Pencarian

Emak 5

Emak Karya Daoed Yoesoef Bagian 5


peminatnya ketika itu dan ini berarti terbuka dua pilihan.
Menjual biola atau buku-buku tertentu. Kudengar sekolah
musik tempat aku belajar selama ini bersedia membeli
kembali biolaku. Kulihat tidak sedikit petinggi militer dan
sipil Belanda datang ke Toko Buku Nasoetion mencari
buku-buku lama tentang Indonesia dan kukira beberapa
di antaranya ada dalam koleksiku. Setelah aku pikir
masak-masak kuputuskan untuk menjual biola saja, sans
regret, ni rancune. Sewaktu belajar di Sorbonne, adakalanya kami
bertiga-istri, anakku dan aku-menelusuri Sungai Seine. Di
trotoar dari jalan sepanjang tepi sungai yang membelah
kota Paris ini terdapat bouquinistes yang menggelar
buku-buku tua dan perangko langka. Ketika iseng-iseng
membalik-balik halaman sebuah buku tua mengenai gaya
hidup dan sikap beberapa seniman besar, aku tersentak
dan segera teringat emak. Betapa tidak. Di situ kubaca
betapa Franz Liszt menegur para musikus yang sedang
asyik berlatih dengan ucapan: "Tuan-tuan, tolong buat
sedikit lebih biru " nada jenis ini memerlukan corak
tersebut!" Rupanya musikus tenar ini biasa membuat
teguran-teguran seperti itu, mengingat bacaan ini masih
mengetengahkan ucapan kritisnya yang lain dengan
kata-kata: "Ingat , beralihlah ke ungu tua " Pertahankan
itu dan tolong jangan menjadi merah muda!"
Tentu saja aku menjadi penasaran. Nalarku benar-
benar tertantang untuk mengetahui lebih dalam
mengenai asosiasi nada dan warna ini. Tidak kurang dari
enam hari kupakai di perpustakaan Sorbonne untuk
melulu mencari dan mempelajari tulisan-tulisan yang
kiranya bisa memuaskan keingintahuanku itu. Bagaimana
hasilnya" Walaupun para musikus dari orkes Franz Liszt
sudah terbiasa dengan teguran-teguran yang mereka
anggap eksentrik tersebut, tanpa memahami dengan
benar apa yang dimaksudkan oleh sang Maestro, berkat
tulisan-tulisan yang kubaca itu menjadi jelas bagiku
duduk perkaranya. Rupanya emak, Liszt dan orang-orang
berbakat lainnya, yang melihat warna ketika mendengar
musik, sedang mengalami suatu kondisi yang sepintas
lalu bisa dianggap aneh, disebut oleh ilmu pengetahuan
sebagai synaesthesia. Menurut Dr. Penelope Lewis, seorang neuroscientist
dari Oxford, ada orang-orang yang memang tidak hanya
mendengar musik tetapi mereka dapat pula melihatnya.
Dalam berkeadaan synaesthesia suatu stimulus terhadap
salah satu dari pancaindra, katakanlah musik, ditanggapi
dengan baik tidak hanya sebagai suara, tetapi juga oleh
beberapa sistem keindraan lainnya. Jadi musik, misalnya,
mungkin "dilihat" sebagai bentuk-bentuk berwarna yang
terproyeksi ke udara, atau bentuk-bentuk yang dilihat
bisa jadi ditanggapi sebagai bau-bauan. Maka menurut
ilmu pengetahuan yang mendalami masalah ini,
synaesthesia bukanlah suatu kepura-puraan. Artinya, ada
orang-orang tertentu yang betul-betul mengalami apa-
apa yang diucapkannya. Synaesthesia pada umumnya
terdapat di kalangan perempuan dan orang-orang kidal,
ditaksir satu orang di antara 300 penduduk yang
berbakat. Eksperimen menunjukkan bahwa synaesthetes-yzitu
orang-orang berkondisi synaestfiesia-menunjukkan suatu
derajat konsistensi yang tinggi dalam memadu stimulus
dengan tanggapan. Dalam salah satu bentuk umum dari
perpaduan itu, huruf, angka dan not balok kelihatannya
punya warna yang spesifik, walaupun huruf, angka dan
not itu tertera hitam di atas putih. Dengan menggunakan
teknologi tertentu scientists meneliti kegiatan otak dalam
kondisi synaesthesia. Kegiatan otak dari orang-orang
yang sedang diteliti itu, yang melihat warna ketika
sedang mendengar suara dengan mata tertutup, ternyata
tidak hanya berkaitan dengan bidang-bidang yang
berhubungan dengan pendengaran, tetapi juga dengan
bidang-bidang yang berurusan dengan penentuan warna.
Kadang-kadang yang sekaligus terangsang tidak hanya
satu tanggapan tambahan. Synaesthete bernama Carol
Crane mengaku meresapi suara musik bagai sentuhan di
kulitnya. Dia merasakan berbagai bunyi alat musik
seperti menyentuh berbagai bagian dari tubuhnya;
misalnya biola membelai mukanya, gitar selalu mengelus
mata kakinya, terasa bagai sapuan yang lemah lembut.
Seniman lain, Oliver Messiaen, yang melihat warna dalam
kaitannya dengan musik, menggubah beberapa karya,
seperti Oiseaiuc Exotiques dan L"Ascetision, di mana dia
berusaha mengetengahkan gambaran dengan
menggunakan suara. Ternyata kehadiran sejumlah synaesthetes di kalangan
seniman dan penggubah semakin menonjol. Mereka
memakai bakat sebagai sumber ilham atau paling
sedikitnya mengetengahkan suatu perspektif atau
pendekatan alternatif, yang menjajaki multi-sensory
stimulation dalam seni, mengkombinasikan warna, suara
dan tarian untuk memaksimalkan dampak emosionalnya.
Maka pada pertengahan abad XIX dan awal abad XX
lahirlah suatu gerakan seni yang dirangsang oleh
synaesthesia tersebut. Salah seorang tokoh yang menonjol dalam gerakan ini
adalah Wassili Kandinsky (1866-1944), seorang pelukis
asal Rusia dan anggota dari kelompok Blaue Reiter. Dia
banyak menulis tentang pengalamanpengalamannya
sebagai synaesthete suara/warna. Mengenai komposisi
Lohengrin karya Wagner, misalnya, dia mengatakan:
"Biola, nada besar dan rendah dari bas dan khususnya
alat-alat tiup, betul-betul merupakan suatu kekuatan
menjelang malam buat saya. Dalam pikiran saya terlihat
warna, bagai terpampang dr depan mata. Garis-garis
yang menggila tergores di hadapan saya." Salah satu
tujuan dari seni Kandinsky adalah membangkitkan suara
bagi pemirsa/penonton, menyuguhkan suatu pictorial
equivalent bagi musik. Maka pendekatannya ini
melengkapi usaha pemusik Messiaen yang berusaha
melukis dengan suara. Jadi menurut scientists gejala synaesthesia memang
terbukti ada. Artinya, emak, Franz Liszt dan berbagai
tokoh seni lainnya itu, bukan mengada-ada. Mereka
mengungkapkan apa-apa yang benar-benar mereka
alami. Sebuah teori mengatakan bahwa memadukan
berbagai indra bagi otak anak adalah normal. Kalaupun
kebiasaan ini tidak terus berlanjut ke usia dewasa karena
beberapa jalan otak ke arah itu tidak dipakai semasa
kecil hingga pupus. Namun di kalangan synaesthetes
jalan-jalan otak tersebut rupanya tidak pupus sama sekali
hingga mereka bisa terus mengalami indra-indra
gabungan. Artinya, seorang anak yang terus dirangsang
dengan kombinasi yang tepat dari sensory impulse akan
mempertahankan jalan-jalan otak yang ditargetkan serta
kemampuan synaesthetiknya. Bila demikian, latihan-
latihan yang tepat sejak kecil memungkinkan orang
untuk menjalani hidupnya melalui kaleidoskop
synaesthesia yang cukup mengasyikkan.
Bila emak biasa mengasosiasikan warna dengan suara,
aku cenderung berbuat sebaliknya. Aku kadang-kadang
menautkan suara pada panorama dan gambaran apa
saja yang ditampilkan oleh seni rupa. Berhubung aku
bukan seniman, pasti bukan perempuan dan tidak kidal
pula, kupikir perbuatanku itu terjadi karena aku anak
emak semata-mata. Bukankah ilmu pengetahuan
mengatakan bahwa synaesthesia ada kaitannya dengan
keluarga, jadi punya dasar genetik. Aku sungguh bangga
telah lahir dari rahim emak, perempuan yang berseni
musik secara alami. "
(OodwkzoO) Bab 21 EMAK DAN PLANET BUMI "Pemandangan dari pantai menghadap laut selalu
indah ya Mak"!" kataku begitu duduk di dekat emak.
Setelah melirik sejenak sambil menjamah tanganku dia
mengangguk. Ketika itu kami sekeluarga sedang berpiknik, duduk-
duduk di bawah keteduhan pohon-pohon kelapa yang
banyak menghiasi pantai Belawan. Di hari kedua Lebaran
tempat ini masih ramai dikunjungi penduduk, bergembira
ria mandi di laut, berperahu dan makan-makan. Kali ini
kami menyempatkan diri ke pantai merombong dengan
beberapa keluarga sekampung Darat. Ketika sudah bosan
berkecimpung di laut, aku naik ke darat menghampiri
emak. Kudapati dia duduk agak menyendiri sambil
menyusukan adikku. Bapak kulihat duduk tak jauh dari
situ, bergerombol dengan laki-laki lainnya, hingga
sewaktu-waktu dapat menemani emak bila diminta.
"Selain pemandangan alam, ada keuntungan lain yang
kita dapat bila duduk-duduk di pantai menatap laut," kata
"Apa itu, Mak?" tanyaku.
"Kita disuguhkan bukti bahwa bumi ini bangunnya
bulat seperti bola", jawab emak. "Ya, katakanlah
merupakan sebuah bola raksasa."
