Pencarian

Rahasia Lorong Spiggy 2

Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes Bagian 2


sambil meronta, seolah ingin melepaskan diri dari ikatan.
"Hus! Diam!" teriak seseorang dari dalam rumah. Tetapi anjing-anjing itu masih
terus menyalak-nyalak. Tetapi, dalam waktu beberapa menit saja anak-anak sudah
aman. Mereka sudah berada di atas pohon, tersembunyi di antara daun-daunnya yang
rimbun. Walaupun begitu, anjing-anjing tadi tetap menyalak.
Luiz keluar lagi, lalu meneriaki anjing-anjingnya.
"Diam!" teriaknya. "Cuma tukang susu yang datang!"
Tetapi, tentu saja anjing-anjingnya tahu, bahwa bukan cuma ada tukang susu di
situ. Mereka terus menyalak-nyalak sampai suara mereka habis. Anak-anak menunggu
sampai Luiz masuk ke rumah. Baru kemudian satu per satu turun ke tembok dari
ranting pohon. Dari sana, mereka melompat dengan hati-hati ke luar.
Betapa leganya! Mereka lalu berlari-lari menuruni tebing ke Lubang Intip. Di
sepanjang perjalanan ke sana, tak henti-hentinya mereka tertawa. Pengalaman luar
biasa yang baru saja mereka alami!
"Lorong rahasia! Tawanan! Dan, hampir saja kita tertangkap!" ujar Mike dengan
napas ngos-ngosan. Mereka telah sampai ke Lubang Intip. "Hmm, yang jelas, asyiik
sekali!" "Nah, sekarang kita harus cari tahu siapa yang ditawan di menara itu," kata
Nora. "Aku sudah tak sabar, ingin tahu!"
Di ruang tengah, Dimmy menemui mereka.
"Jadi, kalian sudah pulang," katanya. "Bagaimana pikniknya tadi" Hari ini cerah
sekali, bukan?" "Oh, cerah ya?" tanya anak-anak sambil mencoba mengingat-ingat. Yang teringat
oleh mereka hanyalah kegelapan dan kelembaban lorong-lorong bawah tanah. "Wah,
kami tak sempat memperhatikan benar apakah udaranya cerah tadi itu, Dimmy!"
"Kalian ini keterlaluan sekali!" kata Dimmy. "Ayo, cuci tangan dulu. Sesudah itu
kita minum teh. Aku baru memetik buah berry besar-besar dari kebun."
"Hore!" seru anak-anak. Mereka langsung berlari naik ke kamar masing-masing.
Tetapi, sebelum mencuci tangan Mike melihat dulu ke jendela kamar paling atas
menara Rumah Tua. Kapan kira-kira bisa melihat siapa yang ada di dalamnya, ya" Kapan orang yang
ditawan di dalam situ melihat ke luar"
9. TAWANAN DI MENARA Keempat anak itu gembira luar biasa. Tak henti-hentinya mereka mengobrolkan
lorong rahasia dan tawanan yang ada di puncak menara Rumah Tua. Kalau Dimmy ada
di dekat mereka, terpaksa mereka berhenti mengobrolkan hal-hal itu.
"Kita harus merahasiakan hal ini," kata Mike. "Kalau Dimmy tahu, pasti ia
ketakutan. Yang kupikirkan sekarang, bagaimana caranya kita bisa mengawasi menara Rumah Tua
dari menara kita pada siang hari tanpa menimbulkan kecurigaan Dimmy. Kalau malam
hari tak ada soal. Siangnya itulah yang agak susah!"
"Ya. Paling tidak, pada waktu Dimmy membersihkan kamar kita, kita harus keluar,"
ujar Peggy. "Tetapi, begitu kamarnya selesai dibersihkan, kita bisa bergiliran
naik tanpa sepengetahuan Dimmy. Katakan seorang mendapat giliran menjaga tiga
jam lamanya. Kita tak perlu terus-terusan memandang ke jendela ruangan puncak
menara itu. Sambil membaca juga tak apa-apa. Yang penting, sesekali kita melihat
ke sana. Aku sih mau sambil merajut!"
"Aku sambil main jigsaw," kata Mike. "Gampang melihat ke atas sambil bermain
jigsaw." "Kita mulai besok pagi," kata Jack. "Mudah-mudahan saja Dimmy tidak naik ke
kamar kita. Kalau melihat kita di sana sendirian, bisa-bisa dia mengira kita habis
bertengkar dan sedang marah."
Ketika hendak tidur malam itu, anak-anak melihat ke menara Rumah Tua. Tetapi tak
kelihatan apa-apa. Tak ada orang yang sedang melihat ke luar dari jendelanya.
Cuma kelihatan cahaya lampu redup. Itu saja.
"Jadi, di sana memang ada orang," kata Jack. "Kalau tak ada siapa-siapa, tak
mungkin lampunya dinyalakan. Hm, mana aku bisa tidur nanti malam" Gua dan lorong
rahasia terus-terusan teringat olehku!"
Mereka memang agak sukar tidur malam itu. Masing-masing berbaring lama sampai
akhirnya mereka tertidur dan bermimpi. Dalam mimpi mereka melihat gua-gua,
lorong gelap, menara, dan tawanan! Mimpi mereka sama mendebarkan dengan
pengalaman siang harinya!
Mike melihat ke jendela belakang begitu bangun esok harinya. Tetapi, seperti
kemarin, tak seorang pun terlihat di jendela kamar paling atas menara Rumah Tua.
Ketika hendak turun, Jack melirik sebentar ke jendela belakang. Tiba-tiba ia
berseru, "He! Ada orang di jendelanya!"
Mike cepat-cepat menghampiri - hendak melihat Tetapi Jack mendorongnya kembali.
"Jangan dekat-dekat jendela kita. Kalau kita bisa melihat mereka, mereka pun
bisa melihat kita. Menurutku, yang kelihatan itu Tuan Diaz."
Jack dan Mike berdiri agak jauh dari jendela hingga mereka tak terlihat dari
luar. Benar. Yang kelihatan itu Tuan Diaz, ia sedang memandang ke jendela menara
Lubang Intip. "Jangan bergerak, Mike," kata Jack. "Kurasa Tuan Diaz sedang mengukur sebanyak
apa kita bisa melihat ke menaranya!"
Tak lama kemudian, Tuan Diaz pun menyingkir dari jendela. Sementara itu
terdengar Dimmy membunyikan bel tanda sarapan pagi. Peggy berlari-lari naik ke
kamar Jack dan Mike, melihat sedang apa mereka.
Hari itu anak-anak mulai bergiliran mengawasi menara Rumah Tua. Seorang mendapat
giliran tiga jam. Ketika Peggy memulai gilirannya setelah giliran Jack, kira-
kira pukul enam sore, barulah si tawanan kelihatan!
Saat itu Jack masih asyik mengukir perahu kayu kecil dengan pisau lipatnya. Tiga
jam lamanya anak itu diam mengukir - duduknya agak ke pinggir jendela supaya tak
kelihatan oleh Tuan Diaz kalau kebetulan ia melihat lagi dari jendelanya. Hampir
tiap menit Jack melayangkan pandangannya ke atas, melihat ke jendela menara yang
terletak agak jauh di belakang.
Ketika itu Peggy berlari-lari datang, hendak menggantikan Jack. Tepat ketika
Jack bangkit dari kursinya dan Peggy sedang menyiapkan rajutannya, tanpa sengaja
keduanya melayangkan pandangan ke atas dengan bersamaan.
Keduanya melihat pemandangan yang sama!
"Anak laki-laki!" kata Jack, kaget sekali. "Kelihatannya baru berumur tujuh atau
delapan tahun!" "Kelihatannya bukan orang Inggris," kata Peggy. "Dari jarak sejauh ini pun
kelihatan rambut dan matanya berwarna gelap."
Anak itu sedang bersandar pada bingkai jendela. Jack menyambar teropong yang
terletak di dekatnya, lalu melihat ke luar. Anak itu terlihat dekat sekali!
"Wajahnya pucat dan sedih," kata Jack. "Seperti sedang menangis."
"Coba pinjam teropongnya," kata Peggy.
Jack memberikan teropongnya kepada Peggy, lalu Peggy melihat.
"Betul," katanya. "Wajahnya kelihatan sedih sekali. Pasti dia betul-betul
ditawan." "Kita lambaikan tangan kepadanya, yuk!" kata Jack tiba-tiba. "Dia pasti senang
melihat ada anak lain di sekitar sini."
Jack mengeluarkan bagian atas tubuhnya dari jendela, lalu melambai-lambaikan
tangan dengan bersemangat
Mula-mula anak itu tidak memperhatikan. Tetapi, lama-kelamaan gerakan tangan
Jack menarik perhatiannya. Karena kerasnya melambai-lambaikan tangan, Jack
hampir saja terjatuh dari jendela. Peggy menyelinap ke dekat Jack, lalu ikut
melambai-lambaikan tangan. Anak itu tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangan
juga. Mula-mula ia hanya mengeluarkan satu tangan dari jendela, kemudian kedua
tangannya melambai-lambai dengan kuat!
"Bagus! Anak itu tahu ada kita di sini," kata Jack, puas. "Sekarang, yang harus
kita pikirkan - bagaimana caranya tahu siapa dia!"
Peggy segera mendapat gagasan yang bagus.
"Kalau kita bikin tulisan dengan huruf besar, lalu huruf-huruf itu kita
perlihatkan kepadanya satu per satu dari jendela - mungkin ia bisa tahu bahwa
kita mau bersahabat!"
"Bagus!" kata Jack. "Kelihatannya hari akan hujan. Jadi, kita bisa naik ke kamar
sore-sore dan mulai membuat huruf-hurufnya. Kalau tak salah, katanya Dimmy
kedatangan tamu sore ini. Jadi, dia takkan menghiraukan kita."
"Apakah kira-kira Dimmy punya tinta hitam?" tanya Peggy. "Kita tanya, yuk!
Kertasnya sih aku punya. Kebetulan aku bawa buku gambarku."
Anak di jendela menara Rumah Tua itu tiba-tiba menghilang dan tidak menampakkan
diri lagi di jendela. "Mungkin ada orang yang masuk ke kamarnya, ia tak mau ketahuan sedang memberi
isyarat kepada kita," kata Jack.
Ketika itu Mike dan Nora berlari-lari masuk ke halaman. Di luar hujan. Mereka
cepat-cepat naik ke kamar. Agak heran juga mereka, mengapa Jack tidak datang ke
pantai. Ketika mendengar bahwa Jack dan Peggy melihat anak yang ditawan di menara Rumah
Tua, Mike dan Nora jadi ingin ikut melihat. Mike dan Nora jadi bersemangat
ketika Jack mengatakan kepada mereka, bahwa mereka hendak menulis sesuatu dengan
huruf-huruf besar supaya bisa dibaca oleh anak itu.
Peggy berlari-lari mendapatkan Dimmy. ia menanyakan apakah Dimmy punya tinta
hitam. Ternyata tidak. "Aku cuma punya tinta biru biasa," katanya sambil mencari-cari di meja tulisnya.
"Tapi - he, ini ada arang! Bisa dipakai?"
"Oh, tentu bisa!" seru Peggy. "Terima kasih, Dimmy. Kami akan bermain-main di
kamar Mike sore ini. Tak apa-apa, kan" Katanya mau ada tamu. Jadi, kau takkan
kesepian sendiri di bawah."
"Benar!" sahut Dimmy. "Aku senang sekali kalau kalian bermain di atas waktu ada
tamu nanti! Bermainlah sesuka hati di sana. Tapi, buka jendela lebar-lebar
supaya cukup banyak udara segar masuk."
"Tentu saja! Pasti kami akan membuka jendelanya lebar-lebar, Dimmy!" ucap Peggy
tertawa sambil berlari membawa kotak arang.
ia mengambil lembaran kertas gambarnya yang cukup luas, lalu naik ke kamar Mike.
Masing-masing ia beri beberapa lembar, lalu dibukanya kotak arang.
"Wah, tangan kita pasti hitam semua," katanya. "Tapi, arang justru paling bagus
kan, Mike" Warnanya pasti terlihat dari jauh. Mudah-mudahan terbaca oleh anak
yang ditawan itu." "Buat hurufnya kira-kira setinggi ini," kata Jack sambil memberi contoh. "Lalu
tebali setebal mungkin. Aku akan menulis enam huruf pertama. Kau, enam
berikutnya, Mike! Lalu Peggy enam huruf berikutnya lagi, dan juga Nora. Siapa
yang selesai lebih dulu, boleh membantu membuat dua huruf lain yang tersisa. He,
lihat huruf A-ku ini! Pasti anak itu bisa membaca dari menara sana."
Huruf A buatan Jack memang jelas. Besarnya hampir sama dengan tinggi kursi kecil
yang didudukinya. Di samping itu huruf tadi dibuat cukup tebal hingga pasti bisa
dibaca dari jauh. Sebentar saja anak-anak sudah selesai menulis huruf-huruf yang menjadi bagian
masing-masing. Peggy yang paling dulu selesai. Karena itu ia bertugas menulis
dua huruf terakhir, yaitu Y dan Z. Walaupun ia yakin huruf Z takkan terpakai,
dibuatnya juga huruf itu.
Berkali-kali anak-anak melayangkan pandangan ke jendela di puncak menara Rumah
Tua. Tetapi, anak kecil yang ditawan di situ tak muncul-muncul lagi. Karena hujan,
hari jadi lebih cepat gelap dibandingkan dengan biasanya. Cahaya remang-remang
kelihatan dinyalakan di kamar puncak menara sana. Anak-anak melihat bayangan
kepala dan bahu anak itu di jendela. Tetapi hanya sekilas, lalu menghilang lagi.
