Pencarian

Rahasia Lorong Spiggy 3

Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes Bagian 3


Rumah Tua sekarang."
Perjalanan George dan Jack cukup lancar. Mereka telah sampai ke dasar tangga
besi sambil menggigit senter. Mereka telah pula melewati ruangan bawah tanah
yang berisikan beberapa mainan usang, dan telah menelusuri lorong yang menuju
Rumah Tua. Setibanya di tempat yang siangnya mereka bersihkan dengan sekop, George
menyorotkan senternya berkeliling.
"Kelihatannya sewaktu-waktu atapnya bisa runtuh lagi," katanya. Wajahnya nampak
kuatir. "Mudah-mudahan saja jangan runtuh sampai kita lewat kembali."
"Ya, mudah-mudahan," ujar Jack. "Tak enak banget kalau kita sampai terkurung
gara-gara jalannya tersumbat. Astaga! George, lihat - ada bongkahan batu yang
sudah jatuh!" Mereka meneruskan perjalanan, dan sampai ke suatu percabangan.
"Itu menuju ke lorong yang menghubungkan gua di pantai dengan gudang bawah tanah
Rumah Tua," kata Jack. "Sayang tersumbat! Kalau tidak, bisa kita coba masuk ke
sana!" Mereka memang telah ke sana siang harinya. George berpendapat tak ada perlunya
bagian itu mereka bersihkan, karena besar kemungkinan sepanjang lorong itu
tersumbat oleh runtuhan atap. Lebih cepat jika melalui lorong antara dua menara
dan kembali ke menara Lubang Intip, lalu dari sana menuju pantai lewat tangga
alam yang menuruni tebing.
Tak lama kemudian mereka sampai ke tangga besi yang terdapat di bagian dalam
kedua lapis dinding menara Rumah Tua. Mereka naik dengan perlahan-lahan, dan
sampai ke teras sempit yang menuju ke bagian belakang cerobong asap. Keduanya
menyelinap turun. Mereka sampai ke sebuah tempat sempit dan gelap. Tembok batu
mengelilingi tempat itu. "Cari pegangan besi," bisik George. "Pasti ada satu di sekitar sini. Kalau
ketemu, kita talikan tambang yang kubawa pada pegangan itu, lalu kita tarik
kuat-kuat bersama-sama. Menurutku, batu penutup lubangnya akan tergeser seperti yang terdapat di Lubang
Intip sana." Keduanya meraba-raba sambil menyorotkan senter ke sana kemari. Akhirnya George
menemukan yang ia cari-cari! Diikatkannya tambangnya pada pegangan bulat itu,
lalu bersama-sama dengan Jack ditariknya tambang itu ke berbagai arah. Tiba-tiba
batu itu bergeser. Tampak di depan mereka sebuah lubang yang langsung menuju ke
perapian di kamar paling atas menara itu!
Terdengar suara orang di bawah. George dan Jack berdiri diam, mendengarkan.
Rupanya Tuan Diaz sedang berbicara.
"Pagi-pagi buta besok, kau harus ikut aku, Paul. Kau, Mike - kau terpaksa
kutinggalkan beberapa hari di sini. Kau perlu diberi pelajaran agar tidak suka
mencampuri urusan orang lain lagi! Anna akan merawatmu, ia akan melepaskan kau
kira-kira seminggu lagi."
"Mau kaubawa ke mana si Paul?" terdengar Mike bertanya.
"Wah, kau kepingin tahu juga, ya?" Tuan Diaz menyahut dengan sinis.
"Tentu saja," Mike menjawab. "Kau tak berhak menawan seorang anak di bawah umur,
Tuan Diaz. Sebentar lagi kau pasti dihukum!"
"Sebelum aku dihukum, kau akan kuhukum duluan!" balas Tuan Diaz dengan suara
marah. "Nah, sekarang tidurlah! Paul, kau tak perlu ganti baju. Kau harus siap ikut
begitu kujemput besok subuh."
Terdengar bunyi pintu ditutup. George dan Jack mendengar bunyi kunci diputar dan
selot dipasang. Setelah itu bunyi langkah kaki menuruni tangga.
"Tunggu dulu sebentar," bisik George waktu ia merasa Jack hendak langsung maju.
"Siapa tahu ia kembali."
Keduanya menunggu. Tak lama kemudian terdengar oleh mereka Mike menghibur Paul.
Mendidih darah Jack mengingat Tuan Diaz. Mudah-mudahan orang itu dihukum
betulan! "Nah," kata George berbisik, "sekarang kita masuk."
Mereka lalu menyelinap lewat lubang yang terdapat di balik batu tadi, menuju ke
cerobong. Di situ terdapat beberapa anak tangga kasar tempat memijakkan kaki.
Kaki mereka meraba-raba mencari tempat yang aman untuk berpijak.
Mendengar bunyi yang ditimbulkan oleh Jack dan George di dalam cerobong, Mike
dan Paul diam berpandang-pandangan.
"Bunyi apa itu, Mike?" tanya Paul.
"Ada burung di cerobong, barangkali," sahut Mike.
"Benar!" sahut Jack. "Burung Jack yang datang, Mike! Aku Jack!"
Paul terkejut bukan main. ia langsung terduduk. Di belakangnya tak ada kursi.
Anak itu langsung terjengkang ke lantai. Mike juga kaget! Reaksinya lain lagi.
ia langsung berlari ke bawah cerobong. Wajahnya yang menengadah kejatuhan jelaga
dan debu! "Jack! Jack! Bagaimana caranya kau bisa ke sini?" tanyanya terkagum-kagum. "Nora
dan Peggy ikut?" "Tidak. Cuma George," sahut Jack sambil melompat turun. "Turunlah, George!"
Sementara itu Pangeran Paul sudah bangkit dari lantai. Dengan terheran-heran,
dipandangnya wajah kedua orang yang sedang turun dari cerobong. Coreng-moreng
jelaga membuat muka mereka kelihatan seram dan lucu. Dengan sikap sopan anak itu
langsung menghampiri dan mengulurkan tangan.
"Nanti saja kami ceritakan semuanya yang harus diceritakan," ujar George.
"Baiknya kita tidak membuang-buang waktu sekarang. Sebentar lagi sudah subuh.
Tuan Diaz pasti datang menjemputmu, Paul. Nah, ikutlah kami sekarang. Jalan yang
kita lalui nanti merupakan jalan tembus tersembunyi yang berhubungan dengan
menara Lubang Intip."
"Dimmy dan anak-anak perempuan menunggu kita di tempat perahu George. Mereka
telah menyiapkan bekal banyak sekali buat kita," penuh semangat Jack bercerita
kepada Mike. "Kita akan menuju ke Pulau Rahasia, Mike! Bayangkan!"
Paul sudah tahu mengenai Pulau Rahasia. Mike banyak menceritakan tentang pulau
itu selama keduanya ditawan. Wajah pangeran yang pucat itu kelihatan berseri-
seri. Diraihnya lengan Mike, lalu diremasnya.
"Kita buru-buru pergi, yuk," pintanya.
George menggamit Paul dan Mike supaya mengikuti Jack. Keempatnya menghilang
masuk ke dalam cerobong. Lantai di bawahnya hitam kotor oleh jelaga yang
berjatuhan! Mereka turun lewat tangga besi. Paul agak takut, karena belum terbiasa mengalami
petualangan semacam itu. Lalu, mereka pun mulai menelusuri lorong rahasia -
berbaris satu per satu. Mendadak, George yang berjalan paling depan berhenti. Yang lain menubruknya.
"Kenapa, George?" tanya Jack.
"Yang kukuatirkan tadi benar-benar terjadi," keluhnya. "Atap lorong ini jatuh
lagi. Runtuhannya banyak sekali. Tak mungkin bisa kita singkirkan. Kita terkurung!"
Jack melihat ke depan lewat bahu George. Benar. Setumpuk reruntuhan menyumbat
jalan mereka. Lalu, apa yang harus mereka lakukan sekarang"
18. SAAT YANG PENUH KETEGANGAN
"Astaga! Lalu, apa yang harus kita perbuat kalau begini, George?" tanya Jack
sangat kuatir. "Kita takkan bisa menyingkirkan reruntuhan sebanyak itu! Kembali
ke Rumah Tua sama saja dengan menantang bahaya!"
George menggosok-gosok dagunya, ia berpikir keras. Maju tak bisa - mundur tak
bisa - tinggal di tengah-tengah situ tak mungkin!
"Mungkin ada baiknya kita coba membersihkan runtuhan pada cabang yang menuju ke
sebelah sana," kata George akhirnya. "Cabang yang menghubungkan lorong ini
dengan lorong rahasia gudang bawah tanah Rumah Tua ke gua di pantai itu! Ingat,
kan?" George telah membersihkan sebagian reruntuhan, ia menyorotkan senternya ke atas
dan ke bawah. Tiba-tiba saja ia bersorak kegirangan.
"Hore! Sebentar lagi kita bisa meneruskan perjalanan!" katanya. "Lorong yang
sebelah sana sudah kelihatan dari sini!"
Mereka bekerja terus. Paul kecapekan. Terpaksa yang lain menyuruh ia
beristirahat. Dua jam telah lewat. George mulai merasa kuatir. ia takut Tuan
Diaz tahu bahwa Mike dan Paul hilang sebelum mereka berada di perahu.
Akhirnya, terbentuk sebuah lubang yang bisa dilalui orang untuk menyelinap. Satu
per satu mereka melangkah melalui lubang itu. Dan George melakukan sesuatu yang
lucu. Dipandangnya atap yang dekat dengan tempat reruntuhan tadi, lalu diambilnya
sebongkah batu besar dan dilemparnya atap di situ. Batu dan kerikil pun segera
berjatuhan. "George! Ngapain kau?" tanya Jack.
"Meruntuhkan sedikit atap," sahut George sambil nyengir. Giginya kelihatan putih
terang oleh cahaya senter Jack. "Kalau lubang yang baru kita bikin tertutup
lagi, kita aman! Biar Tuan Diaz tak bisa lewat!"
"Kau memang hebat, George," kata Jack. "Kita sekarang mesti buru-buru! Hari
sudah semakin pagi!"
"Ssst!" desis George tiba-tiba. Anak-anak berdiri kaget terpaku. Semuanya diam.
"Matikan senter," tambahnya dengan berbisik. "Aku mendengar bunyi aneh!"
Semua mematikan senter. Tak lama kemudian terdengar suara orang menyumpah-
nyumpah! "Betul," sahut Jack. "Mungkin runtuhan yang di sana tidak sebanyak yang kita
duga. Bagaimanapun, itu satu-satunya yang bisa kita coba."
Mereka menuju ke percabangan itu. Menyimpang ke terowongan yang dimaksud George,
akhirnya mereka sampai ke bagian yang tersumbat George menyingkirkan beberapa
buah batu yang menghalangi dan mencoba mengira-ngira sejauh mana terowongan itu
terhalang. "Kurasa, kalau kita bersama-sama bekerja keras, dalam waktu tak terlalu lama
kita sudah bisa lewat," kata George akhirnya. "Aku punya gagasan bagus bagaimana
cara yang paling baik! Kulihat sebagian besar runtuhannya terdiri dari batu dan
puing-puing. Kita ambili saja! Aku ambil, lalu kuteruskan kepada Jack Jack
meneruskan kepada Paul, dan Paul meneruskan kepada Mike. Sedikit demi sedikit,
pasti akan habis juga penghalang di depan kita!"
"Hebat kau, George!" kata Mike dan Jack. Kedua anak itu paling senang kalau ada
orang yang mempunyai gagasan gemilang. "Kita mulai, yuk!"
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Paul. Anak itu kelihatan setengah ketakutan
dan setengah menggebu-gebu. Yang lain menerangkan apa yang harus ia lakukan.
"Pegang batu yang kuberikan kepadamu, lalu berikan kepada yang di belakangmu!"
kata Jack sekali lagi. Mereka pun mulai bekerja. George memunguti batu di depannya, lalu memberikan
kepada Jack. Jack meneruskan kepada Paul, dan Paul kepada Mike. Akhirnya, Mike
membuangnya ke belakang. Tak lama kemudian tumpukan yang dilemparkan Mike ke
belakang pun menggunung. Kelihatannya seperti baru runtuh dari atas!
"Oh, ayo kita cepat-cepat pergi," bisik Mike. Tapi George menggeleng sambil
berbisik, "Jangan!" "Jangan sampai kita terdengar oleh mereka!" bisiknya pula. "Mereka bisa menebak
ke mana arahnya lorong ini jika mereka mendengar kita. Bisa saja mereka lalu
kembali dan menuju ke pantai - menghadang kita di sana! Asal jangan berisik,
kujamin kita aman di sini.
