Pencarian

The Heike Story 12

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 12


Tetapi, tindakannya berlawanan dengan kata-katanya.
Menurut Bamboku ada jejak kekejaman di dalam diri Kiyomori, yang selalu berusaha ditutup-tutupinya bahkan dari dirinya sendiri, dalam hubungannya dengan wanita.
"Hidung Merah, kau tahu di mana Giwo tinggal, bukan"
Kau juga mengenal nyonyanya?"
"Yi, tapi ... "
"Salah satu tempat kesukaanmu?"
"Bukan begitu."
"Tidak perlu menutup-nutupi apa-apa. Kau mau pergi ke sana untukku?"
"Ke mana, Tuan?"
"Ke rumah Toji dan mengatakan kepadanya bahwa Giwo akan tinggal di sini. Yakinkanlah Toji bahwa dia akan mendapatkan semua imbalan yang dimintanya, dalam bentuk emas maupun perak."
Bamboku menjawab dengan enggan, "Anda menyuruh saya menyampaikan itu kepada Toji, Tuan?"
"Ya, pergilah sekarang," perintah Kiyomori, melontarkan tatapan tajam ke arah Giwo yang ketakutan.
Tanpa sanggul, gadis itu tampak jauh lebih muda dan polos, dan dia terisak-isak lirih, menggumamkan penolakan,
menunduk dalam-dalam ke lipatan-lipatan kimono biru mudanya.
Bamboku ragu-ragu. "Sekarang sudah larut malam.
Tuan, jadi kapankah Anda bersedia menerima jawabannya?"
"Besok juga boleh," jawab Kiyomori.
Bamboku membungkuk dan mohon diri, perlahan-lahan menutup pintu ganda di belakangnya. Menggunakan kereta perempuan, yang masih menunggu Giwo, dia menyuruh Kowaka si pelayan membawanya menemui Toji.
Kisah Giwo segera menjadi buah bibir seluruh penduduk ibu kota. Gadis itu berkunjung ke Rokuhara tanpa diundang, menaklukkan Kiyomori dalam pandangan pertama, dan sekarang tinggal di taman mawar! Dan orang-orang pun menebak-nebak tentang nasib orangtua Giwo, yang sebelumnya miskin papa.
Giwo, dalam kunjungan singkat pertamanya kepada orangtuanya, yang sekarang tinggal di sebuah rumah baru, mengendarai sebuah kereta baru, yang berkilauan dengan hiasan emas dan perak, dan dikawal oleh sepasukan samurai. Pemandangan semencolok itu tidak pernah ada sebelumnya di Jalan Juzenji, dan orang-orang segera berkerumun untuk melihat Giwo dan menunggunya dengan sabar hingga dia menampakkan diri. Ketika Giwo keluar, diantar ke gerbang oleh ayah dan ibunya, para penonton yang penasaran mengerubutinya untuk mengamati penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Giwo mengangkat lengan kimononya untuk menutupi wajah dan cepat-cepat memasuki keretanya, namun beberapa orang yang berada di dekatnya bisa melihat parasnya yang pucat dan murung, dan mereka heran mengapa gadis seberuntung itu bisa dirundung kesedihan.
Ryozen, ayah Giwo, yang kesehatannya telah pulih, tampak gemuk dan mentereng di dalam balutan kimono indahnya, segera dibanjiri tamu. Orang-orang itu menyanjung-nyanjungnya dan istrinya, mengagumi perabotan mewah dan pakaian mahal yang mereka lihat di mana-mana, dan menebak-nebak jumlah uang yang diberikan oleh Kiyomori kepada mereka setiap bulannya.
Di antara para tamu tersebut tampaklah Ular, yang kerap datang untuk minum-minum bersama Ryozen.
"Nah, Ryozen," Ular menekankan, "bukankah aku sudah membawakan keberuntungan untukmu?"
Ryozen menikmati sanjungan Ular dan, dengan suasana hati ceria, menjawabnya, "Ya, ini memang sama sekali tidak buruk. Dan, kalau Giwo melahirkan anak Tuan Kiyomori, maka aku pun akan dianggap sebagai kerabatnya. Aku yakin akan bisa mendapatkan jabatan di Rokuhara karenanya."
Ryozen yang lugu, bagaimanapun, bukanlah tandingan Ular yang licik dan gemar menindas orang lain.
"Ya, Ryozen," kata Ular, "jika bukan berkat aku, di manakah dirimu sekarang berada" Bukankah aku yang mengentaskanmu dari
Jalan Pedagang Sapi, waktu kalian kelaparan" Akulah yang membeli anakmu dan menjadikannya geisha, bukan"
Kita sudah sangat dekat seperti saudara, ya" Memang, aku mungkin sesekali marah kepadamu, tapi itu karena aku selalu menginginkan yang terbaik untukmu."
Ryozen jarang terlihat di rumahnya sekarang; dia berkeliaran ke sana kemari bersama Ular, yang membawanya berjudi, minum-minum, dan menghabiskan uang di tempat hiburan. Rumahnya, yang tadinya diselimuti kedamaian, kini menjadi ajang kekerasan rumah
tangga, karena istri Ryozen mendengar bahwa suaminya memiliki kekasih gelap di Jalan Keenam. Sang istri mencecar, "Ingatlah," katanya dengan air mata merebak,
"kehidupan yang nyaman ini kita dapatkan bukan karena dirimu, dan dengan menghambur-hamburkan uang kita, kau akan menjadi bahan tertawaan para tetangga. Terlebih lagi, bagaimanakah menurutmu perasaan Giwo, anak kita tersayang, jika melihatmu seperti ini?"
Pada sekitar waktu ini, orang-orang juga mulai membicarakan tentang geisha jelita bernama Hotok6 dari rumah lain di Horikawa. Hotok6 baru berumur enam belas tahun dan datang ke Kyoto ketika masih bocah dari Provinsi Kaga, tempat kelahirannya. Sebagai seorang geisha yang dididik untuk menjalani profesi ini sejak masa kanak-kanaknya, tarian dan nyanyiannya pun dikabarkan mengalahkan para penghibur terbaik di Istana sekalipun.
Para penikmat hiburan di Kyoto, yang pernah melihat penampilannya, bersumpah bahwa kecantikannya setara dengan Giwo. Karena kemolekan Giwo sudah tersebar luas, nyonya Hotok6 merasa perlu menyombongkan kualitas muridnya yang mengalahkan Giwo, dan pada suatu hari memanggil Hotoke.
"Tidak diragukan lagi, kau adalah penari terbaik di ibu kota, namun hanya pengunjung daerah hiburan di Kyoto yang pernah melihat penampilanmu. Jika kau bisa menarik perhatian Tuan Kiyomori, kau akan kaya raya. Seorang Giwo saja bisa diterima di Rokuhara, jadi kau pasti juga bisa. Berdandanlah seperti Giwo, dan kita akan melihat apakah kau bisa menyainginya."
Hotoke langsung setuju karena dia lugu dan membanggakan keahliannya menari. Pikiran tentang apa yang akan diperolehnya tidak pernah terlintas di benaknya.
Pada awal musim gugur, sebuah kereta perempuan yang indah berhenti di depan gerbang jalan Kedelapan Barat, tempat Kiyomori, yang telah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sejak Februari, tinggal di sebuah kediaman yang semegah istana. Rumah-rumah megah berdiri di sepanjang jalan yang lebar itu ... rumah Nyonya Ariko di sini, rumah Tokiko di sana ... dan jalan-jalan kecil tempat para samurai tinggal bercabang dari sana. Perpaduan antara arsitektur gaya lama dan baru terlihat di seluruh tempat itu, mencerminkan perubahan zaman.
Hotoke, menebarkan seluruh pesonanya, melongok dari keretanya ketika seorang penjaga menghadang keretanya di gerbang. "Aku Hotoke, seorang geisha ... dari lahir, ya, aku memang mainan kaum pria. Aku dikirim oleh nyonyaku dan memberanikan diri untuk datang kemari tanpa diundang. Izinkanlah aku menari dan menyanyi di depan Tuan Kiyomori."
Si penjaga ragu-ragu dan curiga; kemudian, khawatir Kiyomori akan memarahinya, dia membentak Hotoke.
"Apa-apaan ini" Datang kemari tanpa diundang" Keluar
... pulanglah sana!"
"Tidak, sudah menjadi kebiasaan di kalangan para geisha untuk melakukan kunjungan mendadak seperti ini, dan aku melakukannya untuk memberikan penghormatan kepada Tuan Kiyomori. Aku masih muda, dan aku tidak sanggup menanggung luka hati akibat penolakan."
Hotok6, dengan hati kecewa, tengah beranjak dari sana, ketika seorang pelayan tiba-tiba memanggilnya.
"Karena kau memaksa, aku akan melihat apa yang bisa kulakukan," katanya, membawa Hotok6 memasuki rumah.
Dengan mata membelalak, Hotok6 memandang ruangan-ruangan indah yang terpampang seolah-olah tanpa akhir di hadapannya, hingga akhirnya dia melihat seseorang yang diketahuinya sebagai sang tuan rumah. Kiyomori duduk dikelilingi oleh para pengiringnya; salah seorang di antaranya menghampiri Hotoke dan mengatakan,
"Apakah kau Hotoke" Anggap saja dirimu beruntung, karena tidak semua orang bisa bertemu dengan Tuan Kiyomori. Kau ada di sini hanya karena Giwo memohon kepada Tuan untuk membuat perkecualian ". Kau boleh menyanyi untuk kami sebagai balasan atas kebaikan luar biasa ini."
Hotoke membungkuk dan menoleh ke arah Giwo dengan ekspresi berterima kasih, yang dibalas oleh Giwo dengan tatapan menguatkan. Hotok6 pun mulai menyanyikan sebuah lagu sederhana yang diulangi hingga tiga kali. Dari bibir ranumnya mengalirlah rangkaian nada yang menyentuh hati para pendengarnya dan mengiang di telinga mereka dalam gema yang merdu.
Kiyomori tiba-tiba berkata, "Kau rupanya benar-benar pandai menyanyi. Sekarang, menarilah. Hei ... gebuklah genderangnya!"
Hotok6 menelengkan kepala dan berdiri. Dia bergerak dengan lemah gemulai, berbalut kecantikan yang menyembunyikan kebelia-annya.
Kiyomori terpukau menatap setiap gerakannya, namun ketika dia membiarkan matanya membuntuti Hotoke, mereguk seluruh kecantikannya, sebuah dorongan luar biasa untuk mencabik-cabik dan meluluhlantakkan keindahan itu menyergapnya.
"Bagus sekali. Lebih bagus daripada yang kusangka,"
akhirnya dia berkata. "Mari kita bersulang untuk
keahlianmu ... Hotoke" Mari kita menghabiskan sake ini di Paviliun Musim Semi sambil menyaksikan Hotok6 menari sekali lagi."
Hotok6 diperintahkan untuk tinggal di kediaman Kiyomori di Jalan Kedelapan Barat, dan di seluruh penjuru ibu kota bisa didengar pergunjingan tentang Tuan Kiyomori yang memiliki gundik baru. Tetapi, yang sesungguhnya terjadi bukan begitu karena Hotoke, yang merasa berutang budi kepada Giwo, tidak pernah menuruti keinginan Kiyomori dan setiap hari selalu memohon agar diizinkan pulang.
"Katakanlah kepada Giwo bahwa dia boleh pergi,"
Kiyomori memerintahkan. "Aku sudah melakukan segalanya untuk membahagiakan dia. Dia sudah memiliki semua yang dibutuhkannya untuk hidup makmur."
Giwo menerima kabar pembebasannya dengan lega, walaupun dia merasa sedih ketika memikirkan Tadanori, adik tiri Kiyomori; selama ini, Giwo telah membiarkan dirinya menjadi mainan seorang pria dan diam-diam memberikan hatinya kepada pria lain.
Segera setelah tersebar kabar bahwa Giwo telah dilepaskan, para pria ibu kota mulai mengiriminya undangan untuk menghadiri perjamuan yang mereka selenggarakan dan membanjirinya dengan hadiah, namun Giwo mengurung diri di rumah dan menolak untuk menemui siapa pun.
Kendati begitu, hati Giwo hancur ketika melihat betapa ayahnya, Ryozen, telah banyak berubah. Ryozen memimpin rumah tangganya dengan tangan besi, pemarah, selalu mabuk, dan terlilit utang. Ibunya menderita, padahal Giwo selama ini mengira bahwa pengorbanannya akan membahagiakan wanita itu. Tidak lama kemudian, Ryozen
lenyap bersama Ular dan sejak saat itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pada akhir musim semi tahun berikutnya, 1168, Giwo, adik perempuannya, dan ibunya memotong rambut panjang mereka untuk hidup menyepi di daerah perbukitan di Saga, di dekat sebuah kuil di sebelah utara gerbang kota. Mereka telah lama tinggal di sana ketika Hotok6 si geisha melarikan diri dari rumah megah di Jalan Kedelapan Barat dan mendatangi Saga, memohon kepada Giwo dan keluarganya untuk menerimanya. Seperti halnya mereka, Hotok6 juga sudah cukup banyak melihat betapa jahatnya kekayaan dan jabatan, dan sudah muak terhadap kemewahan.
o0odwkzo0o Bab XLIV-HURU-HARA Kiyomori semakin sering melakukan perjalanan ke Fukuhara, dan para pelancong, yang melewati jalur antara ibu kota dan wilayah barat Jepang, terheran-heran melihat perubahan yang terjadi di sana sejak lima atau enam tahun terakhir. Kampung-kampung nelayan dan desa-desa kecil telah berubah menjadi daerah indah yang ditempati oleh banyak rumah peristirahatan, dengan rumah megah Kiyomori sebagai pusatnya. Selain jalanan yang telah diperbaiki, toko-toko yang telah berjajar di sepanjang pesisir juga akan menjadikan Owada sebagai sebuah pelabuhan yang bagus.
Walaupun rumah peristirahatan mewah Kiyomori telah selesai dibangun dan rumah-rumah Heik6 yang berbentuk seragam juga telah didirikan di sekelilingnya, Kiyomori hanya membuat sedikit kemajuan dalam mewujudkan pelabuhan impiannya. Angin barat daya yang kencang dan
ombak yang dahsyat segera menghancurkan tanggul, walaupun perahu-perahu yang dirancang khusus untuk mengangkut batu telah berkali-kali mengosongkan muatan di laut, untuk membuatnya. Dan, setiap kali tanggul mulai terbentuk, angin taufan musim gugur selalu menghantamnya hingga keropos. Tetapi, Kiyomori menolak untuk mengabaikan impiannya. Dengan tegas, dia mengumumkan:
"Adakah orang yang memiliki keahlian dan kepercayaan diri untuk merampungkan pekerjaan ini" Jika ada, aku akan memenuhi semua kebutuhannya. Carikanlah orang semacam itu untukku, dan hadapkanlah dia kepadaku."
