Pencarian

The Heike Story 1

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 1


The Heike Story Kisah Epik Jepang Abad ke-12
Penulis : Eiji Yoshikawa Kiriman : Lenny (trims yeee)
Ebook : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewikz.com
http://kang-zusi.info Penerbit : Zahir Books (lini Redline Publishing) Cetakan : Pertama, Juni 2010
Tebal buku: 750 halaman DAFTAR ISI DAFTAR ISI Bab I " PASAR Bab II - PEREMPUAN GION Bab III " PACUAN KUDA
BAB IV-SEORANG WANITA YANG BERMANDIKAN
CAHAYA REMBULAN Bab V " RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK
Bab VI - BOCAH LELAKI YANG MEMBAWA AYAM
SABUNGAN Bab VII " SALAM PERPISAHAN DARI SEORANG
SAMURAI Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS IBU KOTA
Bab IX " PARA PRAJURIT BIKSU DARI GUNUNG
SUCI Bab X " DUSTA Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN SEBUAH
KECAPI Bab XII -SABDA ALMARHUM Bab XIII- ISTANA MATA AIR DEDALU
Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE
Bab XV- PANJI-PANJI PUTIH GENJI
Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH
Bab XVII-SUNGAI BERDARAH Bab XVIII-ALUNAN SERULING
Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI
Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano
Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar
Bab XXII-Jeruk Dari Selatan
Bab XXIII " PENCULIKAN KAISAR
Bab XXIV-IRAMA GENDERANG Bab-XXV BADAI SALJU Bab XXVI " BELAS KASIHAN
Bab XXVII " SEBUAH KAPEL DI ATAS BUKIT
Bab XXVIII-SANG IBU Bab XXIX-PENGASINGAN Bab XXX-SAKURA Bab XXXI-GAGAK Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI
Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH
Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK
Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN
Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA
Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI TIMUR
LAUT Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI
Bab XXXIX-TABIB ASATORI Bab XL-PERMATA LAUT Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR
Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN
Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA
Bab XLIV-HURU-HARA Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH PELABUHAN
Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG BIKSU
Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT KEMBALI
Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG KURAMA
Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI
Bab L-PERJALANAN KE TIMUR
o0odwkzo0o Bab I " PASAR "Dan kau, Heita, jangan lagi
berkeliaran dan menyia- nyiakan waktu di Shoikoji
dalam perjalananmu pulang!"
Heita Kiyomori mendengar ayahnya, Tadamori, berseru
memperingatkannya ketika dia
pergi untuk menjalankan tugasnya. Dia merasakan suara
ayahnya mengikutinya bersama setiap langkahnya.
Kiyomori takut kepada ayahnya; setiap kata yang
diucapkan oleh pria itu seolah-
olah selalu melekat di benaknya. Dua tahun sebelumnya, pada 1135, untuk pertama kalinya Kiyomori menemani ayahnya dan sejumlah prajurit bersenjata dalam sebuah ekspedisi dari Kyoto ke Shikoku, dan kemudian Kyushu untuk menumpas para perompak Laut Dalam.
Sejak bulan April pada musim semi hingga Agustus, mereka memburu musuh mereka dan, dengan pemimpin gerombolan perompak beserta ketiga puluh kaki tangannya terbelenggu rantai, mereka kembali dengan penuh kejayaan ke ibu kota, dalam sebuah pawai kemenangan yang meriah.
Ya, tidak diragukan lagi, ayahnya memang seorang pahlawan"tanpa memedulikan segalanya!
Pendapat Kiyomori tentang ayahnya berubah sejak saat itu, begitu pula ketakutannya. Sejak masih bocah, Kiyomori yakin bahwa kemalasanlah yang menyebabkan ayahnya
menghindari pergaulan, bahwa dia kekurangan ambisi, tidak memiliki keberanian untuk mengurus berbagai masalah duniawi, dan terlalu keras kepala untuk keluar dari jerat kemiskinan. Sosok itu, bagaimanapun, bukan ayah yang tingkah lakunya diamati oleh Kiyomori sejak masa kanak-kanak, namun gambaran yang dilekatkan di benaknya oleh ibunya. Sejauh yang bisa diingatnya, rumah mereka di Imadegawa, di wilayah pinggiran ibu kota, adalah reruntuhan yang mengenaskan; atapnya yang bocor tidak diperbaiki selama lebih dari sepuluh tahun; kebunnya yang terbengkalai dipenuhi rumput liar, dan rumah reyot itu menjadi latar belakang berbagai pertengkaran tanpa akhir antara ayah dan ibunya. Kendatipun mereka selalu berselisih, bayi demi bayi senantiasa lahir"Heita Kiyomori, si sulung; Tsunemori, anak lelaki kedua; lalu anak lelaki ketiga, dan bahkan keempat. Tadamori, yang membenci pekerjaannya sebagai samurai di Istana, tidak mau repot-repot hadir ke tempat kerjanya kecuali jika mendapatkan panggilan khusus. Penghasilan utamanya saat ini berasal dari hasil pertanian dari tanahnya di Ise, dan kecuali sumbangan dari Istana yang sesekali diterimanya, dia tidak pernah mendapatkan gaji secara teratur.
Kiyomori mulai memahami alasan-alasan pertengkaran tanpa henti kedua orangtuanya. Ibunya adalah seorang wanita cerewet"menurut ayahnya, ibunya berbicara seperti
"kertas minyak terbakar?"yang biasa mengeluhkan,
"Setiap kali aku mengatakan sesuatu, kau selalu memandangku dengan sinis. Kapankah aku pernah melihatmu bertingkah layaknya suami yang baik" Aku tidak pernah melihatmu bersikap seperti tuan rumah yang terhormat Ada cukup banyak manusia lamban di dunia ini, tapi hanya ada segelintir orang yang semalas dirimu di kota ini! Seandainya kau anggota dewan kota atau pejabat pemerintah, aku bisa mengerti. Tidak pernahkah terpikir
olehmu untuk mengeluarkan kita dari jerat kemiskinan ini"
Kalian para Heike lahir di kampung, tidak heran kalau kau sudah biasa hidup miskin, tapi aku jarang meninggalkan ibu kota, dan semua kerabatku berdarah bangsawan klan Fujiwara!
Di sini, di bawah atap yang bocor ini, siang dan malam, kemarin dan hari ini, aku lagi-lagi mengunyah makanan basi. Aku tidak akan bisa berjalan-jalan melihat bulan dan mengikuti jamuan-jamuan kekaisaran, atau ketika musim semi tiba kembali, memakai kimono mahalku dan menikmati keindahan bunga sakura di Istana. Aku tidak tahu apakah aku ini seorang wanita atau musang karena seperti inilah penampilanku setiap hari ".Ah, sungguh menyakitkan mata yang memandang diriku ini! Mana pernah aku bermimpi bahwa nasibku akan seperti ini!"
Itu hanyalah pembukaan dari aliran tanpa henti tuduhan dan keluhan pedasnya, jika Tadamori tidak membungkamnya. Dan, sekalinya "kertas minyak" ini terbakar, apakah yang paling disesalinya, ketika dia menjerit-jerit ke langit dan meratap-ratap ke bumi untuk menjadi saksinya" Bahkan Kiyomori sebagai anaknya sudah muak mendengar berbagai keluhannya. Dia sudah hafal semua isinya. Yang pertama adalah suaminya, si pemalas yang tidak pernah mau bersusah payah meningkatkan kesejahteraan mereka. Selama bertahun-tahun, Tadamori hanya tinggal di rumah tanpa melakukan apa pun"suami yang tidak berguna! Keluhan keduanya, akibat kemiskinan suaminya, dia harus melepaskan hak untuk mengikuti berbagai acara keluarganya, klan Fujiwara; dia tidak bisa lagi menghadiri tamasya kekaisaran atau menerima undangan pesta di Istana. Dia yang terlahir di tengah kejayaan dan kemewahan telah menikah dengan seorang samurai Heike dari golongan kebanyakan dan
menghancurkan kehidupannya. Dan dia akan meratap-ratap, "Ah, seandainya aku tak punya anak! ?" Ucapan itu membuat Kiyomori kecil luar biasa ketakutan, terhina, dan sedih, sehingga ketika dia berumur enam belas atau tujuh belas tahun, tatapan pilunya sering kali membingungkan ibunya.
Kiyomori memikirkan apa yang mungkin akan dilakukan oleh ibunya seandainya dia tidak punya anak.
Tetapi, yang jelas dia tahu: di atas segalanya, ibunya menyesal karena telah menikah dengan ayahnya; ibunya mungkin akan meninggalkan ayahnya dan menebus tahun-tahun yang hilang darinya dengan kembali menjalani kehidupan mewah. Dia ingin hidup seperti para kerabat bangsawannya, mengendarai gerobak sapi, bermandikan cahaya bulan dan bertabur bunga-bungaan; main mata dengan kapten ini atau pejabat itu; saling bertukar puisi cinta sembari menebarkan pesona, menjalani kehidupan para wanita seperti dalam Hikayat Genji. Ibunya tidak bisa mengakhiri kehidupan tanpa menunaikan takdirnya sebagai seorang wanita.
Berulang kali, "kertas minyak" itu terbakar. Dan anak-anak lelaki kecilnya, kesulitan meyakini bahwa wanita itu adalah ibu mereka, menyaksikannya setiap hari dengan tatapan pilu.
Kiyomori, sekarang berusia hampir dua puluh tahun, kesal; jika anak-anaknya menjadi penghambat, mengapa ibunya tidak meninggalkan mereka saja" Sedangkan ayahnya, mengapa dia diam saja menghadapi istrinya"
Apakah sebaiknya Kiyomori saja yang balas membentak wanita ini" Dasar wanita jalang! Siapa itu Fujiwara, para Fujiwara yang dibangga-banggakannya tanpa memedulikan perasaan suaminya" Dasar bodoh"ayahnya, yang hanya berani membentak anak-anaknya! Dasar pengecut! Lihatlah
bagaimana orang-orang meledek Si Mata Picing yang menikahi seorang gadis cantik, hanya untuk mendapati bahwa dia adalah seorang sundal!
Orang-orang sepertinya beranggapan bahwa anak-anak selalu memihak ibu mereka, namun sebaliknyalah yang terjadi di rumah ini. Si bungsu, yang belum lagi disapih, dan kakak ketiganya masih terlalu kecil untuk memihak, namun Tsunemori, yang sekarang sudah cukup besar untuk memahami apa yang terjadi, kadang- kadang memandang ibunya dengan penuh kebencian ketika wanita itu sedang meradang. Pada saat seperti itu, mereka malu atas ayah mereka. Dia"seorang pria"yang sepertinya hidup hanya untuk diperlakukan secara semena-mena oleh istrinya.
Ayahnya hanya duduk diam mendengarkan rentetan cercaan wanita itu, kelopak matanya yang tercoreng bekas luka setengah tertutup, terpekur menatap kedua tangannya yang terkepal di atas pangkuannya.
Kiyomori harus mengakui bahwa ayahnya buruk rupa"
wajah yang penuh bopeng dan sepasang mata yang memberinya julukan, dia adalah pria berusia empat puluhan yang sedang berada dalam masa kejayaannya " Di sisi lain adalah ibunya yang cantik, terlihat seolah-olah masih berumur dua puluhan. Tidak heran jika setiap orang yang melihatnya menolak untuk percaya bahwa dia adalah ibu dari empat anak. Meskipun telah jatuh miskin, dia tetap merawat diri dengan cermat. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tahu atau peduli ketika para pelayan, yang tidak tahan melihat penderitaan mereka, dengan diam-diam mencuri sesuatu agar bisa membarternya dengan makanan, atau membelah-belah bambu yang telah membusuk dan mencungkil bilah-bilah lantai untuk dijadikan kayu bakar, atau jerit tangis anak- anak yang mengompoli pakaian compang-camping mereka. Pada pagi hari, dia akan
berdandan di bilik riasnya, yang tidak boleh dimasuki oleh suaminya sekalipun, lalu menata wadah-wadah sisir dan cermin berlapis emasnya, dan pada malam hari, dia mandi berendam untuk memoles kulitnya. Dia berulang kali mengejutkan para tetangganya dengan keluar mengenakan pakaian terindahnya, mengumumkan bahwa dia akan mengunjungi salah satu kerabatnya, keluarga Nakamido, lalu berjalan dengan gaya bangsawan sejati ke istal terdekat untuk menyewa sebuah kereta dan pergi begitu saja.
"Wanita serigala " wanita serigala penyihir!" para pelayan berkasak-kusuk ketika dia berada jauh dari mereka.
Bahkan Mokunosuke yang telah uzur sekalipun, yang telah bekerja untuk keluarga mereka sejak masih bocah, akan berdiri bersama seorang anak yang menangis terisak-isak di punggungnya sambil memandang dengan penuh damba kepada ibunya yang baru saja pergi. Nantinya, dia akan terdengar menyusuri jalan di sekeliling istal pada malam hari, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk anak majikannya. Tadamori, pada masa itu, biasanya akan terlihat bersandar ke tiang di bawah naungan bayangan, memejamkan mata, di tengah kesunyian, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Tsunemori adalah seorang anak yang pandai; dia tidak memedulikan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya dan menghabiskan waktu dengan buku-bukunya. Dia dan Kiyomori mulai belajar di Akademi Cina Klasik Kekaisaran sejak usia dini. meskipun setelah beberapa waktu, Kiyomori menolak untuk mengikuti pelajaran lagi. Walaupun ayahnya senantiasa mendesaknya untuk melanjutkan pendidikan, Kiyomori tidak merasakan manfaat dari membaca Konfusius, yang ajarannya sepertinya tidak sesuai dengan dunia yang dilihatnya atau kehidupan di dalam rumahnya. Kiyomori biasanya menghabiskan waktu
dengan bermalas-malasan seperti ayahnya. Sering kali, sembari berbaring di dekat kaki meja adiknya, Kiyomori akan bercerita tentang pacuan kuda di Kamo atau berbagai gosip para wanita di lingkungan mereka; jika Tsunemori tidak berminat mendengarkannya, dia akan tetap berbaring di tempat yang sama, melamun menatap langit-langit, mengorek- ngorek hidungnya. Pada waktu yang lain, dia akan bergegas ke arena panahan di belakang rumah untuk berlatih memanah, atau melesat ke istal untuk kemudian pulang dengan memacu seekor kuda, tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Sepertinya, dia bertindak sesuka hatinya.
Kiyomori sering menganggap ibunya sebagai seorang yang aneh; ayahnya pun sama saja; hanya Tsunemori yang sepertinya berperangai normal layaknya orang biasa.
Bahkan dirinya sendiri, Kiyomori, putra sulung dan ahli waris utama, adalah seorang yang aneh. Kesimpulannya, mereka adalah orang-orang aneh yang tergabung di dalam sebuah keluarga aneh. Tetap saja, keluarga Heike dari Is6
adalah salah satu dari beberapa keluarga samurai yang berasal dari leluhur terhormat. Di ibu kota, yang penduduknya mengetahui bahwa tradisi Heike telah diturunkan hingga beberapa generasi, banyak orang meramalkan bahwa akan ada banyak cabang dari pohon keluarga ini yang mengembalikan kejayaan nama mereka.
