Pencarian

Balas Dendam Seorang Kakak 3

Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out Bagian 3


menggantinya dengan orang lain?"
"Geri yang paling mampu memegang tugas itu," kata Paman
Bill. "Dan harus kukatakan, Holly, kelihatannya kau punya masalah dengan banyak
orang. Tidakkah kita sudah menghadapi cukup banyak
masalah tanpa menambahnya lagi dengan masalah yang sebetulnya
tak ada?" Pipi Holly serasa tersengat mendengar tuduhan pamannya yang
dirasanya tidak adil. "Tapi Geri yang membenciku!" katanya. "Mulai sejak kami
masih sama-sama tinggal di Waynesbridge. Kami - "
"Aku tak peduli sejak kapan!" tukas Paman Bill. "Tidakkah kaulihat urusanku
sudah sangat banyak" Kalau kau tak bisa bekerja
sama, baik, kukirim kau pulang ke rumah. Aku akan kekurangan
tenaga, tapi aku tak bisa mengistimewakanmu. Itukah yang
kauinginkan, Holly" Pulang ke rumah?"
"Tidak," sahut Holly hampir berbisik. "Aku ingin tetap di sini."
"Jadi tunjukkanlah dengan sikap yang benar!" kata Paman Bill.
"Tak adakah hal lain yang lebih baik yang bisa kaukerjakan daripada ber?ebat di
sini?" Chapter 22 "KEMUDIAN dilihatnya sebuah tangan besar, putih pucat,
jatuh dari atas dan mulai mengejarnya berputar-putar di dalam
rumah," kata Kit. "Sebuah apa?" tanya Mick. "Sebuah tangan mengejar-ngejar orang?"
"Betul," sahut Kit. "Tangan putung."
"Bagaimana bergeraknya, merayap seperti labah-labah?" tanya
Thea sinis. "Atau terbang melayang?"
"Mau kuteruskan tidak ceritanya?" Kit tersinggung. Dia
memakai sepasang taring palsu dan bicaranya agak cadel. Holly tidak
lagi mendengarkan terusan cerita Kit. Dia tidak pernah menyukai
cerita-cerita hantu, tapi Kit berhasil meyakinkan Paman Bill untuk
mengadakan kontes cerita hantu pada acara api unggun malam itu.
Siapa yang menceritakan kisah yang paling menakutkan akan
mendapat hadiah. Sebetulnya itu ide gila, mengingat sudah cukup
banyak hal mengerikan yang betul-betul terjadi di camp, tapi Holly
tidak protes. Holly berpikir ini kesempatan untuknya. Bila semua orang
memusatkan perhatian mereka pada kisah-kisah hantu, tidak seorang
pun akan menyadari kalau dia pergi sebentar.
Holly mempunyai rencana. Sementara perhatian semua orang
terpusat, ia akan menyelinap ke tempat anak-anak laki-laki dan
menggeledah pondok Kit, Mick, dan John. Dia tidak tahu apa yang
dicarinya, tapi harus melakukan sesuatu. Kalau saja dia bisa
menemukan petunjuk-petunjuk apa pun yang bisa membawanya ke
pembunuh Debra. Ia mencuri pandang sekali lagi ke seberang api unggun. John
belum mendapat giliran menceritakan kisah hantu. Ia duduk jauh dari
yang lain-lain, sibuk mengerjakan tali-temali. Pembimbing-
pembimbing lain dan para peserta sedang asyik mendengarkan cerita
Kit. Holly bergerak perlahan-lahan menjauh dari api unggun,
berusaha agar tidak menarik perhatian.
"Mau ke mana kau?"
Holly terperanjat, jantungnya berhenti satu detakan. Ternyata
Thea. Untuk sesaat Holly berpikir akan berterus terang pada temannya
mengenai rencananya. Tapi kemudian diurungkannya. Karena Thea
dari semula tidak percaya pada kecurigaannya.
"Aku mau balik ke pondok ambil jaket," Holly berbohong.
"Nanti aku ke sini lagi."
Ia pergi ke arah Pondok Lima, lalu, setelah di luar jarak
penglihatan dari api unggun, ia berputar menuju ke sisi lain. Kit dan
John mendapat tugas di Pondok Sembilan, yang terletak paling dekat
dengan tepi hutan, agak terpisah dari kabin-kabin lain. Ia akan
memulai penyelidikannya dari situ.
Pondok itu gelap gulita. Di belakang Holly seekor burung hantu
membunyikan suaranya, dan sesuatu membuat suara gemeresik di
hutan di dekat tempat itu. Holly hampir mengurungkan niatnya dan
kembali ke api unggun. Tapi dia tahu harus memaksa diri meneruskan rencananya.
Sudah tidak banyak waktu lagi. Debra sudah mati - Debra,
pembimbing seniornya. Bahaya sudah semakin dekat.
Apakah Holly korban berikutnya"
Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu
menyalakan lampu senternya. Pelan-pelan, agar tidak menimbulkan
suara, ia membuka pintu pondok.
Pintu itu berderit di tengah kesunyian. Ia melangkah masuk ke
pondok yang gelap. Disapukannya lampu senternya ke seluruh
ruangan, dan dilihatnya Pondok Sembilan diatur serupa dengan
Pondok Lima. Barisan tempat tidur peserta ada di satu dinding, dan tempat
tidur pembimbing di dinding seberangnya.
Diarahkannya cahaya lampu senternya ke tempat tidur
pembimbing, menebak-nebak yang mana kira-kira tempat tidur Kit.
Ketika dilihatnya topeng gorila meringis jelek tergantung di atas salah satu
tempat tidur itu, ia menemukan jawabnya.
Sekarang, Holly, katanya pada diri sendiri. Ia melangkah ke
tempat tidur Kit dan menarik laci atas lemarinya.
Tadinya ia mengira Kit pasti jorok. Tapi ternyata lacinya sangat
rapi, semua baju dan pakaian dalamnya terlipat rapi. Diangkatnya
tumpukan pakaian itu untuk melihat kalau-kalau ada sesuatu yang
disembunyikan di bawahnya, tapi ia tidak menemukan apa pun.
Laci berikutnya juga berisi pakaian yang terlipat rapi. Ia lalu
menarik laci paling bawah, sama saja, kecuali sebuah ular hijau besar.
Kali ini ular itu tidak membuatnya takut. Ia mengenali ular karet yang dipakai
Kit untuk menakut-nakutinya pada hari kedua camp waktu itu.
Laci itu penuh peralatan lelucon konyol Kit. Ada ular, topeng,
serangga karet, hidung palsu, dan beberapa benda yang dia tidak tahu
gunanya. Kecuali ular besar itu, semua yang lain ditaruh di kantong
atau kotak, dan diberi label dengan rapi.
Dibukanya beberapa kotak, tapi isinya persis seperti yang
dinyatakan labelnya: labah-labah karet, rambut palsu hijau, bedak
pembuat gatal. Siapa yang mengira Kit ternyata rapi" pikir Holly. Ia mencari-
cari lagi beberapa menit, tapi tidak ada sesuatu yang lain yang
ditemukannya. Kecuali topeng gorila di atas tempat tidur, barang
lainnya hanya sekotak kertas surat dan beberapa amplop di atas lemari
kecilnya. Selesai dengan Kit, pikir Holly.
Sekarang bagaimana dengan John"
Dengan gelisah dilihatnya jamnya. Ia sudah pergi hampir dua
puluh menit. Mungkin Kit masih belum selesai dengan kisah hantu
konyolnya. Yang jelas untuk sementara ini tidak akan ada orang yang
meninggalkan api unggun. Mudah-mudahan.
Ia pergi ke tempat tidur John dan mulai memeriksa laci-lacinya.
Seperti Kit, dua laci pertama berisi pakaian, tapi semua bertumpuk
jadi satu. Holly cepat-cepat merogoh-rogoh di sela-sela kaus kaki,
pakaian dalam, dan baju kaus, tapi tidak ada yang seharusnya tidak
ada di situ. Laci paling bawah berantakan campur aduk segala macam
barang - ada tali, kacamata renang, beberapa buku saku, dan sebuah
kotak kayu berbintik-bintik merah-putih.
Diambilnya kotak itu dan diteranginya dengan cahaya lampu
senternya, penuh rasa ingin tahu. Dia belum pernah melihat kotak
seperti itu, dan ia berpikir dari mana John mendapatkannya.
Dicobanya membuka tutupnya, tapi tidak bisa. Dan kemudian
dilihatnya di depan kotak itu ada lubang kunci kec il.
Di mana kuncinya" Cepat-cepat ia merogoh-rogoh laci-laci lain, tapi tidak
menemukan kunci apa pun. Lalu ia ingat sesuatu yang pernah dilihatnya dalam film detektif
di TV, dan diraba-rabanya bagian bawah laci, kalau-kalau ada sesuatu
yang direkatkan dengan plester di sana.
Hasilnya hanya serpihan kayu.
Tanpa mengharap menemukan sesuatu, yang Holly periksa
berikutnya adalah tempat tidur John dan papan-papan di bawahnya.
Ia berhenti ketika meraba sebuah benda logam keras yang
direkatkan dengan plester pada salah satu papan.
Dengan tangan gemetar, Ho lly menarik benda logam itu dari
rekatan plesternya. Ternyata kunci kecil, kelihatannya cocok dengan
lubang kunci kotak merah-putih tadi.
Ia duduk di tempat tidur John dan dengan hati-hati memasukkan
kunci kecil itu ke lubang kunci kotak.
Tapi ia terenyak membeku ketika terdengar bunyi langkah di
luar pondok. Ada orang datang. Holly memandang berkeliling mencari tempat untuk
menyembunyikan dirinya, tapi pintu pondok sudah dibuka dari luar,
dan di ambang pintu berdiri John.
