Pencarian

Confession 1

Fear Street - Confession Bagian 1


BAGIAN SATU Chapter 1 APA yang akan kaulakukan kalau salah satu sahabatmu berbisik
padamu dan membuat pengakuan yang mengejutkan"
Bagaimana kalau temanmu mengaku padamu bahwa ia
membunuh seseorang" Dan ia memohon padamu agar tidak
memberitahukannya pada siapa pun. Ia memintamu untuk menyimpan
rahasianya yang mengerikan itu.
Apa yang akan kaulakukan"
Memberitahu orangtuanya" Memanggil polisi" Mencoba
meyakinkan dirinya agar memberitahu orangtuanya" Memberitahu
orangtuamu" Atau menyimpan rahasia itu"
Bukan pilihan yang mudah, bukan" Aku berumur tujuh belas
dan kadang-kadang kukira aku ini serbatahu. Tapi ketika seorang
teman dekat benar-benar memanggil kelompok kami ke rumahnya dan
mengaku di hadapan kami semua bahwa ia telah membunuh - yah...
apa yang bisa kami lakukan"
Satu hal dapat kuberitahukan padamu: Di musim semi yang
hangat bulan Mei lalu ketika sahabatku Hillary Walker dan Taylor
Snook bermain ke rumahku sepulang sekolah, tidak pernah terlintas
dalam benak kami soal pembunuhan.
Udara beraroma segar dan manis. Dedaunan hijau muda
berjuntaian pada sebatang pohon tua di halaman belakang rumahku.
Deretan tulip merah dan kuning bergoyang-goyang lembut di bedeng
bunga di samping garasi. Seluruh halaman belakang berseri-seri di bawah sorot matahari
siang yang cerah. Aku, Hillary, dan Taylor menjatuhkan ransel
masing-masing di rumput lalu mendudukinya, meluruskan kaki kami,
mendongak ke arah matahari.
Taylor menyibakkan rambutnya yang pirang-putih dan ikal dari
wajahnya. Matanya yang hijau bersinar-sinar terkena cahaya matahari.
Ia memejamkan matanya dan memiringkan mukanya ke matahari.
"Julie, kau pernah berjemur telanjang?" tanyanya padaku.
Pertanyaan itu menyebabkan aku dan Hillary tertawa. Taylor
selalu saja mengejutkan kami. "Maksudmu di halaman?" tanyaku.
"Bukan. Di pantai," tukas Taylor tajam. Ia selalu tidak sabar menghadapi
pertanyaan tololku. Taylor teman baru kami. Kadang-kadang aku merasa sebenarnya
ia tidak begitu menyukaiku.
"Pada suatu musim dingin, orangtuaku mengajakku ke pulau di
Karibia, namanya St. Croix, dan kami pergi ke tempat orang berjemur
telanjang," kata Taylor, matanya masih terpejam, ia tersenyum sambil melamun.
"Dan kau melepaskan pakaian renangmu?" tanya Hillary.
Taylor tergelak. "Aku baru berumur tujuh."
Kami bertiga tertawa. Hillary bangkit berdiri. Rambutnya yang selalu dikepang satu
bergoyang-goyang di belakang kepalanya. "Julie, kita ke dalam saja yuk,"
ajaknya. "Rasanya aku sudah cukup gosong!"
Taylor dan aku tertawa lagi. Hillary memang berkulit hitam.
Kuulurkan tanganku sehingga Hillary bisa menolong menarikku
berdiri. "Kenapa sih kau tak pernah betah di satu tempat lebih dari lima menit?"
aku mengomelinya. Aku dan Hillary sudah akrab sejak di junior high. Jadi aku
sudah terbiasa dengannya. Tapi kupikir orang lain akan terkejut
melihat sikapnya yang tegang. Cara bicaranya yang cepat. Matanya
yang selalu berputar-putar ke sana kemari di balik kacamata
berbingkai plastik putih yang dipakainya.
Ia energik. Itulah satu-satunya kata yang cocok untuk Hillary.
Ia cerdas dan manis dan lucu dan... energik. Ia mengingatkanku
pada mainan putar yang disetel terlalu keras - dan akibatnya
putarannya kacau-balau. Hillary menarikku hingga aku berdiri. Kemudian kami bertiga
menenteng ransel masing-masing ke dalam rumah. Kami duduk
mengelilingi meja dapur yang kuning bundar, dengan kaleng-kaleng
Mountain Dew dan semangkuk keripik jagung di atasnya.
Lalu seperti biasanya kami mulai ngobrol tentang cowok.
Terutama Vincent dan Sandy.
Vincent Freedman adalah salah satu anggota kelompok kami.
Sudah lama sekali kami bersahabat. Terus terang, akhir-akhir ini aku sebenarnya
berharap hubungan kami dapat ditingkatkan. Kurasa aku
dan Vincent bisa menjadi pasangan serasi.
Tapi itu kisah yang lain lagi.
Kukira Vincent tidak pernah menduga sedikit pun bahwa aku
menaruh hati padanya. Ya, ia pasti sama sekali tak menduga.
Sandy Miller, sahabatku yang lainnya, kira-kira sudah sebulan
pacaran dengan Taylor. Itulah sebabnya Taylor menjadi anggota
kelompok kami. Sandy yang malang. Ia linglung dan bingung sejak ditaksir
Taylor. Sungguh. Sandy sangat pemalu dan pendiam, juga bukan tergolong
cowok yang ngetop di Shadyside High. Karena itu ia kaget sekali ada
cewek yang sangat cantik - sangat selangit - yang menganggapnya
sebagai Brad Pitt! Cowok yang beruntung, hah" Yah, terus terang saja, aku dan
Hillary pun terkejut ketika tahu Taylor memilih Sandy.
Tapi juga bukan itu yang hendak kuceritakan.
Demikianlah, kami duduk mengelilingi meja dapur,
menggosipkan cowok dan tertawa-tawa. Kemudian kami mulai
membicarakan pesta. Pesta itu.
Pesta di rumah Reva Dalby memang merupakan peristiwa
hebat. Reva adalah cewek terkaya di Shadyside High. Ayahnya
memiliki paling tidak seratus toserba. Keluarganya tinggal di rumah
yang besar sekali di North Hills, lengkap dengan anjing penjaga serta pagar
tinggi, tentu saja. Reva mengundang semua murid kelas dua belas. Dan ia
menyewa dua band untuk bermain di halaman belakang rumahnya.
Yang satu adalah Garage Band yang dipanggilnya dari Red Heat,
kelab disko setempat, dan yang lainnya grup rap bernama 2Ruff4U.
Grup ini khusus terbang dari L.A. untuk main di pesta itu - entah
benar atau tidak, pokoknya Reva bilang begitu.
Reva bukan orang paling baik yang kami kenal. Maksudku, tak
ada yang akan memilihnya menjadi Putri Persahabatan di sekolah
kami. Tapi siapa. yang peduli" Kami semua penasaran - benar-benar
penasaran - untuk datang ke pestanya!
Jadi kami membicarakan pesta itu. Hillary berceloteh tentang
pakaian yang akan dikenakannya. "Pesta itu diadakan di luar rumah, kan?" ia
berkata. "Dan pasti masih dingin sekali malam itu. Tapi aku tak mau pakai yang
terlalu berat. Maksudku, aku berniat disko selama mungkin. Jadi kalau aku pakai
baju lengan panjang atau sweter..."
Aku asyik dengan lamunanku sendiri. Dasar Hillary, ia sibuk
sendiri mengurusi tetek bengek, bicaranya begitu cepat sampai kata-
katanya sama sekali tak tertangkap.
Ia masih berkicau waktu sekonyong-konyong terdengar bunyi
berdebam pada pintu dapur.
Aku tersentak saat seseorang membuka pintu tanpa mengetuk
lebih dulu. Sesosok tubuh tinggi menerobos ke dalam dapur.
Kami bertiga menjerit. Dan itulah awal semua rnasalah ini.
Chapter 2 "HEI, Al... ngetuk pintu dulu atau apa kek," tegurku dengan marah,sambil
memelototinya. Al Freed terbahak-bahak. Pelan-pelan ia mendekati meja,
memiringkan mulutnya menyeringai pada kami. "Ada apa, cewek-
cewek?" "Gempa bumi!" Hillary langsung membentak. "Soalnya ada cowok jelek masuk!"
Aku dan Taylor tertawa, tapi Al tidak menganggap sindiran
Hillary lucu. Al juga murid kelas dua belas di Shadyside High. Badannya
besar, rambutnya pirang, dan tampangnya menyeramkan.
Dengan mata birunya yang bulat kecil serta berdekatan letaknya
mengapit hidungnya yang mirip paruh besar, ia selalu
mengingatkanku pada burung pemakan bangkai yang akan menerkam
mangsanya. Al selalu mengenakan pakaian hitam, sehingga ia semakin
mirip burung pemakan bangkai. Dan bibirnya selalu menyeringai,
seakan ia ingin menunjukkan pada seluruh dunia betapa seram
tampangnya. Aku tahu aku menggambarkannya seakan ia orang jahat.
Namun sesungguhnya, Al dulu anggota kelompok kami. Kami semua
sangat menyukainya. Tapi ia kemudian keluyuran dengan beberapa
anak berandalan dari Waynes-bridge. Mereka sering membuat onar.
Al berubah. Ia mulai menenggak bir. Paling tidak, itulah yang
kudengar dari beberapa anak lain yang mengenalnya. Dan ia mulai
terlibat masalah. Maksudku, masalah serius dengan polisi.
