Pencarian

Rahasia Lorong Spiggy 1

Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes Bagian 1


Enid Blyton EMPAT SERANGKAI RAHASIA LORONG SPIGGY Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1986
Djvu: BBSC Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net DAFTAR ISI 1. Liburan Panjang 2. Di Lorong Spiggy 3. Di Dalam Rumah Tua 4. Penyelundupkah Mereka Itu"
5. Nyala di Puncak Menara
6. Penemuan Aneh 7. Lorong Rahasia 8. Selamat 9. Tawanan di Menara 10. Tangga Tambang 11. Pengalaman Seru Jack 12. Lolos 13. Siasat untuk Menolong Paul
14. Mike Tertangkap 15. Pintu Rahasia 16. Lorong Rahasia Lagi 17. Membebaskan Tawanan 18. Saat yang Penuh Ketegangan
19. Menuju Pulau Rahasia 20. Tenteram di Pulau 21. Musuh Menemukan Pulau Rahasia
22. Gagasan Cemerlang Mike
23. Sendirian di Lubang Intip
24. Akhir Pengalaman Seru
1. LIBURAN PANJANG Pada suatu pagi, empat orang anak duduk dalam kereta api dengan wajah riang
gembira. Saat itu adalah permulaan libur panjang musim panas.
"Hore! Sekarang kita benar-benar akan berlibur," ucap Mike. "Bayangkan - dua
bulan tinggal di gubuk mungil di tepi pantai! Setiap hari kita bisa berenang,
mendayung, memancing. Wah, pokoknya pasti asyik!"
"Lebih asyik lagi kalau Ayah dan Ibu bersama kita," tambah Nora. Nora adalah
saudara kembar Mike. "Aku masih rindu sekali pada Ayah dan Ibu. Satu semester
kita tinggal di asrama sekolah. Sekarang sudah berpisah lagi."
"Ya. Tapi, Ayah dan Ibu kan tidak bisa mengajak kita berempat sekaligus dalam
tugas mengajar ke daerah!" ucap Peggy bijaksana. "Yang penting, beliau berjanji
hendak menyusul kita ke Lorong Spiggy secepatnya."
"Lorong Spiggy! Aneh benar nama tempat itu!" kata Jack. "Mengapa disebut begitu,
ya" Mungkin di sana ada terowongan atau gua-gua."
Keempat anak itu pulang berlibur sehari sebelumnya. Nora dan Peggy dari sekolah
anak perempuan; Mike dan Jack dari sekolah anak laki-laki. Malamnya mereka
tinggal di rumah bersama orang tua mereka. Tetapi pagi harinya mereka berangkat
lagi-berempat saja - menuju ke Lorong Spiggy. Di antara keempat anak itu, Jack-lah yang paling gembira, ia sama sekali belum
pernah ke pantai! Jack bukan saudara kandung Mike, Nora, dan Peggy. Anak itu
sudah tak punya orang tua.
Orang tua Mike mengangkatnya sebagai anak, karena Jack telah berjasa membantu
ketiga anak mereka melarikan diri dari rumah paman dan bibi mereka yang tidak
menyenangkan. Waktu itu Kapten Arnold terpaksa menitipkan Mike, Nora, dan Peggy di rumah adik
perempuannya, karena ia dan istrinya akan terbang ke Australia, mencoba kelaikan
terbang sebuah pesawat udara.
Berbulan-bulan mereka hilang dan terdampar di sebuah pulau terpencil. Karena
lama dicari-cari dan tidak juga ditemukan, akhirnya orang menganggap Kapten
Arnold dan istrinya hilang. Sejak saat itu paman dan bibi anak-anak itu
menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan. Di sana anak-anak berkenalan dengan
Jack. Jack lalu membantu mereka minggat, menuju ke sebuah pulau rahasia di
tengah danau. Di pulau itulah anak-anak tinggal sampai mereka mendengar berita
bahwa orang tua mereka telah ditemukan, dan telah tiba kembali di Inggris untuk
mencari mereka. Karena Jack sudah tidak berorang tua dan sangat menyayangi Mike, Nora, dan Peggy
- Kapten Arnold dan istrinya memutuskan untuk mengangkat anak itu menjadi anak
mereka. Jack diizinkan tinggal dan bersekolah bersama anak-anak mereka sendiri. Sudah
tentu Jack sangat gembira!
Ia bersekolah di sekolah Mike. Sepanjang semester, ia tinggal bersama Mike di
asrama sekolah. Kali ini mereka berkumpul di rumah orang tua mereka untuk
berlibur. Mula-mula mereka kecewa ketika mendengar bahwa Kapten Arnold dan
istrinya harus ke Irlandia untuk tugas mengajar. Tetapi, kekecewaan itu terobati
ketika mereka diizinkan pergi berlibur ke Pantai Cornwall.
"Siapa yang akan mengurusi kita di Lorong Spiggy?" tanya Jack.
"Namanya Nona Dimity," jawab Nora. "Aku belum kenal orangnya, tapi Ibu bilang
dia orangnya baik." "Nona Dimity!" ujar Peggy. "Kubayangkan orangnya pemalu, seperti tikus. Enaknya
kupanggil Dimmy saja deh!"
Yang lain tertawa. "Tunggu dulu! Lihat dulu bagaimana orangnya," kata Mike. "Siapa tahu orangnya
tinggi besar dan galak."
Kereta api yang ditumpangi anak-anak terus menderu. Jack memperhatikan peta yang
tergantung di dinding. "He!" katanya. "Kelihatannya letak Lorong Spiggy tidak terlalu jauh dari pulau
rahasia kita! Siapa tahu kita bisa mengunjungi pulau itu lagi. Mungkin sekarang
sudah mentereng pemandangan di situ."
"Ah, jauh juga sih," ucap Mike, ikut-ikut memperhatikan peta. "Kira-kira empat
puluh mil, menurutku. Kita lihat saja nanti. Aku juga ingin melihat lagi pulau
itu." "Kita makan dulu, yuk," ajak Peggy sambil mulai membongkar keranjang makanan.
"Wah, lihat! Banyak sekali Ibu membekali kita!"
Ada roti isi ayam, tomat, berbagai jenis biskuit, limun, apel, dan pisang.
"Bagus!" seru Mike sambil mengambil bagiannya. "Ibu memang manis. Beliau tahu
makanan kegemaran kita!"
"Berapa jam lagi kita sampai ke Lorong Spiggy?" tanya Nora sambil melahap
rotinya. "Kita sampai ke stasiun tujuan kira-kira jam empat sore," sahut Mike. "Tapi,
dari sana kita masih harus menempuh jarak enam mil untuk mencapai Lorong Spiggy.
Katanya kita akan dijemput di stasiun."
Rasanya waktu berjalan agak lambat. Keempat anak di dalam kereta api itu
menyibukkan diri dengan membaca buku yang mereka bawa serta bermain-main.
Tetapi, akhirnya mereka semua merasa lelah dan kepanasan.
"Aku mau tidur ah," Nora berkata sambil mengangkat kaki ke tempat duduk.
"Tidur!" kata Mike meremehkan. "Aku sih tak bakalan bisa tidur pada saat seperti
ini!" Nyatanya, beberapa menit kemudian Mike pun tertidur pulas! Keempat anak itu
tertidur sementara kereta api yang mereka tumpangi menderu terus melewati daerah
pedesaan, jembatan, stasiun-stasiun kecil, dan terowongan.
Mereka baru terbangun ketika kecepatan kereta api itu berkurang, karena hendak
memasuki sebuah stasiun. Mike langsung melompat, melihat ke luar jendela.
"He! Kita sudah hampir sampai!" serunya kepada yang lain. "Bangun! Ayo, bangun
semua - Pemalas! Turunkan barang-barang kalian dari rak, dan rapikan diri sedikit!
Kalian semua kelihatan lusuh sekali!"
Anak-anak pun merapikan diri, lalu menurun-nurunkan barang dari rak. Mereka
selesai tepat ketika kereta api berhenti di stasiun.
Satu per satu mereka melompat turun. Mike memanggil seorang kuli.
"Ada dua kopor kami di gerbong, Pak. Bisa minta tolong dibawakan?"
Langsung kuli itu berlari naik ke gerbong yang ditunjukkan Mike. Jack berjalan
mondar-mandir di peron, mencari orang yang menjemput mereka. Tetapi, di situ tak
kelihatan seorang pun. Yang kelihatan hanya seekor kuda berkulit coklat dengan
mata mengantuk. Kuda itu berdiri di pelataran stasiun. Di belakangnya ada sebuah sado. Di
samping bagian depan sado itu berdiri seorang lelaki.
"Apakah Anda Tuan Arnold?" tanya lelaki itu pada Jack. "Saya disuruh menjemput
empat orang anak, lalu membawa mereka ke Lorong Spiggy."
"Bagus!" kata Jack, ia lalu berteriak memanggil yang lain, "Hai, Mike! Nora!
Peggy! Kita sudah dijemput! Naik sado! Cepat!"
Kuli yang tadi datang membawa dua buah kopor. Anak-anak masuk ke bagian belakang
sado yang menjemput mereka, bersama dengan semua barang bawaan mereka. Mereka
nyengir kepada sais sado yang kelihatannya menyenangkan itu. Lelaki itu lalu
naik ke kursi sais, memecutkan pecutnya, dan kudanya pun berjalan menuju ke
Lorong Spiggy. Daerah yang mereka lalui mempunyai pemandangan bagus. Laut biru membentang luas
di satu sisi, jauh di bagian bawah tebing yang curam. Tebing di situ" curam-
curam, terbentuk dari semacam batu berkapur. Di sana-sini terlihat karang
menjulang dari permukaan laut, dihantam gelombang yang kemudian memecah
meninggalkan buih putih. Sisi lain jalan yang mereka lalui berpemandangan padang dan bukit-bukit. Bunga-
bungaan liar berwarna-warni tampak menghiasi pinggir jalan. Betapa gembira,
anak-anak menyaksikan semuanya itu.
"Mudah-mudahan cuacanya selalu bagus begini," kata Mike. "Kalau matahari
bersinar terus, aku akan mengenakan pakaian renang sepanjang hari!"
"Aku juga!" yang lain berkata berbarengan.
Kudanya berderap terus. Bunyi ombak memecah di pantai yang terletak jauh di
bawah sana terdengar oleh anak-anak. Jalannya sekarang berkelok-kelok, menyusur
pinggir tebing terjal. Angin laut berhembus keras menerpa wajah mereka. Tetapi
anak-anak tidak mengeluh. Angin laut itu membuat mereka merasa sejuk setelah
kepanasan dari tadi. "Apa namanya rumah yang akan kami tinggali, Pak?" tanya Mike kepada sais sado.
"Lubang Intip," sahutnya.
"Lubang Intip!" Jack berseru kaget. "Aneh benar namanya!"
"Sebentar lagi kalian akan melihatnya," kata sais itu. "Itu dia!"
Dengan pecutnya, ia menunjukkan rumah yang dimaksud. Anak-anak melihat rumah
mungil berbentuk ganjil yang akan mereka tinggali selama liburan.
Di bagian samping rumah kecil itu terdapat sebuah menara. Rumah dan menara itu
dibangun di atas sebuah lembah di antara dua buah tebing - menghadap ke laut.
"Disebut Lubang Intip karena letaknya di antara dua tebing tinggi yang biasa
dipakai mengintip ke laut," kata sais. "Dari menara rumah itu, kalian bisa
melihat menara Rumah Tua yang terletak di tebing yang terdapat di balik
pepohonan tinggi itu. Katanya, pada zaman penyelundup dulu, ada orang yang kerjanya menyalakan lampu
isyarat dari Lubang Intip kepada orang lain yang berada di menara Rumah Tua."
"Wah! Menarik juga," kata Jack. "Kalau ada penyelundup, menara, dan lampu
isyarat - kupikir, pasti ada gua-guanya juga."
"Oh, memang banyak," kata sais sambil nyengir. "Hati-hati saja - jangan sampai
tersesat di dalamnya. Bisa-bisa kalian terkepung ombak pasang. Pantai ini
sebenarnya agak berbahaya untuk anak-anak."
"Kita sampai ke Lubang Intip," seru Nora ketika sais menghentikan sado mereka di
depan rumah mungil bermenara. "Pasti yang berdiri di pintu itu Nona Dimity!
Perawakannya memang kecil seperti tikus, Peggy!"
Anak-anak memperhatikan Nona Dimity. Perempuan itu sudah agak tua. Perawakannya
kecil. Rambutnya keputih-putihan, ditata rapi. Senyum manis tersungging di bibirnya,
sementara matanya memandang malu-malu dan memancarkan hati yang tulus.
"Selamat datang di Lubang Intip, Anak-anak!" sapanya dengan suara nyaring.
"Terima kasih, Nona Dimity!" sahut anak-anak. Mereka lalu bersalaman dengan
sopan satu per satu. "Mudah-mudahan kalian senang tinggal di sini," kata Nona Dimity pula. ia
berjalan mendahului anak-anak masuk ke dalam rumah. "Kamar kalian di menara.
Kupikir kalian pasti senang tidur di sana."
"Di menara!" seru Nora memekik sampai-sampai Nona Dimity kaget dibuatnya. "Oh,
asyiknya! Asyik! Asyik!"
Nona Dimity menunjukkan jalan melalui tangga naik yang berputar-putar menuju
bagian atas menara. Di menara itu terdapat dua kamar tidur. Yang satu di atas
yang lain. Kamar-kamar itu tidak besar, dan bentuknya bulat.
