Pencarian

The Harsh Cry Of Heron 3

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 3


bertemu Miyoshi Kahei yang sudah diberitahu kurir bahwa Lord Otori
dalam perjalanan ke utara.
Atas kesetiaannya pada Takeo, Kahei dianugerahi kota Yamagata dan daerah?daerah yang
mengelilinginya, hutan lebat yang membentuk jantung Negara Tengah serta tanah pertanian
yang kaya di kedua sisi sungai. Yamagata dulu diserahkan pada Tohan setelah kekalahan Otori di
Yaega?hara. Keluarga Miyoshi merupakan salah satu keluarga terhebat dalam Klan Otori, dan
Kahei merupakan pemimpin yang disukai banyak orang. Dia juga pemimpin yang ahli strategi dan
taktik sehingga, pikir Takeo, Kahei pasti menyesali tahun-tahun yang penuh kedamaian dan
merindukan konflik baru untuk menguji keabsahan teori-teori?nya serta kekuatan dan ketrampilan
pasukan?nya. Adiknya, Gemba. lebih bersimpati pada keinginan Takeo untuk mengakhiri ke?kerasan, dan
menjadi murid Kubo Makoto dan pengikut Ajaran Houou.
"Kau akan ke Terayama?" Kahei bertanya setelah mereka saling memberi salam dan
menunggang kuda berdampingan ke utara, menuju ke kota.
"Aku belum memutuskan," jawab Takeo. "Bukannya aku tidak menginginkannya, tapi
aku tak ingin tertunda sampai di Hagi."
"Apa sebaiknya kukirim kabar ke biara agar mereka datang ke kastil"'"
Halaman 501 dari 501 Takeo melihat tidak ada lagi cara meng?hindar tanpa menyinggung perasaan sahabat lamanya
ini. Takeo pikir tidak ada salahnya kalau Sunaomi berkunjung ke tempat suci Klan Otori, ziarah ke
makam Shigeru, Takeshi dan Ichiro, serta bertemu Makoto dan para ksatria lain dengan kematangan
spiritual yang menjadikan biara itu pusat kegiatan serta rumah mereka. Sunaomi tampak pandai
sekaligus sensitif: Ajaran Houou mungkin bisa menjadi ajaran yang tepat baginya, seperti yang telah
terbukti pada putrinya, Shigeko. Ia merasakan per?cikan ketertarikan yang tak terduga: betapa
indahnya memiliki seorang putra untuk dibesarkan dan dididik dengan ajaran ini; timbulnya kekuatan
emosi ini mengejutkan dirinya. Segala iiamnya sesuatunya diatur untuk pergi pagi-pagi keesokan
harinya. Minoru tinggal di Yamagata untuk meng?awasi rincian administratif dan menyiapkan bukti
catatan yang akan diperlukan untuk pengadilan nanti.
Hujan berubah menjadi kabut: wajah
bumi terselubung awan kelabu; di atas pegunungan langit tampak bermain, dan balutan awan
seputih mutiara tampak bak umbul-umbul di lereng. Air hujan mem?bentuk torehan garis pada batang
pepohonan cedar, meneteskan embun. Langkah kuda diredam oleh tanah yang basah. Mereka
berkuda tanpa bicara; nyeri yang dirasakan Takeo ternyata tidak separah dugaannya, dan
benaknya penuh dengan kenangan akan kunjungannya yang pertama ke biara ini beserta orang-orang
yang menunggang kuda bersamanya bertahun-tahun lalu. Orang yang paling diingatnya, terutama
Muto Kenji, nama paling baru yang dituliskan di buku besar nama orang-orang yang telah tiada.
Kenji yang dalam perjalanan itu berpura?pura menjadi kakek-kakek yang bodoh, gemar minum sake dan
lukisan. Aku menya?yangimu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Takeo merasakan kesendirian yang
menyakit?kan, karena kematian Kenji meninggalkan kekosongan besar dalam hidupnya yang
tak akan bisa terisi lagi, dan sekali lagi ia merasa rapuh, serapuh yang pernah dirasakannya
setelah bertarung dengan Kikuta Kotaro yang telah membuat tangannya cacat. Kenji
mengajarinya cara mempertahankan diri dengan menggunakan tangan kiri, men?dukung dan
memberi nasehat di masa-masa awal berkuasa di Tiga Negara, memecah Tribe dan membawa
empat dari lima keluarga di bawah kekuasaannya, semua keluarga kecuali Kikuta, dan
mempertahan?kan jaringan mata-mata yang menjaga Takeo dan negara agar tetap aman.
Pikirannya lalu melayang ke satu-satunya keturunan Kenji yang masih hidup, cucunya, yang
ditahan Kikuta. Putraku, pikirnya dengan penyesalan, kerinduan serta kemarahan. Dia tak pernah mengenal
ayah maupun kakeknya. Dia tak?kan memanjatkan doa yang dibutuhkan bagi nenek moyangnya.
Tak ada orang lain lagi yang bisa menghormati kenangan akan Kenji. Bagaimana kalau aku mencoba
men?dapatkan anak itu kembali"
Tapi itu berarti mengungkap keberadaan anak itu pada istri serta ketiga putrinya, pada
seluruh negara. Rahasia itu telah tersembunyi sekian lama hingga Takeo tidak tahu bagai?mana
mengutarakannya. Andai Kikuta mau berunding agar bisa diberi semacam hak khusus. Kenji
telah menduga kalau mereka mungkin mau; dia memilih untuk mendekati Akio, dan kini dia telah tiada, dan dua pemuda
lagi akan kehilangan nyawa sebagai hasilnya. Seperti Taku, Takeo ingin tahu berapa banyak lagi
pembunuh yang Kikuta miliki, tapi tidak seperti Taku, ia tidak bersemangat bila jumlahnya makin
ber?kurang. Jalan setapak itu sempit sehingga mereka dalam kelompok kecil"Sunaomi dan kedua
pengawalnya, kedua pengawal Takeo serta tiga ksatria Otori lainnya, ditambah dua anak buah Kahei"
berkuda dalam satu barisan. Tapi setelah mereka meninggalkan kuda di tempat penginapan di kaki
gunung suci, Takeo memanggil Sunaomi agar berjalan bersamanya, menceritakan padanya sedikit
tentang sejarah biara, tentang pahlawan-pahlawan Otori yang dimakamkan di sana, tentang houou,
burung suci yang bersarang di hutan kecil di belakang biara, dan ksatria yang mengabdikan dirinya
pada Ajaran Houou. "Kami akan mengirimmu kemari bila kau sudah lebih besar; putriku datang ke sini setiap
musim dingin, dan sudah melaku?kannya sejak usia sembilan tahun."
Halaman 502 dari 502 "Aku akan melakukan apa saja yang paman inginkan," sahut bocah itu. "Aku berharap bisa
melihat burung houou dengan mata kepalaku sendiri!"
"Kita akan bangun pagi-pagi sekali dan pergi ke hutan kecil itu sebelum kembali ke Yamagata.
Hampir dipastikan kau bisa melihat burung itu karena sekarang jumlah?nya banyak."
"Chikara melakukan perjalanan bersama kirin," seru Sunaomi, "dan aku ber?kesempatan
melihat houou. Itu adil. Tapi. Paman, apa yang harus dipelajari untuk mengikuti Ajaran Houou?"
"Orangorang yang akan kita temui yang akan memberitahukan: biarawan seperti Kubo Makoto;
ksatria seperti Miyoshi Gemba. Ajaran utamanya yaitu tidak meng?inginkan kekerasan."
Sunaomi tampak kecewa. "Jadi aku tidak akan belajar memanah dan berpedang" Itu yang ayah
ajarkan pada kami, dan ayah ingin kami mahir dalam keduanya."
"Kau akan melanjutkan pelatihan bersama putra-putra ksatria di Hagi, atau di Inuyama saat
kita sudah sampai. Tapi Ajaran Houou sangat menuntut pengendalian diri, dan juga
kekuatan fisik serta mental. Mungkin kau tidak cocok dengan ajaran ini."
Takeo melihat cahaya berkilap di mata bocah itu. "Kuharap diriku cocok dengan ajaran ini,"
sahut Sunaomi, setengah ber?teriak.
"Putri sulungku akan menceritakan lebih banyak lagi tentang ajaran ini begitu kita tiba di
Hagi." Takeo hampir tidak bisa mengucapkan nama kota itu, begitu besar keinginannya untuk berada
di sana dan bersama Kaede. Tapi ia berusaha menyembunyikan perasaan?nya dengan cara yang sama
seperti yang dilakukannya seharian berusaha menyem?bunyikan rasa nyeri dan
penderitaannya. Di gerbang biara mereka disambut dengan kegembiraan, dan seorang biarawan diminta untuk
memberitahukan Kepala Biara, Matsuda Shingen, dan Makoto tentang kedatangan mereka.
Mereka dikawal menuju griya tamu. Meninggalkan Sunaomi dan anak buahnya di sana, Takeo berjalan
melewati taman, melewati kolam ikan tempat ikan air tawar merah dan keemasan
ber?desakan dan mencipakkan air, menuju hutan kecil suci di belakang biara, menyusuri
tanjakan terjal jalan pegunungan, tempat para bangsawan Otori dimakamkan.
Kabut lebih tebal menyelimuti tentera abu-abu dan batu nisan yang dipersuram oleh embun
dan bintik-bintik lumut hijau dan putih. Lumut yang berwarna hijau tua menutupi bagian
dasarnya. Ada seutas tali rami baru berkilauan di sekeliling makam Shigeru, dan sekerumunan orang berdiri
menundukkan kepala di depan makam, berdoa bagi laki-laki yang telah menjadi pahlawan dan
perwujudan dewa, kekuatan Negara Tengah dan Klan Otori. Sebagian besar dari mereka
adalah petani, pikir Takeo, mungkin ada satu atau dua pedagang dari Yamagata yang turut serta.
Ketika melihat ia mendekat, mereka langsung mengenalinya dari lencana di jubahnya, dari tangan
yang terbungkus sarung tangan hitam. Mereka menjatuhkan diri ke tanah, namun Takeo memberi
salam lalu menyuruh mereka berdiri, kemudian meminta meninggalkan dirinya sendiri di dekat
makam. Takeo berlutut, menatap sesaji yang ada di sana, segenggam penuh bunga warna merah tua,
kue mochi dan sake. Masa lalu muncul di sekelilingnya, dengan
semua kenangan menyakitkan. Ia berhutang nyawa pada Shigeru; dan telah menjalani
hidupnya sesuai dengan tujuan sang men?diang. Wajahnya basah karena kabut dan air mata.
Terasa ada gerakan di belakangnya, dan Takeo berbalik melihat Makoto berjalan menghampiri
sambil membawa lentera di satu tangan dan tempat dupa kecil di tangan yang satunya lagi. Makoto
berlutut lalu meletakkan kedua benda itu di depan makam. Asap ketabu naik perlahan, berat,
bercampur kabut, memenuhi udara dengan aromanya. Lentera menyala dengan tenang, menerangi
suramnya hari ini. Dalam waktu lama mereka berdua tidak bicara sepatah kata pun. Kemudian genta berdentang
dari pelataran biara, dan Makoto berkata, "Mari masuk dan makan. Kau pasti lapar. Senang sekali
bertemu denganmu." Halaman 503 dari 503 Mereka berdua bangkit dan saling mengamati. Mereka pertama kali bertemu tepat di tempat
ini, tujuh belas lahun lalu, sempat timbul rasa saling menyukai di mereka berdua, dan untuk sesaat
kasih sayang di antara mereka begitu kuatnya bak sepasang kekasih. Makoto pernah bertempur
bersama Takeo di Asagawa dan Kusahara dan selama bertahun-tahun menjadi teman
ter?dekatnya. Karena sudah begitu mengenal Takeo, Makoto merasakan bila sahabatnya itu sedang
menghadapi masalah, maka Makoto bertanya, "Apa yang terjadi?"
"Aku akan menceritakannya dengan cepat. Muto telah tiada. Dia pergi untuk berunding
dengan keluarga Kikuta dan tidak kembali. Aku akan ke Hagi untuk memberitahukan kabar ini pada
keluargaku. Kami akan ke Yamagata besok."
"Aku turut berduka atas kehilangan ini. Kenji teman yang setia. Tentu saja kau ingin bersama
Lady Otori di saat seperti ini. Tapi haruskah kau pergi begitu cepat" Maaf, tapi kau tampak lelah.
Tinggallah selama beberapa hari di sini untuk memulihkan kekuatanmu."
Takeo tersenyum, tergoda oleh ajakan itu, merasa iri pada Makoto dengan penampilan?nya
yang sempurna secara fisik dan spiritual?nya. Makoto saat ini berusia tiga puluhan, tanpa kerutan
di wajahnya yang tenang; sinar matanya penuh kehangatan dan kegembira?an. Seluruh sikapnya
memancarkan ketenangan dan pengendalian diri. Takeo
yakin kalau teman lamanya yang satu lagi, Miyoshi Gemba pasti kelihatan sama, layaknya para
pengikut ajaran ini. Takeo me?rasakan ada sedikit penyesalan karena jalan hidup yang
memanggilnya untuk dijalani sangat berbeda. Seperti yang selalu dilakukannya saat
mengunjungi Terayama, ia berangan-angan mengundurkan di sini, mengabdikan diri dengan melukis dan
merancang taman seperti seniman besar Sesshu; ia akan menyumbangkan Jato" pedang yang
selalu ia bawa meskipun tak lagi digunakan selama bertahun-tahun"lalu berhenti menjalani
hidup sebagai ksatria dan penguasa. Bersumpah untuk tidak mem-bunuh lagi, melepaskan diri dari
kekuasaan atas hidup dan mati setiap orang di negara ini, membebaskan diri dari beban yang
berat dan menyakitkan di balik kekuatan ini.
Suara-suara biara yang tidak asing lagi menyelimuti dirinya. Dengan sadar dibuka?nya gerbang
pendengarannya dan membiar?kan suara-suara itu menyirami dirinya, percikan air terjun di
kejauhan, gumaman doa dari aula utama, suara Sunaomi dari griya tamu, desingan layang-layang dari
puncak pepohonan. Dua burung gereja hing
gap di ranting, bulu warna abu-abu mereka tampak jelas dengan sinar agak redup serta
gelapnya warna dedaunan. Dibayangkannya bagaimana ia bisa melukis mereka.
Namun tak ada orang lain yang bisa mengambil alih perannya: mustahil bisa menjauh dari
semua itu. "Aku baik-baik saja," ujarnya. "Aku minum terlalu banyak, tapi sake meredakan rasa sakitku.
Ishida memberiku minuman pengurang rasa sakit, tapi aku sudah kebal dengannya"aku jarangjarang
meminum-nya. Kami akan menginap semalam di sini: aku ingin putra Arai melihat biara ini
dan bertemu denganmu. Dia akan tinggal ber?sama keluargaku. Mungkin aku akan mengirimnya
kemari dalam satu atau dua tahun lagi."
Dahi Makoto berkerut. "Zenko sedang buat masalah?"
"Lebih dari biasanya. Dan ada perkem?bangan di wilayah Timur yang harus kuceritakan
padamu. Aku harus merencana?kan jawabanku dengan hati-hati. Bahkan mungkin aku harus pergi ke
Miyako. Kita akan bicarakan hal iiu nanti. Bagaimana kabar Lord Matsuda" Aku juga berharap bisa
mendapatkan saran darinya."
"Beliau masih bersama kami," sahut Makoto. "Jarang makan, bahkan sepertinya tidak pernah
tidur. Tampaknya beliau sudah separuh berada di dunia lain. Tapi pikiran?nya masih tetap jernih,
bahkan

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin lebih jernih, seperti danau di pegunungan."
Halaman 504 dari 504 "Kuharap pikiranku ada di sini," ujar Takeo, selagi mereka berjalan kembali ke biara. "Tapi
pikiran lebih menyerupai salah satu kolam ikan itu: penuh gagasan dan masalah juga sampah di
sekelilingnya, masing-masing berusaha menarik perhatian?ku."
"Kau seharusnya mencoba menenangkan pikiran setiap harinya," Makoto mengamati.
"Satu-satu kemampuan meditasi yang kumiliki adalah kemampuan Tribe"dan tujuannya agak
berbeda!" "Tapi bila kuamati kemampuan itu begitu memang ada dalam dirimu dan anggota Tribe
lainnya, sangat berbeda dengan kami yang harus melalui disiplin diri dan pengenalan diri."
