Pencarian

Emak 3

Emak Karya Daoed Yoesoef Bagian 3


setelah dikritik habis-habisan oleh Moehammad Hoesni
Thamrin di Volksraad berdasarkan apa yang dia lihat
sendiri ketika beberapa tahun yang lalu berkunjung ke
perkebunan-perkebunan Belanda di sini. Andil Pak
Soelaiman cukup besar dalam upaya pencabutan
tersebut." "Apa andil saudara sepupu saya itu?" tanya emak ingin
tahu. "Beliau secara diam-diam berhasil menyampaikan
kepada Pak"Hoesni Thamrin data dan bukti-bukti
kekejaman dari penerapan poenale sancties. Tapi
kemudian ada musang berbulu ayam yang melaporkan
perbuatan beliau ini kepada PBD12 dan Parket
Pengaduan dari si pengkhianat peguangan inilah yang
menjadi dasar penangkapan dan pembuangan beliau ke
Boven Digoel." "Ya selalu ada saja musuh dalam selimut yang tak
segan-segan menggunting dalam lipatan," komentar
bapak. "Begitulah adanya Pak," sambung Mas Singgih. "Tapi
kita tidak boleh berhenti apalagi mundur. Patah tumbuh
hilang berganti. Kita harus terus menceritakan kepada
rakyat kita, dengan cara apa saja, bahwa di samping
beguang melawan penjajahan Belanda kita siapkan
sekaligus konsep negara nasional yang lebih adil, yaitu
sebuah Republik yang demokratis."
Begitu mendengar ucapan Mas Singgih ini aku cepat-
cepat berlari ke kamarku untuk mengambil kitab tulis dan
potlod guna membuat catatan. Ketika aku menggabung
lagi masih sempat kudengar emak bertanya apakah
sebuah Republik selalu lebih demokratis daripada sebuah
Kerajaan. "Tidak juga kalau kita lengah dan tidak waspada,"
jawab Mas Singgih. "Dahulu pernah ada Republik
Romawi. Yang sebagian besar hidup di situ adalah
budak-budak milik para bangsawan. Di Republik Venesia
dan Genoa, pemimpin tertingginya disebut doge, yang
dipilih untuk seumur hidup, ternyata menjadi tiran, yaitu
penguasa negara yang lalim. Republik Florensia
diperintah oleh kalangan ningrat. Republik Cromwell
dipimpin oleh diktator militer. Jadi dulu-dulu itu kata
Republik dipakai semata-mata untuk menunjukkan
bahwa pimpinan tertingginya bukan seorang Raja.
Sekarang ini yang kita maksudkan dengan Republik
adalah " apa Daoed, kau masih ingat "!"
"Suatu persekutuan politik berdasarkan penggabungan
secara bebas dari orang-orang pada suatu ideal yang
disepakati bersama," jawabku lancar.
"Bravo!" seru Mas Singgih sambil bertepuk tangan.
"Putra Bu Joesoef ternyata cerdas sekali menurut ukuran
umurnya." "Sudahlah Mas Singgih, jangan puji dia setinggi itu,"
tukas Kak Ani. "Nanti hidungnya menjadi sebesar botol."
Kami semua tertawa terbahak-bahak mendengar
ungkapan itu, kecuali bapak. Dia, seperti biasa, hanya
tersenyum. "Kalau tak salah orang-orang Belanda dan Inggris
sangat mencintai raja-raja mereka," kata Kak Mami.
"Benar Dik. Di sana, juga di Jepang, masih kuat
anggapan bahwa raja mereka adalah pilihan Tuhan.
Namun tokoh-tokoh bangsawan ini adalah orang-orang
yang dapat bertukar kedudukan berkat keturunan
semata-mata. Karena itu pula keluarga raja dengan
sendirinya diperlakukan sebagai tokoh-tokoh publik."
"Apa yang dimaksudkan dengan tokoh publik?" tanya
Kak Ani. Tokoh publik adalah orang yang keberadaannya
dianggap demi memenuhi kepentingan umum." jawab
Mas Singgih. "Padahal tidak dengan sendirinya begitu.
Namun karena telah ditetapkan sebagai tokoh publik,
hanya berkat kebangsawanannya, biaya hidupnya
dibebankan pada keuangan negara. Artinya, orang ini
hidup dari pajak yang dipungut dari rakyat, benar-benar
merupakan benalu. Sedangkan seorang Presiden, yang
adalah Pemimpin Tertinggi Republik, dipilih oleh rakyat
untuk jangka waktu tertentu berdasarkan kualitas-
kualitas khas dari dirinya sendiri dan karena itu keluarga
sang Presiden tetap merupakan orang-orang privat Di
samping ini seorang Presiden tunduk pada undang-
undang umum karena dia tidak dianggap keramat, dipilih
bukan karena hak waris atau keturunan dan pasti bukan
pilihan Tuhan. Jadi dia pun bisa diseret ke pengadilan
bila ternyata melanggar hukum. Kekuasaannya datang
dari bawah, dari rakyat, sedangkan otoritas raja datang
dari atas. Maka itu pemilihan umum menjadi penting bagi
Demokrasi dan bagi Republik."
"Bagaimana kalau saya tak mau ikut-ikutan memilih?"
tanya Kak Marni. "Ada dua soal di sini, yaitu untuk siapa kita memilih
dan mengapa kita memilih. Mengenai soal siapa yang
akan dipilih ini adalah urusan Dik Marni pribadi. Yang
lebih penting adalah soal mengapa memilih itu. Bila Dik
Marni tidak memilih artinya kau hanya memikirkan
perkaramu sendiri. Perkara kita bersama, res publica,
yang lebih besar, kau serahkan begitu saja kepada
orang-orang lain untuk mengurusnya. Sedangkan
pengurusan perkara bersama ini yang justru merupakan
kewajiban dari semua dan setiap warga negara. Dengan
perkataan lain, kewarganegaraan dari suatu Negara
Republik tidak hanya merupakan suatu kesempatan (hak)
tetapi, pada waktu yang sama, adalah kewajiban untuk
membuat suatu perbedaan atau perubahan di tempat di
mana kau tergolong."
"Jadi pemilihan umum yang bebas itu menentukan ke-
demokrasian sesuatu pemerintahan?" tanya emak.
"Tidak dengan sendirinya, Mak," jawab Mas Singgih.
"Bisa saja seorang pemimpin yang kharismatis menjadi
Presiden karena sebagian terbesar rakyat, disebut
mayoritas, memilihnya secara legal dalam suatu
pemilihan umum yang sah. Namun hakikat demokrasi itu
sendiri bukanlah sekedar pemerintahan mayoritas.
Hakikat tersebut terpenuhi bila kelompok minoritas tetap
memiliki hak-haknya untuk berorganisasi dan
berekspresi. Bila tidak ada satu pun kelompok, biarpun
kelompok mayoritas, apalagi individu, yang dapat
mendesakkan kehendak mereka kepada kelompok-
kelompok atau individu-individu yang lain. Bila tidak ada
satu pun partai, suku, keluarga, kepercayaan atau
keyakinan keagamaan yang dapat meniadakan
kedaulatan itu sendiri."
"Lalu apa yang harus dilakukan agar kekuasaan yang
dipercayakan oleh rakyat tidak disalahgunakan?" tanya
bapak. "Untuk mencegah atau mengoreksi penyalahgunaan
itu kita harus membagi-bagi kekuasaan tadi," ditegaskan
oleh Mas Singgih. "Sebab menurut orang yang jauh-jauh
hari sudah memikirkannya, yaitu Montesquieu, hanya
kekuasaan yang dapat menghadang kekuasaan.
Kekuasaan tersebut dipisah menjadi tiga bagian. Ada
kekuasaan untuk membuat undang-undang yang
dipegang oleh parlemen hasil pilihan rakyat. Ini disebut
legislatif. Ada pula kekuasaan untuk melaksanakan
undang-undang tadi yang dipegang oleh pemerintah. Ini
disebut Eksekutif. Ada lagi kekuasaan untuk
melaksanakan keadilan yang dipegang oleh lembaga
hukum. Ini disebut Yudikatif."
Karena kami semua diam saja setelah mendengarkan
uraian ini, Mas Singgih segera melanjutkannya dengan
penjelasan tambahan yang cukup kritis. Menurut dia
pembagian kekuasaan tersebut ternyata masih
memungkinkan adanya penyalahgunaan wewenang.
Pada beberapa Republik di Amerika Latin, misalnya, ada
terdapat parlemen atau dewan perwakilan rakyat, dapat
kita temukan menteri-menteri dan ada pula badan yang
bertugas mengadili perkara. Namun semua ini tidak
berfungsi sebagaimana seharusnya sebab yang ada
bukanlah demokrasi beneran tetapi aristokrasi. Kalau di
suatu Republik korps rakyatlah yang memegang
kekuasaan berdaulat, kata Montesquieu, ia adalah suatu
demokrasi. Kalau kekuasaan berdaulat itu ada di tangan
sebagian rakyat saja, ia disebut aristokrasi."
"Apa ciri-ciri suatu Republik aristokratik?" bapak
rupanya betul-betul berminat terhadap apa yang sedang
dibicarakan. "Dik Leman dulu belum sempat membahas
hal semacam ini, sudah keburu ditangkap."
"Pertama adanya suatu kasta yang punya privilese,
tidak begitu banyak anggotanya, agak tertutup dan
memerintah tanpa memperdulikan massa kecuali untuk
tetap menguasainya, mengerahkannya untuk bekeija dan
bila perlu menghiburnya. Kemudian, adanya sejumlah
kecil orang di puncak yang, ke dalam, kadangkala saling
mencurigai, tetapi keluar menampilkan suatu front
bersama yang kompak. Kasta ini bisa berupa satu
keluarga, satu kelompok kekerabatan, satu golongan
profesional yang biasanya militer atau satu partai. Jadi
warga negara Republik ini sebenarnya bukan merupakan
rakyat, tetapi kawula yang tidak berdaulat Dan semua ini
bisa terjadi karena sebagian terbesar dari rakyat di
negara-negara tersebut masih bodoh, dibiarkan rendah
pendidikannya, sangat minim kesadaran politiknya.
Rakyat yang berkeadaan seperti ini sangat mudah
dimanipulasi oleh orang-orang yang, melalui mekanisme
demokrasi representatif yang legal, berusaha memegang
kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri. Adanya tragedi
politis-ketatanegaraan ini kelihatan dari seringnya
perebutan kekuasaan, atau coup d"Etat, di Republik-
republik tersebut oleh kelompok militer. Sampai para
pengamat asing menjuluki kejadian-kejadian itu sebagai
sejenis sport dari para elite nasional di sana."
Mengingat malam sudah agak larut pembicaraan distop
sampai di sini dan Mas Singgih beijanji akan mencari
waktu untuk melanjutkannya. Waktu ini baru tersedia
tiga minggu kemudian. Dia kelihatan masih lelah namun
menghendaki agar kami tetap berkumpul dan
berbincang-bincang lagi. Aku sudah siap dengan buku
catatan, demikian pula kedua kakakku. Kami bertiga
telah membahas apa-apa yang telah diuraikan oleh Mas
Singgih beberapa hari berturut-turut. Emak pernah dua
kali ikut serta dalam pembahasan itu. Bapak membuka
pembicaraan dengan menanyakan kapan saatnya,
menurut para pemimpin pergerakan di Jawa, kita
menjadi merdeka. Mas Singgih tidak segera menjawab. Dia terbatuk-
batuk kecil. Wajahnya agak tegang. Tidak jelas apakah
dia sedang mencari kata-kata yang tepat atau
menyimpulkan berbagai pendapat yang selama ini
pernah didengarnya atau " Ah, tak tahulah.
"Pak dan Bu Joesoef, peristiwa dari penjajahan ke
kemerdekaan jelas merupakan suatu perubahan politik-
sosial yang sangat fundamental," begitu dia mengawali
uraiannya. "Ada dua cara untuk mewujudkan perubahan
tersebut. Pertama, dengan jalan berangsur-angsur
melalui pengadaan perubahan sedikit demi sedikit dan
dilakukan secara planmatig, yaitu berdasarkan rencana
yang telah dipikirkan masak-masak sebelumnya. Pepatah
Melayunya adalah, maaf kalau saya keliru
menggunakannya, biar lambat asal selamat, tidak lari
gunung dikejar. Proses ini disebut evolusi. Kedua,
dengan mengadakan perubahan yang radikal dan drastis,
dinamakan revolusi. Jalan pertama jelas memerlukan
banyak waktu dan sering dibarengi dengan
ketidakpastian. Jalan kedua dapat segera mewujudkan
keadaan yang dicita-citakan. Namun hasil yang serba
cepat dan mendadak ini tercapai berkat diberlakukannya
kekerasan. Sejarah telah mencatat beberapa revolusi,
tidak segan-segan mengubah keadaan politik sosial
dengan jalan penumpahan darah."
"Aduh, mengapa harus begitu," potong emak. "Darah,
bunuh- membunuh " Saya bukan pengecut Ketika
mendengar dari suami saya apa-apa yang telah
dialaminya sewaktu kecil, saya jadi geram dan rasanya
ingin turut serta dalam kancah pertempuran berdarah
itu, turut membunuh kompeni. Namun saya bisa
membayangkan akibat saling mematikan itu, yaitu
penderitaan, kesengsaraan, yang bagi perempuan dan
anak-anak menjadi beban kehidupan yang lebih berat.
Maka bagaimana kalau jalan evolusi saja"!"