Kendati begitu, Kiyomori tidak memedulikan desas-desus semacam itu, hanya mengetahui bahwa dirinya masih muda, merdeka, dan bahagia.
Dia menyadari beban tugas yang diembannya karena dia telah membaca surat yang dipercayakan kepadanya.
Kiyomori hendak meminjam uang dari salah seorang kerabatnya, pamannya. Ini sudah cukup sering terjadi, dan dia akan menemui satu-satunya saudara ayahnya,
Tadamasa, seorang anggota Kesatuan Pengawal Kaisar, yang telah sering dimintai bantuan oleh Tadamori.
Setelah perayaan Tahun Baru, ibu Kiyomori terserang masuk angin; seperti biasanya, dia tanpa henti mencecar suaminya dengan selera kelas atasnya, menuntut agar tabib istana dipanggil untuk merawatnya, meminta obat yang mahal, mengeluhkan baju tidurnya yang terasa berat di badannya, dan mencela makanan yang tidak selayaknya diberikan kepada seseorang yang sedang sakit Kemiskinan yang berhasil diabaikan oleh Tadamori menerpa mereka semua dalam semalam bagaikan angin bersalju. Meskipun atas kemenangannya melawan para perompak dua tahun sebelumnya dia dianugrahi emas dan berbagai hadiah lainnya, yang berhasil melepaskannya dari jerat kesulitan keuangan, rezeki nomplok itu mendorong istrinya untuk lebih menghambur-hamburkan uang.
Tadamori percaya bahwa dia memiliki cukup banyak uang untuk menghidupi keluarganya hingga setahun kemudian, sampai penyakit istrinya meludeskan seluruh sisa harta mereka hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu, sehingga mereka terpaksa harus menghirup bubur dari remah-remah beras untuk sarapan dan makan malam.
Dengan hati pedih, sembari berusaha menulis surat permohonan untuk saudaranya, Tadamori menoleh ke arah putranya. "Heita. maafkan aku karena harus menyuruhmu menemui pamanmu lagi ?" Ini adalah tugas yang harus diselesaikan oleh Kiyomori. Rasa sakit hati membakarnya"diperingatkan untuk tidak berkeliaran dan menghabiskan waktu di Shiokoji! Seorang bocah sekalipun berhak untuk mengalihkan perhatian. Bukankah dia akan berumur dua puluh tahun musim semi ini" Tetap saja, dialah, seorang pemuda. sendiri, seraya berjalan
memikirkan bahwa tidak ada salahnya jika dia berusaha mencari sedikit kesenangan.
"Lagi-lagi, Heita," seru paman Kiyomori sambil menurunkan surat itu dengan muak.
Ketika sang paman menyerahkan uang yang disebutkan di dalam surat itu kepada keponakannya, istrinya muncul dan mendamprat, "Mengapa kalian tidak mengemis kepada keluarga ibumu saja" Bukankah mereka semua anggota klan bangsawan Fujiwara?"yang termulia Nakamikado"darah biru yang menyilaukan mata! Bukankah ibumu menyombongkan mereka setiap waktu" Sana, katakan juga ini kepada ayahmu!"
Kemudian, dimulailah rentetan hinaan kepada orangtua Kiyomori dari paman dan bibinya. Apakah yang lebih memalukan daripada hal ini"membiarkan orang lain mencerca ayah dan ibunya" Butiran-butiran air mata mengalir menuruni pipi Kiyomori.
Kiyomori tahu, bagaimanapun, bahwa kehidupan pamannya tidaklah mudah. Meskipun sebuah sistem Pengawal Kekaisaran telah diciptakan, dan ada semakin banyak samurai yang dipekerjakan di Istana dan wilayah-wilayah kekaisaran lainnya, para bangsawan Fujiwara memperlakukan mereka layaknya budak. Mereka hanya dihargai untuk keganasan merekat disamakan dengan anjing-anjing Kishu dan Tosa, dan tidak dianggap setara dengan para bangsawan yang berkeliaran di sekeliling singgasana; imbalan mereka di kampung sebagian besar hanyalah berupa tanah pegunungan gersang atau rawa-rawa yang telah terbengkalai. Para samurai itu dibenci, dihina dina seolah-olah mereka rakyat jelata; tanpa kehormatan yang semestinya menjadi hak mereka, mereka menggantungkan hidup pada hasil pertanian yang tidak seberapa, dan kemiskinan pun tidak terelakkan lagi.
Angin ganas bulan Februari terkadang mendatangkan Angin Timur Pertama, namun entah bagaimana, kerinduan pada musim semi menjadikan udara yang dingin terasa semakin menusuk tulang. Mungkin siksaan kelaparanlah yang membuat Kiyomori gemetar. Baik paman maupun bibinya tidak mengundangnya untuk makan malam bersama mereka. Lebih baik begitu, pikir Kiyomori; satu-satunya pikiran yang ada di benaknya adalah melarikan diri dari rumah itu. Dia tidak akan pernah mau lagi menjalankan tugas seperti ini. Bahkan kalaupun dia harus mengemis. Sungguh mengesalkan menangis terisak-isak seperti ini, sementara paman dan bibinya mungkin mengira dia hanya berpura-pura menitikkan air mata demi uang.
Sungguh memalukan! Kelopak matanya masih bengkak, dan Kiyomori bisa merasakan orang-orang yang berpapasan dengannya memandangi wajahnya yang bernoda air mata.
Padahal, orang-orang memandangi Kiyomori bukan karena itu, melainkan karena penampilannya"kimono kusut dan tunik dalam kumalnya. Pakaian penggembala sapi dan pelayan rendahan sekalipun masih lebih hangat daripada yang dikenakannya. Para gelandangan yang berteduh di bawah Gerbang Roshomon pun tidak akan sudi mengenakan pakaian seperti itu. Seandainya dia tidak membawa pedang panjangnya, sebagai apakah orang-orang akan memandang dirinya"dengan sandal dan sarung kaki kulitnya yang bernoda lumpur; topi runcingnya, yang warnanya telah memudar dan lapisannya telah terkelupas, terpasang miring di kepalanya; sosok gempal dan kumis kakunya; kepalanya yang agak kebesaran untuk tubuhnya; mata, telinga, dan hidungnya yang lebar; alisnya"bagaikan dua ekor ulat bulu"yang menaungi sepasang mata sipit dengan sudut luar menurun, mata yang memberikan kesan baik pada wajah garang atau bahkan bengisnya"seorang pemuda berwajah janggal dan berkulit terang dan bertelinga
caplang kemerahan, yang menjadikan kemudaannya, entah bagaimana, tampak menarik"
Orang-orang yang berpapasan dengannya bertanya-tanya siapakah samurai muda ini, di manakah dia bertugas sebagai Pengawal"mengamati bagaimana dia berjalan dengan tangan bersedekap. Kiyomori tahu bahwa sikap ini, yang hanya ditunjukkannya di jalanan"tidak pernah di hadapan ayahnya" dipandang dengan sebelah mata oleh Tadamori, yang menganggapnya sangat tidak layak ditunjukkan oleh seseorang dari keluarga terhormat Tetapi, Kiyomori telah terbiasa menampilkan sikap seperti ini ketika berada di jalanan"dia mempelajarinya dari para pria yang meramaikan Shiokoji. Mustahil baginya untuk pergi ke sana hari ini; uang yang dipegangnya"uang pinjaman memalukan itu! Memikirkannya membuatnya gemetar.
Daya tarik Shoikoji menyedot seluruh kesadarannya.
Akibat kemauan yang lemah, dia merasa tidak akan pernah bisa menahan diri dari pergi ke sana.
Setibanya di persimpangan jalan, Kiyomori menyerah.
Angin hangat dari Shiokoji yang menerpanya membawa bau-bauan yang menggelitik dan mengolok-olok keraguannya. Di sanalah mereka, di tempat yang sama, seperti biasanya"seorang wanita tua menjajakan paha burung kuau panggang dan burung-burung kecil panas menggoda yang dirangkai di tusukan; di sebelah lapak wanita itu, seorang pria memeluk seguci besar sake, menyanyi dan tertawa terpingkal-pingkal layaknya seorang pemabuk sambil melayani pembeli; di sana, di bagian pasar yang teduh, seorang gadis penjual jeruk duduk seorang diri sambil memangku dagangannya; dan ada pula sepasang tukang sol, ayah dan anak. Di sanalah mereka"lebih dari seratus lapak kecil, bersisi-sisian, memamerkan ikan asin,
baju bekas, dan berbagai macam tetek bengek penunjang kehidupan para pedagang itu.
Bagi Kiyomori, setiap lapak, setiap jiwa yang ada di sana, seolah- olah lahir di bawah beban dunia yang menghimpit mereka; semua orang di sini adalah rumput mengenaskan yang terinjak-injak" gabungan kehidupan manusia yang berakar di tanah becek ini, hidup dan menghidupi dalam sebuah perjuangan untuk bertahan; dan dia tergerak oleh keberanian besar dan menggetarkan yang terpancar dari pemandangan ini. Uap dari masakan panas dan asap dari daging bakar seolah-olah menjadi selubung misterius yang menutupi setiap rahasia di tempat itu"
segerombolan pejudi jalanan, senyum menggoda para pelacur yang lalu lalang menembus kerumunan orang, lengkingan tangis bayi, gebukan genderang para penyanyi balada"seluruh perpaduan bau-bauan dan suara yang mendatangkan gejolak di kepalanya. Tempat ini adalah surga bagi kaum papa, setara dengan pesta para bangsawan, ibu kota rakyat jelata. Mendatangi tempat itu sama dengan merendahkan derajatnya, dan itulah alasan utama larangan tegas Tadamori kepadanya.
Tetapi, Kiyomori menyukai tempat ini. Dia merasa betah berada di tengah-tengah orang-orang itu. Pasar Penadah sekalipun, yang lapak-lapaknya terkadang berdiri di bawah pohon jelatang besar di sudut barat pasar, berhasil memikatnya. Biar saja mereka disebut perampok dan pencoleng"bukankah mereka cukup ramah jika perut mereka kenyang" Ada sesuatu yang salah di dunia ini, yang mendorong mereka untuk mencuri. Tidak ada penjahat di sini" mereka justru bisa ditemukan di antara gumpalan awan menawan di Gunung Hiei, di Kuil Onjoji, dan bahkan di Nara, tempat mereka menjadikan bangsal dan menara kuil-kuil Buddha sebagai benteng" para pemuka
agama Buddha berhati nista dalam balutan jubah brokat dan emas mereka.
Dengan pikiran semacam itu berkelebatan di benaknya, Kiyomori mendapati dirinya berada di tengah riuh rendah kerumunan manusia; menengok ke sana, berhenti di situ, dia berjalan tanpa arah tujuan, tidak merisaukan malam yang mulai datang. Tidak seorang pun terlihat di bawah pohon jelatang, namun di keremangan cahaya senja, dia bisa melihat pendar lentera-lentera, buket-buket bunga, dan mencium semerbak aroma dupa. Tidak lama kemudian, gadis dan wanita jelata tampak berduyun-duyun menari, satu demi satu kelompok, menghampiri pohon tersebut untuk melakukan pemujaan.
Legenda menyebutkan bahwa pada zaman dahulu kala, gundik dari seorang perompak termahsyur tinggal di tempat yang sekarang ditumbuhi pohon jelatang itu. Seiring waktu, para wanita yang memercayai takhayul meyakini bahwa berdoa di sana akan menyebabkan pujaan hatinya memimpikannya atau mendatangkan penyakit menjijikkan pada saingan yang dibencinya. Kematian siperompak di penjara pada 7 Februari 988 mengguncang masyarakat, dan sejak saat itu, para begundal pasar dan wanita dari berbagai latar belakang melestarikan kenangannya dengan mempersembahkan dupa dan bunga-bungaan pada hari ketujuh setiap bulan.
Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak tokoh pembangkang ini, putra seorang bangsawan dari Golongan Keempat, dengan liar membakar, menjarah, dan membantai, namun dia tidak kunjung dilupakan oleh rakyat jelata, karena namanya seolah-olah tercetak di dalam kenangan mereka. Kejahatannya menjadi sensasi pada kurun waktu yang menandai kejayaan dan kekuasaan klan Fujiwara. Bagi rakyat jelata, pembangkangan si perompak
terhadap hukum yang berlaku merupakan ekspresi dari kemarahan mereka yang tersimpan di dalam hati, sehingga alih-alih menghujatnya, mereka justru mengidolakannya.
Bunga-bungaan dan dupa mungkin tidak akan berhenti mengalir ke tempat itu selama masih ada seorang saja Fujiwara yang bernapas di muka bumi ini; kemudian, orang- orang yang tidak percaya pada takhayul pun turut berdatangan untuk berdoa di sana.
"Sesuatu yang ada di dalam diri si perompak itu juga mengalir di darahku," pikir Kiyomori; pendar-pendar cahaya di bawah pohon mulai tampak bagaikan api unggun yang menunjukkan jalan ke masa depannya, dan dia tiba-tiba ketakutan. Dia membalikkan badan dan bersiap-siap berlari.
"Ah, Heita dari Ise! Mengapa kau berlama-lama memandangi para gadis yang datang untuk berdoa di bawah pohon jelatang itu?"
Di tengah kegelapan, Kiyomori tidak bisa melihat siapa yang memanggilnya. Sejenak kemudian, orang asing itu melangkah maju dan menyambar bahu Kiyomori, lalu mengguncang-guncangnya dengan keras sehingga kepalanya terangguk-angguk tanpa daya.
"Ah, kamu"Morito!"
"Siapa lagi jika bukan Morito sang samurai" Bagaimana mungkin kau melupakanku! Apakah yang kaulakukan di sini, dan mengapa kau menatap dengan bingung begitu?"
"Eh, bingung" Aku tidak menyadarinya. Apakah mataku masih bengkak?"
"Ho, ho! Jadi, ada pertengkaran antara ibumu yang jelita dan si Mata Picing, dan kau tidak tahan menghabiskan waktu di rumah?"
"Tidak. Ibuku sakit"
Morito tertawa dingin. "Sakit?"
Morito adalah teman sekolahnya di Akademi Kekaisaran; meskipun berusia setahun lebih muda daripada Kiyomori, dia selalu tampak lebih tua dan dewasa.
Kiyomori dan yang lainnya tertinggal jauh dari Morito dalam hal pelajaran, dan para guru mereka telah meramalkan karier yang brilian bagi murid kesayangan mereka ini.
Lagi-lagi Morito tertawa, "Aku tidak bermaksud lancang, tapi si nyonya, percayalah padaku, sakit akibat serangan cintanya kepada diri sendiri dan sikap angin-anginannya. Kau tidak perlu khawatir, sobatku; daripada bermuram durja, lebih baik kita pergi dari sini" untuk mencari sake."
"Eh"sake?"