"Kita baru bisa memakai huruf-huruf ini besok," kata Jack. "Sayang, ya! Padahal
semua hurufnya sudah siap!"
Keesokan harinya mereka bergilir lagi mengawasi menara Rumah Tua. Masing-masing
mendapat giliran tiga jam. Kira-kira pukul dua siang, Jack dan Nora melihat anak
itu. ia berdiri di balik jendela, menyandarkan diri pada bingkainya sambil mencoba
melongok ke luar sejauh mungkin.
"Anak itu sedang melihat ke bawah, meyakinkan diri bahwa tak ada orang yang
melihatnya melambai-lambaikan tangan kepada kita," kata Jack. "Rupanya cukup
bijaksana juga itu anak!"
Jack melambaikan tangan dari jendelanya. Anak itu melihat, lalu membalas
lambaian Jack. "Nah, sekarang kita bisa memakai huruf yang sudah kita siapkan!" ujar Jack
gembira. "Ambilkan huruf yang kuminta, Nora! Aku akan menulis sebuah pesan untuknya.
Mudah-mudahan dia bisa membaca!"
"Kau mau bikin tulisan apa?" tanya Nora.
"Yah, paling-paling Kami kawan - bukan lawan," kata Jack. "Tolong berikan
hurufnya satu per satu ya, Nor!"
Maka Nora pun memberikan huruf yang ditulis di lembaran kertas putih dengan
arang. Mula-mula huruf besar K, lalu A, lalu M, lalu I... dan seterusnya. Anak yang
ditawan memperhatikan dengan penuh semangat.
Ia membaca huruf-huruf yang ditunjukkan kepadanya dengan teliti, lalu mengangguk
dan tersenyum sambil melambaikan tangan, ia lalu mulai membuat huruf dengan
jari-jari tangannya. Tetapi, karena jaraknya jauh, Jack tak bisa membacanya.
Cepat Jack meraih teropong. Anak itu mengulang lagi huruf-hurufnya. Mula-mula ia
membuat huruf A dengan jari-jari kedua tangannya.
"Itu A," kata Jack.
Lalu diteruskan dengan tanda huruf K dan U. "Wah, dia mengatakan AKU," kata Jack
mengeja. Dengan cekatan anak itu menggerak-gerakkan jari-jari tangannya membentuk huruf.
Jack terus mengeja. Akhirnya pesan yang ia sampaikan terbaca, "Aku ditawan."
Ketika itu Mike dan Peggy naik hendak mengambil pakaian renang. Tetapi, melihat
Jack dan Nora sedang berkomunikasi dengan tawanan di menara Rumah Tua, mereka
lalu duduk di tempat tidur Mike, menyaksikan semuanya itu dengan hati berdebar-
debar. "Jack, tanyakan siapa dia," seru Nora sambil melonjak-lonjak kegirangan. Maka
Jack pun menunjukkan huruf-huruf lagi. Ternyata, jawaban yang didapatnya dari
anak itu sangat mengejutkan!
10. TANGGA TAMBANG Jack melihat jawaban anak tadi dengan menggunakan teropong. Yang lain duduk di
dekatnya, menunggu dengan berdebar-debar karena sudah tak sabar ingin tahu siapa
anak yang ditawan itu. Mereka bisa melihat isyarat-isyarat yang dibuat oleh anak
itu dengan jari-jarinya, tetapi tak bisa menangkap maknanya karena tidak
kelihatan dengan terang. "Siapa dia, Jack" Siapa anak yang ditawan itu?" seru Nora tak sabar.
"Barusan dia memberi isyarat dengan jari-jarinya. Katanya namanya Pangeran
Paul!" ujar Jack sambil berpaling kepada yang lain.
Mereka semua memandang Jack dengan rupa tidak percaya.
"Pangeran Paul!" ujar Peggy. "Pangeran" Dari negeri mana?"
"Mana aku tahu," sahut Jack. "Coba kutanyakan. Mana huruf-hurufnya tadi?"
Tetapi, baru saja Jack hendak menunjukkan huruf pertama pertanyaannya, Pangeran
Paul sudah tak kelihatan lagi di jendela. Perginya sangat tiba-tiba. Mungkin ada
orang yang menariknya. Jack cepat-cepat menyingkir dari jendela, sambil menarik Peggy. Hampir keduanya
jatuh ke lantai. Peggy sangat marah dibuatnya.
"Kenapa sih, Jack?" katanya. Tetapi, ketika dipandangnya wajah Jack, lalu
diikutinya arah pandangan anak itu, tahulah ia apa yang dilihat oleh Jack. Tuan
Diaz dan temannya Luiz sedang berdiri di jendela menara sana. Keduanya sedang
memperhatikan jendela menara tempat anak-anak itu berada.
"Apakah dia melihat kita tadi, Jack?" tanya Peggy, berbisik. Rupanya ia takut
suaranya kedengaran oleh Tuan Diaz.
"Tidak," sahut Jack. "Kita menyingkir pada saat yang sangat tepat. Mungkin
ketika mereka masuk ke kamar Pangeran Paul, anak itu sedang memberi isyarat
kepada kita dengan gerakan jarinya. Mereka melihat, lalu langsung menarik anak
itu dari jendela. Atau, mungkin mereka menyingkirkan anak itu cuma karena ingin
melihat ke luar dari jendela.
Yang pasti, aku yakin mereka tahu kamar kita di sini."
"Jack, mungkinkah kita bisa menolong anak itu?" tanya Nora bersemangat
"Menurutmu, benarkah dia itu seorang pangeran?"
"Tak mungkin membawa dia lari lewat lorong-lorong rahasia bawah tanah. Di
samping karena pintu kamar puncak menara itu selalu dikunci, jalannya harus
lewat dapur dan gudang bawah tanah."
"Wah, kita mesti berhati-hati sekali. Jangan sampai Tuan Diaz melihat kita di
jendela,"

Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Nora. "Mungkin dia sudah mengira bahwa kita tahu di sana ada tawanan."
"Mana bisa dia tahu," kata Jack. "Tuan Diaz tidak melihat huruf-huruf yang kita
tunjukkan tadi." "He! Aku punya gagasan!" ujar Mike. "Bagaimana kalau kita bikin tangga dari
tambang, lalu naik ke kamar di puncak menara itu pada malam hari?"
"Tapi, bagaimana caranya supaya tangga itu bisa sampai ke jendela yang paling
atas?" tanya Nora. "Kalau kita beri tahukan rencana kita kepada Pangeran Paul, ia bisa membantu
menariknya ke atas," kata Jack. "Kalian kan sudah diajar membuat tangga dari
tambang pada waktu latihan pramuka" Asal ada orang yang menangkap ujung
tangganya di atas sana, semuanya gampang di lakukan. Orang itu bisa menalikan
ujung-ujung tangganya pada benda yang kuat, lalu turun melalui tangga itu!"
"Wah, hebat juga pemikiranmu!" kata yang lain. "Kita coba, yuk!" ajak Peggy.
"Kita harus cari dulu tambangnya," kata Nora. "Kita minta saja sama George. Dia
pasti punya," usul Mike. "Kita cari dia sekarang, dan kita minta," kata Jack segera. Maka anak-anak pun
berlari-lari turun ke tempat George bekerja.
"George! George! Kau punya tambang yang panjang, George" Boleh kami pinjam?"
tanya Jack setengah berteriak.
"He, buat apa?" tanya George.
"Rahasia," sahut Mike. "Nanti saja kalau sudah selesai kami beri tahu."
"Ambil sendiri di perahu," kata George. "Di dalam lemari kecil di buritan. Pilih
sendiri mana yang cocok."
"Terima kasih banyak, George!" seru anak-anak. Mereka lalu berlari ke teluk
tempat perahu George ditambatkan. Sesampainya di sana, langsung mereka membuka
lemari kecil yang dimaksud George. Di dalamnya banyak sekali tambang yang biasa
dipakai George untuk membetulkan atau membuat jala.
"Astaga! Buat membuka simpul-simpulnya saja bisa habis waktu kita," kata Peggy.
"Ah, kita kan berempat! Jadi bisa cepat," kata Jack. "Mungkin sebaiknya kita
bikin tangganya di sini saja - di dalam perahu."
"Lalu, anak tangganya dibuat dari apa?" tanya Peggy.
"Tempo hari kulihat ada potongan-potongan kayu di gudang alat-alat berkebun
Dimmy. Cocok sekali kalau potongan-potongan itu kita pakai."
"Lihat! Lihat!" kata Peggy mendadak. Suaranya tertahan. Yang lain melihat.
Tampak oleh mereka perempuan berambut kuning keemasan yang beberapa hari yang
lalu duduk di mobil Tuan Diaz.
Perempuan itu sedang berjalan di pantai, menuju ke arah mereka.
"Itu pasti Nyonya Diaz," kata Nora. "Akan ke sinikah dia?"
"Kalau benar ke sini, biar aku yang bicara dengan dia," kata Jack.
"Kurasa, dia disuruh ke sini untuk menyelidiki sampai sejauh mana kita tahu
rahasia mereka," tambah Jack pula.
Nyonya Diaz melangkah perlahan ke tempat anak-anak sambil membawa payung besar.
Setelah dekat, ia menganggukkan kepala kepada mereka.
"Sibuk benar kalian," sapanya. "Sedang bikin apa?"
"Main-main saja, Bu-di perahu George," sahut Jack.
"Kalian sering bermain di pantai, ya?" tanya Nyonya Diaz lagi sambil meletakkan
payungnya di pasir. "Sepanjang hari bermain di sini?"
"Hampir," sahut Jack. "Tapi, kalau air sedang pasang kami tak bisa bermain di
sini." "Di situ banyak gua-gua yang menarik," ucap Nyonya Diaz. "Sudah pernah melihat"
Atau, mungkin kalian sudah pernah masuk ke dalamnya malah?"
"Ah, kami kurang suka masuk-masuk ke dalam gua. Gelap dan lembab," kata Jack.
"Kok yang lain diam saja sih?" Nyonya Diaz bertanya dengan tajam.
"Mereka ini agak pemalu," sahut Jack. "Aku kebetulan yang jadi ketua rombongan.
Jadi, tak ada salahnya kalau aku yang berbicara mewakili mereka."
"Oh," Nyonya Diaz berkata sambil mencoret-coret pasir di bawahnya dengan ujung
payungnya. "Sudah berapa lama kalian tinggal di Lubang Intip?" tanyanya pula.
"Oh, belum lama," sahut Jack.
"Kamar kalian di menara ya?" tanya Nyonya Diaz sambil memandang tajam kepada
Jack. Pandangannya dibalas oleh Jack dengan tajam pula.
"Betul," jawabnya.
"Kalian bisa melihat Rumah Tua dari kamar kalian?"
"Akan kucoba melihat kalau kami sampai di rumah nanti," jawab Jack.
Tepat ketika itu terdengar lonceng dibunyikan Dimmy - tanda waktu minum teh.
Anak-anak bergegas meninggalkan perahu George dengan perasaan lega, karena
dengan begitu mereka tak perlu lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan perempuan
berambut kuning keemasan itu.
Mike bersiap-siap hendak membawa segulung tambang. Maksudnya, ia hendak
menyelesaikan membuka simpul-simpulnya di rumah. Tetapi, dengan hati-hati Jack
memberi isyarat agar Mike meninggalkan gulungan tambang tadi. Untunglah Mike
menangkap maksud Jack. Anak itu langsung menyimpan kembali gulungan tambang yang
hendak dibawanya. "Sampai bertemu lagi," ujar anak-anak kepada Nyonya Diaz dengan sikap sopan.
Setelah itu mereka pun berlari-lari ke Lubang Intip.
"Jack, pandai sekali kau menjawab pertanyaannya yang aneh-aneh itu!" kata Mike.
"Aku takkan tahu harus menjawab apa kalau aku yang ditanyai apakah kita bisa
melihat Rumah Tua dari kamar kita!"
"Jack bilang kita akan coba melihat kalau sampai di rumah nanti." Peggy tertawa
cekikikan. "Kok bisa-bisanya terpikir jawaban seperti itu, Jack?"
"Jadi, mereka memang sudah menduga kita tahu tentang adanya tawanan di menara
mereka," kata Jack. "Karena itu, mereka akan jauh lebih berhati-hati lagi sekarang.
Kurasa, kita takkan bisa lagi memberi isyarat kepada anak yang ditawan itu."
"Mengapa kau larang aku membawa gulungan tambang tadi, Jack?" tanya Mike. "Kalau
kubawa, kita bisa membuat tangganya di kamar seusai minum teh nanti."
"Mike, Nyonya Diaz bisa curiga kalau melihat kita membawa-bawa gulungan
tambang," kata Jack. "Lebih baik kembali ke teluk lagi mengambilnya setelah
minum teh nanti." "Kau memang selalu benar, Kapten!" kata Mike.
Setelah minum teh, anak-anak kembali lagi ke perahu George untuk mengambil
tambang. Mereka membawa tambang ke kamar. Kebetulan air sedang pasang, hingga tak mungkin
bermain-main di pantai. Membuat tangga di kamar tak kalah asyiknya dengan
bermain di pantai. "Sedang apa kalian di atas?" tanya Dimmy keheranan. "Apakah kalian tak bermain
di luar sore ini?" "Tidak, Dimmy," seru Nora menjawab. "Kami sedang bikin sesuatu yang rahasia nih.
