Pencarian

The Heike Story 13

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 13


Kiyomori. Dari para Tengu pulalah dia mendengar tentang kematian mendadak ayahnya dan nasib ibunya. Dan sejak saat itu, dia menyadari tentang masa depan maupun bahaya yang telah menantinya.
"Baiklah, Konno-maru, bisakah kau mengikutiku?"
"Ya. tapi kau sendiri harus berhati-hati."
"Jangan khawatirkan aku. Lihat, aku akan melompat,"
Ushiwaka menoleh ke belakang; kemudian, melompat dari satu cabang ke cabang yang lain, dia memperhitungkan jarak antara dirinya dengan kolam di bawahnya dan melompat ke atas sebongkah batu.
"Lihai sekali!" seru para Tengu, berlari menyongsong dan mengerumuni Ushiwaka.
Para Tengu menyoraki Konno-maru yang ragu-ragu hingga gema terdengar di seluruh lembah. Tetapi, Konno-maru tiba-tiba berseru:
"Aku melihat seseorang bersembunyi di belakang batu itu. Tangkap dia!"
Para Tengu segera berpencar dan memeriksa setiap bongkah batu yang ada di sana. Dari tempatnya yang lebih tinggi dan dengan bantuan sinar bulan, Konno-maru melihat sesosok bayangan bergerak di lembah itu.
o0odwkzo0o Sangat mudah untuk meloloskan diri dan bersembunyi di balik bebatuan besar yang bertonjolan di sepanjang tepi sungai, di antara batang-batang pohon besar yang tumbang dan membusuk, atau di balik semak-semak lebat. Asatori terus berlari, melesat dan tersandung-sandung di antara bongkahan-bongkahan batu. Akhirnya, dia merangkak di antara dua bongkah batu besar dan berjongkok di sana, mendengarkan teriakan-teriakan di atasnya.
"Ada yang berhasil menangkapnya?"
"Tidak, sudahkah kau mencarinya di sebelah sana?"
"Ya, tapi dia tidak ada di sana."
Dari kejauhan terdengarlah teriakan yang terbawa angin,
"Hoi-M, apakah kalian berhasil menangkapnya?"
"Sama sekali tidak. Kalian berhasil di sana?"
"Tidak ada apa-apa di sini."
"Apa sebenarnya yang diributkan oleh Konno-maru?"
"Dia pasti melihat monyet atau rusa."
Suara-suara itu segera menjauh. Para Tengu sepertinya telah menghentikan pencarian mereka, dan hanya deru anginlah yang terdengar di lembah.
Asatori mendesah lega. Kesakitan karena harus berbaring diam di tempat persembunyiannya yang sempit, dia merayap keluar. Tatapannya yang tertuju ke tempat pertemuan Tengu serta merta menariknya kembali untuk
mendekati mereka. Mereka duduk bersila dengan posisi melingkar, larut dalam pembicaraan. Ushiwaka duduk di tempat yang lebih tinggi, didampingi oleh Konno-maru.
Mereka berjumlah belasan orang, dengan nama-nama yang dikenali oleh Asatori sebagai milik para tokoh samurai Genji dari timur.
"Baiklah, Konno-maru, apakah Kichiji bersikeras bahwa sekarang belum saatnya?"
Salah seorang Tengu, yang sepertinya dianggap sebagai pemimpin kelompok itu, menjawab, "Begitulah. Kami sudah memberitahukan pendapat kita tentang hal ini kepadanya, tapi Kichiji menolak untuk mengubah rencananya. Dia bersikukuh bahwa sekarang belum saatnya."
"Menurutnya, kapankah tepatnya kita harus bertindak?"
"Dia juga tidak yakin tentang itu, tapi dia menekankan bahwa kita harus menunggu hingga beberapa perubahan terjadi."
"Apa maksudnya?"
"Misalnya, ada tanda-tanda bahwa hubungan antara Mantan Kaisar Goshirakawa dan Heik6 Kiyomori memburuk. Apa pun bentuknya, tidak akan ada asap tanpa api."
"Bagaimana jika keadaan itu berlangsung tanpa perubahan selama bertahun-tahun?"
"Ya, kita juga harus memperhitungkan kemungkinan itu."
"Apakah kalian siap untuk itu" Apakah kalian bersedia menunggu tanpa kejelasan?"
Si pemimpin melihat bahwa tidak seorang pun anak buahnya bersedia menunggu lebih lama. Tetapi, Kichiji adalah satu-satunya harapan mereka sekarang. Segalanya tergantung pada keputusannya. Tanpa Kichiji dan bantuan dari Hidehara mustahil untuk menjamin keamanan Ushiwaka ataupun masa depan Genji.
Semua orang seketika terdiam, putus asa.
Ushiwaka tiba-tiba bersuara. "Cukup ... kita tidak usah membicarakan tentang ini lagi. Tidak perlu memikirkannya lagi."
Para pria itu memandang Ushiwaka dengan takjub, dan salah satu dari mereka berkata dengan mata berkaca-kaca:
"Tuan Muda, mengapa kamu berkata begitu"
Pikirkanlah semua yang telah kita lalui hingga kini, dan juga sumpah setia kami kepadamu."
"Yang kumaksud hanyalah semua perdebatan ini sia-sia saja."
"Mengapa sia-sia saja?"
"Mengapa kita harus menunggu dan mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi" Sudah hampir tiba waktu bagiku untuk menjalani penahbisan, dan aku sama sekali tidak menginginkannya."
"Ya, itulah yang sangat merisaukan kami. Kami ingin Kichiji selekas mungkin membuat kesepakatan dengan Tuan Hidehira."
"Kichiji ... saudagar itu" Kalian menggantungkan diri kepadanya?"
Para pria itu mendengarkan dengan resah. Ushiwaka telah mencetuskan sesuatu yang tidak berani mereka akui.
Ushiwaka memandang ke sekelilingnya. "Baiklah, aku tidak mengharapkan apa pun darinya. Akan jadi apakah aku jika kita menggantungkan diri kepada Kichiji" Tidak peduli apa pun perkataan orang-orang, tidak akan ada yang bisa menahanku untuk melarikan diri dari Gunung Kurama tahun ini. Lihat saja sendiri!"
Para Tengu mendengarkan ucapan Ushiwaka dengan kaget, lalu menyuarakan protes mereka,
memperingatkannya agar tidak bertindak gegabah.
Asatori, yang hanya mendengar potongan-potongan pembicaraan mereka, merayap semakin dekat, bertekad untuk mempertaruhkan nyawanya seandainya dia tertangkap basah demi menyampaikan petuah untuk Ushiwaka yang diamanatkan oleh ibunya, Tokiwa. Tetapi, sebelum itu terjadi, Ushiwaka telah terisak-isak nyaring dan lama.
o0odwkzo0o Asatori terbangun berkat kicauan burung. Dia mengingat-ingat peristiwa yang disaksikannya semalam, mengumpulkan kepingan-kepingan penjelasan yang didengarnya dan menyatukannya menjadi sebuah gambaran yang utuh.
Matahari sudah tinggi, dan seluruh lembah bermandikan udara cahaya bulan Mei. Asatori merayap keluar dari tempat persembunyiannya dan mengedarkan pandangan.
Dia telah bersembunyi di sana selama dua hari, menangkap ikan di sungai dan menjatuhkan satu atau dua ekor burung menggunakan katapelnya. Kemudian, dia memutuskan untuk tetap bersembunyi di sana hingga mendapatkan kesempatan untuk menemui Ushiwaka seorang diri.
Hari demi hari berganti, kemudian minggu demi minggu, hingga pada suatu hari Asatori melihat sekelompok orang
menyusuri jalan setapak. Bahkan dari jarak jauh dia bisa melihat bahwa mereka bukan pendeta. Dia mengintip mereka dengan penuh damba karena sudah beberapa minggu dia tidak melihat ataupun berbicara dengan orang lain. Setelah meyakinkan diri bahwa mereka adalah peziarah yang datang dari wilayah Danau Biwa atau Tamba, Asatori menampakkan diri untuk menyapa mereka.
Semakin dirinya mendekat, semakin kencang jantunya berdetak, karena dari warna mantel dan bentuk topi mereka, Asatori tahu bahwa mereka adalah pemain musik istana. Mengira akan melihat beberapa orang teman lamanya di antara mereka, Asatori serta merta berlari ke jalan yang dilalui sekitar delapan belas orang itu. Begitu melihat Asatori, mereka berhenti dan berkerumun.
Asatori menyadari bahwa mereka mengiranya sebagai pencoleng. Dia membungkuk rendah-rendah dan menyapa mereka, "Jangan takut. Aku juga pemain musik. Ke manakah kalian akan pergi?"
Para pemain musik itu saling berbisik-bisik, lalu menghampiri Asatori dan berkata:
"Kami pemain musik dari Shuzan dan datang kembali tahun ini untuk tampil di festival Gunung Kurama. Katamu kau juga pemain musik, apakah yang membawamu kemari?"
Karena tidak ingin menjawab pertanyaan itu, Asatori balik bertanya, "Festival" Kapankah festival itu diselenggarakan?"
"Baru sekitar dua minggu lagi. Kami datang untuk melakukan geladi bersih."
"Dari Shuzan?" "Ya, tapi kelompok-kelompok pemain musik lainnya juga datang."
"Bukankah kalian pemain musik dari keluarga Ab6?"
"Rupanya kau benar-benar mengenali kami!"
"Aku sendiri juga anggota keluarga Ab6 dari Kyoto."
"Benarkah?" Para pemain musik itu serentak menghampiri Asatori dan mengerumuninya dengan penasaran.
Malam itu, Asatori turut menginap bersama para pemain musik di penginapan mereka, tidak jauh dari Gunung Kurama, dan bercakap-cakap dengan mereka hingga larut malam.
"Kau bukan pemain musik biasa," kata mereka, kagum sekaligus penasaran terhadap Asatori; "ceritakanlah tentang dirimu kepada kami."
"Aku sudah berhenti bermain musik untuk menjadi tabib."
"Apakah yang mendorongmu meninggalkan
pekerjaanmu di istana?"
"Aku tidak bahagia di sana."
"Kau tidak menyukai tekanan kehidupan di istana?"
"Ya, kurang lebih begitu," jawab Asatori. Dia menambahkan, "Aku sedang mengumpulkan tumbuh-tumbuhan herbal di bukit itu, dan waktu melihat kalian, aku tidak bisa menahan diri untuk menyapa. Bagaimana kalau aku ikut dan melihat penampilan kalian di festival" Jika kalian bisa memberiku pekerjaan, aku akan dengan senang hati melakukannya."
Beberapa orang menyambut baik usul Asatori, namun beberapa lainnya ragu-ragu. Baru pada keesokan harinya mereka sepakat untuk mengajak Asatori.
Di Gunung Kurama, mereka menginap di salah satu asrama, yang juga ditinggali oleh kelompok-kelompok pemain musik lainnya. Geladi bersih dilakukan di semua biara, tempat para calon biksu melatih peran meraka dalam drama-drama suci. Asatori menghadiri geladi bersih setiap hari, yakin bahwa dia akan menemukan Ushiwaka.
Semakin mendekati hari penyelenggaraan festival, dari pagi buta hingga larut malam, biara-biara di Gunung Kurama dipenuhi oleh gema genderang, lonceng, seruling, dan bangsi. Pada suatu malam, Asatori menyelinap ke sebuah tempat pemujaan di dekat asrama yang diketahuinya sebagai tempat tinggal Ushiwaka. Dia mengeluarkan serulingnya dan mulai memainkannya.
Beberapa hari sebelumnya, dia telah berhasil menyelipkan pesan ke lengan kimono Ushiwaka, dan selama dua malam berturut-turut dia memainkan serulingnya, berharap Ushiwaka akan menemuinya. Asatori sudah memutuskan bahwa ini adalah malam terakhirnya menunggu Ushiwaka karena dia khawatir para biksu akan mencurigainya.
Ushiwaka bersembunyi di tengah kegelapan bayangan, tidak jauh dari tempat pemujaan, dan mendengarkan permainan seruling Asatori. Begitu Asatori menurunkan serulingnya, dia berjingkat-jingkat keluar dan berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun di sampingnya.
