisi akan kekuasaan. Kakakmu selalu menyalahkanku atas
kematian ayahmu"dan kini sepertinya Kaisar dan kalangan istananya pun ber?anggapan sama.
Aku tidak memercayai kakakmu maupun istrinya, tapi selama kedua putra mereka di tanganku,
kurasa ambisi mereka masih bisa dibendung. Ambisi mereka harus dibendung: alternatif lainnya
adalah akan terjadi perang saudara lagi atau aku harus memerintahkan kakakmu bunuh diri. Aku akan
menghindari ini selama mungkin. Tapi aku harus memintamu menutup mulut lebih rapat dari
biasanya, dan tidak mengungkap apa pun yang bisa menguntungkan dirinya."
Kebiasaan Taku dalam ekspresi sinisme yang senang, menjadi lebih gelap lagi.
"Aku yang akan membunuhnya bila dia mengkhianatimu," sahutnya.
"Jangan!" sahut Takeo cepat. "Jangan sekali-kali membunuh saudara kandung. Masa-masa
pertumpahan darah antar keluarga telah berakhir. Kakakmu, seperti juga semua orang"
termasuk dirimu sendiri, Taku"harus dibatasi Hukum." Ia berhenti sesaat, kemudian berkata pelan,


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi katakan: apakah Kenji pernah mengatakan ramalan tentang diriku, bahwa aku aman dari
kematian, kecuali di tangan putraku sendiri?"
"Ya pernah, setelah salah satu percobaan pembunuhan padamu, dia berkomentar mungkin
ramalan itu benar adanya"tak biasanya paman percaya pada ramalan dan pertanda. Saat itu paman
menceritakan apa yang telah dikatakan tentang dirimu. Paman menceritakan itu sebagian
untuk menjelas?kan ketidaktakutanmu, dan mengapa ancaman serangan tidak melumpuhkan
diri?mu atau membuatmu bertindak kejam, seperti yang akan dilakukan sebagian besar orang."
"Aku juga tidak mudah percaya," sahut Takeo, sambil tersenyum penuh penyesalan. "Kadang
aku percaya kebenaran kata-kata
itu, kadang tidak. Ramalan itu membuat aku percaya karena telah memberiku waktu untuk
meraih segala yang kuinginkan tanpa ketakutan. Bagaimana pun juga, anak itu kini berusia enam
belas tahun: cukup usia, dalam kalangan Tribe, untuk membunuh. Maka kini aku merasa terjebak:
dapatkah aku berhenti percaya ketika ramalan itu tidak lagi sesuai dengan keadaanku?"
"Bakal cukup mudah untuk menyingkir?kan bocah itu," Taku menawarkan.
"Taku, kau tidak belajar apa-apa dari semua jerih payahku! Masa-masa pem?bunuhan rahasia
sudah berakhir. Aku tak mampu mencabut nyawa kakakmu ketika pisauku di lehernya saat sengitnya
pertempuran. Aku tak akan memerintahkan untuk membunuh putraku sendiri."
Setelah beberapa saat Takeo melanjutkan, "Siapa lagi yang tahu tentang ramalan ini?"
Halaman 500 dari 500 "Saat Kenji menceritakan hal ini padaku, tabib Ishida ada di sana. Dia sedang meng?obati luka
dan mencoba meredakan demam?mu. Kenji mengatakan itu untuk meya?kinkan Ishida bahwa kau
takkan mati, karena tabib itu hampir menyerah."
"Zenko tidak tahu?"
"Dia tahu keberadaan putramu"dia di desa Muto ketika berita kematian Yuki datang. Semua
orang terus membicarakannya selama berminggu-minggu. Tapi kurasa Kenji tidak menceritakan soal
ramalan itu pada orang lain."
"Maka biarkan ramalan itu tetap menjadi rahasia."
Taku mengangguk. "Aku akan tinggal di sini bersama mereka, seperti yang kau sarankan,"
ujarnya. "Awasi dengan baik, pastikan kalau Chikara berangkat bersama Ishida, dan mungkin cari tahu
lebih banyak lagi tentang niat orangtuanya yang sebenarnya."
Sewaktu mereka berpisah, Taku berkata, "Satu hal lagi. Bila kau mengangkat Sunaomi sebagai
anak, dan dia menjadi putramu...."
"Saat itu aku akan memilih untuk tidak percaya!" sahut Takeo pura-pura bicara dengan nada
ringan yang justru tidak dirasa?kannya." *
Takeo berangkat kira-kira pada Waktu Ular* di mana hujan belum turun, namun menjelang
malam hujan turun dengan deras. Sunaomi diam saja, bersemangat untuk ber?sikap dengan benar
dan berani. namun jelas terlihat kalau dia khawatir meninggalkan orangtua dan keluarganya. Dua
pengawal Zenko ikut untuk mengurusnya. Sementara Takeo didampingi Jun dan Shin, dua
puluh prajurit serta Minoru. Di malam pertama mereka menginap di desa kecil, tempat beberapa
penginapan dibangun selama masa kemakmuran negara ini. Desa ini acapkali menjadi tempat transit para
pedagang yang melakukan perjalanan antara Hofu dan Hagi. Jalanan terawat dengan baik,
dilapisi batu kerikil atau diratakan setiap jengkalnya; setiap kota kecil dijaga sehingga perjalanan
menjadi aman dan cepat. Meskipun hujan, mereka sampai di sungai pada sore di hari ketiga, dan
Neraka Hitam 1 Lupus Kecil Perantauan Ke Tanah India 3
^