Setelah mencari ke seluruh penjuru negeri, ditemukanlah seorang pria yang bisa melanjutkan pembangunan. Ribuan orang dan perahu bahu-membahu bekerja di bawah pimpinannya. Hari demi hari, lalu minggu demi minggu, dan akhirnya bulan demi bulan berlalu, dan Kiyomori membiayai seluruh pembangunan itu seorang diri. Setiap kali berkunjung ke Fukuhara, Kiyomori tidak bersantai-santai dan mengenang masa lalu di rumah
peristirahatannya yang megah tetapi sibuk mengikuti kemajuan pembangunan pelabuhan, mencurahkan seluruh jiwa dan raganya untuk memecahkan setiap masalah yang menghadang.
Dalam salah satu kunjungannya ke Fukuhara, Kiyomori mengabaikan gejala demam yang dideritanya, dan pada malam hari ketika dia sedang dalam perjalanan kembali ke ibu kota, suhu tubuhnya semakin meningkat. Kecemasan melanda penduduk ibu kota ketika kabar mengenai jatuh sakitnya Kiyomori bocor dari rumah di Jalan Kedelapan Barat Kaisar mengirim tabib pribadinya untuk mengobati Kiyomori. Sepanjang hari, kereta para bangsawan dan pejabat tinggi bergantian melewati gerbang rumah untuk
mencari kabar terbaru tentang kondisi Kiyomori. Tidak seorang pun ... kerabat Kiyomori sekalipun ... bisa menemuinya, dan kabar tentang Kiyomori hanya bisa didapatkan dari si tabib. Tetapi, kondisi Kiyomori semakin parah. Sudah berhari-hari dia tidak mau makan.
Demamnya tidak kunjung mereda, dan si tabib pun sepertinya tidak bisa memastikan apa penyakitnya.
Kabar mengenai semakin merosotnya kesehatan Kiyomori tersebar dalam waktu singkat Begitu mendengar berita ini, seorang pejabat Heike di Kyushu langsung berangkat ke Kyoto bersama seorang tabib Cina yang baru saja tiba di Jepang.
Ibu tiri Kiyomori, Nyonya Ariko, bersama Shigemori mendatangi kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan utama di Perbukitan Timur dan Gunung Hiei untuk berdoa bagi kesembuhannya.
Wajar saja jika orang-orang mengira-ngira tentang apa yang akan terjadi jika Kiyomori tutup usia. Klan Heik6
belum cukup kuat untuk menjaga agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan Mantan Kaisar Goshirakawa, dan semua orang percaya bahwa langkah pertama yang akan diambil oleh sang mantan kaisar adalah menyingkirkan semua Heik6 ... dan golongan samurai ... dari Istana. Istana Kloister, sementara itu, setiap hari menerima kunjungan dari Istana Kekaisaran, dan pada suatu hari, Goshirakawa memerintahkan agar keretanya disiapkan karena dia akan menjenguk Kiyomori.
Begitu mendengar bahwa Mantan Kaisar telah tiba, Kiyomori tampak panik. Dia memerintahkan agar kamarnya disapu dan dupa disulut Ketika dia bersujud di hadapan sang tamu agung, Goshirakawa bisa melihat betapa kurusnya Kiyomori dan berkata dengan lembut:
"Sebaiknya kau berbaring saja."
"Tidak, Yang Mulia, saya masih bisa bangun."
Dengan tubuh tetap tegap dalam balutan kimono tidur sutranya, dan tampak lebih tenang daripada biasanya, Kiyomori menjawab pertanyaan-pertanyaan Mantan Kaisar.
Ada beberapa persoalan mendesak yang disampaikan oleh Goshirakawa di sisi tempat tidur Kiyomori. Seperti yang kemudian diketahui, pembicaraan tersebut menyangkut penurunan tahta Kaisar-cilik Rokujo untuk kemudian digantikan oleh putra Goshirakawa, Takakura.
Rupanya Mantan Kaisar telah cukup lama merencanakan hal yang dianggapnya akan mengamankan kekuasaannya ini. Dia yakin bahwa Kiyomori akan tertarik pada rencana ini karena Takakura adalah keponakannya. Bagaimanapun, tidak ada jaminan bahwa Mantan Kaisar akan berhasil membujuk
Kiyomori untuk mendukungnya, dan bahkan ada kemungkinan Kiyomori akan menolaknya.
Sehari setelah kunjungannya. Mantan Kaisar mengirim tabib pribadinya ke rumah di Jalan Kedelapan Barat dan kemudian menanyainya.
"Bagaimanakah keadaannya" Apakah ada kemungkinan dia akan tetap hidup?"
Si tabib menjawab pertanyaan ini, "Yang Mulia, sulit bagi saya untuk memastikannya. Mustahil bagi saya untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Gejala-gejala aneh yang ditunjukkannya membuat saya semakin kesulitan memastikan penyakitnya."
Gejala-gejala yang aneh" Goshirakawa mendengarkan dengan saksama. Apakah Kiyomori akan bertahan atau
tidak bukan masalah baginya; rencananya akan tetap dijalankan.
Kiyomori sakit dan tidak berdaya. Kesehatannya yang prima selalu membuatnya menyepelekan kelemahan fisiknya, walaupun masalahnya berbeda jika dia jatuh sakit Istrinya, Tokiko, kerap mengolok-oloknya, "Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih manja dan menjengkelkan daripada dirimu saat jatuh sakit"
Anehnya, kali ini si sakit tidak bersikap manja maupun menjengkelkan; dia sama sekali tidak tertarik pada makanan; demamnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Dari waktu ke waktu, erangan kesakitan dan igauan tanpa arah terdengar dari kamarnya. Tabib Kiyomori semakin waspada. Tokiko, Nyonya Ariko, dan Shigemori menghabiskan berjam-jam sehari untuk berdoa di kapel pribadi mereka. Para ahli nujum dipanggil, dan para kurir diberangkatkan ke pusat-pusat peribadatan untuk menyampaikan pesan agar upacara khusus digelar demi kesembuhan Kiyomori. Para dewa yang marah seolah-olah telah bersatu padu untuk membalas dendam kepada pria tak beriman yang sudah terlalu lama melecehkan dan menyangkal mereka.
Tetapi, Kiyomori tidak merisaukan igauannya. Setiap kali demamnya mereda, dia justru merasakan nyeri di perutnya; serangan mual yang dahsyat kembali dan membuatnya merindukan demam yang akan meredakan rasa sakitnya dan sekali lagi membawanya ke kedamaian tempatnya melayang di antara gumpalan awan merah jambu. Dalam keadaan setengah sadar, dia mengingat dirinya mengatakan, "Jadi, inilah ambang antara kehidupan dan kematian ?" Kemudian, dia akan melihat para malaikat beterbangan di antara gumpalan-gumpalan awan dengan iringan musik yang indah, dan di antara mereka, dia
melihat seorang bocah ... dirinya ketika berumur delapan tahun. Dia berada di atas sebuah panggung di Gion, dan yang semula dikiranya sebagai gumpalan awan ternyata sakura. Di bawah pepohonan, ibunya yang cantik jelita berdiri dan tersenyum kepadanya, tersenyum ketika menyaksikannya menari. Ayahnya berdiri di samping ibunya. ... Ibu! Ayah! Lihatlah aku menari! ... Dan Kiyomori terus menari hingga keletihan menderanya.
Ayahnya mendadak lenyap, disusul oleh ibunya.
Kemudian, lolongan anak-anak menusuk telinganya.
Dengarlah! Itu adalah Si Tua Bangka, menyanyikan lagu pengantar tidur. Dia melihat istal di rumah tuanya, dan kuda-kuda di dalamnya menatapnya dengan wajah mereka yang kurus kelaparan. Dan, di bawah bulan yang menggantung di langit malam, dia melihat Imadegawa ...
rumah reyot yang pernah dihuninya ... menjulang di depannya. Tangis kelaparan adik-adiknya membuatnya panik. Ibunya telah menelantarkan anak-anak ini ".
Ayahnya ... ke manakah dia" Dan Kiyomori akhirnya melihat Si Mata Picing bersandar pada sebuah tiang dan memandang atap rumahnya tanpa berkata-kata ". Aku memang bukan anak siapa-siapa, tapi kau adalah ayah kandungku ... dan di tengah igauannya, Kiyomori memanggil-manggil, "Ayah! ... Ayahku!"
Kemudian, sebuah suara ... Shigemori ... mengatakan,
"Ayah, ada apa?"
Adik-adik Shigemori, yang berkumpul di sekeliling ayah mereka, mengguncang-guncang tubuh Kiyomori agar dia terbangun.
"Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh dalam mimpiku?" tanya Kiyomori.
"Ayah mengigau."
"Aku bermimpi indah. Terbangun membuatku kesakitan lagi."
"Tabib Cina dari Kyushu baru saja tiba. Ayah. Apakah Ayah mau menemuinya di sini?"
"Apa! Tabib dari negeri Sung" Ya, bawa dia kemari."
Si tabib segera muncul dalam balutan jubah perjalanannya, dengan rambut putih yang terurai di bahu, paras kaku, dan tubuh sekerempeng burung bangau. Dia memeriksa Kiyomori dengan cermat; sesekali menelengkan kepala dan berkomat-kamit, kemudian duduk di tepi tempat tidur Kiyomori.
Kiyomori menoleh kepada si tabib dan bertanya,
"Apakah saya akan sembuh?"
Si tabib menjawab sambil tersenyum, "Saya yakin Anda akan sembuh dalam dua atau tiga hari."
Sulit bagi Kiyomori untuk memercayai pendengarannya, namun setelah si tabib pergi, dia secara teratur meminum ramuan yang diberikan kepadanya. Keesokan paginya, Kiyomori merasa jauh lebih sehat dan terus meminum ramuannya sesuai arahan si tabib, dan pada malam harinya, dia tertidur nyenyak dan lama
Penyakit Kiyomori disebabkan oleh kuman-kuman di dalam ususnya. Setelah kuman-kuman tersebut disingkirkan dengan obat dan pencahar, kesehatannya pun pulih dengan cepat Kendati begitu, kabar yang tersebar di seluruh ibu kota menyebutkan bahwa kesembuhan Kiyomori adalah sebuah mukjizat Ilmu kedokteran, yang masih berada di dalam tahap paling awal perkembangannya, menghubungkan kehadiran kuman di dalam tubuh manusia dengan alasan supernatural, dan para dukun dan ahli nujum kerap dipanggil untuk mengobati orang-orang yang sakit.
Di rumah megah di Jalan Kedelapan Barat dan Rokuhara, kehidupan kembali berjalan dengan normal; pesta syukuran digelar di mana-mana, dan musik kembali terdengar mengalun dari rumah-rumah Heike.
Semua orang yang mengenal Kiyomori takjub ketika mengetahui bahwa segera setelah kesehatannya pulih, dia menjalani penahbisan dan menarik diri dari keramaian.
Tidak ada lagi yang diinginkan oleh Kiyomori; kedudukannya telah aman, reputasinya telah terjaga; posisi tertinggi yang bisa diraihnya di bidang pemerintahan sudah berada di dalam genggamannya. Kendati begitu, kedua ambisinya belum terwujud ... pelabuhan di Owada dan perdagangan dengan Cina. Dia masih memegang erat-erat mimpinya untuk menjadikan Fukuhara sebagai pusat perdagangan besar dan Itsuku-shima sebagai permata Laut Dalam, penghubung antara Jepang dan negeri Sung.
Kejayaan menantinya jika dia berhasil mewujudkan mimpinya ini!
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kiyomori langsung menetap di Fukuhara untuk mengabdikan seluruh waktunya pada tahap terakhir pembangunan pelabuhan, dan menyusul kepergiannya. Kaisar Rokujo digulingkan dari tahtanya dan digantikan oleh putra Goshirakawa yang berumur sembilan tahun. Semua orang yakin bahwa Kiyomori adalah dalang dari peristiwa itu. Tuduhan-tuduhan terpedas datang dari para bangsawan Fujiwara, yang sudah berabad-abad melahirkan calon kaisar, yang tidak tahu-menahu tentang perubahan ini. Pelanggaran hak prerogatif yang tidak pernah dilakukan sebelumnya ini menginjak-injak wewenang mereka. Pelakunya adalah seorang samurai ... Heik? Kiyomori. Kendati begitu, walaupun tuduhan terberat ditujukan kepada Kiyomori, adik iparnya, Tokitada, dianggap sebagai tokoh
berpengaruh di balik layar. Kiyomori tiba-tiba mendapati dirinya berada di bawah bayang-bayang ketakutan begitu gosip-gosip liar itu berkembang. Orang-orang mengatakan bahwa Tokitada menempatkan mata-mata di mana-mana untuk melaporkan siapa pun yang berani berbicara miring tentang Heik6.
Pada Juli 1170, sebuah huru-hara, yang akan lama diingat, pecah di antara para pelayan Perdana Menteri Fujiwara dan Heik6 Shigemori.
Melihat segala aspek yang ada, bulan itu sungguh menentukan. Gerhana matahari telah diramalkan, dan tujuh buah panggung telah didirikan di Istana Kekaisaran untuk menyaksikan fenomena alam tersebut, walaupun ketika hari beranjak siang, langit menjadi berawan dan hujan deras turun. Musim panas ternyata datang lebih cepat. Semua orang mengkhawatirkan kemungkinan datangnya musim kemarau panjang, sehingga upacara khusus untuk meminta hujan diselenggarakan di Tempat Pemujaan Utama dan tempat-tempat pemujaan yang lebih kecil. Setelah pemujaan itu, lalu turunlah hujan deras yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun sejak sepuluh tahun terakhir. Sungai-sungai meluap, dan sebagian wilayah ibu kota terendam banjir. Pada 3 Juli, sehari setelah gerhana matahari, sebagian besar penghuni Istana ... para pangeran, putri, dan Perdana Menteri ... menghadiri Misa Besar di kuil di dekat Shirakawa, di sebelah utara Rokuhara.
Matahari bersinar sangat terik pada hari itu. Perdana Menteri, yang mengenakan kimono kebesaran tebalnya, lalu menyelesaikan tugasnya. Dia tergoda untuk pulang dan menanggalkan berlapis-lapis pakaian yang dikenakannya.
Tetapi, tidak, matahari masih tinggi, putusnya. Dia akan kembali ke Istana, menyelesaikan beberapa urusan, lalu pulang pada malam hari, setelah udara lebih sejuk. Dia
memerintah penarik sapinya untuk membawanya kembali ke Istana Kekaisaran dan membiarkan kereta mengayun-ayunnya dengan lambat.
Sinar matahari yang panas menyengat menembus kerai dan menerangi sosok berkimono putih itu. Perdana Menteri masih berusia pertengahan dua puluhan. Tampak anggun dan berwibawa dalam balutan kimono kebesarannya, dia tetap duduk tegak walaupun keringat mengalir ke pipinya dari bawah hiasan kepala berat yang dikenakannya.
Rombongan ajudan, penarik sapi, dan pelayannya tentu saja jauh lebih merana di bawah siksaan panas ini. Dengan tubuh berselimut debu, mereka berkali-kali dan dengan letih berusaha mengusir lalat yang mengerumuni mereka.
