Pencarian

Rahasia Kaum Falasha 5

Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana Bagian 5


"Bagaimana?" tanya Esa sambil menatap ke arah Nisa, Indra, Yitro, dan Rachel.
"Biarkutangan para penjaga itu,"jawab Yitro.
"Caranya?" tanya Indra,
"kau akan menembak mereka dengan pistolmu?"
"Tentu saja tidak!" sergah Yitro. Ia lalu berjalan mendekati penjaga yang berada di sisi selatan. Kemudian, tangan kanannya terulur ke leher sang penjaga.
"Dia mau mencekiknya?" gumam Nisa sambil memerhatikan Yitro,
"Tidak," jawab Rachel,
"Yitro menotok penjaga itu agar diam seperti patung."
"Wah, hebat" seru Indra,
"seperti dalam film Kung Fu saja."
"Maklum, diakan dilatih bela diri oleh Zionis-Zionis gila itu, timpal Esa. Yitro menotok penjaga-penjaga itu satu persatu. Ia melakukannya dengan tenang,
tanpa mencurigakan beberapa orang yang kebetulan juga sedang berada di tempat itu. Kemudian dengan isyarat tangannya, ia meminta Esa dan yang lainnya mendekat.
"Dengar," ujar Yitro,
"mereka akan mematung dan tak akan bisa bergerak sampai sekira 3 jam. Selama itu, kita bisa mencari cara masuk dan bekerja di dalam
Kapel?"Perhatikan Ada beberapa orang di sini," ujar Indra menimpali.
"Nampaknya di sisi timur tak ada orang," ujar Nisa. Akhirnya mereka berjalan perlahan ke sisi timur. Pagar yang melingkari kapel tingginya sekira dua
meter. Mereka memandangi pagar itu.
"Bagaimana" Kita lompati saja?" tanya Rachel
"Aku tak akan bisa melompatinya!" sanggah Nisa.
"Tak perlu!" ujar Yitro. Kemudian dengan gerakan cepat, ia memukul deretan besi yang menyusun pagar tersebut. Sekira dua kali pukulan, maka dua batang
besi pagar pun patah. "Wah! Kau benar-benar ahli beladiri, ya?" ujar Indra.
"Sabuk hitam Karate," jawab Yitro tak acuh. Kemudian mereka masuk melalui celah yang dibuat Yitro. Dengan cepat, mereka bergerak mendekati pintu Kapel
bagian timur. Esa segera memutar hendel pintu. Ternyata pintu itu tak terkunci.Mereka agak takjub mendapati bahwa tempat yang dilingkari pagar tinggi dengan
penjaga dua puluh empat jam itu ternyata tak terkunci. Segera saja mereka masuk ke dalam dengan cepat. Kapel itu ukurannya mungkin hanya empat kali empat
meter. Tak ada kursi di dalamnya, layaknya sebuah gereja. Namun di sisi barat kapel, sebuah altar batu teronggok. Di atasnya ada patung salib dan mangkuk
berisi air. Mungkin itu air suci yang biasa digunakan dalam misa.
"Tak ada tangga atau.apa pun yang mengarah ke bawah tanah, gumam Esa.
"Ayo periksa altar itu," cetus Indra sambil menuju ke altar di sisi barat. Mereka semua mengamat-amati altar tersebut. Indra menelusuri dinding-dinding
bagian bawahnya, sementara Yitro mengamati permukaannya. Esa hanya menelisik beberapa relief pada altar tersebut.
"Lihat" seru Esa tiba-tiba. Ia menunjuk ke sebuah relief yang di sisi kiri meja. Relief itu berbentuk segitiga
"Mana segitiga itu?" tanya Esa kepada Yitro, Yitro mengeluarkan benda yang dimaksud. Lalu ia memasangkannya pada bagian tengah relief Ternyata pas! Lalu
ia memutar segitiga tersebut. Tiba-tiba, altar itu bergerak Sebuah panel besi dengan pegas yang berada di bawah altar rupanya mengerakkan altar tersebut
Dan setelah altar tersebut berhenti, mereka lebih takjub lagi demi mendapati sebuah lorong berada dibawah altar. Sebuah tangga menurun nampak berada di
muka lorong .Perlahan, Esa menjejakkan kakinya lalu ia merendahkan kepalanya, mencoba meneropong apa yang adadi terowongan tersebut.
"Ada obor-obor di sisi-sisi terowongan ini. Semuanya menyala" ujar Esa. Ia lalu melangkah lebih dalam, Indra mengikutinya. Rachel dan Nisa mengikuti
Indra di belakang Sementara, Yitro mengambil kembali segitiga emas yang terpasang di altar batu dan segera bergabung dengan mereka semua. Tiba-tiba terdengar
suara pintu Kapel dibuka.
Serombongan orang masuk melalui pintu Kapel. Itu Goldstein, Meir dan kawan-kawannya. Mereka semua terkejut mendapati Meir dan Goldstein berdiri diambang
pintu sambil mengang pistol. Yitro segera bertindak cepat. Ia mendorong Rachel turun ke bawah terowongan itu. Lalu segera menendang pegas penggerak altar.
Altar itu langsung bergerak kembali ke tempatnya, sementara Yitro langsung meluncur masuk ke dalam terowongan tersebut.
"Lari!" seru Yitro kepada semua yang masih terperangah demi mengetahui bahwa Goldstein berada di dekat mereka. Mereka langsung berlari dengan cepat menyusuri
terowongan tersebut. Indra menyambar salah satu obor di dinding ruangan.
"Para pendeta pasti menyalakan obor ini setiap hari," ujar Indra sambil terus berlari.
."Apa perlu itu dibahas?" timpal Nisa kesal.
Sementara kaki-kaki mereka terus bergerak memembus keremangan cahaya dari beberapa obor yang menempel di dinding ruangan dan yang dibawa Indra,
"Hei Bagaimana bila ternyata terowongan ini buntu?" cetus Nisa.
"Aku tak mau berandai-andai dalam situasi seperti ini!" jawab Esa. Tiba-tiba, terdengar suara ledakan dari arah belakang
"Pasti Goldstein dan kawan-kawannya meledakkan altar batu itu! Mereka kan tak punya kuncinya," seru Yitro sambil mengacungkan segitiga emas. Mereka terus
berlari hingga menemukan bahwa apa yang ditakutkan oleh Nisa memang benar. Terowongan itu buntu. Sebuah batu besar menyumbat di ujung terowongan tersebut.
Sementara, dari arah belakang, mereka dapat mendengar derap langkah kaki. Itu pasti Goldstein dan kawan-kawannya.
"Ayokita dorong batu ini" seru Esa. Mereka lalu berusaha mendorong batu tersebut. Nampaknya batu itu agak bergeser. Lalu samar-samar, nampak ada cahaya
dari sela-sela batu. Ini memang ujung terowongan, pikir Esa. Demi mendapati bahwa mereka benar-benar berada di pintu keluar, mereka mendorong batu tersebut
sekuat tenaga hingga batu terus bergeser, perlahan namun pasti. Akhirnya, sebuah celah seukuran tubuh mereka terbentuk. Mereka segera menyelinap keluar.
Nampak bahwa mereka berada di kawasan yang dipenuhi banyak pepohonan."Ini Hutan Aduw," ujar Rachel,
"Ayo terus lari Aku tahu tempat yang aman." Mereka terus berlari mengikuti Rachel. Beberapa pohonjeruk yang sedang berbuah mereka lewati. Mereka terus
bergerak menerobos pepohonan. Sesekali, mereka melirik ke belakang, mengawasi Goldstein dan kawan kawannya yang bisa dipastikan terus mengejar mereka.
Mereka akhirnya sampai di tepi hutan. Nampak deretan rumah penduduk, rupanya mereka menemukan sebuah desa.
"Ayol" seru Rachel mengajak mereka memasuki kedalam pemukiman penduduk.
"Mereka pasti tak akan bertindak gegabah di pemukiman penduduk," lanjut Rachel. Mereka terus berlari hingga menemukan sebuah karavan yang ditarik seekor
kuda sedang melaju. Rachel mencegatnya dan berbicara dengan pengemudi karawan. Rupanya ia meminta izin agar mereka diperbolehkan menumpang karawan tersebut
Sang pengemudi karawan tidak keberatan. Apalagi setelah Yitro mengacungkan beberapa lembar Dolar Amerika. Mereka langsung naik dan duduk di dalam karavan.
Rachel lalu berkata kepada pengemudi karawan itu agar mempercepat kudanya. Sejenak mereka dapat bernapas lega di dalam karavan.
"Aku mengerti sekarang!" cetus Esa. Napasnya masih terengah-engah
"Mengerti apa" Mengerti bahwa kita sedang dikejar Goldstein?" tanya Nisa ketus.
"Bukan., tabut itu., tabut itu memang tidak berada
di sana.?"Lalu" Apa analisamu?" tanya Yitro datar, seperti biasanya.
"Sudah kukatakan ketika di kedai tadi. Seperti kata syair itu, Dan ia menguburkannya di tempat yang seharusnya. Di balik tangisan alam yang syahdu, Dekat
Bait Tuhan yang suci". Jadi bait Tuhan itu memang gereja tersebut. Namun kata 'dekat memang tidak menunjukkan lokasi tempat secara pasti. Namun ada di
tempat yang tak jauh dari gereja. Tabut dan harta itu berada di
"balik tangisan alam yang syahdu". Nah., kira-kira apa makna dari tangisan alam yang syahdu?"
"Entahlah...," jawab Indra.
"Di sini, satu-satunya ahli semiotika itu cuma kamu," Nisa menimpali sambil melirik ke arah Esa.
"Oke.oke. begini, kira-kira apa yang berhubungan dengan tangisan alam apa yang berhubungan dengan kata tangisan" jawab Esa.
"Sedih?" ujar Rachel tak yakin
"Air " jawab Yitro mantap.
"Nah, Rachel," lanjut Esa,
"apa di sekitar sini ada sungai atau.air terjun?"
"Ya! Tentu saja Aku juga mengerti sekarang!" jawab Rachel. Terdengar seolah ia baru saja mendapat pencerahan.
"Tangisan alam dan 'dekat bait Tuhan ...maksudnya air terjun yang berada di dekat gereja" Beberapa meter ke arah timur, ada sebuah anak sungai Nil yang
berujung di Lembah Aduw dan membentuk air terjun."
"Tunggu apa lagi" Ayo kita kesana!" seru Indra. Rachel segera meminta pengemudi karawan agar membawa mereka ketempat yang dimaksud. Tempat itu
memang berada tak jauh. Dalam beberapa menit, tepian lembah yang dimaksud oleh Rachel pun nampak Mereka lalu turun dan pengemudi karawan itu segera berlalu
dari hadapan mereka. Rachel berjalan di depan dan memandu mereka ke tepi anak sungai tersebut. Mereka lalu berjalan menyusuri anak sungai tersebut hingga
sampai di tepian lembah yang membuat anak sungai itu terjun kebawah.
"Ini air terjunnya," tunjuk Rachel. Mereka semua menatap air terjun itu. Ketinggian air terjun tersebut mungkin berkisar antara 15-20 meter,
"Baiklah," ujar Esa,
"kira-kira, apa maksud dari
"Di balik tangisan alam yang syahdu?"
"Di balik air terjun ini!" seru Yitro. Ia lalu bergerak menurUmmi lereng lembah. Kemudian yang lain mengikuti. Pada setiap undakan, Yitro merapatkan kepalanya
untuk melihat bagian yang tertutupi oleh air terjun. Kemudian mereka tiba pada bagian undakan yang agak lapang Entah mengapa, dari bagian yang agak lapang
itu, gemuruh air terjun terdengar lebih keras.
"Kira-kira, kenapa di sini suara air terdengar lebih keras?" tanya Indra kepada Rachel setengah berteriak untuk melawan gemuruh suara air,
"Aku tak tahu!" seru Rachel lebih keras lagi.
"Aku tahu!" cetus Esa,
"Inilah bagian yang syahdu'. Suara air terjun semakin keras terdengar semakin syahdu, bukan" Suara air lebih keras karena ada pengeras. Sesuatu yang
berbentuk corong!" Tiba-tiba Esa melompat kebalik air terjun. Yang lain terkejut, namun semua langsung mengikutinya. Suasana
dibalik air terjun itu agak gelap Indra mengeluarkan obor dari balik jaketnya.
"Kau membawa obor dari terowongan tadi ?" tanya Nisa.
"Tentu. Aku pedagang benda antik! Ini kan benda antik?" jawab Indra.
Esa kemudian mengeluarkan korek api dari saku celananya dan menyulut obor yang dibawa Indra. Obor itu pun menyala.
"Esa Kau merokok lagi?" tanya Nisa.
"Kan sudah kubilang Aku merokok bila kepalaku sedang pusing. Bila tidak, aku tak merokok"
"Dari tadi kau banyak menanyakan hal yang kurang perlu!" timpal Rachel kepada Nisa dengan nada ketus. Nisa diam. Mereka berjalan menyusuri dinding bagian
belakang air terjun. Gelap agak tertawarkan dengan obor yang dibawa Indra. Tiba-tiba.
"Lihat" seru Indra yang berjalan paling depan. Mereka melihat kearah yang ditunjuk Indra. Mengejutkan sekali, ada gua dibalik air terjun itu.
"Ya Lorong gua ini yang membuat suara air menjadi keras" seru Yitro.
"Bagaimana sekarang?" tanya Rachel.
"Ayo kita masuk" seru Indra. Ia bergegas memasuki gua tersebut. Kemudian Yitro menyusul dibelakang Indra dan berturut-turut diikuti oleh Esa, Nisa, dan
Rachel. Tanpa mereka sadari, beberapa orang mengawasi gerak-gerik mereka sejak mereka berada di dalam karavan.
Mereka berlima berjalan menyusuri gua yang gelap itu Cahaya dari obor yang dipegang Indra mulai memudar. Tiba-tiba langkah mereka
terhenti .Gua itu buntu. Di hadapan mereka, sebuah kubangan air berbentuk lingkaran besar menghadang tepat di muka dinding gua yang buntu.
"So.," ujar Indra,
"What do you think about this?"
Esa menghela napas. "Mungkin memang bukan gua ini yang dimaksud. Atau.bahkan mungkin. tabut dan harta itu memang.tidak...ada di sini," ujar Esa tak yakin
"Tunggu dulu" sergah Nisa. Dia tiba-tiba mematikan obor yang dipegang Indra. Semua terkejut.
"Aneh'" seru Rachel,
"Mengapa setelah obor dimatikan di sini tak terlalu gelap?"