"Mak, bagi kita yang sedang dijajah, keberhasilan jalan
pertama tadi sangat ditentukan oleh pengertian,
kebaikan dan bantuan Belanda. Artinya pihak penguasa
negeri kita ini harus bersedia dengan ikhlas melepaskan
kekuasaannya di semua bidang pemerintahan secara
berangsur-angsur melalui pendidikan atau latihan yang
sesuai bagi anak-anak bumiputra. Atas desakan para
pemimpin kita, Pemerintah Belanda memang pernah
beijanji akan melakukan hal ini. Pada bulan November
1918 Gubernur Jenderal Graaf Van Limburg Stirrum
menerangkan di depan Volksraad bahwa Regerings
Reglement akan diubah untuk mempercepat pemindahan
hak-hak pemerintahan dari tangan Belanda ke Indonesia.
Sebulan kemudian dibentuk panitia penyusunan rencana
perubahan itu. Namun laporan hasil kerja panitia dua
tahun kemudian (1920) jauh berbeda dari isi Janji
November itu, de beruchte November Belofte. Mengapa"
Ketika janji itu diucapkan Benua Eropa sedang dilanda
kekacauan perang besar yang berkecamuk di sana.
Belanda sendiri tidak ikut berperang, tetapi sebagai
negeri kecil yang diapit oleh negara-negara besar yang
sedang bertarung, ia pasti dalam ketidakpastian.


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah perang besar ini usai dan Kerajaan Belanda
ternyata bisa selamat, ia lupa akan janjinya. Kita sudah
ditipu mentah-mentah Mak."
"Watak penjajah memang sudah begitu," nyeletuk
bapak. "Kita selalu mau bersikap satria dalam
memeranginya, tetapi kita selalu ditipunya. Benar kata
pepatah: seperti Belanda minta tanah."
"Maka saya kira demi kemerdekaan, revolusi tak
terelakkan." Ungkapan ini diucapkan oleh Mas Singgih
dengan nada sangat konklusif. "Saya pikir Bung Hatta
benar sekali ketika dia mengatakan sembilan tahun yang
lalu di dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan
Belanda, bahwa kemerdekaan Indonesia hanya dapat
diperoleh dengan kekerasan dan adalah merupakan
hukum sejarah bahwa lahirnya sesuatu bangsa selalu
sejalan dengan pertumpahan darah dan air mata."
"Lalu kalau mau berevolusi, kapan?" tanya emak.
"Wah, sulit juga mengatakannya, Mak. Karena hal ini
pun tergantung pada faktor-faktor di dalam dan luar
negeri. Yang jelas, walaupun tanpa ada kepastian yang
meyakinkan mengenai tanggalnya, kita harus tetap
menyiapkan diri untuk melaksanakan keija besar itu."
"Misalnya persiapan apa?" Bapak kelihatannya tertarik
pada ide revolusi itu. "Kita harus menyiapkan diri untuk mampu berperang
secara modern, paling sedikitnya menggunakan senjata-
senjata modern seperti yang dipakai oleh angkatan
perang Kerajaan Belanda. Untuk itu kita harus berpura-
pura mau masuk KNIL dan masuk ke pendidikan
perwiranya di Breda atau di Den Helder."
"Saya tidak tahu bagaimana keadaan di Jawa," kata
bapak. "Di Aceh sampai tahun 1920 masih ada
perlawanan kecil-kecilan terhadap kompeni. Sekarang
kata orang, sesudah teijadi pemberontakan kapal tujuh di
lepas pantai Aceh yang berseberangan dengan Kotaradja
di awal tahun 1933, Gubernemen sudah semakin tidak
percaya lagi pada orang-orang Sumatra untuk diterima
menjadi serdadu Belanda, apalagi untuk dididik menjadi
perwiranya. Jadi untuk magang di angkatan perang
Belanda, dengan pura-pura menjadi serdadunya, sudah
tertutup bagi kami yang dari Sumatra."
"Bila demikian masukilah sekolah-sekolah Belanda
yang terbuka bagi putra-putri Andalas," kata Mas
Singgih. "Belajarlah di Sekolah Tinggi Kedokteran,
Hukum, Teknik, Pertanian, Sekolah yang mendidik
bumiputra menjadi guru, menjadi B.B. Ambtenaar, atau
ke Sekolah Tinggi Perdagangan seperti yang dilakukan
oleh Mohammad Hatta. Saya yakin kecerdasan, kemauan
belajar dan semangat juang dari putra-putri pulau ini
tidak kalah dengan mereka yang berasal dari pulau atau
daerah lain. Dalam menyiapkan Sumpah Pemuda di
Kongres Pemuda akhir Oktober 1928 terdapat studen-
studen dari Andalas, seperti Adnan Kapau Gani,
Moehammad Jamin, Aboe Hanifah, Amir Sjarifoed-din. Di
samping ilmu perang modern, Pak Joesoef, kita pasti
memerlukan juga berbagai macam ilmu-ilmu modern
lainnya, dalam menyiapkan keberhasilan revolusi kita
nanti." "Apa sudah ada di dunia ini revolusi yang
menghasilkan Republik?" tanya emak penasaran.
"Ada, Mak, dan akan saya sebutkan dua yang
terpenting," jawab Mas Singgih dengan antusias. "Yang
pertama adalah revolusi Amerika. Bangsa ini
mengumumkan kemerdekaannya pada tanggal 4 Juli
1776 dan sekaligus mengadakan perang kemerdekaan
melawan Kerajaan Inggris yang ingin tetap
menguasainya. Keberhasilan revolusi di Benua Baru ini
sangat mengilhami rakyat Perancis untuk memberontak
terhadap penindasan raja dan kaum bangsawannya. Hal
ini terwujud berupa penyerbuan penjara Bastille, yang
dianggap sebagai lambang kekuasaan mutlak raja, oleh
rakyat jelata yang kalap pada tanggal 14 Juli 1789 dan
bendera raja diganti oleh bendera nasional. Namun
revolusi Perancis ini berjalan tidak selancar revolusi
Amerika yang mengilhaminya. Kekuatan monarki absolut
dan kasta feodal masih tetap ada dan terus merongrong
begitu rupa hingga pergolakan demi pergolakan saling
menyusul. Sejarah mencatat revolusi Perancis ini berjalan
dari tahun 1789 hingga tahun 1799. Walaupun begitu
yang ditetapkan oleh rakyat Perancis sebagai Hari
Nasional mereka adalah tanggal 14 Juli 1789 itu, yaitu
hari rakyat berevolusi menyerbu dan menguasai penjara
Bastille. Revolusi Perancis ini melahirkan suatu Republik
Uniter atau Negara Kesatuan, sedangkan revolusi
Amerika mencetuskan Republik Federal atau Negara
Serikat." "Apa bedanya?" Kak Marni bertanya tanpa
menengadahkan mukanya karena sibuk membuat
catatan. "Negara Serikat adalah sebuah negara besar yang
terdiri dari negara-negara kecil yang memiliki pemerintah
dan tata hukumnya sendiri-sendiri. Atau dengan
perkataan lain, adalah perserikatan beberapa negara
yang berdiri sendiri, yang bergabung menjadi satu, di
bawah dan di dalam sebuah organisasi kenegaraan
bersama. Ibukota negara ini adalah tempat kedudukan
pemerintah federal. Negara Kesatuan berpemerintahan
sentralistis. Bila di Negara Serikat, apa yang lokal
mendahului yang umum, di Negara Kesatuan berlaku
sebaliknya. Pemerintah Pusat, yang bertempat di
Ibukota, membawahi daerah-daerah yang bukan
merupakan negara-negara kecil yang menjadi bagiannya.
Di sini tidak ada undang-undang yang khusus untuk
sesuatu kategori penduduk. Hanya satu macam keadilan
yuridis untuk semua warga negara, tidak peduli asal-
usulnya, daerahnya, agamanya atau warna kulitnya.
Republik ini terdiri dari warga negara, bukan dari
kelompok-kelompok kehidupan atau communities."
"Kalau untuk kita kelak. Republik mana yang kiranya
paling cocok?" tanya bapak.
"Wah, sulit juga mengatakannya sekarang ini Pak
Joesoef. Setiap jenis Republik punya kelebihan dan
kekurangannya, maklum ciptaan manusia. Sejarah
pembentukannya pun berbeda-beda. Memilih model
demokrasi yang berkaitan dengan masing-masing jenis
Republik juga tidak segampang memilih merk sirup di
toko. Republik Perancis, misalnya, mewarisi dari monarki
yang dijatuhkannya suatu budaya sentralistis. Di situ
Negara Kesatuan yang mengadili konflik-konflik pribadi
dan menjamin keselarasan negeri secara keseluruhan
dengan menangani masalah-masalah pendidikan,
perhubungan, komunikasi, tata tertib umum, pengadilan
dan lain-lain. Sedangkan di Amerika Serikat hal-hal
tersebut menjadi urusan pribadi perorangan dengan
bantuan lawyers atau ahli-ahli hukum, sambil selalu
mencurigai kekuasaan yang berlebihan dari pemerintah
federal. Undang-undang Dasar negara ini menegaskan
jaminan hak-hak manusia terhadap pemerintahannya
sendiri karena menganggap kekuasaan pemerintahan
ada di tangan manusia yang pada dasarnya jahat.
Sebaliknya pendapat di Perancis, yang berdasarkan
kepercayaan bahwa manusia adalah baik tetapi
dipengaruhi oleh pernyataan di Amerika Serikat,
menciptakan di tahun 1789 Pernyataan hak-hak manusia
dan warga negara"Declaration des droits de 1'homme
et du citoyen"dengan maksud agar manusia tidak
dijauhkan dari hak kebebasan asasi. Dalam abad XVIII
dan XIX manifestasi hak-hak asasi manusia tersebut
dilaksanakan menurut politik yang berlaku di masing-
masing negara walaupun bunyi dan pengertiannya amat
universal. Maka menurut hemat saya, sambil
merenungkan lebih dalam bentuk Republik yang ideal
bagi kita kelak, mumpung masih ada waktu, kita
matangkan dahulu kebangsaan kita, saya maksud
keindonesiaan kita. Sebab negara secara esensial adalah
bangsa yang terorganisir. Dengan perkataan lain Negara-
Bangsa adalah bingkai mutlak dari organisasi besar-
besaran ini. Maka bangsa itu harus ada dahulu."
"Menurut Dik Leman, di tahun 1928 para pemuda kita
telah bersumpah dalam kongresnya di Betawi untuk
berbangsa satu, yaitu Indonesia. Untuk bertanah air
satu, yaitu Indonesia. Untuk menjunjung satu bahasa
persatuan, yaitu Indonesia." kata bapak. "Pokoknya
serba INDONESIA." "Ya Pak, begitulah kejadiannya," ditegaskan oleh Mas
Singgih. "Dan seperti telah saya katakan tadi, ada
beberapa studen asal Sumatra yang turut aktif
menyiapkan penyelenggaraan sumpah ini. Dalam
kesempatan itu telah diperdengarkan pula calon lagu
kebangsaan kita oleh penggubahnya sendiri, yaitu Wage
Rudolf Soepratman. Sebelum peristiwa penting ini teijadi
para pemuda dari berbagai daerah yang ada di Jawa
sudah mengadakan pula gerakan pembaruan dalam
berpikir dan bersikap, yaitu menggantikan semangat
kedaerahan dengan visi kebangsaan. Mereka tetapkan
organisasi kedaerahan mereka dengan nama Jong Java,
Jong Soematra, Jong Ambon, Jong Minahasa dan lain-
lain. Semua ini merupakan upaya yang positif bagi
pembentukan suatu Bangsa Indonesia , een
Indonesische Natie. Namun ketika saya dua tahun yang
lalu untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di bumi
Pulau Harapan ini, saya tidak menemukan Soematra,
tetapi Aceh, Melayu, berbagai macam Batak,
Minangkabau dan lain-lain."
"Kalau sekarang ini bagaimana?" tanya emak dan
bapak hampir serentak. "Kok rasanya belum berubah. Saya melihat sendiri
sentimen kedaerahan dan kesukuan masih jauh lebih
tebal ketimbang kesadaran kesoematraan, seperti yang
didengung-dengungkan oleh organisasi Jong Soematra,
apalagi kesadaran mengenai kebangsaan Indonesia.
Telah saya saksikan sendiri betapa tidak mungkinnya
perkawinan antara muda-mudi yang berbeda suku
walaupun dari agama yang sama. Sampai ada yang
bunuh diri. Masalah kebang-saan ini tidak dihadapi oleh
Amerika Serikat ketika ia hendak berevolusi dahulu,
apalagi Perancis. Bangsa Perancis sudah ada sebelum
rakyatnya membentuk Republik. Mereka sudah merdeka,
tetapi tidak berdaulat Demi merebut kedaulatan ini dari
tangan raja itulah mereka berevolusi. Rakyat Amerika
Serikat yang berevolusi memang berasal dari berbagai
bangsa di Eropa. Mereka dengan sadar dan sengaja pergi
ke Benua Amerika karena ingin memulai hidup baru yang
lebih baik, lebih menjanjikan, yang mereka rasa tidak
mungkin mereka peroleh di negeri dan lingkungan
bangsa yang mereka tinggalkan karena kebiasaan-
kebiasaan lama yang berlaku di situ. Jadi keinginan
membentuk sebuah komuniti kebangsaan yang baru
boleh dikatakan sudah merata di kalangan para imigran
tersebut apalagi di kalangan keturunan mereka yang lahir
dan dibesarkan di Benua Baru itu. Dan mengubah
keinginan itu menjadi kenyataan juga tidak terlalu sulit
bagi mereka karena sudah pindah lingkungan hidup,
sudah melepas diri secara fisik di samping secara mental,
dari tanah tumpah darahnya semula. Realitas sangat
membantu mereka untuk membuat masa lalu benar-
benar menjadi negeri yang lain, negara dan bangsa yang
berbeda sama sekali. Jadi lain halnya dengan rakyat kita.