"Nah, sekarang cuci muka dulu, rapikan diri, lalu turunlah. Di bawah akan
kusediakan makanan kecil," kata Nona Dimity dengan suara lembut tetapi tegas, ia
lalu menambahkan, "Semoga kalian benar-benar senang berlibur di sini."
Perempuan tua itu sama sekali tak menyangka bahwa anak-anak akan mengalami
pengalaman yang aneh di situ!
2. DI LORONG SPIGGY Anak-anak mencuci muka, lalu merapikan diri. Sementara itu mereka ribut
mengobrol. Anak laki-laki menempati kamar yang letaknya di atas. Kamar itu
mempunyai empat buah jendela dengan pemandangan ke empat arah yang berbeda.
"Dari jendela ini kita bisa melihat jauh ke laut," ucap Jack sambil melihat ke
luar. "Yang itu menunjukkan pemandangan tebing-tebing - yang ini menunjukkan
pemandangan darat - dan yang satu lagi ini, kita bisa melihat atap Lubang Intip
dari sini!" "Wah, Rumah Tua kelihatannya agak misterius," kata Mike. "Besar sekali! Siapa
yang tinggal di situ sekarang, ya?"
"Turunlah, Anak-anak!" panggil Nona Dimity. "Makanan kecil sudah siap!"
Anak-anak berlari-lari turun sambil tertawa-tawa gembira di sepanjang tangga
yang melingkar-lingkar itu. Hati mereka girang bukan kepalang. Senang rasanya
berempat lagi, setelah tiga bulan lamanya hidup terpisah di asrama. Di samping
itu, mereka membayangkan betapa asyiknya liburan panjang kali ini.
Kue yang dihidangkan ada tiga macam. Semuanya buatan Nona Dimity. Di samping
itu, disajikan pula madu hasil lebah piaraan Nona Dimity. Minumannya bukan teh,
melainkan susu segar. Nona Dimity duduk di ujung meja, menanyakan bagaimana perjalanan anak-anak tadi.
Dengan segera keempat anak itu menyukai Nona Dimity. Perempuan tua itu bisa
mengikuti gurauan anak-anak, dan selalu ikut tertawa. Di samping itu, ia tak
peduli betapa banyaknya pun anak-anak mengambil kue.
"Semuanya buatanku sendiri," ujarnya. "Aku senang kalau kalian makan semuanya,
karena itu tandanya kalian suka kue buatanku."
"Tentu saja kami suka, Dimmy," ucap Nora. Saudara-saudaranya mengikik sambil
memandang kepada Nona Dimity. Akan marahkah dia dipanggil 'Dimmy'"
"Oh," kata Nona Dimity, "itu nama panggilanku ketika aku masih bersekolah dulu.
Senang hatiku mendengar nama itu disebut lagi!"
Maka sejak saat itu anak-anak memanggilnya 'Dimmy'. Nama itu memang cocok
untuknya. Setelah selesai menikmati hidangan kecil, Dimmy bangkit dan mulai membereskan
meja. ia memasak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendirian.
"Perlukah kami membantumu, Dimmy?" tanya Peggy sopan.
"Oh, tak usah - terima kasih," sahut Dimmy sambil menumpuk cangkir dan piring
kotor. "Kalian ke sini untuk berlibur, bukan untuk membantuku. Meskipun begitu, ada
beberapa peraturan yang kuminta kalian patuhi."
"Peraturan apa?" tanya Mike, agak kuatir. ia teringat akan peraturan yang ketat
di sekolah, dan segan kalau di sini pun harus mengikuti peraturan semacam itu.
"Ah, peraturan kecil saja," Dimmy tersenyum. "Kuminta kalian membereskan tempat
tidur sendiri setiap pagi. Di samping itu, kuminta kalian tidak terlambat datang
untuk makan. Seandainya kalian ingin berpiknik, katakan saja kepadaku - supaya aku bisa
menyiapkan bekal untuk kalian. Yang ketiga, pesan ibu kalian sendiri - kalian


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah harus berada di kamar sebelum jam setengah sembilan malam."
"Baik, Dimmy," sahut Mike. "Kami akan mentaati peraturan-peraturan itu. Tak
perlu kuatir, kami semua punya arloji -jadi bisa melihat waktu. Bolehkah kami
berjalan-jalan sekarang?"
"Tentu saja - pergilah berjalan-jalan kira-kira sejam, lalu kalian harus pulang
karena sudah waktunya tidur," kata Dimmy. "Kalau perlu, aku bersedia membongkar
kopor kalian dan mengatur baju-baju kalian di lemari."
"Oh!" ujar Peggy senang. "Terima kasih, Dimmy! Yuk, kami berangkat, ya!"
Keempat anak itu berlari-lari keluar dari rumah melalui jalan kecil yang menuju
ke pantai. Jalannya curam, mempunyai beberapa anak tangga yang terbuat dari batu
padas. "Turun melingkar seperti tangga di menara kita," kata Mike. "Wah, tebingnya
cukup curam juga! Dan, he - lihatlah warna lautnya! Belum pernah aku melihat
warna biru seperti itu."
Matahari terbenam di sebelah barat. Laut di sebelah timur berwarna biru tua dan
terlihat tenang. Yang di sebelah barat berkilau-kilau oleh pantulan cahaya
matahari. Anak-anak tertawa-tawa sambil melompat turun ke pasir yang lembut. Banyak kulit
kerang di situ. "Aku akan mengumpulkan kulit kerang sebanyak-banyaknya," kata Mike yang punya
hobi mengumpulkan berbagai jenis kulit kerang.
"He! Lihatlah gua-gua itu!" ucap Jack tiba-tiba sambil menunjuk ke tebing di
belakang mereka. Yang lain melihat. Di sana terdapat lubang-lubang besar dan
kecil pada dinding tebingnya.
"Kita lihat ke sana, yuk!" ajak Nora, ia langsung berlari menuju ke tebing, dan
mengintip ke dalam salah sebuah lubang.
"Hiii!" katanya. "Dingin dan gelap di dalamnya."
Nora benar. Di dalam memang dingin dan gelap. Cahaya matahari tak dapat masuk ke
dalam sehingga suasana di situ terasa lembab dan misterius.
"Yang aku kepingin tahu - menjorok masuknya jauh atau tidak, ya?" kata Mike.
"Asyik kalau kita bisa masuk melihat-lihat dengan membawa senter."
"Masih banyak waktu! Kita bisa lakukan itu pada suatu hari nanti," kata Peggy.
"Sekarang, kita bermain-main di air, yuk!"
Anak-anak melepaskan sandal mereka, lalu melompat ke air laut. Airnya hangat.
Mereka bermain kejar-kejaran di situ. Nora terjatuh. Bajunya basah kuyup.
Peggy menolongnya berdiri, lalu melihat arlojinya.
"Astaga! Sudah malam - kita mesti buru-buru pulang. Ayo!"
Mereka berlari-lari menaiki tangga alam yang melingkar naik ke tebing. Napas
mereka terengah-engah karena belum biasa menaiki tangga batu itu. Lalu, lewat
pekarangan, mereka masuk ke Lubang Intip. Nona Dimity sedang menyiapkan hidangan
makan malam sederhana untuk mereka.
"Wah, tempat ini indah sekali, Dimmy!" seru Mike. "Di bawah sana banyak sekali
gua!" "Aku tahu," sahut Dimmy. "Gua-gua itu namanya Lorong Spiggy. Spiggy adalah nama
seorang penyelundup kenamaan yang hidup kurang lebih seratus lima puluh tahun
yang lalu. ia tinggal di rumah tua yang terletak di atas tebing sebelah belakang
rumah ini. Kata orang, rumah ini dulunya dipakai sebagai tempat mengintip hingga
Spiggy tahu kalau kapal-kapal yang membawa barang selundupannya datang."
"Wah, menarik sekali!" ujar Mike.
"Kalau sekarang ini masih ada penyelundup," tambah Peggy, "Asyik! Kita bisa
mematai-matai mereka, menemukan tempat persembunyian mereka
"Sekarang tak ada lagi penyelundup di Lorong Spiggy," tutur Dimmy. "Semua sudah
selesai makan, kan" Nah, naiklah ke kamar. Sudah waktunya kalian tidur. Kupikir
kalian sudah cukup besar, hingga aku tak perlu mengawasi kalian mencuci muka dan
menggosok gigi sebelum tidur."
"Astaga! Dimmy! Guru di sekolah pun tak pernah mengawasi kami sampai seperti
itu," ucap Jack. "Kami semua sudah besar! Tak ada lagi yang balita!"
"Kaupikir aku tak tahu?" kata Dimmy sambil memukul pantat anak itu dengan sendok
ketika ia lewat di dekatnya. "Ayo, pergi sana!"
Sambil tertawa cekikikan, anak-anak naik ke loteng.
"Dimmy orangnya lucu," kata Nora sambil mengganti baju di kamarnya yang bulat
dalam menara. "Mau ikut bergurau. Hi, kamar kita asyik ya" Jendelanya empat. Kau
senang tidak di sini, Peg?"
"Senang dong," sahut Peggy. "Tapi, kamar Mike dan Jack lebih asyik lagi - tinggi
di atas! Kita ke sana, yuk - bilang selamat tidur sama mereka!"
Setelah mengenakan daster, keduanya naik ke kamar Mike dan Jack. Kedua anak
laki-laki itu sudah berada di tempat tidur.
"Selamat tidur!" kata Peggy. "Tempat ini menyenangkan ya, Mike?"
"Ya," sahut Mike sambil menguap lebar. "Aku senang punya kamar yang disinari
matahari dari pagi sampai sore dan punya empat jendela yang bisa dipakai untuk
melihat ke segala penjuru!"
Peggy melangkah ke jendela yang menghadap ke tebing di belakang Lubang Intip.
"Rumah Tua itu aneh kelihatannya," katanya. "Aku kurang suka rumah itu.
Kaulihatkah menaranya yang tinggi dan besar itu, Mike" Persis seperti menara
kita ini, bedanya menara itu lebih tinggi dan besar. Kesannya, menara itu
mengawasi menara kita."
"Ada-ada saja yang kaupikirkan, Peggy," kata Mike mengantuk. "Kapan-kapan kita
melihat-lihat pekarangan rumah itu. Seandainya rumahnya kosong, mungkin kita
bisa naik ke menaranya, melihat-lihat bagian dalam menara itu."
"Bagaimana rupa Spiggy si penyelundup itu, ya?" tanya Nora.
"He, kalau Dimmy tahu kau belum juga tidur, bisa-bisa dia mengejarmu sambil
membawa sikat rambut untuk memukul pantatmu," kata Jack, menyusupkan kepala ke
bawah bantal. "Heran, kalian pada belum mengantuk. Pergi tidur sana deh!"
"Oke," sahut Peggy. "Selamat tidur! Sampai besok pagi, Pengantuk!"
Peggy dan Nora menuruni tangga, menuju ke kamar mereka. Keduanya lalu naik ke
tempat tidur. Masing-masing punya tempat tidur sendiri. Ukurannya kecil, tetapi
enak ditiduri. "Sekarang, akan kubayangkan kembali semua yang telah kita kerjakan hari ini,"
kata Nora. Tetapi sebentar saja ia sudah tertidur. Tidurnya nyenyak, dan baru
bangun esok paginya. Saat itu sinar matahari sudah menerobos masuk melalui
jendela yang menghadap ke timur. Peggy dan Nora terbangun karena ada yang
menggelitik mereka. "He, jangan!" pekik Nora. "Mike, jangan! Mau apa sih kau?"
"Kita mandi di laut sebelum sarapan, yuk!" ajak Mike. "Bangun, Pemalas! Sudah
jam tujuh. Sarapan mulai jam delapan. Jadi, kita masih punya waktu."
Nora dan Peggy langsung bangkit dan duduk. Mata mereka langsung terbuka lebar,
mengamati kamar mereka yang bulat bermandikan cahaya matahari pagi. Dari keempat
jendela yang terdapat di sekeliling kamar itu, terlihat penggalan-penggalan
langit biru. Jauh di bawah, terdengar bunyi ombak memecah di pantai. Betapa
bahagia perasaan mereka! Sebentar saja, mereka pun terdengar bernyanyi-nyanyi.
Mereka masih bernyanyi ketika berlari-lari kecil menuruni tangga. Nona Dimity
melongokkan kepala dari pintu dapur.
"Oh, rupanya kalian yang menyanyi," ujarnya. "Kupikir kicau burung yang kudengar
dari tadi." Anak-anak tertawa mengikik, lalu berlari-lari ke pantai - menuruni tebing terjal
dan menceburkan diri ke air laut.
"Nah, sekarang ini liburan kita benar-benar mulai," kata Mike, ia mencipratkan
air ke arah Peggy. "Kita harus menggunakan setiap kesempatan untuk bersenang-
senang!" 3. DI DALAM RUMAH TUA Hari-hari pertama liburan berjalan dengan sangat menyenangkan. Anak-anak
menjelajahi pantai yang walaupun asyik untuk dijelajahi, tetapi cukup berbahaya.
Pada waktu air pasang, sebagian tebing di pantai terendam air. Bahkan, hampir
semua guanya dimasuki air.
"Kita harus berhati-hati supaya jangan sampai terjebak air pasang pada waktu
berada di dalam gua," kata Jack. "Kalau sampai hal itu terjadi, susah
keluarnya!" Nona Dimity juga mengingatkan adanya bahaya semacam itu kepada anak-anak. ia
menceritakan pengalaman orang yang kurang berhati-hati, hingga terpaksa dicari
oleh regu penyelamat ke dalam gua dengan menggunakan perahu.