"Tentu saja tidak aneh," ujar Nisa,
"disini tidak gelap karena ada sumber cahaya." Nisa lalu menunjuk kubangan air dihadapan mereka. Mereka seketika menyadari bahwa kubangan air di hadapan
mereka memancarkan cahaya berkilauan, sehingga membuat bagian buntu gua tersebut menjadi agak terang.
"Nisa benar," ujar Indra,
"Ada sumber cahaya dari dalam kubangan air ini."
"Apakah...," ujar Nisa tak yakin,
"mungkin jika. benda yang kita cari berada di dalam kubangan ini?"
"Tentu saja!" seru Esa,
"Bukankah dalam syair itu dikatakan
"Di bawah sumbersegala kehidupan" sumber kehidupan adalah air!" Tiba-tiba Indra membuka sepatunya.
"Kita tak tahu jika tak pernah mencoba," ujar Indra.
"Hey! Apa yang mau kau lakukan, Indra" tanya Esa.
"Dengar!" jawab Indra,
"Mengapa kubangan ini memancarkan cahaya" Karena ada sumber cahaya yang memancar entah dari mana. Ini berarti...memang ada sesuatu di dalam kubangan
ini." Mereka lalu memerhatikan kubangan itu. Kubangan itu nampak seperti sumur. Hanya saja permukaan airnya sejajar dengan permukaan tanah. Dalamnya mungkin
sekira enam meter. Air pada kubangan itu nampak jernih dan berkilauan. Mereka dapat melihat batu-batu dan cadas berada di dasar kubangan Indra lalu menjejakkan
kakinya ke air kubangan. "Tak terlalu dingin," ujarnya.Ia perlahan masuk ke kubangan itu dan menenggelamkan diri-menyelam. Indra melihat dasar kubangan itu. Namun ia tak menemukan
sesuatu pun selain batubatu cadas. Tak berapa lama, ia muncul kembali ke permukaan.
"Bagaimana, Indra" tanya Rachel Indra mengangkat bahu.
"Aku tak melihat ada sesuatu yang menarik," jawabnya,
"Selain cadas dan batu-batu besar dan kecil."
"Tapi... jelas nampak bahwa ada cahaya memancar keluar dari kubangan ini," ujar Nisa. Esa merenung. Lalu tiba-tiba, ia pun membuka Sepatunya.
"Biar aku coba," ujar Esa. Ia lalu terjun dan menyelam ke dalam kubangan itu, sementara Indra beranjak naik. Esa sampai di dasar kubangan. Ia lalu menjejakkan
kakinya di beberapa titik yang menarik perhatiannya. Namun ia tak menemukan sesuatu pun. Berpikirlah. berpikirlah, Esa, ujarnya dalam hati. Ia lalu berpikir
keras. Satu-satunya penjelasan untuk mengapa kubangan ini membuat ruangan di ujung gua terang benderang ialah karena adanya cahaya. Itu berarti bahwa ada
sumber cahaya dari dalam kubangan. Ia lalu mengedarkan pandangannya berkeliling memerhatikan dinding-dinding kubangan. Pada dinding kubangan yang berada
di bawah ujung gua, ia melihat beberapa lubang kecil sebesar jari tangannya yang nampak memancarkan cahaya. Jadi. inilah sumber cahaya di kubangan itu.
Esa lalu naik ke permukaan.
"Indra ! Esa memanggil Indra,
"ikutlah denganku. aku hendak menunjukkan sesuatu."
Indra mengerutkan keningnya. Ia tak yakin. Namun tak lama kemudian ia ikut terjun ke dalam kubangan itu. Mereka lalu sampai di dasar kubangan. Esa menunjuk
ke beberapa lubang kecil yang nampak berkilauan, Indra mendekati lubang-lubang itu dan memerhatikannya dengan saksama. Ia lalu menekan lubang-lubang itu
dengan tangannya, tak terasa ada sesuatu.
Esa melihat lubang-lubang itu dengan seksama. Lalu ia mencoba mengintip salah satu lubang yang berukuran agak besar, namun cahaya dari lubang itu menyilaukan
matanya. Ia lalu menarik wajahnya. Kemudian Esa memasukkan telunjuknya ke dalam lubang itu. Ia menyadari sesuatu, susunan lubang-lubang itu berpola. Ada
sekira dua puluh lubang yang berderet membentuk empat gunungan. Sementara, Indra nampaknya memiliki pikiran yang sama dengan Esa. Ia lalu bergerak ke sisi
kiri Esa dan memasukkan kesepuluh jarinya kesepuluh lubang paling kiri. Sementara Esa melakukan hal yang sama di sisi lainnya. Kemudian, mereka berdua
merasakan sesuatu. Lubang-lubang itu sepertinya menyediakan pegangan untuk cengkeraman tangan dibaliknya. Mereka lalu mendorong dinding itu sekuat tenaga.
Tibatiba...dinding kubangan itu bergerak!
Dinding yang mereka dorong ternyata berbentuk mirip sebuah lingkaran yang terbuat dari batu. Dinding itu lalu tersampir ke kiri dan mereka dapat melihat
sebuah terowongan di dalam kubangan itu. Sementara, cahaya kuat memancar dari dalam terowongan itu. Indra lalu menarik Esa naik ke atas.Rachel, Yitro,
dan Nisa yang terus memerhatikan Esa dan Indra di dalam kubangan juga dapat melihat terowongan itu dari atas. Mereka pun terkejut. Esa dan Indra menahan
tubuh mereka di tepi kubangan sambil terengah-engah. Seisi ujung gua yang buntu itu menjadi lebih terang benderang lagi daripada sebelumnya.
"So.," ujar Esa memecah keheningan di tengah ketakjuban dan keterkejutan mereka,
".uhat we are gonna do?"
"Rachel, kau bisa berenang, kan?" tanya Yitro tibatiba pada Rachel.
"Sist! Dengar!" ujar Nisa setengah berbisik. Sayup-sayup mereka mendengar derap kaki dari kejauhan. Dari gema suara di dinding gua itu, mereka tahu bahwa
derapkaki itu berada di dalam gua. Beberapa orang sedang melangkah menyusuri gua. Kemudian tanpa berpikir panjang mereka semua masuk ke kubangan air perlahan
dan berusaha tak membuat suara sekecil apa pun. Sambil menyelam, mereka lalu beranjak ke terowongan di balik dinding yang telah digeser Indra dan Esa.
Esa lalu menutup dinding itu kembali. Indra sempat akan mencegahnya. Mungkin ia takut akan kesulitan untuk membukanya kembali. Namun Esa mengangkat bahu
dan menunjuk ke atas, mengisyaratkan bahwa ia tak punya pilihan lain karena orang-orang di atas mereka mungkin segera tiba di ujung buntu gua itu. Selain
itu, dinding itu pun terlanjur ditutup kembali oleh Esa. Esa menyelam di depan. Ia memegang tangan Indra, sementara Indra memegang tangan Yitro. Yitro
sendiri memegang tangan kanan Rachel yang memegangi Nisa.
Beriringan, mereka menyelami terowongan tersebut. Semakin ke dalam, mereka dapat melihat bahwa terowongan itu semakin terang. Setelah beberapa menit
berlalu mereka mulai gelisah. Terowongan itu begitu panjang Nisa dan Rachel sudah tak kuat lagi menahan napas, namun Yitro yang memegangi tangan Rachel terus menarik mereka menyusuri
terowongan itu. Esa akhirnya dapat menemukan ujung terowongan. Sebuah kubangan lapang yang hampir sama dengan kubangan tempat mereka masuk sebelumnya berada
di ujung terowongan itu. Esa segera menarik Indra dan yang lainnya naik ke atas. Mereka naik ke tepi kubangan dan segera tertegun. Kubangan itu berada
tepat di tengah-tengah sebuah ruangan yang lapang dan terang benderang .Sumber penerangan di ruangan itu membuat mereka terpana dan tak percaya. Tiba-tiba,
mereka merasakan ruang itu bergoyang laksana gempa.
Meir dan kawan kawannya menyusuri gua.
Masing-masing memegang senter yang membantu mereka menerangi jalan yang mereka susuri. Setelah beberapa lama berjalan, mereka tiba di ujung gua.
"Hmmm. gua ini buntu rupanya," ujar Meir.
"Lalu.kemana mereka menghilang?" tanya Goldstein. Sementara kawan-kawannya yang lain sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Lihat di bawah!" seru salah seorang dari mereka tiba-tiba.
"Matikan senter kalian!" ujar Goldstein. Serempak mereka mematikan senter yang mereka pegang.
"Ada cahaya dari bawah!" Meir bergunan keras.
"Kau. dan kau. Turun dan lihat sumber cahaya itu!" ujar Goldstein sambil menunjuk dua
orang .Mereka berdua pun segera membuka sepatu dan terjun ke dasar kubangan. Sementara yang lain menunggu. Tak lama, mereka diam menunggu hingga kedua
orang itu kembali ke permukaan.
"Ada sebuah terowongan di dasar kubangan. aku tak tahu bagaimana membuka pintu terowongan itu!" seru salah seorang.
"Sudah kuduga," ujar Meir.
"Tak usah banyak berpikir.ledakkan saja!" ujar Goldstein tanpa ekspresi. Anak buah Goldstein yang bertugas memegang perlengkapan lalu bangkit mengambil
ransel dan mengeluarkan sebuah dinamit berdaya ledak kecil. Ia lalu membawa dinamit itu menyelam ke dasar kubangan. Tak berapa lama kemudian, ia sudah
berada kembali di permukaan.
"Oke..," ujar Meir,
"kapan kita menyulutnya?"
"Tunggu!" cegah Goldstein,
"jika dugaan kita benar bahwa mereka berada di balik terowongan itu.berarti waktu kita untuk membunuh mereka semakin dekat. .pasanglah beberapa dinamit
di sepanjang gua ini, setelah itu, baru kita meluncur masuk."
"Apa!" seru Meir,
"Untuk apa?" "Bodoh!" seru Goldstein,
"Kita ledakkan mereka di gua ini setelah kita mengambil apa yang kita butuhkan dari dalam sana!" Kemudian tanpa banyak bicara, beberapa anak buahnya
melakukan perintah Goldstein. Setelah beberapa lama menunggu, mereka berkumpul kembali ditepi kubangan di ujung gua tersebut."Oke.," ujar Goldstein,
"Sekarang, ledakkan dasar kubangan itu!"
Tanpa banyak bicara, mereka lalu merapat ke dinding-dinding gua, sementara salah seorang menyulut sumbu dinamit. Setelah selesai menyulut sumbu dinamit,
ia segera berlari merapat ke dinding gua
Esa dan yang lainnya beranjak naik dari tepi
kubangan. Mereka terpana melihat sekeliling ruangan itu. Ruangan itu berbentuk seperti kubus besar .Luas ruangan itu sekira sepuluh kali dua belas meter
Dinding-dinding ruangan itu menyala dengan warna keperak-perakan. Salah satu dinding berwarna emas. Indra merapat ke dinding yang berwarna emas, lalu ke
dinding-dinding lain yang berwarna perak menyala
"Emas dan perak" pekik Indra tertahan,
"Dinding-dinding ini terbuat dari emas dan perak! Emas dan perak ini memantulkan cahaya yang masuk melalui lubang-lubang di atas sana!"
Indra menunjuk ke atas. Ada banyak lubang seukuran jemari manusia. Rupanya dari lubang itu cahaya matahari masuk. Kemudian dinding dinding emas dan perak
memantulkan cahaya itu dan membuat ruangan bagai disinari neon 100 345 watt.
Mereka semakin terpana melihat semua itu.
"Lihat" seru Nisa Di pojok antara dinding emas dan dinding perak, terdapat sebuah peti batu berukuran besar, sekira satu kali tiga meter dengan tinggi
satu setengah meter. Yitro dan Indra mendekati peti batu itu.
"Ayo kita lihat isinya," ujar Yitro. Mereka lalu mencoba menggesertutup peti itu. Esa lalu bergegas membantu mereka. Tutup peti itu terasa berat, namun
mereka bisa menggeser peti itu sedikit demi sedikit. Tutup peti itu terbuka setengahnya. Namun Esa, Yitro dan Indra langsung berhenti mendorong tutup peti
itu. Mereka tertegun. Isi peti itu sudah dapat terlihat .Esa langsung mendorong tutup peti sekuat tenaga hingga jatuh berdebum dilantai ruangan itu. Di
dalam peti itu kosong, tak ada apa-apa. Benda yang selama tiga ribu tahun menghilang dan dicari-cari oleh banyak orang dari segala penjuru dunia, Tabut
Perjanjian Bani Israel, ternyata tidak berada di situ
"Allahu Akbar...," ujar Esa bertakbir dengan suara bergetar.
"Ya! Tabut itu memang tidak berada di sini," ujar Nisa.
"What dan ue say" seru Rachel.
"Hanya Elohim yang tahu dimana Tabut itu berada," gumam Yitro.
"Setelah semua yang kualami..,"gumam Indra.
"Ayolah! Lihat sisi positifnya!" seru Rachel,
"Lihat sekeliling kita. Tabutnya memang tak ada. Tapi kita menemukan emas." Indra mengangguk.
Ya., emas yang antik." ujarnya tak acuh. Namun tanpa mereka sadari, di tengah kekecewaan yang meliputi mereka, delapan orang muncul dari permukaan kubangan
di tengah ruangan emas dan perak itu.
"Wel.uel.rupanya memang ada yang mendahului kita, kawan-kawan, suara keras Goldstein membahana
di seluruh penjuru ruangan itu. Goldstein dan kawan kawannya memegang pistol otomatis yang mereka arahkan pada Esa dan kawan-kawan Esa tercekat.
"Baiklah," lanjut Goldstein,
"Terima kasih untuk menunjukkan lokasi warisan kami. Untuk selanjutnya, biar kami yang mengurus penemuan ini. Di mana tabutnya?"
"Tak ada tabut di sini" sergah Yitro lantang. Ia nampak tak gentar sedikit pun menghadapi para ksatria Yahudi yang bersikap tidak ksatria itu. Goldstein
tertawa keras. Suara tawanya membahana ke seisi ruangan rahasia itu.
"Benarkah" Wah. sayang sekali. Nampaknya bangsa hitam keparat ini memang mencurinya dan benar-benar tak mau mengembalikannya kepada kami. Padahal, benda
itu ialah milik kami," ujar Goldstein dengan congkak,
"Leluhur si hitam, Yitro, mencurinya dari leluhur kami"
"Dengar anak monyet!" seru Esa,
"Tabut Perjanjian adalah warisan untuk orang-orang beriman.sedangkan kalian bukan orang-orang beriman!" Goldstein kembali tertawa dengan keras. Sena
dian. Tiba-tiba; "Ikat mereka!" seru Goldstein memecah keheningan.