Takeo tidak setuju: ia belum pernah melihat Makoto atau murid-muridnya meng?gunakan
kemampuan menghilang, atau menggunakan sosok kedua. Dirasakannya keraguan Makoto, dan menyesalinya.
"Aku tak punya waktu bermeditasi, lagi?pula aku hanya mendapat sedikit pelatihan atau
pendidikan tentang ajaran itu. Dan aku tidak tahu kalau itu bisa membantu. Aku terlibat dalam
pemerintahan... paling tidak, saat ini, jika tidak bisa disebut peperangan."
Makoto tersenyum. "Kami di sini men?doakanmu setiap waktu."
"Kukira itu bisa membuat perbedaan! Mungkin doa kalian yang telah memper?tahankan
kedamaian selama hampir lima belas tahun."
"Aku yakin begitu," sahut Makoto tenang. "Bukan hanya doa yang hampa atau lantunan pujian
tanpa makna, tapi keseimbangan spiritual yang kami pertahankan di sini. Kupakai kata
"mempertahankan"
untuk me?nunjukkan otot dan kekuatan yang dibutuh?kan; kekuatan pemanah untuk
mem?bengkokkan busur atau balok di menara lonceng untuk menahan berat lonceng."
"Aku percaya. Aku melihat perbedaan dalam diri para ksatria yang mengikuti ajaranmu:
disiplin dan welas asih mereka. Tapi bagaimana ini bisa membantuku
menghadapi Kaisar dan jenderal barunya, yang akan memerintahkan aku mengasing?kan diri?"
"Saat kau ceritakan semuanya nanti, kami akan berikan saran untukmu," Makoto ber?janji.
"Kita makan dulu, lalu kau ber?istirahat."
*** Setelah selesai makan siang sederhana yang terdiri dari sayuran, sedikit nasi, dan sop, hujan
mulai turun dengan derasnya. Cahaya mulai meredup, kehijauan, dan tiba-tiba keinginan untuk
berbaring tak tertahankan lagi. Makoto mengajak Sunaomi bertemu dengan beberapa murid yang masih
muda; Jun dan Shin duduk di luar, minum teh dan berbincang-bincang dengan suara pelan.
Takeo tertidur, rasa sakitnya berkurang seolah luruh dengan bunyi rintik hujan bak gendang
bertalutalu di aiap. Ia tidak ber?mimpi, dan terbangun dengan pikiran yang lebih jernih. Lalu mandi di
mata air panas, menge-nang ketika ia berendam di kolam yang sama saat salju turun sewaktu
melarikan diri ke Terayama bertahun-tahun lalu.
Setelah selesai berpakaian, Takeo melangkah ke beranda tepat saat Makoto dan Sunaomi
kembali. Takeo menyadari kalau bocah itu ter?sentuh oleh sesuatu. Wajahnya bersinar dan matanya
berkilauan. "Lord Miyoshi menceritakan bagaimana dia hidup di pegunungan sendirian selama lima tahun.
Beruang memberinya makan, dan pada malam-malam yang dingin mem?beku meringkuk
memeluknya agar tetap hangat!"
"Gemba ada di sini?" tanya Takeo pada Makoto. "Dia kembali saat kau tidur. Dia sudah tahu kau
ada di sini." "Bagaimana Lord Miyoshi bisa tahu?" tanya Sunaomi.
"Lord Miyoshi tahu hal-hal semacam ini," sahut Makoto sambil tertawa.
Halaman 505 dari 505 "Apakah beruang-beruang itu yang mem beri tahunya?"
"Kemungkinan begitu! Lord Otori, mari kita menemui Kepala Biara."
Meninggalkan Sunaomi bersama kedua pengawal pribadinya, Takeo berjalan bersama Makoto
melewati aula tempat makan di biara, tempat rahib-rahib muda mem
bereskan mangkuk bekas makan malam, menyeberangi sungai kecil yang dialihkan airnya agar
mengalir melewati dapur, dan ke pelataran di depan aula utama. Di dalam aula utama ada
ratusan lentera dan lilin yang menyinari patung emas Sang Pencerah, dan Takeo mengenal sosok tanpa
suara yang sedang duduk bermeditasi di dalamnya. Mereka mengikuti jalan setapak terbuat
dari papan menyeberangi satu cabang lagi aliran sungai kecil menuju aula tempat lukisan Sesshu,
dan menghadap ke taman. Hujan telah reda, malam telah menjelang dan be?batuan di taman
tampak seperti bayangan hitam, nyaris tak terlihat. Harum lembut bunga serta tanah yang basah
merebak ke dalam aula. Bunyi air terjun kedengaran lebih keras di sini. Di ujung cabang utama sungai
kecil, yang mengalir di sepanjang taman dan menuruni gunung, berdiri griya tamu perempuan tempat
Takeo dan Kaede menghabiskan malam pertama pernikahan mereka. Tempat itu kini kosong; tak ada
cahaya yang bersinar dari dalamnya.
Matsuda sudah berada di aula, bersandar pada bantalan tebal yang disangga dua rahib tanpa
suara dan tidak bergerak. Matsuda
sudah tua saat pertama kali Takeo bertemu dengannya; kini sepertinya dia telah melewati
jauh dari batasan usia yang mengekang, bahkan batasan kehidupan, dan telah me?masuki dunia jiwa
yang suci. Takeo berlutut lalu membungkuk sampai ke lantai di hadapannya. Matsuda adalah satusatunya
orang di Tiga Negara yang paling dihormatinya.
"Mendekatlah," ujar Matsuda. "Biar ku?lihat dirimu. Biar kusentuh dirimu."
Kasih sayang dalam nada suaranya mem?buat Takeo terharu. Dirasakannya air mata
mengambang ketika laki-laki tua itu men?condongkan badan ke depan lalu menepuk?kan tangan. Mata
Matsuda mencari-cari wajah Takeo; merasa malu akan air mata yang sebentar lagi tumpah, Takeo tidak
membalas tatapannya malah melihat ke belakang, ke lukisan-lukisan Sesshu indah.
Waktu tidaklah bergerak bagi lukisan?lukisan itu, pikirnya. Kuda, bangau"mereka masih
seperti dulu, sedangkan begitu banyak orang yang pernah melihat mereka kini telah tiada, terbang jauh
bak burung gereja. Satu satu kasa yang kosong, menurut legenda, lukisan burung-burung itu begitu hidup
hingga akhimya terbang. "Jadi Kaisar merasa khawatir dengan diri?mu," ujar Matsuda.
"Putra Fujiwara, Kono, datang berpura?pura mengunjungi tanah milik ayahnya, tapi
sebenarnya dia memberitahuku bahwa aku telah membuat Kaisar merasa tidak senang" bahkan dianggap
penjahat; aku diminta untuk mengundurkan diri dan mengasingkan diri."
"Aku tidak kaget kalau Kaisar bingung dan takut padamu," Matsuda tertawa kecil. "Aku hanya
terkejut mengapa begitu lama baru mereka mengancammu."
"Kurasa ada dua alasan; pertama Kaisar memiliki jenderal baru yang telah menakluk?kan
wilayah Timur dan sekarang pasti meng?anggap dirinya cukup kuat untuk meman?cing kita. Alasan
yang lainnya adalah Arai Zenko telah berhubungan dengan Kono. Aku mencurigai Zenko
menganggap dirinya sebagai penerusku."
Takeo merasakan amarahnya meletup lagi, dan segera menyadari kalau Matsuda dan Makoto
melihatnya. Di saat bersamaan, diperhatikannya ada satu orang lain berada di dalam aula,
duduk di bawah bayangan di belakang Matsuda. Orang ini mencondong?kan badan ke depan sekarang, dan Takeo sadar
kalau orang itu adalah Miyoshi Gemba. Usia mereka hampir sebaya, tapi seperti hal?nya Makoto,
Gemba Halaman 506 dari 506 nampak tidak berubah seiring dengan berjalannya waktu. Gemba memandangnya dengan
tatapan lembut, santai namun penuh kekuatan"hampir seperti beruang.
Sesuatu terjadi pada lentera. Cahayanya berkedip-kedip dan seberkas cahaya terang
melompat di depan mata Takeo. Sesaat melayang-layang, kemudian melesat bak bintang jatuh ke arah
taman yang gelap. Terdengar olehnya desisan cahaya tadi saat hujan memadamkannya.
Di saat yang sama amarahnya lenyap.
"Gemba," ujar Takeo. "Aku senang ber?temu denganmu! Tapi apakah kau meng?habiskan
waktu dengan belajar tipuan sulap di sini?"
"Kaisar dan istananya sangat percaya takhayul," sahut Gemba. "Mereka punya banyak peramal,
ahli nujum dan penyihir. Bila aku menemanimu, kau mungkin bisa yakin kalau kami mampu
menandingi tipuan mereka." "Jadi aku harus pergi ke Miyako?"
"Ya," sahut Matsuda. "Kau harus hadapi mereka sendiri. Kau akan mendapatkan dukungan
Kaisar." "Aku akan membutuhkan lebih dari sekadar tipuan Gemba untuk membujuknya. Kaisar sedang
membangun kekuatan untuk melawanku. Aku takut kalau satu-satunya jawaban yang masuk
akal yaitu dengan kekerasan."
"Sebentar lagi akan ada pertandingan ber?taraf kecil di Miyako," ujar Gemba. "Itu sebabnya
aku harus ikut bersamamu. Putri?mu juga harus ikut."
"Shigeko" Tidak, terlalu berbahaya."
"Kaisar harus bertemu dengannya dan memberi restu serta persetujuan kepadanya bila dia
memang akan menjadi penerusmu" seperti yang seharusnya."
Seperti Gemba, Matsuda mengeluarkan kata-kata ini dengan penuh keyakinan.
"Kita tidak perlu membahas hal ini?" tanya Takeo. "Kita tidak perlu mempenimbangkan pilihan
Iain, dan mencapai kesimpulan yang bijaksana?"
"Kita bisa membahasnya bila kau mau," sahut Matsuda. "Tapi aku sudah sampai pada
usia dimana perbincangan membuatku lelah. Aku bisa lihat titik akhir yang akan dicapai. Maka
langsung saja ke bagian akhirnya."
"Aku juga harus meminta pendapat dan saran istriku," ujar Takeo. "Begitu pula hal?nya dengan
para pengawal senior, dan jenderalku, Kahei."
"Kahei akan selalu memilih perang," kata Gemba. "Begitulah sifatnya. Tapi kau harus
menghindari bentrokan senjata secara ter?buka, terutama bila prajurit dari wilayah Timur mempunyai
senjata api." Kulit kepala dan leher Takeo terasa seperti dihujam perasaan gelisah. "Kau yakin?"
"Tidak, aku hanya menduga kalau tak lama lagi mereka akan memilikinya."
"Sekali lagi, ini ulah Zenko yang meng?khianatiku."
"Takeo, sahabatku, bila kau memperkenal?kan penemuan baru, baik itu senjata atau apa saja,
jika memang efektif, rahasianya akan dicuri. Begitulah sifat manusia."
"Jadi seharusnya tidak kubiarkan pengem?bangan senjata api?" Satu hal yang kerap
disesalinya. "Begitu benda itu diperkenalkan padamu, tak dapat dihindari kalau kau akan
mengembangkannya dalam pencarianmu akan kekuatan dan kekuasan. Sama tidak
ter?hindarkannya ketika musuh-musuhmu menggunakannya dalam usaha untuk men?jatuhkan dirimu."
"Maka aku harus memiliki senjata api yang lebih banyak dan lebih baik dibanding?kan mereka!
Aku harus serang mereka lebih dulu, mengejutkan mereka, sebelum mereka sempat
mempersenjatai diri."
"Itu bisa menjadi strategi yang baik," kata Matsuda mengamati.
Halaman 507 dari 507 "Tentu saja, adikku, Kahei, akan mem?berimu saran seperti itu," timpal Gemba.
"Makoto," kata Takeo. "Kau diam saja. Bagaimana pendapatmu?"
"Kau tahu aku tidak bisa menyarankanmu memulai perang."
"Jadi kau takkan memberi saran" Kau akan duduk di sini dan melantunkan doa serta
memainkan tipuanmu dengan api, sementara semua yang sudah kuraih hancur berantakan?" Bisa
didengarnya nada suaranya sendiri lalu ia diam seribu bahasa, setengah merasa malu atas kekesalannya
dan setengah takut Gemba akan menggunakan api untuk membuang amarahnya.
Kali ini tak ada unjuk kebolehan tipuan, namun kesunyian yang makin dalam meng?hasilkan
efek yang sama kuatnya. Takeo me?rasakan kombinasi antara ketenangan dun kejernihan dari
pikiran ketiga orang itu dan tahu kalau mereka mendukungnya, namun berusaha mencegahnya agar
tidak bertindak gegabah ataupun berbahaya. Banyak orang di sekitarnya yang hanya bisa memuji
dan tunduk padanya. Sedangkan orang-orang ini tidak melakukan itu, dan Takeo lebih memercayai
mereka. "Bila aku harus ke Miyako, haruskah aku pergi secepatnya" Saat musim gugur, saat cuaca
membaik?" "Tahun depan, mungkin, saat salju sudah mencair," tutur Matsuda. "Jangan terburu?buru."
"Itu memberi mereka waktu untuk mem?bangun kekuatan militer!"
"Itu juga memberimu waktu untuk menyiapkan diri," sahut Makoto. "Kurasa kau harus pergi
dengan kemewahan yang tiada tara, membawa hadiah-hadiah yang paling indah."
"Juga memberi waktu pada putrimu untuk menyiapkan dirinya," tutur Gemba.
"Tahun ini Shigeko berusia lima betas tahun," ujar Takeo. "Dia sudah cukup dewasa untuk
ditunangkan." Pikiran itu mengganggunya: baginya Shigeko masih anak-anak. Siapa orang yang pantas
menjadi jodohnya" "Itu juga menjadi nilai lebih di pihakmu," gumam Makoto.
"Sementara ini dia harus menyempurna?kan keahlian berkuda, dan memanah," seru Gemba.
"Dia takkan sempat menunjukkan semua keahliannya di ibukota," kata Takeo.
"Kita lihat saja nanti," sahut Gemba, dan tersenyum dengan ekspresi penuh teka-teki. "Jangan
khawatir," imbuhnya, seolah memerhatikan rasa kesal Takeo. "Aku akan ikut denganmu, dan
takkan ada yang akan menyakitinya."
Kemudian dia berkata dengan nada bijaksana: "Putri-putri yang layak mendapat?kan
perhatianmu lebih dari putra-putra yang tidak kau miliki."
Kata-kata itu terasa bagaikan hujaman kritikan tajam dan menyengat, karena ia mengagumi
kenyataan bahwa dirnya men?jalani semua pendidikan dan pelatihan bagi
anak laki-laki: Shigeko dengan cara ksatria, si kembar dengan ketrampilan Tribe. Takeo
mengatupkan bibir lalu membungkuk hormat di hadapan Matsuda. Orang itu memberi isyarat untuk
mendekat dan merangkulkan tangannya yang lemah pada Takeo. Ia tidak bicara sepatah ia pun, tapi tiba-tiba


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia sadar kalau Matsuda sedang mengucapkan selamat tinggal, kalau ini adalah pertemuan
mereka yang terakhir. Takeo mundur sedikit agar bisa menatap dalam-dalam mata sang pendeta tua.
Matsuda adalah satu-satunya orang yang bisa kutatap langsung wajahnya, pikirnya. Satu?satunya orang
yang tidak jatuh dalam sihir tidur Kikuta.
Seolah bisa membaca pikirannya, Matsuda berkata, "Aku tidak meninggalkan siapa-siapa selain
dua penerus yang berharga"tak ter?nilai harganya. Jangan membuang waktumu dengan menyesali
kepergianku. Kau sudah tahu apa yang perlu kau ketahui. Berusahalah mengingatnya."
Halaman 508 dari 508 Nada suaranya mengandung gabungan antara kasih sayang dan amarah yang sering
digunakannya saat mengajari Takeo cara menggunakan pedang. Sekali lagi Takeo
harus mengedipkan mata agar air matanya tidak jatuh.
