Emak 4
Emak Karya Daoed Yoesoef Bagian 4
membacakannya. Isinya singkat saja. Dia kehabisan uang karena sampai
hari penulisan surat itu kiriman uang yang diharapkannya
tak kunjung tiba. Dia merasa sangat berhutang budi
pada keluarga kami, terutama pada emak dan bapak.
Maka itu dia malu sekali dan tak berani bertatap muka
dengan mereka untuk berpamitan. Dia merasa badannya
sehat dan memutuskan, dengan uang yang masih ada
untuk kembali saja kekeluarganya di Jawa.
Semua bukunya dia berikan kepada kakak-kakak dan
aku, surat itu ditutup dengan permintaan maaf dan
ucapan terima kasih tak terhingga dan mengatakan
bahwa bisa hidup bersama kami merupakan kenangan
termanis dari keseluruhan pengembaraannya selama ini
dan karena itu tidak bisa dilupakan selama hidup.
"Wah penipu rupanya dia mak" keluh kak Marni
setelah aku selesai membaca surat mas Singgih , "pergi
diam-diam setelah tidak membayar sewa kamar
berbulan-bulan." "Dia tidak menipu kita nak" kata emak, "Diapun tidak
pergi diam-diam, dia meninggalkan sepucuk surat"
"Mana Emak sudah memberinya makan, membennya
obat lagi," sambung Kak Ani " Semua ini kan tak ada
dalam perjanjian indekos."
"Ya benar begitu. Dalam perjanjian itu juga tidak ada
disebut keharusan dia membagi pengetahuannya,
ilmunya, kepada kita," sahut emak kalem.
"Selama di sini Mas Singgih sudah melakukan suatu
pekerjaan yang tak ternilai untuk kita semua, terutama
untuk kalian," kata bapak. "Dia sudah berusaha
membangkitkan suatu harapan yang masuk di akal, telah
menyiapkan suatu masa depan yang jelas dan semua ini
merupakan kerja yang penuh risiko. Kalian ingat betapa
Pakcik Soelaiman sampai dibuang jauh oleh Belanda
karena telah melakukan hal yang sama. Dan untuk
semua usaha dan kerjanya itu Mas Singgih tak ada
menerima imbalan apa-apa, tak sepeser pun. Kita pantas
berterima kasih kepada dia dan tidak serta merta
mencapnya sebagai penipu."
"Maka itu sebenarnya tidak hanya Mas Singgih yang
merasa berhutang budi pada kita," sambung emak sambil
menatap wajah kakak-kakak dan aku satu per satu, "kita
semua pun sudah berhutang budi kepadanya. Marilah
sekarang hutang piutang budi ini kita jadikan pupuk bagi
perkembangan keluhuran budi kita masing-masing."
Kemudian dengan mengalihkan pandangan matanya
yang lembut kepadaku, emak berkata, "Kau Daoed, emak
lihat rajin mencatat semua uraian Mas Singgih. Sudah
habis beberapa kitab tulis?"
"Hampir 15, Mak," jawabku.
"Kau simpan baik-baik semua itu!" ujar emak. "Baca
lagi, telaah lagi sampai benar-benar paham. Semua itu
merupakan pengetahuan yang pasti berharga dan
berguna." Seingatku emak pernah bertanya kepada Mas Singgih
mengapa dia sampai bersusah payah mengembara untuk
menyebarluaskan ide kemerdekaan dan perjuangan yang
diperlukan untuk mewujudkannya. Mas Singgih
mengatakan bahwa dia adalah seorang yang beruntung
dan berbahagia. Dia lahir di kalangan keluarga ningrat.
Ayahnya yuris lulusan Leiden dan ibunya tamatan MULO.
Dia anak bungsu dari lima bersaudara dan semuanya,
kecuali dia, sudah berumah tangga. Saudaranya yang
pertama dan kedua adalah laki-laki, menjadi dokter.
Saudaranya yang ketiga, satu-satunya anak perempuan,
belum sempat menamatkan HB S, sudah kawin dengan
seorang hakim, juga keturunan ningrat. Saudaranya yang
keempat, langsung di atas dia, seorang laki-laki, menjadi
insinyur. Untuk pelajaran agama dan membaca Al Quran,
orang tuanya mendatangkan seorang guru mengaji dari
kauman ke rumah dua kali seminggu. Ayahnya kini sudah
pensiun dan hidup berkecukupan karena memiliki sawah
yang cukup luas. Dia sendiri setelah menamatkan pelajarannya di HBS,
sebenarnya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi apa
saja, kalau perlu ke negeri Belanda. Karena dia tidak
perlu memikirkan siapa pun kecuali diri dan masa
depannya sendiri, tidak mempunyai beban keluarga
berupa apa pun, dia memutuskan untuk membagi
keberuntungan dan kebawiaan nasibnya kepada orang
banyak. Dia memutuskan ntuk mengabdikan dirinya pada
perjuangan kemerdekaan Lasa dan Tanah Air. Orang
tuanya tidak melarang, hanva mengingatkan agar
berhati-hati. Untuk melaksanakan bisikan nuraninya ini
dia telah menjelajahi seluruh pulau Jawa Kini dia memilih
bergerak di Soematra karena ini merupakan pulau masa
depan, sambil memperdalam bahasa Melayu yang sudah
ditetapkan oleh Kongres Pemuda untuk dikembangkan
menjadi bahasa Indonesia, bahasa persatuan.
"Dia telah membuat hari-hari kita tensi dengan
kegiatan-kegiatan yang terpuji, membawa pencerahan
dalam hidup kita," kata emak. Tak ada seorang pun yang
menyuruhnya berbuat begitu. Nuraninya sendiri yang
telah menggerakkannya. Dia telah membagi banyak
pengetahuan yang bernilai dengan kalian, antara lain,
bagaimana mencari kebenaran dengan cara yang
disebutnya sebagai penalaran keilmuan. Daoed, kau jaga
baik-baik buku-buku yang ditinggalkannya itu, Nak.
Jadikan semua itu sebagai bagian yang penting dari
kumpulan buku yang sudah kau miliki. Jangan buat
semua itu menjadi sekedar penghias rak bukumu, tetapi
sebagai sumber pengetahuan yang terus-menerus perlu
digali." Banyak juga buku-buku itu, sekopor penuh. Kalau
dilihat dari cap yang tertera di halaman terdepan setiap
buku, separuh di antaranya di beli dari toko buku
Varekamp, Cerdas dan Antara di Medan ini. Hampir di
setiap buku ada catatan-catatan yang ditulis di pinggir
kiri halaman serta penggaris bawahan kalimat-kalimat
tertentu dengan potlod merah. Sebagian terbesar dari
buku-buku itu berbahasa asing: Belanda, Jerman,
Perancis dan Inggris. Yang berbahasa Belanda saja
ketika itu masih sulit kupahami, apalagi yang berbahasa
asing lainnya. Lebih-lebih lagi yang berbahasa Jerman,
membacanya saja sudah susah karena berhuruf khas
Jerman. Yang berbahasa Melayu beijudul "Melawat ke
Barat", karangan Djamaloedin Adi Negoro sebanyak tiga
jilid. Buku-buku ini sudah pernah kubaca dari
perpustakaan di sekolah. Aku senang sekali mendapat
buku-buku ini karena ceritanya tentang Paris, Quartier
Latin dan Sorbonne sangat memukau. Kemudian ada
buku dari A. Damhoeri dengan judul "Depok Anak
Pagaisebuah roman pergerakan bernuansa adat
Minangkabau. Ada pula buku "Patjar Merah", sebuah
roman politik di sekitar revolusi Perancis, tulisan Matu
Mona. Ada dua buku lagi, yaitu tulisan Semaoen beijudul
"Hikajat Kadiroen" dan Marco Kartodikromo beijudul
"Student Hidjo". Kedua buku ini segera menarik
perhatianku karena ditulis dalam bahasa Melayu yang
tercela di sekolah, disebut"passer"s Maleisch". Lain
dengan buku-buku dari Adi Negoro, A. Damhoeri dan
Matu Mona, yang menggunakan bahasa Melayu yang
dipujikan oleh guru, yaitu "beschaafd Maleisch".
Walaupun isi buku-buku berbahasa asing yang
dihibahkan oleh Mas Singgih ketika itu belum kupahami
sepenuhnya, lama-kelamaan kusadari betapa penting
dan tingginya nilai keilmuan yang dikandungnya.
Semakin tinggi jenjang pendidikanku semakin kerap
kudengar na-ma-nama penulis buku tersebut. Setelah
aku sampai di jenjang pendidikan universiter, lebih-lebih
ketika di Sorbonne, buku-buku tersebut sering
disinggung dalam perkuliahan filosofi dan sejarah
keintelektualan Barat, baik melalui biografi penulisnya
atau karena tema yang dibahasnya. Nama-nama itu
adalah Huizinga, Spengler, Kant, Rousseau, Descartes,
Montesquieu, Renan, Spinoza, Toynbee, Hobbes, Bernard
Shaw. Setiap kali nama-nama itu kudengar, setiap kali itu
pula aku terkenang Mas Singgih dan, terkait dengan itu,
emak yang telah menerima orang pergerakan yang
berbudi ini indekos di rumah kami. Kali ini pun firasat
emak ternyata tidak meleset.
(OodwkzoO) BAB 17 EMAK DAN CALON PERANTAU Pada suatu hari ketika aku sedang menikmati
kesendirian, kesepian hutan dan kebersihan udaranya di
tengah-tengah kelebatan pepohonan, ketika aku sedang
betul-betul hanyut oleh cerita yang kubaca sambil
berendam di Sungai Putih, kudengar derak patahan
cabang kayu yang terpijak.Aku segera bangkit, berpaling
ke arah datangnya suara, sambil menggenggam parang
yang selalu terhunus. Aku melihat di atas tebing sungai
berdiri seorang pemuda yang lebih tua daripada diriku,
berbadan kurus dengan pakaian yang kumuh. Dia
kelihatan sangat terkejut, mungkin setelah melihat
tangan kananku memegang parang dengan wajah yang
tak gentar. Kami sama-sama terdiam beberapa saat,
hanya saling memandang. Akhirnya dia mengucapkan
salam yang segera kujawab. Dia turun ke sungai dan
kami lalu bersalaman. Dia rupanya seorang pencari kayu juga. Aku tawarkan
kepadanya penganan yang masih ada dan langsung
dimakannya dengan lahap sekali. Kesanku dia sangat
lapar bagai orang yang beberapa hari belum bertemu
nasi. Sambil makan dia bercerita tentang dirinya yang,
setelah kudengar, cukup mengharukan. Dia bernama
Akib, sudah lama yatim piatu. Dia menumpang di rumah
pamannya yang serba kekurangan, dengan delapan
orang anak yang masih kecil-kecil, lebih muda daripada
usianya. Dia sendiri tidak pernah bersekolah. Maka untuk
membantu rumah tangga pamannya ini dia mencari kayu
bakar untuk dijual di kampung-kampung yang tidak
berbatasan dengan hutan ini. Hampir seluruh hasil
penjualan kayu yang jumlahnya tak seberapa, hanya lima
atau tujuh sen sepikul, dia serahkan kepada pamannya.
Padahal dia ingin sekali menabung karena bercita-cita
merantau ke Malaya. Dia merasa telah diperas oleh
pamannya selama ini. Lama-kelamaan Bang Akib dan aku menjadi akrab satu
sama lain. Rupanya dialah yang sengaja menanam
pohon-pohon pisang, terong dan sayur-mayur lainnya di
dekat rawa yang telah beberapa kali kukunjungi jauh di
sana. Hasil penjualan tanaman-tanaman inilah yang
diharapkannya bisa ditabung tetapi ternyata tidak bisa
diandalkan. Ada saja orang-orang yang selalu
memanennya lebih dahulu. Dia mengatakan telah melihat
botol bersurat yang kugantung di salah satu pohon
terongnya. Karena dia sendiri buta huruf, tidak bisa
membaca apa-apa yang kutulis, surat itu dimasukkannya
kembali ke dalam botol dan lalu dibiarkannya begitu saja.
"Sungguh mengherankan," kataku, "mengapa tidak
pernah terlintas dalam benakku untuk menulis surat itu
dalam huruf Jawi." "Akan percuma saja," sahutnya, "itu pun pasti tak
akan bisa kubaca. Aku belum pernah mengaji, jadi tak
pernah mengenal huruf Jawi yang mirip dengan huruf
Arab." Dia menunjukkan kepadaku sebuah buhulan dari
secercah: kain kumuh yang dikebatkan di pinggangnya.
Mula-mula kukira berisi jimat tetapi setelah dia buka
ternyata isinya beberapa keping uang kelip.
"Inilah semua tabunganku selama bertahun-tahun,"
"Tak cukup satu gulden," komentarku
-Ya begitulah. Kadang-kadang terpaksa kupakai untuk
membeli nasi. Tidak jarang kalau aku pulang larut
malam, makanan yang tercisa untukku hanya kerak dan
sayuran rebus Sedangkan setiap hari kerjaku memikul
kayu bakar dan menjajakannya dari kampung ke
kampung. Kadang-kadang uang itu kupakai juga untuk
membeli penganan bagi anak-anak paman. Kasihan
mereka, badannya kurus-kurus karena kurang makan.
"Mengapa uang itu tidak disimpan saja di rumah" Kan
lebih aman"!" "Malah tidak. Kalau ketahuan paman bisa-bisa dia sita
semuanya. Dia memang bukan orang yang buruk
perangai, lebih-lebih bibi baik sekali. Tetapi mereka
adalah orang-orang miskin yang terus-menerus
menderita kekurangan."
Sejak itu kami sering bertemu di tempat aku
berendam di Sungai Putih. Untuk dia selalu kubawakan
nasi dengan lauk-pauk sekedarnya, yang kadang-kadang
ditukarnya dengan pisang, durian, buah binjai atau
sayur-mayur. Dia tidak pernah mengusik bacaanku, jadi
aku tidak merasa terganggu dengan kehadirannya.
Biasanya sehabis makan dia terus pergi memikul
kayunya. Namun emak rupanya dengan diam-diam
memperhatikan jumlah bekal yang kubawa setiap kali
aku ke hutan. Emak tahu benar dulu-dulu aku tidak
membawa nasi sebanyak itu, cukup dengan penganan
saja. Maka tak ayal lagi dia mempertanyakan
kebiasaanku yang baru ini. Karena tak berani mendustai
emak, aku jelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Setelah mendengarkan dengan serius dia berpendapat
bahwa bantuanku kepada Bang Akib kurang tepat.
Menurut emak bantuan kepada orang yang
memerlukannya adalah baik tetapi cara memberikannya
bisa begitu keliru hingga menumbuhkan jiwa pengemis
pada diri si penerima. Lalu emak memintaku untuk memintaku untuk
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajak Bang Akib kerumah.
Setelah berkenalan dengan emak dia menceritakan
kembali keadaan hidupnya yang pernah dikatakan
kepadaku. "Hidup yang Akib telah jalani selama ini tidak usah
dijadikan satu-satunya jenis kehidupan yang kau punyai"
kata emak setelah mendengar serita itu.
"Barangkali benar begitu, Mak. Saya bukan tak pernah
mencoba mengubahnya, namun tetap begini-begini saja.
Saya pun sudah berusaha mencari-cari Tuhan untuk
mengadukan nasib saya."
"Kalau kau benar-benar sedang mencari Tuhan di
sekitarmu, setiap upaya perbaikan hidup di setiap saat
pasti menjadi suatu doa. Doa itu bukan hanya berupa
kata-kata yang diucapkan dengan air mata bercucuran.
Berusahalah demi kehidupan yang lebih baik dengan
melelehkan keringat. Ini pun suatu doa juga. Barangkali
doa yang seperti ini malah lebih diperhatikan oleh
Tuhan!" "Saya sudah capek, Mak. Saya sudah mau pasrah saja.
Memimpikan nasib yang lebih baik saja sudah saya
hentikan." "Jangan begitu, impian-impianmu dapat menjadi suatu
kenyataan. Apa-apa yang kau impikan merupakan bahan
yang menuntunmu melalui kehidupan ke arah
kebahagiaan." Talu apa yang musti saya lakukan, Mak?"
"Jangan putus asa lagi. Bangkitlah! Bobot dari apa-apa
yang sudah kau jalani dan apa pun yang akan kau alami
masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
kemampuan-kemampuan yang ada dalam dirimu. Per-
akuan Tuhan kepadamu selama ini kiranya dimaksudkan
sebagai penggugah kesadaranmu terhadap kemampuan-
emampuan tersebut. Maka gali dan kembangkanlah
kemampuan " i tidak akan melemparkan itu ke dalam
sarangnya. Demikian pula, Tuhan memberikan kepada
kita nasi tetapi tidak meletakkan itu ke atas piring kita.
Keoada Bang Akib emak mengatakan akan membeli
sebisa mungkin kayu bakarnya. Emak pun akan
mengatakan kepada semua kenalannya untuk menjadi
pelanggan. Bahkan emak mengatakan tidak keberatan
kalau Bang Akib menumpuk kayunya di kolong rumah
kami hingga para Delanggan dapat membelinya setiap
waktu. Emak yang akan membantu menjualkannya tanpa
mengambil keuntungan sepeser pun. Dengan begitu
Bang Akib tidak perlu lagi membuang-buang waktu
beijalan keliling kampung menjajakan kayunya.
Kemudian emak mengusulkan agar waktu yang
terbebaskan itu dia pakai untuk belajar membaca,
menulis serta berhitung. Aku yang diminta emak untuk
mengajarnya dan kalau perlu dibantu oleh kakak-
kakakku. Karena di Malaya seingat bapak rakyatnya
membaca dan menulis dengan huruf Jawi, dia
menawarkan jasanya untuk membantu Bang Akib
mengaji. Bila telah lancar membaca Al Quran baru bapak
akan mengajarkannya huruf Jawi. Sebab huruf ini
sebenarnya meniru huruf Arab dengan sedikit modifikasi
penggunaannya agar sesuai dengan bahasa dan lafal
Melayu. Emak sendiri mengatakan kesediaannya
menyimpan uang Bang Akib yang diperolehnya sedikit
demi sedikit itu. Setelah bekeija keras dan belajar
sungguh-sungguh selama kira-kira tiga tahun, Bang Akib
sudah mahir dalam menulis dan membaca huruf Latin
serta huruf Jawi. Dia pun sudah agak lancar membaca
Quran dan menguasai ilmu hitung elementer serta
pengetahuan tentang ukuran-ukuran panjang, berat, luas
dan isi. Bapak melengkapinya dengan pengetahuan
serupa yang berlaku di Malaya.
"Kau lihat Akib," kata emak, "kemampuan-kemampuan
diri adalah harta pribadi kita yang tidak kelihatan
tersimpan di dalam pikiran dan perasaan, di akal dan hati
kita masing-masing. Bila kita tidak menyadarinya, apalagi
tidak mengolahnya atau tidak mengaktifkannya, tidak
ada apapun dl bUmi ini yang dapat mengimbangi
ketidakhadirannya atau ketidurannya itu."
Sewaktu berkata begitu, emak melirik kepadaku Aku
tahu bahwa ucapannya itu dialamatkannya juga
kepadaku. Menyadari betapa besarnya minatku untuk belajar
betapa besar hausku akan ilmu pengetahuan, emak
pernah berkata akan mengikhlaskan aku bila memang
mau merantau ke Jawa guna menuntut ilmu
pengetahuan tersebut. Lagi pula menurut emak, ada
empat jenis peijalanan yang sangat dipujikan dalam
ajaran keislaman. Pertama, hijrah, yaitu bepergian untuk
bermukim di lingkungan muslim. Kedua, alhaj, yaitu
bepergian ke Tanah Suci Mekah. Ketiga, ziyarah, yaitu
bepergian mengunjungi orang-orang suci dan tempat
pengajiannya. Keempat, rihla, yaitu bepergian guna
menuntut ilmu pengetahuan.
Sejak itu kalimat "lagu merantau" yang diajarkan
kepadaku di sekolah dasar, berbunyi "selamat tinggal
kampung halaman, aku "ndak pergi mencari nafkah", aku
ubah menjadi "selamat tinggal kampung halaman, aku
"ndak pergi mencari ilmu". Emak tersenyum-senyum saja
bila mendengar aku menyanyikan lagu ini. Kini dia
memintaku supaya turut serta kalau dia mengajari Bang
Akib beberapa keterampilan tangan yang kiranya bisa
membantu hidup di perantauan. Yang diajarkan dan
dilatih emak adalah menambal baju, menisik pakaian,
memasang kancing, menanak nasi dan membuat
beberapa macam gulai. Ketika bapak mendapat pesanan
dari tetangga untuk dibuatkan lemari dan meja, emak
memintanya supaya kami berdua diikutkan serta sekalian
dilatih kerja kayu dan mengenal k ngannya- Emak juga
menitipkan kami berlatih alat-alat pertukangan pandai
besi di kampung untuk magang. Jangan sekali-kali
memandang rendah kerja dengan tanganmu," katanya
terutama kepadaku. "Kerja tangan tidak mengharamkan
kerja otak" Sementara itu tabungan Bang Akib yang disimpan
Emak sudah dianggap cukup untuk hidup di Malaya
selama paling sedikitnya delapan bulan tanpa pekerjaan.
Bang Akib beruntung selama 3 tahun ini ada lima
perkawinan di kampungku hingga penjualan kayunya
meningkat sekali. Di samping itu kebutuhan akan kayu
medang bertambah besar selama bulan Puasa dan
menjelang hari raya. Sebelum berangkat ke Malaya emak
meminta kesediaan Babah Sin untuk mengantar Bang
Akib menukar uang gulden dengan strait dollar di bank
yang dipercaya! oleh sf babah. Bapak memberikan
kepada Bang;Akib beberapa nama dan alamat orang
Malaya yang dahulu pernah dikenalnya selama merantau
di Johor, Klang dan Penang.
Bang Akib masih sempat menanyakan apakah ada pe-
san-pesan emak yang belum disampaikannya guna
dipakai sebagai pegangan kelak di rantau orang. Setelah
merenung sejenak emak berkata, "Akib, hal yang kau
impi-impikan sejak lama, insya Allah, segera terwujud.
Saat kau pergi merantau ke negeri orang sudah tiba.
Kata orang, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Sebagai rumus umum pepatah ini ada benarnya. Namun
bukan sekali-kali berarti bahwa kau harus begitu saja
mengikuti kehendak orang-orang, harus selalu
menyesuaikan pendapatmu dengan apa yang dipikirkan
orang banyak. Sebab imbalan dan penyesuaian diri ini
adalah bahwa semua orang akan suka kepadamu kecuali
kau sendiri. Artinya pribadi yang serapuh itu pasti tak
akan kau sukai." Dari lirikannya, kali ini pun aku tahu supaya aku turut
pula mempertimbangkan pendapatnya itu. Aku paham
bahwa emak menghendaki aku tidak takut menjadi non-
conformist karena sebelum ini dia sering melontarkan
kalimat-kalimat yang mencerminkan keinginan seperti ini.
"Sebelum mengambil keputusan atau menyetujui
pendapat dapat orang lain," katanya dulu, "tanyakan
lebih dahulu nuranimu. Kau boleh membantah siapa saja
kecuali nura-nimu, Nak."
"Mengapa Mak?", tanyaku.
"Karena nuranimu itu merupakan tempat
persemayaman Tuhan dalam dirimu," jawab emak tanpa
ragu-ragu. Sehari sebelum berangkat ke perantauan Bang Akib
datang ke rumah. Badannya tidak kurus lagi dan
sekarang penampilannya sudah jauh lebih bersih
daripada dahulu. Wajahnya mencerminkan suatu
kemauan dan keberanian untuk hidup di negeri orang.
Emak menjamunya makan dan bapak berdoa sebelum
makan dimulai. Ketika hendak pulang Bang Akib
mencium tangan emak dan bapak berulang-ulang. Dia
menangis sesenggukan bagai hendak berpisah dengan
orang tuanya sendiri. "Akib, sudahlah, jangan larut dalam kesedihan," kata
emak. Padahal suaranya sendiri terdengar parau tanda
sedih. "Pandang emak. Kau tahu kan, sekarang kau telah
lulus dalam ujian Tuhan. Dia melihat betapa kau telah
bekerja dan belajar keras untuk menyiapkan dirimu
mampu merantau. Kemampuan ini kau miliki bukan
karena doa tetapi karena usaha. Usaha inilah yang
merupakan doa yang sangat dihargai-Nya, doa berisi dari
orang yang tegar, bukan doa hampa dari orang yang
cengeng. Jadi Tuhan tidak pernah meninggalkan kau
seperti yang dulu kau sangka. Yang dulu-dulu kau alami
itu ternyata bukan takdir tetapi nasib. Nanti di rantau
orang Tuhan juga akan tetap menyertaimu dalam
usahamu memperbaiki nasib."
Kami pun sebenarnya merasa kehilangan Bang Akib,
bukan hanya dia merasa kehilangan kami dengan
kepergian diirinva itu Dia memang tidak pernah tinggal
serumah dengan kami. Tapi keterlibatan kami semua
yang begitu Intensif dalam membantu dia memecahkan
masalah hidup-selama ini membuat dia terasa sebagai
bagian dari kehidupan kami sendiri. Kami, anak-anak,
menitikkan air mata dan termangu-mangu setelah dia
pergi. Kukira emak dan bapak menangis dalam hati.
Menurut rencana dia berangkat malam m dengan
perahu dari kampung Labuhan di muara Sungai Deli
menuju Malaya. Pada malam keberangkatannya itu,
seperti biasa, kami duduk-duduk di serambi depan. Sejak
makan malam tadi pengalaman kontak pribadi kami
masing-masing dengan diri Bang Akib mendominasi
pembicaraan. Ada cerita lucu, ada cerita aneh; ada cerita
haru, ada cerita gembira. Ketika angin malam terasa
mulai berembus kami saling berpandangan.
"Inilah angin yang ditunggu-tunggu pelaut, yang biasa
bertiup dari darat ke laut..," bisik bapak. "Sekali lagi
menengadah menghitung layar, menunduk menghitung
lantai " Kini saatnya perahu si Akib mulai membongkar
sauh dan mengembangkan layar " bergerak maju "
didorong angin buritan?"
"Selamat jalan Akib," bisik emak. Lancang Kuning,
Lancang Kuning berlayar malam "Duhai berlayar malam
" Haluan menuju, haluan menuju ke lautan dalam "Duhai
ke lautan dalam " (OodwkzoO) Bab 18 EMAK DAN PENCARIAN "Mak, apakah Bang Akib bisa berhasil dalam
perantauannya?", tanyaku sambil bercangkung di sebelah
emak. Dia sedang asyik menyiangi lahan yang
ditanaminya dengan bayam, terong, dan sawi ladang.