"Siapa kamu?" tanya Asatori, terkejut
"Kaukah yang memainkan seruling selama beberapa malam ini di sini?"
"Apakah Anda Ushiwaka?"
"Dan kau ... siapakah dirimu?"
"Sayalah yang menyelipkan pesan ke lengan kimono Anda."
"Ya, tapi katakanlah kepadaku siapa dirimu. Siapa dirimu" Apakah kau sedang mencoba mengelabuiku?"
"Tentu saja tidak. Saya tabib, nama saya Asatori," kata Asatori, bersujud di hadapan Ushiwaka.
"Seorang tabib yang pintar bermain seruling ... dan seindah itu?"
"Saya akan menceritakan tentang itu di lain waktu.
Karena Anda ragu-ragu untuk memercayai saya, lebih baik saya langsung menjelaskan. Ibu Anda meminta saya menyampaikan sebuah pesan kepada Anda. Ada sepucuk surat di dalam kotak ini."
Ushiwaka membungkuk dan memungut benda yang diletakkan oleh Asatori di dekat kakinya, lalu memasuki tempat pemujaan tanpa mengucapkan apa-apa. Di sana, di bawah cahaya lentera, dia membaca surat ibunya. "Aku berdoa untuk kebahagiaanmu setiap pagi dan malam,"
begitulah surat itu dimulai. "Patuhilah para biksu di sana dalam segala hal. Aku akan bahagia jika kau tekun belajar.
Patung yang kuserahkan kepadamu melalui seorang kurir ini adalah milik almarhum ayahmu, Genji Yoshitomo. Ini adalah hadiah terakhir beliau kepadaku ?"
Sisa surat itu membicarakan tentang doa-doa dan harapan-harapan Tokiwa kepada Ushiwaka ... agar dia melupakan semua pikiran untuk menjadi samurai dan mengikuti jalan perdamaian dan kesucian dengan menjadi seorang pendeta.
Asatori menanti kemunculan Ushiwaka, namun akhirnya berdiri dan melongok ke dalam tempat pemujaan;
dia melihat Ushiwaka larut dalam surat yang tengah dibacanya. Asatori segera menyelinap masuk dan berlutut di hadapan Ushiwaka, lalu mulai menceritakan tentang Tokiwa kepadanya, membujuk Ushiwaka agar mau mempertimbangkan pesan ibunya.
Ushiwaka tidak mengatakan apa pun selama beberapa waktu; kemudian, dia akhirnya mendongak. "Ya, Asatori, aku tahu apa keinginan ibuku untukku."
"Benarkah?" jawab Asatori dengan penuh semangat.
"Tapi ... " lanjut Ushiwaka, "ibuku adalah seorang wanita dan tidak akan mengerti. Dari suratnya, aku tahu betapa beliau adalah seorang wanita sejati. Seandainya aku bisa menemui beliau! Apakah beliau benar-benar seperti ibu yang kuimpikan sepanjang waktu?"
"Apakah Anda benar-benar ingin menemui beliau?"
"Mengapa kau terus-menerus berkata bodoh!"
"Tidak ada alasan mengapa Anda tidak boleh menemui beliau setelah menjalani penahbisan. Jika orang-orang mengenal Anda sebagai seorang pria bijak dan suci, saya yakin bahwa Anda akan diizinkan untuk kembali ke ibu kota dan menemui beliau. Heik? sekalipun mungkin akan menerima Anda di kalangan mereka pada suatu hari nanti."
"Aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus menemui beliau sekarang"
"Jika Anda mengambil pilihan yang salah, Anda mungkin tidak akan pernah bisa bertemu dengan beliau."
"Anehkah jika aku ingin menemui ibuku?"
"Anda harus mengingat Heik6."
"Siapakah mereka, dan apakah arti mereka bagiku"
Apakah mereka dewa" Apakah mereka makhluk gaib?"
"Peranglah yang menghadirkan semua kemalangan ini, dan Anda harus berpaling dari segala sesuatu yang bisa menyebabkan perang."
"Apakah keadaan ini akan berlangsung selamanya"
Apakah aku harus tetap seperti ini, menjadi tawanan di sini sejak bayi?"
Asatori meneruskan, "Kita sendirilah yang bisa menentukan jalan hidup yang tidak akan menimbulkan konflik atau menciptakan neraka di dunia. Hanya dengan mengikuti jalan yang mengarah pada perdamaianlah Anda bisa menunjukkan sebesar apa Anda mencintai ibu Anda. Dunia tidak akan bisa berubah dalam semalam, dan kita pun tidak bisa semudah itu melarikan diri dari karma"
"Hanya itukah yang hendak kaukatakan kepadaku, Asatori?" tanya Ushiwaka, membungkus patung perak dengan surat ibunya dan menyelipkannya ke balik lipatan-lipatan kimononya. Tiba-tiba, dia menjejakkan kakinya kepada Asatori, yang berlutut di hadapannya.
"Sekarang aku mengetahui siapa dirimu," katanya.
"Kaulah yang telah memata-matai kami malam itu di lembah. Pergilah dari sini! Aku sendirilah yang akan menyampaikan jawabanku kepada ibuku. Jangan berlama-lama lagi di sini ... pergilah sekarang juga!"
Sambil berbicara, Ushiwaka berlari keluar dari tempat pemujaan dan menghilang ke hutan. Asatori berusaha mengikutinya namun Ushiwaka telah lenyap dari pandangannya
o0odwkzo0o Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI
Kabut membubung bagaikan uap dari gunung. Hari itu adalah hari terakhir dari festival yang berlangsung selama tiga hari. Ribuan lentera berkelap-kelip pada dini hari itu, dan senandung ayat-ayat suci dengan iringan musik terdengar di mana-mana- Udara hari itu bisa dipastikan akan panas.
"Ushiwaka kelihatan cukup gagah, bukan?"
"Sama sekali tidak terlihat seperti dirinya kalau dia berdandan seperti itu!"
"Kau pasti Ushiwaka. Ayo, biarkan kami melihat dirimu yang sesungguhnya."
Para calon biksu berkumpul di dalam sebuah ruangan di belakang panggung dansa dan menggoda Ushiwaka, yang mengenakan kimono bermotif bunga candu dan celana ungu tua. Rambutnya diikat tinggi-tinggi di atas kepalanya.
Sementara para calon biksu lainnya tertawa-tawa, bersorak sorai, dan melompat-lompat girang, Ushiwaka menjauhkan diri dari mereka, menanti dengan tenang.
"Kau khawatir, ya?" tanya salah seorang temannya.
Ushiwaka menggeleng. "Tidak, aku tak bisa tidur sejenak pun semalam."
"Bohong! Apa yang membuatmu terjaga?"
"Aku sangat gelisah."
"Gelisah" Karena apa?"
"Karena hari ini, tentunya."
"Kau memang aneh, ya?" Seorang calon biksu lainnya mendengus, lalu berlari dan bergabung dengan teman-
temannya yang tengah melongok dari balik langkan sebuah lorong.
Sebuah teriakan nyaring terdengar, "Lihatlah orang-orang yang datang hari ini!"
"Masih banyak yang akan datang! Mereka berbaris seperti semut!"
"Mana, mana" Aku ingin melihatnya!"
Para calon biksu melompat ke atas langkan dan memanjat tiang-tiang dengan penuh semangat. Sementara mereka larut dalam keramaian, Ushiwaka bangkit dan menyelinap ke kamarnya. Dari balik tumpukan buku-buku di atas meja tulis kecilnya, dia menyambar sebuah kotak kecil, mengeluarkan sebuah patung perak, melemparkan kotaknya, dan dengan hati-hati menyelipkan benda itu ke balik lipatan-lipatan kimononya. Dia menepuk-nepuknya untuk memastikan bahwa patung itu berada di tempat yang aman, lalu mengencangkan obi yang melingkari pinggangnya.
"Ushiwaka, Ushiwaka, di manakah dirimu?"
Teriakan-teriakan itu mengagetkan Ushiwaka, yang segera berlari keluar seraya menjawab.
Semua calon biksu telah berbaris, dan seorang biksu membentak Ushiwaka:
"Dari mana kamu?"
"Saya dari kamar kecil."
"Bohong! Aku melihatmu keluar dari kamarmu."
"Saya baru saja mengencangkan ikat pinggang saya."
Seorang biksu memimpin prosesi itu, membelah kerumunan orang untuk membentuk jalan. Para pemain
musik mengikutinya, membunyikan lonceng dan gong; para pendeta tinggi berbaris di
belakang mereka, diikuti oleh para calon biksu yang turut ambil bagian dalam drama suci.
Udara semakin panas dan tidak segumpal pun awan tampak ketika barisan itu berjalan mengitari gunung, dari tempat pemujaan yang satu ke tempat pemujaan yang lain, dari kuil yang satu ke kuil yang lain. Para calon biksu terengah-engah dan berpeluh, tersuruk-suruk, berhenti sejenak ketika melihat sesuatu yang menarik, dan berlari-lari saling menyusul. Ushiwaka, yang terkecil di antara mereka semua, berbaris di belakang, melangkah dengan teratur dan tertib. Matanya, bagaimanapun, sibuk memandang ke kiri dan kanan untuk mengamati para peziarah yang menonton mereka, dan terkadang sorot tertentu tampak di matanya ketika dia mengenali orang-orang yang dilihatnya.
Ketika prosesi mengitari gunung selama empat jam itu berakhir, para calon biksu membubarkan diri untuk menyantap makan siang dan bersiap-siap menari.
Sepanjang siang dan malam- itu, tarian dan musik terus dipertontonkan. Api unggun dinyalakan di seluruh bagian gunung. Para peziarah, yang tak terhitung banyaknya, saling mendorong dan menyikut, berpindah-pindah dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya. Para calon biksu berusaha menerobos kerumunan orang, tidak ingin melewatkan apa pun. Hanya Ushiwaka yang berkeliaran tanpa tujuan di lapisan luar penonton hingga seorang pria sekonyong-konyong menghampirinya dari belakang, menyampirkan sehelai mantel musim panas tipis ke bahunya, dan berbisik:
"Sekarang, Tuan!"
"Kaukah itu, Masachika?"
"Aku akan menemanimu sampai ke jalan menuju lembah."
"Jalan itu sudah dipagari."
"Bukan masalah ... cepat!"
Ushiwaka berlari. Tidak lama setelah mereka menjauh dari tempat keramaian, Masachika mendekatkan kedua jarinya ke bibir dan bersiul nyaring. Beberapa orang pria dengan tenang memisahkan diri dari kerumunan peziarah yang tengah menonton ritual membelah bambu, lalu menghilang di kegelapan malam. Beberapa waktu kemudian, para pendeta yang ambil bagian dalam ritual tersebut dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Seseorang terdengar mengatakan. "Seorang biksu dibunuh dengan sadis di perbatasan salah satu lembah."
Keributan pun pecah. Seorang calon biksu telah menerobos pagar dan melarikan diri. Dia membunuh dua orang penjaga yang menghalang-halanginya. Tidak, Tengulah pelakunya, kata orang-orang.
Desas-desus itu segera didengar oleh para pemain musik yang sedang beristirahat dan minum-minum di ruangan mereka. Asatori, yang sedang minum sake bersama yang lainnya, segera duduk tegak.
"Seorang calon biksu melarikan diri" Siapakah dia"
Siapakah namanya" Benarkah itu?" dia bertanya kepada teman-temannya, lalu diam-diam meninggalkan tempat duduknya dan menyelinap keluar.
o0odwkzo0o Para Tengu berkumpul di gubuk tempat Asatori pernah melihat mereka.
"Langkah pertama telah berhasil kita lalui, dan kita harus memberikan ucapan selamat kepada kalian," kata salah seorang dari mereka, menoleh kepada Ushiwaka, yang duduk di antara sosok-sosok gelap di dalam gubuk itu, masih takjub akan keberhasilan pelariannya.
Salah seorang dari mereka, yang sepertinya lebih dewasa dan berpengalaman daripada yang lainnya, berkata, "Masih terlalu dini untuk menyelamati diri kita sendiri. Ingatlah, kita masih harus membuat kesepakatan dengan Tuan Hidehira dan, terlebih lagi, kita harus melakukannya tanpa Kichiji. Meloloskan diri dari Gunung Kurama memang cukup mudah, tapi bagaimanakah kita akan menjalankan keseluruhan rencana kita" Jika keberuntungan menyertai kita, Kichiji akan mendengar tentang kejadian ini; jika tidak, akan mustahil bagi kita untuk berkelit dari para prajurit Kiyomori dan melarikan diri ke timur."