Sayang sekali. Setiap kali melihat Al, aku selalu ingat
bagaimana dia dulunya, dan aku berharap dia dapat melupakan teman-
teman barunya dan kembali seperti semula.
Tapi kupikir itu takkan terjadi - bagaimana menurutmu"
Al duduk di atas meja dapur. "Aku tahu kalian cewek-cewek
lagi ngomongin aku," godanya. Disipitkannya matanya yang kecil itu ketika ia
menatap Taylor. "Kau naksir banget sama aku, kan?"
"Kau salah sangka," sahut Taylor dingin. Matanya yang hijau kadang-kadang bisa
menjadi sedingin marmer. "Kau ingin mencampakkan Sandy dan boncengan denganku,
kan?" desak Al, air liurnya nyaris memercik mengenai Taylor.
"Sepeda roda tiga model apa sih kendaraanmu sekarang?" ejek Hillary.
Sudah kukatakan, Hillary itu cerdas. Otak dan mulutnya cepat
sekali bekerja. Kuping Al yang besar memerah. Itulah pertanda ia sedang
marah. Aku tidak melihatnya membawa sekaleng bir sampai ia
mengangkatnya ke mulutnya. Ia meneguk lama-lama, menurunkan
kaleng itu, lalu bersendawa.
"Kau memang pandai membuat cewek terkesan," sindir Taylor.
Hillary dengan gugup mengetuk-ngetukkan kukunya yang ungu
dan panjang ke meja. Sinar matahari dari jendela memantul pada
kacamatanya, tapi aku bisa melihat ia sedang mengawasi Al dengan
waspada. Kukira sekarang ia agak takut pada Al. Aku tahu karena aku
juga takut. Al menyelipkan kaleng bir ke lipatan lengannya dan menekuk
lengan itu. Kalengnya langsung penyok! "Aku sering latihan," katanya pada kami.
"Pasti kau bisa memecahkan kacang dengan gigimu," celetuk
Hillary. Al tidak menghiraukan Hillary. Dilemparkannya kaleng bir itu
ke seberang ruangan. Kaleng itu mendarat di bak cuci, sisa bir
menetes-netes di sepanjang lantai linoleum yang putih.
"Hei... awas!" teriakku. "Apa sih maumu, Al" Kenapa kau ke sini?"
Al mengalihkan pandangannya padaku. "Kaulah favoritku,
Julie. Kaulah yang paling baik." Ia menunjuk Hillary dan Taylor.
"Mereka cuma sampah. Kaulah yang terbaik."
Bola mataku berputar. "Kau mau apa, Al?" tanyaku kembali
dengan tidak sabar. "Dua puluh dolar," sahutnya, sambil mengulurkan tangannya
yang besar dan bernoda gemuk hitam. Kuku-kukunya lengket dengan
kotoran hitam. Barangkali dia baru saja mengutak-atik mobilnya. "Itu saja. Cuma
dua puluh dolar." "Aku nggak punya," sahutku pendek. Kusilangkan lenganku di depan dada.
"Sungguh." "Kau yang paling baik, Julie," desak Al. Tangannya tetap
terulur. Ia terus menatapku. "Kau baik sekali. Kau hebat. Dua puluh dolar. Aku
nggak bakal minta padamu kalau nggak benar-benar
butuh." Aku mendengus muak. "Al, aku benar-benar lagi tongpes,"
kataku. "Dan kau sudah utang sama aku dua puluh dolar."
"Pergi, Al," sela Hillary. "Kenapa kau nggak cari kerjaan saja?"
"Siapa yang mau menerima dia?" tukas Taylor.
Aku agak terkejut Taylor ikut-ikutan. Ia pindah ke Shadyside
waktu liburan Natal. Dia baru sebulan menjadi anggota kelompok
kami. Jadi sebenarnya dia belum begitu mengenal Al untuk bisa
mengejeknya. Kukira dia hanya ingin menolongku.
Al menarik rokok dari saku kemeja flanel hitamnya. Ia
menyulutnya dan membuang batang korek api ke lantai.
"Hei... jangan!" teriakku. Kudorong dia ke pintu. "Kau kan tahu orangtuaku
melarang siapa pun merokok di dalam rumah ini!"
Al menjauh dariku sambil cengar-cengir. Ia mengisap rokoknya
dalam-dalam dan mengembuskan asapnya ke mukaku.
"Jangan ganggu dia, Al," kata Hillary dengan tegas, sambil bangkit berdiri dan
mendorong kursinya menjauh. Aku dan dia
mengepung Al. "Hei, wah!" Cowok itu mengangkat kedua tangannya seakan
mencoba melindungi diri. "Keluar!" jeritku. "Kalau ibuku pulang dan mencium bau rokok..."
Al menjentikkan abu rokok ke atas meja dapur. Ia menyeringai
sambil menyipitkan mata memandangku. "Julie, orangtuamu
melarangmu merokok. Tapi aku tahu rahasiamu, kan" Ternyata kau
perokok." "Tutup mulutmu!" bentakku.
Seringainya melebar menjadi senyuman. "Aku melihatmu
merokok di mal akhir pekan lalu. Puf puf puf." Ia mengembuskan asap rokoknya ke
mukaku. "Julie nakal. Julie nakaaal! Mungkin sebaiknya aku memberitahu
ibumu...." "Jangan!" jeritku.
Mom pernah memergoki aku dan Hillary sedang merokok di
dalam kamarku ketika kami masih di kelas sembilan, dan Mom
langsung meledak marah. Ia sangat fanatik dalam hal rokok. Ia
berjanji akan memberiku hadiah - seribu dolar - jika aku tidak
merokok lagi selama di high school.
Aku tidak suka membayangkan tindakan yang akan diambil
orangtuaku kalau mereka tahu aku kadang-kadang masih merokok.
Habis, susah sih menolak ajakan teman-teman. Tapi kalau Mom
sampai tahu, wah, tamatlah riwayatku!
Dan sekarang Al mengancamku. Aku tahu dia tidak main-main.
Dia pasti tidak akan segan-segan melaporkan perbuatanku kepada
ibuku. Kecuali kalau aku menuruti kemauannya.
Itulah sebabnya waktu itu aku meminjaminya dua puluh dolar.
"Al, aku lagi tongpes. Sungguh," aku bersikeras.
"Ya. Baiklah." Kembali ia menjentikkan abu rokok ke atas meja di depan Taylor.
"Buat apa sih kau perlu dua puluh dolar?" tanya Hillary.
"Supaya aku bisa kencan dengan Taylor," sahutnya sambil
cengar-cengir lagi. "Ha-ha. Bikin aku ingin ketawa," Taylor menggerutu.
Dijulurkannya lidahnya pada Al. "Aku suka kau begitu!" kata Al.
Taylor mengerang dan menggeleng. "Jangan kayak anak kecil."
Al menoleh padaku. Ekspresinya yang dingin membuatku
bergidik. Aku belum juga terbiasa melihat ekspresi keras semacam itu pada
dirinya. "Bagaimana kalau aku melubangi meja ini dengan api rokokku,


Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Julie" Apa menurutmu kau lalu bisa mencarikan dua puluh dolar itu?"
"Al, ayolah...," kataku.
Tapi ia mengambil rokok itu dari mulutnya dan mulai
mendekatkannya ke permukaan meja.
"Al... jangan!" jeritku. Aku membungkuk ke arahnya. Tapi ia berputar dan
menghalangiku dari meja dengan punggungnya yang
lebar. Ia mendekatkan api rokok ke meja formika kuning itu. "Ayolah,
Julie. Kau bisa mencarikan dua puluh dolar. Kau tak ingin ibumu
menemukan lubang di meja ini, kan?"
"Berhenti! Stop!"
Aku dan Hillary menarik Al menjauhi meja. Rokoknya jatuh ke
lantai. Al mulai terbahak-bahak mengejek.
Kami menariknya menuju ke pintu dapur. "Goodbye, Al,"
kataku. Namun Al memberontak melepaskan diri dan menoleh pada
Hillary. "Ayahmu dokter yang laris. Aku yakin kau punya dua puluh dolar."
Hillary melepaskan cowok itu dan mendesah capek. "Kenapa
aku harus memberimu uang?"
Al mendekatkan wajahnya ke telinga Hillary. Begitu dekat
sehingga ia bisa menggigit anting-anting Hillary yang terbuat dari
beling oranye. "Karena kimia," bisik Al, cukup keras untuk telingaku dan telinga
Taylor. Hillary tersentak. "Kau mau Mr. Marcuso tahu kau nyontek waktu ujian kimia,
ya?" tanya Al pada Hillary.
"Kau tak bakalan bisa memerasku!" geram Hillary sambil
mengertakkan giginya. Al tertawa. "Tentu saja aku bisa! Kalau aku nggak bisa
memerasmu, siapa yang bisa?"
"Tapi kau yang memberiku sontekan itu!" protes Hillary. "Aku nggak minta, Al.
Kau sendiri yang ngasih!"
"Dan kaupakai, kan?" tanya Al nyaris kegirangan. "Kalau ada desas-desus yang
sampai ke telinga Mr. Marcuso bahwa kau nyontek,
Hillary, kau pasti nggak bakalan diluluskannya. Dan kau nggak
bakalan bisa diterima di college ngetop itu. Huu-huu."
"Al, dulu biasanya kau baik," kataku sambil geleng-geleng.
"Kenapa sekarang kau jadi menjengkelkan sekali sih?"
Ia menjambak rambutku. "Aku belajar darimu!" balasnya,
tertawa puas karena jawabannya yang cerdik.