Boleh, kan?" "Boleh saja!" kata Dimmy. Perempuan itu lalu kembali ke dapur, menyelesaikan
cucian piringnya. Anak-anak bekerja keras membuat tangga dari tambang. Setelah
bersusah payah membuka simpul-simpul pada gulungan tambang itu, akhirnya mereka
mendapatkan tambang panjang yang kuat. Dua yang paling panjang mereka pilih
untuk pegangan tangga. Setelah itu Mike turun mengambil potongan-potongan kayu
dari gudang. Sebentar saja ia sudah kembali. Jack memberi contoh bagaimana cara
yang terbaik untuk mengikatkan potongan kayu pada kedua pegangan tangga.
Potongan kayu itu nantinya akan menjadi anak tangga.
Tak lama kemudian, tangganya sudah mulai berbentuk.
"Bagus ya?" seru Peggy. "Wah, tak sabar lagi rasanya menunggu saat menggunakan
tangga ini! Kita coba nanti malam, yuk, Jack!"
11. PENGALAMAN SERU JACK "Tak bisa! Kita takkan bisa menggunakannya malam ini untuk menyelamatkan
Pangeran Paul," kata Jack. "Pertama, di sana ada anjing galak. Kita takkan
mereka biarkan masuk ke pekarangan malam-malam begitu. Mereka pasti menyalak-
nyalak bikin orang bangun."
"Astaga! Aku sampai lupa di sana ada anjing!" kata Nora kecewa. "Lalu, bagaimana
dong?" "Satu-satunya cara, kita bersahabat dengan anjing-anjing di situ," ucap Jack.
Yang lain memandang Jack keheranan. Tak seorang pun ingin berteman dengan anjing
galak macam mereka. Jack nyengir.
"Jangan ketakutan begitu," katanya. "Aku yang akan mengajak mereka bersahabat
Biasanya binatang menurut denganku. Sebelum tinggal bersama kalian, aku hidup di
tempat pertanian. Aku kenal banyak binatang, dan aku tahu apa yang mereka
sukai." "Hebat benar kau, Jack!" kata Nora. "Yakinkah kau anjing-anjing itu mau berteman
denganmu?" "Yah, tak ada pilihan lain. Cuma itu yang bisa kita lakukan," kata Jack. "Aku
akan mulai bekerja nanti malam. Kalau anjing-anjing itu sudah kenal denganku,
dan tidak bikin ribut jika aku masuk ke halaman, baru aku bisa membawa tangga
tambang ke sana untuk membantu Pangeran Paul turun."
"Bagaimana caramu membuat mereka bersahabat?" tanya Mike.
"Aku akan minta daging dan biskuit pada Dimmy," kata Jack.
"Wah, Dimmy pasti bingung. Bisa-bisa kau dikira kelaparan," Mike berkata lagi
sambil nyengir. Dimmy kaget ketika Jack meminta daging dan biskuit. Hidangan makan malam tadi
bukan main banyaknya. Lagi pula Jack sampai tambah tiga kali. Ia tak percaya
mendengar anak itu minta daging dan biskuit lagi.
"Kalian hendak pesta di kamar nanti malam, ya?" katanya. "Baiklah - sekali-
sekali kuizinkan kalian berpesta tengah malam."
Jack berdecak, lalu mengedipkan mata kepada yang lain.
"Benar, Dimmy! Kami ingin berpesta tengah malam!" katanya. "Tapi, bukan di
kamar." Dimmy tidak mendengar kalimatnya yang terakhir, karena ia sudah beranjak
meninggalkan ruangan. Dimmy menyiapkan beberapa roti isi daging, lalu memberikan
sekantung biskuit. Jack merasa puas. "Terima kasih," katanya. "Kau baik sekali, Dimmy."
"Tapi ingat! Kalau kalian sampai merasa tak enak badan besok, itu salah kalian
sendiri, ya!" Dimmy berkata sambil tertawa. Dia orang yang sangat mengerti
kesenangan anak-anak. Ketika hari telah gelap, Jack memasukkan roti dan biskuitnya ke dalam tas. ia
lalu berpamitan kepada saudara-saudaranya. Mereka ingin ikut, menunggu di luar
pagar Rumah Tua. Tetapi Jack tak mengizinkan.
"Jangan," katanya. "Kalau mendengar suara atau mencium bau orang banyak, bisa-
bisa mereka langsung menyalak. Aku takkan lama-lama. Paling-paling dua jam lagi
juga sudah kembali."
Jack menyelinap turun dari kamarnya di menara, lalu keluar ke taman tanpa
sepengetahuan Dimmy. Dengan perlahan-lahan, ia berjalan menuju Rumah Tua yang
tampak gelap menyeramkan di kejauhan. Menaranya cukup jelas kelihatan, karena
lampu suram di puncaknya menyala.
"Mungkin Pangeran Paul sedang membaca di sana," pikirnya, ia merasa kasihan
kepada anak kecil yang ditawan itu. "Mudah-mudahan kami bisa cepat-cepat
menolongnya." Tak lama kemudian, sampailah Jack di pagar Rumah Tua. ia berpikir-pikir
bagaimana caranya masuk ke pekarangan tanpa menyebabkan anjing-anjing di dalam
menyalak terlalu keras. Pada malam hari mereka dibiarkan berkeliaran di halaman.
Kalau Jack masuk lewat pintu gerbang, bisa-bisa ia dikejar.
Tiba-tiba Jack merasa mujur. Salah seorang pelayan datang, dan membuka pintu
gerbang belakang, tak jauh dari tempat Jack berdiri. Segera saja kedua anjing di
dalam menghampiri perempuan itu sambil menyalak-nyalak.
Tetapi, perempuan itu sudah terbiasa dengan mereka. Anjing-anjing itu diajaknya
bicara. Suaranya keras dan tajam,
"Don! Tinker! Diam! Masa belum kenal aku?"
Dari dalam rumah terdengar suara orang berkata,
"Kaukah itu, Anna?"
"Ya, Tuan," sahut perempuan tadi. "Keterlaluan anjing-anjing ini! Masa aku saja
disalak begitu." "Suara Tuan Diaz," pikir Jack. "Ini kesempatan. Kalau aku menyelinap ke dalam
dan anjing-anjing itu tetap menyalak-nyalak, Tuan Diaz pasti mengira mereka
menyalak cuma gara-gara Anna. Mungkin malah mereka bisa kubikin diam sebentar
lagi." Seperti bayangan hitam, Jack menyelinap masuk melalui pintu gerbang belakang.
Don dan Tinker mendengar gerakannya. Mereka juga mencium baunya. Salak kedua
ekor anjing itu semakin menjadi-jadi.
"Diam!" bentak Tuan Diaz. "Diam!"
Kedua anjing tadi berhenti menyalak. Tuan Diaz selalu menyuruh mereka diam kalau
yang datang temannya. Jack merasa lega.
"Don! Tinker!" panggil Jack dengan suara pelan, ia lalu duduk di tanah, dekat
semak-semak rimbun. Mendengar nama mereka dipanggil, telinga kedua ekor anjing
itu pun berdiri tegak. Don menyalak keras-keras sekali lagi. Tinker kelihatannya
ingin menyerbu Jack. Tetapi, anak laki-laki itu duduk - sikapnya bersahabat!
Aneh! Jack tidak bergerak. Dari pengalamannya selama di rumah pertanian, ia tahu bahwa
binatang takut akan gerakan yang tiba-tiba. Bahkan, walau gerak itu gerak
sahabatnya sendiri! Jantung Jack berdebar-debar, ia tak yakin bahwa anjing-
anjing itu takkan menyerangnya.
Don menyalak lagi. Tinker berlari menghampiri Jack, lalu mengendus-endus. Jack
duduk tak bergerak. Anjing itu lalu mencium bau roti isi daging dan biskuit yang
dibawa Jack, ia menempelkan hidungnya pada tas Jack. Don dan Tinker sengaja
tidak diberi makan banyak oleh Tuan Diaz. Kalau kebanyakan diberi makan, anjing-
anjing itu akan mengantuk.
Sebaliknya, kalau dibiarkan agak kelaparan, anjing-anjing itu cepat bangun kalau
ada bunyi yang mencurigakan.
"Tinker manis," kata Jack dengan suara pelan sekali.
Anjing itu mengendus tas Jack Rasa laparnya timbul. Perlahan-lahan sekali dan
dengan sangat hati-hati, Jack membuka tasnya. Don, anjing yang seekor lagi, tak
mau mendekat. Berdiri di kejauhan sambil merasa curiga, anjing itu menggeram.
"Menggeram boleh!" pikir Jack "Asal jangan menyalak lagi seperti tadi. Aku tak
mau Tuan Diaz memeriksa halaman."
Tinker mencaplok roti isi daging dari tangan Jack Sekejap saja roti itu lenyap
ditelan. Anjing itu kelihatannya benar-benar kelaparan, ia mengendus-endus lagi, minta
diberi tambahan. Perlahan-lahan Jack mengulurkan tangannya, lalu mengelus kepala Tinker. Karena
tak biasa diperlakukan dengan manis, anjing itu kaget, ia menjilat tangan Jack
sekilas. "Mulai kena," pikir Jack Diberinya Tinker sepotong roti lagi. Yang ini pun
segera ditelan. Dari tempatnya berdiri, Don mencium bau daging dalam roti yang
dimakan Tinker. Melihat kawannya bersikap bersahabat dengan orang asing itu, Don berpikir bahwa
tak ada salahnya ia pun bersikap begitu. Lagi pula, ia kepingin diberi roti yang
baunya enak Don berlari-lari kecil mendekat, walaupun masih menggeram-geram.
Jack tahu anjing itu cuma berpura-pura menggeram, ia jadi geli sendiri.
Diberinya Don sepotong roti berisi daging. Lalu sepotong lagi. Dengan cepat
kedua potong roti itu lenyap ditelan. Tinggal dua buah roti lagi yang
tertinggal. Jack memberi Don dan Tinker masing-masing sebuah.
Jack berdiri, lalu melangkah dengan hati-hati ke menara. Kelihatannya Tinker dan
Don tidak menaruh curiga. Bau biskuit lezat tercium oleh mereka. Itu sebabnya
mereka berjalan dekat-dekat dengan Jack. Tinker menunjukkan sikap berteman.
Ketika tangan Jack menyentuh hidungnya, ia langsung menjilati tangan anak itu.
Don tak mau berlaku begitu.
Tetapi, sekarang ia sudah tidak menggeram-geram lagi.
Jack berjalan ke kaki menara. Dari situ ia memandang ke atas. Tinker dan Don
diberinya biskuit. Masing-masing sebuah. Jack bertanya-tanya, mungkinkah pintu
di situ tidak terkunci. Seandainya tidak terkunci, beranikah ia naik" Seandainya
ia bisa membuka pintu, mungkin Pangeran Paul bisa sekaligus ditolongnya. Tapi,
ah - tidak! Tinker dan Don tak kenal Pangeran Paul. Bisa-bisa mereka menyalak-
nyalak dan ia dan Pangeran Paul tertangkap.
Dicobanya membuka pintu. Terbuka! Jack memasang telinga. Kedengarannya tak ada
orang. Sementara itu Tinker dan Don mengusap-usapkan tubuh mereka ke kakinya, minta
diberi biskuit lagi. Dilemparkannya dua buah biskuit ke tempat yang agak jauh,
lalu ia pun menyelinap masuk - pintu dibiarkan terbuka.
Tinker dan Don memakan biskuit tadi. Mereka lalu duduk di dekat pintu, menunggu
orang asing yang baik hati itu datang lagi. Mudah-mudahan orang itu memberi


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka biskuit lagi! Jack berdiri di kaki menara - diam, memasang telinga. Dipandangnya tangga yang
melingkar-lingkar di dinding. Gelap. Tak ada suara apa pun kedengaran dari
tempatnya berdiri. Jack mengeluarkan senter, dan menyalakannya. Lalu, dengan
perlahan-lahan sekali anak itu naik. Senternya cuma dinyalakan di tempat yang
membingungkan. Itu pun cuma karena ia takut tergelincir dan menimbulkan
keributan. Kamar-kamar yang dilaluinya tidak diterangi lampu sama sekali. Baru di kamar
puncak terlihat olehnya cahaya suram dari bawah pintu. Di luar pintu itu Jack
berdiri, mendengarkan. Ada yang menangis di dalam. Jack mencari-cari lubang
kunci, lalu mengintip ke dalam.
Ada seorang anak laki-laki duduk di meja. Kepalanya ditopang dengan kedua
tangan. Anak itu sedang menangis dengan suara tertahan. Air matanya menetes di
atas buku yang terbuka di depannya. Nampaknya tak ada orang lain di dalam sana.
Dengan teramat perlahan, Jack mengetuk pintu. Anak laki-laki yang ada di dalam
itu mengangkat kepalanya.
"Siapa?" tanyanya.
"Jack. Salah seorang temanmu!" jawab Jack dengan suara pelan. "Aku satu di
antara anak-anak yang suka melambaikan tangan kepadamu dari menara sebelah sana.
Anjing-anjing di bawah sudah berhasil kuajak berteman. Aku lalu naik ke sini,
ingin bicara denganmu."
"Oh!" seru anak itu tertahan. Suaranya kedengaran lega dan gembira. "Kau bisa
menolongku" Pintunya dikunci dari luar. Adakah kunci di situ?"
Jack meraba-raba. Dicobanya membuka pintu itu. Tetapi pintunya terkunci, bahkan
diselot. Selotnya dengan mudah bisa dibuka. Tetapi, anak kuncinya tak ada!
"Malam ini aku tak bisa menolongmu," kata Jack. "Tapi, dengar! Kami sudah
membuat tangga dari tambang. Kurasa, tingginya bisa sampai ke jendela kamarmu.
Kalau pada suatu malam kaudengar bunyi batu masuk dan jatuh di kamarmu, cepat
ambil batunya. Batu itu terikat pada tambang. Tarik saja tambangnya, lalu
ikatkan ujung-ujungnya pada sesuatu di dalam situ. Setelah itu, turunlah!"