Bagaimana kita bisa cepat mengajak mereka menghayati
sesuatu yang baru sedangkan mereka praktis tidak
pernah beranjak dari lingkungan yang lama, di mana
mereka lahir dan dibesarkan. Jangan-jangan mereka
menganggap kita hendak menjadikan mereka orang
asing di masyarakatnya sendiri."
"Lalu bagaimana Mas Singgih?"
"Lalu saya berkesimpulan, berdasarkan tingkat
perkembangan visi kebangsaan saat ini, yang sebaiknya
kita bentuk adalah suatu Republik Uniter, sebuah Negara
Kesatuan dan bukan suatu Republik Federal atau Negara
Serikat demi kekukuhan eksistensi kebangsaan
Indonesia. Andaikata sekarang ini kita bentuk Republik
Federal sebagai pengganti Hindia Belanda maka residensi
yang sekarang ada di Soe-matra pasti menjadi negara
bagian, karena penetapan residensi ini oleh Belanda
sangat ditentukan oleh keberadaan suku, seperti
Residensi Aceh, Residensi Tapanoeli, Residensi Soematra
Barat, Residensi Soematra Timur, Residensi Riau dan
lain-lain. Penetapan provinsi dan residensi di Jawa juga
banyak sedikitnya begitu. Maka di saat semangat
kebangsaan Indonesia masih jauh lebih tipis daripada
semangat kedaerahan/kesukuan, pilihan atas Negara
Serikat pasti akan menghancurkan eksistensi Bangsa
Indonesia. Garis-garis tapal batas negara-negara
bagiannya bukan lagi merupakan pemisahan-pemisahan
administratif yang membawa ukir dalam mozaik
Indonesia, tetapi menjadi retak-retak yang menimbulkan
belah." "Namun dengan membina satu kebangsaan, yaitu
Bangsa Indonesia, melalui pembentukan Negara
Kesatuan, kita kan tidak berniat melenyapkan
keberadaan suku-suku?" tanya bapak.
"Sama sekali tidak. Saya tahu persis setiap suku yang
ada di Hindia Belanda ini punya sejarah, seni-budaya dan
bahasa yang khas, bahkan masing-masing punya hukum
adatnya sendiri yang unik. Orang Aceh tidak perlu
mengurangi keacehannya untuk menjadi rakyat
Indonesia. Demikian pula halnya dengan orang dari
suku-suku lainnya. Bagi semua suku yang ada, bagi kita
semua, Indonesia adalah sesuatu yang ISTIMEWA, suatu
keistimewaan yang sama-sama kita bangun, milik kita


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama yang sama-sama kita junjung tinggi, our
common denominator. Jadi di Negara Kesatuan itu kelak,
corak kedaerahan dan ragam kesukuan yang ada, tetap
dihormati tetapi dalam persatuan tertinggi dari satu
bangsa, dari satu bahasa dan dari hukum perdata dan
pidana yang sama. Saya maksud mscheiden-heid van
plaatselijke tint, provineialisme en sukuisme, ya en
welerkent; maar binnen de opperste eenheid van een
natie, van een taal en van hetzelfde burgerlijk en
strafwetboek. Republik Uniter kita itu nanti menghormati
adat-istiadat dan budaya yang berlainan, tetapi
memperlakukannya sebagai minderheid, sebagai unsur
bagian yang diakui, dihormati, tetapi tidak menentukan
semua. Republik ini mengetahui tetapi tidak mengakui
apa-apa yang cenderung memecah-belah, memisah atau
menghancurkan komuniti warga, burgerlijke
gemeensehap, suku, kepentingan atau agama. Sebab
Republik ini terdiri dari warga negara bukan dari
komuniti. Individu-individu memang punya kekhasan-nya
masing-masing, tetapi warga negara tidak. Bila perlu
daerah-daerah yang ada di lingkungan Republik Uniter ini
diberikan hak-hak otonomi, namun harus dengan
persiapan-persiapan mental kebangsaan dan kemampuan
administratif yang cukup. Bila tidak pemberian otonomi
pada daerah-daerah ini akan melahirkan feodal-feodal
kecil baru." "Mas Singgih, kini kian jelas bagi saya pentingnya kata
"saudara" yang semakin sering digunakan oleh pemuda-
pemudi terpelajar sekarang ini," kata emak menyela
pembicaraan. Dari tadi dia lebih banyak diam, menjadi
pendengar yang baik saja. "Apakah bisa saya misalkan
negara dengan bahtera rumah tangga dan tali
persaudaraan yang Mas Singgih pujikan mampu
membentuknya itu bagai ikatan perkawinan yang
sanggup membina rumah tangga yang berhasil?"
Mas Singgih merenung sejenak sebelum menjawab.
"Saya pikir-pikir kok bisa Bu Joesoef. Ada guru besar
Belanda yang memberikan judul metaforis bagi bukunya
yang mengkaji seluk-beluk kenegaraan, yaitu Het Schip
van Staat atau Bahtera Negara. Ada lagi yang
memisalkan Negara dengan rumah tangga. Judul
bukunya Staitshuis-houding. Sementara saya melihat
adanya kemiripan antara tali persaudaraan dalam rangka
pembentukan Negara dengan ikatan perkawinan dalam
rangka pembentukan rumah tangga, yaitu kedua hal
tersebut secara esensial adalah suatu kontrak sosial.
Mengapa rupanya Bu Joesoef?"
"Begini Mas Singgih. Sebuah bahtera rumah tangga
berhasil, menjadi sempurna, bukan karena ikatan
perkawinan dari dua orang yang sempurna. Ia sempurna
karena pasangan laki-laki dan perempuan yang
membinanya melalui ikatan perkawinan itu menyadari
bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak sempurna
namun berusaha keras untuk menikmati perbedaan-
perbedaan mereka." Kami semua terdiam mendengar kata-kata ini. Kulihat
betapa bapak menatap emak dengan penuh kekaguman.
Aku tak akan pernah melupakan ucapan emak ini
walaupun puluhan tahun kemudian baru dapat benar-
benar memahami maknanya, yaitu setelah aku sendiri
membangun sebuah rumah tangga. Mas Singgih
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Saya pikir metafora tersebut baik sekali," kata
cendekiawan ini melanjutkan pembicaraan yang terputus
sejenak. "Dengan ini saya berani menyatakan bahwa Bu
Joesoef diam-diam merupakan seorang ibu rumah
tangga yang filosofis."
"Ah, masak!" emak sungguh terperanjat disanjung
seperti itu, apalagi oleh orang yang diakuinya benar-
benar terpelajar. "Benar, Mak, saya tidak bersenda-gurau," kata Mas
Singgih. "U bent werkelijk een filosoferende moeder de
vrouw. Izinkanlah saya nanti menyelitkannya sebagai
ilustrasi dalam pidato-pidato saya di muka umum."
Emak diam saja. Kami semua tersenyum. Di kesunyian
malam seperti ini suara orong-orong dan bunyi jangkrik
terdengar nyaring bertingkah-tingkah, bagai rebana me-
ngiringi kasidah, bak gayung bersambut kata beijawab.
Entah pesan apa yang hendak disampaikan oleh
serangga-serangga ini kepada sesama mereka dan
kepada kami. Kalau saja aku berilmu seperti yang dimiliki
oleh Nabi Soelaiman. "Kalau Pak dan Bu Joesoef tidak keberatan, saya
permisi istirahat dahulu," kata Mas Singgih menutup
pembicaraan. "Ya, ya, sebaiknya memang begitu," kata emak
membenarkan. "Mas Singgih kelihatannya sangat lelah
dan semakin batuk-batuk. Pasti kurang tidur. Lagi pula
anak-anak besok harus bersekolah."
Karena kami dengar batuk Mas Singgih semakin
menjadi-jadi, malam itu juga emak membuat obat batuk
dari ramuan berbagai daun dan akar yang sudah
dikeringkan, yang selama ini disimpannya di satu kotak
khusus. Bapak yang dimintanya mengantar ramuan
tersebut ke kamar Mas Singgih. Lama- kelamaan kami
dengar batuk itu kian mereda. Keheningan malam
akhirnya tidak terusik lagi hingga kami semua bisa
tertidur dengan nyenyak. Sesekali memang terdengar
berbagai suara binatang dari hutan tetapi telinga kami itu
sudah terbiasa dengan itu. Suara-suara itu sudah
merupakan bagian dari nyanyian malam bagi penghuni
kampung kami. (OodwkzoO) BAB 12 EMAK DAN KEMURNIAN BERAGAMA
Kali ini kesehatan Mas Singgih betul-betul terganggu.
Dia berjalan tertatih-tatih keluar kamarnya melulu untuk
ke kamar mandi dan jamban. Dengan persetujuan bapak,
emak setiap hari menyiapkan makanan untuk dia,
sebagaimana lazimnya makanan untuk orang yang
sedang sakit, walaupun dalam perjanjian kos pelayanan
seperti ini tidak ada dan Mas Singgih sendiri sudah
menunggak uang kosnya selama tiga bulan. Setelah
hampir sepuluh hari tergeletak sakit dia pergi lagi selama
kira-kira seminggu. Setelah dua hari kembali dari peijalanannya, baru dia
ikut duduk-duduk di serambi depan sehabis kami makan
malam. Dia sudah tidak batuk-batuk lagi, tetapi
badannya kelihatan lebih kurus dan mukanya agak pucat.
"Mas Singgih mungkin belum sehat benar," kata emak.
"Barangkali masih perlu istirahat lebih banyak lagi"
"Badan saya rasanya sudah segar kok," Mas Singgih
berusaha sekali menutup-nutupi kekurangannya. "Berkat
jamu dan masakan emak. Saya sangat berterima kasih
untuk semua itu." "Selaku orang tua, Bapak dan saya merasa tidak enak
kalau di rumah ada yang tidak sehat." kata emak
sungguh- sungguh. "Maka itu kami selalu menyimpan aneka ragam
ramuan obat. Syukurlah kalau ramuan ternyata mujarab
dan masakan saya sesuai dengan selera."
"Masakan emak enak sekali, ya sup ayam, ya gulai
daun ubi, ya gulai kepala ikan, ya semur daging dan
tahu, ya tauco ikan kembung, ya sambal teri-kacang, ya
tumis kangkung, pokoknya semua tanpa kecuali.
Bolehkah saya mendapat resepnya" Akan saya berikan
kepada Ibu saya di Jawa, beliau juga senang masak dan
enak juga." Emak tertawa. "Mas Singgih, saya cuma tahu bahan-
bahannya, tetapi takarannya yang persis tidak. Cuma
kira-kira saja. Kalau sedang masak saya hanya pakai
kasih sayang." "Wah, wah, ucapan emak ini sungguh menyentuh
perasaan." "Masak. Saya tidak bermaksud begitu. Yang hendak
saya katakan adalah bahwa saya rasa Ibu Mas Singgih
melakukan hal yang sama. Dan inilah rahasia mengapa
masakan beliau terasa enak. Beliau memasak untuk
keluarganya pasti dengan kasih sayang seorang Ibu."
"Sungguh Mak, selama ini tidak pernah terpikir oleh
saya sejauh itu " tak pernah teringat sampai ke sana."
"Emak kira sampai saat ini pun kasih sayang ibu itu
tetap menyertai Mas Singgih. Kalau kasih anak sepanjang
jalan, kasih ibu seumur hidup."
Mas Singgih merenung. "Saya jadi kangen pada Ibu
saya," bisiknya, nyaris tak kedengaran.
Kami semua membisu dan membiarkannya hanyut
dalam kerinduannya. Akhirnya bapak yang memecah
keheningan suasana dengan ucapan, "Mas Singgih,
minggu lalu, yaitu semasa Mas Singgih terbaring sakit
dan kemudian bepergian lagi selama beberapa hari, kami
sekeluarga berusaha membahas kembali bersama-sama,
sebisa kami, tentang semua ide dan masalah
kemerdekaan yang selama ini telah Mas Singgih
kemukakan. Ditambah dengan penjelasan dan uraian
yang dahulu pernah kami dapat dari Dik Soelaiman, kini
kami benar-benar merasa telah memperoleh
pengetahuan yang sangat mencerahkan. Pikiran sangat
jelas menjadi terbuka ke arah masa depan ?"
?" Syukurlah kalau begitu," kata Mas Singgih dengan
wajah berseri-seri. "Jadi saya tahu bahwa pemondokan
saya di sini ada gunanya juga " Saya maksud, bukan
hanya menjadi pengganggu ketenteraman hidup
keluarga Bapak dan Ibu Joesoef."
"Sungguh, sejak semula saya betul-betul merasa tidak
terganggu dengan kehadiran Mas Singgih di rumah
kami," kata emak menyela pembicaraan.
"Karena jalan ke depan menjadi semakin jelas,"
sambung bapak, "makin jelas pula bagi kami, orang-
orang kampung yang tidak bersekolah ini, betapa
persiapan kemerdekaan kita jadi terasa sangat sulit."
"Tidak begitu, Pak," tukas Mas Singgih. "Buat kami
yang telah bersekolah, telah terdidik formal, juga cukup
sulit. Apalagi kalau soal agama turut pula kita
perhitungkan. Dan, menurut saya, harus kita pikirkan
sejak sekarang ini. Daarom wil ik nu graag uw opittie
hebben over?" "Mas Singgih berbahasa Belanda," bapak menepuk-
nepuk tangan Mas Singgih bagai hendak membangunkan
dia, "saya tidak mengerti, emak juga tidak."