Peluklah Paul, Jack. Anak itu ketakutan!" -
Mereka berdiri diam semuanya. Terdengar suara Tuan Diaz, Luiz, dan seorang
lelaki lain berbicara. Mereka telah sampai ke tempat reruntuhan di lorong utama
rupanya. "Lihat! Tak mungkin mereka lewat situ!"
"Mungkin runtuhnya baru saja - setelah mereka lewat," terdengar suara Luiz.
"Ini sungguh-sungguh memalukan!" kali ini yang berbicara mempunyai suara yang
lebih tajam. "Bagaimana bisa anak itu lolos dari tangan kita! Yakinkah kau tak
ada jalan keluar lain dari sini?"
"Ada cabangnya di sekitar sini," kata Luiz.
Langkah mereka terdengar mendekati tumpukan reruntuhan di belakang George dan
anak-anak. "Di sini pun terhalang reruntuhan," kata Tuan Diaz mengintip-intip.
"Kelihatannya, di sebelah sana pun ada tumpukan lain yang serupa. Tak mungkin
mereka lewat sini! Satu-satunya kemungkinan, mereka lewat lorong utama tadi.
Atapnya baru runtuh setelah mereka lewat! Langkah yang paling baik, kita segera
kembali ke Rumah Tua. Dari sana, kita langsung ke Lubang Intip. Pasti anak-anak
itu ada di sana!" Suara orang-orang dan langkah mereka terdengar menjauh. Akhirnya tak kedengaran
sama sekali. George dan anak-anak mendesah lega.
"Nah, sekarang kita bisa meneruskan perjalanan," kata George dengan riang.
"Kurasa mereka takkan mengira kita lewat sini. Lagi pula, rupanya mereka tak
tahu bahwa cabang lorong ini menuju ke gua di pantai! Ayo, cepat!"
Beriring-iring keempatnya menelusuri lorong sampai akhirnya "mereka menemukan
sebuah lubang di bagian lantai lorong itu. Jack menyorotkan senternya ke lubang
itu. "Di sini lorong kita menyatu dengan lorong yang menuju ke gua di pantai,"
serunya menahan rasa senang. "Kita harus melompat turun. Waktu itu lubangnya tak
terlihat oleh kita. Kita memang tak menyangka ada lubang di bagian atap lorong
rahasia yang menghubungkan gua di pantai dengan gudang bawah tanah Rumah Tua!"
Satu per satu mereka melompat turun ke terowongan rahasia. Lalu mereka cepat-
cepat menuju ke lubang yang berhubungan dengan gua di pantai. Meluncur turun
dengan berpegang pada tambang yang tergantung di situ, sampailah mereka pada gua
di pantai. "Nora dan Peggy-sudahkah mereka berada di perahu menurutmu, George?" tanya Mike.
Mereka sudah di sana! Berjam-jam lamanya mereka menunggu dengan hati gelisah -
ditemani Dimmy. Mereka sama sekali tak bisa membayangkan apa yang dialami oleh
George dan anak-anak lelaki.
Mula-mula mereka mengobrol. Lama-lama mereka jadi gelisah karena Jack dan George
tak muncul-muncul. Nora tak tahan lagi.
"Ya Tuhan! Seharusnya mereka sudah sampai di sini! Ada apa, ya?"
"Mungkin Tuan Diaz atau suruhannya menjaga Mike dan Paul di kamar mereka," kata
Peggy - mencoba berpikir logis. "Jadi, George dan Jack tak bisa masuk."
"Benar," sahut Dimmy. "Kita harus sabar. Apa lagi yang bisa kita lakukan selain
menunggu dengan sabar" Kalian tak kedinginan?"
Mereka menunggu satu jam lagi. Saat itu semuanya sudah sungguh-sungguh gelisah
dan kuatir. Walaupun begitu Dimmy berusaha tidak memperlihatkan perasaannya.
Mendadak Nora berseru pelan,
"Lihat! Ada cahaya senter di gua sebelah sana! Pasti itu mereka!"
Benar! Jack, Mike, Paul, dan George bergegas-gegas melintasi pantai tanpa
bersuara. Badan mereka terasa lelah dan sakit semua. Tetapi mereka sadar bahwa setelah ini
mereka masih harus mendayung jauh. Dalam hati mereka bersyukur ketegangan telah
hampir berakhir. "Oh, Mike! Mike!" kata Nora kegirangan. Air mata bahagia berlinang-linang lalu
menetes di kedua belah pipi gadis itu. Hatinya lega dan gembira berkumpul lagi
dengan Mike. Mike memeluk Nora dan Peggy. Lalu mencium Dimmy. Anak laki-laki pun semuanya
masuk ke dalam perahu, disusul oleh George! Untung saja perahu George cukup
besar! "Dimmy, ikut saja, yuk!" ajak Peggy, ia merasa sedih berpisah dengan perempuan
yang baik hati itu. "Mudah-mudahan kau tidak kesepian. George akan menemani kau
secepatnya ia kembali dari mengantarkan kami ke Longrigg."
"Selamat jalan, Anak-anak manis," ucap Dimmy. ia lalu keluar dari perahu. "Jaga
diri baik-baik, ya! Aku akan memberi kabar secepat kami tahu Pangeran Paul harus
dikembalikan ke mana!"
"Selamat tinggal, Dimmy!" bisik anak-anak.
George mendorong perahunya menjauhi dermaga kayu. Sebentar saja perahu itu sudah
terapung di air. George membungkuk, dan mulai mendayung. Dimmy tak kelihatan
lagi. ia menghilang dalam kegelapan.
Perahu George bergerak terus dalam kegelapan. Air di bawahnya berombak besar.
Jack mencari-cari di bawah. Akhirnya ia menemukan sepasang dayung lain, dan
membantu George mendayung. Anak-anak mengobrol dengan berbisik-bisik. Kata
George, suara terdengar sampai ke tempat yang jauh di daerah berair seperti itu.
"Yang penting, kami telah berhasil melepaskanmu, Paul!" kata Jack. "Kau aman
bersama kami! Kurasa, Tuan Diaz takkan bisa mencarimu di Pulau Rahasia! Pura-
puranya kita berlibur beberapa hari di sana. Asyik, bukan?"


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asyik!" desis yang lain bersamaan. Mereka mulai membayangkan keindahan pulau
itu. Tak lama lagi mereka akan berada di sana lagi!
19. MENUJU PULAU RAHASIA George mendayung perahunya tanpa berkata-kata. Untunglah air laut malam itu
tenang, ia mendayung terus ke arah perkampungan nelayan, yang bernama Longrigg.
Jack membantu George mendayung. Anak-anak yang lain duduk diam sampai George
memberi isyarat mereka boleh bercakap-cakap.
"Sekarang kalian boleh mengobrol," katanya. "Suara kalian takkan terdengar oleh
siapa pun sekarang!"
Dalam sekejap, suasana pun menjadi riuh sekali. Mike menceritakan pengalamannya
selama ditawan bersama Paul. Lalu Paul menceritakan kisahnya sejak ia diculik
dari istana ayahnya dan dibawa ke Cornwall, menyeberangi daratan luas dan lautan
dengan menumpang kapal laut, kapal terbang, dan mobil! Gembira benar anak itu
berada lagi di tengah kawannya! Walaupun selama ditawan ia tidak diperlakukan
buruk oleh Tuan Diaz, geraknya sama sekali tidak bebas.
Bulan bersinar. Cahayanya terpantul di laut bagaikan kilap keperakan. Kini anak-
anak bisa saling melihat sambil mengobrol.
"Longrigg letaknya di sana," kata George pada waktu mereka mengitari sebuah
tebing yang menjorok ke tengah laut. Semua melihat Anak-anak sudah pernah ke
Longrigg bersama George. Tetapi, pada malam bulan purnama kelihatannya
perkampungan nelayan itu berbeda dengan waktu siang. Rumah-rumah mungil tampak
berderet-deret di sepanjang pantai teluk yang diapit oleh dua semenanjung.
"Hm, sangat mempesona," ujar Nora mengagumi. "Kurasa, Pulau Rahasia kita pun tak
kalah mempesona kalau kita sampai di sana nanti malam. Rasanya aku tak percaya
kita sedang dalam perjalanan ke sana lagi!"
Anak-anak mulai ribut memperbincangkan pengalaman di pulau itu tahun yang silam.
Di situ mereka memelihara sapi dan ayam sendiri. Mula-mula mereka membangun
rumah sendiri dari batang pohon. Akhirnya, mereka menemukan gua untuk berlindung
pada musim dingin. Paul asyik mendengarkan kisah mereka, ia sudah tak sabar ingin melihat pulau
yang katanya indah luar biasa itu!
Perahu yang mereka tumpangi merapat di Longrigg. George lalu mengajak anak-anak
berjalan ke rumah kakaknya. Jalan-jalan di situ sudah sepi sekali. Seorang
lelaki sudah siap menanti di bengkel kecil di ujung sebuah jalan.
"Halo, Jim!" sapa George. "Ini semua calon penumpangmu. Pesanku, Jim -jangan
ceritakan kepada siapa pun mengenai hal ini. Pokoknya aku akan menceritakan
segalanya kalau kau berkunjung ke tempatku besok. Sungguh, ya! Jangan bilang
apa-apa sama siapa pun."
"Oke, George," sahut Jim. Orang itu mirip benar dengan George. Perawakannya
tinggi besar dan kekar, ia mengenakan blus kaus tangan panjang berwarna gelap.
"Selamat tinggal, George! Terima kasih atas segala bantuanmu," kata Jack sebelum
masuk ke dalam mobil. "He, mana bekal makanan kita" Sudah di belakang" Bagus!"
"Selamat jalan," balas George. "Aku akan segera kembali ke Lubang Intip - Nona
Dimmy perlu bantuanku. Kalian tinggal di Pulau Rahasia sampai ada berita dari
kami, ya! Aman di sana!"
Mesin mobil dihidupkan, dan dalam sekejap mobil Jim sudah menderu mengarungi
jalan sepi mendaki tebing. Anak-anak melambai-lambai kepada George. Ketika mobil
yang mereka tumpangi menikung, George pun tak kelihatan lagi. Mereka hendak
menuju ke danau - lalu ke pulau!
Jaraknya kira-kira empat puluh mil. Mobil Jim menderu lembut dalam malam bulan
purnama. Paul tak bisa menahan kantuk, ia tertidur di sisi Peggy. Tetapi anak-anak yang
lain masih terlalu gembira - mereka tak bisa tidur.
Jack mengamati jalan yang mereka lewati. Lima mil, sepuluh, dua puluh, tiga
puluh, empat puluh! Sudah hampir sampai. Jim akan mengantarkan mereka ke tempat
yang pernah ditinggali oleh paman dan bibi anak-anak itu. Dari situ, mereka bisa
mencari jalan sendiri menuju ke pulau. Perahu besar mereka toh selalu siap
dipakai. "Nah, kita sudah sampai," ucap Jim. Mobilnya dihentikan. Jim lalu turun.
"Kubantu membawa bekal kalian ke perahu," tambahnya. Maka keenam penumpang mobil
tadi berjalan menuju ke garasi kecil tempat penyimpanan perahu anak-anak sambil
membawa bekal. Kapten Arnold, ayah anak-anak itu, telah membangun rumah kecil
untuk menyimpan perahu. Maksudnya, supaya perahu anak-anak tidak rusak dan bisa dipakai sewaktu-waktu
kalau anak-anaknya ingin mengunjungi pulau itu lagi. Sebuah kunci rumah itu
tergantung di gantungan kunci Mike. Anak itu mengeluarkan kuncinya lalu membuka
pintu. Di dalamnya terdapat perahu mereka. Sinar rembulan menembus masuk ke
dalam rumah perahu. Jack tidak menemukan kesulitan ketika membuka tali pengikat
perahu itu hanya dengan bantuan cahaya bulan. Setelah perahunya dilepaskan,
mereka beramai-ramai mendorongnya keluar dari rumah perahu.
Bekal makanan mereka letakkan di dalam. Semua lalu naik ke dalam perahu. Cuma
Jim yang tidak. Jim mengucapkan selamat jalan kepada anak-anak, lalu melangkah
meninggalkan tepi danau, kembali ke tempat mobilnya diparkir.
Jack dan Mike mengambil dayung. Paul sudah bangun. Hatinya berdebar-debar, tak
sabar ingin dengan segera sampai ke Pulau Rahasia.
"Tak lama lagi," ujar Nora. Mata gadis itu bersinar-sinar tertimpa cahaya bulan.