Sapi penarik kereta dibiarkan menentukan kecepatannya sendiri, dan iring-iringan panjang itu merayap di sepanjang jalan raya. Ketika mendekati sebuah persimpangan, dari jauh mereka melihat kereta lain bergerak ke arah mereka, diiringi oleh serombongan besar pelayan. Dari jarak yang lebih dekat,
tampaklah bahwa rombongan itu mengiringi sebuah kereta perempuan. Kereta Perdana Menteri, yang tampak mencolok berkat lambang besarnya, menguasai bagian tengah jalan. Etika yang berlaku menuntut permaisuri sekalipun untuk memberi jalan kepada Perdana Menteri, namun kereta perempuan tersebut terus maju tanpa menunjukkan tanda-tanda akan menepi. Jarak keduanya semakin pendek ... empat puluh meter, lima belas, sepuluh, lalu tujuh. Kereta itu sudah nyaris bersentuhan dengan kereta Perdana Menteri namun tetap melaju dengan kencang. Para pengiring kereta perempuan mengisyaratkan dengan liar agar kereta Perdana Menteri menepi, sementara para pengiring Perdana Menteri maju untuk menghentikan kereta perempuan tersebut Tidak ada
yang mau mengalah, jeritan liar, umpatan, dan caci maki pun gagal menghentikan keduanya.
"Apa kalian tuli" Tidakkah kalian lihat kereta siapa ini?"
"Pakai mata kalian! Ini kereta Perdana Menteri!"
"Memangnya siapa majikan kalian?"
Kereta perempuan itu terus maju, menceraiberaikan kerumunan pelayan Perdana Menteri ke tepi jalan.
"Berhentilah di sana! Berhenti!"
Seorang ajudan Perdana Menteri tiba-tiba bertari maju sambil memekik, "Orang-orang kurang ajar!" Dia menonjok si penarik sapi dan menyambar tali kekangnya sambil menyeret kereta perempuan itu ke pinggir jalan.
"Berani-beraninya kau menyentuhkan tanganmu ke kereta majikanku?"
Para pengawal yang berjaga-jaga di belakang kereta segera merangsek ke depan dan mengancam. "Berani-beraninya kalian menghina kami" Apa maksud semua ini?"
Para ajudan Perdana Menteri balas membentak.
"Diam! Orang-orang kampungan seperti kalian pasti tidak tahu bahwa yang sedang kalian hadapi ini adalah rombongan Perdana Menteri! ... Mundurlah kalian!
Menyingkirlah dari jalan kami, bangsat!"
?"Orang-orang kampungan* kata kalian?"
"Kalian sama tololnya dengan kucing atau anjing!
"Orang-orang kampungan* terlalu bagus untuk kalian!"
"Kalian ingin berkelahi, ya!"
"Kalian yang memulai, tapi kami sudah siap!"
Empat atau lima orang pengawal Perdana Menteri mengangkat senjata.
"Kalian mau apa?"
Perkelahian pun pecah begitu para pengiring Perdana Menteri menyerang para pengiring kereta perempuan.
"Hajar mereka!"
"Dasar anjing-anjing Rokuhara!"
Sumpah serapah membahana. Ranting-ranting dan batu-batu dilemparkan ke kereta Perdana Menteri. Gumpalan-gumpalan debu membubung ke udara, menyelubungi mereka yang berkelahi mati-matian sehingga kawan dan lawan mustahil untuk dibedakan lagi. Rombongan pengiring Perdana Menteri terdiri dari delapan puluh orang, mencakup sejumlah samurai, sementara rombongan lawan mereka hanya beranggotakan empat puluh orang. Tetapi, prajurit-prajurit Rokuhara gagah perkasa dan petarung yang tangguh, dengan sikap dan tutur bahasa yang kasar.
Para penumpang kedua kereta tersebut sepertinya sudah sepenuhnya terlupakan. Bukan seorang perempuan yang ada di dalam kereta perempuan itu melainkan cucu Kiyomori, putra Shigemori yang berumur sepuluh tahun, yang hendak pulang dari kursus seruling. Keretanya terayun-ayun keras ke kanan dan kiri kemudian berputar.
Huru-hara itu pun berhenti, sementara si bocah duduk gemetar di dalam kereta, ketakutan melihat wajah-wajah berdarah dan tubuh-tubuh penuh luka yang saling menyerang. Sebongkah batu melayang menembus kerai, dan jeritan melengking seorang bocah mendadak terdengar.
Walaupun kedudukan mereka masih unggul, para pelayan Heik6 terpaksa untuk mundur bersama kereta mereka yang rusak parah. Tetapi, mereka telah
mengerahkan seluruh tenaga mereka dan bersumpah untuk membalas dendam.
Hari semakin gelap dan Rokuhara sunyi senyap; jangkrik-jangkrik di bawah pepohonan pun seolah-olah tidak berani mengerik. Kabar tentang perkelahian itu telah sampai di Rokuhara, dan obor-obor terangkat begitu kereta datang. Berbagai seruan terdengar:
"Kaukah itu, Shiro" Apakah Tuan Muda selamat?"
"Semuanya baik-baik saja, tapi rombongan Perdana Menteri habis-habisan mempermalukan kita ". Jumlah mereka jauh melampaui kami."
"Laporkanlah itu kepada Tuan, tapi bagaimana dengan Tuan Muda ... tidak ada cedera?"
"Beliau baik-baik saja, walaupun sedikit menangis."
"Cepatlah masuk! Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya orang-orang di rumah?"
Baru beberapa saat kereta itu berhenti di depan beranda, Shigemori telah keluar, dengan panik berseru-seru memanggil putranya.
Shigemori mendengarkan cerita tentang huru-hara itu dari salah seorang kepala rombongannya. Yang bersalah bukan pihak mereka melainkan pihak Perdana Menteri, si kepala rombongan bersikeras. Para ajudan Perdana Menteri tidak hanya menantang mereka tetapi juga merusak kereta mereka. Tidak, mereka tentunya akan memberikan jalan secara suka rela kepada Perdana Menteri jika para pengiringnya tidak melecehkan mereka. Tidak ada pilihan selain membela kehormatan Heike ".
Ketika si panglima mengakhiri ceritanya, Shigemori, yang biasanya selalu tenang, meledak. "Seandainya saat itu
gelap, aku mengerti jika mereka tidak mengenali anakku, tapi mustahil jika mereka tidak mengenalinya di tengah siang hari bolong. Jelas, Perdana Menteri bersalah, dan aku akan memastikan agar dia mendapatkan balasan yang setimpal."
Keesokan harinya, pada 5 Juli, Shigemori berangkat ke Istana bersama pasukan bersenjata lengkap dengan jumlah yang lebih besar daripada biasanya, bertekad untuk melabrak Perdana Menteri di mana pun mereka berjumpa.
Sementara itu, Perdana Menteri, yang baru mengetahui bahwa huru-hara yang disebabkan oleh para ajudannya tempo hari ternyata melibatkan putra Shigemori, sudah beberapa hari menghindari Istana. Secara pribadi, Perdana Menteri menyemburkan kekesalannya kepada para kepala rombongan dan ajudannya.
"Tidak bisakah kalian melihat siapa yang sedang kalian hadapi sebelum menyerang mereka" Dari semua orang yang bisa kalian tindas ... cucu Kiyomori! Pandir ... tolol! Dan akulah yang harus menanggung akibatnya!"
Tetapi, walaupun sudah melampiaskan kemarahannya, Perdana Menteri tetap merasa tidak berdaya untuk meluruskan masalah ini, hingga salah satu temannya ...
seorang penasihat ... menyarankan agar dia menyerahkan ajudan-ajudannya yang bersalah kepada Rokuhara untuk dijadikan jaminan. Si penasihat meyakinkan Perdana Menteri bahwa tindakan ini bisa dipastikan akan melunakkan sikap Shigemori. Maka, dua orang kepala rombongan beserta beberapa orang prajurit dan penarik sapi diserahkan ke Rokuhara. Beberapa saat kemudian, si penasihat, yang bertindak sebagai duta Perdana Menteri, kembali bersama orang-orang yang akan diserahkan itu.
Dia membawa berita bahwa Shigemori menolak untuk menemuinya.
"Aku diberi tahu bahwa Tuan Shigemori tidak mau menemui siapa pun. Tetapi, kudengar dia mau membicarakan tentang masalah ini asalkan tidak denganmu."
Pada 16 Juli, sebelum berangkat untuk menghadiri sebuah acara yang sudah dijadwalkan di kuil di Shirakawa, Perdana Menteri memerintahkan kepada anak-anak buahnya untuk memeriksa keadaan di sekeliling kuil.
Ketika mendapatkan laporan bahwa para samurai Heikt telah ditempatkan di sepanjang rute yang akan dilaluinya, Perdana Menteri membatalkan semua rencananya hari itu.
Beberapa bulan kemudian, pada 21 Oktober, pada hari ketika Perdana Menteri dijadwalkan untuk hadir di hadapan Dewan Kekaisaran dalam pembahasan terakhir tentang hak-hak yang akan diterima oleh Kaisar setelah cukup umur, sebuah pesan tiba di Istana Kekaisaran, mengatakan bahwa Perdana Menteri telah diserang di tengah perjalanan menuju Istana sehingga tidak bisa menghadiri pertemuan. Seisi Istana pun waspada. Jadwal baru pertemuan Dewan Kekaisaran ditetapkan, dan para menteri dan pejabat istana yang kebingungan segera dibubarkan. Masyarakat segera mendengar kabar tentang serangan yang terjadi di dekat salah satu gerbang Istana itu; Perdana Menteri berhasil meloloskan diri tanpa menderita cedera apa pun; sekitar dua ratus orang samurai tiba-tiba muncul di tepi jalan dan mengepung keretanya; para penyerang yang tidak dikenal itu menyergap enam orang pengawal berkuda yang berbaris di depan, menyeret mereka turun sehingga terluka parah akibat terinjak-injak, dan memotong ikat rambut mereka sebagai ungkapan penghinaan. Para anggota rombongan lainnya yang tidak berhasil melarikan diri, yang jumlahnya tidak seberapa, menemui nasib serupa.
Orang-orang berusaha mencari penjelasan, dan segera tersebar kabar bahwa Kiyomori sendirilah yang melakukan pembalasan kepada Perdana Menteri demi cucu kesayangannya. Padahal, Kiyomori sesungguhnya tengah berada di Fukuhara, dan insiden yang melibatkan cucunya baru terdengar olehnya lama kemudian.
Setelah perhatian masyarakat pada kasus ini berkurang, kebenaran mencuat dari jalinan kusut desas-desus dan peyangkalan yang menjadi buah bibir seluruh ibu kota: Shigemori sendirilah yang telah memerintahkan penyerangan kepada Perdana Menteri.
o0odwkzo0o Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH
PELABUHAN Tahun 1170 adalah tahun banjir dan bencana alam yang telah merenggut tempat tinggal dan panenan ribuan petani.
Kendati begitu, santer terdengar kabar ini: "Tidak ada seorang pun yang kelaparan di Fukuhara. Lapangan kerja melimpah ruah di sana" Karena itulah para fakir miskin berbondong-bondong berangkat ke Fukuhara untuk turut membangun pelabuhan. Sembilan tahun telah berlalu sejak Kiyomori mengemban tugas luar biasa besar ini, dan keperkasaan tanggulnya mulai terbukti, mencuat bagaikan semenanjung di laut. Tetapi, pada bulan September, angin topan dalam sekejap meluluhlantakkan hasil kerja keras selama sembilan tahun tersebut.
Kiyomori melamun menatap laut. Impiannya mulai tampak mengenaskan. Dia sudah menghabiskan sangat banyak uang dan tenaga, namun belum ada sesuatu pun yang baru di sana. Karena itu Kiyomori meminta kepada
Gubernur Heike di wilayah utara Kyushu untuk mengirim beberapa orang insinyur dari Cina kepadanya, para buangan politik yang baru-baru ini meminta perlindungan di wilayah selatan Jepang.
Setibanya di Fukuhara, orang-orang asing itu ditempatkan di Aula Seribu Lentera, yang didirikan setahun silam di tengah hutan pinus di dekat laut untuk menyambut kunjungan pertama Mantan Kaisar Goshirakawa.
Kedatangan para insinyur dari Cina itu disambut dengan gegap gempita karena inilah kali pertama para penduduk asli dan juga orang-orang Kyoto yang telah lama tinggal di Fukuhara melihat orang asing.
Para insinyur dari Cina itu menghabiskan hari-hari mereka di laut atau berlama-lama berdiskusi dengan seorang mandor, yang menggeleng dengan kecewa. Tidak ada pengetahuan baru yang mereka dapatkan, lapor si mandor kepada Kiyomori. Semua yang mungkin dilakukan telah dicoba. Kendati harapannya telah kandas, Kiyomori tetap merasakan kepuasan yang mendalam lantaran seluruh pengetahuan manusia telah dicurahkan ke dalam proyek pembangunan yang dikerjakan oleh para ahli nan giat ini.
Dia kemudian memerintahkan agar pembangunan pelabuhan itu dilanjutkan, dan menambahkan kepada mandornya:
"Kita luput memperhitungkan akibat kedatangan badai musim gugur tempo hari karena baru kali inilah badai besar terjadi sejak tanggul kita berdiri. Sembilan puluh persen pembangunan harus dirampungkan di antara musim gugur dan musim panas tahun depan. Jika kita bisa mencapai target itu, aku menjamin bahwa kita akan berhasil. Kita membutuhkan lebih banyak pekerja, lebih banyak bahan bangunan ... dan uang, tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya."
Kiyomori tampak percaya diri. Hingga saat ini, dia telah menguras kekayaan Heik6; bagaimanapun, ada batas bagi semua hal, termasuk sumber daya itu. Tetapi, kali ini dia yakin bahwa pemerintah akan bersedia untuk turut menanggung biaya yang akan dikeluarkannya. Dua tahun telah berlalu sejak Mantan Kaisar menjanjikan kepadanya untuk menyumbang dana bagi pembangunan pelabuhan, dan walaupun belum ada tindakan nyata yang diambil, Kiyomori yakin bahwa Goshirakawa akan mendukungnya.
Kiyomori sudah sejak lama mengajukan permohonan resmi untuk dana yang telah dijanjikan itu kepada Mantan Kaisar, dan Goshirakawa selalu memintanya menunggu sebentar, sesuatu yang selalu dipatuhinya. Tetapi, sekarang Kiyomori menyadari bahwa dia sudah tidak bisa menunggu lagi. Pelabuhan itu harus segera didirikan atau dilupakan untuk selamanya, sehingga dia pun sekali lagi menemui Goshirakawa secara pribadi untuk memohon bantuan.