Sewaktu Makoto menemaninya ke griya tamu, sang biarawan berkata, "Kau ingat saat pergi
seorang diri ke sarang perompak di Oshima" Miyako tidak mungkin lebih ber?bahaya dari tempat itu!"
"Kala itu aku masih muda dan tanpa rasa takut. Aku tak percaya ada orang yang bisa
membunuhku. Kini aku sudah tua, cacat, dan rasa takutku jauh lebih banyak bukan hanya takut kehilangan
nyawaku sendiri, tapi juga nyawa anak-anakku, dan istriku, juga negara dan rakyatku, bila aku mati,
mereka tanpa perlindungan."
"Itu sebabnya yang terbaik yaitu dengan menunda jawabanmu: kirimkan pesan yang penuh
pujian, hadiah dan janji-janji. Kau selalu bertindak tanpa berpikir: semua yang kau lakukan dilakukan
dengan tergesa-gesa. " "Itu karena aku sadar kalau aku tak akan hidup lama. Hanya ada sedikit waktu untuk meraih
apa yang ingin kuraih." *** pikir panjang, dan bermimpi berada di Yamagata, di malam ia memanjat ke kastil lalu
mengakhiri penderitaan kaum Hidden yang disiksa. Dalam mimpinya, ia bergerak lagi dengan kesabaran
tanpa batas Tribe, melewati malam yang terasa tanpa akhir. Kenji mengajarinya cara membuat
waktu bergerak lambat atau mempercepatnya sesuai keinginan. Dilihat dalam mimpinya bagai?mana
dunia berubah sesuai dengan harapan-nya, dan terbangun dengan perasaan kalau semacam misteri
baru saja terangkat dari dalam dirinya, tapi juga dengan semacam kebahagiaan tiada tara, dan
dengan anehnya ia terbebas dari rasa sakit.
Saat itu hari hampir terang. Tak terdengar rintik hujan, hanya kicau burung dan tetesan sisa
air hujan dari tepi atap. Sunaomi duduk di atas matras sambil menatapnya.
"Paman" Paman sudah bangun" Bisakah kita pergi dan melihat burung houou?"
Para pengawal Arai tetap berjaga semalaman di luar, walaupun Takeo sudah meyakinkan
mereka kalau Sunaomi lak dalam bahaya. Kini mereka berdiri setengah melompat, membantu tuan
muda mereka memakai sandal, lalu mengikuti sewaktu
Takeo membimbingnya berjalan ke gerbang utama. Palang gerbang sudah dibuka sejak
matahari terbit dan sudah ditinggalkan penjaganya untuk sarapan. Setelah melewati gerbang itu,
mereka berbelok ke kanan dan mengambil jalan sempit menuju dinding sebelah luar dari dataran
biara dan berjalan naik ke lereng gunung yang curam.
Tanahnya keras dan berbatu, kerap terasa licin karena hujan. Setelah beberapa saat, salah
seorang pengawal menggendong Sunaomi. Langit tampak cerah, biru pucat, matahari baru saja terbit
di timur pegunungan. Jalannya menanjak dan menuju hutan pohon beech dan pohon ek. Hamparan
bunga liar musim panas menyelimuti per?mukaan tanah, dan burung melantunkan nyanyian dengan
saling bersahutan. Nanti udara akan terasa panas, tapi kini udara terasa sempurna, didinginkan
hujan, dan tenang. Takeo bisa mendengar gemerisik de?daunan dan kepakan sayap yang menunjuk?kan
keberadaan burung houou di dalam hutan di depan sana. Di sini, di antara pepohonan berdaun lebar,
terdapat sebuah rumput ilalang tinggi yang menjadi tempat
yang paling disukai burung-burung itu untuk bersarang dan bertelur, walaupun kabarnya
mereka makan daun bambu. Kini jalannya lebih mudah dilewati, Sunaomi meminta agar diturunkan, dan yang membuat
Takeo terkejut, anak itu memerintahkan kedua orang itu menunggu di sini sementara dia berjalan ke
depan ber?sama Lord Otori. Halaman 509 dari 509 Sewaktu mereka sudah berada di luar jangkauan pendengaran kedua pengawal itu, Sunaomi
berkata dengan nada penuh rahasia pada Takeo, "Aku pikir Tanaka dan Suzuki tidak perlu melihat
burung houou. Mungkin saja mereka ingin memburu atau mencuri telurnya. Aku pemah mendengar
kalau telur burung houou bernilai tinggi."
"Mungkin nalurimu benar," sahut Takeo.
"Mereka tidak seperti Lord Gemba dan Lord Makoto," ujar Sunaomi. "Aku tidak tahu cara
mengungkapkannya. Kedua pengawal itu bisa melihat, tapi takkan mengerti."
"Kau mengutarakannya dengan sangat baik," sahut Takeo sambil tersenyum.
Kicau penuh semangat terdengar dari atas kepala mereka, diikuti oleh jeritan parau
sebagai jawabannya. "Itu mereka," bisik Takeo, seperti biasa rasa kagum pada burung suci itu bangkit dalam
dirinya. Seruan mereka seperti juga kehadiran mereka, indah serta aneh, anggun juga canggung.
Burungburung itu memang memberi semangat sekaligus agak lucu. Ia takkan terbiasa dengan kehadiran
mereka. Sunaomi mendongak, wajahnya tampak terpesona. Lalu seekor burung melesat keluar dari
balik rimbunnya dedaunan dan me?ngepakkan sayap ke pohon berikumya.
"Itu burung jantan," tutur Takeo. "Dan ini dia yang betina."
Sunaomi tertawa gembira sewaktu burung kedua terbang menukik melintasi padang rumput,
ekornya panjang dan halus, matanya cemerlang bak kilauan emas. Bulunya berwarna-warni, dan saat
mendarat di dahan, selembar melayang jatuh.
Kedua burung itu memalingkan kepala saling berpandagan, berseru lagi, masing?masing
dengan suara yang khas melihat sebentar tapi dengan tatapan tajam ke arah kro, kemudian terbang
menjauh ke dalam hutan. "Ah!" Sunaomi menahan napas lalu
mengejar mereka, menatap ke atas tanpa memerhatikan jalan hingga dia jatuh di atas
rumput. Ketika berdiri, bulu itu berada di tangannya.
"Lihat, Paman!"
Takeo menghampiri bocah itu kemudian mengambil bulu itu. Matsuda pemah
mem?perlihatkan bulu burung houou, bersayap putih. dengan ujung bulu warna merah. Bulu itu berasal dari burung
yang pernah dilihat Shigeru ketika masih kecil, dan sejak saat itu diawetkan di biara. Bulu yang ini
berwarna kuning keemasan gelap, selain dari batang bulunya yang berwarna putih bersih.
"Simpanlah," katanya pada Sunaomi. "Bulu itu akan mengingatkanmu pada hari ini, dan
anugerah yang kau peroleh. Inilah sebabnya kami selalu mencari kedamaian, agar burung houou tidak
meninggalkan Tiga Negara."
"Aku akan berikan bulu ini ke biara," sahut Sunaomi, "sebagai sumpah bahwa kelak aku akan
kembali dan belajar pada Lord Gemba."
Anak ini baik hati, pikir Takeo. Aku akan membesarkannya sebagai putraku.*
Setelah kepergian Takeo dan Sunaomi, Taku duduk d beranda sambil menatap taman yang
basah kuyup tersiram hujan, memikir?kan semua ucapan sepupu ibunya itu. Masalah itu
mengganggunya lebih dari yang ia duga, karena hal itu dapat menjerumuskan ia dalam konflik ter buka dengan
kakaknya, sesuatu yang ia berharap bisa dihindari. Betapa bodohnya Zenko, pikirnya, dan
sedari dulu dia selalu begitu. Sama seperti ayah!
Halaman 510 dari 510 Di usia sepuluh tahun, sebelum gempa mengguncang kota, ia menyaksikan ayahnya
mengkhianati Takeo. Zenko menyalahkan Takeo atas kematian Arai, namun Taku me?nafsirkan seluruh
adegan itu dengan cara yang berbeda. Ia tahu kalau ayahnya me?merintahkan untuk membunuh ibunya:
ia tak bisa melupakan atau memaafkan niat ayahnya untuk ia dan kakaknya. Taku mengira Takeo
akan membunuh Zenko" seringkali setelah kejadian itu ia bermimpi
kalau Takeo memang membunuhnya"dan tidak pernah bisa memahami kebencian Zenko
terhadap Takeo karena membiarkan?nya tetap hidup.
Sejak kecil Taku memuja Takeo sebagai pahlawan, dan sebagai laki-laki dewasa, ia
menghormati dan mengagumi Takeo. Ter?lebih lagi, keluarga Muto telah bersumpah pada keluarga Otori: ia tak
akan melanggar sumpah itu. Bila tidak terikat oleh kewajiban pcnghormatan dan kesetiaan, ia pasti
akan sama bodohnya dengan Zenko: kedudukan di Tiga Negara adalah segala yang diingin?kanya,
memberinya kekuasaan dan status serta memungkinkan dirinya mengambil banyak keuntungan
dari semua bakatnya. Takeo juga mengajarinya semua hal yang pernah dia pelajari dari Kikuta. Taku tersenyum
pada dirinya sendiri, mengenang seringkali tertidur terkena ilmu tidur Kikuta sampai akhimya bisa
menghindarinya" bahkan sampai ia pun mampu melakukan?nya. Ada ikatan kuat antara
mereka berdua; mereka mirip dalam banyak hal, dan keduanya memahami konflik akibat darah
campuran. Namun, seorang kakak tetap saja kakak,
dan Taku dibesarkan untuk menghormati hierarki Tribe. Ia mungkin siap membunuh Zenko,
seperti yang diucapkan pada Takeo, tapi takkan menghina kakaknya dengan mengabaikan haknya
untuk mengajukan pendapat siapa yang akan menjadi kepemim?pinan keluarga Muto. Taku
memutuskan akan mengusulkan ibunya, Shizuka, keponakan Kenji. Usulan ini mungkin bisa diterima semua
pihak. Suami ibunya, tabib Ishida, akan mem?bawa anak Zenko yang satu lagi ke Hagi. Ia bisa
membawa surat atau pesan lisan kepada Shizuka. Ishida, menurut Taku, cukup bisa dipercaya.
Kelemahan utama laki-laki itu terletak pada keluguannya, seolah dia sulit memahami kekejian yang
mungkin terpendam dalam sifat manusia. Terlepas dari keberanian yang dibutuhkan untuk bisa pergi
jauh dalam penjelajahannya, secara fisik, Ishida bukan seorang pemberani, dan tidak suka
bertarung. Taku sendiri akan tetap berada di dekat Zenko dan Kono, bahkan mungkin melaku?kan
perjalanan bersama Kono ke wilayah Barat, tempat ia akan mengatur pertemuan dengan Sugita Hiroshi,
teman lamanya. Penting bagi Kono mendapat gambaran Tiga Negara yang sebenarnya untuk dibawa pulang ke
ibukota, menjelaskannya kepada Kaisar bahwa Lord Otori didukung penuh di Maruyama dan
Inuyama, sedangkan Zenko berdiri sendiri.
Cukup puas dengan keputusan ini, Taku pergi ke istal untuk melihat keadaan si kuda tua,
Ryume, yang sudah pulih dari kelelahan karena perjalanan jauh. la senang dengan apa yang
ditemukannya di sana: apa pun kesa?lahan kakaknya, pengetahuan dan kepeduli?annya pada kuda tak ada
tandingannya. Ryume sudah dibersihkan: surai dan ekornya dibersihkan dari lumpur dan tak
lagi kusut; kuda itu diberi makan cukup dan kelihatan senang. Meskipun sudah tua, Ryume masih
tetap kuda yang baik, dan perawat kuda mengaguminya secara terang-terangan, bah?kan
memperlakukan Taku dengan rasa hor?mat yang lebih besar lagi.
Taku masih mengelus-elus dan memberi?nya makan wortel sewaktu Zenko datang ke area
istal. Mereka saling menyapa dengan penuh kehangatan, karena masih ada sisa-sisa kasih sayang di
antara mereka, ikatan dari masa kanak-kanak yang sejauh ini bisa
mencegah keretakan hubungan mereka.
"Kau masih memiliki anak Raku," ujar Zenko, mengulurkan tangan dan meng?gosok-gosok alis
si kuda. Taku ingat pada rasa iri Zenko ketika mereka kembali ke Hagi pada musim semi bersama
dua kuda jantan yang tampan, satu milik Hiroshi dan satu lagi miliknya, indikasi jelas kasih sayang
Takeo pada mereka berdua, hanya semakin menekankan sikap dinginnya terhadap Zenko.
Halaman 511 dari 511 "Akan kuberikan kuda ini untukmu," ujarnya tanpa rpikir panjang. "Dia belum terlalu tua untuk
dikawinkan dan mendapat?kan anak." Selain anak-anaknya, Taku tidak bisa menawarkan
sesuatu yang lebih berharga lagi. Ia berharap kemurahan hatinya bisa melembutkan perasaan Zenko
terhadapnya. "Terima kasih, tapi aku takkan menerima?nya," sahut Zenko. "Ryume adalah hadiah dari Lord
Otori, lagipula kurasa dia sudah terlalu tua untuk punya anak."
"Seperti Lord Otori," komentarnya se?waktu mereka kembali ke kediaman, "yang harus
memiliki putra dari laki-laki yang lebih muda."
Taku sadar kalau perkataan ini semestinya
hanyalah lelucon, tapi ada nada sinis di dalamnya. Kakakku mengartikan segala se?suatunya
sebagai penghinaan, pikirnya. "Sungguh kehormatan bagimu dan istri?mu," katanya dengan ringan, tapi wajah Zenko tampak
murung. "Benarkah suatu kehormatan, atau kini mereka menjadi tawanan?" tanyanya.


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu tergantung padamu," sahut Taku. Zenko menanggapi dengan jawaban yang tidak tegas lalu
mengalihkan topik pem?bicaraan.
"Bukankah kau harus pergi ke rumah keluarga Muto untuk upacara pemakaman?" tanya Zenko
sewaktu mereka duduk di datam.
"Lord Takeo ingin mengadakan upacara di Hagi. Ibu ada di sana, dan karena tak ada jenazah
yang bisa makamkan...." "Tidak ada jenazah" Jadi Kenji mati di mana" Dan bagaimana kita tahu kalau dia memang
sudah mati" Ini bukan pertama kalinya dia menghilang demi kepentingan?nya sendiri?"
"Aku yakin Paman sudah tiada." Taku melihat kakaknya sekilas lalu melanjutkan perkataannya,
"Paman sakit parah: mungkin
meninggal akibat sakit paru-paru, tapi misi yang sedang dilaksanakannya luar biasa
ber?bahaya, dan telah mengatur untuk kembali secepatnya ke Inuyama jika berhasil. Aku katakan ini padamu
dengan penuh ke?yakinan. Kabar resminya adalah: Paman meninggal karena sakit paru-paru."
"Bukan mati di tangan Kikuta?" ujar Zenko setelah terdiam lama.
"Mengapa kau berpikir begitu?"
"Aku mungkin saja memakai nama Ayah, adikku, tapi itu tak mengubah kenyataan kalau aku
sama sepertimu, keluarga Tribe. Aku punya orang dalam di kalangan Muto" dan di kalangan Kikuta.
Semua orang tahu kalau putra Akio adalah cucu Kenji. Pasti Kenji sangat ingin bertemu
dengannya" Kenji sudah tua, kesehatannya memburuk. Akio, kabarnya, tidak pernah memaafkannya dan
juga Takeo atas kematian Kotaro. Aku hanya menarik kesimpulan dari fakta yang ada. Aku harus
melakukannya karena Takeo tak memercayaiku seperti dia memercayai?mu."
Taku merasakan kebencian dalam suara kakaknya, tapi yang mengkhawatirkannya
dibandingkan komentamya bahwa dia me miliki orang dalam di kalangan Kikuta. Benarkah itu, atau Zenko hanya membual"
Taku menanti dalam diam, melihat apa lagi yang akan Zenko ungkapkan.