Chapter 23 JOHN meregangkan tubuhnya perlahan-lahan, lalu
menghidupkan lampu pondok. Ia baru mau melangkah masuk ke
ruangan tapi gerakannya terhenti ketika melihat Holly.
Sesaat ia hanya menatap kaget tanpa bersuara. Tapi kemudian
ekspresi wajahnya berubah marah. "Sedang apa kau di sini?"
tanyanya. "Aku - aku kehilangan sesuatu," jawab Holly sekenanya.
"Kau kehilangan sesuatu di sini?" tegas John lagi dengan nada tidak percaya.
"Aku - sebetulnya tidak. Kukira barangkali Kit
menemukannya," kata Holly. "Aku cuma memeriksa."
"Tempat tidur Kit yang itu." John menunjuk.
"Kenapa kau tidak di api unggun?" tanya Holly.
"Salah seorang peserta sakit," kata John. "Aku membantu membawanya ke pondoknya.
Tapi kenapa aku mesti menjelaskan apa
yang kulakukan padamu?"
"Rasanya sudah lebih malam dari yang kukira," kata Holly
hampir putus asa. "Aku pergi saja sekarang."
"Sebentar, nanti dulu," kata John, cepat-cepat melangkah ke
depan Holly. "Jelaskan dulu apa yang kaukerjakan di pondokku."
"Aku - aku..." Holly kebingungan. Dia sadar, alasan apa pun
yang dikemukakannya, akan sangat terdengar dibuat-buat, terutama
karena dia masih memegang kotak kayu John.
"Bagaimana?" desak John. "Kau mau menjelaskan apa yang
kaukerjakan" Apakah pamanmu yang menyuruhmu memata-mataiku"
Itukah sebabnya kenapa kau selalu ikut campur urusan orang" Kau
jadi mata-matanya Paman Bill?"
"Tidak, tidak begitu," sahut Holly. Ia menghela napas.
"Maafkan aku," katanya. "Paman Bill tak ada hubungannya dengan ini. Aku sedang
memeriksa pondokmu."
"Kenapa?" tanya John. "Apa yang kaucari?"
"Aku sendiri tak tahu persis," jawab Holly. "Kau ingat apa yang terjadi pada
hari pertama di ruang rekreasi?" Cepat-cepat ia
mengingatkan John akan bencana-bencana yang terjadi - dengan
kematian Debra sebagai puncaknya. "Dan aku yakin ada yang sengaja melakukan itu
semua - untuk menghancurkan camp ini," ia
mengakhiri. "Tapi aku tak tahu siapa. Jadi aku coba mencari bukti."
John duduk di tempat tidurnya dan menatap Holly seakan-akan
Holly makhluk asing dari planet lain. "Memangnya kaukira kau
siapa?" katanya. "Nancy Drew" Kalau kau curiga kenapa kau tidak ke polisi saja?"
"Sudah kucoba," kata Holly. "Ketika para detektif ada di sini hari itu. Tapi
mereka tak mau mendengarkanku. Jadi tak ada jalan lain
kecuali kucari sendiri."
"Dan aku tersangka nomor satu di daftarmu?" kata John.
"Tidak juga," kata Holly. "Aku lebih curiga pada Kit, tapi tak ada yang
mencurigakan di tempat tidur atau lemarinya."
"Tak ada sesuatu seperti kotak terkunci, begitu?" kata John.
"Aku minta maaf," kata Holly, terkulai kesal dan agak malu.
Diberikannya kotak itu pada John. "Kita lupakan saja hal ini, oke?"
John menerima kotak itu, tapi ketika. Holly bangkit berdiri mau
pergi, ia menghalanginya. "Tidak secepat itu," kata John.
"Aku sudah bilang aku minta maaf," kata Holly.
John tidak bergeser. Holly baru menyadari betapa besar tubuh John, dan melihat
ekspresi dingin tanpa emosi di mata John, ia mulai merasa betul-betul
takut. "Biarkan aku pergi," katanya.
John masih menatapnya sejenak, lalu wajahnya berubah. "Aku
lepaskan kau - kali ini," katanya. "Tapi aku ingin kau berjanji takkan memata-
mataiku lagi." "Aku berjanji," kata Holly.
Holly mau melangkah pergi, tapi John mencengkeram
lengannya dengan keras. "Dan satu lagi," katanya. "Kalau kau sampai menceritakan
hal ini pada siapa pun - siapa pun - kau akan menyesal,
Holly. Sangaaat, sangat menyesal."
**************** Holly berjalan menuju ke pondoknya. Lebih bingung daripada
sebelumnya. Dia tidak pernah betul-betul mencurigai John sebagai
sang pembunuh. Tapi mengapa John sangat takut isi kotak itu
diketahui orang" Dan apa yang dilakukannya sore tadi"
Dan Holly pun masih belum yakin mengenai Kit. Sepintas lalu
dia cuma senang mengganggu orang dengan lelucon-lelucon
konyolnya. Tapi Holly tidak bisa melupakan sinar mata Kit yang jahat
waktu mereka menyiksanya dengan lintah sore tadi.
Siapa lagi kemungkinannya" Mungkinkah semua itu dilakukan
orang luar, seseorang yang menyusup masuk ke camp"
Dengan gelisah ia menoleh ke belakang. Hanya pepohonan dan
bayang-bayang cahaya bulan.
Kalau orang luar yang melakukannya, Holly berpikir, tak ada
cara untuk menemukannya. Jadi dia harus memusatkan
penyelidikannya pada orang-orang di dalam camp.
Tapi siapa" Jalan kecil itu menuju ke Pondok Empat Belas, tempat Mick
dan Stewart. Pintu pondok itu terbuka, dan cahaya lampu memancar
ke luar. Penuh rasa ingin tahu Holly menengok ke dalam dan melihat
Mick sedang membungkuk di atas meja, menulis.
Holly sudah hampir meneruskan perjalanannya ketika matanya
menangkap sesuatu yang lain, sesuatu yang berwarna merah.
Ia berhenti dan menatap. Di sana, tergantung pada dinding di atas meja Mick, ada satu set
giring-giring Indian. Pada pegangan setiap giring-giring itu ada dekorasinya - terbuat
dari bulu-bulu merah! Chapter 24 Camp Nightwing Dear Chief, Salah satu pembimbing mulai curiga. Sayang sekali.
Aku tak bisa membiarkan ada orang yang curiga. Aku tak bisa
membiarkan ada orang ikut campur.
Sayang sekali dia tidak mau mengurus urusannya sendiri. Tapi


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah terlambat sekarang.
Dia yang berikutnya, Chief. Tapi aku akan menunggu saat
perjalanan dengan kano. Akan kuberitahu hasilnya nanti.
Salam dari, Aku Chapter 25 "KIRA-KIRA urusan apa ya?" Thea yang sedang mengunyah
roti terlihat masih sangat mengantuk.
Holly yang duduk di sampingnya di ruang makan hanya
mengangkat bahu. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi - kecuali
bahwa Paman Bill membangunkan semua pembimbing pagi-pagi
sekali untuk pertemuan penting. Aroma telur dan daging panggang
menyebar keluar dari dapur, dan Holly baru sadar betapa laparnya dia.
Para pembimbing lain merunduk ngantuk di meja mereka,
menghirup kopi tanpa bercakap-cakap, serta makan donat dan roti.
"Aku tahu pertemuan ini tentang apa," kata Kit keras-keras agar terdengar semua
orang. "Ini untuk mengumumkan bahwa aku telah
terpilih jadi Pembimbing Terpopuler."
"Betul," kata Mick. "Dan pengumuman berikutnya adalah
bahwa telah ditemukan kehidupan di Planet Jupiter."
"Jangan ngaco," kata Kit.
"Jangan ngimpi," balas Mick.
Holly menyuruh telinganya untuk tidak mendengarkan ocehan
para anak laki-laki itu. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa Paman Bill memanggil
mereka, tapi yakin itu bukan berita baik.
Ketika Paman Bill berjalan masuk ke ruang makan, Holly
semakin gelisah. Terlihat bahwa Paman Bill tidak tidur semalaman.
Terlihat ada lingkaran hitam di bawah matanya, dan wajahnya pucat
tidak bergairah. "Maaf membangunkan kalian sepagi ini," Paman Bill meminta
maaf pada para pembimbing. Bahkan suaranya pun terdengar lelah.
"Aku hanya ingin bicara beberapa menit dengan kalian mengenai halhal yang telah
terjadi belakangan ini." Ia berhenti sebentar, menghirup kopinya, mengernyit,
lalu meneruskan. "Apa yang telah terjadi bukan kesalahan siapa pun, tapi kalian
sendiri tahu nasib camp ini seakan
tergantung pada selembar benang. Setelah semua kejadian yang tak
mengenakkan ini, terutama setelah apa yang terjadi pada Debra yang
malang, benang itu semakin tipis. Jadi aku hanya ingin memberitahu
kalian..." Ia berhenti lagi, dan Holly tahu, berat bagi Paman Bill untuk
mengatakan lanjutannya. "Aku hanya ingin kalian tahu," Paman Bill meneruskan,
"kalau terjadi lagi sesuatu yang tak diinginkan, aku
terpaksa menutup camp ini. Jadi, aku sungguh-sungguh memerlukan
bantuan kalian. Aku minta kalian semua bekerja sebagai satu tim."
Bill menengok ke arah Holly.
Kalau saja masalahnya sesederhana itu, pikir Holly.
Para pembimbing diam terpana. Tidak ada yang mampu bicara.
Mereka tidak pernah melihat Paman Bill semurung itu.
"Itu saja," kata Paman Bill cepat-cepat. "Sekarang nikmati sarapan kalian dan
bawa anak-anak itu bersenang-senang." Ia berbalik dan bergegas keluar.