Walaupun pelajaran di sekolah belum sampai
membahas hal ini, kukira anak-anak sebayaku sudah
mengetahui bahwa bumi ini bulat. Namun, terus terang,
kami tidak pernah terpikir untuk mencari-cari
pembuktiannya. "Bagaimana rupa bukti itu, Mak?" tanyaku ingin tahu,
mendahului pelajaran di sekolah.
"Lihat baik-baik perahu-perahu yang bermunculan di
permukaan laut di kaki langit!" pinta emak. Setelah diam
sejenak dia bertanya, "Apa yang kau lihat lebih dahulu?"
"Puncak tiang layarnya," jawabku seadanya.
"Lalu?" "Layarnya ?" "Teruskan !" "Baru badannya, semakin lama semakin jelas."
"Nah, itulah bukti bahwa bumi kita ini bulat," kata
emak dengan mantap. "Andaikata bumi datar seperti
permukaan meja, yang tampil lebih dahulu di mata kita
dari kejauhan adalah badan perahu, sebab ia merupakan
bagian yang terbesar dari keseluruhan benda ini."
Karena aku diam saja, sebenarnya sedang meresapi
kebenaran ucapan emak, dia mengeluarkan sebuah jeruk
Berastagi dari keranjang makanan. Dia lalu membuat
garis melingkari kulit jeruk dengan ujung penitinya.
"Bumi kita tentu lebih sempurna bulatnya daripada
jeruk manis ini. Tapi tak apalah. Nah, kalau ada seekor
semut berjalan di kulit jeruk ini mengikuti garis yang
emak buat, artinya menurut tujuan yang tetap, ia
akhirnya pasti sampai lagi pada tempat awal gerakannya
tadi." "Mak, apakah ada manusia yang pernah mencoba
mengelilingi bumi seperti semut yang kita umpamakan
mengelilingi jeruk?"
"Setahu emak belum ada sebab bumi ini bukan
dataran seluruhnya. Seperti kau lihat, ada pula lautan
yang tidak dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Namun
menurut Pakcik Leman ada seorang pengarang Perancis
yang menceritakan betapa seorang Inggris telah
mengelilingi bumi dalam tempo 80 hari dengan
menggunakan berbagai jenis kendaraan dengan
kecepatan yang berbeda, melalui udara, darat dan laut"
Setelah sama-sama berdiam diri beberapa saat, emak
berkata lagi, "Daoed, kita kini sedang duduk, tapi
sebenarnya kita tidak tinggal diam. Kita sedang
bergerak." "Bagaimana mungkin, Mak?" aku betul-betul
tercengang mendengar ucapan emak ini.
"Karena bumi tidak pernah tinggal diam, tapi terus
bergerak. Artinya, bumi kita ini tidak hanya bulat tetapi
juga bergerak dengan berputar-putar. Berhubung kita
duduk di atas bumi ini, kita dibawanya turut bergerak,
demikian pula pohon-pohon kelapa itu, pokoknya semua
yang berada di bumi. Kita semua digendongnya,
berputar-putar mengelilingi matahari. Maka itu, ada
waktu siang, ada waktu malam, tergantung posisi bagian
bumi yang kita duduki ini sedang menghadap matahari
atau tidak. Sadarilah itu " Ini menyangkut kebesaran
Tuhan, Pencipta seluruh alam."
"Baru tahu saya, Mak. Paham sudah" Mudah-
mudahan kelak ada orang yang bisa berhasil mengitari
bumi seperti yang dikhayalkan oleh pengarang Perancis
itu." "Nak, Tuhan tidak pernah menuntut kita agar berhasil.
Dia hanya meminta kita supaya mencoba " mencoba
lagi dan terus mencoba!"
Empat tahun kemudian ketika duduk di kelas V, yaitu
kelas terakhir Sekolah dasar Melayu baru kuperoleh
pengetahuan dasar mengenai seluk beluk ilmu bumi.
Setelah menguraikan bangunan bumi, Engku Azhari
menanyakan siapa yang bisa membuktikan bahwa planet
bumi ini memang bulat. Aku mengacungkan tangan dan
tanpa disuruh pergi ke depan kelas. Dengan kapur
kugambar di papan tulis sebuah bulatan besar. Dari titik
tertinggi bulatan ini kutarik sebuah garis horizontal, yang
kuumpamakan sebagai ketinggian pandang seseorang
yang duduk di pantai. Lalu kugambar sebuah perahu
layar yang bergerak perlahan-lahan naik ke atas bulatan.
Aku tunjukkan di situ bahwa yang lebih dahulu kelihatan
dari titik tertinggi itu adalah puncak tiang perahu dan
bukan badannya. Ketika badan perahu masih berada di
bawah garis horizontal itu, tiang perahu sudah muncul
melewati garis tersebut. Wah, bukan main baiknya sambutan Engku Azhari
terhadap contoh yang kuberikan itu. "Hebat kau, Daoed,
hebat kau!", katanya berulang kali sambil menepuk-


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nepuk bahuku. "Dari mana kau peroleh ide pembuktian
seperti ini?" tanyanya.
"Dari emak saya, Engku, ketika empat tahun yang lalu
kami sedang duduk-duduk di tepi pantai," sahutku.
"Kalau begitu Emakmu itu pandai sekali," katanya
sunguh-sungguh, "dia pantas menjadi guru."
Aku diam saja. Namun dalam hati aku berkata,
memang emaklah yang selalu mengajarku hal-hal yang
belum diberitahukan di sekolah. Dan dia pulalah yang
dahulu mendebat Kepala Sekolah yang lama, yang kini
sudah pensiun dan diganti kedudukannya oleh Engku
Azhari, dengan argumen begitu rupa hingga aku diterima
masuk sekolah. Setelah aku duduk di H.I.S. aku mampu membaca
buku petualangan mengelilingi dunia dalam bahasa
Belanda yang pernah disebut emak enam tahun yang
lalu. Penulisnya adalah Jules Verne dan tokoh yang
ditampilkannya adalah Phileas Fogg, seorang gentlcman
Inggris yang sangat memegang waktu, sama akuratnya
dengan jam besar Big Ben yang dijadikan standar waktu
dunia. Di tahun "63 aku beruntung bisa mengelilingi
dunia atas biaya Ford Foundation. Aku punya gagasan,
yang disetujui Pimpinan Fakultas Ekonomi UI, untuk
membuka satu jurusan studi van* baru, yaitu Ekonomi
Pemerintahan (Public Economic Administration). Untuk
keperluan penyempurnaan studi ini, Ford Foundation
mempercayai aku membuat studi banding di berbagai
lembaga pendidikan Public Administration di Asia,
Amerika Serikat, Eropa Barat dan Timur serta Inggris.
Di tahun "67, Ford Foundation lagi-lagi memberikan
aku kesempatan berkeliling dunia. Tujuan utamanya
adalah melihat kemajuan teman-teman dari Fakultas
Ekonomi yang kelak menjadi dosen di jurusan baru yang
kupikirkan itu dan kini sedang belajar di berbagai
universitas Amerika. Kali ini istri dan anakku boleh ikut.
Kami terbang dari Paris di mana kami sudah bermukim,
melewati bagian utara dari bumi, Selat Bering/Lautan
Pasifik dan mendarat di Pantai Barat Amerika. Dari Los
Angeles kami bepergian dengan kereta api dan bus ke
arah New York, melalui berbagai kampus yang telah
direncanakan, dan dari Pantai Timur negeri ini kembali
terbang ke Paris melewati Lautan Atlantik. Kedua
peijalanan keliling dunia tersebut memang tidak
mengikuti track lurus seperti yang digariskan emak
dahulu di kulit jeruk, tetapi gerakannya secara esensial
sudah bisa dianggap mengelilingi bumi.
Di Paris aku berkesempatan bertemu dengan Prof. Dr.
Abdus Salam, pemenang Nobel Fisika asal Pakistan.
Waktu itu dia belum dianugerahi penghargaan bergengsi
tersebut, itu baru terjadi di tahun 1979, namun derajat
keilmuannya sudah terkenal di lingkungan komunitas
fisikawan. Mengingat keterbelakangan dan kegagalan
perkembangan sains di negeri-negeri Islam, dia
mendirikan sebuah International Centre of Physics di
Trieste, mula-mula dengan biayanya sendlri" guna
mendidik elite keilmuan di Negara-negara Dunia Ketiga.
Usaha ini kemudian dilanjutkannya dengan pembentukan
sebuah Academy of Sciences bagi Dunia Ketiga itu
sendiri. Karena mengetahui dia sangat saleh dan berasal dari
sebuah keluarga yang taat beragama, salah seorang
pamannya dari pihak ibu adalah ulama penyebar Islam di
Ghana dan Nigeria selama 20 tahun, aku berusaha betul
untuk bisa bertemu dan berbincang-bincang dengan dia.
Aku diterimanya dengan ramah, lebih-lebih setelah
mengetahui aku datang dari Indonesia, sebuah negeri
berpenduduk muslim yang terbesar dan kini sedang
menyiapkan disertasi di Sorbonne. Sayang waktu
pertemuan relatif singkat karena merupakan jam istirahat
antara dua sessions. Aku terpaksa membatasi diri pada.
beberapa pertanyaan saja, di antaranya mengenai ayat
88 dari Surat An Nami, "see the hills that seems solid,
they are flying as the flight of clouds."
Berkaitan dengan Surat ini aku tanyakan kepadanya
apakah dia tahu dari bacaan bersumber apa pun,
bagaimana Rasulullah SAW menyampaikannya kepada
para Mukmin dan orang-orang kafir, baik yang Badui
maupun Kuraisy. Padahal isi ayat ini jelas bertentangan
dengan penglihatan sehari-hari. Kelihatannya dia agak
kaget mendengar pertanyaanku ini. Dengan jujur dia
mengatakan tidak pernah berpikir ke arah itu dan setahu
dia tidak ada risalah tertulis yang menyinggung hal yang
kutanyakan ini. Lalu dia balik bertanya mengapa hal ini
kuanggap penting untuk diketahui. Kujawab karena aku
ingin tahu penalaran Rasul hingga dapat meyakinkan
pendengarnya tentang kebenaran ayat-ayat Ilahiah.