Ketika pertama kali mendengar tentang pertikaian antara rombongan pengiring Perdana Menteri dengan rombongan pelayan putra Shigemori, kemarahan Kiyomori tidak meledak seperti yang sudah diperkirakan; dia hanya menggeleng dan berkata, "Cucu-cucu dan keponakan-keponakanku semakin lama semakin sembrono. Cucuku memang bersalah karena melanggar etika, namun Perdana Menteri juga masih terlampau belia dan pongah."
Kemudian, dia menambahkan dengan sedih, "Kehidupan terlalu mudah bagi mereka tanpa adanya kesulitan yang menempa mereka."
Tidak lama kemudian. Mantan Kaisar berkunjung ke Fukuhara untuk memenuhi undangan Kiyomori.
Kunjungan pertamanya setahun silam bertujuan untuk melihat kemajuan dalam pembangunan pelabuhan di Owada dan menghadiri upacara peresmian sebuah kuil
baru. Kali ini, Kiyomori telah mengatur agar Goshirakawa bertemu dengan kedelapan insinyur dari Cina yang masih tinggal di Fukuhara. Dua orang wanita muda, putri salah seorang insinyur Cina, akan menari di hadapan Mantan Kaisar untuk memikatnya dengan hiburan dari kebudayaan Sung. Tetapi, maksud Kiyomori yang sesungguhnya adalah mengingatkan Goshirakawa akan janjinya untuk memberikan bantuan dana.
Setelah kunjungan Mantan Kaisar usai, Kiyomori menyadari bahwa tidak ada bantuan yang bisa diharapkan dari Goshirakawa. Mantan Kaisar telah dengan lihai menangkis dan berkelit dari permohonan Kiyomori.
Tetapi, Kiyomori tetap menolak untuk menerima kekalahan. Dia berumur lima puluh tiga tahun sekarang; kebugaran fisiknya tetap terjaga dan masih tampak muda.
Bagi para rekan sejawatnya di Istana, dia adalah seorang ambisius yang setiap langkahnya harus diawasi, karena walaupun telah mendapatkan penolakan, dia kembali mencurahkan seluruh tenaganya untuk merampungkan pembangunan pelabuhan.
Pada musim gugur itu, semua tenaga kerja yang biasa ditemukan di setiap wilayah kekuasaan Heik6 di bagian barat Jepang, disalurkan ke Fukuhara. Untuk membuktikan bahwa impian Kiyomori bukan sekadar omong koson, segala macam bahan bangunan dikumpulkan dalam upaya terakhir. Siang dan malam, bulan demi bulan, ribuan orang bekerja tanpa kenal lelah untuk menyelesaikan pekerjaan ini sebelum kedatangan musim badai tahun depan. Bebatuan dibersihkan dari semenanjung dan bukit-bukit di sekitarnya, untuk ditimbun di sepanjang pantai. Rakit yang terbuat dari rangkaian batang-batang pohon berukuran raksasa digunakan untuk memuat peti-peti kayu berisi batu dan ditarik ke laut. Secara bergantian, perahu-perahu
menjatuhkan bongkahan-bongkahan batu besar dan membiarkannya tenggelam di laut; rakit demi rakit dan perahu demi perahu.
Pada malam-malam yang panjang selama akhir musim gugur, perahu-perahu dengan obor-obor terang benderang berderet di sepanjang garis pantai, menghadirkan kesan agung dan misterius. Kiyomori memandangnya dengan puas. Dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya; para dewalah yang akan menentukan segalanya. Ketika Kiyomori memandang Galaksi Bima Sakti pada suatu malam, baru terlintas di dalam benaknya bahwa berbulan-bulan telah berlalu sejak dia meninggalkan ibu kota, dan dia pun memikirkan apa yang terjadi di sana. Siapakah di antara semua putra dan adik lelakinya, pikirnya, yang memiliki cukup ketangguhan untuk menjadi kepala klan Heik6" Tsunemori, adiknya, terlalu ringkih; Norimori, adiknya yang lain, terlalu pendiam. Tokitada, adik iparnya, kurang memiliki tanggung jawab; dia memang berbakat, namun terlalu keras kepala. Kendati menjanjikan, Tadanori, adik tirinya, masih terlalu muda.
Sedangkan putra sulung dan penerusnya, Shigemori ...
Kiyomori tahu bahwa seluruh anggota klan Heike menghormatinya namun tidak benar-benar mencintainya.
Ada sesuatu yang salah dengannya; di balik permukaan yang tenang, dia menyembunyikan jiwa yang semena-mena. Kiyomori selalu mencurigai tatapan teduh Shigemori, yang pancarannya kerap kali lebih menunjukkan kelicikan daripada kebijaksanaan. Shigemori juga telah berubah. Sebagian besar kesegaran dan kebugaran, yang selalu ditunjukkannya pada masa mudanya, kini telah lenyap. Kiyomori bertanya-tanya, apakah putra sulungnya itu sakit" Dia akan meminta seorang tabib untuk memeriksa Shigemori sekembalinya dirinya ke Kyoto. Kiyomori juga
sudah mendengar bahwa Shigemori saat ini memiliki sebuah kapel pribadi, tempatnya menghabiskan sebagian besar waktunya ". Itulah inti masalahnya. Ada terlampau banyak omong kosong yang terjadi, pikir Kiyomori. Adik-adik dan anak-anaknya mulai meniru tingkah kaum bangsawan: mereka mulai mencintai kemewahan dan terbiasa dengan beraneka ragam gaya hidup mahal. Mereka menunjukkan sikap berlebih-lebihan dengan menagatasnamakan agama, memanjatkan doa dengan riasan wajah dan alis, dan gigi yang dihitamkan.
Kiyomori tidak keberatan dengan keindahan dan gaya hidup yang baik. Semua itu memang menggoda. Itu menjadikan kehidupan mereka lebih berwarna. Sedangkan agama ... dia sendiri bahkan sudah menjalani penahbisan.
Dia sendiri mengecam orang-orang yang tidak beriman, tetapi peniruan tingkah kaum bangsawan dan peribadatan dengan cara berlebihan ... itulah yang membuatnya muak.
Di Rokuhara, dia pernah mencoba untuk menerapkan aturan-aturan tertentu bagi kaum samurai. Dia memastikan agar Buddhisme bisa diterima dengan kehormatan yang selayaknya di dalam kehidupan mereka, tetapi sejak masa mudanya, dia sudah menolak untuk menerima kepercayaan terhadap takhayul yang begitu marak di sekitarnya. Hanya alam semesta yang misteriuslah yang layak untuk dipuja.
Dia akan meminta Tokiko untuk berbicara secara serius kepada Shigemori mengenai hal ini. Shigemori akan lebih mendengarkan pendapat ibunya dalam masalah ini ...
o0odwkzo0o Akhir musim gugur itu, Kiyomori kembali ke Kyoto, dan tersebarlah kabar bahwa dia akan tinggal di ibu kota selama musim dingin.
Pada suatu hari yang tenang, ketika dau-daun mapel baru mulai memerah, kereta Perdana Menteri melaju ke kediaman mewah di Jalan Kedelapan Barat, tempat Kiyomori telah menantikan sang tamu agung itu. Karena telah kerap mendengar bahwa Kiyomori adalah seorang pria yang ramah, Perdana Menteri merasa tenang ketika berangkat. Tetapi, setibanya di Rokuhara, dia mendapati bahwa kegelisahannya ternyata meledak-ledak.
"Saya sangat senang, Tuan, karena Anda baik-baik saja.
Sudah lama saya ingin bertandang ke Fukuhara untuk melihat kemajuan pembangunan pelabuhan di sana dan mengagumi rumah peristirahatan Anda, namun karena pengangkatan resmi Yang Mulia akan dilaksanakan sebentar lagi, berbagai tugas menghalangi saya untuk mengunjungi Anda, Tuan."
"Justru sebaliknya, jangan sampai hal sepele semacam itu mengganggu tanggung jawab Anda di Istana. Jika rentetan upacara pengangkatan resmi telah berakhir, Anda harus berlibur ke Fukuhara. Dan ini mengingatkan saya untuk menanyakan apakah tanggal pengangkatan Yang Mulia telah ditetapkan."
"Dewan Kekaisaran sudah memutuskannya, yaitu pada hari ketiga Tahun Baru."
"Itu akan menjadi hari baik bagi kita semua," sambut Kiyomori.
Perdana Menteri mengernyitkan keningnya. "Sejujurnya
... " dia mulai menjelaskan. "Anda mungkin sudah mendengar tentang pertikaian serius yang pecah antara rombongan saya dan rombongan putra Anda pada hari pertemuan Dewan Kekaisaran."
"Hmm ... ya, saya sudah mendengarnya. Huru-hara besar-besaran, katanya."
"Saya tidak hendak menimpakan kesalahan kepada siapa pun karena mereka semua sama-sama saling menyerang, namun orang-orang memiliki khayalan mereka sendiri dan menyebarkan desas-desus bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah pertikaian antara keluarga kita."
"Mustahil bagi kita untuk membendung desas-desus semacam itu. Biarkan saja masyarakat bicara " tapi saya sudah memperingatkan putra saya, Shigemori. Dia sudah bertingkah sangat kekanak-kanakan."
"Justru sebaliknya, Tuan ... dan alasan saya menemui Anda hari ini adalah untuk meminta maaf. Saya juga layak Anda peringatkan. Baik putra Anda maupun saya sama-sama tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Saya juga sudah mendengar bahwa cucu Anda telah diberangkatkan ke Ise demi menutupi aib, dan saya memohon agar Anda membawanya kembali kemari selain memberikan ampunan kepada saya."
"Bukan Anda yang harus meminta maaf," kata Kiyomori sambil tersenyum penuh arti. "Masalah ini sepertinya hanya menambah beban Anda. Hanya Shigemori yang berhak mengambil keputusan bagi putranya. Saya bersikap keras kepadanya karena saya menyayanginya. Shigemori adalah penerus saya, dan dia harus belajar tentang cara bersikap yang baik jika pelayannya terlibat dalam pertikaian. Kali ini dia bersikap di luar kebiasaan, dan saya menyalahkannya. Seorang tabib Cina, yang dahulu mengobati saya, telah memeriksa Shigemori dan menemukan penyakit di perutnya, dan Shigemori harus beristirahat untuk menyembuhkan diri.
Kendati sulit bagi Anda, saya memohon agar Anda mau melupakan saja masalah ini.
"Ini lebih daripada yang sepantasnya bagi saya, Tuan."
"Shigemori akan segera datang, dan saya akan memanggil anak-anak saya yang lain dan Tokitada agar kita bisa minum bersama untuk merayakan perdamaian ini."
Pada 3 Januari 1173, Kaisar, yang telah berusia sebelas tahun, diangkat secara resmi dengan perayaan besar-besaran. Kemudian, pada bulan Oktober, Mantan Kaisar meminang putri Kiyomori yang ketika itu sudah berusia tujuh belas tahun, Tokuko, untuk putranya. Maka, Tokuko pun secara resmi diangkat menjadi permaisuri bagi Takakura.
Rangkaian peristiwa tersebut mengalir begitu saja sehingga, mau tidak mau, klan Heik6 berada di puncak kekuasaan. Nama Kiyomori menjadi buah bibir semua orang, dan tidak ada yang berani mengatakan hal-hal buruk tentang Heike. Ketakutan juga menguar di udara.
Meskipun begitu, Kiyomori seolah-olah tidak terkesan dengan semua itu, bahkan mengecam kedudukan yang telah ditempati oleh Heik6, karena keinginan sejatinya telah terpenuhi: pembangunan pelabuhan di Owada sudah hampir selesai. Akhirnya, pada tahun ini kapal-kapal akan bisa berlabuh di sana, termasuk kapal-kapal dari negeri Sung.
o0odwkzo0o Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG
BIKSU Siapakah itu" Pada suatu sore yang sejuk di tengah musim semi, sebuah suara nyaring melantunkan ayat-ayat suci dan menggangu para pemain musik yang tengah bekerja
"Jangan bergerak! Kau dilarang masuk ... hendak ke mana dirimu?" seorang penjaga menantang.
Adu mulut pun tak terhindarkan.
Seorang pejabat istana yang penasaran meletakkan kecapinya ketika teriakan nyaring sekali lagi terdengar menembus dinding.
Mantan Kaisar memberi isyarat kepada salah seorang pengiringnya. "Pergilah dan periksalah apa yang sedang terjadi."
Orang itu tiba di lorong, tepat ketika seorang biksu gagah perkasa mendorong seorang penjaga dan berlari menerobos gerbang menuju bagian dalam istana. Rambut si biksu terurai di bahunya dan bulu-bulu di kakinya mencuat-cuat menembus jubah compang-campingnya bagaikan sebatang kayu pinus besar.
"Yang Mulia bisa mendengarku sekarang. Beliau tentu lelah setelah mendengarkan musik seharian. Sebagai gantinya, biarkanlah beliau mendengarkan ceramah Mongaku pada rakyat jelata di jalanan ibu kota!" katanya, mengedarkan pandangan ke halaman dalam yang sempit dan membuka gulungan yang dipegangnya.
"Mongaku dari perbukitan Takao!" seru seorang pejabat istana, mengenali sosok janggal yang sering dilihatnya berdiri di sudut jalan untuk meminta sumbangan.
Mongaku membacakan sebuah surat permohonan sokongan untuk pembangunan sebuah kuil baru, namun surat itu lebih terdengar seperti sebuah pidato kecaman terhadap penyimpangan-penyimpangan di Istana dan gaya hidup mewah para bangsawan.
"Pastikan agar orang itu ditahan," perintah Mantan Kaisar. Salah seorang pengiringnya melompati langkan dan menyergap Mongaku, memuntir lengannya.
"Apa kau gila! Tidakkah kau tahu bahwa ini adalah Istana?"
Mongaku tetap berdiri tegak ketika si pengiring Kaisar menubruknya.
"Ya," jawabnya dengan lantang, membiarkan si pengiring Kaisar memegangnya. "Aku sudah menghabiskan bertahun-tahun di perbukitan Takao, berdoa untuk pembangunan sebuah kuil tempat pencerahan akan dihadirkan ke dunia, dan meminta-minta sumbangan dari rakyat jelata di jalanan ibu kota. Aku datang kemari untuk memohon sebuah hadiah dari Yang Mulia ... sepeser pun yang diberikan dengan ikhlas sudah cukup bagiku.
Izinkanlah aku menyampaikan permohonanku."
"Untuk apa kau melakukan kekerasan jika maksud dari kedatanganmu kemari adalah untuk mengajukan permohonan?"
"Aku juga punya batasan. Aku sudah mengetuk gerbang beberapa kali, tapi alunan musik itu meredam semua suara lain dan para penjaga berpura-pura tidak mendengarku.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali menerobos masuk. Jangan bertingkah macam-macam kepadaku atau kau akan menanggung akibatnya!"


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Diamlah, biksu gila!"