"Oh, maaf Pak dan Bu Joesoef, bukan disengaja. Saya
di sini sudah merasa seperti di rumah sendiri. Kalau di
rumah kami terbiasa berbahasa Belanda, juga dengan
teman-teman di luar rumah " untuk mengelakkan
bahasa Jawa yang njelimet bertingkat-tingkat " jadi
demi praktisnya saja " bukan untuk aksi-aksian. Saya
tadi hendak mengatakan, saya sekarang mohon
pendapat Pak Joesoef."
"Tentang apa," tanya bapak dengan nada tetap
ramah. Tentang agama, khususnya Islam dan hubungan
fungsionalnya kelak dengan negara kita bila merdeka
mbesook." "Pengetahuan saya tentang Islam saja tidak banyak
apalagi bila ia dikaitkan dengan kehidupan bernegara.
Mengenai kaitan ini saya dulu banyak belajar dari Dik
Letnan dan sahabat-sahabatnya. Sayang sekali mereka
semua sekarang ada di pembuangan Boven Digoel.
Sebaiknya kita berbagi pemahaman keagamaan dan
pengetahuan kenegaraan saja, dengan begitu kita bisa
saling belajar." "Begini Pak Joesoef. Di Betawi pemuda-pemuda Islam
terpelajar sudah mendirikan organisasi Jong Islamieten
Bond. Ketika masih menetap di sana saya rajin
menghadiri pertemuan dan diskusi yang diadakan oleh
organisasi ini. Ternyata tidak sedikit dari anggota-
anggotanya yang menghendaki supaya Indonesia yang
merdeka itu merupakan suatu Negara Islam."
"Ah, inilah yang mengherankan saya Mas Singgih.
Mereka terpelajar dalam hal apa"! Kalau keterpelajaran
mereka itu dalam pengetahuan kenegaraan, mereka kan
seharusnya sadar bahwa di negeri kita ini terdapat
berbagai macam agama di samping aneka ragam suku,
asal-usul dan budaya. Kalau nanti yang diunggulkan di
sini hanya satu agama, yaitu Islam, saya khawatir
Negara Indonesia akan pecah tidak lama setelah
terbentuk dan, lebih buruk lagi, tidak akan pernah
terwujud negara merdeka yang kita cita-citakan. Kalau
keterpelajaran mereka itu dalam pemahaman ilmu
keislaman, mereka seharusnya tahu bahwa konsep
Negara Islam tidak ada, baik di dalam Al Quran maupun
dalam As Sunnah." "Dengan perkataan lain, Pak Joesoef tidak sepakat
dengan pembentukan Negara Islam di sini?"
"Pasti tidak, khususnya di sini, di negeri kita ini.
Karena tidak fair. Di awal perkembangannya dahulu
semua agama menggunakan kekerasan, peperangan.
Ketika Islam mula-mula masuk ke negeri kita tidak ada
yang menentangnya. Padahal di sini ketika itu sudah ada
agama Hindu, Budha dan Kepercayaan yang ritualnya
benar-benar mencerminkan keberagamaan yang tulus,
membuat penghayatnya berbudi pekerti luhur, tidak
sembarangan menebang pohon, pantang mengotori
batang air. Jangankan buang air besar di sungai, buang
air kecil saja di situ sudah tabu. Kepercayaan ini sudah
dianut nenek moyang kita sejak ribuan tahun yang lalu
dan sangat toleran terhadap perkembangan agama-
agama lain di luarnya. Maka itu Kepercayaan ini tidak
memerangi kedatangan agama Hindu, Budha, Islam, dan
Kristen. Nah, sekarang, setelah Islam menjadi bertambah
besar, jauh melampaui agama-agama lainnya, kok


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penganutnya tiba-tiba ingin menjadikannya agama resmi,
langsung dikaitkan dengan kekuasaan. Inilah yang saya
sebut tidak fair, tidak pantas. Dahulu selagi kecil, masih
lemah, telah diterima dengan baik-baik, dengan tangan
terbuka tanpa senjata dan dibiarkan tumbuh oleh tuan
rumah. Sekarang setelah merasa besar dan kuat ingin
menjadi penguasa rumah. Sungguh tak tahu diri,
melupakan begitu saja semangat toleransi nenek
moyang." "Bagaimana dengan kehendak menerapkan Syariat
Islam?" "Sama saja Mas Singgih. Syariat adalah suatu
ketentuan tingkah laku, suatu moral yang digariskan oleh
para agamawan zaman dahulu. Ia memang didasarkan
pada Al Quran dan As Sunnah. Bagi orang atau golongan
tertentu ia dianggap lebih daripada sekadar suatu moral
tetapi merupakan suatu kerangka undang-undang, yaitu
sekumpulan hukum yang harus diterapkan oleh orang
muslim dalam kehidupan sehari-hari. Namun
kenyataannya ia dianggap tidak wajib. Menurut Dik
Leman, yang banyak membaca tentang hal ini, tidak ada
negara berpenduduk muslim di Timur Tengah, di mana
pun, yang menerapkannya. Sebagian besar dari mereka
bahkan menganggap penerapan itu sebagai suatu
langkah mundur, tidak sesuai dengan hukum dan
kehidupan modern. Saya khawatir keterbatasan
pemahaman tentang Syariat Islam, yang seharusnya
berlaku untuk keperluan diri sendiri, untuk kepentingan
perorangan, dipaksakan secara sepihak kepada orang
lain. Jangankan mengenai syariat sebagai keseluruhan,
mengenai sembahyang saja, misalnya, tidak boleh ada
paksaan." "Bukankah ia merupakan rukun Islam?" potong Mas
Singgih. "Ya, rukun yang kedua," jawab bapak. "Namun orang
tidak pantas menanyakan apakah saya sudah
sembahyang atau belum. Tidak ada keharusan bagi saya
untuk menjawab pertanyaan ini karena ia menyinggung
kebebasan pribadi. Sembahyang ini semata-mata
merupakan urusan saya. Jika saya sembahyang bukanlah
dengan maksud menunjukkan bahwa saya adalah
seorang muslim sejati tetapi demi menjalankan sungguh-
sungguh kewajiban saya sebagai seorang yang beriman.
Jika saya pergi ke surau atau ke mesjid bukan supaya
dilihat orang, bukan untuk menampang. Setahu saya
dalam Islam tidak ada paksaan. Tidak ada seorang pun
yang berhak memaksa kita untuk sembahyang. Di hari
kiamat nanti, di saat setiap orang dihidupkan kembali
untuk diadili perbuatannya, setiap orang akan berdiri
sendiri dalam mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya selagi hidup dahulu. Kita telah dibekali
dengan akal dan dengan akal ini kita bisa berpikir, bebas
memilih." "Walaupun begitu kan ada baiknya kalau kita
menganjurkan atau mengingatkan orang agar
bersembahyang "Tentu baik sekali dan untuk itulah diadakan azan
menjelang setiap waktu sembahyang. Kalau kita merasa
risi melihat ada tetangga yang tidak sembahyang, kita
kunjungi dia dan ajak dia bertukar pikiran dengan
menggunakan alasan-alasan yang didasarkan pada akal.
Ini namanya perbuatan ksatria. Yang tidak baik adalah
bila kita beramai-ramai membuat negara berkuasa untuk
memaksakan pelaksanaan ibadah tersebut. Ini namanya
perbuatan curang dan pengecut Curang karena memakai
agama sebagai dalih untuk memberikan kekuasaan pada
Negara dan pengecut karena kekuasaan publik itu
dipakai semata-mata untuk memaksakan kehendak
pribadi pada semua orang. Agama terpaut pada hak
asasi, di bidang privasi, atas keyakinan orang per orang,
yang tidak bisa dipaksa-paksakan."
"Tapi mereka yang menghendaki diterapkannya
Syariat Islam di negara kita kelak menganggap, bahkan
yakin, bahwa pelaksanaan syariat ini adalah ibadah, soal
keimanan. Dan sumber pertama dan utama dari Syariat
Islam adalah Kitab Suci Al Quran"
"Ah, itu artinya mereka memasuki bidang tafsir. Tafsir
adalah pemahaman terhadap teks, apa yang tercatat,
yang tertulis. Maka agama pada dasarnya adalah tafsir
tersebut yang dalam tradisi Islam adalah sama dengan
pergulatan di seputar teks-teks Al Quran. Sesudah Allah
tidak lagi mengirimkan rasul-Nya kepada manusia,
jumlah tafsir menjadi sebanyak jumlah pemahaman
orang-orang muslim. Kalau dalam bahasa orang Keling,
rambut sama hitam, pendapat beda-bedalah sahih."
Bapak yang sehari-hari berpembawaan kalem, tiba-
tiba menjadi bersemangat. "Dulu saya pernah tinggal di
Kampung Kubur yang langsung bersebelahan dengan
Kampung Keling," katanya. "Di antara tetangga saya ada
seorang Keling Islam, bernama Ayub Sattar, yang sangat
ringan tangan terhadap istrinya. Pada suatu sore dia
memukuli istrinya tidak hanya dengan tangan kosong
tetapi dengan kayu tangkai sapu. Istrinya menjerit-jerit
kesakitan dan hal ini saya lihat sudah sangat keterlaluan.
Beberapa penduduk pribumi lainnya juga menganggap
pemukulan ini sudah di luar batas kemanusiaan
mengingat ia dilakukan di muka anak-anak mereka
sendiri. Kami berusaha untuk melerai. Tangkai sapu yang
dipegang si Ayub saya rebut dan dia saya jorok ke dalam
rumah. Eee, tak lama kemudian dia keluar dengan
membawa Al Quran. Dengan mata yang merah bernyala-
nyala, jarinya yang hitam pekat dan kotor menunjuk
salah satu ayat dari surat An Nisak, yang bunyinya
membolehkan, membenarkan, seorang suami memukuli
istrinya. Jadi dia berbuat begitu sesuai dengan teks Al
Quran. Kami semua terperangah, bagaimana ayat seperti
itu bisa masuk di dalam Kitab Suci, Kitabullah."
Mas Singgih terdiam setelah mendengar cerita bapak
ini. Kami semua juga begitu.
"Ada lagi yang aneh mengenai peristiwa ini," bapak
melanjutkan ceritanya. "Si Ayub ini dibela oleh seorang
lelaki Keling yang beragama Hindu. Menurut dia sebelum
Inggris menjajah negerinya, seorang istri diharuskan
melompat ke pembakaran mayat suaminya supaya sama-
sama mati sebagai tanda setia. Namun hal yang
sebaliknya tidak berlaku. Pemerintah Inggris telah
melarang adat kebiasaan ini, tetapi sampai sekarang
perempuan di sana tetap bukan apa-apa di
masyarakatnya. Kalau mau kawin perempuan tetap harus
memberikan mahar kepada calon suaminya. Nah, semua
ini telah mendorong saya untuk membuat suatu
pemahaman sendiri." "Bagaimana pemahaman Pak Joesoef, kalau boleh
saya ketahui?" "Muslim bukanlah Islam dan ada perbedaan kalau kita
berbicara tentang Al Quran dan Islam. Muslim bukanlah
Islam itu sendiri karena suatu agama dihayati dan
dipraktekkan tidak dengan cara yang sama oleh para
penganutnya yang bertebaran di banyak tempat di
berbagai negeri. Berkaitan erat dengan ini, Islam meliputi
Al Quran, Hadis, ulama, ijmak dan budaya Arab serta
budaya setempat lainnya, peradaban dunia dan proses
perkembangannya. Dengan perkataan lain, masyarakat
Islam adalah masyarakat bersejarah. Namun Al Ouran
harus dilihat tersendiri dan AJlah yang menurunkannya
adalah jauh lebih besar daripada teks-teks agama itu.
Disadari atau tidak, budaya setempat turut
mempengaruhi pembentukan agama Islam apalagi dalam
penafsiran ajaran dan pesannya. Teks-teks agama itu
bukan kata-kata terakhir. Wahyu adalah suatu hal
sedangkan bahasa yang dipakai untuk meneruskannya
adalah hal lain lagi. Keterbatasan bahasa tidak mungkin
dapat merekam dengan tepat hakikat kehendak Tuhan
hingga teks agama dapat saja merupakan hasil budaya."
"Kalau boleh saya simpulkan Pak Joesoef, adalah
benar bahwa Syariat Islam bersumber pada nilai-nilai Al
Quran dan As Sunnah. Nilai-nilai ini diakui
berpembawaan normatif. Namun karena semua ini
bersifat sangat metajysich atau suprajysich, usaha-usaha
umat untuk menerapkannya membuat nilai normatif yang
beraspek absolut, terlepas dari ruang dan waktu, menjadi
beraspek relatif sangat terkait dengan pandangan hidup
setempat dan perjalanan waktu. Artinya, selagi Al Quran
dan As Sunnah itu langgeng, perjalanan Islam berupa
pemahaman umatnya di berbagai tempat dari masa ke
masa bersifat historis, kultural dan, karenanya, relatif.
Jadi jangan sekali-kali mencari-cari legitimasi teologis
untuk memaksakan tafsir pribadi. Adalah tercela bila
agama difungsikan sebagai dalih belaka. Kortom, pendek
kata, Islam ini tidak tunggal karena Islam adalah,
sekaligus, teks dan konteks, keyakinan dan hukum,
individu dan masyarakat, negara dan agama."
"Ya, bisa demikian bila diutarakan dalam bahasa
sekolahan. Yang penting adalah kita harus bersedia
menilai ajaran-ajaran Islam dari sudut pengaruh budaya
setempat dan peijalanan sejarah. Ambillah, misalnya, izin
laki-laki untuk beristri lebih daripada seorang. Di negeri
yang bergurun pasir seperti Arab, hidup matinya seorang
perempuan memang sangat tergantung pada laki-laki.