Aku memunguti rumput dan aneka tanaman pengganggu
lainnya yang dicabuti emak, mengumpulkan semua
gulma itu di pengki untuk dibuang ke tempat sampah
guna dibakar. Berhubung hari Jumat madrasah libur, sepulang dari
sekolah dan setelah beijumat, aku kadang-kadang pergi
ke ladang. Apalagi sebelum berangkat tadi bapak sengaja
berpesan agar disampaikan kepada emak bahwa dia
petang ini tidak dapat menyusulnya ke ladang. Masih
banyak yang harus dikenakannya demi kerapian kandang
lembu kami. Besok akan ada inspeksi kesehatan lembu
dan kebersihan lingkungan pemeliharaannya oleh dokter
hewan Belanda selaku inspektur kesehatan. Inspeksi ini
menggenapi pemeriksaan berkala yang dilakukan setiap
minggu oleh mantri kesehatan Raden Soemamo. Maka
kedatanganku di ladang kali ini pasti diperlukan emak,
paling sedikit bisa membantu membawa pulang berbagai
jenis sayuran untuk dimasak menjadi teman nasi sehari-
hari. Lagi pula sebelum aku keladang aku menyempatkan
diri masuk hutan lebih dahulu untuk mengumpulkan
dahan dan ranting kering yang digunakan sebagai bahan
bakar di dapur. Bang Akib sudah hampir enam bulan di Malaya Dapat
kubayangkan betapa sibuk dan sulitnya dia mendapatkan
tempat berpijak yang pasti di rantau orang. Apa yang
kau maksudkan dengan kata berhasil itu", emak kembali
bertanya tanpa memandang kepadaku, sementara jari-
jarinya terus mencabuti gulma
"Ya"..ya, mampu meraih apa yang dicita-citakannya"
kira-kira begitulah, Mak."
Emalc tidak segera menjawab. Dia menyeka keringat
di wajahnya dengan handuk kecil.
"Mari kita istirahat dahulu di gubuk. Emak haus sekali.
Kalau tak salah ada pisang yang sudah ranum di
tandan yang kemarin dulu ditebang bapakmu dari
pohonnya tetapi belum sempat dibawa pulang."
Aku potong sesisir yang kebanyakan pisangnya sudah
pantas dimakan guna dibawa pulang nanti.
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau boleh mencicipinya sekarang kalau mau," kata
emak setelah mereguk air dari kendi.
"Tak usahlah, Mak. Nanti saja di rumah, kita nikmati
bersama-sama setelah makan malam," kataku.
"Kemampuan si Akib meraih apa yang dicita-
citakannya tergantung pada dua hal pokok," kata emak
sambil mengibas-ngibas dengan handuk kecilnya agar
sejuk. Sore ini hari memang tidak begitu berangin. Kami
berdua duduk berdampingan di balai-balai bambu yang
disiapkan bapak di serambi gubuk. Aku diam saja
walaupun betul-betul ingin tahu buah pikiran emak.
Inilah juga penyebab mengapa aku sering berusaha
bisa mendapat kesempatan berduaan saja dengan emak.
Untuk dapat sepuas mungkin mengetahui apa-apa
pendapatnya mengenai apa saja yang kiranya bisa
kujadikan pegangan hidup. Bukankah menurut para
tetangga, kami, anak-anak emak, sungguh beruntung
punya seorang ibu yang arif di balik keras kepalanya.
Yang mereka maksudkan dengan "keras kepala" itu tentu
keteguhan pendirian emak. Emak memang ramah
kepada siapa pun, lemah-lembut, adakalanya sungguh
feminin dalam bertutur dan berdandan, tetapi kalau
sudah menyinggung apa yang dianggapnya sebagai
prinsip, dia tidak akan beranjak barang setapak. Bagi dia
prinsip adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar.
"Kedua hal pokok itu adalah," tutur emak beberapa
saat kemudian, "pertama, bila dia tidak mampu meraih
apa yang diinginkannya, dia harus menginginkan apa
yang dimampuinya. Kedua, dia harus tahu apa yang
dicarinya. Bila tidak bagaimana dia bisa mengetahui di
mana dan bagaimana cara menemukan apa yang dicari-
carinya itu. Bagaimana dia mengetahui sudah atau belum
mendapatkannya dan kalau sudah diperoleh apakah ia
sudah sempurna." Kalau emak orang sekolahan, dia kiranya tidak akan
menggunakan istilah "hal" tetapi istilah "faktor" sebagai
penggantinya. Dengan kata lain, apa yang dimaksudkan
emak dengan ungkapan "dua hal" ketika itu, kini kuubah
menjadi "dua faktor", menjadi dua faktor pokok yang
menentukan keberhasilan Bang Akib.
"Apakah demi kesempurnaan itu dia harus terus-
menerus mencari, Mak?"
"Ya, Daoed"..tanpa dikait-kaitkan dengan
kesempurnaan itu kita memang harus
mencari".ditakdirkan untuk mencari." . :
Emak diam lagi dan kelihatan merenung. Tangannya
berhenti mengibas-ngibaskan handuk kecilnya. Aku kira
dia sedang memikirkan sesuatu dengan lebih mendalam.
Aku tak ingin mengusiknya dengan ucapan apa pun.
"Kita harus terus mencari karena emak kira hidup ini
pada hakikatnya memang berupa satu pencarian,"
ucapan Emak mengesankan begitu pasti, tanpa keraguan
sedikitpun. Tatapan matanya diarahkan jauh kedepan, "Kita harus
terus mencari apa yang kita inginkan, karena hanya
dalam mencari itulah kita akan menemukannya, dengan
begini ada keharusan bagi kita untuk tidak lalai memupuk
pendorong yang menggerakkan kita untuk terus
berusaha". Dengan memakai kata "kita" dalam ucapan-ucapannya
yang terakhir ini, aku pikir emak dengan sadar dan
sengaja mengalamatkan seluruh tutur katanya tadi
khusus kepadaku bukan hanya sekedar bahasan nasib
Bang Akib. "Adakalanya dalam mencari itu kita harus
berpikir terbalik" kata emak selanjutnya. Semakin terasa
bahwa kata-katanya ini memang ditujukan kepadaku,
untuk keperluanku sendiri. "Lihatlah tanaman-tanaman
emak di ladang ini. Untuk bisa mengetahui bagaimana
semua itu bisa tumbuh subur seperti yang kita inginkan,
emak kadang-kadang berusaha mengetahui bukan hanya
hal-hal apa yang membuatnya tumbuh subur, tetapi juga
hal-hal apa yang menghalanginya tumbuh subur."
Setelah berdiam diri sejenak, sambil menggenggam
kembali tanganku erat-erat, emak berkata, "Terlepas dari
semua yang emak bicarakan tadi, percayalah Daoed,
emak kira kita semua sudah berusaha keras membantu si
Akib dengan pengetahuan dan keterampilan dasar yang
dapat dipakainya untuk bisa selamat di rantau
orang"percaya-lah!"
"Yang saya risaukan, Mak, adalah sikap penduduk
pribumi yang didatanginya itu. Apakah mereka tidak
merasa terganggu, tidak menganggapnya sebagai
pendatang asing yang bakal mengurangi rezeki mereka
selama ini." Mendengar ucapanku ini emak bagai tersentak dan
lalu berpaling menatapku. Tangannya masih
menggenggam erat tanganku. "Daoed," katanya, "bumi
ciptaan Tuhan ini sebenarnya mampu mencukupi
kebutuhan semua manusia yang ada, tetapi pasti tidak
bisa memuaskan setiap keserakahan semua orang satu
per satu." Ucapan-ucapan emak mengenai hal-ihwal pencarian
ini bagai membayangi langkahku ketika tiba saatnya aku
juga menjadi perantau. Karena yang kucari dalam
perantauan ini adalah pengetahuan yang mencerahkan,
aku mengembara di dalam ruang dan waktu tidak hanya
secara fisik tetapi lebih-lebih secara mental di jalur
keilmuan. Selama pengembaraan ini aku tidak hanya
menemukan pengetahuan yang kucari tetapi berkenalan
pula dengan para pencari pengetahuan pendahulu, yang
telah merintis jalur keilmuan yang kini aku tempuh,
melalui karya-karya mereka yang kupelajari dengan
saksama. Buah pikiran mereka tegak beijajar bagai
milestone di jalur yang kelihatannya tak berujung ini.
Dan ketika melangkah di jalur ini aku sering teringat
emak. Betapa tidak. ; Aku teringat emak ketika
mengetahui bagaimana Fleming sampai menemukan
penisilin. Berkat kegigihan Pasteur orang menyadari
betapa bahayanya bakteri bagi kesehatan, bahkan
kehidupan manusia. Maka banyak bak-teriolog membuat
pembudidayaan (kultur) bakteri, guna meneliti
pengembangbiakannya lewat media tumbuh yang diatur
kondisinya. Artinya, mereka bekeija berdasarkan
pertanyaan tentang apa dan bagaimana bakteri
berkembang biak dan apa-apa saja yang mendorong
pengembang-biakan tersebut.
Fleming bersikap lain. Dia bekerja dengan pertanyaan
yang terbalik, sengaja dia balik, yaitu apa yang
menghambat pengembangbiakan bakteri. Jadi yang
dicaripenelitiannya adalah zat-zat yang berdaya
antibakterial. Berhubung yang dicarinya itu adalah suatu
antibiotikum, maka wajar kalau dia akhirnya menemukan
pinisilin, karena substansi yang satu ini memenuhi
tuntutan-tuntutan apa yang dia cari melalui kultur
bakterinya. Aku teringat emak ketika menyadari apa yang menjadi
pendorong orang untuk terus mencari di jalur keilmuan.
Pendorong ini berupa suatu kekuatan unik dari suatu
penalaran ilmiah yang dipupuk dan dikobarkan oleh
semangat ilmiah. Ilmu Pengetahuan secara esensial tidak berurusan
dengan obyek-obyek fisik tetapi dengan bentuk-bentuk
ide, jadi dengan hal-hal yang serba abstrak.
Maka kekuatan yang mempesona dari ilmu
pengetahuan bukanlah kesanggupannya mengungkapkan
realitas sebagaimana adanya, tetapi kemampuannya
menggambarkan hal-hal yang abtrak begitu rupa hingga
mengesankan seperti riil.
Artinya, hubungan antara ilmu pengetahuan dengan
realitas yang digambarkannya adalah bagai hubungan
jan dengan bulan. Betapapun tepatnya jari (ilmu
pengetahuan) menunjuk ke bulan (realitas), jari itu
bukan bulan. Jari tetap jari dan bulan tetap bulan.
Karena menyadari akan kekuatan yang unik dari ilmu
pengetahuan inilah maka para ilmuwan insaf bahwa
manusia tidak pernah mengetahui dengan sempurna dan
lalu terdorong untuk terus mencan dan mencari,
berusaha memandang dengan mata lain, berusaha
melihat melalui kacamata lain, berusaha mengamati
dengan cahaya yang berbeda.
Dan pencarian yang ideal seperti itu ternyata paling
berkembang di jalur keilmuan. Maka betapa aku tak
sampai melupakan emak, teringat kepadanya, ketika aku
menyadari keadaan tersebut. Ilmu pengetahuan adalah
suatu pencarian abadi, mencari suatu kesatuan di balik
keanekaragaman yang kasatmata, mencari tatanan
(order) di balik kekacauan (disorder) yang kasatmata,
mencari keteraturan di balik ketidakteraturan yang
kasatmata. Dalam berlaku begitu setiap ilmu pengetahuan punya .
filosofinya sendiri sementara setiap filosofi punya ilmu
pengetahuannya sendiri. Suatu pengetahuan ilmiah yang
secara angsung atau tak langsung memberikan inspirasi
pada filosofi, suatu pengetahuan ilmiah yang dipertahan
kan oleh filosofi yang bersangkutan.
Aku sering teringat emak selama pengembaraan
pencarian pengetahuan di jalur keilmuan karena intisari
ucapannya yang relevan sering bergema di mimbar
perkuliahan Sorbonne, walaupun ia diucapkan dalam
bahasa yang berbeda oleh para guru besar, sering
dikumandangkan oleh buku-buku ilmiah meskipun ia
ditulis dengan kata-kata asing yang tidak pernah dikenal
emak. (OodwkzoO) Bab 19 EMAK DAN SENI LUKIS Ketika berusia tiga tahun aku mulai sering ditinggalkan
di rumah sendirian. Pagi-pagi kakak-kakakku pergi ke
sekolah. Tak lama kemudian menyusul emak dan bapak.
Mereka pergi ke kandang lembu. Dari situ emak biasanya
terus ke ladang, kadang-kadang ditemani bapak. Kalau
banyak urusan di kandang bapak tetap bekeija di situ
sampai sore dengan dibantu oleh si Bager. Mantri
kesehatan yang secara teratur datang memeriksa
kebersihan kandang benar-benar melarang pemilik lembu
membawa anak-anaknya yang masih kecil ke kandang.
Betapapun bersihnya, kandang-kandang lembu tetap
merupakan sarang bakteri katanya. Baru setahun
kemudian aku kadang-kadang dibolehkan ikut ke ladang
atau ke kandang. Sebenarnya selain aku ada si Amisha di rumah. Anak
si Bager ini selalu datang sebelum emak dan bapak pergi.
Sebagai pembantu rumah keijanya setiap hari mencuci
pakaian, menyeterika, membersihkan rumah dan
halaman. Jadi dia tidak bisa kuharapkan menjadi teman
bermain, apalagi dia anak perempuan dan sebaya
dengan Kak Marni. Maka begitu semua sudah pergi dan
pintu pagar ditutup, tinggallah aku seorang diri.
Walaupun pagar kayu rumahku cukup tinggi aku tidak
merasa terpenjara. Mula-mula memang rasa sepi tetapi
di balik kesepian itu aku mendapat kebebasan untuk
berbuat sesuka hati. Halaman rumah yang cukup luas penuh dengan
berbagai pohon dan tanaman. Kebebasan awal yang
mula mula kurasa adalah bebas untuk memanjat pohon-
pohon yang ada. Si Amisha yang dipesankan emak untuk
mengawasi gerak-gerikku, di samping menjalankan
tugas-tugas pokoknya, tidak melarang aku naik-turun
pohon dan berayun-ayun di dahan. Dia hanya
mengingatkan supaya berhati-hati. Setelah bosan dengan
panjat-memanjat pohon, aku berburu kupu-kupu dan
capung. Kedua jenis serangga ini banyak beterbangan
karena di halaman terda pat berbagai macam bunga.
Kalau telah lelah aku berbaring di balai-balai bambu di
keteduhan sambil menatap awan yang bergerak di langit
biru. Sesekali kulihat ada elang melayang-layang di
ketinggian itu. Kupikir-pikir alangkah enaknya elang itu,
bisa terbang tiaggi, melayang dengan bebas kian kemari.
Suatu hari ketika aku sedang mengejar-ngejar kupu-
kupu dan capung, emak pulang ke rumah lebih cepat
daripada biasanya. Rupanya dia hendak mengambil alat
yang ketinggalan untuk berladang sesudah
membereihkan kandang. Aku tunjukkan kepadanya
beberapa ekor kupu-kupu dan capung yang berhasil
kutangkap dengan memakai getah nangka yang
kulengketkan di ujung lidi. Hampir semua serangga itu
sudah mati sedangkan yang masih hidup sudah tak
karuan bentuk badannya karena getah itu.
"Untuk apa kau tangkap kupu-kupu dan capung ini?"
tanya emak. "Dan dengan memakai getah lagi hingga
sayap dan badannya lengket. Ekornya pun turut
terpelintir. Kasihan kan"!.
"Serangga-serangga ini indah sekali, Mak. Coba Mak
lihat badan capung-capung ini. Ada yang kuning, ada
yang merah, ada yang putih bergaris-garis hitam, serta
sayapnya yang halus seperti sutera. Demikian pula kupu-
kupu dengan sayapnya yang berwama-wami ini, bagai
kain yang dicap keindahannya," jawabku membela diri.
"Oh, begitu"! Menurut emak ada dua cara untuk
menikmati keindahan serangga-serangga ini. Pertama,
mengejar dan menangkapnya dan lalu mengamati
bangkainya yang makin mengering dan kian pudar
keindahannya. Kedua, duduk diam-diam sambil melihat
serangga-serangga ini menari-nari dengan lincahnya di
sela-sela bunga, masing-masing dengan bentuk dan
warnanya yang tersendiri, menampilkan suatu keindahan
yang hidup dan serasi. Cobalah pikirkan, emak agak
terburu-buru nih." Setelah berkata begitu emak bergegas mengambil alat
yang tertinggal, kemudian mencium ubun-ubun kepalaku
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan lalu pergi lagi. Kupikir-pikir ucapan emak ini ada benarnya. Memang
berbeda sekali kulihat keindahan serangga-serangga ini
selagi hidup dan ketika sudah mati. Dan keindahan ini
pun kelihatannya lebih cemerlang di saat mereka
beterbangan di sela-sela bunga yang juga indah. Semua
ini memang menyajikan suatu "keindahan yang hidup"
Emak, seperti biasa, memang benar. Aku dapat
menikmati dan merasakannya. Entah mengapa, timbul
hasratku untuk menggoreskan pemandangan yang indah
itu di tanah. Aku lalu mencorat-coret tanah dengan lidi.
Dan perbuatan ini, menggambar di tanah, ternyata dapat
juga memberikan suatu kepuasan.
Sebagian halaman di depan dan samping rumah
memang dibiarkan emak begitu saja, terbuka, tak
berumput, tidak ditanami apa-apa. Kalau ada rumput
yang tumbuh di situ terus dicabut hingga akar-akarnya.
Dan sekarang di halaman bertanah bersih ini, yang
dipakai sebagai tempat menjemur tilam dan bantal serta
hasil ladang setelah dipanen, aku mulai berbuat sesuatu
yang baru dengan kebebasanku, yaitu menggambar.
Seperti ada suatu kekuatan dalam yang mendorongku
berbuat demikian viB Dengan goresan lidi di tanah aku
menggambarkan kupu-kupu dan capung, awan elang,
pohon jambu yang sedang berbuah. Di tanah itu
kugambar pula kakak-kakak yang pergi ke sekolah, emak
yang sedang menyiangi ladang, bapak yang sedang
memandikan lembu di sungai. Kugambarkan juga diriku
yang sedang main layang-layang dan memanjat pohon.
Aku tak tahu bahwa goresan-goresan di tanah itu kiranya
disebut sketsa bila dibuat dengan notlot atau pena di
atas kertas. Aku pun tak tahu bahwa keseluruhan garis-
garis yang membentuk gambaran itu disebut sebagai
lijntekening dalam seni lukis. Yang aku tahu ketika itu
adalah bahwa membuat garis-garis yang digoreskan
dengan lidi mi ternyata memberikan kepadaku suatu
kepuasan tersendiri, tidak sama dengan kepuasan dalam
memanjat pohon atau kepuasan ketika menangkap kupu-
kupu dan capung atau kepuasan di saat berhasil
menangkap layang-layang lepas, tetapi toh suatu
kepuasan. Puluhan tahun kemudian baru aku sadari bahwa
semangat lukisan Timur, the spirit of oriental painting,
justru terletak di dalam garis-garis itu; ia dikatakan
filosofis dan estetis, sesuatu yang terpisah dari realitas.
Dalam lukisan umur bentuk atau warna tidak ditampilkan
sebagaimana adanya. Lukisan tersebut merupakan
sebuah gambaran yang subyektif, menurut apa yang
dipikirkan oleh sang pelukis, yang kusadari benar ketika
itu adalah apresiasi positif mak bapak dan kakak-kakakku
terhadap gambar-gambar yang kugariskan di halaman
rumah. Sikap mereka yang sangat mendukung ini
menambah kegairahanku untuk enggambar di tanah
hingga agak mengurangi kegiatanku ini panjat pohon
atau berburu kupu-kupu dan capung. Hal itu sangat
melegakan hati dan pikiran emak karena dengan begitu
aku mulai menjauhi kegiatan-kegiatan yang SS terkilir,
patah tulang atau terluka.
Beberapa bulan kemudian Kak Marni, atas anjuran
emak memberikan kepadaku satu bundel kertas tulis tak
bergaris, potlot dan setip. Dengan begitu latar dan alat
kegiatanku dalam melukis beralih dari tanah dan lidi
kekertas dan potlot Melukis dengan potlot di atas kertas
memberikan kepadaku suatu pengalaman baru. Aku tidak
Tanya bisa membuat gambaran melalui gans-gans, tetapi
memungkinkan aku memberikan bentuk pada gambaran
melalui nuansa kehitaman potlot, hingga mengesankan
adanya bentuk tiga dimensional, cahaya dan bayangan
Namun kadang-kadang aku kembali menggambar di
tanah karena bidang yang bisa digambar pasti jauh lebih
luas daripada permukaan kertas tulis, seluas halaman
rumah itu Sesekali kakak-kakakku ikut-ikut pula menggambar di
situ. Bahkan emak pun pernah turut serta mencorat-
coret di tanah. Bukan main gembiranya kami semua
ketika itu. Lebih-lebih emak, kelihatan sekali betapa
bahagianya dia ketika memperlihatkan kepada kami,
anak-anaknya, apa yang dulu juga pernah membuat dia
senang dan mengetahui betapa kegembiraan anak-
anaknya telah menyatu pada kesenangannya tersebut.
Di antara perlengkapan belajar yang disiapkan emak
untukku ketika hendak masuk Sekolah Dasar Melayu
terdapat satu dus berisi 12 potlot warna. Sudah tentu
potlot warna ini bukan atas permintaan Kepala Sekolah
tetapi atas prakarsa emak sendiri. Pada waktu potlot-
potlot itu mui dipakai tiga tahun kemudian pada jam
pelajairan meggambar, potlot-potlot itu panjangnya
sudah berkur & rata-rata separuh karena telah kupakai
menggambar diri di rumah selama ini. Jadi ketika teman-
teman aaku dikelas tiga baru mulai belajar mewarnai
gambar, aku sudah tidak canggung lagi. Maka selain
memuji keterampilanku guru meminta aku membantu
teman-teman yang masih mengalami kesulitan.
Penggunaan cat air baru diajarkan di tahun berikutnya, di
kelas IV. Bagiku hal ini juga bukan merupakan sesuatu
yang baru karena sudah kulakukan
Mungkin sekali karena laporan guru kelas IV ini.
Kepala Sekolah-Engku Azhari-meminta kesediaanku
untuk ikut membuat gambar-gambar yang akan dipakai
sebagai tema dalam pelajaran mengarang yang telah
diberikan sejak kelas III. Gambar-gambar ini berukuran
sebesar karton dan akan digantung sebagai perhiasan di
dinding kelas III, IV dan V. Untuk keperluan ini Engku
Azhari-yang mengajar di kelas V, yaitu kelas terakhir-
membentuk sebuah tim yang terdiri dari lima orang
murid yang dianggapnya kuat dalam menggambar. Dua
orang di antaranya berasal dari kelas IV, si Sjahroel dan
aku, dan sisanya adalah murid-murid dari kelas V.
Gambar-gambar itu kami buat setiap hari Jumat karena
sesudah sembahyang di mesjid madrasah libur dan pada
hari Minggu. Namun baru dua kali menggambar dua
orang sudah mengundurkan diri, si Sjahroel dari kelasku
dan si Djoefri dari kelas V.
Selama belajar di sekolah dasar ini minatku terhadap
menggambar dengan garis-garis, seperti yang dulu ku>-
lakukan di tanah halaman rumah, terangsang kembali.
Rangsangan ini datang dari ilustrasi yang terdapat di
setiap jilid buku ajar membaca sejak kelas I hingga kelas
V, beijudul "Matahari Terbif. Setelah aku masuk di HIS
baru kuketahui sebutan kategoris dari gambar-gambar
ilustratSC W.K. de Bruin tersebut, yaitu "lijntekening"
Sementara itu gambar-gambar yang kubuat semakin
menjadi naturalistis. Semua yang kulihat dan menarik
perhatianku kucoba memindahkannya ke atas kertas:
lanskap, pemandangan bunga, buah-buahan, binatang
dan manusia. Kemahiranku menggambar makhluk-
makhluk yang bernyawa ini menimbulkan kritik dari
beberapa gelintir teman semadrasah, termasuk Sjahloel
dan Djoefri. Menurut mereka menggambar manusia dan
binatang dilarang dalam agama Islam dan itulah
sebabnya mengapa orang tua mereka mendesak mereka
untuk keluar dari tim menggambar di sekolah. Tapi dulu
mereka takut mengatakan alasan ini kepada Engku
Azhari. Setiap hal yang membingungkan, seperti larangan
menggambar dalam Islam ini, tentu kusampaikan kepada
emak. "Ah, omong kosong itu," kata emak tanpa berpikir
lama. "Yang dilarang, setahu emak, adalah membuat
gambar Allah dan Rasul. Kita tidak bisa menggambarkan
wujud mereka. Tuhan adalah zat, bagaimana
melukiskannya" Yang dapat kita lukis dan tidak dilarang,
adalah perwujudan kebesaran-kebesaran-Nya, bukti-
bukti kekuasaan-Nya dalam mencipta, seperti yang bisa
kita lihat sehari-hari di sekitar kita, berupa alam dengan
segala isinya, yaitu matahari, bulan, bintang, tumbuh-
tumbuhan, binatang, manusia "."
?" Tapi menurut teman-teman, kalau yang kita
gambar itu adalah manusia atau binatang, nanti semua
ini akan menagih nyawa kepada kita di akhirat."
"Itu pun merupakan pendapat yang sungguh-sungguh
tak masuk di akal," kata emak sambil tertawa. "Semua
gambar yang kau buat itu adalah bentuk-bentuk datar
yang mati sejak semula, bukan dimatikan, bukan kau
matikan. Sama saja keadaannya dengan gambar-gambar
isi alam lainnya. Bukankah menurut Pamanmu, dan
dibenarkan oleh Mas Singgih, Tuhan menyuruh kita
mempelajari alam dan segala isinya" Bila demikian emak
kira Tuhan pasti tidak melarang kita menggambarkan
semua itu sebagai tanda kekaguman dan penerimaan
kita atas ciptaan-ciptaan-Nya tersebut. Maka kalau
dengan mempelajari semua itu kita mendapatkan
kepandaian, yaitu ILMU, dengan menggambarnya kita
juga memperoleh kepandaian, yaitu SlH
Dan Tuhan katanya sangat menghargai orang-orang
yang pandai di bidang-bidang yang diridhoi-Nya"
"Lalu bagaimana dengan menggambar Rasul?"
"Muhammad SAW memang seorang manusia. Jadi
berwujud, berbadan jasmani. Namun sebagai Rasulullah
yang penting adalah semangatnya. Sama halnya dengan
zat yang adanya Allah, bagaimana menggambar
semangat ini" Kita mungkin bisa melukiskan zat dan semangat
tersebut dengan kata-kata, dengan musik, tetapi pasti
tidak muali kin dapat melukiskannya dengan gambar."
Walaupun begitu emak menganjurkan aku untuk
menanyakan hal ini pada Ustad Hasan Basri. Dan ustad
sependapat dengan emak. "Tak ada larangan semacam
itu," katanya. "Emakmu benar sekali. Bahkan di Persia
dan ada tradisi menggambar dan melukis yang khusus
menghasilkan manuskrip dan risalah keagamaan. Kalau
kau mau melihatnya, datanglah ke rumah kapan saja."