Seseorang yang lain angkat bicara, "Tapi, ini adalah kesempatan terakhir kita. Apa pun hasilnya, Ushiwaka telah mengambil keputusan."
"Kita tidak akan menggantungkan diri kepada Kichiji.
Jika dia menolak untuk memberikan pertolongan, maka kita akan terus bertindak tanpa mengandalkan dirinya.
Ingatlah, kita sudah memperkirakan hal ini ketika Ushiwaka mengatakan bahwa dia akan melarikan diri.
Tidak ada lagi yang bisa kita upayakan, dan melakukan yang sebaliknya adalah tindakan pengecut."
"Itu bukan tindakan pengecut. Wajar saja jika kita harus memperhitungkan segala kemungkinan dalam menyelesaikan urusan sepelik Ini."
"Tidak ada gunanya memperdebatkan tentang hal ini.
Aku sudah pernah memperingatkan Konno-maru tentang
apa yang akan terjadi malam ini. Aku cemas karena dia belum juga muncul."
Kegagalan mengancam upaya pelarian diri itu karena Heik6 akan bersiaga dan menutup semua jalan menuju timur. Mereka menunggu Konno-maru, yang akhirnya datang sesaat sebelum matahari terbit.
"Ya, aku terkejut Kupikir kalian baru akan melakukannya saat tengah malam, dan aku kesulitan mengikuti kalian."
"Kami minta maaf soal itu. Itu tidak akan membantu.
Kami mengatakan tengah malam, tapi rencana kita mendadak berubah karena peluang yang lebih baik muncul
". Tapi, kita beruntung karena bisa sampai di sini.
Bagaimana dengan Kichiji" Apa katanya?"
"Dia menertawakan keterburu-buruan kita dan sepertinya menganggap bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mengikuti rencana kita."
"Jadi, dia sepakat dengan kita?"
"Apakah Kichiji menyampaikan gagasannya, atau apakah dia bersikeras bahwa sekarang belum saatnya untuk mengatakan keputusan mereka" Apa katanya, Konno-maru?"
Fajar mulai merekah, dan berkas-berkas cahaya pucat menerobos jendela kecil gubuk itu.
Para Tengu menantikan jawaban Konno-maru.
"Kichiji selalu mendukung kita, tapi dia mengajukan beberapa syarat Katanya, dia tidak akan menjamin keselamatan Ushiwaka jika kita tidak menerima persyaratan yang diajukannya."
"Apakah itu?" "Dia hanya akan menjamin keselamatan Ushiwaka. Kita semua, katanya, harus bertanggung jawab akan keselamatan kita masing-masing."
"Apa! Dia akan begitu saja angkat tangan?"
"Ya, katanya, keselamatan Ushiwaka bergantung pada hal ini."
"Bagaimana mungkin?"
"Tidak seorang pun di wilayah ini mengenali kalian.
Orang-orang menganggap kalian sebagai iblis Tengu, tapi jika kalian pergi bersama Ushiwaka, Kichiji yakin bahwa itu akan membahayakan nyawanya."
"Konno-maru, apakah kau memercayainya?"
"Ya. Kita telah memainkan peran kita masing-masing.
Sekarang, sesudah Ushiwaka berhasil meloloskan diri dari Gunung Kurama, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali meninggalkannya dan menghilang dari sini."
"Lalu, apa yang akan dilakukan oleh Ushiwaka tanpa kita?"
"Kichijilah yang akan bertanggung jawab."
"Apakah kita bisa memercayainya?"
"Jika dia tidak bisa dipercaya, dia tidak akan memercayai kita sejak awal ... begitulah katanya."
"Bagaimana jika kau salah?"
"Jika ada yang salah, maka Kichijilah yang akan menerima akibatnya ... dan membayarnya dengan nyawanya. Tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Yang bisa kita lakukan hanyalah memercayainya," kata Konno-maru.
Mereka semua pun menantikan pendapat Ushiwaka, dan Masachika bertanya:
"Kamu sudah mengetahui sendiri masalahnya. Jadi, bagaimana menurutmu?"
Dihadapkan pada perwujudan harapan terbesarnya, Ushiwaka menjawab tanpa ragu-ragu, "Aku tidak berharap bisa berangkat ke timur saat ini juga. Seandainya aku berangkat sekarang, tidak ada yang bisa menjamin apakah aku akan bisa bertemu lagi dengan ibuku. Aku harus pergi ke ibu kota ... seorang diri, atau bersama kalian semua. Aku harus menemui ibuku ". Bawa aku menemui beliau sekarang juga."
Kabar mengenai pelarian Ushiwaka terdengar sampai ke Rokuhara pada dini hari. Para prajurit dan mata-mata segera berangkat ke Gunung Kurama. Para biksu, yang lebih mengenal baik tempat itu, telah memulai pencarian mereka. Siang harinya, ketika beberapa ratus orang samurai dari Rokuhara tiba di Gunung Kurama, Ushiwaka dan para pengikutnya telah berada dalam perjalanan menuju Puncak Sajiki. Setibanya mereka di sana, Konno-maru berkata,
"Dari sini, jalan mengarah ke Provinsi Shiga, Tamba, dan Sanjo, dan kami harus meninggalkan kalian sekarang. Aku sendirilah yang akan menyertai Tuan Muda hingga sampai ke ibu kota." Kemudian, dia menoleh kepada Ushiwaka,
"Aku akan menyertaimu hingga kau siap untuk berangkat ke timur laut bersama Kichiji. Setelah itu, kau akan sendirian. Kau sudah bertekad untuk menjalani semua ini bukan, Ushiwaka?"
Ushiwaka ragu-ragu sejenak, lalu kembali bertanya,
"Konno-maru, benarkah kau akan membawaku menemui ibuku" Kapankah kau akan melakukannya?"
"Aku harus membicarakannya dengan Kichiji terlebih dahulu," jawab Konno-maru. "Kichiji akan mencari cara untuk melakukannya."
"Tidak bisakah kau melakukannya sendiri, Konno-maru"
Mengapa kau harus membicarakannya dengan Kichiji?"
"Aku sudah berjanji untuk tidak melakukan apa pun tanpa persetujuannya."
"Sekarang ... demi masa depan!"
"Pertama-tama, aku akan ke Tamba dan bersembunyi sejenak di sana"
"Dan kau.Adachi?"
"Kurasa aku akan pergi ke Shiga Utara. Dan kau, Kamata?"
"Aku akan menyeberangi Omi, lalu ke Owari, tempat ayahku dibunuh bersama Tuan Yoshitomo."
Seorang demi seorang, para pria itu meninggalkan Ushiwaka dengan janji untuk menemuinya kembali di timur. Senja itu, hanya Ushiwaka dan Konno-maru yang tersisa di Puncak Sajiki, yang menjulang di atas Gunung Kurama; matahari terbenam dan kabut mulai menyelimuti mereka.
"Ushiwaka, apakah kau masih sanggup berjalan lebih jauh?"
"Tentu saja!" "Kita akan melihat cahaya ibu kota esok senja Sebuah kereta akan menanti kita di sebuah tempat."
"Sebuah kereta" " Dan ke manakah kita akan pergi?"
"Tentang itu, aku tidak tahu, tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Kichiji akan mengatur segalanya.
Kau hanya perlu memercayainya. Jika aku melihat alasan untuk meragukannya, dia tidak akan lolos hidup-hidup."
Keduanya mulai turun dari puncak gunung. Mereka tidak bertemu dengan seorang pun hingga malam datang, kertika mereka berpapasan dengan seorang asing yang menanyakan arah. Mereka terus berjalan hingga melewati sebuah dusun kecil dan, jauh di bawah, melihat kerlap-kerlip cahaya di tengah kegelapan.
"Konno-maru, apakah itu cahaya dari ibu kota?"
"Bukan, itu adalah Gunung Atago ... cahaya dari Tempat Pemujaan Atago dan biara."
"Perjalanan kita sudah jauh, tapi apakah kita sudah mendekati ibu kota?"
"Belum. Kita sedang mengacaukan jejak kita untuk mengelabui para pengejar kita, tapi kita sudah semakin dekat dengan ibu kota."
"Ushiwaka ... " Konno-maru mendadak berkata,
"setibanya kita di ibu kota, jangan panggil aku Konno-maru. Namaku Kowaka di sana."
"Aku harus memanggilmu Kowaka?"
"Orang-orang di sana memanggilku dengan nama itu."
"Oh" " Aku lapar, Konno-maru," kata Ushiwaka.
"Itu wajar. Aku akan mencari makanan untukmu.
Tunggulah aku di tempat pemujaan yang ada di sana."
Setelah waktu yang berjalan begitu lambat, Konno-maru kembali dan mendapati Ushiwaka tertidur di beranda tempat pemujaan. Dia bisa mendengar napas teratur bocah yang tertidur di bawah langit berbintang itu. Konno-maru mengguncang-guncangnya hingga terbangun, dan mereka pun bersama-sama menyantap makanan yang didapatkan
oleh Konno-maru dari seorang petani; setelah itu, mereka berbaring untuk tidur hingga malam musim panas yang singkat itu memudar.
Mereka berjalan kaki selama setengah hari. Sesekali, mereka berpapasan dengan orang-orang asing, yang dari penampilannya menunjukkan bahwa Kyoto sudah dekat.
"Kita sudah mendekati Saga sekarang," Konno-maru memberi tahu Ushiwaka ketika mereka berhadapan dengan sebuah bukit. Sebuah pondok beratap rumbia berdiri di salah satu sisi bukit itu, dikelilingi oleh pagar hidup. "Lihat, dia datang seperti yang dijanjikannya! Kereta sapinya ada di jalan di dekat pondok itu" seru Konno-maru.
Ushiwaka tidak terkesan dengan apa yang dilihatnya, namun kelegaan yang terpancar dari wajah Konno-maru membuatnya senang. Konno-maru dengan hati-hati menghampiri sebuah gerbang di tengah pagar dan melongok ke pondok.
Akhirnya, dia memanggil dengan nada lembut:
"Selamat siang, benarkah ini tempat Giwo menyepi?"
Alunan ayat-ayat suci dari dalam pondok seketika terhenti. "Ya" ... " sahut sebuah suara segar; kemudian, seraut wajah yang ternyata muda dan cantik untuk ukuran seorang biksuni, melongok ke luar. "Siapakah kalian?"
"Apakah kamu Giwo?"
"Bukan, aku adiknya."
Konno-maru tersenyum ketika mengenalinya. "Apakah kau masih mengingatku ... Kowaka, pelayan Toji?"


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benarkah itu dirimu, Kowaka" Masuk dan
menunggulah di dalam. Aku akan memanggil Giwo."
Giwo segera muncul, dan Konno-maru menyapanya:
"Ah, Giwo! Kapankah kita terakhir kalinya bertemu"
Aku sering memikirkanmu, tapi ... "
"Apakah semuanya baik-baik saja, Kowaka" Apakah kau masih bersama Toji?"
"Ya, semuanya baik-baik saja di sana. Pekerjaanku menyenangkan, dan tahun-tahun berlalu tanpa kusadari.
Ya, tentu setidaknya sudah delapan tahun berlalu sejak aku mengantarmu ke Rokuhara."
"Seperti mimpi saja, ya" Lima atau enam tahun telah berlalu sejak aku menyepi di sini bersama ibuku, adikku, dan Hotok6."
"Ya, benar, sudah bertahun-tahun berlalu sejak kau pergi ke Rokuhara. Kau tidak pernah kembali kepada kami sesudahnya."
Wajah Giwo seketika mengeruh. "Sudahlah, Kowaka, jangan membicarakan masa lalu. Aku sudah bersumpah untuk menjadi seorang biksuni sekarang, dan aku malu setiap kali mengingat masa itu."
"Maafkan aku; bodoh sekali aku yang menceracau seperti itu ... dan ini mengingatkanku tentang alasanku mendatangimu di sini."
"Kau berjanji untuk menemui Tuan Kichiji di sini, bukan?"