Dayung mereka menimbulkan cipratan air pada permukaan danau yang tenang.
Sementara itu perahu mereka meluncur dengan mulus di atasnya.
Mereka mendayung terus - dan akhirnya mengitari bagian tepi danau yang menjorok
ke air. Bagian itu ditumbuhi pepohonan rimbun. Di baliknya tampaklah Pulau Rahasia anak-
anak! "Lihat! Itu dia pulaunya, Paul!" seru Peggy. Paul memandang ke tempat yang
ditunjukkan Peggy. Sebuah pulau kecil kelihatan terapung, diterangi sinar bulan.
Bagian tepinya ditumbuhi pohon-pohortan. Agak ke tengah ada sebuah bukit. Benar.
Pulau itu sangat mempesona.
"Pulau Rahasia kita," ujar Nora lembut. Air mata bahagia dan haru berlinang di
matanya. Gadis itu sungguh-sungguh mencintai pulau mereka yang indah - yang pernah mereka
tinggali beberapa lama pada tahun sebelumnya.
Sejenak, Jack dan Mike menyandarkan diri pada dayung yang mereka pegang.
Keduanya mengenang kembali pengalaman-pengalaman tahun sebelumnya di pulau itu.
Kemudian mereka mendayung lagi cepat-cepat. Sudah tak sabar rasanya - ingin
segera mendarat di pantainya yang mungil.
"Itu dia pantai kita. Pasirnya keperakan dan nampak berkilauan disinari bulan,"
seru Nora. Perahu mereka meluncur masuk, lalu dengan lembut menubruk pantai yang
berpasir itu. Jack segera melompat turun. Kemudian ditariknya perahu lebih masuk
ke pantai. Satu per satu yang lainnya menyusul turun. Mereka berdiri cukup lama
menikmati pemandangan pantai.
"Selamat datang di pulau kami, Paul," kata Peggy. Tangannya merangkul tubuh Paul
yang sedang kegirangan. "Ini pulau kami beneran, lho! Sehabis kami bertualang di
sini tahun lalu, Ayah membeli pulau ini untuk kami. Hanya saja, kami tak
menyangka akan mengunjungi lagi pulau ini dalam liburan ini. Yang terakhir
kemari, waktu libur Natal.
Selama itu kami tinggal di dalam gua. Letaknya di bukit sana. Hm, asyik sekali!"
"Kita naik ke bukit, yuk! Cari guanya!" ajak Jack. "Kita semua sudah capek.
Paling bagus, semua cepat tidur. Tapi, sebelum itu, kita keluarkan dulu tikar
dan selimut dari gua. Di samping itu, enaknya minum coklat panas dulu dan makan
kue-kue kecil. Sebaiknya kita bikin tempat tidur di atas tumpukan semak. Malam
ini cuaca panas." "Hore!" pekik Mike kegirangan. "Tolonglah aku membawa kardus isi makanan ini.
Biar Nora dan Peggy mengambil yang lainnya. Mungkin Paul mau membantu mereka."
"Tentu saja mau," ucap Paul. Anak itu merasa dirinya sedang bermimpi! Anak-anak
kemudian berjalan meninggalkan pantai, melewati semak-semak dan pepohonan
rimbun. Mereka mendaki bukit. Di situ alang-alang sama tingginya dengan mereka. Langit
sangat cerah. Sementara itu bulan terus memancarkan sinarnya. Rasanya sama saja
dengan siang. Bedanya, cahaya bulan tidak membantu membedakan warna.
"Nah, kita sampai ke gua kita!" seru Jack girang. "Wah, bukan main rimbunnya
semak-semak di mukanya. Hampir saja aku tak mengenali tempat gua kita. Mike,
mana sentermu" Kita bakal perlu senter kalau masuk ke bagian dalam gua untuk mengambil barang-
barang yang kita perlukan malam ini."
Mike meraba-raba sakunya. Diberikannya senternya kepada Jack.
"Terima kasih," kata Jack. "Peggy, kita masuk ke tempat penyimpanan barang, yuk!
Mike, kau dan Nora kutugasi mencari tempat yang bagus untuk api unggun. Kalau
bisa, sekalian dibuat saja api unggunnya. Setelah itu, kita bikin coklat susu
panas dan makan-makan sedikit. Aku benar-benar lapar dan haus!"
"Baik, Kapten!" sahut Nora. Hatinya gembira bukan buatan. Berada di pulau begini
sangat mengasyikkan - bisa tidur di atas semak-semak, bisa bikin api unggun!
Bersama Mike dan Paul, ia mengumpulkan ranting untuk kayu bakar. Akhirnya mereka
memilih tempat enak tak jauh dari gua untuk membuat api unggunnya.
Peggy dan Jack menuju ke bagian belakang gua, mencari terowongan yang
menghubungkan gua itu dengan gua lain yang letaknya lebih ke dalam. Keduanya
merayap masuk ke tempat penyimpanan yang luas. Tempat itu letaknya jauh di perut
bukit. "Semuanya masih persis seperti pada waktu kita tinggalkan dulu," kata Peggy
sementara Jack menyorotkan senter berkeliling. "Oh, itu dia ketelnya, Jack -
dan, aku perlu panci juga, untuk merebus telur besok pagi. Kalau tak salah,
Dimmy membekali kita beberapa butir telur. Itu dia permadani kulit kelinci yang
kita bikin tahun lalu. Dan, oh, ya -
jangan lupa selimutnya. Nah, bawalah semua ini, Jack. Semuanya kita perlukan!"
Jack menumpuk permadani dan selimut yang hendak dibawa. Peggy membawa ketel dan
panci. Keduanya kembali ke gua yang di luar. Sesampainya di sana, mereka mencari Nora,
Mike, dan Paul. Mike sudah berhasil menyalakan api unggun. Paul sedang duduk-
duduk di dekatnya dengan air muka gembira. Belum pernah ia melihat api unggun
sebelumnya. "Nora, ambilkan kaleng coklat, gula, dan susu kaleng," ujar Peggy. "Mike, tolong
isi ketel ini dengan air dari mata air. Aku akan bikin coklat susu buat kita
semua." Mike pergi ke mata air yang mengalir ke luar dari sisi bukit dan membentuk
sungai kecil. Cepat diisinya ketel yang ia bawa, lalu kembali.
"Makan apa kita nanti?" tanyanya merasa lapar.
"Sup, roti, biskuit, dan coklat susu," sahut Peggy.
"Hmmmm!" Semuanya merasa senang.
Mike membuka kaleng. Untung saja Dimmy tak lupa membekali mereka dengan pembuka
kaleng! Dituangnya sup tomat dari dalam kaleng yang baru dibuka tadi ke dalam panci.
Sesudah itu pancinya ia letakkan di atas api.
"Perlu bikin api unggun satu lagi untuk merebus air?" tanyanya.
"Ah, tak usah," sahut Peggy. "Supnya sebentar saja masak. Sementara itu kita
punya waktu untuk memotong roti dan mengambil biskuit Tolong ya, Nora-potongi
rotinya. Mike, di mana biskuitnya?"
Sup mendidih di dalam panci. Peggy menyuruh Jack mengambil cangkir dan piring
serta mangkuk dan sendok dari gua bagian dalam. Ketelnya menyusul ditaruh di
atas api. Sementara menunggu air di dalamnya mendidih, dengan cekatan Peggy menuang sup
dari panci ke dalam piring-piring. Masing-masing anak diberinya sepiring penuh
sup. Lalu, roti dibagi-bagikan juga. Sementara itu di atas api air sudah
mendidih di dalam ketel. Asapnya mengepul ke udara. Kelihatan sangat jelas, karena terangnya cahaya
bulan. "Hm, lezat!" ujar Mike, mencicip supnya sambil memasukkan potongan roti ke
dalamnya. "Kalau makan selalu enak seperti ini, wah - asyik!"
"Coba tiap hari makan begini, kau pasti bosan!" kata Jack. Semua tertawa. Peggy
membuat coklat susu, lalu membagi-bagikan.
Anak-anak merasakan kenikmatan bersantap yang luar biasa di sekeliling api
unggun! Sebetulnya Mike tidak mau tidur, tetapi semuanya merasa lelah dan sangat
mengantuk. Juga Mike yang segan tidur.
"Aku sih, bisa-bisa tertidur masih dalam keadaan duduk di sini," kata Nora
sambil menggosok-gosok mata. "Lezat benar rasanya makanan tadi! Sekarang, kita
siapkan tempat tidur dulu! Besok saja piring dan cangkir itu kita cuci!"
Mereka membentangkan permadani di atas semak-semak lembut, lalu berbaring begitu
saja tanpa mengganti baju dan mencuci muka lebih dulu. Sebentar saja semuanya
sudah terlelap, dan mimpi indah tentang Pulau Rahasia yang akan mereka tinggali
sampai beberapa hari mendatang!
20. TENTERAM DI PULAU Sepanjang malam anak-anak tidur enak di atas permadani yang mereka bentangkan di
atas semak-semak lembut Matahari terbit dan langit pun menjadi merah keemasan. Burung berkicau. Kelinci
berkejar-kejaran di dekat anak-anak yang masih pulas. Seekor rubah kecil
mengendus-endus dekat Mike, lalu pergi.
Jack yang paling dulu bangun. Kaget sekali ia ketika melihat langit biru di
atasnya. Biasanya ia terbangun dan melihat langit-langit kamarnya di Lubang Intip. Kali
ini yang terlihat olehnya langit biru dengan gumpalan tipis awan putih - jauh
tinggi di atas. Lalu Jack teringat. Mereka sedang berada di Pulau Rahasia! Diam-diam ia
berbaring sambil memandang gembira pada langit di atasnya, menunggu yang lain
bangun. Jack bangkit, lalu duduk. Jauh di bawah sana, terbentang danau tenang
membiru. Indah benar hari itu. Matahari bersinar hangat angin berhembus semilir
menyejukkan. Jack melihat arlojinya. Betapa kagetnya anak itu - sudah pukul
setengah sepuluh! "Setengah sepuluh!" ujarnya terperanjat. "Nyenyak benar tidur kami! Mudah-
mudahan yang lain cepat bangun - aku lapar sekali!"
Perlahan-lahan Jack berdiri. Mantelnya ia lepaskan, lalu hem dan celananya juga.
Jack kemudian berlari-lari ke danau dan berenang. Sejuk airnya. Tubuhnya ia
keringkan dengan berjemur. Setelah itu ia berpakaian lagi. Jack pergi ke mata
air - mengisi ketel. Dari sana, ia sibuk membuat api unggun, merebus air buat
sarapan. Mike bangun, lalu Peggy dan Nora juga. Paul masih tidur terus. Nora dan Peggy
merasa girang berada di Pulau Rahasia. Bersama Mike, mereka berlari-lari ke
danau untuk mandi. Ketika Paul bangun, anak-anak menawari berenang. Tetapi Paul menggelengkan
kepala. "Aku tak bisa berenang," katanya. "Aku tak mau mandi di danau. Biar aku tinggal
di sini saja bersama Jack."
Mereka sarapan. Nora lalu lari kembali ke danau, mencuci piring-piring bekas
makan semalam. Jack mengambil tambahan kayu bakar. Peggy mengiris roti dan
mengoles masing-masing irisan dengan mentega. Sesudah itu, ia merebus telur.
"Masing-masing dapat dua butir," katanya. "Nora, tolong ambilkan garam. Akan
kurebus telurnya sampai keras sekali. Lalu nanti kita makan pakai garam."
"Kita makan buah premnya, yuk!" usul Mike sambil bergerak hendak mengambil
keranjangnya. "Takut keburu busuk. Buah-buahan cepat menjadi busuk di udara
panas begini. Mana biskuitnya, Peggy" Masa habis dimakan semua semalam?"
"Tentu saja tidak," sahut Peggy sambil meraba-raba kaleng biskuit dari bawah
semak. "Sengaja kusembunyikan karena aku tahu kalian bisa menghabiskannya."
Sambil duduk-duduk di rumput, anak-anak menikmati hidangan makan pagi mereka.
"Mengapa makanan rasanya lezat sekali jika kita memakannya di pulau ini, ya?"
tanya Mike. "Rasanya lebih lezat daripada kalau kita makan di tempat lain."
"Paul, kok cuma satu telur yang kaumakan" Tak mau makan duakah kau?" tanya
Peggy. Paul menggeleng. "Di rumah, aku biasanya cuma makan roti dan minum kopi untuk sarapan. Tapi,
jangan kuatir - sebentar lagi kuhabiskan telur bagianku, Peggy. Enak sekali
rasanya. Aku belum pernah makan telur matang seperti ini."