Pada saat air surut, enak sekali berenang-renang di pantai. Anak-anak berjanji
kepada Nona Dimity, bahwa mereka takkan berenang pada saat air pasang. Ombak
sangat besar pada saat itu, hingga Dimity kuatir anak-anak terhempas ke batu
karang. Tetapi, waktu air surut, kolam-kolam kecil yang terbentuk oleh karang di
pantai itu sangat menyenangkan.
Airnya jernih dan hangat. Lagipula, dasarnya yang berpasir terasa begitu lembut
pada telapak kaki mereka.
"Di sini kalian tak perlu pakai sandal atau sepatu," kata Dimmy. "Jarang ada
turis yang datang kemari dan mengotori pantai dengan bungkus makanan atau
pecahan gelas!" Karenanya, anak-anak selalu pergi bertelanjang kaki. Itu lebih enak - mereka
bisa merasakan kelembutan pasir. Tukang kebun yang secara teratur datang untuk
merawat halaman Lubang Intip meminjami anak-anak sebuah perahu kecil. Betapa
senangnya mereka mendayung perahu itu mengelilingi pantai pada saat air surut
Pada suatu hari, air naik tinggi sekali. Ombaknya menghantam tebing-tebing di
sepanjang pantai, dan semua gua yang ada di situ terendam air. Anak-anak tak
bisa turun ke pantai pada hari itu. Pertama, karena pantainya sendiri tidak ada.
Kedua, karena Dimmy mengatakan bahwa turun pada saat air pasang seperti itu
sangat berbahaya. Tangga alam yang biasa dilalui anak-anak pada waktu menuruni
tebing menjadi sangat licin karena percikan air laut Kalau sampai terpeleset,
bisa-bisa mereka tergelincir dan masuk ke air.
"Enaknya kita main apa, ya?" tanya Jack sambil mondar-mandir di kebun. Sesekali
tangannya meraih, memetik kacang polong yang tumbuh di situ dan memakannya.
Kebun Dimmy ditumbuhi berbagai jenis kacang-kacangan dan sayur-mayur. Di situ
terdapat pula beberapa pohon buah-buahan seperti ceri, frambos, dan prem. Anak-
anak tak tahan untuk tidak memetik buah-buahan itu kalau lewat di kebun.
"Aku punya usul!" kata Mike. "Kita ke Rumah Tua, yuk!"
George, tukang kebun Nona Dimity, sedang sibuk mencabuti kentang. Anak-anak
lewat di dekatnya. Nora berseru,
"George! Kami hendak melihat-lihat Rumah Tua di belakang itu. Ada orang yang
tinggal di situ atau tidak, George?"
"Sudah dua puluh tahun rumah itu kosong," sahut George. "Bahkan mungkin lebih.
Kebunnya sudah seperti hutan - tak ada yang merawat."
"Wah, kalau begitu, asyik dong! Kami bisa melihat-lihat ke dalamnya juga," kata
Peggy. Mereka lalu berlari-lari naik ke tebing yang lebih tinggi, menuju ke Rumah Tua.
Masing-masing sudah mengenakan topi pelindung, tetapi mereka masih kepanasan.
Tak lama kemudian sampailah mereka ke tempat tembok tinggi yang memagari halaman
rumah itu. "Yah, mana mungkin memanjat tembok setinggi ini," kata Jack, memandang ke tembok
yang tingginya lebih dari tiga kali tinggi badannya. "Bagaimana enaknya?"
"Kita masuk dari pintu gerbangnya saja," usul Mike, nyengir. "Apakah menurutmu
lebih asyik kalau kita mencoba naik lalu ternyata jatuh dan patah kaki, Jack?"
Yang lain tertawa. "Benar! Asyiknya sih kita naik saja ke atas tembok," sahut Jack. "Tapi, amannya,
kita cari saja pintu gerbangnya."
Pintu gerbangnya ternyata dikunci. Tetapi, dengan mudah anak-anak memanjat pintu
itu. Dari atas pintu, mereka terjun ke halaman Rumah Tua.
Sebuah jalan yang panjang dan gelap terlihat berkelok di bawah lindungan
pepohonan yang rimbun, menuju ke pintu utama rumah itu. Tetapi, jalan itu
ditumbuhi semak-semak berduri hingga anak-anak berhenti dengan perasaan kecewa.
"Wah!" kata Jack. "Mestinya kita pakai jas hujan yang tebal dan sepatu karet.
Kalau begini, bisa luka semua sekujur tubuh kita."
"Lihat," kata Nora sambil menunjuk ke kiri. "Di sana ada jalan yang bisa kita
lalui. Cuma ditumbuhi alang-alang tinggi, tetapi tak ada semak berduri-nya. Kita coba
lewat situ, yuk!" Dengan melintasi rumpun semak-semak, anak-anak berjalan ke tempat yang
ditunjukkan Nora. Halaman rumah itu luas sekali. Di situ tumbuh berbagai pohon
buah-buahan. Buahnya sudah lama tidak dipetik orang dan jatuh percuma. Walaupun
begitu, buah-buah yang masih tergantung di pohonnya kelihatan manis dan segar.
Anak-anak memetik buah prem, lalu menikmati airnya yang manis.
"Toh tak ada orang yang menempati rumah ini," ucap Nora. "Jadi, kita bisa
mengambil buah prem sebanyak-banyaknya. Kalau tidak, paling-paling dimakan
kelelawar. Panas benar di kebun ini, ya!"
"Kita lihat bagaimana rupa rumahnya dari dekat, yuk!" ajak Jack. Mereka pun
berjalan menembus alang-alang menuju ke rumah. Rumah itu terbuat dari batu kapur
berwarna putih. Buatannya sangat kuat dan kokoh. Jendela-jendelanya berukuran agak kecil. Dan
kamar-kamar di dalamnya terlihat gelap ketika anak-anak mengintip ke dalam dari
jendelanya yang kotor berdebu.
Mereka sampai ke menara di samping rumah itu. Bentuknya tidak berbeda dengan
menara di samping rumah Nona Dimity.
"Yang ini ukurannya besar sekali," kata Mike, agak kaget. "Paling tidak, tiga
kali menara kita! Astaga! Aku jadi kepingin masuk dan naik ke atasnya.
Pemandangan laut dari situ pasti lebih bagus!"
"Kita coba masuk ke rumahnya, yuk!" ajak Peggy, ia mencoba membuka beberapa buah
jendela, tetapi semuanya terkunci rapat. Mike mencoba membuka pintu yang
letaknya agak menjorok ke dinding menara, tetapi pintu itu pun terkunci dan
digembok dari dalam. Tiba-tiba Jack berseru, ia menemukan sebuah tangga tua setengah rusak yang
tergeletak di tanah. Kalau disandarkan pada dinding menara yang bulat itu, kira-
kira tingginya mencapai salah sebuah jendela kecil yang terdapat di situ.
"Pasti jendelanya bisa dibuka," kata Jack. "Kemarilah kau, Mike - tolong pegang
tangga ini. Kelihatannya tangga ini sudah tidak begitu kuat dipanjat." Mike
memegangi tangga, dan Jack naik dengan hati-hati.
Salah satu pijakan kaki tangga itu tiba-tiba saja patah ketika Jack menginjakkan
kakinya, hingga hampir saja anak itu jatuh. Tangganya memang sudah tak layak
dipakai, tetapi berkat pegangan Mike yang kuat, Jack tidak apa-apa.
Jack naik sampai ke dekat jendela, lalu berusaha membukanya.
"Kuncinya sudah patah!" kata Jack. "Kurasa jendela ini bisa dibuka meskipun agak
sukar membukanya. Daun jendelanya rapat benar dengan kusen."
"Tenang saja, Jack - tangganya kupegangi terus," seru Mike. "Guncang-guncang
jendelanya, lalu hantam bagian bawahnya. He! Bantu aku memegangi tangga ini,
Nora! Jack sedang memukul-mukul jendela supaya terbuka. Tenagaku kurang untuk
memegangi tangga kalau si Jack sedang beraksi! Aku takut dia tiba-tiba saja
jatuh di atas kepalaku!"
Terdengar teriakan dari atas sementara tangga yang dipegangi Mike dan Nora
berguncang keras. "Sudah terbuka!" seru Jack.
"Kalau begitu, kami juga ingin naik!" seru Nora penuh semangat
"Jangan," ucap Jack sambil bersandar pada bagian dalam jendela yang sudah
terbuka, ia sudah masuk ke dalam lewat jendela itu. "Tangga itu sudah jelek
sekali. Berbahaya jika dinaiki. Lebih baik kalian kubukakan pintu saja."
"Betul," kata Mike sambil menyingkirkan tangga dan menjatuhkannya ke tanah lagi.
Jack menghilang. Bunyi langkah kakinya berlari-lari menuruni tangga kedengaran
dari luar. Tak lama kemudian terdengar Jack membuka selot dan memutar anak kunci yang sudah
berkarat, ia menarik pintu itu kuat-kuat sementara Mike mendorongnya dari luar.
Mendadak pintunya terbuka, hingga Jack terlempar ke lantai yang berdebu dan Mike
jatuh tersungkur. Nora dan Peggy masuk, menertawakan kedua anak laki-laki itu. Jack bangkit dan
membersihkan debu dari badannya.
"Kita naik ke menara dulu, yuk!" ajaknya. "Lihatlah dindingnya! Tebalnya bukan
main! Hebat juga ahli bangunan zaman dulu, ya."
Menaranya memang kokoh sekali. Sebuah tangga kecil melingkar-lingkar pada
dindingnya menuju ke atas. Ada empat ruangan di puncak menara. Letaknya bersusun
satu dengan yang lain. "Semuanya bulat - seperti kamar kita di menara Lubang Intip. Wah! Hebat benar
pemandangan ke laut dari kamar yang paling atas ini!" ujar Jack.
Dengan tak mengucapkan sepatah kata pun, keempat anak itu berdiri di balik
jendela - memandang jauh ke laut. Airnya luas berkilau-kilauan. Di sana-sini tampak buih
putih, menandakan ombak membentur karang yang terdapat di tempat itu.
"Menara Lubang Intip terlihat jelas dari sini," kata Mike. "Rupanya, kedua
menara ini dibangun dengan posisi sedemikian rupa hingga para penyelundup bisa
memberi isyarat dengan gampang satu dengan lainnya. Seandainya salah seorang di


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

antara kita tinggal di menara Lubang Intip, dari sini kita bisa memberi isyarat
dengan melambaikan sapu tangan. Pasti orang yang di menara Lubang Intip sana
bisa melihat isyarat kita dengan jelas."
"Mike! Jack! Aku mendengar sesuatu!" kata Nora tiba-tiba. Nora memang mempunyai
pendengaran paling tajam di antara keempatnya.
Yang lain kaget. "Apa maksudmu, Nora?" tanya Jack. "Yang terdengar olehku cuma bunyi kicau burung
dan air laut di kejauhan."
"Bukan itu," sahut Nora. "Ada suara orang bercakap-cakap."
"Orang bercakap-cakap" Mana mungkin" Rumah ini kan sudah bertahun-tahun kosong
tak dihuni?" Jack berkata sambil tertawa.
"Pokoknya aku mendengar suara orang bercakap-cakap," kata Nora lagi sambil
menunjuk ke sebuah jendela yang terdapat di puncak menara. "He! Lihatlah ke
bawah. Pintu gerbang terlihat jelas dari sini - lihatlah!"
Semua melihat ke bawah. Mereka memandang dengan tak percaya.
"He, kok terbuka?" kata Mike. "Waktu kita panjat tadi, pintu itu terkunci rapat!
Kalau begitu Nora pasti benar! Ada orang yang masuk."
"Mungkin orang yang berniat membeli rumah ini," kata Nora. "Wah, seharusnya kita
tidak berada di sini. Kalau tahu begitu, kita tadi tidak makan buah prem
sebanyak itu. Ayo, kita cepat-cepat pergi dari sini."
Sekarang suara orang-orang itu terdengar pula oleh anak-anak yang lain. Jack
sangat ketakutan. "Menurutku, mereka sudah berada di menara," katanya. "Rupanya mereka masuk dari
pintu depan, lalu berkeliling naik ke menara."
"Mereka sedang naik tangga!" bisik Peggy sambil setengah menutup mulutnya.
"Ssst! Jangan berkata-kata lagi. Siapa tahu mereka takkan naik sampai ke puncak."
Makin lama suara itu makin jelas terdengar. Suara seorang laki-laki dan seorang
perempuan. "Menara inilah tempatnya," terdengar suara yang laki-laki. Rupanya orang itu
orang asing. "Mana ada orang yang menyangka?" kata yang perempuan sambil tertawa. Tawanya
terdengar sumbang. Orang-orang itu masuk ke ruangan yang berada tepat di bawah
ruangan yang paling atas. Lalu yang perempuan berseru,
"Hebat benar! Indah pemandangannya, dan terpencil. Tak ada sebuah rumah pun
kecuali rumah kecil di bawah itu. Kalau tak salah, namanya Lubang Intip. Rumah
lain yang terdekat, rumah pertanian - paling tidak empat kilometer jauhnya dari
sini. Wah, tempat ini benar-benar cocok untuk kita, Felipe!"