"Sudahlah, Moses," ujar Meir mengambil alih pembicaraan,
"Kita bunuh saja langsung goyyim-goyyin sial ini sekarang."


Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku setuju," timpal Goldstein,
"Tapi mereka harus mati dengan menderita, bukan?" Anak-anak buah Goldstein beranjak mendekati Esa dan kawan-kawan sambil membawa tali yang telah ia keluarkan
dari ranselnya. Esa dan yang lain mundur dua langkah. Namun, tak ayal mereka terdekati .Pertama, ia memegang tangan Nisa dan menariknya hingga hampir terjatuh.
"Jangan sentuh dia teriak Esa. Namun todongan pistol ke kepala Esa menghentikan Esa yang bergerak satu langkah ke depan. Tak berapa lama kemudian, mereka
telah terikat jadi satu dengan tangan di belakang menyatu pada badan mereka. Tiba-tiba Goldstein mendekat dan mendorong mereka ke dekat peti batu di ujung
ruangan. Sementara Meir sibuk mengagumi dinding-dinding emas dan perak di ruangan itu. Mereka memerhatikan emas itu dengan takjub. Tentu keserakahan mereka
telah menerbangkan angan-angan mereka untuk membawa pulang dinding dinding emas dan perak tersebut, bagaimanapun caranya. Goldstein mendekati Esa dan kawan-kawan.
"Avran." ujar Goldstein,
"Masukkan mereka ke peti itu!" Avram Meir langsung mendorong mereka semua ke peti tepi hingga mereka terjungkal dan berada di dalam peti itu dengan posisi
saling bertumpuk. Tak lama setelah itu, tiba-tiba tutup peti batu yang berat diangkat oleh anak-anak buah Goldstein, lalu ditempatkan pada tempatnya.
Esa, Nisa, dan Indra serempak bertakbir. Mereka bertumpuk dan saling berhimpit dalam peti batu itu, sementara mereka nyaris tak dapat bergerak karena
tangan-tangan dan kaki-kaki mereka terikat kuat, rapat dengan tubuh mereka.
"Esa Esa...," bisik Indra yang tertumpuk pada posisi paling bawah,
"Cobalah buka ikatan tanganku. Apa kau dapat meraihnya?"
"Aku sedang mencobanya, Indra," jawab Esa.
"Tapi sulit.peti ini terlalu sempit untuk kita semua." Esa meraba-raba dengan tangannya yang terikat menyatu dengan badan di belakang, namun ia nyaris
tak dapat menggerakkannya.
"Tangan siapa ini?" tanya Esa.
"Itu tanganku," jawab Rachel.
"Maaf, aku tak bermaksud sengaja menyentuhmu."
"Sudahlah..., kondisi kita sedang tak memungkinkan untuk menjalankan aturan syariah. Cobalah terus, Esa," Nisa menimpali. Esa terus meraba-raba dengan
tangannya. Ia lalu menyentuh tangan lainnya.
"Itu tanganku, Esa," ujar Nisa. Esa diam.
"Kenapa kau terus memegangnya?" tanya Nisa.
"Aku tak sengaja!" ujar Esa. Ia kembali mencari-cari tangan Indra. Indra dan Yitro juga mencoba menggapai tali yang mengikat mereka menjadi satu. Namun
karena ikatan itu menyatukan tangan tangan mereka dengan tubuh, mereka pun nyaris tak dapat bergerak.
"Apakah...," ujar Nisa ragu,
"ini.saatnya...bagi kita untuk tawakal?"
"Tidak," jawab Esa,
"Kita harus berikhtiar hingga titik darah penghabisan." Sambil berbaring, Esa nyaris tak dapat melihat apa pun. Namun tiba-tiba Indra berseru:
"Ada sesuatu dekat kaki kita Bentuknya menonjol dan berundak seperti anak tangga atau bantal."
"Dipojok peti bagian itu memang ada bantalan batu," ujar Esa
"Mungkin itu ganjal untuk menopang tabut yang semula ditaruh di sini sebelumnya." Indra menginjak bantalan itu. Ia merasa bantalan itu bergerak mundur.
"Esa. Esa." Indra memanggil,
"Apa bantalan itu berada rapat di dinding peti?"
"Ya," jawab Esa,
"Bantalan itu memang menyatu dengan dinding dan dasar peti ini. Mengapa kau malah ingin membahas tentang bantalan di ujung peti?"
"Tidak." jawab Indra,
"Aku merasakan bantalan ini bergerak ketika aku menginjaknya."
"Benarkah"' tanya Esa,
"di sisi yang berada di atas kepala kita juga ada satu bantalan lagi." Esa lalu mencoba menggeserkan tubuhnya ke atas. Ia bergerak seperti ulat di dalam
apel, terjepit dari atas dan bawah.
"Pelan-pelan, Esa seru Nisa,
"Lututmu menekan perutku"
"Maaf.maaf, Nisa," jawab Esa. Ia lalu dapat merasakan bantalan batu itu dengan kepalanya. Kemudian Esa mendorong kepalanya menekan bantalan itu."Indra"
seru Esa, "Bantalan yang sebelah sini pun bergerak!"
"Dorong terus, Esa!" seru Indra,
"Aku mencoba untuk mendorong bantalan di bawah. Jika dugaanku benar bahwa bantalan ini dapat bergeser., berarti. ada.rongga di balik peti ini." Esa lalu
menekan bantalan itu lebih dalam lagi hingga ia merasakan bahwa bantalan itu bergeser hingga merapat pada dinding peti. Namun ia tak dapat menggerakkannya
lebih jauh lagi. Ia lalu mengatakannya pada Indra.
"Sebentar," ujar Indra, yang di bawah ini belum dapat kudorong seluruhnya."
"Hei!" seru Yitro,
"Aku juga merasakannya, Indra. Kakiku juga dapat menginjak bantalan yang kau maksud." Posisi Yitro memang sedikit berada lebih bawah dari Indra.
"Cobalah dorong, Yitro" seru Indra. Lalu, dengan menghentakkan kaki sekuat tenaga, Yitro menekannya kuat-kuat. Tiba-tiba mereka terperosok!
Bantalan yang ditekan oleh kaki Indra dan Yitro
di sisi bawah badan mereka dan oleh kepala Esa di sisi atas badan mereka yang bertumpuk di dalam peti ternyata merupakan panel-panel yang secara otomatis
membuka lantai peti batu itu. Rupanya ada sebuah sumur di bawah peti itu dan mereka.terperosok ke dalam sumur itul
Mereka meluncur menyusuri dinding dinding sumur yang terasa kasar hingga akhirnya jatuh menimpa sesuatu yang empuk. Seketika mereka terdiam karena kaget.
"Apa ini?" guman Rachel.
"Kawan-kawan," ujar Indra,
"peti itu ternyata sebuah dinding sumur.sumur ini. Benar-benar konstruksi bangunan yang mengagumkan."
"Benar," ujar Esa,
" Bantalan-bantalan batu di tepi peti itu ternyata sebuah panel yang bila ditekan membuka lantai peti dan menjatuhkan benda di
atasnya keneari." "Ya. tapi benda apa ini" Mengapa empuk sekali?"
gumam Rachel. "Ini seperti pasir pantai
" seru Esa. "Wah.tak kusangkajika bangsa Ethiopia zaman dulu pandai membuat konstruksi bangunan dengan ruang ruang rahasia," Nisa menimpali.
"Itu bukan sesuatu yang mengejutkan, Nisa," ujar Esa,
"Mereka hidup berbatasan dengan Mesir. Merekalah yang diperbudak untuk membuatkan piramid Firaun-Firaun Mesir. Orang-orang Saba sejak dulu memang dikenal
sebagai ahli konstruksi bangunan. Masih ingat kisah bendungan Ma'rib, kan" Di dalam piramid piramid yang mereka buat di Mesir, terdapat konstruksi-konstruksi
macam peti di atas itu."
"Esa. kau masih membawa pemantik api, kan?" tanya Yitro.
"Ya. tapi basah karena kita menyelam tadi," jawab Esa,
"Selain itu.kita masih terikat." Mereka kembali disibukkan agar segera bisa melepas ikatan. Tidak sesulit ketika di dalam peti tadi. Di atas pasir tempatnya
cukup lapang, sehingga mereka bisa saling melepas ikatan. Kendati harus berusah payah, akhirnya Esa yang pertama terbebas dari ikatan. Ia kemudian melepaskan
ikatan teman-temannya. Setelah melepaskan ikatan teman-temannya, Esa mengeluarkan pemantik api dan memantiknya berkalikali. Namun tak kunjung menyala karena
basah. Esa terus memantik berkali-kali hingga gesekan gerinda pada batuapi mengeringkan bagian pemantiknya dan pemantik itu pun menyala.
"Ini memang pasir pantai, Esa," ujar Indra tiba-tiba. Dalam keremangan pemantik api yang dipegang Esa, mereka dapat melihat bahwa mereka berada di ujung
buntu sebuah terowongan panjang.
"Lihat.," ujar Rachel,
"Kalau perkiraanku tidak salah,.arah terowongan ini sama dengan gorong-gorong air yang menghubungkan dua kubangan di gua.dan di ruang yang berlapis emas."
"Rachel benar," ujar Nisa. Ia lalu bergerak maju beberapa langkah. Tiba-tiba ia berhenti. Ada air menetes dari langit-langit terowongan gelap itu.
"Esa, panggil Nisa, "Menurutmu.berapa meter kitaterperosok dari peti batu di atas keterowongan ini?"
"Entahlah."jawab Esa ragu,
"Delapan atau sepuluh meter, mungkin?"
"Lihatlah," lanjut Nisa,
"ada air menetes dari langit langit terowongan ini. Tadi aku memperkirakan jika kubangan dan gorong-gorong air yang kita selami dalamnya sekira enam
meter. Jika benar bahwa terowongan ini berada sekira delapan atau sepuluh meter di bawah ruangan penyimpanan Tabut. Ini berarti."
"Kita berada di bawah terowongan air yang kita selami tadi" potong Indra dengan anusias.
"Ya.benar. benar," ujar Yitro.
"Kalau begitu, sebaiknya kita berjalan menyusuri terowongan ini..," ujar Rachel. Lalu tanpa membuang waktu, mereka bangkit dan beranjak menyusuri terowongan
itu. Cahaya remang dari pemantik yang dipegang Esa membantu mereka melihat
dalam kegelapan terowongan itu. Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba disebuah ujung buntu.
"That's it., dad end" ujar Indra dengan nada putus asa.
"Jangan berkecil hati dulu, tukas Esa,
"Agak...aneh juga jika.terowongan ini hanya dibuat dengan bentuk buntu di kedua ujungnya."
"Ya.jika ada jalan masuk keterowongan ini.pasti ada jalan keluarnya," ujar Nisa.
"Tapi.bagaimana jika jalan masuk dan keluarnya juga sama?" gumam Rachel. Mereka semua terdiam. Nisa merasakan ada tetesan-tetesan air yang sama dengan
di ujung lorong yang satu lagi.
"Hey,.jika dugaan kita benar bahwa terowongan ini berada di bawah saluran air.lihat tetesan-tetesan ini. mungkin kita berada dibawah kubangan di ujung
gua yang buntu. Mungkin kita bisa menjebol langit-langit di atas kita dan sampai dikubangan itu?" .
"Benar juga!" tukas Indra. Ia lalu melihat ke sekeliling dan meraba-raba. Di pojok terowongan berpasir itu, ia menemukan sebuah batu sebesar kepalan
tangan. Diambilnya batu itu dan kemudian, ia menghantamkannya ke langit-langit terowongan itu. Yitro lalu mengikuti apa yang dilakukan Indra. Begitu pula
Esa setelah ia memberikan pemantik yang dipegangnya pada Nisa. Namun langit-langit terowongan itu begitu keras. Batuan yang membentuk langit-langit itu
adalah cadas yang sulit dipecahkan. Mereka lalu berhenti. Indra terengah-engah sambil menatap langit-langit terowongan itu. Sementara Esa dan Yitro menatap
nanar ke arah api yang memancar dari pemantik yang dipegangi tangan kiri Nisa.
"Gas di pemantik ini hampir habis., gunan Nisa.
"Itu tandanya waktu kita tak banyak," tukas Yitro. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling yang gelap. Matanya tak banyak membantunya menemukan
sesuatu yang menarik dalam kegelapan.
"Aku masih yakin bahwa jika ada jalan masuk ke terowongan ini.pastiada jalan keluarnya," ujar Esa.
"Iya..tapi.bagaimana jika jalan masuk dan keluarnya juga sama?" tukas Rachel .Mereka bagai sedang mengulang percakapan di ujunglorong lain sebelumnya.
"Benar, Rachel, Esa menjawab cepat, "Tapi ada beberapa hal yang harus kita cermati. Pertama, ruangan ini adalah sebuah terowongan. Berbeda dengan gua bentukan alam yang dapat buntu, terowongan
ialah konstruksi buatan manusia yang selalu memiliki ujung dan pangkal yang merupakan akses keluar-masuk. Kedua. apapun yang terjadi. kita harus terus
berikhtiar hingga titik darah penghabisan. Sekalipun benar bahwa tidak ada jalan keluar-masuk lain selain sumur tempat kita masuk tadi." Semua diam berpikir.
"Esa benar," ujar Nisa,
"Apa pun yang terjadi, tugas kita hanya berikhtiar. Allah-lah yang menentukan apa yang akan terjadi dan kita alami." Tapi...apa yang harus kita lakukan?"
ujar Rachel. Semua kembali terdiam.
"Tunggu dulu" ujar Indra memecah keheningan,
"Jika jalan masuk kita tadi ialah sebuah jalan rahasia dan misterius yang kita temukan secara tak sengaja..maka."
"Jalan keluar kita pun tersembunyi di suatu tempat di sini!" potong Nisa cepat.
"Benar, Nisa," jawab Indra,
"Hebat.kau selalu bisa membaca jalan pikiranku!" Nisa mengangguk dan tersenyum. Esa melirik sekilas ke arahnya.
"Ya.tapi kira-kira..sekarang.apa kunci masuknya?"tanya Yitro.