"Ya, beliau adalah pengayom Toji yang paling terhormat dan budiman."
"Beliau sering memintaku tampil di hadapannya dahulu.
Aku kaget waktu beliau tiba-tiba muncul di sini kemarin."
"Kemarin?" "Ya, kami berbincang-bincang cukup lama, lalu sebelum pergi, beliau mengatakan bahwa beliau sudah menyewa
sebuah perahu di Sungai Hozu dan akan membawa beberapa orang gadis Toji untuk menghabiskan malam di air."
"Apakah beliau sudah kembali?"
"Beliau kembali kemari pagi ini untuk mengagumi keindahan pagi hari di sekitar rumah ini dan memberitahuku bahwa kau akan datang kemari untuk menjemputnya. Beliau memerintahkan agar keretanya diletakkan di tempat yang bisa kaulihat. Aku disuruh menyampaikan pesan bahwa beliau menunggu di kuil yang bisa kaulihat dari sini."
Konno-maru berterima kasih kepada Giwo dan mengucapkan selamat tinggal. Kemudian, bersama Ushiwaka, dia menghampiri kereta itu. Konno-maru mengangkat kerainya dan melongok ke dalam. Bagian dalam kereta itu menguarkan aroma dupa dan minyak wangi.
"Ushiwaka, maukah kau menunggu di dalam" Aku akan segera kembali."
Dari bagian belakang kereta, Konno-maru mengeluarkan sehelai kimono putih seperti yang biasa dikenakan oleh penarik sapi, lalu memakainya di atas pakaiannya sendiri sebelum mereka berangkat ke kuil.
Ushiwaka memeriksa bagian dalam kereta itu dengan penasaran. Udara yang pengap dan wangi seolah-olah mencekiknya. Dia teringat kepada ibunya ... surat dari ibunya menguarkan aroma yang sama, aroma yang disadarinya sebagai aroma wanita. Dia mengangkat kerai, yang letaknya sudah dibenahi oleh Konno-maru, dan sesekali mengintip ke luar.
o0odwkzo0o Kichiji sedang tidur siang di salah satu ruangan kuil ketika seorang pendeta masuk dan membangunkannya, mengatakan bahwa seorang
pelayan telah tiba untuk menjemputnya. Kichiji cepat-cepat bangun dan menuju sebuah pintu di bagian belakang kuil.
"Kowaka! Kau sudah datang ... terima kasih!"
"Saya khawatir tidak akan bisa tiba di sini tepat waktu,"
jawab Konno-maru. "Apakah kita akan berangkat sekarang?"
Setelah berterima kasih kepada si pendeta, keduanya meninggalkan kuil dan kembali ke pondok Giwo.
"Saya akan kembali lagi," Kichiji tersenyum. "Maafkan saya yang telah merepotkan Anda," katanya kepada si pendeta dengan nada memohon maaf sambil melangkah memasuki kereta
Kemunculan mendadaknya mengagetkan Ushiwaka, yang memandang Kichiji tanpa mengatakan apa-apa.
Begitu kereta itu bergerak, Kichiji mendekatkan diri kepada Ushiwaka dan berbisik:
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun sekarang karena aku ada di sini."
Setelah keheningan sesaat, Kichiji kembali berbisik,
"Tapi ... jika kau bukan Heik6, berarti kau bukan siapa-siapa. Seperti itulah dunia saat ini. Jika kau menggantungkan diri kepadaku untuk menolongmu melarikan diri ke timur laut, maka kau harus siap menghadapi banyak hal dan melakukan apa pun tepat seperti yang kuperintahkan."
Kereta itu berhenti setibanya di depan sebuah rumah peristirahatan di dekat sungai. Derak rodanya mengundang dua orang geisha berlari melewati pepohonan dedalu.
Kichiji menyapa mereka dengan wajah berseri-seri.
"Di manakah yang lainnya" Sudah pergi, katamu" Ya sudah, tidak apa-apa, aku bisa menyewa kuda atau tandu untuk diriku sendiri."
Setelah selama beberapa waktu mengobrol tak tentu arah, kedua geisha itu menjejalkan diri ke dalam kereta dan duduk di samping Ushiwaka.
"Nah, kalian sebaiknya berangkat sekarang," kata Kichiji kepada Kowaka, yang mengangguk dan melecutkan cambuk ke sapinya
Dari percakapan mereka, Ushiwaka menebak bahwa kedua geisha itu bersaudara ... salah satunya adalah gundik Kichiji. Mereka berlama-lama memandang Ushiwaka, saling berbisik, lalu tersenyum kepadanya.
"Dia tampan, ya?"
"Tapi agak kecil untuk pemuda seumurnya, ya?"
Sambil meliriknya, kedua wanita itu berkali-kali mengomentari penampilan Ushiwaka seolah-olah baru saja mendapatkan hewan piaraan baru. Ushiwaka merasa tercekik oleh wewangian yang menguar dari pakaian kedua wanita itu; jantungnya berdegup kencang, dan tatapannya tertuju pada pemandangan di luar.
"Dia sepertinya terpesona melihat pemandangan kota.
Benarlah itu ... Tuan?"
Ushiwaka mengabaikan pertanyaan yang ditujukan untuknya itu. Dia terpikat oleh segala sesuatu yang
dilihatnya di sepanjang perjalanan mereka melintasi ibu kota.
"Uhat! ... Tuan Kichiji ada di sana, di depan kita," seru salah seorang geisha itu, menunjuk ke salah satu sisi jalan.
Ketika melewati mereka, Kichiji menoleh ke kereta mereka dan mengatakan sesuatu kepada Kowaka, yang menuntun sapinya.
Sejenak kemudian, ruas jalan berapit pohon dedalu di Horikawa terlihat Cahaya-cahaya lentera dari rumah-rumah di sepanjang kanal seolah-olah menari-nari di atas permukaan air, sementara alunan seruling, gebukan genderang; dan kehangatan aroma malam musim panas menerobos kerai kereta. Mereka berbelok ke salah satu ruas jalan dan berhenti di depan sebuah rumah yang asri. Kichiji telah menunggu di sana.
"Tuan," katanya kepada Ushiwaka, "silakan masuk. Ini rumahku. Anggap saja sebagai rumah sendiri."
Ushiwaka tidak bisa tidur malam itu. Semua yang didengar dan dilihatnya di lingkungan baru ini membuatnya gundah. Makanan yang dikecapnya pun terasa aneh.
Dia semakin gelisah karena tidak diizinkan keluar rumah. Kichiji baru kembali dua minggu kemudian setelah pergi pada malam pertama mereka di sana.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya kepada Ushiwaka.
"Tidak kesepian, bukan" Heik6 masih mengawasi semua orang, jadi aku sengaja menghindari tempat ini. Jangan mengira aku telah melupakanmu."
Karena Ushiwaka diam saja, Kichiji melanjutkan,
"Kabar baiknya, kurasa mereka tidak akan memeriksa tempat ini. Semua jalan, pelabuhan, dan gerbang kota diawasi dengan ketat Siapa pun yang memiliki keterkaitan
dengan Genji hingga saat ini dianggap sebagai tersangka, tapi aku berhasil mengakali mereka," katanya sambil tertawa. "Siapakah yang akan berpikir untuk menggeledah daerah hiburan?"
Ushiwaka tetap diam saja.
Kichiji melanjutkan, "Tentu saja, Tuan, aku tidak perlu mengingatkanmu tentang betapa berharganya nyawamu bagi Genji. Jika bukan karena dirimu dan saudara tirimu,Yoritomo, di Izu, Genji tidak akan memiliki pegangan lagi. Seluruh harapan mereka ada di benakmu."
"Kichiji ... kapankah aku berangkat ke timur laut?"
Ushiwaka mendadak bertanya.
"Yah, aku harus sangat berhati-hati. Aku tidak boleh mengambil risiko apa pun. Aku akan menunggu hingga penjagaan Heik6 lebih longgar. Mungkin musim semi nanti akan menjadi saat yang tepat untuk menemanimu ke utara."
"Musim semi?" "Awal tahun depan, tepatnya."
"Dan sebelum itu?"
"Ibu kota akan cukup aman bagimu. Untuk
memastikannya, bagaimanapun, kau harus berdandan seperti perempuan, dan setelah merasa nyaman dengan penyamaranmu, kau bisa bepergian ke sana kemari tanpa takut dikenali. Kau akan tinggal di sini hingga aku datang menjemputmu."
Kichiji segera berangkat ke timur laut, berjanji untuk menjemput Ushiwaka pada bulan Februari atau Maret Dia telah memberikan instruksi mendetail kepada Konno-maru
tentang apa yang harus dilakukannya selama dia pergi, dan Ushiwaka dititipkan kepada kedua geisha bersaudara.
"Aku tidak mau berdandan seperti perempuan,"
Ushiwaka terus bersikeras kepada kedua geisha yang ingin mendandaninya, dan juga kepada Konno-maru, yang datang setiap hari; baru setelah dibujuk habis-habisan, Ushiwaka akhirnya setuju untuk membiarkan rambutnya disanggul seperti seorang perempuan. Dia mengenakan kimono berwarna mencolok seperti yang dikenakan oleh para geisha muda. Wajahnya dibedaki secara merata dan pipinya dibubuhi pemerah hingga wajahnya benar-benar mirip perempuan. Setelah terbiasa dengan penyamarannya dan nama Rindo (bunga gentian), Ushiwaka mulai merongrong Konno-maru.
"Kowaka, kau sudah membohongi ku." katanya berulang kali. "Kau belum juga memberitahuku kapan kita akan menemui ibuku. Kau pernah mengatakan bahwa beliau sakit, tapi bukan begitu kenyataannya. Asatori memberitahuku bahwa beliau pun ingin bertemu denganku."
Sejak melarikan diri dari Gunung Kurama, Ushiwaka seolah-olah terobsesi pada pikiran mengenai ibunya. Tetapi, Konno-maru sebisa mungkin berusaha untuk menekankan risiko yang akan ditanggungnya. "Kau harus mengerti bahwa aku tidak sedang mencoba menghalang-halangimu menemui ibumu, tapi Heikt menjaga rumahnya sepanjang siang dan malam. Mereka yakin bahwa kau akan mendatanginya, dan mereka sudah siap membekukmu di sana."
Tetapi. Ushiwaka bersikeras.
"Kau akan berangkat ke timur laut, bukan?"
"Tidak. Aku harus menemui ibuku terlebih dahulu."
"Aku sudah berulang kali memberitahumu bahwa demi ibumu, begitu pula demi dirimu sendiri, kau sebaiknya tidak menemui beliau sekarang."
"Jalan Pertama, tempat tinggal beliau, tidak jauh dari sini, bukan, Kowaka" Kalau begitu, salahkah aku jika ingin menemui beliau?"
"Jika para prajurit Heik6 tidak berjaga-jaga di sana, tidak ada yang mencegahmu menemui beliau."
"Kau jahat, Kowaka, karena melarangku menemui ibuku. Seandainya aku seorang pria dewasa, akan kuhabisi semua Heik6."
"Bagus! Jika kau ingin menemui ibumu, jangan lupa bahwa itulah yang pertama-tama harus kaulakukan."
"Betapa bencinya aku kepada mereka ... para Heike itu!"
seru Ushiwaka dengan tatapan garang.
o0odwkzo0o Ushiwaka, menyamar sebagai Rindo yang jelita, segera dikenal oleh orang-orang yang tinggal di sepanjang kanal berapit pepohonan dedalu di Horikawa, tempatnya sering berjalan-jalan seorang diri. Kedua kakak beradik yang tinggal bersamanya kadang-kadang mengajaknya ke pasar di jalan Keempat dan Kelima. Mereka pun mengajarinya menabuh genderang dan meniup seruling, dan ketika musim dingin tiba, Ushiwaka mulai berlatih menari.
Daigo, seorang perajin genderang yang tinggal di dekat Horikawa, memiliki seorang putri berumur sepuluh tahun yang datang setiap hari ke rumah mereka untuk belajar menari. Gadis kecil itu bernama Shizuka dan lebih pintar memainkan genderang dan seruling daripada Ushiwaka, yang dianggapnya sebagai kakak.