Paul lalu bercerita tentang negaranya. Anak itu baik, dan tingkah lakunya sangat
sopan hingga kadang-kadang Mike dan saudara-saudaranya menganggapnya lucu. Kalau
berbicara kepada Peggy dan Nora, ia selalu menganggukkan kepala dengan sopan.
Bahasa Inggrisnya lancar, karena ia memang belajar bahasa Inggris. Guru
pribadinya yang mengajar ia berbahasa Inggris.
Paul bercerita juga mengenai ayah dan ibunya, ia menangis kalau menyebut-nyebut
ibunya. Ibunya tak tahu di mana ia berada. Peggy dan Nora jadi terharu - kasihan melihat
pangeran kecil itu. Mereka menghibur Paul - mengatakan, bahwa sebentar lagi


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segalanya akan beres. "Kalian beruntung tidak dilahirkan sebagai pangeran atau putri," ujar Paul.
"Kalian bisa bersenang-senang dan bermain sesuka kalian - aku tidak. Kalian
takkan pernah diculik atau ditawan. Aku, belum tentu lain kali tidak diculik
lagi. Banyak orang yang tak suka kalau aku yang menggantikan ayahku menjadi raja
kalau beliau meninggal,"
katanya. "Tapi kau kepingin jadi raja, kan?" tanya Jack.
"Ah, tidak. Sama sekali tidak," jawab Paul. "Kalau boleh pilih, aku lebih suka
hidup bersama kalian - jadi anak biasa. Tapi, karena sudah terlanjur dilahirkan
sebagai pangeran, aku terpaksa harus menunaikan tugasku."
"Sementara ini, hentikan segala kekuatiranmu dulu," kata Peggy. "Nikmatilah
hari-hari bersama kami di Pulau Rahasia ini. Anggap saja ini suatu liburan. Jack
pasti mau mengajarimu berenang. Dan Mike bisa mengajari membikin api unggun.
Siapa tahu hal-hal seperti itu ada gunanya suatu hari kelak."
Anak-anak merasa agak malas. Mereka masih lelah oleh pengalaman semalam. Peggy
dan Nora mencuci piring bekas sarapan. Lalu Peggy merancang menu untuk makan
siang. Karena buah premnya sudah dihabiskan waktu sarapan, Peggy berpikir
mungkin sebaiknya mereka membuka buah kaleng. Di samping itu ia akan memasak
kentang dan kacang. Enak dimakan dengan daging dingin yang mereka bawa.
"Bagaimana kalau kita cari buah berry liar seperti tahun lalu?" usul Nora
bersemangat "Kau ingat kan, Peggy- buahnya ranum merah-merah. Hm, lezat sekali!"
"Kita cari saja. Siapa tahu masih ada yang ranum," ujar Peggy. "Sebelum itu,
kita lihat dulu Pondok Willow kita. Apakah masih ada di hutan pinggir pantai."
Musim panas sebelumnya, anak-anak membuat sebuah pondok kecil dari batang pohon
willow - untuk tempat berlindung kalau hari hujan dan dingin. Kini mereka berlari-lari
menuruni bukit ke tempat Pondok Willow, hendak melihat apakah pondok itu masih
berdiri dengan utuh. Mereka menerobos rumpun pepohonan yang rimbun dan sampai ke tempat Pondok
Willow. Pondok itu masih berdiri - hijau sejuk, mengundang mereka masuk ke dalamnya.
"Wah, batangnya tumbuh - mengeluarkan daun!" seru Peggy. "Jadinya seperti rumah
hidup saja!" Peggy benar. Semua batang yang mereka tancapkan ke tanah sebagai dinding kini
bertunas di ujung-ujungnya. Di dalamnya pun ada dua ranting yang mencuat masuk
dan berdaun - membentuk semacam tirai. "Pondok Willow tercinta," ucap Peggy pelan. "Banyak sekali pengalaman indah kita
di sini! Kau ingat waktu kita bikin rumah ini, Jack - lalu waktu kau bikin
pintunya?" Anak-anak pun lalu bercerita kepada Paul mengenai semua pengalaman mereka ketika
mendirikan Pondok Willow. Paul jadi ingin mereka membuat pondok baru satu lagi
bersamanya. "Ah, kita tak perlu pondok satu lagi," kata Jack. "Musim panas begini, enakan
tidur di luar. Kalaupun hujan, kita bisa tidur di gua."
Paul lari keluar-masuk Pondok Willow. Rasanya, ini tempat paling bagus di dunia.
"Alangkah senangnya kalau aku punya rumah seperti ini," katanya. "Mike, Jack -
kalian mau berlibur ke negeriku dan mengajariku membuat Pondok Willow, kan?"
Anak-anak tertawa. "Kita cari buah berry, yuk," ajak Mike. "Kau pasti suka Paul!"
Anak-anak menuju ke bagian pulau yang ditumbuhi pohon buah berry. Peggy dan Nora
membawa keranjang. Sebentar saja keranjang mereka sudah setengah penuh.
Sementara itu, mulut anak-anak itu jadi kemerah-merahan. Jumlah buah berry yang
masuk ke mulut mereka sama banyaknya dengan yang ada di keranjang!
"Sudah jam satu," kata Mike, melihat arlojinya. "Astaga! Cepat benar lewatnya
waktu!" "Kita kembali ke dekat gua, makan siang," ujar Peggy. Maka mereka pun kembali.
Matahari bersinar panas. Perut mereka keroncongan walaupun sudah makan buah
berry banyak. Hidangan makan siang terasa nikmat sekali. Mike membawa air dingin segar dari
mata air. Anak-anak langsung meminumnya dengan lahap. Ketika airnya habis, Paul disuruh
pergi ke mata air mengambil air sekali lagi. Paul minta diberi tugas seperti
yang lain. Itu sebabnya Peggy berpikir ada baiknya menyuruh Paul. Wajah Paul
yang pucat kini agak kecoklatan oleh sinar matahari sepagian tadi.
"Kita mau apa siang ini?" tanya Paul.
"Aku ngantuk," sahut Peggy sambil menguap. "Enaknya kita tidur-tiduran sebentar.
Sehabis itu kita mandi di danau, lalu minum teh."
Hari itu mereka lalui dengan bermalas-malasan. Santai rasanya sehabis mengalami
ketegangan seminggu terakhir di Lorong Spiggy. Jack mengajari Paul berenang.
Tetapi Paul sukar sekali diajari walaupun anak itu sudah berusaha sebaik-
baiknya. Anak-anak minum teh sore harinya, lalu berperahu di danau. "Besok kita coba
memancing," kata Jack. "Kepingin deh makan ikan goreng segar lagi. Kalau dapat ikan, tolong
digoreng seperti waktu itu, ya, Peggy!"
"Amankah daerah sini?" tanya Paul sambil memandang ke air di sekitarnya dengan
wajah kuatir. "Di sini sih jangan kuatir deh!" kata Jack. "Percayalah, Paul - takkan ada orang
yang mencarimu kemari!"
"Seandainya Tuan Diaz tahu kalian punya pulau rahasia," kata Paul, "pasti ia
akan datang mencariku. Apakah tidak sebaiknya kita berhati-hati" Siapa tahu Tuan
Diaz mendengar mengenai pulau kalian ini."
"Tak mungkin," kata Jack. "Percayalah, kita takkan ditemukan siapa pun di sini."
"Di mana biasanya kalian berjaga kalau kalian takut ada orang datang kemari
tahun yang lalu?" tanya Paul.
"Biasanya kami duduk di batu yang terletak di puncak bukit, di antara semak-
semak," sahut Jack. "Dari situ tampak jelas pemandangan di sekitar danau ini."
"Kalau begitu, besok aku akan duduk berjaga di sana," ucap Paul segera. "Kau tak
tahu benar bagaimana Tuan Diaz itu. Aku punya firasat dia bisa mengikuti kita
lalu menangkap dan menawanku lagi. Seandainya Tuan Diaz kelihatan datang naik
perahu sewaktu aku berjaga, kita punya waktu untuk bersembunyi di gua. Ya, kan?"
"Kau benar," kata Jack. "Tapi Tuan Diaz takkan kemari. Siapa sih yang menyangka
kau ada di sini bersama kami?"
Paul masih juga kuatir. Esok harinya, pagi-pagi sekali ia berlari sendirian ke
puncak bukit. "Ke mana dia?" tanya Jack.
"Ke bukit, berjaga takut ada musuh!" kata Nora, tertawa. "Aku yakin dia takkan
melihat siapa-siapa."
Nora keliru. Siang itu Pangeran Paul melihat seseorang!
21. MUSUH MENEMUKAN PULAU RAHASIA
Pangeran Paul duduk di puncak bukit kecil yang terletak tepat di tengah-tengah
Pulau Rahasia, ia punya firasat musuh akan berusaha keras mencari dirinya, dan
bukan mustahil mereka menyusul anak-anak ke pulau itu.
Sudah dua atau tiga jam lamanya Paul duduk di situ, memandang ke danau di
sekeliling pulau. Airnya tenang kebiruan. Paul menguap. Bosan juga lama-lama
duduk sendirian begitu. Tapi, teman-temannya tak mau ikut. Mereka bilang tak
mungkin musuh datang secepat itu.
Paul melihat Mike dan Jack di tepi danau. Mereka naik perahu hendak memancing.
Nora dan Peggy berlari-lari hendak ikut. Sebenarnya mereka sudah mengajak Paul.
Tetapi Paul tak mau ikut. Paul takut air. Kalau tidak dipaksa oleh semuanya, ia
takkan mau mandi di danau.
Paul berdiri, melambai-lambai kepada teman-temannya. Dari bawah mereka membalas
lam-baiannya. Sebenarnya mereka tak suka meninggalkan Paul sendirian. Tetapi,
mereka bosan kalau disuruh duduk berjam-jam di puncak bukit sana. Di samping
itu, Peggy sudah membuat rencana menggoreng ikan untuk makan siang. Anak-anak
jadi ngiler dan kepingin cepat dapat ikan!
"Kami tak lama, Paul!" teriak Mike. "Cuma berkeliling-keliling di perairan
sebelah selatan pulau. Di situ banyak ikan. Kalau kau perlu kami, teriak saja,
ya!" "Oke!" sahut Paul sambil melambaikan tangan lagi. ia heran teman-temannya bisa
suka air begitu. Sehari-harian kerja mereka berenang, berendam, dan berperahu!
Meskipun begitu Paul sangat menyukai mereka. Khususnya Mike yang telah sangat
membantu selama ia ditawan di menara.
Paul melihat perahu teman-temannya meninggalkan pantai, lalu berputar
mengelilingi pulau ke tempat memancing. Dari puncak bukit, perahu itu kelihatan
sangat kecil. Anak-anak di dalamnya seperti boneka. Tetapi suara mereka
berceloteh terdengar jelas. Mereka sedang menyiapkan pancingan.
Paul setengah menyesal tidak ikut teman-temannya. Mereka rupanya sangat senang
dan gembira. Dipandangnya anak-anak itu beberapa lamanya, lalu ia menoleh ke
belakang - memandang ke danau biru di sisi lain pulau itu.
Ada perahu! Didayung oleh dua orang lelaki! Paul berdiri, memperhatikan. Hatinya
berdegup kencang. Siapa mereka" Mungkinkah itu Tuan Diaz dan Luiz" Paul sangat
benci pada keduanya, ia juga takut. Apakah mereka datang hendak mencarinya"
Paul segera menoleh kembali ke arah perahu teman-temannya, ia berteriak
memanggil mereka, "Jack! Mike! Ada perahu datang dari sana!" "Apa?" seru Jack.
Paul berteriak lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. "Kubilang, ada perahu
datang dari sana!" Keempat anak di dalam perahu berpandangan satu sama lain. Mereka kaget.
"Masa Tuan Diaz tahu di mana kita berada," kata Mike. "Memang sih - dia bisa
menduga. Tapi, itu kalau dia kebetulan tahu kita adalah anak-anak yang melarikan diri ke
Pulau Rahasia tahun yang lalu!"
"Bagaimana sekarang, Jack?" tanya Nora.
"Kita tak pugya waktu lagi untuk berbuat apa-apa," kata Jack, mulai merasa
kuatir. "Kurasa, tak ada gunanya kita bersembunyi di pulau. Orang-orang itu akan
memeriksa setiap gua dan tempat yang terlindung. Sebaiknya kita cepat menjemput
Paul, lalu mendayung ke darat. Mungkin di sana kita bisa bersembunyi di pohon
untuk sementara." "Bagus, Jack," ujar Mike, ia langsung berdiri dan berteriak kepada Paul. Paul
memang sedang menunggu perintah dengan perasaan cemas.