"Ayo kita.cari..," ujar Indra dengan ragu. Ia lalu berdiri dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ujung terowongan yang buntu itu. Lalu ia beranjak
mendekati dinding buntu di ujung terowongan itu. Ia lalu mengetuk-ngetuk beberapa bagian di dinding itu. Yitro, Nisa, dan Rachel lalu mulai mengikuti apa
yang dilakukan Indra. Sementara Esa bediri mematung dan melihat ke sekelilingnya. Berpikirlah...berpikirlah.baca ayat-ayat-Nya ujar Esa dalam hatinya.
"Kawan-kawan!" ujar Esa,
"Sebuah terowongan. terkadang sengaja dibuat.buntu pada bagian tertentu."
"Apa maksudmu, Esa?" tanya Nisa.
"Maksudku.bagaimana jika bagian ini memang merupakan bagian yang buntu?"
"Jadi bagaimana" Kita kan tidak melihat adanya cabang ketika menyusuri terowongan ini hingga sampai di sini?" tanya Indra.
"Ya. benar...," ujar Esa mulai ragu kembali,
"Tapi...bagaimana jika cabang itu ternyata tersembunyi" Seperti halnya."
"Jalan masuk kita!" sambung Nisa cepat.
"Benar, Nisa. Hebat...kau selalu bisa membaca jalan
pikiranku" ujar Esa. Ia meniru kalimat dan intonasi Indra sebelumnya, sambil melirik ke arah Indra.
"Itu kan. kalimatku?" ujar Indra pelan sambil mendelik ke arah Esa. Yitro dan Rachel tersenyum simpul di tengah kegalauan mereka. Sementara Nisa nampak
kebingungan melihat polah kedua lelaki muda itu.
"Kalau begitu." Yitro menyela,
"Kita susuri kembali terowongan ini.dan melihat apakah ada jalan, cabang, atau apa pun yang bisa mengeluarkan kita dari sini."
"Sebelumnya," ujar Rachel,
"Kukirakita memerlukan api yang lebih besar. Mata kita tak akan dapat melihat dengan baik dalam remang-remang cahaya pemantik milik Esa."
"Mungkin kita bisa membakar jaketku sebagai obor," ujar Indra.
"Tapi jaketmu kan basah" ujar Esa,
"Pakaian kita semua basah."
"Tunggu" seru Nisa,
"Aku punya sesuatu yang dapat dibakar sebagai obor. Lihat. ini gelang plastik yang kubeli di dekat gereja tadi. Ini memang basah ketika kita menyelam
tadi. Tapi karena terbuat dari plastik, ini cepat kering dan selain itu.plastik juga mudah dibakar."
"Benarl Kau pintar, Nisa. Kemarikan gelang itu. Biar kita pasang di batu yang bentuknya lonjong," ujar Indra. Ia lalu memungut sebuah batu yang berbentuk
lonjong, mirip dengan kapak genggam pada zaman purba. Lalu gelang dari Nisa dimasukkannya pada batu itu, seperti memasang gelang pada pergelangan tangan.
Ada empat gelang yang dimiliki Nisa. Indra lalu memasang
tiga di antaranya dan menyimpan sisanya di dalam saku pakaiannya. Kemudian, Esa mendekatkan pemantik gas yang menyala ke batu itu dan tak berapa lama
kemudian, gelang itu meleleh di permukaan batu, namun api memijar dari lelehannya. Ruangan dalam terowongan itu menjadi lebih terang dari sebelumnya berkat
obor aneh yang mereka buat. Mereka berjalan menyusuri terowongan itu, kembali ke arah di mana mereka terperosok ke dalamnya. Cahaya dari obor batu yang
dipegang Indra menerangi jalan mereka. Walau cahayanya remang-remang, namun cukup membuat mereka dapat melihat jalan yang mereka lalui.
"Lihat.buliran di bawah ini memang pasir pantai," ujar Nisa. Semua melihat ke bawah.
"Ya.inilah yang menolong kita saat jatuh terperosok tadi," ujar Esa,
"Pembuat ruang rahasia ini nampaknya sengaja menempatkan pasir pantai ditempat ini."
"Kenapa kau berpikir begitu" tanya Indra.
"Yaa...tempat ini kan jauh dari pantai dan juga gurun pasir. Jadi, pasir-pasir ini memang sengaja diangkut untuk disimpan di lantai terowongan ini."
Semua diam sambil tetap berjalan. Yitro dan Esa berjalan agak merapat ke dinding di sisi kiri mereka dan mengetuk-ngetukkan jarinya ke dinding .Rachel
dan Nisa melakukan hal yang sama di sisi kanan. Sementara, Indra berjalan di depan. Memandu mereka dengan cahaya dari obor plastik yang dipegangnya. Lalu
setelah lima belas menit mereka berjalan, mereka tiba di ujung terowongan tempat mereka masuk tanpa menemukan apapun.
"Aneh. mengapa kita tak juga menemukan sesuatu?" gumam Nisa. Indra lalu duduk di atas hamparan pasir yang mereka injak dengan lemas sambil tetap memegangi
obor. Lalu Yitro ikut duduk sambil bersandar di dinding terowongan itu. Rachel dan Nisa juga duduk .Esa berdiri sendiri sambil tak henti-henti mengedarkan
pandangannya berkeliling.
"Esa...," ujar Indra tiba-tiba,
"Menurutmu...mengapa terowongan ini dibuat?"
"Entahlah," jawab Esa,
"Kukira.sama seperti terowongan-terowongan yang ada di dalam piramida di Mesir. Terowongan ini bisa berfungsi sebagai jalan...bisa jebakan...bisa juga
sengaja dibuat tanpa tujuan apa pun. Aku tak yakin."
"Tunggu!" lanjut Indra,
"Tadi. kau sempat berkata bahwa pasir ini sengaja ditaburkan di sepanjang terowongan ini. menurutmu... untuk apa mereka melakukan itu?"
"Hmn...menarik juga. Kau ingat waktu kita terperosok masuk tadi" Bayangkan jika kita tidak mendarat di atas pasir.mungkin kepala kita sudah pecah dan
tulang tulangkita sudah remuk," jawab Esa.
"Ya.tadikita terhempas dari ketinggian sekira lima belas meter," ujar Yitro.
"Oke.begini..kita tak mengalami cedera serius karena terhempas di pasir pantai yang memenuhi lorong rahasia ini, kan" Ini berarti. pasir ini sengaja
disimpan di terowongan ini untuk menahan benda yang jatuh dari atas.yaitu.Tabut Perjanjian yang berada di peti batu tempat kita masuk tadi!" urai Indra
dengan nada antusias. Cahaya remang obor plastik yang dipegangnya menunjukkan wajahnya yang kembali bersenangat.
"Hey! Kau benar!" timpal Esa,
"Entah bagaimana, namun sekali masa, Tabut itu pasti berada di tempatnya, di peti batu tadi. Undakan yang kita geserkan tadi pasti merupakan bantalan
penahannya. Dan.lagi lagi entah bagaimana, tabut itu sekarang tidak ada ditempatnya karena sudah ada yang memindahkan. Berarti. terowongan ini memang bukan
sebuah jebakan. Pasti. pasti ada jalan keluarnya! Terowongan ini pasti dibuat untuk melarikan Tabut Perjanjian dengan cara menjatuhkannya keterowongan
ini jika terjadi suatu ancaman atau bahaya pada Tabut Suci itu!" Semua langsung bersemangat mendengar hal tersebut, walau tak urung rasa cemas tetap ada
dalam diri mereka. "Andai dugaan itu benar.tetap saja.kita harus mencari jalan keluarnya," gumam Nisa. Mereka lalu terdiam. Masing-masing mengedarkan pandangannya ke sekeliling
ruangan sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka tempuh di tengah himpitan kesulitan yang sedang mereka hadapi. Mereka berlima diam
dalam sepi dan gelap yang meliputi terowongan rahasia itu. Walau begitu, mereka semakin sadar bahwa waktu sedang berpacu dengan mereka yang diam. Nyala
api yang membakar gelang plastik milik Nisa di atas batu mulai redup, seolah mengiringi semangat mereka yang juga mulai redup. Esa memerhatikan nyala api
yang redup itu. Sementara, Nisa menerawang mencoba menembus gelap di langit-langit terowongan. Rachel dan Yitro duduk berdekatan. Nampak mulut mereka sama-sama
komat kamit mengucap doa-doa dalam bahasa yang hanya mereka berdua saja yang paham. Indra memainkan pasir yang terhampar di bawah mereka dengan jemarinya
yang kotor. Sejenak Esa memerhatikan jemari Indra yang terulur mempermainkan pasir dengan membuatalun-alur Tibatiba, Esa berkata;
"Indra.bagaimana jika ternyata jalan keluar yang kita cari.berada di bawah pasir yang sedang kita injak ini?" Indra mengerling ke arah Esa dengan kening
berkerut. "Bis.sa jadi..," ujarnya nampak baru menyadari Sesuatu. Yitro, Rachel, dan Nisa saling berpandangan dan seperti halnya Indra, mereka nampak baru menyadari
sesuatu. "Benar juga, Esa" seru Nisa,
"Bagaimana jika kita lihat...seberapa dalam pasir ini sebenarnya?"
"Ide bagus, Nisa!" seru Indra.
"Benar, Nisa. Hebat...kau selalu bisa membaca jalan pikirannya!" ujar Esa. Ada nada ketus dalam suaranya. Indra menatap tajam pada Esa. Nisa hanya melirik
sedikit dengan raut wajah menunjukkan ketidaksukaan.
"Kau ini kenapa, sih"!" tanya Indra. Nada suaranya meninggi,
"Kau tak suka karena tadi aku berbicara seperti itu pada Nisa" Kenapa" Kau cemburu?" Nisa mendelik ke arah Indra. Esa mengangkat bahu.
"Cemburu?" ujar Esa datar,
"Yang benar saja!"
"Ssti Sudahlah," ujar Yitro,
"Nisa benar.kita harus
|mencoba mengetahui seberapa dalam pasir ini dari dasar
terowongan yang sebenarnya."
"Bagaimana jika kita menggali?" tanya Rachel.
"Ide bagus" seru Indra. Ia lalu mulai menggali pasirpasir di bawah dengan kedua tangannya.
Esa, Nisa, Rachel, dan Yitro mengikuti apa yang dikerjakan oleh Indra. Beberapa saat kemudian, mereka baru mengetahui jika kedalaman pasir tersebut hanya
sekira satu meter dari permukaannya. Mereka lalu menutup kembali galian itu karena tak menemukan sesuatu yang menarik di dasar terowongan. Satu-satunya
yang mereka dapatkan dari penggalian itu adalah bahwa dasar terowongan itu nampak seperti lantai dari batu alam yang telah digosok hingga licin. Setelah
itu, mereka kembali diam. Nyala api yang membakar gelang plastik milik Nisa di atas batu hampir mati. Masing-masing nampak berpikir keras.
Indra yang menyimpan gelang plastik nisa
di sakunya meletakkannya tepat di atas api yang mulai padam dikepalan batu yang sebelumnya ia jadikan obor, menggantikan gelang sebelumnya yang hampir
habis dan hanya menyisakan sisa bakaran plastik di permukaan batu. Perlahan-lahan, api kembali berpijar lebih terang. Namun pikiran mereka masih belum
mendapatkan penerangan seperti halnya pijaran api di obor batu yang kembali membesar. Esa berdiri. Ia lalu beranjak mendekati dinding buntu tepat dibawah
mulut sumur dalam peti batu penyimpan tabut yang meluncurkan mereka masuk ke terowongan itu. Ia lalu menengadah ke atas, menatap ke arah lubang di langit-langit.
Tiba-tiba matanya membelalak. Ia seperti menemukan sesuatu.
"Kawan-kawan!" panggilnya. Semua mendongak menatapnya. Ia lalu melanjutkan,
"Kalian ingat, tidak.setiap kali kita menemukan jalan sejak di gua yang buntu.jalan masuk menuju
ruangan lainnya selalu berada di ujung buntu?"
"Ya benar." ujar Nisa tak yakin. Beberapa saat kemudian, ia sumringah.
"Aku mengerti maksudmu, Esa Tadi.kita masuk ke ruang penyimpanan tabut setelah kita menemukan ujung gua yang buntu.kemudian. kita terperosok ke terowongan
ini dari dalam tabut yang berada tepat di ujung ruang rahasia berdinding emas ini berarti..," kalimatnya terpotong oleh Indra,
"Jalan keluar terowongan ini pun berada di ujung"
"Ya!" seru Esa. Rachel dan Yitro berpandangan .Tanpa harus berkata-kata, mereka jelas mengiyakan pendapat Esa. Mereka kemudian beranjak berdiri.
"Bagaimana jika kita kembali ke ujungbuntu dimana kita mencoba memecah cadas di langit-langitnya tadi..lalu kita menggali pasir seperti yang kita lakukan
tadi di sini" Bukankah dalam konstruksi ini jalan selalu berada di bawah?" ujar Yitro, Mereka semua berpandangan sejenak. Lalu, serempak mereka berjalan
menuju tempat yang dimaksud. Seperti sebelumnya, Indra berjalan di depan dengan memegang obor. Beberapa saat kemudian, mereka telah tiba kembali di ujung
buntu terowongan. Air masih menetes dari atas, seperti sebelumnya. Indra lalu berjongkok dengan agak merapat ke dinding terowongan. Ia lalu menoleh ke
belakang melihat pada semua orang di belakangnya,
"Ayo kita coba sekarang.semakin cepat, maka semakin baik!" Mereka lalu serempak mengali dengan merapat ke dinding terowongan. Dengan sisa-sisa tenaga
dari segala kelelahan yang mendera tubuh mereka, semangat mereka masih dapat diandalkan untuk mengerjakan pekerjaan, mengejar asa tersebut. Beberapa saat
setelah menggali, Esa berhenti dan tertegun. Nisa melihat Esa. Ia lalu ikut berhenti mengali.
"Kenapa, Esa?" tanya Nisa,
"kenapa berhenti menggali?" Yang lain lalu ikut berhenti menggali dan menatap Esa.
"Kalian merasa aneh, tidak?" tanya Esa,
"Jika aku tak salah. saat kita menggali di ujung sana, pada kedalaman ini dasar terowongan sudah kita temukan Tapi kini. rasanya sudah lebih dalam dari
pengalian kita sebelumnya." Semua diam dan mencerna ucapan Esa yang mereka rasakan benar. Hampir satu setengah meter lebih mereka menggali, mereka masih
belum menemukan dasar terowongan,
"Justru itu!" seru Indra tiba-tiba, mengagetkan semua orang,


Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini berarti bahwa di bagian yang kita gali ini ada bagian yang lebih dalam dan menjorok dari lantai terowongan ini"
"Maksudmu?" tanya Rachel
"Maksudnya.aku mengerti!" ujar Yitro setengah berseru,
" maksud Indra.ada terowongan di bawah
dinding ini iya, kan?" ia lalu menatap Indra, Indra mengangguk cepat.