"Tentu saja ada desas-desus di desa Muto mengenai anak itu," lanjut Zenko. "Bahwa Takeo
adalah ayahnya, bukan Akio." Zenko berkata dengan santai, tapi Taku tahu betul minat mendalam di
balik kata-kata itu. "Hanya Muto Yuki yang tahu pasti," sahut Taku. "Dan dia meninggal tak lama setelah anak itu
lahir." "Ya, aku ingat," kata Zenko. "Baiklah, siapa pun ayahnya, anak itu adalah cucu Kenji, dan
keluarga Muto memiliki kepen?tingan padanya. Bila aku menjadi Ketua, aku akan menghubungi Kikuta
berkaitan dengan anak itu."
Halaman 512 dari 512 "Mungkin sebaiknya kita biarkan saja pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi penerus
Kenji sampai kita membicarakannya dengan ibu," sahut Taku sopan. "Aku ngak terkejut bila harus
mengingatkanmu bahwa Ketua keluarga biasanya memiliki kemampu?an tinggi."
Kemarahan Zenko mulai meluap, matanya menyipit. "Aku memiliki banyak kemampu
an Tribe, adikku. Kemampuan-kemampuan itu mungkin tidak semenyolok kemampuan yang
kau miliki, tapi sangat efektifl!
Taku agak menunduk"dengan tidak tulus"agar kelihatan patuh, lalu mereka ber?ganti topik
pembicaraan yang lebih aman. Tak lama kemudian Lord Kono datang bergabung; menyantap
makan siang bersama kemudian pergi bersama Hana dan kedua putranya untuk melihat kirin. Setelah
itu tabib Ishida diundang ke kediaman agar bisa lebih akrab dengan Chikara sebelum
meng?ajaknya pergi ke Hagi. Ishida tampak sangat gugup bertemu Kono, dan bahkan lebih tegang lagi sewaktu sang
bangsawan bertanya tentang waktu yang pernah dilewatkannya di kediaman Lord Fujiwara. Ishida
menerima undangan itu dengan enggan, dan datang agak terlambat saat makan malam, dalam keadaan
agak mabuk. Taku sendiri merasa tegang, gelisah me?mikirkan pembicaraannya dengan Zenko dan sadar
akan semua perasaan terpendam di ruangan itu selama mereka makan. Sesuai kebiasaannya, Taku
tidak memperlihatkan-nya, ia berbincang ringan dengan Kono,
memuji Hana atas hidangannya dan kedua putranya serta berusaha menarik Ishida ke topik
pembicaraan yang tidak menyinggung, seperti adat istiadat orang-orang nomaden atau siklus
hidup ikan paus. Hubungan Taku dengan kakak iparnya agak menyakitkan hati. Taku tidak terlalu
suka ataupun percaya pada Hana tapi perempuan itu punya kecerdasan dan semangat yang tak
pernah berhenti dikaguminya"dan tak ada laki-laki yang tidak terpesona oleh kecantikannya. Kini
Taku ingat bagaimana mereka semua terpesona olehnya saat masih anak-anak-dia, Zenko dan Hiroshi.
Mereka semua mem?buntutinya ke mana pun Hana pergi bak anjing dengan lidah terjulur keluar, dan
saling bersaing untuk merebut perhatian gadis itu.
Sudah menjadi rahasia umum kalau ayah Kono lebih suka berhubungan dengan laki?laki
ketimbang perempuan, tapi Taku tak melihat apa pun yang menunjukkan ke?miripan sifat Kono dengan
ayahnya. Taku seperti melihat ketertarikan yang cukup alami di balik perhatian Kono pada Hana.
Mustahil bila tidak berhasrat pada Hana, pikirnya. dan pikirannya melayang mem
bayangkan bagaimana rasanya terbangun dalam kegelapan dengan perempuan itu di sisinya.
Hampir saja ia iri pada Zenko. "Tabib Ishidalah yang merawat ayah Anda," komentar Hana pada Kono. "Dan sekarang dia
merawat kesehatan Lord Otori."
Taku mendengar nada mendua hati sekaligus kedengkian dalam suaranya, dan hasratnya
berubah menjadi rasa tidak suka. Ia bersyukur telah pulih dari perasaan tergila?gila pada perempuan
itu"dan tidak pernah merasakannya lagi. Ia langsung berpikir tentang istrinya sendiri, yang ia tahu
bisa dipercaya dan dirindukannya. Musim panas kali ini akan berlangsung lama, dan melelah?kan.
"Dengan keberhasilan yang gemilang," sambung Zenko, "Tabib Ishida sudah sangat sering
menyelamatkan Lord Otori dari kematian."
"Ayahku selalu menghargai kemampuan Anda," ujar Kono pada Ishida.
"Anda terialu berlebihan menyanjungku. Kemampuanku biasa saja."
Taku mengira Ishida takkan berkomentar lebih banyak lagi tentang masalah ini, namun setelah
menenggak habis sake sekali lagi, si
tabib melanjutkan perkataannya, "Tentu saja kasus Lord Otori cukup mengagumkan, dari
sudut pandang seorang laki-laki seperti diriku yang tertarik pada bagaimana cara manusia berpikir."
Dia berhemi sejenak, kemudian membungkuk dan berkata dengan nada penuh rahasia. "Lord Otori
percaya tak ada yang bisa membunuh dirinya"dia telah membuat dirinya kekal."
Halaman 513 dari 513 "Bcnarkah?" gumam Kono. "Kedengaran?nya terlalu pongah. Apakah itu semacam takhayul?"
"Kurang lebih begitu. Dan sangat berguna. Ada semacam ramalan"Taku, kau ada di sana
ketika pamanmu yang malang?"
"Aku tidak ingat," sahut Taku cepat. "Chikara, bagaimana perasaanmu tentang perjalanan
lewat laut bersama kirin?" Chikara menelan ludah saat diajak bicara pamannya, dan belum sempat dia menyahut, Zenko
lalu bertanya, "Ramalan apa?"
"Bahwa Lord Otori hanya bisa mati di tangan putranya." Ishida minum lagi. "Mengapa aku
membicarakan hal itu" Oh ya, efek dari kuatnya kepercayaan itu berimbas pada tubuhnya. Dia
percaya tidak bisa di?bunuh, dan tubuhnya bereaksi dengan
sembuh dengan sendirinya."
"Mengagumkan," sahut Kono dengan sikap halus. "Lord Otori memang berhasil luput dari
banyak serangan atas dirinya. Pernahkah kau tahu kasus-kasus serupa?"
"Tentu aku tahu," sahut Ishida. "Dalam perjalanan ke Tenjiku, di sana ada orang?orang suci
yang bisa berjalan di atas api tanpa terbakar, serta berbaring di atas ranjang berpaku tanpa melukai
kulit mereka." "Kau tahu hal ini, adikku?" tanya Zenko pelan, sementara Kono mendesak Ishida menceritakan
lebih banyak banyak lagi ten- tang perjalanan-perjalanannya.
"Itu tidak lebih dari kepercayaan takhayul," sahut Taku ringan, dalam hati berharap segala
siksaan neraka menimpa si tabib yang sedang mabuk. "Keluarga Otori merupakan sasaran desasdesus."
"Kakakku, Kaede, pernah menjadi sasaran desas-desus semacam itu," timpal Hana. "Dia
seharusnya membawa kematian pada laki-laki manapun yang menginginkan dirinya, tapi Lord Takeo
terhindar dari bahaya itu. Syukur dipanjatkan pada Surga," imbuhnya, seraya melirik ke arah Taku.
Tawa yang mengikuti kata-kata Hana
selanjutnya terdengar agak kurang nyaman, karena lebih dari satu orang yang hadir di sana
mengingat kalau Lord Fujiwara me?nikahi lain Kaede secara paksa hingga bangsawan itu mati.
"Tapi semua orang tahu tentang Lima Pertempuran," lanjut Zenko. "Dan gempa bumi"'Bumi
menghantarkan apa yang diinginkan Surga.'" Dilihatnya wajah Kono yang penuh tanda tanya
lalu menjelaskan, "Ada ramalan seorang perempuan suci, yang dipastikan oleh kemenangan Takeo
dalam perang. Gempa bumi itu di percaya sebagai pertanda dari Surga, yang berpihak kepada?nya."
"Ya, begitulah yang aku dengar," sahut Kono, dengan nada mengejek. "Alangkah enaknya bagi
sebuah kemenangan memiliki ramalan yang berguna." Dia minum lalu bicara dengan lebih
serius, "Di ibukota gempa bumi biasanya dianggap sebagai hukuman atas tindak kejahatan, bukan
anugerah." Taku tidak tahu apakah harus bicara dan memberi tahu Kono di mana kesetiaannya berpihak,
atau diam saja dan kelihatan men?dukung kakaknya. Ishida menyelamatkannya
yang bicara dengan perasaan yang meluap?luap. "Gempa itu menyelamatkan nyawaku. Dan
nyawa istriku. Menurutku, kejahatan telah mendapatkan balasannya."
Air matanya mengambang, lalu diseka dengan lengan baju. "Maaf, aku tak ber?maksud
menghina kenangan tentang kedua ayah kalian." Lalu dia berpaling ke arah Hana. "Aku harus
beristirahat. Aku lelah sekali. Kuharap kalian memaafkan orang tua ini."
"Tentu saja, Ayah," ujar Hana, bicara padanya dengan sopan, karena Ishida adalah ayah tiri
suaminya. "Chikara, antar kakek ke kamar dan minta pelayan membantunya."
"Aku khawatir dia sudah terlalu banyak minum," Hana minta maaf pada Kono setelah Chikara
membantu si tabib berdiri dan pergi.
Halaman 514 dari 514 "Ishida, laki-laki yang menarik. Aku menyesal dia harus pergi ke Hagi. Kuharap bisa berbincang
banyak dengannya. Kurasa dia lebih mengenal ayahku ketimbang orang lain yang masih
hidup." Dan beruntung dia tidak mati seperti ayahnya, pikir Taku.
"Ramalan yang menarik bukan?" tanya
Kono. "Kurasa, Lord Otori tidak memiliki putra."
"Beliau memiliki tiga putri," sahut Taku.
Zenko tertawa, ledakan tawa yang me?ngandung konspirasi jahat. "Secara resmi," tambahnya.
"Ada lagi desas-desus tentang Takeo... tapi aku harus bertindak bijak!"
Kono menaikkan alisnya. "Wah, wah!" komentarnya.
Paman, apa yang harus kulakukan tanpa dirimu" pikir Taku.*
Miyoshi Kahei menemani Takeo ke Hagi bersama putra sulungnya, Katsumori. Hagi adalah kota
kelahirannya, dan gembira bisa bertemu dengan sanak saudaranya. Sebaliknya, Takeo tahu
kalau ia membutuhkan saran Kahei tentang cara terbaik menghadapi ancaman yang makin besar dari
ibukota, Miyako. Dari Kaisar dan jenderalnya, bagai?mana ia menghabiskan musim dingin untuk
mengadakan persiapan. Sulit memikirkan tentang musim dingin saat ini, di akhir musim hujan plum*, di mana hawa
panas masih lerjadi. Kecemasan lain yang harus dipikirkan sebelum perang adalah panen, wabah
penyakit menular, dan penyakit akibat cuaca panas, penyimpanan cadangan air untuk berjaga-jaga
kalau terjadi kekeringan di akhir musim panas. Tapi
__________________________
* Hujan plum adalah hujan yang terjadi saat musim buah plum (Juni-Juli). Fenomena cuaca ini
melanda pantai timur Cina, melintasi Taiwan lalu ke timur sampai ke selatan pasifik Jepang. Dalam bahasa
Jepang discbut meiyu dan baiu. [pent.] semua masalah ini tak lagi terasa mendesak sewaktu memikirkan kalau tak lama lagi ia akan
bertemu Kaede dan ketiga putrinya.
Mereka berkuda menyeberangi jembatan batu di senja hari bermandikan rintik hujan disertai
cahaya matahari. Takeo sadar pakai?annya terasa lembap: begitu sering pakaian?nya basah kuyup
sampai menempel di kulit selama perjalanan hingga nyaris tidak ingat bagaimana rasanya kering.
Bahkan tempat penginapannya pun terasa lembap, berbau lembap dan jamur.
Di atas laut, langit cerah biru berubah kuning di bagian barat saat matahari ter?benam.
Pegunungan di belakangnya tertutup awan tebal, dan guntur bergemuruh sehingga kuda-kuda terkejut
dalam kelelahan. Kuda tunggangannya udaklah istimewa; ia merindukan kuda lamanya, Shun, dan bertanyatanya
apakah bisa menemukan kuda seperti itu. Ia akan bicara pada Mori Hiroki tentang kuda, dan
juga pada Shigeko. Bila mereka harus berperang, maka akan dibutuh?kan lebih banyak kuda... tapi
ia tidak ingin berperang. Miyoshi bersaudara meninggalkannya di depan gerbang. Turun dari kuda di dinding
luar utama kastil: kuda-kuda diiuntun pergi, dan hanya mengajak Sunaomi, Takeo ber?jalan
melewati taman. Kabar sudah tersiar lebih dulu ke kastil. Kaede menantinya di beranda panjang yang
Halaman 515 dari 515 mengelilingi ke-diaman. Suara laut memenuhi udara, dan seruan burung dara terdengar dari
atap rumah. Wajah Kaede bersinar gembira.
"Kami tak menduga kau kembali begitu cepat! Kau berkuda dalam cuaca yang begitu buruk!
Kau pasti kelelahan. Dan basah kuyup."
Indahnya hardikan sayang istrinya mem?bangkitkan perasaan begitu kuat dalam diri Takeo
hingga

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesaat ingin berdiri di sana untuk selamanya. Lalu perasaan itu berganti dengan hasrat untuk
memeluknya, melarut-kan diri dalam dekapannya. Namun kabar pertama harus segera
disampaikan, pada Kaede, pada Shizuka.
Shigeko berlari menghampiri dari dalam kediaman. "Ayah!" pekiknya, lalu berlutut untuk
melepaskan sandal lakeo. Kemudian dia melihat Sunaomi yang tengah berdiri malu-malu di belakang.
"Benarkah ini sepupu kami?" tanyanya. "Ya, Sunaomi akan tinggal bersama kita
selama beberapa waktu."
"Sunaomi!" seru Kaede. "Tapi kenapa" Apakah ibunya baik-baik saja" Apakah ada sesuatu
terjadi pada Hana?" Takeo melihat kecemasan Kaede dan ber?tanya-tanya seberapa banyak yang dapat ia
ceritakan tentang kecurigaannya. "Hana baik-baik saja," sahut Takeo. "Nanti kuceritakan alasan kunjungan Sunaomi."
"Tentu saja. Ayo masuk. Kau harus segera mandi, dan mengganti pakaian yang kering. Lord
Takeo, kau pikir masih berusia delapan betas tahun" Kau sama sekali tak memikirkan kesehatanmu!"
"Shizuka ada di sini?" tanyanya saat Kaede membimbingnya di beranda menuju bela?kang
kediaman, tempat sebuah kolam dibuat di sekeliling mata air panas.
"Ya, apa yang terjadi?" Kaede mendongak sekilas ke wajah Takeo lalu berkata, "Shi?geko,
katakan pada Shizuka untuk segera me?nemui kami. Minta pelayan untuk mem?bawakan pakaian
untuk ayahmu." Wajah Shigeko tampak serius selagi mem?bungkuk normal lalu meninggalkan mereka. Takeo
bisa mendengar langkah ringan putri
nya di lantai papan; terdengar olehnya Shigeko bicara pada kedua adiknya. "Ya, ayah sudah
pulang. Tapi kalian belum boleh menemuinya. Ayo ikut aku. Kita harus me?nemukan Shizuka."
Mereka hanya berdua. Sinar matahari keluar dari sela-sela bunga-bunga dan semak?semak. Di
sekeliling kolam dan sungai, bunga iris tampak berkilauan. Langit dan laut berbaur menjadi
satu dalam kabut senja. Satu demi satu api dan lentera di sekitar teluk mulai dinyalakan dalam
kegelapan. Kaede tidak bicara sepatah kata pun sewaktu melepaskan pakaian Takeo.
"Muto Kenji sudah tiada," kata Takeo.
Kaede mengambil air dari kolam dengan ember bambu dan mulai memandikan suaminya.
Takeo melihat air mata meng?genang di mata istrinya lalu mulai berlinang di pipinya. Sentuhannya
menenangkan. Tiap jengkal tubuhnya terasa sakit. Takeo ingin Kaede melingkarkan tangan
lalu memeluk?nya, tapi ia harus bicara dulu pada Shizuka.