"Tentu saja. Perempuan Gion adalah ibu dari banyak anak lelaki, tapi dirinya tidak banyak berubah dari dahulu.
Ayolah, jangan heran begitu."
"Morito, siapakah si Perempuan Gion ini?" cecar Kiyomori.
"Apa kau tidak tahu tentang masa lalu ibumu yang anggun itu?"
"Tidak. Memangnya kau tahu?"
"Hmm"kalau kau mau, aku akan memberitahumu.
Ayo, ikudah denganku. Biarkan saja si Mata Picing menjalani takdirnya. Ini adalah zaman susah, Heita.
Mengapa kau membiarkan semangatmu padam ketika kemudaanmu sedang berkembang" Kupikir tidak ada yang
bisa menyusahkanmu. Berhentilah meratap-ratap dan bertingkah seperti perempuan itu!"
Maka, Morito pun sekali lagi mengguncang bahu Kiyomori dengan kasar, kemudian berlalu menyongsong kegelapan.
o0odwkzo0odwo0odwkzo0o Ruangan itu tidak berdinding: sekat-sekat kayu tipis memisahkannya dari ruangan di sebelahnya; sehelai kain usang menggantikan tirai, dan selembar tikar jerami tergantung di ambang pintu. Seorang tukang tidur sekalipun tidak akan sanggup tidur nyenyak di tengah keributan di ruangan sebelah"tabuhan gendang, gemerincing tembikar, dan nyanyian nyaring. Bunyi gedebuk seseorang yang jatuh mendadak mengguncang seluruh rumah; gemuruh tawa nyaring sejumlah pria dan wanita seketika menyusul.
"Apa! Di manakah aku" Sialan, pukul berapa sekarang?"
Kiyomori sekonyong-konyong terbangun dengan bingung.
Seorang wanita terlelap di sampingnya. Tidak salah lagi"
ini adalah rumah bordil di Jalan Keenam. Morito telah membawanya kemari. Kurang ajar! Dia harus segera pulang.
Kebohongan apakah yang akan dikatakannya di rumah"
Dia bisa melihat tatapan marah ayahnya, mendengar cecaran ibunya, dan rengekan kelaparan adik-adiknya.
Bagus! Setidaknya, dia masih memegang sisa uang yang dipinjam dari pamannya. Dia akan pergi sekarang juga; Kiyomori telah tersadar sepenuhnya. Di manakah Morito"
masih bersenang-senang" Dia akan memeriksa keramaian di ruangan sebelah.
Dia menginjak rambut hitam si wanita ketika melompatinya untuk mengintip melalui celah di kayu, yang memasukkan seberkas cahaya; beberapa buah lampu
minyak pinus menyala di ruangan tanpa perabot itu; tikar jerami melapisi lantai kayunya, dan tampaklah tiga atau empat orang pendeta berwajah bandit dengan tubuh berbalut jubah kehormatan, menyandang pedang panjang, memangku atau memeluk gadis-gadis penari yang ada di sana. Beberapa buah botol anggur kosong berserakan di lantai.
Jadi, Morito telah pergi, meninggalkannya sendirian di sini!
Dikuasai kepanikan, Kiyomori memakai kimono usangnya, menyandang pedangnya, dan bergegas meraba-raba jalan menuju pintu. Di tengah kegelapan, kakinya yang goyah menyandung peranti logam yang seketika berdentang nyaring.
Mendengar suara itu, para pendeta berhamburan keluar dari ruangan mereka, berseru, "Berhenti, berhenti! Siapa yang berani- beraninya menjatuhkan tombakku, lalu lari begitu saja" Tunggu, dasar begundal, yang di sana!"
Kiyomori sontak berhenti, ketakutan. Ketika dia menoleh, dilihatnya kilatan dingin tombak di depan matanya. Tidak diragukan lagi, pemegangnya adalah tangan lihai salah seorang pendeta kekar dari Gunung Hiei atau Kuil Oujoji. Tantangan itu datang secepat kibasan tangan Dewa Kematian. Seketika itu juga, aroma anggur lenyap bersama berbagai kenangan indah dan penyesalan, dan Kiyomori, memalingkan wajah, dengan segenap kekuatannya melesat menyongsong terpaan angin malam.
Ketika melihat rumahnya, hatinya seolah-olah melesak.
Dilihatnya pagar anyaman ranting berlapis lempung yang telah retak dan tertutup rumput mati di sana-sini, juga atap gerbang utama yang telah miring. Apakah yang akan dilakukannya" Apakah yang akan dikatakannya" Malam
ini, Kiyomori bergidik hanya karena harus menemui ibunya; lebih baik dia menghadapi semburan ayahnya.
Amarah mendidih di dalam diri Kiyomori; dia tidak akan sanggup mendengarkan suara ibunya; di lain waktu, dia akan meminta ibunya membujuk ayahnya, memohon ampunannya, dan bahkan mendambakan belaiannya.
Adakah anak lain yang mengkhianati ibunya sendiri seperti yang dilakukannya malam ini" Ketika menatap dinding rumahnya, Kiyomori merasa muak dan terabaikan. Yakin dan emosional, berbagai pikiran gila melanda benak Kiyomori saat ini dan menjadikan kelopak mata dan keningnya berkedut Seandainya dia tidak mendengar tentang masa lalu ibunya! Seandainya dia tidak mendengar omongan Morito!
Penyesalan menghampiri Kiyomori"ingatannya akan Morito, ketika dia bermesraan dengan para wanita itu.
Seluruh kejadian pada malam hari yang dihabiskan bersama minuman keras itu sekonyong-konyong kembali ke dalam ingatannya. Lebih jelas daripada semuanya, dia teringat pada kamar di rumah bordil itu- rambut gelap yang kusut dan tubuh lemas yang hangat. Apa bedanya jika wanita itu cantik atau buruk rupa" Kiyomori berumur dua puluh tahun dan untuk pertama kalinya mereguk rasa manis yang aneh dan tidak terlupakan, yang kemudian membanjiri seluruh indranya dengan kenikmatan. Pikirannya senantiasa tersedot kembali ke kenangan yang membara di dalam tubuhnya. Apakah aroma tubuh perempuan itu tertinggal di tubuhnya" Pikiran itu sejenak meresahkannya; kemudian, dengan satu lompatan besar, dia telah berada di sisi lain pagar. Baru kali inilah dia mendarat di halaman rumahnya dengan rasa bersalah yang mendalam. Kiyomori sudah terbiasa pulang dengan cara ini setelah berkeliaran secara diam- diam pada malam hari. Dia mendapati dirinya mendarat di petak sayur di belakang istal.
"Oh, Andakah itu. Tuan Muda Heita?"
"Hmm"kaukah itu Tua Bangka?" Kiyomori cepat-cepat menegakkan badan, merapikan rambutnya yang acak-acakan. Di hadapannya, berdirilah si pelayan tua, Mokunosuke, yang kemampuannya untuk membuatnya merasa bersalah nyaris menyamai ayahnya.
Lama sebelum Kiyomori lahir, Mokunosuk? telah menjadi pelayan di rumah ini; kedua gigi serinya sekarang telah tanggal, dan meskipun orang-orang menggunjingkan majikannya yang malas dan mengolok-olok kemiskinan keluarga Heike, Mokunosuke yang setia seorang diri mempertahankan kehormatan rumah majikannya, menjalankan berbagai ritual di dalamnya, dan tidak pernah beristirahat dari berbagai tugas yang diembannya sebagai pelayan seorang samurai.
"Dan, Anda, Tuan Muda, apakah yang sedang Anda sendiri lakukan" Tidak ada setitik pun cahaya di jalan pada malam selarut ini," katanya, membungkuk untuk memungut topi usang Kiyomori; sambil menyerahkan topi itu, mata Mokunosuke menelanjangi majikannya, hidungnya mencium sesuatu yang salah.
"Apakah Anda beradu mulut dengan para biksu berisik itu atau terlibat dalam pertikaian berdarah di persimpangan jalan" Meskipun saya sudah memohon kepada Tuan untuk tidur, beliau terus menolak. Ah, sudahlah"selamat datang, selamat datang."
Kelegaan memenuhi mata si pelayan yang terpicing, namun Kiyomori menjadi gentar akibat tatapan penasaran yang ditujukan kepadanya. Jadi, ayahnya masih terjaga!
Bagaimana dengan ibunya" Dia resah memikirkan apa yang sedang menantinya. Mokunosuke, tanpa menunggu majikannya bertanya, segera mengatakan, "Berhentilah
berpikir, Tuan Muda, dan jangan membuat keributan.
Sekarang, tidurlah."
"Tidak apa-apakah, Tua Bangka, jika aku tidak mendatangi kamar ayahku sekarang?"
"Besok pagi saja. Biarkanlah si Tua Bangka ini menemani Anda dan menguatkan alasan Anda."
"Tapi, beliau tentu murka karena aku terlambat pulang."
"Lebih daripada biasanya. Beliau memanggil saya ketika senja tiba. Beliau sepertinya sangat cemas dan memerintah saya untuk mencari si berandal itu di Shiokoji. Saya sebisa mungkin melindungi Anda."
"Ya, dan kebohongan apakah yang telah kaukatakan?"
"Ingatlah, Tuan Muda, berbohong kepada Tuan menyakiti saya, namun saya mengatakan kepada beliau bahwa saya bertemu dengan paman Anda, yang mengabarkan bahwa Anda terpaksa beristirahat di rumah beliau gara-gara sakit perut dan akan segera pulang setelah pagi tiba."
"Maafkan aku, Tua Bangka, maafkan aku."
Kuntum-kuntum bunga plum di dekat istal berkilauan di tengah kegelapan malam. Aroma tajamnya sekonyong-konyong menyengat lubang hidung Kiyomori, dan seluruh wajahnya berkedut. Air mata yang panas membasahi bahu Mokunosuke ketika Kiyomori memeluk pria tua itu, yang berdiri kaku. Di bawah lekukan-lekukan tulang rusuk rentanya, sebuah gelombang perasaan tiba-tiba membuncah. Kasih sayang seorang pria tua kolot yang telah lama terpendam mendadak muncul untuk menyambut ledakan emosi dahsyat Kiyomori. Berdua, mereka menangis terisak-isak, saling berpelukan hingga keduanya jatuh ke tanah.
"Oh, Tuan Muda, apakah"apakah Anda sejauh itu mengandalkan saya?"
"Kau hangat. Dengar, Mokunosuke, hanya badan rentamu itulah yang terasa hangat bagiku. Aku sendirian seperti seekor burung gagak kesepian di tengah terpaan angin musim dingin. Kau tahu sendiri seperti apa ibuku.
Ayahku bukan ayah kandungku" Heike Tadamori bukan ayahku!"
"Eh, siapakah yang mengatakan hal itu?"
"Untuk pertama kalinya, aku mendengar rahasia tentang ayahku! Morito dari Kesatuan Pengawal yang memberitahuku."
"Ah"si Morito itu!"
"Ya, Morito. Dengar, katanya, "Si Mata Picing bukan ayah kandungmu. Ayah kandungmu adalah Kaisar Shirakawa, dan kau , putra seorang kaisar, kelayapan dengan perut kosong dalam balutan kimono usang dan sandal aus. Betul-betul pemandangan hebat!"
"Cukup! Jangan katakan apa-apa lagi," Mokunosuke menangis, mengibas-ngibaskan tangannya seolah-olah untuk membungkam Kiyomori. Tetapi, Kiyomori menyambar pergelangan tangannya dan memuntirnya dengan kasar.
"Masih ada lagi"dan kau, Tua Bangka, tahu lebih banyak tentang hal ini! Mengapa kau selama ini menyembunyikan semuanya dariku?"
Kiyomori memelototi pelayan tua itu. Mokunosuke, menahan rasa sakit di pergelangan tangannya, menunduk ketakutan; kata-kata mengalir dari lehernya yang tercekat,
"Nah, nah, tenangkanlah diri Anda. Jika memang begitu adanya, maka Mokunosuke juga harus bicara, meskipun
saya tidak mengetahui apa yang telah dikatakan oleh Morito dari Kesatuan Pengawal kepada Anda."
"Dengar, inilah yang dikatakannya: "Jika kau bukan putra mendiang Kaisar Shirakawa, maka bisa dipastikan bahwa kau adalah anak salah satu pendeta mesum dari Gion. Entah kau putra kaisar atau keturunan pendeta mesum, aku tidak membuat kesalahan dalam memberitahumu bahwa kau bukan anak kandung Tadamori.?"
"Tahu apa si bocah Morito itu" Ilmu pengetahuan telah mengaduk-aduk kepalanya, dan sekarang dia menganggap semua orang bodoh. Padahal, orang-orang menyebutnya sok tahu. Anda gegabah karena memercayai pemuda berotak dangkal itu, Tuan Muda."
"Kalau begitu, Tua Bangka, bersumpahlah untuk memberitahuku apakah aku anak kaisar atau pendeta nista.
Bicaralah! Aku menantangmu untuk memberitahuku!"
Kiyomori bertekad untuk mengorek apa pun yang bisa dikorek dari pria tua itu. Sesungguhnya, Mokunosuke adalah satu-satunya pihak ketiga dalam rahasia ini, dan wajah polosnya dengan jelas menunjukkan bahwa dia tahu.
--o0d-w0o-- Bab II - PEREMPUAN GION Heiki Kiyomori lahir pada 1118. Ayahnya, Tadamori, ketika itu berusia dua puluh tiga tahun. Meskipun sekarang Tadamori dikenal dengan julukan si Mata Picing, diolok-olok karena kemiskinannya, menjadi bahan tertawaan rakyat jelata, dan dipandang rendah oleh para anggota klan Heike yang lain, keadaannya tidak selalu seperti itu. Ayah
Tadamori telah mengabdi kepada tiga orang kaisar, menjadi kesayangan dan pelayan setia mereka, dan Tadamori tumbuh dewasa di tengah-tengah keindahan istana. Ketika para samurai Heike dipanggil untuk bertugas di Kesatuan Pengawal Kaisar, dan jumlahnya perlahan-lahan melampaui samurai Genji, Tadamori dan ayahnya menjadi sosok penting. Kaisar Shirakawa memilih mereka untuk menyingkirkan para samurai Genji dari Istana; mengadu ayah dan anak itu melawan pasukan biksu bersenjata yang tangguh, dan menempatkan keduanya di Istana Kekaisaran untuk mengawasi perkembangan pengaruh para bangsawan Fujiwara.
Setelah turun tahta dan dikenal sebagai Mantan Kaisar Shirakawa, penguasa uzur itu menjalani upacara penahbisan dengan membotaki kepalanya untuk menjadi seorang biksu dan menghabiskan masa tuanya di Istana Kloister. Di sana, dia membentuk Pemerintah Kioister, pemerintahan yang terpisah dari pemerintah pusat, sebuah anomali yang tidak saja menjadikannya saingan bagi kaisar yang sedang berkuasa, tetapi juga memperuncing konflik di antara klan Genji dan Heike.