Bukankah dia selalu mengatakan agar manusia selalu
memakai nalar (akal, reason)-nya.
Ketika kukatakan bahwa kebenaran ayat tersebut
mungkin bisa dijelaskan melalui disiplin astrofisika, Dr.
Abdus Salam mengangguk tanda setuju. Dan dia cepat
menambahkan betapa sebanyak 750 ayat-ayat Al Ouran
" yang berarti seperdelapan dari seluruh kandungan
Kitab Suci ini-mengingatkan umat Islam supaya
mempelajari alam, merenungi hukum-hukumnya,
memakai akal untuk mencari unsur-unsurnya yang
terakhir dan menyebarluaskan pengetahuan-
pengetahuan ilmiah yang mereka peroleh keseluruh
komunitas. Akhirnya dengan nada sedih dia mengatakan
bahwa hanya sebanyak dua persen remaja berusia 18-23
tahun dari negeri-negeri Islam yang mencapai tingkat
rata-rata pengetahuan ilmiah, sedangkan di negara-
negara maju non-Islam jumlah tersebut sebesar tidak
kurang dari duabelas persen.
Setahun setelah aku diangkat menjadi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet
Pembangunan III oleh Presiden Soeharto, Bung Siin
Irawadhy mengabarkan bahwa dia bermaksud
mendirikan gedung sekolah di Kampung Purba Baru
sebagai ungkapan rasa syukur, di bekas lokasi sekolah
yang pernah dibangun oleh Willem Iskander. Siin adalah
sahabat karibku sejak masih remaja dan bersama-sama
Bung Adi Poetera Parlindungan membuat ikrar semasa
pendudukan Jepang untuk membangun pendidikan
penduduk daerah kami. Aku sudah bekeija di bidang
pendidikan, demikian pula Adi. Karena Siin bergerak di
bidang politik, dia ingin memenuhi ikrarnya dahulu
dengan mendirikan gedung sekolah. Wllem Iskander
adalah seorang terpelajar dari Mandailing yang hidup di
Abad XIX dan sangat berusaha memajukan pendidikan di
kalangan penduduk pribumi, jauh sebelum Ki Hadjar
Dewantara melakukan hal yang sama di Jawa.
Ketika sedang berkendaraan menuju lokasi
pembangunan sekolah tersebut, pejabat setempat yang
menyertai aku di mobil membisikkan bahwa kami akan
melewati kuburan pendiri pesantren di Purba Baru,
seorang ulama besar yang sangat disegani oleh
penduduk setempat. "Bila demikian, Pak Bupati," kataku
dengan spontan, "kita nanti berhenti sebentar di kuburan
itu untuk berziarah." Aku teringat Bapak dahulu
berpesan, bila keadaan memungkinkan jangan sekali-kali
melewati begitu saja sebuah pekuburan, kalau kita tahu
bahwa di situ telah dimakamkan orang yang kita kenal
atau seorang ulama, walaupun tak kita kenal
sebelumnya. Setelah selesai membaca Surat Yaasiin
peijalanan kuteruskan. Penjaga kuburan kelihatan
surprised dengan penziarahan mendadak dari seorang
Menteri. Sebagai ungkapan terima kasihnya dia
mengambil salah satu Surat Yaasiin yang tampak
bertumpuk di kuburan ini dan memberikannya kepadaku
untuk kenangan. Sampai sekarang Surat tersebut masih
kusimpan baik-baik. Ternyata perbuatanku ini menarik perhatian para
pengasuh pesantren yang didirikan oleh ulama besar
tersebut. Mereka mengirim seorang utusan ke lokasi
pembangunan sekolah yang menyampaikan undangan
kepadaku untuk mampir di pesantren dalam peijalanan
pulang nanti. Pak Bupati mengingatkan agar aku nanti
berhati-hati dalam berbicara mengingat para penghuni
pesantren pada umumnya tidak menyukai aku. Kalaupun
mereka sekarang mengundang, hal itu semata-mata
sebagai tanda terima kasih atas penziarahanku tadi. Aku
katakan kepada Pak Bupati bahwa yang tidak
menyenangi aku bukan hanya tokoh-tokoh Islam di
Purba Baru tetapi di banyak tempat di seluruh Indonesia.
Tapi hal ini tidak akan pernah bisa mengubah sikap dan
pendirianku. Keislamanku memang lain daripada yang
mereka yakini. Aku pun tidak pernah menyembunyikan
penolakanku terhadap cara pendidikan agama yang
mereka desakkan di jalur pendidikan umum yang
menjadi tanggung jawabku. Pendidikan itu cenderung
provokatif, manipulatif, menebar benih-benih kebencian,
fanatisme dan kemunafikan. Bila dibiarkan lama-
kelamaan hal ini bisa tidak hanya merusak masyarakat,
tetapi menjelekkan citra agama Islam itu sendiri. Maka
sebagai muslim sejati aku berusaha membuat Islam
menjadi religion of reason dan bukan religion of hate and
fear. Di depan gapura pesantren kudapati para ustad dan
santri telah berdiri rapi menyambut kedatanganku.
Kudengar pula lantunan lagu-lagu marhaban. Sebenarnya
aku sudah lelah begitu rupa hingga sampai detik itu pun
belum juga terpikir apa yang akan kukatakan kalau nanti
diminta berbicara. Lokasi pesantren ini indah sekali
karena terletak di daerah pegunungan yang masih
termasuk kawasan Bukit Barisan. Setelah melihat bukit-
bukit yang masih membayang di kejauhan sana, aku
teringat ajaran emak tentang gerakan bumi. Aku pikir
inilah tema yang pantas kusampaikan dengan
menggunakan Ayat 88 dari Surat An Naml sebagai titik
tolak pembicaraan. Eureka!
Lantunan marhaban sudah lama berhenti, namun aku
dengan sengaja tetap menatap bukit-bukit di kejauhan
itu. Sikapku ini rupanya diperhatikan oleh semua hadirin
dengan penuh keheranan. Mereka jadi ikut-ikutan
melihat ke kejauhan sana tanpa mengetahui persis apa
yang menjadi obyek pengamatanku. Akhirnya seseorang
memberanikan diri mendekati aku, mungkin dari
Pimpinan pesantren, sambil bertanya perlahan-lahan apa
gerangan yang sedang kuamati.
"Saya lihat bukit-bukit di kejauhan itu bergerak-gerak,"
jawabku tanpa melepaskan pandanganku ke arah sana.
Sesuai dengan dugaanku, dia dan semua orang yang
berdiri di dekatku pasti tidak melihat demikian. Namun
mereka enggan membantah, mungkin khawatir dianggap
tidak sopan. Karena mereka diam saja aku kutip ayat
yang menegaskan bahwa bukit-bukit yang kelihatan diam
terpaku itu sebenarnya bergerak, "Wa taral jibaala
tahsabuhaa jaamidatau wa "W tamurru marras sahaab."
Di dalam pesantren yang sudah dipadati dengan
dengan bamuan s^uah bola butut sebagai alat
ga, aku jelaskan gerakan bumi. Pada kulit bola ini
kugambarkan laut dan daratan yang ada, berupa benua,
pulau dan kepulauan. Karena bumi bergerak, kataku,
semua benda yang berada di kulit bumi, termasuk
gunung dan bukit, ikut bergerak. Bagai bisul yang
tumbuh di tubuh kita, kalau kita bergerak, ia turut pula
bergerak. Maha Benar Allah dengan segala firmannya.
Dan kebenaran tersebut dibuktikan oleh ilmu
pengetahuan. Jadi saya yang Saudara-saudara lihat sekarang tegak
tak bergerak di mimbar, kataku selanjutnya, sebenarnya
sedang bergerak. Malaikat yang sedang melayang-layang
di langit pasti melihat saya sedang raun-raun di angkasa
dengan kecepatan 1675 km per jam. Kalau dari matahari
saya kelihatan menggelantung di sebuah roda putar
raksasa yang sambil berputar-putar sedang mengitarinya
dengan kecepatan 97.000 km per jam. Bila dari titik yang
lebih jauh lagi, misalnya, dari tepian Galaksi Andromed"a,
yaitu gugusan bintang yang terdekat dengan Galaksi
Bimasakti di mana bumi tergolong, bumi kita ini kelihatan
berputar-putar, mengorbit, dan akhirnya raun-raun di
dalam galaksinya dengan kecepatan rata-rata sebesar
853.000 km per jam. Bila semua ini kita tambahkan,
berarti saya dan Saudarasaudara, yang berada di
Khatulistiwa, garis lintang nol derajat, kini sedang
bergerak dengan kecepatan 951.675 km per jam. Kalau
ditakdirkan berumur panjang dan saya bisa berdiri lagi di
tempat ini puluhan tahun mendatang, mungkin gerakan
saya ini akan bertambah kecepatannya berhubung Alam
Semesta di mana kita ditakdirkan berada sedang
memuai. Maka bukan kebetulan kalau Kitab Suci Al Ouran ada
menyebut berbagai macam waktu, yaitu waktu
penciptaan, waktu keberadaan di sisi Tuhan dan waktu
Jibril. Waktu penciptaan disebut dalam Surat Yaasiin
sebagai bagian dari satu detik di antara kaf dan nun dari
perkataan "kun". Selanjutnya "sehari di sisi Tuhan"
adalah sama dengan Sg! waktu bumi, sebagaimana
disebut dalam Surat Al Hajj dan Surat As Sajdah.
Akhirnya ayat keempat dan Surat Al Ma"aarij menyebut,
"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (terbang) menghadap
Tuhan dalam sehan yang ukurannya sama dengan
50.000 tahun." Jadi penting membiasakan diri untuk berpikir bahwa
segalanya bergerak menuju atau menjauhi sesuatu.