"Turunlah kemari, Paul. Kita lari naik perahu. Cepat!"
Paul melambai, lalu menghilang. Tak lama kemudian ia muncul di tepi danau.
Teman-temannya melihat ada benda yang ia bawa.
Ternyata Paul membawa roti, biskuit, dan dua kaleng buah.
"He! Hebat juga kau, sempat berpikir sampai ke situ!" ucap Jack, senang. "Bagus,
Paul!" Wajah Paul jadi merah karena senang dan malu. ia menganggap keempat temannya
sangat hebat. Dipuji begitu oleh Kapten Jack membuatnya merasa bangga!
"Aku sempat menyingkirkan barang-barang kita yang tercecer di luar ke bawah
semak-semak," kata Paul. "Makanan ini kubawa karena mungkin kita terpaksa
bersembunyi di suatu tempat beberapa jam lamanya."
"Kau pandai," kata Jack. "Ayo, masuklah kemari. Waktu kita tak banyak lagi.
Ceritakan mengenai perahu yang kaulihat. Masih jauhkah?"
Sementara Jack dan Mike mendayung perahu mereka menuju ke daratan, Paul
menceritakan semua yang terlihat olehnya dari atas tadi. Tapi, tentu saja
informasinya tidak banyak.
"Tak jelas siapa kedua lelaki itu. Tapi, rasanya seperti Tuan Diaz dan Luiz,"
katanya. "Oh, Jack - aku tak mau ditangkap dan ditawan lagi. Aku ingin bersama kalian
terus." "Hus, jangan kuatir," hibur Jack sambil mendayung kuat-kuat. "Kami akan berusaha
melindungimu sedapat-dapatnya. Kalau perlu, memasukkan kau ke dalam lubang
kelinci dan menutupi lubangnya dengan semak-semak!"
Semua jadi tertawa. Paul merasa sedikit santai. Jack dan Mike mendayung cepat-
cepat. Mereka berharap bisa sampai ke daratan sebelum perahu yang dilihat Paul tadi
sempat melihat perahu mereka. Palau Rahasia menghalangi pemandangan di depan
perahu asing tadi. Tapi, bisa saja perahu itu didayung mengelilingi Pulau
Rahasia, hingga orang di dalamnya melihat perahu anak-anak.
Anak-anak sampai ke darat dengan selamat. Jack memilih tempat mendarat yang
rimbun - banyak pohonnya. Segera saja perahunya- ia dayung masuk di antara dahan-dahan
yang menggantung di atas air. Di situ takkan kelihatan dari luar. Setelah itu
Jack dan yang lainnya turun.
"Sebaiknya aku naik pohon yang tinggi - melihat apa yang terjadi di pulau kita,"
kata Jack. "Aku juga," ujar Mike. "Aku kepingin melihat. Kau mau naik juga, Paul?"
"Tidak, ah!" kata Paul yang kurang suka memanjat pohon.
"Kalau begitu, titip Nora dan Peggy, ya!" kata Jack. Paul senang diberi tugas,
ia jadi merasa dirinya penting.
Tapi, Nora dan Peggy tak perlu dititipkan! Mereka ingin ikut naik pohon!
Keinginan itu mereka tahan. Mereka lalu menyibukkan diri mencari tempat yang
agak kosong untuk duduk-duduk dan makan.
Jack naik ke pohon yang sangat tinggi. Dari atas, Pulau Rahasia dapat ia awasi
dengan jelas. Tiba-tiba terlihat olehnya perahu yang diceritakan Paul. Perahu
itu didayung mengitari pulau.
Sekarang berada di sisi pulau yang kelihatan dari darat Dengan segera Jack
mengenali orang-orang di dalamnya.
"Benar - Tuan Diaz dan Luiz!" katanya kepada diri sendiri. "Pantai sempit tempat
kami biasa mendarat rupanya tak terlihat oleh mereka, hingga mereka berputar ke
arah sini. Bagus! Dengan begitu bisa kuawasi gerak-gerik mereka dari sini."
Mike dan Jack memperhatikan perahu itu dari tempat mereka bertengger di pohon.
Kedua lelaki penumpang perahu tadi mendarat, lalu menarik perahu mereka ke
pantai. Sejenak keduanya berdiri berbincang-bincang. Lalu - mereka berpisah.
Masing-masing pergi ke arah yang berbeda, memeriksa pulau.
"Mereka takkan menemukan kita rasanya," ujar Jack pelan kepada Mike. Mike berada
di dahan pohon lain. Tetapi letaknya tak jauh dari tempat Jack. "Kalau mereka
tidak kebetulan melihat barang-barang kita yang sudah disembunyikan oleh Paul,
kurasa mereka takkan mengira kita baru saja dari situ!"
"Untung saja kau punya gagasan kita lari ke darat, Jack," kata Mike. "Di sini
kita aman. Kalau terpaksa, kita masih bisa jalan lewat hutan ke kota terdekat!"
"He, Lihat! Salah seorang berdiri di puncak bukit!" kata Jack. Mike melihat
Bukitnya cukup jauh-hingga tak jelas apakah Luiz atau Tuan Diaz yang berdiri di
puncaknya. Yang jelas, pasti seorang di antara keduanya. Orang itu menaruh
tangan di atas matanya, menghindarkan silaunya matahari. Ia melihat ke danau di
sekeliling pulau. "Untunglah perahu kita tersembunyi," kata Mike. "Lama tidak ya kira-kira mereka
mencari-cari di pulau itu" Kalau lama, celaka! Ogah aku menginap di hutan
begini. Tak ada semak-semak. Lagi pula tanahnya lembab."
Dua jam lamanya Mike dan Jack berada di atas pohon mengamati pulau di seberang.
Mereka mulai kelaparan. Mike meninggalkan Jack berjaga sendiri, ia turun ke
tempat Nora dan Peggy. Keduanya baru saja pulang dari memetik buah berry liar.
Kecil-kecil, tetapi manis sekali. Paul bersama mereka. Begitu melihat Mike, ia
berlari dan bertanya segala macam.
Mike menceritakan semuanya yang ia lihat.
"Aku turun bukan untuk bercerita," katanya. "Tapi, karena lapar. Sebaiknya kita
makan sesuatu. Mana ikannya tadi" Oh, ya, masih di perahu. Biar kubersihkan
sebentar. Sesudah itu, mungkin kau bisa memanggangnya di atas batu panas,
Peggy!" Mike membersihkan ikan hasil tangkapan mereka sebelum melarikan diri ke darat,
lalu membuat api. "Mudah-mudahan Tuan Diaz dan Luiz di pulau tak menghubungkan asapnya dengan
kemungkinan kita ada di sini," katanya.
Mereka lalu makan siang. Setelah selesai, Mike naik lagi ke pohon. Kini ia yang
dapat giliran berjaga. Jack turun untuk makan. Asyik juga!
Anak-anak merasakan hidangan siang itu cukup lezat. Sayang tidak banyak!
"Kita harus menyisihkan makanan untuk sore nanti," kata Peggy sembari menyimpan
sisa roti, buah kaleng, dan biskuit ke dalam semak-semak. "Masih untung kita
bisa makan! Kalau Paul tak ingat bawa makanan, kita bisa kelaparan! Paling-paling, kita cuma
bisa makan ikan!" Jack dan Mike berjaga di atas pohon bergantian. Kedua orang tadi tidak kelihatan
lagi di pulau. Tetapi belum kelihatan mereka pergi dari situ. Lagi pula,


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahunya masih kelihatan di pantai pulau itu.
Hari mulai gelap. Pemandangan di pulau tak dapat lagi diawasi dari atas pohon.
Jack bingung, tak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Ia turun dari pohon, berunding dengan yang lain.
"Baiknya kita makan malam dulu," katanya. "Habiskan saja makanan yang tersisa.
Rupanya kita terpaksa bermalam di sini."
"Kita tidur di perahu saja," cetus Nora. "Lebih enak di situ daripada di tanah
lembab begini. Dalam perahu ada dua permadani tua kalau tak salah. Tadi kami
melihat-lihat - banyak semak-semak tebal di sekitar sini. Kita kumpulkan saja, untuk alas tidur
di perahu! Biar sedikit empuk!"
"Bagus," ujar Jack. "Di mana tempat semak-semaknya, Nora" Aku, Paul, dan Mike
akan mengambil dan membawanya ke perahu. Kau menyiapkan makanan, ya Peggy!"
"Beres," sahut Peggy.
Gelap sekali di sana, hingga sukar mengambil makanan yang disimpan di bawah
semak-semak tadi. Tetapi Peggy bekerja keras. Setelah makanannya ia temukan,
buah kalengnya dibuka. Untung saja Paul tak lupa membawa pembuka kaleng! Peggy lalu mengiris roti.
Biskuitnya dibagi-bagi. Seorang mendapat dua potong. Cuma itu yang bisa mereka
makan. Tak lama kemudian Jack, Mike, Paul, dan Nora datang membawa gundukan semak.
Mereka meletakkannya di dalam perahu. Setelah itu mereka mencari Peggy. Dengan
bantuan cahaya senter Jack, anak-anak makan. Masing-masing mengambil sendiri
bagian buah kaleng dari kalengnya. Setelah makan roti dan biskuit, bergantian
mereka meminum air buah yang tersisa di kaleng. Semuanya merasa haus sekali.
"Sekarang tidur," kata Jack. "Tidur di perahu! Aneh benar pengalaman kita ini!
Tapi, cukup mengasyikkan juga."
22. GAGASAN CEMERLANG MIKE
Anak-anak berjalan ke tempat perahu ditambatkan. Bagian dalamnya telah berisi
semak-semak yang empuk dan berbau wangi alami. Kursi-kursi tempat duduknya telah
dilepaskan oleh Jack hingga sekarang lantai perahu itu menyerupai kasur yang
cukup luas. Nora dan Peggy masuk lebih dulu. Mereka langsung berbaring
berdekatan. Lalu ketiga anak laki-laki menyusul. Mereka pun segera berbaring.
Agak berdesak-desakan mereka tidur, tetapi tak seorang pun mengeluh. Mereka
membungkus tubuh dengan kedua permadani tua yang tersedia.
Air danau menghantam dinding perahu hingga perahunya terayun-ayun pelan.
Bunyinya enak didengar. Di kejauhan terdengar bunyi burung hantu.
Paul bangkit ketakutan. "Siapa itu?" tanyanya.
Mike menariknya tidur kembali.
"Itu bunyi burung hantu," kata Mike. "Jangan bangun mendadak begitu dong, Paul -
selimutnya jadi tertarik!"
Paul kembali berbaring, mendekatkan dirinya kepada Jack dan Mike, ia lega itu
cuma bunyi burung. Tak lama kemudian bulan muncul dan memancarkan sinarnya melalui sela-sela daun
pepohonan yang rimbun. Air danau sekarang jadi keperak-perakan. Ia terus saja
memukul-mukul dinding perahu seperti tadi. Sambil mendengarkan bunyinya, Nora
tertidur. Peggy berbaring. Wajahnya menghadap ke atas, memandang langit yang
berbintang, ia pun tertidur tak lama kemudian. Paul langsung terlelap. Tetapi
Mike dan Jack masih mengobrol beberapa lamanya.
Mereka tak bisa membayangkan apa yang hendak dilakukan oleh Tuan Diaz. Kalau
Tuan Diaz dan Luiz lama tinggal di pulau, pasti anak-anak tak bisa kembali ke
sana. Padahal, persediaan makanan sudah habis. Ini gawat! Sebaliknya, kalau
mereka mencoba melewati hutan lebat ke kota, sangat mungkin mereka tersesat.
"Seandainya kita bisa menawan Tuan Diaz dan Luiz seperti yang mereka lakukan
terhadapmu dan Paul, Mike, wah - asyik sekali," kata Jack. "Begitu mereka
tertawan, kita bebas berbuat apa saja."
Mike berbaring diam beberapa saat lamanya. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan bunyi-
bunyian aneh yang membuat Jack jadi kaget.
"Mike! Ada apa?" tanya Jack panik. "Kau sakit, ya?"
"Tidak," sahut Mike. Suaranya menggebu-gebu. "Aku punya usul. Rasanya usulku ini
bagus sekali- sampai-sampai aku ingin berteriak. Untung cepat sadar. Bunyi aneh
yang kaudengar tadi, akibat aku menahan teriakan yang sudah hampir keluar. Oh,
Jack - sungguh! Kurasa, ideku ini bagus sekali!"
"Apa sih usulmu itu?" tanya Jack kaget.