"Benar," sahut yang lelaki. "Ayo, semua yang perlu dilihat sudah kita lihat"
Anak-anak merasa lega. Jadi, orang-orang itu tidak akan naik ke ruangan yang
paling atas. "Sebenarnya, aku ingin melihat pemandangan dari ruangan yang paling atas,"
terdengar suara si perempuan. "Ruangan itu yang akan kita jadikan kamar kita,
kan?" "Baiklah, kita naik," sahut yang lelaki. "Tapi, cepat ya - waktu kita tidak
banyak." Bunyi langkah mereka menaiki tangga terdengar makin dekat Anak-anak tak tahu apa
yang harus mereka lakukan. Karena itu mereka berdiri saja diam-diam, menunggu
pintu ruangan itu dibuka dari luar. Pintunya terbuka. Seorang perempuan berambut
keemasan memandang mereka. Di belakangnya berdiri seorang laki-laki. Kulitnya
berwarna gelap. "He!" ujar perempuan tadi dengan kaget bercampur marah. "Sedang apa kalian di
sini?" "Oh, kami cuma ingin melihat-lihat pekarangan dan menara rumah ini," kata Jack.
"Kami kebetulan sedang tinggal di Lubang Intip."
Laki-laki berkulit warna gelap itu langsung mendekati mereka sambil membentak,
"Kalian tidak berhak masuk seenaknya ke dalam rumah kosong. Kami adalah calon
pembeli rumah ini. Kalau sekali lagi kami lihat kalian masuk ke halaman atau ke
dalam rumah ini, awas! Mengerti" Ini bukan sekadar gertak sambal! Nah, sekarang
keluarlah kalian!" Anak-anak sangat ketakutan. Mereka langsung berlari menuruni tangga yang
melingkar-lingkar, dan keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Belum pernah
ada orang yang berbicara sekasar itu kepada mereka.
"Kita bilang Dimmy, yuk," kata Nora. "Ayo, cepat!"
4. PENYELUNDUPKAH MEREKA ITU"
Keempat anak itu berlari tanpa berhenti sejenak pun ke Lubang Intip. Betapa
ramah rumah itu dibandingkan dengan Rumah Tua yang baru saja mereka tinggalkan.
Dan betapa manisnya Dimmy yang sedang berdiri memetik kacang untuk makan malam
mereka di kebun! "Dimmy!" panggil Nora sambil berlari-lari menghampiri. "Ada orang yang hendak
membeli Rumah Tua!" Dimmy kelihatan terkejut "Untuk apa?" tanyanya. "Rumah sebesar itu cuma cocok jika dipakai untuk sekolah
atau hotel - kalau untuk rumah tinggal keluarga, kurasa sama sekali tak cocok.
Terlalu besar dan sepi."
"Calon pembelinya aneh," ucap Jack, lalu menceritakan semua yang telah terjadi.
"Seandainya mereka menemukan kami bermain-main di sana lagi, sungguhkah mereka
akan menghukum kami, Dimmy?"
"Mungkin saja," kata Dimmy sambil membawa kacang yang baru dipetiknya masuk ke
dalam rumah. "Seandainya rumah itu jadi mereka beli, maka rumah itu akan jadi
hak milik mereka. Karenanya, kalian harus menjauhkan diri dari sana. Menurutku,
masih banyak kegiatan lain yang bisa kalian lakukan selain bermain-main di
sana!" "Yah, tapi tempatnya agak misterius," kata Jack. "Kalau melihatnya lama-lama,
aku jadi merasa bahwa di situ bisa terjadi sesuatu."
"Aku juga merasa seperti itu," ujar Nora. "Aku tak suka pada Rumah Tua. Anehnya,
rumah itu selalu teringat olehku."
"Ah, kalian ini ada-ada saja," kata Dimmy. "Kurasa, orang yang mau membeli rumah
itu hendak menjadikannya tempat peristirahatan. Tak lama lagi tentu rumah itu
menjadi rumah biasa - seperti rumah ini."
"Kita mandi-mandi, yuk!" ajak Mike tiba-tiba. "Kita lupakan saja Rumah Tua dan
calon pemiliknya yang seram itu!"
Tanpa banyak cakap, anak-anak mengambil handuk mereka. Semuanya merasa kaget
diperlakukan kasar oleh orang-orang tadi. Belum pernah ada orang yang bersikap
seperti itu kepada mereka. Apalagi, ditambah dengan mengancam. Semuanya itu
terlupakan oleh anak-anak ketika mereka telah berada di air dan bermain-main
sambil berteriak-teriak Ternyata, kejutan hari itu belum habis. Ketika anak-anak
pulang untuk minum teh sore hari, terlihat sebuah mobil di parkir di depan
Lubang Intip. Di dalamnya, duduk perempuan berambut kuning keemasan yang mereka
lihat tadi pagi di Rumah Tua! Perempuan itu memandang mereka tanpa senyum.
Anak-anak masuk dengan bertanya-tanya. Hampir saja mereka menubruk lelaki
berkulit gelap! Orang itu sedang berdiri dekat pintu ruang tamu, mendengarkan
Dimmy berbicara. "Oh! Maaf!" kata Jack. "Aku tak tahu di sini sedang ada tamu, Dimmy!"
"Tamunya sudah mau pulang," sahut Dimmy. Dimmy kelihatan sedikit kuatir.
"Masuklah! Cuci tangan dulu sebelum minum teh."
Ketika anak-anak beranjak masuk, terdengar lelaki tadi berkata,
"Mengapa Anda tak mau menjual rumah ini" Percayalah, takkan ada orang lain yang
mau membeli semahal harga yang kutawarkan ini!"
"Sudah lebih dari dua ratus tahun rumah ini dihuni oleh keluargaku," sahut Dimmy
tegas. "Memang aku hanya tinggal di sini pada musim panas. Walaupun begitu, aku sangat
menyayangi rumah ini. Aku tak mau menjualnya."
"Kalau begitu, maukah Anda menyewakan rumah Anda ini kepadaku - katakan untuk
jangka waktu satu tahun?" tanya orang itu lagi.
"Ah, tidak," sahut Nona Dimity. "Selama ini aku belum pernah menyewakan rumah
ini. Aku tak kepingin menyewakannya."
"Baiklah kalau begitu," ucap lelaki tadi marah. "Terserah. Menurutku, tindakan
Anda itu bodoh." "Oh, aku tak peduli akan pendapat Anda mengenai diriku," Nona Dimity berkata
sambil tertawa. "Pergilah dari rumahku. Anak-anak sudah kepingin minum teh."
"Anak-anak - oh, ya aku jadi ingat sesuatu," kata orang itu dengan nada keras.
"Mulai detik ini, jangan biarkan mereka bermain-main di Rumah Tua. Aku tak mau
menanggung risiko kalau mereka sampai mengalami kesusahan di sana. Rumah itu
milikku. Aku tak suka ada anak-anak berandal ribut-ribut di sana."
"Mereka bukan anak berandal," ucap Dimmy. "Di samping itu, baru hari ini mereka
tahu bahwa Anda hendak membeli rumah itu. Selamat jalan!"
Dimmy membukakan pintu untuk lelaki itu. ia langsung keluar menuju mobilnya
dengan dahi berkerut. Tak lama kemudian mobil itu sudah menderu meninggalkan
Lubang Intip. "Orang nyentrik! Mobilnya sengaja dibuat berbunyi seperti beribu-ribu pesawat
terbang sekaligus," Mike berkata dengan nada tak suka. ia berdiri di balik
jendela kamarnya yang terletak di puncak menara Lubang Intip. "Kurasa, ada
sesuatu yang aneh pada orang itu. Apa sebabnya ia ingin membeli Rumah Tua dan
Lubang Intip sekaligus" Mungkinkah ia hendak berbuat sesuatu dan ingin agar tak
ada seorang pun yang mengetahuinya" Kupikir-pikir, tempat ini memang bagus
sekali untuk menyelundup dan sejenisnya."
"Zaman sekarang, orang menggunakan kapal terbang kalau menyelundup," kata Jack.
"Aku tak punya bayangan apa maksud orang itu ingin membeli kedua rumah ini.
Tapi, aku ingin tahu apa sebabnya. Seandainya benar Pak Felipe itu punya maksud
tak baik, kita pasti tahu!"
"Ya. Kita selidiki saja," ujar Nora bersemangat. Nora dan Peggy baru saja masuk
ke kamar anak-anak lelaki, membawa sikat rambut. "Aku punya perasaan, ada
sesuatu yang akan terjadi di sini. Bagaimana dengan kalian?"
"Kepinginnya sih begitu," kata Jack. "Meskipun mungkin yang terjadi itu biasa-
biasa saja." "Anak-anak! Kalian mau minum teh atau tidak?" seru Nona Dimity. "Atau mungkin
kalian tidak kepingin makan kue selai?"
"Kepingin!" teriak anak-anak sambil berhamburan turun.
Dimmy menuang susu ke dalam cangkir, lalu memberikan cangkir-cangkir yang telah
ia isikan kepada anak-anak.
"Dimmy, siapa orang tadi?" tanya Jack.
"Katanya, namanya Felipe Diaz," sahut Dimmy sambil menggigit kuenya. "Bayangkan,
dia pikir aku akan menjual Lubang Intip! Kalau terpaksa menjualnya sekalipun,
aku takkan mau memberikan rumah ini kepada orang semacam dia!"
"Kami punya *perasaan, dia punya maksud jelek," kata Jack sambil meraih kue
lagi. "Kalau benar begitu, Dimmy, kami berniat menyelidiki apa yang dirahasiakan itu."
"He, jangan melakukan hal yang tidak-tidak," kata Dimmy segera. "Orang itu
bicaranya sungguh-sungguh. Kalau dia mengatakan hendak menghukum kalian jika
kalian masuk ke pekarangannya, aku yakin dia takkan segan-segan menghukum
kalian. Karena itu, dari sekarang, jangan dekat-dekat tempat itu. Mengintip dari
temboknya pun jangan."
Anak-anak diam saja. Mereka tak mau berjanji apa-apa, karena mereka tidak biasa
mengkhianati janji. Seandainya saat itu mereka harus berjanji takkan bermain-
main ke dekat Rumah Tua kepada Dimmy, bisa berantakan rencana mereka.
Anak-anak makan dengan lahap, hingga tak sepotong kue pun tertinggal. "Kenapa
sedikit sekali kuenya, Dimmy?" tanya Jack sambil berdiri dari kursi makan.
"Bukan kuenya yang sedikit," kata Dimmy, "tetapi, kalian yang makan terlalu
banyak! Mungkin aku tak perlu menyediakan makan malam lagi untuk kalian. Kalian toh
sudah kenyang?" Anak-anak tertawa. Mereka tahu Dimmy hanya bercanda.
"Kami hendak berperahu," kata Jack. "Mengapa tidak ikut kami saja, Dimmy" Kami
senang kalau kau mau ikut"
Dimmy menggeleng. "Masih banyak yang harus kukerjakan," katanya. "Pergilah sendiri. Siapa tahu
kalian jadi ingin makan malam setelah capek mendayung."
Anak-anak langsung menuju ke tempat perahu George ditambatkan. Perahu itu kecil
tetapi kuat. Biasanya dipakai untuk mencari ikan.
"George, kau lihat orang yang mau membeli Rumah Tua tadi itu?" tanya Jack
bersemangat. "Ya," sahut George yang sedang membetulkan pintalan jalanya. "Mereka menyuruhku
menyiangi ilalang dan semak-semak yang tumbuh liar di halaman Rumah Tua, dan
juga mencarikan dua orang perempuan dari kampung yang mau bekerja membersihkan
bagian dalam rumah itu. Di samping itu, mereka ingin tahu seluk-beluk pantai di
sekitar sini." "Apa" Seluk-beluk pantai di sini" Untuk apa?" tanya Mike.
"Itulah! Aku sendiri kepingin tahu!" sahut George sambil tertawa. "Kurasa, orang
itu bermaksud tidak baik! Dia menyuruhku menjual perahu ini kepadanya ketika
kukatakan kepadanya bahwa perahu itu merupakan satu-satunya perahu yang ada di
sekitar sini." "Tapi, kau tidak menjualnya kan, George?" tanya Mike cemas.
"Tentu saja tidak," kata George. "Meski dibayar beratus-ratus pound, aku tak mau
berpisah dengan perahuku! Aku punya perasaan, mereka bukan menginginkan
perahunya. Mereka cuma tak mau kalau aku ke sana kemari naik perahu ini."
"George! Apakah menurutmu mereka itu penyelundup?" seru Mike. "Kupikir,
penyelundup selalu menggunakan kapal terbang zaman sekarang ini - bukan
menggunakan perahu atau kapal air."
"Yah, rupanya mereka sedang main sesuatu," kata George sambil melipat dan
menyimpan jalanya dengan rapi di bawah tempat duduk di perahunya. "Yang terang,
aku tak mau menjual perahuku kepada mereka. Sebaliknya, aku malah akan pasang
mata dan telinga!" "Kami juga, George! Kami juga!" teriak anak-anak bersemangat. Mereka lalu
menceritakan pengalaman mereka pagi tadi di Rumah Tua. George mendengarkan
dengan serius, ia lalu naik ke dalam perahunya, dan memberi isyarat kepada anak-
anak untuk ikut naik. "Ikutlah aku. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepada kalian," katanya.
Anak-anak pun masuk. Jack dan Mike memegang dayung, masing-masing sebuah.
Sementara itu, George memegang dua buah dayung. Mereka mendayung di laut yang
tenang. Ombak kecil mengayun-ayunkan perahu mereka.
"Kita harus mendayung agak jauh," kata George. "Paling tidak kira-kira sampai
waktu makan malam. Kita akan mengitari tebing yang di sana itu - terus mengitari
bagian menjorok yang satu lagi. Jauh deh, pokoknya!"