Tidak ada yang tinggal diam. Ketika saya kemarin dulu
menumpang pesawat terbang menuju Medan dari
Jakarta, sesuai dengan arah gerakan bumi, sebenarnya
Medan sedang "menuju" Jakarta. Sebaliknya kalau lusa


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya terbang dari Medan kembali ke Jakarta, pada waktu
yang sama Medan " menjauhi" Jakarta. Maka itu,
walaupun jarak Jakarta-Me-dan tetap sama di kulit bumi,
waktu penerbangan Jakarta-Medan bisa relatif lebih
singkat dari waktu penerbangan Medan-Jakarta. Pasalnya
adalah bahwa di samping gerakan pesawat terbang ada
bumi yang juga terus-menerus bergerak, mengorbit,
sesuai dengan kodratnya. Dahulu apa-apa yang diungkapkan oleh ayat tentang
adanya berbagai jenis waktu mungkin dianggap sebagai
suatu teka-teki. Kita menganggapnya benar karena
"takut" belaka akan siksaan di neraka bila tidak
mempercayainya. Bukankah hal yang sama teijadi pula
pada (kebenaran) cerita Israk dan Mikraj yang bisa
dianggap begitu fantastis. Bukankah keraguan ini,
kalaupun ada, menyangkut masalah waktu yang dialami
oleh Rasulullah SAW dan waktu yang sebagaimana kita
hayati sehari-hari di bumi. Dewasa ini ilmu pengetahuan
telah membuktikan bahwa perbedaan waktu semacam
itu dapat teijadi jika orang bergerak meninggalkan bumi
dengan menggunakan kecepatan yang sangat tinggi,
hingga mendekati kecepatan cahaya, yaitu 300.000 km
per detik. Menurut teori relativitas yang dikembangkan
oleh Einstein, waktu di dalam sebuah pesawat ruang
angkasa akan beijalan lebih lambat daripada di bumi. Bila
demikian, seorang pengembara antariksa yang bergerak
dengan kecepatan "kilat" (Buraq atau Barqun) akan
mengalami pertumbuhan usia yang jauh lebih lambat dari
pertumbuhan usia rekan-rekannya yang ada di bumi. Dia
bisa berkelana, misalnya, selama 10 tahun menurut
ukuran waktunya dan ketika tiba kembali di bumi dia
hanya akan menemui cucu-cucu dari teman/saudara
sebayanya sebab selama selang waktu itu mereka yang
ada di bumi sudah tambah usia sebanyak 150 tahun.
Demikian pula kiranya yang dirasakan oleh Rasulullah
bersama Malaikat Jibril di dalam menempuh peijalanan
sejauh radius jagat raya ditambah jarak Sidratul
Muntaha. Menurut ukuran "waktu bumi" jarak sejauh itu
pergi dan pulangnya diselesaikan dalam satu malam. Bila
dirasakan menurut "waktu Jibril" bisa jadi hanya meliputi
waktu 1/100.000 "detik-Jibril" atau sama dengan jarak
10"5 tahun cahaya. Sungguh Maha Benar Allah dengan
segala firmannya dan hal ini dibuktikan oleh penalaran
keilmuan. Maka bukan kebetulan kiranya kalau Rasulullah
meminta umatnya menuntut ilmu pengetahuan. Bahkan
usaha tersebut dikatakannya merupakan kewajiban bagi
muslimin dan muslimat begitu rupa hingga kalau perlu
dicari sampai ke negeri Cina, yang pasti diketahuinya
sebagai negara yang bukan Islam. Di dalam Al Quran
sendiri berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan
keilmuan ada disebut berkali-kali. Misalnya kata
"nazhara" (melihat secara abstrak) disebut dalam 30
ayat, kata "tafakkuf (berpikir) dalam 16 ayat. Kata
"aqala" disebut sampai 44 kali. Kata-kata yang berasal
dari kata akal (nalar) dijumpai pada lebih dari 30 ayat.
Ayat-ayat yang di dalamnya terdapat berbagai kata
tersebut di atas mengandung perintah agar manusia
menggunakan akal (nalar) dan daya pikirnya.
Begitu rupa hingga kalaupun Allah, karena kasihnya,
menyuruh Rasulullah SAW meminta tambahan sesuatu
kepada-Nya. sesuatu itu adalah tak lain daripada "ilmu
pengetahuan" Bukankah ayat 114 dari Surat Thaha
berbunyi, "Wa qur rabbi zidnii "ilman"-Katakanlah
(Muhammad), ya Tuhanku tambahkanlah ilmu
pengetahuanku. Dan mengapa ilmu pengetahuan ini
dianggap penting sekali dalam penghayatan agama
Islam" Saya pikir, kataku tanpa ragu-ragu di hadapan
para santri pesantren di Purba Baru ini, karena Tuhan
mempunyai dua jenis buku. Pertama adalah Kitab Suci
yang diwahyukan kepada semua Rasul-Nya. Dalam Islam
ia adalah Al Quran, yang untuk memahaminya diperlukan
penguasaan bahasa Arab atau bahasa setempat yang
menafsirkannya. Buku Ilahiah jenis kedua adalah "Alam
Semesta", yang harus pula kita pahami karena
merupakan karunia Allah bagi umat manusia. Nah, untuk
memahaminya dengan baik tentu diperlukan pula
penguasaan bahasa dengan mana buku itu ditulis. Dan
"bahasa" tersebut adalah tak lain daripada "ilmu
pengetahuan". Ketika ilmu pengetahuan betul-betul dikaji dan
dikembangkan oleh orang-orang muslim itulah teijadi apa
yang disebut dalam sejarah sebagai zaman Keemasan
Islam. Zaman ini berlangsung selama 350 tahun terus-
menerus, dari tahun 750 sampai tahun 1100. Nama-
nama ilmuwan yang menghiasi masa ini adalah, antara
lain: Jabir, Khwarizmi, Razi, Masudi, Wafa, Biruni, Omar
Khayyam, Ibnu Sina, Ibnu Al-Haytham, Ibnu Rush, Ibnu
Nafis. Ilmu pengetahuan yang mereka rumuskan meliputi
bidang-bidang kimia, aljabar, klinik, geografi,
matematika, fisika, astronomi, kedokteran, geologi dan
falsafah. Kemudian ada pula Nasir ad-Din at-Tusi yang
memimpin observatorium Maragha dengan staf sebanyak
20 orang astronom yang berasal dari dunia Islam semasa
itu. Dan zaman Keemasan ini memudar ketika orang-
orang muslim mulai mengabaikn semangat dan budaya
keilmuan yang selama ini telah mengangkat citra agama
Islam. Sebagai penutup uraian kusampaikan ucapan
Rasulullah Muhammad SAW, "Utlubul "ilma minal mahdi
ilal lahdi"-tuntutlah ilmu pengetahuan sejak buaian
hingga ke liang lahat. Ucapan ini jelas mengingatkan kita
supaya belajar terus-menerus, selama hayat dikandung
badan. Memang ada keindahan Ilahiah dalam belajar.
Dengan belajar kita menerima anggapan (postulat)
bahwa hidup dan kehidupan tidak dimulai pada saat
kelahiran. Ada orang-orang yang telah lahir sebelum kita
dan kita lalu mengikuti jejak mereka ini. Bukankah
tulisan-tulisan yang kita baca dan buku-buku yang kita
pelajari adalah hasil pikiran dan pekeijaan dari generasi
pendahulu ini, ayah dan emak, ulama, guru, ustad dan
orang-orang bijak serta terpelajar lainnya. Kita semua,
termasuk saya sendiri, telah menikmati pengalaman
mereka, dan berhutang pengetahuan pada mereka.
Itulah sebabnya mengapa saya tadi berziarah di makam
almarhum pendiri pesantren ini, berdoa dan membaca
Yaasiin, sebagai tanda terima kasih, menundukkan
kepala. Para ustad dan santri pesantren mengiringi
kepergianku dengan selawat dan azan yang dilantunkan
oleh muazin. Setelah berkendaraan agak jauh Pak Bupati
mengaku betapa selama ini tak terpikir olehnya tentang
gerakan bumi dan segala sesuatu yang erat berkaitan
dengan hal ini. "Sayang kita dahulu tidak bertetangga"
kataku. "Emak saya sudah mengingatkan hal tersebut
ketika saya berumur enam tahun, masih duduk di kelas I
Sekolah Dasar Melayu."
(OodwkzoO) Bab 22 EMAK DAN SUBANG BERLIAN "Ah, kalian tak perlu cemas. Nasib kita, insya Allah,
tidak akan menjadi seburuk itu," kata emak setelah
mendengar cerita kakak-kakakku mengenai keadaan
usaha keluarga dari salah seorang teman mereka di
sekolah. Di tahun 1930-an ini suasana kehidupan di daerah
kelahiranku memang semakin lama menjadi semakin
suram. Dahulu daerah Deli ini, menurut cerita orang,
disebut oleh Belanda "Het Dollarland" atau "Negeri
Dollar". Di daerah kerajaan Melayu yang semula
berpenduduk jarang tetapi bertanah subur ini Belanda,
atas prakarsa Jacobus Nienhuys, membuka berbagai
jenis perkebunan besar di paruh kedua abad XIX.
Kegiatan Belanda ini kemudian diikuti oleh bangsa-
bangsa kulit putih lainnya, seperti Amerika, Inggris,
Belgia, Swiss dan Jerman. Kekayaan daerah mi menjadi
lebih dikenal lagi ketika di ujung barat lautnya ditemui
sumber-sumber minyak dan gas bumi. Guna melancarkan
jalannya bisnis, lalu lintas barang, hasil Pertambangan,
Belanda membuat jalan kereta api dan membangun
jaringan jalan raya ke dan dari setiap penjuru daerah ini.