"Asal mulanya, karena kau bilang kau kepingin menawan Tuan Diaz dan Luiz," kata
Mike. "Lalu, tiba-tiba saja terpikir olehku sebuah gagasan. Aku tahu apa yang mesti
kita lakukan, Jack! Seandainya kita berhasil mencuri perahu mereka malam ini
juga, mereka akan tertawan. Mereka takkan bisa pergi dari pulau kita!"
"Mike! Bukan main!" seru Jack dengan suara tertahan. "Kau benar, Mike - dengan
begitu kita akan lepas dari berbagai kesulitan yang kita hadapi. Kau ternyata
cerdik juga! Begitu kita yakin mereka tak bisa meninggalkan pulau, kita bisa berjalan dengan
bebas ke desa terdekat lalu naik mobil kembali ke Lubang Intip!"
"Begitulah," ujar Mike. Suaranya bergetar menahan kegembiraan yang meluap-luap.
"Nah, bagaimana caranya supaya itu bisa terjadi, Jack?"
"Tunggu sebentar," kata Jack. Di bawah sinar bulan dahinya nampak berkerut.
"Bagaimana kalau Tuan Diaz dan Luiz bisa berenang" Mereka bisa meloloskan diri
dengan gampang!" "Mereka tak bisa berenang," sahut Mike yakin. "Aku pernah mendengar Luiz
mengatakan kepada Tuan Diaz bahwa ia tak bisa berenang. Tuan Diaz lalu
mengatakan bahwa ia pun tak bisa berenang.
Itu kudengar ketika aku ditawan di menara bersama Paul. Beberapa kali mereka
datang ke kamar kami. Duduk-duduk di situ sambil mengobrol. Karena itu, kalau
kita bisa menyingkirkan perahu mereka secepatnya, mereka akan tertawan di pulau
kita, Jack!" Hati Jack bernyanyi-nyanyi. Perlahan-lahan ia melepaskan permadani yang
membungkus tubuhnya, dan meletakkannya di atas tubuh Paul yang sedang tidur.
"Kita tak perlu membangunkan Paul dan anak-anak perempuan, Mike," katanya. "Kita
lepas baju, lalu berenang ke pulau. Kau bisa kan berenang sejauh itu?"
"Wah, itu sih gampang!" kata Mike. "Sesampainya di sana, tali penambatnya kita
buka, lalu perahunya kita dayung! Wah, Jack - ini pengalaman paling seru yang
pernah kualami! Kita bakal terlihat oleh mereka atau tidak, ya?"
"Ah, kukira tidak," kata Jack. "Mereka pasti tidur di gua kita!"
Tanpa mengusik Paul, Nora, dan Peggy keduanya melepas pakaian.
Lalu mereka masuk ke air di sisi perahu dan berenang di air danau yang disinari
bulan. Kepala mereka nampak bagai dua buah bola yang terapung di air danau yang tenang
keperakan. Jaraknya ternyata lebih jauh dari yang mereka kira. Mike kecapekan ketika mereka
sampai ke tempat perahu Tuan Diaz ditambatkan. Tetapi, lain halnya dengan Jack.
Ia tak merasa lelah sedikit pun. Jack memang seorang perenang jempolan. Jack
segera melompat ke dalam perahu, lalu menarik Mike masuk. Selanjutnya, dengan
cekatan dilepaskannya ikatan tali penambat perahu itu.
Perahu ia dorong ke tengah, dan ia pun mulai mendayung. Bunyi dayungnya yang
mengayuh air terdengar jelas di kesunyian malam. Belum jauh mereka meninggalkan
pantai pulau, terdengar orang berteriak. Suaranya dari arah pulau. Ternyata Luiz
berdiri di sana. ia tadi tertidur di semak-semak. Bunyi dayung di air
menyebabkan orang itu terbangun.
"He! Itu perahu kami! Kembalikan!"
"Kapan-kapan akan kami kembalikan!" seru Jack girang.
"Kembalikan sekarang juga! Cepat!" teriak Luiz. Rupanya ia baru sadar bahwa
tanpa perahu itu ia dan Tuan Diaz takkan bisa meninggalkan pulau itu. "Kalian
jahat!" "Selamat tinggal, Kawan!" seru Jack ketika tiba-tiba terlihat olehnya Tuan Diaz
muncul di kaki bukit, ia tidur di gua dan terbangun oleh teriakan Luiz dan Jack
barusan. "Sampai bertemu lagi!"
Kedua lelaki itu tak berdaya. Mereka tak punya perahu, dan tak bisa berenang.
Mereka tak bisa berbuat apa-apa selain berteriak menyumpah-nyumpah. Tetapi, itu
tak menolong nasib mereka! Jack dan Mike tertawa geli.
Sebentar saja mereka sudah sampai ke tempat perahu mereka sendiri. Tubuh mereka
menggigil kedinginan, karena tidak mengenakan pakaian.
Ternyata Paul, Nora, dan Peggy terbangun. Mereka sedang bengong ketakutan. Peggy
segera melemparkan pakaian Mike dan Jack. Ia lalu berteriak menanyakan dari mana
mereka, mengapa ribut, dan dari mana mereka dapat perahu baru.
"Masa kau tak bisa menebak?" seru Nora. "Itu kan perahu Tuan Diaz! Hore!
Sekarang ganti mereka yang kita tawan! Bukan main! Hebat benar idenya, Jack!
Kami cemas bukan main ketika terbangun dan mendapatkan kalian tak ada di sini.
Tapi, kami sudah mengira kalian sedang melakukan sesuatu yang cerdik!"
"Itu gagasan Mike," kata Jack sambil cepat-cepat mengenakan bajunya. "Salah satu
gagasan paling bagus yang pernah ia berikan! Hasilnya pun sangat memuaskan -
Tuan Diaz dan Luiz marah kayak orang gila, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Besok
pagi kita dayung perahunya ke desa terdekat, lalu kita sewa mobil. Kita langsung
saja kembali ke Lubang Intip. Aku sudah ingin tahu sampai sejauh mana Dimmy dan
George mendapat informasi.
Biarkan saja Tuan Diaz dan Luiz berlibur beberapa saat di pulau kita!"
Semuanya tertawa. Rasanya mereka tak bakal bisa tidur lagi malam itu. Ternyata,
tak lama kemudian mereka menguap, dan tertidur lagi dengan pulas. Perahu Tuan
Diaz ditambatkan di samping perahu mereka.
Mereka terbangun ketika bulan menghilang dari langit. Di ufuk timur, matahari
mulai muncul. Danau terlihat tenang sekali. Tak secuil awan pun mengotori langit.
"Wow, laparnya!" ujar Peggy. "Celakanya, kita sama sekali tak punya apa-apa lagi
yang bisa dimakan." Mike nyengir. Tangannya merogoh saku, lalu dari dalamnya ia keluarkan sebungkus
coklat! "Sengaja kusimpan, karena mungkin ada gunanya!" kata Mike. "Kita bagi saja
coklat ini. Tapi, kita terpaksa menunggu sampai kita mendarat di desa terdekat untuk
sarapan." "Oh, syukurlah, Mike!" semua berterima kasih kepada Mike. Betapa lezat rasa
potongan coklat berkacang itu. Anak-anak duduk di bawah sinar matahari pagi,
sambil sibuk mengunyah coklat dan sesekali tertawa cekikikan kalau teringat akan
Tuan Diaz dan Luiz. "Mereka di pantai pulau, berusaha melihat kita," kata Peggy. "Sebentar lagi
mereka bisa melihat kita - kalau kita mendayung ke luar dari sini. Mau kita
apakan perahu mereka, Jack?"
"Biarkan saja tertambat di sini," kata Jack. "Aman."
Anak-anak melepaskan ikatan tali penambat perahu mereka, lalu mendayung ke luar
ke danau. Segera saja Tuan Diaz dan Luiz melihat. Mereka berteriak-teriak.
Tetapi, anak-anak tak menghiraukan. Mereka mendayung terus, menjauhi pulau,
menuju ke desa di pinggir danau.
Sesampainya di sana, anak-anak menambatkan perahu lalu turun ke tanah yang
berlapiskan pasir lembut. Mereka menuju ke perkampungan di dekat situ, dan
langsung masuk ke toko roti. Mereka membeli roti tawar yang masih hangat dan
harum serta kue tart selai. Di toko lainnya, mereka membeli seperempat kilogram
mentega, daging asap, dan biskuit serta coklat. Tak lupa mereka membeli juga
limun jahe. Di pinggir jalan, mereka duduk menikmati sarapan. Nikmat benar
rasanya! Jack dan Mike meminjamkan pisau lipat mereka untuk memotong roti, mengoles
dengan mentega, dan mengiris daging asap. Lezat!
Sesudahnya, mereka menyikat habis kue tart selai, biskuit, dan coklat yang
mereka beli. Terakhir baru minum limun jahe. Sehabis makan, semua merasa enak. Jack lalu
mencari tempat penyewaan mobil atau bengkel.
Tak ada sebuah pun di sekitar situ. Untunglah ketika itu lewat sebuah bis, dan
bis itu berhenti di pemberhentian bis yang letaknya tak jauh dari tempat anak-
anak berdiri. Anak-anak menghampiri bis itu, lalu bertanya apakah ada bis yang bisa membawa
mereka ke tempat yang letaknya tak jauh dari Lorong Spiggy.
"Bisku ini berangkat sepuluh menit lagi," kata sopirnya. "Jurusannya ke
Cliftonside. Dari sana, kalian bisa naik bis lain ke Lorong Spiggy."
Anak-anak merasa lega. Mereka naik ke dalam bis, lalu duduk menunggu. Bis itu
akhirnya berangkat juga - mesinnya menderu-deru dijalan sepi pedesaan. Satu jam
kemudian, mereka sudah sampai di Cliftonside. Anak-anak berebut turun, lalu
mencari bis yang menuju ke Lorong Spiggy. Bisnya baru berangkat setengah jam
lagi. Maka anak-anak pergi dulu membeli limun jahe. Udara hari itu sangat panas,
dan anak-anak kehausan. Jam setengah satu siang mereka sampai di Lorong Spiggy. Tempat pemberhentian
bisnya berjarak kurang lebih satu kilometer dari Lubang Intip. Anak-anak
melintas lapangan untuk memotong jalan.
"Sebaiknya kita tetap waspada - siapa tahu ada orang lain yang mencari Paul,"
kata Jack. "Kita kan tak tahu siapa saja anak buah Tuan Diaz."
Mereka berjalan merapat pada pagar-pagar yang tinggi hingga sampai ke Lubang
Intip. Anak-anak sangat terperanjat ketika sampai ke lapangan yang terletak di seberang
Lubang Intip. Di sana ada sebuah pesawat terbang besar! Warnanya biru terang,
bergaris keperakan pada tepi-tepinya!
Mereka berdiri melongo. Di dalam pesawat terbang itu tak ada orang. Di
sekitarnya pun tak kelihatan siapa-siapa. Mereka jadi ragu apakah hendak
meneruskan perjalanan ke Lubang Intip atau tidak. Apakah pesawat itu milik
musuh" Ataukah milik kawan" Ini benar-benar menjadi tanda tanya.
23. SENDIRIAN DI LUBANG INTIP
Kelima anak itu tak habis-habisnya memandang pesawat udara yang megah itu. Wajah
Paul menjadi pucat. "Seperti kapal terbang dari negeriku," katanya. "Mungkinkah musuhku sampai
terbang kemari mengejarku" Ah, perasaanku jadi tak tenang. Alangkah senangnya
kalau aku tahu keadaan ayahku - maksudku, apakah beliau sudah sembuh atau
belum!" "Hus, jangan terlalu cemas, Paul," kata Jack menghibur. "Sebentar lagi kita
pasti mendengar kabarnya. Kurasa Dimmy sudah meminta bantuan polisi untuk
menyelidiki situasi di negerimu. Dia pasti akan menceritakan semuanya kepada
kita begitu bertemu dengan kita nanti."
"Aku kepingin bertemu Dimmy," kata Nora. "Rasanya aman kalau ada Dimmy di dekat
kita." "Kalau begitu, kita pelan-pelan ke Lubang Intip. Jangan sampai ada yang lihat,"
ujar Mike. Anak-anak merayap di pinggir pagar tanaman yang tinggi, membelok ke jalan kecil
ke Lubang Intip, dan berlari masuk ke halaman depannya.
Pintu depan tertutup. Biasanya terbuka lebar. Anak-anak pun mencoba pintu
belakang. Yang ini pun tertutup, dan dikunci pula! Anak-anak berpandang-pandangan dengan
perasaan heran. "Apakah Dimmy mengunci diri di dalam?" pikir mereka. "Ada apa sebenarnya?"