"Kau tak bisa seenaknya mengancam sana-sini," sela Taylor. Ia belum beranjak
dari tempat duduknya di balik meja. Mungkin ia
memakai meja itu sebagai tameng terhadap Al.
"Tinggalkan tempat ini!" desakku sambil kembali mendorong
Al. "Cepat menyingkir dari sini!"
Tapi Hillary sudah merogoh ke dalam tasnya. Ia menarik keluar
selembar uang dua puluh dolaran dan menyodorkannya ke tangan Al
yang terulur. "Kapan kau akan mengembalikannya?" tanya Hillary. Ia tidak memandang Al, matanya
tetap tertuju ke tasnya. "Pertanyaan bagus," sahut Al sambil menyeringai. "Aku menyingkir sekarang." Ia
memasukkan uang itu ke saku jins hitamnya.
Lalu ia berbalik ke pintu. "Selamat bersenang-senang, cewek-cewek!"
Ia baru berjalan tiga langkah ketika mendadak berhenti. Ibuku
menarik pintu sampai membuka. "Oh... hai, Mrs. Carlson." Al tidak dapat
menyembunyikan kekagetannya. Kulihat telinganya menjadi
merah lagi. Ibuku memasuki dapur, kedua tangannya menenteng tas
belanjaan berwarna cokelat. "Hai, semuanya. Aku pulang lebih cepat."
Al membawakan salah satu tas Mom dan menaruhnya di meja.
Mom menurunkan yang satunya, lalu menyibakkan rambutnya
yang cokelat gelap. Rambutku mirip rambut Mom, mataku juga mirip
matanya, cokelat dan besar. Bagian terbagus kami.
Mom bilang aku mirip dengan Demi Moore. Aku bilang Mom
butuh kacamata setiap kali ia mengatakan begitu.
"Sudah lama kau tidak ke sini," kata Mom pada Al.
"Saya sibuk," jawab Al. Telinganya masih merah. Ia berpamitan dan cepat-cepat
keluar. Mom beralih pada kami. "Kenapa dia berpakaian serbahitam?"
tanyanya. "Apa ada yang meninggal?"
Mom tidak memberi kami kesempatan untuk menjawab. Tiba-
tiba ia berseru kaget - dan menuding lantai dengan marah.
Aku langsung tahu apa yang ditudingnya. Rokok Al.
"Mom...," kataku.
Ia membungkuk dan memungut puntung rokok itu, mukanya
kencang karena marah. "Masih menyala."
"Itu punya Al!" kataku. "Kami tidak merokok. Itu punya Al!"
"Benar, Mrs. Carlson," Hillary menimbrung. Ia dan Taylor
berdiri salah tingkah di dekat meja. Aku tahu mereka ingin segera
menyingkir. Keduanya pernah melihat bagaimana ibuku kalau sedang
ngamuk. "Aku tak peduli siapa yang merokok, Julie," kata Mom, sambil mengatupkan
rahangnya serta mengucapkan setiap kata dengan pelan
dan jelas. "Kau yang bertanggung jawab kalau Mom pergi dan..."
Dibuangnya rokok itu ke bak cuci piring. Lalu terdengar
seruannya lagi. "Kaleng bir juga?" tanyanya melengking.
"Itu juga punya Al!" aku dan Taylor menjawab bersamaan.
Kulirik Hillary yang mundur ke dinding, seakan berusaha meleburkan
diri dengan kertas dinding yang berbunga-bunga.
"Kaleng ini kaulemparkan begitu saja ke bak cuci?" tanya Mom dengan suara
melengking lagi. Aku mencoba menjawab, namun apa yang dapat kukatakan"
Maksudku, aku tahu aku mendapat masalah besar.
Tak jadi soal apakah Al yang meninggalkan kaleng dan puntung
rokok itu. Sejak Mom memergoki aku dan Hillary merokok di
kamarku tiga tahun lalu, rasanya Mom sama sekali tidak percaya pada
kami. Aku yakin ia curiga semuanya itu berlangsung terus di sini
selama ia bekerja. Dan sekarang, begitu ia pulang lebih awal, apa yang
didapatinya" "Julie, aku melarangmu ke mana-mana akhir pekan ini," kata Mom dengan suara
rendah. Aku bisa melihat otot-otot rahangnya
menegang. Mom berbicara pelan karena berusaha mengendalikan
amarahnya. "Aduh! Jangan, Mom!" protesku. Aku sebenarnya tidak
menginginkan suaraku terdengar begitu putus asa, tapi aku tak
berdaya menahannya. "Pesta itu!" rengekku. "Pesta Reva! Mom... aku kan harus datang ke pesta itu!"
Mom mengangkat jari ke bibirnya. "Tak usah banyak omong."
"Mom tak bisa melarangku!" rengekku lagi. "Aku sudah umur tujuh belas dan aku
tak mau..." "Mom tak mau teman-temanmu minum bir dan merokok di sini,
walaupun Mom sedang tidak di rumah," Mom berteriak, kehilangan
kendali. "Mom tak peduli meskipun pesta itu diadakan di Istana
Buckingham! Kau harus tinggal di rumah. Tak usah pergi. Kalau kau
bicara lagi, akan Mom tambah jadi dua minggu!"
Aku mengayunkan kepalan tanganku ke udara dan menjerit
kesal sekali. Kulihat Hillary dan Taylor di belakang meja, keduanya
menghindari tatapanku, keduanya merasa malu - dan sangat menyesal
atas apa yang menimpaku. Semuanya ini gara-gara Al, kataku dalam hati. Dia jadi kurang
ajar sekali. Semua ini salahnya. Sore yang sial.
Kukira kami bertiga - aku, Hillary, dan Taylor - merasakan hal
yang sama sore itu. Rasanya kami semua ingin membunuh Al.
Tentu saja kami sama sekali tak menduga bahwa Al akan mati
dua minggu kemudian. Chapter 3 HILANGLAH kesempatanku untuk menghadiri pesta itu.
Akankah aku memaafkan ibuku" Mungkin kelak,sepuluh tahun
lagi! Hillary melaporkan bahwa itulah pesta paling hebat sepanjang
sejarah Shadyside High. Brengsek betul dia.
Dia kan bisa bilang itu pesta paling membosankan yang pernah
dihadirinya. Eh, dia malahan bercerita tentang betapa luar biasanya
permainan dua band itu. Betapa asyiknya dia berdisko sampai pukul
dua dini hari. Lalu berenang dengan disinari cahaya bulan di ko lam air panas
keluarga Dalby. Tak lupa dia menambahkan bagaimana dia
tertawa terus sepanjang malam saking senangnya. Dan banyak orang
menanyakan aku, katanya. Kuminta Hillary untuk tidak menyebut-nyebut pesta itu lagi. Itu
seminggu yang lalu, dan ia menepati janjinya - sampai hari Jumat ini,
ketika kami berdua berjalan menuju ke rumah Sandy di Canyon Road
sepulang sekolah. Awan tebal, hujan sudah hampir turun. Udara terasa dingin dan
lembap, lebih mirip musim dingin daripada musim semi.
"Aku heran dengan Taylor dan Sandy," kata Hillary.
Aku membetulkan letak ransel di bahuku. Penuh dengan PR
untuk akhir pekan. "Memangnya kenapa Taylor dan Sandy?" tanyaku, pikiranku masih
tertuju pada karya tulis sejarahku.
"Yah, kalau saja kau melihat mereka di pesta Reva..."
Aku berhenti dan menarik lengan sweter biru Hillary. "Kau kan
sudah janji tidak akan membicarakan pesta itu lagi."
Ia melepaskan lengannya dari cekalanku. "Aku bukannya bicara
tentang pesta itu, Julie. Ini mengenai Taylor dan Sandy."
"O ya... ada apa dengan mereka?" tanyaku sambil menggerutu.
"Aku memperhatikan mereka di pesta itu," jawab Hillary.
"Kasihan sekali. Sandy membuntuti Taylor ke mana-mana seperti
anak anjing yang dimabuk cinta. Dan Taylor nyaris tak
menggubrisnya. Maksudku, cewek itu sibuk nyamperin semua cowok
di sana." "Dia memang suka merayu cowok," kataku sependapat dengan
Hillary. Kami berlari-lari kecil menyeberangi jalan sebelum lampu
berganti warna. "Menjijikkan," kata Hillary. "Mestinya kaulihat caranya berdisko dengan Bobby
Newkirk. Dan kulihat d ia keluar ke belakang
garasi dengan beberapa cowok yang belum pernah kulihat."
"Oh, wow," gumamku. "Dan apa yang dilakukan Sandy?"
"Berlari-lari mengambilkan Coke buat Taylor. Pokoknya, aku
nggak habis pikir. Dia kan sudah tahu tingkah Taylor. Terang-
terangan sekali! Taylor jelas berpura-pura Sandy tak ada di sana. Tapi Sandy
cuma cengar-cengir dan membuntuti terus."
"Itulah cinta sejati," kataku tak acuh.
"Nggak lucu," Hillary mengomeliku. "Kau kan tahu betapa seriusnya Sandy itu."
"Kuharap Vincent bisa serius juga," gumamku lirih.
Hillary menoleh dan memandangku. "Kau bilang apa?"
"Oh, bukan apa-apa kok." Aku mendesah. Kubayangkan Taylor
merayu cowok-cowok di pesta itu. Aku sudah mencoba merayu
Vincent. Tapi dikiranya aku cuma bercanda. Maka dia menanggapinya
dengan bercanda juga. "Sandy cowok yang baik," Hillary melanjutkan. "Tapi
kupikir..." "Menurutku mereka pasangan serasi," aku menyela.