Ketika aku singgah di rumahnya, ustad menunjukkan
kepadaku beberapa buku berbahasa Arab mengenai
lullah, riwayat hidupnya, peluangannya serta kisah israk
dan mikraj. Buku-buku ini penuh dengan ornamen dan
ilustrasi yang menggambarkan Rasulullah Muhammad
dan lain-lain Rasul serta Nabi yang ditemuinya selama
perjalanan malam hari dari Masjidil Aksa ke
Sidratulmuntaha, malaikat Jibril yang bersayap seribu,
para bidadari, surga dan neraka. Buku-buku ini dibeli
ustad di Mesir ketika dia belajar di Al Azhar. Tidak ada
orang-orang yang meributkan buku-buku semacam itu di
sana, dijual untuk: umum di toko-toko buku biasa. Dan
menurut dia pida% yang kuucapkan untuk memperingati
maulud nabi, nuzulul quran dan israk-mikraj dia susun
banyak sedikitnya dari uraian-uraian buku-buku tersebut,
yang memang autentik ia akhirnya menganjurkan aku
untuk membuat kaligrafi, Sebulan kemudian kuberikan
kepadanya gubahan kaligrafiku yang pertama, yaitu
"bismillahir rohmanir rohim berupa burung terbang.
Bukan main senang hatinya. Bahuku ditepuknya
berulang-ulang. Selagi belajar di HIS pengetahuan umumku bertambah
luas. Perlengkapan sekolah berbahasa Belanda ini jauh
lebih memadai daripada sekolah Melayu padahal secara
formal kedua-duanya merupakan sekolah dasar. Ia
mempunyai ruang perpustakaan tersendiri. Buku-
bukunya sebagian terbesar buku Belanda. Sisanya buku-
buku berbahasa Melayu terbitan Balai Poestaka yang
praktis sudah kubaca semua. Di dinding setiap kelas
bergantungan schoolplaten yang dipakai sebagai sarana
berbahasa Belanda. Gambar-gambar ini mengingatkan
aku akan gambar-gambar dinding yang pernah aku buat
di sekolah Melayu dahulu. Kemampuan teknisku dalam
menggambar juga bertambah berkat perhatian khusus
dari Meneer Soemarno, de tekenleeraar, kepadaku.
Setelah kutunjukkan kepadanya beberapa sketsa dan
lukisan yang pernah kubuat, dia mengatakan bahwa aku
sebenarnya tidak perlu lagi mengikuti pelajaran
menggambar di sekolah ini. Pada jam tersebut aku bebas
untuk berbuat apa saja. Kesempatan ini tidak kupakai untuk santai bermain-
bermain, tetapi kumanfaatkan untuk membuat sketsa
tentang sekolah, keadaan lingkungannya dan istana
Sultan Deli berikut mesjid Maimoon serta taman bunga
yang terletak tidak jauh dari sekolah. Hal-hal yang
kulakukan ini ternyata sangat dihargai oleh Meneer
Soemarno. Apresiasi ini dinyatakannya dengan sebuah
hadiah berupa satu kotak pastelkrijt merk Greyhound.
Dia mengatakan supaya aku datang ke rumahnya kapan
saja agar dituntunnya bagaimana memadai kapur
gambar tersebut. Aku pernah diajaknya untuk
mengunjungi pameran pelukis Basoeki Abdoellah di Hotel
de Boer. Dia yang membayarkan karcis masuk sebesar
lima sen untuk anak sekolah. Beberapa bulan kemudian
aku ditraktir lagi ketika pelukis Frederick Kasenda
berpameran di Grand Hotel Di setiap pameran itu dia
berusaha menerangkan kepadaku kekuatan, kelemahan
serta kelebihan dan kekurangan dari setiap lukisan yang
ada d.pandang dari sudut sapuan kuas, dan kombinasi
warna, licht en schaduw dan keseimbangan perhatian
sang pelukis. Dalam periode ini pula aku mulai mendapat
penghasilan dari kemampuanku melukis. Pertama,
dengan menggambar wajah dan kedua, membuat
ilustrasi di bidang pernovelan Membuat gambar wajah
berawal pada suatu kebetulan sama sekali tak terpikirkan
sebelumnya. Teman karib dari Babah Sm Ko Han
meninggal dan keluarga yang kemalangan ini
memerlukan sebuah gambar wajah yang berukuran agak
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar dari almarhum. Babah Sin yang mendengar aku
pandai menggambar dari anaknya, yang adalah sahabat
karibku, menyuruh si anak menanyakan kesediaanku
membuat gambar wajah yang diperlukan itu.
Tapi Apek, saya belum pernah membuat gambar
seperti itu, kataku penuh keraguan.
"Ayolah Daoed, kau pasti bisa. Saya yakin itu," kata si
Apek penuh keyakinan. Tukang potret pasti tidak bisa
memperbesar foto sebesar itu. Ayo, cobalah, ada
keluarga yang sangat memerlukannya. Ini foto dari
teman ayah yang meninggal itu."
Dia menberikan sebuah pasfoto yang harus
kuperbesar sampai seukuran 50 cm Syaratnya hanjs
persis sepert. Foto yang ber warna hitam putih, dan
harus bisa siap besok pagi. Ini berarti aku harus
menggambar sepanjang malam. Ketika kutanyakan
pendapat emak, dia tidak segera menjawab.
"Terserah kau sajaIah?" katanya kemudian. "Jangan
lupa bahwa besok kau harus bersekolah- Namun ini
merupakan tantangan, benar-benar suatu tantangan.
Aku terima tantangan itu. Gambar itu kubuat dengan
menggunakan konte bubuk hingga jadinya bisa halus
bagai sebuah foto. Menjelang subuh gambar itu siap,
persis seperti wajah yang tertera di pasfoto. Sebelum
berangkat ke sekolah gambar itu kuserahkan kepada
Babah Sin. Dia sangat puas setelah melihatnya, demikian
pula si Apek. "Saya sudah tahu kau ini hebat," katanya
memuji dengan mengacungkan jempolnya. nBut you are
always so modest lah" Dua hari kemudian aku menerima
honor sebesar 15 gulden, suatu jumlah yang cukup
besar, sebesar gaji bulanan dari seorang kerani muda di
kantor. Sejak itu aku menjadi terkenal di kalangan komunitas
Cina. Pesanan gambar mulai mengalir. "Kau ini
mengembangkan suatu keahlian yang aneh," komentar
Kak Ani bersenda-gurau. "Lama-lama kau menjadi
tukang gambar Cina mati. Hati-hati kau, nanti ada hantu
yang datang menggoda!"
"Ah, tidak juga Kak," jawabku. "Lihat foto suami isteri
ini. Mereka ini orang-orang Cina yang masih hidup, sehat
dan segar bugar, pemilik salah satu toko di
Cantonstraat." Di antara pesanan gambar yang aku terima memang
datang dari orang-orang yang masih hidup. Mereka ingin
dibuatkan gambar wajah yang berukuran besar, persis
seperti foto, yang tukang potret ketika itu belum mampu
membuatnya. Dengan membuat gambar-gambar wajah
ala foto ini, kemahiranku membuat gambar wajah
semakin meningkat. Aku sendiri sebenarnya tidak puas.
Menggambar wajah hitam putih ala foto kulakukan bukan
karena pilihanku. Aku lakukan semua ini tidak karena
dorongan artistik. Namun aku selalu berusaha membuat
yang lebih sempurna daripada yang sudah kulakukan
sebelumnya mengenai setiap pekeijaan. Dalam bekeija
yang kuutama-kan adalah kepuasanku sendiri. Hasilnya
ternyata diterima baik oleh setiap pemesan. Padahal
yang kumimpikan sebenarnya adalah melukis wajah
berwarna dari orangnya langsung duduk berpose di
depanku sebagai model, bukan menggambar wajah
h,tam putih ala foto berdasarkan foto pula. Karena rasa
tidak puas inilah maka aku tak membubuhi namaku di
atas semua gambar wajah yang aku buat itu.
Ceritanya lain bila mengenai pembuatan ilustrasi
dihidang pernovelan. Kerja seperti ini memang sangat
aku inginkan, sudah lama kupikirkan sebelumnya dan
semakin terangsang setelah aku melihat school platen
yang ada di HIS. Maka kuberanikan diri ke kantor
penerbit seri "Cendrawasih" yang setiap bulan
menerbitkan sebuah novel pendek. Redaksi bersedia
memberikan aku kesempatan yang pasti tak akan aku
sia-siakan begitu saja. Aku berusaha keras untuk
membuat ilustrasi yang pertama ini sebaik mungkin
dengan membuat dua gambar guna dipilih sendiri oleh
redaksi. Ternyata seluruh staf redaksi menjadi bingung
sendiri untuk memilihnya. Akhirnya mereka menyerahkan
kepadaku untuk membuat pilihan. Dengan demikian di
usia 13 tahun, ketika duduk di kelas terakhir HIS, aku
sudah menjadi ilustrator.
Emak bangga sekali dengan prestasiku ini. Buku yang
kulitnya dihiasi oleh gambar buatanku ini dipegangnya
lama sekali, ditimang-timangnya bagai menimang
seorang cucu. Berulang-ulang dia mengalihkan
pandangannya dari ilustrasi ke wajahku, dari wajahku ke
ilustrasi lagi dan demikian berkali-kali. Karena emak tidak
bisa membaca aku katakan kepadanya bahwa di bawah
kanan gambar itu kutulis nama bapak selengkapnya. Aku
pun berjanji akan enceritakan kepadanya garis besar isi
cerita dari buku yang kulitnya kugambar ini. :
"Simpan baik-baik buku kecil ini," demikian pesan
emak, "demi gambar yang kau buat di kulitnya itu. Sebab
sebuah gambar yang benar-benar baik harus dilihat
berulang-ulang, di saat kau remaja, di waktu kau dewasa
dan kelak di hari tuamu, sebagaimana halnya dengan
sebuah bangunan, pemandangan atau taman yang
indah, seharusnya dipandang di bawah sinar matahari
pagi, di siang hari dan di bawah cahaya bulan."
Berhubung membuat ilustrasi kulit buku sudah aku
niatkan dengan sadar sejak lama, di setiap gambar aku
bubuhi nama. Karena menggambar ini merupakan suatu
perbuatan yang membanggakan, aku memutuskan untuk
membawa nama keluarga, yaitu "Joesoef. Maka nama
yang kutulis pada setiap gambar dan lukisan adalah "D.
Joesoef. Namun terus terang setiap gambar atau lukisan
yang kubuat tidak memberikan kepuasan yang sama,
karena aku anggap tidak sama baik mutu artistiknya.
Setiap kali aku menyelesaikan sebuah gambar atau
lukisan aku bandingkan karya tersebut dengan apa yang
sesungguhnya ada di alam, dari dunia flora dan fauna,
sebagai tes terakhir. Bila karya tadi kuanggap pantas
bersanding dengan ciptaan Ibu Alam yang tidak bisa
dibuat oleh manusia itu, ia kunyatakan bermutu dan
kutandai dengan nama "D. Joesoef. Bila karyaku itu
kelihatannya kurang sebanding ia kuanggap kurang dan
kutandai dengan nama "D. Joes". Sudah tentu perailaian
seperti ini sangat subyektif sebab apa yang kuanggap
kurang bermutu tadi adakalanya sangat memuaskan
pandangan artistik teman-teman. Untunglah yang
sebaliknya tidak pernah teijadi. Akibat dari penggunaan
nama seperti ini adalah bahwa teman-teman yang belum
mengenal aku sebelumnya memanggilku dengan sebutan
"Bung Joes" saja.
Pada suatu sore rumah kami didatangi oleh seorang
laki-laki dewasa yang kelihatannya agak berang. Tanpa
basa-basi dia langsung mengatakan kepada emak, yang
kebetulan sedang berada di halaman depan, ingin
bertemu dengan jsaudara D. Joes" Aku sendiri tengah
berada di sumur menimba air. Emak segera
memberitahukan hal ini kepadaku sambil mengingatkan
bahwa sang tamu kelihatannya tidak bermaksud baik.
Aku pun bergegas menemui tamu yang tak diundang itu.
"Ya, ada apa Bang". Kataku dengan mendekatmya
sekalem mungkin. Memang kuikat sikapnya tidak ramah
sama sekali. Orang itu lama menatap aku seperti tidak percavaSl
diperhatikannya benar-benar dari ubun-ubun hingga
uiuns kaki, berulang-ulang. "Kau benar-benar yang
bernama D. Joes?" Aku mengangguk. Agak heran juga aku sebenarnya
"Kalau Abang tak percaya," kataku, "silakan tanya
kepada para tetangga, orang sekampung ini, bahkan
kepada Penghulu." Aku semakin percaya diri
menghadapinya. "Kau yang membuat gambar ini kan?" Nada suaranya
semakin merendah. Dia menunjukkan kepadaku buku
seri "Cendrawasih" yang terbaru berjudul "Tahi Lalat
Tiruan" karangan Joesoef Sou"yb. Ini sebuah roman
detektif yang kocak. Sebagai ilustrasi kulit buku saku ini
kugambar seorang perempuan cantik dengan tahi lalat di
pipi, duduk dekat jendela gerbong kereta api.
"Ya" Saya,ah yanS menggambarnya Bang," kataku
masih terheran-heran. "Ada apa rupanya?"
Tamu itu tidak segera menjawab. Akhirnya dia tertawa
sendirian, terbahak-bahak. Kemudian dia menyalami
emak dengan sopan santun dan menjabat tanganku lama
sekali. Sikapnya kelihatan semakin ramah dan rileks.
"Mak, nama saya Wan Ibrahim," katanya
memperkenalkan diri kepada emak dan aku. "Maaf
beribu maaf kalau sikap saya terlalu kasar, tidak sopan.
Saya memasuki halaman rumah ini tadi memang dengan
rasa amarah dan jengkel" karena cemburu buta." .
Cemburu?" emak dan aku saling memandang, tak
mengerti duduk perkara. "Mengapa cemburu?"
"Wajah perempuan yang digambar oleh dik Joes ini mirip
sekali dengan wajah Siti Noerhajati" istri saya."
"Ooh begitu," ucap emak dan aku serentak. Aku
bernafas lega, kukira emak demikian pula.
Tadinya saya curiga pelukis D. Joes ini adalah seorang
dewasa seperti saya. Tak saya sangka dik Joes masih
remaja, masih semuda ini, lebih pantas menjadi adik
kami daripada menjadi pemuda yang harus dicurigai,
dicemburui." "Syukurlah masalah dik Berahim kini telah jelas
terjawab sendiri," kata emak.
"Ya Mak, bagi saya sudah jelas sekali duduk
perkaranya. Semua ini pasti suatu kebetulan belaka,"
sambung Wan Ibrahim. "Saya khilaf dan terlalu keburu
nafcu. Saya malu sekali dan merasa bersalah besar. Tadi
sebelum kemari saya dan istri sempat bertengkar karena
tuduhan-tuduhan saya."
"Emak percaya bahwa si Siti, istrimu itu, tentunya
cantik sekali." "Begitulah Mak " dia dulu gadis tercantik di kota kami
" diberi julukan Mawar kota Bengkalis?"
"Pantas sekali kalau suaminya menjadi pencemburu."
Wan Ibrahim tersenyum kesipuan mendengar kelakar
emak. Tak baik begitu dik Berahim," kata emak
selanjutnya. "Kalau sudah berumah tangga, suami istri
seharusnya saling percaya-mempercayai."
Setelah berkali-kali minta maaf Wan Ibrahim akhirnya
mohon permisi pulang. Rasa menyesal jelas membayang
di wajahnya. "Jangan lupa meminta maaf pada istrimu sendiri,"
pesan emak berulang kali.
Dua hari kemudian dia datang lagi. Kali ini bersama
istrinya dengan membawa oleh-oleh serantang lauk-pauk
hasil masakannya sendiri. Memang wajah perempuan ini
dengan tahi lalat di pipinya mirip sekali dengan wajah
yang kugambarkan di kulit buku saku seri "Cendrawasih"
itu. Emak mempersilakan mereka duduk di serambi. "Dik
Siti rupanya tidak hanya cantik tetapi juga pandai
memasak." puji emak.
Sebelum pulang Wan Ibrahim sempat menanyakan
kesediaanku untuk melukis istrinya yang cantik itu Dia
telah membawa foto Kak Siti yang sebesar kartu pos
untuk dicontoh. Aku katakan pada Bang Berahim sebai
ny Kak Siti kulukis tidak dari fotonya seperti menggaSi
wajah Cina mati saja. Sebaiknya dia kulukis langsung dari
orangnya dengan memakai pastelkrijt berwarna. Memang
melelahkan karena harus duduk diam berpose berjam-
jam tetapi kalau jadi pasti memuaskan yang dilukis dan
yang melukis. Demikianlah, Kak Siti kulukis di rumahnya
selama dua hari berturut-turut karena kebetulan hari
libur Dan hal ini adalah pengalamanku yang pertama
dalam melukis wajah orang yang berpose sendiri sebagai
model. Bang Ibrahim yang sangat puas melihat lukisan
ini memberikan aku honor sebanyak tiga ringgit. Dia
adalah pengusaha kopra pinang.
Aku diterima di MULO pada saat Kerajaan Belanda
baru saja diduduki Jerman dan Ratu Wilhelmina sudah
mengungsi ke Inggris. Di sekolah ini aku juga mendapat
perhatian yang tersendiri dari tekenleeraar Meneer Ter
Haasse. Di sekolah lanjutan berbahasa Belanda ini ada
sebuah niangan khusus untuk pelajaran menggambar.
Perpustakaan sekolah menyediakan pula buku-buku yang
berisi reproduksi dari karya pelukis-pelukis besar Belanda
seperti Rembrandt, Rubens, Jan Vermeer, Van Gogh,
Breitner dan ain-lain. Dengan segera aku menjadi
pengagum Rem-brandt yang sangat mahir menampilkan
lighr en schaduw pada tampang orang-orang yang
dilukisnya. Garis-garis sketsanya juga impresif sekali.
Kalau ada hari libur Meneer J Haasse mengajak aku
membuat sketsa atau dstafereel karena dia tahu aku
senang berbuat demikian sambil berusaha meningkatkan
kemampuan teknisku dalam melukis di luar. Dia pun
memberikan aku sebuah buku tentang Rembrandt karena
dia tahu aku sangat mengagumi pelukis yang satu ini.
Dia juga menganjurkan aku untuk berusaha belajar di
"Ecole des Beaux Arts" di Paris di mana dia dahulu
pernah belajar."En bovendien," katanya, "Paris, c"estla
ville lumiere" etsa Sorbonne, sa L"ocuvre, ses parcs " o
la la " o la la ?"
Di antara kerumunan orang-orang yang menonton aku
membuat sketsa, kulirik ada seorang Belanda dan
beberapa sinyo dan noni. Yang sedang aku sketsa adalah
seorang pengemis. Di hari Jumat itu dari sekolah aku tak
langsung pulang ke rumah, tetapi pergi ke toko di
bilangan Centrale Passer membeli sesuatu. Ketika hendak
pulang kulihat seorang pengemis tua berdiri di pinggir
jalan. Melihat sosok tubuh yang kurus kering dan
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkeriput itu hatiku terenyuh dan perasaan tergerak
untuk menggambarnya. Aku ajak dia ke taman yang
teduh di sudut pasar agar berpose untukku. Setelah
selesai kuberi dia uang seketip dan sepotong roti yang
kubeli dari penjaja penganan yang ikut berkerumun. Aku
tidak segera pulang, beristirahat sejenak di bangku
sambil menatap sketsa yang baru kubuat tadi. Sang
pengemis juga duduk-duduk di rumput karena kelelahan
berdiri terus-menerus selama kugambar.
Di saat itulah orang Belanda itu menghampiri aku
diikuti dari belakang oleh semua sinyo dan noni yang
sejak tadi memperhatikan aku menggambar. Dia
bertanya dalam bahasa Melayu yang baik apakah boleh
melihat gambar sang pengemis. Aku berikan kepadanya
buku sketsaku. Karena berupa buku dia bertanya lagi
apakah dia dan semua sinyo dan noni yang ada boleh
membalik-balik buku sketsa. Kujawab dalam bahasa
Belanda bahwa aku tidak keberatan. Mendengar aku bisa
berbahasa Belanda mereka kelihatan semakin santun dan
egaliter. Lebih-lebih setelah kujelaskan, karena orang
Belanda itu menanyakan, bahwa aku seorang MULO-
ling"*. Dia rupanya adalah Guru HBS yang berada di
dekat taman ini dan sinyo serta noni ini adalah murid-
muridnya. Setelah dari kejauhan mereka melihat orang-
orang berkerumun mereka berpikir ada kecelakaan atau
insiden lainnya di taman ini , yang merupakan terusan
dari halaman HBS, hanya dipisah kan oleh sebuah pagar
tanaman hidup. Dia menanyakan apakah sketsa pengemis itu boleh
dibelinya. Aku keberatan karena hal itu berarti aku harus
merobeknya dan buku sketsa. Lalu dia bertanya apa aku
bersedia membuatnya sekali lagi untuk sekolahnya Dia
memperkenalkan dirinya bernama Van Hooyer
tekenleeraar di HBS itu. Dia mengusul supaya gambar ini
kubua di ruang gambar sekolah. Ruang ini kudapati jauh
lebih besa danpada yang ada di MULO dan
perlengkapannya j!ga jauh lebih memadai. Dia
mempersilakan aku memilih medl yang tersedia: karton
serta kertas gambar berbagai ukuran dan warna, konte,
pastelkrijt, cat air, eat poster serta cat minyak. Yang
kupilih adalah selembar karton berukuran 150 x 80 cm
dan konte hitam, putih, coklat dan kuning oker Sekolah
sebenarnya sudah tutup tetapi beberapa guru dan murid
masih ada yang belum pulang. Tanpa diminta, mereka
semua ikut masuk ke ruang gambar melihat apa yang
kulakukan. Karena gambar pengemis ini kubuat untuk
kedua kalinya, dengan model dan posisi yang sama
tanganku sudah seperti bergerak sendiri, bagai menari
kekanan, ke kiri, ke atas dan ke bawah, menjelajahi
seluruh permukaan karton, selama hampir dua jam.
Setmti3H Pengemis tua sudah berpindah ke atas karton.
Semua yang hadir memuji kecekatanku dan menganggap
ah siap. Tetapi aku sendiri belum puas. Pengemis itu
belum kuijinkan pergi. "Wat zie je toch in hem?" tanya Meneer Van Hooyer.
Dia pun rupanya menganggap lukisan ini sudah af, sudah
selesai. -Ik zie in hem geen lichaam, geen vlees en bloed,
geen aeraamte, ik zie alleen lijnen, een en al lijnen:
kataku. Sungguh yang kulihat pada diri pengemis ini
adalah tak lain daripada garis keriput di dahinya, di
mukanya, di badannya, tangannya, kakinya. Seluruhnya
merupakan garis garis-garis yang menyatakan kesedihan
dan kesengsaraan hidup " "ja alles, al die lijnen spreken
van verdriet, niet anders dan levensverdriet en ellende."
"Ah, wat een filosofie," kata Meneer Van Hooyer. "Nee
Meneer," tukasku, "het zijn feiten. Hardefeiten die mijn
hand doen bewegen?" Saya masih ragu, belum puas.
Lukisan ini belum siap. Tunggu dulu.
Akhirnya kuketahui di mana letak kekurangan lukisan
ini. Representasi baju pengemis itu, lekuk, lipatan dan
kecompang-eampingannya belum sepenuhnya ikut
mengatakan kesengsaraan si pemakai. Apa yang tertera
di karton baru berupa corat-coret konte, belum lukisan
yang menggambarkan baju pengemis sebagaimana
adanya. Lebih mirip dengan baju jubah pendeta dari
lukisan Hans Holbein. Aku pun mulai memperbaikinya
hingga baju tersebut betul-betul menyatu dengan
penampilan sang pengemis. Selesai dalam 15 menit. Di
bawah kiri lukisan segera kububuhi nama "D. Joesoef.
Aku puas. "Well, well, eindelijk. Zieje," kata Meneer Van Hooyer,
tidak tahu kepada siapa. "Hoe groter de kunstenaar,des
to grooter de twijvel. Zelfoverschatting is de troostprijs
van minder begaafden "
"Wat denk u van mijn tekeningT tanyaku kepadanya.
Dia menatapku dengan senyum keguruan dan berkata
dengan nada kebapakan, "talent is eenjijne spiegel met
een gouden lijst, met de naam van de eigenaar
gegraveerd aan de aehterkant.
Setelah memberi uang kepada pengemis dan
mengizinkannya pergi, tekenleeraar ini ingin pula
memberikan aku honor. Uang itu kutolak dengan halus.
"Dank u zeer Meneer Van Hooyer," kataku. "Adalah satu
kehormatan buat saya bahwa lukisan saya digantung di
dinding kelas HBS Saya tahu benar bahwa keadaan tidak
akan pernah memungkinkan saya bisa diterima belajar di
sekolah bergengsi ini, betapapun besarnya keinginan
saya untuk itu." Tiga hari kemudian ketika hendak pulang, Meneer Ter
Haasse sudah menungguku di tempat penyimpanan kere-
tangin. Menurut dia Meneer Van Hooyer telah
menceritakan kepadanya segala sesuatu tentang lukisan
pengemis tua yang sekarang sudah digantung di ruang
gambar HBS. "Semua staf pengajar di sekolah itu,
termasuk direkturnya, kagum atas prestasimu itu,"
katanya. "Dan kolega saya, Meneer Van Hooyer,
meminta saya menyampaikan kepadamu paket ini
sebagai tanda penghargaannya. Dia meminta saya yang
menyampaikannya karena khawatir nanti kau tolak lagi.
Kalau kali ini kau tolak juga tentu dia akan kecewa sekali.
Well, terimalah!" Paket itu kuterima. "Tolong sampaikan terima kasih
saya," kataku. Keseluruhan paket itu terdiri dari beberapa
helai kanvas, kuas, lijnolie, satu kotak cat plakat dan satu
kotak cat minyak, serta sebuah buku. Buku ini, baik
bentuk, ukuran maupun kertasnya, sama persis dengan
buku sketsa biasa. Tetapi di setiap halamannya tercetak
reproduksi sketsa dari Walter Spies tentang aspek
kehidupan dan alam sejak dari Sabang, Jawa hingga Bali.
Buku ini dimasyarakatkan oleh maskapai pelayaran
"Rotterdamsche Lloyd" dalam rangka promosi
kepariwisataan. Emak menyuruh aku membuat surat
ucapan terima kasih kepada Meneer Van Hooyer.
Menurut emak biar bagaimanapun paket dan
penghargaan itu bukan datang dari orang biasa, tetapi
dari seorang guru kepada seorang murid. "Biarpun dia
seorang Belanda yang belum kau kenal sebelumnya dan
kau sendiri bukan muridnya langsung, dia adalah seorang
GURU dan kau seorang MURID. Dan guru harus
dihormati. Guru adalah orang tua kedua dari murid di
sekolah. Camkan itu di pikiran dan hatimu!"