Setelah ayahnya meninggal, Tadamori menggantikan posisinya, dan Mantan Kaisar meletakkan kepercayaan lebih besar kepada Tadamori yang rendah hati dengan menunjuknya sebagai pengawal pribadinya. Untuk melakukan kunjungan dari istana di jalan Barat Ketiga ke Gion, di sisi lain Sungai Kamo, Mantan Kaisar selalu memanggil Tadamori dan pelayannya, Mokunosuke, untuk mengawalnya. Mantan Kaisar melakukan kunjungan diam-diam ini pada malam hari untuk menemui gundiknya, karena meskipun usianya telah enam puluhan, kesehatannya masih prima, dan nafsu birahinya yang
menyala-nyala menyamai semangatnya dalam menjalankan Pemerintah Kioister bentukannya.
Tidak ada yang aneh mengenai Mantan Kaisar yang memiliki wanita simpanan; itu adalah kebiasaan di kalangan bangsawan, mendatangi wanita yang berhasil memikat hati mereka dan menjadikannya kekasih tanpa ikatan. Kendati begitu, ada alasan mengapa Mantan Kaisar merahasiakan identitas gundiknya, karena gadis itu adalah seorang geisha, dan keadaan ini bisa mencegahnya diterima untuk menjadi geisha di Istana. Tidak seorang pun tahu kapan dan di mana Mantan Kaisar yang telah berusia uzur itu pertama kali melihatnya, namun sempat terdengar desas-desus bahwa gadis itu adalah putri seorang bangsawan, Nakamikado. Hanya ada empat atau lima orang bangsawan yang mengabdi kepada Mantan Kaisar yang tahu bahwa sebuah rumah telah dibangun di Gion, di dalam sebuah taman berpagar kayu cedar, dan bahwa seorang wanita cantik, yang mereka sebut "Perempuan Gion", tinggal di sana; setahu mereka, bagaimanapun, wanita itu adalah gundik seorang bangsawan istana yang telah pensiun, dan tinggal di sana demi kesehatannya.
Perempuan Gion Inilah yang kemudian menjadi ibu Kiyomori. Tidak diragukan lagi, Kiyomori lahir dari rahimnya. Sedangkan ayahnya, hanya wanita itulah yang tahu tentang rahasia itu, dan dia memilih untuk menyimpannya rapat-rapat, membiarkan putranya menderita karenanya hingga dua puluh tahun kemudian.
Malam gelap gulita dan gemerisik dedaunan berbaur dengan rintik gerimis musim gugur, menghasilkan percikan-percikan dingin di sepanjang jalanan becek, kali, dan perbukitan yang rimbun. Di malam yang kelam ini, Mantan Kaisar, dikawal oleh Tadamori dan pelayannya Mokunosuke, berangkat ke Gion.
Dedaunan yang basah tiba-tiba memancarkan pendar merah mengancam yang kemudian menyorot di antara pepohonan. Mantan Kaisar berlutut, gemetar melihat pemandangan itu.
"Ha! Ada iblis!"
Sesosok penampakan dengan kepala raksasa muncul di antara pepohonan, memamerkan deretan gigi tajam.
"Serang, Tadamori! Serang!" Mantan Kaisar berseru panik. Mokunosuke menjawab, namun Tadamori berlari maju tanpa suara sambil mengacungkan tombaknya.
Ketiganya tertawa terbahak-bahak dan melanjutkan perjalanan karena sosok yang mereka takuti itu ternyata hanyalah seorang pendeta bertopi jerami besar yang baru saja menyalakan lampu minyaknya sembari menuruni bukit dari Gion.
Petualangan malam itu sepertinya sangat menyenangkan hati Mantan Kaisar. Dia berulang kali menceritakan kembali tentang pertemuannya dengan si pendeta kepada para pelayannya, dan tidak pernah lupa memuji kesigapan Tadamori dalam setiap ceritanya, karena seandainya Tadamori bergerak lebih lamban, bukankah pendeta itu akan mengembuskan napas terakhir di tangan mereka" Para pejabat istananya, yang membanggakan kepandaian diri mereka dalam memahami keadaan, saling menggeleng: sulit bagi mereka untuk menerima begitu saja cerita Yang Mulia.
Bukankah sejak malam itu dia menghentikan kunjungannya kepada Perempuan Gion" Dan yang lebih membingungkan adalah bahwa beberapa saat kemudian, dia menyerahkan wanita simpanannya kepada Tadamori untuk dijadikan istri. Dan Tadamori, sejak menikah dengan wanita itu, menjadi kehilangan semangat hidup. Terlebih lagi, Tadamori tidak pernah sedikit pun menceritakan tentang petualangannya malam itu. Apakah Mantan Kaisar hanya
mengada-ada" Ada lebih banyak ruang untuk menerka-nerka ketika kurang dari sembilan bulan dari waktu ketika Tadamori memboyong wanita itu ke Imadegawa, dia melahirkan seorang bayi laki-laki. Jadi, kisah Yang Mulia tentang pendeta pada malam yang basah itu entah bagaimana berkesan sulit dipercaya, sebuah bualan, mungkin ".
Bahkan mereka yang paling penasaran sekalipun tidak berani untuk mencari tahu lebih banyak mengenai kejadian itu. Tindakan semacam itu tidak dipandang baik di kalangan para bangsawan; terlebih lagi, mereka tahu bahwa spekulasi seperti itu bisa menyebarkan isu-isu buruk, yang lebih baik dihindari demi keselamatan mereka sendiri.
Mereka yang bijaksana hanya bisa tersenyum penuh arti.
Pada waktu itu, Mitsuto Endo, paman Morito, bekerja sebagai Pengawal di Istana. Delapan belas tahun kemudian, dia menceritakan kisah ini kepada keponakannya, membukanya dengan perkataan, "Bukankah putra sulung Tadamori, Heita Kiyomori, adalah teman sekolahmu" Aku penasaran apakah Tadamori masih percaya bahwa dia mendapatkan kehormatan dari Mantan Kaisar ketika beliau menyerahkan Perempuan Gion kesayangannya untuk dijadikan istri olehnya, dan tak lama kemudian perempuan itu melahirkan Kiyomori" Kalau memang begitu, berarti dia pria bodoh yang malang! Kemarin, aku bertemu dengan seorang teman yang mengenal dekat Perempuan Gion. Saat ini, pria itu tentu sudah berumur lima puluhan dan tinggal di salah satu kuil di dekat Gion, tempatnya dikenal sebagai si pendeta mesum. Kakunen. Dia menyatakan bahwa dirinya adalah ayah kandung Kiyomori."
"Eh"benarkah itu?"


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketertarikan Morito tiba-tiba terpancing begitu mendengar cerita tentang kawannya, karena dia sendiri
pernah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa Kiyomori sesungguhnya adalah putra seorang kaisar.
Dengan penuh semangat, Morito bertanya, "Kata Paman, cerita ini berasal dari Kakunen. Jadi, apakah menurut Paman dia mengatakan kebenaran?"
"Dia menceritakannya ketika kami minum-minum anggur, ketika kami sedang menyombong tentang wanita-wanita yang pernah kami taklukkan. Waktu itulah si Kakunen ini membisikkan kepadaku bahwa dia tidak pernah menceritakan tentang rahasia ini kepada siapa pun, dan aku mendengarnya dengan telingaku sendiri."
"Luar biasa!" "Aku sendiri juga kaget. Pada awalnya aku tidak percaya bahwa seorang pendeta yang hidup asal-asalan sekalipun bisa berbohong seperti itu. Lagi pula, cerita ini sangat meyakinkan ?"
Kakunen akhirnya mengungkapkan kisah berikut kepada paman Morito: Kakunen pernah mengintip Perempuan Gion melalui sebuah celah di pagar kayu cedar dan terbakar birahi. Karena perempuan itu adalah kesayangan Yang Mulia, tidak ada jalan untuk mendekatinya, dan selama beberapa waktu, dia berkeliaran di dekat rumahnya, menguntit si Perempuan Gion setiap kali dia keluar pada pagi dan malam hari, hingga pada suatu hari, Kakunen mendapatkan kesempatan untuk menyergapnya.
Karena Mantan Kaisar yang telah uzur jarang datang, dan Kakunen adalah seorang pendeta baru berwajah tampan yang masih berumur tiga puluh tahun dan tinggal di sebuah kuil yang hanya sepelemparan batu dari rumahnya, Perempuan Gion, setelah selama waktu yang singkat bertahan, segera menyerah terhadap bujuk rayu si pendeta muda.
Pada malam musim gugur ketika hujan sedang turun, saat Mantan Kaisar sepertinya tidak mungkin berkunjung, Kakunen diam-diam keluar dari kuilnya untuk menemui Perempuan Gion, dan dia nyaris berhadapan secara langsung dengan Yang Mulia dan dibunuh oleh pengawal pribadinya. Seandainya Kakunen tidak bisa dipercaya, maka anak siapakah yang kemudian lahir di bawah atap rumah Tadamori"
Mitsuto meminta keponakannya berjanji untuk tidak menceritakan kembali kisah ini kepada siapa pun, dan Morito pun menyimpannya rapat-rapat hingga dia tanpa sengaja bertemu dengan Kiyomori yang berpakaian compang-camping dan bertampang memelas di Shiokoji.
Dia pun tidak sanggup lagi menyimpan rahasia itu.
Sebagian didorong oleh hasrat untuk memancing kemarahan Kiyomori, Morito mengundangnya untuk minum-minum dan berbagi cerita.
"Tua Bangka, aku sudah tahu semuanya sekarang. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikannya dariku. Matamu sendiri menjadi saksi atas apa yang terjadi pada malam dua puluh tahun yang lalu. Apakah Morito berbohong atau berkata jujur" Tidak, aku memohon kepadamu, katakanlah kepadaku, siapa ayahku yang sesungguhnya! Tua Bangka, kumohon, katakanlah yang sesungguhnya kepadaku, agar aku tahu darah siapa yang mengaliri nadi dan takdirku! Aku memohon kepadamu " aku memohon kepadamu!"
Suara percakapan di bawah naungan bayangan istal menghilang. Sesekali terdengar isak tangis. Mokunosuk& tidak mengucapkan sepatah kata pun. Awan timur membelah di atas pucuk pohon plum, dan dinginnya angin dini hari terasa menusuk tulang.
o0odwkzo0odeo0odwkzo0o Mokunosuke duduk diam, menunduk dalam-dalam bagaikan sebentuk patung yang dipahat dari batu, dan Kiyomori, yang bernapas dengan berat, tetap menatap tajam pria tua itu. Hanya detak teratur jantung merekalah yang sepertinya memecahkan keheningan menyiksa yang menggantung di atas tanah beku pada pagi buta itu.
Mokunosuke mengerang panjang lantaran memikirkan tentang kisah lama yang harus diungkapkannya.
"Saya akan menceritakannya, karena Anda memerintah saya, namun pertama-tama, tenangkanlah diri Anda terlebih dahulu." Kemudian, dia pun memulai: Dua puluh tahun yang lalu, tahun ketika Kiyomori lahir, pada suatu malam gelap yang basah, Mokunosuke menjadi saksi sebuah peristiwa. Dia bersama majikannya, Tadamori, sedang mengawal Mantan Kaisar dan melihat apa yang terjadi di bukit di dekat Gion. Tetap saja, siapakah yang akan memercayai kebenaran cerita dari sebuah peristiwa yang terjadi dua puluh tahun silam" Bahkan Mokunosuke sendiri meragukan apakah Kiyomori akan memercayai ceritanya, karena meskipun sebagian fakta telah terungkap dari cerita Morito, begitu pula dari desas-desus yang telah lama beredar"malam yang basah, si pendeta, kesigapan Tadamori" yang disampaikan oleh Mokunosuke ternyata berbeda. Malam itu di Gion, Mokunosuke melihat seorang pendeta tergesa-gesa melarikan diri dengan melompati pagar yang mengelilingi rumah Perempuan Gion. Malam itu pula dia menyadari bahwa ada masalah di antara Mantan Kaisar dan gundik kesayangannya. Dia mendengar isakan Perempuan Gion; Mantan Kaisar memanggil Tadamori; Yang Mulia berbicara dengan nada marah dan kembali ke Istana lama sebelum fajar merekah. Semua kejanggalan tersebut mewarnai rangkaian peristiwa malam itu. Desas-desus yang kemudian beredar, bahkan setelah
dicermati, tetap tidak menyiratkan kebenaran. Pada tahun yang sama. Perempuan Gion menikah dengan Tadamori dan melahirkan seorang bayi lelaki di rumahnya, sebuah fakta yang tidak terbantahkan, meskipun tidak juga memberikan petunjuk mengenai siapa ayah kandung bayi itu. Tetapi, ketika si anak dengan putus asa memohon kepadanya untuk mendengar cerita yang sesungguhnya, Mokunosuke tetap berpegang teguh pada prinsipnya bahwa dugaannya sendiri tidak boleh ditambahkan pada misteri yang meliputi putra majikannya. Melakukan itu sama saja mengkhianati kesetiaannya kepada majikan samurainya.
Layaknya seorang bocah yang telah ditenangkan namun masih menangis terisak-isak, Kiyomori, dalam dekapan si pelayan tua, membiarkan dirinya dibimbing ke kamarnya.
"Sekarang, tidurlah," kata Mokunosuke. "Biar saya saja yang berbicara dengan Tuan pagi nanti; Mokunosuke akan menjelaskan semuanya. Jangan khawatir." Seolah-olah memperlakukan anaknya sendiri, Mokunosuke menata bantal dan membentangkan selimut di atas tubuh Kiyomori.
Berlutut di dekat kepala Kiyomori, pelayan tua itu berkata,
"Sekarang, biarkanlah seluruh masalah Anda larut dalam mimpi. Siapa pun Anda, Anda adalah seorang pria.
Tegarlah, karena Anda gagah perkasa. Pikirkanlah tentang langit dan bumi sebagai ibu Anda"ayah Anda. Tidakkah pikiran itu menenangkan Anda?"
"Tua Bangka, jangan merecokiku. Biarkanlah aku tidur dan melupakan semua ini."
"Ah, baiklah, kalau begitu, hati renta ini juga sudah tenang." Menoleh sekali lagi ke arah Kiyomori yang telah tertidur, Mokunosuko membungkuk, menyibakkan tirai penyekat yang menggantung di ambang pintu, dan melangkah ke luar.
o0odwkzo0odwo0odwkzo0o Kiyomori tidak menyadari seberapa lama dia terlelap.
Seseorang mengguncang tubuhnya dan memanggil-manggilnya. Dia berusaha membuka matanya yang berat.
Kerai pintu yang telah dinaikkan menunjukkan bahwa waktu telah jauh melebihi tengah hari. Tsunemori berdiri di dekat ranjangnya; kegugupan terpancar dari wajah tampannya ketika dia membungkuk di atas kakaknya, mengulangi perkataannya, "Ayo " kau harus ikut denganku. Karena dirimulah Ayah dan Ibu ?"
"Apa"aku" Ada apa denganku?"
"Mereka mulai bertengkar pagi tadi, hingga makan siang pun mereka lupakan. Sepertinya pertengkaran kali ini tidak akan berakhir."