Nyaman benar berada di laut pada saat senja seperti itu. Anak-anak bergiliran
mendayung. Matahari sudah semakin condong ke barat. Perahu mereka mengelilingi
tebing, menyeberangi teluk di belakangnya, lalu mengitari tanah menjorok pada
bagian seberang teluk itu. Di sana, tebingnya turun sampai hampir sama dengan
permukaan air laut dan baru naik lagi.
Perahu mereka berada cukup jauh di tengah laut pada saat itu. Tiba-tiba saja
George berhenti mendayung. Dengan memicingkan mata, ia memandang ke kejauhan
"Lihatlah ke sana," katanya. "Lalu katakan apa yang terlihat oleh kalian!"
Anak-anak melihat. Jack langsung berteriak,
"He! Kita bisa melihat jendela teratas di menara Rumah Tua dan juga jendela
teratas di menara Lubang Intip! Tebingnya turun dan dari sini membentuk garis
lurus ke sana hingga jendela pada menara-menara itu bisa kelihatan."
"Begitulah," kata George. "Pada zaman para penyelundup dulu, kapal-kapal biasa
berlabuh di sini. Orang takkan bisa melihat dari pantai di Lorong Spiggy. Kapal-
kapal itu baru merapat setelah hari gelap, dengan bantuan cahaya dari menara-
menara itu! Spiggy si Penyelundup kenamaan itu biasanya menyalakan lampu isyarat
kalau keadaan aman!"
"Wah, asyik juga ya!" kata Jack. "Mungkinkah Pak Felipe Diaz akan menggunakan
menara-menara itu untuk maksud yang sama, George?"
"Ah, mungkin tidak!" sahut George. "Tapi, kita berjaga-jaga sajalah!"
"Ya. Baiknya begitu," seru anak-anak serempak. Mereka lalu mendayung ke pantai
lagi, tak sabar ingin segera makan malam.
5. NYALA DI PUNCAK MENARA
Sejak hari itu, anak-anak sangat memperhatikan Rumah Tua. Terlihat asap mengepui
dari dua buah cerobong asapnya. Mungkin kedua orang perempuan yang dipekerjakan
di situ sedang membersihkan rumah raksasa itu. George pun bekerja di sana,
membersihkan halamannya dari tumbuh-tumbuhan liar. Kepada anak-anak George
mengatakan bahwa pemilik Rumah Tua akan datang pada minggu berikutnya.
"Kelihatannya mereka tergesa-gesa sekali ingin pindah," katanya. "Padahal,
rumahnya masih harus dicat dari bawah sampai ke atas. Tetapi herannya mereka tak
mau rumah itu diapa-apakan, kecuali diperbaiki ketelnya yang besar itu hingga
bisa dipakai!" Anak-anak menghabiskan waktu mereka dengan bermain-main di air, mencari ikan,
dan mendayung. Tetapi, pada hari pemilik Rumah Tua itu hendak pindah, mereka


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersembunyi di pohon besar yang tumbuh tak jauh dari pintu gerbang Rumah Tua.
Mereka naik ke atas, lalu duduk di tempat tersembunyi bersandarkan batang pohon
raksasa itu. Sambil menunggu, mereka mengobrol dengan berbisik-bisik.
Ada sebuah truk pengangkut barang-barang pindahan menderu di jalan. Di
belakangnya, menyusul sebuah lagi. Cuma itu.
"Aneh!" Jack berkata kaget. "Cuma dua truk perabot untuk rumah sebesar itu!
Mungkin cuma sebagian saja yang diperaboti."
Kedua truk tadi masuk ke halaman, melalui pintu gerbang dan berhenti di depan
pintu utama. Orang-orang mulai sibuk membongkar isinya. Lalu mobil besar
kepunyaan Felipe Diaz datang dengan menderu-deru. Persis di bawah pohon tempat
anak-anak bersembunyi, mobil itu terpaksa berhenti - memberi jalan kepada truk
yang hendak keluar dari halaman.
Di dalam mobil terlihat Tuan Diaz, perempuan yang rambutnya kuning keemasan,
seorang sopir yang berkulit sama gelapnya dengan Tuan Diaz, dan seorang lelaki
muda bertampang mengantuk. Lelaki itu duduk dengan posisi setengah berbaring,
sambil mengobrol dengan si perempuan berambut kuning keemasan.
"Nah," Tuan Diaz berkata sambil keluar dari mobil dan mengangguk, memberi
isyarat kepada lelaki muda tadi untuk mengikutinya. "Kita sudah sampai! Kau
langsung saja masuk ke rumah, Anna. Luiz dan aku akan memeriksa pagar sekeliling
rumah ini. Siapa tahu ada yang harus diperbaiki."
Mobilnya masuk ke halaman. Kedua lelaki tadi berdiri persis di bawah pohon,
berbicara dengan suara pelan. Walaupun begitu, setiap kata yang mereka ucapkan
terdengar cukup jelas oleh anak-anak.
"Tempat ini. sama amannya dengan tempat-tempat lainnya di negeri ini," kata Tuan
Diaz. "Kau lihat menara itu" Dari situ kita bisa memberi isyarat kepada kapal bila
keadaan cukup aman untuk merapat. Sebelum melihat isyarat kita, kita suruh saja
kapal-kapal itu berhenti di tempat yang terlindung dari penglihatan orang
sekitar sini. Yah, kurang lebih kita meniru taktik penyelundup yang beroperasi
di sini zaman dulu... bedanya, barang kita lain dengan barang yang mereka
selundupkan dulu. Ha, ha, ha!"
Luiz ikut tertawa. "Ayo," katanya, "aku ingin melihat-lihat tempatnya. Kapan anjing-anjing itu
datang?" Tuan Diaz membisikkan sesuatu yang tak bisa kedengaran oleh anak-anak. Lalu
keduanya beranjak pergi, memeriksa pagar tinggi yang mengelilingi halaman Rumah
Tua. Selama kedua orang itu berada di bawah pohon, anak-anak hampir tak berani
bernapas. Tetapi, begitu keduanya pergi dari situ, mereka langsung berpandang-
pandangan dengan bersemangat.
"Kau dengar yang dikatakan Tuan Diaz tadi?" bisik Mike. "Mereka hendak
menggunakan kapal - dan memberi isyarat dari puncak menara! Wah, seperti zaman
dulu jadinya!" "Tapi, benarkah mereka itu penyelundup?" tanya Nora, ragu. "Barang apa yang
mereka bicarakan tadi?"
"Mana aku tahu," sahut Mike. "Pokoknya, aku akan cari tahu. Hm, kelihatannya
kita akan mengalami sesuatu yang mendebarkan lagi."
"Asyik kalau kita bisa bertualang lagi seperti waktu kita melarikan diri ke
Pulau Rahasia dulu," komentar Jack. "Tapi, kelihatannya kita harus sangat
berhati-hati menghadapi orang-orang itu. Kalau mereka sampai mengira bahwa kita
menduga mereka hendak melakukan sesuatu yang dirahasiakan, wah - bisa celaka
kita!" "Ya, kita hati-hati saja," kata Nora, sambil mulai bergerak menuruni pohon.
"Kita turun, yuk! Aku sudah capek di sini dari tadi."
"Nora! Jangan dungu, kau!" bisik Jack. "Kembalilah ke sini. Kita harus memeriksa
dulu apakah keadaan di bawah sudah aman!"
Tetapi terlambat. Pada saat itu Nora sudah melompat turun, ia terjatuh ke tanah
dengan telapak tangan dan lutut berada di atas tanah. Pada saat bersamaan, Tuan
Diaz dan Luiz kembali dari perjalanan mereka mengelilingi pagar!
Nora terlihat oleh mereka. Tuan Diaz langsung merengut.
"Ke sini!" teriaknya.
Nora tak berani mendekati lelaki itu, tetapi ia juga tak berani melarikan diri!
Anak itu berdiri di tempatnya sambil melongo. Anak-anak lainnya yang masih
berada di atas pohon tak berani bergerak sama sekali. Mereka menunggu apa yang
hendak dilakukan oleh Nora.
Tuan Diaz menghampiri Nora sambil membentak.
"Sedang apa kau di sini" Bukankah sudah kularang kalian bermain-main dekat rumah
ini?" Lelaki itu memegang kedua bahu Nora lalu mengguncang-guncangnya.
"Mana yang lain" Ada di sekitar sini juga?"
Nora tahu bahwa Tuan Diaz belum melihatnya ketika ia terjatuh dari pohon tadi.
Untunglah. Mudah-mudahan saja ia tidak melihat ke atas pohon. Kalau itu dia
lakukan, pasti mereka tertangkap semua.
"Lepaskanlah aku!" ujarnya sambil menangis. "Aku cuma sedang berjalan-jalan. Aku
tidak masuk ke pekarangan rumahmu!"
"Kau sedang mencoba masuk, kan?" tanya Tuan Diaz dengan tajam. Lelaki itu lalu
mengguncang-guncang tubuh Nora sekali lagi. "Nah, pulanglah! Katakan kepada yang
lain, bahwa kalau mereka sampai berjalan-jalan ke sini-kalian akan menyesal! Aku
punya rotan yang khusus kusedia-kan untuk anak-anak yang menjengkelkan!"
"Akan kuberi tahu mereka," kata Nora, langsung berlari menuruni tebing seolah
hendak menemui Peggy, Jack, dan Mike secepat-cepatnya.
"Bagus! Anak itu ketakutan sekali," kata Luiz sambil nyengir ngantuk. "Kita
harus berusaha tak ada anak-anak yang berpenglihatan tajam di sekitar sini,
Felipe! Yah, tapi, kalau kedua ekor anjing itu sudah datang-kita aman! Anjing-
anjing itu akan mengusir siapa saja yang berani mendekati tempat ini, bahkan
menggigit!" Kedua orang itu berjalan masuk ke pekarangan Rumah Tua sambil tertawa-tawa.
Ketika keduanya sudah tidak kelihatan, Jack baru berani berbicara.
"Cocok benar kedua orang itu bekerja sama," katanya. "Untung saja Nora bersikap
seperti tadi. Dengan begitu, kelihatannya ia benar-benar ingin segera mencari
kita. Padahal selama ini kita berada di atas Tuan Diaz dan temannya. Kalau
mereka melihat ke atas, pasti langsung kelihatan kakiku yang besar!"
"Aku ingin cepat-cepat turun," kata Peggy, ia kuatir kalau kebetulan ada
seseorang yang melihat mereka berada di pohon. Bisa-bisa mereka terperangkap.
"Sudah amankah sekarang, Jack" Sudah bolehkah kita turun?"
Jack menyibakkan daun-daun yang menutupi pemandangannya, lalu mengintip ke
sekeliling. "Aman," katanya. "Ayo, kita turun!"
Satu per satu anak-anak itu turun, lalu dengan cepat berlari menuruni tebing
sambil mengendap-endap di balik semak-semak supaya tidak kelihatan kalau
kebetulan ada orang yang keluar dari Rumah Tua. Mereka yakin Nora sudah menunggu
mereka di Lubang Intip. Benar. Tetapi, anak itu sedang menangis dengan sedihnya.
"Jangan menangis, Nora," kata Jack sambil merangkul gadis kecil itu. "Kau
ketakutan, ya?" "Aku menangis bu-bu-bukan karena takut," katanya tersedu-sedu. "Aku menyesal
bertindak bodoh - meluncur turun dari pohon dengan sembrono. Hampir saja kita
semua celaka gara-gara ketololanku."
"Memang kau sembrono tadi, Nora," ujar Mike. "Tetapi, kau cukup pintar. Karena
sandiwaramu, orang-orang itu tak mengira bahwa kami ada di sana. Sudahlah,
jangan bersedih lagi, Nor! Cuma, lain kali lebih hati-hati, ya!"
"Kita tunjuk saja Jack sebagai pemimpin sekarang," kata Peggy. "Waktu kita di
pulau rahasia dulu, dia yang jadi pemimpin. Sekarang pun sebaiknya Jack yang
jadi pemimpin. Jack yang akan bertanggung jawab dalam petualangan kita kali ini. Kita semua
harus menurut pada apa pun yang diperintahkan Jack."
"Setuju," kata Nora, ia mulai kelihatan gembira. Sapu tangannya ia singkirkan.
"Aku akan menuruti segala perintah kapten kita!"
"Bagaimana" Apakah menurut kalian kita harus menceritakan kejadian tadi kepada
Dimmy?" tanya Mike. "Ah, sebaiknya tidak," kata Jack dengan segera. "Dimmy orangnya manis sekali,
tetapi mudah takut. Bisa-bisa dia melarang kita melaksanakan rencana untuk
menyelidiki. Kita rahasiakan saja rencana ini hingga tak ada orang lain yang
tahu - meskipun mungkin, kita akan butuh bantuan George kapan-kapan."
"Kaudengarkan dia mengatakan akan ada kapal yang merapat masuk?" tanya Mike.
"Kita awasi saja kapalnya! Mulai sekarang, kalau malam kita bergiliran berjaga -
menunggu ada isyarat dari menara Rumah Tua. Begitu terlihat isyarat, kita turun
ke pantai melihat kapal yang hendak merapat dari dalam salah satu gua di situ.
Siapa tahu kita bisa tahu barang apa yang diselundupkan oleh Tuan Diaz?"
"Asyik!" seru Peggy. "Tapi, kita harus benar-benar berhati-hati. Jangan sampai
terlihat oleh mereka, atau bahkan tertangkap!"
George menceritakan kepada anak-anak, bahwa perabot yang datang diangkut dua
truk itu, cuma memenuhi delapan ruangan saja. Padahal di Rumah Tua ada dua puluh
ruangan. "Yang diperaboti lengkap kamar di puncak menara," katanya pula. "Itu, kata
perempuan desa yang dimintai bantuannya membersihkan rumah. Jadi, kelihatannya
mereka hendak menggunakan menaranya."