"Rindo, mengapa kau tidak menjadi geisha saja?"
tanyanya kepada Ushiwaka pada suatu hari.
"Entahlah," jawab Ushiwaka. "Aku belum ahli memainkan genderang dan seruling."
"Mengapa tidak tahun depan saja, kalau begitu?"
"Ya, tapi bagaimana denganmu, Shizuka?"
"Aku ... " Shizuka ragu-ragu, memikirkan pertanyaan Ushiwaka.
"Apakah kau tidak ingin menjadi geisha?"
"Entahlah." Mereka tengah berjalan-jalan di tengah hamparan salju pada suatu hari, lupa bahwa mereka harus segera pulang, ketika Ushiwaka mendadak bertanya:
"Maukah kau ikut denganku ke jalan Pertama?"
"Di manakah letak Jalan Pertama?"
"Di dekat sungai."
Saat ini, Ushiwaka sudah mengenal baik rumah tua di dekat sungai itu; dia telah melewatinya berkali-kali dengan jantung berdegup kencang, dihantui oleh ketakutan bahwa para penjaga Heik6 akan mengenalinya.
"Rindo! Kau mau ke mana?" seru Konno-maru, mengejar kedua anak nakal itu. Mengetahui bahwa Ushiwaka kerap berkeliaran di sekitar Jalan Pertama, Konno-maru membawa kereta untuk membawanya pulang.
Pakaian Ushiwaka basah; dia kedinginan dan merana, menangis terisak-isak untuk melampiaskan kekecewaannya ketika Konno-maru merangkulnya bersama teman ciliknya, lalu membawa mereka ke kereta untuk pulang ke Horikawa.
Di dalam kereta, kedua anak itu berpelukan. Shizuka
menghangatkan tangan dingin Ushiwaka dengan menggosok-gosokkannya ke pipi, dan Ushiwaka memeluknya erat-erat hingga mereka berdua jatuh tertidur.
o0odwkzo0o Bab L-PERJALANAN KE TIMUR
Tahun Baru 1174 diwarnai oleh kegembiraan dan kekhusyukan; ketenangan menyelimuti seluruh ibu kota.
Upacara besar-besaran di Istana telah berakhir tanpa kericuhan. Tidak seorang pun mati kelaparan di jalanan Kyoto. Kedamaian di bawah kekuasaan Heike ini telah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun, jauh lebih lama daripada yang pernah terjadi di bawah kekuasaan Fujiwara. Tidak sekali pun pertikaian berdarah pecah sepanjang masa itu, dan rakyat percaya bahwa mereka berutang budi kepada Kiyomori untuk semua ini.
Kendati begitu, hujatan kepada Heik6 masih sesekali terdengar, bukan dari rakyat jelata melainkan kaum bangsawan. Heik6 dipandang miring lantaran kekuasaan, arogansi, dan bahkan hubungan mereka dengan kaum darah biru. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, topik lain menjadi buah bibir seluruh ibu kota. Terdengar desas-desus bahwa Genji belum tercerabut hingga ke akar-akarnya, dan mereka sedang bersiap-siap untuk sekali lagi menantang Heikg. Rumor itu sepertinya disebarkan oleh para biksu dari Gunung Kurama setiap kali mereka turun ke ibu kota, dan cerita-cerita tentang menghilangnya Ushiwaka dan para Tengu pun turut menguatkannya.
Heike melipatgandakan kesiagaan mereka. Mencurigai daerah hiburan, sejak bulan Februari, para prajurit Rokuhara secara teratur berpatroli dari rumah ke rumah
untuk mencari Ushiwaka, dan mata-mata dari Kepolisian juga sering terlihat di sana.
Dua atau tiga kuntum bunga telah mekar di pohon plum di dekat kios Daijo pada suatu hari di bulan Februari itu, dan si perajin genderang memanggil seorang pejalan kaki dari bengkelnya:
"Halo, halo! Kaukah itu, Kowaka?"
Kowaka berbalik arah dan melongok ke dalam bengkel.
"Kau sepertinya sedang sibuk seperti biasanya, Daijo.
Kau yakin aku tidak mengganggumu?"
"Duduklah sebentar. Jangan melewatiku begitu saja."
"Aku tak ingin mengganggumu."
?" Omong-omong, aku harus memberitahukan sesuatu kepadamu sebelum secara langsung mengatakan tentang hal ini kepada Toji. Aku baru mengatakan kepada istriku tadi pagi bahwa kuharap kau akan berkunjung."
"Eh" Apakah sesuatu yang luar biasa telah terjadi?"
"Dengar, apakah kau mengenal seseorang yang bernama Ular?" "Ya."
"Lebih baik kau berhati-hati terhadap dirinya."
"Terhadap Ular, maksudmu?"
"Sejujurnya, dia kemarin datang ke sini dan mengatakan kepadaku bahwa ada yang aneh mengenai Rindo."
"Apa! Dia mengatakan itu kepadamu?"
"Sekarang, dengarkanlah ... kau tahu bahwa Rindo dan putriku Shizuka selalu bermain bersama. Nah, Ular kemari untuk alasan yang tidak kumengerti. Dia sepertinya
menyembunyikan sesuatu. Aku sudah meminta Shizuka berjanji untuk tidak mengatakan apa pun kepadanya."
"Apakah si Ular ini juga menanyai putri kecilmu?"
"Dia menarik Shizuka dan mengatakan kepadanya bahwa Rindo bukan perempuan. Ular mengancam Shizuka bahwa jika dia tidak berkata jujur, maka prajurit Heik6 akan menangkapnya."
"Hmm" " Pria kurang ajar " menyebarkan desas-desus murahan."
"Kowaka ... " "Ya." "Hanya itulah yang ingin kuberitahukan kepadamu, tapi kuharap kau berhati-hati. Orang lain, sama seperti Ular, mungkin juga menangkap keanehan yang sama."
"Baiklah, Daijo, aku berterima kasih kepadamu dan tidak akan melibatkanmu di dalam masalah. Kau tidak perlu mengulangi peringatanmu, aku tahu."
"Jangan khawatir. Jika aku gemar bergunjing, aku tidak akan menceritakan tentang semua itu kepadamu."
"Terima kasih, Daijo " aku tidak akan menceritakan apa pun kepadamu sekarang. Kau bisa menebak-nebaknya sendiri," kata Kowaka sambil membungkuk dalam-dalam dan memandang Daijo dengan penuh hormat.
Daijo meraih palunya dan tersenyum. "Itu sudah cukup!
Sikap resmi seperti itu tidak pantas ditunjukkan di daerah hiburan, kau tahu," katanya dengan riang sambil mengumpulkan serutan kayu dan melemparkannya ke perapian.
o0odwkzo0o Bulan telah meninggi di atas Perbukitan Timur, dan permukaan air Sungai Kamo berkilauan bagaikan mutiara Jembatan Gojo semakin sepi begitu kegelapan malam di bulan Februari itu menyelimuti sungai. Tanpa memedulikan kesunyian, sesosok remaja berbadan kecil terus melongok dari atas pagar jembatan, mengamati unggas-unggas yang masih bermain di sungai.
Sosok itu adalah Ushiwaka, yang mengenakan mantel dan bakiak wanita hitam bertumit tinggi. Dia membawa sebuah seruling, yang
tersimpan di dalam wadahnya, dan terlihat sangat mirip dengan seorang geisha. Siang itu, kedua geisha yang tinggal bersamanya membawanya ke pasar di Jalan Kelima untuk membeli beberapa keperluan guna menyambut Festival Boneka. Tanggal 3 Maret tinggal beberapa hari lagi, dan mereka berlama-lama di pasar, melihat-lihat beraneka ragam barang dagangan yang dijajakan di sana. Ketika sedang berjalan-jalan, kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang pria yang sepertinya mengenal baik mereka.
Mereka pun menerima undangan untuk mengunjungi kediaman si pria dan menyuruh Ushiwaka pulang sendirian. Ushiwaka, yang tidak sanggup menaklukkan gejolak rasa ingin tahunya, justru menyeberangi jembatan menuju Rokuhara, tempat yang sudah lama ingin dilihatnya. Dia berkeliaran di sekitar Rokuhara hingga sore hari, terpesona melihat ukurannya, deretan rumah megah yang berdiri mengapit jalan nan luas, banyaknya gang yang bercabang dari jalan utama, kereta-kereta dan para pejabat dengan kimono beraneka warna, dan entah seberapa banyak samurai yang melewatinya di depan kediaman Kiyomori. Kota yang tengah berkembang ini adalah tempat tinggal musuh ayahnya!
Merana dan kesepian, Ushiwaka pulang, hingga dia tiba-tiba roboh dan menangis tersedu-sedu di tengah Jembatan Gojo. Di tempat inikah ayahnya, Yoshitomo, dan saudara-saudaranya menghadapi kekalahan mereka" Konno-maru telah berkali-kali menceritakan rangkaian peristiwa pada hari yang menentukan itu. Dan saat berdiri di sana, menatap permukaan air, Ushiwaka diterpa oleh kesadaran bahwa dia adalah putra Genji Yoshitomo. Dengan gigi terkatup, dia menggumam, "Ayah, aku sudah dewasa sekarang. Putramu ini sudah enam belas tahun. Aku akan membalaskan dendam Ayah. Hari itu sudah dekat."
Ketika Ushiwaka mengakhiri renungannya untuk pulang, seseorang menghadangnya. Ushiwaka berusaha melewatinya, namun pria itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya dan berlari menyongsongnya.
"Tunggu! Jangan bergerak, Rindo!"
"Apa maumu" Siapa kamu?"
"Aku?" pria itu menyeringai. "Semua geisha di ibu kota ini mengenalku. Namaku Ular ... jangan pernah melupakannya!"
"Itu tidak berarti apa-apa bagiku. Aku sedang terburu-buru, lepaskan aku!"
"Hei ... " Ular mencengkeram erat-erat mantel Ushiwaka. "Aku punya urusan denganmu. Kau laki-laki, bukan?"
"Tentu saja tidak ". Lepaskan aku!"
"Ayolah, aku sudah cukup mengenal geisha untuk mengetahui tipuanmu!"
"Lepaskan aku! Aku akan menjerit kalau kau tidak melepaskanku!"
"Jadi, kaupikir aku akan menculikmu, setan kecil" Aku akan memberitahumu siapa dirimu yang sesungguhnya ...
Ushiwaka!" "Kau tidak bisa menyanggahku, ya?"
"Itu tuduhan yang salah, aku Rindo ... seorang geisha!"
"Seorang geisha, ya" Dari Gunung Kurama" ... Kau adalah putra sulung Tokiwa. Kalau tidak, mengapa aku sering melihatmu berkeliaran di Jalan Pertama?"
Ular menyambar bahu Ushiwaka dan mendorongnya ke arah Rokuhara.
"Ular benar, bukan" Ikutlah bersamaku sekarang.
Mengapa kau ketakutan begitu" Kita akan pergi ke rumahku," kata Ular, terdorong maju dengan mantel di tangannya karena Ushiwaka mendadak mengelak dan menjatuhkan diri ke tanah.
"Kurang ajar!" Ular mengumpat ketika Ushiwaka menendang kakinya. Dalam sekejap, Ushiwaka telah bangkit dan lari dari sana.
"Sekarang aku yakin bahwa kau memang Ushiwaka, dan aku akan menangkapmu!" seru Ular, berusaha berdiri dan mengejarnya. Derap kakinya bergema di sepanjang jembatan selama dia memburu sosok kecil itu. Sebuah pekikan terdengar setibanya Ular di ujung jembatan.
Sesuatu berkelebat di bawah cahaya bulan. Kesunyian menyusul. Tanpa disertai kepalanya, tubuh Ular terhuyung-huyung beberapa langkah dan roboh ke tanah.
o0odwkzo0o Ushiwaka terbangun dari tidurnya yang nyenyak dan memandang ke sekelilingnya. Di sampingnya, sebuah patung besar menjulang tinggi hingga langit-langit. Dia
mendadak teringat tentang Ular dan pertemuan mereka semalam. Satu demi satu, dia menatap seluruh isi ruangan yang menyerupai gudang itu, pada patung-patung besar dan kecil yang mengelilinginya. Dia mengenali Asura, sang Dewa Perang; para dewa pemarah; Dewa Angin dan Petir, dan bahkan Kannon yang tersenyum bijaksana.