Tetapi di sini pasti tidak begitu. Dalam keberhasilan
berladang harus saya akui bahwa jasa dan tenaga
perempuan paling sedikitnya sama banyak dengan yang
telah disumbangkan oleh laki-laki. Dalam perang
melawan kompeni di Aceh perempuan ikut serta bukan
sekadar untuk menyiapkan makanan dan mengasuh
anak, tetapi bahkan turut dalam tampuk pimpinan.
Demikian pula cerita-cerita yang mengenai surga di mana
mengalir sungai-sungai madu dan susu. Ini kan betul-
betul mencerminkan kering-kerontangnya padang pasir.
Di negeri seperti ini, air saja sudah merupakan suatu
kemewahan, apalagi kalau di sungai itu mengalir madu
dan susu. Kemudian dikatakan bahwa di surga itu laki-
laki dikerumuni oleh para bidadari. Ini kan betul-betul
sesuai dengan angan-angan lelaki di negeri Arab yang
dikuasai oleh kaum laki-laki, yang dibesarkan dengan
cerita-cerita betapa nikmatnya Nabi Soelaiman punya
700 istri dan 300 selir, Nabi Daoed memiliki sejumlah istri
dan banyak selir. Kalau saya, yang adalah laki-laki, di
surga dihibur oleh para bidadari, bagaimana dengan
surganya kaum perempuan, surga dari dan untuk istri
saya, untuk si Nani, si Marni dan si Ani" Apakah akan ada
bidadara untuk mereka ini?"
"Lalu apa dan bagaimana surga itu menurut Pak
Joesoef?" "Saya pikir-pikir kok surga itu bukan menggambarkan
suatu tempat tetapi suatu keadaan. Hari ini kami
sekeluarga sedang berada dalam keadaan surgawi, besok
belum tentu kami berkeadaan demikian. Keadaan
tersebut dimulai hari ini. Artinya, soal tempat atau lokasi
menjadi tidak penting karena surga itu adalah suatu
keadaan batin atau rohani. Kita tidak perlu mati lebih
dahulu untuk dapat mencapai surga. Sudah tentu dalam
Al Quran ada janji-janji tentang surga ini. Kita tidak boleh
meragukan ada unsur kewah-yuan dalam teks agama,
namun hal ini tidak menghalangi kita untuk berpikir lain
mengenai teks tersebut. Kita berada di saat yang
berbeda dengan saat awal pembentukan agama Islam
dan hidup di lingkungan yang lain sama sekali dengan
lingkungan semula dari agama ini dan, jangan lupa, kita
pun sedang dan akan menghadapi masalah-masalah
kehidupan yang pasti tidak sama dengan muslim di
negeri-negeri lain. Jadi keyakinan, iman, adalah baik.
Namun iman yang dijadikan hukum, yang diberlakukan
untuk semua, siapa saja, nanti dulu."
"Di Kampung Kubur dulu pernah ada orang kita,
pribumi, yang masuk Islam hanya karena ingin punya
istri muda," emak memotong pembicaraan. Sejak awal
pembicaraan dia asyik mendengar saja. Namun kulihat
matanya bersinar-sinar di saat bapak berbicara,
menandakan apresiasi, kekaguman dan kasih sayangnya
pada suaminya ini. "Agama yang ditinggalkannya,
Katolik, katanya tidak mengizinkan penganutnya beristri
lebih dari seorang pada waktu yang bersamaan."
"Bukankah Islam menetapkan syarat-syarat untuk
membenarkan poligami ?" tanya Mas Singgih.
"Benar dan begitu ketat hingga yang Mas Singgih
sebut poligami itu nyaris tak mungkin teijadi. Tapi toh
dalam kenyataannya syarat-syarat itu sering diabaikan.
Belakangan saya dengar istri kedua itu telah ditalak
begitu saja oleh suaminya setelah melahirkan anak dua
orang. Sungguh kasihan, tetapi inilah nasib perempuan
yang tak punya harga diri, bersedia untuk hanya
dijadikan penghibur di rumah. Sekaligus dia merupakan
korban dari Hukum Islam yang membolehkan perceraian
antara suami-istri atas kehendak suami semata. Jadi
apakah penegasan pemberlakuan Syariat Islam akan
memasyarakatkan secara paksa adat-istiadat Arab yang
sangat tidak adil terhadap kaum perempuan,
yaitu hak suami mendera istrinya, hak laki-laki
mencampakkan begitu saja istri-ibu anaknya seperti
membuang kain plekat yang sudah kusam, kewajiban
perempuan untuk membungkus seluruh tubuhnya nyaris
seperti mayat bila keluar rumah" Kemudian katanya ada
hadis yang mengisahkan perempuan masuk neraka,
bukan karena tidak sembahyang tetapi karena tidak
berterima kasih pada sang suami. Saya masih ingat
ketika masih kecil ustad mengatakan keharusan istri
membasuh kaki suami yang pulang kerja dan kemudian
melap telapak kaki itu dengan rambutnya. Muak saya
mendengar semua itu! Yang harus kita lakukan justru


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan semua nilai dan adat-istiadat Arab dari
keseluruhan ajaran Islam, karena inilah yang pada
akhirnya merusak keindahan dan keilahian citra Islam,
dan bukan secara membabi buta memaksakan
pemberlakuan Syariat Islam yang berbau Arab
sebagaimana adanya."
"Bu dan Pak Joesoef, bagaimana kalau di Negara
Indonesia yang merdeka dan demokratis mbesook ada
yang berusaha membentuk Partai Islam mengingat orang
muslim di sini merupakan sebagian terbesar dari jumlah
penduduk?" "Nilai-nilai demokrasi tentu membolehkan
pembentukan tersebut," bapak cepat menjawab
pertanyaan Mas Singgih. "Namun saya pribadi tidak akan
mendukungnya, bahkan akan menentangnya. Karena
pertama, program aksi partai ini, yang tentunya
didasarkan pada ajaran dan pesan agama Islam, pasti
akan menjurus ke arah monopoli tafsir Al Quran.
Sedangkan Al Quran ini, Kitab Suci yang sama ini, telah
menimbulkan beijilid-jilid kitab tafsir dan beribu-ribu
kesimpulan pemahaman yang nyaris disucikan pula,
padahal adakalanya saling bertentangan. Ada risiko tafsir
partai yang dipaksakan kepada masyarakat, dengan dalih
keputusan suara terbanyak, memaknai teks-teks agama
secara harafiah, tidak menjawab masalah-masalah aktual
yang kita hadapi sekarang, tetapi berkukuh begitu saja
pada umpama-umpama awal bunyi teks Al Quran. Risiko
ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa Kitab Suci ini
bagi kita sekarang sudah ada secara langkap, tidak
seperti dahulu, ketika diwahyukan secara berangsur-
angsur kepada Rasul hingga jelas konteks penurunannya.
Dik Leman pernah mengungkapkan kengeriannya setelah
melihat betapa sejumlah pemuda dalam pertemuan di
Jong Islamieten Bond berteriak-teriak mempertahankan
ide pembentukan Darul Islam dengan memakai teks-teks
Al Quran secara harafiah sebagai dalih. Kemudian,
karena kelompok muslim yang berjumlah besar
mendirikan partai, kelompok-kelompok nonmuslim yang
masing-masing berjumlah kecil, demi mempertahankan
keberadaannya, pasti akan mendirikan pula partai
bersendikan agamanya sendiri, dengan menonjolkan pula
simbol-simbol dan ritual lahiriah masing-masing. Kalau
sudah begini garis pembeda kepercayaan berubah
menjadi jurang pemisah yang semakin sulit dijembatani.
Padahal demi ketenteraman dan kemantapan tegaknya
INDONESIA, diperlukan sekali membina koneksi antara
kebajikan-kebajikan yang dikandung oleh ajaran semua
agama dengan kebajikan masyarakat kebangsaan dan
membuhul koneksi tersebut dengan simpul-simpul iman,
percaya-mempercayai, komitmen dan tanggung jawab
bersama. Akhirnya, partai kan merupakan kendaraan
untuk tidak hanya meraih tetapi lebih-lebih
mempertahankan kekuasaan. Nah, kekhawatiran akan
kehilangan kekuasaan ini merupakan sumber dari hal-hal
yang dikutuk oleh semua agama, yaitu kebohongan guna
menutupi penipuan-panipuan sebelumnya, ancaman fisik,
tekanan mental dan penggelapan uang negara guna
membeli, menyuap dan mengikat pengikut"
"Maaf saya potong, hal-hal yang Pak Joesoef katakan
terakkir ini saya pikir juga inheren dengan gerak-tindak
partai-partai nonagama. Semua partai pasti ingin
berkuasa, tetap punya banyak simpatisan, tetap khawatir
kekuasaannya akan hilang."
"Benar Mas Singgih, tetapi partai-partai berbasis
agama, demi popularitasnya, tentu tak segan-segan
menyalahgunakan ayat-ayat Kitab Suci, ajaran
keagamaan, dipakai sebagai pembenaran aksi-aksinya.
Maka saya pikir sebaiknya penafsiran Al Ourati jangan
dijadikan urusan partai politik tetapi urusan pribadi,
ditanggapi sebagai hak setiap orang yang
mempercayainya bagai pemandu bagi privasinya.
Sedangkan partai-partai politik mendasarkan diri pada
ide, buah pikiran manusia, nilai-nilai kemanusiaan hakiki,
bukan nilai-nilai kemanusiaan primordial, dan terbuka
untuk diperdebatkan oleh sesama manusia berakal yang
dianggap duduk sama rendah dan tegak sama tinggi.
Misalnya ide tentang demokrasi, sosialisme, liberalisme,
buruh, tani, nelayan dan lain-lain."
"Bagaimana kalau paham komunisme sebagai dasar
kepartaian, Pak Joesoef?"
"Wah, kalau yang ini sangat mengkhawatirkan juga,
Mas Singgih. Dik Leman menjelaskan kepada saya
betapa ide diktator proletar yang berkaitan erat dengan
penegakan sistem pemerintahan komunis telah
menginjak-injak hak-hak asasi manusia. Dia
mendasarkan pendapatnya ini atas apa-apa yang terjadi
di Rusia setelah Partai Komunis berkuasa, di mana tujuan
menghalalkan cara betul-betul dijadikan pegangan
penguasa. Paham komunis ini juga mengingkari
keberadaan Tuhan. Dia pernah dua kali diundang melihat
jalannya rapat di Uni Kampong, wilayah pemukiman kuli-
kuli pelabuhan di Belawan. Di situ dia juga melihat
kefanatikan yang sama di kalangan buruh komunis
dengan kefanatikan pemuda wahabis di Jong Islamieten
Bond. Maka dia berkesimpulan bahwa pikiran-pikiran
ekstrem orang muslim dan pikiran-pikiran ekstrem orang
komunis, bila dibiarkan bebas berkembang demi
demokrasi, lama-kelamaan akan melumpuhkan
demokrasi itu sendiri. Sebab kedua-duanya akan
memonopoli tafsir mengenai kebenaran. Yang satu
dengan membawa-bawa nama Allah, yang lain dengan
mengatasnamakan proletariat Kedua golongan ini
memang berseberangan, bahkan saling memusuhi,
namun kedua-duanya sama-sama menghalalkan
kekerasan untuk mencapai tujuannya. Dan ini jelas tidak
sesuai dengan semangat demokrasi."
"Bila demikian, menurut hemat saya Pak Joesoef
menghendaki sebuah negara sekuler?" tanya Mas
Singgih. "Apa maksud dari kata sekuler ini?" bapak balik
bertanya. "Sekuler berarti tidak religius, tidak bersifat
keagamaan atau tidak berurusan dengan agama," jawab
Mas Singgih. "Apakah maksudnya tidak percaya pada adanya
Tuhan?" "Tidak, bukan begitu. Sekuler bukan berarti ateis.
Orang dapat saja percaya pada adanya Tuhan dan pada
waktu yang sama berpendirian sekuler. Kesekuleran ini
ditandai oleh fakta tidak memakai agama untuk
mendesakkan hukum-hukum yang mengenai kehidupan
manusia. Maka Negara sekuler adalah Negara yang tidak
mencampuri urusan agama dan praktek keagamaan. Di
sini setiap orang, setiap warga negara, berhak
bersembahyang di tempat ibadah pilihannya sendiri,
sesuai dengan petunjuk agama masing-masing. Turki
adalah negeri berpenduduk muslim yang pertama
menjadi Negara sekuler"
"Aha, Dik Leman pernah dulu mengatakan hal ini.
Sekarang saya ingat kembali dan semakin mengerti
duduk perkaranya. Di Negara sekuler bukan tidak ada
agama tetapi tidak ada satu agama pun yang mendapat
pengakuan pemerintah apalagi diresmikan menjadi
agama negara. Di Negara ini semua agama punya hak
hidup tetapi tidak satu pun yang boleh menguasai yang
lain. Kami, saya maksud Dik Leman dan beberapa
sahabat sepeijuangannya, pernah membahas hal ini
berhari-hari di rumahnya dan dua kali di rumah ini."
"Bagaimana kesimpulannya Pak Joesoef?"
"Kami menemukan beberapa ayat Al Quran yang
kiranya membenarkan kesekuleran ini. Ada ayat ke-6 dari
surat Al Kafirun yang mengatakan bagimu agamamu dan
bagiku agamaku. Dari sini jelas bahwa keyakinan
keagamaan jangan saling bertengkar tetapi saling
menghormati. Lalu ada ayat ke-256 dari surat Al Baqarah
yang mengatakan tidak ada paksaan dalam agama. Ini
kan berarti tidak ada keharusan untuk mewajibkan orang
menjadi muslim dan untuk memaksa pemeluk agama
Islam bertingkah-laku menurut petunjuk yang digariskan
oleh suatu kekuasaan atau oleh seorang penguasa.