Semasa pendudukan Jepang aku tak bersekolah lagi,
walaupun pendidikan formalku di tingkat menengah
pertama belum selesai. Bukan karena MULO diubah
menjadi Tjuu Gakko tetapi berhubung sistem pengajaran
di sekolah menengah pertama ala Jepang ini menjadi tak
menentu. Di sekolah ini ditampung pelajar-pelajar
pindahan dari Madrasah Sanawiah dan para lulusan dari
Madrasah Ibtidaiah, Sekolah Dasar Melayu dan HIS. Hari
liburnya bukan lagi Minggu tetapi Jumat. Sudah tentu
para guru juga bingung karena harus mengajar murid-
murid yang datang dari sistem persekolahan yang sangat
berlainan fokus pendidikannya. Belum lagi adanya
keharusan bagi mereka untuk bisa menguasai bahasa
Jepang secepat mungkin. Sementara itu semua murid
dikerahkan setiap hari untuk berkinro hosi, bergotong
royong demi kemenangan peperangan Asia Timur Raya.
Yang musti dikeijakan oleh murid-murid dengan
keharusan berkepala gundul ini adalah memperluas
lapangan terbang Polonia di bawah terik matahari.
Lapangan terbang yang sudah ada sejak zaman Belanda,
demi perluasannya, dijadikan satu dengan lapangan
pacuan kuda dan lapangan golf yang terletak di
sebelahnya. Pelajar yang dianggap lamban ditempeleng
oleh serdadu Jepang, ditendang, bahkan ada yang
dipukul dengan sekop hingga pecah kepalanya. Maka
tidak sedikit yang memilih keluar dari sekolah, termasuk
aku sendiri, setelah berusaha bertahan selama hampir
enam bulan. Waktu yang selama ini kupakai untuk
bersekolah se karang kumanfaatkan seluruhnya untuk
membaca. Buku yang disita oleh penguasa Jepang dari
semua rumah dan gedung perkantoran Belanda
dikumpulkan di gedung AVROS, tempat Pakcik Leman
dulu bekerja. Gedung ini lalu dijadikan sebuah perpustakaan umum.
Kesinilah aku datang membaca hampir setiap hari. Di sini
aku bertemu dengan beberapa mantan guru HIS, MULO
dan praktis semua murid yang keluar dari Tjuu Gakko.
Pergaulan kanu menjadi sangat akrab, bagai pergaulan
dari orang-orang yang senasib sepenanggungan, yang
sulit menyesuaikan diri pada keadaan yang sama sekali
berbeda, hingga bahasa yang dipakai secara spontan
adalah bahasa Belanda Kami pun mendapat pelayanan
yang khusus dari Kepala Perpustakaan ini, seorang
pensiunan guru MULO yang menjadi terhalang untuk
kembali ke kampung halamannya di Jawa. Dan di sini
pulalah aku menjadi semakin dekat dengan Nasjah, yang
nama lengkapnya adalah Noer Alamsjah Djamin.
Sebenarnya kami sudah saling mengenal di MULO,
namun ketika itu jauh dari akrab, hanya sebatas . "hallo"
atau "goede morgen" kalau kebetulan berpapasan.
Nasjah Djamin seorang yang pendiam, baru berbunyi
kalau disapa. Kemahirannya dalam membuat sajak, syair
dan pantun jauh lebih besar daripada dalam membuat
lukisan. Yang pasti kegemaran kami ada yang pereis sama,
yaitu membaca dan membaca. .
Ketika penguasa Jepang membuka Bunka Ka, kantor
propaganda yang berkedok kebudayaan dan
membutuhkan Pelukis, Nasjah dan aku melamar keija di
sini. Mula-mula kami ragu-ragu melakukannya karena
pada dasarnya kami sudah membenci Jepang yang
tindak-tanduknya serba kasar dan terus terang agak
biadab. Namun ada pengumuman penguasa yang
menetapkan bahwa orang-orang dewasa yang tidak
punya pekeijaan yang tetap atau tidak bersekolah, tidak
akan diberi kartu pembagian bahan makanan pokok. Ada
pula desas-desus akan ada rekrutmen dikalangan
pemuda yang menganggur untuk dijadikan heiho.
Lamaran kami diterima. Ada delapan pelukis yang bekeija
I di Sini, dua di antaranya pernah menempuh pendidikan
formal khusus dalam seni di "Indonesische Nijverheid
School" di Kayu Tanam. Sisanya adalah otodidak,
termasuk aku. Ada pula seorang yang sangat berpengalaman di
bidang periklanan, Bang Kamil, karena di zaman Belanda
dia bekerja di sebuah Biro Reklame Belanda. Dari dia aku
kemudian banyak belajar tentang seluk beluk membuat
poster, slide iklan untuk bioskop dan membuat berbagai
macam H huruf yang artistik dan menarik.
Divisi seni rupa dari Bunka Ka terpisah letaknya dari
kantor pusat. Divisi ini menempati gedung yang di zaman
Belanda adalah toko "De Zon" di Jalan Kesawan. Ruang
besar di depan yang dahulu sehari-hari merupakan
tempat memamerkan baju-baju dan asesori modieus, kini
menjadi tempat pameran permanen di mana dipajang
poster-poster propaganda yang dikirim dari Jepang dan
yang dibuat oleh staf pelukis Bunka Ka. Sudah tentu
semua poster menggambarkan serdadu-serdadu Nippon
yang gagah perkasa sementara di dalam kota semakin
banyak berkeliaran romusha. Mereka ini dibawa
penguasa dari Jawa dan setelah mereka tak berdaya lagi
untuk diperas tenaganya di berbagai proyek kemiliteran,
mereka dilepas begitu saja ke jalan mencari makanannya
sendiri, mengais-ngais tempat sampah bagai anjing. Tak
ada seorang pun dari mereka gg yang tidak berkudis.
Setiap kali kulihat sosok-sosok manusia yang malang
ini, aku teringat pada lukisan pengemisku di zaman H
Belanda dahulu. Garis-garis yang menandai penampilan
para romusha di zaman Jepang ini lebih rapat, tidak
hanya menyatakan kepedihan dan kesengsaraan, tetapi
lebih banyak lagi: kepedihan, kesengsaraan, penipuan,
pemerasan, penindasan, kesewenang-wenangan.
Pokoknya semua yang berlawanan dengan
perikemanusiaan. Dibandingkan dengan garis-garis
pengemisku yang dahulu, garis-garis romusha tersebut
jauh lebih mencekam perasaan. Tanganku tak kuasa
menggerakkan konte untuk menggambarkan penampilan
mereka. Gedung HBS di mana lukisan pengemisku digantung
sudah dijadikan asrama oleh tentara Jepang , tak tahu
aku bagaimana jadinya nasib lukisan itu sekarang serta
keadaan bahan-bahan menggambar dan mematung
ahulu mengisi leman, rak dan meja di ruang menggam af
Jangan-jangan semua ini dicampakkan begitu saja oleh
serdadu-serdadu yang menempatinya atau bersama-
sama bangku sekolah dijadikan bahan bakar guna
memanasi tong-tong mandi para perwiranya, Mudah-
mudahan bahan-bahan itu disita dan sekarang turut
mengisi gudang divisi seni rupa dari kantor Bunka Ka ini
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipimpin oleh -orang sipil. Kabarnya dia adalah pewaris
dari pemilik salah satu perusahaan raksasa di negerinya.
Badannya tinggi besar, kalau bukan karena matanya
yang sipit, Kikuo san ini bisa disangka seorang bule. Dia
seorang karikaturis yang sangat mengagumi
impresionisme dalam Seni lukis terutama yang serba
Perancis dan relatif lancar berbahasa Inggris. Dia
kelihatannya tidak oegitu peduli pada ambisi militeristis
pemerintahnya dan Kadang-kadang mengutarakan
ucapan-ucapan yang sangat is. Dia tidak pernah
menyembunyikan impiannya untuk bisa belajar lagi di
Bunka Daigaku di Tokyo. Dia pulalah yang langsung
mengatakan kepada kami, semua staf pelukisnya, ketika
Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika
Serikat. "The war is over. We loose ne " we loose | m
loose "katanya berkali kali.
Begitu Jepang bertekuk lutut dan Indonesia
menyatakan kemerdekaannya di bulan Agustus 1945,
para pelukis yang ada di Bunka Ka berprakarsa
membentuk suatu organisasi seniman yang dinamakan
"Angkatan Seni Rupa Indonesia" (ASRI). Organisasi ini
ternyata mendapat sambutan yang baik. Tidak kurang
dari 20 orang pelukis datang menggabungkan diri, yang
pekeijaan sehari-harinya tidak di bidang seni. Ada yang
pedagang, guru, kerani, tetapi senang melukis. Dalam
rapat anggota yang lengkap, diadakan pemilihan
pengurus. Pelukis senior Bung Hoessein ditetapkan
menjadi Ketua, Nasjah Djamin sebagai Sekretaris, aku
sebagai Bendahara. Tugas utama dari pengurus ini
adalah mengadakan pameran besar-besaran di bulan
Desember 1945. Dan pameran ini ternyata menjadi
pameran kolektif pertama yang pemah ada dalam
sejarah kota Medan. Sementara itu semua anggota mulai
bergerak membuat poster dan menulis slogan-slogan
peijuangan di tembok, di dinding kantor dan di dinding
gerbong kereta api berhubung serdadu NICA sudah
datang dengan membonceng tentara sekutu.
Keterampilanku dalam melukis ternyata sangat
bermanfaat ketika aku harus pergi jauh dari rumah,
merantau mencari ilmu pengetahuan. Pemanfaatan ini
sangat dibantu oleh ketidakcanggunganku untuk bekeija
dengan tangan berkat didikan emak. Ketika sampai di
Palembang pada bulan Oktober "46, dalam peijalanan
darat ke pulau Jawa, kulukis putra dan putri dr. M. Isa,
Residen Sumatra Selatan, untuk mendapatkan tambahan
uang. Setelah tiba di Banten dua minggu kemudian
persediaan uang yang kubawa ternyata tak ada gunanya
lagi. Uang Republik Indonesia telah keluar, semua uang
Jepang dinyatakan tidak berlaku lagi dan kesempatan
menukarnya sudah ditutup. Perahu yang kutumpangi
untuk menyeberangi Selat Sunda mengalami mati angin
hingga terlambat dua hari tiba di Anyer.
Lalu uang RI kuperoleh dengan H i Bung Karao dan
Bung Hatta bagi kantor Residen di serang. Guna
memperoleh uang sewaktu ber SMA di Yogya seusai
sekolah kudatangi toko-toko di sepanjang Malioboro yang
merek usaha atau warna temboknya sudah agak luntur.
Biasanya ada satu dua toko menerima jasaku mengecat
atau melabur. Kalau pekerjaan ini agak banyak, Tino
kuminta untuk membantu. Aku juga menggunakan
kemampuanku melukis sebagai sumber mencari nafkah
semasa awal pemukimanku di Jakarta. sambil mengikuti
kuliah di Fakultas Ekonomi Univsitas Indonesia.
Selama tahun "51-52 aku pernah menjadi ilustrator
pada penerbit "Poestaka Rakjat" dari Sutan Takdir
Alisahbana, membuat poster film-film India untuk
Bioskop Grand di Prapatan Senen dan poster drama yang
dipentaskan di panggung Miss Tjitjih di Kramat.
Sesudah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia
oleh Belanda kepada Indonesia, beberapa pelukis yang
secara fisik bermukim di Yogya dan Solo pindah ke
Jakarta, d, antaranya beberapa pelukis muda asal u-
matra: Nasjah, Tino, Nashar dan Zaini. Sewaku Belanda
menyerbu dan menduduki Yogyakarta dalam agresi
militernya yang kedua di penghujung tahun "48, Nasjah
dan fino menyingkir ke luar kota dan kemudian mengikuti
pasukan Divisi Siliwangi berlong mareh kembali ke Jawa
Barat. Mereka berdua turut menyaksikan betapa pasukan
m merebut kembali kantong-kantong basis pertahanan
RI ai situ yang terpaksa ditinggalkannya di bulan Februari
"48 karena tuntutan Persetujuan Renville sebulan
sebelumnya. an Perjalanan panjang herois ini Nasjah
mendapat ilham agi penulisan novelnya "Sekelumit
nyanyian Sunda", tiaf anyak membuat sketsa yang
sangat bernilai dokumenter, api sayang hilang
berceceran karena berkali-kali pindah pondokan selama
di Jakarta atau dipinjamkan kepada teman yang tidak
pernah mengembalikannya. Tino pernah mau menyerahkan sketsa-sketsanya itu
pada komandan kesatuan yang diikutinya sejak keluar
dari Yogya agar diarsipkan sebagai dokumen peijuangan
pasukan Divisi Siliwangi. Komandan tersebut menolak
karena skesta-sketsa itu dianggapnya sebagai lukisan
atau kerja belum selesai. Nasib sketsa peijuangan yang
kubuat kiranya tidak lebih baik daripada itu. Selama
agresi militer Belanda yang pertama di paruh kedua
tahun 1947, kesatuan Tentara Pelajar di mana aku
bergabung mengambil posisi di front Kedu-Ambarawa.
Berbagai aksi anggota TP ini kuabadikan dalam sketsa-
sketsa spontan di tempat kejadian. Teman-teman sangat
meminta agar semua sketsa yang kubuat itu disimpan
saja di pos TP Brigade 17 yang menempati dua ruang
kelas dari SMA B Kota Baru. Ketika pasukan payung
Belanda menyerang Yogya pagi-pagi tanggal 19
Desember 1948, anggota TP yang kebetulan berada di
pos ini, sebelum angkat kaki, membakar semua catatan
yang ada di situ, termasuk sketsa peijuangan TP yang
kubuat. Rupanya bagi teman-teman ini sketsa itu
diperlakukan sebagai dokumen rahasia yang pantas
dihancurkan agar tak jatuh ke tangan musuh, sedangkan
bagiku ia merupakan bahan yang bernilai sekaligus
artistik, dokumenter dan historis yang pantas dijaga guna
diteruskan ke anak cucu agar diketahui.
Di awal tahun 50-an ini Nasjah pernah mengatakan
kepadaku ada ide beredar yang ingin membentuk sebuah
organisasi untuk mewadahi kegiatan-kegiatan artistik,
semacam "De Bataviasche Kunstkring" tempo doeloe.
Kabarnya Belanda bersedia membantu melalui "Stichting
voor culturele samenwerking" (Sticusa) yang sudah
diben-tuk. Lalu dia mengajakku untuk ikut aktif
berpartisipasi mewujudkannya. Kupikir ini suatu ide yang
baik, namun aku tak mau ikut campur. Kukatakan kepada
Nasjah bahwa aku sudah jera hidup berorganisasi
dengan nara w berdasarkan pengalaman selama aktif me
"Seniman Indonesia Muda" dulu. Para Seniman ini adalah
orang-orang baik, solider pada keadaan sesama, peduli
pada nasib dan penderitaan rakyat namun pada
umumnya sangat tidak tertib, tak memperdulikan orde,
apalagi waktu walaupun lengannya memakai jam. Aku
memang menyukai kesenian tetapi tak senang pada
kehidupan seniman yang serba bohemian, tak teratur,
onverschillig. Artinya, aku tak mau lagi menetap dengan
ikatan organisatoris di dunia seniman. Memang kuakui
perlu dibina subkomunitas artistik sebagai bagian
konstitutif dari komunitas nasional di samping
subkomunitas bisnis, subkomunitas religius"
subkomunitas keilmuan dan lain-lain. Memang perlu ada
kesempatan bertemu secara teratur antara pelaku dan
pencinta seni dan, karena itu, perlu ada tempat yang
memfasilitasi pertemuan-pertemuan tersebut. Namun,
sekali lagi, aku tak ingin ikut campur.
"Lalu Joes, apa kegiatan intelektualmu di hari-hari
mendatang?" tanya Nasjah.
"Nas, saya sudah berhasil memulai suatu peijalanan
panjang ke arah menuntut ilmu pengetahuan dan ini
akan saya teruskan. Saya akan berusaha memenuhi
syarat untuk bisa menetap di lingkungan subkomunitas
keilmuan dari komunitas nasional kita. Di dunia keilmuan
ini ada juga keindahan, tapi di sini pun ada tata tertib,
disiplin, dalam erpikir dan berbuat, yang kau tahu sangat
saya senangi." Apakah ada satu ilmu khusus yang kau
tuju?" , , Tidak Nas. Akan saya dalami ilmu pengetahuan apa
yang sanggup dicernakan oleh otak saya. Sebagai
angkah awal saya mulai dengan mempelajari ilmu
ekono"ttle economies. Dari sini nanti akan menyebar
bagai Percikan minyak."
"Aha " in de voetstappen van Hatta. Ik weet dat je
hem van vroeger af bewondert " Apakah ini berarti kau
akan melupakan begitu saja seni lukis?"
SHelemaal niet! Gila kau. What is life without art"!
Saya akan terus mendalami seni lukis dengan jalan
membaca, memperhatikan kaiya-karya yang dipamerkan,
mengamati bagaimana para pelukis mencipta dan tentu
saja melukis bila ada waktu yang senggang. Ya, menjadi
semacam zon-dagschilder kalau menurut julukan sinis
kalian para seniman. Tapi jangan lupa Nas bahwa saya
ikut mendirikan organisasi "Angkatan Seni Rupa
Indonesia" (ASRI) di Medan dan ikut membentuk
organisasi "Seniman Indonesia Muda" (SIM) di Solo dan
pernah menjadi Ketua dari cabangnya yang ada di
Yogyakarta. Saya tidak pernah menyesal di-royer oleh
Soedjojono dari SIM karena lebih suka memilih
bersekolah daripada menjadi seniman seratus persen
seperti yang dikehendakinya. Terlalu eentonig kalau
hidup ini dilakoni hanya dengan melukis. Saya pikir saya
mampu meningkatkan mutu artistik lukisan dan sketsa
saya dengan jalan otodidak seperti yang selama ini sudah
saya lakukan." "Saya rasa kau pasti bisa Joes. Kau memang berbakat
melukis. Maka jangan sia-siakan pemberian Tuhan ini.
Bakat itu besar dan padamu ia betul-betul alami, bukan
hasil sekolahan." "Nas, kau pernah mengatakan hal ini kepada emak,"
kataku. Memang benar, Nasjah telah mengatakan hal ini
dulu kepada emak. Dia ketika itu aku undang ke rumah
untuk membantu memilih lukisanku yang pantas untuk
dipamerkan di bulan Desember 1945. Setelah melihat
koleksi karyaku satu per satu, dia mengatakan kepada
emak, "Si Joes eh si Daoed, sungguh berbakat Mak.
Sayang tidak dari dulu saya mengenalnya hingga tidak
bisa banyak belajar melukis dari dia. Lukisannya sebagai
keseluruhan, ya wajah, ya lanskap, ya stilleven, sudah
bercorak Indonesia."
"Apakah kau masih ingat Nas bagaimana tanggapan
emak atas pernyataanmu itu?" tanyaku. Nasjah tidak
segera menjawab. Peristiwa itu terjadi kira-kira lima
tahun yang lalu. Dia kelihatan berusaha mengerahkan
seluruh daya ingatnya. Akhirnya dia berkata, "Ya begini
" Emak kira-kira mengatakan, nak Nasyah, emak bukan
orang sekolahan. Emak tak paham apa yang
dimaksudkan dengan bakat itu. Kalaupun bakat itu
memang ada yang emak ketahui adalah bahwa di
samping bakat tersebut, agar berhasil, masih ada kata-
kata lainnya yang perlu disadari, bahkan dihayati, yaitu
disiplin, rajin, kemauan, percaya diri, kritis dan, di atas
semua itu ketekunan. (OodwkzoO) Bab 20 Emak dan seni musik Lagu apa itu Daoed?" tanya emak dengan suara
bernada menampik. Aku sedang memutar piringan hitam
yang baru saja kupinjam dari Pakcik Leman.
"Musik jaz, Mak," sahutku. "Kabarnya lagu jenis ini
sedang naik daun di Amerika. Di sini pun kata orang
jumlah penggemarnya semakin banyak." Karena emak
diam saja kulanjutkan, "Emak tak suka, ya"!"
"Iramanya terlalu oranye!" komentar emak. "Bahkan
pada umumnya cenderung kemerah-merahan " panas!"
Dengan ungkapan ini jelas sudah betapa emak tak
menyenangi musik jaz. Sebaliknya dia sangat menyukai
senandung Melayu dan keroncong, lagu Mesir tertentu
yang dinyanyikan oleh Oum Kalsoum dan berbagai musik
klasik Barat, terutama An der schonen blauen Donau dari
Johann Strauss, termasuk himne-himne Natal dan Tahun
Baru. Koleksi piringan hitam kami sarat dengan lagu-lagu
tersebut. Dalam pandangannya lagu-lagu kegemarannya
itu berwarna serba hijau, kebiru-biruan " teduh "
menyejukkan. Maka itu kalau sedang memetik kecapi
atau memainkan harmonium lagu-lagu seperti itulah
yang sering dilantunkannya. Tak jarang dia sendiri
bernyanyi dengan diiringi suara musiknya itu.
Kalaupun emak biasa memberikan "warna" pada lagu
dan menilainya berdasarkan tafsiran tersebut, setahuku
dia tidak begitu mempedulikan "makna" dari alunan
suara atau irama musik. "Saya merasa tak perlu mempertanyakan makna dari
kicauan burung atau dari matahari terbit di pagi hari
yang berembun. Semua itu terjadi, terdengar dan terlihat
apa adanya, dan semua itu indah," katanya.
Namun aku tahu benar bahwa di samping nada suara
dan irama lagu, emak sangat memperhatikan isi dari lirik
nyanyiannya, yang berupa pesan, nasihat, penyadaran
dan puja-puji ketuhanan. Uak Djohar Kamaruzzaman dari Kampung Sekip
pernah mengajak emak bergabung dalam perkumpulan
orkes gambus yang dibinanya. "Bila ditanggap orang,"
katanya, "selain memperoleh imbalan uang, gambus ini
memberikan hiburan yang bernafaskan syiar agama pada
orang banyak. Jadi bermanfaat bagi masyarakat."
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Emak menolak ajakan ini. "Musik, termasuk gambus,
memang merupakan hiburan," kata emak. "Namun, Bang
Djohar, kata "hiburan" tersebut kiranya tak cukup untuk
mengatakan apa-apa yang sebenarnya diperbuat oleh
musik dan semua yang dapat dilakukannya. Kata itu
bahkan sama sekali tidak mengungkapkan hubungan
batin antara musik dan si pemusik, antara lagu dan si
penyanyi. Saya memang suka musik yang memberikan
jiwanya pada saya, untuk kemudian saya resapi dan lalu
membaginya dengan orang-orang yang saya kasihi, yaitu
suami dan anak-anak saya."
Emak memang memanjakan kami dengan kemampuan
musikalnya itu. Hal ini terasa betul bila kami sedang
dirundung sakit. Pada waktu itu musiknya ini merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari usaha penyembuhan
yang diberikannya dengan penuh kasih sayang. Dan lagu
yang telah mempesonanya dia ciptakan suatu keindahan
musikal yang baru, mengolahnya menjadi suatu realitas
artistik tersendiri dan membaginya dengan kami agar
dinikmati bersama. Bapak kelihatan sangat menghargai kemampuan emak
ini. Dia sendiri merupakan anggota yang aktif dari
kelompok marhaban, kasidah dan rebana yang dibentuk
oleh pengajian di surau. Biasanya kelompok ini
menggelar kebolehannya bila ada peringatan Maulud
Nabi, Israk-Mikraj, Nuzulul Quran dan upacara pemberian
nama kepada bayi yang baru lahir. Kakak-kakakku
rupanya tidak berminat pada seni musik. Mereka lebih
tertarik pada seni kerajinan tangan serta memasak
makanan dan mempelajari semua itu dengan tekun dari
emak. Aku sendiri pernah berniat belajar memetik gitar.
Niat ini menjadi semakin kuat ketika ada sebuah
keluarga yang baru pindah ke Kampung Darat. Keluarga
ini menyewa rumah Haji Hassan yang terletak di ujung
lorong kediaman kami. Anak tertua di keluarga ini, Bang
Saimun, adalah penyanyi dari orkes Keroncong Rindu
Malam. Orkes yang satu ini, di bawah pimpinan seniman
serba bisa Lili Soehairi, sangat terkenal di Deli karena
telah berkali-kali menjadi juara dalam perlombaan
keroncong yang diadakan oleh Nirom (Nederlandsch
Indische Radio Omroep Maat-schappij) Medan. Biasanya
menjelang perlombaan tersebut, orkes ini berlatih dua
kali seminggu di rumah Bang Saimun dan kalau hari
Minggu, sehari penuh, dari pagi hingga petang hari.
Karena sama-sama tinggal selorong, aku seringkah
menghadiri latihan-latihan di hari Minggu itu.
Niat ini kemudian kubatalkan begitu saja. Pasalnya
adalah tingkah laku Bang Saimun yang lama-kelamaan
sangat menyebalkan emak. Aku pikir emak memang
benar. Karena terpesona oleh kecantikan kakak-kakakku,
Bang Saimun semakin lama semakin kerap mondar-
mandir di depan rumah kami setiap petang sambil
memetik gitar dan adakalanya disertai dengan nyanyian
lagu keroncong atau senandung Melayu. Suaranya
memang merdu, bukan kebetulan kalau orkes
keroncongnya terus-menerus menjadi juara. Dia rupanya
tahu persis kalau kami sekeluarga biasa duduk-duduk di
beranda depan, termasuk kakak-kakakku, sesudah mandi
sore hari. Perbuatannya ini jelas menjadi gunjingan orang-orang
sekampung dan diri kakak-kakakku disebut-sebut dalam
gunjingan itu. Karena tak tahan lagi emak pada suatu
hari langsung mendatangi rumah penyanyi tenar ini.
Kepada ibunya emak mengatakan celaannya terhadap
tingkah laku anaknya itu. Sejak itu Bang Saimun tidak
lagi mondar-mandir di depan rumah kami untuk
menunjukkan kebolehannya dalam seni musik.
Belakangan kudengar dia berbuat begitu bukan saja
berkat teguran keras dari emak, tetapi karena
mengetahui dari para tetangga tentang kependekaran
bapak. Sewaktu ber-SMA di Yogyakarta aku sempat belajar
main biola. Pelajaran ini baru beijalan enam bulan ketika
Belanda melansir aksi polisionalnya yang kedua dan
langsung menduduki Ibu Kota R.I. ini. Semua sekolah
ditutup dan aku mulai aktif menulis slogan-slogan anti
Belanda di tembok, di pohon, di mana saja, di tempat-
tempat umum, dengan cat dan biaya sendiri. Untuk
peijuangan yang berisiko tinggi ini aku lebih suka tidak
melibatkan siapa pun, menjadi a single and lone fighter
saja. Bagai elang, seperti kata bapak, yang berani
terbang sendirian. Berhubung kesempatan mencari nafkah dengan jalan
melabur tembok toko atau membuat papan reklame
sudah tidak mungkin lagi, persediaan uangku cepat
menyusut. Aku terpaksa menjual milikku yang masih ada
Harimau Kemala Putih 11 Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Harpa Neraka 1
membacakannya. Isinya singkat saja. Dia kehabisan uang karena sampai
hari penulisan surat itu kiriman uang yang diharapkannya
tak kunjung tiba. Dia merasa sangat berhutang budi
pada keluarga kami, terutama pada emak dan bapak.