"Maksudku, mungkin Taylor cuma ingin memanas-manasi Sandy.
Cowok itu pemalu dan pendiam sekali. Dia belum pernah punya pacar
serius. Dia begitu senang bisa pacaran dengan Taylor, mungkin ini
akan mengubahnya. Mungkin..."
Aku melambai pada teman-teman sekolah kami yang lewat
dengan mobil. Setelah mereka lenyap dari pandangan, aku
mengalihkan pandanganku ke Hillary. Kulihat wajahnya murung.
"Menurutku Taylor tidak cocok buat Sandy," ia mulai
mengoceh lagi. "Pasti Sandy bakalan patah hati. Taylor akan
mencampakkannya begitu ada kesempatan."
"Aku tahu Sandy jauh lebih serius daripada Taylor," aku
mendukungnya. "Tapi tidakkah sikapmu agak keras pada Taylor?"
Mulut Hillary ternganga. "Sori, apa" Keras pada Taylor" Enak
saja kau ngomong!" Angin berembus kencang ketika kami membelok ke Canyon
Road. Rumah bata merah Sandy tampak di belokan berikutnya.
Aku merasa barangkali Hillary agak cemburu pada Taylor.
Sebelum Taylor pacaran dengan Sandy, Hillary-lah satu-satunya
cewek lain selain aku dalam kelompok kami. Dan sekarang Taylor
datang, dengan pakaian-pakaiannya yang trendi, rambut dan wajahnya
yang sempurna, serta tubuhnya yang tanpa cela. Taylor langsung
menjadi pusat perhatian seluruh anggota kelompok kami.
Jadi mungkin saja Hillary sedikit cemburu.
Tapi aku tidak menyinggung-nyinggung teoriku ini ketika kami
berjalan berdampingan menuju rumah Sandy. Itu hanya akan
menyakiti perasaan Hillary. Dan selama akhir pekan Hillary akan
terus mendebat pendapatku.
"Taylor sebenarnya oke kok," kataku. "Dia cewek baik-baik.
Cuma saja dia suka hura-hura. Dan dia tidak pemalu."
Hillary tertawa sumbang. "Itu sudah pasti."
Aku berbelok ke jalur masuk menuju rumah Sandy. Namun
Hillary menahan langkahku.
"Tunggu," gumamnya, sambil melihat ke rumah itu.
"Ada yang tak beres?" tanyaku, sambil menoleh dan
memandang wajahnya. "Al menggangguku lagi," sahut Hillary, bola matanya berputar.
"Percaya nggak?"
"Apa yang diinginkannya kali ini?" tanyaku. "Uang lagi?"
Hillary menggeleng. "Dia memaksaku meminjamkan mobilku
padanya." "Oh, wow!" "Aku... aku marah dan jengkel sekali padanya, aku harus
mengatakan hal ini pada seseorang," kata Hillary tergagap-gagap.
"Yah, tentu saja kau bisa mengatakannya padaku," sahutku.
"Aku kan sahabat karibmu."
"Dia selalu minta uangku, atau catatan sejarahku, atau
mobilku," lanjut Hillary cepat seperti biasanya, suaranya tegang karena marah.
"Dia menggangguku terus-terusan. Dan jika aku
mencoba menolaknya..."
"Dia mengancam akan melaporkanmu pada orangtuamu tentang
ujian kimia itu," aku menyelesaikan ucapannya. "Sama dengan yang kualami,
Hillary." Aku mendesah. "Dia mengancamku terus-terusan juga."
"Aku benci diriku yang membiarkan semua ini terjadi!" Hillary mengeluh.
Dikepalkannya kedua tangannya kuat-kuat. "Al
menguasaiku dan semua itu karena salahku. Seharusnya aku tak
menerima bocoran tes itu darinya. Itu kesalahan besar dalam
hidupku!" Aku menatapnya dengan terkejut. Selama bertahun-tahun kami
bersahabat, aku belum pernah melihatnya benar-benar kehilangan
kendali diri seperti itu.
Kuletakkan tanganku di bahunya. Ia terisak-isak! "Sudahlah!"
kataku lembut, berusaha menghiburnya. "Dia berbuat sama pada
diriku juga. Tapi dia akan bosan. Sungguh."
Matanya yang gelap menatap mataku. "Bosan" Kaupikir
begitu?" Aku mengangguk. "Perhatiannya pada sesuatu cuma sebentar.
Dia bakalan cepat bosan mengganggu kita. Dia akan beralih pada


Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

korban yang lainnya. Lihat saja nanti."
Hillary tidak menanggapi. Tampaknya ia sedang berpikir keras,
barangkali tentang yang baru saja kukatakan.
Kami melanjutkan berjalan di jalur masuk, sepatu kami
terdengar berisik menggilas kerikil-kerikil itu. Kuulurkan tanganku ke bel, tapi
mendadak pintu terpentang sebelum aku sempat menekan bel.
Sandy yang membuka pintu itu. Aku langsung tahu ada sesuatu
yang tidak beres begitu melihat ekspresi wajahnya.
"Sandy... ada apa?" tanyaku.
"Kau sudah dengar tentang Al?" tanya Sandy.
Chapter 4 "HAH?" Seluruh tubuhku gemetar. Tengkukku serasa kaku.
"Cepat masuk!" kata Sandy. Ia memegangi pintu, aku dan
Hillary melewatinya masuk ke ruang tamu. Taylor dan Vincent sedang
duduk di sofa kulit hijau di ruangan itu. Meskipun cuaca berangin,
kulihat Taylor memakai celana pendek khaki dan blus ngatung pink
yang memamerkan perutnya.
Aku mengangguk pada keduanya. "Ada apa dengan Al?"
tanyaku, sambil menoleh pada Sandy.
"Dia diskors dari sekolah," jawab Taylor sebelum Sandy sempat membuka mulut.
"Ya, betul." Sandy mengangguk, lalu menggeleng-geleng.
Digigitnya bibir bawahnya. Ia jadi kelihatan seperti anak kecil kalau berbuat
begitu. Sandy pendek dan agak gemuk. Mukanya manis - tak ada
keistimewaannya, tapi manis. Dan ia selalu mengingatkanku pada
anak berumur dua belas yang rewel dan pemalu.
"Kenapa?" tanya Hillary. "Kenapa dia diskors?"
Vincent nyengir. "Al merobek-robek lembaran tes bahasa
Inggris-nya dan membakarnya di hadapan Mrs. Hirsch."
Aku dan Hillary ternganga.
"Kau bercanda!" kataku.
Cengiran Vincent makin lebar. "Ya. Aku memang bercanda.
Dia terlibat perkelahian."
"Kau bisa lebih serius tidak?" tanya Sandy pada Vincent dengan ketus.
Vincent menggeleng. Taylor mengulurkan tangannya ke seberang sofa dan memukul
bahu Vincent. "Keterlaluan kau!" katanya.
"Thanks," sahut Vincent.
Menurutku cengiran Vincent manis. Itu membuat seluruh
wajahnya mengerut. Apalagi mata hijau-kelabunya yang indah selalu
tampak riang. Dan rambut cokelatnya yang dibelah tengah, tergerai
sampai menyentuh kerah, membuatnya makin imut.
Perawakannya yang jangkung dan pembawaannya yang kikuk
sebenarnya kurang serasi dengan wajahnya. Tangan dan kakinya
besar, membuat keseluruhan penampilannya jadi aneh. Kupikir-pikir
dia mirip badut, tapi aku naksir berat padanya. Itu pernah kuceritakan, kan"
Seperti Sandy dan teman-temanku yang lain, kadang-kadang
aku berharap Vincent bisa bersikap lebih serius. Bagaimanapun, jika
Al benar-benar diskors, seluruh hidupnya akan kacau-balau. Dan
menurutku hal beginian tidak pantas dijadikan bahan gurauan.
"Al berantem dengan David Arnold," jelas Sandy dengan
menggebu-gebu. "Sepulang sekolah, di koridor ruang olahraga."
"Tapi David anggota tim gulat, kan?" tanyaku.
"Justru itu. Masa Al memilih cowok yang badannya paling gede
di sekolah sebagai lawan. Tolol, bukan?" kata Sandy.
"Seharusnya dia memilih keroco seperti kau!" Vincent
menggoda Sandy. Sandy menggerutu. "Ayolah, jangan bercanda terus. Jadi gimana ceritanya?"
tanyaku tidak sabar. Vincent tertawa. "Al meninju David beberapa kali dengan
mukanya!" "Nggak lucu," omel Sandy pada Vincent.
"Lucu kok," sela Hillary. Aku terkejut melihat dia nyengir.
Bagaimanapun, dulu kan Al sahabat kami. Tapi mengingat sikap Al
akhir-akhir ini, mungkin juga reaksi Hillary itu wajar.
"Mereka bergulat, seru sekali," Sandy melanjutkan. "Tentu saja Al kewalahan
menghadapi David. Lalu ketika akhirnya Al sempat
melayangkan tinjunya, coba tebak siapa yang tiba-tiba muncul di
situ?" "Mr. Hernandez?" tebakku.
Sandy mengangguk. "Ya. Kepala Sekolah. Sehingga Al diskors
sedangkan David tidak. Al diskors untuk waktu yang belum
ditentukan. Artinya, nggak jelas kapan dia boleh masuk lagi.
Orangtuanya dipanggil, disuruh menghadap Mr. Hernandez."