Holly mengikuti Paman Bill dengan matanya, serasa hampir
hancur hatinya karena kasihan pada pamannya. Dia tahu apa arti camp
ini bagi pamannya, dan bagaimana perasaan pamannya atas kematian
Debra. Selera makan Holly lenyap. Ia hanya mengambil dua cangkir
kopi, lalu berjalan ke kantor pamannya. Pintu kantor terbuka, dan
Paman Bill duduk tercenung di depan mejanya.
"Paman Bill?" Paman Bill melihat ke arahnya dengan senyum
lelah. "Aku bawakan secangkir kopi," kata Holly, menaruh kopi itu di meja
pamannya. "Terima kasih, Putri," katanya.
Sejenak mereka berdua hanya duduk dalam keheningan,
menghirup kopi mereka. "Aku merasa tak enak mengenai apa yang Paman katakan tadi,"
akhirnya Holly memecah kesunyian.
Paman Bill mengangkat bahu. "Aku harus menghadapi
kenyataan," katanya. "Aku sedang menunggu turunnya pinjaman
untuk menjalankan camp ini sampai akhir musim panas. Tapi setelah
apa yang terjadi dengan Debra, aku tak yakin akan mendapatkan
pinjaman itu. Yang jelas, takkan ada harapan sama sekali untuk
mendapat pinjaman kalau terjadi lagi sesuatu yang buruk."
"Tapi kejadian-kejadian itu bukan salah Paman!" protes Holly.
"Dalam bisnis, itu tak ada bedanya," kata Bill. "Yang penting adalah hasil
akhir, artinya apakah bisnismu berjalan baik, dan berapa
banyak keuntungan yang diperoleh."
"Itu tak adil," kata Holly.
"Hidup tak selalu adil," kata Bill. Ia menatap ke luar jendela sejenak. "Kau
tahu, Holly," ia meneruskan, "ketika pertama kali kulihat camp ini, aku tahu
tempat seperti ini yang kuinginkan. Aku
tahu akhirnya kudapatkan bisnis yang akan berjalan baik. Tapi yang
terjadi sebaliknya. Bagaimana aku bisa salah begitu jauh?"
"Mungkin Paman tak salah," kata Holly.
"Apa maksudmu?"
"Mungkin Paman memang akan berhasil - kalau tak ada orang
yang sengaja ingin menyusahkan Paman."
Paman Bill menoleh marah ke Holly. "Kau jangan mulai lagi
ngoceh tentang rekayasa-rekayasa misterius untuk menghancurkan
camp." "Dengar dulu, Paman," kata Holly. "Aku tak minta banyak-banyak, aku cuma minta
Paman dengarkan. Aku bisa membuktikan -
" "Aku sudah bilang tak mau dengar itu lagi!" kata Paman Bill.
"Sudah kauceritakan semua teorimu itu, dan sudah kukatakan padamu apa pendapatku
tentang itu semua." "Baik," kata Holly. "Tapi - "
"Tak ada tapi-tapi," kata Paman, masih dengan nada kesal.
"Mungkin memang ada baiknya kau pergi ikut perjalanan lintas alam besok."
"Ada satu hal lagi yang ingin kubicarakan dengan Paman," kata Holly. "Mungkin
bukan ide bagus kalau aku pergi - "
"Apa maksudmu, bukan ide bagus?" Suara Paman Bill
menggelegar, memotong perkataan Ho lly sebelum kalimatnya selesai
diucapkan. "Sekarang kau mempertanyakan pertimbanganku?"
"Bukan begitu!" protes Holly. "Cuma - " Ia berhenti, tidak tahu bagaimana harus
meneruskan. Dia tidak bisa mengatakan pada Paman
Bill bahwa dia takut ikut pergi, takut pada Mick dan Kit dan Geri,
takut pada apa yang mungkin akan mereka lakukan pada dirinya.
"Cuma aku tak terlalu cocok dengan pembimbing-pembimbing
lain yang ikut dalam perjalanan itu," akhirnya dia selesaikan kata-katanya
dengan nada lemah. "Kalau begitu mungkin ini justru akan memberimu kesempatan
untuk belajar cocok dengan mereka," kata Paman Bill. "Aku tak mau berdebat
mengenai hal ini. Setelah Debra tak ada, kau pembimbing
kegiatan berperahu sekarang. Jadi kau harus ikut."
"Bagaimana dengan anak-anak Pondok Lima?"
"Mereka akan ikut kegiatan lapangan seharian besok," sahut
Paman Bill. "Marta yang akan memimpin kegiatan itu dan Thea bisa
tidur di pondokmu semalam besok. Semua sudah kuatur." Suara
Paman sudah tidak keras lagi, tapi nada marahnya masih terdengar.
"Terus terang, Holly," katanya sejenak kemudian. "Ketika kuminta kau bekerja di
sini musim panas ini, itu karena aku
membutuhkan bantuanmu. Sekarang, tolonglah - jadilah bantuan.
Ikuti saja, jangan mencari-cari masalah."
Aku tidak mencari-cari masalah, pikir Holly. Yang aku takut,
justru masalah yang mencari-cariku.
Chapter 26 ESOK paginya Holly bangun pagi-pagi sekali, bersiap-siap
mengikuti perjalanan dengan kano. Malam sebelumnya boleh dikata ia
tidak tidur sama sekali, otaknya terus bekerja mengingat-ingat
kembali apa saja yang telah terjadi beberapa hari terakhir ini.
Kalau saja Paman Bill mau mendengarkannya.
Ia bergegas ke tempat parkir depan, di sana Sandy sedang
menaikkan anak-anak dan peralatan ke bus camp yang sudah reyot.
Untung perjalanan ke White River tidak sampai lima puluh kilometer.
Kalau lebih dari itu, kelihatannya bus itu tidak akan mampu.
Sandy tersenyum pada Holly. "Aku senang kau ikut," katanya.
"Aku yakin perjalanan ini akan lebih menyenangkan dari yang
kaukira." "Kuharap begitu," kata Holly. "Setidaknya akan beda."
"Lebih beda dari yang kaupikir," kata Sandy. "Ada perubahan pada saat-saat
terakhir. Stewart sakit tadi malam, jadi John
menggantikannya." "John!" kata Holly, terkejut.
"Ya." Suara Sandy terdengar agak kuatir. "Aku tak tahu
bagaimana caranya dia mendapat persetujuan Paman Bill. Dia tak
punya pengalaman dengan kano. Dia benci air."
Mungkin John ikut karena dia tahu aku ikut, pikir Holly seram.
Karena perjalanan lintas alam bisa jadi kesempatan baik untuk
memisahkanku dari yang lain-lain dan -
"Holly?" Sandy memutus pikirannya. Holly baru sadar bahwa
Sandy mengatakan sesuatu padanya.
"Maaf," katanya. "Otakku masih tidur. Apa katamu tadi?"
"Akan kutaruh John di kanoku agar aku bisa membantunya.
Jadi kau satu kano dengan Mick, oke?"
Mick" Mendengar nama itu sebuah gambaran muncul
bergoyang-goyang di kepala Holly - giring-giring Indian dengan
dekorasi bulu-bulu merah!
****************** Sambil mendayung di White River, Holly tidak habis pikir
bagaimana dia bisa membuat begitu banyak musuh dalam waktu
sesingkat itu. Para pembimbing lain hampir-hampir tidak sudi bicara
dengannya. Ketika mereka semua sudah naik di bus tadi, Geri melihat
sejenak ke Holly dan berseru, "Oh, tidak! Tak bisakah aku lepas
darimu semenit saja?"
Sedangkan John menatap dingin padanya, lalu membuang
muka. Bahkan Kit pun ikut menghinanya. Dan Mick bersikap seolah-
olah tidak melihatnya, lalu berdebat dengan Sandy mengenai siapa
satu kano dengan siapa. "Kenapa aku tak bisa satu kano dengan Geri?"
tuntutnya. "Karena lebih baik begini," kata Sandy, tidak marah, tapi tidak mau mendengar
protes apa pun. Sementara mereka mendayung di White River, kano Sandy
berada di paling depan, Holly dan Mick paling belakang. Para
pembimbing berkano dua-dua satu kano, yang lebih kuat duduk di
belakang. Kano peserta berisi tiga orang setiap kano. Holly melihat
Geri dan Kit mendayung bersama, para peserta di kano di belakang
mereka tertawa dan menjerit menyoraki tingkah Kit yang pura-pura
menjatuhkan dayungnya ke sungai atau pura-pura dia sendiri yang
jatuh. "Jangan bercanda!" akhirnya Geri berteriak tidak tahan, dan Kit akhirnya
menghentikan tingkah konyolnya.
Anak-anak kelihatannya betul-betul menyukai Kit, pikir Holly.
Ia heran kenapa ia tidak memperhatikan hal itu sebelumnya.
Ia mencoba memulai percakapan dengan Mick, tapi Mick tidak
melayaninya, hanya menjawab dengan satu-dua patah kata, kadang-
kadang cuma dengan "Hmh".
Satu kali dia menoleh ke belakang, dan rasanya dia melihat
Mick seperti mau bicara, tapi kemudian menggeleng dan membuang
muka. Saat makan siang Mick masih belum bicara dengannya. Ia
hanya membantu para peserta keluar dari kano mereka, lalu bergegas
ke tempat Geri menyediakan makan siang. Terima kasih banyak,
Mick, kata Holly dalam hati dengan kesal.
Sepanjang hari, hanya itu yang terjadi. Mick, Geri, dan John
bersikap seakan Holly tidak ada, dan Kit tetap bertingkah konyol.
Ketika hari menjelang senja, mereka sampai ke tempat
berkemah, dan semua orang merasa lelah. Sandy mengajak Kit dan
beberapa peserta mencari kayu bakar sementara yang lain menyiapkan
kemah. Holly hampir selesai membersihkan lubang dangkal tempat api
unggun ketika didengarnya sayup-sayup suara orang menangis.