Maka itu dia malu sekali dan tak berani bertatap muka
dengan mereka untuk berpamitan. Dia merasa badannya
sehat dan memutuskan, dengan uang yang masih ada
untuk kembali saja kekeluarganya di Jawa.
Semua bukunya dia berikan kepada kakak-kakak dan
aku, surat itu ditutup dengan permintaan maaf dan
ucapan terima kasih tak terhingga dan mengatakan
bahwa bisa hidup bersama kami merupakan kenangan
termanis dari keseluruhan pengembaraannya selama ini
dan karena itu tidak bisa dilupakan selama hidup.
"Wah penipu rupanya dia mak" keluh kak Marni
setelah aku selesai membaca surat mas Singgih , "pergi
diam-diam setelah tidak membayar sewa kamar
berbulan-bulan." "Dia tidak menipu kita nak" kata emak, "Diapun tidak
pergi diam-diam, dia meninggalkan sepucuk surat"
"Mana Emak sudah memberinya makan, membennya
obat lagi," sambung Kak Ani " Semua ini kan tak ada
dalam perjanjian indekos."
"Ya benar begitu. Dalam perjanjian itu juga tidak ada
disebut keharusan dia membagi pengetahuannya,
ilmunya, kepada kita," sahut emak kalem.
"Selama di sini Mas Singgih sudah melakukan suatu
pekerjaan yang tak ternilai untuk kita semua, terutama
untuk kalian," kata bapak. "Dia sudah berusaha
membangkitkan suatu harapan yang masuk di akal, telah
menyiapkan suatu masa depan yang jelas dan semua ini
merupakan kerja yang penuh risiko. Kalian ingat betapa
Pakcik Soelaiman sampai dibuang jauh oleh Belanda
karena telah melakukan hal yang sama. Dan untuk
semua usaha dan kerjanya itu Mas Singgih tak ada
menerima imbalan apa-apa, tak sepeser pun. Kita pantas
berterima kasih kepada dia dan tidak serta merta
mencapnya sebagai penipu."
"Maka itu sebenarnya tidak hanya Mas Singgih yang
merasa berhutang budi pada kita," sambung emak sambil
menatap wajah kakak-kakak dan aku satu per satu, "kita
semua pun sudah berhutang budi kepadanya. Marilah
sekarang hutang piutang budi ini kita jadikan pupuk bagi
perkembangan keluhuran budi kita masing-masing."
Kemudian dengan mengalihkan pandangan matanya
yang lembut kepadaku, emak berkata, "Kau Daoed, emak
lihat rajin mencatat semua uraian Mas Singgih. Sudah
habis beberapa kitab tulis?"
"Hampir 15, Mak," jawabku.
"Kau simpan baik-baik semua itu!" ujar emak. "Baca
lagi, telaah lagi sampai benar-benar paham. Semua itu
merupakan pengetahuan yang pasti berharga dan
berguna." Seingatku emak pernah bertanya kepada Mas Singgih
mengapa dia sampai bersusah payah mengembara untuk
menyebarluaskan ide kemerdekaan dan perjuangan yang
diperlukan untuk mewujudkannya. Mas Singgih
mengatakan bahwa dia adalah seorang yang beruntung
dan berbahagia. Dia lahir di kalangan keluarga ningrat.
Ayahnya yuris lulusan Leiden dan ibunya tamatan MULO.
Dia anak bungsu dari lima bersaudara dan semuanya,
kecuali dia, sudah berumah tangga. Saudaranya yang
pertama dan kedua adalah laki-laki, menjadi dokter.
Saudaranya yang ketiga, satu-satunya anak perempuan,
belum sempat menamatkan HB S, sudah kawin dengan
seorang hakim, juga keturunan ningrat. Saudaranya yang
keempat, langsung di atas dia, seorang laki-laki, menjadi
insinyur. Untuk pelajaran agama dan membaca Al Quran,
orang tuanya mendatangkan seorang guru mengaji dari
kauman ke rumah dua kali seminggu. Ayahnya kini sudah
pensiun dan hidup berkecukupan karena memiliki sawah
yang cukup luas. Dia sendiri setelah menamatkan pelajarannya di HBS,
sebenarnya bisa melanjutkan ke perguruan tinggi apa
saja, kalau perlu ke negeri Belanda. Karena dia tidak
perlu memikirkan siapa pun kecuali diri dan masa
depannya sendiri, tidak mempunyai beban keluarga
berupa apa pun, dia memutuskan untuk membagi
keberuntungan dan kebawiaan nasibnya kepada orang
banyak. Dia memutuskan ntuk mengabdikan dirinya pada
perjuangan kemerdekaan Lasa dan Tanah Air. Orang
tuanya tidak melarang, hanva mengingatkan agar
berhati-hati. Untuk melaksanakan bisikan nuraninya ini
dia telah menjelajahi seluruh pulau Jawa Kini dia memilih
bergerak di Soematra karena ini merupakan pulau masa
depan, sambil memperdalam bahasa Melayu yang sudah
ditetapkan oleh Kongres Pemuda untuk dikembangkan
menjadi bahasa Indonesia, bahasa persatuan.
"Dia telah membuat hari-hari kita tensi dengan
kegiatan-kegiatan yang terpuji, membawa pencerahan
dalam hidup kita," kata emak. Tak ada seorang pun yang
menyuruhnya berbuat begitu. Nuraninya sendiri yang
telah menggerakkannya. Dia telah membagi banyak
pengetahuan yang bernilai dengan kalian, antara lain,
bagaimana mencari kebenaran dengan cara yang
disebutnya sebagai penalaran keilmuan. Daoed, kau jaga
baik-baik buku-buku yang ditinggalkannya itu, Nak.
Jadikan semua itu sebagai bagian yang penting dari
kumpulan buku yang sudah kau miliki. Jangan buat
semua itu menjadi sekedar penghias rak bukumu, tetapi
sebagai sumber pengetahuan yang terus-menerus perlu
digali." Banyak juga buku-buku itu, sekopor penuh. Kalau
dilihat dari cap yang tertera di halaman terdepan setiap
buku, separuh di antaranya di beli dari toko buku
Varekamp, Cerdas dan Antara di Medan ini. Hampir di
setiap buku ada catatan-catatan yang ditulis di pinggir
kiri halaman serta penggaris bawahan kalimat-kalimat
tertentu dengan potlod merah. Sebagian terbesar dari
buku-buku itu berbahasa asing: Belanda, Jerman,
Perancis dan Inggris. Yang berbahasa Belanda saja
ketika itu masih sulit kupahami, apalagi yang berbahasa
asing lainnya. Lebih-lebih lagi yang berbahasa Jerman,
membacanya saja sudah susah karena berhuruf khas
Jerman. Yang berbahasa Melayu beijudul "Melawat ke
Barat", karangan Djamaloedin Adi Negoro sebanyak tiga
jilid. Buku-buku ini sudah pernah kubaca dari
perpustakaan di sekolah. Aku senang sekali mendapat
buku-buku ini karena ceritanya tentang Paris, Quartier
Latin dan Sorbonne sangat memukau. Kemudian ada
buku dari A. Damhoeri dengan judul "Depok Anak
Pagaisebuah roman pergerakan bernuansa adat
Minangkabau. Ada pula buku "Patjar Merah", sebuah
roman politik di sekitar revolusi Perancis, tulisan Matu
Mona. Ada dua buku lagi, yaitu tulisan Semaoen beijudul
"Hikajat Kadiroen" dan Marco Kartodikromo beijudul
"Student Hidjo". Kedua buku ini segera menarik
perhatianku karena ditulis dalam bahasa Melayu yang
tercela di sekolah, disebut"passer"s Maleisch". Lain
dengan buku-buku dari Adi Negoro, A. Damhoeri dan
Matu Mona, yang menggunakan bahasa Melayu yang
dipujikan oleh guru, yaitu "beschaafd Maleisch".
Walaupun isi buku-buku berbahasa asing yang
dihibahkan oleh Mas Singgih ketika itu belum kupahami
sepenuhnya, lama-kelamaan kusadari betapa penting
dan tingginya nilai keilmuan yang dikandungnya.
Semakin tinggi jenjang pendidikanku semakin kerap
kudengar na-ma-nama penulis buku tersebut. Setelah
aku sampai di jenjang pendidikan universiter, lebih-lebih
ketika di Sorbonne, buku-buku tersebut sering
disinggung dalam perkuliahan filosofi dan sejarah
keintelektualan Barat, baik melalui biografi penulisnya
atau karena tema yang dibahasnya. Nama-nama itu
adalah Huizinga, Spengler, Kant, Rousseau, Descartes,
Montesquieu, Renan, Spinoza, Toynbee, Hobbes, Bernard
Shaw. Setiap kali nama-nama itu kudengar, setiap kali itu
pula aku terkenang Mas Singgih dan, terkait dengan itu,
emak yang telah menerima orang pergerakan yang
berbudi ini indekos di rumah kami. Kali ini pun firasat
emak ternyata tidak meleset.
(OodwkzoO) BAB 17 EMAK DAN CALON PERANTAU Pada suatu hari ketika aku sedang menikmati
kesendirian, kesepian hutan dan kebersihan udaranya di
tengah-tengah kelebatan pepohonan, ketika aku sedang
betul-betul hanyut oleh cerita yang kubaca sambil
berendam di Sungai Putih, kudengar derak patahan
cabang kayu yang terpijak.Aku segera bangkit, berpaling
ke arah datangnya suara, sambil menggenggam parang
yang selalu terhunus. Aku melihat di atas tebing sungai
berdiri seorang pemuda yang lebih tua daripada diriku,
berbadan kurus dengan pakaian yang kumuh. Dia
kelihatan sangat terkejut, mungkin setelah melihat
tangan kananku memegang parang dengan wajah yang
tak gentar. Kami sama-sama terdiam beberapa saat,
hanya saling memandang. Akhirnya dia mengucapkan
salam yang segera kujawab. Dia turun ke sungai dan
kami lalu bersalaman. Dia rupanya seorang pencari kayu juga. Aku tawarkan
kepadanya penganan yang masih ada dan langsung
dimakannya dengan lahap sekali. Kesanku dia sangat
lapar bagai orang yang beberapa hari belum bertemu
nasi. Sambil makan dia bercerita tentang dirinya yang,
setelah kudengar, cukup mengharukan. Dia bernama
Akib, sudah lama yatim piatu. Dia menumpang di rumah
pamannya yang serba kekurangan, dengan delapan
orang anak yang masih kecil-kecil, lebih muda daripada
usianya. Dia sendiri tidak pernah bersekolah. Maka untuk
membantu rumah tangga pamannya ini dia mencari kayu
bakar untuk dijual di kampung-kampung yang tidak
berbatasan dengan hutan ini. Hampir seluruh hasil
penjualan kayu yang jumlahnya tak seberapa, hanya lima
atau tujuh sen sepikul, dia serahkan kepada pamannya.
Padahal dia ingin sekali menabung karena bercita-cita
merantau ke Malaya. Dia merasa telah diperas oleh
pamannya selama ini. Lama-kelamaan Bang Akib dan aku menjadi akrab satu
sama lain. Rupanya dialah yang sengaja menanam
pohon-pohon pisang, terong dan sayur-mayur lainnya di
dekat rawa yang telah beberapa kali kukunjungi jauh di
sana. Hasil penjualan tanaman-tanaman inilah yang
diharapkannya bisa ditabung tetapi ternyata tidak bisa
diandalkan. Ada saja orang-orang yang selalu
memanennya lebih dahulu. Dia mengatakan telah melihat
botol bersurat yang kugantung di salah satu pohon
terongnya. Karena dia sendiri buta huruf, tidak bisa
membaca apa-apa yang kutulis, surat itu dimasukkannya
kembali ke dalam botol dan lalu dibiarkannya begitu saja.
"Sungguh mengherankan," kataku, "mengapa tidak
pernah terlintas dalam benakku untuk menulis surat itu
dalam huruf Jawi." "Akan percuma saja," sahutnya, "itu pun pasti tak
akan bisa kubaca. Aku belum pernah mengaji, jadi tak
pernah mengenal huruf Jawi yang mirip dengan huruf
Arab." Dia menunjukkan kepadaku sebuah buhulan dari
secercah: kain kumuh yang dikebatkan di pinggangnya.
Mula-mula kukira berisi jimat tetapi setelah dia buka
ternyata isinya beberapa keping uang kelip.
"Inilah semua tabunganku selama bertahun-tahun,"
"Tak cukup satu gulden," komentarku
-Ya begitulah. Kadang-kadang terpaksa kupakai untuk
membeli nasi. Tidak jarang kalau aku pulang larut
malam, makanan yang tercisa untukku hanya kerak dan
sayuran rebus Sedangkan setiap hari kerjaku memikul
kayu bakar dan menjajakannya dari kampung ke
kampung. Kadang-kadang uang itu kupakai juga untuk
membeli penganan bagi anak-anak paman. Kasihan
mereka, badannya kurus-kurus karena kurang makan.
"Mengapa uang itu tidak disimpan saja di rumah" Kan
lebih aman"!" "Malah tidak. Kalau ketahuan paman bisa-bisa dia sita
semuanya. Dia memang bukan orang yang buruk
perangai, lebih-lebih bibi baik sekali. Tetapi mereka
adalah orang-orang miskin yang terus-menerus
menderita kekurangan."
Sejak itu kami sering bertemu di tempat aku
berendam di Sungai Putih. Untuk dia selalu kubawakan
nasi dengan lauk-pauk sekedarnya, yang kadang-kadang
ditukarnya dengan pisang, durian, buah binjai atau
sayur-mayur. Dia tidak pernah mengusik bacaanku, jadi
aku tidak merasa terganggu dengan kehadirannya.
Biasanya sehabis makan dia terus pergi memikul
kayunya. Namun emak rupanya dengan diam-diam
memperhatikan jumlah bekal yang kubawa setiap kali
aku ke hutan. Emak tahu benar dulu-dulu aku tidak
membawa nasi sebanyak itu, cukup dengan penganan
saja. Maka tak ayal lagi dia mempertanyakan
kebiasaanku yang baru ini. Karena tak berani mendustai
emak, aku jelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Setelah mendengarkan dengan serius dia berpendapat
bahwa bantuanku kepada Bang Akib kurang tepat.
Menurut emak bantuan kepada orang yang
memerlukannya adalah baik tetapi cara memberikannya
bisa begitu keliru hingga menumbuhkan jiwa pengemis
pada diri si penerima. Lalu emak memintaku untuk memintaku untuk
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengajak Bang Akib kerumah.
Setelah berkenalan dengan emak dia menceritakan
kembali keadaan hidupnya yang pernah dikatakan
kepadaku. "Hidup yang Akib telah jalani selama ini tidak usah
dijadikan satu-satunya jenis kehidupan yang kau punyai"
kata emak setelah mendengar serita itu.
"Barangkali benar begitu, Mak. Saya bukan tak pernah
mencoba mengubahnya, namun tetap begini-begini saja.
Saya pun sudah berusaha mencari-cari Tuhan untuk
mengadukan nasib saya."
"Kalau kau benar-benar sedang mencari Tuhan di
sekitarmu, setiap upaya perbaikan hidup di setiap saat
pasti menjadi suatu doa. Doa itu bukan hanya berupa
kata-kata yang diucapkan dengan air mata bercucuran.
Berusahalah demi kehidupan yang lebih baik dengan
melelehkan keringat. Ini pun suatu doa juga. Barangkali
doa yang seperti ini malah lebih diperhatikan oleh
Tuhan!" "Saya sudah capek, Mak. Saya sudah mau pasrah saja.
Memimpikan nasib yang lebih baik saja sudah saya
hentikan." "Jangan begitu, impian-impianmu dapat menjadi suatu
kenyataan. Apa-apa yang kau impikan merupakan bahan
yang menuntunmu melalui kehidupan ke arah
kebahagiaan." Talu apa yang musti saya lakukan, Mak?"
"Jangan putus asa lagi. Bangkitlah! Bobot dari apa-apa
yang sudah kau jalani dan apa pun yang akan kau alami
masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
kemampuan-kemampuan yang ada dalam dirimu. Per-
akuan Tuhan kepadamu selama ini kiranya dimaksudkan
sebagai penggugah kesadaranmu terhadap kemampuan-
emampuan tersebut. Maka gali dan kembangkanlah
kemampuan " i tidak akan melemparkan itu ke dalam
sarangnya. Demikian pula, Tuhan memberikan kepada
kita nasi tetapi tidak meletakkan itu ke atas piring kita.
Keoada Bang Akib emak mengatakan akan membeli
sebisa mungkin kayu bakarnya. Emak pun akan
mengatakan kepada semua kenalannya untuk menjadi
pelanggan. Bahkan emak mengatakan tidak keberatan
kalau Bang Akib menumpuk kayunya di kolong rumah
kami hingga para Delanggan dapat membelinya setiap
waktu. Emak yang akan membantu menjualkannya tanpa
mengambil keuntungan sepeser pun. Dengan begitu
Bang Akib tidak perlu lagi membuang-buang waktu
beijalan keliling kampung menjajakan kayunya.
Kemudian emak mengusulkan agar waktu yang
terbebaskan itu dia pakai untuk belajar membaca,
menulis serta berhitung. Aku yang diminta emak untuk
mengajarnya dan kalau perlu dibantu oleh kakak-
kakakku. Karena di Malaya seingat bapak rakyatnya
membaca dan menulis dengan huruf Jawi, dia
menawarkan jasanya untuk membantu Bang Akib
mengaji. Bila telah lancar membaca Al Quran baru bapak
akan mengajarkannya huruf Jawi. Sebab huruf ini
sebenarnya meniru huruf Arab dengan sedikit modifikasi
penggunaannya agar sesuai dengan bahasa dan lafal
Melayu. Emak sendiri mengatakan kesediaannya
menyimpan uang Bang Akib yang diperolehnya sedikit
demi sedikit itu. Setelah bekeija keras dan belajar
sungguh-sungguh selama kira-kira tiga tahun, Bang Akib
sudah mahir dalam menulis dan membaca huruf Latin
serta huruf Jawi. Dia pun sudah agak lancar membaca
Quran dan menguasai ilmu hitung elementer serta
pengetahuan tentang ukuran-ukuran panjang, berat, luas
dan isi. Bapak melengkapinya dengan pengetahuan
serupa yang berlaku di Malaya.
"Kau lihat Akib," kata emak, "kemampuan-kemampuan
diri adalah harta pribadi kita yang tidak kelihatan
tersimpan di dalam pikiran dan perasaan, di akal dan hati
kita masing-masing. Bila kita tidak menyadarinya, apalagi
tidak mengolahnya atau tidak mengaktifkannya, tidak
ada apapun dl bUmi ini yang dapat mengimbangi
ketidakhadirannya atau ketidurannya itu."
Sewaktu berkata begitu, emak melirik kepadaku Aku
tahu bahwa ucapannya itu dialamatkannya juga
kepadaku. Menyadari betapa besarnya minatku untuk belajar
betapa besar hausku akan ilmu pengetahuan, emak
pernah berkata akan mengikhlaskan aku bila memang
mau merantau ke Jawa guna menuntut ilmu
pengetahuan tersebut. Lagi pula menurut emak, ada
empat jenis peijalanan yang sangat dipujikan dalam
ajaran keislaman. Pertama, hijrah, yaitu bepergian untuk
bermukim di lingkungan muslim. Kedua, alhaj, yaitu
bepergian ke Tanah Suci Mekah. Ketiga, ziyarah, yaitu
bepergian mengunjungi orang-orang suci dan tempat
pengajiannya. Keempat, rihla, yaitu bepergian guna
menuntut ilmu pengetahuan.
Sejak itu kalimat "lagu merantau" yang diajarkan
kepadaku di sekolah dasar, berbunyi "selamat tinggal
kampung halaman, aku "ndak pergi mencari nafkah", aku
ubah menjadi "selamat tinggal kampung halaman, aku
"ndak pergi mencari ilmu". Emak tersenyum-senyum saja
bila mendengar aku menyanyikan lagu ini. Kini dia
memintaku supaya turut serta kalau dia mengajari Bang
Akib beberapa keterampilan tangan yang kiranya bisa
membantu hidup di perantauan. Yang diajarkan dan
dilatih emak adalah menambal baju, menisik pakaian,
memasang kancing, menanak nasi dan membuat
beberapa macam gulai. Ketika bapak mendapat pesanan
dari tetangga untuk dibuatkan lemari dan meja, emak
memintanya supaya kami berdua diikutkan serta sekalian
dilatih kerja kayu dan mengenal k ngannya- Emak juga
menitipkan kami berlatih alat-alat pertukangan pandai
besi di kampung untuk magang. Jangan sekali-kali
memandang rendah kerja dengan tanganmu," katanya
terutama kepadaku. "Kerja tangan tidak mengharamkan
kerja otak" Sementara itu tabungan Bang Akib yang disimpan
Emak sudah dianggap cukup untuk hidup di Malaya
selama paling sedikitnya delapan bulan tanpa pekerjaan.
Bang Akib beruntung selama 3 tahun ini ada lima
perkawinan di kampungku hingga penjualan kayunya
meningkat sekali. Di samping itu kebutuhan akan kayu
medang bertambah besar selama bulan Puasa dan
menjelang hari raya. Sebelum berangkat ke Malaya emak
meminta kesediaan Babah Sin untuk mengantar Bang
Akib menukar uang gulden dengan strait dollar di bank
yang dipercaya! oleh sf babah. Bapak memberikan
kepada Bang;Akib beberapa nama dan alamat orang
Malaya yang dahulu pernah dikenalnya selama merantau
di Johor, Klang dan Penang.
Bang Akib masih sempat menanyakan apakah ada pe-
san-pesan emak yang belum disampaikannya guna
dipakai sebagai pegangan kelak di rantau orang. Setelah
merenung sejenak emak berkata, "Akib, hal yang kau
impi-impikan sejak lama, insya Allah, segera terwujud.
Saat kau pergi merantau ke negeri orang sudah tiba.
Kata orang, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Sebagai rumus umum pepatah ini ada benarnya. Namun
bukan sekali-kali berarti bahwa kau harus begitu saja
mengikuti kehendak orang-orang, harus selalu
menyesuaikan pendapatmu dengan apa yang dipikirkan
orang banyak. Sebab imbalan dan penyesuaian diri ini
adalah bahwa semua orang akan suka kepadamu kecuali
kau sendiri. Artinya pribadi yang serapuh itu pasti tak
akan kau sukai." Dari lirikannya, kali ini pun aku tahu supaya aku turut
pula mempertimbangkan pendapatnya itu. Aku paham
bahwa emak menghendaki aku tidak takut menjadi non-
conformist karena sebelum ini dia sering melontarkan
kalimat-kalimat yang mencerminkan keinginan seperti ini.
"Sebelum mengambil keputusan atau menyetujui
pendapat dapat orang lain," katanya dulu, "tanyakan
lebih dahulu nuranimu. Kau boleh membantah siapa saja
kecuali nura-nimu, Nak."
"Mengapa Mak?", tanyaku.
"Karena nuranimu itu merupakan tempat
persemayaman Tuhan dalam dirimu," jawab emak tanpa
ragu-ragu. Sehari sebelum berangkat ke perantauan Bang Akib
datang ke rumah. Badannya tidak kurus lagi dan
sekarang penampilannya sudah jauh lebih bersih
daripada dahulu. Wajahnya mencerminkan suatu
kemauan dan keberanian untuk hidup di negeri orang.
Emak menjamunya makan dan bapak berdoa sebelum
makan dimulai. Ketika hendak pulang Bang Akib
mencium tangan emak dan bapak berulang-ulang. Dia
menangis sesenggukan bagai hendak berpisah dengan
orang tuanya sendiri. "Akib, sudahlah, jangan larut dalam kesedihan," kata
emak. Padahal suaranya sendiri terdengar parau tanda
sedih. "Pandang emak. Kau tahu kan, sekarang kau telah
lulus dalam ujian Tuhan. Dia melihat betapa kau telah
bekerja dan belajar keras untuk menyiapkan dirimu
mampu merantau. Kemampuan ini kau miliki bukan
karena doa tetapi karena usaha. Usaha inilah yang
merupakan doa yang sangat dihargai-Nya, doa berisi dari
orang yang tegar, bukan doa hampa dari orang yang
cengeng. Jadi Tuhan tidak pernah meninggalkan kau
seperti yang dulu kau sangka. Yang dulu-dulu kau alami
itu ternyata bukan takdir tetapi nasib. Nanti di rantau
orang Tuhan juga akan tetap menyertaimu dalam
usahamu memperbaiki nasib."
Kami pun sebenarnya merasa kehilangan Bang Akib,
bukan hanya dia merasa kehilangan kami dengan
kepergian diirinva itu Dia memang tidak pernah tinggal
serumah dengan kami. Tapi keterlibatan kami semua
yang begitu Intensif dalam membantu dia memecahkan
masalah hidup-selama ini membuat dia terasa sebagai
bagian dari kehidupan kami sendiri. Kami, anak-anak,
menitikkan air mata dan termangu-mangu setelah dia
pergi. Kukira emak dan bapak menangis dalam hati.
Menurut rencana dia berangkat malam m dengan
perahu dari kampung Labuhan di muara Sungai Deli
menuju Malaya. Pada malam keberangkatannya itu,
seperti biasa, kami duduk-duduk di serambi depan. Sejak
makan malam tadi pengalaman kontak pribadi kami
masing-masing dengan diri Bang Akib mendominasi
pembicaraan. Ada cerita lucu, ada cerita aneh; ada cerita
haru, ada cerita gembira. Ketika angin malam terasa
mulai berembus kami saling berpandangan.
"Inilah angin yang ditunggu-tunggu pelaut, yang biasa
bertiup dari darat ke laut..," bisik bapak. "Sekali lagi
menengadah menghitung layar, menunduk menghitung
lantai " Kini saatnya perahu si Akib mulai membongkar
sauh dan mengembangkan layar " bergerak maju "
didorong angin buritan?"
"Selamat jalan Akib," bisik emak. Lancang Kuning,
Lancang Kuning berlayar malam "Duhai berlayar malam
" Haluan menuju, haluan menuju ke lautan dalam "Duhai
ke lautan dalam " (OodwkzoO) Bab 18 EMAK DAN PENCARIAN "Mak, apakah Bang Akib bisa berhasil dalam
perantauannya?", tanyaku sambil bercangkung di sebelah
emak. Dia sedang asyik menyiangi lahan yang
ditanaminya dengan bayam, terong, dan sawi ladang.