"Ya - mereka memang berniat menggunakan menaranya," kata Mike sambil memandang
kepada saudara-saudaranya. Tetapi mereka tidak memberitahukan apa-apa lagi
kepada George. George orangnya baik. Tetapi, ia orang dewasa. Siapa tahu ia merasa kuatir akan
keselamatan anak-anak dan kemudian memberi tahu Nona Dimity. Di samping itu,
anak-anak ingin menemukan rahasianya lebih dulu, sebelum orang-orang dewasa ikut
campur. Malam itu anak-anak masuk ke kamar dengan perasaan berdebar-debar. Yang pertama
kali mendapat giliran berjaga adalah Jack, ia akan berjaga dari pukul sepuluh
sampai pukul dua belas. Setelah itu giliran Mike, dari pukul dua belas sampai
pukul dua. Disusul oleh Nora dari pukul dua sampai pukul empat. Setelah itu, tak
perlu lagi ada yang berjaga, karena hari sudah terang.
Malam berikutnya, Peggy yang dapat giliran pertama.
"Kita mesti duduk di depan jendela ini, dan memperhatikan menara Rumah Tua,"
kata Jack. "Jika terlihat ada lampu dinyalakan di menara itu, yang dapat giliran berjaga
harus segera membangunkan yang lain. Setelah itu, kita bersama-sama diam-diam
pergi ke pantai, bersembunyi di sebuah gua, dan mencoba melihat kalau ada kapal
yang merapat." Peggy dan Nora masuk ke kamar mereka. Keduanya merasa sukar tidur. Mike naik ke
tempat tidurnya, lalu berbincang-bincang dengan Jack. Tetapi, sebentar saja
keduanya sudah tertidur. Jack sengaja telah memasang weker untuk membangunkannya
pada pukul sepuluh. "R-r-r-i-i-i-n-g!" dering wekernya pada pukul sepuluh. Jack langsung bangkit dan
mematikan wekernya. Untung saja Dimmy memberi kami kamar jauh di puncak menara,
pikirnya. Kalau tidak, bisa-bisa ia ikut bangun!
"Mike," bisik Jack. "Kau terbangun, ya" Tidurlah lagi. Aku hendak berjaga
sekarang. Kalau tiba giliranmu nanti, kau akan kubangunkan. Jam dua belas, ya?"
Jack mengenakan jas kamarnya, lalu duduk dekat jendela yang menghadap ke
belakang. Di luar gelap, dan langit berawan. Walaupun berusaha melihat, menara
Rumah Tua tak kelihatan olehnya pada malam yang gelap itu.
"Yang penting, begitu ada cahaya dari sana, aku pasti melihat," kata Jack kepada
dirinya sendiri. Bunyi burung hantu terdengar dari hutan di kejauhan. Seekor serangga
menggelepar-gelepar di sudut kamar, dekat Jack, hingga ia kaget sekali. Anak itu
menguap. Setelah lewat lima menit, duduk-duduk diam seperti itu mulai terasa
membosankan. Lega rasanya ketika tiba waktunya membangunkan Mike. Dengan masih mengantuk,
Mike tersaruk-saruk turun dari tempat tidurnya. Sambil meraih jas kamarnya, anak
itu berjalan terhuyung-huyung ke kursi yang tadi diduduki Jack, ia lalu duduk di
situ. Jack langsung menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur dengan perasaan
bersyukur. Sekejap saja ia sudah terlelap.
Mike duduk, memandang jauh ke luar - mencoba melihat menara Rumah Tua. Anak itu
masih mengantuk. Tetapi, kegelapan malam itu sudah berkurang, karena awannya
menipis. Samar-samar, terlihat oleh Mike menara Rumah Tua. Menara itu gelap.
Merasa matanya terpejam, cepat Mike menyentakkan kepalanya ke belakang.
Lalu anak itu bangkit dan berjalan kian kemari dalam kamarnya, ia takut
ketiduran. Giliran berjaganya hampir saja habis, ketika tiba-tiba Mike mendengar suara di
kamar itu. Sebuah tangan menyentuh bahunya. Mike kaget bukan main! ia langsung
menghantamkan tinjunya, dan mengenai benda lembut.
"Ow!" terdengar suara Nora. "Kan sakit, Mike! Aku datang kemari karena sudah
tiba giliranku berjaga."
"Apa perlunya datang merayap-rayap begitu hingga aku kaget?" serang Mike.
"Kupikir kau penyelundup atau orang lain."
Nora jadi tertawa cekikikan. Ia duduk di kursi yang diletakkan dekat jendela.
"Sudahlah, sekarang tidurlah! Aku yang dapat giliran menjaga. Hm, rasanya
penting ya jadi orang yang bertugas menjaga?"
Tak ada kejadian aneh malam itu. Begitu juga malam setelahnya, dan malam
berikutnya lagi. Yang ditunggu anak-anak baru terjadi pada malam yang keempat.
Di menara Rumah Tua terlihat lampu dinyalakan. Cahayanya terlihat terang dalam
kegelapan di tengah malam seperti itu!
6. PENEMUAN ANEH Peggy yang mula-mula melihat ada cahaya dari menara Rumah Tua. Sebelumnya, Mike
yang bertugas jaga. Persis pukul dua belas kurang satu menit, Peggy masuk ke
kamar anak laki-laki untuk menggantikan Mike.
Gadis itu berbisik-bisik kepada Mike, lalu duduk di kursi dekat jendela.
"Belum ada juga tanda-tanda yang kita tunggu," kata Mike dengan suara pelan, ia
lalu melepas jas kamarnya, dan menghempaskan diri ke tempat tidur. "Ini sudah
malam keempat. Bosan juga kalau begini terus-terusan. Mungkinkah..."
Tetapi, pada saat itu Peggy memekik - membuat Mike terlompat kaget.
"Mike! Lihatlah, Mike! Ada cahaya di puncak menara itu. Baru saja dinyalakan!"
Mike berlari ke jendela, hampir menubruk kursi. Mendengar ribut-ribut itu, Jack
terbangun. "He, benar!" kata Mike. "Ada cahaya di sana! Jack! Jack! Lihatlah!"
Jack melompat dari tempat tidurnya, dan langsung menuju ke jendela. Benar. Di
menara Rumah Tua terlihat cahaya terang dinyalakan berkali-kali. Hidup - mati -
hidup - mati! "Mereka sedang memberi isyarat!" kata Jack dengan hati berdebar. "Pasti ada
kapal yang sedang menunggu isyarat itu di laut, di balik tebing yang tempo hari
kita lihat bersama George."
"Bagaimana kalau kita sekarang langsung ke pantai?" usul Mike. Hatinya berdebar-
debar, dan membuatnya tidak sabaran.
"Yuk," kata Jack. "Peggy! Bangunkan Nora. Tak perlu tergesa-gesa. Isyaratnya
baru saja dinyalakan. Kapal yang diberi isyarat masih perlu waktu untuk
mengelilingi tebing, masuk ke Lorong Spiggy. Kita masih punya cukup waktu untuk
mengganti baju dengan baju yang sepantasnya dipakai keluar."
Peggy menghambur menuruni tangga, memberi tahu Nora yang masih tidur dengan
pulasnya. Peggy mengguncang-guncang saudaranya, hingga gadis itu terbangun kaget.
"Nora! Ada cahaya isyarat di menara! Cepat ganti pakaian! Kita akan ke pantai
dan bersembunyi di gua untuk melihat kapal yang akan masuk," seru Peggy. Nora
jadi bersemangat. Tanpa menyalakan lampu kamar, keduanya segera mengganti baju.
Jack melarang mereka menyalakan lampu kamar, karena takut ada yang melihat dari
menara Rumah Tua. "Kalau kita bisa melihat cahaya yang mereka nyalakan di sana, pasti mereka juga
bisa melihat cahaya yang kita nyalakan di sini," kata Jack.
"Betul, Kapten!" kata Mike sambil mengenakan baju dengan cepat Kedua kaus
kakinya terbalik karena dikenakan dengan tergesa-gesa. Kancing bajunya pun salah
dipasang. Tetapi, siapa yang peduli pada saat seperti itu"
Dalam lima menit keempatnya sudah siap. Jack membawa senter, dan memberikan
sebuah kepada Peggy untuk dipakai berdua dengan Nora. Mereka lalu merayap
menuruni tangga, dan keluar dari menara Lubang Intip melalui pintu belakang.
"Nora pakai sandal jepit," kata Peggy cekikikan. "Sandalnya yang bagus tidak
ketemu." "Ssst!" kata Jack tegas. "Ingat, mungkin ada orang lain yang berada di sekitar
sini. Jangan sampai ada yang mendengar suara kita atau melihat kita."
Anak-anak menuruni tangga yang menuju ke pantai tanpa bersuara. Air belum
terlalu pasang. Bulan muncul dari balik gumpalan awan, menerangi pantai. Jack


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhenti, lalu melihat ke laut
"Belum terlihat kapalnya," bisiknya. "Kita masuk saja ke gua yang paling dekat,
sebelum ada orang datang. Menurutku, pasti ada orang yang turun kemari dari
Rumah Tua. Mungkin sebentar lagi orangnya datang."
Anak-anak masuk ke dalam sebuah gua kecil yang letaknya tak jauh dari jalan
turun pada tebing curam yang baru mereka lalui. Dari gua itu, mereka dapat
melihat dengan jelas kalau ada orang yang datang dan pergi ke pantai. Mereka
duduk di lantai gua yang berpasir, menunggu. Jika hendak berbicara, mereka
selalu berbisik-bisik. Tiba-tiba terdengar suara orang berbicara. Anak-anak langsung tegang karena
kaget. Suara orang berbicara itu ada di sebelah kanan mereka. Ketika bulan menyelinap
ke balik awan, Jack menengok ke luar dengan hati-hati sekali.
"Kelihatannya Tuan Diaz dan temannya yang bernama Luiz," bisiknya.
"Tapi, Jack - kapan mereka turun" Kita tidak melihat mereka menuruni tebing,
kan?" bisik Mike. "Padahal, ini adalah satu-satunya jalan yang menuju ke pantai. Lewat
jalan lain tak mungkin - terlalu curam!"
"Aneh," sahut Jack. "Yang jelas, mereka belum ada di sini tadi. Seandainya
sudah, kita pasti melihat mereka. Mungkin mereka juga menunggu di dalam gua.
Astaga! Mudah-mudahan saja mereka tidak melihat kita."
Nora merasa tubuhnya jadi panas-dingin mendengar Jack mengatakan hal itu. Mike
menggeleng-gelengkan kepala.
"Seandainya mereka melihat kita, pasti kita langsung diusir dari pantai,"
katanya. "Mereka takkan membiarkan kita melihat kejadian malam ini. Dengar! Bunyi apa
itu?" Semua memasang telinga - dari arah laut yang terlihat hitam gemerlapan,
terdengar bunyi mendengung.
"Perahu motor!" kata Jack bersemangat. "Rupanya perahu motor itu sudah menunggu
di balik tebing dari tadi! Melihat cahaya isyarat, ia langsung masuk kemari!
Pasang mata baik-baik, ya - usahakan melihat sebanyak-banyaknya."
Anak-anak berdiri, melongokkan kepala sejauh mungkin di bibir gua yang berbatu-
batu. Sejenak, bulan muncul dari balik awan. Sebuah perahu motor berukuran besar
terlihat makin dekat ke pantai. Dengungnya terdengar keras di tengah malam yang
sunyi. Tiba-tiba mesinnya dimatikan, dan perahu motor itu bergerak perlahan memasuki
teluk tempat perahu George ditambatkan. Tempat itu tidak kelihatan dari tempat
anak-anak bersembunyi. "Pasti berhenti dekat dermaga kayu si George," ucap Jack. "Kita di sini saja.
Mereka pasti lewat sini kalau hendak mengangkat barang selundupan itu ke atas."
Semua menunggu dengan perasaan tak sabar. Suara orang berbisik-bisik terdengar
oleh mereka, lalu disusul oleh bunyi perahu motor merapat pada dermaga kayu.
Anak-anak terus menunggu. Tak lama kemudian, terdengar bunyi mesin menderu lagi.
Perahu motor tadi meluncur keluar dari teluk, dan melaju ke laut lepas.
"Sebentar lagi pasti mereka lewat sini," kata Jack. "Hati-hati, ya! Jangan
sampai ada yang bikin ribut Jangan bersin atau batuk. Dengar semua?"
Nora langsung merasa ingin bersin. Cepat ia mengeluarkan sapu tangan, lalu
membenamkan wajahnya pada sapu tangan itu. Menjengkelkan benar kalau pada saat
kritis seperti ini ia bersin hingga orang-orang itu tahu tempat persembunyian
mereka. Tetapi Nora tak jadi bersin. Di samping itu, tak seorang pun lewat di depan gua
anak-anak. Suara orang-orang tadi pun kini tak kedengaran lagi.
Setengah jam telah lewat Anak-anak mulai merasa tak sabar.
"Jack, apa yang terjadi menurutmu?" bisik Nora.
"Aku tak tahu," kata Jack. Tiba-tiba terpikir olehnya akan sesuatu. "He! Siapa
tahu perahu motor tadi datang untuk menjemput seseorang! Kalau benar begitu,
kita takkan melihat siapa-siapa. Orangnya sudah masuk dan pergi bersama perahu
motor tadi!" "Kalau begitu, mungkin sebaiknya kita keluar saja - melihat-lihat situasi," usul
Mike. "Bagaimana, Jack?"