"Oh, terima kasih!" ujar anak itu. Anak itu melekatkan kepalanya pada pintu.
Jack mendengar ia mendesah,
"Aku sudah bosan dikurung di sini."
"Kenapa kau ditawan?" tanya Jack.
"Ceritanya panjang," jawab anak yang di dalam. "Ayahku raja negeri Baronia.
Beliau sedang sakit. Kalau beliau meninggal, akulah ahli warisnya. Pamanku tak
mau aku yang jadi raja. ia membayar orang - menyuruh mereka menculik dan
menyingkirkan aku ke tempat yang jauh. Seandainya ayahku meninggal sementara aku
belum ditemukan, pamanku akan menobatkan dirinya menjadi raja!"
"Jadi, kau benar-benar seorang pangeran!?" ucap Jack. "Tadinya kami tak percaya.
Kasihan benar kau. Perlukah kami beri tahu polisi, Paul?"
"Jangan," cegah Paul dengan segera. "Kalau Tuan Diaz dan Luiz menduga polisi
tahu mengenai diriku, bisa-bisa mereka menyiksaku. Lalu, aku akan mereka bawa ke
lorong-lorong rahasia bawah tanah, dan kau takkan bisa mencariku. Tolonglah aku
olehmu sendiri. Siapa namamu?"
"Jack," sahut Jack. "Begini saja, Pangeran - besok, usahakan menunggu isyarat
kami dari menara sebelah sana. Kami akan memberi tahu jika malamnya kami akan
datang membawa tangga tambang ke sini."
"Kau sangat baik," kata pangeran kecil dari dalam. "Hatiku senang sekali ketika
melihat kalian melambai-lambaikan tangan dari sana."
"Aku harus pulang sekarang," kata Jack. "Rasanya, barusan ada suara di bawah.
Aku takut tertangkap."
Jack menyelinap turun. Sesampainya di bawah dicobanya membuka pintu di kaki
menara yang tadi ia lewati. Tetapi, sekarang pintunya sudah terkunci. Tuan Diaz
mendapatinya terbuka ketika berkeliling memeriksa, ia lalu menutup dan
menguncinya, ia tak tahu bahwa Jack ada di dalam.
Jack berdiri terpaku di kaki tangga. Hatinya berdegup kencang. Bagaimana caranya
keluar" Mungkinkah pintu dapur bisa dibuka tanpa menimbulkan suara"
Jack pergi ke pintu yang menghubungkan menara dengan dapur. Dari dapur tidak
kedengaran suara apa-apa. Dengan hati-hati sekali Jack membukanya, ia lalu
melangkah ke dapur besar yang kini gelap gulita. Maksudnya, tentu saja hendak
menyeberang - menuju ke pintu yang menuju halaman belakang. Dari situ, ia bisa
keluar lewat pintu gerbang belakang - atau lewat pohon seperti tempo hari.
Tetapi, malang buat Jack! Tersandung olehnya sebuah baskom kaleng. Bunyinya
nyaring, menggema ke mana-mana!
12. LOLOS Ketakutan luar biasa, Jack cepat-cepat bangkit Pintu dapur dibuka, dan Anna
melihat ke dalam. Perempuan itu menyalakan lampu. Ketika melihat Jack, ia
langsung berteriak memanggil Luiz,
"Luiz! Luiz! Ada pencuri di dapur!"
Jack berlari ke pintu belakang - mencoba membukanya. Tetapi pintu itu terkunci,
bahkan diselot dan dirantai segala! ia tahu bahwa kalau ia mencoba membuka kunci
selot dan rantainya, ia akan tertangkap sebelum sempat lari. Lalu bagaimana"
Jack sudah hampir putus asa. Naik kembali ke menara tak ada gunanya, ia akan
tertangkap juga di sana! Tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya. Wah, betul juga! ia bisa keluar lewat lorong
rahasia! ia membawa senter - tak ada masalah!
Cepat ia berlari ke pintu yang menuju ke gudang bawah tanah. Untunglah pintu
yang ini tidak dikunci. Jack sudah melompat turun ke gudang bawah tanah ketika
Tuan Diaz dan Luiz terdengar memasuki dapur. Terdengar olehnya mereka berteriak,
"Mana orangnya" Mana?"
Jack buru-buru menuruni kedelapan belas anak tangga yang menghubungkan gudang
bawah tanah itu dengan rongga besar di bawahnya, ia berlari dengan bantuan
cahaya senternya. Begitu sampai di rongga bawah tanah, Jack langsung menuju ke lorong rahasia.
Jantungnya berdegup kencang. Napasnya tersengal-sengal, ia melangkah secepat
mungkin lewat lorong panjang - sesekali menundukkan kepalanya, jika tiba di
bagian yang sempit dan beratap rendah. Tak lama kemudian sampailah ia di tempat
yang lembab, ia tahu bahwa tak lama lagi ia akan sampai di gua kecil yang
terletak di atas gua besar di pantai.
Tiba di pintu kayu yang menghubungkan tempat lembab itu dengan gua kecil, ia
mendorongnya lalu menuju ke tempat tambang yang tergantung supaya bisa turun
dengan mudah. "Sehabis ini tinggal lari ke Lubang Intip lewat pantai," pikir Jack. Hatinya
agak lega. Tapi, betapa terkejutnya anak itu! Sekali lagi dilihatnya air menggenangi gua di
bawahnya. Jadi, pulang lewat jalan itu juga tak mungkin! Atau, ia harus menunggu
sampai air surut. "Ah, mudah-mudahan saja mereka tak sadar bahwa aku keluar lewat sini," pikir
Jack. "Kalau mereka mengejarku kemari, aku pasti tertangkap. Tapi, mana mungkin"
Mereka pasti tahu aku keluar lewat sini. Pintu yang lain terkunci semua! Wah,
kalau mereka tahu air sedang pasang begini - mereka pasti yakin aku akan dapat
mereka tangkap dengan mudah."
Jack benar-benar kebingungan - tak tahu apa yang harus ia perbuat Kembali ke
atas takkan ada gunanya. Meneruskan perjalanan turun - tak mungkin. Kecuali,
kalau ia siap melawan arus air pasang!
"Aku tak berani," pikir Jack sambil mendengarkan gemuruh air di bawahnya. "Lalu,
apa yang harus kuperbuat?"
Tiba-tiba terdengar olehnya suara orang melangkah di lorong di belakangnya.
Dengan putus asa Jack melihat ke sekelilingnya di gua kecil. Bagaimana kalau ia
kunci saja pintu yang menghubungkan lorong" Ah, tapi tak bisa - kuncinya sudah
rusak sejak bertahun-tahun yang lalu.
Jack menyorotkan senternya berkeliling. Tiba-tiba terlihat olehnya sebuah lubang
kecil di salah satu sudutnya. Jack membungkuk, memeriksa lubang itu. Lubang itu
cukup dilalui orang yang perawakannya tak terlalu besar. Tapi, ke mana
tujuannya" ia tak boleh membuang-buang waktu! Cepat Jack masuk ke lubang tadi. ia
mendapatkan dirinya berada di sebuah gua lain. Tetapi, gua itu sama dengan gua
yang tadi. Bagian bawahnya terendam air. Jadi, lubang itu rupanya cuma
penghubung antara dua buah gua.
"Yah, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menunggu di sini," pikir Jack.
Jack lalu menunggu. Beberapa menit kemudian terdengar suara orang berbicara di
gua yang baru saja ia tinggalkan.
"Dia tak ada di sini, Luiz," terdengar suara Tuan Diaz. "Dan ia tak mungkin
turun ke bawah. Kalau turun juga, aku yakin ia tenggelam."
"Ya, tapi siapa tahu dia coba-coba," sahut Luiz. "Mungkin saja dia ketakutan
setengah mati lalu terjun ke air, mencoba berenang."
"Pokoknya, kalau betul begitu, ia sudah tidak ada," kata Tuan Diaz lagi.
"Rasaku, takkan ada orang yang bisa berenang dalam air sedahsyat itu."
"Kalau tidak terjun ke sana, ke mana lagi dia?" Luiz terdengar mulai jengkel.
"Bersembunyi di dalam peti?"
"Sudahlah, Luiz," Tuan Diaz pun kedengaran mulai marah. "Aku tak mengerti sama
sekali - bagaimana bisa anak itu masuk ke pekarangan dan ke dalam rumah tanpa digonggong
anjing kita" Lagi pula, bagaimana dia bisa tahu lorong-lorong rahasia di sini"
Di mana dia sekarang" Dan, tahu apa dia mengenai si Pangeran?"
"Kalau kau minta pendapatku, si Anna salah lihat," kata Luiz. Rupanya ia mulai
bosan. "Menurutku, di dapur ada benda jatuh. Si Anna lari melihat - lalu, terbayang
olehnya di situ ada anak laki-laki! Dia langsung menjerit - bikin ribut!"
"Mungkin kau benar," ujar Tuan Diaz. "Ayolah kalau begitu - kita kembali saja!"
Jack mendengar suara langkah mereka meninggalkan gua di sebelahnya. Beberapa
saat setelah itu masih kedengaran suara keduanya bercakap-cakap. Tetapi, lama-
kelamaan suara mereka tak kedengaran lagi.
"Astaga! Hampir saja!" pikir Jack. "Untunglah aku melihat lubang ini. Airnya
sudah turun belum, ya" Suaranya tidak terlalu dahsyat lagi kedengarannya."
Jack menyalakan senternya, lalu melihat ke gua di bawahnya. Gua itu rupanya
terletak di samping gua besar yang terdapat di pantai. Ukurannya kecil saja.
Dan, air berangsur-angsur meninggalkan gua itu.
"Aman! Sekarang aku bisa turun," pikir Jack, ia pun lantas menyelinap ke dalam
lubang yang menghubungkan gua itu dengan gua di bawahnya, dan melompat turun ke
pasir basah. Sekonyong-konyong ombak besar datang masuk ke gua. Jack pun basah kuyup hingga
ke pinggang. "Astaga!" Jack mengomel. "Kau sengaja datang setelah aku turun rupanya!"
Ombak itu kembali ke laut. Cepat Jack menuju ke mulut gua. Dipandangnya pantai.
Kalau geraknya cepat dan berani sedikit kebasahan oleh ombak yang datang
sesekali, ia bisa memanjat ke tebing dan naik melalui tangga alam yang biasa
mereka lewati jika hendak ke pantai.
Ombak lain datang menerjang. Jack cepat-cepat lari masuk ke dalam gua,
menghindarinya. Hampir ia terjatuh oleh hantaman ombak yang kuat. Begitu ombak kembali ke
tengah, Jack buru-buru keluar mengikutinya, ia melompat ke karang yang terdapat
di kaki tebing terjal. Ombak datang lagi - membasahi kakinya. Untunglah Jack
sudah berpegang pada tebing.
ia naik lebih tinggi lagi. Sekarang, ombak yang besar pun rasanya takkan bisa
membasahinya. Jack merayap naik batu karang yang membentuk tebing terjal. Sesekali ia
terpeleset dan meluncur turun karena lumut licin yang tumbuh di situ. Dengan
menyorotkan senternya ke tempat yang hendak ia daki, Jack terus memanjat sampai
akhirnya ia sampai di puncak tebing.
Angin terasa berhembus kencang di sana. Jack cepat-cepat mematikan senternya,
takut kelihatan orang. Perlahan-lahan ia berjalan ke Lubang Intip. Pintu
gerbangnya berderak ketika ia buka. Ah, akhirnya sampai juga ia di rumah!
Jack berlari-lari menaiki tangga yang melingkar di menara, menuju ke kamarnya di
puncak. Saudara-saudaranya ada di sana semua. Langsung mereka mengerumuninya.
"Jack! Jack! Lama amat ! Kau hampir tertangkap lagi, ya?"
"Dengar saja ceritaku nanti!" kata Jack. "Kalau kalian ingin tahu - malam ini
cukup sulit buatku! Wah, dibanding dengan pengalaman kita di Pulau Rahasia,
pengalamanku barusan rasanya lebih seru lagi!"
13. SIASAT UNTUK MENOLONG PAUL
Jack menceritakan pengalamannya. Saudara-saudaranya diam mendengarkan. Ketika
sampai pada saat di mana ia harus melarikan diri lewat lorong rahasia dan
mendapatkan dirinya terjebak air pasang, Nora memegangi tangannya erat-erat
"Jangan bertualang sendirian lagi, Jack," katanya. "Bayangkan seandainya kau
sampai tertangkap! Mana kami tahu di mana kau saat ini! Lain kali, kita pergi
sama-sama saja, ya?"
"Yah, lihat nanti saja," kata Jack. "Ada saatnya kita tak bisa pergi beramai-
ramai. Orang gampang melihatnya!"
"Tapi, Nora ada benarnya juga, Jack," ujar Mike. "Paling tidak kita harus
berdua. Pengalamanmu memang seru! Tapi, langkah apa yang mesti kita ambil selanjutnya?"
"Tidur," sahut Jack segera. "Ngantuknya bukan main! Besok saja kita rundingkan
langkah selanjutnya."
Peggy dan Nora turun ke kamar mereka. Jack dan Mike naik ke tempat tidur masing-
masing, dan langsung tertidur. Sekali lagi Dimmy terpaksa membangunkan mereka
esok paginya, karena tak seorang pun bangun pada waktunya.
"He, kalian ngantuk lagi!" seru Dimmy. "Ayo, cepat! Makan pagi sudah dari tadi
tersedia!" Anak-anak segera mengganti baju dengan pakaian bermain, lalu berlari-lari turun.
Hari itu udara cerah sekali. Mereka ingin mandi-mandi di laut.