Kemudian ada ayat ke-56 dari surat Al Qashash di mana
Allah berfirman bukanlah engkau (Ya Moehammad) yang
menuntun orang yang kau kehendaki tetapi Allah yang
menuntun siapa yang dikehendaki-Nya. Teks ini jelas,
Islam tidak mengharuskan seorang pun untuk
mempercayai pesan pribadinya, setiap orang berhak
punya keyakinannya sendiri dan dihormati sebagaimana
dia harus menghormati keyakinan orang-orang lain dan
akhirnya tidak ada seorang pun punya hak menggantikan
Tuhan untuk memberikan petunjuk kepada orang-orang
yang beriman. Akhirnya masih ada ayat ke-13 dari surat
Al Hujuraat yang menegaskan bahwa Allah telah
menciptakan kita dari laki-laki dan perempuan, telah
membuat kita menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku,
agar kita semua saling mengenal. Lagi-lagi jelas betapa
Allah subhanahu wa taala telah mengisyaratkan kita agar
berbaur, saling menyempurnakan, justru karena kita
berbeda satu sama lain selaku makhluk, bangsa dan
suku, dengan duduk sama rendah dan tegak sama
tinggi." "Mas Singgih, saya dulu mengikuti terus dengan
saksama masalah ini ketika dibahas di sini," emak
memotong lagi pembicaraan. "Selain isi pembahasannya
bisa memperluas pandangan hidup saya, saya tidak mau
sampai tidak mengetahui masalah umum yang
dibicarakan di rumah saya. Maka setelah saya renungkan
masak-masak, saya rasa saya punya kesimpulan sendiri
tentang hal keagamaan yang cukup peka ini."
"Apa itu Bu Joesoef?"
"Begini. Semua agama, tanpa kecuali, mengajarkan
yang serba baik bagi kehidupan kita. Bahkan tidak hanya
terbatas pada hubungan antara sesama makhluk
manusia, tetapi meliputi pula perlakuan Khalifah Tuhan
ini terhadap makhluk binatang dan sikapnya terhadap
alam sebagai keseluruhan. Maka alih-alih saling berebut
menonjol-nonjolkan simbol agama masing-masing, saling
menyombongkan kelebihan agama masing-masing, saling
memamerkan bentuk-bentuk keimanan masing-masing,
para penganut agama lebih baik membuat agamanya
seperti garam saja, menyatu dan lebur dalam makanan,
dapat dirasakan kebaikan manfaatnya serta ketepatan
pemerataannya, tanpa kelihatan sedikit pun
kehadirannya. Bukankah setiap agama seharusnya
menjadi rahmat bagi kita semua. Jadi kalau Islam mau
dibuat maslahat bagi manusia, janganlah ia disendirikan
bagai garam dalam botol Arab yang pantang disentuh,
tetapi dibiarkan lebur menyatu dengan semua bahan
yrag membuat makanan sempurna lezat."
Mas Singgih bagai tersentak bangun oleh ucapan
emak ini. "Wadduuuh Bu Joesoef, wat een idee" wat
een idee katanya sambil menatap emak dan bapak
berganti-ganti. "Dit is pas een verstandige gedachte van
een JilosoJerende moeder de vrouw."
"Mas Singgih, saya tidak paham bahasa Belanda," kata
emak. "Maaf ya, Mak. Perkataan-perkataan itu keluar begitu
saja secara spontan dari mulut saya. Artinya, kesimpulan
emak ini merupakan buah pikiran yang bijaksana, pasti
lahir dari seorang Ibu yang berpikiran dalam, dari
seorang perempuan yang terhormat, yang luar biasa."
"Terima kasih atas sanjungan ini. Saya khawatir Mas
Singgih agak berlebihan," kata emak merendah.
Tidak, Mak. Sama sekali tidak berlebihan," kata Mas
Singgih. "Mak, saya bangga, benar-benar tidak keliru, kalau
minggu yang lalu saya nyatakan "u bent een filosofirende
rnoeder de vrouw". Akan saya katakan kebijaksanaan Bu
Joesoef ini nanti kepada siapa pun di Jawa."
"Padahal saya merumuskannya hanya dari
pengalaman memasak makanan sehari-hari," kata emak
menjelaskan. "Juist daarom Mak, saya katakan u bent werkelijk een
moeder de vrouw. Semua istri praktis masak setiap hari,
tetapi hanya Emak yang bisa menemukan perbandingan
yang begitu indah dan bermakna."
Bapak diam saja. Kini kulihat giliran dia yang menatap
emak dengan penuh kekaguman. Pertemuan diakhiri
karena Mas Singgih kelihatan sudah payah sekali. Jelas
bahwa kesehatannya belum pulih sama sekali, bahkan
dapat dikatakan telah jauh menurun.
(OodwkzoO) BAB 13 Emak dan keindahan pluralisme
Di malam berikutnya kami berembuk kembali. Kali ini
Mas Singgih ingin memusatkan pertukaran pikiran pada
masalah hubungan antara agama dan politik.
"Apakah diskusi Pak Soelaiman dengan teman-
temannya, di mana Pak Joesoef pernah ikut, ada
menyinggung hubungan antara agama, khususnya Islam,
dengan politik?" tanyanya membuka pembahasan.
"Ya, karena menurut dia, sama dengan Mas Singgih,
Negara adalah Bangsa yang terorganisir dan berpolitik,"
jawab bapak. "Kalau Negara ini adalah sekuler, maka
seharusnya agama dan politik dipisahkan. Lebih-lebih
mengingat Islam mengatur kehidupan manusia secara
lebih langsung dibandingkan dengan apa yang dilakukan
oleh agama-agama lain, misalnya Kristen. Dari
pengaturan seperti itu pintu terbuka lebar bagi
pertarungan dan kekerasan. Sedangkan politik biasanya
merupakan pertarungan untuk dan demi kekuasaan. Hal


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini sudah terjadi begitu Rasulullah wafat. Pertarungan
meletus antara kelompok Abu Bakar dan kelompok Ali bin
Abu Thalib untuk memperebutkan kedudukan khalifah.
Inilah awal dari perseteruan yang tak kunjung padam
antara para penganut paham Sunni dan Syiah dimana
agama diketengahkan sebagai dalih sedangkan yang TZ
sebenarnya adalah kekuasaan. Jadi agama Islam de-nZ
mudah dipakai oleh pihak muslim yang punya kepen-wan
dan ambisi lain. Itulah sebabnya mengapa saya, di
samping menginginkan Negara sekuler, sepakat pula
untuk memisahkan agama dengan politik Sebab selama
yang berkuasa atau memerintah mendasarkan din pada
agama, kita rakyat, akan menghadapi masalah berat,
yaitu pemaksaan dan penyakit masyarakat yang pasti
ditimbulkan oleh pemaksaan ini, seperti tekanan formal,
tindakan menakut-nakuti fitnah kolektif, kecemasan,
pembodohan." "Pendapat tentang hubungan antara negara dan
agama serta antara agama dan politik sudah saya jajaki
di kalangan umat Islam di berbagai tempat di Jawa dan
Sumatra. Saya khawatir pendapat Pak Joesoef yang
rasional, redelijk dan sangat maju ini, yang saya setujui,
tidak akan mendapat dukungan banyak suara di negeri
kita ini. Saya maksud, sulit menjadi suara mayoritas,
akan terpencil." "Mas Singgih, soal untuk mengetahui apakah suatu
pendapat benar atau keliru adalah satu hal, sedangkan
untuk mengetahui apakah pendapat tersebut mayoriter
adalah hal lain lagi. Kalau orang menjadi terpencil bukan
dengan sendirinya berarti dia keliru. Yang benar dan
yang keliru tidak datang dari politik, apalagi politik-Islam-
hanya-satu dan yang satu ini menurut penafsiran dan
pemahaman para pendukungnya belaka. Sedangkan
yang benar dan yang keliru itu berasal dari nurani. Waktu
si Daoed kami masukkan ke HIS dulu banyak orang
kampung ini yang memencilkan kami. Tapi kami jalan
terus karena nurani kami membenarkannya. Kami berani
menentang siapa pun dan apa pun kecuali nurani ini
karena ia merupakan persemayaman Ilahi di diri kami."
Kami semua terdiam mendengar kata-kata bapak yang
begitu tegas dan diucapkan tanpa ragu-ragu. Dalam
hatiku aku sangat mengaguminya. Bapak, seorang yang
bukan tokoh masyarakat, seorang penduduk biasa, yang
dengan kekurangannya-buta huruf Latin, tidak pernah
bersekolah"punya pemahaman tersendiri tentang
agama dan ne"gara serta negara dan politik, yaitu
masalah yang kudengar dibahas terus-menerus tak
berkesudahan digedung Islamieten Bond dan Jong
Sumatra. Sungguh aku mengaguminya sebagai suatu
pribadi yang menyeluruh, yang anggun dalam
keutuhannya. "Pak Joesoef tadi mengatakan penyakit masyarakat
yang ditimbulkan oleh pemaksaan agama berupa
tindakan menakut-nakuti. Saya pikir yang bapak
maksudkan lah intimidasi, bukan?" ucapan Mas Singgih
memecahkan keheningan suasana. "Namun mengapa
akan ada pula kecemasan dan pembodohan?"
"Kecemasan ini terutama terkait dengan nasib dan
kedudukan perempuan. Kelompok yang menghendaki
pemberlakuan Syariat Islam atau penegakan Negara
Islam pasti menolak ide kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki, tetap mempertahankan poligami dan hak
laki-laki menjatuhkan talak, tidak mau menerima hak dan
kebebasan perempuan menentukan nasibnya sendiri
serta hak-hak politik yang lazim berlaku di suatu
Republik, seperti hak memilih dan dipilih menjadi
pemimpin dan lain-lain lagi. Lalu bagaimana dengan hak-
hak politik kaum minoritas yang sudah lama ada di
negeri kita ini, apakah bisa sama dengan kelompok umat
Islam yang mayoritas" Sejauh yang mengenai
pembodohan, sekarang saja di saat Syariat Islam tidak
diberlakukan sudah terlihat adanya gejala-gejala ini.
Gubernemen pernah berusaha mendirikan satu sekolah
untuk beberapa kampung yang berdekatan, jauh di luar
kota Medan. Setelah setahun beijalan muridnya tidak
lebih dari lima orang, itu pun kadang-kadang datang
kadang-kadang tidak. Akhirnya gubernemen menutup
sekolah ini tanpa menyesal. Belanda saya kira malah
senang kalau rakyat kita tetap bodoh. Yang seharusnya
menyesal, yaitu penduduk dari kampung-kampung yang
bersangkutan, malah tidak peduli. Belakangan saya
dengar orang tua-orang tua takut mengirim anak-
anaknya ke sekolah-sekolah umum karena di
kampungnya itu sudah ada madrasah. Mereka takut ka-
lau-kalau nanti dimusuhi oleh alim-ulama kolot pengasuh
madrasah. Sedangkan pelajaran di madrasah yang
diberikan sejak pagi hingga siang hari, jadi bersamaan
dengan jam-jam belajar di sekolah umum, semata-mata
mengenai pengetahuan keagamaan yang berpusat pada
Al Quran. Dalam mempelajari Kitab Suci ini anak-anak
dibiasakan untuk menghafal di luar kepala ayat-ayat
yang ada termasuk mengingat-ingat arti harafiahnya.
Sedangkan kita tahu Quran memungkinkan adanya
tafsiran-tafsiran yang berbeda. Pengetahuan-
pengetahuan umum yang bersifat nonagama tidak
diajarkan karena pada umumnya dianggap sebagai
pengetahuan yang fana, tidak menyiapkan manusia
untuk hidup semestinya di alam baka kelak. Hanya
agamalah yang mereka anggap menjawab semua
persoalan hidup. Bahkan ada yang berani berujar,
katanya mengutip ucapan Umar bin Khatab, musnahkan
semua buku karena Al Quran sudah membahas semua
dan segalanya." "Bila demikian Pak Joesoef, di bidang pendidikan juga
harus ada pemisahan antara agama dan politik. Juga di
bidang ini tidak boleh ada sekelompok warga yang
memakai undang-undang, hukum, polisi, pengadilan,
buku pelajaran, sebagai alat mendesakkan keyakinan
khasnya menjadi kewajiban umum. Di bidang ini harus
jelas dibedakan antara apa-apa yang mengenai
kepentingan umum, yaitu publik, dan apa-apa yang
khusus, yang menyentuh keanekaragaman, yaitu
komunitas. Yang bersifat umum ini adalah hal-hal yang
pasti, dapat diverifikasi, bisa didemonstrasikan, yang
tidak dapat ditolak oleh siapa pun, seperti pengetahuan
ilmiah, nalar. Dengan perkataan lain, sekolah-sekolah
umum hanya mengajarkan hal-hal yang dapat diketahui
atau apa yang dapat dipahami oleh siapa pun. Yang
bersifat aneka ragam adalah opini, keyakinan,
kepercayaan, yang berlaku hanya bagi sebagian dari
keseluruhan warga. Maka pemisahan antara politik
dengan agama ini di bidang pendidikan jelas membuat
pembatas antara "apa yang saya ketahui" dengan "apa
yang saya yakini", antara bidang penalaran dan bidang
kejiwaan. Inilah yang kiranya disebut sistem pendidikan
sekuler." "Ya, saya yakin memang begitulah seharusnya, Mas
Singgih. Kita kan tahu Islam lahir 14 abad yang lalu.