Seketika itu, dia mengira dirinya tengah berada di gudang harta sebuah kuil; kemudian, dia teringat bahwa seseorang telah membawanya kemari dan dia tertidur.
Sebuah suara menggugahnya, dan dia menoleh. Dilihatnya Kowaka sedang bangkit dari salah satu sudut yang dipenuhi oleh berbagai macam perkakas dan peralatan melukis.
"Apakah kau sudah bangun, Ushiwaka?" tanya Konno-maru.
"Kau tidak memanggilku "Rindo* pagi ini, ya?"
"Kau sudah tidak memerlukan panggilan itu. Dan kau boleh kembali memanggilku "Konno-maru"."
"Apa yang telah terjadi?"
"Kita tidak akan kembali ke daerah hiburan lagi."
"Di manakah kita saat ini?"
"Kita ada di bengkel seorang perajin patung Buddha."
"Wah?" "Kau mungkin akan cemas jika aku tidak
memberitahukan yang setepat-tepatnya kepadamu. Otoami, seorang murid Unkei yang termashyur, tinggal di sini.
Beliau telah selama bertahun-tahun bekerja di timur laut untuk membuat patung bagi Hidehira, dan
karena itulah Otoami mengenal baik Kichiji. jadi, kau tidak perlu mengkhawatirkan keberadaanmu di sini."
"Di manakah letak rumah ini?"
"Tidak jauh dari Shirakawa."
"Kalau begitu, tempat ini tidak jauh dari Jalan Pertama, bukan?"
"Ushiwaka ... "
"Ya?" "Kau nyaris celaka tadi malam, bukan?"
"Ya, jika tidak ada kau dan pedangmu ... "
"Aku tidak ingin mengingatkanmu pada peristiwa itu, tapi kurasa Ular sudah melaporkan tentang dirimu kepada Heik6. Berkeliaran di luar sama saja dengan menantang bahaya."
"Bagaimana kau bisa tiba di Jembatan Gojo dalam sekejap mata?"
"Kedua kakak beradik itu tiba di rumah dan mengatakan bahwa mereka meninggalkanmu di salah satu sudut pasar di Jalan Kelima Begitu mendengarnya, aku langsung merasa bahwa kau sedang berada dalam bahaya karena baru pagi itu si perajin genderang memberiku peringatan tentang dirimu."
Ushiwaka tidak berkomentar apa-apa tentang hal ini, dan Konno-maru melanjutkan, "Aku langsung mencarimu ke Jalan Pertama, namun kau tidak ada di sana. Kupikir kau mungkin masih ada di Jalan Kelima, dan takdirlah yang tentunya membawaku ke Jembatan Gojo tepat pada waktunya."
"Dan kita bersembunyi di sini setelah malam larut, bukan?"
"Ya, apakah tidurmu nyenyak?"
"Ya, tapi aku mencemaskan nasib kedua kakak beradik itu."
"Kichiji sudah memberi tahu mereka tentang apa yang harus mereka lakukan jika masalah terjadi. Aku sudah memperingatkan mereka semalam, jadi mereka mungkin sudah meninggalkan Horikawa saat ini."
"Ke manakah mereka pergi?"
"Mereka mungkin akan bersembunyi di desa dan kemudian berangkat ke timur laut Kichiji akan menjamin keselamatan mereka. Sementara itu, bagaimanapun, kau berada dalam bahaya besar ... setidaknya hingga kita tiba di timur."
"Apakah aku akan segera berangkat ke timur laut?"
"Melihat keadaan saat ini, sebaiknya kau tidak tinggal lebih lama lagi di ibu kota. Di dalam suratnya, Kichiji mengatakan bahwa dia akan sesegera mungkin menjemputmu."
"Dan hingga saat itu tiba?"
"Kau akan bersembunyi selama beberapa hari di sini.
Kau harus bersabar hingga Kichiji datang untuk menjemputmu, tapi itu tidak akan lama."
Ketika terjaga setiap pagi, Ushiwaka menatap jendela bengkel yang tinggi dan melihat langit dari sana.
Kemudian, dia akan mengeluh kepada dirinya sendiri. "Oh, menyebalkan! Hingga kapankah aku harus menunggu di sini?"
Dia gelisah karena harus melalui setiap hari dengan cara yang sama, di tengah patung-patung yang mengerikan.
Kemudian, pada suatu malam di bulan Maret ketika pohon-pohon plum tengah berbunga, badai besar menerpa atap
bengkel. Deru angin kencang membangunkan Ushiwaka.
Bantalnya basah, dan dia mendengar air menetes-netes dari patung-patung di sekelilingnya. Dia duduk dan menajamkan pendengaran. Alam sepertinya sedang melampiaskan kemarahannya. Ushiwaka sendirian di sana karena Konno-maru, yang meninggalkan bengkel bersama Otoami maJam itu, belum kembali. Seketika itu juga, terlintaslah di benaknya bahwa malam ini adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana yang telah lama disusunnya. Dia bangkit dari kasurnya dan meraba-raba pintu. Terkunci. Konno-maru atau Otoami mengunci pintu itu dari luar, menjadikannya tawanan di sana! Pikiran ini mendorong seluruh nalurinya untuk memberontak. Konno-maru, para Tengu ... mereka semua ... selalu mengatakan kepadanya bahwa segalanya bergantung kepada Kichiji.
Untuk apa dia harus memedulikan Kichiji! Siapakah Kichiji sehingga bisa mengatur apa yang boleh atau tidak boleh dilakukannya" Sekaranglah saat bagi Ushiwaka untuk menunjukkan tekadnya kepada Kichiji, bahwa dia akan menemui ibunya terlebih dahulu ".
Ushiwaka memanjat salah satu patung dan meraih jendela. Angin dan hujan menerpa wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam dan melompat ke luar. Kegelapan yang pekat menyelimutinya ketika dia berlari ke arah Jalan Pertama.
o0odwkzo0o Angin mengoyak teritis dan mengguncang kerai-kerai di rumah tua itu. Tokiwa berdoa agar hujan lekas reda karena gemuruh sungai meresahkannya dan menyebabkannya sulit tidur. Dia menyumpalkan selimut ke telinganya untuk meredam lolongan angin. Kali ini, dia merasa yakin telah mendengar bunyi gaduh di ujung lorong. Bunyi itu terdengar berkali-kali; Tokiwa akhirnya menyibakkan
selimutnya dan menoleh ke arah Yomogi, yang tidur di sampingnya.
Kemarin adalah 3 Maret ... Hari Festival Boneka ... dan Tokiwa telah menata beberapa boneka kertas dan lempung di kamarnya. Yomogi bertandang ke rumahnya, membawakan seikat bunga persik dan penganan manis yang dipersiapkannya sendiri. Mereka mengobrol hingga larut malam, ketika badai memaksa Yomogi untuk menginap.
Yomogi juga terbangun, bergerak-gerak dengan gelisah di kasurnya.
"Yomogi ... bunyi apakah kira-kira itu?"
"Bunyi yang aneh. Bisa saja angin. Saya juga terganggu karenanya. Saya akan memeriksanya," jawab Yomogi, bangkit dari kasurnya dan menyalakan lentera. Api berkelap-kelip liar. "Sungguh aneh karena angin terus-menerus menerobos masuk ke rumah."
Bayangan Yomogi, yang sedang berjalan dengan hati-hati di lorong dengan membawa lentera, berkelebatan liar.
Tokiwa duduk tegak di kasurnya. Sementara itu, Yomogi melangkah di lorong yang panjang dan berhenti di setiap belokan, setiap kali merasa tertekan oleh kegelapan yang meliputinya; bunyi tetesan air hujan mendadak mengusiknya; sebuah pintu yang menghadap ke sungai terbuka dan sesosok orang berdiri di keremangan ambang pintu.
"Apakah kau pelayan di sini?" tanya sosok itu.
"Ya." jawab Yomogi. "Aku sedang menemani mantan nyonyaku."
Ketika Yomogi menghampiri pintu, api lenteranya berkedip dan padam.
Yomogi menyadari bahwa sosok itu adalah salah seorang prajurit Heikt yang bertugas menjaga rumah ini setiap malam.
"Apakah kau melihat seseorang?" tanya prajurit itu.
"Tidak, tidak seorang pun," jawab Yomogi.
"Pasti anginlah yang menyebabkan bunyi berisik itu, tapi aneh juga bahwa pintu ini bisa terbuka."
"Ya, segala sesuatu di sini sepertinya copot gara-gara angin."
"Itu benar. Mengapa kau masih terjaga di malam selarut ini?"
"Aku tidak bisa tidur gara-gara keributan itu ... angin yang menerobos masuk ke rumah."
"Tapi badai ini sudah hampir reda."
"Ini malam yang buruk bagi kaitan yang harus berjaga di luar sana, ya?"
"Kehidupan memang berat, hanya itu yang bisa kukatakan. Lagi pula, banyak kejadian janggal di jalan Kelima dan Horikawa akhir-akhir ini sehingga kita harus selalu membuka mata."
"Ada apa di Jalan Kelima dan Horikawa?"
"Ada banyak desas-desus tentang iblis Tengu dan kejahatan mereka ". Kebanyakan adalah kasus penjarahan rumah, tapi aku tidak semestinya membicarakan tentang ini. Lebih baik kau mengunci pintu dan tidur. Sebentar lagi pagi datang."
Yomogi mendengarkan langkah kaki prajurit itu menjauh; kemudian, dia menutup pintu dan meraba-raba jalan untuk kembali ke kamar. Sesuatu yang hangat dan lembut mendadak menyentuhnya dan, seketika itu, darahnya seolah-olah membeku. Dia hendak menjerit namun berhasil menahan diri. "Siapa ... siapa di sana?"
tanyanya. Yomogi terlonjak kaget ketika melihat sebuah gerakan di dekat dinding.
"Tolonglah ... " seseorang berkata dan memeluk Yomogi.
Yomogi merasakan kelembutan pipi seseorang di pipinya
"Ibu?" sebuah bisikan parau terdengar.
Yomogi terkesiap. "Siapa ... siapa kamu?"
"Ushiwaka ... ini Ushiwaka, Ibu!"
"Tidak, tidak! Aku bukan ibumu. Bukan ibumu,"
Yomogi mengulang-ulang jawabannya, berusaha membebaskan diri dari pelukan Ushiwaka. Kemudian, sesuatu menyentuh bahunya dan dia tersadar. Yomogi meloloskan diri dan berlari di sepanjang lorong.
"Nyonya, Nyonya ... Ushiwaka!" bisiknya dengan napas terengah-engah ke telinga Tokiwa.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya?" jawab Tokiwa dengan tenang.
"Tunggu sebentar, Nyonya, saya akan menyalakan lentera."
"Tidak, Yomogi, jangan sekarang. Para penjaga akan tahu."
"Itu benar, tapi ... bagaimana kalau sedikit saja?"
"Jangan nyalakan lentera " aku sudah lama memikirkan apa yang akan terjadi jika aku bisa bertemu kembali dengan putraku. Tidak ... pikiran itu membuatku ketakutan. Tapi, ini bukan mimpi, dan dia benar-benar ada di sini!"
"Ushiwaka, di manakah dirimu?"
"Di sini, aku di sini! Di sini, Ibu!"
Isak tangis terdengar dari tengah kegelapan.
"Ushiwaka, kau sudah sangat besar!" "Ya ... "
"Surat-surat dan pesan-pesanku sudah terkirim ke Gunung Kurama, bukan?" "Ya."
"Apa lagi yang bisa kukatakan kepadamu, karena pada musim semi ini kau sudah berumur enam belas tahun.
Sudah menjadi seorang pria dewasa. Jika kau masih tinggal di biara, sebagai ibumu, aku punya beberapa petuah untukmu. Ini adalah doaku bagi putraku ".Tetapi, tidak peduli sekhusyuk apa pun kita memanjatkan doa, hanya sedikit saja yang akan terjawab. Kau memanggilku Ibu, padahal sungguh kecil peranku di dalam kehidupanmu."
"Tidak, tidak ... " Ushiwaka menyanggah, memeluk Tokiwa dan membenamkan wajah ke pangkuannya.