"Jangan terburu-buru berenang," kata Dimmy mengingatkan. "Tunggu paling tidak
dua jam. Berenang sehabis makan berbahaya. Kau tahu itu kan, Jack" Pokoknya, kau bertugas
mengawasi yang lain - jangan sampai ada yang bertindak tidak bijaksana."
"Jack kapten kami, Dimmy," kata Nora. "Kami selalu menurut semua perintahnya."
Mereka pergi ke pantai, membawa bekal sekeranjang buah prem ranum dari halaman.
Tempat yang mereka pilih adalah sebungkah batu karang besar yang dikelilingi
air, tak jauh dari pantai.
"Paling tidak, di sini takkan ada orang yang mendengar percakapan kita," ujar
Jack, ia melihat ke sekelilingnya. "Tuan Diaz sekarang tahu bahwa salah seorang
di antara kita telah mengetahui rahasianya - ia menawan seorang anak kecil di
menara, ia tahu juga bahwa kita tahu seluk-beluk lorong-lorong bawah tanah.
Jadi, mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati lagi. Kurasa, gagasan Nora
untuk pergi bersama ada benarnya. Tuan Diaz dan Luiz akan berusaha menangkap
salah seorang di antara kita dan menawannya!"
"Kita ngobrol tentang Pangeran Paul, yuk," ajak Nora, ia sudah tak sabar
menunggu saat mereka bisa menolong Pangeran Paul lolos dari tempatnya ditawan.
"Bagaimana kalau kita bawa tangganya ke sana nanti malam, Jack" Kau kan sudah
kenal dengan anjing-anjingnya -
jadi, pasti kita bisa masuk dengan mudah."
"Belum tentu mereka mau kenal dengan kau," kata Jack. "Kita bisa coba, sih.
Tapi, jangan - sebaiknya aku dan Mike saja yang pergi. Kalian berdua tinggal di
Lubang Intip. Hari ini kita usahakan bisa memberi isyarat kepada Pangeran Paul. Biar dia siap
menerima tangganya nanti malam."
Walaupun sedikit kecewa karena tak diajak, Nora dan Peggy diam saja. Jack benar.
Kalau mereka pergi beramai-ramai, anjing di Rumah Tua akan menyalak-nyalak. Tuan
Diaz pasti segera tahu mereka ada di sekitar situ. Mungkin, kalau Jack cuma
bersama Mike anjing-anjing itu diam saja.
"Kalau begitu, baiknya aku membawa daging nanti malam," kata Mike. "Kau masuk
duluan, Jack. Bujuk saja anjing-anjing itu dan bawa ke tempatku. Beri tahu
mereka bahwa aku pun mau bersahabat dengan mereka."
Sudah diputuskan mereka hendak menolong Pangeran Paul malam itu. Asyik! Hati
anak-anak berdebar-debar. Tak henti-hentinya mereka memperbincangkan hal itu
sambil melahap buah prem yang mereka bawa. Setelah itu mereka bermain-main,
membuat istana dari pasir.
Sebentar saja istana itu sudah hancur disapu ombak.
Mereka kembali ke Lubang Intip sebelum tengah hari. Pertama, karena air mulai
pasang. Di pantai tak ada lagi tempat yang enak untuk bermain. Lain daripada itu, mereka
ingin cepat-cepat memberi isyarat kepada Pangeran Paul. Setelah mengambil huruf-
huruf besar yang mereka buat beberapa hari sebelumnya, anak-anak langsung menuju
kamar Mike dan Jack. Pangeran Paul ada di menara, ia sedang melihat ke luar dari jendela kamarnya.
Melihat mereka, Pangeran Paul melambaikan tangan dengan girangnya. Segera saja
Jack menyampaikan pesannya.


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami akan datang nanti malam - membawa tangga tambang," begitu pesan yang
disampaikan Jack. Menjawab pesan Jack, Pangeran Paul membuat huruf dengan jari-jari tangannya -
mengatakan bahwa ia mengerti. Jack melihat kepadanya dengan bantuan teropong.
"Pokoknya, tenang saja deh!" begitu pesan Jack selanjutnya. Pangeran Paul
melambaikan tangan sambil mengangguk-angguk. Tetapi, mendadak ia meninggalkan
jendela. Segera Jack pun menyingkir. Ditariknya saudara-saudaranya supaya
menjauhi jendela. "Ada orang masuk ke kamar Paul," katanya, "ia tiba-tiba saja menghilang dari
jendela. Benar - itu dia Tuan Diaz melihat kemari. Kami takkan terlihat olehmu, Tuan
Diaz!" Yang lain tertawa. Ketika itu terdengar lonceng tanda makan siang dibunyikan
Dimmy. Anak-anak pun berlari turun. Karena senangnya, mereka lupa mencuci tangan. Dimmy
menyuruh mereka naik lagi, mencuci tangan.
"Maaf, Dimmy," ujar mereka setelah kembali dari mencuci tangan. "Kami sedang
membuat sesuatu yang begitu mengasyikkan sampai lupa mencuci tangan."
"Kalian sedang membuat apa sih?" tanya Dimmy. Dimmy mulai membagi-bagikan porsi
makan mereka. "Itu rahasia," kata Jack. "Rahasia besar! Kau ingin tahu, Dimmy?"
"Tentu," sahut Dimmy. "Jangan lupa ceritakan kepadaku kapan-kapan, ya!"
Anak-anak tertawa. Mereka tak tahu bahwa tak lama lagi mereka memang terpaksa
menceritakan rahasia itu kepada Dimmy!
Sore harinya mereka berperahu bersama George. Mereka mendapat ikan. Katanya,
Dimmy mau memasak ikan hasil tangkapan mereka untuk makan malam.
"Kau manis deh, Dimmy!" ujar Mike sambil memeluknya. "Punya daging atau tulang
yang sudah tidak diperlukan, Dim" Kami perlu sedikit untuk nanti malam."
Dimmy melongo. "He, mengapa jadi tiap malam perlu daging" Ada apa sih" Kalian bawa anjing ke
kamar, ya?" tanya Dimmy.
Anak-anak jadi tertawa cekikikan.
"Tidak, Dimmy! Tidak! Itu bagian dari rahasia kami!" kata Jack sambil nyengir.
"Ya, sudah. Aku takkan bertanya apa-apa. Kalau kalian ingin menyimpan rahasia,
simpan saja! Di lemari es ada sisa-sisa daging. Ambil saja kapan kalian mau."
Sebelum tidur, Mike mengambil daging dari lemari es. Dibungkusnya daging itu,
lalu ia masukkan ke dalam tas. Jack yang akan membawa tangga tambangnya.
"Sekarang, sebaiknya kita berusaha tidur dulu," kata Jack. "Ngantuk juga aku
akibat kurang tidur semalam. Pasang saja weker, Mike!"
"Kupasang jam setengah satu, ya " ujar Mike. "Lewat tengah malam biasanya bulan
bersinar. Jadi, kita bisa lihat jalan tanpa senter."
Setelah menyetel weker, keempat anak itu pun pergi tidur. Mendengar dering weker
yang nyaring pada pukul setengah satu, Jack dan Mike pun langsung bangun. Nora
dan Peggy mendengar bunyinya dari kamar mereka. Langsung saja keduanya
menyelinap naik ke kamar anak laki-laki untuk mengucapkan selamat berjuang!
Keempatnya turun. Mike membawa tas, Jack membawa tangga tambang. Setelah
mengucapkan selamat jalan, Nora dan Peggy naik lagi ke kamar mereka.
"Kita lihat dari jendela kamar Jack, yuk," ajak Nora. "Bulan bersinar terang.
Dengan bantuan teropong, kita bisa menyaksikan semuanya yang terjadi di sana.
Wah, senangnya kalau bisa melihat Pangeran Paul turun lewat tangga bikinan
kita!" Nora dan Peggy merapatkan selimut pada tubuh mereka, lalu duduk di dekat jendela
- memandang jauh ke jendela di puncak menara Rumah Tua. Mereka menggunakan
teropong bergantian sambil membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh Jack dan
Mike. Keduanya sedang mendaki tebing, menuju Rumah Tua. Sesampai di sana, Jack
menyuruh Mike menunggu di luar pintu gerbang belakang, ia sendiri akan masuk.
Mudah-mudahan Tinker dan Don masih mengenalinya.
Perlahan-lahan, Jack menyelinap masuk. Seperti biasa, Tinker dan Don berkeliaran
di halaman. Mencium bau Jack, Don menggeram lirih. Tinker langsung menghampiri
anak itu dan menjilati tangannya.
"Anjing manis," bisik Jack. Ditepuk-tepuknya kepala Tinker. Lalu ia pun
mendekati Don. Don mengendus-endus mengelilingi Jack, ia teringat akan roti isi daging dan
biskuit yang dibawa anak itu semalam.
Sambil memegangi ikat leher keduanya, Jack mengajak anjing-anjing itu keluar
lewat pintu belakang. Mike menunggu di sana. Melihat Mike, Tinker dan Don
menggeram-geram. Untung saja mereka tidak menyalak. Mike mengulurkan tulang yang dibawanya.
Tinker dan Don lapar sekali. Mereka langsung melahap tulang yang diulurkan Mike.
Menganggap Mike teman Jack, mereka memutuskan takkan menyalak. Keduanya duduk di
tanah, sibuk melahap tulang di hadapan mereka.
"Yuk," ajak Jack berbisik. Mike ikut Jack masuk dan menuju ke kaki menara.
Cahaya remang-remang terlihat di puncaknya. Mike memungut sebuah batu.
Dilemparkannya batu ke jendela di puncak menara - memberi tahu Paul bahwa mereka
sudah ada di situ. Jendelanya terbuka. Mike cuma bisa berharap ia tak memecahkan
kacanya. Kalau sampai batunya mengenai kaca, bisa gempar! Untunglah anak itu
pandai melempar ke sasaran yang dituju.
Batu itu langsung masuk lewat jendela yang terbuka.
Segera Pangeran Paul menampakkan diri di jendela.
"He," sapanya dengan suara pelan. "Aku sudah siap!"
Jack memegangi batu tempat ujung-ujung tangga tambang ia ikatkan, dan bersiap-
siap melemparkan ke jendela kamar Paul.
Batu itu melambung ke atas, membawa tangga tambang di bawahnya. Malang, ia tak
sampai ke jendela tetapi kembali lagi ke bawah. Jack memungutnya. Sekali lagi
dilemparkannya batu itu. Kali ini masuk ke jendela dan jatuh di lantai kamar
Paul. Paul mengambil batu itu. Ditariknya tambang-tambang yang terikat di situ.
"Cepat ikatkan pada benda yang kuat, Paul!" perintah Jack dari bawah.
Mike mencoba menarik tangga yang sudah terpasang di dinding menara.
"Sudah kuat," katanya. "Pasti sudah diikatkan ke benda yang kuat oleh Paul. Kita
tunggu saja dia turun. Mudah-mudahan tidak lama!"
Tetapi, Paul tidak juga muncul! Jack dan Mike menunggu-nunggu. Tetapi tak juga
terlihat Paul keluar dari jendela. Ada apa gerangan"
14. MIKE TERTANGKAP Mengapa Paul tidak turun" pikir Jack. Lama amat sih! Tunggu apa lagi"
Mike mengintip ke atas. Cahaya bulan menerangi bagian atas menara Rumah Tua.
Tangga tambang yang barusan mereka lemparkan ke atas, terpasang bagus di
dindingnya. "Aneh," kata Mike. "Apa mungkin Paul takut turun lewat tangga tambang?"
"Sedang apa saja sih dia ini" Mudah-mudahan saja ia cepat keluar. Kita kan tak
bisa berdiri di sini lama-lama," kata Jack.
Tinker dan Don berlari-lari mendekat. Tulang mereka sudah habis. Mereka
mengendus-endus Mike dan Jack. Kadang-kadang sambil menjilati tangan mereka.
Jack menepuk mereka. "Jangan kau salak si Paul kalau ia turun nanti, ya," katanya. "Dia teman kami.
Jadi, jangan berisik. Kau mengerti kan, Tinker" Mengerti, Don?"
Kedua anjing itu menggoyang-goyangkan ekor mereka. Mereka tak mengerti maksud
Jack, tapi senang mendengarkan Jack bercakap-cakap dengan mereka. Jack memandang
ke atas dengan tak sabar. Digoyang-goyangkannya tangga - tetapi tak ada reaksi.
"Biar aku naik - melihat ada apa dengan si Paul," usul Mike. "Mungkin anak itu
menunggu ada yang naik - memberi petunjuk bagaimana mesti turun lewat tangga
ini." "Baiklah," kata Jack. "Kupegangi tangganya dari bawah!"
Mike mulai mendaki tangga tambang. Di bawah cahaya bulan, tubuhnya seperti
bayang-bayang hitam pada dinding menara. Nora dan Peggy melihat dengan jelas
dari menara Lubang Intip. Tentu saja mereka menggunakan teropong. Mereka heran
mengapa justru Mike yang naik dan bukan Pangeran Paul yang turun.
Mike terus memanjat. Akhirnya ia sampai ke Jendela kamar Paul. Perlahan-lahan ia
mengintip ke dalam. Terlihat olehnya Paul sedang duduk di kursi di ujung
ruangan. Wajahnya kelihatan tegang - ketakutan. Tiba-tiba saja Mike mendengar suara Tuan
Diaz, "Tertangkap, kau!"
Lelaki itu langsung memegangi tangan Mike sembari bersandar pada bingkai
jendela! Mike tak berani meronta, karena takut jatuh. Terpaksa ia membiarkan dirinya
ditarik ke atas oleh Tuan Diaz dan diangkat masuk ke dalam kamar Paul. Setelah
itu, serta-merta Tuan Diaz menarik tangga tambang dengan sekuat tenaga hingga
terlepas dari pegangan Jack di bawah.