Kaede berkata, "Suatu kehilangan yang menyakitkan. Bagaimana kejadiannya" Apa?kah dia
meninggal karena sakit?"
Takeo mendengar dirinya berkata, "Se
pertinya begitu. Dia mengadakan perjalanan sampai keluar perbatasan. Tak ada kabar yang
jelas. Taku mengabarkan hal ini padaku di Hofu."
Ia tidak berlama-lama di dalam air panas seperti yang ia inginkan, dan segera keluar dan
berpakaian secepatnya. "Aku harus bicara berdua dengan Shizuka."
Halaman 516 dari 516 "Tentunya tak ada yang kau rahasiakan padaku?"
"Hanya masalah Tribe," sahutnya. "Kenji adalah Ketua Muto. Shizuka harus memilih
penggantinya. Hal ini tak bisa dibicarakan dengan orang luar."
Dilihatnya kalau Kaede tidak senang, kalau istrinya masih ingin bersamanya.
"Ada banyak hal lain yang perlu kita bicarakan," tutur Takeo untuk meredam kemarahan
Kaede. "Saat kita hanya berdua, aku akan menceritakan tentang Sunaomi, dan kunjungan putra Lord
Fujiwara..." "Baiklah, Lord Takeo. Akan kusiapkan makan untukmu," sahut Kaede lalu mening?galkannya.
Ketika Takeo kembali ke ruang utama, Shizuka sudah ada di sana. Takeo langsung
bicara tanpa salam lebih dulu. "Kau tentu sudah bisa menduga kenapa aku di sini. Aku pulang
membawa kabar bahwa pamanmu telah tiada. Taku datang ke Hofu untuk mengabarkannya,
dan kukira kau harus segera tahu."
"Kabar seperti itu tidak pernah disambut baik," sahut Shizuka dengan nada resmi, "tapi
bukannya tidak diharapkan. Terima kasih, sepupu, atas keprihatinanmu, atas sikapmu menghormati
pamanku." "Kurasa kau sudah tahu seberapa besar arti Kenji bagiku. Tak ada jenazah, tapi kita akan
menghormatinya dengan mengadakan upa?cara di sini atau di Yamagata, di mana pun
menurutmu yang paling sesuai."
"Kukira kemungkinan paman meninggal di Inuyama," sahutnya perlahan. "Paman tinggal di
sana, kan?" Tak seorang pun tahu misi yang dilakukan Kenji kecuali ia dan Taku. Kini Takeo menyesal
mengapa tidak memberitahu Shizuka sebelumnya. "Mendekatlah," kata?nya. "Aku harus ceritakan
semua yang aku tahu karena hal itu memengaruhi Tribe."
Belum sempat Shizuka bergerak men?dekat, seorang pelayan datang membawa teh.
Shizuka menuangkannya untuk Takeo. Selagi Takeo minum, Shizuka bangkit, me?lihat ke
sekeliling ruangan dengan cepat, membuka pintu lemari, kemudian melang?kah ke beranda dan
mengintip di bawahnya. Dia kembali dan duduk di hadapan Takeo, lutut mereka saling berhadapan. "Apakah kau
dengar ada orang di dekat sini?"
Takeo memasang telinga, "Tidak, tidak ada orang lain."
"Kedua putrimu mulai mahir menguping, dan bisa bersembunyi di tempat yang paling sempit
sekalipun." "Terima kasih. Aku tak ingin putriku atau istriku mendengar pembicaraan kita. Kukata?kan
pada Kaede kalau Kenji meninggal karena penyakit; kalau Kenji mencari obat sampai keluar
perbatasan wilayah Timur." "Dan yang sebenarnya?"
"Kenji pergi berunding dengan Kikuta. Setelah peristiwa di Inuyama, kami pikir bisa
memanfaatkan anak-anak Gosaburo untuk menekan mereka agar mau berdamai." Takeo menghela napas, lalu
melanjutkan bicara. "Kenji ingin bertemu anak Yuki, cucunya. Taku hanya tahu kalau Yuki
meninggal di desa Kikuta tempat Akio dan anak itu
bersembunyi selama beberapa tahun ini." "Takeo, kau harus ceritakan semua ini pada
Kaede..." Tidak dibiarkannya Shizuka melanjutkan kata-katanya. "Ini kuceritakan karena me?nyangkut
masalah keluarga Muto yang kini menjadikanmu anggota yang dituakan. Kaede atau orang lain di luar
Tribe tidak perlu tahu." "Lebih baik dia mendengar tentang anak?mu itu dari mulutmu ketimbang dari orang lain,"
sahut Shizuka. Halaman 517 dari 517 "Aku sudah menyimpannya rapat-rapat begitu lama hingga tak tahu bagaimana
memberitahukannya. Semua tudah berlalu: anak itu putra Akio; putriku adalah pewaris?ku. Untuk saat ini, ada
pertanyaan mengenai keluarga Muto dan Tribe. Kenji dan Taku bekerjasama dengan baik: ilmu dan
ketrampilan yang Kenji miliki tak ada bandingnya. Taku memiliki kemampuan yang hebat, tapi kurasa kau
sependapat kalau ada semacam kegoyahan dalam dirinya: aku ragu apakah dia cukup dewasa
untuk me?mimpin Tribe. Zenko adalah putra sulung?mu, dan pewaris langsung Kenji, dan aku tak
ingin menghina atau mengganggunya, atau
memberinya dalih untuk..." Takeo berhenti bicara.
"Untuk apa?" Shizuka menyela.
"Baiklah, kurasa kau tahu betapa mirip sifat putramu dengan ayahnya. Aku khawatir dengan
niatnya. Aku tidak bermaksud mem?biarkannya mengembalikan kita dalam perang saudara lagi." Takeo
bicara dengan nada serius, lalu tersenyum dan meneruskan dengan nada lebih ringan. "Maka aku
meng?atur agar kedua putranya menghabiskan waktu bersama kita. Kurasa kau ingin
ber?temu cucumu." "Aku sudah bertemu Sunaomi," tutur Shizuka. "Tentu saja ini sangat menyenang?kan. Apakah
Chikara juga akan datang?"
"Suamimu akan membawanya dengan kapal, bersama makhluk luar biasa yang dia disebut
kirin," sahut Takeo. "Ah, Ishida sudah kembali; aku senang mendengarnya. Kukatakan yang sebenarnya, Takeo, aku
sudah senang dengan hidupku yang tenang, mendampingi Kaede dan anak?anakmu, istri dari
tabibmu. ..tapi rasanya kau hendak membuat tuntutan lain padaku."
"Kau masih cepat tanggap seperti biasa," sahut Takeo. "ingin kau menjadi pemimpin
Muto. Taku akan bekerjasama denganmu seperti yang dia lakukan bersama Kenji, dan Zenko
tentu akan tunduk padamu."
"Pemimpin keluarga disebut Ketua," Shizuka mengingatkan. "Dan belum pernah ada Ketua
perempuan!" tambahnya.
"Kau bisa menyebutnya apa saja. Itu akan menjadi contoh yang baik. Aku hendak
memperkenalkannya ke wilayah lokal juga: kita akan memulai dengan Negara Tengah lalu kita
sebarkan ke luar. Sudah banyak area di mana perempuan dengan kebaikan dan kemampuan
dapat menggantikan posisi suaminya. Mereka akan diakui dan diberi wewenang yang sama seperti
laki-laki." "Jadi kau akan memperkuat negara ini dari akar, dan para ksatria akan mendukung putrimu?"
"Bila Shigeko menjadi satu-satunya penguasa perempuan, dia juga harus bersikap layaknya
laki-laki. Bila perempuan lain berada di puncak kekuasaan, kita mungkin bisa melihat perubahan
mengalir ke seluruh Tiga Negara."
"Kau masih saja senang berkhayal, sepupuku!" sahut Shizuka seraya tersenyum, terlepas dari
penderitaan yang ditanggung
nya. "Kau mau melakukannya, kan?"
"Baiklah, sebagian karena pamanku pernah mengisyaratkan bahwa hal ini juga keinginannya.
Dan setidaknya sampai Taku mantap dan Zenko sadar. Kurasa dia akan sadar, Takeo, dan terima
kasih atas tindakan?mu yang berhati-hati padanya. Namun apa pun hasilnya nanti, keluarga Muto
akan tetap setia padamu dan keluargamu." Shizuka membungkuk hormat dengan sikap resmi. "Aku
bersumpah padamu sekarang, Lord Otori, sebagai pemimpim mereka."
"Aku tahu apa yang telah kau lakukan untuk Lord Shigeru dan keluarga Otori. Aku berhutang
banyak padamu," ujar Takeo dengan penuh perasaan.
"Aku senang kita bisa bicara berdua," imbuh Shizuka, "karena kita harus mem?bicarakan
tentang si kembar. Aku berharap bisa bertanya pada pamanku mengenai se?suatu yang baru saja terjadi,
tapi mungkin kau tahu cara mengatasinya."
Halaman 518 dari 518 Diceritakannya pada Takeo mengenai peristiwa yang terjadi pada kucing, bagai?mana kucing
itu tertidur dan tak pernah bangun lagi.
"Aku tahu Maya memiliki kemampuan ini," tutur Shizuka, "karena dia pemah mem?perlihatkan
tandatandanya selama musim semi. Satu atau dua kali aku bahkan pusing ketika dia menatapku. Tapi tak
seorang pun dari keluarga Muto tahu tentang sihir tidur Kikuta, meskipun banyak takhayul
yang ber?kaitan dengan hal itu."
"Kemampuan itu seperti obat yang sangat mujarab," sahut Takeo. "Sedikit akan
menguntungkan, tapi jika terlalu banyak justru bisa menyebabkan kematian. Orang membuat diri mereka terbuka
pada kemam?puan itu karena kelemahan diri mereka sendiri, karena kurangnya pengendalian diri
mereka. Aku diajarkan untuk mengendali?kannya di Matsue"dan di sana aku belajar bahwa Kikuta tak
pernah menatap langsung anak-anak mereka karena seorang anak tidak dapat melawan tatapan itu.
Kurasa seekor kucing kecil sama lemahnya. Aku belum pernah mencobanya pada kucing, hanya pada
anjing"dan aku sudah mahir melakukan?nya."
"Kau belum pernah mendengar per?pindahan antara orang yang sudah mati dengan orang yang
membuat mereka tertidur?" Pertanyaan itu membuat bulu kuduk Takeo berdiri. Hujan mulai turun lagi, dan kini
gemuruhnya semakin keras di atap. "Biasanya bukan sihir tidur yang mampu membunuh," tuturnya dengan hati-hati. "Digunakan
hanya untuk melemahkan: kematian pasti disebabkan oleh hal lain."
"Itu yang mereka ajarkan padamu?"
"Mengapa kau menanyakan hal ini?"
"Aku mencemaskan Maya. Dia menunjuk?kan tanda-tanda kerasukan. Ini pernah ter?jadi di
keluarga Muto, kau tahu; Kenji dijuluki Si Rubah saat masih muda: kabarnya dia pernah kerasukan roh
rubah" bahkan menikah dengan seekor rubah"tapi selain pamanku, aku tidak tahu ada perubahan
bentuk yang pernah terjadi. Hampir seolah Maya yang menarik roh kucing itu masuk ke dalam dirinya.
Semua anak suka bertingkah seperti hewan, tapi seharusnya mereka lebih manusiawi ketika mulai
dewasa; Maya justru sebaliknya. Aku tidak membicarakan hal ini pada Kaede; Shigeko sudah curiga ada
yang tidak beres. Aku senang kau sudah kembali."
Takeo mengangguk, merasa gelisah dengan kabar ini. "Cucu-cucumu tidak me
nunjukkan tanda-tanda ketrampilan Tribe," komentarnya.
"idak, dan aku cukup lega. Biarlah mereka menjadi putra Zenko, ksatria. Kenji mengatakan
bahwa kemampuan itu akan menghilang dalam dua generasi. Mungkin, dalam diri si kembar kita
menyaksikan pancaran sinar yang terakhir sebelum lentera?nya padam."
Pancaran sinar yang terakhir ini bisa mem?buat bayangan-bayangan aneh, pikir Takeo.
*** Tak seorang pun mengganggu selama mereka berbincang-bincang: setengah sadar ia seperti
mendengar ada tarikan napas, bunyi sambungan papan yang bergerak, langkah ringan yang
menandakan ada yang menguping. Tapi saat memerhatikan lagi, yang terdengar hanyalah
siraman air hujan, halilintar di kejauhan, dan hempasan ombak.


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ketika mereka selesai, dan Takeo berjalan ke kamar Kaede di koridor yang mengkilap,
ia mendengar suara luar biasa di depannya, semacam raungan dan geraman, setengah manusia
dan setengah hewan. Kemudian terdengar suara memekik ke
takutan, dan derap langkah kaki. Takeo ber?belok di sudut dan Sunaomi menabrak-nya.
"Paman! Maaf!" Bocah itu tertawa cekikikan kegirangan. "Macan itu ingin me?nangkapku!"
Halaman 519 dari 519 Awalnya Takeo melihat bayangan di kertas kasa. Sesaat terlihat jelas olehnya sosok tubuh
manusia, dan satu sosok lagi di belakangnya dengan telinga rata, kuku yang siap mencakar dan kibaskan
ekor. Lalu si kembar datang berlarian dari sudut, dan mereka berdua hanyalah anak perempuan
biasa, bahkan saat sedang menggeram. Mereka langsung ber?henti mematung ketika melihat
ayahnya. "Ayah!" "Itu dia macannya!" jerit Sunaomi.
Miki melihat wajah ayahnya, menarik lengan baju Maya lalu berkata, "Kami cuma main-main."
"Kalian sudah terlalu besar untuk per?mainan seperti itu," ujarnya, menyembunyi?kan
kekhawatirannya. "Bukan begini caranya menyambut ayah kalian. Ayah berharap me?nemukan
kalian tumbuh menjadi perempuan muda."
Seperti biasa, rasa tidak senang sang ayah menciutkan nyali mereka.
"Maaf," kata Miki.
"Maafkan kami, Ayah," ujar Maya me?mohon, tanpa sedikit pun sisa geraman macan dalam
suaranya. "Ini salahku juga," imbuh Sunaomi. "Semestinya aku sudah tahu. Lagipula, mereka hanyalah
anak perempuan." "Ayah tampaknya perlu bicara serius dengan kalian berdua. Di mana ibu kalian?"
"Ibu sedang menunggu Ayah. Kata ibu mungkin kami boleh makan bersama Ayah," bisik Miki.
"Baiklah, Ayah kira kita harus menyambut kedatangan Sunaomi. Kalian boleh makan bersama
kami. Tapi tidak ada lagi permainan berubah menjadi macan!"
"Tapi manusia seharusnya mengumpan?kan diri mereka pada macan," ujar Maya selagi mereka
berjalan di sampingnya. "Shigeko yang menceritakan itu pada kami."
Maya tidak bisa menahan untuk berbisik pada Sunaomi, "Dan yang paling disukai macan adalah
anak laki-laki." Merasa jera atas teguran pamannya, Sunaomi tidak menyahut.
Takeo bermaksud untuk berbicara dengan si kembar malam ini, tapi seusai makan
malam, ia merasa kelelahan dan keinginan berdua saja dengan Kaede. Kedua putri kembarnya
bersikap sempurna selama makan malam, bersikap baik pada sepupu mereka, dan sopan pada
orangtua dan kakak sulung mereka.
*** Saat ini Takeo menatap Kaede di bawah keremangan cahaya lentera, tampak lekuk tulang pipi
dan siluet istrinya. Jubah tidur membungkus tubuh Kaede yang duduk bersila di matras, tubuh
rampingnya tampak putih samar-samar dengan selimut sutra. Takeo berbaring dengan kepala di pangkuan
Kaede, merasakan panas tubuh istrinya, mengenang dulu ia sering berbaring seperti ini pada ibunya
saat kecil. Rambutnya dibelai lembut oleh Kaede sampai ke leher, me?lemaskan syarafnya yang
tegang. Mereka hanyut dalam perasaan cinta, tak lama setelah hanya berdua, nyaris tanpa kata?kata,
mencari kedekatan serta meleburkan diri dalam kesatuan, senantiasa begitu akrab. Mereka
berbagi kesedihan atas kematian Kenji tanpa suara, atau perasaan terasing dari rahasia Takeo tentang
Tribe atau pun kekhawatiran tentang putri mereka. Semua kecemasan ini kian membakar keintiman tanpa
kata-kata dari hasrat mereka dan seperti biasa, ketika hasrat mereda, bak mukjizat, pemulihan pun
terjadi: sikap dingin Kaede menguap; kesedihan Takeo seperti bisa dilalui.