Dalam ajaran-ajaran dan teks-teksnya ada nilai-nilai yang
abadi, berlaku sepanjang masa. Namun ada juga hal-hal
yang berkaitan dengan zaman kelahirannya dan yang
tidak sesuai lagi dengan masa kini, katakanlah zaman
modern." "Dan orang-orang muslim fanatik, para wahabis, ingin
kembali ke zaman Rasulullah karena memahami pesan-
pesan Muhammad SAW secara picik, sangat skematis
dan karikatural," sambung Mas Singgih.
"Maka bila tidak ada kebebasan untuk mempelajari
Islam ini bagaimana kita dapat menyentuh hal-hal yang
abadi dan yang sepintas itu," kata bapak lagi. "Jadi perlu
ada sistem pendidikan yang bisa mengatakan kepada
anak-anak bahwa mereka ini tidak lagi hidup di zaman
Rasulullah. Pendidikan ini harus bisa memberikan kepada
anak-anak kemampuan dan cara agar mereka bisa
membentuk pendapatnya sendiri. Adalah penting sekali
memberikan kebebasan pada anak-anak agar mereka
tidak dipengaruhi oleh kefanatikan agama apa pun.
Dengan perkataan lain, dengan tetap menjunjung tinggi
pesan-pesan Rasulullah, dengan tetap percaya pada
adanya Allah, manusia muslim punya hak untuk
berkembang, yaitu untuk menyesuaikan diri pada
kehidupan kekinian atau modern tanpa membatalkan
kepercayaannya pada nilai-nilai fundamental yang
dipegangnya." "Artinya, hal-hal yang menyangkut kepercayaan tetap
perlu diajarkan kepada anak-anak di Negara sekuler yang
pendidikan formalnya juga bersifat sekuler?" tanya Mas
Singgih. "Tentu perlu, perlu sekali," jawab bapak. "Namun ini
adalah kewajiban orang tua dan kewajiban ini tidak boleh
diambil alih begitu saja oleh negara atau pemerintah
melalui sekolah-sekolah umum yang harus didirikannya
aan yang menjadi urusannya. Sebab pada kewajiban ini
mdekat suatu hak khusus yang tak terpisahkan. Adalah
hak setiap orang tua untuk mempercayakan pendidikan
agama anaknya pada orang atau lembaga yang
dipercayainya dan lingkungan komunitasnya, bila mereka
tidak dapat dl lakukannya sendiri. Saya wajib, misalnya,
memberikan pendidikan agama yang benar kepada anak-
anak saya, dan untuk ini, saya punya hak mutlak untuk
memilih orang atau lembaga pembelajaran yang tepat
untuk keperluan itu. Kalau nanti ternyata anak-anak saya
keliru dalam beragama, dalam beriman, sayalah yang
mempertanggungjawabkan kekeliruan itu pada Allah,
saya sendiri dan bukan Negara, pemerintah, madrasah
atau ustad. Jadi setiap orang tua di samping bertugas
membesarkan anak-anaknya, memberikannya pendidikan
umum, masih wajib menyiapkan mereka menjadi
mukmin sejati, yaitu orang yang keagamaannya
berpembawaan manusiawi, yang toleran, tidak fanatik,
yang mendatangkan keselamatan bagi dirinya dan bagi
orang-orang lain, yang memberikan keamanan bagi
dirinya dan orang-orang lain. Bukankah dalam kata Islam
ada istilah salam, yaitu damai, penyerahan diri pada
perdamaian, suatu suasaha kehidupan yang selalu
didambakan manusia di mana pun dan kapan pun."
"Namun, Pak Joesoef, saya pikir-pikir kok rasanya sulit
sekali, hampir tidak mungkin, memisahkan agama
dengan politik, lebih-lebih kita yang sejak dahulu
dibesarkan oleh nilai-nilai religius. Maka selalu ada
kecenderungan mendasarkan politik atas nilai-nilai akhlak
yang terkandung dalam agama."
"Kecenderungan itu baik sekali, Mas Singgih, dan pasti
menyehatkan bagi kegiatan politik yang selalu mengacu
pada perebutan kekuasaan. Namun yang harus diingat
bukanlah nilai- nilai akhlak yang terkandung dalam
agama tetapi dalam agama-agama, dan kepercayaan
religius yang ada ditanah air kita Kalau saja kita tidak
memicikkan diri, kita pasti dapat menikmati ajaran
agama lain dengan tak usah beralih ke agama yang kita
hargai itu. Dengan perkataan lain, jangan mendesakkan
nilai-nilai akhlak agama kita sendiri kepada pengikut dari
agama-agama lain. Kalau kita kaum muslim hendak
membangga-banggakan akhlak yang berasal dari ajaran
Islam boleh-boleh saja. Tunjukkanlah sikap dan tingkah-
laku yang hendak dijadikan contoh itu. Kalau menurut
saya, selaku muslim yang beijumlah besar, agar kita bisa
menjadi mukmin yang pantas diteladani, jadikanlah diri
sendiri orang yang pada pokoknya tidak mencuri, tidak
berdusta, tidak munafik, tidak memukul orang yang
lemah dan sakit, tidak mempermalukan orang yang tidak
punya apa-apa, tidak menyia-nyiakan orang tua kita,
tidak bertindak secara tidak adil, tidak berkhianat dan
lebih-lebih, mencintai Tanah Air. Bukankah Rasulullah
mengingatkan bahwa cinta Tanah Air adalah bagian dari
iman. Bila kita nanti merdeka berarti kita tetap lahir
sebagai manusia dan sekaligus menjadi warga negara,
menjadi rakyat. Maksud saya kemerdekaan adalah
kewajiban bukan melulu anugerah."
"Pak Joesoef, sesudah saya peiajari republik-republik
hasil revolusi Amerika dan revolusi Perancis, saya
berkesimpulan bahwa yang disebut Republik itu sebagian
besar merupakan sejarah, sedikit doktrin dan, lebih-lebih,
suatu cara eksistensi. Jadi Republik ini dapat dikatakan
tidak pernah terwujud. Ia bahkan tidak terwujudkan,
onre-aliseerbaar. Kedua, Republik yang ada itu adalah
gambaran, ontwerp, yang serba relatif dan tidak sebaik
asas-asas pembentukannya, pendiriannya. Ide dan
kenyataannya sangat jauh berbeda. Saya pikir-pikir
Republik kita itu kelak akan menjadi seperti itu juga.
Namun kalau kita tetap mengingat ide tersebut, tidak
pernah melepaskannya, kita akan dapat merasakan
kepincangan dari kenyataan-kenyataan yang ada dan
akan selalu berusaha memperbaikinya. Ide republiken itu
merupakan sinyal di kejauhan yang mengingatkan kita
untuk selalu bergerak maju dijalan yang benar. Bagai
suatu tugas yang harus dilaksanakan, tak berkesudahan,
Selalu ontijdig dan tanpa garansi keberhasilan. Maka itu
pak Joesoef, saya hampir yakin bahwa dalam usaha-
usaha Penyempurnaan Republik itu kelak akan muncul
lagi masalah-masalah Negara Kesatuan, Negara Federal,
suku, asal-usul, kedudukan serta peran agama. Maka
penting dari sekarang didengungkan ide persatuan dan
kesatuan di antara kita, sebagai visi perekat dari mosaik
Indonesia Raya. Persatuan mempunyai makna menerima
adanya perbedaan-perbedaan dengan tulus ikhlas, penuh
toleransi. Kesatuan bermakna menyatukan dan
menegakkan kesamaan."
"Benar sekali Mas Singgih. Maka karena hal-hal
tersebut sudah bisa diduga sebelumnya, jauh-jauh hari


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah harus kita siapkan langkah agar setiap usaha
penyempurnaan tidak akan membuat gambaran republik
ini malah menjadi mentah kembali."
"Langkah persiapan ini, Pak Joesoef, tidak bisa lain
terletak di bidang pendidikan. Saya jadi teringat relevansi
usaha-usaha Drs. Mohammad Hatta begitu kembali dari
negeri Belanda dahulu. Dia memotori gerakan politik
berupa Pendidikan Nasional Indonesia, pendidikan yang
meliputi berbagai bidang kehidupan secara serentak,
simultaan." "Dik Leman pernah mengatakan hal ini kepada saya.
Dia pengagum berat dari Bapak Pergerakan Nasional
tersebut yang juga dibuang ke Tanah Merah oleh
Belanda. Mengingat langkah pendidikan yang diikhtiarkan
oleh Drs. Mohammad Hatta dalam jangka panjang punya
efekyang jauh lebih berarti bagi semangat dan
kemampuan kebangsaan daripada langkah pengerahan
massa yang digerakkan oleh Ir. Soekarno, dia menduga
Belanda sebenarnya lebih gentar pada Hatta ketimbang
pada Soekarno. "Ya kesan saya Bung Hatta tidak senang pada getusah
gerusuh. Dia selalu mau dalam memimpin pergerakan
nasional yang systematis, fiest thing first. Bagi dia dalam
memimpin pergerakan nasional yang diutamakan adalah
pembentukan kader melalui berbagai kursus. Dalam
rapat umum untuk mengadakan agitasi, tetapi sangat
dititikberatkan nada pemberian petunjuk melalui analisis
dari realitas yang dihadapi. Nah, saya jadi teringat.
Republik dimulai dengan habeas corpus, yaitu jagalah
dirimu, tidak ada seorang pun yang boleh menangkapmu
dengan sembarangan. Namun hal ini baru akan benar-
benar berkembang, dihayati sepenuhnya, menjadi efektif,
bila ada habeas mentem, yaitu kuasailah kesadaranmu.
Berarti dalam pembentukan Republik, hak atas
keamanan atau kepastian, veiligheid, zeker-heid, perlu
segera ditambah dengan hak atas pendidikan."
"Bagus sekali itu," ujar bapak memotong ucapan Mas
Singgih. "Berarti ada kewajiban bagi Republik untuk
mendirikan sekolah-sekolah umum sebanyak mungkin.
Sewaktu masih muda dahulu saya terpaksa merantau ke
negeri orang dan ketika hendak kembali ke kampung
halaman melewati beberapa bagian negeri kita. Di setiap
tempat saya lihat pada umumnya kaum muslimlah yang
paling terbelakang dan miskin. Sebagian terbesar karena
ulah mereka sendiri. Selagi remaja hampir seluruh
waktunya dipakai hanya untuk mengaji. Pengetahuan
umum dijauhi oleh orang tua mereka karena dianggap
berpembawaan Kristen, ilmunya orang-orang kafir. Bila
karena itu mereka menjadi tertinggal jauh di belakang
kaum nonmuslim yang berilmu tersebut di hampir semua
bidang kehidupan, mereka menjadi cemburu, menyalah-
nyalahkan orang-orang yang dianggap kafir tersebut,
menjadi pembenci dan semakin fanatik. Padahal yang
seharusnya mereka benci adalah kepicikan sikapnya
sendiri." "Dan padahal tidak sedikit dari ilmu-ilmu yang mereka
jauhi itu pada awalnya adalah hasil terjemahan, binaan y
pikiran kaum muslim," Mas Singgih mengambil alih
pembicaraan. "Zaman keemasan Islam selama lebih
kurang 350 tahun terus-menerus, dari tahun 750 hingga
tahun 1100, adalah identik dengan masa berjayanya
filosofi dan ilmu yang dikembangkan oleh peradaban
Islam. Di masa itu bermunculan ilmuwan-ilmuwan yang
berfilosofi. Saya katakan peradaban Islam karena tidak
semua dari mereka adalah kelahiran Arab. Al Razi berasal
dari Iran, Ibnu Sina lahir di gurun Asia Tengah. Al Farabi
lahir di Turki dan guru-gurunya adalah filosof-filosof Arab
Kristen di Bagdad yang merupakan lulusan-lulusan akhir
dari sekolah Kristen di Alexandria, sedangkan Ibnu Rosh
lahir di Kordoba. Al Kindi, seorang filosof kelahiran kota
Kuffah di Irak, yang beraliran rasionalis, menuntut
keseimbangan manusia dalam berpikir, bersikap dan
berperilaku. Yang unik adalah Al Khwarismi, kelahiran
Bagdad, seorang matematikus, astronom. Dia jelas
beragama Islam, berbahasa Arab, namun mengaku
berpikir seperti orang Hindu dan Yunani Purba dan
Yahudi. Dan di karya-karyanya yang berpengaruh sangat
jauh dan mendalam jelas tercermin buah pikiran orang-
orang Hindu, Yunani, Yahudi dan, bahkan, pemikir
matematis zaman Babilonia."
"Walaupun begitu zaman keemasan itu toh berhenti
juga," desis bapak. "Yang kurang apa lagi?"
"Dekadensi, kamerosotan Islam yang terjadi sesudah
zaman keemasannya justru karena filosofi dan ilmu itu
sendiri tidak digubris lagi, terutama oleh penguasa
negeri," ujar Mas Singgih. "Sementara filosofi dan ilmu
tersebut terus diajarkan di perguruan-perguruan tinggi
Eropa, ia tidak diajarkan dan tidak dikaji lagi di dunia
arab-muslim yang dulu telah mengembangkannya.
Sebagai pengganti nalar yang berusaha memberikan
logika tertentu pada kepercayaan, sebagai pengganti
filosofi yang mengajarkan metode, semangat kritis dan
refleksi yang menguak aneka ragam cakrawala dan
pemikiran dari bangsa-bangsa lain bagi para penganut
agama Islam, kaum muslim hanya mengajarkan agama
Islam, tak lain daripada kepercayaan keislaman.