"Jangan-jangan mereka mau direbus?" timbrung Vincent.
"Wah," gumamku. Aku menjatuhkan diri duduk di kursi kulit
hijau yang berseberangan dengan sofa. "Wah."
"Perasaan kita sama," kata Hillary. Sejak tadi ia berdiri dengan ransel
tersampir di bahunya. Sekarang ia melemparkan ransel itu ke
samping sofa. Taylor berdiri dan merentangkan lengannya. Lalu ia
menggosok-gosok perutnya di bawah blus ngatungnya yang
superpendek itu. Kapan dia sempat pulang dan menukar pakaian sekolahnya"
aku bertanya-tanya dalam hati. Dan kenapa dia berpakaian seakan
sekarang sedang musim panas" Cuma mau pamer"
"Aku nggak percaya Al pernah jadi anggota kelompok kalian,"
kata Taylor, matanya tertuju pada Sandy. "Maksudku, dia kan
pecundang. Dia berantakan sekali."
"Ya. Dia bikin berantakan seluruh hidupnya," Sandy
menyetujui. "Hei," kata Vincent, sambil nyengir seperti biasanya, "kalau kita nggak punya
kesempatan untuk bikin berantakan hidup orang, ya
kita kacaukan saja hidup kita sendiri!"
Taylor menggosok perutnya lagi. "Aku lapar sekali nih,"
keluhnya. "Ada makanan nggak?"
"Tentu! Jangan kuatir!" sahut Sandy sigap.
Aku dan Hillary bertukar pandang. Hillary betul. Sandy
langsung melompat begitu mendengar perintah Taylor.
"Rasanya tadi ada sekantong keripik jagung hitam," kata Sandy pada Taylor. "Dan
mungkin ada sebotol sambal tomat di kulkas."
"Kau tahu nggak, rakyat Amerika lebih sering membeli sambal
tomat ketimbang kecap?" oceh Vincent.
Kami semua tidak mengacuhkannya. Vincent paling senang
"berceramah" tentang hal-hal seperti ini. Yang dikatakannya biasanya memang
benar, tapi siapa yang peduli"
Kami mengikuti Sandy ke dapur. Taylor menyambar kantong
keripik jagung di meja dapur. Ia merobek kantong itu, mengambil
segenggam keripik, dan mulai melahapnya.
Hillary melihat Taylor mengambil segenggam keripik jagung
lagi dan memakannya seperti orang kelaparan. "Kok bisa badanmu
sekurus ini padahal makanmu begini banyak?" tanya Hillary ingin tahu.
Taylor tidak menghentikan kegiatannya. "Aku berusaha
memuntahkannya kembali setiap malam," sahutnya.
Kami semua tertawa. Kadang-kadang Taylor lucu sekali.
Sementara itu, Sandy berusaha keras membuka tutup botol
sambal tomat. Ia mengerahkan tenaga dan menggerung, mencoba
memutar tutup itu. Dijungkirkannya botol itu dan dibenturkannya ke
atas meja. Tidak berhasil. Ia melirik Taylor berkali-kali. Kukira ia malu karena tak cukup
kuat untuk membuka tutup botol. Cowok-cowok memang aneh dalam
hal itu. "Biar kucoba," Hillary menawarkan bantuannya. Sandy akan
menolak, tapi Hillary telah menarik botol itu dari tangannya.
Hillary berhasil membuka tutup botol sambal itu tanpa kesulitan
sama sekali. Dengan penuh kemenangan ia nyengir pada Sandy.
"Superwoman!" Sandy tersipu-sipu. Seharusnya dia tidak perlu malu hanya
gara-gara hal sepele begini. Tapi tampaknya dia benar-benar merasa
terhina. "Aku mengaku kalah," gumamnya.
Hillary menekuk lengannya dan memamerkan bisepsnya.
"Sekarang aku berotot. Tiap pagi aku latihan," ia menyombongkan diri.
"Dia push-up dengan lidahnya!" ledek Vincent.
"Ha-ha!" balas Hillary dengan sinis. Dicelupkannya selembar keripik ke dalam
botol, lalu disodorkannya botol itu pada Taylor.
"Kalian cowok-cowok mestinya turun ke ruang bawah tanah
rumahku," kata Hillary. "Ayahku membeli semua jenis peralatan latihan. Aku
latihan sekitar satu setengah jam tiap pagi sebelum
berangkat sekolah. Aku yakin tak ada cowok di Shadyside High yang
lebih berotot daripada aku."
Khas Hillary, kataku dalam hati. Dia selalu harus jadi yang
terbaik dalam segala hal.
Sandy akan mengatakan sesuatu. Namun terputus oleh gedoran
keras di pintu dapur. Kami semua serentak menoleh ke jendela.
Ketika melihat Al yang sedang membungkuk, perutku terasa
kaku oleh ketakutan yang mencengkam. Apa yang dimauinya"
tanyaku dalam hati. Dan kenapa dia kelihatan aneh sekali"
Chapter 5 SANDY berjalan mendekati pintu.
"Aku... kupikir sebaiknya jangan biarkan dia masuk," Hillary memperingatkan
Sandy. Al menggedor kaca jendela dengan kepalannya yang besar,
keras sekali hingga kukertakkan gigiku, kutunggu jendela itu pecah.
"Hei, hei!" teriak Al. "Hei... ini aku!"
Sandy ragu-ragu, tangannya sudah memegang gagang pintu.
"Kenapa dia teriak-teriak begitu?"
"Mungkin mabuk atau apa," Taylor menyahut, sambil
melangkah ke belakang Sandy.
"Yah, kita harus membiarkannya masuk," Vincent menyela.
"Dia memelototi kita. Dia terus-terusan menggedor pintu. Kita kan tak bisa pura-
pura tidak melihatnya."
"Hei! Buka pintu! Hei, dasar brengsek! Yo... ini aku!" Al
menabrakkan bahunya ke pintu.
"Oh!" Hillary menjerit ngeri.
"Aku harus membiarkannya masuk," Sandy mengeluh. "Setan besar itu mau merobohkan
pintu." Sandy memutar kunci dan membuka pintu dapur.
Al masuk ke dapur, matanya jelalatan. "Kenapa lama banget?"
tanyanya, memandangi kami semua bergantian. Pertanyaannya
diucapkannya lambat-lambat, membuat kami agak ngeri.
"Kami tidak dengar," sahut Sandy.
Alasan yang tak masuk akal.
"Hah?" Al sempoyongan, seolah kehilangan keseimbangan
badan. Ia menatap Sandy dengan pandangan kabur.
"Dia mabuk," bisikku pada Hillary. "Teler berat."
"Kayak preman," Hillary balas berbisik.
Al mendorong Sandy dan terseok-seok menghampiri kulkas.
"Ada bir nggak?" Ia membuka pintu kulkas.
"Hei... jangan!" teriak Sandy, buru-buru ia menghentikan Al.
Al berbalik - dan nyaris terjatuh. "Nggak ada" Aku melihat
sssetumpuk di rrrak bawah...."
"Jangan. Sori," kata Sandy keras. Ia berusaha menutup pintu kulkas. Tapi Al
menahan pintu itu. Dengan gugup Sandy melirik Taylor. Lalu ia berbalik kembali
pada Al. Dipegangnya bahu Al dengan satu tangannya. "Duduklah,
oke?" Al menepiskan tangan Sandy dengan berang. "Lepaskan, man,"
gerutunya dengan suara rendah dan mengancam. Matanya yang berair
memelototi Sandy. "Lepaskan. Jangan sentuh aku."
"Tenang, Al," selaku. Aku cepat beranjak ke samping Sandy.
"Kami mendengar kejadian di sekolah itu. Kami prihatin dengan yang kaualami. Kau
benar-benar sedang sial."
Sepertinya Al tidak mendengar omonganku. Ia berdiri dalam
sorotan lampu kulkas, membelalak marah pada Sandy. Walaupun
udara dingin, keringat bercucuran dari keningnya.
Taylor dan Vincent melangkah mundur, berdiri salah tingkah di
depan meja dapur. Hillary berdiri di tengah-tengah ruangan, kedua
lengannya tersilang di depan dada, wajahnya tanpa ekspresi, matanya
tidak berkedip, terpaku pada Al.
Sandy kembali mencoba menghela Al menjauhi kulkas. Tapi Al
menghindar dan menabrak Sandy dengan bahunya yang besar.
"Aku tak suka dengan caramu memandangku, man," kata Al
berang. "Al, sudahlah...," Sandy memohon.
"Kayak kau lebih baik dari aku saja," lanjut Al.
Sandy melangkah mundur. Paling tidak ia tiga puluh senti lebih
pendek dari Al, dan tubuhnya jelas kalah gede.
"Kayak kau lebih baik dari aku saja," ulang Al. "Pikirmu kau lebih baik dari
aku, Sandy" Pikirmu kau cowok yang paling cakep,
ya?" "Al, tutup kulkas itu dan duduklah," Sandy mendesak, sambil menghampiri meja
dapur. "Kami tidak jahat padamu," aku menyela, mencoba
mengalihkan perhatiannya dari Sandy. "Kami temanmu."
Mata Al tetap tertuju pada Sandy. "Pikirmu kau lebih baik dari
aku" Pikirmu kau sssangat hhhuebat karena Taylor pura-pura suka
padamu?" "Al, diam kau!" jerit Taylor dari belakang kami.
"Ya... diam kau," geram Hillary dengan suara dingin dan berat.