Aku memunguti rumput dan aneka tanaman pengganggu
lainnya yang dicabuti emak, mengumpulkan semua
gulma itu di pengki untuk dibuang ke tempat sampah
guna dibakar. Berhubung hari Jumat madrasah libur, sepulang dari
sekolah dan setelah beijumat, aku kadang-kadang pergi
ke ladang. Apalagi sebelum berangkat tadi bapak sengaja
berpesan agar disampaikan kepada emak bahwa dia
petang ini tidak dapat menyusulnya ke ladang. Masih
banyak yang harus dikenakannya demi kerapian kandang
lembu kami. Besok akan ada inspeksi kesehatan lembu
dan kebersihan lingkungan pemeliharaannya oleh dokter
hewan Belanda selaku inspektur kesehatan. Inspeksi ini
menggenapi pemeriksaan berkala yang dilakukan setiap
minggu oleh mantri kesehatan Raden Soemamo. Maka
kedatanganku di ladang kali ini pasti diperlukan emak,
paling sedikit bisa membantu membawa pulang berbagai
jenis sayuran untuk dimasak menjadi teman nasi sehari-
hari. Lagi pula sebelum aku keladang aku menyempatkan
diri masuk hutan lebih dahulu untuk mengumpulkan
dahan dan ranting kering yang digunakan sebagai bahan
bakar di dapur. Bang Akib sudah hampir enam bulan di Malaya Dapat
kubayangkan betapa sibuk dan sulitnya dia mendapatkan
tempat berpijak yang pasti di rantau orang. Apa yang
kau maksudkan dengan kata berhasil itu", emak kembali
bertanya tanpa memandang kepadaku, sementara jari-
jarinya terus mencabuti gulma
"Ya"..ya, mampu meraih apa yang dicita-citakannya"
kira-kira begitulah, Mak."
Emalc tidak segera menjawab. Dia menyeka keringat
di wajahnya dengan handuk kecil.
"Mari kita istirahat dahulu di gubuk. Emak haus sekali.
Kalau tak salah ada pisang yang sudah ranum di
tandan yang kemarin dulu ditebang bapakmu dari
pohonnya tetapi belum sempat dibawa pulang."
Aku potong sesisir yang kebanyakan pisangnya sudah
pantas dimakan guna dibawa pulang nanti.
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau boleh mencicipinya sekarang kalau mau," kata
emak setelah mereguk air dari kendi.
"Tak usahlah, Mak. Nanti saja di rumah, kita nikmati
bersama-sama setelah makan malam," kataku.
"Kemampuan si Akib meraih apa yang dicita-
citakannya tergantung pada dua hal pokok," kata emak
sambil mengibas-ngibas dengan handuk kecilnya agar
sejuk. Sore ini hari memang tidak begitu berangin. Kami
berdua duduk berdampingan di balai-balai bambu yang
disiapkan bapak di serambi gubuk. Aku diam saja
walaupun betul-betul ingin tahu buah pikiran emak.
Inilah juga penyebab mengapa aku sering berusaha
bisa mendapat kesempatan berduaan saja dengan emak.
Untuk dapat sepuas mungkin mengetahui apa-apa
pendapatnya mengenai apa saja yang kiranya bisa
kujadikan pegangan hidup. Bukankah menurut para
tetangga, kami, anak-anak emak, sungguh beruntung
punya seorang ibu yang arif di balik keras kepalanya.
Yang mereka maksudkan dengan "keras kepala" itu tentu
keteguhan pendirian emak. Emak memang ramah
kepada siapa pun, lemah-lembut, adakalanya sungguh
feminin dalam bertutur dan berdandan, tetapi kalau
sudah menyinggung apa yang dianggapnya sebagai
prinsip, dia tidak akan beranjak barang setapak. Bagi dia
prinsip adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar.
"Kedua hal pokok itu adalah," tutur emak beberapa
saat kemudian, "pertama, bila dia tidak mampu meraih
apa yang diinginkannya, dia harus menginginkan apa
yang dimampuinya. Kedua, dia harus tahu apa yang
dicarinya. Bila tidak bagaimana dia bisa mengetahui di
mana dan bagaimana cara menemukan apa yang dicari-
carinya itu. Bagaimana dia mengetahui sudah atau belum
mendapatkannya dan kalau sudah diperoleh apakah ia
sudah sempurna." Kalau emak orang sekolahan, dia kiranya tidak akan
menggunakan istilah "hal" tetapi istilah "faktor" sebagai
penggantinya. Dengan kata lain, apa yang dimaksudkan
emak dengan ungkapan "dua hal" ketika itu, kini kuubah
menjadi "dua faktor", menjadi dua faktor pokok yang
menentukan keberhasilan Bang Akib.
"Apakah demi kesempurnaan itu dia harus terus-
menerus mencari, Mak?"
"Ya, Daoed"..tanpa dikait-kaitkan dengan
kesempurnaan itu kita memang harus
mencari".ditakdirkan untuk mencari." . :
Emak diam lagi dan kelihatan merenung. Tangannya
berhenti mengibas-ngibaskan handuk kecilnya. Aku kira
dia sedang memikirkan sesuatu dengan lebih mendalam.
Aku tak ingin mengusiknya dengan ucapan apa pun.
"Kita harus terus mencari karena emak kira hidup ini
pada hakikatnya memang berupa satu pencarian,"
ucapan Emak mengesankan begitu pasti, tanpa keraguan
sedikitpun. Tatapan matanya diarahkan jauh kedepan, "Kita harus
terus mencari apa yang kita inginkan, karena hanya
dalam mencari itulah kita akan menemukannya, dengan
begini ada keharusan bagi kita untuk tidak lalai memupuk
pendorong yang menggerakkan kita untuk terus
berusaha". Dengan memakai kata "kita" dalam ucapan-ucapannya
yang terakhir ini, aku pikir emak dengan sadar dan
sengaja mengalamatkan seluruh tutur katanya tadi
khusus kepadaku bukan hanya sekedar bahasan nasib
Bang Akib. "Adakalanya dalam mencari itu kita harus
berpikir terbalik" kata emak selanjutnya. Semakin terasa
bahwa kata-katanya ini memang ditujukan kepadaku,
untuk keperluanku sendiri. "Lihatlah tanaman-tanaman
emak di ladang ini. Untuk bisa mengetahui bagaimana
semua itu bisa tumbuh subur seperti yang kita inginkan,
emak kadang-kadang berusaha mengetahui bukan hanya
hal-hal apa yang membuatnya tumbuh subur, tetapi juga
hal-hal apa yang menghalanginya tumbuh subur."
Setelah berdiam diri sejenak, sambil menggenggam
kembali tanganku erat-erat, emak berkata, "Terlepas dari
semua yang emak bicarakan tadi, percayalah Daoed,
emak kira kita semua sudah berusaha keras membantu si
Akib dengan pengetahuan dan keterampilan dasar yang
dapat dipakainya untuk bisa selamat di rantau
orang"percaya-lah!"
"Yang saya risaukan, Mak, adalah sikap penduduk
pribumi yang didatanginya itu. Apakah mereka tidak
merasa terganggu, tidak menganggapnya sebagai
pendatang asing yang bakal mengurangi rezeki mereka
selama ini." Mendengar ucapanku ini emak bagai tersentak dan
lalu berpaling menatapku. Tangannya masih
menggenggam erat tanganku. "Daoed," katanya, "bumi
ciptaan Tuhan ini sebenarnya mampu mencukupi
kebutuhan semua manusia yang ada, tetapi pasti tidak
bisa memuaskan setiap keserakahan semua orang satu
per satu." Ucapan-ucapan emak mengenai hal-ihwal pencarian
ini bagai membayangi langkahku ketika tiba saatnya aku
juga menjadi perantau. Karena yang kucari dalam
perantauan ini adalah pengetahuan yang mencerahkan,
aku mengembara di dalam ruang dan waktu tidak hanya
secara fisik tetapi lebih-lebih secara mental di jalur
keilmuan. Selama pengembaraan ini aku tidak hanya
menemukan pengetahuan yang kucari tetapi berkenalan
pula dengan para pencari pengetahuan pendahulu, yang
telah merintis jalur keilmuan yang kini aku tempuh,
melalui karya-karya mereka yang kupelajari dengan
saksama. Buah pikiran mereka tegak beijajar bagai
milestone di jalur yang kelihatannya tak berujung ini.
Dan ketika melangkah di jalur ini aku sering teringat
emak. Betapa tidak. ; Aku teringat emak ketika
mengetahui bagaimana Fleming sampai menemukan
penisilin. Berkat kegigihan Pasteur orang menyadari
betapa bahayanya bakteri bagi kesehatan, bahkan
kehidupan manusia. Maka banyak bak-teriolog membuat
pembudidayaan (kultur) bakteri, guna meneliti
pengembangbiakannya lewat media tumbuh yang diatur
kondisinya. Artinya, mereka bekeija berdasarkan
pertanyaan tentang apa dan bagaimana bakteri
berkembang biak dan apa-apa saja yang mendorong
pengembang-biakan tersebut.
Fleming bersikap lain. Dia bekerja dengan pertanyaan
yang terbalik, sengaja dia balik, yaitu apa yang
menghambat pengembangbiakan bakteri. Jadi yang
dicaripenelitiannya adalah zat-zat yang berdaya
antibakterial. Berhubung yang dicarinya itu adalah suatu
antibiotikum, maka wajar kalau dia akhirnya menemukan
pinisilin, karena substansi yang satu ini memenuhi
tuntutan-tuntutan apa yang dia cari melalui kultur
bakterinya. Aku teringat emak ketika menyadari apa yang menjadi
pendorong orang untuk terus mencari di jalur keilmuan.
Pendorong ini berupa suatu kekuatan unik dari suatu
penalaran ilmiah yang dipupuk dan dikobarkan oleh
semangat ilmiah. Ilmu Pengetahuan secara esensial tidak berurusan
dengan obyek-obyek fisik tetapi dengan bentuk-bentuk
ide, jadi dengan hal-hal yang serba abstrak.
Maka kekuatan yang mempesona dari ilmu
pengetahuan bukanlah kesanggupannya mengungkapkan
realitas sebagaimana adanya, tetapi kemampuannya
menggambarkan hal-hal yang abtrak begitu rupa hingga
mengesankan seperti riil.
Artinya, hubungan antara ilmu pengetahuan dengan
realitas yang digambarkannya adalah bagai hubungan
jan dengan bulan. Betapapun tepatnya jari (ilmu
pengetahuan) menunjuk ke bulan (realitas), jari itu
bukan bulan. Jari tetap jari dan bulan tetap bulan.
Karena menyadari akan kekuatan yang unik dari ilmu
pengetahuan inilah maka para ilmuwan insaf bahwa
manusia tidak pernah mengetahui dengan sempurna dan
lalu terdorong untuk terus mencan dan mencari,
berusaha memandang dengan mata lain, berusaha
melihat melalui kacamata lain, berusaha mengamati
dengan cahaya yang berbeda.
Dan pencarian yang ideal seperti itu ternyata paling
berkembang di jalur keilmuan. Maka betapa aku tak
sampai melupakan emak, teringat kepadanya, ketika aku
menyadari keadaan tersebut. Ilmu pengetahuan adalah
suatu pencarian abadi, mencari suatu kesatuan di balik
keanekaragaman yang kasatmata, mencari tatanan
(order) di balik kekacauan (disorder) yang kasatmata,
mencari keteraturan di balik ketidakteraturan yang
kasatmata. Dalam berlaku begitu setiap ilmu pengetahuan punya .
filosofinya sendiri sementara setiap filosofi punya ilmu
pengetahuannya sendiri. Suatu pengetahuan ilmiah yang
secara angsung atau tak langsung memberikan inspirasi
pada filosofi, suatu pengetahuan ilmiah yang dipertahan
kan oleh filosofi yang bersangkutan.
Aku sering teringat emak selama pengembaraan
pencarian pengetahuan di jalur keilmuan karena intisari
ucapannya yang relevan sering bergema di mimbar
perkuliahan Sorbonne, walaupun ia diucapkan dalam
bahasa yang berbeda oleh para guru besar, sering
dikumandangkan oleh buku-buku ilmiah meskipun ia
ditulis dengan kata-kata asing yang tidak pernah dikenal
emak. (OodwkzoO) Bab 19 EMAK DAN SENI LUKIS Ketika berusia tiga tahun aku mulai sering ditinggalkan
di rumah sendirian. Pagi-pagi kakak-kakakku pergi ke
sekolah. Tak lama kemudian menyusul emak dan bapak.
Mereka pergi ke kandang lembu. Dari situ emak biasanya
terus ke ladang, kadang-kadang ditemani bapak. Kalau
banyak urusan di kandang bapak tetap bekeija di situ
sampai sore dengan dibantu oleh si Bager. Mantri
kesehatan yang secara teratur datang memeriksa
kebersihan kandang benar-benar melarang pemilik lembu
membawa anak-anaknya yang masih kecil ke kandang.
Betapapun bersihnya, kandang-kandang lembu tetap
merupakan sarang bakteri katanya. Baru setahun
kemudian aku kadang-kadang dibolehkan ikut ke ladang
atau ke kandang. Sebenarnya selain aku ada si Amisha di rumah. Anak
si Bager ini selalu datang sebelum emak dan bapak pergi.
Sebagai pembantu rumah keijanya setiap hari mencuci
pakaian, menyeterika, membersihkan rumah dan
halaman. Jadi dia tidak bisa kuharapkan menjadi teman
bermain, apalagi dia anak perempuan dan sebaya
dengan Kak Marni. Maka begitu semua sudah pergi dan
pintu pagar ditutup, tinggallah aku seorang diri.
Walaupun pagar kayu rumahku cukup tinggi aku tidak
merasa terpenjara. Mula-mula memang rasa sepi tetapi
di balik kesepian itu aku mendapat kebebasan untuk
berbuat sesuka hati. Halaman rumah yang cukup luas penuh dengan
berbagai pohon dan tanaman. Kebebasan awal yang
mula mula kurasa adalah bebas untuk memanjat pohon-
pohon yang ada. Si Amisha yang dipesankan emak untuk
mengawasi gerak-gerikku, di samping menjalankan
tugas-tugas pokoknya, tidak melarang aku naik-turun
pohon dan berayun-ayun di dahan. Dia hanya
mengingatkan supaya berhati-hati. Setelah bosan dengan
panjat-memanjat pohon, aku berburu kupu-kupu dan
capung. Kedua jenis serangga ini banyak beterbangan
karena di halaman terda pat berbagai macam bunga.
Kalau telah lelah aku berbaring di balai-balai bambu di
keteduhan sambil menatap awan yang bergerak di langit
biru. Sesekali kulihat ada elang melayang-layang di
ketinggian itu. Kupikir-pikir alangkah enaknya elang itu,
bisa terbang tiaggi, melayang dengan bebas kian kemari.
Suatu hari ketika aku sedang mengejar-ngejar kupu-
kupu dan capung, emak pulang ke rumah lebih cepat
daripada biasanya. Rupanya dia hendak mengambil alat
yang ketinggalan untuk berladang sesudah
membereihkan kandang. Aku tunjukkan kepadanya
beberapa ekor kupu-kupu dan capung yang berhasil
kutangkap dengan memakai getah nangka yang
kulengketkan di ujung lidi. Hampir semua serangga itu
sudah mati sedangkan yang masih hidup sudah tak
karuan bentuk badannya karena getah itu.
"Untuk apa kau tangkap kupu-kupu dan capung ini?"
tanya emak. "Dan dengan memakai getah lagi hingga
sayap dan badannya lengket. Ekornya pun turut
terpelintir. Kasihan kan"!.
"Serangga-serangga ini indah sekali, Mak. Coba Mak
lihat badan capung-capung ini. Ada yang kuning, ada
yang merah, ada yang putih bergaris-garis hitam, serta
sayapnya yang halus seperti sutera. Demikian pula kupu-
kupu dengan sayapnya yang berwama-wami ini, bagai
kain yang dicap keindahannya," jawabku membela diri.
"Oh, begitu"! Menurut emak ada dua cara untuk
menikmati keindahan serangga-serangga ini. Pertama,
mengejar dan menangkapnya dan lalu mengamati
bangkainya yang makin mengering dan kian pudar
keindahannya. Kedua, duduk diam-diam sambil melihat
serangga-serangga ini menari-nari dengan lincahnya di
sela-sela bunga, masing-masing dengan bentuk dan
warnanya yang tersendiri, menampilkan suatu keindahan
yang hidup dan serasi. Cobalah pikirkan, emak agak
terburu-buru nih." Setelah berkata begitu emak bergegas mengambil alat
yang tertinggal, kemudian mencium ubun-ubun kepalaku
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan lalu pergi lagi. Kupikir-pikir ucapan emak ini ada benarnya. Memang
berbeda sekali kulihat keindahan serangga-serangga ini
selagi hidup dan ketika sudah mati. Dan keindahan ini
pun kelihatannya lebih cemerlang di saat mereka
beterbangan di sela-sela bunga yang juga indah. Semua
ini memang menyajikan suatu "keindahan yang hidup"
Emak, seperti biasa, memang benar. Aku dapat
menikmati dan merasakannya. Entah mengapa, timbul
hasratku untuk menggoreskan pemandangan yang indah
itu di tanah. Aku lalu mencorat-coret tanah dengan lidi.
Dan perbuatan ini, menggambar di tanah, ternyata dapat
juga memberikan suatu kepuasan.
Sebagian halaman di depan dan samping rumah
memang dibiarkan emak begitu saja, terbuka, tak
berumput, tidak ditanami apa-apa. Kalau ada rumput
yang tumbuh di situ terus dicabut hingga akar-akarnya.
Dan sekarang di halaman bertanah bersih ini, yang
dipakai sebagai tempat menjemur tilam dan bantal serta
hasil ladang setelah dipanen, aku mulai berbuat sesuatu
yang baru dengan kebebasanku, yaitu menggambar.
Seperti ada suatu kekuatan dalam yang mendorongku
berbuat demikian viB Dengan goresan lidi di tanah aku
menggambarkan kupu-kupu dan capung, awan elang,
pohon jambu yang sedang berbuah. Di tanah itu
kugambar pula kakak-kakak yang pergi ke sekolah, emak
yang sedang menyiangi ladang, bapak yang sedang
memandikan lembu di sungai. Kugambarkan juga diriku
yang sedang main layang-layang dan memanjat pohon.
Aku tak tahu bahwa goresan-goresan di tanah itu kiranya
disebut sketsa bila dibuat dengan notlot atau pena di
atas kertas. Aku pun tak tahu bahwa keseluruhan garis-
garis yang membentuk gambaran itu disebut sebagai
lijntekening dalam seni lukis. Yang aku tahu ketika itu
adalah bahwa membuat garis-garis yang digoreskan
dengan lidi mi ternyata memberikan kepadaku suatu
kepuasan tersendiri, tidak sama dengan kepuasan dalam
memanjat pohon atau kepuasan ketika menangkap kupu-
kupu dan capung atau kepuasan di saat berhasil
menangkap layang-layang lepas, tetapi toh suatu
kepuasan. Puluhan tahun kemudian baru aku sadari bahwa
semangat lukisan Timur, the spirit of oriental painting,
justru terletak di dalam garis-garis itu; ia dikatakan
filosofis dan estetis, sesuatu yang terpisah dari realitas.
Dalam lukisan umur bentuk atau warna tidak ditampilkan
sebagaimana adanya. Lukisan tersebut merupakan
sebuah gambaran yang subyektif, menurut apa yang
dipikirkan oleh sang pelukis, yang kusadari benar ketika
itu adalah apresiasi positif mak bapak dan kakak-kakakku
terhadap gambar-gambar yang kugariskan di halaman
rumah. Sikap mereka yang sangat mendukung ini
menambah kegairahanku untuk enggambar di tanah
hingga agak mengurangi kegiatanku ini panjat pohon
atau berburu kupu-kupu dan capung. Hal itu sangat
melegakan hati dan pikiran emak karena dengan begitu
aku mulai menjauhi kegiatan-kegiatan yang SS terkilir,
patah tulang atau terluka.
Beberapa bulan kemudian Kak Marni, atas anjuran
emak memberikan kepadaku satu bundel kertas tulis tak
bergaris, potlot dan setip. Dengan begitu latar dan alat
kegiatanku dalam melukis beralih dari tanah dan lidi
kekertas dan potlot Melukis dengan potlot di atas kertas
memberikan kepadaku suatu pengalaman baru. Aku tidak
Tanya bisa membuat gambaran melalui gans-gans, tetapi
memungkinkan aku memberikan bentuk pada gambaran
melalui nuansa kehitaman potlot, hingga mengesankan
adanya bentuk tiga dimensional, cahaya dan bayangan
Namun kadang-kadang aku kembali menggambar di
tanah karena bidang yang bisa digambar pasti jauh lebih
luas daripada permukaan kertas tulis, seluas halaman
rumah itu Sesekali kakak-kakakku ikut-ikut pula menggambar di
situ. Bahkan emak pun pernah turut serta mencorat-
coret di tanah. Bukan main gembiranya kami semua
ketika itu. Lebih-lebih emak, kelihatan sekali betapa
bahagianya dia ketika memperlihatkan kepada kami,
anak-anaknya, apa yang dulu juga pernah membuat dia
senang dan mengetahui betapa kegembiraan anak-
anaknya telah menyatu pada kesenangannya tersebut.
Di antara perlengkapan belajar yang disiapkan emak
untukku ketika hendak masuk Sekolah Dasar Melayu
terdapat satu dus berisi 12 potlot warna. Sudah tentu
potlot warna ini bukan atas permintaan Kepala Sekolah
tetapi atas prakarsa emak sendiri. Pada waktu potlot-
potlot itu mui dipakai tiga tahun kemudian pada jam
pelajairan meggambar, potlot-potlot itu panjangnya
sudah berkur & rata-rata separuh karena telah kupakai
menggambar diri di rumah selama ini. Jadi ketika teman-
teman aaku dikelas tiga baru mulai belajar mewarnai
gambar, aku sudah tidak canggung lagi. Maka selain
memuji keterampilanku guru meminta aku membantu
teman-teman yang masih mengalami kesulitan.
Penggunaan cat air baru diajarkan di tahun berikutnya, di
kelas IV. Bagiku hal ini juga bukan merupakan sesuatu
yang baru karena sudah kulakukan
Mungkin sekali karena laporan guru kelas IV ini.
Kepala Sekolah-Engku Azhari-meminta kesediaanku
untuk ikut membuat gambar-gambar yang akan dipakai
sebagai tema dalam pelajaran mengarang yang telah
diberikan sejak kelas III. Gambar-gambar ini berukuran
sebesar karton dan akan digantung sebagai perhiasan di
dinding kelas III, IV dan V. Untuk keperluan ini Engku
Azhari-yang mengajar di kelas V, yaitu kelas terakhir-
membentuk sebuah tim yang terdiri dari lima orang
murid yang dianggapnya kuat dalam menggambar. Dua
orang di antaranya berasal dari kelas IV, si Sjahroel dan
aku, dan sisanya adalah murid-murid dari kelas V.
Gambar-gambar itu kami buat setiap hari Jumat karena
sesudah sembahyang di mesjid madrasah libur dan pada
hari Minggu. Namun baru dua kali menggambar dua
orang sudah mengundurkan diri, si Sjahroel dari kelasku
dan si Djoefri dari kelas V.
Selama belajar di sekolah dasar ini minatku terhadap
menggambar dengan garis-garis, seperti yang dulu ku>-
lakukan di tanah halaman rumah, terangsang kembali.
Rangsangan ini datang dari ilustrasi yang terdapat di
setiap jilid buku ajar membaca sejak kelas I hingga kelas
V, beijudul "Matahari Terbif. Setelah aku masuk di HIS
baru kuketahui sebutan kategoris dari gambar-gambar
ilustratSC W.K. de Bruin tersebut, yaitu "lijntekening"
Sementara itu gambar-gambar yang kubuat semakin
menjadi naturalistis. Semua yang kulihat dan menarik
perhatianku kucoba memindahkannya ke atas kertas:
lanskap, pemandangan bunga, buah-buahan, binatang
dan manusia. Kemahiranku menggambar makhluk-
makhluk yang bernyawa ini menimbulkan kritik dari
beberapa gelintir teman semadrasah, termasuk Sjahloel
dan Djoefri. Menurut mereka menggambar manusia dan
binatang dilarang dalam agama Islam dan itulah
sebabnya mengapa orang tua mereka mendesak mereka
untuk keluar dari tim menggambar di sekolah. Tapi dulu
mereka takut mengatakan alasan ini kepada Engku
Azhari. Setiap hal yang membingungkan, seperti larangan
menggambar dalam Islam ini, tentu kusampaikan kepada
emak. "Ah, omong kosong itu," kata emak tanpa berpikir
lama. "Yang dilarang, setahu emak, adalah membuat
gambar Allah dan Rasul. Kita tidak bisa menggambarkan
wujud mereka. Tuhan adalah zat, bagaimana
melukiskannya" Yang dapat kita lukis dan tidak dilarang,
adalah perwujudan kebesaran-kebesaran-Nya, bukti-
bukti kekuasaan-Nya dalam mencipta, seperti yang bisa
kita lihat sehari-hari di sekitar kita, berupa alam dengan
segala isinya, yaitu matahari, bulan, bintang, tumbuh-
tumbuhan, binatang, manusia "."
?" Tapi menurut teman-teman, kalau yang kita
gambar itu adalah manusia atau binatang, nanti semua
ini akan menagih nyawa kepada kita di akhirat."
"Itu pun merupakan pendapat yang sungguh-sungguh
tak masuk di akal," kata emak sambil tertawa. "Semua
gambar yang kau buat itu adalah bentuk-bentuk datar
yang mati sejak semula, bukan dimatikan, bukan kau
matikan. Sama saja keadaannya dengan gambar-gambar
isi alam lainnya. Bukankah menurut Pamanmu, dan
dibenarkan oleh Mas Singgih, Tuhan menyuruh kita
mempelajari alam dan segala isinya" Bila demikian emak
kira Tuhan pasti tidak melarang kita menggambarkan
semua itu sebagai tanda kekaguman dan penerimaan
kita atas ciptaan-ciptaan-Nya tersebut. Maka kalau
dengan mempelajari semua itu kita mendapatkan
kepandaian, yaitu ILMU, dengan menggambarnya kita
juga memperoleh kepandaian, yaitu SlH
Dan Tuhan katanya sangat menghargai orang-orang
yang pandai di bidang-bidang yang diridhoi-Nya"
"Lalu bagaimana dengan menggambar Rasul?"
"Muhammad SAW memang seorang manusia. Jadi
berwujud, berbadan jasmani. Namun sebagai Rasulullah
yang penting adalah semangatnya. Sama halnya dengan
zat yang adanya Allah, bagaimana menggambar
semangat ini" Kita mungkin bisa melukiskan zat dan semangat
tersebut dengan kata-kata, dengan musik, tetapi pasti
tidak muali kin dapat melukiskannya dengan gambar."
Walaupun begitu emak menganjurkan aku untuk
menanyakan hal ini pada Ustad Hasan Basri. Dan ustad
sependapat dengan emak. "Tak ada larangan semacam
itu," katanya. "Emakmu benar sekali. Bahkan di Persia
dan ada tradisi menggambar dan melukis yang khusus
menghasilkan manuskrip dan risalah keagamaan. Kalau
kau mau melihatnya, datanglah ke rumah kapan saja."