Sedangkan bicara mengenai agama adalah bicara
tentang kepercayaan/keyakinan. Dengan begitu orang
beralih dari tradisi keterbukaan terhadap dunia ke suatu
isolasi, pengasingan, suatu ketertutupan diri. Terjadilah
pemiskinan penafsiran yang menggelinding ke pemicikan,
ke pembutaan." "Dekadensi itu mustinya kan tidak teijadi secara
mendadak, Mas Singgih. Apakah tidak ada usaha yang
mengingatkan adanya tanda-tanda pengabaian
penggunaan akal itu?"
"Ibnu Khaldun, ilmuwan besar terakhir dari Arab,
penemu dari ilmu yang sekarang disebut "sosiologi" telah
mengingatkan para khalifah terhadap orang-orang tidak
bermutu yang mengambil tanggung jawab atas
pendidikan agama dan menggunakan kesempatan itu
untuk menyesatkan rakyat. Dia juga sangat menentang
digunakannya mesjid sebagai tempat pembelajaran hal-
hal lain daripada Al Ouran. Dia benar-benar seorang
visioner karena, di zaman itu, dia telah melihat bahaya
dari penyalahgunaan Islam, yaitu Islam dipakai untuk
keperluan-keperluan yang tak ada hubungannya dengan
agama ini. Di masa itu pula teijadi intimidasi terhadap
Ibnu Rosh. Padahal dia ini merupakan seorang yuris
besar muslim yang berusaha meng-introdusir nalar,
logika, ke tengah-tengah keyakinan, yang melestarikan
filosofi Aristoteles dan meneruskannya ke Eropa. Di
benua ini dia sangat dihargai dan dihormati dengan
julukan Averroes. Karena tak tahan terhadap tekanan
dan paksaan dia menyingkir ke Maroko dan meninggal di
situ tahun 1198. Dan sayangnya, betul-betul sangat
disayangkan dijaman keemasan Islam yang cukup lama
itu . ilmu-ilmu dan pemikiran kritis yang dikembangkan
oleh kebudayaan Islam bergerak ke Eropah tidak
kenegeri kita". "Mengapa teijadi begitu Mas Singgih?" tanya Kak
Marni. "Pertanyaan yang bagus," jawab Mas Singgih, "karena
ilmu itu, menurut hemat saya, bagai bibit yang selalu
terkait dengan lahan yang subur. Bagi ilmu lahan ini
berupa orang-orang yang mendambakannya, yang
mencintainya, yang membuka pikirannya untuk itu, yang
bersemangat keilmuan, yaitu tidak menerima begitu saja,
bertanya, meragukan dan ingin tahu. Nah, di zaman
keemasan Islam itu orang-orang Eropalah yang
memanfaatkan penemuan-penemuan dan teijemahan-
terjemahan yang dibuat oleh para ilmuwan dan filosof
muslim, untuk maju dalam kebudayaan mereka sendiri."
"Bukan kebetulan rupanya kalau Rasulullah
menyatakan supaya kita mencari ilmu walau sampai ke
negeri Cina dan bahwa mempelajari ilmu itu wajib
hukumnya bagi muslimin dan muslimat, dan dilakukan
sepanjang hayat, sejak buaian hingga liang lahat," kata
bapak. "Dan tahukah adik-adik mengapa ilmu sangat
dipujikan dalam Islam, dalam Al Quran, oleh Rasulullah?"
tanya Mas Singgih. Karena kami bertiga diam saja, dia
jawab sendiri, "Karena ilmu melatih orang berpikir
abstrak. Sedangkan kemampuan berpikir abstrak ini
diperlukan bagi pembinaan kesadaran ber-Tuhan
berhubung konsep Ketuhanan dalam Islam adalah
abstrak. Jadi mempelajari dan mendalami ilmu
sebenarnya merupakan wujud par excellence dari
ketakwaan dan keimanan kita terhadap Tuhan, sebab
dengan begitu kita menjalankan apa-apa yang
diperintahkan-Nya demi memahami-Nya dengan betul,
dengan correct. Kemudian ilmu ini pun kita perlukan agar
warga bangsa kita sekarang ini, besok dan selanjutnya,
menjadi orang yang berpikiran terbuka, tidak picik, tidak
fanatik dan bersemangat keilmuan. Maka itu pendidikan
yang diharapkan betul-betul bisa berfungsi sebagai
penyempurna Republik, tidak boleh sembarang
pendidikan. Ia harus bersifat sekuler seperti yang sama-
sama kita bayangkan sejak kemarin."
"Dapatkah Mas Singgih menjelaskan lagi keija dari
pendidikan yang khas ini?" tanya bapak. "Dan kau
Daoed, catat dengan baik apa yang diuraikan Mas
Singgih nanti mengenai hal ini. Mana tahu kelak kau
menjadi guru!" "Ya, missi pendidikan sekuler ini adalah membuat
nalar verstand, reason, itu menyebar, merata, merakyat,
begitu rupa hingga tidak satu pun kekuasaan (autoriteit),
keyakinan (geloofl, betapapun populernya, bisa luput dari
pengujian yang bebas, dari een vrije onderzoek oleh
manusia-manusia yang otonom. Sedangkan manusia
tidak dengan sendirinya, tidak bisa disulap, menjadi
otonom, melainkan melalui suatu proses pembelajaran
yang panjang. Seorang yang pandir tidak akan bisa
bebas, otonom, mandiri dalam berpikir. Dia akan selalu
terombang-ambing, mudah sekali dimangsa oleh
lingkungan atau oleh khayalan muluk para demagog atau
para mubaligh yang gemar mengutip ayat-ayat di luar
konteks awalnya. Seorang fanatik yang bebas bergerak,
namun picik pikirannya, bukanlah merupakan manusia
otonom, apalagi warga yang bebas. Untuk mendapatkan
kebebasan ini diperlukan suatu minimum pengetahuan
umum. Maka itu pembelajaran kebebasan beipikir tidak
boleh sampai menggiring seseorang ke cangkang atau
tempurung yang sempit. Artinya, tidak boleh
mendesakkan kepadanya doktrin atau agama apa pun."
"Mas Singgih, Dik Leman dulu pernah mengatakan
bahwa organisasi politik tidak bisa melahirkan manusia
yang otonom karena pembahasan dan diskusi politis
paling jauh hanya bisa menggugah semangat untuk
mengritik. Semangat ini jarang sekali bisa berkembang
lebih lanjut menjadi semangat yang kritis karena adanya
disiplin partai. Sedangkan pupuk bagi pertumbuhan
semangat yang kritis adalah disiplin keilmuan. Maka itu
dia selalu menolak ajakan masuk partai politik tertentu
walaupun kegiatan pribadi di luar kantor adalah kegiatan
politik." "Oo begitu. Sekarang saya baru mengerti mengapa
Pak Leman tidak pernah bersedia menjadi anggota partai
apa pun, namun bertekad untuk selalu aktif dalam
gerakan kemerdekaan nasional. Memang benar, Pak
Joesoef, semangat untuk mengritik, de geest om te
kritiseren, adalah satu hal, sedangkan semangat yang
kritis, een kritische geest, adalah hal lain lagi. Semangat
untuk mengritik berkaitan dengan keberanian untuk
mencela atau membela, untuk melawan atau
mendukung, sesuatu atau seseorang. Semangat yang
kritis adalah kemampuan untuk membedakan yang benar
dari yang keliru, dengan menilai sendiri segala sesuatu,
bebas dari pengaruh bujukan atau hasutan atau anjuran
atau resolusi rapat akbar. Untuk bisa memperoleh
kemampuan dan kebebasan ini diperlukan penguasaan
setingkat tertentu pengetahuan. Dan penguasaan ini
diperoleh, seperti yang saya katakan tadi, melalui suatu
proses pembelajaran yang panjang. Namun ini adalah
harga yang harus dibayar untuk mendapatkan manusia
yang otonom. Manusia-manusia otonom selaku para
warga yang bebas dengan penalaran yang kritis itulah
yang kiranya bisa diandalkan untuk membuhul tali
persaudaraan bagi keanekaragaman yang ada,
persaudaraan yang menandai kesediaan kontraktual kita
untuk hidup bersama dalam suatu Republik dari Negara
Kesatuan Indonesia yang merdeka."
"Bila demikian," kata emak, " ada baiknya mulai
sekarang kita camkan dalam diri masing-masing betapa
indahnya keseluruhan keindahan yang ditampilkan oleh
keanekaragaman dari berbagai unsur kemanusiaan yang
berbeda di kalangan bangsa dan negara kita. Harus kita
bimbing anak-anak kita sedini mungkin agar bisa
menghargai perbedaan-perbedaan serta
keanekaragaman tersebut demi penikmatan keseluruhan
keindahannya. Perlu dijelaskan ke-pada mereka bahwa di
samping keindahan yang berlaina dari setiap unsur yang
berbeda dari keanekaragaman, harus disadari adanya
keseluruhan keindahan, suatu keindahan tersendiri,
sebutkanlah sebagai keindahan keanekaragaman
Keindahan tersendiri ini dimungkinkan oleh kemerdekaan
bangsa untuk kita bina demi ketenteraman dan
kesejahteraan hidup bersama?"
?" Barangkali yang Bu Joesoef maksudkan," tukas
Mas Singgih, "bahwa di samping keindahan individual,


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yaitu keindahan dari setiap bagian, ada suatu keindahan
holistis, yaitu keindahan yang berhubungan dengan
sistem keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih
daripada sekedar kumpulan bagian " Maafkan saya telah
memotong pembicaraan Emak."
"Ah, tidak apa-apa Mas Singgih." ujar emak setelah
kelihatan berpikir sejenak guna memahami kata-kata Mas
Singgih tadi. "Bila dinyatakan dalam bahasa
keteipelajaran saya kira memang demikianlah adanya.
Mas Singgih lihat betapa pengetahuan saya bertambah
melalui pembicaraan "Saya pun, Mak, menganggap penting sekali
penyataan tentang kedua jenis keindahan tersebut kata
Mas Singgih. Kita dapat tunjukan hal itu melalui keindahan sebuah
taman yang ditanami dengan aneka ragam bunga dan
tanaman" emak melanjutkan uraiannya "Bukankah Tuhan
sendiri menciptakan bumi kita ini dalam keadaan
beragam seperti itu. Maka saya rasa nilai dari
keseluruhan keindahan tersendiri ini, dari
keanekaragaman ini pasti lebih besar daripada jumlah
nilai keindahan yang ditampilak dengan caranya masing-
masing oleh setiap unsur yang berbeda dari
keanekaragaman Kalau dalam bahasa Mas Singgih
barusan, nilai holistis itu trentu jauh melebihi jumlah dari
semua nilai individual dengan meniadakan sekat-sekat
berdasar perbedaan-perbedaan meItf ada di tengah
masyarakat termasuk, bahkan, terutama sekat-sekat
keagamaan dan kepercayaan."
Emak menghentikan ucapannya sambil menundukkan
kepala bagai pucuk padi yang merunduk dek berisi.
Kelihatannya dia terus merenungkan apa-apa yang baru
diucapkannya tadi. Dan kami semua masih bungkam
bagai terpesona oleh tutur kata emak. Akhirnya Mas
Singgih yang memecahkan keheningan suasana.
"Tanpa sepengetahuan Emak," katanya, "yang saya
pakai selama ini sebagai contoh keindahan dari
persatuan dan kesatuan bangsa kita adalah keindahan
halaman Bu Joesoef yang penuh dengan bunga-bunga
aneka warna. Andaikata di halaman ini hanya ada satu
jenis bunga, betapapun indah warnanya, betapapun
harum baunya, kesatuan yang ditampilkannya akan
menjemukan, eentonig."
"Saya yang menyiramnya setiap hari," kataku tanpa
ada yang menanyakannya. "Iddiiih, berani-beraninya menyela pembicaraan,"
komentar Kak Marni. "Mas Singgih sedang serius tahu"!"
"Saya cuma bilang, saya yang menyiramnya kok,"
kataku membela diri. "Emak yang menanamnya dan bapak yang
memupuknya," ujar Kak Ani. "Mereka tak mengatakan
apa-apa. Berani-beraninya kau ngomong!"
"Saya cuma bilang, saya yang menyiram setiap hari,"
kuulang lagi ucapanku. "Dan itu benar, saya tak
bohongkan?" "Ya, baiklah kalau begitu," kata Mas Singgih pura-pura
melerai. "Dalam berpidato nanti, saya tak akan lupa
mengatakan bahwa aneka ragam bunga itu subur berkat
siraman air si Daoed, anak Bu Joesoef."
"Setiap hari," tambahku mengoreksi. " ya, setiap hari,"
ulang Mas Singgih. "Amboooii", teriak kedua kakakku serentak.
"Senanglah dia dapat ponten!"
Emak dan bapak tersenyum-senyum saja melihat kami
bercanda. Demikian pula Mas Singgih.
(OodwkzoO) BAB 14 EMAK DAN KELUHURAN BUDI Sejak kepergiannya yang terakhir Mas Singgih sudah
sebulan tidak pulang-pulang. Emak mulai gelisah.
Jangan-jangan penyakitnya kambuh di tengah perjalanan
dan kini dia terkapar sendirian di salah satu tempat. Dia
memang tidak pernah mengatakan ke mana akan pergi
dan kami pun merasa tidak perlu menanyakannya. Maka
pada suatu malam, sesudah makan, kami sekeluarga
memasuki kamarnya yang tidak pernah dikunci itu.
Bapak menyalakan lampu semprong yang ada di atas
meja. Kamarnya rapi dan bersih. Satu-satunya barang
miliknya sendiri adalah sebuah kopor kulit berisi buku.
Kopor rotan tempat bajunya sudah tidak ada. Di atas
dipan kami temukan sepucuk surat yang dialamatkan
kepada bapak dan emak. Emak memintaku untuk
Rahasia Istana Kuno 1 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Persekutuan Pedang Sakti 8
^