"Semua jendelanya juga tertutup," kata Jack sehabis berkeliling meneliti. "Tapi,
ada satu yang terbuka - di atas sana! Kelihatan, kan" Itu dia! Mungkin kalau aku
naik ke pohon itu, aku bisa berpegangan pada dahannya dan meraih bingkai
jendelanya." "Tapi, hati-hati ya, Jack," pesan Peggy. "Rasanya dahan pohon itu kurang kuat!"
Jack memanjat pohon, dibantu Mike. Perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati ia
meniti cabang pohon yang paling dekat dengan jendela. Anak-anak yang lain
berdiri di bawah, menyaksikan setiap gerakan Jack. Tetapi, guncangan yang
ditimbulkan oleh gerakan Jack menyebabkan daun-daunnya runtuh berguguran
menghujani anak-anak di bawah. Mereka menyingkir sambil tertawa.
Jack berhasil menggapai bingkai jendela. Dibukanya daun jendela, lalu ia
melompat ke dalam. Anak-anak di luar mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.
Tak lama kemudian selot pintu dibuka. Begitu pula anak kuncinya terdengar
diputar dari dalam. Jack membuka pintu, lalu minggir memberi jalan.
"Masuklah," katanya. "Kita cari di mana Dimmy. Tapi, tak kudengar suara apa pun
di dalam sini." Anak-anak mencari Dimmy ke setiap ruangan. Dimmy pergi. Rumahnya sunyi sepi.
Anak-anak kebingungan. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Kapan Dimmy pulang" Ke
mana perginya" Di mana George" Ah, mungkin sebaiknya mereka cari George saja.
"Baiknya, kita makan dulu," kata Jack akhirnya. "Kulihat masih ada daging asap


Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di lemari dapur dan beberapa buah tomat serta roti. Di samping itu, kita bisa
memetik buah prem dari halaman. Ayo!"
Sambil makan anak-anak merundingkan apa yang sebaiknya mereka lakukan. Apakah
sebaiknya mereka tinggal di Lubang Intip sampai Dimmy kembali" Tapi, bagaimana
kalau ternyata Dimmy tidak kembali ke sana" Rasanya kurang aman berada di Lubang
Intip. Terlalu dekat dengan Rumah Tua. Apalagi, di situ tak ada Dimmy atau
George. Siapa tahu masih ada orang yang ingin menangkap dan menculik Paul lagi.
"Kurasa tak ada orang yang mengetahui kedatangan kita," ucap Jack. "Sebaiknya
kita tidak menyalakan perapian supaya orang tak tahu kita di sini. Pada malam
hari, jangan menyalakan lampu. Kita tidur bersama-sama saja di kamar paling
atas. Pintunya kita kunci, lalu kita halangi dengan perabotan dari dalam. Aman!"
"Wah, situasi jadi mulai menegangkan lagi," kata Nora, ia sudah merindukan
suasana tenang dan santai. "Kalau Tuan Diaz tidak menemukan pulau kita, tentunya
saat ini kita sedang bersuka ria di sana. Aku merasa kurang enak berada di
Lubang Intip tanpa ditemani Dimmy."
"Aku hendak menyelinap sebentar ke pantai. Mungkin George ada di sana," kata
Jack setelah berpikir beberapa saat. "Seandainya ada, dia pasti mau menemani
kita. Paling tidak, ia bisa menceritakan apa saja yang dialami Dimmy.
Sebaliknya, kita bisa menceritakan pengalaman kita dan kabar terakhir mengenai
Tuan Diaz dan Luiz."
Anak-anak tertawa. Senang rasanya kalau ingat Tuan Diaz dan Luiz terkurung di
Pulau Rahasia. Mereka tak tahu kapan mereka bisa meninggalkan pulau itu.
Jack menyelinap ke luar lewat pintu belakang. Begitu Jack keluar, anak-anak yang
tinggal di dalam menyelot pintunya. Mereka memutuskan untuk berjaga di jendela-
melihat kalau-kalau ada orang yang datang. Peggy dan Paul berjaga di jendela
yang menghadap ke depan. Sementara itu Mike dan Nora di jendela yang menghadap
ke belakang. Tapi, tak seorang pun datang. Jangankan orang datang, bunyi anjing
menyalak pun tak kedengaran.
Suasana sangat sunyi! Anak-anak mengobrol. Peggy mengambil kotak rajutannya, lalu merajut sambil
mengobrol dengan Paul. Mike bermain jigsaw dengan Nora sambil sesekali melihat
ke jendela. Ketukan keras di pintu belakang membuat anak-anak kaget bukan main. Mike
terlompat, Gambar jigsaw-nya jatuh berantakan ke lantai, ia merasa heran. Selama
ini belum kelihatan ada orang datang dari arah halaman belakang. Paul dan Peggy
lari dari ruangan depan. Keduanya tampak ketakutan.
"Siapa ya?" bisik Nora.
"Mana aku tahu," bisik Mike. "Pokoknya, yang paling bagus kita diam saja.
Mungkin kalau lama-lama dibiarkan orangnya pergi lagi."
Mereka diam semua. Ketukan di pintu belakang terdengar lagi. Kali ini bukan
sekadar mengetuk. Siapa pun yang mengetuk pintu itu rupanya sudah kehabisan
kesabaran, ia mulai menggedor-gedor dengan tinjunya.
"Gedor sesuka hatimu," bisik Mike, "Kami takkan membukakan pintu!"
"Bukakan pintu!" teriak seseorang. Suaranya dikenal oleh anak-anak. Betapa
gembira dan kaget mereka! Itu tadi suara Jack!
"Wah, bodohnya kita ini!" seru Mike sambil lari. "Seharusnya kita tahu itu Jack.
Tak kusangka ia akan kembali secepat ini!"
Semua berlari-lari turun, membukakan pintu untuk Jack. Jack masuk dengan wajah
marah. "Mengapa kalian biarkan aku begitu lama di luar?" tanyanya jengkel. "Kupikir
kalian semua sudah tertidur!"
"Maafkan kami, Jack," kata Mike sambil nyengir. "Sungguh mati kami tak melihat
kau datang. Lagi pula, tak kami sangka kau kembali begitu cepat. Kami pikir yang
datang musuh. Bagaimana caramu masuk ke halaman belakang tanpa kelihatan?"
"Merangkak lewat bawah semak-semak dong," sahut Jack ikut nyengir. "Kupikir
kalian akan senang aku datang cepat. Tapi, rupanya kalian malah ketakutan."
"Ketemu dengan George?" tanya Mike tak sabar.
"Tidak," jawab Jack. "Perahunya ada. Tapi tak kulihat dia di pantai. Juga di
ladang. Rupanya George menghilang seperti Dimmy."
"Aneh," kata Mike, "ke mana sih perginya orang-orang sini" Mengapa ada pesawat
terbang di sana" Apa yang terjadi selama kita berada di Pulau Rahasia?"
"Kalau aku tahu, pasti kujawab pertanyaanmu," kata Jack. "Mau membuatkan teh
panas, Peggy" Masih ada kuekah di kaleng?"
Peggy dan Nora merebus air untuk membuat teh. Sambil menunggu airnya mendidih,
mereka mengiris roti dan mengolesnya dengan mentega. Di lemari dapur masih ada
sedikit madu. Dan dalam kaleng kue masih ada beberapa potong kue jahe. Anak-anak makan dengan
lahap. Sayang makanan yang tersedia kurang banyak.
"Sebaiknya kita membawa makanan untuk malam nanti ke kamar, supaya tak usah
turun lagi," kata Mike setelah selesai minum teh. "Paling tidak, kita bisa
mengunci diri dengan aman sampai besok pagi. Nora dan Peggy biar tidur di tempat
tidurku. Kita bertiga bisa berhimpit-himpit di tempat tidur Jack. Kalau tak
cukup, di sana masih ada satu sofa. Pokoknya kita bisa tidur tenang sampai besok
pagi!" "Lelah benar rasanya," kata Nora. "Karena kebanyakan merasa tegang dan berdebar-
debar, mungkin. Kita bawa kartu ke atas, yuk. Mungkin kita bisa bermain-main
dulu. Kalau tidak, bisa-bisa aku langsung ketiduran."
Setelah selesai mencuci piring dan cangkir, Peggy mengumpulkan makanan yang
hendak dibawa ke atas. Sementara itu Jack mencari kartu. Mereka bersama-sama
memeriksa semua jendela dan pintu sebelum naik ke kamar. Begitu masuk ke kamar,
pintunya langsung mereka kunci. Anak-anak pun mulai bermain kartu.
Paul belum pernah bermain kartu. Mainnya jelek sekali, ia kalah terus.
Anak-anak bermain terus sambil tertawa-tawa. Pada suatu ketika, mereka mendengar
bunyi aneh. Mereka sedang tertawa ramai waktu itu. Begitu mendengar bunyi tadi,
mereka berhenti tertawa, dan saling berpandangan.
"Bunyi pesawat terbang!" kata Jack. "Apakah pesawat yang kita lihat tadi hendak
pergi?" Mereka berlari ke jendela. Tidak. Pesawat terbang biru bergaris perak yang tadi
mereka lihat masih berdiri tenang di tempatnya. Tetapi ada sebuah pesawat lain
yang sedang menderu dan terbang berputar-putar. Rupanya hendak mendarat. Mike
meraih teropong yang tergeletak di dekat jendela. Ia melihat ke arah kapal
terbang yang hendak mendarat itu.
Tiba-tiba saja Mike berteriak, membuat Paul kaget hingga terlompat dari kursinya
dan jatuh ke lantai! "Mike! Ada apa?" tanya yang lain.
"Ayah! Itu kapal terbang Ayah!" teriak Mike sambil menari-nari kegirangan.
"Lihatlah - ada cat merah di badan pesawat itu! Pasti Dimmy memberi kabar mengenai
pengalaman kita dan Paul. Lalu Ayah dan Ibu terbang kemari langsung dari
Irlandia. Oh, kalau ada mereka, kita aman pokoknya!"
Anak-anak segera menjerit-jerit kegirangan. Mereka membuka jendela, menyaksikan
pesawat itu mendarat. Setelah berputar-putar, akhirnya pesawat itu mendarat,
meluncur perlahan di atas lapangan, dan berhenti di samping pesawat biru
bergaris perak. Kipas anginnya berhenti berputar. Dua orang kelihatan keluar
dari cockpit. Keduanya berpakaian penerbang, dan menjinjing helm.
"Ayo! Itu Ayah dan Ibu! Tidak salah lagi!" seru Mike, ia lari ke pintu, dan
langsung membuka kuncinya. Bersama yang lain, ia berlari turun ke bawah, membuka
selot dan kunci pintu depan. Lalu, seperti kawanan anjing kecil yang terlepas
dari kandang, anak-anak menghambur ke luar, berlari menyeberangi halaman dan
lapangan, menuju ke pesawat yang baru mendarat
"Anak-anak! Kupikir kalian sudah berada di tempat yang aman, di Pulau Rahasia,"
pekik Ibu Mike. Beliau lalu memandang mereka sambil tersenyum. Anak-anak
bergerombol di sekelilingnya sambil memeluk-meluk. Pangeran Paul mundur dengan
wajah malu-malu. Tetapi Nyonya Arnold meraih anak itu dan memeluknya seperti ia
memeluk anaknya sendiri. "Mana Dimmy?" tanya Kapten Arnold. Tak seorang pun tahu.
24. AKHIR PENGALAMAN SERU
"Mari kita ke Lubang Intip, Yah!" ajak Mike. "Nanti kami ceritakan semuanya di
sana!" Mereka semua kembali ke Lubang Intip. Sambil duduk berkumpul di ruang depan,
mereka ribut mengobrol. Berita yang didengar Kapten Arnold dan istrinya selama
ini adalah bahwa anak-anak mereka telah menyelamatkan seseorang dan membawa
orang itu ke Pulau Rahasia. Dimmy mengirimkan surat kawat yang cukup panjang
kepada orang tua anak-anak, karena tidak tahu pasti alamat terakhir mereka.
Memang, selama tugas mengajar di Irlandia mereka sering sekali berpindah dari
kota yang satu ke kota yang lain.
Karenanya, menghubungi mereka lewat telepon merupakan hal mustahil. Kalaupun
tidak mustahil, mencarinya sukar sekali.
Kapten Arnold dan istrinya berusaha menghubungi Dimmy lewat telepon setelah
menerima surat kawatnya. Tetapi, tak seorang pun mengangkat teleponnya. Itu
sebabnya mereka langsung terbang ke Lorong Spiggy - untuk melihat bagaimana
situasi yang sebenarnya. "Beginilah rupanya kisahnya!" kata Kapten Arnold. "Ada makanan" Aku lapar
sekali! Ada keranjang makanan di dalam pesawat - coba ambilkan, Jack dan Mike!"