"Ya benar" Esa berseru:
"Aku mengerti sekarang!" Ia lalu menggali ke dalam dengan arah menjorok ke dinding buntu terowongan. Beberapa saat kemudian, mereka menyadari bahwa ada
rongga di bawah dinding buntu terowongan yang tertutup pasir itu
"Allahu Akbar!" seru Esa,
"semoga ini adalah petunjuk dari-Mu agar kami bisa keluar, ya Allah!" Mereka lalu serempak membantu Esa memperdalam bagian ronga yang menjorok dibawah
dinding buntu itu. Beberapa saat kemudian, mereka berhenti. Pasir yang mereka gali sudah sedalam dua meter dan semakin jelas bahwa di bawah dinding buntu
terowongan itu memang ada ronga yang menjorok. Namun rongga itu pun tertutup pasir. Mereka lalu berhenti sejenak. Masing masing menatap rongga yang baru
mereka temukan. "What do you think?" tanya Indra sambil menatapEsa. Esa masih terengah-engah karena lelah. Ia lalu menunjuk ke arah rongga itu sebagian pasir di dalam
rongga itu terburai keluar dari mulut rongga.
"Rongga itu.pasti jalan keluar dari terowongan ini..," ujar Esa datar dengan deru napas yang masih memburu.
"Ya Benar." sambut Rachel. Mereka masih berehat sejenak sambil menatap ronga itu. Lebar rongga itu hanya sekira satu meter dengan tinggi yang juga sekira
satu meter. Mereka membayangkan bahwa jika mereka masuk ke dalam
rongga itu, maka mereka pasti harus merangkak di
dalamnya. Esa lalu beranjak turun mendekati rongga itu dan mulai mengais pasir yang menutupi seisi rongga tersebut. Indra beranjak mendekati Esa dan
membantunya. Tak berapa lama setelah itu, Yitro juga ikut mengais pasir dari dalam rongga tersebut. Sementara, Nisa dan Rachel mengangkat pasir yang dikeduk
ke tumpukan pasir di atas Makin lama, galian mereka makin menjorok ke dalam rongga hingga mereka bertiga harus berjongkok dan masuk ke dalamnya. Semakin
lama, mereka semakin jauh berada di dalam. Karena mereka telah berada sekira lima meter dari mulut rongga, Indra kemudian meminta Nisa agar membawakan
obor batu yang disimpannya di permukaan. Setelah obor dibawa ke dalam rongga itu, mereka dapat melihat dengan lebih baik.
"Beruntung sekali bahwa yang kita gali adalah pasir pantai..," gumam Esa.
"Ya!" sahut Indra,
"..mempermudah pekerjaan kita. Aku tak dapat membayangkan jika rongga ini ditutupi oleh tanah atau bahkan batu cadas.entah apa jadinya kita. mungkin
harapan kita kan langsung hilang saat melihatnya." Yitro tersenyum mendengar ucapan Indra dan Esa. Ia terus mengais pasir dihadapannya. Setelah lebih dari
enam meter mengais pasir dari dalam rongga itu, mereka berhenti dan tertegun. Mereka merasakan bahwa pasir yang mereka gali makin lama semakin terasa basah.
"Tunggu. dulu...," ujar Esa perlahan,
"apakah mungkin jika rongga dalam pasir ini berhubungan dengan terowongan air di atas kita?" Indra mengangkat bahu, sementara Yitro hanya termenung memikirkan
pertanyaan Esa. Saat mereka terdiam, terdengar suara Nisa dari mulut terowongan kecil itu.
"Bagaimana" Sudah menemukan ujungnya?" Mereka tersentak, lalu serempak melanjutkan pekerjaan mengais pasir. Setelah setengah meter mengais lebih dalam,
mereka menemukan ujung rongga itu Mereka lalu tertegun saat mendapati bahwa ujung rongga itu tepat berada di sebuah genangan air besar yang menyerupai
sebuah kolam berdiameter sekira delapan meter. Kolam itu terhampar tepat di mulut rongga. Cahaya dari obor batu yang dipegang Indra membantu mereka melihat
hingga ke ujung kolam. Namun mereka tak tahu pasti ada apa di ujung kolam itu. Indra lalu mencoba memasukkan kakinya ke kolam. Setelah perlahan-lahan menurunkan
kaki, ia tahu bahwa kedalanan kolam itu hanya sampai lututnya.
"Hati-hati, Indral" seru Esa,
"bisa jadi ada bagian yang lebih dalam!" Indra mengangguk. Ia kemudian menyusuri kolam
itu hingga ketengah. Namun ternyata kedalaman kolam itu tetap hanya sampai lututnya. Esa lalu terjun kekolam itu mengikuti Indra. Sementara Yitro tetap
diam di mulut rongga dan memerhatikan mereka.
"Ayokita lihat apa ada jalan di ujungkolam," ujar Esa. Indra mengangguk Mereka berdua lalu menyusuri kolam itu hingga ke tepi seberang Cahaya dari obor
batucukup dapat menunjukkan pada mereka bahwa ada terowongan panjang lainnya di ujung kolam itu. Wajah mereka merekah gembira melihat terowongan itu.
"Ini pasti jalan keluar!" seru Indra. Esa mengangguk. Mereka lalu menyeru pada Yitro agar memanggil Rachel dan Nisa. Yitro pun segera memanggil mereka
berdua. Takberapa lama kemudian, mereka berdua telah berada di tepi seberang kolam itu, tepat di mulut terowongan yang baru mereka temukan.
"Bagaimana?"tanya Esa,
"siap menyusuri terowongan baru?"
"Tentu saja, Esa," jawab Yitro bergumam. Yang lain mengangguk dengan wajah sumringah penuh semangat. Keyakinan bahwa terowongan itu ialah jalan keluar
adalah harapan mereka. Esa lalu melambaikan tangannya ke depan Indra, meminta agar Indra yang memegang obor
berjalan di depan.Mereka berjalan beriringan menyusuri terowongan yang baru mereka temukan. Ukuran terowongan itu tak jauh berbeda dengan terowongan
sebelumnya di mana mereka terperosok dari peti batu. Indra berjalan di depan sambil memegang obor batu yang dibuatnya dari gelang Nisa. Sementara, Esa,
Yitro, Rachel, dan Nisa beriringan berjalan di belakangnya. Mereka terus berjalan tanpa bicara. Namun, mereka menemukan bahwa semakin lama, terowongan
yang mereka susuri terasa menanjak naik. Itu semakin memperkuat keyakinan bahwa terowongan itu memang jalan keluar bagi mereka.
"Terowongan ini semakin menanjak, gumam Esa.
"Ya!" sambut Indra,
"alurnya pasti mengarah ke gua tempat kita masuk tadi."
"Semoga begitu." Yitro menimpali.
Mereka kemudian diaan dan terus berjalan. Terowongan itu semakin menanjak dan mereka pun mendapati bahwa dinding terowongan itu semakin menyempit. Setelah
lima menit berjalan, mereka merasakan bahwa dinding terowongan tinggal selebar bahu mereka dan tingginya hanya sejengkal di atas kepala mereka, sehingga
mereka terpaksa berjalan miring bagai kepiting. Tak lama setelah itu, mereka menemukan ujung buntu terowongan. Semua langsung diam tertegun mendapati ujung
buntu itu. "Jadi...bagaimana?" tanya Indra .Semua diam. Esa lalu bergerak ke samping Indra, hingga mereka berdesak-desakan di ujung terowongan itu. Indra lalu beringsut
ke belakang dan membiarkan Esa mengamati dinding buntu terowongan itu.
"Tunggu dulu" seru Esa tiba-tiba. Semua diam memerhatikan. Esa lalu melanjutkan;
"Di terowongan di bawah ruang penyimpanan tadi, kita melihat bahwa dua ujung buntu terowongan memiliki permukaan yang rata dan nampak seperti tembok
rumah.begitu pula ujung terowongan ini ditepi kolam tadi..namun coba perhatikan dinding buntu ini bentuknya menonjol seperti sebuah batu besar!" Semua
serempak mengamati dinding itu. Bentuknya memang menonjol, seperti sebuah batu besar yang disumbatkan ke mulut terowongan. Esa lalu mengulurkan tangannya
ke arah dinding itu dan mencoba mendorongnya sekuat tenaga.
"Lihat" serunya,
"ini memang sebuah batu!" Semua melihat bahwa dinding itu bergerak-gerak ketika Esa menggoyangnya dengan tangannya. Indra lalu
beringsut ke samping Esa setelah memberikan obor di tangannya pada Nisa. Ia lalu membantu Esa mendorong batu itu Batu itu memang bergoyang, namun tak
bergeser barang sejengkal pun. Melihat hal itu, Yitro mengulurkan tangannya dari belakang tubuh Esa dan ikut mendorongnya. Lama-lama, batu itu dapat bergeser
"Lihat" seru Indra,
"ada celah di antara batu ini dan dinding terowongan!"
"Tentu saja!" sahut Esa,
"insya Allah ini adalah jalan keluar kita." Mereka lalu kembali mengerakkan tangan dan tubuh untuk mendorong batu besar itu. dan tiba-tiba...batu besar
itu menggelinding! Batu itu menggelinding, bergerak sekira setengah meter ke depan. Mereka lalu melihat bahwa celah di antara batu dan dinding terowongan
cukup besar untuk meloloskan tubuh. Indra segera bergerak ke antara celah itu, diikuti oleh Esa. Lalu berturut-turut, Yitro, Rachel, dan Nisa mengikuti
mereka. Semua langsung tertegun saat mereka berada dibalik batu besar itu. Nisa masih memegang obor batu yang mulai meredup. Namun cahaya redup itu cukup
memberikan penerangan pada mereka untuk mengetahui bahwa mereka telah berada. di gua tempat mereka masuk ke ruang penyimpanan tabut!
"Subhanalaah Allahu Akbar!" seru Esa. Yang lain ikut memanjatkan puji dan syukur. Namun,
"Tunggu dulu" seru Esa,
"kita harus waspada pada Goldstein dan kawan-kawannya! Kira-kira..mereka di mana, ya?"
Semua lalu saling berpandangan, membenarkan katakata Esa Indra lalu bergerak ke bagian dalam gua.
"Kita harus kembali ke kubangan air di ujung buntu gua ini untuk melihat apakah mereka masih berada di ruang penyimpanan tabut atau sudah pergi meninggalkan
gua ini!" Semua lalu mengikuti Indra dengan setengah berlari. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di ujung buntu gua, tempat di mana sebuah kubangan
besar yang menghubungkan gua itu dengan ruang penyimpanan tabut berada. Saat tiba di tempat itu, mereka tertegun. Beberapa barang seperti senter, tali
temali, dan beberapa tas nampak berserakan di tepi kubangan. Esa dan Indra juga masih dapat menemukan sepatu mereka yang sebelumnya mereka simpan di balik
sebuah batu berukuran sebesar anak kambing.
"Mereka masih berada di ruang penyimpanan tabut!" pekik Nisa pelan. Semua mengamini.
"Ya!" sambut Esa,
"mereka masih berada di ruang penyimpanan tabut.tanpa menyadari bahwa kita berada di sini. mereka pasti mengira bahwa kita masih berada di dalam peti
batu dan sudah mati karena kehabisan napas" Semua lalu terdiam berpikir .Tiba-tiba. Indra berpaling menatap Esa.
"Esal" panggil Indra,
"aku ingin bertanya.sesuatu."
"Apa?" tanya Esa datar.
"Bagaimana hukumnya.membunuh orang-orang seperti Goldstein dan kawan-kawannya?".
Esa mengangkat bahu. "Wel. mereka orang-orang Zionis dan mereka. bekerja untuk menzhalini umat manusia. Mereka juga sering membunuh dan berlaku seenaknya. Namun yang terpenting..mereka
kafir dan kufur. Jadi..kukira...darah mereka halal. Wallahu 'alan. Apa maksud pertanyaanmu sebenarnya?"
"Maksudmu.., potong Nisa sebelum Indra berbicara; ialah. dinamit-dinamit ini, bukan?" Indra mengangguk cepat. Ia lalu melihat beberapa dinamit yang berada
di dalam sebuah tas di tepi kubangan.
"Lihat" seru Rachel seraya menunjuk rangkaian dinamit di sepanjang dinding gua. Rangkaian itu dipasang oleh anak-anak buah Goldstein sebelum para Ksatria
Zion itu mengikuti mereka masuk ke dalam kubangan air menuju ruang penyimpanan tabut. Mereka lalu memerhatikan alur sumbu yang menghubungkan beberapa dinamit
di sepanjang dinding gua. Esa bahkan mengikuti alur dinamit itu hingga ia berjalan ke arah ambang gua. Ia lalu kembali ke tempat mereka berkumpul.
"Mereka pasti berencana untuk meledakkan tempat ini setelah berhasil membawa dinding emas itu keluar dari tempatnya!" seru Esa. Yang lain diam, namun
dalam hati membenarkan ucapan Esa.
"Jadi bagaimana.apakah kita ledakkan saja dinamit ini dan segera keluar serta membiarkan mereka terkubur reruntuhan ledakan?" tanya Nisa. Indra mengangguk,
Yang lain diam dengan wajah tegang.
"Tidak bisa!" sergah Rachel,
"Emas itu harusdiselamatkan Kita harus merebutnya dari tangan mereka! Harta itu ialah warisan leluhur kami" Semua kembali diam. Mereka memikirkan ucapan
Rachel "Adalah benar bahwa emas itu ialah warisan yang sangat berharga.warisan dari orang-orang yang mensucikan nama Allah Swt di masa lampau untuk orangorang
beriman di zaman moderen. Warisan yang dapat membuktikan eksistensi kaum Beta Israel.," ujar Yitro.
"Tapi..," lanjutnya cepat,
"ada beberapa hal yang harus kita pertimbangkan, Rachel. Pertama, sebuah kebenaran.betapa pun terbukti dan tak terbantah. belum tentu akan diikuti oleh
semua orang .Para Nabi di masa lampau sudah membuktikan hal itu. Betapa pun kuatnya bukti dan mukjizat yang mereka tunjukkan pada kaumnya, selalu saja
ada manusia-manusia tertentu yang berpaling dari keimanan dan kebenaran. Kedua.emas itu sudah terkubur dan tersembunyi selama ribuan tahun. Tentu ada hikmah
yang dikehendaki oleh Elohim. Ketiga.kukira bila Elohim menghendaki.maka suatu saat tabut itu akan keluar dengan perantaraan orang yang Ia kehendaki."