Jangan-jangan ada peserta yang sakit"
Ia menoleh ke pembimbing-pembimbing lain, tapi Geri dan
Mick sedang sibuk bercakap-cakap, sedangkan John tidak kelihatan.
Holly menyuruh Henry, peserta yang terbesar, untuk
meneruskan membersihkan tempat api unggun, lalu pergi melihat apa
yang terjadi. Ia mengikuti suara tangisan tadi, menjauh dari tempat
perkemahan masuk ke pepohonan.
Cuaca mulai gelap, dan Holly tiba-tiba sadar dia tidak mengenal
daerah itu. Kenapa tidak bawa lampu senter tadi"
Pepohonan sangat rapat, lebih rapat dibanding hutan di sekitar
Camp Nightwing. Dan di situ tidak ada jalan yang jelas seperti di Nightwing,
cuma jalan tikus yang berliku-liku.
Binatang-binatang apa yang ada di hutan ini" pikir Holly.
Mungkin sebaiknya dia balik dulu ke kemah mengambil lampu
senter. Tapi isak tangis itu terdengar semakin jelas, semakin putus asa.
Salah seorang peserta ada dalam kesulitan, pikir Holly. Aku
tidak bisa kembali dulu. Aku harus membantunya sekarang juga.
Atau jangan-jangan itu tipuan" Jangan-jangan ada yang mau
memancingnya pergi dari tempat perkemahan, ke hutan, di mana -
"Halo, Holly." Holly terlompat tanpa sadar mendengar namanya dipanggil
orang. Bagaikan bayangan di pohon, dengan wajahnya yang pucat
dalam cahaya senja yang mulai meredup, John berdiri di sana. Cahaya
redup terpantul dari sebilah mata pisau di tangannya.
Chapter 27 "JOHN!" seru Holly, kaget dan takut bercampur jadi satu dalam suaranya.
"Harusnya aku tahu!" kata John. "Apa yang kaulakukan di sini"
Aku sudah bilang jangan memata-matai - "
"Aku bukan memata-matai!" teriak Holly. Mendadak rasa
marahnya bangkit, dan sejenak dia lupa pada pisau di tangan John.
"Aku dengar ada orang menangis, dan aku datang untuk membantu!"
"Satu-satunya yang bisa kaulakukan untuk membantu adalah
dengan balik badan dan kembali ke perkemahan!" kata John,
mengangkat pisau di tangannya. "Kalau tidak, aku akan - "
"John, jangan!" teriak suara seorang anak perempuan. Seorang gadis cantik dan
ramping keluar dari balik pepohonan dan menaruh
tangannya di lengan John.
"Courtney!" Itu Courtney Blair, salah seorang peserta senior.
"Apa - apa yang kaulakukan di sini?"
"Kuperingatkan kau, Holly," kata John. "Ini bukan urusanmu!"
Ia melangkah maju setindak.
"John, demi Tuhan, hentikan!" Courtney mengambil pisau, dari tangan John.
"Jangan pedulikan John," katanya pada Holly. "Kami dengar kau datang, dan John
mengira yang datang beruang atau
semacam itu." Ia melipat pisau itu dan mengembalikannya pada John.
Dengan malu-malu John menyusupkan pisau itu ke sakunya.


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi sedang apa kalian di sini?" tanya Holly. "Hari sudah hampir gelap. Aku
dengar ada orang menangis dan - "
"Aku yang nangis tadi," kata Courtney. Sekarang Holly baru
memperhatikan bekas-bekas air mata di wajahnya. "John dan aku -
uh, bertengkar." "Sori, Court," kata John, merangkul pundak Courtney. "Aku tak bermaksud
membuatmu menangis."
Mendadak Holly mengerti. John dan Courtney berpacaran,
melanggar peraturan camp. Pantas sikap John begitu misterius.
"Rasanya kau tangkap basah kami," kata John pahit. "Umur Courtney lima belas,"
ia meneruskan. "Aku hampir tiga tahun lebih tua. Kami bertemu di high school
waktu aku masih di sana, tapi
menurut orangtua Courtney usia kami terlalu jauh berbeda, jadi
mereka melarang kami bertemu."
"Jadi kalian memutuskan bertemu di camp?" tebak Holly.
"Apa lagi yang bisa kami lakukan?" kata John. "Kami betul-betul saling
mencintai." Ia menatap Courtney dengan lembut, lalu
kembali memandang Holly. "Ketika kau melihatku di hutan hari itu, kami sedang
berdebat. Aku bilang pada Court aku bosan main
sembunyi-sembunyi. Menurutku kami harus mengatakan apa adanya
pada orangtuanya." "Aku sama sekali tak tahu," kata Holly. "Kukira - entahlah, aku tak tahu apa yang
kupikir." "Rasanya sangat tak adil," Courtney bicara. "Aku sangat dekat dengan keluargaku.
Aku tak ingin dipaksa memilih antara mereka atau
Johnny. Jadi aku bingung. Aku cuma bisa berteriak 'tidak' berkali-
kali, lalu tak tahan lagi, jadi aku lari."
"Aku dengar waktu itu," kata Holly.
"Dia menjatuhkan gelangnya," John menambahkan. "Aku takut kaulihat gelang itu,
jadi kusembunyikan di belakang punggung."
"Jadi itu sebabnya kau mendaftar ikut perjalanan ini pada saat-
saat terakhir," kata Holly. "Supaya bisa bersama-sama dengan Courtney."
John mengangguk. "Aku harus bertemu dengannya lagi,
mencoba meyakinkannya," katanya.
"Apa yang ada di kotak itu?" tanya Holly, ingin tahu.
Wajah John berubah merah. "Foto Courtney dan beberapa
surat," katanya. "Aku takut ada orang melihatnya." Ia menghela napas.
"Sulit sekali. Kami tahu apa yang akan terjadi kalau ada yang tahu rahasia kami,
tapi kami tak mungkin berpisah."
"Aku tahu kami tak boleh minta ini," kata John. "Tapi sekarang setelah kau tahu
tentang aku dan Court, tolong, Holly, tolong jangan
ceritakan pada siapa pun."
"Aku takkan cerita pada siapa pun," kata Holly. "Tapi harap kalian hentikan
pertemuan-pertemuan kalian dalam perjalanan ini..
Aku takkan cerita. Tapi aku tak bisa bohong untuk kalian - aku tak
bisa." Holly bergidik. Rasanya pernah dia mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Chapter 28 HOLLY terbangun dari mimpi hangat tentang belanja di
Division Street Mall di Shadyside dan menemukan dirinya basah dan
dingin dan tidur di alam terbuka. Ia bangkit duduk lalu melihat Sandy
berlutut di dekatnya, mengguncang-guncang pundaknya. "Apa - ?"
"Ssst!" kata Sandy sambil menempelkan telunjuk di bibir. "Kau bisa tidur lagi
kalau mau," bisiknya. "Tapi aku ingin melihat -lihat dulu sungai yang akan kita
jalani hari ini. Kupikir barangkali kau mau ikut sambil melihat matahari
terbit." "Betul?" kata Holly. "Maksudmu matahari betul-betul akan terbit hari ini?"
"Ayo," desak Sandy. "Tak baik berkano sendirian. Kita sudah akan kembali sebelum
yang lain bangun." Holly meregangkan tubuhnya yang agak kaku karena tidur di
tanah. Dia agak heran bercampur senang karena Sandy percaya
padanya untuk dijadikan teman berkano, lebih-lebih lagi karena Sandy
ingin bersama-sama dengannya. Holly merasa dia semakin menyukai
Sandy. Ia cepat-cepat menyikat gigi dan menyisir rambut, lalu
menyusul Sandy ke tepi sungai di mana cowok itu sedang berdiri
memandang matahari yang sedang terbit dari balik pegunungan di
seberang sungai. "Aku suka sekali suasana pagi hari," kata Sandy. "Aku senang melihat cahaya pagi
terpantul dari permukaan air, membuat semuanya
terlihat samar-samar."
Holly memandang ke sungai, melihat apa yang dimaksud
Sandy, dan tersenyum. Memang cantik sekali. Sandy mengulurkan
cangkir logam besar berisi teh hangat. Mereka bergantian meneguk
teh itu. "Apa pikir mereka kalau melihat kita pergi berdua?" tanya
Holly. "Kita sudah akan kembali sebelum ada yang bangun," kata
Sandy. "Yang ingin kulakukan adalah memeriksa alur sungai sampai
ke tempatnya bercabang." Ia mengeluarkan peta dan menunjuk tempat yang
dimaksudnya sambil meneruskan. "Salah satu sisinya menjadi
riam, dan aku ingin lihat dulu apakah aman untuk anak-anak."
"Riam, kedengarannya asyik," kata Holly, ia sendiri heran bisa mengatakan itu,
dan lebih heran lagi karena ia mengatakan apa yang
dirasakannya. "Ya, kan?" Sandy tersenyum. "Aku sudah bilang, sebetulnya kau berjiwa
petualang." Mereka menghabiskan teh lalu masuk ke kano. Sandy di
belakang sehingga bisa sekalian menyetir. Mereka mulai mendayung
mengikuti arus sungai yang lebar dan deras. "Lihat itu di sana?" Sandy menunjuk
ke bagian yang tenang dan gelap agak di tepi sungai. "Itu tempat mancing. Kalau
kaulihat ada tempat yang tenang seperti kolam
di sungai, di situ ikan-ikan besar biasanya berkumpul."