Kedua anak lelaki itu segera lari ke luar. Tetapi, ketika mereka sedang
melintasi lapangan, terdengar deru sebuah mobil besar mendekat. Mereka berhenti,
mengamati mobil itu. Pasti tujuannya ke Lubang Intip, karena jalan itu buntu,
dan di ujung jalan itulah terletak Lubang Intip. Siapa yang datang"
Mobil itu penuh orang laki-laki. Paling tidak ada lima orang. Mike mencengkeram
tangan Jack. Keduanya langsung kembali ke Lubang Intip.
"Mungkin mereka datang hendak menculik Paul!" serunya. "Ayo, cepat kembali! Kita
kunci saja pintunya. Syukurlah ada Ayah dan Ibu."
Mereka lari secepat kilat masuk, dan menutup pintu depan. Di luar, terdengar
bunyi roda direm. Mobil tadi berhenti persis di depan Lubang Intip. Dari
dalamnya keluar empat orang lelaki. Keempatnya mengenakan pakaian seragam yang
keren. Mereka masuk ke halaman, lalu mengetuk pintu.
"Siapa itu?" tanya Kapten Arnold kaget
"Kami tak tahu," jawab Mike. "Pintunya sudah kami kunci. Takutnya, mereka itu
hendak mengambil Paul lagi."
"Dengar, Nak - takkan ada orang yang berani mengambil Paul sekarang. Bukankah
aku ada di sini?" kata Kapten Arnold. "Bukakan saja pintunya."
Tetapi rupanya sudah ada yang membukakan pintu. Paul dari tadi mengawasi ke luar
dari jendela. Mendadak ia memekik, meneriakkan sesuatu dengan bahasa asing, dan
lari ke pintu depan. Susah benar membuka selotnya. Sambil berusaha membuka selot
dengan seluruh kekuatannya, anak itu terus memekik-mekik.
"Gila rupanya si Paul," kata Jack heran. "Sini, kubantu kau, Paul!"
Pintu terbuka. Paul menghambur ke luar, lalu menubruk seorang lelaki yang
berdiri di depannya - menangis tersedu-sedu sambil bersandar pada dadanya yang
bidang. Lelaki itu mengelus-elus kepala Paul sambil terkadang menepuk bahunya
dengan penuh kasih sayang.
Orang-orang yang lain menyaksikan kejadian itu dengan heran.
Lelaki tadi melepaskan Paul, lalu mengangguk hormat kepada Kapten Arnold dan
istrinya. "Aku ayah Paul, raja Baronia," ia berkata.
"Katanya Bapak sakit keras!" Mike berkata kaget.
"Ya," ayah Paul berkata lagi. "aku memang pernah sakit keras. Tapi sekarang
keadaanku sudah baikan. Musuh-musuh kami sangat kecewa tentunya. Paul diculik
dan dilarikan ketika aku sedang sakit. Kami tak tahu di mana Paul berada.
Untunglah Nona Dimmy memberitahukan segalanya kepada polisi Inggris. Mereka
segera menyampaikan beritanya ke negara kami. Katanya putra-putri Bapak dan Ibu
telah menyelamatkan anakku dan membawanya ke Pulau Rahasia."
"Kalau begitu, pesawat biru bergaris perak itu kepunyaan Bapak?" seru Mike.
"Paul tadi bilang, kelihatannya pesawat itu berasal dari negaranya."
"Benar," sahut ayah Paul. "Kami kemari naik pesawat itu. Aku mengajak keempat
kawanku ini. Maksud kami, hendak menemui Nona Dimmy. Wanita itu sangat pemberani
dan baik sekali. George dan dia menceritakan segala kejadiannya kepada kami."
"Mana Dimmy?" tanya Nora, hampir menangis. Ia dari tadi gelisah memikirkan
Dimmy. "Sebentar lagi dia datang, dengan mobil lain," kata si raja Baronia. "Nona
Dimmy, George, dan kami baru saja dari kantor polisi - menjelaskan segala duduk
perkaranya. Sebentar lagi juga dia datang."
Tepat ketika itu sebuah mobil lain berhenti di depan. George melompat turun dari
dalamnya, membantu Nona Dimmy keluar. Akhirnya Dimmy berdiri di samping mobil.
Wajahnya sedikit pucat dan kelihatan lelah. Tetapi ia masih ceria seperti
biasanya. Melihat anak-anak berhamburan ke luar menyambut kedatangannya, Dimmy
cuma bisa berdiri bengong.
"Kupikir kalian ada di Pulau Rahasia!" katanya. "Mengapa kalian tinggalkan pulau
itu?" "Ceritanya panjang, Dimmy!" kata Mike. "Masuklah dulu. Lihat, kau punya tamu
agung." "Ayah dan ibu kalian, pasti! Itulah sebabnya ada dua kapal terbang di lapangan,"
kata Dimmy. "Kapten Arnold, senang sekali aku bisa bertemu Anda! Rasanya sukar
sekali menghubungi Anda di Irlandia. Aku tak tahu alamat Anda yang paling baru.
Rupanya Anda berpindah-pindah selama di sana. Bukan main! Ada pertemuan besar
rupanya di rumah ini. Ayah Paul dan teman-temannya... lalu, Anda berdua dan putra-putri Anda!"
Ruang depan Lubang Intip terlalu kecil untuk menampung mereka semua. Karena itu
mereka lalu ke halaman. George mengeluarkan kursi dari dalam. Suasana pun
menjadi gembira dan ramai bukan main. Tak henti-hentinya mereka mengobrol.
"Tunggu sampai aku bisa menguasai Diaz dan Luiz si pengkhianat itu!" ucap ayah
Paul geram ketika Paul menceritakan pengalamannya selama jadi tawanan.
"Kalau Anda mau, gampang sekali," kata Mike sambil nyengir. "Kami telah berhasil
menjadikan mereka tawanan kami! Kapan saja Anda mau menangkap mereka, Raja -
Anda bisa menangkapnya!"
"Di mana mereka?" tanya Dimmy.
"Di Pulau Rahasia - tanpa perahu!" Mike tertawa. "Mereka terpaksa tinggal di
sana sampai ada orang datang meringkus!"
Semua tertawa gembira. Geli mereka membayangkan dua penjahat kawakan bisa
tertangkap dengan cara begitu.
"Besok pagi aku akan pergi ke pulau itu bersama polisi," kata si Raja dengan
geram. "Diaz dan Luiz pasti kaget dan heran melihat aku datang! Ia berniat menghalang-
halangi Paul menjadi ahli waris kerajaan jika aku meninggal, ia tak tahu aku
sehat kembali. Gagal total semua rencananya!"
"Setelah itu Bapak akan membawa Paul pulang?" tanya Mike. Tiba-tiba saja ia
enggan berpisah dengan sahabat baru yang ia sukai.
"Tentu saja," sahut si Raja. "Tapi, kuharap tahun ajaran mendatang Paul bisa
diterima sekolah di negeri kalian yang aman ini. Mungkin malah ia bisa
bersekolah bersama kalian, Jack dan Mike!"
"Wah, senang sekali!" kata kedua anak itu gembira. "Kami pasti akan menemani dan
menjaganya selalu." "Aku percaya," kata ayah Paul, menepuk-nepuk bahu Jack dan Mike. "Selama ini
kalian telah menyelamatkan dan melindungi anakku dengan begitu baik."
"Nah, malam ini - apa yang hendak kita kerjakan?" tanya Dimmy. "Sebenarnya ingin
aku mengundang kalian semua menginap di sini. Tetapi, rumahku terlalu kecil -
tak bisa menampung orang sebanyak ini. Kapten dan Nyonya Arnold bisa kutempatkan
di kamar tamu yang masih kosong. Tetapi, rasanya yang lain takkan kebagian
tempat" "Ah, itu mudah diatasi," kata ayah Paul. "Kami akan ke kota terdekat, dan
menginap di hotel. Paul, aku ingin kau ikut aku! Rasanya aku tak mau lagi
berpisah denganmu, Nak! Besok pagi kami ke sini lagi, Nona Dimity. Terima kasih banyak atas segala
kebaikan Anda." Paul dan ayahnya serta keempat orang teman ayahnya berpamitan, lalu pergi naik
mobil besar tadi. Mesinnya dinyalakan. Bunyinya menderu-deru sampai mobil itu
hilang di tikungan jalan.
"Kita sampai lupa mengambil keranjang makanan dari pesawat," ujar Jack tiba-
tiba. "Ayo, kita ambil, Mike! Lapar benar rasanya!"
Jack dan Mike langsung keluar, lari ke tempat pesawat Kapten Arnold dihentikan.
Mereka masuk ke ruang pilot. Di sana ada sebuah keranjang besar berisi makanan.
Jack dan Mike membawa keranjang itu kembali ke Lubang Intip bersama-sama.
Masing-masing memegang sebelah jinjingannya hingga keranjang besar itu terayung-
ayun di antara mereka. Di halaman, semuanya makan bersama. George pun ikut makan bersama mereka. Nikmat
benar rasa makanan malam itu! Sambil makan, mereka ribut menceritakan kisah
masing-masing.

Empat Serangkai - Rahasia Lorong Spiggy The Secret Of Spiggy Holes di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan Diaz datang bersama Luiz sambil marah-marah setelah kalian berangkat ke
Pulau Rahasia malam itu," tutur Dimmy. "Untung saja George sudah kembali waktu
itu. Kami bekerja keras mengusir mereka. Kelihatannya mereka yakin benar si Paul
ada di sini bersama kalian."
"Wah, rupanya Tuan Diaz dan Luiz pernah mendengar juga mengenai Pulau Rahasia
kita, ya?" kata Mike. "Buktinya mereka bisa mencari pulau itu dengan cepat.
Tapi, yah - ceritanya tersebar luas sih. Semua orang mungkin tahu. Jadi, mencarinya tidak
begitu sulit Ingin benar aku melihat tampang mereka kalau ayah Paul dan polisi
datang menggerebek mereka besok!"
Benar saja! Ketika datang perahu berisi beberapa orang polisi Inggris ke pulau
itu esok harinya, Tuan Diaz dan Luiz sangat terperanjat dan ketakutan- Kedua
orang itu sedang sibuk membuat rakit dari batang-batang kayu. Maksudnya agar
mereka bisa menyeberang kembali ke darat. Karena sibuknya, mereka tak mendengar
ada perahu datang. Tiba-tiba saja di hadapan mereka terlihat raja Baronia. Di
belakangnya berdiri lima orang polisi berseragam!
Anak-anak baru mendengar ceritanya sehari sesudah itu.
"Musnahlah sudah Tuan Diaz dan komplotannya," kata Jack puas. "Untung saja kita
berlibur ke Lubang Intip! Kalau tidak, mungkin Paul masih ditawan. Kita takkan
mengalami ketegangan yang seru dan mengasyikkan ini."
Sore harinya George datang berlari-lari. Wajahnya berseri-seri.
"He, lihatlah! Lihatlah!" teriaknya.
Anak-anak dan Dimmy lari ke jalan. Sebuah truk penarik besar berjalan ke Lubang
Intip. Di belakangnya ada sebuah perahu motor yang indah sekali!
"Wah, tujuannya kemari!" seru Jack.
Benar! Perahu motor itu ternyata hadiah dari ayah Paul untuk keempat anak yang
telah menyelamatkan Paul. Anak-anak keheran-heranan. Mereka terpesona melihat
keindahan perahu motor itu!
"Bukan main!" seru mereka. "Oh, George - kita coba malam ini juga, yuk!"
Sayang tak bisa. Perahu itu tak bisa diturunkan ke air dari pantai di Lorong
Spiggy. Ia terpaksa-dibawa ke Longrigg dulu, dan baru diluncurkan ke air dari
sana. Dengan bantuan kakak George, perahu itu berhasil diturunkan ke air. Kini
ia sudah mengapung, diayun ombak kecil di air laut yang tenang. Semua masuk ke
dalam. Juga Dimmy. Mengemudikannya tidak sukar. Jack dan Mike bisa bergantian
memegang kemudinya. Deru lembut mesinnya terdengar manis ketika dinyalakan. Perahu motor yang indah
itu pun maju perlahan-lahan. Mike mengarahkannya ke laut. Bangga benar dia!
Mereka punya perahu motor sendiri! Wah, mujurnya!
Mereka membawa perahu motor itu kembali ke Lubang intip. Semuanya gembira,
menikmati perjalanan air di atas perahu motor mewah!
-TAMAT- Djvu: BBSC Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net Kucing Suruhan 3 Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut Lencana Pembunuh Naga 14
^