Banyak hal yang mesti dibicarakan. Pertama tentang kecurigaan terhadap Zenko dan alasan ia
membawa kedua putra Arai ke rumah mereka.
Halaman 520 dari 520 "Tentu kau takkan mengangkat mereka secara sah menurut hukum, kan?" seru Kaede.
"Bagaimana jika aku melakukannya?"
"Aku menganggap Sunaomi seperti anak kandungku"tapi Shigeko akan tetap menjadi
pewarismu?" "Ada banyak kemungkinan: bahkan pernikahan, saat dia cukup dewasa. Aku tak ingin
melakukannya dengan tergesa-gesa. Semakin lama kita menunda keputusan, semakin besar kemungkinan
Zenko tersadar dan tenang. Tapi aku khawatir dia didukung Kaisar dan para pendukungnya di wilayah
Timur. Kita harus berterima kasih pada penculikmu untuk hal itu!"
Diceritakannya tentang penemuannya dengan Lord Kono. "Mereka mencap diriku sebagai
penjahat. Karena Fujiwara adalah kerabat Kaisar sehingga dia terbebas dari kejahatannya!"
"Kuatnya tekadmu soal sistem keadilan mungkin telah membuat mereka ketakutan," kata
Kaede. "Karena hingga saat ini tak seorang pun berani mencela atau meng?hukum orang seperti
Fujiwara. Aku tahu dia bisa saja membunuhku tanpa berpikir panjang. Tak seorang pun berani menolak
perintahnya, tidak ada yang berpikir kalau apa yang dilakukannya salah. Perasaan laki?laki
tidak lebih berharga dari sebuah lukisan atau jambangan berharga"karena dia bisa membunuh
perempuan dengan entengnya seolah hanya menghancurkan salah satu hartanya"aku nyaris tidak bisa
mengung?kapkan dengan kata-kata betapa sikapnya melemahkan keinginanku dan membuat
tubuhku serasa lumpuh. Kini pembunuhan atas perempuan di Tiga Negara akan dihukum sama
seperti pembunuhan terhadap laki-laki, dan tidak ada orang yang bisa lolos dari keadilan
hanya karena derajat mereka. Keluarga-keluarga ksatria kita lelah me
nerimanya, namun di luar perbatasan kita, baik itu ksatria maupun bangsawan akan
menganggap hukum sebagai penghinaan.
"Kau mengingatkan betapa banyak hal yang dipertaruhkan. Aku takkan mengun?durkan diri
seperti permintaan Kaisar, tapi aku juga tak ingin terjadi peperangan. Namun bila kita memang harus
berperang di wilayah Timur, maka makin cepat makin baik." Takeo menceritakan tentang
senjata api, dan misi Fumio. Tentu saja Kahei berpikir kita harus segera bersiap: kita punya waktu untuk
membangun kekuatan sebelum musim dingin. Tapi di Terayama semua Guru Besar
menentangnya. Mereka mengata?kan kalau aku harus pergi ke ibukota musim semi depan bersama Shigeko,
dan semua masalah akan terpecahkan."
Takeo mengernyitkan dahi. Kaede meng?gosokkan jari di dahi Takeo, menghaluskan garis-garis
kerutannya. "Gemba memiliki serangkaian tipuan baru," ujarnya. "Tapi kukira akan mem?butuhkan lebih
dari sekadar itu untuk meredam nafsu kekuasaan jenderal Kaisar, Saga Hideki, Si Pemburu
Anjing."** Keesokan harinya dilakukan persiapkan upacara pemakaman Kenji, dan mendiktekan suratsurat.
Minoru dibuat sibuk seharian, menulis surat untuk Zenko dan Hana bahwa Sunaomi tiba
dengan selamat; surat kepada Sugita Hiroshi, memintanya datang ke Hagi secepat mungkin; surat
kepada Terada Fumifusa, mengabarkan tentang kepulangan Takeo dan keberadaan putranya, Fumio,
dan terakhir surat kepada Sonoda Mitsuru di Inuyama, memberitahukan bahwa belum ada
Keputusan mengenai nasib kedua sandera; masalah ini akan dibicarakan pada per?temuan mendatang.
Kaede memberitahukan pada Takeo dan Minoru tentang semua masalah terbaru yang
berkaitan dengan kota Hagi dan penduduk?nya. Minoru mencatat dengan hati-hati ten- tang Keputusan
yang akan diambil. Di pengujung hari yang panjang, panas serta melelahkan, Takeo pergi mandi,
dan me Halaman 521 dari 521 ngirim perintah agar putri kembarnya datang menghadapnya ke sana.
Mereka menyelinap masuk ke air beruap dengan tubuh telanjang: badan mereka tak lagi
seperti badan anak-anak, rambut mereka panjang dan tebal. Sikap mereka lebih tenang dari
biasanya, jelas masih belum yakin apa?kah Takeo sudah memaafkan tingkah mereka pada hari sebelumnya.
"Kalian kelihatan lelah," kata Takeo. "Ayah berharap kalian bekerja keras hari ini."
"Shizuka galak sekali hari ini," Miki meng?hela napas. "Dia bilang kami perlu lebih disiplin."
"Dan Shigeko memaksa kami menulis begitu banyak," keluh Maya. "Jika aku tidak punya jari
seperti Ayah, apakah Lord Minoru akan menulis untukku?"
"Ayah dulu belajar menulis, maka kalian pun begitu," sahutnya. "Dan menulis jauh lebih sulit
bagi Ayah karena usia Ayah sudah lebih tua. Makin muda, makin mudah belajar. Bersyukurlah kalian
memiliki guru yang sangat baik!" Nada suaranya terdengar tegas.
Miki memegang-megang bekas luka ayahnya yang melintang dari leher samping
ke dada. Takeo bicara dengan suara lebih lembut. "Banyak hal dituntut dari kalian. Kalian harus belajar
cara ksatria, begitu pula dengan semua rahasia Tribe. Ayah tahu itu tidak mudah. Kalian memiliki
banyak bakat: kalian harus hati-hati menggunakannya."
Miki berkata, "Karena kejadian pada kucing itu?"
"Coba ceritakan," sahut Takeo.
Si kembar saling bertukar pandang tanpa bicara.
Takeo berkata, "Kalian adalah darah daging Ayah. Kalian ditandai, seperti juga Ayah, sebagai
Kikuta. Tidak ada yang tidak bisa kalian ceritakan pada Ayah. Maya, apa yang terjadi pada kucing itu?"
"Aku tak bermaksud menyakiti," Maya mulai bicara.
"Jangan bohong," Takeo memperingatkan.
Maya meneruskan, "Aku ingin melihat apa yang akan terjadi." Suaranya kedengaran serius;
menatap lurus pada Takeo. Kelak Maya ingin menantang tatapan ayahnya. "Aku marah sekali dengan
Mori Hiroki." "Hiroki menatap kami," Miki menjelas?kan. "Semua begitu. Seolah kami ini setan."
"Dia menyukai Shigeko dan tidak menyukai kami," tutur Maya.
"Sama seperti semua orang," ujar Miki, dan seolah diamnya Takeo melepaskan ses?uatu dalam
dirinya, Miki menangis. "Kami dibenci karena kami kembar!"
Si kembar jarang menangis. Satu lagi sifat yang membuat mereka nampak tidak wajar.
Maya juga menangis. "Ibu juga membenci kami karena ibu menginginkan anak laki?laki, dan
bukannya dua anak perempuan!"
"Chiyo yang bilang pada kami," Miki menelan ludah.
Takeo merasa hatinya remuk redam karena kesedihan. Memang mudah menya?yangi putri
sulungnya, tapi ia lebih menya?yangi si kembar karena mereka tidak mudah disayangi, dan
juga merasa iba pada mereka. "Kalian sangat berharga bagi ayah," sahut?nya. "Ayah merasa gembira karena kalian kembar
dan kalian anak perempuan. Ayah lebih senang anak perempuan ketimbang semua anak laki-laki di
dunia ini." "Saat Ayah ada di sini, kami merasa aman. dan kami tak ingin melakukan hal-hal yang buruk.
Tapi Ayah sering pergi jauh."
"Ayah ingin mengajak kalian"tapi tidak
Halaman 522 dari 522 selalu bisa. Kalian harus bersikap baik bahkan saat Ayah tidak ada di sini."
"Orang-orang seharusnya tidak boleh menatap kami," ujar Maya.
"Maya, mulai saat ini kau yang harus berhati-hati saat menatap. Kau sudah tahu ceritanya"
Ayah sudah sering ceritakan padamu"tentang pertemuan Ayah dengan raksasa Jin-emon?" tanya
Takeo. "Ya," sahut mereka serempak dengan penuh semangat.
"Ayah menatap matanya dan dia tertidur. Itulah sihir tidur Kikuta yang berguna untuk
melumpuhkan musuh. Itulah yang kau laku?kan pada kucing itu, Maya. Tapi Jin-emon bertubuh besar,
setinggi gerbang kastil serta lebih berat dari banteng. Kucing bertubuh kecil, dan masih muda, dan
sihir tidur itu membunuhnya." "Kucing itu tidak benar-benar mati," tutur Maya, bergerak mendekati lalu bergelayut di lengan
kiri ayahnya. "Kucing itu men?datangiku."
Takeo berusaha tak menunjukkan ke?kagetannya, tak ingin membungkam putri?nya.
"Kucing itu datang tinggal bersamaku,"
ujar Maya. "Kucing itu tidak keberatan. Karena sebelumnya kucing itu tidak bisa bicara, kini
dia bisa bicara. Dan aku pun tidak keberatan. Aku suka kucing itu. Aku suka menjadi kucing."
'Tapi Jin-emon tidak mendatangi Ayah, kan?" tanya Miki. Bagi mereka hal ini tidak lebih aneh
dibandingkan dengan kemampu?an menghilang, atau sosok kedua, dan mungkin tidak lebih
berbahaya. "Tidak, karena akhirnya Ayah menggorok tenggorokannya dengan Jato. Dia mati karena
digorok, bukan karena sihir tidur itu."
"Apa Ayah marah dengan kejadian kucing itu?" tanya Maya.
Takeo tahu kalau mereka percaya padanya, dan ia tak ingin kehilangan kepercayaan itu, juga
sadar kalau mereka bersifat pemalu layaknya hewan liar yang dapat kabur dalam sekejap.
Terkenang masamasa penuh pen?deritaan selama bersama Kikuta. kekejaman dalam pelatihannya.
"Tidak. Ayah tidak marah," sahut Takeo dengan tenang.
"Shizuka marah sekali," gumam Miki. "Tapi Ayah harus tahu semuanya agar bisa melindungi
kalian, dan menghentikan kalian agar tak menyakiti orang lain. Ayah adalah orangtua dan juga senior kalian dalam keluarga
Kikuta. Kalian berhutang kepatuhan pada Ayah dalam kedua hal itu."
"Kejadiannya begini," tutur Maya. "Aku marah pada Mori Hiroki. Kulihat betapa sayangnya dia
pada kucing itu. Aku ingin dia membayar perbuatannya karena tidak mau menatap kami. Dan
kucing itu manis sekali. Aku ingin bermain dengannya. Maka kutatap matanya, dan aku tidak bisa
berhenti menatapnya. Kucing itu lucu, dan aku ingin menyakiti Hiroki, dan aku tak bisa
meng?hentikannya." Maya berhenti, menatap tak berdaya ke arah Takeo.
"Teruskan," ujarnya.
"Aku menariknya masuk. Dari tatapan matanya, melalui tatapan mataku. Kucing melompat
masuk ke dalam diriku. Kucing itu melolong dan mengeong. Tapi aku tidak bisa berhenti menatapnya.
Kemudian kucing itu mati. Tapi dia masih hidup."
"Lalu?"

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu Mori Hiroki sedih, dan itu mem?buatku senang." Maya menghela napas panjang, seolah
habis susah mengingat pelajaran yang telah dihapalkannya. "Hanya
itu. Ayah, sungguh."
Takeo menyentuh pipi Maya. "Kau telah berkata jujur. Tapi kau tahu betapa mem?bingungkan
perasaanmu. Pikiranmu tidak jernih, yang justru harus sebaliknya saat menggunakan
kemampuan Tribe itu. Saat menatap mata orang lain, kalian akan melihat kelemahan mereka. Itulah yang
membuat mereka rapuh pada tatapan kalian."
Halaman 523 dari 523 "Apa yang akan terjadi padaku?" tanya Maya.
"Ayah tidak tahu. Kita harus mengamati?mu untuk mencari tahu. Tindakanmu salah; kau
membuat kesalahan. Kau akan harus menanggung akibatnya. Tapi kau harus ber?janji pada Ayah untuk
tidak menggunakan sihir tidur Kikuta pada orang lain sampai Ayah ijinkan."
"Mestinya Kenji tahu," ujar Miki, dan mulai menangis lagi. "Dia menceritakan tentang roh-roh
hewan dan cara Tribe memanfaatkannya."
"Kuharap dia belum mati," kata Maya di sela-sela isak tangisnya yang baru meledak lagi.
Dan Takeo merasakan matanya pun
menghangat, menangisi kepergian gurunya, dan kedua putri kembarnya yang belum bisa
dilindunginya dari kerasukan yang akibatnya pun belum bisa diperkirakannya.
Kedua putrinya berada di dekatnya, tubuh mereka begitu mirip dengan tekstur dan warna
kulit dirinya. "Kami tidak harus menikah dengan Sunaomi, kan?" tanya Maya, kini lebih tenang.
"Mengapa" Siapa yang mengatakan kalian harus menikah dengannya?"
"Sunaomi mengatakan pada kami kalau dia ditunangkan dengan salah satu dari kami!"
"Hanya kalau dia benar-benar nakal," sahut Takeo. "Sebagai hukuman!"
"Aku tak ingin ditunangkan dengan siapa pun," ujar Miki.
"Kelak kau pasti berubah pikiran," Takeo menggoda.
"Aku ingin menikah dengan Miki," kata Maya, sambil tertawa cekikikan.
"Kita berdua menikah saja," sahut Miki sepakat.
"Lalu kalian takkan punya anak. Kalian membutuhkan laki-laki untuk bisa punya
anak." "Aku tak ingin punya anak," sahut Miki.
"Aku benci anak-anak," sahut Maya setuju. "Terutama Sunaomi! Ayah tidak akan mengangkat
Sunaomi sebagai anak, kan?"
"Ayah tak membutuhkan anak laki-laki," sahut Takeo.
*** Pemakaman Kenji dilaksanakan keesokan harinya, dan batu nisan didirikan untuknya di kuil
Hachiman di sebelah Tokoji, yang tak lama kemudian menjadi tempat ziarah bagi keluarga
Muto dan anggota Tribe yang lain. Kenji telah berpulang ke alam baka, seperti juga Shigeru, juga Jo-An.
Kini mereka bertiga menginspirasi dan melindungi orang yang masih hidup di dunia fana ini.*
Musim hujan plum sudah selesai dan hawa panas musim panas dimulai. Shigeko bangun
sebelum matahari terbit dan pergi ke kuil di tepi sungai untuk menghabiskan waktu ber?sama si kuda
hitam jantan saat udara masih dingin. Dua kuda betina tua menggigit dan menendang, mengajarinya
sopan santun; sedangkan kuda jantan mulai bisa menerima kehadiran Shigeko, meringkik saat
melihat?nya dan menunjukkan tanda sayang.
Halaman 524 dari 524 "Dia tidak pernah melakukannya pada siapa pun," komentar Mori Hiroki, memer?hatikan kuda
jantan itu menggesek-gesekkan kepalanya di bahu Shigeko.
"Aku ingin berikan untuk ayahku," sahut Shigeko. "Ayah tak memiliki kuda yang disukai sejak
Shun mati." "Kuda ini sudah siap dijinakkan." ujar Hiroki. "Tapi Anda jangan mencobanya dulu, yang pasti
jangan seorang diri. Aku sudah terlalu tua dan lamban, sedangkan
ayah Anda terlalu sibuk."