"Mereka lagi-lagi bertengkar" Apa hubungannya semua itu denganku?"
Kiyomori meregangkan kedua tangannya dan menguap lebar-lebar, berkata dengan tegas. "Kuulangi lagi. Apa hubunganku dengan pertengkaran mereka?"
Tsunemori menjawab dengan putus asa, "Jangan berkilah. Kaulah penyebab pertengkaran mereka.
Dengarkanlah adik-adik kita yang merengek-rengek dan menangis kelaparan!"
"Di mana Mokunosuke?"
"Dia dipanggil ke bilik Ayah beberapa waktu yang lalu, dan Ibu sepertinya memerintahnya melakukan sesuatu."
"Baiklah, kalau begitu, aku akan ikut denganmu," jawab Kiyomori, turun dari ranjang dan melontarkan tatapan kesal ke arah adiknya yang penakut. "Berikan kimonoku"
kimonoku." "Kau sudah memakainya."
"Oh, jadi aku tertidur dengan kimonoku, ya?" kata Kiyomori, mengeluarkan sisa uang semalam sebelumnya dari balik ikat pinggangnya. Menyodorkan sebagian uang itu kepada Tsunemori, dia berkata, "Ini untuk membeli makanan bagi adik-adik kita. Suruhlah Heiroku melakukannya untukmu."
Tsunemori menolak. "Kita tidak bisa melakukan itu. Itu akan membuat ibu marah, lalu?"
"Peduli amat. Aku akan melakukannya!"
"Tapi, kau sekalipun?"
"Dasar bodoh! Bukankah aku anak sulung dan berhak memberikan perintah?"
Sambil melemparkan sejumlah uang ke pangkuan adiknya, Kiyomori keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terdengar melintasi beranda. Di sumur dekat dapur, dia menenggak air segar yang baru saja ditimba; setelah itu, dia membasuh wajah, mengelapnya dengan lengan kimono usangnya, lalu berjalan melintasi halaman.
Bilik Tadamori, yang terletak di sebuah sayap yang sama bobroknya dengan rumah utama, berada di sisi lain halaman dalam. Kiyomori naik ke beranda yang telah reyot, merasakan jantungnya berdegup kencang. Dari balik kerai yang terlipat dia berkata, "Maafkan aku karena pulang terlambat semalam. Aku sudah melaksanakan perintah Ayah."
Segera setelah bayangannya melintasi ambang pintu, keheningan menyambut Kiyomori, dan tiga pasang mata serentak tertuju kepadanya. Mokunosuke langsung menunduk; Kiyomori sendiri juga menghindari tatapan pelayan tua itu; keduanya tidak sanggup saling menatap.
Memaksa dirinya untuk tetap tenang, Kiyomori menghampiri kedua orangtuanya dengan sikap ceria, dan tanpa basi- basi menyerahkan uang yang dibawanya kepada mereka.
"Ini uang pinjaman dari Paman"namun tidak semuanya. Sebagian di antaranya kuhabiskan saat aku bertemu dengan salah seorang temanku tadi malam, dan sebagian lagi kuberikan kepada Tsunemori agar dia bisa membeli makanan untuk adik-adik, yang saat ini sedang menangis kelaparan. Ini sisanya ?"
Sebelum Kiyomori menyelesaikan ucapannya, perubahan drastis telah tampak di air muka Tadamori, seolah-olah rasa malu, sedih, dan marah bergejolak di dalam dirinya. Dia melirik sejumlah kecil uang yang baru saja diterimanya, dan bekas luka di kelopak matanya tampak lebih buruk daripada biasanya, berkerut merut dalam upaya menahan air mata.
"Heita! Singkirkan uang itu! Apa maksudmu melemparkannya begitu saja bahkan sebelum kau menyalami kami?" desis Yasuko, yang duduk tegak dan tegang di samping suaminya, melirik tajam ke arah Kiyomori. (jadi, inilah wanita yang dijuluki Perempuan Gion. yang diberikan oleh Nakamikado kepada Tadamori untuk dinikahi, seolah-olah dia adalah putrinya!) Ketika menatap ibunya, Kiyomori merasakan sesuatu terbakar di dalam dirinya dan membuatnya gemetar. "Apa kata Ibu" Jika kalian tidak membutuhkan uang itu, mengapa Ibu menyuruhku meminjamnya seolah-olah aku seorang pengemis?"
"Diam! Kapankah aku pernah menyuruhmu melakukan itu" Itu adalah perbuatan ayahmu!"
"Tapi, bukankah uang itu akan dipakai untuk membayar keperluan keluarga miskin ini" Apa Ibu tidak akan menggunakannya?"
"Tidak," kata Yasuko, menggeleng dengan tegas, "aku tidak membutuhkan pertolongan mengenaskan seperti ini."
Amarah menjadikan wajahnya memerah, menunjukkan usianya yang sudah tiga puluhan.
Daun telinga caplang Kiyomori memerah; sirat mengancam tampak di matanya; tangan yang terkepal di pangkuannya gemetar hebat seolah-olah dia telah siap untuk bangkit dan memukul ibunya.
"Kalau begitu, Ibu, apakah Ibu tidak membutuhkan makanan sejak saat ini"besok?"
"Tidak, Kiyomori, makanan biasa tidak akan memuaskanku ". Ah, jadi kau juga datang, Tsunemori"
Kalau begitu, dengarkanlah, kalian berdua. Aku minta maaf kepada kalian, namun hari ini, akhirnya aku diizinkan untuk meninggalkan Tadamori. Kami sudah bukan suami dan istri lagi. Sesuai adat istiadat, anak-anak lelaki akan tinggal bersama ayah mereka. Inilah terakhir kalinya kalian bertemu denganku." Setelah tertawa renyah, dia melanjutkan, "Kesedihan kalian akan lenyap lebih cepat daripada kabut. Kalian selalu memihak ayah kalian, yang kalian yakini telah diperlakukan secara tidak adil."
Kiyomori terkejut. Dia menatap ibunya lekat-lekat.
Ibunya seharusnya sedang sakit, namun ternyata dia berpakaian lengkap. Seperti kebiasaannya, Yasuko merias wajahnya dengan cermat; rambutnya diperciki minyak wangi; alisnya dipoles dengan rapi; kimono bermotif ceria yang pantas dikenakan oleh seorang gadis berumur dua puluhan membungkus erat tubuhnya. Ada apakah ini" Ini bukan pertengkaran biasa. Ancaman yang paling kerap
dilontarkan oleh Yasuko adalah pergi meninggalkan mereka"untuk selamanya"dan baik suami maupun anak-anaknya telah terbiasa mendengarnya, namun baru kali inilah dia mengucapkannya dalam balutan pakaian untuk bepergian dan dengan sangat tenang.
Tadamori menerima keputusan itu dengan pasrah.
Kiyomori sangat resah. Dia membenci ibunya, namun pikiran bahwa wanita itu adalah darah dagingnya sendiri membuatnya gundah. Menoleh ke arah Tadamori, dia berkata dengan bimbang:
"Ayah, benarkah itu"yang dikatakan oleh ibu?"
"Begitulah. Kalian semua telah terlalu lama terlibat dalam masalah ini, namun ini benar, dan inilah yang terbaik untuk kalian semua."
Kiyomori tercekat. "Mengapa"tapi, mengapa?" Dia mendengar adiknya menahan isakan. "Tapi, ini tidak boleh terjadi, Ayah, dengan semua adik-adikku ?"
Kesan kekanak-kanakan yang terdengar dalam suara Kiyomori menghibur Tadamori, yang menyunggingkan senyuman. "Heita, ini tidak apa-apa dan untuk tujuan yang terbaik."
"Apanya yang tidak apa-apa" Apa yang akan terjadi pada kita semua?"
"Yasuko akan berbahagia. Sedangkan kalian semua"
sepertinya inilah yang terbaik. Tidak perlu meributkannya.
Jangan khawatir." "Tapi, kata Tsunemori, akulah penyebab semua ini. jika ini memang salahku, biarkanlah aku memperbaikinya."
Menoleh ke arah ibunya, Kiyomori memohon, "Bagaimana dengan adik-adikku yang malang" Aku berjanji, Ibu, untuk
melakukan apa pun yang bisa menyenangkan hati Ibu.
Hanya saja, pikirkanlah hal ini sekali lagi!"
Ketika berbicara, Kiyomori merasa bingung dan malu akibat kekuatan perasaannya kepada ibunya. Mokunosuk"
dan Tsunemori terisak-isak nyaring. Kiyomori yang gundah juga tidak sanggup menahan tangis, meskipun Tsunemori dan Yasuko tetap duduk di hadapan mereka dengan dingin dan bergeming.
Tadamori tiba-tiba menukas tajam, "Cukup, hentikan tangisanmu! Hingga saat ini, aku bertahan demi anak-anakku, namun sekarang aku telah terbangun dari mimpi-mimpiku. Aku memang bodoh! Selama dua puluh tahun terakhir ini, aku, Heike Tadamori. membiarkan seorang wanita memerintah-merintahku dan menjalani kehidupanku dengan perasaan tersiksa. Aku benar-benar bodoh! Aku tidak bisa menyalahkanmu, Heita, untuk kebodohanmu," dan dia pun tertawa pahit.
Menanggapi sindiran ini, Yasuko, yang duduk tegak dengan sombong, membalas dengan wajah merah padam,
"Mengapa kau tertawa" Kau menghinaku! Tertawa saja sesukamu, sindir saja aku. Seandainya Yang Mulia masih hidup saat ini, kau sekalipun tidak akan berani mempermalukanku seperti ini! Ingatlah bahwa Yang Mulia telah menunjuk Nakamikado untuk menjadi orangtua angkatku!"
Tawa Tadamori semakin hebat. "Kapan-kapan, aku akan berterima kasih kepada Nakamikado karena telah memberikan kehormatan kepada Tadamori yang miskin untuk menjadi suami perempuan ini selama bertahun-tahun."
Yasuko melayangkan tatapan tajam ke arah Tadamori dan, dengan kemarahan yang sengaja dikerahkannya agar
kata-katanya bisa melekat di ingatan suaminya, berkata,
"Apa kau tidak melihat bahwa aku telah berkali-kali melahirkan anak-anakmu" Adakah sehari saja yang kauhabiskan untuk menyenangkan hatiku" Dua puluh tahun"dan meskipun aku membencimu, cintaku kepada anak-anakku menahanku di sini! Kedua orang ini"Heita dan Mokunosuke, tidakkah mereka menggunjingkanku dengan jahat di dekat istal pada pagi buta" Dan tidakkah mereka berbicara dengan seenaknya tentang almarhum Yang Mulia, mengatakan bahwa Perempuan Gion memiliki kekasih gelap"seorang pendeta mesum" Dan si tua Mokunosuke ini menyatakan bahwa dirinya melihat semuanya, lalu mereka berdua memikirkan siapakah ayah kandung Heita dari ketiga pria yang ada! Aku melihat dan mendengar mereka bergunjing seperti orang gila, dan aku memutuskan bahwa aku tidak akan menghabiskan sehari pun lagi di rumah ini! Untuk apa aku tinggal di sini, jika anakku sendiri telah berani melawanku?"
"Cukup, cukup!" tukas Tadamori. "Bukankah kita sudah membicarakannya sepagian ini" Bukankah kau sudah memanggil Mokunosuke kemari dan menghinanya sesuka hatimu" Semua ini tidak ada gunanya"hentikanlah!"
"Kalau begitu, bersaksilah untukku!"
"Tapi, bukankah aku tadi sudah mengatakan bahwa Heita Kiyomori adalah anak kita?"
"Heita, kaudengar itu?" kata Yasuko, mengalihkan tatapan tajamnya ke arah Mokunosuke. "Dan, kau juga mendengarnya, kau dengan mulut skandalmu! Tidak ada seorang pun yang bisa menyangkal bahwa aku adalah kesayangan Yang Mulia, tapi bajingan manakah yang sudah menceritakan kepadamu kabar angin basi dari dua puluh tahun yang lalu" Tadamori sudah menyangkalnya,
dan si tua Mokunosuke pura-pura tidak tahu. Jadi, Heita, kau tidak akan berbohong kepada ibumu, bukan?"
"Tidak, hanya aku sendirilah yang terlibat di dalam masalah ini. Ibu ".Aku harus mengetahui siapa ayah kandungku."
"Bukankah ayahmu yang baik hati baru saja memberitahumu?"
"Beliau melakukannya lantaran kasihan kepadaku.
Meskipun aku tahu siapa ayah kandungku, aku akan selalu menganggap pria ini sebagai ayahku. Aku tidak akan membiarkan Ibu pergi sebelum aku tahu semuanya,"
Kiyomori menangis, menyambar lengan jubah Yasuko dan menekankannya ke matanya yang sembap, lalu memohon,
"Bicaralah, Ibu tahu! Anak siapakah aku?"
"Dia sudah gila, anak ini!"
"Aku mungkin memang gila, namun gara-gara dirimulah pria ini, ayahku, telah menghabiskan dua puluh tahun yang panjang dalam kesendirian, menyia-nyiakan masa mudanya! Dasar kau wanita serigala mengerikan!"
"Apa maksudmu mengucapkan itu"kepada ibumu sendiri?"
"Kau barangkali memang ibuku, tapi kau sudah membuatku marah besar! Kau jahat dan nista, dan aku membencimu!"
"Dan apa yang kauharap akan kulakukan sekarang ini?"
"Aku akan menghajarmu! Ayahku tidak akan melakukan itu"dia tidak pernah berani memukulmu selama dua puluh tahun ini!"
"Para dewa akan menghukummu, Heita!"
"Bagaimana mungkin?"
"Pada masa itu, aku adalah kesayangan Yang Mulia.
Seandainya aku tetap tinggal di Istana, aku mungkin akan menjadi wanita terhormat, tapi aku merendahkan derajatku sendiri dengan tinggal di rumah reyot ini! Dan memikirkan bahwa kau berani menghajarku" ini sama saja dengan pengkhianatan kepada Yang Mulia! Aku tidak akan bisa memaafkanmu, meskipun kau adalah anakku sendiri!"
Pekikan nyaring Kiyomori memenuhi ruangan. "Dasar bodoh! Bagaimana jika Yang Mulialah orangnya!" Dengan seluruh tenaganya, ia menghantamkan tinju ke pipi ibunya dan menyaksikan wanita itu jatuh terguling.
"Tuan Muda telah kehilangan akal sehat!"
"Hoi, kau yang di sana! Kemarilah, Tuan Muda kerasukan iblis!"
"Uhadah amukannya! lolong!"
"Cepatlah!" Dan keributan pun terdengar di seluruh penjuru rumah.
Meskipun sekarang telah terjerat kemiskinan, Tadamori pernah menjalankan pemerintahan setingkat provinsi, dan sebagai seorang Heike, dia memiliki jabatan di Kesatuan Pengawal Kekaisaran di Istana Kioister. Meskipun senantiasa hidup dalam keadaan nyaris kelaparan, dia bersikeras untuk tetap mempertahankan lima atau enam belas pelayannya, salah seorang di antaranya adalah anak lelaki Mokunosuke, si pelayan, Heiroku.