"Bukan salah Ibu jika keadaan kita menjadi seperti ini. Ini semua gara-gara Heik6 ... Kiyomorilah yang bersalah!"
Tokiwa tercekat; wajahnya yang pucat tertunduk ke bahu Ushiwaka, dan putranya mendongak, menatapnya dalam kegelapan dan mengatakan:
"Ibu, itu benar, bukan" Aku berhasil mengelabui mereka dan melarikan diri. Aku melakukannya secara sadar. Ibu berharap aku akan menjadi seorang biksu, tapi aku adalah putra Yoshitomo dan seorang samurai. Bagaimana
mungkin aku menjadi yang lain" Tidak ada tempat bagi seorang pun yang berusaha kabur dari dirinya yang sejati.
Di manakah kehidupan semacam itu mungkin berjalan"
Apakah beda antara kehidupan di sini dan di kuil paling terpencil sekalipun, tempat semua orang menjadi budak Heike, yang takut dan patuh kepada mereka?"
"Ampunilah aku, Ibu. Aku tidak akan bisa memenuhi keinginan Ibu. Tetapi, aku adalah putra Yoshitomo dan tidak bisa menjadi apa pun selain samurai. Aku harus memastikan agar nama Genji kembali dihargai. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang pria dewasa. Kejayaan Kiyomori tidak akan berlangsung lama."
Tokiwa mendengarkan ucapan Ushiwaka dengan perasaan hancur lebur. Semua orang mengetahui tentang kemalangan yang menimpa Genji, namun hanya dia seoranglah yang mengetahui bahwa Ushiwaka berutang nyawa kepada Heike Kiyomori. Kendati
begitu, dia tidak sampai hati untuk mengungkapkannya kepada putranya. Ini akan tetap menjadi rahasianya.
Karena cemas, Yomogi tidak bisa duduk tenang dan terus-menerus mengintip ke lorong untuk meyakinkan diri bahwa tidak ada orang di sana. Badai telah reda, dan langit mulai terang. Kokok ayam jantan di kejauhan menambah kegelisahannya.
"Bukankah sekarang sudah saatnya bagi Ushiwaka untuk pergi" Fajar sudah hampir merekah," bisiknya kepada Tokiwa. Keheningan menyusul. Di bawah cahaya temaram yang menerobos dari lubang-lubang udara kecil di atas jendela, Yomogi melihat Ushiwaka terkulai di dalam pelukan ibunya, seolah-olah sedang tertidur nyenyak.
Enggan mengganggu mereka, Yomogi berpaling selama
beberapa waktu. Kemudian, dia kembali berbisik, kali ini dengan lebih tegas:
"Nyonya ... sudah pagi."
Ushiwaka segera melepaskan diri dari pelukan ibunya.
"Sudah waktunya bagiku untuk pergi ".Aku akan kembali kemari bersama sepasukan samurai Genji untuk menjemput Ibu."
"Tidak, lebih baik lagi ... "
"Apa kata Ibu?"
"Jagalah dirimu baik-baik. Hanya itu pintaku."
"Tentu saja. Jagalah kesehatan Ibu hingga kita bertemu lagi."
"Untuk itulah aku hidup, Ushiwaka. Ingatlah bahwa dalam menentukan kebenaran dan kesalahan, kau harus menggunakan akal sehatmu. Kau juga harus meneladani orang-orang yang paling kaukagumi; akan ada banyak orang yang meremehkanmu, dan sejarah pertumpahan darah yang bodoh dan mengerikan akan selamanya terulang. Sebagai seorang samurai, ingatlah bahwa kau harus selalu mencintai dan melindungi mereka yang lemah dan tertindas, dan namamu pun akan selamanya semerbak."
"Aku mengerti, Ibu. Aku tidak akan pernah melupakan nasihat Ibu."
"Dengan cara apa lagikah kau bisa memberikan penghormatan kepada ayahmu, Yoshitomo, selain menjadi seorang samurai yang gagah berani dan bijaksana" " Lihat Yomogi ... matahari sudah terbit!"
"Tuan Muda," kata Yomogi, melambai kepada Ushiwaka, "bagaimanakah Anda akan pergi dari sini?"
"Jangan khawatir. Aku akan pergi seperti ketika aku datang."
"Tapi, baju Anda basah kuyup! Bagaimana mungkin Anda pergi dalam keadaan seperti ini?"
"Keadaanku tidak pernah sebaik ini waktu masih tinggal di biara. Aku tidak mempermasalahkan hujan atau angin, tapi ... " Ushiwaka mendadak menoleh kepada Tokiwa dengan ekspresi memohon ... "berikanlah salah satu boneka Ibu kepadaku sebagai kenang-kenangan," katanya, menunjuk salah satu boneka, yang buru-buru diserahkan oleh ibunya kepadanya. Ushiwaka tersenyum dan melesat di lorong, lalu melompati langkan dan menghilang di antara pepohonan. Sejenak kemudian, dia telah berdiri di atas tembok yang berbatasan dengan Sungai Kamo. Ushiwaka menoleh untuk menatap ibunya sebelum lenyap sesaat kemudian.
Ushiwaka berdiri di bagian sungai yang dangkal, lalu berenang di bagian yang dalam. Dia adalah seorang manusia merdeka sekarang. Dia tidak bergantung kepada siapa pun. Konno-maru, Kichiji, Tuan Hidehira ... tidak seorang pun dari mereka berarti apa-apa baginya. Dia hanya bergantung kepada dirinya sendiri. Ushiwaka terdiam di tengah sungai dan memandang ke sekelilingnya; matahari baru saja terbit di balik Perbukitan Timur. Dia sedang menoleh sekali lagi ke rumah tua di Jalan Pertama ketika mendengar sebuah teriakan dari suatu tempat di tepi sungai. Ushiwaka mendongak dan tersenyum ketika melihat sesosok pria berlari ke arahnya. Dia adalah Konno-maru, yang terengah-engah dan berkeringat.
"Tuan Muda, apa yang terjadi?" katanya sambil menarik dan mencengkeram lengan Ushiwaka hingga remaja itu mengernyitkan wajah kesakitan. "Kau tidak tahu betapa
khawatirnya kami. Saat aku datang bersama Kichiji, bengkel itu kosong."
"Apakah Kichiji sudah datang?"
"Bahkan Kichiji pun kebingungan. Dari mana sajakah kamu?"
"Aku menemui ibuku."
"Apa! ... ibumu?"
"Apa salahku?" "Risikonya terlampau besar."
"Aku melakukannya karena kau tidak menepati janjimu."
"Kau seharusnya tidak bertindak segegabah itu.
Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?"
"Ya, itulah yang terus-menerus kaukatakan kepadaku ...
bahwa keselamatanku jauh lebih penting daripada semua hal lainnya ... lebih daripada keinginanku untu
k menemui ibuku. Apakah menurutmu nyawaku akan berarti jika aku tidak bisa bertemu dengan beliau?"
"Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang itu.
Yang jelas, Kichiji panik karenamu. Lebih baik kita bergegas pulang ke rumah Otoami."
Begitu mendekati rumah Otoami, mereka melihat Kichiji berdiri di dekat seekor kuda barang di gerbang belakang.
Seperti biasanya, dia ditemani oleh sepasukan pelayannya, seolah-olah hendak melakukan perjalanan panjang.
"Kita akan berangkat sekarang juga," katanya kepada Ushiwaka dengan tegas. "Kau akan menunggang kuda karena kau masih kecil." Kemudian, Kichiji menoleh kepada Konno-maru. "Konno-maru, kita berpisah di sini
seperti yang telah kaujanjikan. Aku akan bertanggung jawab atas keselamatan Ushiwaka. Yakinlah bahwa dia akan aman bersamaku."
"Aku yakin bahwa Anda akan sangat berhati-hati, namun perjalanan ini panjang dan Ushiwaka belum berpengalaman, jadi saya harap Anda bisa memastikan bahwa tidak ada masalah yang menimpanya."
"Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk menjamin Ushiwaka tiba di tempat tujuannya dengan selamat. Tidak ada yang perlu ditakuti setelah kami melewati Gunung Ashigara.
Selebihnya akan mudah."
Dari atas pelananya, Ushiwaka menoleh kepada Konno-maru. "Konno-maru, kau hendak ke mana?" tanyanya dengan sedih.
"Aku akan kembali ke perbukitan dan memberi tahu teman-teman kita bahwa kau telah berangkat Kami sudah berjanji kepada Kichiji untuk tetap tinggal di ibu kota setelah kau pergi bersamanya. Tuan Fujiwara Hidehira akan melindungimu. Pada suatu hari nanti, setelah kau tumbuh dewasa dan Heik6 lebih lemah, kita semua akan bertemu kembali di timur."
Ushiwaka menunduk dalam-dalam, menahan air matanya. "Ya, Konno-maru, kita pasti akan bertemu kembali. Suatu hari nanti, kau akan mendapatkan penghargaan atas kesetiaanmu. Sampaikanlah ini kepada yang lainnya."
Kichiji menarik tali kekang kuda Ushiwaka. "Baiklah, Konno-maru, kita akan segera berjumpa lagi. Selamat tinggal, selamat tinggal!"
Mereka bergerak menuju wilayah perbukitan di dekat Shirakawa, dan kuda yang ditunggangi Ushiwaka tiba-tiba berlari, seolah-olah tidak sabar lagi untuk melewati Jalur Shiga menuju timur.
LATAR BELAKANG SEJARAH THE HEIKE
STORY DAN PENULISNYA Hingga beberapa waktu silam, ibu kota sekaligus pusat perkembangan peradaban Jepang bukan Tokyo melainkan Kyoto, tempat Istana Kekaisaran berdiri dari 794 " 1868.
Dibatasi oleh pegunungan di sebelah utara dan timur, dan Sungai Kamo yang mengalir di sepanjang garis batas timurnya, Kyoto merupakan pusat pemerintahan oleh para bangsawan sejak masa awal kota itu berdiri hingga abad kedua belas. Tidak terhitung lagi banyaknya kuil, pagoda, dan tempat pemujaan berdiri di tengah hutan lebat di berbagai bukit dan puncak gunung atau di lembah-lembahnya; sejumlah gerbang megah, di antaranya adalah Gerbang Rashomon di sebelah selatan, membuka jalan menuju wilayah ibu kota yang berbentuk persegi dan jalan-jalan protokolnya, yang saling bersimpangan dengan jarak teratur. Di luar ibu kota terdapat desa-desa yang permai, dengan banyak sekali pemandangan indah, yang menjadi tempat pilihan bagi kalangan istana untuk bertamasya dan menyaksikan pacuan kuda dengan latar belakang Sungai Kamo.
Pada sekitar masa ketika ibu kota dipindahkan dari Nara menuju Kyoto, pemerintahan pusat memegang kendali seluruh wilayah barat Jepang sekaligus provinsi-provinsi di timur hingga sejauh kota yang saat ini dikenal dengan nama Tokyo, dan para bangsawan dari klan Fujiwara mulai memegang peranan penting di dalam pengambilan
keputusan-keputusan negara. Dengan cara mengembangkan sebuah sistem pemerintahan yang berpusat pada kaisar, dan dengan menduduki semua jabatan penting, klan Fujiwara segera menjadi penguasa negara. Untuk mengikat hubungan dengan trah kekaisaran, mereka menyerahkan putri-putri tercantik mereka untuk dipersunting oleh para kaisar dan pangeran sehingga keturunan merekalah yang nantinya menduduki singgasana. Lebih jauh lagi, klan Fujiwara menjaga agar tampuk kekuasaan tetap berada di tangan mereka dengan tanpa segan-segan menggulingkan seorang kaisar dan menggantikannya dengan seorang keturunan Fujiwara. Bahkan ada masa ketika seorang kaisar kecil duduk di singgasana sementara dua orang kaisar terguling ... seorang mantan kaisar dan seorang kaisar kloister ... tetap berkuasa.
Karena wewenang pemerintahan pusat menjangkau provinsi-provinsi terjauh, kekayaan Fujiwara pun terus bertambah dan para bangsawan hidup bergelimang kemewahan dan kekayaan yang berlimpah ruah. Kesenian berkembang pesat dan Fujiwara menjadi pengayom bagi golongan seniman yang tumbuh subur di lingkungan Istana.