"Tapi harus aku lakukan," bantah Shigeko. "Kuda ini mulai menyayangiku." Lalu pikiran itu
terbersit di benaknya, Hiroshi akan datang ke Hagi Kami bisa menjinakkan kuda ini bersama-sama. Dan
Ayah bisa menungganginya saat kami me?lakukan perjalanan ke Miyako.
Dinamainya kuda itu Tenba karena ada sesuatu bersifat surgawi pada kuda itu, dan sewaktu
berderap mengelilingi padang rumput, kuda itu tampak seolah terbang.
Hari-hari yang panas berlalu. Anak-anak berenang di laut dan melanjutkan pelajaran dan
pelatihan dengan gembira karena sang ayah sudah pulang. Meskipun urusan pemerintahan membuatnya
sibuk, Takeo selalu menyempatkan waktu bersama mereka, pada malam-malam yang hangat ketika
langit hitam kelam dan bintang?bintang terlihat membesar, serta hembusan lembut angin dari laut
membuat kediaman terasa dingin. Bagi Shigeko, peristiwa besar selanjutnya di musim panas adalah kedatangan Sugita Hiroshi
dari Maruyama. Hiroshi tinggal bersama keluarga Otori sampai usia dua
puluh tahun lalu pindah ke Maruyama, tempat dia menjalankan pemerintahan wilayah milik
ibu Shigeko dan suatu kelak akan menjadi miliknya. Kedatangannya terasa seperti kembalinya
kakak lakilaki bagi ketiga gadis itu. Setiap kali menerima surat, Shigeko berharap membaca kalau Hiroshi
sudah menikah, karena usianya sudah dua puluh enam tahun dan belum beristri. Hal ini tak bisa
dijelaskan, tapi dia hanya setengah mengakui kalau dia lega saat Hiroshi berkuda ke Hagi seorang diri,
dan tidak menyebut istri atau tunangan yang ditinggalkan di Maruyama. Menunggu hingga bisa bicara
berdua pada Shizuka, Shigeko membuka topik pembicaraan dengan santai. "Shizuka, berapa usia
kedua putramu saat mereka menikah?"
"Zenko delapan belas tahun, dan Taku tujuh belas tahun," jawab Shizuka. "Tidak terlalu
muda." "Dan usia Taku dan Sugita sebaya, kan?"
"Ya, dan mereka lahir di tahun yang sama"bibimu Hana juga lahir di tahun itu." Shizuka
tertawa. "Kukira ketiganya berharap bisa menikahi Hana. Terutama Hiroshi yang selalu mendambakan
menjadi suami Hana: dia amat mengagumi ibumu dan meng?anggap Hana mirip dengannya. Taku ber?hasil
mengatasi patah hatinya, tapi sudah menjadi rahasia umum kalau Hiroshi tak dapat menghapus
kekecewaannya, dan itulah alasannya dia tidak menikah."
"Sungguh aneh," ujar Shigeko, setengah ingin meneruskan pembicaraan, dan setengah
tercengang dengan rasa sakit di hatinya. Hiroshi jatuh cinta pada Hana sehingga tak mau menikah lagi"
"Bila ada unsur persekutuan pada diri mereka, sudah pasti ayahmu akan menikah?kan
mereka," tutur Shizuka. "Tapi posisi Hiroshi itu unik. Kedudukannya kurang tinggi. Kedekatannya pada
keluargamu hampir seperti anak laki-laki di keluarga ini, namun dia tak punya tanah warisannya sendiri.
Dia akan menyerahkan Maruyama padamu tahun ini."
"Kuharap dia akan terus mengabdi padaku di sana," kata Shigeko. "Tapi aku terpaksa harus
mencarikan istri untuknya! Apakah dia memiliki perempuan simpanan?"
"Kurasa ada," sahut Shizuka. "Kebanyakan laki-laki memiliki perempuan simpanan!" "Ayahku
tidak," sahut Shigeko. Halaman 525 dari 525 "Memang tidak, begitu pula Lord Shigeru." Tatapan mata Shizuka menerawang jauh.
"Ingin tahu mengapa mereka sangat ber?beda dengan laki-laki lain."
"Mungkin perempuan lain tidak menarik perhatian mereka. Dan kurasa mereka tak ingin
membuat orang yang mereka sayangi tersiksa rasa cemburu."
"Cemburu adalah perasaan yang menakut?kan."
'Tapi untungnya kau masih terlalu muda untuk mempunyai perasaan semacam itu," sahut
Shizuka. "Dan ayahmu akan memilih jodohmu dengan bijaksana. Bahkan ayahmu memilih dengan
sangat teliti, aku ingin tahu apakah dia bisa menemukan orang yang cukup baik."
"Tak menikah pun aku sudah bahagia," seru Shigeko, tapi ia tahu kalau ini tidak sepenuhnya
benar. Sejak mulai beranjak dewasa ditemukan ia gelisah dengan keinginan disentuh laki-laki.
"Sayang sekali para gadis tidak dibolehkan memiliki kekasih layaknya anak laki-laki," katanya.
"Mereka harus sedikit lebih bijaksana,"
sahut Shizuka, tertawa. "Apakah ada orang yang kau sukai, Shigeko" Kau sudah lebih dewasa
dari yang kukira?" "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu seperti apa: hal-hal yang dilakukan laki-laki dan
perempuan bersama, pernikahan, cinta."
Shigeko mengamati Hiroshi malam itu saat makan malam. Dia tidak mirip orang yang dimabuk
cinta. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kira-kira setinggi ayahnya tapi lebih tegap dan dengan wajah
lebih gemuk. Bentuk matanya panjang dan ekspresinya hidup, rambutnya tebal dan hitam pekat.
Tampak suasana hatinya sangat baik, penuh optimisme tentang panen yang akan datang dan dengan
bersemangat menceritakan hasil teknik inovasi dalam melatih kuda dan manusia; menggoda si
kembar dan memuji Kaede, berkelakar dengan Takeo dan meng?ingatkannya tentang
mundurnya pasukan saat badai topan dan pertempuran merebut Hagi. Satu atau dua kali Shigeko merasa
kalau laki-laki itu menatapnya, tapi saat ia melihat ke arahnya, Hiroshi selalu me?mandang ke arah
lain, dan hanya bicara langsung pada Shigeko satu atau dua kali, itu pun dengan sikap formal. Saat itu
wajah Hiroshi tak bersemangat, ekspresinya tenang, malah hampir tak bersahabat. Mengingatkan
Shigeko pada wajah guru-gurunya di biara saat bermeditasi; dan ingat kalau, seperti dirinya, Hiroshi
dilatih dengan Ajaran Houou. Hal itu agak menenangkannya: mereka selalu menjadi teman
seperjuangan, meskipun hubungan mereka tak bisa lebih dari itu; Hiroshi selalu memahami dan
mendukungnya. Tepat sebelum beristirahat, Hiroshi ber?tanya padanya tentang kuda muda itu karena Shigeko
pernah menyuratinya tentang masalah itu.
"Datanglah ke kuil besok pagi dan kau bisa lihat sendiri," sahut Shigeko.
Sesaat Hiroshi ragu-ragu, kemudian ber?kata, "Dengan senang hati. Ijinkan aku mengawalmu."
Nada suaranya terdengar dingin, dan kata-katanya resmi.
Mereka berjalan berdampingan menyebe?rangi jembatan batu, seperti yang sering mereka
lakukan ketika Shigeko masih kecil. Udara terasa tenang, cahaya cerah dan keemasan, saat matahari
terbit di atas pegunungan dan mengubah permukaan tenang sungai menjadi cermin yang
berkilauan memantulkan dunia yang tampak lebih nyata ketimbang dunia yang mereka lalui.
Biasanya dua penjaga kastil mendampingi Shigeko, tapi hari ini Hiroshi menyuruh mereka
pergi. Dia berpakaian untuk menunggang kuda, mengenakan celana panjang dan pembalut kaki, dan
pedang di sabuknya. Shigeko mengenakan pakaian yang hampir serupa, rambutnya diikat ke belakang
dengan tali, dan hanya bersenjatakan tongkat pendek yang disembunyikan. Shigeko men?ceritakan
tentang kuda itu, dan sikap kaku Hiroshi perlahan luruh, dan berani berdebat dengan Shigeko seperti
yang sering dilaku?kannya lima tahun silam. Sebaliknya, per?debatan ini bagi Shigeko sama
mengecewa?kannya dengan sikap resmi laki-laki itu.
Dia hanya menganggapku sebagai adik, sama seperti pada si kembar.
Halaman 526 dari 526 Matahari pagi menyinari kuil tua: Hiroki sudah siap dan Hiroshi menyambutnya dengan
gembira karena dia menghabiskan masa kecilnya dengan orang tua itu, belajar ketrampilan
menjinakkan dan mengembang?biakkan kuda. Tenba mendengar suara Shigeko dan
meringkik. Ketika mereka menghampirinya, kuda itu berderap ke arah Shigeko, tapi
telinganya berdiri tegak dan memutar bola matanya saat melihat Hiroki.
"Kuda ini menakutkan sekaligus tampan," seru Hiroshi. "Jika bisa dijinakkan, dia bisa menjadi
kuda perang yang luar biasa."
"Aku ingin menghadiahkannya kepada Ayah," ujar Shigeko. "Tapi aku tak ingin ayah
membawanya ke kancah pertempuran! Sekarang kita dalam kedamaian, kan?"
"Ada awan badai di kaki langit," ujar Hiroshi. "Itu sebabnya aku dipanggil."
Tadinya aku berharap kau datang untuk melihat kuda milikku!" kata Shigeko, memberanikan
diri menggoda. "Bukan hanya melihat kudamu," sahutnya pelan. Shigeko terkejut sewaktu melihat sekilas ke
arah Hiroshi, wajah laki-laki itu agak memerah hingga ke lehernya.
Setelah beberapa saat, Shigeko bicara dengan sikap canggung, "Kuharap kau ada waktu untuk
membantuku menjinakkannya. Aku tak ingin orang lain yang melakukan?nya"kuda ini percaya
padaku, dan kepercayaan itu tak boleh dihancurkan, jadi aku harus ada di sini terus."
"Nantinya kuda ini juga akan percaya padaku," sahut Hiroshi. "Aku akan ke sini kapan saja
ayahmu tak membutuhkan diriku. Kita akan menjinakkannya bersama-sama, dengan cara yang pernah
diajarkan pada kita."
Ajaran Houou merupakan ajaran tentang unsur-unsur laki-laki dan perempuan: kekuatan yang
lembut, welas asih yang kuat, kegelapan dan cahaya, bayangan dan matahari, yang tersembunyi serta
yang terungkap. Kelembutan saja tak bisa menjinakkan kuda seperti ini. Dibutuhkan juga kekuatan
serta ketegasan seorang laki?laki.
Mereka memulainya pagi itu, sebelum hawa panas semakin kuat, membiasakan si kuda dengan
sentuhan Hiroshi, di kepala, sekitar telinga, pinggul bagian samping dan di bagian bawah
perutnya. Kemudian mereka menempatkan pita halus di sepanjang punggung hingga ke leher, terakhir
mengikat dengan longgar satu pita lagi di hidung dan kepalanya"tali kekang pertamanya. Tenba
berkeringat dan kulitnya menggigil, namun patuh pada cara mereka menanganinya.
Mori Hiroki mengamati mereka dengan
sikap setuju, dan setelah itu, ketika kuda jantan itu dihadiahi wortel dan Shigeko serta
Hiroshi

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disajikan teh dingin, dia berkata, "Wilayah lain di Tiga Negara dan di luarnya, kuda-kuda
dijinakkan dengan paksaan, seringkah dengan kekerasan. Hewan-hewan dipukul agar patuh. Namun
ayahku selalu percaya pada pendekatan yang lembut."
"Itu sebabnya mengapa kuda-kuda Otori termashur," tutur Hiroshi. "Mereka jauh lebih patuh
dibandingkan kuda-kuda lain, lebih bisa diandalkan dalam pertempuran, dan dengan stamina
yang lebih kuat, karena mereka tidak membuang tenaga melawan si penunggangnya dan berusaha
berlari dengan cepat! Aku selalu menggunakan metode yang kupelajari darimu."
Wajah Shigeko bersinar. "Kita akan ber?hasil menjinakkannya, kan?"
"Aku tak meragukan hal itu," sahut Hiroshi, membalas senyuman Shigeko dengan sikap
hangat.* Halaman 527 dari 527 Takeo mengetahui kerjasama putrinya dengan Sugita Hiroshi dalam menjinakkan si kuda
jantan hitam"meskipun tidak mengetahui kalau kuda itu akan dihadiahkan padanya"karena dia
mengetahui hampir segalanya, tidak hanya di Hagi tapi di seluruh Tiga Negara. Kurir pergi
atau berkuda menyampaikan pesan antarkota, dan burung?burung dara digunakan untuk mengirim
kabar darurat dari kapal di laut. Takeo mengira Hiroshi sudah seperti kakak bagi putrinya; terkadang
mengkhawatirkan masa depan dan statusnya yang masih melajang, dan memikirkan pasangan
yang cocok dan berguna bagi pemuda yang telah mengabdi dengan setia padanya sejak masih kecil.
Pemah terdengar olehnya desas-desus kalau Hiroshi tergila-gila pada Hana; ia tidak percaya
begitu saja, mengenal karakter Hiroshi yang kuat dan kecerdasannya" namun Hiroshi menghindari
semua calon yang diajukan. Akhirnya ia memutuskan untuk memperbarui usahanya mencarikan istri bagi
Hiroshi dari keluarga ksatria di Hagi.
Di satu senja yang panas pada bulan ketujuh, tak lama setelah Festival Tanabata, Takeo,
Kaede, Shigeko dan Hiroshi pergi melintasi teluk menuju kediaman Terada Fumifusa. Ayah dari
sahabatnya, Fumio, mantan kepala perompak yang kini memelihara dan mengawasi armada kapal perang
maupun kapal dagang sehingga Tiga Negara termashur dalam perdagangan dan keamanan dari
serangan lewat laut. Kini Terada berusia kira-kira lima puluh tahun, namun hanya menunjukkan sedikit
ke?lemahan karena usia. Takeo sangat meng?hargai ketajaman otak, keberanian dan
pengetahuan Terada. Terada tidak memedulikan harta benda indah yang diperolehnya saat menjadi perompak"
dendamnya pada pemimpin Klan Otori menjadi penggerak kekuatannya, dan kejatuhan para
paman Shigeru adalah keinginan terbesarnya. Setelah pertempuran merebut Hagi dan gempa bumi,
dia mem?bangun kembali rumah lamanya yang
dirancang oleh putra dan menantunya, Eriko, sepupu keluarga Endo. Eriko menyukai lukisan,
taman dan benda-benda yang indah: dia menulis puisi dengan goresan kuas yang indah, dan
membuat kediaman itu tampak mewah dan memesona dilihat dari kastil.
Bangunan itu berada di dekat kawah gunung berapi, tempat cuaca yang tidak biasa
membuatnya dapat menanam tanaman eksotis yang dibawa Fumio, dan tanaman obat yang dibawa Tabib
Ishida. Sifatnya yang artistik membuatnya menjadi teman yang disenangi Takeo dan Kaede. Putri
sulung Terada akrab dengan Shigeko karena mereka seumur.
Paviliun kecil dibangun di atas sungai kecil di taman, dan bunyi tenang air yang mengalir
memenuhi udara. Kolam dipenuhi warna ungu muda dan bunga teratai putih kekuningan, dinaungi pepohonan
aneh dari Kepulauan Selatan yang mirip kipas. Udara terasa harum oleh aroma adas manis dan jahe.
Semua tamu mengenakan jubah musim panas berwarna cerah, menyaingi warna-warni kupu-kupu
yang beterbangan di antara bunga. Burung
tekukur menyerukan nyanyiannya yang memecah kesunyian, dan jangkrik berderik tiada
henti. Eriko memperkenalkan permainan lama di mana para tamu harus menggubah puisi, lalu
mengapungkannya di atas nampan kayu kecil untuk dibaca pengunjung di paviliun sebelahnya.