Rachel terdiam mendengar uraian panjang lebar Yitro. Esa nampak termenung sambil menatap ke permukaan kubangan air yang jernih. Nampak kubangan itu bergerak-gerak
tak tenang seperti saat pertama kali mereka menemukan. Esa tersentak. Ia lalu menunjuk ke permukaan kubangan itu.
"Lihat" serunya,
"mereka mungkin sedang bergerak kemari!"Semua melihat permukaan kubangan dan jelas bahwa permukaan kubangan bergerak dengan kencang
"Kita harus cepat mengambil keputusan!" ujar Indra.
Semua diam dan melihat kubangan itu dengan
tegang "Tunggu dulu" sergah Esa,
"coba perhatikan kubangan ini baik-baik." Mereka semua memerhatikan kubangan itu.
"Lihat," lanjut Esa,
"air di kubangan ini perlahan menurun.mereka mungkin sedang berusaha menguras air dari ruang penyimpanan tabut!"
"Untuk apa mereka melakukannya?" gumam Nisa.
"Tentu saja. mereka melakukannya agar dapat membawa emas melalui gorong-gorong air yang menghubungkan kubangan ini dengan kubangan di ruang penyimpanan
tabut" seru Indra. "Ya.mereka hanya tahu bahwa gorong-gorong itu adalah satu-satunya jalan masuk dan keluar!" ujar Yitro.
"Jadi...bagaimana?" gumam Rachel.
"Kukira.aku setuju dengan ide Indra. lebih baik jika kita segera pergi meninggalkan gua ini setelah kita sulut sumbu rangkaian dinamit itu!" papar Yitro.
Semua diam tertegun. "Jadi."tanya Nisa menanyakan langkah berikutnya yang akan mereka tempuh.
"Begini saja...," jawab Indra,
"kita tambahkan dinamit yang tersisa kerangkaian yang telah mereka buat. Lalu.kita sumbat lubang kembali tempat keluar tadi dengan batu sumbatnya. Itu
untuk menjaga kemungkinan bahwa mereka akan menemukan terowongan tadi. Setelah itu.kita ledakkan seluruh gua ini hingga rubuh
dan memerangkap mereka di ruang penyimpanan tabut tanpa akses keluar" Semua lalu mengangguk sepakat dengan rencana Indra. Ia sendiri langsung memasang
rangkaian tambahan pada rangkaian yang sebelumnya telah dipersiapkan para Ksatria Zion. Sementara Esa, Nisa, dan Yitro berlari menuju lubang tempat mereka
keluar dari terowongan rahasia untuk menyumbatkan batu besar. Rachel diserahi tugas untuk terus mengamati kubangan air yang menghubungkan gua itu dengan
ruang rahasia tempat penyimpanan tabut, melihat apakah para Ksatria Zion itu telah selesai dengan kesibukannya. Setelah beberapa saat berlalu, mereka telah
selesai dengan pekerjaan mereka. Beruntunglah bahwa para Ksatria Zion belum selesai. Walau begitu, mereka sempat was-was melihat debit air di kubangan
besar tepi gua yang terus berkurang menandakan bahwa para Ksatria Zion akan segera muncul di tempat itu.
"Mari cepat" seru Indra memberitanda. Serempak mereka berlari memburu mulut gua di balik air terjun. Tergesa-gesa, mereka akhirnya sampai di mulut gua.
"Esa" seru Indra,
"Pemantik apimu..mana?" Esa merogoh saku kameja di kanan, namun ia tak menemukannya. Ia lalu mencari di saku-saku lainnya, namun ia tak juga menemukannya.
"Astaghfirullah!" seru Esa,
"Indra, aku tak menemukannya.mungkin terjatuh" Mereka saling berpandangan dengan tegang Sementara, suara riuh rendah orang-orang mulai terdengar dari
dalam kubangan yang airnya hanya tersisa sekira beberapa kubik saja.
"Ksatria Zion" pekik Nisa pelan,
"mereka pasti sudah selesai!" Mereka panik. Masing-masing lalu mencoba merogoh sakunya masing-masing untuk mencari pemantik api, siapa tahu berada disaku
mereka. "Bagaimana ini"!" seru Nisa.
"Kita lari saja!" timpal Rachel.
"Tidak!" sangah Esa,
"kita harus menyelesaikan pekerjaan ini." Mereka lalu diam dengan tegang. Setelah berbenah, Yahudi-yahudi di dalam itu pasti akan segera keluar. Suara
gemericik air terjun menemani mereka dalam diam dan kalut yang meliputi pikiran mereka. Esa terus berkonsentrasi. Ia mencoba mencari cara yang dapat mereka
tempuh. Berpikirlah.berpikirlah., ia terus bicara dalam hatinya dan berpikir dalam otaknya. Tibatiba.
"Indra," seru Esa,
"Batu Batu. batu bisa menberikan percikan api!"
"Ya!" ujar Nisa tak kalah antusias,
"mesiu di sumbu dinamit akan terbakar oleh percikan api bila dipukul batu!"
"Baik-baik...," ujar Indra. Wajahnya lebih cerah walau ia tetap nampak tegang. Indra lalu mengambil sebuah batu kali sebesar kepalan tangan. Ia lalu
berlari ke mulut gua dan memukulkan batu itu berkali-kali ke ujung sumbu yang terletak tak jauh dari mulut gua. Beberapa kali ia mencoba namun tak kunjung
berhasil. Sementara, lamat
lamat di tengah deru air terjun, mereka mendengar suara orang dari dalam gua yang ribut sedang melakukan sesuatu. suara para Ksatria Zion! Esa lalu berlari
mendekati Indra. Ia mengamati batu yang dipegang Indra.
"Batu itu basah, Indra," ujar Esa,
"Kita harus mencari batu kering yang permukaannya licin, agar tumbukan dengan sumbu lebih maksimal" seru Esa. Ia lalu melihat ke sekeliling dan menemukan
benda yang dicarinya. "Biarkulakukan," ujar Esa. Ia lalu memukulkan batu itu beberapa kali. Namun ia menyadari bahwa bagian sumbu yang telah dipukul Indra sebelumnya telah
basah oleh batu sebelumnya. Esa lalu bergerak lebih ke dalam lagi.
"Kalian larilah!" seru Esa,
"ledakan rangkaian dinamit ini akan sangat besar!" Indra lalu bergabung dengan Yitro, Rachel, dan Nisa. Esa mengibaskan tangannya ke arah mereka, menyuruh
mereka pergi dan mengulang kalimat yang telah diucapkannya. Mereka berempat serempak berlari meninggalkan ruang dibalik air terjun-tempat di mana gua rahasia
itu berada. Tak berapa lama kemudian, mereka berempat telah berada di muka air terjun itu. Tiba-tiba.terdengar dentuman keras. Disusul oleh suara gemuruh
dan guncangan yang juga tak kalah dahsyatnya sehingga membuat bumi yang mereka pijak terasa bergoyang laksana gempa.
"Allahu akbar!" seru Nisa. Kuatnya guncangan itu membuat batu-batu dari tebing yang lebih tinggi, dari titik ketinggian air terjun,berjatuhan. Beberapa
batu jatuh menimpa kepala mereka. Sedikit tanah dari tebing juga nampak longsor dan urug ke bawah. Mereka berpegangan pada pepohonan di tepi sungai dan
air terjun. Hingga beberapa saat, guncangan itu terasa. Setelah keadaan tenang, saat guncangan dan suara gunuh dari gua di balik air terjun berhenti, Nisa
teringat sesuatu. "Esa" seru Nisa seraya menghambur kembali ke balik air terjun.
Seketika itu pula Yitro, Rachel, dan Indra mengikuti Nisa berlari ke balik air terjun. Mereka semua mengkhawatirkan Esa yang terakhir kali mereka lihat
masuk ke dalam gua sambil membawa batu untuk menyalakan sumbu rangkaian dinamit.
*** mereka berempat terpana memandang mulut gua itu. Mulut gua yang sebelumnya mereka masuki telah urug dan tertimbun tanah dan batuan. Sama sekali tak ada celah yang dapat digunakan siapapun untuk masuk ke dalamnya. Sementara, Esa yang mereka cari tak nampak di sekitar tempat itu. Mereka lalu tertunduk dan diam.
Selama beberapa saat, mereka tertunduk lesu. Tak ada tanda-tanda bahwa Esa selamat .Indra menyentuh batuan-batuan besar yang berada dibekas mulut gua
itu. Tak sedikit pun batu-batu besar itu dapat digerakkan. Gua itu akan tertutup untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin selamanya.
Nisa mulai merasakan kedua matanya panas dan berair. Begitu pula Rachel. Ia menyeka kedua matanya dengan ujung kerudungnya yang basah dan kotor. Sementara,
Indra tetap diam dengan bibir bergetar dan tak henti-hentinya mengucapkan Allah.
Indra lalu jatuh terduduk Sementara, Nisa mengatupkan kedua telapak tangannya kewajah. Ia telah kehilangan salah satu sahabat terbaiknya. Rachel lalu
memeluk Nisa, sementara ia sendiri juga larut dalam tangis.
"Bersabarlah," ujar Indra,
"semua telah ditentukan oleh Allah. Ia selalu mengetahui apa yang terbaik bagi hambanya." Nisa mengangguk dalam pelukan Rachel. Namun ia tetap tak kuasa
membendungair matanya "Aku.memilikijanji yang belum terpenuhi padanya," gumam Nisa di sela isak tangisnya.
"Seharusnya.aku mengatakan sesuatu padanya sebelum ia pergi.sesuatu yang sangat ingin ia ketahui..," lanjut Nisa. Semua hanya diam. Ia semakin mempererat
pelukannya. "Sudahlah...," ujar Indra,
"semua sudah berlalu. Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hambanya. Sebaiknya.kita segera pergi dari tempat ini. Dentuman keras dan goncangan tadipasti
terasa sampai ke ujung desa di kaki bukit.dan tak lama lagi orang-orang desa mungkin akan datang ke sini untuk mencari asal ledakan." Yitro mengangguk.
Ia lalu beranjak dengan lesu, mendahului Indra dan yang lainnya. Ia terus bergerak ke sisi air terjun yang suaranya gemercik menghantam dasar tebing Indra
mengikutinya, disusul oleh Rachel yang memapah Nisa. Tiba-tiba, langkah mereka terhenti .Indra berdiri disisi air terjun dengan terpana menandang ke tepi
sungai yang menghantar air jatuh dari atas tebing.
Sementara, Yitro dan yang lainnya tak dapat melihat apa yang sedang diperhatikan
Indra. Pandangan mereka terhalang oleh air terjun di depan mereka.
"Esa!" seru Indra. Ia lalu berlari ketepian sungai, tempat di mana cadas cadas besar teronggok. Lalu Nisa dan Rachel berlari mengikuti Indra. Ketika
tiba di suluran air terjun itu, nampak Esa duduk di salah satu cadas besar. Ia tersenyum ke arah mereka. Indra yang berlari di muka melompat mendekat.
Esa lalu turun. Kemudian ia dan Indra berpelukan.
"Hebat!" seru Indra,
"bagaimana kau bisa selamat" Kami tak melihatmu keluar dari balik air terjun." Yitro, Rachel, dan Nisa menghampiri mereka. Nampak raut senang terpancar
dari wajah mereka. "Alhamdulillaah..," ujar Nisa,
"bagaimana kau selamat, Esa?" Esa tersenyum.
"Ketika aku masuk tadi. kupukulkan batu berkalikali ke ujung sumbu yang masih kering. Namun api tak juga memercik. Lalu. tiba-tiba.aku menemukan pemantik
api milikku berada di dekat sumbu itu. tergolek.begitu saja. Entah bagaimana ceritanya. Namun tiba-tiba saja benda itu ada di situ. Mungkin terjatuh saat
kita keluar dari lubang dekat batu besar tadi. Segera saja kuambil pemantik itu dan menyulutnya. Gas di tabung pemantik itu nyaris habis. Tapi.untunglah
api akhirnya memancar dan aku berhasil menyulut sumbu itu. Lalu aku berlari kembali ke mulut gua dan ketika ledakan berdentum.aku terjun ke air.bersama
air terjun. Guncangan ledakan juga kurasakan dalam air di ujung air
terjun itu. Karena itu. kuputuskan tetap menyelam untuk menghindari efek ledakan yang memekakkan telinga dan bebatuan yang berjatuhan dari atas tebing.
Ketika aku muncul ke permukaan sungai. kulihat kalian tidak ada. Kupikir. kalian pasti kembali ke mulut gua untuk mencariku. Jadi kutunggu saja di sini."
"Hah, lega rasanya," ujar Rachel
"kau tahu" Jantungku hampir lepas saat kami tak menemukanmu di mulut gua!" Esa kembali tersenyum.
"By the way...," ujar Esa tiba-tiba,
"bagaimana gua itu jadinya?"
"Well," jawab Indra,
"bisa kita pastikan bahwa gua itu urug Coba lihat struktur tanah di atas tebing." Ia lalu menunjuk ke atas Permukaan tanah ditebing itu memang nampak
turun. "Mereka pasti terkubur hidup-hidup oleh keserakahan mereka sendiri," lanjut Indra. Semua diam.
"Untuk saat ini.masalah ini selesai," ujar Esa,
"namun para pimpinan Zionis tak akan diam. Mereka pasti akan memilih Ksatria-Ksatria Zion yang baru untuk menjalankan ide-ide gila mereka."
"Ya!" seru Indra,
"perang kita memang belum usai..namun percayalah..bahwa pada akhirnya.semua ini akan berlalu. Ayokita segera pergi dari tempat ini. Tak lama lagi orang-orang
desa pasti akan berdatangan kemari." Mereka semua lalu melangkah meninggalkan bukit itu. Gemercik air terjun yang mengalir dekat hulu sungai mengiringi
kepergian mereka. RencanaNya adalah yang terbaik bagi manusia.
yang manusia dapatkan dalam satu hari hidupnya, ialah yang terbaik dari Allah. Esa mensyukuri semua itu ditengah pasang gelombang dan angin laut yang
mengiringi kapal barang berbendera Yaman yang mereka tumpangi untuk menuju Jeddah. Ia termenung diburitan kapal, di tengah terpaan sinar matahari laut
Merah yang menyengat Matanya terus menatap ketimur laut. Indra muncul di geladak kapal, lalu beranjak mendekati Esa. Ia kemudian bersandar di pagar buritan
disamping Esa. "Aku ingin mengobrol denganmu," ujar Indra.