"Dasar kau cowok nggak berguna cebol gendut," Al mengejek
Sandy. Muka Sandy merah padam. Kulihat otot-otot di lehernya
menegang. Al mengikik. Aku tidak tahu apa yang dianggapnya lucu.
"Nggak berguna cebol gendut," ulangnya, kali ini berbisik.
Ia menantang Sandy. Memancingnya mengambil tindakan.
"Hei, Al... apa kau masih mau berantem lagi hari ini?" tanya Vincent.
"Tolong tutup pintu kulkas itu," Sandy memohon lagi,
rahangnya terkatup rapat, mukanya masih merah padam.
Al menyeringai padanya, seringai culas dan menyebalkan.
"Coba buat aku menutupnya."
"Sandy... jangan!" teriakku. Terlambat.
Sandy meraih lengan Al. Mencengkeram pergelangan
tangannya. Menariknya sekuat tenaga menjauh dari kulkas.
Al berteriak memaki-maki - dan melayangkan tinjunya.
Al sempoyongan, kehilangan keseimbangan. Tapi tinjunya tepat
mengenai sisi wajah Sandy.
Sandy berteriak kesakitan. Ia terhuyung-huyung mundur sambil
membekap pipinya. Dengan napas memburu dan wajah bercucuran keringat, Al
bersandar pada pintu kulkas. Matanya melotot, tertuju pada Sandy.
Berjaga-jaga kalau-kalau Sandy akan balas memukulnya.
Darah merah segar menetes dari mulut Sandy. Sekarang tampak
luka kecil di pipinya. "Gigiku..." Sandy meludahkan darah. "Kau meninju gigiku."
Al mengusap-usap tinjunya, matanya tetap mengawasi Sandy.
Sandy balas menatapnya, sambil memegangi pipinya, darah mengucur


Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari mulutnya yang ternganga.
Terdengar teriakan marah dari belakangku. Aku langsung
berbalik dan melihat Hillary menubruk Al.
"Aduh... jangan!" pekikku. "Hillary... jangan!"
Hillary mengempaskan punggung Al ke kulkas sekeras-
kerasnya. Al mengerang terkejut. Lalu wajahnya yang basah kuyup segera
menyunggingkan senyum ketika ia menyambar lengan Hillary dan
mendorongnya. "Oke," katanya terengah-engah. "Oke. Jangan kuatir. Aku akan meladenimu juga."
Chapter 6 HILLARY dan Al saling memegangi bahu dan saling beradu
muka, mendengus, terengah-engah.
"Aku akan meladenimu. Aku tak peduli. Aku akan
meladenimu," kata Al. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mendorong Hillary.
Tapi ternyata cewek itu lebih kuat daripada dugaannya. Hillary
tetap memegangi bahu Al. Cowok itu tidak berhasil menggeser Hillary
sedikit pun. "Aku akan meladenimu. Mau berantem" Ayo," tantang Al.
Namun sinar liar memudar dari matanya. Seluruh tubuhnya tampak
lemas. Dilepaskannya bahu Hillary, dan lengannya terkulai di samping
tubuhnya. Ia memandangi Hillary, sambil berdiri goyah, dadanya naik-
turun di balik T-shirt hitamnya yang basah kuyup, napasnya terengah-
engah. Hillary tidak mundur. Ia berdiri dengan tangan terkepal kuat-
kuat di samping tubuhnya. Kepangan rambutnya yang panjang telah
terurai. Rambutnya yang hitam menutupi wajahnya. Ia tidak berusaha
menyibakkannya. Al mengangkat bahunya yang lebar. "Oke, oke. Lupakan saja
bir itu." Ia berjalan mengitari Hillary. Kedua tangannya mendorong dada Sandy
dengan keras, sehingga Sandy terhuyung-huyung mundur.
Lalu Al melangkah ke pintu, sambil menyeringai penuh kemenangan.
"Teman apaan kalian ini," gerutunya. "Sekaleng bir pun nggak dapat." Ia memaki-
maki kami dan keluar sambil membanting pintu.
Begitu pintu menutup, Taylor dan Vincent bergegas maju
menolong Sandy. "Akan kuambilkan air. Dan lap basah dingin,"
Taylor menawarkan bantuan. Ia menghilang menuju kamar mand i.
Vincent memapah Sandy ke kursi dapur. "Gigimu harus
kauperiksakan ke dokter. Tapi lukanya tidak terlalu dalam," Vincent
menenangkannya. "Tak bakalan merusak wajahmu yang cakep."
Betul, Vincent, pikirku. Hibur dia terus.
Aku mulai merasa agak tenang. Tanganku masih sedingin es,
tapi paling tidak jantungku sudah berhenti berdegup-degup mirip bass drum.
Aku kembali menoleh pada Hillary - dan terpaku.
Hillary belum beranjak dari depan kulkas. Ia berdiri dengan
kaku, tangannya masih terkepal tegang. Seluruh tubuhnya tegang.
Ia memandang lurus ke muka, tatapannya kosong. Digigitnya
bibir bawahnya begitu keras hingga berdarah.
"Hillary...?" bisikku.
Ia tidak mendengarku. Ia seakan sedang kerasukan.
"Hillary...?" Melihatnya, bulu kudukku jadi meremang. Belum pernah aku
melihat kebencian yang begitu mendalam di wajahnya. Belum pernah
aku melihat kebencian yang begitu mendalam di wajah siapa pun!
Apa saja yang sudah dilakukan Al pada Hillary" aku jadi
bertanya-tanya. Seberapa dalam kebencian Hillary pada Al"
**************************
Aku tidak pernah bertemu Al lagi sejak sore yang menegangkan
itu. Tapi aku mendengar dari salah satu teman bahwa Al diskors
selama dua minggu. Aku tahu tidak seharusnya aku mensyukuri kesusahan orang
lain, tapi harus kuakui bahwa aku senang Al tidak masuk sekolah.
Dengan demikian, aku tak usah khawatir berpapasan dengannya di
koridor, lalu aku dimintai uang saku atau catatan sejarahku atau yang lainnya.
Aku dan Hillary tidak pernah membicarakan hal ini. Tapi aku
yakin Hillary juga merasakan hal yang sama.
Hari Kamis, aku merencanakan untuk mampir ke rumah
Vincent sepulang sekolah. Kami akan mengerjakan tugas lab kimia
bersama. Aku berharap akan ada hubungan khusus di antara kami berdua!
Ha-ha. Tapi, ternyata rencanaku terpaksa tertunda, aku harus bicara
dengan Corky Corcoran dan beberapa cheerleader mengenai acara
mencuci mobil pawai. Jadi aku baru berangkat ke rumah Vincent
sesudah pukul setengah lima.
Udara lembap dan hangat, aku berlari-lari kecil hampir
sepanjang jalan. Aku terkejut melihat Vincent berada di luar
rumahnya, mondar-mandir dengan gelisah di jalur masuk.
"Sori, aku terlambat!" kataku, sambil menyibakkan rambutku.
Rasanya di rambutku ada sesuatu yang kering dan rapuh. Kuulurkan
tanganku dan kuambil benda itu, lalu kulihat. Ternyata ngengat abu-
abu yang besar sekali. Penampilanku jadi benar-benar berantakan, padahal aku sedang
berhadapan dengan cowok yang sangat kutaksir!
Vincent menyahut dengan gumaman. Pandangannya tidak
tertuju padaku, melainkan ke jalan.
Tadinya kupikir ia akan memperhatikan pakaian musim semiku
yang baru dan seksi. Rok mini biru berlipit, model tahun enam
puluhan, dan blus tanpa lengan bergaris-garis biru-hitam. Aku
membeli setelan itu di toko baru di Mal Street Grunge. Dan aku
sengaja menyimpannya, menunggu kesempatan ketika aku hanya
berduaan dengan Vincent. Tapi sekarang ia malah tidak memperhatikan aku.
"Ada masalah apa?" tanyaku. "Kenapa kau di luar sini" Kukira kau sudah memulai
percobaan itu." "Hah" Kau ingin aku yang mengerjakan semuanya?"
Ya ampun. Vincent kali ini lain sama sekali dari biasanya. Ada
apa dengan Mr. Funnyman"
"Yah, kenapa kau di luar?" aku kembali bertanya. "Cuma cari udara segar?"
"Kalau saja bisa begitu...," gumamnya kecut. "Aku sedang menunggu Al. Dia
terlambat" "Al?" Aku tak dapat menyembunyikan kekagetanku.
"Ya. Al si brengsek besar itu." Vincent menggerutu dan
menendang batu kecil hingga melintasi jalur masuk.
Kuturunkan ranselku dari bahu dan kuletakkan di rumput. Lalu
kurapikan blus baruku. "Kau sedang menunggu Al di luar sini?"
Vincent mengangguk sedih. "Dia membawa mobil ibuku."
Aku tersentak. "Dia mencurinya?"
"Tidak. Aku meminjaminya," sahut Vincent, sambil
menggeleng-geleng. "Maksudku, dia memaksaku meminjaminya."
"Oh, wow," gumamku kasihan. Big Al menyerang lagi.
"Dia janji akan mengembalikannya sejam yang lalu," Vincent mengeluh. "Dia bilang
mobil itu sudah akan ada di sini waktu aku pulang sekolah."
Vincent mengarahkan pandangannya ke jalan dan mencari-cari
di kedua arah. Angin hangat mempermainkan rambutnya yang
berwarna karat. Ia tampak begitu memesona. Mendadak aku terdorong
untuk menciumnya dan mengatakan segalanya akan beres.