Kemakmuran "Negeri Dollar" ini menarik perantau-
perantau dari daerah-daerah lain, termasuk orang tuaku.
Bahkan ada pula pekeija yang datang atau didatangkan
dari negeri Asia, seperti India dan Cina. Semua
pendatang ini mendapatkan sumber kehidupan dan
tempat berteduh di sini. Memang kehidupan mereka ini
tidak semuanya selalu layak dengan martabat manusia
karena pencarian nafkah berdasarkan tingkat
kemampuan dan keterampilan di tengah-tengah
persaingan bebas yang semakin hari semakin meningkat.
Sama halnya dengan laron yang terbang mendatangi
cahaya, ada yang berhasil memperoleh kehangatan
cahaya yang didambakannya itu, ada pula yang akhirnya
hangus terbakar oleh panasnya api yang membuat
cahaya tersebut. Suasana kemakmuran yang melimpah ruah ini mulai
berubah dan menjadi semakin buruk dengan datangnya
tahun 30-an. Menurut Pakcik Leman masa itu disebut
oleh Belanda sebagai "economische malaise". Mendengar
sebutan ini penduduk pribumi, sesuai dengan logatnya,
menyebutnya sebagai zaman "ekonomi meleset". Tidak
sedikit jumlah perkebunan ditutup atau mengurangi
kegiatan produksinya. Banyak buruh perkebunan yang
dipecat, demikian pula buruh pelabuhan, disusul oleh
pegawai-pegawai kantor gubernemen dan kantor-kantor
dagang yang mengadakan penghematan-penghematan.
Karena pengangguran terus meningkat, berbagai
usaha dagang penduduk menjadi lesu. Keadaan bisnis
dan suasana kehidupan menjadi semakin mencekam
dengan meningkatnya berita-berita mengenai
kebangkrutan usaha, pencurian, perampokan dan
pembunuhan. Dalam keadaan "meleset" seperti ini para
perantau berangsur-angsur menutup usahanya dan
kembali ke daerah atau kampung asal masing-masing.
Jumlah murid-murid di sekolah dasar juga semakin
menyusut. Akibatnya ada sekolah yang ditutup. gurunya
diberhentikan dan murid-murid yang masih mau belajar
dipindahkan ke sekolah-sekolah lain.
Hampir setiap minggu, sambil makan malam, kedua
kakakku menceritakan perpisahan yang menyedihkan
dengan teman karibnya. "Si Ainoen tadi menangis
tersedu-sedu di muka kelas sewaktu bersalaman," kata
Kak Mami. "Dia sebenarnya masih ingin bersekolah,
tetapi kedai ayahnya gulung tikar. Ayahnya masih ingin
bertahan dengan berjualan berkeliling, tetapi dia sendiri
bersama-sama emak dan adik-adiknya harus pulang ke
Mandailing." Karena sudah terbiasa mendengarkan cerita sedih
seperti ini emak, bapak dan aku diam saja. Mulut terus
mengunyah sambil sesekali mengangguk-anggukkan
kepala. Ketika itu aku baru setahun di sekolah dasar.
Usiaku masih terlalu muda untuk dapat memahami
sebab-musabab keme-lesetan ekonomi yang diributkan
ini. Namun harus kuakui bahwa lama-kelamaan hatiku
terenyuh juga. "Melihat semua ini hati saya risau," kata Kak Marni
selanjutnya. "Kau tak perlu risau," potong emak cepat.
"Saya sungguh risau Mak," jawab kakakku bersikeras.
"Bayangkan, kalau begini terus bisa jadi saya sendirian di
kelas. Kalau sampai demikian ..,," direguknya dahulu air
di gelas sedangkan semua mata tertuju kepadanya, ?"
sekolah tak enak lagi."
Yang dimaksudkan oleh kakakku dengan "sendirian" di
kelas bukanlah seorang diri di dalam kelas tetapi seorang
diri sebagai anak perempuan di kelas. Dalam keadaan
normal saja ketika itu jumlah pelajar perempuan di
sekolah dapat dihitung dengan jari apalagi kalau
sekarang ini keluar satu per satu. Dapat kurasakan
kerisauan kakakku ini. Di kelasku sendiri pelajar
perempuannya tinggal seorang. Kasihan dia, duduk
termangu-mangu seorang diri, tak ada kawan bermain
selama jam istirahat. Di masa itu pergaulan antara anak
laki-laki dan anak perempuan di daerahku, kalaupun ada,
masih serba kaku. "Kalau saya, yang saya risaukan lain lagi," sela Kak
Ani. Kakakku yang ketiga ini tabiatnya lebih keras.
Biasanya dia lebih berani mengemukakan apa-apa yang
dipikir dan dirasakannya kepada orang tuaku.
"Apa pula yang kau risaukan ?" tanya bapak.
"Cerita si Bager kemarin sore kepada kami," jawab
kakakku. "Apa yang dikatakannya?"emak menyela cepat penuh
curiga. "Dikatakannya penjualan susu lembu kita menurun
dan sebenarnya sudah lama merugi," kata Kak Ani
berterus terang. Orang tuaku memelihara sejumlah 20-an lembu perah
dan si Bager adalah orang Keling yang membantu di
perusahaan susu kami itu.
Bapak tak segera bereaksi terhadap ungkapan
kakakku ini. Diambilnya sepotong mentimun dan
dicecahkannya berkali-kali ke atas sambal. Aku melirik ke
wajah emak. Dapat kulihat di matanya kejengkelan
kepada si Bager. Emak pasti tidak menyetujui cerita-
cerita yang dapat menggelisahkan anak-anaknya. Karena
bapak diam saja, kukira sedang memikirkan kata-kata
yang tepat untuk menenteramkan perasaan kami, emak
cepat-cepat berkata, "Ah, kau tak perlu cemas. Kalian tak


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlu risau. Penjualan susu memang telah menurun
karena orang Belanda dan orang-orang kulit putih lainnya
satu per satu pulang kembali ke negerinya masing-
masing. Merekalah yang selama ini membeli susu lembu
kita. Tapi usaha kita belum perlu dihentikan. Kerugian
yang ada masih dapat ditutup."
Kami semua terdiam. Emak menjangkau piring
gorengan ikan tenggiri dan mengedarkannya kepada
bapak dan kami. Kami masing-masing mengambil
sepotong. "Sampai sekarang kita masih makan seperti biasa,"
kata emak selanjutnya sambil meletakkan kembali piring
ikan di tempatnya semula. "Kita masih berpakaian seperti
biasa. Minggu yang lalu, kau ingat Ani, masih emak
belikan sepasang sepatu baru."
"Ya, tapi kata Makcik Bedah sesudah emak menjual
sebuah peniti emas," potong kakakku sambil tetap
menundukkan mukanya. Tak berani dia menatap mata
emak. "Mak masih punya beberapa peniti lagi," emak
berusaha menjelaskan, "yang emak jual itu pun, kau
tahu "kan, sudah lama tak emak pakai. Potongannya
sudah agak ketinggalan zaman. Lagi pula perhiasan
dikumpulkan untuk dipakai juga sebagai payung di waktu
hujan." Emak tersenyum simpul. "Emak maksud, untuk
dijual kembali bila kita memerlukan uang."
Emak memang benar. Kebiasaan penduduk di daerah
kami ketika itu menyimpan perhiasan emas dan batu
permata bukan hanya untuk perhiasan di badan. Di
samping tanah, ia dipakai juga sebagai bentuk tabungan
karena mudah dijual lagi bila keadaan mendesak.
Kami semua tahu emak mempunyai berbagai
perhiasan dari emas dan di antaranya ada yang
bertatahkan batu permata. Benda berharga ini
disimpannya baik-baik di dalam sebuah peti dari kayu jati
berkunci ganda bersama-sama perhiasan kakak-kakakku
dan benda serta surat berharga lainnya. Sesekali
diperlihatkannya perhiasan-perhiasan itu kepada kakak-
kakakku. Kami semua telah melihat dan mengaguminya.
Namun sehari-hari emak biasa-biasa saja. Sedangkan
dalam berpakaian ke pesta perkawinan emak hanya
memakai perhiasannya yang paling sederhana. Bila
perempuan-perempuan lain menggunakan kesempatan
itu untuk memamerkan kekayaannya, sampai-sampai
memakai gelang kaki segala, emak seingatku tidak
pernah mau memakai gelang kaki yang dimilikinya.
"Mengapa erhiasan semahal itu harus dipakai di pakai
dibagian tubuh yang dekat dengan debu jalanan"
Demikian selalu alasan emak "Lagi pula langkah terasa
berat karena kaki seperti dibelenggu."
Kupikir juga begitu. Sama anehnya bila kuhhat
peremouan Melayu memakai gelang tangan berlapis-lapis
meniru ebiasaan perempuan Keling. Bila tangannya
digerak-gerakkan menimbulkan bunyi gemenncing bagai
bunyi gerakan tangan orang rantai.
"Kalau tak pernah dipakai untuk apa dibeli dulu"
Tanya kakak-kakakku. Mereka tak jemu-jemunya
meributkan hal ini karena rupanya mereka ingin sekali
melihat emak seperti ibu-ibu lainnya yang penuh
bertaburkan perhiasan dari mulai di sanggul, turun ke
telinga, dada, lengan, jari-jari sampai ke kaki.
"Untuk dipakai sebagai penyimpan uang," jawab emak
tanpa ragu-ragu, "sebagai tabungan."
Kemudian emak mengingatkan bahwa selain perhiasan
dari emas dia masih mempunyai tabungan lain berupa
sepasang subang berlian. Ketika mendengar ucapan ini
bapak terbatuk-batuk, entah apa sebabnya. Kami semua
tersenyum puas. Kami anak-anak saling berpandangan
dengan rasa tenteram. Ya, walaupun telah dikatakan
berkali-kali, kami sering lupa bahwa emak memiliki
subang berlian. Kata orang harga berlian pasti mahal.
Emak belum pernah menunjukkan kepada kami benda
berharga itu dan juga belum pernah memakainya.