Sandy tahu banyak tentang kehidupan di alam bebas, pikir
Holly. Paman Bill betul-betul mujur bisa mendapat pembimbing
seperti dia tahun ini. Bunga-bunga liar awal musim semi membentuk kumpulan-
kumpulan warna-warni di sepanjang tepian sungai, dan di sebuah
kelokan sungai mereka melihat sekeluarga menjangan sedang minum
di tepi sungai. "Betul-betul indah pemandangannya!" kata Holly menahan
napas. "Aku senang ikut!"
"Aku senang kau menyukainya," kata Sandy. Kano terus
mengikuti aliran sungai. Di depan, alur sungai menyempit.
"Kita hampir sampai ke tempat sungai bercabang," kata Sandy.
"Siap-siap, arusnya deras."
Arus menderas dengan cepat, dan Holly tersembur air. "Wow!"
katanya. "Deras sekali."
"Di tempat riam nanti lebih deras lagi," kata Sandy. "Dayung saja terus."
Holly mulai berpikir apakah dia cukup pengalaman untuk
mengikuti Sandy, tapi dengan cepat dia bisa mengikuti irama
mendayungnya dan bahkan mulai menyukainya. Pemandangan di
sepanjang tepi sungai bergerak semakin cepat ke belakang.
"Kita sudah jauh sekali dari perkemahan, kan?" tanyanya
beberapa saat kemudian. "Tak terlalu lama nanti untuk kembali ke
sana?" "Jangan takut," kata Sandy. "Aku tahu apa yang kukerjakan.
Aku kenal, sungai ini."
"Kau kenal sungai ini?" tanya Holly, bingung. "Maksudmu dari peta?"
"Maksudku, aku benar-benar kenal sungai ini," sahut Sandy.
"Kaulihat tempat terbuka di depan itu" Aku berkemah dua hari di situ musim panas
yang lalu." "Tapi - kukira kau ke gurun musim panas yang lalu."
Sesaat Sandy tidak menjawab, lalu ketika menjawab suaranya
terdengar aneh. "Maksudku bukannya aku yang berkemah di situ. Tapi adikku. Dia
menceritakan semuanya padaku."
"Oh," kata Holly. Lalu dia ingat sesuatu. "Sebentar, bukannya kau pernah bilang
kau anak tunggal?" Sekali lagi Sandy tidak langsung menjawab. Ia mulai
memperlambat irama mendayungnya.
"Sandy?" "Lupakan saja apa yang pernah kukatakan, oke?" katanya.
Holly sadar bahwa Sandy gelisah dan ia berpikir apakah ada kata-
katanya yang membuat Sandy tidak senang.
"Sandy," katanya lunak. "Maafkan aku. Aku tak bermaksud mengorek-ngorek
kehidupan pribadimu. Aku cuma ingin tahu, itu
saja." "Kau memang selalu ingin tahu kan, Holly?" Sekali lagi
suaranya terdengar aneh. Hebat, pikir Holly. Satu-satunya orang yang ikut perjalanan
lintas alam ini yang tak membenciku, dan sekarang aku membuatnya
marah. Holly tidak tahu mau bicara apa lagi, jadi mereka mendayung
dalam keheningan. Arus sungai semakin deras, dan sayup-sayup ia
mendengar bunyi riam di depan.
"Sandy," katanya. "Rasanya kudengar bunyi jeram di depan."
"Ya, itu tujuan kita ke sini, kan?" katanya. "Untuk memeriksa jeram itu."
Suaranya terdengar marah. Sekali lagi Holly kebingungan.
"Tolong," katanya akhirnya. "Tolong katakan padaku apa yang mengganggumu."
Sandy menghela napas keras-keras, lalu bicara dengan suara
anehnya, "Rasanya masalahku adalah karena aku kurang hati-hati."
"Maksudmu?" "Tapi kau juga kurang hati-hati, Holly," katanya, bukannya
menjawab pertanyaan Holly.
"Apa maksudmu?"
Sandy tidak menjawab, dan tiba-tiba, tanpa tahu sebabnya,
Holly merasa sangat takut. Takut pada Sandy.
"Apa maksudmu?" ia mengulangi lagi pertanyaannya.
"Maksudku," kata Sandy, "kau tak memberi tahu siapa pun bahwa kau pergi
denganku." Chapter 29 SESAAT Holly mengira ia salah mengerti perkataan Sandy.
"Apa maksudmu?" Ia menengok ke belakang dengan gerakan tiba-tiba untuk melihat
Sandy, membuat kano agak miring sebelah.
"Aku bilang kau tak hati-hati," Sandy mengulangi lambat-
lambat. "Kau tak memberitahu siapa pun kau pergi denganku." Ia berhenti
mendayung, dan Holly bisa melihat ketegangan di seluruh
tubuh Sandy. Ada apa ini" pikirnya.
"Aku tak bilang pada siapa-siapa karena kau bilang kita sudah
akan kembali sebelum mereka bangun," katanya ringan. "Sandy, ada apa sih?"
Sandy tidak menjawab, dan tidak meneruskan mendayung.
Kano mulai terseret arus.
"Sandy, kita terseret arus," kata Holly.
"Ya," Sandy mengiyakan. Pelan-pelan ia mulai mendayung lagi.
Suaranya aneh, seperti jauh sekali. Apakah ini betul-betul orang yang
tadi bersikap manis pada Holly"
"Sandy, ada apa?" tanya Holly. "Katakan padaku. Kau bisa mempercayaiku."
"Sudah kukatakan padamu," kata Sandy. "Aku agak kurang
hati-hati. Dan sekarang kau juga tak hati-hati. Itulah yang terjadi di Camp
Nightwing.. Orang tak hati-hati."
"Apa sih yang kaubicarakan?" Holly masih gelisah, tapi juga
mulai tidak sabar. Apakah Sandy sedang bercanda dengannya"
"Kecerobohan," kata Sandy. "Contohnya, Debra. Debra sangat ceroboh."
"Mungkin," kata Holly. "Tapi aku masih belum yakin itu
kecelakaan. Aku masih tak habis pikir bagaimana kalung itu sampai
tersangkut di meja putar."
"Itu musim panas ini," kata Sandy, suaranya masih tetap aneh.
"Aku bicara tentang musim panas yang lalu."
"Apa maksudmu?"
"Musim panas yang lalu Debra tak hati-hati dalam perjalanan
berkano," kata Sandy. "Itu perjalanan lintas alam seperti sekarang.
Ada enam pembimbing dan lima belas peserta yang ikut, seperti
sekarang ini. Enam pembimbing dan lima belas peserta meninggalkan
Camp Nightwing pergi ke hutan. Enam pembimbing pulang. Tapi
hanya empat belas peserta. Semuanya karena Debra tak hati-hati."
Holly merasa gelisah lagi. Kata-kata Sandy seperti orang
melantur, dan suaranya terdengar semakin aneh, seperti robot.
"Aku tak tahu banyak tentang kecelakaan itu," kata Holly. "Aku cuma tahu sesuatu
terjadi pada salah satu peserta."
"Jangan bilang salah satu peserta!" kata Sandy. "Dia bukan sekedar salah satu
peserta. Dia istimewa. Sangat istimewa. Namanya
Seth." "Jadi kau memang ada di sini musim panas lalu?" tanya Holly.
"Tidak!" sahut Sandy. "Kau tak menyimak apa yang kukatakan!
Aku tak di sini. Seth yang di sini. Seth, adikku."
Holly benar-benar bingung sekarang. Dia belum pernah
mendengar orang yang bernama Seth. Dan Sandy pernah bilang dia
anak tunggal. Pasti ini semacam akal muslihat, pikirnya. Tapi apa
maunya" "Musim panas lalu setiap hari aku menulis surat pada adikku,"
kata Sandy. "Dan sampai sekarang aku masih terus menulis surat
padanya setiap hari. Tak peduli sibuk seperti apa, aku selalu menulis
surat padanya." Ia berhenti sebentar, lalu meneruskan, suaranya sedih.
"Tapi sudah lama dia tak pernah membalas suratku."
Seth sudah mati, pikir Holly. Adik Sandy adalah anak yang mati
di Camp Nightwing musim panas yang lalu.
"Kau akan menyukainya," Sandy meneruskan. "Dia anak hebat.
Sayang kau belum pernah bertemu dengannya."
"Aku belum pernah kenal satu orang pun yang namanya Seth,"
kata Holly, sekadar mengatakan sesuatu.
"Dia tak suka nama itu," kata Sandy, terdengar ketus. "Jadi kupanggil dia Chief.
Ini tanda pengenalnya." Sandy merogoh sakunya.
Ketika dikeluarkannya lagi, di tangannya ada selembar bulu merah.
Chapter 30 MENDADAK Holly merasa seakan jantungnya dicengkeram
tangan dingin. Dia mulai mengerti. Sekarang semuanya jelas.
"Dia lebih muda tiga tahun dariku," Sandy meneruskan. "Tapi kami sangat dekat.
Bisa dikatakan dia sahabatku yang terdekat. Aku
senang sekali waktu dia pergi ke camp musim panas di sini tahun lalu.
Tapi dia tak pernah pulang. Dia meninggal di sini. Di sungai ini."
"Menyedihkan sekali," kata Holly, rasa simpati bercampur
dengan rasa takutnya yang semakin besar.
"Semua itu karena Debra tak hati-hati," Sandy mengulangi.
"Tapi dia sudah terbalas sekarang. Dia sudah membayar
kecerobohannya." Holly tidak pernah setakut ini. Sandy membunuh Debra. Sandy-
lah pembunuh itu, dan sekarang dirinya terperangkap dalam satu kano
bersama si pembunuh. "Ya, betul," Sandy meneruskan, seakan-akan membaca pikiran
Holly. "Aku yang melakukannya, yang menagih kesalahan Debra.
Aku juga yang melakukan hal-hal lain itu. Camp Nightwing tempat
yang jahat. Tak boleh dibiarkan berjalan terus."