Memangnya aku sanggup melakukannya"
"Kalau orangtuaku tahu aku meminjamkan mobil mereka pada
si brengsek itu, mereka akan membunuhku!" seru Vincent. "Sungguh.
Mereka akan membunuhku."
"Lantas, kenapa kau mengizinkan Al meminjamnya?" tanyaku
pelan. Vincent kembali menggerutu. Biasanya dia selalu riang. Aku
jadi sedih melihatnya begitu tertekan.
"Aku berbuat bodoh," ia mengaku. "Malam Minggu aku
memakai mobil itu tanpa seizin orangtuaku. Mereka sedang pergi ke
pesta. Aku cuma ingin jalan-jalan. Menikmati suasana musim semi.
Jadi kubawa mobil itu keliling kota sebentar.
"Mungkin aku agak ngebut," lanjut Vincent, matanya tertuju pada jalanan. "Dua
blok dari rumah, tiba-tiba aku dihentikan polisi.
Aku kena tilang lima puluh dolar karena ngebut. Kau percaya nggak"
Dan coba tebak siapa yang datang ketika aku sedang ditilang" Ya.
Manusia itu. Al." ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Sial," gumamku.
"Polisi itu pergi," Vincent meneruskan. "Lalu aku bilang pada Al bahwa dia
takkan pernah bertemu denganku lagi, karena
orangtuaku pasti akan membunuhku. Maksudku, aku memakai mobil
itu tanpa izin. Apalagi lalu aku kena tilang lima puluh dolar. Aku
putus asa." Awan tinggi bergulung ke arah matahari. Bayang-bayang biru
menyapu halaman depan. Ekspresi muka Vincent menjadi gelap juga. "Terus Al bilang itu
bukan masalah besar. Dia akan menolongku. Orangtuaku takkan
pernah tahu." "Apa yang dilakukannya?" tanyaku.
Vincent menggeleng-geleng. "Diambilnya surat tilangku dan
dirobeknya kecil-kecil. Dia bilang komputer polisi tak pernah beres.
Orangtuaku tak bakalan tahu tentang tilang itu."
"Mana mungkin?" komentarku.
"Yah, mungkin dia benar," bantah Vincent. "Tapi kemarin dia ke sini, dan minta
aku meminjaminya mobil Mom hari ini. Katanya
dia cuma perlu memakainya dua jam. Kalau aku tak mengizinkan, dia
akan mengadukan perbuatanku pada orangtuaku."
"Dia ternyata mengerjaimu juga," kataku.
"Apa lagi pilihanku?" keluh Vincent. "Aku membiarkannya membawa mobil itu. Tapi
di mana dia sekarang" Jam lima lebih
sedikit nanti Mom sudah pulang. Kalau mobil itu belum kembali..."
"Dia akan mengembalikannya ke sini," kataku. Tapi suaraku
terdengar kurang meyakinkan.
Aku tidak percaya pada Al. Bagaimana mungkin"
Aku dan Vincent sama-sama memperhatikan jalanan. Kucoba
membicarakan percobaan kimia kami. Tapi Vincent tidak dapat
mengalihkan perhatiannya. Kami berdua berkali-kali melirik jam
tangan masing-masing, waktu berlalu dengan cepat menuju pukul
lima. Dan kemudian pada pukul lima kurang lima, kami mendengar
bunyi berkelontangan dari jalanan. Logam beradu dengan logam.
Aku melihat Al begitu ia membelokkan mobil itu ke jalur
masuk. Vincent tersentak. Mulutnya ternganga lebar nyaris terlepas.
"Oh, tidaaak!" teriaknya. "Aku tak percaya!"
Chapter 7 "HEI, ini bukan salahku, man!" teriak Al, dijulurkannya
kepalanya lewat jendela pengemudi.
Ia menghentikan mobil itu di mukaku dan Vincent.
Bagian depan mobil itu rusak total. Spakbor depan sebelah kiri
penyok. Kapnya tercabik-cabik. Salah satu bumper melengkung ke
bawah. Vincent membisu. Kurasa ia shock. Mulutnya masih ternganga
dan dadanya kembang-kempis.
Kupegang bahunya dengan satu tangan. Aku ingin mengatakan
sesuatu untuk menghiburnya, memberinya harapan. Tapi aku tak dapat
berpikir sama sekali. Pelan-pelan Vincent mengitari mobil itu, matanya terpaku pada
kap dan spakbor yang penyok, bumper yang terkulai. Ia marah sekali,
barangkali ia bahkan tidak tahu aku berdiri di sebelahnya.
"Sungguh. Ini bukan salahku," ulang Al melalui jendela yang terbuka. Ia keluar
dari mobil, pakaiannya hitam seperti biasanya. Topi bisbol hitam menutupi rambut
pirangnya. Pintu pengemudi berderak keras ketika ia membukanya. Kulihat
pintu itu penyok juga. "B-bukan salahmu?" Vincent tergagap dan suaranya seperti
tercekik. "Aku nggak melihat tanda berhenti itu," jelas Al. "Tertutup daun. Sungguh, man.
Bagaimana aku bisa tahu ada tanda itu di sana"
Pokoknya, bukan salahku."
Vincent mengerang panjang. Ia memandangi mobil penyok itu,
sambil menggeleng-geleng.
Al menyeringai lebar. "Paling nggak aku sudah
mengembalikannya tepat waktu!"
Dan saat itulah Vincent kehilangan kendali.
Ia menerjang Al seperti binatang buas. Menggeram, mencakar,
berteriak, memaki-maki, dan memukul-mukul.
Aku terpaku beberapa saat. Terkejut. Ngeri. Lalu aku berlari
menghampiri mereka. Kusambar Vincent dari belakang. Kulingkarkan
lenganku ke pinggangnya. Dan kutarik dia. "Berhenti, Vincent!
Berhenti!" jeritku. Aku menariknya menjauhi Al. Tapi ia masih mengayun-
ayunkan kepalannya, mengamuk seperti singa terluka.
"Lepaskan aku, Julie! Lepaskan!" Vincent meronta-ronta
melepaskan diri. "Vincent... sudahlah! Sudahlah!" aku memohon.
Al terjengkang menabrak mobil. Kulihat ia berdiri lagi. Ia
merapikan T-shirt hitamnya. Memungut topinya yang terjatuh.
Matanya yang biru dan kecil itu tampak menyipit dengan licik.
Mukanya tegang karena marah.
"Lepaskan aku!" seru Vincent.
Aku tetap memeganginya erat-erat. "Tidak, Vincent. Jangan!
Dia cuma akan merobohkanmu," kataku. "Kau tahu aku betul. Kau tak dapat
melawannya. Dia akan merobohkanmu!"
"Tapi dia tak boleh seenaknya mengerjai orang begini!" teriak Vincent. "Tak
boleh!" Aku mengangkat muka. Aku terkejut melihat Al sudah pergi dengan berlari-lari. Tanpa
mengatakan apa-apa pada kami, ia pergi dan menghilang, berlari ke
balik pagar tinggi. Al tidak pernah kembali. Itu hari Kamis. Malam berikutnya - Jumat malam - aku membunuhnya.
BAGIAN DUA Chapter 8 YAH... beberapa orang mengira aku yang membunuh Al.
Tentu saja bukan aku. Setelah makan malam pada hari Jumat, aku menelepon Vincent.
Ia menyahut tanpa semangat. Mendengar suaranya lewat telepon saja
aku tahu bahwa ia sedang marah dan sangat tertekan.
Kucoba menghiburnya. "Kami semua akan main Rollerblades
di Shadyside Rink," kataku. "Mau ikut?"
Vincent memang biang Rollerblades! Ia bisa meluncur
berkeliling dengan cepat sekali sambil melambai-lambaikan
tangannya seperti orang sinting. Ia selalu lima kali lebih cepat
daripada semua anak lainnya. Pokoknya, dia benar-benar jagoan
Rollerblades! Tak dapat kusebutkan berapa kali sudah kami berusaha
mengimpitnya ke dinding atau menariknya ke lantai, tapi kami yang
malahan tertarik dan kewalahan. Vincent memang tidak pernah serius.


Fear Street - Confession di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia selalu melucu - bahkan ketika terancam bahaya!
Tapi kali ini lain. "Aku tak bisa pergi," Vincent mengeluh. "Aku tak bisa ke mana-mana, Julie. Aku
terkurung. Mungkin selamanya."
"Oh, ya ampun," gumamku. "Gara-gara mobil itu?"
"Ya. Gara-gara mobil itu," ulang Vincent dengan. sedih. "Aku dihukum orangtuaku.
Tak boleh keluar rumah. Aku takkan pernah
bertemu kalian lagi." Ia menghela napas. "Dan masih ada yang lebih buruk."
Aku menarik napas dalam-dalam. "Apa yang lebih buruk itu?"
"Musim panas ini aku tak bisa bekerja sebagai konselor camp,"
sahut Vincent. Suaranya serak. Aku tahu ia sangat menginginkan
pekerjaan itu. "Aku harus tinggal di Shadyside sepanjang musim panas dan
bekerja di toko ayahku," Vincent mengerang. "Untuk mengganti biaya perbaikan
mobil itu." "Maksudmu, kau tidak akan digaji?" tanyaku.
"Ya." Suaranya sangat pelan, aku harus merapatkan gagang
telepon ke telingaku supaya bisa mendengarnya. "Aku tidak akan
digaji. Ayahku telah mengeluarkan banyak uang untuk memperbaiki
kerusakan yang disebabkan oleh si brengsek Al itu."