Kaede mahir dalam membuat puisi semacam ini, dengan pengetahuan luasnya tentang kiasan klasik
dan kemam?puan berpikir cepat, namun Eriko hampir menandinginya. Mereka bersaing penuh
persahabatan. Cangkir-cangkir sake juga diapungkan di permukaan air yang mengalir pelan, dan sesekali satu
atau dua tamu mengambilnya lalu diberikan kepada temannya. Irama kata?kata dan tawa berbaur
dengan suara air, serangga serta burung membuat diri Takeo merasakan kebahagiaan murni yang
jarang dirasakannya, menghilangkan kecemasannya serta meringankan kesedihannya.
Halaman 528 dari 528 Takeo tengah mengamati Hiroshi yang duduk bersama Shigeko dan putri Eriko, Kaori, di
paviliun sebelah. Usia Kaori cukup dewasa untuk dinikahkan: mungkin dia bisa menjadi pasangan yang
cocok bagi Hiroshi; nanti akan dibicarakannya dengan Kaede. Kaori mirip ayahnya: tubuh berisi serta sehat. Kaori
dan Shigeko tengah tertawa melihat usaha Hiroshi.
Namun di sela-sela tawa dan semua suara lain di senja yang damai ini, ada suara lain,
mungkin kepakan sayap burung. Ia men?dongak menatap langit dan melihat sekawanan kecil bintik
jauh di arah tenggara. Sewaktu kawanan itu mendekat, semakin jelas terlihat kalau itu adalah
kawanan burung dara yang kembali ke kediaman Terada, tempat mereka menetas.
Burung-burung selalu kembali kemana pun semua kapal Terada yang membawanya, tapi arah
datangnya kawanan ini membuat ia gelisah karena di tenggara terbentang kota bebas
Akashi.... Burung-burung dara melayang di atas kepala menuju kandang. Semua orang mendongak ke
atas mengamati. Kemudian pesta itu ditutup dengan perasaan gembira, tapi Takeo kini sadar akan
panasnya cuaca sore ini, dari peluh di ketiaknya, derik kasar suara jangkrik.
Seorang pelayan keluar dari rumah, ber?lutut di belakang Lord Terada lalu berbisik
padanya. Terada melihat ke arah Takeo dan membuat isyarat dengan kepala. Mereka berdua
berdiri bersamaan, meminta maaf pada para tamu, lalu pergi bersama si pelayan itu ke dalam
rumah. Begitu sampai di beranda, Terada berkata, "Pesan dari putra?ku." Diambilnya lembaran kertas yang
dilipat, terbuat dari sutra, lebih ringan dari bulu.
"Gagal. Senjata sudah di tangan Saga. Segera kembali."
Takeo melihat dari bayangan beranda ke arah pemandangan yang indah di taman.
Didengarnya suara Kaede saat membaca, mendengar suara yang menyambut keang?gunan dan
kepandaiannya. "Kita harus persiapkan dewan p?eperangan," ujarnya.
"Kita akan bertemu besok dan me?mutuskan apa yang dilakukan."
Dewan terdiri dari Terada, ayah dan anak, Miyoshi Kahei, Sugita Hiroshi, Muto Shizuka, Takeo,
Kaede dan Shigeko. Takeo menceritakan tentang pertemuannya dengan Kono, tuntutan Kaisar,
jenderal baru dan senjata yang diselundupkan. Miyoshi Kahei ingin bertindak cepat:
membangun kekuatan militer selama musim panas, kematian Arai Zenko dan Lord Kono lalu diikuti dengan
pemusatan pasukan di perbatasan wilayah Timur yang bisa tiba lebih dulu di ibukota saat musim semi,
mengalahkan si Pemburu Anjing dan membujuk Kaisar untuk mem?pertimbangkan lagi tentang
ancaman serta penghinaan atas Otori.
"Kapalmu juga bisa memblokade Akashi," tuturnya pada Terada. "Pelabuhan itu harus dalam
kendali kita untuk mencegah ancaman Arai."
Kemudian teringat kalau Zenko adalah putra Shizuka, dan dia pun meminta maaf. "Tapi aku
tak menarik kembali saranku," ujarnya pada Takeo. "Sementara Zenko me?rongrong di Barat, kau
tak mungkin meng-hadapi ancaman dari wilayah Timur."
"Putra Zenko ada di tangan kita," tutur Kaede. "Kami rasa ini dapat membuatnya patuh."
"Dia tak bisa dianggap sebagai sandera," sahut Kahei. "Inti dari adanya sandera yaitu siap
mencabut nyawa mereka. Aku tak ber?maksud menghinamu, Takeo, tapi aku tak percaya kau tega
memerintahkan untuk membunuh anak-anak. Orangtuanya tahu
kalau putranya aman bersamamu layaknya berada di tangan ibunya sendiri!"
"Zenko sudah bersumpah sekali lagi bahwa dia akan tetap setia padaku." tutur Takeo. "Aku tak
bisa menyerangnya sebelum dia menyerang. Aku lebih memilih untuk memercayainya, dengan
harapan Halaman 529 dari 529 dia layak mendapatkannya. Dan kita harus berusaha untuk mempertahankan kedamaian
melalui perundingan. Aku tak akan membawa perang saudara di Tiga Negara."
Kahei menggelengkan kepala, wajahnya suram.
"Kakakmu, Gemba, dan yang lainnya di Terayama menganjurkan untuk menenang?kan Kaisar
dengan berkunjung ke Miyako tahun depan."
"Saat itulah Saga Hideki akan memper?senjatai pasukannya dengan senjata api. Setidaknya
biarkan kami mendekati Akashi dan mencegahnya memperdagangkan bubuk mesiu. Karena kalau
tidak, kau akan lang?sung menuju ke kematian!"
"Aku mendukung tindakan yang tegas," ujar Terada. "Aku setuju dengan Miyoshi. Semua
pedagang di Akashi sudah lupa daratan. Mereka telah menghina. Kita akan
beri mereka pelajaran." Terada tampak merindukan masa ketika kapal-kapal milik?nya
mengendalikan semua perdagangan di sepanjang garis pantai utara dan barat.
"Tindakan semacam itu akan membuat geram pedagang kita sendiri," tutur Shizuka. "Dan kita
mengandalkan mereka untuk mendapat persediaan, bubuk mesiu dan bijih besi. Bakal sulit
bertempur tanpa dukungan itu."
"Klas pedagang mulai semakin kuat hingga menjadi berbahaya," gerutu Terada. Takeo tahu
kalau itu sudah lama dikeluhkan Terada, Miyoshi, Kahei dan banyak ksatria lainnya, yang membenci
para pedagang yang semakin kaya raya dan makmur.
"Bila tidak menyerang sekarang, kelak akan terlambat," ujar Kahei. "Itu saranku."
"Bagaimana denganmu?" Takeo bertanya pada Hiroshi yang hingga saat ini belum bicara.
"Aku memahami pandangan Lord Miyoshi," kata Hiroshi. "Beliau punya alasan. Menurut seni
perang memang itu yang terbaik. Tapi aku harus tunduk pada kearifan para Guru Ajaran Houou.
Kirimkan pesan pada Kaisar bahwa Anda akan datang
berkunjung. Ini akan meredam rencana serangan apa pun di pihaknya. Aku menganjurkan,
seperti Kahei, memperkuat pasukan di wilayah Timur, menyiapkan serangan tapi tidak menyolok. Kita
harus membangun kekuatan prajurit pejalan kaki yang membawa senjata api, dan melatih mereka
untuk menghadapi prajurit yang hampir sama kekuatannya karena sudah pasti tahun depan Saga
telah memiliki senjata dalam jumlah besar. Hal itu tak bisa kita cegah. Sementara untuk adik ipar
Anda, kurasa ikatan keluarga akan menjadi lebih kuat ketimbang dendam apa pun yang
dipendamnya pada diri Anda, atau ambisi apa pun untuk menyingkirkan Anda. Sekali lagi aku menganjurkan agar
jangan tergesa?gesa, dan jangan bertindak terburu-buru."
Hiroshi memang ahli strategi yang handal, pikir Takeo. Bahkan sejak dia masih kecil!
Takeo berpaling ke arah putrinya, "Shigeko?"
"Aku sependapat dengan Lord Hiroshi," sahut Shigeko. "Jika aku ikut dengan Ayah ke Miyako,
kurasa Ajaran Houou akan menang, bahkan untuk menghadapi Kaisar."*
Selama di Hagi, Takeo sering bertemu Shizuka yang tinggal di kastil untuk menemani Kaede
atau putri-putri-nya. Tidak ada pertemuan resmi, maupun pengumuman atas penunjukkan Shizuka
sebagai ketua Tribe. Beberapa hari setelah pertemuan dewan perang, di pagi hari Festival Tanabata, seolah
kebetulan, mereka berjumpa saat Takeo hendak ke kastil. Minoru yang selalu meng?ikuti dengan
membawa peralatan menulis, menyingkir agar mereka bisa bicara berdua saja.
Halaman 530 dari 530 "Aku dapat pesan dari Taku," ujar Shizuka pelan. "Tadi malam. Ishida dan Chikara
meninggalkan Hofu saat bulan purnama terakhir. Cuaca sedang cerah: mestinya mereka datang tidak lama
lagi." "Itu kabar baik," sahutnya. "Kau pasti menantikan kepulangan suamimu." Lalu Takeo berkata,
karena tak ada alasan mengapa kabar ini harus dirahasiakan, "Apa lagi?"
"Ternyata Zenko memberi ijin orang asing ikut bersama mereka. Dua dari mereka berada di
kapal, bersama penerjemah mereka"perempuan itu."
Takeo mengernyitkan dahi. "Apa tujuan mereka?"
"Taku tidak mengatakannya. Tapi me?nurutnya kau harus diberitahu."
"Menyebalkan," sahut Takeo. "Kita ter?paksa menerima mereka dengan segala macam upacara
dan kemegahan, serta ber?pura-pura terkesan atas hadiah tidak berharga mereka. "Aku tidak ingin
mereka merasa bebas pergi ke mana saja sesuka hati. Aku lebih suka mengurung mereka di
satu tempat: Hofu tempat yang sangat bagus untuk itu. Carikan tempat yang tidak nyaman untuk
mereka tinggal, dan awasi terus mereka. Adakah orang lain yang bisa bicara bahasa mereka?"
Shizuka menggelengkan kepala.
"Baiklah, seseorang harus mempelajari secepatnya. Penerjemah mereka harus meng?ajari kita
saat dia di sini." Takeo berpikir cepat. Ia tak ingin bertemu Madaren; ia
merasa tidak nyaman atas kemunculan adiknya. Takut pada kesulitan yang pasti muncul
dengan kehadiran adiknya itu, tapi bila ia harus menggunakan jasa penerjemah, maka sebaiknya
memang

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adiknya"orang yang memiliki hubungan dengannya.
Takeo memikirkan Kaede yang mampu belajar dengan cepat, yang menguasai bahasa Shin dan
Tenjiku agar bisa membaca karya klasik, sastra dan kitab suci. Ia akan minta Kaede
mempelajari bahasa orang asing dari Madaren, dan akan menceritakan bahwa si penerjemah itu adalah
adiknya... pikiran kalau ia akan mengurangi satu rahasia lagi dari istrinya, anehnya justru membuatnya
bahagia. "Cari gadis pandai yang bisa menjadi pelayan mereka," pintanya pada Shizuka. "Biarkan gadis
itu berusaha sekuat tenaga memahami apa yang mereka katakan. Dan kita akan mengatur agar
pelajaran diadakan di sini."
"Kau bermaksud untuk belajar, sepupu?"
"Aku meragukan kemampuanku," sahut Takeo. "Tapi aku yakin Kaede pasti mampu. Kau juga."
"Aku sudah terlalu tua," sahut Shizuka
seraya tertawa. "'Tapi, Ishida cukup ber?minat, dan sudah menyusun daftar istilah ilmiah dan
medis." "Bagus. Biarkan dia melanjutkan pekerja?an ini bersama mereka. Semakin banyak yang bisa
kita pelajari, semakin baik. Dan lihat apa kau bisa cari tahu lebih banyak lagi dari suamimu
tentang tujuan mereka yang sebenarnya, dan kedekatan mereka dengan Zenko."
"Taku baik-baik saja?" Takeo menyuara?kan pikiran yang muncul kemudian.
"Sepertinya begitu. Menurutku, hanya sedikit frustrasi terjebak di wilayah Barat. Dia baru
akan berangkat bersama Lord Kono untuk menginspeksi harta kekayaan, dan ber?maksud
melanjutkan dari sana ke Maruyama."
"Begitu" Maka Hiroshi sebaiknya ada di sana untuk bertemu mereka," ujar Takeo. "Dia bisa
menumpang kapal yang sama, dan mengabari keputusan kita pada Taku."
*** Kapalnya terlihat di laut dua hari kemudian.
Shigeko mendengar lonceng dari bukit di
Halaman 531 dari 531 atas kastil berdentang sewaktu dia dan
Hiroshi menjinakkan si kuda jantan. Tenba menerima sedikit dan membiarkan Shigeko
menuntunnya dengan tali kekang halus, tapi mereka belum mencoba menaruh pelana, atau beban apa pun
di punggungnya selain kain berlapis yang masih membuatnya ber?gerak mundur dan menendang.
"Ada kapal datang," kata Shigeko, ber?usaha melihat tapi sia-sia menentang silaunya matahari
pagi. "Kuharap itu kapal tabib Ishida."
"Kalau benar itu kapalnya, berarti aku harus segera kembali ke Maruyama," ujar Hiroshi.
"Secepat itu!" Shigeko tidak bisa menahan seruannya, kemudian merasa malu, "Ayah bilang
tabib Ishida membawa hadiah istimewa untukku tanpa mengatakan apa hadiahnya." Aku kedenga
ran seperti anak kecil, pikirnya, kesal pada dirinya sendiri.
"Aku dengar dia membicarakan itu," sahut Hiroshi, dia memperlakukan aku seperti anak kecil,
pikir Shigeko. "Kau tahu apa hadiahnya?"
"Itu rahasia!" sahut Hiroshi menggoda. "Aku tak boleh membocorkan rahasia Lord Otori."
"Mengapa ayah hanya mengatakannya padamu, tidak kepadaku?"
"Ayahmu tidak mengatakannya," sahut Hiroshi dengan suara lebih lembut. "Hanya saja dia
mengharapkan cuaca cerah dan per?jalanan yang tenang untuk hadiah itu."
"Pasti hewan," seru Shigeko dengan gembira. "Kuda! Atau mungkin anak singa! Beberapa hari
ini cuaca cerah. Aku gembira bila cuaca cerah saat Festival Tanabata."
Shigeko ingat keindahan malam tanpa bulan yang tenang, percikan sinar bintang, satu malam
selama tahun ketika seorang Puteri dan kekasihnya bisa bertemu menyeberangi jembatan ajaib yang
dibangun burung magpies. "Saat masih kecil aku suka sekali Festival Tanabata." tutur Hiroshi. "Tapi kini hal itu
membuatku sedih. Karena tak ada yang namanya pasangan pengantin impian, tidak dalam kehidupan nyata."
Dia membicarakan tentang dirinya sendiri dan Hana, pikir Shigeko. Dia sudah menderita
begitu lama. Dia harus menikah. Dia akan melupakan Hana jika dia memiliki istri dan anak. Namun Shigeko
tak bisa memaksa dirinya untuk menyarankan agar
Hiroshi menikah. "Dulu aku suka membayangkan Putri Bintang dengan wajah ibumu," tuturnya. Tapi mungkin
putri itu mirip denganmu, menjinakkan kuda-kuda di surga."
Tenba, yang berjalan di antara mereka berdua, mendadak ketakutan dan melompat mundur
saat seekor burung merpati terbang dari atap kuil sehingga menarik pita yang dipegang Shigeko.
Secepatnya Shigeko me-nenangkannya, tapi Tenba masih bertingkah tidak karuan, dan
melompat lalu terjatuh, menerjang tubuh Shigeko dengan bahu. Shigeko hampir terjatuh, tapi entah
bagaimana Hiroshi berhasil menjatuhkan tubuhnya di antara Shigeko dan kuda itu, dan sesaat Shigeko
menyadari kekuatan pemuda itu, dan hasratnya begitu kuat" hingga mengejutkan dirinya
Walet Emas Perak 8 Tiga Dalam Satu 04 Teluk Akhirat Pahlawan Dan Kaisar 15
^