"Aku - aku mengerti apa yang kaurasakan," kata Holly. Ia
bicara setenang mungkin. Dia tahu sebagian dari pribadi Sandy masih
waras, rasional, dan baik hati. Mungkin kalau dia bicara dengan
tenang, dia bisa menyentuh bagian itu dan menghentikan - apa pun
yang sedang direncanakannya.
"Kau tak mengerti," kata Sandy. "Tak ada orang yang
mengerti." "Tidak, itu tak benar," kata Holly. "Aku mengerti. Maksudku, aku sayang adik


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuanku, dan aku tahu bagaimana perasaanku
kalau sesuatu terjadi padanya."
Sandy mendadak tertawa, nadanya sinis dan mengejek. "Tapi
tak ada apa pun yang terjadi padanya," katanya. "Tak seperti yang terjadi pada
Chief. Kau tahu apa yang kulakukan waktu aku tahu" Aku
bersumpah. Sumpah suci pada Chief. Aku bersumpah akan menuntut
balas atas apa yang terjadi padanya."
Dia sudah berhenti mendayung lagi, dan kano sudah terseret
arus deras. Di depan Holly bisa mendengar gerujuk air menandakan
riam sudah dekat sekali. "Aku - aku juga mengerti itu," kata Holly. Ia berharap suaranya tidak menunjukkan
rasa takut yang dirasakannya. Aku harus
membuatnya bicara terus, pikir Holly. Selama masih bicara, dia tidak
akan melakukan apa-apa. "Maksudku, reaksi seperti itu wajar. Tapi mengapa semua
orang harus membayar untuk sesuatu yang
disebabkan oleh satu orang saja?"
"Itu bukan cuma Debra!" Sandy segera menjawab. "Kalau tak ada Camp Nightwing,
Chief masih hidup. Jadi semua yang ada
hubungannya dengan Camp Nightwing harus ikut membayar.
Mengerti?" "Ya," sahut Holly. "Ya, aku mengerti, Sandy."
Raut muka Sandy terlihat jelek penuh rasa curiga. Kok tadinya
aku menganggapnya tampan ya" pikir Holly.
"Kau cuma mau menyenangkan hatiku!" teriak Sandy. "Tapi itu takkan berhasil. Kau
tahu, tadinya kukira kau beda, Holly. Ketika
pertama kali kau datang di camp, aku suka padamu. Kukira kau bisa
dipercaya." "Kau bisa percaya padaku, Sandy," kata Holly. "Aku cuma ingin menolongmu."
"Percuma," katanya. Ia menghela napas, lalu meneruskan.
"Mulanya aku tak ingin menyakitimu. Bahkan waktu tahu kau
keponakan Paman Bill, aku masih menyukaimu. Aku mencoba
menakutimu agar pergi, dengan menaruh ular di bawah bantalmu."
"Kau yang melakukan itu!" Holly ternganga.
"Kupikir kau akan mengerti peringatan itu dan pergi. Aku tak
ingin sesuatu terjadi padamu," Sandy meneruskan. "Tapi kau tak mau pergi. Malah
mengendus ke sana-sini, ikut campur hal-hal yang bukan
urusanmu." "Aku tak tahu apa yang terjadi," kata Holly hampir putus asa.
"Aku hanya mencoba membantu Paman Bill."
"Paman Bill sama besar tanggung jawabnya dengan Debra atas
apa yang terjadi pada Chief," kata Sandy dingin.
"Tapi aku tak ada hubungannya dengan semua itu," protes
Holly. "Aku bahkan tak ada di sini musim panas lalu!"
"Benar," kata Sandy. "Tapi aku tak bisa melepasmu sekarang.
Kau tahu terlalu banyak."
Jantung Holly berdebar kencang, seakan-akan hampir terbang
keluar dari rongga dadanya. Dia sendirian di sungai yang deras
arusnya dengan orang tidak waras, pembunuh. Dia pikir tidak ada lagi
yang lebih menakutkan dibanding ini.
Dan kemudian kano terbawa arus melewati tikungan sungai -
dan riam yang bergemuruh terlihat di depan mereka.
"Dayung!" perintah Sandy, hampir terdengar wajar kembali.
Terlalu takut untuk menyuarakan protes, Holly menghadap lagi
ke depan dan mulai mendayung. Sandy mengarahkan kano ke cabang
sebelah kanan, langsung ke tengah arus sungai yang deras berbuih.
Bunyi gemuruh riam memekakkan telinga, meredam suara-
suara lain. Percikan air terasa dingin menggigit di wajah Holly, dan
membuat bajunya basah kuyup. Selama beberapa saat Holly terlalu
sibuk mendayung sehingga hampir melupakan di mana dia berada dan
dengan siapa. Ia menjerit ketika kano tiba-tiba membentur batu. Kano
berputar satu lingkaran penuh sebelum meneruskan perjalanannya.
Sekarang kano terguncang-guncang dari kiri ke kanan,
dilempar-lemparkan arus air seakan-akan kano itu hanya sebatang
ranting kecil. Kano tersentak keras ke kiri, dan sesaat Holly mengira
ia akan terlempar ke luar.
"Sandy!" jerit Holly. "Sandy!" Holly menoleh ke belakang.
"Sandy! Keluarkan kita dari arus ini! Kita berdua bisa mati!"
Sandy tidak menjawab, malahan tertawa!
Dan kemudian melemparkan dayungnya ke air yang berbuih.
Chapter 31 "APA yang kaulakukan?" jerit Holly, tapi suaranya hilang di
tengah gemuruh air. Sandy masih terus tertawa.
Dayungnya sudah lenyap ditelan buih. Holly memandang air
sungai dengan ketakutan luar biasa. Ia mencoba mendayung, mencoba
mengarahkan kano, tapi arus terlalu kuat.
Sekarang Sandy berdiri, hampir membuat kano terbalik.
Dengan jantung berdebar keras, Holly memandangnya,
mencoba menemukan secercah tanda-tanda Sandy yang lama,
sekeping sikap waras. Tapi yang dilihatnya hanya pandangan mata kosong seorang
gila. Sandy mulai bicara lagi, berteriak-teriak. Mulanya Holly tidak
mengerti apa yang dikatakannya. Tapi setelah memusatkan perhatian
dia mengerti apa yang dikatakan Sandy.
"Kau berikutnya, Holly!" katanya. "Kau berikutnya."
Dan sekarang Holly mengerti.
Mengerti bahwa Sandy bermaksud membunuhnya, walaupun
itu artinya mereka berdua akan mati.
"Tidak!" jerit Holly, mengerutkan tubuhnya ketika Sandy mulai melangkah ke
bagian depan kano, mendekatinya.
"Sudah saatnya kau harus membayar!" teriak Sandy. "Jangan coba melawan, Holly.
Percuma saja!" "Tidak!" jerit Holly lagi. "Tidak! Sandy, hentikan! Biarkan aku pergi!"
Sandy menerkamnya. Kano tersentak keras, dan Holly harus
berpegangan pada pinggiran kano agar tidak terlempar ke luar.
Dengan gerakan refleks Holly mengayunkan dayung ke arah
Sandy. Sandy membungkuk mengelak, lalu melompat menerkam
Holly lagi. Holly setengah berdiri, agar lebih mudah menyeimbangkan
tubuh, lalu mengayunkan dayungnya lagi.
Holly merasakan dayung itu mengenai kepala Sandy diiringi
bunyi "duk!" Sandy menatap ternganga, laiu jatuh ke lantai kano.
Holly terlampau kaget, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Disodok-sodoknya Sandy dengan dayungnya, tapi Sandy tidak
bergerak. Apakah aku membunuhnya"
Sebentar Holly merasa mual memikirkan itu, tapi kemudian
sadar yang terpenting saat ini adalah membebaskan kano dari arus
riam. Lalu setelah itu mencari jalan bagaimana cara kembali ke camp.
Arus riam semakin deras, dan Holly duduk dengan gerakan
hati-hati sekali. Tepat saat itu kano menabrak sebongkah batu, lalu
sebongkah lagi. "Tidak!" jeritnya.
Ia terlempar ke udara dan mendarat di air, tersedak-sedak.
Dengan panik tangannya meraih pinggiran kano, tapi kano itu tersapu
air menjauhi dirinya, mengakibatkan kukunya patah dan berdarah.
Ia berjuang untuk tetap mengambang di atas permukaan air
yang mengalir deras, lalu dengan putus asa dilihatnya kanonya terseret arus ke
hilir. Ia melihat ke sekelilingnya, tapi yang bisa dilihatnya hanya buih
putih. Tepian sungai tampak seakan sangat jauh di luar jangkauan.
Rasa panik mulai menggerogotinya.
Tenang, Holly, katanya dalam hati pada diri sendiri. Kau
perenang andal. Tenang saja dan berenanglah ke tepi.
Setelah menarik napas dalam-dalam, ia mulai mengayunkan
tangan melawan arus. Tapi di sela ayunan tangan, arus menariknya
lagi ke tengah sungai. Sekeras apa pun ia mengayunkan tangannya,
dia tidak lebih dekat ke tepi sungai.
Tetap tenang, katanya sendiri dalam hati berulang-ulang.
Berenang diagonal memotong arus.
Sambil megap-megap, mengerahkan seluruh tenaga, sedikit
demi sedikit ia memperoleh kemajuan. Tidak lama kemudian ia sudah
keluar dari aliran arus yang paling deras. Ia hanya perlu berenang
menyeberangi air tenang untuk sampai ke tepi.
Ia istirahat sebentar dan menoleh ke hulu. Sebatang pohon besar
terbawa arus persis ke arahnya.
Chapter 32 HOLLY menjerit, hingga seteguk besar air terminum olehnya.
Pohon tumbang itu hanya beberapa meter jaraknya.