Mongaku membebaskan salah satu tangannya dan, dengan sekali gerakan di pergelangan tangannya, melontarkan lawannya sehingga
jatuh ke tanah. Si pengiring Kaisar cepat-cepat berdiri dan kembali menerjang Mongaku, yang menghantam
pipinya dengan gulungan surat di tangannya. Ketika lawannya sekali lagi menyerangnya, Mongaku menghantam dadanya. Si pengiring Kaisar terhuyung-huyung mundur dan roboh ke tanah, tidak sanggup bangkit kembali.
"Apakah kalian masih mau melawanku?"
Mongaku memelototi belasan prajurit yang mengepungnya.
"Jangan gentar! Tubruk kakinya!" para prajurit berseru-seru, menubruk Mongaku.
Mongaku masih memegang gulungan surat, namun sebilah belati tiba-tiba tampak berkilat di dalam genggamannya. "Mundur;" ancamnya; para prajurit serentak mundur begitu Mongaku dengan lincah melompati beberapa anak tangga. Seorang prajurit menerjangnya, dan Mongaku menebaskan belatinya; prajurit itu, dengan lengan berlumuran darah, terus berpegangan kepada Mongaku hingga rekan-rekannya datang, meringkus Mongaku, dan menjebloskannya ke tahanan.
Mongaku diasingkan ke Izu, di wilayah timur Jepang.
Sebelumnya, terdapat silang pendapat di antara para penasihat Goshirakawa mengenai apakah Mongaku seharusnya dimaafkan atau tidak, tidak hanya karena dia pendeta tetapi juga karena rakyat menyukainya dan bahkan mencintainya.
Mongaku, mengendarai seekor kuda tanpa pelana ke tempat pengasingannya, tersenyum dan memamerkan gigi cemerlangnya di tengah janggut lebatnya.
"Kudengar teman kita Mongaku telah diasingkan."
"Teman kita yang menyenangkan itu?"
"Apa alasannya" Diasingkan kemana?"
"Izu. Ke Izu, kata orang-orang."
Orang-orang berkumpul untuk melepas kepergian Mongaku ketika biksu itu menunggang kudanya melewati jalan-jalan ibu kota. Di persimpangan jalan, dia berceramah sesuai ciri khasnya kepada orang-orang itu hingga para pengawal mendorongnya dengan kesal.
Seorang pria bertubuh kecil berjinjit di sana, memandang dari antara bahu orang-orang lainnya kepada sosok tinggi besar yang bergerak menjauh.
Dengan menegakkan kepala dan menyunggingkan senyum, Mongaku melewati gerbang kota, yang telah dilewati oleh banyak orang buangan lainnya dengan penuh duka dan air mata. Tetapi, ada gelak tawa dan bahkan keceriaan di antara para penonton ketika mereka meleaps kepergian Mongaku. Begitu Mongaku melewati gerbang kota, hanya tersisa beberapa orang saja yang mengikuti arak-arakan itu.
Mongaku tiba-tiba menoleh untuk menyapa pemimpin pasukan pengawalnya, yang berpura-pura tidak mendengarnya. Kemudian, Mongaku mencondongkan badan ke arah prajurit yang menarik kudanya. "Berhentilah.
Aku ingin turun," katanya, menjelaskan bahwa dia harus membuang hajat. Si prajurit berhenti dan menunggu hingga atasannya tiba di dekatnya sebelum menuruti permintaan Mongaku. Mongaku, yang digelandang ke hutan di dekat situ, segera kembali, tetapi alih-alih menunggangi lagi kudanya, dia mendaki gundukan tanah dan duduk di atas sebongkah batu, lalu mengatakan, "Ambilkan air untukku.
Aku haus." Si pemimpin pasukan menggeleng dan mengernyitkan wajah. Ini tepat seperti yang telah diperkirakannya. Karena
sudah menduga bahwa tahanan ini akan berperilaku menyusahkan, dia memilih para prajurit terkuat untuk menyertainya kali ini ... pasukannya pun berjumlah lebih banyak daripada yang diperlukannya.
?" Tidak banyak yang bisa kita lakukan. Berikan air untuknya," katanya. "Jangan usik dia dan bujuk dia agar secepatnya menunggangi kudanya lagi."
Setelah memuaskan dahaganya, Mongaku menoleh lalu berkata kepada si pemimpin pasukan, "Mumpung kita baru sampai di sini, aku ingin berbicara denganmu. Kemarilah.
Beristirahatlah sejenak."
"Apa-apaan ini" Kau adalah seorang tahanan yang hendak diasingkan dan kami adalah pengawalmu. Apa maksudmu bertingkah
seperti ini" Kita akan berlayar dari Otsu dan kau bisa bicara padaku setibanya kita di perahu."
"Jika begitu, semuanya akan terlambat"
"Kita baru saja keluar dari ibu kota dan kau tidak bisa membuang-buang waktu seperti ini. Naiklah kembali ke kudamu. Jangan sampai perahu kita menunggu terlalu lama di Otsu."
Mongaku bergeming. "Kau tidak ingin bercakap-cakap denganku?" katanya, tertawa meledek. "Ah, panglimaku yang malang ... Genji terakhir di ibu kota! Waktu aku mendengar bahwa putra Yorimasa akan mengawalku, aku senang karena mengira akan mendapatkan teman bicara.
Astaga, ternyata kau sama saja dengan mereka semua!"
Dengan wajah merah padam, si pemimpin pasukan turun dari kudanya. Dia menyerahkan tali kekang kudanya kepada seorang anak buahnya, lalu menghampiri Mongaku dengan sikap terkendali.
"Biksu yang terhormat, ayahku sering berbicara tentangmu. Anak-anak buahku sudah diperintahkan untuk tidak memperlakukanmu seperti tahanan biasa, tapi aku tidak akan membiarkanmu bertingkah seperti ini karena aku harus menjalankan tugasku."
"Aku tidak ingin menyusahkanmu, tapi tentunya kau tidak ingin pergi ke pengasingan tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temanmu?"
"Tidak ada peraturan yang melarangnya. Setidaknya, yang bisa kami lakukan adalah menoleh ke arah lain waktu kau berbicara dengan mereka."
"Itu dia! Aku ingin kau melakukan itu. Aku sebenarnya berhati lunak, dan waktu melihat beberapa orang mengikutiku ke sini jauh-jauh dari penjara, aku merasa bahwa aku harus menenangkan mereka dan menyuruh mereka pulang. Berikanlah sedikit waktu agar aku bisa berbicara dengan mereka."
Si pemimpin pasukan mengerutkan kening, ragu-ragu.
"Yah, baiklah, namun cepatlah," katanya, memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menepi.
Mongaku berdiri dan melambai kepada beberapa sosok di kejauhan. Para prajurit melihat beberapa orang berlari mendekat ... empat atau lima orang biksu muda, pasangan suami istri, dan seorang pria biasa. Para biksu itu adalah pengikut Mongaku dari Takao, dan Mongaku menggunakan kesempatan itu untuk menasihati mereka.
Asatori dan istrinya, Yomogi, turut melepas kepergian Mongaku dengan harapan agar bisa mendengar kata-kata terakhir darinya. Mereka menatap Mongaku dengan mata berkaca-kaca.
"Aku sudah menduga bahwa kalianlah yang
mengikutiku kemari," kata Mongaku. "Bagaimanakah
kabar kalian" Apakah kalian masih tinggal di Jalan Pedagang Sapi" Semuanya baik-baik saja" Sekarang adalah saat yang tepat untuk memiliki anak ... apakah kalian sudah punya anak?"
"Kami memiliki seorang anak, yang langsung meninggal dunia setelah dilahirkan, dan tidak ada lagi yang lahir sesudahnya," kata Asatori. "Aku dan Yomogi sudah sangat lama mengenalmu, tapi kami tidak pernah menyangka bahwa kita akan berpisah dengan cara seperti ini."
"Benar, kita dipertemukan dalam banyak kesempatan aneh. Setelah Perang Hogen, aku dan Asatori berbagi makanan dan tempat berteduh di reruntuhan Istana Mata Air DedaJu. Dan kau, Yomogi, waktu itu kau adalah gadis cilik pengasuh anak-anak Nyonya Tokiwa, dan kau sering mendatangi Istana Mata Air DedaJu dengan membawa embermu. Ya, kalian berdua telah banyak berubah, begitu pula dunia!"
"Tentu saja, itu sudah bisa diduga. Tujuh belas tahun telah berlalu sejak pertemuan pertama kita," kata Yomogi, menjejalkan sebuah bungkusan kecil ke tangan Mongaku.
"Ini obat-obatan, kalau-kalau kau jatuh sakit Ada tujuh rupa di dalamnya. Yang lainnya adalah nasi kepal dengan daun kenikir yang baru kumasak tadi pagi.
Bekal untuk kausantap saat menyeberangi danau."
"Ternyata kau masih mengingat sayuran kesukaanku!
Aku sangat berterima kasih kepada kalian untuk bekal dan obat-obatan ini."
Mongaku kembali menoleh kepada Asatori. "Dan pendidikanmu?"
"Ini kabar lain yang ingin kusampaikan kepadamu ...
dan kau akan senang mendengarnya. Baru-baru ini, aku
mendapatkan izin praktik dan diterima di Akademi Pengobatan. Tapi, aku sama sekali tidak berminat untuk bekerja di Istana karena berharap bisa mengabdikan seluruh ilmuku di Jalan Pedagang Sapi, menolong rakyat miskin."
Mongaku mengangguk setuju. "Betapa berlainannya jalan hidup membawa kita, walaupun kita menginginkan hal yang sama ... sebuah surga di dunia! Kau memang terlahir sederhana, dan aku ... penuh gejolak!"
"Mongaku yang baik, sikapmu benar, dan kau telah mengusahakan dengan sepenuh jiwamu untuk melawan begitu banyak kejahatan di dunia ini. Tetap saja, aku tak mengerti mengapa kau bertingkah seperti itu di Istana Kloister, tempat mereka menganggapmu sebagai orang gila."
"Sayang sekali, Asatori, tindakan dan hatiku tidak seiring sejalan. ... Ya, aku sudah menghabiskan bertahun-tahun di Air Terjun Nachi, berharap bisa menyucikan diri dengan airnya, tapi aku baru menyadari bahwa penebusan dosa bukanlah satu-satunya tujuanku. Aku tidak terlahir untuk menjadi seorang perenung, karena aku tidak bisa mengabaikan kejahatan dan kebejatan di dunia ini. Aku hanya melakukan apa pun yang kuanggap benar, dan aku ingin mencari cara untuk melenyapkan seluruh kebusukan dari ibu kota ini ... kebejatan Pemerintahan Kloister dan arogansi Heik6. Bagaimana caranya, aku tidak bisa memberi tahu kalian, tetapi, Asatori, kau akan melihatnya sendiri dalam beberapa tahun ke depan."
Mongaku mendadak terdiam dan menoleh dengan waspada ke arah pasukan pengawalnya, yang berdiri tidak jauh dari sana.
Khawatir Mongaku akan mengamuk lagi, Asatori melirik Yomogi, namun si pemimpin pasukan telah
menoleh ke arah Mongaku dan mendesaknya untuk segera menyelesaikan urusannya.
Mongaku menunggangi kudanya. "Baiklah," katanya sebelum mengucapkan selamat tinggal kepada Asatori dan Yomogi.
Seorang pria muda yang setengah tersembunyi di balik semak-semak di dekat gundukan tanah, menantikan kesempatan untuk berbicara dengan Mongaku, keluar tepat ketika iring-iringan itu berangkat Dia berdiri diam, menatap kepergian Mongaku. Ketika Mongaku menoleh sekali lagi, keduanya menunjukkan tanda-tanda saling mengenali.
Kemudian, Mongaku kembali menoleh ke depan dengan santai dan memandang sinar matahari yang menerobos sela-sela dedaunan.
Ketika hendak beranjak dari sana, Yomogi dan Asatori mendengar seseorang memanggil nama mereka.
"Oh" Kapankah kita terakhir kali bertemu?"
"Mungkin kau ingat, kau pernah bertemu denganku di Bukit Funoka beberapa tahun silam ... di pemakaman, ketika nyonyaku Toji jatuh sakit Kau sangat baik kepada beliau."
"Ya, tentu saja, kau merawat wanita itu bersama para geisha."
"Ya ... dan nyonyaku pernah mengunjungimu untuk mengucapkan terima kasih di rumahmu di Jalan Pedagang Sapi."
"Sekarang aku ingat ". Kau hendak pergi ke mana sekarang?"
"Aku datang kemari untuk mengucapkan selamat jalan kepada tahanan itu."
"Kau juga mengenalnya?"
"Sudah sejak lama. Dia memberiku nasihat ketika aku paling membutuhkannya dan aku selalu bersyukur karenanya. Begitulah," kata pria itu. Karena masih ingin bercakap-cakap dengan Asatori dan Yomogi, dia melanjutkan, "Jika bukan karena dia, aku tentu sudah mati sekarang, begitu pula majikan istrimu ini. Dua nyawa terselamatkan pada hari ketika aku bertemu dengannya."
Yomogi terperanjat, lalu menoleh kepada pria asing itu, yang sedang menatap tajam kepadanya. Pria itu dengan malu menurunkan pandangannya dan, sesudah memastikan bahwa tidak ada orang lain di sana, berbisik:
"Yomogi ... kau dan aku sama-sama mengabdi kepada Tuan Genji Yoshitomo sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Apakah kau masih ingat?"
"Ya, Tuan Yoshitomo ... "
"Tuan Yoshitomo adalah kekasih nyonyamu, kau tahu."
"Aku selalu menangis setiap kali memikirkan masa lalu
... " "Aku adalah pelayan kesayangan Tuan Yoshitomo ketika itu. Kau pasti masih ingat bahwa akulah yang mencoba membalas dendam untuk almarhum tuanku ketika nyonyamu bersedia menjadi simpanan Kiyomori. Akulah yang meninggalkan pesan di kebun rumah peristirahatan di Mibu."
"Astaga, kau pasti Konno-maru!"
"Benar." Yomogi membelalakkan mata dengan takjub. Dia gemetar ketakutan sehingga harus berpegangan kepada Asatori.
"Jangan takut," kata Konno-maru, "karena aku sudah lama melupakan semua rencana jahatku. Aku menjadi pelayan di tempat hiburan dan mengawasi Nyonya Tokiwa dari jarak jauh."
Yomogi tiba-tiba merasa malu akibat ketakutannya.
"Konno-maru, apakah kau masih suka menjumpai nyonyaku?" tanyanya.
"Ya, selama hampir sepuluh tahun, aku mengendap-endap ke kebun dan menemui beliau. Akulah satu-satunya orang yang mengenal beliau ketika beliau masih bahagia, dan beliau selalu senang saat berjumpa denganku."
"Oh, apa yang sudah kulakukan!" kata Yomogi dengan putus asa. "Sekali pun aku belum pernah mengunjungi beliau sejak aku menikah. Bagaimanakah keadaan beliau sekarang?"
"Beliau sakit sejak hampir setahun terakhir." "Sakit?"
"Beliau hanya bisa berbaring selama enam bulan terakhir. Aku tidak pernah menemui beliau sejak saat itu, walaupun aku masih mengendap-endap ke kebunnya."