Heiroku tahu bahwa ayahnya dipanggil ke bilik majikannya pagi itu dan, mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, dia berlutut di balik semak-semak di dekat halaman. Begitu mendengar jeritan dan hiruk pikuk di bilik majikannya, dia langsung melompat dari tempat persembunyiannya, memanggil para pelayan lainnya, lalu
melesat ke halaman dalam, menyadari sembari berlari bahwa keributan itu hanya sejenak terdengar.
Yasuko berbaring menelungkup di tanah, seolah-olah baru saja terjatuh dari beranda. Mantel ungu kemerahan, juga jubah putih, hijau, dan beraneka warna yang dikenakannya teronggok bersama rambutnya yang acak-acakan, dan dia tidak berupaya bangkit. Kiyomori berdiri membusungkan dada, sementara ayahnya mencengkeram erat pergelangan tangannya. Tsunemori dan Mokunosuke, dengan ekspresi lega sekaligus bingung, sepertinya tidak tahu harus melakukan apa.
Mendengar derap-derap langkah yang semakin mendekat, Yasuko, yang tergeletak lemas, mengangkat kepalanya dan memekik, "Kau yang di sana, panggilkan kereta untukku! Kirimlah seorang kurir untuk menceritakan tentang semua ini kepada orangtuaku! Oh, betapa memalukannya
Seorang pelayan berlari untuk memanggil kereta dari istal terdekat, dan seorang pelayan lainnya berlari ke kediaman keluarga Nakamikado di Jalan Keenam.
Tadamori dengan malas menyaksikan seluruh keributan ketika para pelayan tergesa-gesa menjalankan berbagai perintah Yasuko.
Kereta telah datang, dan para pelayan menolong Yasuko yang berjalan terhuyung-huyung ke gerbang. Selama beberapa saat, lengkingan memilukannya berbaur dengan isak tangis Tsunemori dan adik-adiknya. Tadamori berdiri diam, seolah-olah menulikan telinganya dari suara-suara itu.
"Heita!" Sambil berbicara, Tadamori melonggarkan cengkeramannya di tangan putranya. Terbebas dari jepitan besi itu, Kiyomori merasakan darah kembali mengaliri
pembuluhnya dan berangsur-angsur menyebar ke seluruh tubuhnya. Urat-urat nadi di keningnya berdenyut-denyut, dan dia membiarkan sedu sedannya pecah, tanpa tahu malu, bagaikan seorang bocah yang diabaikan.
Tadamori menarik wajah yang basah oleh air mata itu ke dadanya; seraya menggesekkan pipinya ke rambut kasar putranya, dia berkata, "Akhirnya aku menang! Aku mendapatkan kemenangan dari wanita itu. Heita, ampunilah aku. Sungguh pengecut diriku karena membiarkanmu menghajarnya. Aku adalah ayah yang gagal, namun aku tidak akan membiarkan kalian menderita lagi. Kau akan melihatku mengharumkan kembali nama Heike Tadamori. Jangan membuatku merasa bersalah dengan air matamu. Hentikanlah tangisanmu."
"Ayah"aku memahami perasaanmu."
"Kau masih mau memanggilku "Ayah?""
"Ya. Biarkanlah aku memanggilmu "Ayah", ayahku!"
Bulan sabit berkilauan di langit. Menembus kabut ungu yang mulai menebal, terdengarlah sayup-sayup suara Mokunosuke menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur.
O0"dw-kz---0O Bab III " PACUAN KUDA
Di tanah luas di Jalan Ketiga Timur di Kyoto, berdirilah Istana Kioister, tempat para kaisar yang telah turun tahta tinggal. Sejak masa Mantan Kaisar Shirakawa, bagaimanapun, tempat peristirahatan kaisar ini telah berubah menjadi pusat Pemerintahan Kioister, yang kedudukannya menyaingi Delapan Kementrian dan Dua Belas Bagian di Istana Kekaisaran sendiri. Itulah penyebab
ibu kota yang kecil digerakkan oleh dua pemerintahan.
Tetapi, ketika bulan Mei menghadirkan pupus-pupus hijau pepohonan dedalu dan aroma tanah segar di Kyoto, sebagian orang teringat bahwa kota ini adalah pusat kehidupan politik Jepang karena perubahannya menjadi metropolis kemeriahan, ibu kota penikmat mode, dan Kota Cinta, tempat para bangsawan dan pejabat Istana Kioister menyerahkan diri kepada musim semi, mengesampingkan tugas-tugas mereka, dan mengabaikan diri mereka demi kesenangan"bukannya ini tidak terjadi di musim- musim lain, namun ini lebih marak terjadi pada musim semi"
karena bangsawan macam apakah yang mau dianggap hina lantaran luput menuliskan beberapa bait puisi untuk kehadiran musim semi"
Pada suatu pagi di akhir bulan April, setiap kerikil dan batu di dasar Sungai Kamo berkilauan, terbasuh hujan semalam, dan matahari, yang memancarkan sinarnya dari antara Perbukitan Timur, mengabarkan datangnya keranuman dan kekayaan musim semi.
Kereta Mantan Kaisar berjalan dengan agung melewati Gerbang Sakura, di bawah kuntum-kuntum bunga sakura di dahan- dahan pohon sakura yang menjuntai. Para pengawal dan pelayan melaksanakan tugas mereka dengan penuh semangat, menyamakan kecepatan dengan langkah lambat sapi jantan yang menarik kereta kekaisaran.
"Lihatlah, Yang Mulia gemar berjalan-jalan," komentar seorang pejalan kaki. "Karena bulan Mei hampir tiba, beliau mungkin pergi ke Kamo untuk menonton latihan pacuan bagi kuda-kuda yang baru saja tiba dari berbagai daerah."
Seekor sapi, yang bertubuh putih dengan totol-totol hitam, menarik kereta yang sarat hiasan itu. Satu-satunya penumpang yang ada di dalam kereta itu adalah seorang
pria bangsawan berkulit kuning langsat yang masih berusia tiga puluhan; berpipi rata, dengan mata mungil bersorot tajam dan kesan pendiam yang diperdalam oleh bibir tipisnya, pria itu adalah Mantan Kaisar Toba.
Para pria dan wanita yang melewati jalan berhenti untuk mencuri pandang ke arahnya, sementara Mantan Kaisar balas memandang dengan penuh minat, seolah-olah pemandangan di jalan menarik hatinya.
Hanya tatapannya yang beredar ke sana kemari, dan terkadang, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa dia menyukai apa yang dilihatnya, sudut matanya membentuk setengah senyuman. Orang-orang mengikuti tatapannya dan balas tersenyum kepadanya dengan penuh pengertian.
Di dekat lapangan di sebelah lintasan pacuan, rumpun-rumpun sakura tampak memesona. Di bawah sinar matahari siang itu, semerbak bunga-bunga itu berbaur dengan aroma panas rerumputan segar dan beredar bersama setiap tiupan angin.
"Jadi, kau sudah melihat kuda hitam yang berumur empat tahun itu" Dari empat atau lima puluhan kuda jantan yang dikirim dari daerah, tidak ada satu pun yang bisa menyainginya! Aku tak pernah puas melihatnya." Genji Wataru, memusatkan pandangannya ke pagar lapangan, tak henti-hentinya mengulang komentarnya. Sekelompok kuda berkumpul di dekat pagar, tempat tali kekang mereka ditambatkan.
Wataru melanjutkan berbicara, setengahnya kepada dirinya sendiri, "Aku rela memberikan segalanya untuk mengendarainya. Aku tahu betul bagaimana rasanya duduk di punggungnya. Cantik sekali"garis dari kaki ke perutnya itu!"
Kedua pemuda itu duduk di bawah pohon sakura besar di dekat lapangan, memeluk lutut mereka. Salah seorang dari mereka, Sato Yoshikiyo, tampak acuh tak acuh dan hanya menanggapi dengan senyuman tipis.
"Apa kau tidak berpendapat sama, Yoshikiyo?" tanya Wataru.
"Bagaimana"apa maksudmu?"
"Pikirkanlah seperti apa rasanya mengendarai kuda juara itu di Kamo yang cerah ini, melecut-lecutkan cambukmu sementara para penonton bertepuk tangan!"
"Tidak pernah memikirkan itu."
"Tidak pernah?"
"Tidak ada menariknya menjadi juara. Apa gunanya kuda yang bagus jika pengendaranya asal-asalan?"
"Kau kedengaran seperti orang yang sedang berbohong dan tidak berbicara dengan tulus. Tidak ada alasan mengapa kau tidak bisa mengendarai kuda itu"bahkan, kita berdua bisa, karena kita adalah anggota Kesatuan Pengawal Istana."
Yoshikiyo tergelak. "Kau sedang membicarakan hal lain, Wataru."
"Membicarakan apa?"
"Bukankah kau sedang memikirkan tentang pacuan kuda Kamo pada bulan Mei"pacuan kuda yang itui"
Wataru cepat-cepat menjawab, "Terang saja, bukankah semua kuda ini dipilih untuk mengikuti pacuan kuda itu?"
"Tapi,?"Yoshikiyo mengangkat bahu?"Aku tidak tertarik pada pacuan kuda. Mendampingi Yang Mulia berkuda lain lagi."
"Ya, tapi bagaimana jika kau harus terjun ke medan pertempuran?"
"Aku hanya bisa berdoa agar hari itu tidak pern
ah datang. Ada terlalu banyak hal yang lebih patut dirisaukan oleh kita, para samurai, akhir-akhir ini."
"Hmm?" Wataru merenung, menatap temannya dengan bingung, "Aku tidak pernah menyangka akan mendengar ucapan seperti itu meluncur dari mulut Yoshikiyo sang Pengawal yang termahsyur. Ada apa denganmu, eh?"
"Tidak ada apa-apa," jawab Yoshikiyo.
"Jatuh cinta?" "Bukannya aku tidak punya beberapa kekasih gelap"
tapi ini istriku," kata Yoshikiyo. "Dia tidak memberiku alasan untuk mengeluh, tapi aku harus memberitahumu"
beberapa hari yang lalu, dia melahirkan seorang bayi yang manis, dan aku pun menjadi ayah!"
"Itu wajar saja. Saat samurai seperti kita menikah, kita membentuk keluarga, memiliki anak ?"
"Benar juga, banyak pula! Tapi, yang paling merisaukanku adalah kita hanya punya sedikit belas kasihan atau cinta pada orang yang mengandung anak-anak kita."
Wataru tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan temannya. "Ada yang salah denganmu!" katanya, sebelum dia terdiam, memusatkan perhatian ke lapangan, tempatnya melihat Heita Kiyomori dan Morito berlalu. Keduanya sepertinya mengenali kedua orang pemuda yang duduk di bawah pohon. Senyuman merekah di wajah merah Kiyomori, memamerkan giginya yang putih dan rata.
Wataru mengangkat tangan dan melambai ke arah mereka,
mengetahui bahwa Kiyomori akan berbagi antusiasme yang sama dengannya.
Langsung meninggalkan temannya, Kiyomori menghampiri dan menyapa mereka, dan segera duduk di antara keduanya, yang pernah menjadi teman sekolahnya di Akademi Kekaisaran. Wataru lebih tua lima tahun darinya, sedangkan Yoshikiyo dua tahun. Morito, yang kali ini tidak turut bergabung bersama mereka, juga bagian dari kelompok yang akrab ini. Di antara keempat pemuda berusia dua puluhan ini terdapat ikatan pertemanan yang kuat, yang didasari oleh kesadaran bahwa masa depan ada di tangan muda mereka yang kokoh, sebuah kesadaran tentang harapan dan impian rahasia yang mereka bagi bersama.
Akademi Kekaisaran didirikan khusus untuk pendidikan klan bangsawan Fujiwara dan keturunannya, namun, seiring waktu, putra para samurai di atas Golongan Kelima diizinkan untuk mengikuti pendidikan di sana. Dalam pelajaran, begitu pula perlakuan terhadap mereka, diskriminasi di antara keturunan para bangsawan dan samurai, bagaimanapun, menyebabkan banyak gesekan.
Para bangsawan muda mencibir kepada para putra samurai beringas yang kesulitan memahami isi buku, sementara para putra samurai diam- diam merencanakan pembalasan dendam, dan perselisihan di antara mereka mencerminkan konflik yang telah mendarah daging di antara orangtua mereka.
Kiyomori termasuk dalam tipikal anak samurai yang belum terpoles, haus perhatian, dan buta huruf, dan karena itulah dia dibenci oleh para aristokrat muda. Kendati begitu, dia disukai oleh para pemuda di kelasnya sendiri.
Mereka yang telah lulus dari akademi bisa melanjutkan pendidikan di universitas, namun tidak untuk para putra
samurai karena sudah menjadi anggapan umum bahwa masa depan mereka ada di bidang militer. Karena itulah Kiyomori dan teman-temannya termasuk di antara para pemuda yang, setelah lulus dari akademi, bergabung dengan Kementrian Urusan Militer dan akhirnya ditugaskan untuk menjadi pengawal di Istana Kioister.
Bagi Kiyomori, dengan ayah yang mengucilkan diri dari masyarakat dan ibu yang mengabaikannya, menjadi anggota Kesatuan Pengawal adalah pekerjaan yang mudah dan cocok untuk kebiasaannya bermalas-malasan dan melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Teman-temannya pun jarang melihatnya bertugas. Setelah Yasuko pergi, bagaimanapun. Tadamori menjadi pria yang berbeda dan bertekad untuk memulai kembali kehidupannya.
Kepada Kiyomori, dia mengatakan, "Aku masih berumur empat puluhan, kita harus membuat awal baru."
Maka, segera sesudahnya, Tadamori kembali bekerja di Istana. "Di mana Morito" Sepertinya aku tadi melihatnya bersamamu."
Mengedarkan pandangannya, Kiyomori menjawab, "Dia ada di sekitar sini"apa sebaiknya kupanggil saja dia?"
Wataru cepat-cepat menyela, "Tidak usah, jangan ganggu dia. Dia sepertinya memang sengaja menghindariku akhir-akhir ini. Tapi, Heita, sudahkah kau melihat kuda yang berumur empat tahun itu" Apa pendapatmu tentangnya"cantik sekali, bukan?"
Kiyomori mendengus, menurunkan kedua sudut bibirnya, lalu perlahan-lahan menggeleng. "Yang hitam itu"
Bukan yang itu"ia jelek."
"Eh" Mengapa"kuda sebagus itu?"
"Tidak peduli sebagus apa ia, tanda putih di keempat pergelangan kakinya mendatangkan nasib buruk."
Wataru tampak terkejut mendengar jawaban ini, dan langsung mengamati tanda putih di keempat kaki kuda itu.
Entah dalam hai menunggangi atau menilai seekor kuda berdasarkan penampilannya, Wataru selalu menganggap dirinya seorang pakar. Empat tanda putih di bagian dalam ataupun luar pergelangan kaki kuda selalu dianggap sebagai pertanda buruk, dan itu luput dari pengamatan Wataru.