Tidak ada waktu untuk berpikir, harus langsung bereaksi.
Setelah mengisi paru-parunya dengan udara, ia menyelam,
sedalam mungkin. Paru-parunya sakit sekali, serasa terbakar, dadanya hampir
meledak. Aku harus bertahan, pikirnya. Harus.
Bintik-bintik hitam mulai menari-nari di matanya.
Dan ia merasakan ranting-ranting pohon menyapu tubuhnya,
lalu meluncur melewatinya ke hilir.
Ketika ia muncul ke permukaan, anehnya ia merasa tenang,
tidak lagi ketakutan. Yang paling penting saat ini adalah bahwa dia selamat.
Dengan mengerahkan seluruh tenaganya Holly mulai berenang
ke tepian, lengannya bergerak dengan ayunan-ayunan kuat mendorong
air ke belakang, kakinya menyepak-nyepak berirama.
Setiap otot di tubuhnya terasa sakit, tapi dia tetap bergerak,
dengan kekuatan yang entah dari mana datangnya.
Ketika dia berpikir tenaganya sudah habis, kakinya menyentuh
dasar sungai yang berbatu-batu, dan dengan langkah-langkah gemetar
ia berjalan ke tepi. Kehabisan tenaga dan menggigil kedinginan, Holly duduk di
bawah sebatang pohon, mencoba menenangkan pikirannya. Apakah
semua ini benar-benar terjadi" pikirnya.
Sandy" Sandy yang baik dan menyenangkan, yang telah
memperlihatkan padanya keindahan alam bebas"
Sandy yang malang itu pasti jadi gila akibat kesedihan yang
amat sangat, karena adiknya meninggal. Holly ingat ekspresi di wajah
Sandy waktu dia cerita tentang Seth, dan raut muka puas ketika ia
mengatakan Debra sudah membayar "kecerobohannya".
Di mana Sandy sekarang" Masih di kano" Sandy tidak bergerak
lagi setelah terhantam dayung, dan kano terseret ke tengah arus yang
paling deras. Holly tidak tahu berapa panjang riam ini, dan ia
membayangkan tubuh Sandy terdampar ke tepian berkilo-kilometer ke
arah hilir. Tidak! pikirnya. Jangan berpikir seperti itu! Hanya satu hal
yang bisa dilakukannya, yaitu mencari jalan kembali ke camp secepat
mungkin, dan minta bantuan.
Tapi dengan cara apa ia akan kembali" Jauh sekali.
Melalui hutan. Sendirian.
Ia tidak bisa berdiam diri saja di situ. Ia hampir membeku
kedinginan. Berpikir sampai di situ, ia menggigil. Aku harus terus
bergerak, pikir Holly. Hari masih pagi, dan aku kuat. Banyak waktu
untuk kembali ke rombongan. Waktu nanti dia menceritakan pada
mereka apa yang terjadi, pikirnya, bahkan Geri, Mick, dan Kit akan
harus membantunya. Holly berniat mencari jalan pintas memotong hutan, tapi
kemudian sadar kemungkinan besar ia akan tersesat. Yang paling
baik, walaupun sulit, adalah mengikuti tepian sungai, kembali ke arah
ia datang dengan Sandy tadi.
Ia mulai berjalan, sepatunya berdesis-desis di sepanjang tepian
berlumpur. Hutan di sepanjang sungai ini lebih lebat daripada hutan di
sekeliling Camp Nightwing, dan mau tidak mau ia ingat cerita-cerita
tentang hutan Fear Street di belakang rumahnya di Shadyside. Cerita-
cerita tentang bagaimana hantu-hantu orang mati kadang-kadang
berkeliaran di hutan. Apakah ia telah membunuh Sandy" Apakah hantunya sedang
berkeliaran di hutan saat ini" Mencari dirinya"
Terdengar gemeresik di depannya, dan Holly terlompat kaget.
Sesuatu yang besar sedang be-gerak ke arah sungai.
Lalu dilihatnya apa yang bergerak itu: seekor kijang betina
diikuti anaknya yang masih kecil.
Holly menarik napas lega dan memperhatikan kedua kijang itu
berjalan ke tepi sungai. Seekor burung mockingbird mulai berkicau,
dan hutan berubah kembali menjadi sekadar hutan saja, dihuni hewan
dan burung, bukan hantu gentayangan.
Merasa lebih enak, Holly berjalan lebih cepat. Tepian sungai
mulai menyempit sementara daerahnya mulai berbukit-bukit.
Pemandangan sangat indah, semua hijau dan damai, suara yang paling
keras hanya bunyi arus sungai.
Irama langkah Holly mulai otomatis, hampir tanpa berpikir.
Terdengar gemeresik lagi, kali ini di belakangnya, dan Holly
mengira akan melihat kijang lagi.
Tapi bunyi gemeresik berubah menjadi debak-debuk bunyi
tapak kaki. Tapak kaki yang sedang berlari.
Rasa takut membuat Holly berhenti melangkah, lalu memutar
tubuh menghadap ke arah datangnya suara itu.
Pepohonan terkuak dan sesosok tubuh manusia melangkah ke
depan Holly. Manusia itu bernama Sandy.
Chapter 33 HOLLY melangkah mundur sambil menjerit.
Sandy tetap diam di tempatnya, senyum kecil terlihat di
wajahnya. "Kenapa, Holly?" akhirnya ia berkata. "Kau seperti baru melihat
hantu." "Tapi kau - kau ada di kano!" Holly terbelalak. "Kukira kau - "
"Mati?" tanya Sandy. "Kaukira aku sudah mati" Dan aku
sekarang jadi hantu, mengejar-ngejarmu?"
Persis seperti itu yang terpikir oleh Holly sesaat tadi.
"Aku hidup, dan sehat," kata Sandy. Tangannya meraba bagian
kepalanya yang terkena pukulan dayung Holly tadi. "Tapi bukan
karena kebaikanmu. Kau mencoba membunuhku, Holly."
"Tidak!" seru Holly. "Aku tak pernah bermaksud
menyakitimu!" Ia mundur lagi selangkah.
"Tahukah kau, Holly?" kata Sandy. "Aku percaya padamu. Kau orang baik. Tapi aku
takkan membiarkanmu menghalangiku
melakukan apa yang harus kulakukan."
"Bagai - bagaimana kau bisa sampai ke sini?" tanya Holly,
berusaha agar suaranya tidak ber-getar.
"Aku sangat berpengalaman dalam urusan kano," kata Sandy.
"Juga dalam urusan berkemah, seperti adikku, Chief. Pasti hanya
sebentar aku tak sadarkan diri tadi. Setelah sadar, kuambil dayungmu
dan kudayung kano ke pinggir, lalu kudayung kembali ke arah hulu,
untuk mengetahui apa yang terjadi denganmu."
Holly tidak tahu harus berkata apa. Ia mundur lagi selangkah.
Sandy maju selangkah. "Aku lihat kau," kata Sandy. "Aku lihat kau berjuang di sungai.
Kukira kau akan tenggelam, hingga aku tak perlu menguatirkanmu
lagi." "Kau tak perlu kuatir!" kata Holly. "Aku takkan
menceritakannya pada siapa pun, aku janji."


Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang kau bicara begitu," kata Sandy, "karena takut."
"Tidak!" protes Holly. "Aku sungguh-sungguh!"
Sandy menggeleng, senyum kecil itu masih terlihat di
wajahnya. "Sudah terlambat, Holly," katanya. "Kita sudah terlalu jauh.
Setelah selesai denganmu, aku akan kembali ke camp dan akan
kukatakan pada semua orang bahwa telah terjadi kecelakaan lagi di
sungai. Telah terjadi lagi kecelakaan tragis seperti yang terjadi tahun lalu."
"Tidak," gumam Holly. "Jangan."
"Mereka akan percaya padaku," Sandy meneruskan. "Dan itu akan merupakan akhir
dari Camp Nightwing. Persis seperti yang
kujanjikan pada Chief."
"Tidak, tidak, tidak," kata Holly berulang-ulang walaupun dia tahu tidak akan
ada gunanya. Sandy maju lagi selangkah, membungkuk, dan mengambil
sebatang cabang kayu besar dari tanah.
Holly memperhatikan dengan mata membelalak sementara
Sandy mengangkat cabang pohon itu dan mulai mengayunkannya ke
Holly. Holly akhirnya mampu bergerak dan mulai lari.
Ia bisa mendengar Sandy mengejar dekat di belakangnya.
Satu-satunya harapan hanya masuk ke hutan, bersembunyi.
Tanpa menghiraukan batu-batu dan akar-akar pohon yang
menghalang, ia lari di sela-sela pepohonan. Ranting-ranting pohon
melecut wajahnya, tapi dia tidak sempat berhenti mencari jalan. Yang
bisa dilakukannya hanya lari dan lari.
Lari dan mencoba melupakan bunyi langkah yang mengejar di
belakangnya. Holly terpeleset tapi sempat berdiri sebelum tertangkap Sandy.
Didengarnya tawa Sandy. Napas Holly mulai terengah-engah, dan dia tahu dia tidak bisa
lari lebih jauh lagi. Lalu, tiba-tiba, persis di depannya, dilihatnya
sebuah bukit terjal tanpa pepohonan. Kalau dia bisa mendakinya, dan
turun ke balik bukit... Tapi batu-batu di bukit itu licin berembun, dan ia masih di
tengah lereng ketika dilihatnya Sandy berdiri di bawahnya.
Sandy mengayunkan cabang pohon di tangannya sekuat tenaga.
Terasa oleh Holly cabang pohon itu menghantam kaki kirinya.
Dan rasa sakit luar biasa.
Lalu kakinya bagaikan mati rasa sampai ke ujung jari.
Ia merambat naik lagi dan dilihatnya Sandy kembali mengambil
cabang pohon tadi dan bersiap mengejarnya naik.