"Aku tidak pernah menyangka bahwa beliau sakit ?"
"Jika bukan karena Mongaku, aku tidak akan kemari hari ini. Tapi, aku ingin berbicara denganmu. Ini agak mendadak, tapi ... " Konno-maru menoleh kepada Asatori.
"Bisakah kau menyampaikan pesanku untuk Nyonya Tokiwa?"
Asatori bertanya dengan heran. "Mengapa kau memintaku?"
"Kau seorang tabib dan Yomogi pernah menjadi dayang Nyonya Tokiwa, jadi kalian tidak akan kesulitan menemui
beliau. Kuharap kau mau memberikan sesuatu dariku untuk beliau."
Asatori menatap Yomogi dengan ragu-ragu, tidak mampu menjawab. Namun Yomogi, yang senang karena mendapatkan alasan untuk menemui mantan majikannya, langsung setuju.
"Tentu saja kami mau, dan suamiku pasti akan bisa mencari penyebab penyakit beliau. Beliau pasti akan senang jika bisa bertemu dengan kami. Apakah yang akan kautitipkan kepada kami?"
"Aku tidak membawanya sekarang, tapi aku akan membawanya ke rumah kalian besok malam. Ingatlah bahwa semua ini harus dirahasiakan."
"Tentu saja, kami tidak akan mengatakannya kepada siapa pun."
"Aku tidak tahu apakah kabar ini bisa dipercaya atau tidak, tapi aku mendengar bahwa mata-mata Heike ada di mana-mana, memasang mata dan telinga."
"Tapi, kau tidak meminta kami untuk melakukan sesuatu yang sulit bukan?"
"Sama sekali tidak. Kalian hanya perlu memastikan agar sebuah bungkusan yang sangat kecil sampai di tangan Nyonya Tokiwa. Jangan sampai benda itu jatuh ke tangan Heik6, karena beliaulah yang akan menanggung akibatnya.
Ini harus benar-benar dirahasiakan. Aku akan datang ke Jalan Pedagang Sapi besok malam," Konno-maru mengakhiri pembicaraan dan meninggalkan mereka.
Konno-maru menepati janjinya untuk mendatangi rumah Asatori pada malam berikutnya. Setelah mengulangi peringatannya tentang perlunya menjaga rahasia, dia menyerahkan sebuah bungkusan kecil dan pergi dari sana.
"Apakah isinya menurutmu?" tanya Asatori dengan gelisah.
"Hanya surat, aku yakin," Yomogi menenangkan suaminya, tidak sabar menantikan kunjungan kepada mantan majikannya. "Bukan hanya satu melainkan setumpuk. Jadi, kapankah kau bisa pergi bersamaku ke rumah Nyonya Tokiwa?"
"Kapan pun. Apakah kau tidak takut dicurigai?"
"Mengapa mereka harus mencurigai kita?"
"Orang-orang masih ingat bahwa Nyonya Tokiwa pernah memiliki keterkaitan dengan Genji, dan jika kita pergi ... "
"Lagi pula, aku hanyalah seorang pelayan dan tetap mendampingi nyonyaku bahkan setelah beliau menikah lagi. Aku tidak melihat alasan mengapa orang-orang akan mencurigaiku. Lagi pula, kau belum pernah memohon doa dan restu beliau, dan sudah saatnya kau melakukan itu, karena sekarang kita sudah menikah. Tidakkah kau sependapat denganku?"
o0odwkzo0o Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT
KEMBALI Beberapa hari kemudian, Asatori memakai kimono bersih yang telah dipersiapkan oleh Yomogi untuknya, dan Yomogi sendiri mengenakan kimono terbaiknya. Mereka berdua pun berangkat ke rumah mewah di Jalan Pertama, tempat tinggal Tokiwa.
Kini, Tokiwa telah melewati usia tiga puluhan. Dia memiliki satu anak dari pernikahan keduanya dengan seorang bangsawan tua dari klan Fujiwara, namun kareka kesehatannya yang rentan, dia mengucilkan diri di salah satu sayap rumah besar itu. Hanya ada beberapa tamu yang pernah menjenguknya, dan kesunyian kehidupannya hanya sesekali disela oleh kedatangan para pendeta pada hari-hari besar tertentu.
Konno-maru seoranglah yang secara teratur mengunjunginya, dengan diam-diam, untuk membawakan kabar tentang ketiga putranya. Dan, setiap kali bertemu dengan Tokiwa, Konno-maru selalu berceloteh tentang masa depan dengan berapi-api:
"Heikt tidak akan pernah bermimpi tentang apa yang terjadi di timur, tapi kejayaan mereka tidak akan berlangsung selamanya. Mereka tengah dimabuk kekuasaan sehingga tidak menyadari bahwa pada suatu hari nanti, Genji akan membalas mereka. Yoritomo di Izu sudah dewasa, dan putra bungsu Anda, Ushiwaka, yang saat ini ada di Gunung Kurama, juga akan segera dewasa."
Tokiwa, yang belum melupakan kengerian perang, bergidik setiap kali Konno-maru membicarakan hal itu. Dia juga menyangsikan bahwa beberapa orang Genji yang tersisa akan bisa menaklukkan Heik6, dan dia telah berulang kali memohon kepada Konno-maru, "Jangan biarkan anakku tersedot oleh pusaran tanpa ujung itu, Konno-maru. Jangan pernah berbicara tentang hal itu kepada mereka."
Tokiwa teramat merindukan Ushiwaka. Anak itu sudah berumur lima belas tahun sekarang ... ceria dan keras kepala, kata Konno-maru, dan dari ketiga anak Tokiwa, hanya dialah yang terus bersikeras meminta kepada Konno-
maru untuk dipertemukan dengan ibunya. Dia bahkan mengancam untuk berangkat sendiri menemui ibunya.
Tokiwa sendiri benar-benar tergoda untuk menyetujui kedatangan putranya ketika Konno-maru mengatakan:
"Nyonya, saya memohon kepada Anda untuk menunggu di dekat semak-semak di dekat sungai, agar dia bisa melihat Anda dari kejauhan."
Tetapi, Tokiwa mengetahui besarnya risiko yang akan ditanggung oleh Ushiwaka dan, terlebih lagi, dia yakin bahwa setelah merasakan kebebasan, Ushiwaka tidak akan mau lagi kembali ke biaranya di Gunung Kurama. Tokiwa akhirnya menolak untuk bertemu dengan Konno-maru lagi dan menyuruh dayangnya menyampaikan pesan kepada pria itu bahwa dia sakit.
Semua pintu dan jendela kamar Tokiwa tertutup kecuali yang menghadap ke halaman dalam. Tokiwa sedang larut dalam kegiatan sehari-harinya, yaitu menyalin ayat-ayat suci, ketika dayangnya menghampiri dan mengatakan bahwa dua orang tamu telah datang untuk menemuinya.
Keterkejutan Tokiwa berubah menjadi kegembiraan ketika dia mendengar siapa mereka, dan dia buru-buru meninggalkan meja tulisnya untuk menyambut mereka.
Yomogi, melupakan salam hormat yang telah dengan tekun dihafalnya, langsung berurai air mata begitu melihat mantan majikannya.
"Baik sekali dirimu karena mau menjengukku, Yomogi!"
kata Tokiwa. "Sudah bertahun-tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita. Dan kau banyak berubah setelah menikah!"
Sementara kedua wanita itu saling menyapa dengan hangat, Asatori mengamati penampilan Tokiwa dengan mata tabib yang sudah terlatih. Dia tidak melihat sesuatu
pun yang salah dengannya. Nama Konno-maru pun akhirnya disebut dalam pembicaraan mereka.
"Konno-maru memberi tahu kami bahwa Nyonya sakit, tapi untunglah suami saya tabib dan bersedia untuk menemani saya kemari hari ini. Ini Asatori," kata Yomogi, memperkenalkan suaminya untuk pertama kalinya. Dengan sangat bangga, dia menjelaskan bahwa Asatori pernah menjadi pemain musik di Istana, dan dia meninggalkan pekerjaannya itu untuk mempelajari ilmu pengobatan.
Asatori duduk di hadapan istrinya yang cerewet dan mendengarkan sambil sesekali mengangguk. Kemudian, Tokiwa menoleh ke arahnya dan menyapanya dengan senyum terulas.
"Maafkan aku karena sudah membuat kalian cemas.
Sejujurnya, aku sehat-sehat saja. Aku berbohong tentang penyakitku karena khawatir orang-orang akan bergunjing, dan kupikir, jika Konno-maru mengatakan bahwa aku sakit, Ushiwaka akan mengurungkan niatnya untuk datang kemari. Jika Ushiwaka melarikan diri dari Gunung Ku rama dan datang kemari, aku tahu bahwa kehidupannya akan berakhir."
Beberapa titik air mata mengalir di pipi Tokiwa. Dengan lembut, Yomogi mengeluarkan bungkusan kecil yang dibawanya dan meletakkannya di depan Tokiwa.
"Konno-maru menitipkan ini untuk Anda, Nyonya."
Tokiwa memandang bungkusan kecil itu, mendadak disergap oleh kerinduan yang mendalam. Dia cepat-cepat membukanya. Benda
itu pasti dikirim oleh Ushiwaka, firasatnya berkata ...
Ushiwaka, yang cerita-cerita tentang kenakalannya sudah sering didengar oleh Tokiwa. Ushiwaka adalah seorang
anak aktif dan jenaka, yang selalu melakukan kenakalan di biara-biara Gunung Kurama dan memancing kekesalan semua biksu. Kepala biara, yang semula diberi tanggung jawab untuk membesarkannya, akhirnya angkat tangan dan menyerahkannya kepada kepala biara yang lain, yang juga kewalahan menghadapinya. Laporan tahunan mengenai perilaku Ushiwaka yang didapatkan oleh Kiyomori begitu meresahkan sehingga dia merasa perlu mengirim seseorang dari Rokuhara untuk menguraikan kemelut di sekitar bocah itu. Akhirnya, Tokiwa mendengar bahwa pihak yang berwenang telah memperketat pengawasan mereka kepada Ushiwaka.
Tahun depan, Ushiwaka akan berusia enam belas tahun, cukup besar untuk menjalani penahbisan, pikir Tokiwa. Dia juga cukup besar untuk melampiaskan rasa duka akibat kematian ayahnya dan nasib buruk ibunya dengan melakukan tindakan melanggar hukum. Satu-satunya doa yang selalu dipanjatkan oleh Tokiwa adalah agar Ushiwaka berhenti memberontak terhadap penahannya, tunduk pada takdirnya, dan menjalani hari-harinya dalam kedamaian.
Dari bungkusan yang dibukanya, Tokiwa mengeluarkan sehelai kain berwarna cemerlang yang dirobek dari bagian lengan kimono pendeta muda. Sepucuk surat tersembunyi di dalamnya.
"Ibuku," begitulah surat itu dimulai.
Apakah Ibu sudah sembuh" Setelah Konno-maru mengabariku bahwa Ibu sakit, aku selalu memimpikan Ibu setiap malam. Dari puncak gunung ini, aku bisa melihat cahaya-cahaya lentera di ibu kota, dan aku kerap memandang ke arah rumah Ibu sambil berdoa agar Ibu segera pulih kembali.
Mereka mengatakan bahwa aku harus menjalani penahbisan tahun ini, tapi aku tidak mau menjadi seperti biksu-biksu itu.
Kain ini kurobek dari lengan kimono yang kupakai waktu aku berumur tujuh tahun dan pertama kali ambil bagian dalam upacara sakral itu. Tentu saja, aku sudah banyak berubah sejak itu.
Festival Besar Gunung Kurama akan berlangsung pada 20 Juni Aku akan ambil bagian dalam upacara sakral di situ, tapi aku tidak bisa memberi tahu Ibu tentang apa yang akan terjadi padaku tahun depan.
Ibuku, kirimkanlah kepadaku pernak-pernik yang pernah Ibu pakai melalui Konno-maru.
Udara masih dingin wataupun musim semi telah datang, jadi Ibu harus minum obat secara teratur agar bisa lekas pulih.
Putra Ibu, Ushiwaka Air mata Tokiwa menetes ke secarik kertas yang dipegangnya. Kemudian, dia menyodorkan surat itu kepada Yomogi dan mengatakan, "Yomogi ... bacalah ini." Tokiwa pun menangis terisak-isak seraya menciumi robekan lengan kimono yang dikirim oleh Ushiwaka.
Yomogi dan Asatori saling melempar tatapan iba dan bersiap-siap untuk mengakhiri kunjungan yang hanya menghadirkan kesedihan kepada Tokiwa ini, namun Tokiwa mendesak mereka untuk tetap tinggal hingga lentera-lentera dinyalakan.
Ketika pasangan itu akhirnya berpamitan, Tokiwa mengeluarkan sebuah kotak mungil dan mengatakan. "Ada sepucuk surat untuk Ushiwaka di dalamnya. Maukah kalian mengusahakan agar dia menerimanya?"
Kotak itu, yang berukuran selebar telapak tangan, memuat sebuah patung Kannon dari perak dan sepucuk surat.
Setibanya di rumah, Asatori dan Yomogi meletakkan patung itu di atas meja.
"Bagaimana kita bisa menyampaikan benda ini kepada Ushiwaka tanpa terlihat oleh siapa pun" Ada sangat banyak orang yang akan melihat kita di Gunung Kurama. Kita bisa terjerat masalah jika petugas dari Rokuhara tahu," kata Asatori.
Yomogi menghela napas panjang. "Entah apa alasan Nyonya Tokiwa berbuat seperti ini."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku adalah ... jika nyonyaku begitu mengkhawatirkan Ushiwaka, mengapa beliau tidak mau menemui Konno-maru?"
Asatori mendekatkan diri kepada istrinya. "Ini tidak sesederhana yang kaupikirkan. Pendapat Konno-maru tentang kesetiaan jauh berbeda dari pendapat Nyonya Tokiwa."
"Dalam hal apa?"
"Lebih baik aku tidak memberitahumu."
"Kau tidak mau memberitahuku ... istrimu sendiri?"
"Nah, Yomogi, kau terlalu mudah tersinggung."
"Lagi pula, beliau adalah nyonyaku tersayang, dan dahulu, akulah yang bertugas menggendong Ushiwaka dan mengasuhnya, meminta-minta susu untuk diberikan kepadanya. Aku sudah melakukan banyak hal untuk Ushiwaka, dan tidak banyak yang bisa kulakukan untuknya sekarang. Wajar kalau aku kesal, bukan?"
"Yomogi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Tetapi, keinginan Konno-maru terhadap Ushiwaka berlawanan dengan keinginan Nyonya Tokiwa."
"Berlawanan?" "Ya, itulah inti masalahnya. Kita harus berpikir dengan cermat sebelum mengambil tindakan apa pun."
"Baiklah, tapi apa maksudmu dengan apa pun" Apa maksudmu dengan berlawanani Kau harus terlebih dahulu menjelaskannya kepadaku."