Dan pada masa kejayaan mereka di awal abad kesebelas inilah sebuah novel berjudul Kisah Genji ditulis oleh seorang wanita bangsawan, menggambarkan keanggunan dan kemeriahan kehidupan para bangsawan di puncak kejayaan mereka.
Kurang dari seabad setelah Kisah Genji ditulis, akhir kejayaan Fujiwara mulai bisa diperkirakan. Begitu pengaruh mereka memudar, timbullah perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri sehingga gejolak yang terjadi di istana bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan di tengah kekacauan itu, beberapa kaisar bahkan berupaya untuk memperkuat kekuasaan mereka.
Sementara itu, lembaga agama Buddha, yang berkembang pesat di bawah pembinaan Fujiwara dan mendapatkan kekayaan besar dalam bentuk tanah bebas pajak, semakin korup. Kuil-kuil dan biara-biara besar melatih para pendeta dan biksu mereka untuk bertempur, menggalang pasukan bayaran untuk memperkuat pertahanan mereka, dan memaksakan berbagai kebijakan kepada pemerintah. Kuil yang terkuat pada masa itu adalah Enryakuji di Gunung Hiei, di sebelah timur laut ibu kota.
Kriminalitas, gejolak, dan kemarahan masyarakat marak di ibu kota sejak awal abad kedua belas. Klan Fujiwara, yang sudah tidak memiliki wewenang kecuali yang bisa mereka rebut secara paksa, berniat untuk menarik dukungan dari klan Heik6 atau Genji. Kedua klan samurai tersebut, yang tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan istana, hingga saat itu bertugas mengelola wilayah kekuasaan Fujiwara di provinsi-provinsi yang jauh atau dipekerjakan sebagai pengawal di Istana; mereka kemudian dipanggil untuk saling mengadu domba faksi-faksi di dalam klan Fujiwara sendiri, meredam gejolak masyarakat, dan menengahi pertikaian bersenjata di antara kuil-kuil dan biara-biara besar.
Pada pertengahan abad itu, sebuah pertikaian militer besar-besaran terjadi, dan klan Heik6, di bawah panglima muda mereka, Kiyomori, mengakhiri dominasi klan Fujiwara sekaligus menjatuhkan saingan mereka, klan Genji. Kendati Heikt telah menggantikan Fujiwara, sama seperti pendahulunya, Kiyomori gagal untuk merumuskan sebuah sistem pemerintahan dan perundang-undangan baru. Hal ini berujung pada perebutan kekuasaan antara Heike dan Genji, dan pada seperempat abad terakhir, Heike bertekuk lutut di hadapan Genji.
Tetapi, kejayaan Genji juga tidak bertahan lama ataupun berhasil meredam gejolak yang terjadi di seluruh Jepang, karena pada awal 1300-an, klan Genji ditumbangkan oleh pertikaian yang terjadi di dalam tubuh mereka sendiri. Dan, sementara semua itu terjadi, kaisar dan para bangsawan berupaya untuk merebut kekuasaan dari klan-klan samurai yang senantiasa saling berseberangan.
Seluruh Jepang dirundung konflik pada awal abad keenam belas. Para panglima kecil di berbagai wilayah saling melawan hingga seluruh negeri dilanda perang saudara. Kedamaian baru terasa pada akhir abad tersebut, dibawa oleh seorang jenderal bernama Tokugawa leyasu.
Dialah pelopor diktator samurai yang memerintah Jepang dengan tangan besi selama dua ratus lima puluh tahun ...
hingga 1868, ketika persatuan antara Kaisar, beberapa orang bangsawan, dan beberapa klan samurai berhasil merebut singgasana kembali. Kendati begitu, keberhasilan itu tidak mengakhiri ketimpangan kekuasaan di antara unsur-unsur yang memungkinkan terjadinya Restorasi, dan gejolak itu terus berlanjut hingga 1945, ketika Jepang kalah dalam Perang Pasifik.
Ketika merenungi kembali sejarah Jepang, kita akan menyadari adanya keterkaitan yang begitu dekat antara era modern dengan abad kedua belas. Jepang hari ini masih mendapatkan pengaruh besar dari ajaran Bushido, atau kode etik samurai, yang berasal dari kasta samurai. Kisah-kisah tentang para kesatria pria dan wanita dari abad pertengahan, yang disukai oleh anak-anak Jepang hingga saat ini, adalah kisah-kisah yang juga diperdengarkan pada masa lalu. Drama, Noh, Kabuki yang termasyhur, dan banyak legenda lainnya diturunkan dari mulut ke mulut, semuanya terinspirasi dari para pria dan wanita dari abad kedua belas dan menjadi warisan kesusastraan rakyat
Jepang. Hampir bisa dikatakan bahwa tanpa memiliki pengetahuan tentang abad kedua belas, pemahaman kita mengenai Jepang dan berbagai cabang keseniannya tidaklah utuh.
Dari berbagai sumber yang membahas tentang periode itu, Heike Monogatori (The Heik6 Story atau Hikayat Heike), sebuah kisah epik yang menggambarkan keadaan pada awal abad ketiga belas, tidak lama setelah tumbangnya Heik6, bertahan sebagai sebuah dokumen yang penting bagi sejarah dan salah satu karya sastra besar dari masa itu.
Tidak diragukan lagi bahwa kejatuhan Heik6 berkesan begitu mendalam di hati setiap penduduk Jepang karena puisi panjang yang menceritakan tentang akhir tragis klan Heik6 itu dinyanyikan di berbagai sudut negeri oleh para penyanyi balada yang tampil dengan kecapi mereka. Dan hingga berabad-abad sejak pertama kali dilantunkan, lagu itu menjadi salah satu romansa kesukaan penduduk Jepang, yang menjadikan para pahlawan di dalamnya sebagai idola.
Eiji Yoshikawa mulai menulis The Heiki Story tidak lama setelah Perang Pasifik berakhir, karena akhir tragis dari perang tersebut mengingatkannya pada kisah yang terkandung di dalam Heik6 Monogatori dari tujuh abad silam, dan di dalam buku ini, dia mengangkat tema tentang kepercumaan dan kebejatan perang, juga nafsu untuk meraup kekuasaan. Penulis menjadikan Kiyomori sebagai salah seorang tokoh utamanya, namun The Heiki Story, berbeda dari cerita-cerita pendahulunya, lebih dari sekadar kronik tentang kehebatan para kesatria dan putri, karena kisah yang disampaikannya lebih dari sekadar rangkaian peristiwa yang tercatat di dalam epik abad pertengahan, dan kekalahan Heik6 diceritakan terjadi setelah kematian Kiyomori, ketika seorang panglima Genji, Yoritomo, tampil
untuk memainkan sebuah peranan penting seperti yang terekam di dalam sejarah.
Penulis memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah, begitu pula tokoh-tokoh khayalan di dalam novelnya, namun tidak seorang pun dari mereka menjadi pahlawan utama. Sejarah, atau rangkaian peristiwa yang tidak terduga, adalah protagonis yang sesungguhnya dalam The Heike Story, mencakup segalanya, dan para tokoh besar yang ada di dalam kisah itu hanyalah sosok-sosok yang sejenak terselamatkan dari arus deras waktu, dan dengan interpretasinya sendiri, Mr. Yoshikawa mengawali penuturan epik kuno yang diawali dengan "Lonceng kuil menggemakan betapa mudahnya segala sesuatu berubah.
Warna-warni bunga menegaskan kenyataan bahwa apa pun yang berkembang dengan indah akan membusuk di kemudian hari. Kebanggaan hanya sejenak bertahan, bagaikan mimpi di malam musim semi. Dalam waktu singkat, kedigdayaan akan surut, dan segalanya akan menjadi debu yang tertiup angin."
Dalam melakukan interpretasi sejarah untuk The Heike Story, Mr. Yoshikawa tidak hanya mempelajari kesusastraan dari abad kedua belas dan ketiga belas tetapi juga sejumlah buku harian, surat, kronik, dan gulungan gambar, yang memberikan sumber pengetahuan dan detail otentik dalam penyampaian kisah ini.
Mr. Yoshikawa menduduki tempat terhormat di jajaran penulis novel Jepang modern. Jika sebagian besar dari mereka, kalaupun tidak semuanya, pada waktu tertentu di dalam karier mereka, pernah mendapat pengaruh dari kesusastraan Eropa, terutama dari penulis-penulis Rusia dan Prancis, Mr. Yoshikawa, disebabkan oleh situasi pada awal kehidupannya, tidak memiliki kesempatan untuk bersinggungan dengan kesusastraan Barat, versi
terjemahannya sekalipun. Bacaan pada masa mudanya ...
yang dilahapnya dengan rakus ... adalah kisah-kisah klasik Jepang, dari masa kuno dan abad pertengahan, yang bisa ditemukannya di perpustakaan. Sebagai hasilnya, latar belakang dan teknik menulisnya terbentuk secara eksklusif oleh tradisi sastra klasik Jepang, dan dari sanalah dia mendapatkan model dan sumber pengetahuan.
The Heiki Story (Hikayat Heike), yang mulai ditulis oleh Mr. Yoshikawa pada 1951, belum sempat
dirampungkannya, namun lebih dari dua per tiga bagian dari proyek monumental ini telah selesai ditulis dan membentuk sebuah buku. Buku ini laris dan dibaca oleh berbagai kalangan, dan oleh para kritikus dianggap sebagai sebuah tonggak di dunia sastra Jepang modern.
Beberapa patah kata perlu ditambahkan berkaitan dengan terjemahannya. Akan lebih tepat jika buku ini disebut sebagai versi bahasa Inggrisnya, karena berdasarkan kesepakatan dengan penulisnya, The Heiki Story telah banyak dimodifikasi agar lebih mudah dicerna oleh para pembaca non-jepang. Banyak hal yang signifikan dan menarik bagi pembaca Jepang, yang telah akrab dengan latar belakang sejarah kisah ini, dihilangkan dari versi terjemahannya; setiap bab telah dipadatkan dan sejumlah besar sub-plot dan tokoh pembantu juga dihilangkan. Oleh karena itu, versi terjemahan ini bukan sebuah kisah yang utuh dan tidak akan mampu menyampaikan kerumitan dan kekayaan versi aslinya. Kendati begitu, penerjemah dengan tulus berharap agar The Heike Story bisa memberikan kesempatan bagi pembaca non-jepang untuk mendapatkan kenikmatan membaca yang setara dan juga perkenalan pada Jepang dan penduduknya.
THE END Document Outline DAFTAR ISI Bab I " PASAR Bab II - PEREMPUAN GION Bab III " PACUAN KUDA
BAB IV-SEORANG WANITA YANG BERMANDIKAN CAHAYA REMBULAN
Bab V " RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK
Bab VI - BOCAH LELAKI YANG MEMBAWA AYAM SABUNGAN
Bab VII " SALAM PERPISAHAN DARI SEORANG SAMURAI
Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS IBU KOTA
Bab IX " PARA PRAJURIT BIKSU DARI GUNUNG SUCI
Bab X " DUSTA Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN SEBUAH KECAPI
Bab XII -SABDA ALMARHUM Bab XIII- ISTANA MATA AIR DEDALU
Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE
Bab XV- PANJI-PANJI PUTIH GENJI
Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH
Bab XVII-SUNGAI BERDARAH Bab XVIII-ALUNAN SERULING
Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI
Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano
Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar
Bab XXII-Jeruk Dari Selatan
Bab XXIII " PENCULIKAN KAISAR
Bab XXIV-IRAMA GENDERANG Bab-XXV BADAI SALJU Bab XXVI " BELAS KASIHAN
Bab XXVII " SEBUAH KAPEL DI ATAS BUKIT
Bab XXVIII-SANG IBU Bab XXIX-PENGASINGAN Bab XXX-SAKURA Bab XXXI-GAGAK Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI
Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH
Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK
Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN
Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA
Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI TIMUR LAUT
Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI
Bab XXXIX-TABIB ASATORI Bab XL-PERMATA LAUT Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR
Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN
Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA
Bab XLIV-HURU-HARA Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH PELABUHAN
Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG BIKSU
Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT KEMBALI
Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG KURAMA
Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI
Bab L-PERJALANAN KE TIMUR
Kekayaan Yang Menyesatkan 7 Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit Pedang Langit Dan Golok Naga 3
^