"Baiklah," sahut Jack. "Tapi, jangan ribut, ya!"
Perlahan-lahan mereka berjalan ke teluk tempat dermaga kayu George berada. Di
sampingnya ditambatkan perahu George. Jack manyalakan senternya ke tanah, dan
menunjuk pada bekas telapak kaki yang ada di pasir.
"Kita ikuti saja jejak itu. Mungkin kita bisa tahu dari mana datangnya," kata
Mike. "Aku heran, mereka bisa turun ke sini tanpa melewati kita."
Dengan bantuan cahaya senter, anak-anak mengikuti bekas telapak kaki - keluar
dari lingkungan teluk, ke sebuah gua besar!
"Jadi, rupanya mereka sudah lama bersembunyi di sini!" kata Jack.
"Lihat!" kata Mike. Suaranya terdengar menunjukkan rasa heran. "Tak ada jejak
lagi dari gua ini! Jadi, pasti mereka datang ke sini tidak melalui jalan yang
kita lalui. Lalu, lewat mana kalau begitu?"
"Jack! Mike! Pasti ada lorong rahasia yang menghubungkan Rumah Tua dengan pantai
ini!" bisik Nora mendadak dengan suara cukup keras hingga membuat yang lain kaget.
"Sst!" kata Jack. Tetapi, ia pun kemudian berbisik dengan suara keras, "Mungkin
Nora benar! Ya! Mengapa tak terpikir olehku dari tadi, ya" Astaga! Kau hebat,
Nora - berpikir sejauh itu!"
"Mulut lorong penghubung itu pasti bermula dari gua ini," kata Nora. Gadis itu
merasa senang Jack menganggapnya hebat. "Kita cari, yuk!"
"Bagaimana kalau bertemu dengan Tuan Diaz dan Luiz temannya!" kata Jack.
"Jangan, ah! Di samping itu, menurutku, lebih baik kita menyelidiki pada waktu siang. Terlalu
gelap jika kita lakukan pada malam hari seperti ini. Ayo, kita pulang!"
Keempatnya berjalan kembali menaiki tebing curam, masuk ke pekarangan yang wangi
oleh bunga-bunga, dan masuk ke kamar mereka di menara. Keempatnya langsung
menuju ke kamar anak laki-laki. Nora dan Peggy naik ke tempat tidur yang satu,
dan Jack serta Mike menempati tempat tidur yang satu lagi.
Mereka lalu mulai mengobrol. Asyik benar obrolan mereka kali itu! Semuanya
merasa sangat bersemangat membicarakan kejadian-kejadian malam itu, hingga tanpa
mereka sadari hari telah pagi.
"Aku tahu sekarang. Isyarat itu diberikan kepada perahu motor tadi, supaya masuk
membawa barang-barang selundupan - entah apa barangnya," kata Jack untuk kedua
puluh kalinya. "Sementara itu Tuan Diaz dan kawannya menyelinap ke luar dari
Rumah Tua melalui lorong rahasia yang menghubungkan rumah itu dengan gua di
pantai. Lalu, mereka membawa barang-barang selundupan itu ke Rumah Tua melalui
lorong tadi. Itulah sebabnya kita tidak melihat mereka lewat!"
"Kapan kita hendak menyelidiki gua tadi - mencari lorong rahasia itu, Jack?"
tanya Peggy tak sabar. "Besok!" sahut Jack sambil memeluk lututnya. Anak itu duduk di tempat tidur
Mike. "Maksudmu - hari ini, kan?" kata Mike, tertawa, ia menunjuk ke jendela yang
menghadap ke timur. Langit terlihat kemerah-merahan tanda fajar merekah. "Ini
sudah besok! Kita tidur dulu, yuk - sebentar!"
Nora gan Peggy turun ke kamar mereka. Mike dan Jack berbaring di tempat tidur
masing-masing. Sebentar saja keduanya sudah tertidur. Rasanya belum lama mereka
tidur ketika Dimmy membangunkan mereka. Jam sudah menunjukkan setengah delapan
saat itu. "Mau bangun tidak kalian?" tanya Dimmy keheranan. "Kalian tidak tidur sampai
lewat tengah malam, ya" Awas, kalau kalian mulai nakal!"
"Mungkin, Dimmy! Mungkin!" sahut Jack sambil tertawa, ia tidak berkata lebih
banyak untuk menjelaskan apa yang telah terjadi - yang membuat mereka mengantuk
pagi itu! 7. LORONG RAHASIA Pada waktu sarapan pagi itu, anak-anak setengah mengantuk dan setengah
bersemangat. Dimmy tak dapat memancing apa pun dari mereka.
"Aku tak mengerti mengapa kalian seperti ini semua," katanya sembari membagikan
cangkir coklat panas. "Menguap, cekikikan, tersenyum sendiri, lalu menguap lagi.
Apakah kalian sedang merencanakan sesuatu yang nakal?"
"Tentu saja tidak, Dimmy," jawab mereka bersamaan.
"Jangan!" kata Dimmy.
"Dimmy, bagaimana kalau kami makan siang di luar" Maksudku, kau tak berkeberatan
kan, kalau kami minta bekal makan siang?" tanya Jack. "Mungkin kami takkan
pulang sampai sore."
"Boleh saja," kata Dimmy. "Ada daging asap dan kue yang kubikin kemarin,
ditambah buah prem masak dan limun. Cukup" Oh, ya - kalau kalian mau, boleh juga
membawa telur rebus."
"Asyik!" seru anak-anak. Nora bangkit, lalu memeluk Dimmy. "Kau baik sekali,
Dimmy!!" katanya. "Kami senang sekali tinggal di rumahmu."
Dimmy menyediakan makanan yang hendak dibawa anak-anak. Sementara itu anak-anak
mengumpulkan senter, lilin, dan korek api sebanyak-banyaknya untuk cadangan
seandainya baterai senter mereka habis. Dengan penuh semangat mereka berceloteh.
Senang benar hati mereka hendak menyelidiki gua, mencari lorong rahasia.
Dimmy memberikan dua buah ransel berisi penuh makanan. Jack memanggul sebuah di
punggungnya, sementara yang satu lagi dibawa oleh Mike. Mereka berpamitan pada
Dimmy, lalu berlari-lari ke luar halaman, menuruni tebing, menuju pantai.
Air pasang telah menghapuskan jejak kaki orang-orang pada malam sebelumnya.
Tetapi, anak-anak sudah tahu gua mana yang hendak mereka tuju. Sebelum menuju ke
sana, mereka melihat dulu situasi - takut kalau ada orang lain sedang berada di
pantai. Mereka sampai di gua. Mulutnya lebar menganga. Gua itu menjorok cukup jauh ke
dalam. Di dalamnya gelap dan lembab. Dinding-dindingnya ditumbuhi lumut, dan
sebagian lantainya diseraki berbagai bentuk karang laut yang terbawa air pasang.
Ada yang berwarna merah, ada pula yang hijau.
Anak-anak menyalakan senter. Cahayanya mereka sorotkan ke sana kemari, mencari
lorong yang keluar dari gua itu. Mula-mula mereka tidak melihat apa pun.
"Tak ada yang lain kecuali dinding, dinding, dan dinding di mana-mana," kata
Mike, mengayunkan lampu senternya berkeliling dinding gua yang terbentuk dari
batu lembab itu. "Bagian belakangnya pun dari batu. Wah, bagaimana kalau
ternyata tak ada terowongannya?"
"He, lihatlah ini!" teriak Jack mendadak. "Ini apa?" Jack menyorotkan cahaya
senternya agak tinggi pada sebuah sisi gua. Dengan bersemangat anak-anak
berkumpul mengelilingi Jack. Mereka melihat semacam pijakan kaki yang dibuat
orang pada dinding gua. Lumut yang tumbuh di sekitarnya nampak rusak.
"Lihatlah lumutnya!" kata Jack. "Ada orang yang telah menginjak lumut itu! Itu
dia jalan naiknya - ayo, ikuti aku!"
Dengan bantuan senter yang dinyalakan semua, anak-anak berusaha memanjat dinding
gua yang curam. Licin pijakannya, hingga cukup sulit untuk memanjatnya.
Tiba-tiba Peggy melihat sesuatu. Bentuknya seperti cacing panjang berwarna
hitam, menggantung pada dinding. Ia menyorotkan senternya ke sana.
"Ada tali!" katanya. "Lihat! lihat! Dengan berpegang pada tambang itu, kita bisa
mengangkat tubuh kita dengan mudah ke atas!"
Yang lain memandang tambang itu. Mike mencoba memegang dan menariknya. Kuat.
"Benar! Tambang ini sengaja dipasang untuk memudahkan orang naik," kata Mike.
"Di bagian atasnya, tali ini diikatkan pada benda yang kuat. Akan kucoba naik.
Kalian nanti menyusul, ya."
Dengan bantuan tambang yang tergantung tadi, mendaki dinding gua yang licin itu
jadi terasa mudah. Mike bergantung pada lubang gelap yang terdapat di puncak
dinding gua yang miring. Ia menyalakan senternya, dan menyorotkan berkeliling.
Ternyata ia berada dalam sebuah gua lain yang berukuran lebih kecil. Di situ
terlihat banyak peti dan tong. Semuanya kosong dan setengah rusak.
Mike memanggil saudara-saudaranya dengan penuh semangat.
"Wah, di sini banyak peti kemas yang berserakan. Mungkin bekas tempat barang
selundupan zaman dulu! Kelihatannya bekas menyelundupkan minuman keras dan bahan
sutra. Ayo, kemarilah!"
Satu per satu mereka naik. Jack menyepak peti-peti yang ada di situ. Semuanya
kosong. "entu saja! Isinya sudah dibongkar bertahun-tahun yang lalu oleh
penyelundupnya!" kata Jack. Ia lalu menyorotkan senternya ke sekeliling gua
kecil itu. "Dari sini lalu ke mana lagi?" pikirnya keras. "He! Pintukah yang di
sana itu?" "Benar," kata Mike yang paling dekat dengan pintu tadi. "Kokoh pintunya, dan
berselot banyak! Wah, gawat kalau ternyata terkunci."
Mike mencoba membukanya. Ternyata tidak dikunci, walau membukanya agak berat.
Ketika pintu itu telah terbuka, di muka mereka terlihat lorong panjang yang
sempit. "Nah, ini dia lorongnya!" seru Mike. Hatinya berdebar-debar. "Benar-benar
mengasyikkan pengalaman ini!"
"Hus! Jangan ribut-ribut, Mike. Kita tak tahu apakah di sekitar sini ada orang.
Seandainya ada, kita pasti kedengaran! Biar aku yang duluan masuk ke sana.
Senterku paling terang!"
Jack memasuki lorong yang gelap dan lembab itu. Di beberapa tempat, atapnya
sangat rendah hingga anak-anak terpaksa berjalan sambil membungkuk. Lorong itu
berliku-liku. Arahnya melingkar dan menanjak. Kadang-kadang, tanjakannya sangat curam. Setelah
berjalan beberapa lama, anak-anak sampai ke tempat yang kering. Dinding
terowongannya tak lagi terbentuk dari batu lembab, melainkan dari tanah dan
pasir. Tak seorang pun di antara anak-anak itu yang berisik. Satu-satunya suara yang
mereka timbulkan hanyalah bunyi telapak kaki. Mereka sampai ke tempat yang
melebar. Makin lama makin lebar, hingga membentuk semacam ruangan dalam tanah.
Di situ terlihat lagi banyak peti - berukuran lebih besar dan kelihatannya lebih
kuat. Seperti tadi, yang ini pun kosong semua.
"Bayangkan para penyelundup zaman dulu! Mereka berpesta membongkar barang
selundupan di sini, menjualnya dan pergi lagi pada tengah malam!" ujar Peggy
sambil melihat ke sekelilingnya.
"Sudah dekatkah kita ke Rumah Tua, Jack?" tanya Nora. "Rasanya kita sudah
berjalan jauh sekali, dan dari tadi jalannya menanjak terus."
"Kurasa, kita sudah dekat," kata Jack, suaranya pelan. "Pintu yang terdapat di
ujung sebelah sana itu rupanya menuju ke gudang bawah tanah."
"Kita coba buka, yuk!" bisik Mike. Ia sudah memegang handel pintu yang terbuat
dari besi kokoh itu. Perlahan-lahan didorongnya pintu tadi, dan pintunya
bergerak membuka ke arah luar. Mike mengintip ke baliknya. Terlihat ada tangga
batu menuju ke atas. Anak-anak naik tangga dengan perlahan-lahan. Ada delapan belas anak tangga di
situ. Ketika sampai di anak tangga paling atas, Jack menyorotkan senternya
berkeliling. Mereka berada di sebuah ruangan besar - semacam gudang bawah tanah. Dinding-
dindingnya dipenuhi, oleh rak. Di situ terdapat botol-botol kosong yang diatur
berjajar. Di sudut ruangan, terdapat tong-tong.
"Aku yakin ini gudang bawah tanah Rumah Tua," kata Jack. "Lihatlah - ada tangga
naik ke rumahnya!" Senternya diarahkan pada tangga di sisi ruangan yang menuju ke sebuah pintu.
Pintu itu agak terbuka, hingga ada cahaya luar yang masuk.
"Kalian tunggu di sini," kata Jack. "Aku hendak menyelinap, melihat situasi,"
tambahnya. Yang lain menurut. Tak seorang pun bersuara. Jack naik tangga dengan hati-hati.