Hampir putus asa, Holly menengok ke atas. Tepat di atasnya,
terlihat gua kecil di dinding bukit. Kalau dia bisa menyelinap masuk,
masih ada kesempatan ia bisa menahan Sandy dan mempertahankan
diri. Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Holly menerjang
ke atas dan menggeliat berusaha masuk ke mulut gua.
Lalu terhenti. Di depannya, di dalam mulut gua, beberapa ekor ular
melingkar-lingkar, mendesis-desis, di sarang mereka.
Chapter 34 MELIHAT Holly, ular-ular itu bergerak membuka gelungan
mereka. Holly terpaku sejenak, panik.
Di belakangnya terdengar suara Sandy merambat naik.
Bahkan kalau tidak ada ular-ular itu, Holly menyadari, gua itu
terlalu kecil untuk dirinya. Rasa paniknya berganti menjadi putus asa, ingin
menyerah pada nasib, apa pun yang akan terjadi, terjadilah.
Tidak! serunya dalam hati. Tidak! Sebagian pikirannya yang
masih jernih mengenyahkan rasa panik itu, mengatakan padanya
bahwa dia masih punya harapan.
Tapi, mampukah ia melakukannya" Ular-ular itu merayap
semakin dekat, dan Holly merasa tubuhnya gemetar tak terkendali.
Sandy sudah sampai, dan Holly merasakan tangan Sandy
mencengkeram pergelangan kakinya, menyebabkan rasa sakit luar
biasa merambat naik melalui tungkainya.
Lakukan, Holly! perintahnya pada diri sendiri.
Holly mengulurkan tangan, menjambret ular yang terdekat, lalu
sambil menengok ke belakang menyabetkannya ke wajah Sandy.
Sandy terkejut, menjerit.
Pijakan kakinya terlepas.
Dan jatuh ke belakang ke bawah bukit, kaki dan tangannya
menggapai-gapai mencoba menahan jatuhnya.
Akhirnya ia berhenti menggelundung dan tergeletak di kaki
bukit tanpa bergerak. Dengan tubuh masih gemetaran, Holly menggeliat keluar dari
gua dan menatap ke tubuh Sandy di bawah. Apakah itu cuma
tipuannya saja" Tidak. Wajah Sandy putih pucat, dan salah satu lengannya terlipat
tidak wajar di bawah impitan tubuhnya.
Holly mulai merayap tertatih-tatih menuruni bukit ke tempat
Sandy terbaring. Ketika sampai di bawah, dilihatnya Sandy masih
bernapas. Dahinya berdarah.
Beberapa saat Holly hanya berdiri di sana tanpa bergerak, tahu
bahwa ia harus kembali ke perkemahan untuk mencari pertolongan. Ia
merasa seluruh tubuhnya gemetaran dan kedinginan.
Kau bisa melakukannya, Holly, katanya dalam hati. Jaraknya
tak terlalu jauh. Kau bisa pergi ke sana dan kembali. Cukup banyak
waktu. Ia menarik napas, lalu mulai berjalan kembali ke arah sungai.
Dan terpaku lagi dengan paras ketakutan ketika semak-semak
terkuak lagi. Di sana, berdiri di depannya, terlihat Mick.
"Tidak!" jerit Holly. "Tidak, tidak, tidak!" Dia tidak tahan lagi.
Setelah perjuangannya melepaskan diri dari Sandy, sekarang Mick
menghadangnya. "Holly! Holly! Ada apa?"
Holly baru sadar bahwa Mick memanggil-manggil namanya.
Dan sekarang baru ia memperhatikan Mick. Wajah Mick terlihat kaget
campur prihatin. Dia bukannya mau membunuh Holly. Jelas terlihat bahwa dia
tidak tahu apa yang telah terjadi.
"Oh, Mick!" seru Holly. Lalu jatuh ke pelukan Mick.
******************** Bunyi sirene ambulans yang membawa Sandy sayup-sayup
menjauh, menjauh dari perkemahan, menjauh dari kejadian-kejadian
mengerikan seminggu terakhir ini.
Holly, terbungkus rapat dengan selimut, menggigil melihat
kelap-kelip lampu merah itu pergi menjauh. Mick, duduk di
sampingnya, mengulurkan semangkuk kaldu panas, dan Holly dengan
penuh rasa terima kasih menghirupnya sedikit demi sedikit. Sudah
diceritakannya tadi kepada Mick semua yang telah dilakukan Sandy,
lalu ia membantu sebisanya ketika Mick menyeret tubuh Sandy yang
tak sadarkan diri ke sungai dan menaruhnya ke kano. Holly sangat
lelah kehabisan tenaga, hampir tidak kuat mendayung, tapi Mick
berhasil membawa mereka kembali ke perkemahan, di mana bus akan
datang menjemput mereka. Holly merapatkan selimutnya. Dia masih menggigil. Belum
pernah dia merasa kedinginan seperti ini seumur hidupnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Mick penuh perhatian.
Holly mengangguk. Dihirupnya lagi kaldu panas pengembali
tenaga itu. "Ada satu hal yang tak kumengerti," akhirnya ia berkata, suaranya
tidak lagi gemetar. "Bagaimana kau bisa menemukan kami?"
Sekilas paras malu muncul di wajah Mick, dan ia menunduk ke
tanah sebelum menjawab. "Aku tak bisa tidur tadi malam," sahutnya. "Aku - aku berpikir terus. Aku
menyesali kejadian hari itu. Dan menyesali perlakuan kami
terhadapmu. Seharian penuh aku mencoba mencari kata-kata, tapi tak
bisa mengucapkannya. Aku ingin bilang aku sangat menyesal.
Maksudku, waktu itu aku marah karena kejadian sebelumnya. Tapi itu
bukan alasan. Mungkin kedengarannya aneh, tapi aku benar-benar
menyukaimu." Holly merasa simpati pada Mick. Bisa dilihatnya betapa berat
bagi Mick untuk mengakui bahwa dia bersalah.
"Tapi kenapa kau mengikuti aku dan Sandy?" tanya Holly.
"Ya, seperti kukatakan tadi, aku memutuskan untuk minta maaf
padamu. Aku berniat bicara padamu pagi-pagi sekali sebelum yang
lain-lain bangun. Tapi kemudian kulihat Sandy datang dan bicara
denganmu, dan waktu kalian berdua pergi ke kano, kuikuti dari
belakang, cuma pengin tahu."
"Jadi kau memang selalu berada di belakang kami?"
"Tidak," jawab Mick. "Dalam hal kano aku tak sebaik Sandy, apalagi aku
sendirian, jadi aku tertinggal makin jauh. Aku sudah mau
berbalik pulang ketika kulihat kano kalian terikat di tepian. Aku ingin tahu,
jadi kutambatkan kanoku, dan kemudian aku bertemu denganmu
di hutan." "Aku bersyukur," kata Holly. "Terima kasih, Mick."
********************* Ketika bus camp datang, Paman Bill lari dan memeluk Holly.
Usianya seakan bertambah sepuluh tahun dalam beberapa hari ini.
"Bagaimana keadaanmu, Putri?" tanyanya pada Holly.
"Sekarang baik-baik saja," sahut Holly. "Apa yang akan terjadi dengan Sandy?"
"Dia akan memperoleh semua bantuan yang dibutuhkannya,"
jawab Paman Bill sedih. "Aku tak tahu. Bisakah kaubayangkan dia
betul-betul membunuh Debra" Mencekiknya. Benar-benar tak
kusangka. Seth - anak yang tewas tahun lalu - ternyata adik tirinya.
Nama keluarga mereka berbeda. Mana aku tahu mereka bersaudara?"
"Itu bukan salah Paman," kata Holly.
"Polisi menemukan setumpuk surat di kamar Sandy," Paman
Bill meneruskan. "Semua dialamatkan pada Chief. Ternyata itu nama panggilan
Seth." "Bagaimana dengan bulu-bulu itu?" tanya Holly. "Apakah
mereka menemukan bulu-bulu merah di antara barang-barang Sandy?"
"Oh, ya," kata Paman Bill. "Banyak sekali, dalam kotak di bawah ranjangnya.
Ternyata kau benar dalam hal itu."
"Jadi semuanya sudah selesai," kata Holly lirih, dengan
perasaan lega. "Ya. Mungkin sekarang Camp Nightwing bisa kembali jadi
tempat yang menyenangkan lagi," kata pamannya.
Holly memeluk pamannya lalu berjalan ke pondoknya untuk
berganti pakaian. "Hei, tunggu," seseorang memanggilnya. Holly menoleh,
dilihatnya Mick bergegas menyusulnya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Mick, wajahnya penuh
perhatian. "Kau baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja." Holly tersenyum pada "Berkat kau."
"Oh, sudahlah," kata Mick dengan kerendahan hati berlebih-
lebihan. Ia baru mau bicara lagi, tapi seekor ular hijau cerah jatuh dari pohon,
persis di depan kaki mereka.
"Hei!" Mick meloncat ke belakang menghindari menginjak ular
itu. Holly membungkuk, dengan tenang mengambil ular itu, dan
melemparkannya ke semak-semak. "Itu cuma ular," katanya,
tersenyum menggoda Mick. "Wow," kata Mick, mulutnya ternganga keheranan. "Benar-
benar hebat. Kau telah berubah, Holly. Rasanya kau mulai cocok
dengan tempat ini." "Ya, rasanya begitu," Holly mengiyakan. "Dan rasanya mulai saat ini aku akan
menyukai tempat ini."
"Aku juga," kata Mick perlahan. Lengannya memeluk bahu
Holly, dan mereka berjalan bersama dengan riang menuju pondok-
pondok mereka. END Wanita Iblis 21 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Iblis Bukit Setan 1
^