Menurut emak, kalau perhiasan yang mahal biasanya
dipakai satu stel secara lengkap. Bila tidak, dipakai satu
per satu menyendiri, subang saja misalnya, orang-orang
akan mencibirkan mulutnya di belakang punggung kita.
Memang begitulah kebiasaan buruk di kalangan
perempuan kampung kami. Sementara itu keadaan ekonomi betul-betul "meleset",
semakin memburuk Dalam keadaan yang serba payah
dan lesu ini bapak terpaksa menjual perusahaan
susunya. Musibah ini sampai terjadi karena dia
menyediakan perusahaannya ini sebagai jaminan bagi
hutang dari dua orang sahabat karibnya. Mereka dahulu
selagi muda sama-sama merantau ke Malaya, menjadi
teman senasib sepenanggungan, setikar sebantal. Kedua
sahabatnya itu berhutang pada Ceti untuk digunakan
sebagai modal usaha. Ceti adalah lintah darat, rentenir, dari Sri Lanka yang
pekeijaannya meminjamkan uang kepada penduduk.
Penduduk pada umumnya tahu betapa akibatnya bila
berhutang pada Ceti. Namun tetap rentenir ini dan
bukannya bank yang merupakan tempat yang mudah
sekali untuk mendapatkan uang. Penduduk takut-takut
masuk ke "kantor bank" karena di situ selalu ditanya
dengan teliti maksud dan tujuan penggunaan uang
pinjaman itu. Kalau buta huruf Latin atau hanya bisa
membaca dan menulis dalam huruf Jawi (Arab) sudah
pasti ditolak begitu saja. Sedangkan kalau meminjam
pada Ceti, lintah darat itulah yang datang ke rumah
membawakan uangnya tanpa mempertanyakan untuk
apa pinjaman itu digunakan, buta huruf atau tidak.
Sementara hutang belum terbayar lunas, perusahaan
kedua sahabat bapak tersebut keburu bangkrut. Sebagai
penjamin akhirnya bapak harus turut bertanggung jawab.
Dalam keadaan serba meleset seperti ini hasil penjualan
lembu-lembu beserta kandang dan tempat pemerahan
susunya belum mencukupi. Terpaksalah emak menjual
lagi persediaan perhiasannya yang masih ada untuk
menutupi kekurangan itu. Aku sedih sekali ketika itu
mengingat lembu-lembu itu sudah merupakan teman-
temanku bermain dan berkecimpung di sungai sambil
memandikannya. Apalagi setiap lembu mempunyai
namanya sendiri-sendiri dan seperti mengerti kalau
kupanggil dengan nama itu. Yang agak menghibur
adalah bahwa kandang lembu, atas bujukan bapak, dibeli
oleh si Bager yang selama ini dengan setia membantu
bapak. Namun dia hanya mampu membeli tiga ekor
lembu karena uang tabungannya tidak mencukupi.
Akhirnya aku tidak begitu gelisah dan khawatir setelah
mendengar emak berkata, "Kejadian ini merupakan suatu
pelajaran yang baik buat kita semua. Memang pahit,
tetapi tidak apa-apa. Kita tidak akan menderita
karenanya. Percayalah kalian, subang berlian emak
masih ada sebagai tabungan untuk berlindung di
kemudian hari." Kakak-kakakku juga cepat melupakan
musibah ini dan kami bermain-main dengan gembira
seperti biasa bersama-sama si adik bungsu yang semakin
besar. Apalagi si Bager yang setia sekali-sekali datang
membawa susu segar dan pupuk kandang untuk
tanaman yang ada di halaman rumah. Hanya si Amisha
terpaksa dikeluarkan oleh emak karena bapak tidak
mampu lagi menggajinya seperti sediakala. Walaupun
begitu dia kadang-kadang datang bertandang dan
mengeijakan apa saja tanpa disuruh. Ketika emak
melarangnya dia bahkan menangis. Dia peluk emak dan
kedua kakakku. Dia baru berhenti datang ketika sudah
berumah tangga dan pindah ke kampung lain.
Suatu malam, sehabis makan, bapak mengatakan
akan mengurangi rokoknya secara berangsur-angsur
untuk kemudian menyetopnya sama sekali demi
penghematan belanja sehari-hari.
"Tak perlu, tak perlu itu," emak betul-betul berusaha
mencegahnya. "Kalaupun berhenti merokok bukan demi
penghematan tetapi karena memenuhi anjuran agama.
Nik, merokok itu hukumnya makruh "kan"!" Emak
mengetahui betapa bapak kini bekerja lebih keras
daripada biasa. Memang bapak kelihatannya semakin
kurus dan agak murung. Aku yakin pikirannya tak dapat
melupakan begitu saja perusahaan susu lembu yang
telah dibangunnya dengan susah payah semenjak muda
dan yang kini sudah berada di tangan orang lain.
"Belum perlu penghematan seperti itu," ulang emak lagi.
"Saya pun tak mengurangi sirih pinang saya. Makan
minum sehari-hari kita biarkan beijalan seperti biasa.
Simpanan perhiasan saya masih memadai. Subang
berlian pun masih ada sebagai payung terakhir di waktu
hujan." Mendengar sebutan "subang berlian" itu bapak
terbatuk-batuk lagi. Aku tak tahu mengapa. Yang aku
ketahui adalah mata dan wajah kakak-kakakku bersinar
gembira. Kami yakin nasib rumah tangga kami tidak akan
menjadi seburuk nasib rumah tangga seorang tetangga
dekat kami yang baru-baru ini terpaksa menjual tempat
kediamannya karena usaha dagangnya kandas dan tak
mempunyai tabungan dalam bentuk apa pun. Anak-anak
mereka menangis tersedu-sedu sewaktu harus keluar
meninggalkan rumahnya. Emak membekali mereka
dengan beberapa helai pakaian kami dan sedikit uang.
Kami pun turut sedih menyaksikan peristiwa ini karena
anak-anak itu adalah teman kami bermain sehari-hari.
Namun kami tak pernah gelisah dan khawatir. Untuk apa
risau. Bukankah subang berlian emak masih ada dan
utuh dan belum teijual. Kami semua bangga dengan
subang berlian itu. Ia memberikan rasa aman dan
tenteram dalam diri kami. Emak telah menyediakan
payung jauh sebelum hujan datang menerpa.
Kami pernah mengeluh mengapa bapak mau
menolong orang hingga mencelakakan dirinya sendiri,
menyusahkan hidup emak dan kami, anakanaknya.
"Anak-anak. dalam hidup ini kita harus tolong-
menolong," kata emak membela bapak. "Dan dalam
menolong itu kita harus ikhlas."
"Tapi "kan tidak perlu sampai merugikan diri sendiri?"
sanggah kakak. "Yang keliru dalam hal ini bukanlah usaha menolong
itu, tetapi perhitungan keadaan ekonomi yang dibuat
oleh kedua sahabat karib bapak. Emak tahu. Tuhan pun
tahu bahwa Bapak benar-benar ikhlas dalam menolong,
tidak mengharapkan apa pun sebagai imbalannya.
Menolong tanpa pamrih." ,
-Ah, tak usahlah bicara imbalan, kita semua merugi
terlalu banyak," kakak-kakakku tetap menggerutu.
"Yang terutama merugi itu adalah Bapak sendiri,"
sambung emak. "Yang paling menderita itu adalah
Bapakmu, bukan kita. Tapi percayalah. Kalau keikhlasan
bapak ini memang dibenarkan dan diterima Tuhan, Yang
Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang ini
akan memberikan imbalan kepada kalian, anak-anak
bapak. Kalian nanti yang akan menerima pahala dari
keikhlasan perbuatan bapak dalam membantu sahabat-
sahabatnya. Dalam peijalanan hidup kalian kelak, satu
waktu akan ada uluran tangan yang datang begitu saja
tanpa diduga sebelumnya. Bapak yang hari ini menanam
budi, insya Allah besok kalian yang akan memetik
hasilnya." Apa-apa yang dikatakan emak ini ternyata benar.
Selama aku di rantau orang, jauh dari emak dan bapak,
adakalanya aku menerima bantuan untuk keluar dari
kesulitan, dari orang-orang yang tidak kukenal dan tidak
mengenal aku sebelumnya. Aku adalah orang yang
enggan sekali meminta tolong dan tidak gampang
menerima bantuan. Aku selalu ingat nasihat emak yang
mengatakan bahwa tangan orang yang menerima pasti
berada di bawah tangan orang yang memberi. Namun
ada bantuan-bantuan yang datang secara spontan,
begitu saja, tanpa kuminta, benar-benar tanpa pamrih
dari pihak yang memberi. Salah satu di antaranya, yang sangat mengesankan
dan pasti tak akan kulupakan seumur hidup, adalah
uluran tangan penuh kasih dari Bapak dan Ibu
Darmosoegito. Mereka dengan serta- merta menawarkan
aku tinggal di mmah mereka ketika aku sedang bingung
mencari tempat Pondokan di Yogyakarta. Ketika itu aku
harus keluar dari sanggar "Seniman Indonesia Muda"
(SIM) karena menolak tuntutan pelukis S.S. Soedjojono,
Ketua Umum SIM, supaya aku meninggalkan SMA dan
menjadi seniman 100% seperti pelukis-pelukis "muda"
lainnya di organisasi SIM. Dalam peijalanan waktu
Keluarga Darmosoegito bahkan menolak pembayaran
berupa apa pun dan sama halnya dengan Tino Sidin, aku
pun diperlakukan sebagai salah seorang anak-anaknya,
anak yang termuda. Pak Darmosoegito adalah Pamong
Perguruan Taman Siswa dan wartawan free lance.
Tatakrama kejawaan, kenasionalan dan
keintelektualannya mengingatkan aku pada Mas Singgih.