"Nah, sekarang kita punya dua tawanan," terdengar suara malas si Luiz. Mike lalu
melihat bahwa lelaki itu pun ada di sana. ia berdiri di belakang Tuan Diaz.
Mike diam saja. ia berdiri dengan rupa marah. Diliriknya Pangeran Paul. Anak itu
langsung berkata kepada Mike,
"Aku berniat memperingatkan kau, tapi tak berani. Mereka tiba-tiba saja masuk
ketika aku sedang mengikatkan ujung-ujung tambangnya. Aku disuruh duduk di situ.
Lalu mereka menunggu kalau kalau kau naik."
"Dan ternyata memang benar naik," kata Tuan Diaz. "Besok kita mesti menutup
jendela ini dengan papan, Luiz - supaya Paul dan anak bandel ini tak bisa
memberi isyarat kepada teman-temannya di menara sana. Terpaksa anak ini kita
tawan di sini sampai hari Jumat.
Paul toh akan kita bawa ke tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak yang selalu
ingin tahu urusan orang lain seperti si Bandel ini."
"Yah, liburanmu jadi terpotong beberapa hari! Tapi, kurasa Paul senang dapat
teman! Pelajaran buatmu - lain kali jangan suka ingin tahu urusan orang!" kata Luiz.
Tuan Diaz dan Luiz beranjak pergi meninggalkan kamar Paul. Pintunya mereka kunci
dan selot. Mike lari ke jendela, lalu melongok ke bawah.
"Jack! Jack!" panggilnya dengan suara pelan. "Masih di situkah kau?"
"Masih," jawab Jack dari balik rumpun tumbuh-tumbuhan. "Kenapa kau?"
"Mereka mengambil tangga kita, dan aku mereka tawan," kata Mike. "Mereka tak
tahu masih ada kau di luar, Jack. Pulanglah segera. Mungkin kalian bisa
merundingkan sesuatu buat menolong kami keluar dari sini. Besok kalian takkan
bisa memberi isyarat lagi.
Jendelanya hendak ditutup papan. Pikirkan saja jalan yang paling baik buat
menolong kami. Kalau kalian bisa berhasil - hebat! Paul mau dibawa pergi hari
Jumat. Kurasa, aku akan dibebaskan setelah itu. Tapi, usahakan kami bisa keluar
dari sini sebelum Paul di bawa ke tempat lain yang tidak kita ketahui."
Jack mendengarkan bisikan panjang itu dengan teliti, ia marah kepada dirinya
karena membolehkan Mike naik. Harusnya ia berpikir bahwa di atas mungkin ada
orang yang bersiap-siap hendak menangkap mereka.
"Oke, Mike," ujarnya. "Akan kuusahakan. Jangan sedih, ya! Aku pulang sekarang."
Jack menyelinap ke semak-semak, menuju ke pagar tembok, ia naik pohon. Tinker
dan Don memandangnya sambil mengeluarkan bunyi-bunyian aneh - menyatakan
kesedihan mereka ditinggalkan Jack. Setelah memijakkan kaki di bagian atas
tembok,- Jack melompat ke luar dengan hati-hati. Dipandangnya sekelilingnya,
takut kalau ada orang yang melihat.
Lalu, ia pun berlari-lari pulang ke Lubang Intip.
Nora dan Peggy sudah menanti kedatangannya. Keduanya berurai air mata. Mereka
menyaksikan semuanya yang terjadi di Rumah Tua lewat teropong.
"Oh, Jack!" sedu Nora. "Bagaimana caranya mengeluarkan Mike dari sana" Mengapa
kauizin-kan dia naik" Sebetulnya kami melihat ada orang yang menunggu di
jendela, tapi kami tak bisa memberi tahu kalian."
"Itu namanya sial," Jack berkata sedih. "Aku memang bodoh. Mestinya ia tak
kubolehkan naik Tapi, sungguh mati - tak terpikir olehku di atas ada yang sedang
menunggu." "Sekarang bagaimana?" tanya Peggy sambil menghapus air mata. "Kita harus berbuat
sesuatu untuk mengeluarkan Mike dari sana. Apa kata Dimmy kalau Mike tidak
muncul waktu sarapan besok?"
"Tenang," kata Jack. "Paling tidak, kita tahu di mana dia. Paling gampang, kita
beri tahu saja polisi. Pasti Mike kembali ke tengah-tengah kita."
"Kalau tak salah, di sini cuma ada seorang polisi. Badannya gemuk. Tapi, katanya
ia bukan polisi Lorong Spiggy," ujar Peggy. "Bagaimanapun, kita tak bisa
mengganggunya tengah malam begini."
"Aku ingin memberi tahu Dimmy," kata Nora mendadak. "Mau tak mau kita harus
memberi tahu dia besok pagi. Apa salahnya kalau kita kasih tahu malam ini juga.
Aku takkan bisa tidur sebelum ada orang dewasa yang tahu bahwa Mike tertangkap."
"Mana mungkin kita membangunkan Dimmy tengah malam begini!" kata Jack. "Tunggu
saja deh sampai pagi. Percayalah, Mike takkan diapa-apakan malam ini. Lagi pula,
ia bisa tidur enak. Aku tahu ada tempat tidur lumayan di kamar Paul. Kelihatan
waktu aku mengintip dari lubang kunci."
"Pokoknya aku ingin kasih tahu Dimmy," Nora mulai menangis. "Aku ingin kasih
tahu Dimmy sekarang juga."
Nora merasa, bahwa makin cepat ada orang dewasa yang tahu, makin cepat pula bisa
diambil tindakan yang diperlukan. Orang dewasa punya kekuasaan! Nora bahkan
membayangkan Dimmy akan langsung ke Rumah Tua dan minta kepada Tuan Diaz agar
Mike dikembalikan. "Baiklah, kalau kau merasa perlu memberi tahu Dimmy malam ini juga, kita ke sana
sekarang," kata Jack. Diam-diam, ia pun ingin segera memberi tahu Dimmy. "Siapa
tahu Dimmy punya usul yang bagus."
Bertiga, mereka turun - melalui tangga yang melingkar-lingkar di menara, menuju
ke dapur. Dari situ ketiganya naik tangga berlapis karpet ke kamar tidur Dimmy,
dan mengetuk pintu. "Siapa?" terdengar suara Dimmy dari dalam.
"Kami, Dimmy," kata Nora. "Boleh kami masuk?"
"Masuklah," sahut Dimmy. "Ada yang sakit?" Anak-anak membuka pintu. Dimmy
menyalakan dua buah lilin. Ia bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya.
Rambutnya terurai hingga ke bahu. Kesannya jadi lain dengan Dimmy yang biasanya.
Tetapi, wajahnya tetap memancarkan kelembutan dan kekuatiran.
"Mana Mike?" tanyanya. "Sakitkah dia?"
Anak-anak duduk di tempat tidur. Lalu, bergantian ketiganya menceritakan kisah
aneh Rumah Tua, lorong rahasia yang menghubungkan pantai dengan gudang bawah
tanah rumah itu, pangeran yang ditawan di menaranya - dan, akhirnya, mengapa
Mike sampai tertangkap. Dimmy mendengarkan dengan kaget dan keheranan. Beberapa kali ia menanyakan
sesuatu, ia berseru kaget dan ketakutan ketika mendengar kisah Mike.
"Jadi," katanya ketika anak-anak sudah selesai bercerita, "rupanya itu yang
kalian rahasiakan! Luar biasa. Aku sendiri sudah agak lama bertanya-tanya - apa
saja yang dilakukan oleh orang-orang di Rumah Tua. Sudah kuduga mereka itu
menyembunyikan sesuatu yang tidak benar. Kasihan benar pangeran kecil itu! Aku
pernah membaca di koran berita tentang menghilangnya si pangeran. Tak seorang
pun tahu di mana ia berada - tak kusangka sedekat ini!"
"Bagaimana caranya supaya kita bisa menolong Mike?" tanya Nora. Anak itu lega
Dimmy telah tahu semuanya. "Menolong Paul juga - anak itu harus kita tolong
sebelum hari Jumat!"
Dimmy diam - berpikir lama sekali. Tiba-tiba ia mengatakan sesuatu yang membuat
hati ketiga anak di depannya berdebar lebih seru lagi.
"Kakekku pernah mengatakan bahwa ada lorong yang menghubungkan menara Lubang
Intip dengan menara Rumah Tua," katanya. "Dulu sering dipergunakan oleh
penyelundup untuk mondar-mandir dari rumah yang satu ke satunya lagi - tanpa
kelihatan orang. Kalau kita bisa mencari lorong itu, gampang sekali mencapai
menara Rumah Tua. Lagi pula, kita bisa menjemput Mike dan Paul tanpa ada orang
yang tahu!" "Dimmy!" seru anak-anak dengan mata bercahaya. "Kita cari, yuk!"
"Ya, besok kita cari," sahut Dimmy. "Mungkin kita terpaksa minta bantuan George.
Mencari lorong yang sudah berpuluh tahun tak dipakai, bukan pekerjaan yang
gampang. Kalau tak salah, kakekku bilang, ada bongkahan batu yang harus digeser di tembok
menara kita. Pasti kita tak bisa memindahkanya sendiri. George orangnya kuat.
Lagi pula, ia bisa menyimpan rahasia."
Setelah mengobrol cukup lama, Dimmy menyuruh anak-anak tidur. Hati mereka
terhibur melihat Mike berdiri di balik jendela menara Rumah Tua dan melambai-
lambaikan tangan kepada mereka. Kelihatannya ia gembira. Hal ini membuat ketiga
anak di menara Lubang Intip merasa lega.
"Mudah-mudahan Mike tidak sedih," ujar Jack sambil melompat ke tempat tidurnya.
"Mudah-mudahan," tambah Nora. "Dan mudah-mudahan juga kita bisa cepat menemukan
lorong tersembunyi yang dimaksud Dimmy. Wah, bayangkan kagetnya si George kalau
kita ceritakan kisahnya besok! Mudah-mudahan besok cepat datang!"
15. PINTU RAHASIA

Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Esok paginya, Jack melihat ke seberang. Tuan Diaz menepati janjinya! Jendela di
puncak menara Rumah Tua ditutup dengan papan! Anak-anak takkan bisa lagi tukar-
menukar pesan. Jack merasa tak senang, ia berharap Tuan Diaz lupa tadinya. Sekarang, dengan
papan menutupi jendela itu, masalahnya jadi terasa lebih serius.
Dengan lesu anak-anak turun - sarapan. Nora tersedu melihat tempat duduk Mike
kosong. Tetapi Dimmy yang kelihatannya tetap gembira segera menepuk bahu anak itu,
menghibur. "Sudahlah," ujarnya. "Jangan terlalu kuatir. Kalian sudah menceritakan segalanya
kepadaku. Aku akan membantu kalian sedapat-dapatnya. Tak perlu takut!"
Walau hidangan pagi itu makanan kesukaan mereka, tak seorang pun makan banyak.
Nora tak sabar - ingin segera berbuat sesuatu untuk menolong Mike dan Paul. ia
marah ketika Dimmy hendak mencuci piring seusai sarapan.
"Kita cari dulu lorong itu, Dimmy," pintanya. "Tinggalkan saja piring-piring
kotornya - nanti kita cuci bersama setelah lorong itu ketemu."
Dimmy menurut. Mereka berempat lalu berbondong-bondong naik tangga melingkar di
menara. Di kamar Jack, mereka memeriksa dindingnya.
Rasanya tak mungkin mendapatkan pintu rahasia di dinding di situ. Setiap bagian
dinding mereka ketuk dan tekan. Bahkan sampai ke bagian yang paling atas! Mereka
memeriksanya dengan naik kursi. Tetapi, tak ada hal aneh yang mereka temukan.
Pukul sebelas, mereka berhenti mencari-cari. Semuanya merasa lelah. Dimmy
memandang wajah Nora yang pucat. Timbul rasa ibanya pada gadis kecil itu.
"Aku buat dulu coklat susu panas untuk kita semua," katanya. "Sebaiknya kita
beristirahat dulu sambil makan kue jahe."
Dimmy berlari turun ke dapur. Peggy ikut - hendak membantu. Nora duduk di tempat
tidur Jack. Wajahnya muram.
"Jangan bersedih begitu," kata Jack.
"Kurasa tak ada pintu rahasia yang tersembunyi di kamar ini," ucap Nora,
mengeluh. "Aku pun berpendapat begitu," sahut Jack kuatir. "Bagaimana kalau itu ternyata
cuma dongeng?" "Jangan begitu dong, Jack!" kata Nora. "Aku jadi semakin ketakutan."
Jack duduk-berpikir beberapa menit lamanya.
"Mungkin Dimmy punya peta lorong Spiggy di rak bukunya," kata Jack. "Kalau ada
petanya, mungkin kita bisa melihat di mana letak pintu rahasianya."
Tepat pada saat itu Dimmy kembali, membawa sepoci besar coklat susu panas. Peggy
di belakangnya, membawa sepiring roti jahe. Semuanya merasa terhibur melihat
makanan dan minuman lezat itu.
"Dimmy, apakah kau kebetulan punya buku tua mengenai lorong Spiggy atau
petanya?" tanya Jack sambil mengunyah roti jahenya.
Dimmy kaget. "He, mengapa tak dari tadi aku ingat" Ada dua atau tiga buku kuno peninggalan
ayah kakekku di rak buku. Kurasa buku-buku itu sangat berharga. Selalu disimpan
di tempat yang terkunci."
Hampir saja Jack tersedak karena girangnya.