Sesampainya di atas, dibukanya pintu lebih lebar dan dipasangnya telinga.
Tak terdengar apa-apa. Ia lalu mengintip dari pintu. Sebuah dapur luas berlantai
batu terdapat di sana. Tetapi, tak seorang pun kelihatan. Jack mencoba
mengingat-ingat di mana letak menaranya. Tentu saja! Menara itu pasti letaknya
dekat dengan dapur. Bahkan, mungkin ada pintu yang langsung menghubungkan dapur
itu dengan menara hingga pelayan bisa dengan mudah membawa makanan ke sana kalau
perlu. Jack menyelinap keluar dari pintu itu, lalu melihat ke sekelilingnya dengan
cepat. Benar - ada pintu di sebelah sana dapur. Bentuknya sama dengan pintu yang mereka
lalui waktu hendak masuk ke menara beberapa hari yang lalu! Pasti pintu itu
menuju ke menara! Walaupun sudah berjalan masuk cukup jauh, Jack merasa masih perlu menyelinap
masuk lebih dalam lagi ke rumah itu. Dengan berjingkat-jingkat, diseberanginya
dapur lalu ia mencoba membuka pintu yang terdapat di seberang. Pintu itu


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuka! Jack masuk ke dalam. Terlihat olehnya tangga, yang melingkar naik ke
puncak menara. Jack naik sampai ke puncak menara. Ketika tiba di sana, ia
berhenti dengan kaget. Ada suara orang menangis di dalam kamar yang terletak di puncak menara.
Kedengarannya tangis anak kecil. Jack mencoba membuka pintunya - tetapi pintu
itu terkunci! Jack mengetuk pintu itu perlahan. Orang yang di dalam segera
berhenti menangis. "Siapa?" tanya orang dari dalam.
Tetapi, ketika Jack hendak menjawab mendadak terdengar suara orang bercakap-
cakap. Rupanya ada orang yang sedang naik ke menara! Apa yang harus ia lakukan"
Bersembunyi dalam kamar di puncak menara - tak mungkin! Tapi, mungkin masih ada
waktu untuk bersembunyi ke ruangan yang terdapat di bawah kamar puncak itu.
Mudah-mudahan saja orang-orang yang sedang naik tadi tidak menuju ke ruangan
itu! Cepat Jack menyelinap turun, lalu masuk ke ruangan di bawah. Kamar itu
diperaboti sehelai permadani, sebuah kursi, dan sebuah meja. Jack bersembunyi di
balik pintu. Suara orang yang naik terdengar makin jelas. Jack menanti dengan tegang.
Langkah orang-orang itu berhenti persis di muka pintu tempat Jack bersembunyi.
"Aku mau lihat sebentar - mungkin surat-surat itu ketinggalan di sini,"
terdengar suara malas Luiz. Pintunya terbuka sedikit, Luiz menengok ke dalam!
8. SELAMAT Jack merasa yakin Luiz akan melihatnya kalau ia melongokkan kepalanya lebih
dalam sedikit lagi ke dalam ruangan. Jantungnya berdebar keras, sampai-sampai ia
merasa Luiz pasti mendengar bunyi detak jantungnya. Untunglah Luiz hanya
melayangkan pandangannya ke atas meja yang terletak di dekat jendela, lalu
menutup kembali pintu dan pergi naik ke kamar puncak.
"Surat-surat itu tak ada di sana," Jack mendengar Luiz berkata kepada temannya.
Jack hampir-hampir tak percaya bahwa ia benar-benar tidak kelihatan oleh Luiz.
Jack menunggu sampai pintu kamar di atasnya terdengar dibuka dan ditutup
kembali. Baru setelah itu ia perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya. Jack
berlari cepat menuruni tangga, lewat dapur, masuk ke gudang bawah tanah.
"Jack!" bisik Mike kaget. "Ada apa" Kok lama sekali?"
"Aku hampir saja tertangkap!" ujar Jack. Napasnya terengah-engah. "Nanti
kuceritakan. Sekarang, kita baiknya keluar dulu dari gudang ini ke rongga besar bawah tanah
di sana. Cepat!" Mereka menuruni kedelapan belas anak tangga yang menuju ke rongga dalam tanah.
Semua tak sabar menanti Jack bercerita.
"Nah, kita duduk dulu di sini sebentar," kata Jack. Anak-anak pun duduk di peti-
peti tua yang ada di rongga dalam tanah itu. "Begini ceritanya," kata Jack
memulai. "Aku berjingkat-jingkat melewati dapur, menuju pintu yang menuju ke
menara. Dari sana, aku langsung naik tangga yang melingkar-lingkar ke kamar
puncak menara. Tetapi, pintu kamar paling atas itu terkunci. Ada orang sedang
menangis di dalamnya!"
"Menangis!" kata Nora kaget "Kalau begitu, mungkin di kamar itu ada tawanan."
"Mungkin saja," kata Jack. "Kedengarannya, suara anak-anak! Aneh, kan?"
"Kalau begitu, mungkin mereka bukan menyelundup barang seperti sutra dan
sebagainya," komentar Peggy bersungguh-sungguh. "Tetapi, yang mereka bawa dengan perahu motor
kemari lewat terowongan semalam rupanya tawanan."
"Kurasa kau benar, Peggy," sahut Jack. "Meskipun begitu, kita harus cari tahu
siapa orang yang ditawan itu!"
"Kalau memang benar orang itu ditawan di kamar paling atas, pasti kadang-kadang
ia melihat ke luar dari jendela!" ujar Nora. "Kita pinjam saja teropong. Dimmy
pasti punya. Lalu, kita lihat siapa orangnya."
"Bagus. Idemu bagus," ucap Mike. "Kita bergiliran melihatnya."
"Wah, aku sudah lapar sekali," kata Peggy. "Sudah jam berapa sekarang, ya"
Kurasa pasti sudah waktunya makan siang. Betul tidak, Jack?"
Jack melihat arlojinya. "Sudah siang memang," katanya. "Kita kembali dulu ke pantai, baru makan di sana.
Ayo! Tak enak makan di tempat gelap begini."
Anak-anak menelusuri kembali lorong rahasia yang menghubungkan tempat itu dengan
gua di pantai. Kali ini jalannya terasa agak mudah dilalui, karena menurun.
Sambil sesekali membungkukkan badan, anak-anak berjalan menuruni lorong gelap
itu. Berkali-kali kaki mereka terantuk batu yang menonjol di dasar terowongan.
Senter Nora sudah sangat suram cahayanya. Karena itu Nora berjalan dekat-dekat
Jack, mencoba melihat jalan dengan bantuan cahaya senter Jack.
Akhirnya mereka sampai di gua yang letaknya tepat di atas gua pinggir pantai.
Tambang tergantung ke bawah pada lubang penghubung dengan gua di bawahnya. Jack
berpegang pada tambang itu, lalu mulai turun. Tetapi, baru beberapa saat
bergantung pada tambang, Jack berseru kecewa,
"Wah! Ada-ada saja!"
"Ada apa?" tanya yang lain kuatir.
"Air pasang!" seru Jack. "Gua bawah terendam sampai hampir ke puncaknya. Kita
tak bisa turun dari sini!"
Jack naik lagi ke atas. Anak-anak berpandang-pandangan dengan wajah muram.
"Kita memang bodoh!" ucap Mike. "Tak memikirkan kemungkinan air pasang.
Sekarang, pasti kita harus menunggu lama sekali sampai airnya turun."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Nora. "Aku sungguh-sungguh sudah
lapar. Bagaimana kalau kita makan sekarang?"
"Di sini lembab dan dingin," Jack berkata sambil menggigil. "Kalau kita duduk di
sini, aku kuatir kita akan kena selesma semua. Sebaiknya kita kembali saja ke
rongga bawah tanah tadi. Paling tidak di sana kering. Kita nyalakan saja lilin,
lalu makan. Jangan gunakan senter lama-lama. Nanti habis semua baterainya."
Anak-anak pun kembali ke rongga bawah tanah melalui terowongan rahasia. Di
tempat yang dulunya sering dipakai oleh kaum penyelundup untuk berpesta, duduk-
duduk makan, dan merokok, anak-anak membongkar ransel mereka.
Belum pernah mereka makan senikmat kali itu! Semua makanan yang dimasukkan Dimmy
ke ransel habis mereka makan tanpa tersisa sedikit pun. Setelah selesai makan,
mereka meminum limunnya. "Nah, baru enak rasanya," kata Jack sambil nyengir kepada yang lain. "Lapar
benar perutku tadi."
Mike melihat arlojinya. "Sudah jam empat," katanya. "Melihat tingginya air, mungkin baru jam setengah
enam kita bisa turun. Itu pun, kita masih harus berhati-hati, karena airnya
belum surut benar di pantai. Huah, bosannya!"
"Aku sudah kepingin melihat menara Rumah Tua dari menara kita," kata Nora. "Aku
ingin tahu siapa yang ditawan. Asyik ya, kalau kita bisa menolong orang yang
ditawan itu!" "Jack, benarkah kita tak bisa keluar lewat jalan bawah tanah?" tanya Peggy.
"Kalau kita kembali ke gudang bawah tanah, lalu lewat dapur kita menuju ke pintu
di dekat pintu gerbang belakang Rumah Tua, kita bisa cepat-cepat pulang. Paling-
paling dalam sepuluh menit kita sudah bisa sampai ke rumah dari sana. Daripada
kita menunggu air surut begitu lama di sini!"
"Yah, tapi kita harus berhati-hati sekali," kata Jack, ia pun tak ingin menunggu
air surut selama berjam-jam dalam tempat gelap seperti itu. "Seperti biasa, biar
aku yang duluan! Melihat situasi!"
Anak-anak menaiki lagi kedelapan belas anak tangga yang menuju ke gudang bawah
tanah. Jack lalu menyelinap ke tangga yang menuju ke dapur. Tak ada orang. Di ruang
yang bersebelahan dengan dapur, terdengar suara orang bercakap-cakap. Tapi,
kedengarannya mereka cuma pelayan yang sedang mengobrol sambil minum teh sore
hari. Lain daripada suara tadi, tak terdengar suara lain. Suasana di situ sunyi
sekali. Jack memberi isyarat dengan siulan pelan. Yang lain pun segera datang.
Mereka berjingkat-jingkat menyeberangi dapur ke pintu belakang. Di situ ada
sederet botol susu kosong, menunggu kedatangan tukang susu.
Tiba-tiba terlihat sesuatu yang mengecutkan hati anak-anak. Dua ekor anjing
galak berbadan besar sedang berkeliaran di halaman!
"Lihat!" bisik Jack. "Kita takkan bisa lewat kalau kedua anjing itu ada di sana!
Mengapa aku bisa lupa bahwa mereka punya anjing, ya?"
Nora tampak menahan tangis kesal. Tadi, air pasang yang menghalangi jalan
mereka. Sekarang, dua ekor anjing galak!
"Seandainya kita menyelinap ke halaman, apakah kedua anjing itu akan menggigit
kita?" tanya Peggy. "Kukira tidak," kata Jack. "Tapi, pasti mereka menyalak-nyalak, dan kita akan
segera tertangkap. Tunggulah sebentar. Akan kupikir apa yang sebaiknya kita
lakukan." "Baiklah, Kapten!" Kata Mike. Anak-anak menanti dengan taat Mereka tahu Jack
paling bisa cari akal dalam keadaan darurat seperti itu.
"Aku tahu," kata Jack akhirnya. "Kita bersembunyi dulu di balik tumpukan karung
dekat tempat cuci itu. Kalau tukang susu datang, pasti mereka memanggil anjing-
anjing itu masuk. Kita tunggu saja sampai tukang susu datang. Begitu kita dengar
anjingnya dipanggil, kita menyelinap ke luar cepat-cepat! Bukan ke pintu gerbang
belakang, tapi langsung saja memanjat pohon di samping. Kurasa, kita bisa
melompat dari ranting ke tembok, lalu turun ke luar!"
"Ya," sahut Mike. Mereka pun lalu bersembunyi di tempat cuci. Yang pertama-tama
mereka lakukan adalah menutup pintunya, supaya anjing tidak masuk ke dalam.
Mereka menunggu. Kadang-kadang Jack melongokkan kepala dari jendela, melihat
kalau-kalau ada tukang susu atau tukang roti datang. Tetapi tak ada. Lalu anak-
anak mendengar bunyi roda kereta susu - bunyinya makin lama makin jelas
terdengar. Jack menyeringai kepada yang lain.
"Nah, bersiap-siaplah sekarang," bisiknya.
Tukang susu turun dari keretanya, lalu membunyikan bel yang terdapat di pintu
gerbang belakang. Dengan segera kedua ekor anjing di halaman menyalak-nyalak
ramai sekali. Luiz muncul dari dalam rumah, memanggil anjing-anjing itu. Setelah
mengikat keduanya pada batang pohon, Luiz berteriak kepada tukang susu,
"Anjingnya sudah diikat! Masuklah!"
Tukang susu masuk membawa beberapa botol susu dan mentega. Dari dapur terdengar
suara orang, "Langsung saja masuk kemari, Pak!" Lalu tukang susu pun menghilang dari halaman.
"Kesempatan!" bisik Jack. "Luiz masuk dan anjingnya diikat. Ayo, lari semua!"
Keempatnya berlari keluar dari tempat cuci, menuju ke pohon yang tadi ditunjuk
oleh Jack. Melihat mereka, kedua anjing yang diikat tadi mulai menyalak-nyalak
Duri Bunga Ju 10 Rajawali Emas 04 Sumpah Iblis Kubur Wanita Keramat 1
^