"Bicaralah.," ujar Esa datar.
"Masih teringat Heri?"
"Aku memimpikannya lagi tadi malam."


Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benarkah?" "Ya kami kembali bertemu ditempat yang
Sebuah...sabana luas yang ditumbuhi rerumputan hijau yang terpangkas pendek dengan rapi."
"Kau berbicara dengannya?" Esa mengangguk. Ia lalu menghela napas dan menantap Indra.
"Aku.ingin minta maaf padamu, Indra."
"What's up" Memangnya ada apa" Aku tak merasa kau membuat kesalahan apapun padaku."
"Tentang sikapku saat ketika kita di Axum, di dalam gua bukit Aduw," Indra tersenyum.
"Esa...," ujar Indra,
"aku ingin menceritakan sesuatu padamu."
"Oh ya" Apa" Berceritalah."
"Zaman dahulu kala.ada seorang sufi yang hidup sebatangkara. Ia tak punya siapa pun di dunia ini. persis seperti dirimu...dan aku." Indra diam sejenak.
Ia mengedarkan pandangannya mengitari sekitar kapal. Sejauh mata memandang, hanya biru laut yang nampak.
"Namun...," lanjut Indra,
"sufi itu tak merasa bosan hidup sendiri. Ia merasa bahwa ia sudah memiliki segalanya karena ia dekat pada Allah. Ia lalu memutuskan untuk hidup menyepi
disebuah gua di dalam hutan." Indra kembali diam dan menghela napas.
"Sufi itu juga memutuskan untuk membujang seumur hidupnya, lanjutnya,
"di dalam gua itu.ia hidup sendiri. Sehari-hari kerjanya hanya berzikir dan shalat. Suatu ketika ia berjalan-jalan ke luar hutan dan menemukan sebuah
desa. Ada sebuah masjid berdiri kokoh di pinggirdesa itu. Sufi itu melihat. orang-orang shalat dan
beribadah di masjid itu." Indra berhentibicara. Ia menatap nanarke depan.
"Lalu?"tanya Esa menanti lanjutan cerita.
"Lalu. sufi itu membunuh semua orang yang berada
di masjid." "Apa"! Mengapa ia melakukan itu?" tanya Esa.
"Sufi itu cemburu.ia cemburu ketika melihat ada orang lain yang juga mencintai Allah seperti dirinya." Esa termenung.
"Lalu.apa hubungannya dengan diriku?"
"Ya.kau lihat dari cerita itu.seorang yang mencintai Allah bisa cemburu dan melakukan dosa karena cemburu itu.tapi kau tahu..mengapa ia sampai tega membunuh
orang-orang yang sedang beribadah di masjid" Karena ia tak memahami cinta yang ada pada dirinya. Ia membutakan mata hatinya sendiri hanya karena ia terbiasa
hidup sendiri dan tak ingin memahami eksistensi orang lain di dunia ini. Kau tahu. untuk bisa merasakan cinta pada Pencipta kita.kita harus memulainya dengan mencoba memahami cinta pada ciptaan-Nya yang lain, selain diri kita sendiri." Esa diam temenung. Ia mencoba menyerapkata-kata Indra. Dari
belakang mereka, tiba-tiba Nisa, Rachel, dan Yitro muncul.
"Hey!" seru Nisa,
"sedang apa kalian?" Indra mengangkat bahu.
"Hanya menatap laut sambil mengobrol," ujar Indra
datar."Yitro," ujar Indra tiba-tiba,
"apa rencanamu setelah ini?"
Yitro mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Mungkin aku kembali Amerika dan bekerja."
"Bagaimana denganmu, Rachel?" tanya Indra sambil melirik ke arah Rachel.
"Tentu saja aku akan kembali ke Maladewa dan menemui majikanku. Pasti dia akan setengah gila saat tahu bahwa aku meninggalkan pesawatnya di Ethiopia.
Bagaimanapun juga, aku harus jujur dan meminta maaf kepada majikanku itu." Indra tersenyum.
"Bagaimana dengan kau, Nisa?" tanya Indra kepada Nisa.
"Aku akan tinggal bersama kedua orangtuaku dan adikku. Mereka menungguku di Mekkah. Mungkin kami akan melaksanakan umrah bersama dulu sebelum pulang.
Ke manapun pulang itu nantinya. Kau mau ikut?" Nisa balas bertanya. Indra tersenyum, sekilas ia menatap Esa. Ia lalu menghela napas.
"Sebenarnya aku ingin sekali," ujar Indra,
"tapi ada sesuatu yang harus kukerjakan. Aku ingin memburu tembikar dari zaman Dinasti Chou di Shandong, China. Yaah...apa mau dikata.itulah pekerjaanku.
Oh ya. selain ke Mekkah...kau punya rencana lain?"
"Rencana lain?"tanya Nisa,
"maksudmu?" "Yaa.rencana yang berhubungan dengan masa depan. Misalnya.menikah?" Nisa tersipu. Ia lalu menggeleng perlahan."Tentu saja tidak..," ujar Esa ketus,
"ketika ada orang baik dan saleh yang melamarnya pun ia tolak." Nisa menatap Esa tajam.
"Aku tak mengira jika kau masih akan membahas masalah itu, Esa" ujar Nisa dengan nada tinggi. Yitro dan Rachel nampak bingung melihat perubahan sikap
Nisa dan Esa yang begitu drastis.
"Tanyakanlah pada dirimu sendiri!" ujar Esa, masih dengan nada ketus.
"Sst sudahlah," ujar Rachel,
"Sebenarnya ada apa, sih?" Esa dan Nisa diam. Masing-masing menatap ke arah yang berlawanan. Sementara Yitro dan Rachel menatap keduanya dengan bingung
.Indra hanya tersenyum melihat kedua orang itu.
"Yaah. Yitro. Rachel.," ujar Indra tiba-tiba;
"begitulah.jika dua orang saling mencintai.namun tak mau saling mengakui" Semua langsung menandang ke arah Indra dengan tatapan tajam.
"Apa maksudmu?" tanya Esa sengit. Indra kembali tersenyum.
"Kalian tahu, tidak" Walaupun pekerjaanku ialah pedagang barangkuno dan antik, sebenarnya.aku adalah Sarjana Psikologi," ujar Indra dengan tenang.
"Aku tak menanyakan itu!" ujar Esa ketus.
"Oke.," jawab Indra,
"begini. mengapa seorang perempuan yang memahami dalil tentang lamaran dalam hukum Islam berusaha keras menghindari pinangan seseorang yang hanif dan
sebenarnya memenuhi syarat"
Mengapa Nisa menghilang.saat ia tahu bahwa dulu Heri hendak melamarnya?"
"Dari mana kau tahu masalah itu?"tanya Nisa sengit.
"Maaf," jawab Indra,
"Dari Heri..tentu saja." Ia lalu melanjutkan,
"Satu-satunya kemungkinan adalah karena perempuan itu mengharapkan ada orang selain Heri yang melamarnya..namun ia tak mengatakannya.mengingat posisinya
sebagai perempuan. Orang itu adalah kau Esa!" ujar Indra sambil mengarahkan telunjuknya pada Esa. Sementara, raut wajahnya tampak dingin dan tenang. Esa
diam. Sementara Nisa tertunduk.
"Nah., lalu...," lanjut Indra,
"Kau, Indra kembali menunjuk Esa,
"kaupun memiliki perasaan yang sama padanya. Tapi kau merasa tak enak hati.karena mencintai perempuan. yang juga dicintai oleh sahabatmu sendiri. Perasaanmu
dapat terbaca ketika aku melihat sikap dan tindak-tandukmu saat kita terjebak di dalam gua di Axum."
"Omongkosong gumam Esa. Matanya menatap air laut, seolah mencoba menyelami birunya genangan laut merah. Rachel dan Yitro hanya bisa saling berpandangan,
tak mengerti. "Aku...," ujar Yitro,
"sebenarnya sudah menduga ada masalah semacam ini."
"Ya!" Rachel menimpali;
"Esa.sebaiknya kau lamar Nisa!"
"Benar sekali!" ujar Yitro.
"Apa?" ujar Esa dan Nisa hampir bersamaan."Menikah dengan Nisa?"tanya Esa,
"yang benar saja!"
"Ya!" seru Nisa,
"siapa juga yang mau menikah denganmu" ujar Nisa sambil mengarahkan telunjuk ke arah Esa. Ia lalu bergerak mendekati Indra
"Dan kau...," ujar Nisa sambil mengarahkan telunjuk pada Indra,
"hipotesa itu salah besar!" Esa lalu menghela napas.
"Sebaiknya kita masuk ke lambung kapal dan berbenah. Sebentar lagi kita tiba di Jeddah," ujar Esa. Ia lalu beranjak meninggalkan geladak kapal.
*** Mereka berlima berdiri di depan kantor pelabuhan Jeddah, Yitro, dan Rachel berdiri menghadap ke arah Indra, Esa, dan Nisa.
"Yah. Inilah saatnya kita berpisah. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam suasana yang lebih baik," ujar Yitro.
"Ya! Senang berkenalan denganu, Yitro," jawab Indra sambil mengulurkan tangannya. Mereka lalu berjabat tangan.
"Esa" ujar Nisa,
"kamu. Yakin tak akan ikut?" Esa menggeleng.
"See you, Nisa," jawab Esa,
"mungkin kita bertemu lagi di Indonesia nanti." Nisa mengangguk pelan. Tanpa terlihat, buliran air mengalir dari pelupuk matanya. Ia cepat menghapusnya dengan ujung tangan kanannya.
Mereka lalu berpisah, Indra dan Esa menghentikan sebuah taksi. Mereka hendak menuju Bandara. Sementara, Yitro dan Rachel kembali menumpang kapal barang yang menuju ke Male .Nisa hendak menumpang kereta ke Mekkah. Ia berdiri di tepi jalan depan kantor pelabuhan Jeddah dan menatap taksi yang membawa Indra dan Esa hingga menghilang dari pandangan mata. Tak lama kemudian, ia lalu bertolak menuju stasiun kereta. Terik matahari semenanjung Arabia membakar kulit.
Untunglah kereta yang ditumpangi Nisa memiliki AC. Ia duduk di samping jendela dengan tenang. Matanya memandang ke luar, menerobos jendela kaca. Nisa menghela napas panjang. Benaknya bekerja memikirkan sesuatu. Ia ingin menanyakan sesuatu kepada dirinya sendiri. Ia berharap akan mendapat jawaban dengan jujur.
Semua yang dipikirkannya berkisar pada Indra saat di kapal. Mungkinkah bahwa yang dikatakan Indra adalah benar" Nisa terus diam dalam renungan. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Kepalanya tertunduk. Beberapa tetes air jatuh dari sela matanya. Apakah ia telah membohongi dirinya sendiri" Apa pun jawaban masalah ini. Biarlah hanya dirinya dan Allah yang tahu. Nisa menghela napas sejenak. Ia kembali menyapu kedua matanya dengan pergelangan tangan. Hatinya mengatakan bahwa apa yang dikatakan Indra saat di geladak kapal memang benar. Nisa nampak lebih tenang. Ia kembali menghela napas. Terkadang, ia jengah melihat sikap Esa kepada dirinya. Nisa merasa bahwa Esa tak menyukainya.
*** Terkadang manusia memang tak dapat menghindari perasaannya sendiri. Apalagi jika seseorang jatuh cinta. Cinta adalah fitrah yang diberikan Allah pada manusia. Manusia perlu mengolahnya menjadi energi positifuntuk lebih mendekatkan dirinya pada Allah.
Saat ini, dirinya sedang mendapat ujian dari Allah. Mencintai seseorang yang tak ia ketahui secara pasti perasaannya, apakah ia juga mencintai dirinya atau tidak. Jalan keluar bagi Nisa hanyalah dengan bertawakal kepada Allah. Dia-lah yang Maha Menentukan. Jika Esa adalah jodohnya, maka Allah akan mengirimnya kepadanya. Jika ia bukan jodohnya, ia harus yakin bahwa Allah selalu memiliki rencana terbaik bagi hamba-Nya.
Nisa merenungkan semua itu dalam diam. Dalam diamnya pula ia lalu berdoa pada Allah.
"Ya Allah. jika Esa adalah jodohku, kirimlah ia padaku. Jika ia bukan jodohku, bantulah aku membersihkan pikiranku dari cinta selain kepada-Mu."
Esa dan Indra duduk di ruang bandara.
Mereka duduk berdampingan tanpa saling bicara. Hening dan bisu memang meliputi keduanya sejak di dalam taksi hingga tiba di tempat itu. Esa baru saja membeli selembar tiket menuju Kuala Lumpur. Ia akan menyambung perjalanannya langsung menuju Bandung dari sana. Sementara, Indra belum membeli tiket apa pun. Ia memberitahu Esa bahwa ia sedang menimbang-nimbang apakah hendak kembali dulu ke Sydney atau langsung bertolak ke Beijing.
"Sa," ujar Indra tiba-tiba,
"bicaralah." "Bicara." tanya Esa,
"apa yang harus kubicarakan padamu?"
"Tentang kata-kataku saat digeladak kapal," jawab Indra dingin, itu benar, kan?" Esa menghela napas. Ia mengangkat bahu lalu menatap ke arah Indra.
"Tak ada pentingnya. aku sudah mengatakan apa yang ada dipikiranku tentang hipotesis bodohmu itu,"
ujar Esa. Indra tersenyum.
"Hipotesis" Itu fakta, kan?"
"Indra," ujar Esa,
"manusia memang bisa mengukur dalamnya laut dan tingginya langit. Namun tak ada manusia yang dapat mengukur kedalaman atau ketingan hati manusia lainnya. tak ada. tak seorangpun."
"Aku tak mencoba mengukur kedalaman hatinu," ujar Indra ketus,
"kau yang mengatakannya padaku."
"Maksudmu?" "Kau mengatakan perasaanmu melalui cerita-cerita tentangmu dan Nisa yang kudengar dari Heri. Kemudian melalui beberapa scene, di mana kau dan Nisa ada di dalamnya, yang kusaksikan langsung. percayalah.kau telah mengatakannya padaku."
Esa diam. "Sudahlah," ujarnya,
"aku tak ingin membahas masalah ini lebih lanjut."