Asatori menurunkan nada bicaranya sambil dengan resah mengintip ke luar jendela. "Hati-hati, Yomogi, kau memang agak cerewet, jadi kau harus sangat berhati-hati agar tidak ada yang mendengar tentang ini."
"Ya, aku memang cerewet, memangnya apa
masalahnya!" "Sudahlah, Yomogi, jangan marah-marah begitu!
Pertama-tama, dengarlah apa yang akan kusampaikan kepadamu. Mengapa
menurutmu Nyonya Tokiwa bersedia menjalani seluruh aib yang ditimpakan kepadanya?"
"Karena pesan terakhir Tuan Yoshitomo kepada beliau, tentu saja. Lagi pula. Tuan Yoshitomo mencintai beliau dan mereka berdua sudah memiliki tiga orang anak ". Dan, walaupun hatinya hancur dan anak-anaknya direnggut darinya, nyonyaku selalu memikirkan mereka. Aku pun akan melakukan hal yang sama seandainya aku menjadi beliau."
"Bagi Konno-maru, masalahnya berbeda. Dia adalah seorang samurai dan tidak pernah melupakannya.
Kesetiaan, dalam pemahamannya, berarti dia harus
memastikan bahwa salah satu putra Tuan Yoshitomo akan mengikuti jejak ayahnya menjadi kepala klan Genji.
Dengan kata lain, pada suatu hari nanti, Genji harus cukup kuat untuk menggulingkan Heik6."
"Itu pasti akan membahagiakan nyonyaku."
"Ah, Yomogi, apakah kau sudah melupakan seperti apa keadaan di sini selama perang Hogen dan Heiji" Sekarang pun kau bahkan masih sering menceritakan tentang masa-masa berat yang kaulalui bersama Nyonya Tokiwa dan anak-anaknya. Sudah lupakah kau pada semua kejadian menyedihkan yang menimpamu" Tentu saja, kau pasti merasa bahwa Ushiwaka adalah darah dagingmu sendiri."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Seandainya kau menjadi Nyonya Tokiwa, yang berusaha melarikan diri dari ibu kota bersama anak-anak yang masih kecil, kau tidak akan menginginkan perang pecah lagi."
"Tapi, pernahkah aku mengatakan bahwa aku menginginkan perang pecah lagi?"
"Itu sama halnya dengan percaya bahwa Konno-maru benar."
"Apakah kau mengatakan bahwa Konno-maru jahat karena berpikir begitu?"
"Tidak. Dia beranggapan bahwa ini adalah tugasnya sebagai seorang samurai, tapi aku yakin bahwa Nyonya Tokiwa benar karena tidak menginginkan anak-anaknya ambil bagian dalam pertumpahan
darah dan berharap mereka menjalani kehidupan yang damai sebagai biksu."
"Baiklah, kalau begitu, apakah yang akan kita lakukan dengan patung ini?"
"Akan jauh lebih sulit untuk memberikan patung ini kepadanya setelah Rokuhara menempatkan prajurit di sekitar Gunung Kurama. Tetap saja, aku tidak akan tenang sebelum berusaha menemui Ushiwaka untuk menyerahkan patung dan surat dari ibunya. Salah juga jika aku tidak mengatakan kepadanya tentang perasaan ibunya dan mengingatkannya tentang kewajibannya kepada ibunya."
"Sungguh berat tugas yang harus kita emban ini!"
"Itulah tepatnya yang ada di benakku waktu kita sedang berbicara dengan Nyonya Tokiwa. Bertemu dengan Ushiwaka saja sudah sulit apalagi membuatnya memahami keinginan ibunya."
"Sulit" Menurutku, kau hanya membesar-besarkannya."
"Tidak, kau salah tentang ini, Yomogi. Ini lebih rumit daripada yang kaukira, dan jika kita salah langkah, perang bisa-bisa kembali pecah," kata Asatori sambil menghela napas sekaligus berdoa. Kemudian, dia mengatakan kepada Yomogi tentang cara yang akan digunakannya untuk mencapai Gunung Kurama.
Yomogi, yang tidak pernah mengira bahwa suaminya bisa bertindak seberani itu, dengan takjub mendengarkan rencana Asatori.
"Sebaiknya aku pergi seorang diri, Yomogi. Itu lebih baik."
"Apakah kau yakin akan keselamatanmu jika kau pergi sendiri?"
"Aku tidak yakin tentang hal itu, tapi aku sudah meneguhkan hatiku."
Asatori mempersiapkan diri untuk mengemban tugasnya seolah-olah dirinya hendak melakukan sebuah perjalanan panjang. Setelah menyiapkan bekal berupa makanan kering dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, dia mempersenjatai diri dengan sebilah belati dan menyimpan seruling kesayangannya, yang sudah bertahun-tahun tidak dimainkannya, di balik obi yang mengikat celananya.
Kemudian, pada suatu malam di bulan Mei, dia berangkat ke Gunung Kurama. Alih-alih melewati rute biasa, yang akan membawanya ke kaki gunung saat fajar merekah, dia memilih jalan lain yang jarang digunakan dan lebih sulit ditembus untuk menghindari perjumpaan dengan orang lain. Dia mengawali perjalanannya dengan melintasi padang rumput gersang yang gelap dan sunyi. Musim hujan hampir tiba sehingga tidak tampak bintang-bintang yang bisa dijadikan panduan. Ketika memasuki wilayah berbukit-bukit dengan gunung menjulang tinggi di hadapannya, Asatori teringat pada cerita tentang para pencoleng yang pernah merajai daerah itu. Dia mendadak ketakutan dan memutuskan untuk beristirahat di rumah pertama yang ditemuinya. Seberkas cahaya tiba-tiba terlihat di antara pucuk-pucuk ilalang; Asatori mendesah lega ketika melihat sebuah gubuk reyot di sebentang tanah terbuka. Deretan tanaman gandum mengelilingi gubuk itu. Keceriaan musim semi seolah-olah memecahkan kesunyian. Kemudian, Asatori mendengar suara-suara.
"Seekor kuda" Seekor kuda sudah cukup untuk mengirimkan pesan."
"Ya, benar, seekor kuda! Tidak hanya praktis ... tetapi juga bisa dikendarai!"
"Kau semakin lembek saja, ya, setelah bersembunyi terlalu lama?"
"Begitulah. Gara-gara tidak punya kegiatan."
"Tapi, kita perlu uang untuk mendapatkan kuda."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sana. Kau akan bisa menemukan berbagai macam kuda di istal-istal terbaik di ibu kota."
"Tidak, bukan itu."
Asap mengepul dari sebuah jendela kecil di salah satu sisi dinding yang kasar. Asatori berjinjit dan mengintip melalui lubang angin; tujuh atau delapan orang pemburu, pembuat arang, dan penebang kayu tengah berkumpul sambil minum-minum di sekeliling tungku yang menyala. Asatori terkejut ketika melihat penampilan mereka dan langsung menjauh dari jendela. Mereka bukan orang gunung biasa!
"Apa salahnya dengan itu?" tanya salah seorang dari mereka sambil menyambar guci sake dan menuangkan isinya untuk teman yang ditanyainya.
"Aku tidak perlu menjelaskannya, jika bisa membeli kuda, sebaiknya kita memilih kuda pengangkut barang."
"Kuda pengangkut barang tidak akan berguna."
"Ya, tapi kuda yang bagus bisa dipastikan akan menarik perhatian dan memancing kecurigaan orang-orang kepada kita."
"Betul ... itu betul. Sudahlah. Tidak ada gunanya membaha sesuatu yang mustahil."
"Bagaimana kalau kita membahas lagu-lagu yang akan kita nyanyikan sambil menunggang kuda?"
"Itu dia! Kalau kau sudah muak dengan wilayah timur, menyanyilah!"
Dua orang yang semula terlibat dalam perdebatan panas pun bergabung dengan yang lainnya, bertepuk tangan mengiringi sebuah lagu. Lagu yang gaduh itu sulit dipahami
oleh Asatori. Mereka menyanyikannya berulang-ulang, dan jiwa pemain musik di dalam diri Asatori mengenali irama yang mengalun dari tanah, senandung padang rumput, deru angin dini hari, dan bintang-bintang di langit Tidak ada kemiripan antara lagu itu dan musik yang didengarnya di Istana, namun Asatori menikmatinya.
Segumpal asap tiba-tiba mengepul dari jendela tempat Asatori mengintip; dia tercekik karena terbantuk-batuk beberapa kali, lalu segera bersembunyi.
"Apa itu?" Keheningan menyusul. Asatori, berlari terbirit-birit menyongsong kegelapan malam. Begitu mendengar langkah kaki Asatori, kepanikan melanda orang-orang di dalam gubuk itu. Sebuah teriakan nyaring terdengar. Lebih banyak teriakan dan langkah kaki memburu Asatori. Anak-anak panah mulai berdesingan di sekitarnya dan melesat melewati telinganya. Asatori membiarkan kakinya membawanya kabur dari sana.
Dua hari kemudian, Asatori duduk di atas sebuah tebing batu, menyantap bekal pertamanya ... adonan fermentasi kacang-kacangan dan sayuran kering, dan sejumput nasi kering yang dibasahi dengan air dari sungai di dekatnya.
Gumpalan-gumpalan awan tampak indah senja itu, dan ikan-ikan berkecipakan di permukaan air. Sambil memikirkan di mana dirinya tengah berada, Asatori menghampiri tepi tebing dan mengamati wilayah di sekelilingnya. Ke mana pun matanya memandang, hanya puncak gunung yang dilihatnya.
Dia tidur nyenyak sepanjang siang itu di hutan dan merasa lebih segar setelah terjaga, walaupun tetap belum bisa menduga di mana dirinya berada. Sehari sebelumnya, dia mendaki perbukitan, tempatnya sesekali melihat gubuk-
gubuk penebang kayu atau pembuat arang. Dari tempat persembunyiannya, Asatori mengamati para penebang kayu dan pembuat arang itu, yang di matanya mirip dengan orang-orang yang dilihatnya semalam sebelumnya, bekerja keras. Dia pun terkejut ketika melihat busur-busur panah dan tombak-tombak menggantung di dinding gubuk mereka.
Asatori mengedarkan pandangan. Seluruh pemandangan di depannya seolah-olah mengambang di tengah genangan biru tua. Bintang-bintang segera bermunculan di langit, dan di lembah di tebing seberang, tampaklah tiga berkas cahaya terang. Mendadak terlintas di benak Asatori bahwa dia sudah sangat dekat dengan Gunung Kurama, dan cahaya-cahaya itu berasal dari salah satu biara. Saat itu juga, dia memutuskan untuk mencapai Gunung Kurama sebelum pagi tiba dan bersembunyi di sana hingga mendapatkan kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Ushiwaka.
Jalan setapak yang dilewatinya berliku-liku dan terkadang lenyap begitu saja, namun tidak seperti biasanya, bintang-bintang bersinar sangat cemerlang untuk ukuran bulan Mei. Bulan meninggi ketika Asatori berjalan melintasi lembah. Akhirnya, dia tiba di tepi selarik sungai dan berjalan di atas sebatang pohon tua yang dijadikan jembatan di sana. Asatori tengah meraba-raba tanah di depannya untuk mencari jejak ketika tiba-tiba dikejutkan oleh suara-suara dalam dan teredam. Dia menoleh dan melihat beberapa orang menyeberangi sungai. Mereka mengenakan pakaian hitam yang pas di badan dan membawa pedang panjang. Wajah mereka tertutup topeng.
Mereka melintas di dekat tempat Asatori berdiri dan lenyap begitu saja bagaikan desiran angin malam.
o0odwkzo0o Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG
KURAMA Belasan atau lebih banyak penginapan dan rumah singgah kecil berdiri di sepanjang jalan menuju Gunung Kurama dan kedelapan belas biaranya. Seorang pengelana turun dari kudanya di depan sebuah rumah singgah dan menambatkan kudanya ke sebatang tiang sambil memandang pinggiran atap rumah itu.
"Bunga wistaria itu indah sekali!" serunya. "Apakah kau baik-baik saja" Aku kembali lagi tahun ini, seperti yang kaulihat sendiri!" Beberapa buah bangku dan meja diletakkan di salah satu sisi rumah, tempat beberapa orang biksu sedang mengobrol dan tertawa-tawa dengan gaduh.
Seorang pria tua, si induk semang, meninggalkan kelompok itu dan berlari menyongsong tamunya.
"Selamat siang, Tuan! Dari timur laut lagi, Tuan" Anda tampak segar bugar!" si induk semang menyapa pendatang baru itu dengan hangat dan meminta agar air panas dan bantal disiapkan untuknya.
"Tidak, Pak Tua, kau sama sekali tidak berubah. Aku jarang melakukan perjalanan ziarah seperti ini. Kapankah terakhir kalinya aku kemari?"
"Tahun lalu ... menjelang pertengahan musim panas, seingat saya, dan hujan badai besar sedang melanda waktu itu."
"Ya, benar! Petir menyambar pohon cedar besar hingga tumbang dan nyaris menimpaku! Aku ingat sekarang. Aku tidak akan pernah melupakan betapa ketakutannya aku waktu memasuki rumahmu."
"Lalu, bagaimana kabar teman Anda, Kowaka, yang bersama Anda waktu itu" Anda tidak melakukan perjalanan seorang diri tahun ini, bukan?"
"Tidak, Kowaka akan segera datang dengan membawa barang-barangku. Dia sepertinya bersantai-santai di belakang, tapi dia akan tiba sebentar lagi, pastinya."
Para biksu melanjutkan minum-minum sambil sesekali mencuri pandang ke arah si pengelana dan saling berbisik-bisik. Kemudian, salah seorang dari mereka berdiri dan menghampirinya:
"Saya harap Anda mau memaafkan saya. Tuan, karena saya ingin bertanya, apakah Anda Tuan Kichiji dari timur laut?"
"Ya, saya Kichiji."
"Kalau begitu, berarti saya benar. Teman-teman saya merasa mengenali Anda. Selamat datang, Tuan!"
"Dan Anda?" "Saya seorang biksu, anak buah Kepala Biara Toko."
"Oh" ... Sejujurnya, saya selalu menginap di salah satu biara di sini setiap kali saya datang, dan belum sekali pun saya melewatkan tujuh-hari peribadatan selama beberapa tahun terakhir, jadi saya sedikit banyak mengenal Kepala Biara Toko. Beliau baik-baik saja, saya harap?"
"Dengan sangat menyesal saya mengabarkan bahwa beliau wafat beberapa bulan yang lalu. Apakah Anda datang kemari untuk mengikuti tujuh-hari peribadatan?"


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, saya merasa bahwa kebiasaan itu baik bagi bisnis saya. Mendatangkan keberuntungan, sepertinya. Bahkan, saya yakin bahwa saya berutang budi kepada dewa-dewa di sini atas kekayaan yang saya dapatkan."
Gemerincing lonceng di kaki bukit mengumumkan kedatangan kuda barang. Seorang pemuda, lengan kimononya tergulung tinggi, wajahnya merah padam dan basah oleh keringat, berjalan dengan napas terengah-engah.