"Oh, aduh," gumamku.
Aku kasihan pada Vincent. Bukan dia yang merusakkan mobil
itu. Tapi Al. Dan Vincent bahkan tidak meminjamkan mobil itu
dengan sukarela. "Seharusnya Al yang membayarnya," kataku.
Vincent tertawa pahit dan kering. "Kau saja yang
mengatakannya pada Al."
Lama kami sama-sama diam. Aku dapat mendengar tarikan
napas Vincent. Kucoba memikirkan hal-hal yang dapat menghiburnya.
Aku sangat mencemaskannya. Sungguh. Inilah pertama kalinya
aku bicara dengan dia tidak dalam suasana bercanda. Aku merasa
seolah seluruh kepribadiannya telah berubah. Tampaknya ia benar-
benar terpukul, dan tertekan sekali.
Semuanya karena si brengsek Al itu.
"Boleh aku main ke rumahmu?" tanyaku. "Aku tidak jadi main Rollerblades. Kita
bisa jalan-jalan saja."
"Tidak bisa," sahutnya dengan muram. "Aku tak boleh ke mana-mana, dan aku tak
boleh terima tamu. Aku jadi tahanan. Benar-benar tahanan."
"Yah, mungkin...," lanjutku. Tapi aku mendengar suara ayahnya yang berteriak.
"Oke, oke! Sebentar! Hampir selesai!" teriak Vincent pada
ayahnya dengan kesal. Ia kembali bicara padaku, "Sudah dulu, ya.
Salam buat yang lainnya." Dan ia memutuskan sambungan.
Kuletakkan teleponku, lalu aku mondar-mandir sebentar di
dalam kamarku. Sebentar lagi orangtua Vincent pasti akan melunak,
pikirku. Kemarahan mereka akan reda. Dan mereka akan mengizinkan
Vincent kembali ke kehidupan normal.
Bunyi klakson mobil yang keras dan panjang membuyarkan
lamunanku. Melalui jendela aku mengintip keluar dan melihat
Bonneville biru kepunyaan Hillary.
Cepat-cepat kusisir rambutku, lalu kusambar Rollerblades-ku,
dan aku buru-buru mendatangi mobil itu. "Hei, guys." Aku duduk di bangku depan.
Taylor dan Sandy di belakang, duduk rapat, rambut
Taylor yang pirang putih tergerai di bahu Sandy. Selintas aku melihat dia
memakai blus tanpa lengan dan celana pendek biru yang pendek
sekali di atas celana ketat berwarna gelap.
"Vincent ikut?" tanya Hillary sambil memundurkan mobilnya.
"Vincent tak bisa ke mana-mana," laporku. Kuceritakan seluruh kisah itu
selengkapnya. Begitu ceritaku selesai, Hillary dan Taylor langsung mencaci
maki Al. Keduanya juga tidak setuju dengan tindakan orangtua
Vincent yang mereka anggap tidak adil. Anehnya, Sandy diam saja.
Arena Rollerblades ramai sekali, apalagi sekarang malam
Sabtu. Kulihat banyak anak dari sekolahku dan yang lebih kecil lagi.
Memang tidak banyak tempat hiburan yang tersedia di Shadyside.
Arena ini merupakan salah satu tempat untuk berkumpul dengan
teman-teman. Selama musim dingin, lantai Shadyside Rink diselimuti es, dan
kami semua datang ke sini untuk bermain ski es, atau duduk-duduk
saja sambil minum kopi atau cokelat panas. Es itu baru mencair dua
minggu yang lalu. Jadi sekarang banyak anak yang ingin mencoba
Rollerblades baru mereka.
Kami berempat duduk di bangku di luar arena, mengikat tali
Rollerblades masing-masing. Taylor tidak berhasil mengencangkan
ikatannya. Langsung Sandy berlutut dan menolongnya.
Aku geli melihatnya. Sandy begitu berusaha menyenangkan
Taylor. Bahkan tidak keberatan menjadi budaknya.
Aku tahu, kalau Vincent menyaksikan adegan ini, dia pasti
mengejek Sandy habis-habisan dan membuat kami semua terpingkal-
pingkal. Tapi, sampai sekarang, kami tidak banyak tertawa. Mungkin
ketiga temanku prihatin akan nasib Vincent, sama seperti aku. Al telah
mengacaukan kehidupan kami semua. Dan kami tidak bisa berbuat
apa-apa. Kusibakkan rambutku ke belakang bahuku dan aku meluncur ke
arena. Kuputuskan untuk berusaha melupakan Al, Vincent, dan
segalanya, aku hanya mau bersenang-senang.
Aku sangat pandai bermain sepatu luncur. Pergelangan kakiku
kuat. Dan aku suka sekali main Rollerblades, apalagi di arena ini.
Namun sekarang gerakanku agak kaku. Maklum, sejak musim
gugur yang lalu aku belum pernah main Rollerblades lagi. Dan arena
ini penuh sekali dengan anak-anak.
Aku berkeliling beberapa kali, luncuranku tidak mantap. Kukira
aku agak ngebut dan belum siap.
"Whooa!" jeritku, saat menikung terlalu kencang. Aku
menabrak seorang anak laki-laki ceking berambut merah. Tangannya
menggapai-gapai. Ia berteriak-teriak marah.
Dan kami berdua terjatuh. Aku mendarat di atas badannya.
Kudengar omelannya karena terkejut dan kesakitan.
"Sori," ucapku terengah-engah. Apakah aku telah membuat
remuk anak kecil ini"
Aku bangkit berdiri, lalu membungkuk untuk membantunya
berdiri. Dan ternyata aku mengenalnya.
Artie Matthews. Salah satu anak kembar yang dulu sering
kujaga. Benar saja... Chucky, saudaranya, meluncur mendatangi kami.
Anak itu berhenti, mata birunya menyipit mula-mula tertuju pada
kembarannya, lalu padaku.
Seketika itu juga aku ingat betapa aku sebel pada kedua anak
ini. Pasti sekarang mereka berumur dua belas. Dulu aku sering
menjadi baby-sitter mereka ketika mereka berumur sembilan tahun.
Tampang mereka seperti malaikat, tapi ulah-nya... iiih... jauh
dari itu! Begitu orangtua mereka keluar pintu, mereka langsung menjadi
liar. Berkelahi. Mengganggu anjing. Mengotori rumah. Menolak
disuruh tidur. "Kau tak apa-apa?" tanyaku pada Artie.
"Kenapa kau nggak pasang mata kalau jalan?" ia memarahiku, sambil menggosok-
gosok siku tangannya. "Julie... ngapain kau di sini?" tanya Chucky. "Apa kau nggak ketuaan buat main
Rollerblades?" Keduanya tertawa ngakak. Ha-ha. Setelah yakin bahwa Artie tidak terluka, aku meluncur ke
tempat Hillary. "Jangan ulangi lagi!" kudengar Artie meneriakiku. Dan kembali kudengar tawa
mereka yang menjengkelkan.
"Itu anak-anak yang dulu sering kaujaga, kan?" Hillary bertanya padaku ketika
aku tiba di sampingnya. Aku mengangguk. "Aku baru saja bertabrakan dengan salah
satu dari mereka dan membuatnya jatuh. Sayang kurang keras!"
kataku kesal. Aku melambai pada beberapa cewek teman sekolahku, menjaga
kecepatanku agar tetap sama dengan Hillary. Di mana Sandy dan
Taylor?" tanyaku. Kuedarkan pandanganku, mencari-cari di antara kerumunan orang.
Hillary menunjuk. Mereka ternyata masih duduk di bangku yang tadi. Keduanya
berpelukan erat seperti dua gurita. Taylor nyaris berada di pangkuan Sandy.
Rambut pirangnya menutupi muka cowok itu ketika dia
mencium Sandy. Lama aku terpaku menatap mereka, dan nyaris menabrak
tembok! "Mungkin Taylor benar-benar menyukai Sandy," kata Hillary
dengan sedih. "Mungkin," sahutku.
Sejenak kemudian, Taylor dan Sandy menghilang bersama.
Kalau mereka tidak mau main, buat apa mereka repot-repot membawa
Roller-blades, pikirku. Aku dan Hillary masih terus meluncur selama dua puluh menit
berikutnya. Lalu kami menghampiri beberapa anak yang kami kenal,
dan kami berkumpul bersama mereka di kios makanan sebentar.
Hillary melihat cowok Waynesbridge yang dikenalnya. Sambil
melambai-lambai dan memanggil-manggil nama cowok itu, ia
bergegas menghampirinya. Mereka kemudian bercakap-cakap.
Kukencangkan ikatan tali sepatuku, aku bersiap-siap meluncur
lagi. Kakiku seperti digelitiki. Otot-ototku berdenyut. Rasanya asyik sekali.
Aku memang perlu berolahraga. Aku jarang melakukan latihan
fisik selama musim dingin yang lalu.
"Hei, dengar." Tangan Hillary menyentuh bahuku. "Aku dan John akan ke pesta."
Hillary menunjuk cowok Waynesbridge itu,
perawakannya kerempeng dan jangkung. Pakaiannya kemeja merah
yang kedodoran dan jins baggy. "Mau ikut" Kau juga diajak lho."
Aku menggeleng. "Tidak. Pergilah. Aku masih mau main."
Hillary mendekatkan wajahnya ke wajahku dan menatap
mataku. "Sungguh kau tak keberatan aku meninggalkanmu seperti
Perompak Perompak Laut Cina 1 Pisau Kekasih Karya Gu Long Tiga Naga Sakti 6
^