Ketika aku singgah di rumahnya, ustad menunjukkan
kepadaku beberapa buku berbahasa Arab mengenai
lullah, riwayat hidupnya, peluangannya serta kisah israk
dan mikraj. Buku-buku ini penuh dengan ornamen dan
ilustrasi yang menggambarkan Rasulullah Muhammad
dan lain-lain Rasul serta Nabi yang ditemuinya selama
perjalanan malam hari dari Masjidil Aksa ke
Sidratulmuntaha, malaikat Jibril yang bersayap seribu,
para bidadari, surga dan neraka. Buku-buku ini dibeli
ustad di Mesir ketika dia belajar di Al Azhar. Tidak ada
orang-orang yang meributkan buku-buku semacam itu di
sana, dijual untuk: umum di toko-toko buku biasa. Dan
menurut dia pida% yang kuucapkan untuk memperingati
maulud nabi, nuzulul quran dan israk-mikraj dia susun
banyak sedikitnya dari uraian-uraian buku-buku tersebut,
yang memang autentik ia akhirnya menganjurkan aku
untuk membuat kaligrafi, Sebulan kemudian kuberikan
kepadanya gubahan kaligrafiku yang pertama, yaitu
"bismillahir rohmanir rohim berupa burung terbang.
Bukan main senang hatinya. Bahuku ditepuknya
berulang-ulang. Selagi belajar di HIS pengetahuan umumku bertambah
luas. Perlengkapan sekolah berbahasa Belanda ini jauh
lebih memadai daripada sekolah Melayu padahal secara
formal kedua-duanya merupakan sekolah dasar. Ia
mempunyai ruang perpustakaan tersendiri. Buku-
bukunya sebagian terbesar buku Belanda. Sisanya buku-
buku berbahasa Melayu terbitan Balai Poestaka yang
praktis sudah kubaca semua. Di dinding setiap kelas
bergantungan schoolplaten yang dipakai sebagai sarana
berbahasa Belanda. Gambar-gambar ini mengingatkan
aku akan gambar-gambar dinding yang pernah aku buat
di sekolah Melayu dahulu. Kemampuan teknisku dalam
menggambar juga bertambah berkat perhatian khusus
dari Meneer Soemarno, de tekenleeraar, kepadaku.
Setelah kutunjukkan kepadanya beberapa sketsa dan
lukisan yang pernah kubuat, dia mengatakan bahwa aku
sebenarnya tidak perlu lagi mengikuti pelajaran
menggambar di sekolah ini. Pada jam tersebut aku bebas
untuk berbuat apa saja. Kesempatan ini tidak kupakai untuk santai bermain-
bermain, tetapi kumanfaatkan untuk membuat sketsa
tentang sekolah, keadaan lingkungannya dan istana
Sultan Deli berikut mesjid Maimoon serta taman bunga
yang terletak tidak jauh dari sekolah. Hal-hal yang
kulakukan ini ternyata sangat dihargai oleh Meneer
Soemarno. Apresiasi ini dinyatakannya dengan sebuah
hadiah berupa satu kotak pastelkrijt merk Greyhound.
Dia mengatakan supaya aku datang ke rumahnya kapan
saja agar dituntunnya bagaimana memadai kapur
gambar tersebut. Aku pernah diajaknya untuk
mengunjungi pameran pelukis Basoeki Abdoellah di Hotel
de Boer. Dia yang membayarkan karcis masuk sebesar
lima sen untuk anak sekolah. Beberapa bulan kemudian
aku ditraktir lagi ketika pelukis Frederick Kasenda
berpameran di Grand Hotel Di setiap pameran itu dia
berusaha menerangkan kepadaku kekuatan, kelemahan
serta kelebihan dan kekurangan dari setiap lukisan yang
ada d.pandang dari sudut sapuan kuas, dan kombinasi
warna, licht en schaduw dan keseimbangan perhatian
sang pelukis. Dalam periode ini pula aku mulai mendapat
penghasilan dari kemampuanku melukis. Pertama,
dengan menggambar wajah dan kedua, membuat
ilustrasi di bidang pernovelan Membuat gambar wajah
berawal pada suatu kebetulan sama sekali tak terpikirkan
sebelumnya. Teman karib dari Babah Sm Ko Han
meninggal dan keluarga yang kemalangan ini
memerlukan sebuah gambar wajah yang berukuran agak
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar dari almarhum. Babah Sin yang mendengar aku
pandai menggambar dari anaknya, yang adalah sahabat
karibku, menyuruh si anak menanyakan kesediaanku
membuat gambar wajah yang diperlukan itu.
Tapi Apek, saya belum pernah membuat gambar
seperti itu, kataku penuh keraguan.
"Ayolah Daoed, kau pasti bisa. Saya yakin itu," kata si
Apek penuh keyakinan. Tukang potret pasti tidak bisa
memperbesar foto sebesar itu. Ayo, cobalah, ada
keluarga yang sangat memerlukannya. Ini foto dari
teman ayah yang meninggal itu."
Dia menberikan sebuah pasfoto yang harus
kuperbesar sampai seukuran 50 cm Syaratnya hanjs
persis sepert. Foto yang ber warna hitam putih, dan
harus bisa siap besok pagi. Ini berarti aku harus
menggambar sepanjang malam. Ketika kutanyakan
pendapat emak, dia tidak segera menjawab.
"Terserah kau sajaIah?" katanya kemudian. "Jangan
lupa bahwa besok kau harus bersekolah- Namun ini
merupakan tantangan, benar-benar suatu tantangan.
Aku terima tantangan itu. Gambar itu kubuat dengan
menggunakan konte bubuk hingga jadinya bisa halus
bagai sebuah foto. Menjelang subuh gambar itu siap,
persis seperti wajah yang tertera di pasfoto. Sebelum
berangkat ke sekolah gambar itu kuserahkan kepada
Babah Sin. Dia sangat puas setelah melihatnya, demikian
pula si Apek. "Saya sudah tahu kau ini hebat," katanya
memuji dengan mengacungkan jempolnya. nBut you are
always so modest lah" Dua hari kemudian aku menerima
honor sebesar 15 gulden, suatu jumlah yang cukup
besar, sebesar gaji bulanan dari seorang kerani muda di
kantor. Sejak itu aku menjadi terkenal di kalangan komunitas
Cina. Pesanan gambar mulai mengalir. "Kau ini
mengembangkan suatu keahlian yang aneh," komentar
Kak Ani bersenda-gurau. "Lama-lama kau menjadi
tukang gambar Cina mati. Hati-hati kau, nanti ada hantu
yang datang menggoda!"
"Ah, tidak juga Kak," jawabku. "Lihat foto suami isteri
ini. Mereka ini orang-orang Cina yang masih hidup, sehat
dan segar bugar, pemilik salah satu toko di
Cantonstraat." Di antara pesanan gambar yang aku terima memang
datang dari orang-orang yang masih hidup. Mereka ingin
dibuatkan gambar wajah yang berukuran besar, persis
seperti foto, yang tukang potret ketika itu belum mampu
membuatnya. Dengan membuat gambar-gambar wajah
ala foto ini, kemahiranku membuat gambar wajah
semakin meningkat. Aku sendiri sebenarnya tidak puas.
Menggambar wajah hitam putih ala foto kulakukan bukan
karena pilihanku. Aku lakukan semua ini tidak karena
dorongan artistik. Namun aku selalu berusaha membuat
yang lebih sempurna daripada yang sudah kulakukan
sebelumnya mengenai setiap pekeijaan. Dalam bekeija
yang kuutama-kan adalah kepuasanku sendiri. Hasilnya
ternyata diterima baik oleh setiap pemesan. Padahal
yang kumimpikan sebenarnya adalah melukis wajah
berwarna dari orangnya langsung duduk berpose di
depanku sebagai model, bukan menggambar wajah
h,tam putih ala foto berdasarkan foto pula. Karena rasa
tidak puas inilah maka aku tak membubuhi namaku di
atas semua gambar wajah yang aku buat itu.
Ceritanya lain bila mengenai pembuatan ilustrasi
dihidang pernovelan. Kerja seperti ini memang sangat
aku inginkan, sudah lama kupikirkan sebelumnya dan
semakin terangsang setelah aku melihat school platen
yang ada di HIS. Maka kuberanikan diri ke kantor
penerbit seri "Cendrawasih" yang setiap bulan
menerbitkan sebuah novel pendek. Redaksi bersedia
memberikan aku kesempatan yang pasti tak akan aku
sia-siakan begitu saja. Aku berusaha keras untuk
membuat ilustrasi yang pertama ini sebaik mungkin
dengan membuat dua gambar guna dipilih sendiri oleh
redaksi. Ternyata seluruh staf redaksi menjadi bingung
sendiri untuk memilihnya. Akhirnya mereka menyerahkan
kepadaku untuk membuat pilihan. Dengan demikian di
usia 13 tahun, ketika duduk di kelas terakhir HIS, aku
sudah menjadi ilustrator.
Emak bangga sekali dengan prestasiku ini. Buku yang
kulitnya dihiasi oleh gambar buatanku ini dipegangnya
lama sekali, ditimang-timangnya bagai menimang
seorang cucu. Berulang-ulang dia mengalihkan
pandangannya dari ilustrasi ke wajahku, dari wajahku ke
ilustrasi lagi dan demikian berkali-kali. Karena emak tidak
bisa membaca aku katakan kepadanya bahwa di bawah
kanan gambar itu kutulis nama bapak selengkapnya. Aku
pun berjanji akan enceritakan kepadanya garis besar isi
cerita dari buku yang kulitnya kugambar ini. :
"Simpan baik-baik buku kecil ini," demikian pesan
emak, "demi gambar yang kau buat di kulitnya itu. Sebab
sebuah gambar yang benar-benar baik harus dilihat
berulang-ulang, di saat kau remaja, di waktu kau dewasa
dan kelak di hari tuamu, sebagaimana halnya dengan
sebuah bangunan, pemandangan atau taman yang
indah, seharusnya dipandang di bawah sinar matahari
pagi, di siang hari dan di bawah cahaya bulan."
Berhubung membuat ilustrasi kulit buku sudah aku
niatkan dengan sadar sejak lama, di setiap gambar aku
bubuhi nama. Karena menggambar ini merupakan suatu
perbuatan yang membanggakan, aku memutuskan untuk
membawa nama keluarga, yaitu "Joesoef. Maka nama
yang kutulis pada setiap gambar dan lukisan adalah "D.
Joesoef. Namun terus terang setiap gambar atau lukisan
yang kubuat tidak memberikan kepuasan yang sama,
karena aku anggap tidak sama baik mutu artistiknya.
Setiap kali aku menyelesaikan sebuah gambar atau
lukisan aku bandingkan karya tersebut dengan apa yang
sesungguhnya ada di alam, dari dunia flora dan fauna,
sebagai tes terakhir. Bila karya tadi kuanggap pantas
bersanding dengan ciptaan Ibu Alam yang tidak bisa
dibuat oleh manusia itu, ia kunyatakan bermutu dan
kutandai dengan nama "D. Joesoef. Bila karyaku itu
kelihatannya kurang sebanding ia kuanggap kurang dan
kutandai dengan nama "D. Joes". Sudah tentu perailaian
seperti ini sangat subyektif sebab apa yang kuanggap
kurang bermutu tadi adakalanya sangat memuaskan
pandangan artistik teman-teman. Untunglah yang
sebaliknya tidak pernah teijadi. Akibat dari penggunaan
nama seperti ini adalah bahwa teman-teman yang belum
mengenal aku sebelumnya memanggilku dengan sebutan
"Bung Joes" saja.
Pada suatu sore rumah kami didatangi oleh seorang
laki-laki dewasa yang kelihatannya agak berang. Tanpa
basa-basi dia langsung mengatakan kepada emak, yang
kebetulan sedang berada di halaman depan, ingin
bertemu dengan jsaudara D. Joes" Aku sendiri tengah
berada di sumur menimba air. Emak segera
memberitahukan hal ini kepadaku sambil mengingatkan
bahwa sang tamu kelihatannya tidak bermaksud baik.
Aku pun bergegas menemui tamu yang tak diundang itu.
"Ya, ada apa Bang". Kataku dengan mendekatmya
sekalem mungkin. Memang kuikat sikapnya tidak ramah
sama sekali. Orang itu lama menatap aku seperti tidak percavaSl
diperhatikannya benar-benar dari ubun-ubun hingga
uiuns kaki, berulang-ulang. "Kau benar-benar yang
bernama D. Joes?" Aku mengangguk. Agak heran juga aku sebenarnya
"Kalau Abang tak percaya," kataku, "silakan tanya
kepada para tetangga, orang sekampung ini, bahkan
kepada Penghulu." Aku semakin percaya diri
menghadapinya. "Kau yang membuat gambar ini kan?" Nada suaranya
semakin merendah. Dia menunjukkan kepadaku buku
seri "Cendrawasih" yang terbaru berjudul "Tahi Lalat
Tiruan" karangan Joesoef Sou"yb. Ini sebuah roman
detektif yang kocak. Sebagai ilustrasi kulit buku saku ini
kugambar seorang perempuan cantik dengan tahi lalat di
pipi, duduk dekat jendela gerbong kereta api.
"Ya" Saya,ah yanS menggambarnya Bang," kataku
masih terheran-heran. "Ada apa rupanya?"
Tamu itu tidak segera menjawab. Akhirnya dia tertawa
sendirian, terbahak-bahak. Kemudian dia menyalami
emak dengan sopan santun dan menjabat tanganku lama
sekali. Sikapnya kelihatan semakin ramah dan rileks.
"Mak, nama saya Wan Ibrahim," katanya
memperkenalkan diri kepada emak dan aku. "Maaf
beribu maaf kalau sikap saya terlalu kasar, tidak sopan.
Saya memasuki halaman rumah ini tadi memang dengan
rasa amarah dan jengkel" karena cemburu buta." .
Cemburu?" emak dan aku saling memandang, tak
mengerti duduk perkara. "Mengapa cemburu?"
"Wajah perempuan yang digambar oleh dik Joes ini mirip
sekali dengan wajah Siti Noerhajati" istri saya."
"Ooh begitu," ucap emak dan aku serentak. Aku
bernafas lega, kukira emak demikian pula.
Tadinya saya curiga pelukis D. Joes ini adalah seorang
dewasa seperti saya. Tak saya sangka dik Joes masih
remaja, masih semuda ini, lebih pantas menjadi adik
kami daripada menjadi pemuda yang harus dicurigai,
dicemburui." "Syukurlah masalah dik Berahim kini telah jelas
terjawab sendiri," kata emak.
"Ya Mak, bagi saya sudah jelas sekali duduk
perkaranya. Semua ini pasti suatu kebetulan belaka,"
sambung Wan Ibrahim. "Saya khilaf dan terlalu keburu
nafcu. Saya malu sekali dan merasa bersalah besar. Tadi
sebelum kemari saya dan istri sempat bertengkar karena
tuduhan-tuduhan saya."
"Emak percaya bahwa si Siti, istrimu itu, tentunya
cantik sekali." "Begitulah Mak " dia dulu gadis tercantik di kota kami
" diberi julukan Mawar kota Bengkalis?"
"Pantas sekali kalau suaminya menjadi pencemburu."
Wan Ibrahim tersenyum kesipuan mendengar kelakar
emak. Tak baik begitu dik Berahim," kata emak
selanjutnya. "Kalau sudah berumah tangga, suami istri
seharusnya saling percaya-mempercayai."
Setelah berkali-kali minta maaf Wan Ibrahim akhirnya
mohon permisi pulang. Rasa menyesal jelas membayang
di wajahnya. "Jangan lupa meminta maaf pada istrimu sendiri,"
pesan emak berulang kali.
Dua hari kemudian dia datang lagi. Kali ini bersama
istrinya dengan membawa oleh-oleh serantang lauk-pauk
hasil masakannya sendiri. Memang wajah perempuan ini
dengan tahi lalat di pipinya mirip sekali dengan wajah
yang kugambarkan di kulit buku saku seri "Cendrawasih"
itu. Emak mempersilakan mereka duduk di serambi. "Dik
Siti rupanya tidak hanya cantik tetapi juga pandai
memasak." puji emak.
Sebelum pulang Wan Ibrahim sempat menanyakan
kesediaanku untuk melukis istrinya yang cantik itu Dia
telah membawa foto Kak Siti yang sebesar kartu pos
untuk dicontoh. Aku katakan pada Bang Berahim sebai
ny Kak Siti kulukis tidak dari fotonya seperti menggaSi
wajah Cina mati saja. Sebaiknya dia kulukis langsung dari
orangnya dengan memakai pastelkrijt berwarna. Memang
melelahkan karena harus duduk diam berpose berjam-
jam tetapi kalau jadi pasti memuaskan yang dilukis dan
yang melukis. Demikianlah, Kak Siti kulukis di rumahnya
selama dua hari berturut-turut karena kebetulan hari
libur Dan hal ini adalah pengalamanku yang pertama
dalam melukis wajah orang yang berpose sendiri sebagai
model. Bang Ibrahim yang sangat puas melihat lukisan
ini memberikan aku honor sebanyak tiga ringgit. Dia
adalah pengusaha kopra pinang.
Aku diterima di MULO pada saat Kerajaan Belanda
baru saja diduduki Jerman dan Ratu Wilhelmina sudah
mengungsi ke Inggris. Di sekolah ini aku juga mendapat
perhatian yang tersendiri dari tekenleeraar Meneer Ter
Haasse. Di sekolah lanjutan berbahasa Belanda ini ada
sebuah niangan khusus untuk pelajaran menggambar.
Perpustakaan sekolah menyediakan pula buku-buku yang
berisi reproduksi dari karya pelukis-pelukis besar Belanda
seperti Rembrandt, Rubens, Jan Vermeer, Van Gogh,
Breitner dan ain-lain. Dengan segera aku menjadi
pengagum Rem-brandt yang sangat mahir menampilkan
lighr en schaduw pada tampang orang-orang yang
dilukisnya. Garis-garis sketsanya juga impresif sekali.
Kalau ada hari libur Meneer J Haasse mengajak aku
membuat sketsa atau dstafereel karena dia tahu aku
senang berbuat demikian sambil berusaha meningkatkan
kemampuan teknisku dalam melukis di luar. Dia pun
memberikan aku sebuah buku tentang Rembrandt karena
dia tahu aku sangat mengagumi pelukis yang satu ini.
Dia juga menganjurkan aku untuk berusaha belajar di
"Ecole des Beaux Arts" di Paris di mana dia dahulu
pernah belajar."En bovendien," katanya, "Paris, c"estla
ville lumiere" etsa Sorbonne, sa L"ocuvre, ses parcs " o
la la " o la la ?"
Di antara kerumunan orang-orang yang menonton aku
membuat sketsa, kulirik ada seorang Belanda dan
beberapa sinyo dan noni. Yang sedang aku sketsa adalah
seorang pengemis. Di hari Jumat itu dari sekolah aku tak
langsung pulang ke rumah, tetapi pergi ke toko di
bilangan Centrale Passer membeli sesuatu. Ketika hendak
pulang kulihat seorang pengemis tua berdiri di pinggir
jalan. Melihat sosok tubuh yang kurus kering dan
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkeriput itu hatiku terenyuh dan perasaan tergerak
untuk menggambarnya. Aku ajak dia ke taman yang
teduh di sudut pasar agar berpose untukku. Setelah
selesai kuberi dia uang seketip dan sepotong roti yang
kubeli dari penjaja penganan yang ikut berkerumun. Aku
tidak segera pulang, beristirahat sejenak di bangku
sambil menatap sketsa yang baru kubuat tadi. Sang
pengemis juga duduk-duduk di rumput karena kelelahan
berdiri terus-menerus selama kugambar.
Di saat itulah orang Belanda itu menghampiri aku
diikuti dari belakang oleh semua sinyo dan noni yang
sejak tadi memperhatikan aku menggambar. Dia
bertanya dalam bahasa Melayu yang baik apakah boleh
melihat gambar sang pengemis. Aku berikan kepadanya
buku sketsaku. Karena berupa buku dia bertanya lagi
apakah dia dan semua sinyo dan noni yang ada boleh
membalik-balik buku sketsa. Kujawab dalam bahasa
Belanda bahwa aku tidak keberatan. Mendengar aku bisa
berbahasa Belanda mereka kelihatan semakin santun dan
egaliter. Lebih-lebih setelah kujelaskan, karena orang
Belanda itu menanyakan, bahwa aku seorang MULO-
ling"*. Dia rupanya adalah Guru HBS yang berada di
dekat taman ini dan sinyo serta noni ini adalah murid-
muridnya. Setelah dari kejauhan mereka melihat orang-
orang berkerumun mereka berpikir ada kecelakaan atau
insiden lainnya di taman ini , yang merupakan terusan
dari halaman HBS, hanya dipisah kan oleh sebuah pagar
tanaman hidup. Dia menanyakan apakah sketsa pengemis itu boleh
dibelinya. Aku keberatan karena hal itu berarti aku harus
merobeknya dan buku sketsa. Lalu dia bertanya apa aku
bersedia membuatnya sekali lagi untuk sekolahnya Dia
memperkenalkan dirinya bernama Van Hooyer
tekenleeraar di HBS itu. Dia mengusul supaya gambar ini
kubua di ruang gambar sekolah. Ruang ini kudapati jauh
lebih besa danpada yang ada di MULO dan
perlengkapannya j!ga jauh lebih memadai. Dia
mempersilakan aku memilih medl yang tersedia: karton
serta kertas gambar berbagai ukuran dan warna, konte,
pastelkrijt, cat air, eat poster serta cat minyak. Yang
kupilih adalah selembar karton berukuran 150 x 80 cm
dan konte hitam, putih, coklat dan kuning oker Sekolah
sebenarnya sudah tutup tetapi beberapa guru dan murid
masih ada yang belum pulang. Tanpa diminta, mereka
semua ikut masuk ke ruang gambar melihat apa yang
kulakukan. Karena gambar pengemis ini kubuat untuk
kedua kalinya, dengan model dan posisi yang sama
tanganku sudah seperti bergerak sendiri, bagai menari
kekanan, ke kiri, ke atas dan ke bawah, menjelajahi
seluruh permukaan karton, selama hampir dua jam.
Setmti3H Pengemis tua sudah berpindah ke atas karton.
Semua yang hadir memuji kecekatanku dan menganggap
ah siap. Tetapi aku sendiri belum puas. Pengemis itu
belum kuijinkan pergi. "Wat zie je toch in hem?" tanya Meneer Van Hooyer.
Dia pun rupanya menganggap lukisan ini sudah af, sudah
selesai. -Ik zie in hem geen lichaam, geen vlees en bloed,
geen aeraamte, ik zie alleen lijnen, een en al lijnen:
kataku. Sungguh yang kulihat pada diri pengemis ini
adalah tak lain daripada garis keriput di dahinya, di
mukanya, di badannya, tangannya, kakinya. Seluruhnya
merupakan garis garis-garis yang menyatakan kesedihan
dan kesengsaraan hidup " "ja alles, al die lijnen spreken
van verdriet, niet anders dan levensverdriet en ellende."
"Ah, wat een filosofie," kata Meneer Van Hooyer. "Nee
Meneer," tukasku, "het zijn feiten. Hardefeiten die mijn
hand doen bewegen?" Saya masih ragu, belum puas.
Lukisan ini belum siap. Tunggu dulu.
Akhirnya kuketahui di mana letak kekurangan lukisan
ini. Representasi baju pengemis itu, lekuk, lipatan dan
kecompang-eampingannya belum sepenuhnya ikut
mengatakan kesengsaraan si pemakai. Apa yang tertera
di karton baru berupa corat-coret konte, belum lukisan
yang menggambarkan baju pengemis sebagaimana
adanya. Lebih mirip dengan baju jubah pendeta dari
lukisan Hans Holbein. Aku pun mulai memperbaikinya
hingga baju tersebut betul-betul menyatu dengan
penampilan sang pengemis. Selesai dalam 15 menit. Di
bawah kiri lukisan segera kububuhi nama "D. Joesoef.
Aku puas. "Well, well, eindelijk. Zieje," kata Meneer Van Hooyer,
tidak tahu kepada siapa. "Hoe groter de kunstenaar,des
to grooter de twijvel. Zelfoverschatting is de troostprijs
van minder begaafden "
"Wat denk u van mijn tekeningT tanyaku kepadanya.
Dia menatapku dengan senyum keguruan dan berkata
dengan nada kebapakan, "talent is eenjijne spiegel met
een gouden lijst, met de naam van de eigenaar
gegraveerd aan de aehterkant.
Setelah memberi uang kepada pengemis dan
mengizinkannya pergi, tekenleeraar ini ingin pula
memberikan aku honor. Uang itu kutolak dengan halus.
"Dank u zeer Meneer Van Hooyer," kataku. "Adalah satu
kehormatan buat saya bahwa lukisan saya digantung di
dinding kelas HBS Saya tahu benar bahwa keadaan tidak
akan pernah memungkinkan saya bisa diterima belajar di
sekolah bergengsi ini, betapapun besarnya keinginan
saya untuk itu." Tiga hari kemudian ketika hendak pulang, Meneer Ter
Haasse sudah menungguku di tempat penyimpanan kere-
tangin. Menurut dia Meneer Van Hooyer telah
menceritakan kepadanya segala sesuatu tentang lukisan
pengemis tua yang sekarang sudah digantung di ruang
gambar HBS. "Semua staf pengajar di sekolah itu,
termasuk direkturnya, kagum atas prestasimu itu,"
katanya. "Dan kolega saya, Meneer Van Hooyer,
meminta saya menyampaikan kepadamu paket ini
sebagai tanda penghargaannya. Dia meminta saya yang
menyampaikannya karena khawatir nanti kau tolak lagi.
Kalau kali ini kau tolak juga tentu dia akan kecewa sekali.
Well, terimalah!" Paket itu kuterima. "Tolong sampaikan terima kasih
saya," kataku. Keseluruhan paket itu terdiri dari beberapa
helai kanvas, kuas, lijnolie, satu kotak cat plakat dan satu
kotak cat minyak, serta sebuah buku. Buku ini, baik
bentuk, ukuran maupun kertasnya, sama persis dengan
buku sketsa biasa. Tetapi di setiap halamannya tercetak
reproduksi sketsa dari Walter Spies tentang aspek
kehidupan dan alam sejak dari Sabang, Jawa hingga Bali.
Buku ini dimasyarakatkan oleh maskapai pelayaran
"Rotterdamsche Lloyd" dalam rangka promosi
kepariwisataan. Emak menyuruh aku membuat surat
ucapan terima kasih kepada Meneer Van Hooyer.
Menurut emak biar bagaimanapun paket dan
penghargaan itu bukan datang dari orang biasa, tetapi
dari seorang guru kepada seorang murid. "Biarpun dia
seorang Belanda yang belum kau kenal sebelumnya dan
kau sendiri bukan muridnya langsung, dia adalah seorang
GURU dan kau seorang MURID. Dan guru harus
dihormati. Guru adalah orang tua kedua dari murid di
sekolah. Camkan itu di pikiran dan hatimu!"