Aku beranjak dewasa melalui zaman meleset dari
tahun 30-an. Dekat akhir zaman yang naas ini keadaan
ekonomi berangsur-angsur pulih kembali namun surat-
surat kabar mulai membayangkan tanda-tanda pecahnya
Perang Dunia Kedua. Aku kini sudah dapat
memanfaatkan kemampuanku dalam melukis. Aku
semakin terampil melukis wajah, baik wajah orang yang
sudah mati maupun wajah orang yang masih hidup.
Walaupun masih duduk di HIS, beberapa penerbit sudah
bersedia mempercayakan pembuatan ilustrasi kulit
bukunya kepadaku. Ada juga yang mengulurkan tangan
memberi order menggambar iklan. Honornya cukup
lumayan. Uang yang kuperoleh hanya kubelanjakan


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk membeli alat-alat melukis dan buku. Sebagian
besar sisanya kusimpan dan terus kuhitung. Akhirnya
tercapai suatu jumlah yang cukup besar untuk membeli
cincin atau peniti berlian guna melengkapi subang berlian
emak yang sudah ada. Aku ingin sekali melengkapi
perhiasan berlian ini supaya emak dapat memakainya.
Niat ini kusampaikan kepada kakak-kakakku dan mereka
merasa antusias untuk turut menyumbang ala kadarnya
dari tabungan masing-masing.
Aku ceritakan kepada emak caraku memperoleh dan
mengumpulkan uang ini. "Sekarang mari kita ke toko
emas di Hongkongstraat!" Aku mengajak emak dengan
penuh kebanggaan. "Untuk apa?" tanya emak keheranan.
"Untuk membeli cincin atau peniti berlian," kataku dan
kedua kakakku hampir serentak dengan nada gembira.
Kami gembira melihat emak surprised mendengar
ajakanku itu. "Emak harus ikut" Ayolah!" kuulangi ajakanku. "Emak
harus memilih sendiri yang mana akan dibeli, cincin atau
peniti, guna melengkapi subang yang sudah ada " yang
Emak simpan saja selama ini."
"Dan kemudian harus dipakai, Mak!" sambung kakak-
kakakku sambil menggenggam dan meremas-remas
tangan emak, tangan yang selama ini membelai kami
dengan penuh kasih sayang.
Aneh, mendengar semua ini emak diam saja.
Ditatapnya kami bergiliran satu per satu. Mata emak
kemudian berkaca-kaca dan air matanya mulai meleleh di
pipinya. Melihat hal ini kami bertiga menjadi kikuk. Tak
tahu apa yang harus dilakukan selain saling
berpandangan. Maka bersimpuhlah kami, kaku terpaku,
di hadapan emak. Adikku si bungsu ikut-ikutan berbuat
yang sama tanpa mengerti mengapa.
Setelah menyapu air mata yang meleleh di pipinya
dengan ujung kebaya panjangnya, emak mencium dahi
dan ubun-ubun kami bergiliran satu per satu. "Emak
bangga mempunyai anak-anak seperti kalian," katanya
dengan lemah lembut, "terutama dengan kau," katanya
kepadaku dengan suara yang masih terisak-isak.
Setelah hening sejenak emak melanjutkan, "Subang
berlian itu tidak ada. Seumur hidup emak belum pernah
memuih benda berharga seperti itu. Kalaupun nanti kau
membelikan emak cincin berlian, cincin inilah yang bakal
perluasan berlian emak yang pertama."
Karena kami diam saja, tak tahu apa yang harus kami
katakan, emak melanjutkan dengan nada suara yang
sungguh-sungguh, "Subang berlian itu emak sebut-sebut
supaya hati kalian tenteram. Tak baik anak-anak sekecil
kalian hidup dalam ketakutan, gelisah, cemas dan
khawatir Sekarang kalian sudah besar-besar, sudah lama
bersekolah sudah pintar, sudah bisa berpikir sendiri.
Tetapi seusia kalian dahulu itu, di saat masih ingusan,
kalian memerlukan adanya kepastian dan ketenangan
supaya kalian dapat belajar dengan baik, bisa menikmati
masa kanak-kanak dengan tenteram."
Aku kira sekarang aku baru mengerti mengapa bapak
dahulu terbatuk-batuk setiap kali mendengar emak
menyebut-nyebut subang berliannya. Beramai-ramai
kami pergi mengantarkan emak ke toko emas untuk
membeli perhiasan berliannya yang pertama. Emak
memilih sepasang subang dan bukan cincin.
(OodwkzoO) Bab 23 EMAK DAN CAHAYA Serambi depan rumahku selalu terang benderang,
selama kami belum tidur, atau ada seseorang yang
belum pulang. Di malam hari semua pintu dan jendela
biasa ditutup erat agar nyamuk dan kelekatu tidak dapat
masuk. Akibatnya cahaya lampu di dalam rumah nyaris
tidak kelihatan dari luar. Maka bila bapak sedang
bepergian ke luar kota untuk sesuatu urusan, sebelum
kami semua masuk kamar tidur masing-masing, emak
biasa memasang lampu teplok kecil, meletakkannya di
bagian tengah lantai serambi depan dan membiarkannya
menyala sampai pagi. Menurut emak cahaya yang
memancar dari rumah di malam hari merupakan tanda
"selamat datang" bagi yang sedang berada di luar
rumah. Di mana pun aku berada, ada bagian dari diriku yang
tetap berupa seorang anak kecil dan di dalam anak kecil
ini bersemayam kenangan pada emak. Kenangan inilah
yang membuat kebiasaan emak menyalakan lampu
dalam keadaan khas tertentu tetap melekat dalam
ingatanku. Sewaktu aku masih mengikuti kuliah di
Sorbonne, aku sering pulang jauh malam. Di sepanjang
jalan dari stasiun metro Rane-Lagh ke rumah di Rue de
Boulainvilliers, aku biasa melirik ke cahaya yang
memancar dari jendela kaca apartemen-apartemen yang
kulewati. Bagiku cahaya itu berarti ada seseorang yang sedang
menunggu atau seseorang yang masih ditunggu
kedatangannya. Jadi rupanya bukan hanya aku yang
masih berada di luar rumah pada jam tersebut. Sesudah
tiba di depan apartemenku sendiri, dari bawah secara
instingtif kulihat jendela depanku di tingkat pertama
masih cukup terang. Aku merasa senang dan tenteram
melihat cahaya itu, sama senang dan tenteramnya
dengan keadaanku dulu ketika masih kecil, pulang
mengaji malam hari dari surau. Bukankah cahaya terang
itu hendak mengatakan juga "welcome home", namun
kali ini yang menunggu bukan lagi emak, tetapi istriku.
Dan aku memang telah ditunggu-tunggu oleh Soel.
Seperti biasa anakku sudah tidur. Soel menunggu sambil
membaca, menyulam, membordir atau merajut.
Sewaktu anakku semata wayang, Yanti, belajar di IPB,
dia mondok di Bogor. Biasanya dia pulang ber-u>eefc
end di rumah. Maka untuk menyambut kedatangannya,
pada setiap Sabtu malam, setiap lampu di pojok afdak
rumah, sengaja kupasang. Setelah dia meneruskan
studinya di Amerika, tidak ada lagi gunanya memasang
lampu-lampu itu. Tetapi aku tahu di Amerika sana,
maupun di seluruh Jakarta sini, banyak lampu yang
menyala terus sepanjang malam, memecah kegelapan,
merupakan cahaya bagi mereka yang sedang beijalan
menuju ke kediaman masing-masing. Aku pikir emak
benar dengan kebiasaannya itu, yang hendak
mengatakan bahwa lampu yang dibiarkan menyala
merupakan simbol kasih sayang, menerangi jalannya
sang musafir yang mau pulang.
Sesudah Yanti menyelesaikan pembelajaran S-3nya,
lalu berumah tangga dan tinggal bersamaku, aku
lanjutkan lagi kebiasaan menghidupkan lampu di serambi
depan. Sebab sesekali dia memberi kuliah di IPB hingga
sore hari. Suami-nya Bambang, sebagai staf akademis
ITB, setiap minggu pergi ke Bandung beberapa hari dan
biasanya pulang dengan kereta api terakhir yang tiba di
Jakarta agak malam. Kadang-kadang mereka pergi
berbelanja makanan di toko swalayan sesudah waktu
magrib. Adakalanya Soel dan aku pergi memenuhi
undangan di malam hari. Di saat-saat seperti itu memang
perlu ada cahaya yang memancar dari rumah. Memang
cukup menyenangkan kalau kita pulang ke rumah yang
terang daripada ke rumah yang gelap. Di samping ini aku
lakukan pula kebiasaan emak mematikan lampu luar
sesudah semua pada pulang. Emak dahulu kelihatan
tenteram juga ketika mematikan lampu luar setelah yakin
bahwa semua anggota keluarga yang tercinta sudah ada
di dalam rumah dan tidak ada lagi seorang pun yang
perlu ditunggu. Aku sendiri kini juga merasakan demikian
di saat melakukan hal yang sama.
Berkat ajaran filosofis mengenai waktu, pikiranku
tentang cahaya yang memancar dari jendela rumah-
rumah menjadi luas. Sebenarnya kehadiran "waktu"
sudah lama kukenal melalui "teori rente" dari Von Bohm-
Bawerk, kemudian lewat "teori Keynesiati dynamies"
yang" dikembangkan oleh Harrod dan Domar dalam
rangka menjelaskan implikasi logis dari suatu definisi
makro-ekonomis tentang ekuilibrium. Namun ketika
filosofi yang mengetengahkan makna "waktu" dengan
caranya yang tersendiri itu, aku segera teringat pada
tafsiran cahaya dari emak.
Cahaya yang bersinar di rumah, dari serambi depan
atau dari balik jendela kaca, tetap merupakan pertanda
bahwa ada orang yang sedang menunggu-nunggu
kedatangan seseorang. Namun mungkin pula ada orang
yang sedang duduk bersantai setelah penat bekeija
sehari penuh. Bisa juga karena ada orang yang sedang
belajar berhubung tidak mungkin berbuat begitu di siang
hari. Bukankah dahulu aku terpaksa melakukan hal yang
sama karena siang hari kupakai untuk mencari uang agar
bisa hidup dan membiayai pendidikan universiter. Atau
ada orang yang sedang membaca karena tahu lebih
bermanfaat menggunakan waktu luangnya secara aktif
menggali pengetahuan dari buku atau percobaan
ketimbang secara pasif menatap televisi.