"Nah, Kowaka, kau lambat sekali. Aku sampai menguap-nguap saking lamanya aku menunggumu."
Kowaka, seorang pemuda bertubuh pendek dan kekar, melontarkan tatapan penuh tanya pada wajah-wajah di sekelilingnya, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Anda pasti bercanda, Tuan! Mudah bagi Anda, yang mendaki bukit dengan menunggang kuda. Jarak dari ibu kota kemari nyaris sepuluh mil, dan dengan bawaan seberat ini ... lihatlah, bahkan kuda ini terengah-engah."
Para biksu dan sekelompok pria dan wanita telah berkumpul di depan rumah singgah itu; mereka tidak memerhatikan Kowaka tetapi langsung memeriksa dengan penuh rasa penasaran beraneka ragam barang persembahan yang dibawanya. Gulungan-gulungan sutra ditumpuk tinggi-tinggi di atas punggung kuda barang; tong-tong besar yang terpoles halus terpasang di kedua sisi pelana kuda, dan pundi-pundi berisi pasir emas, yang dengan hati-hati dibungkus menggunakan berlapis-lapis kertas dan jerami, diletakkan di tempat teratas.
Kichiji dan pembantunya, yang sudah mengganti kimono berdebunya dengan yang bersih, menikmati makan siang sembari beristirahat di luar. Akhirnya, mereka bangkit dan berpamitan kepada si induk semang dengan janji untuk menemuinya kembali dalam perjalanan pulang.
Bagian terberat dalam pendakian itu telah menanti mereka, dan jalan pun dengan cepat menjadi terlalu curam untuk kuda mereka, sehingga beban segera diserahkan kepada para kuli angkut yang kebetulan sedang turun dari
puncak gunung. Para biksu pun turut membantu mengangkut sebagian muatan, dan iring-iringan menyerupai semut itu merayap perlahan melewati jalan yang curam. Begitu rombongan Kichiji terlihat dari biara yang hendak mereka singgahi. Kepala Biara dan para biksunya segera keluar untuk memberikan sambutan.
Keesokan harinya, Kichiji memasuki kuil untuk mulai menjalani tujuh hari peribadatan. Kowaka, sementara itu, menginap di salah satu penginapan yang disediakan untuk para pelayan yang menyertai para peziarah, dan menyibukkan diri di sana hingga Kichiji merampungkan peribadatannya.
Menjelang tengah malam, Kowaka diam-diam menyelinap dari penginapannya dan berjalan menuju sebuah tempat pemujaan di sebelah utara gerbang biara.
Terdapat seruas jalan menuju biara lain di dekat tempat pemujaan itu. Kowaka berjongkok di tengah kegelapan dan menunggu, tidak melihat siapa pun dan hanya mendengar gemerisik pepohonan pinus di dekat sana. Tiba-tiba, sebuah pintu biara terbuka, dan sesosok laki-laki kecil tampak di lorong panjang terbuka yang ada di sana, sejenak membungkuk di atas langkan, lalu melompat ke bawah tanpa suara dan melesat selincah burung walet.
"Kamukah itu. Tuan Muda Ushiwaka?"
"Konno-maru!" Keduanya sosok gelap itu bertemu dan bergegas menyongsong kegelapan lembah di bawah.
"Tidak perlu buru-buru, Tuan. Tidak seorang pun akan menemukan kita."
"Tapi, yang lain pasti sudah menunggu."
"Ya, tapi dari kedudukan bulan di langit, saya tahu bahwa kita lebih cepat daripada semalam."
"Kau sudah sering bertemu dengan mereka, tapi aku hanya bisa melakukannya sekali dalam setahun."
"Tuan kesepian, saya tahu, dan setelah malam ini, kita harus berpencar dan bersembunyi."
Ushiwaka melambatkan langkahnya dan menunduk, menggigiti kukunya. Dia bertelanjang kaki dan mengenakan celana pendek dan kimono yang sudah kekecilan. Kowaka berlutut dengan cemas, menyangka Ushiwaka telah menginjak serpihan bambu yang tajam.
"Ada apa. Tuan Muda?"
Ushiwaka hanya menggeleng. "Tidak ... tidak apa-apa,"
jawabnya setelah terdiam sejenak, sebelum kembali berjalan.
Bagi Konno-maru, sosok kecil yang berjalan di depannya tampak lebih murung daripada yang ditemuinya selama beberapa malam terakhir ini. Kono-maru yakin bahwa hanya dirinyalah yang mengenal baik Ushiwaka ...
kelebihan dan kekurangannya, kenakalan dan gejolak hatinya. Bukan kebetulan semata jika Konno-maru menghabiskan lebih dari sepuluh tahun kehidupannya untuk menyamar sebagai seorang pelayan bernama Kowaka di rumah Toji di Horikawa. Dia tidak hanya mendapatkan tempat persembunyian yang aman di daerah hiburan tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk mengamati perkembangan politik, karena tempat itu sering dikunjungi oleh orang-orang yang berhubungan dekat dengan Istana dan para pejabat tinggi istana ... terutama yang berhubungan dengan pergerakan klan Heik6. Dan sering kali, dengan alasan hendak mengunjungi ibunya di Tamba, Konno-maru pergi ke Gunung Kurama untuk secara diam-
diam menemui Ushiwaka atau para Genji lainnya yang bersembunyi di wilayah perbukitan di sana untuk berunding dengan mereka, atau bahkan melakukan perjalanan ke wilayah timur Jepang dan kembali dengan membawa balasan pesan untuk Tokiwa.
Selama masa itu pulalah Konno-maru mengenal Kochiji, yang setiap kali berkunjung ke ibu kota selalu menginap di rumah Toji. Tidak lama kemudian, mereka telah saling mengenal baik dan membuat kesepakatan yang menguntungkan keduanya, karena Kochiji adalah seorang saudagar yang ambisius. Kichiji mendambakan penggalangan sebanyak mungkin dukungan bagi pengayomnya, Tuan Hidehira, yang menguasai wilayah timur laut, seperti yang dilakukan oleh Bamboku kepada Heikg Kiyomori. Bagi Kichiji, mustahil untuk menebak apakah Hidehira akan menyetujui rencananya untuk menculik Ushiwaka, namun dengan penuh tekad dan kesabaran, dia setiap tahun berziarah ke Gunung Kurama dengan mengajak Konno-maru.
o0odwkzo0o Orang-orang percaya bahwa sebuah ras iblis bersayap ...
Tengu ... tinggal di salah satu lembah di Gunung Kurama, dan pada malam-malam ketika petir menyambar-nyambar menembus gumpalan awan di atas lembah tersebut, mereka percaya bahwa Tengu sedang berpesta. Tidak seorang pun berani memasuki lembah itu untuk mengintai ulah mereka, karena Tengu, yang berhidung mirip paruh, akan mengendus kedatangan orang asing dan menjatuhkannya dari puncak pohon tertinggi atau mencabik-cabik tubuhnya hingga hancur. Di seluruh desa di sekitar Gunung Kurama, yang penduduknya telah selama bergenerasi-generasi mendengar kisah tentang Tengu, semua orang percaya bahwa para iblis itu masih tinggal di lembah dan bertingkah
sangat beringas: mereka menggelindingkan batu-batu besar ke kaki gunung, mendatangkan angin puting beliung yang meluluhlantakkan sawah-sawah, dan menghujankan bebatuan ke desa-desa di sekitar wilayah kekuasaan mereka.
Akhir-akhir ini, bagaimanapun, beredar lebih banyak kisah tentang ulah mereka yang menebarkan kengerian di kalangan para penduduk desa yang berpikiran sederhana.
Selama tujuh malam berturut-turut, sebuah pertemuan mencurigakan berlangsung di salah satu lembah di Gunung Kurama. Sebut saja para pelakunya sebagai Tengu.
"Apakah dia sudah datang?"
"Belum." "Dia terlambat."
"Tidak, kitalah yang datang lebih cepat daripada biasanya. Bulan masih rendah," jawab salah seorang dari mereka, menunjuk langit Beberapa pasang mata mengikuti arah telunjuknya.
"Baiklah, kalau begitu, lebih baik kita mengobrol saja."
Bongkahan batu bertebaran di dasar lembah itu, dan gemuruh jeram yang melintasi ngarai menjadi latar belakang pertemuan ini.
"Ini adalah malam terakhir pertemuan kita."
"Tidak juga ... kita bisa bertemu kapan pun kita mau, tapi baru setahun lagi kita akan mendengar kabar Tuan Hidehira dari timur laut"
"Kata Kichiji, kita harus menunggu setahun lagi. Dia bersikeras bahwa sekarang terlalu buru-buru, tapi jika kita menunggu hingga tahun depan, Heik6 akan mengetahui apa yang terjadi, dan hasil kerja kita selama sepuluh tahun ini akan menjadi sia-sia."
"Aku kurang memercayai Kichiji. Setiap tahun, dia selalu menunda-nunda dengan berbagai macam alasan.
Sepertinya dia belum sepaham dengan Tuan Hidehira."
"Betul. Kita masih meragukannya."
"Genji sudah selama bergenerasi-generasi memiliki banyak sekutu di timur laut tapi Hidehira tidak berseberangan dengan mereka. Bahkan bisa dikatakan bahwa dia dan Kiyomori memiliki ambisi yang sama."
"Mungkinkah itu" " Siapa yang bisa memastikannya?"
Keheningan menyusul. Tengu yang lain menanggapi, "Sebaiknya kita memikirkan kembali tentang hal ini. Sudah du
a tahun berlalu sejak Hidehira diangkat menjadi jenderal di timur laut Orang-orang mengatakan bahwa dia berutang budi kepada Kiyomori. Itu saja cukup untuk menunjukkan kepada kita tentang pendapat Heik6 mengenai dirinya."
"Tidak, itu kesimpulan yang terlalu sederhana. Jangan terlalu banyak menebak-nebak. Itu hanyalah sogokan untuk Hidehira dan sama sekali tidak membuktikan tentang perasaan Kiyomori kepadanya. Pelabuhan di Owada dan pembangunan Itsuku-shima menguras kekayaan Heik6, dan Kiyomori membutuhkan seluruh emas yang bisa didapatkannya dari Hidehira. Tidak diragukan lagi, Hidehira mengetahuinya. Mereka menyadari persaingan mereka."
"Benar! Itu lebih masuk akal. Omong-omong, Konno-maru akan segera tiba di sini, dan dia akan menceritakan kepada kita tentang pembicaraannya dengan Kichiji semalam. Kita akan segera mengetahui keputusan mereka.
Kita tidak bisa mempertaruhkan apa pun ataupun menunda
lebih lama lagi. Apa pun pendapat Kichiji, lebih baik kita menyelesaikan masalah ini sendiri."
Seseorang, yang menunggu di dekat sungai, tiba-tiba berseru kepada para Tengu, "Aku melihat mereka! Mereka datang!"
Sesosok bayangan tampak melintasi lembah yang curam, melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya, berkelit dengan lihai di antara bongkahan-bongkahan batu.
Bayangan itu tampak jelas di bawah sinar bulan yang menerangi bebatuan dan pepohonan. Para Tengu yang menunggu di bawah memandangnya dengan kagum tanpa berkata-kata.
"Konno-maru, tempat ini berbeda dari yang kemarin."
"Aku bisa mendengar gemuruh jeram di bawah sana; kita pasti berada di atas air terjun."
"Air terjun, ya?"
"Di sana berbahaya; sebaiknya kita mencari jalan lain."
"Lihat mereka sudah menunggu di bawah sana. Mari kita lewat sini."
"Mustahil!" "Berputarlah kalau kau mau, aku akan melompat"
Mengetahui berdasarkan pengalamannya bahwa membantah Ushiwaka adalah usaha yang sia-sia saja, Konno-maru berpegangan ke semak-semak dan melongok dari atas tebing batu yang curam. Lebih dari enam meter di bawah mereka terbentanglah tanah dengan bebatuan berserakan di sana-sini, dan di dasarnya terdapat sebuah kolam yang tersaput kabut
Konno-maru meneriakkan peringatan, namun Ushiwaka sudah terlanjur melompat dan tengah mengayunkan diri
dari cabang sebuah pohon besar di bawahnya, lalu menyeimbangkan badan untuk berpijak di cabang pohon lain.
"Beginilah cara melakukannya, Konno-maru!" seru Ushiwaka sementara cabang pohon yang dipijaknya melengkung menanggung beban tubuhnya. Ushiwaka melingkarkan kakinya ke cabang pohon lain dan melepaskan pegengannya.
Konno-maru kesulitan mengikutinya.
"Kau tidak terlalu pintar dalam hal ini, Konno-maru,"
Ushiwaka mengolok-oloknya dengan jahil.
Ushiwaka bertubuh kecil untuk ukuran remaja seusianya; wajahnya tirus; lengan dan kakinya kurus. Selalu kekurangan makanan dan pakaian sejak tinggal di biara, Ushiwaka seolah-olah bertahan hidup karena mukjizat. Dia adalah calon biksu terkecil dan terburuk rupa di biara, yang selalu menjadi korban ejekan nista semua orang. Berjiwa pemberontak dan keras kepala, Ushiwaka kerap melampiaskan perasaannya dalam tangisan liar yang menjadi bahan pembicaraan para biksu dari biara-biara tetangga. Ketika dia berumur sepuluh tahun, sebagai tambahan bagi pendidikan agamanya, dia menerima pendidikan ketentaraan karena biara-biara di Gunung Kurama berada di wilayah kekuasaan Gunung Hiei sehingga para biksunya tidak hanya dilatih untuk bertempur tetapi juga untuk menjadi prajurit.
Seiring pertumbuhannya, tatapan Ushiwaka menjadi setajam burung elang; garis-garis mulutnya, yang senantiasa mengalirkan kata-kata cerdas, menunjukkan ketegasan, dan kesan berkuasa selalu terpancar dari dirinya. Meskipun begitu, dia tidak pernah memedulikan penampilannya.
Rambutnya memanjang dan tak terawat, kakinya dipenuhi
bekas luka dan selalu berkoreng, dan walaupun sudah kerap diperingatkan untuk menambal robekan-robekan di kimono dan atasannya, dia tidak pernah memedulikannya. Tetapi, perubahan mengejutkan terjadi padanya sejak beberapa tahun terakhir. Ushiwaka mendadak bersikap lebih tenang dan patuh, dan para seniornya mengira bahwa ini berkaitan dengan pendidikan yang diikutinya. Padahal sesungguhnya Ushiwaka setiap malam mengendap-endap keluar dari asramanya untuk menemui para Tengu di lembah, dan di sanalah dia mendapatkan pengetahuan yang telah lama disembunyikan darinya: bahwa dia adalah pemimpin mereka, putra Genji Yoshitomo, dan tahanan Heik6
Memanah Burung Rajawali 35 Wiro Sableng 089 Geger Di Pangandaran Bangau Sakti 21
^