Meskipun bisa dengan cepat menutupi rasa malunya, dia agak jengkel karena Kiyomori, yang lebih muda darinya, memberinya pelajaran mendasar tentang kuda; dia juga melihat bahwa Yoshikiyo, yang duduk di samping Kiyomori, tersenyum lebar.
Wataru tertawa. "Jadi, tanda putih itu bermakna buruk"lalu, bagaimana dengan samurai yang bermata juling, berwajah bopeng, dan berhidung merah, apakah mereka juga bermakna buruk?"
Kiyomori terusik. "Hei, mengapa kau membandingkan kuda dengan ayahku" Ini agak berlebihan?"
Tetapi, Wataru memotong ucapannya. "Jadi, bahkan
dirimu pun percaya takhayul seperti para bangsawan pucat pasi yang tinggal di kamar-kamar Istana yang pengap itu, membicarakan tentang hal- hal yang "mencemari", yang
"tercemar", yang menjadi "pertanda baik" dan "pertanda buruk?"selamanya ketakutan gara-gara alasan-alasan konyol, sementara kita kaum muda yang tumbuh dari tanah yang bermandikan sinar matahari tidak percaya pada takhayul seperti itu! Pertanda buruk"pasti ada beberapa bangsawan di masa lalu yang memiliki kuda seperti itu, lalu dagu angkuh mereka digigit, atau mereka jatuh dan mengalami patah tulang paha! Kejadian semacam itulah yang mendasari takhayul ini."
Wataru melanjutkan dengan berapi-api, "Aku akan menceritakan kepadamu tentang Genji Tameyoshi, yang pernah menjadi kepala Kepolisian pada 1130, ketika para biksu di Gunung Hiei memberontak. Dia menertibkan mereka dengan mengendarai seekor kuda cokelat yang keempat kakinya bertanda putih, dan semua orang tahu bahwa kuda itu adalah kesayangannya. Selain itu, aku berani bersumpah bahwa dua tahun yang lalu, juara balapan antara kuda-kuda Istana melawan kuda-kuda Nyonya Taikenmon adalah seekor kuda hitam dengan tanda putih di keempat kakinya."
"Ya, ya, aku tahu. Dengan berkomentar soal kuda itu, bukan berarti aku percaya takhayul," jawab Kiyomori.
"Aku berharap namaku bisa dikenal dengan menunggang kuda itu di pacuan kuda Kamo," Wataru menjelaskan.
"Jadi, karena itulah kau marah?"
"Aku tidak marah, aku hanya ingin mengolok-olok takhayul. Lihat saja, takhayul semacam itu bahkan akan menguntungkanku. Mungkin saja tidak akan ada orang lain yang mau menungganginya."
Kiyomori tidak menjawab. Untuk seseorang yang ceria, terkadang dia mudah terusik oleh pertengkaran-pertengkaran kecil. Menyadari bahwa Kiyomori tidak berminat untuk mengobrol lebih jauh tentang hal ini, Wataru menoleh ke arah Yoshikiyo, yang ternyata sama sekali tidak mengacuhkan percakapan mereka, larut menyaksikan sekuntum bunga dipermainkan angin dan jatuh ke tanah.
"Ah, lihatlah kereta kekaisaran itu!"
"Oh, Yang Mulia memandang ke arah ini!" Ketiganya serentak berdiri dan berlari ke arah lapangan, tempat banyak orang telah menanti untuk menyambut kedatangan kereta itu.
^^dw^^ Berbeda dari semua masa yang mendahuluinya, masa ini sangat marak dengan kemeriahan dan perjudian, turnamen puisi, percampuran antara minyak wangi dan dupa, kontes kecantikan, pantomim, permainan dadu, tamasya di keempat musim untuk menikmati keindahan alam, sabung ayam, dan pertandingan panahan. Pada masa yang lebih lampau, kalangan istana menganggap kegiatan di luar untuk menikmati pergantian musim dan pesta-pesta puisi sebagai upaya untuk mendapatkan keseimbangan dalam kehidupan; tetapi, baru pada masa inilah banyak orang menganggap berbagai hal tersebut sebagai pelarian menyenangkan dari berbagai masalah agama dan politik"semuanya, kecuali perang. Ketika mendengar kata "perang", kalangan atas maupun bawah gemetar, karena bibit- bibit pertikaian telah tersebar jauh dan luas: di antara para pemuka agama bersenjata; di wilayah timur; di wilayah barat, tempat para perompak di Laut Dalam secara teratur melakukan penjarahan; dan yang terdekat adalah di ibu kota, tempat perpecahan terjadi di tubuh Istana. Belakangan, ada kabar burung yang mengatakan bahwa klan Genji dan Heike di provinsi-provinsi yang jauh telah menggerakkan prajurit mereka, dan badai pun siap bergejolak.
Orang-orang mulai gelisah. Sesuatu yang mengancam dapat dirasakan di udara. Tetap saja, di tengah situasi yang tidak menentu tersebut, kehausan terhadap kenikmatan duniawi sepertinya melanda semua orang, dan salah satu contohnya adalah pacuan kuda Kamo yang penuh sesak oleh penonton. Menurut hikayat kuno, pacuan kuda
menjadi olah raga resmi kekaisaran sejak sekitar tahun 701, diprakarsai oleh para Pengawal dan diselenggarakan di halaman Istana Kekaisaran dalam Festival Mei. Kendati demikian, di masa susah ini, pacuan kuda tidak lagi diselenggarakan di Kamo pada bulan Mei, tetapi di tengah-tengah kompleks kuil, di tanah-tanah milik para pejabat dan bangsawan yang mendapat giliran menghibur Kaisar atau Mantan Kaisar beserta para selir mereka, di ruas Jalan Kedua yang luas, atau bahkan dipersiapkan secara mendadak di tengah tamasya-tamasya kekaisaran. Karena kegiatan tersebut dilakukan di lintasan yang lurus, yang cukup lebar untuk mengadu kecepatan sepuluh ekor kuda, jalan-jalan utama di Kyoto cocok untuk
menyelenggarakannya. Tercatat pula dalam sejarah, bahwa salah seorang penguasa begitu larut dalam demamnya terhadap pacuan kuda sehingga dia merelakan dua puluh bentang tanahnya di daerah untuk membudidayakan kuda pacuan, dan mendirikan sebuah istal mewah di ibu kota, lengkap dengan sepasukan pelatih dan perawat, khusus untuk kuda-kudanya. Putranya yang telah mangkat, begitu pula cucunya, Mantan Kaisar saat ini, menderita kecanduan yang sama terhadap olah raga ini. Karena itulah kunjungan kekaisaran ke Kamo hari ini bertujuan untuk memilih seekor kuda, yang akan dipersiapkan untuk mengikuti pacuan kuda pada bulan Mei, di antara semua kuda yang dikirim dari sejumlah peternakan di berbagai daerah.
"Apakah Tadamori ada di sini?" tanya Mantan Kaisar, mengabaikan para pejabat di sekelilingnya. "Aku tidak melihat banyak kuda istimewa hari ini. Bagaimana menurutmu?"
Tadamori yang berdiri cukup jauh dari Mantan Kaisar, mengangkat kepala hanya untuk menjawab, "Yang Mulia, hanya ada satu."
"Hanya satu"kuda hitam dari peternakan di Shimotsuke?"
"Betul, Yang Mulia."
"Aku sudah mengamatinya sejak lama"si hitam yang ditambatkan ke palang itu" Tapi, semua pecinta kuda memperingatkanku untuk mewaspadainya; kata mereka, tanda putih di keempat pergelangan kakinya merupakan pertanda buruk."
"Itu pendapat umum. Yang Mulia, namun tidak layak dipertimbangkan?" kata Tadamori, yang mulai menyesali kebiasaannya berbicara terus terang. "Dari semua kuda itu, saya tidak melihat satu pun yang bisa menyaingi si hitam itu; tengoklah kepalanya yang indah, matanya, dan sapuan ekornya."
Mantan Kaisar ragu-ragu. Dia tidak sabar untuk membawa kuda hitam itu ke istalnya dan melatihnya untuk pacuan Mei, karena dia mengharapkan kuda itu akan bisa menang melawan kuda-kuda Kaisar. Tetapi, seperti para penasihatnya, dia juga percaya pada takhayul.
"Jika Yang Mulia menghendakinya, saya akan membawa kuda itu ke istal saya dan merawatnya hingga hari pacuan tiba," Tadamori menawarkan diri, teringat pada kata-kata spontannya dan dampaknya pada para bangsawan yang berkumpul di sana.
"Begitu pun boleh. Bawalah kuda itu dan pastikan ia mendapatkan latihan yang cukup hingga hari pacuan tiba,"
jawab Toba. Cerita mengenai kuda hitam itu tersebar di seluruh Istana Kioister, didengar oleh banyak pejabat istana yang membenci Tadamori. Meskipun kedudukannya hanyalah sebagai samurai biasa, dia diperkenankan berkeliaran di dekat singgasana kaisar, satu-satunya samurai yang mendapatkan kehormatan itu, dan para pejabat istana yang dengki semakin membencinya. Mereka khawatir si Mata Picing akan merebut hak-hak istimewa mereka, dan mereka tidak memercayainya, yakin bahwa Tadamori mengetahui rahasia untuk mengambil hati Mantan Kaisar. Meskipun selama bertahun-tahun sebelumnya Tadamori menjauhkan diri dari Istana dan menolak berbagai undangan perjamuan dan tamasya, kesukaan Mantan Kaisar kepadanya tidak sirna. Tadamori tidak hanya terus-menerus mendapatkan berbagai hadiah dari Mantan Kaisar, namun rasa hormat yang lebih mendalam juga ditunjukkan oleh Toba dengan kesediaannya mendengar pendapat Tadamori. Penugasan kembali Tadamori di Istana Kloister memancing kecurigaan dan keraguan para pejabat istana.
Setibanya di rumah, Tadamori berdiri di dekat kuda hitam itu dan mengelus-elus hidungnya, mengatakan, "Ah, dasar picik! Tidak ada yang berubah di kolam tua tempat para pejabat itu berkuak- kuak."
"Ayah, tidak ada cara lain untuk hidup di ibu kota ini kecuali dengan mengabaikan omongan miring orang lain.
Tertawakan saja kebodohan mereka."
"Heita! Kau sudah pulang?"
"Aku melihat Ayah meninggalkan Istana dan ikut pulang, karena aku tidak bertugas malam ini."
"Heita, jangan pernah tunjukkan kebencianmu."
"Tidak, tapi aku menantikan saat untuk membalas dendam, dan aku tidak melupakan perkataan Ayah tentang
memulai hidup baru. Kita benar-benar jauh lebih bahagia di rumah saat ini."
"Aku khawatir kau kesepian sejak ibumu pergi."
"Ingatlah, Ayah, kita sudah berjanji untuk tidak membicarakannya ". Nah, tentang kuda itu?"
"Hmm"kuda yang bagus, la akan lebih bagus jika dilatih setiap pagi dan malam."
"Aku juga berpikir begitu. Sejujurnya, Genji Wataru, temanku di Kesatuan Pengawal, ingin sekali melatih kuda ini. Dia merengek- rengek kepadaku untuk meminta Ayah memohon persetujuan dari Yang Mulia, karena dia ingin menunggangi kuda ini dalam pacuan kuda Kamo."
Tadamori berpikir sejenak dan mengatakan, "Wataru"
tapi, apa kau sendiri tidak ingin menunggangi kuda ini"
Kau sendiri, daripada Wataru?"
"Keempat tanda putih itu"jika bukan karena itu?"
Kiyomori ragu-ragu, mengerutkan kedua alis tebalnya, menunjukkan kegugupan yang mengejutkan ayahnya.
Tadamori terkejut saat mendapati bahwa putranya yang ceroboh ini ternyata punya pertimbangan sendiri.
"Aku yakin Wataru bisa dipercaya. Aku tidak bisa mengatakan bagaimana pendapat Yang Mulia mengenai hal ini, tapi aku akan menanyakannya"tentunya jika kau tetap tidak berminat menunggangi kuda itu sendiri," kata Tadamori, agak kecewa. Dia memanggil beberapa orang pelayan dan memberikan perintah kepada mereka untuk memberi makan dan merawat kuda itu, dan sejenak kemudian memasuki kamarnya, yang sekarang telah terbebas dari istrinya dan kecerewetannya. Sembari beristirahat di bawah cahaya lampion, dia memanggil anak-
anaknya yang masih kecil dan bermain bersama mereka, sesuatu yang sekarang menjadi kebiasaannya.
Beberapa hari kemudian, Tadamori menyampaikan sendiri persetujuan Mantan Kaisar kepada Wataru, kemudian memerintahkan kepada Kiyomori untuk membawa si kuda hitam ke rumah temannya itu. Menarik tali kekang kuda itu, Kiyomori menyusuri Gang Bunga Iris di Jalan Kesembilan. Para pejalan kaki yang berpapasan dengannya menoleh dan berkomentar, "Kuda yang luar biasa"untuk Istana Kekaisaran atau Istana Kioister?"
Tetapi, Kiyomori tidak menjawab pertanyaan mereka, lega karena bisa menyingkirkan kuda pembawa nasib buruk itu.
Wataru telah menantikan kedatangan Kiyomori dan sedang membersihkan istal ketika temannya itu tiba.
Kegembiraan tampak jelas di wajahnya.
"Sekarang sudah nyaris gelap. Maafkan aku karena istriku belum pulang, tapi kau harus singgah di rumahku dan minum bersamaku. Kita harus merayakan peristiwa ini.
Kita akan minum sake kekaisaran!"
Kiyomori menunggu hingga lampion-lampion dinyalakan, dan sake yang diminumnya membuatnya merasa digelitiki hingga ujung jarinya. Menatap ke sekelilingnya, dia mendapati dirinya membanding-bandingkan rumah Wataru dengan rumahnya sendiri, dan menyadari bahwa perabot di rumah itu tidak begitu indah namun luar biasa bersih. Permukaan kayu yang terpoles mulus memunculkan pendar gelap; kenyamanan terasa di udara; cahaya seolah-olah melapisi segalanya"tidak diragukan lagi, semua itu adalah hasil kerja keras wanita muda yang dinikahi Wataru pada akhir tahun lalu.
Kiyomori iri. Dia mendengarkan Wataru memuji- muji istrinya. Ketika Kiyomori pulang, Wataru mengantarnya ke gerbang"yang mirip dengan gerbang rumah para samurai
lainnya, dengan atap jerami dan dinding anyaman ranting berlapis tanah liat"dan di situlah Kiyomori bertatap muka dengan istri Wataru. Melihat tamu yang hendak pergi, istri Wataru cepat-cepat melepas mantel luarnya dan membungkuk. Kiyomori bisa mencium aroma yang menguar dari rambut dan lengan kimononya. Dengan terbata- bata, dia mengucapkan salam ketika Wataru memperkenalkan istrinya.