Semasa pendudukan Jepang aku tak bersekolah lagi,
walaupun pendidikan formalku di tingkat menengah
pertama belum selesai. Bukan karena MULO diubah
menjadi Tjuu Gakko tetapi berhubung sistem pengajaran
di sekolah menengah pertama ala Jepang ini menjadi tak
menentu. Di sekolah ini ditampung pelajar-pelajar
pindahan dari Madrasah Sanawiah dan para lulusan dari
Madrasah Ibtidaiah, Sekolah Dasar Melayu dan HIS. Hari
liburnya bukan lagi Minggu tetapi Jumat. Sudah tentu
para guru juga bingung karena harus mengajar murid-
murid yang datang dari sistem persekolahan yang sangat
berlainan fokus pendidikannya. Belum lagi adanya
keharusan bagi mereka untuk bisa menguasai bahasa
Jepang secepat mungkin. Sementara itu semua murid
dikerahkan setiap hari untuk berkinro hosi, bergotong
royong demi kemenangan peperangan Asia Timur Raya.
Yang musti dikeijakan oleh murid-murid dengan
keharusan berkepala gundul ini adalah memperluas
lapangan terbang Polonia di bawah terik matahari.
Lapangan terbang yang sudah ada sejak zaman Belanda,
demi perluasannya, dijadikan satu dengan lapangan
pacuan kuda dan lapangan golf yang terletak di
sebelahnya. Pelajar yang dianggap lamban ditempeleng
oleh serdadu Jepang, ditendang, bahkan ada yang
dipukul dengan sekop hingga pecah kepalanya. Maka
tidak sedikit yang memilih keluar dari sekolah, termasuk
aku sendiri, setelah berusaha bertahan selama hampir
enam bulan. Waktu yang selama ini kupakai untuk
bersekolah se karang kumanfaatkan seluruhnya untuk
membaca. Buku yang disita oleh penguasa Jepang dari
semua rumah dan gedung perkantoran Belanda
dikumpulkan di gedung AVROS, tempat Pakcik Leman
dulu bekerja. Gedung ini lalu dijadikan sebuah perpustakaan umum.
Kesinilah aku datang membaca hampir setiap hari. Di sini
aku bertemu dengan beberapa mantan guru HIS, MULO
dan praktis semua murid yang keluar dari Tjuu Gakko.
Pergaulan kanu menjadi sangat akrab, bagai pergaulan
dari orang-orang yang senasib sepenanggungan, yang
sulit menyesuaikan diri pada keadaan yang sama sekali
berbeda, hingga bahasa yang dipakai secara spontan
adalah bahasa Belanda Kami pun mendapat pelayanan
yang khusus dari Kepala Perpustakaan ini, seorang
pensiunan guru MULO yang menjadi terhalang untuk
kembali ke kampung halamannya di Jawa. Dan di sini
pulalah aku menjadi semakin dekat dengan Nasjah, yang
nama lengkapnya adalah Noer Alamsjah Djamin.
Sebenarnya kami sudah saling mengenal di MULO,
namun ketika itu jauh dari akrab, hanya sebatas . "hallo"
atau "goede morgen" kalau kebetulan berpapasan.
Nasjah Djamin seorang yang pendiam, baru berbunyi
kalau disapa. Kemahirannya dalam membuat sajak, syair
dan pantun jauh lebih besar daripada dalam membuat
lukisan. Yang pasti kegemaran kami ada yang pereis sama,
yaitu membaca dan membaca. .
Ketika penguasa Jepang membuka Bunka Ka, kantor
propaganda yang berkedok kebudayaan dan
membutuhkan Pelukis, Nasjah dan aku melamar keija di
sini. Mula-mula kami ragu-ragu melakukannya karena
pada dasarnya kami sudah membenci Jepang yang
tindak-tanduknya serba kasar dan terus terang agak
biadab. Namun ada pengumuman penguasa yang
menetapkan bahwa orang-orang dewasa yang tidak
punya pekeijaan yang tetap atau tidak bersekolah, tidak
akan diberi kartu pembagian bahan makanan pokok. Ada
pula desas-desus akan ada rekrutmen dikalangan
pemuda yang menganggur untuk dijadikan heiho.
Lamaran kami diterima. Ada delapan pelukis yang bekeija
I di Sini, dua di antaranya pernah menempuh pendidikan
formal khusus dalam seni di "Indonesische Nijverheid
School" di Kayu Tanam. Sisanya adalah otodidak,
termasuk aku. Ada pula seorang yang sangat berpengalaman di
bidang periklanan, Bang Kamil, karena di zaman Belanda
dia bekerja di sebuah Biro Reklame Belanda. Dari dia aku
kemudian banyak belajar tentang seluk beluk membuat
poster, slide iklan untuk bioskop dan membuat berbagai
macam H huruf yang artistik dan menarik.
Divisi seni rupa dari Bunka Ka terpisah letaknya dari
kantor pusat. Divisi ini menempati gedung yang di zaman
Belanda adalah toko "De Zon" di Jalan Kesawan. Ruang
besar di depan yang dahulu sehari-hari merupakan
tempat memamerkan baju-baju dan asesori modieus, kini
menjadi tempat pameran permanen di mana dipajang
poster-poster propaganda yang dikirim dari Jepang dan
yang dibuat oleh staf pelukis Bunka Ka. Sudah tentu
semua poster menggambarkan serdadu-serdadu Nippon
yang gagah perkasa sementara di dalam kota semakin
banyak berkeliaran romusha. Mereka ini dibawa
penguasa dari Jawa dan setelah mereka tak berdaya lagi
untuk diperas tenaganya di berbagai proyek kemiliteran,
mereka dilepas begitu saja ke jalan mencari makanannya
sendiri, mengais-ngais tempat sampah bagai anjing. Tak
ada seorang pun dari mereka gg yang tidak berkudis.
Setiap kali kulihat sosok-sosok manusia yang malang
ini, aku teringat pada lukisan pengemisku di zaman H
Belanda dahulu. Garis-garis yang menandai penampilan
para romusha di zaman Jepang ini lebih rapat, tidak
hanya menyatakan kepedihan dan kesengsaraan, tetapi
lebih banyak lagi: kepedihan, kesengsaraan, penipuan,
pemerasan, penindasan, kesewenang-wenangan.
Pokoknya semua yang berlawanan dengan
perikemanusiaan. Dibandingkan dengan garis-garis
pengemisku yang dahulu, garis-garis romusha tersebut
jauh lebih mencekam perasaan. Tanganku tak kuasa
menggerakkan konte untuk menggambarkan penampilan
mereka. Gedung HBS di mana lukisan pengemisku digantung
sudah dijadikan asrama oleh tentara Jepang , tak tahu
aku bagaimana jadinya nasib lukisan itu sekarang serta
keadaan bahan-bahan menggambar dan mematung
ahulu mengisi leman, rak dan meja di ruang menggam af
Jangan-jangan semua ini dicampakkan begitu saja oleh
serdadu-serdadu yang menempatinya atau bersama-
sama bangku sekolah dijadikan bahan bakar guna
memanasi tong-tong mandi para perwiranya, Mudah-
mudahan bahan-bahan itu disita dan sekarang turut
mengisi gudang divisi seni rupa dari kantor Bunka Ka ini
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipimpin oleh -orang sipil. Kabarnya dia adalah pewaris
dari pemilik salah satu perusahaan raksasa di negerinya.
Badannya tinggi besar, kalau bukan karena matanya
yang sipit, Kikuo san ini bisa disangka seorang bule. Dia
seorang karikaturis yang sangat mengagumi
impresionisme dalam Seni lukis terutama yang serba
Perancis dan relatif lancar berbahasa Inggris. Dia
kelihatannya tidak oegitu peduli pada ambisi militeristis
pemerintahnya dan Kadang-kadang mengutarakan
ucapan-ucapan yang sangat is. Dia tidak pernah
menyembunyikan impiannya untuk bisa belajar lagi di
Bunka Daigaku di Tokyo. Dia pulalah yang langsung
mengatakan kepada kami, semua staf pelukisnya, ketika
Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika
Serikat. "The war is over. We loose ne " we loose | m
loose "katanya berkali kali.
Begitu Jepang bertekuk lutut dan Indonesia
menyatakan kemerdekaannya di bulan Agustus 1945,
para pelukis yang ada di Bunka Ka berprakarsa
membentuk suatu organisasi seniman yang dinamakan
"Angkatan Seni Rupa Indonesia" (ASRI). Organisasi ini
ternyata mendapat sambutan yang baik. Tidak kurang
dari 20 orang pelukis datang menggabungkan diri, yang
pekeijaan sehari-harinya tidak di bidang seni. Ada yang
pedagang, guru, kerani, tetapi senang melukis. Dalam
rapat anggota yang lengkap, diadakan pemilihan
pengurus. Pelukis senior Bung Hoessein ditetapkan
menjadi Ketua, Nasjah Djamin sebagai Sekretaris, aku
sebagai Bendahara. Tugas utama dari pengurus ini
adalah mengadakan pameran besar-besaran di bulan
Desember 1945. Dan pameran ini ternyata menjadi
pameran kolektif pertama yang pemah ada dalam
sejarah kota Medan. Sementara itu semua anggota mulai
bergerak membuat poster dan menulis slogan-slogan
peijuangan di tembok, di dinding kantor dan di dinding
gerbong kereta api berhubung serdadu NICA sudah
datang dengan membonceng tentara sekutu.
Keterampilanku dalam melukis ternyata sangat
bermanfaat ketika aku harus pergi jauh dari rumah,
merantau mencari ilmu pengetahuan. Pemanfaatan ini
sangat dibantu oleh ketidakcanggunganku untuk bekeija
dengan tangan berkat didikan emak. Ketika sampai di
Palembang pada bulan Oktober "46, dalam peijalanan
darat ke pulau Jawa, kulukis putra dan putri dr. M. Isa,
Residen Sumatra Selatan, untuk mendapatkan tambahan
uang. Setelah tiba di Banten dua minggu kemudian
persediaan uang yang kubawa ternyata tak ada gunanya
lagi. Uang Republik Indonesia telah keluar, semua uang
Jepang dinyatakan tidak berlaku lagi dan kesempatan
menukarnya sudah ditutup. Perahu yang kutumpangi
untuk menyeberangi Selat Sunda mengalami mati angin
hingga terlambat dua hari tiba di Anyer.
Lalu uang RI kuperoleh dengan H i Bung Karao dan
Bung Hatta bagi kantor Residen di serang. Guna
memperoleh uang sewaktu ber SMA di Yogya seusai
sekolah kudatangi toko-toko di sepanjang Malioboro yang
merek usaha atau warna temboknya sudah agak luntur.
Biasanya ada satu dua toko menerima jasaku mengecat
atau melabur. Kalau pekerjaan ini agak banyak, Tino
kuminta untuk membantu. Aku juga menggunakan
kemampuanku melukis sebagai sumber mencari nafkah
semasa awal pemukimanku di Jakarta. sambil mengikuti
kuliah di Fakultas Ekonomi Univsitas Indonesia.
Selama tahun "51-52 aku pernah menjadi ilustrator
pada penerbit "Poestaka Rakjat" dari Sutan Takdir
Alisahbana, membuat poster film-film India untuk
Bioskop Grand di Prapatan Senen dan poster drama yang
dipentaskan di panggung Miss Tjitjih di Kramat.
Sesudah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia
oleh Belanda kepada Indonesia, beberapa pelukis yang
secara fisik bermukim di Yogya dan Solo pindah ke
Jakarta, d, antaranya beberapa pelukis muda asal u-
matra: Nasjah, Tino, Nashar dan Zaini. Sewaku Belanda
menyerbu dan menduduki Yogyakarta dalam agresi
militernya yang kedua di penghujung tahun "48, Nasjah
dan fino menyingkir ke luar kota dan kemudian mengikuti
pasukan Divisi Siliwangi berlong mareh kembali ke Jawa
Barat. Mereka berdua turut menyaksikan betapa pasukan
m merebut kembali kantong-kantong basis pertahanan
RI ai situ yang terpaksa ditinggalkannya di bulan Februari
"48 karena tuntutan Persetujuan Renville sebulan
sebelumnya. an Perjalanan panjang herois ini Nasjah
mendapat ilham agi penulisan novelnya "Sekelumit
nyanyian Sunda", tiaf anyak membuat sketsa yang
sangat bernilai dokumenter, api sayang hilang
berceceran karena berkali-kali pindah pondokan selama
di Jakarta atau dipinjamkan kepada teman yang tidak
pernah mengembalikannya. Tino pernah mau menyerahkan sketsa-sketsanya itu
pada komandan kesatuan yang diikutinya sejak keluar
dari Yogya agar diarsipkan sebagai dokumen peijuangan
pasukan Divisi Siliwangi. Komandan tersebut menolak
karena skesta-sketsa itu dianggapnya sebagai lukisan
atau kerja belum selesai. Nasib sketsa peijuangan yang
kubuat kiranya tidak lebih baik daripada itu. Selama
agresi militer Belanda yang pertama di paruh kedua
tahun 1947, kesatuan Tentara Pelajar di mana aku
bergabung mengambil posisi di front Kedu-Ambarawa.
Berbagai aksi anggota TP ini kuabadikan dalam sketsa-
sketsa spontan di tempat kejadian. Teman-teman sangat
meminta agar semua sketsa yang kubuat itu disimpan
saja di pos TP Brigade 17 yang menempati dua ruang
kelas dari SMA B Kota Baru. Ketika pasukan payung
Belanda menyerang Yogya pagi-pagi tanggal 19
Desember 1948, anggota TP yang kebetulan berada di
pos ini, sebelum angkat kaki, membakar semua catatan
yang ada di situ, termasuk sketsa peijuangan TP yang
kubuat. Rupanya bagi teman-teman ini sketsa itu
diperlakukan sebagai dokumen rahasia yang pantas
dihancurkan agar tak jatuh ke tangan musuh, sedangkan
bagiku ia merupakan bahan yang bernilai sekaligus
artistik, dokumenter dan historis yang pantas dijaga guna
diteruskan ke anak cucu agar diketahui.
Di awal tahun 50-an ini Nasjah pernah mengatakan
kepadaku ada ide beredar yang ingin membentuk sebuah
organisasi untuk mewadahi kegiatan-kegiatan artistik,
semacam "De Bataviasche Kunstkring" tempo doeloe.
Kabarnya Belanda bersedia membantu melalui "Stichting
voor culturele samenwerking" (Sticusa) yang sudah
diben-tuk. Lalu dia mengajakku untuk ikut aktif
berpartisipasi mewujudkannya. Kupikir ini suatu ide yang
baik, namun aku tak mau ikut campur. Kukatakan kepada
Nasjah bahwa aku sudah jera hidup berorganisasi
dengan nara w berdasarkan pengalaman selama aktif me
"Seniman Indonesia Muda" dulu. Para Seniman ini adalah
orang-orang baik, solider pada keadaan sesama, peduli
pada nasib dan penderitaan rakyat namun pada
umumnya sangat tidak tertib, tak memperdulikan orde,
apalagi waktu walaupun lengannya memakai jam. Aku
memang menyukai kesenian tetapi tak senang pada
kehidupan seniman yang serba bohemian, tak teratur,
onverschillig. Artinya, aku tak mau lagi menetap dengan
ikatan organisatoris di dunia seniman. Memang kuakui
perlu dibina subkomunitas artistik sebagai bagian
konstitutif dari komunitas nasional di samping
subkomunitas bisnis, subkomunitas religius"
subkomunitas keilmuan dan lain-lain. Memang perlu ada
kesempatan bertemu secara teratur antara pelaku dan
pencinta seni dan, karena itu, perlu ada tempat yang
memfasilitasi pertemuan-pertemuan tersebut. Namun,
sekali lagi, aku tak ingin ikut campur.
"Lalu Joes, apa kegiatan intelektualmu di hari-hari
mendatang?" tanya Nasjah.
"Nas, saya sudah berhasil memulai suatu peijalanan
panjang ke arah menuntut ilmu pengetahuan dan ini
akan saya teruskan. Saya akan berusaha memenuhi
syarat untuk bisa menetap di lingkungan subkomunitas
keilmuan dari komunitas nasional kita. Di dunia keilmuan
ini ada juga keindahan, tapi di sini pun ada tata tertib,
disiplin, dalam erpikir dan berbuat, yang kau tahu sangat
saya senangi." Apakah ada satu ilmu khusus yang kau
tuju?" , , Tidak Nas. Akan saya dalami ilmu pengetahuan apa
yang sanggup dicernakan oleh otak saya. Sebagai
angkah awal saya mulai dengan mempelajari ilmu
ekono"ttle economies. Dari sini nanti akan menyebar
bagai Percikan minyak."
"Aha " in de voetstappen van Hatta. Ik weet dat je
hem van vroeger af bewondert " Apakah ini berarti kau
akan melupakan begitu saja seni lukis?"
SHelemaal niet! Gila kau. What is life without art"!
Saya akan terus mendalami seni lukis dengan jalan
membaca, memperhatikan kaiya-karya yang dipamerkan,
mengamati bagaimana para pelukis mencipta dan tentu
saja melukis bila ada waktu yang senggang. Ya, menjadi
semacam zon-dagschilder kalau menurut julukan sinis
kalian para seniman. Tapi jangan lupa Nas bahwa saya
ikut mendirikan organisasi "Angkatan Seni Rupa
Indonesia" (ASRI) di Medan dan ikut membentuk
organisasi "Seniman Indonesia Muda" (SIM) di Solo dan
pernah menjadi Ketua dari cabangnya yang ada di
Yogyakarta. Saya tidak pernah menyesal di-royer oleh
Soedjojono dari SIM karena lebih suka memilih
bersekolah daripada menjadi seniman seratus persen
seperti yang dikehendakinya. Terlalu eentonig kalau
hidup ini dilakoni hanya dengan melukis. Saya pikir saya
mampu meningkatkan mutu artistik lukisan dan sketsa
saya dengan jalan otodidak seperti yang selama ini sudah
saya lakukan." "Saya rasa kau pasti bisa Joes. Kau memang berbakat
melukis. Maka jangan sia-siakan pemberian Tuhan ini.
Bakat itu besar dan padamu ia betul-betul alami, bukan
hasil sekolahan." "Nas, kau pernah mengatakan hal ini kepada emak,"
kataku. Memang benar, Nasjah telah mengatakan hal ini
dulu kepada emak. Dia ketika itu aku undang ke rumah
untuk membantu memilih lukisanku yang pantas untuk
dipamerkan di bulan Desember 1945. Setelah melihat
koleksi karyaku satu per satu, dia mengatakan kepada
emak, "Si Joes eh si Daoed, sungguh berbakat Mak.
Sayang tidak dari dulu saya mengenalnya hingga tidak
bisa banyak belajar melukis dari dia. Lukisannya sebagai
keseluruhan, ya wajah, ya lanskap, ya stilleven, sudah
bercorak Indonesia."
"Apakah kau masih ingat Nas bagaimana tanggapan
emak atas pernyataanmu itu?" tanyaku. Nasjah tidak
segera menjawab. Peristiwa itu terjadi kira-kira lima
tahun yang lalu. Dia kelihatan berusaha mengerahkan
seluruh daya ingatnya. Akhirnya dia berkata, "Ya begini
" Emak kira-kira mengatakan, nak Nasyah, emak bukan
orang sekolahan. Emak tak paham apa yang
dimaksudkan dengan bakat itu. Kalaupun bakat itu
memang ada yang emak ketahui adalah bahwa di
samping bakat tersebut, agar berhasil, masih ada kata-
kata lainnya yang perlu disadari, bahkan dihayati, yaitu
disiplin, rajin, kemauan, percaya diri, kritis dan, di atas
semua itu ketekunan. (OodwkzoO) Bab 20 Emak dan seni musik Lagu apa itu Daoed?" tanya emak dengan suara
bernada menampik. Aku sedang memutar piringan hitam
yang baru saja kupinjam dari Pakcik Leman.
"Musik jaz, Mak," sahutku. "Kabarnya lagu jenis ini
sedang naik daun di Amerika. Di sini pun kata orang
jumlah penggemarnya semakin banyak." Karena emak
diam saja kulanjutkan, "Emak tak suka, ya"!"
"Iramanya terlalu oranye!" komentar emak. "Bahkan
pada umumnya cenderung kemerah-merahan " panas!"
Dengan ungkapan ini jelas sudah betapa emak tak
menyenangi musik jaz. Sebaliknya dia sangat menyukai
senandung Melayu dan keroncong, lagu Mesir tertentu
yang dinyanyikan oleh Oum Kalsoum dan berbagai musik
klasik Barat, terutama An der schonen blauen Donau dari
Johann Strauss, termasuk himne-himne Natal dan Tahun
Baru. Koleksi piringan hitam kami sarat dengan lagu-lagu
tersebut. Dalam pandangannya lagu-lagu kegemarannya
itu berwarna serba hijau, kebiru-biruan " teduh "
menyejukkan. Maka itu kalau sedang memetik kecapi
atau memainkan harmonium lagu-lagu seperti itulah
yang sering dilantunkannya. Tak jarang dia sendiri
bernyanyi dengan diiringi suara musiknya itu.
Kalaupun emak biasa memberikan "warna" pada lagu
dan menilainya berdasarkan tafsiran tersebut, setahuku
dia tidak begitu mempedulikan "makna" dari alunan
suara atau irama musik. "Saya merasa tak perlu mempertanyakan makna dari
kicauan burung atau dari matahari terbit di pagi hari
yang berembun. Semua itu terjadi, terdengar dan terlihat
apa adanya, dan semua itu indah," katanya.
Namun aku tahu benar bahwa di samping nada suara
dan irama lagu, emak sangat memperhatikan isi dari lirik
nyanyiannya, yang berupa pesan, nasihat, penyadaran
dan puja-puji ketuhanan. Uak Djohar Kamaruzzaman dari Kampung Sekip
pernah mengajak emak bergabung dalam perkumpulan
orkes gambus yang dibinanya. "Bila ditanggap orang,"
katanya, "selain memperoleh imbalan uang, gambus ini
memberikan hiburan yang bernafaskan syiar agama pada
orang banyak. Jadi bermanfaat bagi masyarakat."
Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Emak menolak ajakan ini. "Musik, termasuk gambus,
memang merupakan hiburan," kata emak. "Namun, Bang
Djohar, kata "hiburan" tersebut kiranya tak cukup untuk
mengatakan apa-apa yang sebenarnya diperbuat oleh
musik dan semua yang dapat dilakukannya. Kata itu
bahkan sama sekali tidak mengungkapkan hubungan
batin antara musik dan si pemusik, antara lagu dan si
penyanyi. Saya memang suka musik yang memberikan
jiwanya pada saya, untuk kemudian saya resapi dan lalu
membaginya dengan orang-orang yang saya kasihi, yaitu
suami dan anak-anak saya."
Emak memang memanjakan kami dengan kemampuan
musikalnya itu. Hal ini terasa betul bila kami sedang
dirundung sakit. Pada waktu itu musiknya ini merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari usaha penyembuhan
yang diberikannya dengan penuh kasih sayang. Dan lagu
yang telah mempesonanya dia ciptakan suatu keindahan
musikal yang baru, mengolahnya menjadi suatu realitas
artistik tersendiri dan membaginya dengan kami agar
dinikmati bersama. Bapak kelihatan sangat menghargai kemampuan emak
ini. Dia sendiri merupakan anggota yang aktif dari
kelompok marhaban, kasidah dan rebana yang dibentuk
oleh pengajian di surau. Biasanya kelompok ini
menggelar kebolehannya bila ada peringatan Maulud
Nabi, Israk-Mikraj, Nuzulul Quran dan upacara pemberian
nama kepada bayi yang baru lahir. Kakak-kakakku
rupanya tidak berminat pada seni musik. Mereka lebih
tertarik pada seni kerajinan tangan serta memasak
makanan dan mempelajari semua itu dengan tekun dari
emak. Aku sendiri pernah berniat belajar memetik gitar.
Niat ini menjadi semakin kuat ketika ada sebuah
keluarga yang baru pindah ke Kampung Darat. Keluarga
ini menyewa rumah Haji Hassan yang terletak di ujung
lorong kediaman kami. Anak tertua di keluarga ini, Bang
Saimun, adalah penyanyi dari orkes Keroncong Rindu
Malam. Orkes yang satu ini, di bawah pimpinan seniman
serba bisa Lili Soehairi, sangat terkenal di Deli karena
telah berkali-kali menjadi juara dalam perlombaan
keroncong yang diadakan oleh Nirom (Nederlandsch
Indische Radio Omroep Maat-schappij) Medan. Biasanya
menjelang perlombaan tersebut, orkes ini berlatih dua
kali seminggu di rumah Bang Saimun dan kalau hari
Minggu, sehari penuh, dari pagi hingga petang hari.
Karena sama-sama tinggal selorong, aku seringkah
menghadiri latihan-latihan di hari Minggu itu.
Niat ini kemudian kubatalkan begitu saja. Pasalnya
adalah tingkah laku Bang Saimun yang lama-kelamaan
sangat menyebalkan emak. Aku pikir emak memang
benar. Karena terpesona oleh kecantikan kakak-kakakku,
Bang Saimun semakin lama semakin kerap mondar-
mandir di depan rumah kami setiap petang sambil
memetik gitar dan adakalanya disertai dengan nyanyian
lagu keroncong atau senandung Melayu. Suaranya
memang merdu, bukan kebetulan kalau orkes
keroncongnya terus-menerus menjadi juara. Dia rupanya
tahu persis kalau kami sekeluarga biasa duduk-duduk di
beranda depan, termasuk kakak-kakakku, sesudah mandi
sore hari. Perbuatannya ini jelas menjadi gunjingan orang-orang
sekampung dan diri kakak-kakakku disebut-sebut dalam
gunjingan itu. Karena tak tahan lagi emak pada suatu
hari langsung mendatangi rumah penyanyi tenar ini.
Kepada ibunya emak mengatakan celaannya terhadap
tingkah laku anaknya itu. Sejak itu Bang Saimun tidak
lagi mondar-mandir di depan rumah kami untuk
menunjukkan kebolehannya dalam seni musik.
Belakangan kudengar dia berbuat begitu bukan saja
berkat teguran keras dari emak, tetapi karena
mengetahui dari para tetangga tentang kependekaran
bapak. Sewaktu ber-SMA di Yogyakarta aku sempat belajar
main biola. Pelajaran ini baru beijalan enam bulan ketika
Belanda melansir aksi polisionalnya yang kedua dan
langsung menduduki Ibu Kota R.I. ini. Semua sekolah
ditutup dan aku mulai aktif menulis slogan-slogan anti
Belanda di tembok, di pohon, di mana saja, di tempat-
tempat umum, dengan cat dan biaya sendiri. Untuk
peijuangan yang berisiko tinggi ini aku lebih suka tidak
melibatkan siapa pun, menjadi a single and lone fighter
saja. Bagai elang, seperti kata bapak, yang berani
terbang sendirian. Berhubung kesempatan mencari nafkah dengan jalan
melabur tembok toko atau membuat papan reklame
sudah tidak mungkin lagi, persediaan uangku cepat
menyusut. Aku terpaksa menjual milikku yang masih ada
Harimau Kemala Putih 11 Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Harpa Neraka 1