Mereka kembali terdiam. Sambil duduk bersandar, Esa menatap orang-orang yang lalu-lalang di depannya. Sementara Indra tertunduk. Ia lalu memandang ke arah Esa.
"Kau transit dulu di Kuala Lumpur?"tanya Indra.
Esa mengangguk. "Boleh kulihat tiketmu?" tanya Indra kembali.
Esa menoleh ke arahnya dengan tatapan heran
"Untuk apa?" tanya Esa.
Indra mengangkat bahu. "Yaah..hanya ingin melihat saja boleh kan?"Esa menghela napas.
Ia lalu mengangsurkan selembar tiket Fly Emirates dari saku kamejanya. Indra mengambilnya dan memerhatikan tiket itu sekilas sebelum merobeknya menjadi dua bagian, tiga bagian, dan empat bagian. Esa kaget. Ia menatap Indra dengan marah.
"Apa-apaan sih kau ini" tanya Esa,
"bagaimana aku bisa pulang sekarang" Aku tak punya uang lagi untuk membeli tiket!"
Indra mengangkat bahu. "Kubelikan kau tiket baru. Namun sebelumnya, akuilah akuilah bahwa aku benar. Kau mencintainya, kan?"
Esa menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tak mengerti apa maumu...," ujar Esa seraya menghela napas dan menyandarkan tubuhnya.
"Kau masih juga bertanya apa mauku?" ujar Indra,
"sudah kukatakan, aku hanya ingin kau mengakuinya."
"Bagaimana jika aku tetap menyatakan bahwa sikapku jelas dan tak akan berubah?"tanya Esa.
"Yah.itu berarti aku bisa melamar Nisa. untukku. untuk menjadi istriku."
Esa mendelik. "Nah.kan?" ujar Esa,
"ternyatakau yang jatuh cinta padanya."
"Aku serius," jawab Indra dingin, "Nisa itu baik, pintar, dan .cantik. Dia adalah tipe perempuan yang kudambakan menjadi istriku. Buatku, hanya lelaki bodoh yang tak ingin menikahinya."
Esa diam. "Baiklah.antara kita berdua saja...," ujar Esa lirih,
"kau benar. Puas?"
"Lalu?" tanya Indra.
"Lalu apa maksudmu?"
"Kenapa kau tak mengatakan itu padanya?"
Esa kembali terdiam. "Apa karena Heri?" tanya Indra.
Esa tetap diam. Ia lalu menunduk dan lagi-lagi menghela napas panjang
Indra tersenyum. "Kau tahu.," ujar Indra, "Heri bercerita tentang peristiwa menghilangnya Nisa setelah ia berencana melamarnya padaku. Saat itu, aku sudah mengemukakan pendapatku kepada Heri. pendapat yang kukemukakan padamu di geladak kapal."
Esa mendongak. "Lalu bagaimana?" tanya Esa.
"Begini." jawab Indra, "Heri mengatakan padaku bahwa ia berencana bertanya padamu. Bertanya apakah benar kau mencintainya atau tidak."
"Itu saja?" tanya Esa.
"Tidak juga," jawab Indra datar,
"Heri mengatakan...bahwa jika benar kau mencintainya.ia akan melakukan apa pun untuk membantumu. Lagipula", ini hanya masalah waktu, kan" Kau lebih dulu tahu bahwa Heri jatuh cinta padanya sebelum Heri tahu bahwa kau juga mencintainya."
Esa diam. "Yeah, right...," ujar Esa tak acuh,
"jadi kapan kau akan membelikan tiket pengganti untukku?"
Indra tersenyum. Ia lalu berdiri.
"Segera." ujar Indra, "aku akan membelikanmu tiket pengganti. Setelah kau mengantarku untuk suatu urusan."
"Mengantarmu?" tanya Esa, "ke mana?"
"Ke Mekkah, jawab Indra dingin seraya bergegas meninggalkan tempat itu. Esa segera berdiri dan berlari mengejar langkah Indra .
*** Nisa tiba di muka hotel dan segera beranjak ke Tiga sosok manusia yang dicintainya menunggu di lobi hotel Wajah ketiganya nampak cerah saat melihat Nisa memasuki lobi hotel. Lalu mereka menghambur dan saling berpelukan.
"Kejutan yang tak terlupakan," ujar Dino mengawali percakapan dengan kakaknya.
Nisa tersenyum. "Aku memang selalu yakin bahwa kakak selalu memiliki rencana-rencana hebat. Tapi baru kali ini aku mengalami sebuah rencana kakak yang amat dahsyat!"
lanjut adiknya itu. Nisa tetap tersenyum. Ia tak menjawab, hanya memandang adik dan kedua orangtuanya berganti-ganti.
"Kamu..," ujar ibunya tiba-tiba,
"dari mana, Nis?"
"Saya baru menyelesaikan sebuah urusan," jawab Nisa pendek.
"Urusan apa?" susul ayahnya bertanya.
"Ya. sedikit bisnis."
Mereka lalu duduk di salah satu sofa di lobi hotel itu,
"Ayah, Ibu, Dino.," ujar Nisa, "bagaimana kalau kita?"
Ucapan Nisa terpotong oleh Dino,
"Umrah?" Nisa mengangguk. "Hey.bagaimana kau bisa membaca pikiranku?"
"Saya hanya menebak," jawab Dino,
"kitakan ada di Mekkah dan. sayang sekali jika kita tidak melewatkan waktu di Baitulah."
"Sebenarnya...," ujar ayahnya,
"ada seseorang yang memberitahu kami bahwa kau memiliki rencana untuk mengajak kami umrah bersama."
"Oh ya?" ujar Nisa seraya mengkerutkan dahinya,
"siapa?" "Orang di sudut ruangan itu," ujar ibunya seraya menunjuk ke pojok lobi.
Nampak seseorang sedang membaca surat kabar. Nisa tak dapat melihat wajahnya. Namun ia tahu pasti bahwa orang itu seorang lelaki.
"Siapa, Bu?" tanya Nisa.
Ibunya mengangkat bahu sambil tersenyum. Begitu pula ayahnya dan Dino. Rasa penasaran dalam benak Nisa kemudian menyeretnya berdiri dari sofa dan melangkah mendekati orang itu. Tepat dua meter saat Nisa berada di depannya, orang itu menurunkan surat kabar yang menutupi sebagian tubuhnya. Nisa tak tahu, apakah ia harus kaget atau gembira melihat wajah Esa di balik surat kabar itu.
"Assalaamualaikum!" ujar Esa sambil melihat Nisa sekilas, lalu menundukkan wajahnya.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," jawab Nisa,
"Esa" Apa yang kau lakukan di sini?"
"Ada. sedikit urusan," jawab Esa sambil tersenyum simpul,
"dengan ayahmu."
"Ayahku?" tanya Nisa tak mengerti
"Ya. Aku menanyakan sesuatu padanya."
"Apa?" Nisa kembali bertanya.
"Menanyakan.apakah ia.tak keberatan bila putri satu-satunya kuminta." Nisa tertunduk. Seketika itu pula senyum mengembang di wajahnya.
"Apa jawab ayahku?" tanya Nisa.
"Ia memintaku menanyakan langsung jawabannya pada putrinya." Nisa kembali diam. Dalam diam itu, ia tetap tersenyum, namun dari sudut-sudut matanya, buliran air mengalir ke pipinya.
"Nisa..., kenapa diam?" tanya Esa.
"Hmmm. Esa. Esa, kau ini tidak peka, ya" Diam itu pertanda setuju, tahu?" sebuah suara lain dari dekat pojok lobi itu terdengar. Itu suara Indra. Serempak Nisa dan Esa menoleh ke arahnya.
"Indra?" tanya Nisa heran,
"Sedang apa kau di sini" Bukankah kau hendak ke China?"
"Aku mengantar Esa untuk menyelesaikan urusannya. Aku bisa ke China lain waktu," jawab Indra."Jadi, bagaimana, Nisa?" desak Esa.
"Kau.dengar apa kata Indra, kan?"
"Iya...jadi?" Esa tak sabar
"Iya. dia benar. Diam itu setuju. Aku mau. aku mau. menjadi istrimu."
Esa diam terpana, Surat kabar yang dipegangnya melayang jatuh ke lantai lobi. Sementara Nisa kembali tertunduk dan meneruskan kegiatannya menghasilkan butiran air dari pelupuk matanya . Indra bertepuk tangan tanpa suara di dekat Esa. Kepalanya mengangguk.
*** Nisa berjalan menginjak bebatuan di jabal Nur. Ia lalu duduk di samping Esa, di atas sebuah batu besar . Pagi di Mekkah terasa cerah.
"Aku masih berandai-andai," ujar Nisa,
"Kirakira di mana Tabut Perjanjian itu berada, ya?"
"Aku juga memikirkannya," jawab Esa.
"Lalu?" "Ada beberapa hakikat yang perlu kita pahami secara mendalam."
"Apa?" "Sebagai seorang muslim, kukira jawabannya selaras dengan tafsir Surah Al Baqarah ayat ke248 yang pernah kita kaji bersama almarhum Syaikh Rashed. Pertama, tabut itu adalah tanda dari Kerajaan Tuhan. Baik tradisi Yahudi maupun Islam menganalogikan kekuasaan Tuhan sebagai sebuah kerajaan. Di dalam Surah An-Naas, Allah menyebut diri-Nya sebagai Maliki naas. Nah, kerajaan Tuhan itu bukan hanya mencakup aspek akhirat saja, namun juga dunia. Jadi, Allah selalu mengangkat seorang pemimpin yang memandu umatnya, seorang Khalifatullah Sang pemimpin inilah yang kemudian menjadi raja di dunia yang bertugas menjalankan hukum-hukum Allah. Merekalah yang memimpin Kingdom of Heaven, Kerajaan Tuhan di Dunia. Pada masa lampau, Raja-raja ini ialah para Nabi .Dalam tradisi bani Israel, para Nabi disebut-sebut bertugas mengurus Tabut Perjanjian. Merekalah Raja dari Kerajaan Tuhan, Kingdom of Heaven."
"Kemudian yang kedua?"
"Kedua, simbol kekuasaan yang disandang oleh Tabut tersebut menunjukkan kerajaan dan raja mana saja yang dipilih Allah sebagai Kingdom of Heaven yang menjalankan hukum-hukumnya dengan taat. Dalam hal ini, bisa dipastikan bahwa sejak masa Tabut itu diturunkan pada zaman Musa as, Kingdom of Heaven adalah Kerajaan Israel. Namun kita saksikan kemudian bahwa Tabut itu berpindah ke Ethiopia bersama Menelik. Jadi menurutku, seiring pindahnya tabut itu, Kerajaan Israel sudah bukan lagi Kingdom of Heaven, apalagi kemudian terbukti bahwa mereka banyak melakukan makar kepada hukum-hukum Allah setelah wafatnya Sulaiman, peristiwa yang terjadi bersamaan dengan perpindahan Tabut itu. Maka, berpindahlah Kingdom of Heaven itu ke Kerajaan Saba di Ethiopia."
"Ketiga?" "Ketiga, seperti kita ketahui, berdasarkan Kebra Nagast, Kerajaan Saba konsisten menjalankan keimanan kepada satu Tuhan hingga tiba masa di mana rakyat dan raja-rajanya menganut ajaran Kristen. Ini ditandai dengan makar besar Raja Abrahah yang ingin menghancurkan Ka'bah. Sejak itulah, kukira, Kingdom of Heaven tak lagi berada di Ethiopia. Apalagi, masa itu bertepatan sekali dengan munculnya Nabi Muhammad Saw."
"Jadi apa hubungannya dengan Tabut itu?"
"Pada masa tahun kelima kenabian Muhammad Saw, beberapa orang Islam Mekkah yang tak tahan menghadapi penindasan Suku Quraisy, memilih hijrah ke Ethiopia. Ja'far bin Abu Thalib, sepupu Rasulullah Saw, yang memimpin para muhajirin gelombang pertama ini. Dalam tradisi Islam, Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa karena kedatangan orang-orang ini, Raja Najasyi alias Negus Ashama beriman kepada Nabi Muhammad Saw secara diam-diam. Ini mungkin terjadi karena ia menyadari bahwa sebagai Nabi, Muhammad Saw-lah yang berhak memimpin kelanjutan Kingdom of Heaven. Maka, Kingdom of Heaven pun berpindah ke Arab, sejak masa Rasulullah Saw hingga dilanjutkan oleh para Khalifah."
"Ya, tapi apa hubungannya dengan tabut itu, Esa?"
"Ya, seperti sudah kita ketahui, mengacu kepada Al Baqarah 248, Tabut itu adalah simbol kekuasaan dari Kerajaan Allah di dunia."
"Tunggudulu, potong Nisa cepat,
"kau hendak mengatakan bahwa Tabut itu berada di Mekkah" Bagaimana jika Tabut itu diserahkan oleh Negus Ashama kepada Rasulullah" Bahwa Tabut itu dibawa oleh para muhajirin gelombang pertama saat mereka kembali ke Mekkah dari Habsyi?"
Esa tersenyum sambil mengangkat bahu.
"Siapa yang tahu" Tapi sudahlah! Di mana pun Tabut itu berada sekarang, hanya Allah yang tahu. Lagipula di zaman sekarang ini, mana ada negara yang pantas disebut Kingdom of Heaven?"
Nisa terdiam. Angin meniup dan melambaikan kerudung Nisa hingga menerpa wajah Esa. Esa lalu memegang dan menurunkan kerudung itu ke tempatnya, lalu dipandanginya wajah istrinya yang nampak sedang melukis senyum. Esa lalu menunduk.
"Hey!" ujar Nisa,
"kau masih saja menunduk jika memandangku. Padahal kita sudah menikah, kan?" Esa tersenyum. Ia lalu memegang tangan Nisa.
"Coba lihat ke sana," ujar Esa. Ia lalu menunjuk ke Masjidil Haram di bawah bukit. Nisa memandang kiblat umat Islam sedunia yang ditunjuk suaminya.
"Aku selalu berandai-andai," ucap Esa,
"apakah bangunan itu masih akan berdiri hingga kiamat nanti." Mereka memandang ke arah Masjidil Haram. Masjid yang mengelilingi kiblat umat Islam itu berdiri dengan kokohnya. Padahal, Masjidil Aqsha yang berada dekat kiblat pertama umat Islam di Al Quds" sudah hampir rubuh karena pembangunan terowongan di bawahnya oleh orang-orang Zionis.
TAMAT Edit teks Saiful Bahri http://cerita-silat.mywapblog.com


Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Golok Maut 16 Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Harimau Kemala Putih 10
^