"Kau pulang tepat waktu. Heita, ini istriku, Kesa-Gozen, yang pernah menjadi dayang-dayang di Istana," kata Wataru dengan penuh semangat, sebelum menceritakan kepada istrinya tentang kuda hitam di istal.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun wanita itu adalah istri kawannya, Kiyomori merasa malu dan canggung. Menyadari bahwa pipinya memerah, dia berjalan dengan lunglai menyusuri Gang Bunga Iris yang sekarang telah gelap gulita. Wajah Kesa-Gozen menghantuinya. Mungkinkah wanita semanis itu benar-benar ada" Bayangan mengenai Kesa-Gozen berkelebatan di benaknya selama dia berjalan. Sebentuk bintang baru bersinar khusus untuknya di langit musim semi di atasnya " Kemudian, sebentuk lengan tiba-tiba terulur dan mencengkeramnya dalam keheningan. Seorang perampok! Banyak orang pernah diserang di persimpangan ini pada malam hari! Kiyomori berusaha menggapai gagang pedangnya.
"Jangan takut, Heita. Ikutlah bersamaku ke rumah yang kita datangi waktu itu." Terdengarlah tawa bernada rendah di telinga Kiyomori. Itu suara Morito. Kiyomori tidak bisa memercayainya. Apakah yang sedang dilakukan oleh Morito di bagian Kyoto yang terpencil ini, dengan wajah tertutup layaknya penjahat"
"Kau pasti mau ikut denganku ke rumah di Jalan Keenam itu, bukan?" Morito mendesaknya. Tawaran itu
membuat Kiyomori tergoda, namun mendadak timbullah rasa tidak percaya kepada temannya ini, yang membuatnya ragu-ragu.
"Ayolah, aku melihatmu sedang berjalan ke rumah Wataru sore tadi, dan aku membuntutimu," lanjut Morito sambil berjalan di depan Kiyomori. Setelah kecurigaannya mereda, Kiyomori mengikuti temannya, tersedot oleh daya pikat Morito, dan segera merasa akan mendapatkan keberuntungan.
Di sebuah rumah di dekat Istana Kloister, mereka minum- minum dan bermesraan dengan wanita, seperti yang pernah mereka lakukan. Ketika akhirnya dia ditinggal berduaan bersama salah satu wanita, Kiyomori, yang sedikit lebih tangguh daripada dalam kunjungan terakhirnya, memberanikan diri untuk bertanya:
"Di mana temanku" Di manakah dia tidur?"
Wanita itu terkikik. "Dia tidak pernah menginap di sini."
"Apa dia sudah pulang?"
Wanita itu sepertinya mengantuk dan terlalu lelah untuk menjawab. "Dia memang selalu begitu. Mana aku tahu apa yang sedang dilakukannya?" katanya, melingkarkan lengan ke leher Kiyomori.
Kiyomori berusaha membebaskan diri. "Aku juga mau pulang! Si Morito itu rupanya mengerjaiku!"
Kiyomori cepat-cepat meninggalkan rumah itu, namun belaian lembut hantu di Gang Bunga Iris tidak lagi mengikuti langkahnya.
Keesokan harinya, Morito tidak menjalankan tugasnya sebagai Pengawal, dan dia tidak terlihat hingga beberapa hari kemudian, sehingga Kiyomori semakin jengkel
kepadanya. Sekarang, setiap kali dia bertugas di Istana, suami Kesa-Gozen, Watarulah yang selalu menyapanya dengan ceria jika mereka berpapasan di koridor, dengan tatapan yang menyiratkan kebahagiaan.
##dw## Di gerbang pelayan kediaman Nakamikado di Jalan Keenam, sekelompok wanita pedagang, yang menyeimbangkan keranjang atau kotak berisi berbagai macam benang sutra, bunga, dan kue di kepala mereka, mengintip ke halaman rumah sambil tertawa-tawa dan mengobrol dengan gaduh.
"Kami tidak menginginkan apa-apa, tidak untuk hari ini, dasar berisik!"
"Ayolah, belilah kue-kue ini untuk Festival Mei!"
"Kami terlalu sibuk bekerja untuk pesta malam ini. Kami sudah pusing karenanya! Datanglah nanti malam, nanti malam ?"
"Dasar bodoh! Dasar kalian budak mesum!" cemooh para pedagang.
Seorang pelayan tiba-tiba muncul di pintu, membentak-bentak dan memelototi para pedagang itu dari balik punggung para pelayan rendahan. "Hei, hei! Jangan tanggapi perempuan-perempuan itu! Siapa yang bertugas mengurus bilik mandi hari ini" Nyonya sudah tidak sabar.
Uapnya kurang panas!"
Mendengar gertakan itu, dua orang pelayan rendahan segera memisahkan diri dan berlari ke sayap timur. Api untuk memanaskan air mandi telah berubah menjadi abu.
Mereka buru-buru mengumpulkan ranting dan batu api untuk menyalakan api.
Salah seorang dayang-dayang Yasuko keluar ke beranda; mengernyitkan hidung dan mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghalau asap, lalu berseru, "Hei, apa yang kalian lakukan disana! Dasar budak-budak ceroboh, bagaimana jika nyonyaku masuk angin?"
Bilik mandi berlangit-langit rendah dan berlantai anyaman itu cukup gelap. Tubuh telanjang dua orang wanita tampak berkilauan di tengah gumpalan uap, mengucurkan keringat.
"Ruriko. payudara kecilmu sungguh manis"seperti buah ceri yang mungil!"
"Bibi membuatku malu. jangan memandangiku begitu."
"Mau tidak mau aku memikirkan masa ketika kulitku masih semulus kulitmu," lamun Yasuko.
"Tapi, sekarang pun Bibi masih sangat cantik."
"Ya?"" kata Yasuko sambil menatap payudaranya sendiri.
Kata-kata Ruriko bukan sekadar sanjungan, namun Yasuko segera meraup payudaranya sendiri, merasakan kekencangannya yang telah hilang. Putting susunya gelap bagaikan biji aprikot. Dia telah melahirkan empat orang anak dan menyadari bahwa keranumannya telah mengering. Dia mengamati bekas luka kecil berwarna putih di salah satu payudaranya, yang didapatkannya ketika Kiyomori, yang ketika itu berumur tiga tahun, mengamuk dan menggigitnya.
Amarah seketika merebak di dalam diri Yasuko ketika dia memikirkan Kiyomori, yang telah menghajarnya dengan begitu kejam"di depan seorang pelayan pula!
Bukankah dia pernah menyusui anak itu dengan payudaranya ini" Begitukah cara anak- anak
memperlakukan ibu mereka" Jika memang begitu, sungguh tidak sepadannya menjadi seorang ibu! Kiyomori sepertinya berpikir bahwa dirinya tumbuh dewasa tanpa perawatan dari ibunya! Kebencian bergejolak di dalam diri Yasuko saat dia duduk tanpa bergerak, memegangi kedua payudaranya dengan jemarinya.
Ruriko meninggalkan bilik mandi sejenak kemudian. Dia adalah keponakan sang nyonya rumah. Sudah menjadi tradisi bahwa gadis-gadis muda akan dinikahkan setelah mereka berumur tiga belas atau empat belas tahun, namun Ruriko, yang berpenampilan lebih dewasa daripada usianya yang enam belas tahun, bahkan belum bertunangan. Desas-desus mengatakan bahwa ayahnya, Fujiwara Tamenari, seorang gubernur di salah satu provinsi, terlalu sibuk bekerja sehingga tidak sempat mengatur perjodohan.
Bagaimanapun, desas-desus yang lain mengatakan bahwa sang gubernur telah berkali-kali membangkang dari pemerintah pusat, dan berdasarkan permintaan Menteri Sayap Kiri, seorang kerabat yang menganggap sepupu jauhnya ini berbahaya, dia ditugaskan di tempat yang jauh.
Ruriko sendiri- sepertinya tidak merisaukan statusnya yang masih lajang dan melalui hari-harinya dengan cukup ceria. Sejak Yasuko tiba dan menempati flat di sayap timur, Ruriko menghabiskan sebagian besar waktunya di sana, mengabaikan kamarnya sendiri yang berada di sayap barat.
Dia kerap menginap di sayap timur atau mandi bersama Yasuko, yang menghabiskan waktunya dengan bergunjing bersama gadis itu, mengajarinya cara memakai berbagai peralatan rias, mengutarakan pendapatnya tentang urusan cinta, atau memberitahunya berbagai rahasia dalam memuaskan pria. Ruriko segera mengagumi wanita yang lebih tua darinya ini dan akrab dengannya.
Tuan rumah di sana adalah seorang pria bernama lyenari, seorang bangsawan baik hati berumur lima puluhan, yang, setelah pensiun dari jabatannya di pemerintahan, menekuni kegemarannya menyabung ayam.
Karena tidak memiliki anak, dia mempertimbangkan untuk mengangkat keponakan istrinya, Ruriko, sebagai anak, namun situasi yang tidak pernah dibayangkannya terjadi pada Februari"kedatangan tidak terduga Yasuko. lyenari telah menyindir-nyindirnya dengan menanyakan rencana kepulangan Yasuko, namun Yasuko sepertinya tidak berniat kembali ke Imadegawa. Dia menggelitik naluri keibuan Yasuko dengan mengingatkannya kepada keempat anaknya, namun Yasuko sepertinya tidak memedulikan mereka. Untuk menggoyahkan kepercayaan dirinya, lyenari menyiratkan dalam perkataannya bahwa meskipun masih menawan di usianya yang ketiga puluh delapan, akan sulit bagi Yasuko untuk menikah lagi. Tetapi, Yasuko menutup telinga terhadap ucapan-ucapan miring seperti itu dan bersikap seolah-olah dia akan selamanya tinggal di rumah lyenari. Dia menempati kamar terbaik di rumah itu, memerintahkan agar air mandi disiapkan setiap pagi, menghabiskan berjam-jam di ruang dandannya setiap malam, dan bersikap layaknya seorang wanita berdarah biru.
Dia tidak pernah segan-segan menggunakan kereta kapan pun dia mau, memerintah-merintah para pelayan sesuka hatinya, sementara mereka bergosip dengan panasnya tentang pria-pria asing yang mengunjungi flat Yasuko di malam hari. Jika lyenari dengan gamblang menyampaikan keberatannya mengenai tingkah Yasuko ini, Yasuko langsung marah besar, memaksanya untuk menarik kembali kata-katanya, dan terus bersikap layaknya seorang putri, tidak sekali pun membiarkan lyenari melupakan bahwa dia pernah menjadi kesayangan almarhum Mantan
Kaisar Shirakawa dan dengan pongah menyuruhnya menutup mulut.
Jawaban Yasuko tersebut selalu berhasil menohok lyenari. Dia berhenti mengingatkan Yasuko akan masa lalunya, ketika dia masih seumur Ruriko dan lyenari mengatur hubungan gelap antara dirinya dan Kaisar yang bernafsu birahi besar, karena dia ingat betul bahwa sebagai balasan, sang Kaisar telah menaikkan jabatan lyenari di Istana, dan dengan murah hati menghadiahinya dengan tambahan tanah seluas berhektar-hektar dan berbagai macam kemewahan lainnya. Yasuko telah sejak lama menganggap sebagaian kekayaan lyenari sebagai miliknya, dan bahkan setelah menikah dengan Tadamori, dia masih sering mendatangi kediaman Nakamikado untuk meminta apa pun yang diinginkannya.
lyenari mengalami apa yang dinamakan senjata makan tuan. Akhir-akhir ini, dia telah kehilangan minat untuk bersenang-senang. Yasuko, sebaliknya, dengan penuh keanggunan menerima arus tanpa henti para tamu yang mengunjunginya di sayap timur, berlama- lama tinggal di sana untuk bermain dadu, membakar dupa, dan memainkan berbagai macam alat musik. Bahkan teman lama lyenari, yang selama ini sering menyertainya bermain sabung ayam, lebih memilih Yasuko daripada dirinya dan sekarang menjadi salah seorang teman dekatnya.
Rumah lyenari, seperti layaknya kediaman para bangsawan lainnya, adalah sebuah bangunan luas yang memiliki sayap timur dan barat. Sebuah beranda panjang dan tertutup terbentang di sepanjang rumah utama, menghubungkan kedua sayap, dan berlanjut ke seruas jalan beratap yang berasal dari sisi-sisi halaman dalam. Paviliun-paviliun tertutup yang bergaya elegan di ujung jalan
menghadapi sebuah taman dengan miniatur pulau, danau, dan sungainya.
Pengaruh Yasuko terhadap Ruriko meresahkan lyenari, karena gadis muda itu sekarang telah sepenuhnya menjadi tawanan bagi pesona Yasuko dan menghabiskan seluruh waktunya di sayap timur"yang jaraknya cukup jauh dari wilayah keluarga di sisi lain taman, lyenari tak henti-hentinya memperingatkan Ruriko untuk tidak menghabiskan terlalu banyak waktu di sana, menasihatinya bahwa tidak ada kebaikan yang akan didapatkannya dari kunjungan- kunjungannya ke sana. Tetapi, kehormatannya di rumahnya sendiri telah ambruk. Dia memerintah para pelayan untuk terus mengawasi Ruriko, namun sia-sia saja, karena mereka lebih takut kepada Yasuko sekarang.
Ternyata, karena alasan inilah samurai setangguh Tadamori sekalipun menjadi layu dalam masa mudanya, pikir lyenari dengan gusar. Karena inilah Tadamori disebut eksentrik; dan inilah harta meragukan yang dipercayakan oleh almarhum Mantan Kaisar kepadanya, lyenari melihat rambutnya yang semakin memutih hanya dalam dua bulan terakhir, dan mengagumi Tadamori, yang telah memikul beban itu selama dua puluh tahun.
Ruriko kembali menginap di sayap timur, dan lyenari marah besar ketika mengetahuinya pagi itu. Dia baru saja menata bunga iris di vas, meletakkan sebuah helm berhias tumbuhan wisteria di dudukan helm, menyiapkan sake manis dan mengeluarkan cangkir-cangkir yang akan digunakan dalam perayaan Festival Mei. lalu menyuruh seorang pelayan memanggil Ruriko, hanya untuk mendengar bahwa gadis itu sedang berada di bilik mandi bersama Yasuko"selama beberapa waktu.
Dia menoleh dengan tatapan menuduh ke arah istrinya dan mengeluh, "Sekarang kaulihat sendiri apa yang cepat
atau lambat akan terjadi pada Ruriko! Kita akan berhadapan dengan Yasuko yang lain, ingadah kata-kataku ini!" Tetapi, langit yang biru dan matahari yang bersinar cerah segera membuatnya menyesali perkataannya. "Ah, mari kita lupakan semua ini, karena sekarang adalah hari kelima bulan Mei!" serunya. "Keluarkanlah jubah kebesaranku; sekaranglah saatnya aku pergi," katanya, meskipun dia berdiri dengan lesu.
Pendekar Sakti 16 Lima Sekawan Di Gua Kelelawar Korban Ratu Pelangi 1
^