"Kita ambil, yuk!" katanya sambil melompat.
"Makan dulu, dan habiskan minummu," kata Dimmy. "Setelah itu kita turun bersama-
sama mencarinya." Buru-buru mereka melahap roti dan meneguk coklat susu masing-masing! Sebentar
saja keempatnya sudah berada di kamar kerja Dimmy. Ruangannya tak begitu besar.
Penerangannya kurang. Anak-anak melihat Dimmy membongkar isi lemari buku yang
besar dan antik. Setelah menyingkirkan beberapa buku di barisan depan, terlihat di bagian
belakang beberapa buah buku kuno. Semuanya bersampul coklat.
"Ini dia," kata Dimmy. "Yang ini judulnya - Catatan Zaman Para Penyelundup
Lorong Spiggy. Yang satu lagi judulnya Kisah Para Penyelundup. Dua lainnya -
buku masak dan buku harian kakekku."
Dengan penuh semangat, anak-anak memeriksa buku pertama dan kedua yang
ditunjukkan Dimmy tadi. Nora dan Peggy membuka-buka halaman Catatan Zaman Para
Penyelundup Lorong Spiggy. Sementara itu Jack dengan tak sabar membuka-buka
Kisah Para Penyelundup. "Lihat! Ini peta lorong rahasia yang pernah kita kunjungi!" seru Peggy tiba-
tiba. Yang lain segera berkerumun di dekatnya, berusaha melihat buku yang
dipegang Peggy. Gadis itu menunjukkan gambar lokasi Lubang Intip, Rumah Tua, dan
pantai. Dari gua di pantai ke Rumah Tua, terlihat garis berliku-liku yang
menggambarkan lorong rahasia bawah tanah.
"Tapi, tak ada lorong yang menghubungkan Lubang Intip dengan Rumah Tua," cetus
Jack kecewa. Benar. Di situ tidak digambarkan garis-garis yang menunjukkan adanya lorong
bawah tanah. Cepat Nora membalik lagi halaman buku itu, mencari kalau-kalau ada
peta lain. Tetapi tak ada. Anak-anak kecewa. Peggy yang paling pandai membaca mencoba mencari kalau-kalau
ada kata-kata yang menyebutkan tentang lorong penghubung, tetapi tak sepatah
kata pun menyinggung hal itu.
"Mungkin itu cuma dongeng," ujar Nora. Dengan perasaan kecewa sekali ia menutup
kembali kedua buku tadi. "Aku yakin itu bukan sekadar dongeng," kata Dimmy. ia kelihatan bingung. "Aku
ingat benar waktu kakek menceritakan lorong rahasia. Mungkin beliau menuliskan
dalam buku hariannya. Buku itu ditulis oleh kakekku sejak beliau masih kecil.
Tetapi, baru beberapa tahun yang lalu buku yang disimpan rapi itu ditemukan.
Tintanya sudah kabur. Sukar mambaca tulisannya. Itu sebabnya cuma beberapa halaman saja yang kubaca,
ia menceritakan tentang pengalaman-pengalaman-nya waktu masih kecil."
"Coba kulihat buku itu, Dimmy," kata Jack. "Akan kucoba membacanya. Tapi, tentu
memerlukan waktu agak lama. Aku punya kaca pembesar. Mungkin dengan kaca
pembesar tulisan kakekmu yang kecil-kecil itu bisa agak mudah dibaca."
Dimmy memberikan buku harian kakeknya kepada Jack. Anak itu lalu berlari ke
kamarnya. Nora dan Peggy memandang Dimmy.
"Sekarang kita mau apa?" tanya Nora. "Rasanya segan mandi-mandi di pantai tanpa
Mike." "Kalau begitu, kalian bantu saja aku - mencuci piring, membereskan tempat tidur,
dan menyapu sambil menunggu waktu makan siang!" ujar Dimmy. "Ada baiknya
mengalihkan perhatian sebentar."
"Mana bisa melupakan Mike" Peggy berkata meremehkan.
Tetapi Dimmy tak salah. Nora dan Peggy agak terhibur dan tak terlalu kuatir
setelah menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga.
Waktu makan siang pun tiba. Peggy naik memanggil Jack. Jack sedang duduk di
pojok kamarnya, asyik membaca buku harian tua dengan menggunakan kaca pembesar.
"Makan dulu," kata Peggy. "Kautemukan sesuatu di dalam situ, Jack?"
"Tidak," sahut Jack. "Cuma menceritakan pengalamannya menangkap burung, mencari
ikan, dan berlayar. Rupanya menyenangkan masa kecilnya. Dan agak nakal - suka
memperdaya orang. Katanya, dia pernah menaruh kodok di tempat tidur bibinya.
Waktu bibinya hendak tidur, semua orang dibikin kaget. Bibinya berteriak-teriak
- menyuruh orang mengambil kodok dari tempat tidurnya!"
"Dasar nakal!" komentar Peggy. "Kasihan benar kodoknya. Mana suka dia ditaruh di
bawah selimut begitu. Apa lagi katanya?"
"Wah, banyak," kata Jack, membalik-balik halamannya. "Katakan kepada Dimmy - aku
turun sebentar lagi. Aku ingin menyelesaikan baca beberapa halaman lagi."
Peggy kembali ke bawah. Tanpa menunggu Jack, Dimmy dan anak-anak perempuan mulai
makan. Mereka sedang asyik menikmati hidangan ketika mendadak terdengar Jack berteriak.
Tak lama kemudian anak itu berlari-lari turun. Pintu dapur dibuka dengan tak
sabar. Nora dan Peggy kaget bukan main. Dimmy langsung melompat, berdiri.
"He, ada apa?" tanyanya.
"Ketemu! Ketemu!" teriak Jack sambil menari-nari. "Semuanya ada di situ -
petanya segala!" Nora dan Peggy memekik. Dimmy duduk kembali di kursinya, ia belum terbiasa
dengan pengalaman-pengalaman seru begitu!
"Mana" Tunjukkan petanya, Jack!" teriak Nora. Sambil meminggirkan piringnya,
ditariknya buku harian yang disodorkan Jack.
"Dengar," kata Jack. "Begini kakek Dimmy menulis pada tanggal tiga Juni, seratus
tahun yang lalu! - Hari ini merupakan hari yang sangat berkesan dalam hidupku.
Akhirnya kutemukan juga lorong penghubung Lubang Intip dan Rumah Tua. Ada burung
terperosok ke dalam cerobong asap di kamarku. Aku memanjat, hendak menolong
burung itu. Ketika itu, tanpa sengaja tersentuh olehku bongkahan batu besar yang
bisa berputar. Ketika berputar, tampak lorong tersembunyi di dinding menara."
"Wow!" pekik Nora. "Kita cari, yuk!"
"Hus," bentak Peggy. "Teruskan dulu, Jack!"
"Terusnya menceritakan bagaimana kakek Dimmy masuk ke dalam lorong itu. Ternyata
lorongnya menuju ke bawah, naik ke tebing - ke Rumah Tua. Cabangnya banyak. Ada
yang menuju ke lorong rahasia lainnya di Lubang Intip. Ada pula yang menuju ke
menara Rumah Tua. Seperti di sini, lubang itu terdapat di dinding menara Rumah
Tua - arahnya naik, menuju ke kamar yang terdapat di puncaknya!" Jack tak bisa
lagi meneruskan ceritanya.
Hatinya berdebar-debar. Betapa tidak! Memang itu yang ia perlukan!
"Ada peta kasar yang digambarkan oleh kakek Dimmy setelah memeriksa semua cabang
lorong rahasia itu. Kakek Dimmy merahasiakan penemuan ini, karena takut ayahnya
akan menutup lubang masuk ke lorong itu kalau sampai tahu."
Semua nimbrung, melihat petanya. Tinta yang dipakai menggambar sudah begitu
kabur. Dengan kaca pembesar pun sukar kelihatan. Tetapi, anak-anak bisa mengikuti arah
yang ditunjukkan. "Betul, kan" Aku yakin lorong itu ada," kata Dimmy. Dimmy pun sekarang sama
bersemangatnya dengan anak-anak.
"Kita cari, yuk!" kata Nora. "Ayo dong, cepat dikit!"
Mereka semua berbaris ke atas. Karena tergesa-gesa, beberapa kali tersandung
anak tangga. Mereka sudah tak sabar ingin melihat pintu rahasia di cerobong asap
kamar Jack. 16. LORONG RAHASIA LAGI Mereka buru-buru masuk ke kamar Jack, di puncak menara. Tetapi, begitu berada di
dalam dan melihat ke sekelilingnya, Peggy langsung berteriak.
"He, bodoh benar kita ini!" katanya. "Di sini tak ada perapian."
"Astaga! Benar - memang tak ada!" kata Jack kecewa. "Aku lupa sama sekali.
Tetapi, petanya jelas menunjukkan bahwa lorong itu dimulai di sebuah cerobong
asap." "Kamar kami punya perapian besar," kata Nora. "Jadi, di sanalah lorong itu
bermula. Ayo, cepat!" Mereka turun ke kamar Nora. Di sana memang terdapat sebuah perapian tua.
Modelnya sangat kuno, terbuat dari batu. Jack memandang ke atasnya.
"Ambilkan kursi," katanya.
Nora dan Peggy menanti dengan tak sabar sementara Jack berdiri di atas kursi,
meraba-raba cerobong asap yang kotor. Jack meraba sesuatu yang kelihatannya
seperti anak tangga sempit di bagian dalam cerobong. Diberitahukannya hal ini
kepada Nona Dimmy. Wajahnya hitam oleh jelaga, memandang ke bawah dari atas kursi.
"Benar. Memang seharusnya ada tangga di situ," kata Dimmy. "Zaman dulu, orang
suka menyuruh anak-anak membersihkan cerobong asap. Untuk memudahkan bekerja,
sering mereka membuat semacam irisan pada dinding - dijadikan tempat berpijak.
Bisakah kau naik ke atas sana, Jack?"
Jack merasa bisa. Maka ia pun naik. Napasnya terasa sesak oleh jelaga yang sudah
bertahun-tahun tidak dibersihkan. Anak tangganya sempit sekali - di luar dugaan,
langsung menuju ke luar pada bagian atas cerobong. Jack merasa pasti bahwa
lubang menuju lorong rahasia terdapat di sekitar situ!
Batu dan bata bercampur - terasa kasar pada tangan Jack. Ditarik dan didorongnya
masing-masing, dengan harapan salah satu di antaranya bisa berputar dan
menunjukkan adanya semacam pintu di belakangnya. Tak ada yang bergerak sama
sekali sampai akhirnya Jack terpeleset dan membentur sebuah batu!
Jack menimpa sebuah batu yang terdapat di tempat yang berbeda dari batu-batu
yang tadi dirabainya. Batu itu berputar karena berat tubuhnya, dan sementara ia
berputar tampak sebuah lubang di dinding. Diraba-rabanya lubang itu. Jack
mendapatkan semacam pegangan dari besi.
"Ketemu!" serunya.
Jack menarik pegangan itu kuat-kuat. Batu tadi bergerak sedikit Jack berusaha
membukanya lebih lebar. Tetapi, sekuat apa pun ia menarik, tak juga batu itu
bergerak-gerak lagi. Jack kembali ke bawah. Nora dan Peggy kaget melihat wajah dan tangannya yang
hitam kotor. Jack nyengir. Giginya putih terang pada wajah yang hitam.
"Dimmy, kita harus minta bantuan George rupanya," kata Jack. "Penutup lubang
masuknya keras sekali - tak bisa digeser! Mungkin karena sudah terlalu lama
tidak dibuka. Kita suruh George membawa tambang, ia bisa mengikatkan tambang itu
pada pegangan besi yang kutemukan di sana. Kalau ditarik dengan cukup kuat, aku
yakin kita bisa melihat lubang masuk ke lorong itu, Dimmy! Tadi batunya berhasil
kugeserkan sedikit. Kelihatan ada semacam rongga. Pasti itu jalan keluar dari
sini!" "George sedang bekerja di halaman sore ini," kata Dimmy girang. "Kita bisa
memanggilnya sekarang juga. He, jangan kau yang keluar, Jack! Lihat - tampangmu
begitu mengerikan!" * Tetapi Jack sudah keluar, ia berlari sekencang-kencangnya menuruni tangga,
langsung ke halaman. George sedang sibuk mencabut kentang. Jack langsung saja
menghampirinya sambil berteriak,
"George! George! Kemarilah cepat!" George memandang ke atas dengan kaget sekali.
Terlihat olehnya makhluk hitam menyeringai kepadanya. Sekop di tangannya sampai
terjatuh. Lama baru George mengenali, bahwa sesungguhnya makhluk itu temannya
sendiri - Jack! Sambil bercerita dengan seru mengenai segalanya, Jack mengajak George naik ke
kamar Nora. "Sudah bawa tambang?" tanya Nora.
Untunglah George punya kebiasaan membawa-bawa tambang, dililitkan pada
pinggangnya. George melihat kepada Nora dan Peggy, lalu kepada Dimmy.
"Mana Mike?" tanyanya.
"Ah, kau ini pasti tidak mendengarkan ceritaku!" ujar Jack tak sabaran. "Kan
sudah kuceritakan tadi, George!"