Bila demikian ada tanda-tanda kedatangan
pencerahan di masa depan. Dengan kemampuan
manusia membuat cahaya artifisial nonalami guna
melanjutkan kelangsungan cahaya alami ciptaan ilahiah
yang secara teratur lenyap karena gerakan bumi,
manusia dapat meneruskan usaha-usaha kreatifnya di
bidang apa pun. Dengan begitu akan terwujud kiranya
apa yang dahulu pernah diutarakan oleh Sophocles di
zaman Yunani Purba bahwa "the long un-measured pulse
of time moves everything. There is nothing hidden that it
cannot bring to light, nothing once known that may not
become unknown." Maka waktu bukanlah berupa sesuatu yang tak
berdaya. Gerakannya pun tidak merupakan sekedar
pengungkapan-pengungkapan kronologis tanpa maksud.
Waktu adalah ritme internal dari sejarah yang muncul di
antara dua kutub. Ia menunjukkan adanya permulaan.
Yang esensial bukanlah apakah permulaan itu tetapi
kenyataan bahwa permulaan itu ada.
Ia adalah ketika "dari mana" kita datang agar "terus
melangkah ke depan". Ia adalah ketika keyakinan
membenarkan dan melahirkan harapan yang mengubah,
baik saat-saat maupun semua peristiwa yang teijadi di
dalamnya; mengubah semua itu menjadi suatu
ekspektasi yang sarat dengan makna. Maka itu saat-saat
di sepanjang waktu adalah tahapan-tahapan dari suatu
peijalanan ketika kita bereksodus dari kekinian menuju
ke masa depan. Jadi musafir yang berkelana .mencari ilmu
pengetahuan dengan mengendarai waktu pasti ditunggu-
tunggu kepulangannya di masa depan mengingat cahaya
harapan terus dinyalakan oleh Ibu Pertiwi. Tetap
ditunggu karena masa depan itu memerlukan suatu
pencerahan, betapapun kecilnya, agar tidak tertatih-tatih
dalam kegelapan. Sedangkan pencerahan hanya mungkin
bila ada perubahan-perubahan dalam nilai-nilai. Dan ilmu
pengetahuan mengubah nilai-nilai kita dengan dua cara.
Pertama, ilmu pengetahuan menginjeksikan ide-ide baru
ke dalam nilai-nilai yang sudah kita kenal selama ini.
Kedua, ilmu pengetahuan menundukkannya dengan
tekanan-tekanan perubahan teknis begitu rupa hingga
teijadi pembaruan dalam keseluruhan basis budaya kita.
Dengan kehadiran waktu, dengan beijalannya waktu,
kian mendalam dan meluas kiranya makna kebiasaan
emak menyediakan cahaya di tengah-tengah kegelapan.
(OodwkzoO) EPILOG Alangkah bahagianya mempunyai emak. Dia yang
membesarkan aku dengan cinta keibuan yang lembut.
Dia yang selalu memberikan aku pedoman di dalam
peijalanan hidup. Dia yang, di setiap langkah, tahap dan
jenjang, membisikkan padaku harapan. Dia yang terus-
menerus memberikan dukungan moral dalam usahaku
mengolah budaya kreatif, baik yang terpaut pada ilmu
pengetahuan maupun yang menyangkut dengan seni.
Dia yang tidak pernah mengecewakan apalagi menyakiti
hatiku. Satu-satunya duka yang disebabkannya adalah
ketika dia harus pergi meninggalkan aku untuk selama-
lamanya. Hal ini teijadi tanpa kehadiranku di dekatnya. Emak
meninggal beberapa bulan setelah aku sekeluarga berada
di Paris. Ketika berita duka ini tiba aku sedang bersiap-
siap untuk mulai menempuh rangkaian ujian "Doctorat
d"Etaf di Sorbonne. Kalau aku bisa berhasil menempuh
program akademis tertinggi ini aku akan menjadi orang
Indonesia pertama yang bergelar doktor melalui program
yang bergengsi ini. Jadi hal ini betul-betul merupakan
satu tantangan bagiku. Emak pasti bangga melihat aku
berani menerima tantangan ini, aku yang tidak berasal
dari sistem pendidikan yang berkultur Perancis, bisa
diterima masuk ke program IDoctorat d"Etaf. Beberapa
orang Indonesia yang berhasil meraih gelar doktor dari
lembaga pendidikan tinggi Perancis sebelum aku, sejak
zaman prakemerdekaan, memperolehnya melalui
program "Doctorat de "Universite", seperti yang baru saja
kuselesaikan dengan baik baru-baru ini.
Maka berita kepergian emak ke alam baka, memenuhi
panggilan Allah SWT yang selama ini disembahnya lima
kali sehari dalam sembahyang lima waktu, sungguh
mengejutkan aku. Inna lillahi wa inna ilaihi roji"un. Hal ini
membuat aku ingin meratap menghamburkan kesedihan
hati. Mataku menatap keluar melalui jendela kamar studi.
Di rumah sedang sepi karena istriku sedang membawa
anakku ke taman agar tidak mengganggu aku belajar.


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku rasa diriku ringan sekali, lemas sekujur badan, bagai
orang habis menangis, walaupun aku tidak kuasa untuk
menangis. Setelah beberapa saat duduk termangu bagai orang
kehilangan akal, aku bangkit mengambil Surat Yaasiin
dari saku baju yang kugantung di rak pakaian. Surat ini
selalu ada di baju yang kupakai sehari-hari di luar rumah,
dalam bepergian ke mana saja. Ia adalah pemberian
bapak ketika aku dulu pamit dan sekaligus mohon
direstui pergi ke Jawa, sebagai langkah awal dari
perantauan panjang menuntut ilmu pengetahuan, seperti
yang dianjurkan emak. Surat Yaasiin ini kubaca dan
kubaca untuk menenangkan pikiran. Ketenangan yang
kuperlukan untuk mengatasi rasa duka ini.
Tiba-tiba pintu kamar studiku terbuka. Anakku masuk
dengan muka berseri-seri, melompat-lompat
menghampiri tempat dudukku sambil menyerahkan
segenggam bunga rerumputan yang dipetiknya di hutan
dekat taman bermain. "C"est pour toi papa cheri" katanya
dengan penuh kasih sambil mencium pipiku.
"Dan untukmu saya bawakan buah kastanye yang kau
gemari," kata istriku sambil menjengukkan kepalanya ke
dalam kamar. Istri dan anakku baru saja kembali dari
taman rupanya. "Enak belajar?" tanya Soel ketika
menggantungkan mantelnya di gantungan baju dekat
pintu. Aku mengangguk. Pada rupa istriku membayang
wajah emak yang anggun dan molek.
"Aku bangga mempunyai Nak Sri Soelastri sebagai
menantu. Seharusnya dia diberi nama intan dan cucuku
yang dilahirkannya disebut mutiara " ya benar-benar
mutiara dari rumah tangga kalian," kuingat emak berkali-
kali bertutur begitu kepadaku dahulu. Seolah-olah
tuturan emak ini kudengar lagi, berkumandang di
telingaku. Aku tahu kali ini pun tuturan tersebut, sama
dengan ucapan-ucapannya yang lain, mengandung
penuh kebenaran. "Maman a toujours raison," begitu selalu bunyi
komentar Yanti, anakku semata wayang, mengenai
petunjuk yang diberikan oleh ibunya. Aku pikir komentar
ini juga berlaku bagi tutur kata emak. Betapa tepat.
Impianku bermula kebanyakan kali dari emak. Dia yang
terus-menerus, tanpa pernah bosan, menggugahku dan
mendorongku dan memanduku menuju ke tingkat
selanjutnya, adakalanya bahkan mendera aku dengan
cemeti sembilu yang disebut kebenaran.
Tutur kata, perbuatan dan budi pekerti emak telah
merajut hidupku. Ia terus beijalan, Mak, lihatlah, bagai
batang air yang terus mengalir dengan tak pernah
memutuskan diri dari sumbernya barang sedetik pun.
Kepergian emak, maut ini, pasti bukan merupakan akhir
tetapi bagian dari hidup itu.
(OodwkzoO) RIWAYAT PENULIS Dr. Daoed JOESOEF lahir di Medan pada tanggal 8
Agustus 1926. Menempuh pendidikan universiter, untuk
program S-l, di Universitas Indonesia (1950-1959) dan
untuk dua program S-3 di Universite Pluridiseiplinaire de
Paris I Pantheon-Sorbonne (1964-1972).
Menjadi anggota TKR-Divisi IV Sumatera Timur (1945-
1946). Sambil ber-SMA di Yogyakarta bergabung dengan
Tentera Pelajar Brigade 17 Batalyon 300. Masuk jajaran
TNI dan berdinas di Komando Militer Kota Besar Jakarta
Raya (1950-1951). Menjadi anggota Staf Pengajar FE-UI (1954-1963).
Membentuk Jurusan "Ekonomi Pemerintahan" di samping
mengepalai Jurusan "Ekonomi Umum" di Fakultas
Ekonomi. Menjadi Ketua Tim Afiliasi FE-UI dengan
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Universitas
Sriwijaya, Universitas Lampung. Mewakili FE-UI menjadi
anggota Tim Penghitung Pendapatan Nasional. Menjadi
anggota Staf Penasihat Inspektorat Jenderal Pertahanan
Rakyat Menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam
Kabinet Pembangunan ffl (1978-1983). Anggota DPA-RI
END (OodwkzoO) Cinta Sang Pendekar 3 The Wednesday Letters Karya Jason F.wright Cula Naga Pendekar Sakti 4
^