"Biar kuceritakan lagi kepadanya," kata Dimmy. George memandang mereka semua
seolah mereka itu sedang gila. Dengan singkat Dimmy mengisahkan segalanya kepada
George. Berkali-kali George menganggukkan kepala. Setelah mengetahui kisahnya dari awal
sampai akhir, George tak lagi menganggap mereka aneh. Mata lelaki itu bersinar-
sinar waktu Dimmy minta tolong agar ia naik ke cerobong asap dan mengikatkan
tali tambangnya pada pegangan besi yang tadi ditemukan Jack
"Dengan senang hati aku akan membantu mengeluarkan Mike," ucapnya sambil
melepaskan tambang yang ia lilitkan pada pinggangnya. Ternyata cukup panjang dan
kuat juga tambang itu. Dengan membawa senter Jack, George menyelinap masuk ke
cerobong asap. Tak sabar menunggu, Jack menyusul. Tetapi, tak berapa lama
kemudian anak itu kembali turun.
Mulutnya penuh jelaga hitam yang berjatuhan terkena sepatu George di atasnya.
Pegangan besinya ditemukan George, dan ia langsung menalikan tambangnya pada
pegangan itu. Ujung lain tambangnya jatuh ke perapian di bawah cerobong, seperti
ular berwarna coklat. George lalu melompat turun.
"Nah, sekarang kita tarik beramai-ramai," ucapnya sembari tersenyum lebar.
Semuanya mulai menarik - dan, tambang itu terasa berguncang ketika tempatnya
ditambatkan bergoyang, menampakkan lubang di baliknya yang cukup besar untuk
tempat masuk orang. Jack memanjat lagi ke dalam cerobong. Sesampainya di atas ia berseru,
"Ini dia lorong rahasianya! Kita bisa lewat! Ke sinilah kalian semua!"
Dimmy dibuat terperanjat oleh anak-anak yang tanpa ragu-ragu lagi naik ke dalam
cerobong yang hitam berjelaga dan luar biasa kotornya. Tetapi, karena ingin tahu
bagaimana rupa lorongnya, Dimmy pun akhirnya ikut naik!
George sudah menyelinap masuk lewat lubang yang baru terlihat setelah batu
penutupnya digeser tadi. Sebuah jalan yang sangat sempit ditemuinya di situ. Arahnya menuju ke bagian
belakang cerobong. Jalan itu luar biasa sempitnya hingga George terpaksa


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan menyamping supaya tubuhnya bisa lewat di situ. ia sampai ke sebuah
tangga besi. Tangga itu menuju ke bawah - ke tempat gelap, ia berseru kepada
yang lain. "Ada tangga turun ke bawah. Kelihatannya di bagian sini menara kita punya dua
lapis dinding - luar dan dalam. Di antara keduanya terdapat lorong rahasia!
Bagian lainnya cuma punya selapis dinding."
Semua turun lewat tangga tadi. Senter mereka gigit supaya tangan mereka bisa
bebas untuk berpegangan pada sisi-sisi tangga. Karena tak punya senter, terpaksa
Dimmy berdiri di puncak tangga - menunggu yang lain kembali.
Tangga besi itu berakhir di bawah menara. Di bagian bawahnya terdapat sebuah
ruangan kecil. Di situ terlihat dua buah topi kuno, sebuah perahu-perahuan yang
terbuat dari kayu diukir, dan sebuah buku yang sudah jamuran.
"Pasti ini tempat kakek Dimmy bersembunyi waktu ia masih kecil," kata Jack.
"Lihatlah mainan-mainan ini!"
Dari ruang bawah tanah yang baunya apek dan aneh itu, ada sebuah lorong sempit
menanjak ke tebing. "Pasti letaknya tak terlalu dalam di bawah tanah," kata George yang berjalan
paling depan. "He! Itu ada cahaya! Pasti dari luar asalnya!"
Benar! Cahaya matahari dari luar menyinari sebuah tempat yang letaknya di atas
kepala mereka. "Pasti dibuat oleh kelinci," ucap Jack, tertawa. "Bayangkan kagetnya dia waktu
tiba-tiba terjatuh ketika sedang, membuat liang."
"Yang jelas, gara-gara kelinci itu tempat ini jadi agak segar. Ada udara yang
masuk," kata George. "Mungkin, kalau tak ada lubang itu udara di sini pengapnya bukan
main." Mereka terus berjalan menelusuri lorong rahasia yang panjang itu. Tiba-tiba saja
George berhenti. "Ada apa, George" Mengapa berhenti?" tanya Jack.
"Jalannya terhalang. Atas lorong bagian sini rupanya runtuh. Kita tak bisa
berjalan terus. Harus digali dulu runtuhannya. Kita balik dulu, yuk! Nanti ke
sini lagi membawa alat penggali. Rasanya lorong ini menuju ke menara Rumah Tua.
Di sana, kita akan menjumpai tangga besi di antara dua lapis tembok, seperti
yang terdapat di menara Lubang Intip."
Anak-anak menyelinap kembali ke tempat tangga besi, lalu naik ke cerobong asap.
Dimmy sedang menunggu mereka di kamar. Nora dan Peggy, ia sudah membersihkan
wajahnya yang coreng-moreng oleh jelaga tadi.
Anak-anak bercerita dengan penuh semangat mengenai apa saja yang mereka lihat di
lorong rahasia. Jack berlari ke gudang, mengambil sekop. Bukan cuma itu. ia
sempat pula mengambil sepotong biskuit yang segera dimakannya. Siang tadi ia
belum makan sama sekali. "Wah, kalau begini kita bisa cepat-cepat menolong Mike dan Paul," ucap Peggy tak
sabar. "Baiknya, kita cepat-cepat menyingkirkan run-tuhannya, lalu segera menolong
mereka malam ini juga," George berkata. "Ya, sebaiknya malam hari. Pertama,
kedatangan kita takkan terdengar oleh orang-orang di sana. Yang kedua, waktunya
cukup banyak untuk menggiring kedua tawanan mereka ke tempat kita."
"Benar, George," sahut Dimmy. Sekarang Dimmy pun sama menggebu-gebunya dengan
anak-anak. George dan Jack bergegas naik lagi, membersihkan reruntuhan atap lorong yang
menghalangi jalan. Nora dan Peggy membersihkan tubuh mereka. Sehabis mandi,
mereka asyik membalik-balik halaman buku harian kakek Dimmy. Buku itu sangat
berharga - tanpa buku itu, mereka takkan tahu di mana letaknya lorong rahasia
yang menghubungkan kedua menara.
Satu jam kemudian Jack dan George kembali. Tubuh keduanya berkeringat, kotor.
Mereka kehausan. Dimmy menyuruh mereka mandi dan ganti baju. George kelihatan
kocak mengenakan celana pendek dan baju kaus Mike! Mereka semua lalu turun ke
dapur, menikmati hidangan kecil sore hari. Kali ini rasanya nikmat sekali.
"Makin mengasyikkan, ya!" kata Peggy sembari mengoles roti dengan mentega.
"Sayang Mike tak tahu apa yang sedang kita lakukan!"
"Ah, sebentar lagi juga tahu," sahut Jack sambil mengunyah.
"Bayangkan marahnya orang-orang di Rumah Tua kalau besok pagi tahu Mike dan Paul
sudah pergi," kata George besungguh-sungguh. "Mungkin, yang paling baik kalian
dan si pangeran segera saja pergi dari daerah sini. Sementara itu, Nona Dimity
akan melaporkan kejadiannya kepada polisi. Aku akan menemaninya. Polisi pasti
akan mengadakan penyelidikan!"
"Pergi dari sini?" tanya Jack. "Ke mana" Memang ada tempat yang aman?"
Begitu Jack mengucapkan itu, langsung Nora dan Peggy mencetuskan gagasan bagus.
"Pulau Rahasia!" Jack berseru. "Di sana aman! Lagi pula, tempatnya tak jauh!"
"Pulau Rahasia!" seru Nora dan Peggy pada saat yang bersamaan.
"Pulau Rahasia?" tanya George terperanjat.
"Pulau itu terletak di tengah-tengah sebuah danau. Jauhnya kira-kira empat puluh
mil dari sini," kata Jack. "Kami pernah tinggal di sana, waktu kami melarikan
diri. Tempatnya enak. Dan, yang penting Pangeran Paul pasti aman di sana."
"Bagus!" komentar George. "Kalau begitu, akan kuantar kalian naik perahuku ke
Longrigg. Kakakku tinggal di sana. ia punya mobil. Jadi, bisa mengantar kalian ke mana
pun." "Mike pasti senang! Mike pasti senang!" seru Nora. "Wah, gembira betul hatiku
saat ini!" Gadis itu menari-nari sambil menarik Dimmy - mengajaknya menari pula,
berputar-putar dalam ruangan sampai Dimmy kecapaian!
17. MEMBEBASKAN TAWANAN Rencana mereka sudah matang. Mike dan Paul akan mereka bebaskan malam itu juga.
Mudah-mudahan saja pintu penghubung lorong dengan menara yang sebelah sana masih
bisa dipakai dan tidak sukar digerakkan karena sudah terlalu tua!
"Tadi kami berjalan lewat lorong sampai ke menara Rumah Tua," kata George. "Di
sana ada tangga besi semacam yang terdapat di sini. Kurasa, tangga itu menuju ke
kamar yang paling atas - tepatnya, ke cerobong asap di atas perapiannya."
"Rencanakan yang matang," pesan Dimmy. "George dan Jack bertugas pergi ke menara
Rumah Tua, membawa Mike dan Paul ke sini. Sementara itu aku dan anak-anak
perempuan ini akan menyiapkan makanan sebanyak-banyaknya. Setelah terkumpul,
kami akan membawanya ke pantai, dan memasukkannya ke dalam perahu George. Kami
akan menunggu kalian di sana, George, Jack!"
"Benar! Kami pasti perlu membekal banyak sekali makanan untuk persediaan selama
di Pulau Rahasia," kata Nora. "Di sana cuma ada buah-buahan liar. Kalau tidak,
kita terpaksa harus menangkap burung dan ikan seperti tempo hari!"
"Kali ini kalian takkan tinggal di sana terlalu lama. Paling-paling cuma dua
sampai tiga hari. Setelah polisi tahu dari mana asalnya Pangeran Paul dan
berhasil mengatur pengembalian anak itu - kalian bisa meninggalkan pulau itu,"
kata Dimmy. "Aku akan tetap tinggal di sini. George akan kembali bekerja seperti
biasa. Kalau orang-orang dari Rumah Tua datang menanyakah kalian, kukatakan saja
kalian sudah pergi."
"Dimmy, kita mulai menyiapkan makanannya, yuk," ajak Peggy tak sabar. "Cuma
makanan yang kami perlukan. Tak perlu membawa penggorengan, kasur, dan
sebagainya. Peralatan semacam itu sudah lengkap - tersimpan rapi dalam sebuah
gua di sana." Dengan dibantu oleh Nora dan Peggy, Dimmy mengumpulkan makanan sebanyak mungkin.
Segala yang ada dalam lemari persediaan Dimmy dibawa. Ditambah pula dengan
kacang dan buah prem dari halaman. Untunglah Nora ingat membawa gula dan Peggy
ingat membawa garam. Asyik benar ketiganya menyiapkan bekal!
George mengangkat kardus yang paling besar ke perahunya. Di belakangnya menyusul
Jack - membawa dua buah keranjang. Dimmy buru-buru menyelipkan sekotak obat batuk ke
dalam keranjang itu, kuatir kalau ada yang terserang flu.
"Kurasa semuanya sudah lengkap," kata Dimmy. "Nanti malam jangan lupa memakai
baju hangat. Udaranya sedang agak dingin. Ya Tuhan- tak kuduga hal seperti ini
bisa terjadi!" "Yah, Dimmy - sebetulnya kami ingin kau ikut ke Pulau Rahasia," kata Peggy. "Kau
pasti senang berada di sana. Daripada di sini - sendirian tanpa kami. Kau akan
kesepian, Dimmy!" "Sudah tentu," sahut Dimmy. "Tapi, kalian kan perginya tak lama. Yang penting
Mike selamat. Aku tak enak membayangkan anak itu terkurung di puncak menara
lama-lama." Karena semuanya sibuk, malam terasa lebih cepat datangnya. Menurut rencana, Jack
dan George akan berangkat menjemput Mike dan Paul pukul setengah dua belas.
George menggunakan sore itu untuk pergi ke desa terdekat, menelepon kakaknya di
Longrigg - minta agar ia menyiapkan mobil untuk anak-anak. Ternyata George bisa bekerja
sama dengan baik dalam situasi begini!
"Sudah waktunya kita berangkat," ucap George, melirik pada sebuah jam berantai
yang selalu tersimpan di kantung jaketnya. "Sebaiknya tak lama lagi Anda dan
gadis-gadis ini segera berangkat ke tempat perahuku ditambatkan, Nona Dimity.
Aku dan Jack akan mengajak Mike dan Paul kembali ke sini lewat lorong rahasia.
Lalu, kami akan menyusul ke pantai."
"Mudah-mudahan berhasil, George!" seru Nora. "Kau juga, Jack!"
Dimmy, Nora, dan Peggy mengantarkan keduanya sampai ke kamar Nora. Mereka
menyaksikan George dan Jack naik ke dalam cerobong. Bunyi tangan mereka meraba-
raba mencari pegangan besi terdengar dari bawah. Setelah itu sunyi sepi!
"Jangan lupa membawa sebuah mantel buat Mike dan sebuah mantel cadangan untuk
Pangeran Paul," pesan Dimmy. "Setelah itu kita ke pantai - menunggu di perahu
George sampai mereka datang. Sekarang, kalian minum coklat susu panas dulu, ya!
Kulihat kalian agak menggigil."
"Menggigil karena berdebar-debar, Dimmy - bukan karena kedinginan," kata Nora.
Walaupun begitu, lega juga ia menghabiskan coklat susu lezat yang disediakan
Dimmy. "Sudah sampai di mana George dan Jack, ya?" kata Peggy. "Mungkin sudah sampai di
Pendekar Kembar 2 Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut Meraga Sukma 1
^